Cerita Dewasa Panas SIlat : Pendekar Sakti 1 - KPH

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Minggu, 03 Juni 2012

Cerita Dewasa Panas SIlat : Pendekar Sakti 1 - KPH

Sungai Huang-ho atau Sungai Kuning yang amat terkenal di Tiongkok itu menumpahkan airnya di laut Pohai, termasuk di Propinsi San-tung sebelah utara. Berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus kerajaan boleh ganti-berganti, jutaan manusia mati dan hidup lagi, namun Sungai Kuning tetap mengalirkan airnya ke dalam laut. Ketika itu, Kerajaan Tang yang semenjak abad ke tujuh hidup subur dan makmur, dalam permulaan abad ke delapan mulai mengalami perubahan besar. Korupsi besar-besaran yang dilakukan oleh semua pembesar dan pegawai negeri dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi kedudukannya, membuat negara menjadi lemah, rakyat menjadi sengsara, dan kekacauan timbul di mana-mana. Juga bangsa-bangsa lain, seperti Tibet yang tadinya telah menjadi sahabat baik semenjak Sron-can Gam-po, kepala suku bangsa Tibet, menikah dengan Puteri Wan Ceng, kini mulai kelihatan mengambil sikap kurang baik. Suku bangsa Tibet yang menjadi kuat sekali itu, seringkali memperlihatkan sikap bermusuhan dan menghina kepada bala tentara Tang yang menjaga di tapal batas utara. Juga suku bangsa Nam-cow memperlihatkan sikap tidak bersahabat.

Semua ini timbul karena Kerajaan Tang nampak kacau di sebelah dalam. Kekuatan pasukan menjadi rusak, penuh oleh kutu busuk yang berupa panglima-panglima tukang korup besar-besaran.

Dalam keadaan seperti itulah cerita ini terjadi!

Di tepi Laut Po-hai di mana air Sungai Kuning itu tumpah, sunyi sekali karena di situ memang merupakan tempat yang liar dan tidak didiami orang. Siapakah berani mendiami lembah Sungai Kuning di dekat laut? Sama halnya dengan hidup di dekat mulut seekor naga yang liar, yang sewaktu-waktu dapat bangkit dan mencaplok orang yang berada di dekatnya. Tiap kali datang musim hujan, lembah yang nampak kehijau-hijauan dan amat subur itu, berubah menjadi lautan ganas!
-Cerita Dewasa Panas SIlat : Pendekar Sakti 1 - KPH-
Akan tetapi, pada waktu itu, musim hujan telah lama lewat. Lembah Sungai Kuning itu merupakan tanah yang subur dan penuh dengan rumput-rumput hijau. Pemandangan indah sekali, dan suara air laut bergelombang memukuli batu-batu karang di pinggir laut, merupakan dendang yang tak kunjung habis.

Biarpun di tempat itu belum pernah ada manusia yang datang, namun pada saat itu, sesosok bayangan orang berdiri tegak di atas puncak batu karang yang menghitam. Orang ini sudah tua, pakaiannya penuh tambalan seperti pakaian pengemis, rambutnya panjang tak terpelihara, tubuhnya tinggi kurus akan tetapi melihat wajahnya, nampak agung dan berpengaruh seperti wajah seorang kaisar saja! Usianya sebetulnya baru empat puluh lima tahun, akan tetapi dia sudah tampak tua karena tidak merawat dirinya.

Kakek ini berdiri tegak sambil kadang-kadang memandang ke arah gelombang laut membuas, kadang-kadang melihat air Sungai Kuning yang menggabungkan diri dengan saudara tuanya, yaitu air laut. Ia mengembangkan kedua lengan tangannya yang kurus, lalu terdengar dia bicara seorang diri.

“Air Huang-ho berasal dari hujan, lihat mendung bergulung-gulung dari atas laut, bukankah ini namanya kembali ke asal? Alam begini besar, kuasa, dan adil, mana bisa dibandingkan dengan kekuasaan kaisar? Alam bersifat memberi, selalu memberi, tidak seperti kaisar yang selain minta! Ah, alangkah bodohnya adik Pin, mana aku mau mengikuti jejaknya? Hari ini dia diangkat menjadi menteri, bercanda dengan kedudukan dan kemewahan, mana dia tahu kebahagiaan sejati? Biarlah aku bercanda dengan kekayaan alam!?”

Setelah berkata demikian, kakek ini lalu berlenggang-lenggang turun dari gunung karang itu. Batu karang besar itu licin sekali karena selalu tersiram air laut, juga ujungnya runcing-runcing dan tajam, ditambah lagi dengan bentuknya yang amat terjal. Akan tetapi benar-benar mengherankan sekali, kakek itu dapat berjalan turun dari batu itu seakan-akan batu itu datar saja. Ia tidak kelihatan mempergunakan keseimbangan tubuh, hanya berjalan biasa saja tanpa melihat batu karang yang diinjaknya.
-Cerita Dewasa Panas SIlat : Pendekar Sakti 1 - KPH-http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/06/cerita-dewasa-abg-silat-ang-i-nio-cu-1.html-
Yang lebih hebat lagi, sambil berjalan turun, kakek ini membuka mulutnya dan bernyanyi! Suaranya keras sekali, mengimbangi suara air laut yang membentur karang, sehingga kalau didengar-dengar, suara air laut itu seakan-akan menimbulkan irama musik mengiringi nyanyian kakek itu. Dengan suara makin lama makin keras seakan-akan dia tidak mau kalah oleh suara ombak yang makin menderu, dia bernyanyi berulang-ulang:

Kalau kau menarik gendewa,
sampai sepenuh-penuh lengkungnya,
kau akan menyesal mengapa
tak kau hentikan pada waktunya.

Kalau kau mengasah pedangmu
seruncing-runcingnya,
ujung pedang itu takkan
dapat bertahan lama.

Kalau emas permata memenuhi rumahmu,
kau akan repot dan bingung
untuk menjaga semua itu.

Menyombongkan harta dan
mengagulkan kedudukan,
berarti menyebar benih keruntuhan.

Mengasolah setelah tugas selesai,
sesuai dengan jalan Thian-to
(Hukum Alam)!”

Kata-kata yang keluar dari mulut kakek itu sesungguhnya bukanlah nyanyian sembarangan saja, melainkan kata-kata bersajak dari pujangga atau ada kalanya disebut Nabi Besar Lo-cu! Kakek itu kini sudah tiba di atas tanah berpasir, kemudian dia lalu berjalan menuju ke laut!

Apakah yang hendak diperbuatnya? Sungguh aneh. Ia berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan bertolak pinggang menghadapi laut. Ia berdiri di sebelah batu karang itu, menantikan datangnya gelombang ombak yang sebesar bukit!

Ketika itu angin bertiup keras dan ombak yang datang benar-benar dahsyat dan mengerikan. Ombak ini makin dekat dengan pantai menjadi makin bergelombang, sikap ombak ini benar-benar merupakan ancaman maut. Akan tetapi, di antara suara ombak menderu, terdengar suara kakek itu tertawa bergelak-gelak. Ombak datang dengan hebatnya, membawa tenaga yang ribuan kati beratnya, menghantam batu karang dan juga kakek yang berdiri itu, menimbulkan suara hiruk-pikuk menggelegar yang terdengar sampai belasan li jauhnya. Akan tetapi, di antara suara menggelegar ini, masih terdengar suara ketawa dari kakek aneh tadi. Ketika ombak datang, dia mementang kedua lengannya lalu mendorong ke depan, tubuhnya tidak tegak lagi, melainkan agak membungkuk ke depan.
-Cerita Dewasa Panas SIlat : Pendekar Sakti 1 - KPH http://cerita-eysa.blogspot.com/
Ombak memecah pada batu karang dan lenyap menjadi air yang mengalir kembali ke tengah laut. Batu karang tadi bergoyang-goyang terpukul ombak, dan setelah ombak lenyap, batu itu masih berdiri tegak, memperlambangkan kekuatan yang luar biasa. Dan kakek tadi? Masih nampak berdiri, agak terengah-engah, akan tetapi masih ketawa-tawa senang!

“Ha-ha-ha, kakek batu karang, bukankah sang ombak tadi mempergunakan ilmu pukulan Tin-san-ciang (Pukulan Menggetarkan Gunung)? Ha-ha-ha, pukulan itu terhadap kau dan aku sama halnya dengan pukulan seorang bocah saja?” Setelah berkata-kata kepada batu dan berseru, “Kakek ombak, hayo kau datanglah, pergunakan segala tenagamu, hendak kulihat apakah kau mampu menggulingkan kakek batu karang!”

Ombak datang memukul dan pergi lagi, namun batu karang dan kakek itu tetap berdiri teguh. Benar-benar seperti kata-katanya tadi, kakek ini sedang bercanda dengan ombak dan batu karang, sedang bercanda dengan alam!

Setelah menahan pukulan ombak sampai lima kali, angin mereda dan ombak yang datang hanya ombak kecil saja, kakek itu menjadi bosan dan ketika dia hendak mendarat, tiba-tiba dari atas batu karang itu melompat turun sesosok bayangan orang dengan gesitnya. Tahu-tahu seorang hwesio gundul yang tubuhnya seperti bola karet, bundar segala-galanya, berdiri di depannya dan tertawa. Kemudian dia membungkuk, lalu mendorong batu karang itu.

Benar-benar hebat sekali. Batu karang yang tadi tertimpa gelombang berkali-kali bahkan yang entah sudah berapa ribu kali terdorong ombak tanpa bergeming, hanya bergoyang-goyang sedikit saja, kini terkena dorongan hwesio bundar ini, menjadi miring dan akhirnya roboh!

Hwesio itu terengah-engah sedikit, lalu menghadapi kakek tadi sambil tertawa-tawa.

“Heh, heh, heh, Ang-bin Sin-kai (pengemis Sakti Muka Merah), biarpun kakek ombak amat kuat, namun dia tidak memiliki akal budi seperti kita. Mana bisa dia mendorong roboh batu karang ini?”

Kakek pengemis itu pun tertawa sambil memandang ke langit. “Di tempat ini bertemu dengan Jeng-kin-jiu (Si Tangan Seribu Kati), sungguh amat menggembirakan. Ada sahabat datang dari tempat jauh, bukankah itu amat menggirangkan hati?” Kalimat terakhir ini pun adalah ujar-ujar kuno yang diucapkan Nabi Khong Cu. “Eh, Kak Thong Taisu, kau jauh-jauh datang dari selatan ke sini, apakah hanya untuk merobohkan batu karang ini?”

“Pengemis bangkotan! Merobohkan batu karang benda mati ini, apanya sih yang aneh? Kalau kakek ombak yang mampu mendorong roboh kakek batu karang, barulah boleh dibuat kagum. Sebaliknya kalau pinceng mampu mendorong roboh pengemis bangkotan, batu karang hidup, itu baru namanya cukup berharga!”

Kakek yang dipanggil Ang-bin Sin-kai atau Pengemis Sakti Muka Merah itu tertawa. “Kepala gundul, jadi kau ingin mencoba kepandaianku! Itukah maksud kunjunganmu?”

“Ayam jago dari selatan bertemu ayam jago dari timur, mengapa banyak berkeruyuk lagi? Masih tanya-tanya maksud kedatangan?” setelah berkata demikian, hwesio gundul yang bertubuh bundar itu lalu menubruk maju dengan kedua tangan dipentang seperti hendak menubruk dan menangkap seekor katak.

Ang-bin Sin-kai maklum bahwa biarpun kelihatannya serangan ini seperti main-main, namun hebatnya bukan main. Ketika dia mengelak sambil melompat ke kiri, pasir dibelakangnya terkena angin terkaman ini berhamburan ke atas dan batu karang di belakangnya bergoyang-goyang!

“Lihai sekali kau punya ilmu pukulan Yu-coan-swe-jiu (Pukulan Menembus Air)!” Kata Ang-bin Sin-kai sambil membalas serangan lawannya dengan tak kalah hebatnya.

Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu adalah seorang tokoh yang terbesar namanya di wilayah selatan. Di kalangan ahli-ahli silat dan perantau yang gagah perkasa, Si Tangan Seribu Kati ini dianggap sebagai jago tua yang paling lihai dan disegani. Orang-orang takut dan segan kepadanya karena selain ilmu silatnya lihai sekali, juga tabiatnya aneh dan sukar dilayani. Oleh karena itu, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu ini hidupnya seakan-akan terasing. Ia tinggal di sebuah pulau kosong yang kecil di sebelah selatan Propinsi Kwang-tung dan tak seorang pun manusia berani mendatangi pulau ini. Orang-orang hanya dapat melihat whesio gemuk ini kalau dia menyeberang dan mengadakan perantauan di daratan Tiongkok. Ilmu kepandaiannya amat tinggi, dan dia terkenal sebagai seorang ahli gwa-kang (tenaga luar) yang sudah memiliki kepandaian sempurna sekali sehingga tenaganya sukar untuk diukur bagaimana besarnya. Oleh karena tenaga gwakangnya inilah maka dia disebut Jeng-kin-jiu.

Sebaliknya, kakek pengemis yang tinggi kurus itupun bukanlah orang sembarangan. Namanya tidak ada orang mengetahui, bahkan Kak Thong Taisu sendiri tidak tahu siapa nama asli pengemis tua bangka ini. Dan hanya tokoh-tokoh besar seperti Kak Thong Taisu saja yang tahu bahwa kakek pengemis ini berdarah bangsawan! Dia jarang memperlihatkan kepandaiannya dan kalau berada di tempat ramai, orang hanya menganggapnya sebagai seorang pengemis biasa saja. Tentu saja tidak ada orang yang mengetahui bahwa dia biarpun disebut pengemis dan keadaannya seperti pengemis, namun selama hidupnya belum pernah mengemis! Nama julukannya Ang-bin Sin-kai atau Penegemis Sakti Muka Merah, karena kulit mukanya memang selalu kemerah-merahan seperti kulit seorang bayi yang sehat. Berbeda dengan Jeng-kin-jiu yang tadi sudah mendemonstrasikan tenaga gwakangnya yang hebat ketika mendorong roboh batu karang, Ang-bin Sin-kai ini adalah seorang ahli lweekang yang juga sudah mendemonstrasikan tenaganya ketika dia menyambut serangan gelombang ombak tadi.

Dengan demikian, pertempuran yang terjadi di dekat laut ini adalah pertempuran antara seorang ahli gwakang dan seorang ahli lweekang! Bagi orang-orang yang tingkat ilmu silatnya masih rendah, memang dengan mudah akan dikatakan bahwa pertempuran antara ahli gwakang dan ahli lweekang tentu akan dimenangkan oleh ahli lweekang itu. Namun, hal ini tidak demikian kalau si ahli gwakang sudah memiliki kepandaian yang sempurna. Pada hakekatnya, sumber atau dasar kepandaian mereka adalah sama, hanya Jeng-kin-jiu lebih mengandalkan tenaga kasar, sedangkan Ang-bin Sin-kai mengandalkan tenaga lemas.

Bukan main hebatnya pertempuran itu. Keduanya berlompat-lompatan, saling serang dan saling mengelak. Kadang-kadang saling tangkis sehingga keduanya terhuyung-huyung. Beberapa kali mereka melompat dengan menggunakan ginkang yang sudah sempurna sehingga seakan-akan mereka merupakan dua ekor burung raksasa yang saling terkam. Bahkan pernah Ang-bin Sin-kai terlempar masuk ke laut dan terpaksa berenang minggir lagi dan pada lain saat si teromok gundul itu terlempar menabrak batu karang, akan tetapi agaknya bukan kepalanya yang pecah, melainkan batu karang itu yang hancur pinggirnya!

Ketika mereka bertempur tadi, matahari masih berada di atas kepala mereka, akan tetapi kini matahari telah lenyap dibalik gunung sehingga cuaca telah menjadi remang-remang. Namun pertempuran masih dilanjutkan dengan ramainya dan ternyata keadaan mereka benar-benar berimbang. Dari pertempuran yang mengandalkan kecepatan gerak kaki tangan, keduanya sampai bertempur dengan lambat sekali, seperti sedang berlatih silat, namun sebenarnya serangan-serangan yang lambat ini mengandung tenaga yang akan mengirim nyawa salah seorang kehadapan Giam-lo-ong (Malaikat Maut) kalau saja sampai terkena pukulan!

Berhubung dengan datangnya sang malam, angin mulai menyerang lagi dan suara bergemuruh dibarengi getaran-getaran pada tanah pesisir itu menandakan bahwa gelombang ombak membesar menghantami batu-batu karang di pantai. Kedua orang kakek yang aneh itu masih saja melanjutkan pertandingan mereka. Makin lama mereka merasa makin gembira karena setelah berpisah bertahun-tahun, kini ternyata kepandaian masing-masing menjadi makin maju dan hebat. Oleh karena air laut telah pasang, mereka kini terpaksa pindah dan lanjujkan pertempuran di tempat yang agak tinggi.

Angin mengamuk, langit tertutup mendung tebal sekali sehingga keadaan menjadi gelap gulita. Hanya orang berkepandaian tinggi sekali dapat melanjutkan pertempuran dalam keadaan seperti itu. Mereka tak dapat melihat lawan masing-masing, karena tidak mungkin melihat ke depan. Tangan sendiri pun tak tampak, apalagi orang lain. Akan tetapi dg alat pendengaran mereka yang terlatih baik, mereka dapat mendengarkan sambaran angin pukulan lawan!

Menjelang tengah malam, keduanya sudah lelah sekali. Beberapa kali mereka telah dapat saling pukul, akan tetapi pukulan-pukulan itu tidak terlalu keras bagi tubuh mereka yang sudah kebal sehingga keduanya masih dapat bertahan. Akhirnya usia lanjut yang menang, tubuh mereka menjadi makin lemas dan lelah.

Pada saat mereka sedang mengadu tenaga dan kedua tangan saling tempel dan saling mendorong lawan agar jatuh ke dalam laut dari batu karang yang tinggi, tiba-tiba batu karang itu terpukul ombak yang maha kuat sehingga miring! Keduanya cepat melompat turun karena khawatir terbawa jatuh dan tergencet batu karang. Setelah tiba di bawah, kembali mereka berhadapan! Tiba-tiba di dalam gelap itu, nampak cahaya hijau menjulang tinggi dari tengah laut. Kembali nampak cahaya kehijauan melayang ke atas dan setelah sampai di atas lalu padam.

“Ah, itulah tanda kapal dalam bahaya!” seru Ang-bin Sin-kai.

“Benar kauperhatikan, bukankah di tengah-tengah laut itu nampak lampu merah sebentar ada sebentar hilang?” ujar Jeng-kin-jiu

Keduanya memperhatikan dan benar saja. Sebentar-sebentar, kalau ombak yang setinggi gunung telah turun, nampak lampu merah berkelip-kelip jauh sekali dan berkali-kali api hijau itu melayang ke atas.

“Nasib mereka sudah pasti!” kata Ang-bin Sin-kai perlahan.

“Ikan-ikan hiu akan berpesta pora setelah badai mereda. Dalam badai seperti ini, bagaimana mereka dapat meloloskan diri?” kata whesio itu.

“Kita pun tidak berdaya menolong mereka,” kata kakek pengemis.

“Benar, sungguh sayang. Melihat sesama manusia dipermainkan oleh maut tak dapat turun tangan menolong, alangkah menyedihkan!” kata si whesio dan suaranya benar-benar terdengar sedih. Mendengar suara ini, si kakek pengemis juga menjadi sedih. Keduanya kini duduk di atas batu karang yang tinggi dan sambil duduk berdampingan, dua orang yag tadi bertempur mati-matian itu memandang ke tengah laut. Kadang-kadang mereka berseru girang kalau melihat api merah itu, akan tetapi berdebar-debar gelisah kalau api itu tidak kelihatan lagi.

“Mereka masih ada!” seru hwesio itu kegirangan kalau melihat sinar hijau melayang ke atas.

"Moga-moga mereka selamat!" si pengemis berdoa.

Sampai setengah malam badai mengamuk dan dua orang kakek aneh itu masih saja duduk di situ, melepaskan lelah akan tetapi dengan hati tidak karuan rasanya melihat betapa sebuah perahu besar diombang-ambingkan oleh gelombang dan menjadi permainan badai.

Menjelang fajar, badai mereda dan ombak menghilang. Aneh sekali kalau dilihat, akan tetapi air laut yg tadinya mengganas bagaikan semua penghuni laut melakukan perang besar itu, kini menjadi tenang dan diam, bening bagaikan kaca hijau yang besar sekali. Bahkan matahari yang timbul dari permukaan laut dan yang bayangannya tercermin di dalam air, nampak diam tak bergerak sedikit pun juga, tanda bahwa air itu benar-benar diam tak bergerak! Seakan-akan raksasa besar itu kini tertidur melepaskan lelah setelah setengah malam lamanya memperlihatkan kehebatan tenaga mereka yang dahsyat.

Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu dan Ang-bin Sin-kai masih duduk bersanding dan mata mereka tak pernah berkejap memandang ke tengah laut. Keduanya nampak lesu dan muram seperti orang menyedihkan sesuatu. Hal ini tidak aneh, karena semenjak badai mereda lampu merah itu tidak kelihatan lagi!

“Kita seperti pengkhianat-pengkhianat yang melihat bangsanya terbunuh tanpa dapat menolong,” kakek pengemis itu berkata lambat.

“Apa daya kita menghadapi kekuasaan alam?” Jeng-kin-jiu menghiburnya. “Giam-lo sudah merenggut nyawa orang-orang itu, siapa yang dapat menghalangi pekerjaannya? Dari pada kita menyedihi sesuatu yang sudah lalu, mengapa kita tidak melanjutkan pibu kita?”

Pengemis itu tersadar, lalu menoleh kepada hwesio itu sambil tersenyum. “Kau benar, di antara kita belum ada yang kalah atau menang. Mari!” ia lalu meloncat turun dari batu karang, diikuti oleh hwesio gemuk itu dengan wajah gembira dan sebentar kemudian kedua musuh gerotan ini sudah berhadapan lagi sambil memasang kuda-kuda!

Tiba-tiba dua orang itu mendengar sesuatu dan mereka saling pandang, kemudian keduanya tetawa bergelak-gelak, yang mereka dengar tadi adalah suara isi perut masing-masing yang tak dapat ditahan lagi telah berkeruyuk saking laparnya. Isi perut pengemis itu mengeluarkan suara nyaring dan tinggi, sedangkan isi perut hwesio itu berkeruyuk dengan suara rendah. Perkelahian malam tadi telah membuat mereka menjadi lapar sekali.

“Gundul busuk, apakah tidak baik kalau kita menyuruh mereka ini tutup mulut dulu dan menyumbat mulut mereka dengan makanan-makanan?” tanya Ang-bin Sin-kai.

“Akur! Memang menjemukan sekali kalau mereka berkeruyuk dan merengek seperti perempuan-perempuan cengeng,” jawab hwesio itu.

“Eh, hwesio murtad! Bagaimana kau si kepala gundul ini dapat bicara tentang perempuan? Apakah di luarnya kau bersujud kepada Buddha dan mencucikan diri akan tetapi hatimu selalu mengenangkan perempuan cantik?” tanya pengemis itu sambil matanya mencereng memandang penuh kecurigaan.

Jeng-kin-jiu hanya tertawa. “Di tempat seperti ini, dari manakah kita bisa mendapat makanan?”

Si pengemis tua tersenyum dan menunjuk ke arah laut. “Ada samudera luas di depan mata kita, takut apakah? Perutmu yang gendut itu kukira takkan dapat menghabiskan isi laut.” Setelah berkata demikian, kakek pengemis itu lalu terjun ke dalam laut dan berenang ke tengah untuk menangkap ikan.

“He, kantong nasi gundul, apakah kali ini kau tetap hendak ciakjai (pantang makan daging) dan membiarkan perut gendutmu kosong dipenuhi angin busuk?” pengemis itu masih sempat berteriak.

Hwesio itu tertawa bergelak, “Siapa sudi mulutnya pantang makan daging dan selalu dijejali sayuran akan tetapi hati dan pikirannya mengenangkan ekor ikan lee yang lezat?” setelah berkata demikian, hwesio ini pun lalu terjun ke air dan berlumba dengan pengemis itu untuk mencari ikan yang sebesar-besarnya.

Setelah hwesio gundul itu yang mempergunakan kepandaiannya untuk bergerak di atas daratan dasar laut, akhirnya dia dapat menangkap seekor ikan yang gemuk seperti dia. Ikan itu meronta-ronta, dan biarpun kalau di darat Jeng-kin-jiu adalah seorang ahli gwakang yang tenaganya tidak kalah oleh seekor gajah, namun di dalam air ia tidak dapat melawan ikan ini. Hampir saja ikan itu terlepas lagi kalau dia tidak dapat cepat menusuk kepala ikan itu dengan kedua jari tangannya sehingga pecahlah kepala ikan itu!

Setelah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu mumbul ke permukaan air, dia melihat Ang-bin Sin-kai juga berenang dari tengah. Juga pengemis itu, memondong sesuatu yang kelihatannya dari jauh seperti ikan, akan tetapi setelah mereka keduanya mendarat di pantai, hwesio itu dengan mata terbelalak memandang ke arah “ikan” yang di pondong oleh pengemis itu.

“Omitohud!” hwesio itu menyebut nama Buddha. “Benar-benarkah kau sudah berhasil menangkap seekor ikan duyung?”

“Tutup mulutmu, Gundul! Lebih baik lekas kautolong anak ini. Kalau aku tidak tahu bahwa kau mengerti ilmu pengobatan, untuk apa aku membawanya ke pantai?” Pengemis itu lalu meletakkan tubuh anak kecil yang dipondongnya tadi di atas pasir. Anak itu pingsan dan mukanya biru, perutnya gembung penuh dengan air asin. Kepala anak itu gundul dan melihat pakaiannya, dia tentu anak dari keluarga cukup. Hanya pakaian ini sekarang compang-camping dan sepatunya tinggal sebelah kiri saja! Usianya kurang lebih limat tahun.

“Omitohud! Akhirnya dapat juga kita menolong seorang di antara para penumpang perahu yang tenggelam itu,” kata hwesio gemuk sambil berjongkok memeriksa anak tadi. Ia suka sekali melihat anak ini karena anak ini memiliki wajah yang tampan dan ketika dia memeriksa tubuh anak itu, dengan girang sekali dia mendapat kenyataan bahwa anak itu mempunyai tulang-tulang yang baik sekali, tulang seorang calon ahli silat yang pandai! Yang terutama sekali membuat hwesio ini suka adalah kepala anak ini yang gundul pelontos dan licin seperti kepalanya sendiri!

“Anak baik….anak baik….” Berkali-kali dia berkata sambil mengelus-elus kepala yang gundul licin itu. Si pengemis menjadi dongkol sekali melihat ini.

“Kau hendak mengobatinya atau hendak mengelus-elus kepalanya?” tanyanya marah.

Tiba-tiba hwesio itu berdoa dan dia mengucapkan sebuah syair dari pelajaran Buddha Gautama,

”Tidak ada perbedaan antara
Nirwana dan Sengsara

Tidak ada perbedaan antara
Sengsara dan Nirwana

“Banyak mulut tidak bekerja adalah watak seorang siauw-jin (orang rendah). Banyak kerja tutup mulut barulah seorang kuncu (orang budiman)!” Pengemis itu berteriak marah.

Akhirnya Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu mulai mengobati anak itu. Ia memegang jedua kaki anak itu dalam tangan kiri menjungkir-balikkan anak itu dengan kaki di atas dan kepala di bawah, lalu tangan kanannya menepuk-nepuk perut anak yang gembung penuh air.

“Buang air itu, untuk apa memenuhi perut?” Katanya dan seketika itu juga air laut mengalir keluar dari mulut anak itu sehingga perutnya menjadi kempis kembali. Lalu ia meletakkan anak itu di atas tanah, telentang dan menggerak-gerakkan kedua tangan anak itu sehingga dada itu terangkat beberapa kali. Akan tetapi tetap saja anak itu tidak dapat bernapas lagi. Si hwesio menjadi gemas.

“Anak bandel, bandel dan tolol!” makinya. Akan tetapi biarpun dia memaki demikian, namun dia lalu mendekatkan mulutnya pada bibir anak itu lalu menempelkan mulutnya yang besar memenuhi bibir kecil anak tadi dan meniup menyedot beberapa kali!

Si pengemis tua hanya memandang saja dan diam-diam dia merasa iri hati terhadap kepandaian hwesio gemuk ini, karena dia sendiri sama sekali tidak mengerti tentang cara-cara penyembuhan. Tak lama kemudian, terdengar anak itu mengeluh dan pernapasannya jalan kembali. Hanya sebentar dia mengeluh dan menggeliat-geliat, kemudian setelah membuka matanya, anak itu melompat berdiri. Dua orang kakek itu diam-diam memandang kagum. Anak ini benar-benar memiliki tulang yang baik dan juga daya tahan luar biasa sehingga baru saja terhindar dari bahaya maut, sekarang telah bergerak dengan tangkas pula.

“Anak baik, siapa kau?” pengemis tua itu bertanya.

“Bagaimana dengan nasib penumpang-penumpang lain?” hwesio itu pun bertanya.

Untuk sejenak anak itu memandang bingung dan biarpun dia telah mrngingat-ingat, namun dia benar-benar telah kehilangan ingatannya.

“Siapa aku? Di mana aku? Ah….aku tidak tahu. Siapakah lopek dan losuhu ini?”

Anak ini mempunyai suara yg nyaring dan sepasang matanya bersinar-sinar tajam sekali. Ang-bin Sin-kai dan Jeng-kin-jiu Ka Thong Taisu saling pandang, kemudian mereka berdua tertawa besar.

“Aku dipanggil Ang-Bin Sin-kai,” pengemis itu memperkenalkan diri.

“Dan pinceng adalah Kak Thong Taisu,” menyambung hwesio gemuk.

“Mengapa aku berada di sini?” anak itu bertanya.

“Kalau tidak ada Hai-liong-ong (Raja Naga Laut) ngamuk, mana bisa kau ditelan ombak? Dan kalau tidak ada kami dua orang tua bangkotan, mana bisa kau berada di sini?” kata kakek pengemis itu yang memang sudah biasa mempergunakan kata-kata yang sukar dimengerti. Akan tetapi ternyata anak itu cerdik sekali. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang kakek itu sambil berkata,

“Aku sungguh tidak mengerti mengapa aku tenggelam di laut, akan tetapi atas pertolongan Ji-wi losuhu, sungguh aku berterimakasih sekali. Semoga Kwan Im Pouwsat memberkahi Ji-wi yang mulia.” Ia lalu berlutut dan mengangguk-anggukkan kepalanya berkali-kali.

Dua orang kakek itu saling pandang dengan mata terbuka lebar-lebar. Mereka merasa girang sekali melihat sikap anak ini.

“Eh, anak baik, agaknya orangtuamu pemuja Kwan Im Pouwsat. Bagus sekali!” Kata Kak Thong Taisu. “Siapakah orang tuamu dan siapa pula namamu? Dari mana kau datang?”

Anak itu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan muka sedih. “aku tidak tahu siapa orang tuaku, siapa pula namaku aku sudah lupa lagi. Darimana aku datang? Entahlah, yang terang dari laut, karena bukankah Ji-wi mengeluarkan aku dari laut?” ia menudingkan jarinya yang kecil itu ke arah laut.

Kembali dua orang kakek itu saling pandang.

“Hemmm, dia telah kehilangan ingatannya karena mengalami hal yang amat dahsyat di tengah laut. Kasihan!” kata Kak Thong Taisu.

“Anak, kalau begitu, aku hendak memberi nama kepadamu, maukah kau?”

Anak itu mengangguk. Ang-bin sin-kai menjadi girang sekali.

“Kalau begitu, mulai sekarang kau she (bernama keturunan) Lu!”

Terdengar Kak Thong Taisu tertawa bergelak-gelak. Suara ketawanya ini keras sekali sehingga anak itu terkejut. Ia merasa telinganya sakit sekali mendengar suara ketawa ini, maka cepat-cepat dia menutup telinganya dengan kedua tangannya.

“Mengapa kau tertawa, setan gundul?” Ang-bin Sin-kai membentak marah.

“Ha-ha-ha, kau jembel tua bangka ini biarpun di luarnya seperti jembel, ternyata masih belum dapat melupakan asal keturunan bangsawanmu! Biarlah, anak ini kauberi she. Bagiku, apakah artinya nama keturunan? Merepotkan saja! Anak baik, kau sekarang she Lu seperti she pengemis tua bangka ini. Akan tetapi namamu adalah aku yang akan memilihkan. Kau sekarang memakai nama Kwan Cu.”

“Lu Kwan Cu…” anak itu berkata perlahan seperti kepada diri sendiri. Tadi melihat hwesio itu berhenti tertawa, dia telah menurunkan tangan yang dipakai menutupi telinganya.

“Ya, Lu Kwan Cu, nama baik, bukan?” si pengemis berkata girang. “Dan mulai sekarang kau menjadi muridku!”

“Eh, eh, eh, Ang-bin Sin-kai, kau melantur apa lagi? Siapa bilang dia menjadi muridmu? Di adalah muridku, tahu?”

“Tidak, hwesio gundul terlalu banyak makan! Dia adalah muridku. Lu Kwan Cu adalah murid Ang-bin Sin-kai!”

“Gila! dia muridku!”

“Aku yang datang menolongnya dari gelombang laut!”

“Dan aku yang mengalirkan kembali nyawa ke dalam tubuhnya!”

Dua orang kakek ini kembali berhadapan dengan mata mencereng, siap untuk memperebutkan anak itu. Keduanya bersitegang dan akhirnya tanpa dapat dicegah lagi keduanya lalu bertanding pula! Mereka mengeluarkan ilmu pukulan yang paling dahsyat sehingga pasir berhamburan terkena angin pukulan mereka. Bahkan ketika anak yang sekarang bernama Lu Kwan Cu itu terdorong oleh angin pukulan, anak itu terguling-guling bagaikan sehelai daun tertiup angin keras. Tentu saja dia menjadi terkejut sekali dan anak ini lalu mencari tempat perlindungan di belakang sebuah batu karang besar. Ia mengintai dan menonton pertempuran itu dengan kedua matanya yang lebar dan tajam itu terbuka lebar-lebar.

Kini pertempuran yang terjadi jauh lebih hebat daripada malam tadi, karena kalau malam tadi mereka bertempur hanya mengandalkan pendengarannya, sekarang mereka dapat mengerahkan seluruh kepandaian dan ketajaman mata mereka. Rasa lapar terlupa dan adanya hanya nafsu untuk menang!

Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring dari anak itu,

“Aneh, aneh! Aku kesunyian mencari kawan. Dua orang ini di tempat yang begini sunyi saling bertemu dan mendapat kawan, mengapa bahkan saling pukul seperti kerbau gila? Ah, celaka, tentu mereka berdua ini miring otaknya!”

Mendengar omongan ini, biarpun sedang berkelahi, kedua orang kakek itu saling pandang sambil membelalakkan mata, akan tetapi mereka melanjutkan perkelahian itu.

Ketika anak kecil tadi melihat betapa dua orang kakek itu masih saja berkelahi, agaknya dia menjadi bosan. Diam-diam dia lalu pergi meninggalkan tempat itu.

Jeng-kin-jiu dan Ang-bin Sin-kai tentu saja tahu akan hal ini, akan tetapi mereka sedang mengerahkan kepandaian untuk merobohkan lawan yang amat tangguh, sehingga mereka kurang memperhatikan anak yang pergi itu. Setelah matahari naik tingi, kelelahan dan rasa lapar membuat kedua-duanya menjadi lemas dan dengan sendirinya perkelahian itu berhenti pula! Mereka duduk di atas pasir terengah-engah sambil saling pandang.

“Kau tua bangka gundul benar-benar hebat kepandaianmu!” Ang-bin Sin-kai berkata memuji.

“Dan kau pengemis kurus kering ternyata lebih hebat daripada dahulu. Kalau saja pinceng berhasil mendapatkan kitab IM YANG BU TEK CIN KENG, tentu kau takkan dapat bertahan begitu lama.” Kata Keng-kin-jiu Kak Thong Taisu sambil menarik napas panjang.

“Im-yang Bu-tek Cin-keng takkan terjatuh ke tanganmu, gundul. Kitab itu pasti akan menjadi milikku. Kau lihat saja!”

“Hem, belum tentu. Semua tergantung atas keputusan Thian. Siapa yang terpilih untuk menjadi ahli silat nomor satu di dunia, barulah akan berhasil mendapatkan kitab rahasia itu.”

“Baik-baik, mari kita berlomba mendapatkan kitab itu. Sekarang lebih baik kita menunda pertempuran kita sampai salah seorang berhasil mendapatkan kitab, baru bertempur pula. Bagaimana pikiranmu?”

“Baik, Ang-bin Sin-kai. Memang perutku sudah lapar sekali. Eh, di mana Lu Kwan Cu?” Hwesio itu bertanya sambil memandang ke kanan kiri.

“Biar saja, dia sudah pergi, karena kita tidak dapat disebut mana yang kalah, mana yang menang, siapa yang akan menjadi gurunya? Biarlah, biar dia sendiri yang menentukan siapa yang hendak dijadikan guru. Antara guru dan murid harus ada jodoh, bukan?”

Hwesio itu mengangguk, kemudian keduanya lalu memanggang ikan yang mereka tangkap dari laut, lalu makan bersama. Kalau dilihat memang aneh dan menggelikan sekali. Dua orang kakek tua bangka ini, karena sedikit urusan saja telah saling gempur mati-matian. Mereka telah bertempur sampai berjam-jam sampai kehabisan tenaga dan biarpun mereka tidak menderita luka-luka parah, namun setidaknya tentu ada kulit-kulit pecah dan biru-biru. Sekarang mereka duduk makan-makan berdua seperti dua orang kawan baik yang sedang berpelesir di pinggir laut!

Sehabis makan, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu berkata, “Ang-bin Sin-kai, sekarang pinceng hendak pergi. Dua orang sahabat telah bertemu dan telah mengalami banyak kesenangan. Setiap pertemuan tentu berakhir, maka mengapa menyusahkan perpisahan? Hanya satu hal pinceng hendak berpesan. Dalam hal diri Lu Kwan Cu, di antara kita siapa yang berhak mendapatkannya lebih dulu, berhak mengajar lebih dulu selama lima tahun. Setelah itu harus mengoperkannya kepada orang lain, jangan mau dimonopoli sendiri saja.”

Pengemis itu mengangguk, “Kecuali kalau orang lain itu mampu merebutnya bukan?”

“Tentu saja! Anak itu bertulang baik, dia pantas diperebutkan.” Setelah berkata demikian Kak Thong Taisu lalu melompat dan amat mengagumkan ginkang dari hwesio gendut ini. Biarpun tubuhnya seperti bola gendutnya, sehingga kalau berjalan nampak seperti menggelundung, akan tetapi dalam sekali berkelebat saja, tubuhnya telah lenyap dari hadapan Ang-bin Sin-kai!

Kakek pengemis ini seperti kawan atau juga boleh disebut lawannya, lalu berdiri di pinggir pantai dan memandang ke laut seperti orang melamun. Bibirnya bergerak-gerak perlahan dan terdengar dia berbisik,

“Im-yang Bu-tek Cin-keng, kitab rahasia yang dirindukan oleh semua tokoh kang-ouw, dan Lu Kwan Cu, anak kecil aneh itu pula…..ah, aku seakan-akan melihat pertalian antara keduanya ini!” Sampai berjam-jam kakek ini berdiri bagaikan patung di pinggir laut, pikirannya terbawa ombak yang bergerak-gerak tiada hentinya.

Kakek pengemis yang aneh, hwesio gendut yang ganjil, anak kecil yang penuh rahasia, kemudian kitab yang disebut-sebut itu pun kitab yang aneh pula. Semua ini terjadi di pantau laut Po-hai yang penuh rahasia alam. Memang di dunia ini banyak sekali terjadi hal-hal yang aneh, aneh bagi pandangan mata manusia. Siapakah berani bilang bahwa alam tidak berkuasa? Siapa pula dapat mengikuti sifat daripada To? Kekuasaan Thian nampak di mana-mana!

“Lu Kwan Cu, nama yang baik! Aku suka nama ini. Aku Lu Kwan Cu, ya, aku bernama Lu Kwan Cu, siapa lagi kalau bukan ini namaku?” berkali-kali kata-kata ini keluar dari mulut anak kecil yang berjalan seorang diri di jalan raya yang sunyi dan lebar. Ia sudah kehilangan ingatannya, tidak ingat sama sekali tentang apa yang telah terjadi padanya. Ia tidak ingat lagi akan orang tuanya yang lenyap bersama dengan kapal di mana tadinya dia berada. Semua telah lenyap ditelan ombak samudera, dan kalau anak ini merupakan orang satu-satunya yang selamat, lalu dia kehilangan ingatannya, siapa lagi orangnya di dunia ini yang dapat menceritakan siapa adanya anak ini dan siapa pula orang tuanya?

Oleh karena tidak mungkin menyelidiki siapa adanya keluarga anak ini, maka biarlah kita mulai sekarang menganggap saja bahwa dia bernama Lu Kwan Cu, anak kecil berusia lima tahun yang seakan-akan dilemparkan oleh ombak laut Po-hai ke dalam dunia, seorang diri tak berteman, hanya berkawan perutnya yang memiliki nafsu makan besar sekali dan baju compang-camping yang kantongnya kosong sama sekali! Oleh karena desakan perutnya, maka tak lama kemudian anak ini kelihatan mengemis di sana-sini untuk dapat mencari makan bagi perutnya yang bernafsu besar!

Kwan Cu memang tidak seperti anak-anak lain. Sikapnya, wataknya, dan cara dia mengemis pun menjadi bukti bahwa dia adalah seorang yang aneh. Pengemis-pengemis kecil lainnya apabila mengemis tentu akan merengek-rengek, menceritakan kesusahan mereka untuk menarik belas kasihan daripada pendengarnya. Anak-anak seperti ini biasanya amat rendah harti, dimaki, dipukul, hanya menerima dengan tangis saja. Berbeda jauh dengan Kwan Cu. Ia tidak pernah merengek, tidak pernah mengeluh, agaknya anak ini memang tidak mengenal keluh-kesah.

Pada suatu hari, dalam perantauannya yang tanpa tujuan itu, tibalah dia di kota Lung-to di tepi Sungai Kuning. Memang Kwan Cu setelah meninggalkan laut, lalu mengikuti jalan sepanjang sungai besar dan tak pernah jauh meninggalkan Suangai Huang-ho. Ia memasuki kota Lung-to dalam keadaan letih dan lapar. Ia telah melakukan perjalanan sehari semalam lamanya. Daerah ini memang kurang penduduknya dan dari satu kota ke kota yang lain amat jauh jaraknya. Semenjak kemarin, Kwan Cu belum makan apa-apa, dan selama sehari semalam itu dia terus-menerus berjalan kaki. Tidak ada sesuatu yang bisa dimakan dalam perjalanan melalui hutan-hutan itu, kecuali air yang memenuhi perutnya. Akan tetapi Kwan Cu tidak berani minum banyak-banyak karena hal ini mengingatkan dia akan air laut. Anak ini mempunyai perasaan takut terhadap air laut yang bergelombang besar.

Dengan langkah tersaruk-saruk Kwan Cu memasuki pintu gerabang kota Lung-to. Kota ini besar dan ramai, banyak terdapat toko-toko dan restoran besar. Maka sebentar saja Kwan Cu dapat menerima sisa makanan dari sebuah restoran. Biarpun perutnya sudah lapar sekali, namun Kwan Cu tidak nampak tergesa-gesa ketika dia membawa makanan itu ke bawah sebatang pohon besar di pinggir jalan. Kemudian dia makan sisa makanan yang dia dapat dari pelayan restoran. Cara makannya juga tidak tergesa-gesa, bahkan dengan teliti dia memilih makanan itu.

Ia sama sekali tidak tahu bahwa semenjak dia memasuki kota, dia telah diawasi oleh seorang gemuk yang berwajah menakutkan sekali dan yang gerakan-gerakannya seperti seekor kucing ringannya.

“Daging baik, tulang murni….” Beberapa kali orang tinggi besar itu berbisik dan nampak puas sekali.

Tingkah laku orang tinggi besar ini benar-benar amat megherankan dan mencurigakan. Biarpun tubuhnya besar, namun dia bergerak cepat dan gesit sekali. Anehnya, tiap kali bertemu dengan orang, dia lalu menyelinap dan bersembunyi, dan karena dia memang memiliki gerakan yang ringan dan cepat sekali, tidak ada orang yang melihat dia mengikuti Kwan Cu. Orang ini tubuhnya besar dan nampak kuat, mukanya bundar dengan mulut lebar seperti mulut barongsai. Jenggotnya pendek dan kaku seperti jarum, sudah putih sebagian. Yang menyolok adalah pakaiannya, karena bajunya berwarna merah darah sedangkan celananya berwarna biru! Melihat sesuatu mengganjal di dalam punggung bajunya, dapat diduga bahwa orang ini membawa sebuah senjata tajam.

Pada masa itu banyak timbul kekacauan, maka soal membawa-bawa senjata tajam bukanlah pemadangan baru. Bukan hanya ahli-ahli silat yang membawa-bawa senjata pedang atau golok, bahkan orang-orang yang tidak mengerti ilmu silat pun sebagian besar membawa senjata pelindung diri.

Ketika Kwan Cu tengah makan, orang tinggi besar itu datang mendekati dengan muka menyeringai. Kwan Cu mengangkat mukanya memandang. Wajah orang itu tidak membuat dia takut, bahkan anak kecil ini lalu mengerutkan kening. Ia telah memilih tempat di bawah pohon di mana tidak ada orang dan sunyi. Dari situ terlihat orang-orang mondar-mandir di jalan raya, akan tetapi tak seorangpun menaruh perhatian kepada anak kecil jembel yang sedang makan di bawah pohon. Mengapa orang ini datang dan memandangnya dengan muka menyeringai?

“Orang tua, apakah kau lapar?” tanya Kwan Cu menunda makannya

Orang itu melengak, lalu tertawa. “Aku memang lapar sekali!” Nampak sikap orang itu benar-benar seperti kelaparan dan mengilar. Kwan Cu melihat makanan yang masih ada sisanya dan terpegang di tangan kirinya dalam sebuah mangkok butut. Sebetulnya dia belum kenyang betul akan tetapi perutnya sudah tidak perih lagi seperti tadi. Tiba-tiba dia angsurkan mangkoknya kepada kakek itu dan berkata,

“Nah kauambil dan makanlah ini!”

Kembali orang itu tertegun. Diam-diam dia merasa geli melihat sikap anak kecil ini.

“Kau tidak tahu siapa aku,” pikirnya, “maka kau berani menghina”

Sebetulnya siapakah kakek yang berwajah menyeramkan ini? Kalau orang-orang yang berjalan di jalan raya itu tahu siapa dia, tentu akan terjadi geger. Telah beberapa hari ini, timbul kegemparan di kota Lung-to karena beberapa orang anak kecil lenyap terculik orang. Telah payah orang-orang pergi menyelidik, akan tetapi percuma saja karena penculik itu dalam melakukan pekerjaannya, tidak meninggalkan bekas sama sekali. Orang-orang hanya mengira bahwa penculik itu tentu menculik anak-anak dengan maksud untuk menjual anak-anak itu sebagai budak belian, karena selalu yang dipilih adalah anak-anak yang manis dan sehat. Kalau saja orang tahu bahwa penculik anak-anak itu adalah Tauw-cai-houw, seorang setengah gila yang melakukan perbuatan-perbuatan ganas dan amat menyeramkan, tentu orang-orang akan menjadi gempar! Tauw-cai-houw (Harimau Menagih Hutang) adalah seorang tokoh berkepandaian tinggi yang mempunyai kebiasaan aneh dan mengerikan sekali. Ia menangkap anak-anak kecil bukan sekali-kali untuk dijual belikan, melainkan untuk di…….makan!

Dan kini Tauw-cai-houw berada di kota Lung-to dan telah menculik beberapa orang anak kecil. Lebih dari itu, pada hari itu Touw-cai-houw bahkan sedang mendekati Kwan Cu dan ditawari sisa makanan oleh anak ini!

“Anak manis, kau makanlah biar kenyang,” kata Tauw-cai-houw dengan kedua matanya berputar-putar. Memang muka yang bundar dari orang ini mirip dengan muka harimau. “Kalau kau masih kurang, bilang saja, aku akan menyediakan untukmu.” Kemudian, kakek ini melihat mangkok di tangan Kwan Cu yang butut serta isinya yang terdiri dari makanan sisa. Ia cepat menyambar dan tahu-tahu mangkok itu telah dirampasnya dan dibanting hancur. Kwan Cu memandang heran dan juga marah, akan tetapi Tauw-cai-houw berkata,

“Tunggulah sebentar. Makanan seperti itu tidak seharusnya kaumakan. Tunggu sebentar, aku akan mencarikan makanan yang baik untukmu.” Ia lalu melangkah lebar ke arah restoran dan tak lama kemudian, betul saja dia kembali dengan langkah lebar menghampiri Kwan Cu sambil membawa dua mangkok penuh terisi makanan-makanan yang hangat mengebul!

Ketika dua mangkok masakan itu diletakkan di depannya, Kwan Cu menjadi mengilar sekali. Bau makanan yang sedap itu telah membuat perutnya yang belum kenyang tiba-tiba menjadi lapar lagi. Kalau menurutkan nafsunya, ingin dia segera menyikat dua mangkok masakan itu, akan tetapi anak ini memang aneh. Ia bahkan menggerakkan kepalanya menoleh kepada Tauw-cai-houw, lalu berkata,

“Orang tua, aku tidak bisa makan masakan ini.”

Untuk ketiga kalinya Tauw-cai-houw melengak. “He? Mengapa?”

“Kita tidak saling mengenl, juga tidak ada hubungan sesuatu antara kita. Mengapa kau datang-datang menghadiahkan dua mangkok masakan? Tentu ada udang dibalik batu. Apakah sebenarnya kehendakmu?”

Kini Tauw-cai-hauw benar-benar tercengang. Belum pernah dia bertemu dengan seorang anak kecil seaneh ini. Kata-kata itu tidak patut keluar dari mulut seorang anak-anak, pantasnya diucapkan oleh seorang dewasa yang sudah banyak pengalaman hidup!

“Anak, siapa namamu? Kau benar-benar cerdik, suka hatiku melihatmu.”

“Aku Lu Kwan Cu, dan siapakah kau, Lopek? Dan apa sebabnya kau datang-datang berlaku manis kepadaku? Aku tidak mempunyai sesuatu sebagai penukar dua mangkok masakan yang mahal ini.”

Tauw-cai-houw tertawa bergelak, sehingga beberapa orang yang lewat didekat tempat itu berhenti lalu memandang. Akan tetapi begitu Tauw-cai-houw itu memelototkan matanya, orang-orang itu merasa takut dan buru-buru pergi lagi.

“Anak bodoh, mengapa ribut-ribut tentang penukaran? Aku pun mengambil masakan-masakan itu tanpa bayar!”

“Apa? Kau merampas dengan kekerasan?” tanya Kwan Cu dengan mata terbelalak.

“Tidak bisa disebut perampasan karena pemiliknya tidak tahu makanannya kuambil.”

“Kalau begitu kau mencuri!” dengan kata-kata ini, Kwan Cu lalu mendorong dua mangkok masakan itu sehingga terguling dan semua masakan yang masih mengebul panas itu tumpah di atas tanah yang kotor. “Aku tidak sudi makan barang curian dan kau pencuri tua ini lekas pergi jangan mengganggu aku lagi!”

Dari perasaan heran, kakek itu kini menjadi marah. “Tolol, disuruh makan biar gemuk dan sehat, kau banyak membantah. Kaukira dapat membantah di depan Tauw-cai-houw?” Setelah berkata demikian, tangannya menyambar dan tahu-tahu Kwan Cu telah ditangkap lehernya seperti harimau menangkap kelinci. Lalu orang tinggi besar yang mengerikan ini melangkah lebar, membawa Kwan Cu yang tak dapat berkutik lagi.

Orang-orang yang melihat ini, menjadi ribut. Ketika mereka mengejar dan melihat betapa kakek bermuka harimau itu berlari cepat sekali, mereka berteriak-teriak,

“Ah, tentu dia penculik anak-anak itu! Kejar!”

“Tangkap penculik anak-anak!”

“Bunuh dia!”

Teriakan-teriakan susul-menyusul dan para pengejar makin banyak, akan tetapi kakek itu benar-benar lihai karena dalam sekejap mata saja dia sudah hilang dari pandangan mata orang banyak, tidak tahu kemana menghilangnya.

Sebentar saja, gegerlah seluruh kota Lung-to dan semua orang membicarakan tentang penculik itu. Banyak orang memberi bumbu sehingga tak lama kemudian, orang menggambarkan penculik itu sebagai seorang siluman yang bermuka singa dan yang mengerikan sekali! Para penjaga keamanan kota menjadi sibuk karena mereka berusaha untuk mencari dan menangkap penculik yang telah beberapa hari mengacau kota itu. Akan tetapi tetap saja tidak ada seorang pun tahu kemana perginya si penculik.

Pada saat orang-orang sedang kebingungan dan geger, muncullah seorang wanita yang amat cantik dan juga bersikap gagah sekali. Wanita ini masih muda, usianya takkan lebih dari dua puluh lima tahun, pakaiannya sederhana berwarna putih, akan tetapi kesederhanaan pakaiannya ini yang menambah kecantikan wajah dan potongan tubuhnya yang langsing dan padat itu makin nampak nyata. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang yang gagangnya beronce benang-benang sutera merah. Rambutnya yang panjang terurai ke belakang itu diikat dengan pengikat rambut dari sutera merah pula. Pinggiran bajunya yang putih bersih itu berwarna biru, menambah kepantasan. Siapakah wanita ini? Melihat dari sikapnya, tak dapat diragukan lagi bahwa dia tentulah seorang wanita perkasa yang pandai ilmu silat. Dugaan ini tidak salah karena sesungguhnya dia dalah pendekar wanita yang terkenal dengan sebutan Pek-cilan (Bunga Cilan Putih). Sebetulnya nama sebutan ini lebih berdasarkan kecantikannya dan baju putihnya daripada kegagahannya. Namanya Thio Loan Eng, dan semenjak dewasa memang telah banyak merantau dan melakukan perbuatan-perbuatan besar, sehingga dapat mengangkat tinggi nama sendiri. Ilmu pedangnya amat terkenal di kalangan kang-ouw, karena Loan Eng adalah putreri dari Thio Keng In, tokoh terkenal dari barat yang memiliki ilmu pedang turunan dari keluarga Thio. Menurut kepercayaan orang, ilmu pedang keluarga Thio ini masih warisan dari ilmu pedang Thio Hui, tokoh besar dari jaman Sam Kok!

Ketika itu Loan Eng sedang berada di Lung-to. Ia mendengar suara ribut-ribut ini dan keluar dari kamar di hotelnya. Dengan cepat ia mendengar tentang penculikan seorang anak kecil oleh seorang saikong yang bermuka harimau, maka cepat pendekar wanita ini lalu mengadakan penyelidikan.

Sambil tertawa-tawa, Tauw-cai-houw membawa Kwan Cu ke dalam sebuah hutan yang amat liar di sebelah selatan kota Lung-to, terpisah kurang lebih lima belas li. Di tengah hutan ini memang menjadi tempat sembunyinya selama dia melakukan penculikan-penculikan terhadap anak-anak kecil di kota Lung-to. Setelah tiba di tempat tinggalnya, yakni sebuah lapangan yang dikelilingi oleh pohon-pohon besar, dia melemparkan Kwan Cu ke atas tanah. Anak ini terguling, akan tetapi cepat melompat berdiri lagi dengan mata terbelalak. Kini dia benar-benar merasa seram ketika melihat betapa di atas tanah menggeletak tulang-tulang manusia dan tengkorak-tengkorak berserakan. Melihat ukuran tulang-tulang dan tengkorak-tengkorak itu, dapat di duga bahwa itu adalah tengkorak dan tulang anak-anak kecil seperti dia!

Tauw-cai-houw mengambil sebuah kantong yang tadinya dia gantungkan di cabang pohon. Ia membuka kantong itu dan mengeluarkan sebutir buah yang kulitnya bersisik seperti kulit ular.

“Kaumakanlah ini!” katanya kepada Kwan Cu sambil mengangsurkan buah itu. Akan tetapi Kwan Cu tidak mau menerimanya, hanya menggelengkan kepala. Sinar mata anak ini sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut terhadap saikong yang setengah gila itu.

“Hayo makan!” kembali Tauw-cai-houw membentak, akan tetapi dengan bandel sekali Kwan Cu menggeleng kepala.

Tauw-cai-houw menjadi marah. Dipegangnya leher Kwan Cu dan sekali tekan saja mulut anak itu terbuka. Buah ular itu diremas dalam tangan kanan dan dijejalkan ke dalam mulut Kwan Cu! Rasanya asam dan pahit, akan tetapi karena dijejalkan terus, terpaksa Kwan Cu menelannya! Sungguh aneh, biarpun rasanya asam dan pahit, setelah memasuki perutnya, terasa perutnya hangat dan enak sekali! Ia tidak tahu bahwa buah ular itu adalah semacam buah yang langka dan merupakan obat yang amat mujijat khasiatnya terhadap aliran darah. Selain pembersih darah, juga dapat menguatkan tubuhnya. Ternyata Tauw-cai-houw memaksa anak itu makan buah obat ini agar tubuh anak ini menjadi kuat dan dagingnya, darah, serta sumsumnya akan merupakan hidangan yang amat baik untuknya!

Setelah Kwan Cu menelan obat itu, Tauw-cai-houw tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, selama bertahun-tahun ini belum pernah aku mendapatkan seorang anak seperti engkau! Sekali ini aku pasti akan berhasil. Kau adalah seorang anak sin-tong (anak ajaib), jantung dan otakmu pasti akan menghasilkan semua usahaku selama ini. Ah, kau mengingatkan betapa semua anak-anak ini hanyalah sebangsa boan-tong (anak nakal) belaka. Hm, sungguh menyebalkan!”

Kwan Cu tidak mengerti maksud kata-kata ini, hanya sepasang matanya yang lebar dan bersinar-sinar itu memandang tajam.

“Mengapa matamu mendelik terus kepadaku?” Tauw-cai-houw membentak marah. “Tenanglah, matamu yang tajam itu takkan memasuki perutku, hanya akan membikin muak saja!”

Setelah berkata demikian, saikong ini lalu menyalakan api unggun yang besar, dan memasang tempat pemanggang dari kayu seperti yang bisa dipergunakan untuk memanggang binatang buruan. Kwan Cu masih juga tidak mengerti, hanya memandang segala tingkah laku orang tua yang aneh itu. Diam-diam dia membuat perbandingan, mana yang lebih aneh, kakek ini ataukan dua orang kakek yang saling hantam di tepi laut itu.

“Di dunia ini benar-benar banyak sekali orang-orang aneh. Dia ini tentu juga miring otaknya!” katanya dan karena kata-kata ini tanpa disengaja diucapkan keras-keras, maka didengar oleh Tauw-cai-houw.

“Apa katamu? Kau berani memaki aku gila?”

“Kalau kau tidak gila, mengapa kau menangkapku dan membawaku kesini? Kemudian kau memaksaku makan buah yang pahit dan tidak enak, perbuatan ini kalau tidak dilakukan oleh seorang gila, habis oleh siapa lagi!” Kwan Cu membantah berani.

“Benar, benar! Kau sin-tong (anak ajaib), kalau tidak demikian tak nanti kau berani mengeluarkan ucapan-ucapan seperti itu! Ha, ha, ha, hendak kudengar apa yang akan kaukatakan setelah kau kupanggang di atas api itu!” ia menuding ke arah api unggun yang sudah menyala besar.

“Celaka, memang kau benar-benar gila!” Kwan Cu mnearik napas panjang.

Sambil tertawa dengan suaranya yang serak, Tauw-cai-houw menubruk dan dalam sekejap mata saja kedua tangan Kwan Cu sudah ditelikung ke belakang dan diikat dengan tambang kulit pohon. Ia seperti seekor babi kecil yang sudah diikat keempat kakinya dan hendak dipanggang hidup-hidup. Kemudian, lebihan tambang pengikat tangan Kwan Cu, yang masih panjang, diikatkan di atas cabang pohon oleh kakek itu, tepat di atas api yang bernyala-nyala!

Kalau lain orang anak yang dipanggang seperti itu, tentu akan menjerit-jerit, akan tetapi Kwan Cu lain lagi wataknya. Anak ini benar-benar berhati baja dan biarpun dia sudah mulai merasa hawa panas dari bawah menyambarnya, dia tetap menggigit bibir tidak mau menangis atau berteriak.

“Benar-benar sin-tong! Sin-tong!” melihat hal ini Tauw-cai-houw menjadi makin girang. Akan tetapi tiba-tiba dia menjadi pucat dan memaki-maki api di bawah tubuh Kwan Cu yang mengeluarkan suara “ces, ces!” lalu padam! Apa yang terjadi? Tadi sehabis dijejali buah ular yang asam dan pahit, Kwan Cu ingin sekali membuang air kecil, akan tetapi karena dia tidak sempat dan telah diikat tangannya, tentu saja dia tidak dapat membuang air kecil. Kini setelah digantung di atas, rasa panas membuat dia tidak dapat menahan lagi, dan kencinglah dia begitu saja. Sungguh kebetulan sekali, air kencing yang banyak itu menimpa api unggun dan memadamkan api itu karena kayu bakarnya menjadi basah semua!

Kwan Cu berotak cerdik. Kini dia dapat menduga bahwa kakek gila di bawah ini adalah seorang pemakan daging anak-anak! Diam-diam dia bergidik juga, akan tetapi takut dia tidak! Agaknya anak ini memang telah lenyap perasaan takutnya setelah terlepas dari bahaya maut di tengah samudera.

“Lopek, apakah kau tidak mendengar suara tengkorak-tengkorak itu bicara?” tanya Kwan Cu kepada Tauw-cai-houw yang sedang mengumpulkan lagi kayu bakar yang kering sambil mengomel panjang pendek.

Mendengar ini, Tauw-cai-houw menjadi terkejut sekali.

“Bohong, bocah nakal! Mana ada tengkorak bicara? Tutup mulutmu, kau sudah kenyang, akan tetapi aku sudah lapar sekali!”

“Siapa membohong? Aku mendengar dengan jelas tengkorak-tengkorak di bawah itu berkata-kata.”

Kini Tauw-cai-houw menghentikan pekerjaannya dan dia memandang ke atas di mana Kwan Cu tergantung dengan muka di bawah.

Kwan Cu mengeluarkan suara mengejek. “Mana bisa kau mendengarnya? Aku adalah seorang anak sin-tong (anak ajaib), ingatkah kau?”

Wajah Saikong itu berubah, agak pucat. “Apa kata mereka?” tanyanya, suaranya tidak begitu keras seperti tadi.

“Turunkanlah dulu aku dari sini, nanti kuceritakan apa yang kudengar tentang mereka, “ kata Kwan Cu.

Tauw-cai-houw memang otaknya tidak begitu beres, maka mendengar ini, dia lalu menurumkan Kwan Cu.

“Lepaskan dulu ikatan tanganku, ikatanmu kuat sekali sehingga kau membikin tanganku sakit,” kata pula anak ini, suaranya tetap tenang seperti tidak terjadi sesuatu yang hebat dan yang mengancam nyawanya.

Mendengar ini Tauw-cai-houw ragu-ragu, akan tetapi dia lalu menggerutu, “Dibuka juga, apa kaukira bisa pergi lari?” ia lalu membuka ikatan kedua tangan Kwan Cu. Anak ini menggosok-gosok pergelangan kedua tangannya yang terasa sakit dan kelihatan kulitnya matang biru.

“Hayo lekas ceritakan, apa yang kau dengar dari tengkorak-tengkorak itu?”

Kwan Cu melirik ke kanan kiri dan diam-diam dia merasa seram melihat rangka manusia ini. Selama hidupnya belum pernah menyaksikan pemandangan seperti ini, maka diam-diam dia merasa betapa kepalanya yang gundul itu menjadi dingin sekali. Tanpa di sengaja dia meraba kepalanya. Dan setelah meraba, dia mengeluarkan seruan tertahan. Ternyata bahwa kepalanya kini menjadi pelontos dan licin sekali, semua rambut yang tadinya masih ada sedikit-sedikit telah lenyap sama sekali, menjadi licin!

Melihat air muka anak itu terkejut dan terheran-heran, Tauw-cai-houw tertawa bergelak. “Rambutmu, baik yang di kepala maupun yang di tubuh, telah rontok semua oleh daya coa-ko (buah ular) tadi. Apa kaukira aku doyan makan daging berbulu dan berambut?”

Kwan Cu mendongkol sekali. Jadi buah yang pahit tadi gunanya untuk membikin rambut dan bulu-bulunya rontok sehingga dia seperti seekor ayam yang dicabut bulu-bulunya sebelum dimasak? Terlalu sekali!

“Nah, hayo ceritakan, tengkorak-tengkorak itu berkata apa?” Tauw-cai-houw berkata tidak sabar lagi.

“Mereka saling bercaka-cakap membicarakan kau,” Kwan Cu mulai memberi keterangan. “Katanya bahwa hari ini adalah hari kematianmu, karena sebagai seorang anak sin-tong, dagingku panas dan sumsumku beracun, hingga begitu kau makan aku, kau akan mampus!”

Kini Tauw-cai-houw benar-benar menjadi pucat dan tanpa terasa lagi dia melangkah mundur sampai tiga tindak. Ia memandang kepada Kwan Cu dengan mata terbelalak, dan diam saja ketika melihat anak itu berjalan pergi sambil berkata, “Karena itu demi keselamatanmu sendiri, jangan kau makan aku!”

