Cerita Ngentot ABG Silat : Bukit Pemakan Manusia 2

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 20 Juli 2012

Cerita Ngentot ABG Silat : Bukit Pemakan Manusia 2-Cerita Ngentot ABG Silat : Bukit Pemakan Manusia 2-Cerita Ngentot ABG Silat : Bukit Pemakan Manusia 2-Cerita Ngentot ABG Silat : Bukit Pemakan Manusia 2-Cerita Ngentot ABG Silat : Bukit Pemakan Manusia 2


Orang itu berseru mengiakan, dan kemudian sambil menjura katanya:
"Kalau begitu maafkan kelancanganku, aku akan masuk kedalam!"
Selesai berkata, dengan melangkah lebar dia lantas masuk kedalam
istana Sin kiong.
Dengan cepat kakek Tiong menghalanginya seraya berkata:
"Keberanianmu sungguh luar biasa, lohu bersaudara tak berani
bersikap kurang hormat." Setelah berhenti sebentar, katanya lagi: "Adik
Peng, mengapa tidak menunjuk jalan buat tamu agung
kita?" Kakek Peng mengiakan, kepada orang itu katanya kemudian
sambil tertawa: "Kau adalah tamu kami, biar lohu saja yang
membawakan jalan
bagimu...". Selesai berkata, kakek Peng mendahului orang itu dan
masuk
lebih dulu kedalam istana Sin kiong. Orang itu berpaling kearah kakek
Tiong, kakek itu segera berkata
lembut: "Saudara, silahkan !" Sun Tiong lo segera gelengkan kepalanya
be rulang kali, katanya.
"Silahkan..." Orang itu tertawa, dengan sikap yang amat santai dia
lantas
melangkah masuk ke dalam gua. Di balik gua itu terbentang sebuah
jalan yang lurus, lebih kurang
sepuluh kaki kemudian mereka berbelok ke kanan, kemudian setelah
sepuluh kaki lagi merekapun berbelok ke sebelah kiri.
Luas lorong bawah tanah itu mencapai dua kaki, dinding batu
terbentang sampai diatas gua, halus dan licin seperti cermin.
Setelah berbelok kekiri, maka munculah sebuah gua yang tiga kaki
luasnya.
Orang itu berseru tertahan, kemudian kata-nya.
"Ternyata didalam gua ini hanya terdapat sebuah jalan tembusan saja."
"Benar !" jawab kakek Tiong yang berjalan lima depa disisinya, "setelah
menembusi gua tersebut, kita akan sampai diistana Sin- kiong."
Orang itu manggut-manggut. "Tentunya tempat itu sangat luas
bagaikan dunia !" "Aaaahh, mungkin akan ditertawakan oleh yang
telah
melihatnya...." Tanpa terasa orang itu bergumam: "Tempat ini tidak
nampak cahaya api. siapa sangka kalau didunia
ini tak ada dewa?" Mendengar ucapan tersebut, paras muka delapan
orang kakek itu
agak berubah. Sementara itu kakek Peng yang berjalan dipaling depan
juga
telah berhenti sambil dia berpaling ke arah kakek Tiong, agaknya dia
sedang menantikan petunjuknya.
Kakek Tiong segera mengangguk, katanya. "Adik Peng, kita terima
tamu di Teng hong sian!" "Baik toako" jawab kakek Peng dengan
sekulum senyuman
menghiasi bibirnya, dia tampak gembira sekali, "siaute akan mendahului
beberapa langkah lebih dulu!"
Sementara itu, orang tadi sudah maju kembali kedepan sambil berkata.
"Bisa masuk gua dewa, mendapat tempat di atas Teng hong sian, bunyi
sambu menimbulkan karya seni yang indah, hidup tenteram lupa nama
dan kedudukan, itulah jalan yang palinglah tepat bagi para orang gagah
jaman sekarang!"
Ketika mendengar ucapan tersebut, tiba-tiba sekujur badan kakek Peng
yang berjalan dipaling muka itu gemetar keras.
"Adik Peng, hati hati kakimu!" kakek Tiong segera memperingatkan.
Kembali orang itu berseru: "Bila dalam hati tiada noda dan dosa,
melewati tebing curam
tempat bahaya, tenang!" Delapan orang kakek itu tak berkata apa apa,
hanya tampak
kakek Peng telah mempercepat langkahnya. Sesudah keluar dari gua,
dari kejauhan sana tampak ada empat
buah lentera yang melayang datang makin lama semakin mendekat,
Orang itu menengok sekejap sekeliling tempat itu, kemudian
menghela napas sambil muji. "Mendengar kau menghela napas ?" tanya
kakek Tiong sambil
berkerut kening. "Sungguh besar benar lagak kalian !" kata orang itu
sambil
mendongakkan kepalanya. Sementara itu, ke empat buah lentara tadi
sudah semakin
mendekat, ternyata mereka adalah empat orang dayang kecil berbaju
hijau yang masing-masing membawa sebuah lentera kristal, tampaknya
mereka datang untuk membawa jalan bagi delapan kakek serta orang
itu.
Tidak menunggu ke empat orang dayang itu memberi hormat, kakek
Peng telah berkata:
"Tamu agung telah datang, kalian segera kembali ke istana dan
perintahkan untuk menyiapkan meja perjamuan di Teng-hong-sian, lalu
gunakan lencana Giok-pan untuk mengundang datang "Ngo- siu",
cepat!"
Ke empat orang dayang cilik itu segera memberi hormat, kemudian
membalikkan badan dan pergi.
Sambil tertawa kakek Tiong lantas berkata kepada orang itu: "Kami
delapan bersaudara akan mempergunakan upacara yang
paling megah untuk menyambut kedatanganmu !" Buru-buru orang itu
menjura. "Upacara Kebesaran semacam ini benar-benar tak berani
kuterima !" Kakek Peng tertawa, katanya: "Mata lohu belum melamur,
karena itu maka kami sengaja
memberitahu silahkan !" Semua orang segera mempercepat langkahnya
menuju ke depan. Dari kejauhan sana secara lamat lamat tampak
serentetan
bangunan loteng yang saat itu terang benderang bermandikan cahaya.
Tak bisa di sangkal lagi, ke empat orang dayang itu tentunya telah
menyampaikan perintah. Di bawa sinar lentera, orang itu dapat melihat
segala sesuatu dengan jelas.
Sebuah keraton berbentuk antik dan indah terbentang didepan mata,
meski jaraknya masih jauh namun nampak jelas ukir ukiran pada tiang
penyanggahnya yang indah dan hidup.
Di luar istana diatas pintu gerbang tentera sebuah papan nama yang
bertulis: "Sin Kiong" dari tinta emas yang indah.
Waktu itu semua pintu diistana terbentang lebar, disebelah kiri berdiri
sepasukan wanita wanita-cantik, sedang disebelah kanan berdiri busu
bertubuh kekar..
Sambil mengulapkan tangannya, kakek yang bernama Peng berkata
dengan lantang:
"Sejak malam ini... pintu istana tak bolek ditutup, tidak boleh terjadi
kegaduhan bubarkan semua huhoat pengontrol istana, kemudian
naikkan lentera emas di atas loteng Im siau lo, semua perintah tak boleh
dilanggar...."
Dua pasukan laki, perempuan yang berada dikedua sisi istana segera
mengiakan, kemudian setelah memberi hormat kepada delapan kakek
serta orang itu, mereka barulah membalikkan badan dan berlalu,
ternyata langkah merekah sama sekali tak bersuara sedikitpun.
Ketika selesai mengucapkan perkataan itu, kakek Peng segera
membalikkan dan sambil menyingkir kesamping, dan katanya:
"Silahkan saudara!" Orang itupun tak mau kurang hormat, kepada
kakek Tiong
ujarnya: "Kakek Tiong silahkan !" Kakek Tiong segera tertawa, sambil
menggandeng tangan orang
itu katanya: "Saudara, bagaimana kalau kita berjalan sambil
bergandengan
tangan." "Dengan segala senang hati." jawab orang itu sambil
menerima
uluran tangan kakek itu. Maka kedua orang itupun bergandengan
tangan masuk kedalam
pintu istana. -ooo0dw0ooo- DI DALAM Teng liong sian, perjamuan
sudah hampir berakhir,
irama musik telah berhenti, dan waktupun sudah menunjukkan
kentongan ketiga tengah malam.
Kakek Peng segera memberi tanda, para dayang pun maju
membereskan sisa hidangan dimeja, kemudian teh wangi pun
dihidangkan.
Ketika dia memberi tanda lagi, semua orang segera memberi hormat
dan mengundurkan diri.
Kakek Peng lantas memandang kakek Tiong, kemudian ujarnya.
"Apakah kita akan menggunakan lencana Giok-pay untuk
menghantar "Nga-siu" keluar dari istana ?" Kakek Tiong tidak
menjawab, tapi sambil berpaling kearah orang
itu katanya: Orang itu mengerling sekejap ke balik tirai bambu yang
tebal itu,
kemudian sahutnya: "Kalau tamu sih menuruti saja kehendak tuan
rumah !" setelah berhenti sebentar terusnya; "Cuma, aku merasa agak
kecewa." "Haaahh...haahh... apakah disebabkan tak bisa bersua dengan
"Ngo-siu" Orang itu tersenyum, baIik tanyanya. "Apakah kakek Tiong
tidak sependapat dengan diriku." sekali lagi
kakek Tiong tertawa terbahak-bahak. "Yaa, memang kau tak bisa
disalahkan, "Ngo-siu selain cantik
jelita bak bidadari dari kahyangan, kecerdasan dan kepandaiannya juga
amat jarang aca tandingannya, menurut adat kesopanan, sudah
sepantasnya bila lohu mengundangnya keluar untuk bersua dengan
kau."
"Kalau memang menurut adat kesopanan harus begitu, bolehkah aku
mengajukan pertanyaan?" orang itu segera menimbrung.
Kakek Tiong mengalihkan sinar matanya dan memandang orang itu
sekejap, lalu jawabnya.
"Cuma, lohu tak berani mengambil keputusan." "Oooh... apakah
dengan kedudukan Pat lo yang terhormat masih
belum sanggup untuk mengundang keluar kedua orang perempuan
cantik itu...?"
Paras muka kakek Tiong agak berubah, kemudian katanya.
"Darimana kata kata "dua orang perempuan cantik itu berasal?
mengapa kau bisa berkata begitu?"
"Bukankah dibalk tirai bambu itu terdapat dua orang perempuan
cantik....?" ujar orang itu sambil menuding ke balik tirai.
Kakek Tiong segera tertawa terbahak-bahak. "Haaaahh.... haahhh...
haaahhh.... rupanya kau kurang bisa
menangkap nada suara orang." Dengan wajah serius orang itu berkata:
"Kakek Tiong, aku tidak puas dengan perkataanmu itu, sekarang
aku berani bertaruh dengan kakek Tiong, bila dibelakang tirai tidak
terdapat dua orang perempuan cantik, aku rela mengaku kalah."
Belum habis perkataan itu diucapkan, dari balik tirai telah terdengar
serentetan suara merdu sedang berkumandang:
"Kau berani mempertaruhkan apa?" "Bagaimana kalau nona yang
menentukan?" orang itu balik
bertanya sambil tertawa. Perempuan dibalik tirai itu mendengus.
"Hmmm, setiap pertaruhan harus adil, bila kau menang apa
permintaan yang hendak kau ajukan?" "ltu tergantung keputusan nona,
jika kalah apa pula yang hendak
kau berikan kepadaku!" Perempuan cantik dibalik tirai itu tampak-nya
agak tertegun, lalu
katanya: "Sekarang aku telah memutuskan, bila kau yang kalah maka
kau
harus menjadi budak harpaku untuk selamanya!" Orang itu tertawa
tergelak. "Haaahnh.... haaahhh.... haaahhh... kalau memang
bersungguh
hati, aku cuma kuatir dicemooh orang!"
Begitu ucapan tersebut diucapkan, paras muka pat-lo segera berubah
hebat.
Tapi ucapan dari orang itu belum selesai, kembali katanya: "Sebagai
budak harpa, pekerjaan apa yang harus kukerjakan ?" "Siang
memetik harpa, malam memetik harpa, kami kakak
beradik pergi ke timur, kalian ke timur, kami ke barat kalian juga turut
kebarat!"
"Kalau bisa begitu, kalah lebih menguntungkan dari menang, lebih baik
mengaku kalah saja, tak perlu bertaruh lagi!"
Perempuan dibalik tirai itu menjadi terbungkam, Pat-lo juga tak berkata
apa-apa lagi.
Sesaat kemudian, dari balik tirai berkumandang suara helaan nafas
panjang, katanya.
"Kalau memang tak ingin bertaruh lagi, maaf kalau akupun hendak
mohon diri !"
Orang itu menjadi agak gelisah, serunya dengan cepat. "Nona, harap
tunggu sebentar !" "Apa lagi yang hendak kau katakan? "Apabila
pertaruhan ini harus dilakukan juga, aku bersedia untuk
bertarung." Perempuan cantik dibalik tirai itu segera tertawa dingin,
katanya
kemudian. "Kalau begitu, katakan dulu, bagaimana jika kau yang
menang ?" "Nona pernah bilang, bila aku kalah, maka selama hidup
harus
menjadi budak harpa, bukankah begitu ?" "Betul, aku percaya kau tak
akan secepat itu untuk
melupakannya !" Orang itu segera tertawa,
katanya lagi.
"Aku tak punya harpa tapi punya pedang, bila nona kalah, bersediakah
kau menjadi budak pedangku ?"
Perempuan cantik dibalik tirai bambu itu tidak menjawab, mendengar itu
orang tersebut segera mendesak lebih jauh.
"Dapatkah hal ini diterima, harap nona bersedia memberi jawaban."
Belum juga ada jawaban dari balik tirai bambu itu. Orang tersebut
segera berpaling kearah kakek Tiong segera
berseru dengan suara keras. "Kakek Tiong, nona belum juga
menjawab...?" "Kau suruh nona menjawab apa?" tanya kakek Tiong
sambil
berkerut kening. "Menjawab soal pertaruhan itu!" "Haaahhh.... haahhh...
haaahhh... aku lihat kau terlampau
seriusl" "Untuk bertaruh tentu saja harus bersikap serius!" ujar orang
itu
setelah tertegun. Kakek Tiong menggelengkan kepalanya berulang kali,
katanya: "Apa yang dikatakan nona tak lebih hanya suatu siasat untuk
mengundurkan diri." "Siasat untuk mengundurkan diri? Apakah nona
sudah pergi?" "Yaa, sudah pergi sedari tadi!" sahut kakek Peng. Dengan
cepat orang itu menunjukkan wajah kecewa, katanya: "Kejadian ini
benar benar diluar dugaanku." Kakek Peng tertawa. "Urusan dari nona
Siu memang tak pernah bisa diduga orang
selain Sancu seorang."
Suasana menjadi hening untuk beberapa saat lamanya, tiba tiba orang
itu mengalihkan pokok pembicaraan ke soal lain, katanya:
"Tolong tanya kakek Peng, apakah Ngo siu terdiri dari dua orang."
Belum habis orang itu berkata, kakek Peng sudah menukas: "Soal ini,
maaf kalau aku tak dapat mengatakannya."
Dengan perasaan apa boleh buat orang itu menggelengkan kepalanya
berulang kali, katanya.
"Tak bisa bertemu dengan perempuan cantik, betul-betul merupakan
suatu kejadian yang membuat kecewanya hatiku!"
Kakek Tiong segera tertawa terbahak bahak. "Haaahhh.... haaahhh...
haaahhh.... hanya seorang enghiong
yang bisa mengetahui pentingnya perempuan, ucapan anda tidak bisa
kupahami dengan begitu saja."
Orang itu kembali menggeleng, sambil beranjak katanya.
"Kegembiraanku sudah hilang, maaf kalau terpaksa aku harus
memohon diri !" Selesai berkata dia lantas membalikkan badan dan siap
berlalu
dari situ. Sambil tertawa kakek Tiong segera merentangkan tangannya
menghalangi jalan pergi orang itu, serunya. "Saudara, harap tunggu
sebentar !"
"Kakek Tiong masih ada petunjuk apa lagi?" Sambil mempersilankan
tamunya duduk, kakek Tiong berkata. "Sekalipun ada urusan juga
harus diperbincangkan sambil duduk,
silahkan !" Agaknya orang itu dibuat apa boleh buat, terpaksa dia balik
kembali ketempat duduknya. Setelah air teh dipersembahkan
kakek Tiong lantas berkata.
"Silahkan meneguk air teh dulu, kemudian lohu akan mengajukan
beberapa persoalan kepadamu."
Orang itu memandang sekejap ke arah kakek Tiong, kemudian sambil
menunjuk cawan air teh dihadapannya dia berseru:
"Apakah harus di minum ?" Kakek Tiong tertegun, kemudian
serunya: "Aku lihat ucapanmu itu mengandung maksud lain,
bolehkah aku
mengetahuinya ?" Orang itu segera tertawa dingin, ejeknya: "Betulkah
kakek Tiong
tidak tahu?" Kakek Tiong segera menggelengkan kepala nya berulang
kali,
dengan serius katanya: "Saudara, harap kau katakan dengan berterus
terang." Orang itu tertawa, dia lantas mengambil cawan dan pelan
pelan
menuang isinya ke atas lantai. Suatu kejadian yang mengerikan segera
berlangsung didepan
mata, segulung asap berwana hijau segera mengepul ke angkasa,
seketika itu juga lantai loteng tersebut terbakar dan berubah menjadi
hangus.
Menyaksikan kejadian itu. paras muka kedelapan orang kakek itu
berubah hebat, hawa amarah dengan tepat menyelimuti seluruh wajah
mereka.
Sambil mendepak-depakkan kaki keatas lantai, kakek Tiong segera
berteriak keluar ruangan.
"Malam ini, siapa yang bertugas meronda dalam istana ?"
"Hamba Sik Puh !" seseorang menyahut dari luar ruangan.
Kakek Tiong segera mendengus. "Kemari !" bentaknya.
Sik Puh mengiakan dan segera muncullah sesosok bayangan berwarna
biru, begitu sampai ditempat tampaklah seorang lelaki kekar berusia
pertengahan yang berwajah tampan muncul didepan mata.
Dia adalah Sik Puh, petugas yang mendapat giliran menjaga dalam
istana Sin-kiong, ketika mengetahui kalau Pat-tek-Pat-lo sedang
menjamu tamunya didalam istana Teng-hong-sian maka dia secara
khusus melakukan penjagaan yang lebih ketat.
Ketika menyaksikan gerakan tubuh Kik Puh ketika melayang naik keatas
loteng orang itu merasa hatinya tergerak dan segera manggut2.
Sebaliknya ketika Sik Puh melirik ke arah orang itu hatinya juga merasa
tergerak.
Pada saat itulah, kakek Tiong telah menuding ke papan loteng yang
hangus itu, serunya, "Coba kau perhatikan tempat itu!"
Menyaksikan keadaan dari lantai loteng itu, di paras muka Sik Puh
berubah hebat, namun dia tidak berkata apa-apa.
"Sudah kau lihat dengan jelas?" kembali kakek Tiong membentak
"Hamba sudah melihat jelas !" "Bawa kemari orang tersebut !"
bentak kakek Tiong lagi. Sik Puh agak tertegun, sebelum dia
berkata, kakek Peng dengan
wajah sedingin es telah berkata. "Bagaimana ? Merasa susah ?" Sik Puh
segera menundukkan kepalanya rendah-rendah, setelah
memberi hormat sahutnya: "Harap Tionglo maklum, jumlah orang yang
berada dalam istana
Sin kiong banyak sekali...." "Goblok" tukas kakek Peng segera. "orang
yang turut hadir di
atas Teng-hong sian malam ini cuma sepuluh orang."
"Maaf Tianglo, hamba telah salah berbicara" buru-buru Sik Puh meralat
kata-katanya.
Kemudian setelah berhenti sebentar, sekali lagi dia memberi hormat
seraya berkata:
"Hamba memohon, Tianglo bersedia mem beri batas waktu satu
kentongan kepada hamba."
Kakek Peng segera memandang ke arah kakek Tiong segera
mendengus dingin, serunya:
"Untuk mencari seorang anjing laknat yang melepaskan racun saja,
masa membutuhkan satu kentongan ?"
"Hamba harus membongkar kasus ini sampai tuntas." Kakek Ho
memang berhati bijaksana, cepat dia berseru. "Baik, baiklah, cepat
laksanakan tugas ini!" Bagaikan mendapat
ampunan, Sik Puh segera mengiakan dan mengundurkan diri dari situ
Tiba-tiba kakek Tiong menambahkan "Lohu mengharapkan yang hidup,
bila dia sampai mati, membiarkan kau tetappun tak ada gunanya !"
Mendengar perkataan itu Sik Puh segera berhenti, jawabnya. "Hamba
pasti akan melaksanakan sedapat mungkin !" "Kalau begitu bagus
sekali, cepat pergi !" seru kakek Tiong
sambil mengulapkan tangan nya. Kali ini Sik Puh tidak menanti lagi, dia
segera membalikkan badan
dan berlalu dari situ. Setelah Sik Puh pergi, kakek Tiong baru
mengambil cawan teh
yang dipergunakan orang itu, mengendusnya sebentar, gelengkan
kepala dan mengeluarkan hendak, kemudian membungkus daun teh itu
dan meletakkannya diatas meja.
Setelah itu dengan nada minta maaf dia ber kata kepada orang sambil
tertawa rikuh.
"Saudara, apa yang harus kukatakan ?" "Tampaknya orang itu
memang pelupa." sambil tertegun
katanya, "Kakek Tiong, apa yang kau maksudkan ?" Sekali lagi kakek
Tiong tertawa rikuh. "Aah, kau ini memang pandai berlagak !"
gumamnya. Setelah berhenti sejenak dia lantas mengalihkan pokok
pembicaraan ke soal lain, katanya. "Aku percaya kau tentunya tak akan
menuduh kami delapan
bersaudara bukan ?" Sekarang orang itu baru berseru tertahan. Sambil
menuding kearah daun teh yang berada dalam handuk,
katanya. "Apakah itu kakek Tiong maksudkan permainan itu?" "Kan,
hanya permainan ini saja yang membuat lohu bersaudara
menjadi rikuh." Belum habis dia berkata, orang itu sudah tertawa,
serunya. "Perkataan apakah itu? Masa aku akan menaruh curiga kepada
kalian berdelapan ?" Kakek Tiong menghembuskan rasa mangkel dan
kesal didalam
hati, kemudian katanya. "Saudara, ucapan dari Sik Puh tadi..." "Aku
telah mendengarnya semua !" sahut orang itu cepat. Kakek Tiong
tertawa. "Kalau begitu bagus sekali, bagaimana kalau seandainya kau
menanti satu kentongan lagi disini?" "Menurut pendapatku rasarya tak
usah di tunggu lagi !" ucap
orang itu sambil tertawa.
Mendengar jawaban tersebut paras muka delapan arang kakek itu
berubah hebat.
Pertama-tama kakek Peng yang berkata lebih dulu: "Kenapa ?
Apakah kau tidak percaya kalau kami delapan
bersaudara tak sanggup untuk menemukan pembunuh yang telah
melepaskan racun itu ?"
BAB DUA BELAS
-ooo0dw0ooo-
"KAKEK BERDELAPAN!" ucap orang itu sambil tersenyum, "Bukannya aku
gemar bertaruh tapi dalam peristiwa ini."
"Baik, aku akan bertaruh denganmu!" cepat kakek Peng menyela,
Orang itu memandang sekejap kearah kakek Peng dan ujarnya:
"Kakek Peng pribadi yang akan bertaruh denganku atau kalian
berdelapan?" Kakek Peng akan menjawab, tetapi kakek Tiong segera
mengulapkan tangannya tukasnya. "Tolong tanya, apakah taruhan ini
dapat diperjelaskan?" "Aku rasa, walaupun kalian berdelapan sangat
berhasrat untuk
menemukan pembunuh itu, sekalipun Sik Puh tayhiap telah
mengerahkan segenap tenaganya untuk melakukan penyelidikan aku
kuatir pada akhirnya cuma hasil yang nihil belaka!"
"Ooya? kalau, toh kau berani berkata demikian itu berarti kau sudah
mempunyai dasar-dasar alasan yang kuat, apakah kami boleh
mengetahuinya?"
"Maaf, soal ini tak dapat kukatakan!" "Jadi kalau begitu, kau
bersikeras untuk bertaruh?" tak tahan
kakek Peng berseru.
"Haaahhh .... haaahhh ... . haaah .. .. kalau cuma kau seorang, tentu
saja pertaruhan ini tak akan bisa dilangsungkan."
Kakek Tiong beikerut kening, setelah termenung sebentar, akhirnya dia
berkata:
"Baik, kita bertaruh!" Dengan wajah serius orang itu lantas berkata:
"Kakek Tiong, aku hendak mengatakannya lebih dulu, bila ingin
bertaruh maka aku hanya akan bertaruh dengan pat tek patlo, kecuali
itu siapa pun tidak berlaku!"
"Bertaruh, bertaruh, bertaruh, lohu berdelapan sudah bertekad untuk
mengikat tali persahabatan denganmu!"
"Aku bilang, kalian berdelapan tak akan berhasil menemukan pembunuh
tersebut !" kata orang itu bersungguh-sungguh.
"Lohu bersaudara beranggapan pembunuh itu tak bakal lolos !"
Orang itu segera tertawa dingin, katanya. "Batas waktunya adalah
satu kentongan, kentongan keempat
nanti menang kalah bisa ditentukan !" "Baik, kua tetapkan dengan
sepatah kata, bila sebelum
kentongan ke empat pembunuh itu berhasil ditemukan maka kau yang
kalah, sebaliknya jika selewatnya kentongan keempat pembunuh itu
belum juga ditemukan, maka kau lah yang menang !"
Orang itu memandang sekejap ke arah delapan kakek itu, kemudian
katanya.
"Kakek Tiong, apakah perkataanmu itu bagaikan hitam diatas putih....
?"
"Apa yang telah lohu bersaudara ucapkan, sampai matipun tak pernah
disesali!"
"Haa... haa... haaa... haaaa bagus-bagus sekali, kalau begitu kita
tetapkan begitu saja, sekarang sudah seharusnya kalau kita bicarakan
soal taruhannya!"
Kakek Tiong melirik sekejap kearah orang itu, dan kemudian katanya.
"Kaulah yang bersikeras menantang kami untuk bertaruh, mengapa tidak
kau katakan dulu taruhannya yang sudah kau siapkan itu?"
Sekali lagi orang itu terbahak bahak, "Haaa.... haa... haaa.... sungguh
hebat!"
Sesudah berhenti sejenak, lanjutnya. "Seandainya aku menang,
mulai besok aku berhak menjadi tamu
istana Sinkiong, setiap saat, dikala aku menjadi tamu, maka kalian
berdelapan berkewajiban untuk .... melindungi keselamatan jiwaku!"
Mendengar perkataan tersebut, ke delapan orang kakek itu saling
berpandangan sekejap.
Kakek Jin dan kakek Tiong segera tertawa terbahak-bahak serunya.
"Suatu perhitungan yang amat jitu, cuma lohu bersaudara bersedia
meluluskan permintaanmu itu!"
Orang itu segera tertawa, ucapnya: "Harap kakek Jin dan kakek Tiong
jangan sembarangan
menjawab, karena masalah ini besar sekali artinya!" Kakek Jin kembali
tertawa terbahak-bahak "Cukup saudara,
dengan mengandalkan keberanianmu itu, bahkan lohu bersaudara pun
dianggap remeh, apalagi kebetulan Sancu tak ada dirumah, lohu tidak
percaya kalau ada orang yang sanggup menghalangi dirimu"
"Kakek Jin, taruhanku toh belum kuucapkan."
"Ooooh.. sungguh menarik, apapun yang kau ajukan, lohu bersaudara
pasti meluluskan!"
Mendadak orang itu berubah menjadi amat serius, katanya: "Selama
aku menjadi tamu kehormatan dari kalian berdelapan,
aku berhak menampik terhadap orang-orang yang tak ingin kujumpai"
"Baik, masih ada yang lain?" kata kakek Jin sambil manggut- manggut.
Orang itu segera menggelengkan kepalanya. "Sekarang giliran aku
yang meminta petunjuk dari kalian
berdelapan, taruhan apakah yang hendak kalian ajukan." Kakek Jin
segera memandang sekejap kearah kakek Tiong, ketika
kakek Tiong mengangguk kakek Jin baru berkata. "Tarunan yang akan
kami ajukanpun terdiri dari dua bagian,
pertama kau harus melayani kami selama satu tahun didalam istana Sin
kiong, kedua kau harus memperlihatkan wajah aslimu serta
menyebutkan nama serta maksud kedatanganmu !"
Orang itu segera mengangguk. "Baik, apakah masih ada syarat
sampingan lainnya?" dia bertanya, Kakek Jin menggeleng.
"Cuma dua itu saja, tanpa syarat sampingan lainnya lagi." "Maaf
kakek berdelapan, aku mempunyai sarat sampingan yang
hendak kuajukan !" ujar orang itu sambil tertawa. Kakek Tiong segera
berkerut kening katanya. "Apakah kau tidak merasa kebangetan ?"
Sahut orang itu dengan serius. "Syarat sampingan ini harus kuterangkan
lebih dulu !" "Baik.... baik," seru kakek Jin sambil tertawa, "silahkan kau
utarakan kepada kami!"
"Andaikata orang yang melepaskan racun itu baru ditemukan
selewatnya kentongan ke empat, bagaimana pula keputusannya ?"
"Selewatnya kentongan ke empat, tentu saja kau yang dianggap
menangkap peraturan ini"
Orang itu segera menggelengkan kepalanya berulang kali. "Soal
menang kalah sudah kita bicarakan, sekarang aku hendak
menanyakan apa yang hendak dilakukan terhadap orang yang
melepaskan racun itu?"
"Hal itu merupakan urusan dari lohu bersaudara!" Orang itu segera
tertawa. "Aku rasa seandainya orang itu mengakui sendiri, sudah
sepantasnya kalau ia memperoleh pengampunan !" "Harus mendapat
pengampunan ?" kakek Tiong agak tertegun
setelah mendengar perkataan itu, "kau...." "Kakek Tiong, yang menjadi
korban adalah aku, maka aku
merasa berhak untuk mengajukan permintaan ini !" Kakek Tiong berpikir
sejenak, akhirnya dia menjawab:
"Maksudmu, apakah lohu ber saudara tak usah mempersoalkan
kesalahannya itu ?"
"Ehmm,... atau lebih tegasnya, entah siapa saja orang itu, tidak
seharusnya kalian memberi hukuman kepadanya !"
Setelah mendengar perkataan itu, seakan-akan menyadari akan sesuatu,
mendadak kakek Jin bertanya: "Apakah kau telah mengetahui siapa
gerangan orang itu ?"
"Yaa, dan sekarang maaf kalau aku tak dapat memberitahukan kepada
kalian !"
Merah padam selembar wajah kakek Tiong katanya: "Lohu amat
takluk kepadamu, baiklah syarat inipun akan lohu
sekalian luluskan !"
"Kakek Tiong segera tertawa ter-bahak2. "Haahh... haah... haaa...
lohu sudah memahami perkataanmu itu,
dan aku meluluskan !" "Haah... haah.... kalau begitu, kuwakili orang itu
mengucapkan
banyak terima kasih dulu ke pada kakek Tiong !" Selesai berkata, dia
lantas memberi hormat kepada kakek Tiong, Diam-diam kakek Tiong
menggelengkan kepalanya beruang kali,
sedangkan Kakek Jin yang berada disampingnya segera berkata:
"Saudara, untuk menunggu tibanya saat, rasanya masih ada
waktu yang teramat panjang, kalau cuma menunggu melulu bukankah
tindakan ini terlalu bodoh ?"
Tiba-tiba orang itu mengusulkan kembali. "Kakek Jin adalah seorang
yang pandai sekali, aku usulkan bagaimana kalau kita undang kehadiran
Ngo siu ?"
Kakek Tiong segera berkerut kening, selanya. "Terus terang saja
kukatakan, kedudukan mereka teramat
istimewa, kami tak berani menganggunya !" Orang itu melirik sekejap
kearah kakek Tiong, kemudian katanya, "Kakek Tiong, beranikah kau
bertaruh lagi!" Kakek Tiong segera tertegun. "Hei tampaknya kau
benar-benar keracunan bertaruh !" serunya. "Haah... haah... haah...
ucapan dari kakek Tiong benar-benar
membuat diriku merasa jengah !" Setelah berhenti sejenak, tiba-tiba
katanya. "Taruhan ini boleh tak usah diselanggarakan tapi apa salahnya
kalau kakek Tiong mencoba." Kakek Tiong
segera menggeleng, katanya.
"Saudara, kau tidak mengerti, untuk mengundang kehadiran mereka
memerlukan adanya lencana kemala, padahal..."
Sambil menggeleng orang itu segera menukas. "Aku percaya, asal
kita mengutus orang untuk menyampaikan
beberapa patah kata saja, sudah pasti dia akan datang kemari !"
Mendengar perkataan itu, Pat tek pat lo menjadi tertegun. Kakek Hoo
segera menggelengkan kepalanya berulang kali,
katanya. "Kau toh bukan dewa." !Apa salahnya kalau kita coba?" kata
orang itu dengan keyakinan
yang besar, "andaikata dia bersedia datang, bukankah kita akan
memperoleh teman lebih banyak ?"
"Apakah kau sangat yakin dengan ucapanmu itu ?" tanya kakek Kim
sambil beranjak.
Orang itu mengangguk. "Bila kakek Kim tidak puas, silahkan
mengundang seorang utusan
datang kemari, lihat saja hanya mengandalkan dua tiga patah kata,
dapat mengundang datang dirinya ditempat itu?"
Kakek Sim segera berpaling ke arah kakek Tiong, lalu katanya:
"Toako, apakah kau percaya dengan perkataannya itu ?" Kakek Tiong
menggeleng. "Benar-benar sukar dipercaya, apalagi..." Orang itu
segera menukas sambil tertawa. "Kakek Tiong, bila
persoalan ini tidak sukar, tak akan dianggap sesuatu yang aneh !"
Kakek Tiong mengerutkan dahinya rapat-rapat, dia tetap tidak
meluluskan untuk melakukan percobaan. Melihat itu, orang tersebut
memutar biji matanya, lalu berkata.
"Bila kakek Tiong mempunyai kesulitan, anggap saja hal ini sebagai
suatu bahan cerita saja."
Kakek Tiong memandang orang itu sekejap, agaknya dia telah
mengambil keputusan, ujar nya kemudian: "Tak ada gunanya kau
berusaha untuk membakar hatiku, cuma lohu memang ingin sekali
menyaksikan kehebatanmu itu !"
Kakek Sim dan kakek Peng segera memahami ucapan toakonya,
mereka hanya tersenyum tidak menjawab.
Terdengar kakek Tiong berkata lagi. "Kau bilang, hanya
mengandalkan tiga lima patah kata, mereka
sudah dapat kau undang kemari ?" "Yaaa, sekalipun tidak diundang
dengan lencana giok-pay, aku
jamin dia pasti datang !" Kakek Tiong mengerling sekejap kearah orang
itu, kemudian
berkata: "Seandainya bisa begitu, lohu pasti akan merasa puas dan
benar-benar takluk ?!"
Berbicara sampai disitu, kakek Tiong lantas memberi tanda kepada
kakek Sim.
Kakek Sim pun segera berseru ke arah luar ruangan "Yu kim, di mana
kau ?"
Seseorang mengiakan dan masuk ke dalam ruangan Teng-hong- sian.
Yu kim berusia empat puluh tahunan, tampaknya cukup banyak
pengalamannya.
Sambil menuding ke arah orang itu, kakek Sim berkata kemudian.
"Dia adalah tamu agung kami pada malam ini, beri hormat dulu
kepadanya!"
Yu Kim memberi hormat yang segera dibalas orang itu, maka kakek Kim
berkata lebih lanjut.
"Yu Kim, kau harus dengarkan baik-baik beberapa patah kata yang
hendak disampaikan tamu agung ini, kemudian sampaikan kepadai
"Ngo-siu", apa yang dikatakan tamu agung ini, katakan pula kepada
Ngo-siu tanpa ditambah atau dikurangi, mengerti !"
"Hamba mengerti." Sambil tertawa kakek Sim lantas berkata. "Kalau
begitu, dengarkan baik-baik perkataan dari tamu agung
ini!" Sementara itu, orang tadi sudah memberi hormat kepada Yu Kim
sambil berkata. "Sobat Yu, kali ini terpaksa aku harus merepotkan
dirimu." "Silahkan tamu agung memberi perintah sudah menjadi
kewajiban hamba untuk melaksanakannya." Orang itu segera tertawa,
ujarnya. "Sahabat Yu,setelah berjumpa dengan nona nanti, harap
beritahu
kepada nona bahwa seorang tamu agung yang di jumpainya dalam
ruang Teng-hong-sian dengan sebuah tirai bambu sebagai batasnya
tadi sudah diracuni orang."
"Kini sobat Sik Puh mendapat perintah untuk melacaki pembunuhnya,
kata tamu itu pembunuh sebetulnya sukar ditemukan, oleh sebab itu
tolong sobat Yu bersedia memberitahu kepadanya, harap dia datang
untuk menyelidiki peristiwa itu !"
"Hanya kafa-kata itu saja ?" tanya Yu Kim. "Benar, beberapa patah
kata itupun sudah lebih dari cukup !" Yu Kim tidak berbicara lagi,
kepada kakek Sim dia lantas berkata:
"Hamba memohon agar kakek Sim menyerahkan lencana Giok-pay !"
Sebelum kakek Sim memberi penjelasan orang itu telah berkata lebih
duluan:
"Sobat Yu, untuk kali ini tak perlu diundang dengan lencana Giok- pay,
percayalah dia pasti akan datang !"
Mendengar perkataan itu Yu Kim tertegun, sorot matanya segera
dialihkan ke wajah kakek Sim.
Dengan kening berkerut kakek Sim berkata: "Pergilah, lakukan saja
apa yang telah dikatakan oleh tamu
agung kita itu !" Yu Kim tak berani bertanya lagi, dengan hormat dia
mengiakan
Ialu mengundurkan diri. Menanti Yu kim mengundurkan diri, ke delapan
orang kakek itu
lalu saling berpandangan sekejap. Kepada orang itu, kakek Tiong
berkata: "Saudara, kau mempunyai keyakinan berapa bagian?" Orang
itu tertawa, dia segera bertanya: "Kakek Tiong dan kau yakin berapa?"
Setelah mengelus jenggotnya, sahut kakek Tiong, "Berbicara
terus terang, dalam sepuluh bagian aku yakin sembilan bagian tidak!"
Sekali lagi orang itu tertawa. "Kakek Tiong, jika kau sudah meyakini
sembilan bagian, dan
sudah sepantasnya kalau berani bertaruh denganku!" "Tidak, aku tak
mau bertaruh" kata kakek Tiong sambil
menggeleng, "kecuali aku yakin sepuluh bagian, kalau tidak tak
nantinya lohu akan bertaruh lagi denganmu!"
"Oooh...! Mengapa demikian?" Kakek Tiong mengerling sekejap ke
arah orang itu, lalu sahutnya: "Tahu diri tahu orang lain seratus kali
bertarung seratus kali
barulah menang, sekarang lohu masih belum mencapai
ketaraf itu"
Tiba-tiba paras muka orang itu berubah menjadi amat serius, katanya:
"Kakek Tiong, dengan sepatah katamu itu sudah cukup buat diriku
untuk mengubah diri."
Kakek Gi yang selama ini tak pernah berbicara, tiba-tiba menimbrung
dari samping.
"Engkoh cilik, bagaimana kalau kita berbincang-bincang?" "Bila kau
orang tua bersedia membuka suara dengan senang hati
aku sedia mendengarnya." Dua orang ini sangat aneh, kakek Gi tidak
menyebut orang ini
sebagai "Saudara", dan orang itupun tidak menyebut kakek itu sebagai
kakek Gi, sejak awal pembicaraan sikapnya terasa lebih jauh, mesra dan
akrab.
Sambil tertawa kakek Gi berkata lagi: "Engkoh cilik, sampai kapankah
topeng kulit manusia yang kau
pakai itu baru bisa kau lepas" "Terus terang saja orang tua, aku ini
sedang menyamar, tapi
tidak mengenakan topeng kulit apapun!" Merah padam selembar wajah
kakek Gi karena jengah, katanya
kemudian. "Aaai. . aku memang sudah tua, baru babak pertama sudah
kena
dibikin keok oleh engkoh cilik ini" Orang itu segera menggelengkan
kepalanya dan berkata.. "Menang atau kalah adalah suatu hal biasa,
sepantasnya kalau
kau orang tua naik kembali keatas kuda untuk berduel lebih jauh" "Haa...
haa... haaa bagus sekali engkoh cilik, sambutlah
seranganku yang kedua ini" Setelah
berhenti sebentar, lanjutnya:
"Engkoh cilik, sekarang apakah kau sedang menjadi tamu agungnya
perkampungan Beng-keh san ceng?"
"Hei orang tua, harap berhenti dulu, kau sepantas-nyalah memberi
kesempatan kepadaku untuk naik kuda lebih dulu!"
Mendengar ucapan tersebut, delapan orang kakek itu segera tertawa
tergelak-gelak.
Setelah tertawa, kakek Gi berkata. "Bagaimana dengan kuda
tunggangan engkoh cilik ?" "Yaa, masih bisa dipakai bertempur!"
"Yaa, enghiong memang muncul dimasa muda!" seru kakek Gi.
Setelah berhenti sebentar, lanjutnya: "Apakah nama marga engkoh
cilik berada pada posisi "ketiga"?" (perlu diterangkan, dalam urutan
nama marga maka pada
urutan ketiga adalah nama dari marga SUN. jadi yang dimaksud kakek
Gi diatas, adalah, apa kau dari marga Sun?")
Orang itu segera tertawa terbahak-bahak. "Haa... haa.... ha... kali ini
aku betul-betul kena terjebak, selain
kudaku hilang, akupun terbanting dari atas pelana kuda." Kakek Gi
segera menepuk paha, berseru: "Aaaah, rupanya engkoh cilik! Mari,
mari bersihkan dulu kotoran
di wajahmu itu!" Tapi orang itu segera menggeleng. "Secara beruntun
aku sudah kena di banting dari atas kuda
sebanyak dua kali, kali ini aku harus membalas dariku.." "Aku telah
mempersiapkan diri, cuma takutnya engkoh cilik harus
mundur dengan nihil!" "Aah, belum tentu demikian." kata orang itu-sambil
memancarkan sinar mata yang tajam.
Tiba tiba sambil menuding kearah kakek yang bernama Gi, katanya
kembali:
"Sebelum sancu pergi dari sini, tentu ia telah mengatakan sesuatu
kepada kalian ber delapan bukan ?"
Kakek Gi memandangi orang itu sekejap, kemudian tertawa
terbahak-bahak. "Haaah... haaaahhh... haaaahh... benar kita sudah
bertanding empat babak dengan hasil seri, bagaimana kalau kita
menarik pasukan sekarang ?"
"Memang cocok dengan suara hatiku" jawab orang itu sambil tersenyum
hangat, "dan pada nantinya kita terperosok dalam keadaan yang lebih
runyam lagi!"
Baru selesai dia berkata, kakek Gi telah berkata kepada kakek Tiong:
"Toako, apakah engkoh cilik ini yang dimaksud sancu sebagai orang
yang perlu kita awasi ?"
Kakek Tiong mengangguk. "Dalam tanya jawab tadipun aku sudah
mengetahui akan hal ini
!" Belum habis dia berkata, tiba tiba terdengar suara Yu Kim telah
berkumandang datang dari luar ruangan: "Nona Siu tiba !" Ucapan itu
dengan cepat membuat ke delapan orang kakek itu
menjadi kaget bercampur tertegun. Orang itulah yang tiba-tiba
menyadarkan mereka:
"Kakek Tiong, jangan tertegun meluIu, cepat menyambut
kedatangannya !"
Ia berkata demikian, tapi orang yang sudah beranjak menuju kemulut
loteng sebelah depan.
Kakek Tiong segera melangkah kedepan sambil berseru:
"Saudara, kau hendak kemana ?"
"Menurut pendapat kakek Tiong, aku hendak kemana ?" Kakek Tiong
segera menggelengkan kepala nya berulang kali,
katanya: "Lohu tak ingin menduga secara ngawur, lebih baik kau sendiri
saja yang menjawab !"
Sambil menuding keluar ruangan, orang itu berkata: "Kedatangan
nona Siu ini toh bukan diundang oleh lencana Giok
pay ....?" "Lohu tahu tapi kenapa pula?" "Tidak apa apa, masa kita tidak
seharusnya menyambut
kedatangannya?" Sambil tertawa kembali kakek Tiong menggelengkan
kepalanya
berulang kali. "Kau adalah tamu agung, kami tidak berani terlalu
merepotkan
dirimu." "Aaaah! Kakek Tiong tindak seharusnya berkata demikian,
bagaimanapun juga kedatangan nona Siu adalah lantaran diriku, mana
boleh aku bersikap karang hormat."
Kakek Tiong bungkam seribu bahasa, dan sesungguhnya dia memang
mempunyai kejutan sehingga tak dapat membiarkan orang ini pergi
menyambut kedatangan nona itu.
Tiba-tiba muncul sebuah akal cerdik didalam benaknya, dia lantas
memberi tanda kepada tujuh orang kakek lainnya sambil berkata:
"Adik Siau, wakililah aku untuk menyambut kedatangannya !" Setelah
terhenti sejenak, dia baru berkata kepada orang itu:
"Silahkan saudara, mari kita pergi berdua !" Orang itu benar-benar
sangat aneh, tiba-tiba dia menggelengkan
kepalanya seraya berkata: "Sudahlah, lebih baik kakek Tiong saja yang
menyambut kedatangannya."
Selesai berkata, sambil bergendong tangan dia lantas balik kembali
ketempat semula dan duduk.
Kakek Tiong mengerutkan dahinya sambil menaruh curiga, sementara
Kakek Siau telah - turun dari ruangan itu.
Tak lama kemudian, kakek Siau telah muncul seorang diri, sambil
menuding kearah orang itu, serunya: "Saudara, kau... Kau..."
Ternyata dia tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Dengan
perasaan tidak habis mengerti, kakek Tiong lantas
berbisik dengan suara lirih: "Sebenarnya apa yang telah terjadi?" "Nona
Siu telah melalui jalanan yang lain, sekarang dia sudah
duduk di belakang tirai bambu itu!" Mendengar perkataan itu, dengan
perasaan terkesiap kakek
Tiong mendengus, bisiknya lagi: "Adik Siau, maksudmu dia sudah tahu
akan hal ini, maka dia
tidak bersikeras pergi menyambut?" "Yu Kim yang mewakili nona Siu
menyampaikan perkataan,
katanya... katanya..." "Apa yang dia katakan?" tukas kakek Tiong amat
gelisah. Kakek Siu melirik sekejap kearah orang itu, kemudian
bisiknya: "Nona Siu bilang, orang itu memiliki tenaga dalam yang
benarbenar
luar biasa hebatnya!" "Aaaah, begitukah, lantas..." Sementara
kakek beradik itu bercakap-cakap dimulut loteng,
orang itupun sudah melangsungkan pembicaraan rahasia dengan nona
Siu dengan sebuah tirai bambu sebagai penyekatnya.
Kakek Tiong dan kakek Siau saling bertukar pandangan sekejap,
kemudian merekapun balik ke tempat duduknya.
Waktu itu, kebetulan nona Siu sedang berkata.
"Kecerdasanmu benar benar luar biasa sekali darimana-kau bisa
menduga kalau aku pasti akan datang kemari?"
Orang itu segera bangkit memberi hormat dan menjawab dengan
lembut.
"Oleh karena nona mempunyai hati pousat, hati yang bajik." "Kalau
begitu, adalah karena atas kemauanku sendiri?" kata nona
Siu sambil tertawa. "Setelah nona mendapat laporan yang mengatakan
aku sudah
keracunan, sudah sewajar nya bila kau datang menengok." "Oooh... aku
rasa kau telah salah menduga, selama berada
dalam istana Sin-kiong, aku hanya bertugas untuk menyelenggarakan
pesta musik, soal tanggung jawab untuk melacaki orang yang melepaskan
racun itu merupakan tugas dari delapan kakek !"
Orang itu tertawa, kembali katanya: "Aku tidak ingin mendebat
kata-kata nona, apalagi nonapun tak akan bisa melepaskan diri dengan
begitu saja !"
"Oooh... cocokkah dengan kata kata tersebut ?" "ltu tergantung pada
nona sendiri !" "Hmmm ! Kini aku ingin bertanya kepada saudara..."
"Aku rasa penggunaan kata kataku tadi sudah paling cocok
sekali." "Kau benar-benar amat tekebur !" bentak nona Siu. Orang itu
segera tertawa. "Aku sebagai tami agungnya Pat-lo, ternyata ada orang
yang
bermaksud untuk mencelakai diriku secara diam-diam, bahkan air tehku
dicampuri racun, bila Pat-lo merasa sulit untuk menemukan siapa
pembunuhnya, apakah nona bisa melepaskan diri dengan begitu saja ?"
Agaknya nona Siu merasa sulit untuk menjawab pertanyaan itu, maka
dia terbungkam dalam seribu bahasa.
Kebetulan sekali, pada saat itulah dalam ruang loteng berkumandang
suara kentongan yang menandakan kentongan keempat.
Orang itu segera menatap sekejap kearah kakek Tiong, lalu ujarnya
sambil tertawa:
"Kakek Tiong, sudah kentongan kempat bukan ?!" Paras muka kakek
Tiong berubah, sahutnya: "Benar, kau berhasil menangkan
pertaruhan ini, lohu bersaudara
pasti akan memegang janji" Kembali orang itu tertawa. "Mengapa kakek
Tiong tidak mengundang sobat Sik datang
kemari untuk ditanyai keadaan yang sebenarnya?" Baru saja kakek
Tiong akan memanggil Sik Puh, nona Siu telah
berkata lagi. "Kakek Tiong, pertaruhan apakah yang sedang kalian
langsungkan?" Dengan paras muka merah padam karena jengah, kakek
Tiong
segera menceritakan pengalamannya secara ringkas. Selesai
mendengar kisah tersebut, tiba tiba nona Siu menghela
napas panjang, katanya: "Benar-benar kekalahan yang tragis, taruhan
yang kalian
pertaruhkan pun terlalu besar!" Mendengar perkataan itu, delapan
kakek tersebut agak tertegun,
kakek Tiong segera berkata. "Kenapa bisa dibilang kekalahan yang
tragis? dia toh tamu agung
yang sedang berkunjung didalam istana Sin kiong dari kami berdelapan,
tapi kenyataannya ada orang yang berani bermain gila
dihadapan kami semua, andaikata peristiwa ini tidak diselidiki sampai
tuntas, harus ditaruh kemanakah wajah lohu berdelapan?"
Sekali lagi nona Siu menghela napas panjang. "Aaai... menyelidiki
peristiwa itu sampai tuntas memang
merupakan kewajiban kalian, tapi kalian toh tak perlu bertaruh sambil
memberi janji-janjinya."
"Tapi keadaan mendesak kami, bagaimana mungkin kami berdelapan
bisa menampiknya?"
"Kalau begitu, aku ingin bertanya kepada kakek Tiong, apa yang
hendak kau lakukan sekarang?"
Kakek Tiong mengerutkan dahinya rapat rapat, lalu menjawab:
"Sederhana sekali, apa yang telah kami ucapkan, harus
dilaksanakan dengan sungguh hati, apalagi kami ada dipihak yang
kalah, tentu saja kami harus..."
"Kakek Tiong, kau hanya berpikir satu tapi melupakan dua, betul kalian
tak bisa menahan diri ketika itu, tapi tahukah kalian, justru dengan
pertaruhan itu maka kekalahan yang kalian alami semakin tragis !"
tukas nona Siu.
Setelah berhenti sebentar dan menghela napas, dia melanjutkan:
"Sekarang urusan sudah menjadi begini, banyak berbicarapun tak ada
gunanya."
Mencorong sinar tajam dari balik mata kakek Tiong, katanya kemudian.
"Nona toh mengetahui watak dari lohu bersaudara, sekalipun yang
dipertaruhkan adalah batok kepala sendiri, bila kalah kami akan tetap
membayar batok kepala kami ini, dan orang itu harus dicari terus sampai
ketemu !"
"Kakek Tiong, sudah kau temukankah orang itu ?" nona Siu kembali
bertanya.
-ooo0dw0oooJilid
10 SEPATAH DEMI SEPATAH sahut kakek Tiong: "Sekarang
memang masih belum, cuma lohu bersaudara yakin
pasti dapat menemukannya!" "Oh... bolehkah aku bertanya kepada
kakek Tiong, dengan cara
apakah kau hendak mencapai tujuanmu itu ?" "Orang yang masuk ke
dalam ruang Teng hong sian pada malam
ini tidak banyak, kita kuliti mereka satu persatu..." "Betul, cara ini
memang bagus sekali" sela nona Siu, setelah
berhenti sebentar, tiba tiba tanyanya lebih lanjut: "Tahukah kakek
Tiong, dengan cara ini berapa orang yang bakal
mati terbunuh?" Kakek Tiong berkerut kening, lalu sahutnya: "Lohu tak
bisa memperhitungkan sampai sejauh itu!" "Sekalipun kakek Tiong tidak
akan mempersoalkan berapa
banyak yang bakal menjadi korban, tapi tolong tanya, dapatkah tujuan
itu di capai ?"
"Seharusnya dapat!" "Seharusnya?" jengek nona Siu sambil tertawa
dingin, "tidak!
Kakek Tiong harus mengucapkan kata-kata yang tegas!" Kakek Tiong
berpikir sebentar, kemudian jawabnya: "Kalau seorang demi seorang
musti diperiksa, lohu percaya tak
mungkin ia bisa melarikan diri dari cengkeraman! Sekali lagi nona itu
tertawa dingin. "Bagus, bagus, andaikata kakek Tiong memutuskan
untuk
mempergunakan cara ini, maka kau harus memperhitungkan juga
mereka yang bekerja didapur!"
"Yaa, harus diperhitungkan juga!" sahut kakek Tiong sambil
memperkeras hatinya.
Dengan nada mendongkol bercampur setengah menghardik nona Siu
berkata lagi:
"Bagus sekali, kalau begitu kalian berdelapan pun harus termasuk juga
diantaranya !"
Sementara Kakek Tiong tertegun dan belum menjawab, nona Siu telah
melanjutkan lebih jauh:
"Selain itu, aku dan adik Sian juga masuk hitungan !" Paras muka
kakek Tiong segera menunjukkan sikap tersipu-sipu
yang belum pernah terlihat sebelumnya, dia tak menyangka kalau nona
Siu bakal mengucapkan kata-kata semacam itu, sementara ia masih
serba salah dibuatnya, sang tamu tersebut telah mengucapkan
serangkaian perkataan yang amat menggetarkan perasaan.
Terdengar orang itu tertawa terbahak-bahak kemudian berkata:
"Nona, aku yang muda mengundang kehadiran nona bukanlah
disebabkan persoalan ini". Ternyata sikap nona Siu dengan cepat dapat
berubah, dengan
suara yang lemah lembut dia berkata: "Oooh, lantas maksudmu adalah,
. ." "Apalah sudah tahu masih pura-pura bertanya, Nona Siu segera
tertawa lebar. "Tampaknya kau memang hebat sekali!" Sudah berhenti
sebentar, dia melanjutkannya. "Bolehkah aku bertanya, darimana kau
bisa tahu kalau didalam air teh itu ada racunnya?"
"Haaahh... haaahh. . haaahh. . . lagi-lagi sudah tahu pura-pura
bertanya, maaf kalau aku tak akan menjawab."
Senyum manis masih menghiasi bibir nona Siu, katanya kemudian
dengan lembut:
"Baiklah akupun tak akan bertanya lagi, tolong jelaskan apa maksudmu
mengundang kedatanganku kemari?"
Sang tamu memandang sekejap wajah kedelapan orang kakek itu,
kemudian sahutnya:
"Sederhana sekali, aku minta kesediaan nona agar jangan membuat
kedelapan orang kakek itu memperoleh noda karena ketidak setiaan
kawan. . ."
Nona Siu tidak segera menjawab, sebaliknya kedelapan orang kakek im
segera merasakan hatinya amat terperanjat.
Akhirnya kakek Hoo tak kuasa menahan diri, dia segera menibrung:
"Sebetulnya apa yang kau maksudkan dengan perkataanmu itu?"
"Kakek Hoo tak usah gugup, nona Siu segera akan memberikan
jawabannya. . .!" sahut tamu itu sambil menuding kebelakang tirai
bambu tersebut !
Nona Siu yang berada dibalik tirai bambu itu segera tertawa dingin,
ujarnya:
"Hmm, kau hanya menuju.i suara hatimu saja, kenapa kau tidak
tanyakan dulu bagaimana pendapatku?"
Tamu itupun tertawa dingin. "Aku tidak percaya kalau nona tega
untuk menampik maksudku
dengan begitu saja" "Tiada yang bisa kukatakan lagi, maaf. ." Belum
sempat nona itu menyelesaikan kata-katanya, mendadak
dengan sinar mata memancarkan cahaya tajam orang itu sudah
menukas dengan suara dalam:
"Bila nona beranggapan bahwa kecepatanmu bisa melebihi diriku,
silahkan saja!"
Untuk sesaat lamanya nona Siu yang berada dibalik tirai bambu itu
terbungkam dalam seribu bahasa, kenyataan ini membuat ke delapan
orang kakek tersebut merasa terperanjat sekali.
Sampai lama, lama kemudian nono Siu ber kata: "Mungkin
anda lupa, dimanakah kau sekarang berada. . ."
-ooo0dw0ooo-
BAB TIGA BELAS
"AKU tidak lupa." Tukas Tamu itu ketus, "tempat ini adalah istana Pat
tek sin kiong dalam bukit pemakan manusia !"
Nona Siu segera mendengus dingin. "Hmm, selama berada dalam
istana sin kiong, aku tidak percaya
kalau kau berani bertindak secara sembarangan?!" "Kalau kau tak
percaya, kenapa tidak dicoba saja?" jengek tamu
itu sambil tertawa hambar. "lngat, bila kau berani bergerak secara
sembarangan kedelapan
orang kakek itu tak akan berpeluk tangan belaka!" "Heeeee. . .heeeh...
heeehh... kedelapan orang kakek itu jauh
berbeda bila dibandingkan dengan nona, meski selalu pegang janji,
apalagi dalam pertaruhan tadi akulah yang menang, betul diriku hanya
seorang tamu agung, namun aku sudah memiliki hak untuk masuk ke
luar istana ini, apalagi..."
Pada saat itulah, nona Siau yang berada di balik tirai telah berseru
kepada kakek Tiong:
"Kakek Tiong, sudah kau dengar perkataan orang ?" Sementara itu
kakek Tiong sudah mulai menaruh rasa curiga,
namun ia belum memahami duduk persoalan yang sesungguhnya,
maka setelah mendengar perkataan itu, katanya:
"Nona Siu, sebenarnya apa yang telah terjadi ?" "Apa yang terjadi ?
Hmm ! Apalagi kalau bukan gara-gara
"pertaruhan" kalian dengan dirinya !" Kakek
Tiong semakin tidak habis mengerti.
"Tapi apa sangkut pautnya antara persoalan ini dengan peraturan
tersebut ?"
"Kenapa kau masih juga tidak mengerti ?" bentak nona Siu, "tahukah
kau, dia telah mengandalkan kemenangannya atas pertaruhan tersebut
untuk mengancam keselamatanku ?"
