Cerita Dewasa ABG SIlat : Pendekar Sakti 2 - KPH -

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Minggu, 03 Juni 2012

Cerita Dewasa ABG SIlat : Pendekar Sakti 2 - KPH lanjutan dari http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/06/cerita-dewasa-panas-silat-pendekar.html selamat menikmati...

Pin, maka aku hendak memberi nasihat. Hilangkanlah sifat kesombonganmu, karena kalau kau pelihara sifat itu, kelak kau tentu akan mengalami kekecewan karena kesombonganmu." Ketika mengangkat muka memandang Lu Thong merasa terkejut sekali melihat melihat sinar mata kakek itu demikian tajam dan seakan-akan menembus sampai menjenguk ke dalam lubuk hatinya! Ia buru-buru menundukkan mukanya dan belakang lehernya terasa dingin. "Baik, Kong-kong," katanya perlahan. Ang-bin Sin-kai lalu pergi bersama Kwan Cu. Bocah gundul ini merasa penasaran dan tidak hanya tubuhnya merasa sakit sekali. Begitu bertemu, gurunya telah menurunkan ilmu silat yang hebat kepada Lu Thong seperti yang dilihatnya tadi. Sedangkan dia hanya menerima ilmu-ilmu silat yang untuk menahan serangan Lu Thong saja masih tidak sanggup! Akan tetapi, dasar dia memang anak yang taat dan penerima, dia tidak mau berkata apa-apa dan diam-diam dia mengambil keputusan bahwa kelak dia akan mencari ilmu silat sendiri yang membuat dia tidak terkalahkan!


-Cerita Dewasa ABG SIlat : Pendekar Sakti 2 - KPH - http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/06/cerita-dewasa-panas-silat-pendekar.html-
Hek-i Hui-mo (Iblis Tebang Baju Hitam) setelah berhasil menggondol pergi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, lalu melarikan diri secepatnya. Ia tidak percaya akan keterangan Kwan Cu, bocah gundul itu bahwa kitab itu palsu, karena kalau palsu, mengapa Panglima An Lu Shan begitu mau bersusah payah untuk menterjemahkannya? Hek-i Hui-mo adalah seorang pendeta Tibet yang selain berkepandaian tinggi sekali, juga dia membentuk sebuah perkumpulan agama di Tibet yang memisahkan diri dari Lama atau juga dari aliran pendeta Buddha jubah kuning. Semua murid-muridnya atau anak buahnya mengenakan jubah hitam seperti dia pula. Hwesio ini mempunyai cita-cita untuk menguasai daerah Tibet dan untuk keperluan ini, perlu sekali menterjemahkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, selain untuk mempertinggi ilmu silat, juga untuk melatih ilmu perang kepada murid-muridnya. Kalau lain orang tokoh besar menganggap tidak ada gunanya lagi kitab itu yang selain di anggap palsu, juga dianggapnya tidak ada orang yang mampu menterjemahkannya, Hek-i Hui-mo beranggapan lain. Ia tahu bahwa di Tiongkok, tidak hanya Gui Tin yang pandai tentang sastra kuno. Ia mengenal pula nama dua orang sastrawan yang kepandaiannya mungkin tidak kalah oleh Gui Tin. Yang seorang adalah Li Po, dan orang ke dua adalah Tu Fu. Tidak ada harapan untuk minta bantuan Li Po karena sastrawan besar ini orangnya aneh dan keras. Ia hendak mencoba untuk minta bantuan sastrawan besar Tu Fu karena kebetulan sekali dia tahu di mana adanya sastrawan perantau ini pada waktu itu. Tu Fu di samping Li Po, adalah seorang sastrawan yang amat pandai dan terkenal. (Bahkan sampai di jaman atom ini masih terkenal hasil- hasil karyanya). Ia adalah seorang dari keluarga terpelajar dan berpangkat. Ia masih keturunan dari Tu Yu, seorang jenderal besar yang gagah perkasa dan terkenal sekali dari Kerajaan Cin barat. Kakeknya juga seorang sastrawan besar yang ternama, bernama Tu Shen Yan, sedangkan ayahnya, pernah menjadi seorang jaksa. Namun Tu Fu berwatak jujur dan berjiwa patriot. Ia amat mencinta nusa bangsanya dan melihat keadaan pemerintahan yang dipimpin oleh orang-orang korup, dia tidak mau menduduki pangkat dan bahkan rela hidup sebagai perantau yang miskin, seperti halnya mendiang Gui Tin yang semasa hidupnya dia kenal baik. Hek-i Hui-mo maklum bahwa selain Gui Tin yang sudah tewas, orang-orang yang kiranya dapat menterjemahkan kitab kuno yang telah berada di tangannya, hanya Tu Fu dan Li Po, akan tetapi yang dapat dia mintai tolong hanya Tu Fu seorang. Maka pergilah dia ke Ho-nan di mana dia tahu sastrawan muda itu berada pada waktu itu. Memang Tu Fu telah menjadi seorang perantau yang menjelajah di propinsi-propinsi Kiang-su, Ce-king, Ho-nan, dan Shan-tung. Di kota Kai-feng sebelah timur ibukota Ceng-cou, di dekat pintu gerbang sebelah timur, terdapat sebuah rumah bobrok, bentuknya seperti kelenteng. Memang rumah ini adalah bekas kelenteng yang sudah rusak dan yang gentingnya sudah hampir tidak ada sehingga kalau hujan, tempat itu menjadi basah semua sedangkan di waktu panas tidak terlindung sama sekali. Agaknya yang dapat hidup di tempat rusak dan kotor ini hanya ayam dan babi belaka. Akan tetapi, pada waktu itu, sebelah dalam kelenteng, ada seorang manusia yang tinggal. Orang ini belum tua benar, usianya kurang lebih tiga puluh tiga tahun atau tidak lebih dari tiga puluh lima tahun. Melihat potongan pakainnya, biarpun kain bajunya sudah lapuk dan penuh tambalan, jelas dapat dilihat bahwa dia seorang terpelajar. Pakaiannya seperti pakaian pendeta, panjang sampai ke kaki, dengan ikat pinggang terbuat daripada tali hitam. Kumisnya hitam dan panjang, menggantung di kanan kiri mulitnya. Jenggotnya sedikit saja, di tengah-tengah dagu dan tergantung sepanjang lehernya. Kepalanya tertutup sebuah topi butut, topi sastrawan pula. Tubuhnya kecil kurus, tulang-tulang pipinya menonjol. Sepasang matanya lebar dan tajam sinarnya sedangkan dahinya lebar sekali. Inilah dia Tu Fu, sastrawan yang rela hidup dalam kemiskinan karena dia tidak suka pada pemerintah yang dipimpin oleh orang-orang tidak jujur. Ia rela menderita seperti bangsanya, yakni rakyat kecil yang banyak sekali menderita seperti dia pula. Di dalam penghidupannya yang miskin, kelaparan. Ia berduka sekali dan menangis, bukan hanya karena kehilangan puteranya, terutama sekali karena penderitaan keluarganya ini mengingatkan dia akan keadaan para petani miskin, rakyat kecil yang banyak juga menderita kelaparan seperti keluarganya! Semenjak itu, dia pergi merantau, membuat sajak-sajak yang isinya selain memuji alam indah permai sebagaimana menjadi kesukaan para sastrawan, juga dia membuat sajak-sajak keluhan dan protes terhadap pemerintah yang lalim! Betapapun miskinnya Tu Fu, kalau orang menjenguk ke dalam kelenteng bobrok itu, dia akan melihat sastrawan ini tidak pernah berpisah dari alat tulisnya, yakni pena bulu, kertas, dan tinta! Pada waktu itu, matahari telah condong ke barat dan keadaan di dalam kelenteng sudah mulai remang-remang. Akan tetapi, Tu Fu seperti tidak merasai ini semua dan dia masih saja duduk termenung seperti orang bersamadhi, tangkai pena di tangan kanan dan sebuah kipas bobrok di tangan kiri. Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang hwesio berpakaian hitam yang tubuhnya gendut, kulit mukanya hitam dan misainya panjang. Hwesio itu merangkapkan kedua tangan di depan dadanya dan berkata, "Omitohud! Tu-siucai benar-benar rajin sekali. Untuk apakah kau bekerja begitu keras?" tanya hwesio ini yang bukan lain adalah Hek-i Hui-mo adanya. Bagaikan dalam mimpi, Tu Fu menjawab, "Aku takkan berhenti bekerja sebelum berhasil menuliskan sesuatu yang berguna!" "Tu-siucai bersusah payah menulis sajak, untuk apakah gerangan?" tanya pula Hek-i Hui-mo.


-Cerita Dewasa ABG SIlat : Pendekar Sakti 2 - KPH - http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/06/cerita-dewasa-panas-silat-pendekar.html-
"Untuk siapa?" Tu Fu mengerutkan keningnya. "Tentu saja untuk rakyat sebagai penambah semangat dan untuk negara sebagai obat pahit yang manjur!" Sambil berkata demikian, Tu Fu bangkit berdiri dan baru sekarang dia memandang kepada pengunjungnya dengan mata terbelalak karena dia heran sekali siapa adanya pendeta yang tak dikenalnya ini. Namun, sebagai seorang terpelajar dan sopan, dia memberi hormat lalu bertanya, "Siapakah Losuhu ini? Dan mengapa datang mengunjungi siauwte yang miskin? Harap dimaafkan, di sini siauwte tidak mampu mengeluarkan air teh atau arak untuk disuguhkan." Hek-i Hui-mo tertawa bergelak. "Mengapa Siucai memikirkan keadaan lain orang? Bagi pinceng tidak membutuhkan makan minum, akan tetapi sebaliknya kaulah yang memerlukan makan dan minum. Lihat, pinceng membawa sedikit daging dan arak untukmu!" Sambil berkata demikian, Hek-I Hui-mo mengeluarkan seguci arak wangi dan sebungkus daging panggang dari saku bajunya yang lebar. To Fu menerima pemberian ini dan menghela napas, "Apa artinya haus dan lapar? Kadang-kadang sampai sepuluh hari aku tidak makan minum dan bajuku mempunya tambalan lebih seratus jumlahnya, akan tetapi, apakah artinya kalau dibandingkan dengan penderitaan rakyat kecil? Mengingat penderitaan mereka itu, perutku terasa kenyang sendiri dan bajuku sudah terlampau baik! Ah, Losuhu, agaknya hidupmu sebagai pendeta lebih bahagia daripada hidupku sebagai seorang sastrawan!" "Keliru, keliru! Tu-siucai keliru sekali!" jawab Hek-i Hui-mo sambil menggoyang-goyangkan kedua tangannya. "Suka dan duka timbul karena hati dan pikiran sendiri. Kebahagiaan berada di dalam hati sendiri, demikian pula keadaan. Kebahagiaan dapat di usahakan dengan mudah, mengapa kau masih saja duduk merenung menyusahkan keadaan orang lain? Kalau kau suka menerima jabatan, apakah lagi yang menyusahkanmu? Kau memiliki kepandaian tinggi." "Cukup!" tiba-tiba Tu Fu membentak dan suaranya keras saking marahnya. "Siapa sudi membantu orang-orang yang hidup seperti lintah menghisap darah petani miskin? Tidak! Lebih baik mati!" Kemudian, teringat bahwa dia bersikap kasar terhadap seorang suci, dia lalu memberi hormat dan berkata dengan sikap halus, "Maaf, Losuhu. Kalau tadi siauwte dikuasai oleh nafsu amarah. Siapakah sebetulnya Losuhu?" ulangnya, karena pertanyaannya tadi belum terjawab. "Nama pinceng Thian Seng Hwesio dan pinceng datang dari Tibet," jawab Hek-i Hui-mo. Memang sebetulnya dia bernama Thian Seng Hwesio, dan di kalangan kang-ouw saja dia disebut Hek-i Hui-mo. Mendengar keterangan ini, Tu Fu memandang dengan mata lebar. "Dari barat? Ah, Losuhu melakukan perjalanan begitu jauh menjumpai siauwte, ada keperluan apakah?" "Tu-siucai, pinceng tidak mempedulikan perjalanan ribuan li jauhnya dengan maksud memohon sedikit pertolongan darimu, maka pinceng mengharap kemurahan hatimu dan mengharap Tu-siucai takkan menolak." Hek-i Hui-mo biarpun terkenal kejam dan ganas, namun dia juga seorang cerdik dan banyak pengalaman. Menghadapi seorang sastrawan seperti Tu Fu yang biarpun kepandaian tinggi tidak mau menduduki jabatan dan rela hidup menderita, maka dia tahu bahwa orang ini memiliki kekerasan hati yang luar biasa, dan seperti juga Gui Tin, tiada gunanya menghadapi orang seperti ini menggunakan kekerasan. Andaikata dia mempergunakan kekerasan memaksa sastrawan ini membantunya menterjemahkan kitab, hati sastrawan ini hanya akan tersinggung saja dan kalau sampai terjadi demikian, maka agaknya biarpun dia akan memukul sampai mati, sastrawan muda ini takkan sudi membantunya! Oleh karena itulah maka Hek-i Hui-mo menjalankan siasat licin dan bersikap halus dan manis budi. Berbeda dengan Gui Tin yang lebih tua yang sudah banyak bertemu dengan orang-orang kangouw , Tu Fu tidak mengenal tokoh-tokoh besar di dunia persilatan, maka dia tidak mengenal Hek-i Hui-mo dan keganasannya. Ia memang seorang yang berhati mulia dan suka menolong, apalagi menolong seorang hwesio yang lajimnya menuntut penghidupan beribadat suci, tentu saja dia bersiap sedia untuk menolong. "Tu-siucai tak perlu tergesa-gesa. Silakan makan lebih dulu, baru nanti kita bicara kembali," kata Hek-i Hui-mo. Tu Fu tidak berlaku sungkan-sungkan dan sastrawan muda ini lalu makan habis daging dan minum arak itu sampai setengah guci. Setelah tu Fu selesai makan, Hek-i Hui-mo lalu mengeluarkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng dari saku bajunya, dan sambil memperlihatkan kitab itu kepada Tu Fu, dia berkata, "Pertama-tama pinceng ingin sekali mengetahui pendapat Siucai tentang kitab ini. Pinceng mendapat kitab kuno ini akan tetapi tidak dapat mengerti huruf-hurufnya yang kuno dan sukar dibaca. Dan karena kitab ini bagi pinceng penting sekali. Maka harap Siucai sudi menerangkan apakah kitab ini palsu atau bukan?" Tu Fu menerima kitab itu seperti seorang kelaparan menerima sepotong kue. Sastrawan mana yang tidak tertarik dan penuh gairah melihat sejilid kitab? Ia menerima kitab itu dengan penuh khidmat, lalu mulai membuka lembaran-lembaran pertamanya. "Hm, sebuah kitab kuno yang menarik hati sekali," katanya perlahan, didengarkan oleh Hek-i Hui-mo dengan penuh perhatian. "Sudah ribuan tahun usianya dan ditulis dengan bahasa dalam jaman Kerajaan Couw Timur!" Hek-i Hui-mo tertegun. "Pinceng mendengar bahwa kitab ini di tulis di jaman Shia!" Tu Fu menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin! Sudah pasti sekali ditulis dalam bahasa Couw Timur, Lo-suhu, siauwte tahu betul akan hal ini." "Kalau begitu, apakah kitab ini palsu?"


-Cerita Dewasa ABG SIlat : Pendekar Sakti 2 - KPH - http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/06/cerita-dewasa-panas-silat-pendekar.html-
"Bagaimana orang dapat menyatakan palsu kalau tidak melihat aselinya? Orang baru dapat mengenal kejahatan kalau sudah mengenal kebaikan, maka orang pun baru bisa mengenal barang palsu kalau sudah melihat barang tulennya. Siauwte tidak bisa mengatakan bahwa kitab ini palsu atau aseli, namun kitab ini benar-benar amat menarik hati. Siauwte mengenal seorang yang benar-benar ahli dalam bahasa yang ditulis dalam kitab ini yaitu Gui-siucai." Kembali Hek-i Hui-mo tertegun. "Pinceng mendengar bahwa Giu-suicai sudah meninggal dunia, akan tetapi, pinceng lebih suka mohon pertolongan kepadamu, Tu-siucai. Harap kau suka menterjemahkan kitab ini untuk pinceng." Tu Fu tidak menjawab, melainkan membuka lembaran kitab itu dan membacanya. Baru membaca dan membalik-balikkan lembaran kitab itu, berkerutlah keningnya. "Aneh sekali! Kitab ini bernama Im-yang Bu-tek Cin-keng, sebuah kitab pelajaran yang luar biasa anehnya. Akan tetapi yang lebih aneh lagi adalah kau, Lo-suhu. Kitab ini adalah pelajaran tentang ilmu silat dan ilmu perang, bagaimana seorang hwesio yang menuntut penghidupan suci seperti Lo-suhu ingin mempelajari isi kitab ini? Apakah gunanya untuk Lo-suhu?" Hek-i Hui-mo merasa muaknya panas. Kalau saja kulit mukanya tidak begitu hitam, tentu akan terlihat betapa mukanya menjadi merah. Ia merasa mendongkol dan marah sekali. Hm, pikirnya, kalau saja aku tidak membutuhkan pertolongan cacing buku ini, kuketok kepalanya sampai pecah! Ia menarik muka suungguh-sungguh ketika menjawab. "Tu-siucai, harap jangan salah mengerti. Kitab ini seperti kaukatakan tadi adalah kitab ilmu silat dan ilmu perang. Untuk pinceng pribadi memang tidak ada gunanya, sungguhpun harus pinceng akui bahwa semenjak kecil pinceng paling suka mempelajari ilmu silat. Akan tetapi tidakkah kau lihat betapa buruknya keadaan negara? Kalau pinceng dapat mempelajari ilmu silat dari dalam kitab ini yang juga belum tentu hebat, bukankah pinceng dapat menurunkan kepandaian itu kepada orang-orang gagah sehingga dapat dipergunakan untuk membela negara?" Pada saat Tu Fu hendak menjawab, tiba-tiba terdengar suara ketawa nyaring dari luar kelenteng, disusul oleh suara seorang wanita berkata, "Bangsat gundul menjemukan! Kaukira dapat melarikan diri dariku? Kembalikan kitab itu!" Hek-i Hui-mo terkejut sekali dan sekali dia melompat, dia telah berada diluar kelenteng menghadapi Kiu-bwe Coa-li yang datang bersama muridnya, Sui Ceng! Bukan main kagetnya hati Tu Fu ketika melihat betapa hwesio gendut itu seakan-akan menghilang dari depannya. "Aduh....., setankah dia?" katanya perlahan. Kemudian dia mendengar suara gaduh di luar kelenteng. Tu Fu segera memburu keluar dan bukan main heran dan terkejutnya ketika dia melihat dua bayangan orang bertempur di halaman kelenteng seperti iblis sedang menari-nari! Memang Hek-i Hui-mo tidak membuang waktu lagi. Begitu dia melihat bahwa yang datang adalah Kiu-bwe Coa-li, tanpa banyak cakap lagi dia lalu mengeluarkan tasbih dan Liong-thouw-tung (Tongkat Kepala Naga) dan segera menyerang dengan hebatnya. Kiu-bwe Coa-li tertawa mengejek dan wanita sakti ini pun lalu menggerakkan pecutnya yang bernama Kiu-bwe-sin-pian (Ruyung Lemas Berekor Sembilan). Pertempuran kali ini bukan main dahsyatnya. Satu lawan satu, tanpa khawatir ada tokoh lain yang mengganggu mereka. Bun Sui Ceng berdiri di pinggir menonton pertempuran antara gurunya dan Hek-i Hui-mo dengan penuh perhatian. Mukanya yang manis dan elok itu sama sekali tidak nampak gelisah, karena anak ini selain mempunyai hati yang tabah, juga percaya penuh bahwa gurunya pasti akan menang. "Kiu-bwe Coa-li, kau manusia usilan mengganggu saja!" seru Hek-i Hui-mo dan Tongkat Kepala Naga di tangan kanannya menyambar bagaikan halilintar ke arah kepala wanita itu. "Pendeta busuk, kau pencuri tak tahu malu!" balas memaki Kiu-bwe Coa-li dan sedikit miringkan kepala saja, serangan lawan dapat digagalkan. Pecut berekor sembilan di tangannya tidak tinggal menganggur, cepat melakukan serangan balasan, merupakan sembilan ekor ular yang bergerak dari segala jurusan, menyerang ke sembilan jalan darah di tubuh lawannya! Hek-i Hui-mo terkejut sekali melihat serangan hebat ini. Ia maklum akan kelihaian lawan dan sudah mendengar pula tentang keganasan Kiu-bwe Coa-li yang terkenal sekali turun tangan, tentu akan menewaskan lawan.Maka tanpa ayal lagi dia lalu menggerakkan tasbihnya diputar sedemikian rupa dibantu oleh Tongkat kepala Naga untuk melindungi tubuhnya. Beberapa kali terdengar suara, "Tar!Tar! Tar!"dari pecut di tangan Kiu-bwe Coa-li, sungguh membikin hati menjadi ngeri. Makin lama, pertempuran berjalan makin seru dan gerakan mereka menjadi makin cepat.Tiga macam senjata berubah menjadi gulungan sinar yang paling menarik dan indah dipandang adalah gerakan cambuk di tangan Kiu-bwe Coa-li. Cambuk yang berujung sembilan itu merupakan segundukan sinar yang bertangan sembilan, seperti seekor ikan gurita yang berjari sembilan. Setiap ujung cambuk ini merupakan perenggut nyawa yang lihai sekali.



Namun ilmu silat Hek-i Hui-mo juga tidak kalah hebatnya. Dia adalah seorang tokoh barat yang pernah menggemparkan Tibet, yang telah menjatuhkan jago-jago dan tokoh-tokoh dari barat dan boleh dibilang, selama melakukan perantauannya di dunia kang-ouw, Hek-i Hui-mo tak pernah terkalahkan. Entah sudah berapa ratus orang lawan terpaksa mengakui kehebatan ilmu silatnya dan sudah berapa puluh lawan binasa di tangannya! Tasbihnya berputar menjadi segundukkan sinar bundar seperti mustika naga sakti, adapun tongkatnya yang merupakan naganya sehingga sepasang senjata di tangannya itu bergerak-gerak bagaikan seekor naga mengejar mustikanya! Sukarlah untuk dikatakan siapa yang lebih lihai diantara dua orang tokoh besar ini. Masing-masing memiliki keistimewaan sendiri dan keduanya mengaku bahwa selamanya baru kali ini mereka menghadapi tandingan yang benar-benar seimbang dan berat. Agaknya pertempuran ini akan menjadi pertandingan mati hidup yang berjalan lama sekali sebelum seorang di antara mereka menggeletak tak bernyawa lagi di depan kaki lawannya. Pecut Kiu-bwe Coa-li menyambar, saking kerasnya, sampai terdengar angin bersiutan, dan karena sembilan ekor bulu pecut itu menyambarnya dari berbagai jurusan dalam kecepatan yang tidak sama, maka suara angin itu terdengar aneh sekali, bagaikan sembilan buah suling ditiup berbareng. Hek-i Hui-mo menangkis dengan tongkat yang disapukan dan sehelai daripada ujung pecut Kiu-bwe Coa-li menyambar dan melibat kaki meja sembahyang yang sudah berdiri miring. Hebat sekali tenaga manita sakti ini, karena meja itu melayang ke atas dan bagaikan disambitkan, meja itu menimpa tempat di mana Sui Ceng berdiri. Melihat hal itu, Tu Fu menjerit. Akan tetapi dia membelalakkan kedua matanya saking kagum dan heran melihat anak perempuan yang manis itu menampar dengan tangan kirinya yang kecil. "Brakk!" meja itu pecah berkeping-keping! Kini tongkat Liong-thouw-tung di tangan kanan Hek-i Hui-mo menyambar pinggang Kiu-bwe Coa-li. Serangan ini dilakukan sekuat tenaga sehingga wanita sakti itu tidak berani menangkis. Tubuhnya melompat ke atas dan mundur. Akan tetapi Hek-i Hui-mo tidak mau memberi hati dan terus melangkah maju lalu menyapu lagi dengan tongkatnya, dibarengi memukul kepala lawan dengan tasbihnya! Kiu-bwe Coa-li cepat mengelak dan tongkat yang kuat itu menyambar tiang kelenteng di bagian depan. "Kraaaakk........ bruuuk......!" Tiang itu patah dan mengeluarkan suara hiruk-pikuk! "Aduh, tahan.....! Tahan......! Apa-apaan sih semua ini? Apakah Ji-wi (Tuan Berdua) tidak malu? Orang-orang tua bertingkah seperti anak-anak kecil berebut kembang gula. Ada urusan dapat diurus, mohon mendengar kata-kata siauwte," Tu Fu berseru berkali-kali sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. Kalau saja tidak mengingat bahwa Tu Fu adalah orang yang dapat dimintai tolong menterjemahkan kitab yang tidak dapat mereka baca sendiri itu, mana dua orang tokoh lihai ini mau mendengarkan kata seorang sastrawan lemah seperti Tu Fu? Keduanya melompat kebelakang dan saling pandang bagaikan dua ekor harimau sedang marah. "Tu-siucai, kau menahan kami mau apakah?" tanya Kiu-bwe Coa-li dengan suara dingin sehingga Tu Fu merasa bulu tengkuknya berdiri. Bukan main hebatnya wanita ini, pikirnya, sudah bukan merupakan manusia lagi! "Harap Suthai suka bersabar, dan demikian pula Lo-suhu. Sebetulnya, mengapa Ji-wi bertempur mati-matian seakan-akan di dunia ini tidak ada pekerjaan lain yang lebih baik daripada saling gempur dan saling mencoba untuk membunuh?" Hek-i Hui-mo menarik napas panjang. "Tak lain karena kitab itulah. Kami berebut Kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!" Tu Fu masih membawa kitab itu. Kini dia mengangkat kitab itu tinggi-tinggi dan berkata, "Memperebutkan kitab ini? Alangkah lucunya. Dan untuk dapat membaca dan mengerti isinya saja, Ji-wi tidak bisa dan sengaja datang untuk minta siauwte menterjemahkannya?" Kiu-bwe Coa-li mengangguk dan berkata tegas, "Orang she Tu, tak usah direntang panjang lagi. Memang kami membutuhkan isi kitab itu. Akan tetapi karena di sini kami dua orang, terpaksa kami harus melenyapkan salah seorang lebih dulu, barulah nanti kau yang bekerja, menterjemahkan kitab itu. Hayo, Hek-i Hui-mo, kita selesaikan pertempuran kita!" "Baik, Kiu-bwe Coa-li. Awaslah kau!" Dua orang jago tua ini sudah bersiap-siap lagi untuk bertempur mati-matian, akan tetapi Tu Fu segera mencegah mereka. Sastrawan ini, seperti juga Gui Tin dan Li Po atau sastrawan dan seniman-seniman lainnya, tidak suka akan kekerasan dan mencinta kedamaian, maka tentu saja Tu Fu tidak mau melihat dua orang aneh itu saling gempur mati-matian seperti tadi. "Tahan!" katanya keras. "Kalau Ji-wi berkeras hendak saling bunuh, aku Tu Fu takkan mau menterjemahkan kitab ini. Biar Ji-wi memaksa dan membunuhku, aku takkan mau menterjemahkannya." Mendengar ini, kedua orang tokoh kang-ouw itu tertegun dan saling pandang. Mereka sudah maklum bahwa sastrawan-sastrawan dan seniman-seniman sama anehnya dengan orang-orang kang-ouw bahkan mereka itu lebih hebat pula. Biarpun mereka itu memiliki jasmani yang lemah, namun mereka berhati keras dan tidak takut mati. Kiu-bwe Coa-li dan Hek-i Hui-mo percaya dan tahu bahwa kata-kata yang keluar dari mulut sastrawan ini menyatakan tidak mau membantu, biar dia dibunuh atau disiksa sekalipun, tetap dia takkan mau menterjemahkan isi kitab itu. Dan apa artinya kitab itu tanpa ada penterjemahnya? Tiada beda dengan kertas-kertas pembungkus belaka!


-Cerita Dewasa ABG SIlat : Pendekar Sakti 2 - KPH - http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/06/cerita-dewasa-panas-silat-pendekar.html-
"Habis, kalau di sini ada kami berdua, bagaimana Tu-siucai hendak menagturnya?" tanya Hek-i Hui-mo dengan suara minta pertimbangan. Tu Fu mempersilakan mereka duduk di atas lantai di depan kelenteng. Kemudian dia melambaikan tangan kepada Sui Ceng yang tanpa ragu-ragu datang menghampiri. "Anak baik, kau benar-benar hidup dalah alam yang aneh," kata sastrawan itu sambil mengelus-elus rambut Sui Ceng yang hitam, halus, dan panjang, kemudian sastrawan in berkata kepada dua orang tokoh kang-ouw itu. "Harap Ji-wi dengarkan baik-baik keputusanku yang tak dapat diubah lagi. Siauwte sanggup membantu dan menterjemahkan isi kitab ini, akan tetapi hanya dengan syarat. Pertama, siauwte hanya akan menterjemahkan dengan cara membacanya saja dan Ji-wi harap mendengarkan dengan penuh perhatian dan mengingatnya baik-baik. Kedua, sehabis membaca semua isi kitab, kitab ini harus dibakar di depan siauwte, agar tidak menjadi perebutan mati-matian lagi. Hanya dengan dua macam syarat ini siauwte mau menolong, kalau tidak, biar Ji-wi akan membunuh siauwte, tak nanti siauwte mau menterjemahkannya. Bagaimana?" Kedua orang tokoh kang-ouw itu saling pandang. Celaka, pikir mereka, bagaimana dapat menghafal isi kitab dengan sekali mendengar saja? Akan tetapi kalau mereka tidak mau menerima, selain sastrawan aneh ini tak mungkin dipaksa, juga mereka masih saling berhadapan dan untuk mendapatkan kitab itu harus bertempur mati-matian dulu. Andaikata menang, bagaimana pula isi kitab dapat diterjemahkan? Apalagi kalau sampai terdengar oleh tiga orang tokoh besar yang lain dan mereka datang pula, tentu akan makin berabe saja! "Aku setuju!" kata Kiu-bwe Coa-li. "Hanya aku minta supaya pembacaan dilakukan dua kali!" Kiu-bwe Coa-li memang cerdik. Ia datang bersama muridnya dan dia percaya akan kecerdikan otak Sui Ceng. Tentu muridnya akan dapat membantu dan mengingat-ingat bunyi isi kitab itu. Hek-i Hui-mo tidak dapat mencari jalan lain. Ia pun tahu bahwa fihak Kiu-bwe Coa-li untung dengan adanya Sui Ceng, maka dia merasa ragu-ragu, lalu berkata, "Tidak adil sekali. Kau dibantu oleh muridmu sedangkan aku hanya seorang diri!" "Kau boleh mencari seorang pembantu pula," jawab Kiu-bwe Coa-li. Tu Fu mengerti akan maksud pembicaraan dua orang itu, akan tetapi dia pun tidak dapat memecahkan persoalan ini. Kebetulan sekali pada saat itu, terdengar tindakan kaki dan muncullah seorang anak laki-laki berusia kurang lebih delapan tahun. "Tu-sianseng, hakseng (murid) datang membawa makanan," kata anak itu sambil memandang kepada tamu-tamu gurunya dengan mata terheran. "Eh, Tu-siucai, siapakah anak ini?" tanya Hek-i Hui-mo yang memandang tajam kepada anak laki-laki yang berwajah tampan dan jujur ini. Biarpun anak ini bertubuh kurus dan tinggi, namun dia memiliki bakat yang baik juga untuk belajar silat. "Dia adalah Li Siang Pok, seorang anak dari kota Kai-feng. Ayahnya seorang sastrawan pula dan dia datang di sini untuk belajar kesusastraan dari siauwte." "Hm, jadi dia boleh dibilang muridmu?" Tu Fu mengangguk membenarkan. "Bagus! Pinceng mengambil dia sebagai pembantuku! Dengan adanya dia yang membantu pinceng, mengingat-ingat isi kitab Im-yang Bu-tk Cin-keng, maka keadaan pinceng dan Kiu-bwe Coa-li menjadi berimbang. Ini baru adil namanya!" Tu Fu ragu-ragu, lalu bertanya kepada Siang Pok, "Siang Pok, Lo-suhu ini minta bantuanmu untuk mengingat-ingat bunyi isi kitab kuno yang akan kubacakan. Maukah kau?" Siang Pok adalah seorang anak yang suka sekali akan kesusastraan, tentu saja mendengar akan dibacanya kitab kuno, tanpa berpikir panjang lagi dan tanpa bertanya lebih jelas, dia menganggukkan kepalanya. "Hakseng bersedia, Sianseng!" Demikianlah, mereka semua duduk bersila di atas kelenteng sebelah luar. Keadaan di situ sunyi dan ketika Tu Fu mulai membaca isi kitab, suaranya terdengar lantang dan jelas. Empat orang yang duduk mengelilinginya, yakni Hek-i Hui-mo, Kiu-bwe Coa-li, Sui Ceng, dan Siang Pok, mendengarkan dengan penuh perhatian. Kitab itu tidak terlalu tebal dan isinya pun tidak begitu banyak, karena seperti juga kitab-kitab kuno lainnya, ditulis hanyalah garis besarnya saja. Sebagaimana diketahui, kitab itu isinya dibagi menjadi dua soal, yakni tentang ilmu silat dan tentang ilmu perang. Kepandaian Tu Fu ini dalam hal bahasa kuno, tidak kalah oleh mendiang Gui Tin, maka dia dapat membacanya dengan amat lancar. Kiu-bwe Coa-li dan Sui Ceng, tidak mendengarkan atau lebih tepat, tidak memperhatikan sama sekali akan bunyi ilmu perang yang dibaca oleh Tu Fu. Guru dan murid ini mencurahkan seluruh perhatiannya kepada bunyi ilmu silat saja. Sebaliknya, karena tidak diberi tahu lebih dulu, anak laki-laki yang bernama Lai Siang Pok itu mendengarkan seluruh isi kitab, yaitu bagian ilmu silat dan bagian ilmu perangnya. Demikian pula, Hek-i Hui-mo, karena dia mempunyai cita-cita pemberontakkan, dia juga memperhatikan kedua bagian ini. Hampir satu hari lamanya Tu Fu membaca habis kitab itu untuk kedua kalinya dan semua fihak merasa puas. Kiu-bwe Coa-li dan Hek-i Hui-mo karena mengerahkan seluruh ingatan untuk mengingat-ingat kembali apa yang mereka telah dengarkan tadi, kini melihat saja dan tidak mempedulikan lagi ketika Tu Fu menggunakan api membakar kitab itu di depan mereka! Setelah melihat kitab itu habis terbakar Hek-i Hui-mo tertawa bergelak dan dengan cepat sekali dia melompat lalu mengempit Lai Siang Pok, terus di bawa lari! "He, Lo-suhu! Lepaskan muridku!" Tu Fu berteriak-teriak, akan tetapi hanya suara ketawa dari jauh sana menjawabnya. Adapun Kiu-bwe Coa-li yang tidak mau terganggu pikirannya yang sedang menghafal itu lalu menggandeng tangan Sui Ceng dan pergi pula dari situ. Tu Fu menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata seorang diri. "Benar-benar aneh sekali orang-orang itu. Apa sih gunanya segala macam ilmu kekerasan yang kasar itu?? Aneh.....aneh......!" Sastrawan ini pun beberapa hari kemudian tidak kelihatan lagi di tempat itu, telah melanjutkan perantauannya.

Ketika berada di tempat sunyi, Kiu-bwe Coa-li segera bertanya kepada muridnya. “Sui Ceng, coba kauulangi kata-kata di dalam kitab yang dibaca oleh Tu-siucai tadi.” Sui Ceng lalu mengulangi kata-kata yang masih diingatnya. Kiu-bwe Coa-li tidak mempedulikan tentang peraturan latihan lweekang dan ginkang, yang paling diperhatikan hanya gerakan-gerakan ilmu silat yang terdapat di dalam kitab itu. Semua terdapat tiga puluh enam pokok gerakan yang perkembangannya dapat timbul sendiri tergantung dari bakat dan kecerdikan masing-masing pelajar. Karena gerakan-gerakan itu hanya ditulis dan tidak digambar, maka dapat dibayangkan betapa sukarnya. Setelah ia mendengar apa yang yang masih diingatnya oleh Sui Ceng dan dikumpulkan dengan ingatannya sendiri, Kiu-bwe Coa-li ternyata hanya dapat mengumpulkan empat belas gerakan saja! Akan tetapi, empat belas jurus pokok gerakan silat Im-yang Bu-tek Cin-keng ini baginya sudah cukup berharga. Memang dia seorang yang ahli dalam ilmu silat dan ternyata olehnya betapa hebat, lihai, dan aneh isi gerakan-gerakan ini. Cepat-cepat ia lalu mempelajari gerakan-gerakan ini dan disesuaikan dengan kepandaiannya sendiri. Selama tiga bulan Kiu-bwe Coa-li seakan-akan lupa makan dan lupa tidur, tiap hari hanya berlatih ilmu silat baru yang sesungguhnya dia ciptakan sendiri berdasarkan apa yang ia dengar dari kitab itu. Dan tercipatalah ilmu silat baru yang benar-benar luar biasa sekali. Kiu-bwe Coa-li menjadi girang dan berbareng ia pun lalu melatih muridnya dengan sungguh-sungguh. “Sui Ceng, ilmu silat yang kita dapatkan ini entah Im-yang Bu-tek Cin-keng yang aseli atau bukan, namun kau harus tahu bahwa ini memang benar-benar ilmu silat yang aneh dan hebat sekali. Setelah kuperbaiki apa yang kita berdua ingat, kurasa ilmu silat yang kuciptakan berdasarkan dari Im-yang Bu-tek Cin-keng ini, takkan mudah dikalahkan oleh lain orang. Mari kita mencari seorang di antara mereka, hendak kucoba sampai di mana kegunaan ilmu silat baru ini!” Maka berangkatlah Kiu-bwe Coa-li bersama muridnya, untuk mencari seorang di antara empat besar, yakni Hek-i Hui-mo, Jeng-kin Jiu Kak Thong Taisu, Ang-bin Sin-kai atau juga Pak-lo-sian Siangkoan Hai untuk mengadu ilmu silatnya yang baru! Perjalanan dilakukan lambat sekali karena sepanjang hari Kiu-bwe Coa-li melatih diri dengan ilmu silat baru ini, dan juga berbareng memberi latihan-latihan ilmu silat tinggi kepada muridnya. Pada suatu hari, mereka tiba di kota Cin-leng yang cukup besar dan ramai. Berbeda dengan tokoh-tokoh kang-ouw lainnya, Kiu-bwe Coa-li paling teliti dalam memilih makan dan tempat menginap. Ia selalu memilih rumah penginapan yang terbersih dan memilih makanan dari restoran yang besar. Oleh karena itu, pakaian yang dipakai oleh Sui Ceng pun selalu bersih dan baik dan anak perempuan ini dibelikan pakaian beberapa stel yang dibungkus dengan kain kuning dan selalu buntalan itu digendong di atas punggungnya. Di kota Cin-leng, begitu memasuki sebuah rumah penginapan yang besar, Kiu-bwe Coa-li terus saja berdiam di dalam kamarnya, duduk di atas pembaringan dan bersamadhi. Sebaliknya, Sui Ceng yang ketika memasuki kota tadi melihat bangunan-bangunan indah dan keadaan kota yang ramai, lalu keluar dari hotel itu dan pergi berjalan-jalan. Ketika tiba di depan sebuah restoran, perhatian Sui Ceng tertarik kepada tujuh orang yang sedang makan di ruang depan restoran itu. Mereka ini nampaknya seperti orang-orang gagah dan dari pakaian mereka, tahulah Sui Ceng bahwa mereka adalah serombongan piauwsu (pengawal kiriman barang berharga). Dari wajah mereka yang muram dan percakapan mereka yang hangat, Sui Ceng dapat menduga tentu telah terjadi sesuatu yang hebat. Oleh gurunya, Sui Ceng selalu dibekali uang, karena Kiu-bwe Coa-li berwatak terlalu angkuh untuk membiarkan muridnya mencuri atau mengemis makanan. Maka Sui Ceng lalu bertindak memasuki restoran itu dan mengambil tempat duduk tidak jauh dari para piauwsu yang sedang bercakap-cakap itu. Tentu saja ada beberapa orang yang memandang kepadanya dengan heran, karena jarang terjadi seorang anak perempuan berusia kurang lebih tujuh tahun memasuki restoran seorang diri, akan tetapi selanjutnya tidak ada yang menaruh perhatian, karena ia disangka puteri seorang kaya raya yang suka jajan!


-Cerita Dewasa ABG SIlat : Pendekar Sakti 2 - KPH - http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/06/cerita-dewasa-panas-silat-pendekar.html-
Sui Ceng tertarik sekali ketika mendengar seorang diantara para piauwsu itu berkata, “Jalan satu-satunya bagi kita untuk menolong mereka, tak lain kita harus minta bantuan dari Bin Kong Siansu ketua Kim-pan-sai. Selain orang tua itu, agaknya siluman itu takkan dapat di lawan.” Pada saat itu, terdengar suara banyak orang mendatangi di luar restoran. Ketika Sui Ceng melirik, yang datang itu adalah belasan orang laki-laki yang kelihatan gagah dan yang pada saat itu nampak marah sekali. “He, pengecut-pengecut dari Hui-to-piauwkiok (Perusahaan Expedisi Golok Terbang)! Keluarlah untuk terima binasa!” teriak seorang di antara para pendatang itu. “Hm, menyebalkan sekali orang-orang Sin-to-pang itu!” kata seorang piauwsu sambil mencabut goloknya, lalu berjalan keluar diikuti oleh kawan-kawannya. Sementara itu, ketika mendengar bahwa orang-orang yang datang adalah anggauta-anggauta Sin-to-pang (Perkumpilan Golok Sakti), Sui Ceng terkejut sekali dan cepat berdiri lalu melihat dengan penuh perhatian. “Kalian ini orang-orang Sin-to-pang mau apakah? Ketua kami dan isterinya mengalami bencana, kalian ini sebagai orang-orang yang menganggap diri gagah, bukannya membantu bahkan mencari masalah!” kata piauwsu tadi sambil bersiap dengan golok di tanganya. Seorang di antara anggauta-anggauta Sin-to-pang, yang semuanya juga memegang golok, menudingkan goloknya sambil memaki, “Orang-orang rendah! Kalau tidak ketua kalian si pemikat she Ong itu membujuk Thio-toanio, tidak nanti sampai terjadi Thio-toanio tertangkap oleh Toat-beng Hui-houw (Macan Terbang Pencabut Nyawa)! Sekarang kalian harus menebus kesalahan ketuamu itu, baru kami akan menolong Thio-toanio.” “Manusia-manusia sombong dan bodoh!” para piauwsu itu berseru dan terjadilah perang tanding antara belasan anggauta Sin-to-pang dan tujuh orang paiuwsu itu. Semua menggunakan golok dan pertempuran terjadi ramai sekali. Orang-orang yang berada di sekitar tempat itu menjadi ketakutan dan cepat-cepat melarikan diri. Akan tetapi, pada saat itu, sesosok bayangan yang kecil melompat ke tengah medan pertandingan dan terdengar seruan nyaring, “Tahan semua senjata!” Bayangan ini adalah Sui Ceng yang bergerak dengan tubuh ringan dan cepat, juga suaranya dikeluarkan dengan tenaga khikang sehingga terdengar nyaring dan berpengaruh. Beberapa orang segera menahan senjata mereka dan mundur, akan tetapi ada tiga orang anggauta Sin-to-pang dan dua orang piauwsu yanga berangasan dan masih saja bertanding dengan hebatnya. “Tahan kataku!” teriak Sui Ceng dan sekali saja dia menggerakkan tangannya dan tubuhnya menyambar, terdengar suara berkerontangan dan empat batang golok telah terlepas dari pegangan dan terlempar ke atas tanah mengenai batu-batu. Orang-orang itu terkejut sekali karena ternyata bahwa yang membuat tangan mereka untuk sesaat lumpuh tadi adalah seorang anak perempuan! Sui Ceng telah mempergunakan gerakan jari-jari tangan untuk menotok urat-urat nadi mereka, dan mengandalkan ginkangnya yang sudah tinggi, dia dapat melakukan serangan-serangan ini dengan amat mudah! “Siauw-pangcu (ketua cilik)!!” para anggauta-anggauta Sin-to-pang berseru ketika mereka melihat Sui Ceng. Serta-merta orang-orang ini lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Sui Ceng! Para piauwsu yang melihat hal ini menjadi tertegun dan kini dua orang di antara mereka mengenal pula Sui Ceng yang dulu pernah ikut ibunya, ketika ibunya menikah dengan Ong Kiat pemimpin mereka. “Ah, tidak tahunya Siocia yang datang!” kata mereka sambil memberi hormat. Menghadapi semua penghormatan ini, Sui Ceng sama sekali tidak merasa kikuk atau sungkan. Ia berdiri tegak, lalu berkata, “Mengapa di antara orang-orang sendiri sampai menimbulkan keributan yang tidak perlu? Ada urusan dapat diurus, ada persoalan dapat diselesaikan. Sebenarnya, apakah yang telah terjadi?” Oleh karena kini orang-orang datang lagi berduyun-duyun untuk mendengarkan pembicaraan mereka, para piauwsu itu mempersilakan Sui Ceng dan anggauta-anggauta Sin-to-pang untuk memasuki restoran. Mereka mengambil tempat di ruang atas dan di situ Sui Ceng duduk dikelilingi oleh orang-orang Sin-to-pang dan para piauwsu dari Hui-to-piauwkiok. Maka berceritalah mereka tentang bencana yang menimpa Ong Kiat dan isterinya, yakni Thio Loan Eng. Bencana itu baru terjadi dua hari yang lalu. Ketika itu, Ong Kiat yang menjadi ketua dari Hui-to-piauwkiok mengawal sendiri barang kiriman dari Hak-keng ke kota raja. Terpaksa dia turun tangan sendiri karena barang yang dikirim itu adalah barang berharga, sumbangan para hartawan di Hak-keng untuk pembesar-pembesar di kota raja. Memang pada masa itu, di Tiongkok lajim terjadi pengiriman barang-barang “upeti” yang amat mahal dari para hartawan kepada pembesar-pembesar tertentu sampai ke kaisar, akan tetapi tak seorang pun berani menyatakan bahwa kiriman itu merupakan “sogokan”.



Perjalanan dari Hak-keng ke kota raja melalui kota Cin-leng, dan sampai ke kota ini rombongan yang terdiri dari, dua gerobak kuda terisi barang kiriman dan dikawal oleh Ong Kiat dan tujuh orang anak buahnya, tidak mengalami gangguan sesuatu. Para petualang di dunia liok-lim tidak ada yang berani menggangu rombongan ini ketika mereka melihat dua macam bendera yang tertancap di atas gerobak. Yang pertama bendera berlukiskan sebuah golok terbang sebagai lambang dari Hui-to-piauwkiok (Perusahaan Expedisi Golok Terbang), dan bendera kedua adalah bendera kuning bertuliskan merah ONG, tanda bahwa Ong Kiat sendiri mengawal barang-barang berharga itu. Rombongan itu bermalam di Cin-leng, dan pada keesokan harinya melanjutkan perjalanan ke kota raja. Akan tetapi perjalanan kali ini amat sukar, karena dari Cin-leng ke kota raja melalui hutan-hutan belukar yang amat liar dan di situ tidak terdapat jalan besar yang dapat dilalui gerobak dengan mudah. Terpaksa memperlebar jalan kecil di dalam hutan dengan menbabat rumput dan pepohonan. Baru saja memasuki hutan kedua, kira-kira tiga puluh li dari kota Cin-leng di sebelah utara, senja telah tiba. Selagi Ong Kiat dan tujuh orang anak buahnya membabat alang-alang, tiba-tiba terdengar suara ketawa yang keras dan menyeramkan sekali dan dari atas sebatang pohon besar menyambar turun bayangan orang yang tidak dapat melihat dengan jelas saking cepatnya gerakan orang ini. Orang itu hanya melompat ke atas gerobak di depan dan menghilang lagi, meninggalkan gema ketawa yang menyeramkan. “Ibliskah dia……?” tanya seorang anak buah, kawan Ong Kiat. “Set, jangan sembarangan bicara,” mencela Ong Kiat. “Tidak tahukah kalian bahwa orang itu tidak sengaja mempermainkan kita? Lihat!” Ong Kiat menunjuk ke atas gerobak pertama dan ketika tujuh orang anak buahnya menengok, mereka menjadi pucat sekali. Ternyata bahwa dua buah bendera yang tadinya tertancap di atas gerobak dan berkibar-kibar tertiup angin, sekarang sudah lenyap tak meninggalkan bekas! Alangkah hebatnya kepandaian bayangan tadi, sekali melompat saja sudah dapat merampas dua bendera tanpa dapat mereka lihat sedikit pun juga. Ong Kiat sendiri tidak dapat melihat gerakan orang tadi dengan jelas, akan tetapi karena ilmu silatnya lebih tinggi daripada kawan-kawannya, dia masih dapat mengikuti ke mana bayangan tadi melayang sehingga dia dapat melihat lenyapnya dua benderanya. Ong Kiat lalu menghadap ke arah bayangan tadi menghilang, kemudian menjura dan mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan sambil berkata, “Siauwte Ong Kiat mengharap supaya sahabat yang di depan jangan mempermainkan kami dan sukalah memberi maaf apabila kami tidak menyambut kedatanganmu karena tidak tahu. Kalau sahabat berlaku murah, kami Hui-to-piauwkiok bukanlah orang-orang yang tak kenal budi dan tentu akan memenuhi permintaan yang pantas dari padamu.” Setelah Ong Kiat mengakhiri kata-katanya, keadaan sunyi sekali. Semua orang menahan napas dan yang terdengar hanya berkereseknya daun-daun pohon dipermainkan oleh angin lalu. Tiba-tiba terdengar lagi suara ketawa yang menyeramkan seperti tadi dan dari jurusan depan, menyambar dua benda merupakan sinar kuning dan putih yang meluncur mengarah dada dan leher Ong Kiat! Piauwsu ini bukan seorang lemah. Ia tahu bahwa dia diserang dengan senjata rahasia yang aneh, maka cepat dia miringkan tubuhnya ke kiri dan ketika dua tangannya bergerak dari samping, dia telah menangkap dua benda kuning dan putih itu. Alangkah mendongkolnya ketika dia melihat bahwa benda-benda itu bukan lain adalah dua buah benderanya yang tadi dicabut orang! Akan tetapi, diam-diam dia terkejut sekali karena ketika dia menyambut bendera-bendera tadi, kedua tangannya tergetar. Bukan main hebatnya tenaga yang menyambitkan dua bendera bergagang kayu itu. “Ong Kiat, manusia lancang!” terdengar suara yang parau dan kasar. “Kau telah berani sekali mengambil Pek-cilan sebagai isterimu, padahal dia sudah dipastikan akan mampus di dalam tanganku. Akan tetapi aku masih mau mengampuni jiwamu dan hanya akan menghukummu dengan merampas dua gerobak barang ini. Kau dan anak buahmu lekas pergi dari sini dan tinggalkan dua gerobak barang ini di sini!” Wajah Ong Kiat sebentar berubah pucat sebentar merah saking marah dan dongkolnya mendengar kata-kata yang amat menghina ini. Ia adalah seorang gagah, biarpun pekerjaannya sebagai piauwsu mengharuskannya untuk bersikap baik terhadap para perampok agar jangan banyak dimusuhi orang, akan tetapi kalau orang terlalu menghina, dia pasti akan melawan! “Sahabat yang manakah begitu sombong? Harap keluar memperkenalkan diri. Aku Ong Kiat bukanlah orang yang menjadi ketakutan karena gertak kosong belaka!” Sambil berkata demikian, dia mencabut goloknya yang tajam mengkilap. Tujuh orang kawannya juga sudah mencabut golok masing-masing. Ong Kiat terkenal sebagai seorang ahli golok yang lihai, murid Thian-san-pai yang tak boleh dibuat permainan. Juga tujuh orang kawannya telah mempelajari ilmu golok dan rata-rata memiliki kepandaian yang cukup tangguh. Kembali terdengar suara ketawa, kali ini disertai ejekan. “Kalian sudah bosan hidup, jangan bilang aku berlaku kejam!” Sehabis ucapan ini, dari belakang rumpun menyambar keluar tubuh seorang kakek yang benar-benar menyeramkan. Bajunya yang berlengan lebar berwarna biru muda, celananya biru tua dan kakinya telanjang. Hidungnya bengkok dan besar, mulutnya tertutup cambang dan jenggot putih. Kepalanya botak kelimis, hanya di kanan kiri terdapat rambut hitam yang kaku dan berdiri. Yang hebat adalah jari-jari tangannya, karena sepuluh jari tangannya itu berkuku panjang dan dan runcing seperti kuku harimau! Ketika dia melompat keluar, kedua kakinya tidak mengeluarkan suara sedikit pun, seperti kaki harimau saja. “Kau tidak mengenal aku? Ha, ha, ha!” Kakek yang menyeramkan ini mengeluarkan suara ketawa seperti auman harimau.



Ong Kiat memandang takjub. Melihat keadaan kakek ini, dia teringat akan seorang tokoh hek-to (jalan hitam, dunia orang jahat) yang di juluki orang Toat-beng Hui-houw (Harimau Terbang Pencabut Nyawa). Akan tetapi, Toat-beng Hui-houw kabarnya sudah lenyap dari dunia dan sudah puluhan tahun tak pernah memperlihatkan diri. Ong Kiat cepat-cepat memberi hormat. “Siauwte bermata buta, tidak mengenal siapa adanya Locianpwe yang terhormat.” Toat-beng Hui-houw semenjak mudanya berwatak keras dan sombong sekali, maka mendengar orang tidak mengenal namanya, dia menjadi makin marah. “Buka telingamu dan matamu lebar-lebar, Ong-piauwsu! Aku adalah Toat-beng Hui-houw, dan kau tentu sudah tahu bahwa siapapun juga yang tidak mentaati perintah Toat-beng Hui-houw, berarti harus mati!” Setelah berkata demikian, secepat kilat tangannya yang berkuku panjang itu menyambar ke arah kepala Ong Kiat! Piauwsu muda ini terkejut sekali, tidak hanya karena nama itu, akan tetapi juga karena serangan yang datangnya tiba-tiba dan hebat bukan main ini. Cepat dia menggerakkan goloknya menangkis sekuat tenaga, bermaksud membabat putus kuku-kuku panjang dari lawannya itu. “Traaang….!” Ong Kiat berseru kaget dan cepat melompat ke belakang karena merasa betapa goloknya beradu dengan benda yang luar biasa keras dan kuatnya sehingga kalau dia tidak buru-buru menarik kembali goloknya dan melompat mundur, tentu golok itu akan terlepas dari pegangannya! Baiknya golok pusaka yang ampuh dan kuat, kalau tidak demikian, agaknya golok itu sudah menjadi rusak ketika bertemu dengan kuku-kuku yang demikian kerasnya! “Ha, ha, ha! Kau harus mampus! Kau juga!” kata-kata ini diulangi terus dan tubuhnya bergerak maju sambil menyerang dengan sepasang tangannya yang berkuku runcing dan panjang. Terdengar suara “traaang! traaang!!” beberapa kali dan golok di tangan ketujuh orang kawan Ong Kiat itu terbang terlepas dari tangan, ada yang retak dan ada pula yang terpotong menjadi dua! Lalu disusul jeritan-jeritan ngeri ketika kuku-kuku yang panjang itu mengenai tubuh mereka. Ada yang lehernya hampir putus, kulit perutnya robek dan sebentar saja tujuh orang piauwsu itu tergeletak tumpang tindih dalam keadaan yang amat mengerikan! Keadaan mereka ini tiada bedanya dengan orang-orang yang telah diserang oleh seekor harimau yang ganas. Akan tetapi, Toat-beng Hui-houw sengaja hanya melukai pundak seorang diantara tujuh kawan Ong Kiat itu yang kini duduk merintih-rintih dan memegangi pundak kanannya yang berlumur darah. Ong Kiat menjadi marah sekali. Dengan nekat dia lalu menyerang dengan goloknya. Serangannya tidak boleh dibuat permainan, karena dia mempergunakan ilmu golok Thian-san-pai yang lihai. Toat-beng Hui-houw maklum akan hal ini maka dia pun tidak berani sembarangan menangkis, melainkan mempergunakan ginkangnya yang istimewa untuk mengelak kesana kemari. Orang sudah tahu akan kegesitan seekor harimau, akan tetapi Toat-beng Hui-houw (Harimau Terbang) karena gerakannya itu seolah-olah seekor harimau yang bersayap! Tidak saja dia pandai dan cepat sekali mengelak ke sana ke mari, bahkan kadang-kadang dia melompat tinggi seperti terbang saja. Selain mengelak atau menangkis serangan Ong Kiat yang mengamuk seperti gila karena sudah nekat sekali, juga Toat-beng Hui-houw membalas dengan serangan-serangan kukunya yang berbahaya. Betapapun pandainya Ong Kiat mainkan goloknya, namun menghadapi kakek yang luar biasa sekali ini dia hanya dapat betahan sampai tiga puluh jurus saja. Agaknya kalau Toat-beng Hui-houw menghndaki kematiannya, dalam sepuluh jurus juga Ong Kiat akan roboh binasa. Namun kakek ini hendak menawannya hidup-hidup, maka dia hanya berusaha merampas golok. Akhirnya, ketika golok itu diputar dan menyerang lehernya, kakek itu berseru keras sekali dan kedua tangannya bergerak. Tangan kanan mendahului golok mencengkeram ke arah lambung lawan dan tangan kiri menyusul untuk merampas golok! Ong Kiat tak berdaya. Kalau dia membiarkan lambungnya dicengkeram, tentu dia akan binasa dan goloknya yang datangnya kalah cepat belum tentu akan mengenai lawan. Terpaksa dia melompat ke belakang dan menarik pulang goloknya, namun terlambat. Golok itu telah kena dicengkeram dan sekali renggut saja sudah pindah tangan! Toat-beng Hui-houw mendesak terus dan akhirnya jalan darah di pundak Ong Kiat telah kena dicengkeram oleh jari-jari itu. Kulit pundaknya pecah dan Ong Kiat roboh dalam keadaan lumpuh tak berdaya lagi! “Ha, ha, ha, ha, ha! Baru kalian tahu betapa lihainya Toat-beng Hui-houw!” Ia lalu menggunakan kakinya yang telanjang itu untuk menendang bangun anggauta piauwsu yang terluka pundaknya tadi. “Hei, kau!” Aku sengaja tidak membikin mampus padamu agar kau dapat memanggil Pek-cilan, datang kesini! Katakan bahwa selambat-lambatnya besok pagi ia harus datang di sini, kalau tidak, suaminya akan kucekik mampus dan dia pun akan kucari ke rumahnya. Pakai kuda itu!” Piauwsu itu tak berdaya. Terpaksa dia menangkap kembali kudanya dan mengaburkan kuda itu kembali ke Hak-keng. Ia melakukan perjalanan cepat sekali tanpa berhenti, sedangkan luka dipundaknya tidak dirawat, maka ketika dia tiba di depan Thio Loan Eng, dia roboh pingsan! Dapat diduga betapa hebat kemarahan dan kekagetan hati Loan Eng mendengar tentang keadaan suaminya. Tanpa banyak cakap lagi, ia lalu cepat melarikan kuda menuju ke tempat itu, diikuti oleh semua anggauta piauwkok, yakni piauwsu-piauwsu yang kebetulan berada di kota yang jumlahnya ada sepuluh orang. Begitu tiba di tempat yang dituju, Loan Eng mencabut pedangnya dan berseru dengan suara keras,

“Toat-beng Hui-houw siluman buas, kau keluarlah untuk terima binasa!”



Tiba-tiba terdengar suara ketawa dari Toat-beng Hui-houw, lalu tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu dia telah berdiri di hadapan Loan Eng. Pendekar wanita ini pun belum pernah bertemu dengan kakek ini, maka seperti juga Ong Kiat, ia terkejut sekali menyaksikan keseraman kakek ini. Akan tetapi ia tidak pernah mengenal takut dan sambil menudingkan pedangnya ke muka orang, ia berkata,

“Toat-beng Hui-houw, antara kita tidak pernah terjadi permusuhan, mengapa kau berlaku begitu kejam, membunuh kawan-kawan kami dan bahkan menawan suamiku?” Kakek yang menyeramkan itu tertawa bergelak dengan suara mengejek lalu berkata, “Pek-cilan, kau terlalu mengandalkan kegagahan sendiri dan sama sekali tidak melihat orang! Kau telah membunuh suteku Tauw-cai-houw, maka sekarang aku datang untuk menagih hutang!” Terkejut hati Loan Eng mendengar ini, ah, tidak tahunya kakek mengerikan ini adalah suheng (kakak seperguruan) dari Tauw-cai-houw, manusia gila yang dulu menculik dan hendak memanggang Kwan Cu hidup-hidup dan yang telah terbunuh olehnya dalam pertempuran. Tauw-cai-houw saja sudah amat lihai, apalagi suhengnya ini! Namun Loan Eng tidak menjadi jerih. Ia tersenyum mengejek dan berkata, “Toat-beng Hui-houw, kau mau menang sendiri saja. Sutemu (adik seperguruanmu) Tauw-cai-houw itu adalah orang gila. Aku melihat dia menangkap seorang anak kecil yang hendak dipanggang dan dimakan dagingnya. Apakah aku harus berpeluk tangan saja dan tidak mencegahnya? Kau pun tentu maklum bahwa kejahatan seperti itu tak dapat diampunkan lagi. Sutemu bertempur dengan aku dan dia binasa, mengapa hal ini kau jadikan alasan untuk membunuh orang-orangku dan menawan suamiku?” “Bodoh! Suteku sedang meyakinkan Ilmu Hoat-lek Kim-ciong-ko (Ilmu Kebal Berdasakan Ilmu Gaib) dan untuk itu dia membutuhkan daging dan darah seorang anak sin-tong (anak ajaib)! Kau datang mengganggu dan bahkan membunuhnya. Sekarang aku yang akan mengambil darahmu untuk dijadikan obat panjang usia, ha-ha-ha!” Setelah berkata demikian, Toat-beng Hui-houw menubruk dengan kuku-kuku tangannya yang panjang dan runcing. Loan Eng maklum bahwa dia menghadapi seorang kakek yang selain lihai sekali, juga agaknya pun miring otaknya, maka ia lalu berlaku hati-hati sekali.

Pedangnya diputar cepat sehingga berubah menjadi gulungan sinar putih yang menyilaukan mata. Kalau dibandingkan dengan ilmu golok Ong Kiat, ilmu pedang Loan Eng ini ternyata lebih ganas dan berbahaya, akan tetapi kini Toat-beng Hui-houw bergerak cepat sekali dan kakek ini mengerahkan seluruh kepandaiannya. Pandangan mata Loan Eng menjadi kabur dan gelap saking cepatnya gerakan kakek itu, apalagi kini dari kedua tangan kakek itu menyambar hawa dingin yang berbau amis sekali. Diam-diam Loan Eng bergidik. Ia pernah mendengar akan kehebatan kakek ini, dan mendengar pula bahwa kuku-kuku yang panjang itu sewaktu-waktu apabila mengahadapi lawan tangguh, direndam dalam air obat terisi bisa yang amat jahat. Ia tahu bahwa sekali saja ia terkena kuku yang runcing seperti pisau itu, tentu ia akan terkena bisa dan celaka. Namun Loan Eng memang terkenal seorang keras hati yang tidak mau menyerah dan pantang mundur. Ia menyerang terus, mengerahkan tenaga dan kepandaiannya, menggerakkan pedangnya dalam tipu-tipu yang paling diandalkan.

Pertandingan terjadi luar biasa hebatnya, jauh lebih hebat daripada ketika Toat-beng Hui-houw menghadapi Ong Kiat. Sepuluh orang piauwsu yang ikut datang bersama Loan Eng, menjadi bingung karena tidak tahu harus berbuat apa. Ingin membantu, namun maklum akan kekurangan sendiri dan baru melihat pertandingan itu saja mereka telah menjadi pening dan tidak dapat membedakan mana kawan dan lawan karena gerakan kedua orang yang bertempur luar biasa cepatnya. Baru kali ini Loan Eng merasa mendapat lawan yang amat tangguh. Toat-beng Hui-houw benar-benar jauh lebih tangguh daripada Tauw-cai-houw dan setelah melawan sampai empat puluh jurus lebih, akhirnya ia pun harus menyerah kalah. Sepuluh buah kuku yang runcing itu berhasil mencengkeram pedangnya dan tanpa dapat ditahan lagi, pedangnya terlepas dari tangannya. Kemudian Toat-beng Hui-houw menubruk maju, disambut oleh tendangan kaki Loan Eng yang menggunakan ilmu tendang Soan-hong-twi. Namun, alangkah kagetnya ketika kaki kirinya dapat tertangkap pula! Sebelum ia sempat memukul, pundaknya dapat dicengkeram dan matanya menjadi gelap. Loan Eng roboh pingsan!

Melihat hal ini, sepuluh orang piauwsu yang berada di situ menjadi kaget dan marah sekali. Dengan golok di tangan, mereka menyerbu Toat-beng Hui-houw. Kakek yang mengerikan ini hanya tertawa bergelak dan begitu tubuhnya bergerak didahului oleh kedua tangannya yang berkuku panjang, tiga orang piauwsu roboh tak bernyawa pula! Melihat kehebatan ini, tujuh orang piauwsu yang lain lalu melompat ke atas kuda mereka dan melarikan diri dari situ! Kemudian mereka mengadakan perundingan dalam restoran untuk mencari jalan guna menolong Ong Kiat dan Loan Eng dan kemudian datang rombongan anggauta Sin-to-pang sehingga terjadi pertempuran sebagaimana yang telah dituturkan di bagian depan.

Adapun orang-orang Sin-to-pang lalu menuturkan bahwa mereka mendengar pula tentang bencana yang menimpa Loan Eng. Mereka menjadi marah sekali. Semenjak mendengar bahwa Loan Eng menikah dengan Ong Kiat, para anggauta Sin-to-pang ini sudah merasa sakit hati dan tidak senang kepada Hui-to-piauwkiok. Kini mendengar bahwa Loan Eng mendapat bencana, mereka menganggap bahwa itu adalah kesalahan Ong Kiat, mereka sama sekali tidak tahu bahwa justeru Toat-beng Hui-houw turun gunung mengganggu Ong Kiat karena Ong Kiat memperisteri Loan Eng dan karena Loan Eng telah membinasakan Tauw-cai-houw, sute dari Toat-beng Hui-houw!



Demikianlah, dua rombongan dari Sin-to-pang dan Hui-to-piauwkiok itu saling menuturkan apa yang mereka ketahui kepada Sui Ceng dan baru sekarang rombongan Sin-to-pang mengetahui duduk perkaranya yang sesungguhnya.

“Hanya ada dua jalan,” kata para piauwsu itu menutup penuturan mereka. “Pertama, kita minta bantuan Bin Kong Siansu dari Kim-san-pai, dan ke dua, kita minta bantuan Thian-san-pai untuk menghadapi Toat-beng Hui-houw yang lihai.”