Kwan Cu berjalan pergi dan dia tidak berani menengok lagi. Hatinya berdebar karena dia tidak mendengar orang itu mengejar. Benar-benar dia dapat mengakalinya demikian mudah? Akan tetapi, tiba-tiba dia mendengar angin menyambar dan tahu-tahu dia telah ditangkap lagi! Seperti tadi, kedua tangannya telah diikat kembali dan Tauw-cai-houw berkata dengan suara mengancam,

“Sin-tong, betapapun juga, tetap saja kau akan kupanggang! Kau kira aku akan begitu bodoh? Aku akan mengambil sekerat dagingmu dan sedikit sumsummu, kuberikan kepada harimau lebih dulu! Kalau harimau yang makan dagingmu dan sumsummu tidak mati, mengapa aku akan takut makan kau?” Sambil tertawa terbahak-bahak Tauw-cai-houw membawa kembali Kwan Cu ke tempat tadi dan kali ini benar-benar Kwan Cu putus harapan. Akan tetapi, anak ini tetap tidak mau menangis atau menjerit minta tolong. Ia menghadapi dengan mata terbuka, bahkan matanya makin besar cahayanya.

Tiba-tiba berkelebat bayangan putih, dibarengi bentakan nyaring.

“Siluman jahat, lepaskan anak itu!” Bentakan ini dibarengi menyambarnya pedang yang bercahaya ke arah dada saikong itu. Tauw-cai-houw terkejut sekali karena gerakan serangan pedang ini bukan main cepatnya. Ia terpaksa melepaskan tubuh Kwan Cu yang jatuh membelakang. Kwan Cu merasa jidatnya sakit terbentur batu, akan tetapi anak ini tidak mengeluh dan cepat-cepat miringkan kepala untuk melihat apa yang terjadi.

Ternyata olehnya bahwa yang menyerang penculik itu adalah seorang wanita baju putih yang cantik sekali. Ketika penyerang yang bukan lain adalah Thio Loan Eng ini menemukan jejak penculik yang membawa lari anak kecil, ia lalu menyusul terus sampai ke dalam hutan dan kebetulan sekali ia melihat Tauw-cai-houw hendak memegang seorang anak kecil. Ia terkejut sekali ketika mengenal saikong ini, juga berbareng marah sekali, maka langsung ia lalu menyerangnya dengan tusukan Sin-liong-jut-tong (Naga Sakti Keluar Gua).

Tauw-cai-houw adalah seorang yang tinggi ilmu silatnya, maka biarpun diserang dengan tiba-tiba secara hebat ini, masih dapat dia melepaskan Kwan Cu. Kemudian sekali saja tangannya bergerak, dia telah mencabut sebatang golok yang amat besar dan tajam.

“Bangsat kecil, siapa kau berani sekali menyerangku?” bentak Tauw-cai-houw sambil memalangkan goloknya di depan dada dengan sikap mengancam.

Loan Eng berdiri tegak dengan menudingkan pedangnya kepada Tauw-cai-houw. “Siluman keji! Sudah lama nonamu mendengar tentang kejahatanmu dan kebetulan sekali kita bertemu di sini. Inilah tandanya bahwa Tauw-cai-houw akan segera tamat riwayatnya. Orang jahat, kau telah kehilangan anakmu sendiri, mengapa kau sekarang berlaku kejam kepada anak-anak orang lain? Apakah kau sudah tidak mempunya perasaan lagi sehingga kau membuat anak-anak menjadi seperti ini?” Dengan tangan kirinya Loan Eng menunjuk kearah tengkorak-tengkorak yang menggeletak di kanan kiri Kwan Cu.

Semenjak tadi Tauw-cai-houw berdiri bengong dan takjub. Belum pernah dia melihat seorang wanita yang dalam pandangan matanya demikian cantik jelitanya, yang mengingatkan dia kepada istrinya dahulu! Kemudian mendengarkan ucapan Loan Eng dia seperti tersadar dan untuk beberapa lama dia tak dapat berkata-kata!

“Tauw-cai-houw, bersedialah untuk mampus!” Loan Eng membentak ketika melihat orang itu hanya berdiri memandangnya dengan mata terbelalak kagum. Dengan seruan ini, wanita perkasa itu kembali menyerang dengan pedangnya dan kali ini ia menggerakkan pedangnya secara lihai sekali. Inilah ilmu pedang keturunan dari keluarganya dan biarpun Tauw-cai-houw amat lihai, namun dia segera menjadi repot sekali menghadapi serangan pedang ini.

“Nona, tahan, Nona…..aku tak dapat melawanmu….” Loan Eng membelalakkan matanya yang bagus. Ia merasa heran sekali mendengar suara lawannya dan ketika ia memandang, ternyata bahwa saikong yang bertubuh besar dan bermuka seperti harimau itu telah menangis tersedu-sedu!

“Nona, jangan serang aku…..kalau kau kehendaki aku akan melepaskan anak ini, aku akan melakukan apa saja yang kau kehendaki, akan tetapi….jangan kau tinggalkan aku selamanya…..”

Loan Eng sudah mendengar tentang Tauw-cai-houw, dan sudah mendengar pula tentang riwayat orang aneh ini, juga tahu bahwa orang ini otaknya miring. Akan tetapi mendengar kata-kata permintaan itu, mau tidak mau ia merasa jengah dan merahlah mukanya.

“Keparat!” serunya marah dan kembali pedangnya membacok dengan gerak tipu Batu Karang Menimpa Jurang. Bacokan ini hebat sekali dan demikian cepatnya sehingga tak mungkin dielakkan pula. Terpaksa Tauw-cai-houw menangkis dengan goloknya.

“Traaang….!” Bunga-bunga api berpijar dan Loan Eng merasa tangannya tergetar hebat.

“Nona, jangan serang aku ……jangan tinggalkan aku…” berkali-kali Tauw-cai-houw berkata dengan suara dengan penuh permohonan. Akan tetapi Loan Eng menjadi makin penasaran dan marah. Ia menyerang terus bertubi-tubi dan lawannya hanya menangkis atau mengelak cepat, sama sekali tidak mau membalas, hanya minta-minta dengan suara pilu. Sesungguhnya , Loan Eng sendiri merasa bahwa kepandaian saikong ini masih lebih lihai dari padanya. Kalau Tauw-cai-houw membalas, tentu akan terdesak wanita perkasa ini. Akan tetapi, saikong itu tidak mau membalas sedikitpun juga dan betapapun lihainya, ilmu pedang yang dimainkan oleh Loan Eng adalah ilmu pedang yang baik sekali dan juga kepandaian Loan Eng sudah mencapai tingkat yang cukup tinggi. Maka bagaimana dia dapat mempertahankan diri terus tanpa membalas?

Setelah melakukan perlawanan selama lima puluh jurus lebih, akhirnya sebuah bacokan pedang Loan Eng menyerempet lengan kanannya sehingga segumpal daging dekat sikunya terbabat pedang dan goloknya lepas dari pegangan.

“Aduh, nona ….jangan lukai aku….” Saikong itu berseru akan tetapi Loan Eng mendesak terus.

“Cep! Cep!” dua kali ujung pedangnya berhasil menusuk pundak dan paha lawannya.

Tauw-cai-houw mengaduh-aduh dan terhuyung-huyung mundur. “Nona…..Nona…jangan lukai aku….” Ia masih berseru dan mengangkat kedua tangannya ke atas sambil memandang kepada Loan Eng dengan sinar mata mengasih. Loan Eng diam-diam merasa kasihan juga kepada orang ini, akan tetapi mengingat kejahatan-kejahatannya yang sudah melampaui batas prikemanusiaan, Loan Eng menggigit bibirnya yang merah lalu melompat maju dengan sebuah tusukan hebat sekali.

“Aduh, istriku…..mengapa kau berhati sekejam itu?” Tauw-cai-houw menjerit dan setelah memanggil-manggil istrinya, tubuhnya berkelojotan dan tak lama kemudian dia menghembuskan nafas terakhir. Dadanya telah tertembus oleh pedang Loan Eng yang cepat membersihkan pedangnya dan sekali tebas saja ia telah memutuskan tali yang mengikat kedua tangan Kwan Cu.

Loan Eng mengira bahwa anak ini akan berlutut menghaturkan terima kasih kepadanya, akan tetapi dia kecelik besar. Kwan Cu bahkan berdiri tegak didepannya dengan sinar mata bernyala-nyala dia mencela, “Kau kejam sekali!”

Loan Eng benar-benar tertegun .

“Apa? Aku kejam? Kalau aku kejam, habis bagaimana kau menganggap dia itu?” Dengan pedangnya ia menunjuk kearah mayat Tauw-cai-houw.

“Dia? Dia jahat .” Jawab Kwan Cu tanpa ragu-ragu lagi.

“Hem, anak bodoh. Kalau aku tidak berlaku seperti yang kau sebut kejam tadi, apa kau kira sekarang kau masih dapat bernafas lagi? Mungkin kau sudah masuk kedalam perutnya yang gendut itu.”

“Akan tetapi tidak perlu dibunuh.” Bantah Kwan Cu dan mendengar kata-kata ini, diam-diam Loan Eng terheran. Ia tadi sudah merasa heran mengapa anak ini tidak merasa mengeluh atau menangis, tadinya ia mengira bahwa anak ini tentu ditotok jalan darah bagian Ahhiat sehingga membuatnya menjadi gagu, akan tetapi ternyata anak ini tidak apa-apa. Mengapa ada anak demikian bandel dan kuat? Jidat anak itu masih berdarah bekas terbentur ketika jatuh tadi, akan tetapi sedikitpun tidak pernah mengeluh. Dan sekarang, kata-kata itu lagi. Sungguh-sungguh tak pantas keluar dari mulut seorang anak kecil!

Ia merasa tidak seharusnya berbantah dengan seorang anak berusia liam tahun, akan tetapi anak ini lain lagi. Kata-katanya membuatnya merasa penasaran. Ia telah menolong nyawa anak ini dan apa balasannya? Celaan! Sungguh membuat penasaran dan gemas.

“Bocah ingusan! Kau tahu apa? Kau lihat rangka-rangka itu? Kalau si jahat itu tidak kubunuh, kau pun akan menjadi rangka, dan bukan kau saja, masih banyak anak-anak kecil akan ditangkapnya, dibunuhnya secara keji. Aku telah membunuh seorang jahat dan melenyapkan bencana demi keselamatan banyak orang anak-anak seperti engkau. Dan engkau menganggap aku kejam?”

Setelah mendengar pembelaan ini, baru agaknya Kwan Cu mau mengerti, dia mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul dan berkata, “Toanio, kau benar aku yang salah. Terima kasih banyak atas pertolonganmu tadi.”

Loan Eng mau tidak mau harus tersenyum biarpun hatinya mendongkol sekali. Alangkah mahalnya ucapan “terima kasih” dari anak jembel ini. Akan tetapi diam-diam ia tertarik . Anak ini bukan anak biasa, dan cara anak ini mengaku kesalahan sendiri, benar-benar mengherankan dan mengagumkan hatinya.

“Anak, siapakah namamu?”

“Namaku Lu Kwan Cu.”

“Sebatangkara?” Kwan Cu menganguk sunyi.

“Tidak ada tempat tinggal?” Kwan Cu menggeleng, juga tanpa berkata sesuatu.

Loan Eng menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang. Alangkah banyaknya anak-anak terlantar seperti Kwan Cu ini. Banyak sudah ia bertemu dengan anak-anak seperti ini, sebatang kara, berkeliaran menjadi pengemis, tidak jarang mati kelaparan. Akan tetapi, belum pernah ia bertemu dengan jembel kecil seperti Kwan Cu ini. Juga wajah anak ini berbeda sekali dengan lain-lain jembel.

“Kwan Cu, maukah kau ikut dengan aku?”

“Ke mana?”

“Kemana saja aku membawamu pergi.”

“Mengapa? Untuk apa?”

“Anak bodoh, apa kau lebih suka berkeliaran seorang diri di dunia yang penuh kejahatan ini? Baru saja kau mengalami peristiwa yang mengancam nyawamu, apakah kau tidak ingin ikut dengan aku, menjadi muridku?”

“Menjadi muridmu, Toanio? Belajar apa?”

“Benar-benar pepat pikiranmu. Tentu saja belajar ilmu silat!”

“Untuk apa belar silat?”

“Bodoh! Kalau kau memiliki kepandaian silat, apakah segala macam orang jahat seperti Tauw-cai-houw itu dapat mengganggumu?”

“Tidak, Toanio,” Anak itu menggeleng kepalanya yang gundul. “Aku tidak suka belajar silat.”

“He? Kenapa?” Wanita cantik itu bertanya heran.

“Aku tidak mau belajar menjadi orang kejam.” Kwan Cu teringat akan dua orang aneh di pantai laut. “Ilmu silat hanya dapat dipergunakan untuk memukul orang, bahkan untuk membunuh orang. Aku tidak suka pukul orang, juga tidak suka bunuh orang!” Mendengar filsafat kanak-kanak ini, hati nyonya itu tertegun. Benar-benar anak ini luar biasa sekali, Loan Eng bermata tajam dan sebagai seorang ahli silat tinggi, ia dapat pula melihat bahwa anak ini bertulang baik sekali untuk belajar silat.

“Kalau aku mendapat kesempatan belajar, aku ingin belajar, membaca dan menulis, bukan belajar menggerakkan senjata tajam yang mengerikan,” jawab Kwan Cu dengan suara tetap.

“Hm, kaukira aku hanya dapat menggerakkan pedang saja? Akupun pernah mempelajari ilmu surat.”

Kwan Cu sangat girang sekali. “Kalau begitu aku mau menjadi muridmu, Toanio!” Setelah berkata demikian, serta merta anak ini lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Loan Eng yang kembali melengak, kemudian ia tertawa. Ketika Kwan Cu memandang, anak ini heran juga. Setelah tertawa nyonya ini tampak cantuk sekali bagaikan matahari yang bersinar terang, sedangkan tadinya ada bayangan kemuraman pada wajah manis itu, seakan-akan matahari yang tertutup mendung.

“Toanio, bolehkah teecu (murid) mengetahui namamu yang mulia?”

“Aku disebut orang Pek-cilan, namaku Thio Loan Eng.”

Kwan Cu mencatat nama ini di dalam otaknya, kemudian setelah Loan Eng mengajaknya pergi, dia mengikuti wanita perkasa ini tanpa banyak cakap lagi. Loan Eng merasa kasihan pada Kwan Cu, maka ia ingin menolong anak ini.

“Kau ikut aku ke rumahku didusun Tun-hang, di sana kau boleh belajar membaca dan menulis, akan tetapi kau harus membantu pekerjaan di rumah,” katanya.

Kwan Cu mengangguk-angguk. “Tentu saja, Toanio. Aku pun tidak suka menganggur saja.”

Diam-diam Loan Eng berpikir. Anak ini bukanlah anak sembarangan, pikirnya. Sudah terang anak ini punya keberanian luar biasa, juga keuletan menderita yang amat mengagumkan. Selain itu, pandangan dan pikirannya mendalam dan luas, kini ucapan ini membayangkan bahwa ia mempunyai kengkuhan pula.

“Dimana orang tuamu? Siapakah mereka?” tanyanya sambil berjalan perlahan karena kalau ia menggunakan ilmu berjalan cepat, tentu anak ini kan tertinggal jauh.

“Aku tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa namaku Lu Kwan cu, yang lain-lain aku tidak tahu sama sekali,”

Loan Eng makin merasa heran. Sungguh kasihan, mungkin semenjak kecil sudah hidup merantau seorang diri, pikirnya.

“Toanio, mengapa orang gila tadi menyebut kau sebagai istrinya? Dan mengapa ada orang makan anak kecil?” Kwan Cu bertanya.

Loan Eng lalu menceritakan keadaan Tauw-cai-houw. Ia telah mendengar riwayat orang itu dari mendiang ayahnya.

“Dia mempunyai riwayat yang amat menyedihkan. Isterinya yang masih muda dan cantik telah lari dengan laki-laki lain, meninggalkan seorang anak kecil. Kemudian dia merantau seperti orang gila mencari-cari isterinya, menggendong anaknya yang masih kecil itu. Ketika dia tiba di dalam sebuah hutan dan menurunkan anaknya dari gendongan, anaknya itu diterkam harimau! Ketika itu dia sedang mencari buah-buahan untuk anaknya, dan ketika dia datang menolong ternyata sudah terlambat. Anaknya telah menjadi mangsa harimau yang kelaparan. Ia mengamuk dan seperti orang gila dia membunuh seluruh harimau yang berada di dalam hutan itu. Pukulan batin ini terlampau berat baginya sehingga selain benci kepada harimau, juga timbul iri hatinya setiap kali dia melihat anak kecil. Akhirnya, kegilaannya memuncak dan dia membunuh serta makan daging setiap anak kecil yang diculiknya. Kau masih beruntung hanya menderita luka di jidatmu setelah tertangkap olehnya, sedikit saja aku terlambat kaupun akan akan menjadi mangsanya. Entah bagaimana, dia telah berubah seperti seekor harimau dan menganggap diri sendiri sebagai harimau yang suka makan anak kecil. Oleh karena itu maka di kalangan kang-ouw dia dikenal sebagai Tauw-cai-houw atau Harimau Menagih Hutang, yaitu hutang nyawa anaknya!”

“Aduh kasihan sekali. Kalau begitu memang lebih baik dia mati,” kata Kwan Cu.

Akan tetapi, pada saat itu Loan Eng memandang kepadanya. Pendekar wanita ini teringat akan luka dijidat Kwan Cu dan kini ketika ia melirik ke arah jidat anak itu, ia menjadi heran sekali. Jidat yang tadinya matang biru dan agak terluka di tengah-tengah benjol itu, kini lukanya telah lenyap sama sekali.

“Coba aku melihat luka di jidatmu!” katanya dan cepat ia memegang kepala anak itu. Benar-benar mengherankan sekali karena luka itu sekarang sama sekali tidak berbekas lagi. Kulit itu halus saja dan sama sekali tidak ada tanda-tanda bekas terluka. Sungguh tak mungkin sekali! Menurut kebiasaan, luka dan benjol seperti itu takkan lenyap dalam waktu satu dua hari, akan tetapi baru beberapa jam saja luka di jidat anak ini telah lenyap.

Melihat air muka nyonya perkasa itu terheran-heran, Kwan Cu bertanya,

“Ada apakah yang aneh pada jidatku, Toanio?”

“Kau tadi diberi makan apakah oleh Tauw-ci-houw?” tanya Loan Eng tanpa mempedulikan pertanyaan Kwan Cu.

“Sebelum dia memanggangku, dia menjejalkan sebutir buah yang pahit dan masam ke dalam mulutku sehingga terpaksa aku menelannya.”

“Buah yang kulitnya bersisik seperti ular?”

Ketika Kwan Cu mengangguk membenarkan, Loan Eng menjadi terkejut dan girang sekali sehingga dia memegang kedua pundak Kwan Cu dengan keras. Anak itu menyeringai kesakitan sehingga Loan Eng cepat melepaskan pegangannya.

“Apanya yang hebat, Toanio? Buah itu tidak enak sekali.”

“Kau tahu apa? Buah itu khasiatnya hebat sekali. Ratusan orang kang-ouw berani mempertaruhkan nyawanya untuk mendapatkan buah yang hanya terdapat di puncak Hoa-san dan yang pohonnya hanya berbuah setiap lima puluh tahun sekali! Kau mau tahu kehebatannya?” Loan Eng mencabut pedangnya dan secepat kilat ia menggoreskan ujung pedangnya pada lengan kiri Kwan Cu. Anak itu terkejut, akan tetapi biarpun merasa sakit dan perih, dia tidak mengeluh, hanya memandang kepada Loan Eng dengan keheranan. Kulit lengannya terbuka dan darah mengalir keluar. Akan tetapi hanya sebentar saja karena darah itu menutup kulit dan cepat mengering. Sebentar saja lenyaplah rasa sakit dan ketika Loan Eng menggosok-gosok darah kering itu, ternyata bahwa luka pada kulitnya telah tertutup kembali, hanya ada bekas guratan yang halus sekali, hampir tidak kelihatan!

“Kaulihat, hebat bukan? Kecuali terputus uratmu, kulit dan dagingmu menjadi kebal dan biarpun dapat terluka, kau akan segera sembuh kembali. Kalau kau sudah mempelajari lweekang, bahkan kau takkan dapat terluka oleh senjata tajam! Kau benar-benar beruntung sekali, Kwan Cu!”

Kwan Cu kurang mengerti, akan tetapi melihat khasiat buah itu, dia mengeluarkan lidahnya saking kagumnya.

“Semua ini berkat pertolonganmu, Toanio. Kalau kau tidak datang menolong, apa artinya buah itu bagiku?”

Besar juga hati Loan Eng. Betapapun juga, anak ini ternyata tahu akan terima kasih. “Baiknya Tauw-cai-houw telah gila. Kalau dia sendiri yang makan buah itu, apakah aku dapat menang dalam pertempuran melawan dia tadi?” Biarpun mulutnya bilang begitu, namun di dalam hatinya Loan Eng tahu bahwa kalau saja Tauw-ci-houw tidak tertarik oleh kecantikannya dan teringat akan isterinya, ia takkan dapat menang menghadapi orang gila itu yang kepandaiannya lebih tinggi tingkatnya.

“Kwan Cu, berjalan seperti ini, dalam sebulan belum tentu kita akan sampai di Tun-hang. Hayo kugendong kau!”

Kwan Cu memandang ragu. “Toanio pakaianku kotor.”

“Habis mengapa?” Wanita perkasa itu memandang sambil tersenyum.

“Pakaianmu begitu bersih, aku takut akan mengotorkan pakaianmu saja.”

“Anak bodoh!” seru nyonya itu dan sebelum Kwan Cu sempat menjawab, ia telah dipondong. Sebentar kemudian Kwan Cu merasa kepalanya pening karena nyonya itu berlari cepat sekali bagaikan seekor burung sedang terbang.

“Aduh cepatnya!” serunya girang setelah dia menjadi biasa dengan kelajuan ini

“Kau mau mempelajarinya?”

“Tentu saja, Toanio. Kepandaian ini amat besar gunanya. Aku suka mempelajarinya.”

Loan Eng tetap berlari cepat dan kembali nyonya perkasa ini tersenyum. Anak ini baik sekali, cocok untuk menjadi kawan anakku, pikirnya.

“Bukankah tadi kau bilang tidak suka belajar ilmu silat?”

“Eh apakah lari cepat termasuk ilmu silat, Toanio? Yang aku tidak suka adalah ilmu memukul dan membunuh orang. Ilmu berlari cepat seperti ini tidak dapat melukai orang. Aku suka mempelajarinya!”

Dengan berlari cepat sekali, dalam beberapa hari saja Loan Eng sudah tiba di dusun Tun-hang, sebuah dusun kecil di kaki gunung Fu-niu akan tetapi yang mempunyai daerah dan tanah subur sekali. Kehidupan penduduk di situ hanya bercocok tanam, akan tetapi biarpun hidupnya amat sederhana, namun mereka cukup makan dan sehat, boleh dibilang makmur.

Rumah keluarga Thio cukup terkenal, karena selain rumah ini paling besar diantara semua rumah di Tun-hang, juga siapakah yang tidak mengenal Bun-pangcu, mending suami Loan Eng? Dahulu Loan Eng tinggal di situ dengan ayahnya dan kemudian setelah ia menikah dan ayahnya sudah meninggal dunia, ia tinggal berdua dengan suaminya, seorang gagah perkasa bernama Bun Liok Si, ketua dari Sin-to-pang (Perkumpulan Golok Sakti) yang berpusat di kota Cin-an. Sin-to-pang terkenal sebagai perkumpulan orang gagah, dan seperti dapat diduga dari nama perkumpulannya, perkumpulan ini terkenal karena ilmu goloknya yang lihai. Tentu ilmu golok yang amat hebat. Setelah dia menikah dengan Thio Loan Eng, nama perkumpulan ini menjadi makin terkenal karena Loan Eng merupakan seorang tokoh yang diindahkan dari dunia kang-ouw.

Pernikahan itu amat berbahagia dan Loan Eng beserta suaminya dikaruniai seorang putri yang mungil dan yang diberi nama Bun Sui Ceng. Akan tetapi ketika Sui Ceng berusia tiga tahun, terjadi peristiwa yang hebat sekali. Untuk mengurus perkumpulannya yang menjadi pekerjaannya sehari-hari, Bun Liok Si sering kali pergi ke kota Cin-an. Akhir-akhir ini makin sering Liok Si pergi ke Cin-an dan makin lama saja dia berada di kota itu meninggalkan anak isterinya. Loan Eng tidak bercuriga, karena sebagai seorang isteri yang bijaksana, ia mencintai dan juga percaya penuh kepada suaminya.

Akan tetapi di antara pembantu-pembantu suaminya, terdapat seorang pemuda yang diam-diam menaruh hati cinta kepada Loan Eng yang cantik jelita. Pada suatu hari, pemuda ini menjumpai Loan Eng dan menceritakan bahwa kini Bun Liok Si mempunyai seorang kekasih di kota Cin-an, dan bahwa kekasihnya itu telah dijadikan isteri kedua. Oleh karena itulah maka Bun Liok Si jarang sekali pulang ke dusun dan betah sekali tinggal di Cin-an.

Thio Loan Eng adalah seorang wanita yang berhati keras sekali, seperti mendiang ayahnya. Ia mencinta dan percaya pada suaminya, akan tetapi kalau ia dipermainkan, ia menjadi seorang iblis wanita! Dengan marah sekali ia lalu membawa pedangnya dan menyusul ke Cin-an. Benar saja, ia mendapatkan suaminya berada dalam rumah seorang nona cantik yang menjadi penyanyi terkenal di kota itu. Meluaplah kemarahannya dan ia membunuh perempuan itu. Juga ia menyerang suaminya kalang kabut dengan pedangnya. Bun Liok Si merasa bersalah dan minta ampun, akan tetapi Loan Eng tidak mau memberi ampun dan meyerang terus. Kalau saja Bun Liok Si mau melawan dengan goloknya yang lihai, agaknya isterinya takkan menang. Akan tetapi pada waktu itu, Bun Liok Si yang sudah merasa bersalah itu berlaku mengalah dan tidak mau membalas. Ilmu pedang Loan Eng sepat dan ganas sekali, maka akhirnya pedang di tangan nyonya muda yang marah besar ini menembus dada suaminya sendiri! Di dalam saat terakhir Bun Liok Si masih memaafkan isterinya dan berpesan agar isterinya itu merawat Sui Ceng baik-baik!

Setelah melihat suaminya menggeletak tak bernyawa di depan kakinya, barulah Loan Eng merasa menyesal sekali. Kemudian ia mendengar bahwa memang sudah lama suaminya itu dibujuk-bujuk dan dirayu-rayu oleh nona penyanyi ini dan ketika ia menyelidiki, ternyata bahwa nona penyanyi ini bersekutu dengan pemuda yang melaporkan kepadanya tentang ketidaksetiaan suaminya! Loan Eng menjadi sadar dan pada hari itu juga ia mencari pemuda yang menjadi pembantu suaminya dan tanpa ampun lagi ia membunuh pemuda ini!

Perkumpulan Sin-to-pang menjadi gempar, akan tetapi tak seorang pun berani menentang Loan Eng atau Pek-cilan yang ilmu pedangnya hebat itu. Bun Liok Si amat dicinta oleh semua anggautanya, maka para anak buah Sin-to-pang menaruh dendam pada Loan Eng, sesungguhpun mereka tidak berani menyatakan secara berterang. Loan Eng juga tidak mau mempedulikan lagi kepada perkumpulan mendiang suaminya, dan ia hidup berdua dengan puterinya di rumah besar warisan orang tuanya sendiri di dusun Tun-hang.

Pada saat Loan Eng memondong Kwan Cu tiba dipinggir dusun Tun-hang, tiba-tiba ia menghentikan larinya ketika melihat tiga orang laki-laki yang kepalanya diikat saputangan putih berdiri di pinggir jalan dan memandangnya dengan tajam.

“Mengapa kalian memandang saja kepadaku?” tanya nyonya cantik ini dengan ketus.

Tiga orang itu berubah air mukanya dan mereka cepat memberi hormat sambil menjura.

“Tidak, Thio-toanio, kami tidak bermaksud apa-apa, hanya merasa heran melihat toanio menggendong seorang anak laki-laki yang tidak kami kenal,” kata seorang di antara mereka.

“Bukan urusanmu, jangan ambil pusing! Eh, siapakah sekarang yang menjadi pangcu (ketua) dari Sin-to-pang?” tiba-tiba ia bertanya.

“Belum ada, Toanio, kebetulan sekali Toanio bertanya tentang hal ini. Sesungguhnya kami bertiga untuk sementara ini mengurus perkumpulan, sementara menanti adanya seorang ketua. Karena kita sudah membicarakan perkumpulan, biarlah kami bertiga mengulangi lagi permohonan kami kepada Thio-toanio. Harap Toanio sudi mengingat akan usaha dan jerih payah Bun-pangcu dan suka memimpin perkumpulan kami yang…..”

“Cukup! Aku sampai bosan mendengarkannya. Berapa kali sudah kukatakan bahwa aku tidak peduli lagi dengan perkumpulan busuk itu? Perkumpulan yang hanya mengutamakan nafsu dan pelanggaran susila?”

“Toanio terlalu tidak adil!” Seorang diantara mereka berseru. “Hanya seorang yang melanggar, akan tetapi Toanio mengutuk kami semua. Apakah kematian Bun-pangcu masih belum cukup merupakan tebusan dosa? Apakah…..”

Belum habis orang itu bicara, tangan Loan Eng menyambar dan terdengar orang itu berseru kesakitan dan tubuhnya terlempar kebelakang sampai lima langkah. Ternyata bahwa tangan Loan Eng tadi telah memukul pundaknya dan sambungan tulang pundaknya terlepas!

Loan Eng memandang dengan mata penuh ancaman. “Biarlah sedikit hajaran ini membikin kalian kapok dan tidak akan mengganggu aku lagi!” Setelah berkata demikian, Loan Eng melompat pergi dan sebentar saja nyonya yang keras hati ini telah masuk ke dalam dusun, langsung menuju kerumahnya.

Kwan Cu senang tinggal di rumah keluarga Thio. Tidak saja Loan Eng amat suka dan bersikap baik sekali padanya, juga Bun Sui Ceng, putri dari Loan Eng ternyata adalah seorang anak yang manis dan lincah. Sui Ceng suka kepada Kwan Cu karena anak ini jauh lebih cerdik dari padanya, dan dalam banyak hal selalu Kwan Cu menjadi penasihatnya. Sui Ceng menganggap Kwan Cu sebagai kakaknya sendiri dan demikian Kwan Cu merasa mendapatkan seorang adik yang manis. Terhadap Loan Eng, Kwan Cu berlaku penuh hormat dan dia pun amat rajin membantu pekerjaan rumah sehingga nyonya janda ini amat suka padanya.

Akan tetapi, kalau semenjak kecil Sui Ceng amat gemar belajar ilmu silat, sebaliknya Kwan Cu tidak pernah mau belajar ilmu pukulan, dan lebih tekun mempelajari ilmu surat dan juga ilmu ginkang! Sebentar saja Kwan Cu telah memiliki ilmu meringankan tubuh mengagumkan Loan Eng. Benar sebagaimana dugaannya, Kwan Cu amat baik bakatnya, bahkan dalam usia enam tahun anak ini sudah tahu cara melatih diri dalam hal siulian atau samadhi! Di luar kesadaran anak itu sendiri, diam-diam Loan Eng melatih ginkang dan lweekang kepada Kwan Cu.

Dua tahun lewat tanpa terasa dan usia Kwan Cu suda tujuh tahun. Di dalam waktu dua tahun itu, dia telah dapat mempelajari ilmu surat dan kini dia telah lancar dan pandai membaca kitab-kitab tebal, bahkan dengan lancarnya dia dapat membaca kitab-kitab berat yang berisi ujar-ujar para nabi! Benar-benar dalam hal ini pun Loan Eng merasa terkejut dan terheran sekali atas kecerdasan otak anak yang pendiam itu.

Keluarga Thio adalah keluarga yang kaya, maka selain gedung yang besar itu, Loan Eng juga menerima warisan berupa barang-barang berharga. Akan tetapi nyonya janda ini hidup secara sederhana, hanya dibantu oleh dua orang pelayan yang sekalian bekerja sebagai pengasuh Sui Ceng. Semenjak suaminya meninggal, nyonya ini sering kali pergi merantau dan meninggalkan anaknya di dalam asuhan pelayan itu.

Pada suatu pagi Kwan Cu dan Sui Ceng bermain-main di depan rumah. Thio Loan Eng sedang pergi ke kota, membeli barang-barang keperluan yang tak dapat dibeli di dusun mereka, Sui Ceng sedang memamerkan kepandaian silatnya kepada Kwan Cu. Anak perempuan yang berusia lima tahun ini memang mempunya gerakan yang lincah dan gesit, maka Kwan Cu memandang dengan hati gembira. Dalam pandangannya, Sui Ceng bergerak-gerak seperti orang menari-nari hingga tak terasa pula dia bertepuk tangan memuji.

“Bagus, adik Ceng. Sayang gerakanmu kurang cepat.”

“Apa? Kurang cepat? Kwan Cu, kau tidak pernah belajar silat, bagaimana kau berani lancang mengatakan kurang cepat?” Sui Ceng bertanya penasaran.

“Memang aku tak pernah belajar karena aku tidak suka dengan ilmu pukul orang, akan tetapi kalau aku melihat ibumu mengajarmu, ternyata gerakan ibumu jauh lebih cepat dari padamu. Oleh karena itu maka aku bilang gerakanmu kurang cepat.”

Sui Ceng tidak jadi marah. Kalau demikian halnya kata-kata tadi bukan merupakan celaan. “Mana bisa aku dibandingkan dengan ibu? Tentu saja aku kalah cepat. Ibu adalah seorang yang paling cepat gerakannya di dunia ini.” Kwan Cu diam saja, akan tetapi diam-diam dia berpikir bahwa kalau dibandingkan dengan dua orang kakek yang dulu dilihatnya di dekat pantai, ibu anak ini jauh sekali.

Kedua anak ini tidak tahu bahwa semenjak tadi, tiga orang laki-laki berdiri agak jauh di luar rumah itu dan memandang ke arah mereka. Tiga orang itu muncul tak lama setelah Loan Eng pergi ke Cin-an dan mereka kini bicara kasak-kusuk, lalu dengan langkah lebar mereka memasuki pekarangan gedung itu.

Kwan Cu memandang dan dia melihat tiga orang yang telah dikenalnya dua tahun lalu. Mereka itu adalah orang-orang yang pernah membujuk kepada Loan Eng untuk menjadi pangcu dari Sin-to-pang dan kemudian ditolak oleh Loan Eng, bahkan seorang di antaranya telah dipukul jatuh. Diam-diam Kwan Cu berkhawatir dan tanpa terasa lagi dia lalu berjalan menghadang di depan Sui Ceng.

“Toanio tidak ada di rumah, harap Sam-wi datang lain kali saja,” kata Kwan Cu kepada mereka.

“Ha-ha-ha, kau bukankah budak pengemis dulu itu? Aku sudah tahu kalau Toanio tidak ada, tak usah kau banyak buka mulut!” Seorang di antara mereka membentak dan sekali lagi mengulur tangan, dia telah memegang tangan Kwan Cu dan mendorong anak itu roboh terguling.

“Kau manusia busuk!” Sui Ceng dengan marah sekali memaki. “Kau berani menjatuhkan Kwan Cu? Kupukul kepalamu!” Sambil berkata demikian Sui Ceng menyerang dengan kepalan tangannya yang kecil!

Akan tetapi, dengan mudah saja orang itu menangkap tangan dan sekali tarik, Sui Ceng telah berada dalam gendongannya dan kedua tangan anak itu dipegang dalam sebuah tangan tanpa dapat bergerak lagi.

“Lepaskan dia! Lepaskan adik Ceng!”

Kini Kwan Cu sudah melompat bangun, menerjang dalam usaha hendak merampas kembali Sui Ceng.

Akan tetapi, kembali sebuah dorongan membuat dia jatuh jungkir-balik. Sungguh heran tiga orang itu, karena begitu di dorong jatuh, begitu anak gundul itu melompat berdiri lagi dan mencoba untuk merampas Sui Ceng!

“Lepaskan adik Ceng!” serunya berulang-ulang dan dengan nekat dia mencoba untuk merebut anak itu, Sui Ceng juga berseru-seru,

“Kwan Cu, tolonglah aku…!”

Sebuah tendangan mengenai kaki Kwan Cu dan membuat anak itu terlempar jauh, lalu jatuh mengeluarkan suara berdebuk. Akan tetapi, seperti tidak merasakan sesuatu, anak gundul itu telah bangun kembail dan mengejar!

Orang tertua di antara ketiga orang itu, yang berjenggot kasar, memukul kepala Kwan Cu. Anak ini tidak pernah belajar silat, akan tetapi perasaannnya memperingatkan bahwa kalau sampai kepalanya sampai terpukul, mungkin dia akan binasa. Maka dia cepat miringkan kepalanya dan sebaliknya yang terkena pukulan adalah pundaknya.

“Buk!” Orang itu terkejut sekali karena seperti memukul bantal kapok saja, dan biarpun Kwan Cu kembali jatuh berguling-guling seperti bola ditendang, namun dia segera melompat kembali dan berteriak-teriak menuntut supaya Sui Ceng dilepaskan!

“Twako, kita tinggalkan anak setan itu!” kata orang yang memondong Sui Ceng sambil melompat pergi, diikuti oleh dua orang kawannya.

“Lepaskan adik Ceng….!” Kwan Cu mengejar dan kembali ketiga orang itu terkejut bukan main karena melihat betapa anak gundul itu dapat berlari cepat! Memang selama dua tahun ini, yang dengan tekun dipelajari oleh Kwan Cu selain ilmu membaca dan menulis, adalah berlari cepat dan tanpa disadarinya dia melatih ginkang dan lweekang! Oleh karena dia telah memiliki tenaga lweekang, dibantu daya luar biasa dari buah ular yang dulu dia makan dengan terpaksa oleh Tauw-cai-houw, maka semua tendangan, pukulan, dan dorongan itu biarpun membuat dia jatuh bangun, namun tidak melukainya!

Tiga orang pemimpin Sin-to-pang yang menculik Sui Ceng berlari terus memasuki hutan dan ketika mereka menengok, mereka tidak melihat Kwan Cu lagi. Mereka tertawa girang dan melanjutkan perjalanan mereka menuju ketengah hutan. Tiga orang ini tidak mengira bahwa diam-diam Kwan Cu mengikuti mereka. Tadi ketika dia mengejar, dia sendiri merasa heran karena ternyata dalam hal berlari cepat, dia tidak kalah oleh ketiga oran itu! Bahkan kalau dia mau, agaknya dia akan dapat berlari lebih cepat lagi! Kemudian, ketiga orang itu memasuki hutan, Kwan Cu mendapat pikiran yang amat baik. Kalau dia terus menerus mengejar, seandainya dia dapat menyusul mereka, apa gunanya? Ia takkan dapat menolong Sui Ceng, dan ini tidak berarti apa-apa. Lebih baik dia mengejar dan mengintai dengan diam-diam agar dia tahu kemana Sui Ceng dibawa sehingga kemudian dia bisa memberitahukan kepada Loan Eng, ibu dari anak itu. Ini lebih tepat karena kalau sampai dia dapat membawa Loang Eng datang menyusul mereka, apa sih sukarnya merebut kembali Sui Ceng?

Demikianlah, ketika tiga orang itu sudah tiba di tempat persembunyian mereka, yakni di dalam sebuah rumah bambu di tengah hutan, dan ketika Kwan Cu melihat Sui Ceng masuk di situ anak itu cepat berlari keluar dari hutan, kembali ke dusun Tun-hang. Tak seorangpun di dusun itu tahu tentang penculikan ini, dan keadaan di dalam dusun tetap aman seperti biasa. Kwan Cu masuk kedalam gedung dan ketika pelayan-pelayan bertanya di mana adanya Sui Ceng, dengan tenang Kwan Cu menjawab,

“Adik Ceng dibawa lari oleh tiga orang Sin-to-pang akan tetapi harap kalian jangan ribut-ribut, kita menunggu saja sampai Toanio pulang.”

Akan tetapi, dua orang wanita pelayan itu tentu saja tidak mau diam dan mereka segera mewek-mewek dan sesambatan memanggil-manggil Sui Ceng. Dengan sebal sekali lalu Kwan Cu keluar dan duduk di halaman depan menanti kembalinya Loan Eng.

Siang hari itu juga Loan Eng datang membawa bungkusan besar terisi barang-barang belanjaan dari kota. Dua orang pelayan wanita itu berlari-lari dari dalam sambil menangis.

“Toanio….Toanio..” kata mereka megap-megap menahan tangis.

“Diam kalian!” Kwan Cu membentak marah sehingga dua orang pelayan itu terkejut.

“Kau…..kau setan cilik!” Pelayan itu memaki. “Nona majikan diculik orang, kau tidak bersusah sedikit juga pun!”

Akan tetapi, ketika mendengar ini, Loan Eng seketika menjadi pucat dan memegang pundak Kwan Cu. “Apa yang terjadi?” tanyanya dan biarpun mukanya pucat, wanita gagah ini masih bersuara tenang.

“Teecu baru bermain-main dengan adik Ceng di halaman depan ketika tiga orang pengurus Sin-to-pang yang dulu pernah menjumpai Toanio di jalan dua tahun lalu itu datang. Tanpa banyak bicara lagi mereka lalu membawa pergi adik Ceng dan teecu mencoba untuk merebut kembali, akan tetapi teecu dipukul jatuh bangun.”

“Bohong dia! Anak ini tidak susah sedikit pun, mana dia berani mencoba menolong?” Pelayan yang seorang berkata.

“Tutup mulutmu dan pergi kebelakang!” Loan Eng membentak dan dua orang pelayan itu dengan ketakutan dan menyusut air mata pergi kebelakang.

“Lanjutkan ceritamu, Kwan Cu,” kata Loan Eng

“Ketiga orang itu membawa adik Ceng keluar dusun dan teecu terus mengikuti mereka.”

“Bagus! Kemana mereka membawa Ceng-ji?” Loan Eng percaya penuh atas keterangan ini karena maklum bahwa anak ini memiliki ginkang yang cukup tinggi dan tanpa disadari oleh anak itu sendiri, dia telah memberi pelajaran ilmu lari cepat Chou-sang-hui (Terbang Di Atas Rumput)

“Mereka membawa adik Ceng ke dalam hutan di sebelah timur dusun dan di tengah-tengah hutan itu terdapat sebuah gubug. Di sanalah adik Ceng di bawa masuk lalu teecu cepat berlari pulang untuk memberi tahu kabar kepada Toanio.”

“Bagus, Kwan Cu. Mari kita kejar mereka!” Sambil berkata demikian, nyonya ini lalu memegang tangan Kwan Cu dan berlarilah ia cepat sekali. Baiknya Kwan Cu telah mempelajari ilmu ginkang sehingga biarpun masih juga ia terseret, namun dia juga masih dapat menggunakan dua kakinya untuk ditotolkan pada tanah dan membantu tenaga tarikan itu hingga mereka maju pesat sekali. Beberapa penduduk dusun ketika melihat Loan Eng berlari-lari cepat sambil menarik tangan Kwan Cu, menjadi terheran-heran dan bertanyalah mereka kepada kedua orang pelayan yang menceritakan sambil menangis tentang diculiknya Sui Ceng. Maka gemparlah dusun itu.

Ketika melihat bahwa Kwan Cu dapat mengimbangi larinya dengan menotolkan kakinya pada tanah, diam-diam Loan Eng menjadi kagum dan senang melihat kemajuan anak ini. Akan tetapi pada saat itu ia sedang merasa gelisah dan marah karena terculiknya Sui Ceng, maka ia tidak berkata sesuatu. Karena Loan Eng berlari cepat sekali, sebentar saja mereka telah tiba di dalam hutan itu dan Kwan Cu lalu menunjuk ke arah gubug yang berada di tengah hutan.

Ketika Loan Eng tiba di tempat itu, ia terkejut sekali karena gubug itu telah dijaga oleh sedikitnya lima puluh orang yang semuanya diikat saputangan putih kepalanya. Ia tahu bahwa mereka ini adalah anggauta-anggauta dari Sin-to-pang, karena memang semenjak suaminya tewas, semua orang itu mengikat kepalanya dengan kain putih tanda berkabung!

Akan tetapi Loan Eng tidak merasa gentar dan cepat maju menghampiri. Tiga orang pemimpin Sin-to-pang yang menculik Sui Ceng cepat berlari maju, menyambut dengan penuh penghormatan

“Thio-toanio telah datang untuk menyambut Bun-siocia. Harap menerima penghormatan kami,” berkata orang yang berjenggot kasar kepada Loan Eng sambil menjura . Kemudian dia memberi aba-aba dan ketika Loan Eng memandang, ia melihat puluhan orang anggauta itu mencabut golok dan dipalingkan di depan dada. Diam-diam nyonya janda ini terharu juga karena ia tahu karena inilah penghormatan dari Sin-to-pang seperti yang biasa dilakukan mereka kepada mendiang suaminya!

“Aku bukan apa-apa, bukan pengurus bukan anggauta Sin-to-pang untuk apa segala penghormatan itu? Aku datang mengambil kembali Ceng-ji dan hendak bertanya kenapa kalian berani mati sekali menculiknya?”

“Toanio, kami sedang melakukan upacara pengangkatan ketua, dan Bun-siocia telah menjadi pilihan kami untuk menggantikan ayahnya sendiri, mengapa kami dianggap menculik?”

“Apa katamu?” Mata Loan Eng terbelalak kaget. “Ceng-ji kalian angkat menjadi ketua?”

“Benar, Toanio. Di dalam dunia ini selain Toanio dan Bun-siocia, tidak ada yang lebih berhak menjadi ketua Sin-to-pang. Dan oleh karena Toanio menolak, maka pilihan kami jatuh pada Bun-siocia.”

“Kalian gila! Lepaskan anakku Ceng-ji kalau kalian tidak ingin melihat aku mengamuk. Anak baru berusia enam tahun bagaimana bisa menjadi ketua Sin-to-pang ?”

“Tidak bisa dibawa sekarang, Toanio. Kau sendiri tahu bahwa dalam upacara pengangkatan kepala perkumpulan kami, tidak boleh diganggu, adapun tentang usia, kami cukup bersabar untuk mendidik Bun-siocia dan sementara ini kami sanggup mewakilinya.”

“Kurang ajar!” Loan Eng menggerak-gerakkan pedangnya dengan sikap mengancam, sekali. “Kau mau membebaskan dia atau tidak?”

“Toanio, kau lihat sendiri. Bun-siocia sedang melakukan sembahyang untuk pengangkatan itu,” kata seoarang di antara tiga orang pemimpin sin-to-pang itu.

Loan Eng memandang ke arah rumah gubuk itu dan benar saja, ia melihat beberapa orang hwesio sedang melakukan upacara sembahyang untuk mengambil sumpah kepada Sui Ceng yang diangkat menjadi ketua Sin-to-pang.

Loan Eng meloncat ke depan pintu dan di situ ia melihat Sui Ceng sedang berlutut di depan meja sembahyang di mana dipasang gambar mendiang suaminya, Bun Liok Si yang tewas dalam tangannya sendiri! Ia tertegun dan berdiri bagaikan patung. Sementara itu, Sui Ceng telah mendengar suara ibunya tadi, maka kini ia menengok. Ketika ia melihat ibunya, ia berseru girang.

“Ibu, aku telah berada di antara kawan-kawan ayah!” Ia menunjuk ke arah gambar ayahnya.”Lihat, itu dia ayah dan aku diangkat menjadi pengganti ayah!”

Hati Loan Eng tergetar. Memang ia selalu membohongi anaknya itu tentang ayah anak itu. Dikatakan selalu bahwa ayahnya telah pergi jauh sekali, naik perahu menyeberangi laut.

“Ceng-ji…” katanya perlahan dan ia hendak menyerbu ke dalam gubuk, akan tetapi tiba-tiba tiga batang golok menghadang di depannya.

“Toanio, puterimu telah memilih jalannya. Dia telah diambil sumpahnya maka sekarang dia telah menjadi Bun-siauw-pangcu (ketua Bun cilik), harap kau jangan menggangu Pangcu kami!”

“Bangsat, aku adalah ibunya!” seru Loang Eng sambil meloncat kembali ke halaman depan gubuk itu yang lebar. Ia maklum kalau terjadi pertempuran, ia akan dikeroyok oleh banyak orang, maka ia harus mencari tempat yang lebar dan luas agar pergerakannya lebih leluasa.

“Thio-toanio, mendiang Bun-pangcu adalah ayahnya! Dan dia sekarang adalah Pangcu kami, tak seorang pun boleh mengganggu!”

“Pengangkatan ketua secara paksa, ah, orang-orang ini tak salah lagi tentu miring otaknya! Sungguh banyak sekali orang gila di dalam dunia ini!”

Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan semua orang, juga Loan Eng , menengok ke arah suara itu. Ternyata yang bicara tadi adalah Kwan Cu yang kini sudah nongkrong di bawah pohon, semenjak tadi memperhatikan peristiwa yang terjadi di depan matanya.

Tiga orang pemimpin Sin-to-pang itu memandang kepada Kwan Cu dengan mata mendelik. Mereka mendongkol sekali karena dimaki gila, juga dapat menduga bahwa Loan Eng dapat menemukan tempat mereka tentu atas petunjuk bocah gundul itu. Akan tetapi pada saat seperti itu mereka tidak sempat melayani bocah gundul itu.

“Huang-ho Sam-eng (Tiga Pendekar Sungai Kuning), sekali lagi aku bertanya, apakah kalian tidak mau membebaskan Sui Ceng dengan baik-baik sehingga aku tak perlu turun tangan?”

“Tak mungkin, Toanio. Dengan berbuat begitu, berarti kami melanggar sumpah setia kepada mendiang Bun-pangcu!” jawab seorang di antara mereka. Memang tiga orang pemimpin yang dulu menjadi pembantu-pembantu Bun Liok Si adalah tiga saudara yang terkenal dengan julukan Huang-ho Sam-eng dan mereka ini sudah semenjak mudanya terkenal sebagai pendekar-pendekar budiman.

“Kalau begitu kalian mencari penyakit sendiri!” bentak Loan Eng.

“Kami siap sedia mengorbankan nyawa untuk Sin-to-pang!”

Loan Eng tidak banyak cakap lagi lalu langsung menggerakkan pedangnya menyerang. Tiga orang itu lalu mengurungnya, merupakan segitiga dan menggerakkan golok mereka menangkis. Pertempuran hebat terjadi dan mata Kwan Cu yang menonton pertempuran itu dari bawah pohon menjadi silau melihat gerakan pedang dari Loan Eng. Pedang nyonya ini bergerak cepat, berkelebat kesana kemari laksana kilat menyambar-nyambar. Sebentar saja tiga orang pengeroyok menjadi terdesak hebat. Akan tetapi, benar seperti kata-kata mereka tadi, mereka melawan dengan nekat dan mati-matian, bertekad hendak melawan sampai titik darah terakhir dalam membela perkumpulan mereka. Pengangkatan Sui Ceng sebagai keturunan langsung dari Bun Liok Si menjadi ketua perkumpulan amat perlu, untuk menjaga perkumpulan yang sudah bertahun-tahun menduduki tempat di dunia kang-ouw itu. Para anggauta semenjak Bun Liok Si tewas, menjadi lemah semangatnya dan perkumpulan itu terancam keruntuhan.

Biarpun dia sendiri tidak suka belajar ilmu silat yang dianggapnya sebagai sebagai ilmu memukul dan membunuh orang, namun melihat cara Loan Eng menggerakkan pedang menghadapi tiga orang pengeroyoknya itu membikin Kwan Cu menjadi gembira dan kagum sekali. Ia menonton dengan sepasang matanya bersinar-sinar, dan dengan penuh perhatian dia melihat betapa sinar pedang nyonya itu mengurung tiga pengeroknya. Benar-benar amat mengherankan hatinya. Sudah jelas bahwa nyonya itu dikurung dan di keroyok tiga, akan tetapi mengapa sinar pedangnya bahkan dapat mengurung dan mengancam tiga pengeroyoknya ?

Memang ilmu pedang keluarga Thio amat hebatnya. Ini dapat dirasai oleh Huang-ho Sam-eng, dan dengan diam-diam mereka juga kagum sekali. Tidak aneh apabila ketua mereka dulu tewas dalam tangan nyonya ini. Mereka bertiga telah menerima pelajaran ilmu golok langsung dari Bun Liok Si dan di kalangan kang-ouw, kepandaian main golok dari tiga pendekar Sungai Huang-ho ini sudah terkenal sekali. Akan tetapi kini menghadapi Loan Eng, mereka benar-benar terdesak hebat dan tidak dapat menyerang karena mereka tidak sempat. Pedang Loan Eng bergerak cepat sekali dan tiap kali tertangkis oleh sebatang golok, maka pedang itu terpental dan sekaligus membuat serangan lain ke arah pengeroyok yang lain lagi! Juga tubuh nyonya cepat bagikan seekor burung walet menyambar-nyambar, sukar sekali diikuti pergerakannya.

Sementara itu, Loan Eng yang bernafsu keras untuk cepat-cepat menjatuhkan tiga orang lawannya dan segera menolong puterinya, lalu berseru nyaring dan tahu-tahu tubuhnya mencelat ke atas, kaki kanannya digerakkan secara tiba-tiba menendang ke arah golok dari pengeroyok yang berada di depannya. Terdengar suara nyaring sekali dan golok di tangan penyerang itu terpukul oleh ujung kaki sehingga pemegangnya merasa terkejut bukan main. Bukan sembarang orang berani menendang sebatang golok yang terpegang kuat. Selagi dia terkejut dan memandang dengan mata terbelalak, Loan Eng sudah memutar pedangnya menyerang dua orang yang lain. Mereka ini terkejut sekali dan cepat mengelak mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Loan Eng untuk menggerakkan pedangnya ke depan dengan kecepatan yang tak dapat terduga lebih dahulu oleh lawan-lawannya. Terdengar jerit kesakitan dan orang itu roboh dengan pundak terluka dan goloknya terlempar dari pegangan.

“Toanio, jangan bunuh orang!” berkali-kali Kwan Cu berteriak dan teriakan ini ada baiknya karena merupakan peringatan bagi Loan Eng yang sedang marah. Dengan amat cepatnya, kembali ia merobohkan dua orang lawannya dengan melukai paha dan lengan mereka, kemudian bagaikan seekor burung garuda, ia melompat ke dalam gubuk itu. Beberapa anak buah Sin-to-pang yang menghadang di pintu, sekali diterjangnya telah kocar-kacir, jatuh tunggang langgang ke kanan kiri. Benar-benar hebat sepak terjang nyonya yang sedang marah itu, laksana seekor harimau betina diganggu anaknya.

“Ibu , jangan ganggu anak buahku!” tiba-tiba Sui Ceng berseru nyaring dan seruan ini tidak saja membuat Loan Eng melengak, juga para anak buah Sin-to-pang tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut sambil menyebut ,

“Bun-siauw-pangcu!”

Loan Eng benar-benar tertegun sekali. Teriakan tadi membuat ia teringat kepada mendiang suaminya. Seakan-akan suaminya yang berseru tadi melalui mulut anaknya! Naik sedu sedan dalam kerongkongan nyonya itu dan tanpa banyak cakap lagi ia menyambar tubuh Sui Ceng dan dibawanya lari keluar!

Ketika Loan Eng lewat di depan Kwan Cu yang sudah berdiri di bawah pohon, ia berkata, “Kwan Cu, terpaksa aku meninggalkan kau, anak baik! Aku hendak pergi bersama Sui Ceng. Kelak kalau kau bertemu Sui Ceng, pesanku padamu, bantu dan jagalah dia baik-baik. Selamat tinggal, Kwan Cu,” sambil berkata demikian, Loan Eng memeluk dan mencium jidat Kwan Cu , lalu pergi cepat sekali sambil menggendong Sui Ceng!

Kwan Cu berdiri bagaikan patung dan mulutnya berkemak kemik, “Aku akan menjaga adik Ceng! Akan kujaganya baik-baik….” Dan tak terasa pula anak gundul ini menangis dengan air mata mengalir di kedua pipinya.

Anak ini merasa ditinggalkan seorang diri. Kini kembali sebatang kara, ditinggalkan kepada nasibnya sendiri. Ia tidak berduka hanya menangis saking merasa terharu saja. Belum pernah ia dikasihi orang seperti nyonya janda tadi dan ciumannya pada jidatnya menghangatkan hatinya. Seakan-akan dia kehilangan seorang ibu!

Dengan kedua kaki lemas anak ini lalu pergi dari tempat itu. Akan tetapi baru saja berjalan beberapa langkah tiba-tiba di depannya telah menghadang tiga orang pemimpin Sin-to-pang yang terluka. Luka-luka mereka hanya luka-luka kulit saja dan sebentar saja mereka telah dapat berdiri kembali. Kini kemarahan mereka tertimpa pada Kwan Cu.

“Anak gundul, kalau bukan kau yang menjadi biang keladi, tak nanti Thio-toanio dapat merebut kembali anaknya!” kata yang berjenggot kasar dan ketika tangannya melayang, sebuah tempilingan keras telah melayang ke arah Kwan Cu. Anak ini tentu saja kalah gesit dan terdengar suara “plak” yang keras sekali dan tubuh anak ini jatuh bergulingan. Ia hanya merasa pening sebentar, akan tetapi tidak merasa sakit, maka dengan cepat dia telah berdiri lagi dan memandang kepada tiga orang itu dengan sepasang matanya yang besar itu terbelalak lebar dengan sinar terang.

Pemukulnya menjadi heran sekali. Mengapa anak ini demikian kuatnya sehingga dapat menahan pukulannya? Orang ke dua lalu maju memukul ke arah dada Kwan Cu. Untuk kedua kalinya anak ini jatuh bergulingan di atas tanah dan debu mengebul. Akan tetapi kembali Kwan Cu bangun lagi dan kelihatannya tidak sakit, sama sekali anak ini tidak mengeluh. Memang dia merasa dadanya sesak terkena hawa pukulan, akan tetapi sebuah tenaga yang tidak kelihatan seakan-akan mendesak perasaan tak enak ini dari sebelah dalam dan dalam sekejap mata saja rasa sesak itu lenyap lagi!

Sebelum Kwan Cu dapat berdiri tegak, sebuah tendangan dari orang ketiga mengenai lambungnya. Kini tubuh anak ini terlempar ke atas dan membentur batang pohon di bawah mana dia tadi duduk. Dengan menerbitkan suara keras tubuhnya tertumbuk pada pohon, lalu jatuh lagi bergulingan. Alangkah kaget dan herannya tiga pemimpin ini ketika melihat Kwan Cu kembali bangkit seperti tak pernah terjadi sesuatu.

Sekarang mereka saling pandang, juga anak buah Sin-to-pang yang telah berkumpul di situ memandang dengan muka heran. Seorang di antara pemimpin Sin-to-pang itu lalu mengambil goloknya yang tadi terlempar ke atas tanah, kemudian dengan langkah lebar dia mengejar Kwan Cu lalu mengangkat golok membacok ke arah Kwan Cu!

“Sute, jangan!” seru yang berjenggot kasar mencegah adiknya. Akan tetapi terlambat, karena golok itu telah menyambar. Kwan Cu melihat sinar golok, menjadi silau, maka dia mengangkat tangannya melindungi lehernya. Golok itu membacok lengannya, di bawah siku. Anehnya pembacok itu merasa seperti ada tenaga yang hebat menolak goloknya dan biarpun dia berhasil melukai lengan anak itu, akan tetapi lengan anak itu tidak putus, bahkan goloknya terpental dan terlepas dari pegangannya!

Benar-benar mengherankan sekali hal ini. Tiga orang pemimpin itu benar-benar tidak mengerti. Melihat gerakan anak ini, jelas bahwa dia tidak mengerti ilmu silat, buktinya ketika dipukul, ditendang, dan dibacok, anak itu tidak mengelak atau melawan sama sekali. Akan tetapi anehnya, semua pukulan dan tendangan tidak melukainya. Bahkan lengannya kini terbabat golok yang dibacokkan dengan keras, mengapa lengan itu tidak putus, bahkan golok itu yang terlempar? Ketika mereka memandang ternyata bahwa lengan itu mengeluarkan darah banyak juga.

Hal ini sebetulnya tidak terlalu aneh. Tubuh anak ini telah memiliki tenaga mujijat dari khasiat buah ular yang dijejalkan ke dalam mulutnya oleh Tauw-cai-houw dan di samping tenaga mujijat ini. Kwan Cu juga tanpa disadarinya telah melatih diri dengan lweekang yang diajarkan oleh Loan Eng. Anak ini tekun sekali melakukan siulian (samadhi) maka diam-diam dia telah menampung tenaga lweekang di dalam tubuhnya tanpa dia ketahui sendiri!

Luka pada lengannya terasa perih sekali dan juga lengannya terasa ngilu dan lumpuh, akan tetapi benar-benar luar biasa daya tahan dari anak gundul ini. Ia hanya menggigit bibirnya dan sama sekali tidak mengeluh.

Kwan Cu menggunakan tangan kanan untuk mengusap-usap darah yang mengalir dari lenagn kirinya, sambil berkata, “Hm, Sin-to-pang hanya bisa menculik anak kecil dan melukai anak-anak pula. Apakah ini yang dahulu Bun-pangcu mengajarmu bertindak?”

Mendengar ucapan ini, pucatlah wajah tiga orang pemimpin Sin-to-pang ini. Tanpa disengaja, Kwan Cu telah mengingatkan mereka kepada larangan-larangan yang diadakan oleh mendiang Bun Liok Si, di antaranya bahwa semua anggauta Sin-to-pang dilarang keras mengganggu wanita, anak-anak,dan orang-orang lemah! Kemudian, wajah mereka yang pucat itu menjadi makin terbelalak lebar matanya ketika melihat pemandangan yang benar-benar sukar mereka percaya. Terdengar seruan-seruan “aaahh…..”,”aneh…” “dia seorang anak sin-tong!” dari para anggauta Sin-to-pang.

Memang mengherankan. Beberapa kali Kwan Cu mengusap luka di lengannya dan setelah darah yang mengering di luar luka itu lenyap, ternyata kulit lengan itu telah halus lagi, tidak nampak sedikit pun tanda-tanda bekas luka! Melihat ini, tiga orang pemimpin itu lalu menjatuhkan diri berlutut, diikuti oleh semua anak buah yang berjumlah lima puluh orang!

“Sin-siauwhiap (pendekar sakti cilik), mohon maaf dan mohon petunjuk yang berharga,” kata si jenggot kasar, orang tertua dari Huang-ho Sam-eng.

Benar-benar amat menggelikan kan tetapi juga mengagumkan betapa Kwan Cu yang diperlakukan seperti ini, dapat berkata dengan sikap bersungguh-sungguh dan tenang, seakan-akan dia memang benar seorang bocah sakti.

“Cu-wi sekalian mengapa begitu ribut-ribut? Nona Sui Ceng sudah bersumpah di depan arwah ayahnya bahwa ia menerima menjadi ketua dari Sin-to-pang , akan tetapi oleh karena ia masih sangat kecil dan belum memiliki kepandaian, mengapa dia tidak boleh ikut ibunya? Cu-wi melihat sendiri betapa hebat kepandaian Thio-toanio, kalau Siauw- pangcu (Ketua Cilik) belajar silat dari ibunya, bukankah kelak akan menjadi seorang pangcu yang benar-benar baik? Dari pada Cu-wi meributkan halnya calon pangcu itu, lebih baik Cu-wi menjaga agar perkumpulan Cu-wi tetap berjalan baik dan bersih sehingga kelak kalau Siauw-pangcu datang Cu-wi takkan dipersalahkan sebagai anggauta-anggauta yang melanggar kewajiban! Nah, aku sudah bicara, bolehkah sekarang aku pergi?”

Semua orang mengangguk-anggukan kepala tanda setuju. Tidak mengherankan apabila Kwan Cu dapat berbicara seperti itu, karena selama dua tahun ini memang dia amat tekun membaca kitab-kitab kuno sehingga dia tahu akan peraturan-peraturan dan filsafat-filsafat! Dasar dia mempunyai otak yang luar biasa maka apa yang dibaca itu dapat diingatnya dengan amat baik dan bahkan kalau banyak orang dewasa tidak dapat menangkap inti sari dari pada kitab-kitab kuno itu, Kwan Cu dengan bakatnya yang luar biasa dapat menyelami arti-artinya!

Kata-kata Kwan Cu itu berkesan dalam hati para anggauta Sin-to-pang sehingga mereka ini melakukan kewajiban sebagaimana mestinya sambil menanti-nanti datangnya Siauw-pangcu yang di bawa lari oleh ibunya.

Adapun Kwan Cu lau meninggalkan tempat itu, dan untuk kedua kalinya dia berjalan kemana saja kakinya membawa dirinya, tiada arah tujuan, tiada bekal selain pakaian yang menempel pada tubuhnya.

Lu Pin, seorang sastrawan yang amat pandai, juga terkenal sebagai seorang ahli pahat atau ahli ukir patung yang luar biasa, berkat jasa-jasanya dalam urusan pemerintahan, telah diangkat menjadi menteri oleh kaisar. Sesuai dengan bakatnya, dia dijadikan menteri urusan kebudayaan, dan karena jasa Lu Pin inilah maka pada masa itu, kebudayaan di Tiongkok diperkembang dan dipupuk. Seni-seni ukir, seni lukis dan lain-lain mendapat perhatian pemerintah. Dilihat dari luar, nampaknya penghidupan Menteri Lu Pin ini makmur dan senang, akan tetapi kalau orang melihat menteri itu duduk di dalam kamarnya seorang diri, orang itu akan melihat betapa menteri yang pandai dan berwatak jujur dan adil ini sering kali duduk termenung dan menghela nafas berulang-ulang. Pada wajahnya yang bersinar agung dan keningnya yang lebar itu terbayang kemuraman dan kedukaan hati yang besar sehingga biarpun usianya baru empat puluh tahun lebih, namun dia nampak lebih tua. Apakah yang menindih perasaan menteri yang memperoleh kedudukan tinggi ini? Banyak sekali.

