Cersil KPH : Pendekar Mata Keranjang 2

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 11 Mei 2012

Cersil KPH : Pendekar Mata Keranjang 2
Ah, siapa bilang engkau buruk, Nona? Memang kulitmu agak hitam, akan tetapi hitam manis itu namanya! Dan lihat matamu! Duhai siapa takkan terpesona melihat mata seperti matamu itu? Demikian jeli, demikian jernih, demikian indah bentuknya. Sepasang matamu itu saja sudah cukup untuk menundukkan hati setiap pria, Nona!" Dan kini kawan-kawan nona berkulit kehitaman itu baru melihat bahwa Si A-kiu memang memiliki mata yang indah!


"Dan engkau, Nona, keistimewaan! yang ada padamu adalah bentuk wajahmu ini1ah yang dinamakan bentuk wajah bulat telur. Manis bukan main, dengan dagu meruncing dan tulang pipi agak menonjol. Bentuk wajah seperti yang kaumiliki itu membuat semua bagian mukamu menjadi nampak manis sekali!" kata Hay Hay memuji gadis berikutnya yang tersipu-sipu malu-malu senang.

"Dan jarang ada gadis memiliki hidung dan mulut sepertimu, Nona." katanya lagi memandang gadis berbaju hijau, gadis ke enam. "Hidungmu kecil mancung cocok sekali dengan mulutmu yang kecil dengan bibir yang penuh dan merah membasah. Amboiii.…. mata pria takkan mau berkedip memandangi mulutmu itu. Engkau seorang gadis yang hebat!" Dan tentu saja gadis itu hanya dapat mengeluarkan suara "aahhh….." yang manja dan tersipu-sipu seperti yang lain.


"Dan engkau?" Hay Hay memandang gadis ke tujuh atau yang terakhir. "Bentuk tubuhnya, Nona! Sungguh bagaikan setangkai bunga sedang mekar! Pinggangmu ramping, tubuhmu... sungguh menggairahkan setiap orang pria yang memandangnya. Semua pria dapat tergila-gila memandang bentuk tubuh seorang wanitaseperti bentuk tubuhmu ini!"


Tujuh orang gadis itu semua telah mendapat giliran dipuji-puji oleh Hay Hay dan mereka yang menerima pujian menjadi girang bukan main, akan tetapi setiap kali Hay Hay memuji seorang gadis, yang lain merasa tak senang dan iri!


"Hemm, Kongcu..." kata gadis tertua yang kulitnya putih.


"Aihh, jangan menyebut Kongcu (Tuan Muda), membikin aku malu saja. Namaku Hay Hay dan kalian boleh saja menyebut aku Kakak Hay."


"Kak Hay Hay yang baik," kata gadis tertua. "Engkau memuji kami semua, katakanlah siapa di antara kami yang kauanggap paling menarik?" Gadis-gadis yang lain tersenyum dan tertawa, ikut pula mendesak dan suasana menjadi gembira sekali. Mereka tertawa-tawa, merubung Hay Hay yang menjadi girang sekali. Dirubung tujuh orang gadis cantik dan segar itu merasa seperti berada di taman kahyangan dikelilingi tujuh orang bidadari jelita! Dia pun tertawa-tawa gembira. Alangkah bahagianya hidup ini! Di setiap keadaan terdapat hal-hal yang dapat dinikmati, yang mendatangkan rasa gembira di hati.


"Aku menjadi bingung kalau disuruh mengatakan siapa yang paling menarik. Habis semuanya menarik sih!" jawabnya sambil tertawa-tawa dan tujuh orang gadis itu pun tertawa semua. Senang rasa hati mereka dan selama hidup belum pernah mereka berjumpa dengan seorang pemuda yang begini menyenangkan hati.


"Andaikata engkau disuruh memilih seorang di antara kami untuk menjadi..." gadis berambut panjang itu berhenti, mukanya merah sekali dan ia tidak berani melanjutkan karena malu.


"Menjadi apa?" Hay Hay pura-pura tidak mengerti.


"Jadi itu tuuhh…..!" sambung gadis bertahi lalat.


"Jadi pacarmu…..!" akhirnya gadis tertua memberanikan diri berkata. "Engkau akan memilih yang mana, Kak Hay?"


Hay Hay tertawa bergelak di tengah-tengah para gadis itu. "Wah repotnya! Pilih yang mana, ya?" Dia memandang kepada mereka satu demi satu untuk menimbulkan suasana penuh harapan yang menegangkan hati mereka, kemudian menyambung, "aku pilih semuanya! Ha-ha-ha!"


Gadis-gadis itu menjerit kecil dan tertawa-tawa dengan sikap manja dan genit. Mereka pun menikmati keadaan yang luar biasa, menggembirakan dan sekaligus membangkitkan gairah hidup dan semangat muda mereka. Mereka merasa demikian bebas dekat pemuda ini, bebas akan tetapi tidak merasa terancam. Pemuda ini sama sekali tidak kurang ajar, pandang matanya demikian jenaka namun lembut, tanpa kandungan pandang mata penuh nafsu yang kurang sopan. Biasanya, mereka merasa betapa pandang mata pria kalau ditujukan kepada mereka seolah-olah hendak meraba-raba tubuh mereka, bahkan seolah-olah sinar mata pria hendak menelanjangi mereka. Pemuda ini tidak. Ucapan-ucapannya yang mengandung pujian bukan rayuan belaka, melainkan pujian yang wajar dan setengah kelakar.


Baik Hay Hay maupun gadis itu tidak tahu bahwa tidak jauh dari situ, di balik semak-semak belukar, sejak tadi ada sepasang mata jeli yang mengintai dan mengikuti setiap gerakan maupun kata-kata mereka. Sepasang mata yang amat tajam, yang kadang-kadang memancarkan kemarahan, kadang-kadang juga kegembiraan. Pemilik sepasang mata ini adalah seorang gadis yang usianya kurang lebih delapan belas tahun. Terjadi hal lucu pada gadis pengintai ini ketika Hay hay tadi memuji para gadis itu satu-satu. Kalau Hay Hay memuji rambut seorang di antara mereka, tak terasa lagi ia pun meraba rambutnya. Kalau Hay Hay memuji hidung seorang gadis, ia pun otomatis meraba hidungnya sendiri dan seterusnya. Ketika Hay Hay dirubung oleh para gadis itu dan mereka semua tertawa-tawa dengan girang, gadis pengintai itu mengerutkan alisnya dan mengamati mereka dengan pandang mata tajam.


"Hemmm, Si Mata Keranjang!" berkali-kali mulutnya mengeluarkan bisikan mendesis dan pandang matanya terhadap Hay Hay menjadi keras dan semakin tajam



Para gadis itu sampai lupa waktu ketika mereka bersendau gurau dengan Hay Hay. Semua bekal roti dan dendeng pemuda itu sudah habis mereka makan, dan kini Hay Hay meranyakan nama mereka. Seperti sekelompok burung, dengan suara merdu dan gaya masing-masing, mereka memperkenalkan nama mereka.


Pada saat itu, datanglah belasan orang laki-laki tua muda. Mereka datang dari dusun karena mereka adalah penghuni dusun itu, ada yang menjadi ayah atau kakak dari para gadis yang sedang bersendau gurau dengan Hay Hay. Seorang anak kecil tadi melihat betapa gadis-gadis itu merubung seorang pemuda asing dan tertawa-tawa, maka dia berlari ke dusun dan melaporkan kepada para penduduk. Berkumpullah belasan orang dan mereka kini menuju ke tepi sungai kecil.


"Apa yang kalian lakukan!" bentak seorang kakek kepada mereka. Hay Hay dan tujuh orang gadis itu sedang bercakap-cakap dan mereka tertawa-tawa mendengar sebuah dongeng yang diceritakan Hay Hay kepada mereka, sebuah dongeng lucu.


Terkejutlah tujuh orang gadis itu dan mereka semua menoleh. Kiranya kepala dusun sendiri yang menegur mereka dan tentu saja mereka menjadi ketakutan, cepat mengumpulkan cucian mereka dan mundur menjauhi Hay Hay.


"Tidak-apa-apa, kami hanya bercakap-cakap….." gadis tertua mewakili teman-temannya menjawab, memandang dengan lugu karena memang tidak merasa bersalah, akan tetapi takut karena sikap kepala dusun itu seperti orang marah.


"Siapa dia?" Kepala Dusun itu menuding ke arah Hay Hay yang sudah turun dari batu besar yang didudukinya tadi.


"Dia... Kakak Hay dan baru saia kami berkenalan dan….."


"Tidak pantas anak perawan bercengkerama dengan pria yang asing, bersendau gurau tak mengenal sopan santun. Hayo kalian pulang sana!" bentak Kepala Dusun itu dengan marah. Tujuh orang gadis itu semakin ketakutan. Merekar melempar pandang ke arah Hay Hay dengan khawatir sekali, takut kalau-kalau pemuda yang menyenangkan itu akan dipukuli orang-orang dusun yang kelihatannya marah itu.


"Dia tidak melakukan apa-apa yang tidak pantas! Dia tidak bersalah apa-apa…." teriak gadis bertahi lalat yang masih terhitung keponakan dari kepala dusun.


"Diam kau! Dan pulanglah kalian, anak-anak tak tahu malu!" bentak Kepala Dusun dan kini tujuh orang gadis itu tak berani membantah, lalu berjalan perlahan-lahan meninggalkan tempat itu, akan tetapi mereka menengok dan menengok lagi.


Sementara itu, kepala dusun kini bersama belasan orang penduduk dusun menghampiri Hay Hay yang sudah turun dan pemuda itu tersenyum, bahkan lalu menjura dengan sikap hormat.

"Lopek yang baik, harap jangan memarahi adik-adik itu. Mereka tidak melakukan sesuatu yang salah. Kami hanya bercakap-cakap saja setelah saling berkenalan. Saya bernama Hay Hay dan kebetulan lewat di sini, melihat mereka selesai mencuci pakaian dan saya menawarkan roti dan daging kering. Kami makan bersama, bercakap-cakap dan tidak terjadi sesuatu yang tidak baik, Lopek. Kalau memang hal itu dianggap salah, biarlah saya yang bersalah, akan tetapi adik-adik yang baik itu sama sekali tidak bersalah."


Kepala dusun itu bersama yang lain-lain, tertegun melihat sikap pemuda yang hormat dan kata-kata yang halus itu. Mereka saling pandang dan tahulah mereka bahwa mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang selain tampan dan berpakaian seperti seorang pelajar yang beruang, juga bicaranya halus dan sopan seperti juga sikapnya. Kepala dusun itu merasa tidak enak kalau harus memperlihatkan sikap keras. Siapa tahu pemuda ini masih berdarah bangsawan atau setidaknya putera seorang berpangkat tinggi di kota !


"Kami tidak menyalahkan siapa-siapa, hanya merasa tidak pantaslah kalau gadis-gadis bercengkerama dengan seorang laki-laki asing, di tempat sunyi begini." katanya. "Kongcu siapakah, datang dari mana dan ada keperluan apakah mengunjungi dusun kami ini? Aku adalah Kepala Dusun di sini dan berhak untuk mengenal setiap orang tamu asing yang berada di wilayah kami."


Hay Hay tersenyum dan menjura lagi kini kepada kakek itu. "Ah, kiranya saya berhadapan dengan Chung-cu (Kepala Kampung ). Maafkan kalau saya mengganggu, akan tetapi sesungguhnya seperti yang saya katakan tadi, saya hanya kebetulan saja lewat di sini dan melihat keindahan pemandangan sekitar tempat ini, saya bermaksud untuk bermalam di dusun. Kebetulan saya bertemu dan berkenalan dengan gadis-gadis tadi, harap Chung-cu tidak menyangka yang tidak baik. Nama saya Hay Hay dan saya seorang perantau yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap."


Berubah lagi pandangan mereka mendengar bahwa pemuda itu seorang yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap. Seorang pemuda dusun itu yang bertubuh tinggi besar dan berwajah galak, segera melangkah maju dan menudingkan telunjuknya. "Tentu saja kami menyangka buruk melihat betapa engkau berani merayu gadis-gadis kami. Sungguh kurang sopan bagi seorang pria yang baru saja datang untuk bersendau gurau dengan gadis-gadis kami!" Pemuda ini menaruh hati kepada gadis yang bertahi lalat di dagunya dan sejak tadi dia sudah merasa cemburu dan iri hati sekali terhadap pemuda tampan ini, apalagi melihat betapa gadis yang dicintanya itu nampak membela Si Pemuda Asing.


Kembali Hay Hay hanya tersenyum menghadapi hardikan ini. "Maaf, sungguh aku tidak mengerti mengapa hanya bicara dan bersendau gurau secara baik-baik saja dianggap tidak sopan? Kalau aku berbuat tidak sopan, tentu gadis-gadis itu sudah menjadi marah atau melarikan diri. Sebaliknya, mereka suka bersahabat dan makan bersama-sama aku di sini!"


"Karena engkau orang kota pandai merayu! Engkau hendak memikat gadis-gadis dusun dengan rayuanmu, ya? Lebih baik engkau cepat minggat dari sini sebelum aku kehilangan kesabaran dan menghajarmu sampai babak belur!" pemuda itu dengan hati panas dan dengan kedua tangan terkepal mengancam.



Hay Hay tidak menjadi marah. Malah dia tersenyum lebar memandang pemuda itu. "Engkau sungguh mengagumkan, sobat. Karena cintamu kepada seorang di antara adik-adik itu, maka engkau menjadi panas hati dan hendak menghajarku.”


Pemuda itu terbelalak, mukanya menjadi merah dan beberapa orang temannya tertawa mendengar ini karena memang mereka tahu bahwa temannya ini jatuh hati kepada gadis bertahi lalat yang nama panggilannya Siauw Lan itu.


"Sudah, tak perlu banyak cakap lagi. Pergilah sekarang juga!" pemuda itu menghardik dan maju semakin dekat, siap untuk memukul.


Hay Hay tetap tenang dan dia memandang kepada kepala dusun yang sejak tadi hanya diam saja menjadi penonton. "Lo-chung-cu, sudah benarkah saya diusir dari dusun ini tanpa dosa? Bagaimana kalau saya pergi kemudian aku mengabarkan perlakuan dan sikap kalian terhadap para tamu yang datang ke dusun ini?"


Kepala Dusun menjadi bimbang. Siapa tahu pemuda tampan itu benar-benar putera atau setidaknya sahabat dari pejabat""pejabat tinggi di kota! Dia pun menengahi dan menarik lengan pemuda itu agar mundur.


"Sudahlah, selama tidak ada keluhan dan laporan dari anak gadis kami, maka kami habiskan saja perkara ini. Akan tetapi, untuk menjaga agar tidak terjadi keributan, kami harap Kongcu suka pergi dari sini."


“Saya bukan tuan muda, dan harap jangan sebut saya dengan kongcu. Dan saya sudah memutuskan untuk bermalam di tempat ini. Apakah dilarang untuk seorang yang melakukan perjalanan untuk berhenti di sini barang satu dua malam?"


Kepala dusun itu menarik napas panjang. Pemuda ini terlalu tenang dan sikapnya amat ramah dan baik, tak pernah memperlihatkan sikap sombong atau marah. Tidak baik kalau terus bersikap kaku.

"Terserah kepadamu, orang muda. Akan tetapi ketahuilah bahwa di dusun kami tidak ada penginapan, dan para penduduk tentu tidak akan ada yang suka menerimamu sebagai tamu. Kalau engkau suka bermalam di tempat terbuka seperti di sini, terserah kepadamu." Setelah berkata demikian, kepala dusun itu lalu mengajak orang-orangnya untuk pulang ke dusun karena mereka harus melakukan pekerjaan masing-masing. Pemuda tinggi besar itu masih memandang dengan mata tajam kepada Hay Hay, lalu sebelum dia pergi bersama yang lain, masih sempat dia mengancam.


"Awas, kalau engkau berani mendekati gadis-gadis kami lagi, aku benar-benar akan mencari dan menghajarmu!"

Hay Hay hanya tersenyum dan menggerakkan pundaknya sambil menduga-duga, gadis yang mana dari ketujuh gadis tadi yang dicinta pemuda ini. Kasihan gadis itu, tentu kelak akan menjadi bulan-bulan kemarahan pemuda ini kalau sudah menjadi suaminya karena pemuda ini pencemburu benar.


Karena tidak diperbolehkan bermalam di dalam rumah penduduk di dalam dusun itu, Hay Hay lalu mulai mencari tempat untuk melewatkan malam. Daerah dusun itu memang indah sekali, tanahnya subur dan dusun itu dikelilingi bukit-bukit yang penuh dengan hutan-hutan yang lebat. Akhirnya dia menemukan sebuah kuil tua yang sudah rusak dan tidak terpakai lagi, yang letaknya di tepi hutan di sebuah lereng bukit, hanya beberapa li jauhnya dari dusun itu. Ketika dia berdiri di depan kuil tua itu, nampaklah dusun itu, nampak genteng-genteng rumahnya dan teringatlah dia akan ketujuh orang gadis manis tadi dan dia pun tersenyum gembira. Sebuah dusun yang subur dan indah pemandangannya, dengan gadis-gadisnya yang segar dan manis. Sayang para penghuninya salah paham dan mengira dia akan berbuat kurang ajar. Kurang ajarkah dia? Tidak sopankah dia? Dia tidak mampu menjawab, hanya menggaruk-garuk belakang kepalanya, lalu dia pun mencari tempat yang baik untuk melewatkan malam di dalam kuil itu. Dia menemukan ruangan dalam yang bersih. Untung, pikirnya, agaknya baru saja ada pelancong yang juga kebetulan lewat dan bermalam di situ, karena ruangan itu bersih dan nampak bekas-bekas bahwa ada orang yang membersihkannya, bahkan membuat api unggun di situ. Dengan perasaan lega dia melepaskan buntalan yang dipanggulnya di punggungnya, dan duduk bersila melepaskan lelah di lantai yang sudah dibersihkan orang lain untuknya itu.


Dia tidak tahu bahwa orang lain yang membersihkan lantai itu untuknya, kini mengintai dari jauh dan mengomel panjang pendek.


"Sialan dangkalan! Susah-susah aku membersihkan ruangan itu, yang memakai orang lain dan pemuda yang mata keranjang itu lagi!" Yang mengomel panjang pendek ini adalah seorang gadis bermata tajam, bukan lain adalah gadis yang tadi melakukan pengintaian ketika Hay Hay bersendau gurau dengan tujuh orang gadis dusun.


Dengan perasaan gemas, gadis itu lalu berloncatan dan gerakannya sedemikian ringan dan cepatnya sehingga kalau ada orang yang melihatnya tentu akan tercengang keheranan. Dengan muka merah saking marahnya, gadis itu sudah memasuki kuil tanpa mengeluarkan suara dan tahu-tahu sudah berada di dalam ruangan di mana Hay Hay masih duduk bersila. Senja telah mendatang, namun matahari belum kehilangan semua sinarnya sehingga di dalam ruangan kuil rusak itu masih cukup terang.


"Heiii……!” Gadis itu menghardik dengan nyaring.


Hay Hay terkejut, membuka kedua matanya dan begitu dia melihat wajah gadis itu, dia pun meloncat bangun dan dengan mata terbelalak dia pun berseru. "Heiii…..!" hal yang mengejutkan hati gadis itu pula.

Ada apa kau berteriak seperti orang gila ?” bentaknya.


"Waaah, itu... wajahmu itu……" Gadis itu otomatis membawa kedua tangan ke wajahnya. Apakah pipinya coreng-moreng?


"Rambutmu itu...!" Hay Hay melanjutkan dan kembali Si Gadis meraba kepalanya, takut kalau-kalau rabutnya awut-awutan.


"Matamu...! Hidungmu...! Mulutmu...! Tahi lalat di dagumu! Kulitmu dan bentuk tubuhmu !"


"Heiii! Apakah engkau sudah gila?" teriak gadis itu, merasa dipermainkan.


"Tidak, tidak, siapa yang mempermainkan? Tapi, engkau tentu bidadari dari kahyangan! Atau siluman! Kenapa begitu cepat engkau mengambil alih setiap keindahan dari tujuh orang gadis dusun tadi? Lihat, wajahmu bulat telur, sepasang matamu seperti mata bintang, hidungmu mancung, mulut kecil merah membasah, rambutmu hitam gemuk panjang, kulitmu putih halus, bentuk tubuhmu ramping dan indah. Sungguh masih ditambah tahi lalat di dagumu lagi! Lengkaplah sudah!"


Bukan main marahnya gadis itu. Ia memang merasa jantungnya berdebar girang oleh pujian-pujian itu, akan tetapi ia dimaki siluman!


"Kaubilang aku siluman? Engkaukah yang monyet munyuk, cacing dan kacoa, anjing babi tikus!"

Mendengar makian-makian itu nyerocos keluar dari mulut yang manis itu, Hay Hay terbelalak dan mengangkat kedua tangan ke atas. "Ampun ya para dewi! Kenapa engkau marah-marah dan memaki-maki aku seperti itu?"


"Huh, apakah engkau kira aku akan bersikap seperti perawan-perawan dusun yang lemah dan takluk menghadapi semua rayuan gombalmu? Jangan harap, ya!" Gadis itu mengeluarkan suara dari hidung dengan sikap mengejek dan memandang rendah, tangan kirinya dikibaskan seperti orang mengusir lalat.


Hay Hay terpesona. Selama perjalanannya, selama dia menjadi dewasa dan berkenalan dengan banyak wanita, belum pernah rasanya dia bertemu dengan seorang gadis yang demikian hebat dan kuat daya tariknya! Dan dia tadi tidak sekedar memuji atau merayu. Gadis itu bertubuh ramping, kulit tubuhnya putih mulus, rambutnya hitam panjang dikuncir dan digelung, dihias dengan perhiasan rambut yang indah, mukanya bulat telur, hidungnya kecil mancung, matanya tajam seperti bintang, mulutnya kecil berbibir merah membasah, dan di dagunya ada setitik tahi lalat hitam. Semua keistimewaan tujuh orang gadis dusun itu ditemui dalam diri gadis ini! Dan semua kehebatan ini dimiliki seorang gadis yang luar biasa galaknya! Galak seperti setan, datang-datang memaki-maki padanya dan dalam pandang mata yang bersinar tajam itu nampak jelas keganasan dan kekerasan hatinya. Melihat pakaiannya yang indah dan caranya bicara, dia dapat menduga bahwa gadis ini bukan seorang gadis dusun.


"Ya ampun……! Apakah kesalahan hamba terhadap paduka, maka paduka puteri yang agung menjatuhkan kemarahan yang demikian besarnya terhadap diri hamba?" Hay Hay masih berusaha untuk meredakan kemarahan gadis itu dengan sikapnya yang terlalu hormat dan lucu.

Akan tetapi agaknya gadis itu sama sekali tidak tertarik akan sikap Hay Hay dan tidak mau melayani kelakarnya. "Laki-Iaki mata keranjang! Akulah yang membersihkan ruangan ini, dan engkau yang baru datang mau enak-enak saja memakainya? Hayo pergi tinggalkan tempat istirahatku ini!"


"Ampun Dewi...! Kiranya begitu?" Hay Hay benar-benar tertegun mendengar ini, bukan hanya karena dia telah memakai tempat yang telah lebih dulu ditemukan dan dibersihkan orang lain, juga terheran-heran mendengar bahwa gadis secantik itu memilih tempat ini untuk istirahat. Padahal kalau bukan orang yang tabah sekali tentu akan merasa ngeri bermalam di tempat yang menyeramkan ini. Biasanya, kuil-kuil tua seperti ini, apalagi di tepi hutan yang sunyi, akan dikabarkan sebagai yang dihuni setan-setan dan iblis-iblis, setidaknya mahluk halus dan siluman. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika tiba-tiba tubuh itu berkelebat dan tahu-tahu jari tangan yang mungil itu sudah menyentuh jalan darah di ubun-ubun kepalanya. Diam-diam dia kaget setengah mati. Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, dia maklum bahwa sekali saja wanita itu menggerakkan jari tangannya menyerang, dia akan tewas!


"Engkau mengenalku?"


Hay Hay terbelalak dan menggeleng kepala. "Tidak... tidak... Dewi….."


"Kalau begitu, siapa yang memberi tahu bahwa aku berjuluk Sian-li (Dewi)?" Jari tangan itu masih juga belum meninggalkan ubun-ubun kepalanya.


"Maaf, tidak ada yang memberi tahu, dan juga aku tidak tahu bahwa engkau berjuluk Sian-li. Aku menyebut Dewi karena engkau demikian cantik dan agung seperti seorang dewi... maafkan aku….." Hay Hay merasa tegang bukan main karena nyawanya berada di ujung jari wanita itu, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan agaknya hal inilah yang menyelamatkannya. Gadis itu melangkah mundur dan mengomel, "Perayu……!"


Hay Hay diam-diam bernapas lega. Baru saja dia lolos dari maut yang amat mengerikan dan kini tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang gadis kang-ouw yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, kalau tidak tentu tidak akan mampu mengancam ubun-ubun seperti itu. Dia harus bersikap waspada sekali ini.


"Maafkan aku, Nona. Sesungguhnya bukan maksudku untuk merayu atau kurang ajar terhadapmu. Akan tetapi aku sama sekali tidak pernah mimpi bahwa ruangan dalam kuil ini sudah ada yang menempatinya lebih dulu. Kalau begitu, maafkan, aku akan pihdah saja ke ruangan lain, di belakang atau di depan." Berkata demikian Hay Hay mengambil buntalan pakaian dan bekalnya, lalu menggendongnya.

Sejenak gadis itu memandangnya penuh perhatian, lalu berkata, suaranya ketus.


"Engkau harus meninggalkan kuil ini, tidak boleh tinggal di belakang atau di depan, bahkan di pekarangan pun tidak boleh. Engkau harus pergi meninggalkan tempat ini sampai tidak nampak dari sini, dan jangan mencoba-coba untuk mengganggu aku!"


Aduh galaknya, pikir Hay Hay. Sayang gadis secantik jelita seperti ini memiliki watak yang demikian galak.


"Tapi, Nona. Aku tidak akan mengganggumu, dan kiranya engkau pun hanya orang lewat saja yang kemalaman dan singgah di kuil ini. Kuil tua ini tidak ada yang punya, bukan? Siapa saja boleh beristirahat di sini…."


"Cukup! Tahukah engkau bahwa baru saja nyawamu nyaris melayang? Aku tidak biasa mengampuni orang untuk kedua kalinya. Pergilah dan jangan banyak membantah lagi! Thiat-sim Sian-li bicara hanya satu kali, tidak akan dua kali! Yang kedua kalinya, tanganku yang bicara dan nyawamu melayang! Pergi!"


Hay Hay mengerutkan alisnya. Hatinya merasa kecewa sekali. Gadis ini demikian cantik jelita dan manis, akan tetapi juga demikian galak, ganas dan keras! Ingin dia mencoba kepandaian gadis ini, akan tetapi dia tahu bahwa kalau dia melakukan hal itu, tentu akan menimbulkan kemarahan dan kebencian di hati gadis yang ganas ini. Kalau dia menang, tentu gadis ini akan membencinya, dan kalau sebaliknya dia kalah, besar kemungkinan dia akan mati terbunuh. Dia tidak mau mati, juga tidak ingin dibenci seorang gadis secantik ini, tanpa sebab penting. Hanya memperebutkan tempat di kuil kuno dan kotor ini, tidak cukup berharga untuk dijadikan bahan pertentangan. Dia pun tersenyum dan menjura.


"Baiklah, Nona, aku pergi dan mudah-mudahan Nona akan dapat tidur nyenyak malam ini ditempat yang serem dan banyak setannya ini. Selamat tinggal." Dan dia pun melangkah pergi, diikuti pandang mata gadis itu yang mengerutkan alisnya. Tak sedap rasa hatinya mendengar ucapan Hay Hay itu. Tentu saja ia tidak takut setan, akan tetapi bayangan-bayangan yang menyeramkan dapat saja mengganggu tidurnya malam ini.


"Sialan." gerutunya, "bertemu dengan pemuda berandalan mata keranjang!"


**
Siapakah gadis berjuluk Thiat-sim sian-li (Dewi Berhati Besi) yang galak dan ganas itu? Ia adalah puteri tunggal siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang kini menjadi orang hukuman di kuil siauw-lim-si di tepi sungai Cin-sha itu! Namanya adalah Bi Lian, siangkoan Bi Lian. Akan tetapi ia sendiri mengenal dirinya sebagai Cu Bi Lian, puteri Cu Pak Sun petani di dusun tak jauh dari kuil itu. Hal ini disengaja oleh siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Mereka menghendaki agar puteri mereka itu, untuk sementara tidak tahu bahwa orang-orang yang dipanggil suhu dan subo sebenarnya adalah ayah dan ibu kandungnya sendiri. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga agar keadaan puteri mereka tetap rahasia dan tersembunyi tidak diketahui oleh para hwesio, dan ke dua, agar puterinya itu tidak menjadi prihatin kalau mendengar bahwa ayah ibu kandungnya menjadi orang-orang hukuman di kuil siauw-lim-si. Karena itu, Bi Lian sejak kecil menganggap dirinya puteri keluarga Cu dan ia memakai nama Cu Bi Lian. Seringkali di waktu malam suhu dan subonya datang berkunjung dan sejak kecil ia dilatih dan digembleng oleh mereka.

Akan tetapi pada suatu hari, ketika Bi Lian berusia kurang lebih sepuluh tahun, terjadilah peristiwa yang amat hebat di dusunnya yang kecil itu. Peristiwa yang tak pernah diimpikan oleh para penduduk dusun, malapetaka hebat yang menimpa dusun itu sehingga hampir menghancurkan dan membinasakan semua penduduknya. Memang penduduk dusun itu sedang mengalami nasib sial karena pada suatu malam, muncullah dua orang manusia iblis di dusun itu. Mereka ini bukan lain adalah Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, dua orang di antara Empat Setan yang terkenal jahat dan kejam, juga memiliki kesaktian luar biasa itu. Dua orang ini memang sudah berjanji akan saling bertemu di Pegunungan Heng-tuan-san, di tepi Sungai Cin-sha dan kebetulan sekali mereka saling bertemu di dusun itu!


Mula-mula, pada sore hari itu, seorang kakek yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, mukanya brewok, kulitnya hitam, matanya lebar dan sikapnya menakutkan sekali, dengan sikap acuh memasuki dusun. Karena kakek ini merupakan orang asing, dan pakaiannya penuh debu, sepatunya compang-camping, para penduduk mengira bahwa dia seorang dusun yang biasanya bersikap polos dan ramah, mencoba untuk menyapanya. Akan tetapi kakek itu, sama sekali tidak menjawab, menengok pun tidak, melainkan berjalan saja dengan kepala tunduk, mulutnya kemak-kemik, berkeliaran di dalam dusun tanpa tujuan. Sedikitpun tak pernah tersenyum, nampak galak dan sepasang mata yang lebar itu mencorong menakutkan. Para penduduk dusun menjadi ketakutan dan menyangka dia seorang yang terlantar dan gila. Mereka tidak tahu bahwa kakek raksasa yang mereka sangka gila ini adalah seorang manusia iblis yang amat lihai dan berjuluk Tung-hek-kwi, seorang di antara Empat Setan yang membuat semua tokoh kang-ouw gemetar kalau melihatnya!


Akhirnya kakek itu duduk di tepi jalan, di bawah sebatang pohon besar. Agaknya bukan para penduduk dusun itu saja yang menaruh curiga kepada kakek ini, juga dua ekor anjing dusun itu, datang menyerbu, menggonggong dan menyalak di sekeliling kakek itu, nampak marah akan tetapi juga takut-takut. Beberapa orang penduduk hanya menonton saja dari, jauh, tidak mencoba untuk memanggil anjing-anjing itu karena mereka hendak melihat apa yang akan dilakukan kakek raksasa yang mereka sangka gila itu.


Mula-mula Tung-hek-kwi yang merasa terganggu oleh sikap dua ekor anjing itu, hanya mendengus untuk mengusir mereka. Akan tetapi, ketika melihat bahwa seekor di antara anjing-anjing itu berbulu hitam mulus dan gemuk sekali, matanya terbelalak dan tiba-tiba saja kedua tangannya bergerak dan tahu-tahu, dua ekor anjing itu telah ditangkap pada lehernya! Dua ekor anjing itu menguik-nguik dan Tung-hek-kwi membanting anjing belang yang ditangkap dengan tangan kirinya.



"Ngekkk….!" Pecah kepala anjing itu dan tak mampu bergerak lagi. Kemudian, anjing hitam gemuk yang masih dicengkeram tangan kanannya dengan jari-jari panjang besar dan masih menguik-nguik dan meronta-ronta ketakutan itu, dipegang dengan kedua tangannya dan sekali dia menggerakkan tangan itu menarik, terdengar suara robek dan pekik maut anjing itu yang tubuhnya telah terobek menjadi dua potong! Darah muncrat dan kakek itu seperti orang kehausan, menjilat dan mencucup darah anjing hitam itu yang masih bercucuran! Semua orang yang menonton dari kejauhan, terbelalak penuh kengerian dan anak-anak sudah berlari-larian menyembunyikan diri dengan muka pucat.


"Wah, kau lahap dan rakus, Tung-hek-kwi!” Tiba-tiba saja muncul seorang kakek gendut yang bukan lain adalah Pak-kwi-ong. Dia menghampiri rekannya yang masih menikmati darah anjing hitam itu. "Uwahhh….! Anjing hitam! Hebat, obat kuat, jangan habiskan, aku pun perlu darahnya!"

"Huh, siapa yang rakus?" bentak Tung-hek-kwi dan dia pun melemparkan potongan di tangan kanannya kepada Pak-kwi-ong yang menerimanya dan terus menjilat dan menghisap darah anjing itu pula. Mengerikan melihat dua orang kakek tua renta ini duduk di bawah pohon, menjilati darah anjing hitam, kemudian mereka mulai mengganyang daging anjing dengan menggerogotinya begitu saja!


"Ha-ha-ha, engkau memang sahabat baik, Setan Hitam. Menyambut aku dengan suguhan yang segar dan menyehatkan!" kata Pak-kwi-ong sambil tertawa-tawa, sedangkan Tung-hek-kwi tetap makan tanpa senyum, hanya matanya yang lebar itu jelalatan ke sana-sini.


Pada waktu itu, berita tentang peristiwa yang mengerikan itu telah tersiar luas dan para penghuni dusun yang tidak berapa banyak jumlahnya, hanya sekitar lima puluh keluarga itu, bersama kepala dusunnya, telah berkumpul dan nonton dari jarak jauh. Hanya laki-laki dewasa saja yang berani nonton. Anak-anak dan para wanita tidak ada yang berani keluar!


Biarpun mereka berjumlah banyak dan mereka marah melihat betapa dua orang kakek itu membunuh dua ekor anjing dan kini minum darah anjing dan makan dagingnya mentah-mentah, Kepala Dusun dan anak buahnya tidak berani turun tangan. Mereka melihat sendiri betapa dengan sekali bergerak saja, kakek tinggi besar itu telah membunuh dua ekor anjing, bahkan merobek tubuh anjing gemuk itu dengan kedua tangan seolah-olah hal itu merupakan pekerjaan yang amat ringan. Ini sudah membuktikan bahwa kakek tinggi besar itu kuat sekali dan mereka merasa jerih.


"Bagaimana hasilnya, Pak-kwi-ong?" akhirnya Tung-hek-kwi bertanya.


"Engkau dulu bagaimana?" Pak-kwi-ong berbalik bertanya.


"Anak itu ikut dengan See-thian Lama Ke Himalaya, dan agaknya memang tidak akan diserahkan kepada Dalai Lama. Jelas bukan Sin-tong." jawab Tung-hek-kwi singkat mengenai tugasnya menyelidik anak yang disangka Sin-tong dan dirampas oleh See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai dari tangan mereka itu. "Dan bagaimana dengan engkau?"


"Aku sudah bertemu dengan keluarga Pek. Mereka berterus terang bahwa anak mereka memang diculik oleh Lam-hai Siang-mo yang meninggalkan bayi mati sebagai penggantinya. Jadi anak itu memang anak keluarga Pek." jawab Pak-kwi-ong.


"Hemm, anak keluarga Pek akan tetapi bukan Sin-tong..." kata Tung-hek-kwi.


"Berita tentang Sin-tong itu yang bohong, atau memang kita telah dipermainkan orang." kata Pak-kwi-ong. Tiba-tiba dia bangkit, juga Tung-hek-kwi bangkit, dan potongan anjing itu masih digerogoti. Ternyata pendengaran mereka tajam bukan main walaupun usia mereka sudah mendekati delapan puluh tahun. Kiranya mereka bangkit karena mendengar suara kaki orang dan kini, di dalam keremangan senja, muncullah sedikitnya dua puluh orang yang rata-rata kelihatan gagah perkasa, semua memegang senjata, dipimpin oleh dua pasang suami isteri yang bukan lain adalah Lam-hai Siang-mo yang terdiri dari Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, dan suami isteri Guha Iblis Pantai S'elatan, yaitu Kwee Siong dan Tong Ci Ki. Seperti yang sudah kita ketahui, dua pasang suami isteri yang namanya amat terkenal di dalam dunia sesat ini pernah saling bermusuhan untuk memperebutkan Hay Hay, akan tetapi mereka terpaksa melarikan diri ketika muncul dua orang dari Empat Setan dan dua orang lagi dari Delapan Dewa. Mereka membagi tugas, yang dua orang melapor ke Tibet, kepada para pendeta Lama bahwa Sin-tong telah dirampas oleh empat orang tokoh besar itu sehingga akibatnya, para pendeta Lama mencoba untuk merampas Hay Hay dari tangan See-thian Lama. Yang dua orang lagi melapor kepada keluarga Pek yang agaknya menerima berita itu dengan dingin saja, bahkan keluarga itu mengatakan bahwa Sin-tong, keturunan mereka, telah tewas beberapa tahun yang lalu, dibunuh orang jahat!


Betapapun juga, dua pasang suami isteri ini masih merasa penasaran dan terutama sekali merasa sakit hati terhadap Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, dua orang datuk sesat yang mereka anggap telah menggagalkan rencana mereka untuk menguasai anak yang mereka yakin adalah Sin-tong itu. Dan mereka juga tidak tahu bahwa anak itu telah dibawa pergi oleh See-thia:n Lama, mengira bahwa dua orang kakek iblis dari Empat Setan itulah yang menguasai Sin-tong. Maka, ketika mereka melihat Pak-kwi-ong, mereka berempat cepat mengumpulkan teman-teman dari dunia hitam untuk membayangi kakek gendut itu yang ternyata mengadakan pertemuan dengan Tung-hek-kwi di dusun itu.


Melihat betapa dua orang itu makan daging anjing mentah, dua pasang suami isteri segera mengepung bersama teman-teman mereka. Jumlah mereka tidak kurang dari dua puluh empat orang, terdiri dari jagoan-jagoan kalangan hitam yang menjadi teman-teman akrab dua pasang suami isteri itu. Dapat dibayangkan betapa kuat kedudukan mereka. Dua pasang suami isteri itu saja sudah merupakan datuk-datuk sesat yang amat lihai, apalagi ditambah dua puluh orang teman yang rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi dan berwatak garang dan kejam.


Akan tetapi, dua pasang suami isteri itu sudah mengenal kesaktian Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, maka mereka pun tidak mau bertindak secara sembrono dan setelah mereka semua mengepung dua orang kakek itu, Siangkoan Leng berseru dengan suara lantang.


"Ji-wi Locianpwe telah terkepung dan lihat, kedudukan kami kuat sekali. Akan tetapi, kami tidak akan mengeroyok Ji-wi kalau Sin-tong dikembalikan kepada kami!"



Tentu saja kedua orang kakek itu mendongkol bukan main mendengar tuntutan ini. Mereka berdua dikalahkan oleh See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai, dua orang di antara Delapan Dewa dan kini tikus-tikus itu datang untuk merampas Sin-tong dari tangan mereka. Akan tetapi, mereka berdua adalah raja-raja datuk sesat, tentu saja merasa malu untuk mengakui kekalahan mereka terhadap dua orang dari Delapan Dewa. Mereka bahkan duduk lagi dan melanjutkan makan daging anjing mentah seolah-olah tidak memandang mata kepada dua puluh empat orang yang mengepung mereka dengan senjata-senjata di tangan.


"Wah, Tung-hek-kwi! Engkau Setan Hitam membikin gara-gara. Engkau membunuh dua ekor anjing dan lihat akibatnya! Dua puluh empat ekor anjing yang lain datang menggonggong dan hendak menggigit kita, ha-ha-ha!" Pak-kwi-ong berkata sambil tertawa bergelak, lalu menggerogoti sedikit daging yang masih menempel di tulang paha anjing itu.


"Apa kau masih haus? Kita minum darah anjing-anjing ini!" teriak Tung-hek-kwi.


"Ha-ha, engkau benar. Dua ekor anjing betina itu biarpun sudah agak tua tentu lebih lunak dagingnya dan lebih hangat darahnya!" kata Pak-kwi-ong dan tiba-tiba saja, kedua tangannya mematahkan tulang kaki anjing dan melemparkan dua potongan tulang itu ke arah Ma Kim Li dan Tong Ci Ki, isteri-isteri dua orang pemimpin gerombolan itu.


Bukan main kuatnya lemparan ini dan dua batang tulang itu dengan kecepatan kilat menyambar ke arah dua orang wanita, tepat mengarah muka mereka. Kalau mengenai sasaran, biarpun dua orang wanita itu memiliki kekebalan, tentu akan menderita cidera. Akan tetapi, dua orang wanita yang diserang itu bukan wanita-wanita lemah. Melihat sinar menyambar, mereka cepat mengelak dan dua batang tulang itu pun lewat dan tentu akan mengenai orang-orang di belakang mereka kalau saja anak buah mereka yang juga rata-rata lihai itu tidak cepat mengelak pula. Sebagai dua orang wanita iblis yang mahir mempergunakan jarum-jarum beracun, terutama sekali Tong Ci Ki yang berjuluk Si Jarum sakti, kedua orang itu lalu melemparkan jarum-jarum beracun mereka ke arah Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi.


"Sing -sing –singgg……!”


Dan sinar yang kecil menyambar ke arah dua orang kakek itu, mengeluarkan suara berdesing nyaring, terutama sekali jarum-jarum yang dilepas oleh Tong Ci Ki ke arah Tung-hek-kwi, yang lebih kuat daripada jarum-jarum Ma Kim Li yang menyambar ke arah Pak-kwi-ong.


Akan tetapi, dua orang kakek itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis. Jarum-jarum yang mengenai kulit tubuh mereka rontok semua, dan sambil tersenyum mengejek mereka menyapu rontok jarum-jarum yang menancap di pakaian mereka. Tentu saja dua orang wanita itu terkejut bukan main. Melihat ini, Siangkoan Leng dan K wee Siong sudah memberi aba-aba dan dua puluh orang pembantu mereka itu sudah menerjang maju, menggerakkan senjata mereka mengeroyok dua orang kakek tua renta itu.


Terdengar Pak-kwi-ong tertawa-tawa dan dua orang kakek itu pun bangkit berdiri dan menyambut pengeroyokan itu. Hebat bukan main sepak terjang dua orang kakek itu. Mereka tidak memegang senjata, hanya mempergunakan kedua lengan mereka dan kedua kaki mereka, menghadapl keroyokan orang-orang yang bersenjata tajam. Namun, karena kedua lengan dan kaki mereka itu kebal dan dapat menangkis senjata-senjata lawan, bahkan kalau tubuh mereka terkena tusukan senjata tajam yang datang bagaikan hujan senjata itu mental, bahkan ada yang patah, maka terjadilah kepanikan di antara para pengeroyok. Dua orang kakek itu hanya mengelak kalau dua pasang suami isteri itu yang menyerang, baik dengan senjata maupun dengan tangan mereka karena dua pasang suami isteri ini merupakan orang-orang yang berbahaya serangannya.


Para penduduk dusun yang tidak tahu apa-apa, kini ada pula yang ikut mengeroyok. Mereka tidak mengenal mereka yang berkelahi, akan tetapi melihat betapa dua orang kakek tua itu tadi selain membunuh dua ekor anjing mereka, juga minum darah anjing dan makan dagingnya dengan mentah-mentah, tentu saja mereka condong untuk berpihak kepada dua puluh empat orang yang mengeroyok dua orang kakek itu. Mereka menganggap bahwa tentu dua orang kakek itu merupakan iblis-iblis jahat, dan dua puluh empat orang itu adalah orang-orang gagah yang menentang kejahatan. Maka, tanpa diminta, ada beberapa orang penduduk yang merasa kuat, mengambil senjata dan ikut pula mengeroyok!


Melihat betapa para pengeroyoknya berkelahi dengan mati-matian, mengeroyok mereka seperti segerombolan anjing-anjing serigala kelaparan, dua orang datuk kaum sesat itu menjadi marah sekali.

Pak-kwi-ong mengeluarkan suara tertawa bergelak dan tahu-tahu dia telah menangkap dua orang pengeroyok dan membanting mereka. Terdengar bunyi keras dan kepala dua orang itu pecah berantakan, darah berhamburan bersama otak mereka. Juga Tung-hek-kwi mengeluarkan suara menggereng seperti seekor binatang buas dan seperti yang dilakukan Pak-kwi-ong, dia berhasil menangkap dua orang pengeroyok dan membanting mereka sehingga tubuh mereka remuk!

Melihat ini, dua pasang suami isteri itu menjadi marah sekali. Dengan aba-aba mereka memberi semangat, bahkan mereka mempergunakan pedang untuk melakukan serangan dengan gencar, dibantu oleh para teman mereka. Namun, dua orang kakek itu memang memiliki kesaktian yang jauh melampaui kepandaian mereka. Mereka berdua mengamuk dan dalam waktu singkat saja, masing-masing telah menewaskan dua orang anak buah gerombolan dan dua orang penduduk yang ikut-ikut mengeroyok. Melihat ini, kembali dua pasang suami isteri itu mengeluarkan aba-aba dan memberi semangat. Namun, sia-sia, kini teman-teman mereka sudah menjadi gentar menghadapi dua orang kakek sakti itu. Apalagi ketika Siangkoan Leng terhuyung oleh tendangan Pak-kwi-ong, sedangkan tulang lengan kiri Tong Ci Ki patah ketika ditangkis oleh Tung-hek-kwi, mereka semua menjadi semakin panik dan akhirnya, sisa para pengeroyok itu melarikan diri tanpa dapat dicegah lagi! Mereka, meninggalkan sedikitnya mayat enam orang kawan mereka. Yang terluka ikut pula melarikan diri. Terpaksa dua pasang suami isteri itu pun harus melarikan diri kalau mereka tidak ingin tewas di tangan dua orang raja datuk sesat itu!



Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi mengamuk terus. Karena dua pasang suami isteri dan teman-teman mereka telah melarikan diri ke malam gelap, dua orang kakek itu mengamuk kepada orang-orang dusun yang mereka anggap telah membantu musuh-musuh mereka! Celakalah para penghuni dusun yang tidak sempat melarikan diri. Mereka diseret keluar dan dibanting remuk, tidak peduli laki-laki perempuan atau kanak-kanak.


Dua orang kakek itu tidak melewatkan rumah keluarga Cu Pak Sun. Mereka menjebol daun pintu dan sambil tertawa-tawa, Pak-kwi-ong memasuki rumah itu, diikuti oleh Tung-hek-kwi. Kedua lengan tangan mereka sudah berlepotan darah!


Pada waktu itu, Cu Pak Sun dan isterinya memeluk Bi Lian yang baru berusia kurang lebih sembilan tahun. Suami isteri ini menggigil ketakutan mendengar suara perkelahian di luar itu, mendengar jeritan-jeritan kematian mereka yang menjadi korban. Akan tetapi Bi Lian tidak kelihatan takut, bahkan merasa penasaran. Tadi ia hendak menonton keluar, akan tetapi dipeluk ayah dan ibunya dengan erat yang tidak memperkenankan ia keluar. Kini mereka malah bersembunyi di dalam kamar dan ia dipeluk dua orang, dipegangi agar jangan keluar.


"Aku harus melihat keluar…..!" kata Bi Lian berkali-kali.


"Jangan... jangan... ada orang-orang jahat seperti iblis mengamuk di luar, membunuhi orang-orang!" kata Cu Pak Sun dengan suara gemetar dan isterinya menangis dengan menahan suara tangisnya.

"Kalau begitu lebih baik aku harus keluar, membantu orang-orang untuk melawan penjahat-penjahat itu!" Bi Lian memang memiliki watak yang keras dan berani, tabah karena gemblengan suhu dan subonya. Malam itu kebetulan suhu dan subonya tidak datang karena baru kemarin malam mereka datang dan melatihnya ilmu silat sampai hampir pagi.


"Jangan, engkau akan celaka…..!" kata Cu Pak Sun.


"Jangan, Bi Lian, aku takut... engkau jangan keluar, di sini saja menemaniku..." Nyonya Cun mengganduli dan merangkul Bi Lian sambil menangis.


Ketika dua orang kakek iblis itu menjebol pintu, tentu saja, Cu Pak sun dan isterinya yang bersembunyi di dalam kamar menjadi semakin ketakutan. Apalagi ketika dua orang kakek itu muncul seperti iblis sendiri di ambang pintu kamar, seketika isteri Cu Pak Sun jatuh pingsan. Cu Pak Sun sendiri segera berlutut di atas lantai dengan suara gemetar minta-minta ampun.

Melihat ini, Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi tertawa. Akan tetapi tiba-tiba Bi Lian meloncat berdiri, menghadapi dua orang kakek itu dengan sinar mata tajam seperti sepasang mata seekor anak harimau.

"Kalian sungguh kakek-kakek jahat sekali! Jangan ganggu ayah ibuku dan keluarlah kalian dari sini!” Bi Lian membentak, seperti mengusir dua ekor anjing saja, sedikit pun tidak merasa takut dan sepasang matanya yang tajam itu terbelalak penuh kemarahan.


Dua orang datuk sesat itu terkejut dan terheran, sampai bengong sejenak, kemudian saling pandang dan Pak-kwi-ong tertawa bergelak. Tentu saja mereka terkejut dan heran melihat ada seorang anak perempuan berusia paling banyak sepuluh tahun berani menghardik mereka, padahal banyak laki-laki dewasa lari ketakutan melihat mereka!


"Ha-ha-ha-ha, Setan Hitam, aku mendadak merasa seperti menjadi seekor anjing kecil yang ketakutan, ha-ha!"


"Huh, anak setan!" Tung-hek-kwi menggereng dan lengan tangannya yang panjang itu meluncur ke depan, ke arah Bi Lian dengan jari-jari tangan terbuka seperti cakar harimau hendak mencengkeram seekor kelenci kecil. "Dagingnya tentu lunak!"


"Wuuuttt... ehhhh……?" Tung-hek-kwi berseru kaget karena terkaman tangannya tadi luput! Dengan gerakan lincah dan langkah kaki yang aneh, Bi Lian mampu menghindarkan diri dari cengkeraman itu, menyelinap, bahkan mendekati Tung-hek-kwi yang menyerangnya dan dengan cepat sekali tangannya bergerak menghantam ke arah perut Si Iblis Hitam dari Timur itu!


"Bukk!" Perut Tung-hek-kwi terpukul dan akibatnya tubuh Bi Lian terlempar ke belakang. Akan tetapi, anak ini berjungkir balik dan membuat poksai (salto) yang indah sekali!


"Ha-ha-ha, yang kaukira kelenci berdaging lunak ternyata anak naga!" Pak-kwi-ong berseru kagum dan dia pun sudah mengulur tangan menerkam. Kembali Bi Lian memperlihatkan keringanan tubuhnya dan langkahnya yang ajaib, karena seperti juga terkaman Tung-hek-kwi, kini cengkeraman tangan Pak-kwi-ong juga luput!


"Ehhh...!!" Pak-kwi-ong lupa tertawa saking kaget dan herannya. Dia mengerahkan tenaga sinkangnya mendorong dan tubuh Bi Lian tentu saja tidak kuat bertahan dan anak itu pun roboh terguling, disambut tangan Pak-kwi-ong yang menangkap kedua kakinya dan mengangkat tubuh itu ke atas!



Dengan kedua kaki tergantung, kepala di bawah, Bi Lian tidak menjerit ketakutan, bahkan ia mengamuk dan berusaha untuk memukul dengan kedua tangannya, terus menggeliat-geliat berusaha membebaskan diri sambil memaki-maki. "Kakek setan! Kakek iblis! Lepaskan aku dan mari kita berkelahi sampai seribu jurus kalau kau memang gagah!" Melihat sikap anak itu, dan mendengar tantangannya, kembali Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi melongo.


"Ha-ha-ha-ha! Setan Hitam, apa yang kita temukan di sini? Ia memiliki bakat yang lebih baik daripada Sin-tong agaknya!"


“Serahkan padaku, Pak-kwi-ong! Aku ingin mendidiknya!” kata Tung-hek-kwi yang tiba-tiba merasa suka pula kepada anak itu karena dia dapat melihat sendiri betapa anak itu memiliki keberanian luar biasa, juga memiliki gerakan cepat dan aneh, sepasang mata tajam mencorong dan se1uruh keadaannya menunjukkan bakat yang luar biasa.


"Ha-ha-ha, enak saja! Aku yang menangkapnya lebih dulu!" berkata Pak-kwi-ong dan kakinya menendang ke depan ketika Cu Pak Sun merangkak hendak menolong anaknya yang digantung dengan kepala di bawah itu.


"Desss…….!" Tubuh Cu Pak Sun terlempar dan dia tewas seketika oleh tendangan itu.

"Ouhhh……!" Nyonya Cu Pak Sun yang kebetulan siuman, melihat suaminya ditendang, bangkit dan hendak menubruk. Di saat itu, Tung-hek-kwi yang merasa marah kepada Pak-kwi-ong yang dianggap merebut anak itu darinya, menggerakkan kakinya pula ke arah wanita itu.


"Desss…..!" Kini giliran wanita itu yang tewas seketika dan tubuhnya terlempar dan terbanting menindih mayat suaminya.


"Kalian pembunuh-pembunuh jahat!" Berkali-kali Bi Lian berteriak dan meronta-ronta, akan tetapi, Pak-kwi-ong hanya tertawa dan tiba-tiba kakek ini meloncat keluar dari rumah itu sambil membawa tubuh Bi Lian dengan cara seperti tadi yaitu memegangi kedua kaki anak itu dengan tangan kiri seperti orang membawa seekor ayam saja. Pak-kwi-ong bukan sembarangan meloncat, melainkan mengelak karena pada saat itu Tung-hek-kwi sudah menubruk untuk merampas tubuh Bi Lian dari tangannya. Begitu tiba di luar dusun, Pak-kwi-ong terus melarikan diri dengan cepat, dikejar oleh Tung-hek-kwi!


Kejar-kejaran itu berlangsung sampai semalam suntuk dan sampai keesokan harinya pagi-pagi sekali Pak-kwi-ong masih dikejar-kejar oleh Tung-hek-kwi. Mereka telah tiba di daerah pegunungan yang jauh sekali dari dusun di mana mereka menyebar maut semalam itu. Dan Bi Lian masih dibawa oleh Pak-kwi-ong dalam keadaan tergantung! Dapat dibayangkan penderitaan anak ini, akan tetapi, bukan main rasa kagum di hati Pak-kwi-ong karena anak itu satu kalipun tidak pernah terdengar berteriak ketakutan ataupun menangis! Benar-benar seorang anak perempuan dengan hati keras melebihi besi!


Pak-kwi-ong terpaksa melarikan diri karena dia maklum bahwa tingkat kepandaiannya berimbang dengan Tung-hek-kwi. Kalau dia harus melawan rekannya itu sambil melindungi anak perempuan itu, tentu dia akan kalah. Akan tetapi untuk menyerahkannya, dia pun tidak rela. Akhirnya dia memperoleh akal dan dia pun berhenti. Peluh sudah membasahi seluruh tubuhnya dan napasnya agak terengah-engah. Biarpun dia seorang sakti, dia harus mengaku kalah oleh usianya. Usia tua membuat kekuatannya tidak sehebat dulu lagi. Ketika Tung-hek-kwi berhenti di depannya, keadaan kakek raksasa ini sama saja, mandi peluh dan napasnya memburu.


“Setan Hitam, engkau nekat mengejarku?" tegur Pak-kwi-ong, kini membalikkan tubuh Bi Lian dan mengempit di bawah lengannya, membuat Bi Lian tidak mampu berkutik, namun kini anak itu tidak begitu tersiksa seperti ketika dijungkir balikkan tadi. Hanya bau ketiak penuh, keringat yang dekat hidungnya itu saja membuat ia ingin muntah. Akan tetapi untuk muntah pun ia sudah kehilangan kekuatan. Tubuhnya lemas dan setengah pingsan oleh penderitaannya semalam, dilarikan dalam keadaan tergantung jungkir balik.


"Lari ke neraka pun akan kukejar. Anak itu harus rnenjadi muridku." Jawab Tung-hek-kwi, semakin kagum kepada Bi Lian karena anak itu sama sekali tidak menangis, kelihatan ketakutan atau berduka. Selama hidupnya belum pernah dia melihat anak seperti ini, apalagi anak perempuan.

"Aku pun ingin rnenjadi gurunya." kata Pak-kwi-ong.


"Aku akan merampasnya dari tanganmu." Tung-hek-kwi menjawab kukuh.


"Kalau aku melawan sambil membawa anak ini tentu aku kalah, akan tetapi, kalau anak ini berhasil kaurampas dan aku menyerangmu, tentu engkau pun akan kalah. Perkelahian antara kita memperebutkan anak ini hanya akan berakhir dengan tewasnya anak ini terkena pukulan kita, Setan Hitam!"


"Tidak peduli, ia harus menjadi muridku atau mati!" kata Tung-hek-kwi.


"Aih, kita berebutan seperti anak kecil. Anak ini luar biasa, sebaiknya kita tanyakan ia, siapa di antara kita yang ia pilih sebagai guru!" kata Pak-kwi-ong dan dia melepaskan Bi Lian dari kempitannya. Anak itu berdiri agak terhuyung karena lemas dan pusing, akan tetapi dengan angkuh ia mengangkat kepalanya dan berusaha untuk berdiri tegak dan tidak memperlihatkan kelemahannya. Sepasang matanya masih berkilat menyambar kepada dua orang kakek itu penuh kemarahan.


"Anak baik, kami berdua ingin sekali mengambil engkau sebagai murid. Coba kaupilih, siapa di antara kami yang kau pilih untuk menjadi gurumu?" kata Pak-kwi-ong dengan suara ramah dan muka penuh senyum.



Akan tetapi dengan alis berkerut Bi Lian memandang kedua orang kakek itu, penuh kebencian dan ia pun menjawab dengan suara ketus. "Memilih kalian untuk menjadi guru? Hemmm, aku memilih kalian berdua untuk menjadi musuh besarku yang kelak harus kubunuh untuk membalas dendam atas kematian Ayah dan Ibuku dan orang-orang dusun kami!" Jawaban itu berapi-api, penuh perasaan dan bersungguh-sungguh.


"Wah, anak ini berbahaya, sebaiknya dibunuh saja!" Tung-hek-kwi berseru sambi1 mengangkat tangan. Akan tetapi Pak-kwi-ong mencegahnya dan dia pun mengedipkan mata kepadanya.

"Bunuhlah! Aku tidak takut mati! Kelak kalian akan kubunuh!" Anak itu tetap membentak dan matanya mencorong menatap wajah Tung-hek-kwi yang menyeramkan itu, sedikit pun tidak mengenal takut. Sikapnya ini tidak memarahkan hati Tung-hek-kwi, sebaliknya malah membuat dia kagum dan merasa semakin suka.


" Anak baik, engkau salah paham. Kami bukan pembunuh Ayah Ibumu. Bukan kami yang membunuh mereka……."


“Bohong! Aku melihat dengan mataku sendiri betapa engkau membunuh Ayahku, kakek gendut dan engkau yang membunuh ibu, kakek hitam!" Bi Lian menudingkan telunjuknya bergantian kepada mereka. "Kelak aku akan menuntut balas!"


"Ah-ah, engkau tidak mengerti. Memang angan kami….. "


Kaki kalian yang membunuh!!" teriak Bi Lian, teringat betapa dua orang kakek itu menendang mati ayah dan ibunya.


"Benar, memang kaki kami yang melakukan pembunuhan, akan tetapi itu hanya akibatnya saja. Kami sama sekali tidak bermusuhan dengan Ayah ibumu, mengenal mereka pun tidak! Mereka tewas sebagai akibat perkelahian dan yang menjadi biang keladi adalah dua pasang suami isteri. Merekalah yang sesungguhnya membunuh orang tuamu, menjadi sebab kematian Ayah Ibumu!"

"Benar, Pak-kwi-ong berkata benar dan dia bukan pembohong!" kata pula Tung-hek-kwi, mengangguk-angguk. Bi Lian menjadi bingung dan mengerutkan alisnya. "Apa maksudmu? Jangan memutar-balik, kalian menendang mati Ayah Ibuku, bagaimana menyalahkan orang lain?"

"Tahu akibat harus tahu sebabnya!" kata pula Pak-kwi-ong. "Aku dan Tung-hek-kwi sedang berada di dusun itu, lalu datanglah dua pasang suami isteri Lam-hai Siang-mo (Sepasang Iblis Laut Selatan) dan suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan. Mereka membawa dua puluh orang bahkan mengerahkan penduduk dusun itu untuk mengeroyok kami berdua. Terjadilah perkelahian sehingga banyak yang jatuh dan tewas, di antaranya Ayah dan Ibumu yang menjadi korban karena dihasut dan dipaksa oleh dua pasang suami isteri itu untuk memusuhi kami. Kami tidak mengenal Ayah Ibumu. Nah, kalau begitu bukankah yang bersalah itu dua pasang suami isteri tadi? Andaikata mereka tidak mengajak orang-orang dusun mengeroyok kami, perlu apa kami membunuh orang-orang dusun termasuk Ayah dan Ibumu?"


Bi Lian adalah seorang gadis cilik yang amat cerdik. Sejak tadi ia sudah maklum bahwa dua orang kakek ini memiliki kesaktian yang hebat sekali mungkin tidak kalah oleh suhu dan subonya. Dan mendengar keterangan dari Pak-kwi-ong itu, ia pun dapat melihat kebenarannya. Jelas, yang menyebabkan kematian ayah ibunya adalah dua pasang suami isteri itu!


"Jadi, kalau engkau hendak membalas dendam, balaslah kepada dua pasang suami isteri itu, dan hal itu pasti akan terlaksana kalau engkau menjadi murid seorang di antara kami." kata pula Tung-hek-kwi yang biasanya tidak banyak cakap.


Hati Bi Lian menjadi bimbang. Ia tidak tahu siapa di antara dua orang kakek ini yang lebih lihai dan tiba-tiba ia mempunyai akal yang amat baik. "Aku hanya mau menjadi murid kalian berdua, bukan seorang di antara kalian. Kalau kalian berdua mau mengajarku sehingga kelak aku dapat membalas dendam kepada dua pasang suami isteri itu, biarlah aku suka menjadi murid kalian." katanya.

Dua orang kakek itu saling pandang. Anak ini benar-benar mengagumkan hati mereka dan syarat itupun dapat mereka terima.


"Kita kerja sama... ? Ha-ha-ha!" Pak-kwi-ong tertawa dan Tung-hek-kwi mengangguk.


"Kita sudah tua, usia kita takkan lama lagi. Apa salahnya kita bekerja sama membentuk anak ini agar kelak dapat mengangkat nama kita?" kata Tung-hek-kwi.


Demikianlah, mulai saat itu, Cu Bi Lian menjadi murid Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi. Dua orang dari Empat Setan ini amat sayang kepada Bi Lian karena anak itu memperlihatkan watak yang cocok dengan mereka. Keras, ganas dan berani, juga cerdik bukan main. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa murid mereka itu adalah keturunan dari datuk-datuk sesat yang tidak kalah besar namanya dari mereka sendiri, yaitu cucu dari mendiang Siangkoan Lojin Si Iblis Buta, dan cucu luar dari Raja dan Ratu Iblis yang pernah mengguncangkan seluruh dunia- kang-ouw! Dan agaknya Bi Lian menuruni watak para kakek dan nenek moyangnya sehingga ia menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan manis namun ganas keras dan penuh keberanian. Dan karena dua orang kakek datuk sesat itu amat sayang kepadanya, mereka pun tanpa ragu-ragu dan sama sekali tidak pelit untuk menurunkan seluruh kepandaian yang mereka miliki kepada murid tunggal mereka. Mereka mengharapkan agar murid mereka itu, biarpun seorang wanita, kelak akan menjadi jagoan nomor satu atau setidaknya akan mengangkat nama besar mereka yang menjadi gurunya.