Kakek Tiong semakin tertegun, tanpa terasa ia berpaling kearah tamu
itu sambil berseru:
"Saudara, benarkah perkataanmu itu ?" Orang itu segera tertawa.
"Kakek Tiong, inginkah kau temukan pembunuh yang telah
meracuni minumanku tadi ?" Kakek Tiong segera mengangguk. "Tentu
saja ingin, tapi apa sangkut pautnya..." "Kakek Tiong, bila kau ingin
menyelesaikan persoalan apa saja
yang ada didunia ini, aku rasa semuanya pasti ada pengorbanan nya
bukan ?"
"Sudah barang tentu !" untuk sekian kalinya kakek Tiong manggut
berulang kali.
Orang itu segera tertawa. "Kalau memang begitu, aku mohon kakek
berdelapan untuk
menjadi penonton saja untuk sementara waktu ." "Perhitungan siepoa
anda betul-betul bagus sekali" ejek nona Siu
dengan cepat, "cuma sayang kau telah lupa, siapakah tuan rumah
istana Sin-kiong yang sesungguhnya !"
"Ooh... masa tuan rumah istana ini bukan kedelapan kakek, melainkan
nona ?"
Selagi nona Siu mendengus dingin.
"Hmm! Dihadapan orang yang bersangkutan kau ingin menjalankan
siasat mengadu domba, menurut anggapanmu siasat macam itu akan
mendatangkan hasil ?"
Orang itu segera tertawa. "Justeru karena tak berguna, maka kakek
berdelapan baru
percaya kalau aku memang bukan lagi mempraktekan siasat mengadu
domba !"
Pada saat itulah kakek Tiong telah berkata lagi: "Saudara,
sebenarnya apa yang telah terjadi ? Kenapa tidak kau
katakan secara berterus terang...." Belum habis perkataan itu diucapkan,
tiba-tiba tamu itu
mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. Suara
tertawanya itu sangat keras menggetarkan sukma,
sekalipun Pat-lo memiliki tenaga dalam yang amat sempurna, tak urung
harus menggerahkan juga tenaga dalamnya untuk melindungi pusar.
Setelah berhenti tertawa, orang itu baru berseru kembali kearah balik
tirai bambu itu dengan suara keren:
"Nona Siu, apakah kau ingin pergi dengan begitu saja ?!" Nada suara
nona Siu berubah hebat, agak gemetar dia berkata: "Anggap saja
kau memang hebat,, tapi ingin kulihat kau bisa
mengembangkan kehebatanmu itu sampai kapan !" Orang itu segera
tersenyum. "Nona, aku sebagai tamu dari istana ini mana berani
berbicara
kasar ?" "Aku hanya ada dua permintaan yang mengharapkan
kesediaan
nona untuk memenuhinya, untuk itu aku merasa berterima kasih sekali.
Nona Siu segera menghimpun tenaganya dan berseru:
"Dapatkah aku menolak permintaanmu itu ? Coba kau katakan i"
Sekali lagi orang itu tertawa. "Tampaknya nona memang cukup
dapat memahami perasaan
orang, terlebih dulu kuucapkan banyak terima kasih." Setelah berhenti
sebentar, sambungnya lebih jauh: "PersoaIan yang pertama, adalah
dipersilahkan nona keluar dari
baik tirai untuk bertemu !" Nona Siu segera mendengus. "Bisa
kululuskan, lantas apa permintaanmu yang kedua ?" Dengan cepat
orang itu menggelengkan kepalanya berulang kali. "Lebih baik kita
laksanakan persoalan ini gatu demi satu saja"
katanya cepat, "Silahkan kau laksanakan persoalan yang pertama !"
Sementara itu nona Siu telah berpaling ke arah Pat-lo seraya
berseru dengan suara nya yang lantang... "Pat-lo, harap ingat baik-baik
setiap perbuatan yang terjadi pada
malam ini !" "Nona tak usah menggertak Pat-lo dengan kata-kata,"
dengus
orang itu dingin, dan terlebih dahulu aku akan mengucapkan sesuatu
kepada nona, yang ingin kujumpai adalah Sancu kalian, jadi sebelum dia
pulang, tak nanti aku akan pergi dari sini!"
Nona Siu tak bisa berkata apa-apa lagi, tampak tirai bambu digulung
dan nona itupun munculkan diri.
Nona itu mempunyai paras muka yang amat cantik, pipinya putih halus
dengan bibir yang kecil, matanya jeli namun sikapnya keren dan amat
serius..
Ketika orang itu bertemu dengan nona Siu, tiba tiba sepasang alis
matanya berkenyit, lalu berpikir:
"Aaah, tidak benar, tidak benar, rupanya dia bukan orang yang sedang
kucari!"
Namun perasaan tersebut tak sampai diungkapkan diatas wajahnya,
malahan sekulum senyum segera disunggingkan diujung bibirnya.
Sementara itu, ketika Pat-lo melihat kemunculan nona Siu, merekapun
saling berpandangan sekejap, sikap mereka sukar untuk dilukiskan
dengan kata-kata.
Sudah barang tentu, keadaan tersebut tak lolos dari ketajaman mata
orang itu, namun ia tidak memberi komentar ataupun reaksi apa apa.
"Sekarang aku telah menampakkan diri, katakanlah persoalan yang
kedua . . . !"seru nona tiu kemudian.
"Tolong nona jelaskan kepadaku, apa sebab nya dalam air teh ku bisa
ada racunnya?!"
Begitu pertanyaan ini diutarakan keluar, paras muka Pat-lo segera
berubah hebat, mereka hanya bisa duduk tertegun dengan sinar mata
keheranan.
Nona Siu segera tertawa hambar. "Oooh... kau mengatakan aku
yang telah mencampuri racun itu?" "Nona, harap jangan salah
mendengar, aku hanya minta kepada
nona untuk menerangkan apa sebabnya dalam cawanku bisa ada racun
nya, aku toh tidak menuduh nona yang telah melepaskan racun itu!"
"Hmm! Heran, kalau toh yang meracuni bukan aku, mana mungkin aku
bisa menjelaskan persoalan tadi?!".
"Haahh .haaha....haha...benar, benar, kalau memang begitu, terpaksa
aku harus mengundang keluar seorang yang lain untuk memberi
penjelasan."
Sambil-berkata, mendadak orang itu merentangkan kelima jari tangan
kanannya ke arah tirai bambu itu dan mencengkeramnya ke udara
kosong.
Gerak serangan dari orang itu cepat sekali, namun gerakan tubuh nona
Siu pun tidak kalah cepatnya, apalagi dia memang sedang berdiri
didepan orang itu, maka hanya sejangkauan tangannya yang lentik
sudah dapat mencapai sepasang mata lawannya..
Mata, merupakan pusat dari semua indera manusia, sudah barang tentu,
seorang itu tak berani bertindak gegabah, diapun tak mengira kalau nona
Siu yang berada hanya tiga langkah dihadapannya itu bisa melepaskan
serangan maut ke arahnya.
Dalam keadaan demikian, tentu saja dia harus mengambil keputusan
untuk melindungi keselamatan dirinya lebih dulu, mendadak ke lima jari
tangan kanannya di tarik kembali, kemudian menyambar ke atas
pergelangan tangan nona Siu, sedangkan tangan kirinya tetap
melanjutkan cengkeraman udara kosongnya
Angin menyambar tirai bambu yang rapat itu.. Tirai itu segera p ltus
dan terjatuh kebawah, ternyata semuanya
terdiri dari tiga lapis, tak heran kalau orang-itu hanya bisa melihat raut
wajah orang-dibalik tirai itu secara lamat-lamat saja, kendatipun dia telah
menghimpun tenaga dalamnya untuk melihat dengan ilmu "mata sakti"
nya.
Jeritan tertahan segera berkumandang bersamaan dengan suara
putusnya tirai bambu itu ke atas tanah, sedangkan pergelangan tangan
nona Siu pun kena di totok sehingga terpental sejauh lima depa lebih
dari tempat semula sambil mengaduh-aduh tiada hentinya.
Dengan terlepasnya tirai bambu itur mereka-semua pemandangan dibalik
tirai tersebut pun dapat terlihat dengan jelas,
Semua orang dapat melihat jelas ada sesosok bayangan punggung dari
seorang gadis yang cantik luar biasa sedang menyelinap masuk ke balik
sebuah pintu rahasia dibawah tanah sana.
sementara itu, sang tamu sudah berdiri mem belakangi Pat-lo, tapi
saling berhadapan muka dengan nona Siu yang masih memegangi
pergelangan tangannya sambil mengaduh.
Sambil tertawa lembut, orang itu segera berkata: "Maaf seribu kali
maaf nona, jika aku telah membuat nona
kesakitan...!" Dengan gusar nona Siu melototi wajah orang itu, dia
hanya
mendengus dingin tanpa mengucapkan sepatah katapun. Kembali orang
itu tersenyum, ujarnya: "Nona, sudah baik-baik
memangku jabatanmu sebagai nona "sian", mengapa kau mesti
menuruti perkataan orang lain dan menyaru sebagai nona Siu?!"
Ketika mendengar perkataan itu, kakek Tiong memandang sekejap ke
arah rekan-rekannya, namun wajahnya diliputi pula oleh perasaan heran
bercampur curiga.
Setelah berhenti sebentar, terdengar orang itu berkata lagi kepada
kakek Tiong.
"Bukannya aku hendak menegur Pat-lo, aku hanya heran, kalau toh Pat
lo mengetahui akan hal ini, mengapa kalian tidak menjelaskannya
kepadaku?"
Dengan perasaan menyesal bercampur malu, kakek Tiong menundukkan
kepalanya rendah-rendah.
"Aaai, terus terang saja kukatakan, kedudukan nona Siu sesungguhnya
luar biasa sekali....."
"Jadi Tiong-lo (kakek Tiong) mengira aku masih belum tahu tentang
kedudukan nona Siu?" tukas orang itu dengan wajah serius.
Kakek Tio-ng tertawa jengah. "Bila kau sudah tahu, hal ini lebih baik
lagi.." "Siapa tahu, pada saat itulah orang tersebut telah
mengucapkan
kembali kata kata yang segera mengejutkan semua orang.
"Kakek Tiong, bila dugaanku tidak salah, nona Siu yang sekarang sudan
bukan nona Siu yang sesungguhnya lagi."
Ketika mendengar perkataan itu, baik Pat-lo maupun nona Sian yang
menyaru sebagai nona Siu sama-sama berubah hebat raut wajahnya.
"Saudara, apa yang kau maksudkan dengan perkataanmu itu?", tegur
kakek Tiong dengan kening berkerut.
"Terus terang kukatakan kakek Tiong, walaupun ilmu silat yang kumiliki
biasa saja, tenaga dalamku juga belum mencapai puncak kesempurnaan
akan tetapi semenjak kecil aku telah memperoleh warisan dari seorang
tokoh silat yang melatih sepasang mataku untuk melihat dari kejauhan."
"Oleh karena itu, ketika nona Siu dan nona Sian menemani minum arak
tadi, kerdatipun teraling oleh tirai bambu, namun tak bisa mengelabui
sepasang mataku, itulah sebab nya aku bisa mengatakan kepada kakek
Tiong kalau dibalik tirai ada dua orang."
"ltulah sebabnya ketika nona Siu dan nona Sian muncul sekali lagi,
walaupun terhalang oleh tirai bambu, aku masih dapat mengenali kalau
nona Sian tetap masih nona Sian, sebaliknya nona Siu mesti masih tetap
merupakan nona Siu..."
"Sudah barang tentu demikian-!" tukas nona Sian dengan cepat, "buat
apa kau mesti banyak berbicara lagi ?!"
Orang itu tersenyum, katanya: "Jangan terburu nafsu nona, harap
dengarkan dulu perkataanku
hingga selesai. ." "Sayang aku tak punya waktu untuk berce-loceh terus
dengan
orang macam dirimu itu!" kembali nona Sian menimbrung. Orang itu
segera mendengus dingin, "Hm, nona Sian, mari kita
berbicara sejujur nya, bukankah enci Siu mu itu telah berubah menjadi
seseorang yang lain? Aku dapat melihat kalau diatas
wajahnya telah mengenakan selembar topeng kulit manusia yang mirip
sekali dengan nona Siu!"
"Anak, apakah kau telah melihat jelas?" Kakek Tiong segera menjerit
tertahan.
Orang itu tidak menjawab pertanyaan tersebut, kepada nona Sian
kembali katanya.
"Aku yakin setelah nona Sian berbalik ke tempat tinggalmu sesudah
berlalu dari sini, tentunya kau tak bertemu dengan nona Siu dalam
suatu jangka waktu yang tidak terhitung pendek bukan?"
Agaknya kakek Tiong dapat memahami arti kata dan ucapan orang itu,
paras mukanya segera berubah, kepada nona Sian segera tanyanya.
"Nona Sian, ketika itu kentongan ketiga sudah lewat, kenapa kalian
tidak pergi tidur?"
"Enci Siu bilang, dia teringat masih ada satu persoalan yang belum di
selesaikan . .."
Belum sampai nona Sian selesai berbicara, orang itu telah menukas
kembali:
"Tolong tanya nona Sian, setelah balik kembali ke kamarnya, bukankah
mimik wajahnya menunjukkan sikap anak gugup dan agak gelagapan?"
Nona Sian kembali berpikir sebentar, lalu sahutnya: "Be.... betul,
dalam perjalanan pulang ke ruang belakang,
sepanjang jalan dia tidak ber kata apa-apa, wajahnya tampak gelisah
sekali, jauh berbeda dengan tabiatnya dimasa-masa yang lalu !"
Sementara itu enam belas buah mata dari Pat-lo telah ditujukan ke
wajah orang itu, agaknya mereka sedang menantikan jawabannya.
Orang itu mendengus dingin, tiba-tiba ia berpaling kearah Pat-lo
sembari berkata:
"Pat-lo, dengan kunjunganku yang gegabah ke dalam istana Sin- kiong
pada malam ini, semestinya harus di jatuhi dengan hukuman apa?"
Kakek Tiong menjadi tertegun menghadapi penanyataan tersebut,
katanya kemudian:
"Apa maksudmu mengucapkan perkataan itu? Lohu bersaudara telah
menjelaskan dengan seterang-terangnya, kau adalah tamu agung kami,
sekarangpun kita sedang membicarakan urusan yang amat serius,
kenapa kau malahan..."
Sambil tertawa orang itu segera menukas: "Jangan gelisah kakek
Tiong, aku bisa mengajukan pertanyaan
ini, sudah barang tentu ada alasannya !" "Ooooh... apakah alasannya ?"
"Kalau toh aku adalah tamu agung dari Pat lo, lagi pula dengan
segenap anggota istana ini dari atas sampai kebawah tiada permusuhan
ataupun dendam kesumat, tolong tanya kakek Tiong, kenapa orang itu
hendak meracuni aku sampai mati ?"
"Benar!" seru kakek Tiong dengan mata terbelalak, "sampai
sekarangpun lohu masih belum memanami sebab musababnya !"
"Tapi aku mengetahui hal ini dengan jelas sekali !" kata orang itu cepat
sambil tertawa.
"Ooh? Kalau begitu tolong berilah petunjuk kepada kami semua."
"Yang meracuni diriku adalah nona Siu" kata orang itu! Kemudian
setelah berhenti sejenak, dia berkata lebih jauh: "Harap kalian
dengarkan lebih seksama lagi, yang kumaksudkan
sebagai orang yang telah meracuni diriku itu adalah nona Siu gadungan
yang mengenakan topeng kulit manusia sehingga gerak geriknya mirip
sekali dengan nona Siu yang asli."
"Soal kenapa ia sampai meracuni diriku ? Alasannya hanya ada satu,
yakni dia sudah tahu kalau penyaruannya itu tak nanti bisa
mengelabuhi ketajaman matamu !"
Kakek Tiong memandang sekejap ke arah kawanan kakek lainnya, kakek
Ay segera manggut-manggut seraya berkata.
"Toako tampaknya memang demikian." "Sobat-sobat tua sekalian,
duduknya persoalan bukan hanya
sampai disitu saja !" kata orang itu lebih jauh. Kembali Pat-lo dibikin
terkejut oleh perkataan itu. "Tolong utarakanlah dengan jeIas, apa lagi
yang berhasil kau
lihat didalam peristiwa ini." pintanya hampir bersamaan Orang itu
memandang sekejap ke arah delapan orang kakek itu,
kemudian menjawab: "Sudah pasti nona Siu gadungan ini mempunyai
tujuan yang
jahat atau bahkan ada dendam kesumat dengan partai kalian, dendam
tersebut pasti berat dalam bagaikan lautan, itulah sebabnya ia baru
menyamar dikala Sancu sedang turun gunung."
Tapi akupun dapat memastikan bahwa nona Siu yang asli pasti
mempunyai hubungan yang luar biasa intimnya dengan Sancu kalian,
itulah sebabnya ia menyamar sebagai nona Siu dengan tujuan untuk
mengancam Sancu agar menuruti keinginannya!"
Paras muka Pat lo serta si nona Siang segera berubah hebat, tanpa
mengucapkan sepatah katapun kegelapan orang kakek itu segera
membalikkan badan dan berlalu dari sana.
"Mau kemana kalian berdelapan ?" orang itu segera mencegah.
"Saudara benar-bcnar cukup bersahabat, buat kebaikan ini tentu
akan lohu bersaudara belas bila urusan telah selesai nanti, sebagaimana
yang dikatakan anda tadi, lohu bersaudara harus segera membekuknya
hidup-hidup."
Belum habis perkataan itu diukapkan, sang tamu telah
menukas:
"Harap kakek Tiong jangan bertindak gegabah, bagaimana kalau
dengarkan dulu sepatah dua patah kataku."
"Baik, baik, lohu akan mendengarkan dengan seksama." Kakek Tiong
benar-benar sudah takluk kepada orang itu
sekarang, bahkan apa yang diucap kan segera dituruti tanpa
membantah.
Dengan sorot mata yang tajam orang itu menatap sekejap wajah Pat
lo, kemudian katanya:
"Setiap tindakan yang akan kalian lakukan harus disertai dengan suatu
perencanaan yang matang, walaupun aku yakin kalau dugaanku ini
delapan sembilan puluh persen pasti benar, tapi bagaimana pun juga kita
harus berjaga-jaga terhadap "seandainya"!"
"Masih ada seandainya apa lagi? Masa akan terjadi perubahan yang
lainnya?" Kakek Tiong tidak habis mengerti.
"Yaa, tentu saja, malah banyak sekali, misalnya saja andaikata
dugaanku itu keliru, bagai mana jadinya?!"
Kakek Tiong menjadi berdiri bodoh, ia hanya termangu-mangu tanpa
bisa menjawab.
Orang itu lantas tertawa seraya berkata lagi: "Apalagi sekalipun
dugaanku tidak salah, nona Siu yang asli toh
masih berada ditangan nona gadungan, sebelum kita berhasil
membekuknya hidup-hidup, bagaimana jadinya bila ia
mempergunakannya sebagai sandera untuk memaksa kalian? Urusankan
bisa menjadi berabe?"
Sekali lagi Kakek Tiong dibuat tertegun "Saudara, lohu benar benar
mengagumi dirimu." setelah berhenti sebentar, kembali berkata:
"Katakanlah saudara, apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Pertama-tama kita harus kerahkan dulu pat lo sekalian, tapi yang boleh
menampakkan diri hanya kakek Tiong seorang bersama nona Sian,
kakek Tiong mempunyai "giok pay " jadi apa ia asli atau gadungan, tak
mungkin kau bisa disalahkan."
"Setelah itu, kakek Tiong harus bertanya kepadanya secara sungkan
mengapa dia mencampuri air teh dengan racun kakek Tiong harap
mengingatnya baik baik, pertanyaan tersebut tak lebih hanya suatu
alasan yang penting adalah mengawasinya agar ia jangan meninggalkan
tempat itu.
"Pada saat itulah, para kakek yang lain boleh membagi tugas, ada
diantaranya berjaga jaga disekitar situ agar dia tak sampai kabur,
sedangkan lima orang lainnya segera manfaatkan kesempatan itu untuk
mencari nona Siu yang asli!"
"Hebat betul akalmu itu, baik kita lakukan begini saja!" seru kakek Tiong
sambil mengacungkan jempolnya.
Kemudian kepada nona Sian serta kakek lain nya, dia berseru: "Hayo
berangkat, persoalan ini harus segera diselesaikan ... !"" "Kakek
Tiong, aku akan menantikan kabar baik darimu ditempat
ini.. . ." seru orang itu lagi. "Tak usah kuatir saudara, maaf lohu
sekalian akan mohon diri
terlebih dahulu !" Dia lantas memberi tanda, kemudian bersama Jit-lo
dan nona
sian berangkat meninggalkan tempat itu, Dalam waktu singkat semua
orang sudah berlalu, dalam istana
Teng-hong sian pun tinggal orang itu seorang diri. Tampak dia tertawa
geli sambil bergumam. "Namanya saja Pat tek sin kiong, huuh...! Pada
hakekatnya tak
lebih cuma istana gua orang-orang pikun, tidak sia sia perjalananku
pada malam ini, sekarang aku harus segera pergi dari sini!"
Walaupun ia berkata demikian, namun tubuhnya sama sekali tidak
bergerak dari posisinya semula.
Belum lama sehabis dia berguman, terasa ada angin lembut berhembus
lewat, tahu tahu hadapannya telah bertambah dengan seseorang.
Orang itu tak lain adalah peronda dari istana Sin-kiong, Sik Phu adanya.
Tampak Sik Phu dengan sinar mata yang tajam bagaikan sembilu
sedang berdiri lebih kurang delapan depa dihadapannya, dengan suara
dingin ia lantas menegur.
"Apakah kau hendak pergi?" Orang itu menatap sekejap wajah Sik
Phu, lalu tersenyum. "Pergi sih belum pergi, aku lagi menantikan
kedatanganmu !" "Hmm! Benarkah kau masih mempunyai keberanian
untuk
menunggu kedatanganku ?!" "Betul, aku memang memiliki keberanian
ini !" "Huuh, apakah kau sudah menduga kalau aku pasti datang ?"
Sambil mengangkat bahu orang itu tertawa. "Bukankah sekarang kau
telah berdiri dihadapanku ?" jawabnya. Sik Phu segera menggigit bibir
menahan diri, katanya. "Tiada artinya hanya bersilat lidah belaka, aku
orang she Sik
ingin menanyakan maksud kedatanganmu yang sebenarnya !" Orang
itu kembali tertawa. "Apakah sahabat Sik lupa kalau aku adalah tamu
agung dari Pat
lo kalian ini?" "Hmm ! Kalau mereka memang gampang di-tipu, tapi
jangan
harap kau bisa menipu aku orang she Sik."
"Oooh... kalau begitu, baik kepandaian silat, kecerdasan maupun
kedudukan seorang peronda dari istana Sin kiong agaknya jauh melebihi
Pat tek pat lo?!"
Sik Phu amat terperanjat setelah mendengar perkataan itu, serunya
dengan cepat: "Soal soal semacam ini tak perlu kau risaukan."
Terbahak bahaklah orang itu sehabis mendengar ucapan tersebut.
"Haaahhh... haaahh... haaahh... sahabat Sik keliru besar" bagaimanapun
juga aku pasti akan merasa risau sekali."
"Saudara, lebih baik kita buka jendela lebar lebar dan berbicara
blak-blakan saja?" seru Sik Phu dengan kening berkerut.
"Memang inilah keinginanku, silahkan!" Dengan sorotan mata yang
tajam dan keren Sik Phu menatap
wajah orang itu lekat-lekat kemudian katanya. Orang itu tidak
menjawab, sebaliknya malah bertanya: "Kenapa tidak
memperbincangkan dulu tentang sahabat Sik
sendiri?" Sekali lagi Sik Phu merasa terkesiap. "Apa yang bisa
diperbincangkan tentang aku orang she Sik?" Dengan wajah serius
orang itu berkata: "sahabat Sik, berada
didepan orang lebih baik jangan berbohong, memangnya wajahmu
yang sekarang ini adalah wajah aslimu ?"
Paras muka Sik Phu berubal hebat, setelah mundur selangkah serunya.
"Omong kosong, sejak dilahirkan aku orang she Sik telah berwajah
demikian !"
"Haaahh. . . haaahh... haaaaah... kalau begitu anggap saja sewaktu
berada dalam perkampungan Jin-gi ceng tempo hari, aku telah salah
melihat orang !"
Selesai berkata orang itu tertawa dingin dan melanjutkan perjalanannya
keluar dari istana tersebut.
Dengan perasaan bergetar keras Sik Phu segera berseru: "Berhenti
kau, aku orang she Sik belum selesai berbicara !" Orang itu sama
sekali tidak berhenti, berpalingpun tidak, katanya
dengan lantang: "Sahabat Sik, seandainya aku tidak berhasrat untuk
menantikan
kedatanganmu buat apa aku musti berguman untuk memancing
kedatanganmu? Kau tidak berterima kasih malahan."
Sik Phu segera menyelinap ke depan dan menghadang dihadapan orang
itu, ujarnya dengan suara rendah.
"Saudara, tempat ini bukan tempat untuk ber-bincang, silahkan
mengikuti aku !"
Tapi dengan cepat orang itu menggeleng. "Sahabat Sik, tahukah kau
akan ketiga buah gua dipinggang
bukit bagian belakang sana ?" Mendengar ucapan itu, Sik Phu terperanjat
lalu sahutnya. Tahu, tahu... tempat itu adalah... tapi apa maksudmu
menyinggung tentang ke tiga buah gua tersebut ?!" "Sahabat Sik,
berada di tempat ini kau lakukan saja tugasmu,
tapi hati-hati, waIau Pat lo jujur dan baik, nona Siu lihaynya luar biasa
dan lagi amat cerdik, kau harus perhatikan dengan serius!"
"Seandainya kau benar benar ada persoalan yang hendak
diperbincangkan malam ini sudah tak sempat lagi, besok pada
kentongan pertama sampai kentongan ke dua, silahkan datang kedalam
gua tengah dari ketiga buah gua tersebut, akan kunantikan
kedatanganmu di situ!"
Selesai berkata, si orang itu segera berkelebat ke udara dan menerobos
keluar lewat jendela di sudut kiri.
"Tunggu sebentar saudara, aku orang she Sik masih ada persoalan yang
hendak di bicarakan." bisik Sik Phu.
Seraya berkata dia ikut menyusul keluar, namun suasana di sekeling
istana itu sunyi sepi, tak kelihatan sesosok bayangan manusiapun, cepat
cepat dia melompat naik keatas atap rumah, apa yang terlihatnya
membuat orang ini merasakan hatinya bergetar keras.
Dalam waktu yang teramat singkat, orang itu sudah berada beberapa li
jauhnya dari tempat semula.
Sik Phu menggelengkan kepalanya berulang kali, mendadak ia seperti
merasakan sesuatu, cepat kakinya menjejak permukaan atap dan
menyelinap ke bawah.
Belum lama dia meninggalkan atap rumah, serombongan bayangan
hitam telah meluncur datang dari dalam istana, kemudian langsung
menuju keruang tengah.
Yang baru saja menampakkan diri itu ternyata tak lain adalah Pat lo,
nona Sian serta seorang nona lain yang bermata tajam.
Dengan sorot mata yang tajam kakek Tiong memandang sekejap
sekeliling ruangan itu, kemudian bentaknya keluar istana dengan suara
yang dalam dan berat:
"Mana pengawal ? Cepat ke mari !" Menyusul seruan itu, dari
kejauhan sana terdengar seseorang
berkata: "Kalian sudah mendengar belum? Kakek Tiong sedang
memanggil kalian semua?" Berbareng dengan teriakan itu, sesosok
bayangan manusia
meluncur masuk ke dalam ruang istana dengan kecepatan tinggi, orang
itu tak lain adalah Sik Phu.
Sambil memberi hormat kepada kakek Tiong, dia lantas berseru:
Hamba sedang menyelidiki siapa yang melepaskan racun . . ."
Tiba-tiba kakek Tiong mengulapkan tangannya mencegah Sik
Phu melanjutkan kata-kata-nya, lalu menegur: "Apakah kau melihat
orang itu?" Walaupun Sik Phu tahu kalau yang di maksudkan adalah
tamu
tadi, namun ia tetap berlagak pilon. "Orang itu? Orang yang mana?"
Kakek Tiong menjadi gemas sekali, sambil mendepak-depakan
kakinya dia berseru: "Siapa lagi, tentu saja bocah keparat yang berada
di sini tadi!" "Bukankah dia adalah tamu agung Pat lo?!" seru Sik Phu
dengan
mata terbelalak. Merah padam selembar wajah kakek Tiong karena
jengah. "Tamu agung kentut!" dampratnya. Tetapi begitu ucapan
tersebut di ucapkan, dia baru tahu salah,
cepat-cepat lanjutnya: "Lohu bertanya, sudah kau lihatkah dirinya atau
tidak?" "Hamba sedang mendapat tugas untuk menyelidiki soal
keracunan tadi dan baru saja kembali . ." Kakek Tiong segera
mendengus, kepada nona berwajah keren itu
katanya kemudian dengan wajah tersipu-sipu: "Nona Siu, ternyata
dugaanmu memang tepat, dia telah kabur!" Ternyata nona yang
bermata tajam dan berwajah keren itu tak
lain adalah nona Siu. Dan sementara itu noa Siu telah mendengus dingin
sambil
mendamprat.
"Kakek Tiong, bukannya aku berani mencaci maki dirimu, tetapi kali ini
kau betul seorang manusia pikun yang amat bodoh!"
Api amarah terpancar keluar dari balik mata kakek Tiong, kepada rekan
rekannya dia segera berseru dengan suara dalam:
"Hayo berangkat, kita segera mencari bocah keparat itu sampai sampai
dapat. .. !"
"Kalian hendak mencarinya di mana?" cegah nona Siu. "Bukankah
bocah kerarat itu menjadi tamu dalam
perkampungannya? Masa ia dapat kabur." "Sekalipun tak bisa kabur,
kau bisa apa ?" tukas nona Siu. "Tangkap dia !" Nona Siu segera
tertawa dingin. "Mampukah kalian untuk menangkapnya?!" Asal bocah
keparat itu masih berada diatas bukit, tentu saja
dapat menangkapnya kembali !" sahut kakek Tiong sambil mengamuk.
Nona Siu memutar biji matanya sebentar, kemudian sebelum senyuman
segera tersungging di ujung bibirnya, ia berkata kemudian.
"Betul, kalau tidak, bila Sancu sampai pulang bagaimana cara kalian
untuk mempertanggung jawabkan diri ?"
Kakek Tiong segera menghela nafas panjang, kepada ke tujuh orang
rekannya dia berseru:
"Saudara sekalian, hayo berangkat !" Kali ini nona Siu tidak
menghalangi lagi, begitu selesai berkata,
Pat-lo segera berangkat menuju ke perkampungan. Nona Sian hendak
menyusul dari belakang, tetapi nona Siu
segera menarik tangannya sambil berkata:
"Mau apa kau ?"
"Tentu saja pergi membekuk bocah keparat itu ?!" sahut nona Sian
agak tertegun.
Nona Siu segera tertawa cekikikan. "Cukup adikku, biarkan saja
delapan orang tua bangka itu
menerima sedikikit pelajaran, hayo, kitapun harus pulang !" Kembali
nona Sian tertegun, baru saja dia akan buka suara, Nona
Siu telah melanjutkan. "Adikku, kau anggap bocah keparat itu seorang
musuh yang
sederhana..." "Masa dia sudah kabur?" "Kabur sih ... mungkin tidak"
kata nona Siu menggeleng kepala. Nona Sian tidak habis mengerti.
"Kalau toh dia masih ada di perkampungan ini, memangnya tidak
mungkin bila kita bekuk batang lehernya?" "Hmm! Bila ia tidak sampai
kabur, itu berarti dia sudah
mempunyai pegangan yang kuat dan tidak kuat dan tak kuatir kalau
sampai ketangkap Pat lo!"
Nona Sian mengerdipkan sepasang matanya berulang kali, tapi dia
masih tetap saja tidak habis mengerti.
Dengan sepasang matanya yang jeli itu nona Siu mengerling sekejap
matanya ke arah nona Sian, kemudian kembali ia berkata:
"Bodoh amat kau adikku, memangnya dia itu bisa mengaku berterus
terang bahwasanya perbuatan itu adalah merupakan hasil karya nya
sendiri?!"
"Banyak saksi mata yang menyaksikan hal ini, kalau ada sepuluh orang
menuduhnya demikian, masa ia tidak mengaku?!"
Nona Siu segera tertawa dingin tiada henti nya, "Heeh heh heh jangan
lupa adikku, tadi kakek Tiong telah berkata, ia sendiri telah mengaku
kalau datang dengan wajah menyaru?!"
Nona Sian barulah mengerti, iapun menggelengkan kepalanya berulang
kali sambil ber-gumam:
"Licik dan hebat sekali orang ini!" Selintas senyuman dingin yang
menyeramkan itu segera
menyungging di bibirnya si-nona Siu, katanya: "Hmm ! Sekarang,
biarkan saja dia bermain setan, yang
bagaimanapun juga, . .." Belum habis perkataan itu diucapkan dia
sudah menarik nona
Sian untuk diajak pergi. X X X SEMANGAT Nona Kim hari ini sangat
baik, selewatnya kentongan
ke empat ia baru meninggalkan ruangan tengah. Bau-ji sudah dua kali
berusaha mohon diri ditengah jalan, tapi
selalu ditahan kembali oleh nona Kim, padahal Bau ji sendiripun tidak
sungguh-sungguh ingin kembali keloteng, dia memang sengaja berlagak
demikian saja.
Dan kini semua persoalan yang hendak di bicarakan telah selesai
dibicarakan nona Kim pun bermaksud hendak pergi, tentu saja Bau- ji
tiada alasan untuk tetap tinggal disana.
Sesudah keluar dari ruangan, Bau-ji lantas menjura kepada nona Kim
sambil katanya:
"Nona, maaf kalau aku tak akan menghantar nona..." Belum habis ia
berkata, sambil tertawa nona Kim telah berkata: "Kongcu adalah
tamu, sudah sepantasnya kalau kuhantar dirimu
pulang keloteng, silahkan ?" Tertegun Bau-ji menghadapi keadaan ini,
dengan gelagapan dia
lantas berseru lagi: "Aaaaah... mana aku berani merepotkan nona ?
Harap nona sudi
menghentikan langkah...."
"Kongcu tak usah sungkan-sungkan" nona Kim menggeleng "toh tak
jauh letaknya dari sini, mari kita berangkat !"
Bauji kuatir kalau Sun Tiong lo belum pulang ke loteng, tentu saja dia
enggan dihantar oleh nona itu, maka diapun mengalihkan perkataannya
kesoal lain:
"Aku adalah seorang laki laki sejati, mari mrri, biar aku yang
menghantar nona."
"Kongcu benar-benar seorang yang jujur," nona Kim tertawa, "baiklah,
terus terang aku akan mengatakan sejujurnya, sesungguhnya aku bukan
berniat untuk menghantar Kongcu, tapi yang penting adalah untuk
menengok keadaan nya adikmu!"
Setelah si nona berterus terang, tentu saja Bauji tak dapat menampik
lagi, terpaksa dia harus mencari alasan lain.
"Kini malam telah larut, aku rasa apa tidak kurang leluasa?l" "Aaah,
omong kosong, buat anggota persilatan peraturan macam
itu tidak berlaku lagi. Selain itu, akupun tahu kalau adikmu sengaja
hendak menghindari aku pada malam ini, aku harus menanyakan
persoalan ini sampai jelas!"
Selesai berkata, dia lantas membalikkan badannya dan berjalan menuju
kearah loteng Bong lo.
"Nona !" seru Bau ji kemudian dengan kening berkerut, "kau telah salah
paham adikku..."
Nona Kim segera tertawa, tukasnya: "Aku tidak salah paham, juga
aku dengar kau mengatakan bahwa
kepalanya tiba tiba menjadi pening..." "Benar" segera Bau ji
menyambung. "oleh sebab itu, lebih baik
kalau nona..." Kembali nona Kim tertawa, tukasnya: "Oleh sebab itu
lebih baik kalau aku pergi menengoknya sebentar
bukan...?!"
Bau-ji menjadi mendongkol sekali, tanpa banyak berbicara lagi dia
lantas berjalan lebih duhulu dengan langkah lebar.
Nona Kim tersenyum, diapun segera menyusul dari belakang dengan
langkah cepat.
Loteng impian telah berada di depan mata. sambil menggigit bibir
Bau-ji segera berhenti, kemudian kepada
si nona katanya: "Nona, walaupun kita adalah anggota dunia persilatan
yang tidak
terikat oleh adat dan segala tetek bengek peraturan, namun adikku
sudah beristirahat sekarang, orang lelaki yang lagi tidur pasti tak sedap
dipandang, aku kuatir..."
"Tak usah kuatir Kongcu" tukas nona Kim dengan cerdik, "aku tak usah
masuk ke dalam, tapi cukup memanggilnya beberapa kali didepan
loteng, bila ia benar-benar sudah tertidur, aku segera pulang, kalau dia
masih sadar atau belum tidur, aku baru masuk ke dalam."
Setelah lawannya berkata demikian, sudah barang tentu Bau ji tak bisa
berkata apa apa lagi, sambil melangkah naik ke atas loteng, diam-diam
ia berdoa dalam hatinya, kalau bisa saudaranya telah kembali ke dalam
loteng impian.
Bagaimanapun Bau ji memperlambat langkahnya, namun undakundakan
yang begitu pendek itu tak mungkin bisa dipertahankan terlalu
lama, akhirnya sampai juga mereka diatas Loteng.
Dalam keadaan begini, ia sudah kehilangan akal sama sekali.
Diam-diam ia berpikir lagi: "Lebih baik aku jangan membuka pintu
lebih dahulu, tapi
memanggil dari luar, bila ia sudah pulang niscaya panggilanku akan
mendapat sahutan, bila tiada yang menyahut berarti dia belum pulang."
Maka waktu itu aku mesti menutupi pandangan mata si nona itu.
kemudian membuka pintu sedikit dan melongok ke dalam, setelah itu
akan kukatakan kepadanya sambil tertawa:
"Ooh maaf, adikku sudah tidur..." Makin membayangkan ia
merasakan makin gembira, sehingga
tanpa terasa dia mulai memanggil: "Jite... Jite... Jite..." Tiada jawaban
dari dalam loteng itu, Bau ji segera membuka
pintu sedikit dan menengok lewat celah-celah pintu, kemudian sambil
berpaling katanya:
"Aaaah, maaf, dia benar-benar telah tidur!" "Oooh, benarkah dia
sudah tertidur ?!" seru nona Kim tiba-tiba
sambil tertawa cekikikan. "Masa aku membohongimu ?!" jawab Bau-ji
pura-pura berlagak
amat serius. Belum habis dia berkata, nona Kim telah berkata lagi
sambil
tertawa merdu: "Pembaringan itu berada disebeiah kiri pintu, sedang
pintu yang
dibuka kongcu pun yang berada disebeiah kiri, bila ingin melongok lewat
celah pintu, tak mungkin kau bisa melihat pembaringan tersebut,
apalagi dalam ruangan loteng tiada cahaya lampu, kecuali bila kongcu
memiliki mata yang jauh berbeda dengan orang lain".
"Celaka, rupanya Bau-ji tak pernah berpikir kesitu, kontan saja merah
padam selembar wajahnya karena jengah.
Nona-Kim sedikitpun tidak bermaksud untuk mengampuni lawannya,
sambil tersenyum dia lantas berkata:
"Menurut penglihatanku, adikku hanya pura-pura tidur, tapi betul betul
berpenyakit..."
"Yaa, dia memang sedang sakit !" sambung Bauji dengan
cepat.
Nona Kim segera mengerling sekejap wajah Bau ji, setelah itu katanya
lagi:
"Dia pasti sudah mengidap penyakit tak berani bertemu denganku, tapi
aku akan tetap memaksanya untuk berjumpa denganku !"
Dalam pembicaraan tersebut, tiba-tiba nona itu menyentilkan jari
tangannya ke depan, pintu loteng tersebut seketika itu juga terpentang
lebar.
Bau ji menjadi amat gelisah, baru saja dia siar menegurnya dengan
paras muka berubah, nona Kim telah menjerit kaget.
Menyusul teriakan itu, Bau ji segera mengalihkan pula sorot matanya ke
atas pembaringan dalam ruangan tersebut yang kemudian terlihat
seketika itu juga membuat hatinya sedang tenggelam.
Sun Tiong lo sedang berbaring di atas ranjangnya, waktu itu ia tampak
tersentak bangun dari tidurnya.
Dengan adanya kenyataan tersebut, Bau ji menjadi punya alasan untuk
berbicara lagi, sambil menarik muka dia berseru:
"Nona, apa apaan ini ?" Sebenarnya nona Kim menyangka kalau Sun
Tiong lo tidak
berada diatas loteng, itulah sebabnya dia membuka pintu dan memaksa
melakukan pemeriksaan, siapa tahu orangnya ada di tempat ini
membuat mukanya menjadi merah padam dan segera menundukkan
kepalanya rendah-rendah.
"Apakah toako dan nona?" terdengar Sun Tiong lo segera menegur.
Bau ji mengiakan dan maju dengan langkah lebar, pertama-tama dia
memasang lampu lebih dulu, kemudian baru, ujarnya:
"Jite, bagaimana dengan kepalamu? Masih sakit tidak ?"
Sudah jelas ia sedang memberi bisikan kepada Sun Tiong-lo, sehingga
tak sampai salah berbicara nanti.
"Setelah tidur sebentar, badanku terasa menjadi segar kembali" sahut
Sun Tiong-lo.
Setelah berhenti sejenak, segera lanjutnya: "Nona, maafkan kalau
aku tidak keluar untuk menyambut
kedatanganmu soalnya..." Waktu itu wajah nona Kim masih berwarna
semu merah karena
jengah, ia segera menyingkir ke samping sambil ujarnya: "Kalau
memang kongcu tidak terganggu kesehatannya yaa
sudahlah, kini malam sudah melarut, maaf kalau aku tak akan
mengganggu lebih lanjut".
Selesai berkata, si nona sudah bersiap-siap akan turun dari loteng itu.
Tiba-tiba Sun Tiong-lo berkata lagi: "Kedatangan nona sungguh
kebetulan sekali, setelah tertidur
sebentar, mustahil aku bisa tertidur lebih lanjut, mengapa tidak masuk
dulu untuk berbincang bincang ?"
Baru saja nona Kim masih termenung dan belum sempat menjawab,
Bau-ji kembali telah menimbrung:
"Tadi kukatakan kepada nona kalau adikku sudah tidur, tapi kau tidak
percaya dan sangat menaruh perhatian untuk datang menjenguk nya,
kini nona telah berada disini, mengapa tidak masuk dulu untuk
berbincang-bincang sebentar ?"
Nona Kim merasa gemas sekali, akhirnya dia masuk juga kedalam
ruangan loteng impian dan sekalian menutup pintunya.
Sambil mempersilahkan tamunya duduk, Sun Tiong lo segera berkata
lagi:
"Nona, maafkan daku, aku tak dapat turun dari
pembaringan..."
"Bagaimana dengan keadaan penyakit kongcu, sudahkah sembuh
kembali?" terpaksa nona Kim harus berlagak menaruh perhatian.
Sun Tiong lo sesungguhnya memang cuma berlagak sakit belaka,
dengan kening berkerut segera sahutnya:
-ooo0dw0ooo-
Jilid 11 AKU RASA KEADAANKU sudah tidak apa apa lagi !"
"Bagaimana kalau aku panggilkan tabib untuk memeriksa
keadaan penyakitmu itu?" Sambil tertawa getir kembali Sun Tiong lo
berkata: "Nona sedang bergurau saja, di tengah pegunungan yang sepi
dan terpencil seperti ini, dari mana datangnya seorang tabib ?"
-ooo0dw0ooo-
BAB EMPAT BELAS
MENDENGAR perkataan itu, nona Kim baru sadar kalau telah salah
berbicara, biji matanya segera berputar, kemudian katanya lagi:
"Beng cengcu mempunyai ilmu pertabiban yang lumayan juga..."
"Sudahlah, aku rasa dia tak akan bersedia untuk melakukan
tugasnya itu dengan baik !" "Apa maksudmu berkata demikian?" tanya
nona Kim dengan
wajah agak tertegun. "Sewaktu nona sedang marah marah di luar
ruangan tadi, tiba
tiba aku merasakan kepalaku pusing sekali, waktu itu Beng cengcu juga
hadir di hadapanku seandainya ia bersedia menolongku, bukankah
waktu itu dia tak akan berdiam diri belaka ?"
Paras muka nona Kim kembali berubah menjadi merah padam karena
jengah, tapi dia masih tetap berusaha mempertahankan pendiriannya,
katanya kemudian:
"Waah, aneh benar kejadian ini, besok akan kutanyakan hal ini
kepadanya !"
Sun Tiong lo segera menggelengkan kepalannya berulang kali. "Kini
aku sudah merasa sehat kembali, dari pada banyak urusan
mengapa nona tidak mengurangi urusan?" Setelah diberi kesempatan
untuk mengundurkan diri secara
terhormat, buru buru Kim mengangguk. "Ya, kalau memang begitu, ya
sudahlah" Kemudian setelah berhenti sejenak, dia mengalihkan kembali
pokok pembicaraannya kesoal lain, katanya: "Apakah Kongcu telah
mendengar semua pembicaraanku
sewaktu berada diruang tengah tadi?" Sun Tiong lo segera mengangguk
"Suara nona seperti geledek,
masa suara se keras itu tidak kudengar? Lucu bukan?" "Bila Kongcu
dapat mendengarnya sih tak menjadi soal, tapi aku
harap kau jangan membicarakannya lagi kepada orang lain" kata nona
Kim dengan wajah serius.
Baru saja Sun Tiong lo hendak membuka suara, tiba tiba dari luar
loteng kedengaran ada orang sedang berseru!
"Coba lihat, disitu ada lampu, delapan puluh persen bocah keparat itu
pasti berada disana"
Mendengar suara itu, nona Kim menjadi tertegun sehingga tanpa
terasa dia membuka jendela dan melongo keluar.
Pada saat itulah, Sun Tiong lo telah berbisik kepada Bau ji dengan ilmu
menyampaikan suaranya:
"Toako, bila sebentar ada orang datang ke mari, harap Toako jangan
berkata apa apa, ingatlah, dan ingatlah !"
Baru selesai dia memberikan peringatannya, kedengaran nona Kim telah
menjerit kaget:
"Haaahh, mengapa bisa mereka?!" Begitu selesai berseru
keheranan, dia segera meninggalkan daun
jendela dan menuju ke pintu loteng. Walaupun ia tidak bergerak pelan,
namun orang yang berada
diiuar sana jauh lebih cepat dari padanya, secara kebetulan mereka
menjadi saling berpapasan muka.
Mendadak nona Kim mundur ke belakang sementara orang orang
itupun segera menghentikan langkahnya, untung saja mereka tak
sampai bertumbukan satu sama lainnya.
Ketika pihak lawan mengetahui kalan orang itu adalah nona Kim,
langsung saja mereka menjerit kaget.
"Aaaah... nona, rupanya kau!" Ditengah seruan tersebut, tampak
bayangan manusia
berkelebatan lewat, tahu-tahu Pat tek pat lo telah berjalan masuk
kedalam loteng impian tersebut.
Dengan wajah dingin seperti es, nona Kim segera menegur dengan
suara dingin.
"Lonceng emas belum dibunyikan, mengapa Pat lo sudah keluar dari
istana Sin kiong?!"
Orang yang hampir saja saling bertumbukan dengao nona Kim tadi tak
lain adalah kakek Tiong, segera sahutnya setelah mendengar perkataan
itu.
"Nona, maafkanlah kami, duduk persoalan yang sebenarnya akan lohu
utarakan nanti!"
Dalam pada itu, sepasang matanya yang tajam bagaikan sembilu itu
telah dialihkan ke-wajah Bau ji serta Sun Tiong lo.
Begitu memandang kedua orang tersebut, segera dia berseru tertahan
lagi.
"Aneh, kenapa bisa berubah." Nona Kim segera berkerut kening,
kembali tegurnya: "Kakek Tiong, sebetulnya apa yang terjadi?"
Untuk kesekian kalinya kakek Tiong memandang sekejap wajah
Bau ji dan Sun Tiong lo kemudian sambil menggelengkan kepalanya
berulang kali, ia berseru:
"Betul betul aneh sekali, sungguh aneh sekali. . . sungguh aneh sekali .
.!"
Sun Tiong lo segera berkerut kening pula, kepada nona Kim diapun
bertanya:
"Tolong tanya nona, apakah kedelapan orang tua inipun khusus datang
untuk menjenguk penyakitku?"
Nona Kim mendengus, kepada kakek Tiong tegurnya: "Kakek Tiong,
jawab semua pertanyaan yang kuajukan!" "Jangan terburu nafsu
nona, sebentar lohu pasti akan memberi
keterangan dengan sejelas-jelasnya !" Sesuai bsrkata, dengan langkah
lebar ia lantas berjalan
mendekati Bau-ji. Dengan cepat nona Kim merentangkan tangannya ke
depan,
serunya. "Kakek Tiong, apakah kau sudah melupakan peraturan dari
bukit
kita ini...?" Kakek Tiong tidak menjawab pertanyaan itu, sambil
menuding
kearah Bau-ji bersaudara, katanya. "Nona, apakah kedua orang ini
adalah dua bersaudara she Sun?" "Benar!" jawab Bau ji tidak tahan,
"siapa namamu, dan siapa
pula dirimu itu?"
Kakek Tiong tidak memperdulikan dirinya, tapi kepada tujuh orang
kakek lainnya dia berseru:
"Miripkah yang ini?" Kakek Jin segera menggelengkan kepalanya
berulang kali,
katanya: "Toako, bocah keparat itu dua inci lebih pendek daripada
dirinya,
bukan dia!" Tlba-tiba kakek Tiong menghadap ke arah Sun Tiong lo,
setelah
itu bentaknya: "Hei, berdiri kau, coba berdiri diatas lantai!" Sun Tiong lo
sengaja berlagak tertegun, serunya dengan cepat: "Hei orang tua,
apa-apaan kau ini?" "Tak usah banyak bicara" bentak kakek Tiong,
"lohu menyuruh
kau berdiri, lebih baik kau berdiri!" Nona Kim yang menyaksikan
kejadian itu segera berubah wajah,
dengan cepat ia menegur. "Kakek Tiong, kau harus tahu bahwa Sun
kongcu adalah
tamuku?!" "Nona, sudah lohu katakan tadi, selesai persoalan disini pasti
akan kuungkapkan duduknya persoalan.." kata kakek Tiong serunya.
Melihat kesemuanya itu, nona Kim menjadi naik pitam, katanya:
"Kakek Tiong, apakah aku tidak berhak untuk mengetahui
dubuknya perkara sebelum kalian melakukan sesuatu tindakan?" Kakek
itu juga kakek Jin merasakan gelagat yang tidak baik
dengan cepat katanya: "Nona, kau tidak tahu, seorang diantara mereka
berdua telah
berkunjung kedalam istana Sin kiong, bahwa mempermainkan semua
istana Sin kiong dari yang atas sampai paling bawah.."
""Aaaah, sungguhkah itu ?" nona Kim menjerit kaget. "Memangnya
kami akan sembarangan berbicara dalam hal ini?" Nona Kim segara
berpaling dan memandang sekejap kearah Sun
Tiong lo, diam-diam ia dapat meraba juga apa gerangan yang terjadi.
Tapi entah mengapa, ternyata ia mendengus lagi dengan dingin.
"Darimana kakek Tiong bisa tahu kalau orang itu adalah salah
seorang diantara mereka?" "Dalam bukit ini tiada tamu lain, kecuali
mereka berdua..." Belum habis ucapan tersebut diutarakan, mendadak
dari luar
jendela sana telah bergema suara tertawa yang amat nyaring. Pat lo,
nona Kim serta Bau ji bersaudara menjadi tertegun di
buatnya. Dengan suara lantang kakek Jin segera menegur. "Siapa yang
berada diluar?!" Orang yang berada diluar jendela itu besar amat
nyalinya, dia
segera menyahut: "Diatas bukit ini tiada tamu lain, aku adalah orang
sendiri" Setelah berhenti sejenak dan tertawa sinis, lanjutnya sambil
tertawa mengejek. "Pat tek pat lo apaan itu? Pada hakekatnya tak lebih
cuma
delapan orang kakek pikun yang ketolol-tololan!" Pat tek pat-lo yang
mendengar ejekan itu merasa malu, gemas,
marah, enam belas ujung baju dikebaskan berbareng dan meluncur
keluar dari ruang loteng sambil bergerak ke arah mana asalnya suara
tadi.
Setelah kepergian mereka, Sun Tiong lo segera menggelengkan
kepalanya berulang kali sambil menghela napas panjang, gumannya:
"Apa maksud dari kesemuanya ini?" Nona Kim hanya terdiri
termangu-mangu saja ditempat itu, tak
sepatah katapun yang di ucapkan. Sewaktu Pat-lo menerangkan bahwa
ada orang telah melakukan
pengacauan dalam istana Sin-kiong, nona Kim segera menyadari kalau
alasan Sun Tiong lo yang mengatakan sakit kepala hanya merupakan
alasan untuk menutupi kepergiannya ke istana Sin- kiong.
Siapa tahu pada saat yang bersamaan, dari luar ruangan telah
berkumandang lagi suara lain, hal ini membuktikan kalau apa yang
diduganya itu keliru besar.
Kalau hanya salah menduga sih bukan urusan penting, yang paling
penting sekarang adalah mengapa kedatangan orang asing tersebut
sama sekali tidak diketahui mereka ? Bukankah dengan begitu rahasia
dari bukit mereka akan ketahui orang....
Pat-lo telah kembali, ternyata orang itu tidak berhasil disusul mereka.
Nona Xim segera menegur: "Bagaimana? Mana orangnya ?" Merah
padam selembar wajah kakek Tiong karena jengah,
dengan kepala tertunduk sahutnya. "Nona pada malam ini kami
bersaudara benar-benar jatuh
kecundang ditangan orang !" Menyusul kemudian diapun lantas
mengisahkan kedatangan sang
tamu tak diundang dalam istana Sin kiong, lalu bagaimana Pat lo tertipu
untuk pergi menangkap nona Siu, Sebagai akhir kata dia menambahkan
"Barusan nona telah mendengarkan dengan telinga sendiri, betapa
jumawa dan takabumya orang diluar jendela itu, namun sewaktu lohu
bersaudara menyusul keluar, ternyata tak sesosok bayangan
manusiapun yang berhasil kutemukan."
Nona Kim segera berkerut kening, setelah berpikir sejenak, katanya:
"Aku dengan mempergunakan "Kim Ieng" menitahkan kakek Peng
segera pulang ke istana sin-kiong untuk mengundang nona Siu dalam
loteng Hian ki lo untuk berbicara, sedang lainnya harap mengikuti
diriku..."
Begitu selesai berkata, kakek Peng telah beranjak pergi, sementara si
nonapun sudah bersiap siap meninggalkan tempat itu.
Sun Tiong lo yang sedang berbaring sakit di atas pembaringan tiba tiba
berkata:
"Tunggu sebentar nona, saudara yang lainnya juga harap tunggu
sebentar. .."
Nona Kim segera berhenti sambil bertanya. "Ada urusan apa
Kongcu?" Dengan wajah dingin bagaikan salju, Sun Tiong lo
menuding ke
arah kakek Tiong sekalian, kemudian katanya. "Bukan aku yang ada
urusan, seharusnya mereka yang ada
persoalan untuk disampaikan kepadaku !" Tentu saja nona Kim
memahami apa yang dimaksudkan, katanya
kemudian dengan cepat: "Kongcu, dalam bukit kami secara tiba tiba
telah teijadi suatu
peristiwa besar...." "Nona, maaf jika aku akan berterus terang" tukas
Sun Tiong-lo
dengan dingin, "walaupun aku telah salah masuk ke bukit anda dan
harus mentaati peraturan disini, asal saatku menjadi tamu itu telah
habis, tak urung aku pun tak akan lolos dari kematian."
"ltulah sebabnya terhadap peristiwa besar yang telah terjadi dibukit
kalian atau tidak, aku sama sekali tidak tertarik, akan tetapi terhadap
orang-orang kalian yang telah merusak peraturan sancu kalian, mau tak
mau aku harus menegurnya!"
Nona Kim segera berkerut kening, katanya: "Kongcu, setiap manusia
pasti ada kesalahan, kuda pun kadang kala bisa salah melangkah..."
Sua Tiong lo menggelengkan kepalanya berulang kali, ujarnya dengan
wajah serius:
"Nona, terus terang saja persoalan ini sama sekali tak ada sangkut
pautnya dengan diriku!"
"Kongcu, kami telah mengakui kesalahan ini, harap kau sudi bermurah
hati."
Kembali Sun Tiong-lo mendengus dingin seraya menukas: "Nona,
soal keadilan tak bisa dibiarkan berlalu dengan begitu
saja, sewaktu aku salah memasuki bukit ini, bagaimanapun kujelaskan
dan kumohon, yang diperoleh hanya jawaban yang sama, peraturan
tetap tinggal peraturan, apapun yang kuminta, peraturan tetap berjalan
sebagaimana mestinya."
"Sekarang, kejadian yang sama telah menimpa saudara saudara kalian
sendiri, tapi kalian turut aku jangan mempersoalkan peraturan nona,
bukan saja semacam ini tidak tahu aturan, juga sangat tidak adil
sekali..."
Pat lo tak kuasa menahan rasa mangkel di dalam hatinya lagi, dengan
suara dalam kakek Gi segera berseru:
"Sahabai muda, lantas apa yang kau kehendaki ?" "Sobat tua, kau
keliru, bukan aku menginginkan bagaimanabagaimana,
melainkan peraturan yang telah ditetapkan oleh Sancu
kalian tetap merupakan peraturan yang berlaku, sebab itu apa yang
diharuskan oleh peraturan, harus di lakukan pula oleh kalian semua !"
Kakek Gi menjadi tertegun, setelah memandang sekejap kearah Sun
Tiong lo, katanya:
"Maaf, kebetulan sekali diantara peraturan yang di tetapkan Sancu, tak
sebuahpun yang memuat tentang hal ini !"
Baru selesai dia berkata, Sun Tiong lo telah merogoh ke bawah
bantahnya dan mengeluarkan selembar kertas, lalu sambil dilemparkan
ke depan, katanya sambil tertawa dingin.
"Masih untung saja aku menyimpan bukti ini, kertas tersebut aku
dapatkan dari atas dinding diruang depan sana, kini dipersilahkan kau
untuk memeriksanya, coba kau lihat adakah peraturan yang
mencantumkan tentang hal itu?!"
Pat lo menjadi berdiri bodoh, sedangkan nona Kim juga berdiri tertegun
disisinya tanga sanggup mengucapkan sepatah katapun.
Sun Tiong lo tertawa dingin, katanya lagi: "Bila pada malam ini Pat lo
tidak di beri hukuman seperti apa
yang tercantum dalam peraturan bukit ini, jangan salahkan kepadaku
bila persoalan ini akan kuadukan kepada Sancu bila ia telah kembali
nanti !"
Nona Kim sama sekali tidak mengira kalau Sun Tiong lo yang
kelihatannya lemah lembut itu ternyata memiliki watak yang begitu
keras.
Lebih-lebih ke delapan orang kakek itu, mereka merasa malu, menyesal,
dan untuk sesaat tak tahu apa apa yang mesti dilakukan.