Menteri Lu Pin berasal dari keluarga rakyat biasa saja, akan tetapi berkat kemauan besar dan keuletannya, dia dapat melanjutkan pelajarannya sampai mendapat gelar siucai, dan bakatnya yang memang luar biasa membuat dia menjadi seorang satrawan dan seniman yang tinggi kepandaiannya. Akan tetapi dia ketika mudanya sudah banyak menderita, bergaul dengan orang-orang senasib sependeritaan, yakni seniman-seniman yang hidupnya terlantar dan tidak mendapat perhatian dari pemerintah.

Kini setelah menjadi menteri, teringatlah dia akan nasib kawan-kawannya, nasib saudara saudaranya yang masih amat sengsara. Oleh karena itulah maka seringkali dia termenung dan bersedih hati. Yang lebih-lebih membuat hatinya sakit adalah keadaan kakaknya. Di dalam dunia ini dia hanya mempunyai kakaknya itu sebagai saudara satu-satunya, karena keluarga lain sudah tidak ada lagi. Akan tetapi berbeda dengan dia, kakaknya ini menuntut penghidupan yang jauh berlainan. Kakaknya semenjak kecil biarpun bersama dia mempelajari kesusastraan, namun bakat kakaknya bukan di situ letaknya, melainkan dalam ilmu silat! Juga, watak kakaknya ini berbeda jauh dengan dia. Kalau Lu Pin bercita-cita tinggi untuk mencapai kedudukan dan kemuliaan, adalah kakaknya itu tidak peduli akan semua ini. Bahkan akhir-akhir ini dia mendengar kakaknya itu merantau bagaikan seorang pengemis jembel! Inilah yang amat mengganggu hatinya, akan tetapi dia tidak berdaya. Kakaknya ini selain memiliki kepandaian tinggi sekali dalam hal ilmu silat, juga mempunyai watak yang aneh. Sebelum Lu Pin diangkat menjadi menteri, pernah dia mencari dan bertemu dengan kakaknya dan ketika kakak ini di bujuk-bujuknya untuk mencari kedudukan, baik dalam hal pembesar sipil maupun militer karena kakaknya mempunyai kepandaian bun (silat), kakaknya bahkan menjadi marah dan memaki-makinya!

“Pin-te (adik Pin), apakah matamu sudah buta? Kalau mata lahirmu buta, tak mungkin mata batinmu buta pula! tidak dapatkah kau melihat betapa negara kita ini dipegang oleh orang-orang yang tak patut disebut manusia pula? Tak dapatkah kau melihat kaisar dan seluruh anggota pemerintahan adalah orang-orang yang mengutamakan kesenangan belaka, yang melakukan korupsi besar-besaran dan menginjak-injak rakyat sendiri? Apakah kau mengajak aku membantu manusia-manusia macam begitu? Cih, lebih baik aku mati saja!” demikian kakaknya ini mengakhiri kata-katanya lalu pergi meninggalkannya.

Memang semenjak kecil, kakaknya yang bernama Lu Sin itu, beradat keras, tinggi hati, dan kasar. Akan tetapi Lu Pin maklum sedalam-dalamnya bahwa di dunia ini tidak ada orang yang lebih mulia batinnya dari pada kakaknya itu! Inilah hal pertama yang membuat Lu Pin merasa menderita batinnya, biarpun dia kini telah menjadi seorang menteri berkedudukan tinggi dan dimuliakan orang senegerinya.

Soal kedua yang menekan batinnya adalah rumah tangganya. Menteri Lu Pin hanya mempunyai seorang anak laki-laki dan puteranya ini pun sudah menikah pula dan menjabat seorang pembesar bagian sipil. Karena rumah Lu Pin besar sekali dan menteri ini tidak mau berpisah dari puteranya, dia minta agar supaya puteranya sekeluarga tinggal bersama dia. Akan tetapi puteranya akhirnya pindah juga ke rumah lain karena mantu perempuan selalu bercekcok dengan ibu mertua!

Inilah yang memberatkan hati Menteri Lu Pin. Biarpun rumah gedung baru dari puteranya itu berada di kota raja pula dan tidak jauh, namun melihat melihat isterinya tidak akur dengan anak mantunya, sungguh merupakan hal yang sangat mengecewakan. Dan karena isteri puteranya adalah puteri dari seorang berpangkat pangeran, tentu saja dia makin merasa tidak enak. Lu Pin amat sayang kepada cucu laki-laki yang bernama Lu Thong. Anak ini tampan, bermata lebar, tidak kalah bagusnya dengan putera-putera pangeran, selalu berpakaian mewah dan manja sekali. Kadang-kadang diam-diam Lu Pin mengakui bahwa watak cucunya ini kurang baik, pemarah seperti ibunya dan pengecut seperti ayahnya, akan tetapi karena dia hanya cucu satu-satunya, maka Lu Pin amat sayang kepadanya. Sering kali menteri ini menyuruh datang cucunya itu, atau bahkan dia sendiri memerlukan datang ke rumah puteranya untuk mengunjungi dan melihat Lu Thong.

Pada suatu hari, ketika Lu Pin kebetulan sedang berada di rumah puteranya, dia mendengar Lu Thong menangis dan rewel. Ia lalu bertanya dan mendapat jawaban dari puteranya bahwa anak itu rewel sekali minta dipanggilkan guru silat yang pandai karena anak ini ingin belajar ilmu silat!

Menteri Lu Pin menghela napas. Ia mengelus-elus kepala Lu Thong yang menangis sambil berkata, “Cucuku yang tampan. Mengapa kau ingin mempelajari ilmu kepandaian yang kasar dan mengerikan itu? Dari pada kau memegang golok atau pedang yang hanya akan menimbulkan pertumpahan darah, aku akan lebih merasa girang dan tenteram hatiku kalau melihat kau menggerakkan alat tulis membuat syair yang baik atau lukisan yang indah!” “Tidak, Kong-kong, aku ingin belajar silat. Dalam bermain-main, kalau berkelahi aku selalu kalah. Aku mau menjadi pendekar, mau menjadi orang gagah yang ditakuti karena kepandaianku, bukan karena harta dan kedudukan Ayah atau Kong-kong!” anak itu merengek-rengek dengan manja.

“Anak manja!” Ayahnya membentak marah-marah. “Apakah kau akan menjadi seorang petualang yang liar?” kemudian dia menepuk kepalanya sendiri sambil berkata, “Hm, celaka benar. Agaknya darah Pek-hu (Uwa) yang kotor, darah petualang yang memalukan mengalir pula dalam darah anak ini!”

Tiba-tiba menteri Lu Pin memandang puteranya dengan marah. “Tutup mulutmu dan jangan kau berani mengeluarkan kata-kata kotor terhadap Sin-ko (Kakak Sin)!”

Lu Seng Hok, putera dari Lu Pin itu, memandang kepadanya dan menghela napas. “Ayah memang aneh sekali. Pek-hu Lu Sin sudah terang sekali mencemarkan nama keluarga Lu. Ia beberapa kali mengacau, mengganggu pembesar-pembesar tinggi, bahkan pernah mengacau dalam dapur istana menghabiskan makanan kaisar. Orang seperti itu bukankah hanya membikin malu kepada kita saja? Celakanya, banyak orang-orang besar mengetahui hubungan kita dengan dia.”

“Sudah, Hok-ji (Anak Kok), jangan kita bicara lagi tentang Pek-humu itu. Betapapun juga, dia adalah seorang yang budiman, jauh lebih dari aku atau kau.”

Seng Hok tidak berani membantah ayahnya, akan tetapi di dalam hatinya dia mengejek dan diam-diam dia berkata di dalam hati, “Huh manusia macam itu! Jembel tua memalukan, kerjanya hanya mengacau mengandalkan silatnya.” Kemudian, karena tidak berani membantah ayahnya, dia menimpakan kemarahannya kepada anaknya, yang dimaki-maki lagi.

“Kau tak perlu membuka mulut minta belajar silat lagi pendeknya, kau tidak boleh belajar silat!”

Akan tetapi kini perhatian Lu Thong tertarik ketika mendengar nama Lu Sin disebut-sebut. “Kong-kong, apakah kakek Lu Sin itu benar-benar lihai ilmu silatnya? Aku pernah mendengar orang bilang bahwa seluruh bala tentara kerajaan tidak dapat menangkap dan melawan dia.”

Menteri Lu Pin mengangguk-angguk sambil memeluk cucunya yang terkasih.

“Cucuku, kakekmu Lu Sin itu biarpun hidup sebagai petualang, namun dia seorang yang luar biasa sekali. Kepandaian silatnya pada waktu itu sukar dicari tandingannya, dan dia dijuluki Ang-bin-sinkai. Memang, kalau orang memiliki kepandaian silat seperti dia itu, barulah orang-orang tidak berani main-main terhadapnya, dan kalau saja adatnya tidak begitu kukuh dan aneh, kalau saja dia menerima pangkat, tentu dengan mudah dia akan diberi pangkat tinggi dalam bidang kemiliteran kaisar. Bahkan kaisar pernah menawarkan kedudukan Koksu (Guru Negara) kepadanya. Sayang….. dia lebih senang merantau.”

“Menjadi pengemis kotor!” Lu Seng Hok menambahkan. “Anak rewel, apa kau ingin mempunyai kepandaian silat tinggi dan kemudian menjadi seorang pengemis jembel?”

Akan tetapi Lu Thong tampak diam saja. Anak kecil ini biarpun manja dan rewel, namun harus diakui bahwa dia memiliki pikiran yang amat cerdik. Ia lalu memandang kepada ayahnya dan berkata,

“Ayah, kalau kau berhasil membujuk kakek Lu Sin untuk tinggal di sini dan mengajar ilmu silat kepadaku, bukankah itu baik sekali? Selain dia tidak mengembara dan memalukan ayah, juga aku bisa mendapat pimpinan dari seorang ahli.”

“Kau tidak akan belajar silat!” kata Lu Seng Hok dengan kukuh.

“Ayah, betapun juga kakek Lu Sin adalah keluarga kita. Dia masih tetap saja menggunakan nama keturunan Lu! Kalau kita mempunyai orang tua yang berkepandaian tinggi itu, apakah akan kata orang kalau aku sebagai keturunan lu tunggal, sama sekali tidak mengerti ilmu silat dan amat lemah? Kong-kong terkenal sebagai ahli bu. Ini merupakan dwi tunggal yang baik sekali dan kalau aku dapat mempelajari bun dan bu di bawah pimpinan dua orang tua ini bukankah aku akan menjadi seorang bun-bu-cwan-jai (ahli satra dan ahli silat)?”

Ketika ayah dan anak ini bersitegang mempertahankan pendirian masing-masing, Lu Pin mendengarkan saja dan mendengar ucapan Lu Thong dia menjadi girang sekali. Wajah orang tua ini berseri-seri dan dia lalu bertepuk tangan.

“Bagus, bagus sekali! Lu Thong, kaulah agaknya yang akan mengharumkan nama keluarga Lu! Hok-ji, ucapan puteramu itu betul sekali. Sekarang kita harus mencari Pek-humu Lu Sin dan kita membujuknya untuk melatih Lu Thong. Bagus sekali!”

Seng Hok setelah berpikir-pikir, juga menyetujui kehendak ayahnya ini. Ia pikir bahwa tentu saja amat baik kalau Lu Thong menjadi seorang ahli sastra merangkap ahli silat. Ayah mana yang tidak akan suka melihat puteranya menjadi seorang bun-bu-cwan-jai?

Akan tetapi mencari Ang-bin Sin-kai Lu Sin tidak semudah mencari orang lain. Nama Ang-bin Sin-kai memang sudah amat terkenal, dari seorang pengemis yang paling jembel sampai kaisar sendiri mengenal nama tokoh besar yang luar biasa ini. Akan tetapi di mana adanya kakek aneh ini, tak seorang pun mengetahuinya! Dan karena sekarang sudah menyetujui untuk memberi kesempatan kepada Lu Thong belajar ilmu sialat, maka Lu Seng Hok mulai mengundang guru silat untuk memberi pimpinan dasar kepada puteranya. Akan tetapi, Lu Thong tidak demikian mudah dipuaskan hatinya. Segala macam guru silat saja, dia tidak sudi mengangkat menjadi gurunya.

Anak ini paling suka memelihara anjing dan di pekarangan depan gedung ayahnya, penuh dengan anjing-anjing yang galak, besar dan juga bagus. Ia selalu dimanja oleh ayahnya yang sengaja membeli anjing-anjing besar dan bagus. Lu Thong memelihara lebih dari sepuluh ekor anjing! Ia pernah mendengar tentang kakak kong-kongnya yang bernama Ang-bin Sin-kai Lu Sin itu dan pernah mendengar cerita bahwa kakeknya ini pernah memukul mati seekor harimau tanpa menyentuh kulitnya! Oleh karena itu tiap kali ada guru silat yang diundang oleh ayahnya datang hendak mengajarnya, dia minta kepada guru silat ini untuk memukul anjingnya tanpa menyentuh kulitnya! Dan akibatnya banyak sudah guru silat yang tidak mampu merobohkan anjing itu tanpa menyentuh kulitnya, sebaliknya ada beberapa orang di antara guru-guru silat itu yang menjadi korban gigitan anjing galak! Oleh karena sebegitu jauh Lu Thong masih juga belum mempunyai guru yang pandai dalam ilmu silat dan dia masih belum mau belajar silat. Ayahnya menjadi bingung dan juga bohwat (kehabisan akal) menghadapi anaknya yang terus rewel minta supaya kakeknya, Ang-bin Sin-kai Lu Sin, dipanggil datang!



Pada suatu hari masih pagi sekali Lu Thong sudah bermain-main di halaman gedung ayahnya. Tiga ekor anjing yang terbesar dan terbaik menemaninya di situ. Anak ini mengajar anjing-anjingnya melompat, mencari barang yang disembunyikan, dan lain-lain.

Tiba-tiba tiga ekor anjing ini mengonggong keras dan berlari ke arah pintu. Dari pintu gerbang masuk seorang pengemis tua yang pakaiannya sudah penuh tambal-tambalan, rambutnya awut-awutan, dan kulit tubuhnya kotor dan ada penyakit gatal di sana-sini, terutama sekali pada kakinya. Ketika dia datang memasuki pintu gerbang, banyak lalat mengerubung dan mengikutinya.

Melihat pengemis ini, Lu Thong lalu memanggil anjing-anjingnya dan tiga ekor anjing yang sudah mengerti akan perintah majikan mudanya ini lalu berlari mendekati Lu Thong. Anak ini memandang tajam dan ketika melihat sikap pengemis itu berani sekali tidak seperti pengemis biasa, diam-diam dia menaruh perhatian dan dadanya berdebar. Inikah kakeknya, Ang-bin Sin-kai Lu Sin? Mukanya tidak kemerah-merahan, pikirnya. Menurut penuturan kong-kongnya, juga melihat dari nama julukan “Ang-bin” atau muka merah, tentu kakek yang menjadi ahli silat itu bermuka merah. Betapapun juga dia hendak bersikap hati-hati dan agar jangan disangka kurang sopan, dia bertanya dengan halus kepada pengemis tua itu.

“Kakek tua kau masuk ke sini ada keparluan apakah?”

Pengemis itu memandang dan wajahnya nampak berseri mendengar suara dan melihat sikap yang manis dari Lu Thong ini.

“Ah, ah, benar! Pohon baik berbaah manis. Kakeknya terpelajar cucunya pun tahu sopan-santun. Bagus sekali! Siauw-kongcu (Tuan Kecil), bukankah kau putera dari Lu Seng Hok?”

Makin bergairahlah hati Lu Thong. Siapa lagi kalau bukan Ang-bin Sin-kai yang berani memanggil nama ayahnya begitu saja? Maka dia lalu mengangguk.

Pengemis itu memandang lagi penuh perhatian dan kini dia melihat ke arah pakaian Lu Thong serta hiasan rambutnya. Ia menggelengkan kepala dan berkata lagi, “Betapapun juga merak tak dapat beranak garuda! Sayang sekali, kemewahan kakeknya menurun padanya!”

Lu Thong adalah seorang anak yang cerdik dan terpelajar. Ia tahu bahwa peribahasa yang menyatakan bahwa merak tak dapat beranak garuda menyindirkan bahwa seorang pesolek anaknya pun pesolek pula. Akan tetapi karena dia menduga bahwa pengemis ini adalah kakeknya yang selama ini dicari-cari, yaitu Lu Sin, dia tidak menjadi marah, bahkan berkata,

“Kakek yang baik, ayah sedang pergi ke kantornya. Siapakah kau dan ada keperluan apakah mencari ayah?”

“Siapa mencari ayahmu? Aku datang hendak mengobrol dengan Lu Pin, kakekmu.”

Hampir Lu Thong berjingkrak saking girangnya. Tak salah lagi, ini tentulah Ang-bin Sin-kai Lu Sin, kakak dari kong-kongnya itu! Akan tetapi dia masih menahan gelora hatinya dan bertanya lagi, pura-pura tidak tahu,

“Kong-kong Lu Pin tidak tinggal di sini, akan tetapi di gedung menteri sebelah kanan istana! Kakek, siapakah namamu?”

Kakek itu nampak kecewa. ”Hm, kesana aku sudah pergi. Akan tetapi penjaga mengusirku, kukira melalui ayahmu aku akan lebih mudah bertemu Lu Pin. Namaku? Ah, aku sendiri sudah tidak tahu lagi siapa namaku, Siauw-kongcu.”

Dengan mata bersinar-sinar , Lu Thong lalu berkata, “Kakek yang baik, bukankah kau Ang-bin Sin-kai Lu Sin?”

Pengemis itu nampak sangat terkejut. “Kau sudah mendengar nama itu? Hm, Ang-bin Sin-kai barulah patut disebut seekor garuda. Garuda sakti yang terbang di angkasa raya, bebas lepas tidak terikat oleh sesuatu. Dia seorang yang patut dikagumi!” sehabis berkata demikian pengemis itu merangkapkan kedua tangannya ke dada dan memberi hormat ke atas!

Lu Thong terheran-heran. Pengemis ini terang sekali bukan orang sembarangan. Sikap dan kata-katanya bahkan membayangkan bahwa pengemis ini adalah seorang terpelajar pula. Akan tetapi, jawabannya tadi membikin dia ragu-ragu kalau kakek ini Ang-bin Sin-kai, mungkinkah dia memuji-muji nama Ang-bin Sin-kai bahkan memberi hormat? Adakah kakek sakti itu demikian sombongnya?

Tiba-tiba Lu Thong mendapat sebuah pikiran yang bagus. Ia bersuit keras sambil menunjuk ke arah kakek itu dan tiga ekor anjing serentak menyalak lalu menubruk ke arah pengemis tadi! Pengemis tua itu terkejut sekali dan dengan mata terbelalak ketakutan dia melangkah mundur.

“Siauw-kongcu, tahan anjing-anjingmu! Suruh mereka mundur, lekas!”

Lu Thong tersenyum geli, “Ang-bin Sin-kai, kau adalah kakekku sendiri, siapa hendak menakut-nakutimu? Kaubunuhlah anjing-anjing busuk itu, aku takkan menyesal. Aku sengaja hendak melihat kelihaianmu, Kong-kong!”

“Hush….siapa bilang aku Ang-bin Sin-kai? Aku bukan….bukan..!” akan tetapi dia segera roboh terguling karena ditubruk oleh tiga ekor anjing yang galak-galak itu!

“Siauw-kongcu, aku adalah sahabat Lu Pin. Bagaiman kau berani menghinaku? Panggil anjing-anjingmu, lekas!”

Alangkah kecewa hati Lu Thong melihat keadaan itu. Dengan jelas sekali dia melihat betapa kakek ini amat lemah. Kalau tadinya dia merasa girang, sekarang dia amat merasa amat kecewa dan marah.

“Jadi kau bukan Ang-bin Sin-kai? Lebih baik lagi, biar anjing-anjingku mengantar kau keluar sebagai hukuman atas kelancanganmu masuk ke sini tanpa ijin!” Ia lalu memberi aba-aba kepada anjing-anjingnya untuk menyeret kakek itu keluar dari halaman.



Sungguh kasihan sekali kakek pengemis itu. Ia hanya dapat menjaga lehernya dengan kedua tangan, karena takut kalau-kalau lehernya digigit anjing-anjing yang galak itu. Anjing-anjing itu menggigit lengannya, kakinya, bajunya dan mencoba untuk menyeret keluar dari situ. Akan tetapi, tubuh pengemis ini tinggi dan tentu saja dia terlalu berat bagi tiga ekor anjing itu.

“Siauw-kongcu….kau kejam….kau jahat! Lu Pin tidak seperti ini….lepaskan aku!” pengemis ini berteriak-teriak kesakitan dengan lengan dan kakinya telah berdarah.

Akan tetapi Lu Thong bahkan tertawa bergelak melihat kejadian yang dianggapnya lucu ini.

“Ha-ha-ha! Orang macam ini kuanggap Ang-bin Sin-kai! Ha,ha,ha! Merangkaklah….merangkaklah keluar! Ha,ha,ha coba kau berlomba-lomba dengan anjing-anjing itu keluar!”

Karena tidak tahan lagi digigit anjing-anjing itu, pengemis tadi sambil mengeluh lalu merangkak-rangkak keluar! Ia hendak berdiri akan tetapi tiap kali dia berdiri dia roboh kembali karena terkaman anjing-anjing itu. Baiknya dia selalu melindungi lehernya, karena kalau sampai lehernya yang digigit, pasti dia akan tewas! Baru saja dia merangkak beberapa jauhnya, dia diterkam dan diseret kembali oleh tiga ekor anjing.

Lu Thong tertawa terkekeh-kekeh melihat permainan baru ini. Ia seakan-akan melihat seekor tikus besar sekali dipermainkan oleh tiga ekor kucing yang tidak hendak membunuhnya lebih dulu sebelum puas bermain-main!

Keadaan pengemis itu makin payah, ia kini tidak minta dilepaskan, bahkan ia lalu melawan dan memukul, menggigit dan menjewer anjing-anjing itu sambil memaki-maki, “Lu Pin kau manusia durhaka! Tidak ingat kau betapa dulu kau belajar syair dari aku! Tidak ingat kau betapa dulu beberapa cawan arakku memasuki perutmu! Sekarang cucumu berlaku begini? Ah….”

Namun Lu Thong tidak mau mempedulikan omongan yang dianggapnya hanya ocehan belaka dari seorang pengemis yang mau berpura-pura menjadi sahabat kong-kongnya. Kong-kongnya, menteri Lu Pin menteri yang mulia dan berkedudukan tinggi, belajar syair dari pengemis ini? Bah, sungguh menggelikan dan menggemaskan.

“Kau menghina kong-kong, memasuki rumah ini seperti maling. Kau patut dihukum!” katanya.

Pada saat itu, dari luar pintu gerbang berlari masuk seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun, sebaya dengan Lu Thong. Anak ini berpakaian seperti pengemis dan kepalanya gundul.

“Sungguh biadab! Kejam sekali!” anak itu datang-datang berseru marah dan dia lalu memungut batu batu untuk disambitkan kepada anjing-anjing itu. Ketika sambitannya mengenai tubuh anjing, terdengar suara “buk!” dan anjing itu berkuik-kuik kesakitan lalu menjauhkan diri dari kakek pengemis. Sambitan itu cukup bertenaga dan membuat anjing itu merasa kesakitan. Akan tetapi Lu Thong telah melihat perbuatan ini menjadi marah sekali. Ia berseru beberapa kali dan memberi aba-aba kepada ketiga ekor anjingnya sehingga binatang-binatang ini kembali menyerbu kakek itu.

Anak jembel yang gundul itu menjadi marah. Karena sambitannya tidak dapat menolong kakek pengemis, dia lalu melompat ke arah Lu Thong dengan beberapa lompatan yang jauh sehingga Lu Thong menjadi kaget sekali.

“Orang kejam, hayo kau panggil anjing-anjingmu!” anak gundul itu membentak dan selain suaranya nyaring sekali, juga dari sepasang matanya bersinar api, sikapnya keren sekali dan berpengaruh.

Lu Thong memang mempunyai sifat pengecut. Melihat sikap anak gundul itu dan melihat lompatannya yang kuat tadi dia telah menjadi takut. Kini melihat anak gudul itu berdiri di depannya dengan sikap mengancam dan memerintah hatinya menjadi gentar. Cepat dia memanggil ketiga ekor anjingnya yang segera meninggalkan kakek jembel tadi berlari menghampiri Lu Thong dengan ekor digerak-gerakkan ke kanan kiri.

Anak gundul itu lari menghampiri pengemis tua yang sudah payah, lalu menolongnya.

“Kasihan sekali kau, orang tua,” katanya menghibur sambil membantu kakek itu berdiri.

Kakek pengemis itu memandang kepada anak gundul ini dengan mata terheran, penuh kekaguman.

“Siapa kau?” tanyanya sambil meringis kesakitan karena kakinya yang penuh koreng itu telah banyak kulitnya yang pecah-pecah tergigit anjing-anjing yang galak tadi.

“Aku? Namaku Lu Kwan Cu.”

Tiba-tiba jembel tua itu merenggutkan tangan Kwan Cu yang memegangnya. “Jangan sentuh aku! Aku tidak sudi ditolong oleh seorang she Lu lagi!” katanya

Kwan Cu tersenyum. “Orang tua, tidak baik menilai pribadi orang dari she dan namanya! Bukankah peribahasa dahulu kala menyatakan bahwa menilai pribudi seseorang lihatlah hati dan perbuatannya, jangan melihat nama, pakaian, dan mulutnya?”

Tiba-tiba mata kakek yang tadi memandang penuh kebencian itu, kini memandang dengan kagum dan terbelalak lebar. “Eh, anak siapakah kau? Murid siapa?”

Kwan Cu tersenyum, “Aku tidak tahu siap orang tuaku, dan aku bukan murid siapa-siapa.”

Kakek itu tersenyum, dan ini mengherankan Kwan Cu. Bagaimana dengan tubuh luka-luka itu orang ini masih dapat tersenyum? Ia lalu membantu kakek itu berdiri dan kini pengemis tua itu tidak lagi menolak bantuannya.

Bagaimana Kwan Cu bisa datang ke tempat itu? Memang, anak ini telah melakukan perjalanan jauh sekali sampai ke kota raja, tanpa ada tujuan yang tetap. Ketika dia tiba di pintu gerbang kota raja dan matanya terbelalak kagum sekali dan terheran-heran menyaksikan bangunan-bangunan yang demikian megah dan besarnya, tiba-tiba dia mendengar suara terkekeh-kekeh yang sudah di kenalnya. Ia cepat menengok dan tampaklah olehnya seorang hwesio gundul yang tubuhnya bundar seperti bola berdiri di bawah pintu gerbang itu sanbil memandangnya. Hwesio ini sedang makan makanan dari sebuah mangkok butut, yaitu mangkok yang biasanya dibawa oleh seorang hwesio untuk meminta makanan dari siapa saja yang dijumpainya pada waktu dia merasa lapar, mangkok itu dipegang di tangan kiri, tangan kanannya menjumputi makanan sedangkan di bawah lengan kanannya itu terjepit sebatang tongkat hwesio yang panjang.

“Eh, losuhu berada di sini?” Tanya Kwan Cu sambil buru-buru maju menjura .

“Ha-ha-ha, Kwan Cu, kau masih ingat kepadaku?” kata hwesio itu yang bukan lain adalah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu yang dulu dijumpainya di pinggir laut, hwesio yang bertempur mati-matian melawan Ang-bin Sin-kai karena memperebutkan dia!

Kak Thong Taisu lalu melemparkan mangkoknya yang butut sehingga makanan itu tumpah di atas tanah. “Makanan busuk, diberi oleh seorang yang pelit!” Kemudian ia memukulkan tongkatnya ke mangkok itu, dan aneh sekali! Mangkok itu tidak menjadi hancur, bahkan lalu mencelat keats yang segera diterimanya dengan tangannya, dan mangkok itu kini telah menjadi bersih seperti dicuci saja. “Hm, orang-orang kota raja ini semuanya kaya-kaya dan pelit-pelit, menyebalkan sekali!”

“Losuhu, kalau teecu boleh bertanya, Losuhu hendak pergi ke mana dan datang dari manakah?” tanya Kwan Cu

“Pinceng datang dari belakang dan hendak menuju ke muka,” jawab hwesio tua itu seperti orang berkelakar. “Sekarang telah bertemu dengan kau, muridku, maka aku tidak khawatir lagi akan kelaparan, karena ada orang yang akan mencarikan makanan untukku!”

“Teecu bukan murid Losuhu, dan tentu saja teecu mau mencarikan makanan untuk Losuhu, yaitu kalau Losuhu merasa lapar.”

Kak Thong Taisu nampak terkejut. “Apakah kau sudah bertemu Ang-bin Sin-kai dan sudah diambil murid olehnya?”

Kwan Cu menggeleng kepalanya. ”Tidak, teecu tidak bertemu dengan Locianpwe itu. Akan tetapi seandainya bertemu, teecu tidak akan menjadi muridnya.”

“Ha-ha-ha, kepalamu yang gundul itu keras juga kiranya!” Setelah berkata demikian, dengan tongkatnya Kak Thong Taisu mengemplang kepala Kwan Cu.

“Plak!” ujung tongkat itu mengenai kepala yang gundul itu, akan tetapi biarpun dia merasa sakit sekali dan kepalanya tiba-tiba menjadi benjol, Kwan Cu tidak menaruh hati sakit atau pun marah. Ia hanya mengejapkan matanya tiga kali untuk menahan sakit. Diam-diam dia malah merasa geli mendengar kata-kata hwesio ini. Hwesio ini sendiri mempunyai kepala yang gundul, bundar, dan besar, juga amat licin, akan tetapi masih memakinya sebagai kepala gundul! Sungguh cocok kata-kata kuno yang menyatakan bahwa mencari keburukan orang lain sama mudahnya seperti mencari kerbau di ladang, sebaliknya mengetahui keburukan sendiri sama sukarnya dengan mencari sebuah jarum di dalam tumpukan rumput kering!



“Bagaimana apakah kau masih tidak mau menjadi muridku?”

Kwan Cu menggeleng kepala dan dia teringat akan pengalaman-pengalamannya selama ini dan menarik kesimpulan bahwa hanya orang-orang ahli silat yang selalu menimbulakan keributan dan kerusuhan, serang-menyerang atau bunuh-membunuh.

“Mengapa kau tidak mau menjadi muridku? Hayo jawab dan beri penjelasan yang betul, kalau tidak akan kuketok kepalamu sampai pecah!” Hwesio gemuk itu nampak tidak sabar dan mendongkol sekali. Orang-orang muda sedunia akan berebut menjadi muridnya, dan anak gundul jembel ini, dia bahkan menampik!

“Mengapa?” Kwan Cu mengerutkan kening, mengingat-ingat lalu berkata dengan suara tetap, “Karena teecu teringat akan peribahasa kuno yang menyatakan bahwa: binatang menggunakan kekerasan karena dia tidak berakal, maka seorang manusia lebih rendah dari pada binatang apabila dia melakukan kekerasan. Nah, oleh karena itu, teecu tidaks uka belajar ilmu silat, Losuhu. Teecu anggap peribahasa itu tepat sekali. Binatang yang tidak berakal, mempergunakan kekerasan tanpa kesadaran, sebaliknya kalau manusia melakukan kekerasan, dia sadar sepenuhnya kalau kelakuannya itu salah dan jahat!”

Hwesio itu memandang kepadanya dengan mata terbelalak lebar, kemudian dia memandang keatas sambil tertawa bergelak-gelak. Suara ketawa ini keras dan hebat sekali sehingga Kwan Cu merasa tanah yang diinjaknya sampai tergetar oleh gema suara tertawa itu. Adapun orang-orang yang lewat di situ, menjadi kaget sekali, akan tetapi ketika mereka memandang dan mencoba untuk mendekati, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu lalu memandang kepada mereka dengan mata dipelototkan. Mereka menjadi takut dan pergi lagi cepat-cepat!

“Ha, ha, ha! Lucu, lucu, lucu! Eh, Kwan Cu, kata-katamu itu membuat mataku melihat seekor lembu yang baru lahir menyusui seekor lembu tua yang menjadi neneknya!”

“Mana, Losuhu?” tanya Kwan Cu yang merasa heran. “Mana ada anak lembu yang baru terlahir dapat menyusui lembu lain, neneknya pula?”

Hwesio itu menudingkan jarinya itu kepada Kwan Cu. “Kaulah anak lembu itu! Kau hendak memberi pelajaran kepadaku tentang filsafat, bukankah itu sama saja dengan seekor anak lembu hendak menyusui neneknya? Ha,ha,ha, kau tahu satu tidak tahu lima, tahu lima tidak tahu sepuluh! Kwan Cu, tidak ada sesuatu di permukaan bumi ini yang memiliki sifat tunggal, semua tentu memiliki dua sifat yang bertentangan, dua sifat yang bagi kita manusia biasa disebut menguntungkan dan merugikan! Pernahkah kau mendengar orang mengeluh karena hari sedang hujan yang lain mengeluh karena tidak ada hujan? Pernahkah kau mendengar munculnya matahari disambut dengan senyum oleh seorang dan sebaliknya disambut dengan muka cemberut oleh orang lain? Semua hal mempunyai dua sifat, tergantung dari pada yang menghadapinya. Kekerasan tak terkecuali, memiliki dua sifat menguntungkan dan merugikan. He, anak gundul goblok, tahukah kau sekarang bahwa belum tentu kekerasan itu salah dan jahat seperti anggapanmu tadi?”

Kwan Cu mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia tertarik sekali karena memang dia suka akan filsafat-filsafat kebatinan. Ia sudah terlalu banyak membaca buku kuno dan semenjak belajar membaca, otaknya sudah dijejali oleh segala macam filsafat ini.

“Benar-benarkah semua hal di dunia ini mempunyai dua sifat baik dan buruk, Losuhu?”

Hwesio itu mengangguk-anggukkan kepalanya yang bundar. “Tentu! Coba kau sebutkan sesuatu sebagai contoh.”

Kwan Cu menengok ke sana ke mari, dan tiba-tiba dia menunjukkan telunjuk ke arah tahi kuda yang bertumpuk di pinggir jalan. “Apakah barang kotor itu juga mempunyai sifat baik? Teecu menganggapnya kotor dan hanya merugikan saja, mengotori jalan, menimbulkan bau tak sedap dan menjijikkan kalau di pandang.”

“Anak bodoh, itu karena kau memandangnya dari segi yang merugikan saja. Tahukah kau bahwa jekuarnya benda itu dari perut kuda mendatangkan dua macam keuntungan? Pertama, untung bagi si kuda sendiri karena kalau tidak bisa keluar perutnya akan kembung dan dia akan mati! Kedua, tahi kuda itu kalau sudah meresap ke dalam tanah menjadi pupuk yang amat baik dan menyuburkan tanah. Bukankah itu keuntungan-keuntungan belaka dan termasuk sifat-sifat baik?”

Kwan Cu melengak dan terpaksa dia tersenyum geli. Sepasang matanya yang lebar dan bersinar-sinar itu bergerak kenan kiri, menandakan bahwa otaknya yang cerdik bekerja keras. Ia mencari akal untuk mengalahkan hwesio gemuk ini dengan pendirian yang aneh itu.

“Losuhu, ada satu hal lagi. Apakah kejahatan juga mempunyai sifat baik?”

Kini Kak Thong Taisu yang melengak. Ia merasa seperti dadanya di todong oleh senjatanya sendiri. Senjata makan tuan! Akan tetapi hwesio ini adalah seorang manusia yang sudah matang luar dalam tentu saja tidak mau kalah. Sambil menggerak-gerakkan kedua matanya yang kelereng itu, dia berkata,

“Tentu saja bocah tolol! Kalau tidak ada kejahatan di dunia ini, mana mungkin ada kebaikan? Siapa mau bicara kebaikan kalau tidak ada kejahatan? Siapa bisa mengatakan baik kalau tidak ada buruk dan mana di dunia ini ada orang berbudi kalau tidak ada orang jahat? Kejahatan merupakan imbangan dari pada kebajikan seperti Im (positif) menjadi imbangan dari pada yang (negatif) kalau salah satu tidak ada mana mungkin dunia bisa berputar dan matahari bisa terbit dan tenggelam?”

Filsafat ini terlalu berat bagi otak Kwan Cu yang masih kecil, maka untuk beberapa lama dia bengong saja.

Sebaliknya setelah berkata demikia Kak Thong Taisu tertawa bergelak. “Ha,ha,ha, anak bodoh, anak tolol!”

“Losuhu,” Kwan Cu mendapatkan bahan pula ketika mendengar makian ini, “apakah kebodohan juga mempunyai sifat baik?’

“Tentu saja, kalau tidak bodoh dulu, mana bisa menjadi pintar? Tanpa adanya kebodohan, mana manusia mengenal kepintaran?”

Dibalikkan seperti ini, Kwan Cu mulai dapat menangkap dan dia tertawa bergelak, menimpali suara ketawa hwesio gemuk itu sehingga dua orang ini tertawa-tawa, membikin orang-orang yang lewat di situ memandang terheran-heran.

”Orang-orang miring otaknya…”demikian mereka berbisik.

“Kwan Cu, kau terlalu sekali. Perutku menjadi lapar karena kau mengajakku bercakap-cakap saja. Hayo kaucarikan makanan untukku. Hanya di rumah-rumah bangsawan-bangsawan terdapat makanan enak.”

Hwesio gemuk ini mengajak Kwan Cu memasuki kota raja. Kak Thong Taisu menyuruh Kwan Cu berjalan dahulu dan menyuruh anak ini minta makanan dari rumah gedung bangsawan. Kwan Cu menurut dan kebetulan sekali dia memasuki halaman gedung dari pembesar Lu di mana dia melihat Lu Thong sedang menyuruh tiga ekor anjing-anjingnya mengeroyok seorang kakek pengemis itu sebagaimana telah di tuturkan di bagian pertama dari cerita ini.



“Lopek, marilah kita keluar dari halaman orang kaya ini,” kata Kwan Cu sambil menolong pengemis tua yang terluka oleh gigitan-gigitan anjing tadi. Pengemis itu dengan susah payah berdiri dan merangkulkan lengan kirinya pada leher Kwan Cu dan terseok-seok mereka keluar dari tempat itu.

Akan tetapi, setelah kini anak gundul itu tidak berada di dekatnya lagi, Lu Thong timbul keberaniannya, dia berseru keras dan tiga ekor anjing itu kembali menyalak-nyalak dan menyerbu Kwan Cu dan pengemis tua yang sedang jalan terpincang-pincang hendak keluar! Kwan Cu tidak berdaya karena dia sedang menggandeng kakek itu keluar. Pengemis itu demikian lemah sehingga kalau dia di lepaskan pegangannya, tentu orang tua itu akan roboh! Sebaliknya pengemis tua itu tidak mempedulikan sama sekali tiga ekor anjing yang menggonggong-gonggong dan mengurung. Wajah pengemis tua ini menjadi terang berseri dan dia bahkan bernyanyi dengan suara yang tinggi!

“Alam hidup bukan untuk diri pribadi, karenanya dapat kekal abadi! Tidak seperti lu manusia hina (siauw jin),
lupa akan asal usulnya, setelah hidup mewah dan kaya, si miskin ia hina!
Mana dia akan dapat tahan lama?”

Nyanyian ini diulang-ulangi dan diam-diam Kwan Cu merasa kagum. Susunan kata-katanya amat indah dan dia puji kakek ini yang dapat menghubungkan ujar-ujar Lo Cu dengan kata-kata lain yang isinya menyinggung-nyinggung orang she Lu yang dia tidak tahu entah siapa! Ia masih ingat bahwa bait pertama yaitu, ”Alam hidup bukan untuk diri pribadi, karenanya dapat kekal abadi” adalah ujar-ujar dari nabi Lo Cu tentang pelajaran To.

Tiga ekor anjing itu mengejar terus dan pada saat mereka hendak menubruk dan menyerang dua orang yang keluar itu, tiba-tiba dari atas menyambar turun tubuh dengan kepalanya yang gundul kelimis. Kak Thong Taisu telah berada di situ, tertawa bergelak sambil berkata,

“Nyanyian orang edan!” akan tetapi biarpun dia tujukan ucapannya ini kepada kakek pengemis tadi, sebetulnya dia sama sekali tidak memperhatikan kakek pengemis dan Kwan Cu. “Cocok betul dia dengan bocah tolol.” Kemudian, ketika Kak Thong Taisu melihat tiga anjing yang mengejar-ngejar pengemis itu dan Kwan Cu, matanya berseri-seri.

“Ah, anjing bagus, daging gemuk!”

Sambil berkata demikian, hwesio ini melangkah dua kali sambil menggerakkan kedua tangannya dan tahu-tahu dia telah dapat menangkap tiga ekor anjing itu pada ekornya! Benar-benar hebat tenaga Si Tangan Seribu Kati ini, karena dia memegang tiga ekor anjing pada ekor mereka itu hanya dengan tangan kiri dan sekali lagi mengayun , terdengar suara “prak!” dan pecahlah kepala tiga ekor anjing itu menghantam lantai!

Lu Thong memandang kejadian ini dengan mata terbuka lebar. Ia tidak marah melihat tiga ekor anjingnya dibunuh orang, bahkan dia lalu menghampiri hwesio itu dan berkata, “Losuhu, kau lebih hebat dari pada Ang-bin Sin-kai agaknya!”

Kak Thong Taisu membalikkan tubuhnya, melempar mayat tiga ekor anjing tadi, dan memandang kepada anak itu. Ia menatap wajah Lu Thong dari kepala sampai ke kakinya, penuh perhatian dan diam-diam dia mengakui bahwa anak ini pun memiliki tulang dan bakat yang baik sekali, sungguhpun tidak sebaik Kwan Cu.

“Kau tahu apa tentang Ang-bin Sin-kai?” tanyanya.

“Dia adalah kakak dari kong-kongku, mengapa aku tidak tahu? Dia lihai sekali, akan tetapi melihat kepandaian losuhu, kau berani bertaruh bahwa Losuhu tentu lebih lihai!”

“Hm, jadi kau cucu dari Lu Pin?”

Lu Thong mendongkol sekali. Sudah dua kali dalam satu hari ini orang menyebut nama kakeknya begitu saja. Kakeknya Lu Pin adalah seorang menteri, bagaimana seorang pengemis tua dan seorang hwesio menyebut namanya begitu saja. Akan tetapi kali ini Lu Thong tidak mau memperlihatkan muka marah. Ia cerdik sekali dan dia ingin belajar ilmu silat, maka dia lalu menjura dan berkata,

“Betul sekali, Losuhu. Teecu yang rendah dan bodoh adalah cucu dari orang tua itu. Sayang sekali teecu bernasib buruk .”

Hwesio ini mengangkat alisnya dan memandang penuh perhatian, ”Apa katamu? Bernasib buruk setelah kau mengenakan pakaian demikian indahnya, tinggal di gedung demikian mewahnya?”

Mendengar ini, tiba-tiba Lu Thong menangis, menjatuhkan diri berlutut di depan hwesio itu dan merenggutkan hiasan rambut serta pakaiannya sehingga sobek-sobek. “Buat apa semua kemewahan ini, Losuhu? Teecu ingin sekali belajar ilmu silat yang tinggi.”

“Kau masih cucu Ang-bin Sin-kai, apa susahnya untuk memenuhi keinginan itu ?”

“Inilah, Losuhu, yang membuat hati teecu selalu tak senang. Ang-bin Sin-kai tidak mau mengajar silat kepada teecu!”

Diam-diam Kak Thong Taisu berpikir, anak ini cukup cerdik dan berbakat baik, ia telah dikecewakan oleh Kwan Cu yang tidak mau menjadi muridnya, sekarang ada anak ini yang di tolak oleh Ang-bin Sin-kai! Mengapa dia tidak mau mengambil sebagai murid? Hendak dia lihat bagaimana Ang-bin Sin-kai kelak kalau melihat keturunannya belajar ilmu silat dari padanya!

“Eh, anak, siap namamu?”

“Teecu bernama Lu Thong.”



Girang hati Kak Thong Taisu, karena nama anak ini ada persamaan dengan namanya .

“Kalau aku mengajar silat kepadamu bagaimana?”

Bukan main girangnya hati Lu Thong dan serta merta dia lalu menjatuhkan diri dan berlutut di depan hwesio itu, “Suhu, teecu akan belajar dengan giat!”

“Akan tetapi kau harus ikut kau merantau, menjadi pelayanku, mengemis makanan untukku dan hanya boleh makan sisa makananku. Sangggupkah?”

Tentu syarat-syarat ini amat berat, bahkan terdengar mengerikan dalam telinga Lu Thong, akan tetapi oleh karena dia memang cerdik, dia tidak mau menurutkan perasaannya. ”Teecu hanya akan tunduk kepada semua perintah Suhu. Akan tetapi teecu tadi mendengar suhu memuji anjing-anjing itu sebagai daging-daging gemuk, apakah Suhu suka kalau teecu menyuruh orang memasaknya?”

Berseri wajah Kak Thong Taisu. “Tentu saja, aku sampai lupa! Sayang kalau daging-daging gemuk itu dibuang begitu saja.”

Pada saat itu, beberapa orang muncul dari dalam dan mereka ini kaget sekali ketika melihat Lu Thong berlutut di depan seorang hwesio gemuk. Mereka adalah Lu Seng Hok dan istrinya, yang diikuti oleh beberapa pelayan. Tadi Lu Thong memang telah membohong kepada pengemis tua itu ketika dia mengatakan bahwa ayahnya tidak berada di rumah.

“Thong-ji, kau sedang apa di situ? Siapa hwesio ini?” tanya Lu Seng Hok kepada anaknya dengan kening di kerutkan.

“Ayah, dia ini adalah suhuku, bernama….”Lu Thong menengok kepada Kak Thong Taisu karena dia memang belum mengetahui nama suhunya.

“Kak Thong Taisu, berjuluk Jeng-kin-jiu!” kata hwesio itu sambil tertawa dan matanya memandang kepada Seng Hok dengan sikap menggoda. Hwesio ini memang adatnya aneh sekali. Kalau orang biasa, melihat sikap kurang senang dari tuan rumah, tentu akan segera pergi akan tetapi dia sebaliknya malah sengaja mempermainkan tuan rumah dan pada saat itu pun dia mengambilkeputusan untuk tinggal di gedung ini!

Adapun Lu Seng Hok yang mendengar nama yang amat terkenal ini, diam-diam merasa makin tak senang. Nama Jeng-kin-jiu sudah amat terkenal sebagai seorang yang berwatak aneh dan ditakuti orang.

“Bukankah kau ingin berguru kepada Ang-bin Sin-kai?” tanya Seng Hok karena dia tak berani melarang begitu saja atau mengusir hwesio ini.

“Ayah, Suhu jauh lebih lihai dari pada Ang-bin Sin-kai. Lihat saja tiga ekor anjing itu. Sekali tangkap dan sekali banting, tiga ekor anjing itu telah mampus! Suhu ingin makan daging anjing, harap ayah menyuruh tukang masak segera memasaknya!”

Kak Thong Taisu tertawa bergelak. “Tak kusangka pinceng akan berada di antara keluar Lu Pin. Aha, kalau saja Ang-bin Sin-kai melihat ini. Ha-ha-ha!” kemudian dengan langkah lebar dia mengikuti muridnya dan tuan rumah memasuki gedung yang indah itu.

Demikianlah mulai hari itu Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tinggal di rumah Lu Seng Hok, hidup senang, setiap hari minta disediakan makanan yang paling enak. Ia juga mengajar ilmu silat kepada Lu Thong dan makin gembira melihat betapa anak ini benar-benar berbakat baik. Akan tetapi orang seperti hwesio ini, mana betah tinggal terus-terusan di dalam rumah? Sering kali dia pergi tanpa bilang terlebih dulu dan datang pula tanpa memberi tahu. Kadang-kadang mengajak muridnya, kadang-kadang sendiri dan semua orang, termasuk Lu Thong yang sudah mengetahui watak luar biasa dari Kak Thong Taisu, tidak berani menegur. Pendeknya, Kak Thong Taisu ini boleh berbuat apa saja yang ia suka di dalam rumah itu dan semenjak di situ ada Kak Thong Taisu menteri Lu Pin tidak mau datang ke rumah puteranya. Hal ini untuk mencegah kejadian yang tidak enak karena sikap hwesio ini memang sangat kasar dan tidak mau menghormat sama sekali.



Kwan Cu berjalan bersama kakek pengemis yang luka-luka dan di sepanjang jalan kakek pengemis itumasih bernyanyi-nyanyi. Kwan Cu seorang anak yang cerdik, mendengar nyanyian yang isinya memaki-maki dan mencela orang she Lu, dia tahu bahwa kakek ini tentu dibikin sakit hati oleh she Lu.

“Lopek, apakah anak bangsawan tadi she Lu?”

Kakek itu berhenti bernyanyi, lalu memandang padanya, akan tetapi sebelum dia menjawab, tiba-tiba kakek itu meramkan matanya, wajahnya semenjak tadi telah pucat dan kini matanya berkunang. Tubuhnya lemas dan dia lalu terkulai, pingsan dalam dekapan Kwan Cu. Ternyata bahwa kakek ini telah kehilangan banyak darah dan karena semenjak tadi dia menahan sakit dengan nyanyiannya, sekarang setelah dia berhenti bernyanyi, rasa sakit itu datang menyerang dirinya bagaikan gelombang besar yang menelannya!

Kwan Cu cepat menarik tubuh kakek ini dan karena anak itu diam-diam telah memiliki tenaga besar, dengan mudah dia mengangkat tubuh yang kurus kering ini dan memondongnnya ke pinggir jalan. Ia meletakkan tubuh pengemis tua itu di bawah pohon, lalu cepat pergi ke sebuah kedai yang ramai. Pelayan kedai itu baik hati dan ketika kwancu menceritakan keadaan pengemis tua yang sengsara, diberinya anak ini semangkok bubur hangat dan sedikit sisa arak. Kwan Cu menghaturkan terima kasih dan cepat kembali ke tempat dia meletakkan tubuh pengemis tua tadi. Setelah dia menuangkan sedikit arak ke dalam mulut kakek itu, maka pengemis tua ini siuman kembali dan dia menerima bubur yang disuapkan ke dalam mulutnya oleh Kwan Cu.

“Anak, kau baik sekali. Baru sekarang aku orang she Gui bertemu dengan seorang yang menaruh perhatian kepada lain orang yang sengsara,” katanya dan dengan bantuan Kwan Cu, dia lalu duduk bersandar kepada sebatang pohon. Sementara itu, hari telah menjadi panas dan hawa di bawah pohon besar itu sejuk benar.

“Kita mengaso di sini dulu, eh, siapa pula namamu tadi? Kau she Lu dan namamu?”

“Kwan Cu,”jawab anak gundul itu sambil menahan perutnya yang terasa perih saking laparnya.

“Lu Kwan Cu, nama yang cukup baik, sayang she-nya itu! Eh, anak, bagaimana kau sampai bisa mempunyai she Lu?” kakek itu bertanya.

“Untahalah, Gui-lopek. Aku sendiri tidak tahu mengapa namaku Lu Kwan Cu. Aku mendapatkan nama ini begitu saja, dan kupikir, betapapun buruknya nama ini masih lebih baik dari pada yang tidak bernama sama sekali. Pula, apakah artinya nama? Waktu lahir manusia tak bernama, dan kalau sudah mati, namanya lenyap pula bersama tubuhnya ke dalam tanah.”

Kakek itu membelalakkan matanya. “Ah, benar-benar ajaib! Dari mana kau mendapatkan semua pengertian itu? Kau murid siapa?”

“Bukan murid siapa-siapa, Lopek, juga bukan anak siapa-siapa. Aku tahu semua itu dari buku-buku kuno.”

“Hm, lebih aneh lagi. Seorang anak pengemis yang jembel dan miskin bisa membaca kitab…..”

“Masih kalah aneh oleh seorang kakek pengemis yang ternyata ahli sastra dan syair!” kata Kwan Cu. Mereka saling pandang lalu tertawa.

“Bagus, Kwan Cu. Kau tidak tahu dengan siap kau berhadapan! Ketahuilah olehmu, dahulu Menteri Lu Pin yang mulia itu pernah belajar ilmu kesusastraan padaku! Pernah pula dia tinggal di rumahku dan makan dari mangkokku. Aku adalah ahli sastra, ahli bahasa kuno dan namaku Gui Tin atau Gui-siucai bukanlah nama yang tak dikenal orang!”

“Sayang aku tidak mengenalnya, Lopek,” kata Kwan Cu.

Untuk sesaat kakek ini nampak kecewa dan marah akan tetapi ketika pandang matanya bertemu dengan pandang Kwan Cu yang mengandung kejujuran, kakek ini tertawa terbahak-bahak sampai keluar air matanya!

“Aah, memang lebih mudah memaki orang dari pada memaki diri sendiri! Aku tidak lebih baik daripada manusia she Lu itu. Aku masih saja di kotori oleh kesombongan dan ingin namaku dikenal semua orang! Hanya kesombongan dan impian kosong belaka. Kau benar, Kwan Cu. Nama Gui-siucai memang nama kosong belaka. Apa anehnya pada diri seorang pengemis kelaparan yang dikeroyok anjing? Ha-ha-ha! Akan tetapi pertemuan kita ini bukan kebetulan saja, tentu telah diatur oleh Thian yang maha adil! Kau cerdas, dan kau suka akan kesusastraan. Maukah kau mengoper pengetahuan yang memberatkan jiwaku ini?”

Kwan Cu memang cerdik, akan tetapi mendengar ucapan ini, dia masih ragu-ragu akan maksudnya . “Kaumaksudkan bahwa kau hendak mengajarkan semua pengetahuan sastramu, Lopek?”

Gui tin mengangguk. “Apa kataku? Kau memang cerdas dan hanya kaulah yang akan mewarisi pengetahuanku.”

Kwan Cu merasa girang sekali. Memang dia paling senang akan kesusastraan, maka mendengar ini dia berlutut di depan kakek pengemis tadi, menyatakan kesediaan untuk ”mengoper” semua pengetahuan dari Gui-siucai.



Gui tin puas sekali. Sambil mengurut-urut kedua kakinya yang sakit-sakit, dia berkata, “Kwan Cu, setelah sekarang kita menjadi guru dan murid, ada baiknya kalau akau berterus terang. Siapakah sebetulnya orang tuamu dan kau datang dari mana?”

Mendengar pertanyaan ini Kwan Cu menjawab sejujurnya, ”Lopek sesungguhnya aku tidak membohong ketika aku berkata bahwa aku tidak tahu siapa orang tuaku dan dari mana aku datang. Seingatku tahu-tahu aku telah berada di pantai Laut Po-hai dan melihat Ang-bin Sin-kai berkelahi dengan Kak Thong Taisu, karena mereka berdua memperebutkan aku untuk menjadi muridnya! Akan tetapi aku tidak mau menjadi murid mereka.”

Mendengar ini, Gui Tin membelakkan matanya. ”Aduh, aduh! Kalau tidak mendengar dari mulutnya sendiri, siapa yang sudi percaya? Tidak mau menjadi murid Ang-bin Sin-kai? Benar-benar aneh pernyataan ini. Akan tetapi sudahlah, kau memang seorang sin-tong (anak ajaib) dan agaknya kau akan lebih berhasil dari pada aku. Kita anggap saja bahwa kau memang sengaja diturunkan oleh Thian untuk menguras dan mengoper semua apa yang pernah kupelajari. Sekarang, kau dengarlah riwayatku agar kau tahu orang macam apa yang sekarang menjadi gurumu.”

Sampai matahari terbenam ke kaki langit sebelah barat, pengemis itu bercerita tentang riwayat hidupnya. Dia memang seorang terpelajar yang semenjak kecilnya hanya bergulung dengan kitab-kitab saja. Selain ahli sastra dan telah lulus dalam ujian kota raja sehingga berhak menyandang gelar siucai, Gui Tin ini juga tekun sekali mempelajari kitab-kitab kuno sehingga dia berhasil memecahkan segala macam tulisan-tulisan kuno yang tidak dapat di baca oleh para sastrawan lain!

Ketika dia masih muda, banyak sekali kaum sastrawan datang kepadanya untuk menerima wejangan-wejangan atau menghisap sedikit ilmu dan tidak ada orang yang tidak mengenal Gui Tin yang disebut Gui-siucai. Akan tetapi, watak dari Gui Tin amat aneh. Ia benci akan kedudukan dan pangkat, maka ketika kaisar yang mendengar akan kepandaiannya memanggilnya untuk diberi kedudukan tinggi, Gui Tin menolak keras! Tentu saja kaisar merasa tersinggung dan terhina, lalu menitahkn pasukan untuk menangkap Gui Tin!

Akan tetapi, para pembesar yang merasa amat kagum kepada sastrawan yang pandai ini, mencegah dan mintakan ampunan kepada kaisar sehingga hukuman kepada Gui Tin diubah, dari hukuman mati kepada hukuman buang! Ia dilarang tinggal di kota raja dan harus keluar dari situ! Gui Tin menjadi marah dan penghinaan ini membuat perubahan hebat dalam hidupnya. Ia menjadi seperti gila dan sambil berteriak-teriak memaki-maki kaisar, dia lalu keluar dari kota raja!

Sudah tentu saja perbuatannya ini membikin marah orang banyak, dan Gui Tin tentu sudah terbunuh mati kalau saja dia tidak di tolong oleh dua orang gagah yang menangkap dan membawanya pergi ke utara. Dua orang gagah ini ternyata adalah putera-putera Kaisar Mongol! Ketika itu, pemerintahan Mongol memperluas kebudayaan mereka dengan mempelajari kitab-kitab dari Tiongkok yang dapat mereka rampas dari perpustakaan Kaisar Han. Akan tetapi karena banyak terdapat kitab-kitab yang kuno dan sukar sekali dibaca, maka setelah melihat keadaan Gui Tin, dua orang putera kaisar yang ternyata perkasa sekali itu lalu menolong Gui-siucai dan membawanya ke Mongol!

Kaisar mendengar tentang hal ini. Gui Tin lalu dianggap sebagai pengkhianat yang melarikan diri ke daerah asing, maka semua keluarganya lalu ditangkap dan dihukum mati!

Sampai belasan tahun Gui Tin tinggal di Mongolia, di mana dia bekerja untuk menterjemahkan kitab-kitab kuno yang sukar dibaca. Dalan kesempatan ini Gui Tin memperdalam pengetahuannya dengan mempelajari bahasa-bahasa daerah yang puluhan macam banyaknya. Juga dia menemukan kitab-kitab kuno yang ternyata berisi pelajaran penting sekali tentang ilmu perang, ilmu silat dan lain-lain. Akan tetapi sebagai seorang ahli sastra, Gui Tin tidak suka mempelajari tentang ilmu silat.

Kembalilah Gui Tin menghadapi bahaya hebat ketika Kaisar Mongol minta supaya dia menterjemahkan kita-kitab ilmu perang dan ilmu silat. Tadinya memang Gui Tin mengerjakan perintah itu, namun ketika dia mendengar bahwa bala tentara Mongol makin maju dalam ilmu perangnya, dan bahkan sekarang mempunyai niat hendak menyerang ke selatan, dia menjadi terkejut dan gelisah sekali. Tidak, betatapun juga, dia tidak mau menjadi pengkhianat! Betapapun kaisar memperlakukannya tidak adil, betapapun dia tidak suka kepada para pembesar-pembesar di negaranya sendiri yang amat korup dan lalim, namun dia masih mencinta tanah airnya, masih menjunjung tinggi negaranya sendiri! Oleh karena itu, dia menghentikan segala penterjemahan kitab-kitab perang dan ilmu silat! Biarpun demikian telah banyak ilmu perang yang di terjemahkan dan telah banyak pula ilmu silat yang tinggi-tinggi dia terjemahkan, sehingga banyak sekarang tokoh-tokoh besar di kalangan bangsa Mongol memiliki ilmu silat yang luar biasa!

Menghadapi pemogokan yang dilakukan oleh Gui Tin dalam penterjemahan ilmu silat dan ilmu perang, Kaisar Mongol menjadi marah dan hampir saja Gui Tin dibunuh kalau tidak di halangi oleh dua orang pangeran yang dulu menolongnya. Sebaliknya, Gui Tin hanya diusir dari Mongol! Untuk kedua kalinya satrawan ini diusir oleh kaisar dan kini dia pergi dengan penuh perasaan jemu menghadapi manusia.



Beberapa tahun kemudian, orang melihat seorang kakek pengemis yang kurus kering. Tak seorang pun mengetahui bahwa dia ini adalah Gui Tin atau Gui-siucai yang dahulu begitu dimuliakan orang namanya, bahkan yang dikagumi oleh kaisar dan juga kaisar mongol! Hancur hati Gui Tin ketika dia mendengar betapa keluarganya telah dimusnahkan dan semua dijatuhi hukuman mati. Makin rusak batinnya dan dia merantau ke sana ke mari seperti seorang edan.

Kemudian dia tiba di kota raja dan teringat akan Lu Pin, seorang kawannya yang paling baik, atau boleh juga dibilang seorang bekas muridnya yang paling dia sayang. Ia juga kagum melihat bakat luar biasa dari Lu Pin dalam hal seni ukir, maka dia ingin sekali bertemu dan mengunjungi rumah Lu Seng Hok ketika mendengar bahwa Seng Kok adalah putera dari Lu Pin. Tidak tahunya, di halaman gedung ini, dia dihina dan hampir saja mati digigit anjing-anjing yang dikerahkan oleh Lu Thong, cucu dari Lu Pin bekas sahabatnya itu! Tentu saja hatinya menjadi sakit sekali dan makin bencilah dia kepada manusia, kepada dunia dan kepada diri sendiri.

"Demikianlah Kwan Cu. Kalau tidak bertemu dengan kau agaknya aku tidak melihat sesuatau lagi untuk lebih lama tingal di dunia ini. Dengan adanya kau, aku ingin hidup beberapa tahun lagi untuk menumpahkan semua yang telah kupelajari kepadamu."

Kwan Cu merasa terharu sekali, dan semenjak saat itu dia memandang kepada gurunya ini dengan penuh penghormatan, penuh kasih sayang dan dia merawat Gui Tin dengan penuh kesabaran dan kesetiaan. Ia tidak ragu-ragu untuk mengemiskan makanan untuk gurunya ini, atau menggendong tubuh gurunya yang lemah apabila perjalanan jauh membuat kaki Gui Tin pecah-pecah dan tulangnya sakit-sakit.

"Kwan Cu, aku heran sekali melihat kau. Bagaimana kau bisa berlari secepat ini dan tubuhmu begitu kuat? Bukankah kau belum mempelajai ilmu silat?" tanya Gui Tin ketika pada suatu hari Kwan Cu berlari cepat sambil menggendongnya.

"Belum pernah, Suhu. Sebetulnya, aku hanya mendapat petunjuk dari Pek-cilan Thio Loan Eng tentang cara bersamadhi dan mengatur napas, juga tentang menyalurkan hawa dari tian-tan keseluruh tubuh untuk menguatkan urat-urat dan melancarkan perjalanan darah. Entahlah, semenjak aku membiasakan siulian, aku merasa tubuhku kuat dan ringan sekali di waktu berlari."

"Hm, itulah pelajaran pokok dari ginkang dan lweekang! Anak yang baik, aku sendiri pun telah banyak menterjemahkan ilmu-ilmu itu, sayangnya aku tidak menaruh perhatian sehingga aku sudah lupa lagi dengan isinya dan tak pernah mempelajari ilmu-ilmu silat yang tinggi."

"Mengapa, Gui-lopek? Bagiku mempelajari ilmu silat sama halnya dengan mendatangkan bencana terhadap diri sendiri. Aku tidak suka belajar silat!"

"Ha-ha-ha, kesukaan kita sama dan pendapat kita sama pula. Sayangnya Kwan Cu, pendapat ini salah sama sekali!"

Saking herannya Kwan Cu berhenti berlari dan gurunya minta di turunkan dari gendongan. Mereka berhenti dan duduk dipinggir jalan yang berumput.

"Mengapa begitu, Suhu?"

Gui Tin menarik napas panjang. "Memang kita kaum sastrawan memandang dunia dari segi keindahan. Kita pencinta damai dan suka akan ketentraman, sesuai dengan kehendak alam yang suci. Akan tetapi kita lupa bahwa dalam keadaan negara kacau, justru ilmu silat jauh lebih penting dan lebih cocok untuk dipergunakan bagi kebaikan seluruh manusia! Kita lupa bahwa hidup ini memang perjuangan dan perjuangan itu tergantung dari keadaan. Kalau negara sedang dalam keadaan makmur dan damai, memang ilmu silat hanya mendatangkan kekacauan saja, dan ilmu kesusastraan dan kesenianlah yang diperlukan untuk memperkembangkan kebudayaan. Akan tetapi dalam keadaan seperti sekarang ini…." Kembali Gui Tin menarik napas panjang. "Apakah artinya kepandaian seorang ahli sastra? Lihatlah saja Lu Pin itu biarpun dia seorang ahli sastra, namun dalam keadaan kacau ini apa yang dapat ia perbuat? Melainkan kekacauan yang keluar dari otaknya, buktinya cucunya sudah menjadi jahat karena selalu terbenam dan mabuk akan kemewahan dan kemuliaan dunia!"

"Akan tetapi, Gui-lopek. Bukankah ilmu silat itu adalah ilmu yang berdasarkan kekerasan, kasar, dan termasuk kepandaian yang jahat saja? Coba saja dipikir, untuk apa ilmu silat selain untuk dipergunakan pukulan menghantam orang lain, mempergunakan tendangan menyerang orang lain, mainkan senjata tajam untuk melukai dan membunuh? Nabi-nabi seperti Khong Cu, Lo Cu dan yang lainnya, pernahkah mereka itu mempergunakan pedang untuk mengalahkan orang?"