Sementara itu, untuk beberapa lama Sui Ceng tak dapat berkata-kata saking marahnya mendengar penuturan tentang bencana yang menimpa diri ibunya. Kini ia berseru keras dan mencela kata-kata mereka itu.

“Banyak yang cakap tanpa kerja tiada gunanya. Hayo kalian tunjukkan padaku di mana Ibu di tawan. Menghadapi siluman tua itu saja, mengapa ribut-ribut minta bantuan orang lain?”

“Siauw-pangcu berkata benar! Sin-to-pang tidak boleh memperlihatkan kelemahan. Hayo, kawan-kawan dari Hui-to-piauwkiok, kita mengantar Pangcu ke tempat itu dan kita keroyok siluman itu!” kata orang-orang Sin-to-pang.

Akan tetapi, para piauwsu yang telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri akan kelihaian Toat-beng Hui-houw, menjadi geli melihat sikap Sui Ceng dan para anggauta Sin-to-pang. Ong Kiat dan Loan Eng sendiri dibantu oleh beberapa orang piauwsu yang tangguh, masih tidak berdaya menghadapi siluman tua itu, apalagi anak kecil ini??

Melihat keraguan orang-orang Hui-to-piauwkiok, Sui Ceng membentak,

“Apakah kalian takut? Hm, kalau aku berhasil menolong ayah tiriku, akan kuceritakan kepadanya bagaimana sikap kalian yang pengecut ini!”

Naik darah para piauwsuitu mendengar ejekan anak kecil ini.

“Siapa bilang kami takut? Hayo kita berangkat sekarang juga!” kata mereka. Diam-diam Sui Ceng tersenyum karena ia telah berhasil membangunkan semangat mereka. Orang-orang ini masih belum percaya kepadanya dan perlu ia memperlihatkan kepandaian agar mereka itu menjadi tenang dan bersemangat.

“Kalian boleh naik kuda dan maju secepatnya. Aku sendiri akan berlari cepat.”

Kembali diam-diam para piauwsu itu mentertawakan Sui Ceng, “Hm, anak ini benar-benar sombong dan keras seperti ibunya,” pikir mereka, akan tetapi, karena rombongan Sin-to-pang yang datang berkuda itu pun telah mengaburkan kuda mereka, para piauwsu itu juga cepat naik ke atas kuda dan menjalankan kuda mereka cepat sekali.

Ketika mereka telah keluar darikota Cin-leng, bukan main heran hati mereka ketika melihat seorang anak perempuan telah berlari-lari di depan kuda mereka. Ketika mereka memandang dengan penuh perhatian, tak salah lagi, anak kecil itu adalah Bun Sui Ceng adanya! Melihat kehebatan ilmu lari cepat dari ketua mereka, orang-orang Sin-to-pang bersorak,

“Hidup Siauw-pangcu!”

Adapun orang-orang Hui-to-piauwkiok amat kagum dan diam-diam mereka pun menaruh harapan mudah-mudahan ketua mereka dan isterinya akan tertolong dari tangan siluman tua itu oleh anak perempuan yang ajaib ini. Adapun Sui Ceng yang di depan, segera memberi tanda kepada orang-orang Hui-to-piauwkiok untuk menjadi penunjuk jalan karena dia sendiri belum tahu di mana adanya sarang Toat-beng Hui-houw.

Diam-diam Sui Ceng agak khawatir juga, bukan khawatir atau takut menghadapi Toat-beng Hui-houw, ah sama sekali tidak. Anak ini keberaniannya malah melebihi ibunya! Yang ia khawatirkan adalah gurunya. Ia tadi pergi tidak memberitahukan kepada Kiu-bwe Coa-li, dan takut kalau-kalau gurunya kelak akan menegur dan memarahinya.

Ketika tiba di tempat di mana kemarin harinya Loan Eng bertempur melawan Toat-beng Hui-houw , mereka semua berhenti dan turun dari kuda. Di situ masih nampak bekas-bekas pertempuran, bahkan mayat para piauwsu yang tak keburu diambil oleh kawan-kawannya masih bergelimpangan di situ.

Kemudian Sui Ceng berseru menantang, “Toat-beng Hui-houw, lekas keluar! Mari kita bertempur seribu jurus!” Akan tetapi, biarpun berkali-kali berteriak, bahkan dibantu oleh para piauwsu dan anggauta Sin-to-pang yang memaki-maki, tidak terdengar jawaban dari iblis tua itu. Hanya gema suara mereka saja terdengar dari kanan kiri dan membuat burung-burung hutan beterbangan dan binatang-binatang kecil melarikan diri bersembunyi di dalam semak-semak.

Ke mana perginya Toat-beng Hui-houw? Dan bagaimana nasib Loan Eng dan Ong Kiat? Tak jauh dari tempat Sui Ceng dan kawan-kawannya berseru menantang, terdapat sebuah gua besar sekali di bukit batu karang. Gua inilah tempat sembunyi atau sarang Toat-beng Hui-houw dan ke dalam gua ini pula dia membawa Loan Eng dan Ong Kiat.

Pada saat itu, bukan dia tidak mendengar seruan-seruan yang ramai dari hutan itu, akan tetapi dia lagi asyik dengan perbuatannya yang amat terkutuk dan bukan merupakan perbuatan manusia lagi. Di dalam ruangan sebelah kiri gua itu, Loan Eng rebah di atas pembaringan batu dalam keadaan lumpuh dan tak dapat menggerakkan kaki tangannya karena jalan darahnya sudah dipukul dengan tiam-hoat (ilmu menotok) oleh iblis tua itu. Biarpun ia tak dapat menggerakkan kaki tangannya, namun Loan Eng masih sadar dan tahu bahwa dia berada dalam cengkeraman seorang iblis yang jahat sekali. Beberapa kali ia melirik ke dalam ruangan yang suram-suram itu karena mendapat penerangan cahaya matahari yang masuk melalui mulut gua. Akan tetapi ia tidak melihat suaminya, dan dia diam-diam mengeluh.



Tiba-tiba terdengar suara terkekeh-kekeh dan masuklah tubuh Toat-beng Hui-houw di dalam ruangan itu. Loan Eng mengerahkan seluruh tenaga untuk membebaskan diri dari pengaruh totokan, namun sia-sia belaka, bahkan usahanya ini melemaskan seluruh tubuhnya dan membuat luka di pundaknya terasa sakit sekali, hampir tak tertahankan.

“Ha-ha-ha! He-he-he! Pek-cilan, kau telah membunuh suteku dan sekarang kau sudah terjatuh ke dalam tanganku! Ha-ha-ha, kau benar-benar seperti bunga cilan putih. Cantik dan bersih. He-he-he! Darahmu tentu segar dan bersih pula, dan dapat membikin aku muda kembali!” Sambil tertawa-tawa, kakek botak berkuku panjang ini menghampiri pembaringan batu dimana Loan Eng terlentang tak berdaya. Lebih dulu kakek ini meraba kaki tangan Loan Eng, untuk melihat bahwa benar-benar korbannya ini masih berada dalam keadaan lumpuh tertotok sehingga tidak akan dapat melakukan serangan yang tiba-tiba.

Kemudian, dia mendekatkan mukanya pada muka Loan Eng yang tentu saja merasa jijik sekali. Akan tetapi apa dayanya? Ia menahan tekanan hatinya dan ingin melihat apa yang akan diperbuat oleh manusia iblis ini terhadap dirinya. Masih banyak waktu untuk membalas dendam, pikirnya. Tunggu saja kalau aku sampai terbebas.

Akan tetapi, perbuatan yang dilakukan oleh Toat-beng Hui-houw benar-benar di luar dugaannya. Belum pernah ada seorang manusia, betapa gilanya pun, melakukan perbuatan keji seperti itu. Ketika dia telah mendekatkan mukanya dengan muka Loan Eng, ternyata dia tidak berbuat kurang ajar, bahkan kini mukanya diarahkan ke leher Loan Eng yang berkulit halus. Tiba-tiba Loan Eng merasa betapa mulut kakek itu menempel pada lehernya, membuat ia merasa ngeri dan membuat bulu tengkuknya berdiri. Ia mengira bahwa kakek ini hanya ingin mencium lehernya. Akan tetapi, tidak tahunya, kakek ini tidak mau melepaskan lehernya lagi dan sampai lama, mulut kakek itu masih menempel pada lehernya. Perlahan-lahan, Loan Eng merasa betapa kakek itu menggunakan giginya untuk menggigit lehernya yang terasa perih, kemudian ia merasa betapa mulut kakek itu menghisap darah dari luka di leher bekas gigitan! Bukan main ngerinya hati Loan Eng menghadapi perbuatan kakek seluman ini dan kepalanya menjadi makin pening, tubuhnya makin lemas dan tak lama kemudian, nyonya muda ini menjadi pingsan!

Toat-beng Hui-houw ternyata membuktikan ancamannya. Ia hendak menghisap darah pembunuh sutenya ini, bukan saja dengan maksud membalas dendam, akan tetapi juga untuk suatu maksud, yakni dia hendak “mengoper” darah wanita muda yang cantik jelita itu agar supaya dia awet muda! Pikiran dari seorang yang telah lenyap perikemanusiaannya, seorang yang telah berubah menjadi iblis jahat!

Setelah kenyang menghisap darah Loan Eng, Toat-beng Hui-houw tertawa-tawa dan melompat-lompat keluar, ia merasa telah menjadi muda kembali! Sebetulnya bukan karena isapan darah itu yang dilakukan seperti seorang iblis keji, melainkan karena perasaan dan pikirannya yang sudah tidak normal lagi itulah yang membuat dia merasa seakan-akan menjadi muda kembali! Ia keluar dari gua dan kini dia mendengar suara tantangan yang keluar dari hutan.

“Ha, ha, ha, segala tikus busuk! Toat-beng Hui-houw berada disini, kalian mau apa?”

Suara ini dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khikang sepenuhnya sehinga terdengar sampai jauh. Seperti tokoh-tokoh persilatan yang berkepandaian tinggi, Toat-beng Hui-houw juga pandai Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh), maka tentu saja suaranya ini bergema jauh dan terdengar baik-baik oleh Sui Ceng dan kawan-kawannya.

Mendengar suara ini, Sui Ceng lalu melompat dan berlari cepat menuju ke arah suara itu, diikuti oleh kawan-kawannya yang tertinggal jauh. Dengan berkuda saja piauwsu dan anggauta Sin-to-pang masih tidak dapat menandingi ilmu lari cepat Sui Ceng, apalagi sekarang mereka berlari biasa!

Ketika tiba di depan gua, Sui Ceng melihat seorang kakek yang mengerikan sedang menari-nari, berlompat-lompatan dan bernyanyi!

“Aku menjadi muda kembali, muda kembali…..! Ha, ha, ha, Toat-beng Hui-houw menjadi muda kembali!”

Untuk sesaat, Sui Ceng tertegun. Yang berada di depannya itu seperti bukan manusia lagi, melainkan seorang iblis yang mengerikan. Namun, Sui Ceng yang baru berusia delapan tahun itu tidak merasa takut sedikit pun juga. Ia bahkan melangkah maju dan menghadapi iblis tua itu dengan sikap tenang dan tabah.

“Eh, kakek tua miring otak!”

Toat-beng Hui-houw menghentikan tariannya dan memandang heran. Bagaimana ada seorang anak perempuan kecil berani memakinya?

“Kaukah Toat-beng Hui-houw yang berani menangkap ibuku dan ayah tiriku? Lekas lepaskan mereka, barangkali nona kecilmu masih dapat mengampuni dosa-dosamu!”

Toat-beng Hui-houw menggosok-gosok kedua matanya dengan belakang tangan. Mimpikah dia? Atau benar-benar ada seorang gadis cilik yang manis dan elok berdiri dengan gagah dan berani serta mengeluarkan ucapan semacam itu kepadanya? Kemudian ia tertawa bergelak.

“Jadi kau memang puteri Pek-cilan? Ha-ha-ha! Memang bunga cantik berbiji manis pula! Agaknya darahmu lebih segar daripada darah ibumu. Ha, ha, ha! Mari, mari! Kau hendak bertemu dengan ibumu bukan?” Sambil berkata demikian, dia menubruk hendak menangkap Sui Ceng, seperti laku seorang kecil menubruk seekor burung yang indah.

Akan tetapi, alangkah heran hati iblis ini ketika tiba-tiba tubuh kecil itu lenyap dan tahu-tahu sebuah kaki yang kecil mungil dalam sepatu merah bersulam bunga, menendang mukanya! Toat-beng Hui-houw terkejut dan heran, cepat dia miringkan kepalanya, akan tetapi ternyata bahwa tendangan ini adalah tendangan pancingan belaka dan sebelum Toat-beng Hui-houw sempat mengelak, perutnya telah kena ditendang oleh lain kaki yang sama mungilnya!



“Buk!” kaki Sui Ceng tepat mengenai perut, akan tetapi bukan Toat-beng Hui-houw yang roboh, melainkan tubuh Sui Ceng sendiri yang terlempar ke belakang! Akan tetapi, bagaikan seekor burung walet, gadis cilik ini dapat berpoksai (membuat salto) di udara dan turun dengan ringan sekali.

Kalau tadi Toat-beng Hui-houw sampai terkena tendangan Sui Ceng, bukan karena dia kurang lihai melainkan karena kakek ini memandang rendah rendah dan tidak mengira sama sekali bahwa bocah ini akan dapat melakukan gerakan sehebat itu! Sui Ceng ketika ditubruk tadi, secepat kilat melakukan gerakan melompat Can-liong-seng-thian (Naga Terbang Naik ke Langit), kemudian ia melakukan tendangan Ji-liong-twi (Tendangan Sepasang Naga) yang bertubi-tubi sehingga berhasil menendang perut lawannya.

Akan tetapi, yang ditendangnya tertawa saja sedangkan dia sendiri terpental jauh. Bukan main kagetnya Sui Ceng dan anak ini maklum bahwa tenaga dan kepadaian lawannya benar-benar hebat sekali. Sebaliknya Toat-beng Hui-houw juga kagum menyaksikan kegesitan anak perempuan ini, dan kalau saja dia tahu bahwa anak ini adalah murid Kiu-bwe Coa-li, tentu akan lenyap keheranannya dan terganti oleh kekagetan hebat.

“Anak manis, aku harus mendapatkan darahmu!” katanya berkali-kali dan dia menubruk lagi. Namun berkat kegesitan dan ginkangnya yang luar biasa, Sui Ceng lagi-lagi dapat menghindarkan diri. Pada waktu itu, rombongan piauwsu dan anak buah Sin-to-pang telah datang di situ dan mereka menonton pertempuran dengan mata terbelalak kagum. Anggauta-anggauta Sin-to-pang merasa bangga melihat “siauw-pangcu” mereka itu berani menghadapi Toat-beng Hui-houw dengan tangan kosong. Melihat betapa kakek itu seperti seekor harimau buas menubruk ke sana-sini, sedangkan tubuh Sui Ceng bagaikan seekor burung walet beterbangan dan berkelit cepat sekali, mereka itu tak terasa pula meleletkan lidah saking kagum dan tegangnya.

Kalau Toat-beng Hui-houw bermaksud membunuh Sui Ceng, tentu takkan sukar baginya. Biarpun untuk menjamah tubuh anak ini sukar sekali karena memang kegesitan Sui Ceng dapat mengimbangi kegesitan lawannya yang berjuluk Harimau Terbang, namun kalau dia mau, dengan hawa pukulan tangannya, dia dapat merobohkan gadis cilik ini. Akan tetapi pada saat itu, Toat-beng Hui-houw mendapat pikiran lain. Ia menghisap darah Loan Eng hanya karena ingin membalas sakit hati atas kematian sutenya dan ingin awet muda. Kini melihat Sui Ceng yang masih terhitung anak-anak, dia takut kalau-kalau dia berubah menjadi anak-anak pula jika dia menghisap darah anak ini! Memang bodoh, gila, dan jahat adalah sekeluarga, dan kakek ini telah memiliki ketiga-tiganya.

“Aku tidak mau isap darahmu! Aku akan menangkapmu, memlihara dalam sangkar, kau burung cantik!” katanya berkali-kali dan kini dia menyerang dengan kedua tangannya. Alangkah herannya hati Sui Ceng ketika melihat betapa kini sepuluh jari tangan iblis tua itu seperti tidak berkuku lagi. Ternyata bahwa kuku-kuku jarinya terlah dapat digulung ke dalam! Berkali-kali dia mendesak hendak menangkap tanpa melukai tubuh Sui Ceng, namun hal ini benar-benar tidak mudah. Sui Ceng telah mendapat gemblengan dari Kiu-bwe Coa-li, dan dalam hal ginkang dan kegesitan, memang semenjak kecil gadis cilik yang lincah ini berbakat baik.

Para piauwsu dan anak buah Sin-to-pang ketika melihat betapa Sui Ceng terdesak, sambil berteriak-teriak nekat mereka lalu menyerbu dengan golok di tangan. Baik anggauta Sin-to-pang (Perkumpulan Golok Sakti), maupun para piauwsu dari Hui-to-piauwkiok (Expedisi Golok Terbang) adalah ahli-ahli senjata golok, maka kini belasan batang golok berkilauan dan bergerak-gerak mengurung Toat-beng Hui-houw. Otomatis Sui Ceng juga terkurung karena dua orang ini bertempur sedemikian cepatnya sehingga mereka seakan-akan menjadi satu bayangan besar!

Para pengeroyok itu menjadi bingung. Mereka hanya berteriak-teriak saja dan tidak berani sembarangan turun tangan, karena baru sedetik mereka melihat bayangan lawan, tiba-tiba bayangan itu lenyap dan berganti oleh bayangan Sui Ceng! Kedua orang ini berputaran, melompat ke sana ke mari, bagaimana mereka dapat membantu Sui Ceng?

“Jangan Bantu aku! Jangan datang dekat!” Sui Ceng berseru, akan tetapi terlambat. Ketika tubuh Toat-beng Hui-houw tiba-tiba menerjang ke arah para pengeroyok sambil meninggalkan Sui Ceng terdengar jeritan berturut-turut dan empat orang pengeroyok roboh tak bernyawa lagi!

“Siluman tua, kau kejam sekali!” teriak Sui Ceng. Anak ini secepat kilat menyambar sebatang golok dari seorang piauwsu yang roboh, lalu ia menerjang lagi ke depan dengan nekat, memutar golok sehingga merupakan segunduk sinar yang menyilaukan.

“Ha, ha, ha, burung cantik, kau harus menjadi peliharaanku!” kata Toat-beng Hui-houw sambil menghadapi serangan-serangan Sui Ceng dengan tenang. Adapun para pengeroyok, ketika melihat betapa empat orang kawan mereka terbunuh dengan demikian mudahnya, serta mendengar perintah Sui Ceng, lalu mengundurkan diri dan menonton dari jauh saja. Mereka bukan merasa takut atau tidak mau membantu, akan tetapi mereka maklum sepenuhnya bahwa bantuan mereka itu sia-sia belaka dan tidak akan dapat menolong, bahkan mereka pasti akan mengantarkan nyawa dengan cuma-cuma saja.

Gerakan Sui Ceng sekarang tidak secepat dan segesit tadi. Hal ini karena sekarang gadis cilik ini memegang sebatang golok yang besar dan berat. Tadinya Sui Ceng sengaja mengambil golok karena ia hendak bertempur mati-matian mengadu jiwa, akan tetapi sebaliknya, dengan golok di tangan ia mendatangkan kerugian pada dirinya sendiri. Golok itu terhadap Toat-beng Hui-houw tidak ada artinya sama sekali, sebaliknya menghambat gerakan sendiri. Dalam beberapa jurus saja, sambil tertawa-tawa, Toat-beng Hui-houw telah berhasil menangkap pinggangnya dan sekali dia menotok jalan darah thian-hu-hiat, lemaslah tubuh Sui Ceng dan golok itu terlepas dari pegangan!

Pada saat itu, menyambarlah beberapa sinar halus sekali. Sinar ini adalah bulu-bulu halus dan panjang yang sekaligus menyerang Toat-beng Hui-houw di beberapa bagian tubuhnya. Sebagian dari bulu-bulu halus ini melibat tubuh Sui Ceng dan sekali renggut, tubuh Sui Ceng telah terlepas dari pegangan Toat-beng Hui-houw dan melayang ke depan!



Toat-beng Hui-houw terkejut bukan main menghadapi serangan ini. Ia telah terkejut dan jerih melihat macam senjata yang menyerangnya, karena dari senjata ini saja tahulah dia bahwa yang datang menyerangnya adalah Kiu-bwe Coa-li! Kalau ada rasa takut dalam dada Toat-beng Hui-houw manusia siluman ini, maka rasa takut itu mungkin hanya di tujukan kepada lima orang tokoh besar di kalangan kang-ouw, di antaranya ialah Kiu-bwe Coa-li ini!

“Kiu-bwe Coa-li, mengapa kau mencampuri urusanku, sedangkan aku selamanya belum pernah mengganggumu?”katanya penasaran sambil melompat ke belakang, jerih menghadapi pecut sembilan bulu dari Kiu-bwe Coa-li yang kini sudah berdiri di hadapannya dan menggandeng tangan Sui Ceng yang sudah dibebaskan dari totokan pula.

Diam-diam Kiu-bwe Coa-li mengerti mengapa muridnya sampai kalah oleh Toat-beng Hui-houw. Tadi datang-datang melihat muridnya berada dalam pelukan kakek siluman itu, ia lalu melakukan serangan pecutnya yang paling dan jarang sekali ada orang mampu menghindarkan diri, yakni ilmu serangan Kiu-seng-kan-goat (Sembilan Bintang Mengejar Bulan). Sembilan helai bulu pecutnya menyerang dari berbagai jurusan. Akan tetapi ia hanya berhasil merampas kembali muridnya dan sama sekali tidak berhasil melukai kakek itu. Dari sini saja ia ketahui bahwa kepandaian kakek itu jauh lebih tinggi daripada kepandaian muridnya.

“Siluman jahat, apa matamu sudah menjadi buta?” jawab Kiu-bwe Coa-li dan sepasang matanya mengeluarkan sinar membakar. “Kau berani mengganggu murid pinni (muridku), maka sekarang kau harus mati!”

Bukan main kagetnya, Toat-beng Hui-houw. “Dia ini muridmu……? Ah, Kiu-bwe Coa-li, sungguh mati aku tidak tahu bahwa dia muridmu. Akan tetapi, bukankah aku tidak mengganggunya? Kalau aku bermaksud mengganggunya apakah sekarang ia masih dapat bernapas?”

“Kau memang tidak melukainya, akan tetapi kau telah menghinanya, berarti kau menghinaku pula. Bersiaplah untuk mati!” Kembali Kiu-bwe Coa-li menggerakkan pecutnya, melakukan serangan dengan cara ganas dan tidak mengenal amupun sama sekali. Memang watak Kiu-bwe Coa-li luar biasa ganasnya. Sekali ia turun tangan, ia takkan merasa puas kalau lawannya belum roboh binasa!

Toat-beng Hui-houw bukannya orang lemah. Bangkit rasa penasarannya. Ia memang segan bertempur melawan Kiu-bwe Coa-li dan tentu dia bersedia mengalah jika berurusan dengan orang yang dia anggap memiliki kedudukan lebih tinggi itu. Akan tetapi kalau dia didesak, dia terpaksa melawan.

“Kiu-bwe Coa-li, kau terlalu sekali. Kaukira aku Toat-beng Hui-houw takut menghadapi Kiu-bwe-joan-pianmu (Pecut Berbulu Sembilan)?”

“Siapa peduli takut atau tidak? Aku hanya ingin kau mampus, habis perkara!” Kiu-bwe Coa-li mendesak terus.

Toat-beng Hui-houw mengeluarkan suara keras dan kini sepuluh kuku jari tangannya telah mulur kembali, panjang-panjang, tajam dan runcing mengerikan! Ia cepat mengelak dari serangan lawannya dan membalas dengan serangan pukulan yang mendatangkan hawa dingin dan berbau amis. Ternyata bahwa siluman tua ini telah mengeluarkan pukulan-pukulan maut disertai bisa yang keluar dari hawa pukulan kukunya ini! Kalau tadi dia mengeluarkan ilmu ini, dalam beberapa jurus saja Sui Ceng tentu telah roboh binasa.

Menghadapi pukulan-pukulan hebat ini, Kiu-bwe Coa-li pertama-tama mendorong tubuh muridnya sehingga Sui Ceng terpental dan terpaksa melompat jauh ke pinggir, kemudian wanita sakti ini lalu memutar pecutnya sampai berbunyi mengaung dan kadang-kadang diselingi suara “tar! tar!” dan dari pecutnya yang berekor sembilan ini keluar hawa yang menyambar-nyambar dan yang menolak hawa pukulan berbisa dari Toat-beng Hui-houw. Para piauwsu dan anggauta Sin-to-pang, semenjak tadi berdiri seperti patung. Munculnya seorang tokouw yang memegang pecut ini saja sudah membuat mereka heran sekali, karena tak seorang pun di antara mereka melihat kedatangannya. Kemudian cara pecut tokouw itu merampas Sui Ceng dan kemudian mendengar bahwa tokouw ini adalah Kiu-bwe Coa-li yang tersohor dan menjadi guru Sui Ceng, mereka makin terbelalak. Sekarang, setelah pertandingan antara Toat-beng Hui-houw dan Kiu-bwe Coa-li berlangsung, mereka menjadi bengong dan melongo. Pertandingan ini menurut pendapat mereka bukanlah pertempuran orang-orang pandai, karena keduanya berdiri tidak pernah berpindah dari tempat masing-masing dan hanya kedua tangan mereka saja yang bergerak-gerak cepat sekali ke depan. Hampir saja ada yang tertawa menyaksikan pertandingan ini, karena gerakan kedua orang tua itu seakan-akan mereka sedang membadut.

Akan tetapi, Sui Ceng menonton dengan wajah penuh ketegangan. Ia maklum bahwa permainan cambuk dari gurunya sedang dihadapi oleh lawan dengan ilmu pukulan lweekang yang tinggi sekali tingkatnya. Ketika orang tua itu sedang bertempur mengandalkan hawa pukulan lweekang, maka mereka hanya berdiri berhadapan dan saling memukul dari jauh, sama sekali tidak mengubah kedudukan kaki.

Akan tetapi, beberapa lama kemudian, Toat-beng Hui-houw terpaksa harus mengakui keunggulan lawannya, karena bulu-bulu pecut Kiu-bwe Coa-li makin lama makin mendesaknya, makin lama makin dekat serangan ujung cambuk itu, terus mendesak hawa pukulannya yang hendak menentangnya. Ia maklum bahwa kalau sampai ujung cambuk itu mengenai tubuhnya, sukarlah baginya untuk menyelamatkan diri lagi. Ia cukup kenal akan kelihaian totokan ujung cambuk di tangan Kiu-bwe Coa-li, seorang di antara tokoh besar dunia persilatan.

“Cukup, siluman betina! Kali ini aku mengaku kalah, akan tetapi lain kali aku akan mengalahkanmu!” kata Toat-beng Hui-houw sambil melompat mundur.

“Keparat pengecut! Kau belum mampus, bagaimana bisa bilang cukup?” seru Kiu-bwe Coa-li sambil mengejar dan melakukan serangan kilat.



Toat-beng Hui-houw cepat mengerahkan tenaganya menangkis sambil melompat jauh, namun tetap saja sebuah daripada sembilan ekor pecut itu dengan tepat menghantam pahanya. Baiknya dia cepat-cepat mengerahkan lweekangnya ke arah bagian tubuh ini sehingga ketika pecut itu dengan suara nyaring menampar paha, hanya kain dan kulitnya saja yang pecah, akan tetapi dia tidak menderita luka dalam.

Getarlah Toat-beng Hui-houw. Ia melompat dan menyambar sebatang pohon besar. Sekali cabut saja jebollah pohon itu dan dia melontarkan pohon ke arah Kiu-bwe Coa-li yang mengejarnya! Terpaksa Kiu-bwe Coa-li melompat pergi dari sambaran pohon yang besar itu, dan ketika hendak melanjutkan pengejarannya, ia teringat kepada muridnya.

“Mari, Sui Ceng, kita kejar siluman itu!” katanya sambil menggandeng tangan muridnya.

Akan tetapi Sui Ceng menarik tangannya dan berkata,

“Nanti dulu, Suthai. Teecu harus menolong Ibu lebih dulu.”

Kiu-bwe Coa-li menghentikan langkahnya. “Ibumu? Di mana dia?”

“Dia telah tertawan oleh Toat-beng Hui-houw. Karena itulah maka teecu datang ke tempat ini. Mungkin Ibu disembunyikan di dalam gua itu.” Sui Ceng menunjuk ke arah gua.

Kiu-bwe Coa-li mengerutkan keningnya. Ia sudah tahu akan kejahatan Toat-beng Hui-houw dan kalau orang terjatuh ke dalam tangan siluman itu, jangan harap akan tertolong lagi jiwanya.

“Kalau begitu, kita harus cepat-cepat melihat dan memeriksa gua itu,” katanya.

Guru dan murid ini lalu berlari-lari memasuki gua. Para piauwsu dan anggauta Sin-to-pang, juga mendekati gua, akan tetapi mereka tidak berani lancang memasuki gua, hanya menanti dan berkumpul di luar gua sambil membicarakan pertempuran dahsyat yang tadi mereka saksikan.

Adapun Sui Ceng dan gurunya yang memasuki gua, mendapat kenyataan bahwa gua itu lebar sekali dan di dalamnya terbagi-bagi menjadi tiga ruang. Mereka memasuki ruang sebelah kiri dan membuka pintu ruang itu yang terbuat daripada kayu. Cahaya yang memasuki ruangan ini suram-suram saja, namun Sui Ceng segera mengenal tubuh yang terbaring membujur di atas pembaringan batu, karena yang terlentang itu bukan lain adalah Loan Eng, ibunya sendiri!

“Ibu…….!” Sui Ceng melompat dan menubruk ibunya. Kiu-bwe Coa-li yang berdiri di belakang muridnya, lalu mengulur tangan dan dengan beberapa totokan di jalan darah nyonya muda yang nampak lemas dan tidak berdaya lagi itu, dapatlah Loan Eng menggerakkan tubuhnya. Akan tetapi ia sudah demikian lemas sehingga hampir tidak kuat mengangkat tangannya. Ternyata bahwa darahnya hampir habis terisap oleh Toat-beng Hui-houw, manusia iblis itu!

“Ibu…… kau kenapakah….??” Sui Ceng menggoyang-goyang tubuh ibunya dan memandang dengan mata terbelalak.

“Sui Ceng….. kau datang……?” Suara Loan Eng lemah sekali, dan hanya kedengaran seperti bisik-bisik saja, “Kebetulan sekali….. aku ada pesan untukmu…….”

“Suthai, tolong Ibuku, mengapa dia begitu lemah?” kata Sui Ceng tanpa mempedulikan kata-kata ibunya, karena ia tidak mau percaya bahwa ibunya akan mati.

Kiu-bwe Coa-li memegang pergelangan tangan Loan Eng, dan ia nampak terkejut, lalu menggeleng-gelengkan kepala dan ketika ia memeriksa leher sevelah kiri dari nyonya muda itu, terdengar wanita sakti ini menggertakkan giginya.

“Jahanam benar….” Bisiknya. Ternyata bahwa kulit leher dari Loan Eng yang putih halus itu kini telah terluka dan di luar luka ini masih terdapat tanda gigitan dan darah-darah yang telah mengering!

“Ibumu takkan tertolong lagi, Sui Ceng. Dia telah kehabisan darah,” katanya tenang. Mendengar ini, Sui Ceng menubruk ibunya dan menangis.

“Sui Ceng, anakku selamanya takkan menangis sedih,” kata Loan Eng. Mendengar tangis anaknya, agaknya Loan Eng mendapat tambahan tenaga baru. “Agaknya aku memang memang harus menebus dosaku kepada kematian ayahmu yang kubunuh sendiri. Aku berpesan kepadamu, Sui Ceng. Kelak kau harus menjadi jodoh murid ke dua dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai, karena aku telah menerima pinangan orang tua itu. Nama murid itu The Kun Beng. Nah….. hanya sekian pesanku…..!” Loan Eng makin lemas.

“Ibu….., aku bersumpah untuk membalaskan sakit hati ini. Akan kucincang hancur tubuh iblis itu….!” Kata Sui Ceng di antara tangisnya.

Biarpun tubuhnya telah lemas sekali, mendengar kata-kata anaknya, Loan Eng memaksa bibirnya tersenyum. Ia merasa senang dan bangga melihat sikap puterinya yang gagah.

“Kau akan berhasil, Sui Ceng, di bawah pimpinan gurumu yang sakti…… dan tentang Sin-to-pang…… kau….. benar, perkumpulan mendiang ayahmu itu amat baik….., mereka telah berusaha menolongku…. jadilah ketua yang baik kelak…..! Sui Ceng, jangan lupa kau tunangan The Kun Beng murid Pak-lo-sian…..nah, selamat tinggal, anakku…..”

Habislah tenaga nyonya itu dan Pek-cilan Thio Loan Eng, pendekar wanita yang cantik dan gagah perkasa itu, menghembuskan napas terakhir dalam pelukan puterinya.



“Ibu………, Ibu……..!” Sui Ceng menangis, kemudian dengan mata beringas ia bangkit berdiri dan berdongak ke atas sambil berkata,

“Toat-beng Hui-houw, manusia iblis. Tunggulah, akan tiba saatnya aku Bun Sui Ceng menghancurkan kepalamu!”

“Tenanglah, Sui Ceng. Apa sih sukarnya membikin mampus manusia seperti Toat-beng Hui-houw itu? Sekarang juga aku dapat mengejarnya dan membikin tamat riwayatnya,” kata Kiu-bwe Coa-li yang merasa kasihan kepada muridnya yang tersayang itu.

“Tidak, Suthai, dia tidak boleh mati di tanganmu atau di tangan siapa juga. Teecu sendiri yang akan membalaskan sakit hati ini.”

Kiu-bwe Coa-li mengangguk-angguk. “Boleh saja, Sui Ceng. Asal kau belajar dengan rajin, tak lama lagi kau akan dapat melaksanakan cita-citamu ini. Juga baik-baik saja kau menjadi ketua Sin-to-pang. Hanya aku agak menyesal mengapa Ibumu begitu tergesa-gesa mejodohkan kau dengan murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai.”

Sui Ceng tidak menjawab karena di dalam hati gadis cilik ini sama sekali belum ada pikiran tentang jodoh, bahkan ia menganggap ibunya tadi bersenda gurau saja. Ia lalu melanjutkan pemeriksaan di dalam gua. Di kamar lain, mereka mendapatkan tubuh Ong Kiat, juga telah tewas dengan tubuh penuh luka-luka. Biarpun ketika Ong Kiat masih hidup, Sui Ceng tidak suka kepada piauwsu ini karena telah mengawini ibunya, namun kini melihat piauwsu muda itu yang telah menjadi suami ibunya tewas dalam keadaan mengerikan dan menyedihkan, ia berlutut pula dan berkata perlahan dengan janji bahwa dia akan membalaskan sakit hati mendiang ayah tirinya ini.

Kemudian Sui Ceng dan gurunya keluar dari gua, disambut oleh para anggauta Sin-to-pang dan para piauwsu yang memandang penuh hormat.

“Saudara-saudara sekalian, Ibu dan Ayah telah tewas di tangan iblis itu. Kelak aku sendiri yang akan membalas sakit hati dan membunuh iblis keparat itu, supaya kalian semua bertenang hati. Sekarang, lakukanlah tugas kewajiban masing-masing, dan tunggu sampai aku datang untuk memimpin Sin-to-pang. Adapun para piauwsu, terserah, hendak menjadi anggauta Sin-to-pang baik saja, mau melanjutkan pekerjaan sebagai piauwsu pun boleh. Hanya pesanku, baik Hui-to-piauwkiok maupun Sin-to-pang, harus bekerja sama dalam segala hal. Ingat bahwa akulah yang mewarisi keduanya dan aku pula yang bertanggung jawab atas segala sepak terjang kalian!”

Para anggauta Sin-to-pang dan anggauta Hui-to-piauwkiok, menjadi sedih sekali mendengar betapa ketua mereka telah tewas, namun melihat sikap dan mendengar ucapan Sui Ceng yang benar-benar gagah dan bersemangat, yang sesungguhnya mengherankan sekali keluar dari mulut anak masih demikian hijau, terbangunlah semangat mereka dan serentak menyatakan setuju.

Jenazah Loan Eng dan Ong Kiat diurus dan dirawat baik-baik. Setelah memberi hormat terakhir kepada makam ibu dan ayah tirinya, Sui Ceng lalu melanjutkan perjalanannya mengikuti gurunya. Semenjak saat itu, Sui Ceng makin tekun belajar dan semua ilmu kepandaian dari Kiu-bwe Coa-li direnggut dan diteguknya seperti seorang kehausan minum air segar. Juga ia dan gurunya tekun mempelajari ilmu silat aneh yang mereka dengar dari Tu Fu yang membacakan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.

Sebagaimana diketahui, isi kitab ini sebenarnya palsu dan di dalamnya terkandung pelajaran ilmu silat dan latihan tenaga dalam secara terbalik. Kalau sekiranya Sui Ceng sendiri yang melatih diri menurut bunyi kitab ini, tentu ia akan mendapatkan kepandaian palsu yang membahayakan tubuhnya seperti halnya Kwan Cu. Akan tetapi, ia berada di bawah asuhan Kiu-bwe Coa-li, seorang tokoh kang-ouw yang sudah amat tinggi kepandaiannya. Maka tentu saja Kiu-bwe Coa-li tidak dapat tertipu dan nenek yang sakti ini tahu bagaimana harus melatih ilmu silat aneh ini tanpa merusak tenaga sendiri. Cara melatihnya bukan seperti yang dilakukan oleh Lu Kwan Cu, yang menjiplak begitu saja dan menelan semua pelajaran tanpa dipilih lagi. Kiu-bwe Coa-li tidak berlaku sembrono dan sebagai seorang ahli silat tinggi, ia tahu mana yang tidak betul dan mana yang berguna. Oleh karena itu, di antara pelajaran-pelajaran yang masih ia ingat bersama muridnya, ia saring dan pilih lagi, memilih mana yang sekiranya berguna dan dapat di pakai untuk mempertinggi kepandaaiannya.

Melihat ketekunan muridnya, Kiu-bwe Coa-li girang sekali dan nenek sakti ini membatalkan niatnya hendak mencoba ilmu silat barunya kepada seorang di antara tokoh-tokoh besar, bahkan ia lalu mengajak muridnya tinggal di puncak Bukit Wu-yi-san yang berada di Tiongkok Selatan, perbatasan Propinsi Hok-kian dan Kiang-si. Kiu-bwe Coa-li memang berasal dari Hok-kian, maka ia disebut tokoh besar selatan yang ke dua. Sebagaimana di ketahui, tokoh besar selatan pertama adalah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, yang merantau di seluruh propinsi selatan dan tidak tentu tempat tinggalnya.



Sementara itu, Hek-i Hui-mo dengan cepat membawa lari Lai Siang Pok yang menjadi ketakutan dan kaget setengah mati itu. Anak ini menangis dan minta dengan suara menyedihkan agar supaya dia dilepaskan kembali, namun Hek-i Hui-mo menjawab,

“Kau ingat baik-baik semua isi kitab yang di baca oleh Tu-siucai tadi, baru kau ada harapan untuk hidup terus!”

Mendengar ini Siang Pok mengerti bahwa kakek yang menyeramkan ini benar-benar membutuhkan bantuan untuk mengingat bunyi isi kitab tadi, maka karena maklum bahwa hal itulah satu-satunya jalan baginya untuk dapat menolong diri sendiri dari bahaya, dia lalu mengumpulkan seluruh ingatan dan perhatiannya kepada bunyi isi kitab yang aneh itu.

Lai Siang Pok adalah seorang anak yang amat cerdik luar biasa dan semenjak kecil dia telah digembleng oleh ayah bundanya dalam ilmu kesusastraan. Oleh karena itu, dia sudah biasa menghafal, dan biarpun tadi dia mendengarkan isi kitab yang dibaca oleh Tu Fu dengan setengah hati saja, namun dia telah hampir dapat mengingat semuanya!

Setelah jauh dari kota Kai-feng, Hek-i Hui-mo menurunkan Lai Siang Pok dan berkata,

“Coba kau sekarang mengulang kembali isi kitab itu, hendak kudengar apakah kau ada gunanya bagiku atau tidak!”

Siang Pok mengumpulkan ingatannya lalu mengulang apa yang tadi didengarnya. Mendengar ini, Hek-i Hui-mo menjadi girang sekali karena apa yang diingat olehnya sendiri dari isi kitab itu, ternyata tidak ada seperempatnya dari apa yang dapat diingat oleh Siang Pok!

“Anak baik….! Kau patut menjadi muridku!” katanya girang sambil menepuk-nepuk pundak anak itu. Tepukan ini bukanlah tepukan biasa, melainkan tepukan hendak memeriksa keadaan tubuh dan tulang dari anak laki-laki ini, akan tetapi dia mempunyai watak yang tabah dan keras hati, maka digigitnya bibir untuk menahan rasa sakit.

“Bagus, tidak jelek!” kata Hek-i Hui-mo yang kemudian tertawa bergelak. “Hendak kulihat kelak, siapa yang paling pandai memilih dan mengajar muridnya. Ha, ha, ha, Siang Pok, kau menjadi muridku dan kelak kaulah yang akan menjagoi di antara semua murid orang-orang gila itu. Ha, ha, ha!”

Siang Pok tidak mengerti apa yang dimaksud oleh kakek hitam ini, akan tetapi diam-diam dia menjadi girang juga. Sering kali anak ini membaca cerita-cerita kuno tentang pendekar dan pahlawan dan diam-diam dia mengagumi sepak terjang dan kegagahan para pendekar itu. Kini mendengar bahwa dia hendak diambil murid oleh kakek yang dia sudah saksikan sendiri kelihaiannya, tentu saja dia menjadi girang. Cepat dia menjatuhkan diri berlutut di depan Hek-i Hui-mo sambil berkata,

“Segala petunjuk dari Suhu akan teecu pelajari dengan rajin.”

“Bagus, mari kita cepat pulang agar kau bisa segera berlatih. Kau sudah tertinggal jauh oleh murid-murid mereka itu.”

“Pulang? Ke mana, Suhu?”

“Ha, ha, ha, tentu saja ke Tibet, ke barat! Hayo!” Sambil berkata demikian, Hek-i Hui-mo menyambar tubuh muridnya dan sekejap kemudian terpaksa Siang Pok meramkan kedua matanya karena angin bertiup kencang sekali membuat kedua matanya pedas ketika suhunya membawanya lari luar biasa cepatnya seakan-akan terbang!

Biarpun Hek-i Hui-mo melakukan perjalanan cepat sekali dan jarang berhenti di jalan, namun dia harus menggunakan waktu sebulan lebih baru tiba di Tibet, daerah barat yang jauh itu. Siang Pok diterima dengan penuh penghormatan dan juga iri hati oleh orang-orang di barat, karena menjadi murid Hek-i Hui-mo, selain dianggap mendapat kehormatan tinggi, juga dianggap sebagai yang menerima kurnia besar.

Namun Siang Pok tidak mempedulikan semua itu dan mulai saat gurunya menurunkan pelajaran ilmu silat kepadanya, dia belajar dengan amat rajin dan tekun sehingga boleh di bilang lupa makan lupa tidur! Melihat ini, Hek-i Hui-mo makin sayang kepadanya, karena makin besar harapan hatinya, murid ini kelak akan menjunjung tinggi namanya dan akan mengalahkan semua murid tokoh-tokoh besar yang berlatih lebih dulu.

Seperti juga Kiu-bwe Coa-li, Hek-i Hui-mo yang bernama Thian Seng Hwesio ini, jarang sekali keluar dan bersembunyi saja di kelentengnya, memberi latihan-latihan kepada Lai Siang Pok, karena seperti juga Kiu-bwe Coa-li, dia ingin mempelajari isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang didengarnya dari Tu Fu, kemudian kalau sudah mempelajarinya dengan sempurna, bersama muridnya dia hendak mencari tokoh-tokoh lain untuk ditantang pibu! Seperti telah kita ketahui, kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang terjatuh ke dalam tangan Hek-i Hui-mo dan yang kemudian isinya dibaca oleh pujangga besar Tu Fu dan didengarkan oleh Kiu-bwe Coa-li dan Hek-i Hui-mo bersama murid-murid mereka, adalah kitab palsu. Akan tetapi biarpun palsu, kitab ini ditulis di jaman dahulu oleh orang yang pandai dan hafal akan isi kitab aselinya, maka biarpun palsu, isi kitab ini merupakan pelajaran yang aneh dan luar biasa sekali. Bagi orang yang tidak memiliki ilmu silat tinggi, tentu saja kitab ini tidak ada artinya sama sekali dan kalau orang biasa melatih diri meniru pelajaran isi kitab ini, bukannya mendapat kemajuan dan kepandaian tinggi, bahkan tubuh orang itu akan rusak. Akan tetapi sebaliknya kalau yang mendengarnya adalah orang-orang berilmu tinggi seperti Hek-i Hui-mo dan Kiu-bwe Coa-li, mereka dapat menangkap dan menerima isi kitab untuk disaring kembali dan untuk dijadikan bahan menyempurnakan kepandaian silat mereka. Oleh karena inilah, maka hasil daripada mendengarkan isi kitab itu bagi Hek-i Hui-mo dan Kiu-bwe Coa-li amat jauh berlainan. Pelajaran yang mereka dengar itu, lalu diolah dan disaring sesuai dengan ilmu kepandaian yang sudah ada pada mereka, maka tentu saja tidak sama.



Bagi Kiu-bwe Coa-li, pelajaran dari Im-yang Bu-tek Cin-keng yang didengarnya dari pujangga Tu Fu itu, mendatangkan kemajuan yang hebat sekali dalam hal ilmu lweekang, yakni penggunaan tenaga dalam. Biarpun pelajaran lweekang di dalam kitab itu tidak karuan dan sengaja dibolak-balikkan oleh penulis kitab palsu, namun kebetulan sekali perhatian Kiu-bwe Coa-li dan muridnya, Sui Ceng, justeru dikerahkan ke jurusan ini. Dengan kecerdikannya yang luar biasa, Kiu-bwe Coa-li bertekun mengupas pelajaran ini dan akhirnya ia dapat menemukan ilmu aselinya dengan jalan meraba-raba dan menduga-duga. Ia lalu memperbaiki dalam caranya sendiri, sesuai dengan kepandaian yang telah dimilikinya, dan akhirnya ia mendapatkan ilmu silat berdasarkan pelajaran Im-yang Bu-tek Cin-keng yang seluruhnya dipergunakan tenaga lweekang yang luar biasa hebatnya!

Sebaliknya, setelah mendengar dan mempelajari isi kitab itu, Hek-i Hui-mo mendapatkan gerakan-gerakan istimewa yang sesuai benar untuk menyempurnakan ilmu tongkatnya. Ilmu tongkat dari Hek-i Hui-mo, yakni permainan tongkat Liong-thouw-tung (Tongkat Kepala Naga), memang telah terkenal dan lihai sekali. Kini, setelah dia mempelajari isi kitab itu, dia mendapatkan sesuatu yang cocok sekali dan yang dapat dia olah sedemikian rupa sehingga ilmu tongkatnya menjadi maju dengan pesat dan kini merupakan ilmu tongkat yang aneh dan luar biasa! Kalau biasanya dia mainkan dua senjata, yakni tongkat Ling-thouw-tung di tangan kanan dan tasbih di tangan kiri, di mana tongkat menjadi alat penyerang dan tasbih alat penangkis, kini dengan mainkan tongkatnya saja kelihaiannya sudah berlipat kali melebihi sepasang senjatanya itu. Maka dia lalu tekun memperdalam kepandaiannya bermain tongkat yang kelak akan diturunkan kepada murid tunggalnya, yakni Lai Siang Pok.

Sebetulnya kalau orang mengetahui isi daripada kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang aseli, orang takkan merasa heran mengapa isi kitab yang dibaca Tu Fu itu mendatangkan dua macam ilmu jauh berlainan bagi Hek-i Hui-mo dan Kiu-bwe Coa-li. Kitab aseli Im-yang Bu-tek Cin-keng memang merupakan raja kitab ilmu silat di dunia ini! Di situ terdapat pelajaran pokok dan dasar daripada segala macam gerakan ilmu silat di atas dunia. Ilmu silat dengan tangan kosong maupun dengan senjata yang bagaimanapun juga, kesemuanya berpokok dan berdasar sama, yakni berdasarkan menyerang dan bertahan. Adapun inti sari daripada dua gerakan ini memang menjadi isi daripada Im-yang Bu-tek Cin-keng yang aseli!

Baiklah kita tinggalkan dulu Siang Pok yang digembleng oleh suhunya yakni Hek-i Hui-mo di Pegunungan Tibet, juga kita biarkan dulu Sui Ceng yang tekun menerima latihan-latihan dari gurunya, Kiu-bwe Coa-li di Pegunungan Wu-yi-san di daerah selatan. Sekarang lebih baik kita menengok keadaan Lu Kwan Cu yang melakukan perantauan bersama gurunya, Ang-bin Sin-kai.

Kekalahannya yang berturut-turut menghadapi The Kun Beng dan Gouw Swi Kiat murid-murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai, kemudian kekalahannya pula dari Lu Tong murid Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, tidak mengecewakan hati Kwan Cu, bahkan merupakan dorongan kepadanya untuk berlatih makin giat dan tekun. Juga dia melanjutkan perjalanan menuju ke Bukit Liang-san untuk mencari gua tempat mendiang Gui Tin menyimpan buku-bukunya. Ang-bin Sin-kai menuruti saja kehendak muridnya yang hendak mencari gunung itu.

“Kitab-kitab macam apakah yang dapat ditinggalkan oleh seorang sastrawan kepadamu?” hanya demikian kata-katanya mencemoohkan. “Paling hebat hanya kitab-kitab Susi Ngokeng dan kitab-kitab kuno penuh oleh tulisan kosong tentang adat-istiadat, tentang prikebajikan dan prikemanusiaan yang kosong melompong!”

Mendengar omongan gurunya ini, Kwan Cu menyatakan tidak setujunya.

“Suhu, mengapa soal-soal tentang prikebajikan dan prikemanusiaan Suhu anggap pelajaran yang kosong melompong? Bukankah manusia di dunia ini perlu sekali akan pelajaran serupa itu agar hidupnya tidak terlalu tersesat dan jahat?”

Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak mendengar ucapan muridnya ini.

“Kwan Cu, pelajaran tentang prikebajikan memang kosong melompong dan hanya pekerjaan orang-orang malas yang mengaku diri suci dan berjasa terhadap manusia. Siapakah orangnya yang tidak tahu bahwa mencuri dianggap jahat? Namun tetap saja mereka mengambil barang lain orang. Siapa yang tidak tahu bahwa membunuh dianggap jahat? Namun tetap saja mereka membunuh sesama hidup dengan hati enak saja. Apakah dengan munculnya pelajaran-pelajaran tentang prikebajikan itu dunia menjadi makin bersih? Lihat saja, makin kotorlah batin manusia. Kalau kitab-kitab itu tidak memberi pelajaran tentang jahatnya mencuri, manusia takkan mengenal kata-kata mencuri dan tidak akan ada pencuri di muka bumi ini. Kalau orang tidak membaca dan mendengar tentang pelajaran prikebajikan yang menyatakan bahwa membunuh itu tidak baik, orang tidak akan mengenal kata-kata membunuh dan tidak akan ada pembunuh. Kalau orang tidak mendengar sebutan kejahatan dari dalam kitab, orang takkan mengenal pula kata-kata kejahatan dan tidak akan ada kejahatan di dalam dunia ini!”

Kepala Kwan Cu yang gundul itu menjadi makin kelimis karena dia mempergunakan otaknya untuk membuka arti ucapan gurunya yang sukar dimengerti itu. “Kalau begitu, dunia akan kacau, Suhu. Tanpa ada pengertian tentang kejahatan, orang tidak akan takut berbuat sekehendak hatinya!”

“Bodoh, berbuat sekehendak hati adalah perbuatan yang tidak jahat! Kaukira dengan pelajaran yang memenuhi otak-otak tentang kejahatan dan segala macam omong kosong itu, akan membuat dunia menjadi baik dan aman? Tengok saja, di mana terjadinya kejahatan-kejahatan besar? Bukan di dusun-dusun yang ditempati oleh orang-orang yang masih sederhana pikiran dan hatinya, yang belum banyak mengenal tentang pelajaran prikebajikan yang dalam pandangan orang-orang kota masih dianggap bodoh! Di dalam ketidakmengertian mereka tentang kejahatan itu, mereka bersih!”

“Suhu terpengaruh oleh filsafat Lo Cu!” tiba-tiba Kwan Cu berseru karena anak yang cerdik ini memang sudah hafal akan semua isi kitab kuno dan pelajaran tentang filsafat dan kebatinan.



“Bukan terpengaruh, hanya aku setuju dengan pendirian Lo Cu tentang itu. Orang-orang besar yang membuat kitab-kitab itu telah berlaku terlalu sombong, hendak mendahului kehendak alam, hendak menggantikan kedudukan alam mengadakan perubahan besar dalam watak manusia. Padahal watak manusia itu memang baik seperti watak seluruh isi alam yang suci. Watak manusia seperti air telaga yang tenang, sekali dikacau, akan bergelombanglah air itu dan menjadi kacau dan tidak aman lagi. Pengertian tentang apa yang disebut baik dan jahat, menimbulkan nafsu dalam diri manusia dan pada sekarang ini, dunia kemanusiaan dirajai oleh maha raja nafsu, manusianya sendiri hanya menjadi hamba sahaya dan hulubalang yang taat dan setia kepadanya! Nafsulah yang menggerakkan manusia mencuri, membunuh, menipu, dan melakukan kejahatan-kejahatan lain, dan nafsu ini dipupuk dan diperkuat oleh pengertian tentang baik dan buruknya yang diajarkan oleh kitab-kitabmu itu! Anggap emas seperti batu karang, siapa yang sudi mencuri emas? Dengan pengertian tentang baik buruk, tentang dosa dan suci, manusia telah dibentuk menjadi makhluk yang paling kotor dan jahat di dunia ini.”

Kwan Cu mengerutkan keningnya. “Akan tetapi, Suhu, bukankah itu sebaliknya? Manusia adalah makhluk yang paling pandai dan baik. Bukan hanya di antara manusia terjadi saling bunuh, bukankah binatang juga sering kali membunuh sesamanya?”

Ang-bin Sin-kai memandang kepada muridnya dengan mata terbelalak lebar. “Anak bodoh, kau tahu apa? Binatang-binatang membunuh bukan seperti manusia membunuh! Manusia membunuh sesama manusia hanya terdorong oleh iblis, terdorong oleh dendam, benci, marah, dan sakit hati karena dirugikan, baik nama maupun hartanya. Pernahkah kau mendengar binatang membunuh karena perasaan-perasaan jahat ini? Harimau boleh jadi setiap hari membunuh binatang lain, akan tetapi itu adalah kehendak alam yang telah memastikan bahwa harimau tidak bisa makan rumput, melainkan harus makan daging atau darah.”

“Akan tetapi, Suhu. Kalau semua manusia menurutkan ajaran Lo Cu semenjak dahulu, teecu kira dunia akan menjadi sunyi, dan tidak akan terdapat kemajuan seperti sekarang ini. Manusia mungkin masih akan menjadi makhluk-makhluk telanjang yang hidup di gua-gua, tiada lain kerjanya hanya makan dan tidur!”

“Kau sombong!” Ang-bin Sin-kai berteriak dengan muka yang merah itu menjadi makin merah. “Berani kau mendahului pertumbuhan alam? Memang mungkin sekali tidak akan ada kemajuan duniawi seperti sekarang, akan tetapi juga tidak akan ada kejahatan seperti sekarang! Tentang kemajuan, hanya setelah kata-kata itu diciptakan orang maka mengenalnya. Coba kau tengok pohon siong itu. Ribuan tahun yang lalu keadaannya masih sama saja seperti sekarang, akan tetapi, katakan, hai bocah gundul sombong, siapakah yang dapat menyatakan bahwa pohon itu tidak mempunyai kemajuan? Lihat burung yang terbang itu. Seribu tahun yang lalu bangsanya pun berbuat seperti itu. Apakah sekarang dia kelihatan sudah terlalu kuno dan tidak menarik lagi? Kwan Cu, kau hanya memandang kulit saja, tidak melihat isi. Kemajuan lahir saja tiada artinya tanpa dibarengi kemajuan batin, karena lahir itu tidak kekal adanya.”

Sekarang Kwan Cu benar-benar kelihatan pusing dan teringatlah Ang-bin Sin-kai bahwa Kwan Cu hanyalah seorang kanak-kanak yang masih belum dapat menerima semua filsafat hidup ini. Ang-bin Sin-kai menarik napas panjang dan dia seakan-akan baru kembali ke atas bumi dari perantauannya di awang-awang yang membuatnya lupa akan segala itu.

“Sudahlah, Kwan Cu. Mari kita melanjutkan perjalanan. Kalau dipikir-pikir, aku sendiri pun ingin sekali tahu buku-bulu apa yang disimpan oleh mendiang Gui Tin di atas Bukit Liang-san itu.”

“Buku-buku yang lainnya, teecu pun tidak menghendakinya, Suhu. Hanya sebuah buku yang perlu sekali bagi teecu karena sudah dipesankan oleh Gui-sianseng kepada teecu. Yakni buku sejarah kuno di mana teecu akan membaca tentang kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang aseli! Dari buku itulah teecu akan mendapat petunjuk di mana teecu dapat mencari kitab rahasia itu.”

Ang-bin Sin-kai tertegun dan mukanya berubah.

“Kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng?” Ia mengulang setengah tidak percaya.

Kwan Cu mengangguk. “Memang kitab yang dahulu itu kitab tiruan yang sengaja di palsukan, Suhu. Aselinya masih disimpan baik-baik, kata Gui-sianseng, kitab itu berada di atas sebuah pulau kosong yang sukar dicari. Hanya bisa didapatkan dengan pertolongan kitab sejarah yang disimpan oleh Gui-sianseng.”

“Kwan Cu, kalau begitu kau benar-benar berjodoh dengan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng! Hayo kita percepat jalan agar segera dapat menemukan kitab itu, muridku!” Ketika Ang-bin Sin-kai memandang kepada muridnya dan bertemu pandang, mukanya yang merah berubah pucat karena dia marah.

“Kwan Cu! Kaukira aku mempunyai pikiran buruk? Aku sudah bersumpah takkan mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng dan aku Lu Sin selamanya akan memegang teguh sumpahku!”

Kwan Cu terkejut sekali dan buru-buru dia berlutut minta maaf. Pandangan mata suhunya benar-benar tajam sekali, karena memang tadi dia memandang dengan curiga kepada suhunya yang disangkanya menginginkan kitab itu.

“Sudahlah, tiada salahnya kau mencurigaiku, karena kalau tidak ingat akan sumpahku, memang aku ingin sekali melihat dan mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Siapa orangnya yang tidak ingin? Sudah berpuluh tahun aku merindukan kitab itu, seperti juga tokoh-tokoh persilatan yang lain. Akan tetapi, aku sudah tua dan tiada gunanya aku mempelajari ilmu silat lain lagi. Kaulah yang perlu mempelajarinya, maka kerinduanku sekarang bukan untuk aku sendiri, melainkan melihat kau dapat mempelajari kitab aneh itu.”

“Terima kasih atas budi kebaikanmu, Suhu.”

“Phuah, budi kebaikan macam manakah? Hayo kita lekas pergi. Aku tahu dimana kau akan dapat melatih gwakang dan memperdalam Sam-hoan-ciang dan Pai-bun-tui-pek-to yang sedang kau pelajari.”



Guru dan murid ini lalu berangkat dan berlari cepat menuju ke Liang-san. Tiga hari kemudian tibalah mereka di sebuah hutan besar dan Ang-bin Sin-kai menghentikan larinya dan berkata,

“Nah, di sini kita dapat beristirahat sambil mencari lawan untuk melatih ilmu silatmu.”

Hutan itu besar dan sunyi sekali. Di mana ada lawan untuk melatih ilmu silat? Kwan Cu memandang ke sana ke mari, akan tetapi keadaan sunyi saja, hanya bergeraknya daun pohon tertiup angin menimbulkan suara gemerisik. Pohon-pohon besar menimbulkan bayangan yang amat teduh dan silir angin membuat mata mengantuk. Lapat-lapat terdengar suara binatang hutan, dan Kwan Cu merasa heran mengapa suara binatang hutan, kecuali burung dan ayam, yang terdengar hanya geraman harimau belaka.

“Heran sekali, ke manakah perginya keluarga raja hutan?” Ang-bin Sin-kai berkata perlahan. “Biasanya setiap kali aku datang, mereka itu telah beramai-ramai menyambut dengan gigi dan kuku yang runcing!”

Tiba-tiba, seakan-akan menjadi jawaban dari kata-katanya, terdengar bunyi lengkingan suling bambu yang aneh sekali suaranya. Lengking ini amat tinggi dan panjang, kemudian mendadak berubah menjadi irama rendah dengan irama terputus-putus seperti geraman harimau marah.

Berubah wajah Ang-bin Sin-kai mendengar ini.

“Ah, kiranya dia berada di sini. Pantas saja harimau-harimau itu tidak nampak di sini.”

“Suhu, siapakah peniup suling yang aneh bunyinya itu?”

“Orang aneh……. orang aneh, dan sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan kita. Dia itulah Hang-houw-siauw Yok-ong (Raja Obat dengan Suling Penakluk Harimau)!”

Akan tetapi Kwan Cu belum pernah mendengar julukan orang yang terdengar aneh ini. Julukan Yok-ong (Raja Obat) saja sudah hebat, apalagi mengerti julukan kedua ini. Bagaimana bisa orang menaklukan harimau dengan suling? Atau, bagaimana suling bisa dipergunakan menjadi penakluk harimau?

Jawabannya segera terlihat olehnya. Dari jurusan barat, kelihatan seorang laki-laki tua berpakaian jubah panjang menutupi kedua kakinya dan sebagian jubah itu terseret di belakangnya, sedang berjalan dengan tindakan perlahan. Ia memegang sebatang suling bambu yang ditiupnya sambil berjalan, matanya memandang lurus ke depan tidak mempedulikan kanan kiri. Juga sama sekali tidak dia mempedulikan apa yang terjadi dibelakangnya, kejadian yang membuat Kwan Cu membuka mata selebar-lebarnya! Ternyata olehnya bahwa di belakang kakek itu, berbaris belasan ekor harimau besar dan buas. Mereka berjalan merupakan barisan di belakang kakek ini dan sebentar-sebentar mengeluarkan geraman. Melihat keadaan ini, tahulah Kwan Cu bahwa binatang-binatang buas itu ternyata telah tertarik dan berada di bawah pengaruh suara suling yang aneh itu. Pantas saja di sebut Hang-houw-siauw (Suling Penakluk Harimau). Kwan Cu benar-benar merasa aneh sekali. Dia sudah sering kali mendengar tentang suling yang suaranya dapat mempengaruhi ular, akan tetapi harimau?

“Ha, ha, ha, Hang-houw-siauw Yok-ong benar-benar tabah sekali!” Ang-bin Sin-kai memuji. “Hanya dengan suara suling dapat menundukkan belasan raja hutan, benar-benar aku Ang-bin Sin-kai tidak mampu melakukannya!”

Melihat munculnya seorang anak laki-laki gundul bersama Ang-bin Sin-kai, untuk sesaat kakek berjubah panjang itu lupa meniup sulingnya dan dia memandang kepada kakek pengemis itu.

“Aha, kiranya Ang-bin Sin-kai si manusia sadar!” Memang Yok-ong ini amat mengagumi Ang-bin Sin-kai dan selalu menyebutnya manusia sadar. “Selagi jalan halus sempat dan dapat dipergunakan, mengapa memakai jalan kasar?”

Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak. “Ha, ha, ha, Hang-houw-siauw Yok-ong! Enak saja kau bicara begitu! Dengan sulingmu, tentu saja kau dapat menundukkan harimau dengan jalan halus, akan tetapi aku yang tidak mengerti caranya, bagaimana harus menundukkan harimau? Aku takkan dapat membujuk mereka dengan kata-kata halus. Lihat, bagaimana aku harus menghadapi mereka ini?”

Berkata demikian, Ang-bin Sin-kai menunjuk ke arah belakang Hang-houw-siauw Yok-ong. Kakek ini menengok dan melihat betapa belasan ekor harimau buas itu mulai gelisah dan kini mereka memperlihatkan gigi runcing dan muka buas, siap untuk menyerang! Harimau-harimau itu kini sudah tidak berada di bawah pengaruh suara suling lagi dan mereka mengeluarkan geraman hebat lalu menubruk maju, menyerang Ang-bin Sin-kai, Yok-ong dan Kwan Cu!

Lu Kwan Cu terkejut sekali, akan tetapi dia telah memiliki ketabahan dan ketenangan, maka ketika seekor harimau menubruk kepadanya, dia cepat melompat ke pinggir. Lain harimau menerkamnya, akan tetapi kembali dengan menggeser kaki menurutkan gerakan Pai-bun-tui-pek-to, dia dapat menyelamatkan diri.

Adapun Hang-houw-siauw Yok-ong, juga berbuat seperti Kwan Cu. Kakek ini berkepandaian tinggi, akan tetapi hatinya amat lemah dan tidak tega melukai siapa pun juga. Ia adalah seorang ahli pengobatan dan hatinya sudah tercurah kepada watak menyayang dan memelihara sesuatu yang sakit, mana bisa dia melukai harimau-harimau itu? Ia bergerak ke sana ke mari dan sungguh mengagumkan, biarpun gerakannya nampak lambat saja, namun tak pernah ada kuku harimau yang dapat menyentuh jubahnya yang panjang itu.



Hebat adalah sepak terjang Ang-bin Sin-kai. Berbeda dengan Kwan Cu yang mengelak terus karena tidak mampu membalas serangan harimau dan Yok-ong yang sengaja tidak mau mengganggu bintang-binatang itu, Ang-bin Sin-kai tidak mandah saja dirinya di serang. Tiap kali kaki dan tangannya bergerak, terdengar harimau yang terpukul atau tertendang mengeluarkan gerengan kesakitan, dan tubuh harimau bergulingan di atas tanah saking kerasnya serangan Ang-bin Sin-kai.

Melihat ini, Hang-houw-siauw Yok-ong berteriak-teriak,

“Ang-bin Sin-kai, jangan berlaku kejam! Ampunkan nyawa harimau-harimau ini!”

Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak. “Aku memandang mukamu dan tidak akan mengganggu mereka lagi,” katanya dan sekali tubuhnya berkelebat, dia telah melompat ke atas dan tahu-tahu dia telah duduk di atas sebatang ranting pohon yang tinggi!

Ada pun Kwan Cu yang melihat perbuatan suhunya, lalu melompat pula, akan tetapi dia tidak melompat ke atas pohon, melainkan melompat ke belakang Hang-houw-siauw Yok-ong mencari perlindungan! Raja obat itu lalu meniup sulingnya dan …..benar mengherankan sekali, tiba-tiba binatang-binatang yang buas dan marah itu menghentikan serangan mereka, lalu berdiri berkumpul di depan Yok-ong dengan kepala tunduk dan telinga digerak-gerakkan seakan-akan senang sekali medengar suara suling yang bagi telinga Kwan Cu terdengar menyakitkan anak telinga!