Demikianlah riwayat Cu Bi Lian atau yang sesungguhnya she Siangkoan itu karena ia di luar tahunya adalah anak kandung suhu dan subonya yang pertama, yaitu Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Selama kurang lebih sepuluh tahun ia digembleng oleh kedua orang gurunya sehingga Bi Lian menjadi seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa. Tentu saja watak yang seperti iblis dari dua orang gurunya itu, sedikit banyak berpengaruh dalam membentuk watak Bi Lian sehingga ketika ia meninggalkan dua orang gurunya yang kini sudah amat tua itu, ia telah menjadi seorang gadis yang selain amat tinggi ilmu silatnya, juga memiliki watak yang aneh dan kadang-kadang ganas sekali.


Pertemuannya tanpa disengaja dengan Hay Hay membuat hatinya terganggu. Mula-mula ia merasa muak dan membenci pemuda itu yang dianggapnya mata keranjang, akan tetapi ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu tidak melakukan hal-hal yang melanggar kesusilaan dan tidak mengganggu gadis-gadis itu, ia pun tidak peduli. Juga, karena pemuda itu tidak melawannya ketika ia usir dari dalam ruangan kui1 tua, ia pun lalu mencoba untuk melupakan pemuda yang tampan dan suka bergurau dan pandai merayu itu. Peduli setan, pikirnya dan Bi Lian tidak peduli lagi di mana pemuda itu akan melewatkan malam, asal tidak di dalam kuil tua. Malam ini ia harus beristirahat yang enak dan tidak terganggu agar besok tenaganya pulih kembali karena ia akan melanjutkan perjalanannya yang sukar, yaitu mencari musuh-musuh besarnya. Mereka adalah dua pasang suami isteri yang namanya terkenal di dunia kang-ouw, yaitu Lam-hai Siang-mo dan suami isteri dari Guha Iblis Pantai Selatan.


Sementara itu, Hay Hay sendiri juga merasa penasaran bertemu dengan seorang gadis yang cantik jelita dan agaknya memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, akan tetapi wataknya demikian galak dan ganas. Terpaksa dia menjauhi kuil tua itu dan akhirnya dia pun memilih tempat dekat sungai kecil airnya jernih yang mengalir di luar dusun. Dia kembali ke tempat itu dan duduk di atas batu besar di mana dia bertemu dengan para gadis dusun pagi tadi.


Selagi ia mengumpulkan kayu bakar untuk membuat api unggun sebentar malam, tiba-tiba. dia mendengar suara ketawa tertahan. Cepat dia menoleh dan ternyata yang datang adalah gadis bertahi lalat di dagunya dan gadis hitam manis yang matanya indah.


"Aih, kalian lagi gadis-gadis manis. Hendak ke manakah sore-sore begini, Nona-nona manis?" tegur Hay Hay dan dua orang gadis itu tersenyum gembira, akan tetapi mereka menoleh ke kanan kiri seperti orang merasa ketakutan kalau-kalau ada orang lain melihat pertemuan mereka dengan pemuda itu.


“Sstttt….!" kata gadis bertahi lalat yang menaruh telunjuk di depan mulut, lalu bersama temannya ia menghampiri Hay Hay. "Hay-ko (Kakak Hay), jangan keras-keras, takut ada yang mendengar. Engkau... tadi tidak apa-apakah?"


Hay Hay tersenyum dan menggeleng kepala.


"Kami khawatir sekali, Hay-ko.” Kata gadis manis bermata indah. "Kemudian kami mendengar bahwa engkau sore ini" kembali lagi ke sini, agaknya hendak bermalam di tempat terbuka ini."


Hay Hay menggerakkan pundaknya. "Yah, begitulah. Habis bagaimana lagi kalau semua penduduk dusun tidak ada yang sudi menerima diriku untuk bermalam?"


"Kami mendengar dan merasa kasihan, Hay-ko. Nih, aku membawa selimut untukmu. Kaupakailah agar malam ini engkau tidak kedinginan dan tidak diganggu nyamuk." kata gadis bertahi lalat, mengeluarkan sehelai selimut tebal yang dilipat rapi dan tadi disembunyikan di dalam keranjang sayurnya.


"Dan ini aku membawa daging panggang untukmu, Hay-ko. Hanya ini untuk sekedar penambah makan malammu, Hay-ko." kata gadis hitam manis.


Hay Hay yang tadinya tersenyum gembira itu, kini memandang dengan mata mengandung keharuan. Ingin dia merangkul dan mencium dua orang gadis ini untuk rnenyatakan rasa sukur dan terima kasihnya. Akan tetapi tentu saja dia tidak beranimelakukan hal itu karena takut akan akibatnya yang tentu tidak baik bagi mereka berdua.


"Ah, kalian sungguh baik sekali!" serunya terharu. "Kenapa kalian bersusah payah untukku? Kalian tahu, kalau sampai terlihat kepala dusun atau penduduk dusun, tentu kalian akan mendapat marah."


"Biar saja mereka marah!" Gadis bertahi lalat berkata penasaran. "Si A-Iiong itu hanya iri hati dan cemburu. Huh, tak tahu malu!"


Hay Hay tersenyum. "A-liong siapakah yang kaumaksudkan? Pemuda tinggi besar yang hendak menghajarku itu?"


Gadis hitam manis mengangguk. "Benar, dia mencinta Siauw Lan….."


"Akan tetapi aku tidak sudi padanya!" Siauw Lan gadis bertahi lalat di dagunya itu memotong. "Pula, apa salahnya kalau kami berkenalan denganmu, Hay-ko? Engkau seorang pemuda yang baik dan menyenangkan, tidak seperti mereka. Aku... kami... suka padamu……"


Hay Hay semakin terharu dan dipegangnya tangan dua orang gadis itu dengan kedua tangannya. Tangan-tangan hangat dan tulus. "Kalian memang Adik-adikku yang cantik manis dan berhati baik. Aku berterima kasih padamu. Percayalah, aku pun suka sekali kepada kalian dan selamanya aku takkan melupakan gadis-gadis di dusun ini yang manis-manis. Akan tetapi, sekarang sebaiknya kalian pulang saja sebelum hari menjadi malam. Sungguh tidak enak bagi kalian kalau sampai kelihatan orang lain kalian datang menjengukku, apalagi membawakan setimut dan makanan."



Dua orang gadis itu pun merasa terharu walaupun mereka girang sekali dapat saling berpegang tangan dengan pemuda yang mereka kagumi itu. "Hay-ko, engkau tentu akan lama tinggal di sini, bukan?" tanya Si Gadis Bertahi Lalat.


"Benar, jangan tergesa-gesa pergi, Hay-ko, kami ingin menjadi sahabat-sahabatmu. Besok pagi-pagi kami akan datang lagi, mungkin dengan teman-teman. Setiap pagi kami mencuci pakaian dan mandi di sini, dan kami dapat menjengukmu….." kata gadis kedua.


Hay Hay menggeleng kepala dan sebagai gantinya mencium pipi atau bibir mereka, dia membungkuk dua kali dan mencium punggung tangan mereka, lalu melepaskan tangan mereka. "Aku besok pagi sekali harus melanjutkan perjalanan. Nah, pulanglah dan selamat berpisah, Nona-nona manis."


Dua orang gadis itu pun tersipu dengan jantung berdebar ketika punggung tangan mereka tersentuh hidung dan bibir pemuda itu, dan biarpun mereka merasa ogah dan tidak tega meninggalkan pemuda itu, karena cuaca mulai gelap, terpaksa mereka lalu berpamit dan meninggalkan tempat itu dengan dua pasang mata yang basah. Mereka merasa sedih sekali mengingat betapa pemuda ini besok sudah tidak akan berada lagi di tempat itu dan mereka tahu bahwa ada sesuatu yang lenyap dari dalam hati mereka, meninggalkan kenangan indah yang hanya akan mendatangkan duka.


"Selamat tinggal, Hay-ko.”


"Semoga kita bertemu kembali kelak, suatu waktu……!”


Hay Hay tersenyum dan melambaikan tangan, sengaja tidak mengeluarkan sepatah kata pun agar keharuan tidak semakin menenggelamkan mereka bertiga. Setelah kedua orang gadis itu pergi, Hay Hay lalu mempersiapkan tempat beristirahat di dekat batu besar itu, menyalakan api unggun dan setelah hari menjadi gelap, dia pun- duduk bersila, menyelimuti tubuhnya dengan selimut pemberian gadis manis bertahi lalat di dagunya. Selimut yang tebal dan hangat. Akan tetapi Hay Hay sudah melupakan lagi dua orang gadis itu. Demikianlah watak pemuda ini, tidak mau mengikatkan diri dengan segala sesuatu, dengan kenangan pun tidak! Segala peristiwa yang terjadi lewat saja tanpa bekas di hatinya, dan dengan cara hidup demikian itu, dia selalu bergembira dan kini dia pun duduk bersila dengan wajah tenang gembira, sedikit pun tidak ada bekas-bekas peristiwa masa lalu yang mengganggu hatinya, baik yang menyenangkan, dan menimbulkan keinginan untuk rnengulanginya maupun yang tidak menyenangkan dan menimbulkan kegelisahan atau duka.


Malam itu bulan bersinar dengan terangnya. Hawa amat sejuk dan sinar bulan menciptakan suasana yang amat indah di malam itu, indah dan kelihatan tenang tenteram penuh damai. Akan tetapi, agaknya tidak demikian keadaan di dusun kecil itu. Para penduduk laki-laki berkumpul di rumah kepala dusun dan wajah mereka nampak tegang. Ada dua orang gadis yang hilang malam itu! Orang tuanya bingung mencari karena mereka berdua, gadis bertahi lalat di dagu gadis hitam manis bermata cerah tidak pamit ketika pergi.


"Mereka tentu pergi mengunjungi pemuda itu!"tiba-tiba terdengar seorang laki-laki berkata. "Aku tadi melihat dia berada di batu besar dekat sungai!"


"Hemm, orang asing kurang ajar itu berani kembali ke sana?" kata kepala dusun sambil mengerutkan alisnya.


"Mari kita cari ke luar dusun sekalian mengusir pemuda itu. Aku yang akan menghajarnya!" kata A-liong, pemuda tinggi besar yang menaruh hati kepada Siauw Lan, gadis bertahi lalat.

Kepala dusun menyetujui dan berangkatlah sekitar dua puluh orang laki-laki sambil membawa obor mencari keluar dusun. Sudah terlalu lama dua orang gadis itu pergi dan memang menimbulkan kekhawatiran dan kecurigaan. Berbondongbondong mereka pergi menuju ke sungai kecil yang berada agak jauh di luar dusun.


Akan tetapi ketika rombongan itu tiba di luar dusun, di sebuah lapangan rumput, ada yang berteriak dan semua orang segera menghampiri. Dan mereka melihat dua orang gadis yang mereka cari-cari itu menggeletak di atas lapangan rumput dalam keadaan telanjang bulat. Pakaian mereka berserakan di sekitar tempat itu. Yang mengerikan, gadis hitam manis itu telah tewas dengan leher terluka menganga lebar hampir putus, sedangkan gadis bertahi lalat di dagunya masih hidup, akan tetapi merintih-rintih dan seperti orang yang menderita ketakutan hebat. Begitu melihat banyak orang datang menghampirinya, gadis bertahi lalat itu merangkak menjauhi, mulutnya merintih-rintih menyebut nama Hay Hay.


"Hay-ko... tolong... tolonglah aku…..!" Mudah saja bagi orang-orang ini untuk menduganya apa yang terjadi. Dua orang gadis ini telah diperkosa orang! Dan yang berkulit hitam manis dibunuh! Masih nampak jelas betapa mereka bertelanjang bulat.


Kepala dusun cepat menubruk keponakannya, gadis bertahi lalat, dan menyelimutinya dengan mantelnya. Gadis itu menangis terisak-isak, tidak takut lagi dan agaknya sudah sadar.

"Keparat! Ini tentu perbuatannya! Mari kita kejar ke sana!" Teriak kepala dusun dan semua orang lalu mengikutinya menuju ke sungai kecil dengan cepat.


Hanya pemuda tinggi besar yang tinggal di situ, merangkul gadis bertahi lalat sambil menghiburnya. Akan tetapi Siauw Lan, gadis itu kini telah sadar dan ia pun menjadi histeris dalam rangkulan pemuda itu. Ia meronta-ronta minta lepas sambil menangis tersedu-sedu.


"Lepaskan aku...! Ah, lepaskan aku, biarkan aku mati saja…..!!”


Akan tetapi, A-Liong? demikian nama panggilan pemuda tinggi besar itu, merangkul semakin kuat mendengar ucapan ini. Dia sudah banyak mendengar tentang gadis yang membunuh diri karena aib dan gadis yang dicintanya ini, bukan tidak mungkin akan membunuh diri karena diperkosa laki-laki keparat itu. Dia harus dapat menghiburnya. Diambilnya pakaian gadis itu yang bertebaran di mana-mana.


"Siauw Lan, kaupakailah pakaianmu dulu... jangan berduka, ada aku di sini. Maukah engkau bercerita apa yang telah terjadi?”



Gadis itu sadar bahwa masih telanjang bulat, bahwa tubuhnya hanya tertutup mantel milik pamannya, kepala daerah itu. Ia melirik ke kanan dan melihat tubuh telanjang dari temannya yang masih menggeletak mandi darah dan ia pun menggigil, lalu menangis lagi, akan tetapi dipakainya pakaiannya.


“Apakah yang telah terjadi? Apakah dia telah menyerang kalian berdua?”


Siauw Lan mengangguk-angguk, masih terisak. "Kami berjalan berdua……dan tiba-tiba orang itu menyergap. Aku merasa dipukul pundakku dan aku pun tidak mampu bergerak lagi. Dia menyeret kami ke sini dari jalan itu dan melemparku di atas rumput. Aku tidak mampu menggerakkan kaki dan tanganku, hanya dapat melihat betapa dia…..dia menanggalkan pakaian A-kiu dan mereka bergumul. A-kiu menjerit-jerit dan meludahi mukanya, lalu... lalu... ahhh hu-hu-hu-huuuh……!"

Kembali A-liong merangkulnya dan menepuk-nepuk bahunya, "Tenanglah, semua telah berlalu dan ada aku di sini menjaga dan melindungimu." Gadis itu merasa aman dalam rangkulan A-liong, dan ia menangis di pundak pemuda itu. Setelah tangisnya mereda, ia melanjutkan.

"Orang itu marah dan menampar A-kiu, lalu…..lalu pedangnya berkelebat dan... ah, mengerikan……!" Ia menengok ke arah mayat kawannya dan menangis lagi.


"Keparat itu membunuhnya karena A-kiu menjerit dan meludahinya?"


Siauw Lan mengangguk. "Ya... lalu dia menghampiri aku yang tidak mampu bergerak dan aku ditepuknya, di pundak, dan tiba-tiba aku dapat bergerak lagi. Dan dia lalu menunjuk ke arah tubuh A-kiu yang masih berkelojotan dengan darah menyembur keluar, berkata bahwa kalau aku melawan aku pun akan disembelih... hu-huuuuh! Dia... dia... lalu memaksaku, memperkosaku……uhuhuhuuuhhh……..!”


A-liong mendekap mukanya di dada. "Tenanglah, engkau tidak bersalah ….."


"Aku mau mati saja! A-liong, biarkan aku mati saja! Untuk apa hidup dalam aib dan akan terhina selamanya?" Gadis itu meronta-ronta dan menangis.


"Tenanglah, Siauw Lan, ada aku di sini. Aku... cinta padamu, dan aku yang akan menutupi aibmu itu. Aku akan mengawinimu…..”


Gadis itu mengangkat muka, melalui air matanya ia memandang wajah pemuda itu, matanya terbelalak. "Kau…..? Mau mengawini aku yang telah ternoda.…..?"


A-liong mengangguk penuh kepastian. "Aku bersumpah, aku akan mengawinimu dan aku tetap menganggap engkau seorang gadis yang suci dan paling baik di dunia ini. Tentang perkosaan itu, bukan salahmu, lupakan saja. Sekarang pemuda bermulut manis dan perayu itu tentu sedang dikeroyok dan dihajar sampai mampus! Dan kelak kalau ada orang yang menghinamu karena peristiwa ini, akulah yang akan menghajarnya….."


Tiba-tiba Siauw Lan mencengkeram lengan A-liong. "A-liong, siapa yang kaumaksudkan? Siapa yang dikeroyok dan dipukuli, yang kaumaksudkan perayu bermanis mulut itu tadi?"

A-liong memandang wajah gadis itu dengan alis berkerut. “Siapa lagi kalau bukan pemuda asing yang pagi tadi mencoba untuk mengganggu kalian? Pemuda yang berada di batu besar dekat sungai itu?"


"Hay-ko... ?? Ahh.….tidak, tidaaakkk…..!!" teriaknya sambil meronta dan pemuda itu menjadi kaget.

"Siauw Lan, bukankah dia yang telah membunuh A-kiu dan….. memperkosamu?"


"Tidak! Bukan dia! Ahhh, A-liong, kalau engkau benar cinta padaku, lepaskan aku, aku harus pergi ke sana, mencegah mereka mengeroyoknya. Dia sama sekali tidak berdosa!"


"Bukan dia... ?" pemuda itu terkejut dan merasa heran.


"Bukan! Bukan dia. Penjahat itu jauh lebih tua dan ini.…..ini…." Siauw Lan meraba-raba ke kanan kiri di atas rumput dan akhirnya menemukan yang dicarinya, sebuah benda kecil berkilauan. "Ini...dia meninggalkan ini untukku... katanya, kalau kelak aku ingin mencari dia, inilah tandanya…..”

A-1iong mengambil benda itu dari tangan Siauw Lan dan mengamatinya di bawah sinar bulan. Ternyata sebuah perhiasan berupa tawon merah, terbuat dari emas dan batu merah.


"A-liong, kita harlls cepat ke sana, mencegah mereka mengeroyok orang yang tidak bersalah!"

A-liong, adalah seorang pemuda petani yang kasar namun jujur. Mendengar pengakuan ini, dia pun menggandeng tangan Siauw Lan dan diajaknya melakukan pengejaran. Akan tetapi Siauw Lan merintih, tubuhnya terasa nyeri dan sukar baginya untuk jalan cepat.


"Biar kupondong engkau agar cepat!" kata A-Iiong. Gadis itu tidak menolak, karena ia ingin agar mereka dapat cepat tiba di tempat itu, untuk mencegah orang-orang dusun mengeroyok pemuda yang sama sekali tidak berdosa itu.


Kita menengok keadaan Hay Hay. Dia belum tidur ketika orang-orang dusun datang berbondong-bondong ke tempat dia beristirahat. Dia masih duduk bersila di atas tanah yang telah dia beri daun-daun kering, berkalung selimut pemberjan Siauw Lan sampai ke lehernya, untuk melindungi tubuhnya dari serangan nyamuk yang masih banyak berdatangan walaupun dia telah membuat api unggun. Ketika dia mendengar suara banyak orang datang, ada yang membawa obor, dia bersikap tenang saja. Memang Hay Hay selalu bersikap tenang. Ketenangan terdapat pada diri orang yang tidak pernah mengkhawatirkan sesuatu. Kekhawatiran timbul dari pikiran yang membayangkan hal-hal yang menyusahkan, hal-hal yang belum terjadi dan yang diperkirakan mungkin terjadi menimpa dirinya. Orang hanya dapat merasa takut dan khawatir akan hal-hal yang belum atau tidak ada. Bukan berarti orang yang tidak membayangkan hal-hal yang belum ada itu lalu menjadi lengah dan acuh. Sama sekali tidak. Kewaspadaan akan saat ini membuat orang selalu dalam keadaan waspada, tanpa rasa takut dan khawatir. Demikian pula keadaan Hay Hay. Dia merasa heran melihat banyak orang berdatangan membawa obor, akan tetapi karena tidak membayangkan sesuatu yang tidak enak dia pun tenang-tenang saja duduk bersila dan memandang ke arah mereka.



Kewaspadaannya membuat dia maklum bahwa mereka yang kini berdiri membuat setengah lingkaran di depannya itu mempunyai niat buruk. Kemarahan dan kebencian terbayang dalam pandang mata mereka. Hay Hay merasa heran dan siap siaga, lalu bangkit berdiri melihat bahwa rombongan orang dipimpin sendiri oleh kepala dusunnya yang tadi pagi juga sudah datang menegurnya. Kini, dua puluh orang lebih itu memandang kepadanya dengan kemarahan meluap-luap, seolah-olah mereka tidak sabar lagi dan ingin segera menghajarnya.

"Selamat malam Chung-cu." kata Hay Hay. "Ada urusan apakah maka Cu-wi beramai-ramai malam-malam begini datang ke sini?"


Orang-orang itu tidak segera menjawab, melainkan memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kemarahan, kebencian dan selidik.


"Lihat, itu selimut Siauw Lan!" tiba-tiba seorang laki-laki, kakak Siauw Lan, berteriak sambil menuding ke arah selimut yang masih mengalungi leher Hay Hay itu. Semua orang memandang dan kemarahan mereka memuncak.


Hay Hay meraba selimut itu. "Benar, memang Nona Siauw Lan yang tadi datang bersama seorang temannya, memberi selimut dan makanan kepadaku. Mereka adalah dua orang Nona yang amat baik hati dan aku berterima kasih sekali kepada mereka….”


"Berterima kasih dengan memperkosa dan membunuh!" bentak kakak Siauw Lan dan dia sudah menggerakkan toya kayu di tangannya untuk menghantam ke arah Hay Hay, dan pada saat itu, seorang lain maju juga untuk membacokkan parangnya ke arah dada pemuda itu dengan penuh kebencian. Semua orang teringat akan nasib dua orang gadis itu dan kini mereka serentak maju mengeroyok!

Dalam keadaan seperti itu, Hay Hay tidak dapat menyembunyikan lagi kepandaiannya. Dia harus melindungi dirinya, akan tetapi dia maklum bahwa sekelompok orang dusun ini adalah orang-orang jujur yang tidak pandai ilmu silat dan memiliki tenaga biasa saja. Mereka bukanlah lawannya dan dia tidak ingin melukai orang-orang ini yang dia tahu tentu tidak berdosa dan yang kini sedang salah paham terhadap dirinya. Maka dia pun mengerahkan tenaga sinkang untuk membuat tubuhnya kebal, menggerakkan kedua tangan hanya untuk menangkis senjata yang menuju ke kepala dan mukanya.


Terdengar suara bak-bik-buk ketika belasan buah senjata keras dan tajam menghujani tubuh Hay Hay. Terdengar teriakan-teriakan kaget dan beberapa orang bahkan terpelanting karena tenaga mereka sendiri yang membalik. Pemuda yang mereka keroyok itu masih berdiri tegak, yang nampak bekas serangan itu hanyalah selimut dan baju yang robek-robek, akan tetapi kulit tubuh itu lecet sedikit pun tidak, bahkan semua senjata terpental dan tenaga mereka membalik, telapak tangan mereka terasa nyeri.


"Dia lihai…..!”


"Dia kebal……!"


"Punya ilmu setan……..!"


"Saudara-saudara sekalian, apakah yang telah terjadi? Aku tidak bersalah apa-apa dan sejak tadi aku berada di sini, Siauw Lan dan temannya hanya berkunjung sebentar dan tidak terjadi apa-apa yang tidak semestinya di sini. Apa kesalahanku maka cuwi (kalian) marah-marah kepadaku?"

"Bohong! Dia memang laki-laki mata keranjang. Jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang pantas dihajar!" Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dan merdu. Semua orang menengok, juga Hay Hay, dan dia, terkejut melihat munculnya gadis cantik jelita yang sudah dijumpainya di kuil sore tadi. Gadis itu memang Bi Lian. Dari kuil di mana ia beristirahat, malam itu ia mendengar suara berisik. Ia lalu keluar dan dari depan kuil, tempat yang tinggi, ia dapat melihat banyak orang berlarian sambil membawa obor. Tentu saja ia tertarik sekali karena orang-orang itu keluar dari dusun di bawah itu. Tentu telah terjadi hal yang hebat maka orang-orang itu keluar sambil membawa obor. Bi Lian lalu mempergunakan kepandaiannya, dengan cepat seperti terbang ia menuruni bukit menuju ke padang rumput di mana orang-orang itu berkumpul dan nampak melihat sesuatu.


Karena ia menuruni bukit itu seperti terbang ,cepatnya, ia tiba di padang rumput itu pada saat orang-orang dusun itu baru saja meninggalkan tempat itu untuk menyerbu ke tempat peristirahatan Hay Hay. Sebagai seorang yang berpengalaman, sekali pandang saja kepada Siauw Lan yang menangis dihibur A-liong, dan melihat keadaan A-kiu yang telanjang bulat dan hampir putus lehernya, Bi Lian tahu apa yang telah terjadi. Dua orang gadis itu telah dijadikan korban seorang jai-hwa-cat, penjahat pemetik bunga atau tukang memperkosa wanita! Kemarahannya timbul dan ia pun tahu bahwa jelas pelakunya tentulah pemuda tampan perayu wanita yang mata keranjang itu! Cepat ia pun lari dari situ tanpa diketahui Siauw Lan ataupun A-liong, dan pada saat semua penduduk sedang terkejut melihat betapa senjata mereka tidak mempan terhadap Hay Hay, Bi Lian muncul dan memaki Hay Hay.


Hay Hay mengerutkan alisnya. Gadis galak ini begitu muncul memakinya sebagai seorang penjahat pemetik bunga, sungguh keterlaluan!


"Nanti dulu!" bantahnya. "Aku tidak pernah melakukan perbuatan terkutuk seperti yang kalian tuduhkan itu!"


"Jangan percaya, laki-laki perayu bermulut manis mana bisa dipercaya omongannya? Biar aku yang akan menghajar dan menangkapnya untuk kalian!" Berkata demikian, Bi Lian sudah menerjang maju. Gadis ini tadi melihat betapa semua senjata mental dari tubuh Hay Hay. Tadi ia terkejut bukan main, juga terheran-heran, merasa kecele dan mukanya berubah merah. Kiranya pemuda ini memiliki kepandaian tinggi. Jadi sikapnya yang pura-pura tolol di kuil itu hanya main-main saja dan ia merasa dipermainkan. Maka, begitu menerjang, ia telah mengirim tamparan dengan tangan kiri ke arah kepala Hay Hay, sebuah serangan pancingan karena tangan kanannya, dengan cepat sekali mengirim serangan susulan menotok ke arah pundak pemuda itu untuk merobohkannya!



Melihat datangnya serangan gadis itu, walaupun hanya dengan tangan kosong, Hay Hay terkejut bukan main. Dia mengenal serangan ampuh, mengenal tangan ampuh yang memiliki tenaga sinkang yang amat hebat. Dan pukulan-pukulan itu sendiri amat ganas. Tamparan ke arah kepalanya itu mengandung hawa pukulan yang panas dan kalau mengenai sasaran tentu akan menewaskannya dan tangan kanan gadis itu membayangi gerakan tangan kiri, sukar diduga akan menyerang ke mana sebagai susulan! Dia tahu bahwa tamparan tangan kiri itu hanya gertakan, namun gertakan berbahaya karena merupakan pukulan maut, dan yang lebih berbahaya lagi adalah tangan kanan gadis itu yang siap mengirim serangan susulan.

"Plakk!" Hay Hay mengangkat tangan kanan menangkis tamparan sambil mengerahkan tenaga sinkang pula, sedangkan matanya waspada mengikuti gerakan tangan kanan Bi Lian. Ketika tangan itu menotok ke arah pundaknya, untuk merobohkannya, dia pun cepat meloncat ke belakang sambil menangkis dengan tangan kirinya.


"Dukkkk!"

Dua kali kedua tangan mereka saling bertemu dan keduanya diam-diam terkejut, maklum akan kekuatan masing-masing. Karena serangannya dapat dihindarkan lawan, Bi Lian menjadi semakin penasaran.


"Jai-hwa-cat memiliki juga sedikit kepandaian!" katanya penuh ejekan dan kini ia menyerang lagi, akan tetapi sekali ini ia tidak main-main dan serangannya demikian kuat dan cepatnya, bertubi-tubi dengan gerakan yang aneh dan ganas sekali sehingga Hay Hay terpaksa berloncatan mundur dan terdesak hebat! Ketika serangannya yang bertubi-tubi itu tidak pernah mengenai sasaran, Bi Lian menjadi semakin sengit. Ia maklum bahwa lawannya ini benar-benar pandai maka berubahlah niatnya. Kalau tadi ia hanya ingin menangkapnya untuk diserahkan kepada para penduduk yang akan menghukumnya, kini melihat kelihaian lawan, ia bermaksud untuk merobohkannya, hidup atau mati! Perubahan ini tentu saja mengubah pula gerakannya yang menjadi semakin kuat dan setiap pukulan merupakan serangan maut! Ketika gadis itu menggosok kedua tangannya, saling menggosok telapak tangan, nampak asap mengepul dari kedua telapak tangannya, dan serangan-serangannya kini mengandung hawa yang panas sekali.

"Ehhh……!!" Hay Hay berkali-kali berseru kaget dan dia terpaksa selain mengelak juga melakukan tangkisan-tangkisan disertai pengerahan tenaga sinkangnya. Setiap kali lengannya bertemu dengan lengan gadis itu, dia merasa betapa kulit lengan itu kuat dan mengandung hawa panas! Kalau saja sinkangnya tidak kuat untuk melindungi kulitnya, tentu kulit tangannya akan terluka hangus bersentuhan dengan lengan gadis itu.


Para penduduk yang melihat munculnya seorang gadis gagah perkasa yang menyerang pemuda mata keranjang itu kalang-kabut, tidak tinggal diam. Mereka berbesar hati melihat ada seorang gadis yang agaknya lihai sekali dan dapat mengjmbangi kelihaian penjahat itu, maka mereka pun kini mulai bergerak mengurung dan setiap kali ada kesempatan, mereka menggerakkan senjata mereka untuk menyerang. Hay Hay menghadapi pengeroyokan! Baginya orang-orang dusun itu lebih berbahaya daripada Si Gadis lihal! Soalnya, kalau gadis itu dapat ia hadapi dengan sinkang dan ilmu silat, sebaliknya dia harus berhati-hati sekali kalau menangkis serangan orang-orang dusun, karena kalau dia kesalahan tangan dan terlalu kuat mempergunakan sinkang, ada bahayanya dia akan benar-benar menjadi pembunuh! Terpaksa Hay Hay lalu memainkan satu di antara ilmunya yang hebat, yaitu Jiauw-pouw-poan-soan, ilmu langkah kaki berputaran yang membuat tubuhnya dapat menghindarkan semua serangan, termasuk pukulan-pukulan yang dilancarkan oleh gadis itu. Ilmu Ini merupakan satu di antara ilmu pemberian See-thian Lama.

Diam-diam Bi Lian kagum bukan main. Baru sekali ini semenjak meninggalkan perguruan ia bertemu dengan lawan yang dapat menghindarkan semua serangannya, padahal sudah lebih dari dua puluh jurus ia menyerang tanpa pemuda itu membalas satu kalipun, bahkan" disampingnya masih ada orang-orang dusun yang mengeroyok, walaupun bantuan mereka itu sama sekali tidak menguntungkannya, bahkan mengganggu gerakannya saja.


Tiba-tiba terdengar jeritan wanita. "Berhenti…..! Ahhhh, jangan keroyok dia! Dia tidak bersalah.…. jangan keroyok dia….!”


Semua orang terkejut, menghentikan serangan mereka, bahkan Bi Lian juga meloncat ke belakang dan memutar tubuh memandang. Yang berteriak itu adalah Siauw Lan yang digandeng oleh A-liong.


"Apa maksudmu, Siauw Lan?" bentak kepala dusun kepada keponakannya.


"Paman, bukan dia yang memperkosa aku dan membunuh A-kiu! Dia tidak bersalah….."


Hay Hay membelalakkan matanya memandang kepada Siauw Lan. "Nona, engkau diperkosa dan temanmu itu dibunuh orang……??"


Siauw Lan menangis, memandang kepada Hay Hay dan mengangguk-angguk. "Hay-ko…..ahh…..Hay-ko….!"


A-liong mengeluarkan benda yang diterimanya dari Siauw Lan tadi dan berkata, lantang, "Kawan-kawan, kita memang telah salah sangka. Penjahat itu adalah seorang yang lebih tua dan dia meninggalkan tanda ini!"


Tiba-tiba Bi Lian menggerakkan tubuhnya dan tahu-tahu benda yang dipegang oleh A-liong itu telah pindah ke tangannya. A-liong terkejut dan terbelalak. Bi Lian mengamati benda itu dan mengangguk-angguk. "Hemm... Ang-hong-cu (Si Tawon Merah)...! Aku pernah mendengar namanya. Seorang jai-hwa-cat yang keji!" Ia mengembalikan benda itu kepada A-liong, kemudian memandang kepada Hay Hay. Sejenak pandang mereka bertemu dan Bi Lian merasa kikuk sekali. Ia memutar tubuh menghadapi kepala dusun dan berkata. "Kita telah salah sangka. Aku akan mencari penjahat itu!" Setelah berkata demikian, sekali berkelebat, gadis itu lenyap dari situ, membuat orang-orang dusun itu terkejut dan melongo. Hanya siluman saja yang dapat menghilang seperti itu, pikir mereka.



Bagaimana sekarang? Apakah Cuwi masih menuduh aku yang melakukan perbuatan terkutuk itu?" Hay Hay bertanya sambil tersenyum. Dia tidak marah kepada orang-orang dusun ini. Dia marah kepada si jai-hwa-cat. Gadis bertahi lalat ini diperkosanya! Dan gadis hitam manis itu malah dibunuhnya.


Si Kepala Dusun menjura ke arah Hay Hay. "Maafkan kami. Kami salah sangka terhadap Kongcu "

"Sudahlah, kalau aku boleh pergi, sekarang juga aku akan mencoba untuk mengejar dan mencari keparat itu.” Kemudian dia memandang kepada Siauw Lan dan berkata, "Adik manis, nasibmu memang buruk sekali. Akan tetapi peristiwa itu telah lalu dan aku melihat ada orang yang mencintamu dan tentu mau melindungimu. Kalau aku berhasil menemukan penjahat Ang-hong-cu itu, tentu akan kuhajar dia, kubalaskan sakit hatimu."


Siauw Lan masih menangis, hanya mengangguk dan bibirnya bergerak perlahan. "Terima kasih, Hay-ko."

Hay Hay mengambil buntalan pakaiannya, membuang selimut dan bajunya yang sudah robek-robek, kemudian dia pun tidak lagi menyembunyikan kepandaiannya dan sekali berkelebat, seperti yang dilakukan Bi Lian tadi, dia sudah lenyap pula dari situ. Untuk kedua kalinya, para penduduk dusun itu melongo dan menggeleng-geleng kepala, merasa malu akan kebodohan mereka sendiri. Mereka telah menuduh yang bukan-bukan terhadap pemuda itu, padahal pemuda itu demikian lihainya sehingga kalau dikehendaki, tentu pemuda itu berbalik akan mampu merobohkan mereka semua satu demi satu! Mereka lalu kembali ke dusun, mengambil dan mengurus jenazah A-kiu, sedangkan Siauw Lan terus diantar dan dihibur oleh A-liong sehingga ia pun merasa terhibur dan tidak lagi mempunyai niat untuk membunuh diri mencuci aib.

**

Pagi-pagi sekali Hay Hay sudah keluar dari daerah dusun dan pegunungan itu. Dia menuju ke barat karena dia sedang melakukan perjalanan untuk mencari keluarga Pek yang dulu tinggal di Tibet. Semenjak dia menjadi murid See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai, keadaan dirinya membuat dia seringkali termenung dan termangu-mangu. Dua orang gurunya yang sakti itu pun tidak dapat menentukan dia anak siapa! Sejak bayi dia merasa menjadi putera suami isteri Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, yang tidak tahunya adalah sepasang suami isteri iblis yang berjuluk Lam-hai Siang-mo. Dan ternyata suami isteri itu bukan orang tuanya, melainkan telah menculiknya dari rumah keluarga Pek. Kalau saja keluarga Pek mempunyai anak yang lumrah, tentu mudah sekali memastikan bahwa dia adalah anak keluarga Pek yang diculik oleh Lam-hai Siang-mo. Akan tetapi, dua orang gurunya yang sakti dan bijaksana memastikan bahwa dia bukan putera keluarga Pek, karena sudah dipastikan oleh para Dalai Lama bahwa putera keluarga Pek adalah seorang Sin-tong (anak ajaib) yang mempunyai tanda merah di punggungnya! Sedangkan dia tidak mempunyai tanda merah itu! Jelas, menurut kedua orang gurunya, dia bukan putera keluarga Pek!


Satu-satunya petunjuk tentang keadaan dirinya hanya bisa diharapkan datang dari keluarga Pek. Mereka tentu tahu siapa dia, siapa orang tuanya dan mengapa dia ketika bayi dapat berada di tangan keluarga Pek sehingga diculik oleh Lam-hai Siang-mo. Inilah sebabnya maka Hay Hay kini menuju ke barat untuk mencari keluarga Pek dan menyelidiki tentang asal-usul dirinya yang sebenarnya. Akan tetapi dia tidak tergesa-gesa dan melaksanakan keinginannya menemui keluarga Pek sambil lalu saja, yang terpenting baginya adalah menikmati perjalanan yang amat jauh itu.


Dia pernah melakukan perjalanan jauh seperti ini, akan tetapi dari barat ke timur, yaitu beberapa tahun yang lalu, ketika dia berusia kurang lebih tiga pelas tahun dan meninggalkan See-thian Lama untuk mengikuti gurunya yang baru, Ciu-sian Sin-kai menuju ke Pulau Hiu di lautan Pohai. Kalau dulu dia datang dari barat menuju ke timur, sekarang sebaliknya, dia datang dari pantai Pohai menuju ke barat, ke Tibet!


Dengan santai Hay Hay melakukan perjalanan dan sebelum dia menuruni bukit terakhir, dia berhenti lebih dulu dan membalikkan tubuhnya menghadap ke timur, untuk menikmati keindahan matahari terbit.


Bola merah yang besar itu perlahan-lahan tersembul dan naik ke atas. Hay Hay tidak berani terlalu lama memandang bola api itu, walaupun sinarnya belum terlalu menyilaukan, namun dia tahu bahwa hal itu tidak baik bagi matanya. Yang dinikmati adalah keindahan cahaya merah itu memandikan segalanya yang berada di permukaan bumi, dan cahaya merah kuning biru yang mewarnai awan-awan yang membentuk berbagai macam corak, demikian kaya dengan bentuk sehingga kita dapat membentuk awan-awan itu menjadi bentuk apa saja menurut khayal kita yang paling ajaib.


Setelah puas menikmati keindahan alam di waktu pagi, Hay Hay membalikkan tubuhnya lagi dan hendak menuruni lereng bukit terakhir. Akan tetapi tiba-tiba dia tertegun karena tak jauh di depannya, hanya belasan meter jauhnya, telah berdiri tegak seorang wanita yang bukan lain adalah gadis galak semalam! Namun hanya sebentar dia tertegun. Dia tidak kehilangan keluwesannya dan segera tersenyum ramah dan melangkah maju menghampiri lalu menjura.

"'Selamat pagi, Nona yang gagah perkasa! Sungguh pagi yang amat cerah dan indah, bukan?"

Akan tetapi gadis jelita dan manis itu cemberut. Aneh, pikir Hay Hay, kenapa gadis ini cemberut dapat nampak demikian manisnya? Apanya yang membuatnya demikian manis? Segalanya memang indah bentuknya, dan wajah itu ayu akan tetapi apanya yang paling menonjol? Dia menyelidiki keadaan gadis itu dengan penuh perhatian!


"Aku tidak tanya dan tidak peduli pagi ini cerah indah atau muram buruk! Aku berada di sini sengaja menantimu dan bicara denganmu!”


"Ahai, lebih baik lagi kalau begitu! Ah, kalau saja aku tahu Nona menantiku di sini, tentu tadi aku akan bersicepat dan tidak membiarkan diri terpesona oleh kecantikan alam di waktu pagi." Dengan ucapan itu dia seolah-olah hendak memuji bahwa keindahan gadis itu tidak kalah oleh keindahan alam pagi. "Suatu kehormatan yang teramat besar bagiku. Tidak tahu Nona hendak menyampaikan berita bahagia apakah kepada diriku yang miskin ini?



Sejenak Bi Lian, gadis itu, tertegun juga. Betapa indahnya kata-kata yang dikeluarkan oleh pemuda ini, sambil tersenyum, ,wajahnya berseri, sepasang matanya yang tajam itu memandang lembut. Akan tetapi ia teringat bahwa pemuda ini adalah seorang perayu wanita, seorang laki-laki mata keranjang, maka ia memasang muka cemberut lagi. Lebih cemberut daripada tadi. Akan tetapi lebih manis, pikir Hay Hay.


"Tak usah merayu dengan kata-kata indah! Aku menantimu untuk mengajakmu membuat perhitungan dan melunasi hutang-pihutang antara kita!"


Diam-diam Hay Hay terkejut dan juga heran. Dia maklum yang dimaksudkan dengan hutang-pihutang tentulah urusan perselisihan di antara mereka. Akan tetapi seingatnya, tidak ada lagi urusan di antara mereka. Bukankah dalam urusan ruangan di kuil tua dia sudah mengalah dan pergi, kemudian perkelahian semalam itu terjadi hanya karena salah paham dan salah duga terhadap dirinya? Dia anggap sudah habis dan selesai, kenapa nona ini bicara tentang penyelesaian hutang-pihutang? Akan tetapi wajahnya tetap berseri dan dia memasang muka gembira.

"Wah, menarik sekali!" Hay Hay menurunkan buntalan pakaiannya dan duduk di atas batu dl tepi jalan kecil itu, seperti orang yang ingin sekali mendengarkan sebuah cerita yang menarik. "Berapakah hutangku kepadamu dan bagaimana aku harus membayarnya, Nona? Aku seorang perantau miskin……"


"Bukan engkau yang masih ada hutang, akan tetapi aku yang hutang kepadamu."


"Aih, semakin menarik dan menyenangkan saja. Akan tetapi sungguh mati aku sudah lupa lagi kapan Nona berhutang kepadaku dan berapa jumlahnya?" “Pertama-tama aku mengusirmu dari kuil dan ke dua, aku telah menuduhmu melakukan perbuatan terkutuk yang tidak kaulakukan. Nah, aku telah hutang dua kali kepadamu dan aku ingin melunasinya sekarang!"


"Ehhh…..?" Sekali ini senyumnya menghilang dari wajah Hay Hay karena memang dia heran sekali. "Lalu bagaimana engkau akan melunasi hutang-hutang itu, Nona?"

Gadis itu memperlihatkan kedua lengannya yang diulur dengan jari-jari tangan terkepal. "Dengan ini! Bagaimana lagi orang-orang seperti kita menyelesaikan perhitungan kecuali dengan mengadu ilmu silat? Majulah dan bersiaplah, kita harus bertanding untuk membereskan perhitungan!"

"Wah-wah-wah !" Hay Hay mengangkat kedua tangannya ke atas kepala dan menggeleng-geleng kepala. "Kalau seperti itu pembayarannya, sudahlah, jangan kaubayar saja hutang-hutangmu, Nona! Aku sudah rela dan biarlah hutang-hutangmu itu kuanggap lunas saja!"

"Apa!" Gadis itu memandang dengan mata mendelik. "Engkau mau menghina aku rupanya! Kauanggap aku tidak mampu melunasi hutang-hutangku?"



"Eh, bukan begitu! Tapi…..., wah kenapa pembayarannya harus seperti itu? Aku tidak merasa menghutangkan, aku tidak menaruh dendam sakit hati, dan aku tidak mengharapkan pembayaran. Sudahlah, hutang-hutangmu sudah lunas dan kita jangan membuat hutang-hutang lagi, Nona." Hay Hay lalu mengambil buntalan pakaiannya, akan tetapi tiba-tiba dia meloncat dengan elakan yang amat cepat karena pada saat itu ada angin pukulan yang panas dan kuat sekali menyambar ke arahnya, dibarengi bentakan nona itu.


"Heiiiitttt……! !"

"Brakkk…..!" Batu yang tadi diduduki Hay Hay pecah berantakan ujungnya terkena pukulan tangan gadis yang lihai itu. Debu mengepul dan Hay Hay terbelalak. Gadis itu memukul sungguh-sungguh! Kalau dia tidak cepat mengelak dan kena pukulan seampuh itu tentu dia akan celaka, mungkin tewas atau paling tidak terluka parah. Sungguh seorang gadis yang cantik jelita, manis, lihai akan tetapi ganas bukan main!


"Eh-eh, tahan dulu, Nona! Bagaimana sih engkau ini? Engkau merasa bersalah dan berhutang kepadaku, kenapa membayarnya bahkan dengan penambahan hutang yang lebih besar lagi? Bagaimana kalau sampai aku kena pukulanmu dan mati?"


"Berarti aku tidak hutang lagi kepadamu. Tidak ada orang berhutang kepada orang yang sudah mati."

Kalau saja nona itu tidak bicara sambil merengut, tentu Hay Hay akan menganggapnya main-main atau kelakar.


“Lalu bagaimana kalau sampai aku tidak dapat kaukalahkan?" Hay Hay menyelidik.


"Kalau aku yang mati, berarti hutangku juga lunas. Tidak ada orang mati mempunyai hutang kepada siapapun juga!"


Wah, pikir Hay Hay. Gadis ini bicara serius, akan tetapi ucapannya sungguh bocengli (tidak pantas)! Mana ada orang merasa bersalah dianggap hutang dan pembayarannya harus saling membunuh? Diam-diam dia memandang penuh perhatian. Seorang gadis yang benar-benar amat cantik, dan usianya tentu tidak berselisih banyak dengan usianya sendiri.


"Kau aneh, Nona."


"Sudahlah, aku tidak ingin mendengar pendapatmu tentang diriku. Hayo bersiap, kita lanjutkan penyelesaian hutang-pihutang ini!" Bi Lian sudah siap lagi untuk melakukan penyerangan. Kuda-kudanya amat indah akan tetapi aneh, kaki kanan berdiri tegak lurus di atas jari-jari kaki-kaki kiri ditekuk seperti kaki burung, tangan kanan diacungkan tinggi ke atas kepala, tangan kiri menyembah di dada, leher dimiringkan dan napas ditahan! Agaknya gadis itu sudah siap untuk melancarkan pukulan maut yang aneh lagi!


"Nanti dulu...! Nanti dulu, Nona." Hay Hay berkata cepat-cepat mendahului agar nona itu tidak keburu menyerang.


"Ada apa lagi? Cerewet benar engkau!" nona itu mengomel.


"Sebelum aku kaupukul mati, aku berhak untuk tahu siapa yang hutang kepadaku dan membayarnya dengan pukulan maut. Atau, menurut engkau, aturannya tidak boleh memperkenalkan nama dan sembunyi-sembunyi saja?"



"Huh!" Bi Lian mendengus melalui hidungnya. "Siapa sembunyi? Kaukira aku takut mempertanggungjawabkan? Namaku adalah Cu Bi Lian…."


"Nama yang amat indah dan cantik, seperti pemiliknya…."


"Aku tidak butuh pujianmu!"


"Aku tidak memuji, melainkan terus terang saja. Engkau sungguh cantik jelita, memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, dan memiliki nama yang indah. Bi Lian (Teratai Cantik), sungguh nama yang hebat. Sayang sekali….."


"Apa sayang?" Bi Lian cepat memotong dan diam-diam Hay Hay tersenyum di dalam hatinya. Bagaimanapun juga, gadis ini tetap seorang wanita yang wajar dan ingin sekali mendengar pujian, pantang mendengarkan celaan, maka cepat-cepat gadis itu bertanya ketika dia berkata sayang.

Hay Hay cukup cerdik untuk tidak mengucapkan celaannya. Di dalam hatinya dia berkata sayang bahwa gadis yang cantik dan lihai itu berperangai ganas dan kejam, akan tetapi mulutnya tidak mengatakan demikian. Belum pernah dia mencela seorang wanita, baginya wanita hanya pantas dipuji, tidak layak dicela!


"Sayang kalau aku mati olehmu, aku tidak lagi dapat menikmati kecantikanmu, dan engkau tidak lagi ada yang memuji."


"Sudahlah, jangan cerewet. Siap menghadapi seranganku!" kata Bi Lian dan Hay Hay melihat betapa wajah ltu tidak beringas lagi seperti tadi, melainkan menjadi manis karena ada senyum puas membayang di bibir yang merah membasah itu.


"Nanti dulu, nanti dulu! Aku sudah mengenal namamu, akan tetapi engkau belum mengenal namaku, Nona Cu Bi Lian yang cantik."


"Namamu... Kakak Hay, aku sudah tahu! Engkau perayu dan mata keranjang, gila perempuan. Itu saja! Nah, sambutlah ini!" Dan ia pun sudah menerjang lagi dengan hebatnya tanpa memberi kesempatan kepada Hay Hay untuk banyak cakap lagi!


“Haiiiittt…..!"

Serangan itu demikian ganas sehingga untuk menghindarkan diri, Hay Hay menjatuhkan diri di atas tanah dan bergulingan menjauh, melompat berdiri lagi. "Nanti dulu, kurasa engkau telah berbohong kepadaku, Nona!"


Bi Lian yang sudah siap mengirim serangan susulan, mengerutkan alisnya dan matanya mengeluarkan sinar berapi. "Apa? Kau bilang aku berbohong kepadamu? Untuk tuduhan itu saja engkau harus membayar nyawa!"


"Hutang lagi! Wah, engkau berbakat menjadi tukang kredit, Nona."


"Apa tukang kredit?"


"Itu, orang yang melepas uang dengan bunga, hutang-pihutang! Aku mengatakan bohong tentang namamu. Kau pernah mengaku bahwa engkau Dewi, sekarang engkau mengaku bernama Cu Bi Lian, nama seorang gadis, seorang manusia biasa. Nah, mana yang benar?" Hay Hay memang sengaja Cari-Cari urusan saja sebagai bahan untuk dibicarakan agar nona itu tidak menyerangnya. Dia khawatir juga melihat betapa serangan nona itu semakin lama semakin ganas dan berbahaya.


"Siapa berbohong! Namaku memang Cu Bi Lian dan julukanku Thiat-sim Sian-li ! "


"Dewi Berhati Besi? Wah-wah-wah, ini namanya langit bertemu bumi!"


"Apa lagi itu? Mana mungkin langit bertemu bumi!"


Hay Hay tersenyum, senang telah dapat memancing nona itu bercakap-cakap. "Memang tidak mungkin, sama tidak mungkinnya dengan julukanmu, Nona. Dengar baik-baik, seorang Sian-li (Dewi) sudah pasti mempunyai hati yang lembut, penuh belas kasihan, penuh cinta kasih terhadap sesamanya. Sebaliknya, yang pantas memiliki hati besi hanyalah iblis-iblis dan setan-setan, yang kejam, ganas dan suka membunuh orang tanpa salah. Dewi-dewi biasanya berwajah cantik-cantik, lemah lembut dan bijaksana, sedangkan iblis dan setan bertampang buruk, berwatak kasar dan keras. Nah, jelas bahwa tidak mungkin ada dewi berhati besi, bukan?"

“Peduli apa kau dengan keadaanku? Aku boleh berhati besi, berhati baja, berhati batu, atau berhati apa saja, sesukaku. Tidak ada sangkut-pautnya dengan engkau!"


"Memang, seribu prosen hakmu sendiri untuk memakai hati dari apa, Cu-lihiap (Pendekar Wanita Cu). Nah, pantas sekali sebutan Cu-lihiap untukmu, bukan? Memang engkau jauh lebih pantas menjadi seorang pendekar wanita daripada…..”


"Daripada apa?” Cepat Bi Lian mendesak karena Hay Hay berhenti bicara. Pemuda ini kembali mengelak, berjaga-jaga agar jangan sampai menyinggung hati gadis itu dengan celaan.


"Engkau adalah seorang pendekar wanita. Nah, menjadi pendekar wanita lebih baik daripada jika seandainya engkau menjadi tokoh sesat yang jahat sekali, bukan?"


Kini Bi Lian agaknya sadar bahwa sejak tadi ia tidak diberi kesempatan untuk menyerang, bahkan terseret ke dalam serangkaian percakapan dengan pemuda ini! Marahlah gadis ini dan ia membentak. "Cukup sudah! Cerewet benar kau! Bersiaplah karena aku segera akan menyerangmu untuk menyelesaikan perhitungan!"



Hay Hay merasa kecewa bahwa dia tidak berhasil melembutkan hati yang keras itu. Pantas julukannya Dewi Berhati Besi, pikirnya. Akan tetapi dia masih mencoba juga. "Nanti dulu, Lihiap. Apakah aku tidak dapat membayar lunas... eh, siapa yang berhutang tadi? Engkau atau aku? Tidak peduli siapa yang berhutang dan siapa yang membayar, apakah tidak ada cara lain untuk melunasi hutang? Apakah aku sudah begini tidak berguna sehingga engkau hendak membunuhku? Ingat baik-baik, Nona cantik dan gagah perkasa. Mungkin orang macam aku ini masih ada juga gunanya selain untuk dijadikan pembayar hutang dan dibunuh."


Tentu saja Hay Hay mengeluarkan kata-kata ini hanya sekedar memperpanjang waktu dan mengalihkan perhatian gadis itu dari kehendaknya yang ingin menyerangnya maka tentu saja dia tidak mengharapkan tanggapan yang serius. Bahkan ucapannya itu seperti kelakar saja. Maka tentu saja terheran-heran ketika gadis itu menanggapinya dengan serius!


Sepasang mata itu memandang penuh selidik. Dan kini suaranya tidak seketus tadi, melainkan penuh harap. "Kalau engkau dapat membantuku dengan keterangan yang berguna, mungkin aku akan menganggap lunas perhitungan antara kita tanpa mengajakmu bertanding."


Wajah Hay Hay yang tadinya terkejut dan heran itu berubah girang sekali. Dengan senyum ramah dia cepat bertanya. "Keterangan apakah itu, Lihiap? Tentu aku akan suka sekali membantumu kalau memang aku dapat."


"Aku mencari dua pasang suami isteri, mudah-mudahan engkau mengenal mereka dan tahu di mana mereka berada."


"Siapakah mereka, Nona?"


"Mereka adalah Lam-hai Siang-mo dan suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan."


Tentu saja Hay Hay merasa terkejut bukan main dan biarpun dia memiliki batin yang cukup kuat dan tidak mudah terkejut, sekali ini kekagetan itu nampak pada pandang matanya yang melebar.

"Kau kenal mereka? Di mana mereka? Aku mencari-cari mereka!"


Tentu saja Hay Hay mengenal dua pasang suami isteri itu! Lam-hai Siang-mo adalah Siangkoan Leng dan Ma Kim yang pernah dipanggilnya ayah dan ibu selama bertahun-tahun, sejak dia masih bayi! Dan suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan adalah suami isteri yang hendak merampasnya dari tangan orang-orang yang tadinya dianggap sebagai ayah ibunya itu.

"Kenapa engkau mencari dua pasang suami isteri itu?"


"Aku hendak membunuh mereka!"


Kembali Hay Hay terkejut, akan tetapi diam-diam hatinya girang juga. Jawaban gadis itu menunjukkan bahwa ia bermusuhan dengan dua pasang suami isteri yang terkenal amat kejam dan jahat itu. Dan hal ini berarti bahwa gadis ini ternyata bukan dari golongan sesat!

"Nona Cu Bi Lian yang baik, mengapa engkau hendak membunuh dua pasang suami isteri itu?t'

"Cerewet benar kau!" Gadis itu membentak dengan mata melotot. "Katakan saja, engkau mengenal mereka atau tidak? Tak perlu engkau mencampuri urusanku dan jangan kau membohong!"

Hay Hay mengangguk. "Aku kenal mereka, mengenal dengan baik sekali." katanya terus terang dengan sikap tenang.


Mendengar ini, Bi Lian menjadi girang sekali dan wajahnya nampak berseri, membuat Hay Hay bengong saking kagum dan melihat wajah yang demikian cantik dan manisnya.


"Wah, bukan main...!" Dia mengeluarkan pujian tanpa disadarinya lagi, matanya menatap wajah yang berseri itu penuh kagum. Bagaimana dia tidak akan kagum melihat betapa kedua pipi itu, tepat di bagian tulang menonjol di bawah kedua mata kini nampak kemerahan, mata itu bersinar-sinar bening, mulut yang bibirnya merah membasah itu tersenyum simpul.


"Apanya yang bukan main?" Bi Lian membentak, mengerutkan alisnya karena pandang mata pemuda itu demikian tajam dan ia pun mengenal bayangan kagum mata laki-laki seperti yang sering ia lihat kalau ia bertemu dengan kaum pria.


"Wajahmu itu, hemmm... cantik bukan main, Nona." kata pula Hay Hay terus terang. Sepasang mata itu terbelalak. Bermacam perasaan mengaduk di hati Bi Lian. Girang, bangga, akan tetapi juga marah dan kemarahanlah yang paling besar. Harus ia akui bahwa banyak ia menerima pujian kaum pria, baik melalui pandang mata atau pun melalui kata-kata, akan tetapi selalu laki-laki yang memujinya itu mempunyai pandang mata yang kurang ajar dan penuh nafsu, dan pujiannya merupakan rayuan. Akan tetapi, pemuda ini, yang dalam pertemuan pertama sudah memujinya, memandang dengan kekaguman yang terbuka, yang tidak menyembunyikan pandang mata kurang ajar, dan yang begitu terus terang dan jujur sehingga membuat dia tersipu.


"Simpan rayuanmu, manusia mata keranjang. Atau, sekali lagi aku akan menampar mukamu. Jangan pringas-pringis seperti monyet! Hayo katakan, di mana mereka?"


Hay Hay masih terpesona. Perubahan wajah gadis itu, dari keadaan berseri girang menjadi marah-marah, bahkan menambah kemanisannya. Bentakan itu membuat dia sadar dan dia pun menjawab bingung, "Mereka siapa?"


"Keparat, jangan kau mempermainkan aku!" Bi Lian membentak, taangannya membuat gerakan seperti hendak menampar. "Tentu saja dua pasang suami isteri itu! Sudah lama aku mencari mereka. Di mana mereka?"


Hay Hay menggeleng kepalanya, "Aku tidak tahu."


"Bohong!" Bi Lian membentak, kecewa dan marah sekali. "Engkau pembohong besar!"



Hay Hay kini mengerutkan alisnya dan memandang tajam. Sukar baginya untuk marah kepada seorang gadis secantik ini, akan tetapi sudah dua kali dalam waktu sehari saja dia dimaki sebagai pembohong oleh gadis ini. Pertama ketika dia menyangkal tuduhan pemerkosa dan pembunuh malam tadi, gadis itu pun memakinya pembohong sehingga dia dikeroyok banyak orang. Dan sekarang dia dimaki pembohong lagi, untuk kedua kalinya.


"Nona Cu Bi Lian, engkau sungguh keterlaluan memandang rendah dan memaki orang. Kalau sikapmu seperti itu, andaikata aku tahu juga di mana adanya dua pasang suami isteri itu, agaknya aku akan merasa enggan untuk memberi tahu kepadamu."


"Hemm, kaukira aku tidak akan dapat memaksamu rnembuka mulut kalau engkau tahu di mana mereka berada?"


Panas juga rasa perut Hay Hay mendengar kecongkakan gadis itu. Dia tahu bahwa gadis itu lihai, akan tetapi bukan karena takut kalau dia selalu bersikap mengalah, melainkan berat rasa hatinya kalau harus bermusuhan dengan wanita cantik. Jauh lebih baik, lebih enak dan menyenangkan untuk bersahabat dengan mereka daripada memusuhi mereka! Akan tetapi sikap Bi Lian yang terlalu memandang rendah, membuat dia merasa mendongkol juga. Selain itu, di tempat yang sunyi ini, di mana tidak terdapat orang lain yang menjadi saksi, apa salahnya kalau dia menguji kemampuan gadis ini? Dia ingin sekali tahu sampai di mana kehebatan gadis bernama Cu Bi Lian ini sehingga ia bersikap demikian angkuh.


“Aha, aku juga ingin sekali melihat bagaimana engkau akan dapat memaksaku."


"Dengan ini!" Dan Bi Lian sudah menerjang dengan pukulan yang amat hebat, kedua telapak tangannya mengeluarkan uap yang panas dan gerakannya cepat bukan main sampai sukar diikuti pandang mata, tahu-tahu tangan kanannya sudah mencengkeram ke arah muka Hay Hay sedangkan tangan kiri dengan jari terbuka telah menotok ke arah ulu hati. Sungguh merupakan serangan dahsyat yang amat kejam dan ganas sekali!


“Eiiihhh ……!” Hay Hay cepat meloncat ke belakang, mengelak dengan cepat sambil siap untuk melindungi tubuhnya. Dan memang hal ini penting sekali karena lengan tangan kiri yang menotok ulu hati itu ternyata dapat mengejarnya, mulur sampai panjang dan terus saja melanjutkan totokannya dengan cepat bukan main.


"Dukkk!" Terpaksa Hay Hay menangkis dengan mengerahkan tenaganya sehingga tangan kiri yang menotoknya itu terpental.


Bi Lian menjadi marah. "Mampuslah!" Ia membentak dan kini ia sudah menyerang lagi, kakinya menendang dengan tendangan berantai sampai tujuh kali, dengan kaki kanan dan kiri, sementara itu, di antara tendangan-tendangan yang bertubi-tubi itu, kedua tangannya masih membantu kaki dengan serangan tamparan-tamparan jarak jauh yang amat ganas dan kuat sehingga angin pukulan itu saja yang mengandung hawa panas sudah akan dapat merobohkan lawan yang kurang kuat.


Betapapun cepat dan kuat gerakan Bi Lian dalam serangan-serangannya, namun yang dihadapinya sekali ini adalah seorang murid terkasih dari dua orang di antara Pat Sian (Delapan Dewa)! Tingkat kepandaian dua orang gurunya itu jauh melampaui tingkat kepandaian dua orang guru Bi Lian, yaitu dua orang di antara Empat Setan, maka tentu saja tidak rnengherankan kalau tingkat kepandaian Hay Hay juga lebih tinggi dibandingkan tingkat Bi Lian. Dia terkejut juga melihat kehebatan serangan-serangan gadis itu, namun dia tidak gugup. Dengan Ilmu Jiauw-pouw-poan-soan, yaitu langkah ajaib yang membuat tubuhnya berputar-putaran namun selalu dapat menghindarkan diri dari serangan lawan, dia berhasil membuat semua tendangan dan pukulan tangan Bi Lian mengenai angin kosong belaka. Dari See-thian Lama dia telah mewarisi ginkang istimewa, yang membuat tubuhnya dapat bergerak lebih cepat dari gerakan Bi Lian. Sampai belasan jurus gadis itu menyerang secara bertubi-tubi dan karena tidak satu pun serangannya mengenai sasaran, bahkan menyentuh baju pemuda itu pun tidak, Bi Lian menjadi semakin penasaran dan marah.


"Keparat, balaslah kalau engkau memang memiliki kepandaian!" Semakin Hay Hay mengalah, ia merasa semakin dipandang rendah dan dipermainkan.


"Baik, terimalah ini!" Hay Hay mulai membalas dengan tamparan ke arah pundak Bi Lian. Tamparan yang nampaknya perlahan saja. Akan tetapi Bi Lian tidak berani memandang rendah karena ia pun maklum bahwa pemuda ini, biarpun ugal-ugalan dan berlagak tolol, ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Ia pun cepat mengelak dan membalas dengan tusukan tangan miring ke arah lambung. Akan tetapi, Hay Hay membalikkan tangan yang menampar ke bawah, secara tak tersangka-sangka tangannya yang seperti kepala ular itu telah menyambar ke bawah dan dia berhasil menangkap pergelangan tangan gadis itu.


"He-heh…… !" Dia tertawa akan tetapi hanya sebentar karena bukan main kagetnya ketika tangan kedua dari gadis itu tahu-tahu telah menyambar ke arah mukanya, dengan telunjuk dan jari tengah menusuk ke arah mata!


"Eeiiiittt...! Aku belum mau menjadi buta!" katanya, terpaksa melepaskan tangkapan tangannya dan meloncat ke belakang. Bi Lian melihat betapa pergelangan tangannya yang dipegang tadi terdapat tanda bekas jari tangan dan ia pun menjadi marah bukan main.