"Memang benar, akan tetapi mereka itupun tidak dapat mendatangkan damai di dalam negeri. Pula, kita telah lupa bahwa yang bersifat jahat itu bukanlah ilmu silatnya, melainkan orang-orang yang memiliki ilmu itu. Ilmu kepandaian apa saja, baik bun (kesusastraan) maupun bu (ilmu silat), tetap merupakan ilmu yang tidak mempunyai sifat baik maupun buruk. Baik atau buruk tergantung dari orang yang memilikinya! Segala apa yang sudah ada di dunia ini sudah ada, dan kekal sifatnya, hanya yang tidak kekal saja yang dipengaruhi oleh baik maupun buruk. Seperti air tenang, baru bergerak kalau ada angin lalu atau sesuatu jatuh ke dalamnya."

Kwan Cu berpikir. Ada persamaan dalam omongan gurunya ini dengan ucapan Kak Thong Taisu!

Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara ketawa terbahak-bahak dan muncullah seorang bertubuh tinggi besar, entah dari mana datangnya. Orang ini ternyata memiliki ginkang yang luar biasa sekali dan tahu-tahu dia berkelebat berdiri di depan Gui Tin dan Kwan Cu. Orang ini kulitnya putih, tubuhnya tegap dan nampak kuat sekali. Yang aneh adalah pakaiannya, karena pakaian yang menempel di tubuhnya berbeda dengan pakaian orang biasa. Kepalanya tertutup oleh topi kain yang di depannya terdapat bentuk seperti tanduk. Di luar bajunya yang berlengan panjang itu ditutupi oleh baju rompi lengan pendek yang indah sekali. Di luar celananya yang panjang itu tertutup pula oleh baju rok sebatas lutut. Benar-benar aneh sekali orang ini. Mukanya sama saja dengan orang Han, hanya hidungnya yang agak panjang dan bengkok ke bawah. Ia tidak berkumis namun memelihara jenggot model kambing. Di punggungnya tergantung sepasang siang-kek ( senjata tombak bercabang) yang runcing.

Gui Tin memandang tajam. Kakek pengemis yang sudah banyak pengalaman ini tahu dengan orang apa dia berhadapan, maka segera dia bicara dalam bahasa yang sama sekali tidak di mengerti oleh Kwan Cu. Ternyata Gui Tin telah bicara dalam bahasa Tartar.

"Siapakah tuan dan mengapa datang menjumpai kami?"

Mendengar pertanyaan ini, orang Tartar itu tertawa lagi dan kini sepasang matanya bersinar-sinar girang. "Tidak salah lagi!" katanya dalam bahasa Han sehingga Kwan Cu dapat mengerti. "Kau tentu Gui-siucai bukan? Bagus, bagus! Tadi aku merasa heran sekali dan bertanya-tanya dalam hati apakah aku bertemu dengan dewa atau setan di tempat ini, ketika mendengar kalian ini pengemis-pengemis tua dan muda bicara tentang filsafat-filsafat demikian tingginya. Sekarang aku mengerti, kau tentu Gui-siucai. Siapa lagi kalau bukan Gui Tin si ahli sastra?"

Gui Tin bangkit dan menjura seperti laku seorang yang tahu akan sopan santun. "Memang tidak salah. Aku yang bodoh adalah Gui Tin, dan ini adalah muridku Kwan Cu. Tidak tahu siapakah Tuan?"

Orang Tartar itu tersenyum dan nampak giginya yang berbaris rapi dan putih sekali. Kalau saja hidungnya tidak demikian bengkok, dia benar-benar tampan sekali, pikir Kwan Cu sambil memandang heran. Ia menaksir usia orang ini antara tiga empat puluh tahun.

"Gui-siucai, melihat sepintas saja kau sudah tahu bahwa aku seorang Tartar, ini menandakan ketajaman matamu dan bahwa kau memang sudah matang dalam pengalaman. Juga bahasa Tartar yang kau ucapkan tadi, amat halus. Sungguh-sungguh aku sangat kagum sekali. Ketahuilah, aku bernama An Lu Kui, adik dari perwira An Lu Shan yang sudah banyak berjasa kepada negara."

Nama An Lu Shan pada waktu itu cukup terkenal sekali, karena panglima ini memang amat gagah perkasa dan sudah banyak membuat jasa dalam membasmi serangan kecil-kecilan dari musuh di utara dan barat. Akan tetapi, sebagai seorang yang sudah jemu terhadap para pembesar baik sipil maupun militer, Gui Tin bersikap dingin saja.

"Ah kiranya Tuan adalah adik dari An-ciangkun yang ternama. Tidak tahu apakah keperluan Tuan menjumpai aku, seorang jembel miskin?"

"Ah, Gui-siucai terlalu merendahkan diri. Sebenarnya, aku datang sengaja untuk mengundangmu datang ke perbatasan utara atas perintah An-cingkun dan terutama sekali atas petunjuk dari Li Kong Hoat-ong yang menjadi penasihat dari An-ciangkun."

Gui Tin berpikir sebentar dan diam-diam dia terkejut. "Kaumaksudkan Li Kong Hoat-ong bekas raja dari suku bangsa Yu-yan? Apakah kini dia menjadi penasihat dari An-ciangkun?"

"Gui-siucai benar-benar mengenal orang-orang besar. Memang tepat sekali apa yang kauduga itu."

Biarpun dia sendiri belum pernah memangku jabatan, namun Gui Tin telah banyak menterjemahkan buku-buku ilmu perang, maka kini timbullah semacam dugaan yng menggelisahkan hatinya. Bangsa Yu-yan di bawah pimpinan Li Kong Hoat-ong, telah banyak sekali mengacau negara Tiongkok, dan setelah bangsa itu dikalahkan, sekarang Li Kong Hoat-ong menjadi penasihat dari An Lu Shan. Benar bahwa An Lu Shan adalah seorang perwira yang banyak berjasa dan tenaganya terpakai sekali oleh pemerintah, akan tetapi tetap saja An Lu Shan adalah seorang bangsa Tartar, siapa tahu isi hati dari orang itu?

"Tidak, tidak. Aku tidak bisa pergi ke perbatasan utara. Aku sudah tua, tubuhku sudah lemah, tulang-tulangku sudah rapuh, tak mungkin aku dapat melakukan perjalanan sejauh itu. Harap saja tuan tidak mengganggu lagi." Sambil berkata demikian lalu Gui Tin menggandeng tangan Kwan Cu dan diajak pergi dari situ.

Akan tetapi baru saja mereka berjalan beberapa langkah, tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak dan sekali melompat, An Lu Kui telah berada di depan mereka dan orang Tartar ini mendorong sebatang pohon besar yang mengeluarkan suara keras dan tumbang, melintang dan menghalang perjalanan Gui Tin dan Kwan Cu!



Kwan Cu meleletkan lidahnya saking kagum dan terheran. Bagaimana orang dapat mendorong roboh sebatang pohon besar demikian mudahnya? Adapun Gui Tin yang melihat ini, lalu memandang tajam dan bertanya, “Hm, kau berkepandaian tinggi! Pernah apa kau dengan Li Kong Hoat-ong?”

An Lu Kui tersenyum. “Dia adalah guruku, juga guru dari kakakku, An-ciangkun.”

Makin tercekat hati Gui Tin mendengar ini. Lebih hebat lagi kalau raja Yu-yan itu menjadi guru dari An Lu Shan! Mengapa kaisar tidak mengetahui akan hal ini?

“Jadi kau hendak menggunakan kekerasan, tetap hendak membawaku ke utara?”

An Lu Kui menggeleng kepala sambil tersenyum. “Tidak sama sekali, kami mengundang Gui-siucai dengan hormat. Harap Gui-siucai sudi meluluskan permintaan kami.” Setelah berkata demikian, An Lu Kui bersuit keras dan tiba-tiba dari hutan kecil tak jauh dari situ muncul lima orang yang membawa delapan ekor kuda yang besar dan kuat! Ternyata bahwa lima orang inipun orang-orang Tartar pula.

“Gui-siucai silakan naik kuda, kau juga!” kata An Lu Kui kepada Kwan Cu.

Gui Tin hendak membantah, akan tetapi Kwan Cu berkata, “Gui-lopek, tiada gunanya membantah. Biarlah kita ikut pergi dan menyerahkan nasib kepada Tuhan.”

Mendengar ini, An Lu Kui tertawa. “Anak baik, siapa namamu?”

“Aku lu Kwan Cu, murid dari Gui-lopek.”

Seorang kawan An Lu Kui berkata, ”Ah, untuk apa membawa-bawa bocah ini? tinggalkan saja !”

“Tidak!” Gui Tin membentak marah. “Kalau Kwan Cu ditingggalkan biarpun kalian membunuhku, aku tak sudi pergi!”.

Demikianlah, Gui Tin lalu naik kuda dan Kwan Cu juga naik kuda itu di belakang gurunya, karena inilah kehendak Gui Tin yang tidak mau berpisah dari muridnya yang tercinta. Kuda-kuda lalu dikeprak dan berlarilah binatang-binatang tunggangan yang kuat ini menuju ke utara. Rombongan ini dipimpin sendiri oleh An Lu Kui yang di perjalanan bersikap ramah tamah terhadap Gui Tin.

Perjalanan dilakukan cepat sekali, tak pernah mereka berhenti di satu kota atau dusun karena bekal makanan mereka ternyata cukup banyak. Bahkan anehnya, An Lu Kui memilih jalan sunyi dan menghindari tempat-tempat ramai.

Mereka melewati Propinsi Shan-si dan ketika telah melalui kota Ta-tung, pada suatu pagi mereka melewati padang rumput yang sunyi. Di situ hanya nampak beberapa beberapa batang pohon yang tumbuhnya berjauhan dan keadaan benar-benar sunyi. An Lu Kui nampaknya takut-takut melewati tempat ini dan beberapa kali dia menengok ke arah barat di mana nampak pegunungan kecil.

“Hayo kita percepat kuda, karena sudah dekat!” katanya memberi perintah. Kuda dilarikan makin cepat dan keadaan sunyi sekali, kecuali suara kaki kuda yang berderap-derap dan bergema di empat penjuru. Memang aneh sekali bagi Kwan Cu yang baru pertama kali datang di tempat ini. Tempat itu terbuka dan hanya terkurung pohon-pohon yang tumbuh di sana-sini seperti raksasa berdiri megah, akan tetapi suara kaki kuda itu bergema sehingga kalau didengar-dengar, seakan-akan ada banyak sekali kuda berlari datang dari segenap penjuru.

Tiba-tiba delapan ekor kuda, terutama seekor yang membawa perbekalan dan tidak di tunggangi orang, hanya dituntun oleh seorang anak buah An Lu Kui, meringkik dan mengangkat kedua kaki depan ketika tiba-tiba terdengar suara nyaring dan dua orang anak laki-laki tahu-tahu telah melompat dari atas pohon dan berdiri menghadang di tengah jalan!

Ketika itu, Kwan Cu yang duduk sekuda dengan gurunya, menjalankan kudanya di dekat An Lu Kui. Melihat betapa kuda yang di tungganginya dan kuda An Lu Kui menyeruduk maju dan pasti akan menubruk dua orang anak laki-laki yang usianya sebaya dengan dia itu, Kwan Cu tak terasa pula menjerit, “Celaka…!” Setelah berkata demikian, Kwan Cu memondong gurunya dan mengerahkan tenaganya melompat dari atas kuda yang sedang berlari cepat. Memang dia telah memiliki ginkang di luar kesadarannya sehingga tubuhnya dapat mencelat dari atas kuda, akan tetapi oleh karena dia tidak pernah melatih ilmu melompat, dia tidak tahu cara bagaimana harus mengatur tubuhnya ketika melayang itu sehingga dia jatuh dengan kacau bersama gurunya. Namun Kwan Cu memang berhati setia. Melihat bahwa dia dan gurunya jatuh ke tanah, dia lalu berguling dan mengatur sedemikian rupa sehingga jatuh, dia berada di bawah dan gurunya menimpa dadanya! Kepala anak ini membentur tanah kering dan debu mengebul, akan tetapi gurunya selamat!

Adapun An Lu Kui yang melihat kudanya menubruk seorang di antara dua orang anak laki-laki itu, membentak marah, “Anak gila, apakah kau ingin mampus?”

Akan tetapi, terjadilah hal-hal yang luar biasa sekali. Kuda yang tadi ditunggangi oleh Kwan Cu akan menubruk anak yang lebih kecil, akan tetapi ketika dua kaki depan kuda itu sudah terangkat akan menimpa anak itu, dia lalu menggerakkan kedua tangannya, secepat kilat menangkap dua ujung kaki dan sekali gentak saja kuda itu telah melompat ke atas melewati kepalanya sehingga dia selamat! Anak ini tertawa-tawa geli, sama sekali tidak mempedulikan kuda tadi, melainkan menudingkan jari telunjuknya ke arah Kwan Cu yang jatuh bergulingan. “Ha-ha-ha, Suheng, kaulihat! Bocah gundul itu main komidi, lucu sekali!”

Adapun An Lu Kui yang kudanya menubruk anak ke dua yang lebih besar, tidak keburu mencegah sehingga kudanya itu dengan kedua kakinya menendang ke arah dada anak tadi. Akan tetapi, dengan cepat dan tenang, anak yang besar ini lalu menusuk lutut kaki depan kuda yang sebelah kanan , yakni kaki yang berada di depan. Kuda itu mengeluarkan ringkik kesakitan dan tiba-tiba kedua kaki depannya tertekuk dan kuda itu jatuh berlutut! Baiknya An Lu Kui adalah orang yang berkepandaian tinggi, maka cepat dia dapat melayang ke atas dan berpoksai (membuat salto) beberapa kali sehingga dapat turun dengan selamat!



"Sute, kau lihat. Bukankah kuda ini lebih lucu lagi? Datang-datang dia berlutut dan memberi hormat kepadaku. Bagus, bagus!"

An Lu Kui adalah seorang yang sudah lama merantau di dunia kang-ouw dan tahulah dia bahwa dua orang anak-anak yang usianya sekitar enam tujuh tahun ini tentulah murid-murid dari orang pandai. Maka diaa tidak berani berlaku sembarangan sungguhpun dia merasa mendongkol sekali.

"Kalian ini bocah-bocah kecil murid siapakah dan mengapa menghadang perjalanan kami?"

Akan tetapi kedua orang anak kecil itu tidak menjawab dan pada saat itu terdengar suara yang membuat kuda-kuda menjadi terkejut dan gelisah. Itulah suara ketawa yang menyeramkan sekali dan ketika An Lu Kui mendengar ini tiba-tiba dia menjadi pucat sekali. Suara ketawa itu seperti suara harimau mengaum dan disusul dengan suara ketawa ini lalu terdengarlah kata-kata yang jauh sekali namun cukup membuat telinga merasa sakit saking nyaringnya,

"Heh, heh, heh! Swi Kiat dan Kun Beng, kalian berada di manakah?"

Anak yang lebih kecil, yaitu yang tadi melontarkan kuda tunggangan Kwan Cu di atas kepalanya, segera meruncingkan mulutnya dan keluarlah teriakan yang kecil akan tetapi cukup nyaring, "Teecu berdua berada di sini, Suhu!"

Kembali An Lu Kui menjadi amat terkejut sekali. Ternyata bahwa khikang dari pada anak kecil ini sudah demikian hebatnya!

Baru saja gema suara jawaban anak ini lenyap, nampak berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di depan mereka berdiri seorang laki-laki berusia sedikitnya enam puluh tahun yang tubuhnya membuat Kwan Cu hampir tertawa. Orang ini pendek dan kecil, sama sekali tidak membayangkan tanda-tanda bahwa ia adalah seorang pandai.

Akan tetapi, ketika melihat orang ini, serta merta An Lu Kui lalu melangkah maju dan menjura dengan sikap hormat sekali.

"Siauwte An Lu Kui mohon maaf apabila melanggar wilayah Pak-lo-sian Cianpwe," katanya.

Akan tetapi kakek itu tidak menghiraukan sama sekali, sebaliknya lalu menoleh kepada Gui Tin dan terdengar dia mengeluarkan suara ejekan dari hidungnnya, "Hm, apakah si bangkotan Li Kong Hoat-ong itu telah benar-benar mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng?" Setekah berkata demikian tiba-tiba dia menoleh kepada An Lu Kui dan pandang matanya yang tadinya suram-muram itu mendadak menjadi tajam luar biasa sehingga An Lu Kui terkejut sama sekali karena pandang mata itu seakan-akan menembusi dadanya!

An Lu Kui sesungguhnya tidak mengerti tentang kitab itu, maka dengan terus terang dia berkata, "Locianpwe (sebutan untuk orang tua yang tingkatnya jauh lebih tinggi), siauwte sama sekali tidak tahu tentang kitab itu. Mendengarpun baru sekarang. Sesungguhnya siauwte diutus oleh suhu Li Kong Hoat-ong untuk mengundang Gui-siucai karena suhu amat mengaguminya."

Pandangan mata kakek itu benar-banar mengancam sekali dan keningnya yang keriputan itu menjadi makin nyata garis-garis keriputnya.

"Eh, kau hendak mengandalkan nama An Lu Shan dan suhumu Li Kong Hoat-ong dan tidak mau mengaku? Hayo bicara terus terang!"

"Sungguh, Locianpwe, siauwte ………siauwte tidak tahu…" An Lu Kui yang tadinya galak itu kini nampak ketakutan.

Tiba-tiba tubuh kakek itu bergerak dan tahu-tahu dia melompat ke dekat orang Tartar itu. Pada saat lain, sebelum An Lu Kui sempat mengelak, kakek ini telah menangkap lehernya dan sekali menggentak tubuh orang Tartar ini terlempar ke atas, tinggi sekali! Bagaikan sekarung beras tubuh An Lu Kui terlempar dan dari atas jatuh pula ke bawah tanpa berdaya sedikitpun. Ternyata tangkapan pada lehernya tadi sekaligus telah merupakan tekanan pada jalan darahnya yang membuat dia menjadi lumpuh!

Kebetulan sekali tubuh orang Tartar itu menimpa Swi Kiat, murid terbesar dari kakek itu. Anak ini usianya paling banyak delapan tahun, akan tetapi kepandaiannya sudah hebat. Ia menerima tubuh orang Tartar itu dengan kedua tangannya, lalu sambil tertawa lebar dia melemparkan tubuh itu kepada adik seperguruannya, yaitu yang bernama Kun Beng. Anak ini lebih muda dari Kwan Cu, paling banyak enam tahun, dan wajahnya tampan serta periang. Sambil tertawa geli anak ini lalu menggunakan tangan kanan menahan punggung An Lu Kui yang terlempar ke arahnya, sekali tangan kirinya menepik tubuh belakang orang Tartar itu, An Lu Kui mencelat lagi ke atas dan kini melayang ke arah kakek tadi.

Kakek itu lalu menerimanya dengan menotok pundak An Lu Kui yang jatuh berdebuk di depan kakinya, akan tetapi orang Tartar itu kini telah terbebas dari totokan dan dapat bergerak. Ia menjatuhkan diri berlutut dengan muka pucat sekali.

"Locianpwe, biarpun siauwte dibunuh memang benar-benar siauwte tidak tahu tentang kitab itu," katanya dengan suara gemetar.

Kwan Cu paling tidak suka kalau orang menggunakan kekerasan, apalagi melihat kakek dan dua orang muridnya itu mempermainkan An Lu Kui yang tidak berdaya sama sekali, timbulah rasa penasaran dalam dadanya.

"Mempergunakan kepandaian untuk menghina orang, sungguh tak patut sekali. Menangkan orang lain hanya memiliki tenaga besar, menangkan diri sendiri barulah betul-betul patut disebut kuat!"

"Hush, Kwan Cu…" Gurunya mencegah dan memandang khawatir.



Kakek itu cepat menengok dan ketika melihat Kwan Cu, nampak kekaguman membayang di dalam sinar matanya.

"Hm, kau murid Gui-siucai? Tidak patut, tidak patut!"

"Suhu, segala kutu buku macam ini apa gunanya? Biar teecu menghajar sedikit adat sedikit padanya!" berkata Kun Beng dengan marah, akan tetapi Swi Kiat mencegahnya.

"Kalau kau katakan dia kutu buku, untuk apa melawan segala kutu buku, Sute? Tulang-tulangnya terlalu lemah, jangan-jangan dia akan mati dalam tanganmu!"

"Diamlah kalian berdua. Kulihat ada apa-apanya dalam diri anak ini." Kakek ini lalu berpaling kepada An Lu Kui. "Biarlah, memandang ucapan anak ini aku percaya padamu. Pergilah!"

Dengan tergesa-gesa dan juga lega sekali, An Lu Kui lalu mengajak kawan-kawannya, juga Kwan Cu dan Gui Tin, untuk pergi dari situ cepat-cepat.

Ketika mereka telah membalapkan kuda dan pergi jauh sehingga kakek dan dua orang muridnya tidak nampak lagi, tiba-tiba terdengar suara kakek itu. Biarpun orangnya tidak kelihatan, namun suaranya terdengar dekat sekali,

"Gui Tin, lain kali pada waktunya, akulah yang benar-benar akan membutuhkan bantuanmu. Selamat jalan!"

Kwan Cu terheran-heran dan semenjak pertemuan tadi, berubahlah pandangannya terhadap ilmu silat. Sebetulnya sejak Gui Tin bicara tentang ilmu silat dan kegunaannya, dia telah tertarik sekali, akan tetapi tetap saja hasrat untuk belajar ilmu silat masih amat lemah dalam hatinya. Kini, menyaksikan keliahaian dua orang anak kecil itu, dia menjadi tertarik dan ingin sekali memiliki kepandaian seperti mereka! Inilah sifat anak-nak yang betapapun juga masih melekat dalam hatinya.

"An-sianseng (Tuan An), sebetulnya siapakah kakek yang luar biasa sekali itu?" Diam-diam Kwan Cu membandingkan kakek tadi dengan dua orang luar biasa yang pernah dijumpainya, yakni Ang-bin Sin-kai dan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. Melihat keadaan, keanehan dan kelihaian mereka, agaknya tiga orang itu mempunyai tingkat yang sudah tinggi sekali.

Sebetulnya An Lu Kui sedang marah, mendongkol dan penasaran sekali. Oleh seluruh barisan di bawah kakaknya, dia dianggap sebagai orang gagah yang disegani dan dihormati. Tidak tahunya, di sini dia telah mengalami penghinaan dari seorang kakek dan dua orang anak-anak. Akan tetapi oleh karena menganggap Kwan Cu telah berjasa di hadapan kakek tadi, dia menjawab juga,

"Dia adalah seorang sakti bernama Siangkoan Hai yang berjuluk Pak-lo-sian (Dewa Tua dari Utara). Untuk daerah utara boleh dibilang dia menjadi tokoh terbesar. Biasanya biarpun orang menduga bahwa dia berada di daerah utara, dia tidak pernah muncul kecuali terjadi perkara-perkara besar dan biasanya dia tidak mau mencampuri segala urusan dunia. Kita benar-benar sial sekali bertemu dengan dia."

Akan tetapi, Gui Tin berkata perlahan kepada Kwan Cu, "Kita benar-benar beruntung bertemu dengan dia. Aku pun baru kali ini melihat wajahnya, biarpun namanya sudah lama kudengar. Kwan Cu, perhatikanlah, di dalam duania persilatan, terdapat lima orang yang paling terkenal. Mereka itu adalah Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang merajai daerah utara, ke dua adalah Ang-bin Sin-kai yang menjagoi di pantai timur, ke tiga hwesio tibet bernama Hek-i Hui-mo (Iblis Terbang Jubah Hitam) yang menjadi tokoh terbesar bagian barat. Adapun orang ke empat dan ke lima merajai daerah selatan, yakni yang seorang Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu yang sudah kau kenal dan orang ke dua adalah seorang wanita tua yang terkenal dengan nama julukan Kiu-bwe Coa-li (Ular Betina Buntut Sembilan)! Menurut berita yang kudengar, mereka berlima ini kepandaiannya seimbang dan kini mereka sedang berusaha untuk memperebutkan sebuah kitab ilmu perang dan ilmu silat yang bernama Im-yang Bu-tek Cin-keng. Tadi kuanggap ini hanya kabar angin belaka, akan tetapi setelah sikap Dewa Tua Utara tadi, agaknya betul juga kabar itu."

"Gui-lopek, apakah sesungguhnya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang di perebutkan oleh orang-orang luar biasa itu? Dan apakah selain lima orang tokoh itu, di dunia ini tidak ada orang-orang pandai ilmu silat yang lain lagi?"

Pada saat itu An Lu Kui mendekatkan kudanya. Gui Tin memberi tanda dengan matanya agar Kwan Cu tidak banyak bicara lagi, kemudian kakek pengemis itu berkata seakan-akan menjawab pertanyaan Kwan Cu,

"Kau tanyakan tentang nama-nama tokoh besar? Ah, menyebut yang lain-lain tidak ada artinya. Kalau Pek-cilan Thio Loan Eng barulah seorang wanita pendekar berilmu tinggi!"

Mendengar ini, An Lu Kui mengejek dan tersenyum. "Gui-siucai, kau orang bun mana tahu tentang tokoh-tokoh besar dalam ilmu persilatan? Kepandaian Pek-cilan biarpun aku belum tentu dapat menandinginya, namun kalau dibandingkan dengan suhu Li Kong Hoat-ong, bukankah itu sama dengan membandingkan sebuah bukit anakan dengan Gunung Thai-san?"

Akhirnya perjalanan mereka tiba di benteng penjagaan di mana An Lu Shan memimpin barisannya untuk menjaga tapal batas utara. Benteng ini besar sekali, merupakan perkampungan tersendiri, dan dikelilingi dusun-dusun yang penduduknya campur aduk, ada orang Mongol, ada suku bangsa Uigur, Cou, dan lain-lain.

Ketika Gui Tin ditinggalkan di ruang tamu berdua dengan Kwan Cu, kakek ini berkata, "Kwan Cu, tentang kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng dan tokoh-tokoh persilatan yang kau tanyakan itu, nanti saja kalau kita sudah dapat meninggalkan tempat ini, kau kuberi tahu. Sebetulnya, di dalam tangankulah rahasia untuk mendapatkan kitab kuno itu!"



Kwan Cu terkejut, akan tetapi sebelum dia membuka mulut, Gui Tin memberi tanda dengan telunjuk di depan mulut, dan dari dalam terdengar tindakan kaki mendatangi.

Setelah pintu terbuka, ternyata yang masuk adalah An Lu Kui sendiri bersama dua orang lain. Seorang adalah seorang berpakaian perwira yang bertubuh gagah, sedangkan yang lain adalah seorang kakek yang bertubuh tinggi besar, berusia kurang lebih lima puluh tahun dan sikapnya agung sekali. Ia berjalan dengan tubuh tegak dan dada terangkat, seperti sikap seorang raja besar. Inilah Li Kong Hoat-ong, bekas raja bangsa Yu-yan, yang kini menjadi guru dari An Lu Shan dan An Lu Kui!.

An Lu Shan, panglima yang telah banyak membuat jasa bagi negara itu, berlaku hormat kepada Gui Tin. Ia menjura lalu berkata,

“Kami berharap saja Gui-siuahi tidak mendapat banyak kaget dan mengalami banyak kesukaran karena undangan kami ini. Telah lama kami mendengar nama besar Gui-siucai, dan biarpun selama ini pemerintah tidak memperhatikanmu, namun karena akupun seorang panglima negara, maka biarlah kauanggap aku sekarang mewakili pemerintah dan menebus kelalaian pemerintah. Gui-siucai akan hidup kecukupan di tempat kami ini.”

Gui Tin adalah seorang terpelajar tinggi, banyak pengalaman, dan mempunyai kecerdikan luar biasa. Akan tetapi dia adalah seorang jujur dan tidak suka memutarbalikkan omongan. Maka mendengar ucapan yang dia tahu hanya merupakan siasat untuk membela hatinya belaka ini , dia menjawab,

“An-ciangkun, aku dan muridku telah dibawa ke sini dengan paksa, lebih baik sekarang lekas katakan, pekerjaan apakah yang harus kami lakukan? Kami ingin lekas-lekas membereskan urusan ini, karena kami ibarat burung-burung yang terbang bebas di udara. Pernahkah kau mendengar akan burung-burung yang merasa suka di kurung, biar dalam kurung emas sekalipun?”

Kini Li Kong Hoat-ong yang tertawa bergelak mendengar kata-kata sastrawan terpelajar tinggi itu. Ketika ketawa, Li kong Hoat-ong menutup mulutnya dengan tangan kanan, agaknya dia hendak menjaga peraturan dan kesopanan dirinya, untuk memperlihatkan bahwa dia adalah lain dari pada orang lain, memiliki keistimewaan khusus, karena bukankah dia bekas raja?

“Gui-siucai, inilah yang dibilang bahwa makin tinggi pengertian orang, makin poloslah wataknya!” Bekas raja bangsa Yu-yan ini lalu berpaling kepada An Lu Shan dan berkata, “Muridku, terhadap seorang terpelajar tinggi seperti Gui-siucai ini, tak perlukah kita bicarakan yang lain lagi. Kau lebih baik menerangkan saja maksud kita.”

Merahlah wajah An Lu Shan saking jengahnya dan malu. Benar-benar seorang yang luar biasa sekali Gui Tin ini, pikirnya. Pakaiannya seperti pengemis, akan tetapi sikapnya agung-agungan seperti seorang pembesar tinggi saja! Akan tetapi oleh karena dia amat membutuhkan tenaga bantuan Gui-siucai, An Lu Shan menahan sabar.

Komandan ini memberi perintah agar semua penjaga pergi dari ruangan itu, lalu Gui Tin bersama muridnya diajak masuk ke dalam sebuah kamar. Yang berada di kamar itu hanya An Lu Shan, An Lu Kui, Li Kong Hoat-ong dan Gui Tin bersama Kwan Cu saja.

“Gui-siucai, sebelumnya harap kau suka bersumpah bahwa kau takkan bercerita kepada lain orang tentang hal yang akan kita bicarakan ini.” kata An Lu Shan.

Gui Tin tersenyum. “Aku tak pernah bersumpah, dan tidak mau bersumpah. Kalau orang tidak percaya padaku , mengapa aku dibawa ke sini? An-ciangkun, bicaralah. Aku Gui Tin bukanlah orang yang biasa berpanjang mulut.”

“Gui-siucai, kami hanya minta kepadamu untuk menterjemahkan sebuah kitab untuk kami. Kitab itu kitab kuno sekali dan hanya kaulah orang yang akan dapat menterjemahkannya. Kami takkan mau memeras tenaga orang dengan sia-sia, maka kau boleh tetapkan sendiri biayanya, asal kau suka mengerjakannya cepat-cepat, lebih cepat lebih baik.”

Gui Tin mengerling ke arah An Lu Kui dan berkata perlahan. “Hm, agaknya benar dugaan kakek pendek kecil dulu itu?” Sebenarnya, di dalam hatinya Gui Tin terkejut sekali mendengar ucapan An Lu Shan tadi, akan tetapi secara pandai sekali dia dapat menguasai debar jantungnya.

An Lu Kui menjawab, “Memang betul Gui-siucai. Kitab itulah yang berada di tangan kami. Oleh karena itulah kau tidak boleh membocorkan rahasia ini agar jangan sampai ada orang jahat datang merampasnya.”

Gui Tin mengangguk angguk. Hatinya berdebar-debar. Sudah belasan tahun dia ingin sekali melihat kitab ini, kitab yang diperebutkan oleh semua orang gagah di dunia, karena di dalam kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng ini selain terdapat ilmu-ilmu silat yang tinggi, juga di situ terdapat ilmu perang, ilmu pengobatan, dan perbintangan!

“Akan kucoba menterjemahkan, sungguhpun aku tidak berani memastikan apakah aku bisa melakukan hal itu. Bolehkah aku melihat kitabnya sekarang juga?”

Li Kong Hoat-ong bertukar pandang dengan An Lu Shan. “Mari ikut dengan aku mengambilnya,” kata komandan ini, dan beramai-ramai mereka lalu memasuki kamar komandan ini yang berada di tengah-tengah benteng. Kamar ini terjaga kuat-kuat dan agaknya takkan mudah bagi siapapun juga untuk menyerbu masuk ke dalam kamar An Lu Shan.

Setelah tiba di kamar, An Lu Shan merapatkan daun pintu, bahkan menguncinya dari dalam. Kemudian dia menghampiri pembaringannya dan ketika dia menarik gantungan kelambu tiga kali, terdengar suara keras dan pembaringan itu terangkat naik! Di bawahnya terdapat lubang yang terbuka sendiri di lantai yang tadinya berada di kolong pembaringan, dan di dalam lubang ini terdapat sebuah peti kecil. An Lu Shan mengambil peti itu dan berkata kepada Gui Tin sambil tersenyum,

“Kitab yang banyak diinginkan oleh banyak orang jahat, kalau tidak disimpan baik-baik, tentu akan mudah hilang.”



Gui Tin mengangguk-angguk dan sambil memandang ke arah peti itu dengan penuh gairah, dia berkata memuji, "An-ciangkun benar-benar teliti. Setan pun agaknya akan sukar mendapatkan kitab itu di sini!"

An Lu Shan tertawa, kemudian setelah menutup kembali pembaringan, dia menghampiri meja dan menaruh peti kecil berwarna hitam itu ke atas meja. Ketika dia membukanya, nampak sebuah kitab yang sudah tua sekali dan kertasnya kekuning-kuningan, terbungkus oleh sutera putih yang bersih. Debar jantung Gui Tin makin menghebat dan sastrawan ini bagaikan orang kelaparan melihat paha babi panggang. Tak terasa pula dia maju mendekat.

An Lu Shan tertawa lagi lalu lalu mengambil kitab itu. "Kau lihat sebentar, dan coba kenali kitab apa ini!"

Gui Tin menerima bungkusan sutera putih itu, lalu membukanya. Ia tidak cepat-cepat membuka kitab itu, akan tetapi memandang sampulnya dulu dengan penuh perhatian, lalu menimbang-nimbang berat kitab itu diatas tangannya. Kemudian dia….mencium kitab itu dengan hidungnya yang dikembang-kempiskan. Setelah dia memandang agak ragu-ragu ke arah kitab itu. Dibacanya beberapa baris tulisan kuno yang tidak karuan bentuknya, dan menurut penglihatan Kwan Cu yang selalu berada di sisi gurunya, itu bukanlah tulisan, melainkan gambaran-gambaran yang buruk sekali!

Tiba-tiba Gui Tin tertawa geli. "Aah, orang telah main-main, An-ciangkun! Orang mau meniru, akan tetapi alangkah bodohnya! Kertas ini biarpun sudah kuno namun tulisan-tulisan dan gambaran-gambaranya dilakukan dengan penggunaan tinta baru! Ini adalah kitab palsu sama sekali!"

Untuk sesaat hening kamar itu, kemudian terdengar Li Kong Hoat-ong memuji, "Gui-siucai benar-benar bermata tajam. Sungguh mengagumkan sekali!"

An Lu Shan juga merasa kagum maka dia lalu menjura kepada Gui Tin. "Gui siucai sekali melihat saja tahu perbedaan, sungguh lihai. Sekarang aku percaya benar-benar bahwa kitab itu takkan dapat diterjemahkan orang melainkan Gui-siucai seorang. Tunggulah, aku akan mengambil aselinya!"

Setelah berkata demikian An Lu Shan menekan sesuatu di tembok dan terbukalah dinding itu, memperlihatkan pintu rahasia. Kali ini dia sendiri yang memasuki pintu rahasia itu, bahkan guru dan adiknya sendiri tidak ikut masuk! Setelah dia keluar kembali, dia telah membawa keluar sebuah peti yang lebih kecil dari pada peti yang palsu tadi. Juga peti ini berwarna hitam, akan tetapi kelihatannya berat sekali. Ia menaruh peti ini di atas meja, kemudian menyimpan kembali kitab dan peti palsu yang tadi.

An Lu Kui sendiri baru pertama kali ini melihat kitab yang asli, karena yang pernah melihatnya hanya An Lu Shan dan Li Kong Hoat-ong. Oleh karena itu dengan suara memohon dia berkata kepada kakaknya. "Shan-heng, bolehkah aku membukanya?" Sambil berkata demikian, dia mengulurkan tangan kanannya hendak membuka tutup peti. Akan tetapi cepat sekali An Lu Shan menampar tangan adiknya sambil berkata,

"Hati-hati! Jangan sembarangan menjamah peti ini, Kui-te!" Lalu dia melanjutkan dalam bahasa Tartar. "Peti ini telah dilaburi racun yang berbahaya sekali!" Tentu saja Kwan Cu tidak mengerti, akan tetapi Gui Tin mengerti baik kata-kata ini.

An Lu Shan lalu meminta semua orang mundur, kemudian dengan tangan kirinya, dia mengambil sebuah bantal dari pembaringannya, dipegang di atas peti, antara dia dan peti itu sebagai perisai. Kemudian dengan tangan kanannya dia membuka tutup peti. Terdengar suara "ser! ser! ser!" dan dari dalam peti itu dengan cepat dan tak terduga sekali menyambar tujuh batang anak panah kecil yang ujungnya kehitaman karena telah direndam racun ular berbisa! tujuh anak panah ini kesemuanya menancap pada bantal yang dipegang oleh An Lu Shan.

An Lu Kui menjadi pucat. Kalau dia yang membukanya, tentu akan celakalah dia! Tidak saja tangannya akan terkena racun yang dipulaskan di luar peti , juga anak-anak panah itu tak mungkin dielakkan oleh orang yang membuka peti, kalau tidak mengetahui lebih dulu!

"Lihai sekali kau, An-ciangkun!"Gui Tin juga memuji sedangkan Kwan Cu meleletkan lidahnya saking ngeri.

An Lu Shan hanya tersenyum. "Untuk menjaga tangan jahil," katanya sambil mengeluarkan kitab itu. Kitab yang ini lebih kecil bentuknya, akan tetapi amat berat dan ternyata kertasnya tipis-tipis sehingga isinya banyak sekali. Ketika Gui Tin membuka kitab itu dia tertegun. Benar saja, inilah kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng sebagaimana yang pernah dibacanya dalam buku-buku sejarah kuno. Inilah kitab yang semenjak ribuan tahun dipakai berebut dan siapa yang memegang kitab ini, kalau perorangan merupakan jago terlihai di permukaan bumi, kalau negara menjadi negara yang kuat sekali. Inilah kitab yang selama ini diimpi-impikan oleh semua orang gagah, oleh tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, oleh negara-negara di seluruh dunia. Dan sekarang kitab ini berada di tangan An Lu Shan, seorang komandan militer yang bersemangat dan gagah!

Gui Tin merasa betapa tangannya tergetar. Berbahaya kalau sampai isi kitab ini di ketahui oleh An Lu Shan. Dan dia percaya bahwa yang dapat menterjemahkan kitab ini hanya dia seorang! Kitab ini ditulis di jaman kerajaan Shia, ribuan tahun yang lalu. Tiba-tiba Gui Tin teringat dan dia meraba-rabakan jari-jari tangannya di atas kitab itu. Hm, aneh, pikirnya! Pada masa itu, belum ada kertas! Lalu dia mengerutkan keningnya untuk mengingat-ingat kembali tentang apa yang sudah dibacanya mengenai kitab rahasia ini. Kalau tidak salah ingat, kitab aselinya ditulis di atas sutera! Dan dia membaca sudah beribu kali orang memalsukan kitab itu agar aselinya tidak mudah dicuri orang. Hm, apakah yang dipegangnya ini pun sebuah dari pada kitab tiruan dan palsunya?



Melihat Gui Tin mengerutkan kening dan diam seperti patung, An Lu Shan lalu berkata, “Gui-siucai, apa yang kaupikirkan? Sanggupkah kau menterjemahkannya?” Semua mata memandang kepada Gui Tin dengan sinar tajam mengancam. Sastrawan ini maklum kalau dia mengatakan dia tidak sanggup, dia takkan diampuni. Sebaliknya kalu dia sampai menterjemahkan kitab ini, juga tidak ada harapan baginya untuk bisa pergi dari tempat ini dalam keadaan bernyawa! Dia yang telah menterjemahkan, kelak tentu akan dianggap berbahaya oleh An Lu Shan, dan tentu akan dibinasakan agar jangan sampai membuka rahasia isi kitab itu kepada orang lain.

Gui Tin mengelus-elus kepala Kwan Cu di dekatnya sebelum menjawab, lalu dia menatap wajah An Lu Shan sambil berkata, “Biarpun kitab ini sukar sekali di terjemahkan, akan tetapi aku sanggup mengerjakan asalkan ciangkun bersabar menanti. Akan tetapi, hanya satu saja permintaanku sebagai biaya penterjemaha, yaitu, kaulepaskan dan bebaskan muridku ini untuk pergi dari sini dan jangan mengganggu padanya!”

“Tidak Gui-lopek! Aku tidak mau meninggalkan kau orang tua. Siapa yang akan merawatmu, siapa yang akan menggosokkan bak untukmu, dan siapa yang akan kau suruh-suruh dalam mengerjakan semua ini? Gui-lopek, jangan suruh aku pergi meninggalkanmu!” tiba-tiba Kwan Cu berkata.

Sementara itu, An Lu Shan yang cerdik sekali ketika melihat betapa Gui Tin amat sayang kepada muridnya, timbullah sebuah pikiran yang amat cerdik.

“Gui-siucai, aku berjanji takkan mengganggu muridmu. Akan tetapi, dia baru kubiarkan pergi kalau kau sudah selesai menterjemahkan kitab ini. Ingat, makin cepat kau menterjemahkannya, makin cepat pula aku melepaskan anak ini. Sementara itu, siapa lagi yang akan melayanimu selain anak ini? Orang lain tidak boleh melihat kitab ini. Kau tentu mengerti maksudku, bukan?”

Gui Tin mengerti baik sekali. Siapa saja yang sudah melihat kitab ini harus mati, temasuk pula Kwan Cu! Maka sastrawan ini menjadi gelisah dan berduka sekali, akan tetapi dia dapat menindas perasaanya dan menyatakan kesanggupannya.

“Baik, akan kukerjakan mulai hari ini juga. Akan tetapi aku tidak mau diganggu dan biarkan aku dilayani oleh muridku di dalam kamar tertutup.”

An Lu Shan mengangguk. “Baik, Gui-Siucai. Kau akan bekerja di dalam kamarku ini dari pagi sampai petang. Setiap pagi kau masuk ke sini dan setelah petang kau keluar dari kamar ini, meninggalkan terjemahan dan kitab aselinya.”

Demikianlah, mulai hari itu Gui Tin mengerjakan terjemahan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, dilayani oleh Kwan Cu. Karena maklum dia dan muridnya diintai dari luar dan diawasi, Gui Tin tidak berani bicara sembarangan terhadap Kwan Cu, dan dia melakukan terjemahan itu selambat mungkin. Isi kitab ini benar-benar hebat. Di situ terdapat aturan-aturan dan cara-cara melatih tentara, membentuk barisan, dan mengatur penyerangan secara lihai sekali. Di samping itu, terdapat pula latihan-latihan ilmu silat yang aneh-aneh, cara bersamadhi dalam bentuk yang paling istimewa, kemudian ada pula ilmu pukulan yang hebat-hebat sehingga membaca sebentar saja Gui Tin sudah merasa pening kepala dan juga ngeri. Ia pikir bahwa kalau dia menterjemahkan ilmu silat itu, apabila sampai dipelajari oleh orang jahat, maka orang itu akan merupakan manusia berkepandaian iblis yang sukar ditekan. Sebaliknya , kalau dia menterjemahkan ilmu perang, tidak ada jahatnya. Bukankah An Lu Shan seorang perwira dari kerajaan yang sudah terbukti membela negara. Kalau perwira itu mendapatkan pelajaran ilmu perang ini, bukankah hal ini baik sekali, tidak merugikan rakyat dan tidak merugikan negara?

Oleh karena inilah, maka Gui Tin lalu mulai dengan terjemahannya. Ia sengaja mendahulukan terjemahan ilmu perang yang aneh-aneh dan lihai itu, yang dilakukan sedikit demi sedikit. Adapun terhadap Kwan Cu, dia memiliki sebuah cita-cita yang baik sekali. Kitab ini adalah kitab tiruan atau kitab palsu, ini Gui Tin yakin betul. Sayang dia sudah banyak lupa tentang sejarah yang pernah dibacanya mengenai kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Akan tetapi kitab sejarah itu masih bertumpuk di suatu tempat di mana dia menyimpan kitab-kitab kunonya. Kalau kelak kitab aselinya terdapat, mungkin dia telah tewas, dan muridnya inilah yang menjadi orang satu-satunya yang dapat membacanya!.

Oleh karena itu, maka Gui Tin lalu memberi pelajaran tentang bahasa tulisan kuno itu kepada Kwan Cu. Ia mengajar sedikit demi sedikit, secara lisan, karena kalau tertulis, ia khawatir akan terlihat oleh orang lain. Ia minta kepada Kwan Cu supaya mencatat dan menghafal di dalam otaknya. Anak ini memang cerdik sekali. Apa yang sekali terdengar olehnya, seakan-akan menempel di otaknya dan tak mudah terlupa kembali. Oleh karena itu, semua yang dipelajarinya, dapat dihafalnya dengan mudah.

Pada keesokan harinya, ketika An Lu Shan melihat hasil terjemahan Gui Tin, bukan main girangnya. Ia membaca siasat-siasat kemiliteran yang rumit-rumit dan hebat-hebat, cara mengatur barisan, mengatur penyerangan dan mengatur penjagaan. Hebat! Inilah yang dicari-cari, inilah yang diimpi-impikan! Maka serentak mulailah dia mempraktekkan semua siasat dan peraturan melatih tentara yang dibacanya dari terjemahan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng itu.

Tiga bulan terlewat cepat sekali dan selama empat tahun ini, Gui Tin baru menterjemahkan setengah dari pada ilmu perang itu! Akan tetapi hasilnya bagi An Lu Shan bukan main besarnya! Kini bala tentara yang dipegangnya, merupakan barisan yang kuat dan memiliki pendidikan militer yang lain dari pada yang lain! Semua ini berkat pelajaran dari Im-yang Bu-tek Cin-keng dan tentu saja An Lu Shan merasa bangga dan puas sekali.

Adapun dalam waktu tiga bulan itu, Kwan Cu dengan penuh ketekunan mencurahkan segenap tenaga, otak, dan perhatiannya untuk menghafal dan mempelajari bahasa tulisan kuno yang dipergunakan untuk menuliskan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng itu. Dan ketika tanpa di sengaja dia melirik ke arah kitab yang sedang di terjemahkan oleh gurunya, dia hampir berseru girang karena dia dapat membacanya dengan mudah!



"Gui-lopek! Bukankah baris atas berbunyi; Barisan Kwan-im Pouwsat menyebar biji teratai…?

"Sstttt!" Gui Tin cepat menutup mulut Kwan Cu, lalu berkejap mata. Kwan Cu cerdik, dia tahu bahwa sesungguhnya bukan karena terjemahan itu sukar bagi gurunya, melainkan karena gurunya sengaja memperlambat terjemahan itu!

"Lopek, mengapa tidak cepat-cepat menyelesaikan saja agar kita dapat segera pergi dari sini?"

Gui Tin menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Sukar baginya untuk bicara karena dia tahu bahwa selalu ada penjaga yang menjaga di luar kamar dan mendengarkan percakapan mereka, maka dia sengaja berkata keras-keras sambil memberi kedipan mata kepada muridnya itu, "Enak saja kau bicara! Apa kau kira menterjemahkan kitab seperti ini sama mudahnya dengan makan bakso?"

Demikianlah, kedua orang guru dan murid ini main sandiwara. Diam-diam Gui Tin menunjuk ke arah kitab bagian pelajaran ilmu silat dan minta Kwan Cu membacanya! Anak ini menurut saja dan ketika dia mulai membaca pelajaran itu, dia merasa kepalanya sampai berdenyutan saking merasa aneh dan terheran-heran! Ia pernah menerima pelajaran siulian (samadhi) dari Pek-cilan Thio Loan Eng, juga pernah menerima pelajaran melatih napas. Akan tetapi apa yang dia baca di kitab ini benar-benar luar biasa sekali! Dulu ketika dia belajar siulian dari Loan Eng, dia diharuskan duduk dengan sikap tegak, kedua kaki bersila, dengan mata diarahkan ke ujung hidung sendiri sambil mengatur pernapasan dan mengosongkan pikiran. Sekarang apa yang dibacanya?

Bermacam-macam aturan tentang samadhi terdapat dalam kitab ini. Ada samadhi dengan berdiri jungkir balik, yaitu kepala di atas lantai dan kedua kaki diangkat ke atas, ada pula yang menggantung di atas pohon, dan berbagai macam cara aneh-aneh lagi! Dan latihannya bernapas juga luar biasa anehnya! Menurut pelajaran yang di terima dari Loan Eng dahulu, menyedot dan mengeluarkan napas harus selambat-lambatnya dan sepanjang-panjangnya, di waktu meyedot hawa harus dikumpulkan di dada sehingga dada mengembung dan perut menipis, kemudian di waktu mengeluarkan napas, dada harus dikosongkan dan hawa murni dari dada harus ditarik ke dalam perut untuk memperkuat tian-tan sehingga dada mengempis dan perut mengembung. Akan tetapi di dalam Im-yang Bu-tek Cin-keng ini bahkan sebaliknya!

Kwan Cu benar-benar tidak mengerti. Akan tetapi dasar dia berbakat baik sekali dalam ilmu silat, maka ketika dia membaca ini, malam harinya ketika Gui Tin sudah mendengkur, anak ini bersamadhi yang tadi dibacanya di dalam kitab itu, juga melatih pernapasan seperti yang dibacanya siang tadi!

Hasilnya bukan main! Kwan Cu hampir gila karenanya! Kalau saja dia tidak memiliki tulang yang baik dan bahan bersih dalam dirinya, mungkin otaknya sudah menjadi miring. Ketika dia bersamadhi menurut kedudukan yang dipelajari dalam kitab, yakni denga kepalanya yang gundul di atas lantai dan kedua kakinya di atas bersandar tembok, dia merasa kepanya berdenyut-denyut karena semua darah mengalir ke bawah dengan cepat. Kemudian, ketika dia hendak mengosongkan pikiran dan mengheningkan panca inderanya, bermacam-macam bayangan setan terbayang di depan matanya, dan berbagai macam hal yang ngeri-ngeri teringat olehnya. Juga latihan pernapasan itu membuat perutnya merasa muak dan dadanya sakit.

Akan tetapi karena dia memang keras hati, dia melanjutkan latihannya sampai beberapa hari. Terjadilah hal yang aneh dalam dirinya. Ia merasa ada tenaga saling tarik-menarik di dalam dadanya dan perjalanan darahnya mengalir sebentar cepat sebentar lambat. Ketika dia telah melatih selama sebulan, dia telah dapat membiasakan diri dengan cara baru ini dan pada suatu tengah malam, dia mendengar buku-buku tulang diseluruh tubuhnya berbunyi keletak-keletuk! Ia tidak tahu bahwa karena latihannya ini, dia telah melenyapkan hasil latihannya yang dahulu. Perasaan tidak enak dan tarik menarik tenaga di dalam dadanya adalah pertempuran antara tenaga latihan yang berlawanan, dan ternyata bahwa cara latihan menurut kitab rahasia itu lebih kuat sehingga dalam waktu beberapa hari saja tenaga latihan cara baru ini dapat mengalahkan tenaga latihan yang dahulu!

Karena tiada waktu untuk melatih diri dengan ilmu silat seperti yang diuraikan di dalam kitab itu, maka Kwan Cu lalu membaca saja kitab itu seperti orang membaca buku cerita! Akan tetapi dia membaca tidak sembarang membaca, melainkan menghafal isi kitab itu sedikit demi sedikit.

Enam bulan telah lewat dan kini Gui Tin telah menyelesaikan pekerjaannya menterjemahkan ilmu perang dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng! Terjemahan itu diambil oleh An Lu Shan untuk dipraktekkan, adapun kitab aselinya masih berada di dalam kamar, karena Gui Tin harus menterjemahkan ilmu-ilmu yang lain!

Dan pada petang hari itu terjadilah hal yang hebat! Baru saja Gui Tin menutup kitab itu setelah mulai menterjemahkan bagian pertama dari ilmu silat, tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar kamar dan tak lama kemudian pintu kamar itu terbuka lebar. Seornag laki-laki bertubuh gemuk dengan baju terbuka bagian dada sehingga nampak dadanya itu brewok, juga mukanya penuh brewok, meloncat masuk! Gui Tin dan Kwan Cu melihat betapa beberapa orang penjaga yang tadinya menjaga di luar pintu kamar itu kini menggeletak malang -melintang dalam keadaan tidak bernyawa pula!

Laki-laki brewok ini melihat kitab yang sudah di masukkan ke dalam peti hitam dan ditaruh di atas meja. Tanpa banyak cakap, dia melompat ke dekat meja, memegang peti hitam itu dan berpaling kepada Gui Tin.

"Gui-siucai, inikah kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang kau terjemahkan?" tanyanya kepada Gui Tin dan suaranya parau dan kasar sekali.

Gui Tin mengangguk dengan wajah pucat. Orang itu menyambar peti dan juga tangan kanannya menyambar Gui Tin yang terus dikempitnya dan hendak pergi dari situ.

"Jangan kau culik guruku!" Tiba-tiba orang itu merasa ada sambaran keras dari belakang menuju ke arah pundak kanannya! Sambaran ini adalah angin pukulan yang hebat, maka dia terkejut sekali. Terpaksa dia melepaskan tubuh Gui Tin dan mengangkat tangan menangkis. Ternyata yang menyerang adalah Kwan Cu! Anak ini yang melihat gurunya hendak dibawa, menjadi nekad dan memukul ke arah pundak orang itu dengan maksud merampas gurunya. Tidak tahunya bahwa pukulan itu mengandung tenaga lweekang yang didapat dalam melakukan latihan siulian itu, maka juga hebat sekali datangnya. Akan tetapi, orang itu lihai sekali. Dengan keras lengannya menangkis dan tubuh Kwan Cu terpental membentur tembok!



Orang itu tertawa dan hendak menyambar tubuh Gui Tin, akan tetapi pada saat itu , dari luar terdengar suara teriakan berkali-kali, “Tangkap penjahat!”

Orang yang mencuri kitab itu melompat keluar dan disambut oleh An Lu Shan, An Lu Kui dan Li Kong Hoat-ong sendiri dan di belakang mereka ini masih terdapat puluhan orang perwira!.

Ketika melihat orang brewokan ini, Li Kong Hoat-ong, An Lu Shan dan An Lu Kui menjadi terkejut sekali, sebaliknya si brewok ini hanya tertawa saja menghina, sama sekali tidak merasa gentar dan bahkan suara ketawanya menyatakan bahwa dia memandang rendah semua orang itu.

“Ah, tidak tahunya Hek-mo-ong Lo-taihiap yang datang berkunjung,” kata An Lu Shan sambil menjura.

“An-ciangkun, kau seorang perwira untuk apakah kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng? Apalagi Gui-siucai telah menterjemahkan bagian ilmu perangnya, yang lain-lain kau tidak perlu lagi. Oleh karena itu aku datang untuk mengambilnya, sekalian membawa Gui-siucai pergi bersamaku.”

An Lu Shan tidak berani membantah dan terlalu banyak bicara. Ia sudah kenal akan kelihaian Hek-mo-ong (Raja Iblis Hitam) ini yang di daerah utara namanya hanya sebelah bawah Pak-lo-sian Siangkoan Hai saja. Akan tetapi, Li Kong Hoat-ong tentu saja menjadi marah melihat lagak orang. “Hek-mo-ong, sudah lama aku mendengar namamu dan baru sekarang aku mendapat kehormatan untuk bertemu muka. tidak tahunya Hek-mo-ong yang bernama besar itu hanya seorang sombong yang tidak memandang muka orang lain dan berlaku sewenang-wenang tanpa kesopanan sedikitpun juga.”

Wajah Hek-mo-ong tidak berubah, namun sepasang matanya mengeluarkan sinar kilat ketika dia berpaling kepada Li Kong Hoat-ong. “Hm…” Ia mengeluarkan suara dari hidunf, sikapnya menghina sekali, “Kalau tidak salah kau adalah Li Kong Hoat-ong, raja yang sudah kehilangan mahkotanya itu? Perlu apa kau mencampuri urusanku? Kalau memang betul aku kurang sopan dan sombong habis kau mau apakah?”

“Hek-mo-ong, kau benar-benar- tidak melihat orang! Kalau tidak ada aku di sini, kau boleh berbuat sesukamu, akan tetapi setelah aku berada di sini, apakah kau masih mau banyak lagak?”

“Li Kong Hoat-ong, apa kehendakmu?” suara Hek-mo-ong dahsyat sekali, mengandung ancaman maut.

“Tinggalkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, kalau tidak jangan harap dapat keluar dari sini!” kata Li Kong Hoat-ong dan bekas raja yang memiliki kepandaian tinggi ini telah meloloskan senjatanya, yakni sebatang pedang kerajaan Yu-yan di tangan kanan dan sebatang tongkat tanda pangkat di tangan kiri!

An Lu Shan hendak mencegah akan tetapi sudah terlambat, karena telah terdengar suara ketawa ngakak seperti suara burung goak dari mulut Hek-mo-ong dan terdengar suara keras, disusul oleh melayangnya daun pintu yang telah dicabut oleh Hek-mo-ong dan kini menyambar ke arah Li Kong Hoat-ong!

Li Kong Hoat-ong cepat menghantam dengan tongkat di tangan kirinya dan terdengar suara keras lain. Daun pintu itu telah pecah menjadi beberapa potong dan pecahannya menyambar ke kanan kiri! An Lu Shan dan An Lu Kui cepat mengelak, akan tetapi beberapa orang perwira lain yang kurang cepat telah terkena sambaran potongan dan pecahan daun pintu ini sehingga terdengar jerit mengerikan. Pecahan-pecahan daun pintu itu menembus baju perang bagaikan pelor-pelor baja dan beberapa orang perwira tewas pada saat itu juga!

Pertempuran segera terjadi dengan hebatnya. An Lu Shan tak berdaya dan hanya bisa menyuruh para perwira menjauhkan diri, karena setelah dua orang sakti ini bertanding, siapakah yang dapat dan berani memisahkan mereka? Yang nampak hanyalah berkelebatnya pedang dan tongkat di kedua tangan Li Kong Hoat-ong, dan tubuh Hek-mo-ong berubah menjadi sesosok bayangan yang gesit sekali. Sebentar saja kelihatan betapa hebatnya kepandaian Hek-mo-ong, karena biarpun dia bertangan kosong, namun tongkat dan pedang ini sama sekali tidak dapat mengenai tubuhnya. Tiap kali kedua tangannya bergerak, menyambar angin pukulan yang dahsyat, yang tidak saja membuat kedua senjata itu terpental mundur, juga membuat bangunan di situ seakan-akan tergetar-getar!

Kwan Cu yang tadi terlempar oleh tangkisan Hek-mo-ong dan membentur tembok, berkat tubuhnya yang kuat, tidak mengalami luka hebat dan kini dia telah menolong gurunya bangun. Gui Tin cepat menyingkir di pinggir karena gentar melihat pertempuran yang dahsyat itu, sebaliknya Kwan Cu malahan menonton dekat-dekat. Anak ini telah menghafal isi pelajaran ilmu silat dari kitab yang diperebutkan itu, dan biarpun pengetahuannya terbatas pada teori saja, namun pengertian ini telah mendatangkan dorongan sehingga dia mulai memperhatikan gerakan-gerakan kedua tokoh besar ini! Ia diam-diam merasa gembira sekali dapat menyaksikan pertandingan yang demikian hebatnya, dan biarpun dia merasa ngeri juga, namun dia tidak pernah melepaskan pandang matanya dari kedua orang itu.

Setelah bertempur puluhan jurus, perlahan-lahan Hek-mo-ong mendesak lawannya. Raja Iblis Hitam ini mempergunakan pukulan berdasarkan lweekang yang cukup tinggi dan baginya untuk merobohkan lawan tak usah mempergunakan tenaga tangan, cukup oleh hawa pukulannya saja. Li Kong Hoat-ong maklum akan kehebatan lawan, maka dia pun mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk mengimbangi permainan lawan. Akan tetapi sia-sia saja, pada saat dia membacok dengan pedangnya dan berbareng mengemplang dengan tongkatnya, tiba-tiba Hek-mo-ong berseru keras sekali sehingga Kwan Cu yang tadinya berdiri sampai roboh dan terlempar ke lantai saking hebatnya getaran seruan ini yang menyerang dan melumpuhkan dirinya melalui pendengarannya! Demikian pula orang-orang yang berada di sekitar situ, semua merasa seakan-akan lumpuh! Berbareng dengan pekik yang dahsyat ini, Hek-mo-ong tidak mengelak dari serangan lawan, bahkan menubruk maju. Tangan kanannya mencengkeram ke arah pedang dan dia membiarkan kepalanya dipukul tongkat!



Terdengar suara keras ketika tongkat memukul kepalanya. Tongkat itu terpental dan Hek-mo-ong merasa kepalanya agak pening, akan tetapi dia berhasil mencengkeram pedang yang menjadi patah dua! Sebelum Li Kong Hoat-ong hilang kagetnya, Hek-mo-ong telah menyeruduk maju dan menubruk dengan kepalanya ke dada Li Kong Hoat-ong. Terdengar pekik mengerikan dan tubuh bekas raja itu terhuyung ke belakang, mukanya pucat dan darah segar menyembur keluar dari mulutnya. Tulang-tulang dadanya telah remuk terkena benturan kepala lawannya dan dia tewas pada saat itu juga setelah tubuhnya roboh terlentang!

Keadaan menjadi sunyi, lalu dipecahkan oleh suara ketawa Hek-mo-ong. Tak seorangpun berani bergerak.

“Ha-ha-ha! An-ciangkun, lebih baik kau mengurus bala tentaramu baik-baik dan jangan meributkan urusan kitab ini,” kata Hek-mo-ong.

An Lu Shan maklum bahwa tiada gunanya menyerang orang luar biasa ini, akan tetapi dia tahu bahwa apabila Gui Tin sampai dibawa pergi, amat berbahayalah bagi dirinya. Hanya Gui Tin itu saja yang tahu bahwa dia telah mempelajari ilmu perang dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, dan kalau sampai orang luar mengetahuinya …, mungkin rencananya yang sudah terkandung di dalam hati selama bertahun-tahun akan gagal! Oleh karena itu dia lalu menjura dan berkata,

“Lo-enghiong, kami takkan meributkan urusan ini, akan tetapi kami harap Lo-enghiong juga suka berlaku adil. Kitab itu sudah kau ambil, biarlah. Akan tetapi harap kau jangan membawa pergi Gui-siucai, karena sesungguhnya masih banyak sekali penjelasan mengenai terjemahan yang kami perlukan dari padanya? Kalau kami sudah selesai dengan dia, boleh Lo-enghiong membawanya. Hal ini penting sekali, dan kami harap saja Lo-enghiong tidak akan menggunakan kekerasan terhadap puluhan ribu anak buah barisan kami yang sudah teratur dan menjaga berlapis-lapis di benteng ini.”

Hek-mo-ong terdiam sejenak. Ia tahu bahwa An Lu Shan adalah seorang komandan yang pandai sekali mengatur barisan. Kalau dia berkeras, dia akan menghadapi puluhan ribu tentara dan hal ini tidak boleh dibuat sembarangan. Biarpun kepandaiannya tinggi dan dia tidak takut akan keroyokan, akan tetapi kalau harus membobolkan pertahanan puluhan ribu orang, sebelum bebas dia akan kehabisan tenaga dan akhirnya usahanya akan sia-sia belaka. Im-yang Bu-tek Cin-keng sudah berada di tangannya, mengapa dia harus tergesa-gesa? Masih banyak waktu untuk mempelajari kitab itu, pikirnya. Setelah berpikir demikian , dia mengangguk.

“Baiklah, An-ciangkun. Aku minta maaf karena telah kesalahan tangan membunuh gurumu, akan tetapi seperti kalian menyaksikan sendiri, gurumulah yang mulai lebih dulu.”

“Tidak apa, Lo-enghiong. Mati hidup bukan di tangan kita dan sudah lajim dalam pertempuran kalau tidak menang, tentu kalah dan mati,”jawab An Lu Shan.

Kembali Hek-mo-ong tertawa, kemudian dia melihat Kwan Cu masih berdiri di pinggir. kedua matanya mendelik dan dia kelihatannya akan menyerang anak ini, akan tetapi dia membatalkan niatnya, lalu tertawa sekali tubuhnya berkelebat, dia telah melompat keluar dari rumah itu. Ketika dia berlari keluar dari benteng, benar saja dia melihat betapa tempat itu telah terkurung rapat oleh lapisan-lapisan tentara yang kuat sekali. Ia merasa girang bahwa tadi dia tidak mempergunakan kekerasan. Mudah kelak menculik Gui-siucai, pikirnya. Mengapa An Lu Shan berlaku demikian lemah? Mengapa dia tidak mengeroyok dan mengerahkan pasukannya untuk membunuh Hek-mo-ong? An Lu Shan tidak demikian bodoh untuk mengorbankan anak buahnya. Ia adalah seorang yang amat cerdik. Ketika tadi dia melihat peti kitab itu tercuri oleh Hek-mo-ong, dia telah yakin bahwa Hek-mo-ong takkan dapat hidup lama di dunia ini. Selain peti itu mengandung rahasia sehingga kalau dibuka akan ada tujuh batang anak panah beracun yang menyambar, juga peti itu telah dilabur dengan racun yang amat jahat. Kalau tangan Hek-mo-ong sudah terkena racun itu, sedikit racun masuk ke dalam mulutnya, pasti Raja Iblis Hitam itu akan mampus! Perlu apa mengeroyoknya? Dia tahu ke mana harus mencari Hek-mo-ong, maka nanti saja dia akan menyuruh para penyelidik, mendatangi tempat tinggal Hek-mo-ong di dusun Thian-bun di Gunung Hek-mo-san. Kalau iblis itu sudah mati, mudah saja mengambil kembali peti itu.

Dan dia sengaja menahan Gui Tin, karena selain dia sendiri, hanya sastrawan tua itu saja yang pernah membaca Im-yang Bu-tek Cin-keng. Biarpun kitab itu sekarang berada di tangan Hek-mo-ong, takkan ada gunanya kalau tidak diterjemahkan! Maka setelah Hek-mo-ong pergi, segera An Lu Shan mengumpulkan orang-orangnya yang paling cakap untuk pergi menyusul ke Hek-mo-san dan menyelidiki keadaan iblis itu, sekalian kalau iblis itu sudah mampus terkena racun, supaya mengambil kembali peti kitab tadi.