Makin lama makin meninggi suara suling yang ditiup oleh Yok-ong, dan makin sakitlah telinga Kwan Cu sehingga anak ini tidak dapat tahan lagi lalu menggunakan ibu jari untuk menyumpal lubang telinganya. Dan benar-benar hebat! Harimau-harimau itu seakan-akan mendengar bunyi perintah yang tak dapat dibantah lagi. Serentak mereka membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu!

Masih agak lama Yok-ong meniup sulingnya, kemudian setelah tidak terdengar lagi geraman harimau, dia menghentikan tiupannya dan menoleh kepada Ang-bin Sin-kai yang masih duduk di atas pohon.

“Ang-bin Sin-kai, terima kasih atas kemurahan hatimu terhadap harimau-harimau itu. Kalau diteruskan tadi, tentu aku menjadi sibuk memelihara dan mengobati luka-luka mereka. Untuk kebaikan hatimu itu, kau patut diberi hadiah. Aku adalah seorang miskin yang hanya mempunyai sebatang suling. Nah, terimalah barang pusakaku ini.” Ia melempar suling yang tadi ditiupnya ke arah Ang-bin Sin-kai yang cepat mengulur tangan menerimanya.

Hang-houw-siauw Yok-ong lalu berpaling kepada Kwan Cu. Untuk beberapa lamanya dia memandang anak itu dengan tajam.

“Hebat!” tiba-tiba dia berkata. “Darimana kau memperoleh anak seperti ini?” Ia lalu mendekati Kwan Cu. “Coba ulur tangamu, anak yang baik.”

Kwan Cu segera mengulur tangan kanannya dan Yok-ong segera memegang pergelangan tangan Kwan Cu. Untuk beberapa lama dia mengangguk-angguk dan berkatalah dan dengan suara keras.

“Benar-benar hebat! Darah yang luar biasa kuatnya, yang ditambah oleh semacam darah liar yang mempunyai kekuatan tekanan tiga kali lipat daripada tekanan darah manusia, membuat seluruh urat di tubuhmu dipenuhi oleh aliran darah yang kuat dan cepat sekali. Berkat tulang dan dagingmu yang kuat dan bersih, hal itu menguntungkan dalam usahamu mempelajari bu (ilmu silat). Akan tetapi, urat halus dalam otak dapat terganggu karenanya. Anak baik, aku kasihan kepadamu, maka biarlah aku memberimu Liong-kak-hian-tan (Pil Darah Tanduk Naga) yang jarang kupergunakan.” Ia merogoh saku jubahnya yang lebar sekali dan mengeluarkan bungkusan dari kain kuning yang bersih. Ketika bungkusan dibuka, di dalamnya terdapat beberapa butir pil merah yang berbau amis.

“Untuk ketabahan dan kemurahan hatimu ketika menghadapi harimau-harimau tadi, kau kuberi hadiah tiga butir Liong-kak-hian-tan. Telanlah sehari sebutir, dan dalam tiga hari kau akan merasakan khasiatnya.”

Kwan Cu merasa ragu-ragu untuk menerima, dan tiba-tiba terdengar suara dari atas pohon,

“Murid goblok! Tidak lekas diterima dan menghaturkan terima kasih, mau tunggu kapan lagi?”

Sebenarnya bukan karena Kwan Cu merasa kurang percaya terhadap kakek Raja Obat itu, melainkan karena dia menjadi murid Ang-bin Sin-kai, maka dia merasa tidak patut tanpa ijin gurunya kalau dia menerima pemberian orang lain. Sekarang mendengar ucapan suhunya, dia menjadi girang sekali, dan setelah menerima tiga butir pil itu, dia lalu berlutut di depan Hang-houw-siauw Yok-ong dan menghaturkan terima kasihnya.

Yok-ong tertawa bergelak dan menengok ke atas pohon. “Ang-bin Sin-kai, muridmu ini benar-benar tahu menghargai guru dan orang-orang tua. Bagus sekali! Nah, sampai bertemu kembali!”

Setelah berkata demikian, Hang-houw-siauw Yok-ong lalu menyimpan bungkusan obatnya dan seperti main sulap saja, ketika dia merogoh saku di tangannya telah memegang sebatang suling lagi! Ia lalu berjalan pergi sambil meniup sulingnya!

Kwan Cu dan gurunya mendengarkan suara suling itu makin melenyap, kemudian terdengar suara suling lain. Ketika Kwan Cu menengok, ternyata suhunya sedang meniup suling pemberian Yok-ong tadi! Tercenganglah Kwan Cu ketika mendengar tiupan suling suhunya amat merdu dan gurunya itu ternyata pandai sekali meniup suling melagukan lagu kuno!



“Bagus, Suhu pandai sekali bersuling!” Kwan Cu memuji.

Gurunya menghentikan tiupannya dan tertawa girang.

“Tidak sepandai Hang-houw-siauw Yok-ong. Kautelanlah sebutir Liong-kak-hian-tan itu seperti yang dipesan oleh Yok-ong. Aku mau mencoba memanggil harimau dengan suling ini!”

Kwan Cu segera menelan sebutir pil yang terasa masam dan amis sekali, kemudian menyimpan yang dua butir di dalam saku bajunya. Pada saat itu, gurunya sedang mencoba untuk meniru tiupan suling Yok-ong ketika menundukkan harimau tadi. Akan tetapi tiupan sulingnya tidak karuan bunyinya sehingga mengusir burung-burung di atas pohon yang menjadi kaget ketakutan mendengar suara melengking yang aneh luar biasa itu!

Sampai capai bibir meniup suling, harimau-harimau itu tidak juga datang! Kwan Cu tertawa geli melihat usaha suhunya tidak mendatangkan hasil itu.

“Jangan tertawa, lihat belakangmu!” tiba-tiba Ang-bin Sin-kai berseru.

Kwan Cu terkejut dan cepat menengok. Benar saja di belakangnya telah berdiri seekor harimau muda yang nampaknya juga terpesona dan bingung mendengar suara suling yang lucu dan aneh tadi. Kini, menghadapi Kwan Cu, dia mulai merendahkan tubuhnya dan menggaruk-garukkan kakinya, siap untuk menerkam.

“Kwan Cu, hadapi dia dengan Pai-bun-tui-pek-to! Jangan hanya mengelak saja, lawan dia dan kalahkan dia. Sekarang waktunya untuk menguji kepandaian. Dia ahli gwakang (tenaga luar), awaslah!” kata Ang-bin Sin-kai dengan gembira sekali.

Harimau itu mengaum lalu menubruk dengan kuat sekali. Kwan Cu sudah siap sedia. Dengan lincahnya dia melangkah ke kiri, membiarkan tubuh harimau itu menyambar lewat, lalu memberi pukulan keras ke arah lambung harimau itu. Harimau terjatuh tunggang-langgang sambil menggereng, akan tetapi tubuh harimau muda itu terlampau kuat sehingga pukulan Kwan Cu tadi baginya hanya merupakan dorongan kuat belaka, sama sekali tidak melukainya. Ia menubruk lagi dan seperti juga tadi, Kwan Cu menghadapi dengan mengelak sambil memukul atau menendang.

Pertempuran seperti ini berjalan lama dan Ang-bin Sin-kai hanya meniup suling seakan-akan mengiringi pertempuran itu dengan lagu perang, akan tetapi matanya memandang penuh perhatian. Akhirnya, setelah berpuluh kali menubruk tanpa hasil bahkan menerima tendangan atau pukulan, harimau itu menjadi lelah. Demikian pula Kwan Cu. Ia telah mengerahkan benar tenaga untuk memukul dan menendang, akan tetapi sedikit pun tak dapat merobohkan lawannya.

“Kau harus dapat mengalahkan dia!” seru Ang-bin Sin-kai berkali-kali dengan suara tidak puas. Masa muridnya, murid Ang-bin Sin-kai tidak dapat mengalahkan seekor harimau yang masih muda?

Kwan Cu mengerti bahwa kalau dia melanjutkan perkelahian secara ini, tak mungkin dapat mengalahkan harimau itu. Maka dia mencari akal dan ketika harimau itu untuk ke sekian kalinya menubruknya, dia lalu mengelak dan menyambar ekor harimau. Sekuat tenaga dia lalu mengayun tubuh harimau itu dan membantingnya. Akan tetapi karena tubuh harimau itu berat sekali dan dia telah lelah, maka dia terbawa oleh bantingan ini sehingga terpelanting di atas tanah!

Harimau itu nanar seketika, akan tetapi segera berdiri kembali dan melihat tubuh Kwan Cu di dekatnya, dia lalu menubruk! Kwan Cu telah siap dan cepat menggulingkan tubuhnya mengelak, kemudian dia mendahului menerkam dan mencekik leher harimau itu dalam kempitan lengannya yang kecil akan tetapi kuat!

Harimau itu meronta-ronta, akan tetapi Kwan Cu memutar lehernya sehingga kaki harimau tidak dapat mencakarnya. Makin lama harimau itu mejadi makin lemah dan sebentar lagi dia tentu takkan berdaya.

Tiba-tiba terdengar auman keras sekali dan seekor harimau yang besar sekali keluar dari semak-semak, merunduk dan siap menerkam Kwan Cu yang mencekik anaknya! Ang-bin Sin-kai yang sedang enak-enak meniup sulingnya saking girang melihat kecerdikan Kwan Cu mengalahkan lawannya, melihat harimau besar itu, lalu berseru keras dan tubuhnya melayang turun.

Pada saat itu, harimau besar telah melompat menubruk Kwan Cu, akan tetapi, tiba-tiba tubuhnya terjengkang kembali ke belakang karena dorongan Ang-bin Sin-kai yang memapakinya di tengah udara! Kini pertempuran terpecah menjadi dua. Kwan Cu dengan cepat dapat membuat harimau muda itu pingsan karena tak dapat bernapas, kemudian anak ini menonton pertempuran antara suhunya dan harimau besar.

Bukan main kagumnya hati Kwan Cu ketika melihat betapa suhunya menghadapi harimau itu dengan senjata suling. Ternyata suling yang ditiupnya dengan merdu tadi kini disulap menjadi sebatang senjata yang lihai sekali. Kemana juapun harimau itu menubruk, selalu dia tertotok oleh suling di bentulan lehernya. Setelah empat lima kali tertotok suling, harimau itu merasa kesakitan luar biasa dan segera membalikkan tubuh dan berlari cepat sambil menggereng kesakitan! Sementara itu, harimau muda yang tadi pingsan, juga telah siuman kembali dan kini berlari menyusul harimau besar!

“Suhu, indah sekali permainan suling tadi. Teecu ingin belajar bersilat dengan suling.”

Ang-bin Sin-kai tertawa. “Memang indah dan mudah saja dilihat, akan tetapi jangan kira mudah dipelajarinya. Ketahuilah bahwa makin sederhana bentuk senjata, makin sukar dipelajarinya dan makin lihai permainannya. Kelak akan tiba saatnya kau belajar ilmu silat dengan suling.”



Guru dan murid ini lalu melanjutkan perjalanan ke Liang-san. Semenjak mengalahkan harimau muda itu, semangat Kwan Cu menjadi makin besar saja. Dan tiga hari kemudian setelah dia menghabiskan tiga butir pil merah pemberian Hang-houw-siauw Yok-ong, dia merasa kepalanya dingin dan dadanya tenang. Pikirannya makin kuat saja dan kini dia tidak terganggu oleh rasa pening yang seringkali datang di kala dia melatih diri dengan pengendalian napas dalam samadhinya. Ia merasa girang dan Ang-bin Sin-kai berkata sambil menarik napas panjang.

“Karena itulah ketika dulu aku melihat dia memberi pil ini kepadamu, aku cepat menyuruh kau menerimanya. Hang-houw-siauw Yok-ong dahulunya adalah seorang tabib istana yang amat terkenal, bukan saja karena ilmu pengobatannya, akan tetapi terutama karena ilmu silatnya yang tinggi dan pribadinya yang luhur. Mungkin sekali tingkat kepandaiannya tidak akan menang dari tokoh-tokoh persilatan dari empat penjuru, akan tetapi tentang ilmu pengobatan dan pribadi mulia, kiraku di dunia ini sukar mencari keduanya!”

“Yang diberikan kepada teecu itu, disebut olehnya Liong-kak-hian-tan (Pil Darah Tanduk Naga), apakah benar-benar terbuat daripada darah yang berada di tanduk naga, Suhu?”

Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak. “Orang-orang pembuat obat dan masakan sama saja, keduanya seperti orang gila! Untuk memudahkan mereka mengingat namanya dan untuk membuat obat atau masakannya terkenal, mereka itu suka memberi nama yang aneh-aneh! nama liong (naga) dan burung hong (burung dewata) selalu dibawa-bawa dalam pemberian nama pada obat. Siapa percaya tentang liong kalau belum melihat sendiri?”

“Apakah liong itu tidak ada, Suhu?”

“Aku sendiri percaya bahwa naga itu memang ada, hanya terus terang saja aku belum pernah melihat dengan mataku sendiri. Memang kulihat banyak ular-ular besar sekali, bahkan ada pernah kulihat ular bertanduk lunak di kepalanya, akan tetapi, ular itu tidak berkaki seperti naga yang sering kali disebut-sebut! Betapapun juga, aku percaya bahwa naga itu memang ada. Kalau tidak ada, mengapa rakyat di empat penjuru dapat melukiskan rupa dan bentuk tubuhnya? Pasti ada, seperti adanya pula burung hong!”

“Kalau begitu, obat Liong-kak-hian-tan itu benar-benar terbuat daripada darah tanduk naga, Suhu?” kata Kwan Cu dengan suara tetap.

Ang-bin Sin-kai kembali tertawa lagi. “Hal inilah yang meragukan, karena kepandaian yang dimiliki oleh Hang-houw-siauw Yok-ong itu, biarpun cukup lihai, mana bisa dia pergunakan untuk menangkap seekor liong dan mengambil darah dari tanduknya? Sudahlah, hal ini tidak penting, muridku. Yang paling penting adalah kenyataan bahwa obat itu memang kupercaya amat baik bagimu.”

Setelah tiba di lereng bukit Liang-san di sebelah barat, mereka mulai bertanya-tanya kepada orang kampug tentang Gui Tin yang di tempat itu dahulu mengaku bernama Gui-lokai.

Beberapa orang sudah ditanya oleh Kwan Cu, akan tetapi tak seorang pun mengaku telah kenal dengan Gui-lokai (pengemis tua Gui).

“Anak bodoh, mengapa kautanya hanya orang-orang muda saja? Tanyalah kau kepada orang tua, dan wanita pula, karena yang biasa menderma kepada para pengemis, kebanyakan hanya orang-orang wanita,” kata Ang-bin Sin-kai mencela muridnya.

Kwan Cu menganggap kata-kata suhunya benar, maka dia lalu bertanya pada seorang wanita dusun yang sudah agak tua akan tetapi masih rajin sekali bekerja. Wanita ini tengah memikul air bersama beberapa wanita lain.

Kwan Cu merasa tidak enak kalau langsung menghentikan orang yang sedang bekerja, dan nampaknya wanita-wanita itu tergesa-gesa. Maka dia lalu ulurkan tangannya ke arah pundak wanita yang berada di depan dan dalam sekejap mata saja pikulan itu telah berpindah ke atas pundaknya sendiri! Tantu saja wanita itu terkejut dan heran sekali, akan tetapi bocah gundul itu tersenyum kepadanya sambil berkata,

“Bibi, aku kasihan melihat kau bersusah payah memikul air yang berat ini. Biar aku bawakan ke rumahmu.”

Tentu saja wanita itu girang sekali dan tertawalah dia, memperlihatkan deretan gigi yang jarang dan kecil-kecil.

“Anak baik, terima kasih,” katanya sambil melanjutkan perjalanan di sebelah Kwan Cu. Dua orang wanita di belakangnya juga memandang heran kepada Kwan Cu, bocah gundul yang baik hati tu.

Setelah menurunkan pikulan di depan rumah wanita itu, barulah Kwan Cu mengajukan pertanyaan,

“Bibi, pernahkah kau mengenal seorang pengemis tua di daerah ini yang dipanggil Gui-lokai?”

“Gui-lokai…….?” Wanita itu mengerutkan keningnya yang sudah mulai keriputan, “Ah, kakek yang gila itu? Siapa yang tidak mengenalnya? Dia adalah seorang tua yang malas dan gila, tidak mau bekerja, hanya menulis dan membaca saja kerjanya. Baiknya dia masih suka memberi pelajaran kepada beberapa orang anak, akan tetapi pelajaran membaca dan menulis, untuk apakah di dusun ini? Lebih baik belajar mencangkul tanah daripada menggerakkan pit menulis!”

Bukan main girangnya hati Kwan Cu.

“Tahukah kau di mana adanya dia? Dan di mana tempat tinggalnya ketika dia berada di daerah ini?”

“Tempat tinggalnya? Di mana saja orang mau menerimanya. Kadang-kadang dia bahkan tidur di pinggir sawah, di tempat terbuka. Benar-benar orang aneh. Eh, anak baik, kau pernah apakah dengan Gui-lokai maka kau mencarinya?”



Pada saat itu, seorang kakek tua yang mendatangi tempat itu mendengar kata-kata ini lalu menyambung,

“Aneh sekali! Baru kemarin sore ada juga dua orang yang menanyakan tentang Gui-lokai!”

Mendengar ini, Kwan Cu terheran.

“Lopek, siapakah mereka yang bertanya tentang Gui-lokai?” “Seorang hwesio gemuk sekali dan seorang muridnya. Mereka pergi ke batu karang berbentuk menara yang berada di lereng barat, mencari gua yang dulu ditinggali oleh Gui-lokai,” jawab kakek itu.

“Dimana batu karang itu, Lopek? Aku pun ingin sekali pergi ke gua tempat tinggal Gui-lokai!” Kwan Cu bertanya cepat-cepat.

Kakek itu ragu-ragu, akan tetapi wanita yang ditolongnya membawa air tadi segera menudingkan jari telunjuknya ke arah puncak bukit yang tak jauh dari situ. “Di sanalah tempatnya. Di sana terdapat sebuah batu karang yang menjulang tinggi, bentuknya seperti menara. Di sekitar tempat itulah adanya gua tempat tinggal Gui-lokai ketika dia masih berada di daerah ini.”

“Terima kasih!” jawab Kwan Cu dan dua orang dusun itu menjadi bengong dan saling pandang ketika tiba-tiba Kwan Cu melompat dan lenyap dari depan mereka.

“Suhu, cepat, Suhu! Ada orang mendahului kita!” kata Kwan Cu ketika dia kembali ke tempat di mana Ang-bin Sin-kai menantinya.

“Siapa orangnya yang mendahului kita?” tanya Ang-bin Sin-kai dengan muka terheran.

“Entahlah, kata orang dusun itu, ada seorang hwesio gemuk dan muridnya juga mencari gua tempat tinggal Gui-siu-cai!”

Berubah wajah Ang-bin Sin-kai mendengar ini.

“Hm, jangan-jangan Jeng-kin-jiu dan Lu Thong yang mendahului kita.”

“Mari cepat, Suhu. Guanya berada di puncak itu,” kata Kwan Cu dan bocah gundul ini mendahului suhunya berlari ke arah puncak itu. Ang-bin Sin-kai menyusul dan guru ini pun merasa gelisah kalau-kalau kitab yang dikehendaki oleh muridnya itu telah dicuri orang lain.

Sebentar saja mereka telah tiba di puncak bukit di mana terdapat batu karang berbentuk menara. Mudah saja mendapatkan gua bekas tempat tinggal Gui Tin, karena gua ini besar dan panjang. Kwan Cu segera membuat obor dan bersama gurunya dia memasuki gua itu. Tak salah lagi, inilah bekas tempat tinggal Gui-lokai, karena dindingnya banyak terdapat pahatan dan ukiran, tentu Gui Tin mempergunakan waktunya untuk membuat sajak-sajak ini. Kwan Cu mencari terus dan akhirnya dia mendapatkan lubang di mana tersimpan sebuah peti.

Dengan hati berdebar girang, Kwan Cu mengeluarkan peti itu dan segera membawanya keluar. Setelah tiba di luar, dia membuka peti tadi, akan tetapi tiba-tiba pundaknya di tarik orang dan ternyata suhunya yang menarik tadi.

“Hati-hati, Kwan Cu. Keliru sekali berlaku tergesa-gesa seperti itu menghilangkan kewaspadaan. Aku masih bersangsi mengapa Gui-siucai semudah ini menyimpan petinya terisi kitab-kitab yang lebih disayangnya daripada harta benda lain. Aku sangsi kalau-kalau ada orang yang telah mendahului kita dan sengaja memasang perangkap. Biarkan aku yang membuka peti ini!” Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai mempergunakan sulingnya untuk mencokel tutup peti dan benar saja dugaannya, begitu tutup peti terbuka, dari dalam menyambar keluar kepala seekor ular kehijauan yang mendesis dan menjulurkan lidahnya.

Kwan Cu tertawa.

“Ah, ular kecil seperti itu saja, apa sih bahayanya?”

Ang-bin Sin-kai mengerutkan keningnya dan memandang tajam kepada Kwan Cu.

“Salah, salah! Sama sekali salah kalau kau memandang rendah soal-soal kecil. Kau mau tahu tentang ular ini? Inilah yang di sebut Jeng-tok-coa (Ular Racun Hijau) yang bisanya jauh lebih berbahaya daripada seekor ular sendok. Sekali pagut saja, tidak ada obat di dunia ini yang akan menyembuhkan dan menolong orang yang dipagutnya! Biarpun kau sendiri yang telah memiliki darah penolak racun di tubuhmu, agaknya akan bergulat dengan maut apabila tadi kau membuka peti dan kena digigit oleh ular ini!”

Mendengar ini, Kwan Cu meleletkan lidahnya saking kaget dan ngerinya. Ular itu bergerak-gerak dan gerakannya benar-benar cepat sekali sehingga dapat dibayangkan kalau ular ini menyerang orang. Ang-bin Sin-kai menggerakkan sulingnya dan sekali terbentur suling, pecahlah kepala ular itu, mengeluarkan lendir berwarna hijau yang berbau amis keharum-haruman dan yang membuat kepala menjadi pening ketika hidung mencium bau itu.



Ang-bin Sin-kai segera mengangkat peti itu menjauhi bangkai ular, kemudian barulah dia memperkenankan Kwan Cu memeriksa isi peti. Peti itu ternyata terisi banyak buku-buku tebal dan kuno. Dengan jari-jari tangan gemetar saking menahan gelora hatinya, Kwan Cu memeriksa buku-buku itu satu demi satu. Buku-buku sajak, buku-buku tentang bintang-bintang dan kitab-kitab kebatinan yang amat kuno. Namun tidak sebuah pun kitab sejarah tentang Im-yang Bu-tek Cin-keng!

“Heran sekali…….., kitab yang di maksudkan Gui-sianseng itu tidak ada…….. !” kata Kwan Cu setelah untuk kelima kalinya dia membuka dan memeriksa lagi buku-buku itu satu demi satu.

“Hm, benar ada orang yang mendahului kita,” kata Ang-bin Sin-kai, “kau lihat di sana itu!”

Kwan Cu memandang dan melihat bayangan dua orang berlari cepat sekali menuruni gunung. Bayangan seorang berkepala gundul yang gemuk bundar bersama seorang anak laki-laki yang sebaya dengan dia!

“Keparat!” Kwan Cu memaki dan hendak mengejar. Akan tetapi Ang-bin Sin-kai menahan dan memegang pundaknya.

Tiba-tiba Kwan Cu membalikkan tubuhnya dan memandang kepada suhunya dengan mata basah dan muka pucat.

“Suhu, kau benar-benar tidak adil dan berat sebelah!” katanya dengan tangan terkepal.

“Ketika Suhu memberi pelajaran Ilmu Silat Kong-jiu-toat-beng (Dengan Tangan Kosong Merenggut Nyawa) kepada Lu Thong, teecu sudah tahu bahwa betapapun juga, Suhu lebih memberatkan keluarga sendiri! Sekarang terbuktilah dugaan teecu. Sudah terang yang mencuri kitab dari Gui-siucai adalah Lu Thong dan gurunya, akan tetapi Suhu tidak mengejar mereka, bahkan melarang teecu mengejar. Suhu, sebetulnya Suhu hendak berlaku bagaimanakah terhadap murid?”

Mendengar ucapan Kwan Cu yang sifatnya menegur dan menuntut ini, sepasang mata Ang-bin Sin-kai mengeluarkan cahaya berkilat.

“Tutup mulutmu! Sekali lagi kau berkata demikian terhadapku, betapapun besar rasa sayangku kepadamu dan betapapun baiknya bakatmu menjadi muridku, kau akan kutinggalkan! Tuduhanmu hanya terdorong oleh rasa iri hati dan putus asa. Iri hati melihat aku menurunkan Kong-jiu-toat-beng kepada Lu Thong, perasaan iri hati yang tidak berdasar. Dia adalah cucu luarku, mengapa aku tidak boleh memberi sesuatu kepadanya. Dan kau putus asa melihat kitab peninggalan Gui-siucai dicuri orang. Juga perasaan putus asa ini bodoh sekali. Kau tadi melihat sendiri betapa ilmu lari cepat hwesio gundul itu hebat sekali, tidak kalah olehku? Dikejar pun tidak akan ada gunanya, karena mereka telah meninggalkan kita. Aku masih ragu-ragu…….apakah betul Jeng-kin-jiu yang mencuri kitab itu, Si Gundul dari selatan itu tidak demikian hebat lari cepatnya. Aku lebih condong menduga kepada Hek-i Hui-mo!”

Kwan Cu menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya. “Ampunkan kelancangan mulut teecu, Suhu. Sesungguhnya, teecu bingung sekali melihat kitab itu sudah tidak ada lagi. Bagaimana kita harus berbuat sekarang, Suhu?”

“Tenanglah dan kita perlahan-lahan menyelidiki siapa orangnya yang sudah mencuri kitab itu. Bukankah kau dulu bilang bahwa kitab itu ditulis dalam bahasa kuno yang sukar dimengerti dan yang hanya diajarkan mendiang Gui-siucai kepadamu?”

“Memang benar, Suhu. Akan tetapi siapa tahu kalau orang lain yang dapat membacanya. Menurut mendiang Gui-sianseng, pujangga-pujangga besar seperti Tu Fu dan Li Po pasti bisa membacanya. Hwesio gundul tadi terlalu jauh dari kita sehingga sukar untuk mengenalnya mukanya, akan tetapi teecu yakin bahwa dia tentulah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu.”

“Bagaimana kau bisa memastikannya?”

“Karena hanya Jeng-kin-jiu yang mempunyai seorang murid laki-laki sebesar teecu. Setahu kita, Hek-i Hui-mo tidak mempunyai murid.”

Ang-bin Sin-kai mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku pun berpikir demikian. Akan tetapi, masih terlalu pagi untuk menuduh tanpa bukti. Baiknya kita menyusul ke kota raja dan bertanya terang-terangan kepada Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu!”

Kwan Cu girang sekali karena ternyata bahwa suhunya benar-benar mau membantunya merampas kembali kitab itu. Mereka lalu berangkat dengan cepat, turun dari Liang-san menuju ke kota raja untuk mencari Jeng-kin-jiu yang disangka mencuri kitab sejarah peninggalan Gui Tin.

Di dalam perjalanan menuju ke kota raja, mereka melalui kota Po-keng yang ramai dan terkenal sebagai tempat berkumpulnya para sastrawan dan orang-orang gagah.

“Kita mampir dulu di rumah Kwa-pangcu (Ketua she Kwa), seorang sahabatku yang baik,” kata Ang-bin Sin-kai kepada Kwan Cu.

Yang disebut Kwa-pangcu oleh Ang-bin Sin-kai adalah Kwa Ok Sin, seorang ahli silat Bu-tong-pai yang selain memiliki ilmu pedang yang lihai, juga terkenal sebagai seorang ahli sastra terkemuka. Kwa Ok Sin atau Kwa-pangcu adalah ketua dari perkumpulan Bun-bu-pang (Perkumpulan Ahli Silat dan Sastrawan) yang didirikan oleh para ahli sastra dan ahli silat di seluruh daerah Po-keng. Kwa Ok Sin dipilih karena memang dia memenuhi syarat, tidak saja ahli dalam bun (sastra), akan tetapi juga tinggi ilmu kepandaiannya dalam bu (silat).





Tentu saja Ang-bin Sin-kai menjadi heran dan tidak enak hati sekali., akan tetapi dia bersikap tenang dan mengambil tempat duduk di atas sebuah bangku, lalu memandang ke kanan kiri menentang pandang mata semua orang yang duduk di situ. Pandang mata Ang-bin Sin-kai amat tajam dan berpengaruh, maka siapapun juga yang bertemu pandang dengan dia, lalu menundukkan muka atau mengalihkan pandang matanya.

Kwa-pangcu duduk kembali ke bangkunya yang berada di kepala meja. Di kanan kirinya duduk dua orang tokoh besar yang sudah amat terkenal, yakni sebelah kiri adalah Pouw Hong Taisu, ketua dari Thian-san-pai yang berilmu tinggi. Adapun di sebelah kanannya duduk Bin Kong Siansu, seorang tokoh besar ketua Kim-pan-sai. Diam-diam Ang-bin Sin-kai sudah merasa heran melihat dua orang tokoh besar ini, karena tidak biasanya ketua-ketua dari Thian-pan-sai dan Kim-pan-sai duduk di tempat ini. Tidak mungkin kehadiran mereka hanya hal yang kebetulan saja, karena kalau memang demikian, tentu dua orang kakek itu telah menyambutnya dengan ramah sebagai orang-orang segolongan yang bertemu jauh dari tempat kediaman masing-masing.

“Cu-wi sekalian, karena ada saudara yang baru datang, maka kuharap soal-soal penting yang tadi telah dibicarakan, diulangi lagi laporannya,” kata Kwa Ok Sin dengan suara keren.

Semua ornag menyatakan setuju dan dari ujung kiri berdirilah seorang muda yang nampaknya gagah. Dia adalah Lie Seng, anak murid Go-bi-pai yang berkepandaian cukup tinggi dan sudah terkenal sebagai seorang pendekar muda yang banyak menolong rakyat.

Karena semua orang telah mendengar penuturannya, kini Lie Sieng memandang kepada Ang-bin Sin-kai dan berkata,

“Tadi telah siauwte ceritakan bahwa kemarin hari ketika siauwte bersama pujanggan Tu Fu, tiba-tiba seorang tinggi gemuk yang berkepala gundul, malam-malam datang dan menculik Tu-siucai. Gerakan orang itu cepat sekali dan ketika siauwte berusaha menolong Tu-siucai, dengan sekali dorong saja siauwte roboh tak sadarkan diri. Karena cepatnya gerakan orang itu, siauwte tidak sempat mengenal mukanya, hanya tahu bahwa kepalanya gundul dan pakaiannya seperti pakain pendeta. Tubuhnya gemuk sekali.”

“Apakah bajunya hitam semua?” tiba-tiba Ang-bin Sin-kai bertanya.

Lie Seng menggeleng kepala. “Entahlah, karena sebelum menyerang, orang itu melambaikan tangan ke arah lampu yang menjadi padam seketika.”

Kwa Ok Sin berdiri lalu berkata, “Demikianlah persoalan pertama yang kita hadapi. Ternyata bahwa Tu-siucai telah diculik orang jahat yang lihai, entah dengan maksud apa. Oleh karena kita semua sudah mengenal Tu-siucai sebagai seorang sastrawan yang berjiwa gagah, maka sudah menjadi kewajiban kita untuk mempergunakan kepandaian dan mencoba menolong Tu-siucai dari tangan orang jahat.”

Warta ini menggirangkan hati Kwan Cu. Tanpa dapat di tahan lagi dia berkata dengan suaranya yang kecil nyaring.

“Penculiknya pasti Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu!”

Semua orang terkejut.

“Eh, anak gundul, bagaimana kau berani menuduh Kak Thong Taisu?” terdengar suara keras dan yang membentak iniadalah Pouw Hong Taisu ketua dari Thian-san-pai yang semenjak tadi memandang kepada Ang-bin Sin-kai dengan mata membenci.

Tak senang hati Kwan Cu mendengar suara yang galak ini, maka dia menjawab dengan suara kasar juga.

“Karena hanya si gundul itulah yang mempunyai alasan untuk menculik seorang sastrawan besar!”

“Diam kau, Kwan Cu!” Ang-bin Sin-kai menegur dan ketika guru dan murid ini bertemu pandang, tahulah Kwan Cu akan kesalahannya sendiri. Ia maklum bahwa urusan Im-yang Bu-tek Cin-keng ini tidak perlu diketahui oleh orang lain, maka dia lalu menundukkan muka dan menutup mulut.

“Muridku ini memang panjang lidah.” kata Ang-bin Sin-kai kepada semua orang.

“Tuduhannya tadi hanya kira-kira saja, karena memang muridku sudah pernah melihat Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu yang berkepala gundul dan bertubuh gendut. Betapapun juga, aku akan pergi ke kota raja untuk menyelidiki apakah benar-benar Jeng-kin-jiu yang menculik Tu-siucai.”

“Syukurlah, memang sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk menyelidiki dan menolong Tu-siucai,” kata Kwa Ok Sin, kemudian dia berpaling kepada Pouw Hong Taisu ketua Thian-san-pai sambil berkata,

“Karena persoalan pertama telah dibicarakan, maka lebih baik sekarang taisu menuturkan kembali persoalan kedua yang Taisu bawa jauh-jauh dari Thian-san!” Sambil berkata demikian, Kwa Ok Sin lalu duduk kembali dan kini semua mata memandang kepada Pouw Hong Taisu yang sudah bangkit berdiri dengan muka merah.

Pouw Hong Taisu bertubuh jangkung, mukanya lonjong dan rambutnya yang digelung di atas kepala itu masih hitam sekali sungguhpun usianya tidak kurang dari lima puluh tahun. Di punggungnya kelihatan gagang sepasang golok, karena memang tokoh Thian-san-pai in terkenal sekali sebagai seorang ahli ilmu silat siang-to (golok sepasang).

“Cu-wi sekalian, sesungguhnya bukan hanya pinto (aku) seorang saja yang membawa persoalan in seperti telah kuceritakan tadi. Soal yang kubawa juga persoalan dari sahabatku Bin Kong Siansu dari Kim-san-pai. Kami mempunyai persoalan yang sama, karena muridnya dan murid pinto telah terbunuh mati oleh seorang saja.” Sampai di sini Pouw Hong Taisu memandang kepada Ang-bin Sin-kai dengan mata bernyala, dan agaknya orang tua ini sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi.



Pouw Hong Taisu menggebrak meja dan aneh sekali. Cawan arak yang tadinya disuguhkan kepada Ang-bin Sin-kai dan berada di depan Pengemis Sakti ini, tiba-tiba mencelat ke atas tinggi sekali. Benar-benar hebat demonstrasi tenaga lweekang dari tokoh Thian-san-pai ini, karena begitu banyak cawan arak di atas meja, namun begitu dia menggebrak meja yang mencelat hanya cawan arak dari Ang-bin Sin-kai saja, tepat seperti dikehendakinya!

Melihat ini, terkejutlah Ang-bin Sin-kai karena dia maklum bahwa orang sedang marah kepadanya. Namun dengan tenang sekali dia mengulur tangan menerima kembali cawannya kembali di hadapannya.

“Tenang, Pouw Hong Taisu, ceritakanlah dengan jelas persoalannya, jangan marah-marah seperti anak kecil!” kata Ang-bin Sin-kai untuk melampiaskan kedongkolannya.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa dari Bin Kong Siansu yang juga sekarang telah berdiri di dekat Pouw Hong Taisu. Tokoh Kim-san-pai ini lalu berkata mengejek.

“Pinto merasa heran sekali melihat ketenanganmu, Ang-bin Sni-kai! Kau bahkan masih dapat memberi nasihat kepada Pouw Hong Taisu untuk berlaku tenang. Benar-benar berani mati dan tak tahu malu!” Sambil melontarkan kata-kata ini, Bin Kong Siansu mengerakkan tangan kanannya ke arah cawan arak di depan Ang-bin Sin-kai dan…… “praaaaaakk!” cawan itu pecah berkeping-keping seperti dipukul dengan palu besi! Padahal yang menyerang cawan arak itu hanya angin pukulan tangan saja dari Bin Kong Siansu. Dari sini saja sudah dapat diukur sampai bagaimana hebatnya kepandaian dari tokoh Kim-san-pai ini.

Kwan Cu tertawa geli mendengar ucapan suhunya. Ia tadi sudah menyaksikan sikap kedua orang tosu itu, dan sudah mendengar pula kata-kata mereka, maka karena selama ini dia berada dengan suhunya dan merasa yakin bahwa suhunya tidak pernah melakukan hal yang tidak patut, dia dapat menduga bahwa tentu terjadi kesalahfahaman dari fihak mereka. Olah karena ini, anak ini pun merasa tenang-tenang saja, bahkan ada kegembiraan dalam hatinya. Ia bahkan mengharapkan agar suhunya dapat bertanding melawan dua orang jago tua dari Kim-san-pai dan Thian-san-pai itu agar di dalam pertempuran yang hebat, dia mendapat pemandangan yang bagus dan penambahan pengalaman!

“Bin Kong dan Pouw Hong dua tua bangka yang sudah pikun. Apa sih harganya main-main seperti ini? Lebih baik kau bicara terus terang, sebetulnya ada urusan apakah maka kalian seperti kemasukan setan dan marah kepadaku?” kata Ang-bin Sin-kai sambil memandang kepada dua orang tosu itu.

“Pengemis busuk, kau masih berpura-pura tidak tahu? Kau telah membunuh mati Ong Kiat, murid yang pinto tahu belum pernah melakukan pelanggaran dan yang selalu bersikap sebagai seorang pendekar yang patut menjadi kebanggan Thian-san-pai. Akan tetapi, mengapa kau seorang tua yang sudah mendapat nama baik telah menurunkan tangan kejam dan membunuhnya? Tak perlu banyak cakap lagi, sekarang kebetulan kau datang sehingga memudahkan pinto untuk membalas dendam dan menagih hutang. Bersiaplah, mari kita mengadu nyawa, tua sama tua, jangan kau hanya berani mengganggu orang-orang muda!” Sambil berkata demikian, tokoh Thian-san-pai ini mencabut sepasang goloknya yang ternyata berwarna kebiruan menyilaukan mata.

Inilah sebuah tantangan terbuka dan kini semua memandang ke arah Ang-bin Sin-kai untuk melihat bagaimana sikap dari tokoh besar timur itu. Akan tetapi Ang-bin Sin-kai masih bersikap tenang dan kini kakek pengemis ini memandang kepada Bin Kong Siansu sambil berkata,

“Bin Kong Siansu, baru saja Pouw Hong Taisu dari Thian-san-pai telah melontarkan tuduhannya. Agar dapat sekaligus membereskan persoalan ini, cobalah kau menuturkan pula tentang muridmu yang katanya kubunuh itu.”

Melihat sikap Ang-bin Sin-kai, Bin Kong Siansu merasa ragu-ragu, akan tetapi dia menjawab juga.

“Benar-benarkah kau tidak tahu atau hanya berpura-pura, Ang-bin Sin-kai? Seperti juga murid Pouw Hong Taisu, muridku, atau lebih tepat cucu muridku yang bernama Pek-cilan Thio Loan Eng yang menjadi isteri dari Ong Kiat anak murid Thian-san-pai, terbunuh olehmu secara sewenang-wenang? Karena itu, sekarang kau pun harus menghadapi sebatang pedangku untuk menentukan siapa yang harus membayar nyawa!” Bin Kong Siansu menggerakkan tangan kanannya dan tahu-tahu sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kuning emas telah berada di tangannya.

Tiba-tiba terdengar orang menjerit dan Kwan Cu sudah melompat maju menghadapi Bin Kong Siansu.

“Siapa bilang Thio-toanio mati? Bohong! Bohong semua! Thio-toanio tidak mati…..!”

“Hm, anak gundul, otakmu agak miring rupanya. Kami sendiri sudah menyaksikan kuburan dari Thio Loan Eng. Dia dibunuh oleh gurumu, kau masih mau main sandiwara untuk menutupi kedosaan gurumu?” Bin Kong Siansu membentak dan tangan kirinya menyambar menempiling kepala Kwan Cu yang gundul.

Gerakan itu cepat sekali sehingga biarpun Kwan Cu mengelak, tetap saja dia terkena kemplangan tangan kiri tosu itu. Tubuh Kwan Cu mencelat dan bergulingan menabrak meja kursi, akan tetapi anak ini tidak apa-apa, lalu bangkit berdiri lagi.

“Thio-toanio mati…….? Terbunuh………? Ah, Suhu, kita harus membalaskan sakit hatinya….” katanya setengah menangis sambil menghampiri suhunya.

“Bocah lancang, kau diamlah saja, jangan turut campur.” kata Ang-bin Sin-kai menghibur. Kakek ini maklum bahwa kesedihan muridnya mendengar tentang kematian Pek-cilan, mungkin lebih besar daripada kesedihan dan kemarahan Bin Kong Siansu, tokoh Kim-pan-sai itu.



“Bin Kong dan Pouw Hong, apakah kalian menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa aku membunuh murid-murid kalian?” tanya Ang-bin Sin-kai.

“Kalau kami melihat dengan mata kepala sendiri, apakah kau kira masih dapat hidup sampai sekarang?” bentak Pouw Hong Taisu marah. Kedua Thian-san-pai ini memang agak sombong wataknya dan berbeda dengan Bin Kong Siansu yang agak jerih menghadapi Ang-bin Sin-kai, ketua Thian-san-pai ini menganggap kepandaian sendiri akan dapat mengatasi kepandaian Pengemis Sakti Muka Merah.

“Kalau begitu, siapa yang memberi tahu kepada kalian bahwa aku telah membunuh murid kalian?”

Bin Kong Siansu dan Pouw Hong Taisu saling pandang, kemudian Bin Kong Siansu yang menjawab,

“Ang-bin Sin-kai, kami mendengar dari seorang yang boleh dipercaya benar-benar, dan kami sudah bersumpah takkan memberitahukan namanya kepada siapapun juga.”

”Hm, hm, hm, jadi kalian percaya penuh kepadanya?”

“Tentu saja kami percaya! Dia seorang terhormat, tidak seperti engkau!” Pouw Hong Taisu membentak sambil melangkah maju dengan sepasang goloknya siap untuk menyerang.

Bersinar sepasang mata Ang-bin Sin-kai. “Kalau aku bilang bahwa aku tidak membunuh murid-muridmu, apakah kalian tidak percaya padaku?”

Bin Kong Siansu ragu-ragu, akan tetapi Pouw Hong Taisu membentak,

“Siapa bisa percaya kepada seorang yang telah membunuh mati muridku?”

Akan tetapi Bin Kong Siansu lalu cepat berkata,

“Ang-bin Sin-kai! Orang yang telah memberitahukan tentang pembunuhan itu adalah seorang ternama dan dia telah bersumpah. Maka kalau kau juga mau bersumpah bahwa kau tidak membunuh anak muridku, aku Bin Kong Siansu berjanji hendak menyelidiki lebih lanjut urusan ini.”

Ang-bin Sin-kai makin marah. Ia menggebrak meja di depannya dan empat kaki meja itu melesak ke dalam sampai setengahnya, akan tetapi semua cawan arak yang berada di atas meja tidak ada satupun yang terguling!

“Kalian percaya omonganku atau tidak habis perkara! Orang macam apakah kaukira aku ini! Kalian percaya, baik. Tidak percaya pun boleh, siapa pusing? Hayo Kwan Cu, kita pergi!”

Ang-bin Sin-kai menggandeng tangan muridnya dan meninggalkan bangkunya. Akan tetapi sebelum dia meninggalkan ruangan itu, tiba-tiba menyambar tubuh dua orang dan tahu-tahu Bin Kong Siansu dan Pouw Hong Taisu telah berdiri menghadang di depannya.

“Jembel pembunuh! Enak saja kau mau minggat dari hukuman mati!” bentak Pouw Hong Taisu yang langsung menyerang dengan sabetan sepasang goloknya yang kebiruan.

“Kwan Cu, menyingkir ke sana!” kata Ang-bin Sin-kai dan secepat kilat kaki kanannya menendang pantat muridnya sehingga tubuh Kwan Cu mencelat seperti bal karet ke pojok ruangan di mana terdapat tumpukan meja yang agaknya memang kelebihan dan di tumpuk di situ agar tidak memenuhi ruangan. Sambil berpoksai, berjumpalitan dengan gerakan Koai-liong-hoan-sin (Naga Siluman Balikkan Badan), bocah gundul itu lalu mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga dia dapat turun ke atas meja itu dengan baik, lalu menonton dengan enaknya!

Adapun Ang-bin Sin-kai yang menghadapi sabetan sepasang golok dari kanan kiri, berlaku tenang akan tetapi cepat sekali. Ia maklum akan kelihaian ilmu golok dari ketua Thian-san-pai ini, maka melihat dua sinar kebiruan menyambar dari kanan kiri mengarah leher dan perut, dia lalu menggenjot tubuhnya mencelat mundur menghindarkan diri.

“Ang-bin Sin-kai, makanlah golokku!” Pouw Hong Taisu mengejar sambil menghujankan serangan bertubi-tubi yang kesemuanya amat berbahaya. Permainan golok dari kakek Thian-san-pai ini memang hebat sekali dan tingkat kepandaiannya sudah mencapai puncak, maka sepasang goloknya itu menyambar-nyambar merupakan sepasang tangan maut. Nampak dua gulungan sinar biru yang terang sekali bergulung-gulung mengepung tubuh Ang-bin Sin-kai!

Melihat permainan golok ini, Kwan Cu menjadi kagum sekali dan dia memuji dari tempat duduknya yang tinggi.

“Bagus, bagus! Sinar golok yang bagus sekali!”

Anak ini terlalu percaya kepada suhunya sehingga seruannya itu sama sekali tidak tercampur rasa kekhawatiran terhadap keselamatan gurunya. Dalam hal ini dia memang benar, karena betapapun hebat ilmu golok dari tokoh Thian-san-pai itu, namun gerakan Ang-bin Sin-kai lebih hebat dan cepat lagi. Kakek ini nampaknya seperti tengah menari-nari di antara gulungan sinar biru itu. Yang membuat Kwan Cu menjadi bengong dan kagum adalah ketika dia mendapat kenyataan bahwa suhunya dalam menghadapi sepasang golok tokoh Thian-san-pai itu hanya mempergunakan Ilmu Silat Pai-bun-tui-pek-to (Atur Pintu Tahan Ratusan Golok) yang telah dia pelajari! Ah, betapa tadinya dia memandang rendah ilmu silat tangan kosong ini! Betapa buta matanya yang menganggap gurunya berat sebelah karena telah memberi pelajaran Ilmu Silat Kong-jiu-toat-beng (Dengan Tangan Kosong Mencabut Nyawa) kepada Lu Thong. Dan sekarang dia menyaksikan dengan matanya sendiri betapa ilmu silat yang telah dia pelajari dengan baik itu, yakni Pai-bun-tui-pek-to, ternyata oleh gurunya telah dimainkan dan dapat dipergunakan untuk menghadapi amukan Pouw Hong Taisu dengan sepasang goloknya!



Ketika dia memperhatikan permainan kedua tangan dan kaki suhunya, dia menjadi makin heran, Pai-bun-tui-pek-to yang dimainkan oleh suhunya itu sama sekali tidak ada bedanya dengan permainannya sendiri, bahkan gerakan suhunya itu terlalu lambat nampaknya. Bagaimana dapat dipergunakan untuk menghadapi lawan yang begitu tangguh? Ketika dia mencurahkan perhatiannya, barulah dia tahu. Setiap kali senjata golok Pouw Hong Taisu menyambar, kalau suhunya tidak sempat lagi mengelak, suhunya lalu mempergunakan tangan untuk dipukulkan ke arah golok itu dan benar-benar heran sekali, golok itu selalu terpukul oleh angin keras sehingga menjadi mencong dan menyeleweng arahnya! Ia maklum bahwa dalam mainkan Pai-bun-tui-pek-to, perbedaan antara dia dan gurunya ialah bahwa gurunya hanya bergerak dengan perhitungan yang tepat sekali menanti perkembangan serangan lawan. Setiap gerakan suhunya bukan hanya gerakan percuma, melainkan gerakan yang penuh isi, tidak mau bergerak dengan sia-sia atau untuk selingan belaka. Maka bocah gundul ini mengangguk-anggukkan kepalanya dan tahulah dia kini akan arti kata-kata suhunya yang sering menyatakan bahwa semua ilmu silat itu lihai, tergantung orang yang menggerakkan atau memainkannya!

Setelah “mengukur” tingkat ilmu golok dari Thian-san-pai, Ang-bin Sin-kai telah dapat menguras semua gerakan ilmu golok ini dan diam-diam Pengemis Sakti ini mencatat di dalam hatinya beberapa gerakan golok yang dianggapnya luar biasa dan baik sekali untuk dijadikan penambah pengetahuan ilmu silatnya. Beginilah sikap seorang jagoan besar. Di dalam setiap pertempuran menghadapi lawan tangguh dia selalu membuka matanya untuk memetik beberapa gerakan yang baik dari lawannya. Dengan sikap seperrti inilah maka tokoh-tokoh besar dunia persilatan selalu makin tinggi saja kepandaiannya dan makin tenar namanya.

Ang-bin Sin-kai sebetulnya kalau mau dengan mudah saja dia akan dapat merobohkan Pouw Hong Taisu, akan tetapi betapa pun juga, tokoh besar dari timur ini dahulunya adalah seorang sastrawan. Maka masih ada sifat-sifat sopan dan halus di dalam dirinya dan dia merasa tidak seharusnya dia merobohkan tokoh pertama dari Thian-san-pai di hadapan orang banyak. Selain hal ini akan menjatuhkan nama Pouw Hong Taisu, juga akan menimbulkan sifat dendam dan bibit permusuhan dengan partai Thian-san-pai yang besar. Pula, ketua Thian-san-pai ini menyerangnya karena menduga bahwa dia membunuh anak murid Thian-san, maka tidak seharusnya ketua in dirobohkan. Ia hanya mau merobohkan seorang yang memang jahat dan ketua Thian-san-pai ini biarpun agak keras kepala dan sombong, namun sekali-kali bukan orang jahat!

“Pouw Hong Taisu, biarlah pinto menggantikanmu menghadapi Ang-bin Sin-kai!” tiba-tiba Bin Kong Siansu berkata keras dan pedangnya berubah menjadi sinar yang panjang dan gemerlapan, mengalahkan cahaya sepasang golok ketua Thian-san-pai itu. Ternyata bahwa tokoh Kim-san-pai itu telah turun tangan menyerang Ang-bin Sin-kai dengan hebatnya. Tadi dia telah menyaksikan kehebatan Ang-bin Sin-kai dan tahu bahwa kawannya itu takkan dapat menangkan Pengemis Sakti yang benar-benar amat luar biasa itu. Ia sendiri pun masih sangsi apakah dia akan dapat mengalahkan Ang-bin Sin-kai, akan tetapi karena dia tidak boleh memperlihatkan kelemahannya, dia sengaja maju sebelum Pouw Hong Taisu dirobohkan untuk menolong kawan ini.

Akan tetapi Pouw Hong Taisu benar-benar berhati keras. Biarpun dia maklum bahwa lawannya ini lihai sekali dan sukarlah baginya untuk menang, akan tetapi kalau mundur, berati dia mengalah atau kalah.

“Tidak, Bin Kong Siansu. Aku harus menjatuhkan pengemis ini!” jawabnya dan sepasang goloknya diputar makin hebat dalam gerakan-gerakan terlihai dari ilmu golok Thian-san-pai.

“Ha, ha, ha, tua bangka pikun. Majulah kalian berdua, mari kita tua sama tua main-main sebentar!” Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak dan tiba-tiba tubuhnya lenyap dan berubah menjadi bayangan yang cepat sekali gerakannya menyambar-nyambar di antara sinar golok dan pedang!

Baru sekarang kakek ini memperlihatkan kelihaiannya dan tidak saja dua orang pengeroyoknya yang amat terkejut karena seakan-akan mereka berdua mengeroyok sesosok bayangan setan, akan tetapi juga Kwan Cu duduk dengan bengong karena matanya yang terlatih masih tak mampu mengikuti gerakan suhunya yang demikian cepatnya! Kini dia benar-benar melihat suhunya dengan kepandaian yang sesungguhnya, yang membuat hatinya berdebar bangga dan kagum. Tiba-tiba Kwan Cu merasa tubuhnya terikat oleh sesuatu yang kuat sekali dan sebelum dia sempat memberontak, tubuhnya telah terlempar naik ke atas melalui genteng yang sudah dilobangi dan nyeplos terus ke atas genteng! Ketika dia membuka matanya yang terheran-heran, ternyata dia telah berdiri di depan Kiu-bwe Coa-li dan Bun Sui Ceng! “Eh…………, apa artinya ini……?” tanyanya sambil memandang muka Sui Ceng yang manis dan kini bersinar seperti sepasang bintang pagi. “Artinya, kalau aku tidak membutuhkanmu, pada saat ini juga aku tentu sudah menghancurkan batok kepalamu yang gundul ini karena kau ternyata adalah seorang penipu cilik, pembohong pandai yang kurang ajar sekali!” Kwan Cu memandang kepada nenek sakti itu dengan kedua matanya dibuka lebar-lebar. “Eh, eh, eh, Suthai kenapakah datang-datang marah besar kepada teecu? Apa kesalahanku?” “Kau tahu tempat kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang aseli, mengapa dahulu tidak mau memberi tahu kepadaku?” “Itulah rahasiaku sendiri, Suthai. Mengapa harus dibuka kepada orang lain? Dan aku yang menutup rahasiaku sendiri, Suthai anggap pembohong dan penipu? Dalam hal apakah teecu membohong dan perbuatan mana pula merupakan penipuan?” Dilawan dengan tabah oleh bocah gundul ini, Kiu-bwe Coa-li tertegun dan tak dapat menjawab!



“Sudahlah tak perlu banyak cakap. Sekarang kau harus ikut pinni dan membawa pinni ke tempat disimpannya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, kalau kau masih ingin hidup lebih lama lagi di dunia ini. Kalau kau menolak, sekarang juga kuhancurkan batok kepalamu.” “Teecu masih mau hidup karena di dalam hidup teecu masih ada dua hal yang harus teecu penuhi, yakni pertama mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng, dan kedua kalinya, membalaskan sakit Thio-toanio yang terbunuh orang!” Sambil berkata demikian, dia memandang kepada Sui Ceng. Anak perempuan ini tiba-tiba mengucurkan air matanya dan membalas pandangan Kwan Cu dengan penuh arti. “Terima kasih, Kwan Cu, akan tetapi aku sendiri yang kelak akan menghancurkan kepala si keparat Toat-beng Hui-Houw!” kata Sui Ceng. “Apa …….? Pembunuh ibumu Toat-beng Hui-houw??” muka Kwan Cu menjadi girang sekali. “Dan suhu di bawah dikeroyok orang karena disangka suhu yang membunuh ibumu!” Mendengar ini, Kiu-bwe Coa-li cepat menotok pundak Kwan Cu yang segera menjadi lemas tak berdaya lagi! “Sui Ceng, cepat bawa bocah gundul ini ke luar kota dan tunggulah aku di pingggir hutan sebelah utara. Biar aku membereskan dulu Ang-bin Sin-kai si manusia pelanggar sumpah!” Sui Ceng mengangguk dan ia segera memondong Kwan Cu dan meloncat pergi! Biarpun seluruh tubuhnya lumpuh, namun panca indera Kwan Cu masih bekerja baik, maka kagumlah dia melihat kemajuan ilmu lari Sui Ceng yang biarpun menggendongnya, masih dapat berlari dengan ringan dan cepat sekali. Adapun Kiu-bwe Coa-li setelah melihat Sui Ceng membawa Kwan Cu pergi jauh, lalu menyambar turun ke dalam ruang di mana Ang-bin Sin-kai masih dikeroyok dengan hebat oleh dua orang kakek tua Kim-san-pai dan Thian-san-pai. Menghadapi ilmu pedang Kim-san-pai yang benar-benar ganas dan gerakannya amat kuat, Ang-bin Sin-kai menjadi kagum dan gembira. Tak mungkin lagi baginya untuk main-main seperti tadi ketika menghadapi Pouw Hong Taisu seorang, karena kini keroyokan dua orang tokoh besar itu benar-benar tidak boleh dipandang ringan begitu saja. Maka begitu tubuhnya berkelebatan untuk menghindari serangan lawan, dia mulai membalas dengan pukulan-pukulannya yang lihai. Beberapa kali dia hampir berhasil memukul runtuh senjata lawan, namun kedua orang kakek yang cukup mengenal kelihaiannya, bertempur dengan hati-hati dan saling membantu.

Pada saat itu tiba-tiba terdengar bunyi “tar! tar! tar!” nyaring sekali dan tahu-tahu sembilan sinar menyambar ke arah medan pertempuran! Inilah cambuk ekor sembilan dari Kiu-bwe Coa-li yang telah turun tangan. Bagaikan sembilan ekor ular sakti, bulu-bulu cambuk itu melayang-layang dan setiap helai merupakan senjata maut yang luar biasa lihainya. Pada saat itu, karena kini Ang-bin Sin-kai membalas serangan kedua orang lawannya, Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu mencurahkan seluruh perhatiannya kepada serangan Ang-bin Sin-kai dan tidak dapat menjaga datangnya “ular-ular hidup” ini. Maka tanpa dapat dicegah pula, sepasang golok di tangan Pouw Hong Taisu dan pedang di tangan Bin Kong Siansu, gagangnya terkena libatan bulu-bulu cambuk dan ditarik oleh Kiu-bwe Coa-li, senjata-senjata itu terlepas dari pegangan! Adapun Ang-bin Sin-kai, biarpun dia menghadapi keroyokan dua orang lihai, namun memang tingkat kepandaiannya masih jauh lebih tinggi, maka kedatangan Kiu-bwe Coa-li ini dia ketahui baik-baik. Apalagi ketika terdengar bunyi “tar-tar-tar!” tadi, tahulah dia bahwa senjata istimewa dari Kiu-bwe Coa-li telah beraksi. Ia tidak berani lengah dan ketika tiga helai bulu cambuk menyambar ke arahnya, dia cepat menggulingkan tubuhnya sambil menghantamkan kedua tangannya ke arah tubuh Kiu-bwe Coa-li! Ang-bin Sin-kai sengaja mengerahkan tenaga membalas dengan pukulan maut, karena tiga helai bulu cambuk tadi pun menyerangnya dengan maksud membunuh. Ia merasa heran dan juga marah mengapa datang-datang Kiu-bwe Coa-li hendak membunuhnya, sedangkan terhadap dua orang tokoh Kim-san-pai dan Thian-san-pai itu, iblis wanita ini hanya merampas senjata mereka saja. Pukulan yang dilancarkan Ang-bin Sin-kai mengandung hawa yang dahsyat sekali dan biarpun jarak antara Ang-bin Sin-kai dan Kiu-bwe Coa-li ada tiga tombak, namun nenek sakti itu merasa datangnya hawa pukulan yang menyambar ke arah lambung dan ulu hatinya! Terpaksa ia menarik cambuknya sambil melompat ke kanan menghindarkan diri dan dengan demikian, ia gagal menyerang Ang-bin Sin-kai, namun berhasil merampas senjata-senjata Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu! Ketua Kim-pan-sai dan ketua Thian-san-pai menjadi marah sekali. Akan tetapi mereka juga amat terkejut menyaksikan kelihaian nenek sakti yang dikenal baik namanya namun belum pernah disaksikan kepandaiannya itu. “Suthai, apakah maksud kedatanganmu ini dan mengapa kau mencampuri urusan kami?” kata Pouw Hong Taisu dengan mata bernyala merah.

Kiu-bwe Coa-li menjebikan bibirnya dengan mengejek, “Hm, tua bangka tak tahu diri! Kalau aku tidak datang turun tangan, apakah kau kira akan dapat mengalahkan Ang-bin Sin-kai? Ada dua hal yang mengharuskan aku turun tangan. Pertama, karena kalian menyerang orang yang tak berdosa, ke dua, karena aku sendiri yang akan memberi hajaran pada Ang-bin Sin-kai, si manusia pelanggar sumpah!” “Kiu-bwe Coa-li!” bentak Pouw Hong Taisu marah, “Kau tidak tahu, pengemis jahat ini telah membunuh murid-murid kami!”



“Bodoh, kalian tua bangka-tua bangka bodoh! Pembunuh Pek-cilan Thio Loan Eng dan Ong Kiat bukan Ang-bin Sin-kai, melainkan Toat-beng Hui-houw dan hal ini pinni (aku) telah menyaksikan sendiri!” Mendengar kata-kata ini, tentu saja dua orang tokoh persilatan itu terkejut sekali dan muka mereka menjadi pucat. Mereka telah melakukan kesalahan luar biasa besarnya terhadap Ang-bin Sin-kai dan hal itu bukan hal yang kecil saja. Akan tetapi ketika mereka menengok kepada Ang-bin Sin-kai, orang tua ini hanya tersenyum-senyum saja. “Nah, terimalah senjata-senjatamu kembali, kalau kalian tidak bisa menerima dan binasa karenanya, jangan salahkan aku, anggap saja sebagai hukumanmu!” kata Kiu-bwe Coa-li dan begitu ia menggerakkan cambuknya, sepasang golok itu terlepas dan meluncur ke arah Pouw Hong Taisu sedangkan pedang itu meluncur ke arah Bin Kong Siansu! Luncuran ini hebat sekali, cepatnya melebihi anak panah dan tenaganya melebihi tusukan seorang ahli silat! Kedua ketua Kim-san-pai dan Thian-san-pai itu terkejut sekali. Dengan gerakan Monyet Sakti Memetik Bunga, Bin Kong Siansu dapat mengelak ke kiri dan tangannya menyambut pedangnya sendiri pada gagangnya. Ia berhasil menerima pedangnya itu akan tetapi dia merasa telapak tangannya pedas sekali. Yang lebih hebat adalah Pouw Hong Taisu karena tosu ini menghadapi serangan dari sepasang goloknya yang meluncur ke arah tenggorokan, akan tetapi tangan kirinya terlambat menyambar yang meluncur ke lambung. Terpaksa dia melemparkan tubuh ke kiri sehingga golok itu meluncur terus mengancam seorang tamu muda yang duduk di belakangnya! Keadaan amat berbahaya bagi tamu muda itu, akan tetapi tiba-tiba tubuh Ang-bin Sin-kai berkelebat dan sekali tendang saja, golok itu terlempar ke atas dan menancap pada tiang melintang di atas sampai setengahnya. Gagang golok itu bergoyang-goyang, tanda bahwa luncuran tadi amat kuatnya! Pouw Hong Taisu menjadi pucat, demikianpun semua tamu. Ternyata bahwa gedung Bun-bu-pang telah kedatangan dua orang tamu yang memiliki kepandaian luar biasa sekali. Biarpun mereka telah mendengar dan mengenal Ang-bin Sin-kai dan Kiu-bwe Coa-li sebagai tokoh-tokoh besar yang tiada taranya, namun baru hari ini mereka kebetulan dapat menyaksikan kepandaian mereka yang benar-benar hebat. Keringat dingin mengucur di jidat mereka, terutama sekali Bin Kong Siansu dan Pouw Hong Taisu yang sudah merasa bersalah terhadap Ang-bin Sin-kai yang mereka tuduh secara keji sekali. Kini Kiu-bwe Coa-li menghadapi Ang-bin Sin-kai dan sepasang matanya menyatakan bahwa nenek sakti ini sedang marah bukan main. “Ang-bin Sin-kai, pengemis hina-dina. Kau benar-benar berjiwa pengemis rendah dan tidak merasa jijik untuk menelan ludah sendiri yang sudah kau keluarkan di atas lumpur busuk! Orang lain boleh kaubodohi begitu saja, akan tetapi pinni tidak sudi kau tipu!” sambil berkata demikian Kiu-bwe Coa-li menggerakkan cambuknya dan sembilan helai bulu cambuk itu mengancam sembilan jalan darah di tubuh Ang-bin Sin-kai! Menghadapi serangan yang hebat ini Ang-bin Sin-kai terkejut sekali. Ia sebenarnya terkejut bukan karena jerih melainkan heran mengapa iblis wanita ini benar-benar menyerang dengan niat membunuh. Kesalahan apakah yang telah diperbuatnya? Agaknya dia hari ini sial benar-benar, semua orang menuduhnya yang bukan-bukan dan menghendaki nyawanya! Menghadapi Kiu-bwe Coa-li jauh sekali bedanya dengan menghadapi keroyokan Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu, karena dia maklum bahwa nenek ini benar-benar lihai dan berbahaya. Cepat Ang-bin Sin-kai mempergunakan ginkangnya untuk mencelat mundur sehingga bulu-bulu cambuk yang panjang itu tidak sampai mengenai tubuhnya. Ia mengangkat kedua tangan sambil berkata keras, “Eh, eh, eh, nanti dulu, Kiu-bwe Coa-li! Kau agaknya tidak lebih waras dari dua orang yang menyerang aku tadi. Katakan lebih dulu mengapa kau menganggap aku si tua bangka ini sebagai si pelanggar sumpah?” “Bagus, jembel siluman masih hendak berputar lidah! Mengakulah bahwa kau dahulu pernah bersumpah takkan mempergunakan Lu Kwan Cu untuk mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Betul tidak?” “Betul,” jawab Ang-bin Sin-kai dengan suara tenang. Kiu-bwe Coa-li tersenyum mengejek. “Dan kalau kau melanggar sumpahmu itu, kau bersumpah akan mampus seperti anjing, betulkah?” “Memang begitulah kira-kira bunyi sumpahku.” Mata kiu-bwe Coa-li mendelik. “Jahanam! Dan sekerang kau ternyata bersama Kwan Cu mencari kitab peninggalan Gui Tin untuk mencari tahu di mana disimpannya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng! Karena itu, kau harus mampus seperti anjing di bawah cambukku.” Terbelalak mata Ang-bin Sin-kai memandang nenek sakti itu. “Eh, eh, eh, nanti dulu. Dari manakah kau bisa mengetahui semua ini?” “Semua orang sudah tahu. Empat tokoh besar di seluruh penjuru sudah tahu, mengapa aku tidak?”