Nona Kim memegang lencana Kim leng yang merupakan benda paling
berkuasa diatas bukit pemakan manusia itu, dia cukup memahami jalan
pemikiran dari Sun Tiong-lo, maka setelah berpikir sebentar, katanya:
"Kongcu, katakanlah, sebenarnya apa yang kau inginkan ?" "Harap
nona memaklumi apakah mereka tak berani meminta
maaf saja kepadaku?!" Setelah mendengar perkataan ini, si nona baru
merasa hatinya
lega, kepada delapan orang kakek itu ujarnya:
"Orang sudah mengajukan persyaratannya!"
Dengan perasaan apa daya kakek Tiong segera maju melangkah
kedepan, kemudian sambil menjura kepada Sun Tiong-lo ujarnya:
"Kongcu, lohu bersaudara benar-benar amat gegabah, harap Kongcu
suka memaafkannya !"
Ternyata Sun Tiong lo juga sama sekali tidak melupakan sopan
santunnya, buru buru ia menjura dan balas memberi hormat.
"Kalian orang tua harap memaafkan diriku, setelah mendengar
penuturan kau orang tua tentang dipermainkan orang, telah kuduga
kalau cara kerja kalaian berdelapan pasti gegabah sekali."
"Kini kalian berdelapan telah mendatangi loteng impian, seharusnya
kalian toh bisa me nanyai aku dan Sun kongcu ini dengan sikap yang
halus dan lembut, tapi kenyataannya kalian telah menegur secara kasar
dan ketus, tindakan semacam ini tidaklah pantas dilakukan..."
Berkedip sepasang mata nona Kim dan mengerling sekejap kearah Sun
Tiong-lo kemudian menyela:
"Bagaimanapun persoalan ini bisa disudahi sampai disini saja bukan ?"
Sun Tiong-lo segera tertawa. "Kalau berada dirumah yang rendah,
mau tak mau aku mesti
tundukkan juga kepalaku, kalau tidak, apa pula yang bisa kulakukan
lagi ?"
Nona Kim segera berkerut kening, katanya lagi: "Aku akan pergi
dulu, tengah hari nanti..." "Sekarang sudah mendekati kentongan ke
lima, aku dan saudara
Sun juga rasanya tak mungkin bisa tidur lagi" tukas Sun Tiong-lo,
dapatkah kurepotkan nona untuk memberitahukan kepada Chin
congkoan, bahwa setelah fa jar menyingsing nanti, dia bisa datang
kemari untuk menemani kami berjalan jalan mengelilingi seluruh bukit
?"
"Aaaah hampir saja aku melupakan kejadian ini." seru nona Kim sambil
tertawa, "tak usah sigoblok itu menemani kalian, setelah urusan selesai
nanti akan kutemani kalian berdua"
Selesai berkata dia lantas meninggalkan loteng impian lebih dulu,
diikuti kedelapan kakek tersebut dibelakangnya.
Setelah mereka pergi, Bau ji baru tak tahan untuk bertanya dengan
suara Iirih:
"Jite, apakah kau yang memasuki istana Pat tek sin kiong tersebut?"
Sun Tiong lo segera tertawa. "Toako, tentu saja akulah orangnya"
Bau ji tertawa, kemudian sambil menggelengkan kepalanya
berulang kali, ujarnya lagi. "Sudah kuduga kalau kau, cuma siapa pula
orang yang barusan
berseru dari luar jendeia itu." "Terus terang kukatakan toako, orang itu
adalah...." -oo0dw0ooo- DALAM Loteng Hian ki lo, nona Kim duduk
ditengah ruangan
dengan wajah dingin membesi. Delapan orang kakek itu mengiringi
dikedua belah sisinya,
sedangkan nona Sian berdiri di belakang nona Kim. Hanya nona Siu
seorang yang berdiri di depan meja besar dan
menjawab setiap pertanyaan yang diajukan dengan sikap yang sangat
menghormat.
Dengan tangan kiri memegang lencana Kim leng yang mempunyai
kekuasaan sangat besar nona Kim berkata:
"Nona Siu, kau harus menjawab semua pertanyaan yang kuajukan
dengan sejujur-jujurnya."
Nona Siu melirik sekejap kearah nona Kim lalu menjawab: "Hamba
akan melaksanakah perintah dengan sebaik-baiknya."
"Pertama-tama ingin kutanyakan dulu kepadamu, apa sebabnya
kau mencampuri air teh dengan racun ? sewaktu berada dibalik tirai
bambu, orang itu berada satu kaki delapan depa jauhnya darimu,
bagaimana caramu melepaskan racun itu ?"
"Hamba mencampuri racun itu menggunakan kesempatan dikala
dayang hendak menyeduh air teh."
"Kau berani tidak jujur ?" bentak nona Kim dengan suara yang dalam
dan berat.
Sekulum senyum licik yang menyeramkan segera tersungging diujung
bibir nona Siu, sahutnya:
"Aku berbicara dengan sejujurnya, sebelum dayang menghantarkan air
teh untuk tamu menurut kebiasaan yang berlaku dalam istana, maka air
teh itu harus dihantar dulu kehadapan hamba, sengaja hamba membuka
poci air teh itu, kemudian menitahkan kepada dayang untuk menghormati
tamu..."
"Oooh... lantas, mengapa kau sampai turun tangan untuk meracuninya?"
tanya nona Kim.
"Dari pembicaraan yang dilangsungkan antara orang itu dengan Pat lo
dengan cepat dapat hamba simpulkan bahwa dia seorang tamu yang
yang tak diundang dan memasuki istana secara paksa, tentunya nona
juga tahu bukan, semua orang asing dilarang memasuki istana untuk
melakukan penyelidikan dengan dasar ini, mengapa aku mesti
membiarkan dia tetap hidup segar bugar?"
Nona Kim segera mendengus dingin. "Oooh... kalau begitu,
perbuatanmu tersebut hanya semata-mata
untuk menjaga keamanan dari istana Sin kiong?"
Nona Siu tertawa hambar.
"Hal ini merupakan tugas dan kewajiban yang harus hamba laksanakan,
hamba tak berani berbuat gegabah dengan membiarkan ia berbuat
semena-mena dalam istana."
"Oooh... lantas apa pula sebabnya kau tidak memberitahukan hal ini
kepada Pat lo sebelum meracuni air teh itu, dan setelah kejadian
mengapa pula tidak memberi keterangan kepada mereka?"
"Hamba sudah tahu kalau perasaan Pat lo telah digerakan oleh ucapan
manis orang itu sehingga timbul perasaan simpatik kepadanya, aku
kuatir Pat lo tidak menyetujui tindakanku ini bila kusampaikan secara
berterus terang, maka sebelum kuambil tindakan tersebut, hal ini sama
sekali tak kulaporkan dulu kepadanya."
Setelah kejadian itu berlangsung, hambapun tahu kalau usahaku untuk
meracuninya gagal total, maka aku lantas memutuskan untuk
membekuknya dihadapan Pat-lo dengan mengandalkan ilmu silat yang
sesungguhnya, kemudian memaksakan dia untuk mengakui asal usul
yang sebenarnya, sayang terjadi keteledoran..."
"Masa orang-orang ini teledor dalam melakukan perbuatan." seru nona
Kim dengan suara dalam.
"Ada sementara persoalan memang tak dapat dihindari lagi, misalkan
saja dengan perbuatan pat-lo yang menyambut kedatangan orang itu
serta menganggapnya sebagai tamu agung, akhirnya mereka termakan
sendiri oleh perbuatan orang itu, tentu saja dalam hal ini terdapat unsur
keteledoran."
"Apakah Pat-lo teledor atau tidak, aku dapat memutuskan sendiri" tukas
nona Kim dengan suara dalam, "sekarang, yang kutanya kan adalah soal
kau sendiri !"
Nona Siu menggertak giginya menahan diri, kemudian sahutnya:
"Hamba pun mengakui telah melakukan keteledoran, hamba
sedia terima hukuman sesuai dengan peraturan."
Nona Kim kembali mendengus dingin.
"Hmm . . Aku tahu kau ingin mengandalkan rasa sayang Sancu padamu,
kemudian mengandalkan pula kedudukanmu yang hanya bisa diundang
datang dengan lencana kemala, maka kau lantas kau memandang remeh
orang lain, menganggap aku tak dapat menghukummu?"
"Ucapan semacam itu hanya nona yang mengatakannya sendiri, belum
pernah hamba berpendapatan demikian" ucap nona Siu dingin, "apalagi
nona sekarang memegang lencana Kim leng di tangan, jangankan baru
menghukum, sekalipun membunuh hamba, juga hamba tidak akan
berani membantah."
"Aku nasehati kepadamu, lebih baik jangan mencoba-coba kesabaranku
lagi.. . kau bakal rugi besar, mengerti?" seru nona Kim dengan kening
berkerut kencang.
Paras muka nona Siu berubah hebat, dia lantas menundukkan
kepalanya dan tidak berbicara lagi.
Nona Kim mendengus dingin, katanya lebih jauh. "Khong It hong
jauh lebih dipercaya oleh Sancu daripadamu tapi
nyatanya dibawah bunyi lonceng emas sama yang mengundang
kehadiran Pat lo, dia sudah disekap di dalam gua Im hong tong,
sekalipun lebih garang juga harus menunggu setahun kemudian baru
bisa keluar lagi dari tempat penyekapannya..."
Mendengar perkataan itu, nona Siu menundukkan kepalanya semakin
rendah lagi, dia lebih tak berani banyak berbicara.
Nona Kim segera tertawa dingin, katanya lebih jauh: "Seandainya kau
sampai menggusarkan diriku, hmmm..!
ketahuilah, gua Liat hwee-tong (gua panasnya api) telah menantikan
dirimu untuk mencicipinya !"
Sekujur badan nona Siu gemetar keras sekali, buru-buru bisiknya:
"Hamba tidak berani!"
"Hmm...! Sudah kuduga kau tak berani" dengus Nona Kim dengan wajah
dingin, "bila kau sampai disekap dalam gua Liat hwee tong, maka
sebelum seratus hari jangan harap bisa ke luar dari situ, menanti kau
keluar dari sekapan paras mukamu pasti sudah berubah hebat, aku tidak
percaya kalau sancu masin bisa menyayangi dirimu."
Tiba-tiba nona Siu menjatuhkan diri berlutut diatas tanah, kemudian
rengeknya dengan ketakutan:
"Nona ampunilah diriku, mulai sekarang hamba pasti akan bertindak
lebih hati-hati, ampunilah kesalahanku."
Diam-diam nona Kim menghembuskan nafas panjang, tapi diluar dia
kembali berkata:
"Terus terang saja, bila hari ini aku tidak memanfaatkan kesempatan ini
untuk menjebloskan dirimu ke dalam gua Liat hwee tong, di-kemudian
hari kau tetap masih memandang remeh orang lain, sama sekali tak
memandang sebelah matapun kepadaku."
Dengan gugup dan gelisah kembali nona Siu memohon "Nona kau
adalah putri kesayangan Sancu, hamba mana berani
memandang rendah dirimu? Apalagi Sancu adalah seorang bermata
tajam, tak akan dia biarkan orang lain mengelabuinya..."
"Biarpun, muak aku melihat gayamu ini!" tukas nona Kim sambil
mengulapkan tangannya.
Setelah berhenti sejenak, dia berkata lagi kepada kakek Tiong.
"Mulai hari ini, semua kehormatannya sebagai pemegang lencana
kemala di tarik kembali dan harus diawasi oleh kakek Tiong kemudian
jebloskan dia kedalam ruang Thiahiasi-dalam istana Sin kiong, dan
menyekapnya selama tiga puluh hari untuk bertobat dari kesalahannya
itu."
Kekek Tiong segera mengiakan.
Nona Kim berkata lebih jauh:
"Kakek Tiong. aku akan melakukan pemeriksaan sendiri atas tugas yang
kuberikan kepadamu ini!"
"Lohu tak berani melanggar perintah!" cepat cepat kakek Tiong
memberi hormat.
"Ehm, selesai melaksanakan tugas ini, harap Pat lo segera
mengumpulkan segenap jago lihay yang ada di atas bukit untuk
melakukan penggeledahan secara besar-besaran di seluruh bukit kuberi
batas waktu sampai tengah hari nanti untuk datang memberi laporan,
jangan sampai melakukan kesalahan lagi!"
Pat lo mengiakan bersama. Pelan-pelan nona Kim bangun dari
duduknya, kemudian berkata
kepada nona Sian. "Untuk sementara waktu kau boleh tinggal diruang
Kun wan
dalam istana Sin kiong, hati-hatilah dalam melaksanakan setiap tugas
dan kewajiban."
Dengan hormat nona Sian mengiakan, nona Kim segera beranjak
meninggalkan tempat itu.
Mendadak nona Siu berseru: "Hamba masih mempunyai rahasia
besar hendak disampaikan
kepada nona .. ." "Katakan!" seru nona Kim sambil membalikkan
badannya dan
berjalan kembali. "Rahasia ini hendak hamba laporkan dengan
pertaruhan nyawa,
harap semua orang mengundurkan diri lebih dahulu dari sini" Nona Kim
berkerut kening, setelah berpikir sebentar, dia
mengulapkan tangannya seraya berseru: "Nona Sian, kau boleh
kembali dulu ke dalam istana." sedang Pat
lo dan nona Sian menurut perintah dan mengundurkan diri, dengan
demikian dalam loteng Hian ki lo tersebut tinggal mereka berdua saja..
Dengan bersungguh sungguh nona Kim lantas berkata: "Sekarang,
kau boleh berbicara !" Nona Siu maju beberapa
langkah ke depan, lalu sambil merendahkan suaranya dia berkata.
"Nona, apakah kau benar-benar hendak menyekap hamba
didalam ruangan ini Thian hian si?" "Persoalan inikah yang kau anggap
sebagai rahasia maha besar
itu?" tegur nona Kim dengan suara dalam. "Tentu saja bukan" jawab
nona Siu sambil tertawa, "cuma saja,
hamba ingin membuat jasa demi menebus ini..." Tergerak juga hati
nona Kim serrlah mendengar perkataan itu,
katanya kemudian: "ltu mah tergantung dari pekerjaan apa yang hendak
kau
laksanakan..." "Persoalan ini merupakan rahasia dari San cu, juga
rahasia dari
nona, sebenarnya didunia ini hanya ada tiga orang saja yang
mengetahuinya, tapi Ji nio telah lama mati, sekarang..."
Diam-diam nona Kim merasa amat terkejut, segera selanya:
"Sekarang cuma tinggal kau dan Sancu saja yang tahu, bukan
begitu...?" "Benar!" jawab nona Siu sambil tertawa menyeramkan. Nona
Kim segera mendengus dingin. "Kalau toh persoalan ini diketahui oleh
San cu, aku seharusnya
juga tahu." Nona Siu segera tertawa penuh arti, dia menggelengkan
kepalanya berulang kali. "Telah kukatakan tadi, perasaan ini merupakan
rahasia dari
Sancu, oleh karena itu mustahil Sancu mengutarakannya kepadamu,
dan sepanjang hidup jangan harap nona dapat mengetahuinya"
"Dari dulu sampai sekaran - tiada rahasia yang merupakan suatu
kejadian baik, lebih baik aku tidak mengetahui saja!"
Sekali lagi nona Siu menggelengkan kepalanya berulang kali,ujanya
cepat-cepat:
"Aku toh sudah mengatakan tadi, walaupun hal tersebut merupakan
rahasia dari Sancu, juga merupakan rahasia nona sendiri."
Nona Kim sudah dibikin agak terperanjat setelah mendengar perkataan
itu, setelah termenung dan berpikir sejenak, dia berkata:
"Apakah kau hendak mempergunakan rahasia tersebut untuk ditukar
dengan penarikan perintahku tadi ?"
Sekali lagi nona Siu menggelengkan kepalanya berulang kali. "Tidak
sampai begitu" katanya, "sebab rahasia ini mempunyai
hubungan dan pengaruh yang amat besar, ituIah sebabnya aku masih
mengharapkan juga barang-barang iainnya, aku percaya nona tak akan
keberatan untuk memberikan kepadaku".
Sekarang nona Kim benar-benar merasa agak takut, dia cukup
mengetahui akan kebusukan dan kelicikan nona Siu, kini nona Siu
berani mengajukan permohonan seperti itu, bisa disimpulkan kalau
rahasia tersebut penting sekali artinya bagi ia pribadi."
Maka diapun termenung untuk beberapa saat lamanya, setelah itu baru
tanyanya:
"Coba kau terangkan dahulu permohonan mu yang lain itu !" "Harap
nona bersedia membebaskan Khong lt hong dan ijinkan
kepadaku untuk kembali keistana dan mengambil tabunganku selama
banyak tahun ini, kemudian bersama Khong lt hong meninggalkan bukit
ini lari pergi sejauh-jauhnya dari tempat ini."
Begitu permohonan tersebut diutarakan, paras muka nona Kim segera
berubah hebat, serunya dengan gusar:
"Budak rendah, besar amat nyalimu, rupanya kau dengan
dia..."
"Harap nona bersabar dulu dan dengarkan perkataanku sampai selesai"
tukas nona Siu sambil mengulapkan tangannya "saat itu, bila nona
menganggap tidak seharusnya melepaskan aku, sekalipun hendak
membinasakan diri ku juga belum terlambat."
Baru saja nona Kim akan menyahut, tiba-tiba terdengar suara dari
kakek Tiong berkumandang dari bawah loteng:
"Nona, apakah kau ada pesan lain ?" Dari sini dapat disimpulkan
bahwa bentakan gusarnya tadi telah
mengejutkan ke delapan orang kakek itu. Nona Kim memandang sekejap
kearah nona Siu, lalu sahutnya: "Aku tak ada urusan, harap Pat lo tetap
menunggu diluar loteng" Kakek Tiong tidak bersuara lagi, sudah pasti ia
telah
mengundurkan diri keluar loteng. Pada saat itulah nona Siu baru berkata
lebih lanjut: "Nona, Khong It hong adalah setan perempuan yang tidak
berperasaan dia licik, keji dan tidak mengenal ampun, aku percaya nona
pasti tak akan menganggapnya sebagai kekasih hatimu bukan..."
"Budak sialan, makin lama nyaliku semakin besar, jangan mencoba
untuk berkata yang bukan-bukan lagi!" bentak nona Kim gusar.
"Nona, aku bukan lagi berbicara yang bukan-bukan, setiap ucapanku
keluar dari hati sanu bari yang jujur." sahut nona Siu dengan wajah
bersungguh-sungguh.
"Kalau toh Khong lt-hong adalah seorang manusia semacam itu,
mengapa kau hendak melarikan diri bersama dirinya?"
Tiba-tiba paras muka nona Siu berubah menjadi sedih sekali, setelah
menghembuskan napas panjang, katanya:
"Nona, disini hanya ada kita berdua, kitapun sama-sama perempuan,
inilah saat yang paling tepat untuk berbincang-bincang
cuma aku minta setelah mendengarkan nanti harap nona jangan
berteriak memanggil Pat-lo...."
"Baik, kululuskan permintaanmu itu, katakan!" Nona Siu menghela
napas panjang, ujarnya: "Pertama tama aku ingin bertanya kepada
nona, tahukah nona
berapa usia ku sekarang?" Nona Kim menjadi tertegun, sahutnya: "Aku
hanya ingat sejak aku masih kecil kau telah..." "Nona, aku telah berusia
tiga puluh sembilan tahun!" tukas nona
Siu cepat. "Hhmm, masih belum nampak juga" Nona Kim berkerut
kening.sesudah berhenti sejenak, dia melanjutkan: "Kalau sudah
berusia tiga puluh sembilan tahun lantas kenapa ?" "Bagi seorang
perempuan, usia setua itu sudah merupakan usia
paling akhir bagi masa mudanya." "Hmm... tampaknya kau terlalu
memandang serius masa muda
seorang manusia didunia ini". Nona Siu menghela napas sedih. "Nona,
usia tidak berbelas kasihan, ini merupakan suatu
kenyataan yang tak dapat dibantah." "Kau anggap aku tidak mengerti
?" bentak nona Kim, "tapi bila
kau memiliki pasangan yang serasi, bisa memandang soal nama dan
kedudukan dengan lebih terbuka, apa pula yang mesti dikuatirkan
dengan soal usia."
Kembali nona Siu tertawa getir. "Semua perkataan nona dapat pula
kupahami, cuma nona,
apakah aku bisa memiliki kebahagian serta kemujuran seperti itu ? Pada
usia delapan belas tahun, aku sudah merupakan barang permainan dari
sancu."
"Tutup mulut !" bentak nona Kim dengan suara rendah dan dalam.
Nona Siu segera menggelengkan kepalanya berulang kali, ujarnya:
"Nona, aku berbicara dengan sejujurnya, jangan cegah diriku, lima
tahun berselang aku telah kehilangan kehormatanku lagi ditangan
Khong It hong, maka jika aku harus memilih sekarang, tentu saja aku
lebih suka memilih Khong It-hong dari pada sancu !"
"Kau belum menjawab pertanyaanku tadi!" Nah, sekarang juga akan
kukatakan, Khong It sangat berhasrat
untuk mengawini nona karena pertama, kau adalah puteri kesayangan
Sancu, kedua nonapun pasti mengerti, wajahmu cantik lagi pula
merupakan seorang nona yang baik."
"Tapi, kalau dibilang memahami hati kecil-nya, memahami tujuan yang
sebenarnya, maka hanya aku seorang yang tahu dengan pasti aku
mengerti akan maksud pribadinya yang licik dan buas, terus terang
kukatakan, jika hari ini dia mengawini nona, maka besok Sancu, pasti
akan mati."
Nona Kim segera berseru kaget. "Kau. . . kau. . . apakah semua
perkataanmu itu ada buktinya?" Nona Siu segera tertawa. Nona, pada
lima tahun berselang dia berani menggagahi
kehormatanku dikala Sancu tak ada digunung, apakah hal ini bukan
merupakan suatu bukti yang amat baik?"
Nona Kim segera mendengus dingin. "Hmm, aku percaya dengan
peristiwa tersebut, cuma kesalahan
tersebut belum tentu merupakan kesalahannya seorang!"
Sekali lagi nona Siu tertawa.
"Mumpung nona membawa lencana Kim-leng sekarang, mengapa kau
tidak membuka kotak mestika yang tersimpan dalam loteng ini untuk
diperiksa isinya?"
Begitu ucapan tersebut diutarakan, paras muka nona Kim segera
berubah hebat.
"Kenapa dengan kotak mestika tersebut?" "Orang itu mempunyai
ambisi yang amat besar, dia telah
membuat tindasan dari kitab pusaka milik Sancu tersebut, bahkan
dengan yang palsu menukas yang asli, ia telah mencuri pula lencana
Bong hu-kiu-ciat-milik Sancu!"
"Benarkah telah terjadi peristiwa tersebut?" nona Kim dibuat semakin
tertegun.
Dengan wajah bersungguh-sungguh nona Siu berkata: "Sekarang ia
sedang disekap di dalam gua Im-hong-tong, mengapa nona tidak
berusaha umuk menggeledah kamar tidurnya ?"
Nona Kim memandang sekejap kearah nona Siu. kemudian ia berkata:
"Baik, dengarkan yang jelas, andaikata aku berhasil menemukan salinan
dari kitab pusaka itu serta lencana sakti tiong hu kiu-ciat tersebut, aku
bersedia meluluskan permintaanmu untuk melepaskan kau pergi, cuma
Khong It liong bajingan itu..."
"Nona, rahasia yang barusan kubicarakan ini tak lebih hanya rahasia
yang kuhadiahkan untuk nona, rahasia yang sebenarnya jauh lebih
berharga dari pada rahasia ini, dan rahasia tersebut mesti ditukar
dengan Khong It-hong."
Nona Kim berkerut kening, dia menjadi termenung dan tidak berbicara
apa-apa lagi.
Nona Siu bersikeras hendak menukar rahasia paling besar yang
menyangkut nona Kim pribadi dengan kebebasan untuk Khong It hong
kejadian mana segera membuat nona Kim menjadi serba salah.
Pada saat itulah, nona Siu telah berbisik lemah: "Nona, mengapa
tidak kau geledah dulu kamar tidurnya Khong
It-hong ? kemudian yang lain baru dibicarakan lagi ?" Nona Kim
memandang sekejap wajah nona Siu, kemudian
serunya kearah bawah loteng: "Kakek Tiong, harap kau bersama kakek
Siau dan kakek Jin naik
keatas loteng !" Tiga orang kakek itu segera mengiakan dan melompat
naik
keatas ruangan loteng. Dengan wajah dingin dan keren nona Kim
berkata: "Barusan aku mendapat laporan rahasia yang mengatakan
bahwa
Khong It-hong ada maksud untuk berhianat, secara sembunyi dia telah
menyalin kitab pusaka milik Sancu dan mencuri lencana mestika,
sekarang harap San-lo (kakek bertiga) berangkat ke Ku- kui-wan untuk
melakukan penggeledahan yang seksama!"
Mendengar perintah tersebut, paras muka ke tiga orang kakek itu
berubah hebat, mereka segera mengiakan dan beranjak pergi.
Tergerak hati nona Kim, tiba tiba katanya lagi: "Kakek Tiong, tolong
suruh kakek Gi pergi menangkap Chiu Huihou
untuk dilakukan pemeriksaan!" Kakek Tiong mengiakan dengan
hormat, bersama kakek Siau dan
kakek Jin segera mengundurkan diri dari situ. Sepeninggal ketiga orang
kakek itu, dengan kening berkerut
nona Kim baru berkata kepada nona Siu: "Ada sepatah kata aku
bersedia untuk memberitahukan dahulu
kepadamu, andaikata ke dua macam barang yang digeledah ketiga
orang kakek itu berhasil ditemukan, dan penghianatan Khong It hong
terbukti, tentu saja aku akan melanjutkan pembicaraan tersebut
sebagaimana mestinya."
"Cuma kau harus tahu, bila ayahku telah kembali ke gunung, aku pasti
akan melaporkan semua kejadian ini kepadanya, dengan kemampuan
ayahku, mampukah kau dan Khong It-hong meloloskan diri dari
pengejarannya...?"
Nona Siu tertawa getir. "Siapa yang dapat menentukan?" kejadian
yang akan datang dia
berseru. Tiba-tiba nona Kim maju dua langkah ke de para, lalu berbisik
dengan suara rendah: "Dalam kejadian malam ini, hanya kau dan aku
yang tahu..." "Nona, semua kejadian ini diketahui juga oleh Khong
It-hong..."
tukas nona Siu. Nona Kim menggelengkan kepalanya. "Aku
maksudkan soal pengakuanmu pada saat ini" katanya.
-ooo0dw0ooo-
BAB LIMA BELAS
"Ooooh,... sebetulnya nona ingin berkata soal apa?" tanya nona Siu
kemudian
Nona Kim semakin merendahkan suaranya, ia berbisik: "Kalau toh
semua persoalan itu hanya diketahui olehku seorang,
andaikata aku tidak bicara, ayahku juga tak tahu, mengapa setelah
selesai penggeledahan ruangan Khong It-hong nanti, kau..."
Belum habis perkataan itu diutarakan nona Siu telah memahami maksud
hatinya, dia lantas menukas: "Kau hanya menerimanya dihati saja ?"
Nona Kim berkerut kening, "tahukah kau, apa yang hendak kuucapkan
?"
"Tahu!" nona Siu mengangguk sambil tertawa getir, "nona minta
kepadaku untuk kembali lagi ke istana Sin kiong, sedang rahasia
tersebut akan tetap nona pegang kemudian dengan alasan berhianat
menghukum mati Khong-it-hong .... "
"Kalau memang sudah kau duga, aku ingin bertanya kepadamu, apakah
cara tersebut tidak baik?" tukas nona Kim.
Nona Siu memandang sekejap kearah nona Kim, lalu menjawab:
"Walaupun caramu itu bukan termasuk suatu cara yang bagus
dan sempurna, tapi aku tak bisa tidak harus mengakui bahwa cara
tersebut merupakan suatu cara yang terbaik, tapi nona, aku tak dapat
berbuat demikian, tidak dapat..."
"Kenapa? Kenapa? kau?" Nona Kim agak tertegun. Nona Siu
menggelengkan kepalanya berulang kali dan tidak
menjawab lebih jauh. Nona Kim berpikir sebentar, seperti memahami
akan sesuatu, dia
lantas berseru: "Oooh, mengertilah aku sekarang, kau takut aku akan . .
." "Tidak" kembali nona Siu menggelengkan kepalanya, "aku
percaya ucapan nona berat bagai batu karang." "Lantas dalam hal apa
kau tidak bisa menerimanya?" Nona Siu memandang nona Kim sekejap,
kemudian maju dua
langkah kemuka dan menggenggam tangan nona Kim erat-erat,
sahutnya dengan bersungguh-sungguh:
"Nona sikapmu membuat aku merasa malu sendiri, terus terang
kukatakan kepada nona aku sudah terperosok amat dalam, sedemikian
dalamnya sampai aku sendiripun tak sanggup untuk menyelamatkan
diriku sendiri."
"Kalau toh kau sudah mengetahui sampai di situ, mengapa tidak
mengusahakan untuk melepaskan diri? Nona Siu, aku percaya akan
kemampuanmu, kau masih sanggup untuk mengendalikan diri, kau
dapat.."
Nona Siu tertawa getir, sambil menggelengkan kepalanya dia menukas:
"Tak mungkin bisa, selamanya tak akan bisa, nona, aku sudah terbiasa
hidup tentram, di bawah perintah dan tekanan Sancu selama hampir
dua puluh tahun ini, sedari dulu aku sudah bukan aku lagi."
"Aku tak lebih hanya sesosok mayat yang masih bisa berjalan, seorang
algojo, seorang perempuan jalang yang harus melaksanakan perintah dari
Sancu, aku sudah tidak berperasaan aku sudah bukan diriku lagi..."
Mendadak nona Kim menukas: "Andaikata benar benar demikian
keadaannya bukankah lebih
lebih baik menerima tawaranku itu?" Nona Siu tertawa aneh. "Benar"
katanya, "tapi nona, bila sampai demikian keadaannya
maka kau tak akan dapat hidup lebih lama lagi !" Terkesiap nona Kim
sudah mendengar ucapan itu. "Kenapa? Masa kau akan mencelakai
diriku?" Dengan berterus
terang nona Siu mengangguk. "Siapa bilang tidak? Kau anggap selama
hidup aku bersedia
membiarkan rahasiaku kau pegang." Nona Kim menjadi berdiri bodoh,
untuk beberapa saat lamanya
dia tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Lewat sejenak kemudian,
agaknya nona Kim berhasil
menemukan kata yang cocok, dia baru berkata: "Tidak, kau tak akan
berbuat demikian!" "Dapat! Aku pasti akan berbuat demikian." Nona Kim
segera tersenyum, pelan-pelan dia menggelengkan
kepalanya berulang kali.
"Andaikata kau akan berbuat yang demikian, sekarang, kau tak akan
berterus terang padaku"
Nona Siu kembali tertawa. "Nona, sekarang aku akan
memberitahukan kepadamu, justru
karena aku merasa terharu karena telah menerima budi dan kebaikan
dari nona, maka aku baru berniat untuk memotong dulu kesempatan di
kemudian hari..."
Nona Kim itu menjadi paham sekarang, dia menggenggam tangan orang
semakin kencang, kemudian ujarnya:
"Nona Siu, apakah kau tak dapat mempercayai-diriku." "Tidak dapat"
nona Siu menggeleng "kau harus tahu nona,
seorang manusia durjana dan berhati buas, semuanya bukan orang
tolol yang mudah ditipu orang."
"Aku cukup mengetahui akan hal itu, tetapi kau ucapkan kata kata
semacam itu kepadaku?"
"Kawanan manusia durjana itu semuanya cerdik, apakah mereka tak
dapat berpikir demikian sebelum melakukan kejahatan? Mereka semua
tentu sudah memikirkannya, tetapi toh perbuatan tersebut di lakukan
juga..."
"Alasannya amat sederhana sekali, oleh karena manusia masih memiliki
watak "tenang bila tak diusik, bergerak bila di usik" maka di saat suara
hatinya terketuk, dia akan melelehkan airmatanya dan bertobat, tapi
bila keadaan sudah lewat, maka sikapnya itu akan kembali seperti sedia
kala."
"Aku sendiripun demikian saja, sekarang suara hatiku sedang terketuk
maka aku menyesal dan bertobat, maka aku menutup jalan mundurku
sendiri, tapi bila kejadian ini sudah lewat, mungkin saja rasa terima
kasilku kepada nona akan lenyap dan sebagai gantinya akan timbul
perasaan dendam dan sakit hati!"
Nona Kim menghembuskan napas panjang, dia lantas mengalihkan pokok
pembicaraan ke soal lain, ujarnya:
"Kalau memang keputusanmu sudah bulat, kita tidak usah
membicarakan persoalan ini lagi, cuma kau toh sudah mengetahui watak
dari Khong It hong, kenapa kalau ingin pergi tidak pergi sendirian saja?"
Sekali lagi lagi nona Siu tertawa getir. "Justru karena aku terlalu
jelas memahami watak Khong It hong,
maka aku baru mengambil keputusan begitu!" Nona Kim makin
tercengang. "Aku tidak habis mengerti kenapa kau..." "Sebab hanya aku
yang dapat mengendalikan Khong It hong!"
tukas nona Siu cepat. "Kau juga mesti mengerti, bila ketiga orang kakek
itu telah
kembali dan terbukti bahwa ia telah berhianat, maka menurut peraturan
bukit kita, dia sudah pasti akan mampus, orang sudah mampus mana
bisa..."
"Jika nona tidak bersedia membebaskan Khong lt hong, maka jangan
harap kau bisa mengetahui rahasia tersebut!" tukas nona Siu secara
tiba-tiba dengan wajah serius.
"BiIa ia terbukti berhianat dan dibuktikan sendiri oleh ketiga orang
kakek, memangnya kauanggap gampang untuk melepaskan dirinya"
"Aku telah berpikir sampai kesitu, dan telah kudapatkan pula cara yang
terbaik untuk mengatasinya!"
"Oya,..? Kalau begitu coba kau katakan kepadaku." "Setelah nona
mengungkapkan semua dosa nya, maka keluarkan
dia dari dari ruang Cap pwee sin lian dan titahkan kepada Pat lo buat
membawanya kembali ke istana Sin kiong buat melakukan pemeriksaan,
saat itu aku mempunyai akal untuk menolongnya dari situ."
Nona Kim berpikir sebentar kemudian tanya nya lagi:
"Kalian hendak keluar gunung lewat jalan yang mana?" "Silahkan nona
yang menentukan, asal kau bersedia
menyingkirkan semua penjaga sepanjang jalan itu, hal mana sudah
lebih dari cukup."
Kembali nona Kim berpikir sebentar, lalu ujarnya: "Bagaimana kalau
lewat jeram beracun di-tebing berbahaya
belakang bukit situ?" -ooo0dw0ooo-
Jilid 12 SETELAH BERHENTI SEJENAK, dia menambahkan:
"Apakah kau akan kabur pada malam ini juga ?" Nona Siu
mengangguk. "Bila memilih hari lalu untuk kabur, mungkin hal ini
akan
bertambah sulit lagi!" "Malam jini pukul berapa?" "Antara kentongan ke
dua sampai kentongan ke tiga" Nona Kim berpikir sebentar, lalu
mengangguk. "Baiklah, sampai waktunya aku akan menghantar
kepergianmu
secara diam-diam" "Terima kasih banyak atas kesediaan nona untuk
membantuku"
ucapan nona Siu kemudian dengan nada terharu. Nona Kim segera
menghela napas panjang, katanya: "Aaaai .. . cuma, kau harus ingat,
Sancu adalah seorang yang
serba tahu, bila dikemudian hari." "Jangan kuatir nona," tukas nona Siu
sambil tertawa, "Sancu tak
akan berhasil menemukan kami."
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya lebih jauh: "Sekalipun nasibku
kurang beruntung dan kena ditangkap oleh
Sancu, akupun tak akan menyalahkan nona, waktu itu, kendatipun aku
disiksa dengan siksaan apapun juga, tak akan ku katakan bahwa aku
memang bersekongkol dengan nona."
"Aku tidak berpikir demi kepentinganku sendiri..." Nona Siu
tersenyum lembut, selanya. "Nona berbudi luhur, aku lebih terharu
lagi dibuatnya." Nona Kim berpikir sebentar, lalu katanya: "Ijinkanlah
aku untuk memanggilmu "Sunio" coba pikirkan lagi
dengan seksama, apakah masih ada pekerjaan lain yang harus
kulakukan untukmu?"
Panggilan "Su nio" ini segera menggetarkan perasaan nona Siu itu, tiba
tiba sikap menjadi sangat tegang, katanya kemudian.
"Sudah lama sekali... yaaa, lama sekali kau tak pernah menyebut
dengan panggilan itu."
"Harap Sunio jangan marah" Nona Kim menundukkan kepalanya
rendah-rendah.
Nona Siu (untuk selanjutnya akan dipanggil dengan sebutan Su nio)
tertawa getir.
"Aaaaa, tidak apa apa" katanya, "memang sudah sewajarnya kalau
nama yang tak betul, pembicaraan tak akan lancar"
Nona Kim tidak berbicara lagi, tapi dengan sorot mata meminta maaf
dia melirik sekejap kearah Su nio.
"Sekarang nona tak usah mengelabui diriku lagi" kata Sunio lebih lanjut
dengan suara lirih, "salah seorang diantara dua orang Sun- kongcu
yang berada dalam loteng impian sekarang, apakah benar merupakan
orang yang semalam telah menyusup ke dalam istana Sin kiong?"
"Aku memang menaruh curiga akan hal tersebut, cuma tiada sesuatu
bukti yang nyata."
Sunio segera tertawa. "Konon Su kongcu yang seorang lagi Bau ji"
"Benar" Nona Kim mengangguk, "soal ini hanya di ketahui olehku
seorang..." Setelah berhenti sejenak, dengan perasaan kaget bercampur
tercengang ia bertanya: "Heran, darimana kau sudah tahu, Su nio ?"
Mencorong sinar tajam dari balik mata Su nio. Dia seperti hendak
mengucapkan sesuatu, tapi akhirnya diurungkan, setelah menghela
napas panjang ia berkata:
"Aku seperti pernah bersua dengan kedua orang Sun kongcu itu !"
"DuIu pernah bersua dengan mereka ?" Nona Kim tertegun, "Kapan,
dan dimana ?"
Sunio kembali tertawa getir. "Aku hanya berkata agaknya pernah
bersua dengan mereka dulu,
itu berani belum tentu aku pernah bersua dengan mereka". Diam diam
nona Kim menjadi keheranan, tanpa terasa dia melirik
sekejap kearah Sunio. Agaknya Sunio merasa akan hal itu, segera
ujarnya: "Nona, ada tujuan mereka memasuki bukit ini ?" "Sun kongcu
yang datang duluan adalah seorang sastrawan, dia
hanya berkata karena ingin memotong jalan maka ia salah memasuki bukit
ini, sedangkan Sun kongcu yang datang belakangan sukar diajak bicara, ia
tidak menerangkan maksud kedatangannya..."
Su-nio berkerut kening, segera selanya:
"Nona, kau harus lebih berhati hati menghadapi kedua orang itu!"
"0ya...?" nona Kim berseru tertahan, dengan mengandung maksud lain
ia berkata lebih jauh, "apakah Su-nio telah berhasil menyaksikan sesuatu
yang tak beres?"
"Percayakah nona bahwa mereka masuk ke bukit ini karena suatu
ketidak sengajaan?"
Baru saja nona Kim akan menjawab, kakek Tiong, kakek Siau dan
kakek Jin telah melayang masuk ke dalam loteng.
Sambil mengangsurkan sebuah kotak mestika yang dibawanya kepada
nona Kim, Kakek Tiong berkata:
"Seperti apa yang dikatakan nona, kami telah berhasil mendapatkan
bukti penghianatan Khong It-hong"
Nona Kim menerima kotak tersebut dan di periksanya sekejap,
kemudian perintahnya.
"Harap kakek Tiong mengeluarkan Khong It-hong dan menggusurnya ke
dalam istana Sin kiong, tunggu pemeriksaan dari Sancu sendiri
sekembalinya ke atas bukit nanti, tingkatkan kesiap siagaan penuh..."
Kakek Tiong berpikir sejenak, kemudian ujarnya: "Ruang Cap pwe sin
tian lebih kokoh penjagaannya, mengapa..." "Kakek Tiong, dia sama
sekali tidak tahu kalau kita berhasil
membongkar usaha penghianatannya" tukas nona Kim, "oleh sebab itu
harap kakek Tiong membawanya keluar dari ruang Sin tian secara
diam-diam dan menahannya untuk sementara waktu dalam istana Sin
kiong."
"Kakek Tiong harus mengerti, dengan tabiat dari Khong It hong,
sekalipun disiksa juga tiada gunanya, mau berhianat juga tak mungkin
bisa dilakukan dengan kemampuannya seorang, semua persoalan ini
harus kita selidiki lebih dulu sebelum Sancu pulang ke gunung".
Kakek Tiong menjadi paham kini, sambil tertawa katanya: "Nona
memang amat cerdik, kalau begitu lohu bersaudara
hendak mohon diri lebih dulu!" "Semoga kalian berhasil". nona Kim
tersenyum. Tiga orang kakek itu mengiakan, kemudian bersama-sama
meninggalkan ruangan loteng itu. sepeninggal ketiga orang kakek itu,
Su-nio kembali menjura
kepada nona Kim seraya berkata: "Budi kebaikan nona kepadaku,
mungki hanya bisa kusimpan
dalam hati dan tak dapat kubalas dalam kehidupanku kali ini, anggap
lah penghormatanku ini sebagai ucapan rasa terima kasihku kepadamu."
Dengan gugup nona Kim segera membimbingnya bangun, lalu serunya:
"Su nio, mulai sekarang sampai saatmu meninggalkan bukit ini masih
tersedia beberapa waktu, aku bersedia menggunakan waktu yang amat
singkat ini untuk mendengarkan keputusan terakhir dari Su nio."
"Nona, aku takut kali ini kau akan merasa amat kecewa" kata Su nio
sambil tertawa getir.
Dengan perasaan apa boleh buat nona Kim segera berkerut kening, lalu
katanya:
"Kalau memang begitu, aku hanya bisa mendoakan keselamatanmu saja!"
Sekali lagi Su nio tertawa getir. "Aku mengetahui akan perasaan hati
nona, akupun memahami
apa yang dipikirkan nona, ketahuilah bahwa Khong It-hong tak boleh
mati, paling tidak ia tidak pantas mati ditangan nona atau Sancu.."
"Kenapa ?"
Su-nio menghela napas panjang. "Ada sementara persoalan yang
sesungguhnya jauh diluar
dugaan orang, aku dan Khong It-hong adalah salah satu diantaranya,
bila San cu telah kembali kebukit nanti, nona boleh menanyakan hal ini
kepadanya...."
"Apakah ayahku mengetahui alasan dibalik kejadian tersebut ?" tanya
nona Kim sambil berkerut kening.
Su-nio mengangguk. "Sancu mengetahui semua persoalan itu paling
jelas !" Walaupun nona Kim dapat mendengar kalau dibalik ucapan
tersebut mengandung maksud lain, namun ia masih belum begitu
paham, terpaksa teka teki itu disimpan saja dalam hatinya sampai dan
menunggu sampai Sancu pu lang untuk ditanyakan kembali.
Sementara itu, Su nio telah berbisik lagi setelah berhenti sebentar:
"Nona, sekarang aku akan memberitahukan rahasia tersebut kepadamu
!"
"Kau benar benar ada rahasia yang hendak disampaikan kepadaku."
nona Kim melirik sekejap ke arah Su nio.
Sunio menghela napas panjang. "Aaaai... tentu saja sungguh"
sahutnya, "cuma setelah
kuutarakan nanti, kuatirnya bila nona tak mau mempercayainya, sebab
itu sebelum kuterangkan rahasia itu, terlebih dahulu kumohon kepada
nona untuk meluluskan beberapa persoalan !"
"Katakanlah, persoalan apakah itu ?" "Setelah rahasia ini kau dengar
nanti, percaya boleh tidak
percaya juga boleh, tapi yang penting harus disimpan terus didalam
hati, jangan sekali kali kau bocorkan kepada Sancu atau orang lain
yang berada diatas bukit ini."
"Oooh, jika ada kepentingan untuk berbuat demikian, tentu saja bukan
bertindak lebih berhati-hati lagi !"
Su nio segera menggelengkan kepalanya berulang kali. "Nona,
persoalan ini jangan kau anggap sebagai suatu permainan
kanak-kanak belaka, kau harus melaksanakan seperti apa yang telah
kau janjikan !"
"Baiklah" ucap nona Kim kemudian dengan perasaan apa boleh buat,
"aku akan berusaha untuk menutup rahasia tersebut dan tak akan
kukatakan kepada siapapun !"
"Selain itu, bila Sancu telah kembali dan tahu kalau aku serta Khong It
hong telah melarikan diri, ia pasti akan mendesak kepada nona untuk
menceritakan keadaan yang sebenarnya, paling baik jika nona
menjawab dengan menggunakan kata "Tidak tahu!"
"Soal ini aku tahu, aku tak akan mengaku kalau memang sengaja
kulepaskan dirimu!"
Sekali lagi Su nio menggelengkan kepalanya berulang kali, ujarnya:
"Soal ini bukan dikarenakan aku takut kalau Sancu akan datang
menangkapku, juga bukan untuk mencuci nama dari keterlibatannya
dalam persoalan ini, aku hanya kuatir bila Sancu sudah mengetahui
keadaan yang sebenarnya maka dia akan membinasakan nona!"
"Aaah, masa seserius itu?" seru nona Kim dengan wajah tertegun
setelah mendengar perkataan itu.
"Yaa, dan persoalan itu erat sekali hubungannya dengan rahasia yang
hendak kukatakan kepada nona."
Nona Kim tidak berbicara lagi, dia lantas membungkam diri.
Kembali Su nio berkata: "Nona bersedia memenuhi
permintaanku ini" "Ehm, baik, akan kulakukan, katakan
sekarang!"
Su nio menarik tangan nona Kim dan menggenggamnya dengan
lembut, kemudian ujarnya.
"Nona, tahukah kau kalau Sancu tak pernah menikah?" Mendengar
perkataan itu, nona Kim menjadi tertegun, walaupun
Su nio tidak berbicara terus terang, namun apa maksud dari ucapan itu
sudah teramat jelas, kalau kawin saja tak pernah, darimana pula
datangnya anak..?"
"Nona, kau she Kwik, putri seorang musuh besar Sancu" sambung Sunio
lebih jauh, "sejak berumur setahun, kau sudah dibawa pulang oleh
Sancu, sebetulnya Sancu bermaksud menggunakan nona sebagai
sandera..."
Belum habis ia berkata, nona Kim telah membentak nyaring. "Kau
sedang mengaco belo, omong kosong! Omong kosong !" Su nio
menggenggam tangan nona itu semakin kencang,
ujarnya: "Nona, harap kau tenangkan sedikit pikiranmu jangan
terlampau
emosi, aku tidak berbicara sembarangan dalam peristiwa itu akupun
mengambil bagian, atau tegasnya akulah yang membopong nona
kemari..."
Belum selesai dia berkata, dari bawah loteng, sudah kedengaran suara
dari kakek Gi berseru.
"Chin hui ho sudah tertangkap !" Mendengar itu, Su nio yang berada
di atas loteng segera
berbisik: "Nona, Chin hui ho turut serta di dalam usaha penghianatan
yang
direncanakan Khong It-hong, cuma persoalan yang diketahui olehnya
tidak banyak, orang ini licik dan berbahaya, lebih baik tak usah
menunggu sampai kembali San cu."
Apa maksud yang sebenarnya dari ucapan ini, tentu saja dipahami pula
oleh nona Kim.
Maka nona Kim pun manggut2 mengiakan, Sunio segera berkata lebih
lanjut:
"Silahkan nona melakukan pemeriksaan terhadap Chin Hui hou ditempat
ini, sementara persoalan yang belum selesai kita bicarakan kita
lanjutkan pada malam nanti sebelum kentongan pertama"
"Baik, permulaan kentongan pertama nanti tunggu aku dalam istana"
Sunio manggut manggut, setelah tersenyum kepada nona Kim, ia turun
dari loteng.
Menyusul kemudian, nona Kim segera memerintahkan kepada kakek Gi
untuk menggusur Chin Hui hou naik ke atas loteng.
Chin Hui-hou yang tertangkap masih kebingungan setengah mati, dia
belum tahu kalau bencana besar telah berada didepan mata.
Kakek Gi menggusurnya ke hadapan nona Kim, kemudian sambil
mengendorkan cengkeramannya, dia berseru dengan suara dalam:
"Hayo cepat berlutut dan menjawab semua pertanyaan yang ku ajukan
kepadamu !"
Chin Hui-hou adalah seorang Congkoan. juga merupakan orang
kepercayaan dari Sancu, dia belum tahu kalau penghianatan Khong
It-hong telah terbongkar pada saat ini, karena itu mendengar bentakan
dari kakek Gi, segera serunya dengan lantang:
"Kakek Gi, kau telah menganggap aku Chin Hui hou sebagai manusia
apa...?"
Kakek Gi segera mendengus dingin. "Hm .. .! kau anggap dirimu adalah
manusia apa?" jengeknya.
"Jelek jelek begini lohu adalah salah seorang congkoan, dari ke delapan
orang congkoan dibukit ini, mana boleh kau.."
"Chin Hui-ho" ujar nona Kim kemudian, "jabatan congkoan mu itu
kuhapus mulai saat ini."
Chin Hui ho menjadi tertegun, lalu katanya:
"Nona, setelah kau memegang lencana kimleng, apakah tindakanmu
lantas semena-mena seperti ini ?"
Nona Kim mendengus dingin. "Hmm, kenapa, apa aku tak berhak
untuk memberhentikan kau
dari jabatanmu itu . .?" "Sekarang nona memegang lencana Kim leng
berarti mempunyai
kekuatan untuk menghukum mati seseorang, bila kau hendak
menghapus jabatan hamba sebagai congkoan, tentu saja tak ada orang
yang berani mengatakan tidak, cuma hamba masih tidak mengerti..."
"Sebentar kau akan mengerti, tak usah gelisah dulu!" tukas nona Kim
sambil tertawa dingin.
Setelah berhenti sebentar, dengan suara dalam lanjutnya: "Chin Hui
hou, tahukah kau sekarang Khong It hong berada di
mana ?" Ternyata Chin Hui hou cukup licik, dia segera menggelengkan
kepalanya berulang kali. "Hamba tidak tahu" sahutnya, Kembali nona
Kim tersenyum. "Tentunya kau tahu bukan, apa sebabnya Khong It
hong di
tangkap dan di tahan ?" "Waktu itu hamba hadir ditempat kejadian,
tentu saja hamba
tahu" "Bagus sekali, coba katakan." "Dia berani membangkang perintah
nona berani berbicara kasar
dan menyakiti hati nona, maka dia dijatuhi hukuman." "Hmmm.. .!
Apakah tiada alasan yang lain?" "Yang hamba lihat dan hamba
dengar hanya demikian saja !" Nada suara nona Kim segera
berubah, kembali bentaknya:
"Mengapa tidak kau pikirkan, dengan kedudukan Khong It hong yang
tinggi, lagipula mendapat kepercayaan penuh dari Sancu, dan juga
sudah banyak berjasa untuk kita, hanya di sebabkan urusan kecil saja
lantas ditangkap dan disekap?"
Mendengar perkataan itu, tergerak juga hati Chin Hui hou, serunya
kemudian:
"Chin hui hou, benarkah kau tidak tahu?" jengek nona Kim sambil
tertawa mengejek, sekali lagi tergerak hati Chin hui hou, "Hamba kurang
pintar, tak bisa kuduga hal yang sebenarnya" ujarnya kemudian.
Nona Kim menjadi gusar sekali setelah mendengar jawaban itu segera
hardiknya:
"Aku bukan menyuruh kamu menebak, aku suruh mengatakannya."
Diam-diam Chin hui-hou makin terkesiap, ia berseru: "Tapi hamba
harus mulai bicara dari mana?" Sepatah demi sepatah noaa Kim
berkata dengan nada serius: "Katakan, sejak kapan kau turut serta
dalam rencana
pengkhianatan itu terhadap perguruan, tugas apa yang diberikan Khong
It hong kepadamu untuk di laksanakan dan apa pula yang telah kau
lakukan selama ini bagi kepentingan nya!"
Begitu perkataan itu diutarakan Chin Hui hou segera merasakan
tubuhnya bagaikan terjatuh kedalam gudang es, sekujur tubuhnya
kontan membeku dan bergidik.
Untuk sesaat lamanya dia tak sanggup menjawab, orang itu cuma bisa
berdiri tertegun seperti orang bodoh.
Kakek Gi segera mendengus dingin, tegurnya: "Chin congkoan,
sudah kau dengar pertanyaan itu ? Bila ingin
menjawab, katakan dari apa yang telah dikatakan itu."
Chin Hui hou termenung dan menyusun rencana lebih dulu, kemudian
katanya:
"Nona, hamba ingin bertanya siapa yang telah menfitnah diri hamba
ini."
"Memfitnah?" bentak nona Kim dengan gusar, "anjing laknat, besar
amat nyalimu !"
Setelah berhenti sebentar, dia melanjutkan. "Dari dalam Ku kui wan
yang dihuni Khong It hong, kami telah
mendapatkan salinan kitab pusaka ilmu silat milik Sancu, kamipun telah
menemukan lencana mestika yang diganti dengan lencana palsu,
apakah semua bukti itu masih kurang ?"
Berbicara sampai disini, nona Kim sengaja berhenti berkata dan tertawa
dingin tiada hentinya.
Sementara sepasang matanya yang memancarkan sinar tajam menatap
wajah Chin Hui hou tanpa berkedip.
Sekujur badan Chin Hui hou gemetar keras, dia ingin berbicara namun
tak tahu bagaimana kah harus memulai dengan pembicaraan tersebut.
Nona Kim memandang sekejap ke wajah Chin Hui hou, setelah itu
pelan-pelan baru berkata.
"Menurut pengakuan dari Khong it hong serta di perlihatkan barang
barang buktinya, ia mengakui kalau kau adalah orang kepercayaannya
yang turut serta dalam organisasi rahasia itu, tapi kau belum pernah
mendapat kesempatan-untuk melakukan sesuatu..."
Chin hui ho segera tertipu, dengan bermasam muka katanya. "Harap
nona maklum, hamba..." "Kau adalah seorang penghianat kau berani
mengakui dirimu
masih sebagai anggota perguruan kami?" hardik kakek Gi amat gusar
Sekujur badan Chin Hui hou kembali gemetar keras, cepat cepat
katanya lagi:
"Harap nona maklum, aku yang rendah ini memang benar-benar telah di
paksa untuk ber komplot dengan Khong it hong, tetapi akupun
benar-benar tak pernah melakukan perbuatan yang merugikan Sancu,
oleh karena itu mohon nona suka mengampuni diriku yang rendah ini"
Nona Kim segera berpaling ke arah kakek Gi sambil serunya: "Kakek
Gi, kau sudah mendengar jelas?" "Setiap patah kata telah lohu
dengar dan ingat baik baik" sahut
kakek Gi sambil membungkukkan badannya memberi hormat. Nona Kim
mcngangguk, dia lantas berkata lagi kepada Chin Hui
hou: "Chin Hui hou, menurut peraturan kita, atau menunggu sancu
pulang dan lalu menjatuhkan sendiri hukumannya sendiri hukumannya
kepadamu, tentunya kau sudah tahu bukan hukuman apa yang bakal di
timpakan kepadamu?"
"Oooh... nona, ampunilah aku..." rengek Chin Hui hou dengan sedih.
Nona Kim segera tertawa dingin tiada hentinya. "Chin Hui hou"
kembali dia berseru, "Hal ini tergantung pada
dirimu sendiri, mengerti?" Chin Hui hou bukan orang bodoh, tentu saja
dia mengerti, maka
jawabnya cepat: "Hamba berterima kasih sekali atas kesempatan yang
nona
berikan, cuma apa yang kuketahui tidak banyak...." "Berapa yang kau
ketahui, katakan pulaberapa banyak". "Khong Ithong hanya
menitahkan kepada aku yang rendah untuk
menghancurkan semua alat jebakan dan alat rahasia yang
berada di
bukit ini bila saatnya sudah matang, agar orang-orang yang telah
dipersiapkan diluar bukit dapat menyerbu masuk kedalam bukit ini !"
"Oooh, lantas siapa saja yang akan disambutnya itu ?" "Soal ini, aku
yang rendah kurang begitu tahu." jawab Chin Huihou
sambil menggeleng. "Sebenarnya kapan rencana yang disusun oleh
Khong It-hong itu
akan dilaksanakan ?" Chin Hui-hou berpikir sebentar, lalu sahutnya.
"Soal ini merupakan rahasianya, dia sendiri pun tidak tahu, hanya
katanya kepada hamba bahwa hal ini akan terjadi tak lama kemudian,
mungkin juga akan dilaksanakan sebelum permulaan tahun depan, soal
waktu yang tepat..."
"Oooh, kalau begitu Khong It-hong bukan pentolan dari gerakan
tersebut ?"
"Yaa, dia bilang andaikata berhasil maka dialah Sancu dari bukit ini."
"Hmm ! Dia lagi bermimpi disiang hari bolong" dengus kakek Gi dingin.
Setelah berhenti sebentar, kembali ia berkata: "Bagaimana caranya
untuk mengadakan kontak dengan kawanan
tikus yang berencana ingin merebut kekuasaan diatas bukit ini ?"
"Hamba kurang begitu jelas, cuma setiap kali dia berada di atas
gunung, maka setiap malam hari ganjil dia pasti berada di luar Ku- kui
wan untuk bergadang...."
"Di luar kebun dekat sebelah mana? Cepat katakan!" seru kakek Gi
dengan amat gelisah.
Di luar kebun dekat jalan berbatu menuju ke jeram beracun!"
"Andaikata kebetulan ada orang sedang lewat di sana, apa yang
harus kau lakukan?"
"Dia suruh aku dengan jabatanku sebagai Congkoan untuk mengundurkan
orang itu, sebaliknya jika Sancu atau nona yang datang, maka dia
menyuruh aku yang rendah untuk memberitahukan bahwa dia sedang
melatih ilmu Sam goan sin kang!"
Mendengar ucapan itu, nona Kim segera berkerut kening dan
membungkam diri.
Sedang kakek Gi lantas berkata: "Nona, mengapa Sancu menurunkan
ilmu Sam goan sin kang
tersebut kepada bocah keparat ini." Nona Kim hanya menggeleng,
kemudian setelah termenung dan
berpikir sebentar katanya: "Kakek Gi, jangan lupa untuk
memberitahukan semua kejadian
ini- kepada kakek Tiong." "Tolong tanya nona, bolehkah lohu bersaudara
bertindak
menurut suara hati kami sendiri?" "Nona Kim berpikir sejenak, lalu
sahutnya. "Jangan memunahkan segenap kepandaian silatnya, tapi
boleh
saja menarik kembali Sin kang tersebut." "Lohu pun bermaksud
demikian!" Setelah berhenti sejenak, tiba-tiba ia berkata. "Nona, hari ini
adalah hari ganjil!" "Aku tak akan melupakannya" nona Kim tertawa.
Kemudian ia berpaling kearah Chin Hui bou dan bertanya: "Apakah kau
masih ada perkataan lain yang kau sampaikan
kepada kami?" Chin Hui hou menggelengkan kepala. "Apa yang hamba
ketahui telah hamba ucapkan, aku sudah tidak
mengetahui soal yang lain lagi!"
Nona Kim segera mengangguk.. "Kalau begitu aku ingin bertanya
satu hal kepadamu, kalau toh.