Akan tetapi, berturut-turut setelah serbuan Hek-mo-ong yang mencuri kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, terjadilah hal-hal yang luar biasa dan mengerikan hati An Lu Shan. Pada keesokan harinya, baru saja dia dan yang lain-lain selesai mengubur jenazah Li Kong Hoat-ong dan sedang duduk berunding di dalam ruang tengah, tiba-tiba datang penjaga-penjaga di pintu depan yang melaporkan dengan napas tersengal-sengal bahwa ada seorang tokouw (pertapa wanita) yang amat galak memaksa masuk ke dalam benteng dan siapa saja yang menghalanginya, dirobohkan dengan amat mudah!

An Lu Shan dan An Lu Kui diikuti oleh beberapa orang perwira tergesa-gesa keluar. Alangkah kaget mereka ketika melihat pemandangan yang amat aneh dan luar biasa. Seorang tokouw yang tua akan tetapi tubuhnya masih nampak sehat seperti tubuh seorang gadis berusia delapan belas tahun, jalan mendatangi. Tangan kiri menggandeng seorang anak perempuan berusia enam tahun yang cantik mungil, tangan kanannya memegang sebatang ranting pohon yang panjang. Ia berjalan maju terus dan tiap kali ada perajurit yang hendak menghalanginya, dia menudingkan ranting itu kepada perajurit yang menghadang dan perajurit itu roboh sambil memekik keras dan ternyata bahwa perajurit itu telah tewas!

Berdiri bulu tengkuk An Lu Shan menyaksikan keganasan dan kekejaman yang luar biasa ini! Siapakah iblis wanita ini, pikirnya. Cepat dia lalu mengeluarkan aba-aba untuk melarang orang-orangnya menghalangi majunya wanita pertapa itu dan dia sendiri lalu cepat mundur dan menanti di ruang tengah, akan tetapi diam-diam dia menyuruh barisan panah mengurung tempat itu untuk bergerak apabila tokouw itu datang dengan maksud kurang baik.

Sambil tersenyum-senyum mengejek, tokouw itu bersama anak perempuan tadi langsung memasuki benteng dan menuju ke ruang besar di mana An Lu Shan duduk menanti. Dengan melihat bendera yang berkibar di atas ruang itu, mudah saja bagi tokouw ini untuk mencari di mana adanya komandan benteng. Ia melangkah masuk dengan sikap tenang seperti memasuki rumahnya sendiri saja.



Setelah masuk ke dalam ruangan itu tokouw ini berdiri tegak dan memandang kepada An Lu Shan. Perwira ini cepat berdiri dan menyambut dengan penghormatan. Akan tetapi sebelum dia membuka mulut, terdengar seruang nyaring.

“Eh, adik Ceng....! Kau di sini....?”

“Heee....! Bukankan kau Kwan Cu?” jawab anak perempuan yang masih digandeng tangannya oleh tokouw itu.

Kwan Cu yang kebetulan keluar bersama gurunya, melihat bahwa anak perempuan itu adalah Bun Sui Ceng, puteri dari Thio Loan Eng, segera menegur. Juga Gui Tin yang sudah banyak merantau dan banyak sekali pengalamannya, ketika melihat tokouw itu, tersaruk-saruk maju menghampiri dan menjura.

“Dunia ini ternyata sempit sekali,” katanya kepada tokouw itu, “sehingga di ujung utara ini akan dapat bertemu muka dengan Kiu-bwe-coa-li Suthai dari ujung selatan!”

Tokouw itu nampak tertegun, lalu mengerutkan keningnya. Setelah memandang beberapa lama, ia lalu tersenyum dan berkata dingin, “Hm, tubuhmu sudah reyot dan lelah, akan tetapi matamu masih tajam sekali, Gui-siucai. Kita bertemu baru satu kali ketika masih muda, namun kau betul-betul tidak melupakan muka orang.”

“Siapa dapat melupakan wajah dan bentuk badan Kui-bwe-coa-li Suthai dari selatan?” jawab Gui Tin sambil tersenyum pula.

Sementara itu, ketika mendengar bahwa tokouw yang berada di depannya itu adalah Kiu-bwe-coa-li (Ular Betina Berekor Sembilan), yang namanya amat terkenal dan ditakuti oleh semua orang kang-ouw, An Lu Shan menjadi terkejut sekali sehingga dia merasa betapa belakang lehernya menjadi dingin. Ia cepat maju dan menjura dan berkata,

“Ah, tidak tahunya Locianpwe yang datang mengunjungi tempatku yang bobrok ini. Mohon banyak maaf karena siauwte tidak tahu maka tidak keluar menyambut.”

Tokoh itu mengeluarkan suara mengejek dari hidungnya. “Anak buahmu sudah menyambut baik-baik mengapa kau bersungkan? Lagi pula, siapa sih yang mengharapkan sambutan? Aku bukan kaisar!”

An Lu Shan menjadi merah mukanya, akan tetapi biarpun dia disindir, toh hatinya senang juga mendengar bahwa tokouw ini tidak suka kepada kaisar.

“Maaf, maaf!” katanya merendah. “Bolehkah kiranya siauwte mengetahui kedatangan Locianpwe ini membawa maksud mulia yang manakah?”

“Tidak bermaksud apa-apa, hanya minta kau menyerahkan padaku kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.”

Hm, ini hebat, pikir An Lu Shan. Jadi kitab itu sudah demikian digilai oleh orang-orang pandai di dunia. Baiknya dia telah mendahului mempelajari bagian ilmu perangnya.

“Bagaimana?” tiba-tiba Kiu-bwe-coa-li mendesak sambil menggerak-gerakkan ranting di tangannya. Ternyata bahwa itu bukan ranting biasa, melainkan gagang sebatang pecut yang panjang dan halus sekali. Pecut itu terdiri dari sembilan helai tali yang halus tapi kuat dan merupakan senjatanya yang luar biasa. Karena tali-tali yang sembilan helai ini bergerak-gerak hidup seperti ular-ular kecil, maka dia dijuluki Ular Betina Berekor Sembilan! Satu saja dari sembilan helai tali ini ia gerakkan untuk menotok jalan darah seperti yang diperlihatkan tadi terhadap para perajurit yang menghadangnya cukup untuk membunuh seorang manusia. Dapat dibayangkan betapa hebat dan tingginya kepandaian tokouw ini!

“Locianpwe, sungguh kebetulan sekali dan kalau saja siauwte tidak kehilangan guru siauwte tidak kehilangan guru siauwte dalam urusan ini, tentu siauwte telah tertawa geli mendengar Locianpwe datang hendak minta kitab itu.”

“Apa yang terjadi?” Sepasang alis tokouw itu bergerak-gerak dan sepasang matanya demikian tajam sehingga An Lu Shan tidak kuat untuk menentang lama-lama.

“Baru terjadi kemarin, Locianpwe. Kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang kauminta itu telah dirampas orang dan suhuku Li Kong Hoat-ong bahkan sampai tewas melawan orang itu.”

“Lekas bilang, siapa yang merampasnya?” seru tokouw itu yang sama sekali tidak peduli tentang kematian Li Kong Hoat-ong.

“Dia adalah Hek-mo-ong yang tinggal di Hek-mo-san....”

Secepat kilat Kiu-bwe-coa-li memutar tubuhnya menghadapi Gui Tin. “Betulkah demikian?” Gui Tin hanya mengangguk dan diam-diam sastrawan ini tidak suka melihat sikap tokouw ini, apalagi setelah dia melihat bahwa tokouw ini telah membunuh banyak penjaga di luar benteng!

Kiu-bwe-coa-li hendak pergi, akan tetapi ternyata Sui Ceng yang tadi masih digandeng, telah melepaskan gandengan tangannya dan anak itu kini nampak bercakap-cakap dengan seorang anak laki-laki gundul.

“Sui Ceng, mari!” seru tokouw ini dan sekali ia mengulur tangannya, ia mendorong Kwan Cu sehingga anak ini menggelundung seperti bal. Akan tetapi Kwan Cu cepat melompat lagi dan menuding kepada Kiu-bwe-coa-li sambil berkata, “Kenapa kau begitu galak? Aku tidak suka melihat adik Ceng menjadi murid seorang galak! Ketahuilah, adik Ceng sudah diserahkan kepadaku untuk kujaga dan kalau kau memperlakukan buruk padanya....”

Melihat betapa anak laki-laki gundul itu yang didorongnya tidak apa-apa bahkan kini mengeluarkan kata-kata mengancam kepadanya untuk membela Sui Ceng, Kiu-bwe-coa-li menengok dan memandang terheran-heran. Hebat sekali anak gundul ini, pikirnya lalu ia berbisik kepada Sui Ceng. Anak perempuan ini berkata,

“Engko Kwan Cu, guruku ini baik sekali kepadaku! Eh, aku ingin tanya, betul-betulkah penuturan mereka tentang Hek-mo-ong?”

Kwan Cu maklum bahwa tokouw ini masih tidak percaya penuh kepada An-ciangkun dan Gui-siucai, maka mempergunakan Sui Ceng untuk bertanya kepadanya. Dengan demikian, itu berarti bahwa tokouw itu lebih percaya kepadanya! Dalam sekejap mata saja anak yang berkepala gundul dan berotak cerdik ini dapat menghubung-hubungkan sesuatu dan menarik kesimpulannya pada saat itu juga!

“Adik Ceng, biasanya, orang yang tidak mudah percaya kepada orang lain itu mempunyai watak yang tak dapat dipercayai. Karena hendak mengukur watak orang lain seperti wataknya sendiri, maka dia selalu merasa khawatir kalau dibohongi orang!” Sui Ceng tentu saja tidak mengerti akan maksud jawaban yang menyimpang daripada pertanyaannya tadi, akan tetapi Kiu-bwe-coa-li merasa sekali akan sindiran yang amat tepat ini. Anak gundul itu seakan-akan dapat membaca pikirannya!

“Keparat gundul!” bisiknya dan sekali ia menarik tangan muridnya, dan menggerakkan tubuhnya, berkelebatlah bayangannya dan lenyaplah tokouw ini dari hadapan mereka! Kali ini, ketika berlari cepat keluar dari benteng, bayangannya hampir tidak dapat terlihat oleh para penjaga!

“Hebat....!” An Lu Shan berkata. “Celakalah Hek-mo-ong kalau bertemu dengan dia!”



Baru saja keadaan mereda setelah tokouw itu pergi, tiba-tiba terdengar suara di atas genteng, suara yang kecil tinggi. “Omitohud! Pinceng hanya datang mengganggu saja!” Dan tiba-tiba genteng di atas ruangan itu pecah beterbangan dan tubuh seorang hwesio yang gemuk seperti gajah menerobos turun dari lubang di atas genteng itu! Biarpun tubuhnya besar dan gemuk, hampir sama dengan tubuh Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, namun ketika kaki hwesio ini menyentuh lantai sama sekali tidak terdengar suara sesuatu, sungguhpun An Lu Shan yang masih duduk terasa betapa bangkunya tergetar dan dia terpental sedikit ke atas!

Ketika semua mata memandang, ternyata bahwa hwesio ini berkulit agak kehitaman, bermata lebar dan misalnya tergantung menutupi dagunya. Jubahnya hitam seluruhnya, hitam arang yang membuat mukanya yang berkulit kehitaman itu agak bersih kelihatannya. Tangan kiri hwesio gemuk ini memegang serangkaian tasbih, tangan kanan memegang sebatang tongkat berkepala naga terbuat dari logam kuning seperti emas.

“Hek-i Hui-mo....” terdengar Gui Tin berkata dan hwesio ini segera menjura kepada sastrawan ini.

“Gui-siucai, kau masih tetap muda. Ha-ha-ha, agaknya nasib akan menjodohkan kita sehingga tak lama lagi pinceng akan berkumpul dengan Gui-siucai, sama-sama mempelajari isi kitab!” Setelah suaranya yang halus mengeluarkan kata-kata ini, tiba-tiba dia menggerakkan tongkatnya ke depan An Lu Shan dan “brakk!” meja di depan An Lu Shan menjadi hancur sama sekali tertimpa tongkat itu, biarpun dia hanya memukulkan perlahan saja.

An Lu Shan terkejut sekali dan mencelat ke belakang, bersiap sedia karena bahwa dia berhadapan dengan tokoh besar dari barat, yaitu hwesio Tibet yang telah menyeleweng dan yang mengadakan permusuhan besar dengan hwesio Tibet aliran jubah kuning. Karena penyelewengan inilah maka nama Hek-i Hui-mo (Iblis Terbang Berjubah Hitam) amat terkenal.

“An-ciangkun, pinceng tidak mau membuang banyak waktu. Lekas kauserahkan Im-yang Bu-tek Cin-keng kepada pinceng!” kini suaranya berbeda sekali karena terdengar amat ketus dan galak, mengandung ancaman hebat.

Akan tetapi An Lu Shan telah menjadi mendongkol sekali. Kalau sekiranya yang datang bukanlah tokoh besar yang amat berbahaya ini, tentu dia akan menyerang mati-matian dan menyuruh keroyok oleh seluruh barisannya.

“Hm, celaka sekali,” katanya, “mengapa aku sial benar-benar? Lo-suhu, ketahuilah bahwa kitab itu kemarin telah dicuri oleh Hek-mo-ong, bahkan baru tadi Kiu-bwe-coa-li juga datang menanyakan. Sekarang Kiu-bwe-coa-li telah menyusul ke Hek-mo-san.”

Seperti juga Kiu-bwe-coa-li tadi kini hwesio itu berpaling kepada Gui Tin dan bertanya. “Betulkah itu, Gui-siucai?”

“Memang betul demikian,” kata Gui Tin.

“Baiklah, kau beristirahat dulu baik-baik di sini, Gui-siucai. Kalau sudah terdapat kitab itu, pinceng akan menjemputmu di tempat ini!” Setelah berkata demikian, sekali dia menggerakkan kakinya, tubuhnya yang gemuk itu telah melayang naik dan menerobos melalui lubang yang tadi! Benar-benar hebat ginkang dari hwesio gemuk ini, maka tidak mengherankan apabila julukannya adalah Iblis Terbang!

Celaka, pikir An Lu Shan. Benar-benar hebat sekarang ini! Im-yang Bu-tek Cin-keng sudah dikejar oleh demikian banyak orang lihai. Tidak ada harapan sama sekali baginya untuk mendapatkan kitab itu kembali! Sesungguhnya, yang mendapatkan kitab itu tadinya adalah suhunya, yaitu Li Kong Hoat-ong, maka setelah suhunya itu meninggal, An Lu Shan menganggap kitab itu sudah menjadi haknya. Tidak tahunya, kalau tadinya dia masih mengandung harapan besar untuk mengambil kembali kitab itu dari tangan Hek-mo-ong yang lihai, kini muncul tokoh-tokoh yang masih jauh lebih lihai dan berbahaya daripada Hek-mo-ong sendiri! Habislah harapannya dan diam-diam dia mengerling ke arah Gui Tin. Untuk apa sastrawan tua ini dibiarkan hidup?

“Ia harus mati!” demikian An Lu Shan mengambil keputusan. Kalau dia mati, biarpun seorang di antara tokoh-tokoh besar itu berhasil mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, apa gunanya? Tak seorang pun selain Gui-siucai mengerti akan bahasa tulisan kitab itu. Kalau sastrawan ini dibiarkan hidup sehingga ada orang lain yang mampu membaca kitab rahasia itu, bukankah itu berbahaya sekali? Sekarang dia telah mempunyai barisan yang kuat dan siasat-siasat perang yang lihai, kalau sampai ada yang mengerti rahasianya dan kemudian siasat-siasatnya itu dipecahkan orang, bukankah itu akan celaka sekali?

Sementara itu, terdengar Kwan Cu mengomel, “Benar-benar orang-orang tua itu sudah miring otaknya semua! Kitab palsu diperebutkan!” Baru saja dia bicara demikian, Gui Tin membentaknya dan baru Kwan Cu sadar bahwa dia telah berbicara terlalu banyak. Ia menyesal sekali dan mendekap mulutnya sendiri.

Akan tetapi An Lu Shan sudah bangkit dari tempat duduknya, lalu menghampiri mereka.

“Coba katakan, apa artinya ucapan tadi, Kwan Cu? Kitab palsu, apakah maksudmu?”

Kwan Cu tak dapat menjawab, hanya berdiri memandang kepada komandan itu dengan mata terbuka lebar-lebar.



Akan tetapi An Lu Shan sudah menaruh kecurigaan dan tidak percaya akan keterangan ini, memang dia hendak mencari alasan untuk melenyapkan guru dan murid ini. Ia memegang tangan Kwan Cu dan menekannya keras-keras.

“Hayo kau mengaku terus terang, benarkah kitab itu palsu?”

Kwan Cu merasa tangannya sakit sekali, akan tetapi ketika dia mengerahkan tenaga lweekangnya yang selama ini dilatih menurut petunjuk kitab itu, tiba-tiba An Lu Shan melepaskan pegangannya dan berteriak kesakitan, dari lengan anak itu seakan-akan menolak hawa yang panas sekali.

“Keparat! Kau malah sudah mempelajari isi kitab itu, ya? Hayo lekas katakan terus terang!”

Kwan Cu hanya tertawa, dan suara ketawanya ini mengorbankan kemarahan komandan itu. Sekali dia mengayun tangannya, dada Kwan Cu telah dipukulnya. Kalau menurut keadaan biasa, tentu dada anak ini akan pecah dan binasa di saat itu juga. Akan tetapi, tubuh anak ini hanya terlempar jauh dan kembali seperti ketika dia tertangkis oleh Hek-mo-ong, tubuhnya membentur dinding. Anehnya, dia tidak apa-apa, karena ketika dipukul dia kerahkan dan dikumpulkan di bagian dada yang terpukul sambil menahan napas sehingga tubuhnya seakan-akan terisi hawa yang kuat dan tidak terluka!

Makin yakinlah An Lu Shan melihat keanehan ini. Ia lalu menubruk maju dan kini dia memegang lengan Gui-siucai. “Kau berbicaralah terus terang!”

Akan tetapi Gui Tin menggeleng-gelengkan kepalanya dan tidak mau menjawab pertanyaan ini. An Lu Shan menggunakan tenaganya menekan dan terdengar suara “krak!” ternyata tulang lengan Gui Tin telah remuk! Sastrawan tua ini berjengkit kesakitan. Namun dia tetap menutup mulut.

“Jangan kausakiti guruku!” Tiba-tiba Kwan Cu berseru keras dan sekali dia melompat, dia telah berada di depan An Lu Shan dan merenggutkan lengan An Lu Shan yang menekan lengan Gui Tin. An Lu Shan merasakan sambaran angin datang dari serangan Kwan Cu, maka cepat dia mengelak dan kakinya menyambar. Sekali lagi Kwan Cu terlempar jauh.

An Lu Shan sudah marah sekali. Ia memanggil penjaga-penjaga dan berkata keras, “Tangkap mereka, rangket sampai mereka mengaku tentang kitab itu!”

Lima orang tentara yang biasa menjalankan perintah menyiksa tawanan atau lebih tepat disebut algojo-algojo, segera menyerbu dan sebentar saja Gui Tin dan Kwan Cu sudah ditangkap, lalu diseret keluar! Seorang diantara mereka mengeluarkan sebatang cambuk hitam dan mulailah guru dan murid ini dihajar, dicambuki seperti dua ekor binatang yang mogok kerja. Darah mengalir dari kulit tubuh mereka yang tertimpa cambuk. Tidak hanya pakaian mereka yang butut itu yang pecah-pecah, bahkan kulit dan muka juga pecah-pecah mengeluarkan darah.

“Kwan Cu....” Giu-siucai mengeluh dengan tubuh lemah terkulai, menggantung di tangan seorang algojo yang memegangnya. “Carilah kitab aselinya, pelajari baik-baik, jangan seperti aku.... lemah.... kepandaian bu penting sekali untuk menghadapi orang-orang macam ini.”

Akan tetapi dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena sebuah tendangan tepat sekali mengenai ulu hatinya sehingga orang tua ini tiba-tiba merasa napasnya terhenti dan dia megap-megap seperti ikan dilempar di darat.

“Kejam! Kalian ini bukan manusia. Kejam!”

Kwan Cu meronta dan berhasil melepaskan diri lalu menubruk gurunya. Akan tetapi sebuah ketokan dengan belakang golok membuat dia roboh terguling dan dia telah dicekal lagi tangannya, dan dicambuki sampai pakaiannya hancur dan anak ini menjadi setengah telanjang!

Gui Tin sudah payah sekali, dan juga betapapun kuat tubuh Kwan Cu, tanpa memiliki ilmu silat, dia tidak berdaya dan agaknya guru dan murid ini tentu akan menemui kematian di tangan para algojo ini yang sudah mendapat perintah dari An Lu Shan untuk membunuh mereka. Akan tetapi pada saat itu, terdengar bunyi gembreng dan tambur di luar benteng dan masuklah serombongan orang yang disambut dengan penghormatan besar oleh para penjaga.

Penyiksaan terhadap Gui Tin dan Kwan Cu otomatis dihentikan dan An Lu Shan bersama An Lui Kui nampak tergesa-gesa menyambut kedatangan tamu agung itu. Ternyata bahwa yang datang adalah Menteri Lu Pin yang mendapat tugas dari kaisar untuk menaikkan pangkat An Lu Shan!

Dari jauh Lu Pin melihat kakek dan bocah pengemis itu dicambuki maka begitu bertemu dengan An Lu Shan yang menjalankan penghormatan, dia lalu bertanya,

“Siapakah mereka itu dan mengapa dicambuki?”

“Ah, Taijin. Mereka itu adalah dua orang penipu besar. Mereka adalah guru dan murid yang mengaku sebagai sastrawan dan yang kami perintahkan untuk menterjemahkan sebuah kitab kuno. Tiada tahunya mereka menipu kami dan menyatakan bahwa kitab itu palsu adanya.”



“Kitab kuno? Apakah An-ciangkun maksudnya bahwa kitab itu adalah Im-yang Bu-tek Cin-keng?”

Pucatlah muka An Lu Shan mendengar ini. “Ah, Taijin sudah mendengar pula tentang kitab itu? Agaknya semua orang tahu akan kitab itu.”

“Tentu saja. Siapa yang tidak mendengar akan kitab yang diperebutkan oleh semua negeri ini? An-ciangkun, apakah kau benar-benar sudah menemukan kitab itu? Kalau benar begitu, mengapa tidak kauantarkan ke kota raja?” Menteri tua ini memandang penuh curiga dan selidik.

“Itulah Lu-taijin. Kami memang telah mendapatkan kitab, akan tetapi kami masih merasa ragu-ragu apakah kitab itu kitab yang aseli, karena banyak kitab-kitab yang dipalsukan orang. Dan karena itu pula kami memerintahkan kepada sastrawan tua itu untuk menterjemahkannya. Tidak tahunya, dia menipu kami dan kitab itu dinyatakan palsu.”

“Mana kitab itu?”

An Lu Shan menarik napas panjang. Kini dia merasa puas dan lega bahwa kitab itu telah dirampas orang! Lebih baik kitab itu jatuh ke dalam tangan para tokoh kang-ouw daripada jatuh ke dalam tangan pemerintah! Ia lalu menuturkan bahwa kitab itu telah dirampas orang. Menteri Lu Pin menghela napas dan menyatakan sayangnya. Lalu dia menyuruh orang membawa datang dua orang pengemis yang disiksanya tadi.

Setelah Gui Tin dan Kwan Cu diseret di hadapan Menteri Lu Pin, kebetulan sekali Gui Tin siuman dari pingsannya. Keadaannya payah sekali, akan tetapi begitu dia melirik dan bertemu muka dengan Menteri Lu Pin, dia segera membuang muka dan meludah ke atas tanah.

Lu Pin memandang dengan penuh perhatian. “Ah, bukankah kau ini Gui-twako?”

Gui Tin tetap saja membuang muka dan pandang matanya penuh hinaan terhadap menteri itu.

“Benarkah kau Gui Tin....? Benarkah aku berhadapan dengan Gui-twako?” kembali Menteri Lu Pin bertanya dan kini dia turun dari tempat duduknya yang tadi disediakan oleh seorang pengawalnya, lalu dihampirinya Gui Tin.

“Aku tidak sudi berkenalan dengan manusia she Lu!” tiba-tiba Gui Tin berkata dengan suara keras dan marah sekali sehingga kembali dadanya terasa sakit dan dia roboh pingsan!

“Lekas tolong dia!” kata Lu Pin. “Dia adalah kenalan lama dariku. Hayo cepat tolong dan rawat dia baik-baik?”

An Lu Shan menjadi kaget sekali melihat bahwa menteri ini kenal baik dengan Gui Tin, maka dia cepat menyuruh orang-orangnya untuk menolong Gui Tin dan Kwan Cu. Kemudian Menteri Lu Pin lalu dibawa ke rumah gedung An Lu Shan yang berada di luar benteng. Memang komandan An ini telah membawa keluarganya dari kota raja ke tempat itu, akan tetapi karena merasa tidak enak untuk tinggal bersama keluarga dalam benteng dia lalu membuah sebuah rumah gedung di luar benteng.

Lu Pin lalu menyuruh An Lu Shan untuk membawa Gui Tin dan muridnya ke rumah itu pula untuk dirawat. Akan tetapi keadaan Gui Tin demikian parah sehingga dia tak pernah siuman lagi, kecuali satu kali di tengah malam dan dia meninggalkan pesan kepada Kwan Cu bahwa anak ini harus mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.

“Kwan Cu.” bisiknya di atas pembaringan. “Untuk mendapatkan kitab itu, jalan satu-satunya hanya membaca dan mempelajari kitab sejarah yang masih kusimpan di dalam goa di hutan sion di lereng Bukit Liang-san. Di dalam dusun di lereng bukit sebelah barat, asal kautanyakan di mana tempat tinggal Gui-lokai (pengemis tua she Gui), tentu semua orang akan dapat memberi tahu. Goa itu kosong dan aku menyimpan peti besi di bawah tanah. Bukalah dan kau carilah kitab sejarah yang tulisannya sama dengan isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Pelajari sejarah itu dan kemudian kaucarilah kibat itu. Dunia kacau balau, kekerasan dan kekuatan selalu memegang peranan penting, kalau tidak dilawan oleh kekerasan dan tenaga pula, kita tidak berdaya. Taatilah pesanku ini, Kwan Cu.”

Kwan Cu mengangguk-angguk sambil mencegah keluarnya air matanya. Ia tidak mudah terharu, akan tetapi melihat keadaan gurunya yang amat dikasihinya ini, dia merasa kasihan juga.

Gui Tin meninggal dunia dan berkat pengaruh Lu Pin, dia dimakamkan dengan pantas di dusun itu. Adapun Kwan Cu yang bersembahyan di depan makam bekas gurunya ini, merasa sunyi sekali. Tiba-tiba dia disuruh datang menghadap Menteri Lu Pin. Setelah dia berhadapan dengan menteri ini, Kwan Cu mendapat kenyataan bahwa wajah menteri ini benar-benar amat agung dan mendatangkan rasa sayang. Halus gerak-geriknya, seperti Gui-siucai dan amat peramah pula.”

“Anak, apakah kau murid dari Gui-twako?”

“Benar, Taijin.” “Apa saja yang kaupelajari dari gurumu itu?”

“Membaca, menulis, dan mempelajari syair-syair dan ujar-ujar kuno,” jawab Kwan Cu terus terang.

Mendengar jawaban yang lancar dan melihat sikap Kwan Cu yang sopan-santun, jujur, dan tidak merendah ini, Lu Pin merasa suka juga.



“Anak, apakah kau murid dari Gui-twako?”

“Benar, Taijin.” “Apa saja yang kaupelajari dari gurumu itu?”

“Membaca, menulis, dan mempelajari syair-syair dan ujar-ujar kuno,” jawab Kwan Cu terus terang.

Mendengar jawaban yang lancar dan melihat sikap Kwan Cu yang sopan-santun, jujur, dan tidak merendah ini, Lu Pin merasa suka juga.

“Anak baik, siapakah namamu?”

“Nama hamba Kwan Cu.”

“Nama keluargamu?”

“Hamba she Lu”

Menteri Lu Pin tercengang.

“Siapa orang tuamu?”

“Hamba tidak tahu. Nama dan she hamba juga hamba terima sebagai pemberian orang lain kepada hamba,” kata Kwan Cu terus terang.

Mau tidak mau Lu Pin tertawa juga. “Ah, aneh sekali. Siapakah orangnya yang memberi she Lu kepadamu?”

“Hamba menerima she Lu itu dari pemberian seorang tua yang gagah perkasa, Ang-bin Sin-kai.”

“Ang-bin Sin-kai??” benar-benar Lu Pin terkejut. “Eh, anak baik, masih ada hubungan apakah antara kau dan dia?”

“Tidak ada hubungan apa-apa, Taijin. Hanya Ang-bin Sin-kai ingin mengambil murid kepada hamba, akan tetapi hamba tidak mau.”

Lu Pin tertawa gembira. “Dia orang aneh, akan tetapi kau seorang bocah yang lebih aneh lagi. Dan namamu itu, Kwan Cu, pemberian siapa pula?”

“Nama hamba diberi oleh seorang hwesio gemuk bernama Kak Thong Taisu.”

Kembali menteri tua itu tertegun. “Ah, benar-benar kau bocah aneh sekali. Masih sekecil ini telah mengalami hal yang tak sembarangan anak dapat mengalaminya. Diberi she oleh Ang-bin Sin-kai, diberi nama Kak Thong Taisu, menjadi murid dari Gui-siucai, kini kau bercakap-cakap dengan aku! Ah, Lu Kwan Cu, apakah kau tidak ingat lagi siapa adanya ayah bundamu?”

Kwan Cu menggeleng kepalanya. “Ayah hamba adalah langit dan ibu hamba adalah bumi. Saudara-saudara hamba adalah semua manusia di dunia ini.” Kwan Cu menjawab sambil meniru ujar-ujar yang pernah dibacanya.

Bukan main terharunya hati Lu Pin mendengar ini. Ia melambaikan tangannya dan ketika Kwan Cu mendekat, menteri tua ini lalu memeluknya dan mengelus-elus kepalanya yang gundul. Sebagaimana diketahui, Menteri Lu Pin hanya mempunyai seorang putera dan seorang cucunya amat tidak berkenan dalam hatinya. Kini melihat Kwan Cu, timbul sukanya.

“Kwan Cu, marilah kau ikut dengan aku saja ke kota raja. Kau akan kudidik dengan ilmu kesusastraan, dan sungguhpun aku tidak sepandai mendiang gurumu, akan tetapi kau akan berhasil dengan cita-citamu. Kau tinggallah bersama aku, kau kuanggap sebagai cucuku sendiri, Kwan Cu.”

Terharu sekali hati Kwan Cu. Belum pernah ada orang yang sikapnya demikian halus dan ramah tamah kepadanya, apalagi seorang pembesar tinggi seperti Menteri Lu Pin ini.

“Hamba boleh menyebut kong-kong kepada Taijin?”

“Tentu saja, karena dalam pandanganku, kau adalah cucuku sendiri, Kwan Cu.”

Saking girangnya Kwan Cu lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan menteri tua itu dan tak tertahankan pula dua titik air mata mengalir turun ke pipinya yang kurus. “Kong-kong....” katanya.

Lu Pin juga merasa terharu dan dipeluknya anak itu. “Kau harus berganti pakaian, cucuku, dan besok kau ikut aku ke kota raja.”

“Tidak, Kong-kong. Tidak sekarang. Biarlah kelak aku akan mencari Kong-kong. Sekarang aku mempunyai tugas lain yang lebih penting.”

“Tugas....?” Menteri Lu Pin membelalakkan matanya. “Kau....? Tugas apa dan dari siapa, cucuku?”

“Tugas yang dipesankan oleh mendiang Gui-lopek, dan tugas itu adalah....” Anak ini menengok ke kanan kiri, kemudian melanjutkan dengan perlahan, “tugas mencari kitab aseli Im-yang Bu-tek Cin-keng.”

Kembali untuk ke sekian kalinya menteri tua itu tertegun. Kemudian dia menghela napas. “Memang kau seorang anak ajaib! Benar-benar kau bocah ajaib! Baiklah, aku tahu bahwa orang-orang aneh seperti Ang-bin Sin-kai dan kau takkan mudah dibantah. Kau pergilah, akan tetapi ingat bahwa aku selalu menanti kau sebagai kong-kongmu!”

Setelah berkata demikian, Menteri Lu Pin lalu memberi bekal sekantong uang emas kepada Kwan Cu, dan memberitahukan An Lu Shan agar semua anak buahnya jangan mengganggu anak ini. Setelah berpamit dan menghaturkan terima kasihnya, Kwan Cu bersembah yang lagi di depan makam Gui Tin, lalu pergilah anak ini, menuju ke Gua Liang-san untuk mencari simpanan kitab-kitab mendiang gurunya!



Dengan girang sekali Hek-mo-ong setelah berhasil merampas kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, berlari cepat sambil tertawa-tawa menuju ke rumahnya di puncak Hek-mo-san. Ia tinggal bersama dua orang adiknya dan isteri serta ipar-iparnya di dalam satu rumah besar di kampung yang cukup ramai, di mana dia dianggap sebagai seorang tuan tanah yang cukup kaya-raya. Memang semenjak bertahun-tahun yang lalu, Hek-mo-ong tidak berkelana lagi di dunia kang-ouw, melainkan hidup aman di dalam kampung ini.

Ketika dia melangkah masuk ke dalam rumahnya, dia disambut oleh dua orang adiknya, juga dua orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan kasar yang menyambutnya bersama isteri-isterinya yang cantik. Isteri Hek-mo-ong sendiri masih muda lagi cantik dan genit sekali.

Melihat kegembiraan Hek-mo-ong, mereka beramai-ramai mengajukan pertanyaan, akan tetapi Hek-mo-ong hanya menjawab sambil tertawa-tawa. “Lekas membikin masakan yang enak, keluarkan arak yang wangi! Kita rayakan hari besar ini, karena tak lama lagi aku Hek-mo-ong akan menjagoi di seluruh permukaan bumi! Tunggu saja kalian, Ang-bin Sin-kai, Jeng-kin-jiu, Pak-lo-sian, Hek-i Hui-mo, dan Kiu-bwe-coa-li! Sebentar lagi, kalian terpaksa harus bertekuk lutut dan tunduk kepadaku, mengakui keunggulan Hek-mo-ong sebagai orang yang terpandai! Ha-ha-ha-ha-ha!”

Adik-adiknya dan ipar-iparnya, juga isterinya sudah tahu akan keanehan watak Hek-mo-ong, maka mereka tidak berani bertanya lagi sebelum orang ini menceritakannya sendiri. Maka segera makanan dan arak disediakan dan mereka makan minum dengan gembira sekali.

Setelah makan kenyang, barulah Hek-mo-ong mengeluarkan peti hitam itu dari sakunya, meletakkannya di atas meja sambil berkata bangga.

“Lihat, inilah kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!”

“Twa-pek (Uwa) mengapa kitab seperti kotak kayu?” memotong seorang anak kecil yang menjadi putera dari saudara termuda.

“Kau tahu apa?” bentak ayahnya atau adik termuda dari Hek-mo-ong. “Peti itu hanya tempat saja, tentunya.”

Karena tidak sabar lagi, mereka lalu mendesak kepada Hek-mo-ong untuk membuka peti itu. Dua orang adik Hek-mo-ong, ketika peti itu dibuka, menjenguk dari kanan kiri. Hek-mo-ong tertawa-tawa lalu menggunakan kedua tangannya untuk membuka peti itu.

“Ser! Ser! Ser!” berturut-turut, tujuh batang anak panah yang secara pandai dipasang An Lu Shan itu menyambar ke atas cepat sekali. Kalau bukan Hek-mo-ong, tentu orang yang membukanya akan mati saat itu juga, terpanggang oleh anak-anak panah itu. Akan tetapi Hek-mo-ong telah memiliki kepandaian yang amat tinggi. Begitu melihat menyambarnya cahaya hitam dari dalam peti, dia berseru keras dan kedua tangannya bergerak menangkis sehingga anak-anak panah itu terpental ke kanan kiri. Celaka sekali, kedua adiknya yang menjenguk dari kanan kiri itu tak sempat mengelak dan tepat sekali muka mereka tertembus anak-anak panah sehingga mereka roboh tak berkutik lagi. Muka itu menjadi bengkak dan biru, amat mengerikan.

Tentu saja isteri-isteri mereka menangis dan menjerit-jerit memeluki mayat kedua orang itu. Hek-mo-ong sendiri untuk beberapa lama berdiri bagaikan patung, akan tetapi setelah dia mengeluarkan kitab itu dan membalik-balikkan lembarannya, timbul lagi kegembiraannya.

“Sudah, jangan menangis di sini. Mereka sudah mati, sudahlah. Sudah patut kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng didapatkan dengan pengorbanan besar. Urus jenazah mereka baik-baik, dan kalian ini tak usah menangis, mulai sekarang boleh ikut aku saja sebagai pengganti suami-suamimu.”

Tak seorang pun berani membantah, akan tetapi ucapan ini saja sudah cukup dipakai ukuran orang macam apa adanya Hek-mo-ong ini! Sambil tertawa-tawa dan tidak menghiraukan perkabungan, dia lalu minum arak dan membalik-balik lembaran kitab yang baru saja dirampasnya itu.

Akan tetapi, tiba-tiba dia menjadi pucat sekali dan mukanya meringis-ringis menahan sakit. Kedua tangannya bergerak memegangi perut, dada, dan leher karena dia merasa betapa bagian-bagian tubuh itu merasa amat panas dan sakit.

“Celaka.... keparat An Lu Shan.... aduh....!” Ia terhuyung-huyung, menubruk meja sehingga kitab itu terlempar ke atas lantai.

Isterinya dan ipar-iparnya memburu dan menubruknya.

“Aduh....” Hek-mo-ong menjerit-jerit dan mulutnya mulai berbusa. “Awas.... peti itu.... jangan disentuh.... aduh, mati aku!” tubuhnya kaku, matanya mendelik, mulutnya berbusa dan dia tidak bernapas lagi!

Kalau orang lain, tentu sudah sejak tadi mati karena pengaruh racun. Tadi dia memegang-megang peti, kemudian makan. Sudah menjadi kebiasaan orang-orang kasar seperti Hek-mo-ong, biarpun tangannya kotor, kalau mau makan terus saja makan tanpa mencuci atau membersihkan tangannya, maka sebentar saja racun di tangannya terbawa masuk ke perut. Akan tetapi dia memang bertubuh kuat sehingga racun itu agak lama merobohkannya.



Tentu saja isteri-isteri dari tiga orang itu beserta anak-anak dan keluarganya, menangis dan sebentar saja di situ terdengar jerit tangis ramai sekali. Ketika dua orang adik Hek-mo-ong tadi tewas, mereka tidak berani menangis karena takut kepada Hek-mo-ong. Setelah sekarang Hek-mo-ong sendiri mati, semua orang menangis sepuasnya!

Keluarga itu dengan dibantu oleh para tetangga dan orang sedusun yang datang berlayat, lalu mengurus tiga jenazah itu. Peti hitam itu atas perintah isteri Hek-mo-ong lalu dibakar, adapun kitabnya lalu ditaruh di atas meja sembahyang di depan peti mati Hek-mo-ong. Tiga peti mati dijajarkan dan peti mati Hek-mo-ong di tengah-tengah. Juga meja sembahyangnya paling besar.

Pada keesokan harinya, ketika orang-orang masih ramai bersembahyang dan hio mengebulkan asapnya bergulung-gulung, datanglah seorang tokouw di tempat itu! Tokouw itu tangan kanannya memegang pecut berbulu sembilan helai dan tangan kirinya menggandeng tangan seorang anak perempuan yang mungil dan cantik manis. Dia bukan lain adalah Kiu-bwe Coa-li dan muridnya Bun Sui Ceng!

Ketika Kiu-bwe Coa-li melihat tiga peti mati itu berjajar di halaman dan semua orang menangis dan berkabung, ia mengerutkan keningnya. Adapun keluarga Hek-mo-ong segera menyambut tokouw ini, sebagaimana layaknya menyambut seorang pertapa wanita, yang mereka anggap datang untuk memberi hiburan kepada warga yang mati.

“Silakan duduk, Suthai,” kata mereka.

Kiu-bwe Coa-li tidak menjawab, melainkan memandang ke arah peti-peti mati, kemudian matanya mencari-cari sesuatu dengan pandangan yang tajam sekali.

“Di mana Hek-mo-ong?” tanyanya tiba-tiba dengan suara keren.

Ditanya demikian, isteri dari Hek-mo-ong melangkah maju dan menangis.

“Suthai yang mulia, suamiku telah meninggal dunia,” lalu tangisnya makin menjadi.

Kiu-bwe Coa-li tertegun dan memandang tajam. “Yang mana petinya?” tanyanya pula.

Karena tidak menyangka buruk, isteri Hek-mo-ong menunjuk ke arah peti mati di tengah-tengah sambil berkata, “Itulah peti mati suamiku.”

Dengan langkah perlahan, Kiu-bwe Coa-li menghampiri peti itu. Sui Ceng tidak senang melihat peti mati, maka sejak tadi ia telah melepaskan tangannya dari gandengan gurunya dan kini anak ini duduk di atas sebuah bangku, memandang ke arah meja sembahyang dengan perasaan heran dan kagum melihat hiasan-hiasan dalam upacara sembahyang itu.

Kiu-bwe-coa-li mendekati peti mati Hek-mo-ong, lalu mengulur tangan kirinya dan menepuk-nepuk peti mati itu beberapa kali dengan perlahan. Semua orang mengira bahwa pendeta wanita itu memberi berkah kepada yang mati, maka mereka menjadi terharu dan girang. Tak seorang pun di antara mereka pernah mengira bahwa tepukan-tepukan perlahan itu merupakan serangan-serangan pukulan lweekang yang dahsyat bukan main! Ternyata bahwa Kiu-bwe Coa-li masih tidak percaya penuh akan kematian Hek-mo-ong dan diam-diam menyerang isi peti mati itu.

Kemudian dia melirik ke arah peti mati di kanan kiri peti mati Hek-mo-ong.

“Siapa yang berada di dalam dua peti mati itu?” tanyanya kepada isteri Hek-mo-ong.

“Mereka adalah kedua adik suamiku, Suthai,” jawab nyonya itu sambil sesunggukan. Dan kembali ramai orang-orang menangis di tempat itu.

Pada saat itu, terdengar suara ketawa keras. Semua orang terkejut dan menengok. Ternyata, entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan peti-peti mati itu sudah berdiri seorang hwesio gemuk berpakaian serba hitam yang berkali-kali menyebut nama Buddha. “Omitohud!” Kemudian, sambil mengoceh seorang diri, dia berkata lagi, “Tidak tahunya iblis neraka telah mendahului pinceng (aku) dan merenggut nyawa Hek-mo-ong.”

“Hm, Hek-i Hui-mo, alat penciumanmu lebih tajam dari seekor anjing buduk!” kata Kiu-bwe Coa-li dengan senyum mengejek.

Hwesio itu yang bukan laih adalah Hek-i Hui-mo, tertawa bergelak.

“Ha, ha, ha! Kiu-bwe Coa-li, kau benar-benar cepat. Hampir saja pinceng ketinggalan!” Setelah berkata demikian, hwesio ini lalu melakukan upacara sembahyang di depan peti mati Hek-mo-ong. Akan tetapi yang dipakai sembahyang bukannya hio yang dibakar, melainkan tiga batang hio hitam yang tidak dibakar. Orang-orang merasa heran sekali akan tetapi Kiu-bwe-coa-li maklum bahwa tiga batang hio hitam itu sebenarnya bukanlah hio, melainkan tiga batang jarum hitam yang disebut Hek-tok-ciam (Jarum Racun Hitam)! Mulut hwesio ini berkemak-kemik membaca doa, kemudian setelah selesai sembahyang dia menggerakkan tangannya dan lenyaplah tiga batang hio hitam itu! Orang-orang lain tidak tahu ke mana perginya benda-benda hitam itu dan mereka mengira hwesio gemuk ini main sulap. Akan tetapi Kiu-bwe Coa-li tersenyum dan tahu bahwa hwesio Tibet yang lihai ini telah menyambitkan jarum-jarum itu yang meluncur laksana kilat ke arah tiga buah peti mati dan telah menembusi peti-peti itu untuk menyerang isinya! Jadi seperti juga dia sendiri, Hek-i Hui-mo Si Iblis Terbang Baju Hitam ini tidak percaya akan kematian Hek-mo-ong dan diam-diam menyerang isi peti mati!



“Sebelum mati, suamimu membawa sebuah peti kecil terisi kitab, di manakah peti itu ditaruhnya? Peti itu adalah milikku, sekarang harap dikeluarkan dan dikembalikan kepadaku!” Kata Kiu-bwe Coa-li kepada isteri Hek-mo-ong.

“Peti celaka itu!” seru isteri Hek-mo-ong. “Peti hitam celaka itulah yang telah membunuh suamiku dan adik-adiknya! Kami telah membakar peti siluman itu, Suthai!”

Terdengar seruan tertahan dan tahu-tahu Kiu-bwe Coa-li dan Hek-i Hui-mo telah bergerak dan berdiri di depan nyonya itu, sikap mereka mengancam dan beringas sekali.

“Dibakar??” tanya Hek-i Hui-mo dengan suara parau dan keras sehingga nyonya Hek-mo-ong terkejut sekali.

“Dan isinya, kitab itu.... apakah terbakar pula?” tanya Kiu-bwe Coa-li, pandang matanya mengancam. Kalau nyonya itu menganggukkan kepala, tak salah lagi ia tentu akan mati dalam sekali pukul oleh dua orang tokoh kang-ouw yang mengerikan itu. Akan tetapi nyonya itu menggelengkan kepalanya lalu menunjuk ke arah meja sembahyang di depan peti mati Hek-mo-ong. “Itulah dia kitab setan itu, yang tadinya berada di dalam peti hitam.”

Tubuh Kiu-bwe Coa-li berkelebat ke arah meja hendak mengambil kitab itu, akan tetapi tahu-tahu di dekat kibat itu, di atas meja, terdengar bunyi nyaring dan tiga batang jarum hitam telah menancap di situ! Kiu-bwe Coa-li cepat melompat ke belakang dan menoleh pada Hek-i Hui-mo yang berdiri tersenyum-senyum!

“Aha, Hek-i Hui-mo! Kau hendak main-main dengan pinni?” tanya Kiu-bwe Coa-li dengan pandang mata tajam dan cambuknya digerak-gerakkan dalam tangannya.

“Kiu-bwe Coa-li, kita datang di tempat yang sama dan dengan maksud yang sama pula. Tak boleh kau mau menang sendiri saja! Aku pun membutuhkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!”

Dua orang tokoh besar itu berdiri saling pandang dengan sikap mengancam, keduanya sama jauhnya dari meja sembahyang di mana keduanya maklum bahwa bergerak lebih dulu berarti bahaya maut. Mereka saling menanti, dan sekali lawannya bergerak, tentu akan mengirim serangan.

Adapun keluarga Hek-mo-ong, ketika sadar dan tahu bahwa dua orang ini sesungguhnya sama sekali bukanlah orang-orang suci yang datang hendak menghibur mereka, bahkan sebaliknya adalah orang-orang jahat yang datang hendak mengacau, menjadi panik dan makin bersedih. Terdengar tangisan-tangisan dan sebentar saja keadaan di situ menjadi gaduh sekali.

Tiba-tiba terdengar suara orang mencela, “He, kalian ini apakah sudah gila? Menangis tidak karuan padahal seharusnya bersyukur! Hayo diam semua jangan menangis, kalau tidak akan kutampar mulutnya siapa yang menangis!” Semua orang terheran dan kaget sehingga suara tangisan benar-benar lenyap. Memang, seperti biasa di dalam sebuah kematian, sebagian besar tangisan orang hanyalah air mata buaya belaka, yakni tangis palsu asal keluar air mata saja untuk membuktikan bahwa mereka benar-benar berduka! Yang menegur itu ternyata adalah seorang kakek berpakaian seperti pengemis yang tubuhnya kurus tinggi.

Setelah semua orang berhenti menangis, kakek ini lalu bernyanyi! Dan suara nyanyinya yang parau itu mengucapkan kata-kata yang cukup aneh!

“Ah, Hek-mo-ong!
Kau benar-benar amat berbahagia!
Kau telah kembali ke asalmu semula,
tidak seperti kami yang masih menjadi manusia!
Ah, kau benar-benar berbahagia, Hek-mo-ong”

Kiu-bwe Coa-li dan Hek-i Hui-mo yang tadinya saling pandang dan telah bersiap-siap untuk memperebutkan kitab di atas meja sembahyang itu, berubah air muka mereka ketika melihat pengemis kurus kering ini.

“Ang-bin Sin-kai, kau juga datang? Kau tidak mau ketinggalan pula?” Kiu-bwe Coa-li menyindir.

“Ha-ha-ha, tua bangka dari timur mana mau mengalah? Ada tulang baik dan daging gemuk, tentu datang anjing!” Hek-i Hui-mo juga menyindir akan tetapi baik dia maupun Kiu-bwe Coa-li kini lebih waspada dan bersiap lagi mengawasi gerak-gerik Ang-bin Sin-kai, menjaga jangan sampai pengemis tua itu mendahului mereka mengambil kitab di atas meja!

“Kau benar, Setan Hitam! Memang kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng tidak boleh terjatuh dalam tanganmu yang kotor!” Ang-bin Sin-kai yang dimaki itu tersenyum-senyum saja.

Tiba-tiba menyambar angin keras dan tubuh seorang lain yang gemuk bundar seperti tubuh Hek-i Hui-mo, seperti “menggelundung” datang! Ternyata dia adalah Jeng-kin-jiu Kak Thong Tiasu, tokoh pertama dari selatan.



“Omitohud, bakal ramai sekarang!” katanya sambil matanya yang bundar jelalatan ke kanan kiri. “Pengemis bangkotan, kau juga sudah di sini?” katanya kepada Ang-bin Sin-kai. Pembaca tentu masih ingat akan hwesio gemuk ini, karena pada permulaan cerita ini, dia sudah muncul bersama Ang-bin Sin-kai dan mengadu kepandaian di pinggir pantai Laut Po-hai, maka tak perlu kiranya dituturkan pula betapa hebat dan lihai kepandaian hwesio gemuk ini!

“Bagus, bagus! Dengan munculnya gundul gendut ini, benar-benar menggembirakan!” kata Ang-bin Sin-kai yang segera menyambar sebuah bangku dan menduduki bangku itu, matanya terus mengincar ke arah kitab yang terletak di atas meja sembahyang.

Empat tokoh besar ini telah mengetahui kepandaian masing-masing dan tak seorang pun di antara mereka berani lancang bergerak mengambil kitab itu. Sudah jelas bahwa mereka semua datang untuk memperebutkan kitab itu, akan tetapi karena kitab itu berada di atas meja dan mereka berempat sudah berada di situ, siapakah yang berani lancang turun tangan lebih dulu? Oleh karena itu, Ang-bin Sin-kai memilih tempat duduk, karena dia tahu bahwa menanti sambil berdiri saja amat melelahkan.

Tidak tahunya, akalnya ini diketahui pula oleh yang lain-lain maka yang tiga orang lagi pun segera menyambar bangku dan duduk! Empat orang itu kini duduk tak bergerak mengelilingi meja sembahyang dalam jarak yang sama jauhnya. Masing-masing memutar otak mencari akal bagaimana dapat mengambil kitab itu!

Tiba-tiba Kiu-bwe Coa-li berseru nyaring dan tahu-tahu pecutnya yang berbulu sembilan helai itu menyambar ke arah meja. Ia hendak mengambil kitab itu dengan ujung cambuknya. Akan tetapi, sebelum pecut itu mencapai kitab, sebatang tongkat berkepala naga menyambar dan menangkis pecut itu sehingga terpental kembali! Ternyata Hek-i Hui-mo yang duduknya paling dekat dengan Kiu-bwe Coa-li telah menangkis dan menggagalkan niat wanita sakti itu!

“Eh, eh, nanti dulu, Kiu-bwe Coa-li” kata hwesio dari Tibet ini sambil tertawa terkekeh.

Ketika Kiu-bwe Coa-li memandang, dia melihat Ang-bin Sin-kai dan Jeng-kin-jiu juga memandangnya dengan senyum penuh arti. Senyum yang menyatakan bahwa mereka berdua ini pun takkan tinggal diam saja kalau wanita tua itu turun tangan.

“Hem, berat nih....” pikir Kiu-bwe Coa-li, lalu ia duduk kembali sambil mengerling ke kanan kiri. “Apakah kalian begitu pengecut tidak berani mendahului turun tangan mengambil kitab itu?” tanyanya.

Akan tetapi, tiga orang kakek itu tidak menjawab, hanya duduk saja sambil tersenyum-senyum. Benar-benar keadaan mereka lucu sekali, kini hanya duduk diam saja, bagaikan empat orang kawan lawan yang baru bertemu dan mengobrol mengitari meja!

“Bagus, baiknya aku belum terlambat!” tiba-tiba terdengar suara halus dan datanglah seorang kakek bertubuh pendek kecil diikuti oleh dua orang anak laki-laki di tempat itu. Semua orang menengok dan ternyata kakek ini adalah Pak-lo-sian Siangkoan Hai, tokoh besar dari utara! Adapun dua orang anak kecil itu adalah murid-muridnya, yakni Gouw Swi Kiat dan The Kun Beng. Dua orang anak-anak ini sudah sering kali mendengar dari suhu mereka tentang empat orang tokoh yang kini duduk mengelilingi meja sembahyang, maka mereka tidak berani mendekat, lalu menghampiri Ben Sui Ceng murid Kiu-bwe Coa-li, karena melihat anak perempuan yang mungil dan cantik duduk di tempat agak jauh sambil menonton.

“Bagus, tua bangka dari utara sudah datang, kaulah yang boleh mulai mencoba mengambil kitab itu. Bukankah untuk itu kau datang?” tanya Kiu-bwe Coa-li.

Akan tetapi Siangkoan Hai Si Dewa Dari Utara bukanlah seorang bodoh. Melihat sekelebatan saja, dia tahu bahwa empat orang ini tidak berani mengambil kitab, karena kalau seorang mengambil, yang lain tentu akan mencegahnya. Ia tertawa terkekeh-kekeh sambil memandang mereka berempat itu berganti-ganti.

“Heh, heh, heh! Dunia ini ternyata tak lebih lebar daripada setapak tangan. Tidak kusangka bahwa aku di sini akan bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li dan Jen-kin-jiu Kak Thong Taisu dari selatan! Hek-i Hui-mo dari barat dan Ang-bin Sin-kai dari timur! Hebat benar! Apakah seluruh dunia sudah terbakar oleh api neraka sehingga iblis-iblis dan setan-setan datang berkumpul di sini? Dan berkumpul mengelilingi meja kematian pula! Heh, heh, heh! Benar-benar orang yang berada dalam peti mati ini seorang yang beruntung dan terhormat. Kaisar sendiri kalau mati, tak mungkin dapat mengundang datang setan-setan dari selatan, barat dan timur!”

“Eh, tua bangka kecil, kau lupa menyebutkan iblis dari utara!” kata Ang-bin Sin-kai.

“Ha, ha, ha!” Jeng-kin-jiu tertawa. “Memaki orang lain memang mudah, mana bisa memaki diri sendiri?”

Disindir oleh dua orang kakek itu, Siangkoan Hai hanya tersenyum-senyum saja, lalu dia menghampiri peti mati di mana tersimpan jenazah Hek-mo-ong. Empat orang lainnya memandang dengan penuh perhatian dan kecurigaan. Pak-lo-sian Siangkoan Hai memandang peti mati itu, lalu berkata lagi,

“Ingin aku melihat orang yang demikian mendapat kehormatan besar!” sambil berkata demikian, kedua tangannya bergerak ke arah peti dan tiba-tiba sambil mengeluarkan suara keras, tutup peti itu telah dibukanya! Semua keluarga yang mati berseru keras dan lari berserabutan ke belakang dan keluar, pergi dari tempat itu. Mereka ketakutan setengah mati karena kedatangan lima orang yang seperti iblis-iblis berkeliaran itu.



Pemandangan yang nampak dalam peti memang mengerikan sekali. Tadinya, karena pengaruh racun jahat yang memasuki perut Hek-mo-ong, muka orang ini telah menjadi hitam kebiruan. Akan tetapi sekarang, kepalanya tetap pecah dan di ulu hatinya menancap jarum hitam! Inilah akibat dari pukulan lweekang dari Kiu-bwe Coa-li yang meraba-raba peti dan serangan jarum hitam dari Hek-i Hui-mo!

“Siancai, siancai....!” Pak-lo-sian menyebut sambil cepat-cepat menutupkan peti kembali. “Benar-benar Hek-mo-ong telah mampus. Bahkan tiga kali mampus.”

Bun Sui Ceng, murid Kiu-bwe Coa-li, dan kedua orang murid Pak-lo-sian, berdiri menonton semua itu. Mereka bertiga sama sekali tidak takut melihat pemandangan yang mengerikan itu. Bahkan Sui Ceng dengan senyum yang membuat pipi kirinya dekik, melirik ke arah The Kun Beng dan Gouw Swi Kiat, lalu berkata,

“Guru kalian itu bertubuh kecil, akan tetapi berhati besar. Orang sombong seperti dia mana bisa mendapatkan kitab?”

Mendengar ucapan ini, Gouw Swi Kiat yang berdarah panas, menjawab, “Kau bocah ingusan tahu apa? Lihat betapa suhu kami akan merampas kitab itu!”

“Huh! Sebelum dia menyentuh kitab, kepalanya akan hancur seperti kepala Hek-mo-ong oleh tangan guruku!” kata Sui Ceng sambil menjebikan bibirnya yang merah.

“Betulkah?” seru Swi Kiat penasaran. “Atau kepalamu yang akan pecah dulu oleh tanganku?” Sikapnya mengancam dan dia seakan-akan hendak menyerang nona cilik itu.

“Suheng, mengapa mencari perkara? Tiada salahnya dia ini membela dan memenangkan gurunya sendiri. Kita lihat sajalah buktinya nanti.” The Kun Beng mencegah suhengnya. Mendengar ini, Sui Ceng melirik ke arah Kun Beng dan diam-diam di dalam hati Sui Ceng merasa jauh lebih suka kepada Kun Beng daripada Swi Kiat.

Sementara itu, Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang tidak mau membuang banyak waktu untuk menanti sambil memandangi kitab yang amat diinginkan itu, tiba-tiba melompat dan sekali sambar saja dia sudah mengambil kitab itu. Akibatnya hebat sekali. Serentak empat orang tokoh yang lain bangun dan bergerak menyerang.

“Lepaskan kitab itu!” seru Kiu-bwe Coa-li yang lebih dulu menyerang dengan cambuknya.

Siangkoan Hai cepat mengelak, akan tetapi dia disambut oleh serangan bertubi-tubi dari Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, dan Ang-bin Sin-kai! Serangan-serangan tiga orang ini tentu saja tak boleh dipandang ringan, karena kepandaian mereka setingkat dengan kepandaian Siangkoan Hai. Dengan kaget Siangkoan Hai mengeluarkan seruan keras dan tubuhnya melompat ke belakang secepatnya, namun masih saja sebuah pukulan dari jauh yang dilancarkan oleh Ang-bin Sin-kai mengenai pundaknya sehingga dia menjadi terhuyung-huyung!

Pada saat itu, Kiu-bwe Coa-li telah menubruk lagi dan sekali renggut, dengan gerak tipu Dewi Kwan Im Merampas Bunga, kitab di tangan Siangkoan Hai itu telah terampas olehnya!

Kiu-bwe Coa-li yang sudah dapat merampas kitab hendak melompat ke arah muridnya dan hendak melarikan diri sambil membawa muridnya itu, akan tetapi sebelum ia tiba di depan Sui Ceng, di depannya telah menghadang Hek-i Hui-mo!

“Enak saja kau mau membawa pergi kitab itu? Lepaskan!” kata Iblis Terbang Baju Hitam ini dan tasbihnya di tangan kiri menyambar ke arah dada Kiu-bwe Coa-li! Serangan hebat ini dapat mendatangkan maut, karena biarpun hanya berupa tasbih, namun senjata aneh ini bukan main lihainya. Merupakan segundukan sinar putih yang bulatan tasbih itu menghantam ke arah jalan darah di dada. Kiu-bwe Coa-li cepat menggerakkan pecutnya menangkis. Terdengar suara keras sekali dan berpijarlah bunga api ketika dua senjata aneh ini bertemu. Keduanya tergetar mundur dan sebelum Kiu-bwe Coa-li tahu, ia hanya merasa kitab itu dibetot orang dan terlepas dari pegangannya!

Ketika ia menoleh, ternyata bahwa kitab itu telah berpindah ke dalam tangan Ang-bin Sin-kai! Kakek pengemis ini tertawa-tawa sambil memegang kitab itu tinggi-tinggi, seperti sikap seorang kanak-kanak yang menggoda kawan-kawannya.

“Jembel tua, kauserahkan kitab itu kepadaku!” seru Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu sambil mengulur tangan hendak merampas. Tangan kirinya diulur hendak merampas, sedangkan tangan kanannya menonjok dada pengemis tua itu! Pada saat yang sama Hek-i Hui-mo, Kiu-bwe Coa-li, dan Pak-lo-sian Siangkoan Hai juga tidak tinggal diam dan sebentar saja Ang-bin Sin-kai telah dikeroyok empat!

Ang-bin Sin-kai maklum bahwa dia tak mungkin dapat melawan empat orang lihai ini, dan biarpun dia melarikan diri, ilmu lari cepat mereka pun tidak kalah olehnya, maka dia cepat berseru, “Tahan serangan!” Berkata begini, dia melempar kitab ke atas meja sembahyang kembali.

Empat orang yang menyerangnya, tertegun dan tidak jadi menyerang, karena serangan mereka itu pun hanya berdasarkan ingin merampas kitab, sedangkan kini kitab sudah berada di atas meja lagi, untuk apa menyerang lawan yang sama lihainya itu?



“Hayo, siapa berani mengambil kitab itu, dialah jagoan betul!” Ang-bin Sin-kai tertawa ha-ha-hi-hi-hi dan menduduki bangkunya yang tadi kembali. Empat orang yang lain, merasa ragu-ragu dan akhirnya mereka pun menduduki bangku dan duduk mengelilingi meja sembahyang di mana terdapat kitab itu. Semua orang maklum bahwa apabila dia memberanikan diri mengambil kitab, tentu akan diserang oleh empat orang lain dan hal ini tidak mungkin, karena bahayanya terlalu besar. Akhirnya, tak seorangpun di antara mereka berani turun tangan mengambil kitab, dan kelima orang ini hanya saling pandang dan tertawa ha-ha-hi-hi-hi, tertawa masam!

Terdengar suara ketawa kanak-kanak dan yang tertawa adalah Sui Ceng dan Kun Beng. Dua orang anak ini merasa geli karena pemandangan itu benar-benar lucu sekali! Sebaliknya, Gouw Swi Kiat yang berdarah panas itu merasa mendongkol sekali. Benar suhunya tidak mampu mengambil kitab itu dan kini gurunya, seperti yang lain-lain, hanya duduk saja menghadapi meja sembahyang seperti patung.

Dari sikap ini saja sudah dapat dilihat bahwa Sui Ceng dan Kun Beng memiliki sifat periang yang sama, adapun Swi Kiat mempunyai sifat pemarah dan keras.

“Suhu, apa sih sukarnya mengambil kitab? Ambil dan lawan mereka, masa Suhu akan kalah?” seru Swi Kiat kepada suhunya.

“Hush, diam kau. Tahu apa kau tentang ini?” bentak suhunya dan Swi Kiat makin mendongkol.

“Sayang kepandaianku belum sempurna. Kalau tidak, aku tidak takut menghadapi mereka!” ia mengomel.

Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak.

“Pak-lo-sian, muridmu yang itu benar-benar keras seperti batu. Tidak seperti muridmu yang ke dua itu, yang lunak seperti air!” katanya.

Keluarga dari Hek-mo-ong yang melihat betapa lima orang itu bertempur tidak karuan kemudian kini duduk lagi mengelilingi meja sembahyang, menjadi terheran-heran, takut, dan juga cemas. Akhirnya, isteri Hek-mo-ong memberikan diri dan maju membungkuk-bungkuk.

“Mau apa kau?” Kiu-bwe Coa-li membentak sehingga nyonya itu menjadi pucat.