Tiba-tiba dari mulutnya keluar suara melengking tinggi yang menggetarkan jantung Hay Hay. Pemuda ini terkejut bukan main ketika merasa betapa jantungnya terguncang dan tubuhnya menggigil mendengar suara melengking ini. Tahulah dia bahwa gadis itu mempergunakan semacam ho-kang (ilmu khikang yang dilancarkan melalui suara) yang amat kuat. Ilmu seperti ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki sin-kang dan khikang yang amat kuat, seperti binatang harimau dan singa yang mampu melumpuhkan lawan hanya dengan gerengannya saja!. Maka dia pun cepat menahan napas mengerahkan sin-kangnya, lalu dia pun tertawa bergelak-gelak. Dari suara ketawanya ini keluar gelombang suara yang kuat, menahan gelombang suara lengkingan yang dikeluarkan Bi Lian.



Pada saat itu, Bi Lian, tanpa menghentikan lengkingannya, sudah menerjang lagi, kini pukulannya yang dilakukan dari kanan kiri, menampar-nampar ke arah kepala sampai ke pinggang, diselingi tendangan-tendangan maut yang amat cepat. Melihat ini, Hay Hay juga cepat mengeluarkan langkah ajaibnya, mengelak dan membalas serangan Bi Lian. Ketika tangan kanan Bi Lian yang menyambar pelipisnya dapat dielakkan, otomatis tangannya menotok ke arah leher gadis itu sambil tangan kirinya menangkis datangnya tendangan. Tangkisan tendangan itu membuat tubuh Bi Lian terguling dan Hay Hay merasa terkejut dan menyesal sekali. Tak disangkanya bahwa tangkisannya itu mempergunakan tenaga terlampau kuat sehingga dia membuat gadis itu terpelanting. Dia cepat membungkuk untuk membantu gadis itu bangun kembali, akan tetapi tiba-tiba kaki kiri gadis itu menyambar dari bawah dalam posisi terpelanting tadi.

Hay Hay terkejut. Baru tahulah dia bahwa gadis itu bukan terpelanting sungguh-sungguh, melainkan hanya pancingan saja. Tendangan yang demikian cepatnya menyambar selagi tubuhnya membungkuk untuk menolong, maka tak sempat lagi ditangkis atau dielakkan. Segera dia mengerahkan sinkang ke arah pinggangnya yang disambar tendangan itu.


"Bukkk...!" Dan tubuh Hay Hay terlempar sampai tiga meter, jatuh bergulingan, namun dia tidak terluka. Gadis itu seperti menendang sebuah bola karet saja yang terisi angin! Semua gerakan kedua orang tadi amat cepat tak dapat diikuti oleh pandangan mata orang biasa, dan mereka pun bergerak hanya mengandalkan kecepatan yang melebihi perhitungan pikiran. Gerakan yang sudah mendarah daging dan semuanya serba otomatis, baik menyerang, menangkis atau mengelak. Kepekaan syaraf yang memegang peran. Gerakan reflex yang merupakan reaksi daripada semua otot dan syaraf di dalam tubuh dan seringkali di luar kecepatan perhitungan pikiran.

"Heh-heh-heh!" Hay Hay bangkit dan mengebut-ngebut pakaiannya yang terkena debu. "Terima kasih, tendanganmu lumayan, lunak membuat pegal-pegal di pinggangku lenyap seketika."


Hay Hay hanya bergurau, akan tetapi Bi Lian menjadi semakin marah karena ia menganggap pemuda itu mengejeknya. "Singgg….. !" Tiba-tiba tangan gadis itu sudah memegang sebatang pedang! Hay Hay terkejut. Gadis itu tidak kelihatan membawa pedang, akan tetapi kini tahu-tahu memegang sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya, seperti main sulap saja. Dia dapat menduga bahwa tentu pedang di tangan gadis itu sebatang pedang tipis yang dapat digulung, terbuat dari baja yang amat baik dan pedang seperti itu amat berbahaya dan tajam.

"Aihhh, nanti dulu, Nona Cu Bi Lian. Kenapa engkau mengeluarkan senjata? Apakah untuk urusan kecil ini saja engkau benar-benar bermaksud untuk membunuh aku? Kita baru saja berkenalan, tidak ada hal-hal yang pantas dijadikan alasan bagimu untuk membunuhku."

"Tak perlu banyak cakap lagi. Keluarkan senjatamu dan mari kita lanjutkan perkelahian ini. Kita berdua bukan anak-anak kecil lagi, sama-sama memiliki ilmu silat, dan mari kita bertanding untuk menentukan siapa yang lebih unggul!" kata Bi Lian, masih merasa penasaran sekali karena dalam perkelahian tadi, biarpun ia belum kalah, namun jauh untuk dapat dibilang ia menang. Dan sikap pemuda itu yang agaknya memandang ringan dan mengejeknya, sungguh membuat hatinya panas sekali. Tendangan tadi dikatakan lunak dan hanya dapat mengusir pegal-pegal!

Sebetulnya Hay Hay masih ingin untuk menguji kehebatan gadis itu bermain pedang. Namun, melihat betapa sepasang mata yang indah itu mencorong penuh dengan kemarahan, dia tahu bahwa dia tidak boleh mendesak terlalu jauh, karena salah-salah hal ini hanya akan menumbuhkan kebencian dalam hati gadis itu terhadap dirinya. Dan dibenci oleh gadis sejelita itu, wah, dia merasa keberatan sekali.


"Nona yang baik ……"


"Sudah, tak perlu lagi merayu. Aku bukan Nona yang baik!" Bi Lian memotong.


Hay Hay mengembangkan kedua lengan, mengangkat pundak. "Habis, apakah aku harus menyebut Nona yang jelek! Padahal engkau sama sekali tidak jelek, sama sekali tidak jahat. Nona yang baik, apakah engkau tidak merasa malu untuk menjilat ludah sendiri yang sudah dikeluarkan?"

Bi Lian mengerutkan alisnya. "Apa? Jangan bicara yang bukan-bukan engkau!"


"Nona tadi sudah mengatakan bahwa kalau aku dapat memberi keterangan tentang dua pasang suami isteri, maka Nona tidak akan mengajakku bertanding lagi. Dan aku sudah memberi keterangan bahwa aku mengenal mereka. Kenapa Nona hendak mengingkari janji sendiri? Bukankah itu berarti menjilat kembali ludah sendiri yang sudah dikeluarkan?"


"Tidak ada yang menjilat ludah, tidak ada yang melanggar janji! Engkau hanya mengatakan kenal saja, akan tetapi tidak tahu mereka tinggal di mana. Keterangan macam apa itu? Tidak ada harganya sekeping pun!"


Hay Hay mengangguk-angguk. "Kalau aku mengetahui di mana biasanya mereka itu tinggal, apakah Nona sudah menganggap lunas perhitungan antara kita dan tidak akan memaksaku bertanding lagi?"


Timbul harapan di hati Bi Lian. Memang ia ingin sekali menghajar laki-laki yang membuatnya jengkel itu. Akan tetapi kini ia pun sudah tahu bahwa Hay Hay lihai sekali, agaknya tidak akan mudah baginya untuk dapat menangkan pemuda itu. Ia tidak takut menghadapinya, bahkan merasa penasaran dan ingin sekali mengalahkannya, akan tetapi ia lebih membutuhkan keterangan tentang dua pasang suami isteri yang menjadi musuh besarnya itu. Sudah lama sekali ia mencari tanpa hasil dan kini ia bertemu dengan orang yang mengenal mereka dan tahu di mana biasanya mereka tinggal. Kalau ia hanya menurutkan kemarahan hatinya dan kehilangan kesempatan baik ini untuk mengetahui tempat tinggal musuh-musuhnya, sungguh ia rugi sekali.


"Baik, kuberi kesempatan sekali lagi. Katakan di mana mereka berada dan aku akan segera pergi meninggalkanmu, tidak rnemaksamu untuk bertanding." katanya, akan tetapi ia masih memegang pedangnya. "Kalau engkau merayu dan membohong sekali lagi, pedangku tentu akan memenggal batang lehermu!"



Hay Hay memanjangkan lehernya dan menggunakan kedua tangan mengulur lehernya sambil menjulurkan lidah, kelihatan merasa ngeri. "Wah, kalau sampai putus, bagaimana menyambungnya kembali? Nah, dengarlah baik-baik, Nona. Lam-hai Siang-mo adalah suami isteri yang bernama Siangkoan Leng dan Ma Kim Li. Mereka dulu tinggal di kota Nan-king sebagai pedagang obat. Mungkin Nona dapat mencari mereka di Nan-king atau di daerah pantai selatan, karena sesuai dengan julukan mereka, tentu suka berkeliaran di pantai laut selatan. Ada pun suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan, bernama Kwee Siong dan isterinya Tong Ci Ki. Mereka pun merupakan tokoh-tokoh pantai selatan, tentu tidak akan sukar menemukan dua pasang suami isteri itu."


Girang rasa nati Bi Lian mendengar keterangan ini. Biarpun belum ada kepastian di mana tempat tinggal dua pasang suami isteri itu, setidaknya ia telah memperoleh pegangan dan dapat mencari jejak mereka.


"Keteranganmu cukup dan hari ini kau kubebaskan. Akan tetapi kalau sampai keteranganmu ini bohong, lain hari aku akan mencarimu dan akan membuat perhitungan sampai lunas!" Setelah berkata demikian, gadis itu meloncat dan berlari dengan cepat sekali sehingga sebentar saja lenyap dari pandang mata Hay Hay.


“Uhhhhh …….!" Hay Hay menarik napas lega. Seorang gadis yang bukan main! Dia merasa semakin kagum. Cu Bi Lian itu bukan saja cantik jelita dan manis, akan tetapi juga memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Sayang, ilmu silatnya memiliki sifat yang ganas, liar dan kejam, banyak gerakan-gerakan yang curang dan hanya dimiliki oleh orang-orang dari golongan sesat. Sayang dia tidak dapat mengetahui keadaan gadis itu lebih banyak, murid siapa, anak siapa dan dari golongan mana. Biarpun melihat wataknya yang ganas dan keras, juga ilmu silatnya menunjukkan bahwa gadis itu agaknya mempelajari ilmu silat tinggi dari kaum sesat, namun kenyataan bahwa gadis itu memusuhi dua pasang suami isteri iblis, melegakan hati Hay Hay. Memusuhi golongan sesat hanya berarti bahwa gadis itu sendiri bukan dari golongan sesat! Mudah-mudahan demikian, pikirnya sambil menarik napas panjang, teringat akan keganasan gadis itu yang hendak membunuhnya!


**
"'Han Siong, kini tibalah saatnya engkau harus pergi meninggalkan kuil ini dan memenuhi harapan yang selama ini terkandung di dalam hati kami. Tentu engkau mengerti akan isi hati kami dan tahu apa yang kami harapkan darimu, muridku."


Han Siong menundukkan mukanya dan mengangguk. Pemuda ini berlutut di depan suhu dan subonya. Siangkoan Ci Kang, laki-laki tinggi tegap yang gagah perkasa dan lengan kirinya buntung sebatas siku, kini telah berusia empat puluh tahun. Usia yang belum tua benar, namun wajahnya yang tampan dan dingin itu penuh dengan garis-garis keprihatinan. Pendekar ini sejak muda memang bernasib buruk, karena sebagai putera seorang datuk sesat yang amat kejam, dia memiliki watak gagah perkasa dan seringkali bertentangan dengan mendiang ayahnya. Kemudian pemuda ini pun gagal dalam cintanya, dan biarpun akhirnya dia bertemu dengan Toan Hui Cu yang senasib sehingga keduanya saling tertarik dan saling jatuh cinta, namun penderitaan hidupnya tidaklah berakhir. Bahkan, bersama Toan Hui Cu yang telah menjadi isterinya tanpa pernikahan, dia harus menjalani hukuman dua puluh tahun! Bukan hanya itu, puteri mereka satu-satunya,yang mereka titipkan kepada keluarga Cu di dusun, telah lenyap diculik orang! Mereka berdua tidak berdaya, tidak mampu melakukan pencarian karena mereka belum selesai menjalani hukuman. Kini dia duduk bersila, berdampingan dengan Toan Hui Cu yang kini usianya sudah tiga puluh sembilan tahun. Wanita ini pun nampak dingin dan mukanya agak pucat, pembawaannya anggun dan angkuh.


"Teecu (murid) mengerti apa yang diharapkan Suhu dan Subo. Teecu akan segera pergi mencari adik Siangkoan Bi Lian." jawab Han Siong dengan tegas karena memang dia ingin memegang janjinya, ingin membalas kebaikan suhu dan subonya dengan mencari puteri mereka sampai dapat. "Teecu hanya akan kembali ke sini menghadap Suhu dan Subo kalau teecu sudah berhasil menemukan Adik Bi Lian, dah tidak akan kembali kalau belum berhasil."


"Han Siong, engkau tentu tahu bahwa aku akan menanti kembalimu siang malam dengan hati yang penuh harapan." Toan Hui Cu bicara, suaranya penuh dengan keharuan walaupun wajahnya tetap dingin. "Carilah anakku sampai dapat, dan engkau hati-hatilah, muridku. Engkau sudah sering kami ceritakan tentang tokoh-tokoh di dunia persilatan dan ketahuilah bahwa selain mereka yang kami kenal dan sudah kami ceritakan kepadamu, masih banyak lagi orang pandai di dunia ini."


"Teecu akan selalu mengingat nasihat Subo dan Suhu." jawab Han Siong.


"Kami tahu bahwa tidak akan mudah mencari Bi Lian, karena tidak ada jejak ditinggalkan anak itu. Akan tetapi mengingat bahwa lenyapnya bersamaan dengan keributan yang terjadi di dusun, kabarnya ada manusia-manusia iblis yang berkelahi di sana, maka carilah ia diantara tokoh -tokoh dan kaum sesat..” Siangkoan Ci Kang menambahkan, "Selain itu, Han Siong, ada satu hal yang penting lagi yang telah kami ambil menjadi keputusan hati kami berdua. Kami hanya mengharapkan bahwa engkau tidak akan menolak apa yang menjadi keinginan hati kami ini." Gurunya itu berhenti dan agaknya merasa sukar untuk melanjutkan kata-katanya. Ketika Han Siong menengadah dan memandang mereka, dia melihat suhu dan subonya saling pandang dengan khawatir .


"Han Siong, selama ini engkau sudah seperti anak kami sendiri, bukan? Maka, kurasa engkau tidak akan menolak keinginan kami..." kata pula subonya, akan tetapi wanita itu juga tidak melanjutkan kata-katanya.


"Suhu dan Subo, apakah yang menjadi keinginan hati Ji-wi? Katakanlah, teecu pasti akan memenuhi keinginan Suhu dan Subo yang telah melimpahkan budi selama ini terhadap diri teecu. Katakanlah, Suhu."



Siangkoan Ci Kang menarik napas panjang, lalu berkata, "Hukuman kami masih tinggal dua tahun lagi, Han Siong. Setelah itu baru kami akan meninggalkan kuil ini dan pergi sendiri mencari anak kami. Kami telah mengambil keputusan untuk... menjodohkan Bi Lian denganmu, Han Siong. Karena itu, dalam waktu dua tahun, sebelum kami meninggalkan kuil, kami harap engkau suka datang untuk melaporkan hasil penyelidikanmu mengenai puteri kami."



Bukan main kagetnya hati Han Siong mendengar ucapan kedua gurunya itu.Dia dijodohkan dengan puteri gurunya? Melihat pun belum pernah puteri gurunya itu! Di lubuk hatinya timbul perasaan menentang karena dia sama sekali tidak pernah berpikir tentang perjodohan. Akan tetapi bagaimana mungkin dia akan menolak keinginan hati suhu dan subonya? Dia hanya menundukkan mukanya dan sampai lama tidak mampu menjawab. Melihat keraguan muridnya ini, suami isteri yang sakti itu saling pandang kemudian Toan Hui Cu mengerutkan alisnya bertanya. "Bagaimana, Han Siong. Maukah engkau menerima keinginan kami untuk menjadi calon jodoh anak kami Bi Lian?"


Melihat isterinya mendesak, Siangkoan Ci Kang cepat menyambung. "Han Siong, kami tahu bahwa perjodohan adalah satu di antara peristiwa yang ditentukan oleh Thian (Tuhan). Seperti kami katakan tadi, kami berdua melihat betapa baiknya kalau Bi Lian berjodoh denganmu, dan hal itu merupakan keinginan hati kami saja. Akan tetapi keputusannya kelak, terserah kepada kehendak Thian. Engkau perlu mengetahui saja bahwa kami ingin sekali menjodohkan Bi Lan denganmu, kami sama sekali tidak memaksa dan biarlah kita bicarakan lagi urusan perjoohan ini kalau engkau atau kami sudah berhasil menemukan kembali Bi Lian."


Lega rasa hati Han Siong mendengar ucapan suhunya itu. Dia tidak ingin mengecewakan hati kedua orang gurunya dengan penolakan. Akan tetapi bagaimana mungkin dia, menerima begitu saja uluran tangan untuk berjodoh, tanpa lebih dulu melihat bagaimana keadaan orang yang akan dijadikan jodohnya, dan tanpa bertanya pula kepada pihak keluarganya? Ucapan suhunya membuat hatinya terasa lega dan cepat-cepat dia memberi hormat dan berkata.


"Suhu dan Subo, teecu selalu mentaati semua perintah Suhu dan Subo. Teecu rasa yang paling penting sekarang ini adalah lebih dulu menemukan Adik Bi Lian."


Suami isteri itu kembali saling pandang dan keduanya merasa lega juga. Bagaimanapun, murid mereka itu tidak menolak. Mereka lalu mempergunakan waktu semalam itu untuk memberi nasihat-nasihat kepada Han Siong, juga menceritakan kepada murid mereka itu tentang keadaan di dunia kang-ouw, tentang banyaknya orang pandai yang berwatak palsu, curang dan jahat sekali. Juga mereka menceritakan tentang para pendekar yang gagah perkasa yang pernah mereka kenal.


Pada keesokan harinya, barulah Han Siong meninggalkan kamar di mana suhu dan subonya menjalani hukuman kurungan mereka. Malam tadi, untuk pertemuan dengan murid mereka, Toan Hui Cu meninggalkan kamarnya dan mereka bertiga berkumpul di dalam kamar Siangkoan Ci Kang, tanpa diketahui siapapun juga. Ketika murid mereka hendak pergi, Siangkoan Ci Kang menyerahkan sebatang pedang kepadanya sambil berkata dengan suara halus.


"Muridku, kauterimalah pedang ini dari kami. Pedang ini adalah Kwan-im-kiam (Pedang Kwan Im), cocok sekali untuk ilmu silat pedang Kwan-im Kiam-sut yang sudah kami ajarkan kepadamu. Pedang ini tadinya kami simpan untuk Bi Lian, dan sekarang kami serahkan kepadamu sebagai bekal untuk melindungi dirimu sendiri dari orang-orang jahat. Selain itu, juga untuk peringatan bagimu bahwa Suhu dan Subomu telah menyerahkan puteri mereka kepadamu …….." Sampai di sini Siangkoan Ci Kang terhenti dan dia memandang terharu.


Han Siong menerima pedang itu, pedang yang ringan dan pendek, lalu menyimpannya di dalam buntalan pakaiannya. Dia meninggalkan kamar renungan dosa atau kamar penebus dosa itu, diikuti pandang mata suhu dan subonya yang merasa kehilangan karena selama delapan tahun ini mereka menggembleng Han Siong seperti anak sendiri. Sejak Han Siong masih seorang anak laki-laki sampai kini menjadi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh tahun!


Pada keesokan harinya, Han Siong menghadap Ceng Hok Hwesio, ketua kuil itu yang kini telah menjadi seorang kakek yang tua sekali. Dengan usianya yang tujuh puluh tiga tahun, Ceng Hok Hwesio masih nampak gagah, tinggi besar bermuka hitam dan wataknya masih keras berdisiplin. Ketika Han Siong menghadap padanya untuk berpamit, hwesio ini mengangguk-angguk. Selama ini, Han Siong tinggal di kuil sebagai seorang kacung, namun karena pemuda ini titipan dari paman gurunya, Pek Khun, maka pemuda itu diperlakukan dengan sikap yang baik.


"Omitohud, betapa cepatnya waktu berlalu, Han Siong." kata Ceng Hok Hwesio ketika pemuda itu berlutut menghadapnya dan mengatakan bahwa hari itu juga dia hendak pergi meninggalkan kuil.

"Telah tiga belas tahun teecu berdiam di kuil ini dan telah menerima banyak kebaikan dari Suhu dan para Suhu di kuil ini. Teecu menghaturkan banyak terima kasih dan apabila selama ini teecu melakukan kesalahan-kesalahan, sudilah kiranya Suhu memberi maaf kepada teecu."


"Siancai...! Pinceng merasa bangga padamu, Han Siong. Walaupun engkau tidak menjadi hwesio, namun engkau telah mempelajari banyak tentang agama kita, mau memperhatikan tentang kebudayaan, filsafat dan pengertian tentang kehidupan. Dan walaupun engkau bukan murid Siauw-lim-pai, namun di sini engkau telah memperoleh ilmu silat yang pinceng tahu amat tinggi. Mudah-mudahan saja engkau pandai-pandai membawa diri di dalam dunia ramai dan tidak mengecewakan bahwa engkau telah pernah tinggal menggembleng diri di sini selama tiga belas tahun."

"Semua nasehat Suhu akan teecu perhatikan baik-baik."


"Ada satu hal penting yang perlu kauketahui, Han Siong. Tahukah engkau di mana adanya keluargamu?"

Han Siong menggelengkan kepalanya. "Justeru teecu ingin bertanya kepada Suhu di mana teecu dapat bertemu dengan kakek buyut Pek Khun yang dulu membawa teecu ke kuil ini."


Hwesio tua itu menarik napas panjang. "Aihhh pinceng sendiri tidak tahu di mana Pek Khun Susiok berada. Mungkin dia kembali ke Kun-lun-san. Akan tetapi menurut apa yang dipesannya kepada pinceng ketika dia menitipkan engkau di sini, setelah engkau dewasa, engkau diharuskan mencari keluargamu, yaitu keluarga Pek. Ayahmu adalah cucu Susiok Pek Khun. Ayahmu bernama Pek Kong, putera Ketua Pek-sim-pang yang berasal dari daerah Kong-goan di Propinsi Secuan. Nah, Engkau carilah keluargamu di sana, Han Siong."



Setelah menerima banyak petunjuk dari Ceng Hok Hwesio, berangkatlah Han Siong meninggalkan kuil itu. Tentu saja telah terjadi perubahan besar selama tiga belas tahun ini atas dirinya. Ketika dia datang bersama kakek buyutnya, dia hanya seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun yang belum tahu apa-apa, hanya memiliki dasar-dasar ilmu silat yang diajarkan oleh kakek buyutnya. Kini, dia telah menjadi seorang pemuda dewasa. Bukan saja luas pengetahuannya karena dia tekun mempelajari sastera dari kitab-kitab yang banyak terdapat di kuil itu. Akan tetapi juga dia telah digembleng secara tekun selama delapan tahun ini oleh suami isteri sakti Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Selain telah melatih diri dengan tiga belas jurus Pek-sim-kun yang merupakan inti dari ilmu silat perkumpulan Pek-sim-pang, juga dia telah digembleng oleh Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang memiliki bermacam-macam ilmu silat. Juga ilmu yang baru didapatkan oleh dua orang itu, yaitu ilmu Kwan-im Kiam-sut dan Kwan-im Sin-kun telah dipelajarinya dengan baik sekali. Selain semua ilmu silat itu, juga dari subonya, Toan Hui Cu, Han Siong telah pula mempelajari ilmu Hoat-sut atau sihir yang mempergunakan kekuatan hitam untuk menundukkan lawan! Hal ini tidaklah aneh karena Toan Hui Cu adalah puteri dari Raja dan Ratu Iblis yang selain tinggi sekali ilmu silatnya, juga merupakan datuk-datuk sesat.

Han Siong melakukan perjalanan cepat, menuju ke Secuan karena dia akan mencari keluarganya lebih dahulu sambil mendengarkan kalau-kalau ada jejak Bi Lian. Musim salju telah tiba dan di mana-mana hawanya dingin bukan main. Pohon-pohon yang sudah kehilangan daun-daunnya di musim rontok, kini dihias salju seperti kapas putih bersih, membuat pohon-pohon itu nampak seperti hiasan-hiasan yang indah.


Han Siong berjalan seorang diri melalui jalan yang tertutup salju. Hujan salju baru saja berhenti dan biarpun cuaca nampak sudah terang, namun dinginnya bukan kepalang. Han Siong mengenakan jubah yang cukup tebal, dan ini pun harus dibantu dengan pengerahan sinkang yang membuat tubuhnya terasa hangat. Nampak uap putih agak tebal keluar dari hldung dan mulutnya setiap kali dia menghembuskan napas. Pemuda ini telah menjadi seorang laki-laki dewasa yang tampan. Wajahnya yang berbentuk bulat itu memiliki kulit muka yang putih dan kedua pipinya membayangkan warna kemerahan yang sehat. Demikian pula bibirnya nampak merah tanda sehat. Alisnya lebat dan hitam, sepasang matanya yang agak sipit itu bersinar terang dan tajam lembut. Tubuhnya sedang dan tegap, kaki tangannya juga padat dan nampak kuat karena sejak kecil Han Siong melakukan segala macam pekerjaan yang kasar di dalam kuil, seperti menebang pohon, membelah kayu dan memikul air. Gerak-geriknya halus dan wajah itu anggun dan kemerahan bersinar dari pandang mata dan gerak bibirnya.


Han Siong adalah seorang pemuda yang sederhana. Pakaian yang menempel di tubuhnya adalah pakaian yang diterimanya dari pemberian Ceng Hok Hwesio, terbuat dari kain kasar berwarna putih dan kuning. Jubah tebal itu terbuat dari kapas, akan tetapi juga kasar, seperti yang dipakai oleh para hwesio kuil itu di musim salju. Buntalan pakaiannya hanya terisi beberapa potong pakaian dan juga pedang Kwan-im-kiam pemberian gurunya, dan sedikit uang perak yang berada di dalam buntalannya adalah pemberian Toan Hui Cu.


Hari telah menjelang senja ketika dia tiba di puncak bukit itu. Sebuah bukit gundul yang hanya ditumbuhi pohon-pohon yang kini sudah menjadi hiasan putih dari salju. Tempat itu nampak lengang dan dinginnya bukan kepalang. Han Siong memandang ke bawah, ke arah timur. Di lereng itu terdapat sebuah dusun, pikirnya girang. Di musim salju begini, dia harus mendapatkan rumah penduduk atau setidaknya guha atau tempat yang terlindung untuk melewatkan malam. Tidak seperti di musim lain, di mana dia dapat saja melewatkan malam di bawah pohon sambil membuat api unggun. Tersesat di tempat yang tidak terlindung dalam musim dingin seperti ini, amatlah berbahaya. Orang dapat mati kedinginan. Ketika Han Siong hendak menuruni bukit itu dengan cepat agar tidak sampai kemalaman tiba di dusun di lereng itu, tiba-tiba dia mendengar suara orang tertawa-tawa. Suara ketawa itu parau dan aneh, juga menyeramkan. Di tempat sunyi seperti itu, di mana hawa dingin membuat orang menggigil, bagaimana tiba-tiba saja terdengar suara orang tertawa-tawa? Han Siong merasa tertarik dan cepat dia menghampiri tempat dari mana datangnya suara itu, yaitu dari balik sebuah batu gunung. Ketika dia tiba di balik batu besar itu, Han Siong berdiri tertegun, bahkan matanya terbelalak memandang ke depan. Penglihatan di depan memang sungguh luar biasa sekali. Seorang kakek sukar ditaksir berapa usianya, berkepala gundul, berperut gendut sekali, sehingga tubuhnya nampak serba bulat, sedang membuat sebuah boneka salju! Hebatnya kakek yang tertawa-tawa itu bertelanjang dada, hanya memakai celana panjang saja, disambung sepatu rumput. Dalam hawa sedingih itu bertelanjang badan atas, sungguh merupakan hal yang luar biasa sekali. Apalagi masih sempat tertawa-tawa dah bermain-main seorang diri membuat boneka salju, tertawa dan membentuk boneka besar itu, sebesar dirinya, bahkan boneka itu pun menyerupai dirinya, seorang kakek gundul dengan perut gendut bukan main!


Biarpun Han Siong belum memiliki banyak pengalaman di dunia persilatan, namun melihat keadaan kakek gendut itu, dia dapat menduga bahwa tentu dia bertemu dengan seorang kakek yang sakti. Baru keadaannya setengah telanjang di antara salju itu saja sudah membuktikan akan kesaktiannya. Tanpa memiliki sin-kang yang luar biasa kuatnya, tidak mungkin orang dapat bertahan bermain-main dengan salju dengan tubuh atas telanjang. Dan masih dapat tertawa-tawa pula! Maka dia pun bermaksud untuk meninggalkan kakek itu, tidak ingin perjalanannya menuju ke dusun di bawah itu terganggu dan terlambat. Dia sudah memutar tubuh untuk pergi ketika terdengar suara dari belakangnya, suara yang parau dan nyaring.


“Heiii! ' Enak saja kau. Berhenti!"


Tentu saja Han Siong terkejut mendengar teguran yang tidak ramah, bahkan agak kasar ini. Dia tidak mau mencari urusan, maka dia pun membalik, memandang dengan wajah ramah penuh hormat.



"Maaf, saya tidak ingin mengganggu keasyikan Locianpwe." kata Han Siong, menyebut Locianpwe (Orang Tua Perkasa) dan bersikap hormat karena dia yakin bahwa kakek itu seorang sakti.

Sejenak kakek itu memandang penuh perhatian dan Han Siong melihat betapa sinar mata yang mencorong itu seolah-olah mendatangkan rasa hangat ketika menyoroti tubuhnya. Diam-diam ia bergidik.

"Orang muda, engkau datang melihat pekerjaanku tanpa diundang, maka kini engkau tidak boleh pergi begitu saja tanpa perkenanku!"


Han Siong terkejut, akan tetapi menahan sabar. Dia melihat kakek itu kini sudah melanjutkan pekerjaannya membuat boneka besar dari salju itu, agaknya sudah lupa kepadanya karena tidak mempedulikannya sama sekali. Han Siong berdiri saja menonton, tidak tahu harus berbuat apa, akan tetapi merasa lebih aman untuk tutup mulut untuk sementara ini. Jelas bahwa kakek ini berwatak kasar dan aneh, dan siapa tahu dia akan mendapat kesukaran kalau dia memaksa diri pergi meninggalkan kakek itu. Maka dia berdiri menonton, merasa betapa kedua kakinya hampir beku karena hawa dingin dari tanah berlapis salju itu seperti menembus sepatunya dan meresap masuk ke dalam kedua kaki melalui telapak kakinya. Terpaksa dia mengerahkan sin-kangnya ke arah kedua kaki, memaksa hawa dingin itu turun kembali dan karena pengerahan sinkang ini, maka uap putih mengepul tebal dari kepalanya.


Ada setengah jam Han Siong berdiri menonton. Dia pikir kalau kakek itu sudah selesai membuat boneka salju, tentu dia diperbolehkan pergi. Akan tetapi kakek itu masih terus memperbaiki boneka yang sudah selesai itu dan dia merasa betapa cuaca mulai agak gelap. Dia khawatir tidak akan dapat masuk ke dusun itu dalam waktu yang tepat, yaitu sebelum malam tiba.


"Locianpwe, maafkan saya. Saya harus pergi sekarang, khawatir kalau sampai kemalaman sebelum tiba di dusun bawah itu."


"Kemalaman atau tidak bukan urusanku. Engkau sudah datang dan melihat, sekarang katakan bagaimana dengan hasil seni ciptaanku ini, miripkah dengan aku, baguskah?"


Han Siong merasa mendongkol juga. Kakek ini selain kasar, juga mau enaknya sendiri saja, tidak menghormati dan menghargai keperluan orang lain. Dia mengamati boneka salju yang runtuh karena saljunya merekah atau terlepas, untuk menyatakan kedongkolan hatinya, dia menjawab. "Boneka salju itu tidak dapat dibilang bagus."


Mendengar jawaban ini, kakek gendut itu melotot memandang kepada Han Siong, kelihatan marah sekali. "Apa... ?" Dia berteriak. "Engkau tidak dapat menghargai hasil karya seniku yang hebat ini? Sungguh goblok, sungguh tolol, sungguh tidak berselera tinggi! Hasil karya seni yang begini hebat, timbul dari inspirasi murni, kaukatakan tidak bagus, hah?"


Melihat orang itu marah-marah, Han Siong terkejut. Dia tidak ingin membuat orang marah, apalagi kalau sampai terjadi pertengkaran, maka cepat dia berkata.


"Locianpwe, bagaimanapun juga, harus kuakui bahwa boneka salju buatan Locianpwe ini mirip sekali dengan Locianpwe." Dan pujian ini memang bukan kosong belaka. Memang boneka itu mirip sekali penciptanya, baik bentuk badannya, mukanya dan kepalanya.


Akan tetapi, betapa kaget hati Han Siong ketika dia melihat kakek itu kini menjadi semakin marah, membanting-banting kakinya dan menudingkan telunjuknya ke arah hidung Han Siong. "Bocah kemarin sore, kau berani menghina kakek-kakek macam aku ya? Dua kali engkau menghinaku. Pertama, engkau tidak menghargai karya seniku yang agung, dan ke dua, engkau samakan aku dengan sebuah boneka salju yang tidak bernyawa! Sungguh kurang ajar engkau, ya?"

Hamprr saja Han Siong tertawa. Kakek ini memang aneh dan mau enak sendiri, akan tetapi kemarahannya itu disebabkan oleh hal-hal yahg aneh dan tak masuk akal, seperti anak kecil saja. Maka timbullah kegembiraannya dalam usahanya untuk menyenangkan hati kakek itu. Dua kali dia salah omong, walaupun maksudnya baik untuk memuji. Pertama kali dia bicara sejujurnya diterima salah, kemudian untuk kedua kalinya dia bicara untuk menyenangkan hati dan memuji, diterima salah pula. Dia lalu mengerahkan tenaga batinnya seperti yang diajarkan oleh subonya, menunjuk ke arah boneka salju dan dengan suara yang halus namun mengandung wibawa untuk menguasai pikiraan orang, dia berkata, "Locianpwe, siapa bilang boneka salju itu tidak bernyawa? Lihat, dia pandai berjalan!"


Kakek itu menengok memandang dan benar saja, dia melihat betapa boneka salju buatannya tadi kini berjalan-jalan, dengan langkah satu-satu, lucu sekali! Han Siong telah mempergunakan kekuatan sihirnya, seperti yang dipelajarinya dari subonya, membuat boneka salju itu berjalan-jalan dalam pandang mata kakek yang kasar dan galak itu.


Kakek itu terbelalak, lalu sengaja berjalan di belakang boneka itu sambil tertawa-tawa ha-ha-he-he, sehingga nampaklah pemandangan yang lucu sekali. Sepasang kakek kembar, yang satu dari salju, yang satu manusia tulen, berbaris ke kanan-kiri hilir-mudik. Lucunya, kakek gendut bahkan kini memberi aba-aba. "Satu, dua, tu-wa, tu-wa …..!"


Melihat ini, Han Siong merasa geli akan tetapi juga kasihan, maka dia tersenyum lebar dan menghentikan ilmu sihirnya. Akan tetapi, kini dia terbelalak dan mukanya berubah karena dia terkejut bukan main dan merasa terheran-heran. Boneka salju itu tidak berhenti melangkah, melainkan masih terus melangkah dan kakek gendut itu masih mengikuti di belakangnya sambil berseru, "Tu-wa, tu-wa, tu-wa!" dan tertawa-tawa!


Tentu saja Han Siong merasa terkejut dan heran. Boneka salju itu tadi berjalan karena pengaruh sihirnya. Akan tetapi mengapa setetah dia menghentikan pengerahan tenaga sihirnya, boneka salju itu masih berjalan terus? Dia terbelalak memandang akan tetapi kakek gendut itu tetap tertawa bergelak, bahkan kini mengeluarkan kata -kata parau. "Ha-ha-ha-ha! Boneka salju ini dapat berjalan, bukan hanya berjalan bahkan dapat menyerang dan bermain-main dengan orang muda yang lancang, ha-ha!"



Kini boneka salju itu berjalan dengan langkah lebar menghampiri Han Siong, kemudian menyerang Han Siong dengan gerakan yang cepat dan kuat sekali! Tentu saja hal ini mengejutkan pemuda itu dan cepat dia mengelak dengan loncatan ke samping, lalu kakinya melayang, menendang ke arah perut boneka salju itu dengan cepat.


"Prokkk …..!" Boneka salju itu hancur berhamburan dan Han Siong melompat ke belakang, masih terheran-heran mengapa boneka salju yang tadi disihirnya sehingga dapat berjalan itu, tahu-tahu dapat mengamuk setelah dia tidak menyihirnya! Akan tetapi Han Siong seorang pemuda yang amat cerdik. Dia sudah dapat menduga bahwa tentu kakek gendut itulah yang main-main dengan dia. Tentu kakek itulah yang mempergunakan kekuatan sihir yang lebih ampuh daripada kekuatannya sendiri untuk melanjutkan permainan itu, juga untuk mengejeknya. Pantas kakek itu tadi mengatakan bahwa dia lancang!


Kakek gendut itu kini terbelalak, marah melihat betapa boneka kesayangannya yang dinamakannya sendiri sebagai hasil karya seni agung itu dirusak orang. Sambil bertolak pinggang dan menggembungkan perutnya yang sudah gendut, dia berteriak.


"Orang muda yang jahat! Engkau berani merusak boneka saljuku?"


"Maaf, Locianpwe ……”


"Apa maaf! Tidak ada maaf bagimu! Engkau tadi telah menyamakan aku dengan boneka salju, bahkan engkau telah mencela pula mengatakan buatanku, hasil karya seni yang agung itu tidak bagus. Engkau harus dihajar!”


"Maaf, saya tidak sengaja untuk membikin Locianpwe marah "


"Sengaja atau tidak, aku sudah marah sekarang. Nah, kaulihat seranganku. Aku harus membalas dendam kehancuran bonoke salju." Berkata demikian, tiba-tiba tubuh yang gendut itu menerjang ke depan, seperti sebuah bola besar menggelinding dan tahu-tahu, dua buah lengan yang besar pendek telah menyerang dari atas bawah, kanan kiri dan serangan kedua tangan itu mendatangkan angin pukulan berdesir yang mengandung hawa panas!


Dengan gerakan yang halus namun cepat, Han Siong sudah cepat mengelak dengan menggeser kakinya dan meloncat ke kiri. Pukulan kedua tangan itu meluncur lewat dan ketika hawa pukulan yang ganas itu menyambar dan mengenai salju yang menempel pada batang pohon, salju itu pun mencair dan nampaklah kulit batang yang kehitaman! Diam-diam Han Siong terkejut bukan main. Itulah pukulan yang amat ampuh, yang mengandung tenaga sinkang yang luar biasa. Maka dia pun cepat mainkan Pek-sim-kun yang dipelajarinya dari catatan kakek buyutnya. Tiga belas jurus Pek-sim-kun ini adalah perasan dari Ilmu Silat Pek-sim-kun, merupakan intinya, karena itu hebatnya bukan kepalang.


Melihat gerakan pemuda itu, yang dilakukan dengan mantap, cepat dan mengandung sinkang yang kuat, kakek gendut itu mengimbanginya dengan elakan dan tangkisan yang kuat pula, dan membalas dengan pukulan-pukulan yang gayanya mirip dengan Pek-sim-kun. Tahulah Han Siong bahwa kakek ini pandai pula dengan ilmu silat Siauw-lim-pai, maka dia bersilat dengan hati-hati dan berganti-ganti memainkan jurus Pek-sim-kun yang tiga belas banyaknya itu.

"Wuuuuutttt ……!" Angin pukulan keras menyambar ketika Han Siong menyondongkan tubuh ke depan, lengan kanannya menyambar dari sampinK dengan dahsyatnya, meninju ke arah pelipis lawan sedangkan tangan kirinya membuat gerakan terputar di depan dada, lalu meluncur ke bawah sebagai serangan susulan, menghantam dengan telapak tangan terbuka ke arah pusar.


Hebat sekali jurus tangan terbuka dari Pek-sim-kun ini. Kakek gendut menyambutnya dengan tangkisan sambil mengeluarkan sertian kagum.


"Dukk! Desss …….!" Benturan dua tenaga dahsyat membuat bumi di bawah mereka seolah-olah tergetar dan kakek gendut ini melangkah rnundur tiga tindak, sedangkan Han Siong agak terhuyung saking hebatnya tenaga lawan yang menangkisnya.


"Ha-ha-ha, ilmu silatmu hebat, berdasarkan ilmu Siauw-lim-pai. Sungguh engkau seorang pemuda yang mengagumkan, akan tetapi juga menjengkelkan karena engkau telah mengganggu aku!"

Kini Han Siong sudah merasa yakin bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek sakti, maka kesempatan ini dia pergunakan untuk berkata. "Harap Locianpwe memaafkan kelancangan saya tadi..."

"Enak saja. tidak ada maaf-maafan, hayo sambut seranganku ini!" kata kakek itu yang agaknya timbul kegembiraannya karena mendapatkan seorang lawan tangguh dan kini tubuhnya sudah "menggelinding" lagi ke depan, mengirim serangan yang lebih dahsyat daripada tadi. Melihat ini, Han Siong mengerutkan alisnya. Agaknya kakek itu bersungguh-sungguh hendak membunuh atau melukainya, maka dia pun terpaksa harus membela diri. Dan karena lawannya bukan orang sembarangan, serangannya amat berbahaya, dia pun cepat mengerahkan semua tenaga dan kini dia mainkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari suhu dan subonya selama delapan tahun ini di kuil Siauw-lim-pai, di dalam kamar Penebus Dosa.


Harus diketahui bahwa selain ilmu-ilmu yang cukup bersih yang dulu diperolehnya dari gurunya, yaitu Ciu-sian Lo-kai, Siangkoan Ci Kang juga memiliki ilmu-ilmu dari ayahnya, seorang datuk sesat yang berjuluk Iblis Buta. Ilmu-ilmu dari ayahnya ini banyak yang bersifat kotor dan kejam. Semua ilmu ini oleh Siangkoan Ci Kang diajarkan kepada Han Siong sehingga pemuda ini selain menerima ilmu yang bersih, juga menerima ilmu silat yang sifatnya kotor dan curang, seperti biasa sifat ilmu-ilmu berkelahi dari golongan sesat. Apalagi dari subonya, dia memperoleh ilmu-ilmu kesaktian yang ganas sekali mengingat bahwa subonya adalah anak tunggal dari mendiang Raja dan Ratu Iblis. Maka ketika kini dia mengeluarkan ilmu-ilmunya, kakek gendut itu beberapa kali mengeluarkan seruan kaget dan heran.



"Ihh, ganas, keji …..! Ilmu setan! Ilmu iblis!" Berkali-kali kakek itu berseru penasaran sambil mengelak atau menangkis. Mendengar seruan-seruan ini, Han Siong merasa malu juga. Dia pun sudah mendapat penjelasan dari suhu dan subonya akan sifat ilmu-ilmu yang dipelajarinya. Bahkan suhunya berkata antara lain demikian. "Baik buruk atau baik jahatnya suatu ilmu tergantung dari penggunaannya, muridku, tergantung daripada manusianya yang mempergunakan ilmu itu. Akan tetapi harus diketahui bahwa dalam ilmu silat, memang terdapat ilmu-ilmu yang sifatnya memang jahat, kejam, curang dan licik. Ilmu-ilmu silat semacam itu dipergunakan oleh kaum atau golongan sesat. Karena kami berdua memiliki lebih banyak ilmu silat kaum sesat itu, maka kami ajarkan keduanya kepadamu dengan harapan agar engkau mengerti benar bahwa yang penting adalah penggunaannya. Pergunakanlah ilmu-ilmu itu untuk membela kebenaran dan keadilan, sedangkan ilmu silat yang sesat itu dapat kaupergunakan untuk menghadapi lawan golongan sesat dan untuk memperoleh kemenangan dalam suatu perkelahian. Akan tetapi jangan sekali-kali dipergunakan untuk kejahatan, karena betapapun bersihnya suatu ilmu, kalau dipergunakan untuk kejahatan, ilmu itu pun menjadi ilmu kotor ."

Kini, teringat akan pesan gurunya, Han Siong merasa malu. Kakek yang menjadi lawannya ini adalah orang aneh yang memaksanya bertanding. Akan tetapi dia belum mengenalnya, belum tahu dari golongan mana kakek ini. Maka, memalukan kalau dia harus mengeluarkan ilmu-ilmu yang bersifat curang dan kejam itu. Cepat dia pun merobah gerakannya dan kini Han Siong bersilat dengan gerakan yang lemah lembut, halus seperti orang menari, namun di balik kehalusan itu tersembunyi kekuatan yang dahsyat. Itulah Ilmu Silat Kwan-im-kun!

Kakek gendut itu mengeluarkan seruan kaget dan heran ketika Han Siong pertama kali mengeluarkan jurus Ilmu Silat Kwan-im-kun, dan dia selalu mengelak dengan loncatan-loncatan ke kanan kiri dan setelah dia yakin benar akan ilmu silat pemuda itu, tiba-tiba tubuhnya meloncat jauh ke belakang.


"Haiii, engkau mainkan ilmu silat dari Kwan Im Nio-nio! Ia itu apamukah?" tanyanya dengan mata terbelalak.

Mendengar nama ini, Han Siong terus terang menjawb, "Saya tidak mengenal Kwan Im Nio-nio, Locianpwe."

"Mustahil! Jangan bohong kau! Engkau memainkan ilmu silatnya dan engkau mengatakan tidak mengenal pemiliknya? Kalau begitu, tentu engkau mencuri ilmunya itu!"


"Saya mempelajarinya dari Suhu dan Subo."


"Siapa nama Suhu dan Subomu? Apakah mereka itu murid Kwan Im Nio-nio? Rasanya tidak mungkin. Perempuan angkuh itu tidak pernah mau mempunyai murid, katanya ingin membawa mati semua ilmunya."


"Bukan, Locianpwe. Suhu bernama Siangkoan Ci Kang dan Subo bernama Toan Hui Cu, dan mereka secara kebetulan saja menemukan kitab-kitab ilmu yang saya mainkan tadi."


"Di mana ditemukannya? Dan apakah Kwan Im Nio-nio masih hidup? Hayo ceritakan semua, orang muda." Kakek itu kini bersikap ramah dan dia duduk begitu saja di atas tanah yang tertutup salju, wajahnya seperti seorang anak kecil yang siap mendengarkan dongeng yang menarik. Melihat ini legalah hati Han Siong. Agaknya kakek aneh ini, sudah tidak memusuhinya lagi, maka dia pun lalu duduk di atas sebuah batu karena dia tidak ingin membiarkan celananya basah seperti kakek itu. Dia lalu menceritakan tentang pengalaman suhu dan subonya menemukan kitab-kitab dan pedang seperti yang diceritakan oleh mereka kepadanya.


Secara kebetulan dan tidak disengaja, ketika Siangkoan Ci Kang memeriksa kamar di mana dia harus menjalani hukuman, dia menemukan kitab-kitab yang ada gambarnya Kwan Im Pouwsat. Bersama Toan Hui Cu dia lalu mempelajari dua buah kitab itu yang mereka nama kan Kwan-im-kun dan Kwan-im Kiam-sut sesuai dengan gambar-gambar Kwan Im Pouwsat yang menghias sampul-sampul dua buah kitab itu.


Kemudian, beberapa tahun kermudian, giliran Toan Hui Cu yang menemukan lubang rahasia di kamar ia menjalani hukumannya. Ketika ia membongkarnya, lubang di lantai itu menembus ke sebuah kamar di bawah tanah dan di situ ia menemukan rangka manusia yang masih mengenakan pakaian seperti pakaian Dewi Kwan Im Pouwsat, dan di atas pangkuan kerangka manusia itu ia menemukan sebatang pedang tipis pendek. Itulah pedang yang mereka namakan pedang Kwan-im-kiam yang kemudian mereka berikan kepada Han Siong sebagai tanda ikatan jodoh antara murid mereka itu dengan puteri mereka yang hilang diculik orang.


"Demikianlah, Locianpwe. Saya mewarisi kedua ilmu itu bersama pedangnya dari Suhu dan Subo yang menemukan semua itu di dalam kamar-kamar mereka di kuil Siauw-lim-si." Han Siong mengakhiri ceritanya tanpa menyebut tentang ikatan jodoh itu tentu saja.


Kakek gendut itu tiba-tiba menangis! Tentu saja Han Siong menjadi bengong. Dia mengamati dengan penuh perhatian, mengira bahwa kakek sakti ini tentu seorang yang sudah miring otaknya, atau memiliki watak yang demikian anehnya sehingga mendekati gila. Kakek yang duduk di atas tanah bersalju itu menangis dengan kedua punggung tangan menghapus air mata, pundaknya bergoyang-goyang, perutnya yang gendut itu bergerak-gerak, persis seperti seorang anak kecil, dari mulutnya keluar suara tangisan yang parau. Diam-diam keadaan ini menimbulkan keharuan dalam hati Han Siong. Patut dikasihani kakek itu,pikirnya.


"Aihhh, perempuan, memang aneh sekali …..!" Kakek itu kini berhenti menangis dan bicara seperti kepada diri sendiri. "Kwan Im Nio-nio, nenek tua bangka, kenapa engkau menyiksa dirimu sampai demikian rupa? Hemm, aku mengerti, engkau agaknya hendak menghabiskan sisa umurmu untuk menebus dosa di dalam kuil, membawa ilmumu dan pedangmu mengubur diri di dalam kuil. Akan tetapi, ternyata ada orang-orang yang berjodoh denganmu sehingga mewarisi pedang dan ilmu-ilmumu."



Kembali dia terisak. Han Siong membiarkan saja kakek itu menangis sampai akhirnya dia berhenti menangis, memandang kepadanya dengan mata merah. "Orang muda, siapakah namamu?"

"Nama saya Pek Han Siong, Locianpwe."


Kakek itu terbelalak dan memandang tajam. "Engkau she Pek? Kalau begitu limu silatmu yang pertama tadi adalah ilmu silat dari Pek-sim-pang? Engkau masih ada hubungan dengan para ketua-ketua Pek-sim-pang?"


"Saya adalah keturunan Ketua Pek-sim-pang."


'Ehhh... ?" Tiba-tiba kakek itu menggerakkan kedua tangannya ke depan da da, membuat gerakan-gerakan aneh dengan kedua tangannya sehingga Han Siong mengikuti gerakan-gerakan itu dengan heran. "Jangan bergerak!" kakek itu membentak dan tubuhnya sudah menerjang ke depan. Han Siong terkejut sekali ketika hendak mengelak, tiba-tiba tubuhnya tak dapat digerakkan! Dia segera sadar bahwa kakek itu telah menggunakan kekuatan sihir ketika berteriak melarang dia bergerak tadi. Dia pun segera mengerahkan kekuatan batinnya untuk melawan, akan tetapi ketika akhirnya dia mampu bergerak, baju di punggungnya sudah dirobek oleh kakek itu.


"Aih, benar …!" Kakek itu berteriak kaget. "Ada tanda merah di punggungmu dan engkau keturunan ketua Pek-sim-pang." Dan tiba-tiba saja kakek gendut itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Han Siong!


Tentu saja Han Siong terkeut bukan main. "Locianpwe... harap... harap jangan melakukan ini …..!” serunya.


"Paduka adalah Sin-tong yang telah lama menggegerkan seluruh daerah barat, sudah sepatutnya kalau saya menghormati paduka dan sudah sepatutnya kalau saya menyerahkan seluruh kepandaian yang ada kepada paduka ….."


Celaka, pikir Han Siong. Kakek ini benar-benar sinting! "Locianpwe, bangkitlah dan mari kita bicara dengan baik-baik ….”


"Tidak, saya tidak akan bangkit lagi sampai mati sebelum paduka menyatakan mau menerima ilmu-ilmu yang akan saya ajarkan kepada paduka."


Gila, pikir Han Siong. Ini namanya dunia dan aturannya sudah terbalik semua. Biasanya, seorang calon murid yang memohon sambil berlutut agar diterima menjadi murid. Akan tetapi kini kakek yang sinting ini bahkan berlutut dan mohon kepadanya agar suka menerima ilmu-ilmu yang akan diajarkan oleh kakek itu kepadanya! Akan tetapi apa salahnya? Kakek ini sakti, dan agaknya mengenal baik pemilik kitab-kitab Kwan-im-kun yang namanya Kwan Im Nio-nio itu.


"Baik, Locianpwe, saya suka mempelajari ilmu-ilmu dari Locianpwe, akan tetapi ada syaratnya."


"Silakan sebutkan apa syarat itu. Berbahagialah saya kalau dapat memberi bimbingan kepada Sin-tong!” kakek itu bicara dengan suara yang gembira bukan main!


"Syaratnya ada dua: Pertama, saya hanya akan belajar satu tahun saja kepada Locianpwe karena banyak urusan harus saya selesaikan. Ke dua: Locianpwe agar bersikap biasa seperti seorang guru terhadap murid, jangan menyebut Sin-tong kepada saya, melainkan menyebut nama saya saja, dan saya akan menyebut Suhu kepada Locianpwe. Bagaimana?"

Kakek itu menarik napas panjang. "Syarat ke dua itu berat, akan tetapi baiklah, Han Siong." Kakek itu bangkit berdiri dan kini Han Siong yang cepat berlutut dan memberi hormat sambil menyebut "Suhu".


"Mari kita duduk dan bicara. Aku ingin sekali mendengar tentang dirimu, Han Siong. Ah, betapa banyak sudah aku mendengar tentang dirimu yang dijadikan rebutan oleh semua orang gagah di dunia barat. Selama ini, di mana saja engkau bersembunyi?"


Karena dia sudah mengangkat kakek itu menjadi gurunya, maka Han Siong pun tidak mau merahasiakan lagi keadaan dirinya. Dia lalu menceritakan betapa sejak bayi dia dirawat oleh kakek buyutnya bernama Pek Khun yang mengajaknya bertapa di Pegunungan Kun-lun-san, kemudian betapa dia oleh kakek buyutnya dikirim ke kuil Siauw-lim-pai di Pegunungan Heng-tuan-san dan menjadi kacung di kuil sana.


"Di kuil itulah teecu (murid) bertemu dengan Suhu Siangkoan Ci Kang dan Subo Toan Hui Cu, menerima pelajaran ilmu-ilmu silat di samping teecu juga tekun mempelajari ilmu-ilmu kebudayaan dari kitab-kitab di dalam kuil, di bawah bimbingan para hwesio di sana. Setelah tamat belajar, barulah Suhu dan Subo menyuruh teecu untuk keluar dari kuil dan mencari keluarga teecu, yaitu keluarga Pek di Kong-goan."


Kakek itu mengangguk-angguk. "Agaknya Subo dan Suhumu itu orang-orang yang baik dan juga cerdas sekali. Akan tetapi bagaimana engkau dapat mempelajari ilmu sihir seperti yang kaupergunakan untuk menghidupkan boneka saljuku tadi?"


"Teecu mempelajarinya sedikit dari Subo. Ketika Subo menjalani hukuman di kuil Siauw-lim-si, ia juga banyak mem baca kitab-kitab dan ia menemukan kitab yang mengatakan bahwa dalam diri setiap orang terdapat kekuatan gaib yang tersembunyi. Subo sendiri adalah keturunan orang-orang sakti yang diam-diam memiliki kekuatan gaib yang amat kuat. Mulailah Subo melatih diri membangkitkan kekuatan gaibnya dan dia pun mulai mempelajari ilmu sihir di dalam Kamar Penebusan Dosa itu dan dari Subo teecu mempelajari sedikit ilmu sihir yang tidak ada artinya dibandingkan dengan ilmu sihir dari Suhu sendiri."


"Hemmm, Subomu itu she Toan, ya? Aku seperti pernah mendengar akan kehebatan orang-orang dari keluarga Toan, kalau tak salah keluarga pangeran ….."


"Tidak salah, Suhu. Subo Toan Hui Cu adalah puteri mendiang Pangeran Toan Jit-ong yang berjuluk Raja Iblis ……"


"Ya Tuhan ……! Benar, Raja dan Ratu Iblis ……!" Kakek itu terbelalak dan mengangkat kedua tangan ke atas saking kagetnya. "Pantas saja ilmu-ilmu silatmu bermacam-macam, dan banyak yang merupakan ilmu yang sesat! Untung Suhu dan Subomu itu menemukan ilmu peninggalan Kwan Im Nio-nio dan diajarkan kepadamu, dan untung pula engkau bertemu dengan aku. Ketahuilah, Han Siong. Kwan Im Nio-nio dan aku adalah dua orang di antara orang-orang yang dijuluki Delapan Dewa."


Han Siong memandang kagum, akan tetapi terus terang menjawab, "Suhu dan Subo di dalam kuil banyak bercerita kepada teecu tentang tokoh-tokoh di dunia persilatan, akan tetapi terus terang saja, teecu belum pernah mendenga akan nama Delapan Dewa."


Kakek itu menarik napas panjang. “Salah kami sendiri. Puluhan tahun yang lalu kami pernah memperoleh nama besar dan disegani oleh seluruh golongan di dunia persilatan. Akan tetapi pada suatu hari kami bertemu dan bentrok dengan Raja dan Ratu Iblis. Kami mengadu ilmu dengan mereka dengan perjanjian bahwa siapa yang kalah harus pergi bertapa dan tidak boleh lagi muncul di dunia persilatan. Dan kami kalah! Kami memegang janji. Masing-masing pergi bertapa dan memperdalam ilmu silat. Setelah kami memperoleh ilmu-ilmu yang tinggi, ternyata Raja dan Ratu Iblis telah tewas di tangan pendekar-pendekar muda. Demikianlah, kami sudah terlanjur suka bertapa dan tidak muncul lagi di dunia persilatan."


Han Siong mendengarkan dengan kagum. Mereka tentulah orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan sehingga mereka setia terhadap janji sendiri sampai rela menderita dan mengasingkan diri. "Siapakah tokoh yang lain dari Delapan Dewa kecuali Suhu dan Locianpwe Kwan Im Nio-nio?" tanyanya.


Kakek gendut itu menarik napas panjang. "Nama Delapan Dewa yang tadinya gemilang itu telah menjadi muram, bahkan tenggelam dan lenyap setelah kami ditaklukkan oleh Raja dan Ratu Iblis. Kami cerai berai, pergi bertapa dan tidak saling berhubungan lagi sampai puluhan tahun. Di antara kami yang delapan orang, hanya terdapat dua orang wanitanya, yaitu Kwan Im Nio-nio dan In Liong Nio. Yang enam orang sisanya adalah pria semua, susunannya seperti ini. Aku sendiri disebut orang Ban Hok Lojin atau juga diejek dengan sebutan Ji-lai-hud, kemudian Ciu-sian Lo-kai atau Ciu-sian Sin-kai, Go-bi San-jin yang kabarnya sekarang telah masuk menjadi pendeta Lama berjuluk See-thian Lama, Wu-yi Lo-jin, Siang-kiang Lo-jin, dan Sian-eng-cu The Kok. Nah, itulah nama-nama Delapan Dewa yang sudah lama meninggalkan dunia ramai. Akan tetapi selama ini aku tidak pernah bertemu atau berhubungan dengan mereka, hanya kabarnya empat di antara kami, yaitu Go-bi San-jin, Ciu-sian Sin-kai, Wu-yi Lo-jin, dan Siang-kiang Lo-jin, ikut pula membantu ketika para pendekar muda yang menjadi murid-murid mereka membasmi Raja dan Ratu Iblis bersama gerombolannya. Sekarang aku tidak tahu di mana mereka, masih hidup ataukah sudah mati semua seperti Kwan Im Nio-nio." kembali kakek gendut itu menarik napas panjang, akan tetapi wajahnya sudah cerah kembali dan senyum menghias mulutnya.

Han Siong menjadi semakin kagum Kiranya kakek yang menjadi gurunya ini adalah seorang sakti dan dia pun girang bukan main. "Semoga dalam waktu setahun teecu akan menerima petunjuk-petunjuk yang berharga dari Suhu."


"Ilmu silatmu sudah tinggi tingkatnya, Han Siong. Kalau engkau sudah menguasainya dengan sempurna, agaknya aku sendiri pun tidak akan menang darimu. Sayang engkau terlalu banyak mempelajari ilmu-ilmu sesat, untuk itu aku akan mengajarkan ilmu silat Pek-hong-sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih) kepadamu. Dan ilmu sihirmu itu jangan kaupergunakan. Aku akan mengajarmu untuk mempergunakan tenaga batin yang bersih untuk menghadapi segala macam kekuatan ilmu hitam."


"Suhu, apakah perbedaan antara sihir putih dan sihir hitam? Antara kekuatan bersih dan kekuatan kotor?" Han Siong merasa penasaran dan bertanya.



"Sudah kukatakan tadi bahwa bersih dan kotornya suatu ilmu tergantung daripada watak orang yang mempergunakannya. Akan tetapi yang dinamakan ilmu silat kotor adalah ilmu silat di mana dipergunakan segala kecurangan, alat-alat rahasia, racun-racun, cara-cara yang penuh tipu muslihat licik. Sebaliknya ilmu silat bersih adalah ilmu silat yang berdasarkan kekuatan yang terlatih, gerakan-gerakan yang kuat dan cepat, kewaspadaan yang membuat gerakan menjadi tepat, tanpa mempergunakan cara-cara curang untuk mengalahkan lawan. Sihir putih adalah penggunaan kekuatan batin yang terhimpun di dalam tubuh, mempergunakan kekuasaan dan kekuatan alam dengan dasar iman dan kepercayaan kepada Tuhan dan para dewa. Sebaliknya sihir hitam adalah penggunaan kekuatan yang datang dari setan-setan, roh jahat, dan segala macam kekuatan gaib yang mendorong pemakainya ke arah perbuatan jahat."


Mulai hari itu, kembali Han Siong menerima gemblengan, sekali Ini dari seorang di antara Delapan Dewa yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dia belajar dengan amat tekun, di dalam sebuah guha di puncak bukit yang sunyi.


**
Sungai itu mengalir dari Pegunungan Min-san dan sungai itu disebut Sungai Min-kiang. Ketika sungai itu tiba di dalam sebuah hutan di kaki Pegunungan Min-san, airnya masih jernih, belum dikotori sampah-sampah seperti kalau sudah melewati banyak dusun dan kota. Apalagi daerah itu merupakan pegunungan yang tanahnya dari tanah keras, tidak berlumpur sehingga airnya nampak jernih mengalir riang di antara batu-batu dan dasarnya pun nampak.


Sudah lebih dari setengah jam wanita itu mengintai pemuda yang sedang duduk di tepi sungai, di atas rumput tebal. Pemuda itu sedang memancing ikan seorang diri, nampaknya benar-benar dapat menikmati kesunyian dan keindahan keadaan di tepi Sungai Min-kiang di dalam hutan yang teduh itu. Air demikian jernihnya sehingga penuh dengan bayangan pohon-pohon di atasnya, bergerak-gerak sedikit karena tenangnya air yang mengalir perlahan. Aliran yang lambat ini, ditambah akar-akar pohon yang menciptakan tempat tinggal yang amat menyenangkan bagi ikan-ikan, apalagi bagian itu agak dalam, membuat tempat itu dihuni banyak ikan. Tidak mengherankan kalau dalam waktu setengah jam saja, pemuda itu telah berhasil mengangkat tiga ekor ikan yang lumayan besarnya.


Wanita itu mengintai dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri. Ia melihat betapa pemuda itu mengeluarkan teriakan girang dan kembali dia telah berhasil mendapatkan seekor ikan lagi, ikan yang kulitnya putih seperti perak, dengan perut kuning.


"Ha, seekor lagi saja aku akan pesta! Lima ekor sudah lebih dari cukup!" katanya. "Marilah manis, kausambar umpanku!" Pemuda itu tersenyum-senyum penuh kegembiraan dan sepasang mata yang mengintai itu menjadi semakin kagum.


Wanita yang mengintai itu kini berindap-indap mendekati, akan tetapi tetap saja ia melakukannya sambil bersembunyi, menyelinap di antara pohon-pohon, batu-batu dan semak-semak belukar. Gerakannya demikian ringan sehingga tidak menimbulkan suara dan akhirnya ia dapat bersembunyi di balik semak-semak terdekat, dapat memandang pemuda yang sedang memancing ikan itu dengan jelas sekali. Dan semakin jelas ia memandang, makin kagumlah ia, wajahnya makin berseri, mulutnya tersenyum dan matanya bersinar-sinar.