Khong It hong memberi-tahukan kepadamu tentang rencananya untuk
menghianati Sancu, bahkan kaupun bersedia untuk turut serta, bila
berhasil kebaikan apakah yang akan kau peroleh?"
Chi Hui-hou ragu-ragu sejenak, kemudian baru sahutnya: "Aku yang
rendah diperkenakan mengambil ketiga macam benda
mestika yang ada dibukit ini masing sekantung, kemudian mengundurkan
diri dari dunia persilatan !"
"Ehmmm, sekantung pasir emas sudah cukup bagimu untuk hidup
senang sepanjang hidupmu, sedangkan dua macam benda yang lain
pun merupakan benda mestika yang tiada tara nya djdunia ini, yaa,
memang cukup untuk membeli dirimu !"
Setelah berhenti sejenak, mendadak bentaknya lanjut. "Sudah berapa
lama timbul niat dalam benak kalian untuk
berhianat kepada Sancu?" "Sudah sepuluh bulan lebih beberapa hari !"
"Selama hari hari ini, apakah kalian tak pernah berhasrat untuk
menyembunyikan ke tiga macam mestika itu...." Belum habis perkataan
itu diucapkan, Chin hou telah menukas: "Aku yang rendah berani
bersumpah, belum pernah hamba
mengambil secuwil pun..." "Apakah Khong It hong juga tak pernah
mengambilnya ?" sela
kakek Gi cepat. Chin Hui hou tertawa getir. "Hari ini, aku yang rendah
telah menjadi begini rupa, apa yang
bisa kuucapkan telah kukatakan semua, semula aku yang rendah
memang berniat begitu, tapi Khong It hong yang mencegah perbuatan
hamba itu, dia bilang jangan karena soal sepele mengakibatkan
gagalnya masalah besar."
"Heeehh...heeh...heee....menurut pendapat lohu, dia memang tidak
bersungguh hati untuk memenuhi janjinya bila urusan telah berhasil
nanti!" jengek kakek Gi sambil tertawa dingin.
Chin Hui-hou turut tertawa getir. "Mungkin saja demikian, tapi yang
pasti hamba telah mati karena
harta kekayaan !" Nada perkataan itu amat menyesalkan sekali,
kepalanya
tertunduk dan keadaannya sangat mengenaskan. Dengan kening
berkerut nona Kim lantas berkata kepada kakek
Gi. "Kakek Gi, aku akan menyerahkan Chin-Hui hou kepadamu
sambil menunggu kepuIangan Sancu untuk menjatuhkan hukuman
kepadanya, cuma kakek Gi harus hati hati, jangan sekap mereka
menjadi satu !"
Dari ucapan tersebut, kakek Gi segera me mahami maksud nonanya, dia
mengangguk.
"Jangan kuatir nona, lohu dapat bertindak sebagaimana mestinya..."
"Aaa... semalam suntuk tidak tidur, aku benar-benar lelah sekali dan
ingin beristirahat harap kakek Gi menutup loteng ini"
Ditengah pembicaraan tersebut, nona Kim segera turun dari loteng
meninggalkan tempat ini.
Dengan suatu gerakan cepat kakek Gi melancarkan sentilan jarinya
menotok empat buah jalan darah penting ditubuh Chin Hui- hou.
Kemudian sambil mendorong Cbin Hui hou, serunya lebih jauh: "Kau
tak usah merepotkan lohu lagi, hayo jalan !" Dengan wajah yang lesu
dan sedih, bagaikan domba yang
digiring ke tempat penjagalan, Chin Hui-hou berlalu dengan
lemas,
Setelah menutup loteng, kakek Gi menggiring Chin-Hui hou kembali ke
istana Sin-kiong.
Walaupun nona Kim mengatakan hendak pergi beristirahat
kenyataannya setelah turun dari loteng, dia lantas berangkat menuju ke
loteng impiam . . . .
Sun Tiong lo dan Bun Bau ji yang berada di dalam loteng impian baru
saja bangun dari tidurnya, jadi kedatangan nona itu tepat pada
waktunya. . . .
Setelah mempersilahkan nona Kim duduk. Sun Tiong-lo segera bertanya
pelan:
"Pagi ini, apakah nona akan menghantar kami sendiri untuk keliling
bukit?"
Nona Kim mengerling sekejap kearahnya, lalu menjawab: "Aku
sudah menurunkan perintah, sebentar lagi Kim Poo cu akan
datang kemari, aku datang kemari sekarang karena ada persoalan lain
yang lebih penting lagi hendak di beritahukan kepada kalian"
Mendengar ucapan tersebut, Sun Tiong-lo serta Bau-ji menjadi tertegun,
mereka saling berpandangan sekejap, namun tidak mengucapkan
sepatah katapun.
-ooo0dw0ooo-
BAB ENAM BELAS
KETIKA NONA Kim menyaksikan Bau-ji bersaudara tidak bertanya lebih
jauh, dia lantas tertawa hambar, katanya:
"Persoalan ini ada sangkut paut yang amat besar sekali dengan kalian
berdua !"
"Persoalan apakah itu ?" tak tahan Bau-ji bertanya. "Mulai hari ini,
petugas yang akan mengejar kalian dalam usaha
kamu berdua melarikan diri telah berganti orang !"
"Oooh, bukan Chin congkoan dan Kim- po- cu" Nona Kim segera
menggeleng. "Sudah diganti" katanya, "cuma bila pada makan
malam nanti
kalian berdua bersedia untuk bersantap diruang tengah sana, aku pasti
akan memperkenalkan mereka kepada kalian berdua !"
Sun Tiong lo memandang sekejap ke arah Bauji, kemudian ujarnya:
"Nona, sepantasnya aku yang muda tak boleh banyak bertanya, tapi
oleh karena..."
Tampaknya nona Kim sudah mengetahui apa yang ingin ditanyakan Sun
Tiong lo, dengan cepat dia menyela:
"Chin congkoan telah melanggar peraturan bukit kami, sedangkan Kim
Poocu tak becus melaksanakan tugas berat ini, maka dengan perasaan
apa boleh buat terpaksa aku harus mengundang kedatangan dua orang
dari ruang Cap pwe sin tiam (istana delapan belas siksaan) untuk
menggantikan kedudukan mereka itu."
"Apa sih yang dinamakan ruangan delapan belas siksaan tersebut?"
tanya Sun Tiong lo sambil tertawa.
Dengan pandangan dingin nona Kim mengerling sekejap ke arahnya,
kemudian mendengus.
"Hmmm, masa kau belum pernah berkunjung ke situ?" Sun Tiong lo
segera menundukkan kepalanya rendah-rendah. "Nona, mengapa sih
kau menyusahkan aku." bisiknya. Nona Kim melirik sekejap wajah si
anak muda itu, kemudian
menukas. "Baiklah, tak usah kita perbincangkan perbincangkan
persoalan
ini." Setelah berhenti sebentar, dia melanjutkan.
"Semalam, sakitmu terlalu mendadak dan terlalu kebetulan sehingga
sia-sia belaka aku tunggu kau semalaman suntuk, banyak persoalan juga
gagal aku bicarakan denganmu, bila kau tidak ada urusan kini,
bagaimana kalau..."
Dengan sekulum senyuman penuh arti Sun-Tiong lo melirik sekejap ke
arah nona Kim lalu berkata:
"Besok adalah saatnya saudaraku untuk melarikan diri, dapatkan nona
memaafkan aku
, yang paling cocok .. ?" tukas nona Kim dengan suara dalam.
"Bagaimana kalau pada kentongan pe'ika'ma" I-ari ke lima
nanti?" "Oooh .. . bukankah itu berarti lusa malam?" "Tentunya nona
tidak akan merasa terlalu lama bukan?" Nona Kim tidak menjawab
pertanyaan itu, sebaliknya malah balik
bertanya: "Kau tak akan menundanya lagi bukan?" Sun Tiong lo segera
tertawa. "Pertemuan ini merupakan suatu janji, aku yang muda tak
berani
mengingkarinya!" "Kalau begitu, kita tetapkan demikian saja" ucap nona
Kim
kemudian sambil mengerling sekejap kearahnya, setelah berhenti
sebentar, kembali dia menambahkan...
"Masih perlukah untuk berjalan jalan di sekeliling bukit pada hari ini...?"
"Kakakku belum begitu hapal dengan wilayah di sekitar tempat ini . . ."
"Menurut pendapatku, hari besok adalah hari terakhir bagi saudaramu
itu" kata nona Kim dengan mimik wajah yang amat serius, "aku-perdaya
banyak persoalan yang perlu kalian berdua
perbincangkan apalagi dibawah bimbinganmu, segala sesuatunya
tampak sudah tersusun dengan rapi. ."
"Maksud nona, perjalanan keliling bukit pada hari ini lebih baik
dibatalkan saja? " sela Sun Tiong lo.
Nona Kim segera tertawa. "Bagaimana menurut anggapanmu?" ia
balik bertanya. Sun Tiong Io turut tertawa. "Kalau toh nona
beranggapan perjalanan keliling ini tak ada
faedahnya, batalpun juga tak mengapa." "Baiklah" kata nona Kim
kemudian setelah menatap sekejap
wajah si anak muda itu, "kita putuskan demikian, nah, aku mohon diri
terlebih dulu."
Maka Sun Tiong lo dan Bau ji segera mengantar nona itu sampai
didepan loteng.
-ooo0dw0ooo- "Siapa itu?" Sesosok bayangan manusia melayang
turun di depan gua di
belakang bukit sana dengan suatu gerakan yang sangat enteng, baru
mencapai tanah, ia telah merasakan sesuatu sehingga segera menegur.
Namun suasana di sekeliling tempat itu sepi tak kedengaran sedikit
suara pun, tiada jawaban, tiada bayangan manusia.
Bayangan manusia itu berdiri tak bergerak, di bawah pancaran sinarnya
rembulan, tampak kalau orang ini adalah Sik Phu.
Mengapa secara tiba tiba Sik Phu meninggalkan istana Pat tek sinkiong
dan mendatangi depan ketiga buah gua di belakang bukit ini? Tidak
salah lagi jika dia sedang memenuhi janjinya dengan sang tetamu
semalam, untuk bersua di tempat ini.
Ketika ia baru tiba di tempat, terasa olehnya seakan akan disana ada
seseorang, namun tegurannya tidak diperoleh jawaban apa apa.
Setelah termenung, sebentar, akhirnya dengan langkah lebar dia
berjalan menuju kedepan gua.
Untuk kedua kalinya ia berhenti setibanya di depan gua, diam diam dia
berpikir...
Semalam sang tetamu itu mengajakku bertemu di gua bagian tengah
pada kentongan yang pertama hari ini kini, tiba saatnya, mengapa
belum juga nampak sesosok manusiapun?"
Berpikir demikian, ia menjadi teringat kembali akan perasaannya yang
mengatakan disekitar sana ada oran,g, dia menggelengkan kepalanya
berulang kali dan mengambil keputusan, setelah menengok sekejap ke
kiri dan kanan, ia lantas menyelinap masuk ke dalam gua bagian tengah.
Sik Phu cukup hapal dengan keadaan dari ke tiga gua tersebut. Gua
yang ada di sebelah kiri dan kanan masing-masing mencapai
kedalaman dua kaki lebih, sedangkan gua yang ada di bagian tengah
mencapai tiga kaki lebih, tetapi semuanya merupakan gua buntu, dan
mungkin beribu tahun berselang, gua itu digunakan orang untuk
bertapa.
Tapi semenjak nama Bukit Pemakan Manusia dipakai, perkampungan
keluarga Beng yaitu Beng keh-san ceng tertimpa musibah, Sancu yang
menguasai tanah perbukitan itu menganggap ke tiga buah gua tersebut
sama sekali tak ada gunanya, maka tempat itu terolisir dan tak pernah
di-singgahi orang, tidak heran jikalau debu dan sarang laba laba
bertumpuk di situ, keadaan gua tidak bersih.
Ditambah lagi gua itu letaknya di belakang bukit, yang hampir
sepanjang tahun tidak memperoleh sinar matahari, tidak heran kalau
gua itu sangat lembab, bila ada yang masuk ke dalam gua, maka
pertama-tama: dia tak tahan akan baunya yang busuk.
Setelah menyelinap masuk kedalam gua bagian tengah itu, Sik Phu
menyembunyikan diri ke dalam gua lebih kurang lima depa dari mulut
depan, suasana dalam gua lebih gelap daripada keadaan diluar, maka
seandainya ada yang datang ke depan gua itu, sulit bagi orang itu untuk
segera melihat kalau di dalam gua ada penghuninya.
Seperminum teh lamanya dia menanti didalam gua itu, namun sang
tetamu yang mengadakan janji dengannya semalam belum juga
menampakan diri, hal ini membuat hatinya gelisah.
Akhirnya ia mengambil keputusan, bila seperminum teh lagi orang itu
belum juga menampak diri, terpaksa dia harus kembali, aah, tidak? Dia
akan mengunjunginya ke loteng impian.
Seperminum teh terasa melebihi setahun, akhirnya Sik Phu tak tahan
lagi, baru saja dia akan melangkah keluar dari gua itu, mendadak
terdengar serentetan suara yang lembut dan halus tapi jelas bergema
disisi telinganya:
"Pertemuan toh dijanjikan pada kentongan pertama sampai kentongan
kedua ? Kini kau telah sampai disini, apa salahnya kalau menunggu
sebentar lagi, sekalian menyaksikan keramaian yang bakal berlangsung
disini, siapa tahu ada manfaat yang dapat kau raih dari kejadian ini."
Sik Phu hanya mendengar suara orang tapi tak melihat wajahnya, hal
mana membuat perasaannya menjadi tidak tenteram.
Tak salah lagi, orang yang mengirim bisikan tersebut tak lain adalah
sang tetamu semaIam, orang itu bilang bakal ada keramaian yang bisa
ditonton, keramaian apakah yang di maksudkan? Jangan- jangan....
Belum habis ingatan tersebut melintas lewat tiba tiba dari luar gua telah
muncul bayangan manusia.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang itu sangat lihay, gerakan
tubuhnya enteng seperti terbang, dalam waktu singkat ia telah tiba di
depan gua.
Menanti Sik Phu dapat melihat jelas paras muka orang itu, diam- diam
ia baru merasa terperanjat.
Orang yang berada diluar gua itu mengenakan pakaian berjalan malam
berwarna hitam gelap, sebilah pedang tersoren dipunggungnya,
sedangkan dibawah ketiak kirinya mengempit tubuh seseorang.
Tiba didepan gua, ia nenengok sekejap sekeliling tempat itu. kemudian
dengan langkah lebar berjalan masuk ke dalam gua.
Sik Phu sangat terperanjat, untuk keluar dari gua keadaan sudah
terlambat terpaksa dia melayang mundur lagi ke belakang dan mencapai
dasar gua tersebut, kemudian mendekam dibalik kegelapan dan tak
berani berkutik lagi.
Baru saja ia selesai menyembunyikan diri, orang yang mengempit
seseorang tersebut telah masuk ke dalam gua, untung saja ia lantas
berhenti kurang lebih lima enam depa dari mulut gua tersebut.
Menyusul kemudian, orang itu segara menotok jalan darah orang yang
dikempitnya itu.
Orang didalam kempitannya itu mendengus pelan, kemudian tersadar
kembali dari pingsannya.
Begitu sadar, ia lantas menjerit kaget sembari berseru. "Su nio, ini...
ini..." Sejak tadi, Sik Phu sudah melihat jelas kalau orang ini adalah
Su
nio, namun ia tak tahu siapakah orang itu dalam kempitan Su nio
tersebut, setelah mendengar suaranya, ia baru sadar siapa gerangan
orang tersebut, saking kagetnya nyaris nyalinya melompat keluar lewat
tenggorokan.
Ternyata orang itu adalah Khong It hong, iblis keji yang telah dituduh
sebagai penghianat oleh lencana emas Kim leng.
Sudah banyak tahun Sik Phu berada dalam istana Pat tek sin kiong bukit
pemakan manusia ini, dia cukup mengetahui watak serta
kepandaian silat yang dimiliki Khong It hong kontan saja hatinya
menjadi sangat tak tenang.
Kejadian pada malam ini, benar-benar kebetulan sekali, selain ia jumpa
suatu peristiwa yang tak ingin diketahui orang dari kedua manusia lihay
ini, merekapun sama sama berada didalam sebuah gua buntu, cepat
atau lambat jejaknya pasti akan ketahuan, saat itu..
Dalam keadaan gugup bercampur gelisah, Sik Phu segera memperoleh
sebuah akal yang sesungguhnya amat terpaksa.
Sementara itu, Su nio telah berkata: "Kau tak usah banyak bertanya
lagi, sekarang juga kita akan
pergi dari sini !" "Pergi?" Khong- It hong tertegun, "kau hendak
mengajakku pergi
kemana . . .?" "Tolol !" seru Su nio sambil tertawa, "pergi ke mana ?
Tentu saja
pergi meninggalkan Bukit Pemakan Manusia...!" Dengan cepat Khong It
hong menggelengkan kepalanya berulang
kali, ujarnya: "Su nio, bagaimana sih kau ini? Sekarang, kita mana
boleh pergi?
jangan kau gubris tingkah laku budak Kim yang memojokkan aku terus
menerus dengan lencana Kim leng nya itu, percuma saja usahanya itu,
asal si tua bangka tersebut telah kembali..."
Sambil mendengus dingin Su nio menukas: "Kau lagi bermimpi
disiang hari bolong rupanya, kenapa tidak kau
coba untuk menghimpun dulu tenaga dalammu?" Mendengar ucapan
itu, Khong It hong baru terkejut, cepat-cepat
ia duduk bersila untuk mengatur napas. Siapa tahu, begitu dicoba, paras
mukanya, segera berubah
hebat, belum lagi dia bersuara, Su nio telah berkata lebih
lanjut:
"Dengarkan baik baik, kau terlampau memandang enteng budak Kim, kau
tahu, mengapa dia mencari gara-gara denganmu? Mengapa dia
menggunakan kekuasaan Kim leng untuk menjebloskan kau kedalam
istana delapan belas-siksaan? Kau anggap kesemuanya ini sungguh
sungguh hanya suatu tindakan sentimen saja?"
"Memangnya ia mempunyai maksud lain?" Khong It hong
membelalakkan matanya lebar-lebar. Su nio segera mendengus
dingin. "Hm, terus terang saja kukatakan kepadamu dari tempat
tinggalmu Ku kui wan kitab pusaka serta lencana Bong hu kiu ciat
tersebut, bukti penghianatanmu telah berhasil ditangkap basah semua
olehnya!"
Khong It hong menjerit kaget, segera teriaknya: "Kemudian,
mengapa aku dibawa kembali ke dalam istana Pat
tek sin kiong..." "Sebab Pat lo hendak memeriksamu serta mengorek
keterangan
dari mulutmu tentang latar belakang penghianatan tersebut!" "Tapi
kepandaian silatku ini..." "Budak Kim yang telah memunahkannya
sendiri." Sambil menggertak gigi menahan rasa geram dan bencinya,
Khong It hong berseru: "Bagus sekali... Sunio, tadi bukankah aku
sedang berada di istana
See sian dan bercakap cakap dengan delapan orang tua bangka itu?
Mengapa dalam waktu singkat telah berada di sini.."
Sunio mendengus dingin, lalu menukas: "Pat lo mendapat perintah untuk
mengorek-keterangan dari mulutmu, mereka hendak mencari tahu siapa
saja yang turut berkomplot dalam penghianatan ini dan siapa otaknya,
tapi mereka juga tahu, walaupun disiksa dengan alat apapun mustahil
kau bersedia menjawab maka..."
Khong It hong memang termasuk seorang tokoh dalam bukit tersebut,
tentu saja ia cukup memahami seluk beluk ditempat itu, maka setelah
mendengar perkataan tersebut, ia lantas menduga akan suatu
ketnungkinan, buru buru sambungnya:
"Apakah mereka telah mencampuri sayur dan arak itu dengan Wang yu
cau (rumput pelupa kemurungan)?"
Pelan-pelan Su nio mengangguk, "Ehmmm, ternyata kau masih cukup
pintar" katanya, "Betul, mereka memang telah pergunakan rumput
pelupa kemurungan !"
Paras muka Khong It bong berubah sangat hebat, sumpahnya
kemudian.
"Perempuan keparat, anjing laknat, kau benar benar keji, semoga kau
mampus disambar geledek !"
Su nio mengerling sekejap kearahnya, lalu berkata. Sebenarnya aku
tak tahu akan persoalan ini ."Su kim"" si budak
itulah yang secara diam-diam memberitahukan kepadaku, dalam
cemasku, segera kubakar loteng Siau thian lo untuk memancing
harimau turun gunung..."
Belum habis dia berkata, dengan penuh rasa berterima kasih Khong lt
hong telah memegang bahu Su nio seraya berkata:
"Su nio, aku tak tahu mesti mengucapkan perkataan apa untuk
menyatakan rasa terima kasihku kepadamu!"
Su nio tertawa. "Masih diperlukankah perkataan seperti itu bagi kita
berdua?" Khong lt hong tertawa getir. "Su nio ... Su nio, aku . .. aku
..." "Sekarang, ke delapan orang tua bangka itu pasti sudah
menyadari bahwa mereka terkena siasat memancing harimau turun
gunung." tukas Su-nio "dan sekarang merekapun mengetahui kalau
engkau telah kabur, penggeledahan pasti dilakukan secara besarbesaran,
hayo kabur dulu paling penting"
Khong lt hong mengalihkan sorot matanya memandang sekejap keluar
gua, lalu berkata:
"Su nio, coba lihat, lampu emas dalam istana telah dipasang, segenap
anggota bukit telah bergerak mencari jejak kita, tempat ini merupakan
sebuah jalan buntu, mana mungkin kita bisa kabur lewat tempat ini ?"
Sunio sedikitpun tidak menjadi gugup, sahut nya: "Siapa yang
mengatakan kalau jalan ini adalah sebuah jalan yang
buntu." Khong lthong menjadi tertegun. "Bukankah tempat ini
merupakan gua Sam seng tong gua yang
terletak di belakang bukit?" serunya. Su nio manggut-manggut. "Betul,
tempat ini adalah gua Sam seng tong!" "Dari ketiga buah gua tersebut,
hanya satu diantaranya
merupakan pintu masuk menuju keruang gua, bukankah tempat ini
merupakan sebuah jalan buntu ?"
"Kalau tempat ini merupakan sebuah jalan buntu, mengapa aku bisa
membawamu kemari ?"
Mendengar perkataan itu, Khong It-hong baru menjadi mengerti,
dengan girang segera serunya:
"Su nio, apakah didalam gua ini terdapat sebuah jalan rahasia ?" Su
nio segera tertawa terbahak-bahak. "Haaah... haaa... haaahh...
walaupun kepandaian silatmu sudah
punah, tampaknya kecerdasan otakmu masih tetap utuh, siapa bilang
bukan...?"
Tapi dengan cepat Khong It-hong mengerutkan dahinya
kencang-kencang, lalu berkata:
"Kalau toh ditempat ini terdapat sebuah jalan rahasia yang lain, kenapa
aku bisa tidak tahu ?"
Su-nio mengerling sekejap kearah Khong It hong, lalu mendengus,
ujarnya:
"Bocah bodoh, kau anggap si setan tua itu benar-benar menganggap
dirimu sebagai orang kepercayaannya ? Hmmm...!"
Merah padam selembar wajah Khong It-hong karena jengah, setelah
tertegun sesaat, sahutnya:
"Yaa, aku memang bukan !" Kemudian setelah berhenti sejenak, dia
melanjutkan dengan
nada yang penuh kegusaran: "Aku benar-benar amat mendendam !"
"Mendendam ? Apa yang kau dendamkan ?" Su nio pura-pura
bertanya seperti tidak mengerti. "Aku benci kepada orang yang secara
diam-diam mengobrak
abrik rencana besarku itu, coba kalau bukan dia, delapan sampai
sepuluh hari lagi, Bukit Pemakan Manusia ini sudah menjadi harta
kekayaan keluarga Khong It hong, tapi sekarang.."
Diam-diam Su-nio terperanjat juga setelah mendengar perkataan itu,
serunya kembali:
"Oooh. . . rupanya kau telah menetapkan hari untuk melakukan
pemberontakan ?"
Dengan pandangan tersipu-sipu Khong It hong memandang sekejap
kearah Su-nio kemudian sahutnya.
"Jangan salahkan diriku mengapa tidak memberitahukan soal ini
kepadamu sebab aku kuatir kalau sampai terjadi suatu perubahan
mendadak yang sama sekali tak terduga..."
Su nio tertawa hambar. "Untung saja kau tidak memberitahukan
persoalan ini kepadaku!"
katanya kemudian. "Oooh... Su nio, kau marah kepadaku?" sekali lagi
Su nio tertawa. "Coba lihat, entah kau bawa sampai kemana jalan
pemikiranmu
itu...?" Rupanya Khong It hong masih juga belum mengerti, kembali dia
bertanya: "Lantas apa maksudmu mengucapkan kata-kata tersebut?"
Su-nio tertawa terbahak bahak. "Haaahh . haaahhh . . . haaahhh . ..
bila kau memberitahukan hal
itu kepadaku, dan saat serta duduknya persoalan kau terangkan
kepadaku, bila sampai terjadi kebocoran rahasia seperti sekarang ini
hingga menyebabkan rencanamu gagal total, siapa tahu kalau kau
lantas menuduh akulah yang telah membocorkan rahasia ini!"
Dengan cepat Khong It hong menggelengkan kepalanya berulang kali,
sambil membelai tengkuk Su nio yang halus, dia berkata:
"Kau semakin berkata demikian, hatiku merasa semakin tidak tenteram,
Su nio, aku tahu kau sangat baik kepadaku, kalau cuma masalah itu
mah dikemudian hari masih banyak kesempatan untuk mengejarnya
kembali, aku Khong It-hong pasti akan membalas !"
"Apa sih kau aku, kamu aku melulu? Memangnya kita berdua masih
akan berpisah lagi ?" bisik Su-nio sambil mengerling sekejap kearah nya
dengan genit.
Khong It-hong memeluk tubuh Su-nio kencang-kencang, sampai lama
sekali ia tak sanggup mengucapkan sepatah katapun.
Sementara itu, Sik Phu yang berada didalam gua telah dibuat gugup
setengah mati.
Su nio telah menerangkan dengan jelas kalau didalam gua tersebut
terdapat sebuah jalan rahasia, dan sekarangpun dia bisa
menyembunyikan badan dengan meminjam kegelapan malam, namun
sebentar lagi pasti tak bisa menyembunyikan diri lebih jauh.
Kini Sunio maupun Khong It hong berada didepan gua semua, mustahil
dia dapat meninggalkan tempat itu secara diam diam, dalam keadaan
demikian, dia hanya bisa merasa amat gelisah, tanpa terasa hatinya
menjadi gemas sekali terhadap sang tetamu yang mengundang
kedatangannya kutempat itu semalam.
Dalam pada itu, Khong It-hong dan Su nio telah saling mengendorkan
pelukannya masing masing, dan kedua orang itupun mulai berpisah satu
dengan lainnya.
Tiba-tiba Khong It hong berseru: "Aneh, peristiwa ini benar-benar aneh
!"
Tentu saja Su nio dapat menebak persoalan apakah itu, tapi ia
berpura-pura bertanya juga:
"Apa yang kau herankan ?" "Semua perbuatan dan rencanaku ini
kulakukan dengan amat
rahasia sekali, darimana budak Kim bisa mengetahui akan semua
rahasia besarku itu ?"
Sejak semula Sunio telah mempersiapkan jawabannya, sambil tertawa
dia lantas menyahut:
"Kalau dibilang kau pintar, ternyata ada kala nya kau menjadi bodohnya
setengah mati!"
Khong It hong menggelengkan kepalanya berulang kali. "Aku tidak
puas bila kau berkata begitu." Sekali lagi Su nio tertawa, katanya:
"Aku ingin bertanya
kepadamu, ketika kau pulang kebukit kali ini, bagaimanakah sikap
budak Kim terhadap dirimu ?"
Tanpa berpikir Khong It hong segera menyahut: "Sikapnya sama
sekali berbeda dengan sikapnya dihari-hari
biasanya, bila dibayangkan memang aneh sekali"
Su nio segera tertawa cekikikan. "Apanya yang aneh? Aku juga seorang
perempuan, aku cukup mengetahui perasaan seorang wanita, aku masih
ingat sekali pada suatu malam lima tahun berselang, begitu aku bersua
denganmu, bukankah..."
-ooo0dw0ooo-
Jilid 13 "OOOOH.... APAKAH Budak Kim berbuat demikian lantaran
manusia yang bernama Sun Tiong lo itu ?" Su-nio segera menowel
sebentar jidat Khong It-hong, lalu
sahutnya: "Buat apa mesti dipikirkan lagi, orang bodoh ?" Dengan
kening berkerut Khong It-hong segera berseru dengan
suara yang mendendam: "Hmmm, suatu hari, cepat atau lambat kalian
berdua pasti akan
terjatuh ke tanganku !" "Tunggu sebertar" tukas Su nio dengan wajah
serius, "kita harus
bicarakan persoalan ini baik-baik." "Apakah kau tidak perbolehkan aku
bersumpah untuk membalas
dendam sakit hati ini ?" tukas Khong It hong lagi. Su nio segera
mendengus dingin. "Hmmm .. . dendam sakit hati apa sih yang hendak
kau balas ?"
tegurnya cepat. "Tentu saja ada dendam yang harus dibalas budak Kim
... " Belum lagi ucapan tersebut selesai diucapkan, kembali Sa nio
telah menukas: Memang, percintaan antara lelaki dan perempuan tak
mungkin
bisa dipaksakan, Budak Kim tidak bersalah dia tidak
mencintaimu
tentu saja kau mencintainya juga bukan suatu dosa atau kesalahan,
cuma saja ..."
"Cuma saja kenapa ?" tanya Khong It hong dengan perasaan
mendendam.
Dengan nada berat Su nio berkata: "Cuma, benarkah kau sungguh
sungguh mencintainya ?" Khong It hong menundukkan kepalanya
rendah-rendah. "Persoalannya sekarang bukan masalah aku
sungguh-sungguh
mencintainya atau tidak ..." "Dalam pandanganmu, mungkin hal ini
betul, tapi bagi seorang
nona yang berkedudukan tinggi, cinta atau tidak merupakan suatu
masalah yang paling besar" seru Su nio dengan gusar, "kau bukan
seorang yang serius dalam bercinta, selanjutnya lebih baik jangan kau
bicara tentang persoalan ini !"
Menyaksikan suasana sangat tidak menguntungkan, cepat-cepat Khong
lthong mengalihkan pokok pembicaraannya kesoal lain, dia berkata:
"Baik, tidak dibicarakan yaa tidak dibicarakan, apalagi diperbincangkan
pada saat ini pun hanya akan mendatangkan kemurungan belaka, cuma
aku masih saja tidak habis mengerti sekalipun budak Kim berubah hati
terhadap diriku, mustahil dia dapat mengetahui rahasiaku itu!"
Paras muka Su nio turut berubah, katanya kemudian sambil tertawa
lebar:
"Kau memang bodoh, dengan mengandalkan kemampuan budak Kim,
tentu saja mustahil bagi nya dapat menemukan rahasiamu itu!"
"Kalau begitu, urusannya menjadi semakin mengherankan kecuali dia
seorang ... "
"Menurut dugaanku, penyakit ini pasti timbul dari usahamu mencuri
lencana Bong hu kiu ciat tersebut !"
"Aaah... hal ini mana mungkin bisa terjadi ?" Khong It hong masih tetap
tidak habis mengerti, "lencana ini sudah kucuri pada beberapa bulan
berselang..."
Dengan suara dingin Sunio segera berseru: "Sebelum turun gunung
tempo hari, tua bangka itu telah
berkunjung ke loteng Hian ki lo terseout..." "Haaah ? jangan-jangan
setan tua itu yang menemukan rahasia
ini.... ?" seru Khong It hong sambil menjerit kaget. Kembali Su nio
mendengus dingin. "Hmm, betul atau bukan, aku tak berani
mengatakannya dengan
pasti, tapi yang pasti sepeninggal setan tua itu dari loteng Hian ki- loo,
paras mukanya kelihatan menakutkan sekali, dengan gusar dia pergi
mencari budak Kim, kemudian ketika budak Kim menghantar setan tua
itu meninggalkan bukit, sebelum berangkat setan tua itu mengucapkan
pula sesuatu kepada dirinya. Kuserahkan persoalan itu kepadamu, tapi
harus berhati-hati, jangan sampai menggebuk rumput mengejutkan
ular..."
Belum habis ucapan tersebut diutarakan, Khong It hong telah
menyambung lebih lanjut:
"Kalau begitu, tak bakal salah lagi, sudah pasti si setan tua itulah yang
telah menemukan kejadian tersebut!"
Su nio mengerling sekejap kearahnya, lalu berkata: "Untung saja
semua persoalan telah beres, asal..." "Sudah lewat?" Khong It hong
menyeringai seram, "aku rasa
belum tentu demikian !" "Sekarang, kepandaian ilmu silatmu telah
punah, bila kita
berhasil melarikan diri dari bukit ini, dengan mutiara dan intan permata
yang kumiliki, kita dapat mencari suatu tempat yang indah
pemandangan alamnya dan melewatkan sisa hidup kita disana."
"Su-nio, apakah kau mempunyai rencana untuk berbuat begitu?" ucap
Khong It hong sambil mengerling sekejap kearah Su nio.
"Demi kau, aku rela meninggalkan tempat ini dan meninggalkan
segala-galanya, masa aku masih mempunyai pikiran bercabang ?"
Khong It hon tertawa getir, katanya: "Su nio, kau telah salah
paham, aku bukan maksudkan kau masih
mempunyai maksud serta tujuan lain". "Lantas kau masih mempunyai
urusan apa lagi?" dengan
keheranan Su nio bertanya: Khong Ithong menggelengkan kepalanya
berulang kali, "Terus terang kukatakan Su nio, setelah kepandaian
silatku
punah sekarang, sesungguhnya merupakan suatu hal yang diluar dugaan
bagiku karena Su nio masih bersedia menemani aku dan mencari suatu
tempat yang berpemandangan indah untuk hidup tenteram sampai tua,
sudah barang temu akupun tidak mengharapkan yang lain...."
"Apakah masih ada masalah lainnya?" Su nio kembali mengerdipkan
matanya berulang kali.
Sekali lagi Khong It hong tertawa getir. "Su nio, kau lupa masih ada
sekelompok manusia lain..." "Sekelompok manusia lain? siapakah
dia?" tanya Sunio dengan
kening berkerut. Khong It hong menghela napas panjang. "Aaai,
maksudku orang orang yang telah berunding denganku
untuk bersama sama menyerang bukit ini ?" "Kenapa dengan mereka?"
Khong It hong menggelengkan kepalanya berulang kali. "Mereka tak
akan melepaskan aku dengan begitu saja,
seandainya kepandaian silat yang aku miliki masih utuh,
mungkin
saja mereka masih agak takut kepadaku, tapi kini, kepandaianku telah
punah, aku kuatir..."
Sunio segera tertawa, tukasnya: "Aku mengira ada persoalan apa,
rupanya cuma masalah ini saja,
kau tidak usah kuatir, tempat yang akan kita tuju amat rahasia sekali
letaknya, bahwa si setan tua pun tak akan berhasil untuk
menemukannya, apa lagi hanya teman teman bangsa serigala dan sobat
anjing mu itu!"
"Khong It-hong mengerutkan keningnya itu kencang kencang. "Aku
kuatir baru saja kita keluar gunung, jejak kita sudah
ketahuan dan tertangkap oleh mereka?" Su nio segera mendengus
dingin. "Hmm, kecuali mereka sedang mimpi di siang hari bolong!" "Su
nio, kau tidak tahu, cara kerja mereka." Untuk kesekian kalinya Su nio
mendengus dingin, tukasnya: "Cukup, cukup, kujamin siapapun tidak
akan berhasil menyusul
kita, nah waktu sudah siang, kita harus cepat cepat pergi meninggalkan
tempat ini...."
Dengan perasaan apa boleh buat Khong Ithong mengangguk. "Baik,
aku hanya berharap semoga kita bisa meninggal tempat ini
dengan selamat!" Su nio tidak mnmperdulikan dirinya lagi, dia
membalikkan badan
dan berjalan menuju ke dalam gua. Sik Phu yang bersembunyi di dalam
gua merasakan jantungnya
bagaikan mau melompat keluar lewat tenggorokannya saja, pelbagai
ingatan segera berkecamuk dalam benaknya, dia berusaha keras untuk
menemukan suatu cara yang terbaik untuk menanggulangi kejadian itu.
-ooo0dw0ooDalam
pada itu, ruang See sian di dalam istana Pat tet sinkiong
telah berlangsung suatu kejadian aneh. Pat-tek-pat-Io bernama anak
buahnya pada tergeletak semua
dalam keadaan tak sadar. Delapan orang kakek itu ada lima orang di
antaranya tertidur
diatas meja, sedang tiga orang lainnya tergeletak ditanah. Sementara
para anggota perguruan yang melayani mereka
terkapar malang melintang di sana sini. Pada saat itulah, sesosok
bayangan manusia melayang masuk
kedalam ruangan See-sian tersebut. Orang itu berbaju merah dengan
kain kerudung muka berwarna
merah pula. Orang berkerudung merah itu agaknya seperti hapal sekali
dengan keadaan didalam ruangan See sian tersebut, setelah mencapai
permukaan tanah, sorot matanya segera memandang sekeliling ruangan
itu, kemudian sambil tertawa geli melangkah keluar dari sana.
Menyusul kemudian sambil menggelengkan kepalanya orang berbaju
merah itu bergumam.
"Sungguh tak kusangka kalau cara semacam inilah yang dia
pergunakan..."
Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan: "Aku harus menyusul
kesana untuk melihat keadaan yang
sebenarnya telah terjadi !" Selesai bergumam, orang itu melejit ke
udara dan meluncur pergi
meninggalkan tempat itu. Belum lama orang berkerudung merah itu
pergi, kembali ada dua
sosok bayangan manusia melayang masuk kedalam ruangan
itu.
Peristiwa ini bukan suatu kebetulan melainkan seluruh istana Pattek-
pat-lo, kecuali ruangan See sian tersebut, hampir semuanya berada
dalam kegelapan yang mencekam.
Dua orang yang barusan tiba itu adala Sun Tiong lo serta saudaranya
Bau-ji.
Begitu melayang turun keatas permukaan tanah, Bauji segera berkata:
"Diakah orang berbaju merah itu ?" "Tak bakal salah." jawab Sun
Tiong lo sambil tertawa, "bukankah
toako telah melihat jelas, dia telah menunggu di luar ruangan sampai
sampai Kong It hong telah ditolong oleh nona tersebut, ia baru masuk
kedalam ruangan?"
Bau ji menggelengkan kepala berulangkali lalu bergumam: "Suatu
kejadian yang benar-benar aneh, sebetulnya permainan
setan apakah yang sedang mereka persiapkan?" Sun Tiong to segera
tertawa. "Yang aneh tampaknya sebenarnya tak aneh siapa suka
keanehan dia tentu akan mengalami kegagalan" Sesudah berhenti
sejenak, dia melanjutkan: "Toako, aku harus pergi jumpai Sik Phu!"
"Ehm, tempat ini bukan tempat yaug aman bila toako merasa
banyak persoalan yang tak kau pahami, mari ikut aku saja meninggalkan
tempat ini"
Bau ji manggut manggut. "Tampaknya sebelum jite menyaksikan kau
pergi, hatimu tak
akan merasa lega" Selesai berkata, menantikan Sun Tiong lo berkata
lagi, dia lantas
pergi meninggakan tempat itu.
Sepeninggal Bau-ji, Sun Tiong lo siap siap akan meninggalkan pula
tempat itu, mendadak ia seperti menangkap sesuatu, sambil
memejamkan mata ia termenung dan berpikir sejenak kemudian
dengan penuh keraguan dia menyelinap pula ke tempat kegelapan
Baru saja ia berlalu, di tengah ruangan See sian telah bertambah lagi
dengan seorang kakek yang tinggi kekar.
Kakek itu mengenakan jubah panjang berwarna abu-abu, jenggotnya
masih berwarna hitam, alisnya hitam lebat dengan mata besar, hidung
mancung, bibir lebar, sepasang matanya memancarkan sinar tajam yang
menggidikkan hati
Ketika menyaksikan situasi dalam ruangan itu, kakek tersebut segera
mendengus dingin.
Setelah berpikir sejenak, dia membalikkan badan siap berlalu dari
tempat itu. Mendadak disisi telinganya berkumandang teguran
seseorang:
"Apakah kau adalah Sancu dari bukit ini?" Ketika kakek itu
mendengar suara tersehut berasal dari dalam
ruangan, ia nampak agak terperanjat dengan cepat dia berpaling. Disisi
jendela ruangan lebih beberapa kaki dihadapannya, tahu
tahu telah muncul seorang manusia berbaju kuning yang berusia dua
puluh tiga, empat tahunan, badannya kelihatan tegap gagah.
Tapi sayang dia memiliki raut wajah yang cukup membuat orang
menghela napas panjang, wajah itu pucat menakutkan seakan-akan
baru saja sembuh dari suatu sakit yang parah.
Akan tetapi bila dilihat dari panca indera nya serta bentuk mukanya,
seharusnya dia terhitung seorang lelaki yang ganteng.
Orang itu memakai baju berwarna kuning dan kakek itu cukup
mengenalnya, oleh sebab itu dalam terkejutnya ia bertambah tercekat.
Akhirnya keningnya dikerutkan kencang-kencang.
"Harap kau menjawab pertanyaanku ini?" kembali pemuda tersebut
menegur dengan kening berkerut.
Kakek itu tertawa. "Atas dasar apa kau memaksa lohu untuk
menjawab
pertanyaanmu itu?" tegurnya, pemuda itu mendengus dingin. "Aku
mengandalkan keadaan yang ada didepan matamu
sekarang, cukup bukan?" Kakek itu terrawa dingin, setelah memandang
sekejap sikap tidur
dari ke delapan orang kakek itu, dia berkata: "Aku rasa masih agak
selisih banyak !" "Oooh... rupanya kau bukan Sancu dari bukit ini !"
seru pemuda
itu kemudian. Seraya berkata, orang muda itu segera membalikkan
tubuh dan
beranjak pergi menuju ke pintu belakang yang ada dalam ruangan itu.
Mendadak kakek tersebut menyelinap ke depan dan tahu-tahu sudah
berdiri dihadapan anak muda itu, serunya dingin.
"Apakah kau ingin pergi dengan begitu saja?" Sikap pemuda itu amat
tenang sekali, sahut nya: "Kalau aku memang akan pergi dengan
begini saja, mau apa
kau?" Tiba tiba tergerak hati kakek itu. "Perkataan belum lagi selesai
diucapkan, kau sudah berniat akan
pergi meninggalkan tempat ini, apakah tindakanmu ini tidak kurang
hormat . . ?"
Anak muda itu tersenyum. "Kalau toh kau bukan Sancu dari bukit ini,
apa pula yang mesti
kuperbincangkan dengan mu?" "Andaikata lohu
adalah Sancu dari bukit ini?"
Si anak muda itu segera tertawa hambar. Kalau cuma berbicara saja
tanpa bukti, apa pula artinya?" Kakek itu segera tertawa seram.
"Wah... kalau memang begitu, sukar untuk dikatakan lagi, toh
mustahil lohu harus menggotong bukit ini untuk membuktikan bahwa
bukit ini milik lohu dan lohulah sancu tempat ini."
"Hmm, jika kau sanggup menggotong bukit ini silahkan menggotongnya
sendiri, itu mah bukan urusanku." kata orang muda itu dingin.
Kakek tersebut segera berkerut kening. "Apa yang kau inginkan baru
percaya bila lohulah Sancu dari
bukit ini ... ?" serunya. "Gampang sekali, panggil orang kemari, asal
ditemukan
denganmu kan semuanya akan menjadi beres !" Kakek itu lantas
mengangguk. "Bagus, memang suatu cara yang bagus sekali, masih
ada yang
lain ?" Pemuda itu segera menggeleng. "Selain itu, aku rasa tak mungkin
ada cara yang lain !" Kakek itu memandang sekejap ke arah sang
pemuda, lalu
katanya lagi: "Ada, lohu tahu masih ada sebuah cara lagi yang lebih
baik lagi!" Pemuda itu hanya melirik sekejap kearah kakek itu,
kemudian
mendengus dingin dan tidak berbicara lagi. Diam-diam terkesiap juga
kakek itu, namun ia tetap berkata lebih
lanjut: "Asal lohu berhasil membekuk batang lehermu,
masa..."
"Jangan omong besar dulu" tukas pemuda itu, "sebeIum sesumbar,
bekuklah aku lebih dulu, tentu saja bila kau mampu untuk
melakukannya!"
Sebenarnya kakek itu amat gusar, siapa tahu, sekarang dia malah
tertawa terbahak-bahak.
Selesai tertawa, kakek itu lantas bergumam Seoiang diri:
"Benar-benar menarik sekali, tak nyana kalau pemuda pemuda
yang jarang ditemui dalam dunia persilatan ternyata telah berkumpul
semua diatas Bukit pemakan manusiaku yang kecil ini, rasanya tiada
jalan lain bagiku kecuali mencoba sampai dimanakah kelihayanmu itu!"
seraya berkata, dengan langkah lebar dia lantas berjalan menghampiri
sianak muda itu.
Menghadapi ancaman yang mendekat sianak muda itu sama sekali tak
berkutik, lengannya pun tidak di goyangkan malah menggubrispun tidak.
. .
Sebenarnya sejak semula kakek itu sudah tidak tenang, apalagi setelah
menyaksikan sikap lawannya yang begitu tenang, hatinya makin
kebat-kebit tak karuan, namun sulit baginya untuk menarik kembali
tindakannya itu, terpaksa dia melanjutkan langkahnya maju ke depan.
Sesungguhnya kedua belah pihak hanya berseIisih satu kaki saja,
dengan melangkah tiga tindak ke depan, maka jarak merekapun tinggal
empat depa saja.
Namun sianak muda itu masih tetap tenang saja seakan-akan tidak
melihat sesuatu apapun, ia tetap berdiri sekokoh bukit karang.
Sebaliknya sikakek itu justru yang berhenti, hatinya kebat kebit tak
karuan.
Dalam waktu singkat, suasana disekeliling tempat itu menjadi hening,
ketegangan serasa menyelimuti seluruh tempat tersebut.
Kakek itu mendengus dingin, pelan-pelan telapak tangan kanannya
diayunkan ke tengah udara.
Siapa tahu si anak muda itu masih tetap berdiri tak berkutik ditempat
semula, ia tidak menggubris datangnya ancaman tersebut, bahkan
memandang musuhnya pun tidak.
Akhirnya kakek itu tak kuasa untuk menahan diri lagi, segera bentaknya
dengan suara dalam:
"Bocah keparat, kau betul betul amat takabur, lohu tak percaya kalau
kau sanggup menghindarkan diri dari ancamanku ini!"
Seraya berkata, telapak tangannya segera diayunkan ke bawah, meski
serangan tersebut tidak menimbulkan suara apa-apa, namun
kedahsyatannya benar-benar mengerikan.
Sianak muda itu belum juga bergerak dari tempatnya, cuma telapak
tangan kanannya telah diangkat keudara waktu itu, kemudian dikibaskan
pelan kedepan.
Serentetan suara ledakan yang menggelegar memekakkan telinga segera
bergema memecahkan keheningan, bangunan See sian yang terbuat dari
kayu itu tak tahan menghadapi gempuran dahsyat tersebut.
Rupanya didalam melepaskan serangannya kali ini, sikakek tersebut
telah menggunakan ilmu pukulan Cui sim bu im ciang (ilmu pukulan
tanpa bayangan peremuk hati) yang disaluri dengan tenaga dalam
sebesar tujuh bagian, walaupun ia sudah melihat kalau pemuda ini
bukan orang sembarangan namun dalam anggapannya mustahil sianak
muda itu berani menyambutnya dengan kekerasan.
Siapa tahu peristiwa yang kemudian terjadi sama sekali diluar
dugaannya, bukan saja si anak muda itu tidak berkelit, malahan ia
menggunakan sebuah telapak tangan kanannya yang tampak amat
bersahaja itu untuk menyambut datangnya ancaman dari kakek
tersebut.
Begitu sepasang telapak tangan mereka saling bertemu, angin puyuh
segera menderu-deru, diantara suara yang menggelegar keras, jendela
Hi wong" yang terbuat dari bahan kayu itu bergetar keras, menyusul
kemudian atap atap berguguran keatas tanah.
-ooo0dw0ooo-
BAB TUJUH BELAS
AKIBAT dari bentrokan kekerasan itu, si kakek terdorong mundur sejauh
dua langkah lebih, sedangkan pemuda itu hanya sedikit menggeserkan
kaki kanannya saja.
Hanya dalam satu gebrakan saja agakkya siapa tangguh siapa lemah
sudah dapat dibedakan, paras muka kakek itu kontan saja berubah
hebat.
Padahal sekalipun kakek itu kena dipukul mundur sejauh dua langkah,
ia bukan berubah wajah lantaran persoalan ini.
Yang membuat wajahnya berubah hebat, sesungguhnya adalah suatu
kejadian yang lain.
Tadi, didalam gusar dan mendongkolnya, ia lancarkan serangan dengan
sertakan tenaga sebesar tujuh bagian, dalam anggapannya sianak muda
itu pasti akan menghindarkan diri, maka ia tidak mempersoalkan
kedelapan orang kakek yang tergeletak tak sadarkan diri didalam
ruangan.
Tapi, menanti si anak muda itu bukan cuma tidak berkelit saja,
sebaliknya malah menyongsong datangnya ancaman tersebut dengan
kekerasan, kakek itu baru teringat kembali dengan anak buahnya yang
tergeletak tak sadar dalam ruangan, ia tahu mereka pasti akan
terpengaruh oleh gelombang tenaga pukulan yang terpancar
kemana-mana.
Sementara ingatan tersebut baru saja melintas lewat, sepasang telapak
tangan mereka berdua telah saling membentur hingga menimbulkan
suara ledakan yang memekakkan telinga.
Tak terlukiskan rasa terkejut kakek itu, dalam keadaan tenaga yang saling
membentur seperti ini, tenaga pusaran angin berpusing yang timbul
akibat bentrokan tersebut sanggup untuk menghancurkan batu cadas,
apalagi manusia dalam keadaan tak
sadar, dalam anggapannya kali ini para anak buahnya itu pasti akan
mengalami musibah.
Siapa tahu, ternyata pemuda itu sudah melakukan persiapan
sebelumnya, begitu kebebasan tangannya diiancarkan, bukan cuma si
kakek itu saja yang tergetar mundur, bahkan ia berhasil pula
melambungkan tenaga pusaran angin berpusing itu hingga meluncur ke
tengah udara dan tak sampai melukai orang disekitarnya.
Kesempurnaan tenaga dalam serta kelihayan ilmu silat yang dimiliki si
anak muda itulah yang menyebabkan paras muka kakek itu berubah
hebat.
Setelah alisnya berkenyit dan sorot matanya memancarkan sinar tajam,
telapak tangan kanannya sekali lagi diayunkan ketengah udara.
Pemuda berbaju kuning itupun berkerut kening, dari balik matanya
memancar sinar tajam.
Mendadak kakek itu memandang kearah delapan orang kakek yang
tergeletak ditanah, pelan-pelan ia menarik kembali tenaga dalamnya,
lalu berkata:
"Orang muda, bagaimana kalau kita melanjutkan pembicaraan diluar
ruangan?"
Diatas wajah sang pemuda bertaju kuning yang pucat dan hambar itu,
segera tersungging sekulum senyuman, sahutnya:
"Apakah Sancu tidak akan menggubris ke delapan orang kakek serta
orang orang itu?"
"Orang muda, mengapa secara tiba tiba kau merubah parjggilanmu?"
tegur sang kakek dengan kening berkerut.
"Hmm, secara sungkan kau memanggilku sebagai orang muda, tentu
saja aku akan membalas dengan cara yang sama." sahut pemuda
berbaju kuning itu angkuh.
"ltu tak sama, kau menyebutku Sancu !"
"Apakah Sancu hendak menyangkal." Kakek itu segera tertawa.
"Tadi, ketika aku mengakui diriku sebagai Sancu, kau tidak
mempercayainya, kini kenyataannya belum berubah, mengapa kau
sebut diriku sebagai Sancu? Harap kau sudi memberi penjelasan ?"
"Bila kau bukan Sancu asli, ketika kulepaskan pukulan untuk
menyambut seranganmu itu, tak nanti sorot matamu dialihkan ke wajah
Pat lo dengan wajah menyesal, lebih lebih tak mungkin memperlihatkan
rasa kaget lalu girang setelah menyaksikan tenaga berpusing itu
melambung ke udara."
"Barusan, tampaknya kau sudah tak tahan untuk melancarkan serangan
lagi, namun setelah sorot matanya di alihkan ke wajah Patlo, niat itu
kembali diurungkan, malah kau lantas mengajakku untuk berunding
diluar ruangan saja."
Kakek itu segera tertawa terbahak-bahak katanya: "Anak muda, kau
benar benar mengagumi dirimu !" Setelah berhenti sejenak, sikapnya
berubah menjadi amat
bersungguh-sungguh, sahutnya: "Anak muda, ke delapan orang kakek
dan ke empat orang
pembantuku ini telah menyaIahi apa kepadamu? Aku bersedia
memintakan maaf kepadamu asal kau bersedia menerangkan sebab
musababnya".
"Sancu salah pahan !" tukas pemuda berbaju kuning itu dengan suara
dingin.
"Oooh, apakah bukan hasil karyamu. .. ?" Sekali lagi pemuda berbaju
kucing itu menukas: "Justeru karena bukan perbuatanku maka aku
baru menunggu
kedatangan Sancu disini !" Mendengar perkataan itu,
Sancu segera tersenyum.
"Sobat muda, darimana kau bisa tahu kalau aku bakal datang kemari?"
tegurnya.
"Sewaktu datang kemari tadi, apakah kau ber jalanan sebelah kanan
dekat belakang bukit situ ?"
Paras muka Sancu segera berubah menjadi kaget bercampur girang,
serunya:
"Sobat muda, rupanya kau masih punya teman." Pemuda berbaju
kuning itu mendengus dingin. "Hm, Sancu, aku
selalu pergi datang sendiri." Setelah berhenti sejenak, kembali dia
melanjutkan: "Entah Sancu mau percaya atau tidak, seratus kaki
disekeliling
tempat ini dapat kudengar dengan jelas, sekalipun ada daun yang
rontok atau ular yang berjalan, jangan harap bisa mengelabuhi
sepasang telingaku, oleh sebab itu aku tahu kalau Sancu..."
Sancu tidak percaya, dengan cepat dia menimbrung. "Jadi kalau
begitu, sobat muda boleh dianggap sebagai jago
nomor satu di dunia ini !" Sekali lagi pemuda berbaju kuning itu
mendengus dingin. "Nomor satu atau nomor dua tak cuma angka
belaka, itu mah tak
terhitung seberapa, tak ada salahnya pula bila Sancu menganggap
diriku cuma omong kosong belaka."
Merah padam selembar wajah Sancu, cepat-cepat serunya: "Sobat
muda, harap kau jangan salah paham, aku...." "Demi menjaga
keselamatannya Pat lo agar jangan sampai
terjadi hal hal yang tidak diinginkan diam diam aku telah berada di sini
untuk melakukan perlindungan" tukas pemuda berbaju kuning dingin,
"Sekarang, Sancu telah munculkan diri berarti tugasku telah selesai
sampai jumpa lain kesempatan, aku ingin mohon diri lebih dulu"
Dan selesai berkata, dia lantas membalikkan badannya dan berlalu dari
tempat itu.
Cepat cepat Sancu menghalangi jalan pergi nya sambil berseru:
"Sahabat muda, harap berhenti sebentar" "Sancu masih ada urusan
apa lagi?" tanya pemuda berbaju
kuning itu sambil menatap lawannya lekat-lekat. Dengan menuding ke
arah Pat lo yang tergeletak tak sadarkan
diri, Sancu berkata: "Apakah yang terjadi sebenarnya di tempat ini?
Bersediakah kau
untuk memberi petunjuk?" "Boleh, Jika Sancu bertanya langsung pada
nona Siu, maka
semuanya akan menjadi jelas." Mendengar perkataan itu, mencorong
sinar mata yang amat
tajam dari balik mata Sancu serunya mendadak: "Sobat muda,
darimana kau bisa tahu kalau di dalam istana kami
terdapat seorang nona yang bernama Siu?" Pemuda berbaju kuning itu
mendengus acuh. "Hmm, ada orang yang memanggilnya dengan
sebutan tersebut."
katanya. "Siapa?" desak Sancu dengan suara dalam. Pemuda berbaju
kuning itu memandang sekejap wajah Sancu
dengan sikap serta nada yang dingin kemudian menjawab:
"Seharusnyakah Sancu mengajukan pertanyaan kepadaku
dengan sikap serta nada suara seperti itu?" Sancu berusaha keras untuk
menekan hawa yang membara
dalam hatinya, lalu menjawab: "Sobat muda, maaf kalau aku bersikap
kasar, tolong tanya
siapakah yang telah..."
"Orang itu adalah Khong It hong" tukas pemuda itu, "bila Sancu tidak
berhasil menemukan kedua orang itu, silahkan kau sadarkan ke delapan
orang kakek ini, segala sesuatunya akan kau ketahui dengan jelas,
sebab Pat lo memang dirobohkan oleh nona Siu dengan sesuatu bahan
obat obatan !"
Selesai berkata, pemuda berbaju kuning itu segera berkelebat lewat dari
hadapan Sancu itu.
Tak sempat menghalangi perjalanannya, Sancu berkerut kening lalu
mendengus dengan wajah menyeringai.
Menyusul kemudian, ujung baju sebelah kiri nya segera dikebaskan
kedepan, serentetan cahaya tajam dengan cepat menerobos keluar lewat
daun jendela kemudian meledak, ditengah udara segera muncul
sembilan kuntum lentera berwarna merah.
Begitu lentera merah itu muncul di angkasa, dalam waktu singkat seluruh
Bukit pemakan manusia berubah terang benderang bermandikan cahaya
lampu.
Dari setiap sudut tempat diseluruh bukit itu tampak bermunculan lentera
dan obor, dalam waktu singkat bukit itu berubah menjadi sebuah bukit
berlampu, menyusul kemudian segenap jago lihay disegenap bukit
bermunculan untuk melakukan penghadangan diseluruh bukit.
Sesaat kemudian, tampak sesosok bayangan manusia melayang masuk
ke dalam ruangan, kalau dilihat dari gerakan tubuhnya yang gesit serta
ilmu meringankan tubuhnya yang sempurna, dapat diketahui bahwa
orang ini merupakan seorang jago lihay yang berilmu tinggi dari bukit
itu.
Begitu muncul disebelah kiri Sancu yang ber jarak lebih kurang lima
depa, ia lantas memberi hormat sambil berkata:
"Sejak kapan Sancu pulang? Ada urusan besar apa sehingga
membunyikan sembilan lentera Kiu ciat teng?"
Waktu itu Sancu sedang membungkukan badan untuk mengobati kakek
Tiong, dengan cepat dia menukas:
"Kwa jite, segera sampaikan perintah aku, untuk menjaga jalan keluar
yang ada dibukit ini, sebelum mendapat ijin langsung dariku? siapapun
dilarang meninggalkan bukit, siapa berani melanggar akan di jatuni
hukum mati!".
"Apakah termasuk nona dan Khong It-hong?" tanya jago lihai she Kwa
itu kemudian.
"Ya, setiap orang terkena larangan ini, termasuk juga nona Su itu!"
jawab Sancu dengan suara dalam.
Mendengar perkataan itu, jago lihay she Kwa itu menjadi tertegun,
namun ia tidak banyak bertanya lagi, dengan cepat dia mohon diri.
Begitu Pat lo telah sadar kembali, mereka pun segera membeberkan
semua kejadian kepadamu Sancu ...
-ooo0dw0ooo- Su nio dan Khong It hong itu telah membalikkan
badan berjalan
masuk kedalam gua hal mana amat menggelisahkan Sik Phu. Sekarang
situasi sudah bertambah gawat, Sik Phu harus segera
mengambil keputusan. Dia tak ingin bermusuhan dengan Khong It tiong
serta Su nio
dalam situasi dan keadaan seperti ini. Tapi andaikata jejaknya sampai
ketahuan, terpaksa ia
menampilkan diri untuk melakukan perlawanan. Terbayang akan
pertarungan itu, perasaan Sik Phu yang gelisah
kembali berubah tenang. Jangankan kepandaian silat yang di miliki
Khong It hong
sekarang sudah punah sehingga hanya Su nio seorang yang harus di
hadapi, sekalipun harus satu lawan dua, Sik Phu juga mempunyai
keyakinan penuh untuk membekuk orang itu.
Tapi yang menyulitkan adalah dengan begitu maka jejaknya dalam Bukit
Pemakan Manusia pasti akan dicurigai orang, kepandaian silat nya akan
di ketahui orang.
BegituIah, sementara Sik Phu masih menanti perubahan situasi
selanjutnya, ternyata Su nio dan Khong It hong tidak melanjutkan
perjalanannya untuk masuk ke dalam gua itu, mereka berhenti setelah
tiba kurang lebih satu kaki dari Sik Phu.
Tampak Su nio menekan dinding batu itu dengan jari tangannya,
kemudian dan atas permukaan tanah segera muncul sebuah pintu
rahasia.
Khong It hong dan Su nio segera masuk ke balik pintu rahasia itu dan
lenyap dari pandangan mata, sementara tempat yang terbuka tadi
segera menutup kembali secara otomatis dan balik seperti sedia kala,
sama sekali tidak ditemukan setitik celahpun.
Kejadian itu segera membuat Sik Phu menjadi tertegun. Tapi sesaat
kemudian, ia lantas tertawa: "Ternyata orang itu sengaja
mengundangku kemari untuk
menyaksikan sunio dan Khong lt hong melarikan diri lewat tempat ini,
sekalian menunjukkan pula sebuah jalan rahasia kepadaku."
Pelan-pelan dia munculkan diri dari tempat persembunyiannya,
kemudian tangannya mulai meraba dinding batu dimana Su nio telah
merabanya tadi.
Lebih kurang seperminuman teh kemudian tombol rahasia tersebut
berhasil juga ditemukan. Dengan cepat dia mempraktekannya, betul juga,
pintu rahasia itu segera terbuka, kemudian tak selang berapa saat
kemudian pin tu tadi menutup kembali secara otomatis.
Sik Phu menjadi amat girang, dengan ditemukannya jalan rahasia
tersebut tanpa sengaja, berarti dia telah menyiapkan sebuah jalan
mundur baginya seandainya tugas yang dilakukan kemudian hari
menjumpai kegagalan.
Baru saja pintu itu menutup kembali, menda dak disisi telinganya
terdengar seorang berkata:
"Sik tayhiap, Sancu telah kembali secara tiba-tiba, sekarang ia telah
mengetahui tentang kaburnya Khong It-hong serta si nona Siu, itu
berarti malam ini mungkin kita tak bisa berbincang-bincang lagi. e
sebab itu biar kupancing dulu kepergian nona Kim, kemudian segera
kau harus kembali keistana Sin kiong!"
Begitu mendengar suara tersebut, Sik Phu segera mengetahui siapa
orangnya, cepat tanyanya:
"Sebenarnya siapakah kau, nona Kim.." Belum habis perkataan itu
diucapkan, suara tadi kembali telah
berkumandang: "Nona Kim telah pergi, kini Sancu berada di dalam
istana Sin
kiong, saat ini semua lampu diseluruh bukit telah dipasang, perjalanan
lebih sukar ditempuh, bila Sik-tayhiap telah berhasil menemukan
jawaban yang tepat untuk San cu nanti, harap kau segera berangkat!"
Mendengar perkataan itu, Sik Phu menjadi terperanjat cepat- cepat dia
memeriksa keadaan diluar gua.
Ternyata memang begitulah keadaannya, seluruh bukit telah berubah
menjadi terang benderang, jalan lewat juga seluruhnya tertutup.
Sik Phu segera termenung dan berpikir sejenak, sekulum senyum
senyum segera tersungging diujung bibirnya, mendadak ia menjejakan
kakinya ke tanah dan melompat keluar dari gua tersebut
Sementara itu, pada dua puluhan kaki diluar gua, tampak sesosok
bayangan kuning menampakkan diri dari tempat persembunyiannya,
penampilan tersebut segera memancing perhatian semua jago lihay yang
ada ditempat itu, bentakan keras bergema berulang kali, kemudian
tampak bayangan manusia bermunculan untuk mengejar bayangan
kuning tadi.
Dengan terjadinya peristiwa ini, maka Sik-Phu dapat keluar dari gua
dengan aman, bahkan diapun ikut melakukan pengejaran .
Bayangan kuning tadi langsung meluncur menuju kearah istana Pat tek
sin kiong, sedang para pengejarnya turut mengikutinya dari belakang.
Waktu itu Sik Phu telah membaurkan diri dengan para pengejar itu,
ditambah ia memang orang sendiri, maka tiada orang yang memper
hatikan gerak geriknya itu.
Entah apa tujuan bayangan kuning itu ketika hampir tiba di istana
Pat-tek-sin-kiong, mendadak ia berpekik nyaring, tubuhnya berputar
ditengah udara lalu melesat kesebelah kanan istana Sin- kiong.
Tempat itu terdapat sebuah empang, bukan saja sunyi juga jarang
didatangi orang.
Mendadak bayangan kuning itu mengeluarkan ilmu meringankan tubuh
Leng-khong-siu tok (menyebrang dengan melayang diudara), lalu
sepepat kilat meluncur kedepan lebih cepat.
Metihat itu para pengejarnya menjadi semakin gelisah, dengan cepat
mereka kerahkan segenap kekuatannya untuk mengejar lebih cepat
lagi.
Tetapi tenaga dalam yang dimiliki bayangan kuning itu terlampau lihay,
bukan saja ia sanggup melewati empang yang amat luas itu, bahkan
dengan tanpa berganti tenaga lagi, dalam sekejap mata telah lenyap
dari pandangan mata.
Para pengejar itu segera terhenti setibanya ditepi empang, mereka
saling berpandangan dengan wajah tertegun, kaget dan membungkam,
kalau mereka disuruh melewati empang yang begini lumayan, orang
orang itu hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan mata terbelalak.
Sementara itu Sik Phu yang berada dibelakang mereka segera menegur
dengan suara keras:
"Orang itu sudah kabur ke arah mana?" Mendengar teguran itu,
delapan orang jago lihay yang mengejar
bayangan kuning tadi segera berpaling, dengan cepat mereka dapat
melihat kalau orang itu adalah Sik Phu, tanpa terasa merah padam
wajah orang orang itu.
Mereka semua cukup kenal dengan Sik Phu, juga tahu kalau Sik Phu
merupakan seorang petugas dari istana Pat tek pat lo, maka semua
orang lantas maju memberi hormat sambil mengisahkan kembali apa
yang mereka alami barusan.
Padahal Sik Phn telah mengetahui segala sesuatunya, mendengar
laporan mereka, dia ha nya bisa tertawa geli dihati.
Menyusul kemudian dia lantas mengulapkan tangannya sembari
berkata:
"Cepat lepaskan tanda bahaya, beritahukan kepada..." Belum selesai
dia berkata, tiba tiba dari be lakang tubuhnya lelah
berkumandang suara seruan nyaring "Tidak usah !" Mendengar
suaranya Sik Phu segera mengetahui siapa orangnya,
dengan sikap yang sangat menghormat ia berkata: "Hamba
mengucapkan salam dan hormat untuk Sancu !" Sedang delapan orang
jago lihay dibelakang itupun turut
membungkukkan badan member hormat, namun mereka tidak berkata
apa apa.
Sancu itu tak lain adalah si kakek berjubah abu-abu berjenggot hitam
tersebut.
Sementara itu dengan wajah sedingin es dia sedang mengulapkan
tangannya kepada ke delapan orang jago ihay itu sambil berkata:
"Kalian segera kembali ke pos nya masing-masing, sebelum mendapat
perintah dilarang meninggalkan tempat masing-masing"
Delapan orang jago lihay itu segera mengiakan, setelah memberi
hormat, mereka segera berlalu meninggalkan tempat itu.
Sik Phu berkedudukan cukup tinggi dalam bukit itu, dengan cepat dia
lantas bertanya:
"Sancu, kapan kau kembali ke bukit? Malam ini..." "Sik Phu, sejak
kapan kau meninggalkan istana Pat tek-kiong?"
sekali Sancu menukas. Sik Phu berangkat sangat awal, dia belum tahu
kalau Pat tek-patlo
dan beberapa orang pelayan roboh tak sadarkan diri, berada dalam
keadaan yang sangat seperti begini ini, asal ia salah berbicara maka
akibatnya sukar dibayangkan dengan kata-kata.
Tapi, Sik Phu adalah seorang yang berpengalaman dalam waktu singkat,
secara ringkas ia telah membayangkan kembali semua persoalan yang
telah terjadi pada malam ini.
Setelah ada garis besar alasan yang bisa di-pakai, diapun memberi
hormat seraya menyambut.
"Pada kentongan pertama tadi, hamba mendapat mgas untuk meronda
untuk setiap bagian istana mendadak hamba menyaksikan ada dua
orang lelaki perempuan yang melompat keluar dari istana dan kabur
menuju ke arah belakang bukit sana, maka hamba..."
Belum habis dia berkata, kembali Sancu telah menukas: "Apakah
sudah kau lihat jelas paras muka orang itu?" Sik Phu tampak ragu
ragu, ia tidak segera menjawab pertanyaan
tersebut. "Hayo jawab !" bentak Sancu dengan paras muka dingin
seperti
es. "Hamba tidak berani menjawab pertanyaan Sancu lantaran
hamba masih ragu-ragu...." "Ehmm,
bagaimana ragu ragunya?"
"Perempuan itu mirip sekali dengan nona Siu..." ""Aaah?!" Sancu
menjerit tertahan, "dan yang lelaki?" "Yang lelaki mirip sekali dengan
Khong sau sancu . . ." Khong sau sancu yang mana?" bentak Sancu.
"Khong It-hong, Khong sau-sancu!" Sancu segera menggertak
bibirnya menahan diri, serunya
kemudian. "Siapa yang mengatakan kalau dia adalah Sau-sancu?"
"Setiap kali Sancu keluar rumah, Khong sau sancu yang
mengurusi semua tugas dibukit ini. setiap kali memberi perintah, dia
selalu membahasai diri sebagai Sau sancu, oleh karena itu...."
Sancu menjadi tersudut, tukasnya kemudian: "Ada urusan apa Khong
It-hong dan nona Siu dibelakang bukit sana?"
"Hamba hanya mengatakan lelaki perempuan itu seperti mirip nona Siu
dan Khong sau . ."
"Khong It hong yaa Khong It hong, mulai se karang kau tak boleh
menyebutnya lagi sebagai sau sancu !"
"Baik," sahut Sik phu, hamba tidak melihat jelas apakah betul mereka
atau bukan !"
"Apakah jaraknya amat jauh?" "Betul. Waktu itu hamba sedang
meronda di loteng Kok bong lo,
sedangkan bayangan manusia itu muncul dari antara ruang Keng, hi, ia
dan to empat ruangan, oleh sebab itu hamba tidak melihat jelas"
Jawaban dari Sik Phu ini sebetulnya memang cukup beralasan
Sewaktu berada di gua Sam seng tong, dengan mata telinga
sendiri ia mendengar pembicaraan antara nona Siu dengan JChong It
hong, tapi ia tak tahu kalau nona Siu sedang membopong Khong It
hong, dia mengira "Siau see lo" benar benar telah terbakar.
Tapi dengan pengalamannya yang luas, ia tak mau secara gegabah
mempercayai semua kejadian yang tidak disaksikan dengan mata kepala
sendiri, tapi dia pun kuatir loteng Liau see lo benar benar sudah
terbakar, maka diapun lantas menggunakan loteng Pak bong lo sebagai
alasannya.
Siapa tahu, alasannya itu secara kebetulan sekali justru persis cocok
dengan kejadian yg menimpa Pat lo dalam See sian, itulah sebab nya
semua kecurigaan yang semula menyelimuti hati Sancu,kini tersapu
lenyap hingga tak berbekas.
"Apakah kau telah memperingatkan Pat lo?" tanya Sancu kemudian.
Pertanyaan ini segera memberi kesempatan Sik Phu untuk memberi
jawaban yang lebih sempurna lagi.
Dengan cepat dia menggelengkan kepalanya berulang kali. "Hamba
sama sekali tidak mengganggu ketenangan Pat lo"
katanya. "Mengapa ?" "Waktu itu, walaupun hamba tidak melihat jelas
siapakah pihak
lawan.." Sekalipun tak dijelaskan lebih jauh, sebagai orang yang cerdik,
Sancu segera dapat memahami kata-kata selanjutnya. Maka diapun
mengangguk. "Benar, katanya, "kalau memang mereka ber dua,
memang tidak
seharusnya mengganggu ketenangan Pat-lo" "Benar, hambapun lantas
menguntil mereka, tapi tiba dibelakang
bukit sana ternyata terjadi peristiwa diluar dugaan, aku telah diserang
oleh dua orang manusia berkerudung setelah bertarung sampai lama,
akhirnya mereka berhasil melarikan diri."
Seharusnya Sancu akan terkejut setelah mendengar perkataan itu, siapa
tahu dia malah tertawa hambar.
"Aku sudah tahu" Setelah berhenti sejenak, kembali dia melanjutkan:
"Manusia berbaju kuning itu sudah melewati telaga itu?" "Benar,
hamba membuntuti dibelakang delapan orang jago lihay
tersebut, sebenarnya bermaksud..." San-cu segera mengulapkan
tangannya sambil menukas:
"Maksud hatimu telah kupahami" Setelah berhenti sejenak, dia
meneruskan. "Sekarang kembalilah kau ke Sin kiong dan kumpulkan
segenap
jago lihay yang kita miliki untuk menntup semua jalan tembus yang
ada, kecuali Pat lo, siapa saja dilarang berjalan melewati tempat itu
setelah persoalanku selesai nanti, akan kuutus kau untuk melakukan
pekerjaan yang lainnya...."
Sik Phu mengiakan dan segera mengundurkan diri dari situ. Sancu
sendiri tertawa dingin, sambil mengulapkan tangannya dia
langsung meluncur ke arah tengah perkampungan Ketika tubuhnya
melambung di udara, diantara kilatan cahaya
yang tajam, ditengah udara kembali muncul sebuah lentera kecil yang
berbentuk aneh, cahaya itu bersinar cukup lama sebelum akhirnya
menimbulkan suara ledakan yang keras dan berubah menjadi kabut
berwarna kuning.
Itulah lencana Si teng hoa yu-leng yang melambangkan kekuasaan dan
kedudukannya sebagai seorang Sancu.
Begitu lenteran dilepaskan, dia sendiri lang sung meluncur menuju
kearah perkampungan keluarga Beng.
Ditengah lapangan diluar gedung besar tersebut entah sejak kapan
telah berkumpul hampir mendekati seratus orang jago lihay.
Ketika Sancu tiba, ratusan orang jago, itu segera menyambut
kedatangannya dengan hormat.
Sancu memandang sekejap sekeliling tempat itu, lalu secara ringkas
berkata.
"Aku akan pergi ke loteng impian, Ki Thian sik pergi mengundang nona
untuk bertemu denganku, cepat! sisanya segera menutup semua jalan
keluar yang ada dibukit ini, mulai besok lakukan perondaan secara
bergilir, dari luar menuju ke dalam setiap jengkal tanah geledah semua
dengan teliti !"
Selesai berkata, dia lantas menggerakkan tubuhnya dan meluncur ke
arah loteng impian.
Tentu saja dia mempunyai alasan alasan tertentu sehingga memutuskan
untuk berkunjung ke loteng impian.
Pertama, sebelum dia berangkat meninggalkan bukit tempo hari,
terhadap Sun Tiong lo sudah mempunyai suatu perasaan aneh.
Kedua, Sancu menaruh curiga kalau manusia berbaju kuning yang
menampakkan diri dalam Pat tek sin kiong tadi, kemungkinan besar
adalah tamu agungnya yang berdiam di dalam loteng impian.
Ketiga, setelah tidak berhasil meraih kemenangan dalam bentrokannya
dengan manusia berbaju kuning tadi, sepeninggal manusia baju kuning
tadi dia telah membangunkan Pat lo dan sekalian anak muridnya.
Setelah melakukan serentetan pemeriksaan terburu2 banyak persoalan
yang ingin dia ketahui, termasuk diantaranya penghianatan Khong It
hong dan lenyapnya Nona Siu secara tiba- tiba, ditambah gerak gerik
manusia misterius dalam istana tersebut.
Tamu agung yang berada di bukit sekarang hanya terdiri dari dua orang
Sun kongcu yang berdiam dalam loteng impian, salah seorang
diantaranya, besok akan berubah statusnya dari tamu agung menjadi
buronan, sedang yang lainnya, yaitu orang yang dicurigai, masih
mempunyai waktu selama dua hari lamanya.
Menurut penilaiannya terhadap pakaian baju kuning yang dikenakan
serta kepandaiannya untuk menyeberangi telaga, bisa
dibuktikan bahwa orang itu adalah salah satu diantara kedua orang ini,
hal mana membuatnya bertambah waspada.
Pakaian kuning yang dikenakan orang itu cukup dikenal olehnya,sebab
diatasnya terdapat tanda rahasia khusus, dan pakaian itu memang
khusus diberikan untuk para tamu agung yang secara tak disengaja atau
tidak sengaja telah memasuki bukit pemakan manusia.
Oleh karena itu, dia peilu untuk mengunjungi loteng impian guna
melakukan pemeriksaan.
Bagaimanapun juga kedudukannya sangat terhormat, pengalamannya pun
luas sekali, maka setibanya dibawah loteng, ia tidak masuk secara
sembunyi-sembunyi, melainkan naik ke atas dengan terbuka dan terang
terangan.
Ketika tiba ditengah tengah bangunan loteng itu, mendadak dia
berhenti dan menegur dengan suara keras:
"Apakah Sun Kongcu sudah tidur?" Aneh, ternyata tiada jawaban!
Dengan kening berkerut sekali lagi dia berseru lantang: "Siapa yang
bertugas disekitar tempat ini?" Kali ini ada jawaban, seseorang
segera melayang datang dari
suatu tempat sejauh tiga puluh kaki lebih dari loteng itu dengan
gerakan yang cepat sekali.
Setibanya didepan loteng, dengan hormat orang itu berkata. "Hamba
siap mendengarkan perintah!" "Tahukah kau, siapa yang bertugas
untuk merondai loteng ini
pada malam hari ini?" "Lapor sancu, tempat ini tiada orang yang
melakukan perondaan
?" "Ooooh... kenapa ?"
"Nona yang menurunkan periutah, katanya perondaan untuk loteng ini
dibatalkan."
"Oooh. kiranya begitu." Setelah berhenti sejenak, dan berpikir
beberapa saat, dia berkata
lebih jauh: "Baik, sekarang naiklah keloteng dan beritahu kepada dua
orang
tamu agung kita bahwa lohu datang berkunjung." Orang itu mengiakan
dan naik ke loteng, tak lama kemudian
jendela dibuka dan Sun Tiong lo melongokkan kepalanya keluar. Hal ini
memang tak salah, teriakan sancu tadi cukup keras dan
ketukan pintu orang itu pun cukup nyaring, seandainya dalam loteng
impian benar-benar ada orangnya, niscaya suara tersebut akan
terdengar dengan jelas, oleh karena itu Sun Tiong-lo segera membuka
jendela dan menampakkan diri.
Setelah melongok sekejap keluar, dengan sikap yang amat sungkan Sun
Tiong-lo berkata:
"Tidak berani merepotkan anda, aku telah bangun dari tidur, silahkan
masuk !"
Sewaktu sancu menyaksikan daun jendela di buka dan Sun Tiong-lo
menampakkan diri tadi diam-diam hatinya terkesiap.
Ternyata sancu telah mencurigai siorang berbaju kuning yang dapat
melewati empang tadi tak lain adalah Sun Kongcu yang selalu
mengatakan dirinya tak bisa bersilat itu, maka dia sengaja datang
kesana untuk melakukan pemeriksaan.
Siapa sangka ternyata Sun Tiong lo masih berada didalam ruangan
lotengnya. kejadian ini benar-benar mengherankan sekali.
Sebab jalan yang ditempuh bayangan kuning itu sepeninggal empang
tersebut adalah perkampungan ini, padahal jalan yang ditempuh dari
empang menuju ke perkampungan harus melewati suatu jalan yang
jauh sekali.
Secepat-cepatnya gerakan tubuh bayangan kuning itu, ia yakin dirinya
masih sanggup untuk mencapai loteng impian lebih dulu.
Tapi sekarang terbukti kalau Sun Tiong lo tetap berada dalam loteng
itu, hal ini menjadikan ia tertegun.
Dengan beradanya Sun Tiong lo dalam loteng itu, maka terbuktilah
sudah kalau manusia berbaju kuning adalah orang lain.
Maka sewaktu Sun Tiong lo melongokan kepalanya tadi, Sancu
merasakan hatinya bertambah berat.
Kini, Sun Tiong lo menyambut kedatangan nya, terpaksa Sancu harus
menarik kembali semua kecurigaannya.
Kepada Sun Tiong lo yang berada di jendela ia tertawa, lalu katanya.
"Tak ada peraturan semacam ini, lohu tak berani merepotkan kongcu
untuk datang menyambut kedatanganku."
Seraya berkata dia lantas memberi tanda kepada anak buahnya sambil
berpesan.
Perintahkan untuk memasang lampu diseluruh bukit ini." Selesai
berkata dengan langkah lebar dia lantas melangkah naik
kedalam loteng. Orang itu segera berlalu untuk melaksanakan tugasnya.
Sementara itu pintu loteng sudah dibuka dan Sun Tiong lo
menyambut kedatangan Sancu. Setelah memberi hormat, pemuda itu
berkata. "Sancu telah kembali tampaknya, aku.,." Sancu menyongsong
maju kedepan, lalu berlagak sungkan dia
menggenggam sepasang tangan Sun Tiong lo erat-erat, kemudian
katanya.
"Oleh karena aku mempunyai janji dengan kong cu, maka begitu
urusan selesai aku segera kembali kerumah."
Sambil berkata, dia lantas mengerahkan tenaga dalamnya kedalam
sepasang tangannya.
Sun Tiong lo segera menjerit kesakitan, saking sakitnya paras mukapun
turut berubah hebat.
Menyaksikan keadaan tamunya itu, diam-diam Sancu menyesali
kegegabahannya, dengan cepat dia mengendorkan tangannya, lalu
dengan tiada minta maaf ia berseru:
"Aaah, lantaran kelewat senang lohu sampai menggenggam tangan
kongcu."
Sun Tiong lo tertawa rikuh, sahutnya. "Wah, apabila sancu
mengerahkan tenaga lebih besar lagi,
niscaya sepasang tanganku ini sudah hancur tak karuan lagi bentuknya
!"
Sancu tertawa. "Mari ! Mari... kita berbicara didalam ruangan loteng
saja ." Maka merekapun memasuki ruang loteng impian. Setelah
kedua belah pihak duduk, Sun Tiong lo segera bertanya: "Sancu,
sejak kapan kau kembali ke gunung?" "Belum lama berselang" jawab
sancu sambil tertawa. Setelah berhenti sejenak, kembali dia ber
berkata. "Bila aku datang berkunjung ditengah malam buta, harap
kau
suka memaafkan ?" "Aaah, mana, mana. ." sahut sang pemuda sambil
tertawa pula. Pelan-pelan Sancu mengalihkan sinar matanya
memperhatikan
sekejap seluruh ruangan loteng itu, kemudian sambil berseru katanya:
"Hei, dimanakah, Sun kongcu yang satunya lagi."
Sun Tiong lo segera menggelengkan kepalanya berulang kali, tukasnya
dengan cepat:
"Orang itu aneh sekali, dan sukar untuk di ajak bergaul, sudah tiga hari
dia datang kemari, namun tak sampai lima patah kata yang dia ucapkan
dengan diriku !"
"Oooh, bagaimana sih ceritanya? Dimana sekarang orangnya ?" Sun
Tiong lo segera mengangkat bahu sambil menggelengkan
kepalanya berulang kali. "Darimana aku bisa tahu!" setiap kentongan
pertama malam hari
dia pasti keluar rumah, sampai hampir fajar baru kembali" "Apakah
setiap malam dia berbuat demikian?" tanpa terasa
tergerak hati Sancu. "Tiga malam ini dia selalu berbuat demikian."
Sancu menundukkan kepalanya dan berpikir sebentar, kemudian
ujarnya kambali. -ooo0dw0oo-
Jilid 14 "APAKAH KONGCU tidak bertanya ke mana dia telah
pergi?" "Sudah, sudah kutanyakan, tapi dia cuma melotot gusar
kepadaku, kemudian mendengus dingin, tak sepatah katapun yang dia
katakan."
Sancu segera berkerut kening puIa, kemudian dia mendengus pula
dengan suara dingin.
Untuk sesaat suasana menjadi hening, sepi dan tak kedengaran sedikit
suarapun.
Kemudian diapun berkata lagi: "ToIong tanya kongcu, pakaian
apakah yang dia kenakan selama
beberapa malam ini?" Sun Tiong lo kembali tertawa getir.
"Dia memang aneh sekali dan lagi sama sekali tak tahu aturan, sewaktu
aku salah masuk ke bukit ini bukankah bajuku robek robek dan kotor?
Atas kemurahan hati Beng cengcu, aku telah diberi dua stel pakaian
panjang, satu berwarna biru dan satu berwarna kuning.
"Tapi kemudian, setelah dia tiba disini bila pagi hari dia mengenakan
pakaian sendiri, tapi bila malam sudah tiba, maka diapun selalu
meminjam pakaian kuning kudapatkan dari Beng Cengcu itu, coba Sancu
bayangkan..."
Mendadak Sancu bangkit berdiri sambil menukas: "Apakah dia tidur
diatas ranjang ini ?" Sun Tiong lo manggutmanggut.
"Ya, dia tidur di bagian luar !" Dengan langkah lebar Sancu
segera berjalan ke depan
pembaringan itu, kemudian dengan tangannya meraba disekitar
pembaringan tersebut.
Betul juga, separuh bagian ranjang tersebut yakni bagian terasa hangat,
hal ini menunjuk kan kalau Sun Tiong lo memang tidak meninggalkan
loteng tersebut, sebaliknya tidur disana, sedangkan bagian luar terasa
dingin, ini membuktikan kalau tempat itu tidak ditiduri orang.
Sewaktu Sancu memeriksa permukaan pembaringan itu, Sun Tiang lo
yang berada dibelakangnya diam diam tertawa geli.
Menyusul kemudian, dengan berlagak seakan akan tidak habis
mengerti, Sun Tiong lo bertanya:
"Sancu apa yang sedang kau lakukan?" "Ooh, tidak apa apa" sahut
Sancu sambil tertawa. Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan:
"Silahkan duduk
kongcu, lohu ada persoalan hendak memohon petunjukmu..." Sun Tiong
lo mengiakan dan duduk disebelah kanannya,
kemudian bertanya:
"Boleh aku tahu, persoalan apakah yang hendak ditanyakan sancu??"
"Kongcu berasal dari mana. ." Belum habis pertanyaan itu diajukan,
Sun Tiong lo telah menukas
dengan cepat: "Aku sebenarnya berasal dari ibu kota, sayang . .." Dia
menghentikan sendiri perkataannya, lalu setelah memandang
sekejap ke arah Sancu, ujarnya: "Adakah sesuatu alasan yang
mendorong Sancu untuk
mengajukan pertanyaan semacam itu kepadaku ?" Sancu segera
tertawa. "Tentu saja ada" dia menjawab, "kalau dibicarakan mungkin
kongcu sukar untuk mempercayainya, kongcu mempunyai wajah yang
mirip sekali dengan seorang sahabat karibku !"
"Oya? Apakah sahabat Pancu itupun she Sun? Sancu agak tertegun,
kemndian sahutnya: "Benar !" Sun Tionglo mengerdipkan matanya
berulang kali, kemudian
ujarnya kembali: "Bolehkah sancu terangkan siapa nama sahabatmu itu
?" Sancu termenung beberapa saat lamanya, seperti lagi
mempertimbangkan apakah harus mengatakannya keluar atau tidak.
Sebelum ia sempat menjawab, Sun Tiong lo telah berkata lebih jauh:
"Sudah tiga hari lamanya aku berdiam di tempat ini sebagai seorang
tamu agung, tapi belum sempat kuketahui nama dari sancu..."
"Lohu she Mou . ...!" "Oooh . .. boleh aku tahu siapa
nama lengkap nya ?"
Belum sempat sancu menjawab, dari luar loteng telah terdengar suara
nona Kim berkumandang datang.
Mendengar suara itu, sancu segera menukas: "Anak Kim kah disitu?
Ayah berada di-sini " Tampaknya selama berada dihadapan Sancu
nona Kim selalu
menjaga peraturan yang berlaku, terdengar ia bertanya: "Bolehkah aku
naik keatas loteng ?" "Naiklah" sahut Sancu sambil tertawa. Setelah
berhenti sebentar, tiba tiba dia merubah pikirannya dan
berkata kembali: "Tidak usah, sekarang malam sudah larut, lebih baik
kita jangan
mengganggu ketenangan Sun kongcu beristirahat, sebentar ayah turun
kebawah, lebih baik kita berbincang-bincang diruang belakang saja,
harap kau tunggu saja."
Berbicara sampai disitu, Sancu telah bangkit berdiri. Walaupun Sun
Tionglo sudah tahu kalau tujuan sancu
mengundang kedatangan nona Kim kesana adalah untuk menyelidiki
pelbagai kejadian yang telah berlangsung didalam istana Pat-tek sinkiong,
namun dia berlagak pilon, sambil tersenyum katanya:
"Mo sancu, sekarang aku sudah tidak ngantuk lagi, mengapa tidak
berdiam agak lama disini ?"
"Aaah, hari sudah larut malam, lagi pula lohu masih ada banyak
persoalan pribadi yang hendak dibicarakan dengan putriku. aku tak
berani mengganggu lebih lama lagi, besok pasti akan kuutus orang
untuk mengundang kedatanganmu, nah saat itulah kita bisa
berbincang-bincang sampai puas ?"
Setelah mendengar perkataan itu, Sun Tiong lo pun tak bisa berkata
apa-apa lagi, maka merekapun saling berpisah.
-ooo0dw0oooDALAM
ruangan Hian-ki-lo, Mao sancu duduk saling berhadapan
dengan putrinya dalam jarak tiga depa, setelah mengundurkan semua
orang dari sana, dengan wajah serius mereka segera terlibat dalam
suatu pembicaraan yang serius.
Pertama-tama Mou Sancu yang berkata lebih dulu dengan wajah dingin
seperti es.
"Aku hanya tiga hari tidak berada dirumah, tapi peristiwa besar yang
terjadi ditempat ini banyak sekali, anak Kim..."
Dengan cepat nona Kim menukas. "Biar kuberikan laporan yang
selengkapnya!" Maka secara ringkas nona Kim menceritakan semua
peristiwa
yang terjadi ditempat ini, tentu saja dia merahasiakan pembicaraannya
dengan nona Siu tersebut.
Ketika selesai mendengarkan penuturan tersebut, dengan kening
berkerut Mou Sancu lantas berkata.
"Dimanakah Siu pay yang dicuri Kong It-hong itu sekarang?" "Sudah
kusimpan kembali didalam peti besi..." "Sedang salinan kitab pusaka
itu." "Kusimpan jadi satu." Mou Sancu manggut-manggut setelah
hening sejenak, tiba tiba ia
berkata lagi. "Tahukah kau nona Siu ... Su nio mengapa Khong It hong
dan
membawanya kabur bersama..." Nona Kim menggelengkan kepala ber
kali2. "Sampai saat inipun aku sendiri tidak habis mengerti." sahutnya.
Mo Sancu mengerutkan dahinya semakin kencang, kembali dia
berkata.
"Tahukah kau siapa nama bocah keparat she-Sun yang lain itu?"
"Dia sendiri mengatakan sejak kecil sudah kehilangan ayah dan
ibunya, dia hanya tahu she-sun tanpa nama, tapi dia masih ingat
sewaktu masih kecil dulu ibunya sering memanggilnya dengan nama
kecil .."
"Oooh... apakah itu?" tukas Mou Sancu. "Dia bernama Bau-ji" Begitu
mendengar nama tersebut, dengan paras muka berubah
hebat, tiba-tiba Mou Sancu melompat bangun. Nona Kim yang
menyaksikan kejadian itu menjadi terkejut sekali,
cepat-cepat katanya: "Kau kenal dengannya ?" Mo Sancu sama sekali
tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya
sambil menarik muka dia berkata: "Cepat perintahkan keseluruh bukit
untuk memperketat
penjagaan pada setiap jalan ke luar yang ada dibukit ini, sebelum fajar
nanti, aku akan melakukan penggeledahan sendiri seinci demi seinci
sampai dia ditemukan ?"
Nona Kim tidak tahu kalau Bau ji telah hilang dari tempatnya semula,
maka cepat-cepat dia bertanya.
"Dia ? Siapa vang ayah maksudkan sebagai dia ?" "Siapa lagi ! Tentu
saja Sun Bau ji !" "Aaah ! Bukankah Bauji berada didalam loteng
impian ?" Mou Sancu mendengus dingin, dia melirik sekejap
kearahnya dan
tak berkata apa-apa. Nona Kim merasakan gelagat tidak beres, maka
katanya lebih
lanjut dengan suara lirih. "Ayah, maksudmu manusia berbaju kuning
yang semalam
menampakkan diri dibanyak tempat itu adalah Sun Bau ji."
Mou Sancu manggut-manggut. "Bukan hanya semalam saja,
beberapa hari berselang orang yang
memasuki istana Pat tek sin kiong tanpa penghadang serta
mempermainkan Pat-tek-pat-lo tak lain adalah dia juga !"
"Aaah, tidak benar !" seru nona Kim tanpa terasa, Tapi begini ucapan
tersebut diutarakan gadis itu segera merasa menyesal sekali.
Sampai detik ini, diantara orang-orang Bukit Pemakan Manusia, boleh
dibilang hanya nona Kim seorang yang dapat menebak siapa gerangan
manusia berbaju kuning itu, dan hanya dia seorang yang tahu kalau
orang tersebut bukan Bau ji.
Paling tidak orang berkunjung kedalam istana Pat rek sin kiong kemarin
malam bukan Bau ji, sebab ketika itu Bau-ji berada bersamanya
semalam suntuk dan mereka tak pernah meninggalkan ruangan barang
selangkahpun, itulah sebabnya ketika terbayang sampai ke situ tanpa
terasa dia menjerit tertahan dan mengatakan tidak benar.
Dengan suara dalam Mou Sancu menegur, "Bagaimana tidak benarnya?"
Nona Kim tidak bisa mengatakan apfl-apa kecuali tertegun dan tak tahu
apa yang mesti dilakukan.
Terdengar Mou Sancu kembali bertanya: "Kenapa tidak buka suara?
Apakah kaupun akan merahasiakan
sesuatu dihadapanku?" Diam diam nona Kim merasa terkesiap, untung
saja satu ingatan
segera melintas didalam benaknya, cepat sahutnya: "Ketika datang
kemari untuk pertama kalinya dulu, bukanlah ilmu
silatnya tidak pandai? Buktinya dia kena dibekuk..."
Mou Sancu segera mendengus dingin, tukas nya:
"Benar benar jalan pemikiran seorang anak perempuan, kalau toh dia
memang datang dengan membawa maksud tertentu, mana mungkin ia
sudi mengeluarkan kepandaian silat yang sebenarnya? justru dengan
pura pura kena di bekuk, maka sekali tepuk ia akan memperoleh tiga
hasil sekaligus?"
Melihat perkataannya itu dapat memancing Mou Sancu untuk
memperbincangkan masalah lain, nona Kim merasa gembira sekali.
"Bagaimanakah yang di maksudkan sebagai sekali tepuk dapat tiga hasil
sekaligus?"
"Dia bermaksud akan datang kemari, tetapi tak mengetahui keadaan
yang sebenarnya dari bukit ini dan tak di ketahui sampai dimanakah
keliehayan dari jebakan kita, maka diapun berlagak kena di bekuk
sehingga tak usah menempuh mara bahaya yang tak diperlukan, ini
merupakan hasil pertama yang bisa dia raih.
"Dengan terbekuknya dia, maka ia hendak memperlihatkan kalau
kepandaian silat yang dimilikinya tidak hebat, otomatis kitapun tak akan
terlalu menaruh perhatian khusus kepadanya, dalam kelonggaran ini,
otomatis dia bisa melakukan penyelidikannya dengan lebih leluasa. inilah
keuntungan kedua yang diraihnya.
Seperti misalnya peristiwa yang terjadi semalam, setelah kejadian itu
bahkan ayah sendiri pun tidak menaruh curiga kepadanya, sudah pasti
orang lain lebih lebih tak akan menaruh curiga kepadanya, inilah
keuntungannya yang ke tiga !"
Setelah mendengar penjelasan tersebut no na Kim baru menunjukkan
sikap seakan akan baru memahami, katanya kembali:
"Seandainya apa yang dikatakan ayah me ruang benar, bukankah
sekarang dia sudah kabur dari sini ?"
"Tidak mungkin, sebelum apa yang diharapkan tercapai, tak nanti dia
akan pergi !"
"Jadi ayah menduga kalau dia masih berada diatas bukit ini ?"
"Ehmmm...tak bakal salah lagi"
Setelah berhenti sejenak, kembali dia melanjutkan: "Sekarang,
turunkan perintah kepada semua orang agar
bertindak lebih berhati hati lagi, jika menemukan tempat
persembunyiannya, laporkan dulu kepada ayah dan nantikan perintah
ayah sebelum mengambil sesuatu tindakan!"
Nona Kim mengiakan, lalu katanya pula. "Ayah, aku sudah lelah . . .. "
Mou Sancu memandang sekejap kearahnya, kemudian
menjawab. "Sampaikan dulu perintah tersebut, kemudian kau boleh
pergi
beristirahat!" Nona Kim mengiakan dan siap berlalu dari situ. Mendadak
Mou Sancu berkata lagi. "Sudahkah kau selidiki, Su-nio kabur melalui
jalan yang mana ?" "Dia kabur lewat gua Sam-seng-tong bagian tengah
dibelakang
bukit situ." jawab gadis itu berterus terang. Ucapan itu kembali
membuat Mou Sancu merasakan hatinya
terperanjat dia lantas mengulapkan tangannya sambil berkata: "Segera
turunkan perintah kilat, aku hendak melakukan
pemeriksaan sendiri atas gua Sam seng tong tersebut !" Mendengar
ucapan itu, diam diam nona Kim merasa amat girang,
cepat dia memberi hormat dan mengundurkan diri. Setelah
menyampaikan perintah dan menyaksikan Mou Sancu
berangkat menuju ke bukit bagian belakang nona Kim segera
menjejakkan tubuhnya melayang ke tengah udara, ia tidak kembali ke
tempat tinggalnya, sebaliknya langsung menuju keloteng impian.
-oo0dw0oooDalam
ruangan loteng impian, nona Kim dan Sun Tiong lo sedang
duduk saling berhadapan muka.
Dengan wajah dingin seperti es, nona Kim berkata: "Bagaimana? Mau
bicara atau tidak ?" Sun Tiong io segera
tertawa sahutnya: "Asal usulku apa baiknya dibicarakan..." "Aku
menanyakan asal usul dari kalian bersaudara, kau harus
bercerita apa adanya." tukas si nona dingin. "Saat ini bukan saat yang
tepat, bila nona percaya kepadaku..." Sambil menggelengkan
kepalanya kembali nona Kim menukas. "Dulu boleh saja menunggu,
tapi sekarang tak bisa kupenuhi, aku
tetap menuntut seperti apa yang kukatakan tadi, bicaralah terus terang
dan aku akan menjaga rahasia ini rapat rapat, kalau tidak..."
"Kalau tidafc, nona benar benar akan membeberkan rahasia ini kepada
Sancu?" sambung Sun Tiong lo.
"Betul" jawab nona Kim dengan wajah serius, "aku dan kau sama sama
tiada pilihan lain !"
"Sungguh ?" paras muka Sun Tiong lo segera berubah menjadi serius
pula.
"Benar" sahut sinona dingin, ""selain itu aku harap apa yang telah
disampaikan kakakmu kepadamu juga kau sampaikan kepadaku!"
Sun Tiong lo berlaga menghela napas panjang dengan perasaan apa
boleh buat, padahal sesungguhnya dia memang berniat untuk
menerangkan segala sesuatunya tanpa diminta, sehingga dengan
demikian, tujuan mereka sebenarnya sama.
Maka diapun lantas membeberkan kejadian yang sebenarnya...
-oo0dw0ooSuatu
malam yang gelap dengan angin yang berhembus kencang,
malam itu salju turun dengan derasnya.
Kentongan ketiga telah menjelang tiba, suara kentongan tersebut
berkumandang dari balik gedung Kwik Wangwee yang letaknya
berhadapan dengan kuil Kwan ya bio dikota Tong ciu
Tiba-tiba dari belakang dinding tinggi gedung Kwik Wangwee tersebut
melayang datang sesosok bayangan manusia, ilmu meringankan tubuh
yang dimiliki orang itu amat sempurna sekali sehingga kelincahannya
mirip seekor burung walet.
Tapi begitu kakinya menempel diatas tanah, tiba tiba ia tak sanggup
berdiri tegak, dengan sempoyongan dia mundur sejauh tiga langkah
lebih dan akhirnya jatuh terjungkal diatas tanah.
Tampaknya bantingan tersebut cukup keras, buktinya sampai cukup
lama orang itu terduduk ditanah sambil mengaduh, tapi kemudian ia
meronta bangun dan celingukan ke sana ke mari.
Dengan cepat perasaan gelisah dan cemas menyelimuti wajah orang itu
. .
Sejauh mata memandang, ujung jalan yang terbentang tiga puluh kaki
lebih itu berakhir diujung sebuah tembok kota yang tinggi, jalan lain
menuju ke arah kuil Kwan ya-bio, sedangkan jalan terakhir menuju ke
belakang gedung Kwik Wangwee.
Kecuali jalan jalan tadi, disana hampir tak nampak jalanan lainnya lagi-
Pada hal dia harus cepat cepat melarikan diri, sedang musuh makin
mendekati orang itu menjadi kebingungan setengah mati dan tidak tahu
apa yang harus dilakukan.
Dalam gugup dan gelisah, mendadak sorot matanya di alihkan kepada
pintu gerbang kuil Kwan ya bio itu.
Setelah menundukkan kepala dan berpikir sebentar, akhirnya sambil
menggigit bibir dia melompat naik keatas undak-undakan kuil itu.
Sekarang keadaan orang itu baru tampak lebih jelas, terlihat sebuah
bungkusan berada di atas punggungnya, besarnya tidak mencapai tiga
depa, terbuat dari kulit kambing warna hitam gelap.
Ketika memandang kearah bahu kiri dan kaki kirinya, tampak seakan
akan menderita luka parah sehingga hal mana membuat langkahnya tak
selincah semula.
Tak heran kalau tubuhnya menjadi sepoyongan setelah melayang turun
ditengah jalan tadi.
Setibanya diatas undak kuil, ia baru melihat jelas suasana dalam ruangan
tersebut, keningnya segera berkerut dan kepalanya digelengkan
berulang kali.
Dalam pada ini suara pekikan nyaring berkumandang secara tiba- tiba
dengan amat nyaringnya.
Dia segera mendepakkan kakinya ke tanah, lalu dengan cepat
melepaskan buntelan yang ada dipunggungnya, setelah itu dia
bergumam.
"Kalau aku sampai mati, hal ini tak menja di masalah, tapi In-cu
(majikan) hanya mempunyai seorang putra, padahal aku sudah terkena
senjata rahasia beracun, tampaknya aku harus menyembunyikan majikan
kecil lebih dahulu..."
Bergumam sampai disitu dia lantas menerobos masuk ke dalam
ruangan, ketika dijumpainya ada beberapa buah karung yang tergeletak
disana, dengan cepat dia masukkan bocah itu ke dalam karung-karung
tersebut.
Begitu selesai menyembunyikan bocah ini ke dalam karung dengan
cepat dia telah menggembol kembali bungkusan kulit kambing itu diatas
punggungnya, tak bisa disangkal lagi dia sedang menggunakan siasat
guna mengelabuhi lawannya.
Begitu selesai menyembunyikan majikan kecilnya, dengan perasaan lega
dia berpikir sejenak, lalu lari ke tengah jalan dan berencana untuk
melakukan perlawanan lagi sampai titik darah penghabisan.
Siapa tahu baru saja dia hendak melangkah pergi, tiba tiba muncul
sebuah tangan yang kurus kering mencengkeram tungkai kakinya,
menyusul kemudian muncul seorang pengemis tua yang rambutnya
telah memutih semua sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Sambil menggelengkan kepalanva berulang kali, pengemis tua itu
berkata sambil tertawa cekikikan:
"Sobat, kau tak boleh berbuat begitu, aku si pengemis tua kerjanya
hanya meminta-minta, belum pernah kulakukan pekerjaan berdagang
manusia."
Mendengar perkataan itu, dengan cemas seorang itu segera berseru.
"Bukan... bukan begitu, dia adalah majikan kecilku, karena rumahnya
telah musnah dan musuh mengejar amat ketat, sedang akupun sudah
terkena senjata rahasia beracun."
Belum habis ucapan tersebut diutarakan, kembali pengemis tua iiu
menggelengkan kepalanya sambil menukas:
"Tak usah menggunakan alasan sebanyak itu, jika kau larikan anak
orang, tentu saja orang tuanya akan mengejar dirimu, sekarang kau
sembunyikan bocah itu ke dalam sarang kami, tahukah kau dosa apa
yang bakal dipikul oleh diriku?"
Dalam pada itu suara pekikan nyaring tadi sudah semakin mendekat,
bahkan dari kejauhan sana telah berkumandang pula suara sahutan.
Ketika orang itu melihat keterangannya tak bisa diterima orang,
mendadak timbul niatnya untuk membunuh pengemis tersebut, dengan
cepat dia merogoh ke dalam sakunya siap mencabut keluar sebelah
pisau belati.
Tapi pengemis itu dengan cepat telah berkata lagi: "Sobat, bila kau
berati menggunakan kekerasan untuk membunuhku, maka sekalipun
aku harus pertaruhkan nyawa, aku akan kuteriakkan tempat
persembunyianmu, waktu itu orang orang yang mengejarmu pasti akan
berdatangan kemari, sedang rekan rekanku yang berada
dalam ruangan inipun akan terbangun semua, lebih baik jangan berbuat
bodoh."
Orang itu menjadi tertegun untuk sesaat lamanya, dalam gelisah
bercampur gusar akhirnya dia berkata lagi:
"Aku tidak membohongi dirimu, bocah ini mempunyai asal usul yang
besar, dia adalah satu-satunya keturunan keluarga Sun dari loteng
tamnur yang hidup, aku bernama . . . "
Belum habis dia berkata, pengemis tua itu lelah mengendorkan
tangannya sambil menukas
"Apakah kau maksudkan Sun Toa-wangwee dan bi-jin-tong (ruang
pengumpul kebajikan ) ?"
Buru-buru orang itu mengangguk "Benar, dalam saku bocah itu
terdapat tanda pengenal yang akan
membuktikan kebenaran itu, cuma sekarang aku tak ada waktu lagi
untuk diperlihatkan kepadamu, setelah melewati malam ini, kau akan
segera mengetahui jika aku tidak berbohong kepadamu!"
Pengemis tua itu berpikir sejenak, lalu katanya sambil tertawa: "Sun
toa-wangwee memang seorang yang baik, dan kau . . . aku
lihat kaupun tidak mirip orang jahat, baiklah, aku percaya dengan
perkataanmu itu, benar atau tidak. besok pagi kita bicarakan lagi,
sekarang kau boleh pergi dari sini !"
Selesai berkata, pengemis tua itu kembali menerobos masuk ke dalam
karungnya.
Setelah majikan kecilnya disembunyikan orang itupun merasa hatinya
setengah lega, dengan langkah lebar dia lantas berjalan menuju ke
tengah jalan.
Mendadak pengemis tua itu bangkit kembali seraya berseru: "Hei,
hei, hei, kau hendak kemana?" Sambil menuding ke ujung jalan
sebelah timur, jawab orang itu:
"Aku hendak memancing musuh !" "Huuh . . . kata kata macam
kentut, orang lain sudah mengurung
rapat-rapat semua jalan disana, bila kau berani ke tempat itu, tanggung
tak sampai setengah jalan, dirimu sudah kena dibekuk oleh mereka,
waktu itu bila golok mengorek tulang, mulutmu pasti terpentang lebar
lebar dan berkata apa adanya, akibatnya kau pasti mampus, bocah itu
akan mampus, kami pun turut menjadi korban."
Mendengar perkataan itu ada benarnya juga, tanpa terasa orang itu
bertanya:
"Lantas aku harus ke mana . ." Belum selesai perkataan itu, si
pengemis tua tersebut sudah
menuding ke dalam ruangan sambil berkata: "Kalau ingin kabur lebih
baik kabur ke barat, paling tidak bisa
memancing perginya para pengejarmu itu, cepat !" Orang itu segera
menyahut, tanpa banyak berbicara lagi dia
lantas kabur menuju ke dalam ruangan. Siapa tahu pengemis tua itu
berbisik lagi secara tiba tiba: "Waah ... sudah tidak keburu,
orang-orang yang mengejar mu itu
berilmu silat sangat tinggi, mereka telah tiba disini, cepat sedikit masuk
ke dalam karungku, cuma kau harus ingat, bertindaklah sedikit pintar,
bilamana tidak amat penting jangan bersuara !?"
Dalam keadaan begini, dia tak sempat memikirkan perkataan dari
pengemis tua itu lagi, dengan cepat dia menerobos masuk ke dalam
karung dan menyembunyikan diri.
Siapa tahu pengemis tua itu memang aneh, ternyata ia menarik keluar
kepalanya dari dalam karung dan menarik bajunya keluar, hingga
dengan demikian meski tak nampak wajah-nya, namun kelihatan kepala
dan sebagian dari tengkuknya.
Baru saja dia menyembunyikan diri, terdengarlah suara ujung baju yang
hembus angin bergema dari luar pintu kuil Kwan ya-bio, dalam waktu
singkat disana telah muncul belasan orang manusia
berbaju hitam, bahkan raut wajah mereka ditutup oleh kain kerudung
hitam.
Kemudian manusia berbaju hitam itu berdiri berjajar dengan rapi,
namun sama sekali tak bergerak, scakan-akan ada sesuatu yang
dinantikan.
Tak lama kemudian, sesosok bayangan putih melayang turun dari
tengah udara, ketika mencapai tanah ternyata tidak menimbulkan suara
apa-apa, ternyata dia adalah seorang manusia berbaju perak
berkerudung hitam yang mempunyai perawakan jangkung.
Kain kerudung ril persis menutupi hidung dan mulutnya, dengan
demikian hanya sepasang matanya yang tajam saja tampak dengan
jelas.
Setibanya disana, dengan sorot mata setajam sembilu dia awasi
sekeliling kuil, lalu tegurnya dengan suara dalam:
"Apakah orang itu berada didalam sana ?" Seorang manusia baju
hitam yang berkerudung dan berdiri di
ujung segera menyahut: "Menurut jejak kaki yang berada diatas
permukaan salju, ia telah
masuk kedalam kuil Kwan Yao bio." "Ehmm...." orang yang berbaju
perak itu manggut-manggut, lalu
sambil ulapkan tangan ia melanjutkan "Geledah! Tapi jangan sampai
membangunkan kawan-kawan pengemis, cara kerja kalian harus cepat,
ringan matapun harus jeli!"
Kawanan manusia berkerudung hitam mengiakan lirih, dan seringan
kapas menyelinap masuk sedalam kuil, sementara ditengah jalan raya
hanya tinggal simanusia berbaju perak seorang.
Setelah menyaksikan anak buahnya menyebarkan diri untuk melakukan
penggeledahan dalam kuil itu, pelan pelan manusia berbaju perak itu
melangkah naik keatas undak undak batu, sorot matanya yang tajam
memandang sekejap keatas undakan batu tadi, kemudian berhenti.
Menvusul kemudian manusia berbaju perak itu menendang sebuan
karung goni yang paling panjang.
Sipengemis tua yang berada dalam karung goni itu cepat melompat
bangun, kemudian sambil memicingkan matanya dia mengawasi orang
berbaju perak itu dengan wajah tertegun.
Orang berbaju perak itu segera tertawa terkekeh-kekeh, ujarnya:
"Aku tahu, kau belum tidur !" Tampaknya pengemis tua itu
berangasan sekali, kontan saja dia
meludah sambil menyumpah: "Sialan, betui-betul ketemu setan kepala
besar, mau tidur kek, mau melotot kek, apa sangkut pautnya dengan
dirimu ? Kau tahu baru saja aku mau tidur, badanku sudah ditendang
orang, aku ingin menggeliat, kau tendang pantatku lagi, huuuh, kalau
ditendang melulu hanya kentut anjing yang bisa meram !"
Orang berbaju perak itu tidak marah, dia manggut-manggut lalu
bertanya pelan:
"Ooh, jadi tadipun kau kena ditendang orang sampai terbangun dari
tidurmu ?"
"Hmm, siapa bilang tidak?" sahut pengemis tua itu dengan wajah
marah bercampur kesal.
Kembali orang berbaju perak itu manggut-manggut, tanyanya
kemudian:
"Macam apa orang yang menginjakmu tadi?" pengemis tua itu cuma
melotot saja, tak sepatah katapun yang
dijawab, kemudian tubuh nya ditarik masuk kembali kedalam karung
goninya dan siap-siap untuk tidur lagi.
Orang berbaju perak itu tertawa seram, sekali lagi dia menyepak tubuh
pengemis itu, malah kali ini menyepaknya keras keras.
"Aduh mak biyung," jerit sipengemis sambil melompat bangun,
"maknya, apa apaan kau ini."
"Jawab dulu pertanyaanku yang kuajukan tadi!" seru orang berbaju
perak itu dingin.
Pengemis tua itu mengerdipkan mata, kemudian mendengus dingin.
"Hmm . . .! Enak betul kalau perintah orang huh apa yang kau
andalkan?"
"Aku mengandalkan apa yang ingin kuketahui !" suara orang berbaju
perak itu kedengaran mengerikan sekali.
"Jadi kau ingin tahu .. . ?" tiba-tiba pengemis tua itu berkata lebih jauh.
Belum sampai berbaju perak itu menjawab, pengemis tua itu sudah
mengulurkan tangannya kedepan seraya berkata:
"Bawa kemari!" "Apanya bawa kemari?" orang itu tertegun. "Pepatah
kuno berkata: Sebuas buasnya sang Kaisar, dia tidak
akan mengutus tentara yang sedang kelaparan, aku adalah seorang
peminta-minta, bukan si pengantar warta kepada toaya sekalian, maka
dari aku minta uang nya lebih dulu sebelum buka mulut!"
Tampaknya orang berbaju perak itu segan untuk banyak ribut, ia
segera merogoh sakunya dan mengeluarkan sekeping perak.
Setelah menerima uang perak itu dan menyimpannya kedalam saku,
pengemis tua itu baru tertawa terkekeh-kekeh.
"Heeh .. . heeeh . . . heeh paling tidak uang perak ini seberat dua tahil,
baiklah, aku bersedia meajawab dua pertanyaanmu."
Orang berbaju perak itu mendengus dingin: "Sekarang
jawab dulu pertanyaan yang aku ajukan tadi!" pengemis
tua itu terkekeh kekeh.
Orang yang menginjak tubuhku tadi berperawakan tinggi, mengenakan
baju warna biru dan membopong sebuah bungkusan kulit kambing yang
besar, berwarna hitam!"
-ooo0dw0ooo-
BAB DELAPAN BELAS
DIA telah lari kemana ?" kembali orang tua itu bertanya. "ltu dia,
masuk kedalam sana !" jawab si pengemis tua itu sambil
menuding kedalam ruangan. Berkilat sepasang mata orang berbaju
perak itu, kembali dia
bertanya : "Masuk kedalam ruang kuil atau..." Belum habis pertanyaan
itu diajukan, pengemis tua itu sudah
menukas lebih dulu: "Mana uangnya !" Manusia berbaju perak itu
menjadi tertegun mencorong sinar
buas dari balik matanya. Tapi pengemis tua itu berlagak seakan akan
tidak merasakan hal
itu, kembali dia berkata: "Aku toh sudah bilang, setiap potong perak
hanya akan kujawab
dua kali, oleh karena itu bila tuan ingin bertanya yang lain, maaf,
terpaksa kau mesti memberi uang lagi padaku !"
Orang berbaju perak itu mendengus dingin. "Hm ! Memangnya kau
anggap uang perak bisa dicari dengan
cara begini mudah ?" Kembali pengemis tua itu menggelengkan
kepalanya berulang
kali, katanya lebih jauh: "Terus terang kukatakan tuan, hidup sampai
hari ini, baru kali ini
aku si pengemis tua mendapat keuntungan seperti ini, kalau tidak,
mana mungkin aku berani minta kepadamu ?"
"Oooh, jadi kau anggap aku adalah seseorang yang gampang diperas ?
Maka kau mencoba untuk memeras aku ?"
Kembali sipengemis tua itu menggelengkan kepala berulang kali.
"Tuan, kau jangan menuduh aku yang bukan-bukan, aku sama
sekali tak berniat untuk memerasmu, terus terang saja aku hanya
memandang tuan sebagai orang yang royal, maka aku hendak
manfaatkan kesempatan ini untuk mencari keuntungan."
Mendengar perkataan itu, si orang berbaju perak tersebut baru tertawa,
betul juga dia lantas mengeluarkan sekeping uang perak dan
dilemparkan kearah pengemis tua itu.
Begitu uang diterima, pengemis tua itupun segera berkata: Orang itu
tidak masuk ke ruang tengah, melainkan berbelok
kekanan lalu menuju ke- belakang." "Heeeh heee heeh sudah aku
duga, dia pasti..." "Betul, isi bungkusan kulit kambing hitamnya juga
bukan mutiara
atau barang berharga, melihat seorang bocah cilik, seorang bocah yang
meringis terus tiada hentinya!"
Mencorong sinar tajam dari balik mata orang berbaju perak itu, dengan
wajah berseri dia menegaskan:
"Apakah kau lihat kesemuanya itu dengan jelas?" Sekali lagi
pengemis tua itu menyodorkan tangannya sambil
tertawa-tawa terkekeh-kekeh. "Harap tuan memberi persen lagi!" Lama
kelamaan orang yang berbaju perak itu menjadi naik darah
juga, dengan gusar bentaknya. "Aku toh belum menanyakan apa-apa?
Masa kau ingin minta
uang lagi? Apa-apaan kau ini?" Agaknya pengemis tua itu mempunyai
alasan yang amat tepat,
segera sahutnya.
"Tuan, sekalipun kau tidak bertanya, tapi aku kan telah memberitahukan
kepadamu kalau dia membopong seorang bocah ? Bukan hal ini sama
artinya memberitahukan kepadamu?"
"Kau banyak bicara kan atas kerelaanmu sendiri, sudah barang tentu
tak bisa dibilang sa ma" seru orang itu makin gusar.
Pengemis tua itu sama sekali tidak meng-gubris, malah seperti seekor
ikan belut saja dia menerobos masuk ke dalam karungnya, jelas
pengemis tua uu merasa kata katanya ini sangat menggusarkan orang
berbaju perak itu, sambil menghentakkan kakinya dia menyepak
pengemis tua itu dengan keras-keras.
Kali ini pengemis tua itu menjerit kesakitan dan melompat bangun
sambil memegangi kakinya yang kesakitan itu.
Hanya Thian yang tahu, bahwa tiga kali tendangan tersebut, ia sama
sekali tidak merasakan apa-apa, yang sial adakah lelaki yang berada
disampingnya dan sedang bersembunyi itu, meski kena ditendang
terpaksa harus menahan diri sebisanya.
Sementara itu, orang berbaju perak telah menyeringai menyeramkan,
sorot mata memancar cahaya merah yang penuh dengan hawa napsu
membunuh.
Setelah mengaduh tadi, pengemis tua itu segera berteriak dengan suara
lantang:
"Atas dasar apa kau menyepak tubuhku ?" Orang berbaju perak itu
mendengus dingin. "Hmm . .. ! pengemis busuk, kuperingatkan
kepadamu, bila kau
berani membungkam tanpa menjawab pertanyaanku bila sampai kau
bangkitkan amarahku, mungkin sekali akan kutebas batok kepalamu
dengan sekali tebasan pedang!"
Rupanya pengemis tua itu tidak takut mati, ia segera menjulurkan
tengkuknya sambil berteriak:
"Kau hendak main gertak ? Hmm ... aku si pengemis tua sudah terlalu
banyak menjumpai kejadian besar di dunia ini, terus terang
kukatakan kepadamu, kecuali mampus tiada bencana yang lebih besar
didunia ini, bila aku si peminta-minta tidak miskin, aku sudah hidup
makmur sedari dulu-dulu.... mengerti ?"
"Pengemis busuk, berani berteriak-teriak?" bentak orang berbaju perak
itu gusar.
"Kenapa tak berani berteriak? Sungguh menggelikan, kalau aku pingin
berteriak, aku segera berteriak, bukankah kau punya pedang? Mari,
mari, incar yang jitu dan tusuk lah tengkukku ini, jangan sampai
meleset, hayo bacok saja cepat, jangan dianggap aku takut pada
pedangmu itu."
Karena teriak-teriakannya itu, kontan saja kawanan pengemis lainnya
yang berada dalam ruangan itu terbangun semua dari tidurnya, se
rentak mereka merangkak bangun dari atas tanah.
Dalam keadaan demikian, sekalipun orang berbaju perak itu merasa
mendongkol bercampur benci, namun dia benar-benar dibikin apa boleh
buat.
Ketika pengemis tua itu menyaksikan rekan rekannya sudah pada
bangun semua, ia berteriak makin keras lagi, serunya.
"Teman teman sekalian dalam ruang ini masih ada belasan orang bocah
yang mengenakan kain kerudung hitam masih berkeliaran mari kita
robek kain kerudungnya, coba dilihat adakah diantara mereka yang kita
kenal..."
Anjurannya ini benar-benar merupakan senjata yang ampuh, kontan
saja orang berbaju perak itu bersuit nyaring lalu mengajak belasan
orang manusia berkerudung hitam itu untuk mengundurkan diri dari
sana, sekejap kemudian bayangan tubuhnya sudah lenyap dari
pandangan mata.
Begitu orang-orang itu kabur, pengemis tua itu segera berseru kepada
rekan-rekannya:
"Nah, sekarang orangnya sudah pada kabur, kalian harus tidur lagi
dengan baik, siapa be rani bangun, lihat saja kalau aku si pengemis tua
akan menghukumnya, selama tiga bulan tidak diberi
makan selain itu, jangan menyulut lilin, mesti menghemat tahu ? Hayo
matikan semua !"
Pengemis tua itu benar benar hebat, ternyata segenap pengemis yang
berada dalam ruangan itu pada takut kepadanya, begitu perintah
diberikan, serentak mereka masuk ke dalam karung goni masing-masing
untuk tidur, sedang lilin pun segera dipadamkan.
Beberapa waktu kemudian, kawanan pengemis itupun telah tertidur
kembali dengan nyenyaknya.
Menunggu semua orang sudah tidur, pengemis tua itu baru menarik
keluar lelaki yang menyembunyikan diri tadi sambil berbisik.
"Hei, jangan tidur sungguhan, orang yang mengejarmu itu sudah kabur
semua, mumpung ada kesempatan baik, cepatlah melarikan diri."
Lelaki itu mengiakan, tapi setelah meronta sekian lama, dia baru duduk
dilantai.
Dengan kening berkerut pengemis tua itu segera menegur. "Hei,
kenapa kau? Merasa keberatan untuk pergi dari sini!" "Bukannya
keberatan untuk pergi, aku sudah tak mampu untuk
berjalan lagi...!" jawab lelaki itu sambil tertawa getir. "Haahh . .. haahh
. . . haahh . .. bagus sekali, gara-gara ingin
menolongmu aku telah pertaruhkan nyawa tuaku untuk ribut dengan
kawanan manusia pembunuh yang membunuh orang tak berkedip itu,
sekarang setelah orangnya pergi, kau malah ingin memeras aku..."
Buru-buru lelaki itu menggoyangkan tangannya berulang kali, katanya
dengan cemas:
"Bukan, bukan begitu, sesungguhnya racun yang mengeram dalam
bahu kiri dan kaki kiri ku akibat serangan senjata rahasia beracun itu
sudah kambuh, kini aku benar benar tak sanggup untuk berjalan lagi"
"Oooh . . . . berbahayakah keadaanmu?" Lelaki itu tertawa sedih,
sahutnya lirih: "Terus terang saja, aku
sudah tak dapat hidup lebih lama lagi..." "Aaaah...! Masa sampai
sehebat itu?" seru pengemis tua tersebut
sambil mengerdipkan matanya berulang kali. Lelaki itu
manggut-manggut, sambil menyunggih lengan kirinya
yang sudah mati rasa, dia berkata: "Jika kau orang tua tidak percaya,
silahkan memeriksa bahu
kiriku ini, tanggung delapan puluh persen lenganku ini sudah berubah
menjadi hitam pekat?"
"Oooh . .. kalau begitu, kau sudah pasti akan mati?" Lelaki itu tidak
menjawab, dia hanya tertawa sedih belaka. Tampaknya pengemis
tua itu tidak percaya dia segera turun
tangan sendiri untuk memeriksa luka di atas bahunya itu, tapi setelah
menyaksikan keadaan yang sebenarnya, dia segera menghela napas
panjang.
Pengemis tua itu memang amat aneh, setelah menghela napas
panjang, diapun tertawa terkekeh kekeh, katanya:
"Sudah banyak perjalanan yang kulakukan, banyak juga barang yang
aku jumpai, tampaknya telah terluka oleh senjata rahasia yang dibauri
dengan obat racun yang dinamakan Thio ko tin, lewat satu dua jam lagi
kau pasti akan mati kekeringan dengan mulut terpentang lebar!"
Lelaki itu tidak banyak berbicara, dia hanya menundukkan kepalanya
sambil membelai anak yang berada didalam karung goni tersebut.
Mendadak pengemis tua itu berkata lagi. "Hei, bagaimana kalau kita
merundingkan sesuatu ?" "Bagaimanapun juga, nyawaku dan nyawa
majikanku telah
ditolong kau orang tua pada malam ini, sebagai seorang lelaki
sejati,
ada budi harus dibalas ada dendam tak boleh dilupakan, bila kau orang
tua ada pesan, silahkan saja disampaikan, asalkan aku masih sanggup
untuk melakukannya, tak nanti aku akan menggelengkan kepalaku !"
Pengemis tua itu segera tertawa terkekeh-kekeh. "Waaah . .. setelah
kau berkata begitu, aku menjadi agak rikuh
sendiri untuk buka suara" katanya. "Haaah... haah... haah.... sudah
sepantasnya kalau aku bersikap
demikian, silahkan kau orang tua untuk mengucapkannya keluar." Sekali
lagi pengemis tua itu tertawa terkekeh-kekeh. "Heeh... heh... heeh...
begini maksudku, kalau toh kau sudah
pasti akan mati, maka aku ingin meminjam mayatmu itu untuk..." Belum
habis ucapan itu diutarakan, lelaki itu telah menukas
dengan cepat: "Boleh!" "Apakah tak kau tanya kegunaan mayat itu
bagiku?" tanya sang
pengemis tua agak tertegun. Lelaki itu segera tertawa getir. "Kalau
orang sudah mati maka dia tidak akan merasakan apa-apa
lagi, perduli amat hendak diapakan mayatku itu, apalagi akupun bisa
menggunakan mayatku ini unmk membalas budi kebaikanmu pada
malam ini.."
Belum habis perkataan itu, kembali pengemis tua itu menukas.
"Sahabat, kamu benar-benar mengagumkan aku pengemis
tuapun tidak ingin membohongi dirimu, baiklah sekarang terus terang
kukatakan padamu, Aku mempunyai seorang murid yang memelihara
ular kecil, sayang kami tak mempunyai makanan untuk memeliharanya,
oleh karena itu..."
Paras muka lelaki itu segera berubah hebat, serunya tanpa terasa:
"Maksudmu, kau hendak menggunakan mayat ku untuk memelihara ular
kecil tersebut?" pengemis tua itu cuma manggut- manggut.
Tiba-tiba lelaki itu menghela napas panjang-panjang, katanya
kemudian:
Terserah kepadamu, toh setelah mati aku tak akan merasakannya apa,
mau diberikan pada ular kek, harimau, terserah kamu..."
"Tidak, tidak, tidak, kau mesti mendengar yang jelas lebih dulu", seru
pengemis tua itu lagi sambil menggelengkan kepala berulang kali, "ular
kecil kami itu tidak suka makan daging mayat yang telah kaku!"
Setelah mendengar perkataan itu, lelaki itu baru merasa terkejut,
dengan wajah berubah teriaknya:
"Sekarang juga kau hendak..." pengemis tua itu manggut- manggut.
"Yaa... mumpung kau belum mati, lebih baik cepat-cepat kuberikan
badanmu padanya."
Mendengar perkataan itu, lelaki tersebut menjadi amat gusar, sambil
menuding kewajah pengemis tua itu bentaknya:
"Jangan mimpi..." Beru dia bersuara, pengemis tua itu telah
mendengus dingin
seraya berseru: "Kau toh sudah mengabulkan permintaanku lebih dulu,
sulit bila
kauhendak menyesalinya kembali, nah sekarang, berbaringlah baikbaik
di sini..."
Begitu selesai berkata, jari telunjuk tangan kanan pengemis tua itu
segera menotok diatas tubuhnya.
Kontan saja lelaki itu jatuh tak sadarkan diri.
Kemudian pengemis tua itupun mengambil keluar sebuah tongkat
penggebuk anjing yang tipis dan panjang iiu, lalu diputar dan di tarik,
ternyata tongkat penggebuk anjing itu telah berubah menjadi dua
bagian, yang satu panjang sedangkan yang lain pendek.
Setelah itu dengan cepat dia melepaskan pakaian yang dikenakan lelaki
tadi, tongkat penggebuk anjing yang agak pendek itu digertakan keras,
seekor ular berwarna perak yang panjangnya cuma lima inci segera
menyusup masuk ke dalam karung goni.
Tak lama kemudian, pengemis tua itu mendesis lirih dengan suara yang
aneh. tengah suara desisan itulah ular kecil berwarna perak tadi
merambat keluar dengan ogah-ogahan, seakan-akan merasa keberatan
untuk merambat balik ke dalam tongkat pendek itu.
Setelah tongkat penggebuk anjing itu disambung kembali menjadi satu,
ia baru mengetuk diatas sebuah karung goni pendek yang berada
disisinya sambil membentak:
"Hei setan malas, hayo cepat menggelinding keluar !" Tak lama
kemudian dari balik karung goni itu merangkak keluar
seorang bocah yang berambut awut-awutan, bermuka merah, berhidung
mancung dan memiliki sepasang mata yang besar dan jeli.
Belum lagi berbicara, bocah itu sudah tertawa lebih dahulu, katanya
kemudian sambil tertawa cekikikan.
"Suhu, lebih baik kau urusi persoalanmu dan tecu tidur menurut
kesenangan tecu sendiri, kan enak begitu?"
"Cuuh, kentut busuk" damprat pengemis tua itu, "kalau suhu tertimpa
halangan maka murid mesti menghadapinya, apa kau tak pernah
mendengar, ayah berhutang anak yang membayar. Hayo cepat
menggelinding keluar!"
Pengemis cilik itu segera menjulurkan lidahnya, kemudian mengomel.
"Suhu, berbuatlah kebaikan, baru saja aku mimpi kejatuhan rembulan,
aku lihat uang yang besar sebatu lagi bergelinding datang, lalu ke
lihatan ada gadis cantik memelukku, kemudian Thi wangwe, Li wangwe
dan orang kaya lain nya datang berlutut melihat aku datang.
Belum habis obrolan itu, kepalanya sudah di ketok dengan tongkat
penggebuk anjing itu, kontan saja pengemis kecil itu teriak kesakitan.
Cepat-cepat dia merangkak keluar dari karungnya sambil berseru.
"Ampun ..., ampun . .. jangan digebuk lagi aku toh sudah
menggelinding keluar? Aaai .. . kasihan betul dengan gadis cantik itu,
entah sampai kapan kita baru akan bersua lagi dalam impian? Oooh . ..
maklumlah, suhuku memang berhati keras bagai baja, dia paling gemar
mengganggu orang yang lagi pacaran."
Mendengar obrolan muridnya yang makin lama makin melantur, tidak
tahan lagi pengemis tua itu segera tertawa terkekeh.
"Kau betul betul pengemis tak becus, kehebatanmu cuma melantur
belaka padahal waktu benar-benar ketemu nona cakep, belum lagi
didekati tangan sudah gemetar muka sudah merah, mulut tidak bisa
membuka... betul-betul memalukan."
"Bukan begitu suhu" kata sang pengemis cilik sambil terkekeh kekeh,
"aku cuma kuatir, kalau nona itu sampai lengket dengan kita macam
permen karet, waah... bisa lebih mengerikan daripada rambut yang ada
kutunya."
"Hmm, sudah, kau tutup dulu bacot kecilmu" tukas pengemis tua itu
kemudian sambil mendengus, "cepat kau bopong bocah itu, bopong saja
dengan kulit kambing hitam, kita mesti buru-buru kabur dari sini."
Kali ini pengemis cilik itu penurut sekali, dengan cepat dia telah
menyelesaikan pekerjaannya, sedangkan pengemis tua itupun telah
melemparkan orang yang tak sadarkan diri tadi kebelakang papan nama
kuil Kwan ya-bio diatas pintu gerbang tersebut.
Setelah itu sambil merogoh keluar dua keping perak yang baru
diperolehnya dari orang berbaju perak itu, ia bergumam:
"Anggap saja kau lagi mujur, baiklah uang ini buat kau hidup lebih
jauh...."
Selesai berkata, kedua keping perak itu segera dilemparkan pula ke
belakang papan nama.
Kemudian setelah mengikat karung goninya ke belakang punggung dan
mengempit tongkat penggebuk anjingnya bersama pengemis cilik itu
mereka melompat keluar dari kuil itu dan lenyap dibalik kegelapan sana.
Suasana menjadi hening, sepi... kentongan ke empat telah tiba.
Tiba-tiba dari empat arah delapan penjuru sekitar kuil Kwan ya
hio bermunculan puluhan sosok bayangan manusia. Ternyata mereka
adalah siorang berbaju perak beserta manusia
berkerudung hitam anak buahnya. Ketika orang berbaju perak itu
menyaksikan undak-undakan batu
itu telah kosong tak bermanusia, sambiI mendepak-depakan kakinya
ketanah, ia mendengus penuh rasa dongkol.
Pada saat itulah kembali tampak cahaya emas berkelebat lewat, tahu
tahu di atas undak-undakan kuil Kwan ya bio telah bertambah dengan
seorang mannsia yang tinggi besar berbaju emas yang mengenakan
kain kerudung muka berwarna kuning emas pula.
Kain kerudung mukanya rapat sekali sehingga yang nampak hanya sinar
matanya yang tajam, Manusia berbaju emas itu segera mendengus
dingin, tanpa berpaling tegurnya:
"Bagaimana? orangnya sudah kabur bukan?" "Benar" jawab orang
berbaju perak itu dengan sikap yang serius
dan menaruh hormat, "hamba benar-benar pantas untuk
mati!"
Orang berbaju emas itu mendengus dingin, sambil menunjuk ke arah
mangkuk gumpil yang tak sempat dibawa oleh pengemis tua itu, dia
berkata:
"Bagaimanapun juga, sudah cukup lama kau berkelana dalam dunia
persilatan, pelbagai badai dan kejadian besar pernah kau jumpai,
kenapa kali ini bisa salah melihat? Masa lambang si makhluk tua yang
begitu termashur pun tidak bisa kau kenali ?"
Orang berbaju perak itu hanya menundukkan---kepalanya tanpa
mengucapkan sepatah katapun, agaknya dia tak berani bersuara lagi.
Tiba tiba manusia berbaju emas itu tertawa, kembali dia berkata
dengan nada yang jauh lebih lembut:
"Padahal kejadian inipun merupakan suatu kemujuran bagimu,
seandainya kau berhasil mengenalinya, dengan wataknya, sekarang
sudah pasti kau tak bisa berdiri lagi dihadapanku !"
Orang berbaju perak itu merasa sangat tidak puas setelah mendengar
perkataan itu, katanya:
"Penghinaan dan sakit hati pada hari ini hamba bersumpah pasti akan
kubalas suatu waktu, siapa tahu kalau dikemudian hari hamba akan
bersua lagi dengannya dalam dunia persilatan ?"
"Lebih baik urungkan saja niatmu itu?" jengek manusia berbaju emas itu
sambil tertawa dingin, "sepanjang hidupmu jangan harap kau bisa
mengusik seujung rambutnya, maka ku anjurkan kepadamu, andaikata
kau sampai bersua lagi dengannya dikemudian hari, lebih baik milihlah
jalan yang lain, daripada mencari kematian untuk diri sendiri, hayo
berangkat."
Selesai berkata dia lantas membalikkan badan dan berlalu dari sana.
Manusia berbaju perak dan puluhan orang manusia berkerudung hitam
itu segera mengikuti dibelakangnya tanpa mengucapkan sepatah
katapun juga.
Dalam waktu singkat mereka telah lenyap dikejauhan sana. Tempat
ini masih tetap di kota Tong-ciu, tepatnya didepan kuil
Kwan-ya-bio. Kejadiannya berlangsung pada suatu siang hari pada lima
tahun
kemudian, waktu itu kuil Kwan ya bio telah berubah sama sekali, karena
kuil tersebut telah dijual kepada sebuah yayasan pencari derma pada
dua tahun berselang hingga bangunan kuil itu dirombak dan di bangun
lagi dengan amat megahnya.
Dcngan bangunan yang megah seperti itu, tentu saja para pengemis tak
dapat tinggal dalam kuil itu lagi, sekarang mereka hanya bisa berdiri
dibawah kuil tanpa bisa masuk keruang dalam.
-ooo0dw0ooo-
Bab kesembilan belas
TAPI pihak yayasan pencari dermapun tidak melupakan para kaum
miskin itu, tiap bulan tiga tanggal tiga, bulan enam tanggal eram,
mereka selalu membagikan dermanya untuk mereka.
Hari ini kebetulan adalah bulan enam tanggal enam, oleh karena itu
sejak fajar sampai mendekati tengah hari, para pengemis berbaris
memanjang bagaikan naga didepan kuil Kwan ya-bio, dengan tertib
mereka menanti giliran nya untuk mendapatkan derma.
Tengah hari tepat, pihak panitiapun mulai membagikan uang dan
pakaian untuk para fakir miskin itu.
Pada saat inilah, dari belakang kuil Kwan ya-bio muncul dua orang
manusia, seorang tua yang lain muda, yang seorang memakai baju dekil
sedangkan yang lain mengenakan pakaian bersih.
Yang memakai baju dekil adalah pengemis tua yang rambutnya awut
awutan tak karuan tangan kirinya memegang mangkuk gumpil sedang
tangan kanannya memegang tongkat bambu yang kecil dan panjang.
Bocah yang berpakaian bersih itu berusia sepuluh tahun, rambutnya
disisir rapi, bajunya biru dan baru, ia mengenakan sepatu yang bersih
dan kaos kaki berwarna putih.
Waktu itu sibocah sedang memegang ujung baju sipengemis tua itu
sambil cemberut.
Sedang pengemis tua itu tertawa terkekeh-kekeh dengan wajah berseri,
seakan-akan baru-saja menemukan sekeping uang perak yang besar.
Setibanya dibelakang dinding kuil kwan ya bio sebelah kanan, pengemis
tua itu berhenti.
Kepada bocah cilik itu katanya sambil tertawa terkekeh-kekeh.
"Segera kita akan berpisah, jangan lupa semua perkataan yang
kupesankan kepadamu tadi, sebentar aku..." Bocah itu menggelengkan
kepalanya berulang kali sambil
menukas: "Aku ingin mengikuti dirimu saja" "Tidak boleh" tukas
pengemis tua itu sambil menggeleng. "garagara
kau, sudah lima tahun aku tidak keluar rumah untuk memintaminta,
sekarang tanganku sudah gatal, perutku juga sudah gatal,
penyakit lama sudah mulai kambuh bagaimanapun juga toh tak akan
merenggut jiwa tua ku hanya gara gara kau bukan?"
"Tapi aku ingin menemanimu untuk meminta-minta" rengek bocah itu
seperti mau menangis.
"Huuh, tak ada semangat" damprat sipengemis tua sambil melotot
besar-besar, "aku minta-minta karena sudah berhutang kepada Cousu
ya, hutang ini mesti kubayar lunas, sedang kau... hutangpun tidak,
kenapa mesti ingin meminta-minta? Ngaco belo tidak karuan!"
"Aku tidak perduli, pokoknya aku tak mau pergi dari sini..."
Pengemis tua itu segera menyandarkan tongkat bambunya ke dinding
kuil dan berhenti, kemudian sambil memegangi bahu bocah itu katanya.
"Baiklah, gunakan kesempatan ini nian kita bicara blak-blakan, selama
lima tahun, aku pengemis tua telah mencucikan tulangmu, mengganti
semua persediaan otot mu menembusi jalan darah jin meh dan tok meh
dalam tubuhmu bahkan semua tenaga murniku sudah kuberikan
kepadamu, apa lagi yang belum cukup? Benda apa lagi yang kau
inginkan dariku sipengemis tua?"
Jilid 15
-ooo0dw0ooo-
AKU tak mau apa-apa, aku hanya mau kau !" jawab bocah itu sambil
mengerdipkan matanya yang besar.
Kembali pengemis tua itu tertawa. "Semuanya telah kuberikan
kepadamu, hanya aku tak bisa
diberikan kepadamu !" Bocah itu segera mengerdipkan matanya
berulang kali, air
mukanya berubah, matanya turut menjadi merah, agaknya sebentar
bakal menangis.
Melihat itu, si pengemis tua tersebut menjadi tak tega, sambil menghela
napas katanya kemudian.
"Nak bukankah aku telah memberitahukan kepadamu, aku sipengemis
tuapun punya banyak musuh, sekarang mereka telah menemukan diriku,
betul masih ada beberapa hari aku mesti membuat persiapan? itulah
sebabnya aku tak dapat membawa serta dirimu lagi !"
"Tapi, kau toh membawa Siau-hou!" sambung bocah itu cepat dengan
wajah cemberut.
Begitu menyebut "Siau-hou" dihadapan mereka telah bertambah satu
orang, dia tampaknya masih berumur tujuh delapan belas tahun, tetapi
perawakannya jauh lebih tinggi daripada pengemis tua itu.
Begitu kekar pemuda itu ibarat seekor harimau buas dari atas bukit,
diapun memakai baju butut dengan sepatu rumput, rambutnya kusut,
tapi wajahnya ganteng.
Begitu dia menampakkan diri, bocah itu segera menubruk keatas
badannya sambil mengadu: "Engkoh Siau-hou, dia tidak mau aku lagi,
mau toh kau bilangkan untukku ?"
Siau-hou segera tertawa terkekeh kekeh. "Kau bernama Siau liong
dan aku bernama Siau hou, tiap kali
orang membicarakan soal kita berdua, pasti mereka bilang : "Eeh, itu
Liong hou kenapa, tak pernah ada yang mengatakan: Eeeh... itu Hou
liong kenapa, kenapa.... maka bicara yang sebetulnya kedudukan mu
lebih tinggi dari pada aku, kau naga dan aku cuma harimau, maka
menghadap persoalan semestinya kau yang busungkan dada, tegakkan
badan dan sampai ketimur pergi ketimur, sampai barat menuju ke barat,
sebagai lelaki sejati semestinya orang yang menggantungkan dirimu,
masa kau yang menggantungkan orang lain ? Kan malu..."
Bocah itu berpikir sebentar, lalu berkata. "Tapi engkoh Siau hou, aku
suka dengannya." "Tentu saja kau suka dia" tukas Siau hou lagi
sambil tertawa,
"akupun tahu kalau kaupun suka padaku, cuma Siau liong, kau mesti
tahu, kau suka kepada kami adalah satu persoalan, kau mesti
menempuh jalan mu sendiri adalah persoalan lain, sebagai anak yang
pintar, aku percaya kau pasti paham dengan perkataanku ini !"
Setengah mengerti setengah tidak, bocah itu termenung beberapa saat
lamanya.
Sambil tertawa cekikikan, kembali Siau-hou berkata.
"Hei, Siau-liong ! begini saja, sekarang kau turuti perkataannya dan kita
berpisah dulu sementara waktu, tapi aku berjanji, menanti kau sudah
berumur lima belas tahun, kita bersua lagi disini, mau bukan ?"
"Siau hou ko, benarkah itu?" Siau-liong mendongakkan kepalanya.
"Asal kau bersedia menuruti perkataannya pada hari ini, menanti bulan
enam tanggal enam dikala kau berumur tujuh belas tahun nanti, aku
pasti akan menantikan kedatangan mu disudut dinding kuil sebelah
kanan belakarg sana !"
Sekulum senyuman segar tersungging diujung bibir Siau liong yang
mungil, katanya kemudian:
"Baik, cuma dia mesti ikut !" Pengemis tua itu turut tertawa
cekakakan, "Jangan kuatir," katanya, "asal aku belum mampus, pasti
datang
pada waktunya." Siau liong berpikir sebentar tiba tiba ia bertanya:
"Berapa umurku tahun ini ?" Pengemis tua ini memandang sekejap
kearah Siau hou, dan Siau
hou segera menjawab: "Tahun ini kau berumur sepuluh, termasuk shio
naga !" "Wah . . . aku mesti menunggu tujuh tahun lagi?" teriak Siau
liong dengan mulut ternganga, "Betul, apa kau tak pernah mendengar
orang berkata kepada
teman atau sanak kerabatnya: Oh, waktu berlalu dengan cepat, tanpa
terasa tujuh tahun sudah lewat.."
Dengan perasaan apa boleh buat, Siau liong segera manggutmanggut,
"Baiklah, aku pasti akan menanti selalu."
Siau hou tertawa, dia baru berpaling kearah pengemis tua itu sambil
berkata.
"Suhu, Kwik wangwee telah tiba!" Pengemis tua itu mengiakan,
sambil ulapkan tangannya dia
lantas berkata pada Siau hou. "Pergilah dengan tugasmu, selesai
dengan persoalan nanti kita
bertemu lagi ditempat lama." Siau hou manggut-manggut, lalu sambil
memeluk Siau liong
katanya. "Siau liong, kita berjumpa tujuh tahun lagi, entah apapun yang
kau lakukan setelah ini, jangan lupa dengan permainan yang suhu ujar
kan kepadamu itu, mesti dilatih setiap hari, siang malam melatihnya
dengan tekun, tapi hati-hati, jangan beritahu siapa saja!"
Siau liong manggut-manggut. "Aku akan menuruti perkataan Siau
Hou cu, akupun akan selalu
menantikan kedatanganmu." Siau hoa menggigit bibirnya sambil
menurunkan Siau liong,
kemudian tanpa mengucapkan sepatah katapun dia membalikkan bakan
dan kabur dari situ . . .
Sekalipun demikian, namun tak bisa mengelabui si pengemis tua yang
sedang mengawasi tanah, ketika Siau hou cu menurunkan Siau liong
tadi, ada dua tetes air mata telah jatuh ke tanah.
Pengemis tua itu segera menggosok hidung-nya menahan rasa sedih
dihati, kemudian sambil menarik tangan siau liong ji, katanya.
"Mari kitapun pergi, pergi berbaris, kalau tidak, kita tak akan kebagian
pakaian dan uang."
Sambil berkata, pengemis tua itu mengambil kembali tongkat bambunya
dan berbelok kekuil belakang.
Tiba disana, ternyata kedatangan pengemis tua dan Mau liong ji telah
terlambat, papan nomor sudah menunjukkan angka ke
duaratus sembilan puluh empat, sedang yang masih antri ada enam
orang, menurut peraturan, sekali pun turut antri juga percuma.
Tatkala pengemis tua itu mengajak siau liong berbaris, hal ini segera
mengejutkan Dermawan saleh dari panitia derma tersebut, Kwik Seng
tiong, Kwik wangwee yang berdiri diafas pintu kuil.
Tatkala nomor urut mencapai tiga ratus, uang telah habis terbagi,
pakaianpun ikut habis, pengemis tua itu segera berteriak keras keras.
"Eeh . .. masih ada dua orang, masih ada dua orang." Dengan
kening berkerut, panitia umat itu segera maju seraya
menegur: "Teman miskin, tidakkah kau saksikan nomor yang
tergantung
sudah mencapai angka tiga ratus? itu berarti sudah tidak akan dibagikan
derma lagi..."
Tapi pengemis tua itu segera berseru. "Tapi kami berdua kan belum
kebagian? Sudi lah kau orang tua
berbaik hati, gantungkanlah dua angka lebih baik, biar aku yang akan
mengguntungkan angka tersebut"
"Hei, sudah setua ini, tahu urusan tidak?" bentak panitia itu dengan
wajah dingin.
Pada saat itulah dari arah kuil Kuan ya hio telah muncul "Liong tua"
toako dari kaum pengemis yang dihormati anggotanya, Liong tua toako
ini berumur empat puluh tahunan, berwajah kekar dan hitam pekat
seperti sebuah pagoda baja.
Sambil berjalan mendekat, katanya kepada pengemis tua itu: "Hei,
kau datang dari mana?" "Aku datang dari Shoa tang, jauh perjalanan
yang telah
kutempuh" sahut pengemis tua itu sambil tertawa tawa. "Ooh .. tak
heran kalau kau tidak tahu dengan peraturan kami
disini, kalau begitu kuberitahukan kepadamu, tempat ini
hanya
membagikan tiga ratus nomor saja, tak boleh kurang, tak boleh lebih,
dan sekarang sudah pas angka nya maka tak bisa ditambah lagi,
mengerti."
"Mengerti sih mengerti, tapi bagaimana dengan kami?" tanya pengemis
tua itu seperti mau menangis.
Dengan kening berkerut sahut Liong tua toako itu: "Sobat tua, aku
adalah Liong tua untuk daerah sekitar tempat ini,
aku dapat memahami kesulitanmu, tapi akupun tak bisa menyuruh
pihak panitia melanggar kebiasaan demi kau, dan lagi akupun tidak
punya muka sebesar itu, begini saja, biarlah bagian yang kuperoleh itu
ku berikan untuk kalian ayah dan anak berdua.."
Tentu saja pengemis tua ini enggan untuk menerima bagian orang lain,
sebab bila sampai diterimanya, bukankah berarti semua rencana yang
telah disusunnya itu akan berantakan?
Oleh karena itu segera tukasnya. "Liong tao lotoa, kau jangan salah
paham, kami bukan ayah dan
anak, juga bukan guru dan murid, dia adalah seorang anak yatim piatu,
hanya kuketahui kalau dia she Sun, sudah lima tahun ikut aku,
bagaimanapun juga aku tak bisa membiarkan dia seorang bocah yang
begitu baik mengikuti jejakmu sebagai peminta-minta, kalau tak
percaya, coba kau perhatikan kami berdua, apakah..."
Walaupun ucapan tersebut belum selesai di utarakan, namun rupanya
sudah menarik perhatian Kwik Wangwee, kedengaran Kwik Wang wee
telah menyela dari samping:
"Sobat tua, siapa namamu ?" Begitu Kwik Wangwee buka suara,
panitia amal itu segera
menjilat pantat dan turut berkata pula kepada pengemis tua itu: "Hei,
tua bangka, rejeki telah datang, Kwik Wnngwee ini adalah
orang kaya nomor satu ditempat ini, juga merupakan seorang
dermawan yang saleh, asal jawabanmu berkenan di hatinya.."
Kwik Wangwee meski kaya, rupanya paling segan mendengar kata kata
umpakan, tiba tiba tegurnya dengan kening berkerut:
"Hei, orang she Thio, kalau aku sedang menanyai orang, lebih baik kau
jangan turut menimbrung, kalau caramu suka menukas, sampai kapan
orang baru bisa menjawab? Kalau toh pekerjaan sudah selesai, kaupun
boleh pergi beristirahat !"
Karena ketanggor pada batunya, dengan wajahnya yang tersipu sipu
panitia orang she Thio itu segera mengundurkan diri dari sini, Kepada
Liong-tau toako itupun Kwik wangwe berkata:
"Kaupun boleh pergi dari sini !" Liong-tau toako itu segera memberi
hormat kepada Kwik Wangwe dan berlalu dengan langkah lebar.
Menanti semua orang sudah pergi, pengemis tua itu baru tertawa
terkekeh kekeh seraya berkata:
"Tuan Wangwe, kalau aku si pengemis tua tidak melaporkan nama juga
tak apa bukan ?"
"Baik, baik, aku tak akan menanyakan soal namamu lagi." sahut Kwik
Wangwe sambil tertawa.
"Terima kasih banyak . .. . " Kwik Wangwee mengalihkan sinar
matanya memperhatikan
sekejap tubuh Siau-liong-ji, ka tanya: "Betulkah bocah cilik she Sun ini
adalah seorang anak yatim piatu
?" Kembali pengemis tua itu tertawa. "Wangwee, harap kau tahu, lima
tahun berselang aku berhasil
menemukannya diwilayah Shoa tang, dia tak tahu dimana rumahnya
dan anak siapa, hanya diketahui dia dari marga Sun, sekalipun bukan
anak yatim piatu, sekarang juga telah menjadi anak yatim piatu"
Mendengar itu. Kwik Wangwee menghela napas panjang.
"Aaaai.... betul juga perkataanmu itu, cuma aku lihat bocah ini tidak
mirip seorang pengemis, aku rasa kalau dibiarkan mengikuti dirimu
terus..."
"Wangwee, terus terang kukatakan kalau bisa aku benar-benar ingin
sekali bertemu dengan seorang Dermawan yang saleh yang mau
menerima bocah ini, bayangkan saja, kalau mengikuti aku terus,
nantinya dia mana bisa ber hasil besar?"
"0ooh... sungguhkah perkataanmu itu?" "Tuan Wangwee!" kata
pengemis itu dengan wajah serius,"
kalaukau tidak percaya, silahkan carikan orang tua angkat buat bocah
ini, kalau aku si pengemis tua sampai mengucapkan dua patah kata,
anggaplah aku bukan dilahirkan oleh ayah ibuku"
Dengan kepala tertunduk Kwik wangwee ter menung dan berpikir
beberapa saat lamanya, lewat sejenak kemudian, rupanya wangwee itu
sudah mengambil keputusan, katanya lagi. "Apakah bocah ini mengerti
tulisan?"
"Kenal sih kenal, cuma tidak terlalu banyak" sahut pengemis tua itu
sambil tertawa terkekeh-kekeh.
"Semisalnya aku bersedia untuk menerima-nya .. ." Belum habis
perkataan itu diutarakan, dengan wajah berseri
pengemis tua itu telah berkata kepada Siau liong ji. "Nak, kenapa tidak
kau ucapkan terima kasih? Cepat memberi
hormat kepada tuan wang wee !" "Eeeh ... nanti dulu, harap tunggu
sebentar, biar aku selesaikan
dulu perkataanku." cegah Kwik wangwee "Wangwe tak usah kuatir."
tukas pengemis tua itu cepat, mulai
sekarang bocah ini sudah menjadi milikmu, dia bernama Siau liong, dan
mulai detik ini aku sudah tak akan mengurusi nya lagi !"
Selesai berkata, pengemis tua itu segera melepaskan tangan Siau liong
ji, menggape-gape kan tangannya, dan sambil membalikkan badan, dia
kabur menuju ke balik kerumunan orang banyak.
Sejak saat itulah Siau liong ji telah menjadi kacung cilik dalam gedung
hartawan Kwik, tentu saja dalam pandangan orang lain, dia seperti
mencapai langit dalam sekali melangkah saja.
Ketika sudah berada dalam kerumunan orang banyak pengemis tua itu
baru diam diam membesut air matanya.
Kalau dibilang ia tak punya perasaan terhadap Siau liong, hal ini tak
masuk diakal, cuma perasaan tetap tinggal perasaan, dia meninggal kan
Siau liong itu untuk melakukan pekerjaan lain baru merupakan persoalan
yang terpenting.
Suasana disekeliling kuil hari ini sungguh ramai sekali, berada ditengah
kerumunan orang banyak, pengemis tua itu tak mampu menggunakan
kepandaiannya, maka dia meski berjalan pelan-pelan untuk bertemu
dengan Siau hao ji.
Berputar kekiri, membelok kesanan, akhirnya orang yang berjubel makin
berkurang tanpa terasa dia sampai dijalan sebelah barat, mendadak ia
mendongakkan kepalanya dan menunduk kembali, kemudian sambil
berbelok, ia menuju kearah lorong kecil.
Sambil berjalan, dalam hati berpikir. "Aaai... dunia ini serasa begitu
sempit, kenapa mesti bersua lagi
dengan orang ini? Tampaknya keparat itu telah melihat kehadiranku
moga-moga saja dia memang pikun dan tidak mengenali diriku lagi!"
Baru saja berpikir sampai disitu, mendadak dari belakang punggungnya
sudah terdengar ada orang berkata:
"Jalan ini buntu!" Pengemis tua itu berlagak seperti tidak mendengar
apa-apa, dia
melanjutkan terus perjaIanannya. Kemudian
orang dibelakang itu berkata lagi. "Ku tayhiap,
harap berhenti dulu!"
Dalam keadaan begini terpaksa pengemis tua itu tidak bisa berlagak tuli
lagi, pelan-pelan ia membalikan badan.
Tapi sambil berlagak tidak kenal, katanya. "Maaf kalau aku
sipengemis tua tidak mengenali dirimu kau..." Orang tua itu segera
tertawa terkekeh-kekeh mendadak ia
melemparkan sekeping uang perak kedepan kaki pengemis tua itu,
kemudian menukas.
"Sekeping uang perak untuk dua jawaban, ini peraturan!" Ternyata si
orang ini adalah simanusia berbaju perak yang
pernah dijumpainya pada malam bersalju lima tahun berselang. Malam
itu, simanusia berbaju perak itu menutupi sebahagian
mukanya dengan kain kerudung, sedangkan hari ini sama sekali tidak di
tutupi apa-apa..
Kalau malam itu dia mengenakan pakaian ringkas berwarna perak, maka
hari ini dia memakai jubah lebar berwarna perak pula.
Ternyata orang berbaju perak itu memiliki paras muka yang cukup
tampan, hanya sayang dari atas alis matanya sebelah kanan sampai
telinga sebelah kanan terdapat sebuah codet bekas bacokan golok yang
memanjang, kulit muka yang tidak merapat membuat wajahnya
kelihatan menyeringai seram...
Sekarang, pengemis tua itu sudah tak dapat berlagak terus, dengan
wajah dingin seperti salju dia lantas menegur:
"Oooh . . . rupanya kau." Mencorong sinar buas dari balik mata orang
berbaju perak itu, katanya tiba tiba.
"Aku tahu kalau Ku tayhiap pasti masih teringat akan diriku, sejak
berpisah lima tahun sudah lewat, baik-baikkah Ku tayhiap selama ini ?"
"Kenapa kau bertanya melulu? Apakah kau datang untuk bertanya
belaka ...!" tukas pengemis tua itu dingin.
"Aku datang untuk Cui Tong yang sebetulnya Lu Cu peng serta bocah
she Sun itu."
Pengemis tua itu tertawa hambar, "Lohu tidak kenal dengan mereka !"
Orang berbaju perak itu manggut manggut, "Soal ini aku percaya, cuma
pada malam bersalju lima tahun berselang toh kau yang telah menolong
mereka dari kuil Kwan ya bio, maka hari ini akupun terpaksa harus
menagih orang itu darimu !"
"Ooh ... seandainya aku tak ada orangnya?" "Terpaksa Ku tayhiap
mesti memaafkan, aku akan mati dirimu !" "Laporkan dulu siapa
namamu?" seru pengemis tua itu dengan
kening berkerut "Ku tayhiap toh memiliki sepasang mata yang sakti?
Konon siapa saja yang menutupi wajah-nya dengan kain kerudung, asal
ada sedikit luang kosong, kau dapat menebak asal usulnya, aku adalah
orang yang berkerudung pada malam itu.
"Tahu orangnya tahu mukanya sukar tahu hatinya" tukas pengemis tua
itu cepat, "Hm, kau adalah manusia berbaju perak pada malam itu dan
kaupun tak akan lolos dari ketajaman mataku, tapi sekarang aku sedang
menanyakan siapa namamu?"
Sambil, menggigit bibir orang itu menyahut. "Gin-ih-siusu Kim Kiam
khek (sastrawan berbaju perak jago
pedang emas).. Belum habis perkataan itu, sipengemis tua itu telah
menukas: "Oooh.. rupanya kaulah Pit It kiam yang selama sepuluh
tahun
terakhir ini termashur dalam dunia persilatan?" "Betul, itulah saya!" "Pit
lt-kiam, andaikata kau masih ingat dengan suasana pada
malam itu, maka tentu-nya kau masih ingat dengan perkataan Tongkeh
kalian bukan? Kuanjurkan kepadamu lebih baik pergi saja dari sini, dari
pada menyesal sepanjang masa!"
Agak tertegun juga Pit li kiam setelah mendengar perkataan itu,
tampaknya dia itu sudah tak ingat lagi perkataan apakah yang
dimaksudkan lawan.
Dengan cepat pengemis tua itu mengingatkannya: Walaupun ucapan
Tan Tiang ho amat takebur, namu dia masih
merupakan seorang manusia yang tahu diri, dengan mengandalkan
kemampuanmu inginkan batok kepala aku ini si pengemis tua .. . Hm,
masih terlampau jauh." Pit It kiam segera tertawa seram.
"Heeeh... heeh... orang she Ku, kembali kau keliru besar, Tan Tiang hoa
tak lebih cuma salah satu perkumpulan dibawah pimpinan Sancu kami,
dia masih belum berhak menjadi seorang tangkeh."
Pit It-kiam tanpa sengaja telah membocorkan rahasia besar, begitu
ucapan diutarakan dia menjadi menyesal setengah mati.
Sebaliknya si pengemis tua itu nampak ter peranjat sekali setelah
mendengar perkataan itu.
Kim ih tok-siu (kakek beracun baju emas) Tan Tiong hoa yang begitu
termashur dan menggetarkan dunia persilatan ternyata hanya seorang
congkoan belaka, lalu siapakah Sancu mereka itu?"
Begitu ingatan tersebut melintas lewat, dia mendapat sebuah akal
bagus, katanya kemudian kepada Pit It kiam sambil tertawa
terkekeh-kekeh:
"Pit It kiam, turutilah nasehat lohu, lebih baik kau cepat cepat
menyelamatkan dirimu sendiri !"
Pit It kiam mendengus dingin. "Aku orang she Pit tidak percaya kalau
kau sanggup membunuh
aku !" Kembali pengemis tua itu melanjutkan sambil tertawa: "Kau
pintar, sejak lohu melakukan sesuatu kesalahan dimana
yang lalu, sejak saat itu pula aku telah bersumpah tak akan
membunuh orang lagi, tentu saja sekarangpun aku tak akan
membunuhmu !"
"Orang she Ku, dengan mengandalkan kepandaian silatmu itu jangan
harap bisa membinasakan diriku !" seru Pit It-kiam amat gusar.
Pengemis tua itu tertawa, rupanya dia mak sudkan lain dengan
perkataannya itu, kembali dia melanjutkan:
"Sekarang, kau sudah dapat dipastikan akan mati, kenapa aku pengemis
tua mesti banyak bertingkah? Barusan kau telah membocorkan rahasia
perkumpulanmu, aku pikir sekalipun kau tidak ingin matipun hal ini
merupakan sesuatu yang teramat sulit!"
Dengan suara dalam Pit It kiam segera membentak: "Ketika aku
orang she Pit datang ke kota Tong-ciu, orang lain tak
ada yang tahu.." Pengemis tua itu segera tertawa terkekeh-kekeh.
"Heeh... heeeh... ucapanmu itu memang benar, tapi ada
s e s e o r a n g y a n g j u s t r u t e r k e c u a l i , P i t I t k i a m ,
s i a p a y a n g t e l a h m e n g i r i m m u k e m a r i ? A p a k a h d i a
t i d a k d a p a t m e n g u t u s o r a n g l a i n p u l a u n t u k
kMeenmdeanrgia?r "p erkataan itu Pit It kiam berubah hebat, tak terasa dia
berpaling kebelakang.
Ternyata di belakang tubuhnya tak nampak sesosok bayangan
manusiapun menantikan dia berpaling lagi, ternyata pengemis tua itupun
sudah lenyap tak berbekas, kejadian ini kontan saja membuat Pit It kiam
mencak mencak karena gusar, hampir meledak rasa dadanya.
Lorong itu adalah sebuah lorong buntu, terkecuali kabur dengan
melewati dinding pekarangan rumah, mustahil pengemis tua itu bisa
menemukan jalan yang lain.
Pit It kiam enggan berlepas tangan dengan begitu saja, sepasang
kakinya segera menjejak ke tanah untuk melakukan pengejaran
Tapi, pada saat itulah dari arah belakang telah kedengaran seseorang
berseru:
"Pit tongcu harap berhenti!" Begitu mendengar suaranya Pit It kiam
segera tahu siapa
orangnya, hancur lebur perasaannya saat itu juga, terpaksa dia
melayang ke tanah, kemudian sambil membungkukkan badan memberi
hormat, katanya.
"Hamba siap menerima perintah!" Orang itu mendengus dingin.
"Hmm.. ! Pit tongcu, dengakkan kepalamu!" Paras muka Pit It kiam
berubah hebat, tapi dia tetap
menundukkan kepalanya rendah. "Hamba...." Belum habis perkataan
itu, dengan tidak sabaran orang itu
menukas lagi: "Aku suruh kau mendongakkan kepalamu, harap kau
segera
mendongakkan kepalamu, coba perhatikan baik baik siapakah lohu !"
Padahal pit It-kiam sudah tahu siapa gerangan orang itu, tapi dibawah
perintah yang keras, terpaksa dia mesti mendongakkan kepalanya.
Orang inipun mengenakan pakaian berwarna emas, cuma perawakannya
kurus kecil, jelas bukan Tan Tiang-hoa.
Sementara itu orang tersebut sudah mendengus sambil menegur:
"Sudah melihat jelas !" Dengan sikap sangat menghormat Pit It kiam
membungkukkan
badan sambil memberi hormat: "Hamba tidak tahu kalau Hu
pangcu yang telah datang."
Orang itu masih tetap tidak membiarkan Pit It kiam menyelesaikan
kata-katanya, sekali lagi dia menukas:
"Coba kau perhatikan lebih sesama lagi Lohu adalah Hu-pangcu (wakil
ketua), tak bakal salah bukan?"
Ucapan tersebut membuat Pit li kiam kelabakan setengah mati dan tak
tahu bagaimana mesti menjawab, terpaksa dia hanya membungkam diri
dalam seribu bahasa.
Sambil tertawa terkekeh-kekeh, orang berbaju emas itu berkata lebih
jauh:
"Kau telah membocorkan rahasia bukit kita, menurut peraturan kau
harus dijatuhi hukuman mati, apa lagi yang kau katakan ?"
Dengan ketakutan buru-buru Pit It kiam menyahut: "Hamba sama
sekali tidak sengaja, hanya secara kebetulan saja
berjumpa dengan Ku Gwat cong, dan lagi teringat dengan dendamku
pada lima tahun berselang, maka tanpa sengaja, aku telah..."
"Peraturan perkumpulan harus dilaksanakan dengan tegas, percuma saja
kau banyak berbicara !" bentak orang berbaju emas itu lantang.
Pit It kiam segera berkerut kening, tapi dengan cepat wajahnya pulih
kembali seperti sedia kala, ujarnya kemudian:
"Apakah hamba dapat berbuat pahala untuk menebus kesalahan ini?"
"Hm.... apakan hukiman yang lohu jatuhkan padamu kurang adil."
jengek orang yang berbaju emas itu sambil tertawa dingin.
Untuk kesekian kalinya Pit It kiam berkerut kening, tetapi sekuat tenaga
dia berusaha untuk menekan pergolakan perasaan hatinya, kembali
ujarnya:
"Ang Hu paugcu, hamba mendapat tugas khusus dari pangcu untuk
kemari, sekarang hambapun perlu melaporkan semuanya
tugas yang hamba lakukan pada kongcu pribadi, sekalian akan
kulaksanakan hukuman dihadapannya."
"Di terangkan kepada lohu pun sama saja!" tukas Ang Hu pangcu
dengan suara dalam.
Habis juga kesabaran Pit It kiam, dengan suara menentang dia
berteriak keras:
"Hamba bukan berniat melarikan diri dari hukuman, tapi minta
keringanan hukuman juga bukan permintaan berlebihan, Hu pangcu,
sekalipun kau merasa senang setelah dapat membunuh aku, rasanya
juga tak perlu begitu bernapsunya!"
"Pit It kam!" bentak Ang Hu pangcu amat gusar, "kau berani
membocorkan rahasia perkumpulan kita, menurut peraturan harus
dijatuhi hukuman mati, sedang lohu hanya melaksanakan tugas belaka,
ini urusan dinas diharap kau mengerti."
"Heeh... heeeh..." Pit It kiam menjengek sinis, "maksud hati Suma Ciau
sudahlah jelas, orang jalan pun tahu..."
Ang Hu pangcu segera menyeringai seram, teriaknya amat gusarnya.
"Pit It kiam amat besar nyalimu, rupanya kau memang ada maksud
untuk menghianati perkumpulan.. jika tidak kenapa kau begitu berani
mencemooh lohu? Baik, kalau begitu, lohu ingin saksikan sampai di
manakah kepintaran ilmu pedangmu."
Seraya berkata, dengan langkah lebar dia segera berjalan mendekati Pit
It kiam.
Oleh karena itu, dalam waktu singkat Pit It-kiam dapat merasakan
untung ruginya maka sambil tersenyum kembali ujarnya:
"Ang hu pangcu, bolehkah hamba berkata beberapa patah kata."
Ang hu pangcu mendengus dingin. Sepasang alis mata Pir It kiam
segera berkerut, bekas bacokan
itu pun memancarkan cahaya merah, ini menandakan kalau
dia
sudah dilipiti hawa marah yang membara, juga merupakan pertanda
sebelum dia melancarkan serangan untuk membunuh orang.
Cuma saja, Pir It kiam cukup mengetahui posisinya sendiri berbicara soal
kedudukan, dia memang masih kalah dibandingkan Ang hu pangcu,
berbicara soal kepandaian silat dan tenaga dalam, dia lebih kalah
setingkat dari lawannya.
Apa lagi pada saat ini Ang hu pangcu telah memergoki dia sedang
membocorkan rahasia perkumpulan, seandainya dia benar- benar
membunuhnya, sekalipun hal ini dilaporkan, pangcu juga tak bakal
menegur atau menyusahkannya.
"Katakan saja apa yang hendak kau ucapkan, lohu ingin mendengarkan
belaka."
Wauaupun dia menyatakan akan mendengarkan, namun langkahnya
sama sekali tidak berhenti.. setindak demi setindak dia maju ke depan.
Agaknya Pit It-kiam dapat menebak maksud hati lawannya itu,selangkah
demi selangkah pula dia mundur terus ke belakang, sambil mundur
katanya lebih jauh.
"Ketika hamba berjumpa dengan Ku Gwat cong tadi, telah berhasil hamba
selidiki persoalan yang diwanti-wantikan oleh pangcu pada waktu itu, oleh
karena itu, hamba telah mempergunakan Kiam leng coan sim (Lencana
pedang menyampaikan surat) untuk memberi laporan kepada pangcu..."
Berbicara sampai, disini, Pit It kiam sengaja berhenti sebentar untuk
menyelidiki sikap lawannya.
BetuI juga, Ang hu pangcu segora menghentikan langkahnya, dia
seperti nampak agak takut setelah mendengar perkataan itu.
Mendapat angin, Pit It kiam segera berkata lebih jauh. "Ang hu
pangcu, sekarang apakah kau bersedia untuk
menggusur hamba pulang dahulu kemarkas kemudian baru menerima
hukuman"
"Dari mana aku bisa mempercayai perkataanmu itu?" dengus Ang Hu
pangcu ketus.
"Jika aku berbohong belaka, bukankah hamba sama halnya dengan
mengantar diri masuk perangkap?"
Ang Hu pangcu berpikir sebentar, kemudian katanya: "Persoalan itu
sudah lenyap dan hilang selama beberapa tahun,
kalau di bilang kau berhasil menemukannya pada saat ini, apakah hal
tersebut tidak terlalu kebetulan?" Pit It kiam segera tertawa.
"Hal ini rasanya tidak jauh lebih kebetulan dari pada kemunculannya Hu
pangcu di sini bukan?" jengeknya.
Diam-diam Ang Hu pangcu termenung dan berpikir berapa saat
lamanya, kemudian ia bertanya:
"Darimanakah sumber berita itu?" Pit It kiam segera menggelengkan
kepalanya sambil tertawa,
jawabnya pelan: "Hu pangcu, itulah satu satunya pelindung keselamatan
bagi
hamba sekarang, kita toh sama-sama sudah bukan anak kecil lagi,
tentunya cukup tahu bukan, bagaimana melindungi diri secara baikbaik."
Ang Hu pangcu tertawa seram. "Heeh... heeh... heeh... Pit It kiam,
kau pun seharusnya
mengerti, seandainya hal ini memang benar, hari ini juga Kiam leng
dari pangcu sudah akan sampai disini!"
"Tentu saja" kata pit It kiam sambil mengangguk, "menurut perkiraan
hamba, besok lencana Kim leng dari pangcu pasti sudah sampai disini,
cuma segala sesuatunya masih memerlukan penampilan hamba pribadi
untuk memberikan laporannya!"
Agaknya Ang Hu pangcu sudah memperoleh siasat bagus, dia lantas
manggut-manggut.
"Bagus sekali. Kalau begitu lohu akan menantikan kedatangan Kim leng
dari pangcu, nah ikutilah aku !"
Pit It kiam segera menggelengkan kepalanya berulang kali, katanya.
"Harap Hu pangcu menentukan waktu dan tempat pertemuan saja,
sampai saatnya hamba pasti akan datang"
"Pit It kiam." kata Ang hu pangcu sambil tertawa, "oleh karena kau-kata
kebetulan berhasil menemukan jejak dari persoalan itu, maka kau baru
berhasil mendapatkan pengecualian, tapi bukan berarti kau sudah bebas
sama sekali"
"Tentang soal ini, hamba cukup mengetahuinya, cuma menurut
peraturan perkumpulan, pada saat ini hamba masih bebas merdeka
tanpa ikatan apa-apa, hambapun wajib melakukan tugas dari pangcu ini
dengan sepenuh tenaga..."
Ang-hu pangcu mendengus dingin, agaknya dia merasa apa boleh buat,
ujarnya kemudian.
"Hmm... Tampaknya kau hapal sekali dengan peraturan dalan
perkumpulan kita. Baik, aku tinggal dirumah penginapan Tong keh,
jangan lupa, besok tengah hari. setelah waktu bersantap siang, bila kau
tidak datang menghadap berarti kau ada maksud untuk berhianat..."
"Semenjak empat tahun, berselang hamba sudah tahu kalau Hu pangcu
amat memperhatikan hamba, dan sudah kuduga kalau hari seperti ini
pasti akan datang juga maka hamba tak akan sampai membiarkan diri
hamba masuk perangkap!"
"Lihat saja, lohu toh masih mempunyai banyak waktu," jengek Ang hu
pangcu sambil tertawa sinis.
"Hamba akan selalu berhati-hati, baik-siang malam, hari bulan dan
tahun hamba akan selalu waspada!"
Ang hu pangcu mendengus dingin, dia lantas membalikkan badan dan
berlalu dari situ dengan langkah lebar.
Menanti bayangan tubuh orang sudah lenyap tak berbekas, Pit It kiam
baru menyeka butiran keringat yang membasahi jidat seraya
menghembuskan napas panjang, kemudian biji matanya berputar
kesana kemari dan menggelengkan kepala berulang kali, rasa gelisah
bercampur cemas membayangi wajahnya.
Diapun cukup tahu, sekalipun dia telah mengucapkan kata-kata bohong
yang memaksa musuh bebuyutannya Ang Beng liang terpaksa harus
mengurungkan niat jahatnya kepadanya, tapi dengan adanya peristiwa
ini maka posisi nya menjadi semakin berbahaya.
Esok dengan cepatnya akan tiba, terkecuali kalau didalam jangka waktu
ini dia berhasil mendapat bantuan atau memproleh pengampunan dari
pangcu, kalau tidak, maka nasib yang tragis sudah pasti akan dialaminya.
Pit It kiam tidak ingin berkhayal dengan mengharapkan bantuan dari
langit, maka satu-satunya jalan yang bisa di tempuh olehnya sekarang
adalah berusaha untuk mendapatkan pengampunan dari pangcunya,
maka tanpa berayal lagi dia lantas lari menuju ke mulut gang.
Ketika masih ada tiga langkah sebelum mencapai mulut gang,
mendadak satu ingatan melintas dalam benaknya, sayang baru saja itu
ingatan melintas di dalam benaknya, tahunya jalan darah di atas
sepasang bahu dan jalan darah bisunya sudah ditotok orang.
Kemudian munculah Ang Hu pangcu dengan wajah menyeringai seram,
dia berdiri dihadapannya dengan wajah sinis, dan kemudian dengan
menggunakan suara yang hanya bisa didengar oleh Pit It kiam seorang,
katanya:
"Pit It kiam kau harus mengerti, bukan cuma sehari ini saja lohu ingin
membunuhmu, keponakanku itu hanya sedikit tertegun saja, tapi kau
telah turun tangan keji kepadanya, dan kemudian kau memberi pula
dosa yang besar kepadanya membuat ia ternoda sepanjang masa...
Hmm! Pit It kiam, lohu teramat benci padamu, kalau bila aku ingin
melahap dagingmu dan menghirup darahmu,
aku hendak menyayat kulitmu, kemudian membakarnya agar menjadi
abu!"
Kini segenap tenaga dalam yang dimiliki Pit it kiam telah punah,
walaupun ada mulut juga sukar di buat bicara hanya codet di atas
wajahnya saja yang bersinar terang dan matanya memancarkan sinar
buas.
Ang hu pangcu tertawa terkekeh-kekeh, dari sakunya dia mengeluarkan
sarung tangan khusus yang segera dikenakan.
Kemudian sambil memperlihatkan sarung tangan itu dihadapan Pit
kiam, katanya sambil menyeringai seram:
"Sekalipun apa yang kau katakan tentang persoalan itu adalah suatu
kenyataan, lohu juga akan menjagal dirimu lebih dulu, cuma kau tak
usah kuatir, lohu tak akan mempergunakan ilmu dan kepandaian khasku
untuk membinasakan dirimu!"
Sembari berkata, Ang beng liang telah memasang sarung tangan tadi
ditangan kanannya sekarang Pit It kiam dapat melihat dengan jelas,
itulah sebuah sarung tangan khusus yang dilapisi lima buah cakar
serigala yang kuat seperti baja dan tajam bagaikan kaitan.
Sekali cengkeram, Ang beng liang telah mencakar wajah Pit It
kiam,yang tampan itu, kemudian katanya:
"Bukankah pangcu amat menyukai tampangmu ini. Sekarang, akan
kulihat apakah dia masih menyukainya lagi atau tidak ?"
Ketika cengkeraman itu diperkeras, diatas wajah Pit It kiam segera
muncul lima buah bekas darah memanjang dan dalamnya beberapa inci,
seketika itu juga paras muka Pit It kiam-yang tampan berubah menjadi
hancur tak karuan lagi bentuknya.
Menyusul kemudian, tangan Ang Beng liang diayunkan berulang kali
seperti orang memukul tambur, kepala, muka dan dada Pit lt- kiam
seketika itu juga hancur tak berbentuk lagi, kulitnya mengelupas semua,
darah segar jatuh bercucuran membasahi seluruh tanah.
Ang Beng liang menyeringai seram, sekali lagi tangannya diayunkan ke
depan dan menghantam empat lima kali, sepasang lutut sepasang sikut
Pit It kiam segera hancur remuk tak berbentuk lagi, sedang orangnya
sudah jatuh tak sadarkan diri karena kesakitan.
Ang Beng liang tertawa bangga, terhadap Pit It kiam yang tergeletak tak
sadarkan diri itu katanya:
"Lohu akan menyuruh kau mati karena kehabisan darah, silahkan
penderitaan tersebut dirasakan sebelum mampus nanti!"
Selesai berkata begitu dia cengkeram tubuh Pit It kiam dan
membawanya kedalam gang buntu itu, kemudian melayang masuk
kerumah orang, meletakkan tubuh Pit It kiam ditumpukkan kayu,
membebaskan jalan darahnya dan berlalu dari sana.
Sekarang Pit lt-kiam dapat bersuara namun tidak sanggup mengucapkan
sepatah katapun, bisa membuka matanya namun tidak dapat ia melihat
apa apa, juga bisa bergerak tapi tak tertenaga.
Darah mengalir terus tiada hentinya, luka yang dideritanya cukup parah,
apalagi dibulan enam yang panas menyengat badan begini, paling
banternya setengah jam lagi, malaikat elmaut pasti akan datang
merenggut selembar jiwanya.
Pada saat itulah mendadak melayang masuk sseseorang kedalam rumah
itu, kemudian dengan menggunakan selimut yang tebal untuk
membungkus Pit It kiam diam-diam berlalu pula dari sana.
-ooo0dw0ooo- KWIK WANGWEE sedang menuding sebuah gudang
yang besar
dihadapannya dan berkata kepada siau liong ji sambil tertawa. "lnilah
gudang buah, berkeranjang keranjang buah disimpan
dalam gudang ini siap dibuat sari buah dan manisan, atau biasanya di
kirim pula ke daerah lain."
Dengan sikap mengerti tak mengerti Siau liong ji manggut- manggut.
Kwik Wangwee segera menepuk kepalanya sambil berkata lagi:
"Usaha ini sudah kulakukan tiga generasi mulai sekarang kau
adalah pegawai yang akan mengawasi gudangku ini, tak usah kuatir,
barang disini tak akan dicuri orang, tapi mesti ada orang yang
menjaganya."
Kwik wangwee memandang sekejap lagi ke arahnya, kemudian sambil
membelai kepalanya dan berkata dengan lembut.
"Kertas jendela dalam gudang banyak yang sudah hancur, sekalipun
ditambal baik-baik belum tentu bisa menahan kucing dan anjing yang
akan masuk kedalam, terutama sekali nyamuk dan lalat yang
menjemukan, semuanya ini mesti kau perhatikan baik-baik"
Sekarang Siau liong ji baru mengerti, rupanya tugas yang diberikan
kepadanya adalah mengusir kucing, menggebuk anjing, apalagi nyamuk
dan lalat, sejak kecil Siau liong ji benci dengan binatang binatang itu.
Sementara dia masih termenung, Kwik wangwee segera berkata sambil
tertawa:
"Siau liong, aku lihat kau bukan bocah sembarangan, suatu hari kelak,
kau pasti akan berhasil mencapai kedudukan yang tinggi, bagaimana
kuberi nama "Tiong lo" kepadamu?"
Diam-diam Siau liong ji merasa terkesiap, bukankah hal ini merupakan
suatu kebetulan? setelah berpikir sejenak, dia pun manggut-manggut
tanda setuju dengan nama "Sun Tiong lo" itu.
Saat itulah Kwik Wangwee berkata lagi: "Letak kamar bacaku tentu
sudah kau ketahui bukan? Nah, aku
ijinkan kepadamu untuk meminjam buku dalam kamar bacaku, kalau
hendak bersantap pergilah kedapur depan sana kita makan bersama,
setiap bulan aku mendapat uang gaji, uang itu boleh ditanamkan dalam
usahaku, sehingga bila suatu ketika kau hendak
pergi, aku dapat memberikan uang dan keuntunganmu itu kepadamu,
siapa tahu kalau ada keuntungannya kelak."
Siau liong ji ... aah, tidak, Sun Tiong lo manggut-manggut tanda
menyetujui.
Kwik Wangwee tidak berkata apa apa lagi dia segera pergi
meninggalkan tempat itu.
Semenjak hari itu, Sun Tiong lo pun menjadi penjaga gudang, selain
makan tidur, mengusir kucing dan anjing, kerjanya hanya membaca
buku.
Padahal setiap hari antara kentongan kedua sampai kentongan kelima,
dia selalu duduk bersemedi untuk melatih ilmunya.
Sesungguhnya pengemis tua Ku Gwat cong adalah seorang jagoan yang
luar biasa sekali didalam dunia persilatan dia tak lain adalah Koay kay
(pengemis aneh) yang disebut orang sebagai jago piling aneh dikolong
langit...
Berbicara soal tingkat kedudukan dan usia nya, Ku Gwat cong boleh
dibilang termasuk dalam jagoan angkatan tua, diantara sekian banyak
jago tua angkatannya, hanya tinggal tiga orang saja yang masih hidup.
Pengemis aneh ini memang cukup aneh, setelah membawa pergi Siau
liong, ternyata selama lima tahun ia tak pernah mengajarkan satu jurus
gerak seranganpun kepadanya...
Walaupun demikian, dia mengajarkan suatu ilmu semedi yang cukup
aneh kepadanya.
Sun Tiong lo baru berumur sepuluh tahun, bagaimanapun juga dia masih
terhitung seorang kanak kanak, kanak kanakpun mempunyai jalan
pikiran kanak kanak, kalau ingin mengurung nya terus didalam gudang,
hal ini bukanlah su atu pekerjaan yang sangat mudah.
Tapi selama berada disini, kecuali duduk dalam gudang atau kursi, dia
tak pernah keluar rumah, lagipula dia tidak pernah kenal dengan
siapapun, maka tiada orang pula yang diajaknya bermain.
Tapi hal ini tidak menjadi soal baginya. sebab dia mempunyai cara yang
paling ideal untuk menghilangkan waktu.
Setiap kali ada waktu senggang, dia lantas membaca buku sambil
berbaring, itulah sejilid buku aneh, buku yang ditinggalkan Ku Gwat
cong kepadanya, isi buku itu sudah hafal di luar kepala, tapi gambar
yang tercantum dalam kitab itu sama sekali tidak dipahami olehnya.
Kini, diapun sambil berbaring membaca buku sambil makan buah yang
memang tersedia dalam gudang tunggu pengiriman, maka sambil
membaca, dia makan buah, lalu bijinya da sambit keluar lewat jendela.
Dibalik jendela merupakan sebuah lorong delapan sepuluh tahun tak
pernah ada yang lewat disana, sedangkan daun jendela telah rusak,
diluar jendela sana terdapatlah sebuah lubang, yang cukup besar.
Waktu berlalu cepat, dalam waktu singkat Sun Tiong-lo sudah mencapai
dua belas tahun.
Malam itu. kentongan kedua baru saja lewat. Sun Tiong-lo baru saja
menyelesaikan latihan tenaga dalamnya,
Mendadak terdengar suara anjing menggonggong tiada hentinya,
menyusul kemudian "bluuuk !" sebuah benda berat terjatuh didalam
lorong sempit di belakang gudang.
Waktu itu Sun Tiong-lo baru saja memadamkan lampu dan berbaring,
dengan cepat dia melompat bangun dan duduk, dengan jelas ia
mendengar ada benda terjatuh dalam lorong tadi, namun sampai sekian
lama belum juga kedengaran suara berikutnya.
Sesaat kemudian baru terdengar suara ujung baju terhembus angin.
Sun Tiong lo segera membaringkan diri lagi dan pura-pura tidur pulas,
meski matanya terpejamkan namun telinganya dipasang baik baik untuk
mendengarkan gerak gerik disana.
Diatas dinding pekarangan seperti ada suara orang, malah tiga orang
jumlahnya, terdengar salah seorang diantaranya berkata:
"Lo lak, bagaimana? Apakah kau temukan bayangan tubuh keparat
itu...?"
Yang dipanggil sebagai Lo lak segera menjawab. "Tampaknya tidak
berada disini, mari kita mencari di tempat lain
!" "Lak te, bukankah dibawah sana terdapat tanah datar?" seorang
yang lain segera berseru. "Aaah.... benar, coba kutengok !" pencoleng
itu ternyata benar-benar melompat turun ke dalam lorong sempit
tersebut.
Tapi tak lama kemudian dia sudah melompat balik keatas dinding
pekarangan seraya menyumpah.
"Sialan, dibawah sana adalah sebuah gedung buah, mari kita cari
ditempat lain saja."
"Kalau begitu keparat itu tak mungkin akan bersembunyi disini" kata
orang pertama tadi, dia terluka parah, tak mungkin bisa kabur ter lalu
jauh, mari kita menggeledah ditempat ini"
Tak lama kemudian terdengar ke tiga orang pejalan malam itu berlalu
dari sana.
Beberapa waktu kemudian, dari arah lorong sempit itu baru kedengaran
ada suara, kemudian dari balik lubang dibelakang jendela tampak
sesosok bayangan hitam menerobos masuk ke dalam, kakinya tepat
menginjak diatas pembaringan karena kehilangan keseimbangan
badannya, dia roboh terguling.
Dengan cekatan Sun liong lo melompat turun dari atas ranjang,
menutup jendela dan hendak memasang lampu.
Tapi tamu tak diundang yang terkapar di atas pembaringan itu segera
mencegah:
"Jangan memasang lampu, harap jangan memasang lampu, aku bukan
orang jahat..."
Sun Tiong lo sama sekali tidak takut, juga tidak menuruti perkataan orang
itu, dia memasang lampu kemudian memperhatikan wajah orang tadi
dengan sepasang matanya yang besar dan jeli.
Dengan cemas orang itu segera berseru: "Adik cilik, aku adalah
seorang pengawal barang yang bertemu
dengan musuh besarku, mereka bertiga mengerubuti aku seorang aku
tak tahan dan kena dibacok kakiku, untung bisa kabur sampai disini,
jika kau menyulut lampu...."
Belum habis dia berkata, Sun Tiong lo telah memadamkan lampu
lentera itu seraya berkata.
"Kau seperti orang baik-baik, akan kupadamkan dan mendengarkan
penuturan selanjutnya."
"Aku she Cui bernama Tong dengan nama kecil Cu hoa" orang itu
menerangkan "aku adalah Sam-lok piautau dari perusahaan pengawalan
barang Pat tat piaukiok, sebutannya saja piautau, padahal sesungguhnya
cuma seorang Tang cu ji !"
"Apa sih yang disebut Tang cu jiu itu?" tiba-tiba Sun Tiong lo bertanya
keheranan.
Cui Tong tertawa getir. "Artinya anak buah, atau pelayan kerjanya
hanya memasang
kereta, mengambil barang kebutuhan, membongkar peti dan jaga
malam, pokoknya semua kerja kasar adalah pekerjaan ku"
"Oooh... kalau begitu kau lebih mengenaskan nasibnya dari pada
aku...." kata Sun Tiong lo.
Sekali lagi Cui Tong tertawa getir. "Adik kecil, asal kita masih bisa
makan dengan menggunakan
tenaga sendiri, hal ini masih tidak terhitung mengenaskan
katanya,
Sun Tiong lo tidak berbicara lagi, dibalik kegelapan sepasang matanya
yang besar dan jeli itu memancarkan sinar tajam, keadaan ini seketika
itu juga membuat Cui Tong merasa amat terperanjat.
Seandainya Sun Tiong-Io bukan seorang anak kecil belaka, Cui Tong
pasti akan mengira dirinya telah bertemu dengan seorang jago lihay
dari dunia persilatan.
Tentu saja mimpipun Cui Tong tak akan menyangka kalau bocah
penjaga gudang yang berada dihadapannya sekarang tak lain adalah
majikan kecil yang ditolongnya tujuh tahun berselang, sedangkan Sun
Tiong-lo sendiri sama sekali lidak kenal dengan Cui Tong.
Waktu itu dia masih terlalu kecil, apalagi dalam lelap tidur yang
nyenyak, ketika terjadi peristiwa dirumahnya dan dia ditolong orang,
kesemuanya itu tidak diketahui olehnya bila pengemis tua tersebut
tidak menceritakan hal ini kepadanya.
Ketika dia bertanya siapakah yang telah menyelamatkannya, pengemis
tua itu tak pernah mau berbicara, malah berpesan kepadanya sebelum
kepandaian silat yang dimilikinya mencapai tingkatan yang luar biasa,
rahasia asal usulnya tak boleh dibocorkan.
Walaupun antara majikan dan pembantu tidak saling mengenal, namun
Thian telah mengaturkan pertemuan yang tak terduga ini, sekalipun kali
ini harus berpisah lagi, namun di kemudian hari mereka sudah tahu
tempat untuk mencarinya.
Begitulah, dalam keragu-raguan Cui Tong menuturkan kembali
pengalaman yang baru saja menimpa dirinya.
"Tahun berselang, ketika aku mengikuti Tay piautau mengawal
barang-barang ke kota Tay-awan, di luar perkampungan keluarga Sik
telah menderita musibah, untung saja kepandaian silat Toa- piautau
lihay sehingga kawanan perampok itu kena dipukul mundur, siapa tahu
hari ini aku telah berjumpa lagi dengan mereka."
"Parahkah luka diatas kakimu itu ?"
"Cukup parah, tapi tak menjadi soal, aku membawa obat luka yang
terbaik, asal bisa beristirahat barang dua hari, niscaya luka ini akan
sembuh dengan sendirinya, cuma..."
Belum sempat ia menyelesaikan kata-katanya Sun Tiong-lo telah
menukas lebih dulu:
"Kalau begitu beristirahat saja dalam gudang ini, tak akan ada yang
menayai dirimu, aku akan persiapkan tempat bagimu, sekalipun
musuh-musuhmu itu akan berdatangan kembali, belum tentu dia dapat
menemukan dirimu, tak usah khawatir."
Apa yang telah dikatakan ternyata dilakukan Sun Tiong-lo dengan
cepat, diatas tumpukan karung-karung buah kering tingginya hampir
mencapii langit-langit gudang itu dia siapkan sebuah tempat bagi Cui
Tong untuk beristirahat, bahkan membimbingnya naik ke atas.
Satu hari, dua hari, akhirnya luka diatas paha Cui Tong sudah sembuh
enam tujuh bagian.
Tentu saja paling baik kalau dia bisa beristirahat beberapa hari lagi, tapi
Cui Tong seperti diburu-buru waktu, dia telah memberitahu kepada Sun
Tiong lo bahwa kentongan pertama malam nanti, dia pergi akan
meninggalkan tempat itu.
Namun dasar kanak kanak, Sun Tionglo bersikap agar Cui Tong
mengajarkan semacam kepandaian dulu kepadanya, hal ini tentu saja
amat menyusahkan Cui Tong, sebab kepandaian silat semacam apapun
mustahil bisa dipelajari dalam waktu singkat.
Apalagi sejak majikannya menjumpai musibah, Cui Tong sudah
menaruh perasaan benci terhadap ilmu silat, namun Sun Tiong lo yang
masih polos ini adalah penolongnya, dia tak ingin mencelakai bocah itu,
maka dia bertekad tak akan mengajarkan kepandaian apapun, walau
hanya setengah jurus.
Akan tetapi Sun Tiong lo mendesak terus menerus, dalam keadaan apa
boleh buat, akhirnya timbul suatu ingatan dalam benak Cui Tong, bulan
enam adalah musim lalat berkembang biak, tibatiba
saja ia menemukan sebuah cara yang baik menangkap lalat dan
nyamuk.
Ia lantas memberitahukan kepada Sun Tiong lo agar memesan sepasang
sumpit baja sepanjang dua depa pada tukang besi, dikatakan sumpit itu
hendak dipakai untuk menjepit lalat dan nyamuk yang menjengkelkan
itu.
Kemudian diapun memberitahukan bahwa kalau menjepit mesti
menjepit kakinya, tak boleh menjepit sayap, harus menjepit ekor tak
boleh menjepit kepala, jepitannya tak boleh mematikan, tapi juga tak
bisa membiarkan dia terbang.
Andaikata orang dewasa yang mendengar cerita ini, mereka pasti akan
tertawa kegelian, bahkan tahu kalau Cui Tong sedang menampik dengan
menggunakan alasan tersebut.
Lain dengan Sun Tiong lo, dia menganggap permainan itu sangat
menarik, maka dipelajarinya cara menangkap lalat dan nyamuk dengan
seksama.
Maka sepeninggal Cui Tong, saban hari dia melatih diri menjepit lalat
dan nyamuk dengan sumpit bajanya itu.
Orang kuno bilang: Kucing buta bertemu tikus mampus. Sun Tiona-lo
yang saban hari melatih menyumpit, akhirnya malam itu ia berhasil juga
menjepit seekor nyamuk sialan sampai mampus.
Melihat itu, Sun Tiong-lo tertawa kegembiraan, inilah tertawa yang
pertama kalinya selama tujuh tahun terakhir ini.
Maka diapun menyumpit terus tiada hentinya, tahun demi tahun lewat
dengan cepat.
Sekarang Sun Tiong lo sudah empat belas tahun, perawakannya lebih
pendek, dibanding kan dengan anak sebayanya.
Bulan dua belas sudah berakhir dan permulaan tahunpun menjelang
tiba, suatu hari Kwik Wangwee menitahkan pelayannya untuk
memanggil Sun Tiong lo.
Rupanya dia menyampaikan kabar gembira, mulai bulan satu, Sun Tiong
lo telah diangkat sebagai pembantu kasar dari Kwik Wangwee dengan
gaji satu tail sebulan, soal makan, soal tempat tinggal dan soal membaca
buku, Kwik Wangwee memberi kebebasan kepadanya.
Selain itu, Kwik Wangwee juga berkata pada Sun Tiong lo bahwa
selama enam tahun Sun Tiong lo tak pernah keluar rumah, hal ini amat
menggirangkan hati hartawan Kwik.
Maka menjelang tahun baru, dia memperkenankan Sun Tiong lo
mengikuti pelayan tua nya untuk berjalan jalan ke ibu kota sambil
sekalian berpesiar.
Kwik Wangwee membelikan pakaian baru untuk Sun Tiong lo selain
memberi hadiah dua tail perak kepadanya, bahkan berpesan pada
pelayan tuanya agar baik-baik menjaga keselamatan Sun Tiong lo.
Hari itu, berangkatlah Sun Tiong lo dan pelayan tua itu menuju ke ibu
kota.
Rumah penginapan dimana mereka menginap adalah sebuah
penginapan yang amat ramai, rumah penginapan itu milik Sah Hwe cu
dengan merek Cuan-hok, "Sah Hwe cu" adalah seorang lelaki bermuka
burik yang cukup termashur namanya disana.
Sebelum pegawai tua berangkat dengan tugasnya, dia berpesan kepada
Sah Hwe-cu agar mencarikan seorang pelayan yang jujur untuk
menemani Sun Tiong-lo berjalan jalan.
Sah Hwe-cu segera menyanggupi dan mencari seorang pelayan yang
bernama Pek Keh-hok untuk menemani Sun Tiong lo.
Setelah keluar dari rumah penginapan, Pek Keh-hok lantas berkata:
"Kau hendak berpesiar kemana saja ? Ke Thian-kau, atau Hoa keng,
atau mengunjungi kuil..."
"Kita pergi ke perusahaan Pat tat piaukiok lebih dulu !" tukas Sun Tiong
lo tiba-tiba.
Mendengar jawaban tersebut, Pek Keh hok agak tertegun, kemudian
serunya heran:
"Pat-tat piaukiok? Ada urusan apa kau hendak ke mana ?" "Mencari
orang, disana ada seorang teman ku!" Pek Kehhok memperhatikan
sekeliling tempat itu sekejap, ketika
tidak menjumpai orang yang mencurigakan ia baru berbisik: "Sudahlah,
lebih baik jangan ke sana, dua hari belakangan ini Pat
tat piaupiok sedang ketimpa persoalan, dengan susah payah kau
datang ke ibu kota, bukan mencari kesenangan, buat apa ke tempat itu
mencari gara gara ?"
Mengetahui kalau perusahaan Pat tat piaukiok terjadi peristiwa, Sun
Tiong lo semakin bernafsu untuk pergi ke sana, dengan perasaan apa
boleh buat terpaksa Pek Keh hok mengajaknya ke depan jalan menuju
ke perusahaan tersebut, sementara dia menunggu dimulut gang.
Tak lama kemudian sampailah mereka didepan mulut gang menuju ke
kantor perusahaan Pat tat piaukiok, sambil menuding ke dalam gang itu,
Pek Keh hok berkata:
"lni dia gangnya, aku tak ikut masuk, kau lihat disitu ada warung teh ?
Nah aku menanti mu disana, harap kau jangan terlalu lama !"
Sun Tiong-lo mengiakan, dia lantas masuk kedalam gang itu seorang
diri.
Gedung perusahaan Pat-tat-piaukiok terletak ditengah-tengah gang,
pintu gerbang yang berwarna hitam terpentang lebar, dikedua sisi pintu
terdapat palang kayu tempat kuda, sedang dekat pintu berdiri dua orang
lelaki kekar.
-oo0dw0ooJilid
16
KETIKA Sun Tiong-lo mendekati pintu gerbang, salah seorang penjaga
itu sudah memperhatikannya dengan seksama, melihat dia naiki tangga
batu, dengan cepat lelaki itu menghadang jalan perginya sambil
menegur:
"Saudara cilik, ada urusar apa kau datang kemari ?" "Mencari teman
!" Senyuman segera menghiasi wajah lelaki itu, tanyanya lagi: "Kau
mencari siapa ? saudara cilik, siapa pula namamu ?" "Aku bernama
Sun Tiong-lo, aku datang ke mari mencari Cui
Tong, Cui piautau...!" Empat orang lelaki penjaga pintu itu sama-sama
tertegun,
kemudian sambil menggeleng kan kepalanya mereka berkata: "Mungkin
kau keliru, disini hanya ada seorang Cui piautau, tapi
tidak bernama Cui Tong." "Dia mempunyai nama lain yang bernama Cui
Cu-hoa!" cepat
cepat Sun Tiong-lo menambahkan. Kali ini dia benar, seorang lelaki
segera masuk meninggalkan,
mimpipun Cui Tong tidak menyangka kalau Sun Tiong-lo bakal datang
mencarinya, mendengar laporan itu dia merasa agak malu, kemudian
buru-buru keluar untuk menyambutnya.
Dalam ruang tamu, Cui Tong telah menyiapkan kata-kata yang akan
mengakui kalau pada empat tahun berselang dia cuma ngako belo
belaka dengan tujuan untuk meloloskan diri.
Siapa tahu, sebelum dia berbicara, Sun Tiong lo telah berkata lebih
duluan:
"Cui piautau, kebetulan ada seorang pegawai Sun Wangwe datang
kemari untuk menagih hutang, Wangwe suruh aku turut jalan jalan,
maka aku sengaja datang menyambangimu sekalian mengucapkan
terimakasih kepadamu."
Ucapan terimakasih tersebut membuat Cui Tong tertegun dan tak tahu
bagaimana mesti menjawab.
Terdengar Sun Tiong-lo berkata lebih jauh. "Kepandaian yang kau
ajarkan kepadaku untuk menjepit nyamuk
dengan sumpit baja telah berhasil kukuasai, sekarang tak pernah
meleset lagi jepitanku, mau yang hidup atau yang mati, ingin menjepit
bagian yang mana, aku bisa melakukannya semua dengan tepat dan
cepat !"
Menyinggung soal kepandaian "menjepit lalat dan nyamuk dengan
sumpit baja" merah padam selembar wajah Cui Tong karena jengah tapi
setelah mendengar semua perkataan itu, dia baru terbelalak dengan
mulut melongo, untuk sesaat lamanya dia hanya berdiri termangu
mangu tidak tahu apa yang musti dikatakan.
Ia sama sekali tak menduga kalau guraamya telah berhasil membuat
Sun Tioag-lo menguasai suatu kepandaian yang luar biasa, mungkin
inilah yang dikatakan orang sebagai baja yang diasah setiap haripun
akhirnya menjadi jarum.
Dalam malu dan menyesalnya Cui tong lantas mengaku terus terang,
akan tetapi Sun-tiong lo tetap merasa berterima kasih kcpadanya,
bahkan menggunakan perumpamaan Han sin yang mendapat hinaan
untuk membandingkan kejadian itu.
Semakin Sun-tiong-lo berkata begini, Cui tong merasa semakin tidak
tenteram hatinya.
Diam-diam Cui-tong lantas bertekad, walau pun dibidang lain ia tak bisa
menolong banyak, maka dia hendak menggunakan uang yang cukup
untuK mengatur masa depan bocah yang pernah menolongnya itu.
Dia adalah seorang lelaki lurus yang berjiwa hangat, apa lagi tak lama
kemudian dia akan menghadapi persoalan yang menyangkut mati
hidupnya, dan dia mengerti lebih banyak kematian dari kehidupan bagi
dirinya.
Oleh sebab itu selesai mendengar perkataan dati Sun Tiong lo itu, dia
lantas memegang bahu bocah itu seraya berkata.
"Mari saudara cilik, kita berbincang bincang dalam kamarku saja !"
Tiba di halaman belakang. Sun Tiong lo men jumpai kamar Cui Tong
sangat mewah, semewah kamar tidurnya Kwik Wan gwee, maka tanpa
terasa dia lantas berseru:
"Tampaknya menjadi Sam lok piautau pun lumayan juga, mungkin
gajimu dalam sebulan cukup besar?"
Cui Tong hanya tertawa, namun getir dihati. Setelah ditolong oleh
pengemis tua yang aneh didepan pintu Kuil
Kwan ya hio di kota Tong ciu tempo hari, dengan sangu dua tahil perak
pemberian sang pengemis, dia telah berangkai kembaii ke ibu kota.
Dia tahu, kawanan pen tahat itu sedang mencari jejaknya diseluruh
penjuru dunia, maka ia gunakan nama Cui cu hoa, diapun
menggabungkan diri dengan perusahaan Pat tat piaukiok.
Dia mulai menyembunyikan kepandaiannya dan bekerja sebagai
seorang Tang cu jiu, tak sampai dua bulan kemudian, lo piautau telah
mengetahui kalau dia pernah belajar silat, lagi pula orangnya ringan
tangan dan jujur, maka diapun diangkat menjadi Sam lok piautau.
Tentu saja lo-piautau tidak akan mengetahui asal usulnya yang
scsungguhnya, cuma semenjak saat ini, dia selalu disuruh turut
berkelana dlam dunia persilatan.
Pada mulanya dia masih kuatir kalau sampai ketahuan musuh, tapi lama
kelamaan dia baru mengendorkan kewaspadaannya, dia mengerti
kedudukannya sebagai pegawai rendah suatu perusahaan pengawal
barang telah dilindungi keselamatannya.
Tentu saja musuhnya tak akan menyangka kalau seorang pendekar
besar yang punya nama besar dalam dunia persilatan ternyata sudi
menjadi seorang Sam lok piautau.
Tapi jika peristiwa akan terjadi, siapapun tidak bisa menghalanginya,
sewaktu mengikuti lo piautau melindungi barang kawalan, mereka telah
bertemu dengan Gi pak ngo hou (lima-ekor harimau dari Gi pak) yang
hendak membegal barang kawalan mereka diperkampungan keluarga Sik.
Pertarungan segera berlangsung, lo piautau harus melawan dengan dua
orang, sedangkan lima orang piautau kelas dua yang harus berhadapan
musuh yang lebih tangguh menjadi kocar kacir dibuatnya, mereka mesti
melakukan perlawanan mati-matian.
Dengan kedudukan Cui Tong ketika itu, melindungi barang kawalan
merupakan kewajibannya, tapi bukan tugasnya untuk bertarung
melawan musuh, walaupun demikian ia tak bisa membiarkan rekannya
terbunuh, diapun tidak dapat membiarkan kelima harimau itu membegal
barang kawalannya.
Maka dengan sebilah golok dia lantas turun pula ke arena pertarungan
kepandaian silat, yang dimilikinya waktu itu memang jauh lebih lihay
dari musuhnya itu, di dalam waktu yang amat singkat dua musuhnya di
babat dan tiga lainnya dilukai, dengan menderita kekalahan hcbat,
musuh musuhnya itu segera kabur menyelamatkan diri.
Setelah peristiwa tersebut, lo-piautau hanya memandangnya dengan
sinar mata berterima kasih tanpa mengucapkan apa apa, tapi
sekembalinya ke dalam perusahaan, dia baru memanggilnya ke ruang
dalam dan berbincang semalaman suntuk.
Sejak itulah dia menjadi congkoan dari perusahaan Pat-tat piaukiok, ia
tak perlu mengawal barang lagi melainkan hanya persoalan dalam
perusahaan, kedudukannya tentu saja jauh lebih tinggi daripada
kedudukan seorang sam-lok piautau.
Tentu saja kejadian ini merimbulkan protes dari rekan rekannya dan
mereka menganggap lo piautau pilih kasih, tapi lama kelamaan
mereka baru tahu kalau dia punya penyakit lama yang bila
menggunakan tenaga kelewat besar akan menimbulkan kematian, sejak
itulah semua protes baru dihentikan . . .
Empat tahun berselang ketika dia sedang berjalan malam, tanpa
sengaja telah berjumpa dengan paman gurunya harimau kedua, ke tiga
dan ke lima dari Gi-pak ngo hou yang di sebut orang persilatan sebagai
pek jiu-hud (Buddha bertangan seratus) Mong hwesio.
Dalam suatu pertarungan sengit yang kemudian berlangsung,
senjatanya kena dipukul jatuh oleh ilmu pek poh sin tan (sentilan sakti
seratus langkah) dari Mong hwesio, yang mengakibatkan kakinya
terbacok, itulah sebabnya dia lantas melarikan diri ke gedung hartawan
Kwik dan bertemu dengan Sun Tiong Io.
Lima hari berselang, Gi pak ngo hou telah masuk keibu kota dan
menggunakan peraturan dunia persilatan untuk menyambangi
perusahaan pat tat piau kiok, namun mereka tidak masuk sebaliknya
hanya meninggalkan sepucuk surat undangan.
Diatas kartu undangan itu tertera jelas sekali, bahwa pada bulan dua
belas tanggal dua puluh tiga pada kentongan yang pertama itu nanti,
diharapkan Sam lok piautau Ciu Ci hoa datang kekebun sayur keluarga
Lau di utara kota untuk melangsungkan duel satu lawan satu.
Sedangkan kartu undangan itu ditanda tangani oleh Pek-jiu hud
(Buddha bertangan seratus) Mong hweesio.
Mong hweesio menyampaikan tantangannya itu menurut peraturan dunia
persilatan, sudah barang tentu Ciu-thong harus membalas tantangan
tersebut, sebab dalam keadaan begini, bukan saja tak dapat mundur,
bahkan mencari teman pun dianggap sesuatu yang memalukan.
Begitu kabar tersebut tersiar luas, belasan perusahaan pengawalan
barang yang ada di ibu kota menjadi gempar.
Hal ini bukan dikarenakan kejadian macam itu jarang terjadi, melainkan
karena pihak lawan bukannya menantang piautau yang
bertanggung jawab atas perusahaan Pat-tat-piau-kiok, sebaliknya
malahan menantang seorang Tangcu-jiu yang berpangkat rendah.
Maka keesokan harinya, para cong piautau dari kesepuluh perusahaan
pengawalan barang itu berbondong bondong datang keperusaan Pat-tat
piaukiok.
Lu lo piautau dari perusahaan pat tat piau kiok tentu saja tak dapat
memberi keterangan apa adanya, maka dengan menggunakan kata "aku
sendiripun tidak habis mengerti" untuk menjawab pertanyaan mereka,
sudah barang tentu jawaban semacam ini sangat tidak memuaskan
semua orang.
Mereka bersikeras untuk mengundang Ciu Tong untuk membicarakan
persoalan ini, tapi semuanya ditampik oleh Lu lo piautau, maka akhirnya
merekapun meninggalkan pesan sebelum berpamitan bahwa mereka
akan setia kawan dan tak akan membiarkan Mong hweesio bertingkah
semaunya sendiri.
Bahkan mereka memutuskan pada malam tanggal dua puluh tiga nanti
akan hadir semua di kebun sayurnya keluarga Lau dikota Utara,
kehadiran mereka bukan untuk membantu, tapi bila terdapat ketidak
adilan mereka akan turut mencampurinya.
Dikala Ciu Tong sedang pusing tujuh keliling menghadapi persoalan ini,
Sun Tiong lo yang tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi telah
berkunjung datang, hal ini membuat Ciu Tong bertekat untuk membalas
budi dari Sun Tiong lo tersebut.
Sambil menyodorkan secawan arak untuk Sun Tiong lo, dia lantas
berkata:
"Saudara cilik, duduklah dahulu, aku hendak ke dalam sebentar untuk
mengambil sedikit barang, dengan cepatnya aku akan datang kembali."
sambil tertawa dia lantas beranjak pergi.
Tak selang seperminum teh kemudian, dia muncul kembali sambil
membawa sebuah bungkusan kecil, sambil meletakkan bungkusan itu
kemeja, katanya:
"Saudara cilik, ada suatu hal aku ingin merepotkan dirimu, harap kau
jangan menampiknya"
"Asal dapat kulakukan" sahut Sun Tiong lo cepat sambil membelalakkan
matanya lebar-lebar.
Cui Tong tertawa, katanya sambil menuding bungkusan kecil terbuat
dari kulit itu: "Soal ini pasii dapat kau lakukan"
"Harus kuberikan kepada siapakah bungkusan itu?" tanya Sun Tiong lo
sambil memperhatikan sekejap bungkusan itu.
Cui Tong segera menggelengkan kepalanya berulang kali, katanya:
"Saudara cilik, aku harap kau suka menyimpan bungkusan kecilku ini
selama berapa waktu, selewatnya bulan dua belas tanggal dua puluh
tiga nanti, aku pasti akan mengambilnya kembali"
"Kenapa?" Sun Tiong lo agak tidak mengerti. Cui Tong tertawa.
"Saudara cilik bersediakah kau untuk tidak banyak bertanya?"
pintanya tiba-tiba. "Baiklah," ucap Sun Tiong lo kemudian sambil
tertawa, "aku tak
akan banyak bertanya, cuma selewatnya bulan dua belas tanggal dua
puluh lima mungkin aku sudah pulang ke Tong ciu, oleh sebab itu
paling lambat tanggal dua puluh empat malam kau harus pergi
mengambiInya, setuju?"
"Baik" sahut Cui Tong agak sedih, "andaikata pada tanggal dua puluh
empat aku belum datang juga, harap saudara cilik bersedia untuk
membuka bungkusan itu, dari dalam kantung mana akan kau ketahui
harus pergi kemana untuk mencariku."
"Kau hendak kemana sih?" tanya Sun Tiong lo keheranan. Cui Tong
tertawa getir, "Kita toh sudah berjanji tak akan saling
bertanya?" tegurnya.
Terpaksa Sun Tiong lo manggut-manggut, "Baiklah, aku tinggal di
sebuah rumah penginapan yang dibuka-oleh Sah Hwec-cu dengan
begitu kau jadi tak perlu mencari aku kesana kemari..."
Cui Tong tertawa dan tidak berkata lagi. Mendadak Sun Tiong lo
teringat kembali dengan apa yang
diucapkannya oleh Pek Kek hok, dengan cepat tanyanya kembali:
"Bolehkah aku menanyakan soal yang lain?"
"Tentu saja boleh," jawab Cui Tong sambil mengangguk, "Silahkan
saudara cilik bertanya apa saja yang kau ingin ketahui"
"Aku mendengar dari pelayannya Sah Hwee cu yarg mengatakan
beberapa hari ini ada kerepotan yang lagi menimpa perusahaan Pat tat
piaukiok, sebenarnya kesulitan macam apakah? Seandainya tidak
serius..."
"Harap saudara cilik jangan mempercayai kata usil orang lain" cepat Ciu
Tong menukas "perusahaan Pat tat piaukiok toh berada dalam keadaan
baik-baik, dari mana datangnya kesulitan? Coba kau lihat masa keadaan
kami disini bagai ditimpa kesulitan?"
Pengetahuan yang dimiliki oleh Sun Tiong lo memang amat kurang, apa
lagi orangnya polos dan jujur, maka diapun manggut- manggut.
"Kalau memang tiada kesulitan, tentu saja lebih baik lagi, Nah, aku
mohon pamit dulu pelayan penginapan itu- masih menungguku diluar
sana ..."
"Aaah, hal ini mana boleh?" tukas Cui Tong segera, "dimana ia
sekarang? Biar kuutus orang unt.uk memberitahu kepadanya agar dia
pulang duluan, kau musti bersantap siang dulu bersama kami, lalu
berpesiar ke tempat-tempat yang indah sebelum pulang ke
penginapan."
Semenjak kecil Sun Tiong lo sudah terbiasa hidup sengsara, entah
menghadapi persoalan apapun, dia selalu turun tangan sendiri, maka
begitu mendengar ucapan dari Cui Tong tersebut, ia berpikir sebentar
lalu menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Biar aku pergi sendiri," katanya. Tentu saja Cui Tong tak bisa tidak
harus mengiringinya, dia
menemani bocah itu untuk menemani bocah itu untuk menemui Pek
Keh hok.
Terhadap Cui Tong, Pek Keh hok tampak menaruh rasa jeri, dia hanya
mengiakan berulang kali, kemudian setelah berpesan agar Sun Tiong lo
jangan pulang terlalu malam, cepat-cepat dia ngeloyor pergi dari tempat
itu.
Setelah bersantap bersama dengan sayur dan hidangin yang lezat, Cui
Tong menemani Sun Tiong lo berpesiar ke tempat-tempat yang
berpemandangan indah, hal itu membuat bocah tersebut mendapat
banyak pengetahuan tambahan, sekarang dia baru percaya, menempuh
perjalanan selaksa li sesungguhnya jauh lebih unggul daripada membaca
buku selaksa jilid.
Kemudian mereka makan malam bersama di luar, sebelum Cui Tong
menghantarkannya pulang ke rumah penginapan.
Sepeninggalan Cui Tong, Pek Keh hok segera menggape ke arahnya
dengan sembunyi-sembunyi, lalu seperti pencuri saja dia celingukan
kesana kemari, menanti disana sudah tak ada orang, ia baru bertanya:
"Apakah piautau she Cui tadi bernama Cui Cu hoa?" "Ehmm,
memang dia, ada apa?" Pek Keh hok segera menggelengkan
kepalanya berulang kali,
serunya dengan cemas: "Aduuuhh tuan kecilku... bukankah siang tadi
sudah kukatan, perusahaan Pat tat piaukiok sedang menemui
persoalan, kenapa kau..."
Belum habis dia berkata, dengan nada tak senang hati Sun Tiong lo
telah menukas:
"Kau jangan sembarangan bicara, hal ini telah kutanyakan pada Cui
piautau, dia bilang perusahaan Pat tat piaukiok sama sekali tidak
menjumpai kesulitan apa-apa!"
"Siauya ku yang bodoh," ujar Pek keh hok sambil tertawa geli, "yang
bakal menjumpai persoalan dan kesulitan adalah Ciu piautaulah sendiri,
kalau kau tanyakan hal ini langsung padanya, mana dia mau mengaku?"
Sun Tiong lo menjadi tertegun. "Benarkah perkataanmu?" serunya
kemudian, Pek keh hok pikir sebentar, dan berkata: "Mari, ikutilah aku,
kebetulan ciangkwe kami tak keluar di rumah, mari kita berbincang
dalam kamar kasir sana dan mengenai soal betul atau tidak, boleh kau
tanyakan kepada Sah ciangkwee nanti!"
Tentu saja Sun Tioug lo tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, dalam
kamar kasir dia lantas menanyakan persoalan ini kepada Sah Hwee cu,
ternyata sah Hwee cu mengakui akan kebenaran ucapan Pek Keh hok,
kesulitan itu memang terletak pada diri Cui Tong.
Mendengar hal itu, Sun Tiong lo menjadi sangat keheranan, katanya
kemudian:
"Sah ciangkwee, mengapa Cui piautiu membohongi aku ? Malah dia
minta kepadaku untuk menjagakan sebuah bungkusan kecil miliknya,
mengapa dia berbuat begitu ?"
Sah hweecu adalah orang kawakan dalam dunia persilatan, dengan
terharu sahutnya:
"Siau lote, sederhana sekali parsoalan ini, Pek jiu hud (Buddha
bertangan seratus) Mong hweesio termasuk seorang jago kenamaan
daiam dunia persilatan, ia bisa menantang Cui piauiau berarti kalau
mereka ada ikatan dendam."
Belum habis perkataan itu diutarakan, Sun Tiong lo telah bertanya
kembali:
"Aku ingin tahu, mengapa dia mesti membohongi aku ?" "Oooh...
mungkin dia tak ingin kau ikut menguatirkan
keselamatannya karena kau datang untuk menengoknya, maka kecuali
membohongi dirimu, apa lagi yang bisa dia katakan? Tentang
bungkusan kulit kecil itu.."
"Aaah, sekarang aku sudah mengerti" kembali Sun Tiong lo menukas,
aku ingin pula menanyakan satu hal kepada Sah ciang kwee, dimanakah
Mong hweesio mengajak Cui piautau untuk berduel dan kapan waktunya
?"
"Sudah hampir, kentongan pertama tanggal dua puluh tiga, tempatnya
di Kebun sayur keluarga Lau di utara kota !"
Sun Tiong lo tidak banyak bertanya lagi, setelah mengucapkan terima
kasih, dia lantas kembali ke kamar tidurnya.
Keesokan harinya pagi sekali pegawai Kwik Wangwee telah
membangunkannya sambil berseru:
"Sun Tiong lo, bangun, cepat bangun, aku ada persoalan yang hendak
disampaikan kepada mu."
Padahal Sun Tiong lo sudah bangun, sejak kentongan kelima dia sudah
bangun untuk bersemedi maka ketika pegawainya Kwik Wangwee
membangunkan dia, ia lantas pergunakan kesempatan itu untuk
melompat bangun dari atas pembaringan.
Tidak menanti bocah itu bertanya, sang pegawai sudah berkata lebih
lanjut.
"Hari ini aku harus berangkat ke Yong teng bun untuk menagih hutang,
mungkin malam ini ia tak akan kembali, maka aku hendak
menasehatimu dengan beberapa kata, Sah ciangwee telah berkata
kepadaku, kata kau amat menaruh perhatian terhadap kesulitan yang
menimpa orang she Ciu dari perusahaan Pat tat piaukiok"
"Yaa, dia adalah temanku" tukas Sun Tiong lo dengan cepat.
Dengan kening berkerut pegawai itu segera berkata: "Aku tak punya
waktu untuk bertanya kepada mu dimanakah kau
berkenalan dengan orang ini, tapi aku harus memberitahukan
kepadamu, persoalan ini lebih baik jangan kau urusi, dari pada
mendatangkan bencana bagi kita sendiri!"
"Tak usah kuatir, walaupun umurku baru empat belas tahun, aku cukup
mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, lebih baik
kau urusi pekerjaanmu saja, aku hanya berniat-untuk menyambangi
teman saja, kini teman sudah kusambangi, maka urusan juga telah
selesai"
Pegawai itupun menjadi berlega hati, katanya kemudian sambil tertawa:
"Kalau memang begitu, yaa sudahlah, akupun berlega hati, kita sampai
bersua lagi esok pagi."
Setelah pegawai itu pergi, Sun Tiong-lo segera melompat turun dari
atas pembaringan selesai membersihkan muka, dia iseng-iseng
berjalan-jalan meninggalkan rumah penginapan.
Di seberang jalan sana itu terdapat penjual wedang tahu, diapun masuk
kedalam warung dan memesan separuh mangkuk wedang tahu serta
beberapa biji ta-kwe, tujuannya tentu saja bukan ingin minum wedang,
melainkan hendak menghindari Pek keh hok, si pelayan penginapan itu.
Benar juga, tak lama kemudian Pek keh hok munculkan diri dari balik
pintu penginapan, ketika dilihatnya Sun Tiong lo sedang minum wedang
tahu, dengan hati yang lega diapun masuk kembali.
Menggunakan kesempatan inilah Sun Tiong lo segera membayar
rekening dan cepat-cepat kabur kedalam sebuah gang sempit, kemudian
dalam beberapa kali membelok saja, bayangan tubuhnya lenyapkan diri.
Penginapan milik Sah Hwee cu itu terletak di daerah penggilingan tahu
tidak jauh dari sana adalah toko penjual pisau dan gunting milik To Ma
cu yang tersohor untuk diwilayah itu, diseberangnya adalah toko
nenjual obat milik Ong Ma cu itulah dia pergi.
Tak lama kemudian, dia sudah muncul kembali dari toko itu dengan
wajah berseri, dari seorang pejalan kaki yang dijumpainya dijalan ia
menanyakan arah menuju ke kebon sayur keluarga Lau diutara,
kemudian selangkah demi selangkah dia berangkat kesana.
Sepanjang tengah hari, dia hanya berkeliling diseputar kebon sayur dari
keluarga Lau baik gang kecil, jalan sempit maupun lorong
kecil, dilewatinya sampai hapal betul, kemudian dengan perasaan lega
ia baru kembali ke kota.
Dalam anggapannya dia telah bertindak sangat berhati-hati, siapa tahu
sejak dari kota, semua gerak-geriknya tak pernah lolos dari pengawasan
seseorang yang mengamatinya terus dengan seksama, tentu saja bocah
itu sama sekali tidak mengetahuinya.
Menanti dia telah pergi jauh, dari balik sebuah gang dibelakang kebnn
sayur muncul sesosok bayangan manusia, memandang hingga bayangan
punggungnya yang kecil lenyap dari pandangan, orang itu
manggut-manggut sambil tertawa.
Sambil tertawa orang itupun pelan-pelan maju ke muka, sambil berjalan
gumamnya:
"Sungguh menarik hati, persis seperti aku waktu muda dulu, mana
hatinya baik, setia kawan juga ringan tangan, tapi aku ingin
memperhatikan lebih lanjut, kepandaian apa saja yang telah diwariskan
pengemis tua kepadamu!"
Kemudian bayangan orang itupun lenyap dari pandangan, tampaknya ia
sedang mengejar diri Sun Tiong lo.
Perjalanan kembali Sun Tiong lo tidak dilakukan terlampau terburu
napsu, selewatnya jembatan Pak hoo kiau, jumlah orang lewat semakin
ramai, diapun masuk ke dalam sebuah warung makan kecil di tepi jalan.
Warung itu memakai merk "Kau po li", yang khusus menjual bakpao
dan bubur.
Ketika Sun Tiong lo melangkah masuk ke-dalam warung ini, mendadak
tergerak hatinya, dengan cepat dia berpaling tampak seorang manusia
berbaju biru tiba tiba melintas dari belakang punggungnya.
Sun Tiong lo tidak banyak curiga, diapun enggan untuk banyak berpikir,
dengan langkah yang santai dia masuk ke warung dan mencari tempat
duduk.
Belum lama ia duduk, mendadak dia rasakan orang berbaju biru itu
seperti amat di kenal olehnya, dengan cepat dia memburu keluar pintu,
namun orang itu sudah lenyap tidak berbekas, akhirnya dengan kening
berkerut dia berjalan balik ke tempat semula.
Setelah bersantap kenyang, dengan perasaan hati yang riang dia
menelusuri sebuah jalan yang lurus menuju jalan kearah yang lain, tapi
buru saja menembusi sebuah gang sempit tiba-tiba jalan perginya
dihadang oleh seseorang.
Ketika ia mendongakkan kepala maka tampak orang itu adalah lelaki
berusia tiga puluh lima enam tahunan yang berwajah jelek, berpakaian
ringkas dan bersepatu kulit, dalam sekilas pandangan saja dapat
diketahui kalau dia adalah seorang jago dalam dunia persilatan.
Terdengar lelaki itu menegur sambil tertawa seram: "Saudara cilik.
kau datang dari mana?" Sun Tiong lo tidak terbiasa berbohong, apa
lagi dengan usianya
sekarang di tambah pula dengan pengalamannya yang masih terlampau
dangkal, sulit baginya untuk mengenali watak manusia,itulah sebabnya
dia lantas menjawab dengan sejujurnya:
"Aku datang dari kota Tong-ciu!" "Ooh... apakah kau punya rumah di
ibu kota?" kembali lelaki itu
bertanya. Sun Tiong lo segera menggelengkan kepala berulang kali.
"Tidak ada" sahutnya: "aku datang kemari karena mengikuti
pegawai yang sedang menagih rekening, sekarang tinggal dirumah
penginapannya Sah Hwee Cu"
Lelaki itu segera tertawa lebar. "Apakah di ibu kota kau punya teman
akrab?" kembali tanyanya.
Baiu saja Sun Tiong lo akan menjawab secara jujur, mendadak dia
teringat lagi dengan kesulitan yang sedang dihadapi Cui Tong.
Dengan cepat kata-kata yang sudah hampir meluncur, keluar itu ditelan
kembali, kemudian kepalanya digelengkan berulang kali.
"Tidak ada!" katanya. Kontan saja lelaki itu tertawa dingin.
"Heeeeh... heeh... heeehhh, anak masih muda sudah tidak jujur,
hmm ! Dengan mata kepala sendiri locu menyaksikan kau berjalan
bersama dengan keparat she Cui dari perusahaan Pat-tat piaukiok, yaa
makan bersama yaa berpesiar, gembiranya bukan kepalang, masa
kalian bukan sahabat karib ?"
Tujuan yang diharapkan Sun Tiong lo akhirnya kesampaian juga, maka
setelah menyadari siapa lawannya, dengan tenang tanpa gugup barang
sedikitpun juga dia berkata:
"Seandainya aku betul-betul bisa mempunyai seorang teman seperti dia,
pasti gembira sekali hatiku, buat apa aku mesti hidup sebagai pengawal
rendahan lagi dirumah orang ? Hidup senang macam begitu kan bukan
sesuatu dosa besar ?"
"Hmm ! Kalau bukan teman, kenapa dia menemanimu minum, makan
dan berpesiar ?"
"Ketika berada dikota Tiong ciu tempo hari, dia telah kehilangan sebuah
benda miliknya, kebetulan akulah yang menemukan benda itu dan
menanti hampir setengah harian disana, ketika ia mencari barangnya
kesitu, aku lari dan mengembalikannya, oleh karena itu..."
Belum lagi ucapan tersebut habis diucapkan dari belakang tubuh Sun
Tiong lo kembali berkumandang suara gelak tertawa yang keras.
Padahal sejak tadi Sun Tiong lo sudah tahu kalau ada tiga orang
manusia yang berdiri di belakangnya, hanya saja dia berpura-pura tidak
tahu.
Setelah pihak lawan tertawa, dia baru ber paling.
Apa yang dilihatnya ? seorang hweesio tinggi besar yang berwajah buas
telah berdiri di belakangnya, dikedua sisi hweesio tadi berdiri dua orang
lelaki berbaju ringkas.
Sun Tiong lo segera menyadari dengan siapa dia berhadapan muka,
rupanya ia telah bertemu dengan Mong hweesio serta tiga dari harimau
harimau Gipak.
Setelah berhenti tertawa, hweesio itu baru menegur kepada lelaki yang
menanyai SunTiong lo tadi :
"Hai, jangan kau takut-takuti seorang bocah cilik, hayo kita pergi !"
Selesai berkata, hweesio itu lantas beranjak pergi lebih duiu, sementara
tiga orang lelaki lainnya mengikuti dibelakangnya.
Diam-diam Sun tiong lo tertawa geli, setelah menjulurkan lidahnya,
dengan hati yang bangga diapun kembali kerumah penginapan.
Belum lama dia berlalu dari situ, dari balik gang sempit tadi muncul
kembali seorang berbaju biru tak salah lagi dia adalah seorang yang
telah menampakkan diri di kebun sayur keluarga Lau tadi.
Sambil tersenyum kembali orang itu bergumam: "Benar-benar
seorang bocah yang nakal !" Setelah berhenti sebentar, dia
melanjutkan: "Huuh, hweesio buat apaan ? Hakekatnya dia cuma
seorang
hweesio buta belaka !" "Blaam, blaam, blaaamm!" bunyi petasan
bergema memekakkan
telinga, Tiap rumah, setiap keluarga sedang bermain petasan dengan
riang gembira.
Hari ini adalah saat dewa dapur naik kelangit, hari ini diangap hari baik
maka semua orang ikut merayakannya.
Pegawai tua yang ditugaskan Kwik Wangwee untuk menagih rekening
telah selesai dengan tugasnya, sebenarnya paling tidak ia mesti bekerja
selama dua hari lagi sebelum selesai seluruhnya, tapi Sah Hweecu telah
membantu pekerjaannya, maka tengah hari tanggal dua puluh dua,
semua hutang telah berhasil ditagih.
Sah Hwee cu adalah seorang lelaki bujangan, dalam matanya tak
pernah kemasukan pasir, bagaimanapun dia memandang, terasa
olehnya kalau Sun Tiong lo bukan bocah sembarangan, dia agak aneh.
Cuma saja, sejeli-jelinya mata Sah Hwee-cu, dia hanya sempat melihat
keanehan Sun Tiong lo, namun tidak diketahui olehnya dimanakah letak
keanehan Sun Tiong lo tersebut.
Dengan amat hati hati dan cermat, secara diam diam ia merundingkan
hal ini dengan sang pegawai tua itu, dia akan membantunya menagih
hutang, dengan begitu pada tanggal dua tiga nanti, Sun Tiong lo pasti
sudah tiba dikota Tiong ciu.
Menurut perkiraan Sah Hwee cu, seandainya hal ini tidak dilakukan maka
Sun Tiong lo pasti hadir dikebun sayur keluarga Lau pada malam tanggal
dua puluh tiga nanti, seandai nya sampai terjadi hal-hal yang tak
diinginkan atau mendapat kesulitan, semua pihak pasti akan terkena
getahnya pula.
Pegawai tua itu lebih takut urusan, tentu saja diapun ingin cepat cepat
pulang ke Tiong ciu, maka pada tanggal dua puluh tiga pagi- pagi dia
telah menitahkan kepada Pek Kek hok untuk membuka rekening, dia
hendak mengajak Sun Tiong lo kembali ke Tiong ciu.
Kejadian aneh didunia ini memang aneh, ketika Pek Keh hok selesai
membuat rekening, dia berkata kepada pegawai itu bahwa dikamar
nomor tiga diloteng barat ada seorang tamu yang mengatakan kenal
dengan kau, dia suruh aku menyampaikan sepucuk surat.
Setelah membaca surat itu, sang pegawai tua itu menjadi bodoh, tanpa
banyak berbicara dia menyimpan surat itu baik-baik,
kemudian memanggil Pek Keh-hok dan mengatakan kalau hari ini tidak
jadi berangkat.
Tatkala Sah Hwee-cu mendapat laporan dari Pek Keh hok, diam- diam
dia lantas memanggil pegawai itu sambil bertanya:
"Hei, apa yang telah terjadi? Kenapa kau batalkan rencanamu ?"
Pegawai tua itu tidak menjelaskan apa-apa selain tertawa getir.
Dengan perasaan apa boleh buat terpaksa Sah Hwee-ciu berkata:
"Mau pulang atau tidak bukan urusanku, toh aku sudah berusaha
dengan segala kemampuan ku, seandainya sampai terjadi peristiwa,
sampai waktunya nanti jangan salahkan kalau Sah Hwce ciu kurang
setia kawan !"
Pegawai tua itu masih juga tidak berbicara, dia hanya tertawa getir
belaka.
Sikap Sun Tiong lo pada hari inipun istimewa sekali, setelah bersantap
siang dia lantas tidur, tidur sampai matahari tenggelam dilangit barat,
setelah bangun, dia membersihkan muka lalu sambil mengambil secarik
kertas berlalu dari situ.
Pegawai tua itupun tidak bertanya walau sepatah katapun, namun dia
mengerti kemana kah bocah itu akan pergi.
Belum lama Sun Tiong lo pergi, pintu kamar telah dibuka orang, lalu
terdengar orang itu bertanya kepada sipegawai tua:
"Dia sudah berangkat !" "Ya, sudah, sudah beranr.kat, baru saja
berangkat", jawab
pegawai tua itu gugup. Orang itu mengiakan, kemudian membalikkan
badan dan pergi.
wajahnya tidak jelas, hanya tampak bajunya yang berwarna biru
berkelebat lewat kemudian lenyap dari pandangan.
-ooo0dw0oooKEBUN
Sayur keluarga Lau berubah menjadi terang benderang pada
malam ini.
Ratusan batang obor dan ratusan lentera merubah kebun sayur
keluarga Lau yang berhektar-hektar luasnya itu terang benderang
bagaikan disiang hari saja.
Kalau dihari-hari biasa tempat itu begitu sepi sampai setanpun enggan
masuk, maka pada malam ini penuh dengan kepala manusia.
Kalau kau ingin menghitung jumlah yang hadir, maka tak akan
terhitung jelas, sebab paling tidak mencapai ribuan.
Disebelah timur tersedia dua baris bangku, pada belakang barisan
bangku itu terpasang sepuluh buah lentera besar, pada bangku barisan
depan duduklah Cui Tong yang ditantang orang, Lu lo piautau serta
rekan rekan lainnya dari perusahaan Pat tat piaukiok.
Sedangkan pada bangku barisan belakang duduklah para piautau dari
sepuluh perusahaan pengawalan barang terbesar di ibu kota.
Pada bagian barat pun keadaannya sama, walaupun bangkunya terbagi
menjadi dua baris pula, namun hanya terdiri dari enam bangku, didepan
hanya sebuah yang ditempati si hwee sio berwajah bengis, sedangkan
dibelakangnya ada lima yang ditempati Gi pak ngo hou.