“Kami bermaksud hendak mengubur jenazah tiga orang keluarga kami ini, apakah tidak boleh?” tanya nyonya itu dengan suara gemetar. Di antara lima orang tokoh yang aneh dan menyeramkan itu, Ang-bin Sin-kai boleh dibilang memiliki watak yang paling lembut. Ia menaruh kasih kepada nyonya ini, maka sambil menggerakkan tangan dia berkata, “Uruslah jenazah itu baik-baik dan bawa pergi dari sini. Akan tetapi, jangan sekali-kali berani menyentuh meja sembahyang kalau kalian sayang kepada nyawa sendiri.” Setelah mendengar kata-kata ini, nyonya Hek-mo-ong lalu memberi tanda kepada keluarganya dan beramai-ramai akan tetapi hati-hati sekali agar jangan mengganggu lima orang aneh itu, mereka lalu mengangkat tiga buah peti mati itu untuk dikuburkan. Akan tetapi, lima orang itu tetap saja duduk mengelilingi meja sembahyang tanpa berani turun tangan, akan tetapi juga tidak sudi mengalah dan tidak mau meninggalkan tempat itu! Hari sudah mulai senja dan tiba-tiba Sui Ceng yang merasa kesal berkata kepada urunya, “Suthai, perutku lapar, hidangan di meja sembahyang itu tidak diperlukan, bukan? Lebih baik berikan kepada teecu!” Kiu-bwe Coa-li boleh jadi seorang wanita sakti yang berhati baja dan terkenal ganas, akan tetapi terhadap muridnya ini, ia menaruh hati kasih sayang yang besar. Mendengar kata-kata muridnya ini, ia lalu bangkit dari tempat duduknya, menggerakkan pecutnya yang berbulu sembilan itu ke arah meja dan dengan luar biasa sekali dua helai bulu pecutnya melibat pinggir piring sebelah bawah dan mengangkat piring itu terus dilontarkan ke belakan dimana muridnya berdiri! Hebat sekali demonstrasi tenaga lweekang ini, karena piring yang penuh kue mangkok itu melayang tanpa jatuh kuenya sama sekali! Sui Ceng menyambut piring ini dengan kedua tangannya dan ternyata selama ikut dengan gurunya, anak perempuan ini sudah memiliki kepandaian yang lumayan juga karena ia dapat menyambut piring itu tanpa ada kue yang jatuh. Bocah ini lalu mengambil sebuah mangkok dan makan kue dengan enaknya. Pada saat ia makan kue, ia melirik ke arah Kun Beng da tiba-tiba ia menyodorkan piring kue mangkok itu kepada Kun Beng. Anak laki-laki ini tersenyum dan mengambil sebuah kue mangkok, lalu dimakannya tanpa mengeluarkan sepatah pun kata. Sui Ceng menyodorkan piringnya kepada Swi Kiat, akan tetapi Swi Kiat membuang muka lalu berjalan ke dalam rumah untuk minta makanan dari tuan rumah yang segera melayaninya dengan ramah karena takut kepada gurunya. Benar-benar keras hati anak ini, akan tetapi Sui Ceng tidak menghiraukannya, bahkan mencela kepada Kun Beng, “Suhengmu itu kepala batu. Aku tidak suka kepadanya!” Sebaliknya Kun Beng memuji nona kecil ini, “Kau baik hati, aku suka kepadamu.” “Hm, memberi kue bukan berarti bahwa aku suka kepadamu!” jawab Sui Ceng merengut. “Hanya karena aku tadi mendengar suara perutmu berkeruyuk!” Ia menyodorkan lagi piringnya dan tanpa sungkan-sungkan Kun Beng lalu mengambil sebuah kue lagi. Keduanya saling pandang dan tertawa. Diam-diam kedua anak kecil ini telah mendapat kecocokan dalam pertemuan yang aneh ini.



Pak-lo-sian Siangkoan Hai tertawa melihat ini. “Eh, Ular Betina Buntut Sembilan (Kiu-bwe Coa-li).! Muridmu itu baik sekali, tidak seperti kau! Kelak kalau ada jodoh, aku akan menemuimu untuk membicarakan urusan mereka berdua itu!” Akan tetapi Kiu-bwe Coa-li diam saja, bahkan memperlihatkan muka tidak senang. “Kalian ini orang-orang lelaki sungguh menjemukan dan menggemaskan!” katanya sambil membanting kaki kirinya. “Masa kita harus duduk diam saja menjadi patung di sini? Baik diatur begini saja. Aku menantang kalian maju melawan aku seorang demi seorang, jangan main keroyokan! Kalau ada yang dapat mengalahkan cambukku ini, biarlah aku mengalah dan tidak mengharapkan kitab itu lagi.Hayo, siapa berani maju lebih dulu?” Sambil berkata demikian, wanita sakti ini lalu bangkit berdiri dan mengayun-ayun cambuknya dengan sikap menantang sekali. “Akan kuhancurkan kepala kalian empat ornag laki-laki tolol.” Melihat sikap gurunya, Sui Ceng merasa girang dan bangga sekali. Ia menoleh kepada Kun Beng dan Swi Kiat lalu berkata, “Lihat, guruku lebih gagah perkasa. Mana orang seperti gurumu dapat melawan dan mengalahkannya?” Karena kata-kata ini diucapkan dengan keras-keras, maka terdengar pula oleh Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang menjadi panas perutnya juga. Ia melompat bangun dari bangkunya menghadapi Kiu-bwe Coa-li. Memang watak dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai ini sombong dan dalam hal ilmu silat, maka dia tidak pernah mau mengalah terhadap siapapun juga. “Kiu-bwe Coa-li, siapa sih yang takut menghadapi cambukmu sembilan ekor itu? Mari kita main-main sebentar!” Sambil berkata demikian, orang pendek kecil ini lalu mengeluarkan sepasang kipas. Inilah senjata yang lihai sekali dari Siangkoan Hai, yakni sepasang kipas berwarna hitam dan putih. Ia memiliki ilmu silat kipas yang disebut Im-yang San-hwat, yang permainannya membutuhkan tenaga lweekang dan gwakang yang dimainkan berbareng. Pak-lo-sian Siangkoan Hai mempunyai dua macam ilmu silat yang tinggi dan lihai, yakni ilmu kipas ini dan ilmu tombak. Selain dua macam ilmu silat dengan senjata yang amat lihai ini, juga dia memiliki ilmu silat tangan kosong yang jarang ada bandingannya di dunia ini. Sekarang, karena dia menghadapi Kiu-bwe Coa-li yang memegang sebuah cambuk, yakni senjata yang lemas, ia merasa rugi kalau harus menghadapinya dengan tombak, maka dia memilih sepasang kipasnya untuk menghadapinya. Dua orang sakti itu telah saling berhadapan dan agaknya tidak lama lagi mereka akan bergebrak ramai. “Nanti dulu!” kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu sambil melompat maju dan tubuhnya yang bulat itu seakan-akan menggelundung maju dan tahu-tahu telah berada di tengah, di antara kedua jago tua yang hendak bertanding. “Harus diadakan perjanjian lebih dulu yang adil!” “Apa maksudmu, keledai gundul?” Kiu-bwe Coa-li memandang tajam. “Kalau dalam pertandingan ini ada yang kalah dan sampai mampus, itu lebih baik lagi. Akan tetapi kalau tidak sampai mati dan dia sudah dirobohkan, dia harus pergi dan tidak berhak lagi menginginkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng! Yang menanglah yang akan menghadapi lawan ke dua!” Ang-bin Sin-kai maklum dalam pertandingan antara orang-orang lihai ini, sukar dibilang bahwa yang kalah masih dapat hidup, maka dia lalu melompat maju juga dan sambil tertawa-tawa dia mengacung-acungkan tangannya seperti yang hendak mengusulkan sesuatu dalam rapat! “Nanti dulu, aku pun mau mengajukan saran yang adil! Kata-kata si gundul gendut ini ada betulnya, akan tetapi masih kurang adil.” “Cecak kering, bagaimana kau bilang masih kurang adil?” tanya Jeng-kin-jiu sambil tertawa lebar. “Kalau dibiarkan dua orang berhantam, biarpun ada yang menang, tentu si pemenang itu sudah empas-empis napasnya dan sudah habis tenaganya, maka bagaimana dia harus menghadapi lawan ke dua? Ini tidak adil, karena tentu dia akan kalah oleh tenaga baru! Lebih baik kalau dalam tiap pertandingan dibatasi, yakni dengan pembakaran hio pendek yang kering. Begitu pertempuran dimulai, hio dinyalakan dan setelah hio terbakar habis, pertempuran harus dihentikan.” “Hm, hio terbakar habis setelah ilmu silat dimainkan tiga puluh jurus kurang lebih. Bagaimana kalau tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang?” tanya Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Ang-bin Sin-kai garuk-garuk kepalanya. “Kalau tidak ada yang kalah, dapat diulang kembali untuk kedua kalinya.” Semua orang menyatakan setuju, maka Ang-bin Sin-kaicepat menyalakan hio dan ditancapkan di tempat hio yang berada diatas meja sembahyang. “Mulai!” kata Ang-bin Sin-kai sambil mengangkat tangan ke atas seperti seorang wasit pertandingan! “Lihat senjata!” Kiu-bwe Coa-li berseru dan menggerakkan pecut menyerang lawannya. Pak-lo-sian Siangkoan Hai menangkis dengan kipas di tangan kiri yang berwarna putih. Inilah kipas yang dipergunakan dengan tenaga lweekang dan yang cepat sekali dipergunakan untuk menangkis. Seperti diketahui, ujung pecut adalah benda lemas, maka biarpun digerakkan oleh pemegangnya dengan pengerahan tenaga dalam, ketika tertangkis oleh kipas yang mengebut, lalu bertolak kembali. Akan tetapi, Siangkoan Hai tidak berani berlaku lambat, dan cepat dia membalas serangan lawan dengan kipas kanan yang berwarna hitam dengan mengerahkan tenaga gwakang. Wanita sakti itu cepat mengelak dan ketika ia mengayun cambuknya, kembali sembilan helai bulu cambuk bergerak-gerak bagaikan sembilan ekor ular yang hidup dan mengancam nyawa lawan! “Satu jurus!” seru Ang-bin Sin-kai menghitung, seakan-akan anak kecil yang bergembira melihat dua orang kawan berhantam! Serangan Kiu-bwe Coa-li benar-benar lihai. Cambuknya itu biarpun hanya bergagang satu, akan tetapi karena ujungnya mempunyai sembilan helai bulu panjang yang bergerak masing-masig dari segala jurusan, maka merupakan sembilan senjata yang amat lihai. Namun Pak-lo-sian Siangkoan Hai juga bukan orang sembarangan. Sepasang kipasnya dapat di gerakkan sehingga menimbulkan angin berputar dari mana pun juga bulu-bulu cambuk itu menyerang, selalu dia dapat mengebut senjata lawan sehingga dia terhindar dari bahaya maut. Adapun kipas hitamnya juga berkali-kali menyerang yang semuanya dapat pula dihindarkan oleh Kiu-bwe Coa-li. “Guruku pasti menang!” kata Sui Ceng sambil mulutnya bergerak-gerak makan kue mangkok. Dalam ketegangannya, tak terasa pula makin cepat ia makan kue itu sehingga mulutnya yang kecil itu bergerak-gerak lucu. “Tak mungkin! Guruku yang akan bikin mampus gurumu!” kata Swi Kiat. Sui Ceng mendelikkan matanya. “Siapa bilang? Kalau gurumu sampai terkena cambukan guruku, nyawanya tentu melayang ke akhirat!” “Ssttt……! Jangan ribut-ribut!” Kun Beng mencela kedua orang anak itu. “Kita lihat saja siapa yang yang akan menang.” Pertempuran itu benar-benar hebat sekali. Bahkan Hek-i Hui-mo, Jeng-kin- jiu Kak Thong Taisu dan Ang-bin Sin-kai, mau tidak mau harus memuji kelihaian dua orang itu. Ang-bin Sin-kai yang merasa gembira sampai seperti anak kecil dan menghitung terus. “Dua puluh delapan jurus! Dua puluh sembilan……! Ah cukup! Hio-nya sudah padam lagi. Tahan!” Mendengar ini Kiu-bwe Coa-li dan Siangkoan Hai melompat mundur dan menahan senjata masing-masing. Nampak bayangan kecewa di muka Kiu-bwe Coa-li dan Siangkoan Hai juga merasa penasaran sekali karena tak dapat mengalahkan lawannya.



“Kau hebar Ular Betina! Benar-benar aku kagum sekali!” katanya. “Dalam babak ke dua kau pasti akan kurobohkan, Pak-lo-sian,” kata Kiu-bwe Coa-li dengan muka merah. “Sekarang siapakah yang akan melawan aku?” tantangnya. “He, jangan begitu bernafsu dan murka, Kiu-bwe Coa-li!” Ang-bin Sin-kai mencela, “Sekarang giliran orang-orang lain, jangan main borong semua.” Hek-i Hui-mo dan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu sudah melompat dan saling berhadapan sehingga Kiu-bwe Coa-li terpaksa mengundurkan diri, duduk di tempatnya yang tadi. “Eh, eh, aku dulu!” kata Ang-bin Sin-kai kebingungan setelah melihat dua orang yang sama gundul, sama bundar bulat itu saling berhadapan. “Siapa nanti lawanku?” “Cecak kurus, kau minggirlah dan nyalakan lain hio!” Kak Thong Taisu berkata, “Hek-i Hui-mo Si Setan Hitam patut menjadi lawanku!” Ketika Ang-bin Sin-kai menyalakan lain hio, terdengar suara gelak terbahak yang merdu dan nyaring. Ternyata Sui Ceng dan Kun Beng tertawa bergelak sambil menudingkan jari tangan ke arah jeng-kin-kiu dan Hek-i Hui-mo. Memang lucu sekali dua orang ini. Keduanya gendut sekali dan kelihatannya seperti dua ekor babi kebiri yang gemuk sedang berhadapan. Wajah Hek-i Hui-mo kelihatan serem dan galak, sedangkan Kak Thong Taisu memang selalu kelihatan tertawa-tawa. Mereka ini tiada ubahnya seperti dua orang pelawak yang beraksi. Akan tetapi, ketika keduanya sudah bergerak saling serang, hebatnya luar biasa. Meja sembahyang yang terkena sambaran pukulan mereka sampai tergerak-gerak, lantai sampai tergetar dan beberapa macam barang yang terlalu tinggi dan berada di atas meja, roboh terguling! Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu mainkan sebuah toya besar yang berat. Memang hwesio tokoh selatan ini adalah seorang ahli gwakang yang memiliki tenaga seperti gajah, maka toya yag berat itu di tangannya hanya merupakan ranting yang ringan saja dan ketika diputarnya, merupakan segulungan sinar yang mendatangkan angin ribut! Sebaliknya, Hek-i Hui-mo juga bertenaga besar dan Tongkat Kepala Naga (Liong-thouw-tung) di tangan kanannya, ditambah lagi dengan tasbih di tangan kiri, merupakan sepasang senjata aneh yang dapat mengimbangi ancaman toya Jeng-kin-jiu. Berkali-kali terdengar suara “tang-tung-tang-tung” dibarengi bunga api berpencaran kesana ke mari kalau senjata-senjata itu bertemu dengan kerasnya. Menghadapi pertandingan yang dilakukan dengan tenaga kasar dan nampak dahsyat sekali ini, Sui Ceng, Kun Beng, dan Swi Kiat sampai berdiri melongo saking tertarik dan juga merasa ngeri. Mereka yang terdidik ilmu semenjak kecil dapat membayangkan kehebatan sambaran-sambaran senjata itu yang akan dapat meremukkan batu karang, apalagi kepala manusia yang gundul-gundul seperti Jeng-kin-jiu dan Hek-i Hui-mo itu! Tentu akan pecah berantakan. “Cukup! Hio sudah padam!” tiba-tiba Ang-bin Sin-kai berseru. Pertandingan kali ini lebih cepat habisnya. Hal ini oleh karena sambaran senjata mereka yang digerakkan tenaga luar biasa itu mendatangkan angin dan membuat nyala api hio makin membesar dan cepat menghabiskan hio itu. Kedua orang hwesio itu “menggelundung” mundur dan saling menjura. “Omitohud! Jeng-kin-jiu benar-benar bertenaga besar. Pinceng merasa kewalahan menghadapimu,” kata Hek-i Hui-mo. “Omitohud! Kalau dibandingkan, tasbihmu itu benar-benar lebih lihai sepuluh kali lipat daripada tongkatku.” Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu memuji. Ang-bin Sin-kai setelah duduk kembali, nampak termenung dan diam saja, agaknya sedang memutar otaknya. “Eh, pengemis bangkotan. Hayo maju melawan aku!” kata Siangkoan Hai dengan gembira. Memang kelima orang ini adalah jago-jago tua yang berkepandaian tinggi. Dan di dalam dunia ini tidak ada kesukaan yang melebihi kesukaan mereka bertempur dan mengadu ilmu. Akan tetapi Ang-bin Sin-kai diam saja dan keningnya nampak berkerut tanda dia sedang berpikir keras. Akhirnya dia mengangkat muka dan berkata dengan suara bersungguh-sungguh, “Kita semua telah melakukan kebodohan besar! Benar-benar kita telah tolol sekali, berebut mangkok butut yang kosong. Apa artinya kitab itu? Ambillah siapa saja yang suka mengambil. Aku tidak butuh lagi.” Semua orang memandang heran. “Eh, apa maksudmu, Ang-bin Sin-kai? Apakah kau takut menghadapi pertempuran?” tanya Kiu-bwe Coa-li. Ang-bin Sin-kai menggeleng-gelengkan kepalanya. “Pertempuran adalah baik sekali untuk menambah semangat dalam kepala kita yang sudah tua. Akan tetapi untuk apa? Apa artinya kitab itu tanpa penterjemah? Di dunia ini hanya Gui Tin siucai seorang yang dapat menterjemahkan. Sekarang dia sudah mati, untuk apa kita berebut kitab itu? Kitab sekarang tiada gunanya lagi!” Mendengar ucapan ini, bengonglah semua orang itu. Baru terbuka pikiran mereka dan mereka saling pandang dengan tertegun. Sambil tertawa bergelak Ang-bin Sin-kai menghampiri meja dan berkata, “Nah, inilah. Kalian lihat sendiri, siapa diantara kita yang dapat membaca kitab kuno ini? Kalian tahu, aku seorang ahli sastra pula, dan aku tahu bahwa kitab ini usianya masih lebih tua dari pada usia nenek moyang kita ratusan tahun yang lalu!” Ia mengambil kitab itu dan yang lain-lain tidak bergerak untuk mencegah lagi. Sambil membuka kitab itu Ang-bin Sin-kai memperlihatkannya kepada semua orang, dan benar saja. Tulisan di dalam kitab itu tidak karuan macamnya dan tidak dapat dibaca sama sekali. Hanya di halaman depan ditulis dengan huruf besar dan jelas “IM-YANG BU-TEK CIN-KENG”, akan tetapi selanjutnya tak dapat sehuruf pun yang dapat mereka baca. “Ha, ha, ha!” Ang-bin Sin-kai tertawa lagi sambil menuding ke arah huruf pertama. “Siapa di antara kita yang dapat membaca huruf pertama ini?” Semua orang memandang. “Huruf BENG!” kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. “Bukan gundul! Huruf BENG di depannya pakai huruf JIT, akan tetapi ini pakai huruf GO!” Ang-bin Sin-kai membantah. “Huruf macam ini tidak terdapat dalam kata-kata kita. Siapa yang akan dapat menterjemahkan kecuali mendiang Gui-suicai?” Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai melemparkan kitab itu ke atas meja, karena setelah membuka-buka lagi, mereka hanya melihat tulisan-tulisan yang bentuknya seperti gambar yang tidak karuan, ada gambar udang, gambar kepiting, gambar muka orang dan lain-lain yang tak dapat diartikan sama sekali. “Aku tahu! Anak kecil itu……” kata Kiu–bwe Coa-li. Lalu ia menengok kepada muridnya dan berkata, “Sui Ceng, siapa namanya anak laki-laki Gui-suicai itu?” “Namanya Lu Kwan Cu!” kata Sui Ceng

Muka Ang-bin Sin-kai merubah, “Anak kecil itu mana mengerti?” “Belum tentu!” kata Hek-i Hui-mo. Kita harus tangkap dia dan tanya dia, siapa tahu dia sudah mempelajari dari gurunya!” Kembali mereka bersitegang dan kini timbul harapan, maka mereka saling pandang dengan penuh kecurigaan dan tak seorang pun berani mencoba untuk mengambil kitab itu lagi! Ang-bin Sin-kai mengangguk. “Baik! Sekarang diatur begini saja. Disini ada tiga orang anak murid Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian. Biar mereka membawa meja ini dan kita berjalan di belakang, lalu kita mencari Lu Kwan Cu. Kalau dia bisa menterjemahkan, kita lanjutkan pertandingan ini.” Demikianlah The Kun Beng, Gouw Swi Kiat, dan Bun Sui Ceng lalu mengangkat meja sembahyang itu bertiga, diangkat tinggi-tinggi. Semua barang di atas meja itu telah di lemparkan, kecuali kitab itu yang berada di tengah-tengah. Lalu berangkatlah mereka. Benar-benar lucu sekali rombongan ini. Yang di depan tiga orang anak kecil. Kun Beng dan Swi Kiat memegang kaki meja berjalan di depan. Sui Ceng kaki meja di belakang. Dan di belakang “meja berjalan” ini berjalanlah lima orang tua yang aneh! “He, mengapa menjadi berat meja ini?” Swi Kiat berkata dan ketika menoleh, dia membentak, “Bocah setan, jangan main-main!” Kun Beng yang juga menengok, terdengar tertawa. Ternyata bahwa Sui Ceng yang nakal itu, kini tidak lagi ikut memanggul meja, melainkan ia bergantung pada kaki meja yang dipegangnya itu! Oleh karena tubuhnya paling pendek, maka ia dapat begantung sehingga boleh dibilang ia dipikul oleh Kun Beng dan Swi Kiat. Setelah Swi Kiat membentaknya, barulah Sui Ceng menurunkan kakinya dan ikut memanggul lagi. Benar-benar seperti tiga orang anak kecil memanggul patung toapekong dari kelenteng yang diarak!



Kita ikuti perjalanan Lu Kwan Cu, anak gundul yang hidupnya selalu dirundung malang. Biarpun dia telah memiliki kekuatan batin yang timbul dari pembawaannya yang aneh, dan diperkuat pula oleh latihan-latihan samadhi semenjak dilatih oleh Loan Eng dan kemudian dilanjutkan menurut petunjuk dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang di terjemahkan oleh suhunya, yakni Gui Tin, namun menghadapi keadaan hidupnya, dia merasa bersedih juga. Ia merasa amat kesunyian. Tadinya, ketika dia bertemu dengan Pek-cilan Thio Loan Eng, dia telah merasakan kebahagiaan, dan merasa suka sekali ikut pendekar wanita itu. Kemudian setelah dia berpisah dari Loan Eng dan bertemu dengan Gui Tin si sastrawan, dia merasakan kebahagiaan lagi karena dia merasa ada orang yang harus dijaganya, yang dapat dikasihinya dan juga mencintainya. Maka dapat dibayangkan betapa sakit hatinya ketika dia menyaksikan kematian Gui Tin. Ketika dia melakukan perjalanan seorang diri, pada suatu senja dia tiba di sebuah kaki gunung dan di luar sebuah dusun dia melihat sebuah rumah pondok yang reot dan kosong. Ia merasa girang dan memasuki rumah ini. Perutnya terasa lapar sekali dan kantong uang yang dia dapat dari kakek angkatnya, yakni Menteri Lu Pin, dia taruh di atas lantai dalam rumah itu. Malam itu bulan purnama dan cahayanya terang sekali! Namun bagi Kwan Cu, bulan yang bundar itu bahkan menimbulkan rasa sunyi yang hampir tak tertahankan. Kalau saja dia tidak memiliki hati yang luar biasa kuatnya, tentu dia telah menangis tersedu-sedu. Akan tetapi Kwan Cu tidak mau menangis, dia keluar dari rumah pondok reot itu duduk di luar rumah di atas sebuah batu. Ketika dia memandang ke arah bulan yang bundar dan putih kekuningan, dia melihat bulan itu seakan-akan berubah menjadi wajah Loan Eng yang peramah dan sebentar lagi berubah lagi menjadi wajah Gui Tin yang sayang kepadanya. Ia membuang muka dan tidak berani memandang lagi. Di belakangnya terdapat sebatang pohon yang sudah rontok semua daunnya, tinggal cabang-cabangnya saja, membuat keadaan menjadi makin sunyi. Lu Kwan Cu duduk dan tangan kirinya menunjang dagunya. Ia duduk termenung, tak bergerak seakan-akan telah menjadi patung batu. Kepalanya yang gundul kelimis itu tertimpa cahaya bulan sehingga mengkilap dan wajahnya yang tampan itu nampak sunyi dan sedih. “Betul kata suhu Gui Tin,” pikirnya, “ilmu silat tak dapat dibilang buruk dan jahat. Tergantung dari orang yang mempergunakannya. Thio-toanio bukanlah seorang yang jahat dan ilmu silatnya dia pergunakan untuk menolong orang. Kalau aku mengerti ilmu silat, tentu tak akan sampai begini keadaanku. Suhu Gui Tin takkan sampai tersiksa sehingga meninggal dunia. Ia pesan supaya aku dapat menemukan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli dan mempelajari isinya. Akan tetapi dimana aku harus mencarinya? Aku harus menemukan petinya lebih dulu agar aku dapat mencari pula kitab itu di dalam buku peta dan sejarah.” Selagi dia duduk termenung, tiba-tiba dia melihat bayangan banyak orang mendatangi dari depan. “Itu dia……!” Ia mendengar suara seorang anak perempuan. “Hei……Kwan Cu…..!” Kwan Cu mengenal suara ini. Ia berdiri dan menanti datangnya rombongan itu. “Adik Ceng….!” teriaknya girang. Di dalam kesunyian seperti itu, melihat orang yang di kenalnya, tentu saja mendatangkan rasa girang. Akan tetapi, dia segera menjadi terheran-heran karena melihat betapa Sui Ceng sedang memanggul sebuah meja bersama dua orang anak laki-laki yang segera dikenalnya pula sebagai dua orang anak laki-laki yang dahulu pernah mempermainkannya, yakni murid-murid dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Lebih-lebih herannya ketika dia melihat di antara rombongan itu terdapat pula Ang-bin Sin-kai dan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, dua orang kakek yang telah dikenalnya baik-baik. “Anak baik! Kau sudah berada di tempat ini?” tanya Ang-bin Sin-kai dengan suara girang. “He, Kwan Cu! Kau masih ingat kepada pinceng, bukan?” kata Jeng-kin jiu kak Thong Taisu dengan suara gembira pula. Kiu-bwe Coa-li, Hek-i Hui-mo, dan Pak-lo-sian juga mendekati Kwan Cu sehingga anak ini terkurung di tengah-tengah. Juga tiga orang tokoh ini mengeluarkan suara memuji dan manis. Kwan Cu adalah seorang anak yang mempunyai otak cerdik sekali. Melihat orang-orang itu bersikap manis, dia melirik ke arah meja yang kini telah diturunkan oleh tiga orang anak-anak itu dan melihat kitab di atas meja, tahulah dia bahwa tentu mereka ini membutuhkan pertolongannya untuk membaca buku itu! “Cu-wi sekalian datang mengejar teecu apakah ingin bertanya sesuatu tentang kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng itu?” tanyanya sambil menuding ke arah kitab di atas meja. “Benar-benar! Kau benar-benar seorang anak yang cerdas!” kata lima orang itu hampir berbareng. “Kau tentu dapat membacanya, bukan?” tanya Ang-bin Sin-kai. “Kwan Cu, kau telah menjadi murid Gui Tin, tentu gurumu itu telah mengajarkan membaca huruf-huruf aneh dalam kitab itu, bukan?” kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu penuh gairah. “Bagaimana isinya? Tentang ilmu silatkah?” tanya Kiu-bwe Coa-li. “Lekas kaubaca agar kami mendengarnya, anak baik!” kata Pak-lo-sian.



Hanya Hek-i Hui-mo seorang yang tidak bicara apa-apa, akan tetapi seluruh perhatiannya dicurahkan ke arah Kwan Cu dan kitab itu. Berbeda dengan empat orang lainnya, tokoh barat dari Tibet ini tidak khawatir takkan mendapatkan membaca kitab itu tanpa bantuan Gui Tin. Di Tibet terdapat sekumpulan buku-buku kamus di dalam gudang kesusastraan lama dan kalau perlu, dia dapat mencuri kamus atau buku-buku tentang bahasa yang di pergunakan dalam kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng itu. “Tidak ada gunanya bagi Ngo-wi (Tuan Berlima) untuk bersusah payah membaca kitab itu. Tidak tahukah Ngo-wi bahwa kitab itu adalah kitab palsu?” kata Kwan Cu sambil menggelengkan kepala dan memandang kepada lima orang itu dengan sinar mata menyatakan kasihan! Terengar seruan-seruan keras dan lima orang itu melompat mengelilingi Kwan Cu lebih dekat dengan sinar mata mengancam. “Apa katamu?” “Jangan bohong bocah!” “Kuhancurkan kepalamu yang gundul kalau kau menipu kami!” Kwan Cu menggeleng-geleng kepalanya yang gundul, yang tak mau tumbuh rambut lagi semenjak dia dijejali buah coako oleh Tauw-cai-houw dahulu itu. Biarpun menghadapi ancaman, dia tetap tenang-tenang saja. “Apa gunanya aku membohong? Teecu mendengar dari suhu Gui Tin bahwa kitab ini betul-betul palsu, bukan Im-yang Bu-tek Cin-keng yang aselinya.” Di antara lima tokoh besar itu, Ang-bin Sin-kai paling sayang kepada Kwan Cu. Pengemis Sakti Muka Merah ini mendekati Kwan Cu dan dengan suara halus dia berkata, “Lu Kwan Cu, jangan kau bicara sembarangan. Kau tidak tahu betapa besar arti ucapanmu tadi untuk kami. Dengar, kau menghadapi lima orang ahli silat terbesar di seluruh penjuru pada saat ini, maka jangan main-main. Sekali saja seorang di antara kami timbul hati marah, nyawamu takkan dapat dipertahankan lagi. Kau bilang kitab ini palsu? Kwan Cu, buktikan. Beri alasannya yang masuk akal!” Kwan Cu memandang kepada Ang-bin Sin-kai dengan sinar mata tajam. Heran sekali hatinya, setelah pengemis tua ini bicara halus, dia melihat persamaan yang amat mengherankan antara pengemis ini dengan Menteri Lu Pin kakek angkatnya! “Locianpwe, selain suhu Gui Tin pernah menceritakan kepada teecu, juga teecu sudah mempelajari sedikit ilmu sejarah.” Kemudian dengan sepasang matanya yang lebar dan jeli, anak ini memandang kepada lima orang tokoh besar itu seorang demi seorang, lalu katanya, “Tentu Ngo-wi pernah mempelajari sejarah pula, bukan? Tahukah Ngo-wi, kitab ini ditulis jaman apa?” Lima orang tua itu saling pandang. “Aku tahu,” kata Ang-bin Sin-kai cepat-cepat, “ditulis dalam jaman Kerajaan Shia, bukan begitu?” “Pinceng pun tahu, betul-betul ditulis dalam jaman Kerajaan Shia, ribuan tahun yang lalu,” kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. “Tak salah lagi, pinceng juga tahu sedikit tentang sejarah,” menyambung Hek-i Hui-mo yang semenjak tadi berdiam diri saja. “Kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng memang ditulis jaman Kerajaan Shia.” Berseri wajah Kwan Cu, “Eh, ternyata Ngo-wi adalah orang-orang terpelajar!” serunya. “Sayangnya kurang lengkap pengetahuan Ngo-wi. Kalau Ngo-wi tahu bahwa kitab ini di tulis di dalam jaman Shia, tentu Ngo-wi akan tahu pula bahwa kitab ini palsu!” “Mengapa demikian?” suara Kiu-bwe Coa-li mengguntur. “Karena pada jaman Shia belum ada kertas! Menurut guruku Gui Tin, kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng ditulis di atas sutera. Oleh karena itulah maka teecu berani katakan bahwa kitab ini palsu!” Lima orang tua itu saling pandang dan menarik sekali untuk melihat keadaan air muka mereka yang tiba-tiba menjadi amat kecewa. Tiba-tiba terdengar bunyi suara “tar! tar!!” dan pecut di tangan Kiu-bwe Coa-li bergerak melayang-layang, lalu sehelai bulu pecut itu menyambar ke arah leher Kwan Cu dan membelitnya! “Hayo katakan, pelajaran apa saja yang tertulis di dalam kitab yang dianggap palsu ini! Katakan terus terang kalau tidak pecutku akan memanggang lehermu!” Kwan Cu merasa bahwa bulu pecut itu melilit lehernya bagaikan ular hidup terasa dingin mencekik. Ia cepat mengerahkan tenaga dalam dan mengatur napasnya sesuai dengan pelajaran yang dia latih dari kitab itu, dan lenyaplah rasa dingin, juga kini tidak terasa amat mencekik lagi. “Aku tidak tahu.” Kata Kwan Cu. “Bohong!” bentak Kiu-bwe Coa-li dan ia menggetarkan tangannya yang memegang cambuk sehingga lilitan makin erat, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia merasa telapak tangannya agak kesemutan, tanda bahwa dari leher anak gundul itu keluar getaran tenaga perlawanan yang aneh! Kekagetannya ini belum lenyap ketika tiba-tiba dia merasa bulu pecutnya mengendur dan ternyata Ang-bin Sin-kai dengan perlahan memegang bulu pecut yang melilit leher anak itu sambil berkata, “Kiu-bwe Coa-li, kita semua memerlukan anak ini, jangan dia diganggu!” sambil berkata demikian, dengan pengerahan tenaga lweekang, dia memencet bulu pecut itu dan memunahkan serangan Kiu-bwe Coa-li pada Kwan Cu dan otomatis lilitan itu terlepas lagi.



Kiu-bwe Coa-li mendelikkan matanya kepada Ang-bin Sin-kai, akan tetapi dia melihat betapa tiga orang tua yang lain sudah mendekatinya dengan sikap mengancam pula seperti ketika ia hendak mengambil kitab itu dulu. Ternyata bahwa kini anak gundul inilah yang diperebutkan! “Di mana kitab aselinya,” Kiu-bwe Coa-li membentak sambil memandang kepada Kwan Cu. “Awas jangan membohong.” “Siapa perlu membohong. Kalian ini orang-orang tua benar-benar aneh sekali. Kitab lapuk itu untuk apakah?” kata Kwan Cu jengkel. “Guruku Gui Tin pernah menyatakan bahwa memang ada kitab aseli Im-yang Bu-tek Cin-keng akan tetapi tidak menerangkan di mana, hanya samar dikatakan bahwa kitab itu berada di dalam sebuah pulau kosong yang amat berbahaya di luar timur Tiongkok. Nah, aku bicara terus terang, biar kalian akan membunuhku pun, aku tak dapat bicara lain dan habis perkara!” Memang hebat sekali kalau dilihat. Lima orang tua itu sudah aneh sekali wataknya, namun melihat ketabahan dan keberanian Kwan Cu menghadapi mereka, benar-benar luar biasa sekali. Melihat sikap Kwan Cu, Sui Ceng menjadi kagum sekali dan anak perempuan ini mendekatinya. “Kau hebat, Kwan Cu…..” katanya. Kwan Cu hanya memandang dan tersenyum sedih kepadanya. “Apanya yang hebat, adik Ceng? Aku hanya menimbulkan keributan belaka….” Pada saat itu, bulan yang tadinya bercahaya gemilang, tiba-tiba tertutup oleh datangnya awan hitam yang terbawa angin. Keadaan menjadi gelap gulita dan tiba-tiba menyambar bayangan Hek-i Hui-mo ke arah meja. Disambarnya kitab itu dari atas meja lalu melompat pergi! “Bangsat tua bangka curang!” teriak Kiu-bwe Coa-li dan pecutnya menyambar. Hebat sekali serangan ini karena bulu pecut itu memang panjang kalau diulur terus ada sepuluh kaki. Sembilan helai bulu pecut meluncur ke arah bayangan Hek-i Hui-mo dengan kecepatan luar biasa. Namun, Hek-i Hui-mo bukanlah seorang yang lemah. Ia masih tetap berlari pergi, namun dia telah menggerakkan tasbihnya di belakang tubuh, diputar sedemikian rupa sehingga tasbih ini merupakan segulungan sinar bundar yang menjadi perisai. “Trang! Traaang!!” terdengar suara nyaring dan rantaslah tasbih itu dihantam pecut Kiu-bwe Coa-li, sehingga untaiannya terputus dan biji-biji tasbihnya berserakan ke sana ke mari. Hal ini dapat terjadi karena dalam larinya Hek-i Hui-mo tidak dapat mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, sebaliknya Kiu-bwe Coa-li dalam marahnya melakukan serangan sepenuh tenaga. Hek-i Hui-mo tidak mempedulikan kehilangan senjata tasbih dan terus berlari. Tiba-tiba menyambar angin besar dan tahu-tahu sebuah batu sebesar kerbau menimpanya dari atas. Cepat Hek-i Hui-mo mengerahkan ginkangnya dan melompat jauh ke kiri. Terdengar suara keras dan ketika batu besar itu jatuh menimpa, dua batang pohon menjadi tumbang. Ternyata bahwa batu besar itu tadi dilemparkan oleh Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu untuk menghalangi larinya Hek-i Hui-mo. Tentu saja Setan Terbang Baju Hitam ini mengeluarkan keringat dingin, karena biarpun dia lihai, kalau sampai tertimpa batu besar tadi, tubuhnya akan menjadi gepeng! Baru saja dia berlari beberapa langkah lagi, belasan sinar putih menuju kepadanya sambil mengeluarkan suara mengaung-ngaung seperi belasan ekor tawon. Inilah senjata rahasia Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang berbahaya. Hek-i Hui-mo cepat mengelak dan berloncatan namun tetap saja sebatang paku menancap pada pundaknya. Ia mengeluh dan menggigit bibirnya, lalu mempercepat larinya. Ia di juluki orang Hui-mo atau Iblis Terbang, maka tentu saja ilmu lari cepatnya luar biasa sekali. Apalagi pada saat itu, bulan tertutup awan hitam sehingga keadaan menjadi gelap sekali dan sebentar saja dia telah lenyap dari pandang mata. Empat orang tokoh besar tidak mengejar, karena untuk apa memperebutkan kitab palsu? Apalagi Ang-bin Sin-kai, kakek ini tertawa bergelak dan berkata, “Biarlah dia mempelajari kitab itu sampai ubanan, dengan ilmu yang tidak aseli, aku takut apakah? Hayo Kwan Cu, kau turut aku!” Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai menarik tangan anak gundul itu. “Ang-bin Sin-kai, nanti dulu!” kata Kiu-bwe Coa-li. “Kau mau membawa kemana anak itu?” “Dia? Dia adalah seorang anak yang sudah sejak dulu kuanggap sebagai muridku!” jawab Ang-bin Sin-kai. “Kiu-bwe Coa-li, kulihat kau sudah mempunyai murid yang baik. Juga Pak-lo-sian Siangkoan Hai telah mempunyai dua orang murid yang baik. Hanya Jeng-kin-jiu saja kulihat belum mempunyai murid.” “Siapa bilang? Muridku masih kurahasiakan dan kelak murid-murid kalian akan kalah olehnya. Ha, ha, ha,!” kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. “Bagus!” kata Ang-bin Sin-kai. “Kalau begitu, sekarang aku mengambil anak ini sebagai muridku. Kita sama-sama lihat saja sepuluh tahun lagi, siapa yang akan berhasil mengajar kepada murid masing-masing.” Ia hendak membawa pergi Kwan Cu, akan tetapi Kiu-bwe Coa-li kembali mencegah dengan kata-katanya yang tajam mengancam, “Ang-bin Sin-kai! Aku tidak sudi mencampuri urusanmu mengambil murid, dan akupun tidak butuh dengan anak gundul ini. Akan tetapi, aku masih curiga padanya. Siapa tahu kalau dia tahu di mana adanya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang aseli? Dan siapa tahu kalau kau berpura-pura mengambil murid kepadanya akan tetapi sebenarnya hendak mencari kitab itu? Aku kenal kecurangan laki-laki macam kau!” “Habis, kau mau apa?” tanya Ang-bin Sin-kai. “Anak ini harus dibunuh! Dengan demikain, barulah adil namanya kalau kita saling berlumba mencari kitab itu, tanpa bantuan siapapun juga.” “Betul, betul!” kata Siangkoan Hai.



Akan tetapi Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tidak setuju dengan rencana ini. “Betapapun juga, pinceng juga termasuk orang yang telah menolong nyawa anak ini, bagaimana sekarang pinceng tega hati melihat nyawanya direnggutkan orang? Apalagi pinceng yang memberi nama kepadanya. Eh, Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian, kalau kalian akan berkeras membunuh anak ini, tentu aku berdiri di pihak Ang-bin Sin-kai untuk membela dan melindunginya. Baiknya diatur begini saja. Percayakah kau akan sumpah dari Ang-bin Sin-kai si bangsawan jembel ini?” “Aku percaya!” kata Siangkoan Hai dengan suara tegas. “Aku pun percaya!” kata Kiu-bwe Coa-li ragu-ragu, “akan tetapi apa maksudmu?” “Biar dia bersumpah bahwa dia takkan mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng dari kitab yang didapatkan atas pertolongan anak gundul ini,” kata Kak Thong Taisu. “Bagus, kalau begitu aku setuju!” kata Kiu-bwe Coa-li dan Siangkoan Hai. Akan tetapi Ang-bin Sin-kai menjadi makin merah mukanya. “Aku tidak sudi bersumpah! Kalian boleh percaya kepadaku atau tidak, habis perkara. Pendeknya aku berjanji takkan mempergunakan Kwan Cu untuk mencari kitab itu.” Tiba-tiba Kwan Cu menjatuhkan diri berlutut di depan Ang-bin Sin-kai. Anak ini, dalam semua percakapan dalam pertemuan itu, dapat menarik kesimpulan bahwa dia paling cocok dan suka kepada kakek jambel yang mukanya seperti kakek angkatnya itu, maka dia telah mengambil keputusan untuk berguru kepadanya. “Suhu, teecu pun baru mau mau menjadi muridmu kalau Suhu suka bersumpah seperti yang diminta oleh Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tadi.” Ang-bin Sin-kai membelalakkan kedua matanya dan memandang kepada Kwan Cu. “Eh, bocah aneh. Bukankah dulu kau tidak sudi mempelajari ilmu memukul orang?” “Sekarang teecu sudah berubah pikiran. Bukankah para nabi mengajarkan bahwa orang harus setiap hari berubah pikiran-pikirannya yang tadinya tidak benar dan sesat?” jawab Kwan Cu. Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak. “Boleh, boleh, biar aku bersumpah bahwa kalau aku mempergunakan Kwan Cu untuk mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, biar aku si pengemis jembel akan mampus seperti seekor anjing dan kelak nyawaku dilempar ke dalam neraka jahanam!” Kemudian disambungnya kata-katanya ini dengan suara menyindir, “Andaikata orang lain mendapatkan kitab itu, apanya sih yang harus ditakuti?” Kiu-bwe Coa-li menjadi girang sekali dan tertawa nyaring, kemudian ia melompat ke arah Sui Ceng, memegang tanagan muridnya dan sekali berkelebat saja ia dan muridnya telah lenyap dari situ. Siangkoan Hai juga mengajak dua orang muridnya pergi, demikian pula Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, sambil tertawa-tawa dia “menggelundung” pergi dari situ. “Hayo kita pergi, Kwan Cu,” kata Ang-bin Sin-kai acuh tak acuh. “Nanti dulu, Suhu. Teecu meninggalkan sesuatu di dalam pondok itu.” Anak itu berlari-lari ke dalam pondok mengambil kantongnya yang penuh uang emas pemberian kakek angkatnya. “Apa itu?” tanya gurunya. “Uang emas, Suhu.” Ang-bin Sin-kai membuka kantong itu dan terbelalak matanya melihat uang emas sebanyak itu. “Eh, darimana kau dapatkan uang ini?” “Dari Kong-kong (Kakek)!” Makin tertegun Ang-bin Sin-kai mendengar jawaban ini. “Bocah aneh, siapa kong-kongmu? Bukankah nenek moyangmu hanya samudera luas saja?’ Lu Kwan Cu tersenyum. “Ini mungkin salah Suhu sendiri. Suhu memberi she Lu kepada teecu dan sekarang Menteri Lu Pin mengangkat teecu sebagai cucunya!” Ia lalu menceritakan pengalamannya bertemu dengan Menteri Lu Pin! Tentu saja Ang-bin Sin-kai yang sebenarnya bernama Lu Sin dan menjadi kakak dari Lu Pin, terkejut dan juga terharu sekali. “Buang saja uang itu, untuk apa sih? Memberatkan dan mengotorkan saja.” “Mengapa dibuang, Suhu? Bukankah bisa dipakai untuk membeli makanan kita?’ Kakek itu melototkan matanya. “Jadi kau termasuk orang-orang yang meributkan soal makan? Buang saja!” “Sayang, Suhu.” “Eh, bocah gundul! Baru pada saat pertama kau sudah berani membantah suhumu?” “Rakyat banyak sekali yang menderita dan sengsara. Daripada dibuang disini, kalau ditemukan orang hanya akan membuat oran itu menjadi tersesat hidupnya. Bukankah lebih baik dibagi-bagikan kepada orang-orang yang membutuhkannya?” Ang-bin Sin-kai menarik napas panjang. “Kau lebih terikat dengan dunia dari padaku. Sesukamulah.” Maka berjalanlah Ang-bin Sin-kai, mula-mula lambat-lambat, akan tetapi ketika dia melihat betapa muridnya yang gundul itu dapat mengikutinya,dia mempercepat jalannya. Dan biarpun gurunya hanya berjalan lambat-lambat saja kelihatannya, bagi Kwan Cu, dia harus mengerahkan seluruh ginkangnya untuk berlari cepat mengimbangi kecepatan suhunya!



Di pinggir sebuah hutan yang liar, menghadap sebuah anak gunung yang merupakan batu karang besar, nampak pemandangan yang amat aneh dan menyeramkan sekali. Seorang ank laki-laki berkepala gundul tergantung pada cabang pohon besar, tergantung dengan kaki terikat di atas dan kepala serta kedua tangannya bergantungan di bawah! Baju anak itu yang sudah lapuk terbuka dan ikut bergantungan sehingga nampak perutnya yang kecil, dadanya yang kurus dengan tulang-tulang iga menonjol. Anak ini tidak bergerak dan kelihatan seperti mayat saja, kedua matanya meram, akan tetapi wajahnya kelihatan berseri! Adapun di bawah pohon, bersandarkan batu, duduk seorang kakek pengemis berpakaian tambal-tambalan. Pengemis itu pun kurus kering seperti orang yang menderita kelaparan. Apalagi kalau melihat apa yang dia lakukan pada saat itu, tentu orang akan menganggapnya sudah kelaparan dan miring otaknya. Ia memegang seekor ular hidup. Tangan kanannya mencekik leher ular dan tangan kirinya memegang tubuh ular dekat ekornya, kemudian dia menggigit perut ular itu! Ular itu membuka mulutnya dan dari dalam mulut keluarlah suara mendesis-desis dan menebulkan uap putih yang keruh. Siapakah mereka ini? Anak itu bukan lain adalah Kwan Cu, adapun kakek itu adalah Ang-bin Sin-kai! Apakah kakek ini sudah menjadi gila, menggantung muridnya secara terbalik dan makan ular beracun pula? Tidak demikianlah halnya. Setelah membagi-bagi habis uang emas pemberian Menteri Lu Pin, kedua orang guru dan murid ini melanjutkan perantauan mereka. Atas permintaan Kwan Cu, mereka menuju ke bukit Liang-san. Bagi Ang-bin Sin-kai, ke mana saja mereka pergi, dia tidak ambil peduli, maka dia pun tidak mau banyak bertanya kepada Kwan Cu, apa perlunya muridnya itu mengajaknya ke Liang-san. Akan tetapi dengan keras dia mulai mengajarkan ilmu silat kepada Kwan Cu. “Dari mana kau dapat mempelajari lweekang dan ginkang yang aneh dan serba terbalik itu??” tanyanya. “Teecu pertama-tama menerima pelajaran dari Pek-cilan Thio Loan Eng Toanio.” “Hm, seorang wanita yang baik dan gagah,” Ang-bin Sin-kai memuji. “Kemudian, teecu menurut petunjuk dari kitab palsu yang dibawa pergi oleh Hek-i Hui-mo, yakni setelah diterjemahkan oleh suhu Gui Tin.” Kali ini Ang-bin Sin-kai mengerutkan keningnya. “Kau sudah semua isi kitab palsu itu?” Kwan Cu mengangguk. “Akan tetapi hanya sebagian siulian dan pengaturan napas saja yang teecu pelajari.” “Coba kau tidur terlentang,” Gurunya memerintah. Kwan Cu menurut dan anak ini lalu membaringkan tubuhnya telentang. Ang-bin Sin-kai menekan pusar muridnya, sambil berkata, “Kerahkan tenagamu yang kaudapat dari pelajaran kitab palsu.” Kwan Cu mengerahkan tenaganya dengan cara pengaturan napas yang terbalik, yakni menyedot napas dengan mengembungkan perut dan mengempiskan dada! Ia merasa dadanya sakit, maka dia lalu melepaskan tenaganya itu. Sebaliknya, Ang-bin Sin-kai merasa betapa tenaga yang aneh tersembul keluar dari pusar anak itu. “Sakitkah dadamu?” Kwan Cu mengangguk. “Celaka sekali! Latihan itu telah merusak paru-parumu sendiri! Ah, benar-benar kitab palsu, akan tetapi kalau ilmu ini dipelajari secara mendalam, benar-benar akan merupakan ilmu yang aneh dan juga dahsyat. Baru yang palsu saja begini hebat, apalagi aselinya. Kwan Cu, kau telah mempelajari ilmu yang salah, maka kau harus menurut segala petunjukku. Pertama-tama kau harus dapat mengusir tenaga yang salah itu dari dalam tubuhmu. Kau harus belajar menderita jasmani dan harus melakukan latihan napas samadhi secara terbalik.” Kemudian, semenjak hari itu, Kwan Cu diikat kedua kakinya, kemudian ikatan itu digantungkan pada cabang pohon sehingga anak itu tergantung seperti seekor kalong! “Dengan begini, pernapasanmu selalu akan berada di paru-paru dan menyehatkan paru-parumu yang sudah terluka. Perutmu akan selalu kempis dan kosong. Pusatkan perhatianmu dan tutup semua panca inderamu, jangan rasakan siksaan dari perjalanan darah yang secara terbalik ini akan terasa tak enak sekali. Kulihat kau sudah pandai menutup hawa, tutuplah hawa di bagian kepalamu agar aliran darahmu tidak merusak otak. Hati-hati, latihan ini bisa membuat kau menjadi gila karena aliran darah yang banyak di bagian otak. Akan tetapi kalau kau tekun dan berhasil, hanya inilah jalan satu-satunya untuk membersihkan tubuhmu dari tenaga palsu itu!” Demikianlah, dapat dibayangkan betapa sengsaranya keadaan Kwan Cu karena harus berlatih secara ini. Lebih hebat lagi, seringkali suhunya agaknya lupa untuk memberi makan kepadanya sehingga pernah dua hari dua malam Kwan Cu tergantung saja secara terbalik tanpa makan, hanya hidup dari hawa udara saja! Akan tetapi yang lebih aneh dan hebat lagi, anak ini tak pernah mengeluh dan tak pernah minta makan! Akhirnya, beberapa bulan kemudian, dia telah dapat melakukan siulian (samadhi) secara tergantung kakinya ini selama tiga hari tiga malam tanpa makan! Juga pernapasannya menjadi normal kembali, biarpun dalam keadaan tergantung, dia telah dapat bernapas dengan teratur, bahkan dia dapat mendesak isi perutnya agar jangan tergantung dan tetap tinggal di dalam perut. Tubuhnya terasa ringan sekali dan jalan pikirannya terang.
-Cerita Dewasa Panas SIlat : Pendekar Sakti 1 - KPH http://cerita-eysa.blogspot.com/
Kini dia telah mendapatkan kepandaian yang istimewa. Kini kalau dia hendak berlatih, tidak lagi gurunya membantu. Ia melompat ke atas sebatang cabang pohon sambil membawa kain pengikat kakinya, mengikat kedua kakinya pada cabang itu lalu menggantung dirinya! Pada pagi hari itu, ketika mereka tiba di pinggir hutan yang telah disebutkan di atas, seperti biasa Kwan Cu menggantungkan dirinya secara terbalik pada cabang pohon dan gurunya duduk di bawah pohon. Sebentar saja Ang-bin Sin-kai telah tidur mendengkur dan Kwan Cu juga sebentar saja sudah dapat mempersatukan panca inderanya dan mengheningkan cipta. Baik guru maupun murid ini sama sekali tidak tahu akan adanya bahaya yang mengintai dari atas pohon, yang merupakan seekor ular kecil panjang yang bermata dan berlidah merah! Inilah seekor ular beracun yang jahat sekali! Biarpun gerakan ular yang merayap di antara ranting dan cabang pohon itu perlahan sekali, namun kalau saja Ang-bin Sin-kai tidak sedang tidur dan Kwan Cu tidak sedang bersamadhi dan menutup panca indera, tubuh ular yang melanggar daun itu tentu akan terdengar oleh mereka, karena Kwan Cu sendiri pun kini telah memiliki pendengaran yang amat tajam. Tiba-tiba terdengar Kwan Cu menjerit. “Suhu……..!” Ang-bin Sin-kai melompat bangun dan alangkah terkejutnya ketika dia melihat seekor ular melingkar di tali pengikat kaki Kwan Cu dan mulut ular itu menggigit kaki kanan muridnya itu! “Kwan Cu…..!” Ang-bin Sin-kai melompat ke atas dan sekali renggut, dia telah menangkap ular itu pada lehernya. Sambil duduk di atas cabang itu, Ang-bin Sin-kai menggunakan tangan kirinya untuk meraba tubuh muridnya. Bukan main kagetnya, karena tubuh itu panas bukan main! Ia tahu bahwa muridnya telah terkena racun gigitan ular! Ia tidak berani menurunkan muridnya, karena kalau Kwan Cu diturunkan, mungkin aliran darahnya akan kacau dan menyebabkan racun itu merangsang ke arah jantungnya yang berarti takkan dapat ditolong lagi anak itu. “Mudah-mudahan tadi dia masih mengerahkan tenaga dan menyimpan hawa murni dalam pusarnya,” pikir kakek ini yang segera melompat turun lagi sambil membawa ular itu. Cara satu-satunya untuk menolak hawa racun ular itu, dia harus dapat mengambil darah ular yang menggigitnya ini. Akan tetapi di situ tidak ada mangkok atau apa saja untuk menadahi darah ular, juga sukar untuk memberi minum darah kepada Kwan Cu yang masih dalam keadaan tergantung dengan kepala di bawah. Satu-satunya cara ialah dia harus dapat menyimpan darah ular itu didalam mulutnya, kemudian dia akan dapat menyemburkan darah itu dari mulut ke mulut Kwan Cu! Demikianlah maka melihat pemandangan yang menyeramkan tadi. Kwan Cu tergantung seperti mayat, dan kakek itu duduk ambil menggigit perut ular! Ular itu berkelojotan, meronta-ronta dan Ang-bin Sin-kai tidak menggigit terlalu keras, sekedar untuk mencari lobang guna menyedot darah ular itu. Lidahnya merasai darah yang asin manis dan amis sekali, juga terasa panas dan pedas pada lidahnya, akan tetapi dia terus menyedot sehingga darah ular itu terkumpul kedalam mulutnya. Kedua pipinya yang kurus menggembung, karena mulutnya penuh dengan darah ular. Beberapa tetes darah mengalir turun ke dagunya, membuat di nampak menyeramkan sekali. Ular itu makin lama makin lemah gerakkannya dan setelah darahnya habis, dia mati lemas. Ang-bin Sin-kai melemparkan bangkai ular, lalu melompat lagi ke atas cabang. Ia menggantungkan kedua kakinya pada cabang seperti keadaan Kwan Cu sehingga dengan membungkukkan punggungnya, mukanya berdekatan dengan muka muridnya. Ketika dia mengulur tangan membukakan mulut muridnya, kakek ini terheran-heran karena melihat muka muridnya itu tersenyum-senyum dan mata anak itu sudah terbuka lagi! Akan tetapi dia tidak mau banyak membuang waktu, segera dia membuka mulut muridnya dan menempelkan mulut sendiri ke mulut muridnya yang terbuka, kemudian dia mengerahkan hawa dalam perutnya untuk menyemburkan darah itu ke dalam perut muridnya! Kwan Cu yang sudah siuman itu maklum akan maksud suhunya, maka dia lalu menerima darah ular itu dan menelannya. “Lekas salurkan semua darah ke arah kaki yang luka!” seru Ang-bin Sin-kai setelah mulutnya kosong karena darah ular semua telah berpindah ke mulut dan perut muridnya. “Tahan napas dan biarkan darah ular itu memerangi racun yang mengalir dari luka di kakimu!” Kwan Cu menurut petunjuk suhunya dan sebentar saja, dia merasa panas yang menyerang tubuhnya menghilang. Ang-bin Sin-kai menaruh telapak tangannya pada pusar muridnya dan dari telapak tangan itu dia mengalirkan hawa untuk membantu kekuatan muridnya melawan racun ular tadi. Setengah hari guru dan murid itu berada dalam keadaan tergantung dan akhirnya setelah mendapat kenyataan bahwa tubuh muridnya tidak panas lagi, Ang-bin Sin-kai menurunkan tubuh muridnya. “Kau selamat!” katanya dengan lega. “Akan tetapi aneh sekali mengapa kau tidak muntah. Biasanya, kalau racun ular itu sudah dapat dikalahkan oleh darah ular, orang yang digigit ular tentu akan muntahkan darah ular beracun itu.” Kwan Cu menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya. “Mohon diampunkan atas kelalaian teecu sehingga merepotkan kepada Suhu. Sungguh aneh sekali, Suhu. Sekarang teecu merasa bahwa tubuh teecu amat nyaman dan ringan. Agaknya darah dan racun ular itu ada khasiatnya yang lihai.” “Mana mungkin?” Gurunya menggeleng kepala. “Kecuali kalau kau sudah makan coa-ko (buah ular).” “Teecu sudah makan coa-ko, Suhu!” “Hush! Kau kira mudah mendapat coa-ko? Aku yang sudah tua ini pun sejak dulu mencari belum juga dapat.” “Akan tetapi teecu tidak membohong, Suhu.” Lalu Kwan Cu menuturkan betapa dia dahulu diculik oleh Tauw-cai-houw dan dijejali sebutir buah ular. Gurunya girang sekali, akan tetapi tidak menyatakan kegirangannya itu. Hanya diam-diam dia berpikir bahwa Kwan Cu benar-benar seorang anak ajaib yang bernasib baik sekali.

“Hm, kalau aku tahu bahwa kau sudah makan buah coa-ko, tadi aku takkan begitu kebingungan seperti orang kebakaran jenggot. Dengan buah itu di dalam tubuhmu, kau takkan dapat tewas oleh racun ular yang manapun juga!” Maka setelah melihat betapa tubuh Kwan Cu sudah bersih daripada tenaga yang didapatnya dari latihan menurut kitab pelajaran palsu, Ang-bin Sin-kai lalu mulai melatih muridnya ini dengan ilmu-ilmu silat dari dia sendiri. Pengemis Sakti Muka Merah ini adalah tokoh terbesar dari timur, maka tentu saja dia memiliki kepandaian silat yang luar biasa dan mempunyai keistimewaan dalam ilmu silat tangan kosong.



Agar pembaca tidak menjadi bingung melihat Bun Sui Ceng, anak perempuan dari Pek-cilan Thio Loan Eng itu tiba-tiba saja muncul menjadi murid dari Kiu-bwe Coa-li, baiklah kita menengok keadaan Thio Loan Eng dan mengikuti perjalanannya semenjak ia meninggalkan rumahnya karena puterinya diangkat menjadi ketua oleh para anggauta Sin-to-pang atau Perkumpulan Golok Sakti. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Thio Loan Eng meninggalkan dusun Tun-hang bersama Bun Sui Ceng, puterinya. Nyonya muda pendekar ini merasa amat gelisah dan khawatir memikirkan nasib puterinya kelak, maka timbul didalam pikirannya untuk mengunjungi rumah seorang sahabat baiknya yang bernama Ong Kiat. Ketika masih kecil, Ong Kiat ini adalah kawan main dari Loan Eng karena orang tua mereka menjadi tetangga dan di antara kedua orang anak kecil ini timbul rasa saling suka dan cocok. Akan tetapi, Loan Eng oleh orang tuanya dijodohkan dengan Bun Liok Si dan berpisahlah mereka. Dengan terharu Loan Eng mendengar betapa Ong Kiat jatuh sakit hebat sampai hampir mati ketika ia menikah dengan Bun Liok Si, dan diam-diam ia maklum bahwa pemuda she Ong itu cinta kepadanya. Kemudian Ong Kiat yang semenjak kecil juga belajar ilmu silat, menjauhkan diri dari dunia ramai dan naik ke Pegunungan Thian-san, menjadi murid dari tokoh-tokoh Thian-san-pai. Selama itu, mereka tak pernah saling bertemu lagi. Baru setelah Loan Eng membunuh suaminya sendiri karena cemburu dan nyonya janda muda ini sering merantau, terjadi pertemuan antara dua orang bekas sahabat di waktu kecil ini secara kebetulan sekali. Ketika itu, seperti biasa, Loan Eng meninggalkan puterinya yang masih kecil dalam asuhan para pelayan-pelayannya, dan ia sendiri merantau di dunia kang-ouw untuk melakukan tugas sebagai seorang lihiap (pendekar wanita). Memang sudah menjadi kesukaan dan kebiasaan Loan Eng untuk merantau dan mempergunakan kepandaiannya guna menolong orang-orang yang tertindas sehingga namanya amat terkenal sebagai pendekar wanita berbudi yang berjuluk Pek-cilan (Bunga Cilan Putih). Ia sering kali berpakaian putih dan karena kecantikannya disamakan dengan bunga cilan yang harum, maka ia mendapat julukan ini. Selain itu, Loan Eng memang suka kepada bunga cilan dan sering kali rambutnya dihias dengan setangkai bunga cilan. Loan Eng seorang diri menuju ke sebuah bukit kecil yang penuh dengan rimba raya. Inilah Bukit Lek-san yang berada di selatan kota Hak-keng. Loan Eng sengaja mendatangi bukit ini karena ia mendengar kabar bahwa di atas bukit ini bersarang sekawanan orang jahat yang baru-baru ini mengacau dusun-dusun dan kota-kota, dan bahkan sekawanan orang jahat ini lihai sekali. Pek-cilan Thio Loan Eng memang tidak mengenal akan arti takut. Selain lihai ilmu pedangnya, juga nyonya janda muda yang cantik ini perkasa dan bernyali besar. Selama dalam perantauannya, entah sudah berapa banyak penjahat roboh dalam tangannya, dan biarpun ia sudah seringkali menghadapi orang-orang jahat dan bahaya maut, namun berkat kegagahannya, ia selalu terhindar dan selamat.

Setelah Loan Eng mulai naik Bukit Lek-san, mulai kelihatanlah ketidakamanan daerah ini. Banyak dusun-dusun telah kosong, ditinggalkan begitu saja oleh para penghuninya. Makin ke atas mendaki puncak bukit menjadi makin sunyilah kedaannya dan hutan-hutan yang berada di atas bukit menjadi makin liar dan gelap saja. Namun, Loan Eng tetap tabah dan melanjutkan perjalanannya menuju ke atas. Ia ingin sekali mendatangi sarang gerombolan itu dan ingin membasmi gerombolan itu sampai bersih!

Loan Eng tidak tahu bahwa banyak pasang mata manusia mulai memandang dan mengintainya dari balik pohon-pohon, mata banyak orang laki-laki yang nampak buas dan kejam. Bibir-bibir tebal dan kotor menyeringai penuh gairah ketika mereka memandang wajah Loan Eng yang cantik jelita dan potongan tubuhnya yang langsing.

Setelah Loan Eng tiba di tempat terbuka di dalam hutan yang liar itu, tiba-tiba terdengar suitan keras sekali dan berlompatan keluarlah anggauta-anggauta gerombolan yang jumlahnya dua puluh orang lebih diketuai oleh dua orang laki-laki muda bertubuh tinggi besar dan bermata liar. Inilah gerombolan yang belum lama ini bersarang di Bukit Lek-san, gerombolan yang amat ganas, yang sudah banyak merampok, menculik wanita, dan membakar rumah penduduk. Dua orang muda tinggi besar itu adalah kakak beradik bernama Sin Sai (Singa Sakti) dan Sin Houw (Harimau Sakti).

“Nona yang elok dan gagah siapakah bernyali demikian besar memasuki wilayah kami?” tanya Sin Sai sambil memandang kagum, adapun Sin Houw adiknya juga memandang dengan mata penuh gairah.

“Tak perlu namaku diketahui oleh gerombolan-gerombolan perampok keji. Lebih baik kalian mengaku, apakah kalian ini yang suka mengganggu penduduk sekitar daerah ini? Kalau betul, berlututlah kalian semua agar menerima kematian tanpa menderita sakit lagi.”

Semua orang tertegun, karena tak mereka sangka seorang wanita cantik akan berani mengucapkan kata-kata seperti itu. Sin Houw berkata kepada Sin Sai.

“Sai-ko, dia ini tentu mata-mata dari keparat she Ong itu, lebih baik tangkap saja!” sambil berkata demikian, dia menggerakkan golok besarnya untuk mengancam Loan Eng, lalu katanya dengan mulut menyeringai. “Nona manis, walaupunkau bersikap sombong, namun sikapmu tidak mengurangi rasa sukaku kepadamu. Marilah kau ikut saja dengan aku dan aku bersumpah bahwa kalau kau suka menjadi biniku, aku takkan mau lagi mengganggu lain wanita lagi!”

Bernyala sepasang mata Loan Eng yang jeli dan bagus. Sekali ia menggerakkan tangannya, pedangnya yang mengkilat itu telah terhunus dan berada di tangan kanan.

“Bagus sekali, kau memilih kematian yang menyiksa dirimu. Hari ini, kalau tidak dapat membasmi kalian anjing-anjing hina-dina, jangan sebut aku Pek-cilan lagi!” Sebagai penutup kata-katanya, Loan Eng lalu melompat maju dan menyambar ke arah leher Sin Houw!



Sin Houw melihat sinar pedang yang mengkilat dan cepat ini, tidak berani memandang ringan. Ia maklum dari gerakan ini bahwa pendekar wanita di depannya itu memiliki kepandaian tinggi, apalagi nama julukan Pek-cilan bukan tidak terkenal dan dia pernah mendengar nama ini dipuji-puji orang. Cepat dia menangkis dan mengerahkan tenaganya, dengan maksud hendak membuat pedang orang terpental dan terlepas. Akan tetapi ternyata bahwa pedang Loan Eng sama sekali tidak terpental, bahkan kepala rampok muda ini yang merasa telapak tangannya sakit! Ia berseru keras dan merasa terkejut sekali, akan tetapi tidak kehilangan kesigapannya karena goloknya juga terbuat dari baja yang amat baik maka tidak rusak. Ketika goloknya terpental oleh pedang lawan, dia lalu mengayun golok itu ke bawah dan menyerampang kedua kaki Loan Eng dengan gerak tipu Hong-sauw-pai-hio (Angin Menyapu Daun Rontok), sebuah gerak tipu serangan yang amat hebat dan berbahaya.