Seorang pemuda yang tampan dan gagah. Biarpun sedang duduk seenaknya di atas rumput, nampak betapa bidang dada itu, betapa tegap tubuh yang bentuknya sedang itu. Sepasang matanya bersinar-sinar penuh gairah hidup, mulutnya yang berbentuk manis itu selalu mengembangkan senyum, hidungnya mancung dan wajahnya membayangkan kejantanan dengan dagu yang dapat mengeras dan agak berlekuk di tengahnya. Senyumnya manis dan memikat. Pakaiannya berwarna biru muda dengan garis-garis kuning emas di tepinya. Sebuah buntalan pakaian terletak di sebelahnya. Usianya kurang lebih dua puluh tahun.


Wanita yang mengintai itu pun bukan wanita sembarangan. Dari pakaiannya saja mudah diduga bahwa ia bukanlah penghuni dusun atau wanita gunung sederhana, melainkan seorang wanita yang biasa tinggal di kota. Apalagi kalau melihat gelung rambutnya yang tinggi dan dihias seekor burung Hong dari emas dan permata yang tentu amat mahal harganya. Ia juga membawa sebuah buntalan kain panjang yang digendong di belakang punggungnya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa wanita itu pun seorang yang sedang melakukan perjalanan jauh dan membawa bekal pakaian. Akan tetapi, pakaian yang menempel di tubuhnya nampak bersih, demikian pula sepatunya yang kecil dan baru.


Wajahnya bulat dengan kulit yang putih halus, dibuat semakin putih halus karena dibedaki. Sepasang matanya agak lebar dan penuh sinar dan gairah hidup, penuh semangat, juga sepasang bola matanya dapat bergerak lincah, tanda bahwa wanita ini biasa mempergunakan kecerdikannya. Alisnya kecil melengkung hitam, lengkung yang tidak wajar, dibuat dengan cara mencabuti sebagian rambut alisnya. Sepasang pipinya nampak segar kemerahan, bukan karena pemerah pipi. Hidungnya kecil mancung, ujungnya agak mencuat ke atas menjadi penambah manis, mulutnya kecil dengan bibir yang merah basah dan selalu agak terbuka seperti orang terengah, menimbulkan sifat menantang. Wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun ini memang memiliki wajah yang manis sekali. Juga bentuk tubuhnya padat dan ramping menggairahkan, dengan lekuk-lengkung yang sexy, bagian dada dan pinggul membusung, pinggangnya amat kecil seperti pinggang tawon kemit.


Pemuda yang sedang memancing ikan itu adalah Hay Hay! Memang pemuda ini memiliki wajah, bentuk tubuh dan pembawaan yang amat menarik hati bagi kaum wanita. Wajahnya yang tampan selalu cerah, pandang matanya selalu penuh gairah dan semangat, bibirnya selalu dibayangi senyum ramah. Seperti kita ketahui, Hay Hay melakukan perjalanan ke daerah itu untuk mencari keluarga Pek di Kong-goan. Ketika tiba di tepi sungai itu, dia melihat gerakan banyak ikan dan tertarik oleh keadaan yang indah dan nyaman, dia pun merasa lapar sekali dan segera dia membuat pancing sederhana dari peniti, tali dan ranting. Peniti dibentuk mata kail dan dengan cacing yang mudah didapatkan di tepi suhgai, dia pun mengail dan berhasil menangkap empat ekor ikan dada kuning.



Dia tidak akan patut disebut murid dari dua orang sakti, dua di antara Delapan Dewa, kalau saja dia tidak tahu bahwa ada orang sedang mengintainya. Sejak tadi pun dia sudah tahu dan hal ini membuat Hay Hay menjadi semakin gembira. Pemandangan alam di tempat itu demikian indah, hawanya sejuk nyaman, memancing ikan pun berhasil menangkap ikan-ikan yang gemuk, dan kini ada seorang wanita yang mengintainya pula! Dengan ujung matanya, dia tadi sekelebatan dapat menangkap bayangan pengintainya, dan tahu bahwa pengintai itu seorang wanita. Akan tetapi tentu saja dia tidak tahu siapa dan jantungnya berdegup agak keras penuh kegembiraan yang menegangkan ketika dia menduga pahwa bayangan itu mungkin saja Bi Lian, gadis cantik jelita yang amat menarik hati itu. Akan tetapi dia membantah sendiri dugaan itu. Kalau Bi Lian, tidak mungkin gadis itu demikian bodoh uhtuk mengintainya seperti itu. Bukankah Bi Lian sudah tahu bahwa dia memiliki kepandaian sehingga kalau diintai seperti itu akan mengetahuinya? Dan pula, apa perlunya Bi Lian mengintai seperti Itu? Gadis itu tentu akan langsung saja menemuinya kalau hal itu dikehendakinya. Bukan, wanita itu bukan Bi Lian, dan pendapat ini mendatangkan kegembiraan di hati Hay Hay. Membayangkan akan bertemu dengan seorang wanita lain yang penuh rahasia, belum apa-apa sudah membuatnya bergembira. Wanita merupakan mahluk yang selalu menarik perhatiannya.


Tiba-tiba tali pancingnya bergerak, seekor ikan yang agaknya berat dan lebih besar daripada empat ekor yang sudah ditangkapnya, bergantung di mata kailnya. Dengan gerakan cepat Hay Hay menarik tangkai pancingnya sehingga mata kailnya mengail mulut ikan dan dia meneruskannya dengan gerakan kuat sehingga terlemparlah seekor ikan yang benar saja lebih besar daripada tadi, ke atas. Hay Hay sengaja melepaskan ranting yang menjadi tangkai pancing sambil berteriak, "Ohh, terlepas …..!"


Ikan berikut tali dan tangkai pancing itu meluncur ke arah semak-semak di mana wanita itu bersembunyi! Tiba-tiba sebuah tangan yang keci1 halus namun cekatan, menyambut dan menangkap tangkai pancing dan nampaklah seorang wanita muncul di balik semak-semak, memegang setangkai pancing di ujung mana nampak seekor ikan besar menggelepar-gelepar. Sambil tersenyum penuh daya daya pikat, wanita itu kini menghampiri Hay Hay, membawa ikan di ujung pancing itu.


"Ikan yang besar, gemuk dan mulus, tentu enak sekali!" Wanita itu berkata, senyumnya melebar membuat mulutnya merekah dan nampak rongga mulut yang merah sekali, dengan deretan gigi yang berki1auan dan putih rapi.


Hay Hay memandang dengan bengong. Dia seperti terpesona oleh kecantikan wanita yang kini sudah berdiri di depannya. Sejenak pandang matanya menjelajahi wanita itu dari ujung kaki sampai ke ujung rambut, kadang-kadang berhenti agak lama di bagian-bagian tertentu yang menarik, dan akhirnya dia menarik napas panjang.


"Ya ampun Dewi …..! Paduka ini Dewi Air ataukah Dewi Hutan yang sengaja turun dari kahyangan hendak memberi anugerah ikan gemuk kepada hamba?" Tentu saja Hay Hay hanya main-main dan berkelakar karena dia sudah tahu bahwa wanita ini sejak tadi mengintainya, akan tetapi dia jujur dengan pandang matanya yang penuh kagum karena memang wanita ini cantik manis dan menggairahkan, penuh daya tarik kewanitaan seperti sekuntum bunga yang selain indah juga harum semerbak.


Mula-mula sepasang mata yang lebar itu terbelalak heran mendengar ucapan itu, kemudian menjadi kemerahan, bukan karena marah melainkan karena bangga dan girang bukan main. Wanita itu terkekeh sambil memasang aksi, menutupi mulutnya dengan punggung tangan kiri.

"Kenapa engkau menganggap aku Dewi Air atau Dewi Hutan yang baru turun dari kahyangan?" tanyanya, suaranya merdu sekali seperti suara rebab digesek.


Dengan terbuka Hay Hay mengagumi mata, hidung dan mulut itu. Anak rambut membentuk sinom di sepanjang pelipis, di atas dahi dan di belakang telinga itu pun manis sekali, melingkar-lingkar seperti dilukis saja, nampak hitam indah dilatar-belakangi kulit yang putih kuning mulus.

"Karena rasanya tidak mungkin ada seorang gadis secantik Paduka. Hanya bidadari dan para dewi kahyangan sajalah kiranya yang dapat memiliki kecantikan seperti ini." Hay Hay memang pandai sekali merayu, bukan rayuan kosong, melainkan kata-kata manis dan pujian yang muncul dari lubuk hatinya. Dalam pandang matanya, wanita itu seperti bunga. Mana ada bunga yang buruk? Semua bunga, setiap kuntum bunga pasti indah, walaupun keindahannya berbeda-beda. Demikian pula wanita. Tidak ada yang buruk, walaupun kemanisannya pun berbeda-beda. Ada yang terletak pada matanya, pada hidungnya, pada mulutnya, atau rambutnya, kulitnya. Akan tetapi wanita di depannya ini memiliki keindahan di banyak bagian!


Wajah yang manis itu semakin gembira berseri, dan matanya menjadi semakin ta jam bersinar-sinar. “Aihh, orang muda, engkau sungguh terlalu memujiku. Aku seorang manusia biasa seperti engkau. Kebetulan saja aku dapat menangkap pancing dan ikanmu yang terlempar tadi. Nah, terimalah kembali pancingmu."


Wanita itu menyerahkan pancing dengan ikan yang menggelepar-gelepar itu, diterima dengan gembira oleh Hay Hay yang tersenyum ramah.


"Terima kasih Nona. Ya Tuhan, hampir aku tidak percaya bahwa Nona seorang manusia. Kemunculanmu demikian tiba-tiba dan kecantikanmu... hemmm, sukar untuk dipercaya!"


Wanita itu sudah seringkali mengha dapi laki-laki yang kurang ajar dan tidak sopan, yang memuji kecantikannya untuk merayu dan menarik perhatian. Akan tetapi baru sekarang dia bertemu dengan pemuda yang memuji kecantikannya sedemikian jujur terbuka, dengan mata yang sama sekali tidak membayangkan kekurangajaran, seperti mata setiap laki-laki yang selalu menyembunyikan tantangan, ajakan dan uluran tangan! Maka ia menjadi semakin gembira walaupun mulutnya pura-pura cemberut ketika ia berkata. "Ihhh, orang muda, jangan terlampau memuji, membuat aku merasa rikuh saja.”


"Aku tidak memuji kosong, Nona. Dan kuharap Nona tidak menyebut aku orang muda. Aihhh, seolah-olah Nona lebih tua saja dariku. Padahal, paling-paling usia kita sebaya." Tentu saja Hay Hay dapat menduga bahwa wanita itu agak lebih tua darinya, namun ia tahu bahwa paling tidak enak bagi wanita kalau diingatkan tentang usianya yang sudah lebih tua. Pula, wanita di depannya ini memang masih nampak muda sekali dan memang pantas kalau dikatakan sebaya dengannya.



Wanita itu tersenyum, manis sekali. "Pemuda yang tampan dan ganteng, berapakah usiamu sekarang?"

Jantung di dalam dada Hay Hay berdebar dan dia merasa aneh. Betapa beraninya wanita ini. Memujinya sebagai tampan dan ganteng, juga menanyakan usianya! Wah, sungguh seorang wanita yang tidak malu-malu lagi, seorang yang agaknya sudah berpengalaman!

"Berapa menurut dugaanmu, Nona yang cantik jelita?"


"Hemm, kiranya tidak akan lebih dari sembilan belas atau delapan belas tahun."


“Ha, dugaanmu keliru dan aku lebih tua dari itu, Nona. Usiaku sudah dua puluh tahun!" Hay Hay tertawa dan balas bertanya. “Dan berapakah usiamu, Nona?”


"Berapa menurut dugaanmu, pemuda yang tampan menarik?" tanya wanita itu menirukan kata-kata dan gaya Hay Hay tadi.


Kembali pandang mata Hay Hay menjelajahi seluruh tubuh wanita itu, kemudian dia mengangguk-angguk. "Paling banyak dua puluh tahun, Nona."


Wanita itu tersenyum semakin manis. Agaknya penaksiran itu menyenangkan hatinya. "Lebih berapa tahun lagi. Aku lebih tua darimu."


"Aku tidak percaya!" Hay Hay berseru penasaran. Karena dia menggerakkan tangkai pancing, ikan itu meronta-ronta dan agaknya baru dia teringat akan ikan itu.


"Hi-hik, mau diapakan sih ikan itu?" Si Wanita bertanya menggoda.


"Wah, aku sampai lupa. Oh, ya, karena engkau baik sekali, Nona, dan sudah membantuku menangkap ikan yang terlepas ini, biarlah kuundang engkau untuk makan bersamaku. Daging ikan-ikan ini tentu enak sekali."


Wanita itu memandang dengan mata bersinar-sinar. "Bagaimana engkau hendak memasaknya?" .
Hay Hay mengangkat dada dan menepuk dadanya. "Jangan khawatir. Aku ahli masak! Tunggu sebentar dan bantulah aku menghabiskan daging ikan-ikan ini sebagai teman roti kering dan anggur. Pasti lezat sekali!"


Wanita itu menelan ludah, nampak berselera sekali. "Tentu saja lezat."


"Kau tunggu sebentar, Nona." Hay Hay yang sudah menjadi gembira bukan main menemukan seorang kawan baik, seorang wanita cantik untuk teman bercakap-cakap di tempat yang sunyi indah itu, segera bekerja. Selama beberapa tahun menjadi murid See-thian Lama, dia hidup berdua saja dengan gurunya itu dan dialah yang melayani suhunya, dia yang masak setiap hari sehingga dia memang dapat dikata ahli masak. Apalagi ketika dia mengikuti gurunya yang ke dua, Ciu-sian Sin-kai, kakek berpakaian jembel yang sesungguhnya merupakan to-cu (majikan pulau) dari Pulau Hiu dan hidup serba cukup, dia pun mempelajari masak dari juru-juru masak suhunya itu. Ketika tinggal di Pulau Hiu, tentu saja dia sering ikut menangkap ikan dan memasak ikan, maka dia tahu banyak cara memasak ikan. Setiap macam ikan memerlukan cara memasak yang khusus baru akan le zat dan cocok sekali. Dan di dalam perantauannya, dia tidak melupakan bekal bumbu-bumbu yang diperlukan. Dia memang suka akan segala yang indah, segala yang enak, dapat menikmati kehidupan ini biarpun berada dalam keadaan yang bagaimanapun juga.


Wanita itu lalu melepaskan buntalan panjang dari punggungnya, meletakkannya di tepi sungai dan ia pun duduk di atas akar pohon sambil mengikuti gerakan-gerakan Hay Hay dengan sepasang mata yang bersinar-sinar dan wajah berseri. Pandang matanya penuh kekaguman ketika ia melihat betapa pemuda itu dengan cekatan membersihkan lima ekor ikan itu, menggunakan sebatang pisau yang dikeluarkan dari buntalan pakaiannya, kemudian menaburi ikan-ikan itu dengan bumbu dan garam, dan memanggangnya di atas bara api. Segera bau yang amat sedap menyerang hidungnya dan wanita itu tiba-tiba saja merasa betapa perutnya sudah lapar sekali! Mulutnya terasa basah oleh ludah karena ia sudah mengilar ingin merasakan bagaimana lezatnya ikan panggang itu.


Sambil kadang-kadang memandang kepada wanita itu dengan senyum, sekali dua kali dia mengedipkan matanya memberi tanda agar wanita itu bersabar, Hay Hay mempersiapkan makan untuk mereka. Roti kering dan anggur dikeluarkan dan ikan panggang ditaruh di dalam sebuah piring, dikeluarkannya pula bumbu dan saus yang selalu berada dalam perbekalannya.

"Mari silakan, Nona. Kita makan seadanya." Hay Hay mempersilakan dengan sikap ramah. Wanita itu tersenyum, bangkit dengan gerakan lemah gemulai dan setengah menggeliat sehingga nampaklah tonjolan-tonjolan tubuhnya hendak menembus bajunya yang ketat dari sutera tipis. Hay Hay tidak pura-pura, dia memandangi itu semua dengan penuh kagum.

"Eh, sobat, apa yang kau pandang?" tiba-tiba wanita itu bertanya, pura-pura marah padahal hatinya senang bukan main.


"Apa yang kupandang?" Hay Hay sama sekali tidak merasa gugup. "Apa lagi kalau bukan keindahan tubuhmu, Nona? Engkau seorang gadis yang beruntung sekali, dianugerahi wajah cantik manis dan tubuh yang indah. Sungguh lengkap. Eh, mari, mari kita makan, selagi daging ikannya masih panas."


Tanpa ragu-ragu atau malu-malu lagi wanita itu pun duduk di atas rumput, berhadapan dengan Hay Hay terhalang makanan yang diletakkan di atas rumput pula. Gadis itu menerima pemberian roti kering dan memilih panggang ikan yang nampak menimbulkan selera.



Mereka makan dan minum bersama, tanpa kata-kata. Wanita itu hanya mengeluarkan kata pujian karena memang daging ikan itu enak sekali. Belum pernah rasanya ia makan seenak ini! Padahal hanya roti kering dan panggang ikan saja, akan tetapi demikian nikmat, terasa lezatnya di setiap kunyahan.

Lima ekor ikan itu pun habis mereka makan, ditambah empat potong roti kering besar dan beberapa cawan anggur yang manis. Setelah selesai makan-makan, keduanya membersihkan tangan dan mulut di sungai itu, dengan air sungai yang jernih. Kemudian keduanya duduk di tepi sungai, berhadapan dan mulailah mereka bercakap-cakap.


"Hi-hik, alangkah lucunya!" Tiba-tiba gadis itu berkata, menutup mulut dengan punggung tangan kiri ketika ia tertawa.


Hay Hay mengangkat muka dan memandang. " Apanya yang lucu, Nona ?"
“Kita sudah makan bersama."


"Apa salahnya dengan itu?"


"Kita sudah saling mengetahui usia masing-masing."


"Wajar dalam perkenalan, akan tetapi aku belum mengetahui dengan pasti berapa usiamu……”


"Itu tidak penting. Akan tetapi anehnya, kita belum saling mengenal nama."


Hay Hay tertawa. Dia memang sengaja tadi. Bagaimanapun juga, keadaan wanita ini mencurigakan. Wanita itu ketika mengintainya, dapat bergerak dengan cepat dan amat ringan, itu saja menunjukkan bahwa wanita ini tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dan dia belum tahu siapa wanita ini, dari golongan mana, dan berdiri di pihak mana, kawan ataukah lawan. Karena itu, dia harus berhati-hati dan biarlah wanita ini yang lebih dahulu memperkenalkan diri. Maka dia pun tidak pernah memperkenalkan diri dan sekarang dia tertawa seperti baru melihat kelucuan keadaan mereka.


"Ah, benar juga! Aku merasa seolah-olah kita sudah menjadi sahabat baik selama puluhan tahun! Ha-ha, Nona yang baik, siapakah Anda? Di mana tempat tinggal, datang dari mana dan hendak ke mana?"


Gadis itu tertawa pula dan kini ia tidak lagi bersusah payah menutupi mulutnya dan Hay Hay melihat betapa manis dan menggairahkan mulut itu kalau tertawa. "Hi-hi-hik, pertanyaanmu menyerangku seperti ombak samudera saja. Sebaiknya kita saling mengenal nama lebih dulu. Namaku Sun Bi she Ji."


"Ji Sun Bi... hemmm, nama yang indah dan cantik, secantik orangnya." Hay Hay memuji sambil mengangguk-angguk.

"Sekarang giliranmu. Siapakah namamu?" Wanita yang bernama Ji Sun Bi itu bertanya.

"Namaku? Namaku Hay"


"Hay siapa??"


"Yah, Hay saja."


"Shemu apa?"


Hay Hay menggeleng kepalanya. “Aku sendiri pun tidak tahu, Sun Bi." kata Hay Hay, menyebut nama gadis itu begitu saja seolah-olah mereka telah menjadi kenalan lama, dan hal ini membuat Ji Sun Bi merasa senang sekali. Kalau pemuda itu menyebutnya Enci (Kakak) misalnya, ia akan merasa tidak enak, seolah-olah diingatkan bahwa ia lebih tua.


"Ah, mustahil orang tidak mengetahui shenya sendiri! Siapa nama ayahmu?"

Hay Hay menggeleng kepala, mengangkat pundak dan mengembangkan kedua lengannya.

"Aku sungguh tidak tahu. Aku tidak pernah mengenal Ayah Ibuku, sejak bayi aku dibawa orang lain dan sekarang aku sedang mencari orang tuaku. Aku tidak tahu she apa. Namaku hanya Hay saja, begitulah."


"Lalu aku harus menyebutmu bagaimana?"


"Ya, sebut saja Hay, atau biasa orang memanggil aku Hay Hay."


"Hay Hay... hemm, enak juga kedengarannya. Baiklah, Hay Hay. Sekarang kita telah benar-benar saling berkenalan dan menjadi sahabat. Secara kebetulan saja kita saling berjumpa di sini dan menjadi sahabat baik. Engkau datang dari mana dan hendak pergi ke manakah?"

"Aku tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, Sun Bi. Sudah kukatakan bahwa aku sedang mencari orang tuaku, setelah selama dua puluh tahun ini aku selalu ikut orang lain. Aku belum tahu di mana adanya orang tuaku, apakah mereka masih hidup. Aku hidup sebatang kara di dunia ini, tidak punya keluarga tidak punya tempat tinggal. Ah, tidak menarik. bukan? Lebih baik kita bicara tentang dirimu, tentu lebih menarik."


“Aihh, kasihan sekali engkau, Hay Hay." Sun Bi berkata dengan suara halus dan nampak terharu, lalu tangannya diulur dan menyentuh lenganHay Hay. Terasa hangat dan halus tangan itu, dan Hay Hay pun diam saja, hanya memandang tangan yang memiliki jari-jari yang kecil mungil. Ingin dia tahu sampai di mana besarnya kekuatan yang tersembunyi di dalam jari-jari tangan kecil mungil ini.


"Tidak perlu dikasihani. Aku hidup cukup bahagia, setiap hari aku hidup di alam bebas, bergembira melihat segala keindahan, burung-burung di udara binatang-binatang di hutan, kembang-kembang, air sungai yang jernih, gadis yang manis seperti engkau. Bukankah semua itu menyenangkan? Sekarang ceritakanlah, dari mana engkau datang dan hendak ke mana Sun Bi?"



Ditanya demikian, tiba-tiba wajah yang tadinya berseri itu menjadi murung dan gadis itu kini menundukkan mukanya dan perlahan-lahan dua titik air mata menuruni kedua ptpinya. Dua butir air mata itu dihapusnya dengan sehelai sapu tangan sutera, dan terdengar Wanlta itu berkata dengan suara yang penuh duka.


"Aihhh... Hay Hay, aku adalah se orang wanita yang paling sengsara di dunia ….”


Hay Hay mengerutkan alisnya dan berusaha untuk menatap wajah itu penuh selidik. Akan tetapi wajah itu menunduk terus. "Sun Bi, apakah yang telah terjadi? Mengapa engkau merasa sengsara?"

Dengan suara sedih dan kadang-kadang mengusap air matanya, Sun Bi lalu berkata. "Aku adalah wanita yang paling sengsara, Hay Hay. Baru menikah beberapa bulan saja, suamiku terserang penyakit berat dan meninggal dunia. Orang tuaku dan mertuaku menganggap aku seorang yang membawa kesialan dan aku lalu diusir pergi. Demikianlah, aku merantau seorang diri, sebatang kara, seperti juga engkau... hanya aku membawa kepedihan hati sebagai seorang janda muda tanpa ada yang melindungi... tanpa ada yang menghibur kedukaanku ….." Sun Bi lalu menangis lagi, sekali ini tangisnya sesenggukan dan menyedihkan sekali. Kedua tangannya dipergunakan untuk menutupi kedua matanya dan air mata bercucuran melalui kedua tanganhya.

Hay Hay merasa kasihan, juga penasaran sekali. "Hemm, suamimu meninggal dunia karena sakit berat, kenapa engkau yang dipersalahkan?"


Mendengar ucapan Hay Hay yang penuh perasaan itu, tiba-tiba Sun Bi terisak semakin keras. Hay Hay mendekat dan menyentuh pundaknya. "Sudahlah, Sun Bi. Mati hidup seseorang berada di tangan Tuhan, diratap-tangisi pun tidak ada gunanya lagi."


Sentuhan tangan Hay Hay pada pundaknya membuat wanita itu seolah-olah menjadi semakin sedih dan ia pun tiba-tiba mengguguk dan menjatuhkan kepalanya bersandar pada dada Hay Hay.

"Hay Hay... ah, Hay Hay ….!" Wanita itu menangis sejadi-jadinya. Hay Hay merasa terharu dan merangkul pundak itu, menggunakan tangannya untuk mengelus rambut yang hitam halus dan berbau harum itu.


"Sudahlah, Sun Bi, sudahlah, hentikan tangismu, tak perlu berduka lagi ……" hiburnya.


Setelah tangisnya mereda, dengan kepala masih bersandar pada pundak dan dada Hay Hay, terdengar Sun Bi terisak berkata, "Selama ini... dalam perantauan, semua laki-laki menghinaku... aku dipandang sebagai seorang janda muda yang boleh dipermainkan sesuka mereka... mereka bersikap kurang ajar mereka menghina, akan tetapi engkau... ah, Hay Hay, baru sekarang aku bertemu dengan seorang laki-laki yang benar-benar baik... yang menaruh kasihan kepada diriku ….."

Hay Hay tersenyum senang, akan tetapi juga terharu. Dia tahu bahwa seorang janda muda mudah merasa tersinggung, dan tentu saja membutuhkan pelindung, membutuhkan orang yang dapat menghiburnya, menyayangnya. Maka dia pun makin mesra mengelus rambut itu.

"Karena engkau cantik manis, Sun Bi, maka semua laki-laki ingin menggodamu dan memiliki dirimu. Asal engkau pandai menjaga diri, semua itu akan berlalu.”


Dengan lembut Sun Bi mengangkat kepalanya, terlepas dari dada Hay Hay dan ia memandang. Dua muka itu berdekatan sehingga Hay Hay dapat mencium bau bedak harum bercampur bau air mata, juga terasa olehnya pernapasan yang hangat menyapu leher dan pipinya.


"Dan engkau... engkau tidak ingin menggoda dan... dan memiliki diriku, Hay Hay?"


Sejenak mereka saling berpandangan, dan Hay Hay mengerutkan alisnya. Darah mudanya sudah berdesir keras naik ke mukanya. Tubuh itu demikian dekatnya, bahkan terasa kehangatannya ketika menempel di tubuhnya dan dalam pandang mata itu dia melihat kemesraan dan pemasrahan diri, juga tantangan. Dia tersenyum dan berkata lirih.


"Sun Bi, engkau cantik manis dan aku adalah seorang yang suka sekali akan segala yang indah. Aku suka padamu, Sun Bi, akan tetapi rasa sukaku dan kecantikanmu bukan berarti bahwa aku harus menggodamu dan menghinamu atau ingin memiliki dirimu seperti mereka itu. Hubungan antara seorang pria dan seorang wanita harus didasari rasa cinta, Sun Bi, dan setiap pemerkosaan dalam bentuk apapun juga merupakan suatu kejahatan.”


Sun Bi yang sejak tadi memandang wajah pemuda itu, menarik napas panjang dan kembali menyandarkan kepalanya di dada Hay Hay. Ia mengeluh panjang lalu berbisik. "Ah, Hay Hay... engkau seperti mendiang suamiku... engkau lembut, baik hati, dan engkau tampan... Hay Hay, apakah engkau cinta padaku?"


Hampir saja Hay Hay mendorong tubuh itu dari atas dadanya karena dia benar terkejut mendengar pertanyaan itu. Namun, dia masih dapat menguasai hatinya dan tersenyum menjawab. "Aku suka padamu, Sun Bi, aku suka dan kasihan, akan tetapi cinta? Aku tidak tahu bagaimana cinta itu, dan pula kita baru saja bertemu, bagaimana mungkin aku tahu tentang cinta?"

"Akan tetapi aku yakin, Hay Hay. Aku yakin bahwa aku... aku cinta padamu! Aku yakin, karena suara hatiku yang membisikkan padaku, dan kau mirip suamiku, bukan hanya wajahnya, juga sikapnya dan segalanya, ohhh…. " Dan wanita itu makin merapatkan tubuhnya. Hay Hay mulai merasa bingung dan khawatir, juga lehernya mulai berkeringat, bukan hanya oleh kehangatan yang keluar dari tubuh wanita yang bersandar padanya. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Ingin dia melepaskan diri, agar dapat bicara dengan baik, agar jantungnya tidak berdebar kencang karena kehangatan dan kelembutan tubuh itu demikian mengguncang perasaannya, akan tetapi dia pun tidak ingin menyinggung perasaan wanita yang sedang haus akan perlindungan dan hiburan ini.


"Hay Hay, maafkan aku, akan tetapi engkau... engkau belum menikah, bukan?" Di dalam suara itu terkandung kekhawatiran dan Hay Hay seperti dapat merasakan betapa tubuh di pangkuannya itu agak menegang



Untuk melawan perasaannya sendiri Hay Hay tertawa dan memang ketika dia tertawa, lenyap ketegangan karena dekatnya tubuh wanita itu. "Ha-ha-ha, mana ada kesempatan bagiku untuk menikah? Dan pula, wanita mana yang mau bersuamikan aku, seorang yang menjadi gelandangan seperti ini, tanpa tempat tinggal tanpa keluarga?”


"Jangan kau merendahkah diri, Hay Hay. Banyak wanita akan berebutan untuk memilikimu. Aku sendiri... ahhh, engkau seolah-olah menjadi pengganti suamiku yang telah tiada. Maafkan aku, aku... aku sudah bertahun-tahun merindukan suamiku, rindu akan pelukannya. Ah, Hay Hay, maukah engkau memelukku? Peluklah, Hay Hay, peluklah aku seperti dulu suamiku memelukku... ahhhhh ……."


Suara itu demikian memelas dan penuh permohonan sehingga Hay Hay merasa tidak tega. Apa salahnya memenuhi keinginan itu? Dia lalu merangkulkan kedua lengannya dan memeluk tubuh Sun Bi. Wanita itu mengerang dan makin merapatkan dirinya, kini bahkan duduk di atas pangkuan Hay Hay sambil merangkul pinggang pemuda itu dan membiarkan diri tenggelam dalam rangkulan Hay Hay. Pemuda itu sebaliknya merasa kepanasan dan mulai bingung. Degup jantungnya terdengar jelas di telinganya sendiri dan dia merasa malu kalau-kalau Sun Bi akan mendengarnya pula.


Tentu saja Sun Bi mendengarnya! Telinga wanita itu menempel di dadanya, dan diam-diam wanita itu tersenyum puas. Suara degup jantung pemuda ganteng itu seolah-olah menjadi sorak kemenangan baginya, atau sorak pertanda bahwa kemenangan sudah berada di ambang pintu! Ia harus pandai bersikap untuk menuntun pemuda ini memenuhi segala kehendaknya, memuaskan segala gairah dan hasratnya yang timbul. Hay Hay yang betapa lihai pun hanyalah seorang pemuda yang masih hijau dalam hal hubungan dengan wanita, walaupun dia terkenal mata keranjang dan perayu wanita, kini berhadapan dengan seorang wanita yang sudah matang, tentu saja dia tidak tahu bahwa dialah yang kini menjadi permainan.


Wanita itu bukan sembarang orang. Selain cantik manis, ia pun memiliki ilmu silat yang amat hebat dan merupakan seorang tokoh besar dalam dunia golongan hitam, terkenal pula sebagai seorang wanita cabul yang menjadi hamba nafsu berahi yang berkobar-kobar dan tak pernah mengenal puas. Entah sudah berapa banyak pria yang menjadi korbannya, menjadi korban permainannya atau pun menjadi mayat karena dibunuhnya karena pria itu tidak memuaskan hatinya atau berani menolaknya! Demikian jahat dan palsunya sampai ia diberi julukan Tok-sim Mo-li (lblis Betina Berhati Racun). Namanya memang Ji Sun Bi dan usianya sudah tiga puluh tahun. Karena pandainya merawat diri dan bersolek, maka ia selalu nampak jauh lebih muda daripada usia yang sebenarnya. Ketika ia menceritakan riwayatnya kepada Hay Hay, memang ada beberapa hal yang benar. Ia memang seorang janda dan suaminya memang telah mati. Akan tetapi suaminya itu mati karena dibunuhnya! Juga kedua mertuanya dibunuhnya! Padahal, baru tiga bulan saja ia menikah dengan suaminya itu.


Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi ini adalah murid tunggal dari Min-san Mo-ko (Iblis Gunung Min-san) yang usianya kini sudah enam puluh tahun. sejak masih kecil Ji Sun Bi yang sudah yatim piatu menjadi murid Min-san Mo-ko dan setelah ia menjadi dewasa, ia pun menjadi kekasih Min-san Mo-ko! Akan tetapi, guru yang mengambil murid menjadi kekasih ini memberi kebebasan kepada Sun Bi untuk bermain cinta dengan pria yang disukainya, di mana saja dan kapan saja! Bahkan gurunya ini mempunyai kesukaan yang aneh dan tidak patut. Dia suka mengintai kalau murid yang juga menjadi kekasihnya ini bermain cinta dengan orang lain! Dan Sun Bi tahu bahwa gurunya mengintai, akan tetapi ia pun malah senang kalau ditonton gurunya. Demikian bejat sudah ahlak kedua orang guru dan murid yang sebenarnya tak pernah berpisah ini sehingga mereka berdua terkenal sebagai sepasang iblis yang ditakuti, terutama di sepanjang sungai Min-kiang di Pegunungan Min-san.


Ketika Sun Bi menikah dengan pria yang membuatnya tergila-gila, Min-san Mo-ko tidak keberatan, bahkan dia yang bertindak sebagai "wali". Akan tetapi, hubungan di antara mereka masih saja dilanjutkan. Pada suatu hari, setelah menikah tiga bulan, suaminya menangkap basah hubungan antara isterinya dengan kakek itu. suaminya marah, akan tetapi Sun Bi yang sudah mulai bosan dengan suaminya, lalu turun tangan membunuhnya. Juga ayah dan ibu mertuanya dibunuhnya, kemudian ia melanjutkan permainan cintanya dengan Min-san Mo-ko di dalam ruangan di mana menggeletak mayat-mayat suaminya dan kedua mertuanya!


Pada suatu hari, kebetulan saja Sun Bi melihat Hay Hay yang sedang memancing ikan. Segera ia tertarik sekali karena Hay Hay memang memiliki banyak daya tarik yang kuat bagi wanita. Maka ia lalu mendekati Hay Hay, menggunakan kepandaiannya untuk bermain sandiwara. Hay Hay yang masih hijau itu tentu saja tidak menduga akan hal itu dan dia pun terkecoh, melayani wanita yang sebenarnya kehausan dan tak pernah puas dengan pria itu.


"Betapa rinduku selama bertahun-tahun ini kepada suamiku yang telah tiada..., siang malam aku merindukan pelukannya dan kini engkau mau memelukku seperti yang dilakukan suamiku dahulu …… ah, terima kasih, Hay Hay, terima kasih ….”


Hay Hay merasa terharu sekali akan tetapi juga girang bahwa sedikitnya dia dapat menghibur wanita yang sengsara ini. Dan dia pun bukan asing dalam pergaulan dengan wanita. Bahkan sudah seringkali dia berdekatan dengan wanita, berpacaran. Walaupun belum pernah dia melakukan hubungan yang lebih mendalam. Karena itu, merangkul dan memeluk tubuh wanita yang hangat itu pun tidak membuat dia kehilangan keseimbangannya.


Akan tetapi, seperti tidak disengaja, kedua tangannya yang merangkul itu ditangkap oleh kedua tangan Sun Bi dan wanita itu mengeluh. "Hay Hay... peluklah aku, belailah aku seperti dahulu suamiku membelaiku... ciumlah aku ….."


Sun Bi seperti menuntun Hay Hay yang nemenuhi semua permintaannya. Hay Hay membelai dan menciumnya. Ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda ini agak canggung menurut ukuran ia yang sudah berpengalaman, Sun Bi lalu balas mencium, dan mengajarnya cara bermain asmara yang amat asing bagi Hay Hay, yang dianggap terlampau berani!



Kalau tadinya Ji Sun Bi berusaha menggoda dan membangkitkan gairah pada pemuda itu, akibatnya malah ia sendiri yang kebakaran! Wanita itu sendiri yang kini dicengkeram berahi sampai ke puncaknya dan tubuhnya sudah panas dingin, gemetaran ketika ia berbisik.


"Hay Hay... belum... belum pernahkah engkau dengan wanita ….?"


Menghadapi permainan asmara yang amat berani dan merangsang dari Sun Bi, betapapun juga. Hay Hay merasa betapa seluruh tubuhnya panas dan gemetar. Dia memandang wanita itu dan menggeleng kepala, tidak menjawab karena dia tahu bahwa suaranya tentu terdengar aneh dan menggetar.

Melihat ini, nafsu berahi semakin kuat mencengkeram pikiran Ji Sun Bi. Bagaikan seekor kuda binal yang lepas kendali, ia menarik tangan Hay Hay untuk rebah di atas rumput. Akan tetapi tiba-tiba Hay Hay melepaskan diri dari pelukan dan melangkah mundur setelah dia tadi bangkit. Dia hanya menggeleng kepala sambil mengerutkan alis.


Sun Bi yang sudah kebakaran itu cepat meloncat berdiri dan menyambar tangan Hay Hay. "Hay Hay, kenapa? Marilah... aku... aku cinta padamu, Hay Hay, aku membutuhkan dirimu, aku...”


“Tidak, Sun Bi. Semua ada batasnya dan aku tidak mau melanggar batas itu. Aku belum siap untuk yang satu itu dan aku tidak mau melakukannya."


"Hay Hay...!" Sun Bi yang sudah mata gelap itu menarik, akan tetapi Hay Hay mempertahankan, bahkan lalu merenggutkan tangannya terlepas dari pegangan Sun Bi.


"Hay Hay, kasihanilah aku... aku kesepian …. aku …..”


"Tidak, Sun Bi. sadarlah, tenanglah! Engkau harus dapat menguasai dirimu. Aku mau menghiburmu, akan tetapi untuk yang satu itu, maaf, aku tidak mau melakukannya!" katanya tegas. Dia memang suka kepada wanita, suka berdekatan, suka bercumbuan, dan harus diakuinya bahwa bangkit pula gairahnya yang amat besar. Namun, dia tahu bahwa harus ada batasnya dan dia tidak boleh melanggar batas itu sembarangan saja. Dia hanya akan mau melakukan hal itu dengan wanita yang dicintanya, tidak dengan sembarang wanita, apalagi Ji Sun Bi yang janda muda dan baru saja dikenalnya.


Tiba-tiba terjadi perubahan pada wajah Ji Sun Bi. Wajah yang tadinya agak pucat dan pandang matanya sayu merayu itu, kini berubah kemerahan dan pandang matanya berubah sama sekali, menjadi berkilat. Mata yang tadinya memandang kepadanya dengan setengah terpejam, basah dan sayu, kini mencorong dan melotot. Mulut yang tadinya tersenyum manis, agak terengah dan menciuminya, juga diciuminya, kini ditarik keras dan terdengar suaranya membentak keras, "Hay Hay, sekali lagi. Benar engkau tidak memenuhi kehendak hatiku, memuaskan hasrat cintaku?"

Hay Hay terkejut melihat perubahan itu dan baru sekarang dia melihat kekejaman membayang pada sinar mata dan mulut itu. Dia hanya menggeleng kepala, merasa heran terkejut dan juga penasaran. Belum pernah dia bertemu dengan wanita senekat ini.


"Keparat jahanam! Apakah engkau lebih senang mampus?" Wanita itu, dengan mulutnya yang manis, hangat dan bergairah, kini memaki dengan kata-kata yang penuh kebencian.


"Sun Bi, ingatlah. Kita bersahabat, bukan? Kita baru saja bertemu, dan kita telah menjadi teman "


"Cukup! Untuk yang terakhir, mau tidak engkau melayani aku?"


Hay Hay mengerti apa yang dimaksudkan dan dengan sikap tegas dia menggeleng kepala.


"Mampuslah!” Tiba-tiba saja wanita itu sudah menerjang dengan pukulan tangan miring ke arah lehernya. Pukulan maut! Wanita ini jelas bermaksud membunuhnya sebagai pelampiasan kemarahan dan kekecewaan hatinya. Keganasan dan kekejamannya ini mengejutkan Hay Hay, walaupun serangan itu sendiri tidak mengejutkannya karena dia memang sudah bersikap waspada sejak tadi. Dengan mudah saja dia mengelak ke kiri, membiarkan pukulan itu lewat tanpa membalas.


Kini Jin Sun Bi yang merasa terkejut sendiri. Ia tadi sudah merasa yakin bahwa dengan sekali pukulan saja, pria yang mengecewakan hatinya itu tentu akan roboh dan tewas. Pukulannya tadi selain keras bertenaga, juga dilakukan dengan kecepatan kilat. Akan tetapi, siapa kira bahwa pemuda yang kelihatannya lemah ini mampu mengelak dan menghindarkan diri dari pukulan pertamanya. Ia masih merasa penasaran dan mengira bahwa hal itu hanya kebetulan saja.



"Heiiiittt …..!" Serangan berikutnya menyusul dan sekali ini, kedua tangannya mencengkeram dari kanan kiri, disusul tendangan kakinya.


"Wuuuttt... dukkk!" Tubuh Ji Sun Bi hampir terpelanting ketika tendangannya ditangkis Hay Hay setelah kedua cengkeramannya mengenai angin saja. Barulah wanita itu sadar bahwa pemuda itu ternyata tidaklah selemah yang disangkanya.


"Keparat, kiranya engkau dapat bersilat? Nah, kausambutlah ini!" Dan kini Ji Sun Bi menyerang seperti datangnya gelombang lautan yang ganas sekali, menghujankan serangan bertubi-tubi dengan gencar sekali dan setiap pukulan mengandung tenaga sin-kang yang akan dapat menewaskan seorang lawan tangguh!


Hay Hay maklum bahwa dia tidak boleh main-main lagi. Bagaimanapun juga, wanita ini ternyata memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada yang diduganya semula. Hal ini dapat diukurnya dari pertemuan tangan ketika dia menangkis tadi, juga dari kecepatan gerakannya. Maka, dia pun tidak mungkin tinggal diam dan hanya mengandalkan elakan dan tangkisan. Kalau hal ini terus dilakukan, dia dapat terancam bahaya. Apalagi karena dia maklum bahwa wanita ini jahat sekali, tentu inilah golongan wanita sesat yang pernah dia dengar diceritakan oleh Ciu-sian Sin-kai, gurunya yang ke dua. Menurut gurunya, dia harus berhati-hati menghadapi wanita-wanita cantik yang berwatak cabul, karena selain mereka itu lihai, juga licik dan pandai merayu. "Hati-hati," demikian antara lain gurunya berpesan, "engkau memiliki kelemahan terhadap wanita, dan rayuan wanita cantik jauh lebih berbahaya dan sukar dielakkan daripada serangan yang bagaimanapun dahsyatnya."





Ketika terdengar suara itu,dan merasakan angin semilir meniup mukanya, tiba-tiba Hay Hay merasa kesadarannya pulih kembali, kedua tangannya menurut perintahnya dan berhenti dengan kegiatan mereka yang sama sekali tidak dikehendakinya. Ketika dia memandang, dia bergidik melihat betapa baju atasnya telah tanggal, sedangkan kedua tangannya tadi mulai membuka celananya. Terlambat sedikit saja tentu dia sudah bertelanjang bulat! Cepat dia mengenakan kembali bajunya dan meloncat berdiri, memandang kepada seorang kakek berambut putih yang tiba-tiba muncul di situ.


"Keparat"' Min-san Mo-ko membentak marah dengan mata melotot. "Berani kau mencampuri urusanku? Aku akan membunuhmu!" Berkata demikian, Min-san Mo-ko mengangkat pedangnya dan menerjang ke depan. Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya tersentak ke belakang, seperti tertolak oleh kekuatan yang hebat, dan betapapun dia berusaha untuk maju, kedua kakinya tetap saja tertumbuk sesuatu dan tidak dapat maju, tidak dapat mendekati kakek yang rambut dan jenggotnya sudah putih semua itu.


"Setan, lihat kekuatanku"' Min-san Mo-ko berseru dan dia menghentakkan kakinya di atas tanah beberapa kali, mulutnya berkemak-kemik. Hay Hay hanya menonton saja karena merasa tidak mampu menghadapi ilmu-i1mu sihir yang aneh itu. Tiba-tiba Min-san Mo-ko menggerakkan tangannya dan angin yang keras sekali menyambar ke arahnya, ke arah kakek berambut putih. Rambut dan pakaian kakek itu sampai melambai-lambai dan angin itu mengeluarkan suara menderu-deru. Akan tetapi di tengah badai yang mengamuk itu, terdengar suara yang lunak dan lembut seperti tadi,


"Min-san Mo-ko, perbuatan jahat hanya akan menimpa diri sendiri, bukan orang lain."


Aneh sekali, angin itu kini berputaran di sekeliling kakek berambut putih, dan setelah berputaran beberapa kali, angin itu membalik dan menerjang Min-san Mo-ko dengan kekuatan yang berlipat ganda. Hay Hay melihat betapa Min-san Mo-ko terjengkang dan bergulingan, sedangkan Ji Sun Bi berlindung di balik batu besar dan sedang memakai kembali pakaiannya karena perempuan ini tadi sudah hampir telanjang sama sekali.


Min-san Mo-ko berteriak-teriak dengan suaranya yang melengking, lalu meloncat bangkit lagi. Kini dia mendorong dengan kedua telapak ta~gannya dan dari kedua telapak tangan itu kini mencuat sinar yang kemerahan, seperti api yang menyambar perlahan-lahan menuju ke arah kakek berambut putih.


"Siancai-siancai-siancai ……!” Kakek itu berkata halus, dan dia pun menjulurkan kedua tangan dengan telapak tangan menghadap keluar. Dari kedua telapak tangannya kini keluar sinar terang yang perlahan-lahan meluncur ke depan, menyambut sinar kemerahan yang keluar dari telapak tangan Min-san -Mo -ko. Dua gulung sinar itu bertemu di antara mereka dan bertaut, akan tetapi Hay Hay melihat betapa perlahan akan tetapi pasti, sinar kemerahan dari Min-san Mo-ko terdorong mundur, terus mundur oleh sinar terang. Akan tetapi Hay Hay juga melihat betapa tubuh Ji Sun Bi berkelebat dan dengan sepasang pedangnya, wanita itu berindap-indap menghampiri kakek berambut putih dari belakang, siap untuk menusuk dari belakang dan agaknya kakek rambut putih itu tidak melihatnya. Melihat hal ini, Hay Hay meloncat dan membentak.

"Manusia curang!" Dan kakinya sudah menendang.


"Desss …….!" Tubuh Ji Sun Bi terlempar dan terbanting keras. Akan tetapi sekali ini pun Hay Hay membatasi tenaganya sehingga wanita itu hanya terbanting saja dengan keras, tidak sampai menderita luka parah.


Sementara itu, sinar merah telah kembali ke telapak tangan Min-san Mo-ko dan sinar terang pun kembali ke ta ngan kakek berambut putih. "Pergilah kalian!" Kakek berambut putih itu berseru perlahan dan tangan kirinya melambai seperti menyuruh mereka pergi dan guru bersama muridnya itu seperti mentaati perintah ini dan mereka berdua pun mengambil langkah seribu, melarikan diri dari tempat itu!


Setelah kedua orang itu pergi dan tidak nampak lagi, tiba-tiba kakek berambut putih itu mengeluh dan tubuhnya terhuyung, lalu dia jatuh terduduk dan bersila di atas rumput. Hay Hay terkejut bukan main, cepat dia menghampiri dan berlutut di dekat kakek itu.


"Locianpwe kenapakah ?" tanyanya, khawatir melihat betapa wajah kakek ini pucat sekali.

Kakek itu membuka matanya, memandang kepada Hay Hay dan tersenyum, wajahnya ramah dan nampak kesabaran luar biasa membayang di seluruh bagian wajahnya. "Orang muda yang gagah, jangan menyebut Locianpwe padaku, karena aku hanyalah seorang pertapa yang lemah. Bahkan kalau tidak ada engkau, tadi aku tentu sudah tewas di ujung pedang wanita itu."

"Akan tetapi... Locianpwe telah menyelamatkan saya dari... dari ….." Tiba-tiba wajah Hay Hay berubah merah karena dia teringat akan peristiwa yang amat memalukan tadi.


Kakek itu mengangguk-angguk. "Aku tahu, engkau akan mengalami penghinaan, kemudian mungkin sekali kematian. Guru dan murid itu memang jahat sekali dan mereka seperti bukan manusia lagi, tidak mengenal tata susila dan kesopanan lagi. Akan tetapi, aku hanya dapat mengusir mereka dengan kekuatan sihir. Kalau mereka menyerangku dengan ilmu silat, hemmm, aku sama sekali tidak pandai ilmu silat dan... ahhhhhh!” Kakek itu memejamkan kedua matanya dan menggigit bibir, nampaknya menahan rasa nyeri yang hebat.


"Locianpwe... apakah Locianpwe terluka …..?" Hay Hay bertanya khawatir, masih belum dapat menerima bahwa kakek yang telah menyelamatkannya ini seorang pertapa lemah yang tidak pandai silat, hanya pandai dengan ilmu sihir saja.


Kakek itu mengangguk. " Aku memang sedang menderita sakit, akan tetapi bukan karena pertandingan tadi. Penggunaan sihir memaksa aku mengerahkan tenaga dan membuat penyakitku menjadi bertambah berat. Aahhh, orang muda, kalau tidak mendapatkan obatnya, agaknya paling lama dua puluh empat jam lagi aku akan terpaksa meninggalkan dunia yang keruh ini …."



Tentu saja Hay Hay menjadi prihatin sekali. Bagaimanapun juga, kakek ini adalah penolongnya! "Locianpwe, apakah obat itu? Di mana mencarinya? Biarlah saya yang akan mencarikan untukmu."

Sepasang mata yang sayu itu kini menjadi terang dan wajah kakek itu berseri, jelas nampak harapan timbul dalam hatinya ketika dia memandang Hay Hay.


"Benarkah engkau mau menolongku, orang muda yang gagah?"


"Harap Locianpwe tidak meragukan kesanggupan saya. Apa artinya saya mempelajari ilmu kalau tidak untuk, menolong siapa saja yang terancam bahaya? Apalagi Locianpwe baru saja menyelamatkan saya. Katakanlah di mana saya dapat menemukan obat itu dan apakah macamnya obat itu."


"Ah, kalau saja kekuatan sihirku dapat menundukkan harimau seperti menundukkan manusia, tentu sudah lama dapat aku mencari sendiri obat itu. Obat yang akan dapat menyembuhkan penyakitku adalah otak seekor harimau dan di di hutan yang nampak dari sini itu terdapat banyak harimau hitam yang kumaksudkan."


"Otak seekor harimau hitam? Di hutan itu? Baiklah, harap Locianpwe menunggu di sini sebentar, saya akan mencarikannya!" Setelah berkata demikian, Hay Hay meloncat dan berlari cepat. Kakek itu tertegun melihat betapa sekali berkelebat saja pemuda itu telah lenyap dari depannya. Seorang pemuda yang gagah perkasa dan memiliki ilmu silat tinggi, pikirnya. Sayang dia tidak mahir ilmu sihir sehingga tadi hampir saja menjadi korban kekuatan sihir Min-sah Mo-ko! Kakek ini pun mengangguk- angguk karena dia tahu dengan cara apa dia akan membalas kalau pemuda itu benar-benar dapat mencarikan obat dan dapat menyembuhkan penyakit yang dideritanya selama ini.


Dengan ilmu berlari cepat, sebentar saja Hay Hay tiba di tempat tujuan, memasuki hutan yang agak gelap karena di situ tumbuh pohon-pohon yang besar sekali, usianya sudah ratusan tahun dan amat lebat dan liar. Dia segera mencari binatang yang dikehendaki kakek itu dan akhirnya, jauh di tengah hutan, dia melihat dua ekor harimau hitam yang sedang mendekam di bawah pohon besar. Harimau-harimau itu sebesar anak lembu, nampaknya tangkas dan cekatan, liar dengan mata kehijauan yang bersinar-sinar. Belum pernah Hay Hay berkelahi dengan harimau, maka berdebar juga jantungnya karena tegang ketika dia menghampiri dua ekor binatang buas itu.

Dua ekor harimau itu segera dapat mencium bau manusia yang datang mendekat. Mereka bangkit dan menoleh. Ketika melihat Hay Hay muncul, mereka hanya mengeluarkan suara menggereng, memperlihatkan taring-taring yang runcing, akan tetapi tidak membuat gerakan menyerang. Hay Hay menenangkan hatinya dan dia pun mendekat, sikapnya hati-hati dan penuh kewaspadaan. Dia dapat menduga bahwa dua ekor harimau itu tentu jantan dan betina, dan tahu bahwa kedua ekor binatang itu tentu akan menyerangnya berbareng Dia belum tahu sampai di mana kekuatan atau kecepatan dua ekor harimau itu, namun maklum bahwa mereka tentu berbahaya sekali. Maka dia pun waspada, dan sudah mempersiapkan suling kayu hitamnya. Dia harus dapat membunuh keduanya, karena melarikan diri dari seekor harimau tentu saja amat berbahaya.

Dia pun berindap-indap mendekat, dan melihat betapa dua ekor harimau itu hanya mengikuti semua gerakannya dengan pandang mata mereka yang mencorong, Hay Hay mengerti bahwa dua ekor binatang itu berbahaya sekali dan agaknya cukup cerdik dan seperti juga dia, dua ekor harimau itu agaknya hendak mengukur kekuatannya dan mencari kesempatan baik.

"Hemmmmm …..!" Hay Hay menggereng dan kini dua ekor harimau itu memutar tubuh menghadapinya, menggereng-gereng dan makin lebar menyeringai dan memperlihatkan gigi mereka.

Melihat betapa mereka masih belum mau bergerak menyerang, hanya mengambil ancang-ancang dan agaknya mereka mengatur jarak karena kalau dia mendekat mereka mundur dan kalau dia mundur mereka maju, Hay Hay lalu menggunakan kakinya menendang sebatang kayu kering ke arah mereka untuk mengusik mereka.


Pancingannya berhasil. Dua ekor harimau itu nampak marah, merendahkan tubuhnya, mencengkeram tanah dan tiba-tiba seekor di antara mereka mendahului penyerangan, menubruk dengan loncatan yang amat kuat dan cepat. Hay Hay yang sudah siap siaga, melihat tubrukan yang demikian kuat dan cepatnya, segera menghindarkan diri dengan meloncat ke kiri, akan tetapi tidak lupa untuk menyambut dengan tendangan kaki kanan ketika tubuh harimau itu meluncur lewat di sampingnya.


"Bukkk!!" Tendangan itu cukup keras, membuat tubuh harimau itu terpelanting dan terbanting. Binatang itu mengaum keras dengan marahnya dan kini harimau ke dua sudah menerjang dengan dahsyatnya, tidak menubruk seperti tadi, melainkan menerjang dengan penyerangan dua buah kaki depannya, tubuhnya berdiri di atas kedua kaki belakang.


Akan tetapi Hay Hay sudah cepat meloncat lagi dengan elakan yang cepat. Pada saat itu, harimau jantan sebagai penyerang pertama, sudah meloncat dan menubruknya lagi dari belakang! Hay Hay maklum betapa hebatnya bahaya mengancam. Tak mungkin cengkeraman kuku-kuku sekuat baja dari kaki yang amat kokoh kuat itu dihadapi dengan kekebalan sinkang. Dia pun mengelak lagi. Ketika dia mengelak, kaki kiri depan binatang itu masih mencakar ke samping. Hay Hay mengayun suling kayu hitamnya, menangkis.


"Dukk!" Kembali tubuh harimau itu terpelanting. Hay Hay tidak menyiakan kesempatan ini, cepat dia menerjang dengan tendangannya pula yang mengenai tubuh belakang harimau itu.

"Desss …..!" Harimau itu terlempar dan terbanting jatuh sampai bergulingan. Hal ini membuat harimau betina marah. Sambil mengeluarkan suara mengaum dahsyat, ia pun sudah menubruk dari samping. Pada saat itu, Hay Hay yang baru saja melakukan tendangan berada dalam posisi yang kurang baik, maka tidak sempat lagi baginya untuk mengelak. Terpaksa dia menyambut tubrukan itu dengan ayunan suling kayunya yang menusuk dari samping ke arah leher harimau, disusul tangan kirinya yang diayun dan melakukan pukulan ke arah kepala harimau itu. Tentu saja dia mengerahkan tenaga ketika memukul.



--121—



Kakek yang duduk di depannya ini telah menjadi gurunya yang ke tiga, Hay Hay tidak mau merahasiakan keadaannya lagi. "Sejak kecil teecu dirawat dan dididik oleh dua orang Suhu, yaitu See-thian Lama dan Suhu Ciu-si,an Sin-kai …”


"Ya Tuhan ……!" Kakek itu terbelalak memandang kepada pemuda itu seperti tidak percaya akan pendengarannya sendiri. "See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai…… ? Bukankah mereka itu... dari Delapan Dewa….?


Hay Hay mengangguk. "Benar, Suhu. Mereka adalah dua dari Delapan Dewa yang masih hidup."

"Hebat hebat...! Engkau bahagia sekali dapat menjadi murid mereka dan aku bangga bukan main dapat membimbing seorang murid dari See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai. Ohhh, kini aku akan dapat mati dengan tenang."


"Suhu, bolehkan teecu mengetahui nama dan julukan Suhu?"


Kini kakek itu menghela napas panjang. " Aku sendiri sudah lupa siapa namaku, karena selama puluhan tahun aku bertapa dan tidak berhubungan dengan manusia lain sehingga namaku pun tak pernah disebut-sebut lagi. Akan tetapi, tentu saja untukmu aku harus mempunyai nama. Nah, sebut saja namaku Pek Mau San-jin (Pertapa Gunung Berambut Putih), cocok dengan keadaanku, bukan?"


Hay Hay tidak mendesak lagi dan mulai hari itu, dia pun mengikuti Pek Mau San-jin, pergi ke puncak Pegunungan Min-san, ke dalam guha-guha yang paling sunyi untuk belajar ilmu sihir yang banyak membutuhkan latihan samadhi di tempat yang amat hening. Kakek itu dengan tekun melatih muridnya dengan dasar-dasar latihan kekuatan batin sebagai dasar pelajaran ilmu sihir. Akan tetapi sebelum memulai dengan pelajaran ilmu sihir, kakek itu dengan tegas memperingatkan muridnya. "Hay Hay, ingat baik-baik. Biarpun segala macam ilmu kalau dipergunakan dengan sesat akhirnya akan menjadi kutuk bagi sendiri, namun ilmu sihir ini mendatangkan akibat yang langsung. Sejak ribuan tahun turun-temurun, yang mempelajari ilmu sihir seperti yang akan kuajarkan kepadamu, tidak terlepas daripada syarat batin yang tak dapat dihindarkan lagi. Yaitu, ilmu ini harus dipergunakan untuk kebaikan saja, dan dilarang keras untuk dipergunakan secara sesat. Tidak boleh dipergunakan untuk melakukan kejahatan atau merugikan orang lain, lahir maupun batin. Kalau sampai larangan ini dilanggar, maka akibatnya akan menghantam diri sendiri. Ilmu itu sendiri yang akan menghancurkannya, sedikitnya mendatangkan penyakit seperti yang kualami, besar kecilnya hukuman itu sesuai dengan besar kecilnya pelanggaran. Bahkan ilmu itu sendiri akan dapat membunuh kalau sampai melakukan kejahatan yang besar. Karena itu, ingatlah selalu, muridku, bahwa ilmu ini tidak sekali-kali boleh dipergunakan untuk kejahatan, karena engkau tidak akan bebas daripada hukumannya."

Hay Hay mengangguk-angguk, sedikit pun tidak merasa khawatir. "Akan teecu ingat selalu, Suhu."

Demikianlah, mulai hari itu Hay Hay belajar dengan tekun. Akan tetapi, dia hanya sempat belajar satu tahun saja pada Pek Mau San-jin, karena setelah kurang lebih setahun mempelajari ilmu sihir dari kakek itu, Pek Mau San-jin meninggal dunia karena usia tua. Hay Hay mengubur jenazah kakek yang menjadi gurunya itu seperti pesannya ketika masih hidup, di bawah sebatang pohon di dekat guha tempat gurunya bertapa, meletakkan sebuah batu besar sebagai tanda makam. Setelah melakukan sembahyang untuk memberi hormat terakhir kepada gurunya, Hay Hay lalu pergi meninggalkan tempat itu. Kini dibekali sebuah ilmu baru, yaitu ilmu sihir yang walaupun belum dipelajari sampai tamat karena gurunya keburu meninggal dunia, namun kiranya cukup untuk memperlengkap bekal ilmu pembela dan pelindung diri.


**
Sungai Yalong merupakan sebatang sungai yang amat panjang, mengalir dari utara jauh melampaui tapal batas Propinsi Secuan, merupakan satu di antara anak Sungai Yang-ce yang amat panjang. Sungai Yalong mengalir dari Cing-hai, masuk ke Propinsi Secuan sebelah utara, mengalir sepanjang Propinsi Secuan ke selatan, sampai dekat kota Takou di ujung selatan Propinsi Secuan, Sungai Yalong bertemu dengan Sungai Jin-sha, membelok ke timur dan menjadi Sungai Yang-ce yang amat terkenal itu.


Sungai Yalong mengalir melalui Pe gunungan Jin-ping-san dan di pegunungan inilah, di sepanjang Sungai Yalong, terdapat sebuah perkampungan yang menjadi pusat dari perkumpulan Pek-sim-pang. Keluarga Pek yang belasan tahun yang lalu meninggalkan Tibet karena dimusuhi para pendeta Lama yang menghendaki keturunan mereka yang dianggap Sin-tong, membawa anak buah Pek-sim-pang yang setia kepada keluarga itu, mengungsi masuk Propinsi Secuan yang menjadi tempat asal keluarga Pek. Akhirnya keluarga itu, bersama para anggauta Pek-sim-pang yang juga menjadi murid-murid mereka, rombongan itu menetap di tepi Sungai Yalong itu. Tempat itu amat indahnya, merupakan daerah perbukitan yang menjadi lereng Pegunungan Jin-ping-san. Daerah itu memiliki tanah yang subur dan hutan-hutan lebat yang dihuni banyak binatang-binatang buruan. Karena air cukup, tanah subur dan hutan-hutan lebar, keluarga besar Pek-sim-pang tinggal di tempat itu dengan senang, bertani, berburu dan dari sungai itu sendiri mereka dapat memperoleh ikan. Juga dari dalam hutan rnereka bisa rnendapatkan kayu-kayu besar untuk membangun rumah-rumah mereka. Kini, keluarga itu terkenal sebagai pedagang hasil bumi dan rempa-rempa, disamping terkenal pula sebagai perkumpulan orang-orang gagah yang disegani dan ditakuti oleh para penjahat. Semenjak Pek-sim-pang bermarkas di tempat itu, daerah itu sampai berpuluh li luasnya, menjadi aman. Para penjahat terpaksa pergi mengungsi, dan hanya berani melakukan kejahatan jauh di luar jangkauan kekuasaan dan pengaruh keluarga besar Pek-sim-pang.


Setelah tinggal di daerah itu selama belasan tahun, Pek-sim-pang menjadi semakin terkenal. Anggauta atau murid Pek-sim-pang yang jumlahnya kurang lebih seratus orang itu kini bertambah karena di antara mereka ada yang sudah berkeluarga dan tinggal di dalam perkampungan yang merupakan markas atau benteng perkumpulan Pek-sim-pang itu. Perkampungan itu kini memiliki hampir dua ratus orang penghuni tetap. Setelah banyak di antara murid Pek-sim-pang bekerja menjadi pengawal-pengawal perjalanan, penjaga-penjaga. keamanan dan sebagainya, maka pengaruh Pek-sim-pang menjadi semakin meluas, sampai meliputi banyak kota besar di Propinsi Secuan.



Perkampungan itu cukup luas, berada di lereng sebuah bukit. Dari jauh sudah nampak tembok putih tinggi yang menjadi pagar perkampungan itu. Dua pintu gerbang depan dan belakang dibuka lebar-lebar di waktu siang hari, dan untuk menjaga keamanan karena sebagai perkumpulan orang gagah tentu ada saja pihak penjahat yang menaruh dendam, setiap hari, siang malam, pintu-pintu gerbang itu dijaga secara bergilir. Rumah keluarga Pek berada di tengah perkampungan, dikelilingi rumah-rumah para anggauta. Rumah keluarga Pek itu cukup besar, terbuat dari tembok dan kayu-kayu besar. Pekarangan depannya luas, ditanami pohon-pohon buah, dan di belakang rumah terdapat kebun sayur yang cukup luas, sebuah taman bunga mungil berada di sebelah timur rumah.


Pada waktu itu, yang menjadi ketua Pek-sim-pang adalah Pek Kong yang telah berusia empat puluh satu tahun. Para ketua Pek-sim-pang memang keturunan keluarga Pek, turun temurun. Pek Kong beristerikan Souw Bwee yang sudah berusia tiga puluh delapan tahun, seorang wanita yang juga memiliki ilmu silat bersumber kepada ilmu silat Siauw-lim-pai. Walaupun kepandaian silatnya tidak setinggi suaminya, namun wanita itu termasuk seorang wanita perkasa. Ayah dari Pek Kong yang bernama Pek Ki Bu, bekas Ketua Pek-sim-pang pula, telah mengundurkan diri dan kini hanya menjadi penasehat saja dari puteranya yang menggantikannya menjadi ketua. Dalam usianya yang enam puluh tahun, Pek Ki Bu telah menjadi seorang duda karena isterinya telah meninggal dunia karena penyakit. Hidupnya terasa sunyi dan untung bahwa dia mempunyai seorang cucu perempuan yang menjadi penghibur hatinya. Seperti diketahui, Pek Kong mempunyai seorang putera yang menjadi sebab keributan sehingga keluarga Pek terpaksa melarikan diri dari Tibet, dianggap sebagai Sin-tong (Anak Ajaib) calon Dalai Lama! Dan semenjak puteranya itu dibawa pergi oleh kakek buyutnya, yaitu Pek Khun, pendiri dari Pek-sim-pang, untuk diselamatkan dan disembunyikan dari pengejaran para pendeta Lama dan para tokoh sesat di dunia hitam yang memperebutkannya, kehidupan keluarga Pek menjadi muram dan sunyi. Akan tetapi empat tahun kemudian sejak anak yang menghebohkan itu terlahir, Souw Bwee atau Nyonya Pek Kong telah melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Pek Eng. Anak inilah yang kemudian menjadi hiburan bagi Kakek Pek Ki Bu yang ditinggal mati isterinya. Dia mendidik cucunya itu penuh kasih sayang.


Kini Pek Eng telah menjadi seorang gadis berusia enam belas tahun yang berwajah manis sekali. Ia lincah gembira, jenaka dan nakal suka menggoda orang, juga galak dan manja karena sejak kecil dimanjakan oleh kakeknya. Tentu saja ia mewarisi ilmu silat yang diajarkan sendiri oleh kakeknya dan karena ia seorang anak yang cerdas dan berbakat maka dalam usia enam ibelas tahun, ia telah menjadi seorang gadis yang gagah perkasa dan kiranya tidak ada di antara murid Pek-sim-pang yang dapat menandinginya.


Pek Eng seorang gadis remaja yang bertubuh tinggi ramping, dengan sepasang kaki yang panjang, pinggang yang kecil, namun dalam usia enam belas tahun, bagaikan setangkai bunga yang mulai mekar semerbak harum, tubuhnya sudah nampak padat berisi dengan lekuk-lekung yang sempurna. Kecepatan dewasanya ini adalah karena ia hidup di alam bebas, suka berburu binatang dan sudah biasa terpanggang terik matahari, tertiup angin badai, tertimpa hujan lebat, pendeknya ia sudah biasa menghadapi keadaan yang keras dan sulit. Katena di daerah Secuan bagian selatan banyak terdapat orang-orang dari suku bangsa Yi, maka sedikit banyak kehidupan Pek Eng terpengaruh pula oleh kebiasaan suku bangsa Yi. Apalagi karena kakeknya, setelah kini mengundurkan diri, tertarik oleh kehidupan rohani yang menjadi tradisi suku bangsa Yi, yaitu mendasarkan kehidupan agama mereka dari kitab-kitab suci, kitab-kitab kuno yang bersumber kepada Agama Hindu kuno. Kakek Pek Ki Bu kini tekun membaca kitab-kitab kuno itu dan membiarkan cucunya banyak bergaul dengan suku bangsa Yi. Pakaian dari suku bangsa ini amat indah, juga gagah, sesuai dengan watak suku bangsa Yi yang terkenal sejak jaman dahulu sebagai peraiurit-perajurit yang gagah perkasa. Selain terkenal sebagai perajurit-perajurit yang gagah perkasa, juga suku bangsa Yi terkenal sebagai orang-orang yang mempertahankan kebudayaan dan tradisi mereka, hidup sebagai keluarga dan masyarakat golongan tinggi dan menganggap kelompok mereka lebih tinggi derajatnya dengan suku-suku lain. Tidaklah mengherankan kalau hampir setiap keluarga Yi, walaupun yang tergolong kurang mampu, memiliki budak belian atau hamba sahaya yang terdiri dari orang-orang yang pernah mereka talukkan, dari suku-suku lain yang dianggap lebih rendah martabat dan derajat mereka.


Suku bangsa Yi suka mengenakan pakaian yang berwarna hitam sebagai dasar, dengan beraneka ragam dan warna hiasan. Juga mereka biasa menghias dan menutupi kepala mereka dengan kain sorban yang dihias dengan bulu burung, atau yang bagian ujung sorbannya dibentuk mencuat ke atas sebagai pengganti bulu burung.


Pek Eng juga sering kali mengenakan pakaian suku bangsa Yi, walaupun adakalanya dia mengenakan pakaian biasa sebagai seorang gadis bersuku bangsa Han, yaitu suku bangsa terbesar di seluruh Tiongkok. Dan tentu saja Pek Eng pandai berbahasa Yi. Pandai pula ia menunggang kuda, mempergunakan anak panah dan suling, di samping tentu saja pandai bermain silat tangan kosong dan pedang dari ilmu silat keluarganya.


Keluarga Ketua Pek-sim-pang itu sudah lama prihatin kalau mereka memikirkan tentang keturunan mereka, yaitu Pek Han Siong. Ketika Kakek Pek Khun yang sudah tua sekali itu meninggal dunia, dia tidak meninggalkan pesan apa pun mengenai putera Pek Kong itu, yang memang dirahasiakan oleh kakek tua itu sejak dahulu. Sebelum kakek itu mati, kalau ada keluarga Pek yang bertanya tentang Pek Han Siong, selalu dijawab bahwa anak yang diperebutkan itu berada dalam tangan yang dapat dipercaya, keadaannya selamat, sehat dan aman. Dan selalu mengatakan bahwa kalau anak itu sudah dewasa kelak, tentu akan datang sendiri mencari keluarganya di Secuan!


Pada suatu sore, ketika Pek Ki Bu datang ke ruangan menengok keluarga puteranya, kakek ini sekarang berdiam di sebuah rumah kecil yang menyendiri di sudut perkampungan agar dapat bersamadhi dan mempelajari kitab dengan tenteram, Souw Bwee isteri Pek Kong kembali teringat akan puteranya dan nyonya ini pun menangis dengan sedihnya. Suaminya, juga puterinya, berada di situ menghiburnya.


"Sudahlah, disusahkan dan ditangisi apa gunanya?" demikian Kakek Pek Ki Bu berkata untuk menghibur mantunya. "Persoalan apa pun yang timbul dalam kehidupan merupakan tantangan hidup yang harus dihadapi dan diatasi dengan usaha yang didasari akal budi kita. Dan tangis tidak ada gunanya sama sekali untuk dijadikan dasar usaha mengatasi persoalan itu karena tangis bahkan akan menumpulkan akal budi."



Mendengar ucapan ayah mertuanya, Souw Bwee menghapus air matanya dan setelah tangisnya terhenti ia pun berkata, "Harap Ayah memaafkan saya. Akan tetapi saya merasa heran sekali, mengapa mendiang Kakek menyembunyikan keadaan Han Siong dari kita?"


“Tentu mendiang Ayah mempunyai alasan yang kuat untuk itu. Mungkin saja dia melihat bahwa rahasia tentang keadaan Han Siong perlu dipegang kuat-kuat karena masih terdapat banyak ancaman. Pula, bukankah mendiang Kakek kalian itu sudah berpesan bahwa kelak, kalau sudah dewasa, Han Siong tentu akan mencari sendiri keluarganya di sini?"


Pek Kong mengerutkan alisnya. Dia merasa kasihan kepada isterinya yang sudah menderita bertahun-tahun, selalu berduka kalau teringat akan putera mereka. "Ayah, memang tidak seharusnya membenamkan diri dalam duka dan tangis. Akan tetapi, menurut perhitungan saya, kini Han Siong sudah berusia dua puluh tahun lebih, sudah cukup dewasa. Kenapa belum juga dia pulang? Tentu kami merasa khawatir sekali, Ayah, karena bagaimanapun juga, dia adalah putera kami satu-satunya, dialah penyambung satu-satunya keturunan keluarga Pek!"


Mendengar puteranya menyinggung tentang keturunan keluarga Pek, Kakek Pek Ki Bu terdiam dan dia pun mengerutkan alisnya dengan khawatir. Kekhawatiran timbul karena andaikata cucunya itu benar-benar telah tidak ada, bukankah hal itu berarti bahwa keluarga Pek akan terputus keturunannya? Dan hal ini tentu saja akan merupakan hal yang amat menyedihkan.


Sejak tadi Pek Eng mendengarkan dengan alis berkerut. Ia duduk bersimpuh merangkul ibunya untuk menghiburnya ketika ibunya menangis, sementara ia mendengarkan percakapan mereka. Ketika ayahnya menyinggung soal keturunan keluarga Pek, kerut alisnya makin mendalam dan sepasang matanya yang agak sipit itu mengeluarkan sinar penasaran, mukanya yang manis itu menjadi merah gelap. Hatinya tak pernah mau menerima sikap orang-orang tua bangsanya yang selalu mementingkan anak laki-laki daripada anak perempuan. Keturunan! Hanya nama keturunan, hanya she. Ia tahu bahwa ia tidak akan melahirkan keturunan Pek, melainkan keturunan marga orang yang akan menjadi suaminya. Dan hal ini menyakitkan hatinya sekali! Ia merasa seolah-olah didorong ke samping sehingga berdiri di luar kalangan atau lingkaran keluarga Pek!


Tiba-tiba ia melepaskan rangkulan dari pundak ibunya dan bangkit berdiri. Sikapnya gagah ketika ia berkata. "Kakek, Ayah dan Ibu, biarkan aku berangkat pergi mencari Koko Pek Han Siong yang menimbulkan kedukaan dalam keluarga Pek!"


Tiga orang tua itu terkejut, seolah-olah baru ingat akan adanya Pek Eng di situ. "Eng-ji (Anak Eng), engkau seorang anak perempuan ……!" Seru ibunya.


Seruan ibunya membuat rasa penasaran dan marah di hati Pek Eng semakin bergelora. "Apa salahnya seorang anak perempuan, Ibu? Aku tidak kalah oleh seorang anak laki-laki. Aku tidak pernah menyusahkan hati Ibu, tidak seperti Koko! Daripada Ibu susah-susah selalu, biarlah aku akan pergi mencari Kpko sampai dapat!"


"Eng-ji, jangan bicara tidak karuan!" bentak ayahnya. "Kami saja tidak tahu di mana Han Siong berada, apalagi engkau. Ke mana engkau hendak mencarinya?"


"Ke mana saja, Ayah. Kalau memang Koko masih hidup, pasti akan dapat kucari dan kutemukan. Aku akan mulai dengan daerah Kun-lun-san di mana kakek buyut bertapa dan mencari keterangan di sana."


“Jangan, Eng-ji, engkau jangan pergi!" Ibunya berseru penuh kekhawatiran.


"Pek Eng, apakah engkau akan menjadi seorang anak yang durhaka? Ibumu sedang berduka memikirkan kakakmu yang belum juga pulang dan sekarang engkau malah hendak, pergi meninggalkannya?" Terdengar Pek Ki Bu berkata halus menegur cucunya yang amat disayangnya.

Pek Eng cemberut memandang kakeknya. Anak ini paling manja terhadap kakeknya, dan setiap kali ditegur, ia merasa kecewa dan marah. "Kong-kong, aku hendak mencari Koko justeru agar Ibu tidak selalu berduka. Hemmm, mentang-mentang aku ini anak perempuan, apa pun yang kulakukan serba tidak kebetulan saja. Huh!" Gadis itu membanting kakinya lalu meninggalkan ruangan itu.


Dengan uring-uringan Pek Eng keluar dari rumahnya, lalu berjalan-jalan menuju ke pintu gerbang di depan perkampungan mereka. Hatinya masih terasa jengkel dan kesal. Diam-diam ia merasa tak suka kepada kakaknya, rasa tidak suka yang timbul pada saat itu karena ia merasa iri hati. Biasanya ia sendiri merasa rindu kepada kakak yang selama hidup belum pernah dilihatnya itu. Sudah seringkali ibu dan ayahnya bicara tentang kakak yang sejak bayi dibawa pergi kakek buyutnya. Ia ingin sekali melihat bagaimana wajah kakak kandungnya itu. Seperti ayahnyakah? Atau seperti ibunya? Orang bilang ia sendiri mirip ibunya dan ia merasa bangga karena ibunya amat cantik.


Setelah tiba di pintu gerbang, ia hanya menjawab sambil lalu saja ketika para penjaga pintu gerbang menyapanya. Semua anggauta Pek-sim-pang yang sebetulnya masih terhitung saudara-saudara seperguruannya, karena mereka adalah murid-murid ayahnya atau kakeknya, menyebutnya Pek-siocia (Nona Pek), panggilan menghormat karena biarpun saudara seperguruan, gadis remaja ini adalah puteri ketua mereka.


"Pek-siocia, senja telah mendatang, engkau hendak ke manakah? Sebentar lagi pintu gerbang akan ditutup." Kata seorang di antara mereka. Semua penjaga memandang gadis itu dengan sinar mata penuh kagum. karena siapakah yang tidak tertarik dan kagum kepada gadis yang amat manis itu?


Biasanya Pek Eng bersikap manis kepada semua anggauta Pek-sim-pang. Ia memang seorang gadis yang lincah jenaka dan gembira. Akan tetapi saat itu hatinya sedang murung, maka pertanyaan orang itu diterimanya sebagai suatu gangguan.


"Aku mau pergi jalan-jalan. Biar sudah kaututup, apa disangka aku tidak dapat masuk?" Berkata demikian, ia lalu meloncat dan berlari cepat sekali sehingga sebentar saja bayangannya sudah menghilang. Para penjaga itu hanya menggeleng kepala, kagum akan kelihaian gadis itu. Tentu saja mereka akan selalu berjaga di situ, walaupun pintu gerbang sudah ditutup nanti, besiap-siap untuk cepat membuka pintu gerbang kalau gadis itu pulang. Tentu saja mereka maklum bahwa walaupun pintu gerbang ditutup, tanpa dibuka sekalipun, dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, gadis itu akan mampu meloncat dah masuk melalui atas pagar tembok.



Dengan hati masih kesal Pek Eng lalu berlari menuju ke kaki bukit di mana ia tahu merupakan tempat tinggal sekelompok suku bangsa Yi yang menjadi sahabatnya. Dusun suku Yi itu sudah nampak dari situ dan ia mempunyai banyak kawan baik di sana. Senang mendengar cerita orang-orang tua suku bangsa Yi menceritakan pengalaman mereka yang menegangkan ketika terjadi perang, menceritakan kegagahan nenek moyang mereka.


Akan tetapi ketika ia tiba di pintu gerbang dusun Yi, ia melihat belasan orang Yi mengepung seorang pemuda yang menggendong buntalan, dan seorang gadis Yi nampak duduk bersimpuh di atas tanah sambil menangis, seorang pemuda Yi marah-marah sedangkan orang-orang Yi lainnya mendengarkan, tangan memegang gagang senjata dan semua mata ditujukan kepada pemuda itu.


Karena tidak ingin mengganggu dan ingin sekali tahu apa yang terjadi, Pek Eng lalu menyelinap dan mengintai sambil mendengarkan. Juga ia memperhatikan pemuda itu yang kelihatannya tenang-tenang saja dikepung oleh orang-orang Yi yang kelihatannya marah-marah. Seorang pemuda yang bertubuh sedang namuntegap, dengan dada bidang. Yang menarik adalah wajahnya yang berseri dan sikapnya yang tenang, matanya bersinar-sinar, mulutnya tersenyum-senyum, seolah-olah dia menghadapi sekumpulan sahabat baik yang menyambutnya, bukan sekumpulan orang Yi yang sedang marah kepadanya.


Pemuda itu bukan lain adalah Hay Hay! Seperti kita ketahui, Hay Hay berguru kepada Pek Mau San-jin selama satu tahun dan setelah gurunya itu meninggal dunia dan dikuburnya sebagaimana mestinya, Hay Hay lalu melanjutkan perjalanannya, yaitu mencari keluarga Pek di Secuan. Sore hari itu, tibalah dia di sebuah hutan, tak jauh dari dusun Yi itu. Karena hari telah sore, dia bergegas hendak menuju ke dusun yang sudah dilihatnya dari jauh tadi, agar dia dapat melewatkan malam di dusun itu. Akan tetapi tiba-tiba dia mendengar suara wanita menjerit. Cepat dia lari ke arah datangnya suara dan betapa marahnya melihat seorang gadis suku Yi sedang dipeganggi dua orang laki-laki suku Miau yang agaknya hendak menyeretnya dan menculiknya. Dia mengenal mereka dari pakaian-pakaian mereka dan memang dia sudah mendengar dalam perjalanannya bahwa ada permusuhan antara kedua suku bangsa itu. Tidak salah lagi, dua orang suku Miau itu tentu hendak menculik gadis Yi yang cukup cantik itu.


"Lepaskan gadis itu!" Hay Hay membentak dalam bahasa Han karena dia tidak dapat berbahasa Yi ataupun Miau. Dua orang laki-laki itu terkejut dan ketika mereka melihat bahwa yang membentak itu adalah seorang pemuda Han yang kelihatan biasa saja, keduanya menjadi marah. Seorang di antara mereka mencabut parang, sedangkan orang ke dua masih memegangi kedua lengan gadis yang meronta-ronta itu. Si pemegang Parang yang tinggi besar itu segera menerjang Hay Hay dengan parangnya, menyerang dengan dahsyat. Namun Hay Hay melihat bahwa orang ini hanya memiliki tenaga besar saja, maka dengan mudah dia mengelak dan sekali kakinya bergerak, lutut kanan orang itu telah tercium ujung sepatu Hay Hay dan dia pun terpelanting.

Melihat ini, orang ke dua melepaskan gadis Yi dan ikut mengeroyok. Namun, dengan kedua kakinya saja, tanpa menggunakan tangan, Hay Hay menghajar mereka, menendangi mereka sampai akhirnya mereka lari tunggang-langgang meninggalkan gadis yang masih menangis terisak-isak.

Hay Hay tidak mengejar, hanya tersenyum dan dia menghampiri gadis itu. Gadis itu mengangkat muka memandang, kemudian sambil menangis menubruk dan merangkul Hay Hay, menangis di dada pemuda itu. Tentu saja Hay Hay merasa senang sekali karena gadis itu memang manis. Otomatis tangannya mengusap-usap rambut itu, dibelainya rambut itu dan dia pun balas merangkul. Sampai beberapa lamanya gadis itu berada dalam pelukannya.


"Nona manis, di manakah rumahmu? Hari sudah hampir malam, sebaiknya kalau engkau pulang saja." akhirnya Hay Hay berkata setelah bajunya menjadi basah di bagian dada oleh air mata gadis Yi itu.


Gadis itu melepaskan diri dan bicara dalam bahasa Yi, akan tetapi karena Hay Hay tidak mengerti gadis itu lalu menuding-nuding ke arah letak dusunnya. Hay Hay mengangguk, lalu menggandeng tangan gadis itu, diajaknya pulang ke dusunnya. Mereka berjalan sambil bergandeng tangan dan biarpun mereka tak dapat saling bicara, namun setiap kali gadis itu menoleh dan memandang wajahnya, Hay Hay dapat menangkap sinar mata penuh rasa syukur dan terima kasih terpancar dari sinar mata yang bening itu. Seorang gadis yang manis, pikirnya senang bahwa dia sudah secara kebetulan dapat menyelamatkan gadis ini dari tangan dua orang penculiknya. Dia membayangkan betapa malam ini dia akan diterima sebagai tamu agung oleh keluarga gadis itu, dijamu dan memperoleh kamar yang enak di mana dia dapat membiar kan tubuhnya yarig penat itu beristirahat!


Karena berpikir demikian, wajah Hay Hay cerah, berseri dan mulutnya tersenyum ketika dia dan gadis itu tiba di luar pintu gerbang dusun tempat tinggal suku bangsa Yi itu dan melihat beberapa orang keluar dari pintu gerbang dan bicara dengan hiruk-pikuk sambil menuding-nuding ke arah dia dan gadis itu. Gadis itu melepaskan tangannya yang digandeng Hay Hay, lalu berlari menghampiri kelompok orang itu, bicara kepada mereka sambil tangannya menuding ke arah Hay Hay, agaknya menceritakan apa yang telah terjadi. Akan tetapi seorang di antara mereka, seorang pemuda yang bertubuh jangkung mengeluarkan suara keras dan menampar gadis itu. Gadis itu menjerit, lalu menjatuhkan diri bersimpuh dan menangis. Melihat ini, Hay Hay terkejut sekali dan cepat dia berlari menghampiri mereka. Orang-orang itu mengurungnya dengan sikap mengancam.

Demikianlah keadaan di situ ketika Pek Eng tiba dan gadis ini mengintai untuk melihat dan mendengar apa yang telah terjadi. Ia melihat sikap pemuda Han itu yang tenang dan tersenyum-senyum. Seorang di antara para pengepung itu yang agaknya merupakan satu-satunya di antara mereka yang pandai berbahasa Han, melangkah maju dan menudingkan telunjuknya dengan marah kepada Hay Hay.


"Engkau telah menodai nama baik keluarga Hamani!"


Hay Hay mengerutkan alisnya. "Aku? Menodai nama baik keluarga orang? Hemm, apa kesalahanku? Dan siapa itu Hamani ?"



Tiba-tiba gadis itu bangkit berdiri, menghampiri Hay Hay dan dengan muka ketakutan ia bicara dalam bahasa Yi dan menepuk dada sendiri sambil berkata, "Hamani."


Mengertilah Hay Hay bahwa gadis yang ditolongnya itu berkata Hamani dan agaknya dimarahi orang banyak dan agaknya membutuhkan perlindungannya pula. Maka dengan sikap melindungi, dia merangkul pinggang gadis itu. "Jangan takut, Hamani, aku akan melindungimu." bisiknya. Melihat ini, orang-orang itu makin ribut dan menuding-nuding.


"Orang asing, engkau telah menggandeng dan merangkul Hamam. Tidak seorang pun laki-laki boleh memeluk seorang gadis kecuali dia menjadi tunangannya atau suaminya."


Hay Hay terkejut dan otomatis rangku1annya pada plnggang ramping itu pun dilepaskan. " Akan tetapi aku... aku hanya menolongnya dari ancaman orang-orang jahat, dan aku hanya ingin melindungi...!" Dia memprotes keras.


"Apalagi engkau seorang asing, telah berani menghina seorang gadis kami. Oleh karena itu, engkau harus ikut bersama kami untuk melangsungkan pernikahan!"


Kalau pada saat itu ada kilat menyambarnya, belum tentu Hay Hay akan sekaget seperti ketika mendengar ucapan orang itu. Sepasang matanya terbelalak dan dia undur dua langkah, menjauhi Hamani. Menikah? Apaapaan ini? Dia menggelengkan kepalanya.


"Tidak, aku tidak mau menikah " katanya.


Pek Eng mendengarkan semua itu dan merasa geli hatinya. Ia tahu akan peraturan dan kebiasaan suku bangsa Yi. Kalau seorang gadis sudah mau digandeng, apalagi dipeluk oleh seorang pemuda, maka berarti bahwa gadis dan pemuda itu sating mencinta. Dan bagi keluarga gadis itu, tentu akan merasa ternoda dan terhina kalau si pemuda tidak mau kawin dengan gadis yang telah "dinodainya" itu, dalam arti kata, diperlakukan dengan mesra di depan umum.

Mendengar penolakan Hay Hay, orang itu menterjemahkannya dalam bahasa Yi dan marahlah orang-orang itu.


"Dia menghina kita!"


"Dia hendak mempermainkan gadis kita!"


"Orang asing. ini harus dibunuh sebagai musuh kalau tidak mau mengawini Hamani!" Ucapan terakhir ini dikeluarkan oleh pemuda yang tadi menampar Hamani karena dia adalah kakak kandung gadis itu.


Mendengar betapa pemuda yang menolongnya itu menolak untuk menjadi suaminya, Hamani sendiri terkejut dan ia pun lari menghampiri Hay Hay dengan muka pucat dan mata terbelalak. Dalam bahasa Yi ia berteriak-teriak. "Engkau telah menyelamatkan aku, dan aku telah menyerahkan diri, dan engkau menerimaku, memelukku, menggandengku, memandang dengan mesra, kita telah sama-sama tersenyum dan sepakat dalam pandang mata kita, dan kau... kau sekarang menolak untuk menikah dengan aku? Aihhh, engkau merayuku dan hendak meninggalkan? Engkau jahat... jahat sekali…!" Dan kini Hamani menggunakan kedua tangannya untuk memukul dan mencakar muka Hay Hay.


Hay Hay tidak mengerti akan semua itu, akan tetapi melihat sikap Hamani, dia terkejut dan cepat dia mengelak ke belakang. Akan tetapi pada saat itu, semua orang telah maju dengan sikap mengancam untuk menyerangnya. Hay Hay merasa bingung sekali. Tak disangkanya sama sekali bahwa dia akan menerima penyambutan seperti ini! Tidak ada gunanya untuk membela diri dengan kata-kata karena agaknya di antara mereka hanya seorang saja yang dapat mengerti bahasanya. Dan tidak ada gunanya melayani mereka yang marah-marah itu, maka dia pun cepat membalikkan tubuhnya dan melarikan diri dari tempat itu!


"Kejar …..!"


"Tangkap ….!"


"Hajar dia …..!"


Orang-orang itu mengejarnya, akan tetapi Hay Hay telah berlari cepat memasuki hutan yang mulai gelap.


Pek Eng yang melihat semua ini, diam-diam merasa geli hatinya. Biarlah, pemuda itu memang perlu dihajar, pikirnya. Tentu pemuda itu telah mempergunakan ketampanan wajahnya yang selalu cerah tersenyum-senyum itu untuk memikat hati Hamani, akan tetapi dia tidak berani bertanggung jawab dan menolak ketika disuruh mengawini gadis itu. Bukan urusannya. Ia pun lalu meninggalkan tempat itu untuk kembali ke perkampungannya sendiri. Dibatalkan niatnya untuk berkunjung ke dusun orang-orang Yi itu. Ia merasa tidak enak karena pemuda itu adalah bangsa Han, bangsanya. Tentu kalau ia berkunjung, percakapan akan mengenai pemuda Han itu dan bagaimanapun juga, ia akan merasa tersinggung. Hemm, pemuda mata keranjang tukang perayu, rasakan kau sekarang, pikirnya sambil tersenyum geli, akan tetapi juga jengkel terhadap pemuda itu. Hamani adalah kembang dusun itu dan ia mengenalnya sebagai seorang gadis yang baik.

Bagaimanapun juga, sedikit ketegangan karena persitiwa di dusun suku Yi tadi telah banyak mengurangi perasaan kesal dan dongkolnya yang dibawa dari rumah tadi, dan begitu tiba di pintu gerbang, ternyata para penjaga masih berada di situ menunggunya dan membukakan pintu. Hal ini membuat ia semakin tenang dan ia pun kembali ke rumah keluarganya, langsung masuk ke kamar dan tidur.


**
Dengan sikap uring-uringan Hay Hay merebahkan diri di antara cabang-cabang pohon yang tinggi itu. Sialan, dia mengomel. Membayangkan sambutan yang meriah dan ramah ternyata yang diterima adalah caci maki bahkan serangan dan ancaman! Membayangkan tidur nyenyak dengan perut kenyang di dalam kamar yang bersih di atas tempat tidur beralaskan kasur dqn bantal, ternyata kini dia rebah tak enak sekali di atas cabang pohon, di antara ranting dan daun, kotor dan basah, dengan perut lapar pula! Sialan! Sialan gadis itu, pikirnya penasaran. Ditolong malah mencelakakan! Itu namanya dia memberi air susu dibalas air tuba! Tapi gadis itu manis, dan pinggangnya ramping sekali, dia membayangkan dan senyumnya muncul kembali. Bagaimanapun juga, dia sudah merangkulnya, merasakan kehangatan tubuhnya, kelembutan kulitnya, dan jalan bersama sambil bergandeng tangan! Kawin? Sialan! Siapa yang ingin kawin?

Dengan keadaan gelisah akhirnya Hay Hay dapat tidur nyenyak di antara ranting dan daun pohon, jauh tinggi di atas, aman dari pengejaran orang-orang Yi yang sama sekali tidak menyangka bahwa orang buruan mereka itu berada di atas pohon yang tinggi, yang beberapa kali mereka lewati.


Baru setelah matahari menembuskan sinarnya di antara celah-celah daun dan menimpa mukanya, Hay Hay terbangun pada keesokan harinya. Sinar keemasan matahari pagi nampak indah, seperti jalur-jalur benang emas di antara daun-daun. Hay Hay bangkit duduk, lalu berdiri di atas cabang yang paling tinggi, memandang ke kanan kiri untuk melihat apakah masih ada orang-orang Yi yang mencarinya di tempat itu. Sunyi saja di sekeliling pohon itu, akan tetapi dia melihat sesuatu yang menarik. Tidak jauh dari situ, di lereng bukit, dia melihat tembok perkampungan dan jantungnya berdebar tegang. Dia mengenal bentuk pagar tembok orang-orang Han. Perkampungan itu tentulah perkampungan orang Han dan agaknya dia akan dapat mencari keterangan tentang keluarga Pek yang kabarnya tinggal di sekitar pegunungan ini. Dia lalu meloncat turun setelah mengikatkan buntalan pakaian yang tadi dipakai sebagai bantal itu di punggungnya. Hay Hay segera keluar dari hutan itu dan menuiu ke arah bukit di mana dia tadi melihat ada pagar tembok sebuah perkampungan. Tak lama kemudian dia sudah berdiri di depan pintu gerbang perkampungan Pek-sim-pang! Hatinya girang bukan main ketika dia melihat papan dengan huruf-huruf besar PEK SIM PANG terpasang di depan pintu gerbang itu. Tidak salah, inilah perkampungan Pek-sim-pang, tempat tinggal keluarga Pek yang merupakan satu-satunya keluarga di dunia ini yang dapat menceritakan siapa dirinya yang sesungguhnya, siapa pula orang tuanya! Jantungnya berdebar penuh ketegangan, juga keharuan. Pagi itu suasana di situ masih sunyi, pintu gerbang agaknya baru saja dibuka dan masih nampak kesibukan di sebelah dalam perkampungan itu, akan tetapi tidak nampak orang keluar masuk

Tiba-tiba saja, muncul seorang gadis yang membuat Hay Hay membelalakkan matanya. Seorang gadis yang baru saja berangkat dewasa berusia antara enam belas atau tujuh belas tahun. Mata itu, bibir itu! Mempesonakan! Dengan wajah penuh senyum cerah Hay Hay melangkah maju menghampiri gadis yang baru keluar dari pintu gerbang itu.


Gadis itu adalah Pek Eng. Begitu ia melihat Hay Hay, alisnya berkerut. Tentu saja ia segera mengenal pemuda yang menjadi orang buruan suku Yi semalam. Kiranya dia dapat melarikan diri, pikirnya. Melihat pemuda itu menghampirinya dengan wajah berseri, pandang mata bersinar dan mulut tersenyum-senyurn, Pek Eng menghardiknya.


"Mau apa kau cengar-cengir di sini? Hayo pergi atau aku akan menyeretmu ke dusun orang-orang Yi agar engkau dihukum!"


Hay Hay membelalakkan matanya. “Ehh? Bagaimana Nona tahu? Pernahkah kita saling bertemu? Rasanya belum pernah walaupun aku akan merasa berbahagia sekali dapat bertemu dengan Nona, biarpun hanya dalam mimpi."


Selama hidupnya belum pernah Pek Eng menghadapi seorang laki-laki yang bicara seperti ini, maka ia tertegun, hatinya tertarik untuk mengetahui dan bertanya, "Kenapa merasa berbahagia kalau dapat bertemu denganku?" Pemuda ini memang tampan dan memiliki wajah yang ramah menyenangkan dan menarik hati, pikirnya sambil menatap wajah Hay Hay.


Kini Hay Hay juga memandang dengan penuh kagum. Setelah tadi membuka mulut dan bicara, nampak jelas bahwa gadis ia memang manis bukan main, ketika menggerakkan mulutnya, muncullah lesung pipit di pipi sebelah kiri. Dan sinar mata gadis itu pun demikian penuh gairah hidup, wajahnya membayangkan kelincahan dan kejenekaan. Seorang gadis pilihan di antara seribu!

"Kenapa, Nona? Siapa yang takkan berbahagia bertemu dengan seorang gadis yang cantik jelita dan manis sepertimu ini?”


Pek Eng adalah seorang gadis yang lincah jenaka, pandai berdebat. Akan tetapi dia sudah melihat pemuda ini hampir dikeroyok orang kemarin sore, karena berani bermain-main dengan seorang gadis Yi. Kiranya seorang pemuda yang pandai merayu wanita, dengan kata-kata manis.

"Hemm, engkau memang mata keranjang dan perayu. Akan tetepi jangan harap akan dapat memikat aku dengan rayuan gombalmu itu, ya? Hayo lekas pergi dari sini, kalau tidak, terpaksa aku akan menghajarmu!"


Hay Hay membuka mata lebar-lebar dan mulutnya mengomel. “Hayaaa... agaknya daerah ini ditinggali oleh orang-orang yang ringan mulut ringan tangan, mudah menghajar orang yang tidak bersalah. Nona yang baik, aku jauh-jauh datang untuk bertemu dengan Ketua Pek-sim-pang, maka ijinkanlah aku masuk dan menghadap Pek-sim Pangcu (Ketua)."


Pek Eng mengerutkan alisnya. Orang ini benar tidak tahu diri. Mau apa minta bertemu dengan Ketua Pek-sim-pang? Ia tidak percaya bahwa ayahnya mengenal seorang pemuda seperti ini... tiba-tiba wajahnya berubah pucat dan ia bertanya dengan suara agak gemetar.


"Kau... kau... siapakah namamu …..?"


Hay Hay merasa terkejut juga melihat perubahan pada wajah dara cantik ini. Kalau tadi nampak galak dan lincah, kini nampaknya pucat dan suaranya gemetar. Dia merasa tidak tega untuk bermain-main, maka dengan suara sungguh-sungguh dia pun menjawab. "Namaku Hay, biasa dipanggil Hay Hay ……"


Wajah itu nampak lega akan tetapi masih ragu-ragu. "Benarkah? Namamu bukan... Han Siong …..?"

Hay Hay tersenyum lebar. "Aih, kalau namaku Han Siong, kenapa aku mengaku Hay Hay? Aku tidak mempermainkanmu, Nona, aku tidak berani. Namaku Hay Hay, dan aku ingin sekali bertemu dengan Ketua Pek-sim-pang…."


"Apakah engkau mengenal Ayahku?"



Kini Hay Hay terkejut bukan main. "Eh, jadi Nona... engkau adalah puteri Pek-sim-pang?”


"Benar, sekarang jawab, apakah engkau mengenal Ayahku?"


Hay Hay menggeleng kepala.


"Kalau begitu pergilah dan jangan ganggu kami lagi. Pergilah sebelum ada orang Yi datang ke sini dan mengenalmu. Engkau tentu akan diseret!"


"Tidak, Nona, aku harus menghadap Pangcu lebih dulu. Aku mempunyai keperluan yang teramat penting ….." Hay Hay mendesak.





Pada saat itu, tujuh orang penjaga pintu gerbang murid-murid Pek-sim-pang, sudah keluar karena mereka tertarik oleh keributan antara nona mereka dengan seorang pemuda asing.


"Pek-siocia, apakah yang terjadi?"


"Siapakah dia ini?"


Pek Eng menoleh kepada para penjaga itu. "Dia seorang pendatang yang kemarin telah membuat keributan di perkampungan orang Yi, dan sekarang minta bertemu dengan Ayah. Suruh dia pergi dan jangan mengganggu lebih lanjut." kata Pek Eng dan ia pun masuk ke dalam gardu penjagaan di pintu gerbang dengan sikap tidak peduli lagi.

"Eh, sobat. Kalau engkau datang untuk minta pekerjaan, di sini tidak ada pekerjaan." kata komandan jaga kepada Hay Hay.


Aku datang bukan ingin minta pekerjaan atau minta apa pun, aku datang untuk bertemu dengan Pek-sim Pangcu karena ada suatu hal yang amat penting bagiku untuk kutanyakan kepada Pangcu. Harap kalian suka menyampajkan hal ini kepada Pangcu agar aku dapat diterima menghadap."


Karena tadi Pek Eng sudah memberi perintah agar pemuda ini diusir, maka para anggauta Pek-sim-pang itu bersikap keras. "Tidak bisa, Pangcu tidak boleh diganggu dan Siocia tadi sudah minta agar engkau pergi. Pergilah dan jangan ganggu kami." kata komandan jaga.


Hay Hay mengerutkan alisnya dan melirik ke arah Pek Eng yang sudah duduk di bangku tempat jaga dengan sikap acuh. Dia menarik napas panjang lalu berkata seperti kepada diri sendlri. "Ribuan li jauhnya aku melakukan perjalanan dan mendengar bahwa Pek-sim-pang adalah perkumpulan orang-orang gagah. Akan tetapi melihat kenyataannya, lebih tepat kalau huruf Pek (Putih) di diganti dengan Hek (Hitam) saja!"


"Ee-eeeh-eeehhh!" Tiba-tiba saja tubuh Pek Eng meluncur dari dalam gardu itu, bagaikan seekor burung terbang saja kini melayang dan tiba di depan Hay Hay, bertolak pinggang dan matanya terbelalak walaupun masih agak sipit mencorong penuh kemarahan, dan ia berdiri tegak, dada dibusungkan, kepala ditegakkan dan kedua tangannya bertolak pinggang, lalu tangan kirinya bergerak, telunjuknya yang agak melengkung bentuknya itu, kecil mungil, menunjuk ke arah hidung Hay Hay.


"Apa kamu bilang tadi? Menghina kami, ya? Apa maksudmu mengatakan bahwa Pek-sim-pang harus diganti menjadi Hek-sim-pang (Perkumpulan Hati Hitam)?"


Hay Hay juga sudah marah karena dia ditolak menghadap Ketua Pek-sim-pang. "Sikap kalian yang menyebabkan aku bermulut lancang, Nona. Nama perkumpulannya Pek-sim-pang, sepatutnya para anggautanya juga berhati putih. Hati putih berarti hatinya baik, akan tetapi melihat sikap kalian menerima kunjunganku sungguh jauh daripada baik dan lebih pantas kalau kalian menjadi anggauta Perkumpulan Hati Hitam saja."


"Keparat bermulut kotor! Kau muncul dan merayu gadis orang, kemudian melarikan diri ketika akan dikawinkan, sudah terlalu bagus perbuatanmu itu, ya? Kamu sendiri jahat, hatimu lebih hitam daripada arang, masih berani memaki kami?"


"Pukul saja mulut lancang itu, Pek-siocia!" kata komandan jaga yang marah sekali mendengar perkumpulannya dihina orang.

Para murid Pek-sim-pang sudah menghampiri Hay Hay dengan sikap mengancam. Pada saat ini terdengar suara yang berat, "Omitohud... orang-orang Pek-sim-pang sekarang hanya menjadi tukang-tukang pukul yang suka mengeroyok orang!"


Pek Eng dan para murid Pek-sim-pang terkejut dan cepat menengok. Kiranya di situ telah berdiri tiga orang pendeta Lama. Usia mereka antara enam puluh sampai enam puluh lima tahun, memakai jubah panjang berwarna kuning dengan garis-garis merah. Pek Eng dan para murid Pek-sim-pang sudah mendengar belaka akan riwayat perkumpulan mereka yang terpaksa lari mengungsi dari Tibet karena ulah para pendeta Lama ini. Apalagi Pek Eng. Sejak kecil ia mendengar tentang peristiwa yang menimpa keluarganya, gara-gara para pendeta Lama ingin merampas kakaknya yang mereka namakan Sin-tong. Maka, sejak kecil sudah tertanam perasaan tidak suka kepada para pendeta Lama. Kini di situ muncul tiga orang pendeta Lama, maka seketika ia dan para murid Pek-sim-pang tidak lagi memperhatikan Hay Hay yang dianggap tidak penting.

"Apakah kalian bertiga ini pendeta-pendeta Lama dari Tibet?" tanya Pek Eng dengan sikap yang sama sekali tidak menghormat. Bukan wataknya demikian. Ia cukup terdidik baik dan biasanya ia bersikap sopan dan halus terhadap orang-orang tua, apalagi terhadap pendeta. Akan tetapi, karena memang ia sudah merasa sakit hati kepada pendeta-pendeta Lama, maka kini ia bersikap kasar ketika menduga bahwa tiga orang ini tentulah pendeta-pendeta Lama dari Tibet.


"Omitohud, tidak keliru dugaanmu, Nona. Kami adalah tiga orang pendeta Lama dari Tibet. Kami ingin bertemu dengan Pek Kong atau ayahnya, Pek Ki Bu." kata seorang di antara mereka yang mukanya penuh bopeng dan matanya melotot lebar.


"Aku adalah Pek Eng, puteri Ketua Pek-sim-pang. Tidak perlu bicara dengan Ayahku, kalau ada keperluan, cukup kalian bicara saja dengan aku. Mau apakah kalian datang ke tempat kami ini?" Hatinya makin kesal membayangkan betapa keluarganya bersama para anggauta Pek-sim-pang terpaksa melarikan diri karena ulah orang-orang ini.


Tiga orang pendeta itu saling pandang, kemudian Si Muka Bopeng yang agaknya menjadi wakil pembicara mereka, berseru. "Omitohud...! Kiranya Nona adalah puteri Pek Kong? Jadi Nona adalah Adik Sin-tong... hemmm, baiklah, kami akan bicara denganmu, Nona. Sampaikan kepada Ayahmu bahwa kami datang untuk menagih hutang. Sudah dua puluh tahun kami menanti dengan sabar, kini Sin-tong telah menjadi dewasa, maka keluarga Pek harus menyerahkan Sin-tong kepada kami!"



Tentu saja hati Pek Eng yang sudah sakit dan marah terhadap para pendeta Lama, kini menjadi semakin panas mendengar ucapan pendeta muka bopeng itu. Ia pun melangkah maju, membusungkan dadanya dan suaranya nyaring dan keras penuh kemarahan ketika ia membentak. "Kalian iblis-iblis neraka yang menyamar menjadi pendeta-pendeta, seperti harimau-harimau berkerudung bulu domba! KalIan inIlah manusia-manusia terkutuk yang telah membuat kakak kandungku semenjak lahir berpisah dengan keluarga kami. Masih belum puas kalian yang jahat ini mengacau keluarga kami sampai dua puluh tahun, kini datang lagi. Sungguh, manusia-manusia terkutuk macam kalian ini harus dibasmi!"


Kini ada dua belas orang anak murid Pek-sim-pang yang berkumpul di situ dan mendengar kata-kata keras nona mereka, empat orang yang berada paling depan sudah menerjang pendeta Lama muka bopeng itu.


"Pergilah!" pendeta Lama itu membentak sambil mengebutkan lengan bajunya ke depan, menyambut serangan empat orang itu. Empat orang itu seperti daun-daun kering dilanda angin keras, tubuh mereka terpelanting dan terbanting keras sampai bergulingan di atas tanah.


Melihat ini, delapan orang murid Pek-sim-pang lainnya cepat mengikuti gerakan Pek Eng yang mengepung tiga orang pendeta Lama itu. Pek Eng sudah mencabut sebatang pedang, juga delapan orang itu mengambil senjata masing-masing. Empat orang murid yang tadi roboh ternyata tidak terluka berat dan mereka pun kini ikut mengepung.


"Omitohud, kiranya Pek-sim-pang kini hanya menjadi Perkumpulan tukang pukul yang beraninya hanya main keroyokan saja!" kembali kakek pendeta bermuka bopeng itu berseru mengejek.


Mendengar ini, Pek Eng lalu membentak para murid itu. "Kalian mundurlah dan jangan mengeroyok! Biarkan aku menghadapi anjing gundul muka bopeng ini!" Kemarahan Pek Eng sudah memuncak sehingga ia tidak ingat akan sopan santun lagi, kini terang-terangan ia memaki pendeta Lama itu sebagai anjing!


Pendeta Lama termuda di antara mereka lalu maju, dan dengan bahasa Han yang lucu dan patah-patah dia berkata, "Omitohud, biarlah pinceng yang melayani Nona ini, Suheng."


Kiranya pendeta ini sute dari Si Muka Bopeng. Dia seorang pendeta yang tubuhnya kurus sekali, seperti tulang-tulang dibungkus kulit saja, mukanya seperti tengkorak hidup, sepasang mata yang cekung itu nampak kehitaman, mengerikan sekali wajah pendeta Lama ini. Dia melangkah maju sambil mengebutkan jubah kuningnya. Si Muka Bopeng mengangguk dan mundur, berdiri di samping pendeta lainnya yang sejak tadi diam saja.


"Huh, engkau ini anjing kurus kurang makan mau banyak menjual lagak? Menggelindinglah dari sini!" bentak Pek Eng yang marah dan gadis ini sudah melangkah maju dan mengirim tendangan yang cepat dan kuat dengan kaki kanannya. Tendangan itu cepat datangnya, mengarah pusar lawan, gerakannya seperti terputar dan ini merupakan tendangan khas dari ilmu silat keluarga Pek, yaitu ilmu silat yang mereka namakan Pek-sim-kun.


"Hemm, gadis manis yang ganas!" terdengar pendeta kurus kering itu berseru perlahan, namun dengan miringkan tubuhnya, dia dapat mengelak dari sambaran kaki Pek Eng; tangannya menyambar untuk menangkap kaki yang menendang itu. Melihat ini, Hay Hay mengerutkan alisnya. Orang ini, biarpun memakai pakaian jubah pendeta, akan tetapi, mempunyai hati yang condong ke arah kecabulan dan kekurangajaran, pikirnya. Dia sendiri tidak akan tega, bahkan malu sendiri kalau menyerang dengan cara menangkap kaki lawan yang merupakan seorang gadis remaja!


Akan tetapi, pedang di tangan Pek Eng berkelebat menyambut tangan pendeta Lama itu! Sang Pendeta menarik kembali tangannya, membuat langkah memutar sehingga tubuhnya berputar dan keetika membalik, dia sudah membalas dengan cengkeraman tangannya ke arah kepala Pek Eng. Sungguh merupakan serangan yang amat ganas dan juga berbahaya sekali! Begitu melihat gerakan-gerakan mereka, Hay Hay sudah maklum bahwa agaknya lawan gadis itu lebih unggul dan lebih berbahaya, maka diam-diam dia sudah siap siaga untuk membantu dan menyelamatkan kalau sampai gadis itu terancam bahaya. Tentu saja dia menaruh perhatian besar atas peristiwa ini, peristiwa yang dekat sekali hubungannya dengan dirinya. Masih teringat dia betapa ketika masih kecil dia menjadi rebutan orang-orang sakti, karena dia disangka Sin-tong. Kiranya sampai sekarang, para pendeta Lama di Tibet itu masih saja meributkan urusan Sin-tong dan masih merasa penasaran, berani datang menyerbu Pek-sim-pang untuk menuntut agar Sin-tong yang kini lelah dewasa itu diserahkan kepada mereka!


Pek Eng dapat bergerak lincah. Ketika rnetihat sambaran tangan dengan lengan baju lebar itu ke arah kepalanya, ia cepat melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik, lalu memutar pedangnya dan membuat serangan lagi. Pedangnya yang diputaar-putar itu mendahului gerakan kakinya ke depan dan tiba-tiba pedang meluncur menjadi serangan tusukan ke arah dada pendeta Lama yang kurus kering.


"Trakkk …..!” Pedang di tangan Pek Eng terpukul miring dan gadis itu harus mempertahankan pedangnya yang hampir saja terlepas dari tangannya saking keras dan kuat tangkisan pendeta itu. Dan kesempatan ini dipergunakan oleh Sang Pendeta untuk mencengkeram pundak Pek Eng dari samping. Namun, gadis itu memiliki gerakan lincah dan gesit sekali. Dalam keadaan berbahaya itu ia masih sempat melempar tubuh ke atas tanah, bergutingan menjauh dan melompat bangun lagi setelah terbebas dari ancaman lawan. Bukan main marahnya hati Pek Eng. Ia mengeluarkan suara melengking nyaring dan menyerang lagi.


Hay Hay kini siap siaga. Gadis itu sudah nekat dan ini tandanya ia terancam bahaya. Ilmu silat gadis itu memang cukup baik, apalagi ia memiliki ginkang yang lumayan, yang membuat tubuhnya dapat bergerak dengan gesit sekali, akan tetapi dalam hal ilmu kepandaian silat, jelas ia masih kalah jauh dibandingkan pendeta kurus kering itu. Kalau ia nekat menyerang, ia dapat celaka.



Terjangan Pek Eng disambut dengan senyum dingin oleh pendeta kurus kering. Beberapa kali ia mengelak dan mengebutkan lengan baju, melindungi diri sambil mencari kesempatan. Ketika tangkisan kebutan lengan bajunya kembali membuat tubuh gadis itu miring, kakinya menendang cepat. Pek Eng berusaha menarik kakinya dan miringkan tubuh namun tetap saja pahanya tersentuh ujung sepatu lawan dan ia pun terpelanting, lalu cepat bergulingan menjauhi. Ketika ia meloncat bangun, mukanya agak pucat, pakaiannya kotor dan kakinya agak terpincang. Akan tetapi agaknya ia tidak menjadi kapok bahkan kini ia memutar pedang di atas kepala untuk melakukan serangan lebih nekat lagi. Pada saat itu muncullah beberapa orang keluar dari pintu gerbang.

"Eng-ji, tahan senjata '" terdengar bentakan orang dan Pek Eng terpaksa menghentikan gerakan pedangnya ketika mendengar suara ayahnya. Dengan muka merah saking marah dan penasaran, ia lalu berdiri dengan pedang masih di tangan.


Pek Kong dan Pek Ki Bu telah berdiri di situ bersama Souw Bwee dan be-berapa murid Pek-sim-pang yang lebih tua. Melihat betapa Pek Eng berkelahi melawan seorang pendeta Lama, Ketua Pek-sim-pang dan ayahnya memandang kepada tiga orang pendeta Lama itu dengan alis berkerut. Mereka berdua mengenal tiga orang pendeta Lama itu sebagai tokoh-tokoh para Lama di Tibet, tokoh tingkat tiga yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Jangankan Pek Eng, walaupun Pek Kong sendiri bukan lawan mereka, dan Pek Ki Bu sendiri pun meragukan apakah dia akan mampu melawan seorang di antara mereka.


"Omitohud... selamat bertemu, Pek-sim-pangcu!" kata pendeta Lama muka bopeng sambil menjura kepada Pek Ki Bu diturut oleh dua orang temannya.

Pek Ki Bu balas menjura dan berkata, "Sam-wi keliru, bukan saya yang menjadi ketua sekarang, melainkan anak saya Pek Kong."


"Aih, maaf... maaf... kiranya Pek-taihiap telah memperoleh banyak kemajuan dan menjadi Ketua Pek-sim-pang." kata pula pendeta muka bopeng.


Pek Kong mengerutkan alisnya dan menjura ke arah tiga orang pendeta itu. "Harap maafkan kalau puteri kami yang masih terlalu muda itu berlancang tangan dan mulut terhadap Sam-wi Losuhu. Akan tetapi, kami Pek-sim-pang agaknya sudah tidak mempunyai urusan lagi dengan Cu-wi di Tibet, maka, apa maksud Sam-wi datang berkunjung ke tempat kami?" Kata-kata itu sopan dan merendah, namun mengandung teguran. Sejak tadi Hay Hay memandang penuh perhatian dan dia merasa kagum kepada keluarga Pek itu. Mereka adalah orang-orang gagah, pikirnya.


"Perlukah Pangcu bertanya lagi? Sudah dua puluh tahun lebih kami bersabar dan kini terpaksa kami harus datang untuk menjemput Sin-tong yang kini tentu telah menjadi dewasa, untuk mengangkatnya dengan upacara kebesaran menjadi seorang pendeta Lama, calon Dalai Lama."


Pek Kong mengerutkan alisnya dan dia mendongkol bukan main. "Pihak para Lama di Tibet sungguh terlalu mendesak orang!" dia berkata, nada suaranya jelas menunjukkan kemarahannya. "Sejak kecil putera kami itu hilang entah ke mana, hal ini semua orang juga mengetahui. Bahkan kami sebagai orang tuanya, merasa prihatin dan berduka karena kami tidak tahu dia berada di mana. Bagaimana sekarang Sam-wi datang-datang menuntut kami menyerahkan putera kami? Kami sedang berduka akan tetapi Sam-wi bahkan hendak menekan, sungguh suatu perbuatan yang tidak layak dan tidak mulia sama sekali."


"Omitohud, semoga Sang Buddha mengampuni kita sekalian!" pendeta muka bopeng berseru, lalu dia tersenyum menyeringai. "Pangcu dapat saja membohongi orang lain, akan tetapi tidak mungkin membohongi para Dalai Lama yang arif bijaksana dan mengetahui segala sesuatu yang terjadi di permukaan bumi ini. Menurut ramalan dan penglihatan tajam beliau, kini Sin-tong telah menjadi dewasa. Selama ini, anak itu diberi nama Pek Han Siong, bukan? Dan dia mempelajan ilmu-ilmu dan kini telah menjadi seorang pemuda dewasa yang perkasa. Nah, kalau dia belum pulang ke sini, katakan saja dimana dia dan kami akan segera menjemputnya, Pangcu." .


"Kami tidak tahu!" Tiba-tiba Souw Bwee, isteri Pek Kong menjawab dengan suara mengandung isak. "Andaikata kami tahu sekalipun, tidak akan kami beritahukan kepada kalian, pendeta-pendeta keparat!" Sakit sekali rasa hati ibu yang dipisahkan dari puteranya ini, merasa sakit hati yang dipendam selama ini sekarang meledak setelah melihat betapa tiga orang pendeta Lama itu mendesak.


"Omitohud..., Toanio, tidak baik memaki kami para pendeta. Toanio akan dikutuk dan akan hidup dalam kesengsaraan ……" Pendeta muka bopeng menegur.


“Tidak peduli!" Wanita yang sudah marah itu membentak. "Selama ini aku sudah hidup sengsara dlpisahkan dari puteraku oleh kalian pendeta-pendeta busuk. Sekarang aku malah ingin membunuh kalian!" Berkata demikian, nyonya itu sudah bergerak maju menyerang Si Muka Bopeng. Suaminya terkejut sekali, akan tetapi tidak keburu mencegah.

“Plakk!" Si Muka Bopeng menggerakkan tangan dan lengan bajunya yang panjang lebar itu menyambar. Tubuh nyonya itu terhuyung ke belakang.


"Ibu …..!" Pek Eng menubruk dan merangkul ibunya yang mukanya menjadi pucat. Pipi kanan ibunya membiru dan darah mengalir dari mulutnya. Ternyata ujung lengan baju itu menampar muka dan biarpun tidak mengakibatkan luka berbahaya, namun pipi wanita itu bengkak dan membiru.


Melihat ini, Pek Kong tak dapat menahan kesabarannya lagi, demikian pula Pek Ki Bu. "Kalian sungguh tak tahu diri!" kata Pek Ki Bu sambil menerjang ke depan.


"Tamu-tamu tak tahu aturan!" Pek Kong juga menerjang maju. Pek Kong disambut oleh pendeta muka bopeng, sedangkan Pek Ki Bu disambut oleh pendeta tinggi besar muka hitam yang agaknya merupakan pendeta tertua dan terlihai di antara mereka.



Dess….!" Pukulan tangan Pek Ki Bu ditangkis dan disambut oleh pendeta muka hitam, mengakibatkan Pek Ki Bu terdorong ke belakang tiga langkah, sedangkan lawannya hanya mundur selangkah.


"Dukkk!" Pukulan Pek Kong juga tertangkis oleh Si Muka Bopeng dan tangkisan ini membuat tubuh Pek Kong terhuyung. Dalam pertemuan segebrakan ini saja dapat dilihat bahwa baik Pek Kong maupun Pek Ki Bu, bukanlah lawan para pendeta yang amat lihai dan kokoh kuat itu. Akan tetapi kini anak buah Pek-sim-pang sudah keluar semua, jumlah mereka berpuluh-puluh dan mereka sudah memegang senjata semua, siap untuk mengepung dan mengeroyok.


Pada saat itu, Hay Hay yang sejak tadi hanya menjadi penonton, merasa perlu untuk turun tangan. Bagaimanapun juga, dirinya terlibat secara langsung dalam urusan Sin-tong ini, maka dia pun melangkah lebar ke depan tiga orang pendeta itu dan dengan suara lantang dia berkata, "Sam-wi Losuhu jauh-jauh datang dari Tibet, apakah untuk menjemput Sin-tong? Nah, setelah Sin-tong berada di depan kalian, mengapa kalian tidak lekas menyambut dan memberi hormat?" Berkata demikian, dia berdiri tegak dengan dada terangkat dan sikapnya angkuh dan agung sekali.


Semua orang terkejut. Pek Eng juga terkejut akan tetapi dara ini pun mendongkol bukan main, segera membisiki ayahnya yang berdiri di dekatnya, "Ayah, dia itu pemuda mata keranjang yang kurang ajar."


Akan tetapi Pek Kong dan Pek Ki Bu memandang tajam penuh perhatian, bahkan Pek Kong mengangkat tangan memberi isyarat kepada anak buah atau murid-murid Pek-sim-pang agar tidak bergerak dan tidak menyerang sebelum ada aba-aba darinya. Semua orang kini memandang kepada Hay Hay dan tiga orang pendeta itu dengan hati tegang, apalagi mereka tadi mendengar pengakuan pemuda itu bahwa dia adalah Sin-tong, putera ketua mereka yang selalu ditunggu-tunggu kedatangannya. Juga tiga orang pendeta Lama itu terbelalak, mengamati Hay Hay dengan penuh perhatian, penuh selidik memandang pemuda itu dari kepala sampai ke kaki. Sementara itu, Pek Kong dan isterinya, Siauw Bwee, terbelalak menatap wajah Hay Hay, mengingat-ingat, apakah benar pemuda tampan yang kini berdiri dengan mulut tersenyum itu adalah Pek Han Siong, putera mereka. Demikian pula Pek K i Bu memandang dengan penuh keheranan, juga penuh harapan karena dia pun tidak dapat menentukan apakah benar pemuda ini adalah cucunya atau bukan. Hanya Pek Eng yang mendongkol, ingin dara ini memaki pemuda itu karena ialah yang tahu bahwa pemuda itu bukan Pek Han Siong, bukan kakaknya, melainkan seorang pemuda mata keranjang. Akan tetapi karena kemunculan pemuda ini agaknya hendak membantu dan berpihak kepada keluarganya, maka ia pun diam saja dan hanya memandang dengan heran mengapa pemuda itu berani menentang tiga orang pendeta Lama yang demikian lihainya. Bahkan mulai timbul keraguan. Siapa tahu pemuda itu memang benar kakaknya, Pek Han Siong, dan tadi tidak mau mengaku kepadanya hanya untuk mempermainkannya saja. Siapa tahu!.

Tiga orang pendeta Lama itu kini berdiri bingung, kadang-kadang saling pandang dan pada wajah mereka terbayang ketegangan, harapan akan tetapi juga keraguan. Selama ini Sin-tong dilarikan keluarganya, disembunyikan dari para pendeta Lama. Mungkinkah kini Sin-tong muncul dan memperkenalkan diri begitu saja? Mereka adalah tokoh-tokoh Tibet, termasuk pimpinan para pendeta Lama tingkat tiga. Tentu saja selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga tiga orang Pendeta Lama ini adalah orang-orang yang cerdik, tidak akan mudah menipu mereka.


"Orang muda, jangan engkau main-main dengan kami! Kalau kau hendak menipu kami, dosamu besar sehingga kematian pun belum akan membebaskanmu daripada hukuman!" kata pendeta yang kurus pucat.


"Omitohud ……!" Hay Hay berseru, menirukan lagak seorang pendeta. "Menipu adalah perbuatan yang tidak benar, aku sebagai Sin-tong mana mau melakukannya? Sejak terlahir aku disebut Sin-tong, diperebutkan sebagai Sin-tong, setelah kini menjadi dewasa dan mengaku bahwa akulah Sin-tong, Sam-wi Losuhu dari Tibet malah tidak percaya kepadaku! Sam-wi mengingkari Sin-tong, bukankah itu merupakan dosa yang amat besar pula?"


Tiga orang pendeta Lama itu sating pandang dan kini sikap mereka menjadi agak berbeda, pandang mata mereka mulai menghormat walaupun masih ada keraguan. Nampaknya mereka mulai percaya bahwa pemuda di depan mereka itu mungkin sekali Sin-tong yang mereka cari-cari.


"Dia bukan Sin-tong! Dia bukan putera kami!" tiba-tiba Souw Bwee berseru. Tentu saja seruan ini mengejutkan dan mengherankan hati Pek Kong dan Pek Ki Bu. Bagaimana wanita itu dapat memastikan bahwa pemuda itu bukan Pek Han Siong?


"Memang Ibu benar! Dia bukan Kakak Pek Han Siong, dia seorang pemuda mata keranjang yang tidak tahu malu, berani memalsukan Kakakku!" teriak pula Pek Eng yang mengira ibunya mengenal betul bahwa pemuda itu bukan Pek Han Siong. Padahal teriakan Souw Bwee tadi sama sekali bukan karena ia tahu bahwa pemuda itu bukan puteranya. Ia sendiri ragu-ragu dan tentu saja tidak tahu benar, karena puteranya itu dipisahkan dari sampingnya semenjak masih bayi. Kalau ia tadi berteriak menyangkal justru terdorong oleh rasa khawatirnya. Kalau benar pemuda ini puteranya dan hal ini diketahui oleh tiga orang pendeta Lama yang lihai itu, tentu puteranya itu akan mereka bawa! Dan ia tidak mau kehilangan lagi puteranya yang baru saja pulang. Inilah sebabnya ia berteriak menyangkal agar tiga orang pendeta Lama itu percaya kepadanya dan tidak akan membawa pergi puteranya. Dan Pek Eng yang salah mengerti, kini bahkan membantunya dengan sangkalannya bahwa pemuda itu bukan kakaknya yang dicari-cari.

Pek Kong dan Pek Ki Bu memandang dengan bingung, akan tetapi begitu bertemu pandang dengan isterinya, Pek Kong melihat betapa sinar mata isterinya itu mengandung kegelisahan dan ketakutan dan tahulah dia bahwa penyangkalan isterinya tadi hanya merupakan usaha untuk menyelamatkan pemuda itu! Maka dia sendiri pun merasa bingung dan tidak berkata apa-pa, hanya menanti untuk melihat perkembangan selanjutnya. Sementara itu, Hay Hay juga terkejut mendengar teriakan nyonya dan puterinya itu. Tak disangkanya mereka berteriak menyangkalnya. Dla berpura-pura menjadi Sin-tong untuk mengalihkan perhatian tiga orang pendeta yang lihai agar tidak lagi mendesak keluarga Pek, akan tetapi ternyata nyonya rumah bahkan menyangkalnya! Apakah mereka itu tidak tahu bahwa dia sengaja hendak membantu mereka? Ataukah keluarga Pek itu demikian tinggi hati sehingga tidak sudi menerima pertolongannya, walaupun jelas bahwa mereka terancam bahaya? Ataukah nyonya itu tidak ingin orang lain celaka karena keluarga mereka? Banyak sekali kemungkinan untuk menjawab dan mencari sebab ulah ibu dan anak itu, akan tetapi dia harus dapat meyakinkan tiga orang pendeta Lama itu bahwa dia benar-benar Sin-tong!



Hemm, Sam-wi Losuhu adalah tokoh-tokoh pandai dari Tibet, mana mungkin dapat dibohongi? Mereka menyangkal diriku, tentu saja, karena tentu saja mereka tidak ingin melihat aku kalian bawa pergi dari sini!" Ucapan Hay Hay ini memang tepat sekali sehingga Nyonya Souw Bwee menahan jeritnya, mukanya menjadi pucat dan matanya terbelalak memandang kepada pemuda itu.