Sedangkan para penonton keramaian pada berdiri semua, berdiri jauh
jauh, setiap orang tahu kalau pertarungan yang akan berlangsung pada
malam ini bakal seru, maka siapapun tak mau mengambil resiko
kejatuhan sial pada malam itu.
Ketika kentongan pertama telah tiba, Cui-Tong segera bangkit berdiri,
lalu menjura kepada Mong hwesio yang duduk pada dua-tiga puluh kaki
dihadapannya itu. Ia menjura pula kepada para piautau yang ada
dibelakangnya, setelah iiu dengan lantang dia berkata:
"Cui Cu hoa datang memenuhi janji. harap Mong hwesio bersedia untuk
tampil kedepan!"
Sambil tertawa seram Mong hwesio bangkit berdiri, lalu ejeknya dengan
sinis:
"Cui piautau, banyak benar pembantumu!" Cui Tong segera mendengus
dingin, serunya.
"Sobat, kau jangan salah melihat, sudah lama aku orang she Cui hidup
di ibu kota, maka ketika aku menghadapi persoalan, tak bisa kubendung
perhatian rekan-rekanku atas diriku, mereka bukan datang membantu,
tapi hanya hanya ingin menyampaikan perhatian belaka"
"Kalau begitu, hanya kau seorang yang akan menyambut tantanganku?"
seru Mong hwesio sambil melotot buas.
"Benar, aku seorang yang akan menjajal kehebatan Mong hwesio serta
Gi pak ngo hou!"
"Kelima orang keponakan/muridku yang tak becus itu sudah lama
menjadi panglima panglima yang kalah perang ditanganmu, aku rasa
merekapun tak usah lagi bertarung lagi denganmu, malam ini biar Hud
ya dan kau berdua saja yang melangsungkan pertarungan ini!"
"Bagus, baru begitulah sikap seorang enghiong!" puji Cui Tong sambil
mengacungkan ibu jarinya.
Sementara itu, Lu lo piautau telah bangkit berdiri, lalu serunya dengan
suara lantang:
"Mong hwesio, Pat tat piaukiok adalah perusahaan aku orang she Lu,
bila kau hendak membalas dendam, sudah sepantasnya kalau kau
datang mencari aku orang she Lu!"
Mong hwesio segera tertawa seram. "Heehh .. . heehh... heehh ...
tak usah terburu nafsu, setelah
membereskan orang she Cui nanti, akan tiba pula giliranmu !" Ho Ceng
wan, piautau dari perusahaan Ceng wan piaukiok segera
bangkit berdiri puIa, setelah menjura kepada Mong hwesio
katanya:
"Ada satu hal aku orang she Hoo tidak habis mengerti, harap taysu suka
memberi penjelasan."
Mong hwesio memandang sekejap wajah Ho Ceng wan, kemudian
katanya:
"Silahkan kau utarakan !" "Dunia persilatan mempunyai peraturan
dunia persilaian,
perusahaan ekspedisi mempunyai pula peraturan dari perusahaan
ekspedisi, Cui piautau tak lebih hanya seorang pelindung barang kawalan
belaka, hwesio gede, sudah sepantasnya kalau kau langsung mencari
balas kepada Lu piautau sebagai pemilik perusahaan."
"Ucapanmu memang benar, seandainya waktu itu Cui Cu-hoa melindungi
barang kawalan dengan pangkat piautau kelas dua, hari ini aku si
hweesio tak akan mencarinya, tapi dia muncul sebagai seorang Piautau
kelas tiga yang sebenarnya merupakan kedudukan seorang suruhan
rendah, itu berarti dia ada maksud untuk menyembunyikan
kepandaiannya, hal mana merupakan suatu pelanggaran terhadap
peraturan perusahaan ekepedisi, itulah sebabnya aku si hweesio akan
membuat perhitungan lebih dahulu dengan dirinya...!"
Setelah mendengar perkataan itu, Ho Ceng wan menjadi terbungkam
dan tak sanggup berkata lagi.
Pui Tin, lo piatau dari perusahaan Pathong piaukiok segera bangkit
berdiri sambil berseru:
"Toa hweesio, teguranmu itu memang benar, tapi bolehkah kami
menanyakan dahulu persoalan ini sampai jelas?"
Belum sempat Mong hwesio menjawab, Cui Tong telah menukas
terlebih dahuIu:
"Mong hwesio, sebelum kau tahu duduknya persoalan, janganlah
menghina karakterku terlebih dulu, karena harus menghindari musuh
besar maka aku orang she Cui harus hidup tersembunyi dalam
perusahaan Pat tat piaukiok, itulah sebabnya Lu lopiautau
sendiripun tak tahu kalau ada orang she Cui sebetulnya tahu ilmusilat,
ketika Gi pak ngo hou membegal barang kawalan, aku orang she Cui tak
bisa membiarkan mereka membunuhi rekan-rekan ku, itulah sebabnya
aku menjadi terpaksa untuk turun-tangan menolong mereka..."
Belum habis dia berkata, Mong hwesio telah tertawa terbahak- bahak,
tukasnya:
"Cui Cu-hoa, sekarang Hud ya tak dapat membiarkan kau banyak
berbicara lagi"
"Mong hwesio" bentak Cui Tong, ""aku orang she Cui menerangkan
segala sesuatu alasanku bukan dikarenakan aku merasa takut untuk
bertempur melawanmu, melainkan hanya ingin menerangkan duduk
persoalan yang sebenarnya saja, sehingga semua kecurigaan bisa
dihilangkan."
"Kalau memang begitu bagus sekali" kata Mong hwesio sambil tertawa,
"sekarang semua persoalan kau jelaskan sampai terang, kentongan
pertamapun sudah lewat, kita jangan biarkan teman- teman yang
menonton keramaian di empat penjuru arena ini menanti terlalu lama
lagi, bagaimana jika sekarang juga kita langsungkan pertarungan
tersebut..?"
"Memang itulah yang aku orang she Cui inginkan!" "Orang yang
menyebar surat undangan untuk menantangmu
berduel adalah aku sendiri maka kita akan bertarung pula dengan
mempergunakan peraturan dunia persilatan yang berlaku, sebelum mati
hidup ditentukan pertarungan ini tak boleh diakhiri!"
Cui Tong segera tertawa nyaring. "Aku orang she Cui bersedia untuk
mengalah dengan kau yang
melancarkan serangan lebih dulu serta menentukan acara penarungan.!"
"Cui Cu hoa, sungguhkah perkataanmu itu?" tanya Mong Hwesio
dengan kening berkerut. "Aku berbicara dengan sejujurnya !"
Tanpa terasa Mong hwesio mendongakkan kepalanya dan tertawa
terbahak bahak. .
"Haaahh . . haahn ... haahh .. , baik! Kalau toh kau begitu berjiwa besar,
Hud ya juga tak akan sungkan sungkan lagi. Dengarkan baik-baik, kau
boleh berdiri saja disitu, Hud ya dengan mempergunakan sepuluh biji
peluru besi ku untuk menyerangmu, asal kau bisa menghindarkan diri
dari kesepuluh buah seranganku itu, Hud ya segera akan mengajak
keponakan muridku untuk mengundurkan diri dari sini dan mulai saat
sekarang ini nama kami akan terhapus dari dunia persilatan, sedang
persoalan diantara kitapun dapat dihapus sama sekali!"
Sebagaimana diketahui, Mong hwesio disebut orang sebagai Pek jiu hud
atau Buddha bertangan seratus, ilmu peluru bajanya yang tak pernah
meleset dalam seratus langkah dibidikkan lewat sebuah busur berpegas
tinggi yang sangat lihay. Sejak terjun ke dalam dunia persilatan, belum
pernah ada orang yang bisa me loloskan diri dari ke sebuah biji peluru
bajanya itu.
Tapi Cui Tong telah bertekad untuk menghadapinya kini, maka segera
jawabnya:
"Baik, kita tentukan dengan sepatah kata !" "Kau boleh saja
menghadapi seranganku itu dengan
mempergunakan senjata tajam !" kembali Mong hwesio berkata: "Tak
usah dengan senjata, akan kuhadapi dengan tangan kosong
belaka..." Kini kesemuanya sudah diputuskan, maka semua orang yang
berada tiga sampai lima kaki disekeliling Cui Tong bersama-sama
menyingkir ketempat lain, tentu saja mereka berusaha untuk
menghindarkan diri dari tempat berbahaya yang kemungkinan bakal
kejatuhan peluru baja lawan.
"Cu-hoa!" Lu lo-piautau segera berbisik, "lebih baik kau menggunakan
senjata tajam saja, paling tidak hal ini jauh lebih baik."
-ooo0dw0ooo-
Bab Kedua Puluh Satu.
CUI TONG menggelengkan kepalanya berulang kali, sahutnya dengan
berbisik pula:
"Tak usah menggunakan senjata tajam, paling tidak hal ini bisa
menghindari mencelatnya peluru lawan yang akan melukai orang di
sekeliling tempat ini !"
Sikap semacam ini sungguh merupakan sikap yang bijaksana sekali, apa
yang dikatakan Cui Tong memang betul, andaikata dia harus menghadapi
serangan peluru baja itu dengan mempergunakan senjata tajam, maka
akibatnya besar kemungkinan peluru baja itu akan mencelat kemana
mana, hal mana tidak menjamin keselamatan orang yang berada
disekelilingnya.
Sambil menggigit bibir kembali Lu lopiau-tau berkata: "Cuihoa ingat
baik-baik, aku lebih rela menghapus nama Pat-tat
piaukiok dari dalam dunia persilatan, daripada membiarkan kau celaka
ditangannya . ."
Cui Tong segera tertawa setelah mendengar perkataan itu. "Cinta
kasihmu itu sungguh membuat Cui Cu hoa merasa amat
berterima kasih sekali, cuma selama hayat masih dikandung badan, aku
lebih suka mati daripada namaku terhina !"
Dalam pada itu Mong hwesio telah berseru dengan lantang: "Hei,
sudah selesaikan perkataanmu itu?" "Kau boleh segera melancarkan
serangan!" jawab Cui Tong
dengan cepat. Kembali Mong hwesio tertawa, katanya: "Terus terang
saja
kukatakan kepadamu, ke sepuluh butir peluru saktiku ini terbuat dari
semacam benda yang penuh dengan duri tajam, sapa terkena
dia bakal terluka parah, oleh sebab itu aku harap kau suka berhati hati
dalam menghadapinya nanti!"
"Terima kasih banyak atas petunjukmu itu sekarang silahkan kau
lancarkan serangan dengan peluru peluru bajamu itu!"
Mong hwesio mengiakan, dari punggungnya dia lantas melepaskan
gendewa saktinya, kemudian mengarahkan moncong busur itu lalu ke
arah Cui Tong dan siap melepaskan serangan.
Pada saat itulah, tiba tiba terdengar seseorang berseru dengan suara
lantang:
"Hei hwesio, tunggu sebentar!" Mong hwesio segera membatalkan
kembali serangannya, sedang
semua jago di sekeliling tempat itupun bersama-sama mengalih
perhatiannya kearah mana berasalnya suara itu.
Lebih kurang lima kaki di belakang Cui-Tong, tahu tahu telah muncul
seorang bocah berwajah tampan.
Tidak disangkal lagi, orang itu tidak Iain adalah Sun Tiong lo adanya.
Gi-pak-ngo-hou pun dapat melihat jelas tentang kemunculannya itu,
kepada Mong hweesio, mereka segera berseru :
"Susiok, ternyata bocah keparat itu benar-benar adalah temannya Cui Cu
hoa !"
Dengan suara lantang Mong hweesio segera membentak: "Hanya
seorang bocah ingusan yang masih berbau tetek, ada
pula yang bisa dia lakukan?" Sementara itu Ciu Tong sudah memburu
ke hadapan bocah itu
dengan langkah lebar, kemudian dengan gelisah serunya: "Saudara cilik,
mau apa kau datang kemari? Hayo cepat
menyingkirlah kesamping sana !"
Sun Tiong lo segera menggelengkan kepala nya berulang kali, dari
dalam sakunya dia mengeluarkan bungkusan kulit kecil itu, kemudian
sambil diangsurkan kedepan katanya:
"Aku hendak mengembalikan bungkusan ini kepadamu, aku tak dapat
menyimpan lagi untukmu !"
Cui Tong masih ingin berkata lagi, namun Sun Tiong lo sudah tidak
menggubrisnya lagi, selangkah demi selangkah dia berjalan
menghampiri Mong hweesio.
Setelah berada diantara Cui Tong dengan Mong hweesio, bocah itu
baru berhenti dan berdiri tegak disitu.
Mong hweesio yang menyaksikan kejadian itu segera mengerutkan
dahinya rapat-rapat, sambil menuding kearah Sun Tiong-lo tegurnya
dengan suara dalam:
"Ada urusan apa kau datang kemari ?" "Aku datang untuk membuat
perhitungan dengan kalian!" jawab
Sun Tiong-lo dengan suara dingin. Jawaban ini sangat mencengangkan
Mong hweesio, dia sampai
tertegun dibuatnya. "Perhitungan apa yang kau maksudkan?" Sun Tiong
lo segera
mendengus dingin. "Hmm... masih ingatkah kau pada suatu tengah
hari, kau dan
Ngou hou telah menghadang diriku di sudut gang sempit dan
membentak-bentak diriku?"
Mong hwesio mengangguk. "Yaa, tentu saja aku masih ingat!" "Kalau
masih ingat, ini lebih baik lagi, kalian tentunya
menganggap aku seorang bocah, maka gampang dianiaya dan
dipermainkan, padahal hatiku waktu itu sedang gembira dan maka aku
hanya berdiam diri belaka, lain, dengan perasaan hatiku yang kurang
gembira sekarang, itulah sebabnya sengaja aku datang kemari untuk ini
membuat perhitungan dengan kalian ini. . ."
Mong hwesio menjadi geli sekali setelah mendengar perkataan itu, lalu
katanya:
"Baik, baik, aku akan minta maaf kepadamu nah tentunya boleh
bukan....?"
Siapa tahu kembali Sun Tiong lo menggelengkan kepala berulang kali,
katanya.
"Tak usah banyak bicara lagi, sekarang aku sedang menantang padamu
untuk tarung lagi menurut peraturan dunia persilatan yang berlaku bila
kamu mengaku kalah, maka kaupun tak bisa bertarung lagi melawan
Cui piautau!"
Mong hwesio kembali menjadikan berdiri bodoh, akhirnya dengan
perasaan apa boleh buat katanya:
"Lantas apa yang kau inginkan?" "Sederhana sekali, kita harus
melangsungkan pula suatu
pertarungan yang adil!" Tiba tiba Mong hwesio mendelik besar sekali,
lalu teriaknya keras
keras: "Bocah cilik, aku tidak bermaksud menyelakai umat persilatan,
sekalipun kau pergunakan cara semacam itu juga tak akan mampu
untuk menyelamatkan Cui Cu hoa!"
Sun Tiong lo turut pula melototkan matanya buIat-bulat, serunya pula
dengan lantang:
"Kau tak usah sembarangan berbicara lagi, aku datang kemari untuk
membuat perhitungan dengan manusia yang bernama Cui Cu hoa sama
sekali tak ada sangkut pautnya!"
"Kalau begitu, sekalipun aku tak ingin turun tanganpun juga tak
bisa...?" kembali Mong hwesio melotot besar.
"Tentu saja!" jawab Sun Tiong lo manggut-2. Mong hwesio segera
tertawa.
"Baiklah, kalau begitu coba kau terangkan dulu pertarungan apakah
yang kau inginkan?"
"Tadi aku sempat pula mendengarkan pula cara pertarungan yang kau
sampaikan kepada Ciu piautau, aku rasa cara itu sangat menarik sekali,
maka aku pikir kita tak usah bertukar cara lagi!"
Begitu ucapan tersebut diutarakan keluar, jeritan kaget dam gelak
tertawa keras segera datang dari empat penjuru.
Baru saja Mong hwesio akan berbicara lagi Sun Tiong lo telah
menimbrung lebih dulu:
"Cuma saja, aku tak akan bersikap bijaksana seperti apa yang telah
dikatakan oleh Ciu piautau tadi, kau punya peluru sakti, akupun memiliki
permainan istimewa, aku akan menyambut milikmu dan kaupun boleh
menyambut permainanku, siapa yang terluka dia pula yang akan
menderita kalah!"
Mong hwesio tertegun, kemudian tanyanya: "Apakah kaupun pernah
melatih ilmu melepaskan senjata
rahasia?" "Kenapa? Kau memandang remeh diriku?" seru Sun Tiong lo
sambil tertawa lebar. "Benda apakah yang hendak kau gunakan?"
"Sampai waktunya saja baru kita bicarakan toh sekarang kau
dahulu yang menyerang aku, kemudian baru aku yang menyerangmu,
apa lagi benda permainanku itu bukan terbuat dari baja, jauh lebih lunak
dari pada peluru bajamu itu, sehingga sekalipun sampai melukai dirimu
juga tak sampai parah, tak usah kuatir."
Didengar dari kata itu, seakan pasti dapat melukai Mong hwesio saja....
Menghadapi kenyataan seperti ini Mong hwe sio benar benar merasa
marah, mendongkol dan ingin tertawa, baru saja dia akan berkata Iagi,
Sun Tiong lo telah melanjutkan kembali kata katanya:
"Kau pernah berkata, jangan biarkan penonton menunggu kelewat lama,
sekarang ini pembicaraan kitapun selesai, maka silahkan kau
melancarkan serangan lebih dahuIu, bila kau tak berani melancarkan
serangan kembali akan kuanggap kalah dirimu!"
Mong hwesio mikir sebentar, dan kemudian sambil mendepak depakan
kakinya ketanah dia menjawab.
"Baiklah, Hud ya akan menggunakan sepuluh biji peluru besi tanpa duri
untuk menyerang separuh bagian tubuhmu bagian atas, nah berhati
hatilah sekarang!"
"Hmmm .. . ! Cara pertarungan mesti sama seperti apa yang
dibicarakan tadi, peluru bajapun tidak boleh diganti, kalau tidak berarti
kau takut menghadapi permainanku!"
Mong hwesio benar benar terdesak sehingga apa boleh buat, dengan
mengerutkan dahinya dia lantas berkata:
"Kau sendiri yang menginginkan demikian andaikata sampai terluka
parah nanti, jangan kau menyalahkan Hud ya mu lagi!"
Sun Tiong lo tidak menggubris lawannya lagi, kepada kawanan manusia
yang berada disekeliling arena, serunya:
"Aku tahu, semua orang tidak tega melihat aku benar benar akan turun
tangan, maka aku merasa perlu untuk mengucapkan beberapa patah
kata, Ketahuilah, meski peluru sakti dari Mong hwesio bisa menakut
nakuti orang lain, bukan berarti bisa menakut nakuti diriku pula. Siapa
saja yang berani mencampuri urusanku ini, masa aku akan membuat
perhitungan pula dengan dirinya."
Begitu perkataan itu diucapkan, semua orang segera menutup mulutnya
rapat rapat.
Mong hwesio pun tidak sungkan sungkan lagi, sambil menuding ke arah
Sun Tiong-lo katanya:
"Bocah cilik, sebutkan dahulu siapa namamu!"
"Aku bernama Sun Tiong lo !"
"Hmm .. . . mulai hari ini lebih baik kau pindah ke dalam peti mati
saja.!"
Mendengar perkataan itu, Cui Tong merasa amat terkejut, tanpa terasa
dia mengalihkan sinar matanya ke arah Sun Tiong-Io, maka tampaklah
bocah itu sedang tertawa, ditangannya ketika itu membawa sepasang
benda aneh yang berbentuk panjang.
Tatkala semua orang dapat melihat jelas macam apakah senjatanya itu,
tak kuasa lagi mereka semua tertawa terbahak- bahak.
Kemudian terdengar ada yang berteriak keras: "Sumpit! Haaahhh . . .
haahh . .. haahh . . . senjata yang
dipergunakan adalah sepasang sumpit!" "Yaa, memang sepasang
sumpit!" jawab Sun Tiong lo sambil
tertawa, "cuma sumpit ini bukan sembarangan sumpit, sumpit ini bukan
sumpit bambu yang biasanya dipakai untuk bersan tap, inilah sumpit
baja yang khusus dipakai untuk menyumpit peluru baja !"
Saking gusarnya paras muka Mong hwesio berubah menjadi merah
padam seperti kepiting rebus, dengan suara dalam bentaknya
keras-keras:
"Setan ciiik, hati hati kau!" "Majulah, tidak usah banyak berbicara
lagi, makin cepat serangan
kau lancarkan, semakin baik pula bagimu!"
-ooo0dw0ooo-
Jilid 17
DENGAN mengerahkan tenaganya sebesar lima bagian, Mong hwesio
segera melepaskan serangannya yang pertama, peluru sakti itu di
arahkan ke atas pergelangan tangan kanan SunTionglo,
Sesungguhnya Mong hwesio adalah seorang pendeta yang cukup
bijaksana, dia enggan me lukai seorang bocah cilik.
Walaupun hanya disertakan tenaga sebesar lima bagian saja, namun
peluru besi itu menyambar ke depan dengan kecepatan bagaikan
sambaran kilat, bahkan disertai pula suara desingan angin tajam yang
amat memekikkan telinganya .
Menghadapi datangnya ancaman itu, Sun Tiong lo sama sekali tak
memperhatikan dengan seksama bahkan bermaksud untuk
menghindarkan diripun tidak, dengan jeritan kaget semua jago, tampak
sumpit bajanya digerakkan kedepan dan . . .. "Traakk" tahu tahu peluru
baja tersebut sudah terjepit oleh sumpitnya.
Kepandaian yang sangat aneh ini seketika itu juga menggemparkan
semua orang, tak lama kemudian meledaklah sorak sorai yang gegap
gempita dari para penonton..
Mong hwesio agak tertegun, kemudian sambil menggertak gigi dan
membidik lagi sebutir peluru, kali ini dengan kekuatan yang lebih besar
serta kecepatan yang lebih tinggi, arah yang dituju adalah kaki kanan
Sun Tiong-lo.
Tampaknya hwesio itu sudah dibuat naik darah oleh kejadian tersebut.
Sun Tiong lo masih saja berdiri tenang di tempat semula, injaaaii peluru
baja itu sudah tiba di depan mata. "Traaak !" kembali peluru itu di
sumpitnya seperti semula dan juga dia berhasil dijepitnya dengan
sumpit.
Suara sorak sorai semakin gegap gempita lagi, membuat dunia seakan
akan hendak meledak saja.
Sebagian besar para penonton yang berjajar disekitar arena sekarang
adalah kawanan jago persilatan yang memiliki ilmu silat tinggi, tapi
sekarang mereka semua dibikin bodoh, setiap orang berdiri dengan
wajah tertegun, mata terbelalak lebar dan mulut melongo.
Perasaan malu, benci, mendongkol segera menyelimuti seluruh perasaan
Mong hwesio. sambil menjerit aneh, peluru bajanya dilancarkan secara
beruntun dengan mempergunakan ilmu
andalannya yakni Pek poh sin tan yang tak pernah meleset dalam jarak
seratus langkah.
Menghadapi ancaman yang tibanya beruntun itu Sun Tiong lo masih
saja berdiri tak berkutik ditempat semula, wajahnya tidak berubah,
napasnya tidak memburu, dia malahan menggerakkan tangan kanannya
sambil menghitung sepuluh butir peluru sakti milik Kong hwe sio telah
digunakan semua, sedangkan Sun Tiong lo sambil menyambut
datangnya ancaman itu menghitung pula satu persatu:
"Satu, dua, tiga . . . sembilan, sepuluh, semua nya berjumlah sepuluh
biji dan kuterima semua nya !"
Kali ini tak ada yang berteriak lagi, tiada orang yang berteriak sorai,
karena mereka sudah dibikin tertegun.
Dibawah sorot cahaya lentera yang terang benderang, tampak
orang-orang itu hanya berdiri mematung saja ditempatnya masingmasing,
tentu saja tak ada pula yang bersorak sorai.
Sepasang mata Mong hwesio terpentang lebar-lebar, mungkin jauh
lebih lebar daripada mata siapapun juga, namun dia jauh lebih
memperhatikan gerak gerik bocah itu daripada orang lain.
Gi pak ngo-hou, lima ekor harimau dari Gi pak kini berubah menjadi
lima ekor kucing, paras muka mereka berubah hebat sekali.
Akhirnya Sun Tiong lo masukkan sepasang sumpitnya kebalik laras
sepatunya, dan sambil tertawa katanya kepada Mong hwesio.
Terima kasih banyak atas kesudian toa-hwesio untuk mengalah,
baiklah, kau Ngo hou boleh pergi sekarang!"
Mong hwesio tak bersuara lagi, sedangkan ngohou juga telah
membalikkan badan siap berlalu dari situ.
Tapi pada saat itulah, entah siapa yang ber teriak mendadak dari balik
kerumunan orang banyak terdengar seseorang berteriak keras:
"Kalau begini caranya tidak adil, si hwesio itupun sudah sepantasnya
mencoba untuk menerima dulu permainan dari siau enghiong!"
Begitu seorang berteriak, yang lain menjadi ikut ikutan sehingga
suasananya menjadi amat gaduh.
Sun Tiong lo berkerut kening, lalu menggoyangkan tangannya berulang
kali.
Pelan-pelan suasana yang gaduh pun menjadi tenang kembali,
seakanakan kewibawaan si bocah sudah makin menanjak dalam waktu
singkat.
Menanti semua orang telah menjadi tenang kembali, Sun Tiong lo baru
berkata lantang.
"Aduh . . . tadi aku hanya bergurau saja, mana ada permainan lain yang
hendak kugunakan untuk menghadapinya? Siapa berani memaksa aku
lagi, akan kubuat perhitungan dengan menggunakan sepasang sumpit
ini !"
Setelah mendengar ancaman tersebut, semua orang tak berani
berteriak secara sembarangan lagi.
Mong hwesio dengan membawa busurnya lantas berjalan mendekati,
setelah berhenti pada jarak beberapa kaki dihadapan Sun Tiong lo,
katanya.
"Aku sudah kalah, kalah dengan amat puas, akupun tahu kalau sobat
kecil pasti memiliki ilmu senjata rahasia yang lebih hebat lagi, kau tak
tega menggunakan karena kau takut melukaiku, baiklah, kebaikanmu
hari ini tak akan kulupakan untuk selamanya, sekarang aku ingin
memohon diri lebih dulu !"
Berbicara sampai disitu, dia lantas mematahkan busur mestikanya
menjadi dua bagian dan dibuang keatas tanah, kemudian dengan langkah
lebar dia lantas berlalu dari situ.
Tiba tiba Sun Tiong lo berseru dengan suara lantang. "Toa
hwesio, aku suka kepadamu, bolehkah kita bersahabat ?"
Dari kejauhan sana terdengar Mong hwesio menjawab. "Asal kau
tidak keberatan, dengan senang hati akan kuterima,
baik, kira tetapkan dengan sepaiah kata itu!" Suatu pertikaian berdarah
yang nyaris berlangsung akhirnya
dapat dirubah menjadi suasana yang damai oleh seorang bocah berusia
empat belas lahun, sejak dari Cui Tong sampai sekalian piautau dari
perusahaan ekspedisi barang disekitar sana, sama- sama menyambut
nya dengan wajah berseri.
Kepada rekan rekan rekannya, Lu lo piautau segera berkata: "Malam
ini patut dirayakan dengan meriah harap semua orang
tidak usah menampik lagi, harap datang bersama kerumahku buat
minum beberapa cawan arak."
Semua orang memang terhitung orang yang berjiwa terbuka, segera
semua orang mengiakan dan beranjak dari tempat duduknya
masing-masing.
Tentu saja Cui Tong pun tidak membiarkan Sun Tiong lo pergi, sambil
memegangi tangan bocah itu, dia hanya menggoyangkannya berulang
kali tanpa sepatah katapun sangat diutarakan keluar.
Pada saat itulah tiba-tiba dari sisi telinga Sun Tiong lo berkumandang
suara bisikan yang amat jelas sekali:
"Ada orang hendak mencari gara-gara dengan Cui Tong, bilamana
keadaan menjadi kritis nanti, suruh dia kabur keselatan kebun sayur,
jangan sampai bertindak kelewat gegabah. mengerti!"
Nada suara orang itu terasa olehnya seperti amat dikenal, namun untuk
sesaat lamanya tidak teringat olehnya suara siapakah itu, dan yang
lebih aneh lagi adalah Cui Tong yang berada di sampingnya ternyata
sama sekali tak mendegar suara apa-apa, hal ini membuat Sun Tiong lo
menjadi kaget dan keheranan.
Sementara dia masih termenung mendadak terdengarlah suara orang
terbahak-bahak.
"Haah... haaah.... haaah .. . sobat Cui, diharap anda jangan pergi dari
tempat ini dulu, persoalan dengan Mong hwesio memang telah selesai,
tapi sekarang lohu akan membuat perhitungan lama dengan dirimu!"
Begitu ucapan tersebut di utarakan, semua orang menjadi terbungkam
dalam seribu bahasa sedang suasana menjadi tenang kembali, sinar
mata mereka semua bersama-sama dialihkan kearah mana datangnya
suara itu.
Lebih kurang dua kaki dihadapan mereka, tahu tahu telah muncul lima
orang manusia yang berdandan aneh, tiga perempuan dan dua orang
laki laki. . .
Yang lelaki mengenakan baju sama dengan kain kerudung muka
berwarna kuning emas pula, sedang yang perempuan memakai baju
putih dan dua orang berbaju ungu, merekapun menggunakan kain
kerudung muka yang berwarna sama dengan pakaiannya untuk
menutupi raut wajah aslinya.
Tiga orang perempuan dan dua orang pria ini membagi diri menjadi dua
baris bersama-sama menghadapi Cui Tong, dua lelaki berbaju emas
berada dideretan depan sementara tiga orang perempuan berada
dideretan belakang, perempuan berbaju putih itu berada di bagian
tengah.
Menurut adat dalam dunia persilatan, maka dilihat dari posisi mereka
berdiri itu, dapat diketahui gadis berbaju putih itulah berkedudukan
paling tinggi, tentu saja semua kekuasaan juga berada ditangannya.
Begitu melihat jelas siapa musuhnya, Cui Tong merasa amat terkesiap,
belum sempat dia berbicara, Sun Tiong lo telah membisikan sesuatu
disisi telinganya:
"Barusan ada orang yang memberitahukan kepadaku, katanya orang
orang itu sangat liehay, bilamana kau ingin meloloskan diri nanti,
diharap kau bisa kabur ke sebelah selatan, harap kau jangan melupakan
pesan itu."
Cui Tong mengiakan, kepada dua orang manusia berbaju emas itu
katanya kemudian, "Kalian mencari aku?"
"Benar, kami mencari kau !" sahut orang berbaju emas yang berada
disebelah kiri itu dingin.
Sedang orang berbaju emas yang ada disebelah kanan itu segera
menuding ke arah Sun Tiong lo sambil menambahkan.
"Juga mencari dia !" Sun Tiong lo menjadi tertegun setelah
mendengar perkataan itu,
serunya kemudian dengan nada tercengang. "Kau juga kenal dengan
aku? Tapi. . aku tidak kenal dengan
kalian semua !" Lelaki berbaju emas yang ada disebelah kanan itu
segera
mendengus dingin. "Hmmm. ..! Bukankah kau she Sun?" tegurnya.
"Yaa, benar, aku memang she Sun, tapi aku tidak kenal kalian..."
Kembali orang berbaju emas yang ada di sebalah kanan itu
menukas: "Asal kau she Sun tak bakal salah lagi!" Sun Tiong lo
membelalakkan matanya lebar-lebar, kemudian
katanya: "Kalau dilihat dari sikap dan gaya kalian yang begitu buas,
tampaknya kalian datang untuk mencari balas?" "Boleh dikata demikian
!" sahut orang berbaju emas yang berada
di sebelah kanan itu sambil tertawa dingin. Sementara itu, lelaki berbaju
emas yang berada di sebelah kiri
telah berkata kepada Cui-Tong: "Orang she Cui, semua perkataan yang
lohu katakan tadi sudah
kau dengar dengan jelas?"
Dalam hati Cui Tong sudah ada perhitungan sekarang diapun sudah
tahu siapa gerangan tiga orang perempuan dan dua orang lelaki ini.
Walau begitu, timbul juga niatnya untuk mengadakan penyelidikan dan
menanyakan apakah dugaannya itu benar.
Maka sesudah termenung sebentar, katanya: "Agaknya aku orang
she Cui telah mendengar apa yang kalian
katakan itu, boleh aku tahu karena persoalan apakah kalian datang
mencariku untuk membuat perhitungan?"
"Karena persoalan lama!" "Persoalan lama?" "Benar!" orang berbaju
emas yang berada di sebelah kiri itu
segera manggut-manggut. "Tak sedikit aku orang she Cui melakukan
kesalahan terhadap
teman-teman dunia persilatan selama aku berkelana didunia persilatan,
karena itu akupun sudah lupa dimana kapankah aku telah membuat
permusuhan dengan kalian, dapatkah kalian mengingatkannya kembali
?"
Lelaki berbaju emas yang berada disebelah kiri itu segera berkata
dengan suara dingin.
"Orang she Cui, kau anggap lohu tak berani mengatakan persoalan lama
? jangan lupa, dahulupun kami berani menjagal orang she Sun
sekeluarga, malam ini tentu saja tidak akan takut- untuk menghadapi
siapapun yang ingin mencampuri urusan kami !"
Setelah mendengar perkataan itu, Cui Tong semakin jelas lagi
dibuatnya, dengan sorot mata berapi-api karena gusar, dia lantas
berkata dengan suara dalam.
"Cukup, sudah banyak tahun aku Cui Tong menyembunyikan diri untuk
mencari hidup, tujuanku tak lain adalah untuk mencari kalian kawanan
manusia laknat, hari ini kita dapat berjumpa lagi, hal mana justru akan
mencocoki hatiku, ada beberapa patah kata ..."
Belum habis dia berkata, manusia berbaju emas yang ada disebelah
kanan itu telah menukas.
"Cui Tong! apakah kau bermaksud untuk memperbincangkannya disini?
Apakah kaupun berharap agar teman teman baikmu itu terseret pula
didalam persoalan ini?"
Terkesiap hati Cui Tong setelah mendengar perkataan itu dia cukup
mengetahui akan bahayanya ancaman lawan, sebab dengan mata
kepala sendiri ia saksikan bagaimana kawanan manusia laknat itu
menghabisi majikannya sekeluarga, maka diapun tahu juga bahwa
ancaman tersebut bisa benar-benar mereka laksanakan!
Dengan serius dia berkata. "Soal ini tak perlu lagi kau kuatirkan, aku
hanya ingin
mengucapkan sepatah kata saja, yaitu setelah kalian dapat menemukan
aku, seharusnya juga tahu kalau saudara cilik ini bukan lah majikanku
dulu!"
Lelaki berbaju emas yang berada disebelah kanan itu segera tertawa
seram serunya:
"Haah... haaah... haah... Cui Tong, sekarang kau memberi penjelasan
bagi anjing kecil itu apakah tidak kau rasakan kalau hal ini terlambat?"
"Kawanan laknat, seharusnya kau tahu bagai manakah watakku" bentak
Cui Tong marah, "selamanya aku bilang ya tetap ya, bilang bukan tetap
bukan, aku tak pernah membohongi lawan maupun kawan, sekarang
aku sudah banyak berhutang budi kepada saudara cilik ini, aku tak
dapat.."
Belum habis dia berkata, manusia berbaju emas yang berada disebelah
kirinya telah menukas dengan suara dalam:
"Cukup Cui Tong, kau tak usah banyak berbicara lagi, dulu kau telah
menolongnva, maka dalam hal kebaktian telah kau lakukan sebaiknya,
maka sekarang...."
Pada saat inilah, Lu lo piautau menukas: "Sobat sekalian, Lohu she Lu
dan merupakan penanggung jawab dari perusahaan Pat tat piau kiok,
lohu ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepada kalian semua."
Dua orang lelaki berbaju emas itu tak menjawab, hanya saja secara tiba
tiba mereka mereka mendongakkan kepala dan tertawa tawa terbahak.
Gelak tertawa kedua orang lelaki berbaju emas itu segera menimbulkan
kesan jelek bagi para piautau dari perusahaan perusahaan besar.
Ho Ceng wan, cong piautau dari perusahaan Ceng wan piaukiok segera
menegur lebih dulu dengan suara keras.
"Sobat, apakah kau anggap beberapa patah kata dari Lu lo piautau itu
lucu sekali?"
Mendengar perkataan itu, kedua orang lelaki berbaju emas itu segera
menghentikan gelak tertawanya secara mendadak, mereka sama sekali
tidak menggubris perkataan dari Ho Ceng-wan tersebut.
Terdengar orang berbaju emas yang berada disebelah kiri itu telah
berkata lagi kepada Cui Tong:
"Orang she Cui, sekali lagi lohu akan berbicara sejelasnya kepadamu,
bila kau tak ingin menyaksikan teman-temanmu itu turut terseret dalam
persoalan ini, lebih baik ikutilah lohu pergi meninggalkan tempat ini"
Lu lo piautau paling tua usianya diantara rekan-rekan lainnya, juga
pengalamannya paling luas, dengan wajah tak berubah, kembali dia
berkata:
"Sobat, orang persilatan mengatakan dendam ada pemiliknya, hutang
pun ada pemiliknya, lohu dan kawan kawan lainnya tak mungkin akan
sembarangan turun tangan sebelum duduknya persoalan menjadi jelas."
"Lu Cu tat, kuanjurkan kepada kalian agar sedikitlah tahu diri" tukas
lelaki berbaju emas disebelah kanan ketus, "janganlah karena ingin
mencampuri urusan orang menyebabkan keluargamu turut terseret ke
dalam bencana ini, maka kuanjurkan kepada kalian agar jangan
mencampuri urusan kami ini !"
Lu Cu tat memang tak malu disebut seorang jago kawakan dari dunia
persilatan, dia segera menjura setelah mendengar perkataan itu,
kemudian sambil tertawa ujarnya:
"Baik, baik, lohu akan menjaga diri dan tak akan mencampuri urusan
lain"
Setelah berhenti sebentar dan tertawa, kembali dia berkata. "Kau
dapat menyebut namaku, namun lohu tidak kenal siapakah
kau, hal ini benar benar memalukan sekali, bila kau tidak keberatan,
bagaimanakah jika kau sebutkan dulu siapa namamu ?"
Manusia berbaju emas yang ada di sebelah kanan mendengus dingin
dan tak menjawab.
Melihat itu Hoo ceng wan segera menyindir dengan suara sinis: "Lu
loko, aku lihat kau janganlah tak tahu diri, bayangkan saja
betapa latahnya perkataan dari sobat itu dan betapa besarnya lagak
serta gayanya, cuma sayang wajahnya justru dikerudungi dengan kain
berwarna..."
Belum habis ucapan tersebut diucapkan, manusia berbaju emas yang
berada di kanan telah berseru dengan gusar:
"Lohu she Ang bernama Beng liang!" Begitu ucapan Ang Beng liang
diutarakan, semua piautau yang
berkumpul disitu menjadi terkesiap, Ho Ceng wan dan Lu Cu tat saling
berpandangan sekejap kemudian menundukkan kepalanya
masing-masing.
Sambil tertawa seram Ang Beng liang berkata kembali:
"Ho Ceng wan, sekarang kau sudah puas bukan ?"
Dengan agak emosi Ho Ceng wan bangkit berdiri, bibirnya bergerak
seperti hendak me ngucapkan sesuatu, tapi akhirnya teringat akan
keselamatan isteri dan keluarganya, dengan pe rasaan apa boleh buat
dia menghela napas pan jang dan membungkam,
Sun Tiong lo adalah seorang anak harimau yang baru turun gunung, dia
tidak takut langit tidak takut bumi, dengan melototkan sepasang
matanya bulat-bulat, dia berseru :
"Hei, kenapa kau bertindak begitu kasar ? Setiap orang pasti punya
nama, bertanya siapa namamu toh hanya suatu sopan santun belaka,
kenapa kau malah tak senang hati ?"
Sementara itu, manusia baju emas yang berada disebelah kiri telah
menegur Cui Tong:
"Cui Tong, mari kita pergi!" Cui Tong mendengus dingin, kepada
para piautau dari pelbagai
perusahaan yang berkumpul disitu, katanya: "Sobat sekalian, kesetiaan
kalian cukup membuat aku orang she
Cui merasa terharu sekali budi kebaikan ini tak akan kulupakan untuk
selamanya, tapi berhubung masalah ini menyangkut urusan pribadi, aku
harap saudara sekalian agar jangan mencampurinya."
Mendadak Sun Tiong lo buka suara bertanya kepada Cui Tong.
"Benarkah kau hendak pergi bersamanya ?" Cui Tong tertawa getir.
"Tentu saja saudara cilik, tadi saudara cilik telah membantu
untuk melepaskan diri dari kesulitan, tapi dalam persoalan ini aku minta
saudara cilik jangan mencampurinya, sebentar aku akan pergi, bila tidak
sampai mati pasti akan ku jenguk saudara cilik lagi"
Ang Beng liang tertawa seram, tiba-tiba ejeknya. "Cui Tong, kau tak
usah banyak bertingkah laku, terus terang
saja kukatakan, pada malam ini kau tidak akan pergi tidak apa, tetapi
itu bocah keparat harus pergi mengikuti kami!"
"Orartg she Ang, kamu menginginkan aku orang she Cui harus memberi
penjelasan secara bagaimana kepadamu?" teriak Cui Tong gusar.
Ang Beng liang mendengus dingin, "Hm...! penjelasan macam apapun
tidak ada yang berguna!"
Sun Tiong lo segera tampil kedepan, sambil membusungkan dadanya
dia berkata.
"Apakah kalian bersikeras mengajakku?" "Benar, kau adalah tamu
majikan kami!" Dengan berterus terang Sun Tiong lo ber-kata: "Kau
anggap aku
tidak berani pergi mengikuti dirimu? pergi yaa aku pergi, toh aku
memang bermaksud untuk menyaksikan permainan apakah yang
sedang kalian persiapkan hayo berangkat."
Ang Beug liang segera berpaling kearah Cui Tong sambil sindirnya: "Cui
Tong, kau benar-benar tak becus, masa dengan seorang bocah cilikpun
kalah !"
Cui Tong memandang sekejap ke arah Sun Tiong lo, baru saja akan
bersuara, bocah itu sudah berkata lebih duluan:
"Jalan yaa jalan, memangnya ada apanya yang perlu ditakuti ?"
Selesai berkata dia lantas menarik tangan Cui tong dan diajaknya
menuju kearah selatan: Sebenarnya tujuan kelima orang itu adalah
arah lain, tapi setelah
dilihatnya kedua orang lawannya menuju ke selatan, maka mereka pun
segera menyusul pula dari belakang.
Sambil berlarian kencang, Sun Tiong Io segera berbisik kembali:
"Masih ingat dengan apa yang kukatakan kepadamu tadi ? Kau
lari saja sekuat tenaga, biar aku yang menghadang mereka, cepat !
Cepat kau dari sini !"
Cui Tong kelihatan agak tertegun
Sun Tiong lo segera menyadari apa yang menyebabkan dia tertegun,
kembali ujarnya:
"Jangan perdulikan aku, kabur saja dari sini, aku tidak menjadi soal,
sebentar aku menyusuI!"
Dengan kepandaian silat yang dimiliki Sun Tiong lo ketika menghadapi
Mong hweesio tadi, mau tak mau Cui Tong harus mempercayai
perkataannya sekarang, maka diapun berbisik:
"Jaga dirimu baik-baik !" Dia segera membalikkan badan dan
melarikan diri. Dengan gusar Ang Beng liang membentak keras, baru
saja akan
mengejarnya, si gadis berbaju putih yang berada di belakangnya telah
berseru:
"Hari ini dia bisa lolos, apakah dikemudian hari masih bisa lolos lagi ?
Jaga saja yang kecil itu baik-baik !"
Ang Beng liang segera menarik kembali gerakan tubuhnya sambil
mengiakan, dia lantas menyelinap ke samping kiri Sun Tiong lo dan
bersiap siap mencengkeram lengan kanan anak muda itu.
Mendadak terdengar seseorang membentak keras: "Ang hu pangcu,
hati hati dengan ular berbisa !" Ketika Ang Beng liang melirik ke
samping, tampaklah sesosok
bayangan putih telah tiba diatas lengan kanannya, serentak dia menarik
kembali tangannya sambil melompat mundur, benda putih itupun
segera terjatuh ke tanah.
Menanti dia amati benda itu lebih seksama lagi, ternyata bukan ular
berbisa seperti apa yang di duga semula melainkan seutas tali putih!
Tahu kalau tertipu dia mengalihkan kembali sorot matanya kearah Sun
Tiong lo, tapi bocah itu sudah dibawa kabur seseorang ke arah selatan.
Menyaksikan kejaadian itu, Ang Beng liang dan seorang manusia
berbaju emas lainnya segera membentak keras, dengan cepat mereka
melejit ke udara dan secepat kilat mengejar ke arah orang itu.
Pada saat yang bersamaan tampak si orang berbaju biru yang
menyelamatkan Sun Tionglo tadi sudah memapaki kedatangan Ang
Beng liang dan orang berbaju emas lainnya, kedua belah pihak segera
berjumpa ditengah udara.
Terdengar orang berbaju biru itu berkata: "Membunuh orang tak
lebih hanya kepala menutul bumi, bila bisa
diampuni-ampunilah, harap kalian berdua balik saja !" Ditengah
pembicaraan itu, sepasang ujung bajunya segera
dikebaskan ke depan, hembusan angin pukulan yang sangat kuat
seketika itu juga mementalkan kembali diri Ang Beng liang dan orang
berbaju emas itu ke tempat semula.
Orang berbaju biru itu tidak berdiam lama disana, sesudah berhenti
sejenak ditengah udara, mendadak ia berpekik nyaring, lalu
membalikkan badannya dan meluncur lagi melalui jalanan semula.
Perempuan berbaju putih itu mendengus dingin, tidak nampak
bagaimana dia menggerak kan tubuhnya, tahu-tahu sudah melejit
ketengah udara dan menyusul dibelakang orang berbaju biru itu.
Bersamaan itu juga, bentaknya nyaring: "Setelah kau datang
mencampuri urusan ini, lagi pula memiliki
kepandaian silat yang sangat lihay, paling tidak harus kau sebutkan dulu
siapa namamu, kau anggap memangnya bisa kabur dengan begitu saja
?"
Orang berbaju biru itu tidak menjawab, tapi gerakan tubuhnya menjadi
lamban.
Dengan melambankan gerakan itu, sedang kan siperempuan baju putih
itu menyusul dengan kecepan tinggi, akibatnya kedua belah pihak
menjadi beriringan.
Mendadak perempuan baju putih itu mengayunkan tangannya kedepan,
segulung desingan angin tajam segera menyergap jalan darah siau
yau-hiat ditubuh orang berbaju biru itu.
Siapa tahu orang berbaju biru itu sama sekali tidak berpaling tubuhnya
makin lama makin lamban, disaat angin serangan diri perempuan
berbaju putih itu hampir mengenai tubuhnya, mendadak dia meluncur
kembali ketengah udara.
Begitu berada ditengah udara, dia segera tertawa tergelak dengan
nyaringnya, lalu secepat sambaran petir tubuhnya lenyap dibalik
kegelapan sana.
Demonstrasi tenaga dalam serta ilmu meringankan tubuh yang
diperlihatkan orang berbaju biru itu sangat mengejutkan hati si
perempuan baju putih itu, dengan cepat dia melayang turun ketanah
dan tidak melanjutkan pengejaran lagi, sementara sorot matanya
dialihkan kearah mana bayangan biru itu melenyapkan diri tanpa bicara
ataupun bergerak.
Dalam pada itu, dua orang nona berbaju merah dan dua orang manusia
berbaju emas telah melayang turun disekitar sana, terdengar Ang Beng
liang yang menyebut dirinya sebagai hu pangcu itu berbisik dengan
suara yang lirih:
"Ilmu gerak tubuh yang dimiliki orang ini betul-betul sangat hebat,
apakah pangcu dapat menduga asal-usulnya?"
Perempuan berbaju putih itu tidak menjawab, dia memberi tanda dan
beranjak menuju ke barat.
Dalam keadaan begini, Ang hu pangcu sekalian tak berani banyak
bertanya lagi, mengikuti dibelakang perempuan berbaju putih itu
merekapun beranjak pergi.
-ooo0dw0oooSetelah
kabur kearah selatan dan berhasil meloloskan diri dari
pengejaran, Cui Tong menelusuri sebaris rumah penduduk dan
berusaha mencari tempat persembunyian.
Tiba-tiba terdengar seseorang berseru dengan suara dalam: "Di sini
ada sepucuk surat, harap Cui tayhiap, mencari tempat
yang tenang dan membaca isinya dengan seksama, setelah itu
laksanakanlah menurut apa yang tercantum di dalamnya !"
Selesai berkata, sepucuk surat telah meluncur datang dari balik
wuwungan rumah.
Cui Tong segera menyambut surat itu, lalu berseru: "Sobat, siapakah
kau?" Tiada orang yang menjawab, suasana di sekeliling tempat itu
sepi tak kedengaran apapun. Cui Tong tahu kalau pihak lawan enggan
untuk berjumpa
dengannya, sambil menghela napas terpaksa dia beranjak pergi.
-ooo0dw0ooo- Fajar belum lama menyingsing, dua orang kakek
berbaju emas
dan dua orang nona berbaju merah mengiringi seorang nyonya
setengah-umur yang memakai baju putih muncul didepan pintu gerbang
gedung Kwik Wangwee.
Dengan sikap yang amat hormat, salah seorang diantara kakek berbaju
emas itu memberi hormat kepada nyonya setengah umur tersebut,
kemudian katanya. "lnilah rumah keluarga Kwik !"
Nyonya itu sepintas lalu tampak baru berusia dua puluh empat tahunan,
wajahnya cantik namun sepasang matanya memancarkan cahaya
tajam, sehingga membuat orang tak berani menatapnya.
Mendapat laporan tersebut, dia manggut-manggut kemudian berkata:
"Ketuk pintu, sampaikan seperti apa yang kuperintahkan tadi !"
Kakek berbaju emas itu mengiakan dengan hormat, kemudian
maju kedepan dan mengetuk pintu. Seorang pelayan tua segera
menampakan diri dari balik ruangan,
orang berbaju emas itupun membisikkan sesuatu kepada sang pelayan
tua dan pelayan tua itupun manggut-manggut sambil beranjak pergi.
Tak lama kemudian, tiga orang perempuan dan dua orang lelaki itu
sudah dipersilahkan masuk ke ruang tamu, pelayan tua ini menitahkan
orang untuk menghidangkan air teh, tak lama kemudian Kwik wangwee
pun muncul menjumpai tamunya.
Dengan senyum dikulum Kwik Wangwee segera berkata: "Barusan aku
memperoleh pemberitahuan dari centengku yang mengatakan kalau
hujin ada urusan penting hendak dirundingkan denganku, tolong
tanya..."
"Aku jauh-jauh datang ke kota Tiong-ciu tak lain karena memperoleh
pesan dari bibiku untuk mencari seorang adik misanku yang telah hilang
selama sebelas tahun, konon..."
Dengan kening berkerut Kwik Wangwee menukas: "Apakah lohu dapat
membantumu?"
"Betul" Yan hujin manggut-manggut, "konon adik misanku berada di
gudang ini !"
"Aaah, masa begitu ? Bagus sekali kalau begitu ?" "Adik misanku
berasal dari marga Sun, nama yang sebenarnya
adalah Pin hiong .." Dengan cepat Kwik wangwee menggeleng
tukasnya: "Disini memang ada seorang she Sun, dia berasal dari Shoa
tang,
tak punya nama, akulah yang memberi nama Tiong lo kepadanya,
selain dari pada itu..."
"Apakah Wangwee dapat mempersilahkan nya keluar untuk bertemu
dengan kami.,.?" Yan hujin menukas pula.
Kwik wangwee segera menghela napas panjang, katanya sambil
menggelengkan kepalanya berulang kali:
"Kalian sudah datang terlambat." "Apakah dia sudah pergi dari sini?"
Yan hu jin agak tertegun,
Kembali Kwik Wangwee menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Bukannya telah pergi, dia belum kembali, sebenarnya dia ikut
pegawaiku pergi keibukota untuk menagih hutang, tapi rupanya dia ke
timpa musibah, menurut keterangan dari pegawaiku, dia telah.."
Berbicara sampai disitu, mendadak Kwik wangwee memperlihatkan sikap
terperanjat, ucapan terhenti sampai ditengah jalan, kemudian diamatinya
Ya hujin dan semua orang dengan seksama, paras mukanya lambat laun
berubah menjadi serius sekali.
Tak selang beberapa saat kemudian, Kwik wangwee telah bertanya lagi
dengan suara dingin:
"Tampaknya kalian berasal dari ibu kota bukan?" "Wangwee telah
teringat soal apa?" Yan hu jin tertawa. Dengan serius Kwik wangwee
berkata. "Yan hujin, terus terang saja kukatakan, menurut laporan
dari
pegawaiku Tiong lo telah dibawa kabur oleh tiga orang perempuan dan
dua orang lelaki, pakaian yang dikanan tiga orang perempuan dan dua
lelaki itu persis dengan dandanan dari hujin."
"Oooh, masa persis seperti apa yang kami kenakan ?" Kwik
Wangwee manggut-manggut. "Betul, memang persis sekali !"
Kembali Yan hujin tertawa manis, ujarnya: "Akupun tak ingin
mengelabui Wangwee, apa yang dijumpai oleh
pegawaimu itu memang benar tak lain adalah kami sekalian !"
Kwik Wangwee segera melompat bangun, kemudian serunya: "Kalau
begitu kau bukan kakak misan Tiong lo ?"
"Aku justeru adalah kakak misannya !" "Hmm, lantas apa sebabnya
kau memaksa untuk membawanya
kabur ?" Wangwee adalah seorang hartawan dari kota ini, orang awam
seperti kau tak akan mengerti tentang persoalan dunia persilatan, oleh
karena itu dijelaskan kepada Wanpwec pun tak ada gunanya, kalau
memang adik misan ku tak ada disini, akupun tak ingin terlalu
merepotkan Wangwee lagi, maaf aku hendak mohon diri lebih dulu."
Agaknya Kwik Wangwee masih ada beberapa hal yang tidak dipahami
olehnya, kembali dia berseru:
"Kau benar-benar adalah kakak misannya Tiong lo !" Dengan serius
Yan hujin mengangguk. "Wangwee adalah orang sekolahan, coba
bayangkan adik
misanku bukan seorang manusia yang kaya raya atau berkedudukan
tinggi, mengapa aku harus mengaku-ngaku sebagai famili yang untuk
mencari kerepotan bagi diriku sendiri ?"
Kwik Wangwee manggut-manggut. "Ehmm, benar, benar, memang
masuk diakal." "Menurut pendapat Wangwee, mungkinkah dia akan
kembali lagi
?" Kwik Wangwee berpikir sebentar, lalu menjawab: "Aku pikir bila dia
bisa mengambil keputusan cepat dan
menanyakan jalan pulangnya kemari, sudah seharusnya dia akan
kembali ke-mari, sebab pertama dia tak ada tempat yang diiuju, kedua
akupun menganggapnya sebagai anak sendiri, maka itu ... "
"Asalkan dia dapat kembali dengan selamat, hal ini lebih baik lagi," kata
Yan hujin sambil tertawa lebar, kemudian seraya
beranjak lanjutnya, "sekarang aku masih ada urusan lain maaf, aku
mohon pamit!"
Kwik wangwee pun tidak bermaksud untuk menahan tamunya, dia
lantas perintahkan kepada pelayan tuanya untuk menghantar mereka
keluar.
Setelah berada ditengah jalan, dengan suara lirih Ang Hu pangcu lantas
berkata:
"Perlukah kita menyiapkan seseorang ditempat ini untuk mengawasi
gerak gerik keluarga Kwik?"
Yan hujin berpikir sebentar, dan sahutnya. "Setan cilik itu sama
sekali tiada hubungan nya dengan keluarga
Kwik, soal ini sudah ku selidiki dengan jelas, ia dibawa pulang dari kuil
Kwan ya hio setelah Ku Gwat cong meninggalkannya seorang diri, selain
itu orang berbaju biru itupun tak akan lebih bodoh dari kita, sudah pasti
ia telah menduga kalau kita akan mencari ke kota Tong-ciu, bayangkan
saja, apakah dia akan membiarkan setan cilik itu datang kemari
menghantar kematiannya?"
Orang berbaju emas yang lain tak lain adalah Kim ih tok-siu (kakek
racun berbaju emas) Tan Tiong hoa.
Pada saat itulah dia berkata pula dengan suara yang berat: "Hamba
mempunyai suatu persoalan yang merasa kurang jelas,
mohon pangcu sudi menerangkannya" "Persoalan apa?" tanya Yan hujin
dengan suara dingin. "Sebelas tahun berselang, ketika Ku gwat cong
berhasil
menolong setan cilik itu, kemungkinan besar dia telah mewariskan
serangkaian tenaga dalam kepadanya, tapi enam tahun berselang ia
telah meninggalkannya dengan begitu saja. . . . "
"Tan congkoan, jadi dia benar-benar telah ditolong oleh Ku Gwat- cong
. . ." sela Ang hu pnngcu tiba-tiba.
Tergerak juga perasaan Tan Tiang ho, katanya:
"Menurut laporan dari Pit It-kiam tentang pengemis yang tidur diluar
pintu kuil Kwan ya bio, kecuali Ku Gwat-cong si setan tua itu, rasanya
memang tak ada orang lain lagi !"
"Tapi kita kekurangan bukti yang langsung!" seru Ang hu pangcu lagi.
Yan hujin segera mengalihkan sorot matanya ke wajah Ang hu pangcu,
setelah itu katanya:
"Yang pernah dikatakan Tan congkoan bukanlah persoalan ini, kenapa
kau tidak mendengarkan lebih dulu sebelum mengemukakan suatu
pendapat?"
Ang Hu pangcu segera mengiakan berulang kali. Tan Tiong hoa pun
berkata lebih jauh: "Yang tidak hamba tidak pahami adalah kenapa
Ku Gwat cong
meninggalkan setan cilik itu di kota Tong ciu sebagai kacung orang?"
Yan hujin tertawa dingin, dia lantas berpaling ke arah Ang Hu pangcu
sambil bertanya:
"Kau tahu?" Ang Hu-pangcu segera menundukkan kepala nya
rendah-rendah. "Hamba sendiripun tidak memahami akan persoalan
ini"
jawabnya. Yan hujin segera mendengus dingin. "Hmm .. .! Tan
congkoan saja bisa memperhatikan persoalan ini
dengan jelas, hal ini menunjukkan kalau ia benar2 berusaha keras
untuk menyelidiki persoalan ini, tetapi kau sebagai seorang wakil ketua,
nyatanya tak mampu kau berpikir kesitu, hmm..."
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Ngentot ABG Silat : Bukit Pemakan Manusia 2 dan anda bisa menemukan artikel Cerita Ngentot ABG Silat : Bukit Pemakan Manusia 2 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/07/cerita-ngentot-abg-silat-bukit-pemakan.html?m=0,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Ngentot ABG Silat : Bukit Pemakan Manusia 2 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Ngentot ABG Silat : Bukit Pemakan Manusia 2 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Ngentot ABG Silat : Bukit Pemakan Manusia 2 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/07/cerita-ngentot-abg-silat-bukit-pemakan.html?m=0. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...