Diam-diam Loan Eng harus akui bahwa kepala raampok muda ini tidak jelek kepandaiannya, maka cepat ia memutar pedangnya berubah yang menjadi segundukkan sinar putih yang lihai sekali. Kepala rampok itu juga menahan dengan mengeluarkan ilmu goloknya yang ternyata adalah ilmu golok Go-bi-pai. Namun ilmu goloknya masih jauh untuk menandingi pedang di tangan Loan Eng dan dalam beberapa jurus saja Sin Houw terdesak hebat.

Sin Sai berseru keras dan kepala rampok nomor satu ini lalu menerjang dengan goloknya yang ternyata masih lebih tinggi dan lihai dari pada kepandaian adiknya. Juga para perampok diberi tanda dan sebentar saja Loan Eng dikeroyok hebat. Pendekar wanita ini tidak menjadi gentar karenanya, bahkan ia makin gembira mainkan pedangnya dan tak lama kemudian, terdengarlah pekik-pekik kesakitan dan tubuh beberapa orang anak buah perampok roboh terguling terkena sambaran pedang di tangan nyonya janda yang cantik dan gagah itu.

“Mundur…..!” teriak Sin Sai ketika melihat sudah lima orang anak buahnya roboh. “Kita tangkap dia hidup-hidup!” seru Sin Houw pula. Mereka lalu berkelahi sambil mundur. Belasan batang golok merupakan perisai dan menangkis serangan-serangan pedang Loan Eng yang bergerak cepat.

Akhirnya mereka tiba di depan sebuah rumah yang besar sekali. Loan Eng terheran-heran, mengapa dalam hutan yang liar itu bisa terdapat sebuah rumah gedung ini? Tiba-tiba semua lawannya melompat masuk ke dalam rumah itu dan pintu depannya tertutup dengan mengeluarkan suara keras!

Pek-cilan Thio Loan Eng ragu-ragu. Ia memandang bangunan di depannya yang kini nampak sunyi. Tak salah lagi, rumah ini tentu dulunya adalah sebuah kelenteng tua, pikirnya. Bagaimana kini bisa menjadi sarang penyamun? Ia tidak tahu bahwa kelenteng ini memang sudah lama ditinggalkan para hwesio yang mendapat gangguan perampok-perampok ini, dan bahwa perampok lalu memperbaikinya dan mempergunakan sebagai sarang mereka. Juga para wanita yang diculik, semua berada di dalam gedung yang besar dan berpekarangan belakang luas sekali ini.

“Hm, mereka pasti akan menjebakku,” pikir Pek-cilan Thio Loan Eng. Sebagai seorang pendekar wanita yang banyak merantau dan banyak sekali menghadapi penjahat-penjahat, tentu saja ia banyak pengalaman dan berlaku hati-hati. Akan tetapi, keberaniannya luar biasa sekali dan biarpun ia sudah bercuriga dan menyangka akan adanya perangkap yang dipasang, ia tidak merasa takut. Dihampirinya pintu rumah gedung itu da beberapa kali bacok saja, sambil mengeluakan suara gaduh, daun pintu itu pecah dan roboh!

“Syuuuuuut-syuuuut! Syuuut!” banyak sekali anak panah menyambar ke arah pintu itu dari depan kanan dan kiri. Kalau saja Loan Eng tadi terus menerjang masuk ke dalam, tentu ia akan terancam oleh anak panah ini, akan tetapi pendekar wanita ini sudah berlaku hati-hati sekali dan setelah tadi merobohkan pintu, ia melompat kesamping sehingga semua anak panah itu mengenai tempat kosong.

Setelah semua anak panah yang terlepas dari tempat-tempat rahasia itu habis, barulah Loan Eng menerjang masuk sambil memutar pedangnya memasuki pintu yang sudah tidak berdaun lagi itu. Ia melihat keadaan dalam rumah sunyi saja, dan tidak nampak seorangpun manusia. Akan tetapi, baru saja ia melangkah beberapa tindak dengan amat hati-hati, tiba-tiba dari arah belakang gedung itu terdengar suara ribut-ribut dan di antara suara-suara manusia itu Loan Eng mendengar seruan-seruan, “Tangkap penjahat! Padamkan api….!”

Loan Eng diam-diam tersenyum dan juga terheran. Pasti ada orang lain yang menyerbu sarang gerombolan ini. Akan tetapi ia tidak tertarik dan ingin terus menerjang masuk untuk membasmi gerombolan penjahat itu. Tiba-tiba terdengar isak tangis dan ia dapat memastikan bahwa di sebelah kanannya di mana nampak sebuah daun pintu kamar, ada seorang wanita yang sedang menangis sedih sekali.

“Siapakah dia? Mengapa menangis? Ah, tentu seorang wanita yang diculik oleh gerombolan,” pikir Loan Eng. “Aku harus menolong dia.” Setelah berpikir demikian, ia tidak jadi menuju ke ruang belakang, melainkan menghampiri daun pintu kamar itu. Suara tangis itu makin mengeras dan tanpa banyak ragu-ragu lagi, Loan Eng membacok kedua pinggiran daun pintu sehingga terlepaslah daun pintu itu dari tiangnya. Seperti juga tadi, Loan Eng tidak menerjang masuk, bahkan mudur dua tindak ke belakang sambil memandang tajam. Ia tidak melihat apa-apa di dalam kamar itu, kosong melompong dan juga tidak kelihatan orang. Suara tangis wanita yang tadi kini telah pindah ke belakang kamar itu. Loan Eng melihat bahwa di dalam kamar itu terdapat sebuah pintu lain yang agaknya menembus ke ke ruang tengah, maka ia lalu masuk ke dalam kamar ini.

Baru saja ia melangkah lima tindak di dalam kamar ini dengan hati-hati sekali, tiba-tiba ia merasa ada angin menyambar sebuah toya dari belakang. Pendekar wanita yang gagah ini tanpa menengok lalu menggerakkan pedangnya ke belakang, diayun dari kanan sambil memutar tubuhnya. Akan tetapi anehnya, toya itu tidak terpegang oleh siapapun juga dan kini sisanya tinggal sepotong masih tergantung di atas. Ketika Loan Eng berdongak ke atas, ia tersenyum sindir. Ia tahu bahwa itulah sebuah senjata rahasia yang di gerakkan oleh alat-alat per dan yang otomatis bergerak memukul apabila ada orang memasuki kamar dan terkena injak alat penggeraknya. Namun ia tidak takut dan melangkah terus! Baru dua tindak ia melangkah, agaknya ia kena injak alat-alat penggerak lagi yang di pasang di bawah permadani, karena tiba-tiba terengar suara keras dan tiga macam senjata menyerangnya dari tiga jurusan! Sebatang golok melayang keluar dari tembok dan menyambar ke arah kakinya dengan gerakan membabat, sebatang tombak yang runcing tiba-tiba saja keluar dari tembok sebelah depan dan menusuk kearah perutnya, dan senjata ketiga adalah sebuah ruyung besar yang menyambar kepalanya. Jadi, sekaligus Loan Eng diserang kaki, perut dan kepalanya!



Namun, Pek-cilan tidak gentar sedikit pun juga. “Perampok busuk, siapa takut dengan senjata-senjatamu?” bentaknya dan cepat ia merendahkan tubuh untuk menghindarkan kepala dari sambaran ruyung, dan golok yang menyambar ke arah kakinya itu dapat di tendangnya secara luar biasa sekali! Memang Loan Eng memiliki ilmu tendang yang hebat sehingga nyonya muda ini berani menghadapi senjata musuh yang tajam atau runcing dengan kedua kakinya! Adapun tombak yang menusuk ke arah perutnya dapat di babat putus dengan pedangnya.

“Gerombolan perampok, hari ini aku harus dapat membasmi kamu semua!” Loan Eng berseru dan hendak menerjang pintu yang berada di kamar itu? Akan tetapi, tiba-tiba saja dari langit-langit kamar menyambar turun semacam jala yang lebarnya memenuhi kamar itu, Loan Eng terkejut sekali dan hendak melompat keluar dari kamar itu, namun tidak keburu. Sebelum ia tiba di pintu tadi, jala itu sudah menerkamnya dan ternyata bahwa itu bukanlah jala biasa melainkan jala yang terbuat daripada kawat-kawat baja yang lemas namun kuat sekali!

Untuk beberapa lamanya, Loan Eng menjadi bingung dan gelagapan. Ia meronta-ronta ke sana ke mari di dalam jala, seperti seekor ikan emas dalam jala seorang nelayan. Makin keras Loan Eng meronta, makin erat pula jala baja itu menekan tubuhnya! Pendekar wanita ini lalu diam tak bergerak. Otaknya yang cerdik bekerja keras. Ia tidak boleh gugup menghadap bahaya ini, kemudian ia menggunakan pedangnya, digosokkan pada kawat jala seperti orang orang menggergaji. Dengan pengerahan tenaga lweekangnya, ia berhasil dan kawat itu putus! Loan Eng girang sekali dan bekerja terus. Tak lama kemudian, ia telah dapat membikin putus beberapa helai kawat jala dan kini ia akan mudah saja dapat menerobos keluar dari jala yang sudah bocor itu. Akan tetapi ia tidak mau keluar, bahkan memegangi bagian jala yang yang sudah rantas, karena ia mendengar suara orang mendatangi.

Muncullah dari pintu depan dengan seorang anggauta gerombolan yang tertawa-tawa.

“Ha, ha, ha, aku dapat menangkap seekor ikan duyung!” serunya girang. “Aduh cantiknya! Manis, kalau kau berjanji mau menjadi biniku, aku akan melepaskan kau dari jala itu. Ha, ha, ha!” Akan tetapi tiba-tiba dia menjadi pucat dan selanjutnya dia takkan dapat tertawa atau menangis lagi karena pada saat dia tertawa tadi, Loan Eng sudah menerobos keluar dan sekali pedangnya berkelebat, tubuh anggauta gerombolan ini sudah putus menjadi dua bagian pinggangnya!

Dengan marah sekali Loan Eng lalu menendang pintu dalam kamar itu yang menjadi pecah dan terbuka. Di situ ia melihat pemandangan yang bikin alisnya terangkat naik dan giginya digigitkan. Ternyata di balik pintu itu adalah sebuah ruangan yang luas dan di seberang sana ia melihat seorang wanita yang pakaiannya cobak-cabik sedang di seret-seret oleh Sin Houw, kepala perampok ke dua. Wanita itu masih muda sekali, mukanya pucat dan air matanya mengalir membasahi pipinya. Rambutnya yang hitam panjang itu terurai dan kini dijambak oleh Sin Houw yang menyeretnya ke arah lain.

“Jahanam keparat!” Loan Eng memaki dan cepat ia berlari mengejar. Akan tetapi, celaka sekali baginya! Tidak tahunya bahwa Sin Houw sengaja berlaku kejam kepda wanita itu, yakni seorang di antara banyak wanita yang diculik oleh gerombolan, hanya dengan maksud agar Loan Eng menjadi marah, kurang hati-hati dan mengejarnya. Ketika pendekar wanita ini berlari mengejar sampai di tengah-tengah ruangan itu, tiba-tiba permadani yang diinjaknya menyeplos kebawah! Di situ tidak ada lantainya sama sekali dan merupakan lobang yang besarnya ada sepuluh kaki segi empat dan dalam sekali, hanya ditutupi luarnya dengan permadani tebal. Tentu saja kalau diinjak lalu nyeplos ke bawah berikut permadaninya!

Bukan main kagetnya hati Loan Eng, bukan karena kejatuhan itu, melainkan karena yang menerima tubuhnya di bawah adalah air yang dingin! Ia masih berusaha berpegang pada permadani yang tebal dan lebar itu, akan tetapi permadani itu berat sekali dan setelah terkena air, terus saja tenggelam! Loan Eng terpaksa cepat-cepat melepaskan pegangannya dan merasa betapa tubuhnya akan tenggelam terus. Bukan main dalamnya sumur yang lebar sekali ini dan ia tidak pandai berenang!

Pada saat itu, air bergolak dan permadani tadi sudah tenggelam, kini tersembul kembali dengan cepatnya. Air muncrat tinggi dan pucatlah muka Loan Eng ketika melihat ujung ekor ikan yang besar! Ternyata bahwa di dalam sumur lebar itu hidup seekor ikan yang besar dan tadi menjadi marah karena permadani itu tenggelam. Sekarang ikan itu mengamuk dan menyerang permadani tadi. Terdengar suara kain robek dan sebentar saja permadani itu cobak-cabik. Ketika Loan Eng merasa tubuhnya hampir tenggelam, pendekar wanita ini menendang-nendangkan kedua kakinya ke bawah dan mumbul kembalilah dia. Cepat ia mengerahkan tenaganya menusuk dinding sumur dengan pedangnya yang tak pernah lepas dari tangannya. Biarpun dinding sumur itu berbatu dan keras, namun pedang Loan Eng dengan mudah menancap sampai setengahnya.

Kini nyonya muda itu mempunyai pegangan, yakni gagang pedangnya dan karena tubuh di dalam air menjadi ringan sekali, maka ia dapat mengambang sambil berpegang pada pedangnya. Akan tetapi, setelah bahaya tenggelam tertolong, kini datang bahaya yang lebih hebat lagi, yaitu ikan itu! Beberapa kali kepala ikan tersembul dan ngeri sekali hati Loan Eng melihatnya. Ikan itu di depan mulutnya mempunyai sebatang senjata runcing seperti tombak dan tahulah Loan Eng bahwa itu ikan cucut yang jahat dan suka makan orang!

“Celaka,” pikirnya dengan hati berdebar. Kalau ia berada di darat, biarpun ada sepuluh ekor binatang macam ini, ia takkan merasa jerih. Akan tetapi, karena ia tidak berdaya dan di dalam air kepandaiannya tiada gunanya lagi, tentu saja bahaya yang kini ia hadapi adalah bahaya maut yang sukar dielakkan lagi. “Betapapun juga, aku harus dapat melawannya,” pikir Loan Eng dengan gemas.

Cepat nyonya muda ini mengerahkan tenaga lweekangnya dan dengan tangan kiri berpegang pada gagang pedang, jari-jari tangan kanannya ditusukkan kepada dinding sumur. Hebat juga tenaga lweekang nyonya ini karena biarpun ia merasa ujung jari-jari tangannya sakit, namun ia berhasil mencengkeram dinding itu dan membuat lobang di mana ia bisa memegang atau menjadikan sebagai tempat tangannya berpegang pada lekukan lobang. Lalu ia cepat mencabut pedang dengan tangan kanan karena ia melihat air berombak dan ikan itu muncul lagi!



Bukan main dahsyatnya ikan itu. Panjangnya ada empat kaki dan kini ia menjadi marah sekali. Ketika ia melihat seorang manusia terapung, ia lalu menyerang dengan tombak di depan mulutnya dengan kecepatan luar biasa! Loan Eng sudah bersiap sedia dan cepat ia menggerakkan pedangnya menangkis tombak itu. Ia merasa seluruh lengannya kaku tergetar saking kuatnya ikan itu menyeleweng. Akan tetapi ia tidak mengira bahwa ikan itu benar-benar cerdik, karena berbareng dengan memutarnya tubuhnya karena tangkisan tadi, ekornya menyabet ke depan! Sebetulnya, serangan ini bagi Loan Eng tidak hebat sekali, yang celaka adalah air yang muncrat ke arah mukanya sehingga dia sukar membuka mata! Akan tetapi, nyonya ini masih sempat menggerakkan pedang, diputar depannya dan ketika ekor itu menyabet, terlukalah tubuh ikan itu oleh ujung pedang yang runcing tajam. Namun, berbareng dengan tubuh ikan yang meronta kesakitan, terdengar suara kain yang memberebet dan pecahlah ujung lengan baju Loan Eng terkena sambaran ekor. Hebat sekali karena ujung lengan baju itu membelit pada ekor sehingga ketika ikan itu meluncur pergi, terdengar suara kain terobek dan robek semuanya pakaian Loan Eng bagian atas!

Pendekar wanita ini bingung sekali. Bajunya terlepas dan terobek dari tubuhnya, terbawa oleh ikan itu sehingga tubuhnya bagian atas hanya tertutup oleh pakaian dalam yang sempit dan tipis sehingga ia dalam keadaan setengah telanjang.

“Bedebah! Kau harus mampus!” seru Loan Eng dengan marah sekali, akan tetapi berbareng ia pun menjadi merah mukanya saking malu dan jengah. Seandainya ia tertolong dan dapat keluar dari sumur ini, bagaimana ia berani bertemu dengan orang?

Ikan itu kini tidak berani menyerang, tubuhnya berputar-putar karena ekornya terasa sakit sekali. Air sumur itu mulai menjadi kemerahan karena darahnya dan Loan Eng hampir menjadi pingsan oleh bau amis yang memuakkan perutnya. Ia mengincar dan bersiap-siap. Ketika ikan itu berenang berputaran dan dekat dengan dia, cepat sekali pedangnya ia gerakkan ke arah perut, menusuk kuat-kuat lalu menggerakkan pedang ke belakang tubuh ikan sehingga perut itu terbelah! Ikan itu meronta-ronta hebat sekali, air muncrat dan tubuh Loan Eng bergerak-gerak karena gelombang air. Akan tetapi hanya sebentar karena perut ikan itu telah terbuka dan isi perutnya berhamburan keluar. Matilah binantang itu. Akan tetapi, air menjadi makin merah dan bau amis tak tertahankan lagi. Ia mengeluh dan pegangannya pada lobang di dinding sumur makin mengendur. Ia masih ingat untuk menancapkan pedang pada dinding sekuatnya dan kini ia dapat berpegang pada gagang pedang lagi. Demikianlah, pendekar wanita ini bergantung pada gagang pedang dalam keadaan setengah pingsan. Ia mulai putus asa karena tidak melihat jalan keluar sama sekali. Tubuhnya kedinginan, karena dalam keadaan setengah telanjang itu, air yang dingin bagaikan menyusup ke dalam tulang-tulangnya.

Pada saat yang amat berbahaya ini, tiba-tiba dari atas sumur terayun sehelai tambang dan terdengar suara orang.

“He, kawan yang berada di bawah. Lekas berpegang pada tambang!”

Pikiran Loan Eng sudah nanar dan pening. Ia tidak teringat akan apa-apa lagi tidak ingat akan keadaan tubuhnya yang setengah telanjang. Melihat tambang terayun di dekatnya, ia cepat menyambar, mencabut pedangnya dan bergantung pada tambang itu. Bau amis membuat dia muak dan lemah sehingga ia tidak kuasa lagi untuk merayap melalui tambang. Perlahan-lahan, tambang itu ditarik orang ke atas dan setibanya di lantai dalam ruang di mana ia tadi terjeblos, Loan Eng yang sudah pening sekali melihat wajah seorang pemuda yang tampan. Ia mempertahankan rasa muaknya, akan tetapi tak tertahankan lagi dan ia muntah-muntah lalu tak sadarkan diri.

Akan tetapi tidak lama ia jatuh pingsan. Ketika ia membuka mata kembali, cepat ia melompat dan pada saat ia melompat itu, terbukalah sehelai baju panjang yang tadi menutupi tubuhnya bagian atas dan dengan kaget Loan Eng melihat betapa tubuhnya bagian atas intu setengah telanjang! Bukan main kagetnya dan cepat-cepat ia menyambar baju panjang itu dan dikerobongkan pada tubuhnya kembali. Ia menengok dan melihat seorang lelaki berdiri tak jauh dari situ sambil memandangnya dengan senyum!

“Loan Eng, baiknya kau lekas sadar kembali. Aku sudah khawatir karena mereka itu masih mengancam keselamatan kita.”

“Ohhh……..” Loan Eng terkejut sekali dan mukanya menjadi merah seperti kepiting di rebus. “Kau……Ong Kiat…..? Bagaimana kau bisa berada di sini…..?”

Orang muda itu tersenyum lagi, wajahnya tampan dan bagi Loan Eng, tidak ada perubahan pada wajah yang dikenalnya baik-baik semenjak masa kanak-kanak itu.

“Tiada waktu bicara sekarang, Loan Eng. Lekas kau pakai pakaian kering ini dan kita bersiap menghadapi mereka!” Sambil berkata demikian, Ong Kiat lalu melemparkan segulung pakaian wanita kepada Loan Eng, kemudian dia membalikkan tubuhnya, membelakangi Loan Eng.

Makin merah muka Loan Eng. Kalau bukan Ong Kiat yang sudah dipercaya penuh, ia tidak sudi berganti pakaian di dekat orang laki-laki, sungguhpun laki-laki itu telah berdiri membelakanginya. Namun, ia harus berganti pakaian, karena kalau nanti bertempur melawan gerombolan, bagaimana ia dapat bergerak dengan baju panjang yang mengerobongi tubuhnya yang setengah telanjang itu? Cepat-cepat ia membuka semua pakaiannya dan kalau ada perlombaan berganti pakaian pada waktu itu, pasti Loan Eng akan menjadi juaranya. Demikian cepatnya ia berganti pakaian!

“Jadi kaukah orang yang menolongku dari sumur tadi?” tanyanya perlahan.

“Tiada harganya untuk disebut-sebut, Loan Eng. Kau tahu bahwa aku bersiap sedia selalu untuk membelamu dengan taruhan nyawa sekalipun!”

Berdebar jantung janda muda itu dan ia memeras rambutnya lalu di gelungnya.

“Punyamukah jubah panjang ini, Ong Kiat?”

“Ya, aku melihat kau…..kau kedinginan, maka aku kerobongkan baju luarku.”

Dengan muka terasa panas biarpun masih basah oleh air, Loan Eng mengerling ke arah punggung orang muda itu. “Dan…kau…..kau melihat…..”

“Apa, Loan Eng?”

“…….tidak apa-apa! Aku sudah selesai berpakaian, Ong Kiat!”

Orang muda itu memutar tubuhnya dan mereka saling pandang.



“Ah, kau tidak berubah, Loan Eng. Masih seperti dulu.”

“Siapa bilang tidak berubah? Aku sekarang sudah tua.”

“Kau keliru! Setiap orang akan dapat mengatakan bahwa kau tiada ubahnya seorang gadis berusia tujuh belas tahun saja. Sungguh, kau tidak berubah, Loan Eng.”

“Kau pun tidak berubah, Ong Kiat, yakni…. watakmu, masih baik seperti dulu.”

“Jadi keadaan jasmaniku berubah dalam pandanganmu?”

“Hanya pakaianmu!”

Ong Kiat tertawa dan biarpun usianya sudah hampir tiga puluh tahun, ketika tertawa dia nampak masih muda sekali.

“Memang aku telah menjadi piauwsu (pengantar dan pengawal barang kiriman) dan aku tinggal di kota Hak-keng, tidak jauh dari sini.”

Percakapan mereka terhenti karena terdengar suara orang dan dan tindakan kaki.

“Akan kubasmi semua gerombolan anjing itu!” kata Loan Eng perlahan dan tanpa berjanji dulu, kedua orang ini lalu melompat menerjang ke arah pintu, keluar dari ruangan itu.

Alangkah kagetnya Sin Sai dan Sin Houw yang memimpin orang-orangnya ketika melihat dua orang itu. Mereka tidak mengira bahwa Loan Eng sudah dapat keluar dari sumur itu. Namuan Loan Eng dan Ong Kiat tidak memberi kesempatan lagi kepada mereka untuk berheran-heran lebih lama lagi karena Loan Eng sudah lantas menggerakkan pedangnya dan menerjang dengan hebat sekali. Juga Ong Kiat telah menerjang dengan goloknya yang terkenal karena dia adalah anak murid Thian-san-pai yang berkepandaian tinggi.

Hebat sekali sepak terjang kedua orang muda yang marah ini. Terutama sekali Loan Eng. Pendekar wanita ini mengarahkan serangannya khusus kepada Sin Sai dan Sin Houw yang mengeroyoknya, sedangkan Ong Kiat dengan enaknya membabati anak buah gerombolan yang segera roboh sambil menjerit kesakitan.

Hanya dalam waktu tiga puluh jurus saja, berturut-turut Sin Sai dan Sin Houw roboh dan tewas di ujung pedang Loan Eng, kemudian bersama Ong Kiat ia membasmi semua anak buah gerombolan. Tak seorangpun dapat melarikan diri.

Ong Kiat lalu mengajak Loan Eng menyerbu ke dalam gedung itu. Mereka membebaskan orang-orang wanita yang tadinya diculik oleh gerombolan itu dan jumlah mereka semua adalah sembilan orang, penduduk dusun-dusun dan juga ada dua orang berasal dari kota Hak-keng.

Ong Kiat mengumpulkan barang-barang kawalannya yang tadinya dirampok oleh gerombolan itu. Ia tidak mau mengambil lain barang berharga untuk keperluannya sendiri, bahkan lalu membagi-bagikan barang-barang lainnya kepada sembilan orang wanita itu yang berlutut di depan Loan Eng dan Ong Kiat sambil menghaturkan terima kasih.

Lalu mereka membakar gudang sarang gerombolan itu dan kedua orang gagah ini mengantar sembilan orang wanita itu menuju Hak-keng. Tak perlu kiranya diceritakan betapa dua orang muda pendekar ini disambut dengan penuh kegembiraan dan rasa terima kasih oleh keluarga para korban itu. Terutama sekali Ong Kiat yang memang sudah terkenal di kota Hak-keng sebagai seorang pendekar yang budiman, mendapat sambutan hangat, bahkan kepala daerah di Hak-keng memberi gelar Hak-keng taihiap kepadanya.

Kemudian, di ruang tamu di rumah Ong Kiat, dua orang pendekar itu duduk menghadap arak. Loan Eng merasa terharu melihat betapa keadaan rumah bekas kawannya ini sunyi saja, hanya ada dua orang pelayan wanita tua yang mengurus rumah tangga.

“Ong Kiat, di mana orang tuamu?”

Ong Kiat menarik napas panjang. “Mereka telah meninggal dunia ketika di kota ini mengamuk wabah penyakit.”

“Dan kau hidup sebatang kara?”

Ong Kiat mengangguk.

“Apakah kau tidak…… tidak beristri?”

Mendengar pertanyaan ini, merahlah wajah Ong Kiat dan dia menjawab agak kasar, “Loan Eng, kaukiara aku laki-laki macam apakah? Selama hidup, aku takkan melanggar sumpahku!”

Kini Loan Eng menghela napas sambil menundukkan mukanya. Ia masih ingat baik-baik akan sumpah Ong Kiat, bahwa pemuda ini tidak akan menikah dengan lain orang wanita kecuali denganThio Loan Eng yang sudah di jodohkan oleh orang tuanya kepada Bun Liok Si!

“Loan Eng, kau baik-baik saja selama ini? Bahagiakah hidupmu?”

“Ah, Ong Kiat. Kau tidak tahu. Aku adalah seorang yang paling berdosa, seorang istri yang tidak baik. Aku…… aku telah membunuh suamiku sendiri.”

Akan tetapi Ong Kiat tidak heran mendengar ini. “Aku sudah tahu, Loan Eng. Aku sudah mendengar tentang semua keadaanmu.” Kemudian untuk menggembirakan suasana, dia bertanya. “Ah, ya, bagaimana dengan puterimu? Sudah besarkah?”

Berseri wajah Loan Eng. “Kalau tidak ada puteriku, agaknya aku takkan ada di dunia ini.” Setelah berhenti sebentar, Loan Eng lalu mengubah percakapan yang tidak enak itu. “Ong Kiat, bagaimana kau bisa berada di sarang gerombolan itu dan kebetulan sekali menolongku keluar dari dalam sumur?” Ong Kiat lalu bercerita. Telah beberapa tahun dia menjadi piauwsu dan karena gagahnya dan jujurnya, maka dia dipercaya penuh oleh banyak pedagang dan bangsawan. Pada suatu hari, pembantu-pembantunya mengantarkan barang-barang berharga dari seorang bangsawan dan barang-barang itu harus di antarkan ke kota raja. Pada waktu itu, Ong Kiat tidak berada di Hak-keng karena piauwsu muda ini sedang mengantar seorang keluarga, yang melakukan perjalanan jauh. Ketika dia datang di Hak-keng kembali, dia mendengar bahwa barang kiriman itu dirampok oleh gerombolan di dalam hutan itu.





Marahlah Ong Kiat dan seorang diri saja dia lalu membawa goloknya melakukan penyelidikan. Melihat gerombolan itu terdiri dari dua puluh orang lebih, ia lalu melakukan pembakaran pada bagian belakang gedung itu, tidak tahu bahwa Loan Eng sudah menyerbu masuk ke dalam. Ong Kiat maklum akan kelihaian gerombolan ini, karena dia tahu bahwa bekas kelenteng ini memang mempunyai banyak bagian-bagian rahasia.

Kemudian dia merobohkan beberapa orang anggauta gerombolan dan menyerbu ke dalam. Ia datang pada saat yang tepat karena dia melihat empat orang gerombolan mengintai dari pintu sebuah ruangan besar, di mana terdapat sumur rahasia itu. Ia merobohkan dua orang anggauta gerombolan dan yang dua lagi lari keluar. Maka tepat sekali kedatangannya dan dia masih sempat menolong Loan Eng dari bahaya maut. Ia tadinya tidak tahu bahwa orang yang terjebak adalah Loan Eng, wanita satu-satunya di dunia ini yang menjadi pujaan kalbunya. Melihat keadaan Loan Eng cepat Ong Kiat mengerobongi tubuh wanita yang dikasihinya ini dengan baju luarnya, kemudian dia menyerbu ke dalam kamar belakang dan minta sesetel pakaian dari seorang wanita tawanan untuk diberikan kepada Loan Eng setelah pendekar manita ini siuman kembali. Mendengar penuturan Ong Kiat, Loan Eng berkata kagum, “Tak kusangka bahwa kepandaianmu telah maju demikian hebatnya, Ong Kiat.” “Ah, mana bisa di bandingkan dengan ilmu pedangmu?” jawab Ong Kiat merendah, kemudian dengan wajah bersungguh-sungguh dia berkata, “Loan Eng, setelah kau sekarang menjadi janda, hidup berdua dengan puterimu, adakah harapan kiranya bagiku untuk membantumu mendidik puterimu itu? Aku akan menganggap sebagai anakku sendiri, Loan Eng.” Sambil berkata demikian, dia menatap wajah bekas kawannya itu dengan penuh harapan. Loan Eng tertegun dan menundukkan mukanya yang menjadi merah! Terus terang saja, dahulu sebelum ia di jodohkan dengan Bun Liok Si, diam-diam ia juga merasa suka kepada Ong Kiat, kawan mainnya semenjak ia kecil. Setelah mulai dewasa rasa suka ini menjadi perasaan cinta kasih yang terpendam. Akan tetapi, setelah menjadi istri Bun Liok Si, perasaan terhadap Ong Kiat ini diusirnya jauh-jauh, dan tidak pernah dipikirkannya lagi. Sebagai seorang istri, ia harus mencinta suaminya dan harus bersetia lahir dan batin! Biarpun suaminya telah meninggal dunia, namun andaikata ia tidak bertemu Ong Kiat, agaknya selama hidupnya ia pun tidak akan mengingat lagi kepada bekas kawan itu. Akan tetapi, nasib agaknya menghendaki lain, karena dalam keadaan yang amat tidak tersangka-sangka, ia bertemu dengan pemuda ini. Dan lebih hebat lagi, ternyata bahwa Ong Kiat masih setia dan tidak mau menikah dengan wanita lain, bahkan sekarang mengajukan pinangan kepadanya! Dapat dibayangkan betapa gelisah dan bingungnya hati Loan Eng menghadapi pinangan pemuda ini. Ia maklum akan kemuliaan hati dan kebaikan watak Ong Kiat, dan ia berani memastikan bahwa andaikata ia meneriman pinangan ini, ia akan dapat hidup beruntung, dan juga puterinya, Sui Ceng, pasti akan menemukan seorang ayah tiri yang jauh lebih baik adat wataknya daripada ayahnya sendiri yang sudah meninggal! Akan tetapi….. hatinya masih terasa berat untuk menerima pinangan ini. Memang, di Tiongkok pada masa itu, adalah merupakan hal yang langka dan tidak mungkin bagi seorang janda, apalagi sudah mempunyai anak, untuk menikah lagi. Melihat sampai sekian lamanya Loan Eng tidak menjawab dan menunduk saja dengan muka sebentar merah sebentar pucat, Ong Kiat lalu bertanya, dengan nada mendesak. “Loan Eng, bagaimana jawabmu? Apakah masih juga aku tidak mempunyai harapan?” Loan Eng mengangkat mukanya memandang dan Ong Kiat melihat betapa sepasang mata yang bening itu menjadi basah. “Ong Kiat, bagaimana aku harus menjawabmu? Aku tidak ingin menyakitimu, tidak ingin mengecewakanmu, kau begitu baik…. Sedangkan aku……” “Hush Loan Eng, jangan ucapkan kata-kata seperti itu. Aku bukan seorang anak-anak lagi. Marilan kita bicara dengan tenang, tidak baik kalau orang-orang yang sudah banyak menderita seperti kita ini masih dapat dikuasai oleh nafsu.” Mendengar ucapan ini, legalah Loan Eng. Ia mengangkat mukanya lagi dan kini ia memandang dengan berani. Pandangan matanya penuh kekaguman. “Loan Eng, aku dapat menduga isi hatimu. Kau tentu suka sekali menerima pinanganku, akan tetapi kau merasa tidak enak, sebagai seorang janda muda menikah lagi, bukan?” Loan Eng mengangguk, “Bukan cuma itu, Ong Kiat. Aku telah membunuh suamiku sendiri karena dia menyeleweng karena cemburu. Kalau sekarang aku menikah lagi dengan kau, apakah orang lain tidak akan mengatakan bahwa aku sengaja membunuh suamiku untuk dapat menikah lagi dengan orang lain?” Ong Kiat mengerutkan keningnya, beralasan juga kata-kata wanita yang dicintainya ini. “Akan tetapi, Loan Eng. Dalam hal pembentukan rumah tangga, suara orang luar itu hanya mendatangkan kerusakan belaka. Apa sangkut pautnya orang lain dengan kita? Pula, hendak kulihat, siapa orang-orangnya yang berani mencacimu? Pendeknya begini, Loan Eng. Kau pulanglah dan pikirkanlah masak-masak. Aku tidak terburu-buru dan masih tetap bersabar, karena beratahun-tahun aku menanti, bahkan aku telah mengambil keputusan takkan menikah dengan orang lain. Masa aku tidak dapat bersabar menanti sampai kau dapat mengambil keputusan? Ingatlah selalu, bahwa di Hak-keng, aku selalu menanti kedatanganmu dan anakmu.” Demikianlah, Loan Eng lalu pulang ke Tun-hang dengan berat hati dan ragu-ragu untuk mengambil keputusan. Dan dalam perjalanan pulang inilah ia bertemu dan menolong Lu Kwan Cu dari tangan Tauw-cai-houw sebagaimana telah dituturkan di bagian depan. Kemudian terjadi peristiwa penculikan Sui Ceng oleh anak buah suaminya, yakni anggota-anggota Sin-to-pang. Melihat keadaan ini, ngerilah hati Loan Eng. Ia takut kalau-kalau puterinya yang hanya satu-satunya dan yang amat dikasihinya itu akan benar-benara menjadi ketua dari Sin-to-pang! Maka ia lalu membawa pergi puterinya, meninggalkan Lu Kwan Cu.



Kemanakah perginya Loan Eng dan Sui Ceng. Mudah diduga. Kemana lagi kalau tidak ke Hak-keng, ke tempat tinggal Ong Kiat, satu-satunya orang di dunia ini yang menjadi harapan Loan Eng. Bukan demi rasa cintanya kepada Ong Kiat maka ia datang kepada piauwsu muda itu, melainkan karena ia bingung bagaimana harus mendidik Sui Ceng tanpa ayah. Ia tahu bahwa di samping Ong Kiat, ia akan merasa kuat dan tabah, dan Sui Ceng akan mendapatkan rumah tangga yang kokoh kuat dan berbahagia. Ong Kiat menerima mereka dengan girang bukan main. Pernikahan dilangsungkan secara sederhana sekali. Ong Kiat hanya mengundang kawan-kawan dan kenalan-kenalan yang dekat, dan upacara pernikahan hanya cukup dengan sembahyang dan disaksikan oleh para tamu. Akan tetapi, dalam upacara ini, terjadilah hal yang sangat hebat sekali. Selagi para tamu bergembira-ria minum arak dan makan hidangan, sedangkan Loan Eng telah kembali ke kamarnya, tiba-tiba dari luar datang seorang tokouw (pendekar wanita) yang tua akan tetapi berwajah keren sekali. Pendeta wanita ini memegang sebatang cambuk berbulu sembilan. Dia bukan lain adalah Kiu-bwe Coa-li, tokoh besar ke dua dari selatan! Pada waktu itu, Loan Eng sedang memeluk puterinya, sambil menangis terisak-isak. Selama dilakukan upacara pernikahan, Sui Ceng tidak mau keluar dari kamar dan anak ini marah-marah saja dan menangis. “Ibu, kau terlalu! Mengapa menikah dengan Paman Ong Kiat?” demikian berkali-kali anak kecil ini menegur ibunya dengan muka cemberut. “Sst, anakku. Bukankah paman Ong amat baik? Dia akan menjadi ayahmu yang baik sekali.”

“Ah, aku tidak suka, Ibu. Ayahku ketua dari Sin-to-pang, baik mati atau hidup dia tetap ayahku!” Mendengar ucapan ini, Loan Eng memeluk puterinya dan menangis. Ia tidak harus berbuat dan berkata bagaimana. Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di bagian luar. Suaminya masih melayani tamu di depan, maka mendengar suara ribut-ribut itu, Loan Eng lalu melepaskan penutup kepalanya, dan memang ia berpakaian sederhana. Kemudian ia lalu bertindak keluar, meninggalkan puterinya yang masih berbaring menangis di atas tempat tidur. Ketika Loan Eng tiba di luar, ia terkejut sekali. Ia melihat seorang tokouw dikelilingi oleh banyak tamu dan suaminya menghadapi tokouw itu dengan marah-marah. “Suthai, kau terlalu sekali! Bagaimana kau bisa minta begitu saja anak orang. Harap kau jangan mengganggu kami, Suthai. Kesalahan apakah yang telah kami lakukan sehingga kau datang-datang hendak mengacau?” Mendengar ucapan suaminya, Loan Eng terkejut sekali dan ia berseru keras, “Ong Kiat, jangan kurang ajar……!” Semua orang terkejut dan lebih-lebih heran mereka ketika melihat betapa Loan Eng berlari setelah tiba di depan tokouw itu, Loan Eng lalu menjatuhkan diri berlutut di depannya dan mengangguk-anggukkan kepala. “Teecu mengaku salah, harap Locianpwe sudi memberi maaf kepada teecu sekalian…….” katanya dengan suara amat menghormat. Kiu-bwe Coa-li tersenyum dan lenyaplah kekakuan pada mukanya. “Hm, Loang Eng, kau masih muda, tentu saja kau ingin berumah tangga lagi. Pinni bukan datang hendak mengganggu, hanya untuk minta anakmu, karena bukankah dia hanya mengganggu kebahagianmu saja?” Pada saat itu, Sui Ceng sudah muncul pula, karena anak ini tadi mengejar ibunya. Melihat tokouw itu, Sui Ceng tertegun. Mengapa ibunya berlutut didepan tokouw aneh ini? Sementara itu Kiu-bwe Coa-li ketika melihat Sui Ceng, lalu menggerakkan cambuknya. Dua helai bulu cambuknya itu melayang dan tahu-tahu telah melibat tubuh Sui Ceng. Sekali betot saja, tubuh anak itu telah melayang ke arahnya dan diterima terus di pondong oleh pendeta wanita itu. Sui Ceng bersorak girang. “Hebat, hebat! Kau lihai sekali, Suthai,” kata Sui Ceng. Kiu-bwe Coa-li tertawa. “Mau kau ikut aku belajar silat? Di sini kau hanya mengganggu ibumu yang sedang bersenang-senang!” Sui Ceng memandang kepada ibunya yang berlutut, kemudian memandangi Ong Kiat yang berdiri di dekat situ, lalu ia memandang kembali kepada Kiu-bwe Coa-li dan menganggukkan kepalanya. “Aku ingin belajar silat, karena aku adalah ketua dari Sin-to-pang. Aku harus lihai!” “Bagus, hayo ikut aku pergi!” Sambil berkata demikian, Kiu-bwe Coa-li membawa Sui Ceng. “Sui Ceng….!” Loan Eng mengeluh akan tetapi tidak berani mengejar. Tokouw itu menengok dan berkata dengan suara keren, “Loan Eng, apa kau tidak rela memberikan anakmu sebagai muridku?” “Bukan tidak rela, hanya teecu berat berpisah dari dia…..” jawab ibu ini. Kiu-bwe Coa-ii tertawa mengejek. “Bukankah kau sudah mendapatkan suami baru? Dia yang akan menghiburmu dan kau akan lupa kepada anakmu!”. “Suthai, kau terlalu sekali!” Ong Kiat membentak. “Kembalikan Sui Ceng kepada kami!” Piauwsu muda ini lalu melompat mengejar dan menubruk, hendak marampas Sui Ceng. “Ong Kiat, jangan…!” Loan Eng memberi peringatan, namun terlambat. Begitu Kiu-bwe Coa-li menggerakkan tangannya, tubuh Ong Kiat terpental ke belakang bagaikan tertiup angin puyuh. “Hm, kalau tidak ingat kau seorang pengantin baru, tentu kau sudah menggeletak tak bernyawa pula!” kata Kiu-bwe Coa-li dan sekali ia menggerakkan tubuhnya, lenyaplah bayangan bersama Sui-Ceng. Loan Eng menangis, dipeluk dan dihibur oleh suaminya yang masih terheran-heran bagaimana dia tadi sampai terpental ke belakang, karena dia tidak dapat melihat tangkisan atau serangan wanita tua yang lihai itu. “Sudahlah, Loan Eng. Tak perlu kita bersedih terus. Bukankah Sui Ceng berada dalam tangan orang sakti? Ia akan menerima latihan ilmu silat yang luar biasa. Guru-guruku sendiri di Thian-san tak mungkin dapat menandingi kelihaian nenek tadi. Siapakah dia itu?” Setelah menyusut air matanya dan dapat menentramkan hatinya, Loan Eng berkata, ”Tidak tahukah kau siapa dia? Dia adalah Kiu-bwe Coa-li!” “Ayaaa…….! Pantas saja ia demikian lihai dan aneh. Baiknya ia masih tidak berlaku kejam padaku, kalau tidak demikian, bagaimana aku masih bisa hidup?” kata Ong Kiat. “Dia telah beberapa kali menolongku dan aku percaya bahwa anakku tentu akan aman di dalam pendidikannya, akan tetapi, bagaimana aku bisa senang ditinggalkan oleh anakku?” Loan Eng mengeluh sedih. Ong Kiat menghiburnya dengan penuh cinta kasih dan perhatian sehingga lambat-laun dapat juga Loan Eng mengatasi kedukaannya.



Demikianlah keadaan dan pengalaman Loan Eng sehingga Kiu-bwe Coa-li dapat muncul memperebutkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng bersama Bun Sui Ceng yang telah menjadi muridnya. Sekarang baik kita mengikuti pengalaman dan perjalanan Lu Kwan Cu lebih lanjut. Sambil melakukan perjalanan menuju ke Gunung Liang-san untuk mencari peninggalan buku-buku dari Gui Tin, Lu Kwan Cu mulai menerima pelajaran ilmu silat dari gurunya, yakni Ang-bin Sin-kai Lu Sin.

Ang-bin Sin-kai melihat bakat yang amat baik dalam diri muridnya, maka dia tidak berlaku kepalang tanggung dalam melatih ilmu silat. Ia melatih bhesi dan gerakan kaki dengan amat cermat, sehingga dalam beberapa bulan, dia masih belum memberi pelajaran ilmu pukulan, melainkan ilmu pelajaran pasang kuda-kuda kaki dan mengatur tenaga dalam kedudukan badan. Selain itu, dia memberi pelajaran cara bersiulian dan mengatur napas. Biarpun pelajaran ini menjemukan dan tidak menarik hati, namun Kwan Cu mempelajari dan melatih diri dengan amat tekun. Tubuhnya telah kehilangan tenaga lweekang yang dilatihnya menurut petunjuk kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu, maka boleh dibilang dia mulai melatih diri dari tingkat bawah lagi. Akan tetapi, dalam hal latihan ginkang dan ilmu lari cepat, Kwan Cu benar-benar mendapat kemajuan pesat sekali. Hal ini adalah karena perjalanan itu sendiri merupakan latihan yang terus menerus baginya. Tanpa memberitahukan muridnya, makin lama Ang-bin Sin-kai makin cepat menggerakkan kedua kakinya sehingga secara otomatis, ilmu lari cepat Kwan Cu maju pesat sekali. Kadang-kadang, di waktu melompati jurang-jurang kecil, kakek ini tidak membantu Kwan Cu dalam melopati jurang-jurang makin hebat dan makin lebarlah jurang yang dapat dilompatinya. Pada suatu hari, mereka mengaso di dalam sebuah hutan. Ang-bin Sin-kai tidur mendengkur sambil bersandar pada sebatang pohon besar. Kwan Cu berjalan di dalam hutan mencari bahan makan siang. Ia tahu bahwa suhunya doyan sekali makan daging kelinci panggang, maka dia mencari-cari binatang itu untuk ditangkapnya. Setelah mencari beberapa lama, akhirnya dia melihat seekor kelinci gemuk yang menggerak-gerakkan kedua telinganya dengan lucu sekali. Kelinci itu pun mendengar kedatangannya, dan cepat sekali binatang ini melompat ke dalam semak-semak. Kwan Cu mengejarnya dan mengambil beberapa potong batu kecil. Di goyang-goyangnya rumpun di mana kelinci itu bersembunyi. Binatang ini menjadi ketakutan dan melompat keluar lalu berlari cepat. Akan tetapi Kwan Cu lebih cepat gerakannya dan tangannya menyambar. Sebuah batu kecil meluncur ke arah binatang itu. Kwan Cu merasa yakin bahwa sambitannya pasti akan mengenai sasaran, karena dia telah mempelajari Pek-po-coa-yang (Ilmu Timpuk Tepat Dalam Jarak Seratus Kaki). Akan tetapi, ketika batu itu sudah menyambar dekat dengan tubuh kelinci, tiba-tiba dari lain jurusan, menyambar sebutir batu bundar yang meluncur cepat sekali dan membentur batu yang disambitkan Kwan Cu. Kwan Cu terkejut dan juga heran sekali. Ia menoleh ke sana ke mari namun tidak melihat orang. Kelinci itu sudah berlari pergi dan sebentar saja lenyap. “Binatang yang begitu lucu mengapa harus dibunuh?” terdengar suara nyaring menegur dan tiba-tiba melompatlah bayangan seorang anak kecil keluar dari balik sebatang pohon besar. Ketika Kwan Cu memandang, ternyata bahwa anak itu adalah The Kun Beng, murid kedua dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai! Kun Beng keluar sambil tersenyum-senyum ramah dan wajahnya yang tampan tampak menarik sekali. Kwan Cu tidak menjadi marah kehilangan kelincinya. “Maksudku bukan untuk membunuh, akan tetapi makan dagingnya,” bantahnya sambil tersenyum juga. Kun Beng membelalakkan kedua matanya. “Apa bedanya? Bukankah makan dagingnya berarti membunuh juga?” Dengan wajah sungguh-sungguh, Kwan Cu menggeleng kepalanya. “Jauh sekali bedanya! Membunuh karena marah dan mata gelap, itu bodoh namanya. Membunuh untuk memuaskan hati dan memperlihatkan keunggulan, itu kejam namanya. Akan tetapi membunuh untuk mengisi perut karena lapar, itu lain lagi, bukan membunuh lagi namanya!” Kun Beng tertegun. “Ah, lidahmu lemas sekali, Kawan. Ucapanmu itu benar-benar aku tidak mengerti maksudnya. Cara kau bicara seperti suhu saja, membingungkan. Bukan bicara anak-anak dan aku tidak suka. Lebih baik kita main gundu, lebih menggembirakan.” “Main gundu?” kini Kwan Cu yang terheran-heran. Anak aneh, datang-datang dan bertemu di tengah hutan mengajak main gundu! Pula, dia tidak bisa main gundu. Kun Beng mengeluarkan kelereng yang dipegangnya. Semua ada tujuh butir, terbuat daripada batu-batu hitam yang keras. “Sebetulnya harus delapan butir, akan tetapi yang sebutir tadi kupakai menolong nyawa kelinci,” kata Kun Beng sambil tertawa. “Akan tetapi tidak apa, pakai tujuh butir pun sudah cukup.” “Bagaimana cara memainkannya?” tanya Kwan Cu yang ikut pula berjongkok seperti Kun Beng. “Kau lihatlah baik-baik! Yang enam butir kulemparkan di atas tanah dan berpencaran, kemudian dengan sebutir ini aku membidik sehingga berganti-ganti dapat mengenai enam butir kelerang itu.” Sambil berkata demikian, Kun Beng lalu membidikkan sebutir kelereng dari jarak lima kaki. Kelereng itu meluncur dari tangannya dan menggelinding, dengan jitu sekali mengenai pertama, terus mental kepada kelereng kedua, ketiga dan seterusnya sampai enam butir kelereng itu itu terkena benturan semua! “Bagus!” kata Kwan Cu memuji, “Kau pandai sekali!” “Nah, yang berhasil membenturkan kelereng jagonya sampai mengenai enam yang lain, boleh main terus. Kalau tidak kena, baru kau boleh dapat giliran.”

Demikianlah, dua orang anak-anak ini sambil berjongkok bermain gundu di tengah hutan! Akan tetapi karena tidak terlatih, tentu saja Kwan Cu kalah selalu.



“Kau benar-benar pandai. Siapa sih namamu?’

“Namaku The Kun Beng. Aku sudah tahu namamu, Lu Kwan Cu, bukan?”

Kwan Cu mengangguk. “Suhumu itu amat lihai dan terkenal. Suhuku sering kali memuji namanya. Dan suhengmu yang galak itu, siapa namanya?’

“Suheng bernama Gouw Swi Kiat, biarpun galak akan tetapi hatinya baik dan dia lihai mainkan sepasang kipas.”

“Kau pun tentu lihai main kipas.”

Kun Beng menggeleng kepalanya. “Aku lebih suka mainkan tombak dan pedang, terutama sekali tombak. Kau sendiri belajar apakah dari suhumu?”

Kwan Cu menggelengkan kepalanya yang gundul. “Tidak belajar apa-apa, hanya belajar gerakan kaki saja. Eh, Kun Beng, kau mengapa bisa berada di tempat ini? Mana suhengmu dan suhumu?”

“Mereka masih di belakang. Aku mendahului mereka masuk ke dalam hutan. Aku paling senang berada di dalam hutan, dikelilingi pohon-pohon besar dan daun-daun. Nah, itu dia suhengku datang.”

Benar saja, Swi Kiat muncul dan datang-datang ia menegur sutenya.

“Sute, kau terlalu sekali. Suhu menyuruh aku mencarimu di mana-mana hingga kucari sampai berputaran di dalam hutan ini. Eh, bukankah ini Lu Kwan Cu, bocah yang mengacaukan urusan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng itu?” tanyanya sambil memandang tajam kepada Kwan Cu.

“Suheng, Kwan Cu kalah main kelereng denganku!” kata Kun Beng.

“Main kelereng? Ah, kau seperti anak kecil saja. Mengapa tidak mengalahkan dalam dia main silat?”

“Kwan Cu belum belajar silat, Suheng. Bagaimana bisa minta dia pibu (mengadu kepandaian silat)?”

“Dia bohong! Mana bisa murid Ang-bin Sin-kai tidak mengerti ilmu silat? Hm, orang yang suka menyembunyikan kepandaiannya, dia mempunyai hati curang dan licik. Eh, Lu Kwan Cu, beranikah kau mengadu kepandaian dengan aku?” Gouw Swi Kiat menantang dengan sikap sombong.

“Berani sih tentu saja berani. Takut atau tidak berani hanya bersarang dalam hati seorang bersalah, sedangkan aku tidak bersalah sesutau terhadapmu. Akan tetapi, tentang mengadu kepandaian denganmu, apanya yang harus diadu? Aku tidak mempunyai kepandaian apa-apa,” jawab Kwan Cu sejujurnya. Memang, semenjak suhunya mengeluarkan semua tenaga yang dipelajarinya, dari kitab palsu, kini dia tidak mempunyai kepandaian silat sama sekali, kecuali ginkang dan lweekang yang masih dimiliki tanpa disadarinya.

“Mulutmu lemas sekali seperti perempuan! Kau hanya mempergunakan lidahmu untuk mencari alasan, padahal sesungguhnya kau takut padaku. Hayo bilang saja kau takut!” Swi Kiat membentak sambil mengejek.

“Aku tidak takut!” jawab Kwan Cu menggelengkan kepala.

“Bagus, kalau begitu mari kita mengukur kepandaian!” Sebelum Kwan Cu sempat menjawab, Swi Kiat sudah menyerang dengan pukulan tangan kiri ke arah dada!

Biarpun belum menerima latihan ilmu pukulan dari suhunya, namun Kwan Cu sudah mempelajari cara pergerakan kaki dan kedudukan tubuh, maka dia memiliki kegesitan dan gerakan otomatis dari seorang ahli silat tinggi. Menghadapi pukulan ini, dia miringkan tubuh dan menarik kaki yang berada di depan sehingga pukulan itu mengenai angin! Swi Kiat menjadi penasaran dan menyerang bertubi-tubi!

Swi Kiat adalah murid pertama yang berbakat dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Tentu saja ilmu silatnya sudah baik dan tinggi. Seorang laki-laki dewasa saja, dalam satu dua gebrakan tentu akan roboh olehnya. Usianya sebaya dengan Kwan Cu dan dalam hal ilmu silat, dia masih menang jauh. Maka, setelah dapat mengelak beberapa jurus, akhirnya kepala Kwan Cu yang gundul itu terkena pukulan tangan kiri Swi Kiat.

“Buk!” Tubuh Kwan Cu berputaran saking kerasnya pukulan itu. Untuk sejenak kepalanya terasa pening dan seakan-akan kepalanya terasa bengkak membesar. Akan tetapi, hanya sebentar saja karena di dalam darah Kwan Cu telah mengalir darah ular dan buah coa-ko, ditambah pula latihannya lweekang tanpa disadarinya telah mencapai tingkat tinggi juga.

“Kita tidak berkelahi, bagaimana aku bisa mengaku kalah?” Kwan Cu berkata sambil menggelengkan kepalanya.

“Eh, gilakah kau? Bukankah baru saja kau kuserang dan kepalamu terpukul?”

“Memang kau menyerangku, akan tetapi tidak berkelahi!” “Suheng, jangan pukul dia! Dia benar-benar tidak mempunyai kepandaian silat!” Kwan Cu mendengar suara Kun Beng mencegah suhengnya.



Akan tetapi Swi Kiat sambil bertolak pinggang, berkata kepada Kwan Cu, “Hayo kau mengaku kalah padaku!”

“Suheng, dia benar! Dia sama sekali tidak membalas seranganmu, bagaimana disebut berkelahi?” “Kalau begitu, sekarang aku akan memaksa dia berkelahi dengan aku!” seru Swi Kiat yang menyerang pula. Akan tetapi, tiba-tiba Kun Beng melompat menangkis serangan suhengnya itu.

“Eh, Kun Beng. Apa kau sudah gila?”

“Tidak segila engkau, Suheng! Seorang gagah tidak akan menyerang orang yang tidak mau membalas!” jawab Kun Beng. Swi Kiat ragu-ragu. Ia harus akui bahwa tingkat kepandaian sutenya tidak kalah olehnya, kalau tidak mau dibilang lebih tinggi dan lebih maju. Pula, dia sayang kepada sutenya ini dan tentu saja tidak mau cekcok dengan sutenya hanya karena Kwan Cu, bocah gundul itu.

“Kau pergilah!” bentaknya kepada Kwan Cu, yang memandang semua itu dengan matanya yang bersinar-sinar. Mendengar bentakan ini, sebetulnya kalau menurut wataknya yang keras dan tidak mau tunduk, Kwan Cu tidak mau mengambil perhatian. Akan tetapi Kun Beng berkata halus,

“Kwan Cu, lebih baik kau tinggalkan kami saja. Untuk apa mencari keributan?”

Kwan Cu mengangguk dan berjalanlah dia untuk kembali kepada suhunya. Di tengah jalan, dia berhasil menimpuk mati seekor kelinci dan dengan girang dibawanya kelinci itu kepada suhunya. Ia mendapatkan gurunya telah bangun dari tidurnya dan kini gurunya itu duduk bersandar pada pohon dan memandangnya.

“Suhu, teecu mendapatkan seekor kelinci!” kata anak itu girang.

Akan tetapi gurunya tidak ikut bergembira, bahkan menegurnya.

“Kwan Cu, kau membikin malu padaku! Kau hanya berani menyerang seekor kelinci, akan tetapi tidak berani membalas serangan seorang lawan yang menghinamu! Kau membiarkan kepalamu yang gundul itu menjadi permainan pukulan murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Bukankah itu amat memalukan dan merendahkan nama guru?”

Kwan Cu tertegun. Gurunya tadi tidur pulas di bawah pohon, bagaimana suhunya ini tahu akan peristiwa yang terjadi antara dia dan Swi Kiat?

“Suhu, teecu tidak berniat berkelahi. Untuk apakah berkelahi dengan orang? Tidak ada alasannya bagi teecu untuk membalas serangannya. Dan pula, bagaimana teecu bisa membalas? Dia lihai sekali.”

Merah muka Ang-bin Sin-kai yang memang sudah merah itu, “Murid goblok! Kalau tiada hujan tiada angin kau mengamuk dan memukul orang, itu memang tidak baik dan tidak beralasan. Akan tetapi kau dihina dan dipukul. Itu sudah merupakan alasan kuat sekali bagimu untuk membalas memukulnya!”

“Akan tetapi, Suhu…..”

“Tidak ada tapi! Lekas kau kembali dan membalas pukulannya!”

“Dia lihai, Suhu……”

“Eh, kau takut?”

Mata bocah gundul itu bersinar penasaran, “Takut?? Siapa takut, Suhu? Biar kepada iblis sekalipun teecu tidak takut!”

“Kalau begitu, kau lekas kembali kepadanya. Tanya apakah dia masih mau memukulmu, kalau dia menyerang, balas!”

“Teecu belum pernah suhu ajari ilmu pukulan.”

“Untuk apa kedua tangan dan kakimu? Belajar atau tidak, memukul dan menendang tak bisa lain harus menggunakan kaki tangan. Dan kaki tanganmu masih ada, bukan?” Kwan Cu mengaku kalah dan segera dia kembali mencari Swi Kiat! Di dalam hutan, dia melihat Swi Kiat dan Kun Beng duduk di bawah pohon bersama gurunya, yakni Pak-lo-sian Siangkoan Hai! Keder juga hati Kwan Cu melihat orang tua yang bertubuh pendek kecil itu, akan tetapi memang dia memang seorang anak yang tidak mengenal arti takut. Pendiriannya sungguh teguh, seteguh batu karang di pinggir laut, bahwa kalau tidak bersalah dia tidak boleh takut kepada siapapun juga! “Eh, Swi Kiat. Apakah kau masih juga mau memukulku seperti tadi?” tanyanya sambil menghampiri Swi Kiat yang memandangnya dengan mata terheran. Juga Kun Beng heran sekali sehingga tidak dapat mengeluarkan kata-kata. Adapun Siangkoan Hai memandang dengan mata penuh perhatian, lalu berkata, “Ah, bukankah bocah gundul itu murid Gui Tin?” “Teecu sekarang murid Ang-bin Sin-kai, Locianpwe.” Jawab Kwan Cu dengan suara tenang. Siangkoan Hai tertawa bergelak. “Bersemangat juga anak ini. Eh, Swi Kiat, dia datang menegurmu hendak apakah?” “Tadinya teecu telah menghajar dia, agaknya dia masih kurang dan minta tambah lagi,” kata Swi Kiat sambil bangun berdiri, “Kwan Cu, apakah kau datang hendak minta di gebuk kepalamu yang gundul itu lagi? Jangan kurang ajar, lekaslah pergi dari sini!” “Aku datang hendak menyatakan bahwa kalau kau menyerangku, sekarang aku akan membalasmu!”



Swi Kiat tertawa geli, bahkan Kun Beng juga tertawa, akan tetapi murid kedua dari Siangkoan Hai ini berkata, “Kwan Cu, jangan berlaku bodoh. Kau bukan tandingan Suheng, untuk apa mencari penyakit?” “Aku tidak ingin menyerangnya. Akan tetapi kalau dia berani memukulku, pasti kali ini akan membalasnya,” kata Kwan Cu masih tetap tenang. “Kalau begitu aku akan memukulmu!” kata Swi Kiat sambil bersiap-siap menyerang Kwan Cu. Bocah gundul ini tidak seperti tadi, sekarang diapun bersiap-siap dan memasang kuda-kuda.

Melihat sikap Kwan Cu, Pak-lo-sian tertawa bergelak. “Eh, bocah gundul, benar-benarkah kau murid Ang-bin Sin-kai? Kalau benar kau murid Ang-bin Sin-kai, kau biasa mempelajari ilmu senjata apa sajakah?” Kini Kwan Cu mengerti bahwa tinggi rendahnya nama suhunya tergantung dari sikap dan sepak terjangnya, maka dia hendak menebus kesalahannya yang tadi membuat malu nama gurunya. Ia melihat sebatang ranting pohon di depan kakinya, maka dipungutnya ranting itu dan dia menjawab, “Apapun juga yang berada di tangan suhu, menjadi senjatanya yang ampuh. Kalau Lociapwe bertanya tentang senjata, pada waktu ini teecu memegang ranting dan inilah pula senjataku!” “Bagus! Eh, Kun Beng kaulawan bocah gundul ini. Kau pun boleh menggunakan ranting pohon!” Kun Beng tertegun, akan tetapi dia pikir lebih baik melawan dia daripada menghadapi suhengnya bagi Kwan Cu, “Kwan Cu, sekarang kita mengukur kepandaian, kalau kau roboh berarti kau kalah!” “Sesukamulah!” kata Kwan Cu karena baginya, bertanding dengan siapapun sama juga, asal dia telah dapat menebus nama suhunya dengan melawan. “Siapa saja yang memukul dan menyerangku, tentu kubalas.” Kun Beng menggerakkan rantingnya seperti kalau dia bermain tombak. Memang semenjak kecilnya, Kun Beng lebih suka mempelajari ilmu tombak dan berbeda dengan suhengnya, dia mewarisi ilmu tombak dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai. “Awas senjata!” serunya dan Kwan Cu bingung sekali melihat betapa setelah ranting itu digerakkan oleh tangan Kun Beng, ujung ranting seakan-akan berubah menjadi banyak sekali yang kesemuanya menyerang tubuhnya dengan hebat! Ia lalu menggerakkan rantingnya menangkis sejadi-jadinya, namun karena tenaga lweekangnya memang sudah boleh juga, dia berhasil menyampok ranting di tangan Kun Beng. Akan tetapi, ilmu tombak yang dipelajari oleh Kun Beng termasuk ilmu silat tinggi yang jarang bandingannya, maka begitu terkena tangkisan, ranting itu meluncur turun dan tanpa dapat dicegah lagi, kaki Kwan Cu kena dikait dan terjungkallah bocah gundul itu! “Ha, ha, ha! Pukul kepalanya yang gundul, Sute, biar dia tahu rasa!” kata Swi Kiat tertawa gembira. Sebaliknya, Siangkoan Hai menjadi melongo. Bagaimana Ang-bin Sin-kai dapat mengambil seorang murid yang begini tolol? Ia akui bahwa memang si gundul ini bertulang baik, akan tetapi agaknya otaknya tidak genap! Kwan Cu memang bandel dan juga tubuhnya sudah kuat sekali. Begitu terjungkal dia bangun lagi dan siap sedia bertempur lagi. “Eh, Kwan Cu. Kau sudah kalah, mengakulah,” kata Kun Beng. Murid kedua Siangkoan Hai ini memang mempunyai perasaan yang halus dan dia tidak tega untuk melawan Kwan Cu lagi yang terang-terangan tidak mempunyai kepandaian silat. “Menyerah kalah tak mungkin. Kalau kau menyerang lagi, aku tetap akan melawan!” Kwan Cu membandel. Kun Beng tidak mau menyerang lagi, bahkan melempar rantingnya ke atas tanah. “Suhu, dia tidak bisa ilmu silat, bagaimana teecu dapat melawannya?” Tiba-tiba Swi Kiat melompat maju. “Anak ini memang bandeldan dia tidak akan tahu kelihaian ilmu Suhu kalau tidak diberi hajaran. Eh, Kwan Cu, apakah kau berani menghadapiku?” “Mengapa tidak berani?” jawab Kwan Cu tenang. “Kau boleh menggunakan rantingmu, biar aku menyerangmu dengan tangan kosong!” kata Swi Kiat. “Aku bukan pengecut yang menghadapi orang bertangan kosong dengan senjata,” Kwan Cu juga membuang rantingnya. Diam-diam Siangkoan Hai memuji. “Hm, anak gundul ini benar-benar memiliki sifat gagah, sayang sekali otaknya miring. Mana bisa dia belajar silat? Sungguh kali ini Ang-bin Sin-kai menggelikan sekali.” Swi Kiat sudah maju menyerang. Kwan Cu mengelak dan menangkis. Dalam hal mempertahankan diri, dia boleh juga dan beberapa jurus lewat tanpa ada pukulan dan tendangan Swi Kiat yang mengenai tubuh Kwan Cu. Akan tetapi, Kwan Cu hanya membalas dengan pukulan-pukulan ngawur saja, asal pukul dan asal menendang. Ketika dia menendang Swi Kiat menangkap tumitnya dan sekali mendorong ke depan, tubuh Kwan Cu terlempar ke belakang dan dengan suara keras tubuhnya mengukur tanah! Namun dia bangkit kembali dan sebelum dia dapat memperbaiki kedudukannya kembali Swi Kiat menyerbu dengan pukulannya yang membuat Kwan Cu untuk kedua kalinya jatuh tersungkur.