Tiga orang pendeta Lama yang tadinya sudah merasa ragu-ragu mendengar teriakan Nyonya Souw Bwee dan Pek Eng yang menyangkal pemuda itu sebagai Sin-tong, kini saling pandang dan harapan baru memancar lagi dari wajah mereka ketika mereka memandang Hay Hay. Memang tepat sekali ucapan pemuda itu, pikir mereka. Kalau benar pemuda ini Sin-tong, tentu ibunya dan adiknya berusaha menyelamatkannya dan satu-satunya cara adalah menyangkalnya!


"Omitohud ……!" Pendeta Lama bermuka bopeng berseru lalu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, kami bukanlah orang-orang bodoh yang mudah dipermainkan dan ditipu. Orang muda, kautanggalkanlah bajumu!"


Keluarga Pek menjadi pucat. Mereka tahu bahwa Pek Han Siong yang dianggap Sin-tong oleh para pendeta Lama itu memang memiliki tanda tahi lalat merah di punggungnya sehingga kalau pemuda ini tidak memillki tanda itu, biar mengaku bagaimanapun juga akan nampak bohongnya. Akan tetapi di samping kekhawatirannya ini, juga mereka merasa tegang karena mereka pun ingin melihat siapa sebenarnya pemuda ini, Pek Han Siong ataukah bukan.


Hay Hay tersenyum. Sebelum tuntutan ini diajukan, dia memang sudah menduganya. Sambil tersenyum dia berkata kepada Pek Eng. "Adik yang baik, jangan menuduh aku kurang ajar kalau aku melepas bajuku di depanmu, karena aku dipaksa oleh ketiga Locianpwe ini." Berkata demikian, Hay Hay lalu menanggalkan bajunya, membiarkan tubuhnya bagian atas telanjang. Nampak dadanya yang bidang dan tubuh,bagian atas yang tegap, dengan otot-otot yang menonjol kuat dan kulit yang putih halus, dada seorang pemuda yang sedang mekar dan kokoh kuat. Dia lalu membalikkan tubuhnya, membiarkan punggungnya nampak oleh mereka.


Keluarga Pek dan tiga orang pendeta Lama ini memandang ke arah punggung dan dengan mudah menemukan tahi lalat merah yang cukup besar dl punggung itu!

"Anakku……!" terlak Souw Bwee.


"Koko ……!" Pek Eng juga berseru, akan tetapi ketika mereka hendak maju, keduanya dicegah oleh Pek Kong dan Pek Ki Bu. Keluarga itu lalu menonton saja, ingin tahu dengan hati tegang apa yang selanjutnya akan terjadi. Kiranya pemuda itu benar Pek Han Siong, piikir mereka dengan jantung berdebar.


Tentu saja dugaan mereka itu keliru. Pemuda itu adalah Hay Hay, bukan Pek Han Siong. Tanda merah di punggungnya ltu hanyalah hasil muslihat Hay Hay saja. Sebelum tadi turun tangan, pemuda ini sudah berpikir panjang dan teringat bahwa satu-satunya tanda dari Sin-tong yang tak pernah muncul sejak bayi, hanyalah tahi lalat tanda merah di punggungnya, maka tadi diam-diam sebelum turun gelanggang, dia telah lebih dulu menutul kulit punggungnya dengan tinta merah. Dengan kecerdikannya, menggunakan kesempatan selagi orang ribut-ribut mengepung tiga orang pendeta Lama, dia menyelinap masuk ke dalam rumah dan berhasil mendapatkan tinta merah yang dicarinya. Maka, ketika dIa terjun ke dalam lapangan itu, di balik bajunya, di atas kulit punggungnya, telah terdapat tanda merah yang sengaja dibuatnya itu!


"Sin-tong ……!” Tiga orang pendeta Lama itu terkecoh dan mereka bertiga cepat merangkapkan kedua tangan di depan dada dan memberi hormat kepada "Anak Ajaib" itu!

"Pinceng bertiga mendapat kehormatan untuk menjemput Paduka dan mengiringkan Paduka menuju ke istana Paduka di Tibet." kata pendeta Lama bermuka bopeng dengan sikap hormat sekali, seperti sikap seorang menteri terhadap rajanya.


Hampir saja Hay Hay tertawa karena gelinya. Sikap tiga orang Lama itu menggelitik hatinya. Demikian lucu seolah-olah dia sedang main sandiwara di atas panggung saja. Biarlah, dia akan bermain sandiwara sepuasnya, pikirnya. Bagaimanapun juga, dia telah berhasil memindahkan perhatian tiga orang pendeta Lama yang lihai itu dari keluarga Pek kepada dirinya. Tentu kini yang terpenting baglimereka hanyalah dirinya yang sudah dipercaya dan diterima sebagai Sin-tong!


“Hemm, begini sajakah penerimaan para pendeta Lama terhadap diriku? Tahukah kalian siapa yang menjelma menjadi diriku sekarang ini?” tanyanya dengan sikap agung berwibawa.

"Pinceng tahu... Paduka adalah calon Dalai Lama, penjelmaan Sang Buddha, omitohud ……!" kata pendeta Lama bermuka bopeng.


"Nah, kalau kau sudah tahu, kenapa yang menyambutku hanya tiga orang pendeta Lama tingkat rendahan saja?"


"Kami bertiga yang rendah adalah anggauta pimpinan tingkat tiga…..” kata pendeta Lama kurus pucat untuk memberi tahu bahwa tingkat mereka sudah terhitung tinggi.

"Hemm, seharusnya Dalai Lama sendiri, atau setidaknya harus utusan yang berilmu tinggi. Akan tetapi karena kalian bertiga sudah tiba di sini, baiklah. Aku akan ikut kalian kalau saja kuanggap ilmu kepandalan kalian tinggi sehingga aku akan merasa cukup terhormat. Nah, kalian majulah. Ingin kulihat sampai di mana kelihaian kalian, apakah patut untuk menjadi orang-orang yang ditugaskan menjemput diriku."


Tiga orang pendeta Lama itu saling pandang dan mereka kelihatan terkejut dan juga terheran-heran, lalu menjadi bingung sendiri. Selama mereka menjadi pendeta Lama, baru sekali inilah ada Sin-tong yang ketika dijemput hendak menguji dulu kepandaian para penjemputnya! Biasanya, yang sudah-sudah, seorang Sin-tong hanya pandai menghafal isi kitab-kitab suci, merupakan seorang setengah dewa yang lemah-lembut dan sama sekali tidak pernah mempergunakan kekerasan. Akan tetapi, Sin-tong yang ini menantang mereka untuk menguji kepandalan silat! Padahal tingkat mereka dalam ilmu silat sudah amat tinggi. Keluarga Pek yang merupakan orang-orang gagah terkenal dari Pek-sim-pang saja bukan tandingan mereka, apalagi pemuda ini yang kelihatan begitu lemah!



"Hayo mulai, kenapa kalian diam saja?" Hay Hay mendesak. Keluarga Pek dan juga para anggauta Pek-sim-pang memandang dengan muka pucat dan jantung berdebar. Betapa beraninya pemuda itu, menantang tiga orang pendeta Lama yang demikian lihainya sehingga Ketua Pek-sim-pang dan ayahnya saja bukan tandingan mereka!

"Kami... mana kami berani?" Akhirnya pendeta bermuka bopeng mewakili dua orang temannya menjawab.


Hay Hay mengerutkan alisnya, pura-pura marah. “Kalau katian tidak memenuhi permintaanku, berarti kalian memandang rendah kepadaku dan selain aku tidak akan sudi ikut ke Tibet, juga kelak aku akan melapor kepada Dalai Lama bahwa kalian bertiga telah menghina diriku!"


Terkejutlah tiga orang pendeta Lama itu. Mereka saling pandang, lalu berbisik-bisik dan mengadakan perundingan di antara mereka sendiri dalam bahasa Tibet. Akhirnya, Si Pendeta Kurus Pucat yang melangkah maju dan menjura dengan hormat kepada Hay Hay.

"Biarlah pinceng mewakili teman-teman untuk menerima perintah Sin-tong dan siap untuk diuji kepandaian pinceng." katanya dengan sikap hormat. Melihat ini. diam-diam Hay Hay tersenyum. Tiga orang pendeta Lama ini ternyata memandang rendah kepadanya. Dari gerakan-gerakan mereka tadi ketika berkelahi dalam beberapa gebrakan melawan orang-orang Pek-sim-pang, dia dapat menilai bahwa di antara mereka bertiga, Si Kurus Pucat ini yang paling rendah ilmunya, sedangkan yang tinggi besar muka hitam itu yang paling lihai.


"Baik, majulah. Akan tetapi kalau engkau kalah, dua yang lain harus kuuji pula kepandaiannya. Kalau aku tidak mampu mengalahkanmu, berarti tingkat kepandaian kalian bertiga sudah cukup tinggi." kata Hay Hay dan dengan sikap sembarangan saja dia lalu membuat kuda-kuda.


Melihat betapa pemuda itu membuat kuda-kuda dengan kedua kaki berdiri tegak, lututnya bengkak-bengkok seperti orang yang tidak bertenaga, pinggangnya juga menggeliat-geliat ke sana-sini seperti orang habis bangun tidur, matanya melirik-lirik ke sana-sini, terutama ke arah Pek Eng, kedua tangannya juga tergantung agak ke belakang, sungguh sikap ini sama sekali tidak meyakinkan! Bukan sikap atau kuda-kuda seorang ahli silat yang tangguh. Diam-diam keluarga Pek merasa kecewa dan gelisah, sedangkan pendeta kurus pucat itu bersama kawan-kawannya merasa geli. Sin-tong yang ini tidak becus ilmu silat akan tetapi hendak menyombongkan diri, pikir mereka. Akan tetapi karena pemuda itu Sin-tong, tentu saja mereka tidak berani mentertawakan, juga Si Kurus Pucat tidak akan berani menjatuhkan tangan besi melukai, apalagi membunuh Sin-tong! Hanya saja, melihat gaya Sin-tong yang lemah ini, hatinya merasa lega. Dari Dalai Lama dia mendengar bahwa Sin-tong telah menjadi seorang pemuda dewasa yang berilmu tinggi, akan tetapi melihat sikap tidak meyakinkan itu, dia tahu bahwa dengan mudah dIa akan mampu mengalahkan pemuda ini. Dia hanya akan mengelak dan menangkis sajaa, membuat pemuda itu kehabisan tenaga dan napas agar menyerah dengan sendirinya, tanpa membalas serangan dan tanpa memukul atau menendang!

"Hayo seranglah!" kata Hay Hay.


“Pinceng tidak berani, harap Paduka Yang Mulia menyerang." jawab kakek pendeta kurus pucat itu.


“Rewel benar kau! Kalau tidak mau menyerang, mana aku tahu sampai di mana kelihaianmu?”

Pek Eng memandang dengan alis berkerut. Benarkah pemuda tolol ini kakak kandungnya? Kenapa begitu tolol, apakah tidak melihat bahwa pendeta kurus pucat itu lihai bukan main? Sungguh mencari penyakit saja, pikirnya tak puas. Hatinya kecewa, tidak puas memiliki seorang kakak kandung seperti itu, sombong dan brengsek!


“Baiklah, pinceng menyerang, harap disambut!” kata pendeta kurus pucat dan dia pun menyerang. Akan tetapi itu sama sekali tidak dapat dinamakan serangan, karena tangan kirinya bergerak perlahan, seperti hendak mengusap pundak kanan Hay Hay saja. Gerakannya juga lambat dan tidak mengandung tenaga.


Hay Hay dengan gerakan kaku mundur untuk mengelak, mulutnya mengomel panjang pendek. "Wah, kalau pukulanmu hanya seperti itu, untuk memukul tahu pun tidak akan pecah. Mana bisa dibilang lihai?"


Pendeta Lama itu maklum bahwa gerakannya terlalu lambat dan lemah, maka agar tidak kentara bahwa dia mengalah, dia maju lagi dan menyerang lagi, kini agak lebih cepat dan lebih kuat, maksudnya pun hanya mengelus ke arah pundak kiri pemuda itu, sambil menanti pemuda itu membalas serangannya.


Akan tetapi kembali dengan gerakan kaku Hay Hay mengelak, kini mengelak ke samping dan masih mengomel. "Hanya sebegini? Tidak ada mutunya sama sekali. Ilmu silat apa sih ini?" Dia mengejek dan mencela.


Muka yang pucat itu kini berubah agak merah, apalagi ketika pendeta itu mendengar suara ketawa di sana-sini, suara ketawa para anggauta Pek-sim-pang yang merasa betapa lucunya pertunjukan itu.


"Pinceng akan menyerang lagi lebih cepat, harap siap siaga!” Dia membentak lalu kini menubruk dengan lebih cepat dan bertenaga. Maksudnya untuk menangkap dan memeluk Sin-tong agar tidak dapat bergerak meronta lagi dan langsung membawanya lari ke Tibet.


"Wuuuttt... brukkk …….!" Hampir saja pendeta itu berteriak kaget karena yang ditubruknya hanya angin belaka! Tubrukannya luput! Betapa mungkin ini? Dia tadi menggunakan kecepatan dan tenaga sinkang, akan tetapi tanpa diketahuinya bagaimana caranya, tahu-tahu tubrukannya mengenai tempat kosong dan pemuda itu entah pergi ke mana.


"Heii, muka pucat. Engkau sedang apa-apaan di situ? Jangan main-main, aku minta engkau menggunakan ilmu silat mengalahkan aku, bukan untuk main-main seperti orang mencari kodok saja. Apakah engkau biasa menangkap dan makan daging kodok?"



Kini lebih banyak lagi terdengar suara ketawa dan keluarga Pek memandang dengan terheran-heran. Tadinya mereka merasa kecewa dan tidak puas melihat sikap ketololan dari pemuda yang mereka sangka Pek Han Siong itu. Mereka tahu bahwa pendeta kurus pucat itu mengalah dan tidak berani menggunakan kekerasan. Pemuda itu yang mereka anggap tidak tahu diri. Akan tetapi tubrukan tadi cukup cepat, dan mereka melihat betapa pemuda itu hanya memutar kakinya seperti gasing dan tahu-tahu sudah berada di luar tubrukan dan tubrukan itu pun mengenai tempat kosong sedangkan pemuda itu tahu-tahu dengan terhuyung-huyung, telah berada di belakang Si Pendeta dan menegurnya dengan kata-kata mengejek. Seperti juga pendeta kurus pucat itu, para keluarga Pek juga mengira bahwa keberhasilan pemuda itu menghindarkan diri dari tubrukan hanyalah kebetulan saja.


"Hayo pukullah aku, seranglah dan jangan main.main. Apa engkau ingin aku menjadi marah dan memukulmu sampai babak belur?' Mendengar ucapan keras pemuda ini, kembali memancing suara ketawa geli di sana-sini. Pemuda yang agaknya sama sekali tidak pandai ilmu silat itu kini malah mengancam hendak memukul si pendeta lihai sampai babak belur!


"Baik, dan Paduka sambutlah!" kata Si Pendeta Kurus Pucat. Kini dia harus berhasil, pikirnya. Dia mengerahkan sinkang dan dengan cepat sekali pukulan tangannya yang dikepal sudah meluncur ke arah perut Hay Hay. Semua orang terkejut. Pukulan itu cepat dan dahsyat, kalau mengenai perut pemuda yang tidak pandai silat itu tentu akan mengakibatkan isi perutnya berantakan dan Sin-tong pasti tewas! Wajah Pek Kong, Souw Bwee, Pek Ki Bu dan Pek Eng sudah menjadi pucat sekali, bahkan Souw Bwee memejamkan mata, tidak tega melihat puteranya terpukul mati. Dan semua orang melihat betapa pemuda yang tidak pandai silat itu agaknya tidak tahu akan datangnya pukulan, buktinya dia masih menyeringai dan tidak bergerak untuk mengelak atau menangkis!

Pendeta kurus pucat itu memang sudah menduga bahwa Sin-tong pasti tidak akan mampu mengelak, maka dengan kepandaiannya yang tinggi dia sudah dapat menguasai gerakannya sepenuhnya, maka begitu kepalan tangannya mendekati perut lawan, dia sudah dapat menahan dan mengeremnya sehingga kepalan itu hanya menyentuh kulit perut perlahan saja, tanpa ada angin pukulan tenaga sinkang.


“Plekk!” kepalan itu hanya menempel lirih saja, lembut dan tidak mendatangkan rasa nyeri sama sekali. Hay Hay tersenyum mengejek.


"Ha-ha, begitu saja pukulanmu! Wah, lebih lunak daripada tahu! Mana bisa dibilang lihai kalau pukulannya hanya seperti ini?”


"Sin-tong, pinceng tidak berani memukul sungguh-sungguh. Paduka tidak akan kuat menerima pukulan pinceng!” kata Si Kurus Pucat yang menjadi mendongkol juga karena semua orang tersenyum, ada pula yang tertawa mendengar ejekan Hay Hay tadi. Mereka semua tidak suka kepada para Lama yang menyebabkan Pek-sim-pang harus pergi mengungsi, apalagi kini tiga orang Lama datang untuk membawa pergi putera ketua mereka. Maka, melihat betapa pendeta Lama yang kurus pucat itu dipermainkan, mereka merasa gembira juga


"Apa ……..? Aku tidak tahan menerima pukulanmu? Ha-ha-ha, jangan bergurau! Pukulanmu tidak akan menghancurkan sepotong tahu, apalagi perutku!" Hay Hay tidak, menyombong. Tadi pun sudah melindungi perutnya dengan sin-kang yang terkuat, untuk menjaga diri Andalkata tadi Si Pendeta Lama memukulnya benar-benar, tetap saja dia tidak akan terluka!


"Sebaiknya kalau Paduka saja yang memukul pinceng dan pinceng akan menjaga diri. Kalau sampai pinceng dapat terpukul roboh satu kali saja, biarlah pinceng mengaku kalah." kata pula hwesio kurus pucat dengan sikap serba salah. Diam-diam dia mendongkol bukan main karena ucapan-ucapan yang mengejek itu, yang membuat dia menjadi bahan tertawaan orang banyak. Memukul sungguh-sungguh, tentu saja dia tidak berani melukai Sin-tong, tidak sungguh-sungguh, dia dijadikan bahan ejekan dan tertawaan.

"Benarkah? Saudara-saudara semua mendengar sendiri bahwa kalau aku mampu memukul dia roboh satu kali saja, dia akan mengaku kalah. Harap Saudara seka1ian menjadi saksi!" kata Hay Hay sambil memutar tubuh ke empat penjuru. Para anggauta Pek-sim-pang sudah menjadi semakin gembira.

"Kami menjadi saksi!" terdengar; teriakan di sana-sini.


"Nah, puluhan orang menjadi saksi agar engkau nanti tidak melanggar janjimu sendiri. Bersiaplah, aku akan segera menyerang!" kata Hay Hay. Kini pendeta itu bersiap siaga, memasang kuda-kuda yang kokoh kuat, sedangkan para keluarga Pek menonton dengan hati tegang dan penuh perhatian. Kini mereka ingin melihat bagaimana sebenarnya kepandaian pemuda itu karena sejak tadi, pemuda itu belum pernah memperlihatkan satu kali pun gerakan ilmu silat. Sekarang, karena dia hendak menyerang, tentu dia akan menggunakan jurus-jurus silat dan mereka ingin mengenal aliran silat apa yang dimiliki pemuda itu.


“Pinceng sudah siap!" kata hwesio Lama yang kurus pucat itu.


"Awas, aku menyerang, sambutlah!" Hay Hay membentak, suaranya nyaring dan semua orang menduga akan terjadi serangan yang dahsyat. Akan tetapi mereka semua kecewa. Pemuda itu menyerang dengan gerakan liar dan semrangan saja, bukan seperti orang bersilat, melainkan seperti anak kecil berkelahi di tepi jalan, asal memukul saja tanpa pememilih sasaran. Kepalan kedua tangannya diayun dan dipukulkan bergantian ke arah tubuh pendeta Lama itu. Melihat datangnya pukulan yang lamban dan tanpa tenaga sinkang ini, pendeta Lama itu tersenyum dan dengan mudahnya mengelak ke belakang.

"Mau lari ke mana kau?” Hay Hay berseru, lagaknya seperti orang yang mendesak lawannya, mengejar dengan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan ngawur. Setiap kali pukulan atau tendangan dielakkan oleh pendeta lama itu, tubuh pemuda itu terhuyung, bahkan hampir saja jatuh tertelungkup ke depan. Semua orang kecewa, terutama sekali Pek Eng.


"Tolol yang tak tahu malu!” gadis itu membentak, cukup keras karena hatinya kecewa, bahkan marah sekali melihat pemuda yang mengaku sebagai Sin-tong ini. Memalukan sekali mempunyai seorang kakak kandung seperti itu, pikirnya gemas.



Hay Hay mendengar celaan ini, dan tiba-tiba dia menghentikan serangannya, menoleh kepada Pek Eng sambil menyeringai. "Memang dia ini tolol sekali, bukan, Adik yang manis? Seorang pendeta Lama yang tolol memang, engkau benar sekali dan karena ketololannya, dia akan kubikin roboh sekarang!"


Kalau saja tidak ingat bahwa pemuda itu kemungkinan besar adalah kakak kandungnya, dan karena di situ terdapat banyak orang, tentu Pek Eng akan memaki dan mencela terang-terangan pemuda itu. Ia mendongkol bukan main, dan terpaksa menelan kegemasan hatinya ketika pemuda itu sudah membalik lagi danmenghadapi pendeta Lama yang kurus itu.


"Nah, sekarang kau robohlah!" Hay Hay membentak dan bentakannya yang penuh keyakinan ini memancing suara ketawa dari banyak orang. Kini Hay Hay yang menjadi bahan tertawaan karena pemuda itu tampak demikian tolol. Jelas bahwa pemuda itu tidak becus apa-apa, bersilat sejurus pun tidak becus, akan tetapi lagaknya demikian hebat, memastikan bahwa pendeta Lama yang lihai itu roboh! Diiringi suara ketawa riuh rendah, kini Hay Hay meloncat. Gerakannya bukan gerakan silat, melainkan gerakan katak melompat ke depan, ke arah lawannya, dengan kedua kaki dan tangan bergerak-gerak di udara ketika meloncat, seperti seorang anak kecil mencoba untuk melompati sebuah got. Kedua tangannya dengan jari-jari terbuka menusuk ke arah muka pendeta itu, dan kedua kakinya bergerak ke depan dengan liar dan ngawur. Semua orang semakin geli melihat loncatan katak itu dan suara ketawa makin riuh.

Tiba-tiba saja suara ketawa itu terhenti dan tubuh pendeta Lama itu jatuh berlutut! Seperti seekor jengkerik mengerik kini terpijak, suara ketawa itu seperti dicekik dan semua orang memandang dengan mata terbelalak, tidak percaya akan apa yang disaksikannya. Lebih terkejut dan terheran lagi adalah pendeta lama kurus pucat itu. Tadi ketika pemuda itu membuat loncatan katak, tentu saja dia menjadi geli dan memandang rendah. Ketika kedua tangan pemuda itu menusuk dengan jari-jarinya ke arah kedua matanya, barulah dia agak terkejut dan cepat dia miringkan kepala untuk menghindarkan diri dari tusukan jari-jari tangan yang meluncur dengan cepat sekali itu. Saking cepatnya tusukan jari-jari itu ke arah matanya, pendeta Lama ini terkejut dan hanya memperhatikan serangan ke arah matanya itu. Tiba-tiba, kedua lututnya dicium ujung sepatu kedua kaki Hay Hay dan karena yang tertotok ujung sepatu itu adalah sambungan lutut, maka seketika tubuh pendeta itu tak dapat bertahan untuk berdiri lagi. Kedua lututnya seketika lemas dan lumpuh dan dia pun jatuh berlutut!


"Nah, engkau sudah roboh, berarti engkau sudah kalah!" Hay Hay berkata sambil tersenyum-senyum memandang ke empat penjuru. Barulah kini suara sorak sorai dan tepuk tangan meledak. Semua orang bergembira melihat betapa tanpa disangka-sangka, pemuda itu telah berhasil mengalahkan seorang di antara tiga pendeta Lama yang lihai itu. Walaupun mereka sendiri tidak tahu bagaimana mungkin pendeta itu roboh berlutut, dan walaupun sebagian besar di antara mereka, juga keluarga Pek, menyangka bahwa kejadian itu hanyalah kebetulan saja, namun mereka semua gembira bahwa seorang di antara para Lama itu telah roboh dan kalah!


Kalau saja yang dihadapinya bukan Sin-tong, pendeta Lama itu tentu akan marah dan mengamuk, menyerang pemuda itu. Akan tetapi yang dihadapinya adalah Sin-tong, dan peristiwa tadi kalau diingat membuat bulu tengkuknya meremang. Tentu para dewa melindungi Sin-tong, pikirnya. Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin dia sendiri roboh hanya oleh tendangan-tendangan yang tidak berarti, yang secara kebetulan sekali mengenai sambungan kedua lututnya? Para Dewa yang agaknya menuntun gerakan-gerakan kacau dan ngawur itu dan menghadapi kekuasaan para dewa, tentu saja dia kalah! Maka dia pun bangkit berdiri, merangkap kedua tangan depan dada dan berkata dengan suara merendah. "Pinceng mengaku kalah dan terima kasih atas petunjuk Sin-tong."

"Ha-ha, bagus, engkau tahu diri juga. Nah, siapa orang kedua yang akan mencoba ilmu silatnya!" kata Hay Hay sengaja berlagak dan senyumnya melebar ketika dia mengerling dan melihat betapa Pek Eng merengut dan mengerutkan alisnya. Kemenangannya tadi agaknya membuat gadis itu tidak merasa puas dan hal ini menambah kegembiraan di hati Hay Hay. Memang dia ingin mempermainkan tiga orang pendeta Lama ini, juga ingin menggoda semua orang, terutama gadis manis berlesung pipit yang amat menarik hatinya itu.


Diam-diam dua orang pendeta Lama lainnya mengerutkan alis dan menyesal atas kesembronoan teman mereka. Mereka berdua merasa yakin bahwa tidak mungkin teman mereka itu kalah dan dirobohkankan oleh Sin-tong, melihat betapa Sin-tong tidak pandai ilmu silat. Walaupun tendangan mengenai kedua lutut itu luar biasa dan aneh sekali, akan tetapi mereka yakin bahwa hal itu tentu terjadi hanya karena suatu kebetulan yang sial belaka. Kini pendeta bermuka bopeng yang melangkah maju dan menjura kepada Hay Hay.


"Biarlah pinceng yang mohon petunjuk Sin-tong. Pinceng akan mengeluarkan semua kebodohan pinceng untuk menyerang Paduka dan mencoba untuk merobohkan Paduka seperti yang Paduka lakukan terhadap teman pinceng tadi."

Diam-diam Hay Hay memandang tajam penuh perhatian. Pendeta bermuka buruk ini kelihatan cerdik sekali, dan dia tahu bahwa tentu kata-katanya bukan sekedar basa-basi, melainkan merupakan ancaman yang akan dipenuhi. Tentu pendeta ini akan benar-benar berusaha untuk merobohkan dia tanpa mendatangkan luka berat, dan hal itu tidaklah sukar bagi seorang yang memlliki ilmu kepandaian tinggi. Maka dia harus berlaku hati-hati terhadap orang ini, pikirnya.


"Ha-ha, bagus sekali engkau mengakui kebodohanmu sehingga nanti kalau engkau gagal merobohkan aku, kebodohanmu tidak akan bertambah. Biar sampai seratus jurus, aku yakin engkau tidak akan mampu merobohkan aku."


Pek Eng dan ayah ibunya, juga kakeknya, mengerutkan alisnya. Pemuda itu sungguh luar biasa beraninya. Menentang dan mengadu kepandaian dengan pendeta-pendeta lihai itu saja sudah amat berat dan sudah berani sekali. Akan tetapi pemuda ini masih demikian beraninya untuk membual bahwa dia sanggup melayani sampai seratus jurus! Hal ini pun terasa oleh pendeta muka bopeng. Hemm, pikirnya dengan gemas, belum sepuluh jurus saja tentu engkau akan roboh. Apalagi kalau dia menghadapi pemuda ini sebagai musuh, bukan sebagai Sin-tong, mungkin sejurus saja dia akan mampu merobohkan dan membunuhnya!



"Mungkin saja Paduka jauh lebih pandai daripada pinceng. Nah, harap Paduka siap. Pinceng mulai menyerang!" Berkata demikian, pendeta bermuka buruk itu sudah mengembangkan kedua lengannya, kemudian menggerakkan kaki tangannya menyerang ke arah Hay Hay. Serangannya itu merupakan tamparan dari kanan kiri susul-menyusul, dan ketika tangan pendeta itu menyambar, terdengar suara bersiutan dan terasa oleh Hay Hay ada hawa panas sekali menyambar ke arah tubuhnya! Dia terkejut. Kiranya pendeta ini mengeluarkan kepandaiannya dan rnenyerang sungguh-sungguh dengan pengerahan tenaga sinkang! Memang inilah maksud pendeta itu, merobohkan Hay Hay, kalau mungkin melalui angin, dan hawa pukulan saja, mengandalkan sin-kangnya!


"Siuuuuttt…. Siuutttt……!” Dua tamparan dengan kedua tangan menyambar dari kanan kiri, atas bawah.


"Haiiittt…… ouuuuttt…… lupuuutttt…..!” Hay Hay sudah mengelak ke belakang, gerakannya kaku dan lucu, namun kenyataannya, dua tamparan itu memang tidak mengenai sasaran! Biarpun kaku, namun tubuh pemuda itu nampak sedemikian ringannya, seolah-olah tubuh itu berubah menjadi kapas yang dapat menjauh dan mengelak sendiri tertiup angin pukulan!


Akan tetapi kakek pendeta itu mendesak terus dengan tamparan-tamparan yang lebih cepat, lebih kuat dan lebih panas lagi hawanya. Menghadapi desakan ini, tiba-tiba Hay Hay nampak terhuyung-huyung, kakinya bergeser ke sanasini dan mulutnya nyerocos, "Hooshhhh... heshhhh... luput lagi ….!" Dan memang benar, pukulan atau tamparan beruntun itu tidak mengenai sasaran, selalu lewat saja di kanan kiri tubuh Hay Hay, seolah-olah kakek itu yang pikun dan bodoh, tidak mampu memukul sasaran dan selalu pukulannya menyeleweng ke samping!


Namun kakek pendeta itu terus mendesak dengan pukulan-pukulan,. tamparan, totokan bahkan mulai melakukan tendangan-tendangan. Memang hebat sekali ilmu silat pendeta ini, tubuhnya bahkan mulai sukar diikuti pandang mata saking cepatnya dia bergerak.

Mula-mula maslh terdengar suara ketawa disana-sini karena memang lucu sekali gerakan Hay Hay yang megal-megol, loncat sana-sini, kadang-kadang membungkuk, kadang-kadang hampir rebah, menungging, berjongkok, dan lain gerakan aneh dan lucu lagi. Akan tetapi kini semua orang mulai merasa tegang dan kagum. Betapa pun aneh gerakan pemuda itu kenyataannya, semua serangan pendeta itu luput!


"Manusla tolol …..!" Pek Eng mencela, akan tetapi tiba-tiba tangannya dipegang oleh ayahnya yang berdiri di sampingnya.


"Anak bodoh, 1ihat baik-baik …..!" bisik ayahnya dan ketua Pek-sim-pang ini, seperti juga Kakek Pek Ki Bu, menonton dengan wajah tegang dan pandang mata penuh kagum. Penglihatan di situ memang aneh. Seorang pendeta Lama, dengan jubah dan mantel lebar berkibar-kibar, gerakannya cepat sehingga sukar mengikuti bentuk tubuhnya dengan mata, menghujankan serangan-serangan yang mendatangkan angin pukulan dahsyat, sedangkan pemuda yang diserangnya itu selalu dapat mengelak dengan gerakan yang aneh bukan main. Namun karena kini diserang dan didesak hebat, terpaksa Hay Hay tak berani main-main lagi. Biarpun gerakan-gerakannya masih dibuat-buat sehingga nampak aneh dan konyol, namun kedua kakinya kini mulai melakukan gerakan ilmu kesaktian yang dipelajarinya dari See-thian Lama yang dahulu berjuluk Go-bi San-jin, seorang di antara Delapan Dewa. Gerakan ini adalah Jiauw- pouw- poan- soan, yaitu langkah-langkah berputaran yang amat aneh karena langkah-langkah ini dapat menghindarkan dirinya dari serangan-serangan berbahaya. Tubuhnya juga mulai sukar diikuti gerakannya saking cepatnya dan mulailah para penonton memandang kagum, dan dapat menduga bahwa bukan karena nasib baik atau kebetulan saja pemuda itu tadi mempermainkan Lama pertama dan merobohkannya, melainkan karena memang pemuda itu lihai sekali!


Pendeta Lama bermuka bopeng juga terkejut ketika melihat gerakan langkah-langkah ajaib itu. Biarpun dia sendiri tidak menguasai ilmu itu, namun pernah dia mendengar tentang langkah-langkah ajaib yang mengandung garis-garis pat-kwa yang amat luar biasa. Akan tetapi hanya tokoh-tokoh besar yang memiliki tingkat tinggi saja yang kabarnya mampu menguasai langkah-langkah ajaib seperti itu. Mungkinkah seorang pemuda seperti ini sudah mampu menguasainya? Dia teringat bahwa pemuda ini adalah Sin-tong, bukan pemuda sembarangan. Tentu saja mungkin bagi Sin-tong untuk menguasai ilmu apa saja!


“Hesshhh... hosshhh... tidak kena! Heii, sudah berapa ratus jurus seranganmu ini? Wahhh, panasnya... gerah sekali, dan keringatrnu mengeluarkan bau amat busuk! Tak tahan aku ….!” kata Hay Hay dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah menjauh. Karena sejak tadi dia memainkan ilmu langkah ajaib Jiauw-pouw-poan-soan sedangkan lawannya menyerangnya dengan cepat, maka dia pun telah mengeluarkan banyak tenaga dan tubuh bagian atas yang tidak berbaju itu kini basah oleh keringat.


Tiba-tiba terdengar teriakan pendeta Lama yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam, orang terlihai di antara tiga pendeta itu, “Lihat, dia bukan Sin-tong! Tanda merah itu luntur oleh keringatnya!”


Semua orang kjnj dapat melihat dengan jelas, “tahi lalat” merah yang berada di punggung Hay Hay itu kini luntur karena keringatnya membasahi tanda yang dibuat dari tinta merah itu! Melihat ini, pendeta kurus pucat menjadi marah sekali. Dia kini tahu bahwa pemuda itu bukan Sin-tong, melainkan seorang pemuda yang memalsukan nama Sin-tong dan tadi telah mempermainkannya.


"Manusia jahat!" bentakan ini disusul oleh serangannya yang hebat. Pendeta lama ini agaknya sudah marah sekali dan serangannya merupakan serangan maut. Dia menyerang dengan kedua ujung lengan bajunya yang menyambar bagaikan sepasang senjata yang ampuh melakukan totokan-totokan ke arah jalan darah di bagian depan. Bertubi-tubi kedua ujung lengan baju itu menotok ke arah tujuh titik jalan darah yang dapat mendatangkan maut apabila tepat mengenai sasaran!


"Celaka ….!" Pek Ki Bu berseru kaget karena melihat betapa hebatnya serangan pendeta lama yang kurus pucat itu. Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi dia mengenal serangan maut yang amat ampuh dan berbahaya sekali.


Namun, dengan gerakan lincah sekali Hay Hay sudah mengelak ke sana-sini dan masih mempergunakan langkah-langkah ajaibnya. Kini dia pun tidak mau main-main lagi, menghadapi serangan yang sungguh-sungguh itu dia pun lalu mengeluarkan kepandaiannya. Dengan sebuah jurus pilihan dari nmu Silat Ciu-sian Cap-pik-ciang (Delapan Belas Pukulan Dewa Arak) dia membalas, tangan kanan mencengkeram ke depan dan ketika lawan mengelak ke kiri, tangan kirinya memapaki dengan tamparan.

“Plakkk……. !” Tubuh kakek Lama yang kurus itu terpelanting! Masih untung bahwa pemuda itu tidak mempergunakan tenaga sepenuhnya sehingga ketika pundaknya kena ditampar, tulangnya tidak sampai patah-patah, hanya tubuhnya yang terpelanting dan terbanting ke atas tanah!


Semua orang terkejut dan Pek Eng memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Gerakan pemuda itu kini nampak demikian indah dan gagah, tidak ketolol-tololan seperti tadi. Dan dalam segebrakan saja pemuda itu mampu merobohkan pendeta Lama muka pucat yang demikian lihainya! Hati Pek Eng menjadi kagum sekali dan mukanya berubah merah ketika ia teringat betapa tadi ia memandang rendah kepada pe-muda itu. Akan tetapi pemuda itu bukan kakak kandungnya dan kembali ia merasa menyesal! Kalau saja pemuda itu kakak kandungnya, tentu ia sudah bersorak karena senang dan bangganya mempunyai seorang kakak yang demikian lihainya. Akan tetapi pemuda itu jelas bukan Pek Han Siong, karena bukankah tanda merah di punggungnya itu palsu belaka?



Sementara itu orang-orang Pek-sim-pang menjadi gembira bukan main dan mereka bertepuk tangan memuji, senang bahwa pendeta Lama yang mereka benci itu telah ada yang menandingi. Pendeta Lama bermuka bopeng menjadi terkejut akan tetapi juga marah melihat temannya roboh. Dan dia pun mengeluarkan suara menggereng dahsyat dan tubuhnya sudah menerjang maju dengan cepat dan kedua tangannya mengeluarkan uap putih ketika dia melancarkan pukulan-pukulan maut yang mengandung angin pukulan dahsyat sampai debu mengepul di sekitarnya.


Hay Hay kembali mengeluarkan kelihaiannya. Dengan gerakan yang gagah dan lincah, tubuhnya mengelak dan tangannya menangkis dari atas ke bawah. Dua buah lengan yang mengandung tenaga sinkang bertemu dengan kerasnya.


"Dukk!!" Akibatnya, tubuh pendeta Lama itu tergetar dan terhuyung, sedangkan Hay Hay masih berdiri tegak. Pendeta Lama bermuka bopeng itu maklum bahwa pemuda ini ternyata kuat bukan main. !


"Orang muda, siapakah engkau? Kenapa engkau mencampuri urusan kami dengan Pek-sim-pang?" dia bertanya karena hatinya menjadi ragu mendapat kenyataan bahwa pemuda yang sakti ini bukanlah Sin-tong dan tidak baik untuk menanam permusuhan dengan golongan lain. Juga dia perlu mengenal lawan yang tangguh ini agar urusan menjadi jelas.


Hay Hay tersenyum dan dengan tenang sekali dan kini mengenakan kembali bajunya yang tadi dilepas, sikapnya seperti tidak sedang menghadapi ancaman tiga orang pendeta Lama yang lihai.


"Sam-wi Losuhu adalah tiga orang tokoh dari Tibet, ingin mengenal namaku? Aku bernama Hay Hay dan aku akan mencampuri urusan siapa saja kalau kulihat di situ orang menggunakan kepandaian untuk memaksa para orang gagah di sini, tentu saja aku tidak dapat tinggal diam saja. Keluarga Pek yang gagah perkasa ini dengan jujur mengatakan bahwa mereka tidak tahu tentang putera mereka, akan tetapi kenapa Sam-wi hendak memaksa dan menggunakan kepandaian untuk menekan?"


"Bocah sombong, engkau hendak menentang kami? Siapakah gurumu?" bentak pula pendeta Lama bermuka bopeng. Melihat sikap ini, Hay Hay mengerutkan alisnya, akan tetapi dia masih tersenyum.


"Locianpwe, aku tidak perlu membawa nama suhu-suhuku yang mulia dalam urusan ini. Pergilah saja pulang ke Tibet dan jangan mengotorkan nama besar para pendeta Lama dengan perbuatan kekerasan yang tidak patut dilakukan pendeta-pendeta yang suci."

"Keparat sombong!" Tiba-tiba pendeta Lama yang bertubuh tinggi besar sudah menerjang ke depan. Tubuhnya menyerang bagaikan seekor gajah marah. Angin besar terasa oleh orang banyak ketika tubuh yang tinggi besar itu menerjang maju dan bertubi-tubi kedua lengan panjang dan kaki panjang itu menyerang dengan pukulan dan tendangan ke arah Hay Hay. Kembali semua orang menonton dengan hati tegang, terutama sekali Pek Ki Bu dan Pek Kong yang memiliki ilmu silat lebih tinggi daripada orang-orang Pek-sim-pang dan mereka berdua dapat mengikuti perkelahian itu lebih teliti lagi. Mereka maklum betapa lihainya tiga orang pendeta itu, maka tentu saja mereka mengkhawatirkan keselamatan pemuda yang berpihak kepada mereka itu.


Akan tetapi sekali ini, Hay Hay tidak berani main-main lagi. Dia pun tahu bahwa biarpun ilmu silatnya masih lebih tinggi daripada mereka bertiga, namun dia kalah pengalaman dan tiga orang pendeta itu merupakan lawan yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Dia pun cepat menggerakkan kakinya, mengelak ke sana-sini dengan cepat bukan main. Dia masih tetap menggunakan Jiauw-pouw-poan-soan untuk menghindarkan terjangan dahsyat dari pendeta Lama tinggi besar itu.


Dengan lincahnya, tubuhnya berloncatan ke sana-sini, kadang-kadang tubuhnya melejit-lejit, kedua kakinya digeser secara aneh dan ke mana pun tangan dan kaki pendeta tinggi besar itu menyambar, tubuh Hay Hay selalu dapat mengelak dengan indah dan tepat sekali. Melihat betapa pendeta tinggi besar itu tidak mampu mengenai tubuh lawan dengan semua serangannya, dua orang pendeta Lama lainnya cepat maju dan kini Hay Hay dikeroyok oleh mereka bertiga! Tentu saja Hay Hay menjadi repot sekali! Tiga orang pendeta itu adalah tokoh-tokoh tingkat tiga dari Tibet, kini maju bersama. Tentu saja gabungan tiga tenaga itu amat kuatnya. Namun Hay Hay masih mampu mengelak, menangkis, bahkan membalas dengan serangan-serangan yang membuat tiga orang lawannya kadang-kadang terhuyung ke belakang.


Tepuk sorak semakin riuh menyambut kehebatan Hay Hay menghadapi pengeroyokan tiga orang pendeta itu. Keluarga Pek kini melongo. Biarpun mereka sudah tahu bahwa pemuda yang mengaku Sin-tong itu amat lihai, namun tak pernah mereka dapat membayangkan bahwa pemuda itu mampu menghadapi pengeroyokan tiga orang pendeta Lama yang demikian lihainya.


"Anak itu luar biasa sekali ……!" Pek Ki Bu sampai berseru saking kagumnya. Pek Eng memandang dengan muka merah. Pemuda yang demikian lihainya, jauh lebih lihai dari ayahnya, bahkan dari kakeknya sendiri, dan ia tadi telah menantang pemuda itu! Kalau pemuda itu menghendaki, agaknya dalam segebrakan saja ia tentu sudah roboh!


Perkelahian itu berlangsung dengan amat cepatnya. Tiga orang pendeta Lama itu memang tangguh, apalagi mereka kini maju bersama. Bahkan kini pendeta kurus pucat mempergunakan kedua ujung lengan bajunya, pendeta muka bopeng mengeluarkan sebuah kipas sebagai senjata sedangkan pendeta tinggi besar mengeluarkan seuntai tasbeh yang dipergunakan sebagai senjata. Hay Hay yang mengandalkan ilmu langkah ajaibnya menjadi kewalahan dan terpaksa dia pun menggunakan Ilmu Yan-cu Coan-in sehingga dia dapat mengerahkan ginkang (ilmu meringankan tubuh) sepenuhnya. Tubuhnya kadang-kadang lenyap saking cepatnya dia bergerak, menyelinap di antara gulungan sinar senjata yang menyambar-nyambar dan mengepungnya. Para penonton menjadi kabur pandangan mereka, dan tidak mampu lagi mengikuti gerakan empat orang itu dengan jelas.



Hay Hay tidak mau melukai tiga orang pendeta Lama itu, apalagi membunuh mereka. Inilah yang membuat dia semakin kewalahan. Tiga orang lawan itu menyerangnya dengan sungguh-sungguh, dengan serangan maut, sedangkan dia hanya mempertahankan diri saja, dan serangan balasannya bukan ditujukan untuk merobohkan lawan, melainkan untuk membendung banjir serangan itu. Tentu saja keadaan seperti itu tidak menguntungkan dan dia pun kini terdesak dan tertekan, berada dalam ancaman bahaya.


Maklum bahwa kalau dia terus melayani tiga orang lawan itu akhirnya dia tentu akan terpaksa melukai mereka karena kalau tidak dia sendiri yang akan celaka, Hay Hay lalu mengambil keputusan untuk mencoba ilmu barunya yang belum lama ini dipelajarinya dari Pek Mau San-jin selama setahun. Diam-diam dia mengerahkan tenaga batinnya dan mulutnya berkemak-kemik membaca mantera, kemudian, dia meloncat jauh ke belakang sampai kurang lebih enam meter. Ketika tiga orang lawannya mengejar, dia berseru dan suaranya lembut namun mengandung getaran yang amat kuat.


"Heii, tiga orang pendeta Lama dari Tibet, buka mata kalian dan lihat baik-baik siapa aku. Aku adalah Sin-tong yang siap untuk ikut dengan kalian ke Tibet, menghadap Dalai Lama!"

Semua orang terkejut karena ucapan itu seperti memaksa mereka untuk percaya bahwa pemuda itu benar-benar Sin-tong. Bahkan Souw Bwee sudah berseru dengan hati terharu. "Anakku Pek Han Siong !" Akan tetapi tangannya keburu dipegang oleh Pek Kong yang tidak ingin melihat isterinya lari kepada pemuda itu. Bagaimanapun juga, pengaruh suara Hay Hay itu tidak begitu hebat terhadap mereka karena ditujukan kepada tiga orang pendeta Lama. Tiga orang pendeta itulah yang langsung menerima serangan ilmu sihir dari Hay Hay dan tiba-tiba mereka bertiga mengubah sikap mereka, menyimpan senjata masing-masing, lalu mereka menjura dengan hormat kepada Hay Hay! Bahkan pendeta muka bopeng yang agaknya menjadi juru bicara mereka, segera berkata dengan sikap hormat sekali.


"Marilah, Sin-tong, pinceng bertiga datang untuk menjemput dan mengantar Paduka ke Lasha di Tibet."


Hay Hay masih memandang dengn sinar mata mencorong, kemudian dia berkata.

"Aku lelah sekali, aku mau ke Tibet asal digendong."


"Pinceng yang siap menggendong Paduka!" kata pendeta Lama yang bertubuh tinggi besar, siap untuk menggendong Hay Hay.


Hay Hay lalu mengambil sebongkah batu besar yang berada tak jauh dari situ kemudian meletakkan batu itu di depannya. Kembali suaranya mengandung getaran kuat sekali ketika dia berkata, "Sin-tong telah siap, angkat dan pondonglah ke Tibet!"

Suara itu mengandung kekuatan yang luar biasa, dan kini kakek pendeta Lama yang tinggi besar itu menghampiri batu dan segera mengangkat dan memondongnya, dipandang oleh dua orang rekannya. Kemudian, mereka bertiga lalu membalikkan tubuh dan berjalan hendak pergi meninggalkan tempat itu, Si Pendeta Tinggi Besar masih memondong batu besar tadi.


Tentu saja peristiwa itu membuat semua orang terheran-heran. Mereka merasa seperti sedang menonton pertunjukan sandiwara di panggung saja, atau pertunjukan pelawak. Melihat betapa pendeta tinggi besar itu menggendong batu besar seperti menggendong tubuh Sin-tong seperti yang diucapkan oleh pemuda itu, beberapa orang tak dapat menahan ketawanya, mereka tertawa karena merasa heran dan juga lucu. Suara ketawa amat mudah menular sehingga tak lama kemudian meledaklah suara ketawa.


Suara ini memiliki kekuatan dan membuyarkan pengaruh sihir atas diri tiga orang pendeta itu. Tiba-tiba Si Pendeta Tinggi Besar berteriak kaget dan memandang batu dalam pondongannya, juga dua orang temannya terbelalak.


"Omitohud... Si Keparat!" teriak pendeta tinggi besar dan dia pun membalik, kemudian dia melontarkan batu besar itu ke arah Hay Hay! Lontaran ini mengandung tenaga yang amat kuat, membuat batu besar itu meluncur cepat seperti sebuah peluru meriam yang amat besar menuju ke arah tubuh Hay Hay. Pemuda ini terkejut, kalau dia mengelak, batu itu tentu akan menyerang murid-murid Pek-sim-pang yang berada di belakangnya. Kalau menerimanya, dia khawatir tenaganya tidak mampu menahan lajunya lontaran itu. Jalan satu-satunya hanyalah menyambut batu itu dengan pukulan.


Hay Hay mengerahkan tenaga sin-kangnya dan begitu batu menyambar sampai di depannya, dia pun memukul batu itu dengan tangan miring, menggunakan tangan kirinya yang mengandung tenaga sepenuhnya itu.


"Darrr ...!" Batu besar itu pecah berhamburan, pecahannya yang kecil-kecil melesat ke mana-mana, akan tetapi tidak berbahaya lagi andaikata mengenai orang-orang yang berada di sekitar tempat itu. Kembali semua orang memuji dengan sorak dan tepuk tangan!

Kini tiga orang pendeta Lama itu sudah maju lagi menghampiri Hay Hay dengan pandang mata penuh kemarahan dan dendam. Akan tetapi begitu tiba di depan pemuda itu, Hay Hay membentak, "Kalian bertiga mau apa? Lihat baik-baki, aku adalah Dalai Lama!"

Dan tiga orang pendeta itu tiba-tiba saja menjatuhkan diri berlutut di depan Hay Hay sambil memberi hormat. Tentu saja semua murid Pek-sim- pang terkejut dan terheran-heran, akan tetapi mereka kini mulai mengerti bahwa pemuda yang luar biasa itu tentu telah mempergunakan ilmu sihir! Karena mereka dapat menduga bahwa tiga orang pendeta itu kini tentu melihat pemuda itu berubah menjadi Dalai Lama, tentu saja mereka merasa geli dan kembali mereka tertawa-tawa. Suara ketawa ini kembali membuyarkan kekuatan sihir. Suara orang banyak memang mengandung kekuatan yang luar biasa. Tiga orang pendeta itu sadar.



Pendeta kurus pucat meloncat dan menerjang, akan tetapi disambut tamparan oleh Hay Hay yang membuat dia terpelanting jatuh. Orang kedua, yang bermuka bopeng, maju dan disambut tendangan yang membuatnya terjungkal pula. Pendeta tinggi besar menerkam Hay Hay, dan dia pun terpelanting oleh pukulan tangan kiri Hay Hay yang menyambutnya. Tiga orang pendeta itu tidak terluka, dan mereka sudah bangkit lagi, siap untuk mengeroyok, sementara para murid Pek-sim-pang memandang kagum metihat betapa pemuda itu merobohkan tiga orang Lama itu satu demi satu.

"Hemm, katian ini tiga orang pendeta Lama, sungguh tidak tahu malu, berdiri di sini dengan telanjang bulat! Tak tahu malu!"


Kini para murid Pek-sim-pang yang mulai mengerti bahwa suara ketawa mereka membuyarkan kekuatan sihir pemuda itu, tidak mau tertawa, bahkan dengan suara bulat mereka pun mengejek. "Tak tahu malu!"


Tiga orang pendeta Lama itu memandang kepada tubuh sendiri dan saling pandang dengan mata terbelalak. Suara orang banyak itu memperkuat pengaruh sihir yang dilancarkan Hay Hay sehingga mereka bertiga metihat betapa mereka benar-benar telah telanjang bulat. Dengan malu bukan main, ketiganya lalu menggunakan kedua tangan, sedapat mungkin menutupi tubuh di bawah pusar, dan seperti tiga ekor anjing yang ketakutan, mereka pun lari meninggalkan tempat itu. Pemandangan yang amat lucu ini tentu saja membuat semua orang tertawa, tak dapat ditahan lagi mereka tertawa. Dan sekali ini, biarpun suara ketawa itu membuyarkan pengaruh sihir dan tiga orang pendeta Lama itu melihat bahwa sesungguhnya mereka tidak telanjang, namun mereka maklum bahwa mereka takkan menang menghadapi pemuda luar biasa itu. Mereka pun sudah agak jauh, maka daripada menderita malu lebih parah lagi, ketiganya lalu melarikan diri tanpa menoleh lagi, diiringi suara ketawa banyak orang.


Kini Pek Ki Bu sudah menghampiri pemuda itu, memandang penuh perhatian lalu bertanya, suaranya sungguh-sungguh,


"Orang muda, sebenarnya siapakah engkau? Benarkah engkau Sin-tong?"


Hay Hay cepat memberi hormat. Teringat dia akan nasibnya di waktu kecil, oleh keluarga ini dia diambil dan dibiarkan menjadi Sin-tong dalam pandangan banyak orang sehingga dia diperebutkan. Maka dia pun tidak membohong ketika dia mengangguk dan menjawab. "Benar, Locianpwe. Saya adalah Sin-tong….”


Semua orang yang tadi melihat tanda merah di punggung itu luntur, kemudian melihat betapa pemuda ini pandai ilmu sihir, mengira bahwa lunturnya tanda merah itu pun hanya karena pengaruh sihir saja, maka muncul kembali harapan dan dugaan bahwa pemuda ini memang benar Pek Han Siong. Maka, jawaban Hay Hay yang membenarkan bahwa dia adalah Sin-tong, membuat Pek Eng berteriak dengan girang dan bangga sekali.

"Koko …..! Ah, kiranya engkau kakakku Pek Han Siong! Koko ….!" Dan saking girang dan bangganya, Pek Eng lari menghampiri, merangkul leher pemuda itu dan mencium pipinya! Ketika merasa betapa pipinya dingok oleh gadis manis itu, dengan girang Hay Hay membalas pula dengan dua kali ngok pada kedua pipi Pek Eng!


"Anakku …..!" Souw Bwee juga lari dan merangkul leher Hay Hay, mencium dahi pemuda itu. Hay Hay hanya menyeringai saja dirangkul dua orang wanita itu. Kalau Pek Eng yang merangkul dan menciuminya, biar sehari pun dia tidak akan merasa keberatan dan akan membiarkannya saja, akan tetapi melihat nyonya itu pun menyangka bahwa dia Pek Han Siong, hati Hay Hay merasa tidak enak. Tidak baik mempermainkan seorang nyonya yang sedang kehilangan puteranya, pikirnya. Maka dia pun dengan halus melepaskan diri dari rangkulan nyonya itu tanpa melepaskan rangkulan Pek Eng pada pundaknya dan rangkulan lengannya sendiri pada pinggang ramping itu, kemudian dia berkata halus.


"Maaf, menyesal sekali saya harus mengecewakan Cu-wi (Anda Sekalian) karena sesungguhnyalah saya bukanlah Pek Han Siong. Nama saya Hay Hay "


"Aihhh ……!" Souw Bwee mundur tiga langkah, mukanya berubah pucat, dan Pek Eng juga cepat melepaskan rangkulannya dan melangkah mundur dengan muka berubah merah sekali.



"Tapi kau …. kau ……!” teriaknya


"Ya, aku kenapakah, adik yang baik?"


"Kalau engkau bukan kakakku, aku pun bukan adikmu! Kalau engkau bukan Kakak Pek Han Siong, lalu kenapa kau... kau .. kau …. tadi menciumku …..”


Hay Hay memandang wajah yang manis itu sambil tersenyum. Bukan main indahnya mata dan mulut itu, pikirnya. Wajah yang manis sekali, biarpun kulitnya agak gelap seperti terlalu banyak terbakar sinar matahari, namun bahkan menambah manisnya dan kulit itu pun halus dan betapa hangatnya ketika kedua lengan itu tadi merangkul lehernya, ketika hidung dan bibir itu tadi menyentuh pipinya. Sepasang mata yang agak sipit itu indah sekali bentuknya, dengan kedua ujung di kanan kiri meruncing seperti dilukis, bulu matanya panjang melengkung, alisnya hitam panjang. Manisnya hidung itu, kecil dan ujungnya agak naik seperti menantang, membuat wajah itu nampak mungil dan lucu penuh kelincahan. Bibir yang merah basah itu nampak segar tanda kesehatan yang sempurna, dan dipermanis lagi oleh sebuah lesung pipit di pipi kiri. Gadis yang lincah jenaka, galak dan manja, dan memiliki daya tarik amat kuatnya.


"Heeiii! Jawab pertanyaanku, jangan longang-longong seperti kerbau tolol!" Pek Eng memaki karena ia merasa kecelik, marah dan malu telah berciuman dengan pemuda itu di depan orang banyak lagi!


"Nona, aku tidak pernah mengaku sebagai kakakmu, sejak semula aku memperkenalkan namaku, yaitu Hay Hay, bukan Pek Han Siong. Dan tentang ciuman itu... eh, siapakah yang memulai lebih dulu, Nona?"



Wajah itu menjadi semakin merah saking malunya, karena harus diakuinya bahwa ialah yang tadi memeluk dan mencium dengan hati penuh keyakinan bahwa pemuda ini adalah kakak kandungnya. "Kau... kau... memang laki-laki kurang ajar, laki-laki mata keranjang …!" Ia memaki dan kedua tangannya sudah dikepal karena saking malu dan marahnya ia hendak menyerang pemuda itu.


"Eng-ji, jangan!" bentak Pek Kong kepada puterinya. "Mundurlah!"


Biarpun hatinya masih panas sekali, Pek Eng mundur juga dibentak ayahnya. Pek Kong lalu melangkah maju menghadapi pemuda itu. Sejenak dia memandang penuh perhatian dan penuh selidik, kemudian dia bertanya, "Orang muda, kalau engkau bukan puteraku Pek Han Siong, bagaimana engkau dapat mengaku bahwa engkau adalah Sin-tong?"


Jantung Hay Hay berdebar tegang ketika dia memandang laki-laki gagah di depannya itu. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, bertubuh tegap dan berwajah tampan dan gagah, pembawaannya penuh wibawa dan matanya bersinar tajam. Dia tahu bahwa laki-laki inilah yang pernah menjadi ayahnya, ayah angkat mungkin, dan bahwa laki-laki ini sajalah yang tahu tentang riwayat dirinya! Cepat dia memberi hormat.

"Apakah saya berhadapan dengan Pek-pangcu, Ketua Pek-sim-pang?" tanyanya.


"Benar, aku adalah Ketua Pek-sim-pang bernama Pek Kong."


"Ah, Pangcu. Justru pertanyaan tadi itulah yang mendorong saya untuk berkunjung ke sini, karena hanya Pangcu yang akan dapat menjawabnya."


"Maksudmu?" tanya Pek Kong terbelalak.


Pada saat itu, Pek Ki Bu yang tidak menghendaki percakapan itu dilakukan di tempat terbuka dan terdengar oleh semua murid Pek-sim-pang, cepat melangkah maju dan berkata. "Sebaiknya kita bicara saja di dalam. Bagaimanapun juga, orang muda ini telah menyelamatkan kita dari keadaan yang tidak enak sekali tadi. Marilah, orang muda, marr kita masuk dan bicara di dalam."


Hay Hay mengangguk, akan tetapi kakinya ragu-ragu melangkah karena ketika dia menoleh kepada Pek Eng, dia melihat gadis itu berdiri melotot kepadanya dan seolah-olah gadis itu tidak rela menerimanya sebagai tamu di rumahnya. Melihat pemuda itu ragu-ragu, kemudian mengikuti pandang mata pemuda itu dan melihat sikap puterinya, Nyonya Souw Bwee lalu menggandeng tangan puterinya.


"Eng-ji, mari kita masuk dulu dan mempersiapkan hidangan untuk menyambut tamu!" Pek Eng tidak dapat membantah dan ditarik ibunya masuk lebih dulu. Hay Hay melempar senyum kepadanya dan gadis itu membuang muka, membuat senyum Hay Hay menjadi semakin lebar.


Kini mereka duduk berhadapan mengelilingi sebuah meja besar di ruangan belakang. Nyonya Souw Bwee, setelah memerintahkan pelayan mempersiapkan hidangan, ikut pula duduk karena ia ingin sekali mendengar penuturan pemuda itu. Juga Pek Eng ikut duduk, akan tetapi ia duduk agak di belakang, tidak mau berdeKatan dengan pemuda itu.

"Nah, sekarang ceritakan kepada kami tentang dirimu dan tentang pengakuanmu sebagai Sin-tong tadi, orang muda." Kata Pek Kong.


Sejenak Hay Hay memandang kepada wajah mereka, seorang demi seorang. Mula-mula dipandangnya wajah Pek Kong, kemudian Souw Bwee, kemudian wajah Kakek Pek Ki Bu, dan kepada Pek Eng yang duduk di belakang orang tuanya, dia melirik. Setelah itu dia pun berkata, "Saya sendiri tidak tahu siapa saya ini sebenarnya. Setahu saya, saya bernama Hay Hay dan saya dianggap Sin-tong, diperebutkan banyak orang. Saya tahu bahwa jawabannya terletak dalam rahasia keluarga Pek, karena semenjak bayi saya dianggap sebagai putera keluarga Pek. Kemudian ketika masih bayi, saya diculik orang dari tangan keluarga Pek, ditukar dengan bayi mati dan ……"


"Ahhhh ……!!" Pek Kong dan isterinya, berteriak kaget sehingga Hay Hay menghentikan ceritanya dan memandang kepada dua orang suami isteri itu dengan sinar mata penuh harap dan permohonan.


"Karena itulah, Pangcu. Saya sengaja datang mencari Pek-sim-pang untuk bertanya tentang rahasia diri saya ini kepada Pek-pangcu. Siapakah sebenarnya saya ini, dan mengapa menjadi putera keluarga Pek lalu diculik orang?"


“Ah, kiranya engkau anak yang malang itu …..!" Tiba-tiba Pek Ki Bu berseru dan dia menggeleng-geleng kepala saking takjubnya. Anak itu kini muncul dan menuntut agar diceritakan asal-usulnya.


"Baiklah, kami akan ceritakan semua kepadamu. Sudah menjadi hakmu untuk mengetahui segalanya tentang dirimu, anak yang malang." kata Pek Kong.


Dengan jantung berdebar dan muka agak pucat karena saat inilah yang dinanti-nantikan selama bertahun-tahun ini, Hay Hay memandang kepada Ketua Pek-sim-pang itu, siap mendengarkan semua cerita yang akan keluar dari mulut Pek Kong.


Pek Kong lalu menceritakan peristiwa yang terjadi kurang lebih dua puluh satu tahun yang lalu, ketika isterinya, Souw Bwee mengandung dan pada waktu itu Pek-sim-pang masih berada di Nam-co, di daerah Tibet. Kandungan isterinya itu menimbulkan masalah karena para Lama di Tibet meramalkan bahwa anak yang dikandung adalah Sin-tong dan kelak harus diserahkan kepada para pendeta Lama untuk dirawat dan dididik, karena Sin-tong setelah dewasa akan menjadi Dalai Lama. Pek Kong dan isterinya lalu melarikan diri mengungsi ke timur.


"Pada saat kelahiran putera kami itulah engkau muncul." Pek Kong melanjutkan ceritanya yang didengarkan penuh perhatian oleh Hay Hay. “Ketika itu kakekku, yaitu Kakek Pek Khun, melihat seorang ibu muda bunuh diri di laut bersama puteranya. Kakek Pek Khun berhasil menyelamatkan anak laki-laki itu, akan tetapi ibu muda itu meninggal dunia setelah meninggalkan sedikit pesan. Bayi laki-laki yang diselamatkan oleh Kakek Pek Khun itu ….."



Sayalah bayi itu!” kata Hay Hay, wajahnya agak pucat dan suaranya gemetar.


"Benar sekali! Engkaulah bayi laki-laki itu. Karena putera kami terancam dan dicari para Lama, maka putera kami itu dibawa pergi dan disembunyikan oleh Kakek Pek Khun, sedangkan engkau kami pelihara sebagai gantinya. Akan tetapi, tak lama kemudian engkau diculik orang dan sebagai gantinya, di tempat tidurmu diletakkan seorang bayi lain yang sudah mati. Dua orang penjagamu juga dibunuh oleh penculik itu."


"Hemmm, Lam-hai Siang-mo …..!" kata Hay Hay.


"Apa maksudmu?" tanya Pek Kong.


"Yang menculik saya di waktu bayi itu adalah suami isteri Lam-hai Siang-mo."


"Ah kiranya Siangkoan Leng dan Ma Kim Li?" kata Pek Ki Bu mengepal tinju. "Kalau aku tahu tentu kucari mereka. Mereka begitu kejam, membunuh anak sendiri untuk ditukar denganmu, dan membunuh dua orang penjaga."


"Mereka memang orang-orang kejam dan jahat. Mereka lalu merawat saya dan sejak kecil saya menganggap bahwa mereka adalah ayah dan ibu saya. Akan tetapi ketika saya berusia tujuh tahun, muncul suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan ….."

"Kwee Siong Si Tangan Maut dan Tong Ci Ki Si Jarum Sakti?” tanya Kakek Pek Ki Bu yang agaknya mengenal tokoh-tokoh persilatan di selatan.


"Benar," kata Hay Hay. “Mereka merampas saya dan mulailah saya dijadikan perebutan dan baru saya mendengar bahwa saya bukanlah anak kandung Lam-hai Siang-mo, melainkan anak kandung keluarga Pek. Akan tetapi, setelah kemudian orang tahu bahwa tidak ada tanda merah di punggung saya, saya pun mengerti bahwa sesungguhnya saya bukanlah putera kandung keluarga Pek, dan bahwa rahasia tentang diri saya berada di sini, di antara keluarga Pek. Oleh karena itu, saya mohon kepada Cu-wi untuk dapat membuka rahasia itu. Siapakah saya? Siapakah ibu saya itu yang membunuh diri di lautan dan siapa pula ayah saya?"


Pek Ki Bu saling pandang dengan putera dan mantunya. Pek Kong mengangguk lalu dia berkata, "Tunggulah sebentar, saya ingin mengambil sesuatu dari dalam kamar ." Dia pun pergi dan tak lama kemudian kembali lagi ke ruangan itu.


"Ketahuilah, orang muda. Sebelum wanita muda yang membunuh diri itu tewas, ia sempat meninggalkan pesan kepada Kakek Pek Khun. Ia sempat bercerita di saat terakhir itu bahwa ia membunuh diri karena ingin melarikan diri dari aib."


"Ahhh …..y Hay menahan napas dan Souw Bwee memandang kepadanya dengan sinar mata penuh rasa iba. Sedangkan Pek Eng yang juga belum pernah mendengar cerita ,itu, ikut mendengarkan dengan hati tertarik.


"Menurut pengakuannya, ibu muda itu adalan seorang gadis yang diperkosa dan dipaksa oleh seorang... laki-laki ……” Pek Kong tidak tega mengatakan bahwa pemerkosa itu seorang jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita), "dan ketika wanita itu mengandung dan melahirkan anak karena hubungan itu, ia tidak kuat menghadapi aib itu dan mencoba membunuh diri bersama anaknya itu. Laki-laki yang menjadi... ayah kandungmu itu adalah she (bernama keturunan) Tang ……."


"Hemmm, jadi saya she Tang? Tang Hay ……?" kata Hay Hay seperti kepada diri sendiri dengan hati amat tidak enak rasanya. Ibunya diperkosa orang sampai mengandung dan melahirkan dia. Dia seorang anak haram! Anak yang lahir dari perkosaan. Jadi ayahnya adalah seorang yang amat jahat, she Tang!


"Dan di manakah adanya Ayah saya yang she Tang itu?"


Pek Kong menggeleng kepala sambil merogoh saku jubahnya. “Kami juga tidak tahu, hanya Ibumu dalam pesan terakhir itu menyerahkan benda ini kepada Kakek Pek Khun. Katanya benda ini adalah milik ayahmu, orang she Tang itu. dan Ibumu berpesan agar engkau mencarinya….” Pek Kong menyerahkan benda itu kepada Hay Hay.


Hay Hay menerima benda itu, mengamatinya, dan tiba-tiba dia mengeluarkan teriakan keras dan jatuh terguling dari kursi yang didudukinya. Pingsan! Tentu saja semua orang terkejut dan Pek Kong segera memondongnya ke atas dipan dan mengurut beberapa jalan darah untuk membuatnya siuman kembali.


Tidak mengherankan kalau Hay Hay menjadi pingsan saking kagetnya ketika dia menerima benda itu dan mengenalnya. Benda itu adalah sebuah tawon merah terbuat dari emas dan permata persis dengan benda yang ditinggalkan oleh jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang telah membunuh seorang gadis dusun yang hitam manis dan kemudian memperkosa Siauw Lan, gadis dusun yang lain sehingga dialah yang dituduh sebagai pembunuh dan pemerkosa. Kiranya yang melakukan itu adalah jai-hwa-cat yang berjuluk Ang Hong, Cu, Si Tawon Merah, yang meninggalkan perhiasan berbentuk tawon merah itu. Dan Ang Hong Cu bukan lain adalah ayah kandungnya! Jai-hwa-cat itu telah memperkosa gadis yang kemudian mengandung dan melahirkan dia. Dia anak seorang jai-hwa-cat, lahir dari hasil perkosaan. Anak haram! Darah penjahat keji! Maka, tidaklah mengherankan ketika melihat benda itu dan menyadari siapa dirinya, Hay Hay langsung roboh pingsan.


Setelah siuman kembali, dia mengeluh dan cepat bangkit duduk, lalu bangkit pula berdiri memberi hormat kepada Pek Ki Bu, Pek Kong dan Souw Bwee. "Harap Cu-wi memaafkan saya. sekarang setelah saya mendengar dari Cu-wi tentang rahalsia diri saya, maka saya mohon pamit. Terima kasih atas pertolongan yang diberikan oleh Locianpwe Pek Khun kepada mendiang Ibu saya dan kepada saya sendiri karena kalau tidak ditolong, tentu saya sudah mati bersama Ibu dan... tidak akan mendengar kenyataan yang amat pahit ini. Dan maafkanlah bahwa saya telah membikin repot keluarga Pek yang budiman."



Hati tiga orang itu merasa kasihan, bahkan Pek Eng memandang dengan terharu, walaupun di dalam hatinya ia pun memandang rendah. Anak seorang jai-hwa-cat yang lahir dari hubungan perkosaan!


"Jangan berkata demikian... Tang-taihiap " kata Pek Ki Bu. "Bagaimanapun juga, keluarga kami berhutang budi kepadamu dan pernah melakukan kesalahan kepada dirimu ketika engkau masih bayi. Engkau telah menyelamatkan Pek Han Siong dari pengejaran orang, dan kami bahkan telah menggantikan tempatnya dengan engkau sehingga engkau menjadi perebutan orang-orang kang-ouw. Maafkanlah kami."


"Tidak, tidak ….! Dan harap Locianpwe jangan menyebut Taihiap (Pendekar Besar) kepada saya. Saya hanya... hanya anak jai-hwa-cat ….." Hay Hay memberi hormat lagi dan hendak pergi ketika pada saat itu seorang pelayan masuk ke ruangan dan melaporkan bahwa ada tamu-tamu dari Cin-an, yaitu keluarga Song, datang berkunjung.


Mendengar ini, wajah Pek Ki Bu dan Pek Kong berseri-seri. "Aih, kiranya mereka yang datang! Tang-taihiap, kuharap engkau tidak tergesa-gesa pergi karena kami masih ingin berbincang-bincang denganmu mengenai masa lampau. Marilah kami perkenalkan dengan tamu-tamu terhormat, yaitu keluarga Song yang gagah perkasa dari Cin-an, keluarga para pimpinan Kang-jiu-pang (Perkumpulan Tangan Baja) yang amat terkenal sebagai pejuang-pejuang dan pendekar-pendekar yang budimar."


Hay Hay yang baru saja menemukan dirinya dan masih berada dalam keadaan nelangsa, sebenarnya ingin sekali pergi. Akan tetapi karena pihak tuan rumah meminta dengan sangat, dan dia pun tertarik mendengar datangnya keluarga pendekar yang terkenal dan ingin melihat mereka, dia pun menerima tanpa banyak cakap dan bersama rombongan tuan rumah dia pun ikut keluar menyambut tamu.


Rombongan tamu itu terdiri dari tiga orang. Orang pertama adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, jangkung kurus dan muka keras dan mata membayangkan kejujuran dan kekuatan. Orang ini adalah ketua perkumpulan Kang-jiu-pang dan bernama Song Un Tek. Orang ke dua adalah adiknya yang berusia empat puluh lima tahun yang bertubuh pendek gendut seperti bola dan yang memiliki muka bulat yang selalu tersenyum mengejek. Orang ini bernama Song Un Sui, tidak kalah terkenalnya dibandingkan kakaknya yang menjadi pangcu dari Kang-jiu-pang karena ilmu silatnya yang tinggi dan jiwanya yang patriotik. Hanya sedikit sayang bahwa si gendut Song Un Sui ini agak tinggi hati, terlalu mengandalkan kepandaian sendiri dan suka memandang rendah orang lain. Adapun orang ke tiga merupakan seorang pemuda berusia dua puluh dua tahun yang bertubuh tinggi besar, gagah sekali nampaknya dengan pakaian seperti seorang pendekar dan di pinggangnya tergantung sebatang pedang, yang berada dalam sarung pedang terukir indah dan terhias ronce merah di bagian gagangnya. Pemuda ini adalah putera Ketua Kang-jiu-pang bernama Song Bu Hok, dan dia telah digembleng oleh ayahnya dan pamannya, mewarisi ilmu kepandaian mereka dan juga jiwa kepahlawanan mereka. Akan tetapi, Bu Hok ini pun agaknya mewarisi ketinggian hati pamannya, hal ini nampak pada pandangan matanya dan tarikan dagunya yang gagah.


Perkumpulan Kang-jiu-pang belum tua benar umurnya. Didirikan oleh mendiang ayah dari kedua orang pimpinan Kang-jiu-pang itu, yaitu Song Pak Lun, seorang bekas perwira tinggi di Pao-teng yang berjiwa pahlawan. Karena merasa tidak setuju dengan sepak terjang Kaisar Ceng Tek, yaitu kaisar yang lalu sebelum Kaisar Cia Ceng yang sekarang, karena Kaisar Ceng Tek terlalu percaya kepada para pembesar Thaikam (Orang Kebiri) sehingga kekuasaan hampir dicengkeram oleh para thaikam, maka Song Pak Lun lalu mendirikan perkumpulan Kang-jiu-pang. Perkumpulan ini terdiri dari orang-orang gagah yang menentang kekuasaan para thaikam demi menyelamatkan rakyat daripada penekanan dan penindasan, dan berpusat di dekat kota Cin-an di Lembah Sungai Huang-ho.


Setelah Kakek Song Pak Lun meninggal dunia, Kang-jiu-pang diketuai oleh puteranya, yaitu Song Un Tek yang dibantu oleh adiknya, Song Un Sui itu. Dua orang kakak beradik inilah yang menjadi pimpinan Kang-jiu-pang, akan tetapi karena kini tidak terdapat lagi thaikam yang ditentang seperti ketika jaman ayah mereka, setelah thaikam yang lalim ditangkap dan dihukum, maka perkumpulan itu lebih menyerupai perkumpulan orang gagah. Murid-murid Kang-jiu-pang, seperti para murid perkumpulan orang gagah lainnya, bertindak seperti para pendekar yang menentang dunia hitam atau kaum sesat di dunia kang-ouw. Nama Kang-jiu-pang menjulang tinggi karena sepak terjang anak buahnya yang rata-rata merupakan pendekar yang gagah perkasa.


Telah lama terjalin persahabatan antara pimpinan Kang-jiu-pang dan pimpinan Pek-sim-pang, maka dapat dibayangkan betapa gembira pihak Pek-sim-pang menerima kunjungan para sahabat mereka itu. Karena sudah menjadi sahabat yang akrab dan lama, maka Souw Bwee dan Pek Eng tidak ketinggalan menyambut para tamu, walaupun tamu itu hanya tiga orang laki-laki belaka. Pek Eng juga sudah mengenal Song Bu Hok, bahkan sudah berteman dengan pemuda tinggi besar itu.


Ketika pihak tuan rumah yang diikuti oleh Hay Hay keluar dari dalam, tiga orang tamu yang tadinya duduk di ruangan tunggu itu bangkit berdiri dan memberi hormat.


"Aihh, angin apakah yang membawa Sam-wi melayang-layang ke sini dari Cin-an?" kata Pek Kong dengan gemblra.


"Kami harap Pangcu sekeluarga dalam sehat dan Kang-jiu-pang menjadi semakin besar dan jaya." kata pula Pek Ki Bu dengan wajah gembira. Dia pun telah menjadi sahabat Song Pak Lun ketika kakek itu masih hidup dan menjadi Ketua Kang-jiu-pang.

"Kami baik-baik saja, terima kasih dan mudah-mudahan Pek-sim-pang semakin maju dan para keluarga Pek juga dalam sehat bahagia." jawab Song Un Tek dan Song Un Sui dengan ramah. Akan tetapi Song Bu Hok yang tadinya memandang kepada Pek Eng dengan wajah berseri, kini mengerutkan alisnya melihat munculnya seorang pemuda tampan yang tak dikenalnya di belakang gadis itu. Dia menatap tajam dan lupa untuk memberi salam.

"Bu Hok, kenapa engkau diam saja?” ayahnya menegur dan menoleh, kemudian dia pun melihat ke arah yang dipandang puteranya dan dia melihat pula pemuda di belakang Pek Eng itu.


"Pek-locianpwe dan Paman Pek Kong, terimalah hormat saya. Bibi, terimalah hormat saya." kata Bu Hok.



Akan tetapi kini Song Un Tek yang menatap tajam ke arah Hay Hay, lalu berseru. " Aha! Kalau tidak keliru dugaanku, pemuda yang gagah ini tentu putera kalian, Pek Han Siong alias Sin-tong itu yang sudah pulang! Benarkah?"


Mendengar seruan ayahnya, pandang mata yang tadinya keruh dan penuh curiga dari Bu Hok segera terganti cerah dan berseri. "Aih, Eng-moi, inikah kakakmu yang amat terkenal sebagai Sin-tong?" tanyanya kepada Pek Eng.


"Jangan sembarang sangka, Song-toako!" kata Pek Eng cemberut. Tak senang hatinya mendengar sangkaan orang bahwa ia adalah adik Hay Hay, pemuda mata keranjang keturunan jai-hwa-cat itu!


"Kalian salah sangka." Pek Kong menerangkan dengan ramah. "Pemuda ini adalah seorang tarnu kami yang baru saja datang, namanya adalah... Tang Hay. Mari silakan duduk di dalam."


Berbondong-bondong mereka memasuki rumah dan tak lama kemudian mereka sudah duduk di ruangan dalam yang luas. Hay Hay yang juga dipersilakan duduk, mengambil tempat duduk di sudut, agak jauh dari rombongan tamu dan tuan rumah yang sedang bercakap-cakap dengan meriah dan gembiranya itu. Bahkan dia melihat betapa Pek Eng bercakap-cakap dengan ramah pula bersama pemuda tinggi besar yang gagah itu. Akan tetapi dia melihat pula pemuda tinggi besar itu berkali-kali melempar kerling ke arahnya, dengan sinar mata yang tidak ramah, akan tetapi dia pura-pura tidak melihatnya.

"Song-pangcu, bagaimana kabarnya di kota raja? Engkau baru saja datang dari sana, dekat kota raja, tentu banyak mendengar tentang keadaan di sana. Jangan-jangan kalian ini datang membawa kabar buruk yang akan membangkitkan kembali Kang-jiu-pang menjadi pejuang-pejuang yang gagah dan mengobarkan perang!” kata Pek Kong.

"Ah, untung tidak demikian, Pek-pangcu. Keadaan kota raja kini tenteram saja semenjak Kaisar Cia Ceng meme-gang tahta kerajaan. Semua ini berkat kebijaksanaan dua orang Tiong-sin (Menteri Setia) di istana …."


"Kaumaksudkan dua orang Menteri Yang Ting Hoo dan Cang Ku Ceng?" Pek Ki Bu menyela.

"Benar sekali, Paman." kata Song Un Tek.


Kakek Pek Ki Bu menarik napas panjang. "Benar kata para cerdik pandai di jaman dahulu bahwa kalau negara merupakan sebatang pohon besar, maka kaisar dan para pejabat tinggi yang membantunya merupakan batang dan akar-akarnya. Kalau batang dan akar-akarnya sehat dan subur, maka semua cabang, ranting, daun dan bunga serta buahnya tentu akan sehat dan subur pula. Sebaliknya, kalau kaisar dan para pembesar yang membantunya busuk, tentu negara akan menjadi rapuh dan kehidupan rakyat menjadi sengsara."


"Benar sekali, Paman." kata pula ketua Kang-jiu-pang. "Memang besar sekali jasa dua orang menteri bijaksana itu, sehingga para Kan-sin (Menteri Durna) menjadi keder dan kehilangan pengaruh, bahkan banyak yang mengundurkan diri. Mudah-mudahan saja Sribaginda Kaisar Cia Ceng ini akan dapat membuat Kerajaan Beng menjadi benar-benar Beng (Terang) dan rakyat dapat hidup sejahtera."


"Sayang sekali bahwa para pimpinan itu tidak seperti akar dan batang pohon yang hanya bekerja demi kehidupan pohon seutuhnya, juga kepentingan daun-daunnya, cabang ranting kembang dan buahnya. Para pimpinan itu biasanya hanya memikirkan kepentingan dan kesenangan diri sendiri belaka. Di waktu perjuangan, mereka membujuk rakyat, menggandeng rakyat untuk memperoleh kekuatan, dengan segala macam slogan dan kata-kata indah patriotik, akan tetapi setelah berhasil memperoleh kemenangan dan mereka itu berkuasa, mereka lupa sama sekali kepada rakyat jelata. Mereka lupa bahwa tanpa dukungan rakyat, tanpa bantuan rakyat, mereka tidak mungkin dapat memperoleh kemenangan dan memperoleh kedudukan mereka yang sekarang." kata Kakek Pek Ki Bu.


Song Un Tek, ketua Kang-jiu-pang tersenyum lebar dan mengangguk-angguk. "Kiranya hal itu tidak mengherankan, Paman, karena bagaimanapun juga, para pimpinan itu hanyalah manusia-manusia biasa dan manusia memang lemah, mudah mabok kekuasaan. Akan tetapi, ada pula pemimpin yang benar-benar memperhatikan kepentingan rakyat jelata, ada yang agak memperhatikan, dan ada pula yang sama sekali tidak. Yang sama sekali tidak memperhatikan ini, yang hanya mengejar kesenangan pribadi berlandaskan kekuasaan yang didapatnya dengan bantuan rakyat, adalah pembesar lalim dan orang seperti itu pasti lambat laun akan digilas oleh roda perputaran dunia yang adil."


Kedua pimpinan perkumpulan orang-orang gagah itu bercakap-cakap tentang perjuangan, tentang kepahlawanan, didengarkan oleh Hay Hay yang dlam-diam merasa kagum kepada mereka. Dia sendiri tidak tertarik oleh urusan itu, namun dia dapat merasakan bahwa kedua pihak yang sedang bercakap-cakap itu memang orang-orang gagah perkasa yang patut dihormati. Kalau dia teringat betapa orang-orang muda seperti Pek Eng dan Song Bu Hok ini adalah keturunan orang-orang tua yang gagah perkasa dan terhormat, sedangkan dia sendiri adalah anakseorang jai-hwa-cat, hatinya terasa seperti ditusuk-tusuk dan dia pun menundukkan mukanya, merasa betapa dirinya rendah dan hina. Akan tetapi hanya sebentar saja dia berhal demikian. Wataknya yang periang dan tidak pernah mau terbenam di dalam perasaannya, membuat wajahnya menjadi cerah.


"Song-pangcu, selain ingin bertemu karena rindu, agaknya Pangcu mempunyai urusan penting yang dibawa dari rumah. Benarkah dugaanku itu dan kalau memang ada urusan penting, harap segera disampaikan kepada kami." Pek Kong berkata kepada temannya.

Song Un Tek tertawa dan mengangguk-angguk, mengelus jenggotnya yang pendek dan lebat. “Tidak salah dugaanmu, Pek-pangcu. Aku teringat akan permufakatan kita pada awal perkenalan kita dahulu dan ingin sekali menegaskan kepada keluarga Pek. Akan tetapi karena yang akan dibicarakan ini urusan orang-orang tua, dapatkah kita bicara sendiri?" Dia mengerling ke arah Pek Eng dan Hay Hay.



Pek Kong dan isterinya tersenyum, kemudian Pek Kong berkata kepada puterinya, "Eng-ji, kauajaklah Song Bu Hok dan Tang Hay berjalan-jalan di taman bunga. Biar kami orang-orang tua bicara sendiri dan kalian orang-orang muda bersenang-senang di taman."

Sebetulnya Pek Eng ingin mendengarkan terus percakapan mereka, maka hatinya merasa kecewa dan tidak senang mendengar perintah ayahnya. Akan tetapi ia juga tidak berani membantah, maka ia memandang dengan alis berkerut dan merasa malas untuk bangkit berdiri.


"Eng-moi, marilah!" Tiba-tiba Song Bu Hok yang bangkit lebih dulu dan berkata dengan wajah berseri. "Mari kita pergi ke taman, aku ingin sekali melihat betapa hebatnya kemajuan ilmu silatmu sejak dua tahun yang lalu."


Ajakan ini membuat Pek Eng bangkit berdiri dan timbul kegembiraannya. Memang gadis ini paling suka kalau bicara tentang ilmu silat, apalagi untuk saling menguji kepandaian. Dua tahun yang lalu pernah ayahnya mengajak ia merantau dan singgah di perkampungan Kang-jiu-pang di mana ia berkenalan dengan Song Bu Hok, bahkan berkesempatan untuk saling menguji kepandaian masing-masing. Akan tetapi pada waktu itu, usianya baru empat belas tahun lebih sedangkan Song Bu Hok sudah berusia dua puluh tahun sehingga tentu saja ia masih kalah matang dalam latihan. Kini, ia telah lebih matang dan ia ingin sekali melihat apakah kini ia dapat mengatasi kepandaian putea Ketua Kang-jiu-pang itu.


"Mari...!” katanya sambil bangkit berdiri dan melangkah pergi bersama putera Ketua Kang-jiu-pang itu.

"Eng-ji, ajak dia!" kata Ibunya sambil menunjuk ke arah Hay Hay yang masih duduk karena tidak diajak pergi. Barulah Pek Eng teringat akan tetapi alisnya berkerut ketika ia menoleh kepada Hay Hay.


"Mari ikut dengan kami." ajakya, suaranya agak kaku.


Akan tetapi Hay Hay tersenyum ramah. Dia bangkit berdiri dan berkata. "Terima kasih, Nona, engkau baik sekali!" Melihat sikap dan mendengar ucapan ini, Bu Hok mengerutkan alisnya dan memandang tajam. Pemuda itu tampan dan pandai menarik hati, pikirnya, dan dia merasa adanya seorang saingan yang berbahaya. Dari mana sih munculnya pemuda ini, pikirnya. Ayah dan pamannya mengajaknya berkunjung ke sini untuk mengajukan pinangan terhadap Pek Eng, untuk menjadi jodohnya, seperti pernah disetujui bersama oleh kedua orang tua mereka ketika mereka masih kecil. Dia sendiri memang telah tergila-gila dan amat tertarik sejak dua tahun yang lalu dia, bermain dengan Pek Eng yang ketika itu baru berusia empat belas tahun lebih namun sudah amat lincah menarik. Kini, dua tahun kemudian, ternyata Pek Engtelah menjadi seorang gadis dewasa yang lebih memikat lagi. Manis bukan main sehingga begitu tadi melihatnya, langsung saja Bu Hok yang memang sudah tertarik sekali itu menjadi jatuh cinta! Akan tetapi di situ terdapat seorang pemuda yang sikapnya demikian manis terhadap Pek Eng!


Bu Hok bersikap acuh saja terhadap Hay Hay ketika dia berjalan di samping Pek Eng menuju ke taman di belakang rumah besar keluarga Pek. Hay Hay berjalan di belakang mereka, tersenyum-senyum dan ingin sekali tahu apa yang akan dilakukan dua orang itu terhadap dirinya yang agaknya tidak diinginkan kehadirannya. Dari belakang, dia melihat betapa pinggul Pek Eng yang padat itu menari-nari ketika gadis itu berjalan dengan lenggang yang santai dan lemah gemulai. Pinggangnya yang ceking seperti pinggang lebah kemit itu seperti mau jatuh ke kanan kiri, kedua kaki ketika melangkah itu merapat sehingga lututnya saling bersentuhan. Sungguh seorang dara yang mulai mekar dewasa dengan tubuh yang menggiurkan!


Mereka memasuki taman dan ternyata di tengah-tengah taman itu terdapat sebuah taman rumput yang cukup luas dan tempat ini memang biasa dipergunakan Pek Eng untuk berlatih ilmu silat. Enak sekali berolah raga di taman itu, di atas petak rumput dikelilingi bunga-bunga yang indah dan pohon-pohon yang menimbulkan hawa segar. Apalagi berolah raga pi waktu pagi-pagi sekali, amat sejuk dan menyegarkan tubuh.

"Eng-moi, aku percaya bahwa engkau sekarang tentu telah memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silatmu. Maukah engkau memainkan ilmu silat keluargamu agar aku dapat mengaguminya?" kata Bu Hok.


Kalau saja di situ tidak ada Hay Hay, tentu Pek Eng akan suka sekali memamerkan ilmu silat keluarganya. Akan tetapi di situ terdapat Hay Hay dan ia tahu betapa lihainya pemuda ini, jauh lebih lihai dari dirinya, bahkan lebih lihai dari ayahnya dan kakeknya. Bagaimana mungkin ia dapat memamerkan ilmu silatnya di depan seorang yang lihai seperti Tang Hay itu? Ia tentu hanya akan menjadi buah tertawaan saja. Maka sambil melirik ke arah Hay Hay yang berdiri di tepi petak rumput itu, agak menjauh dari mereka, ia pun menggeleng kepala.


"Tidak, Song-toako. Aku sedang lelah sekali karena baru saja tadi di sini datang tiga orang pendeta Lama yang mengacau. Kami semua turun tangan berkelahi dan aku lelah sekali."

"Ahhhh ……!!" Bu Hok berseru kaget. "Tiga orang pendeta Lama membikin kacau di sini? Mana mereka itu sekarang? Biar kuhajar mereka dengan pedangku!" katanya dengan sikap angkuh seolah-olah dengan mudah dia akan mampu membasmi mereka yang berani mengacau keluarga gadis itu.


"Mereka sudah pergi. Belum ada satu jam mereka pergi dan engkau bersama Ayah dan pamanmu datang."


"Akan tetapi mengapa ada pendeta-pendeta mengacau? Apakah mereka itu masih terus mendesak dan mencari Kakak kandungmu yang disebut Sin-tong itu?"


Pemuda ini memang sudah mendengar tentang peristiwa yang menimpa keluarga Pek dengan lahirnya kakak Pek Eng yang dianggap Sin-tong dan diminta oleh para pendeta Lama di Tibet.


Gadis itu mengangguk. "Mereka masih terus mencari kakakku yang belum juga pulang. Ah, sudahlah, Toako. Sekarang aku lelah sekali dan kuharap engkau tidak pelit untuk memperlihatkan ilmumu. Tentu Ilmu Silat Tangan Baja darimu kini sudah maju pesat dan engkau tentu sudah menjadi lihai sekali."



Bu Hok adalah seorang yang amat mengagulkan kepandaiannya sendiri. Harus diakui bahwa dia telah mewarisi ilmu kepandaian ayahnya dan pamannya, dan dia dapat dikatakan murid terpandai di Kang-jiu-pang dan tingkatnya hanyalah sedikit di bawah tingkat ayahnya dan pamannya!

“Ilmu silat tangan kosong dari Kang-jiu-pang telah kukuasai semua, Eng-moi, dan latihanku telah matang dan mencapai puncaknya. Kiranya hanya Ayah dan Paman saja yang dapat mengimbangi aku. Akan tetapi itu masih belum dapat dinamakan maju pesat. Dengan bantuan Ayah dan Paman, aku telah dapat merangkai semacam ilmu pedang yang bersumber dari gerakan Ilmu Silat Tangan Baja, dan karena itu, kuberi nama Ilmu Pedang Tangan Baja (Kang-jiu-kiam). Ilmu pedang ini sedang kulatih terus dan kuperbaiki dengan petunjuk-petunjuk Ayah dan Paman, dan aku baru akan puas kalau dapat menciptakan ilmu pedang itu sebagai ilmu pedang terkuat di dunia persilatan."

Pek Eng memandang kagum. Pemuda Kang-jiu-pang ini memang selalu mengagumkan hatinya, seorang pemuda yang gagah dan selalu bersikap ramah dan manis kepadanya sebagai seorang sahabat baik atau seorang kakak yang bersikap melindungi. Akan tetapi kini kekagumannya terhadap Bu Hok ternoda oleh kenyataan bahwa kiranya tidak mungkin Bu Hok lebih pandai dari pemuda anak jai-hwa-cat yang berdiri di sudut petak rumput itu! Hay Hay seperti merusak semua kegembiraannya, membuat segalanya meniadi tawar. Akan tetapi juga kini sikap Bu Hok dan sikap Hay Hay membuat Pek Eng melihat kenyataan lain yang menggugah hatinya. Dia telah melihat sendiri kelihaian Hay Hay yang mampu mengusir tiga orang pendeta Lama yang berilmu tinggi tadi, akan tetapi sikap Hay Hay demikian merendah, bahkan kelihatan seperti seorang pemuda lemah dan tolol, sedikit pun tidak menonjolkan kepandaiannya. SebaliKnya, kini dalam pandang matanya, Bu Hok kelihatan terlalu mengagulkan dirinya! Maka, timbullah keinginan hatinya untuk mengadu kedua orang pemuda ini!


"Song-toako, perlihatkanlah ilmu silatmu agar aku dan... Saudara Tang Hay di sana itu dapat mengaguminya."


Bu Hok menoleh ke arah Hay Hay, agaknya baru sekarang dia teringat bahwa Hay Hay berada di situ bersama mereka. "Baik, aku akan berdemonstrasi untukmu, Eng-moi. Akan tetapi apakah dia itu akan dapat menilai dan menghargai ilmu silatku? Seorang laki-laki yang tidak pandai ilmu silat adalah seperti seekor harimau yang kehilangan taring dan kukunya, tidak ada harganya lagi."


"Aih, Song-toako, jangan pandang rendah kepada dia itu. Ilmu silatnya lihai sekali dan kita berdua bukanlah tandingannya!" Pek Eng berkata sungguh-sungguh akan tetapi juga bermaksud membakar hati Bu Hok.


Mendengar ucapan ini, Bu Hok memandang kepada Hay Hay dengan sinar mata tajam penuh selidik, alisnya berkerut dan hatinya sama sekali tidak percaya. Dia lalu menghampiri Hay Hay dan dengan sikap hormat namun angkuh dia bertanya. "Saudara Tang Hay, benarkah engkau lihai sekali dalam ilmu silat?”


Hay Hay sejak tadi tersenyum saja dan kini menghadapi pertanyaan putera Ketua Kang-jiu-pang, dia tersenyum makin lebar. Dari sikap pemuda itu, dia tahu bahwa pemuda tinggi besar itu agaknya tertarik atau bahkan jatuh cinta kepada Pek Eng dan dalam gerak-gerik dan kata-katanya, juga pandang mata dan ucapannya, jelas bahwa pemuda tinggi besar itu sedang berusaha untuk memamerkan diri dan memancing kekaguman dari gadis itu. Hal ini dianggapnya wajar dan dia tidak merasa heran kalau pemuda itu agak angkuh dan sombong nampaknya, memang demikian sikap orang yang ingin menonjolkan diri untuk menarik perhatian seorang gadis.


"Ah, tidak, Song-kongcu (Tuan Muda Song), aku hanya mempelajari sedikit saja gerakan untuk membela diri." katanya merendah karena dia tidak ingin mengurangi nilai pribadi yang sedang dipupuk oleh pemuda Kang-jiu-pang itu.


Akan tetapi Song Bu Hok masih belum merasa puas. Gadis tadi mengatakan bahwa ia berdua dengan dirinya tidak akan mampu menandingi pemuda yang senyum-senyum tolol ini!


“Saudara Tang, engkau dari perguruan manakah?" tanyanya pula, agak lega bahwa setidaknya pemuda tni menyebut "kongcu” kepadanya, tanda bahwa pemuda ini menghormat dan menghargainya, dan tahu bahwa derajatnya lebih tinggi daripada pemuda itu.


Kembali Hay Hay menjawab sambil tersenyum, "Ah, aku hanya belajar begitu saja, tidak dari perguruan mana pun."


Tentu saja Bu Hok tidak percaya. Kalau bukan dari perguruan yang terkenal, tak mungkin Pek Eng memujinya, dan lebih tidak mungkin lagi pemuda ini dapat berkenalan dengan keluarga Pek dan agaknya diterima oleh keluarga itu dengan baik dan hormat.

"Kalau begitu, bagaimana engkau dapat berada di sini sebagai tamu keluarga Pek yang terhormat?" Dia menuntut, dan matanya memandang penuh selidik, alisnya berkerut dan wajahnya membayangkan ketidaksenangan dan keraguan.


Diam-diam Hay Hay merasa mendongkol juga. Pemuda ini boleh saja tidak menganggapnya sederajat, boleh saja tidak memperhatikannya, akan tetapi kenapa Pek Eng juga mengacuhkannya? Bukankah gadis itu tadi sudah mendengar semua penuturan tentang dirinya? Hemm, agaknya gadis ini merasa malu untuk menerimanya sebagai seorang sahabat dan tamu.


"Begini, Song-kongcu. Keluarga Pek sudah sedemikian baik dan ramahnya terhadap diriku sehingga ketika untuk pertama kali tadi aku tiba di sini, aku disambut rangkulan dan ciuman, tidakkah begitu, Nona Pek Eng?"


Tiba-tiba wajah Pek Eng menjadi merah sekali. "Ihhh …..!" Ia mengeluarkan seruan kaget akan tetapi tidak dapat menjawab, hanya memandang wajah Hay Hay dengan muka merah dan mata terbelalak.


"Eng-moi, apa. artinya itu? Kalau dia bermaksud menghina ….." Bu Hok mengepal tinjunya, sinar matanya mengandung ancaman.



"Dia datang tiba-tiba dan kami sekeluarga menyangka bahwa dia kakakku Pek Han Siong, karena itu aku dan Ibu yang mengira dia kakakku, menyambutnya dengan gembira dan... dan menciumnya. Dia tidak berhak untuk mengingat-ingat hal itu dan membicarakannya!" Pek Eng berterus terang dan memandang kepada Hay Hay dengan marah.

"Aku tidak mengingat-ingat, akan tetapi peristiwa itu takkan terlupakan selama hidupku, Nona."

"Dasar engkau laki-laki …… mata keranjang!" Pek Eng berseru marah. "Buah takkan jatuh terlalu jauh dari pohonnya!" Dengan ucapan ini Pek Eng mengingatkan bahwa Hay Hay tidak akan banyak berbeda dengan ayahnya yang jai-hwa-cat itu. Mendengar ini, wajah Hay Hay menjadi merah dan matanya yang tadinya bersinar-sinar kini menjadi sayu dan muram, akan tetapi dia tidak berkata apa-apa. Sebaliknya, mendengar seruan gadis itu, Bu Hok tertarik dan dia segera mendesak.


"Eng-moi, dia putera siapakah?" Dia mengharapkan keterangan gadis itu dan menduga bahwa tentu pemuda itu putera seorang datuk sesat. Akan tetapi Pek Eng sudah merasa menyesal bahwa ia telah mengumbar kemarahannya. Ia menggeleng kepala dan menjawab dengan sikap acuh.


"Sudahlah, tak perlu mengurus keadaan orang lain, Toako. Perlihatkanlah ilmu silatmu dan dia sebagai tamu kami boleh saja kalau mau menonton."


Bu Hok tidak mendesak, akan tetapi merasa penasaran bahwa pemuda itu telah disambut oleh Pek Eng dengan ciuman! Dia membayangkan betapa mesranya mereka itu saling berciuman, dan makin dibayangkan, makin panaslah hatinya, panas oleh cemburu dan iri!


"Saudara Tang Hay, mendengar bahwa Saudara lihai sekali, marilah kita main-main sebentar untuk menggembirakan Nona rumah kita. Bagaimana?"



"Ah, tidak, Song-kongcu, aku... aku tidak bisa ….."


"Hemm, kenapa pura-pura? Kalau hanya untuk sekedar pi-bu (pertandingan silat) secara persahabatan, apa salahnya?" Pek Eng berkata.


"Tidak, aku tidak berani main-main dengan Song-kongcu. Silakan Kongcu bersilat sendiri, biar aku menonton saja untuk menambah pengetahuanku."


Song Bu Hok membusungkan dadanya, merasa bangga. Orang ini tidak berani! Dia tersenyum mengejek, mengangguk dan berkata kepada Pek Eng. "Kalau dia tidak berani, aku pun tidak perlu memaksanya. Lihat aku akan bermain pedang, Eng-moi, dan coba engkau menilainya, apakah permainan pedangku cukup baik." Berkata demikian, pemuda itu menggerakkan tangannya dan nampaklah sinar terang berkelebat ketika pedang itu telah tercabut dari sarungnya. Sebatang pedang yang bagus, berkilauan saking tajamnya, terbuat dari baja yang pilihan.


Song Bu Hok memang bertubuh gagah dan kini dia beraksi dengan pedangnya, memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang lebar, pedangnya menunjuk ke atas di depan dahinya, tangan kiri menyembah di dada, memang hebat sekali. Tiba-tiba dia mengeluarkan seruan nyaring dan pedangnya berkelebat, lalu nampaklah gulungan sinar terang berkelebatan ketika pedangnya digerakkan dengan cepat dan kuat.

Diam-diam Hay Hay memperhatikan gerakan pemuda itu. Memang indah dan cukup cepat dan kuat, namun gerakan pemuda itu masih belum masak dan tenaga yang dikandung gerakan itu pun tidak cukup kokoh. Hal ini nampak jelas olehnya, akan tetapi harus diakui bahwa pemuda itu memang gagah sekali dan kalau saja tidak angkuh dan mau belajar dengan tekun, tentu ilmu pedangnya itu akan menjadi ilmu yang ampuh. Karena ingin memamerkan kepandaiannya, Bu Hok bersilat dengan cepat, setiap kali menusuk atau membabat, dibarengi bentakannya yang nyaring. Kemudian dia mengeluarkdn suara melengking dan pedangnya berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang mendekati sebuah pohon di taman itu. Pohon yang tingginya seorang akan tetapi daunnya lebat. Gulungan sinar pedang itu kini menyambar di sekeliling pohon, cepat sekali dan tubuh Bu Hok sendiri tertutup sinar pedang, hanya nampak kedua kakinya berloncatan mengitari pohon kembang itu. Nampaklah daun pohon itu berhamburan dan ketika akhirnya dia menghentikan gerakannya dan berdiri tegak dengan pedang di belakang lengan, pohon itu telah berubah. Kini daun-daun yang tumbuh pada pohon itu terbabat rata dan seperti dicukur bulat dan rapi!


"Kiam-hoat (ilmu pedang) yang bagus!" Hay Hay memuji, sekedar untuk mengisi kekosongan.

Akan tetapi Pek Eng mengerutkan alisnya. Hatinya tidak senang. Pohon bunga itu merupakan satu di antara pohon kesayangannya dan pada waktu itu sudah dekat masanya pohon itu berbunga. Kini dibabat oleh pedang Bu Hok. Alangkah lancangnya orang ini, pikirnya. Kenapa menggunakan pohon itu sebagai sasaran tanpa lebih dulu minta perkenan pemiliknya? Maka, mendengar pujian yang keluar dari mulut Hay Hay, untuk melampiaskan kedongkolan hatinya terhadap Bu Hok yang merusak pohonnya, ia pun berkata ditujukan kepada Hay Hay.



"Ah, tidak perlu pura-pura memuji!" Kemudian dia menoleh kepada Bu Hok, "Song-toako, dia memuji dengan mulutnya akan tetapi hatinya tentu mengejek karena aku tahu benar bahwa betapa pun indah dan kuatnya ilmu pedangmu, kalau dipakai melawan dia, tidak ada artiya sama sekali!"


"Nona Pek Eng …!" Hay Hay berseru kaget.

Wajah Song Bu Hok berubah merah saking marahnya dan dengan langkah lebar dia menghampiri Hay Hay. "Kalau begitu, Saudara Tang, mari beri aku sedikit pelajaran dan hadapilah ilmu pedangku yang jelek!"


"Tidak, Song-kongcu, aku ….."


"Apakah harus kukatakan bahwa engkau adalah seorang pengecut yang tidak berani terang-terangan menyatakan dengan mulut, melainkan melontarkan celaan dalam hati saja? Benarkah engkau seorang pengecut?"


"Song Bu Hok ….!" Hay Hay menjadi marah. "Engkau tidak layak memaki aku sebagai pengecut!"

"Kalau bukan pengecut, hayo hadapi pedangku!" teriak Song Bu Hok marah sekali mendengar betapa tadi Pek Eng memuji-muji Hay Hay dan mencelanya.


"Aku tidak ingin berkelahi, sungguhpun aku tidak takut menghadapi pedangmu sama sekali!” kata Hay Hay.


Ucapan ini merupakan minyak yang menambah berkobarnya api dalam dada Bu Hok. Ucapan bahwa Hay Hay tidak takut menghadapi ilmu pedangnya dianggap sebagai tantangan.

"Kalau begitu, sambutlah pedangku!" Song Bu Hok berteriak dan teriakan ini diikuti serangannya. Dengan pedangnya dia menusuk ke arah dada, tusukannya cepat dan kuat.

Hay Hay mengelak dengan mudah.


"Song-toako, aku berani bertaruh bahwa sampai seratus jurus sekalipun engkau takkan mungkin dapat mengenai tubuhnya dengan pedangmu!" Ucapan Pek Eng ini bukan sekedar memanaskan hati, rnelainkan karena ia sudah melihat tadi betapa dengan langkah-langkah ajaib, pemuda itu mampu mengelak dari semua serangan pendeta-pendeta Lama yang jauh lebih lihai daripada Bu Hok! Akan tetapi, teriakan ini membuat hati Bu Hok menjadi semakin panas dan penasaran.


"Hendak kulihat sampai di mana hebatnya pengecut ini!" bentaknya marah dan dia memperhebat serangannya. Tadinya Hay Hay ingin rneloncat keluar dan tidak melayani putera Ketua Kang-jiu-pang itu, akan tetapi mendengar betapa dia dimaki pengecut lagi, hatinya menjadi panas juga. Pemuda ini terlalu tinggi hati dan perlu diberi pelajaran, pikirnya, maka dia pun lalu menggerakkan kedua kakinya, rnenggunakan langkah-langkah ajaib untuk menghindarkan diri dari serangkaian serangan yang bertubi-tubl itu. Dengan mudah saja dia mengelak dan berloncatan ke sana-sini, menggeser kaki ke kanan kiri, depan dan belakang, akan tetapi senjata pedang di tangan Bu Hok sama sekali tak pernah dapat menyentuh tubuhnya! Ketika Bu Hok menyerang dengan cepat sehingga pedangnya nampak berubah menjadi gulungan sinar, tubuh Hay Hay juga menyelinap di antara gulungan sinar itu dan selalu saja serangan Bu Hok mengenai angin kosong!


Bu Hok yang berwatak keras dan angkuh itu tidak menyadari kebenaran kata-kata Pek Eng tadi tentang kelihaian Hay Hay. Dia tidak sadar bahwa ilmu kepandaian lawan itu jauh lebih tinggi daripada tingkatnya, bahkan dia merasa penasaran sekali. Diperhebat serangannya sampai akhirnya dia terengah-engah dan tubuhnya basah oleh keringat, sedangkan Hay Hay masih enak-enak saja melangkah dan menggeser kaki ke sana-sini.

"Bu Hok, apa yang kaulakukan itu? Hentikan!" tiba-tiba terdengar bentakan suara Song Un Tek. Kiranya Song Un Tek dan adiknya, Song Un Sui, bersama pihak tuan rumah, telah keluar dari rumah memasuki taman dan melihat betapa puteranya menyerang Hay Hay kalang kabut dengan pedangnya, Ketua Kang-jiu-pang itu terkejut dan cepat membentak menyuruh puteranya menghentikan serangan. Namun Bu Hok yang sudah mabok karena penasaran dan marah, masih mengirim beberapa tusukan dan sabetan pedang. Hay Hay menggunakan jari tangannya menyentil ke arah pedang di dekat gagang. Terdengar suara nyaring dan Bu Hok merasa betapa tangan kanan yang memegang pedang seperti lumpuh. Hampir saja dia melepaskan pedangnya yang tergetar hebat. Dia tidak melihat apa yang terjadi, tidak tahu bahwa pedangnya telah disentil jari tangan lawan. Akan tetapi Hay Hay melompat keluar petak rumput, menjura ke arah Song Bu Hok dan meraba baju di bagian dadanya yang tetobek, agaknya terkena ujung pedang. Akan tetapi hanya robek saja dan kulitnya tidak terluka.


"Kian-hoatmu hebat, Song-kongcu, aku mengaku kalah.”


Kalau tadinya dia terkejut dan heran, kini Song Bu Hok membusungkan dadanya. Bagaimanapun juga, pedangnya mampu merobek baju di bagian dada lawan, bahkan Tang Hay mengakui keunggulannya! Dia menoleh kepada Pek Eng dan berkata. "Eng-moi, biarpun dia boleh juga, akan tetapi tidak dapat menghindarkan kehebatan pedangku." Berkata demikian, dia hendak menyarungkan pedangnya kembali, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara berdetak dan pedangnya patah dekat gagangnya, dan jatuh keluar dari sarung.


"Eehhhhh ……!!" Song Bu Hok memandang gagang pedang yang masih dipegangnya dengan mata terbelalak dan muka pucat, lalu memandang kepada pedang yang sudah buntung dan kini menggeletak di dekat kakinya. "Pedang... pusakaku ?"


Melihat betapa pedang pusaka itu patah, sekali loncat Song Un Sui yang berperut gendut itu telah berada di dekat keponakannya. Mengagumkan sekali gerakan Si Gendut ini karena melihat perutnya yang gendut dan tubuhnya yang gemuk bulat, agaknya tak mungkin dia dapat bergerak seringan dan secepat itu. Dia sudah membungkuk dan mengambil pedang yang buntung, lalu memeriksa bagian dekat gagang yang patah. Nampak jelas betapa pedang itu memang patah, agaknya terpukul benda yang amat kuat, lebih kuat daripada pedang itu sendiri. Padahal dia tahu benar bahwa pedang itu bukan pedang murahan, melainkan sebuah pedang pusaka terbuat dari baja pilihan. Dia tadi juga melihat keponakannya menyerang pemuda sederhana yang bertangan kosong itu, bagaimana kini tahu-tahu pedang itu dapat menjadi patah? Tadi ketika bercakap-cakap bersama kakaknya dan pihak tuan rumah di sebelah dalam, selain pembicaraan mengenai kematangan ikatan jodoh antara Song Bu Hok dan Pek Eng, juga pihak tuan rumah menceritakan tentang kedatangan tiga orang pendeta Lama yang mengungkit kembali persoalan Sin-tong, juga menceritakan bahwa pemuda bernama Tang Hay itu muncul membantu keluarga Pek dan bahwa pemuda itu memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi, Song Un Sui ini memiliki watak yang tinggi hati dan mengagulkan kepandaian sendiri, watak yang di tiru oleh keponakannya. Biarpun kini dia melihat bahwa pedang keponakannya patah dan menduga bahwa tentu pemuda she Tang itu yang mematahkan, dia menjadi marah. Dia tidak mau melihat kenyataan bahwa patahnya pedang itu membuktikan kebenaran cerita keluarga Pek bahwa pemuda she Tang itu benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang hebat.



"Bocah she Tang, berani engkau mematahkan pedang pusaka keponakanku?" bentaknya dan sikapnya ini terdorong pula oleh pengetahuan bahwa pemuda itu bukan keluarga dari Pek-sim-pang, bukan murid dan bukan keluarga, hanya tamu, maka dia pun berani menentangnya.


"Aku hanya membela diri …." Hay Hay menjawab.


"Bocah sombong, engkau hendak memamerkan kepandaian dengan menghina kami? sambutlah seranganku!" Si Gendut itu kini sudah menerjang ke depan dengan pukulan tangan terbuka ke arah dada Hay Hay. Melihat serangan yang hebat, dengan tenaga yang lebih kuat daripada tenaga Bu Hok tadi, Hay Hay cepat mengelak. Lawannya mendesaknya dengan serangan bertubi-tubi, namun Hay Hay segera mainkan langkah-langkah ajaib dan dengan mudah menghindarkan diri dari semua serangan. Melihat pamannya sudah maju menyerang, tanpa berkata apa-apa lagi Bu Hok yang merasa penasaran juga meloncat dan membantu pamannya menyerang Hay Hay. Namun, Hay Hay masih terus mengelak, dengan Jiauw-pouw-poan-soan dan serangan kedua orang itu selalu mengenai tempat kosong. Secara aneh tubuhnya selalu dapat menghindar, dan nampaknya dia hanya bergerak dengan tenang dan lembat saja!


Keluarga Pek merasa bingung sekali melihat perkelahian ini, Mereka menjadi serba salah. Mau melerai, Pek Kong khawatir kalau dia disangka memihak Hay Hay, tidak dilerai, dia khawatir sekali karena dia maklum bahwa tiga orang Kang-jiu-pang ini pun tidak akan menang melawan Hay Hay yang bukan saja memiliki ilmu silat tinggi, akan tetapi juga pandai ilmu sihir. Para murid Pek-sim-pang yang tertarik oleh keributan itu dan sudah berkumpul nonton di situ, diam-diam berpihak kepada Hay Hay yang mereka kagumi, pemuda yang tadi sudah mengusir musuh-musuh mereka, yaitu para pendeta Lama. Apalagi para murid muda dari Pek-sim-pang. Mereka mendengar bahwa kunjungan keluarga Song itu untuk meminang Pek Eng, maka timbullah rasa iri hati, apalagi melihat sikap Song Bu Hok yang tinggi hati, mereka merasa tidak senang. Kini mereka nonton perkelahian dan mengharap, agar Hay Hay mau menghajar keluarga Song itu!


Akan tetapi Hay Hay juga merasa serba salah. Dia tidak mau membikin malu keluarga Song yang menjadi tamu terhormat dan sahabat baik keluarga Pek. Kalau tadi dia sengaja mematahkan pedang dengan sentilan jarinya adalah karena dia mendongkol melihat sikap sombong Bu Hok dan ingin memberi pelajaran kepadanya. Tak disangkanya bahwa perbuatannya itu menimbulkan kemarahan laki-laki perut gendut yang menjadi paman Bu Hok. Kini dia memainkan Jiauw-pouw-poan-soan untuk menghindarkan diri dari serangan dua orang lawannya. Melihat tingkat kepandaian dua orang penyerangnya ini, dia merasa yakin bahwa biarpun dia menghadapi mereka tanpa membalas, mereka tidak akan mampu memukulnya. Maka dia pun hanya mengelak ke sana-sini dengan gerakan lincah dan indah, tidak seperti ketika dia menghadapi para pendeta Lama di mana dia membuat gerakan kaku dan lucu untuk mempermainkan mereka. Diam-dlam kini dla merasa menyesal mengapa tadi dia menuruti emosi hatinya dan mematahkan pedang Bu Hok.


Sementara itu, Ketua Pek-sim-pang, yaitu Pek Kong dan Pek Ki Bu kini dapat mengikuti dengan baik gerakan Hay Hay yang tidak dibuat-buat dan diam-diam mereka terkejut sekali ketika mengenal bahwa langkah-langkah ajaib yang dimainkan Hay Hay itu mirip dengan langkah-langkah ajaib Jiauw-pouw-poan-soan yang pernah mereka lihat, ilmu kesaktian yang dimiliki oleh seorang tokoh besar di Tibet!


Song Un Tek, Ketua Kang-jiu-pang tidak tinggi hati seperti adiknya dan puteranya. Dia tadi sudah mendengar betapa Hay Hay merupakan seorang tamu terhormat dari keluarga Pek, bahkan pemuda itu telah membantu keluarga Pek mengusir para pendeta Lama yang datang mengacau. Biarpun patahnya pedang puteranya merupakan hal yang memalukan, namun dia harus mendengar dulu perkaranya, apa yang telah terjadi antara dua orang muda itu sebelum turun tangan seperti adiknya. Maka dia pun lalu melangkah maju dan berseru kepada adiknya dan puteranya untuk menghentikan serangan mereka.

"Tidak baik urusan kecil dibikin besar." katanya setelah adiknya dan anaknya mundur mendengar perintah Song Un Tek. "Kalau ada urusan, sebaiknya dibicarakan dengan baik. Bu Hok, apa yang telah terjadi? Kenapa tadi engkau berkelahi dengan Saudara Tang Hay?"


Bu Hok adalah seorang pemuda yang tinggi hati dan mengagulkan diri sendiri, akan tetapi dia juga seorang pemuda yang gagah dan jujur. Mendengar pertanyaan ayahnya, mukanya berubah merah. Tak perlu dia berbohong, dan di situ terdapat pula Pek Eng yang tadi menjadi saksi.


"Aku hanya ingin mencoba kepandaiannya, Ayah." katanya.


Song Un Tek mengerutkan alisnya dan menegur adiknya. "Sui-te, engkau mendengar sendiri. Keponakanmu itu mencari gara-gara dengan mencoba kepandaian Saudara Tang, kenapa engkau tanpa penyelidikan lebih dulu sudah lancang turun tangan menyerang orang yang tidak bersalah?"


Song Un Sui menundukkan mukanya, tak disangkanya bahwa keponakannya itu hanya menguji kepandaian saja. "Aku melihat pedang itu patah, maka ….."


"Nah, lain kali harap suka bersabar." tegur kakaknya, kemudian dia memandang lagi kepada puteranya, "Bu Hok, sungguh sikapmu itu memalukan. Engkau menguji kepandaian orang secara persahabat, hal itu biasa saja. Akan tetapi engkau menggunakan pedang, menyerang Saudara Tang yang bertangan kosong. Apakah perbuatan itu patut? Masih untung bagimu bahwa pedangmu yang dipatahkan, bukan kaki, tangan atau lehermu. Hayo kau sadari kesalahanmu dan minta maaf."


Dengan muka merah Bu Hok lalu menghadapi Hay Hay dan menjura. Suaranya terdengar lantang dan jujur ketika dia berkata, "Saudara Tang Hay, harap kau suka memaafkan kebodohanku tadi."


Song Un Sui juga buru-buru berkata, "Dan aku pun minta maaf atas kecerobohanku,
Saudara Tang."


"Aku sendiri mintakan maaf atas kelancangan mereka, Saudara Tang yang gagah perkasa," kata Ketua Kang-jiu-pang.



Melihat sikap dan mendengar ucapan tiga orang ini, Hay Hay merasa kagum bukan main dan sekaligus perasaannya terhadap mereka menjadi lain. Dengan cepat dia pun menjura dan memberi hormat kepada mereka. "Harap Sam-wi tidak berkata demikian! Sayalah yang mohon maaf, dan sikap Sam-wi ini membuktikan bahwa Kang-jiu-pang dipimpin oleh keluarga yang amat gagah perkasa, patut menjadi tauladan orang-orang yang mengaku dirinya gagah! Saya merasa kagum sekali!"


Tentu saja dengan adanya kata-kata ini, lenyap semua sikap bermusuhan tadi, bahkan diam-diam Song Bu Hok kagum sekali kepada Hay Hay. Dia mendekat dan memegang lengan Hay Hay dengan sikap yang bersahabat dan akrab.


"Saudara Tang Hay, sungguh aku kagum bukan main. Ilmu kepandaianmu memang hebat, dan sekarang aku tidak merasa ragu atau heran lagi untuk mempercaya kebenaran keterangan Eng-moi tadi bahwa engkau memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada kami."


"Ah, jangan memuji terlalu tinggi, Song-kongcu ….."


"Sudahlah, siapa mau disebut kongcu? Namaku Song Bu Hok, sebut saja namaku, dan aku menyebut namamu. Bukankah kita sudah menjadi sahabat? Malah sahabat akrab, karena sudah saling beradu lengan memuji ilmu. Bagaimana, Hay Hay? Maukah engkau menjadi sahabatku?"


Bukan main girang rasa hati Hay Hay. Tak disangkanya bahwa pemuda yang tadi kelihatan demikian sombong itu ternyata adalah seorang laki-laki yang jujur dan gagah perkasa, seorang sahabat yang menyenangkan.


"Baiklah, Bu Hok."


Melihat kerukunan itu semua orang menjadi girang dan tiba-tiba Pek Ki Bu berkata kepada Hay Hay, "Tang –taihiap…”


"Ya Tuhan …… Pek-locianpwe, harap jangan menyebut Tai-hiap (Pendekar Besar) kepada saya! Pek-locianpwe, bukankah saya pernah berada di antara keluarga Pek ketika masih bayi? Apakah Cu-wi (Anda Sekalian) tidak sudi menerima saya sebagai Hay Hay saja, tanpa sebutan sungkan-sungkan seperti itu?"


Pek Ki Bu, Pek Kong dan Souw Bwee saling pandang, kemudian Pek Ki Bu tertawa. "Ha-ha-ha, baiklah, Hay Hay. Bagaimanapun juga,engkau sebaya dengan cucuku dan engkau pun pantas menjadi cucuku. Nah, sekarang aku ingin bertanya. Bukankah engkau tadi memainkan ilmu langkah ajaib ketika engkau menghindarkan serangan, dan kalau aku tidak salah ilmu itu adalah ilmu sakti Jiauw-pouw-poan-soan?"


Hay Hay terkejut dan cepat memberi hormat. "Pek-locianpwe sungguh bermata tajam sekali. Memang benar, saya tadi mainkan Jiauw-pouw-poan-soan."


"Kalau begitu, apakah hubunganmu dengan See-thian Lama? Bukankah ilmu itu miliknya?"

"See-thian Lama adalah guru saya."


"Ahhhh ……!" Seruan ini keluar dari mulut Pek Ki Bu, Pek Kong, dan Souw Bwee. "Ha-ha-ha, pantas saja engkau begini lihai, kiranya murid dari seorang di antara Delapan Dewa itu! Ketahuilah bahwa kami sekeluarga Pek menjunjung tinggi dan menghormat See-thian Lama sebagai seorang suci yang selain sakti, juga bijaksana. Ketika keluarga kami diserbu para pendeta Lama di Tibet, Locianpwe See-thian Lama itulah yang melerai dan melindungi kami, bahkan beliau pula yang menganjurkan kepada kami untuk meninggalkan daerah Tibet dan pindah ke sini. Ah, kiranya engkau muridnya …..”

"Sungguh merupakan kenyataan yang amat menggembirakan. Hay Hay, engkau tidak boleh pergi dulu. Engkau harus tinggal di sini beberapa hari lamanya. Kami ingin mendengar segala ceritamu tentang pengalamanmu dahulu, tentang See-thian Lama dan lain-lain." kata pula Pek Kong sambil memegang pundak Hay Hay. Melihat keramahan semua orang terhadap dirinya, Hay Hay yang baru saja mengalami guncangan batin dan tekanan yang membuatnya menderita duka di dalam hatinya, kini menjadi terharu dan dia hanya mengangguk-angguk sambil mengucapkan terima kasih.


"Mari kita semua masuk dan bicara di dalam. Kalian orang-orang muda juga masuk karena kami hendak membicarakan urusan penting." kata Pek Kong sambil menggandeng tangan Hay Hay.


Setelah mereka duduk menghadapi meja di ruangan besar itu, Pek Kong lalu berkata, "Karena kami sekeluarga menganggap Hay Hay bukan orang luar, maka biarlah dia ikut mendengarkan urusan keluarga yang akan kita bicarakan. Setujukah engkau, Song-pangcu?"

Song Un Tek yang juga merasa kagum kepada Hay Hay, mengangguk dan tertawa. "Apa yang kita bicarakan bukan suatu rahasia, melainkan berita yang menggembirakan, makin banyak yang ikut mendengarkan, semakin baik."


"Pertama-tama, kutujukan ini kepadamu, Eng-ji. Tahukah engkau betapa usiamu sekarang?"

Ditanya usianya, Pek Eng memandang ayahnya dengan mata terbelalak, akan tetapi mukanya berubah merah. "Apa-apaan sih Ayah ini menanyakan usia didepan orang banyak? Pula, tanpa bertanya pun Ayah dan Ibu tentu tahu berapa usiaku." katanya manja.

Ibunya menolong puterinya yang berada dalam keadaan malu itu. "Usianya sudah hampir tujuh belas tahun, kurang dua bulan lagi."



Aku dan Ibumu sudah sejak dahulu sama-sama setuju dengan keluarga Song untuk menjodohkan engkau dengan Bu Hok, dan hari ini mereka datang untuk meminang secara resmi ……"


"Ayah …..!" Tiba-tiba Pek Eng bangkit berdiri dan lari menuju ke kamarnya.


Ayahnya tertawa dan memandang kepada tiga orang tamunya yang nampak bingung melihat sikap Pek Eng itu.


"Anakku itu memang manja dan pemalu, ia tentu lari ke kamarnya karena malu, akan tetapi aku yakin bahwa ia setuju pula. Bukankah sikapnya selama ini terhadap Bu Hok menunjukkan bahwa ia tidak akan keberatan? Eng-ji pasti setuju, harap Sam-wi tidak merasa ragu dan khawatir."


"Biarlah aku yang akan bicara dengan Eng-ji." kata Souw Bwee yang kemudian meninggalkan ruangan itu menyusul puterinya ke kamar Pek Eng.


"Ha-ha-ha, pinangan itu sudah kami terima, sudah pula kami sampaikan ke pada anak kami. Marilah kita minum arak untuk keselamatan kedua orang anak kita, Song-pangcu!" kata Pek Kong.


Mereka mengangkat cawan dan melihat betapa Hay Hay diam saja, Pek Ki Bu lalu berkata kepadanya. "Hay Hay, engkau pun kami ajak minum arak untuk memberi selamat kepada Bu Hok dan Pek Eng dalam pertunangan mereka hari ini."


Hay Hay mengangkat cawannya dan pada saat itu, Pek Kong bertanya, "Hay Hay, bagaimana pendapatmu dengan pasangan ini, antara Bu Hok dan adikmu Pek Eng?"


Sambil memegang cawan araknya, Hay Hay berkata dengan sejujurnya. "Pasangan yang amat serasi, Bu Hok seorang pemuda yang gagah perkasa sedangkan Adik Eng adalah seorang gadis yang cantik dan lihai pula, Pek-pangcu."


"Hushh, jangan sebut pangcu kepadaku. Engkau seperti keponakanku sendiri, sebut saja Paman padaku."


"Baik, Paman. Nah, selamat untuk sepasang orang muda yang hari ini bertunangan!" katanya sambil meneguk arak dari cawannya, diikuti oleh semua orang.


Malam itu pihak tuan rumah mengadakan pesta. Mereka semua, kecuali Pek Eng, makan minum dengan gembira di satu meja besar. Pek Eng tidak mau keluar walaupun sudah dibujuk ibunya, "Ia tentu malu, maklumlah ia tidak punya saudara yang pernah menikah. Pengalaman dilamar orang tentu amat menegangkan hatinya dan membuatnya merasa canggung dan malu." katanya sebagai permintaan maaf kepada para tamunya. Dua orang pangcu itu makan minum dengan gembira sekali. Betapa mereka tidak akan gembira. Sejak belasan tahun mereka sudah menjadi sahabat baik, keduanya merasa cocok dan sepaham, sepihak pejuang dan pendekar, pihak lain juga pendekar yang terkenal, dan kedua orang anak mereka memang merupakan seorang pemuda dari seorang gadis pilihan. Kalau kini mereka berbesan, tentu saja hati mereka merasa puas sekali.


"Tentang penentuan hari pernikahan, biarlah kelak aku akan memberi kabar kepadamu, Song-pangcu." kata Pek Kong. "Bagaimanapun juga, hati kami tidak akan merasa tenteram dan puas kalau putera kami, Pek Han Siong, belum pulang. Dia harus menyaksikan adiknya menikah dan harus memberi persetujuan bahwa adiknya akan menikah lebih dahulu."


Song Un Tek dapat mengerti alasan ini dan dia pun tidak merasa keberatan. Mereka makan minum dan mengobrol sampai jauh malam sebelum akhirnya para tamu itu dipersilakan mengaso di dalam kamar masing-masing yang sudah dipersiapkan. Hay Hay juga dipersilakan masuk ke kamarnya yang berada di ujung belakang, karena kamar-kamar besar di dalam diperuntukkan tamu-tamu agung keluarga Song itu !


**

Hati atau batin yang gelisah dan tidak tenteram selalu menjadi akibat dari sibuknya pikiran! Kalau pikiran tenang dan hening seperti air telaga yang tidak diusik, maka batin akan menjadi hening dan bebas dari segala macam perasaan pula. Akan tetapi sekali pikiran kacau dan keruh seperti air yang diaduk sehingga semua lumpur dan kotoran dari dasar yang tadinya mengendap itu timbul dan mengeruhkan, keheningan air pun lenyap. Jadi yang penting bukanlah menekan kesibukan pikiran karena penekanan ini pun merupakan kesibukan lain lagi dari pikiran itu sendiri. Yang penting adalah menyelami dan mempelajari, mengamati kesibukan pikiran sendiri, bukan pengamatan dengan pamrih mendiamkan pikiran, melainkan pengamatan yang timbul dari kewaspadaan. Tanpa penekanan dan perlawanan, tanpa adanya si aku yang menekan atau mengamati, tanpa adanya aku yang ingin melihat pikiran menjadi tenang, maka bagaikan kehabisan setrum, pikiran akan menjadi diam dengan sendirinya, bukan DIBIKIN diam.


Kehidupan kita seolah-olah sejak kecil sampai tua sampai mati, dipenuhi dengan berbagai macam masalah dan persoalan. Masing-masing dari kita mempunyai masalah sendiri, menghadapi persoalan tertentu sendiri-sendiri, suka duka selalu menyelang-nyeling, susah senang menjadi pakaian sehari-hari. Semua ini bukan lain ditimbulkan oleh pikiran atau si aku karena si aku adalah bentukan pikiran kita sendiri. Ingin ini, ingin itu, mengapa begini, mengapa tidak begitu seperti yang kita inginkan, mengapa harapan kita menjadi hampa, mengapa keinginan kita tidak terlaksana, mengapa orang lain senang dan kita susah, orang lain pandai dan kita bodoh, orang lain kaya dan kita miskin, dan sebagainya. Perang atau konflik terjadi di dalam diri kita masing-masing, konflik antara kenyataan dan keinginan lain, konflik antara keadaan seperti adanya dengan keadaan seperti yang kita kehendaki. Konflik dalam diri setiap manusia ini menjalar menjadi konflik antara kelompok, golongan, bahkan antara bangsa dan menjadi perang yang mengguncang dunia.


Semua pertikaian atau konflik antara dua orang selalu timbul karena pikiran masing-masing, karena si aku yang selalu ingin disenangkan walaupun jarang sekali ingin menyenangkan, selalu ingin dikasihani walaupun jarang mengasihani. Masing-masing memperebutkan kebenaran sendiri, dan kebenaran yang diperebutkan itu sudah pasti kebenaran yang didasari ingin senang sendiri. Keduanya memperebutkan kebenaran sendiri-sendiri yang berbeda, bahkan berlawanan.



Tradisi usarig dan kebiasaan lama kadang-kadang merupakan kebijaksanaan pada suatu masa atau kurun waktu tertentu dan kalau selalu dipertahankan, maka akan menimbulkan konflik karena segala sesuatu akan berubah dengan berubahnya waktu. Mengekor saja kepada kebiasaan atau tradisi lama tanpa pertimbangan yang bijaksana, merupakan suatu kebodohan.


Semenjak ribuan tahun, di Tiongkok terdapat suatu anggapan yang sudah berakar di dalam hati setiap keluarga, merupakan tradisi yang amat kokoh kuat, yaitu bahwa setiap keluarga HARUS mempunyai keturunan laki-laki! Mungkin sekali anggapan ini terdorong oleh kedua keadaan. Pertama, seorang anak laki-laki dianggap akan dapat membantu keluarga orang tuanya di sawah karena pada waktu itu, sebagian besar rakyat hidup sebagai petani yang miskin. Kebutuhan akan tenaga bantuan inilah yang mendorong mereka beranggapan bahwa kalau mempunyai anak laki-laki berarti memperoleh tenaga bantuan yang amat baik dan dapat dipercaya, dan berarti meringankan beban keluarga. Dan ke dua, anak laki-laki akan melanjutkan tradisi nenek moyang, akan melaniutkan keturunan marga mereka masing-masing, dan akan memelihara abu nenek moyang.


Jelasnya, seorang anak laki-laki akan dapat melanjutkan silsilah keluarga, melanjutkan riwayat marga itu. Sebaliknya, anak perempuan hanya menjadi beban sejak kecil, merupakan mahluk lemah yang tenaganya tak dapat banyak diharapkan di waktu anak itu menjadi dewasa, bahkan mengundang datangnya gangguan yang datang dari orang-orang muda, dan akhirnya anak itu hanya akan diboyong oleh orang lain, membantu rumah tangga keluarga lain! Yang dianggap lebih celaka lagi begitu menikah, seorang anak perempuan telah berganti she (nama marga) yang berarti telah menjadi anggauta keluarga marga baru itu, dan marganya sendiri sudah terlepas darinya.


Tentu saja pendapat yang menjadi tradisi seperti ini merupakan suatu pendapat yang seluruhnya berdasarkan kepentingan si aku, dalam hal ini kepentingan si orang tua sendiri. Dan pendapat yang berdasarkan kepentingan diri sendiri selalu mendatangkan tindakan-tindakan yang jahat. Demikian pula dengan tradisi tentang anak laki-laki ini, menimbulkan banyak tindakan yang sesat di kalangan orang-orang tua. Banyak yang menganggap keluarga mereka sial kalau mempunyai anak perempuan, bahkan bukan merupakan dongeng belaka kalau ada keluarga yang anaknya terlahir perempuan melulu, tanpa ada yang laki-laki, memperlakukan anak-anak mereka dengan kejam, bahkan ada yang membunuh anak yang ke sekian dan terlahir perempuan, atau menjual anak itu kepada keluarga lain untuk dijadikan budak, selir, atau bahkan pelacur! Sungguh menyedihkah akibat dari suatu kebiasaan yang turun-temurun dilakukan orang tanpa mempergunakan pertimbangan kebijaksanaan lagi.

Tentu saja karena si aku adalah bentukan pikiran kita sendiri. Ingin ini, ingin itu, mengapa begini, mengapa tidak begitu seperti yang kita inginkan, mengapa harapan kita menjadi hampa, mengapa keinginan kita tidak terlaksana, mengapa orang lain senang dan kita susah, orang lain pandai dan kita bodoh, orang lain kaya dan kita miskin, dan sebagainya. Perang atau konflik terjadi di dalam diri kita masing-masing, konflik antara kenyataan dan keinginan lain, konflik antara keadaan seperti adanya dengan keadaan seperti yang kita kehendaki. Konflik dalam diri setiap manusia ini menjalar menjadi konflik antata kelompok, golongan, bahkan antara bangsa dan menjadi perang yang mengguncang dunia.


Semua pertikaian atau konflik antara dua orang selalu timbul karena pikiran masing-masing, karena si aku yang selalu ingin disenangkan walaupun jarang sekali ingin menyenangkan, selalu ingin dikasihani walaupun jarang mengasihani. Masing-masing memperebutkan kebenaran sendiri, dan kebenaran yang diperebutkan.


Di dalam kedudukannya sebagai Ketua Cin-ling-pai, dia dibantu oleh putera tunggalnya yang bernama Cia Hui Song, seorang pendekar yang usianya kurang lebih tiga puluh delapan tahun, lihai karena selain telah mewarisi kepandaian ayah dan mendiang ibunya, juga dia pernah digembleng oleh mendiang Siangkiang Lojin atau San-sian, seorang di antara Delapan Dewa, dan menerima ilmu-ilmu tinggi dalam hal sinkang dan ginkang. Sejak belasan tahun yang lalu, Cia Hui Song ini menikah dengan Ceng Sui Cin, seorang wanita perkasa pula, pendekar wanita gemblengan karena ia adalah puteri dari Pendekar Sadis Ceng Thian Sin yang tinggal di Pulau Teratai Merah dl lautan selatan. Ibunya juga seorang pendekar yang lihai bukan main, bernama Toan Kim Hong. Ceng Sui Cin selain menerima ilmu-ilmu dari ayah ibunya, juga ia menerima gemblengan dalam hal ginkang oleh Wu-yi Lo-jin, seorang di antara Delapan Dewa pula. Maka, dapat dibayangkan betapa lihainya Ceng Sui Cin, bahkan lebih lihai dari suaminya!


Cia Hui Song dan Ceng SuI Cin mempunyai seorang anak gadis yang telah berusia lima belas tahun bernama Cia Kui Hong. Kui Hong merupakan seorang anak perempuan yang sehat dan mungil sejak kecilnya, juga memiliki kecerdasan dan bak:at yang baik sekali dalam ilmu silat sehingga ketika ia berusia lima belas tahun, ia telah mewarisi ilmu kepandaian dari ayah dan ibunya. Wataknya juga sama dengan watak Ibu dan ayahnya. Ia manis, galak dan berandalan, akan tetapi jenaka dan lincah, juga berjiwa pendekar yang gagah perkasa.


Melihat keadaan keluarga Cia ini, orang lain tentu membayangkan bahwa mereka merupakan keluarga yang berbahagia. Kedudukan mereka sebagai keluarga pimpinan perkumpulan yang terpandang dan terhormat, juga mereka tidak kekurangan, merupakan keluarga yang sehat dan selalu gembira nampaknya. Akan tetapi sesungguhnya tidaklah demikian. Sejak bertahun-tahun yang lalu, Ketua Cin-ling-pai, Cia Kong Liang, dengan berterang menyatakan harapannya sendiri sudah terlepas darinya. Tentu saja pendapat yang menjadi tradisi seperti ini merupakan suatu pendapat yang seluruhnya berdasarkan kepentingan si aku, dalam hal ini kepentingan si orang tua sendiri. Dan pendapat yang berdasarkan kepentingan diri sendiri selalu mendatangkan tindakan-tindakan yang jahat.


Demikian pula dengan tradisi tentang anak laki-laki ini, menimbulkan bAnyak tindakan yang sesat di kalangan orang-orang tua. Banyak yang menganggap keluarga mereka sial kalau mempunyai anak perempuan, bahkan bukan merupakan dongeng belaka kalau ada keluarga yang anaknya, terlahir perempuan melulu, tanpa ada yang laki-laki, memperlakukan anak-anak mereka dengan kejam, bahkan ada yang membunuh anak yang ke sekian dan terlahir perempuan, atau menjual anak iTu kepada keluarga lain untuk dijadikan budak, selir, atau bahkan pelacur! Sungguh menyedihkan akibat dari suatu kebiasaan yang turun-temurun dilakukan orang tanpa mempergunakan pertimbangan kebijaksanaan lagi.



Hui Song, sekarang di depan isterimu aku minta ketegasan dan keputusanmu. Bagaimana dengan permintaanku agar engkau menikah lagi?”


Mendengar ini Sui Cin terkejut bukan main. Suaminya belum pernah menceritakan tentang keinginan hati ayah mertuanya itu, dan mendengar betapa kini orang tua itu minta kepada suaminya agar menikah lagi, tiba-tiba mukanya menjadi pucat, lalu berubah merah sekali. Akan tetapi karena yang ditanya adalah suaminya maka ia pun diam saja, hanya memandang kepada suaminya dengan penuh perhatian.


Hui Song juga terkejut. Ayahnya telah berterus terang di depan isterinya, hal ini merupakan desakan yang terakhir dan amat kuat, yang memaksa dia untuk mengambil keputusan, tidak seperti biasanya yang hanya dia elakkan dan tangguhkan saja. Diam-diam dia merasa kasihan kepada isterinya dan tidak berani menoleh untuk memandang wajahnya. Kalau mengingat isterinya dan cinta kasih di antara mereka, ingin rasanya dia meneriakkan keberatannya, namun untuk menolak dia pun takut kepada ayahnya yang dia tahu menganggap amat penting keturunan laki-laki yang amat diharapkannya itu. Maka dalanm keadaan bingung dia menunduk dan berkata dengan suara lirih.

"Ayah, aku... aku tidak mempunyai pikiran untuk …..”


“Hui Song!" Cia Kong Liang membentak karena sejak tadi amarahnya sudah menyesak di dada dan dia menduga bahwa puteranya tentu menolak sehingga jawaban kalimat yang belum putus itu sudah dianggap sebagai penolakan. "Apakah engkau ingin menjadi seorang anak yang put-hauw (tidak berbakti atau durhaka)? Ingat, sudah lama aku ingin mengundurkan diri dan menyerahkan kedudukan Ketua Cin-ling-pai kepadamu, akan tetapi selama engkau belum mernpunya seorang anak laki-laki, terpaksa aku tidak beranii mengundurkan diri dan mengoperkan kedudukan pimpinan padamu. Aku hanya ingin engkau mengambil yang tadinya mengendap itu timbul dan mengeruhkan, keheningan air pun lenyap. Jadi yang penting bukanlah menekan kesibukan pikiran karena penekanan ini pun merupakan kesibukan lain lagi dari pikiran itu sendiri. Yang penting adalah menyelami dan mempelajari, mengamati kesibukan pikiran sendiri, bukan pengamatan dengan pamrih mendiamkan pikiran, melainkan pengamatan yang timbul dari kewaspadaan. Tanpa penekanan dan perlawanan, tanpa adanya si aku yang menekan atau mengamati, tanpa adanya aku yang ingin melihat pikiran menjadi tenang, maka bagaikan kehabisan setrum, pikiran akan menjadi diam dengan sendirinya, bukan DIBIKIN diam.


Kehidupan kita seolah-olah sejak kecil sampai tua sampai mati, dipenuhi dengan berbagai macam masalah dan persoalan. Masing-masing dari kita mempunyai masalah sendiri, menghadapi persoalan tertentu sendiri-sendiri, suka duka selalu menyelang-nyeling, susah senang menjadi pakaian sehari-hari. Semua ini bukan lain ditimbulkan oleh pikiran atau si aku olah jantungnya ditusuk-tusuk dan sejak tadi ia sudah menahan kemarahannya yang makin berkobar. Kini, mendengar suaminya melibatkannya, dan melihat betapa ayah mertuanya itu menanggapinya secara acuh saja, ia tidak tahan lagi.

"Ayah, apakah keluarga ini masih menganggap saya sebagai manusia, ataukah sebagai kertas pembungkus saja?"


Cia Kong Liang melebarkan matanya mendengar pertanyaan ini. "Maksudmu?"


"Kalau saya dianggap kertas pembungkus, maka hanya dipergunakan dan dirawat sewaktu diperlukan saja, kalau tidak diperlukan lagi boleh dibuang begitu saja! Akan tetapi kalau diperlakukan sebagai manusia, kenapa saya tidak pernah diajak berunding? Saya adalah isteri Cia Hui Song, saya berhak untuk menentukan tentang dirinya!"


"Tapi... tapi aku yakin bahwa engkau tentu akan menyetujui kalau Hui Song mengambil seorang gadis lain sebagai isteri, untuk menyambung keturunan she Cia ….”


"Saya tidak setuju!” teriak Sui Cin, kini tidak lagi bersopan-sopan, melainkan secara spontan mengeluarkan isi hati dan kemarahannya. Mendengar teriakan ini dan melihat sikap anak mantunya, Cia Kong Liang yang juga berhati keras itu seketika bangkit kemarahannya.

"Engkau... tidak berhak untuk menolak atau tidak menyetujui! Engkau hanya seorang isteri, hanya seorang anak mantu, yang harus patuh kepada suaminya, kepada ayah mertuanya!"

"Ayah, kapankah aku tidak pernah patuh?" teriak Sui Cin. "Selama belasan tahun tinggal di sini, bukankah aku selalu patuh? Akan tetapi sekali ini menyangkut hubungan antara suami isteri. Aku tidak pernah bersalah kepada Hui Song, aku menjadi seorang isteri yang dicinta dan mencinta, kenapa tiba-tiba saja Hui Song harus menjadi milik wanita lain? Aku tidak mau membaginya dengan wanita lain! Aku tidak setuju kalau dia mengambil seorang wanita lain sebagai isteri ke dua!"


“Engkau tidak berhak melarang!" teriak Cia Kong Liang pula dengan sama marahnya dan menudingkan telunjuknya kepada muka anak mantu yang biasanya amat disayangnya itu. "Engkau telah tidak mampu melahirkan seorang keturunan laki-laki!"



"Belum tentu kalau aku yang tidak mampu! Siapa tahu Hui Song juga tidak mampu mempunyai turunan laki-laki? Jangan hanya salahkan diriku seorang!" Kedua mata Sui Cin sudah mulai basah dengan air mata, akan tetapi ia tidak menangis dan memandang kepada ayah mertuanya dengan mata terbelalak walaupun sudah basah bahkan air matanya mulai jatuh berderai.


"Kalau dia mengambil gadis lain, tentu dapat mempunyai keturunan laki-laki!"


"Mungkin saja! Kalau aku menikah lagi dengan pria lain juga mungkin saja aku melahirkan anak laki-laki! Akan tetapi, pernikahan antara kami, kalau tidak membuahkan anak laki-laki, itu bukanlah salahku, atau salah Hui Song. Jangan salahkan kepadaku Ayah, pendeknya aku tidak setuju kalau Hui Song menikah lagi!"


Ketua Cin-ling-pai itu menjadi marah bukan main. Belum pernah dia didebat dan ditentang orang seperti itu, apalagi kini yang menentangnya adalah anak mantunya sendiri. Hal ini merupakan pukulan batin yang hebat, yang membuat dia marah bukan main dan dia sudah bangkit dari kursinya, mengepal tinju dan agaknya sudah siap untuk menyerang Sui Cin. Melihat ini, Sui Cin juga bangkit berdiri, siap untuk membela diri!

"Sui Cin, jangan ……!” Hui Song berteriak dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan ayahnyat membentur-benturkan dahinya di lantai. "Ayah... Ayah, ampunkanlah isteriku, Ayah. Kalau Ayah hendak menjatuhkan hukuman, hukumlah aku. Ayah, tenanglah dan ampunkan kami."


Melihat ini, Cia Kong Liang sadar kembali. Dia tahu bahwa kalau dia menyerang Sui Cin dan mantunya itu melawan, dia bahkan akan kalah oleh anak mantunya yang lihai itu. Dan kalau sampai terjadi hal demikian, bukankah akan memalukan sekali dan nama besar Cin-ling-pai akan hancur sama sekali. Bayangkan bagaimana akan pendapat orang kalau mendengar bahwa Ketua Cin-ling-pai bentrok dengan mantu perempuannya, bahkan dipukul roboh oleh mantu perempuannya sendiri! Dia menjatuhkan dirinya lagi di atas kursi, napasnya terengah-engah dan mukanya masih merah sekali.


"Sudahlah, sekarang engkau boleh pilih. Engkau menuruti permintaan ayahmu, mengambil seorang gadis lain untuk menyambung keturunan she Cia, atau aku yang akan memungut seorang murid yang baik untuk menjadi putera angkatku, kuberikan she Cia kepadanya, kemudian dia kukawinkan agar dapat menyambung keturunan she Cia, walaupun secara memungut anak. Dan engkau... jangan harap lagi aku mengakuimu sebagai anak."


"Ayah ……!" Hui Song berteriak dan kini air matanya pun jatuh bertitik. Sui Cin menjadi semakin marah. Dianggapnya bahwa orang tua itu sungguh tidak adil dan keterlaluan. Maka, melihat suaminya menangis, ia pun segera berkata sambil memandang ayah mertuanya dengan pandang mata tajam.


"Ayah, kenapa Ayah begitu mendesak Hui Song? Kenapa tidak Ayah sendiri saja yang menikah lagi dan mempunyai seorang anak keturunan laki-Iaki yang lain?"


Mendengar ini, Hui Song, merasa mempunyai harapan untuk mengatasi persoalan itu. "Itu benar, Ayah ….."


"Diam …..!!" Cia Kong Liang membentak penuh kemarahan. "Ceng Sui Cin, jangan kau mengajukan usul yang gila!" Baru sekarang sejak Sui Cin menjadi mantunya, dia menyebut nama mantunya itu dengan nama shenya, dan Sui Cin merasakan benar sebutan itu. Ia sudah mulai dianggap orang luar oleh ayah mertuanya ini!


"Bukan aku yang mengajukan usul yang gila, Ayah, melainkan Ayah sendiri yang mengajukan permintaan yang bukan-bukan."


"Cukup!" Kembali Ketua Cin-lin-pai itu membentak. "Sekali lagi, Hui Song, kau boleh pilih. Engkau menikah lagi dengan gadis lain untuk memperoleh keturunan she Cia, atau engkau tidak kuanggap sebagai anakku lagi dan boleh pergi dari sini dengan isteri dan anakmu."

Mendengar ini, Sui Cin juga berteriak, "Cia Hui Song, dengarkan kata-kataku. Aku akan pergi bersama Kui Hong kembali ke rumah orang tuaku. Kalau engkau kawin lagi, kita tak perlu berjumpa kembali. Kalau engkau masih memberatkan kami, susullah kami ke Pulau Teratai Merah!" Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Sui Cin sudah lenyap dari ruangan itu, keluar untuk mencari anaknya.


"Sui Cin …..!!” Hui Song berkata dan dia pun terkejut bukan main, bangkit berdiri.


"Hui Song, kalau engkau tinggalkan ruangan ini, jangan harap akan dapat kembali kepadaku!"

Hui Song yang sudah bangkit itu, tersentak dan menoleh kepada ayahnya, kemudian menoleh ke arah pintu, hatinya terobek menjadi dua, tubuhnya menggigil dan tiba-tiba dia pun mengeluh dan terpelanting jatuh pingsan saking hebatnya pukulan batin yang dideritanya.

Tiada sesuatu yang abadi di dalam kehidupan ini! Perubahan terjadi setiap saat, seperti matahari yang tiba-tiba tertutup awan hitam sehingga dunia menjadi gelap. Hujan yang deras pun tiba-tiba dapat terhenti dan langit kembali menjadi terang. Bahkan perubahan yang paling hebat dapat saja setiap saat terjadi dengan tiba-tiba, yaitu kalau kematian datang menjemput. Orang yang selalu waspada akan memiliki kebijaksanaan untuk menerima segala sesuatu yang terjadi sebagai suatu kewajaran, sebagai suatu hal yang sudah semestinya terjadi, karena itu tidak akan mengguncangkan batinnya. Bahkan kematian pun yang datang menjemput akan diterima dengan iklas, pasrah dan mulut tersenyum karena maklum bahwa dia tidak berdaya, tidak berkuasa, hanya menjadi anak wayang saja yang harus tunduk dan patuh terhadap peraturan yang dijalankan oleh Sang Sutradara! Dijadikan pemegang peran apa pun tidak penting, biar dijadikan raja atau pengemis, orang kaya atau orang miskin, pintar atau bodoh, sehat atau berpenyakitan. Tidak mengeluh kalau memegang peran rendah, tidak berlebihan gaya kalau memegang peran mulia, karena yang penting adalah menghayati peran itu, memainkan peran yang dipegangnya sebaik mungkin. Memegang peran apa pun juga, baik yang menang atau yang kalah, yang tinggi atau yang rendah, yang kaya atau miskin, pintar atau bodoh, kesemuanya itu hanya untuk sementara saja dan semua akan berakhir sama, yaitu tamatnya cerita atau kematian. Karena maklum bahwa segala sesuatu, yang baik maupun yang buruk, tidak abadi, bahwa kehidupan sebagai roda, maka tidak akan mengeluh selagi berada di bawah dan tidak akan sombong selagi berada di atas. Demikianlah seorang yang bijaksana.


***



Dapat dibayangkan betapa hancur rasa hati Cia Hui Song. Dia mengeluh panjang pendek, sampai tiga hari dia tidak mampu meninggalkan kamarnya, hanya rebah dengan gelisah dan menyesali nasibnya setelah dia mendekati usia empat puluh tahun itu. Hatinya ingin sekali pergi menyusul isteri dan puterinya yang pergi secara mendadak tanpa pamit lagi, hanya membawa buntalan pakaian saja. Dia tahu akan kekerasan hati dan keangkuhan isterinya, tentu isterinya itu mengajak Kui Hong untuk pergi ke Pulau Teratai Merah dan isterinya tidak akan kembali ke Cin-ling-san sebelum dia datang menyusul. Akan tetapi, dia pun mengenal baik kekerasan hati ayahnya. Kalau dia nekat pergi, tentu dia benar-benar tidak akan diakui lagi sebagai anak dan ayahnya tak mungkin mau mengampuninya lagi. Terjadi perang di dalam batinnva dan dia membayangkan betapa ayannya akan menderita batin yang amat hebat kalau dia memaksa diri meninggalkan ayahnya. Ayahnya hanya mempunyai dia seorang, tidak ada lagi keluarga lain dan hanya kepada ayahnya memandang dan bergantung. Kalau dia pergi, mungkin hal itu akan menghancurkan hati ayahnya dan dia akan mempercepat kematiannya dan dia tentu akan merasa berdosa selama hidupnya kalau sampai terjadi hal seperti itu. Sebaliknya, isteri dan puterinya akan hidup aman dan terjamin kalau berada di Pulau Teratai Merah dan mudah-mudahan saja Sui Cin akan melunak perasaannya kelak. Bagaimanapun juga, sebagai putera tunggal tak mungkin dia meninggalkan ayahnya, tak mungkin menjadi anak durhaka yang dikutuk ayah sendiri. Selain itu, dia pun harus menjaga nama dan kehormatan Cin-ling-pai," biarpun dia harus mengorbankan perasaannya yang seperti tertindih selalu dan semangatnya seolah-olah terbang mengikuti isteri d.an puterinya.


Bagaikan seorang yang patah semangat, Cia Hui Song pendekar sakti itu menurut saja ketika ayahnya mencarikan seorang gadis untuk menjadi isterinya, untuk dapat memberi seorang putera penyambung keturunan Cia, keturunan keluarganya. Demi ayahnya, demi keluarga Cia, dia harus mentaati perintah ayahnya walaupun diam-diam hatinya hancur. Dia tidak mungkin dapat mencinta isterinya yang baru, seorang gadis berusia delapan belas tahun dari keluarga Siok, seperti cintanya terhadap Sui Cin. Dia hanya merasa kasihan kepada isteri barunya, Siok Bi Nio, karena seperti sudah lajim pada jaman itu, gadis ini pun menjadi isterinya karena kehendak orang tuanya. Orang tua mana yang tidak akan merasa bangga kalau anak perempuannya menjadi mantu Ketua Cin-ling-pai, walaupun hanya menjadi isteri ke dua? Nama besar Cin-ling-pai akan mengangkat derajat keluarga Siok pula di samping kehidupan makmur yang akan dapat dinikmati oleh gadis she Siok itu.


Demikianlah, Cia Hui Song menikah lagi tanpa dirayakan secara meriah karena sungguhpun dia tidak berani menolak kehendak ayahnya untuk kawin lagi, dia berkeras tidak mau kalau pernikahan itu dirayakan, melainkan terjadi secara sederhana saja dan hanya melakukan upacara sembahyangan sebagaimana mestinya tanpa mengundang banyak tamu.


Hati Kakek Cia Kong Liang puas dan girang sekali karena puteranya mau memenuhi permintaannya. Tanpa ada yang mengetahuinya, dia sendiri merasa amat berduka dengan kepergian Kui Hong tanpa pamit. Dia amat sayang kepada cucunya itu, bahkan ketika Kui Hong masih kecil, dialah yang menimang-nimang anak itu. Akan tetapi, sayang bahwa Kui Hong adalah seorang cucu perempuan dan kakek ini merasa prihatin dan bahkan malu kalau sampai puteranya tidak mempunyai anak laki-laki yang kelak akan menyambung keturunan keluarga Cia. Setelah Kui Hong pergi bersama ibunya tanpa pamit, dia merasa kehilangan dan sering kali, seorang diri dalam kamarnya, kakek ini menutupi mukanya dan menghapus beberapa butir air mata karena duka teringat akan cucu perempuan yang amat disayangnya itu. Dia tidak merasa bersalah dalam urusan itu, merasa bahwa keputusannya itu sudah benar dan tepat, dan mantunyalah yang tidak tahu diri, yang tidak adil, tidak seperti para wanita lainnya yang tentu bahkan akan menganjurkan sang suami untuk mengambil isteri muda agar memperoleh keturunan laki-laki!


Lebih gembira dan puas lagi hati Kakek Cia Kong Liang ketika setahun setelah Hui Song menikah dengan Siok Bi Nio, mantu perempuannya itu melahirkan seorang anak laki-laki. Harapannya dan dambaannya terkabul sudah! Keluarga Cia tidak akan putus, melainkan akan bersambung terus dengan lahirnya Cia Kui Bu, cucunya yang kedua itu. Maka, begitu cucu ini terlahir, Cia Kong Liang lalu mengundurkan diri dan mengangkat Cia Hui Song menjadi Ketua Cin-ling-pai!


Jabatan ini sedikit banyak menghibur hati Hui Song yang selalu teringat kepada Ceng Sui Cin dan Kui Hong. Kesibukan di dalam perkumpulannya menyita banyak waktu dan pemikiran. Dia bekerja keras untuk memperbaiki segala kekurangan dalam perkumpulan Cin-ling-pai, memperketat peraturan dan menambah latihan-latihan untuk menggembleng para anggauta dan murid agar kelak dapat mengangkat tinggi nama besar Cin-ling-pai. Bahkan dia sendiri terjun untuk melatih murid-murid kepala. Sementara itu, Cia Kong Liang mernperoleh pekerjaan baru yang mengasyikkan hatinya, dan merupakan hiburan pula padanya karena kini dia dapat mengasuh cucunya sebagai pengganti Kui Hong!


Kita tinggalkan dulu keluarga Cia di Cin-ling-san ini dan mari kita ikuti perjalanan Ceng Sui Cin dan anaknya, Cia Kui Hong. Pada hari itu juga, malam-malam setelah ia ribut mulut dengan ayah mertuanya, Sui Cin memanggil anaknya, dan Kui Hong terkejut sekali melihat ibunya berkemas dan melihat betapa di wajah ibunya ada tanda bahwa ibunya habis menangis.


"Ibu, ada apakah, Ibu?" tanyanya, hatinya tidak enak. Biasanya, ibunya selalu ramah dan suka bergurau, dan ia sendiri pun paling suka bergurau dan memandang dunia ini dengan sepasang mata berkilauan dan wajah berseri dan hati yang lapang dan terang. Akan tetapi, kini ibunya nampak murung dan kusut, maka ia pun tidak berani bergurau seperti biasa dan tidak berani merangkul, hanya menyentuh lengan ibunya sambil mengajukan pertanyaan itu.


Dengan menahan tangisnya karena ia tidak mau memperlihatkan kelemahan terhadap anaknya, ia berkata, "Kui Hong, engkau berkemaslah, keluarkan semua pakaianmu yang terbaik, kita pergi sekarang juga ke Pulau Teratai Merah."



Sejenak wajah yang manis itu berseri dan matanya terbelalak. "Ke tempat tinggal Kakek dan Nenek di Laut Selatan?"


"Benar, cepatlah berkemas!" kata ibunya singkat.


"Horeee... kita pesiar ke lautan, ke tempat Kakek Ceng!" Gadis itu berteriak dan bersorak seperti anak kecil saking girang hatinya. Baru dua kali ia berkunjung ke tempat yang jauh itu, dan yang terakhir kalinya ketika ia baru berusia sepuluh tahun. Kini ia telah berusia lima belas tahun, dan mengenang tempat yang indah sekali di pulau itu, dikelilingi lautan yang liar dan luas, ia merasa girang bukan main.


Setelah mereka berdua selesai berkemas, Sui Cin yang sudah selesai lebih dahulu, segera menggendong buntalan besar pakaiannya dan menyuruh puterinya melakukan hal yang sama. "Mari kita berangkat!" –


"Eh, apakah Ayah tidak ikut, Ibu?" tiba-tiba gadis remaja itu bertanya.


Ibunya hanya menggeleng kepala tanpa menjawab. Mereka keluar dari dalam kamar dan ibunya mengajak ia langsung keluar.


"Ibu, kita pamit dulu dari Kong-kong (Kakek) dan Ayah "


"Tidak usah, aku sudah pamit tadi. Kita langsung berangkat!" kata ibunya singkat. Tentu saja hal ini tidak dapat diterima oleh Kui Hong yang amat sayang kepada kakeknya dan ayahnya.

"Tapi, Ibu ……”


"Cukup! Tak perlu banyak cakap lagi, mari kita langsung berangkat, lihat, malam telah semakin gelap!" "Tapi mengapa tergesa-gesa, Ibu? Bukankah berangkat besok pagi-pagi lebih baik dan aku harus pamit….. "


"Diam dan mari kita pergi!" Tiba-tiba Sui Cin membentak dan gadis remaja itu terkejut bukan main melihat ibunya demikian galak, apalagi melihat dua titik air mata meloncat keluar dari mata ibunya. Ia maklum bahwa ibunya sedang marah sekali, maka ia pun tidak berani membantah lagi dan keluarlah ia mengikuti ibunya. Lebih lagi merasa terkejut dan heran melihat betapa ibunya setelah berada di luar rumah, langsung saja mempergunakan ilmu berlari cepat, meluncur di dalam gelap seperti terbang saja. Terpaksa ia pun mengerahkan tenaganya untuk mengimbangi kecepatan lari ibunya dan mereka lalu melakukan perjalanan yang amat cepat menuju ke tenggara. Dapat dibayangkan betapa heran rasa hati Kui Hong melihat ibunya tak pernah mau berhenti berlari sampai akhirnya, beberapa jam kemudian, lewat tengah malam. Kui Hong yang sudah berkeringat dan napasnya memburu, berkata kepada ibunya.


"Ibu, jangan cepat-cepat... ah, aku... aku sudah lelah sekali ….." Dan gadis itu pun mogok lari.


Melihat ini, Sui Cin baru teringat akan keadaan puterinya. Ia pun berhenti berlari dan mengajak puterinya beristirahat di bawah sebatang pohon besar. Ia sendiri pun baru sadar bahwa keringat telah membasahi leher dan mukanya, betapa napasnya juga memburu. Mereka duduk di atas batu-batu yang banyak terdapat di kaki gunung itu, memandang ke atas. Tidak ada bulan di langit, namun langit yang kelam itu penuh dengan bintang yang nampak gemerlapan indah sekali pada latar belakang hitam itu, nampak bagaikan ratna mutu manikam di atas beledu hitam. Kadang-kadang nampak bintang meluncur dengan berekor panjang lalu lenyap ditelan kegelapan. Bintang jatuh? Atau bintang pindah? Kui Hong selalu kagum memandang angkasa penuh bintang, atau angkasa diterangi bulan purnama. Baginya, angkasa penuh dengan rahasia alam yang hebat, sehingga orang-orang pandai seperti ayahnya dan bahkan kakeknya pun tidak mampu memberi penjelasan ketika ia bertanya kepada mereka tentang bulan dan bintang. Ia tahu bahwa ibunya juga suka menikmati kebesaran alam, bahkan ibunya suka berkhayal dan bercerita bahwa karena menurut dongeng, bintang-bintang itu merupakan dunia-dunia, maka tentu di setiap bintang dikuasai oleh seorang dewa. Kalau begitu, alangkah banyaknya dewa-dewa di langit! Tak terhitung banyaknya! Lebih banyak bintang di langit daripada rambut di kepalamu, demikian kata ibunya. Dan mungkin benar, pikir Kui Hong, karena walaupun amat banyak, kalau memang dikehendaki, rambut di kepala masih dapat dihitung manusia. Akan tetapi bintang di langit? Siapa mampu menghitungnya? Makin gelap langit, makin banyaklah bintang yang nampak, sampai berdempetan dan tak mungkin dihitung.



"Aduh, bukan main indahnya bintangbintang itu, Ibu ……" Kui Hong yang sejenak lupa akan segala hal itu berkata penuh kagum. Akan tetapi ibunya tidak menjawab dan ia terheran. Biasanya ibunya paling suka memuji keindahan alam. Ia menengok dan di dalam keremangan malam, ia melihat ibunya menyembunyikan muka di balik lengan yang memeluk lutut! Baru ia teringat akan keadaan mereka dan Kui Hong merasa gelisah sekali. Ia bukan anak kecil. Tentu telah terjadi sesuatu yang hebat, yang membuat ibunya berduka seperti itu. Jangan-jangan kakeknya atau neneknya yang di Pulau Teratai Merah meninggal dunia, pikirnya dan ia pun bergidik ngeri. Tak mungkin! Kalau benar terjadi hal demikian, tentu ayahnya pun ikut pergi, bahkan Kakek Cia Kong Liang juga tentu pergi melayat. Tidak, tentu ada peristiwa lain.


“lbu... lbu, engkau kenapakah, Ibu …..?" tanyanya lirih sambil menyentuh tangan ibunya.

Tersentuh senar yang terhalus di dalam hati Sui Cin oleh pertanyaan puterinya ini. Ia terisak dan menyembunyikan muka di balik kedua tangannya. Ia menangis! Ibunya menangis! Kui Hong tersentak kaget. Belum perlnah ia melihat ibunya menangis! Ia selalu menganggap ibunya seorang wanita yang paling hebat, yang gagah perkasa dan pantang menangis. Bahkan ibunya sering memberi nasihat ketika ia masih kecil dan suka menangis, bahwa seorang wanita gagah lebih menghargai air mata daripada darah! Keringat dan darah sekalipun boleh menetes kalau perlu, akan tetapi air mata harus dipantang! Tangis menunjukkan kelemahan dan seorang wanita yang gagah perkasa bukanlaln seorang yang lemah. Demikian kata-kata ibunya yang selalu masih diingatnya, kata-kata yang ikut menggemblengnya menjadi seorang gadis yang tabah, keras hati, penuh keberanian menghadapi apapun juga tanpa mengeluh. Dan sekarang, ibunya menangis!



"Ibu......!" Kui Hong merangkul ibunya dan memaksa ibunya menurunkan tangan. Dipandanginya wajah ibunya. Memang tidak banyak air mata yang mengalir keluar, akan tetapi tetap saja terbukti bahwa ibunya menangis. "Ibu, engkau menangis? Mungkinkah ini? Ada apakah yang telah terjadi, Ibuku?" Kui Hong bertanya sambil menciumi pipi ibunya yang agak basah oleh air mata.


Dengan sekuat tenaga Sui Cin menekan perasaannya, menghapus air matanya. Anaknya ini bukan kanak-kanak lagi, melainkan seorang gadis menjelang dewasa, tak perlu menyembunyikan keadaan yang sebenarnya, karena tentu Kui Hong kini sudah dapat mengerti.

" Ayahmu... Ayahmu harus menikah lagi." jawabnya dan begitu ia menjawab, ia merasa lancar dan dapat menahan getaran perasaannya. Kini kedukaannya terganti oleh rasa penasaran dan kemarahan.


Mendengar keterangan ini, Kui Hong terkejut sekali, juga heran dan sejenak ia kehilangan akal, hampir tidak dapat mengerti dan tidak dapat menangkap maksud kata-kata ibunya. Ayahnya harus menikah lagi? Keterangan macam apa ini? Akan tetapi, semuda itu, Kui Hong sudah digembleng untuk menguasai hatinya dan sikapnya masih tetap tenang walaupun keterangan ibunya itu membuatnya terkejut dan terheran-heran. Sukar ia dapat percaya bahwa ayahnya akan menikah lagi! Ia mempertimbangkan keterangan ibunya dalam satu kalimat tadi. Ayahnya harus menikah lagi. Harus?


"Ibu, siapa yang mengharuskan Ayah menikah lagi?"


"Kakekmu, siapa lagi?" Suara ibunya mengandung penasaran dan kemarahan sehingga Kui Hong dapat menduga bahwa tentu ibunya sudah ribut dengan kakeknya.


"Menikah dengan siapa?"


"Dengan siapa saja, Ayahmu sendiri pun belum tahu."


"Tapi, kenapa? Kenapa Kong-kong menyuruh dan bahkan mengharuskan Ayah menikah lagi? Bukankah Ayah sudah menikah dengan Ibu?"


"Kong-kongmu ingin mempunyai seorang cucu laki-laki ….."


"Akan tetapi, Kong-kong sudah mempunyai cucu aku!"


"Dia ingin cucu laki-laki untuk menyambung keluarga Cia! Karena aku tidak mempunyai anak laki-laki, maka Ayahmu diharuskan menikah lagi."


"Dan Ayah ….. Ayah mau …..?"


"Ayahmu terpaksa, kalau tidak, dia tidak akan diakui lagi sebagai anak Kong-kongmu, akan diusir!"

"Ahhh ……!!" Wajah Kui Hong berubah, kini agak pucat karena ia mulai mengerti benar dan tahu bahwa memang telah terjadi urusan yang hebat sekali, bahkan merupakan malapetaka bagi ibu dan ayahnya, yang mengubah kehidupan keluarga mereka semua!


"Jadi karena itulah Ibu pergi? Tapi... tapi kenapa pergi, Ibu? Kenapa kalau Ibu tidak setuju, Ibu tidak melarang saja pada Ayah agar dia tidak usah menikah lagi?”


"Aku sudah menyatakan tidak setuju, bahkan aku sampai cekcok dengan Kong-kongmu, akan tetapi Kong-kongmu memaksa Ayahmu, kalau Ayahmu tidak mau, Ayahmu harus pergi dan tidak diakui sebagai anak lagi."


"Ah, kenapa Ibu tidak bilang begitu selagi kita pergi. Biarlah aku kembali ke sana dan aku tegur Kong-kong dan Ayah!" Kui Hong bangkit berdiri sambil mengepal tinju, akan tetapi melihat itu, Sui Cin merangkul anaknya disuruhnya duduk kembali..


"Tidak ada gunanya, Kui Hong. Engkau tidak tahu betapa keras hati Kong-kongmu dan betapa pentingnya cucu laki-laki baginya, atau bagi laki-laki yang manapun juga di dunia ini agaknya. Sungguh menjemukan! Sudahlah, biarlah kita pergi saja dan kalau memang Ayahmu ingin berbakti kepada Kong-kongmu dan melupakan kita, biarlah kita hidup sendiri, di rumah orang tuaku di Pulau Teratai Merah."


"Tapi, Ibu, kenapa Ibu tidak menentang dengan kekerasan saja?"


"Tidak ada gunanya, juga tidak baik dan memalukan! Aku sudah mengambil keputusan untuk pulang saja ke Pulau Teratai Merah dan kalau Ayahmu menyusul kita, dan mengurungkan niat Kong-kongmu yang mengharuskan dia menikah lagi, baru aku mau ikut dengannya. Kalau sebaliknya terjadi, dia menikah lagi, biarlah selamanya kita tinggal saja di Pulau Teratai Merah."

Percakapan itu terhenti dan kedua orang wanita itu tenggelam ke dalam lamunan masing-masing. Beberapa kali Cia Kui Hong mengepal tinju, hatinya marah dan panas sekali, melebihi panasnya hati ibunya. Kalau kelak ayahnya benar menikah lagi, ia akan menegur ayahnya itu, dan menegur kakeknya, kalau perlu ia akan membunuh wanita yang menjadi isteri ayahnya, ibu tirinya yang mendatangkan kehancuran dalam kehidupan ibunya. Ibunya kini sampai meninggalkan rumah, kedinginan di kaki gunung ini, di bawah pohon, terlunta-lunta!

**

Perjalanan yang dilakukan oleh Ceng Sui Cin dan puterinya, Cia Kui Hong, adalah sebuah perjalanan yang amat jauh dan akan makan waktu beberapa bulan lamanya walaupun mereka mempergunakan ilmu berlari cepat! Tentu saja ibu dan anak ini mengalami banyak kesukaran. Selain lelah dan hati mereka tertekan duka, juga masih banyak gangguan mereka hadapi sebagai dua orang wanita cantik melakukan perjalaran tanpa kawalan. Biarpun usianya sudah tiga puluh tiga tahun, namun Sui Cin masih nampak cantik jelita. Tubuhnya yang ramping itu kini memang agak gemuk dibandingkan sebelum ia mempunyai anak, akan tetapi bukan gemuk karena kebanyakan gajih sehingga nampak kedodoran, melainkan gemuk padat karena ia masih terus berlatih silat sehingga ia lebih tepat dikatakan bertubuh montok. Wajahnya nampak lebih muda dari usianya yang sebenarnya sehingga dalam melakukan perjalanan bersama Kui Hong, mereka lebih pantas disebut enci adik, daripada ibu dan anak.



Sampai sekarang pun Sui Cin masih tidak mengubah kebiasaannya yang dahulu, yaitu sikapnya bebas dan pakaiannyapun agak nyentrik. Ia lebih mengutamakan enak dipakai daripada indah dipakai. Karena ia melakukan perjalanan yang jauh, ia tidak lupa membawa payungnya yang merupakan senjata pusakanya, yang telah mengangkat namanya ketika ia masih gadis, di samping benda itu dapat pula dipergunakan sebagai payung untuk melindungi muka dari sengatan terik matahari dan curahan air hujan. Juga puterinya mengenakan pakaian yang nyentrik, pakaian pria yang ketat sehingga tubuhnya yang bagaikan bunga sedang mulai mekar itu nampak indah menarik seperti buah yang sedang ranum. Berbeda dengan ibunya yang membawa sebuah payung, yang diikat pada buntalan pakaiannya di punggung kalau tidak dipergunakan sebagai payung, gadis yang berusia lima belas tahun ini membawa sebatang pedang yang dipasang di atas buntalan di punggung.

Karena gadis ini membawa pedang secara mencolok itulah agaknya yang banyak menolong mereka, karena kalau ada laki-laki yang tertarik dan berniat kurang ajar, mereka mundur teratur melihat pedang itu, maklum bahwa dua orang wanita itu adalah dua orang wanita kang-ouw (sungai telaga, golongan ahli silat) yang tidak boleh sembarang diganggu.

Kurang lebih sebulan kemudian setelah meninggalkan Cin-ling-san, pada suatu sore ibu dan anak ini tiba di kota Nan-sian yang terletak di tepi Telaga Tung-ting. Kota ini memang indah karena letaknya di tepi telaga besar itu yang menampung air dari Sungai Yang-ce-kiang yang lebar. Karena hari telah menjelang sore dan tidak mengenal baik daerah itu, pula melihat betapa puterinya tadi mengagumi keindahan pemandangan alam di telaga itu dari suatu ketinggian, Ceng Sui Cin lalu mengambil keputusan untuk bermalam saja di kota Nan-sian ini.

Mereka memasuki kota Nan-sian, menyewa sebuah kamar yang cukup bersih di sebuah rumah penginapan yang terletak di tempat indah sekali, di tepi telaga. Setelah mandi dan berganti pakaian, ibu dan anak ini meninggalkan buntalan pakaian mereka di dalam kamar, akan tetapi tidak lupa membawa senjata mereka yang sedapat mungkin mereka sembunyikan di bawah baju, sedangkan Sui Cin membawa payungnya, mereka lalu menlnggalkan rumah penginapan untuk melihat keindahan telaga itu di mana terdapat banyak sekali perahu sewaan untuk orang pesiar ke telaga.


"Ibu, kita menyewa perahu, membeli makanan dan makan di atas perahu. Tentu menyenangkan sekali!" kata Kui Hong. Sui Cin tersenyum. Setelah melakukan perjalanan dengan puterinya, sedikit demi sedikit Sui Cin dapat menutup kedukaan hatinya dan ia merasa kasihan kepada puterinya yang ikut terbawa terlunta-lunta bersamanya.


"Baik, Kui Hong. Mari kita memilih rumah makan yang baik dan minta kepada pelayan untuk mengantar ke perahu yang kita sewa."

Dengan gembira,seperti dua orang ibu dan anak yang sedang pergi pelesir dan samasekali melupakan kedukaan mereka. Sui Cin dan Kui Hong lalu memilih perahu yang catnya masih baru dan berbentuk naga, tukang perahunya juga seorang kakek yang berpakaian rapi dan bersih. Setelah mendapatkan perahu, mereka lalu memesan makanan dan arak yang diantar ke perahu oleh pelayan restoran dibantu oleh kakek pemilik perahu.


Tak lama kemudian, perahu itu pun didayung perlahan oleh kakek tukang perahu sedangkan Sui Cin dan Kui Hong makan minum di kepala perahu yang sengaja didayung menuju ke barat, menyongsong matahari yang sedang tenggelam. Bukan main indahnya pemandangan itu. Matahari yang condong ke barat itu membakar langit di barat dan bayangannya di air yang tenang dan jernih sungguh merupakan pemandangan yang menakjubkan sekali. Gembira hati ibu dan anak ini makan minum sambil melihat pemandangan indah itu, dan banyak pula perahu-perahu pesiar yang hilir mudik di permukaan telaga yang teramat luas. Terdengar pula suara musik dipukul orang, ada pula gadis-gadis penyanyi yang bermain yangkim dan suling, bernyanyi menghibur hati para tuan muda yang bersenang-senang dan bermabok-mabokan di atas perahu besar. Sui Cin dan Kui Hong tidak senang melihat lagak para kongcu yang bersenang di atas perahu bersama gadis-gadis penyanyi itu, lalu menyuruh tukang perahu untuk mendayung perahu itu menjauh, mencari tempat yang ramai. Dari jauh nampak perahu-perahu pelesir yang di cat indah itu seperti binatang-binatang aneh yang meluncur berenang di permukaan air. Hanya ada satu dua bua.h perahu yang kadang-kadang bersimpangan jalan dengan perahu ibu dan anak itu yang masih belum selesai makan minum dengan sangat asyiknya karena mereka tidak tergesa-gesa.


Tiba-tiba terdengar suara merdu dari tiupan suling yang diiringi suara sentilan yang-kim (semacam siter). Di tempat yang sunyi itu, jauh dari perahu-perahu lain yang bising, suara ini terdengar amat merdu, menambah keindahan pemandangan senja hari itu. Petikan yang-kim yang mengiringi tiupan suling itu sungguh amat indah dan paduan suara itu demikian tepat dan serasi sehingga merupakan musik yang seolah-olah memberi penghormatan dan mengiringkan Sang Raja Hari yang sedang mengundurkan diri di istana barat.


Ibu dan anak itu tertarik dan menoleh. Ternyata suara itu keluar dari sebuah perahu kecil sederhana bercat merah yang meluncur perlahan dari arah kiri ke arah mereka. Perahu itu meluncur tenang dan ternyata digerakkan oleh layar kecil yang terpasang di atas perahu, dibiarkan meluncur ke mana pun arahnya karena penumpangnya hanya seorang saja dan orang ini pun tidak mengemudikan perahu karena dialah yang sedang asyik membunyikan musik itu. Akan tetapi, seorang saja memainkan paduan musik suling dan yang-kim, demikian indahnya pula, sungguh sukar untuk dipercaya!


"Dekati perahu itu …." kata Kui Hong kepada kakek tukang perahu karena ia tertarik dan gembira, juga Sui Cin mengangguk setuju. Akan tetapi kakek itu mengerutkan alisnya, bahkan menggeleng kepala. "Tidak boleh terlalu dekat, Toanio dan Siocia (Nyonya Besar dan Nona)."

"Eh, memangnya kenapa?" tanya Kui Hong dan Sui Cin juga memandang heran.

"Saya adalah tukang perahu yang setiap hari bekerja di sini dan segala peristiwa yang terjadi di telaga ini saya ketahui, Nona. Sudah kurang lebih dua minggu perahu kecil itu muncul dan orang-orang tidak berani mengganggunya, karena pada hari pertama, ada perahu besar mengganggu dan perahu itu langsung saja dibalikkan sehingga tenggelam oleh penumpang perahu yang bermain suling dan yang-kim itu!"



Tentu saja Sui Cin dan Kul Hong tertarik sekali mendengar berita yang aneh itu. "Jahat sekali dia! Siapa sih orang itu?" tanya Kui Hong, mencoba untuk memandang orang yang duduk di dalam perahu kecil itu, akan tetapi karena jarak di antara perahunya dan perahu itu masih agak jauh dan cuaca sudah mulai remang-remang, ia tidak mampu melihat jelas. Hanya kelihatan seorang laki-lakl yang bertubuh sedang duduk menunduk di perahu itu, memangku sebuah yang-kim dan memegang sebuah suling. Karena dia memegang suling itu dengan tangan kirinya, agaknya dia meniup suling dan memainkan suling itu dengan tangan kirinya saja, sedangkan tangan kanannya dipergunakan untuk memainkan senar-senar yang-kim yang berada di atas pangkuannya.


"Saya tidak tabu, Nona. Tak seorangpun tahu siapa dia. Akan tetapi semua tukang perahu tidak berani mendekatinya. Kalau dia tidak diganggu, dia pun tidak pernah melakukan sesuatu yang merugikan orang lain, bahkan menyenangkan dengan permainan suling dan yang-kimnya yang luar biasa. Merdu, bukan?"


"Bagaimana dia menggulingkan perahu besar?" Sui Cin yang tertarik, bertanya.

Kakek itu menggelengkan kepala. "Siapa mengerti, Toanio? Tahu-tahu perahu itu terbalik dan orang itu berhenti meniup suling dan memainkan yang-kim. Setelah perahu besar itu terbalik, barulah dia main musik lagi dan perahu kecilnya meluncur pergi."


"Apa yang telah dilakukan oleh perahu besar itu sehingga dia terganggu dan marah?" Sui Cin bertanya lagi, semakin tertarik hatinya.


"Perahu besar itu hanya lewat terlalu dekat sehingga ada air memercik membasahi pakaian dan yang-kimnya, dan para penghuni perahu besar mentertawakannya." jawab tukang perahu yang menghentikan dayungnya karena tidak mau datang terlalu dekat.
"Sombong benar orang itu, ingin aku melihat bagaimana sih macam orangnya. Paman tua, dekatkan perahu kita dengan perahunya!" kata Kui Hong yang sudah merasa tertarik dan penasaran sekali.


Sui Cin juga tertarik, karena menduga bahwa orang dapat bermain suling dan yang-kim sekaligus menjadi paduan suara yang amat serasi, dan yang berwatak aneh seperti itu menggulingkan perahu besar yang airnya memercik kepadanya, tentu merupakan orang yang luar biasa. Apalagi kalau dipikir bahwa menggulingkan perahu bukan pekerjaan yang mudah.

"Dekatkan perahu kita." katanya pula kepada tukang perahu.


"Tidak, Toanio, Siocia. Saya tidak berani. Bagaimana kalau nanti perahuku digulingkan pula? Celaka, saya akan menderita rugi." Dia lalu memandang kepada mereka. "Dan belum tentu Ji-wi (Anda Berdua) dapat menyelamatkan diri dan berenang seperti para penumpang perahu besar itu. Bagaimana kalau Ji-wi sampai tenggelam?"


"Aku akan mengganti kerugianmu kalau terjadi demikian." kata Sui Cin sambil tersenyum.

"Saya tidak berani, Toanio."


"Heh, tukang perahu cerewet! Kalau engkau mendekatkan perahumu ke sana, belum tentu dia akan menggulingkan perahumu, akan tetapi kalau engkau tidak mau dan masih banyak cerewet, yang jelas sekarang juga aku akan membikin perahumu terguling!" bentak Kui Hong yang gemas sekali melihat tukang perahu itu ketakutan dan menolak permintaan mereka.

Mata tukang perahu itu terbelalak kaget dan mukanya berubah pucat. Celaka, pikirnya, kiranya dua orang perempuan yang menumpang di perahunya ini sama gilanya dengan laki-laki peniup suling itu! Akan tetapi karena yang mengancamnya hanya seorang gadis remaja, tentu saja dia tidak begitu takut. Agaknya Kui Hong melihat pula hal ini, maka ia pun menggerakkan jari-jari tangan kirinya, menusuk pinggiran perahu yang terbuat dari papan tebal itu.


"Cusss …….!" Tiga buah jari yang kecil mungil itu menusuk masuk ke dalam kayu yang keras itu seolah-olah papan tebal itu hanya merupakan tahu yang lunak saja.


"Kau ingin aku membikin lubang-lubang di dasar perahumu?" Kui Hong membentak.

Mata kakek itu semakin melebar dan mukanya semakin pucat. "Tidak... tidak, Siocia, baiklah... saya... saya mendekatkan perahu …." katanya dengan suara gemetar. Hampir dia tidak dapat percaya melihat betapa tiga buah jari tangan yang kecil mungil dan halus itu dapat menusuk dan amblas ke papan perahu seperti tiga batang jari baja memasuki agar-agar saja! Karena maklum bahwa ancaman di dalam perahunya lebih berbahaya daripada ancaman perahu kecil pemain suling itu, dia pun mendayung perahunya perlahan-lahan mendekati perahu kecil dengan hati berdebar ketakutan. Dengan hati-hati dia mendekatkan perahu, menjaga agar dayungnya tidak membuat air terpercik terlalu keras dan agar perahunya tidak sampai menubruk perahu kecil di depan itu.


Kini perahu kecil itu tidak meluncur lagl karena rupa-rupanya angin sudah berhenti bertiup dan karena tidak didayung atau dikemudikan, perahu kecil itu hanya bergoyang lirih kadang-kadang menghadap ke kanan, kadang-kadang ke kiri seperti orang mabuk. Akan tetapi orang yang duduk di kepala perahu itu agaknya tidak mempedulikan hal ini, masih terus bermain yang-kim yang mengiringi tiupan sulingnya. Dengan tangan kirinya, menyangga suling dengan ibu jari sedangkan jari-jari yang lain mempermainkan lubang-lubang suling, seorang laki-laki meniup sulingnya itu dengan suara merdu, melengking-lengking tinggi rendah dengan amat indahnya, dan suara ini diiringi petikan yang-kim yang dilakukan dengan jari-jari tangan kanannya. Biarpun hanya memainkan setiap alat musik dengan satu tangan saja, namun jari-jari tangan itu bermain dengan amat lincahnya dan suara yang berpadu itu amat merdunya. Orang itu seorang laki-laki bertubuh sedang, dan karena mukanya menunduk, apalagi ditutup oleh sebuah caping lebar yang berada di atas kepalanya, maka ibu dan anak itu tidak dapat melihat dengan jelas.



Sui Cin teringat akan seorang tokoh dunia persilatan terkenal yang masih dilihatnya belasan tahun yang lalu, yaitu yang berjuluk Shantung Lo-kiam (Pedang Tua dari Shantung), seorang pendekar dari Shantung, merupakan seorang di antara Sam Lo-eng (Tiga Pendekar Tua) yang terkenal sebagai seorang ahli pedang dan seorang sastrawan yang pandai pula bermain yang-kim. Akan tetapi, belasan tahun yang lalu, Shantung Lo-kiam sudah berusia delapan puluh tahun lebih, dan juga belum pernah ia mendengar bahwa kakek itu juga pandai meniup suling. Apalagi dengan cara memainkan dua buah alat musik seperti orang ini. Agaknya bukan Shantung Lo-kiam, pikirnya. Lalu siapakah orang ini? Tiba-tiba suara suling dan yang-kim terhenti dan laki-laki bercaping itu lalu mengangkat muka, memandang ke angkasa dan dia pun bernyanyi, suaranya cukup merdu dan lantang nyanyiannya kini diiringi suara yang-kim yang ramai karena dimainkan oleh sepuluh jari tangannya.


“Minum arak meniup suling memetik yang-kim seorang diri di atas perahu yang meluncur tanpa kemudi di permukaan Telaga Tung-ting yang amat luas perahuku meluncur dengan bebas melalui jalur yang djciptakan mata-hari jalur emas sang surya di senjahari hidup begini bahagia dan indah perlu apa segala keluh kesah?”


Mendengar nyanyian yang seolah-olah merupakan nasihat dan hiburan bagi hati mereka yang memang sedang dirundung malang itu, tentu saja ibu dan anak ini saling pandang dan Sui Cin memuji, "Bagus sekali sajak itu …..!"


Kui Hong sejak tadi juga mengamati orang itu. Setelah kini menengadah, ia dapat melihat wajahnya dan ia tercengang. Seraut wajah yang amat tampan! Wajah seorang pemuda yang agaknya hanya beberapa tahun saja lebih tua darinya. Dan nyanyian yang merdu itu, kata-kata nyanyian yahg demikian indahnya. Kui Hong memandang seperti terpesona, setuju atas pujlan ibunya. Memang indah sajak itu, indah pula suaranya.



Laki-laki itu tadinya seolah-olah hanya merasa bahwa dlrinya sendirian di tempat luas itu dan agaknya terkejut mendengar pujian orang. Dia seperti baru sadar dan cepat memandang, sinar matanya mencorong mengejutkan hati Sui Cin. Sejenak pemuda itu menatap wajah Sui Cin, kemudian mengalihkan pandang matanya dan memandang ktpada Kui Hong penuh selidik. Melihat orang memandang kepadanya demikian lama, Kui Hong mendongkol sekali.
"Apakah kau hendak menggulingkan perahu kami? Coba lakukan, hendak kulihat apakah kau dapat melakukan itu!" tantangnya. Sui Cin terkejutakan tetapi tidak sempat mencegah puterinya yang menantang itu.


Mendengar tantangan ini, sepasang mata yang mencorong itu kini ditujukan kepada tukang perahu seolah-olah orang itu mengerti bahwa tentu tukang perahu itu yang telah bercerita bahwa dia pernah menggulingkan perahu. Melihat betapa mata yang mencorong itu menatap kepadanya, tukang perahu menjadi ketakutan dan dia pun menjura di tempatnya.


"Mohon maaf, kedua orang penumpang saya ini yang memaksa saya untuk mendekat, maafkan saya ….."


Melihat betapa tukang perahu itu demikian penakut, Kui Hong menjadi semakin mendongkol. "Huh, memang benar kami yang memaksamu mendekat, kalau engkau demikian pengecut tak usah engkau ikut campur. Memangnya danau atau telaga ini miliknya, maka kita tidak boleh ke sana ke sini sesuka hati?"


Kini sepasang mata itu menjadi ramah, dan wajah yang tampan itu berseri ketika dia berkata. "Paman tua tukang perahu, aku bukan tukang makan orang, kenapa engkau begitu ketakutan?" Kemudian dia bangkit berdiri dan menjura ke arah Sui Cin dan Kui Hong. "Bibi yang terhormat dan adik yang manis, aku juga bukan tukang menggulingkan perahu. Tentu saja engkau boleh pergi ke mana saja dengan perahumu, siapa yang melarang?"


Setelah berkata demikian, laki-laki itu tiba-tiba menggerakkan dayungnya dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya menarik lepas tali layar dan meluncurlah perahu kecil itu dengan cepat meninggalkan tempat itu.


"Siapa sudi kau manis-manis?" bentak Kui Hong akan tetapi ibunya sudah memegang lengannya. Ketika gadis itu memandang, ia melihat ibunya tersenyum geli.


"Kui Hong, engkau ini kenapakah. Orang itu bersikap sopan dan baik, kenapa kau marah-marah? Wah, jangan-jangan engkau kemasukan setan penunggu telaga ini!" kelakar ibunya.

"Mata orang itu seperti mata maling, membikin hatiku mendongkol. Ibu!" kata Kui Hong yang teringat bahwa sikapnya tadi memang agak keterlaluan. Ia telah menantang digulingkan perahunya, kemudian ia marah- arah ketika disebut adik manis. Bagaimanapun juga, harus diakuinya babwa sikap pemuda itu sopan dan manis budi.


"Memang telaga ini dihuni oleh mahluk-mahluk halus yang gawat." tiba-tiba tukang perahu itu menanggapi mendengar kelakar nyonya itu. "Tadinya kami menganggap pemuda peniup suling itu juga mahluk halus. Maka harap Nona tidak main-main di sini. Entah sudah berapa banyak pelancong yang tewas di telaga ini karena gangguan mahluk halus."

Tadinya Kui Hong hendak membentak orang yang lancang mencampuri percakapan itu, akan tetapi mendengar kalimat terakhir, kembali ia tertarik.
Anda sedang membaca artikel tentang Cersil KPH : Pendekar Mata Keranjang 2 dan anda bisa menemukan artikel Cersil KPH : Pendekar Mata Keranjang 2 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/05/cersil-kph-pendekar-mata-keranjang-2.html?m=0,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cersil KPH : Pendekar Mata Keranjang 2 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cersil KPH : Pendekar Mata Keranjang 2 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cersil KPH : Pendekar Mata Keranjang 2 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/05/cersil-kph-pendekar-mata-keranjang-2.html?m=0. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 1 komentar... read them below or add one }

poker mengatakan...

poker online terpercaya
poker online
Agen Domino
Agen Poker
Kumpulan Poker
bandar poker
Judi Poker
Judi online terpercaya

Posting Komentar