“Kiu-bwe Coa-li, siluman perempuan yang galak. Memang betul Kwan Cu mencari peninggalan itu atas pesanan mendiang Gui-siucai, apakah hubungannya dengan aku? Ingat, sumpahku ialah kalau aku mempergunakan dia mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Kini soalnya lain lagi, bukan aku yang mencari, melainkan anak itu. Dia berhak mendapatkannya, karena bukankah dia hanya memenuhi pesanan terakhir dari gurunya yakni Gui-suicai?” “Bohong! Kau sengaja memutarbalikkan kenyataan untuk menutupi kesalahanmu. Apa kau takut mampus?” Ang-bin Sin-kai mulai marah. “Kiu-bwe Coa-li, alangkah sombongmu. Kaukira aku takut kepadamu? Kau boleh menuduh apa pun juga, aku tidak takut dan kau mau apa?” “Bangsat tua, mampuslah!” Kiu-bwe Coa-li menggerakkan cambuknya yang berbunyi “tar! tar! tar!” keras sekali sehingga semua orang yang berkumpul di situ menjadi jerih dan tak terasa pula segera mindur mepet ke tembok, takut kalau-kalau terkena ujung cambuk yang lihai itu. Kiu-bwe Coa-li mengamuk seperti iblis, ujung cambuknya kalau mengenai bangku, pecahlah bangku itu seperti dibacok kapak tajam. Sengaja dia mempergunakan cambuknya menangkap meja dan bangku dan dilontarkannya meja bangku itu ke pinggir sehingga sibuklah orang-orang yang berada di situ untuk mengelak dari hujan bangku yang tadi mereka duduki. Yang celaka adalah kaum sastrawan, karena berbeda dengan kaum persilatan yang dapat menangkis dan mengelak, mereka ini tertimpa meja dan bangku sehingga menderita benjol! Ruangan yang luas itu kini bersih dari meja dan bangku, dan tanpa membuang waktu lagi, Kiu-bwe Coa-li serentak menyerang dengan cambuknya. Ang-bin Sin-kai yang tahu kelihaian lawan tidak mau berlaku sembrono menghadapinya dengan tangan kosong. Memang biasanya kakek ini tak pernah mempergunakan senjata dalam pertempuran menghadapi siapapun juga, akan tetapi karena dia tahu bahwa cambuk dari Kiu-bwe Coa-li amat berbahaya, kini dia mencabut suling pemberian dari Hang-houw-siauw Yok-ong untuk menangkis. Pertempuran antara kedua orang tokoh besar ini berlangsung amat hebatnya. Biarpun orang-orang yang berkumpul di situ telah berdiri mepet pada tembok namun sambaran angin yang keluar dari cambuk dan kedua tangan Ang-bin Sin-kai, masih terasa oleh mereka yang membuat rambut dan pakaian mereka berkibar dan kulit terasa dingin! Suara yang mengiringi pertempuran ini pun mengerikan sekali. Tidak saja suara bersiutnya bulu-bulu cambuk yang sembilan helai banyaknya itu diseling oleh suara menjetar yang menulikan telinga, juga suara dari suling yang dimainkan oleh Ang-bin Sin-kai menimbulkan suara angin yang mengerikan. Karena suling ini digerakkan secara cepat sekali, angin yang memasuki lubang-lubang suling menimbulkan suara seperti seekor binatang buas menangis. Bergidiklah semua orang mendengar suar-suara ini dan kaburlah pandangan mata mereka melihat betapa bayangan dua orang tokoh besar itu lenyap sama sekali. Di ruangan itu kini hanya terlihat gulungan sinar yang tak tentu ujudnya, yang bergerak-gerak ke sana ke mari sehingga sukar untuk diduga siapa yang menang siapa yang kalah. Melihat cara Kiu-bwe Coa-li mainkan cambuknya, Ang-bin Sin-kai terkejut bukan main. Pernah dia menyaksikan permainan cambuk lawannya ini, yaitu dulu ketika mereka berebutan kitab palsu Im-yang Bu-tek Cin-keng dan biar pun dia sendiri belum pernah menghadapi Kiu-bwe Coa-li, namun dia sudah dapat mengukur kelihaian lawan ini. Akan tetapi sekarang permainan cambuk itu sudah maju dengan pesat sekali. Berat dan aneh. Tiba-tiba dia teringat akan tenaga lweekang yang didapat bocah gundul itu dalam mempelajari lweekang dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu. Maka mengertilah dia bahwa entah dengan cara bagaimana, iblis wanita ini telah pula mempelajari ilmu lweekang dari kitab palsu itu! Menduga tentang ini, otomatis Ang-bin Sin-kai menoleh ke arah tumpukan meja di mana tadi dia melemparkan Kwan Cu agar terhindar daripada gangguan lawan. Alangkah kagetnya ketika dia tidak melihat muridnya berada disitu. Ia sudah tahu akan ketaatan muridnya ini dan tak mungkin Kwan Cu berani pergi dari situ tanpa perkenannya. Tentu telah terjadi sesuatu dengan anak itu. Pikiran ini membuat Ang-bin Sin-kai marah sekali dan tiba-tiba dia berseru keras sekali. Begitu kedua tangannya bergerak dia telah dapat memegang tiga helai bulu pecut dan direnggutnya sekuat tenaga! Kiu-bwe Coa-li terkejut dan cepat ia mempergunakan bulu pecut yang lain untuk dipukulkan ke arah kepala Ang-bin Sin-kai. Ia maklum bahwa untuk lain orang, sekali pukulan dengan ujung sehelai bulu pecut saja sudah cukup untuk merobohkan lawan. Akan tetapi menghadapi Ang-bin Sin-kai, belum tentu ia dapat merobohkan kakek ini dengan semua bulu pecutnya dirangkap menjadi satu kalau tidak mengenai bagian yang penting seperti ubun-ubun kepala! Ang-bin Sin-kai marah sekali dan begitu dia menarik, tiga helai bulu pecut itu copot! Akan tetapi serangan enam helai bulu pecut telah menyaambar ubun-ubun kepalanya, maka cepat dia mengelak sambil miringkan tubuhnya. Betapapun cepat gerakannya, dia terlambat dan beberapa helai bulu pecut masih mengenai pundaknya yang menimbulkan rasa sakit dan ngilu. Ia mengerahkan tenaga lweekang untuk melawan pecutan ini dan tubuhnya tiba-tiba menubruk maju dengan kedua tangan dipentang. Ternyata dalam marahnya Ang-bin Sin-kai telah mengeluarkan tipu serangan yang berbahaya sekali, yakni pukulan yang disebut Pukulan Ombak Mengamuk! Kakek muka merah ini telah dapat meniru dan menangkap inti pukulan serangan ombak pada batu karang ketika dia masih suka bermain-main dengan ombak di pinggir Laut Po-hai! Kiu-bwe Coa-li berseru kaget ketika hawa pukulan lawannya membuat semua bulu pecutnya terpental kembali dan membuat tubuhnya terhuyung ke belakang! Ia berseru lagi dan tiba-tiba tubuhnya melayang naik untuk menghindari serangan lawan. Kesempatan itu di pergunakan oleh Ang-bin Sin-kai untuk melompat naik dan nyeplos dari genteng yang sudah berlubang, di atas meja di mana tadi Kwan Cu berada. Ia maklum bahwa muridnya keluar dari tempat ini. “Kwan Cu…..!” Ia berteriak di atas genteng sambil memandang ke kanan kiri. Namun keadaan di situ sunyi saja, tak nampak bayangan seorang pun manusia.

“Kwan Cu…..! Hai,……. Kwan Cu bocah gundul, kau di mana?” kembali kakek ini berseru memanggil sambil mengerahkan tenaga lweekangnya sehingga seruan ini tentu akan terdengar oleh Kwan Cu seandainya anak itu berada dalam jarak beberapa lie saja dari tempat itu. Dan memang betul, Kwan Cu dapat mendengar suara gurunya yang memanggil ini, akan tetapi dia tidak berdaya karena dia telah lumpuh dan pada saat itu dia rebah di bawah pohon ditunggu Bun Sui Ceng yang mendongeng kepadanya tentang Pek-cilan Thio Loan Eng yang terbunuh oleh Toat-beng Hui-houw! “Jangan kau khawatir, Kwan Cu. Biarpun kelihatan galak, guruku berhati mulia dan kau pasti takkan diganggunya, asal saja kau mau memberi petunjuk kepadanya bagaimana untuk mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.” Kata Sui Ceng kepada bocah gundul itu. Adapun Ang-bin Sin-kai ketika memanggil beberapakali tidak mendapat jawaban, menjadi makin gelisah dan bingung. Ia berpikir sejenak dan timbul dugaannya bahwa Kwan Cu tentu telah diculik oleh Kiu-bwe Coa-li pada saat dia masih dikeroyok oleh dua Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu! Akan tetapi, siapa tahu kalau-kalau anak itu bersembunyi di dalam rumah? Ia lalu melompat kembali turun ke tengah ruangan itu dan dia tidak melihat lagi bayangan Kiu-bwe Coa-li. Orang-orang yang berada di situ tadi melihat Ang-bin Sin-kai melayang naik melalui atap yang bolong, dan Kiu-bwe Coa-li setelah mengeluarkan suara tertawa yang nyaring dan mendirikan bulu tengkuk, lalu berkelebat pergi dari pintu. Semua orang menahan napas dan kini melihat Ang-bin Sin-kai melayang turun kembali, mereka memandang penuh perhatian. “Di mana adanya muridku?” tanya Ang-bin Sin-kai kepada mereka. Tak seorang pun menjawab. “Hai….! Tulikah kalian? Di mana adanya Kwan Cu muridku yang tadi duduk di atas tumpukan meja itu?” Bin Kong Siansu dan Pouw Hong Taisu melangkah maju. Dua orang kakek ini merangkap kedua tangan dan memberi hormat dengan muka nampak malu dan menyesal. “Muridmu telah di ambil oleh Kiu-bwe Coa-li ketika kau tadi bertempur melawan kami,” kata Pouw Hong Taisu dengan suara menyesal. “Semua adalah kesalahan kami, Ang-bin Sin-kai dan kami mohon maaf sebanyaknya. Benar-benar tadi kami semua berlaku amat buruk terhadapmu. Maaf, maaf….” Kata Bin Kong Siansu dengan hati tidak enak sekali. “Marah, menyesal! Ah, orang-orang seperti kalian masih diombang-ambingkan oleh perasaan dan nafsu, sungguh lucu dan menggelikan sekali!” kata Ang-bin Sinkai gemas. “Eh, orang she Kwa, apakah kau tidak malu menjadi ketua Bun-bu-pang?” Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai lalu melompat pergi meninggalkan rumah perkumpulan Bun-bu-pang itu. Semua orang saling pandang dan menghela napas. “Biarlah hal ini merupakan pelajaran bagi kita sekalian,” kata Kwa Ok Sin sambil menarik napas panjang. “Lain kali kita harus berlaku hati-hati sekali dalam memutuskan sesuatu hal, harus melakukan penyelidikan sedalam-dalamnya dan tidak percaya begitu saja kata-kata orang lain.” Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu menjadi merah mukanya. Diam-diam mereka mengutuk Hek-i Hui-mo, karena sesungguhnya Hek-i Hui-mo yang membakar hati mereka dan Hek-i Hui-mo yang memberi tahu mereka bahwa Ang-bin Sin-kai yang membunuh murid-murid mereka.



“Kiu-bwe Coa-li, hati-hati kau! Kalau sampai kau ganggu muridku, aku Ang-bin Sin-kai belum mau mati sebelum mencabuti sembilan ekormu,” sepanjang jalan Ang-bin Sin-kai berkata begini sungguhpun hatinya tidak begitu mengkhawatirkan tentang keadaan muridnya. Ia tahu bahwa Kiu-bwe Coa-li menculik Kwan Cu ada maksudnya, yakni hendak mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Akan tetapi oleh karena kitab sejarah peninggalan Gui Tin yang dapat memberi petunjuk di mana adanya kitab sakti itu telah dicuri orang, tentu Kwan Cu akan berkata terus terang dan Kiu-bwe Coa-li tentu akan berusaha merampas kembali kitab sejarah yang tercuri. “Betulkah Jeng-kin-jiu yang mencurinya? Tak salah lagi, karena Kwan Cu menduga Jeng-kin-jiu, tentu Kiu-bwe Coa-li akan menyusul pendeta gundul gendut itu ke kota raja. Hm, tiada jalan lain, akupun harus menyusul ke sana. Betapapun juga, kitab sejarah itu tidak boleh terjatuh ke dalam tangan orang lain, harus menjadi milik Kwan Cu yang memang berhak.” Setelah mengambil keputusan begini, Ang-bin Sin-kai lalu berlari cepat menuju ke kota raja. Pada masa itu, yang menjadi kaisar kerajaan dari Kerjaan Tang adalah Kaisar Hian Tiong yang terkenal sebagai seorang yang doyan pelesir. Kaisar ini selalu tenggelam dalam kesenangan, memelihara banyak sekali selir yang cantik-cantik, setiap hari menghibur diri di tengah-tengah selir-selirnya sambil melihat tari-tarian dan nyanyian merdu, sama sekali tidak mau peduli akan pemerintahannya dan juga tidak mau peduli akan keadaan rakyat jelata yang banyak menderita. Istana-istana indah dan megah dibangun di mana-mana, menghamburkan uang yang mengalir masuk dari keringat rakyat petani. Istana-istana indah di mana selalu dihias oleh perabot-perabot mahal dan juga “perabot-perabot hidup” berupa dara-dara jelita yang dikumpulkan dari berbagai daerah! Tidak mengherankan jika pujangga besar Tu Fu menjadi naik darah dan sedih juga ketika pada suatu hari di musim dingin dia pulang dari perjalanannya dari Tiang-san dan melewati Bukit Li-shan. Di situ, yaitu di puncak Bukit Li-shan di mana terdapat sebuah di antara istana-istana kaisar yang disebut Istana Hwa Ceng. Tu Fu mendengar bahwa kaisar Hian Tiong tengah berpesta pora, berpelesir mendengarkan musik dan nyanyian, menonton tari-tarian dan bersenang-senang dengan para selirnya. Teringatlah Tu Fu akan keadaan rakyat jelata yang amat sengsara dan menderita di dalam angin dingin dan kelaparan rakyat yang menggeletak kelaparan dan kedinginan di atas jalan-jalan raya di Tiang-san. Maka menulislah pujangga patriot ini kata-kata yang sampai kini masih di hargai oleh seluruh rakyat:

“Di belakang pintu gerbang
merah indah cemerlang
anggur dan daging berlebih-lebihan
hingga masak membusuk!


Di luar pintu gerbang
Kotor sunyi melengang
Berserakan tulang rangka
Sisa korban dingin dan lapar”

Memang, Kaisar Hian Tiong terlalu mengumbar kesenangan jasmani atau boleh juga di sebut terlalu menurutkan nafsu hewan. Di dalam istana di kota raja, selirnya tak terhitung banyaknya, terdiri dari gadis cantik jelita yang didatangkan dari berbagai daerah. Ada yang memang diserahkan oleh orang tuanya dengan hati bangga, akan tetapi tidak kurang pula yang didapatkan oleh kaisar dengan jalan keras, yaitu dengan paksaan dan sebagian besar adalah “hadiah” yang diberikan oleh para pembesar untuk mengambil hati sang junjungan. Yang paling hebat, di antara sekian banyak selir itu, adapula yang tadinya menjadi isteri orang, yang direnggut dari suaminya untuk dipaksa melayani kaisar, orang terbesar di dalam negeri, orang yang dianggap sebagai “Pilihan Tuhan”! Di antara para selirnya ini, terdapat seorang wanita muda yang amat cantik jelita. Kaisar pernah tergila-gila kepada selirnya ini dan diberinya nama Bi Lian atau Teratai Jelita kepada selirnya ini. Untuk menggambarkan betapa cantiknya Bi Lian, seorang ahli sajak di dalam istana atas perintah kaisar telah membuatkan sajak pujian kepada Bi Lian yang ditempel di kamar selir cantik ini. Beginilah sajak itu:

Rambut panjang hitam dan halus.
Melebihi kehalusan benang sutera.
Diikal menjadi mahkota hidup.
Terhias bunga cilan dengan dua kuncup
Sisir emas jadi penahan,
Sedap, wangi, semerbak harum!
Wajah indah jelita berbentuk telur
Berkulit halus dan betapa putihnya,
Putih kuning seperti susu.
Dua alis melengkung hitam
Menghias sepasang mata burung hong.
Kering tajam lunak menikam kalbu
Hidung kecil mancung berbentuk sempurna
Bagaikan ukiran batu kemala.
Mulut kecil mungil, merah membasah
Di balik bibir manis
Tersembunyi gigi mutiara!
Tubuh ramping
Mengalahkan batang yang-liu (cemara)
Tertiup angin
Melenggak-lenggok mempesona
Tangan kaki kecil mungil
Seperti kuncup bunga,
Setiap gerakan
Menyedapkan pandangan mata
Di dalam dunia memang banyak wanita jelita
Namun siapakah dapat menyamai bunga istana
Teratai Jelita (Bi Lian) kekasih raja?

Namun, cinta kasih seorang laki-laki seperti Kaisar Hian Tiong tidak bertahan lama, tidak tahan uji. Hanya dicinta dan dipuja kala masih baru. Setiap kali berganti kekasih, datang yang baru lupa yang lama. Demikianpun halnya dengan Bi Lian. Belum cukup setahun menjadi kekasih kaisar yang paling dicinta, kaisar mulai bosan dan kini jarang lagi datang ke kamarnya.



Semenjak dibawa dengan paksa ke kota raja dan menjadi penghuni harem kaisar, remuk redamlah hati Bi Lian. Dia telah mempunyai seorang tunangan, seorang pemuda terpelajar yang sedianya menjadi suaminya. Akan tetapi nasib buruk menimpa dirinya dan dari kota Hang-ciu ia dibawa dengan paksa, seperti seekor domba muda dibawa ke penjagalan , untuk di sembelih! Dengan hati hancur ia harus melayani segala kehendak kaisar yang buas dalam pandangannya itu. Memang tadinya ia agak terhibur ketika dirinya dihujani benda-benda mahal dan indah, ketika ia hidup dalam kemewahan, selalu dilayani oleh para pelayan. Akan tetapi, setelah kaisar mulai bosan dengan dia, ia teringat kembali kepada Can Kwan tunangannya. Ia rindu bukan main, dan setiap hari ia menangis di dalam kamarnya.

Pada malam hari itu, seperti biasa Bi Lian duduk di dalam kamarnya seorang diri. Sore tadi, pelayannya datang dan hendak memandikannya dan membereskan pakaian serta rambutnya seperti biasa. Namun Bi Lian menolak dan menyuruh pelayan itu mundur. Ia duduk termenung di dalam kamarnya, mendengarkan tetabuhan yang dibunyikan orang di bagian lain dari istana yang luas itu. Bunyi suling dan yang kini membuat hatinya makin hancur dan berduka. Ia memandang ke arah sajak pujian untuk dirinya yang tergantung di dekat pembaringannya. Bunyi sajak itu bahkan membuat Bi Lian terharu dan sedih, mengingatkan dia akan sajak yang pernah dibacanya dahulu:

“Aduh sayang, setangkai mawar indah
terbawa hanyut oleh air bah!
Air buas mengalir terus tanpa peduli
mawar yang malang
tertinggal di atas lumpur!”

Teringat akan bunyi sajak ini, tak terasa pula dua titik air mata bagaikan dua butir mutiara menitik turun di atas sepasang pipinya yang putih halus kemerahan.

“Can Kwan…..” keluh-kesah yang berkali-kali dibisikkan oleh hati wanita muda itu, kini keluar dari bibirnya, merupakan keluh kesah yang amat menyayat hatinya, dan berderailah air matanya tak dapat ditahan lagi.

“Cui Hwa….” tiba-tiba terdengar suara panggilan perlahan dari luar jendelanya yang menembus ke dalam taman bunga yang sengaja dibuat oleh kaisar di luar kamarnya atas permintaannya beberapa bulan yang lalu.

Bi Lian terkejut bukan main. Nama Cui Hwa adalah nama aslinya sebelum ia dibawa ke istana kaisar dan nama ini hampir setahun tidak pernah disebut orang. Namanya telah berganti menjadi Bi Lian. Maka dapat dibayangkan betapa heran dan terkejutnya ketika ia mendengar nama lama itu disebut orang. Terutama sekali yang membuatnya terkejut adalah suara itu! Suara orang yang tak pernah dapat dilupakannya, bahkan suara orang yang pada saat itu sedang memenuhi pikiran dan hatinya….. Can Kwan!

Bagaikan dalam mimpi, Bi Lian atau Cui Hwa berjalan menghampiri jendela dan membukanya. Sesosok bayangan orang melompat masuk dan dengan cepat telah berada di dalam kamar Bi Lian. Wanita ini memandang dan…….

“Can Kwan……!” serunya sambil berdiri memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga.

Adapun orang yang masuk itu, seorang pemuda yang tampan dan berpakaian seperti seorang pelajar, juga berdiri dengan pandangan mata kagum menyaksikan kecantikan wanita yang berdiri di hadapannya.

“Cui Hwa….”

Biarpun dahulu mereka belum pernah bersentuh tangan, hanya bicara secara sopan sebagaimana lazimnya orang bertunangan, namun pada saat itu suara hati mereka yang bicara dan perasaan rindu dendam yang hebat mempengaruhi jiwa raga, tanpa dapat dicegah lagi oleh akal sadar, keduanya saling menubruk dan berangkulan.



“Cui Hwa…….kekasihku….”

“Can Kwan, alangkah senangnya bertemu denganmu walau hanya dalam mimpi…..”

“Cui Hwa, siapa bilang dalam mimpi?’ Can Kwan melepaskan rangkulannya dan memegang kedua pundak wanita muda itu, memandang dengan mata penuh cinta kasih mesra. “Lihatlah baik-baik, bukankah aku Can Kwan tunanganmu? Aku benar-benar datang kekasihku.”

Namun Cui Hwa menggeleng-geleng kepalanya yang cantik.

“Tak mungkin! Sungguh tak mungkin! Bagaimana kau bisa masuk ke sini? Istana di kurung pagar tembok yang tinggi, terjaga kuat oleh pasukan! Sedangkan kau adalah seorang pelajar yang lemah, yang hanya kuat menggerakkan tangkai pena dan membalik lembaran buku. Kau tak mungkin dapat datang kesini, kecuali kalau……kalau…….” Tiba-tiba pucatlah muka Cui Hwa atau Bi Lian. Ia hampir menjerit ngeri, tetapi buru-buru menutupkan mulutnya dengan tangan, lalu bertindak mundur sampai tiga langkah.

“Cui Hwa, mengapa kau?” “Can Kwan….tak salah lagi….. kau tentu sudah mati…..! Rohmu yang datang mengunjungiku…..ah, Can Kwan. Kalau kau sudah mati, tenanglah, aku pasti akan menyusulmu. Sudah tidak tahan lagi aku berada di sini, terpisah darimu!” Bi Lian lalu menangis tersedu-sedu.

Can Kwan melangkah maju dan merangkulnya kembali. Ia tertawa perlahan dan membelai rambut kepala Bi Lian.

“Cui Hwa, pernahkah kau mendengar roh dapat memelukmu seperti yang yang kulakukan sekarang ini? Lihatlah aku baik-baik, aku belum mati. Aku adalah Can Kwan yang masih hidup, masih berdarah masih berdaging. Ketahuilah, semenjak kau dibawa ke sini, aku melepaskan pena dan berlatih giat sekali mempelajari ilmu silat dari seorang gagah. Akhirnya, malam ini aku berhasil melampaui penjaga-penjaga itu dan naik melalui pagar,walaupun dengan susah payah namun aku berhasil sampai ke kamarmu.”

“Can Kwan….!” Bukan main girang dan terharunya hati Bi Lian mendengar ucapan kekasihnya ini. “Akan tetapi, apa gunanya…..? kau bisa masuk akan tetapi bagaimana keluarnya? Bagaimana kalau nanti kau ketahuan oleh penjaga? Ssst…… bersembunyilah, pelayanku datang….”

Akan tetapi, Can Kwan tidak bersembunyi, sebaliknya dengan sekali lompatan dia telah berada di depan pelayan wanita itu dan menotok pundak wanita itu, pelayan itu roboh tak sadarkan diri lagi.

“Can Kwan, kau….mem…..membunuhnya?” tanya Cui Hwa dengan kaget dan ngeri.

Can Kwan tersenyum dan bukan main tampannya wajah pemuda itu dalam pandangan Cui Hwa. “Tidak, Cui Hwa, aku hanya membikin dia tak berdaya untuk beberapa jam saja. Ia tidak apa-apa.”

“Can Kwan, setelah kau datang kesini….apa kehendakmu?”

Can Kwan memegang kedua tangan kekasihnya. “Cui Hwa, mari kita pergi dari sini, mari kita mulai hidup baru sebagai suami istri, jauh dari sorga dunia yang merupakan neraka bagi batin kita ini.”

“Can Kwan! Bagaimana mungkin? Kau…kau akan tertangkap dan mereka akan membunuhmu! Ah, Can Kwan….. biarlah aku seorang yang menderita, aku tidak tahan melihat kau mereka bunuh! Pergilah, carilah seorang isteri lain yang bijaksana, biarlah, aku …. aku tak berharga lagi menjadi….isterimu. Tak boleh kau mendapat bencana karena aku….. tinggalkanlah aku, Can Kwan. Kedatanganmu ini sudah merupakan bahagia sebesarnya bagiku, akan menghiburku sampai aku mati. Akan kuingat sebagai tanda cintamu…..”

“Hush, Cui Hwa, jangan mengeluarkan omongan bodoh! Aku datang sengaja untuk membawamu keluar dari sini.”

“Bagaimana caranya?”

“Akan kubawa kau melompati pagar tembok, keluar dari istana.”

“Kalau kau diketahui oleh penjaga?”

“Akan kubuka jalan darah, biar mati bersamamu!”

“Tidak, Can Kwan…..” Cui Hwa menangis dan memandang dengan muka ngeri. “Kau tidak boleh mati karena aku….! Apa dayamu menghadapi para pengawal yang banyak jumlahnya? Biar aku sengsara, biar aku mati asal kau bahagia, asal kau hidup……”

“Cui Hwa…..!”

Pada saat itu terdengar bentakan-bentakan dari luar, “Penjahat! Pencuri! Tangkap, tangkaaaap!”

Cui Hwa menjadi pucat. “Celaka, Can Kwan, mereka sudah datang!”

Wajah Can Kwan yang tampan menjadi beringas dan pemuda ini mencabut pedangnya, lalu melompat keluar. Ia disambut oleh belasan orang pengawal yang segera mengepungnya.



Can Kwan memang telah mempelajari ilmu silat dengan tekunnya dari seorang pandai, dan pedangnya bergerak laksana naga mengamuk. Beberapa orang pengawal sebentar saja roboh mandi darah di bawah sabetan pedangnya. Akan tetapi makin banyak pengawal datang mengeroyok sambil berteriak-teriak, dan biarpun Can Kwan pernah belajar silat dengan amat tekun, namun sampai di manakah tingkat kepandaian seorang yang baru belajar ilmu silat selama setahun? Ia mulai lelah dan telah mendapat beberapa luka ringan.

“Can Kwan…….!” Terdengar seruan Cui Hwa menyayat kalbu.

Permuda itu menengok dan alangkah kagetnya melihat tubuh kekasihnya itu terhuyng-huyung mandi darah! Sebuah pisau menancap di ulu hati Bi Lian atau Cui Hwa. Ternyata bahwa wanita muda itu ketika melihat betapa kekasihnya dikeroyok dan tidak melihat jalan lain untuk melarikan diri, dan tahu pula bahwa pertemuannya dengan Can Kwan itu tentu mengakibatkan bencana hebat bagi dirinya dan pemuda itu, telah mengambil keputusan pendek membunuh diri.

“Cui Hwa…..!” Can Kwan tidak mempedulikan keroyokan para pengawal dan menubruk tubuh kekasihnya yang segera dipeluknya. Akan tetapi tubuh Cui Hwa sudah lemas dan manita muda ini hanya dapat membuka mata sebentar memandang kepada Can Kwan sambil berbisik lemah,

“Aku…..menunggumu…….” dan tewaslah dia.

“Cui Hwa…….!”

Para pengeroyok meloncat maju, beberapa belas batang tombak dan golok datang bagaikan hujan ke arah tubuh pemuda itu. Sudah jelas nasib Can Kwan, karena biarpun dia memiliki kepandaian sepuluh kali lipat daripada kepandaiannya yang sekarang, belum tentu dia akan dapat menyelamatkan diri dari serangan hebat itu.

Tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat sekali, menyambar ke arah para penyerang yang hendak membunuh pemuda itu. Terdengar suara keras, senjata beterbangan dibarengi pekik kesakitan dan tidak kurang dari tujuh orang pengeroyok terguling roboh! Seorang kakek berpakaian tambal-tambalan telah berdiri di depan Can Kwan dan dialah yang menolong pemuda ini.

Can Kwan telah berdiri dan kini dengan muka pucat dan menyinarkan sakit hati yang hebat, dia menerjang kepada para pengeroyok. Akan tetapi, kakek itu menggerakkan tangannya dan sekali rampas saja pedang Can Kwan telah berpindah tangan!

“Tak perlu melawan lagi, kau takkan menang!” kata kakek ini.

“Kalau tidak bisa menang, biar aku mati bersama Cui Hwa kekasihku!” jawab pemuda yang sudah nekat itu.

“Bodoh!” kakek itu mencela dan tubuhnya berkelebat ke arah Can Kwan. Pemuda ini hendak mengelak, akan tetapi gerakan kakek itu amat cepatnya sehingga tahu-tahu dia telah dikempit dan dibawa meloncat tinggi ke atas genteng. Para pengawal istana berteriak mengejar, akan tetapi sebentar saja kakek itu menghilang bersama pemuda yang dikempitnya.

Can Kwan hanya merasa sambaran angin dingin meniup mukanya sehingga dia terpaksa meramkan kedua matanya. Tak lama kemudian, kakek itu membawanya meloncat turun dan ketika Can Kwan membuka matanya, tahu-tahu dia telah berada di atas tanah, jauh di luar istana!

“Locianpwe, mengapa kau menghalangi kehendakku mengamuk? Aku ingin mati bersama Cui Hwa!” kata Can Kwan penasaran, karena dia tidak menghendaki pertolongan kakek ini.

Kakek ini tertawa bergelak. “Pikiran muda mendekati kegilaan, karena selalu dikendalikan nafsu! Orang muda, kau benar-benar sudah gila. Aku yang sudah tua bangka, masih tidak begitu gila untuk mengakhiri hidup yang membosankan ini, apalagi kau yang masih begini muda. Nyawa adalah kurnia Thian, mengapa hendak di permainkan? Kau mengacau di istana kaisar, bukankah itu termasuk pelanggaran dan pemberontakan?”

“Siapa yang mau menghargai kaisar lalim? Dia telah merampas tunanganku dan aku memang sudah setahun mengandung maksud merampas kembali Cui Hwa!”

“Kau keliru! Kalau memang bermaksud melawan kehendak kaisar, mengapa tidak dari dulu sebelum tunanganmu menjadi selir kaisar? Sekarang tunanganmu telah menjadi selir terkasih, telah hidup bahagia dan kau datang-datang mendatangkan bencana kepadanya. Kalau kau tidak datang, apa kau kira tunanganmu itu akan mati? Kau bertindak menurutkan nafsu hati tidak menggunakan akal budi dan pikiran sehat. Andaikata kau tadi berhasil membawa lari bekas kekasihmu itu, apa kau kira akan dapat bersembunyi dari para petugas kaisar? Kemana pun kau pergi, kau tentu akan bertemu dengan kaki tangan pemerintah dan akhirnya kau akan dibekuk juga! Kalau kau yang menderita dan kena bencana, itu tidak mengapa karena memang kau sengaja, akan tetapi kau menyeret wanita itu ke jurang kecelakaan! Bahkan, kalau kau masih mempunyai keluarga, seluruh keluargamu akan terseret juga.”

Mendengar ucapan terakhir ini Can Kwan nampak lemas dan dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil menangis. ”Teecu memang mengaku seorang anak puthauw (tidak berbakti), mohon petunjuk dari Locianpwe.”



“Hm, bagus! Lebih baik menghadapi seorang yang menyesali perbuatannya yang salah daripada menghadapi seorang yang menyombongkan perbuatannya yang baik! Anak muda, jangan kau kira bahwa seandainya kau berhasil membawa lari wanita itu, hidupnya akan bahagia. Ah, orang muda seperti kau selalu tertipu oleh nafsu hati. Sekarang wanita itu telah tewas, sudahlah. Dia sudah terbebas daripada penderitaan hidup, yaitu kalau memang ia menderita di dalam istana itu. Kau lebih baik pulang dan rawat orang tuamu baik-baik, menikah atas pilihan orang tuamu sebagai seorang anak berbakti. Jika kau berjalan di atas kebenaran, pasti kelak kau akan berbahagia.”

“Terima kasih, Locianpwe. Mohon tanya siapakah adanya Locianpwe yang telah menolong teecu?”

“Aku? Aku adalah pengemis miskin dan orang menyebutku Ang-bin sin-kai!”

Can Kwan terkejut sekali. Ia sudah tentu pernah mendengar nama tokoh besar ini, maka dengan girang dia berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kalau Locianpwe sudi, teecu mohon diterima menjadi murid.” Akan tetapi karena tidak ada jawaban, Can Kwan mengangkat mukanya dan alangkah herannya ketika melihat bahwa kakek itu sudah lenyap dari situ! Dengan hati kecewa dia lalu berdiri dan berjalan pulang, kedukaan hatinya banyak terobati oleh nasihat-nasihat dari Ang-bin Sin-kai.

Memang, kakek itu adalah Ang-bin Sin-kai. Seperti telah dituturkan di bagian depan, Ang-bin Sin-kai menuju ke kota raja hendak mencari Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. Setibanya di kota raja, diam-diam dia pergi ke rumah keponakannya, yaitu Lu Seng Hok, karena dia tahu bahwa Jeng-kin-jiu tinggal di rumah muridnya, Lu Thong atau putera dari Lu Seng Hok.

Akan tetapi dia merasa kecewa sekali karena Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu dan Lu Thong belum pulang dari perantauannya. Ang-bin Sin-kai lalu menyelidiki di kota raja untuk melihat kalau-kalau Kiu-bwe Coa-li yang menculik Lu Kwan Cu telah berada di sana, akan tetapi ternyata iblis wanita itupun belum nampak berada di kota raja.

Untuk menghilangkan kekesalan hatinya, sambil menanti munculnya Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu atau Kiu-bwe Coa-li, timbul seleranya untuk makan hidangan istana dan melihat-lihat kebun bunga di istana yang luar biasa indahnya itu. Dahulu memang sering kali ia melancong dan bersuka-suka di istana kaisar, tanpa ada seorang pun yang melihatnya. Ia bermain-main di taman bunga, tidur di kamar-kamar besar yang indah setelah mengunci dan mengganjal pintu kamar dari dalam sehingga tidak ada orang dapat membukanya, atau memasuki dapur istana dan menyikat habis hidangan-hidangan untuk raja yang paling lezat. Ada kalanya ia menikmati bacaan buku-buku di perpustakaan istana atau minum anggur terbaik di gudang minuman.

Kebetulan sekali pada malam hari itu, ketika memasuki istana, dia melihat Can Kwan di keroyok, maka dia menolong pemuda itu setelah mengetahui sebab-sebab pertempuran.

Diam-diam dia menaruh hati kasihan kepada pemuda itu, dan makin besar rasa jemunya terhadap kaisar yang merampas tunangan orang lain, akan tetapi kalau dia tidak berlaku keras dan mengeluarkan nasihat-nasihat seperti yang telah diucapkan di depan pemuda itu, dia takkan dapat menimbulkan semangat hidup baru di dalam hati Can Kwan.

Maka setelah meninggalkan Can Kwan, kembalilah Ang-bin Sin-kai ke istana lagi. Keadaan di istana untuk sesaat gempar dengan peristiwa tadi dan kini jenazah Bi Lian atau Cui Hwa itu telah dirawat sebagaimana mestinya dan kaisar yang diberi tahu tentang hal itu, hanya mengeluarkan perintah untuk menangkap pemuda yang tidak dikenal siapa adanya.

Ang-bin Sin-kai langsung menuju ke dapur istana. Di depan pintu-pintu dapur itu terjaga kuat-kuat, namun dengan menggunakan ilmu kepandaiannya yang tinggi, Ang-bin Sin-kai melompat ke atas genteng dan membuka beberapa buah genteng, dan mengintai ke dalam. Ia melihat tukang-tukang masak sedang sibuk mempersiapkan hidangan malam untuk kaisar. Di atas sebuah meja yang besar telah berjajar hidangan yang lengkap, masakan-masakan istimewa dan yang masih mengebulkan asap.

Ang-bin Sin-kai beberapa kali menelan ludahnya. Uap masakan yang sedap menyerang hidungnya, membuat perutnya yang hampir kempis itu berkeruyukan. Di antara semua masakan yang terdapat di atas meja, yang paling menimbulkan air liurnya adalah masakan daging burung dara kebiri dan daging ikan emas. Ingin sekali dia cepat menyerbu ke bawah dan menghabiskan masakan-masakan itu, akan tetapi dia tidak mau menimbulkan keributan, karena kalau terjadi hal demikian, tentu para pengawal akan datang mengeroyok dan akan mengganggu makannya.

Tukang-tukang masak dan pelayan yang bekerja di dalam dapur itu ada lima orang. Semuanya gemuk-gemuk, karena mereka ini adalah orang-ornag yang setiap hari galang-gulung dengan masakan enak, sehingga banyak juga gajih dan daging memasuki mulut mereka sehingga tubuh mereka menjadi gendut dan gemuk. Mereka bekerja sambil bercakap-cakap gembira, diseling oleh percakapan mengenai Bi Lian. Siapa orangnya yang takkan merasa sayang melihat selir yang demikian cantik jelita membunuh diri?

Tiba-tiba, lima potong benda hitam melayang cepat dari atas tanpa menimbulkan suara dan sungguh aneh sekali. Lima orang tukang masak itu mendadak menjadi kaku seperti mereka telah menjadi patung! Yang memegang mangkok masih tetap berdiri dengan mangkok di tangan, yang memasak masih tetap berdiri di depan api. Bahkan seorang pelayan yang diam-diam mencuri sepotong daging, masih berdiri dengan daging di tangan mendekati mulutnya yang sudah ternganga siap mencaplok daging itu!

Apakah yang terjadi? Ternyata bahwa Ang-bin Sin-kai telah mempergunakan kepandaiannya yang luar biasa. Dengan pecahan genteng, dia menyabit lima orang itu dan dengan tepat sekali menotok jalan darah tai-twi-hiat mereka sehingga lima orang itu menjadi kaku dan tak dapat bergerak sama sekali.



Pada saat itu, Ang-bin Sin-kai melayang turun dengan kecepatan seperti seekor burung walet. Gerakannya sukar diikuti dengan mata dan lima orang itu di dalam kekakuan mereka hanya melihat bayangan besar menyambar turun dan lenyap lagi. Kemudian, kembali lima potong benda hitam menyambar dari atas dan berbareng lima orang itu dapat bergerak kembali! Mereka saling pandang dengan mata terbelalak.

“Apa yang terjadi?”

“Kenapa tadi semua badanku menjadi kaku?”

“Apakah kau melihat bayangan menyeramkan tadi?”

“Setan! Tentu ada setan yang mengganggu kita….”

Lima orang itu menjadi kacau balau, akan tetapi karena tidak melihat sesuatu, mereka tidak berani membikin ribut, takut kalau mendapat teguran dari atasannya. Sebaliknya, mereka mempercepat pekerjaan mereka agar dapat segera meninggalkan dapur yang luas dan yang kini kelihatan menyeramkan itu. Tak lama kemudian, masakan-masakan pun sudah selesailah. Pelayan-pelayan dipanggil untuk mengangkut hidangan ke kamar makan kaisar.

“He, mana masakan burung dara?”

“Ah, juga masakan ikan emas telah lenyap!”

“Celaka…… tentu iblis tadi yang mengambilnya….”

“Ssttt, jangan keras-keras! Masih baik dia hanya mengambil masakan, tidak mengambil nyawa kita!”

Dengan cepat, masakan-masakan itu lalu dibawa keluar dan lima orang tukang masak itu bekerja cepat-cepat dengan bulu tengkuk berdiri. Ingin mereka segera pergi dari tempat itu.

Setelah semua orang pergi dan pintu dapur ditutup kembali, dari atas melayang turun tubuh Ang-bin Sin-kai sambil tertawa-tawa. Di kedua tangannya melihat dua mangkok masakan daging burung dara dan daging ikan emas yang lenyap tadi.

“Ha, ha, ha, sekarang aku bisa berpesta. Sayang masakan-masakan ini agak dingin karena dibawa ke atas. Harus dipanaskan dulu!”

Dengan enaknya, dia lalu menyalakan api dan memanaskan dua macam masakan itu. Kemudian tubuhnya berkelebat keluar dari atas genteng dan sebentar kemudian dia telah datang kembali membawa tiga guci arak wangi yang diambilnya dari gudang minuman! Tak lama kemudian, Ang-bin Sin-kai berpesta-pora, makan minum di dapur itu dengan senang-senangnya.

Ia sama sekali tidak tahu bahwa seorang diantara para tukang masak tadi, yang agak besar nyalinya, menyelinap di balik pintu dan mengintai ke dalam. Ketika dia melihat seorang kakek sedang makan minum, diam-diam dia lalu pergi dari situ dan membuat laporan kepada kepala penjaga.

“Di dalam dapur ada seorang maling…..” kata tukang masak itu dengan tubuh gemetar dan mukanya pucat.

“Apa? Mengapa tidak kau tangkap?”

Tukang juru masak yang gemuk itu terbelalak matanya. “Ditangkap? Bagaimana aku bisa menangkapnya? Ia sakti sekali!” Lalu diceritakannya bagaimana dia dan kawan-kawannya telah mengalami hal yang aneh terjadi.

Kepala penjaga ini adalah seorang tua bernama Song Cin atau yang biasa disebut Song-ciangkun. Sesungguhnya dia memang seorang perwira yang sudah banyak berjasa sehingga setelah dia tua, dia ditarik oleh kaisar menjadi kepala pengawal atau penjaga istana. Song Cin memiliki kepandaian silat dan ilmu pedang yang tinggi dan di kalangan kang-ouw, namanya sudah terkenal sekali. Ketika mendengar penuturan tukang masak ini, dia mengerutkan keningnya.

“Apakah dia sudah tua, tingkahnya seperti orang gila dan pakaiannya penuh tambalan?” tanyanya menegas.

“Betul, betul, Song-ciangkun. Pakaiannya seperti pengemis!”

Song Cin mengangguk-angguk. “Sudahlah, jangan ribut-ribut, kau mengasolah, biar aku membereskan orang itu.”

“Song-ciangkun…..apakah…..apakah dia setan penjaga dapur?” Tukang masak itu bertanya.

Song Cin mengangguk. “Betul, dan kau tidak boleh mengganggunya kalau kau sayang nyawamu.”

Mendengar ini, tukang masak itu cepat-cepat pergi dan tanpa mencuci tangan lagi, ia lalu merayap ke bawah selimut di dalam kamarnya!

Adapun Song Cin sudah merasa yakin bahwa orang yang mengganggu dapur tentulah Ang-bin Sin-kai. Sudah beberapa kali kakek aneh itu menyerbu dapur dan dia tahu bahwa dia sendiri beserta semua anak buahnya bukanlah lawan bagi Ang-bin Sin-kai. Oleh karena itu, dia langsung menuju ke kamar makan kaisar.



Kaisar tengah duduk makan minum dengan beberapa selirnya dan tidak seperti biasanya, pada waktu itu kaisar tengah menjamu dua orang yang berpakaian seperti panglima perang besar. Dua orang ini berpakaian seperti panglima perang suku Tajik, sebuah kerajaan yang pada masa itu menjadi besar dan kuat di samping Kerajaan Tibet. Song Cin tahu siapa adanya dua orang panglima ini, karena sore tadi dia sendiri yang menerima mereka dan menghadapkan mereka kepada kaisar. Dua orang panglima-panglima besar dari Kerajaan Tajik yang datang membawa surat dari Panglima An Lu Shan.

Sudah lama bangsa Tajik mengadakan penyerbuan- penyerbuan ke selatan dan kekuatan mereka memang besar sekali. Akan tetapi tiba-tiba setelah An Lu Shan diangkat menjadi panglima di utara oleh kaisar, serbuan-serbuan ini mengecil dan akhirnya, pada hari itu, dua orang panglima bangsa Tajik datang menghadap kaisar membawa surat dari An Lu Shan yang memberi laporan kepada kaisar bahwa bangsa Tajik kini telah menyatakan damai! Dua orang panglima Tajik itu merupakan utusan dari bangsa Tajik untuk memberi penghormatan kepada kaisar.

Tentu saja kabar girang ini diterima oleh Kaisar Hian Tiong dengan gembira sekali. Ia menganggap ini sebagai jasa besar dari An Lu Shan dan untuk menyatakan kegembiraannya, dia mengundang makan malam dua orang panglima besar Tajik ini. Oleh karena sedang berpesta gembira tentu saja kaisar mengerutkan kening tanda tidak senang ketika Song Cin datang mengganggunya tanpa dipanggil.

“Song-ciangkun,” kata kaisar dengan suara tak senang, “apa keperluanmu menghadap tanpa dipanggil?”

“Mohon beribu ampun kalau hamba mengganggu kesenangan Baginda dan tamu agung,” kata Song-ciangkun dengan sikap merendah, “akan tetapi hamba terpaksa melaporkan karena pada saat ini, kembali dapur istana didatangi Ang-bin Sin-kai. Menunggu keputusan Baginda!”

Bberubah air muka baginda kaisar mendengar laporan ini. Sungguh aneh, biarpun Song Cin dan kaisar tidak melihatnya, namun muka kedua orang tamu agung Panglima Tajik itu juga berubah dan nampak saling menukar pandang, nampaknya terkejut sekali. Namun kaisar dapat menentramkan hatinya lagi dan tiba-tiba tertawa.

“Bagus! Orang aneh itu menambahkan kegembiraan kami! Song-ciangkun, undang dia baik-baik untuk menemani kami minum arak!”

Song Cin tidak heran mendengar ini, karena memang kaisar mengagumi Ang-bin Sin-kai yang sebetulnya masih kakak dari menteri setia Lu Pin. Akan tetapi dua orang tamu Tajik itu benar-benar nampak terkejut sekali. Setelah memberi hormat, Song-ciangkun lalu mengundurkan diri dan berlari menuju ke dapur istana.

Song Cin mengetuk pintu dapur dan berkata keras,

“Ang-bin Sin-kai Locianpwe, siauwte Song Cin mohon bertemu, membawa perintah hong-siang (raja)!”

“masuklah, Song-ciangkun.”

Song Cin masuk dan dia melihat kakek aneh itu masih duduk menghadapi meja sambil minum arak. Cepat dia memberi hormat dan berkata,

“Siauwte membawa titah hong-siang mengundang Locianpwe untuk menemui baginda minum arak.”

Ang-bin Sin-kai tertegun, kemudian tertawa bergelak.

“Bagus, memang masakan di sini kurang lengkap. Baik aku pergi menghadap baginda!” Sehabis berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan Song Cin hanya merasa angin menyambar dan bayangan berkelebat di sisinya, dan kakek itu telah lenyap! Ia menghela napas dan mengagumi kelihaian kakek itu, kemudian melakukan penjagaan seperti biasa.

Ketika melihat Ang-bin Sin-kai muncul di ambang pintu, baginda kaisar melambaikan tangan sambil tersenyum.

“Mari, mari, Lu-koai-hiap (pendekar aneh she Lu), kau duduklah di sini bersama kami.”

Ang-bin Sin-kai menjura tanda menghormat. “Terima kasih, sungguh merupakan kehormatan besar sekali bahwa Baginda yang mulia sudi mengundang hamba.” Ia tanpa ragu-ragu lagi lalu bertindak maju dan menduduki sebuah bangku kosong, berhadapan dengan dua orang tamu itu. Sepasang matanya memandang tajam sekali sehingga dua orang Tajik itu merasa tidak enak sekali.

“Ha-ha-ha, Jiwi Ciangkun. Perkenalkanlah, ini adalah orang aneh dari timur, di sebut Ang-bin Sin-kai. Dan Lu-koai-hiap, dua orang tamu ini adalah panglima-panglima Tajik yang mewakili pemerintahannya menyatakan perdamaian dengan negeri kita.”

Ang-bin Sin-kai menerima perkenalan ini dengan sikap dingin saja, kemudian tanpa sungkan-sungkan lagi dia mempergunakan sumpitnya yang panjang untuk menjangkau mangkok-mangkok masakan yang paling enak. Baginda Kaisar tertawa melihat ini dan memberi isyarat kepada pelayan untuk menambah arak.

Biarpun nampaknya bersikap acuh tak acuh, namun diam-diam Ang-bin Sin-kai memperhatikan gerak-gerik dua orang tamu, panglima-panglima yang bertubuh tinggi besar itu. Tiba-tiba mukanya berubah pucat dan perhatiannya tercurah kepada tangan-tangan kedua orang tamu itu yang memegang sumpit.

Pada saat mereka telah minum kosong cawan arak dan baginda nampak gembira sekali, seorang di antara dua tamu itu mengambil guci arak dengan tangan kanan dan mengisi cawan kosong baginda kaisar. Kemudian dia pun memenuhi cawan Ang-bin Sin-kai dan cawannya sendiri dengan kawannya.


-Cerita Dewasa ABG SIlat : Pendekar Sakti 2 - KPH - http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/06/cerita-dewasa-panas-silat-pendekar.html-
“Hamba menyuguhkan secawan arak untuk keselamatan kaisar. Hidup Baginda Kaisar, semoga panjang usianya!” katanya sambil mengangkat cawan araknya. Kaisar Hian Tiong tertawa dan mengangkat cawan araknya, akan tetapi sebelum dia meneguk araknya, tiba-tiba tangan Ang-bin Sin-kai bergerak dan cawan itu terlempar dari tangan baginda!

“Lu-koai-hiap…..!” kaisar menegur marah akan tetapi Ang-bin Sin-kai memandang kepada penyuguh arak itu dengan marah sekali. “Kalian bukan orang Tajik! Kalian jahanam-jahanam pembunuh, hayo mengaku siapa kalian!” Ang-bin Sin-kai berdiri dan sikapnya mengancam sekali. Kaisar Hian Tiong pucat dan mengira bahwa pengemis sakti itu sudah menjadi mabuk. Selagi dia hendak menegur, tiba-tiba dua orang tamunya itu menggerakkan tangan dan berkeredepan benda-benda menyambar ke arah kaisar dan Ang-bin Sin-kai. Benda-benda ini adalah pisau-pisau mengkilat, semacam senjata rahasia yang tajam, runcing dan dilemparkan dengan tenaga kuat sekali.

Kaisar memekik kaget dan hendak membuang diri ke belakang untuk mengelak, akan tetapi Ang-bin Sin-kai sudah mendahuluinya, menggerakkan sepasang sumpitnya mengibas, maka runtuhlah empat buah pisau yang menyambar baginda. Adapun empat buah lagi yang menyambar ke arah Ang-bin Sin-kai, dipukul runtuh dengan tangan kirinya!

“Celaka…..!” Seorang di antara dua orang Tajik itu mengeluh, akan tetapi pada saat itu Ang-bin Sin-kai telah melompat dan tubuhnya menyambar ke arah penyuguh arak dengan sepasang sumpit menusuk matanya!

Panglima Tajik itu cepat mengelak, akan tetapi sumpit di tangan Ang-bin Sin-kai seakan-akan bermata, karena sumpit itu mengejar terus dan akhirnya terdengar jerit mengerikan ketika sepasang sumpit daging itu menancap pada mata panglima yang tadi menyuguhkan arak kepada kaisar! Tubuhnya terguling dan dia berkelojotan. Tiba-tiba menyambar pisau-pisau terbang dan kali ini pisau-pisau itu mengenai tubuh orang yang sudah terluka matanya ini, menancap di ulu hati dan leher sehingga orang itu seketika tewas tanpa dapat bersambat lagi.

Orang Tajik ke dua itulah yang melepas pisau membunuh kawannya sendiri dan kini tubuhnya berkelebat lari ke arah pintu.

“Bangsat hina, hendak lari ke mana?” Ang-bin Sin-kai melompat mengejar akan tetapi penjahat itu gerakannya benar-benar cepat sekali sehingga sebentar saja dia telah melompat ke atas genteng. Namun, mana Ang-bin Sin-kai mau memberi hati kepadanya? Kakek sakti ini pun melompat dan mengejar terus dengan kecepatan melebihi anak panah.

Kaisar Hian Tiong menepuk tangan memberi tanda kepada para penjaga dan ramailah keadaan di situ tak lama kemudian, ruangan itu penuh dengan para penjaga dan pengawal kaisar. Song Cin mengepalai para penjaga untuk melakukan pengejaran pula dan dia sendiri lalu melompat ke atas genteng mengejar Ang-bin Sin-kai yang masih berlari-lari menyusul tamu Tajik tadi.

“Bangsat pengkhianat, kau hendak lari kemana?” Ang-bin Sin-kai berseru keras, tangan kanannya menjangkau ke depan hendak mencekik tengkuk penjahat. Karena merasa tiada gunanya melarikan diri dari kakek sakti itu, penjahat ini tiba-tiba membalikkan tubuhnya dan kedua tangannya terayun, delapan buah pisau terbang menyambar kepada Ang-bin Sin-kai. Boleh jadi kepandaiannya melempar pisau terbang itu untuk orang lain amat berbahaya, akan tetapi terhadap Ang-bin Sin-kai, serangan ini tiada bedanya dengan permainan kanak-kanak belaka. Dengan menggerakkan kedua tangannya, delapan pisau itu telah tertangkap semua oleh Ang-bin Sin-kai! Penjahat itu terbelalak memandang kehebatan lawannya ini dan dia lalu berlaku nekat. Ketika Ang-bin Sin-kai menubruk, tubuh penjahat itu tanpa sebab telah terpelanting jatuh dan menggelundung di atas genteng. Ang-bin Sin-kai merasa heran dan cepat menyambar tubuh orang yang akan jatuh ke bawah itu, karena dia ingin menangkapnya hidup-hidup untuk ditanyai keterangan. Akan tetapi ternyata bahwa orang itu telah mati dengan sebatang pisau menancap di ulu hatinya!

Melihat kedatangan Song Cin, Ang-bin Sin-kai lalu melemparkan tubuh penjahat yang sudah menjadi mayat itu kepada kepala penjaga ini, kemudian dia berlari kembali ke ruang makan. Ternyata bahwa penjahat yang pertama juga sudah mati.

“Lu-koai-siap, bagaimana kau bisa tahu bahwa mereka bukan orang Tajik dan mereka mengandung maksud tidak baik kepada kami?” tanya kaisar kepada Ang-bin Sin-kai.

Kakek ini tersenyum. “Mudah saja. Ketika tadi hamba makan bersama mereka, hamba melihat cara mereka memegang sumpit tidak seperti kebiasaan orang-orang Tajik yang hamba ketahui baik-baik. Sumpit ke dua mereka pegang antara ibu jari dan telunjuk seperti cara kita, sedangkan kebiasaan orang-orang Tajik memegang sumpit ke dua di antara telunjuk dan jari tengah. Kemudian, ketika penyuguh arak tadi menuangkan arak dari guci ke cawan Paduka, hamba ada melihat dia melepaskan bubuk putih secara pandai dan tidak kentara, maka tahulah hamba bahwa dia mencampuri racun ke dalam arak itu dan hamba segera bertindak mencegah Paduka meminumnya.”

Kaisar mengangguk-angguk. “Sungguh heran sekali mengapa mereka bisa membawa surat dari An-ciangkun!”

“Hm, kalau hamba yang mengurus perkara ini, akan hamba selidiki keadaan An Lu Shan itu! Paduka terlampau banyak mencari hiburan dan kesenangan sehingga lalai memperhatikan keadaan para petugas. Juga kematian selir Paduka belum lama ini, adalah akibat dari kelalaian Paduka sendiri. Maafkan kelancangan hamba ini, akan tetapi hamba hanya mau membuka mulut bukan semata untuk mencela, melainkan demi kebaikan Paduka dan negara! Sekarang ijinkanlah hamba pergi!” Tanpa menanti ijin dari kaisar, Ang-bin Sin-kai berkelebat dan lenyap dari situ.

Akan tetapi pada keesokan harinya, datang serombongan perwira utusan An Lu Shan yang menyatakan bahwa cap kebesaran An Lu Shan telah tercuri orang dan bahwa kini panglima itu minta cap baru dari kaisar. Pemberitahuan ini dilakukan karena khawatir kalau-kalau cap yang lenyap itu disalahgunakan oleh orang lain! Dengan adanya pemberitahuan ini, lenyaplah semua kecurigaan kaisar terhadap diri An Lu Shan dan inilah kesalahan kaisar. Kalau saja dia menyuruh orang menyelidiki lebih teliti, tentu akan diketahuinya bahwa memang diam-diam An Lu Shan mempunyai cita-cita memberontak dan dua orang yang mengaku sebagai perwira-perwira Tajik itu sebenarnya adalah kaki tangannya yang diberi tugas untuk membunuh kaisar!



Kita ikuti perjalanan Lu Kwan Cu, bocah gundul yang diculik Kiu-bwe Coa-li. Biarpun dia merasa dongkol sekali atas perbuatan Kiu-bwe Coa-li terhadap dirinya namun berada di dekat Sui Ceng yang bicara dengan lucu dan menghibur dengan kata-kata membesarkan hati, Kwan Cu berlaku tenang dan mulai memutar otaknya. Ia dapat menduga apa maksud wanita sakti itu menculiknya. Tentu ada hubungannya dengan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, pikirnya. Kalau tidak untuk kitab itu, apa perlunya Kiu-bwe Coa-li menculiknya.

Tak lama kemudian setelah Bun Sui Ceng menggendong dan meletakkannya di pinggir hutan, datanglah Kiu-bwe Coa-li dan sekali menepukkan tangannya ke pundak Kwan Cu, bocah gundul ini terbebas dari totokannya. Diam-diam Kiu-bwe Coa-li memuji anak ini, karena begitu terbebas, Kwan Cu sudah lantas melompat berdiri, seakan-akan tak terpengaruh sama sekali oleh bekas totokannya itu. Padahal, untuk orang biasa, kalau habis mengalami pengaruh totokannya, tentu sampai beberapa lama akan menjadi kaku tubuhnya dan setelah digerak-gerakkan beberapa kali baru dapat bergerak seperti biasa. Akan tetapi anak ini begitu terbebas, lantas saja melompat berdiri.

“Suthai, kau benar-benar keterlaluan sekali!” Dengan mata bersinar marah Kwan Cu menegur Kiu-bwe Coa-li! “Kalau ada keperluan dengan aku, mengapa tidak bertanya dengan baik-baik saja? Akan tetapi kau tiba-tiba menyerang dan menculik, apakah perbuatan ini boleh dibuat bangga?”

Untuk sejenak Kiu-bwe Coa-li memandang bengong. Belum pernah ada orang berani menegurnya seperti itu! Kemudian timbul marahnya.

“Anak setan, kau berani menegurku?” Tangan kirinya bergerak dan ujung lengan bajunya yang panjang menyambar ke arah pipi Kwan Cu.

“Plak!” Kwan Cu merasa seakan-akan kepalanya disambar petir dan dia roboh berguling-guling, kemudian dia melompat dengan berdiri pula dengan tegak, sedikit pun tidak takut. Juga rasa sakit tadi hanya di pipi saja dan sekarang tidak terasa lagi.

“Kiu-bwe Coa-li, nama besar yang sering kali kudengar dipuji-puji oleh semua orang gagah di dunia kang-ouw. Akan tetapi, belum pernah aku mendengar bahwa tokoh besar ini hanya mempunyai kesukaan memukul anak kecil yang tak mampu melawan!”

Mendengar ucapan ini, Kiu-bwe Coa-li menjadi merah dan sepasang matanya memancar sinar yang aneh sekali. Memang benar-benar hebat sekali keberanian Kwan Cu, tidak saja menegur, bahkan kini dia mencela tokoh besar yang ditakuti oleh semua orang gagah di dunia kang-ouw ini!

“Bocah setan penipu busuk!” Kiu-bwe Coa-li memaki sambil melompat maju, kedua tangannya menggigil dalam nafsunya hendak menghancurkan mulut kecil yang berani mencelanya itu. “Tidak kuhancurkan kepalamujuga sudah untung kau! Kau telah berani menipuku kemudian menegur, dan sekarang mencela! Berapa banyak sih cadangan nyawamu maka berani main gila memutar lidah?”

Pecut di tangan Kiu-bwe Coa-li menggigil dan Sui Ceng memandang dengan khawatir sekali. Gurunya ini memang baik, akan tetapi kalau sudah marah agaknya tidak ada iblis yang dapat melebihi keganasannya! Maka ia tahu bahwa kali ini nyawa Kwan Cu takkan tertolong lagi. Cepat ia melompat maju ke depan gurunya dan berkata,

“Suthai, harap jangan bunuh Kwan Cu. Teecu kasihan kepadanya, lagi pula, kalau dia mati, siapa yang akan dapat menunjukkan di mana adanya Im-yang Bu-tek Cin-keng?”

Mendengar ini, cambuk yang sudah diangkat tadi turun kembali dan Sui Ceng bernapas lega. Akan tetapi, alangkah kagetnya anak perempuan ini ketika tiba-tiba dia mendengar isak tangis dan ternyata bahwa Kwan Cu telah duduk di atas tanah sambil menutup mukanya, menangis!

Tentu saja Kiu-bwe Coa-li menjadi terheran, bahkan Sui Ceng sendiri pun merasa heran sekali atas sikap Kwan Cu. Dipukul, dimaki, dihina tidak pernah meruntuhkan air mata, sekarang tiada hujan tiada angin menangis sedih! Memang hal ini aneh sekali, karena tidak biasanya Kwan Cu menangis. Anak ini berhati keras dan berani, bersemangat baja sehingga baginya merupakan pantangan untuk mengeluarkan air mata apalagi air mata karena takut atau bingung. Akan tetapi, pada saat itu, hatinya merasa amat terharu dan berduka.

Kwan Cu masih merasakan kasih sayang yang diberikan oleh Loan Eng kepadanya, dan kepada nyonya itu dia sudah menganggap seperti ibunya sendiri. Tadinya dia pun sudah merasa hancur hatinya mendengar betapa Pek-cilan Thio Loan Eng dan suaminya terbunuh orang, akan tetapi dia masih dapat menahan kedukaan hatinya. Kini, tiba-tiba dia melihat Sui Ceng bersikap membela dan berkasihan kepadanya, maka tak dapat ditahan lagi Kwan Cu teringat akan kebaikan dan cinta kasih ibu anak ini terhadap dia dan keharuan besar karena sikap manis Sui Ceng membuat dia terisak-isak!



Sui Ceng menjadi gelisah sekali dan bingung melihat bocah gundul itu menangis begitu sedihnya. Ia khawatir kalau-kalau pukulan tangan gurunya tadi telah membuat otak Kwan Cu menjadi rusak dan atau miring! Ia cukup maklum akan keganasan dan kehebatan tangan gurunya kalau memukul. Sui Cneg maju mendekat dan mengulurkan tangan untuk meraba kepala Kwan Cu yang gundul, untuk melihat apakah kepala itu panas. Ternyata tidak terasa panas dan tidak apa-apa!

“Sui Ceng, apa kau mengira bocah ini gila?” Kiu-be Coa-li berkata dan hampir tak dapat menahan senyumnya saking geli melihat perbuatan Sui Ceng. Akan tetapi Sui Ceng seperti tidak mendengar ucapan gurunya, bahkan lalu bertanya kepada Kwan Cu dengan suara halus,

“Kwan Cu, apamukah yang sakit? Mengapa kau menangis begitu sedih? Sudahlah, Kwan Cu, untuk apa menangis terus? Hidup sesungguhnya dipikir-pikir tidak begitu menyedihkan!” anak perempuan yang masih kecil ini dalam usahanya menghibur Kwan Cu, mengeluarkan kata-kata yang lucu.

Mendengar ini, Kwan Cu mengangkat mukanya. Dengan kekerasan hatinya dia telah dapat menahan air matanya dan kini dia berkata perlahan,

“Sui Ceng, aku tidak menyedihkan sesuatu, hanya merasa sakit hatiku kalau teringat akan kematian ibumu. Aku harus membalas dendamnya, biar aku akan berkorban nyawaku yang tak berharga!”

Ketika mendengar ucapan Kwan Cu ini, tiba-tiba Sui Ceng mengeluh dan anak perempuan inilah yang sekarang menangis sedih, tersedu-sedu menutupi muka dengan kedua tangannya! Sekarang Kwan Cu yang memegang pundaknya dan menghibur, seperti seorang kakak kepada adiknya.

“Siauw-pangcu, jangan menangis. Tak pantas seorang ketua perkumpulan besar seperti engkau meruntuhkan air mata!” kata Kwan Cu.

Seketika keringlah air mata di mata Sui Ceng yang bening. Ia memandang Kwan Cu dan kini wajahnya berseri.

“Kau benar! Aku harus seperti mendiang ayahku. Aku akan menahan derita ini dengan tabah dan sebagai seorang Siauw-pangcu (ketua cilik), aku tak boleh menangis. Akan tetapi, bukan kau yang berhak membalaskan sakit hati ibuku, Kwan Cu. Kedua tanganku sendiri yang akan menghancurkan kepala Toat-beng Hui-houw!” Setelah berkata demikian, Sui Ceng bangkit berdiri sambil mengepalkan kedua tangannya yang kecil.

“Cukup semua itu, Sui Ceng! Apa sih sukarnya mencari dan membunuh Toat-beng Hui-houw? Jangan bersikap lemah seperti bukan muridku saja! Hayo lekas kauceritakan, Kwan Cu. Di mana adanya kitab aseli Im-yang Bu-tek Cin-keng? Awas, jangan kau membohong, karena sekali kau membohong, kepalamu akan hancur oleh cambukku dan pinni tak mau mengampunimu lagi, biarpun Sui Ceng sayang kepadamu.”

Mendengar disebutnya tentang Sui Ceng sayang kepadanya, Kwan Cu menoleh kepada anak perempuan itu dan berkata mesra dan wajah berseri lalu mengangguk-anggukkan kepala yang gundul,

“Sui Ceng memang manis dan baik sekali, seperti ibunya…..”

“Bocah gundul jangan nyeleweng. Jawab pertanyaanku!” bentak Kiu-bwe Coa-li tidak sabar.

Kwan Cu memandang kepada wanita sakti itu, sama sekali tidak nampak takut.

Sambil menahan kegemasannya, Kiu-bwe Coa-li berkata, “Di mana adanya kitab aseli Im-yang Bu-tek Cin-keng?”

“Kalau begitu pertanyaan Suthai, teecu tidak bisa menjawab karena memang teecu sendiri tidak tahu di mana adanya kitab aseli Im-yang Bu-tek Cin-keng.” Suara anak ini terdengar tegas, sepasang matanya memandang jujur dan tabah, maka kecillah hati Kiu-bwe Coa-li. Tadinya dia mengharapkan akan mendengar petunjuk anak gundul itu untuk mendapatkan kitab pelajaran ilmu silat yang diidam-idamkannya semenjak lama sekali. Akan tetapi mendengar jawaban Kwan Cu, ia tahu bahwa anak ini tidak membohong dan kecewalah hatinya.

Setalah menentang pandang mata anak gundul itu seketika lamanya, Kiu-bwe Coa-li berkata,

“Aku mau percaya omonganmu. Akan tetapi, kau dan gurumu mencari apakah di Bukit Liang-san?”

Tertegunlah Kwan Cu mendengar pertanyaan ini.

“Eh, eh, eh, bagaimana Suthai dapat saja mengerti dan tahu akan segala gerakan teecu dan suhu? Apakah Suthai selama ini mengikuti kami dan diam-diam menyelidiki segala kelakuan kami?”

Sepasang mata Kiu-bwe Coa-li bernyala lagi dan tangannya sudah gatal-gatal untuk menampar kepala gundul yang bicaranya selalu menusuk dan mengganggu hatinya itu.

“Kwan Cu, jawablah sebenarnya saja kepada Suthai,” Sui Ceng memberi nasihat karena gadis cilik ini merasa khawatir kalau-kalau gurunya akan marah dan menyiksa Kwan Cu lagi.



Senang hati Kwan Cu mendengar kata-kata Sui Ceng ini. Betapapun juga di dunia ini masih ada orang-orang yang menaruh hati kasihan kepadanya. Ia lalu memandang sepasang matanya yang lebar kepada Kiu-bwe Coa-li dan berkata.

“Suthai, agaknya tak perlu pula kusembunyikan lebih lama lagi. Pertama-tama karena Suthai amat bernafsu untuk mendapatkan tempat di mana disimpannya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng dan kedua karena agaknya teecu memang tidak bernasib baik untuk mendapatkan kitab itu. Ketahuilah bahwa teecu mengajak suhu ke Liang-san, karena teecu hendak mencari kitab sejarah peninggalan guru teecu mendiang Gui-siucai. Kitab sejarah itu ternyata telah dicuri orang!”

“Hm, jangan bicara kacau-balau! Apa perlunya kau menceritakan tentang kitab sejarah? Apa hubungannya dengan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng?”

“Sesungguhnya, kalau orang hendak mencari di mana adanya kitab rahasia yang diperebutkan itu, orang harus membaca kitab sejarah peninggalan Gui-siucai, karena di situ terdapat petunjuk-petunjuk tentang Im-yang Bu-tek Cin-keng.”

Kiu-bwe Coa-li nampak bernafsu lagi. “Begitukah? Siapa yang telah mencuri kitab sejarah itu? Hayo katakan cepat!”

“Hal ini teecu dan suhu sedang menyelidiki pula. Menurut penuturan orang dusun di lereng Liang-san, yang datang adalah hwesio gundul gemuk sekali bersama muridnya, dan teecu sendiri ketika berada di lereng, juga melihat bayangan mereka. Agaknya, tidak salah lagi yang mencuri itu tentulah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu bersama muridnya. Kalau bukan mereka, siapa lagi?”

Kiu-bwe Coa-li menyumpah-nyumpah. “Keparat gundul!”

“Eh, mengapa Suthai memaki teecu? Apa salahku?”

“Tolol! Bukan kau yang kumaki. Melainkan Jeng-kin-jiu!”

Sui Ceng tertawa. “Kwan Cu, kau kira di dunia ini hanya kau sendiri yang gundul?” Memang Sui Ceng mempunyai watak jenaka, di mana saja ada kesempatan, dia selalu memperlihatkan wataknya ini. Kwan Cu juga tersenyum mendengar godaan ini.

“Kwan Cu, sekali lagi jelaskan, benar-benarkah di dalam kitab sejarah itu adanya petunjuk-petunjuk tentang tempat tersimpannya Im-yang Bu-tek Cin-keng? Kau tidak bohong?” tanya Kiu-bwe Coa-li, sekarang suaranya tidak begitu galak lagi.

“Teecu bersumpah bahwa demikianlah yang teecu dengar dari mendiang Gui-sianseng. Betul tidaknya, bagaimana teecu bisa memastikannya kalau teecu sendiri belum pernah melihat kitab sejarah itu? Sebelum Gui-sianseng meninggal dunia, dia pernah meninggalkan pesan kepada teecu untuk mencari kitab itu dan kemudian menurut petunjuk ini mencari tempat disimpannya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Akan tetapi, sekarang teecu tidak bernafsu lagi untuk mendapatkan kitab aneh itu.”

“Mengapa?” Kiu-bwe Coa-li memandang tajam.

“Karena menurut mendiang Gui-sianseng, Im-yang Bu-tek Cin-keng disimpan di sebuah pulau kosong yang sukar sekali didatangi orang. Sekarang orang-orang gagah di seluruh dunia yang berkepandaian tinggi seperti Suthai sendiri dan yang lain-lain, sudah turun tangan memperebutkan kitab itu. Bagaimana seorang bodoh seperti teecu ada harapan? Tidak, teecu tidak begitu bodoh untuk membuang waktu memperebutkan kitab yang belum tentu berguna bagi teecu sendiri.”

“Bagus, memang sebaiknya kau jangan membuang nyawamu untuk mencarinya. Lebih baik kau membantu aku mencarinya. Hayo kita menyusul si gundul Jeng-kin-jiu ke kota raja!”

Demikianlah Kiu-bwe Coa-li membawa Kwan Cu dan Sui Ceng menuju ke kota raja. Akan tetapi karena wanita sakti ini maklum bahwa Ang-bin Sin-kai tentu takkan tinggal diam dan tentu berusaha mencari muridnya, maka ia mengambil jalan memutar melalui hutan-hutan besar agar jangan sampai bertemu dengan Ang-bin Sin-kai. Bukan sekali-kali Kiu-bwe Coa-li takut menghadapi pengemis sakti itu, melainkan ia tidak ingin usahanya mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng terganggu. Kalau ia sudah mendapatkan kitab itu, ia takkan peduli siapapun juga akan mengganggunya. Ia sedang mencari kitab sejarah yang menurut Kwan Cu dicuri oleh Jeng-kin-jiu. Sedangkan menghadapi Jeng-kin-jiu seorang pun sudah merupakan hal yang tidak boleh dipandang ringan, apalagi kalau harus ditambah gangguan dari Ang-bin Sin-kai!

Karena itulah maka biarpun Ang-bin Sin-kai melakukan perjalanan cepat, pengemis sakti ini tidak bertemu dengan muridnya yang diculik oleh Kiu-bwe Coa-li.

Pada suatu hari, Kiu-bwe Coa-li mengajak dua orang anak itu berhenti di sebuah hutan yang luas. Kiu-bwe Coa-li adalah seorang wanita sakti yang memiliki kesenangan aneh sekali, yakni mancing ikan! Dan di dalam hutan itu terdapat sebuah telaga, terdengar suara air bercipakan dan nampak perut-perut ikan mengkilap ketika ikan-ikan itu bercanda dan timbul di permukaan air. Melihat ini, tak dapat ditahan lagi keinginan Kiu-bwe Coa-li untuk memancing! Kesenangan ini bukan karena Kiu-bwe Coa-li terlalu doyan makan daging ikan, sama sekali bukan. Ia senang memancing karena kesenangan atau kenikmatan yang hanya dapat dirasa oleh para pemancing ikan, yakni kesenangan yang dirasa pada saat pancing atau kail digondol ikan. Ketegangan, harapan dan kepuasan terasa di dalam hati apabila ujung kail disambar ikan.

Kiu-bwe Coa-li membuat gagang pancing dari ranting bambu dan tak lama kemudian kaki wanita sakti ini duduk di atas sebuah batu besar di pinggir telaga, memegang gagang pancing, diam tak bergerak dan sama sekali lupa akan keadaan sekelilingnya, tidak mempedulikan pula kepada Sui Ceng dan Kwan Cu.



Dua orang anak itu menjadi bosan juga menunggui wanita itu memancing ikan, maka keduanya lalu pergi berjalan-jalan di dalam hutan. Sui Ceng paling suka akan kembang-kembang indah, maka ia mengajak Kwan Cu mencari bunga-bunga yang banyak tumbuh di dalam hutan. Mereka berjalan-jalan sambil bercakap-cakap.

“Lihat, Sui Ceng……. Di sana ada bunga cilan!” tiba-tiba Kan Cu berseru girang sambil menudingkan telunjuknya ke arah serumpun pohon bunga cilan. Akan tetapi kegembiraan hati Kwan Cu segera lenyap dan mukanya menjadi menyesal sekali ketika dia melihat wajah Sui Ceng. Gadis cilik ini menjadi pucat sekali dan berdiri seperti patung, sedangkan sekelompok bunga yang tadi dipetik dan dipegangnya, tak terasa pula jatuh ke atas tanah.

“Aduh, maaf……Sui Ceng….. maafkan aku. Aku tidak sengaja mengingatkan kau…..” kata Kwan Cu sambil memegang tangan Sui Ceng dan seperti seorang kakak yang menghibur adiknya, Kwan Cu menggunakan tangan untuk menghapus air mata yang mengalir di pipi Sui Ceng!

“Sudahlah, Sui Ceng, tak perlu disedihkan selalu kematian ibumu. Aku bersumpah akan mencari dan memecahkan kepala Toat-beng Hui-houw manusia jahanam itu untuk membalas sakit hati ibumu!” Kwan Cu tahu bahwa tentu Sui Ceng teringat kepada ibunya ketika melihat bunga cilan, karena ibunya sangat suka akan bunga ini, bahkan ibunya mendapat julukan Pek-cilan (Bunga Cilan Putih) karena seringkali memakai bunga cilan sebagai penghias rambutnya.

“Apa yang kau katakan?” Sui Ceng membelalakkan kedua matanya memandang kepada Kwan Cu seperti orang marah. “Keparat jahanam Toat-beng Hui-houw tidak boleh dibikin mampus oleh orang lain. Aku sendiri yang akan membelek dadanya, mengeluarkan jantungnya dan memenggal kepalanya untuk kupergunakan sembahyang kepada ibu!”

“Ha, ha, ha, ha, ha! Dua ekor anak domba berdaging empuk bersombong hendak membunuh seekor harimau jantan. Ha, ha, ha!” tiba-tiba terdengar suara ketawa. Suara ini demikian menyeramkan, besar dan serak sehingga Kwan Cu dan Sui Ceng terkejut bukan main. Kedua orang anak ini cepat menengok dan alangkah terkejut hati mereka ketika di hadapan mereka telah berdiri seorang kakek yang bentuk tubuh dan wajahnya aneh sekali. Apalagi Sui Ceng yang mengenal kakek ini, wajahnya menjadi pucat seketika. Kakek ini tubuhnya agak bongkok, kepala penuh cambang bauk berwarna putih danyang mengerikan adalah kedua tangannya karena sepuluh jari tangannya berkuku panjang melengkung seperti cakar harimau. Adapun kedua kakinya telanjang sama sekali.

“Toat-beng Hui-houw…..!” seru Sui Ceng yang pernah bertemu dengan siluman ini.

Mendengar disebutnya nama ini, serentak Kwan Cu mengepal tinju dan memandang dengan mata marah. Sama sekali dia tidak menjadi takut lagi melihat wajah yang menyeramkan itu. Jadi inikah pembunuh dari Pek-cilan Thio Loan Eng?

Kembali Toat-beng Hui-houw tertawa bergelak.

“Bocah gundul jelek! Kau tadi bilang mau memecahkan kepala Toat-beng Hui-houw? Ha, ha, ha! Akulah yang akan memecahkan kepalamu dan kumakan otakmu yang kental membeku! Dan kau……. kuncup bunga yang cantik, jantungmu tentu empuk dan darahmu hangat manis, lebih hangat dan lebih manis daripada darah ibumu. Ha, ha, ha!”

Sui Ceng dan Kwan Cu yang sudah tak dapat menahan kemarahannya pula, telah maju berbareng dan menyerang dengan pukulan mereka yang biarpun dilakukan oleh lengan tangan kecil, namun mendatangkan angin pukulan yang hebat juga. Melihat gerakan ini, Toat-beng Hui-houw menjadi gembira sekali.

“Anak-anak baik….. bertulang bersih…..ha, ha, ha!” Ia lalu mainkan ilmu silatnya dengan cepat, mempergunakan sepasang tangannya yang berkuku panjang untuk menangkap tangan kedua anak itu yang menyerang.

Akan tetapi, baik Sui Ceng maupun Kwan Cu adalah murid-murid orang pandai, maka mereka tidak main seruduk saja dan dalam ilmu silat mereka telah mendapat latihan dasar yang tinggi. Melihat bentuk kuku dan gerakan tangan manusia yang seperti iblis itu, mereka tidak membiarkan tangan mereka terpegang dan keduanya mempergunakan ginkang untuk bergerak ke sana ke mari menjauhi jangkauan tangan lawan sambil menyerang ke arah bagian-bagian tubuh yang berbahaya dan lemah.

Namun kedua orang anak ini masih terlalu muda dan tenaga mereka kurang kuat. Biarpun sudah dua kali Kwan Cu berhasil mempergunakan ilmu pukulan dari Ilmu Silat Pai-bun-tui-pek-to dan menghantam lambung Toat-beng Hui-houw, namun pukulannya yang keras dan mengandung tenaga lweekang itu seakan-akan mengenai benda dari karet saja dan terpental kembali membuat tubuhnya sendiri terhuyung-huyung! Juga Toat-beng Hui-houw terkejut sekali karena pukulan anak ini antep sekali. Baiknya dia telah menduga bahwa mereka ini adalah murid-murid orang pandai, maka siang-siang dia telah mengerahkan lweekang di tubuhnya ketika menerima pukulan-pukulan yang cepat itu sehingga dia dapat menolak pukulan itu dan tidak menderita luka.

Juga Sui Ceng memperlihatkan kecepatannya. Pernah dua jarinya menotok jalan darah di punggung kakek ini, namun ternyata bahwa jarinya mengenai kulit lemas dan daging yang tak berurat. Ia kaget dan maklum bahwa kakek seperti iblis ini telah mempergunakan Ilmu Pi-ki-hu-hiat (Menutup Hawa Melindung Jalan Darah) sehingga totokannya itu gagal sama sekali. Namun Sui Ceng benar-benar memiliki gerakan seperti burung walet cepatnya. Tangannya yang kecil itu meluncur laksana seekor ular dan tahu-tahu dua jarinya dipentang dan menusuk sepasang mata Toat-beng Hui-houw!



Harimau Terbang Pencabut Nyawa ini mengeluakan seruan tertahan. Hebat sekali serangan anak perempuan ini, karena apabila matanya terkena tusukan jari tangan, tentu dia akan menjadi buta. Maka dia cepat melompat ke atas untuk menghindarkan tusukan ke arah matanya. Tidak tahunya Sui Ceng benar-benar cerdik sekali. Ketika tangannya tidak berhasil menusuk mata lawan yang melompat tinggi, cepat ia menjambret jenggot dan membetot dengan gentakan keras.

“Aduuuuuuhhh……..!” Toat-beng Hui-houw memekik lalu menggereng seperti seekor harimau dicabut jenggotnya. Sebagian bulu jenggotnya telah tercabut oleh tangan Sui Ceng! Bukan main sakitnya sehingga matanya sampai mengeluarkan air mata. Pedas dan perih. Hal ini mendatangkan marah yang luar biasa dan begitu dia menubruk sambil mengeluarkan suara mengerikan, Kwan Cu dan Sui Ceng tak dapat mengelak lagi dan kedua orang anak ini telah tertangkap!

Kwan Cu dan Sui Ceng tidak mengalah begitu saja dan cepat menggerakkan tangan memukul, namun segera mereka menjadi lemas dan habislah seluruh tenaga ketika Toat-beng Hui-houw menekan pundak mereka dengan tangan yang berkuku panjang.

Toat-beng Hui-houw tertawa bergelak dan beberapa kali dia mempergunakan tangannya mengelus-elus kulit leher Sui Ceng yang halus, seakan-akan seorang anak kecil melihat kulit buah leeci yang halus dan menggairahkan!

Sui Ceng yang tak berdaya menutup matanya dengan ngeri karena dia teringat betapa ibunya juga telah digigit lehernya dan dihisap darahnya oleh manusia siluman ini! Adapun Kwan Cu yang dielus-elus kepalanya, bergidik pula karena kepalanya tentu akan dipecahkan dan otaknya dilalap oleh setan ini seperti ancamannya tadi.

“Ha, ha, ha! Sukar untuk memilih, makan otak dulu atau minum darah dulu. Sama enaknya, sama manisnya!” kakek ini bicara seorang diri seperti seorang kelaparan menghadapi arak wangi dan daging muda, bingung untuk mengambil keputusan, makan dulu atau minum dulu!

“Toat-beng Hui-houw, kau boleh membunuhku, akan tetapi jangan kau mengganggu Sui Ceng. Tidak kasihankah kau melihat dia? Tak malukah kau membunuh seorang anak perempuan kecil seperti dia?” kata Kwan Cu karena biarpun dia dan Sui Ceng berada di bawah pengaruh totokan yang lihai sehingga menjadi lumpuh, namun kedua orang anak ini tadi mengumpulkan tenaga lweekang sehingga mereka dapat melindungi penapasan dan tidak kehilangan suara mereka dan masih dapat bicara.

Kwan Cu hendak menolong Sui Cneg, rela dia sendiri mati. Akan tetapi tidak disangkanya, anak perempuan itu memiliki keberanian yang tidak kalah olehnya. Sui Ceng bahkan menjadi marah dan membentak,

“Kwan Cu, kaukira aku takut mati? Biar iblis ini membunuhku, nyawaku akan selalu mengejarnya dan sebelum menghancurkan kepalanya, nyawaku akan menjadi setan penasaran!”

Toat-beng Hui-houw tertawa ha-ha-he-he-he sambil memandang bergantian kepada dua anak itu.

“Hm, aku tidak suka melihat matamu melotot terus memandangku. Kau akan kumakan dulu otakmu!” katanya kepada Kwan Cu sambil mendekati anak itu.

“Bagus, Toat-beng Hui-houw, mau bunuh lekaslah bunuh, aku tidak takut! Akan tetapi kalau kau mengganggu Sui Ceng, hmmm….. kurasa kau takkan lama dapat mempertahankan kepalamu yang botak, karena gurunya, Kiu-bwe Coa-li, tentu akan mengejar-ngejarmu selalu!”

Benar saja, mendengar nama ini, berubahlah wajah Toat-beng Hui-houw. Dia memang tahu bahwa Sui Ceng adalah murid Kiu-bwe Coa-li, nenek sakti yang ditakutinya, dan tadi dia lupa sama sekali akan nenek ini.

Matanya jelalatan ke kanan kiri, mencari-cari kalau-kalau nenek itu berada di dekat situ.

“Aku harus cepat-cepat membereskan kalian!” katanya dan tangannya sudah diangkat tinggi uuntuk memukul pecah kepala gundul itu. Akan tetapi, kata-kata Kwan Cu tadi mengingatkan Sui Ceng akan gurunya, maka ia lalu mengumpulkan tenaga dan menjerit keras sekali.

“Suthai…..! Tolong teecu!”

Mendengar jerit itu, Toat-beng Hui-houw terkejut sekali. Ia tidak jadi memukul kepala Kwan Cu bahkan sebaliknya dengan sekali meloncat dia telah berada di dekat Sui Ceng dan kedua tangannya mencekik leher anak itu.

“Jangan membuka mulut, kau…….!”

Akan tetapi, jeritan tadi telah membangunkan Kiu-bwe Coa-li dari keadaannya seperti mimpi di pinggir telaga. Pada saat itu, pancingnya sedang digondol ikan dan ia tengah menikmati perjuangan ikan itu yang hendak melepaskan pancing yang mengait mulutnya. Tiba-tiba ia mendengar jerit muridnya dan bagaikan seekor burung garuda yang dikagetkan oleh sesuatu, tubuhnya berkelebat ke arah suara muridnya.

“Toat-beng Hui-houw, lepaskan muridku kalau kau tak ingin mampus!” bentaknya marah dan disusul oleh bunyi “tar! tar! tar!” keras sekali. Dalam kemarahannya, Kiu-bwe Coa-li telah mengeluarkan cambuknya dan kini sembilan helai bulu cambuk menyambar-nyambar mengancam di atas kepala Toat-beng Hui-houw.



Kakek berkuku panjang itu melepaskan cekikannya, akan tetapi dia memegangi tangan Sui Ceng dan berkata menyeringai.

“Kiu-bwe Coa-li, siapa mau mengganggu muridmu! Aku hanya main-main saja.”

“Bangsat tua bangka! Siapa tidak mengenal watakmu yang curang? Hayo kau lepaskan muridku. Berlaku lamban berarti kepalamu akan hancur oleh cambukku!” Kiu-bwe Coa-li mengancam dengan sikap garang sekali.

“Ha-ha-ha! Kalau aku curang, apakah kau juga boleh dipercaya? Muridmu berada di dalam tanganku dan cobalah kau bergerak kalau berani. Sebelum aku terkena cambukmu, nayawa muridmu akan melayang lebih dulu!”

“Apa yang kau kehendaki manusia jahat?” Kiu-bwe Coa-li ragu-ragu untuk menyerang, karena maklum bahwa Toat-beng Hui-houw bisa membuktikan ancamannya itu.

“Aku mau melepaskan muridmu ini, akan tetapi bocah gundul ini akan kubawa. Otaknya baik sekali untuk punggungku yang suka sakit di musim dingin karena sudah kurang isinya! Dan pula, sebelum aku melepaskan muridmu, kau harus berjanji takkan menyerangku!”

Kiu-bwe Coa-li memutar otaknya. Ia lebih menyayangkan nyawa muridnya dan tentang Kwan Cu, ia tidak peduli akan anak itu. Maka ia lalu berkata dengan suara dingin,

“Kau mau bawa anak gundul itu, bukan urusanku. Kalau kau melepaskan muridku, akupun tak sudi berurusan dengan orang macam kau lagi!”

Tadinya memang Kiu-bwe Coa-li amat membutuhkan bantuan Kwan Cu, akan tetapi sekarang anak itu sudah memberi tahu tentang kitab sejarah yang menjadi petunjuk di mana adanya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, dan kitab itu sudah dicuri oleh Jeng-kin-jiu, maka untuk apa lagi membawa anak itu? Membikin repot saja!

Setelah mendengar kata-kata gurunya ini, Sui Ceng terkejut sekali.

“Suthai jangan berikan Kwan Cu kepadanya! Siluman itu hendak memcahkan kepala Kwan Cu dan hendak makan otaknya!”

“Peduli amat! Aku tidak perlu lagi dengan anak itu!” jawab subonya. Adapun Toat-beng Hui-houw setelah mendengar janji yang dikeluarkan oleh Kiu-bwe Coa-li, menjadi girang dan segera melepaskan Sui Ceng. Kemudian dia melompat dan mengepit tubuh Kwan Cu, pergi dari situ sambil berkata,

“Selamat tinggal, Kiu-bwe Coa-li!”

“Siluman jahat, lepaskan Kwan Cu!” Sui Ceng membentak dan hendak mengejar.

“Sui Ceng, jangan kejar dia!” Gurunya mencegah.

“Suthai, dia hendak membunuh Kwan Cu! Dan dialah pembunuh ibuku! Bagaimana teecu harus diam saja??” Kembali Sui Ceng menggerakkan kadua kakinya hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba gurunya memegang pundaknya sehingga dia tidak dapat bergerak lagi.

“Tidak, Sui Ceng. Aku sudah memberi janjiku tidak akan mengganggunya. Soal pembalasan dendam, mudah saja. Lain kali kalau kita bertemu dengan dia, pasti dia takkan ku beri ampun lagi. Kali ini aku terpaksa melepaskannya, karena kalau tidak, kau tadi tentu dibunuhnya.”

Sui Ceng memandang ke arah bayangan Toat-beng Hui-houw yang membawa Kwan Cu dan air matanya membanjir keluar.

“Kwan Cu…..! Kwan Cu…….!” Ia menjerit-jerit dengan hati perih.



Kwan Cu yang dikempit oleh Toat-beng Hui-houw dan dibawa lari cepat, merasa mendongkol sekali kepada Kiu-bwe Coa-li.

“Kiu-bwe Coa-li benar-benar orang bong-im-pwe-gi (orang tak kenal budi). Biarpun ia mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, mana bisa ia membacanya? Dan orang macam Toat-beng Hui-houw ini dengan kepandaiannya yang rendah dan sifatnya yang pengecut, mana bisa dia menjagoi di dunia kang-ouw?”

Mendengar kata-kata ini, Toat-beng Hui-houw melepaskan kempitannya dan menurunkan Kwan Cu di atas tanah.

“Kau bicara apa tadi?” tanyanya.

“Aku bicara sendiri, apa hubungannya dengan kau?”

“Aku hendak makan otakmu, akan tetapi kalau otakmu miring, jangan-jangan aku ikut menjadi gila. Kau bicara seorang diri, kalau tidak miring otakmu, apa lagi? Kau sebut-sebut Im-yang Bu-tek Cin-keng, kau tahu apakah tentang kitab itu?”

“Toat-beng Hui-houw, kau mengimpi! Kiu-bwe Coa-li membawaku, ada perlu apakah kalau tidak menghendaki kitab itu? Hanya aku seorang yang akan bisa mendapatakan kitab itu. Sayang kitab itu akan terjatuh ke dalam tangan orang yang tidak pandai membacanya, karena mendiang Gui-siucai hanya mengajarkan tulisan itu kepadaku seorang,” Kwan Cu dengan cerdik menggunakan akal untuk menarik perhatian orang menyeramkan ini.

“Apa maksudmu? Apakah benar-benar di dunia ini terdapat kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng?”

“Tentu saja ada! Lima tokoh besar dunia sedang memperebutkan kitab itu dan siapa saja yang mendapatkannya dan dapat membacanya, tentu akan memiliki kepandaian yang tak terlawan oleh siapapun juga di dunia ini. Akan tetapi kau, yang mempunyai kesukaan makan otak dan darah, perlu apa bertanya-tanya? Mau bunuh padaku, lekas bunuh, agar aku tidak dipaksa-paksa oleh para tokoh kang-ouw untuk mencarikan kitab itu dan untuk menterjemahkannya!”

“Benarkah kau bisa mencarikan kitab itu, bocah gundul? Di mana adanya kitab itu?”

“Mau apa kau bertanya-tanya?”

“Setan cilik! Kalau kau bisa mendapatkan kitab itu untukku, aku mau menukar dengan kepalamu!”

“Sukar, sukar……! Untuk mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, hanya ada satu petunjuk yang terdapat di dalam kitab sejarah peninggalan Gui Tin siucai.”

“Dimana adanya kitab sejarah itu? “Toat-beng Hui-houw mendesak dan Kwan Cu girang sekali melihat umpannya nulai berhasil.

“Kitab itu telah dicuri oleh Ang-bin Sin-kai!”

Terbelalak mata Toat-beng Hui-houw mendengar ini.

“Sukar kalau begitu!” ia menggeleng-gelengkan kepalanya yang botak lalu memandang ke arah Kwan Cu yang gundul kelimis, agaknya mulai tertarik lagi oleh otak di dalam kepala gundul itu. Kwan Cu cepat berkata, “Apa sukarnya! Memang, kepandaian Kiu-bwe Coa-li amat tinggi dan seandainya kitab itu berada di tangannya, akan sukarlah bagimu merampasnya. Akan tetapi Ang-bin Sin-kai…..? Kakek yang berpenyakitan itu? Ah, menghadapi Kiu-bwe Coa-li saja dia kalah jauh dan tidak dapat menahan serangan nenek itu lebih dari sepuluh jurus!”

“Apa katamu? Ang-bin Sin-kai terkenal dengan kepandaiannya yang amat tinggi!”

“Toat-beng Hui-houw, kalau tidak percaya sudahlah. Aku tidak mau banyak bicara lagi.”

Toat-beng Hui-houw mulai tertarik lagi melihat sikap Kwan Cu.

“Bocah gundul, betul-betulkah kata-katamu itu?”



“Siapa membohong? Ang-bin Sin-kai mendapatkan kitab itu atas bantuanku. Kemudian dia dan aku bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li dan aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa dia melarikan diri setelah dihajar oleh cambuk Kiu-bwe Coa-li. Kini dia lari dan dikejar-kejar oleh Kiu-bwe Coa-li, dan hanya aku yang tahu di mana Ang-bin Sin-kai dengan kitab sejarah yang dibawanya itu?”

“Di mana?”

“Di kota raja!”

Toat-beng Hui-houw berpikir-pikir sejenak. Apa salahnya kalau dia pun mencoba-coba mendapatkan kitab itu untuk kemudian mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng! Sudah lama dia mendengar tentang kitab pelajaran yang tiada bandingannya di dunia ini dan kalau benar-benar dia bisa mendapatkan kitab itu atas bantuan anak gundul ini, bukankah dia akan menjagoi di seluruh permukaan bumi? Ia takkan perlu takut lagi menghadapi Kiu-bwe Coa-li dan tokoh-tokoh lain. Adapun anak ini…… andaikata membohong, masih belum terlambat baginya untuk memecahkan batok kepalanya dan makan otaknya. Dan apa salahnya kalau kelak setelah dia bisa mendapatkan Im-yang Bu-tek Cin-keng atas bantuan anak ini, dia makan juga otaknya?

“Kalau begitu, mari kita menyusul ke kota raja,” katanya kemudian.

“Apa kau tidak mau makan otakku lagi?” tanya Kwan Cu berani.

“Tidak, otakmu perlu kupergunakan untuk mencari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Akan tetapi awas kalau tidak berhasil mendapatkan kitab itu, tidak hanya otakmu yang kumakan, juga darahmu kuminum habis-habis!”

Kwan Cu mengangkat pundak, acuh tak acuh. “Apa bedanya? Kalau aku mati, otakku akan dimakan cacing dan darahku diminum semut! Lebih baik kalau kalau dimakan dan diminum oleh seorang manusia seperti kau sekalipun!”

Akan tetapi Toat-beng Hui-houw tidak mau banyak cakap lagi dan setelah membebaskan Kwan Cu dari totokannya, dia lalu menggandeng tangan anak ini dan diajaknya berlari cepat sekali menuju ke kota raja.

“Kita harus mendahului Kiu-bwe Coa-li ke kota raja dan merampas kitab sejarah dari tangan Ang-bin Sin-kai!” Kwan Cu berkata berkata dan ucapan ini membuat Toat-beng Hui-houw membawanya berlari seperti di kejar setan cepatnya.

Ang-bin Sin-kai sudah mulai tidak sabar dan gelisah sekali memikirkan keadaan Kwan Cu, karena selama dia berada di kota raja, belum juga kelihatan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu datang. Juga belum kelihatan bayangan Kiu-bwe Coa-li. Telah beberapa hari dia berada di kota raja, tiga kali dia masuk ke dalam dapur istana menikmati masakan-masakan yang langka terdapat di luar istana. Bahkan dia pernah mendatangi gedung Lu Pin adiknya secara diam-diam untuk melihat apakah Jeng-kin-jiu sudah kembali ke kota raja. Dari gedung adiknya dia pergi ke rumah Lu Seng Hok ayah Lu Thong, akan tetapi juga di situ sunyi tidak kelihatan Jeng-kin-jiu atau Lu Thong.

Ia sudah mulai bosan menanti dan pada malam ke empat, kembali dia memasuki dapur istana dan mabuk-mabukan seorang diri di dalam dapur itu. Tiba-tiba dia mendengar suara genteng dibuka orang dan tahu-tahu berkelebat bayangan seorang kakek yang melayang turun dengan seorang anak laki-laki gundul. Anak itu bukan lain adalah Kwan Cu dan kakek itu adalah Toat-beng Hui-houw.

“Ang-bin Sin-kai, lekas kau serahkan kitab sejarah peninggalan Gui-siucai kepadaku!” Toat-beng Hui-houw membentak. Kakek berkuku panjang ini masih belum percaya betul kepada Kwan Cu dan ketika dia merhadapan dengan Ang-bin Sin-kai, dia masih memegang pergelangan tangan Kwan Cu. Kalau anak ini ternyata membohong, dia akan membunuhnya terlebih dulu. Kwan Cu juga maklum akan hal ini, maka dia memandang kepada Ang-bin Sin-kai dengan muka khawatir sambil memutar otaknya.

“Kitab sejarah yang mana?” Ang-bin Sin-kai menjawab sambil mengerutkan keningnya. “Toat-beng Hui-houw, apakah kau sudah gila? Kau membunuh anak-anak murid Kim-san-pai dan Thian-san-pai sehingga menyusahkan kepadaku, sekarang kau datang menuduh yang bukan-bukan lagi! Benar-benar kau sudah miring otakmu!”

Mendengar jawaban ini, Toat-beng Hui-houw sudah menekan lebih keras pergelangan tangan Kwan Cu, membuat anak itu kesakitan sekali dan hampir memekik. Akan tetapi Kwan Cu menahan rasa sakit, lalu menudingkan jari telunjuknya kepada Ang-bin Sin-kai.

“Ang-bin Sin-kai, kau orang tua benar-benar licik sekali! Bukankah kitab itu dahulu kau bawa-bawa selalu? Mengapa sekarang tidak mengaku??” selagi Ang-bin Sin-kai memandang terheran-heran, Kwan Cu berkata kepada Toat-beng Hui-houw,

“Locianpwe, mengapa kau begitu bodoh dan mau percaya omongannya? Dia membohongimu! Lihat saja, mukanya sudah berubah merah sekali, tanda dia membohong. Aku percaya bahwa kitab itu tentu berada di dalam saku bajunya. Lekas serang dia dan rampas kitab itu!”

Toat-beng Hui-houw ragu-ragu dan memang otaknya agak bodoh maka dia mau percaya omongan anak ini. Ia melepaskan cekalannya pada pergelangan tangan Kwan Cu dan memandang kepada Ang-bin Sin-kai dengan mata terbelalak. Sebaliknya, Ang-bin Sin-kai adalah orang yang cerdik dan sekelebatan saja dia dapat melihat betapa pergelangan tangan Kwan Cu yang dipegang oleh Toat-beng Hui-houw tadi menjadi matang biru, maka dia lalu tertawa bergelak sambil berkata,

“Toat-beng Hui-houw, kalau kau goblok, adalah anak gundul itu pintar sekali tidak kena ditipu. Misalnya benar kitab itu berada di tanganku, habis kau mau apa?”



“Berikan kepadaku!” Toat-beng Hui-houw membentak lalu serentak menubruk maju sambil mengulur sepasang tangannya yang berkuku panjang seperti cakar harimau. Ang-bin Sin-kai mengelak cepat sambil tertawa-tawa.

Kini Kwan Cu cepat melompat ke pinggir dan berubahlah air mukanya, kini gembira sekali.

“Suhu, pukul batang hidungnya! Kemplang kepala botaknya! Siluman ini tadinya hendak makan otak teecu, hingga terpaksa teecu membawanya ke sini kepada Suhu!”

Dengan keterangan ini, makin jelaslah bagi Ang-bin Sin-kai bahwa entah bagaimana, muridnya itu terjatuh ke tangan Toat-beng Hui-houw dan dengan menggunakan akal, Kwan Cu dapat memancing siluman ini untuk mencari dia dengan alasan hendak merampas kitab sejarah yang dapat menunjukkan tempat Im-yang Bu-tek Cin-keng. Mengingat akan hal ini, makin besarlah suara ketawa Ang-bin Sin-kai.

Adapun Toat-beng Hui-houw mendengar Kwan Cu menyebut Suhu kepada Ang-bin Sin-kai, sadar bahwa dia telah ditipu oleh bocah gundul itu, akan tetapi sekarang dia tidak mempunyai kesempatan lagi untuk menyerang Kwan Cu, karena Ang-bin Sin-kai juga membalas serangan-serangannya dan mendesaknya dengan hebat. Segera Toat-beng Hui-houw mengeluh di dalam hatinya ketika beberapa kali dia menyerang, selalu dapat dielakkan oleh Ang-bin Sin-kai dengan amat cepatnya, bahkan kakek pengemis itu melayaninya sambil tertawa-tawa dan bahkan berani menangkis tangannya yang berkuku panjang dan yang mengandung racun! “Ang-bin Sin-kai, kau tua bangka busuk bersama muridmu anjing kecil gundul itu hari ini harus mampus dalam tanganku!” bentaknya dan Toat-beng Hui-houw lalu menerkam sambil menggunakan ilmu silatnya yang paling dia andalkan, yaitu Ilmu Silat Hui-houw-lo-lim (Macan Terbang Mengacau Hutan). Sepuluh kuku jari tanganya tiba-tiba mulur panjang dan runcing, dan gerakkannya tiada bedanya dengan seekor harimau yang ganas sekali. Tidak hanya kedua tangannya yang bergerak mencakar-cakar seperti harimau, juga kedua kakinya yang telanjang itu menendang-nendang seperti kaki harimau mencakar! Dari tenggorokan keluar suara gerengan-gerengan yang menggetarkan tiang-tiang dapur istana itu, bahkan Kwan Cu yang berdiri di pinggir berdebar jantungnya mendengar suara yang mirip suara harimau besar ini. “Toat-beng Hui-houw seekor harimau pun tidak sebodoh dan seganas kau tua bangka tak tahu malu!” Ang-bin Sin-kai balas memaki akan tetapi dia segera menghadapi serangan-serangan yang luar biasa ganasnya. Ang-bin Sin-kai memang belum pernah bertempur melawan kakek berkuku panjang ini sungguhpun kedua orang kakek ini sudah pernah bertemu, namun baru kali ini mereka mendapat kesempatan mengadu kepandaian dan mengukur tenaga masing-masing! Kwan Cu menonton pertempuran itu dengan hati gembira. Ia berdiri bertolak pinggang dan berkata, “Suhu, pukul kepalanya yang botak! Dia telah membunuh Thio-toanio secara keji! Dia benar-benar siluman jahat menjelma manusia!” Mendengar suara Kwan Cu, bukan main mendongkol dan marahnya hati Toat-beng Hui-houw. Ia telah dipermainkan, ditipu dan diejek oleh bocah gundul ini. Kalau saja dia bisa merobohkan Ang-bin Sin-kai dia tentu akan menangkap bocah gundul itu dan akan mencarinya jalan yang paling mengerikan untuk membikin mampus setan gundul! Maka dia lalu mengeluakan serangan yang luar biasa cepat dan hebatnya. Kedua tangannya yang berkuku panjang itu menyerang bergantian secara bertubi-tubi seperti ilmu tendangan Lian-hoan-twi. Dari sepuluh kuku jarinya itu tersebar bau yang amat amis memuakkan, menyambar ke arah muka Ang-bin Sin-kai. Namun Ang-bin Sin-kai yang kini sudah dapat mengukur inti kepandaiannya dari lawannya, hanya tersenyum-senyum dan seperti seorang anak kecil, dia menjatuhkan diri ke belakang lalu berpoksai (membuat salto berjungkir-balik), menggelundung ke belakang seperti bal ditendang. Inilah gerakan yang di sebut Trenggiling Turun Gunung, yang gerakannya demikian cepat dan wajar sehingga Kwan Cu menjadi kagum sekali. Dengan gerakan seperti ini, serangan yang bagaimana hebat pun dapat dielakkan dengan mudahnya. Beberapa jurus lamanya Toat-beng Hui-houw mengejar dan menyerang terus, akan tetapi tiba-tiba Ang-bin Sin-kai tidak merasa lagi ada sambaran angin serangan lawan. Ketika kakek ini melompat berdiri, dia terkejut sekali melihat kini Toat-beng Hui-houw melakukan pukulan maut! “Manusia curang!” Kwan Cu membentak. Ia mainkan Ilmu Silat Pai-bun-tui-pek-to untuk mengelak, akan tetapi tetap saja dia terdesak hebat sekali sungguhpun dalam beberapa jurus dia berhasil menghindarkan diri dari serangan lawan yang ganas itu. “Tua bangka tak tahu diri!” Ang-bin Sin-kai memaki dan menggerakkan kedua tangan memukul. Sambaran angin pukulannya hebat sekali dan sambaran ini dapat mematahkan dan menumbangkan batang-batang pohon dari jarak jauh. Toat-beng Hui-houw terkejut sekali bukan main ketika merasa pinggangnya sakit, maka cepat dia membalikan tubuhnya dan mengerahkan lweekang untuk melawan pukulan Ang-bin Sin-kai yang lihai. Kemudian dia menerkam dan kuku-kukunya mencengkeram hendak mencekik leher kakek pengemis itu. Namun Ang-bin Sin-kai kini sudah menjadi marah sekali. Ia mengibaskan kedua tangannya ke arah kuku lawan dan terdengar suara “kraaak!” maka patah-patahlah semua kuku di ujung tangan Toat-beng Hui-houw dan tubuh kakek ini sendiri terpental, membentur tembok dan roboh pingsan!



Ang-bin Sin-kai memandang kepada Kwan Cu. “Kau mau membalas dendam keamtian Pek-cilan? Nah, sekarang mudah bagimu untuk melakukan hal itu.” Kwan Cu menengok dan memandang kapada Toat-beng Hui-houw yang masih menggeletak pingsan di atas lantai. Memang mudah sekali baginya dengan sekali pukul atau sekali tendang saja dia dapat membunuh Toat-beng Hui-houw, membalaskan sakit hati Pek-cilan Thio Loan Eng. Dengan hati gemas Kwan Cu melangkah maju mendekati tubuh Toat-beng Hui-houw yang menggeletak di situ. Ia memegang leher baju kakek itu dan menyeretnya ke arah meja, kemudian dia menarik tubuh Toat-beng Hui-houw, didudukkan di atas bangku menyandar tembok menghadapi meja. Toat-beng Hui-houw yang masih pingsan itu tidak berdaya dan kini dia terduduk bersandar tembok seperti orang tidur. Kwan Cu mengambil semangkok besar masakan dan dengan gemas sekali dia memasang mangkok itu di atas kepala botak Toat-beng Hui-houw seperti topi! Masakan yang kuahnya kuning itu mengalir turun ke atas muka kakek ini sehingga kelihatan lucu sekali. “Tidak, Suhu. Teecu tidak dapat membunuh orang yang sudah tidak berdaya seperti ini,” kata Kwan Cu sambil meninggalkan musuh besar itu. Diam-diam Ang-bin Sin-kai menjadi girang sekali mendengar ucapan muridnya ini, karena tadi dia memang hanya mencoba saja untuk menguji sifat kegagahan muridnya. “Kalau begitu, hayo kita pergi dari sini. Mungkin Jeng-kin-jiu sekarang sudah pulang.” Setelah berkata demikian, Ang-bin Sin-kai melompat keluar melalui genteng yang tadi di buka oleh Toat-beng Hui-houw diikuti oleh Kwan Cu yang merasa girang dapat berkumpul kembali dengan suhunya. Pukulan dari Ang-bin Sin-kai tadi benar-benar hebat dan Toat-beng Hui-houw selain menderita patah semua kukunya yang diandalkan, juga menjadi pingsan sampai satu malam! Hawa pukulan itu demikian kerasnya sehingga melumpuhkan semua urat-urat dalam tubuhnya. Ketika keesokan harinya pegawai dapur istana membuka pintu, dia menjerit dan berlari keluar kembali ketika melihat seorang kakek yang aneh sekali duduk di atas bangku menghadapi pintu! “Tolong…..toloooong…..ada siluman!” teriaknya sambil berlari-lari. Seorang penjaga yang mendengar ini ikut berteriak-teriak sehingga sebentar saja keadaan menjadi geger. Di antara para penjaga yang kini berkumpul, ada juga yang berhati tabah, setelah mendengar penuturan pegawai dapur bahwa di dalam dapur terdapat seorang siluman tengah duduk menghadapi meja dan makan minum, dia lalu membuka pintu dapur dan sambil memegang goloknya dia melangkah masuk. Kawan-kawannya menjenguk dari pintu dan tidak berani ikut masuk. Ketika penjaga yang tabah ini melihat kedalam dapur, dia terkejut sekali dan meremanglah bulu tengkuknya. Memang menyeramkan sekali mahluk yang kelihatan duduk menghadapi meja itu. Seorang kakek botak yang berwajah menyeramkan dan bersikap aneh sekali, bertopi mangkok dan mukanya penuh benda cair berwarna kuning, membuat muka itu nampak makin mengerikan. “Siluman dari manakah berani mengacau di dapur istana?” Penjaga ini membentak sambil melangkah maju, siap dengan goloknya di depan dada. Akan tetapi pada saat itu, Toat-beng Hui-houw baru saja siuman kembali dari pingsannya dan kepalanya masih terasa pening. Ia membuka matanya, akan tetapi merasa malas untuk bergerak. Ia mengejap-ngejapkan matanya karena masih mengingat-ingat akan peristiwa semalam. Munculnya penjaga di depan pintu dan teguran penjaga yang memegang golok di depannya itu mengingatkan Toat-beng Hui-houw akan semua pengalamannya dan ingat kembalilah dia bahwa dia masih berada di dalam dapur istana. Ia merasa heran sekali mengapa Ang-bin Sin-kai atau bocah gundul itu tidak membinasakannya, padahal dia telah pingsan tidak berdaya!



Sementara itu, ketika penjaga yang memegang golok tadi telah datang dekat dan melihat bahwa “siluman” itu sesungguhnya seorang kakek botak dan bahwa keseraman mukanya diakibatkan oleh kuah masakan yang mengalir turun dari mangkok yang dijadikan topi, agak lenyap rasa takutnya. Ia menyangka bahwa kakek ini tentulah seorang yang miring otaknya, kalau tidak bagaimana dia memakai mangkok yang penuh masakan sebagai topi? “Bangsat tua, darimana kau berani sekali mengacau di sini? Hayo lekas berlutut dan menyerah, kalau tidak golokku akan makan kepalamu!” bentak penjaga itu. Namun Toat-beng Hui-houw masih termenung saja, seakan-akan tidak mendengar seruan penjaga ini. Adapun para penjaga lain ketika mendengar kawannya memaki-maki “siluman” itu, menjadi besar hati dan mulailah mereka memasuki dapur. Melihat kawan-kawannya ikut masuk, penjaga tadi makin tabah hatinya dan kini membentak keras, “Lihat kupenggal kepala siluman ini!” Sambil berkata demikian, benar-benar dia mengayunkan goloknya yang tajam itu, membacok kepala Toat-beng Hui-houw! Akan tetapi, alangkah terkejutnya, juga para penjaga yang sudah memasuki dapur melihat keajaiban yang mengejutkan. Ketika golok itu menyambar kepala botak yang kelimis, terdengar suara “tak!” seperti golok menyambar batu dan dan bukan kepala botak itu yang terbelah, melainkan gagang golok itu terpental dan terlepas dari pegangan penjaga yang tadi membacoknya karena penjaga itu merasa tangannya sakit! Kejadian aneh ini disusul oleh suara kakek itu tertawa bergelak menyeramkan sekali, kemudian ketika kakek itu berdiri, meja yang berada di depannya tiba-tiba terbang melayang ke arah para penjaga yang berkerumun di depan pintu! Tentu para penjaga menjadi kaget dan ketakutan. Mereka cepat bergerak mengelak atau menangkis meja yang tiba-tiba hidup dan menyambar kepala mereka itu. Ketika akhirnya meja itu dapat dilemparkan ke pinggir dan mereka memandang, ternyata bahwa kakek botak itu telah lenyap dari dapur itu!

“Celaka, benar-benar siluman…..!” kata mereka. Sayang sekali pada hari sepagi itu, kepala penjaga Song Cin masih belum hadir sehingga tidak dapat menyaksikan peristiwa ini. Sesungguhnya, hanya Song Cin seorang yang kiranya akan dapat menghadapi siluman itu. Ketika Song Cin diberi tahu, perwira ini mengerutkan kening dan menggeleng-gelengkan kepala. Ia juga merasa bingung, karena dia tahu bahwa tidak mungkin kakek yang disangka siluman oleh anak buahnya itu Ang-bin Sin-kai adanya. Siapakah kakek yang aneh ini? Pertanyaan ini selamanya hanya akan tetap tinggal sebagai teka-teki yang tak pernah terjawab olehnya.

Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu baru saja datang dari perantauannya bersama muridnya, Lu Thong. Ayah Lu Thong, yakni Lu Seng Hok dan isterinya, girang sekali melihat putra mereka kembali dengan selamat. Sebenarnya, Lu Seng Hok dan isterinya tidak suka melihat putra mereka diajak merantau oleh hwesio itu, karena tentu saja mereka merasa khawatir kalau-kalau putra tunggal mereka itu takkan pulang kembali. Dengan sikap hormat dan tidak memperlihatkan ketidaksenangan hatinya, Lu Seng Hok berkata kepada Jeng-kin-jiu yang tengah makan minum dengan gembira. “Twa-suhu, kami harap sukalah kiranya Twa-suhu melatih ilmu silat kepada Thong-ji di sini saja dan tidak membawanya ke luar kota, karena kami selalu merasa gelisah dan khawatir. Segala keperluan untuk latihan itu, Twa-suhu katakan saja dan kami akan sediakan semua.” Mendengar ini, Kak Thong Taisu tertawa bergelak, lalu minum araknya dari cawan besar sebelum dia menjawab. “Lu-taijin tidak tahu bahwa ilmu silat baru bisa sempurna kalau latihan-latihan itu disertai pengalaman pertempuran. Apa gunanya memiliki ilmu silat tanpa ada pengalaman-pengalaman pertempuran menghadapi orang-orang pandai? Ilmu silat itu akan mentah, tidak berisi.” “Betapapun juga, Twa-suhu, kami berdua lebih-lebih ibu anak itu merasa amat gelisah dan rindu kalau terlalu lama Twa-suhu dan Thong-ji tidak pulang.” Lu Thong yang hadir pula disitu, lalu berdiri dari bangkunya dan mengerutkan kening sambil berkata manja, “Ayah…. mengapa ayah melarangku pergi dengan Suhu! Kalau Suhu pergi merantau, aku harus ikut serta! Ayah tidak tahu betapa senangnya merantau di luar, di dunia bebas, tidak seperti di sini terkurung dan sempit sekali!” “Ha-ha-ha!” Jeng-kin-jiu tertawa bergelak, “Memang enak menjadi seperti burung di udara daripada terkurung dalam sangkar emas!” “Thong-ji!” Lu Seng Hok membentak anaknya. “Apakah kau sudah tak mau menurut omongan ayahmu lagi? Untuk mencapai kedudukan tinggi tidak hanya belajar silat, akan tetapi kau harus belajar ilmu surat dengan baik!” Dengan uring-uringan ayah ini lalu meninggalkan ruangan itu setelah memberi hormat kepada Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu yang hanya tertawa saja. Setelah Lu Seng Hok pergi, Jeng-kin-jiu berkata dengan suara bersunguh-sungguh kepada muridnya, “Lu Thong, ucapan ayahmu tadi ada benarnya. Lihatlah aku ini, selamanya menjadi seorang perantau yang tidak mempunyai rumah tangga yang baik. Bahkan menjadi hwesio pun tidak mempunyai kelenteng untuk tempat tinggal. Kau keturunan orang besar dan kalau kelak tidak menduduki pangkat tinggi, tentu akan mengecewakan hati leluhurmu.” “Akan tetapi teecu lebih senang belajar ilmu silat daripada ilmu surat, Suhu. Teecu ingin mempunyai kepandaian silat yang paling tinggi!” bantah Lu Thong. Jeng-kin-jiu tertawa. “Enak saja kau bicara. Kaukira belajar ilmu silat itu ada batas tingginya sampai mencapai tingkat tertinggi? Tak mungkin. Gunung Thai-san yang begitu tinggi masih ada langit di atasnya, apalagi kepandaian orang. Kecuali kalau kau bisa mempelajari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng….” Lu Thong tertarik sekali, akan tetapi sebelum dia mengajukan pertanyaan, tiba-tiba terdengar bentakan halus, “Tua bangka gundul, lekas kau serahkan kitab sejarah peninggalan Gui-siucai kepadaku!” Bentakan ini disusul melayangnya tubuh Kiu-bwe Coa-li bersama Sui Ceng yang memasuki ruangan itu. Sikap Kiu-bwe Coa-li mengancam sekali, di tangannya telah siap cambuknya yang lihai sehingga Jeng-kin-jiu menjadi terkejut dan tidak berani berlaku sembrono. Ia melompat bangun sambil menyambar toyanya yang tadi disandarkan di tembok dekat tempat duduknya. “Kiu-bwe Coa-li, kau setan betina dari selatan! Kau datang-datang bicara mengacau tidak karuan, apakah aku kelihatan seperti seekor cacing buku maka kau bilang aku menyimpan kitab sejarah? Lebih baik simpan cambukmu yang menjijikkan itu dan mari kita minum arak wangi!” “Gundul busuk! Siapa sudi minum arakmu yang masam? Tak usah berpura-pura suci dan pinni tidak ada banyak waktu untuk mengobrol. Kau telah mencuri kitab sejarah peninggalan Gui Tin di dalam guanya di lereng Liang-san. Sekarang lebih baik lekas kau serahkan kitab itu kepada pinni kalau kau tidak ingin kepalamu yang gundul itu retak-retak oleh cambukku!” Naik ke ubun-ubun darah Jeng-kin-jiu mendengar ucapan ini saking marahnya. Sepasang matanya yang bundar itu melotot hampir keluar dari ruangnya. Hidung dan bibrinya gerak-gerak seperti bibir kuda mencium asap. “Kau……kau….. benar-benar kurang ajar sekali, Kiu-bwe Coa-li! Kau tidak ingat bahwa kita sama-sama dari selatan? Apa kau mau merendahkan jago-jago selatan?” “Tutup mulutmu dan serahkan kitab itu!” kata Kiu-bwe Coa-li yang memang wataknya keras luar biasa.



“Ayaaa….” Jeng-kin-jiu menggeleng kepalanya yang bundar, “kau benar-benar telah kemasukan iblis-iblis dari laut selatan! Pinceng tidak membawa kitab itu, juga andaikata ada, tak mungkin kuserahkan kepadamu!” Pada saat itu, Lu Thong yang sejak tadi memandang kepada Kiu-bwe Coa-li dengan mata terbelalak dan perasaan mendongkol berkata, “Suhu, inikah Kiu-bwe Coa-li yang seringklai Suhu sohorkan? Kalau hanya seperti ini, mengapa banyak tanya-tanya lagi, Suhu? Orang sombong biasanya rendah kepandaiannya!” Sui Ceng marah sekali dan melompat ke depan Lu Thong lalu menampar pipi Lu thong. Karena pakaian Lu Thong seperti anak bangsawan dan terpelajar, maka Sui Ceng mengira bahwa anak ini tidak pandai ilmu silat, akan tetapi siapa kira bahwa sekali menggerakkan kepalanya saja, Lu Thong telah dapat mengelak dari serangannya! “Bangsat mewah, kau patut diberi hajaran!” Setelah berkata demikian, Sui Ceng melompat dan menerjang Lu Thong yang segera menyambutnya gembira. Memang Lu Thong amat suka menghadapi lawan tangguh kini bertempur melawan murid Kiu-bwe Coa-li, sungguh merupakan ujian yang baik sekali baginya. Jeng-kin-jiu memandang kepada dua orang anak yang sudah bertanding itu lalu tertawa bergelak-gelak.

“Kiu-bwe Coa-li, kau tunggu apa lagi? Lekaslah turun tangan atau lekas minggat saja dari sini!” sambil berkata demikian, toyanya digerakkan dan meja bangku yang membuat ruangan itu menjadi sempit, beterbangan ke kanan kiri. Baru sambaran angin toyanya saja sudah dapat membuat meja bangku terlempar jauh, dapat diduga betapa besarnya tenaga gwakang hwesio gendut ini. “Jeng-kin-jiu, mampuslah kau hari ini!” Kiubwe Coa-li menggerakkan cambuknya dan sembilan helai bulu cambuk itu memenuhi ruangan dan menyambar ke arah Jeng-kin-jiu dari segala jurusan! Kakek gundul ini melompat menjauhi lawannya karena dia anggap tidak baik bertempur di dekat tempat dua orang anak itu bertanding. Maka pertempuran terpecah di dua tempat dan begitu Jeng-kin-jiu memutar toyanya, angin dingin menyambar-nyambar dan selalu dapat menahan datangnya ujung cambuk yang sembilan ekornya itu. Namun sebaliknya, toyanya juga tidak diberi kesempatan menyerang, karena gerakan sembilan ekor cambuk itu benar-benar cepat sekali dan datang secara bertubi-tubi. Adapun Lu Thong yang bertanding dengan Sui Ceng, merasa kagum sekali. Sui Ceng memang anak yang memiliki kelincahan dan kecepatan gerakan tubuh dari pembawaanya, kemudian dilatih oleh Kiu-bwe Coa-li, maka luar biasa sekalilah ginkang dari anak perempuan ini. Tubuhnya berkelebatan menyambar-nyambar laksana seekor tawon yang licah sekali. Namun Lu Thong juga memiliki kepandaian yang cukup tingi. Biarpun matanya agak kabur karena kecapatan gerakan Sui Ceng, namun dia selalu dapat mengelak atau menangkis serangan gadis cilik itu. Tadi ketika melihat Sui Ceng dan mendengar gadis cilik ini bicara, daim-diam Lu Thong merasa kagum dan sayang. Hatinya yang sudah mulai dewasa itu tertarik oleh Sui Ceng bagaikan sebatang jarum tertarik oleh besi sembrani. Ia menganggap Sui Ceng demikian lincah, lucu dan manis, apalagi setelah kini dia menyaksikan kelihaian Sui Ceng, benar-benar Lu Thong suka sekali pada gadis ini. Oleh karena itu, dia tidak mau membalas serangan Sui Ceng dengan hebat dan hanya menangkis dan membalas sekedar untuk menjaga jangan sampai dia terdesak hebat saja. Karena sesungguhnya, biarpun kepandaian mereka seimbang atau bahkan boleh dibilang Sui Ceng menang cepat, namun tenaga Lu Thong besar dan kini pemuda cilik ini telah pandai sekali mainkan Ilmu Silat Kong-jiu-toat-beng (Dengan Tangan Kosong Mencabut Nyawa), ilmu silat yang diwarisi dari Ang-bin Sin-kai melalui gurunya sebagaimana telah dituturkan di bagian depan dari cerita ini. Oleh karena itu, pertempuran antara Sui Ceng dan Lu Thong juga ramai sekali dan seimbang. Seperti juga pertempuran antara Kiu-bwe Coa-li dan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, sukar dikatakan siapa yang akan menang dua orang murid ini. Orang-orang gedung mulai geger setelah mereka mengetahui bahwa di ruangan itu terjadi pertempuran hebat sekali. Para penjaga datang, akan tetapi Lu Thong membentak mereka supaya jangan ikut campur. Pula, bagaimana para penjaga itu berani campur tangan kalau gerakan toya dan cambuk itu anginnya saja cukup kuat untuk membuat mereka terdorong mundur? Juga Lu Seng Hok berdiri menonton dengan hati gelisah. Sambil menggerakkan toyanya yang hebat, Kak Thong Taisu berkali-kali memaki dan mentertawakan Kiu-bwe Coa-li yang di anggapnya sebagai seorang kemasukkan iblis, yang menuduh orang sesuka hatinya dan lain-lain. Kalau semua orang yang menyaksikan pertempuran ini merasa gelisah, ada dua orang lain yang berada di atas genteng dan menyaksikan pertempuran itu dengan hati geli. Mereka ini adalah Ang-bin Sin-kai dan Kwan Cu! “Tua bangka-tua bangka di bawah itu sudah gila semua. Ha, ha, ha, mereka memperebutkan sumur tak berair! Tak salah dugaanku, tentu yang mencuri kitab sejarah itu adalah Hek-i Hui-mo. Pantas saja larinya dahulu itu cepat bukan main,” kata Ang-bin Sin-kai. “Akan tetapi, Suhu. Bukankah Hek-i Hui-mo tidak pernah membawa-bawa muridnya dan sepanjang pengetahuan kita, dia tidak mempunyai murid?” “Siapa tahu. Aku pun tadinya tak pernah berpikir punya murid sebelum bertemu dengan kau. Sudahlah, hayo kita pergi menyusul Hek-i Hui-mo!”



Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai melompat pergi dari situ, diikuti oleh Kwan Cu. Akan tetapi, Kwan Cu adalah seorang anak yang memiliki pribudi tinggi. Melihat betapa Kiu-bwe Coa-li bertempur mati-matian melawan Jeng-kin-jiu untuk memperebutkan sesuatu yang kosong, dia merasa tidak tega. Terutama sekali terhadap Jeng-kin-jiu, hwesio gendut yang telah memberi nama kepadanya itu. Lebih-lebih lagi karena dia pun melihat betapa Sui Ceng ikut bertempur hebat melawan Lu Thong. Maka sebelum dia melompat untuk menyusul suhunya dia berani bernyanyi denga suara keras karena dia mengerahkan khikangnya:

“Anjing-anjing bodoh berebut tulang
tanpa ingat bahaya kehilangan nyawa.
Tak tahunya srigala belang
membawa lari tulang sambil tertawa”

Tadi ketika Ang-bin Sin-kai dan Kwan Cu berada di atas genteng, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu dan Kiu-bwe Coa-li tentu saja dapat mendengar, terutama sekali suara tindakan kaki Kwan Cu yang belum begitu tinggi ginkangnya seperti Ang-bin Sin-kai. Akan tetapi oleh karena kedua orang yang bertempur ini menghadapi lawan yang amat berat, mereka tak dapat dan tidak berani memecah perhatian yang berarti memperlemah pertahanan sendiri. Mereka hanya tahu bahwa di atas genteng terdapat orang-orang pandai yang mengintai dan menonton pertempuran mereka. Akan tetap ketika mendengar suara nyanyian Kwan Cu yang keras itu, mereka menjadi terkejut dan otomatis mereka menarik senjata masing-masing. “Sui Ceng, berhenti!” seru Kiu-bwe Coa-li kepada muridnya. Adapun Jeng-kin-jiu yang juga mendengar nyanyian itu, tertawa bergelak. “Ha-ha-ha! Si gundul Kwan Cu benar-benar tepat sekali memaki kita! Memang kita anjing-anjing bodoh berebut tulang. Eh, Kiu-bwe Coa-li, apakah kau masih belum insyaf bahwa kau telah memperebutkan sesuatu yang kosong dan yang telah dibawa lari oleh srigala belang seperti dinyanyikan Kwan Cu tadi?” “Jadi Kwan Cu bernyanyi tadi?” Sui Ceng berkata dan wajahnya tiba-tiba berubah girang bukan main. Cepat anak ini melompat keluar dan melayang ke atas genteng untuk melihat. “Bodoh, mereka telah pergi!” kata Kiu-bwe Coa-li. Hal ini memang benar, karena ketika Sui Ceng tiba di atas genteng, di atas sunyi tak nampak bayangan seorang manusia pun. Gadis cilik itu turun kembali dan melihat wajahnya nampak girang, Lu Thong manjadi iri hati dan cemburu. Ia tidak tahu bahwa Sui Ceng merasa girang bukan main mendengar suara Kwan Cu, karena itu hanya berarti bahwa Kean Cu telah berhasil menyelamatkan diri dari bahaya maut di tangan Toat-beng Hui-houw yang menyeramkan! Lu Thong mengira bahwa Sui Ceng suka kepada Kwan Cu, maka dia berkata, “Ah, pengemis kecil gundul itukah? Sayang, kalau dia tidak pergi, akan kuberi kesempatan untuk dia menebus kesalahannya dariku dahulu.” “Sombong! Orang macam kau akan mengalahkan dia?” bentak Sui Ceng, biarpun ia mengerti bahwa Lu Thong memang lebih pandai daripada Kwan Cu, namun ia tidak senang mendengar Kwan Cu dihina. Adapun Kiu-bwe Coa-li, setelah mendengar nyanyian Kwan Cu tadi, timbul keraguan dalam hatinya. Siapa tahu kalau ia telah ditipu oleh bocah gundul itu dan sengaja di adukan dengan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu? Maka ia lalu bertanya dengan suara bersungguh-sungguh. “Jeng-kin-jiu, benar-benarkah pinni telah salah sangka dan telah berlaku sembrono?” Hwesio itu melebarkan matanya dan tertawa. “Bukan hanya sembrono, malahan tadi kukira kau telah kemasukan iblis laut selatan! Pinceng bukan kutu buku, mana pinceng menyimpan kitab-kitab? Kalau kitab suci pelajaran Nabi Buddha, tentu saja dan kalau kau masih ingin memperdalam pengetahuanmu dalam pelajaran itu, boleh kau pinjam dari pinceng dengan cuma-cuma tanpa bayar!” Mendengar ini, Kiu-bwe Coa-li menjadi merah mukanya. “Kalau begitu, maafkan pinni, Jeng-kin-jiu. Memang benar pinni telah tertipu oleh anak setan itu. Sui Ceng, hayo kita pergi!” kata Kiu-bwe Coa-li kepada muridnya. Lu Thong buru-buru berkata Sui Ceng. “Nona yang baik, biarpun gurumu minta maaf kepada guruku, namun aku hendak minta maaf kepadamu bahwa tadi aku telah berani bertempur melawanmu, harap kau tidak berkecil hati dan kita dapat menjadi sahabat baik.” “Cih, tak tahu malu!” jawab Sui Ceng yang segera melompat menyusul gurunya yang sudah pergi lebih dulu. Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tertawa bergelak. “Lu Thong, kau suka kepada anak itu?” tanyanya. Tentu saja Lu Thong tidak berani menjawab dan mukanya menjadi merah karena malunya. Sementara itu, ayahnya datang menghampiri mereka dan bertanya dengan muka kurang senang.



“Siapakah mereka tadi dan mengapa kalian bertempur di sini?” matanya tajam memandang anaknya seperti hendak menyatakan betapa tidak baiknya hidup sebagai ahli silat yang biasanya hanya bertempur dan membunuh orang. “Ayah, mereka itu adalah orang-orang gagah. Nenek tadi adalah Kiu-bwe Coa-li yang sudah tersohor sebagai ahli silat selatan yang berilmu tinggi. Kalau bukan Suhu yang menghadapinya, orang lain tentu akan tewas dalam beberapa jurus saja diserang olehnya.” Lu Thong mengucapkan kata-kata ini dengan muka girang dan penuh kegembiraan, seakan-akan dia tadi bukan berkelahi mati-matian, melainkan menari dalam sebuah pesta dan bertemu dengan seorang anak perempuan yang manis. Lu Seng Hok ayahnya hanya menggeleng-gelengkan kepala saja dan menarik napas. Akan tetapi Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tertawa bergelak lalu tubuhnya “menggelundung” ke kamarnya di sebelah belakang, di mana dia terus melempar tubuhnya yang bundar keatas pembaringan dan sebentar saja terdengar dia mendengkur seperti kerbau. Ketika melihat kesempatan baik ini, Lu Seng Hok dan isterinya membujuk-bujuk kepada Lu thong agar anak ini, biarpun menjadi murid Jeng-kin-jiu dan belajar ilmu silat kepadanya, namun jangan mencampuri urusan pertempuran hwesio gundul itu. “Akan tetapi, ingatlah. Kau seorang anak dari keluarga berpangkat dan bangsawan, bagaimana kau bercampur gaul dengan segala orang kang-ouw yang kotor dan jahat? Apakah kelak kau akan mencemarkan nama nenek moyangmu?” “Ayah, bukankah Ang-bin Sin-kai itu juga keluarga kita?” “Bodoh, kau mau meniru yang buruk? Coba kaulihat, alangkah jauhnya perbedaan antara Ang-bin Sin-kai dan Kong-kongmu Lu Pin!” “Ang-bin Sin-kai lebih terkenal!” bantah Lu Thong. “Bukan terkenal kebaikan dan kebesarannya, melainkan tersohor karena jahatnya dan kurang ajarnya. Ah, Lu Thong, jangan kau mengecewakan hati orang tuamu……” Melihat ayahnya sudah mulai marah dan ibunya meruntuhkan air mata, Lu Thong menutup mulutnya dan menundukkan kepala. Akan tetapi di dalam hati, anak ini mentertawakan orang tuanya. Dan pada malam harinya, ketika Lu Thong telah tidur, tiba-tiba dia merasa tubuhnya di goyangkan orang dan ketika dia membuka matanya, ternyata suhunya telah berdiri di luar jendelanya yang terbuka sambil melambaikan tangan, memberi isyarat kepadanya supaya ikut keluar! Lu Thong tidak sangsi lagi, lalu melompat keluar dari kamarnya. “Kita pergi sekarang juga!” kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. “Tak usah membawa bekal atau pakaian.” Melihat kesungguhan muka gurunya yang biasanya tersenyum-senyum dan lucu, Lu Thong agak tertegun. “Baiklah, Suhu. Akan tetapi, mengapa berangkat malam-malam? Ada keperluan amat pentingkah?” “Kiu-bwe Coa-li telah datang dan menyerangku mati-matian, tentu kitab yang dicarinya itu amat penting. Juga Ang-bin Sin-kai berkeliaran, itu berarti di dunia luar ini terjadi sesuatu yang patut diperhatikan. Apakah kau kira aku suka terbenam di dalam gedung ini saja?” Maka berangkatlah guru dan murid ini malam-malam, meninggalkan gedung keluarga Lu, tanpa memberi tahu atau berpamit kepada Lu seng Hok dan isterinya yang tentu saja menjadi gelisah setengah mati pada keesokan harinya.



Ang-bin Sin-kai memang benar-benar merasa sayang kepada Kwan Cu. Hal ini terbukti dari usahanya menyusul Hek-i Hui-mo ke barat, yakni ke Tibet! Baginya sendiri, dia tidak nanti sudi melanggar sumpahnya dan dia tidak mau mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng untuk diri sendiri, melainkan karena dia ingin agar supaya muridnya itu dapat mempelajari ilmu kepandaian dari kitab itu. Padahal, perjalanan ke Tibet bukanlah semudah orang melihat gambar peta bumi saja! Apalagi pada jaman dahulu, di mana tidak ada jalan sama sekali, jangankan jalan besar dan rata, bahkan jalan atau lorong kecilpun belum ada. Perjalanan ke Tibet adalah perjalanan yang puluhan ribu li jauhnya, melalui gurun, padang pasir bergaram, tanah tandus yang beratus atau beribu li luasnya, melalui gunung-gunung yang luar biasa tingginya, hutan-hutan yang liar dan belum pernah dilalui manusia. Kalau sedang melalui gurun pasir, panas membakar kulit, akan tetapi sebaliknya kalau melalui puncak bukit yang tinggi, hawa dingin menggerogoti tulang iga! Guru dan murid ini melakukan perjalanan selama berbulan-bulan dan dengan amat sukar dan banyak susah payah, akhirnya mereka tiba di Pegunungan Kun-lun-san. Memang kalau orang hendak pergi ke Tibet melalu jurusan utara, dia harus melewati Pegunungan Kun-lun-san yang termasuk daerah Tibet Utara. Namun semua kesukaran perjalanan itu sama sekali tidak terasa oleh Kwan Cu. Bahkan anak ini merasa amat gembira. Perjalanan yang luar biasa jauhnya ini mendatangkan pengalaman-pengalaman baru yang hebat-hebat dan di sepanjang perjalanan, Ang-bin Sin-kai tak pernah lalai untuk melatih ilmu silat kepada muridnya. Kini Kwan Cu telah mulai menerima gemblengan ilmu-ilmu silat tinggi sehingga kepandaiannya maju dengan pesat sekali. Selain itu, juga Ang-bin Sin-kai mengajak muridnya mampir di tempat tinggal para tokoh besar dunia kang-ouw dan selalu mencari kesempatan untuk memperlebar dan memperluas pengetahuan muridnya itu tentang ilmu silat.

“Lihatlah baik-baik, muridku,” katanya jika dia berhasil minta kepada seorang ahli silat untuk memperlihatkan kepandaiannya. “Betapapun jauh perbedaan gaya dalam permainan silat, namun kesemuanya mendasarkan kekuatan mereka atas kedudukan tubuh dan pemasangan kaki. Memang ini penting sekali, Kwan Cu. Betapapun bagus dan lihai gaya dan gerakannya, tanpa keteguhan dan kedudukan kaki, dia bukanlah seorang ahli silat yang kuat.”

Pegunungan Kun-lun-san penuh dengan puncak-puncak yang tertutup salju dan di mana-mana terdapat sungai-sungai es. Melalui daerah seperti ini, orang harus berlaku hati-hati sekali. Hampir saja Kwan Cu menemui bencana ketika mereka melewati sebuah sungai es yang lebar. Permukaan es itu nampak mengkilap kebiruan, yaitu bayangan-bayangan langit yang tercermin ke dalam permukaan es. Kwan Cu mula-mula merasa gembira sekali dan berlari-larian di atas es yang licin itu. Ia telah memiliki ginkang tinggi dan juga tubuhnya telah kuat sehingga dia tidak khawatir terpeleset jatuh. Akan tetapi, sungguh di luar dugaannya bahwa es itu belum lama membeku sehingga masih tipis permukaannya. Ketika dia berlari tiba di bagian yang amat tipis, tiba-tiba pecahlah permukaan kaca es itu dan tubuhnya terjeblos ke bawah.

Air yang luar biasa dinginnya menerima tubuh Kwan Cu dan anak ini sseketika menjadi kaku seluruh tubuhnya! Ia cepat menahan napas dan mengerahkan tenaga dan hawa tubuh untuk membuat tubuhnya hangat dan untuk membuat aliran darah di tubuhnya menjadi lebih cepat. Akan tetapi, hawa dingin dari air yang setengah membeku itu luar biasa sekali dan kalau gurunya tidak cepat turun tangan, pasti anak ini takkan tertolong lagi nyawanya. Ang-bin Sin-kai yang sudah banyak pengalamannya tidak mau mengejar ke tempat itu karena kalu dia sendiri sampai terjeblos, biarpun kepandaiannya tinggi, namun belum tentu dia akan dapat melawan serangan hawa dingin yang luar biasa itu. Ia lalu cepat menggunakan lweekangnya untuk mencabut sebatang akar yang amat panjang dari pohon besar yang sudah habis daunnya dimakan salju dan dengan akar ini dia lalu menolong Kwan Cu. Anak gundul ini biarpun tubuhnya sudah hampir beku, namun pikirannya masih sadar. Begitu melihat akar, dia cepat menagkapnya dan memegangnya erat-erat, sungguhpun jari-jari tangannya sudah kaku dan sukar digerakkan lagi dan perasaan kulit tangannya sudah mati!



Memang, sesungguhnya kakek ini sudah amat tua dan pada waktu Ang-bin Sin-kai anak-anak, kakek ini telah menjadi seorang tokoh besar dalam dunia persilatan. Tidak saja ilmu silatnya yang tinggi, juga dia terkenal sebagai seorang pendeta yang berpribudi tinggi sehingga namanya terkenal di seluruh dunia.

Sudah menjadi lajim di jaman itu, ahli-ahli silat datang dari atas gunung atau tempat-tempat sunyi, atau lebih tepat lagi, di puncak-puncak gunung yang sunyi paling di suka oleh ahli-ahli silat di mana mereka tinggal. Hal ini sudah sewajarnya, karena pada masa itu, ilmu-ilmu silat yang tinggi dimiliki oleh ahli tapa dan pendeta suci. Ilmu silat yang tinggi memang tidak boleh dipisahkan dengan ilmu batin, maka tentu saja para pendeta yang mempelajari ilmu batin dan memiliki tenaga batin yang kuat dan suci dapat menciptakan ilmu silat yang tinggi. Dan para pendeta ini memang paling suka bertempat tinggal di puncak gunung-gunung yang sunyi untuk bertapa. Di samping ini, mereka tidak mempunyai pekerjaan sehingga dalam mempelajari ilmu silat, mereka amat tekun dan rajin sehingga memperoleh kemajuan luar biasa.

Seperti juga gunung-gunung besar lainnya, pegunungan Kun-lun-san menjadi perhatian para pertapa dan banyak sekali di puncak-puncak yang tinggi itu bersembunyi orang-orang yang memiliki kepandaian lihai. Di antaranya, puncak yang tertinggi dijadikan tempat tinggal oleh Seng Thian Siansu. Beberapa tahun kemudian, menyusul tiga orang saudara seperguruannya, yakni Seng Te Siansu, Seng Jin Siansu dan Seng Giok Siansu atau yang disebut Kun-lun Sam-lojin (Tiga Kakek dari Kun-lun-san).

Seng Thian Siansu telah amat tua dan memang kalau di bandingkan, usianya berbeda jauh sekali dengan sute-sutenya, ada lima puluh tahun selisihnya! Bersama sute-sutenya, Seng Thian Siansu lalu membentuk partai yang disebut Kun-lun-pai dan mereka telah banyak menerima murid-murid yang berbakat baik sehingga beberapa belas tahun kemudian, nama Kun-lun-pai meningkat dan mengharum oleh perbuatan-perbuatan murid-murid mereka yang gagah perkasa dan budiman.

Setelah Seng Thian Siansu merasa dirinya terlalu tua, sudah seratus dua puluh tahun usianya, dia mencuci tangan dan Kun-lun-pai lalu dipegang oleh tiga orang sutenya yang terkenal kemudian dengan sebutan Kun-lun Sam-lojin itu. Semenjak itu, Seng Thian Siansu hanya bertapa saja di dalam gua, sama sekali tidak mau mencampuri urusan dunia lagi.

Mengapa kini kakek yang sudah tua dan lemah sekali ini memaksa diri keluar dari gua dan bertemu dengan Ang-bin Sin-kai? Marilah kita dengarkan percakapannya dengan Ang-bin Sin-kai.

“Benar ucapanmu, Locianpwe. Teecu adalah Lu Sin dan sesungguhnya teecu lewat di Kun-lun-san karena hendak menuju ke Tibet. Akan tetapi, sungguh teecu merasa heran sekali melihat Locianpwe berada di sini dalam keadaan hawa sedingin ini. Hendak kemanakah Locianpwe, kalau kiranya teecu boleh bertanya?”

Seng Thian Siansu tersenyum dan kembali Kwan Cu terheran. Bukan hanya matanya yang masih nampak “muda,” bahkan gigi kakek ini masih lengkap dan putih rapi!

“Ang-bin Sin-kai, kau ternyata masih belum melupakan sifat-sifatmu yang baik! Memang sudah dikehendaki oleh Yang Maha Kuasa agaknya, maka hari ini pinto terpaksa meninggalkan tempat pertapaan dan nasibkulah yang buruk, tua-tua terpaksa membereskan urusan penasaran.”

“Ah, Locianpwe, urusan apakah gerangan yang memaksa Locianpwe harus turun tangan sendiri? Kalau sekiranya teecu boleh membatu, harap Locianpwe beritahukan kepada teecu, tentu teecu bersedia membantu sekuat tenaga.”

Kembali kakek itu tersenyum . “Kau masih tetap gagah! Terima kasih, Ang-bin Sin-kai. Mari kita duduk di sana nanti kuceritakan apa yang telah mengeruhkan suasana Kun-lun-san yang sunyi bersih ini.”

Ang-bin Sin-kai dan Kwan Cu mengikuti kakek itu yang duduk di atas batu hitam yang bertumpuk di sebelah kiri lereng itu. Setelah duduk dan menaruh tongkatnya di sebelahnya, mulailah Seng Thian Siansu bercerita.

Kurang lebih setahun yang lalu, di Pegunungan Kun-lun-san datanglah lima orang aneh yang berkepandaian tinggi. Mereka menyebut diri sebagai Ngo-eng Kiam-hiap (Pendekar-pendekar Pedang Lima Garuda) dan setelah memilih puncak yang berada di sebelah kanan puncak dimana Seng Thian Siansu mendirikan Kun-lun-pai, mereka lalu menambah sebutan menjadi Kun-lun Ngo-eng (Lima Garuda dari Kun-lun-san)!

Hal ini tidak dapat menggoncangkan hati dan pikiran Kun-lun-pai yang selalu mengutamakan kebenaran dan perdamaian. Akan tetapi, pihak Kun-lun Ngo-eng ternyata bukanlah orang-orang yang suka hidup tenteram dan mereka ini tidak puas bahwa di situ ada puncak yang menjadi pusat dari partai Kun-lun-pai yang terkenal. Beberapa kali mereka sengaja melanggar wilayah atau daerah puncak Kun-lun-san yang didiami oleh Kun-lun-pai, bahkan pernah ada seorang anak murid Kun-lun-pai yang sedang turun gunung, mereka hina dan pukul. Akan tetapi, tetap saja Kun-lun Sam-lojin berlaku sabar dan menekan marah, karena mereka tidak mau cekcok dengan “tetangga”! Agaknya dari fihak Kun-lun Ngo-eng juga tidak berani gegabah terhadap Kun-lun-pai, maka setelah didiamkan saja, akhirnya mereka juga tinggal diam, tidak melanjutkan kekurangajaran mereka terhadap Kun-lun-pai.

Akan tetapi, diam-diam Kun-lun Sam-lojin merasa mendongkol dan marah sekali ketika mendengar laporan dari para anak murid Kun-lun-pai bahwa “tetangga” mereka itu sesungguhnya bukanlah orang baik-baik. Bahkan ada beberapa orang anak murid yang melihat dengan mata sendiri betapa lima orang aneh yang usianya telah tua-tua itu pernah menculik orang-orang muda, laki-laki dan perempuan, ke atas puncak! Kun-lun Sam-lojin, yakni Seng Te Siansu, Seng Jin Siansu dan Seng Giok Siansu, hampir tak dapat menahan kemarahan hati mereka dan siap untuk menyerbu. Akan tetapi, ketika Seng Thian Siansu mendengar akan maksud tiga orang sutenya ini, dia cepat mencegah mereka. Tiga orang tua dari Kun-lun-san ini memang amat taat kepada Seng Thian Siansu yang bukan saja menjadi suheng mereka, bahkan boleh di bilang menjadi wakil guru mereka, maka mereka menahan sabar dan mencoba untuk melupakan hal Kun-lun Ngo-eng itu.



Akan tetapi, beberapa hari yang lalu terjadi sesuatu yang menggoncangkan Pegunungan Kun-lun-san. Hal ini terjadi setelah Hek-eng Sianjin, orang termuda dari Kun-lun Ngo-eng, menculik seorang gadis dari dusun yang menjadi tempat tinggal suku bangsa Hui, seorang gadis cantik jelita yang menjadi kembang dusun itu, bahkan ia adalah puteri dari kepala suku bangsa itu.

Tentu saja suku bangsa Hui yang jumlahnya lebih tiga puluh keluarga itu menjadi marah sekali. Mereka mengumpulkan orang-orang lelaki dan empat puluh orang lebih laki-laki tua muda membawa senjata menyerbu ke puncak gunung yang ditinggali Kun-lun Ngo-eng. Akan tetapi, mana bisa mereka menang? Hek-eng Sianjin seorang diri keluar dan begitu pendeta berjubah hitam ini mainkan pedangnya yang lihai, belasan orang roboh dan tewas, sedangkan yang lain-lain lalu melarikan diri.

Tangis riuh-rendah di dalam dusun orang-orang Hui ini menarik perhatian seorang kakek pendek kecil yang kebetulan lewat di dusun itu bersama dua orang anak laki-laki. Kakek ini bukan lain adalah Pak-lo-sian Siangkoan Hai bersama Gouw Swi Kiat dan The Kun Beng murid-muridnya!

“Eh, ada apakah ribut-ribut ini?” tanyanya pada orang Hui itu.

Kepala suku bangsa Hui segera maju dan berlutut kepada Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Ia dapat melihat, bahwa yang datang adalah seorang kakek yang luar biasa dan tentu memiliki kepandaian tinggi.

“Lo-enghiong, kami sekeluarga Hui tertimpa malapetaka hebat……! Anakku perempuan diculik oleh saikong siluman dari puncak Kun-lun-san, dan ketika aku dan saudara-saudaraku menyerbu ke sana untuk menolong, belasan orang saudaraku bahkan tewas oleh saikong siluman……”

Siangkoan Hai mengerutkan keningnya dan memandang tak percaya.

“Aneh, siapa orangnya berani berbuat jahat di sini? Bukankah puncak sebelah barat itu pusat dari Kun-lun-pai yang tersohor? Mengapa kau tidak minta tolong kesana?”

“Sudah, Lo-enghiong. Kami sudah menghadap Kun-lun Sam-lojin, akan tetapi mereka tidak mau turun gunung menolong…….”

Siangkoan Hai membelalakkan matanya. “Aneh, aneh! Mengapa begitu?”

“Suhu, lebih baik kita menolong dulu nona yang diculik itu!” kata The Kun Beng tidak sabar.

“Memang kita harus lekas menolong, hendak kulihat siapakah orangnya yang berani berlaku jahat seperti itu. Baru kemudian aku hendak menegur Kun-lun Sam-lojin mengapa tidak mau menolong mereka ini.” Siangkoan Hai lalu berkata pada orang-orang itu.

“Hayo bawa kami ke tempat saikong siluman itu!”

Demikianlah, beramai-ramai orang-orang Hui itu mengantar Siangkoan Hai dan dua orang muridnya menuju ke puncak tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng. Di atas puncak itu terdapat sebuah bangunan besar yang terkurung pagar tembok. Orang-orang Hui yang pernah dihajar oleh Hek-eng Sianjin, tidak berani datang dekat dan hanya menanti dari jauh. Mereka melihat betapa kakek yang pendek kecil ini berjalan menuju ke pintu gerbang, diikuti oleh dua orang muridnya yang berjalan dengan gagahnya.

Ketika mereka sudah tiba di dekat pintu, Siangkoan Hai dan dua orang muridnya merasa heran karena ternyata bahwa pintu gerbang itu terjaga oleh tiga orang pemuda dan dua orang gadis yang kesemuanya berwajah elok. Usia mereka antara tujuh belas sampai dua puluh tahun, pakaian mereka mewah sekali.

“Orang-orang muda, beritahukan kepada Kun-lun Ngo-eng bahwa Pak-lo-sian Siangkoan Hai telah datang minta bertemu!” kata kakek tokoh besar utara itu kepada para penjaga remaja tadi. Lima orang muda itu lalu berlari masuk setelah menutup pintu gerbang rapat-rapat!

Pak-lo-sian Siangkoan Hai tertawa bergelak.

“Kun-lun Ngo-heng! Apakah pintumu terbuka untuk angin dan setan yang tak nampak, akan tetapi tertutup bagi tamu manusia? Kalau kalian melarang aku masuk, keluarlah menemuiku di luar. Aku Pak-lo-sian Siangkoan Hai perlu sekali bicara dengan kalian!”

Tiba-tiba di atas tembok yang mengurung bangunan itu, tersembullah lima buah bendera yang berwarna putih, kuning, hijau, merah dan hitam! Bendera-bendera ini berkibar tertiup angin gunung, merupakan pemandangan yang indah beraneka warna. Kemudian, terdengar suara dari balik tembok itu.

“Kami tidak kenal Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan tidak mempunyai urusan dengan dia! Orang tua pendek kecil harap jangan mencari penyakit dan lekas pergi dari sini!” Tiba-tiba lima buah bendera yang berkibar di atas tembok itu, berubah arah kibarnya, yaitu kalau tadi berkibar ke kanan, sekarang berkibar ke kiri, padahal angin masih jelas terasa berkibar ke kanan! Siangkoan Hai maklum bahwa orang-orang di bawah tembok telah memperlihatkan kepandaiannya. Ia tahu bahwa bendera itu berkibar karena tertiup oleh orang yang memiliki tenaga khikang yang tinggi sekali. Agaknya Kun-lun Ngo-eng hendak menggertaknya dan mendemonstrasikan kepandaian agar dia menjadi ketakutan dan pergi.



Kembali Pak-lo-sian Siangkoan Hai tertawa bergelak dan setelah melihat ke kanan kiri, kakek pendek ini lalu menghampiri sebatang pohon yang tinggi dan sekali dia mengerahkan tenaga, pohon itu telah tercabut akarnya dari tanah! Ia lalu menghampiri tembok bangunan itu dan melemparkan pohon tadi ke atas. Pohon itu melayang dan tepat berdiri di atas tembok di dekat bendera-bendera itu dan tentu saja pohon itu jauh lebih tinggi daripada bendera-bendera tadi.

“Ha-ha-ha! Kun-lun Ngo-eng. Jangan dikira bahwa bendera-benderamu itu paling tinggi di dunia ini!”

Perbuatan Siangkoan Hai ini menimbulkan kegemparan di sebelah dalam bangunan, karena terdengar seruan-seruan memuji dengan kagum. Siangkoan Hai dan dua orang muridnya mendengar bahwa yang memuji itu adalah suara-suara banyak orang-orang muda, bahkan ada yang suaranya menyatakan masih suara anak-anak.

Lalu terdengar suara wanita yang merdu dan nyaring.

“Pak-lo-sian Siangkoan Hai! Tak perlu memamerkan kepandaian seperti anak kecil! Kalau bisa, masuklah saja, tembok kami tidak terlalu tinggi kiranya!” inilah suara Jeng-eng Mo-li, orang ketiga dari Kun-lun Ngo-eng.

Siangkoan Hai tertawa bergelak mendengar ini, kemudian berbisik kepada Kun Beng dan Swi Kiat kedua orang muridnya.

“Kalau sampai murid-murid mereka menyerang, kalian layani mereka akan tetapi jangan sampai membunuh orang.”

Kun Beng dan Swi Kiat mengangguk, mereka mengerti akan kehendak suhunya ini. Kemudian, dua orang anak muda ini lalu ikut suhu mereka melompat ke atas tembok. Dari atas tembok ini mereka memandang ke bawah dan terlihatlah lima orang aneh dan belasan orang anak-anak muda yang elok-elok. Lima orang ini terdiri dari tiga orang kakek dan dua orang wanita. Usia mereka antara empat puluh sampai lima puluh tahun, akan tetapi mereka masih nampak muda. Apalagi dua orang wanita, biarpun dari muka mereka mudah dilihat bahwa mereka telah setengah tua, namun muka itu masih dibedaki tebal dan di beri pemerah bibir dan pipi. Pakaian mereka juga aneh sekali, karena seorang berpakaian warna putih, kedua berpakaian kuning, lalu hijau, merah dan hitam! Untuk lebih mengenal mereka, marilah kita memperhatikan seorang demi seorang.

Orang pertama yang berpakaian putih adalah kakek Pek-eng Sianjin atau orang tertua dari Kun-lun Ngo-eng. Pek-eng Sianjin memang usianya paling tua, rambutnya telah bercampur uban, pakaiannya dan juga gelung rambutnya menandakan bahwa dia adalah seorang tosu. Pedangnya menempel di punggung dan tubuhnya yang jangkung kurus membuat dia nampak gesit. Orang tertua inilah yang di sebut Pek-eng atau Garuda Putih!

Orang kedua adalah seorang wanita berusia kurang lebih empat puluh lima tahun. Inilah Ui-eng Suthai atau Garuda Kuning, pakaiannya juga berwarna kuning seluruhnya. Akan tetapi bentuk pakaiannya sama dengan Pek-eng Sianjin, yakni potongan pakaian yang biasa di pakai oleh pendeta atau tokouw. Biarpun pakaiannya seperti pertapa wanita, namun bedak dan pemerah pipi dan bibirnya menonjolkan sifat-sifat aselinya. Tak dapat disangkal bahwa sewaktu mudanya, Ui-eng Suthai ini tentulah seorang wanita yang amat cantik. Mudah dilihat dari bentuk mata, hidung dan mulutnya. Biarpun sekarang telah ada gurat-gurat usia tua pada pinggir mata dan mulut, namun dia masih tetap mempunyai penarik sebagai seorang wanita. Juga seperti suhengnya, dia memakai pedang di punggung, hanya bedanya, gagang pedangnya memakai ronce-ronce benang emas warna kuning, sedangkan gagang pedang Pek-eng Sianjin memakai ronce-ronce benang sutera putih.

Orang ke tiga juga seorang wanita, berpakaian hijau seluruhnya. Usianya lebih muda beberapa tahun dari Ui-eng Suthai, akan tetapi orang ketiga ini nampak jauh lebih muda. Namanya Jeng-eng Mo-li (Iblis Wanita Garuda Hijau) dan melihat potongan tubuhnya yang langsing, air mukanya yang ramah berseri, mulutnya yang selalu tersenyum, mudah diduga bahwa dia adalah seorang perempuan yang berwatak gembira. Akan tetapi, kalau orang melihat sepasang matanya yang liar mengerling penuh nafsu, akan dapatlah dilihat iblis yang tersembunyi di dalam tubuh lincah ini. Dandanannya jauh lebih “aksi” daripada sucinya yang karena potongan pakaiannya bukan potongan pakaian pendeta wanita, maka kelihatan lebih menarik dan ketat mencetak tubuhnya yang memang baik bentuknya. Rambutnya disanggul seperti dara-dara muda dan pedangnya yang beronce hijau tergantung di pinggang kirinya. Biarpun bentuk air muka Jeng-eng Mo-li tidak sebaik muka Ui-eng Suthai, namun karena Jeng-eng Mo-li lincah, genit dan gembira, maka boleh di bilang dia lebih menarik daripada sucinya. Iblis Wanita Garuda Hijau inilah yang tadi mengeluarkan suaranya menantang Pak-lo-sian Siangkoan Hai memasuki tempat tinggal mereka.

Orang keempat bernama Ang-eng Sianjin yang berpakaian pendeta tosu, berwarna merah seluruhnya, usianya sebaya dengan Jeng-eng Mo-li. Demikian pun orang ke lima yang bernama Hek-eng Sianjin bertubuh gemuk dengan perut besar seperti perut arca penjaga dapur, adalah Hek-eng Sianjin bertubuh tinggi besar, tubuh seorang gagah yang bertenaga kuat. Keduanya juga memakai pedang pada punggungnya. Maka ketahuanlah sekarang bahwa Kun-lun Ngo-eng terdiri dari tiga orang tosu, seorang tokouw dan seorang perempuan genit. Mereka ini kelima-limanya adalah ahli-ahli ilmu pedang dari satu cabang perguruan dan kelimanya adalah ahli Ilmu Pedang Sin-eng Kiam-hoat (Ilmu Pedang Garuda Sakti).



“He, he, he seperti anak wayang saja!” seru Pak-lo-sian Siangkoan Hai melihat lima orang yang pakaiannya aneh itu. “Apakah kalian hendak main sandiwara Ngo-koai-jio-kaw-kut (Lima Setan memperebutkan Tulang Anjing)??” Sudah tentu saja tidak ada cerita yang berjudul seperti itu dan ucapan ini dikeluarkan oleh Singkoan Hai hanya untuk mengejek mereka saja, sebagai pembalasan atas sikap mereka yang sombong. Pak-lo-sian Siangkoan Hai terkenal seorang kakek gagah yang berwatak sombong dan tidak mau kalah, maka ketika dia melihat sikap mereka ini, semenjak tadi darahnya telah naik ke kepalanya!

Adapun orang yang paling galak di antara Kun-lun Ngo-eng, adalah Ui-eng Suthai, pertapa wanita berpakaian kuning itu. Mendengar ejekan Pak-lo-sian Siangkoan Hai, mukanya menjadi merah dan sekali tangan kirinya bergerak, tersebarlah jarum-jarum rahasia tujuh belas batang banyaknya, menyambar ke arah Siangkoan Hai dan kedua orang muridnya!

Jarum rahasia yang dilepas oleh Ui-eng Suthai bukanlah senjata rahasia biasa saja. Jarum-jarum ini disebut Toat-beng-ciam (Jarum Pencabut Nyawa) dan amat halus dan kecilnya sehingga apabila jarum-jarum ini mengenai sasaran, dapat menyusup ke dalam kulit daging dan kemudian masuk ke dalam jalan darah dan terbawa oleh darah! Dalam hal penggunaan jarum-jarum ini, tenaga lweekang yang tinggi harus dimiliki oleh orang yang melontarkannya dan melihat betapa sekali lempar dapat menyerang lawan dengan tujuh belas batang jarum, dapat dinilai betapa hebatnya tenaga lweekang dari Ui-eng Suthai!

Orang biasa saja kalau diserang oleh jarum-jarum ini, akan celakalah dia karena nyawanya takkan tertolong lagi. Bahkan orang-orang ahli silat yang kurang pandai, sukar membebaskan diri dari sambaran jarum-jarum itu, apalagi dalam keadaan sedang berdiri di atas pagar tembok yang lebarnya hanya pas saja dengan kaki! Namun, yang diserang adalah Pak-lo-sian Siangkoan hai, Si Dewa Tua dari Utara, mana dia jerih menghadapi jarum-jarum ini? Entah kapan diambilnya, tahu-tahu di kedua tangannya telah terpegang sepasang kipas hitam putihnya dan kini sambil tersenyum mengejek, Pak-lo-siang Siangkoan Hai mengebutkan kipas putih di tangan kirinya ke arah jarum-jarum yang menyambarnya ke atas itu. Aneh sekali, jarum-jarum kecil itu ketika terkena sambaran angin kebutan kipas putih, tiba-tiba membalik dan runtuh semua ke bawah.

“Ha, ha, ha, siluman rase! Hendak ku ukur dengan jarum-jarummu sampai berapa dim tebalnya bedak di mukamu!” Siangkoan Hai tertawa sambil cepat mengebutkan kipas hitam di tangan kanannya. Hebat sekali akibatnya! Jarum-jarum belasan batang banyaknya itu kini terbawa hawa kebutan kipas hitam dan meluncur, seluruhnya menuju ke muka Ui-eng Suthai!

Ui-eng Suthai menjerit marah dan segera memutar pedangnya, memukul runtuh semua jarum-jarumnya sendiri. Memang semenjak tadi melihat kelihaian lawan, ia telah mencabut pedangnya bersiap sedia. Kemudian, sambil memekik nyaring tokouw ini lalu menggerakkan tubuhnya yang cepat melayang ke atas menyerang Siangkoan hai dengan pedangnya.

Akan tetapi, terdengar suara ketawa bergelak dan tiba-tiba Siangkoan Hai telah lenyap dari atas tembok itu, karena ketika tadi Ui-eng Suthai melayang naik, dia telah membetot tangan kedua muridnya dan membawa mereka melompat turun ke dalam.

“Bangsat tua, bagus sekali kau mengantarkan nyawa!” bentak Pek-eng Sian-jin yang segera menyerang dengan pedangnya, dan melihat serangan ini, tahulah Siangkoan Hai bahwa ilmu pedang Pek-eng Sianjin benar-benar lihai dan tenaganya bahkan lebih kuat daripada Ui-eng Suthai. Maka dia pun tidak berani berlaku ayal. Tanpa dapat terlihat saking cepatnya, dia telah menyimpan kembali sepasang kipasnya dan kini Pak-lo-sian Siangkoan Hai mengeluarkan tombaknya! Ia mainkan tombak itu dan berkunang-kunanglah padangan mata Pek-eng Sianjin ketika melihat ujung tombak di tangan kakek pendek kecil itu berubah menjadi puluhan banyaknya! Tombak itu tergetar dan mengaung dengan suara menyakitkan telinga, sedangkan tiap kali pedangnya terbentur oleh ujung tombak, hampir saja pedangnya terpental dan terlepas dari pegangan. Ketika dengan nekat Pek-eng Sianjin melompat ke atas lalu menukik ke bawah sambil membabat dengan pedangnya ke arah leher lawannya, Siangkoan Hai memutar tombaknya sehingga pedang lawan tertempel dan ikut terputar.

“Turun kau!” bentak Siangkoan Hai dan benar saja, tanpa dapat menahan diri lagi Pek-eng Sianjin terbetot turun dan pedangnya menancap di atas tanah dengan tubuhnya masih di atas! Untuk sesaat, seakan-akan Pek-eng-Sianjin berubah menjadi sebatang tongkat panjang, dengan tangan memegang gagang pedang yang tertancap di atas tanah dan kakinya lurus ke atas, akan tetapi dia segera dapat melompat dan membalik sehingga dia dapat berdiri lagi lalu mencabut pedangnya.

“Nanti dulu sebelum kalian melanjutkan permaian wayang ini!” Pak-lo-sian Siangkoan Hai berseru “Aku datang bukan untuk mencari permusuhan, sungguhpun aku tidak akan menolak setiap pertempuran yang menggembirakan. Akan tetapi, sesungguhnya kedatanganku ini untuk bertanya kepada kalian, mengapa kalian suka menculik anak-anak muda? Di mana mereka itu semua dan mengapa melakukan kejahatan itu?”

Pek-eng Sianjin tertawa mengejek. “Hm, pernah pinto mendengar nama Pak-lo-sian Siangkoan Hai sebagai seorang gagah, tidak tahunya hanyalah seorang kakek kate yang lancang mulut lancang tangan dan tukang mencampuri urusan orang lain! Kami memilih dan mengumpulkan murid-murid kami agar dapat mewarisi ilmu pedang kami, ada sangkut pautnya apakah dengan kau orang tua?”



Mendengar ucapan ini. Pak-lo-sian Siangkoan hai terkejut dan tertegun. Kalau demikian halnya, dia telah salah duga! Ia melirik ke kanan kiri dan melihat disitu terdapat belasan orang-orang muda laki-laki dan perempuan yang kesemuanya berwajah tampan dan cantik sekali, mereka ini dengan pedang ditangan telah pula mengurung Kun beng dan Swi Kiat! Sikap mereka itu semua bermusuh, seakan-akan mereka tidak suka ada orang-orang mengganggu lima orang guru mereka!

Akan tetapi, pandangan mata Siangkoan Hai amat tajam dan dari sinar mata orang-orang muda yang layu dan keluar dari wajah yang kepucatan, dia tahu bahwa orang-orang muda itu menderita sekali dalam batin mereka. Entah apa yang telah terjadi dengan mereka, namun Siangkoan Hai tahu bahwa ada sesuatu yang tidak wajar dengan orang-orang muda itu. Ia teringat akan sesuatu dan bertanya lagi,

“Ah, begitukah gerangan mengapa kalian berlima mengumpulkan pemuda-pemuda tampan dan dara-dara cantik?” ia menghitung dengan matanya, lalu bertanya lagi, “Jadi murid-muridmu semua berjumlah tujuh belas orang?”

Pek-eng Sianjin mengangguk sambil tertawa. “Murid-muridku hebat semua, bukan? Pak-lo-sian, kau juga mempunyai dua orang murid yang baik, tak perlu kau merasa iri hati.” Pak-lo-sian Siangkoan Hai mengangguk-anggukkan seakan-akan merasa setuju dengan omongan ini. Akan tetapi dia lalu berkata keras sambil menepuk kepalanya.

“Ucapanmu benar! Akan tetapi, melihat murid-muridmu banyak yang perempuan dan manis-manis pula, mendadak timbul keinginanku untuk mempunyai seorang murid perempuan pula! Eh, Kun-lun Ngo-eng, kalian seperti garuda-garuda yang suka menyambar anak-anak ayam, berikanlah seorang anak murid perempuan kepadaku!”

Kun-lun Ngo-eng main mata dan saling pandang sambil tersenyum. Tidak tahunya kakek pendek kecil yang lihai ini tidak banyak bedanya dengan mereka! Ang-eng Sianjin yang berpakaian serba merah itu tertawa bergelak lalu berkata,

“Ha-ha-ha, orang tua pendek kecil, kau rakus juga ya? Karena kau telah datang dan berhasil masuk kesini, nah….lihatlah murid-murid kami yang cantik-cantik, dan pilihlah yang paling jelita menurut penglihatanmu!”

Ang-eng Sianjin memang cerdik dan dapat berpikir cepat. Ia tadi telah menyaksikan kelihaian kakek kecil ini dan tahu bahwa biarpun mengeroyok lima, belum tentu dia dan saudara-saudaranya akan dapat menang, maka lebih baik kehilangan seorang “murid” daripada harus menghadapi resiko yang lebih berbahaya. Adapun Kun Beng dan Swi Kiat ketika mendengar percakapan ini, merahlah muka mereka dan dengan muka melotot mereka memandang kepada suhu mereka. Kedua orang anak ini sudah mengenal baik kebersihan hati suhu mereka, mengapa suhunya kini berkata seperti itu? Sudah miringkah otak guru mereka ini? Hampir saja Swi Kiat yang berwatak keras ini membuka mulut, akan tetapi tangannya disentuh oleh Kun Beng. Bocah ini masih tidak percaya dan menduga bahwa suhunya tentu main-main saja dengan lima orang aneh itu.



Pak-lo-sian Siangkoan Hai memang betul main-main dan sengaja mengeluarkan ucapan tadi untuk memancing saja. Kini dia memandang kepada murid-murid perempuan yang cantik dan berpakaian mewah itu, lalu menggeleng kepalanya dan berkata, “Tidak ada yang cocok! Kembang-kembang ini sudah terpengaruh oleh pelajaran kalian, aku tidak mau. Aku ingin yang masih bersih, yang masih baru. Eh, Kun-lun Ngo-eng, bukankah kemaren kalian menculik anak perempuan kepala suku bangsa Hui? Di mana dia? Mengapa tidak ada di antara mereka? Coba kau keluarkan yang itu, mungkin cocok menjadi muridku!”

Berubahlah wajah lima orang aneh itu ketika mendengar ini. Mereka tahu bahwa ternyata kakek ini datang untuk mencari perkara. Terdengar Kun-lun Ngo-eng berseru keras dan lima batang pedang dicabut serentak.

“Kau memang mencari mampus!” bentak Pek-eng Sianjin dan segera memimpin empat orang saudaranya menyerang.

Siangkoan Hai tertawa bergelak. “Ha, ha, ha, terbukalah kedokmu sekarang! Kaukira aku tidak tahu bahwa anak-anak ini telah terpengaruh oleh racun dan kehilangan kehendak sendiri? Kalian benar-benar iblis yang harus mampus!” Setelah berkata demikian, dia menggerakkan tombaknya secara luar biasa sekali cepat dan kuatnya sehingga lima orang lawannya mencelat mundur untuk menghindarkan diri dari sambaran hawa pukulan tombak itu!

Belasan orang anak murid Kun-lun Ngo-eng juga serentak bergerak menyerang Kun Beng dan Swi Kiat. Dua orang anak muda ini cepat melawan. Kun Beng mempergunakan tombaknya dan Swi Kiat mempergunakan sepasang kipasnya. Ternyata bahwa orang-orang muda itu merupakan makanan lunak bagi Kun Beng dan Swi Kiat karena mereka itu hanya pandai beraksi belaka dengan pedang mereka, namun tidak memiliki ilmu kepandaian yang berarti. Sebentar saja beberapa orang diantara mereka roboh tunggang-langgang. Baiknya kedua orang murid Pak-lo-sian ini sudah dipesan oleh suhu mereka agar tidak menewaskan nyawa lawan, kalau tidak tentu mereka akan mengamuk, terutama sekali Swi Kiat yang sudah merasa marah sekali.

Adapun Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang kini sudah tahu akan rahasia lima orang lawannya yang benar-benar jahat dan merupakan penjahat-penjahat cabul yang berkedok pakaian pendeta, menjadi marah sekali dan permainan tombaknya makin lama makin kuat sehingga lima orang lawannya benar-benar terdesak hebat. Ilmu pedang mereka memang luar biasa, namun menghadapi jago tua tokoh besar dari utara ini, mereka benar-benar kalah pengalaman, kalah latihan dan juga kalah tenaga. Pak-lo-sian memang mempunyai dasar watak yang amat baik dan berbudi tinggi, namun sekali dia marah, dia bisa berubah menjadi ganas di samping kesombongannya dan sifat yang tidak mau kalah oleh siapapun juga dalam hal ilmu silat! Makin lama, gerakan ilmu pedang lima orang Garuda Kun-lun-san itu makin mengendur dan mereka berkelahi sambil mundur, masuk ke dalam ruangan depan bangunan itu.



Akan tetapi Pak-lo-sian Siangkoan Hai mana mau memberi ampun dan melepaskan mereka? Dengan ganasnya dia menyerbu terus dan mengejar mereka masuk ke dalam bangunan. Ketika itu, kakek kate ini yang sedang marah agak kehilangan kewaspadaannya dan dengan nekat ia menyerbu. Niatnya hanya satu, yaitu membasmi lima orang ini dan membalaskan dendam orang-orang muda yang terjatuh kedalam tangan Kun-lun Ngo-eng dan menjadi seperti boneka-boneka hidup itu.

Lima orang Garuda Kun-lun itu tidak kuat menghadapi amukan Siang-koan Hai, maka mereka lalu meloncat ke dalam serta menutup pintunya. Sekali ayunkan tombaknya, terdengar suara keras dan pecahlah pintu itu! Pak-lo-sian Siangkoan Hai menyerbu masuk dan tiba-tiba dari atas turun batu besar menimpa kepalanya! Namun Siangkoan Hai tidak akan mendapat sebutan Dewa Utara dan takkan disebut tokoh terbesar di utara kalau dia tidak dapat menghadapi bahaya serangan mendadak ini. Batu yang beratnya seibu kati itu menimpa kepalanya dari atas dengan tiba-tiba dan agaknya tidak dapat dielakkan pula. Siangkoan Hai tidak menjadi gugup, bahkan dia hanya mempergunakan tangan kirinya, mendorong batu itu dari samping sehingga batu itu tidak menimpa kepalanya, sebaliknya terlempar ke depan ke arah lima orang lawannya!

Kun-lun Ngo-eng terkejut bukan main dan cepat meloncat mundur sehingga batu itu menimpa lantai dan sambil menerbitkan suara gaduh, lantai itu pecah dan berhamburan! Ketika debu yang tebal itu menipis, Siangkoan Hai tak melihat lawan-lawannya lagi yang sudah melenyapkan diri melalui tirai debu tadi.

“Lima ekor anjing busuk, kalian jangan harap akan dapat melepaskan diri dari tombakku!” bentak Siangkoan Hai yang menjadi makin marah, terus kakek ini meloncat dan menendang roboh pintu terusan sehingga daun pintu itu pecah. Ia tiba di sebuah ruangan yang aneh bentuknya dan yang membuat dia bingung untuk sejenak. Ruangan ini pintunya dipasangi cermin sehingga dia melihat bayangannya sendiri di dalam cermin-cemin itu terbuka dan dari situ menyambar puluhan anak panah. Siangkoan Hai hendak memutar tombaknya, akan tetapi tiba-tiba lantai yang diinjaknya merosot turun membawa tubuhnya ke bawah pula! Ia tidak dapat keluar dari kurungan ini, karena semua pintu menyemburkan anak panah, maka terpaksa dia hanya bersiap sedia menghadapi segala bahaya. Lantai yang turun ini berhenti dan Siangkoan Hai mendapatkan dirinya terkurung di dalam sumur yang dindingnya terbuat daripada besi tebal dan keadaan disitu gelap sekali!

Terdengar suara orang-orang tertawa, disusul oelh suara Jeng-eng Mo-li yang merdu dan nyaring,

“Siangkoan Hai, kau boleh bertapa di situ sampai mampus. Murid-muridmu akan menjadi murid kami dan sewaktu-waktu kau boleh melihat mereka. Ha-ha-ha!”

Pak-lo-sian Siangkoan Hai hanya bisa memaki-maki gemas, akan tetapi Kun-lun Ngo-eng itu meninggalkan tempat itu. Suara tertawa mereka makin lama makin menjauh. Siangkoan Hai memukul-mukulkan tongkatnya di sekitarnya, akan tetapi yang nampak hanya bunga api berpijar. Dia benar-benar tidak berdaya lagi! Dewa Utara yang gagah perkasa itu kini seperti seekor naga yang terkurung dan tidak berdaya keluar.

Kun Beng dan Swi Kiat masih mengamuk di halaman depan dan kini para murid Kun-lun Ngo-eng yang berpakain mewah itu telah dibikin kocar-kacir.

“Suheng, jangan berlaku kejam kepada mereka. Kulihat mereka ini seperti orang-orang mabuk.” Berkali-kali Kun Beng memperingatkan suhengnya, karena Swi Kiat kalau sudah marah, tidak peduli lagi kepada orang lain dan tidak kenal kasihan. Di sana-sini nampak tubuh para murid itu bergelimpangan, mengerang kesakitan karena pukulan dan tendangan dua orang muda itu.

Tiba-tiba muncul lima orang aneh yang tadi bertempur dengan Siangkoan Hai. Melihat mereka, Kun Beng dan Swi Kiat menjadi pucat, karena munculnya lima orang ini berarti bahwa suhu mereka tentu telah mengalami bencana.

“Di mana Suhuku?” seru Swi Kiat sambil melompat ke tempat mereka.

Pek-eng Sianjin tertawa bergelak, dan Ui-eng Suthai menghampiri Swi Kiat, memandang tajam dengan mata kagum.

“Kau benar-benar gagah, orang muda,” katanya.

Adapun Jeng-eng Mo-li juga melompat di depan Kun Beng, mengulur tangan untuk meraba pipi pemuda itu, Kun Beng mengelak, akan tetapi dia kalah cepat dan pipinya telah disentuh oleh wanita berpakaian hijau ini.

“Kau tampan sekali,” kata Jeng-eng Mo-li.

Melihat sikap mereka, Kun Beng tak capat menahan sabar lagi dan mencabut tombaknya yang tadi sudah disimpan. Apalagi Swi Kiat. Dengan muka merah dan dada berombak, pemuda cilik ini mengeluarkan kipasnya dan serentak menyerang Ui-eng Suthai yang berada di depannya. Juga Kun Beng segera mengerjakan tombaknya menyerang Jeng-eng Mo-li sambil mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.

“Bagus, pemuda yang tampan dan gagah, memiliki kepandaian yang berisi juga!” kata Ui-eng Suthai sambil mengelak dari serangan Swi Kiat.

“Benar, Suci (Kakak Seperguruan). Pemuda yang ini pun ilmu tombaknya tak tercela. Benar-benar pemuda yang menawan hati!” kata Jeng-eng Mo-li sambil tertawa ha-ha-ha-hi-hi dan menghadapi Kun Beng dengan tangan kosong.

Memang, kepandaian Swi Kiat dan Kun Beng sudah tinggi dan boleh di bilang luar biasa kalau dibandingkan dengan pemuda-pemuda yang sebaya dengan mereka. Akan tetapi kini mereka menghadapi dua orang tokoh kang-ouw yang selain memiliki kepandaian tinggi, juga sudah matang pengalamannya.



Beberapa jurus kemudian, setelah menghindarkan diri dari serangan dua orang pemuda itu tanpa membalas sedikit pun, Ui-eng Suthai lalu mencabut keluar sehelai saputangan kuning dari saku bajunya dan sekali ia mengebutkan saputangan itu ke arah muka Swi Kiat, pemuda ini mencium bau yang amat wangi dan yang membuatnya lemas dan pening. Tak tertahankan lagi dia terhuyung-huyung dan roboh pingsan dalam pelukan Ui-eng Suthai! Hampir berbareng, Jeng-eng Mo-li juga mengebutkan saputangannya yang berwarna hijau dan juga Kun Beng roboh pingsan dalam pelukannya. Sambil tertawa-tawa dengan pipi menjadi merah, kedua orang wanita cabul ini lalu memondong tubuh korban mereka dan membawanya lari kedalam, diikuti oleh pandangan mata tiga orang saudara seperguruan mereka yang tersenyum-senyum geli. Demikianlah perangai Kun-lun Ngo-eng yang bejat moralnya!

Tertawannya Pak-lo-sian Siangkoan Hai, menimbulkan amarah besar kepada Kun-lun Sam-lojin. Mereka menganggap bahwa kini Kun-lun Ngo-eng berlaku keterlaluan sekali. Kun-lun Sam-lojin mengenal Pak-lo-sian sebagai tokoh besar di dunia kang-ouw, dan kalau sampai sekarang orang tua itu mendapat celaka di Kun-lun-san, bukankah itu memburukkan nama Kun-lun-pai?

“Mereka sudah terlalu berani. Kalau didiamkan saja, akhirnya kita jugalah yang akan mendapat nama buruk. Kejahatan merajalela di depan mata, apakah kita harus diam saja?” kata Seng Giok Siansu, orang termuda dari Kun-lun Sam-lojin. Memang orang termuda dari Kun-lun Sam-lojin ini beradat paling keras di antara saudara-saudaranya.

“Habis apakah yang harus kita lakukan? Twa-suheng Seng Thian Siansu melarang kita mencampuri urusan mereka dan mencari permusuhan, kalau kita turun tangan, tentu twa-suheng marah sekali,” kata Seng Te Siansu hati-hati.

“Memang sukar,” kata Seng Jin Siasu, “menurutkan twa-suheng dan tinggal peluk tangan saja, hati dan pribadi tidak mengijinkan. Kalau menyerbu Kun-lun Ngo-eng dan melanggar larangan twa-suheng, berarti pembangkangan terhadap saudara tua. Akan tetapi, kurasa lebih baik melanggar larangan daripada melanggar perikemanusiaan dan kewajiban sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi perikebajikan! Sekarang twa-suheng sedang bersiulian (bersamadhi) dan tak mungkin diganggu. Bagaimana kalau diam-diam kita pergi ke sana dan mengusir orang-orang jahat sambil menolong Pak-lo-sian? Kalau kelak twa-suheng marah, biarlah kita beramai mohon maaf dan memberi alasan yang tepat.”

Akhirnya dua orang saudaranya setuju dan berangkatlah mereka bertiga menyerbu bangunan besar tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng. Terjadi pertempuran hebat sekali antara Kun-lun Ngo-eng dan Kun-lun Sam-lojin. Akan tetapi, ternyata bahwa ilmu pedang dari Kun-lun Ngo-eng lihai sekali dan jumlah mereka juga lebih besar. Dalam pertempuran mati-matian, akhirnya orang ketiga dari Kun-lun Sam-lojin, yakni Seng Giok Siansu, roboh dan tewas oleh jarum lihai dari Ui-eng Suthai yang disebut Toat-beng-ciam (Jarum Pencabut Nyawa). Adapun dua orang tokoh Kun-lun-pai yang lain, Seng Te Siansu dan Seng Jin Siansu, terluka dan dapat ditawan!

Setelah terjadi hal yang hebat ini, barulah Seng Thian Siansu keluar dari tempat pertapaannya dan turun gunung. Ia memaksa diri biarpun tubuhnya sudah tua dan lemah dan berniat hendak mengadu jiwa dengan Kun-lun Ngo-eng. Agaknya, kakek yang sudah tua sekali ini biarpun kepandaiannya lihai, akan menghadapi bencana di depan bangunan tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng. Baiknya di tengah jalan dia bertemu dengan Ang-bin Sin-kai dan Kwan Cu!

Mendengar penuturan kakek tua renta itu, Ang-bin Sin-kai menjadi marah sekali.

“Locianpwe, mereka itu benar-benar jahat dan patut sekali dibasmi. Kiranya tak perlu Locianpwe sendiri mengotorkan tangan, biarlah teecu mewakili Locianpwe untuk membereskan persoalan ini, menolong Pak-lo-sian dan sute-sute dari Locianpwe,” kata Ang-bin Sin-kai.

“Terima kasih, Ang-bin Sin-kai, terima kasih. Kalau bukan engkau yang mengajukan penawaran membantu, agaknya aku takkan percaya dan terpaksa turun tangan sendiri, biarpun tenagaku sudah lemah. Akan tetapi kepadamu aku pecaya penuh dan kauwakililah aku. Kelak mungkin sekali sebelum aku mati aku akan dapat meninggalkan sesuatu untukmu.”

Ang-bin Sin-kai tersenyum lalu menoleh kepada Kwan Cu. “Kwan Cu, kau mendengar sudah bahwa Locianpwe hendak memberi hadiah sesuatu. Kelak kalau ada kesempatan, kau wakililah gurumu menerima hadiah itu.” Setelah itu, Ang-bin Sin-kai memberi hormat kepada Seng Thian Siansu, lalu mengajak muridnya cepat-cepat menuju ke tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng.



Ketika siuman kembali, Kun Beng mendapatkan dirinya sedang rebah di atas sebuah pembaringan yang ditilami oleh kain sutera hijau. Pembaringan itu indah sekali dan bantalnya disulam benang emas, berbau harum sekali. Kamar itupun amat indahnya, dihias dengan dinding yang penuh dengan gambar-gambar pemandangan dan bunga, dengan perabot-perabot yang serba mahal dan indah seperti kamar seorang puteri bangsawan.

Semua ini masih belum mengherankan hati Kun Beng yang masih merasa pening, akan tetapi ketika dia mendengar suara ketawa merdu di dekatnya dan dia menengok, serentak dia melompat turun dari pembaringan dan berdiri di atas lantai. Ternyata bahwa di dekatnya tadi duduk Jeng-eng Mo-li yang tertawa-tawa manis kepadanya. Perempuan ini sekarang tidak kelihatan galak, melainkan telah berhias dengan bedak dan gincu tebal dan lagaknya tersenyum-senyum dengan mata melirik-lirik itu benar-benar membuat Kun Beng merasa bulu tengkuknya berdiri dan muak sekali. Pemuda yang baru menjelang dewasa ini masih belum tahu akan segala kemesuman perempuan cabul seperti Jeng-eng Mo-li, akan tetapi dia telah dapat merasa dan mengerti akan sikap perempuan itu dan karenanya dia merasa muak sekali.

Seketika itu juga teringatlah dia akan semua peristiwa yang terjadi dan tahulah dia bahwa dia telah tertawan dan dibawa kekamar perempuan rendah ini. Wajahnya menjadi merah sekali saking jengah dan marahnya.

“Anak yang baik, kau telah berada disini. Berlakulah manis kepadaku dan kau akan hidup sebagai seorang pangeran di tempat ini,” kata Jeng-eng Mo-li dengan suara dibuat-buat agar terdengar menarik merdu.

“Siluman jahat!” Kun Beng membentak dan pemuda ini hendak melompat keluar dari kamar itu. Akan tetapi, baru saja tiba di pintu, lengan kanannya telah ditangkap oleh Jeng-eng Mo-li dan perempuan itu menariknya kembali ke dalam kamar.

“Kalau kau keluar, kau akan menjumpai maut. Di luar menanti kematian dan di dalam kamar kau akan hidup penuh kesenangan,” kata Jeng-eng Mo-li dengan suara membujuk.

“Anjing hina-dina,lebih baik aku mati!” seru Kun Beng dan kali ini pemuda ini mengayun tangan kanan memukul ke arah kepala Jeng-eng Mo-li!

Akan tetapi, dengan mudah saja Jeng-eng Mo-li miringkan kepala mengelak dari pukulan ini, bahkan sekali ia menggerakkan tangan, ia telah dapat menangkap pergelangan tangan Kun Beng dan sebelum pemuda itu sempat bergerak, lengan kedua sudah ditangkap pula sehingga Kun Beng tidak berdaya lagi!

“Bodoh, kau menurutlah saja. Aku amat sayang kepadamu karena kau lain daripada pemuda-pemuda yang lemah itu. Kalau kau mau berlaku manis dan tidak membandel, kau akan kujadikan pangeran di antara mereka semua dan kau tidak usah diberi minum arak pembius. Kau lihat, orang-orang muda yang berada di sini dipaksa dengan minum obat sehingga mereka seperti boneka hidup. Aku tidak suka akan boneka-boneka hidup, aku ingin seorang kekasih yang betul-betul suka kepadaku. Nah, berlakulah manis, kau tentu akan hidup bahagia di sini.”

Namun, sebagai jawaban atas bujukan ini, kaki Kun Beng bergerak-gerak cepat sekali dan tahu-tahu dia telah mengirim tendangan yang amat kuat dan berbahaya sekali bagi keselamatan Jeng-eng Mo-li! Karena Jeng-eng Mo-li sedang memegangi kedua tangan Kun Beng dengan kedua tangannya sendiri, maka tendangan yang tiba-tiba dan dari jarak dekat datangnya ini, tak dapat ditangkis. Terpaksa ia melepaskan pegangannya dan melompat mundur. Namun Kun Beng yang sudah menjadi marah dan benci sekali kepada perempuan ini, cepat menyambar meja di depannya dan dengan meja di tangan, dia menyerang Jeng-eng Mo-li dengan hebatnya!

“Bocah tak kenal budi!” Jeng-eng Mo-li membentak keras karena ia pun merasa jengkel sekali menghadapi pemuda yang nekat ini. Dengan sebuah bangku di tangan, ia menangkis serangan Kun Beng dan terdengar suara keras ketika meja dan bangku beradu. Patah-patah kaki meja yang dipegang Kun Beng dan pemuda ini sendiri terlempar oleh benturan pukulan ini. Namun Kun Beng tidak takut dan dia melangkah maju lagi dengan kedua tangan terkepal, siap untuk menyerang dan melawan mati-matian.

Kalau saja Kun Beng tidak memiliki wajah yang tampan dan yang menarik hati Jeng-eng Mo-li, tentu perempuan ini telah menggunakan kepandaian untuk membunuhnya. Jeng-eng Mo-li merasa amat tersinggung dan juga kecewa, akan tetapi ia masih sayang kepada pemuda ini, maka ketika Kun Beng menyerbu lagi, cepat ia mengebutkan saputangan hijaunya dan robohlah Kun Beng untuk kedua kalinya!



Sama halnya dengan Kun Beng, di kamar lain Swi Kiat tengah digoda dan dibujuk oleh Ui-eng Suthai. Pemuda yang berangasan ini memaki-maki dan memberontak sehingga terpaksa Ui-eng Suthai menotoknya dan memberinya minum semacam arak yang dicampur dengan bisa yang amat luar biasa. Bisa ini seketika itu juga membuat lumpuh semangat dan menutup semua pikiran sehingga Swi Kiat seakan-akan menjadi boneka hidup yang hanya mempunyai satu maksud, yakni menurut dan mentaati segala kehendak dan perintah yang dikeluarkan oleh Ui-eng Suthai! Namun sebelum Swi Kiat berada dalam keadaan lumpuh itu, satu pikiran terkandung dalam otaknya, yakni pikiran membenci perempuan karena dia merasa muak dan benci kepada semua lagak dan kelakuan Ui-eng Suthai.

Adapun Pak-lo-sian Siangkoan Hai orang aneh yang wataknya juga luar biasa sekali itu, setelah mendapat kenyataan bahwa dia tidak dapat keluar dari sumur kering, bukannya menjadi gelisah atau bingung, bahkan sehabis memaki-maki Kun-lun Ngo-eng dengan kata-kata kotor, dia lalu bernyanyi-nyanyi dengan suara keras sehingga gemanya keluar dari sumur dan terdengar sampai jauh dari bangunan besar itu! Akan tetapi, tidak lama kemudian suaranya tidak terdengar lagi, agaknya orang tua ini telah tidur pulas. Betulkah Siangkoan Hai dapat tidur dalam keadaan seperti itu?

Sama sekali tidak! Kakek yang aneh ini ketika bergerak-gerak dan meraba-raba di dalam sumur kering, tiba-tiba tangannya menyentuh tulang-tulang manusia. Ketika dia meraba terus, ternyata bahwa tulang-tulang itu masih utuh, bahkan adapula tengkoraknya. Dan di tangan rangka manusia ini, dia mendapatkan selembar benda terbuat daripada kulit. Siangkoan Hai mengambil benda itu dan disimpannya di saku bajunya, hendak diselidikinya apabila dia dapat keluar dari kurungan itu. Ia percaya penuh bahwa tentu suara nyanyiannya yang keras terdengar oleh orang-orang gagah yang berada di Kun-lun-san, maka setelah menyimpan benda itu, kembali dia bernyanyi-nyanyi keras. Kakek ini tidak merasa khawatir karena menghadapi kepandaian Kun-lun Ngo-eng, dia tak usah takut. Mereka berlima itu tidak dapat mengganggunya walaupun dia telah tertawan di dalam sumur. Adapun soal makan. Pak-lo-sian Siangkoan Hai ini adalah seorang yang aneh. pernah dia tidak makan sampai sebulan lamanya dan sekali dia “membuka puasanya” dia dapat menghabiskan belasan kati daging dan beberapa guci arak besar! Selama itu, dia dapat mempertahankan diri dan tentu akan datang orang gagah menolongnya, pikir kakek ini.

Tidak seperti Ui-eng Suthai yang tidak sabar lagi dan terus saja membari minum arak pembius kepada Swi Kiat. Jeng-eng Mo-li masih merasa sayang kepada Kun Beng. Beberapa kali kalau pemuda ini siuman, dia membujuk dengan kasar dan halus, kemudian membuat pemuda ini pingsan kembali dengan kebutan saputangan hijaunya. Namun, Kun Beng berjiwa gagah dan bersemangat pendekar, mana dia sudi menuruti kehendak perempuan cabul yang berjiwa kotor itu?

“Kau benar-benar bandel dan agaknya kau lebih suka menjadi anjing hidup!” kata Jeng-eng Mo-li marah dan jengkel sekali. Ia keluar dari kamar dan tak lama kemudian ia datang kembali diikuti oleh seorang gadis muda yang cantik dan seorang pemuda yang tampan, akan tetapi wajah kedua orang muda ini pucat dan sinar matanya lenyap seakan-akan tidak bercahaya lagi. Melihat mereka ini, Kun Beng bergidik karena dia kin maklum bahwa yang dianggap murid-murid Kun-lun Ngo-eng, tidak tahunya hanyalah orang-orang muda yang berada di bawah pengaruh obat pembius sehingga mereka ini lebih tepat disebut boneka-boneka hidup!

Jeng-eng Mo-li berkata kepada Kun Beng,

“Anak bodoh, kau lihat ini. Sukakah kau menjadi seperti mereka?” Kemudian wanita jahat itu menoleh kepada sepasang pemuda-pemudi yang berdiri seperti patung di situ, memandang tajam dan membentak keras,

“Kalian berdua sekarang menjadi anjing. Hayo merayap di atas empat kakimu!” Dua orang muda itu ketika mendengar ucapan ini, segera berlutut dan merangkak-rangkak memutari kamar itu seperti dua ekor anjing jantan dan betina! Sambil tertawa genit Jeng-eng Mo-li lalu mengambil dua potong kue dari atas meja yang tadinya dipergunakan untuk membujuk dan menjamu Kun Beng, melemparkan dua potong kue itu di atas lantai dan berkata lagi,

“Makan kue itu seperti anjing makan, pergunakan mulutmu!” Dan benar saja, dua orang muda itu lalu makan kue itu seperti dua ekor anjing saja!

“Keluar dari sini!” Jeng-eng Mo-li membentak dan berlarilah keluar dua orang muda itu seperti anjing-anjing dipukul!

Menyaksikan pertunjukkan yang hebat ini, Kun Beng menjadi pucat sekali dan segera mukanya berubah merah.

“Perempuan iblis, kau harus mampus!” Sambil berkata demikian, pemuda ini melompat dan menerkam Jeng-eng Mo-li, hendak mencekik leher perempuan jahat ini. Akan tetapi memang kepandaiannya kalah jauh, beberapa gebrakan saja dia telah kena ditotok jalan darahnya dan tak dapat berkutik lagi. Jeng-eng Mo-li kini sudah marah sekali dan habis kesabarannya.



“Kalau kau tidak mau menurut kepadaku, baik! Kau akan menjadi boneka hidup!” Setelah berkata demikian, ia lalu mengambil sebotol arak berwarna hitam dan ketika ia membuka tutup botol itu, bau yang keras sekali memenuhi kamar. Ia menghampiri Kun Beng yang sudah di atas pembaringan tak dapat bergerak lagi dan hendak menuangkan isi botol ke dalam mulut pemuda itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan keras dari luar kamar.

“Perempuan iblis!” dan menyambarlah angin pukulan yang demikian kerasnya sehingga ketika Jeng-eng Mo-li mengelak, botol di tangannya itu terpukul oleh angin pukulan dan terlepas dari pegangan! Botol itu jatuh pecah di atas lantai, dan bau yang keras itu makin menghebat.

Jeng-eng Mo-li terkejut sekali karena suara itu adalah suara Pak-lo-sian Siangkoan Hai! Ia cepat melompat keluar kamar dari pintu rahasia. Pak-lo-sian Siangkoan Hai tidak mempedulikannya, sebaliknya lebih dulu membebaskan muridnya dari pengaruh totokan, kemudian dia mengajak Kun Beng melompat keluar.

Bagaimanakah Pak-lo-sian dapat keluar dari sumur kering dan dapat menolong Kun Beng pada saat yang amat tepat? Mudah diduga bahwa ini tentulah hasil usaha Ang-bin Sin-kai, akan tetapi sesungguhnya bukan kakek sakti ini, melainkan muridnya yang menolong Pak-lo-sian Siangkoan Hai.

Seperti telah dituturkan di bagian depan, dengan cepat sekali Ang-bin Sin-kai dan muridnya berlari menuju ke tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng atau lima garuda dari Kun-lun-san itu. Tidak seperti Siangkoan Hai yang menantang dari depan, Ang-bin Sin-kai yang sudah dapat menduga bahwa orang seperti Pak-lo-sian itu kalau sampai kalah, tentu di situ terdapat tempat-tempat rahasia dan jebakan-jebakan, mengambil jalan dari atas! Ia memegang tangan Kwan Cu dan mengajak muridnya melayang naik ke atas pagar tembok yang tinggi, kemudian dengan mengenjotkan sebelah kaki ke atas tembok, dia dapat melompat terus genteng dengan gerakan sedemikian ringannya sehingga tidak terdengar sedikitpun oleh orang-orang yang berada di bawah.

Dalam percakapan dengan Seng Thian Siansu, Ang-bin Sin-kai sudah mendengar bahwa di dalam bangunan itu, orang-orang yang berbahaya hanyalah Kun-lun Ngo-eng saja, sedangkan para “murid-muridnya” tidak memiliki kepandaian berarti.

“Kwan Cu, kau lihat baik-baik. Kalau aku sudah di keroyok oleh lima orang Kun-lun Ngo-eng itu, barulah kau boleh turun dan cari orang-orang yang perlu ditolong,” kata pengemis sakti itu kepada muridnya.

Kemudian, guru dan murid ini tiba di tengah-tengah bangunan itu di mana terdapat sebuah ruangan di bawahnya. Mereka melihat tiga orang laki-laki tua dan seorang wanita setengah tua yang cantik dan genit duduk menghadapi meja dan sedang makan minum dengan senangnya. Mereka ini dilayani oleh anak-anak muda laki-laki dan perempuan yang bergerak seperti patung hidup. Kwan Cu terkejut sekali ketika melihat Swi Kiat berada di antara para anak muda yang melayani empat orang tokoh jahat itu. Seperti anak-anak muda yang lain, Swi Kiat berwajah pucat dan pandang matanya tak bersinar. Mereka ini adalah Pek-eng Sianjin, Ang-eng Sianjin, dan Hek-eng Sianjin sedangkan yang perempuan adalah Ui-eng Suthai. Adapun Jeng-eng Mo-li tidak kelihatan karena wanita busuk ini sedang membujuk dan mengancam Kun Beng di dalam kamarnya sendiri!

Tadinya Ang-bin Sin-kai hendak menanti sampai lima tokoh jahat itu berkumpul semua agar dia dapat menyerang mereka dan memberi kesempatan kepada muridnya untuk menolong Pak-lo-sian, murid-muridnya, dan lain orang yang ditawan disitu. Akan tetapi ketika kakek pengemis ini menyaksikan keadaan orang-orang muda itu, seketika mukanya menjadi merah padam dan alisnya berdiri. Kemarahannya memuncak, karena kakek ini mengerti apakah yang menimpa pada diri anak-anak muda itu!

Pada saat Ang-bin Sin-kai yang sudah marah sekali itu hendak turun tangan, tiba-tiba berkelebat bayangan yang gesit sekalidan juga amat ringannya, kemudian disusul oleh suara orang menyuling lagu kuno yang indah!

“Hang-hong-siauw Yok-ong datang….” kata Ang-bin Sin-kai perlahan pada muridnya. Kemudian dia berkata kepada bayangan yang datang itu.

“Yok-ong (Raja Obat), kebetulan sekali kau datang. Banyak pekerjaan mulia untukmu!” Setelah berkata demikian, dengan hati girang dan besar, Ang-bin Sin-kai melompat turun dan segera melayang ke atas meja di tengah ruangan itu.

Ketika tadi mendengar suara suling dari Hang-hong-siauw Yok-ong, empat orang tokoh Kun-lun Ngo-eng itu terkejut sekali dan masing-masing melompat bangun dari tempat duduknya, apalagi ketika mereka mendengar suara Ang-bin Sin-kai yang belum mereka kenal. Tentu saja mereka amat kaget ketika mendengar suara orang di atas ruangan. Bagaimana ada orang bisa berada di atas genteng tanpa mereka dengar sama sekali suara kakinya? Padahal mereka rata-rata memiliki pendengaran yang amat tajam!



Oleh karena itu, dapat dibayangkan betapa hebat kekagetan mereka ketika tiba-tiba bertiup angin kencang dibarengi berkelebatnya bayangan manusia dan tahu-tahu di atas meja yang mereka hadapi tadi, kini telah berdiri seorang kakek pengemis yang rambut dan jenggotnya panjang dan pakaiannya tidak karuan macamnya. Kakek ini ketika dari atas melayang ke atas meja, kini berdiri di atas dua buah mangkok sayur, memandangi masakan-masakan di atas meja sambil tersenyum-senyum lalu berkata mengejek,

“Masakan busuk……aku tidak doyan….!”

Pek-eng Sianjin tahu bahwa tempat tinggalnya kedatangan orang pandai yang tentu sudah mengetahui akan semua peristiwa yang belum lama terjadi. Memang dia sudah merasa tidak enak sekali dengan tertawanya Pak-lo-sian dan juga Kun-lun Sam-lojin, dan tentu saja dia dapat menduga bahwa kedatangan kakek pengemis ini tentulah ada hubungannya dengan orang-orang kang-ouw yang tertawan itu. Maka dia lalu memberi tanda rahasia kepada tiga orang saudaranya dan serentak empat orang ini mengepung dan menyerang tubuh Ang-bin Sin-kai yang masih berdiri di atas meja dengan kedua kaki di atas mangkok. Yang diserang dengan amat tenang hanya menggerakkan kedua kakinya dan melayanglah empat buah mangkok berisi sayuran ke arah empat penyerangnya!

Ketika Pek-eng Sianjin dan tiga orang saudaranya melihat mangkok melayang ke arah mereka, cepat mereka memukulkan dengan pedang dan alangkah kaget hati mereka ketika telapak tangan mereka terasa sakit dan panas walaupun mangkok-mangkok itu dapat dipukul pecah. Mereka mendesak maju mengurung meja, namun dengan mangkok-mangkok di atas meja, Ang-bin Sin-kai melayani mereka dengan menendangi mangkok-mangkok itu ke arah empat pengeroyoknya.

Sementara itu, Hang-hong-siauw Yok-ong juga melayang turun, akan tetapi raja obat ini sama sekali tidak ikut bertempur. Bahkan dia tertawa geli melihat cara Ang-bin Sin-kai melayani empat orang lawannya dan untuk beberapa lama menonton sambil tertawa-tawa. Kemudian dia menotoki roboh semua orang muda yang tadi melayani Pek-eng Sianjin dan saudara-saudaranya. Tubuh para orang muda itu oleh Yok-ong dikumpulkan di sudut ruangan yang lebar itu, dibaringkan saja berjajar di atas lantai, lalu dia mencar-cari lagi anak-anak muda yang lain yang memang banyak terculik oleh lima orang jahat itu.

Kwan Cu setelah melihat suhunya dikeroyok oleh empat orang lawan di dalam ruangan itu, lalu melompat turun ke bagian belakang. Tugasnya ialah menolong orang-orang yang tertawan di situ, akan tetapi di manakah tempat untuk menyimpan para tawanan? Ketika dia tengah mencari, tiba-tiba dia mendengar suara orang bernyanyi. Ia mengenal suara Pak-lo-sian Siangkoan Hai, maka cepat-cepat dia menghampiri tempat dari mana suara itu datang dari dalam sebuah sumur yang amat dalam dan gelap.

“Pak-lo-sian Locianpwe……..!” Kwan Cu memanggil dari atas sumur.

Suara nyanyian itu berhenti dan tak lama kemudian terdengar suara tertawa.

“Ha-ha-ha, bocah gundul. Bukankah kau murid Ang-bin Sin-kai? Lekas kau mencari tambang yang panjang dan masukkan ujungnya ke dalam sumur. Ujung yang lain kau ikatkan kepada tiang agar aku dapat naik!”

“Baik, Locianpwe, tunggulah sebentar.” Kwan Cu lalu berlari-lari ke belakang untuk mencari tambang yang cukup panjang. Ia bertemu dengan beberapa “murid” Kun-lun Ngo-eng yang segera menyerangnya. Akan tetapi, sebetulnya para murid ini hanya mengerti ilmu silat kembangan saja dan mereka itu bertempur seperti orang-orang yang digerakkan oleh mesin, maka sebentar saja Kwan Cu sudah dapat meloloskan diri dari kepungan. Anak gundul yang cerdik ini dapat melihat sikap mereka yang aneh, maka dia menjadi curiga dan tidak mau memukul atau merobohkan mereka, hanya menangkis saja yang membuat mereka terpental mundur, lalu dia dapat menemukan tambang yang panjang dan cepat dia membawa tambang itu ke tempat di mana terdapat sumur tadi.

“Locianpwe, tangkap tambang!” serunya ke dalam sumur sambil mengulur tambang itu ke dalam sumur yang amat gelap itu. Ia tidak mengikatkan ujung tambang pada tiang, melainkan memeganginya dan membelit-belitkan pada kedua tangannya. Tak lama kemudian tambang itu bergerak-gerak dan dengan cepatnya tubuh Pak-lo-sian Siangkoan Hai merayap naik melalui tambang bagaikan seekor kera saja.



Ketika tiba di atas dan melihat betapa tambang itu dipegangi oleh Kwan Cu, Pak-lo-sian tertawa memuji. Akan tetapi Kwan Cu berkata,

“Cepat, Locianpwe, di kamar belakang sebelah kiri teecu mendengar suara Kun Beng memaki-maki. Agaknya dia dalam bahaya!” Memang ketika mencari tambang tadi, Kwan Cu mendengar suara Kun Beng yang sedang memaki-maki Jeng-eng Mo-li. Bocah gundul ini tidak berani menolong karena dia dapat menduga bahwa orang kelima dari Kun-lun Ngo-eng boleh jadi sekali berada di kamar itu dan dia maklum bahwa kepandaiannya sendiri masih jauh untuk menghadapi lawan tangguh.

Mendengar ini, Pak-lo-sian Siangkoan Hai lalu melompat dan lenyap dari situ. Sebagaimana dituturkan di bagian depan, dengan tepat sekali Pak-lo-sian Siangkoan Hai dapat menyelamatkan Kun Beng dari bahaya terkena obat bius yang berbahaya. Adapun Jeng-eng Mo-li setelah berlari keluar dan melihat empat orang saudaranya mengeroyok Ang-bin Sin-kai namun kelihatan amat terdesak, segera membantu.

“Ha-ha-ha! Kini lengkap Kun-lun Ngo-mo (Lima Iblis Kun-lun-san)! Bagus, bagus!” Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai menggerakkan kakinya. Terdengar teriakan kaget dan tubuh Ui-eng Suthai terlempar ke arah Yok-ong yang kini berada di sudut, menjaga orang-orang muda yang semua telah ditotoknya dan kini dibaringkan di atas lantai berjajar, belasan orang jumlahnya.

Sambil meniup sulingnya, Yok-ong tadi menonton pertandingan antara Ang-bin Sin-kai dikeroyok lima orang. Nampaknya dia gembira sekai dan sulingnya ditiup keras, menyanyikan lagu perang sehingga sesuai sekali dengan jalannya pertempuran. Karena inilah maka Ang-bin Sin-kai mendongkol sekali dan sengaja menendang seorang lawannya ke arah Yok-ong. Melihat tubuh wanita jahat itu melayang ke arahnya, Yok-ong tidak menghentikan suara sulingnya, hanya mengangkat kaki kirinya dan sekali mendupak, tubuh Ui-eng Suthai telah dikirim kembali ke tengah medan pertempuran!

Pak-lo-sian Siangkoan Hai sebelum membawa Kun Beng ke tempat itu, lebih dulu menolong dan membebaskan Seng Te Siansu dan Seng Jin Siansu, dua orang tokoh Kun-lun-pai yang ditawan di dalam sebuah kamar besi. Kemudian beramai-ramai mereka menuju ke ruang tengah di mana terjadi pertempuran antara Ang-bin Sin-kai dikeroyok lima.

Pak-lo-sian marah sekali ketika mendengar dari Kun Beng tentang kejahatan Kun-lun Ngo-eng. Apalagi ketika tiba di ruang itu dia melihat muridnya yang pertama, Swi kiat, rebah bersama orang-orang muda lain dengan muka pucat.

“Harus kubikin mampus kelima Kun-lun Ngo-eng!” katanya penuh geram.

Kebetulan sekali Ang-bin Sin-kai yang sedang mempermainkan lima orang lawannya, melihat betapa Pak-lo-sian Siangkoan Hai masuk dari sebuah pintu, diikuti oleh Kun Beng dan dua orang kakek Kun-lun-pai, segera berkata,

“He, Pak-lo-sian, mari kau ikut main-main!” serunya dan kembali seorang pengeroyok, kini Hek-eng Sianjin, terlempar tubuhnya terkena dorongannya. Tubuh Hek-eng Sianjin berputar-putar di tengah udara dan melayang menuju ke tempat Pak-lo-sian Siangkoan Hai berdiri. Kakek sakti dari utara ini yang sudah merasa amat gemas dan marah kepada lima orang jahat itu, mengulur tangan kanannya dan sekali sambar dia telah dapat menangkap leher Hek-eng Sianjin, kemudian sambil berseru, “Mampuslah kau!” tubuh itu dia lemparkan ke arah dinding. Terdengar suara keras dan kepala Hek-eng Sianjin pecah beradu dengan dinding batu yang keras. Tubuhnya menggeletak di bawah tembok dan darah mengalir membasahi lantai.

Yok-ong menghentikan tiupan sulingnya dan berkata memuji,

“Memang begitulah seharusnya menghukum orang jahat. Kalau tidak dihabiskan jiwanya, iblis yang mengeram di dalam tubuhnya takkan mau pergi!”

Akan tetapi baru saja dia menutup mulutnya, Ang-bin Sin-kai telah menangkap lengan Ui-eng Suthai yang ternyata masih dapat mengeroyok juga setelah tadi dipergunakan sebagai bal oleh Yok-ong dan Ang-bin Sin-kai, kemudian sambil membetot dia melemparkan tubuh Ui-eng Suthai ke arah Yok-ong !

“Ini bagianmu!” seru Ang-bin Sin-kai lantang.

“Eh, eh, eh, aku tidak biasa menghancurkan kepala orang!” kata Yok-ong gugup karena tidak tersangka bahwa dia harus menewaskan seorang di antara Kun-lun Ngo-eng. Dia seorang Raja Obat, kesukaannya menyembuhkan orang sakit dan mencegah orang tercengkeram dan terbawa oleh Giam-lo-ong (Raja Maut). Bagaimana dia dapat membunuh orang? Maka setelah tubuh Ui-eng Suthai itu melayang ke dekatnya, dia lalu mendorongnya kembali sehingga tubuh wanita itu terpental ke arah Pak-lo-sian Siangkoan Hai!



Pak-lo-sian Siangkoan Hai dapat menduga bahwa muridnya, yakni Swi Kiat, tentu menjadi korban perempuan ini karena perempuan kedua Kun-lun Ngo-eng, yakni Jeng-eng Mo-li, dilihatnya tadi menggoda Kun Beng. Maka marahnya tak dapat dikendalikan lagi dan melihat perempuan ini, dia mengangkat kaki kanannya menendang ke arah lambung Ui-eng Suthai. Wanita ini menjerit ngeri dan tubuhnya terlempar ke arah dinding, terbentur keras dan roboh di atas tubuh Hek-eng Sianjin dalam keadaan tak bernyawa pula. Yang membunuhnya adalah tendangan tadi karena Pak-lo-sian tidak mau berlaku kepalang dan telah mengerahkan seluruh tenaga dalam tendangannya. Mana Ui-eng Suthai kuat menahan tendangan itu?

Pak-lo-sian Siangkoan Hai telah menewaskan dua orang jahat itu, menjadi makin buas. Ia memang paling benci kepada orang-orang jahat, apalagi setelah dia melihat keadaan orang-orang muda itu, terutama sekali keadaan muridnya yang tersayang. Sambil mengeluarkan seruan keras dia melompat maju dan menyerang tiga orang lain yang masih dipermainkan oleh Ang-bin Sin-kai. Bagaimana tiga orang itu dapat bertahan menghadapi serangannya? Sedangkan menghadapi Ang-bin Sin-kai seorang saja mereka telah menjadi sibuk dan terdesak hebat. Kini Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang kepandaiannya setingkat dengan Ang-bin Sin-kai ikut pula menyerbu, tentu saja mereka tak dapat mempertahankan diri lagi. Jeng-eng Mo-li yang mula-mula menjadi korban dari kipas hitam di tangan Pak-lo-sian. Kipas ini menyambar bagaikan seekor burung gagak liar, dan biarpun Jeng-eng Mo-li berusaha sedapat mungkin untuk menangkis dengan pedangnya, namun sia-sia belaka. Pedangnya patah menjadi dua dan kepalanya terkena totokan gagang kipas. Terdengar jerit mengerikan dan tubuh Jeng-eng Mo-li roboh, kemudian ketika Pak-lo-sian menendangnya, tubuh itu terlempar ke sudut ruangan, bertumpuk dengan tubuh Ui-eng Suthai dan Hek-eng Sianjin!

Pek-eng Sianjin menjadi pucat ketakutan dan dia mencoba untuk bertahan. Ilmu pedangnya memang paling kuat di antara saudara-saudaranya, maka dia masih dapat mempertahankan diri. Akan tetapi Ang-eng Sianjin tak dapat menangkis lagi. Ketika Pak-lo-sian Siangkoan Hai menggunakan kipasnya untuk menyerang, dia berusaha melompat pergi, namun kipas itu seperti ada matanya dan hidup. Dengan kecepatan luar biasa kipas itu mengikutinya dan tahu-tahu belakang lehernya terkena pukulan. Terdengar suara keras dan patahlah tulang lehernya sehingga dia pun roboh tak bernyawa lagi. Pak-lo-sian menendangnya pula sehingga mayatnya bertumpuk dengan mayat saudara-saudaranya. Habislah keberanian Pek-eng Sianjin setelah melihat empat orang adik seperguruannya tewas dalam keadaan mengerikan itu. Timbul kegetiran hatinya dan dalam keadaan ketakutan, dia lalu berlutut dan melempar pedangnya.

“Pinto (aku) Pek-eng Sianjin mohon ampun dan minta hidup.” Katanya dengan bibir gemetar.

Mendengar ini, Yok-ong mengluarkan suara ejekan dari hidungnya. Tokoh besar ini merasa jemu dan muak melihat sikap pengecut dari Pek-eng Sianjin ini, maka dia lalu membalikkan tubuh dan menghampiri para anak muda yang masih rebah tertotok olehnya. Ia mulai memeriksa keadaan mereka dan mempersiapkan obat-obat untuk menolong orang-orang muda yang telah menjadi boneka hidup oleh obat pembius dari Kun-lun Ngo-eng.

“Dia harus mampus!” seru Seng Te Siansu dan Seng Jin Siansu yang merasa sakit hati mengingat akan kematian adik seperguruan mereka, yakni Seng Giok Siansu.

Adapun Pak-lo-sian Siangkoan Hai dengan wajah beringas sudah mendekati Pek-eng Sianjin dan tanpa banyak cakap lagi dia mengangkat kipasnya untuk menotok kepala ketua Kun-lun Ngo-eng itu agar nyawanya menyusul adik-adiknya memasuki pintu neraka.

Akan tetapi Ang-bin Sin-kai berseru,

“Pak-lo-sian, tahan!”

Pak-lo-sian Siangkoan Hai menoleh kepada kakek pengemis itu. Kedua matanya merah dan masih menyinarkan kemarahan besar.

“Mengapa kau menahanku, Ang-bin Sin-kai? Tidakkah sepatutnya anjing macam ini dilenyapkan dari muka bumi?”

“Nanti dulu, Pak-lo-sian. Aku akan merasa menyesal sekali kalau kau sampai membunuh seorang yang sudah menyerah. Pembunuhan macam itu tak patut dilakukan oleh orang gagah.” Kemudian pengemis sakti ini bertanya kepada Pek-eng Sianjin.

“Berdasarkan apakah kau mohon ampun dan minta hidup? Apakah kau sudah bertobat dan takkan melakukan kejahatan lagi?”

“Pinto sudah bertobat dan berjanji akan hidup melalui jalan benar,” jawab Pek-eng Sianjin dengan suara sungguh-sungguh karena timbul harapan akan mendapat ampun.

“Bohong!” bentak Pak-lo-sian Siangkoan Hai sambil mengangkat lagi kipasnya, “Omongan manusia macam ini tak boleh dipercaya, karena mulutnya, seperti juga pikiran dan hatinya, telah dikuasai oleh iblis. Ia harus mati!”

“Benar sekali, dia harus mati!” kata pula Seng Te Siansu dan Seng Ji Siansu, membenarkan pendapat ini.

Ang-bin Sin-kai mengangkat tangan dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Ingatlah ujar-ujar guru besar Khong Hu Cu dalam kitab Lun Gi bahwa kejahatan barulah disebut kejahatan sesungguhnya apabila orangnya tidak berusaha untuk mengubah atau memperbaiki kejahatan atau kesalahannya itu! Pek-eng Sianjin telah berjanji akan mengubah cara hidupnya dan melakukan kebaikan untk menebus dosa-dosanya, maka dia berhak hidup.”



“Ang-bin Sin-kai, kau gegabah sekali! Beranikah kau menanggung bahwa dia kelak tidak akan berbuat kejahatan? Kalau dia kelak berbuat jahat, bukankah itu sama halnya dengan kau sendiri yang berbuat kejahatan?” bentak Pak-lo-sian marah.

Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak, “Pak-lo-sian, aku adalah seorang laki-laki sejati, sekali bicara takkan kutelan kembali! Tentu saja aku berani bertanggung jawab, akan tetapi apakah kepalamu yang putih itu sudah sedemikian bodoh?” ia tidak melanjutkan keterangannya, melainkan berkata kepada Pek-eng Sianjin,

“Kau tadi berjanji akan mengubah jalanhidupmu dan melakukan kebaikan, apakah kau berani bersumpah?”

Pek-eng Sianjin mengangguk.

“Nah, kalau begitu bersumpahlah, biar kami menjadi saksi.”

“Kalau aku, Pek-eng Sianjin, tidak bertobat dan melakukan kejahatan, biarlah aku dan semua keturunan atau anak muridku, binasa oleh orang-orang gagah!”

Baru saja Pek-eng Sianjin menutup mulutnya, Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak dan berkata,

“Nah, kau pergilah!” Sambil berkata demikian, kedua tangan Ang-bin Sin-kai bergerak cepat dan tahu-tahu jari tangan kirinya menotok punggung dan jari tangan kanan memencet pinggang ketua Kun-lun Ngo-eng itu. Pek-eng Sianjin menjerit kesakitan dan tubuhnya bergulingan di atas lantai. Setelah dia dapat mengumpulkan tenaga dan napas, sambil meringis menahan rasa sakit di seluruh tubuhnya, ternyata bahwa tubuhnya teah menjadi bongkok dan kedua tangan kakinya tak mungkin dapat dipergunakan untuk memukul orang lagi! Ia telah kehilangan dasar-dasar tenaganya dan menjadi orang biasa yang bertubuh lemah!

“Ha, ha, ha, Ang-bin Sin-kai, kau benar-benar lihai dan cerdik sekali!” kata Pak-lo-sian Siangkoan Hai karena dia tahu bahwa Pek-eng Sianjin tak dapat berlaku jahat lagi, biarpun ingin melakukan kejahatannya, namun tenaganya sudah habis dan dia tidak merupakan orang berbahaya lagi. Juga kedua orang tosu dari Kun-lun-pai, mengangguk-angguk memuji dan merasa lega melihat hajaran yang di berikan kepada Pek-eng Sianjin.

“Hemmm, dia tak dapat diobati lagi dan akan tinggal menjadi orang bercacad selama hidupnya,” kata Yok-ong sambil menggeleng-geleng kepalanya.

Sementara itu, sambil meringis menahan kesakitan Pek-eng Sianjin memandang kepada Ang-bin Sin-kai dan berkata penuh dendam.

“Ang-bin Sin-kai, ternyata kau kejam sekali dan tidak percaya kepada sumpahku. Kau telah membuat aku menderita selama hidupku. Baik, kau tunggu saja kelak tentu akan ada orang yang membalaskan sakit hatiku ini, kalau tidak kepadamu, tentu kepada murid-muridmu!” Setelah berkata demikian, Pek-eng Sianjin lalu berjalan terpincang-pincang pergi dari tempat itu.

Terdengar Pak-lo-sian Siangkoan Hai tertawa bergelak.

“Pengemis bangkotan, kau mencari penyakit! Kalau tadi kau membiarkan dia kubunuh, tentu dia sudah menjadi setan dan takkan bisa lagi mengeluarkan ancaman lagi. Sekarang kau harus berhati-hati, karena kau menambah adanya seorang yang berbahaya.”

“Biarlah,” jawab Ang-bin Sin-kai tenang, “kalau dia memenuhi ancamannya, tak bisa lain berarti dia melanggar sumpahnya sendiri.”

Semua orang lalu mencurahkan perhatiannya kepada Yok-ong yang mulai mengeluarkan kepandaiannya mengobati para orang muda yang masih tergeletak di tempat itu. Seorang demi seorang diurutnya bagian belakang kepala, lalu diberi minum sebutir pil putih yang sudah dicairkan dengan arak obat. Setiap orang anak muda yang mengalami pengobatan ini, lalu muntah-muntah dan keluarlah arak hitam yang membuat mereka seperti boneka hidup. Kemudian sadarlah mereka dan setelah dibebaskan dari totokan, ramailah di situ karena mereka mulai menangis sedih!

Juga Swi Kiat mengalami pengobatan. Karena pemuda ini sudah memiliki dasar yang kuat dan sudah berlatih lweekang secara mendalam, sebentar saja kesehatannya sudah pulih kembali. Dia memandang kepada suhunya lalu berlutut dan biarpun tidak terdengar menangis, namun mukanya menjadi merah dan dari kedua matanya melompat keluar dua titik air mata.

“Swi Kiat, tak usah kau memikirkan hal yang sudah lewat. Memang pengalaman pahit ini membuat kau kehilangan dasar kekuatan dalam tubuhmu, akan tetapi kalau kau giat berlatih, kau akan mendapatkan kembali tenagamu,” kata gurunya dengan suara mengandung keharuan.

“Teecu bersumpah takkan mendekati wanita selama hidup teecu!” suara ini terdengar keras dan mengandung kebencian besar terhadap wanita, yang ditimbulkan oleh Ui-eng Suthai.

Setelah semua orang menerima tiga butir pil putih dari Yok-ong, lalu kedua orang tokoh Kun-lun-pai diberi tugas untuk mengurus semua anak muda dan mengantar mereka kembali ke rumah dan dusun masing-masing.

Setelah pengobatan itu beres semua, barulah Ang-bin Sin-kai teringat kepada muridnya. “Eh, mana Kwan Cu?” tanyanya sambil memandang ke sana-sini dan baru dia merasa khawatir karena ternyata bahwa semenjak tadi tidak kelihatan Kwan Cu di tempat itu.

“Muridmu yang gundul itu?” kata Pak-lo-sian Siangkoan Hai. “Tadi dia menolongku keluar dari sumur.”



Tidak hanya Ang-bin Sin-kai yang merasa khawatir, bahkan Pak-lo-sian Saingkoan Hai dan juga Hang-houw-siauw Yok-ong ikut mengkhawatirkan keadaan anak itu. Jangan-jangan anak itu mengalami bencana yang tidak mereka ketahui. Beramai-ramai mereka lalu pergi ke tempat di mana tadi Kwan Cu menolong Pak-lo-sian Siangkoan Hai.

“Kwan Cu…..!” Ang-bin Sin-kai berseru keras sekali sambil mengerahkan khikangnya sehingga suaranya dapat terdengar dari tempat jauh di sekitar tampat itu.

Tak lama kemudian, setelah gema panggilan itu lenyap, tiba-tiba terdengarlah jawaban Kwan Cu.

“Teecu berada di sini, Suhu!”

Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang diikuti oleh Swi Kiat dan Kun Beng lalu Ang-bin Sin-kai dan Hang-houw-siauw Yok-ong, saling pandang dengan heran karena suara Kwan Cu itu tidak dapat ditentukan dari mana datangnya.

“Eh, Kwan Cu, kau di manakah?” kembali Ang-bin Sin-kai bertanya. “Teecu di sini, Suhu. Di bawah sini, tunggulah sebentar, teecu akan segera keluar!” Barulah semua orang tahu bahwa Kwan Cu berada di dalam sumur di mana tadinya Pak-lo-sian Siangkoan Hai terkurung! Oleh karena dia berada di bawah, maka suaranya terdengar bergema ke atas dan tidak dapat ditentukan dari mana datangnya.

“Ha-ha-ha-ha-ha! Ang-bin Sin-kai, muridmu itu benar-benar lucu dan aneh! Mengapa dia memasuki neraka ini? Ha-ha-ha, benar-benar anak ajaib, akan tetapi di samping kebodohannya harus kupuji ketabahan hatinya. Agaknya dia turun mempergunakan tambang yang tadi dipakai untuk menolongku.” Kata Pak-lo-sian sambil menunjuk ke arah tambang yang ujungnya diikatkan pada tiang dan ujung yang lain menjulur masuk ke dalam sumur kecil yang gelap sekali itu. Semua orang kini memandang ke arah sumur, menanti munculnya Kwan Cu bocah gundul yang aneh itu.

Memang betul, Kwan Cu telah memasuki sumur itu. Bocah ini selain mempunyai pikiran yang aneh-aneh, juga amat tabah dan cerdik. Ia tahu bahwa suhunya sanggup menghadapi para pengeroyoknya, apalagi tadi dilihatnya ada Yok-ong yang sekarang ditambah pula dengan Pak-lo-sian, dia tidak khawatir kalau orang-orang tua itu takkan dapat menolong semua korban Kun-lun Ngo-eng, maka ketika dia melihat sumur kecil yang gelap itu, timbul keinginan hatinya hendak memeriksa di bawahnya! Tadi dia mendengar Pak-lo-sian bernyanyi-nyanyi di bawah sumur, tentu di sana tempatnya enak, maka dia merasa penasaran kalau belum melihat apakah sebetulnya yang berada di dalam sumur itu. Sebelum memasuki sumur, lebih dulu dia mengambil alat pembuat api yang terletak di atas meja dalam ruangan yang berdekatan, kemudian setelah mengikatkan ujung tambang pada tiang dan membawa alat pembuat api itu, dia lalu merayap turun melalui tambang.

Ketika kakinya menyentuh dasar sumur, mula-mula yang terinjak olehnya adalah benda keras. Ia melepaskan tambang dan meraba-raba benda itu yang ternyata adalah tulang-tulang manusia! Dari rabaan ini Kwan Cu dapat menduga bahwa itu tentulah tulang-tulang, namun dia tidak mengira bahwa tulang-tulang yang diinjaknya tadi adalah tulang rangka manusia.

Dengan tenang dia lalu menyalakan alat pembuat api dan membakar lilin yang memang sengaja dibawanya dari atas. Matanya menjadi silau karena tempat yang gelap pekat itu tiba-tiba menjadi terang. Pertama-tama yang ditemui penglihatannya adalah tulang-tulang itu dan biarpun dia memiliki ketabahan luar biasa, dia merasa seram juga ketika mendapat kenyataan bahwa yang diraba-rabanya tadi adalah tulang-tulang manusia yang masih utuh semua, lengkap dengan kepalanya. Di bawah penerangan lilin, Kwan Cu memeriksa rangka itu dan mendapat kenyataan bahwa kepala rangka itu telah pecah! Ia lalu memeriksa keadaan di sekitarnya. Tempat itu lebarnya kira-kira tujuh kaki dan ketika dia memeriksa ke sana ke mari, dia melihat benda putih di sudut kiri. Ketika diambilnya, ternyata bahwa benda itu adalah sebuah kitab yang sudah tidak ada sampulnya lagi. Berdebar hati anak ini, karena setiap melihat kitab, dia teringat akan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang di cari-carinya. Ia meleletkan lilin di atas tanah yang lembab, lalu duduk dan membuka-buka kitab itu.

Hampir saja dia berseru kegirangan karena melihat huruf-huruf yang tertulis di kitab itu ternyata adalah huruf-huruf kuno yang sama dengan huruf-huruf di dalam kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu yang dulu diperebutkan oleh lima orang tokoh besar! Segera anak ini membaca kitab itu dan kegembiraannya bertambah ketika dia medapat kenyataan bahwa inilah kitab sejarah peninggalan Gui-siucai yang dicuri orang dari gua tempat tinggal mendiang Gu-siucai itu!

Mendapatkan kitab ini, segera dia hendak naik kembali sambil membawa kitab, akan tetapi tiba-tiba dia teringat bahwa Pak-lo-sian Siangkoan Hai tadi pun berada di tempat ini! Dan sampul kitab itu sudah lenyap, siapa tahu kalau-kalau Pak-lo-sian Siangkoan Hai juga melihat kitab ini? Berbahaya sekali kalau terjadi hal seperti itu, karena kalau dia tiba di atas membawa kitab itu, tentu Pak-lo-sian Siangkoan Hai takkan tinggal diam dan tentu akan berusaha merampasnya! Ia teringat betapa tokoh-tokoh besar yang lain seperti Kiu-bwe Coa-li juga mencari kitab ini, maka akan besarlah bahayanya kalau dia membawa kitab itu. Ia tidak memerlukan membaca seluruh isi kitab sejarah ini, hanya perlu mengetahui tentang rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng dan tempat kitab itu, pikirannya bekerja cepat dan dia segera mengambil keputusan untuk membaca bagian itu saja di tempat tersembunyi ini.



Ia cepat membuka-buka kitab itu dan matanya bergerak-gerak mencari tulisan mengenai Im-yang Bu-tek Cin-keng. Akhirnya usahanya berhasil karena di tengah-tengah buku, di halaman ke dua puluh empat, dia menemukan tulisan tentang kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng! Setelah pandang matanya berlari-lari membaca bagian ini, lalu dia membaca berulang-ulang bagian yang terpenting, yang berbunyi seperti berikut:

“Kitab ini terkutuk dan menjadi alat perusak dunia apabila terjatuh ke dalam tangan orang jahat. Sebaliknya menjadi kitab suci yang akan membangun kebajikan apabila terjatuh ke dalam seorang manusia berbudi. Tertulis oleh manusia dewa dan ketika pada saat terakhir terjatuh ke dalam tangan Liu Pang (kelak menjadi Kaisar Kao Tsu) dan khawatir kalau-kalau kitab rahasia ini terjatuh ke dalam tangan orang jahat, Liu Pang menyembunyikannya ke dalam tempat rahasia di atas pulau kosong.

Ketika menyembunyikan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, dia menuju ke kota di mulut Sungai Yalu, lalu naik perahu yang dibawa oleh air sungai itu ke laut. Dari sini menuju ke kanan, melalui pulau-pulau besar dan di antara pulau-pulau itu terdapat sebuah pulau kecil yang bentuknya bulat, ditumbuhi oleh pohon-pohon berdaun putih. Di sinilah kitab itu disimpan. Dia yang berjodoh tentu akan mendapat tuntunan tangan Thian Yang Maha Kuasa untuk mendapatkan kitab ini.”

Hanya bagian itulah yang dibaca berkali-kali oleh Kwan Cu, terutama sekali dia mengingat-ingat keterangan tentang disimpannya kitab itu. Hatinya berdebar girang dan dia terkejut sekali ketika mendengar suara gurunya memanggilnya. Ia cepat menjawab dan karena khawatir akan ditemukannya kitab itu oleh orang lain, dia lalu membakar kitab itu dengan lilinnya!

Orang-orang yang menanti di atas sumur, tiba-tiba melihat asap keluar dari sumur itu. Tentu saja semua orang menjadi heran dan terutama Ang-bin Sin-kai merasa khawatir sekali.

“Eh, Kwan Cu! Apa yang terjadi? Ada kebakaran di dalam?” tanyanya hilang sabar.

“Teecu sekarang juga keluar, Suhu,” jawab Kwan Cu dari dalam dan setelah melihat betapa kitab itu terbakar habis, anak ini lalu merayap naik melalui tambang.

Begitu dia muncul di permukaan sumur, Kun Beng tertawa bergelak, dan orang-orang lain juga tersenyum geli. Ternyata bahwa muka Kwan Cu tanpa disadarinya telah menjadi hitam penuh angus. Hal ini terjadi karena kitab itu agak basah dan ketika di bakar, maka menimbulkan asap hitam yang menghanguskan mukanya!

“Eh, Kwan Cu, apakah kau berubah menjadi setan bumi?” tanya Ang-bin Sin-kai berkelakar, karena melihat muridnya yang terkasih ini.

Sebaliknya, Pak-lo-sian Siangkoan Hai memandang penuh kecurigaan kepada Kwan Cu. Kakek ini maklum bahwa di dalam kepala yang gundul itu terdapat hal-hal rahasia yang banyak sekali dan yang di antaranya ingin dia ketahui, apalagi yang berkenaan dengan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!

“Kwan Cu, apakah yang kau bakar di dalam sumur tadi?” tanyanya penuh kecurigaan.

“Di dalam gelap sekali, Locianpwe, maka teecu membakar kayu-kayu kering dan lain-lain yang berada di sana yang dapat di bakar.”

“Kau menemukan apa di sana?” tanya pula Pak-lo-sian Siangkoan Hai dengan pandangan mata tajam.

“Sama seperti yang telah ditemukan Locianpwe tentunya,” jawab Kwan Cu cerdik.

“Apakah yang dapat teecu ketemukan di sana selain yang telah dilihat oleh Locianpwe?” Jawaban ini menyimpang. Ang-bin Sin-kai tahu akan hal ini, juga Pak-lo-sian dapat menduga bahwa tentu ada “apa-apanya” yang disembunyikan oleh bocah gundul ini.



Ang-bin Sin-kai tertawa dan berkata kepada Kwan Cu. “Kwan Cu, sudahlah jangan kau layani obrolan Pak-lo-sian, takkan ada habisnya. Mari kita pergi.” Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai melompat keluar, diikuti oleh Kwan Cu.

Setelah tiba di luar, Ang-bin Sin-kai bertanya dengan sungguh-sungguh, “Kwan Cu, kau menyembunyikan sesuatu dari Pak-lo-sian. Apakah itu?”

“Suhu, sebetulnya teecu teleh menemukan kitab sejarah dari Gui-siucai di dalam sumur itu! Dan teecu telah membakarnya menjadi abu.”

Saking kaget dan herannya, Ang-bin Sin-kai menahan larinya dan berdiri memandang muridnya.

“Kaubakar…..?”

Kwan Cu tersenyum. “Tentu saja setelah teecu membaca tentang kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!”

Berubahlah wajah Ang-bin Sin-kai dan dia nampak agak gelisah.

“Tunggu kau di sini, jangan pergi sebelum aku kembali!” Belum juga Kwan Cu sempat bertanya, Ang-bin Sin-kai telah melompat dan lenyap dari depan muridnya. Ia cepat berlari kembali ke rumah besar tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng dan mengintai di atas ruangan di mana tadi Pak-lo-sian Siangkoan Hai berada. Ia bergerak hati-hati sekali karena dia maklum bahwa jika Pak-lo-sian berada di situ, banyak sekali kemungkinan kakek sakti dari utara itu akan tetap saja mendengar kedatangannya. Akan tetapi, ternyata dugaannya tidak salah. Ia tidak melihat Pak-lo-sian Siangkoan Hai di situ. Dua orang tokoh Kun-lun-pai sedang mengatur untuk mengantar para pemuda dan pemudi sedangkan Hang-houw-siauw Yok-ong tidak nampak di situ lagi. Yang ada hanyalah Swi Kiat dan Kun Beng yang berdiri dekat sumur dan melihat ke dalam sumur itu. Tak salah lagi, tentu Pak-lo-sian Siangkoan Hai sedang menyelidiki di dalam sumur karena merasa curiga kepada Kwan Cu!

Memang tepat sekali dugaan ini. Tadi setelah Ang-bin Sin-kai dan Kwan Cu pergi, Pak-lo-sian mengambil sampul buku dari sakunya dan ketika melihat bahwa sampul itu bertuliskan huruf-huruf besar; BUKU SEJARAH KUNO, dia cepat pergi ke dalam sumur dan memeriksa dengan membawa lilin! Ang-bin Sin-kai cepat kembali ke tempat di mana dia meninggalkan muridnya tadi. Ia mendapatkan Kwan Cu tengah duduk di bawah pohon dan menyuling!

“Eh, dari mana kau mendapat suling itu?” tanya Ang-bin Sin-kai dengan hati berdebar karena dia mengenal suling bercahaya hijau itu adalah suling Hang-houw-siauw Yok-ong!

“Dari Yok-ong Locianpwe,” jawab Kwan Cu. Lalu dia menceritakan bahwa tadi Yok-ong lewat di situ dan memberikan suling itu kepadanya sambil berkata,

“Kau anak baik. Di antara semua murid-murid tokoh besar, agaknya hanya kau yang ada harapan. Kausimpan suling ini dan mudah-mudahan kelak kita dapat bertemu pula.”

Ang-bin Sin-kai menarik napas lega. Ternyata Raja Obat itu memiliki pandangan mata yang amat tajam, pikirnya. Hanya Raja Obat itu saja yang dapat melihat bahan baik dalam diri Kwan Cu yang diejek dan dihina oleh lain-lain tokoh besar.

“Kwan Cu, ternyata dugaanku benar. Pak-lo-sian sedang memeriksa dalam sumur dan kalau dia melihat abu kitab yang kaubakar, tentu dia akan berusaha menyusul kita dan akan menggunakan kekerasan. Hayo kita pergi cepat-cepat, aku segan berurusan dengan kakek yang berkepala keras itu!”

Oleh karena ingin menghindarkan kejaran Pak-lo-sian, Ang-bin Sin-kai lalu menggendong Kwan Cu, dibawa pergi ke puncak sebuah gunung yang berada di sebelah timur puncak Kun-lun-san, sebuah puncak gunung yang liar, penuh hutan belukar dan jarang sekali didatangi manusia.



“Perjalanan yang kau hadapi penuh bahaya, muridku. Tidak saja kau melakukan perjalanan jauh, akan tetapi juga kau akan menghadapi tokoh-tojoh besar yang selalu tidak mau tinggal diam sebelum dia dapat merampas kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Oleh karena itu, kita tinggal dulu di tempat sunyi ini dan kau harus berlatih giat untuk mempertinggi kepandaianmu. Mulai hari ini, kita takkan turun gunung sebelum kau menguras habis kepandaian yang kumiliki.”

Demikianlah, mulai hari itu, Ang-bin Sin-kai mengarahkan seluruh perhatiannya untuk mendidik dan menggembleng Kwan Cu. Sebaliknya Kwan Cu juga berlatih dengan giat sekali. Tak pernah kelihatan anak ini menganggur, biarpun suhunya sedang beristirahat, dia selalu melatih diri dengan ilmu-ilmu silat yang baru dia pelajari dari suhunya.

Bertahun-tahun dia dan suhunya seakan-akan terasing dari dunia luar dan hidup di tengah-tengah hutan, di puncak bukit yang amat tinggi. Mereka hanya makan buah-buahan dan kadang-kadang binatang hutan yang mereka tangkap. Di waktu makan masakan sederhana itu dan mendengar gurunya mengeluh panjang pendek karena gurunya itu sudah amat rindu akan arak dan masakan enak Kwan Cu menjadi terharu sekali.

“Suhu, sungguh teecu tidak mengerti mengapa suhu sampai menyiksa diri hanya untuk melatih ilmu kepada teecu. Ah, budi yang begini besar, dan apa teecu akan dapat membalasnya?”

Mendengar ucapan ini, lenyaplah keluh kesah dari bibir Ang-bin Sin-kai dan dia berseri.

“Kwan Cu, pembalasaan yang kuharapkan hanya kalau kau kelak dapat menjadi seorang gagah yang menjunjung tinggi prikebajikan, dapat berbuat banyak terhadap orang-orang lain. Akan tetapi, kau tak mungkin dapat menjadi seorang gagah tanpa tandingan kalau kau tidak dapat menemukan Im-yang Bu-tek Cin-keng! Kepandaianku belum cukup untuk menjagoi di seluruh dunia dan tetap saja kalau kau hanya menerima latihan dari aku, kau sewaktu-waktu akan bertemu dengan orang jahat yang lebih pandai dari padamu! Oleh karena itu, pelajaran yang kau terima dariku ini anggaplah sebagai bekal bagimu untuk mencari kitab itu. Aku sendiri sudah terlalu tua untuk ikut mencarinya, kau akan mencari sendiri, muridku, dan karenanya, aku mana bisa rela membiarkan kau pergi menempuh perjalanan sukar itu sebelum memiliki kepandaian yang boleh diandalkan?”

Mendengar ini makin kuatlah hati Kwan Cu dan makin giatlah dia. Ia menjadi terharu sekali ketika gurunya pada suatu hari pergi turun gunung seorang diri dan ketika kembali membawa pakaian-pakaian baru untuknya! Suhunya sendiri tak pernah berganti pakaian, kecuali kalau pakaian yang menempel pada tuubuhnya itu sudah hancur betul-betul.

Atas kehendak gurunya yang ingin melihat dia berpakaian pantas, kini Kwan Cu memakai pakaian yang cukup baik dan sepatu yang baru pula, pemberian suhunya yang amat mengasihinya.

Beberapa tahun kemudian, kepandaian Kwan Cu sudah cukup tinggi. Ia sudah berusia lima belas tahun, akan tetapi setiap kali gurunya menyuruh dia menggunduli kepalanya! Ia kelihatan seperti seorang hwesio kecil yang bertubuh sedang dan padat, penuh berisi tenaga yang luar biasa. Wajahnya yang tampan menjadi makin halus dan kemerahan, berkat dari hawa gunung yang sejuk dan latihan-latihan silat yang tiada henti-hentinya.



Kembali beberapa bulan yang telah lewat. Pada suatu hari Kwan Cu berlatih seorang diri. Hari masih pagi sekali dan suhunya masih belum bangun dari tidurnya di dalam sebuah gua. Akhir-akhir ini, suhunya nampak malas dan bangunnya pun kalau matahari telah naik tinggi. Tubuh suhunya nampak makin kurus dan kakek ini beberapa kali mengeluh dan menyatakan bahwa dia telah menjadi amat tua.

“Aku sudah sangat tua, Kwan Cu tiada nafsu lagi untuk melakukan sesuatu. Keinginanku satu-satunya hanya bertemu sekali lagi dengan adikku Lu Pin yang tercinta,” demikianlah berkali-kali kakek pengemis yang sakti ini mengeluh.

Pagi hari itu Kwan Cu melatih silat Sin-ci-tin-san (Jari Sakti Menggetarkan Gunung), yakni ilmu silat yang paling lihai yang pernah dia pelajari dari gurunya. Ilmu silat ini dilakukan dengan menggunakan jari-jari tangan, merupakan ilmu tiam-hoat (menotok) yang luar biasa lihainya yang merupakan ilmu pukulan dengan jari tangan yang luar biasa kuatnya. Sudah berbulan-bulan dia melatih ilmu silat ini, akan tetapi hasilnya masih kurang memuaskan hatinya. Pada pagi hari ini, setelah pada malam tadi mendapat wejangan dari gurunya yang membentangkan semua kouw-koat (teori silat) dari pada ilmu pukulan Sin-ci-tin-san ini, dia melatih diri sebaiknya. Yang dijadikan sasaran adalah pohon-pohon kecil yang tumbuh di situ.

Setelah bersilat dengan ilmu silat Sin-ci-tin-san, dia kelihatan lincah sekali. Tubuhnya mencelat kesana kemari, kedua tangannya terbuka dengan dua jari tangan, yakni telunjuk dan jari tengah, ditusukkan kesana ke mari dan sepasang kakinya melakukan langkah-langkah yang amat teratur.

Kemudian dia mulai menyerang pohon-pohon yang besarnya sama dengan tubuhnya sendiri. Dan bukan main hebatnya kepandaian anak muda yang baru lima belas tahun usianya ini. Tiap kali jari tangannya baik yang kanan maupun yang kiri, menusuk ke batang sebuah pohon, terdengar suara “krak” dan pohon itu patah lalu tumbang berikut semua daunnya!

Kalau orang lain yang melihat hal ini, tentu menjadi kagum sekali. Akan tetapi aneh, wajah Kwan Cu kelihatan tidak puas, bahkan kecewa. Mulutnya berkali-kali berkata,

“Tidak baik, tdak baik! Gwakangku lebih besar keluarnya daripada tenaga lweekang!”

Kembali dengan tangan kirinya dia menusuk sebatang pohon yang segera patah dan tumbang.

“Kau terlalu terburu nafsu, Kwan Cu. Nafsumu itu yang memperbesar tenaga sehingga tidak seimbang dengan tenaga dalam!” terdengar orang bicara dan ketika Kwan Cu menengok, ternyata bahwa suhunya sudah berdiri di belakangnya.

Kwan Cu berlutut, “suhu, mohon petunjuk dari suhu yang mulia.”

Ang-bin Sin-kai tersenyum. “Dalam menghadapi segala macam hal, terutama sekali menghadapi perlawanan dari musuh yang tangguh, pantangan terutama adalah timbulnya nafsu yang menguasai diri sendiri. Dalam keadaan seperti itu, kau harus dapat menguasai dirimu seluruhnya, dari semua urat-urat besar sampai urat-urat saraf, pikiran dan hati. Kau harus dapat mengatur semua panca indramu, dan sadar serta tak sadar serta waspada betul-betul. Kekuatan yang nampak tenaganya seperti pukulanmu pada pohon itu, hanya boleh digunakan untuk menakut-nakuti anak kecil atau membikin gentar lawan yang bodoh. Akan tetapi sama sekali tidak ada gunanya kalau kau menghadapi lawan yang tangguh. Segala yang tenang, tidak bergerak dan diam itulah yang betul-betul kuat.”

“Mohon suhu mmemberi penjelasan tentang Sin-ci-tin-san, karena sesungguhnya teecu belum dapat melakukannya dengan baik.”

Ang-bin Sin-kai menghampiri sebatang pohon dan dia menggunakan sebatang jarinya menusuk pohon itu seperti yang dilakukan oleh Kwan Cu tadi. Pohon itu tidak bergerak sedikitpun juga, bahkan tidak ada sehelai pun daun yang rontok. Akan tetapi ketika Ang-bin Sin-kai menggunakan telapak tangan mendorongnya perlahan ternyata bahwa pukulan atau lebih tepat tusukan jarinya tadi telah membuat hancur batang pohon dibalik kulitnya dan sekali dorong perlahan saja pohon itu tumbang!

“Dalam pukulan Sin-ci tin-san, kau harus mengerahkan tenaga lweekang. Akan tetapi, kau harus tenang dan jangan sampai pikiran dan hati dikuasai nafsu, tenaga lweekang itu akan berubah menjadi tenaga gwakang yang kasar.”

Demikianlah, Kwan Cu digembleng terus oleh suhunya sehingga setahun kemudian dia telah memiliki tenaga lweekang yang kuat sekali, ginkang yang memungkinkan dia berlari seperti terbang, serta ilmu silat yang lihai. Suling yang didapat dari Yok-ong ternyata merupakan senjata yang ampuh. Suling ini terbuat daripada baja hijau dan kuatnya bukan main.



Ang-bin Sin-kai melatih ilmu pedang tunggalnya yang membuat dia menjagoi dunia kang-ouw puluhan tahun yang lalu, yakni ilmu pedang Hun-kai Kiam-hoat (Ilmu Pedang Memecah dan Membuka). Ilmu pedang ini dilatih oleh Kwan Cu menggunakan sulingnya dan ternyata cocok sekali. Selain pandai mainkan suling sebagai pedang, juga pemuda ini pandai sekali meniup lagu-lagu merdu dari sulingnya, juga kepandaian ini dia dapat dari Ang-bin Sin-kai yang tahu akan teori meniup suling sungguhpun ia sendiri kurang berbakat. Sebaliknya Kwan Cu amat berbakat dan dia dapat meniup banyak lagu-lagu yang dikenal oleh gurunya.

Dua tahun kemudian, setelah berusia delapan belas tahun, Kwan Cu di panggil gurunya.

“Muridku, sekarang kiranya sudah cukup kepandaianmu untuk kaupakai bekal dalam perjalanmu mencari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Kau pergilah menurutkan petunjuk yang kaubaca dalam kitab sejarah. Berhati-hatilah, muridku, aku hanya memberi bekal doa restu kepadamu. Kuharap saja kelak kalau kau sudah mendapatkan ilmu silat yang paling lihai dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, aku masih belum mati dan dapat menyaksikan kelihaianmu. Nah, pergilah, Kwan Cu.”

Kwan Cu yang berlutut didepan suhunya merasa berat untuk berpisah dan meninggalkan, suhunya yang kini nampak tua sekali.

“Semenjak dahulu memang teecu bercita-cita mencari kitab itu. Akan tetapi suhu sudah amat tua dan siapakah yang akan melayani suhu kalau teecu pergi?” katanya ragu-ragu.

“Kwan Cu, apakah kau akan memanjakan gurumu seperti memanjakan seorang kakek tua renta yang kekanak-kanakan? Aku masih kuat dan aku tidak membutuhkan pelayan orang.”

“Akan tetapi….. kalau teecu rindu kepada suhu dan hendak bertemu, kemanakah teecu harus mencari suhu?”

“Aku akan ke kota raja mencari Lu Pin adikku, setelah itu, aku takkan jauh dari tempat kau mencari kitab itu, Kwan Cu karena aku hendak tinggal di pantai Laut Po-hai!”

Setelah mendapat wejangan dan nasehat-nasehat yang kiranya cukup berharga untuk dia bawa sebagai bekal menempuh hidup dan perjalanan seorang diri, akhirnya Kwan Cu lalu mulai turun gunung dan mulai dengan perjalanannya yang amat jauh, yakni ke pantai sebelah timur dari Tiongkok.

Ia melakukan perjalanan cepat melalui propinsi-propinsi Cing-hai, Kang-su, Shen-si, lalu mengikuti sepanjang tapal batas Mongolia, terus menuju Timur.

***

Baru sekarang Kwan Cu merasa betapa sunyinya hidup seorang diri dan melakukan perjalanan tak berteman. Ia rindu kepada suhunya yang baginya merupakan penganti ayah bundanya. Namun hati Kwan Cu memang kuat dan keras, sebentar saja dia telah melenyapkan rasa sunyi itu dan memaksa hati bergembira. Suling pemberian Yok-ong yang kini menjadi senjatanya, juga merupakan kawan yang palingsetia. Tiap kali dia beristirahat di mana saja, dia selalu meniup sulingnya. Suara sulingnya inilah yang menghibur hatinya, biarpun dia berada di dalam hutan yang sunyi, apabila dia meniup suling maka lenyaplah rasa sunyi dalam hati.

Perjalanan yang dilakukan oleh pemuda ini bukanlah perjalanan dekat, sedikitnya ada empat ribu kilo meter! Apa pula perjalanan ini banyak melalui gunung-gunung dan hutan-hutan liar yang sukar dilalui. Akan tetapi Kwan Cu sekarang telah merupakan seorang pemuda yang berkepandaian tinggi dan perjalanan yang sukar dapat dilakukan dengan cepatnya. Ginkangnya sudah terlampau tinggi untuk dapat dihalangi oleh jurang-jurang lebar atau jalan-jalan menanjak.

Semenjak turun gunung, dia tidak lagi mencukur rambutnya dan kini dia benar-benar merupakan pemuda yang gagah dan tampan sekali, dengan sepasang mata bersinar tajam namun jujur dan bibirnya selalu tersenyum membayangkan hati yang lapang dan tabah. Ia mengikat rambutnya dengan sapu tangan agar rambut itu tidak turun menutupi mukanya. Kurang lebih setengah tahun dia melakukan perjalanan, kadang-kadang berhenti untuk meenikmati pemandangan alam di gunung-gunung yang aneh atau mengagumi bangunan-bangunan indah di kota-kota besar. Ia melakukan perjalanan cepat dan selalu berusaha menghindarkan diri dari setiap bentrokan sesuai dengan nasehat dari suhunya. Memang beberapa kali dia dihadang oleh perampok yang hendak merampas pakaiannya, akan tetapi Kwan Cu tidak mau melayani para perampok itu dan setiap kali dia hanya membuat para perampok berdiri bengong seperti patung karena pemuda yang hendak dijadikan korbannya itu tiba-tiba saja tertawa dan berkelebat melenyapkan diri dari depan mata mereka!



Enam bulan lebih kemudian dia tiba di perbatasan utara dari propinsi Ho-pei dan teringatlah dia akan pengalaman-pengalamannya ketika dia dan Gui-siucai ditawan oleh panglima An Lu Shan. Keadaan di sekitar daerah ini sekarang sudah amat berubah, tidak seperti dahulu lagi. Kwan Cu merasa heran betapa daerah ini ramai sekali, penuh oleh tentara yang bermacam-macam pakaiannya dan bermacam-macam pula bangsanya. Ia melihat tentara-tentara dari suku bangsa Hui, Daur dan Mongol. Mereka semua berpakaian perang dan bersenjata lengkap, berbaris kesana kemari seakan-akan menantikan daatangnya perang besar!

Di setiap tanah lapang, dia meyaksikan barisan-barisan besar berbaris rapi berlatih perang-perangan. Kwan Cu menjadi makin kagum dan heran karena setiap anggota tentara dapat mainkan senjata mereka dengan gerakan ilmu silat yang tinggi. Biarpun hanya beberapa jurus saja mereka itu mainkan senjata masing-masing, tombak, golok atau pedang, namun gerakan ini terang sekali adalah gerakan ilmu silat yang diajarkan oleh seorang ahli silat tinggi!

Tentu saja pemuda yang sama sekali gelap terhadap keadaan dalam negeri dan tentang situasi pemerintahan ini, tidak mengerti bahwa pada waktu itu, Panglima An Lu Shan sedang mengerahkan seluruh tenaga suku-suku bangsa yang berada di Tiongkok Timur laut, untuk membentuk sebuah barisan yang besar sekali dengan maksud menyerang ke selatan dan merampas kedudukan kaisar! An Lu Shan mulai dengan persiapannya untuk memberontak.

Yang paling mengherankan hati Kwan Cu adalah keadaan di dalam dusun dan kota di daerah itu. Tak pernah ia bertemu dengan laki-laki berpakaian preman. Semua laki-laki berpakaian tentara dan menjadi anggota tentara. Hanya anak-anak dan wanita saja yang berpakian biasa. Sebaliknya, semua orang memandang kepadanya dengan mata terheran-heran pula karena sesungguhnya Kwan Cu merupakan satu-satunya laki-laki dewasa di tempat itu yang berpakaian preman.

Akan tetapi hal ini tidak lama, karena tiba-tiba datang seorang komandan pasukan yang dengan langkah lebar menghampiri Kwan Cu.

“He, orang muda! Kau masih enak-enakan saja di sini? Hayo ikut aku mendaftarkan diri supaya segera masuk tempat latihan!” sambil berrkata demikian, komandan itu memegang pergelangan tangan Kwan Cu erat-erat. Kalau dia menghendaki, dengan mudah Kwan Cu akan dapat melepaskan tangannya. Akan tetapi dia tidak mau mrnimbulkan keributan maka sambil tersenyum ia berkata,

“Sobat apakah maksudmu? Aku tidak mengerti sama sekali. Ketahuilah aku seorang perantau yang datang dari jauh dan tidak tahu peraturan di sini. Harap kau jelaskan.”

“Setiap orang laki-laki di daerah ini harus menjadi tentara, hanya ini saja dan tidak ada penjelasan lain!”

“Mengapa harus? Aku bukan orang sini dan aku tidak mau menjadi tentara,” kata Kwan Cu.

Sementara itu mendengar suara ribut-ribut, di tempat itu telah berkumpul banyak tentara dan Kwan Cu dikurung!

“Anak muda, sudahlah jangan banyak rewel. Ketahuilah bahwa setiap orang yang tidak mau menjadi tentara dan membela tanah air dianggap pengkhianat dan akan menjadi penghuni gua maut!”

Kwan Cu menjadi penasaran sekali akan tetapi tetap saja dia masih lebih merasa heran dari pada marah.

“Apakah gua maut itu? Dan mengapa pula ada cara memaksa orang menjadi tentara? Sungguh mati aku tak mengerti sama sekali!”

Komandan itu tertawa, “Oya, aku lupa bahwa kau bukan orang sini. Kau mau melihat gua maut? Mari, mari ikut!” sambil berkata demikian komandan itu tertawa-tawa dan menarik lengan Kwan Cu diikuti oleh para anggota yang juga tertawa-tawa geli.

Masih saja Kwan Cu bersabar dan membiarkan dirinya ditarik seperti kerbau oleh komandan itu yang membawanya pergi keluar kota. Dusun itu berada di lereng bukit dan jalannya naik turun melalui hutan-hutan. Di pinggir sebuah hutan di luar kota, Kwan Cu dibawa ke sebuah bukit kecil dan dari jauh sudah kelihatan sebuah goa yang merupakan trowongan besar dan di sebelah dalamnya nampak anak tangga. Di depan goa itu di jaga oleh seorang tentara berbangsa Monggol yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, memegang sebatang tombak besar dan panjang lagi berat.

Komandan yang menarik tangan Kwan Cu bicara dalam bahasa Monggol kepada penjaga itu yang tertawa bergelak-gelak,membuka mulutnya dan lebar dan cambangnya yang menjuntai ke bawah itu ikut bergerak-gerak lucu.

“Nah, inilah gua maut siapapun juga yang menjadi pengkhianat dimasukkan dalam goa ini dijerumuskan ke dalam sumur maut dan didiamkan sampai mati di situ. Nah, sekarang pilihlah.”

Dari dalam goa itu lapat-lapat dengan rintihan dan tangisan sehingga terbangkit semangat Kwan Cu untuk menolong mereka mereka itu akan tetapi, dia teringat bahwa dia berurusan tentara pemerintah dan dia tidak mau menimbulkan keributan hebat. Maka dia lalu mengangguk daan berkata,

“Aku menurut saja,” Terdengar suara gelak ketawa dan komandan itu bersama para tentara yang mengikutinya, beramai-ramai menghantar Kwan Cu kembali ke dusun untuk mendaftarkan pemuda itu sebagai calon tentara.

Akan tetapi baru saja mereka keluar dari hutan dan turun dari bukit di mana terdapat Gua Maut itu, tiba-tiba mereka ribut-ribut dan mereka mencari-cari seperti seorang wanita kehilangan gelangnya. Tanpa diketahui oleh seorang pun, tiba-tiba saja pemuda yang tadi berada di tengah-tengah mereka telah lenyap!

“Eh, dimana dia?”

“Aneh sekali, tak mungkin dia melarikan diri!”

“Aku tadi masih melihat dia berjalan sambil tersenyum-senyum.”

“Dia bisa menghilang, tentu dia siluman!”

Ramailah orang-orang itu bicara sambil mencari-cari Kwan Cu, namun pemuda itu tidak kelihatan lagi bayangannya. Sebenarnya, dengan kepandaiannya, Kwan Cu tadi mempergunakan kesempatan selagi orang tidak memeganginya, dia melompat ke atas dan dengan bantuan cabang pohon di atasnya, dia melarikan diri cepat dan ringan sekali sehingga tidak menimbulkan suara apa-apa. Ia ingin sekali menyelidiki keadaan gua maut itu dan akan berusaha menolong orang-orang yang mengeluarkan suara rintihan dan tangisan tadi.

Kalau tentara negeri menghukum orang bersalah atau orang jahat, dia takkan mau campur tangan. Akan tetapi tadipun dia akan dimasukkan ke dalam gua itu hanya karena dia menolak menjadai tentara. Kalau demikian, tentu banyak sudah orang-orang yang dimasukkan ke dalam gua maut itu tanpa dosa! Jika begini keadaannya, dia harus menolong mereka itu.

Setelah senja mendatang, Kwan Cu menyembunyikan diri di belakang rumpun alang-alang dan mengintai ke arah gua itu. Ia akan bertindak tanpa menimbulkan keributan. Dilihatnya penjaga raksasa yang tadi masih saja berdiri seperti patung di depan gua, memegangi tombaknya dan nampaknya angker dan menakutkan.

Kwan Cu tidak mau segera turun tangan. Ia akan menanti sampai malam tiba, karena dengan begitu akan lebih mudah baginya membawa orang-orang yang dihukum di dalam gua itu melarikan diri. Ketika dia masih menanti sambil mengintai dibalik rumpun alang-alang, tiba-tiba dari jauh datang serombongan orang ke tempat itu.

Alangkah kagetnya hati Kwan Cu ketika dia melihat bahwa yang datang itu, dengan langkah cepat, adalah seorang Hwesio bertubuh gendut bundar berjubah hitam, bermisai panjang, berkulit hitam dan di tangan kiri memegang tasbih sedangkan tangan kanannya memegang tongkat Liong-thouw-tung. Kwan Cu masih mengenal Hwesio ini yang bukan lain adalah Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, tokoh barat yang amat lihai dan jahat, Hwesio yang sudah merampas kitab palsu Im-yang Bu-tek Cin-keng dan bahkan yang dia duga telah mencuri pula kitab Gui-Siucai yang kemudian dia ketemukan berada di dalam sumur kering di atas Kun-lun-san!



Di sebelah hwesio ini berjalan pula dua orang panglima dan mereka ini bukan lain adalah An Lu Shan sendiri dan adiknya, An Lu Kui! Berdebar hati Kwan Cu melihat ketiga orang ini. Baiknya dia berlaku sabar, karena kalau tadi dia turun tangan dan harus berhadapan dengan mereka ini, berbahaya sekali! Kepada An Lu Shan dan An Lu Kui, dia tak usah merasa jerih, akan tetapi Hek-I Hui-mo adalah seorang tokoh besar yang tingkat kepandaiannya sudah menandingi tingkat gurunya!

Ia melihat penjaga yang seperti raksasa itu memberi hormat melihat kedatangan tiga orang itu, kemudian An Lu Shan dan kedua orang kawannya memasuki gua dan lenyap ditelan kegelapan. Lalu terdengarlah suara An Lu Shan dari dalam gua, seakan-akan berkata-kata di depan banyak orang. Kwan Cu mengerahkan tenaga pendengarannya dan lapat-lapat dia mendengar An Lu Shan membujuk orang-orang yang tertahan di dalam gua itu untuk menyerah dan menurut serta membantu perjuangannya!

Kwan Cu tidak mengerti akan maksud semua kata-kata itu, hanya dia tahu bahwa orang-orang yang ditahan itu tentulah orang-orang yang tidak mau tunduk dan kini An Lu Shan hendak membujuk mereka, disertai ancaman bahwa kalau mereka tidak mau menurut, pada besok pagi gua itu akan di tutup untuk selamanya!

Kwan Cu tidak berani bergerak dari tempat sembunyinya. Tak lama kemudian, tiga orang tokoh besar itu lalu keluar lagi dari gua dan pergi dengan cepat, setelah memberi pesan kepada penjaga supaya berhati-hati.

Malam tiba dan langit hanya diterangi oleh cahaya bulan bintang. Tak lama kemudian datang pula serombongan penjaga terdiri dari lima orang yang mengawani raksasa itu. Kwan Cu bersiap untuk bergerak dan melakukan usahanya menolong para tawanan. Ketika para penjaga itu tengah bercakap-cakap, tiba-tiba terdengar suara suling yang merdu. Mereka terkejut sekali. Bagaimana di dalam hutan ini bisa terdengar suara suling begitu dekat?

Seorang di antara mereka bangkit berdiri dan menghampiri suara itu. Akan tetapi tiba-tiba dia roboh tak berkutik lagi, terkena totokan jari tangan Kwan Cu yang lihai.

Penjaga-penjaga yang lain setelah lama menanti kawan mereka tidak juga kembali, mulai gelisah dan memanggil-manggil.

Penjaga yang tinggi besar itu tertawa dan berkata dalam bahasa Han yang kaku.

“Barangkali peniup suling itu adalah seorang perempuan cantik dan si A-sam tentu sedang bersenang-senang dengan dia!”

Dua orang penjaga lalu pergi menyusul kawannya, akan tetapi mereka ini setelah tiba di sebuah tikungan juga roboh tak berkutik ketika tangan Kwan Cu menyambar.

Tiga orang penjaga lain menjadi gelisah karena sekarang dua orang kawannya lagi sudah lama pergi tidak muncul kembali.

“Ah, tentu ada apa-apa!” kata seorang diantara mereka. “lebih baik kita memberi tanda rahasia agar kawan-kawan yang lain datang kesini. Hatiku tidak enak…”

Akan tetapi sebelum dia dapat melepaskan tanda, tiba-tiba dari atas pohon menyambar turun bayangan orang. Sinar hijau menyambar-nyambar dalam cahaya bulan dan terdengar teriakan susul menyusul ketika tiga orang penjaga termasuk si penjaga raksasa itu roboh tertotok oleh suling di tangan Kwan Cu.

Pemuda ini segera mengambil obor yang tadi dipasang di depan pintu gua dan berlari masuk. Ternyata bahwa gua itu dalamnya amat luas dan panjang merupakan terowongan yang amat gelap. Di sepanjang terowongan itu dipasang anak tangga dan ketika Kwan Cu berjalan kurang lebih sepuluh tombak jauhnya, anak tangga itu berhenti dan di depannya nampak sebuah lubang. Hem, agaknya lubang inilah yang di sebut sumur maut oleh komandan yang mengancamnya siang tadi, pikir Kwan Cu. Dengan obornya dia mencoba untuk melihat ke bawah, akan tetapi sia-sia karena sinar obor tak dapat menerangi sinar obor di bawah.



Terdengar suara-suara orang dibawah dan Kwan Cu cepat bertanya,

“Saudara-saudara yang tertawan di bawah, aku datang untuk menolong!”

Sejenak suara orang-orang di bawah itu berhenti, kemudian terdengar jawaban.

“Bagaimana kau dapat menolong kami?” inilah suara laki-laki yang mengandung semangat kegagahan.

“Berapa banyak kawanmu?” Tanya Kwan Cu.

“Yang masih hidup ada empat puluh satu orang, yang sudah menjadi mayat belasan orang dan yang sudah hampir mati dua puluh orang lebih!”

Kwan Cu bergidik dan bulu tengkuknya berdiri. Sejak dari tadi diapun telah mencium bau yang tidak enak, tidak tahunya di dalam sumur itu telah banyak orang yang sudah mati.

“Berapa dalamnya sumur ini?” tanyanya pula.

“Kurang lebih lima tombak!”

Kwan Cu berpikir sebentar. Kalau hanya lima tombak, dia sanggup melompat dari dalam sumur itu ke atas sambil menggendong tubuh seorang.

“Dasarnya tanah keras atau lembek?”

“Tanah keras atau basah. Bagaimana kau hendak menolong kami?”

“Kalian minggirlah semua, biarkan ruang di bawah bagian tengah kosong, aku hendak melompat turun!” kata Kwan Cu. Kemudian pemuda ini lalu menancapkan obor di pinggir sumur dan setelah mengatur pernapasannya dan menyelipkan sulingnya di pinggang, Kwan Cu lalu melompat ke dalam sumur, tepat di tengah-tengah dan berseru,

“Awas, aku datang!”

Kedua kakinya menginjak tanah padas yang basah dan di dalam gelap, hanya diterangi sedikit sekali oleh cahaya obor di atas sumur, dia melihat bayangan-bayangan orang yang di dalam gelap nampak hitam menakutkan.

“Taihiap, kau sungguh gagah. Akan tetapi, setelah setelah kau dapat melompat masuk ke tempat ini, bagaimana selanjutnya kau dapat menolong kami?” Tanya suara yang tadi bicara ketika Kwan Cu masih berada di atas. Orang ini tubuhnya tinggi kurus, namun wajahnya tak dapat terlihat jelas. Hanya suaranya mengandung kegagahan dan Kwan Cu dapat menduga bahwa tentu orang ini seorang gagah di dunia kang-ouw yang menjadi korban dari An Lu Shan.

“Aku dapat menggendong kalian seorang demi seorang dan melompat keluar dari sumur ini,” jawabnya sederhana.

Terdengar seruan kagum dan tidak percaya.

“Taihiap, dapatkah kau melompat setinggi ini dan menggendong seorang pula?” tanya seorang yang tinggi itu.

“Akan kucoba!” kata Kwan Cu.

“Dan para penjaga, di manakah mereka?”

“Sudahlah, kalau kita hanya mengobrol saja, aku khawatirkan penjaga-penjaga lain akan datang dan rencana kita gagal,” kata Kwan Cu habis sabarnya.

“Taihiap, biarlah aku kaukeluarkan dulu. Dengan menggunaklan ikat pinggang disambung-sambung, dapat aku membantu mereka keluar dari sini.”

Pikiran ini baik juga dan Kwan Cu lalu menyambar tubuh orang yang jangkung itu dan melompat dengan kuat dan cepat sekali. Ia mengerahkan ginkangnya dan tanpa banyak susah dia dapat mencapai pinggiran sumur. Ketika orang itu yang ternyata seorang laki-laki setengah tua, melihat bahwa orang yang menolongnya hanya seorang pemuda berusia belasan tahun, dia menjadi bengong dan merasa kagum sekali.

Akan tetapi dia maklum bahwa sekarang bukan waktunya untuk banyak melakukan peradatan, dengan cepat dia menyambung-nyambung ikat pinggang yang memang sudah lama dia kumpulkan dengan maksud kalau dia berhasil keluar dari sumur, dia akan menolong kawan-kawannya.

Kini pertolongan mengeluarkan para korabn itu dilakukan dengan dua jalan, yakni Kwan Cu masih tetap naik turun untuk mengangkat seorang demi seorang, terutama yang sudah lemah dan tidak kuat merayap melalui tambang buatan, dan ada pula yang merayap melalui ikat pinggang yang disambung-sambung dan yang kini dilepas ke bawah oleh orang tinggi kurus itu.

Akhirnya, setelah bekerja mati-matian, lima puluh enam orang yang masih kuat dan yang sudah lemah dapat dikeluarkan semua dari sumur itu.



“Mari cepat keluar dari gua!” mengajak Kwan Cu tanpa mempedulikan ucapan terima kasih dari semua orang itu. Mereka ini ternyata adalah orang-orang lelaki yang masih kuat dan muda-muda. Tak salah lagi, sebagian besar di antara mereka tentulah orang-orang yang tidak mau dipaksa menjadi tentara oleh An Lu Shan. Yang paling menarik, semua orang ini adalah semua orang Han aseli. Mengapa mereka tidak mau menjadi tentara pemerintah sendiri? Hal ini benar-benar membingungkan hati Kwan Cu, namun dia tidak mengambil pusing.

Semua orang mengikuti Kwan Cu keluar dari gua itu. Yang lemah sekali digendong oleh yang kuat dan sebentar saja mereka telah dapat melarikan diri jauh dari gua, bersembunyi di dalam hutan.

“Nah, sekarang aku akan pergi dan selanjutnya harap kalian mencari jalan sendiri,” kata Kwan Cu.

Orang yang tinggi kurus tadi melangkah maju dan menjura .

“Taihiap benar-benar hebat sekali. Entah bagaimana kami dapat membalas budi Taihiap. Tentang kawan-kawanku ini, biarlah aku yang memimpin mereka meloloskan diri ke selatan. Aku tahu jalan yang aman. Akan tetapi, agar kami dapat selalu mengingat-ingat siapakah Taihiap ini dan murid siapakah?”

“Aku bernama Kwan Cu dan selebihnya tak perlu ku ceritakan. Hanya kalau kalian hendak berterima kasih, ingatlah bahwa aku adalah murid Ang-bin Sin-kai!” setelah berkata demikian, Kwan Cu lalu melompat pergi dan lenyap dari pandangan mata orang-orang itu.

***

Kalau sekiranya Kwan Cu mendengar bahwa An Lu Shan mempersiapkan barisan besar untuk memberontak terhadap pemerintah di selatan, agaknya pemuda ini tentu akan berusaha untuk menghalangi pengkhianatan ini. Akan tetapi, pemuda ini tidak mau terlalu lama tinggal di situ setelah dia melihat bahwa Hek-i Hui-mo berada di tempat itu. Ia ingin mempercepat usahanya mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng dan tidak mau bentrok dengan lawan-lawan berat sehingga mengacaukan usahanya.

Pemuda ini melakukan perjalanan cepat sekali dan tiada hentinya, hanya beristirahat untuk makan dan tidur sebentar saja. Ia berusaha sedapat mungkin agar tidak bertemu dengan orang lain, atau lebih tepat lagi agar jangan sampai ada urusan yang menghambat perjalanannya. Dua pekan kemudian, setelah bertanya-tanya kepada orang di mana letak sungai Yalu, tibalah dia di kota Ang-tung, kota yang berada di tepi Sungai Yalu, yakni di bagian sungai itu memuntahkan airnya di Laut Kuning.

Kota Ang-tung amat besar dan ramai, karena kota ini merupakan pusat perdagangan yang menghubungkan pedalaman Tiongkok dengan pedagang-pedagang dari Korea. Banyak sekali perahu nelayan dan pedagang berada di pinggir sungai dan pemandangan di situ amat indahnya.

Akan tetapi ketika Kwan Cu mencari perahu nelayan untuk di sewanya, tak seorangpun sanggup menyewakan perahunya, biarpun dengan bayaran tinggi.

“Laut di selatan tidak aman, kongcu,” kata seorang nelayan tua. “selain sekarang muncul ikan-ikan buas yang besar dan yang sering kali mengganggu perahu nelayan, juga bajak-bajak laut sekarang banyak sekali. Kami semua adalah tukang-tukang perahu yang hanya sanggup membawa barang-barang dagangan dengan berlayar di tepi pantai, atau kalau mencari ikan juga, tidak terlalu jauh dari pantai. Kalau kongcu menghendaki menyewa perahu untuk dipakai memasuki laut bebas, kiranya akan bisa kongcu dapatkan di perkampungan nelayan Kim-le-pang.”

“Di mana letaknya perkampungan Kim-le-pang itu, lopek?” tanya Kwan Cu dengan girang.

“Tidak jauh, kurang lebih lima belas li di sebelah timur kota ini.”

Tanpa membuang banyak waktu Kwan Cu lalu menuju ke timur dan mencari perkampungan Kim-le-pang yang diceritakan oleh nelayan tua itu. Benar saja, di pantai laut dekat dusun itu banyak sekali terdapat perahu-perahu kecil dan para nelayan sedang bekerja sibuk. Ada yang menjemur ikan-ikan kering, ada pula yang menjemur jala-jala yang rusak. Ada pula yang menjahit layar atau membetulkan perahu yang bocor. Mereka ini nampak miskin dan sederhana, namun sebagian besar bertubuh tegap dan kuat, dengan kulit yang kehitaman karena setiap hari terbakar oleh matahari.



Ketika Kwan Cu menghampiri para nelayan ini, mereka tidak mengacuhkannya, sama sekali tidak kelihatan tertarik atau ingin menawarkan perahu mereka. Dapat diduga bahwa nelayan-nelayan ini tinggi hati dan angkuh. Memang mereka ini adalah sekelompok peranakan suku bangsa Han. Meraka berdarah Hui dan Han, dan merupakan suku bangsa yang hidupnya mengandalkan penghasilan dari laut. Mereka adalah pelaut-pelaut tulen yang lebih leluasa hidup di atas perahu dari pada di darat.

Melihat sikap mereka yang acuh tak acuh, Kwan Cu merasa tak enak hati. Akan tetapi oleh karena dia memang membutuhkan perahu untuk disewa, dia lalu menghampiri mereka dan menjura sambil bertanya,

“Saudara-saudara, harap maafkan kalau aku mengganggu kalian.”

Seorang kakek yang mulutnya menggigit huncwe kecil panjang dan matanya sipit, berpaling kepadanya dan tanpa melepaskan huncwenya dia berkata,

“Kalau tidak mengganggu, tak perlu minta maaf. Kalau memang hendak mengganggu, mengapa pakai minta maaf segala?”

Merah muka Kwan Cu mendengar ucapan yang jujur dan kasar ini. Ia dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan orang-orang sederhana, jujur, dan keras hati.

“Lopek, sebetulnya aku bukan bermaksud hendak mengganggu. Akan tetapi siapa tahu kalau kedatanganku ini saja sudah merupakan gangguan bagimu.”

Kini kakek itu menghentikan pekerjaannya menambal layar, dan sambil mencabut huncwenya dia menghadapi Kwan Cu, memandangnya dari atas terus ke bawah, lalu bertanya,

“Kau mau apakah?”

“Aku mencari perahu yang disewakan.”

“Dengan orangnya?”

“Kalau mungkin, lebih baik lagi.”

“Ke mana?”

Kwan Cu merasa tidak enak dengan percakapan yang singkat-singkat ini, akan tetapi apa boleh buat, orang ini agaknya lebih suka bicara singkat.

“Hendak menyeberangi laut, mencari pulau-pulau di dekat pantai.”

“Tak mungkin! Tidak ada perahu disewakan!” jawab kakek itu sambil menancapkan huncwenya di mulut lagi.

“Lopek, aku tidak hendak menyewa perahumu kalau kau tidak menyewakannya. Akan tetapi aku akan menyewa perahu siapa saja yang suka menyewakan kepadaku,” kata Kwan Cu agak keras karena dia merasa mendongkol sekali. Lalu pemuda ini memandang ke sekelilingnya dan berteriak,

“Hei, saudara-saudara. Siapakah yang suka menyewakan perahunya kepadaku untuk menyeberangi laut mencari pulau? Aku berani membayar berapa saja yang dimintanya!”

Mendengar pemuda ini berteriak-teriak, para nelayan lalu berlari-lari mendatangi. Mereka sebentar saja mengurung Kwan Cu dan kakek itu sambil melepaskan huncwenya berkata kepada orang banyak,

“Dengarkan orang gila ini! Dia hendak menyewa perahu menyeberangi laut mencari pulau. Agaknya dia sudah bosan hidup. Ha-ha-ha!” Ramailah suara para nelayan ketawa mengikuti kakek itu.

“Dengar!” Kwan Cu membentak! “kalau kalian begitu pengecut dan takut, biarlah aku menyewa perahunya saja. Tak usah aku diantar oleh penakut-penakut macam kalian. Biarkan aku menyewa perahu saja, berilah perahu yang baik dan kuat dan aku akan membayar mahal!”

“Kau akan membayar dengan apa?”

“Dengan emas. Lihat , aku mempunyai sekantong emas!” Kwan Cu lalu memperlihatkan sekantong emas yang dia dapat “ambil” dari rumah gedung seorang bangsawan kaya raya ketika dia tiba di kota besar. Memang, pemuda ini yang tahu bahwa dia harus memiliki emas untuk menyewa perahu, telah mencuri uang emas sekantong dari hartawan itu pada malam hari!

“Hah, apa artinya emas? Tidak mengenyangkan perut!” kakek itu berkata dan semua nelayan mengangguk menyatakan setuju. “mengacaukan saja!”

Kwan Cu tertegun dan penasaran. “Habis, apa yang kau kehendaki sebagai pembayaran sewa perahu?”

“Apapun pembayaran yang kau janjikan, anak muda, di dusun kami tidak ada orang yang begitu gila untuk memberikan perahunya padamu, karena kalau perahu di berikan padamu, berarti perahu itu akan lenyap tenggelam di laut bersamamu!”



Kwan Cu mendongkol sekali, “Tak kusangka orang-orang yang kelihatan kuat dan gagah seperti kalian ini, hatinya kecil dan penakut. Pula selain penakut tidak ramah dan tidak menolong orang. Hemmm, kecewa sekali aku datang ke tempat ini.”

Setelah berkata demikian, Kwan Cu hendak pergi dari situ, di dalam hatinya mengambil keputusan untuk mencuri saja sebuah perahu dan meninggalkan uang emasnya sebagai pembayaran!

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar seorang pemuda nelayan berkata kepada kakek itu. “Lo-pek-pek, mengapa tidak kau suruh dia menyewa perahu nenek gila?” mendengar ucapan ini, semua orang ketawa.

“Cocok sekali! Memang pantas kalau pemuda yang nekat dan bosan hidup ini berlayar dengan nenek gila atau puteranya yang berotak miring!” Terdengar suara di antara gelak ketawa, Kwan Cu terheran, orang-orang ini tadinya pendiam dan berwajah keras, akan tetapi setelah disebutnya nama nenek gila ini semua orang tertawa geli!

Ia tertarik sekali dan menahan tindakan kakinya. “Di manakah dia si nenek gila itu? Apakah betul-betul dia mempunyai perahu dan sekiranya dia mau menyewakan perahunya, biarpun gila akan kucoba datangi.”

Kakek nelayan itu menggelengkan kepalanya. “Anak muda, biarpun urusanmu tidak ada sangkut pautnya dengan kami dan kenekatanmu juga tidak merugikan kami, akan tetapi melihat sikapmu yang halus ini aku merasa kasihan juga. Memang di sini ada seorang nenek gila dan puteranya yang setengah gila pula. Akan tetapi, mereka ini berbahaya sekali dan terasing hidupnya. Kalau kau mencoba mendekati mereka, aku khawatir kalau-kalau kau akan mati sebelum menyeberangi laut.”

Makin tertarik hati Kwan Cu. “Biarlah, di mana mereka tinggal? Akan kucoba menghubungi mereka.”

Kakek itu mengangkat pundaknya. “Benar kata mendiang ayah dahulu bahwa orang-orang selatan memang aneh sekali wataknya. Kau mau tahu? Pergilah ke pantai sebelah barat kampung ini dan kau akan melihat sebuah pondok menyendiri di pantai yang ada hutannya. Di sana mereka tinggal.”

“Terima kasih, Lopek. Selamat tinggal!” setelah mengucap demikian, Kwan Cu mempergunakan kepandaiannya meloncat pergi. Bengonglah semua nelayan ketika melihat betapa sekali berkelebat saja pemuda itu telah meloncat amat jauhnya dan sebentar pula lenyap dari pandangan mata!

Kwan Cu melanjutkan perjalanannya dengan cepat, menuju ke hutan pinggir pantai seperti yang ditunjukkan oleh kakek nelayan itu. Benar saja, dia melihat sebuah pondok kecil yang berbentuk segi empat di pinggir hutan, dekat pantai. Keadaan di situ amat sunyi karena di sekitar tempat itu tidak ada rumah lain. Juga di pekarangan yang kotor dari rumah itu tidak kelihatan seorang pun manusia. Keadaan benar-benar sunyi sekali.

Kwan Cu menghampiri pondok itu dan keadaan di situ nampak menyeramkan. Tidak ada perabot rumah di situ, hanya ada dua buah batu karang yang besar di dalam rumah. Di antara batu karang ini, terdapat pula batu yang licin dan lebih besar, agaknya itulah kursi dan meja dari tuan rumah. Ia dapat melihat semua ini Karena rumah itu tidak ada daun pintunya. Demikianpun jendelanya di kanan kiri rumah tidak ada daun jendelanya, tinggal terbuka saja pintu dan jendelanya.

Sampai lama Kwan Cu menanti, akan tetapi sudah jelas bahwa di dalam rumah itu tidak ada orangnya. Ia mencari-cari di depan dan belakang rumah, namun tidak kelihatan bayangan orang. Bahkan di pantai juga tidak kelihatan ada perahu. Namun jelas ada tanda-tanda bahwa tempat itu memang ditinggali orang, karena di sana-sini terdapat bekas-bekas orang, seperti tapak-tapak kaki, mangkok-mangkok pecah, dan pecahan-pacahan jala, bahkan ada berserakan tulang-tulang ikan di sana-sini. Juga ada tempat api di sudut dalam rumah itu.

Kwan Cu sampai merasa kesal menanti di luar rumah, kemudian karena melihat di dalam rumah itu ada hiasan-hiasan dinding berupa gambar-gambar dan tulisan-tulisan sajak, dia memberanikan diri memasuki ambang pintu. Alangkah tertariknya ketika dia melihat lukisan-lukisan yang cukup indah, dan sajak-sajak tulisan dari pujangga ternama. Hanya orang yang mengerti kesusastraan dengan baik saja yang mau menggantungkan lukisan dan sajak-sajak seindah itu, pikirnya. Makin tertariklah dia kepada penghuni rumah yang dikatakan gila oleh para nelayan itu. Siapakah mereka dan bagaimana mereka nanti menyambutnya?

Akan tetapi, menanti-nanti datangnya penghuni rumah ini merupakan ujian berat bagi Kwan Cu karena ditunggu-tunggu sampai menjelang senja, belum juga penghuninya kelihatan kembali! Apakah mereka sudah meninggalkan rumah ini dan tidak akan kembali lagi? Ataukah barangkali para nelayan itu mempermainkannya? Akan tetapi tidak mungkin, karena tanda-tanda bahwa rumah ini masih ditinggali orang, ternyata dari adanya hiasan-hiasan dinding itu. Kalau mereka pergi takkan kembali lagi tentu lukisan-lukisan itu mereka bawa. Maka dia mengambil keputusan untuk menanti terus, dan kalau perlu dia akan bermalam di situ sampai besok pagi.



Senja telah berganti malam dan bulan sepotong muncul di langit timur. Kwan Cu berdiri di depan jendela dan termenung, mengharapkan datangnya tuan rumah. Tiba-tiba dia melihat sesuatau yang amat menarik perhatiannya, di depan jendela itu ada semacam tumbuh-tumbuhan yang tadinya tidak menarik perhatiannya. Tetumbuhan ini batangnya hitam dan daun-daunnya tidak berapa banyak, berbentuk lonjong bundar dan tulang-tulang daunnya nampak jelas sekali, kehitaman membayang pada daun yang putih itu. Tidak ada yang aneh pada tetumbuhan ini, juga tidak kelihatan bunga atau buahnya. Akan tetapi yang amat menarik perhatian Kwan Cu, adalah kejadian yang bukan main anehnya. Tadinya daun-daun itu tidak bergerak sama sekali karena memang tidak ada angin yang dapat meniup daun-daun itu. Angin dari laut tertahan oleh bangunan rumah sehingga daun-daun itu terlindungi dari pada hembusan angin.

Akan tetapi, ketika malam tiba dan beberapa ekor jengkerik datang, dan jangkerik-jangkerik itu menempel pada daun, mereka lalu jatuh ke bawah dan mati! Kwan Cu terheran-heran dan membungkuk untuk melihat lebih jelas keadaan jangkerik-jangkerik itu, dan apa yang dilihatnya? Jangkerik-jangkerik itu telah hangus badannya!

Kwan Cu berdiri seperti patung, terkejut dan terheran-heran. Ia berlaku hati-hati dan tidak berani menjamah daun-daun itu, sungguhpun hatinya ingin sekali karena dia ingin tahu mengapa jangkerik-jangkerik itu bisa mati hangus begitu tersentuh pada daun-daun itu. Maka ketika ada beberapa ekor jangkerik terbang lalu, dia menyambar dengan tangannya dan menangkap tiga ekor jangkerik. Setelah itu, dia melemparkan jangkerik-jangkerik itu satu persatu menempel pada pohon dan akibatnya…… benar-benar hebat! Binatang-binatang kecil itu lalu jatuh dan mati hangus pula!

“Hebat,” pikir Kwan Cu, “daun mujijat apakah ini?”

Akan tetapi pada saat itu, dari atas tanah merayap tiga ekor ulat berwarna hijau. Ulat-ulat itu besarnya sama dengan ibu jari tangan manusia dan dengan gerakan yang menggelikan ulat-ulat itu merayap ke batang pohon kecil yang berdaun mujijat itu. Kwan Cu menduga bahwa tiga ekor lalat yang berjalan beriring-iringan ini tentu akan mengalami nasib serupa dengan para jengkerik, akan tetapi aneh. Kali ini ulat-ulat itu merayap dengan amat aman dan selamat, bahkan ketiga-tiganya lalu memilih daun yang segar digerogoti dengan rakusnya! Memang betul bahwa begitu ada ulat yang menempel pada sehelai daun, semua daun pohon itu serentak bergoyang-goyang dan bangkit seperti tadi, akan tetapi ulat-ulat itu tidak jatuh, bahkan merasa enak diayun-ayun oleh daun yang dimakan dan menambah kelezatan makannya. Sebentar saja masing-masing ulat telah menghabiskan sehelai daun!

“Luar biasa sekali!” pikir Kwan Cu, “ada daun yang aneh, kini muncul ulat-ulat yang hebat pula!” ia menjadi amat gembira dan lupa akan segalanya, lupa bahwa telah amat lama dia menanti di situ. Perhatiannya tertuju sepenuhnya pada ulat-ulat yang kini sudah mulai menggerogoti lain daun yang segar.

Tiba-tiba terdengar suara melengking yang tinggi sekali sehingga menyakitkan anak telinga. Kwan Cu melihat sinar-sinar kecil menyambar ke arah pohon tadi dan alangkah kagetnya ketika melihat betapa ulat-ulat itu telah tertancap pada daun, di tubuh setiap ulat tertancap sebatang jarum putih yang halus sekali dan ada kepalanya merupakan titik bulat. Ulat-ulat itu tertancap dan tertusuk seperti disate, kini tak dapat melepasakan diri dari daun itu, hanya menggeliat-geliat!

Bukan main heran dan kagetnya hati Kwan Cu. Orang yang dapat melepaskan jarum dari jarak jauh mengenai ulat-ulat itu dengan demikian tepatnya, tentulah seorang yang memiliki kepandaian luar biasa tingginya dalam ilmu melepas am-gi (senjata-gelap)! Dan hanya orang yang lihai sekali ilmu silatnya saja yang dapat melakukan hal itu.

Ia tertarik dan hendak mengulur tangannya hendak mencabut jarum itu untuk di periksanya. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara melengking mengerikan dan menyambarlah angin yang dahsyat dari luar jendela. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan jendela muncul bayangan seorang nenek berpakaian putih dan berwajah pucat seperti mayat dan yang mengulurkan tangan kanannya yang berbentuk seperti cakar burung! Nenek itu sambil mengeluarkan suara lengkingan tinggi mencakar ke arah dada Kwan Cu.

Pemuda ini terkejut sekali dan cepat melompat mundur dengan muka pucat. Serangan tadi benar-benar berbahaya dan melihat cara nenek ini menyerang, agaknya nenek ini adalah seorang ahli ilmu silat Eng-jiauw-kang (Ilmu silat Cengkeraman Garuda). Cengkeraman itu tidak saja dapat merobek kulit daging bahkan akan dapat menghancurkan batu karang yang keras!



“Suthai, harap maafkan teecu,” kata Kwan Cu cepat-cepat, “teecu telah beralaku lancang berani memasuki rumah suthai.” Melihat cara nenek itu berpakaian, dia mengira bahwa nenek itu tentulah seorang pertapa, maka dia menyebut suthai.

“Apakah kau mau mencuri daun-daun Liong-cu-hio (Daun mustika naga) ini?” tanya nenek itu dan sepasang matanya terputar-putar dan mulutnya menyeringai. Suaranya tinggi dan kecil seperti suling ditiup.

“Tidak, tidak, suthai. Teecu mana berani mencuri daun-daun mujijat itu? Bahkan menyentuh pun teecu tidak berani, setelah melihat betapa daun-daun itu dapat menghanguskan tubuh binatang-binatang jangkerik.”

Nenek itu tertawa dengan suara menyeramkan. “HI-hi-hi-hi-hi! Kau telah melihatnya, bukan? Hi-hi-hi, kau mengetahui kelihaiannya? Kalau kau menyentuh daunnya, tanganmu akan menjadi hangus, hi-hi-hi!” Kemudian nenek itu memandang kepada ulat-ulat yang masih tertancap oleh jarum-jarumnya. “Hah, ulat-ulat menjemukan. Hanya binatang ini saja yang sanggup makan Liong-cu-hio dengan enaknya. Akan kubasmi semua ulat ini!” ia mencabuti jarum-jarumnya dan melepaskan ulat-ulat itu dari jarum-jarum, terus memasukkan tiga ekor ular itu ke dalam mulutnya yang ompong! Dengan enaknya dia mengunyah tubuh ulat-ulat yang kehijauan itu dan ada air yang kehijauan mengalir di pinggir bibirnya terus ke dagu.

Kwan Cu bergidik menyaksikan kejadian yang amat mengerikan hati ini. Tak terasa pula dia menelan ludahnya melihat betapa nenek itu makan ulat hidup demikian enaknya, bukan sekali-kali karena dia ingin dan timbul seleranya, dia ingin muntah dan terpaksa menelan ludah untuk menahan keinginannya itu.

“Kau ingin makan ulat ini?” tanya nenek itu kepada Kwan Cu.

Pemuda itu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat.

“Tidak, tidak, terima kasih banyak, suthai. Teecu sudah makan tadi di dusun Kim-le-pang.”

Nenek itu kembali memandangnya dengan mata yang aneh.

“Kau nelayan?”

“Bukan, suthai. Teecu adalah seorang perantau yang sengaja datang ke tempat ini untuk berusaha menyewa sebuah perahu.”

“Mau menyewa perahu mengapa datang kesini? Apakah kau tidak mendengar bahwa siapa yang memasuki rumahku ini harus mati?” setelah berkata demikian, dengan gerakan yang amat gesit, nenek itu melompat dari jendela, memasuki rumah itu dan langsung menyerang Kwan Cu! Serangannya ini tak salah lagi adalah Eng-jiauw-kang seperti yang pernah Kwan Cu pelajari dari suhunya. Maka dengan cepat dia melompat mundur sambil mengelak.

“Suthai, maafkan teecu. Teecu datang bukan dengan maksud buruk. Harap maafkan kelancangan teecu.”

“Hi, hi, hi, kau dapat mengelak dari seranganku? Hendak kulihat sampai berapa lama kau dapat bertahan!” setelah berkata demikian, nenek itu terus mendesak dengan serangan-serangannya yang lihai. Terpaksa Kwan Cu melayaninya dan pemuda inipun lalu mengeluarkan ilmu silatnya untuk mengimbangi serangan nenek itu. Kalau dia hanya mempertahankan diri, banyak bahayanya dia akan terluka. Kedua tangan nenek itu benar-benar berbahaya sekali, kukunya panjang dan tangannya amat kuatnya, tanda bahwa tenaga lweekang nenek itu sudah tinggi.

“Hi-hi-hi, kau dapat melawanku, benar-benar mengagumkan! Eh, ilmu silatmu hampir sama dengan Pai-bun-tui-pek-to!”

Kwan Cu terkejut. Memang dalam menghadapi serangan nenek itu, dia tadi bermain ilmu silat Pai-bun-tui-pek-to yang mempunyai daya tahan kuat sekali. Bagaimana nenek aneh ini dapat mengenal ilmu silatnya?

“Memang teecu mainkan Pai-bun-tui-pek-to, Suthai. Teecu belajar dari Ang-bin Sin-kai guruku!”

Ucapan ini sengaja dia keluarkan dengan harapan kalau-kalau nenek itu sudah mengenal suhunya dan dapat menghentikan serangannya. Akan tetapi, tiba-tiba nenek itu menyerang makin hebat lagi.



“Bagus, hendak kulihat sampai di mana kepandaian murid Ang-bin Sin-kai si pengemis jembel!”

Menghadapi serangan Eng-jiauw-kang yang dilakukan dengan gerakan lincah dan cepat sekali, Kwan Cu menjadi kewalahan dan terpaksa dia mengeluarkan sulingnya. Kini dia mainkan ilmu pedang Hun-kai Kiam-hoat dengan sulingnya, juga dia membalas dengan serangan yang hebat sekali.

Tiba-tiba terdengar bentakan keras dan muncullah seorang pemuda tinggi besar dari pintu yang tak berdaun itu. Pemuda ini membawa sebatang dayung yang panjang dan lebar.

“Ibu, siapakah sahabat yang gagah perkasa ini?” tanya pemuda itu sambil memukulkan dayungnya pada tanah sehingga tergetarlah rumah itu. Kwan Cu terkejut sekali. Pemuda ini memiliki tenaga gwakang yang demikian besarnya, kalau dia ikut maju, dia akan menghadapi dua orang lawan yang sama sekali tak boleh dipandang ringan!

Akan tetapi, tiba-tiba nenek yang aneh itu tertawa berkikikan dan menghentikan serangannya.

“Kong Hoat, inilah pemuda yang ada harapan,” katanya kepada pemuda yang ternyata adalah puteranya dan bernama Kong Hoat itu. “Dia inilah murid Ang-bin Sin-kai, jago tua yang amat kukagumi.”

Kwan Cu cepat menoleh dan dia melihat seorang pemuda tinggi besar yang berwajah gagah sekali, usianya hanya lebih dua tahun dari padanya, akan tetapi mempunyai potongan tubuh yang lebih besar darinya. Ia kagum sekali melihat pemuda ini yang tertawa-tawa seperti orang yang gembira selalu.

Dengan amat hormat, Kwan Cu menjura kepada pemuda itu dan kepada nenek yang tadi menyerangnya.

“Aku yang bodoh bernama Lu Kwan Cu, murid dari Ang-bin Sin-kai. Harap dimaafkan apabila tanpa mendapat ijin, aku berani memasuki rumah ini. Kedatanganku sebetulnya atas petunjuk para nelayan di dusun Kim-le-pang, karena aku mencari sewaan sebuah perahu. Besar harapanku akan mendapat pertolongan dari Ji-wi yang mulia.”

“Kau mencari perahu, sahabat? Untuk dipakai kemanakah?” tanya Kong Hoat sambil memandang tajam. Suara pemuda ini besar dan parau dan pandangan matanya amat jujur.

Kwan Cu merasa tidak enak kalau berbohong akan tetapi dia pun tidak mungkin dapat menceritakan rahasia dan cita-citanya.

“Sesungguhnya, aku bermaksud untuk menyeberangi laut dan akan melakukan perantauan ke pulau-pulau yang berada di tengah laut. Aku mendengar dari guruku bahwa pulau-pulau itu mengandung rahasia-rahasia yang menarik hati, dan sebagai seorang pemuda, aku amat tertarik dan ingin sekali menyaksikan dengan mata sendiri.”

Kong Hoat melemparkan dayungnya ke sudut lalu pergi duduk di atas sebuah batu karang yang berada di dalam rumah.

“Aneh, aneh sekali! Tahukah kau bahwa pulau-pulau itu didiami oleh makluk-mahluk aneh yang amat berbahaya? Jangankan kau seorang diri yang masih muda, ibuku sendiripun tak berani pergi ke pulau-pulau itu.”

“Siapa yang pergi kepulau-pulau itu, sama halnya dengan mencari kematian sendiri. Hi-hi-hi, murid Ang-bin Sin-kai, kau benar-benar lucu dan aneh, lebih aneh dari pada Ang-bin Sin-kai sendiri. Kau mati sih tidak apa, akan tetapi sayang sekali karena kau masih muda dan juga tampan dan gagah. Batalkan saja kehendakmu itu.”

Mendengar ucapan ini, Kwan Cu maklum bahwa nenek itu sama sekali tidak gila, apalagi puteranya, biarpun pakaian puteranya itu tidak karuan dan amat bersahaja, yakni celana pendek sebatas lutut dan baju yang hanya sebatas siku saja lengannya.

“Terima kasih atas nasihatmu, Suthai dan kau juga, saudara. Akan tetapi, justru keanehan dan bahaya itulah yang menarik hatiku untuk mengunjunginya. Kalau sekiranya Ji-wi tidak merani mengantar, aku akan meminjam perahu Ji-wi saja atau menyewanya, dan aku akan mendayungnya seorang diri ke tempat itu.”

Kong Hoat bangkit berdiri dan membanting-banting kedua kakinya di atas tanah. Kembali terasa tanah bergoyang-goyang saking kerasnya tenaga bantingan kaki pemuda tinggi besar ini.

“Itulah, itulah! Sudah berkali-kali aku rindu akan perantauan yang banyak bahayanya, akan tetapi ibu….”

“Kong Hoat! Siapa yang melarang kau pergi? Pergilah kalau kau memang sudah tega meninggalkan ibumu mati kesunyian.”

Kong Hoat tertawa dan aneh sekali! Biarpun mulutnya tertawa, namun kedua matanya mengeluarkan air mata bercucuran! Kwan Cu berdiri bengong melihat keanehan ini? Kalau tidak gila, mengapa dia tertawa sambil mengucurkan air mata?

“Ibu, kau lucu sekali. Kau melepaskan anakmu, akan tetapi mengikat kedua kakiku dengan omongan itu. Aku mana bisa meninggalkan ibu? Biar mati aku tidak mau meninggalkan ibu tercinta!”

Dan kini nenek itulah yang menangis terisak-isak lalu menghampiri puteranya yang segera di peluknya.

“Kong Hoat, Kong Hoat, kau puteraku yang paling baik…”



Terharu hati Kwan Cu menyaksikan cinta kasih seorang ibu dan bakti seorang putera terhadap ibunya.

“Saudara Kwan Cu, kalau kau nekat hendak melakukan perjalanan berbahaya itu, kaupakailah perahuku.”

“Aku akan meyewanya, di sini aku membawa sekantong uang emas untuk menyewa perahu itu…”

Tiba-tiba nenek itu melompat dan menyerangnya dengan cengkeraman tangannya. Kwan Cu cepat mengelak dan Kong Hoat berseru,

“Ibu jangan…!” ibunya menarik kembali seranganya dan pemuda tinggi besar itu berkata kepada Kwan Cu, “Saudara, kau menghina kami! Baiknya aku ingat bahwa kau bermaksud baik, kalau tidak tentu aku akan membantu ibu membunuhmu karena kau telah menghina kamu orang-orang miskin”. “Maaf, maaf, aku tidak bermaksud menghina….” kata Kwan Cu kaget sekali. “Kami tahu, dan karena itu sudahlah jangan bicara lagi tentang sewa perahu. Aku memberikan perahu kami kepadamu dan habis perkara! besok pagi-pagi, kau boleh berangkat dan malam ini biarlah kita bercakap-cakap sambil menanti datangnya fajar. Berangkat di waktu fajar menyingsing baik sekali, angin tenang dan tidak ada ombak. Aku pun baru saja kembali mencari ikan dan mari kita makan ikan yang kudapat dari laut.”

Kwan Cu tidak berani banyak omong lagi, khawatir kalau-kalau kesalahan bicara lagi. Kong Hoat lalu berlari keluar dan tak lama kemudian dia kembali membawa seekor ikan yang sebesar paha. Ikan ini aneh sekali, badannya seperti ikan biasa yang bersisik besar-besar warna merah, akan tetapi kepalanya bulat dan kedua matanya berhimpitan di atas sedangkan mulutnya berada di bawah. Kepala ikan ini seperti kepala kucing, akan tetapi warna aneh, mengingatkan orang akan muka atau kepala seekor binatang suci Kilin. “Ha, Kong Hoat, anak baik. Jadi kau berhasil menangkapnya?”

“Setelah berjuang mati-matian dari pagi sampai malam, ibu,”jawab Kong Hoat sambil tertawa bergelak dan kembali dari kedua matanya bercucuran air mata! Kwan Cu menjadi bengong.”Eh, saudara Kong Hoat, maafkan aku. Apakah kau mau artikan bahwa sehari semalam kau berlayar mencari ikan hanya untuk menangkap seekor ikan aneh ini?”

Kong Hoat dan ibunya saling pandang, kemudian tertawa bergelak-gelak dan kelihatan geli sekali.

“Saudara Kwan Cu, nasibmu memang baik maka datang-datang kau mendapat suguhan ikan ini. Ketahuilah, ikan seperti ini di seluruh laut kuning barangkali hanya ada beberapa puluh ekor saja. Disebutnya ikan Kilin dan selain sukar didapatkan, juga amat sukar ditangkap. Hampir aku mati kehabisan napas dalam air ketika aku berusaha menangkapnya, padahal dia telah terkena tusukan tombakku.” “Mengapa kau mati-matian menangkapnya? Apakah karena dagingnya enak sekali?”

Kembali ibu dan anak itu tertawa bergelak, “Ah, orang kota hanya memikirkan tentang kelezatan makanan, sama sekali tidak memikirkan khasiatnya,” Mendengar ini marahlah wajah Kwan Cu

“Maafkan aku yang bodoh,” kata Kwan Cu. “Sesungguhnya bukan karena aku terlalu temaha akan makanan enak, hanya karena aku sama sekali belum mengerti ikan. Harap Ji-wi (kalian berdua) sudi memberi penjelasan tentang ikan Kilin ini dan segala keanehanya.”

Setelah tertawa geli tanpa maksud menghina tamunya, pemuda tinggi besar itu lalu berkata,

“Saudara Kwan Cu, ketahuilah bahwa ikan Kilin ini terdapat di sekitar Laut Po-hai terus ke timur. Akan tetapi, jarang sekali ikan Kilin mau berenang ke pinggir pantai dan merupakan hal yang amat langka bagi seorang nelayan untuk mendapatkan ikan ini. Oleh karena itu ketika beberapa lama yang lalu aku melihat seekor ikan Kilin berenang di pinggir perahu, aku terkejut dan tidak pernah dapat tidur nyenyak sebelum aku berhasil menangkapnya.” “Kalau begitu memang ikan yang aneh dan sukar didapat,” kata Kwan Cu sambil tersenyum melihat sikap pemuda nelayan itu yang bercerita dengan gaya lucu. ”Akan tetapi, apakah khasiat dari daging ikan ini?”



Pemuda yang bernama Kong Hoat itu menengok kepada ibunya dan bertanya,”Bolehkah aku menceritakannya ibu?”

Nenek yang berwajah mengerikan itu mengangguk. “Boleh saja, dia adalah seorang pemuda gagah yang berbakat baik dan sebagai murid Ang-bin sin-kai, dia bahkan berhak merasai daging ikan Kilin. Kau berceritalah sementara aku mengurus ikan ini.”setelah berkata demikian, nenek itu lalu mengangkat ikan tadi, dibawanya ke dapur. Adapun Kong Hoat tertawa –tawa, lalu berkata kepada Kwan Cu. “Saudara yang baik, maafkan kalau tadi aku ragu-ragu karena aku harus minta ijin dari ibuku lebih dulu sebelum membuka rahasia tentang ikan itu.” “Tidak apa, saudara Kong Hoat. Aku bahkan kagum sekali melihat sikapmu kepada ibumu, sebagai sikap seorang hauw-ji(anak berbakti) tulen!” “Mendiang susiok (paman guru),” kata Kong Hoat tanpa memperdulikan pujian Kwan Cu, “adalah seorang ahli dalam ilmu berenang dan menyelam.Dari susiok inilah aku mendengar bahwa untuk dapat menjadi ahli dalam air, maka obat yang paling baik adalah ikan Kilin. Dagingnya dapat menguatkan tubuh dan lemaknya apabila dimakan, membuat kulit kita tahan akan tekanan air dingin dan gigitan air garam. Tulang-tulang siripnya kalau dikeringkan dan dijadikan bubuk, dapat menjadi obat yang mujarab sekali bagi kita sehingga tulang-tulang kaki tangan kita menjadi amat kuat untuk memukul air dalam berenang. Lemaknya dapat dijadikan minyak dan apabila kita menggunakan minyak ini untuk membasahi kulit, maka tubuh kita akan menjadi licin sehingga memudahkan kita bergerak di dalam air. Yang hebat adalah paru-parunya, karena paru-paru ini merupakan obat sehingga kita akan kuat bertahan lama-lama di dalam air tanpa kehabisan napas.” Akan tetapi Kwan Cu tidak tertarik oleh semua ini. Memang dia tidak tertarik akan kepandaian di dalam air. Sebagai seorang yang biasa merantau di darat, tentu saja dia tidak begitu tertarik seperti Kong Hoat yang memang semenjak kecil bermain-main di dekat air selalu.

Betapapun juga, ketika daging ikan Kilin disuguhkan, Kwan Cu makan beberapa potong dan merasa betapa daging itu mendatangkan hawa hangat di dalam perut dan dadanya. Tahulah dia bahwa memang daging ini mengandung khasiat yang amat baik bagi peredaran darahnya, sehingga dia menjadi girang dan menghaturkan terima kasihnya. Kini mereka bercakap-cakap bertiga. Dalam percakapan ini tahulah Kwan Cu bahwa wanita tua itu adalah seorang tokoh kang-ouw yang amat terkenal dan yang pernah disebut-sebut namanya oleh suhunya, yakni yang disebut-sebut Liok-te Mo-li (Iblis Wanita Bumi). Adapun Kong Hoat adalah putera tunggalnya yang dididik ilmu silat olehnya semenjak kecil sehingga pemuda itu pun memiliki kepandaian yang tinggi. “Saudara Kwan Cu, sungguh amat mengherankan hati kami. Kau yang begini muda mempunyai keinginan mengarungi samudra, berkelana dengan perahu di daerah yang terkenal amat berbahaya ini, sebenarnya kau mencari apakah?” tanya Kong Hoat. Kwan Cu tersenyum. Ia merasa tidak enak untuk membohong kepada orang-orang yang jujur dan baik ini, akan tetapi untuk berkata terus terang bahwa ia mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, dia pun tidak berani. Suhunya sudah memesan kepadanya dengan sungguh-sungguh agar dia jangan sekali-kali menceritakan kepada siapapun juga tentang kitab itu. Maka dia berkata, “Saudara yang baik, sebagai seorang pemuda aku hanya ingin meluaskan pengetahuanku saja, hendak melihat apakah yang terdapat di sebelah sana samudera yang luas ini.” Kong Hoat memandang kepadanya dengan kagum dan dari pandangan mata ini tahulah Kwan Cu bahwa sebetulnya pemuda itu ingin pergi seperti dia. Tak terasa pula fajar telah menyingsing dan Kwan Cu segera berdiri lalu berpamit kepada tuan rumah. “Nanti dulu, kau boleh mempergunakan dayung simpananku yang paling baik,” kata Kong Hoat yang segera berlari ke belakang. Tak lama kemudian dia kembali membawa sebatang dayung berwarna hitam yang panjang dan berat. “Dayung ini jauh lebih baik dari pada lima batang dayung biasa.” kata Kong Hoat gembira, “Kau seorang pemuda gagah perkasa, amat cocok memegang dayung ini, saudara Kwan Cu.” Kwan Cu menerima dayung itu dan ternyata bahwa dayung itu terbuat dari pada baja hitam yang kuat sekali. Selain dapat digunakan sebagai dayung, juga dapat dipergunakan sebagai senjata yang boleh diandalkan. “Terima kasih saudara Kong Hoat. Kau baik sekali dan mudah-mudahan saja aku akan mendapat kesempatan membalas budimu yang baik ini.” Kata Kwan Cu girang.



Kong Hoat lalu memberikan perahunya kepada Kwan Cu, bahkan membantu Kwan Cu mengangkat perahu itu ke pinggir dan menurunkannya di air. Matahari baru nampak sinarnya yang kemerahan di permukaan laut, akan tetapi raja siang itu sendiri belum memperlihatkan dirinya yang agung. “Ingat, saudara Kwan Cu, dalam bulan ini angin bertiup dari selatan menuju ke utara dan ombak yang paling dahsyat terdapat di mulut Laut Po-hai. Bagian barat tidak berbahaya akan tetapi kalau kau memasuki Laut Po-hai hati-hati jangan kau membiarkan perahumu mendekati kepulauan yang berada di sebelah utara dekat mulut Sungai Yalu, karena di situ terdapat pulau-pulau aneh yang amat berbahaya, selain itu, terdapat pula batu-batu karang yang sukar dilalui perahu. Itu semua masih belum hebat, karena sebelum tiba di daerah berbahaya itu, kau akan berhadapan dengan ikan-ikan hiu yang amat liar dan ganas.” “Terima kasih atas segala nasihatmu, saudara Kong Hoat, akan kuingat baik-baik semua nasihat itu,” jawab Kwan Cu. Tiba-tiba nenek tua Liok-te Mo-li datang berlari-lari. Tangannya membawa bungkusan kuning dan ia berkata kepada Kwan Cu, “Kau seorang pemuda yang berani, dan sebagai tamuku, sudah semestinya kalau aku memberi sedikit bekal. Nah, kau terimalah beberapa helai daun Liong-cu-hio (Daun Mustika Naga) ini untuk bekal di tengah pelayaranmu yang berbahaya itu.” Sambil berkata demikian, nenek itu memberikan bungkusan kuning kepada Kwan Cu. Kwan Cu menerimanya sambil menghaturkan terima kasih. Akan tetapi ketika dia teringat akan nama daun itu sebagai daun ajaib, yang membunuh jangkrik-jangkrik malam tadi, dia menjadi ngeri. “Maaf, suthai, biarpun teecu berterima kasih sekali, akan tetapi tolonglah menerangkan kepada teecu yang bodoh tentang khasiat daun-daun ini untuk teecu. Terus terang saja teecu masih merasa ngeri apabila melihat keliahaian daun ini. Sekarang suthai memberi bekal ini, bagaimanakah teecu harus mempergunakannnya?”

Liok-te Mo-li tertawa berkikikan. ” Memang, siapa orangnya yang takkan merasa ngeri? Memegang saja tanganmu akan menjadi hangus! Akan tetapi ada daya penolaknya, anak muda, sebelum kau memegang daun-daun ini, kau basahi kedua tanganmu dengan air laut lebih dulu. Air garam itu mempunyai daya untuk menolak racun yang keluar dari daun-daun itu. Pada saat kau menghadapi bahaya dari ikan-ikan buas, kau lemparkan saja daun-daun ini ke air dan karena air laut menutupi racun daun, tentu ikan-ikan itu tidak mengetahui akan bahayanya daun-daun ini dan mereka akan menelannya mentah-mentah. Dan kalau mereka kemasukan daun-daun ini di dalam perutnya, ha-ha-ha, kau akan melihat pesta yang hebat akan tetapi terhindar dari ancaman ikan-ikan itu. Nah, selamat kau akan berlayar, anak muda. Apabila bertemu dengan gurumu, katakan bahwa Liok-te Mo-li masih hidup dan mengharapkan dapat bertemu dengan dia.” Sambil tertawa-tawa nenek itu lau berlari pergi meninggalkan Kwan Cu dan Kong Hoat. “Selamat saudara Kwan Cu. Ternyata ibuku amat suka kepadamu, kalau tidak demikian tidak mungkin kau akan diberi daun Liong-cu-hio itu. Kau tahu, dia amat sayang kepada daun-daun aneh itu dan agaknya dia rela mengorbankan nyawa untuk menjaga daun-daun itu. Sekarang atas kehendak sendiri ia memberi daun-daun kepadamu, itu pertanda bahwa kita memang berjodoh. Harap kau berhasil dengan usahamu, saudaraku yang baik.” Kwan Cu terkejut dan memandang dengan mata mengandung penuh pertanyaan kepada pemuda tinggi besar itu. Kong Hoat tertawa bergelak dan kembali kedua matanya mengucurkan air mata! “Jangan heran, kawanku. Kami bukanlah orang jahat dan juga orang-orang terlalu bodoh. Ibu dan aku sudah dapat menduga bahwa kau tentu mencari sesuatu atau setidaknya mengandung maksud tertentu sehingga kau berani berlayar menuju ke pulau-pulau aneh itu. Kalau tidak demikian, sungguh hanya seorang yang miring otaknya yang mau pergi berlayar ke sana tanpa tujuan tertentu. Dan kami tahu betul bahwa kau tidak berotak miring, bahkan cerdik sekali.” “Akan tetapi, alasan itu tidak cukup untuk membuat kalian menduga bahwa kau pergi dengan tujuan sesuatu,” Kwan Cu membantah. “Sahabat baik, kau kira kami orang-orang yang tidak bertelinga? Sudah biasanya bahwa tempat-tempat yang aneh dan berbahaya terdapat barang-barang yang aneh dan berbahaya pula. Mustika yang paling baik adalah mustika naga. Gigi yang baik adalah gigi harimau, dan tanduk yang paling kuat adalah tanduk di mulut gajah. Kami sudah mendengar bahwa di pulau-pulau yang amat aneh dan berbahaya itu terdapat barang-barang aneh dan amat berharga. Aku sendiri kalau tidak ditahan oleh ibuku, sudah lama menyelidiki keadaan pulau-pulau aneh itu.” Ketika mengeluarkan kata-kata ini, Kong Hoat nampak kecewa sekali. Akan tetapi dia segera menyambungnya, ”Apapun juga yang kupikirkan, memang ibu lebih benar. Kepandaianku belum cukup untuk dapat kupergunakan menyelidiki pulau-pulau yang berbahaya itu, berbeda dengan kau, saudara Kwan Cu. Kepandaianmu amat tinggi, bahkan lebih tinggi daripada kepandaian ibu sendiri, maka hanya kaulah yang kiranya akan dapat mendatangi pulau itu dengan berhasil.” “Kau terlalu memuji, saudara Kong Hoat.Akan tetapi biarlah pujianmu itu kuangggap sebagai doamu dan terima kasih banyak atas keramahanmu dan juga sampaikan terima kasihku kepada ibumu mudah-mudahan kita akan dapat bertemu kembali kelak.” Setelah berkata demikian, Kwan Cu mulai mendayung perahunya ke tengah,dipandang oleh Kong Hoat yang berdiri bagaikan raksasa muda, dengan kedua kakinya dipentang lebar dan kedua tangannya di pinggang. Pemuda ini merasa iri hati dan ingin sekali dia dapat mengggantikan Kwan Cu berlayar menuju pulau-pulau yang penuh rahasia itu.



Dayung pemberian Kong Hoat memang baik sekali. Dayung ini panjang berat dan ujungnya lebar serta cekung sehingga sekali saja mendayung, perahu bergerak maju dengan pesatnya. Kwan Cu merasa gembira sekali dan setelah beberapa kali menggerakkan dayungnya, perahunya meluncur bagaikan anak panah terlepas dari busurnya.

Pemandangan indah sekali. Permukaan air bagaikan kaca, diam tak bergerak dan berkilauan, berwarna hijau kemerahan karena sinar matahari yang merah terbayang di permukaan air. Air yang diterjang oleh kepala perahunya pecah menjadi dua seperti sutera digunting. Tenaga dayungnya demikian kuat sehingga air pecah oleh perahunya tidak mengeluarkan suara. Perahunya meluncur cepat tanpa bergoyang, enak dan nyaman sekali. Kehidupan di laut nampak mati tiada seekor pun burung laut terbang di atas air, tiada seekor pun ikan nampak bergerak di permukaan laut. Benar –benar hening dan sunyi menimbulkan suasana yang menyeramkan, seakan-akan laut itu berubah menjadi alam maut yang tiada ujungnya.

Namun Kwan Cu tidak merasa takut. Biarpun dia tidak pernah berlayar dan tidak pernah berada di laut, hatinya berdebar penuh ketegangan. Ia teringat bahwa dia dianggap sebagai “anak laut”oleh Ang-bin Sin-kai dan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, dua kakek yang menemukan dia terlempar oleh ombak samudra. Agaknya kenangan inilah yang membuat Kwan Cu selalu berdebar aneh apabila dia teringat akan laut. Kini setelah dia mendapatkan dirinya terapung di atas laut seorang diri di dalam perahunya, dia merasa seakan-akan dia telah kembali ke alam asalnya dari mana dia datang!

Setelah matahari mulai nampak di permukaan laut, merupakan bola besar berwarna merah yang bernyala-nyala, kehidupan mulai tampak. Air yang tadinya “tidur”mulai bergerak sedikit dan di kanan kirinya mulai kelihatan air itu berkeriput.mulai terdengar suara mencicit dari burung-burung laut yang berterbangan di atas air, menyambar-nyambar ke air mencari mangsa pengisi perut. Mulai terdengar air berkecipak kalau ada ikan yang mulai ”mandi” cahaya matahari di permukaan air. Mulai kelihatan kehidupan di dalam air melalui sinar matahari, karena kini makin banyaklah kelihatan ikan berenang ke sana ke mari seperti kesibukan orang-orang yang bangun dari tidur dan mulai dengan pekerjaan masing-masing.

Melihat semua ini, Kwan Cu tertarik sekali dan dia menghela napas berulang-ulang. Ia ingat akan ajaran-ajaran dari Gui Tin atau Gui-siucai yang sudah meninggal dunia. Gurunya itu dahulu seringkali mengajarkanya tentang filsafat hidup, tentang ujar-ujar para cerdik pandai di jaman dahulu.

Alam itu kekal abadi
karena hidup bukan untuk diri pribadi

Ucapan di atas itu dari Nabi Lo Cu dan kini Kwan Cu menyaksikan betapa hebatnya dan besarnya alam dunia. Hidup dekat dengan masyarakat, yakni dengan sesama manusia, ucapan ini takkan ada artinya atau setidaknya takkan kelihatan isi atau inti sarinya. Ini dikarenakan manusia memang hidup penuh nafsu dan selalu melakukan sesuatu dengan tujuan demi kepentingan diri pribadi. Mementingkan diri pribadi inilah sumber dari pada segala malapetaka yang terjadi di antara manusia.

Kini, setelah berada seorang diri di atas lautan, Kwan Cu terbuka matanya dan dia melihat, dan mengakui kebesaran alam yang kekal abadi, melihat pula apa maksud kata-kata pujangga atau Nabi Lo Cu tentang alam yang hidup bukan untuk kepentingan diri pribadi. Lihat saja matahari itu. Dia muncul dan tenggelam sesuai dengan tugasnya yang sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Dia melakukan tugasnya, semata-mata untuk memberi atau menjadi kegunaan bagi setiap yang membutuhkannya, sedikit pun tidak pernah meminta, itulah sang matahari. Lihatlah lautan bebas, pusat kehidupan, tidak saja pusat kehidupan berjuta macam ikan dan benda hidup lainya, juga pusat kehidupan manusia dan makluk di darat. Dari laut datangnya zat kehidupan, karena dari lautlah datangnya air di darat. Akan tetapi, seperti matahari sifatnya, laut pun tak pernah meminta, hanya memberi sifat alam yang suci. Alam memberi, memberi dan memberi, tak pernah meminta. Segala sesuatu di alam ini, dapat di pergunakan oleh manusia, bahkan setelah manusia mati, bumi masih memberi tempat untuk menyelimuti jenazahnya!

Melihat burung beterbangan di angkasa dan ikan-ikan berenang di dalam air dengan bebas dan senangnya, tersenyumlah Kwan Cu. Mengapa justeru burung diberi sayap sehingga pandai terbang di angkasa sedangkan ikan diberi kesanggupan hidup di dalam air? Alangkah besar perbedaan antara kedua jenis binatang ini dan mereka ini keduanya adalah makluk hidup! Alangkah besar kekuasaan Thian, alangkah indahnya alam dan isinya, alangkah gaib dan penuh rahasia mujijat yang luar biasa hebatnya adalah pekerjaan Thian. Dan dia, seorang manusia, seorang makluk jenis lain pula, kini saksi segala keindahan itu. Sambil menikmati kehebatan pembukaan kebesaran alam di depan matanya Kwan Cu melanjutkan gerakan dayungnya, menuju ke arah kelompok pulau terdekat yang nampak dari situ sebagai bayang-bayang membiru. Hatinya diliputi kesegaran semangat dan kegembiraan. Dorongan aneh membuat dia demikian girang sehingga pemuda ini sambil mendayung perahunya lalu bernyanyi!



Menjelang tengah hari belum juga perahunya tiba di kelompok pulau yang sudah kelihatan semenjak pagi tadi. Kwan Cu terheran-heran. Pulau-pulau itu tidak juga berubah. Apakah perahunya tidak bergerak maju? Tidak mungkin, pikirnya. Memang karena di seluruh penjuru perahu hanya kelihatan air belaka, nampaknya perahu itu tidak bergerak. Akan tetapi kalau dilihat air yang terpecah oleh kepala perahunya, jelas kelihatan bahwa perahunya bergerak dengan pesat ke depan.

Inilah keanehan pertama yang dialami oleh pemuda ini. Sebetulnya kelompok pulau-pulau itu masih amat jauh. Hanya sinar matahari yang menipunya sehingga kelihatannya amat dekat kelompok pulau itu . Ia merasa penasaran dan mengerahkan tenaganya, mendayung lebih cepat lagi, ke arah kelompok pulau itu. Ia memang tidak tahu di mana letaknya pulau yang dijadikan tempat menyimpan kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng karena di dalam kitab sejarah penginggalan Gui-suicai hanya ditulis bahwa kitab rahasia itu disimpan di dalam sebuah pulau kosong, kecil berbentuk bundar yang ditumbuhi pohon-pohon berdaun putih, yang terdapat di antara pulau-pulau besar di lautan ini. Akan tetapi, Kwan Cu mengambil keputusan untuk mengunjungi semua pulau yang berada di situ dan akhirnya tentu dia akan dapat mencari pulau kecil bundar yang ditumbuhi oleh pohon-pohon berdaun putih itu.

Akan tetapi setelah matahari condong ke barat, terjadi keanehan kedua. Kalau tadi kelompok pulau-pulau itu tak pernah juga kelihatan makin dekat biar pun dia telah mendayung perahunya secara cepat sekali selama setengah hari, kini tiba-tiba kelompok pulau itu bahkan menghilang dari pandangan mata!

Kwan Cu menghentikan gerakan dayungnya dan memandang ke sekeliling dengan bingung.Tak salah lagi tadi kelompok pulau itu berada di depan, mengapa sekarang tiba-tiba lenyap? Hal ini pun akibat permainan matahari yang membuat kepulauan itu lenyap ditelan uap putih yang membubung naik dari laut sehingga pandang mata pemuda itu tak dapat menembusnya dan membuat kelompok kepulauan itu tidak kelihatan olehnya. Kwan Cu teringat akan kata-kata Kong Hoat tentang keanehan lautan ini maka dia tersenyum dan berkata, “Memang aneh sekali. Akan tetapi biarlah, aku harus melanjutkan dan mengambil jurusan yang berlawanan dengan matahari, siapa tahu kalau-kalau kepulauan tadi akan mucul pula setelah puas menggodaku.” Pemuda yang tabah ini lalu mendayung terus dan mulau berpeluh karena matahari telah membakar kulitnya. Tiba-tiba terdengar suara yang aneh dan gemuruh yang mengerikan dari arah kiri. Kwan Cu yang tidak bisa berlayar, tidak tahu suara apakah itu. Ia menghentikan gerakan dayungnya, akan tetapi setelah dia memandang ke sekelilingnya dia tidak melihat sesuatu, hanya nampak awan-awan hitam di arah selatan dan timur. Kembali terdengar suara itu, kini lebih hebat lagi dan Kwan Cu merasa seakan-akan suara itu timbul dari dasar laut. “Hebat! Suara siapakah itu? Suara Hai-liong-ong (Naga Raja Laut) ataukah suara makhluk lain yang hebat? Hem, benar-benar luar biasa hebat alam ini, besar dan berkuasa!” Ia merasa dirinya amat kecil tak berarti dan lambat-laun timbul juga kengerian dalam hatinya, sesungguhpun tak boleh dibilang bahwa Kwan Cu merasa takut. Namun, dia merasa lebih tenang andaikata Ang-bin Sin-kai gurunya berada di situ bersamanya pada saat itu. Ia teringat akan suhunya dan diam-diam ia tertawa dengan hati penuh kasih sayang kepada suhunya itu. Suhunya seorang manusia aneh yang kuat dan hebat seperti lautan ini. Kembali terdengar suara gemuruh dan kini suara ini terdengar begitu hebat sehingga Kwan Cu tidak tahan untuk tidak menengok ke belakang. Tiba-tiba anak muda ini memandang dengan mata terbelalak ke arah kiri. Dari tengah lautan yang tidak bertepi itu dia melihat sesuatu yang tinggi dan panjang datang bergulung kepadanya. Sesuatau yang nampak belang-belang putih hitam, seperti seekor naga. “Naga laut…” bisiknya sambil menahan napas.



“Hai-liong-ong…” kata suara hatinya penuh kengerian. Memang hebat sekali penglihatan pada waktu itu. Dari arah kiri, datang benda itu, makin lama makin panjang dan besar, dan biarpun benda itu masih jauh, telah datang angin bertiup keras, membuat air di depan perahu bergelombang. Gelombang makin besar dan tiba-tiba Kwan Cu merasa terkejut sekali karena berbareng dengan suara gemuruh seperti derap kaki ribuan ekor kuda di samping suara lengking tinggi panjang seperti suara ribuan batang suling yang ditiup secara aneh seperti kalau Yok-ong meniup suling, perahunya terangkat tinggi-tinggi dan permukaan laut tiba-tiba naik tinggi sekali, lalu turun lagi seperti kalau di daratan terjadi gempa bumi yang hebat. Dan kini benda panjang seperti naga itu telah datang dekat, membawa bunyi gemuruh dan tahulah Kwan Cu dengan hati tidak karuan rasanya bahwa yang disangka naga itu sebenarnya adalah gelombang laut hebat!

“Celaka!” serunya dan dia mencoba untuk menahan keseimbangan perahunya dengan dayung. Akan tetapi, di dalam tangan samudra yang besar kuat dan hebat tenaganya itu, tenaga Kwan Cu merupakan tenaga seekor semut bagi seorang raksasa. Perahu berikut Kwan Cu masih memegang dayung terputar-putar, membuat kepala pemuda itu menjadi pening sekali. Namun dia masih dapat berlaku tenang dan cepat Kwan Cu melemparkan dayungnya ke dalam perahu, dan dengan kedua tangan dia memegangi ombak laut dan satu-satunya harapan baginya adalah perahunya itu. Biarpun perahunya akan terbalik, tetap saja perahu kayu itu takkan tenggelam dan akhirnya tentu akan terapung juga. Kalau dia tidak terlepas dari perahu, dia masih ada harapan untuk menyelamatkan dirinya. Tiba-tiba, sebuah gelombang atau lebih tepat disebut anak gelombang yang nakal memegang perahu dan melontarkannya ke atas bagikan seorang anak kecil melontarkan sebutir batu kerikil saja. Perahu terlempar ke atas. Dayungnya terlempar keluar dan karena dayung itu terbuat dari baja, maka benda ini jatuh lebih dulu, ditelan gelombnag dan agaknya akan menjadi tontonan bagi penghuni laut. Adapun Kwan Cu yang ikut terlempar ke atas, hampir saja direnggutkan keluar dari perahu pula. Baiknya dia berlaku gesit dan cepat, kedua tangannya memeluk perahu sekuat tenaga dan agaknya hanya maut saja yang kuasa merenggutnya terlepas dari perahu itu! Mati hidup aku harus bersama perahuku ini, pikirnya nekat. Perahu bersama Kwan Cu terhempas kembali ke dalam air, disambut oleh gelombang, diputar-putarkan, dipermainkan, dikocok ke sana ke mari dengan hebatnya. Kwan Cu masih memeluk perahu, kadang-kadang ia berada di atas perahu, kadang-kadang dia berada di bawah perahu dan hanya dapat menahan napas lalu berusaha membalikkan tubuhnya sehingga berhasil di atas perahu, kadang-kadang dia dan perahunya lenyap ditelan gelombang dan timbul pula di tempat lain. Siksaan ini dibarengi dengan bunyi-bunyian yang luar biasa dan yang membuat pemuda itu merasa seakan-akan dia telah berada di dasar neraka. Satu keanehan terjadi. Ketika dia dipermainkan oleh gelombang menderu, tiba-tiba dia teringat akan sesuatau dan seakan-akan terbayang dalam ingatannya suatu pengalaman yang hampir sama dengan pengalaman yang sedang dia alami sekarang ini. Tiba-tiba saja teringatlah dia betapa dia pernah menjadi permainan gelombang dan ombak seperti ini, teringat pula betapa orang-orang sekapal telah tenggelam ditelan gelombang, betapa kapal itu karam dan membawa pula dua orang yang kini terbayang di depan matanya. “Ayah…! Ibu…!” tiba-tiba Kwan Cu memekik keras. Kini terbayanglah seorang laki-laki dan seorang wanita dan baru sekarang dia tahu bahwa wajah-wajah ini adalah wajah-wajah ayah bundanya yang tewas dalam amukan gelombang! Tahulah dia sekarang mengapa dia ditemukan oleh Ang-bin Sin-kai dan Jeng-kin-jiu dan dianggap sebagai “anak laut”. Ayah bundanya tewas di lautan dan agaknya dia sendiripun akan mengalami nasib yang sama.
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Dewasa ABG SIlat : Pendekar Sakti 2 - KPH - dan anda bisa menemukan artikel Cerita Dewasa ABG SIlat : Pendekar Sakti 2 - KPH - ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/06/cerita-dewasa-abg-silat-pendekar-sakti.html?m=0,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Dewasa ABG SIlat : Pendekar Sakti 2 - KPH - ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Dewasa ABG SIlat : Pendekar Sakti 2 - KPH - sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Dewasa ABG SIlat : Pendekar Sakti 2 - KPH - with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/06/cerita-dewasa-abg-silat-pendekar-sakti.html?m=0. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 1 komentar... read them below or add one }

poker mengatakan...

poker online terpercaya
poker online
Agen Domino
Agen Poker
Kumpulan Poker
bandar poker
Judi Poker
Judi online terpercaya

Posting Komentar