“Kau masih belum mengaku kalah?” bentak Swi Kiat. Kekerasan hati Kwan Cu memang luar biasa sekali. Ia menggeleng kepala dan mencoba untuk merayap bangun pula, akan tetapi sebuah tendangan membuatnya terguling-guling. Sampai lima kali dia mencoba bangun dan terpaksa harus mencium tanah lagi, bahkan pukulan yang kelima kalinya membuat bibirnya pecah dan berdarah. Namun pukulan itu seperti tidak terasa olehnya karena sedikit pun dia tidak mengeluh dan begitu roboh, dia merayap bangun kembali. “Cukup, Suheng!” kata Kun Beng. “Diam kau, Sute. Di dalam pibu, yang kalah harus mengaku kalah!” jawab Swi Kiat yang mengejar Kwan Cu lagi. Sementara itu, Pak-lo-sian Siangkoan Hai hanya tertawa-tawa saja. Kakek ini merasa bangga sekali dan diam-diam dia pun mengakui kekuatan Kwan Cu. Jangankan seorang anak-anak, biarpun orang dewasa menghadapi pukulan bertubi-tubi dari Swi Kiat yang sudah memiliki tenaga lweekang lumayan itu, pasti akan terluka hebat. Bagaimana bocah gundul ini tubuhnya seakan-akan terbuat daripada baja dan tidak pernah merasa sakit? Kalau saja dia melihat bocah gundul itu terluka, tentu dia akan mencegah Swi Kiat melanjutkan serangannya, akan tetapi karena dia tahu betul bahwa Kwan Cu tidak terluka di dalam tubuhnya, maka dia hanya menonton saja. Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa, disusul oleh kata-kata, “Bagus sekali!! Memang seorang yang kalah dalam pibu harus mengakui kebodohannya. Hayo Kwan Cu, kau harus mengakui kekalahan dan kelemahanmu!”. Muncullah Ang-bin Sin-kai sambil tertawa-tawa. Melihat kakek ini, Swi Kiat melompat ke belakang dan tidak melanjutkan serangannya. Adapun Kwan Cu setelah mendengar kata-kata suhunya ini, merahlah mukanya. Ingin dia menangis keras, akan tetapi semangat dan kekerasan hatinya melarang air matanya mengucur keluar. Ia amat taat kepada suhunya, maka sambil menghadapi Swi Kiat yang berdiri dengan dada terangkat, dia berkata, “Swi Kiat, aku mengaku kalah.” Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak dan berkata keras-keras. “Kwan Cu, dengan pengakuanmu ini, kau berarti menang! Seorang yang menangkan orang lain, belum boleh disebut gagah. Hanya orang yang sudah bisa mengalahkan kesombongan dan nafsunya sendirilah yang patut disebut gagah!. Orang menangkan orang lain tidak akan kekal, akan datang masanya dia dikalahkan oleh orang lain. Akan tetapi, kau telah dapat mengakui kelemahan, kebodohan dan kekalahanmu, inilah yang penting sekali. Kelak kau akan berlaku berhati-hati dan tidak akan terkalahkan untuk kedua kalinya. Ha, ha, ha!”. “Bagus, bagus!” Siangkoan Hai bertepuk tangan memuji dengan kagum. “Tak kusangka bahwa jembel tua ini bener-benar pandai menjadi guru. Eh, Swi Kiat dan Kun Beng, kau perhatikan baik-baik ajaran tadi. Memang bagus dan tepat sekali!”. Sambil tersenyum Ang-bin Sin-kai menghampiri Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan bertanya, “Eh, jago tua utara! Kenapa kau bisa tersesat sampai disini?” “Kau kira aku akan membiarkan Hek-i Hui-mo berlaku kurang ajar begitu saja? Biarpun kitab itu palsu, aku harus mengejarnya dan memberi hajaran kepadanya!” kata Siangkoan Hai.

“Hm, kau sudah tua akan tetapi masih berkepala batu. Kau hendak menyusulnya ke Tibet?” “Ke neraka sekalipun pasti akan kususul! Mana bisa orang merampas sesuatu dari depan hidungku begitu saja?” Kembali Ang-bin Sin-kai tertawa. “Kau benar-benar orang tua sombong sekali. Pantas muridmu juga memiliki sifat tidak baik itu.” “Bukan muridku yang sombong, melainkan muridmu yang terlalu bodoh. Eh, Ang-bin Sin-kai, mengapa kau memilih murid seorang bocah gendeng yang pikirannya miring?” Siangkoan Hai memandang ke arah Kwan Cu yang diam saja mendengarkan percakapan antara dua orang tokoh besar ini, sama sekali tidak bergerak, hanya hatinya saja terasa panas sekali. Ia tidak berdarah lagi pada bibirnya, karena luka di bibir itu telah rapat kembali.

“Biarlah dia bodoh, dan biarlah kau menganggap miring otaknya. Akan tetapi coba saja kaulihat lima tahun lagi. Kukira dua orang muridmu ini takkan mampu mempermainkannya seperti tadi.” “Begitukah? Berani kau bertaruh, Ang-bin Sin-kai?” tantang Siangkoan Hai. “Lima tahun lagi kita adukan mereka, yang kalah gurunya harus memberi hadiah semacam ilmu pukulan kepada murid yang menang! Setujukah?” Berseri muka Ang-bin Sin-kai. Ia tahu bahwa di antara para tokoh besar, Pak-lo-sian Siangkoan Hai ini termasuk seorang yang baik hatinya, akan tetapi dia sombong sekali. “Jadi kalau muridku kalah, aku harus memberi hadiah ilmu pukulan kepada murid-muridmu, sebaliknya kalau muridku menang, kau akan memberi padanya semacam ilmu pukulan?” tanya Ang-bin Sin-kai Lu Sin kepadanya. “Benar, benar begitu. Bukankah adil sekali namanya?” “Baik. Kelak, lima tahun kemudian, aku kan membawa muridku mencarimu!” Siangkoan Hai lalu memberi tanda kepada murid-muridnya. “Hayo kita pergi, Hek-i Hui-mo takkan jauh dari tempat ini!” tanpa berpamit dan tanpa menoleh lagi, Siangkoan Hai dan murid-muridnya lalu pergi dari dalam hutan itu.



Ang-bin Sin-kai menoleh kepada Kwan Cu yang menundukkan mukanya. “Suhu, apakah kekalahanku tadi membikin malu nama Suhu?” tanyanya perlahan. “Bukan memalukan aku, melainkan kuharap akan dapat membuka kedua matamu bahwa ilmu silat itu bukan tidak perlu sama sekali seperti yang kau kira. Coba kau dahulu tidak membenci ilmu silat, bukankah kau sudah dapat membela diri dan belum tentu dipermainkan orang.”

“Mulai sekarang, teecu akan belajar ilmu pukulan dengan baik-baik, Suhu.”

“Hm, tidak mudah. Kau mempunyai watak tidak mau mempersakiti orang lain. Ini sukar sekali. Kalau kau belum mempunyai kekerasan hati dan ketegaan untuk memukul dan merobohkan orang, bagaimana kau dapat mempelajari ilmu pukulan? Kau harus berlatih ketabahan lebih dulu, baru ilmu pukulan ada gunanya. Hayo kau ikut aku!”

Ang-bin Sin-kai melompat dan berlari pergi. Kwan Cu cepat mengejar suhunya sampai malam tiba, Ang-bin Sin-kai masih terus berlari, tanpa berhenti untuk makan, sedikitpun tidak pernah bicara. Diam-diam Kwan Cu mengerti bahwa gurunya ini marah dan kecewa kepadanya, karena kalau dia pikir-pikir, peristiwa dengan murid-murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai tadi, tentu saja amat memalukan gurunya!

“Aku harus belajar ilmu silat, aku harus dapat mengalahkan mereka,”demikian Kwan Cu berpikir sambil berlari di belakang suhunya.

Setelah memasuki sebuah hutan besar, hari telah malam dan Ang-bin Sin-kai berhenti lalu mengaso di bawah pohon.

“Kau lihat ini baik-baik!” kata kakek jembel itu dan setelah memasang kuda-kuda, dia lalu menggerakkan kedua kakinya. Terdengar suara keras dan tahu-tahu dua batang pohon yang besarnya setubuh orang menjadi tumbang!

Semenjak tadi Kwan Cu memasang mata baik-baik dan dia mencatat dalam otaknya bagaimana tadi suhunya menggerakkan kedua tangan, bagaimana menggeser kaki dan cara memukul ke depan dan kanan kiri!

“Nah, kau latih gerakan pukulan Sam-hoan-ciang (Pukulan Tiga Lingkaran) tadi!”

“Teecu sudah melihat Suhu.”

“Coba kau tiru gerakan Sam-hoan-ciang.”

Kwan Cu memasang kuda-kuda seperti gurunya tadi, dan sambil mengerjakan otak mengingat bagaimana tadi suhunya bergerak, dia lalu memukul dengan kedua tangan dan menggeserkan kakinya, lalu mainkan tiga jurus Sam-hoan-ciang seperti yang dimainkan oleh Ang-bin Sin-kai tadi. Dari sepasang kepalan tangannya yang kecil, menyambar angin yang membuat daun-daun pohon kecil bergoyang-goyang!

Ang-bin Sin-kai mengangguk setetlah Kwan Cu menyelesaikan gerakan tadi. “Gerakan tangamu sudah baik, hanya tenaga pukulan jangan kaubuyarkan. Tenaga dalam pukulan Sam-hoan-ciang harus dikumpulkan, ditujukan kepada bagian tubuh yang lemah dan jalan darah yang penting, jika tangan kanan memukul, mulut harus mengeluarkan suara “hah!” dan jika tangan kiri memukul harus berbunyi “heh!” Ingat, Sam-hoan-ciang dilakukan tiga jurus, jurus pertama pukulan tangan kanan, jurus kedua pukulan tangan kiri, dan jurus ke tiga pukulan kedua tangan dibarengkan, mendorong ke depan, agak jongkok dan tenaga dari pusar disalurkan kepada kedua lengan. Mengertikah?”

Kwan Cu mengangguk. “Mengerti, Suhu.”

“Coba lagi! Sekarang anggap aku sebagai lawanmu dan tiga macam pukulan itu lakukanlah terhadap tubuhku! Mulai!”

Demikianlah, dalam keadaan yang remang-remang di dalam hutan itu, dengan perut kosong. Ang-bin Sin-kai mulai melatih muridnya. Kwan Cu memasang kuda-kuda, lalu mulai menggerakkan dua kakinya, dan melihat suhunya berdiri di depannya, ia lalu mulai menyerang dengan jurus pertama. Ia menyalurkan semua tenaganya, di ujung tangan kanannya, menyerang ke arah ulu hati gurunya sambil membentak, “Hah!”

Ang-bin Sin-kai dengan gerakan sedikit saja dapat mengelak dari pukulan muridnya. Kwan Cu menyusul dengan jurus serangan kedua. Tangan kirinya yang telah diisi dengan tenaga lweekang yang dipindahkan dari tangan kanan, menyambar dengan pukulan dahsyat kearah lambung suhunya dan mulutnya berbunyi, “Heh!”

Kembali Ang-bin Sin-kai mengelak, lalu kakek jembel ini sengaja berdiri tegak untuk menanti datangnya pukulan ketiga dari muridnya. Kwan Cu lalu menyerangnya dengan jurus ketiga dari ilmu Sam-hoan-ciang. Anak ini sekarang memukul dengan kedua tangannya, mengerahkan tenaga dan mendorong ke arah tubuh suhunya bagian bawah. Kali ini Ang-bin Sin-kai tidak mengelak, melainkan mengulur kedua tangan pula menyambut dorongan muridnya. Dua pasang tangan bertemu dan Kwan Cu terlempar ke belakang, bergulingan sampai beberapa kaki jauhnya! Ia menjadi agak nanar, akan tetapi cepat bangkit kembali dan menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya.

“Mohon Suhu memberi petunjuk tentang bagian yang salah dari gerakan teecu,” katanya.



“Kakimu yang salah, kalau tidak masa kau akan jatuh berguling-guling? Kau menghabiskan seluruh tenagamu pada lengan, sama sekali tidak mempedulikan kedudukan kaki. Kalau kau bertemu dengan lawan yang tenaganya kecil, itu masih tidak mengapa. Akan tetapi kalau kau menyerang orang yang tenaganya lebih besar, tentu kedua kakimu tidak kuasa menahan pertemuan tenaga dan kau akan terpelanting seperti tadi! Lupakah kau mengapa aku selama ini mengajarmu dengan gerakan kaki dan pemasangan kuda-kuda? Karena ilmu silat, pokok dasarnya terletak pada keteguhan pemasangan kuda-kuda, seperti bangunan berdasar kepada tiang-tiang yang kuat. Nah, berlatihlah lagi, dan kini perhatikan gerakan kaki, aku hanya akan memberi contoh sekali lagi.” Ang-bin Sin-kai kembali melakukan gerakan Sam-hoan-ciang. Kwan Cu memperhatikan dengan mata tak pernah berkedip. Setelah kakek jembel ini melakukan gerakannya, kembali dua batang pohon besar menjadi tumbang!

Kwan Cu merasa kagum bukan main. Setelah memberi contoh untuk kedua kalinya, Ang-bin Sin-kai lalu duduk menyandar pohon dan sebentar saja dia telah tidur pulas! Sudah dua malam kakek ini tidak makan, namun dia dapat tidur begitu mudah, sungguh membuktikan adatnya aneh.

Akan tetapi, Kwan Cu lebih aneh lagi dan kekerasan hatinya serta ketekunan hatinya boleh dipuji. Sebetulnya dia merasa lapar sekali, akan tetapi pelajaran baru ini membuat dia lupa akan keperihan perutnya. Ia terus berlatih ilmu pukulan Sam-hoan-ciang. Ia ulangi dan ulangi lagi dan mempergunakan batang pohon sebagai lawan! Makin lama, tenaganya bukan makin lemah, bahkan karena menghadapi kekuatan pohon, dia makin dapat mengatur tenaganya sedemikain rupa sehingga lambat-laun dapatlah dia mengerahkan tenaga sampai pada titik yang tepat! Kalau tadinya pukulannya pada pohon membuat kulit kepalan tangannya merah-merah sampai akhirnya lecet-lecet, menjelang fajar, dia telah dapat memukul pohon itu sampai menjadi doyong!

Ketika Ang-bin Sin-kai pada keesokan harinya membuka matanya kakek ini girang dan kagum melihat muridnya masih berlatih diri dan melihat betapa gerakan Kwan Cu kini tidak kaku lagi!

“Cukup! Jangan menghabiskan tenagamu!” serunya. Kwan Cu berhenti bersilat dan barulah dia merasa letih bukan main sehingga untuk berdiri saja kedua kakinya gemetar dan terpaksa dia menjatuhkan diri duduk di atas tanah. Akan tetapi kepalanya yang gundul dan mukanya yang berkilau karena peluh itu berseri-seri ketika suhunya memujinya, “Bagus, Kwan Cu, kau telah maju banyak sekali.”

“Masih jauh, Suhu. Suhu tanpa menyentuh pohon, sudah dapat merobohkan pohon-pohon dalam jarak lima kaki lebih. Sedangkan teecu, sampai rusak kulit tangan, tetap saja tidak dapat merobohkan sebatang pohon juga.”

Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak. “Bocah bodoh. Kau lihat pohon ini, bukankah biarpun luarnya lecet kulitnya, akan tetapi dalamnya telah menderita pukulanmu yang bertubi-tubi itu? Kaulihat!” Sehabis berkata demikian, kakek ini mendorong pohon tadi dan sambil mengeluarkan suara keras, pohon itu tumbang. Ternyata bahwa di bagian dalamnya telah banyak yang remuk menjadi bubuk seperti dimakan kutu. Kwan Cu meleletkan lidahnya melihat kehebatan akibat pukulan-pukulannya yang telah membuat tangan-tanganynya lecet-lecet malam tadi!

“Harus kau ketahui bahwa ilmu pukulan Sam-hoan-ciang (Pukulan Tiga Lingkaran) mengandalkan tenaga lweekang. Kalau malam tadi memukul dengan tenaga gwakang dan mengandalkan kekerasan kulit tangan, kulitmu tidak akan lecet dan pohon ini pun hanya akan rusak luarnya saja. Akan tetapi karena kau menggunakan tenga lweekang, kulit tanganmu yang tak terjaga oleh tenaga gwakang menjadi rusak, sebaliknya pohon ini terluka di bagian dalamnya! Oleh Karena itu, penggunaan tenaga lweekang tidak boleh dilakukan secara membabi buta, harus sekali pukul dengan tepat seperti contoh ini. Lihat!” Ang-bin Sin-kai melakukan pukulan jurus kedua dari Sam-hoan-ciang dengan tangan kirinya, diarahkan kepada pohon yang terpisah beberapa kaki dari tempat dia berdiri dan “krakkk…..!!” pohon itu roboh!

Kwan Cu menjatuhkan diri berlutut. “Terima kasih atas petunjuk yang amat berharga dari Suhu.”

“Bangunlah,” kata Ang-bin Sin-kai sambil tertawa. “Kau seperti anak kecil yang mendapatkan permainan baru. Ketahuilah, ilmu pukulan Sam-hoan-ciang ini hanya merupakan pukulan pertama saja, dan kalau sudah mempelajari ilmu-ilmu silat dari aku, maka pukulan Sam-hoan-ciang ini belum ada seperseratusnya! Apa artinya mempunyai ilmu menyerang jika tidak mempertahankan diri? Di dalam ilmu silat, kepandaian harus dibagi dua. Mempertahankan diri dan menyerang, dan seorang ahli silat yang baik, mengisi dirinya dengan enam puluh bagian ilmu menjaga diri dan hanya empat puluh bagian ilmu menyerang lawan. Di dalam setiap gerakan menjaga diri, tersembunyi gerakan menyerang, sebaliknya kalau kau menyerang, berarti kau membuka kesempatan bagi lawan untuk membobolkan pertahananmu. Maka berlatihlah yang giat, karena ilmu silat bukanlah ilmu yang semudah orang kira!”

Demikianlah, Ang-bin Sin-kai mulai membuka rahasia ilmu silat kepada muridnya dan semua kata-kata suhunya itu masuk kedalam kepala yang gundul itu.

“Apa kau tidak merasa lapar?” tiba-tiba Ang-bin Sin-kai bertanya.

Mendengar ini, berkeruyuklah perut Kwan Cu, mendahului mulutnya menjawab pertanyaan suhunya. Merahlah wajah Kwan Cu mengharap mudah-mudahan suara perutnya itu tidak terdengar oleh suhunya. Akan tetapi, Ang-bin Sin-kai memiliki pendengaran yang amat tajam, jangankan suara perut, berkeruyuk, biar sehelai daun yang jatuh ke tanah saja dia akan mendengarnya. Maka tertawalah kakek itu.

“Setelah latihan yang menggunakan banyak tenaga lweekang, tidak ada daging yang lebih baik melebihi daging ular besar. Hayo kita mencari daging ular. Di hutan depan banyak ular-ular besar!” Kakek ini lalu berlari ke hutan yang nampak kehijau-hijauan, dan Kwan Cu cepat menyusul gurunya.

Ang-bin Sin-kai memasuki sebuah hutan yang penuh dengan pohon-pohon besar sekali sehingga Kwan Cu yang berjalan di belakang gurunya itu merasa betapa dirinya amat kecil tak berarti di bawah pohon-pohon raksasa itu. Ketika mereka sudah tiba di tengah hutan, Ang-bin Sin-kai menunjuk ke depan dan berkata,

"Nah, itu dia calon daging untuk perut kita. Kau tangkap yang paling gemuk!" Setelah berkata demikian, Ang-bin Sin-kai lalu duduk bersandar pada sebatang pohon.

Kwan Cu berdiri terpaku untuk beberapa lama. Di tempat itu, dia melihat beberapa ekor ular yang besar sekali. Yang paling kecil saja ukuran perutnya sama dengan pahanya dan panjangnya ada tujuh atau delapan kaki! Tubuh ular itu kekuning-kuningan, lidahnya panjang berwarna merah, demikianpun matanya, adapun mulutnya lebar sekali. Berdebar juga hati Kwan Cu saking ngerinya sungguhpun dia tidak merasa takut sama sekali. Untuk menangkap yang paling kecil saja, agaknya amat sukar dan mengerikan, apalagi suhunya minta dia menangkap yang paling gemuk yang berarti ular yang paling besar! Namun Kwan Cu tidak merasa jerih. Apalagi ada gurunya di situ, apakah yang perlu di takutkan lagi? Ular-ular itu sebagian besar membelitkan tubuh mereka pads cabang-cabang pohon, dengan kepala bergantung, atau kepala mereka tersembunyi dalam lilitan tubuh. Ketika Kwan Cu mencari-cari dengan matanya untuk memilih, dia melihat seekor di antara ular-ular itu yang melingkar di bawah pohon. Ular ini besar sekali lagi gemuk. Agaknya lebih mudah menangkap yang melingkar di bawah ini sedang tidur, sedikit pun tidak bergerak, seakan-akan ular mati yang tidak bernapas sama sekali.

"Suhu, teecu akan menangkap yang itu!" katanya sambil menunjuk ke arah ular terbesar yang melingkar di bawah pohon.

"Bagus, tangkaplah, hitung-hitung latihan bagimu. Jangan takut, ular itu tidak berbisa. Makin besar, makin tidak berbahaya. Hanya dia kuat sekali, dan kalau sampai tergigit, sukar untuk melepaskan diri dari gigi-giginya yang doyong ke sebelah dalam itu," kata Ang-bin Sin-kai dengan suara tenang. Suara suhunya ini mendatangkan semangat dan keberanian dalam hati Kwan Cu, maka anak ini dengan hati-hati lalu mendekati ular besar itu.

Biarpun tadinya kelihatan seperti mati atau tidur, namun ketika Kwan Cu sudah sangat dekat, ular itu mulai hidup. Ia mengangkat kepalanya dan sepasang matanya yang merah itu ditujukan kepada Kwan Cu dan tiba-tiba dia mengeluarkan suara mendesis. Mengebullah uap putih dari mulutnya yang terbuka lebar-lebar. Kini kelihatan betapa lebar mulutnya dan betapa mengerikan gigi-gigi yang runcing dan doyong ke dalam itu. Lidahnya yang panjang menjulur keluar dan bergerak-gerak keluar masuk cepat sekali.

Kwan Cu tidak mau membuang waktu lagi. Melihat ular itu sudah mengangkat kepalanya tinggi-tinggi, dia lalu melangkah maju dan melakukan serangan dengan ilmu pukulan Sam-hoan-ciang, karena untuk bergerak dengan ilmu silat lain dia tidak bisa. Ia melakukan jurus kedua, yakni tangan kiri bergerak maju, hanya mengubah sedikit. Kalau biasanya gerakan ini dilakukan dengan tangan terkepal untuk memukul, dia membuka jari tangannya dan kini menggunakan tangan kirinya untuk menerkam leher ular!

Ular itu gesit sekali. Melihat tangan bocah gundul ini bergerak ke arah leher, dia cepat mengelak ke kiri. Namun Kwan Cu adalah anak yang amat cerdik. Biarpun dia baru mempelajari Sam-hoan-ciang, namun kecerdikannya membuat dia dapat memecah gerakan-gerakan ini sehingga jurus ke dua yang dia pergunakan tadi sebenarnya adalah semacam pancingan belaka! Ia tidak melanjutkan serangan bahkan cepat menarik kembali serangannya dan kini disusul cepat dengan jurus ketiga, yakni kedua tangannya maju bareng an tubuhnya agak berjongkok. Dan gerakannya ini berhasil. Ia berhasil menangkap leher ular itu dengan kedua tangannya dan mencekiknya sekuat tenaganya.

Ular itu marah sekali. Beberapa kali ia menggerakkan kepala dan menggoyangkan lehernya, meronta-ronta untuk melepaskan diri. Akan tetapi Kwan Cu mencengkeram makin keras karena merasa betapa ular itu licin sekali. Tiba-tiba ular itu berganti siasat dam seluruh tubuhnya bergerak, terus melilit tubuh Kwan Cu dengan ekornya. Sebentar saja tubuh bocah gundul ini telah dililit sedemikian rupa sehingga dari paha sampai dada tidak kelihatan lagi.

Kwan Cu terkejut sekali dan sedapat mungkin dia mempertahankan kedua kakinya. Namun aneh sekali, tenaga ular itu makin lama makin hebat dan lilitannya makin lama makin erat. Ketika ular itu menggoyang-goyang tubuhnya, dia tidak dapat bertahan lebih lama dan tergulunglah Kwan Cu! Betapapun juga, dia masih dapat mengatur jatuhnya dan dia hanya jatuh duduk dengan tubuh masih dibelit-belit ular yang licin, dingin dan kuat. Ia memperkuat cekikannya, mengerahkan seluruh tenaga yang disalurkan kepada lengan tangannya.

Akan tetapi, tiba-tiba Kwan Cu merasa betapa perut dan dadanya terhimpit keras sekali sehingga dia sukar untuk bernapas! Dengan menekan napas ke arah perut, dia membuat perut dan dadanya mengembung dan dapat menahan himpitan ular, akan tetapi oleh karena itu, tenaga pada dua lengannya berkurang. Sementara itu, ular tadi makin penasaran dan marah. Biasanya, kalau ia sudah mengerahkan tenaga dalam lilitannya, seekor kijang pun akan remuk-remuk tulangnya! Mengapa bocah gundul ini dari perut dan dadanya keluar hawa panas sekali? Apalagi, cekikan pada lehernya itu pun mendatangkan rasa sakit. Sambil mendesis hebat, ular itu membuka lebar-lebar mulutnya yang bergerak di depan muka Kwan Cu dan bergerak hendak menggigit kepala gundul itu. Kalau gigitannya ini berhasil, agaknya kepala Kwan Cu yang gundul itu akan masuk ke dalam mulutnya! Kwan Cu terkejut dan menahan dengan kedua tanganya, akan tetapi tiba-tiba dia merasa kepalanya yang gundul itu gatal-gatal. Ia mengerti bahwa ini tentulah akibat daripada semburan uap yang keluar dari mulut ular itu. Tadi ketika ular itu menyemburkan uap putih yang mengarah ke mukanya, dia menundukkan kepala untuk melindungi mukanya, maka kepalanya yang gundul itulah yang terkena uap putih dan kini gatal-gatal.



Rasa gatalnya tidak tertahankan lagi, maka terpaksa dia melepaskan tangan kanan yang mencekik leher ular untuk dipergunakan menggaruk kepala gundulnya yang gatal setengah mati itu! Ular tadi setelah kini merasa bahwa yang mencekik lehernya hanya satu tangan saja, cepat memberontak dan cekikan tangan kiri Kwan Cu terlepas! Ular itu lalu menggerakkan lehernya dan mulutnya yang lebar itu menyerang kepala Kwan Cu dengan kecepatan luar biasa sekali. Akan tetapi Kwan Cu tidak berkurang waspada. Bocah gundul ini cepat mengelak ke kiri dan mulut itu meluncur lewat di samping telinga kanannya. Cepat Kwan Cu menggerakkan kedua tangan mencekik lagi dan pergulatan mati-matian terjadi. Kwan Cu mencekik sekuatnya, dan ular itu melilit perut dan dada Kwan Cu sambil meronta-ronta hendak melepaskan diri dari cekikan. Jari-jari tangan Kwan Cu tidak cukup panjang untuk mencengkeram leher ular yang besarnya seperti betis kakinya sendiri itu, maka beberapa kali, terpaksa dia melepaskan cekikannya dari kulit leher yang amat licinnya dan beberapa kali ular itu menyerang kepalanya yang dapat dihindarkan dengan elakan-elakan cepat.

Tak dapat terus-terusan begini, pikir Kwan Cu. Dadanya terasa sesak dan tenaga kedua tangannya makin lama makin lemah. Ia memutar otak di dalam kepalanya yang gundul itu, mencari-cari akal. Akhirnya ia mendapat akal dan sambil mencekik leher ular dengan kedua tangan, dia menggelundung ke kiri di mana dia melihat beberapa potong batu karang. Setelah mengambil sepotong batu karang yang besarnya seperti kepalanya dan yang tajam runcing pinggirnya, dia lalu melepaskan cekikannya. Ular itu menyerang lagi dengan mulut terbuka dan Kwan Cu secepat kilat memasukkan batu itu ke dalam mulut ular! Karena dia memasukkan dengan tenaga kuat dan gigi-gigi ular itu mendoyong ke dalam, maka setelah batu karang ini memasuki mulut sampai di belakang gigi-gigi ular, batu itu tak dapat keluar kembali, terganjal oleh gigi atas dan bawah!

"Bagus, Kwan Cu!" Ang-bin Sin-kai tertawa-tawa memuji. Mendengar pujian guru ini, besarlah hati Kwan Cu. Ia tidak takut akan gigitan ular itu lagi, dan ular itu pun kini menjadi bingung sekali, menggerak-gerakkan kepalanya hendak melepaskan benda aneh yang mengganjal mulutnya. Saking bingungnya, lilitan pada tubuh Kwan Cu yang untuk sesaat luar biasa eratnya, makin lama makin kendor dan akhirnya dia melepaskan tubuh yang dililitnya. Ia menggeliat-geliat, memukul-mukulkan kepalanya pada tanah dan Kwan Cu segera bertindak. Ia mengambil sepotong batu lagi dan sekali pukul saja pecahlah kepala ular itu!

"Hm, bagus! Lekas bikin api dan panggang sebelum darahnya kering. Jangan terlalu lama, biar setengah matang saja!" kata Ang-bin Sin-kai dengan air liur memenuhi mulutnya dan beberapa kali menelan ludah.

Setelah daging ular matang dan merasai daging itu, Kwan Cu harus mengakui kebenaran kata-kata suhunya. Daging itu terasa manis dan gurih sekali biarpun dipanggang tanpa di beri bumbu dan garam, hanya setelah memasuki tubuh, membuat perut dan dada terasa panas dan darah mengalir lebih cepat dari biasanya.

Setelah makan kenyang. Ang-bin Sin-kai berkata kepada Kwan Cu.

"Perkelahianmu dengan ular tadi merupakan pengalaman baik sekali. Kau sekarang tahu bahwa ular itu memiliki tenaga lemas. Kelihatannya saja ia lambat dan lemah, namun lilitannya makin lama makin kuat karena ia mempergunakan tenaga dalam yang mengalir di dalam tubuhnya. Menghadapi lawan yang memiliki tenaga lweekang (tenaga dalam), memang kita harus melayani dengan kelicikan pula. Kalau kau mempergunakan tenaga kasar, kau akan kalah. Maka baik sekali kau tadi mengerahkan ambekan (pernapasan) untuk menghadapi lilitan tubuh ular. Kalau kau mempergunakan kekerasan, tentu ada tulangmu yang patah dan uratmu tergelincir dari tempatnya. Lain kali biar kau melatih diri menghadapi binatang yang selalu mempergunakan tenaga kasar, yakni harimau.

Terbelalak sepasang mata Kwan Cu memandang suhunya.

"Waaah, Suhu. Bagaimana teecu menghadapi seekor harimau? Binatang itu galak sekali dan terkenal sebagai raja hutan. Apakah teecu kiranya akan sanggup mengalahkan harimau?"

"Kau baru saja mempunyai kepandaian ilmu pukulan Sam-hoan-ciang, tentu saja masih berat. Biar sekarang aku melatihmu dengan ilmu mempertahankan diri yang di sebut Ilmu Silat Pai-bun-tui-pek-to (Mengatur Pintu Menghadapi Ratusan Golok). Kalau kau sudah bisa mainkan ilmu silat ini, agaknya takkan mudah kau diserang lawan."

Dengan girang Kwan Cu lalu mulai mempelajari Pai-bun-tui-pek-to, yang dilakukan mengandalkan ginkang yang tinggi. Isinya hanya ilmu-ilmu untuk mengelak dan menangkis serangan lawan dan melindungi diri mempergunakan kecepatan tubuh dan mengatur pada saat bagaimana mempergunakan tenaga lweekang dan saat bagaimana pula mempergunakan gwakang. Terlalu panjang untuk dituturkan sejelasnya, pendeknya ilmu silat Pai-bun-tui-pek-to ini amat baik untuk seorang ahli silat tangan kosong kalau menghadapi lawan-lawan yang bersenjata.

Beberapa bulan lewat tak terasa dan Kwan Cu sudah memperoleh kemajuan pesat. Belum boleh di kata bahwa dia telah menyempurnakan ilmu Pai-bun-tui-pek-to, karena tidak seperti Sam-hoan-ciang yang mempunyai tiga jurus, ilmu mempertahankan diri ini biarpun hanya mempunyai delapan belas macam jurus, namun setiap jurus dapat dipecah-pecah menjadi puluhan bagian. Semua tergantung daripada kedudukan lawan menyerang.

Kini Ang-bin Sin-kai menurut kehendak muridnya lagi, yakni mencari Bukit Liang-san yang masih amat jauh. Ketika mereka tiba di kota Thiat-ang-bun, kota kecil yang berpintu gerbang besi berwarna merah, mereka berhenti selama tiga hari. Di dalam kota kecil itu banyak terdapat pemandangan indah, bahkan di sebelah selatan kota terdapat telaga kecil yang airnya biru dan dikelilingi pohon-pohon dan kembang-kembang. Ang-bin Sin-kai suka sekali pelesir di daerah ini, maka dia bermalas-malasan untuk meninggalkannya.



Pada hari ketiga, ketika Kwan Cu dan gurunya tengah berjalan di dekak telaga itu, mereka melihat berkelebatnya seorang Tartar yang tampan dan berpakaian perwira. Ang-bin Sin-kai tidak mengenal orang ini, akan tetapi Kwan Cu mengenalnya baik-baik. Apalagi, semenjak mereka memasuki kota Thiat-ang-bun, Kwan Cu yang selalu mengambil perhatian pada apa yang berada di sekitarnya, melihat orang ini beberapa kali sehingga timbul pikirannya bahwa orang ini tentu sedang menyelidiki keadaan dia dan gurunya. Dan orang itu bukan lain adalah An Lu Kui, adik dari Panglima An Lu Shan.

Akan tetapi An Lu Kui seperti yang tidak mengenal lagi kepada Kwan Cu dan anak ini pun tidak mempedulikannya. Ia tidak mempunyai hubungan lagi dengan perwira ini, tidak ada sangkut-pautnya lagi. Kwan Cu tidak tahu sebetulnya, setelah bertemu dengan dia dan gurunya, An Lu Kui diam-diam melakukan penyelidikan dan selalu mengikutinya. Siapa tahu kalau-kalau anak aneh ini hendak mengambil kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang aseli? Adapun kakek jembel yang bersama dengan bocah itu, Lu Kui tidak mengenalnya sama sekali. Kalau saja dia tahu bahwa kakek itu adalah Ang-bin Sin-kai, agaknya siang-siang dia sudah angkat kaki dan kabur.

"Suhu, ada orang mengikuti kita," kata Kwan Cu perlahan kepada suhunya.

"Mana dia?"

"Entah, dia sudah pergi lagi, Suhu. Akan tetapi, beberapa kali teecu melihatnya dan agaknya dia memperhatikan kita."

"Siapa sih orangnya?"

"Dia adalah penculik yang dahulu membawa teecu dan Gui-siucai ke markas Panglima An Lu Shan, yaitu adik dari panglima itu sendiri yang bernama An Lu Kui."

"Hm, dia mau apa?"

"Entahlah, Suhu. Akan tetapi, lebih baik kalau Suhu mengetahuinya, karena dia lihai. Dulu pernah teecu melihat dia mendorong roboh sebatang pohon besar, sungguhpun dia tidak berdaya menghadang Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan dua orang muridnya." Kwan Cu lalu menuturkan pengalamannya ketika diculik oleh An Kui dahulu. Gurunya tersenyum dan berkata gembira,

"Bagus, kalu begitu, biarlah dia menjadi pengujimu."

"Penguji bagaimana, Suhu?"

"Kau sudah mempelajari ilmu mempertahankan diri Pai-bun-tui-pek-to, coba kau menghadapi dia, hitung-hitung untuk berlatih. Kalau dia muncul lagi, kau pancing dia ke luar kota, ke tempat sunyi."

Kwan Cu mengangguk, dan hatinya berdebar. Ia tahu bahwa An Lu Kui murid mendiang Li Kong Hoat-ong itu tidak boleh dibuat main-main. Ia adalah seorang perwira yang pandai dan gagah perkasa, bagaimana dia yang baru melatih ilmu silat beberapa bulan saja sanggup menghadapinya? Akan tetapi karena dia bersama suhunya perlawanannya adalah atas perintah suhunya, hatinya menjadi besar.

Tak lama kemudian, benar saja dia melihat An Lu Kui muncul lagi, berjalan di sebelah belakang. Kwan Cu menengok dan sengaja memperlihatkan muka ketakutan, lalu menggandeng tangan suhunya dibawa berjalan menuju ke pegunungan kecil yang tidak jauh dari situ letaknya. Pancingannya berhasil karena An Lu Kui melihat wajah Kwan Cu nampak ketakutan dan bergesa-gesa ke bukit kecil, lalu mengejar!

Setelah berada di tempat yang sunyi di bukit kecil itu, Kwan Cu berhenti dan bersama suhunya menengok ke belakang. An Lu Kui cepat berlari menghampiri mereka dan setelah berhadapan, dia menegur.

"Eh, tidak tahunya kau Kwan Cu bocah itu! Kau hendak pergi kemanakah?" Kwan Cu memang sudah mendapat perintah dari gurunya untuk mencoba kepandaiannya dengan perwira ini, maka dia memancaing keributan dengan meniru jawaban Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu ketika dahulu bertemu dengan dia di pintu gerbang kota raja, maka dia menjawab, "Aku datang dari belakang dan menuju ke depan. Ada urusan apakah kau menyusulku, An-sianseng?"

Tentu sajaAn Lu Kui mendelikkan matanya mendengar jawaban yang kurang ajar ini.
-Cerita Dewasa Panas SIlat : Pendekar Sakti 1 - KPH http://cerita-eysa.blogspot.com/
"Bocah gundul! Ketika dulu mejadi murid Gui-suicai, kau masih mengerti aturan dan bersikap sopan, sekarang kau telah menjadi seorang berandalan. Jawab yang betul, kau hendak pergi kemana?"

"Kemana pun aku pergi, tiada sangkut-pautnya dengan kau!" kata Kwan Cu dengan sengaja agar perwira ini marah dan menyerangnya sehingga dia dapat mempraktekkan ilmu silatnya Pai-bun-tui-pek-to.

"Setan cilik! Bukankah kau pergi ke tempat disembunyikan Kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng? Hayo jawab yang betul, kalau tidak, akan kukemplang kepalamu yang gundul itu sampai pecah!"

Tiba-tiba terdengar suara meledak dari Ang-bin Sin-kai. "Ha, ha, ha! Agaknya semua orang sudah tergila-gila kepada kitab tiada guna itu! Eh, Kwan Cu, kenapa kau meladeni badut ini? Kait saja kakinya, biar dia menggelundung ke bawah!"



Bukan main marahnya An Lu Kui mendengar ejekan ini. "Bangsat tua bangka! Apakah matamu buta dan tidak mengenal orang? Kau berhadapan dengan An Lu Kui, adik dari panglima besar An Lu Shan! Berlutut kau!"

Kwan Cu melangkah maju. "Orang she An, jangan kau menghina guruku!"

"Kau setan gundul mau apa?" bentak An Lu Kui yang cepat menampar dengan tangan kanannya ke arah kepala Kwan Cu yang gundul. Akan tetapi dengan sedikit menundukkan kepala saja, Kwan Cu sudah dapat mengelak dari pukulan ini.

An Lu Kui penasaran dan marah sekali. Sambil menggereng seperti seekor harimau buas, dia menubruk maju dan mengirim pukulan bertubi-tubi, diselingi dengan tendangan kakinya!

Akan tetapi, sebentar saja dia menjadi tertegun ketika melihat betapa dengan gerakan amat lincah, Kwan Cu dapat mengelak dari semua pukulan dan tendangannya itu. Bukan main! Baru beberapa bulan berselang, bocah gundul ini masih belum memiliki gerakan demikian lincah. Ah, jangan-jangan gurunya yang seperti pengemis jembel itu berkepandaian tinggi pula, pikirnya. Maka dia mempercepat serangannya dan kini dia menggunakan ilmu silatnya disertai pengerahan tenaga lweekang!

Kwan Cu baru saja belajar beberapa bulan. Adapun An Lu Kui telah memiliki kepandaian tinggi, maka tentu saja menghadapi serangan-serangan hebat ini, Kwan Cu menjadi repot sekali. Memang betul bahwa dengan Ilmu Silat Pai-bun-tui-pek-to, dia masih dapat mengelak dan menangkis, akan tetapi dia tidak dapat membalas sama sekali dan seakan-akan untuk bernapas pun tiada kesempatan!

"Kau menyia-nyiakan banyak kesempatan baik!" kata Ang-bin Sin-kai mencela muridnya. "Campur Pai-bun-tui-pek-to dengan Sam-hoan-ciang!"

Kwan Cu maklum akan maksud suhunya namun karena kurang pengalaman tetap saja dia tidak dapat membalas serangan-serangan An Lu Kui yang mengamuk makin hebat itu. An Lu Kui kali ini benar-benar penasaran dan marah sekali. Sudah dua puluh jurus lebih dia menyerang, namun tetap saja belum pernah dia dapat menempiling kepala lawannya si bocah gundul ini. Kini mendengar ucapan kakek itu, mengertilah dia bahwa kakek ini memang benar-benar lihai dan terang bahwa si bocah gundul mendapat latihan dari dia. Celaka, keluh An Lu Kui, kalau aku tidak lekas-lekas mengalahkan setan cilik ini, aku bisa di permainkan oleh setan besar itu. Maka dia lalu mencabut sepasang siang-kek (senjata tombak bercagak) dari punggungnya dan memutar dua senjata ini bagaikan kitiran cepatnya.

"Kwan Cu kau melompatlah ke punggungku dan lihat baik-baik aku mainkan Pai-bun-tui-pek-to dan Sam-hoan-ciang!" kata Ang-binSin-kai.

Kwan Cu tertawa girang dan sekali dia mengenjotkan kedua kakinya, bagaikan seekor monyet dia telah melompat ke atas punggung suhunya. An Lu Kui merasa kepalang dan dia sudah merasa malu dan marah dipermainkan oleh Kwan Cu, maka kini dia menyerang kakek jembel itu dengan ilmu silatnya yang lihai dan berbahaya.

Kwan Cu melihat gerakan tubuh suhunya dengan penuh perhatian. Dengan digendong di punggung suhunya, dia merasa seakan-akan dia sendiri yang menghadapi An Lu Kui dan dia mengintai dari balik punggung gurunya itu kepada semua gerakan An Lu Kui dan gerakan suhunya. Benar saja, gurunya menghadapi sepasang tombak cagak An Lu Kui dengan ilmu mempertahankan diri Pai-bun-tui-pek-to!

Melihat betapa gerakan gurunya amat sederhana, namun dapat dengan tepat dan tenang menghindarkan semua serangan sepasang tombak cagak di tangan An Lu Kui. Kwan Cu menjadi kagum sekali. Kini terbukalah matanya dan tahulah dia bahwa tadi di waktu menghadapi serangan A n Lu Kui dia terlalu gugup dan terlalu membuang gerakan sendiri. Sebetulnya kalau dia bisa tenang seperti suhunya, tak usah terlalu banyak bergerak dan hanya bergerak seperlunya saja, Ilmu Silat Pai-bun-tui-pek-to sudah dapat menyelamatkan diri dari serangan lawan.

"Kaulihat lowongan-lowongan itu?" kata Ang-bin Sin-kai kepada muridnya. "Buka matamu baik-baik, tiap kali dia melakukan serangan, tentu terbuka sebuah pintu! Mengertikah kau? Coba sekarang kau mencari dan menemukan pintu yang terbuka dan kaugunakan tanganmu menyerang pintu terbuka itu!"

Kwan Cu mengerti. Yang dimaksud oleh gurunya tentang pintu terbuka adalah bagian-bagian tubuh yang terbuka atau tidak terlindung dari lawan dan kini setelah berada di punggung suhunya dan tidak gugup karena dia sendiri tidak menghadapi serangan, memang matanya terbuka dan dia dapat melihat betapa setiapkali menyerang, An Lu Kui membuka sebagian tubuhnya yang tidak terlindung sama sekali.

Mendengar perintah suhunya, mulailah Kwan Cu menyerang dengan pukulan Sam-hoan-ciang! Tiap kali An Lu Kui menyerang, tentu terbuka sebuah pintu di dadanya, lambungnya, pundaknya, lehernya, dan lain-lain bagian tubuh lagi. Kwan Cu tidak menyia-nyiakan waktu baik ini dan tiap kali serangan datang, suhunya mengelak dan dia menghantam dengan tangannya. Sebentar kemudian terdenga suara "bak! bik! buk!" dan tubuh An Lu Kui selalu terpukul dengan tepat oleh tangan Kwan Cu yang kecil!

An Lu Kui menyumpah-nyumpah. Ang-bin Sin-kai tertawa tergelak-gelak dan Kwan Cu bersorak girang. Bocah gundul itu kini duduk di punggung gurunya dengan tangan kanan terangkat, siap untuk menempiling, menampar, dan menghantam dan menyodok ke arah "pintu terbuka" dari lawannya! Adapun Ang-bin Sin-kai bagi An Lu Kui seolah-olah merupakan manusia asap saja. Kemana pun sepasang tombaknya menyerang, selalu tidak dapat mengenai tubuh kakek aneh itu. Ia mulai menjadi gentar dan tamparan-tamparan tangan Kwan Cu biarpun tidak dapat melukainya, namun cukup pedas dan memanaskan kulit, terutama sekali memanaskan hatinya.



"Orang Tartar, kau masih belum cukup?" tiba-tiba Ang-bin Sin-kai berseru dan entah dengan gerakan apa, karena Kwan Cu sendiri tidak mengenal gerakan gurunya ini, tahu-tahu sepasang tombak cagak di tangan An Lu Kui itu telah pindah tangan. Ang-bin Sin-kai menggerakkan kedua tombak itu dan terdengar suara "krak!" patahlah dua batang tombak itu menjadi empat batang! Dengan tersenyum Ang-bin Sin-kai melemparkan potongan-potongan tombak itu ke dalam jurang, lalu berkata kepada An Lu Kui yang berdiri dengan muka merah dan terheran-heran.

"Tidak patut sekali seorang perwira seperti engkau ini menghina seorang bocah kecil. Pergilah!"

An Lu Kui menjadi malu sekali. Ia menjura dan berkata, "Mohon banyak maaf siauwte tidak mengenal orang pandai. Siauwte An Lu Kui mohon tanya, siapakah nama Lo-enghiong yang terhormat?"

Ang-bin Sin-kai tidak mau melayaninya, bahkan lalu menggerakkan kedua kakinya dan melompatlah dia turun dari bukit.

"An-sian-seng (tuan An), suhuku itu adalah Ang-bin Sin-kai!" kata Kwan Cu yang cepat-cepat berlari turun gunung mengikuti suhunya.

An Lu Kui tertinggal di bukit itu, berdiri tak bergerak bagaikan patung. Celaka tiga belas, pikirnya. Mengapa aku selalu bertemu dengan setan-setan itu? Ia teringat akan pengalamannya dengan Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan sebelum sakit hatinya karena terhina oleh kakek itu terbalas, sekarang dia mengalami hinaan pula dari Ang-bin Sin-kai! Aah, orang-orang Han banyak yang hebat dan luar biasa sekali, keluhnya. Baiknya mereka itu tidak ambil peduli tentang kedudukan dan keadaan pemerintah. Kalau kaisar tidak begitu bodoh dan dapat menghargai orang orang seperti itu, negara manakah di dunia ini yang dapat menandingi Tiongkok? Dengan hati mengkal sekali, An Lu Kui lalu turun dari bukit itu dan kembali ke markas besar kakaknya di mana dia melatih diri dalam ilmu silat dan ilmu perang dangan amat tekunnya. Dalam hal ilmu perang, barisan yang dipimpin An Lu Shan benar-benar memperoleh kemajuan hebat sekali, berkat petunjuk dan pelajaran dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng palsu yang diterjemahkan Gui Tin atau Gui-siucai itu.

Adapun Kwan Cu lalu melanjutkan perjalanannya dengan Ang-bin Sin-kai, dan semenjak itu, Kwan Cu makin tekun mempelajari ilmu silat, karena kini terlihatlah olehnya kegunaan dari pada ilmu ini. Akan tetapi, tetap saja jika dibandingkan dengan murid-murid tokoh lain, dia terhitung yang paling bodoh. Terhitung beberapa bulan yang lalu, menghadapi kedua orang murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai, dia masih dipermainkan dan beberapa hari kemudian semenjak bertemu dengan An Lu Kui, terjadilah peristiwa lain yang selain menunjukkan bahwa dia masih kalah jauh oleh murid tokoh lain, juga membikin tubuh dan hatinya sakit sekali.

Hal itu terjadi ketika mereka telah tiba di kaki bukit Liang-san. Ketika itu, Kwan Cu sedang hendak bertanya keterangan kepada penduduk dusun tentang mendiang gurunya yang di tempat ini dahulu terkenal dengan sebutan Gui-lokai (pengemis tua she Gui). Tiba-tiba terdengar suara ketawa seperti gembreng dipukul dan disusul oleh suara yang keras.

"Lu Thong, lihat ini adalah saudara misanmu!"

Di depan Kwan Cu, muncullah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, hwesio gundul yang bundar seperti bal tubuhnya itu, tokoh utama dari selatan! Dan di sampingnya berjalan seorang anak laki-laki yang dikenal baik oleh Kwan Cu sebagai putera bangsawan yang dahulu menghina Gui Tin dan yang memerintah anjingnya untuk mengeroyok Gui-suicai!

Memang benar, anak itu adalah putera dari Lu Seng Hok, atau cucu dari Menteri Lu Pin! Seperti biasa, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu melakukan perantauannya, kali ini diikuti oleh muridnya. Semenjak menjadi murid Kak Thong Taisu, sikap Lu Thong benar-benar berubah sekali. Ia mempelajari ilmu silat dengan amat tekunnya dan menurut segala nasihat suhunya. Di luarnya, anak ini bersikap baik sekali, pendiam dan tidak jahat atau sombong seperti dahulu. Bahkan pakaiannya, menurut petunjuk dari suhunya, tidak mewah seperti dulu pula, melainkan pakaian sederhana saja. Biarpun dia dibawa merantau dan hidup sengsara, dia tidak pernah mengeluh, bahkan tidak menolak ketika suhunya menyuruh dia mengemis makanan! Lu Thong memiliki kekerasan hati dan ketekunan luar biasa sekali sehingga segala keinginan dan nafsunya dapat dia tekan sedemikian rupa sehingga dia merupakan seorang murid yang baik sekali. Tentu saja gurunya amat sayang kepadanya dan menurunkan ilmu-ilmu silat yang tinggi sehingga sebentar saja Lu Thong memperoleh kemajuan pesat sekali.

Ketika melihat Kwan Cu dan Ang-bin Sin-kai, tentu saja Jeng-kin-jiu menjadi girang sekali dan diam-diam dia mengandung hati iri terhadap Ang-bin Sin-kai. Sesungguhnya, adalah pengharapannya untuk menurunkan kepandaiannya bersama Ang-bin Sin-kai di tepi Laut Po-hai itu.

Sebaliknya, Lu Thong mengenal Kwan Cu sebagai bocah jembel yang dulu menolong jembel tua di halaman rumahnya, maka diam-diam dia menjadi gemas sekali. Dulu dia mudah ditakut-takuti oleh bocah gundul ini, akan tetapi sekarang, setelah dia merasa mempunyai kepandaian ilmu silat, dia tidak takut lagi bahkan ingin dia membalasnya! Akan tetapi dia tidak kenal kepada Ang-bin Sin-kai, yang sesungguhnya masih kongkongnya sendiri, karena ayahnya adalah keponakan dari pengemis tua ini.

"Gundul bangkotan! Kau di sini?" Ang-bin Sin-kai menegur dengan muka girang. Di antara para tokoh persilatan, dia lebih suka hwesio gemuk ini yang selain lucu, juga mempunyai kejujuran dan berhati baik.

Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tertawa bergelak.



"Lucu, lucu sekali. Ha, ha, ha! Sekeluarga bertemu di sini, ha, ha, ha! Dan alangkah hebat dan lucunya keluarga ini. Eh, pengemis kelaparan, kau tahu siapa anak yang menjadi muridku ini?"

Ang-bin Sin-kai memandang, akan tetapi dia tidak mengenal cucunya sendiri. Tadi ketika Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu memanggil Lu Thong, dia tidak memperhatikan. Maka dia lalu menggelengkan kepalanya.

"Kenalkah kau pada pengemis kelaparan ini?" tanya Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu kepada muridnya. Juga Lu Thong menggelengkan kepalanya setelah memandang tajam.

"Teecu tidak kenal, Suhu."

"Lu Thong, inilah Kong-kongmu yang tidakmau mengajar ilmu silat padamu!" kata Kak Thong Taisu.

Terbelalak mata Lu Thong.

"Ang-bin Sin-kai.....??" katanya perlahan.

"Ya, ya! Dialah Ang-bin Sin-kai Lu Sin, Twa-pek (Uwa) dari ayahmu!"

Adapun Ang-bin Sin-kai juga terkejut mendengara kata-kata ini.

"Gundul jahat! Apakah muridmu ini putera Lu Seng Hok?"

Lu Thong sekarang telah dapat mengubah sikapnya dan diapun amat cerdik. Ia tahu bahwa Ang-bin Sin-kai ini seorang tokoh yang pandai, maka dia cepat menjatuhkan dirinya berlutut di depan pengemis tua itu.

"Kong-kong, harap maafkan cucumu yang tidak tahu adat!" katanya sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Diam-diam Kwan Cu merasa heran sekali mengapa anak yang begitu jahat seperti ketika dilihatnya di depan gedung itu, kini dapat bersikap sopan santun dan baik.

Biarpun Ang-bin Sin-kai Lu Sin tidak setuju dengan pendirian adiknya Lu Pin yang bekerja membantu kaisar yang dianggapnya lemah dan tidak baik, namun melihat cucunya ini, timbul juga rasa terharu dalam hatinya.

"Bagus kau menjadi murid Jeng-kin-jiu, belajarlah baik-baik," katanya sambil mengelus-elus kepala Lu Thong yang berambut hitam panjang itu.

"Kong-kong, biarpun cucumu ini menjadi murid dari Suhu Kak Thong Taisu, namun masih amat mengharapkan semacam ilmu silat dari Kong-kong sebagai warisan sehingga kelak jangan ada yang mengatakan bahwa sebagai cucu Ang-bin Sin-kai yang terkenal, cucumu ini tidak tahu sama sekali tentang kepandaian Kong-kongnya sendiri. Bukankah itu amat tidak baik bagi keluarga kita?"

Semua orang termasuk Kwan Cu, tertegun mendengar ini. Ucapan itu selain tepat, juga cerdik sekali. Jeng-kin-jiu menegur muridnya.

"Eh, Lu Thong. Apakah kau tidak puas dengan pelajaran yang kaudapat dari pinceng?"

Buru-buru Lu Thong memberi hormat kepada suhunya. "Tidak sama sekali, Suhu. Teecu merasa girang dan puas menerima pelajaran yang amat berharga dari Suhu. Hanya saja, teecu minta tanda mata sebagai warisan dari Kong-kong, apakah ini salah?"

Terdengar Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak.

"Kau tidak mengecewakan menjadi cucu Lu Pin, karena kau memiliki kecerdikan. Ha, ha, ha, ha, ha! Jangan bicara tentang kekeluargaan, karena aku Lu Sin telah menjadi keluarga dari bumi dan langit. Tidak ada manusia yang bukan keluargaku, karena bukankah manusia di seluruh dunia ini bersaudara belaka? Betapapun juga, untuk kecerdikanmu itu, biarlah aku menurunkan ilmu silat keturunanku, yakni Ilmu Silat Kong-jiu-toat-beng (Dengan Tangan Kosong Merenggut Nyawa)! He, hwesio gundul, kau terimalah Kong-jiu-toat-beng untuk diajarkan kepada muridmu ini, akan tetapi bersumpahlah bahwa selama hidupmu kau takkan mempergunakan ilmu ini!" katanya kemudian kepada Kak Thong Taisu.

Kak Thong Taisu tertawa bergelak. "Pengemis kelaparan! Kau kira aku sudah begitu rakus untuk mengambil ilmu silatmu? Tanpa meniru akupun tak dapat kau kalahkan. Aku bersumpah!" ia mengangkat kedua tangan di depan dada seperti menghormat kepada Buddha.

Ang-bin Sin-kai mengangguk puas, lalu kakek ini bersilat tangan kosong. Dalam pandangan Lu Thong dan Kwan Cu, kakek ini bergerak cepat sekali seperti orang menari-nari dengan jari-jari tangan terbuka. Akan tetapi setelah Ang-bin Sin-kai mengulangi sampai dua kali ilmu silat tangan kosong yang terdiri dari dua puluh empat jurus itu, Jeng-kin-jiu sudah dapat menghafalnya!

"Hebat, hebat! Pinceng sudah hafal semua," kata hwesio gemuk itu.

Ang-bin Sin-kai tertawa lagi. "Eh, Thong-ji (anak Thong), sekarang coba, kau menghadapi Kwan Cu, hendak kulihat hwesio bundar ini sampai berapa jauhnya memberi pelajaran kepadamu!" Kemudian dia menoleh kepada Kwan Cu. "Coba kau layani Lu Thong, hitung-hitung berlatih!"

Kwan Cu baru saja mempelajari dua macam ilmu silat, yakni ilmu mempertahankan diri Pai-bun-tui-pek-to dan ilmu menyerang Sam-hoan-ciang. Mendengar ucapan suhunya, dengan taat dia lalu berdiri menghadapi Lu Thong sambil memasang kuda-kuda.

"Lu Thong, kau hadapi dia dengan Lam-hai-kong-jiu (Tangan kosong Dari Laut Selatan)!" kata Jeng-kin-jiu sambil tertawa-tawa gembira. Bagi dia dan juga Ang-bin Sin-kai, tidak ada kesenangan yang lebih menggembirakan daripada tandingan silat, seperti dua orang kakek yang sudah "nyandu" adu ayam melihat dua jago berlaga.



Berbeda dengan Kwan Cu, Lu Thong sudah banyak mempelajari ilmu silat dari gurunya, dan dalam hal tingkat kepandaian silat, Lu Thong juga cerdik dan berbakat, terutama sekali karena baru-baru saja Kwan Cu mulai mempelajari ilmu pukulan dari Ang-bin Sin-kai dan juga baru saja anak ini mulai suka mempelajari ilmu silat yang tadinya dianggap sebagai ilmu memukul orang yang tiada gunanya. Akan tetapi, kalau dilihat dari isinya, dasar dalam diri Kwan Cu jauh lebih kuat. Bocah gundul ini memiliki tubuh yang kuat, di tambah pula oleh nasibnya yang baik sehingga dia tanpa sengaja telah makan coa-ko (buah ular), kemudian Ang-bin Sin-kai yang memang sengaja melatihnya kuda-kuda terus-menerus sehingga berdasar kuat sekali.

Ketika Lu Thong sudah siap, cucu menteri ini serta-merta melancarkan serangan-serangan hebat dengan kedua kepalan tangannya. Kwan Cu cepat mainkan Pai-bun-tui-pek-to, ilmu silat mempertahankan diri yang baru saja dipelajarinya. Ketika lengan tangannya beradu dengan lengan tangan Lu Thong, dia merasa kulit lengannya pedas, maka tahulah dia bahwa Lu Thong memiliki tenaga gwakang yang lihai sekali. Memang, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu adalah seorang ahli gwakang yang memiliki tenaga hebat. Semenjak belajar kepadanya, dia telah melatih kedua tangan muridnya ini dengan tekun dan menggembleng tangan Lu Thong dengan latihan-latihan memukul pasir panas. Biarpun usianya masih delapan tahun, namun Lu Thong telah berani mempergunakan lengannya untuk menangkis serangan tongkat!

Kwan Cu berlaku hati-hati dan dalam menghadapi serangan lawannya, dia lalu mempergunakan tenaga lweekang. Ia tidak mau mengadu kekerasan, dan hanya menolak lengan lawan dengan meminjam tenaga.

Kagetlah Lu Thong ketika dia merasa betapa kedua tangan Kwan Cu seperti karet saja, lunak dan setiap pukulannya dapat ditangkis dengan tak banyak tenaga. Ia menjadi penasaran dan mengeluarkan ilmu silatnya, menyerang dengan Ilmu Silat Lam-hai-kong-jiu yang ganasnya seperti gelombang Laut Selatan mengamuk.

Kwan Cu terdesak hebat dan payah juga. Biarpun ilmu silatnya Pai-bun-tui-pek-to dapat dipergunakan untuk menghindarkan semua serangan lawan., dan biarpun dia melihat adanya pintu-pintu terbuka dalam kedudukan Lu Thong, namun dia tidak sempat membalas serangan lawan. Cara mengombinasikan Ilmu Silat Pai-bun-tui-pek-to dan Sam-hoan-ciang belum dipahaminya benar. Namun dengan sekuat tenaga dia melakukan perlawanan. Beberapa kali kepalan tangan Lu Thong telah mengenai tubuhnya, namun berkat tenaga lweekang, pukulan itu tidak sampai membuat dia terjungkal. Menarik sekali kalau dilihat sikap kedua orang kakek yang menonton murid-murid mereka bertempur. Ang-bin Sin-kai duduk di atas tanah, bersandar kepada pohon dan menonton dengan mata merem melek, sedikit pun tidak mengeluarkan suara dan tidak pula bergerak. Akan tetapi, sebaliknya, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tidak mau diam, seperti orang melihat ayamnya diadu. Ia berjingkrak-jingkrak, sebentar-sebentar berseru "ah!," "bagus!" atau mencela "salah!" sambil memperhatikan gerakan muridnya. Kaki tangannya bergerak-gerak seakan-akan dia sendiri yang bertempur. "Untuk apa kau mempelajari tendangan Liong-jiauw-twi (Tendangan Kaki Naga)?" tiba-tiba dia berkata seperti mencela muridnya. Padahal ucapan ini merupakan petunjuk dan mendengar ini, Lu Thong lalu menambah serangannya dengan tendangan yang datangnya bertubi-tubi dan cepat sekali. Menghadapi serangan ini, Kwan Cu tak berdaya dan dengan kerasnya sebuah tendangan mengenai pahanya sehingga tubuhnya terlempar jauh dan jatuh berduduk ke atas tanah! "Ha, ha, ha! Ang-bin Sin-kai, muridmu kalah!" Kwan Cu menjadi merah mukanya dan teringat akan nasihat suhunya, dia lalu menjura kepada Lu Thong dan berkata, "Kepandaianmu hebat. Aku mengaku kalah!" Lu Thong mengangkat dadanya dan memandang bangga. Gurunya menepuk-nepuk pundaknya dengan gembira. Ang-bin Sin-kai bangkit berdiri dan pada wajahnya terbayang sinar kegembiraan pula. Ia merasa gembira melihat jalannya pertandingan tadi, karena dia maklum bahwa dasar dari kedua orang anak itu sudah terlihat nyata. Kwan Cu jauh lebih kuat dan kalau saja anak gundul itu sudah mempelajari ilmu menyerang yang hebat, sekali terkena pukulannya Lu Thong tentu takkan dapat bangun kembali tanpa menderita luka hebat. Sedangkan Kwan Cu yang berkali-kali mengalami pukulan dan sekali tendangan hebat, sama sekali tidak terluka! Pula, dia senang melihat cara muridnya mengaku kalah. "Hwesio gendut. Yang baik-baik kau melatih Lu Thong agar kelak tidak mengecewakan. Sepuluh tahun kemudian, kita bertemu lagi dan kita mengadu murid-murid kita. Beranikah kau?" "Ha, ha, ha! Pengemis kurus, tentu saja aku berani. Boleh, boleh! Sepuluh tahun kemudian kita bertaruh dalam pibu murid-murid kita." "Bagus! Taruhanku begini. Kalau muridku menang kau harus memberi hadiah semacam ilmu silat, sebaliknya kalau Lu Thong menang aku akan menambah dengan semacam ilmu silat pula kepadanya. Bagaimana?" "Ha, ha, ha! Kau memang pengemis kelaparan yang licik! Bagimu, menambah pelajaran kepada muridku tidak ada ruginya karena dia adalah cucumu sendiri. Akan tetapi bolehlah, aku pun sudah berjanji ingin menjadi guru dari bocah gundul goblok ini!" Ang-bin Sin-kai lalu mengajak muridnya pergi, akan tetapi sebelum pergi, dia menoleh kepada Lu Thong dan memandang dengan tajam sambil berkata, "Thong-ji, karena kau adalah cucu dari Lu
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Dewasa Panas SIlat : Pendekar Sakti 1 - KPH dan anda bisa menemukan artikel Cerita Dewasa Panas SIlat : Pendekar Sakti 1 - KPH ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/06/cerita-dewasa-panas-silat-pendekar.html?m=0,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Dewasa Panas SIlat : Pendekar Sakti 1 - KPH ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Dewasa Panas SIlat : Pendekar Sakti 1 - KPH sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Dewasa Panas SIlat : Pendekar Sakti 1 - KPH with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/06/cerita-dewasa-panas-silat-pendekar.html?m=0. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar