Cersil Kho Ping Hoo : Pendekar Lembah Naga 5 Tamat

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Selasa, 08 Mei 2012

Cersil Kho Ping Hoo : Pendekar Lembah Naga 5 Tamat

Setibanya di istana, Han Houw lalu menjanjikan kedudukan kepada Siong Bu, dan pemuda yang sejak tadi dalam kereta tidak berani menatap wajah dua orang piauw-moinya yang memandangnya penuh kebencian itu, menjadi girang bukan main. Apalagi ketika pangeran itu mengatakan bahwa kelak kalau dia sudah bosan, dia akan menyerahkan kembali dua orang gadis itu kepada Siong Bu!

Dan seperti telah diceritakan di bagian depan, Siong Bu bertemu dengan Beng Sin, terjadi perkelahian yang mengakibatkan tewasnya Siong Bu sehingga pemuda ini tidak sempat menikmati semua yang telah dijanjikan oleh pangeran kepadanya.

Sementara itu, biarpun sudah tertawan, kedua orang dara kembar itu tetap menolak dengan keras segala bujuk rayu Pangeran Ceng Han Houw! Mereka bertekad lebih baik mati daripada harus menuruti kehendak pangeran itu, yaitu menyerahkan diri secara suka rela kepadanya.

“Hemm, kalian benar-benar dua orang dara yang keras hati dan keras kepala!” Han Houw berkata sambil memandang dua orang dara yang masih lemas tertotok dan rebah di atas pembaringan kamamya itu. “Kalian telah memperoleh derajat tinggi menjadi pilihanku, dan kalian berani menolak? Hemm, kalau sekarang juga aku memperkosa kalian, apakah kalian dapat mengelak?”

Biarpun masih dalam keadaan tertotok dan tidak mampu bergerak, Kui Lan yang memandang dengan penuh kebencian itu berkata, “Manusla rendah! Apa kaukira kami tidak akan mampu bunuh diri kelak? Kami telah tertawan, mau bunuh, mau apakan terserah, akan tetapi untuk menyerah dengan suka rela, jangan harap!”

Ceng Han Houw adalah seorang pemuda yang angkuh dan terlalu percaya kepada diri sendiri. Dia anggap dirinya terlalu tinggi. Sebagai seorang putera tunggal Raja Sabutai, kemudian sebagai putera Kaisar Kerajaan Beng-tiauw, bahkan kemudian diakui sebagai adik Kaisar Ceng Hwa yang amat menyayanginya, Han Houw menganggap dirinya seperti seorang pria yang tidak akan mungkin ditolak oleh wanita!

Semenjak masih di utara dulu, wanita manapun akan berlutut dan menyerahkan diri kepadanya secara suka rela dan penuh pasrah, bahkan penuh gairah. Dia amat membanggakan diri sendiri, kedudukannya, ketampanannya, kepandaiannya dan yang terakhir ini kepandaian silatnya. Setiap orang wanita, tidak perduli siapa, tentu akan berlutut dan siap melayaninya dengan gembira sekali begitu dia mengejapkan mata memberi isyarat, demikianlah anggapannya selalu. Maka, dapat dibayangkan betapa marah dan penasaran, juga terhina dan tersinggung keangkuhannya ketika dia menghadapi dua orang dara kembar yang berani menolaknya ini! Padahal dua orang dara kembar itu hanyalah puteri seorang manusia rendah macam Kui Hok Boan! Dan juga dua orang dara kembar itu bukanlah wanita-wanita secantik bidadari, sungguhpun mereka itu amat manis. Dan mereka berani menampik dia! Hal ini benar-benar amat menyakitkan hati Ceng Han Houw.

Entah sudah berapa banyak wanita, baik perawan, janda maupun isteri orang, yang dengan suka rela jatuh ke dalam pelukannya dan melayaninya dengan senang hati. Pernah ada seorang wanita, ketika dia baru berada di istana Kerajaan Beng, yaitu puteri seorang pembesar kota raja yang menggerakkan berahinya, bersikap agak “jual mahal” pula terhadap dirinya. Dia merayunya dan setelah dia berhasil menundukkan wanita itu, yang kemudian berbalik malah amat mencintanya, untuk memperlihatkan kekuasaannya terhadap wanita, dia menyuruh wanita cantik ini menjilati sepatunya dan mengemis cintanya! Demikian sombong watak Han Houw yang terdorong oleh kebanggaannya akan diri sendiri.

Dan kini dua orang dara kembar itu menampiknya, bahkan berani memaki dan mengutuknya. Kebanggaannya, yang telah dibangunnya semacam benteng awan itu kini hancur oleh penolakan dua orang dara ini! Dia tidak sudi untuk melakukan perkosaan kepada wanita, karena perkosaan membuktikan bahwa wanita itu tidak mau kepadanya! Dan ini jelas merupakan pengakuannya bahwa dia kalah oleh wanita itu, bahwa wanita itu tidak mau tunduk kepadanya. Maka, dia tidak sudi memperkosa, dia masih belum putus asa. Dengan uring-uringan pangeran ini lalu keluar dari kamar itu, mtmerintahkan dua orang wanita pembujuk memasuki kamar itu untuk membujuk agar dua orang dara kembar itu suka melayaninya dengan suka rela.

Akan tetapi, begitu dua orang dara kembar itu terbebas dari totokan setelah jalan darahnya dengan sendirinya mengalir lancar, mereka mengamuk dan dua orang wanita tukang bujuk yang sedang membujuk-bujuk mereka, menggambarkan betapa enak dan senangnya menjadi selir-selir pangeran itu, lari sambil mengaduh-aduh, keluar dari kamar itu dengan mulut berdarah dan beberapa buah gigi mereka copot!

Kini marahlah Han Houw. Dia sendiri memasuki kamar itu dan ketika Lan Lan dan Lin Lin menyambutnya dengan serangan nekat, kembali dengan mudah dia merobohkan mereka dengan totokan. Dipanggilnya pengawal yang segera datang berlari-lari. Dua orang pengawal itu bersikap hormat dan menanti perintah.

“Belenggu kaki tangan mereka, akan tetapi perlakukan mereka dengan halus dan masukkan mereka ke dalam kamar tahanan di belakang!” perintahnya. Dua orang pengawal itu cepat mengambil tali sutera dan membelenggu kaki tangan due orang gadis yang lumpuh tertotok itu, kemudian dengan hati-hati mereka memanggul dua orang gadis itu keluar kamar. Mereka adalah pengawal-pengawal yang taat karena takut terhadap pangeran itu dan karena maklum bahwa dua orang gadis cantik ini adalah calon selir-selir pangeran, tentu saja mereka tidak berani bersikap kasar dan kurang ajar. Kepala pengawal yang dipanggil segera menghadap.

“Jaga mereka baik-baik jangan sampai lolos. Akan tetapi jangan ada yang bersikap kasar, biarkan mereka berdua sendiri saja di kamar tahahan dan jangan beri makan atau minum sampai mereka minta. Kalau mereka minta makan atau minum, jangan beri akan tetapi beri tahu padaku!” Kepala pengawal memberi hormat dan menyatakan baik, kemudian pergi meninggalkan Han Houw yang masih panas hatinya. Sungguh dua orang dara kembar itu membuat dia kecewa dan marah sekali, juga amat tersinggung hatinya. Dua orang bocah dusun itu berani menampiknya!

Setiap malam Han Houw sengaja makan minum di dalam kamar tahanan itu untuk menyiksa dua orang dara yang tentu saja kelaparan itu! Dia sengaja melakukan ini tanpa bicara apa-apa, hanya makan dan minum dengan lahapnya. Maksudnya agar dua orang gadis itu tidak kuat bertahan lagi dan bertobat, tunduk dan menyerah kepadanya karena kehausan dan kelaparan memaksa mereka. Namun, sejak malam pertama, Lan Lan dan Lin Lin selalu memandang kepada pemuda yang makan minum itu sama sekali bukan dengan mata penuh keinginan untuk makan dan minum itu, melainkan sebalik­nya pandang mata mereka itu penuh dengan kebencian! Mereka berdua sudah saling bermufakat untuk mempertahankan diri sampai mati, selagi masih hidup tidak akan menyerahkan diri kepada pangeran yang hanya tampan wajahnya namun buruk sekali wataknya itu. Dan andaikata mereka akhirnya diperkosa di luar kehendak mereka, mereka sudah bermufakat pula untuk membunuh diri begitu terbuka kesempatan! Pendeknya, jangan harap pangeran itu akan dapat membuat mereka menyerahkan diri se­cara suka rela!

Penyerahan diri seorang wanita me­mang terdorong atau didasari bermacam pamrih! Akan tetapi selama didasari pamrih, penyerahan diri itu adalah kotor dan rendah. Ada wanita menyerahkan diri kepada seorang pria karena menginginkan harta kekayaan, atau karena mengingin­kan kedudukan tinggi, ada pula yang menyerahkan diri kepada seorang pria karena dorongan nafsu berahi semata. Hubungan badan dengan dasar seperti ini adalah kotor. Hanya kalau ada cinta kasih, maka segala perbuatan, termasuk hubungan badan antara wanita dan pria, adalah indah dan wajar dan benar.

Ceng Han Houw adalah seorang pe­muda yang memiliki segala-galanya dalam keduniawian. Berkedudukan tinggi, kaya raya, tampan, masih muda, dan memiliki kepandaian tinggi, baik dalam hal bun (sastera) dan bu (silat). Akan tetapi se­mua itu tidak ada artinya, bahkan hanya mendatangkan kerusakan dan kekacauan belaka, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain, selama dia tidak me­miliki batin yang bersih. Batinnya kotor oleh nafsu-nafsu keinginan yang berupa nafsu ingin menang sendiri! Ingin tinggi sendiri, nafsu berahi dan sebagainya. Dia begitu sombong sehingga dia menganggap semua wanita pasti akan bertekuk lutut di depannya, bahwa semua wanita pasti akan dengan senang dan suka rela menyerahkan diri kepadanya kalau dia menghendakinya! Sungguh suatu pandangan yang sesat karena keangkuhan! Sekali ini dia kecelik, karena sampai tiga hari tiga malam, biarpun setiap malam dia menggoda dengan makan minum di depan dua orang dara kembar itu, Lan Lan dan Lin Lin tetap saja tidak mau tunduk, tidak pernah minta-minta air atau makan, biarpun tubuh mereka sudah mulai lemas dan setengah pingsan setelah lewat tiga hari tiga malam!



Sin Liong merasa bingung sekali. Perasaan hatinya terpecah menjadi dua, sebagian dia ingin mencari-cari musuh besarnya, yaitu Kim Hong Liu-nio, dan sebagian lagi dia ingin mencari Bi Cu. Setelah dia mencegah terbunuhnya Kim Hong Liu-nio di tangan ayah kandung, yaitu Cia Bun Houw yang mendesak wanita iblis itu bersama isterinya, Sin Liong lalu pergi dan diam-diam mengikuti jejak Kim Hong Liu-nio. Hatinya merasa lega bahwa dia telah mencegah Kim Hong Liu-nio tewas di tangan ayah kandungnya dan ibu tirinya! Pertama, berarti dia telah membalas budi Kim Hong Liu-nio ketika iblis betina itu menyelamatkan dia, Bi Cu, dan Tiong Pek pada waktu keluarga Na Ceng Han diserbu musuh. Ke dua, dia tidak ingin wanita iblis itu terbunuh orang lain kecuali oleh tangannya sendiri untuk membalas kematian ibu kandungnya. Dan ke tiga, dia telah berhasil memperlihatkan kepada ayah kandungnya dan isteri ayah kandungnya itu bahwa dia bukanlah seorang bocah yang lemah!

Akan tetapi, ketika dilihatnya jejak Kim Hong Liu-nio akhirnya menuju ke utara, dia dapat menduga bahwa iblis betina itu tentu kembali keluar tembok besar, maka dia. tidak melanjutkan pengejarannya. Dia harus menemukan dulu Bi Cu karena dia mengkhawatirkan keselamatan dara itu. Bi Cu adalah seorang dara sebatang kara. Hidup sendirian tidak ada yang melindunginya. Maka dia tidak mungkin membiarkan Bi Cu hidup terlantar seperti itu. Kalau dia ingat akan semua yang telah dialaminya bersama Bi Cu, hatinya tidak tega dan tidak dapat membiarkan dara itu hanyut dibawa nasibnya sendiri. Tidak, dia harus dapat menemukan Bi Cu, dia harus melindungi dara itu. Ada sesuatu yang mendorongnya untuk melindungi dara itu. Maka, melihat Kim Hong Liu-nio ke utara, dia lalu kembali ke kota raja. Dia tidak akan ke utara lebih dulu kalau tidak bersama Bi Cu, karena bukankah dara itu hendak menyelidiki kematian ayahnya?

Akan tetapi dia tidak tahu ke mana harus mencari Bi Cu. Setibanya di kota raja, Sin Liong lalu menghubungi para pengemis di pasar dan bertanya-tanya tentang Bi Cu yang terkenal dengan sebutan Kim-gan Yan-cu di antara mereka. Namun, para pengemis muda itu hanya menggeleng kepala dengan sikap duka. Mereka semua mencinta Kim-gan Yan-cu dan setelah pemimpin wanita ini tidak ada, kehidupan merekapun kocar-kacir dan cerai-berai, tidak ada lagi pengatur siasat yang pandai.

Karena tidak berhasil mendapatkan keterangan tentang dara itu di kota raja, akhirnya Sin Liong lalu mengambil keputusan untuk pergi saja ke dusun Pek-jun. Dia hendak bertanya kalau-kalau Lan Lan atau Lin Lin atau siapa saja dari keluarga Kui itu mengetahui tentang Bi Cu. Selain itu, dia kini juga hendak secara langsung menegur Kui Hok Boan, dan kalau perlu memberi hajaran kepada orang yang hatinya kejam ini.

Sin Liong tiba di dusun itu di waktu senja. Dia sengaja menanti sampai malam tiba, baru dengan hati-hati dia menghampiri rumah yang nampak sunyi itu. Sungguh amat mengherankan hatinya, rumah itu sunyi bukan main dan biarpun malam sudah tiba, akan tetapi tidak nampak ada lampu penerangan di rumah itu. Apakah keluarga Kui sudah pindah, pikirnya. Dia terus memasuki pekarangan dan akhirnya tiba di halaman rumah itu. Ah, ternyata rumah itu kosong. Tidak ada sepotong pun perabot rumah di halaman depan. Dia terus masuk karena pintu depan terbuka, akan tetapi di dalam yang gelap itupun kosong saja, tidak ada sepotongpun perabot rumah. Tentu sudah pindah. Dia terlambat datang.

AKAN tetapi ketika Sin Liong hendak keluar, dia mendengar suara orang menangis di sebelah dalam rumah yang gelap kosong itu. Hampir Sin Liong lari, bulu tengkuk itu bangkit berdiri karena seremnya. Rumah kosong gelap dan ada suara orang menangis! Tentu setan, pikirnya. Akan tetapi, penggemblengan dirinya semenjak kecil membuat Sin Liong se­orang pemberani. Biarpun permainan pikiran yang membayangkan hal yang ngeri-ngeri dan bukan-bukan itu mendatangkan rasa takut, namun dia nekat memasuki rumah kosong itu, biarpun hatinya kebat-kebit, akan tetapi seluruh panca inderanya waspada dan siap meng­hadapi apapun juga. Berindap-indap dia menghampiri suara tangis itu dan ternyata suara itu datang dari sebuah ka­mar dan dari luar kamar itu sudah nampak cahaya penerangan kecil keluar dari kamar itu.



Bukan setan, pikirnya. Kalau setan apakah perlu membuat api penerangan? Bukan, bukan setan, melainkan manusia yang sedang dirundung susah hati. Dengan hati-hati Sin Liong mendekati pintu kamar itu.

“Huuu-hu-huuu... anak-anakku... anak-anakku... kalian di mana saja...? Hu-huuu, mengapa aku kalian tinggal sendirian?” Orang itu menangis terguguk dengan amat menyedihkan. Tergerak hati Sin Liong oleh rasa iba dan dia sudah menyentuh daun pintu hendak membukanya, akan tetapi tiba-tiba dia terkejut bukan main karena suara menangis itu kini berubah sama sekali, menjadi tertawa terbahak-bahak!

“Ha-ha-ha-ha! Kalian hendak menghalangi aku? Ha-ha-ha, aku suka dia, dia manis cantik, hemmm... Tee Kang, kau hendak menghalangi aku? Ha-ha-ha, kau bosan hidup! Aku suka kepada Cui Hwa, dia manis, ha-ha-ha...! Aku memang suka wanita cantik, siapa perduli? Siang Li, kau janda manis dan pandai merayu... ha-ha, dan kaupun hebat sekali, Liong Si Kwi! Sayang tanganmu buntung, tapi kau memang pandai bercinta, ha-ha-ha! Eh, Bhe Coan, kau hendak menghalangi aku bermain cinta dengan isterimu? Ah, kau bosan hidup, harus kubunuh kau agar binimu dapat menemaniku setiap malam, ha-ha-ha...!”

Wajah Sin Liong berubah pucat men­dengar ini semua. Hampir dia tidak per­caya akan telinganya sendiri. Itulah suara Kui Hok Boan! Jelas, apalagi telah me­nyebut-nyebut nama ibunya segala. Dan nama Bhe Coan, ayah dari Bi Cu! Ka­rena tidak percaya kepada telinganya sendiri, Sin Liong cepat membuka pintu untuk melihat dengan mata sendiri. Dan apa yang dilihatnya membuat dia ter­belalak seperti melihat setan! Di situ, di dalam kamar kosong itu, yang sama se­kali tidak ada perabotnya, Kui Hok Boan duduk di atas lantai, di atas sehelai tikar butut dan pakaian orang inipun butut seperti pakaian pengemis, wajahnya kotor tak terpelihara, matanya liar dan merah, mata orang gila! D! sudut kamar itu terdapat sebatang lilin bernyala.

“Paman Kui...!” Sin Liong berseru memanggil.

Kui Hok Boan yang sudah gila itu menengok, memandang kepadanya lalu tertawa lagi, tertawa bergelak, lalu berkata, “Ha-ha, kau mau mengambil Lan Lan dan Lin Lin? Ha-ha, mereka telah menjadi kekasih-kekasih pangeran, dan aku menjadi mertua pangeran! Ha-ha, aku adalah mertua pangeran, dan kau harus berlutut menyembahku!” Kui Hok Boan tertawa-tawa lagi dan Sin Liong memandang dengan muka pucat. Pamannya ini, suami mendiang ibu kandungnya, telah menjadi orang gila! Betapapun penasaran dan marahnya terhadap orang ini atas semua kecurangan dan kejahatannya, kini melihat dia menjadi orang gila dengan pakaian seperti jembel itu, terharu dan kasihan juga rasa hati Sin Liong.

“Paman Kui, ini aku, Sin Liong...!”

Orang yang sedang tertawa-tawa itu tiba-tiba memandang. Sin Liong melihat betapa sepasang mata yang liar itu kemerahan di bawah sinar api lilin, dan mulut yang menyeringai itu berbusa. Sungguh mengerikan keadaan orang ini, pikirnya.

“Sin Liong? Kau... kau setan cilik, engkau layak mampus!” Tiba-tiba Kui Hok Boan menubruk seperti seekor harimau kelaparan dan gerakannya kacau-balau, caranya menyerang seperti binatang buas dan agaknya dia sudah lupa akan ilmu silatnya! Tentu saja Sin Liong tidak mau melayaninya, dengan mudah mengelak sehingga tubrukan orang gila itu mengenai dinding, membuatnya terguling dan kembali Kui Hok Boan menangis dan menjambak-jambak rambutnya sendiri.

“Siong Bu... anakku... Siong Bu, kenapa kau mati meninggalkan aku? Siong Bu, anakku...! Beng Sin, engkau anakku, kenapa kaubunuh saudaramu sendiri...? Hu-hu-hu... kau minggat kemana, anakku? Lan Lan dan Lin Lin... kalau engkau sudah resmi menjadi permaisuri kelak, jangan lupa beri sebuah mahkota untukku, ha-ha-ha!”

Mendengar semua ini, diam-diam Sin Liong terkejut bukan main. Siong Bu mati? Dan Beng Sin yang membunuhnya? Tapi... kenapa pamannya ini menyebut mereka itu anak-anaknya? Dan Lan Lan berdua Lin Lin ke mana?

“Paman Kui!” bentaknya keras. “Di mana Lan-moi dan Lin-moi?”

Dibentak keras begitu, Kui Hok Boan menjawab dengan cepat pula, “Di mana lagi kalau tidak di kamar Ceng Han Houw? Ha-ha, mereka itu, anak-anakku yang cantik manis, pantas menjadi selir-selir pangeran...”

Sin Liong sudah tidak mendengarkan lagi karena dia sudah berkelebat cepat meninggalkan rumah itu, kemudian dia langsung pergi menuju ke kota raja. Lan Lan dan Lin Lin tentu telah ditangkap oleh Ceng Han Houw, pikirnya. Entah bagaimana caranya karena dia tidak pernah mendengar tentang hal itu semenjak dia melarikan diri bersama Bi Cu. Bagaimanapun juga, dia harus mencari Ceng Han Houw, dia harus menyelamatkan kedua orang adik tirinya itu dari malapetaka!

Dengan cepat karena dia mempergunakan gin-kangnya, Sin Liong menuju ke kota raja dan malam itu juga dia mengunjungi istana Pangeran Ceng Han Houw! Para perajurit pengawal tentu saja mengenal Sin Liong yang mereka tahu adalah adik angkat dari sang pangeran, saling pandang dengan bingung dan ragu melihat kunjungan yang dilakukan di waktu tengah malam ini! Akan tetapi dengan sikap hormat mereka mempersilakan Sin Liong untuk menanti di ruangan tamu dan mereka lalu mengabarkan tentang kedatangan pemuda ini kepada pengawal yang bertugas di dalam.

Akan tetapi karena sang pangeran telah berada di dalam kamar dan mungkin sudah tidur, tidak ada seorangpun di antara para pengawal dan pelayan yang berani mengganggunya. Maka pengawal itu kembali keluar menemui Sin Liong dan mengatakan bahwa sang pangeran telah berada di dalam kamar dan tidak ada yang berani mengganggu untuk membangunkannya dan memberi laporan.

“Antarkan aku ke kamarnya, biar aku sendiri yang memberitahukan kedatanganku!” kata Sin Liong yang tidak ingin menunda lagi pertemuannya dengan kakak angkat itu.

“Akan tetapi... kongcu...”

“Sudahlah!” Sin Liong berseru tak sabar. “Aku mempunyai urusan yang penting sekali untuk disampaikan kepadanya! Biar aku yang membangunkannya dan kalau dia marah, akulah yang bertanggung jawab, bukan kalian!”

Melihat sikap ini, para pengawal merasa khawatir sekali, akan tetapi karena Sin Liong sudah berkata demikian dan mereka memang tahu bahwa pemuda ini adalah adik angkat sang pangeran, akhirnya mereka mengantarkan Sin Liong sampai ke depan kamar Ceng Han Houw. Tanpa ragu-ragu, terdorong oleh panasnya hati dan kekhawatirannya akan nasib Lan Lan dan Lin Lin, Sin Liong mengetuk pintu kamar yang terbuat dari kayu terukir indah itu, disusul suaranya yang lantang karena dia mengerahkan khi-kang agar suaranya menembus ke dalam kamar di balik daun pintu itu, “Houw-ko...! Ini aku Sin Liong datang menghadap dan ingin bicara dengan Houw-ko...!”

Semua pengawal diam-diam gemetar ketakutan karena mereka menduga bahwa tentu sang pangeran akan menjadi marah sekali diganggu tidurnya seperti itu.

Akan tetapi tak lama kemudian terdengar seruan dari dalam, seruan girang!

“Liong-te...!” Daun pintu segera terbuka dan muncullah sang pangeran dengan rambut kusut dan pakaian dalam setengah terbuka. Melihat para pengawal, pangeran itu segera menggerakkan tangan dan mengusir mereka pergi. “Liong-te, kau baru datang? Masuklah, masuklah saja!”

Sin Liong mengangguk dan memasuki pintu kamar itu. Dia melihat dua orang wanita cantik dengan pakaian dalam tidak karuan bangkit dan bergerak di balik kelambu tempat tidur. Sedetik jantungnya berdebar, akan tetapi setelah dia melihat bahwa mereka itu bukan Lan Lan dan Lin Lin, legalah rasa hatinya dan dia cepat membuang muka agar jangan melihat kulit putih membayang keluar dari pakaian dalam mereka itu.

“Kalian keluarlah...!” kata Han Houw dengan suara lembut dan mulut tersenyum. Dua orang wanita muda itu cepat mengenakan pakaian dan keluar dari kamar itu meninggalkan bau harum semerbak yang keluar dari minyak wangi yang mereka pakai.

Setelah dua orang selir itu keluar dan daun pintu kamar itu tertutup lagi, Han Houw tertawa gembira dan dia mengamati Sin Liong dari kepala sampai ke kaki, seperti menaksir-nakair dengan pandang matanya. “Ha-ha-ha, girang sekali bertemu dengan adikku yang gagah perkasa! Engkau memang hebat, adikku, dan setengah tahun yang lalu, memang pantaslah engkau disebut Pendekar Lembah Naga! Akan tetapi sekarang... ha-ha, sekarang ada aku di sini, Liong-te! Dan akupun telah menerima petunjuk-petunjuk langsung dari suhu kita, yaitu Bu Beng Hud-couw sendiri! Aku telah mewarisi ilmu-ilmu yang malah lebih tinggi daripada ilmu silat yang pernah kaupelajari.”

Diam-diam Sin Liong terkejut dan heran. Dia sendiri, biarpun menguasai ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw, namun dia mempelajari kitab-kitab itu hanya di bawah petunjuk Ouwyang Bu Sek, dan selamanya dia belum pernah bertemu dengan manusia dewa yang disebut Bu Beng Hud-couw itu, bahkan dalam mimpipun belum pernah. Akan tetapi pangeran ini mengatakan menerima bimbingan langsung! Membualkah dia?

“Kalau begitu, aku mengucapkan se­lamat, Houw-ko!” katanya dengan wajar karena betapapun juga, dia merasa girang bahwa kakak angkatnya ini dapat men­capai apa yang telah diinginkannya.

Han Houw tertawa. “Akan tetapi aku belum merasa puas kalau belum mem­buktikan apakah ilmu-ilmuku dapat mengatasi ilmu-ilmumu, Liong-te. Betapapun juga, biar engkau adalah adik angkatku, namun engkau lebih dulu mewarisi ilmu dari suhu Bu Beng Hud-couw sehingga menurut tingkat, engkau adalah suhengku! Hanya kalau kita sudah saling mengukur kepandaian, baru dapat ditentukan siapa yang lebih unggul dan patut menjadi suheng. Maka, aku ingin sekali mengadu ilmu melawanmu, Liong-te!”

Sin Liong terkejut dan cepat dia menggeleng kepalanya. Dia tahu betapa hausnya pangeran ini akan kemenangan. “Tidak, biarlah tanpa diujipun aku menyerahkan gelar suheng itu kepadamu, Houw-ko. Kedatanganku ini hanya untuk bertemu denganmu dan bertanya tentang Lan-moi dan Lin-moi.” Dia menatap tajam wajah pangeran yang masih tersenyum itu. “Houw-ko, di manakah ada­nya Lan-moi dan Lin-moi? Aku tahu bahwa mereka telah kautawan. Kuharap dengan mengingat akan hubungan antara kita, engkau suka membebaskan mereka. Biarkan aku membawa mereka pergi Houw-ko.”

Han Houw mengerutkan alisnya, ke­lihatan tidak senang, akan tetapi dia lalu menutupi ketidaksenangan itu dengan senyum lebar. Memang hatinya tidak senang sekali begitu Sin Liong menyebut nama dua orang dara itu. Dia diingatkan lagi akan kekalahannya menghadapi dua orang dara kembar itu! Sampai sekarang, dua orang dara kembar itu masih belum sudi menyerahkan kehormatan mereka, tidak sudi menerima cintanya. Untuk menghilangkan rasa kesal, kecewa dan marahnya, dia menenggelamkan diri da­lam pelukan selir-selir lain, namun tetap saja dia masih tidak puas dan merasa penasaran. Kini, Sin Liong muncul dan minta agar dua orang dara itu dibebas­kan! Hal ini menambah kekesalan dan kemarahan hatinya, namun pangeran yang pandai menguasai perasaan ini tersenyum lebar dengan ramahnya.

“Mengapa engkau bertekad benar untuk minta aku membebaskan mereka, Liong-te?”

“Houw-ko! Tentu engkau tahu bahwa Lan-moi dan Lin-moi adalah saudara-saudaraku sekandung, seibu! Karena aku adalah adik angkatmu, maka mereka itu pun tentu saja bukan merupakan orang-orang lain bagimu. Mengapa engkau me­milih mereka kalau di dunia ini masih banyak gadis lain yang akan suka menjadi selir-selirmu? Harap kausuka bebaskan mereka, Houw-ko, demi hubungan persaudaraan kita!”

“Hemm... bebaskan sih mudah, Liong-te. Akan tetapi hal itu harus kupikirkan baik-baik. Karena itu, kau pergilah dan tiga hari kemudian, pagi-pagi hari tunggulah aku di tengah hutan di sebelah selatan kota raja. Aku akan menemuimu di sana untuk membicarakan pembebasan Lan Lan dan Lin Lin.”

“Tapi, Houw-ko...”

Melihat sepasang mata adik angkatnya itu mencorong, Han Houw terkejut. Bukan main pemuda ini, pikirnya, dan merupakan lawan berbahaya. “Liong-te, apakah engkau tidak percaya lagi kepadaku? Kalau aku bilang tiga hari kita bicara, hal itu akan terjadi, dan jangan khawatir, aku yang menjamin keselamatan dua orang adik kembarmu itu.”

Lega hati Sin Liong. Dia tahu benar bahwa betapapun kejamnya kadang-kadang kakak angkatnya ini, namun satu hal adalah pasti, yaitu bahwa pangeran ini tidak akan pernah menjilat ludahnya sendiri, tidak akan pernah mengingkari janji. Maka dia lalu mengangguk dan berkata, “Tiga hari lagi, pagi-pagi aku menantimu di hutan itu, Houw-ko.” Dengan cepat dia lalu melangkah keluar kamar itu dan langsung keluar dari istana. Para pengawal memberi hormat dengan tubuh tegak terhadap pemuda yang menjadi adik angkat pangeran itu.

Sin Liong sama sekali tidak tahu bahwa Han Houw memberi waktu tiga hari itu adalah untuk membuat persiapan untuk mengadu kepandaian dengan Sin Liong. Pada keesokan harinya, Han Houw sudah mengutus orang-orangnya untuk menyebar berita di kalangan tokoh-tokoh kang-ouw di kota raja dan sekitarnya bahwa pada tiga hari mendatang, pagi-pagi di hutan di sebelah selatan kota raja akan diadakan pertandingan adu ilmu antara tokoh-tokoh kang-ouw terbesar untuk menentukan siapa yang patut digelari jagoan nomor satu di kota raja! Han Houw kini tidak mau bertindak tergesa-gesa memperebutkan gelar jagoan nomor satu di dunia, melainkan hendak bertindak dari pusat, dari kota raja lebih dulu baru kemudian nama dan gelarnya diperluas sampai ke seluruh dunia kang-ouw. Boleh jadi Sin Liong belum memiliki nama besar di dunia kang-ouw, akan tetapi dia tahu betul bahwa pemuda itu adalah lawan tangguh dan tidak sembarang orang kang-ouw akan mampu mengalahkannya! Karena itulah dia ingin semua orang kang-ouw melihat dia mengajak Sin Liong mengadu ilmu.

Itulah sebabnya ketika pada tiga hari berikutnya pagi-pagi sekali Sin Liong pergi ke dalam hutan yang dimaksudkan oleh Han Houw, dia tidak hanya melihat pangeran itu berdiri dengan angkuhnya di suatu tempat terbuka dalam hutan itu, akan tetapi juga terdapat banyak sekali orang-orang yang merupakan tokoh-tokoh kang-ouw di kota raja dan sekitarnya.

Pangeran Ceng Houw berdiri dengan sikap angkuh, pakaiannya indah dan bajunya ditutup dengan jubah kulit, sepatunya mengkilap baru, kepalanya memakai topi bulu yang baru pula, dengan bulu burung berwarna biru di atas. Targan kirinya bertolak pinggang dan tangannya memegang sebatang cambuk kuda. Kuda itu sendiri, seekor kuda pilihan yang amat besar dan baik, berdiri tidak jauh di belakangnya. Pada saat Sin Liong datang, pangeran itu sedang bercakap-cakap dan didengarkan oleh banyak tokoh kang-ouw. Pangeran itu agaknya menceritakan tentang Sin Liong, karena pemuda ini masih dapat menangkap beberapa kata-kata dalam kalimat terakhir.

“...dia putera dari pendekar besar Cia Bun Houw...” akan tetapi pangeran itu menghentikan kata-katanya ketika melihat Sin Liong datang. Sin Liong mengerutkan alisnya, tak senang hatinya mendengar pangeran itu membuka rahasianya di depan orang banyak! Akan tetapi hal itu telah dilakukannya, maka diapun tidak banyak bicara lagi, melainkan segera menghampiri Han Houw dan memandang dengan sinar mata tajam mencorong.

“Aha, Liong-te, engkau benar gagah dan memenuhi janji! Nah, mari kita lekas memulai saja, Liong-te!”

“Mulai apa, Houw-ko?” kata Sin Liong dan para orang kang-ouw yang men­dengarkan percakapan itu diam-diam merasa heran sekali akan cara bicara kedua orang itu. Pemuda sederhana itu bicara terhadap sang pangeran dengan sikap begitu seenaknya tanpa hormat seperti bicara terhadap kakaknya sendiri saja! Diam-diam, di samping kekaguman mereka, juga terdapat perasaan iri hati yang amat besar. Pemuda sederhana ini sungguh beruntung, sudah menjadi cucu ketua Cin-ling-pai yang ternama kemudian menjadi keluarga yang dianggap pemberontak, masih diaku adik oleh Pangeran Ceng Han Houw yang memiliki kedudukan demikian tingginya!

“Eh, mulai apalagi, Liong-te? Kita datang ke sini untuk menguji kepandaian masing-masing, bukan? Hayo mulailah agar semua saudara kang-ouw ini tahu siapa di antara kita yang patut dijuluki Pendekar Lembah Naga!”

Sin Liong terkejut sekali. Tak di­sangkanya bahwa Han Houw akan berbuat seperti itu, sengaja mengumpulkan orang kang-ouw dan mendesaknya agar saling mengadu ilmu kepandaian. Tentu saja dalam hatinya dia merasa penasaran dan menolak keras.

“Houw-ko! Engkau tahu benar bahwa aku datang ke sini atas undanganmu untuk bicara tentang dua orang adikku, sama sekali bukan untuk mengadu ilmu kepandaian!”

“Akan tetapi aku ingin mengadu kepandaian denganmu, Liong-te. Urusan dua orang adikmu itu boleh nanti kita bicarakan. Sekarang, kautandingilah aku, biar semua orang tahu siapa di antara kita yang lebih unggul!”

“Tidak, Hauw-ko, aku tidak akan mengadu ilmu silat, apalagi terhadap engkau yang menjadi kakak angkatku sendiri. Harap engkau tidak memaksaku, Houw-ko!”

“Liong-te! Apakah engkau hendak membikin malu kepadaku? Masa adik angkatku seorang pengecut dan mau menjadi buah tertawaan orang-orang lain? Hayo mulailah, kauseranglah aku dengan ilmu silatmu yang tinggi!”

“Tidak, Houw-ko. Aku datang untuk minta engkau membebaskan Lan-moi dan Lin-moi.”

“Aku akan membebaskan mereka, bukankah aku sudah memberi janjiku? Tapi, kita bertanding dulu.” “Maaf, aku tidak dapat, Houw-ko.”

“Kalau aku memaksamu?”

“Apa maksudmu?”

“Kalau aku menyerangmu?”

“Aku tidak percaya bahwa seorang gagah seperti engkau akan menyerang orang lain yang tak mau melawan!” kata Sin Liong dengan tenang karena dia merasa yakin bahwa kakak angkatnya ini tidak mau bersikap curang seperti itu.

“Kalau engkau tetap tidak mau, berarti engkau menghinaku dan aku akan menghajarmu dengan cambuk ini!” Han Houw mengangkat cambuknya ke atas, memutarnya di atas kepala lalu menggerakkan pergelangan tangannya yang mengandung tenaga amat kuat itu.

“Tar-tar-tarrr!” Tiga kali cambuk itu meledak di udara dan suaranya sedemikian nyaring mengejutkan semua orang, juga nampak asap mengepul dari ujung cambuk ! Akan tetapi Sin Liong tetap tenang saja.

“Kalau Houw-ko menganggap aku bersalah dan hendak menghukum, silakan. Akan tetapi aku sama sekali bukan bermaksud menghinamu,” Sin Liong berkata. Dia adalah seorang pemuda yang tenang dan juga cerdik. Dia tahu bahwa kalau dia kena dipancing lalu menjadi marah sehingga terjadi adu tenaga yang sesungguhnya tiada bedanya dengan perkelahian, maka makin jauhlah harapan untuk menolong Lan Lan dan Lin Lin. Dua orang adiknya itu berada di tangan Han Houw, maka sebelum mereka itu bebas, dia terpaksa harus mengalah dalam segala hal.

“Liong-te, kau sungguh-sungguh terlalu dan membuatku marah! Hendak kulihat apakah benar engkau tidak akan mau menyerangku kalau kupaksa!” katanya dan kembali dia menggerakkan cambuknya ke atas, kemudian cambuk itu meluncur ke bawah mengeluarkan bunyi amat nyaring.

“Tar-tar-tarrr!!” Tiga kali cambuk itu menyambar, pertama ke arah mata Sin Liong, kemudian ke arah leher dan ke tiga ke arah pundak. Sin Liong tetkejut. Kiranya pangeran itu bukan hanya menggertak saja dan benar-benar menyerangnya. Akan tetapi Sin Liong tidak melawan, hanya mengangkat tangan menangkis sambaran ke arah mata dan leher, kemudian membiarkan cambuk mengenai pundaknya. Baju pundaknya robek oleh lecutan ujung cambuk yang menggigit seperti patuk ular itu, akan tetapi karena Sin Liong mengerahkan sin-kang, kulitnya tidak terluka, lecetpun tidak. Cambuk itu terus meledak-ledak dan menyambar-nyambar, mengikuti gerak tangah Han Houw yang hendak memancing kemarahan Sin Liong agar pemuda itu membalas serangannya. Namun Sin Liong sama sekali tidak pernah membalas, juga tidak mengelak, hanya melindungi bagian-bagian tubuh lemah. Bajunya robek-robek, di pundak, di lengan, di paha, namun dia tidak pernah menderita nyeri dan tubuhnya tidak ada yang lecet.

Diam-diam Han Houw terkejut dan kagum juga penasaran sekali akan keteguhan batin adik angkatnya itu yang terus mandah saja dicambuki sehingga akhirnya dia merasa jengah dan malu sendiri! Di lain fihak, Sin Liong diam saja dan di dalam hatinya dia sengaja tidak melawan, pertama sekali untuk melindungi keselamatan Lan Lan dan Lin Lin, dan kedua kalinya karena dia pernah berhutang budi kepada kakak angkatnya ini, maka biarlah dia menerima cambukan yang hanya merusak pakaian itu.

“Sin Liong, apakah engkau demikian pengecut sehingga menerima cambukan-cambukan tanpa berani membalas sama sekali? Apakah engkau takut kepadaku? Hayo katakan bahwa engkau takut kepadaku!” Han Houw membentak marah dan penasaran sekali karena semua mata orang kang-ouw memandang peristiwa itu dengan penuh perhatian dan dari pandang mata mereka itu dia tahu bahwa para tokoh kang-ouw itu tidak dapat menyetujui perbuatannya yang menyerang dan mencambuki orang yang tidak mau melawan.

Sin Liong memeluk dada dengan kedua lengannya. Wajahnya tenang dan sepasang matanya mencorong. Dia menggelengkan kepalanya. “Tidak, Houw-ko, aku tidak takut kepadamu, akan tetapi aku tidak mau melawan karena memang aku tidak ingin bertanding dengan kakak angkatku. Aku hanya ingin menuntut agar engkau suka membebaskan Lan-moi dan Lin-moi, lain tidak.”

“Jadi engkau tidak mau menandingi ilmu silatku?”

“Tidak, Houw-ko.”

“Jadi dengan demikian engkau tidak mengakui bahwa aku adalah Pendekar Lembah Naga, dan jagoan nomor satu di kota raja?”

“Hemm, engkau boleh saja memakai julukan Pendekar Lembah Naga dan jago­an nomor satu di kota raja atau di dunia. Aku tidak perduli, Houw-ko. Aku hanya minta agar engkau suka membebaskan Lan-moi dan Lin-moi, lain tidak.”

Pangeran itu tersenyum. Girang juga hatinya karena pengakuan ini sudah cukup dan telah didengar oleh semua orang kang-ouw. Betapapun juga, dia harus dapat memperlihatkan kekuasaannya terhadap pemuda yang dia tahu amat lihai ini. “Kau ingin Lan Lan dan Lin Lin bebas? Baik, akan kubebaskan mereka, akan tetapi engkau harus berlutut dan memberi hormat tiga kali kepadaku!”

Sin Liong terkejut. Ini penghinaan namanya! Apalagi hal itu harus dilakukan di depan banyak orang kang-ouw, sungguh merupakan hinaan yang cukup berat. Hampir dia marah dan memang inilah yang dikehendaki oleh Han Houw.

Akan tetapi Sin Liong teringat akan hal ini dan dia tahu bahwa pangeran itu memang memancing-mancing kemarahannya dan dia harus ingat pula akan keselamatan Lan Lan dan Lin Lin yang telah dijanjikan kebebasan mereka oleh pangeran ini. Maka tanpa ragu-ragu lagi diapun lalu menjatuhkan diri berlutut di depan pangeran itu, lalu memberi hormat tiga kali! Melihat ini, diam-diam Han Houw makin kagum dan juga khawatir. Pemuda ini benar-benar memiliki kekerasan hati yang luar biasa, dan ketenangan yang amat kuat sehingga mampu menahan segala penghinaan dan tidak mudah terpancing. Menghadapi lawan seperti ini benar-benar amat berbahaya! Maka dia lalu sengaja tertawa bergelak, memegangi cambuknya dan berdiri dengan angkuhnya.

“Ha-ha-ha, cu-wi sekailan telah melihat dan mendengarnya. Bocah ini telah mengakui saya sebagai jagoan nomor satu di kota raja! Dan karena kami tahu betul bahwa kepandaiannya amat tinggi, maka pengakuannya itu mengokohkan kedudukanku sebagai Pendekar Lembah Naga dan jagoan nomor satu di kota raja yang kelak akan menjadi jagoan nomor satu di dunia setelah kami mempunyai kesempatan untuk mencoba dan merobohkan pendekar-pendekar besar seperti Yap Kun Liong, Cia Bun Houw dan lain-lain.”

Tiba-tiba terdengar suara beberapa orang tertawa. Seorang gendut pendek dengan kepala bulat tanpa leher karena kepalanya seperti menempel di atas pundak tanpa leher, yang berdiri dengan kedua tangan di belakang tubuh, terkekeh lalu berkata. “Heh-heh-heh, pemuda ini paduka katakan amat lihai? Kalau me­nurut pendapat kami, dia ini tidak lain hanya seorang bocah yang penakut dan pengecut, mana bisa dimasukkan dalam kelompok orang-orang besar di dunia kang-ouw? Kalau paduka memang sudah kami ketahui kelihaiannya, akan tetapi bocah ini...?”

“Ha-ha-ha, seperti jembel!”

“Lihat wajahnya sudah pucat begitu, mana ada tenaga dia?”

Tujuh orang jagoan yang berada di belakang Sin Liong itu tertawa-tawa dan mengejek, sedangkan tokoh-tokoh lain hanya ikut tertawa saja. Mereka men­tertawakan Sin Liong, akan tetapi hal ini juga merupakan protes halus bahwa pangeran itu mengangkat diri sendiri se­telah menundukkan seorang bocah seperti itu yang mereka anggap pengecut dan tidak punya harga diri sebagai sebrang gagah di dunia kang-ouw.

Sejak tadi Sin Liong sudah menahan diri. Api kemarahan terhadap semua penghinaan Han Houw telah berkobar di dadanya dan hanya karena ingin me­nyelamatkan dua orang adiknya itu saja, maka dia selalu bertahan diri dan me­nerima semua itu dengan tenang. Akan tetapi kini terdengar kata-kata menghina dan suara ketawa menghina dari orang-orang di belakangnya, tentu saja dia tidak mau menerima penghinaan ini dari orang-orang lain. Dengan tenang namun sepasang matanya makin tajam mencorong dia lalu membalikkan tubuhnya dalam keadaan masih berlutut. Dipandangnya tujuh orang yang masih tertawa-tawa sambil menuding-nuding kepadanya itu dan tiba-tiba Sin Liong lalu mengeluar­kan bentakan nyaring, tubuhnya bergerak ke depan dengan kedua tangan digerak-gerakkan. Tujuh orang itu terkejut dan mereka sebagai tokoh-tokoh kang-ouw yang kenamaan dan memiliki kepandaian tinggi tentu saja tahu bahwa mereka diserang dengan pukulan yang mengandung sin-kang kuat maka mereka cepat ber­gerak untuk menangkis atau mengelak. Akan tetapi sungguh aneh sekali, tetap saja hawa pukulan yang amat kuat itu menembus semua tangkisan dan terus mengejar biarpun ada yang telah mengelak dan akibatnya, berturut-turut tujuh orang itu terjengkang dan terpental, terbanting keras dan tak bergerak lagi karena me­reka semua telah roboh pingsan!

Seketika keadaan menjadi lengang, semua mata terbelalak memandang ke­pada tujuh orang itu dengan terkejut, kemudian memandang Sin Liong dengan muka pucat, penuh kagum, heran dan jerih.

Sin Liong bangkit perlahan-lahan menghadapi mereka semua. Perlahan-lahan kepalanya bergerak memandangi mereka semua dengan sepasang mata seperti mata naga sehingga mereka yang bernyali kecil bergidik melihat sinar mata ini dan otomatis kaki mereka me­langkah mundur. Kemudian terdengar suara pemuda itu, tenang namun terdengar oleh semua telinga, suara yang keluar satu-satu.

“Aku tidak mau melawan pangeran adalah urusanku sendiri! Akan tetapi kalau di antara kalian ada yang mau mengujiku silakan maju!”

Suasana menjadi sunyi setelah Sin Liong mengeluarkan kata-kata ini, semua orang kelihatan jerih. Melihat ini Han Houw mengerutkan alisnya. Sekumpulan manusia apakah yang diundang oleh para utusannya ini? Tokoh-tokoh kang-ouw kota raja dan sekitarnya ataukah hanya se­kumpulan gentong kosong tempat nasi belaka?

“Sin Liong telah mengajukan tantangan kepada cu-wi sekalian. Apakah benar-benar di antara cu-wi tidak ada yang berani menandinginya? Cu-wi yang terkenal sebagai tokoh-tokoh kang-ouw tidak berani menghadapi pemuda remaja ini? Betapa menggelikan dan memalukan!” Han Houw benar-benar merasa penasaran sekali. Karena, biarpun Sin Liong tidak mau melayaninya, namun dia ingin melihat gerakan-gerakan Sin Liong kalau menghadapi lawan tangguh sehingga dia sendiri dapat menilainya.

“Maaf, pangeran. Sesungguhnya bukan kami takut, akan tetapi kami merasa sungkan dan segan karena bukankah sicu yang muda ini adalah adik angkat paduka sendiri?” tanya seorang di antara mereka, yang bermuka hitam dan bertubuh tinggi besar dan berpakaian sebagai seorang ahli silat, pakaian yang ringkas, dan se­patunya memakai lapis baja.

“Hemmmm, apakah kalau begitu kali­an juga mengakui keunggulanku karena aku seorang pangeran? Itu penghinaan namanya!” bentak Han Houw.

“Tidak, pangeran,” kata Si Muka Hi­tam. “Hamba Twa-to Hek-houw (Macan Hitam Bergolok Besar) telah mengenal semua tokoh kang-ouw, dan hamba tahu benar siapa adanya paduka dan sampai di mana kelihaian paduka. Hamba tahu bah­wa paduka adalah masih sute dari Kim Hong Liu-nio penyelamat kaisar, dan bahwa paduka telah memiliki nama besar di utara. Akan tetapi sicu muda ini... betapapun juga dia adalah adik angkat paduka, maka kami...”

“Tidak perlu sungkan! Dunia kang-ouw tidak mengenal kedudukan dan pangkat, melainkan mengenal kekerasan kepalan dan kelihaian kaki tangan. Kalau ada yang berani, hayo maju dan lawanlah dia, aku tidak akan menganggap dia se­bagai adik atau apapun juga. Kalah me­nang dan mati hidup dalam sebuah pibu tidak ada dosanya!”

“Kalau begitu, maafkan, biarlah ham­ba yang mencoba kelihaiannya!” Twa-to Hek-houw berseru dan dia sudah meloncat ke depan, tangan kanannya ber­gerak dan dari punggungnya dia sudah mencabut sebatang golok besar yang berkilauan saking tajamnya. Golok itu besar dan berat, namun dia dapat meng­gerakkannya seperti sebuah benda yang ringan saja.

Sambil tertawa lebar, Si Muka Hitam itu berkata, “Orang muda, marilah kita main-main sebentar dan kau boleh keluar­kan senjatamu!” Macan Hitam ini me­mang licik. Dia tadi sudah melihat be­tapa dengan tangan kosong Sin Liong mengalahkan tujuh orang dengan satu kali gebrakan saja. Maka dia dapat men­duga bahwa pemuda itu adalah seorang ahli silat tangan kosong yang amat lihai, dan memiliki tenaga sin-kang yang kuat. Maka dia tidak mau sembrono, meng­hadapinya dengan tangan kosong, melain­kan mengandalkan goloknya yang telah mengangkat namanya itu.

Sin Liong merasa sebal sekali. Semua rasa mendongkol dan marahnya terhadap Han Houw kini ditujukan semua kepada orang-orang yang memandang rendah dan meremehkan serta menghinanya. Dia melangkah maju dan berkata, “Untuk melawanmu tak perlu aku bersenjata. Majulah!” tantangnya.

Memang Si Muka Hitam itu sudah me­rasa jerih, maka kini giranglah hatinya mendengar jawaban Sin Liong yang tentu juga didengar oleh semua orang. Dia tidak akan tercela kalau menyerang pe­muda ini dengan goloknya karena bukan­kah pemuda itu sendiri yang menantang­nya? Maka sambil mengeluarkan seruan nyaring dia sudah menyerang dengan senjata tajam itu. Terdengar suara meng­aung ketika golok itu menyambar. Sin Liong kelihatan tidak bergerak, hanya sedikit miringkan badan dan menggeser kaki, dan ketika golok itu menyambar lewat dekat sekali dengan telinganya, tangannya menyambar seperti kilat dari samping, dengan tangan terbuka dan miring dia menghantam ke arah punggung golok.

“Krekkk!” Golok itu patah menjadi dua, dan orang itu kena ditampar dan orangnya roboh terpelanting dengan tulang pundak patah! Si Macam Hitam itu mengaduh-aduh dan cepat ditarik mundur oleh teman-temannya! Melihat betapa Twa-to Hek-houw yang sebenarnya bukan tokoh sembarangan melainkan seorang jago silat yang amat disegani di kota raja itu roboh dalam segebrakan saja menghadapi pemuda itu, barulah semua tokoh yang berada di situ terkejut dan tahu benar sekarang bahwa pemuda yang menjadi adik angkat pangeran itu benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan hebat.

“Hayo, siapa lagi yang hendak maju? Siapa yang tidak mau maju boleh pergi karena kami bukantah tontonan!” Sin Liong berkata, suaranya keren dan sepasang matanya menyapu dengan sinar mata yang mencorong.

Di antara para tokoh kang-ouw itu tentu saja banyak terdapat orang pandai, akan tetapi mereka ini adalah orang-orang yang segan untuk mencampuri urusan pangeran dan adik angkatnya itu. Tanpa ada alasannya, tentu saja bagi orang-orang kang-ouw itu tidak ingin melibatkan diri dengan urusan pangeran karena hal ini amatlah berbahaya, maka mendengar ucapan Sin Liong, mereka yang benar-benar tokoh kang-ouw dan bukan penjilat-penjilat pangeran, segera meninggalkan tempat itu. Perbuatan ini diturut oleh yang lain sehingga akhirnya tempat itu menjadi sunyi, hanya Pange­ran Ceng Han Houw dan Sin Liong saja masih berada di situ.

“Nah, sekarang kuharap engkau suka memenuhi janjimu, Houw-ko. Di mana adanya Lan-moi dan Lin-moi? Aku minta agar mereka segera kaubebaskan.”

Diam-diam Han Houw merasa mendongkol dan kurang puas. Biarpun di depan banyak orang kang-ouw dia sudah memperlihatkan kekuasaannya dan adik angkatnya ini sama sekali tidak membalas penghinaannya, namun ternyata Sin Liong dapat memperlihatkan sikap gagah yang tentu menimbulkan kesan dalam hati para orang kang-ouw itu.

Akan tetapi dia tersenyum dan mengangguk, lalu menuding dengan cambuknya ke arah utara, “Sebentar lagi mereka datang.”

Benar saja, terdengar suara kaki kuda dan roda kereta, dan tak lama lagi mun­cullah sebuah kereta indah yang ditarik oleh dua ekor kuda. Kereta yang dikendarai oleh perajurit pengawal itu berhenti di situ, dan seorang pengawal lain yang tadi berdiri di belakang kereta cepat melompat turun dan membukakan pintu kereta. Dua orang gadis turun dari kereta itu dan girang bukan main rasa hati Sin Liong mengenal dua orang dara kembar itu dengan pakaian indah turun dari kereta. Mereka itu bukan lain ada­lah Lan Lan dan Lin Lin!

Dua orang dara ini turun dari kereta dengan wajah berseri dan begitu melihat Han Houw berada di situ, mereka lalu cepat berlutut di depan pangeran itu! Tentu saja melihat hal ini, Sin Liong mengerutkan alisnya!

“Kami menghaturkan terima kasih bahwa paduka telah memegang janji,” kata Kui Lan.

“Terima kasih bahwa kami benar-benar telah ditemukan dengan Liong-koko,” sambung pula Kui Lin.

Pangeran Ceng Han Houw hanya mengangguk-angguk saja sambil tersenyum. Akan tetapi Sin Liong yang me­ngenal senyum itu, senyum yang mem­punyai daya pikat dan daya tarik yang banyak menjatuhkan hati wanita, dan dia tahu pula orang macam apa adanya kakak angkatnya yang tampan ini, pemikat dan pemuda mata keranjang yang tentu akan merusak hati wanita-wanita yang jatuh hati kepadanya, sudah melangkah maju dan memegang tangan dua orang adiknya. “Lan-moi dan Lin-moi, hayo kita pergi sekarang dari sini!” Dan dia lalu menarik mereka bangkit.

“Akan tetapi, Liong-ko... pangeran telah memberi kereta itu kepada kami...” Kui Lan membantah karena merasa tidak enak kalau harus meninggalkan kereta pemberian itu begitu saja!

“Sudahlah, mari kita pergi... ayahmu menanti-nanti kalian,” kata pula Sin Liong dan dia menarik dua orang adik tirinya itu cepat-cepat pergi meninggalkan tempat itu tanpa pamit lagi kepada Han Houw yang hanya memandang sambil tersenyum lebar. Setelah tiga orang itu lenyap di balik pohon-pohon, sang pangeran lalu masuk ke dalam kereta dan memerintahkan orang-orangnya untuk membawanya kembali ke istana. Seorang pengawal menunggangi kuda pangeran itu dan mengawal di belakang kereta yang dijalankan dengan cepat menuju ke utara.

Sementara itu, sambil berjalan menuju ke dusun tempat tinggal keluarga Kui, Sin Liong bertanya apa yang telah terjadi dengan kedua orang dara kembar itu. Mereka itu secara bergilir lalu bercerita tentang pengalaman mereka. Betapa mereka berdua melarikan diri ketika ayahnya menerima pinangan pangeran dan hendak dijadikan selir pangeran itu.

“Kami melarikan diri ke selatan, tadi­nya hendak mencarimu, Liong-koko, akan tetapi tidak berhasil. Kami terlunta-lunta dan hampir celaka, tapi ditolong oleh Ciang-piauwsu di Su-couw.” Dan selanjutnya Kui Lin menceritakan tentang ke­adaan mereka selama berbulan-bulan tinggal di Su-couw, sampai kemudian muncul Kwan Siong Bu secara tidak di­sangka di Su-couw dan mengajak mereka pulang ke dusun Pek-jun.

“Tidak disangka, Kwan Siong Bu itu seorang manusia yang berhati keji,” Kui Lin berkata dan diam-diam dia merasa menyesal sekali mengingat betapa dahulu dia merasa tertarik kepada kakak misan ini yang disangka mencintainya. “Kiranya dia telah menjadi kaki tangan Pangeran Ceng Han Houw dan dia menyerahkan kita kepada pangeran itu!” Kini Kui Lan yang bercerita tentang pengalaman me­reka schingga mereka terjatuh ke tangan Pangeran Ceng Han Houw dan meng­alami siksaan tidak diberi makan minum dan betapa mereka dibujuk-bujuk oleh sang pangeran untuk suka menjadi selir-selirnya.

Sin Liong mengepal tinjunya. “Hemm, memang sejak dahulu Siong Bu mem­punyai watak yang kurang baik! Akan tetapi pangeran itu... setelah apa yang dia lakukan terhadap kalian, mengapa tadi kulihat kalian bersikap demikian hormat dan bahkan berterima kasih kepadanya?” Ucapan terakhir ini terdengar penuh rasa penasaran. Pangeran itu telah bersikap buruk, tidak saja terhadap dirinya, bahkan telah menyiksa dua orang adiknya ini, menawan mereka, membuat mereka kelaparan bahkan digoda secara hebat agar mereka itu menderita dan mau menyerahkan diri akan tetapi dua orang dara ini malah menghormatinya dan berterima kasih!

“Ah, engkau tidak tahu, Liong-ko! Pangeran itu ternyata baik sekali dan semua perlakuan yang dia perbuat di istana terhadap kami itu hanyalah ujian belaka!” Kui Lin berseru.

“Hemm... ujian bagaimana maksudmu?”

“Begini, Liong-ko,” kata Kui Lan. “Baru kemarin pangeran itu membebaskan kami dari belenggu, bahkan membawa obat untuk mengobati luka-luka kecil di kaki dan tangan kami karena belenggu itu, membawakan makanan dan minuman, lalu dia minta maaf kepada kami, menyatakan bahwa semua itu hanya merupakan ujian belaka darinya untuk mengetahui watak dan sifat kami. Katanya, sebagai adik-adikmu, kami berdua haruslah merupakan dua orang wanita yang gagah den tidak menyerah terhadap bujukan dan siksaan, make dia sengaja menguji kami dan kami lulus! Dia menyatakan kekagumannya dan memberi kami pakaian, lalu mengantar kami dengan kereta...”

“Sudahlah, kalian tidak tahu betapa jahat sesungguhnya dia itu! Yang penting, kalian sudah terbebas, maka kita harus cepat pulang, ayah kalian amat membutuhkan kalian berdua...”

“Ayah? Ah, dia hendak menjerumuskan kami!” kata Kui Lan.

“Apa yang terjadi dengan ayah?” tanya Kui Lin.

“Terjadi banyak sekali hal dalam keluarga kalian semenjak kalian ditangkap oleh pangeran. Banyak sekali hal! Pertama-tama, harap kalian tidak kaget, menurut apa yang kudengar dari ayahmu, Siong Bu dan Beng Sin adalah saudara-saudara tiri kalian, seayah berlainan ibu.”

“Ahhh!”

“Ihh...?”

“Dan sekarang Siong Bu telah tewas, terbunuh oleh Beng Sin sendiri.”

Dua orang dara itu melongo, mata mereka terbelalak memandang Sin Liong.

“Dan... dan... ayah kalian sakit berat... aku tak dapat menceritakan, baik kalian lihat sendiri.”

Dua orang dara kembar itu betapapun juga tentu saja menjadi terkejut bukan main mendengar bahwa ayah mereka sakit berat. Memang perbuatan ayah mereka amat menyakitkan hati mereka, akan tetapi betapapun juga rasa kasihan dan sayang dalam hati mereka terhadap ayah kandung masih ada, maka kini mereka segera mempercepat jalan mereka, setengah berlari-lari menuju ke dusun Pek-jun.

Kalau di waktu malamnya rumah kosong itu nampak menyeramkan sekali, kini di waktu siang tempat itu nam­pak amat menyedihkan. Melihat keadaan rumah mereka, begitu tiba di halaman Lan Lan dan Lin Lin tertegun, lalu me­reka berlari-lari memasuki rumah kosong itu. Mereka makin terkejut dan khawatir sekali ketika melihat bahwa keadaan dalam rumah itupun sama saja, kosong tidak ada secuwilpun perabot rumah yang dulu amat mewah dan lengkap!

“Apa yang telah terjadi?” teriak Kui Lan.

“Di mana ayah?” Kui Lin berseru. Tiba-tiba mereka terkejut mendengar suara tangis orang. Cepat mereka berlari ke kamar ayah mereka, mendorong pin­tu dan keduanya berdiri dengan muka pucat sekali, memandang kepada ayah mereka yang berpakaian seperti jembel itu menangis tersedu-sedu di atas lantai kamar yang kosong itu.

“Ayaaahhh...!” Jerit ini keluar berbareng dari dua mulut dara kembar itu dan mereka lalu menubruk ayah mereka. Kui Hok Boan mengangkat muka dan melihat dua orang anaknya, tangisnya makin menghebat. Dia merangkul dua orang anaknya itu sambil menangis. “Ya Tuhan... Lan Lan dan Lin Lin... kalian hidup lagi...? Ahh... ampun... ampunkan ayahmu ini... ampunkan ayahmu ini...!” Dan orang tua itu lalu terkulai lemas dan roboh pingsan, pertama karena memang tubuhnya tidak terawat selama beberapa lama ini, dan keduanya karena batinnya terguncang melihat dua orang puterinya.

Sin Liong lalu membantu Hok Boan dengan pengerahan sin-kang sehingga orang tua itu siuman kembali. Agaknya pertemuan dengan dua orang puterinya membuat dia sadar kembali dan menangislah orang tua ini. Kemudian, Lan Lan dan Lin Lin mencari keterangan kepada pada tetangga dan berceritalah para tetangga bahwa setelah menguburkan jenazah Siong Bu, Kui Hok Boan menjadi berubah ingatannya. Dia membagi-bagikan seluruh barangnya kepada para tetangga dan siapa saja yang mau sampai rumah itu kosong sama sekali. Kini, para tetangga yang baik hati mengembalikan barang-barang yang pernah diterimanya dari Kui Hok Boan.

Akan tetapi, atas usul Sin Liong, dua orang dara itu hanya menerima kembali barang-barang berharga dan uang, den meninggalkan atau memberikan semua perabot-perabot rumah kepada para te­tangga, kemudian pemuda itu mengajak mereka berunding.

“Sebaiknya, kalian jangan tetap ting­gal di tempat ini,” katanya. “Karena aku masib belum yakin benar bahwa Ceng Hen Houw akan memegang janji dan tidak akan mengganggu kalian. Sebaiknya kalian membawa ayah kalian pergi mengungsi dari tempat ini.”

“Ke mana kami harus pergi...?” Kui Lan bertanya khawatir.

“Menurut penuturan kalian tadi, Ciang-piauwsu di Su-couw itu adalah orang yang baik sekali,” kata Sin Liong. “Bagaimana kalau kalian membawa ayah ke sana? Dengan uang dan benda-benda berharga yang kalian bawa, ayah kalian memiliki modal yang cukup besar untuk memulai dengan kehidupan baru di sana.”

Setelah dibujuk oleh Sin Liong, akhirnya dua orang adik kembar itu setuju den mereka lalu membawa ayah mereka yang kini keadaannya seperti seorang manusia tanpa semangat itu untuk me­larikan diri ke selatan. Sin Liong merasa tidak tega kepada dua orang adik tirinya itu, maka diapun lalu mengawal sampai mereka tiba di Su-couw. Dan, tepat se­perti dugaan Sin Liong, Ciang-piauwsu menerima due orang dara kembar itu dengan riang gembira. Dia dan isterinya memang sudah menganggap Lan Lan dan Lin Lin sebagai anak mereka sendiri, maka tentu saja mereka menerima dua orang dara kembar itu dengan gembira dan keluarga Ciang-piauwsu ini bahkan menerima Kui Hok Boan sebagai saudara angkat. Setelah melihat betapa dua orang adik tirinya memperoleh tempat yang aman, Sin Liong lalu berpamit dan mulai­lah dia pergi mencari Bi Cu.

Ke manakah Sin Liong harus mencari Bi Cu? Apa yang terjadi dengan dara itu semenjak dia berpisah dari Sin Liong? Seperti telah kita ketahui Bi Cu tadinya tertawan oleh Pangeran Ceng Han Houw dan hanya setelah Sin Liong memberikan janjinya untuk membawa pangeran itu kepada suhengnya sehingga pangeran itu akhirnya diterima menjadi murid Bu Beng Hud-couw, maka Bi Cu dibebaskan oleh sang pangeran. Tentu saja diam-diam pangeran ini meninggalkan pesan kepada orang-orangnya agar mengamat-amati dara itu karena betapapun juga, Bi Cu adalah murid mendiang Hwa-i Kai-pang, dan karenanya dianggap sebagai musuh pemerintah pula.

Semenjak berpisah dari Sin Liong, Bi Cu merasa betapa hidupnya menjadi lain sama sekali. Kalau tadinya sebagai Kim-gan Yan-cu, pemimpin para pengemis muda, biasa hidup lincah dan gembira, kini dia merasa betapa hidupnya sunyi dan tidak ada kegembiraan lagi. Dia tidak berani kembali ke kota raja setelah dia dianggap pemberontak pula. Kini, dia terlunta-lunta, mencoba untuk mencari-cari Sin Liong, berkelana dengan hati duka ke barat dan ke selatan. Semenjak berpisah dari Sin Liong, terasa lagi kesengsaran yang menindih hatinya semenjak dia masih kecil, bahkan kini makin parah kedukaan melukai hatinya.

Semenjak kecil, Bi Cu merindukan kasih sayang orang tuanya. Sejak kecil dia telah kematian ibu kandungnya, ke­mudian oleh ayah kandungnya dia diberikan kepada orang lain! Hal inilah, setelah dia agak besar mulai mengerti, yang mencabik-cabik perasaan hatinya, kedukaan yang pertama kali terasa olehnya. Dia merasa dikesampingkan, bahkan merasa dibuang, merasa diremehkan sekali oleh orang yang menjadi ayah kandungnya sendiri, satu-satunya orang tuanya, setelah ibu kandungnya meninggal!

Ayah kandungnya, satu-satunya orang di dunia ini yang menjadi darah dagingnya, telah menyingkirkan ia karena hendak menikah dengan wanita lain setelah ibunya meninggal! Hatinya terasa perih, bukan karena ayahnya menikah dengan wanita lain, melainkan karena dia merasa telah dibuang oleh ayahnya! Kadang-kadang, dia merasa penasaran, dia me­rasa kesepian dan marah, sehingga ada kalanya, timbul perasaan benci kepada ayah kandungnya. Dalam keadaan seperti itu, kadang-kadang dia merasa betapa dunia ini merupakan tempat yang gelap pekat, sempit dan tidak menyenangkan. Apalagi setelah kehidupannya mulai ter­hibur karena kebaikan Na-piauwsu, kemu­dian piauwsu ini tewas oleh musuh-musuh­nya di depan matanya. Dia merasa se­olah-olah dunia kiamat. Satu-satunya pengganti orang tuanya, Na-piauwsu yang demikian baik kepadanya, telah tewas dalam keadaan menyedihkan, dan putera piauwsu itu, Na Tiong Pek, agaknya hen­dak memaksa hasrat hatinya, hendak memperisterinya di luar kehendak hati­nya.

Dalam keadaan seperti itu, dia terlunta-lunta dan akhirnya dia memperoleh penerangan jiwa lagi ketika dia menjadi murid Hwa-i Sin-kai, ketua Hwa-i Kai-pang yang juga amat baik kepadanya dan kemudian dia masih dapat hidup gembira ketika gurunya ini meninggal dunia dan dia memimpin para pengemis muda. Akan tetapi, sedikit sinar terang inipun padam dan dia menjadi buronan pemerintah! Namun, hidupnya mengalami perubahan besar, kegembiraan mulai memenuhi batinnya ketika dia bertemu dengan Sin Liong, dan ternyata kebahagiaan bersama Sin Liong inipun direnggut orang dari tangannya! Dia kini terpisah dari pemuda itu, dan dia hidup terlunta-lunta, seorang diri saja di dunia ini, kesepian, dan kekeringan! Mau rasanya dia mati saja daripada hidup dalam penderitaan batin tiada hentinya itu. Dia haus akan cinta kasih, dan sikap Sin Liong membayangkan cinta kasih yang dapat memenuhi hatinya, sebagai pengganti cinta kasih ayah bundanya. Namun, kini dia tidak tahu apakah Sin Liong masih hidup dan dapat menyelamatkan diri dari tangan pangeran yang amat dibencinya itu.

Bi Cu menjatuhkan dirinya duduk di bawah pohon besar dan tak tertahankan lagi dia menangis. Air matanya bercucuran tak dapat ditahannya, dan diapun tidak berusaha menahannya. Dia merasa amat lelah, lelah lahir batin. Kakinya lelah karena sehari penuh dia berjalan kaki, seluruh tubuh lelah karena sehari itu tak pernah ada makanan memasuki perutnya dan diapun tidak ada nafsu makan sama sekali. Batinnya juga lelah, karena digerogoti kesepian dan kerinduan akan kasih sayang. Dia merasa pada saat itu betapa sia-sia hidupnya, betapa ko­song tiada artinya sama sekali. Bi Cu menangis mengguguk. Air matanya ber­cucuran, ujung hidungnya menjadi merah dan dia tersedu-sedu. Iba diri makin meng­gerogoti hatinya, iba diri yang datang dari pikiran membayangkan kesengsaraan yang dideritanya, menciptakan tangan maut yang mencengkeram hatinya dan meremas-remas hatinya sehingga ber­darah!

Bukan hanya Bi Cu yang mendamba­kan cinta kasih, merindukan kasih sayang dilimpahkan kepadanya. Kita semua rindu akan kasih sayang. Kita semua meng­hendaki agar semua orang di dunia ini suka dan cinta kepada kita! Kita haus akan cinta kasih! Dari manakah datang­nya kehausan ini? Mengapa kita dahaga akan cinta kasih orang lain terhadap diri kita.

Kita tidak pernah mau sadar melihat kenyataan bahwa yang terpenting daripada segala keinginan dicinta orang itu adalah pertanyaan : apakah KITA suka atau mencinta kepada SEMUA orang? Sesungguhnya di sinilah letak sumber daripada segalanya. Tanpa adanya cinta kasih dalam batin kita sendiri terhadap semua orang dan segala sesuatu, kita akan selalu haus akan cinta kasih lain orang! Akan tetapi apabila hati ini penuh cinta kasih, maka kita tidak lagi akan kehausan. Karena batin tidak ada cinta kasih inilah maka kita selalu dahaga akan cinta kasih terhadap diri kita, seperti sumur kering merindukan air. Kalau su­mur itu penuh air, dia tidak akan lagi rindu akan air, bahkan airnya yang ber­limpah-limpah itu menghilangkan dahaga SIAPA SAJA!

Sungguh sayang, kita tidak pernah mengamati apakah ada cinta kasih dalam diri kita terhadap sesama manusia atau sesama hidup. Sebaliknya malah, kita selalu mengamati apakah ada cinta kasih dari orang lain untuk kita! Kalau ada maka kita merasa senang dan kalau tidak, kita merasa sebaliknya. Kita baru dapat bicara tentang cinta kasih kalau batin ini sudah kosong dan bersih daripada kebencian, iri hati dan pementingan diri sendiri. Selama semua ini ada di dalam batin, jangan harap akan ada sinar cinta kasih dalam diri kita. Dan kalau semua itu sudah bersih, lalu ada cinta kasih di dalam hati, jelaslah bahwa kita tidak MENGHARAPKAN lagi cinta kasih orang lain terhadap kita, bahkan kita TIDAK MENGHARAPKAN APA-APA LAGI! Hati yang penuh cinta kasih tidak mengharapkan apa-apa lagi, seperti cawan yang penuh anggur tidak menghendaki apa-apa lagi. Tidak ada lagi rasa takut, tidak ada lagi rasa khawatir tidak akan dicinta orang, tidak ada lagi rasa takut akan dibenci orang. Yang takut tidak dicinta, yang takut dibenci, adalah si aku, yaitu pikiran yang mengaung-ngaungkan si aku, yang memupuk iba diri. Akan tetapi, kalau hati penuh dengan cinta kasih, tidak ada lagi si aku yang ingin ini dan itu.

Bi Cu masih menangis sesenggukan. Tangisnya mulai mereda, hanya tinggal isak-isak pelepas ganjalan hati. Suka maupun duka ada batasnya. Permainan pikiran selalu terbatas. Penghamburan tenaga sakti berupa senang dan susah mendatangkan kelelahan dan biasanya orang akan merasa lelah dan lemah setelah penumpahan rasa duka maupun suka ini. Demikian pula dengan Bi Cu. Setelah air matanya dikuras, seolah-olah hendak mencuci bersih hal-hal yang mengganjal hatinya, dia merasa lelah dan dia rebah di atas rumput, berbantal kedua lengannya, merenung dan melamun menatap langit. Dengan pesona yang aneh matanya mengamati dan mengikuti gerakan awan-awan putih berarak di langit biru, seperti sekumpulan domba-domba yang bulunya tebal dan lunak. Ketika ada segumpal awan memanjang dan khayalnya membentuk gumpalan awan itu sebagai seorang anak laki-laki penggembala domba-domba itu, teringatlah dia kembali kepada Sin Liong dan dia mengeluh lirih. Dia tidak tahu betapa dalam waktu beberapa menit tadi dia mengamati awan berarak, pikirannya kosong sama sekali, maka semua duka lenyap tanpa bekas dan pada saat itulah dia berada dalam keadaan kosong dan bersih! Namun, begitu pikirannya teringat kembali, bekerja kembali, diapun dilontarkan kembali ke dunia penuh pertentangan antara suka dan duka ini.

Bentuk itu mengingatkan dia kepada Sin Liong dan dia termenung. Semenjak dia bertemu kembali dengan Sin Liong, dia merasakan sesuatu yang hanya dapat dirasakan olehnya sendiri saja. Dia tidak tahu apakah adanya perasaan itu. Cinta kasihkah? Atau apa? Yang jelas, dia selalu terbayang-bayang kepada Sin Liong, wajahnya, gerak-geriknya, bahkan pakaiannya, dan suaranya seperti selalu bergema di dalam telinganya. Dan semua ini menimbulkan kerinduan yang amat sangat, kerinduan terhadap Sin Liong. Dia tahu bahwa Sin Liong telah mengorbankan diri untuknya, dia tahu bahwa pemuda itu telah menolongnya bebas dari tangan pangeran yang dibencinya itu. Akan tetapi dia tidak tahu apakah adanya urusan antara Sin Liong dan pangeran itu. Teringat akan pengorbanan pemuda itu, dia menjadi semakin rindu kepadanya. Terbayang betapa gembiranya ketika dia melakukan perjalanan di samping Sin Liong, bahkan teringat betapa mesranya ketika mereka bersama-sama menghadapi maut, ketika mereka hanyut dalam arus air dan menghadapi maut di ujung anak-anak panah yang dilepas oleh para perajurit.

Bayangan Sin Liong ini mendatangkan keharuan, kerinduan, akan tetapi juga membangkitkan semangatnya kembali. Aku harus mencarinya, aku harus menemukannya, demikian pikiran yang mendatangkan semangat itu. Aku tidak boleh mati sebelum bertemu kembali dengan Sin Liong! Dara itupun bangkit berdiri dan memandang ke depan. Di atas lereng bukit berdiri di depan nampak genteng-genteng rumah dusun. Dia harus mencapai dusun itu sebelum gelap menyelubungi bumi. Perutnya lapar dan di mana ada genteng rumah, tentu ada manusia dan di mana ada orang tentu ada makanan. Diapun lalu berlari ke depan, menuju ke dusun di lereng bukit itu.

Sampai berbulan lamanya Bi Cu berkelana ke barat, berputar-putar kemudian ke selatan. Di setiap tempat yang dilaluinya, dia selalu mencari keterangan tentang Sin Liong, akan tetapi agaknya orang di dunia ini tidak ada yang mengenal nama Sin Liong dan dia tidak pernah menemukan jejaknya.

Bi Cu sama sekali tidak tahu betapa ketika dia memasuki dusun itu dan langsung menuju ke sebuah kedai makanan, ada beberapa pasang mata memandangnya dengan penuh perhatian. Beberapa pasang mata ini makin lama makin bertambah banyak dan belasan orang itu mengintainya dari jauh. Bahkan mereka selalu membayanginya ketika dia sehabis makan mondok di rumah sekeluarga petani yang ramah. Malam itu Bi Cu tidur dengan nyenyaknya setelah perutnya diisi. Dia merasa tenaganya pulih kembali dan dia mengambil keputusan untuk besok pagi-pagi mulai lagi dengan pencariannya. Dia akan mencari Sin Liong sampai jumpa, biar ke ujung dunia sekalipun!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Bi Cu sudah sarapan di warung makanan dan karena dia hendak pergi melintasi bukit-bukit di depan, maka dia memesan roti kering untuk bekal di jalan, kalau-kalau dia tidak akan bertemu dengan dusun hari itu. Kemudian Bi Cu berangkat meninggalkan dusun itu, sama sekali tidak tahu betapa tak lama setelah dia pergi, ada lima belas orang perajurit menunggang kuda membalapkan kuda keluar dari dusun itu dan melakukan pengejaran kepadanya.

Bi Cu masih belum sadar akan datangnya bahaya ketika dia mendengar derap kaki kuda di sebelah belakangnya. Dia hanya menduga ada serombongan orang berkuda hendak lewat, maka dia cepat minggir di tepi jalan dan menundukkan mukanya agar jangan terlihat oleh rombongan itu. Dia sudah sering kali mengalami hal-hal tidak enak kalau memperlihatkan muka dan bertemu de­ngan kaum pria di tempat sunyi. Hanya karena mengandalkan kepandaian silatnya maka selama ini dia dapat menghindar­kan segala bencana yang mungkin datang dari pria-pria hidung belang atau mata keranjang.

Akan tetapi ketika rombongan ber­kuda itu lewat, dia terkejut melihat bahwa mereka itu berpakaian seragam, dan baru dia tahu akan bahaya ketika mereka berturut-turut berloncatan turun dari atas kuda dan sudah mengepungnya dengan wajah bengis! Tahulah dia bahwa para perajurit ini telah mengenalnya dan tentu hendak menangkapnya!

Seorang di antara mereka ber­pakaian komandan, sambil tersenyum lebar melangkah maju. Pria ini usianya tiga puluh tahun lebih, kumisnya tebal dan matanya lebar. Sambil tersenyum mengejek komandan itu berkata. “Kim-gan Yan-cu, susah payah kami mencari-carimu, kiranya engkau berada di sini. Ha-ha, engkau hendak lari ke mana sekarang?”

Disebut nama julukannya, timbul semangat dalam diri Bi Cu. Ketika dia masih menjadi pemimpin para pengemis, hidupnya penuh petualangan dan dia tidak pernah takut terhadap apapun juga. Ber­kelahi merupakan “pekerjaan” sehari-hari, maka kini begitu dia disebut Kim-gan Yan-cu, semangatnya terbangun dan biar­pun dia dikepung oleh lima belas orang perajurit, dia bersikap tenang saja dan memanggul buntalan terisi pakaian dan bekal roti kering.

“Hemm, kalian ini perajurit-perajurit kerajaan, apakah tidak malu mengganggu seorang wanita di tengah jalan sunyi dalam hutan? Kalian mau apakah?”

“Ha-ha-ha, tak perlu kau berpura-pura lagi, Kim-gan Yan-cu. Engkau adalah seorang pemberontak, dan kami adalah perajurit-perajurit kerajaan maka kalau kami bertemu dengan seorang pemberontak, lalu mau apa? Tentu saja hendak menangkap dan meringkusmu untuk kami bawa ke kota raja dan dijebloskan ke dalam penjara!” kata komandan itu.

“Biarkan aku menangkapnya!”

“Aku saja!”

“Aku saja!”

Di antara empat belas orang perajurit itu beramai-ramai hendak berebut. Mereka tentu saja tidak berani bertindak lebih sebelum memperoleh ijin komandan mereka, pula mereka tahu bahwa dara ini pernah berurusan langsung dengan Pangeran Ceng Han Houw, maka tentu saja mereka tidak berani mencoba untuk melakukan hal yang berlebihan. Namun, kalau diperbolehkan menangkap, setidaknya mereka memperoleh kesempatan untuk sekedar merangkul, meraba dan mencolek tubuh dara remaja yang sedang mekarnya ini!

Melihat kegairahan anak buahnya, komandan itu tersenyum. “Kalian semua boleh maju dan coba tangkap dia, akan tetapi jangan sampai dia terluka. Ingat, dia itu seorang buronan yang penting dan beliau telah memesan khusus kepadaku agar berusaha menangkapnya tanpa mengganggunya!”

Empat belas orang perajurit itu ber­sorak dan tiba-tiba mereka itu saling bergerak berlumba untuk lebih dulu me­raba tubuh Bi Cu yang memang mulai dewasa seperti buah meranum atau bu­nga, sedang terbuka kuncupnya. Seorang perajurit tinggi kurus menubruk dari depan. Akan tetapi Bi Cu sudah meng­gerakkan kakinya.

“Dukkk! Waaahhh!” Orang itu ter­jengkang karena perutnya kena ditendang ujung sepatu Bi Cu. Orang ke dua dari kiri juga disambar tendangan, tepat me­ngenai lututnya sehingga orang itu jatuh berlutut.

“Wah, A-piauw, begitu hebatkah engkau tergila-gila kepadanya sampai berlutut?” komandan itu mengejek anak buahnya ini.

Maka terjadilah perkelahian yang ribut dan Bi Cu mengamuk dengan pu­kulan-pukulan, tamparan dan tendangan-tendangan. Akan tetapi para pengeroyok­nya terdiri dari orang-orang yang ber­tubuh kuat dan karena jumlahnya banyak, dia kewalahan juga. Tiba-tiba, selagi dia menghadapi lawan yang mendesak dari depan, seorang perajurit berhasil me­nubruk dan menyikapnya dari belakang dan kedua tangan dengan jari-jari yang panjang itu mencengkeram ke arah dada­nya! Bi Cu menjerit lirih.

“Heh-heh, lihat, aku berhasil menangkapnya!” seru perajurit itu sambil ter­tawa-tawa.

“Ngekk!” Tiba-tiba dia meringis dan kedua tangannya yang nakal itu terlepas dari pegangannya karena hidungnya pecah dan berdarah ketika dibantam oleh siku kanan Bi Cu.

“Desss... auuuughh...!” Kini dia terhuyung lalu roboh terjengkang, kedua tangan memegangi bawah pusarnya karena tadi dengan kemarahan meluap-luap Bi Cu telah menyepakkan kakinya ke belakang, seperti seekor kuda betina yang diganggu dari belakang. Tumit sepatu dengan tepat mengenai anggauta tubuh bawah pusar sehingga laki-laki itu kini mengaduh-aduh seperti seekor babi disembelih. Hanya mereka yang pernah merasakannya sajalah yang mampu meng­gambarkan betapa nyeri, kiut-miut rasa­nya kalau bagian itu kena tendang!

Bi Cu sudah marah sekali. Kini dia bukan sekedar membela diri, melainkan balas menyerang untuk membunuh! Dia seperti seekor harimau betina yang sudah tersudut dan menjadi buas dan liar! Ke­dua tangannya menampar dengan pe­mgerahan seluruh tenaga, dan ketika ada seorang perajurit menjerit kesakitan dan sebuah biji matanya copot kena ditusuk jari tangan Bi Cu, kaget dan marahlah komandan pasukan kecil itu.

“Robohkan dia!” bentaknya dan kini para perajurit yang juga marah melihat betapa seorang teman mereka cedera demikian parah, lalu mendesak maju dan mulai menyerang dengan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan, tidak seperti tadi yang hanya sekedar ingin menangkap dan meraba saja! Dan mulailah Bi Cu ke­walahan! Beberapa pukulan dan tendangan telah mengenai tubuhnya, membuat dia terhuyung-huyung. Namun dia sama sekali tidak mau menyerah, bahkan mengamuk seperti seekor harimau memukul, men­cakar, kalau perlu menggigit!

“Hantam perempuan liar ini! Baru kita ringkus!” bentak lagi komandan yang juga pernah kebagian tendangan kaki Bi Cu yang mengenai betisnya dan me­nimbulkan kenyerian yang cukup mem­buat dia semakin marah.

Para perajurit itu, seperti sekumpulan serigala mengeroyok seekor harimau beti­na, kini menubruk dari empat jurusan, menampar, menjambak dan akhirnya ro­bohlah Bi Cu karena kakinya kena di­tangkap dan ditarik. Begitu dia roboh, para perajurit itu bersorak dan mereka berlumba untuk menubruk dan meringkus Bi Cu.

“Siancai...! Aniing-anjing pemerintah lalim menghina rakyat lagi!” Suara ini tiba-tiba saja terdengar, disusul teriakan dua orang perajurit yang terpelanting ke kanan kiri dengan kepala pecah karena ada tongkat butut yang menyambar dan menghantam kepala dua orang itu secara cepat sekali. Tongkat itu berada di tangan seorang kakek tua yang usianya tentu sudah tujuh puluh tahun lebih, berpakaian jubah pendeta berwarna putih kumal dan rambutnya yang sudah putih digelung ke atas, seperti seorang tosu yang baru saja keluar dari tempat pertapaannya.

Melihat robohnya dua orang teman mereka yang tewas dengan kepala pecah itu, semua perajurit terkejut bukan ma­in dan mereka segera mengurung per­tapa itu, meninggalkan Bi Cu yang masih rebah. Bi Cu bangkit duduk, mengelus-elus kaki kirinya yang terasa nyeri sekali terkena tendangan keras dari si komandan, dan dengan heran dia me­mandang kepada kakek yang tak dikenal­nya itu.

“Pertapa jahat!” komandan itu mem­bentak dan menundingkan telunjuknya ke arah muka kakek itu. “Berani engkau membunuh dua orang perajurit kerajaan?”

“Huh, siapa yang tidak berani? Kalau bisa aku akan membunuh seluruh peraju­rit kerajaan yang lalim dan menindas rakyat!” jawab pendeta itu.

“Kakek pemberontak!” Komandan itu berteriak lalu dia memberi aba-aba. “Tangkap atau bunuh dia!” Komandan itu sendiri kini mencabut pedangnya, dan semua anak buahnya juga mencabut golok masing-masing. Ketika mereka mengeroyok Bi Cu tadi, tidak seorangpun di antara mereka yang mempergunakan sen­jata, karena mereka hendak menangkap Bi Cu hidup-hidup, pula mereka agak memandang ringan kepada dara muda remaja itu. Akan tetapi sekarang, me­lihat betapa kakek itu telah membunuh dua orang kawan mereka, tentu saja mereka menjadi marah dan sinar kejam dalam mata semua perajurit itu.

“Ha-ha-ha, marilah kuantar nyawa kalian ke neraka!” Kakek itu tertawa dan si komandan sudah menerjang dengan pe­dangnya, diikuti oleh anak buahnya. Tiba-tiba terdengar suara angin bercuitan dan tongkat itu lenyap berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang menyambar semua perajurit yang telah menyerang. Ter­dengar teriakan-teriakan mengerikan disusul robohnya para perajurit itu seorang demi seorang! Golok beterbangan dan akhirnya, dalam waktu yang amat sing­kat, seluruh perajurit termasuk koman­dannya telah roboh dan tewas karena semua roboh dengan kepala pecah! Melihat ini, diam-diam Bi Cu terkejut dan juga merasa ngeri sekali. Dia hanya du­duk dan terbelalak memandang kepada kakek yang kini berdiri tegak dengan tongkat butut di tangan kanan, tangan kiri bertolak pinggang dan kakek itu ter­tawa menyeramkan.

Betapapun, karena mengingat bahwa kakek yang kejam dan menyeramkan ini telah menyelamatkanya, Bi Cu lalu bangkit dan terpincang-pincang menghampiri kakek itu sambil berkata, “Terima kasih atas pertolongan locianpwe.”

Kakek itu sudah berhenti tertawa, lalu membersihkan ujung tongkatnya yang berlumuran darah itu pada baju yang menutupi tubuh seorang di antara para korbannya yang terdekat. Kemudian dia menunduk dan memandang kepada dara remaja itu, berkata lirih, “Anak yang baik, kauangkatlah mukamu dan pandang aku.”

Biarpun merasa serem, Bi Cu mengangkat muka memandang. Kakek itu su­dah tua namun mulutnya yang selalu ter­senyum itu membayangkan ketampanan, dan terutama sekali sepasang matanya mencorong menakutkan. Bi Cu terkejut dan ingin mengalihkan pandang matanya, akan tetapi dia tidak sanggup! Sinar matanya seperti melekat atau tertangkap oleh sinar mata kakek itu, membuat dia tidak mampu menggerakkan mata untuk mengalihkan pandangan!

Kakek itu mengangguk-angguk. “Bagus, engkau seorang perawan remaja yang cantik manis, berdarah bersih dan ber­tulang baik. Engkau patut menjadi murid­ku. Siapakah namamu?”

Dengan suara gemetar dan yang keluar seolah-olah di luar kehendaknya, Bi Cu menjawab, “Nama saya adalah Bhe Bi Cu...”

“Bagus! Nah Bi Cu, mulai sekarang engkau kuambil sebagai muridku.”

Di dalam batinnya Bi Cu menolak, akan tetapi anehnya, dia tidak kuasa untuk menolaknya! Dia sudah ditolong, diselamatkan nyawanya, bagaimana mungkin dia menolak kehendak kakek sakti ini yang hendak mengangkatnya sebagai murid? Selain dia tidak mempunyai kekuatan untuk menolak, juga dia tidak akan berani! Dia lebih aneh lagi, seperti digerakkan oleh tenaga yang tidak nampak, dia lalu memberi hormat dan berkata,

“Suhu...!” Bi Cu merasa heran sendiri mengapa dia melakukan hal ini.

“Ha-ha-ha, bagus sekali, Bi Cu. Engkau akan hidup senang menjadi murid Kim Hwa Cinjin! Hayo, kau ikutlah ber­samaku.”

Kakek itu tertawa girang dan Bi Cu bangkit berdiri dengan taat. Dia telah terlanjur mengangkat kakek ini sebagai guru, kakek yang namanya Kim Hwa Cinjin! Tentu saja dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa kakek ini adalah seorang tokoh besar, ketua dari perkumpulan Pek-lian-kauw di selatan! Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang menentang pemerintah, oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau Kim Hwa Cinjin membunuh semua perajurit kera­jaan itu, bukan semata-mata untuk menyelamatkan Bi Cu. Dan Bi Cu juga sama sekali tidak tahu bahwa Kim Hwa Cinjin dahulu di waktu mudanya adalah seorang penjahat cabul yang amat ditakuti semua wanita. Lebih lagi dia tidak pernah mimpi bahwa biarpun pada lahirnya dia diambil murid, namun istilah mengambil murid dari ketua Pek-lian-kauw ini me­ngandung maksud yang lebih buruk lagi, bahkan maksud yang amat keji terhadap diri Bi Cu. Tanpa disadarinya, dara re­maja ini terjatuh ke dalam tangan ketua Pek-lian-kauw yang telah mempergunakan kekuatan sihirnya membuat dara itu tun­duk dan kehilangan kekuatan dan kemau­an untuk menolak ketika diambil sebagai murid.

Seperti telah kita kenal cerita ini bagian depan, juga dalam cerita Dewi Maut, Kim Hwa Cinjin dahulunya adalah seorang jai-hwa-cat. Setelah usianya menjadi amat lanjut, kecabulannya berubah dan kini dia mencari kenikmatan dengan menonton kecabulan berlangsung, bukan melakukannya sendiri. Sudah biasa bagi tokoh ini untuk menghadiahkan wanita-wanita cantik kepada para murid­nya yang dianggap berjasa, dan diam-diam dia mengintai bagaimana para mu­ridnya itu menikmati hadiah yang diberikannya kepada mereka itu. Kini setelah melihat Bi Cu sebagai seorang dara re­maja yang cantik manis dan bertulang baik, dia tertarik sekali. Kalau dara seperti ini meniadi muridnya dan dihadi­ahkan kepada para murid terbaik, kelak kalau sampai dara ini melahirkan keturunan, maka keturunan itu tentu dapat diharapkan menjadi anggauta Pek-lian-kauw yang hebat! Inilah yang terutama mendorongnya untuk menolong Bi Cu dan mengambilnya sebagai murid.

Baik itu dinamakan kecabulan, ke­maksiatan, yang menjurus kepada per­buatan kejahatan, maupun yang dinamakan pengejaran cita-cita, ambisi yang menjurus kepada persaingan dan perebut­an kedudukan sampai kepada perang, sampaipun kepada pengejaran terhadap apa yang dianggap murni dan agung, se­perti daya upaya untuk menjadi orang baik, orang suci, atau tempat yang damai di alam baka, semua itu mempunyai dasar dan sifat yang sama, yaitu pamrih untuk menyenangkan diri sendiri! Me­ngejar dan memperebutkan uang, ke­dudukan, wanita, nama besar, kehormatan dan sebagainya itu dapat mendatangkan kesenangan! Demikian pula, orang me­ngejar kedamaian di alam fana maupun baka karena mengganggap bahwa ke­damaian itu menyenangkan. Boleh saja dipakai kata lain untuk kesenangan, misal­nya kebahagiaan. Karena menganggap bahwa semua yang dikejar itu akan men­datangkan kebahagiaan, maka terjadilah pengejaran-pengejaran itu. Jadi, semua tindakan itu didasari oleh keinginan memperoleh sesuatu! Yaitu pamrih! Kita lupa bahwa segala sesuatu yang didorong oleh pamrih sudah pasti akan mendatangkan konflik dan pertentangan. Pamrih adalah pementingan diri pribadi, dan pementingan diri pribadi inilah yang menimbulkan konflik, baik konflik dalam batin sendiri maupun konflik dengan orang lain. Orang yang mengejar-ngejar uang akan menyamakan diri dengan uang itu dan uang dianggap lebih penting dari­pada apa saja. Sama pula dengan pe­ngejaran terhadap kedudukan, dan sebagainya. Jadi bukan si kedudukan, si uang, si kehormatan, si keluarga, si bangsa, yang penting, melainkan si aku! Maka terjadilah demikian : Yang dibela mati-matian adalah uangku, kedudukanku, kehormatanku, keluargaku, bangsaku, agamaku dan selanjutnya yang berpusat kepada si aku. Uang orang lain, kehor­matan orang lain, bangsa orang lain, agama orang lain, sama sekali tidak masuk hitungan! Tentu saja sikap ini memancing datangnya pertentangan. Ini sudah amat jelas, bukan? Dapatkah kita hidup tanpa pamrih ini, tanpa adanya si aku yang mendorong segala perbuatan kita menjadi tindakan pementingan si aku? Hanya kalau sudah begini, maka uang, kedudukan, kehormatan, keluarga, bangsa, agama dan lain-lain memiliki arti dan nilai yang sama sekali berbeda!

Orang semacam Kim Hwa Cinjin se­menjak kecil telah menjadi budak dari­pada nafsu-nafsunya sendiri, yaitu selalu mengejar kesenangan! Kesenangan itu dapat berbentuk seribu satu macam, ter­cipta dari keadaan lingkungan, tradisi, pendidikan, kebiasaan dan sebagainya. Sam­pai setua itu, Kim Hwa Cinjin masih saja diperhamba oleh akunya yang selalu mendambakan kesenangan. Sifat kesenang­an sama saja, hanya bentuknya berubah menurut perubahan usianya. Dari pengejaran-pengejaran kesenangan inilah timbullah segala macam maksiat, ke­jahatan dan kekacauan di dunia ini!

Bi Cu yang berada di bawah pengaruh sihir itu seperti seekor domba dituntun ke tempat jagal. Dia menurut saja diajak ke sarang Pek-lian-kauw yang pada waktu itu berada di puncak pegunungan di depan. Ada juga naluri sehat yang mem­buat dara ini meragu, dan ketika mereka mendaki sebuah bukit, dara itu berkata, “Suhu...!”

“Eh, ada apakah, Bi Cu yang manis?” Kim Hwa Cinjin berhenti dan menoleh kepada dara itu yang berdiri dengan muka pucat dan pandang mata meragu.

“Teecu... teecu tidak ingin naik ke sana... teecu ingin... pergi mencari Sin Liong...”

“Sin Liong? Siapa itu?”

“Dia... dia seorang sahabatku yang amat baik...”

“Hemm, engkau adalah muridku, Bi Cu, maka engkau harus ikut denganku dan menurut semua perintahku.” “Tapi, suhu...”

“Agaknya engkau belum yakin akan kemampuan gurumu, ya? Nah, kaulihatlah ini!” Kim Hwa Cinjin menghampiri sebongkah batu yang besarnya seperti kerbau bunting. Dengan kakinya dia mengungkit batu itu dan melontarkannya ke atas, kemudian dengan tongkatnya dia menerima batu itu, diputar-putar di atas ujung tongkat. Melihat permainan sulap ini, Bi Cu menjadi bengong dan kagum.

“Hiyaaat!” Kim Hwa Cinjin melontarkan batu dengan ujung tongkat. Batu melambung tinggi dan turun menimpa kepala kakek itu. Bi Cu hampir menjerit, akan tetapi ketika batu itu tiba di atas kepala, Kim Hwa Cinjin menggerakkan tangan kirinya menampar.

“Blaaarrr...!” Batu besar itu pecah berkeping-keping.

“Dan kaulihat pukulan api dari tanganku ini!” katanya pula menghampiri sebatang pohon. Dengan tangan kirinya dia menampar ke arah batang pohon. Terdengar suara keras seperti ledakan dan... pohon itu terbakar dan api menyala tinggi! Tentu saja Bi Cu makin terbelalak kagum. Dia tidak tahu bahwa yang dipertunjukkan itu bukanlah ilmu pukulan yang sesungguhnya, melainkan ilmu sihir! Demikian kagum rasa hati dara itu sehingga dia menjatuhkan diri berlutut dengan hati penuh takluk dan kagum.

“Nah, apakah engkau ingin mempelajari semua kesaktian itu, Bi Cu?”

“Tentu saja, suhu, teecu ingin sekali.”

“Kalau begitu, mulai saat ini engkau harus mentaati segala perintahku.”

“Baik suhu, teecu akan taat.”

Girang bukan main hati Kim Hwa Cinjin dan dia lalu mengajak dara itu melanjutkan perjalanan menulu ke sarang Pek-lian-kauw, sebulan lagi, Pek-lian-kauw akan mengadakan pesta ulang tahun, dan dalam pada itulah dia akan menghadiahkan Bi Cu kepada beberapa orang muridnya yang berjasa. Sambil melangkah, diikuti oleh muridnya yang baru, kakek ini tersenyum-senyum, mengelus jenggotnya dan memilih-milih, siapa di antara muridnya akan dihadiahi dara ini! Bi Cu, tak sadar akan bahaya yang mengancam dirinya, seperti seekor domba dituntun oleh harimau ke dalam sarangnya!

Sin Liong mendaki bukit yang nampak sunyi itu dengan hati-hati. Dia telah menemukan jejak Bi Cu! Di dusun terakhir di kaki pegunungan ini, dia mendengar dari seorang petani bahwa hampir sebulan yang lalu ada seorang dara remaja yang wajahnya mirip dengan yang dia gambarkan datang ke dusun itu, bahkan bermalam di dalam rumah keluarga petani itu. Dari penuturan mereka, dia tidak ragu-ragu lagi bahwa tentu dara itu Bi Cu. Yang meyakinkan dia adalah karena Bi Cu juga bertanya-tanya tentang dia, mencari-cari dia! Hatinya berdebar girang dan penuh harapan ketika dia mendaki bukit itu. Biarpun dia sudah ketinggalan hampir sebulan, akan tetapi kini dia telah menemukan jejaknya dan tentu akan bisa memperoleh keterangan lebih lanjut di sana, atau di balik pegunungan itu.

Akan tetapi, timbul kekhawatiran di dalam hatinya ketika dia mendengar keterangan seorang pemburu yang dijumpainya di dalam hutan di lereng gunung, bahwa daerah pegunungan itu termasuk wilayah yang dikuasai secara diam-diam oleh perkumpulan Pek-lian-kauw yang membuka sarang di puncak pegunungan. Mendengar disebutnya nama Pek-lian-kauw dia merasa khawatir. Bi Cu telah tiba di wilayah ini, daerah kekuasaan Pek-lian-kauw dan dia tahu betapa berbahayanya bagi dara itu me­lewati daerah ini. Maka timbullah kecuri­gaannya dan dia harus lebih dulu menyelidiki sarang Pek-lian-kauw. Kalau di sana tidak terdapat Bi Cu, baru dia akan meninggalkan tempat itu karena dia sen­diri tidak ingin berurusan dengan fihak Pek-lian-kauw. Mudah-mudahan saja Bi Cu tidak bertemu dengan fihak mereka, pikirnya.

Setelah tiba di lereng gunung itu, nampaklah olehnya bangunan-bangunan Pek-lian-kauw yang merupakan perkampungan tersendiri, terletak di dekat puncak. Dan mulai terdengar olehnya suara musik yang membuatnya merasa heran sekali. Pek-lian-kauw adalah perkumpulan agama, mengapa kini terdengar suara musik seolah-olah di sana diadakan pesta, di mana orang bergembira ria? Melihat betapa tempat pendakian itu sunyi saja, Sin Liong lalu mempercepat pendakiannya menuju ke perkampungan di dekat puncak itu.

Setelah melewati daerah yang berbatu-batu lalu dia tiba di padang rumput yang penuh dengan rumput tebal dan subur. Rumput itu sampai setinggi lutut­nya dan Sin Liong berlari terus karena dusun Pek-lian-kauw itu berada di ujung padang rumput itu. Tiba-tiba kakinya tersangkut semacam tali halus yang tidak nampak karena tersembunyi di dalam rumput. Begitu kakinya tersangkut, ter­dengar suara berdesir dan bercuitan dari bawah. Sin Liong terkejut sekali, maklum bahwa ada penyerangan gelap dari bawah maka seketika dia sudah meloncat ke atas lalu berjungkir balik di udara sam­pai tiga kali. Benar saja, dari bawah menyambar empat batang tombak dari depan, belakang, kanan dan kiri. Agaknya empat batang tombak itu digerakkan oleh alat rahasia ketika tali halus tadi tersangkut kakinya! Sin Liong lalu melom­pat turun lagi ke depan kurang lebih empat meter dari tempat di mana kakinya tersangkut tali penggerak alat yang melucurkan tombak-tombak itu.

“Blussss...!” Begitu kedua kakinya menginjak tanah di bawah rumput, tiba-tiba dia berseru keras karena ternyata kedua kakinya menginjak tempat kosong! Kiranya di bawah itu adalah lubang yang ditutupi rumpun, sebuah lubang jebakan yang amat berbahaya! Karena tidak mengira sama sekali, tentu saja Sin Liong tidak dapat mencegah tubuhnya terjeblos. Dia melihat ke bawah dan ternyata lubang sumur itu dipasangi tombak-tombak runcing yang siap menerima tubuhnya yang terjeblos ke bawah!

Kalau orang hanya memiliki kepandai­an gin-kang biasa saja, agaknya tidak akan mungkin dapat lolos dari ancaman maut ini. Tubuh Sin Liong sudah melun­cur turun dan di bawah nampak ujung tombak-tombak runcing seperti deretan gigi mulut raksasa yang siap mencaplok dan menggigitnya. Sin Liong memiliki ketenangan yang luar biasa. Dia tidak mudah putus asa, maka dengan waspada dia memandang ke bawah, mengerahkan gin-kangnya dan ketika dekat dengan ujung-ujung runcing itu, dia malah hinggap di atas ujung tombak mengerahkan sin-kang pada telapak kakinya sehingga ujung tombak yang menembus sepatunya itu tidak melukai kaki dan dia lalu mengenjot tubuhnya, meloncat ke atas, keluar lagi dari sumur itu!

Dia tiba di luar sumur, berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, waspada memandang ke sekeliling, akan tetapi tidak nampak gerakan seorangpun manusia, tanda bahwa dia tadi hanya menjadi korban jebakan-jebakan saja yang diatur sedemikian baiknya dan amat membahayakan orang yang terjeblos ke dalamnya. Dia melangkah terus, kini dengan hati-hati agar tidak sampai terjeblos ke dalam perangkap lagi. Kalau kakinya menginjak sesuatu yang tidak wajar, dia lalu meloncat jauh ke depan, melewati daerah yang dipasangi jebakan itu. Akhirnya dia keluar dari padang rumput itu dengan selamat dan tibalah dia di sebuah taman penuh dengan pohon-pohon besar yang merupakan pekarangan depan yang luas dari perkampungan Pek-lian-kauw. Suara musik makin jelas terdengar dari pusat perkampungan itu. Perkampungan Pek-lian-kauw terkurung dinding tembok putih, dan tidak nampak seorangpun di luar tembok.

“Syet-syet-syetttt...!” Tiba-tiba nampak sinar-sinar berkelebatan dan tahu-tahu ada belasan batang anak panah menyambar dari atas, menancap di atas tanah di depan Sin Liong, merupakan pagar anak panah yang menghadang perjalanannya. Melihat ini, Sin Liong mengerling ke atas dan melihat bayangan orang-orang di atas pohon besar.

“Hemm, beginikah caranya Pek-lian-kauw menyambut kedatangan seorang tamu? Dengan perangkap-perangkap dan anak panah?” tanyanya dengan suara melengking nyaring sehingga suara itu berdengung sampai jauh.

Hening sejenak setelah terdengar suara nyaring dari Sin Liong ini. Kemudian terdengar suitan-suitan tanda rahasia, dan tak lama lagi banyak bayangan orang melayang turun dari atas pohon, dan ternyata orang ini adalah seorang yang berjubah pendeta, berusia kurang lebih lima puluh tahun. Setelah dia melayang turun berturut-turut nampak bayangan orang berloncatan turun dari atas pohon-pohon sekitar tempat itu dan dalam waktu singkat saja ada tujuh orang tosu Pek-lian-kauw yang berdiri menghadapi Sin Liong, memandang pemuda itu penuh perhatian dan kecurigaan.

“Sicu datang dari daerah terlarang, bukan sebagai tamu undangan, maka maafkan kami yang melepas anak panah peringatan tadi. Siapakah sicu dan ada urusan apa sicu datang ke tempat kami?” tanya seorang di antara mereka, pendeta yang pertama melayang turun tadi.

Sin Liong mengangkat tangan menjura kepada mereka, lalu menjawab tenang, “Saya adalah seorang pelancong yang sedang melakukan perjalanan lewat di daerah ini. Mendengar suara musik dari perkampungan Pek-lian-kauw, hati saya tertarik untuk mengunjungi dan berkenalan dengan para pemimpin Pek-lian-kauw, sedikitpun tidak mempunyai niat untuk melakukan hal yang tidak bersahabat,” jawabnya karena memang dia tidak berniat bermusuhan dengan fihak Pek-lian-kauw, tentu saja kalau Pek-lian-kauw tidak melakukan sesuatu terhadap Bi Cu, misalnya. Dan dia tidak mau menyebutkan namanya kepada mereka, kecuali kepada para pimpinan Pek-lian-kauw sendiri.

Tiba-tiba melayang turun seorang pendeta lain yang menghampiri pendeta penanya tadi, dan orang baru ini berbisik. Dialah pendeta yang melapor ke dalam, dan ketua Pek-lian-kauw memberi perintah bahwa kalau orang muda yang datang itu bukan musuh dan bermaksud baik, boleh diterima sebagai tamu, karena pada hari itu Pek-lian-kauw memang sedang merayakan hari ulang tahunnya.

Pendeta pembicara itu lalu tersenyum. “Baiklah, sicu. Ketua kami menyuruh kami menerima sicu sebagai tamu, dan mari kami persilakan sicu untuk masuk ke dalam dan berkenalan dengan para pimpinan kami.”

Perkumpulan Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang menentang pemerintah, oleh karena itu kalau merayakan ulang tahun tidak mengundang umum karena mereka selalu menyembunyikan tempat atau sarangnya, dan hanya mengundang golongan atau kawan-kawan sendiri yang sudah dipercaya penuh saja. Undangan itupun baru akan dilaksanakan beberapa hari sesudah mereka merayakannya sendiri sampai beberapa hari lamanya, dan pada saat itu, hari undangan bagi para kawan mereka belum tiba dan pada hari itu mereka sedang merayakan hari ulang tahun perkumpulan mereka tanpa ada seorangpun tamu dari luar. Akan tetapi pada hari itu, seluruh anggauta, baik yang berada dan bertugas jauh dari tempat itu, hadir sehingga suasana menjadi amat meriah dan penjagaanpun tidaklah begitu ketat seperti biasanya, sehingga Sin Liong sampai dapat memasuki pekarangan itu dan baru setelah tiba di situ dia dihadang oleh para anggauta Pek-lian-kauw. Kini pintu gerbang dibuka dan Sin Liong diantar masuk ke dalam perkampungan yang cukup luas. Semua rumah di perkampungan itu dihias dengan kertas-kertas merah dan suasananya cukup meriah, dan di bangunan induk berkumpul para pimpinan, di mana para anggauta bagian musik sedang memeriah­kan suasana dengan permainan musik dan nyanyian serta tarian.

Munculnya pemuda ini tentu saja menimbulkan sedikit keheranan dan kecurigaan, akan tetapi karena Kim Hwa Cinjin sendiri yang memerintahkan pe­muda itu disambut sebagai tamu, maka kini Sin Liong diiringkan memasuki bangunan induk dan masuk ke dalam ruangan luas di mana terdapat Kim Hwa Cin­jin sendiri bersama para tokoh Pek-lian-kauw, para murid terkasih dan semua orang memandang kepada pemuda yang melangkah masuk dengan tenang itu.

Kim Hwa Cinjin sendiri masih tetap duduk sambil menatap wajah pemuda yang masuk itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dari kedudukan dan sikap kakek yang memiliki sepasang mata ta­jam dan aneh menyeramkan seperti mata iblis dalam dongeng itu, Sin Liong dapat menduga tentulah kakek tua yang me­nyambutnya dengan duduk saja itulah ketua Pek-lian-kauw maka dia lalu berhenti di depan Kim Hwa Cinjin, menjura dengan hormat sambil berkata, “Harap kauwcu (ketua agama) suka memaafkan kalau saya datang mengganggu.” Ketika masuk tadi, Sin Liong sudah mencari-cari dengan pandang matanya, namun dia tidak melihat adanya Bi Cu di situ, maka dia merasa agak lega dan dia bersikap sopan agar tidak menyinggung orang-orang Pek-lian-kauw.

Kim Hwa Cinjin mengangguk-angguk. “Hemm, dari pelaporan kami mendengar bahwa engkau memiliki kepandaian yang tinggi, sicu. Sungguh membuat kami me­rasa kagum bahwa seorang pemuda se­perti sicu telah dapat memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Tentu sicu murid seorang sakti dan siapakah nama sicu?”

“Nama saya Sin Liong,” jawab pemuda ini tanpa menyebutkan she (nama keturunan), dan kiranya ketua Pek-lian-kauw itupun tidak bertanya tentang itu tanda bahwa ketua ini bersikap ramah dan menanyakan nama hanya untuk membalas sikapnya yang sopan saja padahal sebenarnya ketua ini tidak memandang dia sebagai orang penting!

“Saya kebetulan lewat dekat sini dan mendengar suara musik, saya tertarik dan memasuki daerah ini tanpa memiliki niat yang buruk.”

Kim Hwa Cinjin hanya mengangguk. Tiba-tiba terdengar suarai merdu di sebelah kanan kakek itu, “Suhu, dalam suasana gembira ini kita kedatangan tamu terhormat, bagaimana kalau teecu (murid) mempersiapkan hidangan untuk tamu agung?”

Sin Liong cepat memandang dan ternyata yang bicara ini adalah seorang di antara sekelompok wanita-wanita mudi yang duduk di dekat kakek itu. Wanita-wanita itu berusia antara dua puluh sampai hampir empat puluh tahun, rata-rata berwajah cantik dan sikapnya jelas menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang pandai ilmu silat. Dan memang mereka itu adalah murid-murid dari Kim Hwa Cinjin, murid-murid wanita yang berbakat. Yang bicara tadi adalah seorang wanita cantik berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun, pakaiannya indah dan rambutnya digelung rapi, dihias burung hong terbuat dari emas dan permata yang berkilauan. Di antara para murid wanita itu, wanita inilah yang paling cantik, kerling matanya tajam dan senyumnya amat manis. Ketika Sin Liong memandang kepadanya, wanita itupun menatapnya dengan sinar mata yang demikian menantang dan penuh gairah sehingga Sin Liong cepat menundukkan mukanya kembali.

“Ha-ha-ha, Ciauw Ki, kita sedang berulang tahun dan biarlah kuturuti permintaanmu sebagai hadiahku tahun ini. Memang benar sekali, kita harus menjamu tamu agung, nah, kaulayanilah sicu ini!”

Sin Liong menjadi kikuk sekali, akan tetapi dia sudah terlanjur masuk ke situ dan memang dia berniat menyelidiki apakah Bi Cu berada di situ, maka ketika wanita cantik itu bangkit dan menghampirinya, lalu dengan sikap manis mempersilakan dia duduk di atas sebuah kursi menghadapi meja yang masih kosong, tidak jauh dari situ, dia tidak membantah, mengangguk dan menjura menyatakan terima kasihnya. Ciauw Ki, murid wanita Kim Hwa Cinjin itu, lalu mengeluarkan hidangan dan arak, diatur di atas meja di depan Sin Liong. Ketika wanita itu melakukan semua ini dengan senyum manis dan kerling mata menyambar-nyambar penuh tantangan, Sin Liong mencium keharuman keluar dari saputangan dan pakaian wanita itu. Dia merasa makin kikuk, akan tetapi juga tidak berani menolak ketika Kim Hwa Cinjin sendiri dari tempat duduknya mempersilakan dia makan minum. Betapa heran rasa hatinya ketika dia melihat Ciauw Ki duduk di depannya dan melayaninya, mengisi cawannya dengan arak kalau sudah kosong menawarkan masakan ini dan itu, dengan sikap amat mesranya.

Padahal di situ terdapat banyak orang, terdapat banyak murid pria, mengapa justeru murid wanita cantik ini yang harus melayaninya? Sin Liong yang tidak pernah dilayani wanita seperti itu, tentu saja menjadi gugup dan kikuk sekali, dan sikapnya ini agaknya semakin menarik hati Ciauw Ki.

Karena Ciauw Ki terus mengisi cawan araknya dan mempersilakan minum, akhirnya pengaruh arak membuat Sin Liong agak nanar juga. Ketika tari-tarian yang dilakukan oleh wanita-wanita cantik, nyanyian yang diiringi musik merdu dipertunjukkan, Sin Liong tidak lagi merasa heran, bahkan menonton dengan gembira sambil mendengarkan pula obrolan Ciauw Ki yang bercerita dengan suara merdu.

“Ini adalah ulang tahun kami yang ke delapan, sicu, sudah delapan tahun kami mempergunakan tempat ini sebagai pusat dan tidak pernah mengalami gangguan. Dan pesta ulang tahun sekarang ini bagiku paling indah berkesan karena kehadiranmu...”

Sin Liong hanya tersenyum. Telinganya penuh dengan suara-suara merdu merayu yang mempesona dan membuatnya lengah. Ketika itu, para wanita yang menari telah mengundurkan diri dan suara tambur dipukul gencar, musik mengalunkan lagu perang yang dahsyat. Lalu muncullah dua orang wanita dan Sin Liong terbelalak. Dua orang wanita muda itu memakai pakaian tipis yang membayangkan bentuk tubuh mereka, kedua tangan mereka memegang dua batang obor yang belum dinyalakan. Setelah mereka menjatuhkan diri berlutut di depan sang ketua, lalu Kim Hwa Cinjin meraih dan obor-obor itu menyala! Seperti main sulap saja! Kini kedua orang wanita muda itu mulai menari dengan obor-obor di kedua tangan. Sinar obor yang merah itu menyoroti tubuh mereka dan mereka itu seperti telanjang bulat saja karena sinar itu menembus pakaian yang tipis, memperlihatkan semua lekuk lengkung tubuh mereka yang masih muda dan padat berisi. Para murid Pek-lian-kauw bersorak dan bertepuk-tepuk tangan mengikuti irama musik dan suasana penuh dengan pesona dan gairah! Tiba-tiba Sin Liong merasa betapa ada tangan halus yang membelai jari-jari tangannya yang terletak di atas meja. Dia terkejut melihat betapa yang mengelus tangannya itu adalah tangan Ciauw Ki! Sin Liong cepat mengibaskan tangannya dan menarik tangan itu dari atas meja. Ciauw Ki menahan jeritnya karena tangannya terasa agak nyeri. Matanya terbelalak menatap wajah Sin Liong, akan tetapi sinar matanya segera melembut kembali dan senyumnya makin manis memikat.

Dari tempat duduknya, Kim Hwa Cinjin melihat adegan ini. Tiba-tiba dia mengangkat kedua tangannya ke atas, menghadap ke arah Sin Liong dan mulutnya kemak-kemik. Ketika itu Sin Liong masih menentang pandang mata Ciauw Ki. Tiba-tiba dia merasa seperti ada dorongan yang mengharuskan dia menoleh, memandang kepada dua orang penari wanita yang menggerak-gerakkan obor mereka. Sinar obor itu menyilaukan kedua matanya dan Sin Liong mengeluh. Tiba-tiba dia melihat dua buah mata, sepasang mata yang tajam liar dan menyeramkan, seperti mata iblis sendiri, memandangnya sedemikian rupa sehingga dia terbelalak. Sang mata iblis ini seperti menari-nari di antara obor yang bergerak-gerak itu dan tiba-tiba dia merasa tubuhnya lemas dan matanya mengantuk. Tak tertahankan lagi olehnya rasa kantuk itu. Kepalanya terasa berat, dan obor-obor yang bernyala itu kini terputar-putar. Sin Liong lalu memejamkan mata dan merebahkan kepalanya di atas lengannya yang dipakai sebagai bantal di atas meja. Tiba-tiba dia merasa tengkuknya diraba orang dan tubuhnya semakin lemas lalu dia tidak ingat apa-apa lagi!

Pemuda itu sama sekali tidak tahu bahwa semenjak pertama kali memasuki rumah induk di mana Kim Hwa Cinjin dan para murid dan pembantunya merayakan pesta ulang tahun mereka, dia telah memasuki perangkap yang amat berbahaya. Mula-mula Kim Hwa Cinjin memperlihatkan sikap ramah sehingga lenyaplah kecurigaan di hati Sin Liong. Ketika Ciauw Ki, seorang di antara murid-murid wanita yang terkasih memperlihatkan keinginan untuk memiliki pemuda tampan itu, Kim Hwa Cinjin menyetujuinya. Sin Liong mulai dijamu dan diperlakukan dengan manis penuh pikatan oleh Ciauw Ki. Biarpun ketika Sin Liong sudah terpengaruh arak namun melihat gadis itu berusaha untuk memikatnya dengan sentuhan tangan, pemuda ini terkejut dan cepat menolak. Kim Hwa Cinjin melihat ini dan dia tidak mau mengecewakan muridnya, maka diam-diam dia lalu mempergunakan ilmu sihirnya. Sin Liong yang sedang lengah itu sama sekali tidak tahu bahwa dia diserang dengan ilmu sihir, maka dengan bantuan suara musik dan penglihatan indah dari tari obor oleh dua orang murid wanita itu, sinar obor yang menyilaukan, akhirnya dia berhasil menyihir Sin Liong sehingga pemuda itu tertidur sebelum dia dapat menyadari keadaannya. Ciauw Ki juga cepat menggunakan jari-jari tangannya menotok dan membuat pemuda itu tidak sadar.

Sin Liong membuka matanya dan pertama kali yang dirasakannya adalah kepalanya yang berdenyut-denyut pening. Dia mengeluh lirih dan mencium bau arak yang memuakkan. Teringatlah dia bahwa dia terlalu banyak minum arak. Ingin dia memijat-mijat kepalanya, akan tetapi ketika dia hendak menggerakkan tangan, dia terkejut dan heran. Cepat dia membuka mata dan terbelalak memandang kepada kedua lengannya yang terbelenggu. Kedua lengan itu terikat pada pergelangan tangan. Suara tertawa kecil membuat dia makin sadar dan kini dia memandang wanita yang duduk di tepi pembaringan itu dengan sinar mata penuh keheranan. Dia telah rebah di atas pembaringan yang empuk, bersih dan harum, dalam sebuah kamar yang diterangi oleh tiga batang lilin. Wanita itu bukan lain adalah Ciauw Ki yang duduk sambil memegangi sebuah cawan arak dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiri wanita itu mengelus-elus pahanya! Sin Liong menggerakkan kaki untuk mundur dan ternyata bahwa pergelangan kedua kakinya juga terikat! Agaknya Ciauw Ki mendengar dari para saudara seperguruannya akan kelihaian Sin Liong maka biarpun pemuda itu sudah ditotoknya, tetap saja dia merasa khawatir dan mengikat pergelangan kaki dan tangan pemuda itu.

“Apa... apa artinya ini...?” Sin Liong bertanya sambil mengangkat kepalanya dari bantal.

“Hik-hik...!” Ciauw Ki tertawa genit dengan kepala agak bergoyang-goyang. Wanita cantik ini agaknya sudah setengah mabok. Diam-diam Sin Liong memperhatikan keadaan sekeliling. Tentu malam telah tiba, pikirnya heran. Betapa lamanya dia pingsan atau tertidur di tempat ini. Dia mengingat-ingat dan ketika dia teringat akan sepasang mata yang membuatnya mengantuk, diam-diam dia mengutuk. Dia telah disihir! Tidak ragu-ragu lagi dia. Pek-lian-kauw terkenal dengan ilmu sihirnya. Dalam keadaan lengah dan tidak waspada dia telah kena disihir.

“Artinya, orang ganteng... bahwa engkau berada di kamarku dan kita... kita akan bersenang-senang malam ini sepuas hati kita... hik-hik...!”

Diam-diam Sin Liong merasakan be­tapa masih ada sisa pengaruh totokan di tubuhnya, maka dia lalu mengerahkan sin-kang melancarkan kembali jalan darah­nya. Dia masih belum mau mengambil tindakan keras, otaknya berpikir dan timbul kembali kecurigaannya bahwa jangan-jangan Bi Cu juga menjadi korban seperti dia. Maka dia pura-pura tidak berdaya, dan berkata, “Mengapa aku dibelenggu kaki tanganku?”

“Aku khawatir engkau akan menolak, sayang. Aku membelenggumu, akan tetapi lihatlah, belenggu itu dari ikat pinggang suteraku, baunya harum, kauciumiah, hik-hik. Kalau engkau bersikap manis, tentu akan kulepaskan belenggumu. Sekarang, kauminumlah secawan arak ini. Arak ini pemberian suhu, arak istimewa, kau­ minumlah, sayang, setelah itu baru kubebaskan engkau dan kita bersenang-senang...” Cawan arak itu didekatkan pada mulut Sin Liong dan dia mencium bau arak bercampur bau yang aneh. Mengertilah Sin Liong bahwa arak inipun tidak wajar, bukan sembarang arak, akan tetapi tentu saja dia tidak mau minum.

“Nanti dulu... aku masih pening karena terlalu banyak minum... sebetuinya... aku sedang mencari seseorang... saudaraku...” Dia membohong. Yang dicarinya adalah seorang gadis, kalau dia bilang sahabat tentu akan menimbulkan kecurigaan, maka dia mengatakan saudaranya.

“Hemmmm, saudaramu? Siapakah sau­daramu dan mengapa kau mencarinya di sini?” tanya wanita yang sudah merah mukanya karena setengah mabuk itu tangan kirinya masih mengelus paha Sin Liong yang membuat pemuda itu merasa geli.

“Saudaraku seorang gadis bernama Bi Cu...” Sin Liong berhenti bicara karena melihat perubahan pada wajah gadis itu, sepasang mata yang tadinya nampak penuh gairah dan setengah terpejam itu tiba-tiba agak terbelalak. Jantungnya berdebar dan yakinlah dia bahwa wanita ini tahu tentang diri Bi Cu.

Tentu saja Ciauw Ki tahu tentang Bi Cu, murid baru gurunya itu. Dia merasa iri hati kepada Bi Cu yang muda dan cantik, dan yang oleh suhunya dipilih sebagai kembang untuk diperebutkan pada perayaan ulang tahun itu! Kalau tidak ada Bi Cu, tentu dialah yang akan di­perebutkan, bukan Bi Cu. Dan karena iri hati itulah maka dia sengaja minta ganti kepada suhunya ketika dia melihat Sin Liong!

“Aihh... kiranya engkau saudaranya! Jangan khawatir, orang tampan, saudaramu itu sekarang sedang dilimpahi kesenangan oleh tiga orang murid Pek-lian-kauw yang paling tampan dan gagah! Akan tetapi engkaupun tidak kalah mujurnya karena engkau mendapatkan aku... heiii... ahhh, aupppp...!” Tiba-tiba saja Sin Liong menggunakan sin-kang­nya dan semua ikatan tangan kakinya putus. Ketika melihat dia mematahkan belenggu dan tahu-tahu telah bangkit duduk itu, Ciauw Ki terkejut bukan main dan sebelum dia sempat menjerit, jari tangan kiri Sin Liong telah mendekap mulut yang tadinya tersenyum manis penuh pikatan itu dan meremasnya perlahan sehingga mulut yang manis itu kini nampak peot dan buruk, mata yang tadinya setengah terpejam penuh gairah dan nafsu berahi itu kini terbelalak ketakutan. “Hemm, kuhancurkan mulutmu, kalau engkau tidak mengaku terus terang!” desis Sin Liong yang sudah merasa marah dan khawatir sekali. Tidak salah dugaannya, Bi Cu terjatuh ke tangan mereka dan kini agaknya terancam bahaya besar.

“Aa... aku... ahhhhh...” Sukar sekali Ciauw Ki bicara karena mulutnya masih didekap oleh jari tangan Sin Liong. Clauw Ki tiba-tiba menggunakan tangan yang memegang cawan arak itu untuk menghantam ke arah muka Sin Liong, akan tetapi Sin Liong menepuk pundaknya, diapun terkulai lemas dan tidak mampu bergerak lagi. Ketika Sin Liong melepaskan dekapannya pada mulut itu, tubuh Ciauw Ki terkulai di atas pembaringan.

“Hayo katakan di mana Bi Cu!”

Dengan suara lemah, Ciauw Ki berkata, “Bunuhlah, murid Pek-lian-kauw tidak takut mati! Bi Cu kini tentu sudah habis-habisan diperkosa oleh tiga orang suhengku...!”

“Plakk!” tangan Sin Liong menampar dan wanita itu pingsan. Mulutnya berdarah dan beberapa buah gigi di mulutnya patah-patah. Tentu kecantikannya akan banyak berkurang oleh tamparan itu, kalau tidak membuat wajahnya bahkan menjadi buruk kelak. Cepat Sin Liong meloncat keluar dari kamar itu. Dengan beberapa loncatan dia sudah berada di atas genteng. Pesta kaum Pek-lian-kauw itu masih dilanjutkan dengan meriah, maka mudah baginya untuk melakukan penyelidikan, mencari-cari di mana Bi Cu disembunyikan. Dia tidak perlu terus memaksa Ciauw Ki untuk mengaku karena wanita itu agaknya merupakan tokoh Pek-lian-kauw yang tidak akan mau membuka rahasia perkumpulan, biar diancam atau disiksa sekalipun. Dan Sin Liong takkan tega untuk menyiksa orang, maka dia mengembil keputusan untuk mencari sendiri setelah menampar wanita itu sampai pingsan dalam keadaan tertotok agar tidak membuat gaduh selagi dia mencari tempat Bi Cu disembunyikan.

Dia mengintai dari genteng, melihat ke dalam kamar-kamar yang banyak terdapat di perumahan itu. Banyak dia melihat kecabulan-kecabulan yang menjijikkan hatinya dan membuat dia tidak mengerti mengapa perkumpulan agama seperti Pek-lian-kauw ternyata memiliki pimpinan dan anggauta-anggauta yang menjadi hamba-hamba natsu berahi seperti itu. Hampir di setiap kamar dia melihat para anggauta Pek-lian-kauw bermain cinta dengan pasangan masing-masing dalam keadaan mabuk!

Tiba-tiba dia melihat bayangan berkelebat di bawah. Gerakan bayangan itu amat ringannya, maka dia cepat mengintai. Dengan heran dia melihat bahwa bayangan itu bukan lain adalan bayangan Kim Hwa Cinjin, ketua Pek-lian-kauw sendiri. Dan kakek tua itu kini berindap-indap menghampiri jendela sebuah kamar dan sinar lampu yang menimpa wajah tua itu memperlihatkan senyum iblis, yang membuat Sin Liong bergidik. Melihat kakek itu kini mengintai dari jendela, dia tertarik dan cepat dia melayang ke atas genteng dan dengan hati-hati membuka genteng untuk melihat apa yang sedang terjadi di dalam kamar yang diintai sendiri oleh ketua Pek-lian-kauw itu. Dan hampir saja Sin Liong terjengkang di atas genteng, hampir saja dia berseru keras ketika melihat apa yang terdapat di dalam kamar itu!

Kamar itu besar, tidak seperti kamar Ciauw Ki tadi. Di sudut kamar mengelilingi sebuah meja yang penuh masakan dan arak sehingga bau arak sampai ter­cium olehnya di atas genteng, duduk tiga orang laki-laki yang hampir telanjang bulat, hanya mengenakan cawat saja! Me­reka itu minum arak sambil tertawa-tawa gembira. Yang seorang berusia kurang lebih empat puluh tahun, kumis­nya tebal pendek dan jenggotnya ter­pelihara rapi, yang dua orang berusia sekitar tiga puluh tahun dengan muka halus. Ketiganya bertubuh tegap dan ber­wajah yang dapat disebut tampan dan gagah, rambut mereka digelung ke atas seperti rambut para tosu Pek-lian-kauw. Akan tetapi bukan tiga orang itu yang mengejutkan hati Sin Liong, melainkan apa yang nampak di atas sebuah pem­baringan yang berada di tengah kamar itu. Dia atas pembaringan itu rebah se­orang wanita, rebah terlentang dan lekuk lengkung tubuhnya nampak nyata di bawah pakaian dalam yang tipis sekali. Pakaian luar wanita itu berserakan di bawah tempat tidur dan wanita itu kelihatan seperti orang yang tidur nyenyak. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Sin Liong melihat wanita ini karena dia mengenalnya sebagai Bi Cu! Dan dara itu tentu dibius, pikirnya dengan kedua tangan dikepal dan mulai berubah merah, sepasang matanya mencorong seperti mata naga yang marah!

“Sayang dia terpaksa dibius,” kata si kumis tebal. “Kalau tidak dia tentu akan menolak dan melawan mati-matian!”

“Aku lebih senang kalau dia melawan dan meronta, tidak seperti sekarang ini, mirip mayat!” cela orang ke dua sambil menenggak araknya.

“Dan aku lebih senang kalau dia itu menyerahkan diri dengan manis dan suka rela. Mengapa suhu tidak mempergunakan obat perangsang saja?”

“Seorang dara yang berhati baja seperti dia itu sukar dapat dipengaruhi obat perangsang, ah, betapapun juga, dia mulus dan masih remaja. Hemm, biarlah kalian menonton dulu, aku akan menjadi orang pertama...”

“Ah, jangan begitu, suheng! Engkau harus mengalah kepadaku! Biarlah aku dulu yang...”

“Tidak, aku dulu! Aku yang termuda dan aku lebih pantas baginya!”

Si kumis tebal tertawa. “Ha-ha, kita berebutan seperti anak kecil, seolah-olah kita tidak pernah mendapatkan seorang perawan remaja. Sudahlah, lebih baik kita undi saja!”

“Atau kita berpetak tangan, siapa menang dia mendapatkan dulu!”

Mendengar percakapan itu lega bukan main rasa hati Sin Liong. Jelaslah bahwa mereka itu belum sempat mengganggu Bi Cu. Bi Cu belum ternoda dan kedatangannya belum terlambat! Dia tidak mau membuang waktu lagi. Selagi tiga orang tosu itu main petak tangan untuk menentukan siapa yang berhak mendapatkan tubuh dara itu lebih dulu, tiba-tiba terdengar suara keras di atas kamar dan juga di luar rumah. Suara keras di atas kamar itu terjadi karena Sin Liong menerjang genteng sampai bobol dan tubuhnya melayang ke dalam kamar seperti seekor naga melayang dari angkasa menerobos awan gelap. Sedang­ kan suara ke dua lebih keras lagi, yaitu suara sorak-sorai yang gegap-gempita dari banyak orang berkelahi dan beradunya senjata-senjata tajam!

Semua orang yang berada di kamar itu terkejut, demikiah pula Kim Hwa Cinjin yang sedang mengintai dengan hati berdebar penuh ketegangan bernafsu berahi itu menjadi terkejut bukan main. Dia melihat betapa pemuda yang menjadi tamunya, yang telah ditundukkannya dengan ilmu sihir dan diserahkan kepada Ciauw Ki untuk dimiliki wanita muridnya itu untuk malam ini dan dia sendiri akan mengintai di kamar Ciauw Ki, tiba-tiba melayang turun ke dalam kamar. Akan tetapi lebih kaget lagi ketika dia mendengar suara hiruk-pikuk di luar. Perhatiannya terbagi, akan tetapi dia menganggap keadaan di luar amat berbahaya, maka tanpa memperdulikan keadaan dalam kamar itu, karena dia memandang rendah kepada Sin Liong dan percaya bahwa tiga orang muridnya akan dapat menghadapinya, Kim Hwa Cinjin cepat melompat keluar. Dia terkejut sekali melihat bahwa yang menimbulkan suara gaduh itu adalah penyerbuan dari pasukan pemerintah terhadap sarang Pek-lian-kauw. Kini para anggauta Pek-lian-kauw yang tadi masih berpesta-pora, menghadapi serbuan pasukan pemerintah dengan gugup. Bahkan ada beberapa orang muridnya yang masih telanjang bulat terpaksa melawan musuh, karena mereka itu tadi sedang bersenang-senang dengan pasangannya di dalam kamar, dikejutkan oleh suara itu sehingga keluar dan lupa memakai pakaiannya!

Sementara itu, dengan ringan sekali Sin Liong sudah melayang turun ke dalam kamar. Diapun mendengar suara ribut-ribut di luar dan dia merasa khawatir. Dia harus dapat cepat melarikan Bi Cu dari kamar ini dan keluar dari perkampungan Pek-lian-kauw, karena kalau sampai dia dikepung oleh semua tokoh dan anggauta Pek-lian-kauw, akan sukarlah baginya untuk dapat menolong Bi Cu. Apalagi Bi Cu berada dalam keadaan pingsan terbius seperti itu, tidak mampu bergerak sendiri.

Tiga orang tosu Pek-lian-kauw yang memenangkan hadiah murid wanita baru itu, juga terkejut bukan main. Mereka segera mengenal pemuda yang menjadi tamu ketua mereka dan yang siang tadi sudah ditawan dan diberikan kepada sumoi mereka. Marahlah mereka dan serentak mereka maju menerjang Sin Liong, biarpun mereka dalam keadaan hampir telanjang seperti itu.

Melihat gerakan mereka, tahulah Sin Liong bahwa mereka itu ternyata adalah tokoh-tokoh besar Pek-lian-kauw, dan tentu merupakan murid-murid utama dari ketua Pek-lian-kauw maka diapun cepat mengelak dan menangkis, kemudian dengan beberapa jurus San-in-kun-hoat, dengan mengisi kedua tangannya dengan Thian-te Sin-ciang, Sin Liong balas menyerang. Tiga orang tosu itu cepat menangkis dan seorang demi seorang berteriak kaget sekali, tubuh mereka terlempar dan menabrak dinding kamar karena mereka itu tidak tahan beradu lengan yang terisi Thian-te Sin-ciang itu. Sejenak mereka nanar dan pusing karena terbanting keras pada dinding kamar dan kesempatan ini dipergunakan oleh Sin Liong untuk menyambar tubuh Bi Cu, tanpa memperdulikan keadaan tubuh dara itu yang hanya tertutup pakaian dalam tipis, dia lalu memondongnya dan melarikan diri meloncat keluar melalui lubang di atas genteng, kemudian dengan cepat diapun meloncat ke tempat yang agak sunyi di belakang rumah karena di banyak tempat kini nampak obor-obor dan orang-orang berkelahi dengan hebat dan mati-matian! Dia tidak tahu apa yang telah terjadi, siapa yang sedang bertempur itu, dan diapun tidak perduli. Yang penting adalah menyelamatkan Bi Cu dan selama dia masih berada di dalam perkampungan itu, keselamatan Bi Cu terancam bahaya. Maka larilah dia, menyusup-nyusup di antara tempat-tempat gelap. Beberapa kali dia bertemu dengan anggauta Pek-lian-kauw atau anggauta pasukan penyerbu sehingga terpaksa dia merobohkan mereka ini dengan tendangan-tendangan kakinya.

Tiba-tiba terdengar suara yang amat nyaring melengking, seolah-olah datang dari atas langit. “Liong-te... di mana engkau...?”

Sin Liong terkejut bukan main seolah-olah mendengar kilat menggelegar di siang hari yang panas. Tentu saja dia mengenal suara itu! Suara Ceng Han Houw! Celaka, pikirnya, kiranya para penyerbu Pek-lian-kauw itu adalah pasukan pemerintah yang agaknya dipimpin sendiri oleh Ceng Han How. Pangeran ini jauh lebih lihai dan berbahaya daripada semua orang Pek-lian-kauw. Maka dia mempercepat larinya berloncatan dan akhirnya dia berhasil keluar dari perkampungan Pek-lian-kauw yang geger itu. Setelah memasuki sebuah hutan yang amat gelap, culup jauh dari perkampungan itu, hatinya lega. Akan tetapi diapun tidak mungkin dapat melanjutkan larinya karena hutan itu gelap sekali. Maka dicarinyalah tempat yang bersih dan dia merebahkan tubuh Bi Cu ke atas tanah berumput tebal di bawah pohon-pohon besar. Dia berusaha menyadarkan Bi Cu, akan tetapi dara yang telah terbius ini sama sekali tidak mungkin dapat siuman sebelum obat biusnya habis pengaruhnya. Dia seperti orang pingsan, atau orang yang tidur nyenyak sekali. Sin Liong yang maklum bahwa bahaya masih belum lewat dan tentu kaum Pek-lian-kauw, bahkan yang lebih berbahaya lagi, pasukan yang dipimpin Han Houw tentu akan mengejar dan mencarinya, tidak berani membuat api unggun dan untuk melindungi tubuh Bi Cu yang setengah telanjang itu dari serangan nyamuk dan hawa dingin, dia lalu melepaskan bajunya dan menyelimuti Bi Cu dengan baju itu. Kemudian dia memegang kedua tangan Bi Cu, menyalurkan sin-kang sehingga hawa hangat memasuki tubuh dara itu, melindunginya dari hawa dingin yang menusuk tulang.

Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali Sin Liong sudah mendengar suara orang-orang memasuki hutan itu. Terpaksa dia memondong lagi tubuh Bi Cu yang masih juga belum siuman. Dia merasa marah sekali. Orang-orang Pek-lian-kauw itu sungguh keji, membius Bi Cu sampai semalam suntuk belum juga siuman, tentu dengan maksud yang amat kotor dan keji! Dengan bantuan sinar matahari pagi yang remang-remang, dia terus melangkah memasuki hutan sambil memondong tubuh Bi Cu.

Tiba-tiba dari balik pohon-pohon besar berloncatan tiga orang tosu, seorang di antara mereka yang berkumis tebal membentak, “Pemuda iblis, mau lari ke mana engkau?”

Sin Liong terkejut dan dia segera mengenal bahwa tiga orang tosu ini adalah mereka yang semalam hendak memperkosa Bi Cu di dalam kamar itu. Akan tetapi karena dia menduga bahwa selain mereka tentu masih terdapat banyak orang Pek-lian-kauw yang agaknya sudah tersebar di dalam hutan, dan mengingat lagi bahwa mungkin akan muncul Ceng Han Houw sehingga akan menyukarkan dia melindungi Bi Cu, dia lalu membalikkan tubuh dan berlari tanpa berkata apa-apa.

Tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu mengejar dengan marah. Setelah lari beberapa lamanya, Sin Liong menoleh dan mengerling ke belakang. Ternyata pengejarnya tetap hanya tiga orang tosu itu. Giranglah hatinya dan dia cepat menurunkan tubuh Bi Cu ke atas rumput, dan dengan tenang dia menanti kedatangan mereka.

Tiga orang tosu itu adalah murid-murid pilihan dari Kim Hwa Cinjin. Kalau di waktu Sin Liong masuk ke dalam kamar untuk menolong Bi Cu mereka itu tidak sempat melakukan perlawanan yang gigih adalah karena mereka bertiga berada dalam keadaan hampir telanjang. Kini mereka sudah siap siaga dengan pakaian lengkap dan melihat pemuda itu menurunkan tubuh dara yang telah menjadi sumoi mereka dan menjadi kekasih mereka bertiga karena oleh suhu mereka telah diserahkan kepada mereka, tiga orang tosu ini segera menerjang ke de­pan. Mereka semalam setelah mengenakan pakaian lalu melakukan pengejaran, tanpa memperdulikan kegegeran yang terjadi di dalam perkampungan Pek-lian-kauw dan melihat pemuda itu lenyap dalam hutan, mereka lalu mencari-cari sampai jauh ke dalam hutan. Karena keadaan amat gelap, maka mereka menanti dan pada pagi hari itu, benar saja mereka melihat pemuda yang dikejarnya berjalan memondong tubuh calon korban mereka.

Setelah merasa yakin bahwa pengejarnya hanya tiga orang murid Pek-lian-kauw itu, timbullah kemarahan di hati Sin Liong. Tiga orang itu jahat sekali dan semalam hampir saja menodai kehormatan Bi Cu yang sedang pingsan, maka, orang-orang seperti itu patut dihajar, bahkan patut dibunuh! Melihat mereka bertiga menyerangnya dengan tangan kosong, dengan pukulan berbentuk tamparan yang dia tahu tentulah merupakan pukulan yang beracun, dia sama sekali tidak mau mengelak dan menerima pukulan itu dengan tubuhnya, hanya menggerakkan kepala agar mukanya jangan sampai terkena pukulan.

“Plak! Plak! Plak!” Pukulan atau tamparan tiga orang tosu itu semua mengenai dada, pundak, dan leher. Akan tetapi, betapa kagetnya tiga orang tosu itu ketika tangan mereka seperti mengenai besi baja saja dan lebih kaget lagi hati mereka ketika tangan mereka itu melekat tanpa dapat ditarik kembali dan sin-kang mereka membanjir keluar melalui tangan mereka ke dalam tubuh pemuda itu.

Mereka meronta, akan tetapi makin kuat mereka meronta, makin hebat lagi tenaga rontaan itu membanjir keluar dari tangan mereka. Si kumis tebal terbelalak memandang wajah Sin Liong yang tersenyum dingin, dan dia lalu berseru tergagap-gagap, “Thi... khi... i... beng...!” Mereka pernah mendengar dari guru mereka tentang ilmu yang mujijat ini, akan tetapi belum pernah melihat sendiri ilmu yang mereka anggap hanya terdapat dalam dongeng itu. Akan tetapi kini, melihat betapa tenaga sin-kang mereka memberobot keluar tanpa dapat dicegah, mereka teringat akan ilmu itu dan mereka ketakutan setengah mati. Makin lemaslah mereka, muka mereka telah menjadi pucat karena kehabisan tenaga. Tiba-tiba timbul perasaan kasihan dalam hati Sin Liong. Mengapa dia harus membunuh orang, pikirnya. Memang tiga orang ini amat jahat, akan tetapi kejahatan mereka itu belum merupakan alasan kuat bagi dia untuk berubah menjadi Giam-lo-ong alias malaikat pencabut nyawa! Tangan kirinya bergerak enam kali dan tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu berteriak dan roboh terjengkang, kedua pundak mereka patah-patah tulangnya. Untuk menghukum mereka, Sin Liong sengaja menghabiskan sin-kang mereka dengan jalan mempergunakan ilmu Thi-khi-i-beng kemudian menampar remuk tulang-tulang kedua pundak mereka. Dengan demikian, biarpun tiga orang itu akan dapat pulih lagi kesehatannya, namun mereka sulit diharapkan akan dapat menjadi ahli-ahli silat yang pandai. Boleh dikata mereka dibuat menjadi tapadaksa dan lenyap kekuatan mereka.

“Sin Liong...”

Pemuda itu cepat membalik dan giranglah dia melihat Bi Cu sudah bergerak dan cepat dia menghampiri dan berlutut di dekatnya. “Bi Cu, kau sudah siuman...?” teriaknya. “Hayo cepat kita melarikan diri, banyak musuh jahat mengejar kita!” Sin Liong lalu merangkul dan hendak memondongnya kembali.

“HHH...!” Bi Cu menjerit dan tangan kanannya menampar.

“Plakkk!” Pipi kiri Sin Liong kena ditampar dengan keras karena memang pemuda itu selain sama sekali tidak menyangka-nyangka, juga tidak mau menangkis. Dia terbelalak memandang dengan heran dan mengira bahwa obat bius itu masih mempengaruhi otak dara ini sehingga melakukan tamparan dalam keadaan masih belum sadar benar!

“Manusia cabul kau! Mata keranjang kau! Ceriwis kau!”

Mendengar caci-maki Bi Cu dan melihat betapa Bi Cu dengan susah payah menggunakan kedua telapak tangan untuk menutupi bagian-bagian depan tubuhnya dan kemudian membalikkan tubuh membelakanginya, tidak sadar bahwa dengan berbuat demikian dara itu memperlihatkan dua buah bukit pinggul yang indah bentuknya, yang dapat nampak melalui pakaian dalam yang tipis itu, mengertilah Sin Liong dan mukanya berubah merah sekali.

“Bi Cu, jangan salah mengerti,” katanya lirih sambil menunduk, tidak berani terlalu lama memandang dua bukit menonjol dan garis punggung itu, “ketahuilah bahwa ketika aku melarikanmu dari Pek-lian-kauw, engkau sudah berada dalam keadaan seperti sekarang ini dan aku tidak banyak mempunyai waktu untuk mencari pakaian untukmu karena keadaan amat berbahaya dan semalam di dalam hutan ini... tak mungkin mencari pakaian untukmu dan sekarang...”

“Ihh, cerewet amat sih! Yang mereka pakai itu apalagi kalau bukan pakaian!” bentak Bi Cu.

Sin Liong menoleh ke arah telunjuk yang menuding itu dan hampir dia menampar kepala sendiri. Mengapa dia sebodoh itu? Sin Liong tertawa lalu menghampiri seorang diantara tiga tosu tadi, yang paling kecil tubuhnya dan dengan paksa dia lalu menanggalkan pakaian luar tosu ini yang sudah tidak mampu bergerak lagi dan hanya menyeringai menahan nyeri ketika baju dan celana luarnya dilucuti karena kedua pundak yang hancur itu membuat dia tidak mampu menggerakkan tangan.

“Nah, pakailah ini, Bi Cu.”

Bi Cu tidak banyak cakap lagi, menyambar pakaian itu kemudian lari ke belakang batang pohon besar untuk memakai jubah dan celana yang masih kebesaran untuknya itu. Diam-diam Sin Liong menahan ketawa. Tinggal merangkapkan jubah dan celana itu saja di luar pakaian dalamnya, mengapa harus bersembunyi di balik pohon segala? Tak lama kemudian Sin Liong melihat Bi Cu muncul dari balik pohon dan kembali dia harus menahan ketawanya karena memang Bi Cu nampak lucu sekali dalam pakaian tosu yang kebesaran itu. Biarpun dia sudah menahan-nahan ketawanya, tetap saja mulutnya bergerak-gerak meruncing dan hal ini nampak oleh dara itu.

“Eh, eh, kenapa kau mecuca-mecucu seperti itu? Kau mentertawakan aku, ya?”

“Ti... tidak, hanya... kau lucu sekali dalam pakaian itu, Bi Cu.”

“Buatmu lucu, buatku sama sekali tidak lucu! Eh, Sin Liong, apa sih yang terjadi dengan diriku? Yang teringat olehku hanya bahwa aku ikut bersama Kim Hwa Cinjin, diambil murid olehnya.”

“Engkau telah terjebak ke dalam perangkap berbahaya, Bi Cu. Pek-lian-kauw adalah perkumpulan pemberontak, jahat dan cabul. Aku mendapatkan dirimu pingsan oleh obat bius, dan hampir saja engkau dinodai oleh tiga orang keji itu!” Sin Liong menuding ke arah tiga orang tosu yang masih rebah di atas tanah, seorang di antara mereka hanya memakai cawat saja karena pakaiannya telah dilucuti.

Muka Bi Cu menjadi merah sekali dan matanya terbelalak, membayangkan kemarahan. “Apa? Bukankah mereka itu murid-murid Kim Hwa Cinjin...?”

“Benar, dan agaknya engkau diambil murid dengan maksud yang amat kotor dan keji.”

“Keparat! Kalau begitu mereka ini patut dibunuh!” Bi Cu melangkah maju, akan tetapi Sin Liong cepat memegang tangannya.

“Sudahlah, Bi Cu. Mereka sudah terhukum dan mereka selanjutnya tidak akan mampu lagi mengganggu wanita. Mari kita cepat pergi karena masih banyak musuh yang mengejar, bahkan ada pasukan pemerintah...”

Mendengar ini, wajah Bi Cu sudah berubah pucat dan dia cepat memegang tangan Sin Liong. “Pasukan? Wah, ke mana kita harus lari?”

“Mari kau ikut denganku!” Sin Liong menggandeng tangannya dan mengajaknya lari menyusup ke dalam hutan yang lebih gelap. Mereka berlari terus, akan tetapi tiba-tiba dari depan terdengar suara hiruk-pikuk banyak orang sehingga terpaksa dia mengambil jurusan lain dan terus melarikan diri, makin lama makin jauh ke dalam hutan lebat yang sama sekali tidak dikenalnya.

Pada senja hari itu, terpaksa mereka berhenti di bawah pohon yang lebat, di tengah hutan karena Bi Cu sejak tadi sudah mengomel dan mengeluh saja karena lapar dan lelah. Sehari itu mereka berlari-larian terus tanpa berkesempatan makan, bahkan tidak sempat bercakap-cakap karena lelah.

Kini Bi Cu tanpa berkata apa-apa lagi sudah menjatuhkan diri ke bawah pohon itu, bersandar pada batang pohon melepaskan lelah dengan mata terpejam. Kasihan sekali rasa hati Sin Liong melihat dara ini, maka diapun lalu duduk di atas tanah di depannya. Dara itu diam saja, hanya bersandar dengan wajah pucat dan mata terpejam, kelihatan amat lelah dan menderita. Kerutan alisnya membuat Sin Liong ragu-ragu untuk bertanya, karena kerutan itu membayangkan bahwa Bi Cu kembali sedang “ngambek”. Agaknya Bi Cu merasakan pula keheningan ini. Dia membuka kedua matanya, bertemu pandang dengan Sin Liong, menarik napas panjang, bibirnya bergerak tanpa mengeluarkan suara dan akhirnya sepasang mata yang jeli itu terpejam kembali. Sin Liong menelan ludah, memberanikan hatinya. Suasana itu amat mencekam hatinya, karena biasanya, berdua dengan Bi Cu amatlah gembira karena kelincahan dan kejenakaan dara itu, dan sekarang dara itu demikian pendiam dan dingin.

“Bi Cu... sudah lama aku mencarimu...”

Bi Cu merapatkan pelupuk matanya. Ada sedu sedan naik dari dadanya. Ingin dia memaki, ingin dia menjerit, mencela mengapa baru sekarang Sin Liong muncul, padahal dia telah mencarinya semenjak mereka berpisah, betapa dia amat merindukan kehadiran Sin Liong, betapa dia amat membutuhkan Sin Liong untuk menemaninya, untuk membantunya kalau menghadapi bahaya. Dan sekarang, baru sekarang pemuda itu muncul, dan dalam keadaan hatinya penasaran itu tiba-tiba pemuda itu menyatakan bahwa telah lama mencarinya. Akan tetapi dia menahan kegemasannya, dan dengan suara datar dingin dia bertanya tanpa membuka matanya, “Mau apa kau mencariku?”

Sin Liong mengangkat muka memandang wajah yang menunduk dan mata yang terpejam itu, dia merasa heran sekali. Bukankah selama dia mencari Bi Cu, di mana-mana dia menemukan keterangan bahwa dara itupun sedang mencari-carinya? Mengapa kini dara itu kelihatan marah dan berduka?

“Bi Cu, tentu saja aku mencarimu. Semenjak kita berpisah, aku tidak pernah melupakanmu, Bi Cu. Aku amat mengkhawatirkan keadaanmu, mengingat betapa engkau hidup sebatang kara di dunia ini, aku menjelajah sampai jauh dan akhirnya baru aku dapat keterangan tentang engkau beberapa hari yang lalu dan...” Tiba-tiba Sin Liong menghentikan kata-katanya dan dia bengong memandang dara itu yang ternyata kini telah menangis tersedu-sedu, menyembunyikan muka di balik kedua tangan dan dari celah-celah jari tangannya menetes air matanya. Bi Cu telah menangis terisak-isak dan sesenggukan seperti anak kecil!

“Eh, kau kenapa Bi Cu...?”

Bi Cu mencoba mengangkat mukanya dan matanya terpejam, basah air mata yang bercucuran dan dengan susah payah dia berkata di antara isaknya, “Mengapa kau... tidak membiarkan aku mati saja...? Mengapa engkau menolongku...? Hu-hu-huuk, aku memang anak... celaka... mengapa kauperdulikan aku? Kau orang kejam...! Kau telah memaksaku pergi... kaukira aku takut bahaya dan takut mati? Kau menyuruh aku pergi... hu-huukk... aku terlunta-lunta, mati-matian mencarimu... hu-huuuhh... dan sekarang kau masih... pura-pura mencariku...?”

Sin Liong merasa kasihan sekali dan dia mendekat, menyentuh pundak dara itu. “Bi Cu, ketahuilah bahwa dulu itu aku menyuruhmu pergi karena engkau terancam bahaya hebat. Kau tidak tahu betapa jahatnya pangeran itu. Aku melakukan semua itu demi keselamatanmu, Bi Cu.”

“Kenapa...? Kenapa engkau perdulikan keselamatanku...?”

“Entahlah. Karena engkau sebatangkara mungkin, seperti juga aku. Dan aku... senang sekali berada di dekatmu, melakukan perjalanan bersamamu, Bi Cu.”

Bi Cu makin mengguguk dan kini dia merangkul, menangis di pundak Sin Liong. Pemuda itu menjadi terharu, tak dapat menahan kedua matanya menjadi basah dan dia mengusap rambut kepala dara itu. “Sudahlah, Bi Cu, jangan menangis. Bukankah kita sudah saling jumpa dengan selamat?”

“Sin Liong, jangan... jangan tinggalkan aku lagi...”

“Tidak! Aku bersumpah tidak akan meninggalkanmu lagi, Bi Cu.”

Isak tangis itu mereda dan mereka masih saling rangkul, dan pada saat itu tidak ada sedikitpun perasaan cinta asmara di dalam batin mereka, yang ada hanyalah perasaan saling membutuhkan dan saling menyukai seperti kakak dan adik, atau seperti dua orang sahabat yang senasib sependeritaan saja.

“Kau akan mengantarku ke utara untuk mencari musuhku...?”

Sin Liong terkejut dan teringatlah dia akan ocehan yang keluar dari mulut Kui Hok Boan ketika orang itu menjadi miring otaknya. Mendengar ucapan yang keluar dari orang yang terserang tekanan batin sehingga hampir gila itu, mudah diduga bahwa pembunuh ayah kandung Bi Cu tentulah Kui Hok Boan! Akan tetapi bagaimana dia dapat berterus terang kepada Bi Cu tentang hal ini? Kalau Bi Cu tahu tentang itu, tentu dara ini akan berusaha membalaskan kematian ayahnya, dan kalau itu terjadi, dia sendiri yang akan menjadi bingung. Mungkinkah dia membiarkan orang lain atau Bi Cu sekalipun membunuh Kui Hok Boan dan dengan demikian menyusahkan hati kedua orang adik tirinya, Kui Lan dan Kui Lin yang disayangnya? Sin Liong menjadi bingung akan tetapi dengan suara lirih dia menjawab, “Ya, tentu saja...”

Kembali hening dan Bi Cu masih bersandar pada pundak Sin Liong. Tangisnya terhenti dan tiba-tiba terdengar suara lirih, suara berkeruyuk yang hanya dapat didengar oleh mereka berdua saja.

Suara lirih ini seperti suara gaib yang sama sekali melenyapkan kedukaan dan keharuan hati mereka, yang dalam seketika memulihkan watak Bi Cu yang sebenarnya. Tiba-tiba saja, dara yang tadi menangis sesenggukan sedemikian sedihnya, kini tertawa begitu geli dan gembira, bebas lepas dan dia sudah melangkah mundur sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah wajah Sin Liong. Pemuda inipun tersenyum, memandang wajah Bi Cu penuh pesona. Siapa takkan ikut tersenyum gembira melihat dara seperti ini? Tadi di waktu menangis, wajah dara itu tentu akan meluluhkan hati siapapun juga, akan tetapi setelah sekarang tertawa, dengan mata yang masih agak kemerahan dan pipi agak basah itu bersinar dan berseri, bibir yang merah itu terbuka sedikit dengan sopan, nampak sedikit ujung deretan giginya ketika tertawa, membentuk lesung pipit di sebelah kiri mulutnya saja, ah, betapa manisnya, betapa cerahnya, seolah-olah matahari yang baru muncul dari balik awan hitam yang tadi menghalanginya!

“Ih, tak tahu malu!” Bi Cu berseru sambil tertawa geli.

“Apa yang tak tahu malu?” Sin Liong bertanya, hanyut dalam kegembiraan dara itu.

“Hik-hik-hik, masih tanya lagi. Perutmu yang tak tahu malu, siapa lagi! Aku mendengar ada ayam jantan berkeruyuk di dalamnya tadi!”

Sin Liong tertawa. “Dan akupun mendengar ada ayam betinanya vang ber­kotek, entah dalam perut siapa! Tak mungkin dalam perutku ada ayam jantan dan ayam betinanya!”

Bi Cu tertawa dan menutup mulutnya. “Dalam perutku! Memang perut kita keduanya tak tahu malu!”

Melihat kini dara itu sudah pulih kembali kegembiraannya, Sin Liong lalu duduk di atas akar pohon. “Bi Cu, se­lama ini engkau ke mana sajakah? Bagai­mana engkau sampai dapat terjatuh ke tangan orang-orang Pek-lian-kauw?”

Wajah Bi Cu masih berseri gembira, akan tetapi dia menarik napas panjang. “Ah, gara-gara engkau menyuruhku pergi ketika itu, banyak hal menimpa diriku.” Dia lalu menceritakan semua pengalamannya, sampai akhirnya dia hampir ditangkap pasukan pemerintah dan kemudian ditolong oleh Kim Hwa Cinjin dan diajak pergi ke Pek-lian-kauw untuk menjadi muridnya.

“Hemm, Ceng Han Houw memang berhati palsu! Dia sudah berjanji tidak akan mengganggumu, akan tetapi tetap saja pasukannya hendak menangkapmu. Akan tetapi mengapa engkau mau diambil murid oleh tosu itu, Bi Cu? Apakah kau tidak tahu bahwa dia adalah ketua Pek-lian-kauw yang jahat?”

“Aku tidak tahu, andaikata aku tahupun agaknya hal itu tidak mempengaruhi, karena aku tidak mengenal Pek-lian-kauw. Dan dia telah menolongku, Sin Liong, dia membunuh belasan orang perajurit itu, dan dia demikian lihai sehingga aku kagum sekali. Entah mengapa, biarpun di lubuk hatiku aku tidak suka menjadi muridnya, namun ternyata aku telah menerimanya dan ikut dengan dia ke pusat perkumpulan itu. Aku diperlakukan dengan amat baik dan manis oleh semua muridnya, dan dalam pesta itu, aku minum arak pesta ulang tahun kemudian tidak ingat apa-apa lagi sampai aku siuman di dalam hutan ini. Dan mereka itu... ah, mereka harus dibunuh!” Dara itu meloncat bangun ketika teringat akan tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu.

Akan tetapi Sin Liong sudah memegang lengannya. “Tenanglah, mereka sudah terhukum dan mungkin sekarang Pek-lian-kauw sudah hancur oleh pasukan pemerintah.”

“Eh, apa maksudmu?”

“Engkau diberi obat bius sehingga tidak ingat apa-apa, untung kedatanganku belum terlambat dan engkau sudah selamat. Inilah yang terpenting. Ketika aku membawamu keluar dari sarang Pek-lian-kauw, malam itu Pek-lian-kauw diserbu oleh pasukan pemerintah. Mungkin hal itu ada hubungannya dengan belasan orang perajurit yang telah dibunuh oleh Kim Hwa Cinjin. Dan kalau yang memimpin penyerbuan pasukan itu Ceng Han Houw sendiri, dan aku yakin akan hal ini karena aku mendengar suaranya, maka tentu tidak akan ada orang Pek-lian-kauw yang dapat lolos.”

“Sin Liong, bagaimana engkau dapat menolongku? Dan ke mana saja engkau pergi selama kita berpisah?”

“Setelah kita saling berpisah pada tempo hari, aku terpaksa mengantar Pangeran Ceng Han Houw menemui seseorang di selatan. Setelah beres, aku lalu kembali ke utara dan mulai mencarimu.”

“Sin Liong, engkau adalah adik angkat seorang pangeran. Kalau engkau adik angkatnya, mengapa pangeran itu memusuhimu?”

“Tidak memusuhi, Bi Cu. Hanya dia itu... ah, kelak engkaupun akan mengerti sendiri. Sekarang tidak perlu dia kita bicarakan, engkau tahu... mungkin sekarang dia bersama pasukannya sedang mencari-cari di dalam hutan ini!”

“Aku tidak takut!” Tiba-tiba Bi Cu berseru. “Dan sekali ini, jangan engkau mengorbankan diri untukku lagi. Aku tidak sudi pergi dengan selamat tapi harus meninggalkanmu. Aku tidak tahan hidup sendiri lagi tanpa engkau yang menemaniku, selalu gelisah dan bingung. Sin Liong, berjanjilah lagi, bahwa engkau takkan meninggalkan aku, apapun yang terjadi. Kita akan menghadapi bahaya bersama, kalau perlu, aku tidak takut mati, asal bersamamu!”

Kembali keharuan menyelinap di dalam hati Sin Liong. Entah mengapa, diapun memiliki perasaan seperti yang secara jujur diucapkan oleh dara itu. Kalau dia terpaksa mau berpisah dari Bi Cu seperti yang telah terjadi, adalah karena dia ingin melihat dara itu terbebas dari bencana. Maka kini dia mengangguk dan berkata lirih, “Percayalah, aku tidak akan akan meninggalkanmu lagi, Bi Cu.”

“Sin Liong, berkali-kali engkau berhasil menolongku. Bagaimana mungkin dengan kepandaianmu yang tidak seberapa tinggi... ah, aku tahu sekarang! Engkau tentu memiliki kepandaian hebat yang kau sembunyikan. Betul, tidak? Kalau tidak, mana bisa engkau mengalahkan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu? Juga tidak mungkin engkau mampu me­larikan aku yang dalam keadaan pingsan itu lolos dari Pek-lian-kauw! Sudah lama hal ini menjadi pikiranku. Engkau tentu memiliki kepandaian tinggi, Sin Liong.”

“Ah, engkau tahu bahwa aku tidak memiliki kepandaian apa-apa, Bi Cu.”

“Ilmu silatmu tentu tinggi...”

“Tidak lebih tinggi daripada ilmu silatmu.”

“Benarkah?”

Dara itu menarik napas panjang, memandang dengan penuh keraguan kepada Sin Liong. Betapapun juga, dia belum pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri tentang kepandaian pemuda ini. Maka diapun belum yakin benar. Tiba-tiba telinganya kembali menangkap suara berkeruyuk dan kebetulan sekali kembali perut mereka berdua yang mengeluarkan bunyi itu secara berbareng! Bi Cu ter­tawa lagi.

“Ih, lekas kau mencari makanan untuk mendiamkan perut-perut tak tahu malu ini, Sin Liong.”

Sin Liong mengerutkan alisnya. Dia merasa sangsi untuk meninggalkan Bi Cu seorang diri di tempat itu, akan tetapi menolak permintaan itupun dia tidak tega karena maklum bahwa memang dara itu lapar sekali, seperti juga dia sendiri.

“Aku harus melihat dulu di mana terdapat makanan di sini.” Dia lalu memanjat sebatang pohon besar. Tentu saja kalau dia menghendaki, sekali loncat saja dia sudah akan dapat melayang naik ke puncak pohon, akan tetapi dia tidak mau memperlihatkan kepandaiannya secara terang-terangan kepada Bi Cu, khawatir kalau-kalau sikap Bi Cu akan berubah kalau melihat bahwa dia memiliki ke­pandaian yang jauh lebih tinggi daripada dara itu. Maka dia lalu memanjat sampai ke puncak dan dari situ dia memandang ke sekeliling.

“Heii, ada sebuah dusun di barat sana!” teriaknya dari atas. Lalu dia bergegas turun, disambut oleh Bi Cu dengan wajah berseri.

“Kalau begitu, kau cepatlah ke sana mencari makanan, Sin Liong. Perutku sudah lapar sekali.”

“Bi Cu, apakah tidak sebaiknya kalau kita berdua yang pergi ke sana? Dengan demikian akan lebih aman bagimu, bukan? Dusun itu tidak jauh, paling lama berjalan satu jam akan sampai...”

“Tidak, Sin Liong. Aku lelah sekali. Tempat ini sunyi, siapa yang akan dapat menggangguku? Pula, aku dapat menjaga diri. Jangan khawatir, lekaslah kau men­cari makanan, biar kutunggu di sini.”

Sin Liong mulai mengenal kekerasan hati Bi Cu, maka menghela napas panjang dan berkata, “Baiklah, harap engkau jangan pergi ke mana-mana, Bi Cu. Kau­tunggulah aku di sini saja, aku takkan lama pergi.” Sin Liong akhirnya menye­tujui untuk meninggalkan Bi Cu, karena diapun berpikir bahwa kalau Bi Cu tidak ikut, dia akan dapat pergi ke dusun itu dan kembali dalam waktu yang jauh lebih cepat. Pula, hari sudah menjelang gelap, kalau masih ada pengejaran dan pencarian dari fihak pasukan pemerintah sekali­pun, tentu mereka itu akan menundanya dan akan melanjutkan besok pagi.

Sin Liong sudah melangkah ke depan ketika Bi Cu memanggil, “Sin Liong...”

Pemuda itu berhenti membalikkan tubuh. “Ada apa, Bi Cu?”

“Jangan lupa... eh, kaucarikan pakaian untukku!”

“Pakaian? Akan tetapi engkau sudah...”

“Hushh, siapa sudi memakai pakaian ini terus-terusan? Aku ingin pakaian wanita yang sopan dan pantas, berikut sepatunya. Maukah kau...?”

“Tentu saja! Akan kucarikan untukmu, jangan khawatir.”

Bi Cu tersenyum sambil memandang dengan wajah berseri dan sepasang mata bersinar-sinar penuh perasaan syukur dan terima kasih. Sin Liong menelan ludah. Bukan main manisnya Bi Cu kalau sudah begitu! Bukan hanya manis, akan tetapi juga ada sesuatu yang menyentuh perasaannya, yang membuat dia merasa terharu, membuat dia merasa ingin untuk merangkul dara itu, mendekapnya, menghiburnya, menyenangkan hatinya. Akan tetapi Sin Liong melawan perasaan ini dengan membalikkan tubuhnya lagi dan mulai melangkah meninggalkan Bi Cu, menuju ke barat. Tanpa disadarinya sen­diri, bibirnya meruncing dan dia men­dengar mulutnya sendiri bersiul-siul! Pe­rasaan senang yang bukan karena sesuatu, melainkan perasaan nyaman di hati, yang membuat segala sesuatu nampak indah!

Memang demikianlah, senang atau susah bukan didatangkan dari luar, me­lainkan tergantung dari keadaan batin kita sendiri, sungguhpun keadaan itupun dipengaruhi oleh keadaan luar. Senang atau susah masih berada dalam daerah terbatas, daerah terkurung dari kesibukan si aku. Si aku merasa diuntungkan, maka senanglah batin. Si aku merasa dirugikan, maka susahlah batin. Batin seperti ini berada dalam cengkeraman si aku yang bukan lain adalah pikiran itu sendiri. Pikiran mencatat segala pengalaman, baik yang senang maupun yang susah, dan pikiran menciptakan si aku, yaitu gambaran tentang diri sendiri, sebagai penikmat kesenangan maupun si penderita kesusahan. Timbullah keinginan untok mengulang atau melanjutkan kesenangan dan menjauhkan kesusahan. Keinginan inilah yang menciptakan lingkaran setan, yang menyeret kita di antara gelombang-gelombang kesenangan dan kesusahan sehingga keadaan kehidupan kita menjadi seperti sekarang ini. Setiap manusia ber­lumba untuk memperoleh kesenangan, dan demi kesenangan yang dikejar inilah ma­ka terjadi perebutan persaingan, per­musuhan, iri hati, kebencian dan sebagai­nya. Pengejaran kesenangan memisah-misahkan antara manusia, memupuk dan memperkuat si aku.

Keadaan bahagia sama sekali tidak dapat disamakan dengan kesenangan, wa­laupun kita pada umumnya menganggap bahwa kesenangan adalah kebahagiaan! Kebahagiaan berada di atas senang dan susah, sama sekali tidak tersentuh oleh keduanya itu. Keadaan bahagia adalah lenyapnya si aku, lenyaplah keinginan mengejar kesenangan dan menghindari kesusahan yang hanya merupakan kesibuk­an pikiran belaka yang terpengaruh oleh masa lalu, kenangan lalu, pengalaman lalu, ingin mengulang yang menyenangkan dan menjauhi kesusahag. Keadaan bahagia tak dapat diulang-ulang, merupakan se­suatu yang selalu baru. Keadaan bahagia baru mungkin ada kalau terdapat cinta kasih! Cinta kasih baru nampak sinarnya kalau batin dalam keadaan hening dalam arti kata tidak dipengaruhi oleh kesibuk­an pikiran atau si aku yang selalu ingin senang!

Setelah merasa yakin bahwa Bi Cu tidak dapat melihatnya lagi, Sin Liong lalu mengerahkan kepandaiannya, mem­pergunakan gin-kang dan ilmu berlari cepat, berlompatan dan berlari seperti seekor kijang muda saja menyusup-nyusup antara pohon-pohon dan semak-semak menuju ke barat, ke arah dusun yang tadi dilihatnya dari atas puncak pohon. Biarpun dusun itu kecil saja dan tidak ada restorannya, namun tidak sukar bagi Sin Liong untuk mendapatkan sekedar roti gandum dan sebotol arak, bahkan dia juga membeli satu stel pakaian yang masih baru milik seorang gadis petani yang tentu saja mau menjual pakalannya dengan harga yang jauh lebih tinggi dari­ pada harga sebenarnya. Akan tetapi untuk sepatunya, Sin Liong terpaksa hanya dapat memperoleh sepasang sepatu bekas saja, bersama kaus kakinya yang masih baik. Dengan girang pemuda ini lalu berlari cepat kembali ke dalam hutan. Cuaca sudah mulai gelap ketika dia tiba di dalam hutan itu. Hatinya berdebar penuh kegembiraan membayangkan betapa akan senangnya hati Bi Cu melihat dia kembali membawa makanan dan arak, bahkan membawa pula pakaian dan sepatu yang cukup baik untuk dara itu. Dibayangkannya betapa wajah manis itu akan menjadi semakin manis karena senyum yang cerah dan sepasang mata yang bersinar-sinar, dan terutama sekali betapa sepasang mata itu memandang kepadanya dengan penuh kegembiraan.

Tiba-tiba bayangan ini dihancurkan oleh berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu ada seorang laki-laki berdiri di depannya, bertolak pinggang dan memandang kepadanya dengan senyum dikulum dan sinar mata penuh ejekan. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Sin Liong ketika mengenal orang ini yang bukan lain adalah Pangeran Ceng Han Houw!

“Pangeran...!”

“Liong-te, apakah engkau su­dah lupa menyebutku Houw-ko? Apakah engkau sudah lupa bahwa kita adalah saudara angkat? Bukan main, di manapun ada keributan, di situ pasti ada engkau! Sama sekali tidak kusangka bahwa eng­kau tahu-tahu berada di sarang Pek-lian-kauw, dan ketika aku melihat bayangan­mu berkelebat, aku segera mengenalmu. Sayang aku terialu sibuk dengan tosu-tosu pemberontak itu sehingga baru se­karang aku dapat menyusulmu.”

“Houw-ko, di antara kita sudah tidak ada urusan apa-apa lagi. Engkau... mengejarku dengan maksud apakah?” tanyanya, harap-harap cemas karena dia tidak tahu apakah Bi Cu sudah tertawan lagi oleh pangeran yang berwatak palsu ini.

“Ha-ha-ha, adik angkatku ini yang selalu menjauhi wanita, yang tidak pernah mau menerima cinta kasih wanita, yang alim dan suci, ternyata selalu menjadi pelindung wanita! Ha-ha, aku yakin bahwa sekali engkau jatuh cinta, engkau akan menyerahkan segala-galanya kepada wanita. Beberapa kali engkau mengorbankan diri untuk wanita-wanita, untuk dara bernama Bi Cu itu, untuk Kui Lan dan Kui Lin, ha-ha-ha, padahal engkau selalu menolak kalau kusuruh wanita-wanita cantik melayanimu. Sungguh engkau mengherankan hatiku, Liong-te.”

“Sudahlah, aku tidak ingin bicara tentang wanita. Sebetulnya, ada keperlu­an apalagi engkau menghadangku, Houw-ko? Masih belum puaskah hatimu telah menghinaku di depan banyak orang kang-ouw? Aku telah mengaku kalah, aku telah menerima penghinaanmu tanpa banyak melawan. Harap saja engkau tahu bahwa di antara kita sudah tidak ada urusan apa-apa lagi dan aku tidak ingin berurusan lagi denganmu.”

Pangeran itu menggeleng-geleng kepalanya sehingga hiasan di atas topinya yang terbuat daripada bulu itu bergerak-gerak melambai-lambai. “Tidak, Liong-te, aku masih belum puas. Engkau tentu mengerti, tempo hari aku menghinamu dengan sengaja untuk memancing ke­marahanmu agar engkau suka melawanku. Akan tetapi engkau memang manusia aneh, luar biasa sekali, tahan hinaan, tahan ujian. Engkau hebat dan inilah yang membuat aku penasaran, Liong-te. Sekarang, mau tak mau, engkau harus melayani aku untuk bertanding mengadu ilmu. Ingin sekali aku melihat apakah benar-benar engkau kalah olehku, bukan hanya pengakuan kosong belaka!”

Sin Liong merasa sebal dan muak. Dia menggeleng kepalanya dan diam-diam hatinya merasa lega. Agaknya pangeran ini belum melihat Bi Cu. Inilah satu-satunya hal yang penting baginya. Dia lalu berkata, “Pangeran Ceng Han Houw, di depan banyak orang aku sudah menyatakan tidak akan melawanmu, se­karangpun, aku mengulang kembali pernyataanku bahwa aku tidak mau mengadu ilmu denganmu. Ilmu yang kupelajari bukan untuk diperlumbakan, bukan untuk disombongkan. Kalau engkau mau mem­borong gelar Pendekar Lembah Naga, atau Pendekar Nomor Satu di Dunia, silakan, kau boleh memilikinya semua. Aku tidak butuh akan segala gelar itu. Nah, minggirlah dan biarkan aku lewat.”

“Liong-te! Begini keras kepalakah engkau? Dengar, sekali ini, tanpa se­orangpun saksi, aku memaksa engkau untuk kita saling menguji kepandaian.

Mau tidak mau engkau harus melayaniku, kalau tidak engkau tetap akan kuserang sampai mati! Nah, kausambutlah ini!”

Pangeran itu telah menerjang dengan hebatnya! Ada angin dahsyat menyambar ketika dia menyerang, padahal pukulan­nya itu masih jauh, dalam jarak hampir satu meter namun hawa pukulannya telah menyambar sedemikian hebatnya. Sin Liong terkejut sekali. Maklumlah dia bahwa setelah mempelajari ilmu dari ouwyang Bu Sek atau lebih tepat lagi, dari Bu Beng Hud-couw, pangeran ini telah menguasai ilmu yang luar biasa. Pukulannya ini saja ampuhnya menggila! Maka diapun cepat meloncat ke belakang, kemudian dengan hati-hati dia menaruh bungkusan roti kering, botol arak dan pakaian berikut sepatu di bawah pohon. Pada saat itu, Ceng Han Houw sudah menerjangnya lagi, penasaran karena pukulan pertama dihindarkan oleh Sin Liong dengan loncatan jauh ke belakang. Dia mengira bahwa pemuda itu gentar menghadapinya. Gentar atau tidak, mau atau tidak Sin Liong sekali ini harus melayaninya bertanding, kalau tidak, dia akan membunuhnya! Dia maklum bahwa kalau belum dapat mengalahkan Sin Liong dia akan masih terus merasa penasaran. Dia sudah melihat kehebatan ilmu dari pemuda yang dianggap sebagai adiknya ini, ketika Sin Liong mengamuk dan merobohkan orang-orang kang-ouw dengan amat mudahnya.

Sin Liong kini sudah siap. Dia tahu bahwa tidak ada jalan lain untuk menolak serangan pangeran itu yang hendak memaksanya mengadu ilmu. Tentu saja dia tidak mau mati konyol dan juga sekarang tidak ada alasan untuk mengalah lagi. Sudah berkali-kali dia mengalah demi menyelamatkan nyawa orang lain, akan tetapi sekarang mereka berdua bertemu di hutan itu tanpa saksi, tanpa ada hal-hal yang memaksanya untuk mengalah, maka tentu saja dia tidak ingin membiarkan dirinya dipukul sampai mati. Begitu pukulan Han Houw datang, pukulan yang dahsyat sekali karena kedua tangan pemuda bangsawan itu maju dengan kecepatan kilat, yang kiri memukul dengan tangan miring ke arah lehernya, yang kanan menusuk dengan jari tangan ke arah ulu hatinya, diapun cepat menggerakkan kedua tangannya yang melakukan gerak dan diisi dengan tenaga Thian-te Sin-ciang.

“Plak! Plakk!”

Keduanya terpelanting!

“Bagus!” Han Houw gembira bukan main. Memang dugaannya tidak kosong. Adik angkatnya ini kuat sekali sehingga tangkisannya tadi mengandung tenaga besar yang membuat dia terpelanting, sungguhpun tenaganya sendiripun membuat Sin Liong terpelanting pula. Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam tenaga sin-kang, mereka memiliki kekuatan se­imbang. Namun, Han Houw masih belum merasa puas. Tenaga yang dikeluarkannya tadi belum sepenuhnya, baru tigaper­empat bagian saja. Maka kini dia meng­gereng dan kembali dia menubruk dengan serangan pukulan dahsyat, menggunakan seluruh tenaganya, dengan kedua tangan dia mendorong ke arah dada Sin Liong untuk membikin pecah dada lawan itu.

Sin Liong mengerti bahwa kakak angkatnya ini merasa penasaran dan hen­dak mengadu tenaga. Baik, pikirnya. Dia telah mewarisi Thian-te Sin-ciang dari mendiang Kok Beng Lama, maka kini diapun menahan napas dan mempergunakan seluruh tenaganya dari pusat di bawah perut, menyalurkannya kepada kedua lengannya dan diapun mendorong untuk menyambut hantaman lawan.

“Desss...!”

Hebat bukan main akibat adu tenaga keras lawan keras itu. Keduanya terjengkang dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya, dan ketika keduanya meloncat bangun, wajah Sin Liong pucat sekali akan tetapi di ujung bibir kiri Ceng Han Houw nampak setetes darah segar!

“Bukan main! Tenagamu amat luar biasa!” kata Han Houw agak terengah.

“Houw-ko, perlukah pertandingan gila ini dilanjutkan?”

“Haiiitttt...!” Pukulan yang datang disertai loncatan kilat ini benar-benar dahsyat bukan main. Saat itu Sin Liong sedang bicara, maka dia kurang cepat sehingga biarpun dia dapat menangkis pukulan itu, tetap saja hawa pukulan yang amat berat menghimpit pundaknya, membuat dia terpelanting dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya. Han Houw girang sekali. Akalnya berhasil, yaitu menggunakan kesempatan selagi Sin Liong bicara tadi melakukan serangan kilat. Melihat tubuh lawan bergulingan itu dia sudah meloncat dan mengejar, mengirim pukulan lagi ke arah kepala Sin Liong ketika pemuda ini sedang bangun.

Sin Liong yang sudah waspada itu cepat miringkan kepala dan menerima pukulan itu dengan bahunya.

“Dukk...!” Tangan kanan Han Houw tepat mengenai bahu kiri Sin Liong, akan tetapi tubuh Sin Liong tidak bergoyang, sebaliknya pangeran itu yang terbelalak.

“Aihhhh...!” Dia terkejut bukan main karena begitu tangannya yang memukul itu mengenai bahu lawan, dia merasakan sesuatu yang lunak dan tiba-tiba tenaga sin-kangnya sudah membanjir keluar memasuki tubuh Sin Liong melalui kontak antara tangannya dan bahu adik angkat itu.

“Thi-khi-i-beng...!” serunya dan tiba-tiba tangannya itu menjadi lemas dan tentu saja tangan yang tidak lagi dipenuhi hawa sin-kang ini tidak dapat disedot oleh Thi-khi-i-beng dan dengan mudah Han Houw sudah dapat menarik kembali tangannya tanpa pengerahan tenaga. Kiranya dia sudah bersiap-siap menghadapi ilmu mujijat itu dan memperoleh ajaran dari Hek-hiat Mo-li. Begitu tangannya terlepas, dia lalu mengirim tusukan dengan dua jari tangan kiri mengarah kedua mata Sin Liong.

“Syuuuttt...!” Untung Sin Liong cepat melompat ke belakang. Kalau sampai kedua matanya terkena tusukan itu, tentu akan menjadi buta, tanpa dia dapat melindungi matanya.

Ceng Han Houw sudah mulai merasa penasaran. Tadi dia telah mengalami kekagetan ketika Sin Liong memperguna­kan Thi-khi-i-beng dan sungguhpun sin-­kangnya tidak sampai tersedot banyak, namun dia menganggap hal itu sebagai kekalahan di fihaknya, kalah segebrakan. Maka untuk menebus kekalahan ini, dia sudah meloncat ke depan, menerjang lagi dan memukul dentan tenaga pukulan Hok-liong-sin-ciang. Inilah sebuah di antara ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari kitab Bu Beng Hud-couw dan dia memperoleh petunjuk sendiri dari “bayangan” kakek dewa itu, maka hebatnya pukulan itu bukan main.

Melihat pukulan yang mengeluarkan suara sampai bercuitan itu, dengan gelombang hawa berputaran menyambar ke arahnya, Sin Liong maklum bahwa pangeran itu benar-benar menyerangnya dengan sungguh-sungguh dan agaknya siap untuk membunuhnya, maka diapun tidak mau mengalah lagi. Diapun lalu mengeluarkan jurus dari Hok-mo Cap-sha-ciang, me­nyambut pukulan lawan itu sambil me­ngerahkan tenaga sepenuhnya.

“Desss...!” Kembali mereka bertemu di udara karena keduanya meloncat, dan kedua tangan mereka saling bertemu didahului hawa pukulan yang luar biasa dahsyatnya dan akibatnya, kembali keduanya terjengkang, terbanting keras dan bergulingan ke belakang.

Merahlah sepasang mata Han Houw. Tadinya dia mengangkat dan memandang diri sendiri terlampau tinggi. Tak pernah dapat dibayangkannya bahwa dia sampai dibuat terbanting seperti itu, bahkan su­dah dua kali padahal baru bertanding dalam beberapa gebrakan saja, sungguh­pun lawannya juga sama-sama terbanting. Hal ini dianggapnya tak masuk akal, bahkan menghinanya! Maka sambil mengeluarkan seruan nyaring melengking dia terus meloncat dan menyerang lagi, mengirim pukulan bertubi-tubi mengandal­kan kecepatannya bergerak. Memang hebat sekali pangeran ini. Gerakannya cepat seperti seekor burung walet yang menyambar-nyambar, kaki tangannya ber­tubi-tubi mengirim serangan ke arah tubuh Sin Liong, mengarah bagian-bagian tubuh yang paling berbahaya karena le­mah. Namun, Sin Liong menyambut de­ngan sama cepatnya dan mereka saling serang dengan amat hebat. Terjadilah pertandingan yang amat seru dan andai­kata ada orang yang nonton pertan­dingan itu, dia tentu akan menjadi bingung karena sukarlah mengikuti gerak­an mereka berdua itu dengan pandang mata, yang nampak hanya dua bayangan yang menjadi satu, berkelebatan dengan kecepatan yang luar biasa.

Agaknya Han Houw memang sengaja hendak menguras dan mencoba semua ilmu yang dimiliki adik angkatnya ini, maka dia tidak segera mempergunakan ilmu yang paling diandalkannya, yaitu Hok-te Sin-kun. Ilmu ini merupakan andalan terakhir, maka dia hendak menguji kepandaian Sin Liong dengan ilmu-­ilmu yang lain lebih dulu. Dan sebaliknya, biarpun di dalam hatinya dia mulai merasa penasaran kepada kakak angkat yang wataknya aneh ini, namun Sin Liong masih tetap teringat budi yang pernah diterimanya dari Han Houw, maka diapun tidak mengeluarkan jurus terampuh dari Hok-mo Cap-sha-ciang, melainkan melayani pangeran itu dengan ilmu-ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari ka­keknya, Yaitu San-in Kun-hoat dan Thai-kek Sin-kun, kadang-kadang menggantinya dengan pukulan-pukulan Thian-te Sin-ciang. Tiga macam ilmu silat ini adalah ilmu-ilmu silat tingkat tinggi, maka cu­kuplah untuk membendung semua serang­an Han Houw, bahkan dapat mengirim serangan balasan yang tidak kalah dah­syatnya.

Setelah mereka bertanding selama seratus jurus dan belum juga ada yang kalah atau menang, kedua lengan mereka sudah menjadi matang biru karena sering beradu dengan kekuatan seimbang, dan daun-daun pohon banyak yang rontok karena sambaran hawa-hawa pukulan mereka, Han Houw mulai merasa pena­saran sekali. Tahulah dia bahwa adik angkatnya ini benar-benar merupakan lawan yang amat tangguh dan berat, dan kalau tidak dilenyapkan dari permukaan bumi, tentu akan menjadi penghalang terbesar baginya untuk dapat menjadi jagoan nomor satu di dunia. Maka dia mulai mempertimbangkan untuk memper­gunakan ilmu andalannya yang terakhir, yaitu Hok-te Sin-kun.

Akan tetapi sebelum dia mulai tiba-tiba muncul sesosok bayangan yang tidak nampak jelas dalam cuaca yang sudah mulai remang-remang itu. Han Houw hanya melihat betapa bayangan ini adalah seorang laki-laki yang bertubuh kecil ramping, agaknya masih seorang pemuda remaja. Akan tetapi pemuda remaja itu mengangkat sebongkah batu besar dan kini pemuda itu melontarkan batu besar yang diangkatnya ke arahnya ketika dia meloncat ke belakang menjauhi Sin Liong untuk memulai ilmunya yang hebat, yaitu Hok-te Sin-kun!

Sin Liong juga melihat pemuda remaja itu yang dia kenal sebagai Bi Cu! Karena memakai pakaian pria, pakaian tosu Pek-lian-kauw, maka Han Houw tidak mengenalnya, apalagi cuaca saat itu mulai gelap, dan menyangka bahwa Bi Cu adalah seorang pemuda remaja. Sin Liong melihat serangan yang dilakukan oleh Bi Cu untuk membantunya. Batu besar itu lewat di dekatnya dan dia lalu menggerakkan kedua tangan mendorongnya dan membantu peluncuran batu itu dengan tenaga sin-kangnya sehingga batu itu melesat dengan kekuatan yang amat hebat!

Sementara itu, melihat pemuda remaja itu melemparkan batu besar ke arahnya. Han Hpuw tersenyum. Tentu mudah bagi­nya untuk mengelak atau menangkis, akan tetapi dia sudah akan memulai dengan Ilmu Hok-te Sin-kun, maka dia ingin mendemonstrasikan kehebatan ilmu ini untuk membikin gentar hati Sin Liong.

Dia cepat berjungkir balik dan tindakannya ini membuat dia tidak dapat melihat betapa Sin Liong telah membantu lontaran batu oleh Bi Cu itu dengan dorongan tenaga sin-kangnya. Kini batu meluncur cepat ke arah Han Houw yang sudah berjungkir balik. Pangeran itu tiba-tiba menggerakkan kedua kakinya menyambut, dengan tendangan yang amat keras.

“Darrr...!” Batu besar itu hancur berantakan dan nampaklah debu mengepul tebal. Debu ini menghindari pandangan mata Sin Liong, sehingga dia tidak tahu betapa ketika kedua kaki Han Houw itu menyambut batu dan menendangnya hancur, tubuh pangeran itupun terdorong sampai kedua kakinya hampir rebah menyentuh tanah! Pangeran itu terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa “pemuda remaja” yang membantu Sin Liong itu memiliki tenaga lontaran yang demikian kuatnya! Maka gentarlah hatinya. Melawan Sin Liong saja masih belum tentu dia menang, apalagi kalau Sin Liong dibantu oleh seorang kawan yang demikian tangguh pula. Kalau dia maju dikeroyok dua, agaknya sukar baginya untuk menang dan kalau kalah sungguh amat memalukan. Maka dia lalu melompat pergi, mengandalkan keremangan cuaca dan tebalnya debu. Dari jauh dia “mengirim” suara melalui khi-kang, “Sin Liong, lain kali kita lanjutkan pertandingan ini!”

Sin Liong tentu saja tidak menjawab dan juga tidak mengejar, hatinya merasa lega bukan main dan dia mengusap keringat dari leher dan dahinya, menggunakan ujung lengan bajunya. Bi Cu menghampirinya dan memegang lengannya. Sejenak mereka hanya saling berpandangan di antara keremangan senja yang mulai terganti oleh malam.

“Aihhh... Sin Lioing, tak kusangka... engkau ternyata memiliki ilmu kepandaian silat yang hebat!” akhirnya Bi Cu berkata dan suaranya terdengar gemetar, mukanya agak pucat dan napasnya memburu.

Sin Liong tersenyum dan menyentuh pundaknya. “Kau kenapakah?”

“Aku tadi nonton dari balik pohon, wah, bukan main gelisah hatiku. Ingin membantu namun tak mungkin, kalian bertanding sedemikian cepatnya sehingga untuk melihat mana engkau dan mana lawanmupun tidak mungkin bagiku. Aku... aku sudah siap dengan batu itu, kemudian kulihat dia meloncat mundur. Nah, baru aku berani menyambitkan batu itu sekuat tenagaku.”

“Dan kau berhasil mengusirnya, Bi Cu. Sekarang ini, engkaulah yang menolongku!” Sin Liong berkata.

“Hemm, jangan kau berpura-pura lagi. Aku sudah menyaksikan betapa engkau melawan musuh dan engkau hebat, aku malah tidak mampu mengikuti gerakanmu. Dan lontaranku tadi, entah bagaimana, batu itu berat sekali dan aku khawatir tidak akan dapat mencapainya. Dan dia begitu hebat, Sin Liong... hiiih, ngeri aku melihat betapa dia yang berjungkir balik mampu menghancurkan batu sebesar itu. Aku tahu bahwa kepandaianku tidak ada seperseratusnya orang itu, jadi tidak mungkin dia lari karena aku. Sin Liong, siapa sih dia?”

“Apa kau tidak mengenalnya? Dia itu Pangeran Ceng Han Houw...”

“Ah...! Begitu lihaikah dia? Cuaca remang-remang dan dia bergerak sedemikian cepatnya sehingga aku tidak mampu mengenalnya. Berbeda dengan engkau. Melihat sebuah tanganmu atau sebuah kakimu yang kadang-kadang nampak di antara bayangan kalian yang menjadi satu saja sudah cukup bagiku untuk mengetahui bahwa di antara dua orang yang bertanding itu adalah engkau. Engkau hebat sekali, Sin Liong...”

“Sudahlah, buktinya kalau tidak ada engkau, belum tentu aku dapat mengalahkan dan mengusir dia. Mari kita cepat pergi dari sini. Dengan adanya orang seperti dia di sini, kita tidak akan pernah aman kalau belum pergi sejauhnya dari dia.” Sin Liong lalu mengambil bungkusan roti dan sebotol arak, juga pakaian untuk Bi Cu yang tadi ditaruhnya di bawah pohon. “Ini makanan kita, kita makan sambil berjalan saja, dan ini pakaian dan sepatu untukmu, Bi Cu.”

“Kau... baik sekali, Sin Liong, terima kasih...”

Akan tetapi Sin Liong yang masih tetap mengkhawatirkan Han Houw kalau-kalau pangeran itu muncul dan mengganggunya lagi, segera mengajak Bi Cu melanjutkan perjalanan, menyusup makin dalam di hutan itu dan karena tadi Han Houw lari ke timur, maka diapun mengajak Bi Cu lari ke barat. Dia baru saja datang dari dusun di sebelah barat, maka dia sudah agak mengenal jalan dan biarpun cuaca menjadi semakin gelap, dapat juga mereka maju sampai akhirnya mereka tiba di tepi hutan dan mereka terpaksa berhenti karena malam yang gelap telah tiba.

Mereka makan roti dan minum arak. Bi Cu menukar pakaiannya yang terlalu besar dengan pakaian yang diperoleh Sin Liong dari dalam dusun. Setelah berganti pakaian, dia mendekati Sin Liong yang membuat api unggun, duduk dan memandang pemuda itu.

“Sin Liong, bagaimana engkau bisa memilih pakaian yang begini pas ukurannya dengan tubuhku?” tanyanya sambil mengamati pakaian yang dipakainya itu di bawah sinar api unggun, pakaian gadis petani yang sederhana, namun masih baru.

“Mudah saja, aku membeli dari seorang gadis yang memiliki bentuk tubuh seperti tubuhmu.”

“Engkau memang pintar. Tapi sepatu ini. Bagaimana bisa pas sekali?”

“Aku... pernah memperhatikan kakimu, dan bayangan ukuran kakimu masih teringat jelas olehku sehingga mudah bagiku untuk mencarikan yang cocok.”

“Eh, mengapa engkau memperhatikan kakiku?” tanya Bi Cu dengan polos, tanpa maksud apa-apa, hanya memang heran mendengar ada orang memperhatikan kakinya. “Kaumaksudkan ketika kedua kakiku tidak bersepatu?”

“Mengapa, ya? Mungkin karena melihat kaki tidak bersepatu merupakan hal yang aneh dan kakimu... kakimu begitu mungil...”

“Ihh! Jangan ceriwis kau...!” Bi Cu kini menundukkan mukanya karena dia tidak sanggup menentang pandang mata Sin Liong dan ada perasaan aneh menyelinap di hatinya yang berdebar-debar.

“Kau bertanya, aku menjawab sejujurnya dan kau marah...”

“Sudahlah, aku mau tidur. Nanti tengah malam kaugugah aku, biar aku yang berganti menjaga dan engkau tidur.” Akan tetapi tentu saja Sin Liong tidak pernah menggugahnya dan ketika pada keesokan harinya Bi Cu terbangun dari tidurnya, dia marah-marah. “Kenapa engkau tidak mau menggugahku semalam? Kau membiarkan aku tidur pulas sampai pagi! Kau... kau sungguh kejam!”

“Aku...? Kejam...? Hee, apa maksudmu?” Sin Liong bertanya, bingung karena tidak mengerti apa yang menyebabkan Bi Cu mengatakannya kejam.

“Kau membiarkan aku tidur semalam dan kau berjaga semalam suntuk, membikin aku sungguh merasa tidak enak hati, bukankah itu kejam?”

Sin Liong tercengang, lalu dia tersenyum dan mengangguk. “Baiklah, aku kejam dan kaumaafkan aku, Bi Cu.”

Bi Cu menatap wajah pemuda itu, kemudian dia menghampirinya dan mememegang kedua tangan Sin Liong. “Sin Liong, betapa jahatnya aku, ya? Betapa kurang penerimanya aku ini! Engkau sudah berjaga semalam suntuk, aku tidak berterima kasih malah memakimu kejam!”

Tentu saja Sin Liong menjadi semakin bingung dan dia hanya senyum-senyum gugup saja.

“Ti... tidak, Bi Cu, kau tidak jahat.”

“Kau heran mengapa aku marah dan menyebutmu kejam? Aku marah karena demi aku engkau menderita. Aku marah kepada diriku sendiri yang tidur seperti mayat saja, tidak dapat bangun untuk menggantikanmu. Aku memang kejam karena memang engkau kejam, bukan kejam terhadap diriku melainkan kejam kepada dirimu sendiri. Ah, kaumaafkan aku, Sin Liong.”

Senyum Sin Liong melebar, hatinya senang sekali. Bi Cu memang seorang dara istimewa! “Sudahlah, Bi Cu, tidak perlu dipersoalkan lagi urusan kecil ini. Sudah sepatutnya kalau aku yang berjaga, karena aku laki-laki.”

“Dan kepandaianmu hebat sekali. Aku mengerti sekarang, kalau aku yang ber­jaga dan tiba-tiba muncul pangeran siluman itu, akan celakalah kita...”

“Hayo kita melanjutkan perjalanan, Bi Cu. Hatiku merasa tidak enak sekali, karena aku tahu bahwa pangeran itu tentu tidak akan mau sudah begitu saja.”

Mereka bangkit berdiri dan pada saat itu terdengar suara suitan-suitan di segala penjuru, disusul ramainya suara derap kaki manusia dan kuda yang banyak sekali! Wajah Bi Cu menjadi pucat dan dia sudah memegang tangan Sin Liong. Pemuda ini merasa betapa tangan dara itu gemetar, maka dia menggenggamnya dan berbisik, “Jangan takut, ada aku di sini.”

“Tapi... mereka itu... tentu pasukan pemerintah, pasukan yang besar jumlahnya!” Suara Bi Cu juga gemetar.

“Bi Cu, bukankah kita ada berdua? Mati hidup kita hadapi bersama, bukan?”

Ucapan ini seperti meniupkan api dalam semangat Bi Cu, membuat matanya bersinar-sinar dan matanya kemerahan. Diapun menggenggam keras tangan pemuda itu dan diapun berkata, “Engkau benar! Mari kita hadapi mereka! Aku akan mati dengan senyum kalau bersama­mu Sin Liong!” Ucapan dalam saat yang berbahaya itu menusuk perasaan Sin Liong, membuat dia terdorong untuk merangkul dan mendekap kepala dara itu ke dadanya! Bi Cu juga mandah saja dan keduanya seolah-olah tenggelam ke dalam keadaan lain, ke dalam dunia lain dan tidak merasa sama sekali akan datangnya bahaya.

“Kejar, cari dan tangkap mereka!” Tiba-tiba terdengar suara yang amat dikenal oleh Sin Liong. Suara itu adalah suara Ceng Han Houw, masih amat jauh namun sudah terdengar olehnya karena suara itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khi-kang yang amat kuat sehingga bergema di seluruh hutan. Mereka berdua sudah berada di sebelah barat hutan.

Suara teriakan itu menyadarkan me­reka berdua dan Sin Liong cepat meng­gandeng tangan Bi Cu sambil menunjuk ke depan, ke arah utara. “Lihat, ke sanalah kita harus pergi!”

Wajah Bi Cu berubah pucat. “Tapi... itu adalah daerah pegunungan yang amat sukar, amat terjal dan penuh tempat liar. Lihat, dari sinipun nampak jurang-jurang dalam!”

“Justeru itulah merupakan tempat yang amat baik untuk melarikan diri dan bersembunyi. Ke barat terus melalui dusun-dusun dan tanah datar, amat sukar untuk dapat menyembunyikan diri, apa­iagi mereka mengejar dengan berkuda.”

Bi Cu tidak membantah lagi dan dia lalu ikut berlari digandeng oleh Sin Liong menuju ke bukit di sebelah utara. Benar saja, daerah ini amat sukar dilalui, baru naik sedikit ke lerengnya, mereka sudah harus berloncatan dari batu ke batu, mendaki tebing-tebing yang amat sukar karena selain terjal, juga tebing-tebing ini hanya dari batu-batu gunung yang kasar dan licin. Tidak ada jalan umum, bahkan tidak ada jalan setapak di situ karena daerah liar ini tidak pernah di­lalui manusia.

Melihat Bi Cu kesukaran untuk melalui tebing yang amat terjal itu, Sin Liong berkata, “Bi Cu, sebaiknya engkau kugendong saja. Marilah!”

Akan tetapi Bi Cu memandang ragu. “Tempat ini amat berbahaya, mengapa engkau mengambil jalan ini, Sin Liong?”

“Sengaja kuambil jalan ini agar para perajurit yang mengejar tidak dapat melaluinya. Paling banyak hanya pangeran sendiri saja yang dapat melanjutkan pengejaran, dan kalau hanya seorang lawan saja, aku masih dapat menanggulanginya. Marilah, Bi Cu, jangan kau khawatir, mari kugendong agar lebih cepat kita dapat pergi.”

Bi Cu menggeleng kepala dan memandang ke bawah, bergidik ngeri karena dia melihat betapa di sebelah bawah nampak jurang yang amat dalam! “Tempat ini begitu berbahaya, berjalan sendirian saja sudah amat sukar, apalagi harus menggedongku! Tidak, aku tidak mau membikin kau terancam bahaya jatuh...!”

Sin Liong tersenyum lebar. Kembali dara itu menolak demi keselamatannya, bukan demi keselamatan dara itu sendiri! Dan hal ini amat menyenangkan hatinya. Tiba-tiba terdengar suara berdesing dan nampak sinar hitam berkelebat. Sin Liong terkejut, akan tetapi dia sudah berhasil memukul benda hitam yang me­nyambar itu dengan tangannya dan benda itu ternyata adalah sepotong batu sebesar kepalan tangan yang meluncur dari bawah.

“Sin Liong, engkau hendak lari ke mana?” Terdengar bentakan dan ketika Sin Liong menoleh, jauh di bawah sana dia melihat bayangan beberapa orang, sedangkan yang berteriak itu bukan lain adalah Ceng Han Houw! Ketika Sin Liong mengenal empat orang lain yang datang bersama Han Houw, dia makin terkejut. Mereka itu adalah Kim Hong Liu-nio, Hai-liong-ong Phang Tek, Kim-liong-ong Phang Sun, dan seorang yang berpakaian pang­lima! Ternyata ada lima orang pandai yang mengejarnya dan lemparan batu dari tempat sedemikian jauhnya namun masih dapat menyambarnya dengan amat tepat dan cepat saja sudah membuktikan bahwa lima orang itu sungguh merupakan lawan yang amat berat.

“Celaka, mereka telah menemukan jejak kita!” Sin Liong berkata dan tanpa banyak cakap dia menyambar pinggang Bi Cu, diangkat dan dipanggulnya tubuh dara itu dan diapun berloncatan naik dengan cepatnya, seperti seekor monyet memanjat saja.

“Maaf, Bi Cu, tidak ada lain jalan!” katanya.

Bi Cu terbelalak, kemudian memejamkan mata saking ngerinya dibawa berloncatan secepat itu. Diam-diam dia merasa ngeri dan takut, akan tetapi juga kagum bukan main menyaksikan betapa cekatan dan hebat ilmu gin-kang dari pemuda yang tadinya dia kira adalah Sin Liong yang dahulu, yang ilmu silatnya jauh di bawah tingkatnya karena dia sendiri sudah menjadi murid mendiang Hwa-i Sin-kai! Kalau dia ingat betapa dia selalu hendak melindungi Sin Liong selama ini! Kedua pipinya berubah merah dan dia lalu berbisik. “Sin Liong, biarkan aku berada di belakangmu saja, sehingga aku dapat merangkul kedua pundakmu dan kau tidak perlu memondongku dengan sebelah lengan.”

Sin Liong merasa girang. Memang begini sebaiknya sehingga dengan Bi Cu di belakangnya, dia dapat berlari lebih cepat, dan dapat mengandalkan kedua tangannya untuk membela diri kalau perlu. Maka dia berhenti, menurunkan Bi Cu kemudian dia menggendong Bi Cu di punggungnya. Dara itu merangkul lehernya dari belakang dan menggunakan kedua kakinya untuk merangkul pinggangnya. Berdebar juga jantung Sin Liong merasakan betapa tubuh dara itu dengan hangat melekat di tubuh belakangnya, akan tetapi cepat dusirnya bayangan ini dan dia berlari terus. Akan tetapi lima orang pengejarnya mengerahkan gin-kang mereka dengan secepatnya.

Tentu saja Sin Liong sama sekali belum mengenal daerah ini dan dia terus memanjat puncak bukit itu dengan harapan akan dapat melarikan diri dari atas puncak itu ke daerah lain dan terbebas dari para pengejarnya. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika akhirnya dia tiba di puncak bukit itu, puncak itu merupakan batu datar yan­g luasnya hanya beberapa tombak saja! Puncak itu dikelilingi oleh jurang-jurang yang dalamnya tak dapat diukur lagi karena dari situ memandang ke bawah tidak kelihatan dasarnya, hanya nampak tonjolan batu-batu di sepanjang tebing itu seolah-olah sekeliling puncak itu yang ada hanya mulut maut yang terbuka lebar! Jalan naik satu-satunya hanyalah melalui jalan yang dipergunakannya tadi, dengan memanjat melalui dinding batu-batu bertumpuk-tumpuk. Dari puncak itu tidak mungkin dapat melarikan diri ke lain tempat, kecuali kembali lagi melalui jalan tadi! Padahal, ketika dia menengok ke bawah, dia melihat Han Houw dan empat orang temannya sudah mulai daki puncak itu!

“Wah, tidak ada jalan lari lagi!” katanya kepada Bi Cu yang menjadi pucat dan merasa khawatir sekali. “Satu-satunya jalan hanyalah melawan mereka. Bi Cu, jangan khawatir, aku akan melawan mereka mati-matian. Belum tentu aku akan kalah oleh mereka. Kurasa diantara mereka, yang paling lihai adalah Pangeran Ceng Han Houw. Kau jangan ikut-ikut, kautunggulah saja di sudut sana, berlindung di balik batu itu.”

“Tapi... tapi... aku harus membantumu!”

“Bi Cu, terus terang saja, tingkat kepandaianmu masih jauh sekali selisihnya dengan kepandaian mereka. Sekali maju, berarti engkau menyerahkan nyawa dan mati sia-sia. Apa artinya lagi aku melawan kalau sampai engkau menyerahkan nyawa dan mati konyol? Tidak, Bi Cu. Kau sembunyi di balik batu itu dan aku akan melawan mereka mati-matian.”

“Kalau kau kalah...?”

Sin Liong menggerakkan pundak. “Yah, yang ada hanya menang atau kalah. Kalau aku kalah dan tewas...”

“Aku akan mati bersamamu, Sin Liong!” seru Bi Cu.

“Aku tidak akan kalah, akan tetapi kaupenuhilah permintaanku, jangan kau keluar dari balik batu itu. Maukah kau berjanji?” Sin Liong memegang kedua pundak dara itu dan karena dia maklum bahwa menghadapi lima orang itu benar-benar merupakan penentuan mati hidup­nya dan dia meragu untuk dapat menang­kan mereka berlima, ketika memegang kedua pundak dara itu dia merasa seolah-olah dia hendak berpamit untuk berpisah, perpisahan terakhir dan selamanya! Hal ini menimbulkan keharuan hatinya dan dia lalu menunduk den mencium dahi yang halus den basah karena peluh itu. Bi Cu memejamkan matanya, merangkul den terisak, kemudian dia melepaskan diri dan berlari ke sudut tanah atau batu datar itu, bersembunyi di balik sebuah batu besar yang berada di sudut.

Legalah hati Sin Liong. Kalau dia menang itulah yang dlharapkannya. Akan tetapi andaikata dia kalah dan tewas, dia masih mempunyai harapan mudah-mudah­an mereka tidak melihat Bi Cu dan dara itu akan ditinggalkan dan akan dapat lolos dari tempat itu dengan selamat. Dia lalu menanti dan berdiri tegak, sikapnya tenang sekali.

Tidak terlalu lama dia menanti. Ceng Han Houw muncul dengan lompatan terakhir ke atas puncak batu datar itu, muka dan lehernya penuh keringat karena pengejaran tadi dilakukannya dengan sekuat tenaga den memang pendakian puncak itu amat melelahkan. Akan tetapi wajahnya berseri den sepasang matanya bersinar-sinar ketika dia melihat Sin Liong berada di situ. Tadinya dia sudah khawatir pemuda itu dapat meloloskan diri. Dekat di belakangnya muncul pula Kim Hong Liu-nio, wanita yang masih tetap nampak muda den cantik sekali itu. Kayu papan berbentuk salib masih ada juga di punggungnya. Setelah kematian Lee Siang, pria pertama yang dicintanya, dia memakai lagi papan itu untuk membasmi keluarga Cia, Yap dan Tio, terutama keluarga Cin-ling-pai, bukan hanya untuk membalas musuh-musuh gurunya sekarang, melainkan juga untuk membalas kematian kekasihnya itu. Kemudian muncul pula tiga orang pembantu Han Houw itu, ialah Lam-hai Sam-lo yang kini hanya tinggal dua orang lagi, yaitu Hai-liong-ong Phang Tek den Kim-liong-ong Phang Sun, karena orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo, yaitu Hek-liong-ong Cu Bi Kun, telah dibunuh oleh Han Houw sendiri ketika pangeran ini hendak “melindungi” Sin Liong.

Mereka berlima berdiri berhadapan dengan Sin Liong, seperti lima ekor harimau yang menghadapi seekor kelinci yang sudah tidak dapat melarikan diri lagi. Han Houw tertawa.

“Ha-ha-ha-ha! Liong-te, tak kausangka, ya? Engkau terjebak di tempat ini, sama sekali tidak ada jalan keluar!” Pangeran itu memandang ke sekelilingnya, kemudian kepada Sin Liong lagi dengan wajah berseri membayangkan kemenangan.

“Pangeran, engkau dahulu yang minta kepadaku untuk menjadi saudara angkat bahkan sampai sekarangpun engkau masih menyebutku adik Liong. Akan tetapi sekarang engkau mengejar-ngejarku, selalu menggangguku, bahkan menghendaki nyawaku. Apa artinya semua ini?” Pertanyaan ini diajukan oleh Sin Liong karena memang dia penasaran, bukan dengan maksud untuk minta dikasihani.

Mendengar pertanyaan ini, kembali pangeran itu tertawa. Agaknya dia tidak ingin cepat-cepat menyerang Sin Liong, tidak ingin cepat-cepat menghabisi korbannya itu, seperti seekor kucing hendak mempermainkan dulu sang tikus sebelum diterkam, untuk memuaskan hatinya. Dia sudah begitu pasti bahwa sekali ini pemuda yang merupakan lawan amat tangguhnya itu tidak akan dapat lolos lagi. Dia sendiri, biarpun belum tentu kalah oleh Sin Liong, namun mungkin mengalami kesukaran merobohkan adik angkatnya itu, apalagi kalau Sin Liong dibantu oleh orang pandai. Akan tetapi kini di situ terdapat sucinya, dua orang dari Lam-hai Sam-lo yang pandai, dan seorang panglimanya yang cukup tangguh.

Sin Liong tak dapat lari ke mana-mana lagi, karena puncak itu ternyata merupakan jalan buntu! Dan pembantu Sin Liong yang pandai semalam itu agaknya kini sudah tidak ada lagi.

“Sin Liong, dua pertanyaanmu itu sudah demikian jelas, perlukah kujelaskan lagi? Akan tetapi biarlah, agar jangan sampai engkau mati penasaran sehingga arwahmu menjadi setan, dengarkan baik-baik. Aku mengangkatmu menjadi adik adalah karena aku tertarik melihat keberanianmu, tertarik terutama sekali melihat ilmu silatmu sehingga aku ingin sekali mempelajarinya. Dalam hal ini aku berhasil, bahkan aku mewarisi ilmu-ilmu dari suhu yang lebih ampuh daripada ilmu-ilmu yang kaukuasai. Kemudian, mengapa aku mengejar-ngejarmu dan hendak membunuhmu? Jelas pula! Engkau adalah putera dari Cia Bun Houw, cucu dari ketua Cin-ling-pai. Ini saja sudah cukup bagiku untuk menangkap atau membunuhmu karena engkau adalah ke­turunan pemberontak yang dikejar-kejar oleh pemerintah. Kemudian, engkau menjadi penghalang bagiku untuk mencapai gelar jagoan nomor satu di dunia dan gelar Pendekar Lembah Naga. Oleh karena itulah maka engkau harus mati, Sin Liong. Dan dalam persoalan ke dua inipun aku berhasil, karena sekarang ini engkau sudah tersudut dan tidak akan mampu lari lagi! Ha-ha-ha!”

“MANUSIA she Cia, aku sudah menyiapkan hio untuk menyembahyangi arwahmu!” terdengar Kim Hong Liu-nio berkata halus, namun di dalam suaranya itu terkandung kekejaman yang amat mengerikan dan mendirikan bulu roma.

“Bocah setan, engkau harus membayar nyawa saudara kami Hek-liong-ong!” terdengar Phang Tek orang pertama dari Lam-hai Sam-lo berkata, sedangkan Kim-liong-ong Phang Sun yang tetap bertelanjang tubuh bagian atas itu menyeringai saja. Mendengar ini, Sin Liong mengerutkan alisnya dan memandang kepada Han Houw, akan tetapi pangeran itu hanya tersenyum saja. Tahulah dia bahwa pangeran itu telah bertindak curang, mengabarkan kepada kedua orang dari Lam-hai Sam-lo itu bahwa dialah yang membunuh Hek-liong-ong, padahal jelas bahwa pembunuhnya adalah pangeran itu sendiri. Akan tetapi, dia tahu bahwa membantahpun tidak akan ada gunanya. Dua orang kakek itu tentu lebih percaya kepada sang pangeran daripada kepadanya, maka dia pun diam saja dan hanya sepasang matanya makin mencorong penuh kegeraman.

“Cia Sin Liong, aku harus menangkapmu sebagai pemberontak yang buron!” panglima yang bertubuh tinggi besar itu membentak pula.

Pada saat itu terdengar sedikit suara di balik batu besar dan semua mata ditujukan ke sana. Kiranya Bi Cu yang tadinya bersembunyi tanpa bergerak, mendengar semua ucapan itu menjadi sedemikian kagetnya sehingga tak tertahankan lagi dia bergerak untuk mengintai. Hati siapa tidak akan menjadi terkejut mendengar bahwa Sin Liong, pemuda yang di waktu kecilnya terlunta-lunta itu adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai yang namanya menggetarkan langit dan bumi? Mendengar kenyataan yang amat mengejutkan dan mengherankan ini membuat dia merasa bangga akan tetapi juga amat khawatir akan keselamatan Sin Liong, maka dia bergerak hendak mengintai. Tak disangkanya, lima orang yang datang mengancam Sin Liong kesemuanya adalah orang-orang yang sudah memiliki ilmu sedemikian tingginya sehingga sedikit gerakannya itu saja sudah dapat ditangkap oleh pendengaran mereka!

“Chan-ciangkun, kautangkap orang di belakang batu itu!” Han Houw berseru keras.

“Baik, pangeran!” Panglima she Chan itu bertubuh tinggi besar, berkulit hitam dan sepasang matanya lebar. Dalam pakaian perang itu dia nampak gagah perkasa seperti tokoh cerita Sam-kok yang bernama Thio Hwi. Agaknya dia girang menerima perintah ini, seolah-olah memperoleh kesempatan untuk memperlihatkan kepandaian dan membuat jasa.

Sementara itu, ketika mendengar perintah ini, tahulah Bi Cu bahwa dia telah ketahuan dan percuma saja bersembunyi terus. Dia tidak takut karena memang tadinya dia tidak ingin bersembunyi, melainkan hendak menghadapi bencana di samping Sin Liong! Apalagi kini dia telah mengetahui bahwa Sin Liong adalah keturunan Cin-ling-pai, maka hatinya menjadi semakin besar dan tidak takut mati!

Muncullah dara itu dari balik batu besar dan melihat dara ini, Chan-ciangkun terbelalak dan merasa heran, bingung dan kecewa. Mana mungkin dia, seorang panglima besar, seorang laki-laki gagah perkasa, harus menghadapi seorang dara remaja seperti itu? Sedangkan Pangeran Ceng Han Houw juga terkejut lalu tertawa bergelak ketika mengenal gadis itu. “Ha-ha-ha, Cia Sin Liong yang terkenal sebagai pria alim itu ternyata secara diam-diam di mana-mana disertai wanita cantik! Tangkap dia, Chan-ciangkun!”

Karena perintah itu diulangi, terpaksa Chan-ciangkun lalu menubruk ke depan hendak menangkap Bi Cu. Karena gerakannya memang cepat sekaii, maka sekali sambar saja dia sudah berhasil menangkap pergelangan tangan kiri Bi Cu.

“Kerbau bau, lepaskan aku!” bentak Bi Cu dan tangannya bergerak menampar.

“Plakk!” Pipi yang lebar dari panglima itu sudah kena ditampar oleh tangan kanan Bi Cu.

Tentu saja Chan-ciangkun menjadi marah bukan main. Dia dimaki kerbau busuk dan bahkan pipinya ditampar oleh bocah ini! “Perempuan liar kau!” Tangannya bergerak dan muka Bi Cu sudah ditamparnya sehingga Bi Cu terpelanting dan untung tubuhnya menabrak batu besar, kalau tidak tentu dia akan terguling ke dalam jurang yang berada di dekat batu besar itu!

“Keparat!” Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu Sin Liong telah tiba di depan si panglima yang sudah hendak mengejar lagi, entah untuk memukul lagi atau menangkap. Melihat pemuda itu sudah berada di depannya, Chan-ciangkun yang marah dan merasa malu itu menimpakan kemarahannya kepada Sin Liong dan memang dia ingin membuat jasa, maka diapun cepat menghantamkan kedua tangan secara bertubi-tubi ke arah kepala dan perut Sin Liong. Serangannya ini cepat dan amat kuatnya karena memang dia seorang ahli gwa-kang (tenaga luar) yang telah melatih kedua lengannya sehingga menjadi matang biru dan luar biasa kerasnya.

Namun Sin Liong yang sudah marah sekali melihat betapa Bi Cu ditampar oleh pria ini, sudah menggerakkan kedua lengan menyambar sambil mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang.

“Krekk! Krekk!”

Panglima Chan mengeluarkan rintihan bercampur teriakan kaget. Kedua pergelangan lengannya patah ketika bertemu dengan lengan pemuda itu dan selagi dia terbelalak itu Sin Liong sudah menggerakkan tangan menampar dengan punggung tangan kiri.

“Desss!” Tubuh perwira tinggi itu terpelanting dan terbanting keras. Dia tidak dapat bangun lagi karena sudah pingsan terkena tamparan keras yang membuat tulang rahangnya retak-retak itu!

Akan tetapi, pada saat itu, Han Houw dan tiga orang temannya sudah berlompatan dekat dan pada saat Sin Liong merobohkan Chan-ciangkun, atas isyarat Han Houw, mereka berempat secara berbareng telah melakukan serangan yang amat dahsyatnya kepada Sin Liong! Han Houw yang sudah maklum akan kelihaian adik angkat itu, telah berjungkir balik dan menggunakan ilmu Hok-te Sin-kun, kepalanya menjadi kaki dan kedua kakinya mengirim tendangan-tendangan aneh dibantu oleh kedua tangan yang melakukan pukulan-pukulan jarak jauh dari bawah. Sementara itu, Kim Hong Liu-nio telah menyerang pula dengan sabuk merahnya, melakukan totokan ke arah sembilan jalan darah terpenting dari tubuh lawan bagian depan secara bertubi-tubi. Hai-liong-ong Phang Tek yang bermuka hitam sudah menerjang dengan pedangnya yang ganas, dengan Ilmu Pedang Liong-jiauw Kiam-sut, sedangkan si kecil pendek Kim-liong-ong Phang Sun sudah mengandalkan gin-kangnya, meloncat tinggi dan menyerang dari atas menggunakan pukulan dengan tangan kirinya yang bergelang emas tebal! Dalam segebrakan ini Sin Liong menghadapi empat lawan yang menyerangnya sekaligus, masing-masing menggunakan serangan yang amat berbahaya dan dahsyat!

Tentu saja Sin Liong terkejut sekali. Dia sudah mengisi kedua lengannya dengan tenaga Thian-te Sin-ciang yang membuat kedua lengan itu kebal terhadap senjata tajam, sinar merah sabuk Kim Hong Liu-nio ditamparnya dengan jari tangan sehingga ujung sabuk itu membalik, pedang Hai-liong-ong Phang Tek dan pukulan Kim-liong-ong Phang Sun ditangkisnya pula dengan kedua tangannya, membuat pedang itu menyeleweng dan Phang Sun yang tertangkis pukulannya itu mencelat ke belakang, akan tetapi pada saat itu, kedua kaki Han Houw sudah melakukan tendangan-tendangan aneh dalam keadaan jungkir balik! Sin Liong menggunakan kedua tangannya untuk mengangkis dan mengelak, dan dia merasa betapa dari kedua kaki itu menyambar hawa yang aneh dan kuat bukan main. Tahulah dia bahwa ilmu ini aneh sekali, dan selagi dia hendak menggunakan ilmu Hok-mo Cap-sha-ciang, tiga orang yang lain telah menerjangnya lagi. Maka sibuklah Sin Liong mengelak dan menangkis. Pada saat itu Han Houw mengeluarkan suara nyaring melengking dan tubuhnya yang berjungkir balik itu kembali menerjang maju. Kakinya bergerak aneh ke arah Sin Liong yang se­dang sibuk menghadapi serbuan tiga o­rang lihai itu. Sekali ini Sin Liong men­jadi sibuk juga, jalan satu-satunya hanya meloncat ke belakang, akan tetapi di bela­kangnya, hanya sejauh satu tombak, ada­lah jurang yang amat dalam. Maka ter­paksa sekali dia menangkis lagi, berdiri dengan tegak dengan kedua kaki ter­pentang, lalu dia membentak dengan suara keras, kedua tangannya didorongkan ke depan, sekaligus menangkis serangan empat orang itu. Hawa yang amat dah­syat menyambar dari kedua telapak ta­ngannya, menangkis semua serangan itu.

Terjadilah pertemuan tenaga yang amat dahsyatnya dan akibatnya, tubuh Han Houw yang berjungkir balik itu terlempar seperti layang-layang putus tali­nya, juga Kim Hong Liu-nio terhuyung ke belakang, dan kedua orang Lam-hai Sam-lo itu terjengkang dan bergulingan, me­reka seperti dilanda angin taufan yang amat kuat. Akan tetapi, menghadapi gempuran tenaga empat orang yang di­satukan itu, Sin Liong sendiri terlempar ke belakang dan tak dapat dihindarkan lagi tubuhnya melayang ke dalam jurang!

“Sin Liong, aku ikut...!” Bi Cu menjerit, meloncat ke tepi jurang lalu tanpa ragu-ragu lagi dia meloncat turun! Karena dia meloncat dengan menggunakan tenaga, maka tenaga loncatan itu menambah cepatnya tenaga luncuran tubuhnya sehingga dia dapat menyusul tubuh Sin Liong.

“Bi Cu...!” Sin Liong yang jatuh dalam keadaan telentang itu berteriak kaget melihat tubuh Bi Cu juga jatuh menyusulnya.

Empat orang itu merangkak bangun dan berlari ke tepi jurang. Melihat tubuh kedua orang itu meluncur turun dengan cepatnya, kematian tak dapat disangsikan lagi pasti akan menyambut mereka ber­dua di bawah sana. Pangeran Ceng Han Houw tertawa bergelak sambil meman­dang langit.

“Ha-ha-ha-ha! Selamat jalan, Cia Sin Liong! Ha-ha-ha, akulah sekarang Pende­kar Lembah Naga! Inilah Pendekar Lem­bah Naga!” Dia menepuk-nepuk dada sendiri sambil tertawa-tawa. Baru sekarang terasa benar bahwa betapa sesungguhnya dia amat membenci Sin Liong, semenjak permulaan. Benci yang timbul karena iri hati. Biarpun dia seorang pangeran, na­mun dia iri melihat betapa pemuda itu demikian gagah berani, demikian jujur, demikian setia, dan keturunan dari para pendekar besar dari Cin-ling-pai pula. Dia merasa iri, apalagi setelah dia tahu bahwa Sin Liong mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi! Kini satu-satunya saingan baginya telah lenyap! Dia selalu merasa rendah diri kalau dekat dengan Sin Liong! Pemuda itu begitu alim, tidak dapat digoda nafsu berahi, begitu tenang dan dapat menguasai perasaan dan keadaan. Kini telah tiada, telah hancur lebur di dasar jurang yang tak nampak itu!

“Sudahlah, jangan kau menangis saja. Hatiku menjadi makin bingung dan kacau kalau engkau menangis.”

Mereka duduk di dalam sebuah kuil tua. Sun Eng menangis sambil menyandarkan kepalanya di dada Lie Seng yang merangkulnya dan mengelus rambutnya yang hitam dan halus itu.

Akan tetapi Sun Eng menangis makin sedih. “Betapa tidak akan hancur dan terharu rasa hatiku, koko...” Dia terisak-isak. “Melihat ada seorang pria di dunia yang kotor ini, pria seperti engkau yang begini mencintaku... dan aku... aku seorang hina yang ternyata kini malah membuat hidupmu menderita, menjauhkan engkau dari keluargamu, dari ibu kandungmu... aku merasa berdosa kepadamu, koko...”

“Sudahlah, Eng-moi, berapa kali eng­kau mengemukakan hal itu? Aku sudah bilang, aku tidak perduli semua itu! Yang terpenting dalam hidupku hanya engkau seorang, Eng-moi! Biar keluargaku sendiri, biar ibu kandungku sendiri, kalau tidak tepat pendapatnya, menghina dan memburukkanmu, biarlah aku menjauhkan diri dari mereka.”

Sun Eng merangkul dan mereka be­rangkulan. Lie Seng menciumi wajah ke­kasihnya itu, matanya yang basah air mata, bibirnya yang menyambutnya de­ngan penuh kemesraan dan terbuka, dan sejenak mereka tenggelam ke dalam perasaan cinta asmara yang menggelora. Tak pernah kedua orang ini merasa bo­san untuk bermesraan, di mana saja dan kapan saja. Cinta mereka makin berakar mendalam.

“Hanya maut yang akan dapat me­misahkan kita, Eng-moi!”

Sun Eng memegang tangan Lie Seng, menciumi jari-jari tangan itu dengan hati penuh perasaan terharu dan bersyukur. “Lie-koko, engkau dari keluarga besar, engkau cucu dari pendekar sakti, ketua Cin-ling-pai, seluruh keluargamu terdiri dari pendekar-pendekar kenamaan, dan engkau... engkau telah mengangkat aku dari jurang kehinaan ke tempat yang amat tinggi, terlampau tinggi untukku...”

“Sudahlah, Eng-moi, jangan merendah­kan diri sendiri.”

“Tidak, koko, akan tetapi akan selalu merasa rendah diri kalau aku tidak me­lakukan sesuatu untukmu, untuk keluarga­mu, bukan untuk mengangkat diri, me­lainkan setidaknya untuk mengimbangi selisih yang begini jauh antara engkau dan aku...”

Lie Seng mengecup bibir itu dan ber­tanya dengan suara main-main, “Habis, apa yang akan kaulakukan, sayang?”

“Entahlah, koko, entahlah. Akan te­tapi aku harus melakukan sesuatu demi engkau, demi keluargamu. Harus!” Wani­ta yang masih basah kedua matanya itu mengepal tinju, akan tetapi dia segera tenggelam lagi ke dalam pelukan dan cumbu rayu Lie Seng.

Lama setelah gelora asmara yang bergelombang menenggelamkan mereka agak mereda, mereka sudah duduk kembali, Lie Seng menyandarkan tubuhnya pada dinding kuil tua itu, sedangkan Sun Eng bersandar kepadanya dengan kedua mata dipejamkan.

“Lie-koko, setelah aku mengakibatkan engkau terpisah dari keluargamu, lalu ke mana kita sekarang hendak pergi?” ter­dengar Sun Eng bertanya halus.

“Kita akan ke Yen-tai!”

“Yen-tai di timur itu, di pantai?”

“Benar, Eng-moi, kita ke sana.”

“Mau apa ke sana, koko? Ke rumah siapa?”

“Aku mempunyai seorang suci (kakak seperguruan) di sana, Eng-moi. Dia sudah menikah dan kini tinggal bersama suami­nya di sana. Suaminya seorang peng­usaha besar, maka biarlah kita ke sana, aku akan minta bantuan suci agar bisa mendapatkan pekerjaan di sana.”

Sun Eng girang sekali dan dia banyak bertanya tentang suci dari kekasihnya itu. Lie Seng lalu menceritakan siapa ­sucinya itu. “Dia adalah puteri dari paman Yap Kun Liong, dia lihal sekali, dan suaminya juga seorang pendekar muda, peranakan Portugis akan tetapi baik hati dan gagah perkasa karena ibunya dahulu adalah seorang pendekar wanita yang kenamaan.”

Setelah banyak bercerita tentang Souw Kwi Beng dan Yap Mei Lan, Lie Seng lalu mengajak kekasihnya melanjutkan perjalanan menuju ke Yen-tai. Makin kagum sajalah hati Sun Eng mendengar penuturan itu. Kiranya, semua keluarga kekasihnya terdiri dari orang-orang hebat belaka, pendekar-pendekar kenamaan dan mengingat akan semua ini, makin menyesal hatinya, mengapa dia sebagai murid suami isteri pendekar Cia Bun Houw ­dan Yap In Hong sampai menyeleweng! Andaikata tidak tentu diapun akan termasuk “keluarga besar” dari para pendekar itu, sebagai cucu murid ketua atau ­pendiri Cin-ling-pai! Dia makin merasa bahwa dengan masuknya ke dalam lingkungan keluarga perkasa itu sebagai kekasih Lie Seng, dia merupakan satu-satunya kambing hitam buruk di antara domba-domba berbulu tebal putih yang bersih dan indah! Namun sikap yang amat mencinta dari Lie Seng, terutama sekali perasaan hatinya sendiri terhadap pemuda ini, membuat dia berani melanjutkan perjalanan bersama kekasihnya, biarpun hatinya merasa tidak enak dan merasa rendah diri.

Tentu saja Yap Mei Lan menyambut kedatangan sutenya itu dengan girang sekali. Demikian pula Souw Kwi Beng menyambut Lie Seng dengan gembira. Lie Seng dan Sun Eng dipersilakan masuk dan suami isteri muda yang kaya raya itu menjamu mereka dengan hidangan lezat dalam suasana meriah, karena Yap Mei Lan gembira sekali kedatangan sutenya. Bagaimanapun juga, Lie Seng bukan hanya sutenya, akan tetapi lebih dari itu malah adik, yaitu termasuk adik tirinya. Bukankah ibu kandung sutenya itu, kini menjadi isteri dari ayah kandungnya sendiri?

“Bagaimana kabarnya dengan ayahku, sute? Dan juga bagaimana dengan ibumu? Juga bibi In Hong dan paman Bun Houw?” ketika mereka makan minum sambil bercakap-cakap, Mei Lan tidak dapat menahan diri lagi lalu menanyakan keadaan empat orang yang menjadi buruan pemerintah itu, dengan alis berkerut dan wajah khawatir.

Berdebar rasa jantung Lie Seng dan Sun Eng. Memang sejak tadi Lie Seng sudah hendak menceritakan tentang keadaannya dan tentang perselisihannya dengan keluarganya mengenai diri Sun Eng. Tadi hanya secara sepintas lalu ketika dia dan Sun Eng datang, dia memperkenalkan kekasihnya itu sebagai seorang sahabat dan suami isteri muda itu hanya tahu bahwa gadis ini bernama Sun Eng dan hanya menduga, melihat sikap dan gerak-gerik dua orang muda itu, bahwa agaknya ada apa-apa dalam persahabatan itu. Kini Mei Lan menanyakan tentang ibunya!

“Mereka... mereka baik-baik saja, suci, mereka tinggal dalam keadaan aman di Yen-ping...”

“Ehhh...?” Yap Mei Lan kelihatan heran dan saling pandang dengan suaminya yang tampan dan yang sejak tadi hanya mendengarkan saja. Souw Kwi Beng mengerutkan alisnya memandang Lie Seng dengan penuh selidik, lalu diapun ikut bicara.

“Seng-te, sejak kapankah engkau berjumpa dengan ayah mertuaku?”

“Kurang lebih tiga bulan kami berdua baru meninggalkan Yen-ping dan mereka berempat masih berada di sana dengan aman... eh, ada apakah?” Lie Seng bertanya, hatinya terasa tidak enak.

“Ah, kalau begitu engkau belum tahu, sute,” kata Mei Lan. “Mereka sekarang telah pindah lagi, setelah mereka diserbu musuh di Yen-ping. Baru saja kami menerima berita dari ayah tentang hal itu.” Mei Lan lalu menceritakan berita yang didengarnya dari Yap Kun Liong. Ternyata keluarga pendekar yang sudah meninggalkan Yen-ping dan diam-diam melarikan diri dan bersembunyi di kota Bun-cou di Propinsi Ce-kiang itu diam-diam mengirim berita kepada Yap Mei Lan dan suaminya.

“Mereka diserbu musuh? Ah, lalu... mereka kini berada di mana?”

“Di Bun-cou, di Propinsi Ce-kiang.”

Mei Lan lalu menceritakan lagi dengan jelas dan Lie Seng mendengarkan dengan tangan dikepal. “Kalau aku tahu, tentu aku tidak akan pergi dan akan membantu mereka menghadapi musuh!” katanya. Diam-diam Sun Eng merasa geli­sah sekali dan juga menyesal, karena ke­kasihnya itu terpaksa meninggalkan keluarganya demi dia!

“Sudahlah, sute. Mereka kini telah selamat dan karena berada di tempat yang semakin jauh dari kota raja, agaknya di selatan itu mereka dapat hidup aman. Aku sudah mengirim perbekalan dan uang kepada mereka, melalui orang kepercaya­an suamiku yang mengadakan pelayaran ke selatan. Lalu, engkau sendiri dan adik Sun Eng ini, ada keperluan apakah kalian datang ke sini? Ataukah hanya untuk menengok sucimu ini?”

Lie Seng menarik napas panjang. Saat yang digelisahkan sudah tiba, dia harus menceritakan semuanya kalau dia menghendaki tinggal bersama kekasihnya di Yen-tai ini.

“Sesungguhnya, amat sukar bagiku menceritakan semua ini, suci. Akan tetapi karena agaknya aku sudah terpencil dan hanya engkaulah satu-satunya orang yang dapat kuharapkan akan mau mengerti keadaanku, maka aku sengaja datang mengunjungimu, suci, harap engkau berdua suamimu suka berbelas kasihan kepadaku.”

Tentu saja Mei Lan terkejut bukan main mendengar ucapan sutenya yang dikeluarkan dengan nada berduka itu. “Sute, apakah yang telah terjadi? Tentu saja aku akan suka membantu sedapat mungkin!”

Tentu saja agak berat bagi Lie Seng untuk menceritakan urusannya dengan Sun Eng dan melihat keraguannya itu, Souw Kwi Beng yang tahu diri lalu berkata, “Lie-te, kalau engkau merasa sungkan dan ragu untuk bercerita di depanku, biarlah aku mengundurkan diri dulu...”

“Ah, tidak... tidak sama sekali, suci-hu (kakak ipar),” Kemudian dia menoleh kepada Sun Eng lalu berkata, “Eng-moi, sebaiknya engkaulah yang bercerita kepada suci Yap Mei Lan, dan aku yang bercerita kepada suci-hu Souw Kwi Beng.”

Sun Eng bales memandangg kemudian dia mengangguk. Melihat ini, Mei Lan lalu bangkit dari duduknya, memegang tangan Sun Eng sambil berkata, “Marilah, adik Sun Eng, kita bicara di dalam.”

Dua orang wanita itu lalu meninggalkan ruangan itu den masuk ke dalam kamar Mei Lan. Setelah mereka pergi, Lie Seng merasa lebih leluasa den berceritalah dia kepada Souw Kwi Beng tentang hubungannya dengan Sun Eng dan bahwa ibu kandungnya, juga pamannya, telah menyatakan tidak setuju dengan perjodohan mereka. “Mereka itu tidak setuju karena Eng-moi tadinya adalah murid dari paman Cia Bun Houw den menurut paman, Eng-moi pernah menyeleweng, pernah tergoda oleh kaum pria. Ibu tidak setuju aku menikah dengan seorang gadis yang bukan perawan lagi. Itulah persoalan kami, cihu, sehingga terpaksa aku bersama Eng-moi pergi meninggalkan mereka. Karena tidak tahu harus pergi ke mana, maka aku mengajaknya ke sini dengan harapan cihu suka menolongku dan memberi pekerjaan agar aku bersama Eng-moi dapat hidup di kota ini dan kalau mungkin, kuharap suci dan cihu dapat meresmikan pernikahan kami.”

Souw Kwi Beng mengangguk-angguk dan alisnya yang tebal itu berkerut. Dia sendiri merasa kecewa mendengar bahwa kekasih Lie Seng adalah seorang wanita yang pernah tergoda oleh kaum pria! Dia tidak dapat membayangkan sampai berapa jauhnya kata “menggoda” itu, akan tetapi kalau sampai gadis itu tidak perawan lagi, tentu godaan dan penyelewengan itu sudah terlalu mendalam. Namun, cinta kasih memang aneh dan dia sendiri tidak berani mencampuri.

“Tentu saja aku dapat menolongmu dengan pekerjaan yang kauperlukan, dan untuk engkau tinggal di kota inipun bukan hal yang sukar dan dapat kuatur sebaiknya. Hanya mengenai peresmian pernikahanmu, hemmm... agaknya hal itu amat sukar. Kurasa sucimu juga akan sependapat denganku bahwa kami tentu saja tidak akan berani bertindak selancang itu, melampaui ibu kandungmu dan ayah kandung isteriku untuk meresmikan pemikahanmu, seolah-olah mereka orang-orang tua itu sudah tidak ada saja. Tidak, Seng-te, kurasa hal ini tidak mungkin.”

Lie Seng menarik napas panjang. “Andaikata tidak mungkinpun tidak mengapa. Kami sudah mengambil keputusan hidup bersama, dinikahkan secara resmi ataupun tidak, bagi kami sama saja!” Ucapan ini mengandung kepedihan hati akan tetapi juga mengandung keputusan nekat.

Sementara itu, di dalam kamar, Sun Eng juga bercerita kepada Mei Lan. Akan tetapi berbeda dengan cerita Lie Seng, wanita ini menceritakan segalanya tanpa ditutup-tutupi lagi. Dia menceritakan penyelewengannya ketika dia masih menjadi murid Cia Bun Houw, betapa melihat kedua orang gurunya itu dalam keadaan pengasingan diri tidak melakukan hubungan suami isteri, membuat dia merasa kasihan kepada Bun Houw dan dia telah mencoba untuk merayu gurunya sendiri. Kemudian betapa dia terpikat oleh godaan kaum pria sehingga dalam kepatahan hatinya karena dibenci oleh kedua gurunya, dia melakukan penyelewengan-penyelewengan sehingga tidak diakui lagi sebagai murid suami isteri pendekar itu. Kemudian, diceritakan pula tentang penyesalannya, tentang usahanya menolong kedua gurunya itu sehingga dia bertemu dengan Lie Seng. Betapa dia sudah menceritakan semua pengalamannya itu kepada Lie Seng, dan mereka masing-masing berpisah selama satu tahun untuk menjajagi hati masing-masing dan kemudian bertemu lagi dan cinta mereka bahkan semakin mendalam.

“Demikianlah, enci. Aku tahu akan keadaan diriku. Aku mengenal sepenuhnya siapa diriku, seorang murid murtad, seorang gadis tak tahu malu yang hina dan rendah. Aku tahu benar bahwa aku tidak pantas menjadi isteri Lie-koko, dan aku sudah menyatakan hal ini terus terang kepadanya. Akan tetapi, dia begitu mencintaku, enci, dan aku... kalau engkau masih percaya kepada hati yang sudah rusak ini, aku... melihat betapa murni cintanya kepadaku, aku rela mati untuknya, enci. Ketika dia bentrokan dengan keluarganya, dengan ibu kandungnya sendiri, mau rasanya aku membunuh diri. Akan tetapi aku tahu, cara itu bahkan akan membuat Lie-koko menjadi makin berduka saja, maka aku menuruti segala kehendaknya dan demikianlah, kami berdua tiba di sini. Agaknya, sekarang terletak dalam tangan enci nasib Lie-koko...” Dan menangislah Sun Eng.

Sejenak Yap Mei Lan termenung, membiarkan gadis itu menangis. Di dalam hatinya terjadi perang. Tentu saja dia tidak dapat menyalahkan ibu tirinya atau ibu kandung Lie Seng yang kini menjadi isteri ayah kandungnya, juga tidak menyalahkan suami Isteri Cia Bun Houw. Siapa orangnya yang merasa senang melihat puteranya berjodoh dengan seorang gadis yang begitu rusak batinnya, yang telah menjadi permainan kaum pria, bahkan yang begitu tak tahu malu untuk menggoda dan mengajak main gila kepada suhunya sendiri? Akan tetapi, kalau mereka sudah saling mencinta di antara mereka berdua, dan terutama sekali dia tidak meragukan cinta wanita ini terhadap sutenya. Baginya, cinta kasih asmara adalah urusan dalam dari dua orang yang bersangkutan dan orang lain sama sekali tidak boleh menilainya, tidak boleh mencampurinya. Tentu saja kalau menurut suara hatinya sendiri, diapun akan merasa kecewa melihat sutenya berjodoh dengan seorang gadis yang sudah pernah menyeleweng seperti Sun Eng ini. Akan tetapi dia maklum bahwa campur tangan perasaannya ini tidaklah benar, setidaknya, tidak akan membahagiakan hati sutenya. Maka dia menarik napas panjang.

“Sudahlah, adik Eng. Yang terpenting bagi kalian adalah isi hati kalian masing-masing. Tentu saja kami akan suka menolong kalian, terutama kekasihmu adalah suteku yang tersayang. Mari kita temui mereka dan kita bicara lebih lanjut.

Mereka lalu keluar dan kembali ke ruangan tadi. Melihat kekasihnya masuk bersama sucinya dengan kedua mata agak membengkak dan merah oleh tangis, mengertilah Lie Seng bahwa Sun Eng tentu telah menceritakan segala-galanya, termasuk penyelewengannya. Maka dia segera menyambut dan menggandeng tangan kekasihnya, meremas jari-jari tangan Sun Eng dan dari sentuhan ini seolah-olah dia telah menghibur dan membesarkan hati kekasihnya itu. Kemu­dian mereka duduk mengelilingi meja seperti tadi.

Memang tepatlah pendapat Souw Kwi Beng yang dikatakan kepada Lie Seng tadi. Yap Mei Lan dengan rela dan se­nang hati mau menolong sutenya dan dia setuju sepenuhnya kalau suaminya mem­beri pekerjaan yang layak kepada sute­nya. Akan tetapi dia tidak berani kalau harus meresmikan pernikahan kedua orang muda itu.

“Hal itu tidak mungkin dapat kami lakukan, sute. Harap sute memakluminya, ibu kandungmu masih ada, pamanmu masih ada, mana mungkin aku berani bersama suamiku bertindak sedemikian lancangnya untuk menjadi walimu dan meresmikan pernikahanmu? Hal itu tentu saja menjadi lain kalau andaikata ibu kandungmu itu memberi kekuasaan dan persetujuan kepada kami. Harus kau ingat bahwa ibu kandungmu berarti juga ibu tiriku, maka aku sama sekali tidak berani. Ayah tentu akan marah kepadaku kalau aku sampai berani selancang itu. Maka, kaumaafkanlah kami berdua, sute.”

Lie Seng dapat menerima alasan-alasan mereka itu dan demikianlah, mulai hari itu, Lie Seng diberi pekerjaan oleh Souw Kwi Beng. Karena perdagangan Kwi Beng meliputi perdagangan barang-barang hasil bumi yang diangkut dengan perahu-perahu, dan setiap hari banyak sekali perahu-perahu hilir mudik di pelabuhan Yen-tai, maka Lie Seng diberi tugas untuk mengawasi kelancaran pemuatan hasil bumi ke perahu-perahu itu, menjaga jangan sampai ada kecurangan. Selain pekerjaan, juga suami isteri yang kaya ini menyediakan sebuah rumah lengkap dengan segala perabotnya untuk Lie Seng dan Sun Eng.

Penyambutan yang amat baik ini ma­kin mengharukan hati Sun Eng. Dia me­rasa semakin terpukul melihat kebaikan Mei Lan, suci dari kekasihnya. Makin dia kagum kepada Lie Seng dan keluarga­nya, makin dia merasa dirinya kecil dan tidak berharga, rendah dan tidak patut menjadi teman hidup seorang pendekar seperti Lie Seng! Oleh karena itu, biar­pun pada lahirnya dia kelihatan berbahagia dan hidup sebagai suami isteri yang belum sah bersama Lie Seng, penuh de­ngan kemesraan dan cinta kasih, namun di dalam batinnya wanita muda ini selalu penuh dengan penyesalan terhadap diri sendiri!

Sudah menjadi kebiasaan kita pada umumnya, untuk selalu menilai perbuatan-perbuatan kita yang sudah lalu, menim­bulkan penyesalan, rasa takut, dan se­bagainya. Bahkan telah kita terima se­bagai sesuatu yang benar dan mutlak penting bahwa penyesalan akan penguatan yang lampau dapat menyadarkan kita dan membuat kita tidak lagi melakukan per­buatan yang kita anggap keliru dan yang mendatangkan penyesalan itu. Akan te­tapi, benarkah ini? Beharkah bahwa pe­nyesalan dapat membersihkan kita dari perbuatan sesat di masa mendatang?

Penyesalan selalu datang kalau perbuatan itu SUDAH dilakukan. Dan biasa­nya, seperti yang dapat kita lihat setiap hari, di sekeliling kita, dalam kehidupan masyarakat, dalam kehidupan kita sen­diri, penyesalanpun akan makin lama makin menipis dan kemudian hilang. Sementara itu, perbuatan kita masih saja penuh dengan kesesatan! Kemudian, se­telah menilai dan mengingat, timbul penyesalan kembali. Perbuatan sesat dan penyesalan hanya susul-menyusul belaka, seperti dalam lingkaran setan yang tiada putus-putusnya! Seperti kalau kita makan makanan yang pedas, yang terasa enak segar di mulut namun sesungguhnya tidak baik bagi perut. Ketika makan amatlah enaknya sehingga kita yang terlalu me­mentingkan keenakan itu tidak lagi ingat kepada perut kita sendiri. Baru setelah perut kita sakit melilit-lilit, kita merasa menyesal dan sadar bahwa terlalu banyak makanan pedas itu tidak baik untuk pe­rut. Namun, penyesalan ini dalam sedikit waktu sudah terlupa lagi kalau kita menghadapi makanan pedas yang segar enak bagi mulut itu! Kenyataannya demi­kianlah! Pengejaran kesenangan membuat kita buta dan baru setelah kesenangan itu terdapat lalu timbul hal-hal yang tidak menyenangkan, seperti segala ma­cam kesenangan yang memiliki muka gan­da sehingga senang dan susah tak terpisah­kan, lalu timbul penyesalan! Jadi penyesalan itu pada hakekatnya timbul karena aki­bat dari kesenangan itu mendatangkan kesusahan kepada kita! Jadi bukanlah si perbuatan sesat itu sendiri yang kita sesalkan, melainkan si akibat yang buruk dari perbuatan yang mendatangkan ke­senangan itu!

Semua ini akan nampak jelas sekali kalau kita waspada terhadap segala gerak-gerik lahir batin kita sendiri, kalau kita waspada terhadap segala sesuatu yang bergerak dalam pikiran kita. Kewaspadaan inilah kesadaran dan kesadaran inilah pengertian, dan pengertian melahirkan perbuatan yang spontan, perbuatan yang tidak lagi dikendalikan oleh pertimbangan dan penilaian pikiran. Karena perbuatan yang dikendalikan oleh pikiran, oleh si aku, sudah pasti perbuat­an itu berdasarkan untung rugi bagi si aku, dan perbuatan seperti ini sudah pasti menimbulkan konflik yang kemudian berakhir dengan kedukaan, termasuk penyesalan yang tiada gunanya itu. Kewaspadaan setiap saat terhadap diri sendirilah yang akan melenyapkan perbuatan-perbuatan sesat yang hanya terjadi dan hanya dilakukan dalam keadaan TIDAK SADAR. Bukan penyesalan yang me­lenyapkan kesesatan-kesesatan itu!

Yang amat penting untuk kita sadari adalah bahwa kewaspadaan setiap saat terhadap diri sendiri lahir batin ini ha­ruslah tidak dikendalikan oleh si aku! Jadi yang ada hanyalah pengamatan saja, kewaspadaan saja, kesadaran akan diri sendiri tanpa ada aku yang mengamati, tanpa ada aku yang waspada dan sadar! Karena kalau ada si aku yang mengatur dan mengendalikan semua kewaspadaan dalam pengamatan itu, maka itu hanya permainan pikiran atau si aku yang tentu mengandung pamrih dalam pengamatan itu, pamrih untuk sesuatu, untuk mencapai sesuatu, entah yang sesuatu itu dinamai kesenangan, kedamaian, kesucian dan sebagainya. Dan semua tindakan dari pikiran atau si aku yang selalu mengejar kesenangan pastilah menimbulkan konflik dan kesengsaraan.

Yap Mei Lan dan suaminya, Souw Kwi Beng, sedang duduk di ruangan depan rumah mereka. Setelah Lie Seng bekerja di tempat pemuatan barang-barang hasil bumi, yaitu di pelabuhan, maka banyaklah waktu bagi Kwi Beng untuk menemani isterinya di rumah. Sudah dua bulan lebih Lie Seng bekerja di situ dan suami isteri ini merasa senang dapat menolong Lie Seng yang nampak hidup cukup bahagia dengan Sun Eng, sedangkan bantuan Lie Seng itu ternyata juga membuat pekerjaan Kwi Beng menjadi ringan.

Sejak tadi suami isteri ini memandang kepada pemuda yang berdiri di atas jalan raya depan rumah gedung mereka itu. Pemuda itu tampah dan gagah, bertubuh tinggi tegap, memakai jubah kulit macan dan sebuah topi yang indah dari bulu rubah dan dihiasi bulu burung yang berwarna biru keemasan.

“Waspadalah, orang itu mencurigakan sikapnya,” bisik Yap Mei Lan kepada suaminya, namun pendekar wanita ini nampak tenang saja, pura-pura tidak melihat kepada pemuda itu akan tetapi biarpun tidak melihat langsung dari sudut matanya, dia selalu mengawasi gerak-geriknya. Pemuda itu agaknya bimbang, akan tetapi kemudian dia melangkah memasuki pekarangan yang luas dan ditumbuhi banyak pohon sehingga kelihatan teduh itu, dengah langkah tenang dan lebar menghampiri ruangan depan di mana suami isteri itu sedang duduk. Melihat betapa pemuda yang dicurigai isterinya itu memasuki halaman rumah mereka, Souw Kwi Beng lalu bangkit dari tempat duduknya melangkah keluar untuk menyambut. Pemuda ini mungkin seorang tamu, pikirnya. Souw Kwi Beng adalah seorang saudagar yang memiliki hubungan luas sekali, bahkan dengan luar negeri, maka tidaklah mengherankan andaikata pemuda asing yang pakaiannya aneh dan menyolok itu mengunjunginya. Dia tidak­lah curiga seperti isterinya dan menyam­but kedatangan tamu itu dengan senyum lebar di wajahnya yang tampan.

“Selamat datang di tempat kami, saudara. Tidak tahu siapakah saudara, datang dari mana dan hendak mencari siapa?” tegur Souw Kwi Beng dengan si­kap ramah.

Pemuda jangkung tegap itu sejenak memandang kepada Kwi Beng dengan si­nar mata tertarik dan kagum akan ketampanan pria peranakan Portugis ini, kemudian dia menoleh ke arah Mei Lan yang juga sudah bangkit dari kursinya dan menuruni undak-undakan di depan rumahnya. Ada sesuatu dalam sinar mata pemuda ganteng itu yang membuat kedua pipi pendekar wanita ini menjadi kemerahan. Sepasang mata yang men­corong itu mengandung kegairahan yang kurang ajar, pikirnya. Kalau hanya mata pria yang memandangnya dengan kagum­ saja, hal ini sudah biasa bagi Mei Lan, akan tetapi pandang mata ini aneh se­kali, seolah-olah sinar mata itu memiliki kekuasaan untuk menelanjanginya, se­olah-olah sinar mata itu menggerayangi tubuhnya dan memandang tembus pakaian yang menutupi tubuhnya!

Pemuda tampan itu tidak menjawab pertanyaan yang diajukan secara sopan dan hormat oleh Souw Kwi Beng, melain­kan kini dia memutar tubuh menghadapi Mei Lan, lalu terdengar dia bertanya de­ngan suara langsung dan lantang, se­dikitpun tidak menunjukkan sikap sopan seperti patutnya seorang pria terhadap seorang wanita yang tidak pernah dikenalnya, “Apakah engkau yang bernama Yap Mei Lan?”

Tentu saja suami isteri itu terkejut dan juga merasa tidak senang, terutama sekali Mei Lan yang mukanya menjadi semakin merah, kini bukan merah karena jengah atau malu, melainkan merah karena marah. “Aku adalah nyonya Souw Kwi Beng!”

Akan tetapi pemuda itu sudah menggerakkan tangannya dengan kesal. “Aku tidak ada urusan dengan Souw Kwi Beng, melainkan dengan Yap Mei Lan! Engkau orangnya, bukan?”

Mei Lan semakin marah dan dia sudah hendak menerjang dan menghajar pria kurang ajar ini, akan tetapi Kwi Beng sudah berdiri di dekatnya dan menyentuh lengannya, mencegab isterinya terburu nafsu, kemudian dia menghadapi pemuda itu. “Kami tidak mengerti mengapa saudara yang tidak kami kenal bersikap seperti ini. Memang benar bahwa isteriku bernama Yap Mei Lan. Lalu saudara mau apa dan siapakah engkau?” Karena sikap orang itu, maka Kwi Beng juga menanggalkan penghormatannya.

Pemuda itu tertawa dan wajahnya memang tampan. “Bagus! Yap Mei Lan, engkau puteri dari Yap Kun Liong, bukan? Nah, aku datang untuk menangkapmu! Ayahmu dan bibimu adalah pemberontak-pemberontak buronan, maka engkau harus menjadi tawananku.”

Makin kaget kedua orang suami isteri itu. “Siapakah engkau manusia sombong?” Yap Mei Lan bertanya dengan sinar mata tajam penuh selidik.

“Ha-ha, ingin mengenalku? Aku adalah Pangeran Ceng Han Houw dan sebaiknya engkau menyerah saja baik-baik. Engkau akan kutawan lebih dulu sebagai sandera dan baru setelah keluarga Cin-ling-pai, para pemberontak buronan itu menyerah, engkau akan kubebaskan lagi.”

Dapat dibayangkan betapa kagetnya rasa hati Yap Mei Lan dan Souw Kwi Beng. Akan tetapi kekagetan Mei Lan ini disertai rasa marah yang makin hebat. Dia sudah mendengar tentang pangeran ini, yang kabarnya adalah adik seperguruan dari Kim Hong Liu-nio yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai.

“Siapa sudi menyerah? Pertama, aku tidak bersalah apapun terhadap pemerintah. Ke dua, aku tidak tahu apakah engkau ini benar seorang pangeran ataukah hanya pengacau saja karena engkau tidak membawa surat perintah atau kuasa atau pasukan. Ke tiga, andaikata benar engkau pangeran, akupun tidak akan sudi menyerah karena aku tahu benar bahwa ayahku dan semua keluarga Cin-ling-pai bukanlah pemberontak!”

“Ha-ha-ha, apakah engkau menghendaki aku menggunakan kekerasan? Aku sebenarnya tidak suka menggunakan kekerasan terhadap seorang wanita, apalagi terhadap wanita secantik engkau...”

“Keparat sombong, tutup mulutmu yang kotor!” Yap Mei Lan sudah membentak dan diapun sudah menerjang dengan pukulan tangan kiri dari kepalan tangannya yang kecil namun yang mendatangkan angin pukulan dahsyat itu.

“Bagus! Aku girang sekali melawan orang-orang pandai dari Cin-ling-pai! Hayo keluarkan semua kepandaianmu!” kata Han Houw yang memang gembira melihat betapa pukulan wanita ini hebat sekali, hal yang memang sudah disangkanya mengingat bahwa wanita cantik ini bukan orang sembarangan, melainkan puteri kandung dari pendekar sakti Yap Kun Liong. Cepat dia mengelak, akan tetapi sebelum dia sempat membalas Mei Lan stidah menyerangnya bertubi-tubi, tubuhnya yang langsing itu bergerak amat cepatnya, kadang-kadang berputar seperti gasing, tahu-tahu telah menyerang dari arah-arah lain sehingga wanita itu seolah-olah telah mengubah dirinya menjadi banyak dan menyerang lawan dari semua jurusan!

“Bagus sekali...!” Han Houw menggerakkan kaki tangan, mengelak dan menangkis. Memang hebat dan indah serangan-serangan yang dilakukan oleh Yap Mei Lan. Dia telah mempergunakan Ilmu Silat Pat-hong-sin-kun (Ilmu Silat Delapan Penjuru Angin) yang diwarisinya dari mendiang Bun Hwat Tosu, dan dia mengisi kedua lengannya itu dengan tenaga sakti Thian-te Sin-ciang yang diwarisinya dari mendiang Kok Beng Lama! Tentu saja serangan-serangannya itu amat hebatnya, juga dibandingkan dengan Lie Seng, Mei Lan memiliki kelebihan. Lie Seng hanya mewarisi ilmu-ilmu dari Kok Beng Lama saja, sebaliknya Mei Lan memiliki dua sumber dari ilmu-ilmunya, yaitu Kok Beng Lama dan Bun Hwat Tosu. Dan di samping itu, melihat bakatnya yang hebat, diapun mewarisi khi-kang yang amat hebat dari Kok Beng Lama yang sengaja menurunkan ilmu ini kepada Mei Lan.

Di lain fihak, Yap Mei Lan amat terkejut ketika melihat betapa semua serangannya dapat dielakkan atau ditangkis oleh pangeran itu! Lebih terkejut lagi dia ketika mereka beradu lengan, dia merasa tubuhnya tergetar hebat, tanda bahwa pangeran ini memiliki tenaga yang amat kuat!

Han Houw juga mengerti bahwa boleh dibilang semua anggauta keluarga Cin-ling-pai, atau golongan mereka, memiliki ilmu silat yang amat tinggi, maka biarpun kini yang dihadapinya hanya seorang wanita cantik yang kelihatan lemah lembut, dia sama sekali tidak berani memandang ringan. Maka diapun bersilat dengan cepat sambil mengerahkan tenaganya. Dalam keadaan seperti itu, setiap bertemu dengan lawan pandai, kumatlah penyakit Han Houw. Dia ingin sekali menguras dan mengenal ilmu-ilmu lawan. Maka dalam menghadapi Mei Lan diapun lebih banyak bertahan daripada menyerang, karena dia ingin sekali melihat lawannya ini mengeluarkan seluruh kepandaiannya, baru dia akan merobohkannya dan menawan wanita ini sebagai sandera.

Melihat betapa isterinya agaknya belum juga mampu mengalahkan pangeran itu, Souw Kwi Beng menjadi tidak sabar. Dia mengerti bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh kalau dibandingkan dengan tingkat isterinya atau pangeran itu, akan tetapi sebagai seorang suami, tidak mungkin dia mendiamkannya saja melihat isterinya berkelahi dengan orang lain. Maka dia lalu mengeluarkan suara bentakan nyaring dan turunlah dia ke dalam gelanggang perkelahian itu. Begitu menerjang maju, dia mainkan ilmu silat yang diperoleh dari ibunya, yaitu Jit-goat Sin-ciang-hoat dan menggunakan tenaga Im-yang-sinkang. Dia menyerang dengan pukulan-pukulan keras dan kadang-kadang menyelingi dengan totokan-totokan yang disebut It-ci-san, yaitu totokan satu jari yang ampuh dan yang merupakan ilmu andalan dari ibunya.

“Hemm, bagus!” Pangeran Ceng Han Houw menjadi semakin gembira. Dia melihat bahwa pria tampan ini tidak begitu hebat gerakan maupun tenaganya, namun memiliki ilmu silat yang aneh dan juga indah kuat. Mulailah dia dikeroyok dua dan Han Houw memang telah memperoleh tingkat yang amat tinggi sehingga pengeroyokan dua orang suami isteri itu sama sekali tidak membuat dia terdesak. Bahkan kini mulailah dia mengeluarkan jurus-jurus serangan balasan yang membuat Mei Lan dan terutama Kwi Beng, terdesak dan sering kali terpaksa meloncat jauh ke belakang karena memang hantaman pangeran itu berbahaya dan kuat bukan main.

Beberapa kali Mei Lan menyuruh suaminya mundur, akan tetapi Kwi Beng sama sekali tidak mau. Hal ini amat mengkhawatirkan hati Mei Lan. Dia tahu bahwa pangeran ini memang lihai bukan main dan dia mengerti sampai di mana tingkat kepandaian suaminya maka tentu saja melawan pangeran itu amat berbahaya bagi suaminya. Tiba-tiba dia lalu mengerahkan khi-kangnya dan mengeluarkan suara teriakan melengking nyaring yang menggetarkan keadaan sekelilingnya. Kwi Beng sendiri sampai terhuyung dan meloncat ke belakang tergetar oleh suara isterinya itu. Han Houw terkejut dan sejenak dia termangu, dan saat itu dipergunakan oleh Mei Lan untuk menerjangnya dengan tamparan-tamparan Thian-te Sin-ciang.

“Plak-plak-plakkk!” Han Houw terhuyung dan biarpun dia berhasil menangkis, namun serangan itu amat hebatnya, membuat dia lengah dan terdesak, terutama lengah karena lengking yang hebat tadi. Akan tetapi pangeran ini segera membuat gerakan aneh dan tahu-tahu tubuhnya sudah berjungkir balik dan tiba-tiba Mei Lan menjerit dan cepat meloncat jauh ke belakang karena tanpa diduga-duganya, ada kaki yang menyerang ke arah ubun-ubun kepalanya dengan hebatnya karena pangeran itu tahu-tahu sudah berjungkir balik dengan aneh.

“Ha-ha-ha!” Han Houw tertawa dan diapun meloncat dan berdiri seperti biasa lagi. Untuk menghadapi suami isteri itu, dia tidak perlu menggunakan ilmu simpanannya. Kalau tadi dia terpaksa mempergunakan jurus Hok-te Sin-kun adalah karena dia terkejut dan terdesak oleh pukulan-pukulan sakti wanita cantik itu. “Lebih baik engkau menyerah saja, Yap Mei Lan, dan mengingat akan kecantikkanmu tentu aku akan bersikap manis kepadamu.”

Wajah yang cantik itu menjadi semakin merah. “Manusia busuk!” bentaknya dan diapun sudah menerjang lagi, dibantu oleh suaminya yang juga marah karena pemuda itu bersikap dan berbicara kurang ajar kepada isterinya.

Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring, “Manusia dari mana berani mengacau di sini?” Bentakan itu disusul menyambarnya sesosok bayangan dan tahu-tahu Lie Seng telah berada di situ dan pemuda ini menerjang dengan pukulan yang amat kuat ke arah dada Han Houw.

“Ehh!” Han Houw menarik tubuh ke belakang untuk mengelak karena dia mengenal pukulan ampuh. Melihat Lie Seng sudah datang membantu, Souw Kwi Beng meloncat dan menyerang dengan tendangan dari atas ke arah pundak kiri Han How. Akan tetapi pangeran ini sudah siap sedia, lengan kirinya menyapok dan ketika kaki Kwi Beng tertangkis, tubuhnya terlempar dan terpelanting. Tentu dia akan terbanting keras kalau tidak segera disambar lengannya oleh Mei Lan.

Lie Seng terkejut sekali melihat betapa mudahnya orang itu mengelak dari pukulan-pukulannya yang hebat tadi dan betapa mudahnya pula dia membuat tendangan Kwi Beng selain gagal juga membuat Kwi Beng terlempar. Tahulah dia bahwa lawan ini bukan orang sembarangan, apalagi dia melihat sendiri betapi sucinya dan suami sucinya tidak mampu mengalahkannya.

“Pengacau, siapakah engkau?” bentaknya.

“Sute, dia adalah Pangeran Ceng Han Houw, datang untuk menangkap aku katanya!” kata Mei Lan yang sudah siap untuk menggempur lagi, hatinya besar dengan munculnya sutenya karena dia maklum bahwa agaknya kepandaiannya sendiri tidak akan mampu menandingi lawan. Kalau sutenya ikut membantunya, dia yakin akan dapat mengalahkan pangeran yang benar-benar amat lihai ini.

Lie Seng terkejut dan alisnya yang tebal berkerut. Sejenak dia memandang pangeran itu penuh perhatian. Adiknya, Lie Ciauw Si pernah menyebut-nyebut pangeran ini, bahkan menurut adiknya, pangeran ini amat baik, memberi adiknya sebuah cincin yang sudah terbukti pula kekuasaannya karena cincin itu mampu mengundurkan pasukan pemerintah!

“Benarkah engkau Pangeran Ceng Han Houw?” tanyanya meragu.

“Benar, dan siapakah engkau, ke­pandaianmu boleh juga.”

Akan tetapi Lie Seng tidak ingin memperkenalkan diri atau berkenalan, sebaliknya dia malah menegur, “Kalau begitu, mengapa engkau hendak menang­kap suciku ini? Apa salahnya?”

“Ha-ha, agaknya orang-orang Cin-­ling-pai dan golongannya masih juga belum mau menginsyafi dosa-dosanya. Yap Mei Lan ini adalah puteri dari Yap Kun Liong, pemberontak buruan. Aku hendak menangkapnya untuk sandera, agar para pemberontak itu suka menyerah.”

“Hemm, mana aturan demikian? Kalau memang hendak menangkap, mana surat kuasa atau surat perintah untuk menang­kapnya? Keluarga Cin-ling-pai baru di­tuduh saja pemberontak, yang hanya merupakan fitnah belaka. Andaikata be­nar mereka melakukan hal-hal yang di­anggap memberontak, apa hubungannya hal itu dengan suci? Kalau hendak me­nangkap, harus ada surat kuasa atau su­rat perintah dan alasan-alasannya yang kuat mengapa dia hendak ditangkap!”

Melihat sikap yang tenang dan tegas dari pria muda yang gagah ini, Pangeran Ceng Han Houw merasa kagum dan meragu. “Siapakah engkau yang berani bicara seperti ini terhadap Pangeran Ceng Han Houw?”

“Aku orang biasa, yang menjunjung keadilan dan kebenaran. Aku Lie Seng, dan menurut penuturan adikku Ciauw Si, yang namanya Pangeran Ceng Han Houw itu seorang yang baik dan gagah, akan tetapi kalau benar engkau pangeran itu dan kini engkau bersikap seperti ini, hendak menangkap orang secara membabi-buta, sungguh aku kecewa atas penuturan adikku itu!”

Han Houw terkejut. Ah, kiranya pria yang gagah ini kakak kandung dari Ciauw Si? Sejenak dia termangu dan meragu. Dia merasa tidak enak kalau harus memperlihatkan kekerasan di depan kakak kandung Ciauw Si, dara yang tak pernah dapat dilupakannya itu. Dia menarik napas panjang lalu berkata, “Semua perbuatanku ini adalah tugasku sebagai pangeran, demi baktiku kepada negara. Akan tetapi kalau kalian menghendaki surat kuasa, tunggulah. Aku akan datang lagi membawa surat kuasa dan setelah demikian, kuharap kalian tidak akan membangkang lagi karena akupun tidak ingin menggunakan kekerasan!” Setelah berkata demikian, dia menjura dan mem­balikkan tubuhnya lalu melangkah pergi meninggalkan halaman rumah itu.

Para tetangga yang berkerumun di depan, melihat perkelahian itupun lalu bubar karena mereka tidak berani men­campuri. “Mari kita bicara di dalam!” kata Souw Kwi Beng kepada isterinya dan Lie Seng, suaranya mengandung ke­sungguhan dan diliputi kegelisahan.

Setelah tiba di ruangan dalam, me­reka bertiga lalu berunding dengan wajah serius dan suara penuh kesungguhan. “Pa­ngeran itu benar-benar memiliki kepandaian yang amat lihai, sute. Aku sen­diri, terus terang saja, akan sukar untuk dapat mengalahkannya!”

Ucapan yang sejujurnya dari suci ini membuat Lie Seng terkejut sekali. Suci­nya itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, bahkan masih lebih tinggi daripada tingkat kepandaiannya sendiri, dan kini sucinya mengatakan bahwa dia tidak mampu mengalahkan pangeran ini!

“Bagaimanapun juga, kita akan me­lawannya, suci! Biarlah aku akan mem­bantu suci, kurasa dengan majunya kita berdua, tidak mungkin dia akan dapat banyak berlagak!” kata Lie Seng, masih merasa terkejut.

Akan tetapi Souw Kwi Beng menggeleng kepala dan menarik napas panjang. “Hendaknya kalian berdua ingat bahwa yang kalian hadapi bukanlah seorang tokoh kang-ouw yang dapat dihadapi dengan tenaga dan ilmu silat. Akan tetapi kalau benar dia itu seorang pangeran yang memiliki kekuasaan besar, dan mengingat pula akan keadaan keluarga Cin-ling-pai yang dianggap pemberontak buronan oleh pemerintah, kita harus berhati-hati. Kita tentu saja dapat melawan musuh-musuh dari dunia kang-ouw dengan tenaga dan kekerasan, akan tetapi tidak mungkin kita dapat melawan pemerintah.”

Melihat wajah suaminya penuh kegelisahan itu, Mei Lan jadi ikut khawatir. “Jadi, bagaimana sekarang baiknya?” tanyanya sambil memandang kepada suaminya, maklum bahwa suaminya yang amat mencintanya itu mengkhawatirkan keselamatan dirinya, bukan keselamatan diri sendiri.

Selagi tiga orang itu saling pandang dengan wajah khawatir, tiba-tiba masuk seorang wanita setengah berlari-lari, mukanya pucat dan napasnya terengah. Wanita itu ternyata adalah Sun Eng, dan melihat Lie Seng berada di situ bersama sucinya dan suami sucinya, Sun Eng mengeluh panjang dengan penuh kelapangan dada. “Ahhhh... syukurlah kalian tidak apa-apa...” katanya terengah. “Aku... aku mendengar laporan bahwa kalian berkelahi... maka aku segera lari ke sini...”

Lie Seng sudah merangkul kekasihnya dan membawanya duduk menghadapi meja. “Tenanglah, Eng-moi. Kami tidak apa-apa, dan memang ada urusan yang amat penting dan mengkhawatirkan. Kau dengarlah.” Lalu dengan singkat dia menceritakan tentang munculnya Pangeran Ceng Han Houw yang hendak menangkap Yap Mei Lan sebagai puteri pemberontak.

Tentu saja Sun Eng menjadi ikut gelisah sekali, dan dia yang pemberani dan berhati keras itu segera berkata, “Kenapa kita tidak cari saja pangeran busuk itu dan membunuhnya?”

“Ah, tidak mungkin kita lakukan itu, Eng-moi. Engkaupun tahu betapa keluarga Cin-ling-pai difitnah. dituduh pemberontak. Kalau kita sampai membunuh seorang pangeran tentu dosa itu akan semakin dibesar-besarkan. Selain itu, pangeran itu amat lihai, bahkan suci dan aku sendiri tidak dapat menandinginya.”

“Ohhh...?” Sun Eng memandang pucat dan hampir tidak percaya bahwa ada pangeran yang memiliki kepandaian setinggi itu. “Habis, bagaimana baiknya?”

“Itulah yang sedang kami bertiga rundingkan ketika engkau tiba tadi,” jawab Lie Seng.

Kembali suasana menjadi hening, sunyi yang mencekam perasaan karena mereka merasa tegang dan khawatir. “Melawan tidak boleh, jadi... apakah kita harus melarikan diri?” akhirnya Yap Mei Lan berkata, hatinya penuh dengan rasa penasaran.

“Agaknya itulah satu-satunya jalan, kalau kita sudah dimusuhi pula oleh pe­merintah, tidak ada jalan lain...” kata suaminya.

“Tapi, engkau sudah begitu royal de­ngan hadiah-hadiahmu kepada boleh di­bilang semua pejabat dari yang rendah sampai yang tinggi di Yen-tai ini! Hadiah yang kauberikan kepada mereka bahkan lebih besar daripada gaji yang mereka terima!” isterinya mencela.

Souw Kwi Beng menarik napas pan­jang. “Isteriku, memang hubungan kita dengan para pejabat di Yen-tai ini sudah amat baik, dari mereka itu kita percaya akan memperoleh perlakukan baik. Akan tetapi, pangeran itu dari kota raja! Ten­tu kekuasaannya jauh lebih besar dan para pejabat di sini tentu tidak dapat menentangnya. Betapapun juga, aku akan menghubungi mereka dan...”

Souw Kwi Beng menghentikan kata-katanya karena pada saat itu muncullah seorang pelayannya yang memberitahukan bahwa ada seorang tamu utusan Ciong-taijin mohon bertemu dengan tuan rumah. Empat orang itu saling pandang dan Kwi Beng lalu minta kepada pelayannya agar tamu itu langsung diantar masuk ke dalam ruangan itu. Tak lama kemudian, seorang laki-laki tua yang berpakaian biasa memasuki ruangan itu dan cepat dia memberi hormat kepada Souw Kwi Beng dan yang lain-lain. Kwi Beng mengenal orang ini sebgai seorang kepercayaan Ciong-taijin, yaitu kepala daerah Yen-tai.

“Saya tidak dapat bicara banyak dan lama,” kata orang itu setelah dipersila­kan duduk. “Saya diutus oleh taijin untuk menyampaikan kepada Souw-wangwe (hartawan Souw) bahwa ada bahaya besar mengancam keluarga wangwe. Taijin hanya mengatakan bahwa Pangeran Ceng Han Houw yang merupakan seorang pe­megang kekuasaan dari kaisar sendiri, telah memerintahkan kepada penjaga keamanan kota untuk mengerahkan pasukan dan untuk mengawalnya menangkap keluarga wangwe! Taijin tak dapat menolong, dan tidak berani berbuat apa-apa selain mengutus saya untuk memberi tahu, dan taijin menganjurkan agar wangwe sekeluarga cepat-cepat pergi dari kota ini, kalau mungkin menyeberang lautan!”

Souw Kwi Beng yang sudah menduga akan hal itu mengucapkan terima kasih dan orang itupun cepat-cepat pergi melalui pintu belakang. “Nah, tidak urung begini jadinya,” kata Souw Kwi Beng, “itulah jalan satu-satunya. Isteriku, ce­patlah berkemas. Kita membawa barang-barang berharga saja dan terpaksa yang lain-lain kita tinggalkan kepada orang-orang kita. Sebelum keadaan menjadi dingin, biarlah kita lari menyeberang ke selatan.”

Yap Mei Lan nampak gelisah. “Ah, lalu... bagaimana dengan engkau, sute?”

“Suci, cihu benar. Kalian harus melarikan diri. Tidak mungkin melawan pe­merintah. Kalian memiliki perahu-perahu besar dan membawa bekal kekayaan, pula, cihu mempunyai banyak teman di luar negeri. Takut apa? Tentang aku...”

“Mari kalian ikut saja bersama kami!” kata Souw Kwi Beng.

Lie Seng menggeleng kepala. “Terima kasih, cihu. Kalian sudah melimpahkan banyak kebaikan kepada kami. Dan memang agaknya kami belum boleh hidup tenang. Kalian berangkatlah, dan kami berdua akan mengambil jalan sendiri. Mari kubantu kalian berkemas, dan kau, Eng-moi... kau pulanglah dan berkemaslah sehingga kalau aku sudah selesai membantu suci sampai mereka berangkat, engkau sudah siap dan kitapun akan segera pergi hari ini juga.”

Sun Eng memandang kepada Mei Lan yang juga memandangnya. Kedua orang wanita ini saling pandang dan biarpun keduanya adalah wanita-wanita perkasa yang tidak berwatak cengeng atau lemah, namun menghadapi perubahan hidup yang tiba-tiba itu mereka menjadi terharu dan akhirnya Sun Eng menubruk Mei Lan dan keduanya berpelukan dan menangis.

“Enci, hati-hatilah di jalan...” Sun Eng berkata.

“Engkaupun berhati-hatilah, adik Eng... mari kau ikut ke kamar, engkau harus membawa bekal...” Mei Lan menarik tangan Sun Eng memasuki kamamya dan memberi banyak perhiasan-perhiasan berharga kepada Sun Eng yang menerimanya dengan terharu hatinya.

Akhirnya, dengan hati berat Sun Eng meninggalkan gedung itu untuk berkemas pula. Sedangkan Lie Seng sibuk membantu sucinya dan cihunya berkemas lalu mengangkuti barang-barang ke sebuah perahu besar milik Souw Kwi Beng yang sudah dipersiapkan. Kwi Beng mengumpulkan orang-orangnya dan menunjuk beberapa orang untuk mengatur perusahaannya.

Persiapan itu dilakukan secepatnya dan lewat tengah hari berangkatlah perahu itu meninggalkan pelabuhan, melakukan pelayaran ke selatan. Lie Seng berdiri di pantai dan melambaikan tangan yang dibalas oleh sucinya dan cihunya. Dia berdiri memandang sampai perahu itu hanya merupakan titik hitam. Teringatlah dia kepada Sun Eng dan cepat dia berjalan pulang. Dia dan Sun Eng juga harus pergi secepatnya, karena kalau nanti pangeran itu mencari dan tidak menemukan Mei Lan dan Kwi Beng, tentu pangeran itu menjadi marah dan akan mencarinya.

Akan tetapi, ketika tiba di rumah, dia melihat rumahnya sunyi dan kosong. Sun Eng tidak dapat ditemukan di dalam rumah itu. Memang dia melihat buntalan-buntalan, dan nampak bekas-bekas Sun Eng berkemas. Anehnya, perhiasan-perhiasan pemberian Yap Mei Lan pun ditinggalkan oleh Sun Eng di dalam buntalan pakaiannya yang diletakkan di atas meja. Jantung Lie Seng mulai berdebar penuh kekhawatiran ketika dia menemukan sesampul surat di atas buntalan pakaiannya. Dengan jari-jari gemetar dibukanya sampul surat itu dan wajahnya makin pucat ketika dia membaca surat tulisan tangan Sun Eng!



Kanda Lie Seng tercinta.

Terbuka kesempatan untuk melakukan sesuatu demi keselamatanmu dan keluargamu. Pangeran itulah yang menjadi sumber malapetaka bagi keluargamu. Maka tiba saatnya bagi kita untuk berpisah. Perkenankan aku menunjukkan harga diriku, koko. Aku harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan keluarga Cin-ling-pai. Kalau aku gagal menempuh jalan halus, akan kucoba membunuh pangeran itu. Selamat tinggal, koko, aku se­lamanya cinta padamu dan kenekat­anku sekali inipun karena cintaku kepadamu.

Yang mencinta selamanya,

Sun Eng



"ENG-MOI...!" Lie Seng mengeluh. Ingin dia menjerit, dan ingin dia mengejar, memaksa Sun Eng kembali kepadanya. Akan tetapi ke mana dia harus mencarinya? Apakah yang akan dilakukan oleh gadis itu? Sejenak dia termangu, terduduk di atas kursi dengan muka pucat dan mata tak bersinar. Dia mengingat-ingat apa yang menyebabkan Sun Eng mengambil keputusan nekat seperti itu. Nekat dan berbahaya! Kemudian dia mengerti. Selama ini Sun Eng merasa rendah diri, merasa tidak patut menjadi jodohnya, apalagi melihat kebaikan yang dilimpahkan oleh Mei Lan dan suaminya kepada mereka berdua. Kini, mendadak muncul pangeran itu yang bukan hanya merupakan musuh besar keluarga Cin-ling-pai, juga pangeran ini yang menyebabkan keluarga Mei Lan terpaksa harus melarikan diri, bahkan menghancurkan pula kebahagiaan Sun Eng yang sudah hidup aman tenteram bersama Lie Seng di Yen-tai. Inilah agaknya yang menjadi pendorong besar, dan memang seperti yang ditulis oleh Sun Eng, dia melihat kesempatan baik.

Akan tetapi, apa yang akan dilakukan? Membunuh pangeran itu? Ah, lamunan kosong belaka dan sama dengan membunuh diri! Lalu apa? Apa yang dilakukan oleh kekasihnya itu?

"Sun Eng...! Eng-moi...!" Lie Seng mengeluh dan tanpa memperdulikan buntalan-buntalan itu, dia meloncat keluar dan dengan nekat dia lalu mencari keterangan di mana adanya Pangeran Ceng Han Houw! Dia harus mencari kekasihnya, harus mencegah kekasihnya berlaku nekat. Kalau perlu, dia akan melindungi Sun Eng dengan taruhan nyawanya!

Akan tetapi, dalam
bjbjU tentu kekasihnya itu akan pergi ke kota raja untuk berusaha menghapus fitnah atas nama keluarga Cin-ling-pai itu. Bahkan dalam surat itu, Sun Eng mengatakan bahwa kalau usahanya gagal, dia akan mencoba untuk membunuh Pangeran Ceng Han Houw. Ke mana lagi perginya kekasihnya itu kalau tidak ke kota raja?

Akan tetapi, Lie Seng yang kini melakukan perjalanan cepat ke kota raja itu tidak tahu bahwa sesungguhnya Sun Eng masih berada di Yen-tai! Wanita ini setelah mengadakan pembicaraan dengan kekasihnya, Mei Lan dan Kwi Beng, ketika pulang ke rumahnya dan berkemas, tak pernah dapat membendung mengalirnya air matanya. Mei Lan dan Kwi Beng demikian baik kepadanya, dan sekarang mereka itu menghadapi malapetaka! Dan sekarang dia harus bertindak! Tidak mungkin dia diam saja. Sekarang dia harus memperlihatkan baktinya terhadap keluarga Lie Seng. Dia harus melakukan sesuatu untuk mengangkat namanya sendiri, harus melakukan perbuatan yang akan menariknya keluar pecomberan yang pernah diciptakannya dengan penyelewengan-penyelewengannya sehingga ibu kekasihnya tidak sudi menerimanya sebagai mantu. Dia akan menbperlihatkan kepada mereka bahwa biarpun dia pernah menyeleweng, namun dia masih memiliki kegagahan, masih memiliki harga diri yang ditimbulkan oleh perbuatannya yang membela Cin-ling-pai dan kalau perlu dia akan berkorban nyawa! Tentu saja hatinya seperti disayat-sayat rasanya kalau dia teringat kepada Lie Seng, pria yang dicintanya dan amat mencintanya. Dia akan jauh dari pria itu, dia akan menderita rindu, dia akan merasa kehilangan cumbu rayu dan selangit kemesraan yang dinikmatinya bersama Lie Seng. Akan tetapi, dia mengeraskan hatinya, dia harus melakukan ini selagi terdapat kesempatan, karena kalau tidak, segala kemesraan dengan Lie Seng itu selatu akan tidak lengkap, selalu akan ternoda oleh rasa rendah diri!

Demikianlah, dia mempersiapkan segala sesuatu untuk pria yang dicintanya, bahkan pemberian perhiasan dari Mei Lan ditinggalkan untuk kekasihnya. Dia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kepergiannya demikian menghancurkan hati Lie Seng sehingga pria inipun sampai tidak memperdulikan lagi semua benda itu, bahkan pergi tanpa membawa apapun!

Sun Eng yang merupakan penduduk baru di Yen-tai, dengan mudah dapat melakukan penyelidikan dan terus membayangi Pangeran Ceng Han Houw, tanpa dicurigai orang karena dia memang belum mempunyai banyak kenalan. Dia melihat betapa pangeran itu membawa pasukan setempat menyerbu rumah Souw Kwi Beng, akan tetapi tentu saja suami isteri itu telah lama meninggalkan rumah, bahkan telah lama meninggalkan pelabuhan. Para pegawai mereka yang diperiksa menyatakan dengan terus terang bahwa majikan mereka bersama nyonya majikan berlayar ke selatan. Pangeran Ceng Han Houw menjadi kecewa dan marah, akan tetapi karena dia tidak membutuhkan para pengawal itu, dia hanya memesan kepada Ciong-taijin agar terus mengawasi dan kalau sewaktu-waktu suami isteri itu pulang, harus segera ditangkap dan dibawa ke kota raja! Kemudian, atas petunjuk para pegawai, dia membawa pasukan menyerbu rumah Lie Seng di mana diapun mendapatkan rumah kosong belaka karena Lie Seng dan kekasihnya juga sudah kabur entah ke mana.

Sun Eng menyaksikan semua ini dari tempat persembunyiannya dan dia terus mengikuti perjalanan pangeran itu. Han Houw tidak lama tinggal di Yen-tai. Pada keesokan harinya, dia menunggang kereta yang disediakan oleh Ciong-taijin, menuju ke utara karena dia hendak kembali ke kota raja.

Akan tetapi dua hari kemudian, ketika kereta itu melewati sebuah hutan, dia melihat sesosok tubuh wanita menggeletak di tengah jalan liar itu. Kusir kereta tentu saja menghentikan keretanya dan ketika Han Houw membuka tirai memandang, dia melihat tubuh wanita itu dan dia merasa tertarik sekali, apalagi melihat betapa pakaian wanita itu robek-robek sehingga nampaklah kulit paha yang putih mulus! Hal seperti ini tentu saja amat menarik mata pangeran itu dan dia sudah meloncat turun, kemudian dengan beberapa lompatan saja dia sudah tiba di dekat wanita itu menelungkup dalam keadaan lemas, masih hidup akan tetapi keadaannya memelas sekali, selain pakaiannya robek-robek, juga lengan dan kakinya lecet-lecet dan sepatunya juga bolong-bolong, rambutnya awut-awutan.

Han Houw membalikkan tubuh itu dengan memegang pundaknya. Ketika tubuh itu membalik, dia terbelalak. Wanita ini masih amat muda dan cantik manis bukan main! Wajah itu pucat, akan tetapi kulitnya halus sekali dan agaknya tadinya terpelihara baik-baik, dengan alis yang seperti dilukis saja, mata terpejam dengan bulu mata panjang, hidung kecil mancung dan mulut yang menggairahkan, dengan bibir penuh lembut dan lehernya panjang, putih mulus berbentuk indah. Usia wanita ini tidak akan lebih dari dua puluh tahun, dan di balik pakalan yang robek-robek itu, bahkan di bagian dada juga robek, membayanglah buah dada yang padat dan lekuk lengkung tubuh yang penuh berisi, tubuh seorang wanita muda yang mulai masak! Cepat Han Houw meraba nadi pergelangan tangan wanita itu. Lemah sekali! Dari pengeta­huannya yang cukup tentang keadaan tu­buh manusia, dia mengerti bahwa wanita ini tidak terluka, hanya amat lelah dan mungkin sekali kelaparan! Wanita itupun tidak pingsan, melainkan setengah sadar karena dia menggerakkan mata dan mu­lut. Mata itu terbuka perlahan dan untuk kedua kalinya Han Houw terpesona. Mata itupun amat indahnya, bening dan penuh perasaan, hanya terselimut duka yang mendalam.



Bibir yang kemerahan dan lunak itu berbisik-bisik, “Biarkan aku mati... ah, biarkan aku mati...”



“Hemm, engkau masih muda dan can­tik, kenapa ingin mati, nona?”



Wanita muda itu menangis sesenggukkan. “...lebih baik mati daripada hidup merana... aku akan tersiksa...”



“Hemm, jangan takut! Setelah aku berada di sampingmu, biar raja setan neraka sekalipun takkan berani meng­ganggumu. Aku akan melindungimu. Mari engkau ikut bersamaku, nona.”



Wanita itu bangkit duduk dengan le­mah, matanya yang seperti hendak ter­pejam saja, seperti mata orang mengantuk karena lemahnya itu, memandang wajah pria yang tampan itu. “Kau... kau... siapakah...?”



Wajah tampan itu tersenyum penuh gaya. “Aku adalah Pangeran Ceng Han Houw...!”



“Aduhh...! Ampunkan hamba...!” Wanita itu cepat berlutut dan memberi hormat, akan tetapi karena badannya lemah dia terguling dan tentu sudah roboh lagi kalau tidak cepat dirangkul Han Houw.



“Siapa namamu?”



“Hamba... hamba she Sun bernama Eng...”



Han Houw yang merangkul wanita itu mendekatkan mukanya dan mencium bau sedap, membuat hatinya makin berdebar penuh gairah. “Maukah engkau ikut ber­samaku, menikmati hidup dan terlepas dari penderitaanmu?” Dia berbisik dekat telinga wanita itu, hidungnya menyentuh pipi dengan lembut.



“Hamba... hamba mau... akan tetapi suami hamba...”



Sepasang alis pangeran itu berkerut, akan tetapi hatinya sudah terlampau tertarik oleh kecantikan dan kelembutan yang sudah terasa oleh kedua tangannya yang merangkul dan sudah tercium oleh hidungnya. “Suamimu...?”



“Hamba... melarikan diri dari suami hamba... kalau dia tahu... hamba tentu akan dibunuhnya...”



Lega rasa hati Han Houw dan dia tersenyum. “Engkau lari darinya? Meng­apa engkau lari dari suamimu?”



“Hamba... hamba dipaksa menikah dengan suami yang tua bangka itu... biarpun dia kaya raya, hamba tidak suka... dan setelah tiga bulan menjadi isterinya, hamba tidak dapat menahan lagi dan hamba lalu melarikan diri. Sampai tiga hari tiga malam hamba lari... hamba tidak makan dan...”



Semakin girang hati Han Houw. Diciumnya mata kanan yang bening itu de­ngan ujung hidungnya. Sun Eng memejamkan matanya dan membuat suara dengan napasnya seperti tersentak kaget, sikap seorang wanita yang tidak biasa bermain gila dengan pria lain!



“Pangeran...! Jangan...”



Tentu saja sikap ini amat menyenang­kan bagi Han Houw dan dia tersenyum. “Kalau begitu jangan khawatir, mari kau ikut bersamaku dan hidup senang di kota raja. Tentang suamimu tua bangka itu, kalau dia berani muncul, akan kujeblos­kan ke dalam penjara!” Tanpa menanti jawaban lagi, dia lalu memondong tubuh Sun Eng dan dibawanya ke dalam kereta.



Tirai kereta ditutup dan dengan suara lantang gembira Han Houw memerintahkan kusir untuk membalapkan kereta itu menuju ke kota raja!



Dapat dibayangkan betapa senangnya hati Han Houw menemukan seorang wanita secantik manis Sun Eng. Selama dalam perjalanan itu dia membelai dan membujuk rayu sehingga wanita itu tidak berani banyak berkutik atau bersuara karena merasa malu sekali terhadap kusir yang duduk di depan. Dia terpaksa diam saja ketika dipeluk, diciumi dan digerayangi oleh pangeran itu.



Sun Eng hanya memejamkan matanya, bahkan dicobanya untuk membayangkan bahwa yang diciuminya itu adalah Lie Seng, pria yang amat dicintanya! Hatinya perih bukan main bahwa dia terpaksa harus melakukan hal ini, terpaksa harus menyerahkan diri kepada seorang pria lain, betapapun tampan, gagah dan tinggi­nya kedudukan pria yang memangkunya ini. Dia melakukan akal ini dengan pe­rasaan hancur. Inilah satu-satunya jalan, pikirnya. Satu-satunya jalan untuk mengorbankan diri demi kebaikan keluarga Lie Seng. Pertama, dia akan dapat berusaha menyelamatkan keluarga Cin-ling-pai dengan menundukkan pangeran yang berkuasa ini. Ke dua, dia dapat memutuskan hubungannya dengan Lie Seng karena dia insyaf bahwa sesungguhnya dia tidak patut menerima cinta yang demikian besarnya dari Lie Seng.

Diam-diam Sun Eng merasa heran betapa cintanya terhadap Lie Seng telah merubah dirinya sama sekali, merubah perasaan hatinya. Dia tahu bahwa dulu, sebelum dia bertemu dengan Lie Seng, tentu dia akan merasa bangga, merasa girang bukan main bertemu dengan se­orang seperti pangeran ini. Masih muda, tampan, pandai merayu, pandai bermain cinta, berkepandaian tinggi sekali, dan berkedudukan tinggi pula! Akan tetapi mengapa kini dia menerima belaian dan peluk cium pangeran ini dengan hati yang demikian perihnya?



“Eh, kenapa engkau menangis?” bisik pangeran itu di dekat telinganya setelah puas menciuminya dan melihat ada be­berapa butir air mata menuruni kedua pipi yang halus dan kemerahan itu.



“Hamba... hamba takut...” bisik Sun Eng.



“Takut? Ha-ha-ha, aku suka padamu, Eng-moi, jangan takut, aku akan me­lindungimu dan mulai saat ini, semua orang akan menghormatimu. Hai, kusir, berhenti di kota ini dan pergi ke rumah kepala daerah!” kata Pangeran Ceng Han Houw ketika melihat bahwa keretanya memasuki pintu gerbang sebuah kota. Sun Eng digandeng turun setelah kereta berhenti di depan gedung kepala daerah dan pangeran itu bersama Sun Eng disambut dengan penuh kehormatan. Memang benar seperti yang dijanjikan oleh pangeran itu, karena dia datang digandeng oleh sang pangeran, maka Sun Eng disambut dengan penuh penghormatan! Han Houw diberi kamar terindah di gedung itu, dan atas perintah Han Houw, kepala daerah itu bergegas mencarikan pakaian-pakaian yang paling indah untuk Sun Eng! Dan mereka berduapun dijamu dengan hidangan-hidangan istimewa yang serba lezat dan mahal! Sun Eng merasa seolah-olah dia hidup dalam mimpi. Kepala daerah kota itu mengadakan pes­ta untuk menghormati dan menyenangkan dia!



Akan tetapi kembali dia menangis dan hatinya terasa hancur ketika malam itu dia terpaksa harus melayani sang pange­ran bermain cinta. Dia hanya dapat me­nyerah, bahkan demi untuk tercapainya rencana yang dijalankannya, dia tidak hanya melayani dengan pasrah dan diam saja, bahkan sebaliknya daripada itu, dia mempergunakan kepandaian dan pengala­mannya untuk menyenangkan pangeran itu.



Pangeran Ceng Han Houw semakin tergila-gila kepada Sun Eng dan pangeran yang cerdik ini merangkul dan bertanya, “Eng-moi, dari mana engkau mempelajari semua kelihaianmu yang penuh gairah ini?”



Sun Eng tersenyum dan bersikap malu-malu, lalu mencubit lengan pangeran itu.



“Ah, pangeran... saya yang setiap hari menderita... merasa tersiksa dalam pelukan seorang tua bangka yang napasnya sudah empas-empis, yang mengangkat tubuhnya sendiri saja sudah tidak kuat... betapa setiap saat saya selalu merindukan seorang pria yang muda, kuat dan tampan seperti paduka... maka, tentu saja saya merasa amat berterima kasih dan girang...”



Han Houw tertawa dan malam itu mereka bermain cinta tanpa mengenal lelah atau puas. Pada keesokan harinya, Han Houw melanjutkan perjalanan ke kota raja. Mulai saat itu, Sun Eng men­jadi selir yang terkasih dari Han How. Selir baru ini, seperti biasa, diterima dengan penuh kerelaan dan sikap manis oleh selir-selir yang lain. Selir-selir se­orang bangsawan atau hartawan pada waktu itu tidak ada yang berani me­nentang kalau suami mereka yang lebih tepat disebut majikan mengambil selir baru. Apalagi selir-selir Pangeran Ceng Han Houw yang kesemuanya tunduk dan takut sekali kepada sang pangeran, di samping rasa kagum mereka dan keinginan mereka untuk menjadi orang yang paling dikasihi.



Sun Eng memang mengalami kehidup­an yang mewah dan enak. Setiap hari dilayani para pelayan, hidup serba mewah dan satu-satunya pekerjaan hanyalah ber­sama para selir lain melayani sang pa­ngeran, berusaha menyenangkan hati pangeran sebaik mungkin. Dia terkenal sebagai selir baru yang pendiam terhadap lain selir, akan tetapi amat manis budi dan menarik terhadap sang pangeran se­hingga sampai beberapa bulan lamanya dia menjadi selir terkasih dan paling di­percaya oleh Han Houw.



Mempergunakan saat-saat sang pange­ran terbuai oleh pelayanannya di dalam kamar, sewaktu pangeran muda itu dalam keadaan setengah mabuk oleh rayuannya, sedikit demi sedikit Sun Eng dapat mem­perkuat kepercayaan pangeran itu ke­padanya sehingga sedikit demi sedikit pula dia dapat mengorek rahasia pribadi sang pangeran!



“Aku adalah putera tiri Raja Sabutai yang besar!” demikian dalam “mabuknya” sambil membelai Sun Eng penuh gairah berahi Han Houw berbisik. “Dan aku menjadi orang terbesar di seluruh dunia! Aku mewarisi ilmu kepandaian yang amat tinggi dan aku harus menjadi Jago No­mor Satu di dunia ini!”



Perlahan-lahan dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengagumi dan memuji, dengan sikap manja yang amat menarik, disertai ciuman-ciuman hangat dan penyerahan diri penuh gairah, Sun Eng dapat “menuntun” Han Houw sehingga pangeran muda ini akhirnya menceritakan semua cita-citanya. Dia ingin menjadi jago nomor satu di dunia bukan sekedar memuaskan hatinya melainkan mengandung niat yang lebih besar. Yaitu, setelah menjadi jago nomor satu, dia akan dapat menghimpun seluruh kekuatan kang-ouw untuk berdiri di belakangnya! Dan diapun perlahan-lahan hendak menguasai para pimpinan bala tentara Kerajaan Beng-tiauw agar merekapun berdiri di belakangnya. Kemudian, dengan bantuan ayah tirinya, Raja Sabutai yang akan melakukan penyerbuan lagi ke selatan, dia yang sudah siap di sebelah dalam ini akan menjatuhkan kekuasaan Kaisar Ceng Hwa, yaitu saudara tirinya, dan merebut tahta kerajaan.



“Ha-ha-ha, kekasihku, akulah yang patut menjadi kaisar, bukan?”

Sun Eng merangkul manja. “Tentu saja, pangeran. Di dunia ini tidak ada seorang pria lain manapun yang lebih pantas menjadi kaisar selain paduka.”



Han Houw tertawa dan mencium bibir yang setengah terbuka dan menantang itu. “Dan engkau mungkin menjadi permaisuriku!”



“Ahhh... pangeran, mana hamba ada harga untuk itu...”



“Kau cukup berharga, atau setidaknya engkau akan menjadi permaisuri ke dua, ke tiga atau selir terkasih.”



“Ahhh, terima kasih, pangeran junjungan hamba...”



Demikianlah, dengan segala kepandai­an yang ada padanya, Sun Eng membikin pangeran itu tergila-gila kepadanya dan mabuk rayuannya sehingga dia percaya benar dalam waktu kurang dari dua bulan saja.



Pada suatu senja, Pangeran Ceng Han Houw sedang mengaso di ruangan dekat taman. Dia duduk di atas sebuah kursi panjang yang dibuat amat indahnya, sebuah kursi rotan yang kepalanya mcrupakan kepala seekor ular raksasa. Dengan santai pangeran itu duduk dengan kedua kaki lurus di atas kursi panjang itu, tersenyum nikmat dikelilingi oleh para selirnya terkasih. Sun Eng duduk paling dekat dengannya, bahkan Sun Eng inilah yang bertugas memijati tubuh pangeran itu. Sun Eng memijati atau lebih tepat disebut membelai paha pangeran itu. Ada pula selir yang mengipasi leher pangeran karena hawa senja hari itu agak panas. Seorang selir lain membawa buah-buahan segar, dan ada pula selir yang sedang melakukan tari sutera indah yang diiringi suara musik merdu yang dimainkan oleh beberapa orang selir lain dengan yang-kim dan suling. Para selir itu cantik-cantik dan muda-muda, akan tetapi agaknya memang Sun Eng yang menjadi selir terkasih saat itu.



Sun Eng nampak diam termenung. Memang hatinya sedang gelisah sekali setelah apa yang didengarnya dan dapat dikoreknya dari Pangeran Ceng Han Houw semalam, ketika dia melayani pangeran itu. Untung bahwa saat itu pangeran sedang lelah dan malas memperhatikan sesuatu sehingga tidak nampak oleh sang pangeran betapa kekasihnya itu termenung. Pangeran itu terlampau lelah karena setelah semalam dia hampir tidak tidur dan berenang dalam lautan per­mainan asmara bersama Sun Eng, pada siang hari tadi dia masih mengumbar nafsu berahinya dengan para selir lain.



Di dalam hati Sun Eng terjadi keragu­an akan hasil daripada semua pengorban­annya. Dia mendengar dari pangeran ini bahwa yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai bukanlah kaisar atau pemerintah. Kaisar hanya terkena hasutan dari Kim Hong Liu-nio yang mendendam kepada keluarga Cin-ling-pai karena dua hal. Pertama karena keluarga itu adalah mu­suh besar subonya. Ke dua karena Kim Hong Liu-nio merasa sakit hati atas kematian Panglima Lee Siang, dan jus­teru pembunuh dari panglima kekasih Kim Hong Liu-nio itu adalah Lie Seng! Jadi bukan pangeran inilah yang me­musuhi keluarga Cin-ling-pai! Kalau demikian, percuma saja dia menghambakan diri kepada pangeran ini! Hampir dia putus asa, akan tetapi setidaknya dia mempergunakan pengaruhnya sebagai selir terkasih, mempergunakan pengaruh tangannya pula! Dia harus membongkar rahasia Pangeran Ceng Han Houw ini kepada kaisar! Akan tetapi bagaimana caranya dan mana buktinya? Tanpa bukti, tentu saja tidak mungkin hal itu dilakukan. Kaisar tentu akan jauh lebih mempercayai seorang adik tiri daripada seorang selir pangeran!



Pada saat itu, selagi Pangeran Ceng Han Houw hampir tertidur karena keenakan dibuai suara musik dan dipijati Sun Eng, dengan silirnya kebutan kipas, tiba-tiba seorang pengawal melaporkan bahwa ada tamu dari utara yang hendak datang menghadap. Mendengar tamu dari utara, Pangeran Ceng Han Houw seketika bangkit dan wajahnya membayangkan kesungguhan dan penuh semangat, dan dengan berseri dia berkata, “Suruh dia menanti di ruangan baca di dalam.”



Pengawal itu memberi hormat dan cepat keluar. Ruangan baca merupakan ruangan di sebelah dalam yang menjadi kamar rahasia dari pangeran itu. Biasanya siapapun tidak boleh memasukinya. Kalau sekarang seorang tamu dipersilakan masuk ke dalam ruangan itu, maka mudah diduga bahwa tamu itu tentu seorang yang amat penting.



“Pangeran, bolehkah hamba ikut?” tiba-tiba Sun Eng berbisik. Pangeran menoleh dan sudah siap untuk menolak dan menyuruhnya pergi, akan tetapi ketika dia melihat sinar mata lembut penuh cinta kasih itu, mata dan mulut yang membayangkan permohonan mendalam agar diperkenankan selalu di dekatnya, dia tersenyum, merangkul dan mencium bibir Sun Eng sampai lama, dipandang dengan rasa iri tersembunyi oleh para selir.



“Hanya engkau saia yang boleh, aku percaya kepadamu,” bisik pangeran itu yang segera menggandeng tangannya dan diajaklah selir terkasih ini ke dalam menuju ke kamar baca itu.



Tiga orang yang duduk di dalam kamar yang luas dan diterangi lampu-lampu besar itu segera bangkit berdiri dan mereka cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Pangeran Ceng Man Houw. Pangeran itu segera menggerakkan tangannya menyuruh mereka berdiri, lalu dia sendiri duduk di atas kursi kepala, menarik tangan Sun Eng dan menyuruh selir ini duduk di samping kirinya.


“Duduklah dan ceritakan hasil dari tugas-tugas kalian,” katanya tenang.

Tiga orang itu kelihatan ragu-ragu dan dengan alis berkerut mereka memandang kepada Sun Eng, agaknya merasa heran, bingung dan khawatir. Sang pangeran tersenyum ketika melihat sikap mereka itu. Sambil merangkul pundak selimya dia berkata, “Jangan kalian meragu. Dia ini adalah selirku yang tercinta, orang yang paling kupercaya di sini. Kalian boleh bicara tanpa ragu-ragu.” Sun Eng menundukkan mukanya untuk menyembunyikan perasaannya karena dia merasa tegang bukan main saat itu. Dia tidak mengenal tiga orang ini dan tadi dia memandang penuh perhatian. Seorang di antara mereka adelah seorang kakek berusia enam puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar, mukanya hitam brewok ­menyeramkan. Dia tidak tahu bahwa orang ini adalah seorang tokoh selatan yang amat terkenal, karena dia adalah Hai-liong-ong Phang Tek, orang pertama dari Lam-hai Sam-lo yang amat ditakuti orang. Adapun orang ke dua dan ke tiga adalah orang asing, mungkin orang Mongol, dan pandang mata mereka itu tajam sekali, tanda bahwa mereka adalah orang-orang cerdik. Seorang di antara mereka, yang usianya kurang dari lima puluh tahun, setelah membungkuk-bungkuk dengan hormat lalu bicara singkat dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Sun Eng kepada pangeran. Dan sang pangeran menjawab dalam bahasa itu pula, sambil tersenyum-senyum, agaknya menghibur dan menenangkan hati orang Mongol itu. Orang ke dua yang usianya enam puluh tahun membuat Sun Eng merasa tidak enak karena sinar mata orang ke dua ini seolah-olah mampu menelanjanginya. Mata pria yang cabul.



“Nah, sam-wi, silakan sekarang membuat laporan. Selirku yang satu ini sama saja dengan isteriku, maka boleh dipercaya sepenuhnya.”



Kembali orang Mongol yang lebih tua itu bicara dalam bahasa Mongol, lalu menyerahkan sebuah kotak hitam. Sun Eng ingin sekali mengetahui, akan tetapi karena tidak mengerti bahasa mereka, dia termangu-mangu. Girang hatinya ketika dia melihat pangeran membuka peti itu dan mengeluarkan gulungan kertas yang merupakan surat dari Raja Sabutai kepada puteranya! Sang pangeran membaca surat itu lalu tertawa. “Ha-ha-ha, ayahanda Raja Sabutai masih suka mempergunakan peraturan kuno, mengirim surat secara resmi! Syukur bahwa di utara telah diadakan persiapan. Nah, Phang-lo-enghiong, ketahuilah bahwa sekutu di utara sudah siap. Maka kita harus cepat mempersiapkan diri juga. Apakah engkau telah menghubungi fihak Pek-lian-kauw yang telah kutundukkan?”



Dengan sikap hormat, kakek tua yang tinggi besar itu mengangguk. “Sudah, pangeran, Kim Hwa Cinjin sudah menyatakan bahwa seluruh Pek-lian-kauw sudah siap untuk membantu paduka.”



“Bagus! Kalau begitu tinggal menghimpun orang-orang kang-ouw, dan untuk itu perlu lebih dulu diadakan pertemuan besar untuk memperebutkan gelar jago nomor satu. Kalau aku dapat merebut gelar itu, tentu mudah untuk mempengaruhi mereka. Kau boleh atur pertemuan besar itu...”



“Baik, pangeran.”



Melihat selirnya yang tercinta kelihat­an kesal karena agaknya tidak tertarik, Pangeran Ceng Han Houw lalu memegang lengannya dan berkata, “Eng-moi, kau lebih baik pergi mengaso dulu. Eh, baik­nya kotak ini kaubawa dan kausimpan dulu baik-baik di dalam kamarmu. Aku masih hendak mengadakan perundingan penting dengan para tamu ini dan engkau tidak perlu mendengarkan karena engkau tentu tidak tertarik.”



Sun Eng menyembunyikan debar jan­tungnya karena girang. Dia memberi hormat dengan sikap manis dan berkata, “Baik, pangeran. Hamba akan menanti paduka dan mempersiapkan segala untuk menyenangkan paduka...” Di dalam ucapan ini terkandung janji-janji yang hanya diketahui oleh mereka berdua. Wajah pangeran itu berseri-seri akan tetapi dia lalu mengerutkan alisnya dan berkata dengan suara lirih.



“Ah, agaknya malam ini kami akan berunding sampai jauh malam, mungkin sampai pagi. Kau mengasolah, Eng-moi, engkau perlu beristirahat setelah...” dia tidak melanjutkan kata-katanya, hanya tersenyum dan Sun Eng berhasil memperlihatkan sikap tersipu-sipu. Memang selama hampir dua bulan itu, hampir setiap malam sang pangeran berada di dalam kamarnya dan mereka itu seperti sepasang pengantin baru berbulan madu saja. Kembali dia memberi hormat, lalu mengundurkan diri membawa kotak hitam terukir indah itu.



Setelah tiba di dalam kamamya, cepat Sun Eng mengeluarkan alat tulis dan kertas kosong, lalu dengan cepat dia mengerahkan seluruh ingatannya untuk menyusun sebuah surat laporan kepada kaisar! Ditulisnya semua rahasia dari Pangeran Ceng Han Houw, betapa pange­ran ini mengadakan persekutuan dengan Raja Sabutai dan dengan orang-orang kang-ouw, bahkan dengan Pek-lian-kauw untuk siap membantu apabila Raja Sabu­tai mengadakan serbuan! Dan betapa keluarga Cin-ling-pai difitnah oleh Kim Hong Liu-nio, diceritakarinya selengkap­nya dalam pelaporan itu, tentang asal mula keluarga Cin-ling-pai kena fitnah. Semua ini didengarnya dari penuturan Pangeran Ceng Han Houw! Setelah se­lesai membuat surat itu, Sun Eng berganti pakaian ringkas yang disimpannya secara sembunyi, kemudian dia meninggal­kan gedung besar itu melalui jendela dan terus berloncatan di atas genteng. Ber­ubahlah selir yang biasanya amat manja dan lemah lembut penuh daya tarik ke­wanitaan itu, kini berubah menjadi baya­ngan yang amat gesit dan ringan.



Selama menjadi selir terkasih Pange­ran Ceng Han Houw, merayu pangeran itu dalam belaiannya Sun Eng telah pula mengenal nama-nama para pejabat ting­gi yang dianggap musuh oleh sang pange­ran, karena pejabat itu merupakan pem­besar-pembesar yang amat setia kepada kaisar. Oleh karena itu bayangan hitam yang berkelebatan di malam hari ber­lompatan di atas genteng-genteng itu kini menuju ke sebuah gedung besar, tempat tinggal dari Menteri Liang, seorang menteri tua yang terkenal amat setia kepada pemerintah. Akan tetapi karena kedudukannya hanya sebagai menteri bagian kebudayaan maka kejujuran dan keadilannya tidak dapat berbuat banyak terhadap para menteri durna yang lain. Kedudukannya tidak mengijinkan dia mencampuri urusan-urusan lain yang lebih penting dan lebih dekat dengan kaisar.

Para pengawal cepat mengepung Sun Eng ketika wanita ini tiba di pintu gerbang besar menteri itu, “Saya bernama Sun Eng, dan saya mohon menghadap Liang-taijin karena ada urusan yang amat penting sekali. Urusan yang menyangkut keamanan negara.”



Mendengar ini, para pengawal itu segera melaporkan kepada Liang-taijin. Pembesar ini tidak pernah takut menghadapi apapun juga, maka mendengar betapa malam-malam begitu ada seorang wanita cantik yang diduga adalah seorang wanita kang-ouw ingin menghadap membawa berita penting, tentang keamanan negara, dia segera menyuruh para pengawal mengantar wanita itu ke ruang tamu. Tentu saja demi keamanan dirinya sendiri, dia memerintahkan para pengawal untuk berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan.



Dengan jantung berdebar Sun Eng lalu memasuki kamar tamu diiringkan oleh belasan orang pengawal yang memegang tombak. Setelah dia bertemu dengan pembesar tua yang berwibawa itu, dia cepat menjatuhkan diri berlutut. “Hamba adalah seorang selir baru dari Pangeran Ceng Han Houw...”



“Ahhh...!” Menteri tua itu bangkit dari tempat duduknya dan memandang dengan penuh selidik.



“Hamba sengaja menjadi selirnya hanya untuk menyelidiki keadaan Pangeran Ceng Han Houw, dan inilah hasil penyelidikan hamba harap paduka sudi melaporkan kepada sri baginda kaisar untuk menyelamatkan kerajaan.” Dengan singkat namun jelas Sun Eng lalu menceritakan kedatangan tamu dari utara yang membawa surat dari Raja Sabutai itu, dan menambahkan, “Semua fitnah yang dijatuhkan kepada keluarga Cin-ling-pai telah hamba tulis dalam pelaporan. Se­karang hamba mohon diri sebelum hamba ditangkap oleh sang pangeran di tempat ini. Hamba harus cepat melarikan diri.”



Melihat wanita cantik itu memberikan sebuah bungkusan kain kuning, menteri itu tidak berani lancang menerima dan menyuruh seorang kepala pengawal me­nerimanya dan melihat wanita itu sudah bangkit dan hendak pergi, dia cepat ber­tanya. “Nanti dulu, nona. Kami ingin mengetahui siapakah nona dan mengapa nona melakukan semua ini?”



“Hamba adalah seorang yang ber­hutang budi kepada keluarga Cin-ling-pai, maka hamba sengaja melakukan ini demi untuk menolong keluarga Cin-ling-pai. Selamat tinggal, taijin,” Dan dengan mempergunakan gin-kangnya, Sun Eng sudah melompat dan lenyap dari tempat itu. Gerakannya sedemikian cepat dan gesitnya sehingga membuat menteri itu terkejut. Ketika para pengawalnya bergerak hendak mengejar dia memberi tanda dengan tangan mencegah mereka kemudian dia menyuruh pengawal membuka buntalan itu.



Di lain saat Liang-taijin telah memeriksa gulungan surat dalam kotak hitam dengan mata terbelalak seolah-olah dia tidak percaya akan apa yang dilihat dan dibacanya. Jelaslah isi surat dalam bahasa Mongol itu bahwa Raja Sabutai mengatur rencana pemberontakan lagi dan kini dibantu oleh putera angkatnya yang sebetulnya putera dari mendiang Kaisar Ceng Tung, atau saudara tiri Kaisar Ceng Hwa yang sekarang! Dengan jari tangan gemetar Liang-taijin lalu membaca semua pelaporan yang ditulis secara tergesa-gesa namun lengkap dan jelas oleh Sun Eng. Maka dia lalu menyimpan baik-baik semua benda itu dan memerintahkan para pengawal untuk melakukan penjagaan yang seketatnya dan diam-diam dia menyuruh panggil para pembesar lain yang sehaluan, yaitu para pembesar yang setia kepada kaisar dan yang diam-diam menentang semua sepak terjang Pangeran Ceng Han Houw dan Kim Hong Liu-nio yang selama ini bersikap sewenang-wenang, bahkan telah menyebabkan keluarga Cin-ling-pai yang sejak dahulu terkenal sebagai keluarga gagah yang dianggap pemberontak. Ma­lam itu juga para pembesar ini meng­adakan perundingan dan memeriksa surat-surat itu. Akhirnya diambil keputusan untuk menyerahkan surat-surat itu kepada Pangeran Hung Chih, yaitu seorang pangeran kakak tiri dari kaisar sendiri yang terkenal sebagai seorang pangeran yang bijaksana dan seolah-olah dialah yang menjadi penasihat dari kaisar. Malam itu juga Pangeran Hung Chih me­nerima berita itu berikut bukti-buktinya, maka pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali pangeran ini telah menghadap kaisar dan melaporkan segala yang didengarnya itu berikut bukti-buktinya, yaitu surat Raja Sabutai kepada Pangeran Ceng Han Houw, dan juga laporan yang ditulis oleh Sun Eng.



Kaisar terkejut bukin main, wajahnya berubah merah karena marah. Akan tetapi dengan bijaksana dia lalu memberi kekuasaan kepada Pangeran Hung Chih untuk menanggulangi persoalan itu degan pesan agar pangeran itu berhati-hati dalam menghadapi Ceng Han Houw, menggunakan kebijaksanaan agar tidak sampai terjadi perang saudara. Apalagi kalau diingat bahwa di samping Ceng Han Houw adalah seorang pangeran yang diakui oleh mendiang ayah mereka sen­diri, juga Kim Hong Liu-nio, suci dari pangeran ini pernah berjasa terhadap mendiang Kaisar Ceng Tung.



“Akan tetapi, bagaimanapun juga, kepentingan kerajaan harus didahulukan dan mereka yang hendak memberontak, siapapun juga harus ditumpas secara halus maupun, kalau perlu kasar!”



Demikianlah Pangeran Hung Chih yang sudah memperoleh kekuasaan penuh secara tertulis dari kaisar sendiri, lalu membuat persiapan-persiapan dan meng­atur rencana dan siasat untuk menghadapi Pangeran Ceng Han Houw secara halus.

Sun Eng merasa lega sekali setelah dia menyerahkan semua benda itu kepada Menteri Liang. Dia merasa yakin bahwa usahanya tentu akan berhasil baik. Men­teri Liang tentu akan terkejut sekali dan pasti akan menyampaikan berita yang amat penting bagi keamanan kerajaan itu kepada kaisar. Tugasnya telah selesai dan dia telah melakukan sesuatu demi ke­selamatan keluarga Cin-ling-pai. Bukan itu saja, bahkan dia telah berjasa untuk kerajaan! Akan tetapi di samping perasa­an bangga bahwa dia telah mampu meng­angkat namanya, memberi isi kepada na­manya sehingga dia tidak akan terlalu rendah dalam pandangan keluarga Cin-ling-pai, ada perasaan duka yang men­dalam kalau dia teringat betapa untuk semua hasil itu, dia telah menyerahkan diri menjadi permainan Pangeran Ceng Han Houw! Setelah semua yang dilaku­kannya itu, apakah dia ada harga lagi untuk melanjutkan hubungannya dengan Lie Seng? Ah, rasanya untuk bertemu muka sajapun dia tidak sanggup lagi!

Mengingat hal ini Sun Eng tak dapat menahan air matanya yang bercucuran. Dia merasa betapa dirinya kotor sekali, lebih kotor dan tidak berharga daripada sebelum dia membuat jasa terhadap ke­luarga Cin-ling-pai! Memang dia telah melakukan sesuatu untuk keluarga Cin-ling-pai atau lebih tepat untuk Lie Seng karena memang inilah tujuannya, akan tetapi cara yang dipergunakannya untuk mencapai tujuan itu membuat dia merasa semakin kotor! Padahal, tujuannya adalah untuk membersihkan dirinya. Kini tujuan itu tercapai, akan tetapi dia tidak me­rasa bangga, tidak merasa bahagia, se­baliknya malah, tercapainya tujuan itu membuat dia merasa dirinya semakin kotor lagi daripada sebelumnya.



Tidaklah mengherankan keadaan Sun Eng ini. Apa yang dia lakukan semua itu menurut jalan pikirannya adalah pengor­banan untuk Lie Seng, untuk keluarga Cin-ling-pai. Padahal, pada hakekatnya, sama sekali tidaklah demikian. Pada dasarnya, semua yang dilakukannya itu timbul dari rasa iba diri, timbul dari rasa sayang diri, dan semua itu untuk menyenangkan hatinya sendiri. Sebalik­nya, dia melakukan itu dengan dasar agar dia dihargai, agar dia dikagumi, agar dia tidak dipandang rendah lagi karena penyelewengan yang pernah di­lakukannya. Semua ini dilakukannya demi dirinya sendiri, yang oleh pikirannya sen­diri “disulap” menjadi perbuatan “baik” demi orang lain. Bahkan jalan pikiran yang palsu membuat dia tadinya condong beranggapan bahwa pengorbanan yang di­lakukannya adalah suci.



Karena pikirannya mendorong dia selalu memandang kepada tujuan saja, dan semua tujuan ini sudah pasti menuju kepada kesenangan diri pribadi, sungguh­pun boleh saja mengenakan pakaian lain sehingga kelihatan seolah-olah demi ke­senangan atau kebahagiaan orang lain, maka mata menjadi buta tidak melihat lagi yang terpenting daripada segala gerakan hidup, yaitu tindakannya itu sendiri atau cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan itu. Tujuan membutakan mata terhadap cara. Tujuan bahkan ka­dang-kadang menghalalkan segala cara! Tujuan adalah nafsu keinginan memper­oleh sesuatu. Dan kalau cara yang dipergunakan tidak benar, mana mungkin akhirnya benar? Tidak mungkin menanam rumput keluar padi! Tidak mungkin cara yang tidak benar menghasilkan sesuatu yang benar.



Hanya kalau batin tidak lagi dibutakan oleh tujuan yang pada hakekatnya hanyalah nafsu keinginan memperoleh kesenangan, maka batin menjadi waspada akan segala tindakan, akan segala cara hidup yang ditempuhnya setiap saat. Dan kewaspadaan ini tentu melahirkan tindak­an yang benar. Dan tindakan benar ada­lah tindakan wajar tanpa didorong oleh nafsu keinginan memperoleh hasil atau kesenangan atau keuntungan dari tindak­an itu.



Akan tetapi Sun Eng terjebak oleh pikirannya sendiri. Tadinya dia menganggap bahwa dia telah berkorban diri demi orang lain demi orang yang dicintanya, dan dia buta untuk melihat bahwa pengorbanan yang dilakukannya itu, cara yang ditempuhnya itu adalah cara yang kotor bagi seorang wanita. Dia hendak mencuci kekotoran yang dianggapnya me­nempel pada dirinya dengan melumuri badan dengan kotoran lain! Tentu saja hal ini tidak mungkin. Dan akibatnya kini dia menyesal, kini dia meragu, kini dia merasa takut untuk bertemu dengan Lie Seng, walaupun dia telah “berjasa” ter­hadap Cin-ling-pai, bahkan terhadap kerajaan!



Dengan isak tertahan dan air mata masih bercucuran Sun Eng mendekati pintu gerbang untuk melarikan diri malam itu juga keluar kota raja. Dia ter­lalu memandang rendah kepada Pangeran Ceng Han Houw. Maka dapat dibayang­kan betapa kaget hatinya ketika di dekat pintu gerbang tiba-tiba muncul beberapa orang dari tempat gelap dan di antara mereka terdapat Pangeran Ceng Han Houw sendiri!



Seketika pucat wajah Sun Eng, apa­lagi karena dia mengenakan pakaian hi­tam, wajah yang putih halus itu kelihat­an sepucat kapur matanya terbelalak dan mulutnya setengah ternganga tanpa dapat mengeluarkan kata-kata hanya memandang wajah tampan yang kini tersenyum dingin itu.



“Bukankah engkau ini Eng-moi? Ah, hampir aku tidak mengenalmu lagi, Eng-moi! Sejak kapan engkau berganti pakaian seperti ini berkeliaran di tengah malam dan gerakanmu demikian gesit?”



Tentu saja Sun Eng yang menjadi bingung dan gugup itu sejenak tak mam­pu menjawab dan ketika akhirnya dia dapat menjawab, suaranya gemetar dan tergagap. “Pangeran... hamba... hamba merasa sunyi dan... dan ingin berjalan-jalan mencari angin...” jawaban itu tentu saja sedapatnya karena pikirannya sudah mulai mencari jalan ke­luar maklum bahwa dia telah tersudut. Dia melihat bahwa pangeran itu muncul bersama kakek tinggi besar dan belasan orang pengawal yang sudah mengepung tempat itu.



“Jalan-jalan makan angin...? Hemm, Eng-moi, mari kita pulang dan bicara baik-baik di rumah...!” Pangeran itu dengan senyum dingin menghampiri.



“Tidak... hamba... hamba ingin jalan-jalan dulu...!” Karena takutnya Sun Eng bingung untuk menjawab dan dia sudah melangkah mundur, kemudian meloncat ke kiri untuk melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu kakek tinggi besar itu sudah berada di depannya. Sun Eng maklum bahwa tidak ada jalan lain baginya. Jalan halus sudah tidak mungkin dilakukannya, maka satu-satunya jalan hanyalah mencoba untuk meloloskan diri dengan kekerasan.



“Minggir!” bentaknya dan dia sudah menyerang kakek itu dengan pukulan dahsyat ke arah dada lawan. Sebagai murid dari Cia Bun Houw dan Yap In Hong, tentu saja wanita ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi dan pukul­annya yang dilakukan dalam keadaan ter­jepit itu amat dahsyatnya. Terkejut juga Pangeran Ceng Han Houw melihat pukul­an itu, tak disangkanya bahwa selirnya yang terkasih ini memiliki ilmu kepandaian yang sedemikian hebatnya. Ngeri dia memikirkan betapa dia bermain cinta dengan seorang wanita selihai itu dan kalau wanita itu menghendaki, di waktu dia tertidur nyenyak dalam pelukan wa­nita itu, tentu dapat dan mudah saja bagi wanita itu untuk membunuhnya!

Hai-liong-ong Phang Tek adalah orang pertama dari Lam-hai Sam-lo, ilmu ke­pandaiannya tinggi sekali, masih jauh lebih tinggi daripada tingkat Sun Eng, maka menghadapi pukulan dahsyat itu dia tidak gentar. Karena kakek ini tadinya mengenal sang pangeran, maka biarpun kini timbul dugaan bahwa wanita ini menjadi pengkhianat, namun diapun masih belum berani lancang tangan melukai wanita yang menjadi selir terkasih jun­jungannya. Oleh karena itu, menghadapi serangan Sun Eng, dia hanya menangkis saja sambil mengerahkan tenaganya.



“Dukk!” Sun Eng terhuyung ke belakang dan dia terkejut sekali. Ternyata kakek ini memiliki tenaga yang amat kuat! Dia terhuyung dan sebelum dia dapat menguasai keseimbangan badannya, tiba-tiba lengannya telah ditangkap oleh Han Houw. Sun Eng meronta, akan tetapi tidak mampu melepaskan lengan kanan­nya maka dia membalik dan dengan ne­kat dia menghantamkan tangan kirinya ke arah leher pangeran itu dengan mak­sud jelas membunuhnya kalau mungkin dengan sekali pukul. Oleh karena itu, pukulan itupun hebat sekali ditujukan ke arah jalan darah di leher dan dia me­ngerahkan seluruh tenaganya.



“Plakk!” Kembali pergelangan tangan kirinya kena ditangkap dengan mudah oleh pangeran itu.



“Hemm, engkau hendak membunuhku, ya?” bentak Han Houw dengan marah dan dia mengerahkan tenaga. Pegangan pada kedua pergelangan lengan wanita itu menjadi kuat sekali dan Sun Eng merasa nyeri bukan main, sampai seperti menusuk jantung rasanya dan dia menyeringai. Agaknya melihat wajah yang biasanya amat manis memikat dan yang biasanya diciumi dan dibelai itu menyeringai kesakitan, Han Houw merasa kasihan juga dan dia mengendurkan pegangannya, kemudian sekali totok dia membuat Sun Eng lemas dan lumpuh. Digerayanginya seluruh tubuh Sun Eng untuk men­cari kotak hitam akan tetapi ternyata Sun Eng tidak menyembunyikan apa-apa.



“Di mana kotak itu? Di mana surat itu?” desisnya marah.



“Hamba... hamba tidak tahu... hamba tinggalkan di dalam kamar...” Sun Eng menjawab sedapatnya saja.



Han Houw sudah menggerakkan tangan, akan tetapi ditahannya dan dia hanya mendorong tubuh wanita itu. Sun Eng yang sudah tertotok lumpuh itu terguling roboh. “Bawa dia!” bentak Han Houw dengan suara bernada kesal dan diapun lalu pergi diiringkan oleh Hai-liong-ong Phang Tek dan para pengawal yang menggotong Sun Eng yang tidak dapat jalan sendiri itu.



Pada waktu itu, Sun Eng sudah tenang kembali. Kalau tadi dia menjadi gugup adalah karena dia sama sekali tidak mengira akan tertangkap secepat itu. Rasa kaget membuat dia gugup sekali. Akan tetapi sekarang, setelah dia tahu benar bahwa tidak ada harapan baginya, dia malah menjadi tenang. Sebaiknya begini, pikirnya. Sebaiknya aku mati saja, akan tetapi dia akan mati penasaran kalau usahanya itu tidak berhasil, kalau Menteri Liang tidak melanjutkan pelaporannya kepada kaisar dan kalau kaisar tidak mengambil tindakan terhadap pangeran ini dan membebaskan keluarga Cin-ling-pai dari tuduhan.



Setelah tiba di istana Pangeran Ceng Han Houw, Sun Eng dilempar ke atas dipan di dalam kamarnya. Han Houw lalu menyuruh semua orang keluar dan dia duduk di atas bangku di dekat dipan. Sampai lama dia memandang kepada wajah Sun Eng, kadang-kadang menarik napas panjang, kadang-kadang dia mengepal tinju dengan marah.



“Sun Eng, selama ini engkau tentu tahu betapa aku telah jatuh hati kepadamu, betapa aku menyayangmu. Tidak tahunya, semua sikapmu adalah palsu!” Dia mengepal tinju. “Sepatutnya kita tidak perlu banyak bicara lagi dan aku harus membunuhmu! Ketika engkau rebah di jalan dahulu itu, ternyata semua itu hanyalah siasatmu untuk dapat menyelundup ke sini dan memperoleh kepercayaanku belaka! Sungguh aneh, engkau mengorbankan dirimu yang kauserahkan seluruhnya kepadaku, hanya untuk mengetahui rahasiaku dan mengkhianatiku! Wanita palsu, siapakah engkau sesungguhnya?” Han Houw membentak dan memandang tajam.



Sun Eng diam saja, terlentang dan menatap langit-langit kamar yang amat dikenalnya itu. Selama puluhan hari, kamar ini merupakan tempat dia bercumbu rayu dengan pangeran ini. Betapa seringnya dia membayangkan wajah Lie Seng di langit-langit itu ketika dia sedang melayani sang pangeran dalam permainan cintanya. Sekarangpun dia membayangkan wajah Lie Seng pada langit-langit putih itu.



“Baiklah, agaknya engkau bertekad untuk menutup mulut,” kata Ceng Han Houw. “Akan tetapi semua itupun tidak ada gunanya dan aku tidak perduli. Yang penting, hayo kaukatakan di mana engkau menyembunyikan kotak surat itu. Kalau engkau menyerahkan benda itu kembali kepadaku, aku berjanji akan membebaskanmu, demi mengingat hubungan kita yang lalu dan mengingat betapa engkau sudah banyak mendatangkan kesenangan padaku.”



Akan tetapi Sun Eng tetap membisu bahkan menengokpun tidak kepada pange­ran itu. Han Houw mengerutkan alisnya. Dia mengalami pukulan-pukulan batin yang cukup parah. Pengkhianatan Sun Eng ini, kenyataan bahwa wanita ini ternyata tidak mencintanya, melainkan hanya mempermainkannya, benar-benar meru­pakan pukulan bagi harga dirinya. Dia tadinya mengira bahwa semua wanita tentu akan tergila-gila kepadanya den dengan senang hati akan bertekuk lutut menyerahkan diri kepadanya. Akan tetapi, kalau dulu dia pernah merasa terpukul oleh penolakan gadis kembar Kui Lan dan Kui Lin, kini dia lebih terpukul lagi karena wanita ini bahkan hanya memper­mainkannya untuk mengkhianatinya. Dia dianggap sebagai seorang pria hidung belang biasa saja yang lemah terhadap wanita!

Tiba-tiba pangeran itu merubah sikapnya. Dia menghampiri Sun Eng yang masih terlentang kemudian dia duduk di tepi pembaringan, lalu membungkuk sehingga wajahnya menyentuh wajah Sun Eng.



“Eng-moi... mungkinkah tidak ada sedikitpun perasaan cinta di hatimu terhadap aku? Mungkinkah engkau melupakan segala kemesraan yang terjadi di antara kita selama ini? Aku tahu benar, andaikata di lubuk hatimu tidak ada cinta kasih untukku, setidaknya engkau juga menikmati hubungan kita... engkau tak mungkin dapat menipuku dalam hal itu. Eng-moi... aku hanya menghendaki surat dalam kotak hitam itu kembali. Itu adalah surat ayahku, untukku...” Suara pangeran itu merayu dan bibirnya menyentuh bibir Sun Eng, lalu diciuminya bibir wanita itu dengan penuh kemesraan seperti biasa dia mencium Sun Eng dan biasanya selalu wanita itu akan membalas dengan penuh perasaan dan gairah. Akan tetapi, sekali ini, mulut yang setengah terbuka itu diam saja, bibir itu tidak menjawab, dan mulut itu terasa dingin, sama sekali tidak ada gairah.



Akhirnya terdengar bibir itu berbisik, “Bunuhlah aku... bunuhlah...”



“Engkau minta mati?” Suara sang pangeran masih lembut. “Akan kuturuti, engkau minta apapun minta mati, minta bebas atau minta tetap berada di sam­pingku, akan kuturuti asal engkau mau menyerahkan kembali surat itu. Di mana­kan engkau menyimpannya?”



Akan tetapi Sun Eng menggeleng kepala keras-keras. “Tidak akan kuberi­kan, biar aku dibunuh sekalipun!”



Wajah yang tampan itu kini berubah merah, sepasang matanya mencorong menyinarkan kemarahan. “Perempuan rendah dan palsu! Agaknya setan neraka yang menyuruhmu memusuhi aku! Kalau begitu, biar kaurasakan siksa neraka lebih dulu, hendak kulihat apakah engkau tidak akan mengembalikan surat itu ke­padaku!”



Setelah berkata demikian, Ceng Han Houw mengambil tali dan mengikat ke­dua lengan Sun Eng ke belakang tubuh. Karena marahnya, merasa dipermainkan dan dikhianati, juga karena cemasnya mengingat betapa surat rahasia yang amat berbahaya itu terjatuh ke tangan wanita ini yang tidak mau mengembalikannya, kini dia tidak halus lagi, melainkan dengan kasar dia mengikat kedua pergelangan tangan wanita itu ke belakang punggung dengan kuat. Kemudian dengan kasarnya pula direnggutnya kedua sepatu dari kaki Sun Eng sehingga kedua kaki yang kecil halus dan putih kemerahan itu menjadi telanjang.



Sun Eng tetap tenang saja, bahkan ketika pangeran itu membalikkan tubub­nya menelungkup kemudian membebaskan totokan pada tubuhnya sehingga dia mampu menggeletakkan tubuhnya lagi dia tetap tenang dan tidak mau bergerak. Dia mendengar suara pangeran itu di bela­kangnya, tidak tahu apa yang sedang di­lakukan. Akan tetapi nampak cahaya terang dan pangeran itu mendekatkan sebuah obor kecil yang sudah dinyalakan ke dekat muka Sun Eng.



“Sun Eng, kaulihat baik-baik apa yang kupegang ini? Aku tidak ingin bahkan merasa benci untuk menyiksamu, akan tetapi kalau tetap membandel dan tidak mau mengembalikan suratku itu terpaksa aku akan menyiksamu dan engkau tidak akan kuat bertahan kalau telapak kakimu kubakar dengan obor ini!”



Akan tetapi Sun Eng yang sudah me­ngerti bahwa dia tidak mungkin dapat lolos lagi itu sudah nekat. “Bakarlah, siksalah, bunuhlah sesuka hatimu, jangan harap surat itu akan bisa kaudapatkan kembali!” Suaranya penuh tantangan bah­kan mengandung ejekan, karena hanya dengan mengejek dan menertawakan pa­ngeran yang menjadi musuh besar Lie Seng dan keluarganya inilah yang dapat merupakan hiburan satu-satunya pada saat-saat terakhir dari hidupnya.



“Keparat!” Ceng Han Houw memben­tak dan dia mulai menempelkan obor bernyala itu ke telapak kaki kanan Sun Eng.



Tubuh Sun Eng tersentak kaget, ma­tanya terbelalak dan mulutnya terbuka, akan tetapi dia menahan jeritnya. Asap yang mengeluarkan bau kulit terbakar mengepul dan tak dapat dihindari lagi Sun Eng menggerak-gerakkan kaki kanan­nya yang menderita nyeri luar biasa itu.



“Masih belum mau mengaku?” Pange­ran itu menarik obornya. Akan tetapi rasa nyeri masih tidak berkurang, kiut-miut rasanya, menyusup ke bawah kulit dan menjalar sampai ke ubun-ubun ke­pala. Keringat yang besar-besar keluar dari muka dan leher Sun Eng. Dia menggigit bibir dan menggeleng kepala, me­mukul-mukulkan kaki kanan ke atas pem­baringan.



“Sun Eng, kalau kaki kirimu juga ku­bakar, engkau takkan dapat bertahan nyerinya. Bakaran ke dua lebih nyeri lagi maka sebaiknya engkau mengaku dan mengembalikan surat itu. Tidak akan ada faedahnya engkau berkeras kepala, pula surat itu tidak ada gunanya bagimu.”

Dalam menderita kesakitan hebat, Sun Eng masih mencari hiburan dengan me­mukul musuh Lie Seng yang menyiksanya ini dengan kata-kata, “Bagiku tidak ada gunanya, akan tetapi bagi sri baginda kaisar berguna sekali!”



“Apa?” Wajah Han Houw menjadi pucat sekali. “Kau... kau tentu tidak akan memberikan surat itu kepada kaisar! Engkau akan mampus lebih dulu sebelum sempat menyerahkan surat itu kepada... eh, kepada siapa surat itu kauserahkan tadi? Hayo kau mengaku! Di mana surat itu?” Suara pangeran itu gemetar dan diam-diam Sun Eng tersenyum. Pangeran itu ketakutan! Akan tetapi dia terpaksa menggigit bibirnya lagi karena kini pangeran itu menyentuh telapak kaki kirinya dengan api obor.

“Aaahhh...!” Sun Eng kembali tersentak, kepalanya terangkat ke atas dan mulutnya terbuka karena dia tidak dapat menahan rasa nyeri yang luar biasa itu. Matanya terbelalak dan biarpun dia masih mampu menahan sehingga tidak sampai menjerit-jerit namun dari kerongkongannya keluar suara aneh, terengah-engah dan mukanya penuh dengan peluh yang memercik ke sana-sini karena kepalanya dan tubuhnya bergoyang-goyang. Bau kulit terbakar makin keras.



“Mengakulah! Siapa menerima surat itu?” Han Houw menghardik dan orang yang merasa gelisah ketakutan ini men­jadi makin bengis.



Akan tetapi Sun Eng hanya menggeleng-geleng kepalanya keras-keras. Rasa nyeri amat menusuk, dan setelah secara bergantian Han Houw menyentuh telapak kaki kanan dan kiri dengan api, Sun Eng tidak kuat bertahan dan terkulai pingsan. Han Houw menghentikan penyiksaannya dan memadamkan obor, menghentak-hentakkan kedua kakinya dan berjalan hilir-mudik dalam kamar itu, kedua alisnya berkerut dan dia kelihatan bingung sekali. Lalu dia bertepuk tangan, memerintahkan pelayan yang muncul untuk memanggil para pembantunya.



Muncullah Hai-liong-ong Phang Tek dan dua orang Mongol yang masih berada di situ. Tiga orang itu memandang kepada tubuh Sun Eng yang rebah menelungkup dalam keadaan pingsan dan kedua telapak kakinya yang tadinya putih kemerahan itu kini hitam melepuh, lalu mereka kembali memandang kepada sang pangeran.



“Celaka...!” Ceng Han Houw mengeluh. “Perempuan rendah itu tidak mau mengaku, akan tetapi dia membayangkan bahwa surat itu hendak disampaikan kepada kaisar!”



“Ahhh...!” Tiga orang inipun menjadi pucat wajahnya dan saling pandang dengan bingung.



“Saat ini tentu belum sampai ke tangan kaisar, tidak mungkin malam hari ada yang dapat menyampaikan surat itu kepada kaisar. Akan tetapi kalau sampai besok... ah, kita harus tahu di mana disembunyikan surat itu, atau kepada siapa surat itu diserahkan. Dia keras kepala, tidak mau mengaku...!” Han Houw menuding ke arah kedua kaki wanita itu. “Maka, kalian kupanggil untuk merundingkan urusan ini. Bagaimana baiknya?”



“Satu-satunya jalan, dia herus dipaksa untuk mengaku agar kita dapat bergerak malam ini juga dan mencegah surat itu terjatuh ke tangan kaisar!” kata orang Mongol yang lebih muda, yang berusia empat puluh tahun dan bermata tajam namun mengandung kelicikan dan juga wajahnya menyeramkan karena penuh dengan brewok yang hitam dan lebat sekali, kasar seperti kawat-kawat baja. Ada sesuatu pada sinar matanya yang membuat Hai-liong-ong sendiri bergidik. Orang ini kejam bukan main, pikir orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu, sungguhpun dia sendiri bukanlah orang yang baik atau tidak kejam.



“Dia keras kepala dan sampai pingsan dia sama sekali tidak mau mengaku,” kata Han Houw dengan sikap kehabisan akal.



“Paduka serahkan kepada hamba, dan hamba akan memaksa dia membuka mulut!” kata orang Mongol itu.



“Baiklah. Memang itu jalan yang terutama sekali. Kalau engkau bisa menundukkannya dan memaksanya mengaku, itu baik sekali. Kalau tidak, siksa dia sampai mampus!” kata sang pangeran penuh geram.



“Lebih baik jangan sampai dia mati dulu, mungkin dia masih berguna untuk kita, pangeran. Dalam keadaan seperti ini, sebaiknya kalau paduka menahan kemarahan dan bersikap teliti,” Hai-liong-ong memperhatikan.



“Pendapat itu benar, pangeran,” sambung orang Mongol yang lebih tua. “Wanita itu adalah satu-satunya orang yang dapat memungkinkan kita memperoleh kembali surat itu, maka tidak semestinya kalau cepat-cepat dibunuh. Boleh disiksa dan dipaksa mengaku, akan tetapi jangan sampai mati.”



Ceng Han Houw mengangguk-angguk. “Memang aku terburu nafsu mengingat betapa dia telah mempermainkan aku, menipuku, bahkan mengkhianatiku dan membuat aku terancam bahaya begini hebat. Kaubawalah dia dan usahakan sekuatmu agar dia mengaku!” katanya kepada orang Mongol brewok itu.



“Harap paduka jangan khawatir, hamba tahu bagaimana harus memperlakukan wanita bandel!” Orang Mongol itu tersenyum lebar, lalu menghampiri pembaringan dan memondong tubuh yang pingsan itu. Sinar matanya berkilat ketika dia mencium bau sedap dari leher Sun Eng dan melihat tonjolan dada yang padat di balik baju dan yang nampak membusung karena kedua lengan wanita itu ditelikung ke belakang punggung. Lalu dia melangkah dari dalam kamar itu sambil tersenyum dingin penuh kekejaman.

HAN HOUW kini berunding dengan orang Mongol tua dan Hai-liong-ong Phang Tek. “Sebaliknya kalau Gaulana tidak berhasil memaksa wanita itu mengaku, paduka malain ini juga, atau selambat-lambatnya besok pagi-pagi benar, sebelum surat itu terjatuh ke tangan kaisar, paduka meninggalkan kota raja dan mengungsi ke utara sambil melihat perkembangannya kelak. Terlalu berbahaya kalau paduka berada di sini. Hamba akan mengawal paduka.”



Hai-liong-ong Phang Tek menggeleng kepala. “Hamba tidak setuju dengan usul itu, Pangeran. Andaikata benar surat itu ke tangan kaisar, paduka tidak perlu gentar atau tergesa-gesa pergi, karena kepergian yang tergesa-gesa tanpa pamit itu bahkan akan menambah kecurigaan, seolah-olah paduka sudah mengaku salah. Hamba kira, sri baginda kaisar tidak akan begitu mudah percaya laporan seorang wanita rendahan atau orang yang diberinya surat itu. Tentu sri baginda kaisar akan lebih mempercayai paduka dan andaikata pula kaisar menaruh curiga, tentu beliau akan bertanya dulu kepada paduka dan tidak akan melakukan tindakan ceroboh, mengingat bahwa paduka adalah satidara tiri!”



Han Houw mengangguk-angguk, dapat merasakan kebenaran pendapat ini. “Akan tetapi, bagaimana kalau beliau memanggilku dan memeriksaku, bertanya tentang surat dari ayahanda Sabutai itu?” Akhirnya dia bimbang lagi dan suaranya membayangkan kegelisahan.



“Harap paduka tidak khawatir. Banyak sekali alasan yang dapat paduka pergunakan. Misalnya, menyangkal bahwa surat itu adalah surat aseli dari ayahanda paduka Raja Sabutai. Siapa yang dapat memastikan bahwa surat itu aseli? Paduka dapat mengatakan bahwa paduka mempunyai banyak musuh di dunia kang-ouw dan mungkin surat itu adalah surat palsu yang sengaja dibuat oleh musuh paduka untuk mengadu domba.”



“Ah, bagus sekali! Akal itu dapat dipakai, dan memang baik sekali! Engkau sungguh bijaksana, Phang-enghiong!” Sebutan itu menjadi bersifat menghormat dan wajah orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu berseri.



“Bukan hanya itu saja, pangeran. Andaikata kaisar menaruh curiga, masih banyak waktu bagi paduka untuk bertindak waspada dan karena banyak teman-teman kang-ouw yang membantu paduka, maka apa sukarnya bagi paduka untuk menyembunyikan diri di sekitar sini tanpa harus melarikan diri ke utara? Dengan demikian baik atau buruknya akibat dari perbuatan selir paduka yang berkhianat itu, tetap saja gerakan paduka akan dapat dilanjutkan dengan baik!”



“Bagus! Wah, engkau akan kuangkat menjadi penasihat negara kalau gerakanku berhasil!” teriak sang pangeran dengan girang. Mereka lalu berunding terus dengan asyik sambil makan minum karena kini sang pangeran tidak segelisah tadi setelah menerima petunjuk-petunjuk dan nasihat-nasihat dari Hai-liong-ong Si Raja Naga Laut itu.



Sementara itu, di dalam kamar lain, juga di dalam istana pangeran itu akan tetapi jauh di belakang, terjadi peristiwa lain yang mengerikan. Dengan berbagai cara, dengan bujukan dan pura-pura mengajak Sun Eng bersekutu, sampai kepada ancaman-ancaman yang paling menakutkan, orang Mongol yang bernama Gaulanu itu berusaha untuk membuat agar Sun Eng mau mengaku di mana surat itu disembunyikan atau kepada siapa diserahkannya. Namun semua bujukan itu tidak dijawab oleh Sun Eng yang sudah sadar.



“Nona, engkau adalah seorang wanita yang masih muda dan cantik,” demikian Gaulanu mencoba kembali dengan lemah lembut, dengan suaranya yang agak kaku berlogat asing, “dan percayalah, aku, Gaulanu bukan orang yang tidak dapat mengagumi wanita muda dan cantik. Aku kasihan kepadamu, nona. Aku diperintahkan oleh pangeran, untuk menyiksa, bahkan membunuhmu kalau engkau tidak mau mengaku. Kenapa engkau berkeras kepala, nona? Mengakulah dan aku bersumpah untuk menyelamatkanmu.”



“Aku tidak tahu...!” Sun Eng berkata singkat.



“Nona, kau tahu, kalau engkau menurut, aku bahkan akan mohon kepada pangeran agar engkau seka menjadi selirku. Kubawa engkau ke utara dan engkau akan hidup bahagia... hemmm, aku suka sekali kepadamu, nona.”



“Tutup mulutmu dan kalau mau bunuh, lakukanlah!” Sun Eng menantang marah.



Habislah kesabaran Gaulanu dan dia menyeringai, wajahnya yang penuh brewok itu nampak menyeramkan sekali. “Perempuan tak tahu diri! Tahukah engkau, siksaan apa yang paling hebat bagi seorang wanita? Engkau pernah diperkosa? Ya? Pernah? Nah, aku akan memperkosamu, mempermainkanmu sesuka hatiku kalau engkau tidak mau mengaku!”



Sun Eng memejamkan mata. Dia tahu apa artinya itu. Dan dia memang sudah memperhitungkan kemungkinan itu. Tidak, dia akan menahan segala siksaan, juga perkosaan. Bukankah dia sudah membiar­kan dirinya diperkosa berkali-kali oleh pangeran itu? Dia sudah kepalang berkorban, maka biarlah dia akan diapakan juga, akhirnya toh akan mati! Mati demi Lie Seng!



“Aku tak perduli!” bentaknya.



Wajah brewokan itu menyeringai. “Ha, ­kaukira hanya diperkosa satu kali saja? Hemm, kau tidak tahu laki-laki apa Gau­lanu ini. Aku akan memperkosamu sampai engkau tidak kuat bertahan lagi! Dan kalau aku kewalahan, akan kupanggilkan pengawal-pengawal yang paling kuat untuk meggantikan aku, bergilir sampai engkau mati, ya, tidak akan berhenti sampai engkau tidak kuat!”

“Saya sendiri sungguh mati tidak pernah dapat mengerti mengapa ayah kandung dan kakak tiri saya begitu tega untuk mencelakakan Lan-moi dan Lin-moi, menyerahkan mereka kepada pangeran keparat itu!” Akhirnya Beng Sin berkata sambil mengepal tinjunya. “Kalau saya berkepandaian, tentu akan saya tolong Lan-moi dan Lin-moi! Akan tetapi apa daya saya terhadap seorang seperti pangeran itu?”



“Tenangkan hatimu, Beng Sin,” kata calon ayah mertuanya. “Kedua orang adikmu itu telah selamat.”



“Eh? Bagaimana... eh, gak-hu (ayah mertua) bisa tahu...?” Biarpun agak malu-malu, dia tidak ragu-ragu lagi menyebut ayah mertua sehingga menggirangkan hati Ciook-piauwsu.



“Mereka telah diselamatkan oleh ka­kak tiri mereka yang bernama Liong begitu, demikian menurut pendengaranku, dan mereka kini bahkan telah kembali ke rumah Ciang-piauwsu ketua Hek-eng-piauwkiok yang menganggap mereka se­perti anak sendiri, bahkan mereka datang bersama ayah mereka.”



Muka yang gemuk itu memandang dengan melongo, terheran-heran akan tetapi juga girang sekali mendengar bah­wa Lan Lan dan Lin Lin selamat.



“Ah, tentu Sin Liong yang menyela­matkan mereka! Sin Liong hebat sekali! Dan mereka berada di kota ini? Bersama ayah?” Pertanyaan terakhir ini bernada tak senang.



“Benar, dan mereka kini telah mem­beli rumah sendiri. Engkau harus cepat mengunjungi ayahmu dan adik-adikmu itu, Beng Sin. Kami girang bahwa engkau dapat berkumpul dengan keluargamu yang kini telah pindah ke sini. Sungguh ke­betulan sekali dan mudah untuk menge­sahkan perjodohan antara engkau dan Siu Lan.”



Akan tetapi wajah yang gemuk dan bulat itu menjadi muram dan dia meng­geleng kepala. “Saya tidak akan mengunjungi ayah...”



Suami isteri itu saling pandang, ke­mudian Ciook-piauwsu berkata, nada sua­ranya bersungguh-sungguh, “Beng Sin, kami mengharap engkau tidak mengece­wakan hati kami dengan melesetnya pan­dangan kami tentang dirimu. Kami memandangmu sebagai seorang pemuda ga­gah perkasa yang baik budi dan bijak­sana. Akan tetapi, semua itu akan tidak ada gunanya kalau engkau sekarang hen­dak bersikap murtad dan kejam terhadap ayah kandung sendiri.”



“Akan tetapi, gak-hu..., hanya sayalah yang tahu betapa jahatnya dia... betapa kejamnya... ah, sudah terlalu banyak hal keji dilakukan ayah... saya merasa malu sendiri... bahkan puteri-puterinya sendiripun hendak diserahkan kepada pangeran itu, seperti domba-domba diserahkan kepada jagal untuk disembelih...”



“Cukup, Beng Sin!” Tiba-tiba Ciook-piauwsu berkata dengan suara keras dan tegas. “Kami tidak ingin mendengar ke­burukan-keburukan orang, apalagi kalau orang itu adalah ayah kandungmu. Betapapun banyak penyelewengan yang pernah dilakukannya, apakah engkau sebagai puteranya tidak menaruh hati kasihan dan tidak mau memaafkannya? Dia sekarang... ah, sakit parah...”



“Ahhh...?” Beng Sin terkejut.



“Benar, Beng Sin,” sambung ibu mertuanya. “Ayahmu itu sedang menderita penyakit yang payah, maka sebaiknya kalau engkau cepat menengoknya agar terhibur hati orang tua itu. Juga, kasihan dua orang adikmu itu yang merasa bingung melihat ayah mereka sakit.”



Mendengar betapa Kui Hok Boan sakit payah, dan dua orang gadis kembar itu menjadi bingung, timbul rasa kasihan dalam hati Beng Sin. Betapapun juga, ayah kandungnya atau bukan, Kui Hok Boan adalah orang yang telah melimpah­kan banyak budi kebaikan kepadanya. Dan dia amat menyayang dua orang dara kembar itu, bahkan pernah dia jatuh hati kepada Lin Lin sebagai seorang pria yang mencinta wanita, sungguhpun kini cintanya itu berubah menjadi cinta seorang kakak terhadap seorang adiknya.



“Baik, saya akan pergi mengunjungi mereka.”



Giranglah hati ayah dan ibu mertua ini dan mereka lalu menunjukkan jalan ke arah rumah tinggal Lan Lan, Lin Lin, dan ayah mereka. Dengan jantung berdebar Beng Sin menuju ke rumah yang cukup besar itu. Kiranya, dengan bantuan keluarga Ciang-piauwsu, Kui Hok Boan kini membeli sebuah rumah, tentu saja, yang mengurusnya adalah Ciang-piauwsu bersama Kui Lan dan Kui Lin, dan tinggal di rumah ini, Kui Lan dan Kui Lin mempergunakan uang hasil penjualan perhiasan untuk membeli rumah dan perabot-perabot rumah, kemudian sisa harta mereka itu mereka serahkan kepada ayah angkat mereka, Ciang-piauw­su ketua Hek-eng-piauwkiok, untuk “di­jalankan” sehingga modal itu dapat meng­hasilkan keuntungan dan tidak akan ha­bis dimakan menganggur begitu saja.



Ketika Kui Lan dan Kui Lin melihat siapa orangnya yang datang berkunjung, keduanya menjadi girang dan juga ter­haru. Mereka menubruk dan memegangi kedua tangan Beng Sin sambil menangis.



“Sin-ko...!” Kui Lan terisak.



“Sin-ko, kenapa baru sekarang kau muncul?” Kui Lin juga menangis.



Beng Sin tidak dapat menahan runtuh­nya beberapa butir air matanya melihat dua orang dara kembar yang disayangnya ini. “Lan-moi... Lin-moi... terima kasih kepada Thian bahwa kalian dalam selamat...” katanya berulang-ulang.

Dia terharu sekali memandang wajah Kui Lan yang ternyata sekarang adalah adik tirinya, sedarah dengan dia, seayah!



“Kami diselamatkan oleh Liong-koko,” kata Kui Lan.



“Dan Liong-koko yang menyuruh kami membawa ayah pindah ke sini,” sambung Kui Lin.



Sukar bagi mulut Beng Sin untuk ber­tanya tentang ayahnya. Ah, sudah tahu­kah dua orang kembar ini bahwa dia adalah saudara sedarah dengan mereka? Dan sudah dengarkah mereka tentang kematian Siong Bu? Yang paling buruk harus dibicarakan lebih dulu, pikirnya, maka dia lalu berkata, “Lan-moi dan Lin-moi, aku... aku telah... membunuh Bu-ko...”



Dua orang dara itu mengangguk dan mengusap air mata, “Kami sudah mendengar semua itu dari Liong-koko, Sin-ko,” kata Kui Lan.



“Bukan salahmu, Sin-ko, Bu-ko me­mang jahat dan dia tewas dalam per­kelahian karena engkau membela kami... ah, kami sudah tahu akan semua itu dari Liong-koko dan dari... dari ayah...”



“Kamipun sudah tahu bahwa engkau adalah putera kandung ayah pula, seperti juga mendiang Bu-ko. Ah, kami sudah mendengar banyak, Sin-ko... tentang ayah... dia... dia...” Kui Lan tak dapat melanjutkan kata-katanya dan menangis. Dari kata-kata ayah mereka yang sering mengigau dan bicara sendiri itu, akhirnya keluarlah semua rahasia Kui Hok Boan dan tahulah dua orang dara kembar itu betapa ayahnya dahulu adalah seorang yang amat kejam dan jahat, yang telah menganiaya dan merusak banyak sekali wanita. Ayah mereka adalah seorang laki-laki mata keranjang yang suka merayu dan menyia-nyiakan wanita yang telah menjadi korbannya. Bahkan mereka tahu pula bahwa pembunuh ayah Bhe Bi Cu, teman Sin Liong itu, juga adalah ayah mereka sendiri.



Beng Sin mengangguk-angguk. Agak ringan hatinya setelah mendengar bahwa dua orang adiknya inipun sudah tahu segala hal tentang ayah mereka. “Bagaimana... ayah...?” tanyanya dengan kaku karena dia masih belum dapat menerima kenyataan bahwa Kui Hok Boan adalah ayah kandungnya sendiri. “Aku mendengar dari keluarga Ciook bahwa dia sakit payah?”



Kui Lan hanya mengangguk, akan tetapi Kui Lin menerangkan, tubuhnya tidak apa-apa, Sin-ko. Jasmaninya tidak sakit akan tetapi...”



“Tetapi bagaimana?” Beng Sin men­desak, alisnya berkerut dan jantungnya berdebar, dia hampir merasa dapat mengerti.



“Pikirannya... batinnya terpukul hebat dan dia... dia...”



“Seperti anak kecil, atau seperti o­rang bingung, selalu dalam duka dan sesal. Sungguh kasihan sekali dia, Sin-ko,” Kui Lan menyambung.



Beng Sin lalu diantar oleh dua orang adiknya, digandeng di kanan kiri, menuju ke dalam dan dengan hati-hati Kui Lan membuka kamar ayahnya.



Terharu bukan main hati pemuda ge­muk yang memang berbudi ini ketika melihat orang tua itu. Kui Hok Boan yang dulu terkenal sebagai seorang pria tampan dengan pakaian yang selalu rapi itu kini seperti seorang jembel tua saja. Pakaiannya kusut, rambutnya kusut, tu­buhnya kurus kering, matanya sayu dan biarpun kamar itu lengkap dengan pem­baringan dan kursi, namun orang tua itu rebah di atas lantai kamar! Dia menoleh dan ketika bertemu pandang dengan Beng Sin, dia bangkit duduk dan melebarkan matanya.



“Ayah, ini Sin-ko datang menjenguk,” kata Kui Lan.



“Ayah, ini kakak Beng Sin. Lupakah ayah kepadanya?” Kui Lin mengingatkan.



“Beng Sin... Beng Sin... anakku...” kata orang tua itu lirih seperti berbisik.



Beng Sin tak dapat menahan keharuan hatinya. Dia menjatuhkan diri berlutut di depan orang tua itu sambil menitikkah air mata. “Ayah...!” Dia tidak dapat bicara apa-apa lagi kecuali menyebut ayah kepada orang tua itu. Mau bicara apakah?



“Beng Sin, engkau anakku... ya, engkau telah membunuh Siong Bu! Kenapa engkau tidak membunuh aku sekalian? Bunuhlah aku, Beng Sin, seperti aku telah membunuh ibumu, Tee Cui Hwa, se­perti aku membunuh ibu Siong Bu, Kwan Siang Li, seperti aku telah membunuh Liong Si Kwi. Ya, ibu-ibu kalian telah mati di tanganku semua... hu-huk, mati karena aku... bunuhlah aku... hu-huk-huhhhh...” dan orang tua itupun menangis seperti anak kecil!



Beng Sin terkejut den momandang de­ngan muka pucat. Kui Lin lalu menarik tangan Beng Sin, diajaknya bangun den mereka lalu meninggalkan orang tua itu. Kui Lan menutupkan kembali daun pintu kamar itu perlahan-lahan. Suara isak tangis orang tua itu masih terdengar.



“Dia selalu begitu...” kata Kui Lin berbisik. “Kalau ditanggapi, makin menjadi-jadi. Sebaiknya didiamkan dan dia akan tertidur.”



Beng Sin menggeleng-geleng kepala­nya. “Sungguh kasihan sekali ayah kita... dia harus menderita batin seperti itu...”



“Itukah hukum karma? Siapa menanam bibitnya dia akan memetik buahnya?” kata Kui Lin meragu.



“Betapapun juga, itu merupakan pe­lajaran bagi kita. Ayah kita pernah me­lakukan kesesatan dalam kehidupannya, biarlah itu memperingatkan kita agar kita tidak sampai melakukan penyele­wengan dan menjadi sesat,” kata Kui Lan.

Memang tiga orang anak dari Kui Hok Boan ini tadinya merasa tidak se­nang akan segala perbuatan jahat ayah kandung mereka dan ada perasaan benci dalam hati mereka. Akan tetapi setelah menyaksikan keadaan ayah mereka yang begitu mengenaskan, lebih menyedihkan daripada mati sendiri, hidup akan tetapi menderita dalam kedukaan dan penyesal­an yang tiada habisnya, timbullah rasa iba.



Apakah artinya segala penyesalan setelah terlambat? Apakah gunanya pe­nyesalan? Penyesalan dianggap benar oleh umum karena penyesalan akan membuat orang itu sadar kembali. Akan tetapi benarkah demikian? Ataukah penyesalan sekedar merupakan hiburan saja bagi si pelaku, hiburan untuk menutupi batinnya yang menderita akibat perbuatannya sen­diri? Betapa seringnya kita menyesal, akan tetapi betapa seringnya pula per­buatan yang sama kita lakukan dan kita ulang kembali! Orang yang berbatin le­mah dan tumpul selalu berada dalam ke­adaan tidak waspada dan tidak sadar, sehingga mudah saja dibuai oleh bayang­an kesenangan, dan kalau sudah meng­hadapi kesenangannya, maka tidak teringat apa-apa lagi, tidak teringat akan akibatnya. Orang yang batinnya lemah dan tumpul seperti itu hanya mementingkan kesenang­an. Baru setelah kesenangan yang di­nikmatinya itu kemudian mendatangkan akibat yang tidak menyenangkan, dia merasa menyesal! Coba andaikata tidak ada akibat yang mendatangkan derita, apakah dia akan menyesali perbuatannya mengejar kesenangan itu? Tentu saja tidak! Sama halnya dengan orang makan sambal. Setiap kali habis makan, kepedas­an dan menyesal, menyatakan tobat dan kapok. Akan tetapi lain saat dia sudah makan sambal lagi! Demikian pula orang yang melakukan penyelewengan, menyesal dan menangis, bertobat melalui mulut kepada Tuhan. Akan tetapi begitu berhadapan dengan bayangan kesenangan yang sama, maka diulanglah perbuatan itu untuk kemudian menyesal dan bertobat kembali. Kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan dalam kehidupan kita sehar-hari, dapatkah kita menyang­kal kenyataan yang benar ini?



Bukanlah penyesalan yang kita perlukan dalam hidup. Yang terpenting adalah kewaspadaan dan kesadaran yang timbul karena mengamati diri sendiri setiap saat. Pengamatan inilah yang akan menimbulkan kebijaksanaan dan kecerdasan, yang akan meniadakan penyelewengan dan kesesatan. Dan kalau tidak ada penyelewengan dan kesesatan, tidak perlu lagi ada penyesalan dan bertobat. Kalaupun kecerdasan dan kebijaksanaan yang timbul dari kewaspadaan melihat bahwa apa yang kita lakukan tidak benar, maka seketika itu juga kita menghentikan perbuatan tidak benar itu dan habis sampai di situ saja. Tidak ada penyesalan, juga tidak ada kerinduan terhadap perbuatan yang lalu itu. Yang lalu sudah mati, sudah habis dan kewaspadaan adalah sekarang, saat ini, saat demi saat. Hidup adalah saat demi saat, bukan kemarin, bukan esok. Akan tetapi sekarang. Maka hidup waspada dan sadar adalah sekarang ini!



Yang teramat penting dalam hidup adalah sekarang ini. Sekarang benar! Apakah benar itu? Tak dapat diterangkan, karena yang dapat diterangkan adalah benarnya sendiri, benarnya masing-masing, maka terjadilah perebutan kebenaran sendiri-sendiri, dan jelas hal ini adalah tidak benar lagi! Akan tetapi, apapun yang kita lakukan, kalau didasari dengan cinta kasih, maka benarlah itu! Dan cinta kasih tidak akan ada selama di situ ada si aku yang ingin benar, ingin senang, ingin baik dan sebagainya!



Melihat keadaan ayahnya, Beng Sin minta kepada calon mertuanya agar pernikahan diundurkan, menanti sampai ayahnya sembuh atau setidaknya agak normal keadaannya. Karena pada waktu itu, mendengar laporan anak-anaknya tentang perjodohan itu, dia hanya mengangguk saja atau menangis!



***






Beberapa hari sebelum hari yang ditetapkan untuk pertemuan para tokoh kang-ouw itu tiba, daerah Lembah Naga telah dibanjiri oleh banyak orang kang-ouw. Juga banyak partai-partai persilatan yang mengutus serombongan anak murid untuk datang berkunjung, bukan untuk memperebutkan kedudukan bengcu atau jago nomor satu di dunia, melainkan untuk menyaksikan pemilihan itu dan untuk melihat siapa yang akan menjadi bengcu. Tentu saja para utusan itu diberi wewenang untuk menentang kalau pemilihan itu kurang tepat, dan tentu saja merekapun boleh turun tangan kalau untuk membela nama partainya sendiri. Partai-partai persilatan yang termasuk golongan putih atau bersih tentu telah memesan kepada para utusannya agar tidak mencari permusuhan, dan membuka mata dan telinga dengan waspada menyaksikan perkembangan pemilihan bengcu itu.



Selain tokoh-tokoh kang-ouw perorangan, baik dari golongan hitam maupun putih, maka nampak bendera-bendera yang dibawa oleh para anak murid dari partai persilatan Kun-lun-pai, Bu-tong-pai, Hoa-san-pai, dan bahkan Siauw-lim-pai juga mengutus rombongannya. Selain empat partai besar ini, masih terdapat banyak pula partai-partai kecil.



Di antara banyak orang itu, yang jumlahnya hampir ada dua ratus orang, terdapat empat orang pendekar atau due pasang suami isteri yang berpakaian sederhana, akan tetapi kalau para tokoh kang-ouw itu mendengar nama mereka, tentu orang-orang itu akan menjadi gempar. Dua pasang suami isteri ini adalah Yap Kun Liong tersama Cia Giok Keng, dan Cia Bun Houw bersama Yap In Hong.



Cia Bun Houw dan Yap In Hong terkejut bukan main ketika mereka bertemu dengan kakak-kakak mereka itu dan mendengar bahwa kakak-kakak mereka itu menerima surat dari Lie Ciauw Si bahwa dara itu telah menikah dengan Pangeran Ceng Han Houw dengan upacara pernikahan di kuil tanpa disaksikan keluarga! Karena pangeran berada dalam keadaan terancam bahaya dan terdesak, maka kami terpaksa mengambil keputusan menikah di kuil, demikian antara lain bunyi surat Ciauw Si. Selain mohon maaf kepada ibu kandungnya, juga dara itu menyatakan bahwa dia dan sang pangeran sudah saling mencinta dan hanya kematian saja yang akan mampu memisahkan mereka satu dari yang lain.

“Aihh, kenapa anak-anakku begitu bodoh...” keluh Cia Giok Keng, keluhan yang sudah dikeluarkan berkali-kali. Hati ibu ini berduka sekali mengingat akan nasib Lie Seng dan Lie Ciauw Si, dua orang anaknya yang dianggap keliru memilih jodoh. Juga Cia Bun Houw dan Yap In Hong merasa penasaran sekali mengapa Ciauw Si dapat terpikat oleh pangeran pemberontak murid Hek-hiat Mo-li itu. Hanya Yap Kun Liong seorang yang tidak mengeluarkan kata, akan tetapi di dalam hatinya pendekar yang sudah matang oleh gemblengan pengalaman hidup ini mengerti apa artinya orang jatuh cinta dan dia sama sekali tidak dapat menyalahkan Lie Seng maupun Lie Ciauw Si.



“Lalu apa yang harus kita lakukan, enci Keng?” Cia Bun Houw bertanya ke­pada encinya, “Kita datang ke Lemhah Naga ini sebagai utusan kerajaan untuk menyelidiki dan kalau perlu menentang gerakan Ceng Han Houw, akan tetapi ternyata pangeran itu telah men­jadi mantumu dan Ciauw Si berada di fihaknya sebagai isterinya!”



Memang amat sukar untuk mengambil keputusan, menghadapi keadaan seperti itu. Akan tetapi dengan suara gemetar tanda bahwa hatinya terguncang hebat, Cia Giok Keng yang kini mulai nampak tua dalam usianya lima puluh tahun itu, berkata lantang, “Biar anak sendiri sekalipun, kalau salah harus kita tentang, dan biar orang sendiri, kalau benar juga haruslah kita bela!”



Yap Kun Liong merasa kasihan sekali kepada isterinya yang tercinta ini. Dia berkata dengan suara yang halus, “Kita lihat saja bagaimana keadaannya nanti dan bagaimana perkembangannya. Sama sekali kita tidak boleh menurutkan dorongan perasaan hati. Seorang gagah harus adil dan bijaksana, oleh karena itu kita harus waspada dan dapat mengambil tindakan yang setepat-tepatnya. Menya­lahkan atau membenarkan orang lain menurutkan perasaan hati sendiri sering kali menyesatkan.”



Tiga orang pendekar lainnya meng­angguk dan diam-diam membenarkan ucapan itu. Memang teringat oleh mere­ka betapa keluarga Cin-ling-pai sejak da­hulu dilanda kekecewaan-kekecewaan dan penyesalan-penyesalan, bahkan nyaris dilanda bahaya perpecahan karena pandangan-pandangan yang terlalu menurut­kan perasaan hati sendiri. Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng sudah mengalami pahit getirnya akibat dari pandangan seperti itu. Juga Cia Bun Houw dan Yap In Hong sudah merasakan betapa sampai bertahun-tahun mereka berdua meninggal­kan keluarga Cin-ling-pai karena pandangan mendiang ayah Bun Houw yang menentang perjodohan itu. Kemudian, terjadi pula pada diri Lie Seng yang memilih jodoh yang tidak disetujui oleh ibu kandungnya dan keluarganya. Kini terulang kembali oleh Ciauw Si! Dan justeru apa yang dilakukan oleh Ciauw Si merupakan puncaknya, yang paling hebat di antara semua keturunan Cin-ling-pai. Ciauw Si memilih sebagai jodohnya orang yang justeru menjadi musuh keluarga Cin-ling-pai, dan bahkan kini menjadi musuh kerajaan, menjadi pemberontak besar! Benar-benar sukar bagi mereka membayangkan kemungkinan seperti ini.



Lembah Naga menjadi ramai dan kini tampaklah barisan penjaga yAng berpakaian indah dan bersenjata lengkap, memenuhi kedua tepi jalan semenjak dari luar daerah sampai ke daerah Lembah Naga, berdiri dengan hormatnya menyambut para tokoh kang-ouw yang berbondong-bondong memasuki daerah itu. Orang-orang kang-ouw itu diam-diam terkejut juga menyaksikan betapa tempat itu telah terjaga sedemikian kuatnya oleh pasukan yang ratusan orang jumlahnya, bahkan mungkin tidak kurang dari seribu orang! Dan ketika mereka tiba di Istana Lembah Naga, ternyata tempat itu telah dihias dengan meriah seperti hendak mengadakan pesta besar. Ruangan depan yang amat luas dan dapat menampung seribu orang itu dihias dan nampak meja kursi dijajar rapi, sedangkan bagian tengahnya dibiarkan kosong.



Pangeran Ceng Han Houw memang cerdik. Dia segera tahu dari para penyelidiknya siapa-siapa yang menghadiri rapat itu, maka diapun sengaja menyuruh para pembantunya yang tidak terkenal untuk menyambut di depan istana dan mempersilakan semua tamu itu duduk ke ruangan depan. Dengan demikian, maka di antara para tamu itu tidak ada yang merasa sungkan. Apalagi dia mendapat kabar bahwa empat orang pendekar Cin-ling-pai yang tadinya menjadi buronan pemerintah itupun datang! Kalau dia sendiri yang maju menyambut, tentu dia harus memberi hormat kepada ibu kandung Ciauw Si dan keluarganya, dan dia belum dapat membayangkan bagaimana sikap mereka setelah mendengar bahwa Ciauw Si menjadi isterinya. Dan tindakannya ini melegakan hati banyak tamu, terutama sekali empat orang pendekar Cin-ling-pai itu yang juga belum dapat menentukan bagaimana sikap mereka seandainya pangeran itu sendiri yang menyambut. Mereka menyusup di antara banyak tamu dan memilih tempat duduk agak di sebelah luar sehingga tidak terlalu menyolok.



Ketika empat orang pendekar Cin-ling-pai ini sudah mengambil tempat duduk dan mereka mencari-cari dengan pandang mata mereka, tidak atau belum nampak adanya Pangeran Ceng Han Houw, atau Lie Ciauw Si. Bahkan juga Sin Liong tidak nampak. Memang mereka masih berada di dalam istana, mereka berempat, yaitu Ceng Hang Houw, Lie Ciauw Si, Sin Liong dan Bi Cu. Baru saja Pangeran Ceng Han Houw mengumpulkan pembantu-pembantunya yang lain, yaitu Kim Hong Liu-nio, Hek-hiat Mo-li, Hai-liong-ong Phang Tek dan yang lain-lain, memberi perintah-perintah ke­pada mereka. Barulah dia kini mengada­kan perundingan dengan isterinya, yang dihadiri oleh Sin Liong dan Bi Cu.



Wajah Ciauw Si nampak agak pucat. Jelas bahwa dia merasa gelisah sekali mendengar bahwa ibu kandungnya hadir pula di situ bersama ayah tirinya, paman dan bibinya. “Aku... aku bingung sekali, tidak tahu bagaimana harus bertemu dengan ibuku,” katanya “Bagaimana kalau beliau dipersilakan masuk sehingga aku dapat menghadapnya di sini saja?”

Ceng Han Houw menggelengkan ke­palanya. “Kurasa hal itu kurang biiak­sana, Si-moi. Ingat bahwa beliau pada saat ini adalah tamu agung di antara orang-orang kang-ouw, maka kalau di­persilakan masuk, tentu beliau merasa tersinggung karena tentu akan menjadi bahan percakapan para tamu lainnya.

Biarlah urusan pribadi dapat kita selesai­kan kemudian, Si-moi. Yang terpenting sekarang kita harus menyelesaikan urusan perjuangan seperti yang telah kita run­dingkan bersama sebelumnya. Kita berdua, ditemani oleh Liong-te, harus keluar menyambut tamu.” Pangeran itu meman­dang isterinya yang sudah berpakaian indah. “Kulihat engkau sudah siap, Si-moi, dan engkau juga, Liong-te. Kalian menemaniku keluar, sebagai isteriku dan sebagai adik angkatku, juga sebagai pembantu-pembantuku yang paling dapat ku­andalkan. Hanya kalian yang mendampingi aku keluar. Engkau harap tinggal di dalam istana, nona Bhe, karena selain kurang baik memperkenalkan engkau sebagai tunangan Liong-te, juga kami menghadapi orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan berbahaya sekali, maka lebih aman kalau berada di sini saja.”



Bi Cu tidak menjawab melainkan me­mandang kepada Sin Liong. Jelas bahwa dia menyerahkan keputusannya kepada kekasihnya itu. Sin Liong memandang Bi Cu dengan mengangguk. “Memang sebaiknya engkau menanti di dalam, Bi Cu. Di luar berbahaya kalau sampai terjadi ke­ributan, kuharap saja tidak demikian,” katanya melirik kepada sang pangeran yang hanya tersenyum. Mendengar ucapan ini, Bi Cu mengangguk.



“Baiklah, sungguhpun aku akan merasa jauh lebih aman kalau berada di dekatmu, Sin Liong. Akan tetapi akupun tidak mau menjadi pengganggu kalian.”



Setelah berkata demikian, Bi Cu bangkit dari kursinya dan kembali ke dalam kamarnya. Jelas bahwa dia kecewa sekali, akan tetapi Sin Liong merasa bahwa memang lebih baik kalau Bi Cu tinggal di kamarnya, daripada harus menghadapi peristiwa besar itu, di mana dia harus waspada dan siap untuk turun tangan apabila perlu, sedangkan kalau Bi Cu berada di depan, dia kurang leluasa karena harus melindungi kekasihnya itu.



Dengan jantung berdebar penuh ketegangan, Sin Liong dan Ciauw Si berjalan keluar mengapit sang pangeran yang tampak tenang-tenang saja, senyumnya tidak pernah meninggalkan bibirnya. Ciauw Si berjalan di sebelah kanannya, sedangkan Sin Liong berjalan di sebelah kirinya.



Semua tamu mengangkat kepaka memandang ke dalam ketika terdengar pengumuman keras dari seorang komandan yang berpakaian gagah bahwa sang pa­ngeran akan keluar menyambut para tamu terhormat. Pintu sebelah dalam ruangan itu terbuka lebar dan muncullah tiga orang muda itu yang membuat para tamu terbelalak penuh kagum. Pangeran Ceng Han Houw nampak gagah dan tam­pan sekali dalam pakaiannya yang serba indah, pakaian seorang pangeran dari sutera biru dengan baju tertutup mantel bulu yang amat indah. Sebuah topi bulu yang sama dengan mantelnya itu menutupi kepalanya, dihias dengan sehelai bulu burung yang berwarna merah. Dia ber­jalan tegak dan halus, pandang matanya bersinar-sinar, menyambar-nyambar ke ruangan yang luas itu, mulutnya ter­senyum dan sedikitpun dia tidak kelihat­an canggung atau gugup, Sikap seorang pangeran tulen, juga sikap seorang yang gagah perkasa. Lie Ciauw Si nampak cantik sekali dalam pakaiannya yang juga mewah dan indah. Wajahnya gemilang dan jelita sekali, dan diapun melangkah dengan sikap tenang dan gagah di samping suaminya. Sungguh seorang puteri yang cantik jelita dan agung, dan ke­lihatan begitu serasi dengan pangeran di sampingnya. Betapapun juga, karena mak­lum bahwa di antara ratusan pasang mata yang menatapnya itu terdapat se­pasang mata ibunya, jantung Ciauw Si terasa berdebar kencang.



Cia Giok Keng tak dapat menahan diri dan dia cepat-cepat mengusap air matanya dengan saputangan ketika melihat puterinya demikian cantik dan agungnya di samping sang pangeran. Harus diakui bahwa pilihan puterinya itu memang tidak keliru. Pangeran itu amat tampan dan gagah. Akan tetapi kalau dia mengingat bahwa pangeran itu adalah seorang pemberontak, dan bahkan murid dari musuh besar Cin-ling-pai, hatinya seperti ditusuk. Dia merasa tangannya digenggam tangan lain dengan halus dan mesra. Tahulah dia bahwa tangan suaminya yang menggenggam tangannya itu maka dia menarik napas panjang dan dapat menahan perasaannya, dapat memandang pula dan air matanyapun berhenti mengalir.



Empat orang pendekar ini mengerut­kan alisnya ketika melihat Sin Liong berjalan di samping sang pangeran pula. Hati meteka diliputi perasaan marah, bahkan Yap Kun Liong yang biasanya tidak mudah marah dan mempunyai pan­dangan yang luas itupun mengerutkan alisnya. Sungguh dia tidak dapat mengerti mengapa anak itu bisa diperalat oleh Pangeran Ceng Han Houw. Bukankah anak itu pernah menjadi pilihan orang-orang sakti seperti mendiang Cia Keng Hong dan mendiang Kok Beng Lama? Mungkinkah dua orang sakti itu salah pilih dan di dalam tubuh anak yang ber­bakat ini terdapat batin yang rendah? Dia bergidik melihat sepasang mata anak muda itu yang mencorong, lebih tajam daripada sinar mata sang pangeran sendiri, dan wajah pemuda itu membayang­kan keteguhan dan kekerasan hati. Bagaimana mungkin wajah seperti itu kini di­miliki seorang yang dapat diperalat se­demikian mudahnya oleh pemberontak ini?

Dari tempat duduk para tamu, semua orang dapat melihat pangeran dan dua orang pendampingnya itu, karena me­mang tempat itu lebih tinggi dan ketika pangeran dan Ciauw Si dan Sin Liong telah mengangguk ke arah tamu, mereka lalu duduk di kursi-kursi yang sudah disediakan, yaitu di bagian dalam ruangan dan kurang lebih satu meter lebih tinggi daripada tempat duduk para tamu. Dari tempat duduknya pangeran menyapu semua tamu dengan sinar matanya dan dia dapat melihat keluarga Cin-ling-pai di sebelah luar, akan tetapi dia pura-pura tidak melihat mereka, sungguhpun hatinya merasa girang sekali. Kalau saja dia mampu membujuk mereka itu membantunya, tentu kedudukannya akan menjadi semakin kuat. Selain itu, andaikata tidak berhasil sekalipun, dia akan dapat membuktikan bahwa dia lebih lihai daripada mereka sehingga julukan jago nomor satu di dunia patut dia miliki! Akan tetapi, Ciauw Si yang memang merasa ngeri untuk bertemu pandang dengan ibu kandungnya di tempat penuh orang itu, lebih banyak menunduk dan membatasi pan­dang matanya agar jangan sampai ben­trok dengan pandang mata ibu kandung­nya. Sebaliknya, dengan berani Sin Liong juga menyapukan pandang matanya ke arah semua tamu, dan dia melihat betapa empat pasang sinar mata keluarga Cin-ling-pai memandangnya dengan marah.

Diapun mengerti akan isi hati mereka, akan tetapi, dia tidak peduli. Kalian akan melihat bahwa aku bukan membantu pangeran ini, melainkan melindungi Bi Cu, pikirnya.



Kini semua tamu sudah berkumpul semua dan ternyata jumlah mereka tidak kurang dari tiga ratus orang! Namun ruangan yang luas itu sama sekali tidak kelihatan penuh, bahkan masih tampak kursi yang kosong di sebelah luar. Semua tamu merasa tegang dan juga gembira. Ruangan itu selain luas dan sejuk karena memperoleh angin dari luar yang terbuka, juga dihias indah dan megah. Pilar-pilarnya yang besar itu dicat putih, dan dihias kertas-kertas kembang. Langit-langitnya juga penuh dengan kertas-kertas berwarna dan lampu-lampu teng ber­macam-macam bentuk dan warna. Kain-kain sutera warna-warni menghias pula tempat yang luas itu. Kursi-kursinya terbuat dari kayu terukir halus, demikian pula meja-mejanya. Guci-guci kuno terdapat di sudut-sudut dengan ukiran arca-arca binatang yang seperti hidup.



Ketika para pelayan datang menyuguhkan arak yang amat baik dengan guci-guci perak, para tamu menjadi semakin gembira. Setiap orang tamu menerima sebuah cawan perak yang terukir indah, dan mulailah mereka minum arak se­hingga ruangan itu penuh bau arak yang sedap.



Setelah melihat semua tamu sudah menerima hidangan arak, Pangeran Ceng Han Houw lalu bangkit berdiri. Tubuhnya yang tinggi sedang itu nampak tegak lurus dan nampak wajahnya yang tampan berseri-seri. Tiba-tiba terdengar suara mengguntur dari komandan jaga yang juga bertugas sebagai pengatur tata tertib, “Silakan cu-wi menaruh perhatian, sang pangeran hendak bicara!”



Sebetulnya tidak perlu komandan ini berteriak karena semua tamu sudah me­mandang ke arah pangeran itu, dan semua suara berisik telah berhenti. Suasana men­jadi sunyi sekali, semua mata ditujukan kepada orang yang telah berani mengun­dang seluruh kaum kang-ouw tanpa pilih bulu itu. Biasanya pertemuan orang kang-ouw hanyalah memillh golong­an mereka sendiri. Andaikata partai Siauw-lim-pai yang mengadakan pertemu­an untuk membicarakan keadaan masya­rakat, atau juga membicarakan soal per­silatan, tentu yang diundang oleh partai itu hanyalah partai-partai bersih lainnya atau tokoh-tokoh golongan bersih, sama sekali tidak akan mengundang tokoh-tokoh sesat. Sebaliknya, kaum sesatpun kalau mengadakan pertemuan tidak akan mengundang golongan bersih yang di­anggap sebagai orang-orang sombong dan selalu menentang mereka. Akan tetapi sekali ini, Pangeran Ceng Han Houw mengundang semua golongan, pendeknya dunia persilatan tanpa membedakan anta­ra yang manapun juga! Tentu saja hal ini amat menarik, apalagi ketika di undang­an itu disebutkan bahwa pertemuan itu dimaksudkan untuk memilih jago silat nomor satu di dunia! Mereka sudah men­dengar pula akan sepak terjang pangeran itu yang sudah menundukkan tidak se­dikit tokoh-tokoh persilatan, bahkan telah berani menantang ketua Siauw-lim-pai dan mengalahkan tokoh-tokohnya! Mereka mendengar berita bahwa pangeran ini memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa!



“Cu-wi yang mulia,” terdengar suara pangeran itu, suaranya halus dan diucapkan perlahan saja akan tetapi dapat terdengar sampai jauh di luar ruangan itu karena dia mengerahkan tenaga khi-kangnya sehingga pidato itu sekaligus merupakan demonstrasi kekuatan khi-kangnya yang mengagumkan semua orang, “Kami mengucapkan terima kasih atas kehadiran cu-wi. Seperti telah kami sebutkan dalam surat selebaran atau undangan, pertemuan ini dimaksudkan untuk mengadakan pemilihan bengcu. Mengapa kita harus memilih seorang bengcu yang memimpin pergerakan seluruh rakyat jelata? Cu-wi tentu telah mendengar akan tindakan-tindakan pemerintah yang ku­rang bijaksana! Semua orang tahu belaka betapa kaisar telah melakukan tindakan lalim, dengan menjatuhkan tuduhan mem­berontak kepada orang-orang gagah per­kasa! Akhir-akhir ini banyak pejabat tinggi yang bijaksana telah ditangkapi, dah banyak perkumpulan-perkumpulan orang gagah di selatan telah diobrak-abrik oleh pasukan pemerintah! Oleh karena itu, kita orang-orang yang men­junjung tinggi kegagahan, haruslah bertindak, menghimpun kekuatan untuk me­nentang kelaliman. Dan hal ini baru da­pat dilaksanakan dengan baik apabila kita mempunyai seorang bengcu yang bijak­sana dan tangguh! Maka dari itu, kita berkumpul semua ini untuk lebih dulu memilih seorang yang memiliki ilmu ke­pandaian silat paling tinggi, merupakan se­orang yang paling lihai dan paling tangguh sehingga boleh disebut jago silat nomor satu di dunia dan dialah yang patut kita angkat menjadi seorang bengcu!”



Tiba-tiba terdengar suara nyaring berseru, “Kami tidak setuju...!” Dan seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh dua tahun, bertubuh tinggi tegap berwajah tampan gagah seperti tokoh Si Jin Kui, berpakaian sederhana telah bangkit dari kursinya dan mengacungkan kepalan tangan kanan ke atas. Semua orang tentu saja terkejut dan menoleh kepadanya. Kiranya pemuda itu berdiri di antara kelompok yang membawa bendera Siauw-lim-pai.



Pangeran Ceng Han Houw memandang dan tersenyum tenang. “Setiap orang tamu berhak untuk bicara. Harap enghiong (orang gagah) yang bicara memperkenalkan diri sebelum mengemukakan alasannya tidak setuju!”



Pemuda Siauw-lim-pai yang gagah perkasa itu memandang kepada pangeran yang masih berdiri dengan sinar mata berapi-api, sedikitpun tidak nampak gentar oleh wibawa pangeran itu, dan terdengar dia menjawab lantang. “Saya bernama Ciu Khai Sun sebagai murid dan utusan Siauw-lim-pai kami. Atas nama Siauw-lim-pai saya menyatakan tidak setuju dengan apa yang dikemukakan oleh pangeran tadi. Memilih seorang bengcu tidaklah disamakan dengan memilih seorang kepala tukang pukul. Seorang bengcu adalah pemimpin rakyat, yang harus dipilih berdasarkan kebijaksanaannya dan cinta kasihnya terhadap rakyat, bukan diukur dari kepandaiannya bersilat. Kalau memilih kepala tukang pukul tentu saja dipilih yang paling kuat.”



Terdengar suara ketawa di sana-sini yang disambut oleh tepuk tangan me­nyambut ucapan lantang dari pemuda Siauw-lim-pai ini. Pangeran Ceng Han Houw juga tersenyum lebar dan meng­angkat kedua tangan ke atas minta agar suasana menjadi tenang kembali.

“Harap Ciu-enghiong suka melanjutkan,” katanya tenang.

“Kami fihak Siauw-lim-pai juga tidak setuju kalau memilih bencu mengingat akan keadaan negara, apalagi kalau dipergunakan untuk menentang pemerintah! Itu namanya berbau pemberontakan. Bengcu di kalangan persilatan adalah seorang bijaksana yang akan mencegah bentrokan-bentrokan, mengambil kebijak­sanaan dengan musyawarah apabila ter­jadi kesalahlahaman, bukan sekali-kali untuk menuntun kita semua dalam pem­berontakan terhadap pemerintah.” Setelah berkata demikian, pemuda gagah itu ber­henti sebentar, memandang ke kanan kiri kemudian berkata lagi. “Hanya itulah pernyataan kami yang tidak setuju.” Suasana menjadi berisik kembali karena para tamu berbisik-bisik dan saling bi­cara sendiri.



“Cu-wi harap tenang!” tiba-tiba terdengar suara pangeran itu yang mengatasi semua suara berisik. Semua orang memandang dan suasana menjadi tenang lagi. Ceng Han Houw masih tersenyum ramah dan dia segera menyambung kata-katanya, “Terima kasih atas sambutan Cui Khai Sun enghiong wakil dari Siauw-lim-pai. Memang setiap orang atau golongan boleh saja mempunyai pendapat masing-masing. Akan tetapi kita berkumpul di sini bukan untuk memperebutkan kebenaran pendapat masing-masing. Kita berkumpul untuk melakukan pemilihan bengcu! Dan apa yang akan diperbuat oleh bengcu yang kita pilih kemudian, itu adalah urusan bengcu itu, dan setuju atau tidak setuju di antara kita boleh diajukan kepada bengcu. Mengatur apa yang akan dan tidak akan dilakukan oleh seorang bengcu, sedangkan bengcu itu sendiri belum dipilih, merupakan hal yang sia-sia saja, bukan? Kita akan memilih bengcu berdasarkan suara. Akan tetapi karena kita adalah orang-orang yang semenjak kecil belajar silat, maka pertemuan ini tidak akan lengkap kalau tidak diadakan pertunjukan ilmu silat. Dan untuk itu, akan meriah dan menarik sekali kalau kita mengadakan pemilihan jagoan nomor satu di dunia. Siapapun boleh boleh mengajukan diri sebagai calon dan aku sendiri sebagai fihak tuan rumah juga mengajukan diri, bersama jago pilihan kami, yaitu adik angkatku sendiri yang bernama Cia Sin Liong!”



Sin Liong terkejut bukan main. Pertama dia terkejut karena namanya disebut-sebut sebagai calon jago pilihan pangeran dan sebagai adik angkat, ke dua dia terkejut karena she-nya disebut sebagai she Cia. Rahasianya telah dibong­kar oleh pangeran itu di tempat itu, di mana hadir pula keluarga Cip-ling-pai, bahkan hadir pula di situ ayah kandung­nya!



“Houw-ko,” bisiknya. “Aku tidak dapat menerima ini!” Sin Liong bangkit berdiri dan di anta­ra para tamu ada yang bertepuk dan bersorak menyambut jago muda pilihan pangeran ini, akan tetapi Sin Liong se­gera berseru nyaring, “Cu-wi, maafkan. Akan tetapi aku tidak berniat menjadi jago apapun, tidak ingin ikut-ikut mem­perebutkan pilihan jago silat. Pangeran hanya berkelakar saja!” Dan diapun duduk kembali.



Ceng Han Houw tertawa dan berkata lagi dengan lantang, “Cu-wi, lihat betapa sederhana dan pemalunya adik angkatku ini. Akan tetapi tentang ilmu silat... kiranya aku sendiri masih harus banyak belajar dari dia! Dia tidak mau menjadi calon jagoan, tidak mengapalah, akan tetapi aku mengangkat dia menjadi penguji! Calon-calon yang hendak memasuki pemilihan jago nomor satu di dunia harus dapat melawan dan menandingi kepandai­an adik angkatku ini lebih dulu!”



Kembali semua orang bertepuk ta­ngan dan bersorak.



“Houw-ko, aku tidak mau!” Sin Liong berbisik. Han Houw mundur dan men­dekati Sin Liong, menghardik dalam bisikan pula.



“Liong-te, mengapa engkau hendak mengacau aku? Ingat, Bi Cu berada di tanganku, dia kusuruh jaga subo dan suci. Engkau harus membantuku kalau tidak...”



Lie Ciauw Si mendengar bisikan-bisik­an ini dan dia memandang dengan mata terbelalak. Sedangkan Sin Liong sudah menjadi kaget setengah mati mendengar ucapan itu. Tak disangkanya bahwa da­lam saat terakhir itu pangeran ini masih hendak bersikap curang dan ternyata bahwa dia sengaja dipisahkan dari Bi Cu agar pangeran itu dapat menguasal Bi Cu untuk memaksanya! Akan tetapi dia melihat betapa amat berbahayanya paksaan yang dilakukan oleh pangeran itu. Dia tidak mungkin mau memenuhi permintaan gila itu, dan lebih baik dia dan Bi Cu mati daripada dia harus membantu pa­ngeran dengan rencana gilanya.



“Aku tidak sudi!” katanya dan diapun sudah meloncat dan pergi dari situ, me­nuju ke dalam untuk mencari Bi Cu. Para tamu yang sedang berbisik itu ha­nya melihat Sin Liong melarikan diri ke dalam dan hal ini menambah kuat pernyataan sang pangeran tadi betapa pe­muda perkasa itu wataknya sederhana dan amat pemalu. Agaknya saking malunya pemuda itu telah melarikan diri ke dalam maka merekapun makin keras tertawa dan bersorak.



Sementara itu, Ciauw Si berbisik kepada suaminya, “Apa yang telah kau­lakukan ini, pangeran?”



“Sstt, Si-moi, tanpa siasat tidak mungkin kita akan berhasil.” Pangeran itu berbisik kembali dan dia sudah meng­angkat tangan memberi tanda agar para tamu tidak berisik.



“Cu-wi yang mulia! Adik angkatku itu memang pemalu sekali. Akan tetapi jangan cu-wi khawatir. Setiap orang boleh mengajukan diri sebagai calon dan selain adik angkatku itu, aku masih mempunyai seorang penguji lain, yaitu isteriku sendiri! Jangan cu-wi memandang rendah kepada isteriku yang tercinta ini, karena kepandaian silatnya tidak berselisih jauh dari kepandaianku sendiri. Nah, siapa yang mampu menandingi isteri saya dalam lima puluh jurus, dia berhak menjadi calon jago nomor satu di dunia! Inilah isteri saya, Lie Ciauw Si!”



Di bawah tepuk tangan dan sorak-sorai, terpaksa Ciauw Si bangkit berdiri dan menjura ke arah penonton yang men­jadi semakin riuh bertepuk tangan me­muji karena memang Ciauw Si nampak cantik jelita dan menarik sekali. Wajah Ciauw Si agak pucat, apalagi ketika dia bertemu pandang dengan sepasang mata yang berapi-api, sepasang mata ibu kan­dungnya! Dia menjadi lemas dan cepat duduk kembali ke kursinya. Betapapun juga, dia harus membela suaminya yang tercinta, pikirnya sambil mengepal tinju kirinya.

Sementara itu, keluarga Cin-ling-pai, empat orang pendekar itu sejak tadi sudah berbisik-bisik saling bicara dengan serius dan juga penuh keheranan.



“Pangeran gila, kenapa dia menyebut she Sin Liong sebagai she Cia?” kata Bun Houw dengan marah. “Apa dia sengaja hendak menghina keluarga Cia kami?”



“Mungkin dia hehdak memancing agar kita turun tangan membantah,” bisik Cia Giok Keng. “Akan tetapi dia tidak menyinggung-nyinggung tentang Ciauw Si.”



Mereka berempat merasa bingung dan tidak mengerti, apalagi ketika melihat Sin Liong melarikan diri ke dalam. Apakah yang sedang terjadi? Permainan apakah yang dilakukan oleh Pangeran itu?



Ketika pangeran itu mengangkat Ciauw Si yang diperkenalkan sebagai isterinya sebagai penguji, Giok Keng de­ngan gemas memandang kepada puterinya yang menerima pujian para tamu itu dan dia berbisik dengan suara mendesis, “Biar aku maju sebagai calon menghadapinya!”



“Ah, jangan begitu, enci Keng!” adiknya menyela.



“Ingat, kita menghadapi banyak orang, jangan menimbulkan keributan yang hanya akan mendatangkan aib bagi nama keluarga.” kata Yap Kun Liong menyabarkan isterinya.



Para tamu menjadi semakin berisik ketika mereka melihat seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan bermuka merah, rambutnya riap-riapan dan pakaiannya kasar, meloncat dengan gerakan yang cukup lincah ke depan dan tiba di tengah-tengah ruangan yang tinggi itu, tersenyum dan memberi hormat ke arah pangeran. Orang ini adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun, tubuhnya yang tinggi besar itu membayangkan kekuatan dahsyat, sikap dan pakaiannya yang kasar itu menunjukkan bahwa dia adalah seorang petualang di dunia kang-ouw. Wajahnya lebar dan matanya, hidungnya serta mulutnya juga serba besar. “Pangeran, saya Loa Khi berjuluk Tiat-pi-ang-wan (Lutung Merah Berlengan Besi) sama sekali tidak berani mengajukan diri sebagai calon jago nomor satu di dunia, akan tetapi saya mempunyai semacam penyakit, yaitu di mana ter­dapat pertandingan pibu, tangan saya menjadi gatal-gatal. Biarlah saya me­melopori para enghiong di sini agar per­temuan ini menjadi lebih gembira.” Sam­bil berkata demikian, matanya yang lebar itu melirik ke arah Ciauw Si. Mengerti­lah Pangeran Ceng Han Houw bahwa yang mendorong laki-laki kasar ini untuk maju adalah karena pengujinya adalah is­terinya yang cantik jelita. Atau kasarnya, pria itu ingin bersilat menandingi Ciauw Si yang cantik! Akan tetapi Han Houw hanya tersenyum dan dia berkata kepada isterinya dengan suara halus.



“Isteriku, harap kau suka melayani Loa-eng-hiong.”



Sebetulnya di dalam hatinya Ciauw Si merasa mendongkol sekali. Dia harus melayani segala macam orang kasar se­perti itu! Akan tetapi karena dia mak­lum bahwa suaminya itu sedang berusaha untuk menentang kelaliman kaisar, dan karena betapapun juga dia harus membela suaminya yang tercinta, dia tidak berkata sesuatu melainkan bangkit ber­diri dan menghampiri orang yang berjuluk Lutung Merah Berlengan Besi itu.



Jantung di dalam dada yang bidang itu terguncang dan berdebar-debar penuh kegirangan. Loa Khi adalah seorang kang-ouw golongan sesat dan merupakan se­orang yang kasar, gila akan kecantikan wanita. Tadi dari jauh dia melihat betapa cantiknya isteri pangeran itu, dan kini setelah berhadapan, dia terpesona. Belum pernah rasanya dia berhadapan dengan wanita secantik ini! Sungguh ti­dak rugi sekali ini, pikirnya. Dapat ber­sentuhan lengan dan tangan dengan wani­ta seperti ini sungguh merupakan hal yang amat menyenangkan, apalagi kalau diingat bahwa wanita ini bukanlah sem­barangan wanita, melainkan isteri se­orang pangeran dan tentu saja merupakan seorang puteri bangsawan simpanan! Ma­ka diapun menyeringai dan mematut-matut diri agar kelihatan tampan dan gagah.



“Orang she Loa, kau mulailah!” Ciauw Si berkata, membuyarkan lamunannya itu.



“Eh... oh... mana saya berani mendahului?” kata Loa Khi yang meringis seperti seekor lutung aseli. Bicara demikian, selain meringis Loa Khi juga memainkan matanya yang bundar besar dan menggerak-gerakkan alisnya. Melihat lagak ini hati Ciauw Si menjadi muak dan panas, dan kalau dia tidak mengingat bahwa suaminya sedang berusaha mengambil hati dunia kang-ouw, tentu dia sudah menjatuhkan tangan maut menyerang orang ini.



“Hemm, kalau begitu sambutlah seranganku!” kata Ciauw Si. Dia memberi kesempatan kepada orang itu untuk memasang kuda-kuda dan memang Loa Khi dengan mulut masih menyeringai telah memasang kuda-kuda dengan gaya yang gagah. Kedua kakinya dipentang lebar, kedua lutut ditekuk rendah dan kedua lengan disilangkan, tangannya dibuka membentuk cakar naga, tubuh atasnya tegak lurus dan matanya mengerling ke arah lawan yang berada di samping kanan. Semua tamu menyambut pasangan kuda-kuda ini dengan berbagai macam sikap. Mereka yang memiliki ilmu kepandaian tinggi memandang dengan senyum mengejek, karena mereka tahu bahwa kuda-kuda seperti itu hanya indah di­pandang saja akan tetapi sesungguhnya tidak memiliki inti yang kuat. Sebalik­nya, mereka yang belum begitu tinggi tingkatnya, merasa kagum karena me­mang Loa Khi kelihatan gagah dan kokoh kuat dengan kuda-kudanya itu.



Ciauw Si yang sudah tidak sabar lagi melihat lagak orang, mengeluarkan seruan lembut dan mulai menyerang dengan kedua tangannya, menyambar dari kanan kiri, yang kiri menampar ke arah pelipis lawan sedangkan yang kanan menotok ke arah lambung. Serangan ini sebetulnya hanya merupakan pancingan saja karena pendekar wanita itu tidak mau sembarangan mengeluarkan ilmunya yang tinggi hanya untuk menghadapi seorang seperti laki-laki sombong ini. Dan melihat serangan yang cukup cepat dan dahsyat ini, Loa Khi cepat menggerakkan kedua tangannya untuk menangkap pergelangan tangan lawan. Memang yang mendorong­nya maju adalah untuk dapat menyentuh tubuh atau memegang lengan wanita cantik itu, maka melihat serangan lawan, dia berusaha secepatnya untuk menang­kap pergelangan tangan lawan dan akan memegangnya dengan kuat dan mesra! Namun Ciauw Si tentu saja maklum akan hal ini dan diapun tidak sudi membiarkan kedua lengannya dipegang. Dengan cepat dia sudah menarik kembali kedua tangan­nya dan kini kaki kirinya bergerak me­nendang dengan cepat. Akan tetapi, sam­bil tersenyum lebar lawannya menggerak­kan tangan ke bawah dengan maksud menangkis atau kalau mungkin menang­kap kaki yang kecil itu! Sedangkan tangan kiri Loa Khi sudah menyelonong ke depan, ke arah dada Ciauw Si!

“Hemmm...!” Ciauw Si mendengus marah dan tiba-tiba tubuhnya bergerak cepat, kedua tangannya bergerak mendorong ke depan. Itulah pukulan sakti yang merupakan jurus ke tiga dari Ilmu San-in-kun-hoat, ilmu ampuh dari Cin-ling-pai! Angin pukulan dahsyat menyam­bar ke depan. Loa Khi terkejut bukan main dan cepat dia berusaha menangkis sambil mengerahkan tenaga kepada kedua kakinya dan tubuhnya untuk menjaga diri.



“Desss...!” Betapapun kuatnya dia menangkis, tetap saja kedua tangan Ciauw Si dapat menerobos di antara lengan lawan yang menangkis dan terus menghantam dada. Untung bagi Loa Khi bahwa Ciauw Si masih ingat bahwa dia hanya bertugas menguji kepandaian lawan, maka dia tidak mempergunakan seluruh tenaga sin-kangnya. Akan tetapi biarpun demikian, tetap saja tubuh Loa Khi yang tinggi besar itu terjengkang dan terbanting ke atas lantai. Dia terengah-engah, merasa dadanya sesak dan sukar bernapas!



Karena Loa Khi tidak datang bersama teman-teman dan tidak mempunyai rom­bongan, maka tidak ada yang menolongnya dan Han Houw memberi isyarat ke­pada pengawal-pengawalnya. Dua orang pengawal cepat maju membantu Loa Khi berdiri dan membawa orang yang masih terengah-engah itu ke tempat duduknya yang agak di belakang. Loa Khi tidak berani banyak cakap lagi dan membiarkan dirinya dituntun kembali ke kursinya, mukanya pucat sekali. Dia telah dirobohkan kurang dari lima jurus!



Berisiklah para tamu melihat kehebatan Ciauw Si. Mereka yang tadinya berminat untuk memasuki pemilihan jagoan itu, menjadi kecil nyalinya dan mengurungkan niat hati mereka. Tentu saja tidak demikian dengan mereka yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Seorang tosu sudah mengeluarkan seruan dan tubuhnya melayang ke tengah ruangan itu. Tosu ini tinggi kurus, mukanya pucat seperti orang berpenyakitan, jubahnya kuning dan matanya sipit seperti orang mengantuk. Setelah dia menjura ke arah pangeran, dia melangkah maju tiga langkah dan terkejutlah pangeran itu melihat betapa di atas lantai itu nampak jejak kaki tosu itu sedalam dua senti! Tahulah dia bahwa tosu ini amat lihai dan telah mendemonstrasikan kelihaiannya dengan mengerahkan tenaga pada kedua kakinya yang melesak ke dalam lantai ketika dia melangkah perlahan-lahan.



Kalau tadi Han Houw menyebutkan nama isterinya, memperkenalkannya sebagai pembantunya untuk menguji calon jagoan, maksudnya hanyalah untuk memperlihatkan kepada para tokoh kang-ouw, khususnya kepada keluarga Cin-ling-pai bahwa Lie Ciauw Si selain telah menjadi isterinya juga membantunya untuk menghimpun tenaga dan menentang kaisar lalim! Akan tetapi tentu saja bukan maksud hati Han Houw untuk membiarkan isterinya menghadapi semua orang yang ingin mencoba kepandaian. Dia hanya mengajukan isterinya untuk menghadapi kalau-kalau ada di antara tokoh Cin-ling-pai yang maju, maka kini melihat kelihaian tosu itu, tentu saja Han Houw merasa khawatir dan tidak membiarkan isterinya menghadapi bahaya.



Tosu itu setelah menjura dan memperlihatkan tenaganya melalui injakan kaki yang meninggalkan jejak dalam di atas batu, lalu berkata kepada Ceng Han Houw, suaranya seperti suara ular men­desis namun dapat terdengar satu-satu sampai di bagian luar tempat itu, “Pangeran, harap maafkan kelancangan pinto. Sesungguhnya pinto datang bukan sekali-kali untuk memperebutkan kedudukan bengcu atau jagoan nomor satu, melainkan karena telah lama pinto mendengar nama besar pangeran sebagai seorang ahli silat yang pandai dan pinto ingin sekali meng­uji kebodohan sendiri untuk membuktikan sampai di mana kelihaian pangeran.”



Ini merupakan tantangan langsung! Semua orang kang-ouw memandang dengan penuh perhatian karena mereka semua maklum bahwa ucapan itu merupakan tantangan yang tentu didasari urusan pribadi antara tosu itu dan Pangeran Ceng Harl Houw! Han Houw sendiri mengerutkan alisnya, akan tetapi mulutnya masih tersenyum ramah ketika dia berkata halus dan lantang, “Dalam menghadapi urusan besar ini, kami terpaksa melupakan urusan pribadi. Akan tetapi kalau totiang ingin saling menguji kepandaian dengan aku, dapat saja totiang memasuki pemilihan jago menurut yang telah ditentukan. Akan tetapi lebih dulu hendaknya totiang memperkenalkan diri.”



“Pinto bernama Ciu Hek Lam dan banyak orang menyebut pinto dengan julukan yang amat buruk, yaitu Tok-ciang Sian-jin (Manusia Dewa Bertangan Racun). Tentu pangeran tidak mengenal nama pinto akan tetapi perlu kiranya diketahui bahwa mendiang Gak Song Kam ketua Jeng-hwa-pang adalah sute dari pinto.”



Mendengar ini, sebagaian besar di antara para tokoh kang-ouw terkejut. Memang nama tosu ini tidak terkenal dan hanya beberapa orang saja di antara mereka yang banyak melakukan perjalanan ke utara melewati Tembok Besar mengenal namanya, akan tetapi nama Jeng-hwa-pang tentu saja dikenal mereka. Kiranya tosu yang lihai ini adalah sauda­ra tua dari mendiang ketua Jeng-hwa-pang, maka tentu saja ilmu kepandaian­nya amat tinggi.



Diam-diam Ceng Han Houw mengerti sekarang, Gak Song Kam, ketua Jeng-hwa-pang itu tewas di tangan dia dan Sin Liong, maka agaknya tosu ini datang dengan maksud untuk membalas dendam atas kematian ketua Jeng-hwa-pang itu! Dia sama sekali tidak merasa takut menghadapi tosu ini, akan tetapi untuk menjaga kewibawaannya, dia tidak mau begitu saja terjun ke dalam urusan pribadi di tempat itu, apalagi karena dia sedang menghadapi urusan besar.

“AH, kiranya totiang ingin menguji kepandaianku. Baiklah, akan tetapi kita tidak boleh melewati peraturan. Cu-wi yang mulia, kami sekarang menunjuk bengcu dari selatan, yaitu locianpwe Hai-liong-ong Phang Tek dan Kim-liong-ong Phang Sun untuk menjadi penguji. Siapa dapat mengalahkan mereka berdua berarti cukup berharga untuk menjadi calon jago nomor satu di dunia!”



Mendengar ini, Phang Tek dan Phang Sun lalu melangkah maju. Sementara itu, Han Houw sendiri bangkit dari kursinya, menghampiri Ciauw Si yang masih berdiri memandang ke arah ibunya seperti orang terpesona, dan menggandeng tangan Ciauw Si untuk kembali ke tempat duduknya. Dengan sikap mesra Han Houw berbisik, “Terima kasih atas bantuanmu, Si-moi.”



Mendengar dua orang ini, tahulah tosu dia berhadapan dengan orang-orang pan­dai. Dia telah mendengar tentang Lam-hai Sam-lo yang kabarnya kini tinggal dua orang kakak beradik ini. Akan tetapi dia tidak menjadi gentar melainkan me­rasa mendongkol karena pangeran itu ternyata tidak mau langsung menghadapi­nya melainkan menyuruh dua orang ini dengan alasan untuk mengujinya! Hal ini dianggapnya sebagai tanda bahwa pange­ran itu jerih kepadanya, maka diapun menghadapi dua orang kakek itu dan memandang dengan sinar mata tajam dari kedua matanya yang sipit.



“Pinto telah mendengar tentang nama besar Lam-hai Sam-lo,” katanya dengan nada suara mengejek, “Pangeran telah memerintahkan kalian maju, apakah ji-wi (kalian berdua) hendak maju berbareng dan mengeroyok pinto?”



Ucapan ini biarpun hanya merupakan sebuah pertanyaan, namun bernada me­ngejek dan merendahkan, maka kedua orang datuk dari selatan itu tentu saja menjadi marah sekali. Mereka tadi maju hanya untuk memperkenalkan diri kepada para tamu setelah nama mereka disebut-sebut oleh pangeran, bukan sekali-kali hendak mengeroyok tosu itu.



Kim-liong-ong Phang Sun, kakek berkepala gundul lonjong yang bertubuh kecil pendek seperti kanak-kanak, yang hanya memakai celana tanpa baju dan kakinyapun telanjang, sudah meloncat ke depan. Dengan lengan kiri yang dihias gelang emas tebal dia berkata, suaranya sungguh mengejutkan, karena lantang besar tidak seperti bentuk tubuhnya, “Tosu bulukan! Tekebur sekali ucapanmu! Menghadapi seorang tosu bulukan macam engkau, cucukupun akan berani. Sayang aku tidak pernah punya cucu! Maka biarlah aku mencoba, hendak kulihat apakah kepandaianmu seluas mulutmu! Twako, mundurlah, biarkan aku yang menghajar manusia sombong ini!”



Hai-liong-ong Phang Tek mengerutkan alisnya, lalu mundur sambil berkata, “Hati-hati, jangan pandang rendah dia.” Hai-liong-ong yang tahu akan kemarahan adiknya merasa khawatir karena meng­hadapi seorang lawan tangguh seperti tosu ini, kemarahan merupakan hal yang amat merugikan dan mengurangi kewas­padaan.



Kini dua orang itu sudah saling ber­hadapan. Keduanya sama kurusnya, hanya yang seorang tinggi dan yang lainnya pendek kecil. Semua orang kang-ouw yang hadir di situ memandang dengan penuh perhatian dan hati tegang karena mereka semua mengenal siapa adanya Kim-liong-ong, sedangkan tosu tua itu kurang begitu dikenal karena memang jarang muncul di dunia kang-ouw. Dan oleh karena yang hadir dalam pertemuan besar ini merupakan tokoh-tokoh campuran, banyak pula yang terdiri dari tokoh-tokoh kaum sesat, maka di antara mereka ini sudah ramai mengadakan per­taruhan! Dan rata-rata menurut anggapan mereka, Kim-liong-ong menduduki tempat unggul, bahkan ada yang mempertaruhkan uang sejumlah dua kali lipat menjagoi kakek pendek kecil itu.



Tok-ciang Sian-jin memandang dengan alis berkerut kepada calon lawannya, kemudian berkata, suaranya halus dan penuh penyesalan, “Kim-liong-ong, engkau adalah seorang tokoh jauh di selatan sana, sedangkan pinto selamanya berada di utara. Kiranya sampai kita dua orang tua mati oleh usiapun kita tidak akan dapat saling berjumpa, apalagi harus saling berkelahi seperti lawan. Oleh karena itu, pinto menyesal sekali harus berhadapan denganmu, karena sesungguhnya kedatang­an pinto ini hanya ingin menghadapi pangeran...”



“Cukup, Tok-ciang Sian-jin. Kalau engkau takut, masih belum terlambat bagimu untuk mengundurkan diri!” Kim­-liong-ong yang bersama Hai-liong-ong kakaknya itu memang telah lama menjadi kaki tangan Pangeran Ceng Han Houw, sudah memotong dengan suara lantang dan sikap merendahkan.



Marahlah tosu itu. Mukanya menjadi merah kini tidak pucat seperti biasanya, dan biarpun matanya masih sipit, akan tetapi tidak seperti orang mengantuk lagi. “Engkau hendak menjadi perisai bagi pangeran? Bagus, majulah, orang som­bong!” bentaknya dan diapun sudah meng­gerakkan jari-jari tangannya dan ter­dengar bunyi berkeretakan pada buku-buku jari tangannya dan kedua tangan itu kini nampak kehijauan. Kiranya kakek ini memang memiliki ilmu yang amat me­ngerikan, dan kalau sudah begitu, kedua tangannya merupakan benda-benda yang lebih berbahaya daripada sepasang sen­jata tajam, karena kedua tangan itu dari jari-jari tangan sampai ke siku yang ber­warna kehijauan, mengandung hawa be­racun yang amat berbahaya bagi lawan. Itulah sebabnya mengapa dia berani me­nerima julukan Tok-ciang (Si Tangan Racun).



Akan tetapi, Kim-liong-ong Phang Sun menyeringai melihat ini. Dia sendiri ada­lah seorang ahli tentang racun, maka biarpun dia tahu betapa hebat dan berbahayanya kedua tangan lawan itu, na­mun dia tidak menjadi gentar.



“Kedua tanganmu itu hanya baik untuk menakut-nakuti anak kecil saja. Bagiku tidak ada harganya sama sekali, seperti dua batang gagang sapu butut!” dia mengejek.



Tok-ciang Sian-jin menjadi semakin marah. Memang cerdik Kim-liong-ong ini. Ketika menerima peringatan kakaknya tadi, diapun sadar akan kemarahan yang membakar hatinya, maka dia sengaja mengeluarkan ejekan-ejekan dan mem­bakar hati lawan. Dia berhasil, karena tosu itu menjadi semakin marah kini dan dengan gerengan dahsyat dia telah maju menyerang lawan yang bertubuh pendek kecil itu. Kini keadaannya menjadi ter­balik, bukan Kim-liong-ong yang dicekik kemarahan, melainkan lawannya.

Tok-ciang Sian-jin menyerang dengan kedua tangan terbuka, jari-jari tangannya mencengkeram dari kanan kiri dan se­belum serangan itu tiba, hawa pukulan­nya yang mengandung hawa beracun itu telah menyambar lebih dulu dengan dah­syatnya. Akan tetapi, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu kakek kecil itu lenyap dari depannya, tubrukan dan cengkeramannya mengenai tempat kosong dan begitu merasa ada angin menyambar dari kanan, tosu itu cepat membalik dan menangkis. Kiranya, Kim-liong-ong telah mempergunakan kecepatan gerakannya dan mengandalkan tubuhnya yang kecil dan gesit itu untuk menyelinap ketika tadi lawan menyerang, dan cepat memberi pukulan balasan dari arah kanan.



“Dukkk!” Lengan Tok-ciang Sian-jin bertemu dengan gelang emas tebal yang melingkar di lengan kiri Phang Sun dan akibatnya, Tok-ciang Sin-jin terdorong ke belakang dan agak terbuyung. Terkejutlah tosu ini dan maklumlah dia bahwa kakek kecil pendek gundul telanjang ini memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa kuatnya! Maka diapun lalu menerjang lagi dengan memperlipatgandakan kecepetan gerakannya dan terjadilah perkelahian yang seru dan sangat dahsyat.



Kim-liong-ong Phang Sun telah mengeluarkan sebuah bungkusan sambil berloncatan ke sana-sini, lalu membalurkan bubuk putih ke atas lengannya. Itulah bubuk penolak racun. Setelah ini, dia dapat menangkis dan mengadu lengan dengan lawannya, tidak seperti tadi yang mempergunakan gelang emas untuk me­lindungi lengannya dari hawa racun yang keluar dari lengan lawan.



Memang tidak percuma kalau Kim-liong-ong menjadi tokoh nomor dua dari Lam-hai Sam-lo yang ditakuti oleh semua tokoh di dunia selatan. Ilmu kepandaian­nya memang hebat sekali, gerakannya aneh dan cepat, dan biarpun kaki tangan kecil-kecil, namun setiap gerakan kaki dan tangan itu mengandung hawa pukul­an yang kuat, sehingga bahkan tosu itu sendiri sampai beberapa kali terhuyung kalau mereka terpaksa mengadu tenaga.



Banyak di antara mereka yang ber­taruh menjagoi Kim-liong-ong kecele. Ada yang bertaruh bahwa dalam waktu kurang dari tiga puluh jurus tosu itu tentu akan kalah. Akan tetapi ternyata tosu itu hebat sekali! Dia dapat meng­imbangi semua kelincahan Kim-liong-ong dan setelah bertanding selama lima puluh jurus, ternyata kakek itu sama sekali tidak kalah, bahkan terdesakpun tidak, sungguhpun dia sendiri tidak mampu mendesak kakek kecil itu.



Setelah perkelahian itu berlangsung kurang lebih enam puluh jurus, tiba-tiba Tok-ciang Sian-jin meloncat mundur ke­luar dari lapangan pertandingan lalu membalikkan tubuh menghadapi Pangeran Ceng Han Houw yang sejak tadi menonton dengan penuh perhatian, menjura dan berkata, “Sekarang pinto mengharapkan agar pangeran sendiri...”



Baru sampai di situ dia bicara, tiba-tiba ada angin dahsyat menyambar dari belakang, memukul ke arah lambungnya! Bukan main kagetnya Tok-ciang Sian-jin. Cepat dia membalik untuk mengelak dan menangkis.



“Plakkk... desss!” Tubuh tosu itu terpelanting dan roboh, dari mulutnya keluar darah segar karena biarpun dia berhasil menangkis pukulan Kim-liong-ong, akan tetapi tangkisannya kurang tepat dan pukulan kakek pendek kecil itu masih meleset dan mengenai punggungnya. Tosu itu bangkit duduk dan memejamkan mata untuk mengumpulkan hawa murni dan menahan ini dadanya yang terguncang hebat. Biarpun dia tidak sampai terluka separah kalau pukulan itu mengenai lambung, namun dia sampai muntah darah dan tentu saja dia tidak mungkin depat melanjutkan pertempuran.



“Sungguh curang!” bentak Cui Kai Sun dengan lantang. Pemuda gagah murid Siauw-lim-pai ini menegur marah sekali.



Kim-liong-ong hanya tersenyum me­ngejek ke arah pemuda itu. Melihat be­tapa di antara para orang kang-ouw yang hadir itu banyak yang memperlihatkan muka tidak senang, Ceng Han Houw cepat bangkit berdiri dan berkata dengan suara yang halus namun berwibawa dan terdengar sampai jauh di luar.



“Cu-wi, hendaknya cu-wi bersikap adil! Tidak ada kecurangan terjadi di sini!”



“Siapa bilang tidak curang? Aku tidak hendak membela Tok-ciang Sian-jin, akan tetapi kami semua melihat tosu itu se­dang bicara dengan pangeran ketika Kim-liong-ong menyerangnya dari belakang secara curang sekali!” Ciu Kai Sun ber­teriak lagi dan banyak tokoh kang-ouw, teruatama sekali dari golongan bersih, mengangguk menyatakan persetujuan mereka dengan ucapan pemuda gagah itu.



Akan tetapi Pangeran Ceng Han Houw tersenyum. “Itu adalah kesalahan tosu itu sendiri, pertandingan belum selesai dan...”



“Aku menghitung sendiri bahwa tosu itu telah dapat melayani Kim-liong-ong sampai lima puluh jurus!” Terdengar suata orang lain membenarkan.

Sekarang Ceng Han Houw tersenyum semakin lebar dan dia mengangkat kedua tangan ke atas untuk minta para tamu diam. Setelah mereka semua itu tidak berisik lagi, dia lalu berkata, suaranya jelas dan halus, “Cu-wi sekalian yang sudah lama berkecimpung di dunia kang-ouw tentu tahu bahwa syarat untuk menjadi orang kang-ouw bukan hanya tergantung kepada kepandaian silat saja, melainkan juga membutuhkan kecerdikan dan ketelitian! Memang betul bahwa kami tadi berjanji kepada siapa yang dapat menandingi isteri saya selama lima puluh jurus, dia berhak untuk menjadi calon jagoan. Akan tetapi, tidak ada seorangpun yang berjanji tentang lima puluh jurus itu terhadap dua orang pembantu kami, yaitu Hai-liong-ong dan Kim-liong-ong. Karena tidak ada perjanjjan maka pibu melawan merekapun tidak terbatas jumlah jurusnya. Tadi dalam keadaan belum ada yang kalah atau menang, Tok-ciang Sian-jin menghentikan pibu secara sepihak tanpa memberi tahu kepada Kim-liong-ong, maka kalau dia sampai terpukul, baik dari belakang maupun dari depan, bawah atau dari atas, hal itu adalah kesalahannya sendiri karena dia ceroboh dan lengah. Bukankah demikian, cu-wi?”

Ucapan yang dilakukan dengan suara halus dan penuh wibawa itu diikuti oleh kesunyian yang lengang karena semua tamu saling pandang dan mereka semua mau tidak mau harus membenarkan pembelaan pangeran itu. Memang tadi pangeran itu berjanji tentang ujian selama lima puluh jurus dalam menghadapi isteri pangeran itu, dan terhadap dua orang pembantunya itu dia tidak berjanji apa-apa. Oleh karena itu, kekalahan Tok-ciang Sian-jin merupakan kekalahan mutlak, walaupun kekalahan itu adalah akibat dari kelengahannya, bukan akibat dari kalah tinggi ilmunya dibanding dengan Kim-liong-ong Phang Sun.



“Pinto yang bodoh... pinto kena ditipu orang... pinto mengaku kalah.” Tiba-tiba tosu itu bangkit berdiri, dengan muka pucat dan mata bersinar memandang kepada pangeran itu, menjura lalu dengan langkah lebar dia meninggalkan tempat itu sambil mengusap darah dari ujung bibirnya. Semua tamu hanya mengikuti langkah tosu itu dengan pandang mata dan kini tidak ada lagi yang mau mencampuri karena orang yang bersangkutan sendiri sudah mengakui kebodohannya dan mengaku kalah!



Karena ada yang merasa penasaran, berturut-turut terdapat beberapa orang tokoh yang belum mengenal betul kepandaian Lam-hai Sam-lo, maju memasuki ujian calon jagoan nomor satu di dunia. Namun, satu demi satu mereka itu dikalahkan oleh Kim-liong-ong atau Hai-liong-ong yang maju bergantian. Mereka yang sudah tahu akan kelihaian Lam-hai Sam-lo, siang-siang sudah kuncup nyalinya dan tidak berani maju.



Setelah tujuh orang calon semua kalah, kini agaknya tidak ada lagi yang berani maju. Melihat ini, diam-diam Pangeran Ceng Han Houw merasa penasaran. Tidak mungkin di antara tokoh kang-ouw tidak ada yang mampu mengalahkan Lam-hai Sam-lo, pikirnya. Apalagi di situ terdapat tokoh-tokoh Cin-ling-pai yang belum bertindak sesuatu.



“Siapakah lagi yang akan maju mencoba kemampuannya?” Hai-liong-ong Phang Tek berkata dengan suaranya yang lantang. Akan tetapi, para tamu hanya saling pandang dan agaknya tidak ada lagi yang berani maju.



Pangeran Ceng Han Houw bangkit berdiri. “Cu-wi, mengapa cu-wi merasa sungkan? Saya percaya bahwa di antara cu-wi masih banyak orang pandai! Ataukah hanya demikian saja kepandaian para tokoh kang-ouw? Sungguh di luar dugaan kami kalau di dunia kang-ouw ini tidak ada tokoh yang mampu menandingi Lam-hai Sam-lo!”



Ucapan itu halus, namun juga bernada mengejek dan membakar. Semenjak tadi Cia Giok Keng sudah merah sekali wajahnya dan dia sudah hendak bangkit berdiri. Akan tetapi adiknya, Cia Bun Houw, memegang lengannya dan berbisik, “Enci, Lam-hai Sam-lo itu terlalu lihai bagimu.”



“Biar!” Cia Giok Keng, wanita berusia setengah abad yang nampak cantik dan gagah itu, menjawab dengan bisikan mendesis sehingga membuat beberapa orang tamu yang duduk dekat menengok.



“Aku tidak takut. Kalau kalah, biar aku mati di depan mata anak durhaka itu!” Jelaslah bahwa sumber kemarahan wanita ini adalah melihat puterinya, selain men­jadi isteri pangeran itu tanpa minta ijin dulu darinya, juga melihat puterinya itu membantu pangeran yang hendak mem­berontak itu.



“Enci, itu kurang bijaksana. Apakah engkau ingin semua orang kang-ouw tahu akan pertentangan antara engkau dan puterimu sendiri? Biarkan aku saja yang maju, mereka itu bukan lawanmu, me­lainkan lawanku!”



Sebelum Cia Giok Keng dapat mem­bantah, disetujui oleh isterinya, yaitu Yap In Hong dan juga Yap Kun Liong yang maklum bahwa dua orang kakek dari selatan, Lam-hai Sam-lo itu me­mang lihai sekali, sekali bergerak Cia Bun Houw sudah meloncat ke depan. Se­mua tamu terkejut bukan main ketika melihat ada bayangan manusia melayang di atas kepala mereka, dari tempat du­duk paling belakang dan melayang me­nuju ke depan, ke tengah ruangan di mana masih menanti Kim-liong-ong Phang Sun dengan lagak sombong itu. Ketika bayangan manusia itu telah tiba di tengah ruangan dan berdiri, me­reka melihat seorang pria yang amat tampan dan gagah perkasa, dengan pakai­an sederhana akan tetapi memiliki wiba­wa besar dan sepasang matanya menyapu ke arah pangeran, banyak di antara para tokoh kang-ouw mengenalnya dan di sam­ping keheranan mereka, terdengar sorak-sorai menyambut pendekar ini. Siapakah yang tidak mengenal pendekar sakti Cia Bun Houw, putera Cin-ling-pai yang tersohor itu? Akan tetapi, banyak alis dikerutkan dengan heran dan menduga-duga. Isteri pangeran itu adalah cucu ketua Cin-ling-pai, dan kini tokoh Cin-ling-pai ini maju! Apa artinya ini? Akan tetapi mereka semua maklum bahwa kalau pendekar sakti ini maju untuk bertanding, maka akan terjadilah pertandingan yang amat hebat di tempat itu dan mereka semua merasa beruntung untuk dapat menyaksikannya.

Wajah Lie Ciauw Si seketika menjadi pucat ketika dia melihat pamannya telah maju di tengah ruangan. Hampir dia tidak berani menatap wajah yang tampan dan yang nampak gagah penuh wibawa itu. Sementara itu, Pangeran Ceng Han Houw tersenyum gembira. Saat yang dinanti-nantikannya telah tiba. Memang untuk inilah dia mengadakan pertemuan besar itu. Selain untuk menghimpun orang-crang pandai, juga untuk menonjolkan dirinya sebagai yang terpandai di antara semua orang kang-ouw juga ingin memancing datangnya keluarga Cin-ling­-pai. Kalau dia dapat menarik mereka menjadi sekutunya, dengan umpan kenyataan bahwa Ciauw Si telah menjadi isterinya dan pembantunya, maka hal itu akan baik sekali karena kedudukannya akan menjadi semakin kuat. Sebaliknya, kalau dia gagal menarik mereka dan mempengartihi mereka, dia akan dapat mengalahkan mereka satu demi satu sehingga dengan demikian dunia kang­-ouw akan melihat bahwa dialah jago nomor satu di dunia, bahkan keluarga Cin-ling-pai yang terkenal sekali itu tidak ada yang mampu menandinginya! Maka, melihat betapa pendekar sakti Cia Bun Houw sudah maju, dia memandang dengan sinar mata berseri. Akan tetapi dia hendak membiarkan dulu dua orang pembantunya itu “menguji” sampai di mana kehebatan pendekar sakti ini, apakah memang sehebat apa yang dikabarkan orang.

Ketika pendekar sakti itu berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan tergantung di kanan kiri dan memandang dengan sinar mata tajam penuh wibawa kepada pangeran itu, Ceng Han Houw dengan tenang dan dengan bibir masih tersenyum, balas memandang. Dua pasang mata yang sama-sama mempunyai sinar tajam men­corong dan penuh wibawa itu saling pan­dang, dan seolah-olah mereka berdua sa­ling mengukur kekuatan masing-masing melalui sinar mata itu. Suasana menjadi sunyi, sunyi yang menegangkan dan men­cekam hati. Hanya Lie Ciauw Si yang nampak bergerak, kepalanya saja, kadang-kadang diangkat memandang pamannya, kadang-kadang menunduk kembali, kedua tangannya meremas-remas ujung bajunya, jantungnya berdebar penuh ketegangan dan kebingungan.



Akan tetapi suasana yang mencekam itu dipecahkan oleh suara Kim-liong-ong Phang Sun yang lantang, suaranya yang mengandung pura-pura karena sesungguhnya dia sudah tahu siapa adanya pria gagah yang kini berada di dekatnya itu.



“Enghiong dari manakah yang kini maju? Apakah hendak mengajukan diri sebagai calon jagoan? Harap suka memperkenal­kan diri.”



Baru setelah mendengar teguran ini, Bun Houw membalikkan tubuhnya dan menghadapi Kim-liong-ong yang ternyata berdiri bersama dengan Hai-liong-ong. Sejenak Bun Houw menatap mereka ber­dua dengan sikap keren, kemudian ter­dengarlah suara yang lantang dan jelas.



“Aku bernama Cia Bun Houw dan aku datang mewakili Cin-ling-pai!” Baru saja dia berkata sampai di sini terdengar suara berbisik di antara para tamu yaitu mereka yang baru sekarang melihat pen­dekar ini sungguhpun semua telah men­dengar nama besarnya, apalagi nama besar Cin-ling-pai, yang akhir-akhir ini menjadi semakin terkenal setelah ada berita bahwa keluarga Cin-ling-pai di­tuduh sebagai pemberontak, bahkan men­jadi pelarian-pelarian pemerintah. Setelah suara berbisik mereda, Bun Houw melanjutkan kata-katanya.



“Kami dari Cin-ling-pal tidak pernah merasa menjadi orang yang paling pandai di dunia ini. Oleh karena itu, kedatanganku di sinipun sama sekali bukan hendak memperebutkan julukan kosong sebagai jagoan nomor satu di dunia! Akan tetapi aku datang justeru untuk menguji sampai di mana hebatnya orang yang berani menyebut dirinya sebagai jagoan nomor satu di dunia!”



Terdengar tepuk tangan riuh rendah menyambut kata-kata ini dan kebanyakan yang bertepuk tangan adalah orang-orang yang termasuk dalam golongan bersih karena ucapan itu merupakan suara hati mereka pula. Mereka itu menganggap Bun Houw sebagai wakil mereka, wakil dari golongan putih untuk menentang usaha-usaha kaum sesat yang selalu hendak menonjolkan diri dan melakukan perbuatan-perbuatan demi mencari kedudukan, harta benda, atau nama besar.



Mendengar ucapan yang penuh wibawa ini, melihat sikap pendekar itu yang keren, dan melihat sambutan para orang kang-ouw, kedua orang dari Lam-hai Sam-lo itu mengerutkan alis dan merekapun menjadi bingung. Akan tetapi Kim-liong-ong yang berwatak angkuh dan selalu memandang rendah lawan itu lalu berkata lantang.



“Cia Bun Houw, ucapanmu itu sungguh menyimpang daripada maksud dari pertemuan besar yang diadakan oleh pangeran ini. Lalu dengan siapa engkau hendak bertanding, kalau jagoan nomor satu belum ditetapkan siapa?”



Bun Houw yang tadipun merasa penasaran menyaksikan kelicikan dan kecurangan kakek kecil pendek ini lalu menjawab, “Dengan siapa saja yang merasa dirinya jagoan tak terkalahkan. Lam-hai Sam-lo terkenal sebagai datuk-datuk selatan, akan tetapi hari ini aku melihat betapa seorang di antaranya hanyalah seorang tukang berkelahi yang licik dan tak tahu malu. Kalau Lam-hai Sam-lo merasa hebat, boleh saja aku menghadapinya, dan terhadapku, Lam-hai Sam-lo boleh berlaku licik dan curang sesuka hatinya!”



Ucapan ini terlalu hebat! Lebih-lebih lagi karena terdengar suara tertawa menyambut ucapannya yang terang-terangan mencela dan mengejek kelicikan Kim-liong-ong tadi. Akan tetapi, Kim-liong-ong dan Hai-liong-ong menjadi amat marah. Nama besar Lam-hai Sam-lo seperti diinjak-injak oleh pria muda ini!



Kini Hai-liong-ong Phang Tek sudah berkata dengan suara keras, “Orang muda she Cia yang sombong! Ucapanmu terlalu besar dan engkau menantang Lam-hai Sam-lo. Kami masih ingat bahwa engkau adalah putera ketua Cin-ling-pai, dengan demikian engkau tentu masih keluarga dengan isteri pangeran yang terhormat, maka...”



“Cukup!” Bun Houw membentak demikian nyaringnya sehingga mengejutkan semua orang karena dalam keadaan marah bentakan tadi mengandung tenaga auman harimau yang amat hebat, terbawa khi-kang dari Ilmu Thian-te Sin-ciang sehingga gema bentakan itu mendatangkan getaran dahsyat. “Tidak ada hubungannya keluarga dengan urusan ini...! Aku tidak datang membicarakan soal keluarga, dan kalau Lam-hai Sam-lo berani, majulah, tidak usah cerewet. Kalau tidak berani, menggelindinglah pergi dan biarkan aku menghadapi orang yang menggerakkan semua ini!” Sambil berkata demikian, kembali Bun Houw memandang ke arah Pangeran Ceng Han Houw.



“Paman...!” Lie Ciauw Si yang mukanya berubah merah membuka mulut, akan tetapi suaranya itu hanya merupakan bisikan dan keburu lengannya disentuh oleh suaminya yang masih tersenyum-senyum saja.

“Tenang, Si-moi dan kita lihat perkembangannya,” bisiknya kembali. Sementara itu, kemarahan Phang Tek dan Phang Sun membuat wajah mereka berubah merah sekali.



“Cia Bun How, benarkah engkau menantang kami berdua untuk maju bersama melawanmu? Orang muda, hati-hatilah engkau dengan jawabanmu!” kata Phang Tek yang marah sekali, akan tetapi mengingat akan nama besar Lam-hai Sam-lo, dia merasa tidak enak dan malu kalau harus menghadapi orang muda ini dengan pengeroyokan mereka berdua.



“Lam-hai Sam-lo, mengapa banyak cerewet? Jangankan kini tinggal kalian berdua, biar masih lengkap tiga orangpun aku tidak akan takut melawan kalian. Majulah!” Cia Bun Houw yang memang sudah mengambil keputusan untuk memberi hajaran kepada mereka ini, sudah berdiri menghadapi mereka dengan kedua kaki terpentang lebar, tubuhnya tegak dan kedua lutut agak ditekuk, sepasang matanya mencorong seperti mata seekor naga, tanda bahwa pada saat itu tenaga sin-kangnya telah naik dari pusar dan berputar-putar di seluruh tubuhnya, siap untuk dipergunakan dalam setiap gerakan.



Dua orang kakek itu masih meragu, selain merasa malu kepada para tokoh kang-ouw, juga mereka merasa sungkan terhadap pangeran karena bukankah orang muda ini masih terhitung paman dari isteri sang pangeran sendiri? Maka Phang Tek lalu menghadap ke arah pangeran dan berkata, “Harap paduka maafkan kami berdua yang tidak tahu harus bersikap bagaimana dalam keadaan seperti ini.”



Ceng Han Houw yang sejak tadi tersenyum dan wajahnya yang tampan itu tetap nampak berseri, lalu berkata tenang, “Seorang yang sakti dan gagah perkasa seperti Cia-taihiap telah berkenan meramaikan pertemuan ini dan hendak mempertihatkan kepandaian, hal itu sungguh membuat kita harus berterima kasih sekali. Sekarang Cia-taihiap mengajak kalian berdua untuk bermain-main dan menguji kepandaian, mengapa kalian berdua ragu-ragu lagi?”



Diam-diam Cia Bun Houw terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa pangeran yang masih begitu muda namun ternyata pandai sekali mengatur perasaan sehingga sampai sedemikian jauh tetap tenang dan ramah, sungguh merupakan sikap seorang yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan! Mulailah dia mengerti mengapa keponakannya itu, seorang gadis gagah perkasa, dapat tunduk terhadap pangeran itu. Kiranya pangeran itu, biarpun masih muda, selain memiliki wajah yang amat tampan menarik, juga memiliki kekuatan batin yang mengagumkan dan tentu memiliki kepandaian yang tinggi pula! Dan wajah pucat dari Ciauw Si agak berseri keti­ka dia mendengar ucapan suaminya itu. Di­am-diam dia melirik ke arah ibunya dan dia melihat ibunya itu berbisik-bisik dengan ayah tirinya, yaitu Yap Kun Liong. Tentu saja dia tidak tahu apa yang sedang dibicarakan oleh ibunya dan suami ibunya itu. Sedangkan bibinya, Yap In Hong, hanya memandang ke arah suaminya de­ngan penuh perhatian karena tentu saja bibi itu tahu bahwa suaminya sedang menghadapi lawan yang amat tangguh kalau dua orang kakek itu benar-benar hendak ma­ju bersama mengeroyoknya.



Sementara itu, dua orang kakek menjadi lega hati mereka. Jelaslah bahwa pangeran memperkenankan mereka maju bersama menghadapi tokoh Cin-ling-pai ini dan memang sudah menjadi tugas mereka untuk mengukur kepandaian orang-orang tangguh yang menjadi calon lawan majikan mereka.



“Kalau begitu, kami tidak akan menolak tantanganmu, Cia-taihiap.” Setelah mendengar pangeran itu menyebut Cia-taihiap, maka Phang Tek juga tidak be­rani menyebut lain. “Kami akan maju bersama menghadapimu.”



“Tak perlu banyak cakap, maju dan mulailah!” jawab Bun Houw tak sabar lagi.



Dua orang kakek itu lalu memasang kuda-kuda dan melangkah perlahan mengitari Bun Houw dengan lagak dua ekor jago yang memilih-milih tempat yang baik, sudut yang tepat untuk memulai serangan mereka. Bun Houw tetap berdiri tegak, sama sekali tidak bergerak dan hanya pandang matanya saja yang mengikuti gerakan mereka. Akhirnya dua orang kakek itu mengambil sudut yang mereka anggap paling menguntungkan, yaitu di kanan kiri pendekar itu. Phang Tek di sebelah kanan dan Phang Sun di sebelah kiri. Tiba-tiba, setelah saling memberi tanda dengan sinar mata, keduanya mengeluarkan teriakan nyaring dan mulailah mereka menyerang dari kanan kiri!



“Wuuut... wuuuttt... plak-plak­ plak-plak!”



Dengan gerakan yang mantap Bun Houw menyambut serangan mereka dari kanan kiri itu dengan menggerakkan tubuh dan kedua lengannya bergerak menangkis sehingga dia telah berhasil menangkis masing-masing lawan dua kali dan membuat dua orang kakek itu agak terhuyung!



Kembali Bun Houw berdiri tegak dan kedua orang lawannya kini berada di depan dan belakangnya. Dua orang kakek itu memandang dengan mata terbelalak karena pertemuan lengan mereka tadi dengan lengan Bun Houw membuat tubuh mereka terasa tergetar hebat. Dan hal itu tidaklah mengherankan karena Bun Houw telah mempergunakan tenaga Thian-te Sin-ciang yang sudah dilatih sampai di puncaknya! Dan kini, biarpun Kim-liong-ong Phang Sun berada di belakangnya, Bun Houw tidak menjadi gentar, bahkan sama sekali tidak menggerakkan kepalanya karena ketajaman pendengarannya dapat menangkap segala gerak-gerik lawan di belakang itu seolah-olah dia dapat melihatnya dengan mata, melihat dengan jelas. Maka dia membagi kekuatannya pada mata dan telinga sehingga dia dapat memperhatikan dan mengikuti segala gerak-gerik dua orang lawannya.



Kembali dua orang kakek itu mengirim serangan dan kini mereka melakukan serangan bertubi-tubi dan sambung-menyambung. Pukulan-pukulan mereka amat dahsyatnya, semua merupakan pukulan maut dan ternyata tubuh besar Hai-liong-ong Phang Tek itu tidak menghalanginya untuk bergerak cepat sekali, jauh lebih cepat daripada gerakan adiknya yang bertubuh kecil pendek! Bagaikan seekor singa Phang Tek menyerang dengan kedua tangan dibentuk seperti cakar dan kedua lengannya itu bergerak-gerak seperti seekor naga. Dan memang sesungguhnya orang pertama dari Lam-hai Sam-to ini adalah seorang ahli silat naga Liong-jiauw-kun dan Liong-jiauw-kiam-sut (Ilmu Pedang Cakar Naga). Sebaliknya biarpun gerakannya tidak seringan dan secepat kakaknya, namun si pendek Kim-liong-ong Phang Sun itu memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat sehingga setiap pukulannya mendatangkan angin yang menyambar dahsyat dan mengeluarkan bunyi bercuitan!

Tingkat kepandaian Phang Tek dan Phang Sun memang seimbang, karena kalau Phang Tek lebih cepat gerakannya, Phang Sun lebih kuat pukulannya. Hal ini terasa benar oleh Bun Houw maka diapun tidak berani memandang rendah dan untuk menghadapi serangan dua orang lawannya yang tangguh ini, dia telah mainkan Thai-kek Sin-kun, ilmu silat keramat dari ayahnya. Ilmu silat ini memang merupakan ilmu silat halus yang amat tangguh untuk menjaga diri dan mempunyai daya tahan yang amat kuat sehingga seolah-olah dengan ilmu ini dia dapat menahan serangan seribu orang lawan! Apalagi pada waktu itu tingkat kepandaian Bun Houw sedang berada di puncaknya, tubuhnya sedang kuat-kuatnya dan dia amat terlatih. Maka dengan langkah-langkah yang indah dari Thai-kek Sin-kun, dia mampu mengelak ke sana-sini atau menambah dengan tangkisan-tangkisan untuk kemudian melakukan serangan balasan dengan tamparan-tamparan Thian-te Sin-ciang yang amat ampuh itu.



Pertandingan itu sudah lewat lima puluh jurus, namun dua orang pengeroyok itu sama sekali bukan pernah dapat menyentuh tubuh Bun Houw. Semua tamu memandang ke arah pertempuran dengan mata terbelatak karena kagum. Yap Kun Liong memandang dengan sikap tenang, tidak seperti isterinya, Cia Giok Keng yang memandang dengan alis berkerut dan tangan terkepal. Tingkat Cia Giok Keng tidak sedemikian tingginya sehingga dia sukar dapat mengikuti perkembangan dari pertandingan tingkat tinggi itu sehingga dia khawatir kalau-kalau adik kandungnya akan kalah. Sedangkan Yap In Hong sejak tadi mengikuti gerak-gerik tiga orang yang bertanding itu dengan sikap sama tenangnya dengan kakak kandungnya. Dia tahu bahwa suaminya tidak akan kalah, karena pada dasarnya suaminya lebih kuat dan andaikata suaminya mau menjatuhkan pukulan-pukulan maut yang ganas, sejak tadi tentu suaminya sudah dapat merobohkan dua orang pengeroyoknya itu, atau setidaknya seorang di antara mereka. Lie Ciauw Si yang biarpun amat lihai namun juga tidak setinggi itu tingkatnya, memandang dengan bingung. Dia tidak tahu harus berfihak mana. Yang dikeroyok adalah pamannya yang bertindak atas nama Cin-ling-pai, sedangkan dua orang pengeroyoknya itu adalah pembantu-pembantu suaminya yang menggantikan dia. Tak dapat dia membayangkan apa yang akan dilakukan kalau dia yang masih menjadi penguji dan harus berhadapan dengan pamapnya yang sakti itu! Sedangkan Pangeran Ceng Han Houw menonton dengan wajah berseri dan beberapa kali dia mengangguk-angguk menyatakan kagumnya terhadap gerak-gerik Cia Bun Houw yang memang merupakan seorang pendekar yang sukar dicari tandingannya. Akan tetapi, diam-diam pangeran ini merasa khawatir juga. Dia tahu bahwa dua orang pembantunya itu tidak akan dapat menang, maka mulailah dia memandang ke sana-sini mencari-cari Sin Liong. Kenapa adik angkatnya itu tidak kembali ke situ? Kalau ada Sin Liong, sebelum dia sendiri harus berhadapan dengan Cia Bun Houw, yaitu kalau dia gagal membujuk paman isterinya itu, dia akan menyuruh Sin Liong mewakilinya dan “menguji” pendekar dari Cin-ling-pai itu! Biarpun dia tahu bahwa Sin Liong, menurut pengakuannya adalah putera kandung pendekar sakti ini, akan tetapi agaknya di antara mereka berdua belum ada hubungan dan pendekar sakti ini belum tahu akan rahasianya sendiri itu! Maka hal ini merupakan kunci baginya! Kehadiran Sin Liong sebagai putera pendekar ini dapat dipergunakannya untuk menarik keluarga Cia itu, dan seandainya di antara ayah dan anak itu tidak ada yang mau mengulurkan tangan, dia dapat pula mengharapkan bantuan Sin Liong yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian yang tidak banyak selisihnya dengan kepandaiannya sendiri, seorang pembantu yang boleh diharapkan. Oleh karena itulah, maka melihat dua orang pembantunya itu agaknya terdesak oleh Cia Bun Houw, pangeran itu mulai teringat kepada Sin Liong dan mulai menoleh ke sana-sini untuk mencari adik angkatnya itu.



Ke manakah perginya Sin Liong? Apa yang terjadi dengan dia? Mari kita mengikuti Sin Liong yang tadi meninggalkan tempat pertemuan itu. Setelah Sin Liong mendengar bisikan pangeran yang hendak memksa membantunya dan bahwa Bi Cu berada dalam pengaWasan dan kekuasaan Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio, tahulah Sin Liong bahwa kembali kakak angkatnya itu bertindak curang. Tahulah dia bahwa Bi Cu sengaja ditawan untuk dijadikan sandera, untuk memaksa dia harus membantu pangeran itu menghadapi para tokoh kang-ouw, membantu Pangeran itu agar berhasil menjadi jagoan nomor satu di dunia dan menjadi bengcu untuk menghimpun tenaga orang-orang kang-ouw dan membantunya melakukan pemberontakan terhadap kaisar! Dengan marah sekali Sin Liong lalu berlari ma­suk meninggalkan tempat itu.



Dengar cepat Sin Liong berlari menuju ke kamar Bi Cu untuk mengajak kekasihnya itu segera pergi dari tempat itu sekarang juga. Daun pintu kamar Bi Cu tertutup dan dengan hati harap-harap cemas Sin Liong menghampiri daun pintu ini dan mendorongnya ke dalam. Kosong! Sunyi sekali dalam rumah ini. Agaknya semua pelayan dan pengawal sudah ber­kumpul di depan, nonton keramaian di luar.



“Bi Cu...!” Dia berseru memanggil dan memandang ke sana-sini, lalu berjalan menuju ke dalam, membukai setiap daun pintu kamar dan ruangang mencari-cari. Akhirnya dia tiba di lorong yang menuju ke ruangan belakang den ketika dia memasuki lorong yang lebarnya hanya tiga meter akan tetapi amat panjang itu, tiba-tiba dia melihat gerakan orang dan tahu-tahu di kedua mulut lorong itu, di depan dan belakangnya, sudah berdiri puluhan orang pengawal dengan senjata tombak, pedang dan golok di tangan! Dia telah dikurung di dalam lorong itu dan tidak ada jalan keluar lagi karena di depan dan belakangnya, di mulut lorong, masing-masing telah berjaga belasan orang pengawal pilihan yang siap dengan senjata mereka. Dia seolah-olah seperti seekor harimau yang sudah terkurung dan terjebak.

Sin Liong memandang dengan mata bernyala dan muka merah. “Kembalikan Bi Cu!” bentaknya. “Kembalikan Bi Cu atau... demi Tuhan, takkan ada seorangpun yang akan lolos dari tanganku!” Suaranya menggetar saking khawatirnya membayangkan Bi Cu berada di tangan mereka. Dia maklum bahwa Pangeran Ceng Han Houw hendak menggunakan Bi Cu untuk memaksanya. Akan tetapi sekali ini dia tidak mungkin mau dipermainkan, tidak mungkin dia harus mengalah dan memenuhi kehendak pangeran itu. Biarpun Bi Cu berada di tangan mereka, dia tidak akan mau tunduk dan menyerah lagi. Hanya ada dua jalan. Mereka mengembalikan Bi Cu dalam keadaan utuh dan selamat, atau... kalau mereka mengganggu kekasihnya, dia akan mengamuk dan membunuh semua orang dalam Istana Lembah Naga itu!



Kedua matanya mencorong seperti mata seekor naga sakti ketika dia memandang kepada para pengawal yang menghadang di mulut lorong itu. Dengan berani dia terus melangkah maju sambil sekali lagi membentak, “Kembalikan Bi Cu!”



Akan tetapi pengawal-pengawal yang berjaga di situ adalah pasukan pengawal pilihan yang tadinya menjadi pasukan pilihan dari Raja Sabutai. Mereka ini, sebagai pasukan pilihan, seolah-olah telah menjadi manusia-manusia robot yang tidak mempunyai keinginan sendiri dan mereka bergerak oleh perintah atasan. Mereka tadi menerima perintah untuk mencegah pemuda ini pergi ke gudang di belakang, di mana Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio mengurung gadis tawanan itu, dan mereka, pasukan pengawal yang jumlahnya tiga puluh orang itu, akan mentaati perintah ini sampai titik darah terakhir mereka! Maka, mendengar bentakan-bentakan Sin Liong, mereka itu seolah-olah tidak mendengarnya dan kini para pengawal yang menghadang di depan telah mengangkat senjata mereka dengan muka beringas, sedangkan pasukan yang berada di belakang Sin Liong kini sudah bergerak maju lagi memasuki lorong itu! Sin Liong benar-benar dihimpit dari de­pan dan belakang.



Melihat ini, Sin Liong menjadi semakin marah dan tahulah dia bahwa sekali ini Pangeran Ceng Han Houw benar-benar memperlihatkan kedoknya dan hendak menentangnya mati-matian, maka diapun lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan tubuhnya sudah menerjang ke depan seperti seekor harimau menubruk, tanpa memperdulikan adanya tombak, golok dan pedang yang menyambut tubuhnya. Dia mengerahkan seluruh tenaganya yang dihimpunnya selama dia mempelajari ilmu dari Bu Beng Hud-couw. Ada angin dahsyat menyambar ke depan, menyambut belasan orang yang menghadangnya itu, disusul oleh kedua tangan Sin Liong sendiri yang mendorong ke depan.



“Bresssss...!” Hebat bukan main tenaga sin-kang yang menyambar keluar dari gerakan Sin Liong ini. Tombak, golok, pedang beterbangan, terdengar pekik-pekik kesakitan dan belasan orang itu sudah terjengkang dan terpelanting ke kanan kiri seperti setumpuk daun kering diamuk badai! Sin Liong terus meloncat keluar dari lorong itu, tiba di ruangan belakang yang luas. Di sini dia berdiri tegak, memandang ke sekelilingnya, mencari-cari Bi Cu. Belasan orang pengawal yang terpelanting tadi, hanya ada sepuluh orang saja yang sudah bangkit kembali dan yang lima orang tak dapat bangun. Ditambah oleh lima belas orang lagi, yaitu para pengawal yang mengejar dari belakang tadi, mereka kini mengurung dan mulai menerjang dan mengeroyok Sin Liong dari berbagai jurusan. Hujan senjata menyerang tubuh Sin Liong!



Sin Liong mengamuk! Kedua tangannya yang penuh dengan tenaga Thian-te Sin-ciang sampai ke puncak, menyambar-nyambar dan setiap orang pengeroyok yang terkena sentuhan tangan ini, bahkan terkena sambaran hawa pukulannya saja, tentu terpelanting. Setiap senjata yang bertemu dengan lengannya tentu patah-patah atau beterbangan terlepas dari pegangan pemiliknya. Bagaikan sekepok nyamuk menyerang api lilin, para pengawal itu setiap kali maju terpelan­ting roboh dan setelah mengamuk dengan hebatnya, laksana seekor naga yang me­ngejar mustika di antara awan-awan hitam, semua pengawal itu roboh dan tubuh mereka malang-melintang memenuhi ruangan itu, merintih-rintih dan meng­aduh-aduh. Darah berceceran di mana-mana dan senjata tajam berserakan. Sin Liong masih sempat melihat seorang pengawal yang luka terpincang-pincang lari ke belakang, ke sebuah gudang tua jauh di belakang istana itu. Maka diapun cepat berkelebat dan menuju ke tempat itu.



“Brakkkk!” Sekali terjang daun pintu kayu yang tebal dari gudang itupun pecah berantakan dan Sin Liong meloncat masuk. Akan tetapi dia terbelalak berdiri di ambang pintu yang sudah jebol itu, memandang ke dalam. Gudang itu besar, dan agaknya merupakan gudang yang sudah tidak terpakai lagi karena selain kosong juga tidak terawat, kotor dan jauh berbeda dengan keadaan di dalam istana yang serba mewah dan indah. Memang gudang ini telah lama diper­gunakan hanya untuk menyiksa para ta­wanan ketika Hek-hiat Mo-li tinggal di situ dan karenanya, setelah Pangeran Ceng Han Houw mempergunakan istana itu, gudang ini tidak dipakai dan hanya ditutup. Dan sekarang, tempat itu diper­gunakan oleh Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio untuk menahan Bi Cu! Agaknya pe­ngawal yang terluka dan tadi lari masuk un­tuk melapor, mengalami nasib sial karena dia sudah meringkuk di sudut itu tak bergerak-gerak, entah pingsan entah mati. Dan memang ketika dia selesai melapor bah­wa semua pengawal tidak mampu me­nahan pemuda itu, Hek-hiat Mo-li telah “menghadiahi” dengan sebuah tendangan yang membuat tulang iga orang itu remuk-remuk!



Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Sin Liong ketika dia melihat Bi Cu terbelenggu pada sebatang tiang kayu di dalam gudang itu dan di sekeliling tiang itu terdapat tumpukan balok-balok kayu yang sudah disiram minyak dan kini Kim Hong Liu-nio sudah berdiri dekat sambil memegang sebatang obor yang bernyala, siap untuk membakar tumpukan kayu yang mengelilingi Bi Cu itu! Dara itu juga memandang kepadanya dengan muka pucat dan mata terbelalak, akan tetapi suaranya terdengar penuh kegembiraan ketika dia berseru, “Sin Liong...!”

Agaknya baru sekarang dia dapat berseru memanggil nama kekasihnya itu karena sejak tadi mulutnya diikat dengan sapu­ tangan yang kini bergantung di lehernya, tentu sudah dilepaskan oleh Kim Hong Liu-nio. Dan agaknya wanita ini sudah mempersiapkan diri baik-baik karena selain kedua tangannya sudah mengenakan sarung tangannya yang dapat menahan senjata tajam, di atas punggungnya yang menggendong kayu palang salib itu nampak mengepul hio-hio yang terbakar, dan kini selain tangan kirinya memegang obor, juga tangan kanannya memegang sebatang pedang yang berkilauan! Dan tidak jauh dari situ berdiri si nenek mu­ka hitam yang menyeringai mengerikan, bersandar pada tongkat bututnya.



“Heh-heh-heh!” Hek-hiat Mo-li ter­kekeh dan nampak mulutnya yang tak bergigi lagi. “Kau bocah bandel, masih mau memamerkan sedikit kepandaian di sini?”



“Hek-hiat Mo-li!” Sin Liong mem­bentak. “Lepaskan Bi Cu!”



“Heh-heh, bocah lancang! Hanya ada dua pilihan untukmu. Engkau kembali ke depan dan membantu pangeran sampai dia berhasil dengan cita-citanya, atau engkau akan melihat pacarmu ini di­makan api sampai habis dan engkau sen­diri mampus di bawah tongkatku!”



“Nenek iblis!” Sin Liong membentak dan dia sudah meloncat ke depan dan menerjang nenek itu dengan dahsyatnya!



“Ihh...! Plakk!” Nenek itu meloncat untuk menghindar sambil menyabetkan tongkatnya yang dapat ditangkis oleh Sin Liong. “Bakar dia!” teriaknya sambil melawan pemuda yang sudah marah sekali itu. Kim Hong Liu-nio cepat membakar tumpukan kayu di sekeliling Bi Cu dan apipun berkobarlah.



“Sin Liong...!” Bi Cu menjerit ketika api berkobar mengelilinginya, men­datangkan hawa panas yang luar biasa. Pilar di mana dia terbelenggu tidak akan cepat terbakar, dan pembakaran itu me­mang diatur sedemikian rupa untuk me­nyiksanya sehingga sebelum api itu akhirnya menjalar ke pilar, terlebih dulu dia akan mengalami siksaan luar biasa di­kurung api berkobar yang besar dan amat panas.



Sin Liong mengamuk, dan kini Kim Hong Liu-nio juga sudah maju dengan pedangnya, membantu gurunya mengero­yok Sin Liong. Pedangnya bergerak de­ngan amat cepatnya, lenyap bentuk pe­dang di tangan Kim Hong Liu-nio, ber­ubah menjadi segulung sinar berkilauan yang menyambar-nyambar, mengeluarkan suara berdesing dan berciutan, juga tong­kat di tangan nenek muka hitam itu ber­bahaya bukan main, karena gerakannya didorong oleh sin-kang yang amat hebat.



Sekali ini Sin Liong benar-henar diuji kepandaiannya. Dua orang lawannya terdiri dari orang-orang yang pandai, terutama sekali nenek hitam itu. Dan celakanya dia bertanding dengan hati gelisah bukan main melihat api berkobar mengurung Bi Cu. Sebagian besar perhatiannya tertarik ke arah Bi Cu, dan setiap ada kesempatan, dia meninggalkan dua orang lawannya untuk meloncat ke arah api dalam usahanya untuk menyela­matkan dara itu lebih dulu dari ancaman maut yang mengerikan. Namun, dua orang lawannya maklum akan niatnya ini dan terus menghadang, bahkan kelengah­an Sin Liong karena perhatiannya ter­tarik ke arah Bi Cu membuat dua kali punggung dan pundaknya kena dihantam tongkat Hek-hiat Mo-li! Kalau saja dia tidak memiliki kekebalan dan cepat menggunakan Thi-khi-i-beng, tentu dia sudah roboh oleh dua kali hantaman itu. Dia hanya merasa pening sedikit, akan tetapi dengan mengeluarkan jurus Hok-mo Cap-sha-ciang, angin pukulan me­nyambar dahsyat dan dua orang lawannya itu terkejut dan cepat mengelak sambil meloncat mundur. Di lain saat, guru dan murid itu sudah menerjang lagi dan kem­bali Sin Liong terdesak hebat karena dia masih terus mencurahkan perhatiannya kepada Bi Cu yang terus-menerus memanggil namanya.



“Sin Liong... ah, Sin Liong, tolong...!”



Sin Liong tak dapat menahan kegelisahannya dan meloncat ke depan. Kelengahannya itu dipergunakan oleh Kim Hong Liu-nio untuk menusukkan pedangnya ke arah lambungnya dari kanan. Untung bagi pemuda ini bahwa dia masih mendengar desir sambaran pedang ini, maka dia mengelak, sungguhpun perhatiannya masih ke depan, ke arah api berkobar.



“Dess...!” Pukulan tangan kiri dari Kim Hong Liu-nio dengan tepat mengenai punggungnya, sebuah pukulan yang amat kuatnya.



“Ihhh...!” Kim Hong Liu-nio menjerit karena tangannya itu melekat pada punggung dan tersedotlah hawa murni dari tubuhnya. Gurunya yang maklum akan keadaan muridnya, cepat menerjang ke depan, ujung tongkatnya berkelebat depan mata Sin Liong. Pemuda ini menarik tubuh ke belakang dan kesempatan itu dipergunakan oleh Hek-hiat Mo-li untuk menepuk punggungnya dan membentot kembali tangan muridnya! Setelah terlepas dari pengaruh Thi-khi-i-beng itu, Kim Hong Liu-nio mengamuk dan menujukan ujung pedangnya ke arah sasaran bagian tubuh yang berbahaya sehingga kembali Sin Liong terpaksa harus melayani dua orang lawan tangguh itu, sementara itu hatinya merasa semakin gelisah.



“Brakkk...!” Tiba-tiba jendela di belakang gudang itu pecah berantakan dan sesosok bayangan yang amat gesit dan ringannya melayang masuk. Itu adalah bayangan seorang wanita cantik dan Sin Liong segera mengenal bayangan itu yang bukan lain adalah bayangan Yap In Hong, atau ibu tirinya! Nyonya yang cantik jelita dan gagah perkasa itu muncul secara demikian tiba-tiba sehingga bukan hanya mengejutkan Sin Liong, akan tetapi juga membuat Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li menjadi kaget sekali.

Bagaimanakah Yap In Hong dapat tiba-tiba muncul di tempat itu? Perlu diketahul bahwa rombongan keluarga Cin-ling-pai itu sesungguhnya berada di Lembah Naga, menghadiri pertemuan besar itu adalah dalam rangka bantuan mereka kepada pemerintah, yaitu kepada Pangeran Hung Chih yang sudah diberi tugas khusus oleh kaisar untuk menghadapi usaha pemberontakan Pangeran Ceng Han Houw dengan cara halus, kalau mungkin tanpa menimbulkan perpecahan atau perang saudara yang akan mendatangkan korban besar di antara rakyat.

Oleh karena terikat oleh tugas inilah maka betapapun marahnya hati Cia Giok Keng melihat puterinya membantu pangeran pemberontak yang menjadi suaminya itu, namun Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw selalu menyabarkannya. Ketika Cia Bun Houw sudah maju untuk menentang secara terang-terangan dan dikeroyok oleh kedua orang kakek Lam-hai Sam-lo dan terjadi pertandingan yang amat hebat dan seru, diam-diam Yap In Hong yang mengikuti gerakan mereka maklum bahwa suaminya tidak akan kalah. Oleh karena itu diapun merasa lega, lalu diam-diam dia berunding dengan kakak kandungnya, Yap Kun Liong, dan Cia Giok Keng yang menyetujui agar dia menyelidik dari bagian belakang istana, sementara Yap Kun Liong dan isterinya siap untuk membantu Cia Bun Houw apabila terjadi sesuatu dan siap pula untuk memberi tanda yang telah ditunggu-tunggu oleh pasukan besar yang menanti di luar lembah!



Demikianlah mengapa Yap In Hong tahu-tahu berada di gudang itu. Ketika dia menyelinap ke belakang gudang dan mendengar suara orang berkelahi, dia mengintai dan betapa kagetnya ketika dia mengenal Sin Liong dikeroyok oleh Hek-hiat Mo-li dan murid perempuannya, dan melihat pula Bi Cu terkurung api dan dara itu sudah mulai sesak napas dan tubuhnya basah semua oleh peluh. Dia sudah tidak mampu berteriak lagi, hanya mengeluh dan merintih! Melihat keadaan dara ini, Yap In Hong lalu meloncat dengan kecepatan seekor burung terbang, kakinya menendangi balok-balok terbakar ke kanan kiri sehingga terbukalah jalan baginya untuk menerobos masuk. Cepat sekali dia sudah menggunakan jari-jari tangannya yang kecil mungil namun mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang yang dahsyat itu untuk mematahkan se­mua belenggu kaki tangan Bi Cu yang sudah lemas dan pingsan itu, kemudian dia memondohg tubuh dara itu dan sekali meloncat dia telah keluar dari lingkungan api yang berkobar dan membawa Bi Cu ke sebuah sudut gudang yang luas itu. Ketika melihat Bi Cu pingsan, dia lalu mendudukkan dara itu dan menyandarkan­nya pada dinding, kemudian dia bangkit berdiri dan memandang ke arah pertem­puran.



Sinar matanya berubah ketika dia melihat Sin Liong dikeroyok. Tadinya, se­perti juga suaminya, dia merasa benci kepada anak ini yang dianggapnya se­orang anak yang tidak mengenal budi. Akan tetapi kini melihat anak itu di­keroyok dua secara mati-matian, pan­dangannya menjadi berubah.



“Hek-hiat Mo-li, sebelum engkau mampus tentu engkau akan menyebar kejahatan saja di dunia ini! Akulah lawanmu, nenek iblis!” Dia hendak meloncat memasuki gelanggang pertempuran, akan tetapi Sin Liong cepat berkata,



“Yap-lihiap... aku berterima kasih sekali kepadamu, akan tetapi... harap lihiap jangan mencampuri, biarkan aku menghadapi mereka ini! Aku ingin membalaskan kematian kong-kong Cia Keng Hong!” Suaranya mengandung isak karena saking terharunya melihat Bi Cu diselamatkan oleh ibu tirinya! Dan juga saking marahnya terhadap dua orang lawannya ini.



Yap In Hong tercengang, karena dia terkejut mendengar ucapan itu dan melihat jalannya pertempuran. Bocah itu menyebut “kong-kong” kepada ayah mertuanya, dan selain menyatakan ingin membalas kematian ketua Cin-ling-pai, juga kini gerakan bocah itu sungguh jauh berbeda! Kini, pemuda itu mengeluarkan jurus-jurus yang amat luar biasa, dan setiap kali dia menerjang, ada hawa pukulan yang luar biasa dahsyatnya menyambar darinya, membuat dua orang lawannya menjadi terhuyung-huyung! Yap In Hong adalah seorang wanita sakti yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, akan tetapi belum pernah dia menyaksikan gerakan seperti yang dilakukan Sin Liong pada saat itu, dan dia dapat melihat dan merasakan kehebatan hawa pukulan yang luar biasa itu. Maka diapun lalu berdiri saja dan menonton, mendekati Bi Cu dan menjaga dara yang masih pingsan itu. Sementara itu, tumpukan kayu yang terbakar itu karena tadi ditendangi dan terlempar ke sana-sini, mulai membakar dinding rumah dan pilar!



Tidak mengherankan apabila Yap In Hong pendekar wanita sakti itu tertegun menyaksikan kehebatan gerakan Sin Liong. Kini, setelah melihat Bi Cu selamat, Sin Liong menjadi demikian lega dan gembira sehingga dia mampu mencurahkan seluruh perhatiannya kepada perkelahian itu dan kini diapun tidak mau memberi hati kepada dua orang lawannya. Dia mempergunakan langkah-langkah Thai-kek Sin-kun dan dengan gerakan tiba-tiba sekali, dia sudah menerjang dengan jurus dari ilmu silat mujijat Hok-mo Cap-sha-ciang. Terjangan pertama membuat dua orang wanita itu terhuyung dan terdengar Kim Hong Liu-nio menjerit kecil karena pedangnya membalik dan melukai pundaknya sendiri! Mereka berdua maklum kini bahwa Sin Liong benar-benar tangguh, dan munculnya Yap In Hong yang berhasil menyelamatkan Bi Cu benar-benar membuat kedua orang itu agak bingung dan gentar. Maka kini mereka hendak memusatkan tenaga untuk bertahan, maka mereka tidak berpencar, melainkan berdiri berdampingan menghadapi Sin Liong.



Pemuda ini mengeluarkan pekik yang dahsyat, dibarengi dengan gerakan tubuhnya mencelat ke depan dan dia sudah mengirim serangan ke dua dari Hok-mo Cap-sha-ciang. Kedua tangannya dengan jari-jari terpentang bergerak dari atas ke bawah, dan dua macam tenaga yang berlawanan, yang dari atas panas sekali dan dari bawah dingin sekali menyambar seolah-olah hendak menghimpit dua orang lawan itu.

“Plak-plak... dessss...!” Hek-hiat Mo-li yang terkejut bukan main menyaksikan serangan yang luar biasa hebat dan ganasnya itu telah mengerahkan tenaganya dan dua kali dia menggunakan tongkat dan lengannya untuk menangkis dua tangan Sin Liong dan akibatnya dia terpental sampai beberapa meter jauhnya dan punggungnya menabrak dinding gudang! Pada saat Sin Liong melakukan pukulan dahsyat itu dan Hek-hiat Mo-li melakukan penangkisan, Kim Hong Liu-nio yang cerdik sudah menjatuhkan dirinya ke atas lantai, kemudian bagaikan seekor trenggiling dia menggelundung ke arah Sin Liong dan meloncat sambil menaburkan Hui-tok-san, yaitu bubuk kuning ke arah muka Sin Liong, diikuti oleh gulungan sinar merah dari sabuknya yang melakukan totokan ke arah kedua mata pemuda itu dan paling akhir pedangnya meluncur dari tangan, menusuk ke arah lambung! Sungguh wanita ini hebat dan berbahaya sekali, menggunakan kesempatan itu untuk melakukan serangan maut yang agaknya sukar untuk dapat dihindarkan lawan yang bagaimana tangguhpun!

Akan tetapi pada saat itu, dalam kegembiraannya karena Bi Cu sudah bebas dari bahaya maut, Sin Liong berada dalam keadaan penuh gairah dan di puncak dari kewaspadaannya, seluruh tubuhnya menggetar dengan sin-kangnya yang memang luar biasa kuatnya, sin-kang yang diwariskan kepadanya oleh mendiang Kok Beng Lama, kemudian digembleng pula oleh mendiang Cia Keng Hong yang menurunkan Thi-khi-i-beng dan semua itu masih ditambah lagi dengan latihan dari kitab-kitab kuno peninggalan Bu Beng Hud-couw sehingga pada saat itu, kiranya sukar dicari bandingannya di dunia persilatan. Maka, melihat gerakan serangan bertubi-tubi ini, Sin Liong tidak menjadi gugup sama sekali. Dia dapat mengikuti gerak-gerik lawan ini satu demi satu dan sambaran bubuk kuning ke arah mukanya itu dibuyarkannya dengan tiupan khi-kang yang kuat sehingga uap kuning itu membuyar bahkan menyambar kembali ke muka Kim Hong Liu-nio yang tentu saja tidak takut menghisapnya karena dia telah memakai obat penawar racun Hui-tok-san itu. Kemudian, totokan ujung sabuk merah ke arah kedua matanya itu hanya dielakkan dengan miringkan kepala, kemudian tusukan pedang ke arah lambungnya itu cepat ditangkapnya dengan tangan dan sekali dia mengerahkan tenaga mencengkeram, pedang ltu dapat dicengkeramnya sampai patah-patah! Kim Hong Liu-nio terkejut bukan main, hampir tidak percaya akan pandang matanya sendiri! Betapa mungkin pedangnya yang terbuat dari baja murni itu, yang takkan patah oleh senjata apapun, kini menjadi patah-patah oleh cengkeraman jari-jari tangan pemuda itu? Dalam gugupnya, dia menggerakkan tangan kanannya itu memukul setelah membuang gagang pedang, memukul dengan kerasnya ke arah dada Sin Liong.



“Bukk!” Pukulan itu tepat mengenai sasaran karena memang Sin Liong tidak mengelak, akan tetapi telapak tangan wanita itu melekat dan seketika tenaga sin-kang dari telapak langan itu membanjir tersedot oleh tubuh Sin Liong!



“Aihhh...!” Kim Hong Liu-nio sudah diberi tahu subonya bagaimana menghadapi Thi-khi-i-beng, maka dia cepat menggunakan ujung sabuknya menotok pergelangan tangan kanannya sendiri sehingga tangan itu lumpuh, kehilangan tenaga dan dengan sendirinya terlepas dari sedotan karena sudah tidak mengandung tenaga sin-kang, dan wanita ini lalu melempar diri ke belakang, menggelinding dan pada saat dia menggelinding itu, nampak sinar api meluncur ke arah perut, leher dan mata Sin Liong! Itulah tiga hatang hio menyala dan yang dilontarkan secara tepat oleh Kim Hong Liu-nio! Melihat ini, Sin Liong menjadi marah sekali. Dia teringat akan kematian ibu kandungnya di tangan wanita ini, maka cepat kedua tangannya menangkap-nangkapi tiga batang hio itu dan secepat kilat dia melemparkan hio-hio itu ke arah pemiliknya. Betapapun wanita itu berusaha mengelak, namun dia kalah cepat oleh luncuran hio yang dilontarkan dengan tenaga sin-kang yang luar biasa itu.



Terdengar jerit menyayati hati ketika dua di antara tiga batang hio itu mengenai sasarannya dengan tepat, yaitu, yang pertama menancap di antara kedua mata wanita itu sedangkan yang ke dua memasuki dada lewat ulu hatinya. Wanita itu roboh terjengkang dan agaknya hio yang menembus batok kepalanya itu langsung mengenai pusat otak yang membuat dia tak mampu bergerak lagi dan tak lama kemudain tewaslah Kim Hong Liu-nio dalam keadaan yang hampir sama namun lebih mengerikan daripada kematuian mendiang Liong Si Kwi, ibu kandung Sin Liong!



Hek-hiat Mo-li mengeluarkan gerengan seperti seekor binatang marah dan dia sudah menubruk dari samping, menghantamkan tongkat butut ke arah belakang kepala Sin Liong sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah dada. Sin Liong yang sejenak tertegun melihat betapa dia telah berhasil membunuh wanita yang menjadi musuh besarnya, yang telah membunuh ibu kandungnya itu, cepat berbalik ketika merasa ada sambaran angin serangan dahsyat itu. Dari angin pukulan itu tahulah Sin Liong bahwa nenek ini sudah marah sekali dan telah mengerahkan seluruh tenaganya, agaknya hendak mengadu nyawa dengan dia karena marah melihat muridnya yang terkasih itu tewas.



“Hemm, engkaupun harus mampus untuk pergi menghadap arwah kong-kong!” bentaknya dan diapun cepat menangkis dan balas menyerang. Karena sekali ini Sin Liong tidak mau memberi hati lagi, begitu balas menyerang diapun sudah memilih jurus dari Hok-mo Cap-sha-ciang yang merupakan ilmu simpanan dan yang belum dikenal oleh orang lain sehingga betapapun nenek itu hendak mengelak dan menangkis, tetap saja pukulan aneh itu mengenai dadanya.



“Desss...!” Tubuh nenek itu terlempar lagi ke belakang dan menghantam dinding, gudang itu seperti tergetar saking kerasnya tubuh nenek itu menumbuk dinding. Akan tetapi, biarpun pukulan tadi hebat sekali, namun Hek-hiat Mo-li tetap merangkak bangung maju lagi dan memekik-mekik seperti orang gila sambil menyerang dengan tongkatnya, agaknya sedikitpun tidak merasakan pukulan dahsyat itu!



Sip Liong merasa terkejut bukan main. Pukulannya tadi hebat sekali, dan dia sudah mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang pada tangannya. Namun ternyata nenek tua itu memiliki kekebalan yang luar biasa sekali, agaknya kekebalan yang sudah melindungi seluruh tubuh bagian dalam sehingga pukulan yang sedemikian ampuhnyapun tidak dapat melukai luar maupun dalam!

KETIKA tadi Sin Liong merobohkan Kim Hong Liu-nio setelah melakukan serangan hebat yang membuat guru dan murid itu terdesak hebat, pendekar wanita Yap In Hong memandang dengan mata terbelalak! Dia merasa heran, terkejut, dan kagum bukan main. Dia sudah mengenal betul siapa adanya Hek-hiat Mo-li dan betapa lihainya nenek iblis itu, dan diapun tahu bahwa murid nenek itupun lihai bukan main. Akan tetapi, dikeroyok dua oleh guru dan murid itu, Sin Liong sama sekali tidak kelihatan repot, bahkan dalam waktu singkat saja telah berhasil menewaskan Kim Hong Liu-nio secara demikian luar biasa, menggunakan hio-hio (dupa biting) yang bernyala yang merupakan senjata rahasia dari lawan itu. Kini tubuh Kim Hong Liu-nio terlentang tak bernyawa lagi, akan tetapi dua batang hio yang menancap di dada dan dahi itu masih mengeluarkan asap harum! Dan melihat betapa dalam gebrakan se­lanjutnya Hek-hiat Mo-li sudah kena dihantam sedemikian kerasnya, benar-benar membuat Yap In Hong kagum bu­kan main! Dia sendiri pernah melawan nenek ini dan biarpun akhirnya dia bet­hasil menang, namun harus melalui per­tandingan yang amat lama, amat melelahkan dan amat berbahaya. Dan kini, nenek ini dan biarpun akhirnya dia ber­pada dahulu, namun dalam perkelahian yang belum lama, Sin Liong telah mampu membuat tubuh nenek itu terlempar dua kali!



Akan tetapi, melihat wajah pemuda itu terkejut dia mengerti sebabnya. Dia sudah mengenal kekebalan nenek itu yang dahulu pernah membuat dia repot dan bingung juga, maka diapun lalu cepat berkata, “Sin Liong, kauhantam kedua telapak kakinya!”



Mendengar ini, mengertilah Sin Liong bahwa nenek itu memiliki kelemahan pada telapak kakinya. Dan memang benarlah demikian. Di dalam cerita Dewi Maut, pendekar wanita Yap In Hong pernah bertanding mati-matian dengan nenek ini dan seandainya dia tidak dapat menemukan rahasia kelemahan nenek ini, yaitu pada kedua kakinya, belum tentu dia dapat keluar sebagai pemenang. Kini dia membuka rahasia kelemahan itu ke­pada Sin Liong.



Mendengar ini, girang hati Sin Liong. Tadi dia sudah kaget sekali menyaksikan kehebatan ilmu kekebalan nenek ini dan sungguhpun hal itu tidak membuat dia merasa gentar, namun setidaknya dia menjadi bingung karena tidak tahu bagai­mana dia akan dapat mengalahkan orang yang tubuhnya kebal seperti itu. Kini, mendengar petunjuk dari Yap In Hong, dia girang sekali dan cepat dia menghantamkan kedua tangannya ke arah kedua kaki nenek itu dengan pengerahan tenaga sin-kangnya.



Akan tetapi, betapa terkejutnya hati Yap In Hong dan juga Sin Liong sendiri ketika nenek itu hanya mengelakkan sebelah kaki saja, dan sambil terkekeh-kekeh dia menyambut hantaman Sin Liong dengan kakinya! Justeru dengan telapak kakinya yang dianggap tempat lemah itu.



“Dukkk!” Kembali tubuh nenek itu terlempar ke belakang, akan tetapi Sin Liong terkejut sekali karena tangannya bertemu dengan benda yang amat keras, yang agaknya tersembunyi di dalam sepatu yang tebal itu. Kiranya, nenek itu telah melindungi bagian tubuhnya yang lemah itu, yaitu dua telapak kakinya, dengan logam, mungkin baja murni yang amat kuat dan tebal dan melindungi kedua telapak kaki itu dengan disembunyikan di dalam sepatu. Pantas saja sepatu nenek itu amat tebal!



“Heh-heh-heh, Yap In Hong, kaukira masih akan dapat mengalahkan aku dengan memukul telapak kakiku? Heh-heh!” Nenek itu tertawa girang sekali dan dia sudah menerjang lagi ke arah Sin Liong dengan lebih dabsyat!



Sin Liong menjadi marah. Dia menyambut terjangan nenek itu dengan kedua tangannya, tangan kirinya menangkis tongkat dan terus menangkap tongkat itu, tangan kanan menangkis pukulan ta­ngan kiri lawan dan terus dia mengerah­kan Thi-khi-i-beng sehingga tongkat dan tangan nenek itu tersedot dan melekat.



“Heh-heh, siapa takut Thi-khi-i-beng?” Nenek itu berseru sambil menggerakkan tubuhnya meliuk seperti ular dan tiba-tiba tongkat dan tangannya dapat terlepas dari sedotan karena nenek itu menarik kembali sin-kangnya, dan secepat kilat nenek itu sudah menggerakkan tongkatnya dari jarak yang sedemikian dekatnya untuk menotok jalan darah maut di leher Sin Liong, di bawah telinga kiri!



“Tok! Prakk!” Nenek itu terkejut bukan main. Totokannya tadi tepat mengenai sasaran. Biasanya, totokan seperti itu tidak mungkin dapat dilindungi oleh kekebalan, maka dia sudah girang sekali karena mengira bahwa totokannya tentu akan merobohkan pemuda itu. Dia tidak tahu bahwa dengan latihannya menurut kitab-kitab Bu Beng Hud-couw yang aneh, pemuda itu telah dapat membalikkan jalan darahnya sehingga ketika ujung tongkat itu mengenai jalan darah, yang ditotoknya hanyalah urat yang pada saat itu berhenti tidak mengalirkan darah karena darahnya berpindah mengalir melalui tempat lain! Dan pada saat itu juga, dengan tangannya, Sin Liong menampar ke arah tongkat dengan tenaga Thian-te Sin-ciang sehingga tongkat itu patah-patah. Kini Sin Liong menggunakan kecepatan gerakan tubuhnya, mainkan San-in-kun-hoat dengan kedua tangannya, gerakannya lembut seperti awan gunung, namun ilmu silat yang dipelajarinya dari ketua Cin-ling-pai ini hebat sekali sehingga biarpun lembut, jari-jari tangannya mengancam ke arah mata nenek itu, bagian yang tentu saja tidak mungkin dilindungi oleh kekebalannya yang amat kuat itu.



“Ihhh...!” Nenek itu mengelak dan menggunakan kedua tengan untok melindungi mukanya. Inilah yang dikeheridaki oleh Sin Liong. Begitu kedua lengan nenek itu bergerak melindungi matanya, gerakan sekilat ini sedikit banyak mengurangi kewaspadaan nenek itu karena matanya terhalang lengan dan nenek itu terlalu mengandalkan kekebalannya sehingga tidak melindungi tubuh lain. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sin Liong untuk melakukan gerakan cepat mencengkeram dengan kedua tangannya, menangkap leher dan baju di bagian dada nenek itu dan sebelum Hek-hiat Mo-li tahu apa yang hendak dilakukan oleh pemuda itu, tiba-tiba Sin Liong mengeluarkan bentakan nyaring dan dengan sekuat tenaga dia melemparkan tubuh nenek itu ke arah api yang sedang berkobar!

“Hiaaattt...!” Bentakan ini disusul lemparan kedua tangan dan tubuh nenek itu melayang cepat ke arah api!



“Brakkk!” Pilar kayu di mana tadi Bi Cu dibelenggu dan yang kini sudah berkobar-kObar itu patah-patah tertimpa tubuh Hek-hiat Mo-li, disusul oleh pekik dahsyat nenek itu karena pakaiannya terjilat api dan mulailah dia terbakar oleh api yang mulai bernyala di pakaian dan rambutnya! Nenek itu meloncat ke sana-sini, akhirnya bergulingan dan men­jerit-jerit. Namun api makin membesar dan akhirnya dia berkelojotan dan Sin Liong membuang muka.



Setelah nenek itu tidak bersuara lagi, Sin Liong lalu menghampiri Bi Cu, “Sin Liong...!” Kebetulan Bi Cu siuman dan mereka saling tubruk dan saling berangkulan, dipandang oleh Yap In Hong yang menahan senyumnya.



Sin Liong lalu menggandeng tangan kekasihnya, diajaknya berlutut di depan pendekar wanita itu. “Yap-lihiap telah menyelamatkan nyawa Bi Cu, kami berdua berterima kasih sekali dan kami takkan melupakan budi kebaikan lihiap,” kata Sin Liong dengan suara terharu.



Yap In Hong tersenyum dan memandang kagum kepada pemuda yang berlutut di depannya itu. Baru sekarang dia tahu bahwa pemuda ini benar-benar memiliki kepandaian yang hebat sekali, dan mulailah dia mengerti mengapa pemuda ini dahulu mencegah dia dan suaminya ketika hendak membunuh Kim Hong Liu-nio. Kiranya pemuda ini hendak membunuh sendiri wanita jahat itu, dan tentu ada alasannya yang amat kuat.



“Sudahlah, Sin Liong, dalam keadaan seperti ini, tidak perlu sungkan-sungkan. Engkau terus teranglah sekarang, apakah engkau benar-benar hendak membantu pemberontakan Pangeran Ceng Han Houw?”



Sin Liong mengangkat muka memandang dan wanita perkasa itu terkejut menyaksikan sinar mata yang mencorong seperti mata naga itu! “Tidak, lihiap. Bahkan aku akan membantu untuk menghancurkan usahanya yang busuk itu!”



“Bagus, kalau begitu lekas kita keluar. Tempat ini mulai terbakar dan aku tidak tahu bagaimana jadinya dengan pertandingan di luar.” Yap In Hong lalu cepat meloncat keluar.



Sin Liong yang menggandeng tangan Bi Cu bangkit bersama dara itu, mereka saling pandang. Ketika Bi Cu melihat tubuh Kim Hong Liu-nio sudah menjadi mayat dan hio-hio itu masih mengepulkan asap harum, sedangkan tubuh nenek itu menjadi makin hitam karena terbakar, dia mengeluh dan merangkul Sin Liong, menyembunyikan mukanya di dada kekasihnya. Teringatlah dia betapa kalau dia tidak tertolong, tentu dia akan mati secara mengerikan seperti nenek itu pula.



“Semua sudah berlalu... tenanglah,” Sin Liong berkata sambil mendekap dan mengelus rambut kekasihnya, kemudian mengajaknya keluar dari tempat itu, menuju keluar, ke tempat pertemuan dengan jalan memutar, tidak lewat dalam istana, melainkan lewat taman bunga di samping istana. Mereka melihat betapa Yap In Hong sudah berjalan cepat menuju ke ruangan depan. Mereka lalu melangkah perlahan-lahan menuju keluar di mana agaknya masih terjadi keributan-keributan.



Ternyata bahwa pertandingan antara Cia Bun Houw yang dikeroyok dua oleh Hai-liong-ong Phang Tek dan Kim-liong-ong Phang Sun berjalan amat seru dan mati-matian. Ketika Yap In Hong meninggalkan suaminya untuk melakukan penyelidikan ke belakang istana, dia melihat bahwa suaminya telah mendesak dua orang lawan itu, maka setelah berunding dengan Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng, dia meninggalkan tempat itu, menyelinap ke belakang tanpa diketahui orang dan di gudang itu dia sempai menyaksikan Sin Liong menewaskan Hek­-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio. Bahkan dia sempat pula menyelamatkan Bi Cu yang terancam maut. Karena ternyata di belakang istana itu tidak terdapat gerakan apa-apa, dan karena girang bahwa Sin Liong ternyata berpihak kepada Cin-ling-pai dan menentang pangeran, maka wanita perkasa itu lalu cepat kembali ke situ. Akan tetapi ternyata, sungguhpun dia tidak mempergunakan waktu yang terlalu lama meninggalkan tempat itu, setelah kini dia kembali, pertandingan itu telah berubah lebih menegangkan dan mati-matian karena dua orang yang mengeroyok suaminya itu setelah terdesak hebat lalu mengeluarkan senjata masing-masing. Phang Tek sudah mempergunakan senjata tongkatnya yang hanya sepanjang sebatang pedang dan mainkan tongkat itu seperti sebatang pedang dengan Ilmu Pedang Liong-jiauw-kiam yang ganas. Juga adiknya, Phang Sun, telah mempergunakan sebatang pisau belati berwarna hitam yang mengetuarkan bau amis. Memang belati di tangan Kim-liong-ong Phang Sun ini mengandung racun yang amat jahat, sekali gores pada kulit saja sudah cukup untuk mengirim lawan ke lubang kubur!



Akan tetapi melihat dua orang lawannya yang telah terdesak itu kini menggunakan senjata, Bun Houw tidak berkata apa-apa. Dia maklum bahwa memang dua orang lawan itu bukan sekadar menguji kepandaiannya, melainkan kalau mungkin akan membunuhnya, maka diapun lalu mencabut sebatang pedang. Semua orang menjadi silau melihat sekilat sinar emas yang kemudian bergulung-gulung. Kiranya itu adalah Hong-cu-kiam, sebatang pedang tipis yang bisa digulung atau dipakai sebagai sabuk, pedang yang pernah menggemparkan kolong langit di tangan pendekar ini.

Dengan pedang di tangan, pendekar ini tentu saja seperti seekor harimau tumbuh sayap. Dua orang kakek dari selatan itu kecele, karena begitu mereka bermain senjata, melawan pedang pemuda itu sungguh merupakan hal yang amat berbahaya. Belum sampai lima puluh jurus mereka bertanding, Hai-liong-ong Phang Tek telah kehilangan tongkatnya yang patah menjadi dua dan Kim-liong-ong Phang Sun terobek kulit lengan kirinya sehingga mengeluarkan darah. Keduanya terkurung hebat oleh gulungan sinar pedang dan kalau Bun Houw hendak menurunkan tangan kejam, tentu mereka dalam saat-saat berikutnya akan roboh! Pada saat itu, Pangeran Ceng Han Houw bangkit dan melangkah maju sambil berseru, “Tahan senjata...!”

Mendengar ini, sebagai seorang tamu yang tahu aturan, Bun Houw menahan pedangnya dan lenyaplah sinar gemilang dari pedang itu. Kini pendekar itu berdiri tegak menghadapi pangeran, pedangnya sudah masuk kembali ke sekeliling pinggangnya, dililitkan seperti sebatang sabuk! Hanya sedikit peluh di leher pendekar itu yang menunjukkan bahwa dia telah mengeluarkan banyak tenaga menghadapi dua orang lawan tangguh tadi, sedangkan dua orang kakek dari Lam-hai Sam-lo itu berdiri di pinggiran sambil terengah-engah dan seluruh muka, leher dan baju mereka basah oleh keringat!



Pangeran Ceng Han Houw sudah melangkah maju dan menjura dengan sikap hormat dan ramah kepada Cia Bun Houw. “Paman Cia Bun Houw sungguh gagah perkasa dan amat mengagumkan...”



“Maaf, pangeran, saya tidak pernah merasa mempunyai seorang keponakan seperti Pangeran. Bicaralah yang benar!” Cia Bun Houw memotong dengan suara ketus penuh teguran. Tentu saja ucapan ini merupakan tamparan hebat, namun Ceng Han Houw masih tersenyum dengan ramahnya.



“Mungkin saja seorang enghiong gagah perkasa seperti Cia-tahiap tidak meng­anggap saya sebagai keponakan, akan tetapi adalah merupakan kenyataan bahwa isteri saya, Lie Ciauw Si, adalah keponakanmu. Taihiap telah menundukkan dua orang kakek dari Lam-hai Sam-lo, dengan demikian berarti sudah memenuhi syarat secukupnya untuk menjadi jago nomer satu di dunia, kecuali kalau ada yang akan menandingi taihiap. Dengan kepandaian taihiap yang tinggi, maka kami mengharapkan agar taihiap akan sudi membantu agar kita semua dapat bangkit dan menentang kelaliman kaisar...”



“Cukup, pangeran! Aku bukan seorang pemberontak!”



“Justeru itulah, Cia-taihiap. Taihiap dan semua anggauta keluarga Cin-ling-pai bukan pemberontak dan tidak pernah memberontak, akan tetapi apa yang telah terjadi? Seluruh dunia kang-ouw tahu belaka bahwa keluarga Cin-ling-pai yang gagah perkasa telah dituduh pemberontak oleh kaisar yang tak mengenal budi, bahkan telah menjadi orang-orang buruan pemerintah. Bukankah hal itu amat membikin orang menjadi penasaran?”



“Kami sekarang sudah dibebaskan, dan aku tidak mau bicara tentang itu!” Cia Bun Houw berkata dengan ketus.



Pada saat itu Lie Ciauw Si juga sudah bangkit dan berkata, “Paman Cia Bun Houw, hendaknya paman mengetahui bahwa yang menbebaskan keluarga Cin-ling-pai dari tuduhan pemberontak adalah Pangeran Ceng Han Houw yang telah menjadi suamiku inilah! Dia bermaksud baik, dia hendak menghimpun kekuatan orang-orang gagah, kaum patriot untuk menentang penindasan...”



“Lie Ciauw Si!” Tiba-tiba terdengar suara Cia Giok Keng yang nyaring, membuat semua orang menengok ke belakang, “Aku malu melihat engkau menjadi kaki tangan gerakan pemberontak! Aku malu mendengar kata-katamu yang membelanya! Aku malu melihat engkau merendahkan diri menjadi isterinya!”



Seketika wajah Ciauw Si menjadi pucat dan dia memandang ke arah ibunya yang sudah bangkit berdiri dari kursinya itu dengan sinar mata sedih. “Ibu... dia... dia seorang suami yang baik...”



Cia Giok Keng yang marah sekali itu hendak meninggalkan tempat duduknya dan menghampiri ke tengah ruangan, akan tetapi lengan tangannya dipegang oleh Yap Kun Liong dan suaminya ini membujuknya sehingga akirnya dia duduk kembali, menutupi mukanya dan menangis!



Sementara itu, Cia Bun Houw berkata kepada Pangeran Ceng Han Houw, “Pangeran kita bicara seperti laki-laki, ataukah engkau hendak menggunakan wanita untuk membelamu?”



Han Houw tersenyum, memengang tangan Ciauw Si dan membujuknya lalu menuntunnya sehingga akhirnya Ciauw Si kembali duduk di atas kursinya dan menundukkan mukanya, menyembunyikan air matanya yang menetes keluar. Kemudian pangeran itu kembali menghampiri Bun Houw dan mereka berdiri berhadapan dan saling memandang. Pangeran itu tahu bahwa bujukannya yang dibantu isterinya tidak akan berhasil, maka kini dia hendak mengambil jalan lain yang menguntungkan dia, yaitu hendak merobohkan orang-orang Cin-ling-pai di depan semua orang kang-ouw agar mereka semua tahu bahwa dialah jagoan nomor satu di dunia ini! Kemenangannya atas diri pendekar-pendekar Cin-ling-pai tentu akan membuat para tokoh kang-ouw lain menjadi tunduk dan pengaruhnya tentu akan menjadi lebih besar sehingga mudah baginya untuk menguasai mereka.



Setelah dua orang ini saling pandang dengan sinar mata tajam, akhirnya Han Houw berkata, suaranya lantang karena dimaksudkan agar semua orang mendengarnya, “Cia-taihiap, kami bermaksud baik dan mengingat akan pertalian kekeluargaan, akan tetapi taihiap menolaknya. Sekarang, pendekar sakti Cia Bun Houw dari Cin-ling-pai telah maju ke sini dan mengalahkan dua orang yang menjadi penguji. Taihiap adalah seorang calon jagoan nomor satu di dunia.”



“Aku tidak ingin menjadi jagoan, hanya ingin mengukur sampai di mana kepandaian orang yang berani mengaku sebagai jago nomor satu di dunia, tidak peduli siapa adanya dia itu!”



Ceng Han Houw tersenyum dan dia memandang ke sekeliling. “Cu-wi tentu telah mendengarnya. Pendekar Cia Bun Houw adalah seorang pendekar yang amat lihai pada waktu ini, dan aku mendengar kabar bahwa ilmu kepandaiannya bahkan telah melampaui tingkat mendiang ayahnya, yaitu ketua dan pendiri dari Cin-ling-pai! Oleh karena itu, kemunculannya ini dapat diartikan mewakili seluruh Cin-ling-pai dan dia telah lulus ujian dan mengalahkan kedua orang kakek dari Lam-hai Sam-lo. Oleh karena itu, kalau ada di antara para locianpwe dan enghiong yang merasa pantas untuk menjadi calon jago nomor satu di dunia, harap suka maju untuk menghadapi Cia-taihiap!”

Memang pangeran ini cerdik sekali. Dia ingin mengadukan semua orang gagah di situ, dan nanti pemenang terakhir barulah akan dihadapinya. Hal ini se­lain tidak terlalu melelahkan baginya, juga dia dapat sekali pukul merobohkan orang terpandai dan otomatis menjadi jagoan nomor satu di dunia!



Diam-diam Bun Houw juga mendongkol sekali mendengar ini, akan tetapi karena pangeran itu adalah tuan rumah, maka tentu saja dia berhak untuk bicara kepada semua tamunya bahkan berhak untuk mengeluarkan peraturan. Maka diapun diam saja. Dia yakin bahwa di antara para orang gagah dari golongan bersih tidak akan ada seorangpun yang sudi untuk memperebutkan julukan yang som­bong itu dan tidak akan ada yang mau menentangnya karena mereka semua melihat bahwa dia maju untuk menen­tang pangeran pemberontak itu. Maka, dia hanya ingin tahu tokoh golongan hitam yang mana yang akan maju. Dia akan menghadapi mereka semua, karena memang tugasnya bersama keluarga Cin-ling-pai ini membantu Pangeran Hung Chih untuk menumpas persekutuan hitam yang akan memberontak terhadap pemerintah di bawah pimpinan pangeran muda ini.



Akan tetapi, ternyata dari golongan hitampun tidak ada yang berani maju! Setelah mereka semua tadi menyaksikan betapa Cia Bun Houw mampu merobohkan dua orang dari Lam-hai Sam-lo, para tokoh hitam menjadi gentar sekali dan tidak ada seorangpun yang berani lancang, maju menghadapi pendekar Cin-ling-pai yang selain sudah terkenal sekali, kelihai­annya itupun bahkan sudah mereka saksi­kan sendiri betapa hebat sepak terjangnya ketika mengalahkan Hai-liong-ong dan Kim-liong-ong tadi. Maka mereka ingin sekali melihat sang pangeran itu sendiri yang menghadapi pendekar Cia Bun Houw. Mereka tahu bahwa pangeran muda itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan telah mengalahkan banyak tokoh-tokoh besar dunia persilatan, telah berani menantang tokoh-tokoh Siaw-lim-pai malah! Maka, menurut pendapat mereka, hanya pangeran itulah yang patut untuk menghadapi pendekar Cin-ling-pai itu.



“Pangeran saja yang maju!” tiba-tiba terdengar seruan seorang di antara mereka. Seruan ini seperti menyinggung semua perasaan para tamu golongan hitam maka bisinglah tempat itu dan semua orang menyatakan agar pangeran yang mau menandingi pendekar Cin-ling-pal itu! Selain mereka menganggap bahwa pangeran muda ini lawannya, juga mereka semua ingin menyaksikan pertandingan yang tentu akan berlangsung amat hebatnya itu.



Diam-diam Pangeran Ceng Han Houw merasa kecewa. Kenapa tidak ada jagoan lagi yang berani maju? Apakah orang-orang yang akan dihimpunnya dan dijadikan pembantu-pembantunya itu hanya terdiri dari orang-orang yang begitu penakut? Melihat ini, Hai-liong-ong Phang Tek lalu berkata, “Harap paduka pangeran sendiri yang maju menghadapi Cia-taihiap karena agaknya tidak ada lagi yang sanggup.” Memang kakek inipun ingin melihat sang pangeran merobohkan pendekar yang telah membikin dia dan adiknya kewalahan dan mendapatkan malu itu dan dia yang telah tahu akan kelihaian pangeran, merasa yakin bahwa pangeran muda itu akan sanggup merobohkan lawan tangguh ini.



Ceng Han Houw tersenyum lebar dan mengangkat kedua tangan ke atas sehingga suara bising itupun berhenti. Kemudian terdengar suaranya lantang dan halus, “Pendekar Cia Bun Houw adalah paman dari isteriku, maka bagaimanapun juga kami masih terhitung keluarga dekat dan tentu saja tidak sepatutnya kalau aku sebagai mantu keponakan maju melawannya. Akan tetapi, seperti kita semua ketahui, dalam ilmu silat tidak harus memandang hubungan apapun, dan untuk menentukan siapa yang lebih lihai tidak ada jalan lain kecuali mengadu kepandaian silat. Dan sudah jelas bahwa Cia-taihiap merupakan calon tunggal, maka biarlah saya akan melayaninya untuk melihat siapa di antara kita yang lebih unggul. Tentu saja saya mengharapkan kelonggaran hati Cia-taihiap dengan memandang muka isteriku!” Kalimat terakhir ini ditujukan kepada Cia Bun Houw.



Bun Houw memandang tajam, lalu berkata, “Kalau engkau berhasrat untuk menjadi jagoan nomor satu di dunia, nah, majulah pangeran. Aku ingin mengukur sampai di mana kelihaian jagoan nomor satu di dunia!”



Dua orang itu telah saling berhadapan dan siap untuk saling serang. Semua mata tertuju ke arah mereka dan semua hati merasa tegang karena mereka semua maklum bahwa sekali ini tentu akan terjadi pertandingan yang amat seru dan hebat. Bahkan Yap In Hong yang baru saja datang dan duduk di kursinya kini memandang dengan jantung berdebar tegang, lalu berbisik-bisik dengan kakaknya, Yap Kun Liong untuk mengatur siasat yang memang sudah diperslapkan sebelumnya. Bagaimanapun juga, Yap In Hong tidak menganggap pertandingan itu sebagai pibu, maka diapun siap membantu suaminya andaikata suaminya terancam bahaya.



Juga Sin Liong yang sudah tiba di luar ruangan itu bersama Bi Cu, menyelinap di antara penonton, di bagian paling belakang sehingga tidak nampak jelas dari dalam, sambil memegang tangan Bi Cu mereka berdua nonton dengan hati tegang pula. Tidak ada seorang pun memperhatikan pemuda dan dara yang baru datang ini, karena semua orang mencurahkan perhatian mereka ke arah dua orang pria yang saling berhadapan seperti dua ekor ayam jago dalam medan laga.



Pangeran yang mengenakan pakaian indah, dengan mantel dan topi bulu itu nampak gagah dan tampan sekali, bulu burung yang menghias topinya berwarna merah biru dan kuning emas. Senyumnya tak pernah meninggalkan wajahnya dan dia sedikitpun tidak memperlihatkan wajah gentar, berseri-seri dan sikapnya menunjukkan bahwa dia percaya penuh akan keunggulannya. Pendekar Cia Bun Houw yang berdiri di depannya merupakan seorang laki-laki gagah yang berpakaian dan bersikap sederhana dan keren, sepasang matanya tajam penuh wibawa dan dia menanti serangan lawan dengan tenang.

“Pangeran...!”

Ketegangan itu melunak dan Pangeran Ceng Han Houw menoleh, memandang kepada isterinya yang tadi memanggilnya dengan suara halus dan menggetar. Dilihatnya wanita cantik itu memandang kepadanya dan sepasang mata yang indah itu agak kemerahan dan basah.



“Pangeran, ingatlah bahwa dia adalah pamanku...” kata Ciauw Si, hatinya merasa bingung dan tegang sekali. Wanita ini tahu benar betapa lihainya suaminya. Dia telah menguji sendiri kehebatan suaminya itu dan dia bahkan mempunyai keyakinan bahwa pamannya itu sekalipun tidak akan dapat mengalahkan Pangeran Ceng Han Houw, maka kekhawatirannya tertuju kepada pamannya sehingga dia merasa perlu untuk mengingatkan suaminya yang berarti minta suaminya agar jangan menurunkan tangan keras kepada adik ibunya itu.



Ceng Han Houw tersenyum bangga. Perkataan isterinya itu, walaupun diucapkan perlahan, namun karena suasana sedang tegang dan amat sunyi, ucapan itu terdengar oleh semua orang dan ucapan isterinya itu saja sudah mengangkatnya tinggi-tinggi di atas pendekar sakti yang akan menjadi lawannya. Isterinya minta agar dia berlaku murah kepada pendekar itu, berarti bahwa isterinya menyatakan kepada semua orang bahwa dia lebih unggul daripada pendekar Cin-ling-pai itu!



“Jangan khawatir isteriku, ini hanya sebuah pibu, bukan perkelahian, tentu saja aku tidak akan berani kurang ajar dan menyakiti paman sendiri!” jawab Ceng Han Houw sambil tersenyum lebar.



Bukan main panas rasa hati Bun Houw mendengar ucapan pangeran itu. Dia merasa direndahkan, dipandang ringan sekali di depan para tokoh kang-ouw. “Pangeran, luka atau mati sudah jamak terjadi dalam pibu. Nah, kausambutlah ini!” Karena tidak ingin membiarkan pangeran itu berlagak lebih lanjut, Bun Houw sudah mengirim serangan dengan pukulan tangan kiri yang ditamparkan ke arah leher lawan, tamparan yang kelihatannya sembarangan dan ringan saja akan tetapi sesungguhnya tamparan itu merupakan serangan Ilmu Thian-te Sin-ciang yang amat ampuh.



“Harap Cia-taihiap jangan bersikap sungkan lagi,” kata sang pangeran yang menghadapi serangan itu masih sempat bicara, sambil mengelak dengan amat mudahnya, seolah-olah dengan ucapannya itu dia menegur pendekar Cin-ling-pai itu bahwa serangannya terlalu lemah dan terlalu sungkan!



Tentu saja Cia Bun Houw dapat merasakan sindiran ini dan diapun lalu mulai menggerakkan tubuhnya dengan cepat, mengerahkan sin-kang di kedua tangannya dan pendekar inipun menyerang dengan dahsyatnya. Karena dia dapat menduga bahwa pangeran ini bukan sekadar omong kosong atau sombong belaka, melainkan sungguh-sungguh memiliki kepandaian yang tinggi, maka begitu bergerak, Bun Houw sudah menggunakan jurus-jurus Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang ampuh itu, dan kedua lengannya mengandung tenaga dari Ilmu Thian-te Sin-ciang yang amat dahsyat dan kuat. Setiap gerakannya mendatangkan angin pukulan yang amat mantep sehingga setiap kali dielakkan lawan, jari-jari tangannya seolah-olah tergetar ketika pukulan ditahan, seperti ujung pedang saja!



Gembira sekali rasa hati Han Houw. Inilah yang selalu dinanti-nantikannya. Yaitu menandingi seorang pendekar yang sudah mencapai puncak ketenarannya, dan kemudian mengalahkannya! Kemenangan seperti ini akan jauh lebih menyenangkan dan nikmat daripada melawan tokoh-tokoh biasa saja. Dan kalau saja dia dapat mengalahkan pendekar dari Cin-ling-pai ini di depan penyaksian demikian banyaknya orang kang-ouw, sekali ini namanya tentu akan meningkat tinggi dan dia selain berhak memakai gelar Thian-he Te-it Tai-hiap (Pendekar Sakti Nomor Satu di Kolong Langit), juga dengan sendirinya dia akan menduduki kursi Bengcu (Pemimpin Rakyat) dan akan mudah menghimpun dan mengerahkan tenaga orang-orang dunia kang-ouw untuk niatnya menentang kaisar! Dialah yang patut menjadi kaisar, bukan Kaisar Ceng Hwa yang sekarang, bukan pula Pangeran Hung Chih. Dialah yang paling tepat menjedi kaisar! Dan dia merasa yakin akan dapat mengalahkan pendekar Cin-ling-pai ini, sungguhpun dia maklum bahwa untuk itu dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.



Dua orang pria yang berilmu tinggi itu kini bertanding dengan seru. Mata semua tamu ditujukan untuk mengikuti pertandingan itu, dengan pandang mata penuh ketegangan dan kekaguman dan hampir tak pernah ada yang berkedip, seolah-olah merasa sayang untuk melewatkan sedikit gerakan tanpa mereka ikuti dengan seksama. Memang hebat sekali mereka itu. Setiap pukulan mendatangkan angin keras dan merupakan pukulan yang ampuh, dapat menghancurkan batu karang. Namun, setiap serangan dapat dihindarkan masing-masing dengan indah pula, kalau tidak mengelak dengan gerakan cepat dan tepat, tentu ditangkisnya dan setiap kali dua lengan mereka saling bertemu, semua orang dapat merasakan pertemuan dua tenaga dahsyat. Suara “dukk!” yang keras dari bertemunya dua lengan itu seolah-olah menggetarkan sekeliling tempat itu, dan seolah-olah terasa oleh mereka yang menonton sehingga makin lama suasana menjadi semakin menegangkan, apalagi karena nampaknya kedua fihak sama kuatnya dan setiap kali mereka beradu tenaga, keduanya tergetar namun dapat saling mempertahankan sehingga tidak sampai terhuyung.

Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang dimainkan oleh kaki tangan Bun Houw adalah ilmu yang amat tinggi dan memiliki dasar yang amat kuat, apalagi dimainkan oleh Bun Houw tanpa kesalahan sedikitpun dan didorong pula oleh tenaga sin-kang dari Thian-te Sin-ciang, maka amatlah sukarnya menandingi gerakan Bun Houw seperti itu. Ceng Han Houw, biarpun masih muda, maklum akan lihainya lawan, maka biarpun sikapnya seperti memandang ringan, dan senyumnya tak pernah meninggalkan wajahnya, akan tetapi sebetulnya dia berhati-hati sekali dan dia menggerakkan tubuhnya dan bersilat dengan Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang (Ilmu Silat Sakti Menaklukkan Naga), yaitu satu di antara ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw. Akan tetapi, untuk menghadapi langkah-langkah dari Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang amat indah dan ampuh itu, diapun harus mempergunakan langkah-langkah Pat-kwa-po yang juga amat rapi sehingga dia mampu menghindarkan diri dari setiap kurungan yang diciptakan oleh desakan serangan bertubi-tubi dari lawannya. Bahkan pangeran ini mampu pula untuk membalas sehingga mereka berdua bertanding dengan amat rapi dan serunya, masing-masing tidak mau mengalah. Biarpun mereka berdua tidak memperlihatkan kemarahan atau mengeluarkan seruan-seruan yang mengejutkan, namun, dari gerakan mereka berdua, para tokoh kang-ouw yang menjadi penonton itu maklum bahwa kedua orang itu tidak lagi melakukan pibu biasa sekedar untuk mengukur kepandaian masing-masing, melainkan berkelahi dengan amat hebatnya, setiap serangan merupakan tangan maut yang haus darah, dan setiap jurus yang dipergunakan telah diperhitungkan masak-masak sehingga merupakan jurus yang ampuh.

Diam-diam Yap In Hong dan Yap Kun Liong, dua orang pendekar yang tingkat kepandaiannya sudah tinggi sekali, tidak banyak selisihnya dengan tingkat kepandaian Cia Bun Houw, menjadi terkejut bukan main menyaksikan kelihaian pangeran itu. Beberapa kali pendekar sakti Yap Kun Liong memuji dalam hatinya melihat betapa pangeran itu dapat menghadapi desakan-desakan yang amat berbahaya dari adik iparnya itu. Apalagi ilmu langkah sakti Pat-kwa-po yang dimainkan oleh pangeran itu, sehingga langkah-langkah kakinya tera­tur rapi dan dapat dipergunakan untuk menyelamatkan diri terhadap setiap desakan, mengingatkan dia akan ilmunya sendiri, ya­itu Pat-hong Sin-kun yang langkah-lang­kahnya juga berdasarkan rahasia Pat-kwa (Delapan Segi). Diam-diam dia harus mengakui bahwa menghadapi pangeran itu bukanlah hal yang ringan, dan dia sendiri pun tidak berani memastikan bahwa dia akan menang kalau menghadapi pangeran muda yang telah menjadi suami dari anak tirinya itu. Yap In Hong juga merasa khawatir, karena diapun dapat me­rasakan bahwa menghadapi pangeran itu, dia sendiri tidak akan mampu menang, dan suaminya agaknya tentu harus meng­gunakan seluruh kepandaian dan waktu yang tidak singkat untuk dapat mengatasi pangeran yang biarpun masih muda na­mun sudah amat hebat itu. Teringatlah dia akan Sin Liong dan dia membanding­kan pangeran ini dengan Sin Liong. Diam-diam dia merasa heran dan kagum bagaimana orang-orang yang masih muda itu telah memiliki kepandaian sehebat itu. Mereka sudah saling serang selama seratus jurus dan belum ada seorangpun di antara mereka yang menang atau kalah, bahkan belum ada yang nampak terdesak. Diam-diam Yap In Hong mengerutkan alisnya. Ilmu silat tangan kosong dari pangeran itu memang kuat bukan main. Kenapa suaminya tidak mengajakanya bertanding menggunakan senjata saja? Mungkin kalau bersenjata, suaminya akan dapat lebih unggul, karena ilmu pedang suaminya amat hebat. Dan memang demikian pula pendapat Bun Houw. Akan tetapi, lawannya hanyalah seorang pe­muda, dan tuan rumah pula dan dia seorang tokoh Cin-ling-pai, bagaimana mungkin dia sudi menggunakan senjata kalau lawannya itu hanya bertangan ko­song saja? Dan sebelum bertanding ta­ngan kosong selesai lalu menantang mengadu senjata, hal itu sama artinya dengan merasa kewalahan dalam per­tandingan tangan kosong itu! Dia merasa serba salah dan diam-diam diapun kagum bukan main karena mengertilah pendekar ini bahwa tingkat kepandaian pangeran muda itu sungguh-sungguh luar biasa, bahkan masih lebih tinggi daripada tingkat kepandaian mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li sendiri. Selama hidupnya, baru sekarang inilah Cia Bun Houw merasa bertemu tanding yang amat kuatnya.



“Hehhh!” Cia Bun Houw membentak dan dia mengirim tamparan dengan Ilmu Thian-te Sin-ciang sambil mengerahkan seluruh tenaga. Kedua tangannya menyambar dari kanan dan kiri, mengirim tamparan-tamparan yang sampai mengeluarkan suara bercuitan saking cepat dan kuatnya. Melihat ini, Ceng Han Houw melangkah mundur dua tindak, ketika lawannya mengejar dengan langkah ke depan sambil melanjutkan tamparan-tamparan itu, dia sudah menangkis dengan membuang lengan dari dalam keluar, ke kanan kiri.



“Dukk! Dukk!”



Untuk ke sekian kalinya, keduanya tergetar hebat karena sekali ini masing-masing mengerahkan seluruh tenaga mereka sehingga getaran itu terasa sekali sampai ke jantung mereka. Keduanya terkejut karena keadaan mereka sungguh amat berbahaya. Kurang kuat sedikit saja tentu jantung mereka akan terguncang dan setidaknya mereka akan mengalami luka dalam yang hebat. Baiknya bagi mereka bahwa tingkat kekuatan sin-kang mereka berimbang sehingga keduanya mengalami getaran seperti itu.



Pangeran Ceng Han Houw juga terkejut bukan main. Sekarang dia baru percaya bahwa tokoh Cin-ling-pai ini memang hebat sekali. Pantas saja dahulu Pek-hiat Mo-ko, suami Hek-hiat Mo-li, sampai tewas di tangan pendekar ini. Mulailah dia merasa khawatir. Baru pendekar ini saja, sudah begini lihainya, apalagi kalau sampai semua keluarga Cin-ling-pai maju! Padahal, menurut pendengarannya, isteri pendekar ini, Yap In Hong, memiliki ilmu kepandaian yang setingkat dengan suaminya, dan bahwa Yap Kun Liong, ayah tiri dari Ciauw Si, juga memiliki ilmu yang malah lebih matang dan lebih banyak macam ragamnya dibandingkan dengan pendekar Cia Bun Houw ini. Semua itu telah didengarnya dari penuturan isterinya. Dia harus dapat mengalahkan pendekar ini lebih dulu sebelum menghadapi yang lain-lain, kalau memang mereka itu nanti akan maju pula.

Tiba-tiba pangeran muda itu mengeluarkan teriakan lantang dan terkejutlah Bun Houw ketika melihat betapa lawannya itu mendadak berjungkir balik, dengan kepala di bawah menjadi kaki dan kedua kakinya di atas, kemudian kaki dan tangan itu melakukan serangan-serangan dari atas dan bawah secara tangkas sekali dan yang lebih hebat daripada itu, serangan-serangan dari kaki dan tangan itu mengandung tenaga yang lebih dahsyat daripada tadi ketika pemuda bangsawan itu masih berdiri di atas kedua kakinya! Memang itulah hebatnya ilmu simpanan dari Pangeran Ceng Han Houw. Ilmu inilah yang didapatnya dari kitab Bu Beng Hud-couw, yang bernama Hok-mo Sin-kun dan memang dia telah melatih diri dengan samadhi atau siulian yang juga dilakukan dengan berjungkir balik sehingga dia memperoleh sin-kang yang lebih kuat daripada kalau dia berdiri di atas kedua kakinya!

Bun Houw cepat menangkis dan mengelak dan kembali dia terkejut bukan main karena selain tangkisan itu membuat lengannya terpental ketika bertemu dengan kaki lawan, juga dari bawah kedua tangan lawannya mengirim pukulan-pukulan dahsyat yang amat berbahaya sehingga dia terpaksa melompat dan berjungkir balik ke belakang! Kesempatan itu dipergunakan oleh Ceng Han Houw untuk membentak nyaring sekali dan tubuhnya sudah melesat ke depan, tahu-tahu dia sudah membalikkan tubuhnya lagi dan dia mendesak Bun Houw yang masih belum hilang kagetnya. Kini dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya, pangeran itu menusuk ke arah kedua mata lawan, sedangkan kaki kanannya diangkat, menggunakan lutut untuk menghantam perut. Ketika Bun Houw yang terdesak itu mengelak ke belakang, tangan kiri pangeran itu menghantam ke arah muka.



“Hiaaattt...!” Pangeran itu mendesak dan bermaksud merobohkan Cia Bun Houw.



“Ehhh...!” Bun Houw cepat melempar tubuh ke belakang dan kembali dia berjungkir balik sampai berturut-turut tiga kali. Gerakannya ini hebat sekali dan dia berhasil menghindarkan diri dari bahaya maut. Para tokoh kang-ouw yang menonton pertandingan itu juga ikut merasa terkejut. Biarpun gerakan pendekar Cin-ling-pai itu amat indah dan cepat, dan sudah membuat pendekar itu berhasil menghindarkan diri, namun harus diakui bahwa pendekar itu tadi terdesak hebat dan nyaris celaka!



Sebelum Ceng Han Houw yang merasa penasaran karena serangannya yang hampir berhasil tadi pada saat terakhir gagal dapat menggunakan ilmunya yang aneh lagi, tiba-tiba terdengar bentakan keras, “Ceng Han Houw, akulah lawanmu!” Nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depan pangeran itu telah berdiri seorang pemuda remaja yang bukan lain adalah Sin Liong! Semua orang terkejut, baik dari golongan hitam maupun golongan bersih memandang heran. Bukankah Sin Liong ini adalah pemuda yang tadi diperkenalkan oleh pangeran itu sebagai adik angkatnya, bahkan diakui sebagai pembantu utamanya? Kenapa sekarang pemuda itu malah muncul dan menantang pangeran itu?



Peristiwa ini memang amat mengejutkan dan mengherankan. Bun Houw sendiri sampai terkejut dan terheran, sehingga diapun hanya berdiri di pinggir dan tidak dapat berkata apapun. Dia masib terkejut oleh serangan-serangan aneh dan hebat dari pangeran itu tadi, dan kini melihat munculnya Sin Liong secara tiba-tiba yang menantang pangeran itu, sungguh membuat dia termangu dan tidak mengerti harus berbuat atau berkata apa. Semua tamu yang menjadi bengong memandang dengan hati semakin tegang. Lie Ciaw Si sampai bangkit dari tempat duduknya dan memandang khawatir, akan tetapi dia bertemu dengan sinar mata ibunya dan kembali dia duduk serba salah. Yap In Hong tersenyum dan Yap Kun Liong juga tersenyum. Pendekar ini sudah mendengar penuturan singkat dari adiknya tentang sepak-terjang Sin Liong di belakang istana, dan diam-diam dia merasa kagum sekali. Tadi ketika dia menyaksikan serangan pangeran itu yang aneh, dengan cara membalik tubuh, dia tidak merasa heran. Memang dia tahu bahwa di antara kaum sesat banyak terdapat ilmu-ilmu yang aneh dan sifatnya sesat pula, akan tetapi sebagian besar dari ilmu-ilmu hitam itu hanya kelihatannya saja menggiriskan, akan tetapi sebetulnya tidak mengandung dasar yang kuat. Maka terkejutlah dia ketika ilmu yang dipergunakan oleh pangeran itu tadi telah membuat Bun Houw terdesak hebat dan nyaris kena dipukul. Maka legalah hatinya melihat adik iparnya itu mampu membebaskan diri. Dia tadi melihat betapa adik kandungnya sudah bangkit dari tempat duduknya, siap untuk menolong suaminya yang terdesak, bahkan dia sendiripun sudah siap untuk turun tangan. Kini, melihat munculnya Sin Liong, dia menjadi ingin sekali melihat apakah pemuda yang telah dipilih oleh ketua Cin-ling-pai sebagai pewaris Thi-khi-i-beng ini benar-benar sehebat seperti yang tadi dia dengar dari adiknya. Diam-diam dia menyangsikan cerita adiknya. Dia membandingkan keadaan Sin Liong dengan keadaannya sendiri. Mungkinkah bocah itu dapat mengumpulkan ilmu-ilmu sehebat itu, melebihi In Hong, dia sendiri, atau Bun Houw? Rasanya tidak mungkin! Bukankah bocah itu hanya mewarisi ilmu-ilmu yang sesungguhnya merupakan ilmu-ilmu dari keluarga Cin-ling-pai dan dari Kok Beng Lama? Jadi, tiada bedanya dengan kepandaian Bun Houw? Dan tidak mungkin pemuda ini dapat memainkan ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai atau pemberian mendiang Kok Beng Lama lebih baik daripada permainan Bun Houw. Andaikata ada perbedaannya karena bocah itu kabarnya diwarisi Ilmu Thi-khi-i-beng oleh mendiang Cia Keng Hong kelebihan itupun sebetulnya tidak banyak artinya. Dia sendiripun ahli Thi-khi-i-beng, akan tetapi dia tidak berani menyatakan bahwa dia lebih lihai daripada Bun Houw dan dia sendiri masih sangsi apakah dapat mengalahkan pangeran itu. Dan latihan dari Sin Liong tentu sekali belum matang. Biarpun demikian, ada harapan dalam hati pendekar Yap Kun Liong ini bahwa siapa tahu, mungkin saja Sin Liong menemukan sesuatu yang hebat, yang melebihi dia atau Bun Houw. Buktinya, bukankah pemuda itu dapat merobohkan dan mengalahkan pengeroyokan Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio? Dan bukankah pangeran itupun seorang yang masih amat muda namun telah menemukan ilmu yang aneh dan amat hebat?



Orang yang paling terkejut dan merasa penasaran adalah pangeran itu sendiri. Melihat munculnya Sin Liong yang datang-datang menantangnya, dia terkejut bukan main. Cepat matanya mencari-cari keluar dan dia dapat melihat Bi Cu berdiri di luar dalam keadaan sehat dan selamat. Seketika jantungnya berdebar tegang dan hatinya merasa tidak enak. Apa yang telah terjadi dengan suci dan subonya? Mereka itu bertugas menjaga Bi Cu, akan tetapi mengapa kini Bi Cu telah keluar dan muncul pula Sin Liong? Jantungnya makin berdebar khawatir ketika dia menduga bahwa jangan-jangan sucinya dan subonya telah dirobohkan oleh Sin Liong!



Melihat pangeran itu memandang ke arah Bi Cu, kemudian seperti orang mencari-cari dengan matanya, Sin Liong berkata. “Tidak perlu kaucari lagi dua iblis betina itu, mereka sudah melayang ke neraka!”

Wajah Han Houw berubah agak pucat, akan tetapi dia lalu menatap wajah Sin Liong dengan kebencian yang besar. Memang sejak dahulu dia membenci pemuda ini, membencinya karena timbul dari perasaan iri hati! Sejak Sin Liong masih kecil, ketika menjadi tawanan kim Hong Liu-nio, dia melihat pemuda yang masih anak-anak itu demikian berani dan amat gagahnya, hal ini membuat dia kagum sekaki, akan tetapi juga mendatangkan rasa iri yang pertama kalinya. Kemudian, ketika dia mendengar bahwa bocah yang berwatak gagah itu adalah putera seorang pendekar besar, cucu ketua Cin-ling-pai, irinya menjadi makin besar. Di samping rasa iri ini memang ada rasa suka sehingga dia mengambil Sin Liong sebagai saudara angkat. Akan tetapi semua sifat-sifat baik dari Sin Liong merupakan siksaan baginya dan membuat perasaan iri hati itu makin menjadi-jadi. Melihat Sin Liong begitu kuat terhadap wanita, tidak mudah tunduk kepada nafsu, membuat dia melihat betapa dia sendiri amat lemah terhadap wanita dan hal inipun menimbulkan iri pula. Kemudian, melihat kepandaian Sin Liong yang melebihi dia, iri hatinya makin memuncak sehingga beberapa kali dia sudah hendak membunuh pemuda itu. Kebenciannya amat mendalam, dan sekarang, melihat Sin Liong membangkang terhadap dia, tidak mau menjadi pembantunya, bahkan menentang dan membunuh sucinya dan subonya, kebencian yang meracuni hati Ceng Han Houw membuat dia memandang dengan muka beringas. Akan tetapi, dasar dia amat cerdik, maka dia dapat menekan perasaannya itu dan tiba-tiba saja pangeran itu tertawa. Semua orang terkejut melihat wajah beringas itu, dan terheran-heran mendengar betapa pangeran yang nampak marah itu tiba-tiba malah tertawa.

“Ha-ha-ha-ha, Cia Sin Liong! Akhirnya, engkau sendiri yang membuka rahasiamu! Jadi engkau hendak membela ayahmu yang sudah hampir kalah?”



Ucapan ini tentu saja mengejutkan hati semua keluarga Cin-ling-pai, terutama sekali Cia Bun Houw. Sedangkan Ciauw Si mengerutkan alisnya dan dia merasa heran menyaksikan perubahan sikap suaminya seperti itu.



“Pangeran Ceng Han Houw! Tak perlu banyak cakap lagi, marilah kau mulai. Akulah lawanmu, bukan untuk memperebutkan sebutan jagoan atau apa, melainkan untuk memperebutkan kebenaran, untuk membereskan semua perhitungan antara kita yang sudah bertumpuk-tumpuk selama ini! Hayo, kalau memang engkau seorang jantan dan jangan selalu menggunakan kecurangan yang licik!”



“Hei, Liong-te, lupakah engkau bahwa engkau telah mengangkat sumpah menjadi adik angkatku?”



“Cukup! Sumpah itu berkali-kali kaulanggar sendiri dan beberapa kali engkau hendak mencelakakan aku, dan berkali-kali mengganggu Bi Cu. Kita bukan saudara angkat lagi, melainkan musuh-musuh besar!”



“Hemm, bukankah engkau masih saudara misan langsung dari isteriku? Isteriku adalah puteri pendekar wanita Cia Giok Keng keturunan langsung dari locianpwe Cia Keng Hong, sedangkan engkau juga keturunan langsung dari beliau karena engkau putera kandung dari pendekar Cia Bun Houw...?”



“Tutup mulutmu yang kotor!” tiba-tiba terdengar pendekar sakti Cia Bun Houw membentak dari pinggiran karena pendekar ini marah sekali mendengar ucapan terakhir yang mengatakan bahwa Sin Liong adalah anak kandungnya itu.



Pangeran itu tertawa. “Ha-ha, memang dirahasiakan, hemmp seluruh dunia kang-ouw mengira bahwa para pendekar Cin-ling-pai adalah orang-orang gagah sejati yang suci murni. Akan tetapi...”



“Pangeran...!” Tiba-tiba Lie Ciauw Si berseru dan pangeran itu menoleh kepada isterinya.



“Si-moi, aku tidak berdaya. Lihat, mereka semua memusuhi aku, aku maka terpaksa aku harus membela diri dan membalas. Aku dikeroyok oleh mereka semua, keluarga Cin-ling-pai yang gagah dan suci ini, apakah engkau tidak hendak membelaku dan juga hendak berfihak dengan mereka mengeroyokku sekalian?”



Melihat sinar mata penuh duka dan marah dari suaminya, Ciauw Si menunduk, baru sekarang dia melihat betapa suaminya memang memiliki watak yang curang dan licik, apalagi ketika dia melihat betapa Bi Cu ditawan untuk memaksa Sin Liong dan kini betapa suaminya itu hendak membongkar rahasia pamannya. Akan tetapi, betapapun juga, dia mencinta suaminya itu! Baik atau buruk pria itu adalah suaminya, satu-satunya pria di dunia ini yang telah memilikinya lahir batin, memiliki tubuhnya, cintanya. Mana mungkin dia akan menentang orang yang dicintainya? Tentu saja kalau suaminya itu hendak memberontak, hendak melakukan hal-hal yang jahat, dia tidak akan mau membantunya. Namun, apapun yang dilakukan oleh suaminya itu, dia menilainya bukan sebagai kejahatan, melainkan hanya sebagai kelemahan batin suaminya yang ingin mencapai kedudukan tertinggi. Maka kini, melihat betapa suaminya menentang keluarganya sendiri, diapun diam saja, hanya merasa betapa hatinya tertekan dan terasa sengsara sekali.



“Ceng Han How, manusia pengecut, hayo majulah untuk menentukan siapa di antara kita yang akan mati dan siapa yang boleh hidup terus!” Sin Liong sudah menantang lagi.



Han Houw tersenyum. “Sin Liong, aku sudah cukup mengenalmu lahir batin. Aku tahu bahwa engkau tidak akan menyerang seorang yang tidak mau melawan, dan sebelum aku habis bicara, aku tidak akan melawanmu dan boleh engkau memukul mampus padaku!” Kemudian pangeran ini memandang ke sekeliling dan suaranya meninggi sehingga terdengar oleh semua orang, “Cu-wi, cu-wi telah menyaksikan sendiri bagaimana sifat dan watak orang-orang Cin-ling-pai. Sudah jelas bahwa cucu wanita ketua Cin-ling-pai telah dengan suka rela menjadi isteriku yang tercinta, namun keluarga yang agung itu tidak mau menerima kenyataan ini, soolah-olah mereka merasa sebagai keluarga yang terlalu bersih, terlalu tinggi dan terlalu agung untuk menerima aku sebagai anggauta keluarga mereka! Padahal, siapakah yang tidak tahu akan segala rahasia busuk mereka? Tentang petualangan-petualangan cinta keturunan mereka? Dan yang terakhir, mereka malah merahasiakan adanya seorang keturunan gelap, seorang anak haram yang terlahir di antara mereka. Inilah anak itu, Cia Sin Liong, yang terlahir dari seorang ibu yang sengsara karena setelah mengandung dia, wanita itu tidak dinikah dan ditinggalkan begitu saja oleh seorang pria yang mengaku sebagai pendekar gagah perkasa dan suci, Cia Bun Houw!”

“Keparat jahanam!” Cia Bun Houw tak dapat menahan kemarahannya. “Buktikan tuduhanmu itu, kalau tidak... aku bersumpah untuk menghancurkan mulut busukmu!”



Kini Pangeran Ceng Han Houw tidak tersenyum lagi, melainkan memandang ke arah Cia Bun Houw dengan sinar mata menantang. “Cia Bun Houw, engkau masih hendak berlagak sebagai seorang yang bersih dan gagah? Tidak perlu aku banyak bicara, kalau engkau hendak melihat bukti dari perbuatanmu yang rendah dan hina itu, tanyalah Cia Sin Liong ini sendiri! Tanyakan apakah dia bukan anak kandungmu!”



Karena dia masih merasa bersih dan melihat tidak mungkinnya dia mempunyai seorang anak seperti pemuda ini, Cia Bun Houw memandang kepada Sin Liong dan pemuda itu juga sedang memandang kepadanya, hendak melihat apa yang menjadi reaksi dari ayah kandungnya itu mendengar kata-kata serangan Han Houw.



Mereka saling berpandangan dengan tajam dan penuh selidik, dan akhirnya, dengan suara penuh penasaran Bun Houw bertanya, suaranya seperti membentak nyaring, “Sin Liong, benarkah bahwa engkau adalah anak kandungku?”



Sin Liong menelan ludahnya. Sebetulnya, tidak ada keinginan di dalam hatinya untuk mengakui pendekar ini sebagai ayahnya, dia tidak sudi untuk ikut membonceng ketenaran nama keluarga Cin-ling-pai. Akan tetapi, kekerasan hatinya itu sebagian besar terdorong oleh kenyataan betapa ayah kandungnya itu telah meninggalkan ibunya dan telah menikah dengan seorang wanita lain. Ketika dia melihat Yap In Hong, mula-mula dia merasa benci dan iri. Akan tetapi, begitu Yap In Hong berhasil menyelamatkan nyawa Bi Cu, seketika pandangannya berubah dan baru dia tahu bahwa Yap In Hong adalah seorang pendekar wanita gagah perkasa dan bahwa dia dan Bi Cu berhutang budi kepadanya. Kemudian, dia melihat pembongkaran rahasia itu oleh Pangeran Ceng Han Houw. Tidak mungkin lagi baginya untuk menyangkal. Menyangkal berarti membohong dan dia tidak mau membohong. Pula, memang sudah sepatutnya kalau pendekar itu, yang selamanya terkenal sebagai seorang pria yang gagah perkasa, ditegur secara hebat seperti ini untuk perbuatan yang amat kejam terhadap seorang wanita bemama Liong Si Kwi, seorang wanita yang dilupakan dan ditinggalkan begitu saja di Lembah Naga! Dan di sinilah tempat itu! Di sinilah dia terlahir, dan di sinilah pula ibunya meninggal dunia. Ibunya yang telah menumpahkan darah ketika dia terlahir, yang telah disia-siakan oleh pendekar ini. Sudah selayaknya dan sepatutnyalah kalau kini pendekar itu menebus dosa, mengakui perbuatannya itu di tempat ini pula, di mana roh ibunya mungkin masih akan dapat mendengarnya. Pikiran ini mendatangkan ketegasan dan dia lalu memandang ayah kandungnya itu dengan sinar mata tajam penuh ketegasan dan dia lalu mengangguk.



Dapat dibayangkan betapa kaget dan marahnya hati Bun Houw melihat Sin Liong mengangguk, yang berarti membenarkan tuduhan pangeran itu! Kemarah­annya kini berpindah kepada Sin Liong dan dia membentak, “Engkau sudah ber­sekongkol dengan pangeran jahat itu untuk menjatuhkan fitnah ini kepadaku!” katanya sambil menerjang dan memukul Sin Liong dengan kemarahan meluap. Akan tetapi dengari tenang dan cepat Sin Liong sudah mengelak dari serangan dah­syat itu. Pada saat itu ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu Yap In Hong telah berada di situ dan pendekar wanita ini sudah menyentuh pundak suaminya.



“Bersikaplah tenang...” bisik isteri ini kepada suaminya, lalu menambahkan lebih lirih lagi, “...ingat Si Kwi...”



Bisikan isterinya itu membuat wajah Bun Houw seketika berubah pucat sekali. Dia terhuyung ke belakang dan menatap wajah Sin Liong. Teringatlah dia sekarang. Mata dan mulut itu! Tak salah lagi!



“Kau... kau... siapakah engkau...siapa nama ibumu...?”



Melihat munculnya Yap In Hong dan mendengar bisikan tadi, biarpun amat lemah namun dia dapat pula menangkapnya, Sin Liong lalu menjawab, dan hati­nya timbul ingin tahu sekali rahasia apa yang terjadi di balik hubungan ibu kan­dungnya dan pendekar ini, “Mendiang ibuku bernama Liong Si Kwi.”



Mendengar ini, Cia Bun Houw me­mejamkan kedua matanya sejenak. Isteri­nya yang juga berdiri di sisinya hanya memandang dengan muka agak pucat, akan tetapi Yap In Hong adalah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dan tidak cengeng. Dia sudah tahu akan pe­ristiwa yang terjadi antara suaminya dan Liong Si Kwi (baca cerita Dewi Maut), maka diapun tidak merasa heran men­dengar bahwa Si Kwi telah mempunyai seorang anak dari suaminya, sungguhpun tentu saja hal itu sama sekali tidak pernah disangkanya, juga tak pernah disang­ka oleh suaminya sendiri.



“Ha-ha-ha!” suara ketawa Pangeran Ceng Han Houw memecah kesunyian dan terdengar suaranya lantang, memang disengaja agar terdengar oleh semua orang. “Bagaimana, pendekar sakti Cia Bun Houw, apakah engkau masih hendak mengatakan aku menuduh yang bukan-bukan?”

Cia Bun Houw adalah seorang yang gagah perkasa. Dia kini merasa yakin bahwa anak ini memang anaknya yang lahir dari Liong Si Kwi. Kini mengerti­lah dia, mengapa mendiang ayahnya be­gitu sayang kepada anak ini sehingga dididik, bahkan diwarisi Thi-khi-i-beng, dan mengapa pula mendiang Kok Beng Lama juga begitu sayang kepada anak ini! Mungkin dua orang kakek itu telah tahu! Padahal, dua orang kakek itu se­betulnya tidak pernah diberi tahu, hanya mereka memang suka kepada Sin Liong. Kini Cia Bun Houw yang sudah merasa kepalang, karena semua orang kang-ouw telah mendengar tentang hal itu, segera memandang ke arah para tamu dan ber­kata dengan suara lantang sehingga ter­dengar oleh semua orang.

“Cu-wi, aku Cia Bun Houw bukan seorang pengecut! Setelah mendengar bahwa anak ini adalah anak kandung seorang wanita yang bemama Liong Si Kwi, maka­ aku dapat menerima kenyataan bahwa besar sekali kemungkinan anak ini adalah anakku sendiri! Akan tetapi, bukan sekali-kali aku pernah menodai Liong Si Kwi lalu kutinggalkan! Hendaknya cu-wi sekalian ketahui bahwa dua puluh tahun yang lalu, ketika aku tertawan oleh mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, guru dari pangeran curang ini, dua kakek dan nenek iblis itu telah meracuni aku dengan obat perangsang sehingga aku lupa diri. Dan gadis bernama Liong Si Kwi itu menolongku dari penjara, maka terjadilah hubungan di luar kesadaranku yang sedang terbius obat perangsang. Sungguh tidak pernah kuduga bahwa hubungan di luar kesadaran itu akan menghasilkan anak ini. Baru sekarang aku mendengar dan mengetahuinya. Namun, dengan berani bertanggung jawab kuakui bahwa Cia Sin Liong ini adalah puteraku!”



Semua orang kang-ouw merasa kagum akan kegagahan Cia Bun Houw dan biar­pun ada beberapa orang dari golongan hitam yang tidak suka kepada para pendekar mentertawakan, namun pandangan­ para tamu terhadap Cia Bun Houw sama sekali tidak merendahkan lagi. Setelah mengeluarkan kata-kata yang merupakan pengakuan gagah itu, Bun Houw memandang kepada Sin Liong dan berkata lirih, “Biarlah pada lain kesempatan kita bi­cara tentang ini. Sekarang hadapilah manusia curang ini, dan kalau benar eng­kau puteraku, engkau harus dapat me­ngalahkan dia.” Di dalam sinar mata dan suara itu terkandung rasa suka dan ka­gum yang membuat dua titik air mata membasahi mata Sin Liong. Dia meng­angguk tanpa mengeluarkan kata-kata, hanya memandang ayah kandungnya dan ibu tirinya itu meninggalkan gelangang dan kembali ke tempat duduk mereka. Tiba-tiba Sin Liong merasa hatinya lapang bukan main dan dihadapinya pa­ngeran itu dengan senyum tenang. “Nah, pangeran. Apakah engkau sudah siap sekarang, ataukah engkau takut melawan aku? Kalau takut, lebih baik katakan saja dan kaububarkan semua ini, jangan lanjutkan usahamu untuk memberontak atau menjadi bengcu, apalagi menjadi jagoan nomor satu di dunia. Lebih baik ganti julukan itu menjadi penjahat licik dan curang nomor satu di dunia.”



Sin Liong sengaja mengeluarkan kata-kata ejekan ini untuk membikin panas hati Han Houw dan memang dia berhasil. Sebelumnya memang Han Houw sudah merasa kecewa, menyesal dan marah sekali bahwa serangannya terhadap nama Cia Bun Houw dan keluarga Cin-ling-pai ternyata sama sekali tidak berhasil karena sikap Cia Bun Houw yang gagah perkasa mengakui semua itu, bahkan pengakuan pendekar itu malah melontarkan kejahatan ke alamat mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Dan baru saja, dari seorang pengawal yang berhasil merangkak dalam keadaan terluka parah ke tempat itu dia mendengar bahwa memang benar seperti yang diduganya, Sin Liong berhasil menyelamatkan Bi Cu dan selain membunuhi semua pengawal yang tiga puluh orang banyaknya itu, juga telah membunuh Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio. Hal ini tentu saja menambah kemarahannya dan semua kemarahan itu ditumpahkan kepada Sin Liong yang dianggapnya menggagalkan semua rencananya, orang yang dianggapnya sepatutnya membantunya itu kini malah menentangnya dan hal ini dianggap suatu pengkhianatan!

“YA SIN LIONG! Di seluruh dunia ini, agaknya hanya kita berdua yang mewarisi ilmu rahasia dari Bu Beng Hud- couw, akan tetapi jangan kaukira bahwa karena engkau yang lebih dulu mempelajari ilmu-ilmu dari guru kita itu lalu kauanggap dirimu lebih pandai. Ingat, sekali ini aku tidak akan mau mengampuni lagi nyawamu, kecuali kalau engkau sekarang berlutut dan minta ampun, dan selanjutnya mau membantuku seperti yang sudah-sudah.”



“Sin Liong, kalau engkau menyerah kepadanya, aku selamanya tidak mau mengenalmu lagi!”



Sin Liong menoleh dan memandang ke arah Bi Cu yang berseru itu, dia tersenyum lalu berkata, “Jangan khawatir, Bi Cu, aku tidak akan...” Akan tetapi terpaksa Sin Liong menghentikan kata-katanya karena pada saat itu Han Houw dengan kemarahan meluap telah menubruk dan menyerangnya dengan dahsyat.



Bi Cu sampai berteriak kaget “Curang!” ketika melihat serangam yang dilakukan dengan mendadak selagi Sin Liong masih menoleh kepadanya itu. Akan tetapi biarpun kelihatannya Sin Liong menoleh dan lengah, sesungguhnya pemuda ini selalu waspada karena dia sudah cukup mengenal watak pangeran itu yang curang sekali. Oleh karena itulah ketika Han Houw menyerang dengan tiba-tiba, dia dapat dengan cepat menghadapinya, menangkis dengan keras dan balas menyerang. Dalam waktu singkat, dua orang pemuda yang sama lihainya ini sudah saling serang dengan hebatnya!



Perkelahian yang terjadi sekali ini sungguh amat hebat. Baru belasan jurus saja semua orang tahu bahwa dua orang pemuda itu memang memiliki ilmu yang sama tingginya dan sama anehnya, akan tetapi pandang mata Bun Houw, Yap Kun Liong dan In Hong yang tajam dapat melihat betapa dalam beberapa kali pertemuan lengan, ternyata bahwa dalam hal sin-kang, agaknya Sin Liong masih menang kuat, terbukti dari tubuh pangeran itu yang selalu tergetar dan terguncang sedangkan tubuh Sin Liong sama sekali tidak terpengaruh oleh adu tenaga itu.



Sin Liong bertanding dengan penuh semangat dan dia mengerahkan seluruh tenaga, mengeluarkan semua kegesitannya. Dia berkelahi bukan semata-mata untuk dirinya sendiri, melainkan terutama sekali untuk Bi Cu. Sudah beberapa kali kekasihnya itu hampir tewas oleh pangeran ini, maka kini dia bertindak mewakili kekasihnya itu untuk mengenyahkan pangeran jahat ini dari permukaan bumi! Selain itu, juga dia hendak membela ayah kandungnya yang tadi terdesak oleh pangeran ini dan dia tahu bahwa kalau dilanjutkan, tentu pendekar sakti Cia Bun Houw itu akan kalah pada akhirnya. Betapapun juga, dia tidak rela melihat orang yang menjadi ayah kandungnya itu dibikin malu dan dikalahkan di depan umum. Tadi dia telah mendengar betapa Han Houw membongkar rahasia ayah kandungnya, dan ketika dia mendengar jawaban Cia Bun Houw, tahulah dia sekarang! Ayah kandungnya itu sama sekali tidak bersalah! Bahkan ayah kandung itu tidak tahu bahwa dia dilahirkan! Juga hubungan antara ayah kandungnya dan ibunya adalah hubungan yang dipaksakan oleh muslihat yang amat curang dari guru Pangeran Ceng Han Houw! Rasa girang oleh kenyataan bahwa Cia Bun Houw sama sekali tidak menyia-nyiakan ibunya bercampur dengan perasaan duka dan pahit bahwa dia sesungguhnya adalah seorang anak haram, seorang anak yang dilahirkan tanpa ayah, dilahirkan dari ibu yang tidak dinikah dan dilahirkan sebagai akibat hubungan yang tidak disadari oleh orang yang menjadi ayahnya! Betapa hal ini menusuk hatinya dan kini dia hendak memperlihatkan dirinya di depan orang banyak bahwa biarpun dia orang rendah, anak haram, anak yang tidak mengenal ayahnya, adalah orang yang akan mampu menundukkan pangeran yang amat lihai itu!



Oleh karena inilah Cia Sin Liong menyerang dengan sepenuh tenaga dan kemampuannya. Pertama-tama dia mempergunakan San-in Kun-hoat yang dipelajarinya dari kakeknya, dicampur dengan Thian-te Sin-ciang. Melihat betapa pemuda itu dapat mengombinasikan dua ilmu ini dengan amat baiknya, para anggauta keluarga Cin-ling-pai memandang dengan girang dan bangga. Pemuda itu sungguh tahu diri dan agaknya memang ingin menjunjung tinggi nama Cin-ling-pai maka dia menghadapi lawan yang tangguh ini dengan ilmu-ilmu Cin-ling-pai. Hanya Lie Ciauw Si yang menonton dengan alis berkerut, muka pucat dan bibirnya gemetar. Dia merasa serba salah. Dia mengkhawatirkan keadaan suaminya, akan tetapi perkelahian itu terjadi dengan adil, satu lawan satu, maka diapun tidak dapat berbuat apapun. Pula, dia tahu bahwa suaminya berada di fihak salah dan bahwa suaminya sudah memperlakukan Sin Liong secara keterlaluan. Masih teringat dia betapa Sin Liong yang mengajak pangeran itu ke selatan untuk mencarl Ouwyang Bu Sek, karena suaminya ingin mempelajari ilmu-ilmu yang diajarkan oleh kakek itu kepada Sin Liong demikian yang didengarnya. Dan kini, setelah suaminya itu memperoleh ilmu yang tinggi, suaminya malah memperlakukan Sin Liong tidak semestinya, hendak memaksa pemuda itu membantunya dengan jalan menawan Bi Cu. Tak disangkanya bahwa pangeran yang dicintanya itu memiliki watak yang demikian curang dan palsu. Baru sekarang semua watak buruk itu terungkapkan dan dia merasa berduka dan gelisah sekali.



“Hyaaaattt...!” Sin Liong menyerang seperti seekor naga menyambar dari angkasa. Tangan kanannya menampar dengan tenaga Thian-te Sin-ciang, dan dia terus mendesak lawan, kini dia mempergunakan Ilmu Thai-kek Sin-kun yang ampuh!



Melihat serangan bertubi-tubi yang dahsyat ini, Ceng Han Houw bersikap tenang dan dia cepat merendahkan diri dengan menekuk lutut kirinya sampai rendah sekali, kemudian setelah dia mengelak beberapa kali dan menangkis, diapun balas menyerang dengan pukulan-pukulan dahsyat dari bawah yang mengarah lambung dan pusar lawan. Sin Liong maklum akan bahayanya serangan balasan lawan, maka dia cepat meloncat dan membalikkan tubuhnya, tubuhnya itu dari atas meluncur turun dan kedua tangannya membentuk cakar naga menyerang dengan cengkeraman maut ke arah kepala lawan. Namun, dengan gerakan in­ilah pangeran itu dapat menggulingkan tubuhnya ke atas lantai dan menghindarkan cengkeraman itu, karena untuk ditangkis terlalu besar bahayanya baginya. Setelah dia meloncat bangun, dia memapaki tubuh Sin Liong yang baru turun itu dengan pukulan bertubi-tubi sambil memutar tubuh. Itulah jurus yang ampuh dari ilmu Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Penakluk Naga). Sin Liong kini terdesak dan pemuda ini berlompatan dan memutar-mutar tubuhnya pula, gerakannya seperti seekor naga. Memang pantas sekali Sin Liong diumpamakan sebagai seekor naga sakti dari Lembah Naga, dan pangeran itu berusaha menaklukkannya. Akan tetapi naga ini hebat bukan main dan ilmu penakluk naga itu sama sekali tidak mampu mendesak terus, apalagi menaklukkan. Sin Liong membalas dengan tamparan-tamparan sakti Thian-te Sin-ciang sehingga desakan pangeran itu membuyar karena pangeran itu harus melindungi dirinya baik-baik kalau dia tidak mau kepalanya pecah terkena sambaran tamparan Thian-te Sin-ciang yang ampuh. Demikianlah, dua orang pemuda itu saling serang, saling desak dan keadaan mereka benar-benar seimbang dan sama cepatnya, sama gesitnya, sama kuat dan sama-sama menguasai semua gerakan mereka dengan baik. Juga mereka bertanding dengan kemantapan yang membuat setiap serangan dan tangkisan atau elakan nampak indah sekali. Semua yang menonton pertandingan itu tiada hentinya memuji, bahkan kaum tua yang sudah berpengalaman dan menyaksikan pertandingan itu sampai menahan napas saking kagumnya. Tak pernah mereka sangka bahwa di dunia persilatan muncul dua orang muda yang memiliki kepandaian sedemikian hebatnya! Mereka berdua itu benar-benar merupakan tandingan yang seimbang, baik usianya, gagah dan tampannya, dan pandainya. Tadi ketika pangeran itu melawan Cia Bun Houw, masih terdapat kepincangan karena Cia Bun Houw adalah pendekar yang dianggap sudah memiliki banyak sekali pengalaman. Jangankan sampai dapat mendesak atau bahkan hampir mengalahkan pendekar Cin-ling-pai itu, baru dapat mengimbangi saja sudah amat mengagumkan.

Dengan terdesaknya Cia Bun Houw, semua tamu dari tingkat atas mulai meragukan keampuhan Cin-ling-pai sebagai partai persilatan yang terkenal sekali, karena Cia Bun Houw dianggap mewakili Cin-ling-pai dan merupakan jagoan yang paling ahli dengan ilmu-ilmu Cin-ling-pai. Akan tetapi, setelah kini Cia Sin Liong maju, pemuda yang kini dikenal sebagai putera Cia Bun Houw dan yang kini juga bersilat dengan ilmu-ilmu Cin-ling-pai, bahkan kini memainkan Thai-kek Sin-kun dengan mahirnya, pandangan mereka terhadap Cin-ling-pai sudah naik lagi. Ternyata Cin-ling-pai masih mempunyai keturunan terakhir yang amat lihai!



Sin Liong memang sengaja hanya memainkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari kakeknya dan Kok Beng Lama saja, karena selain dia hendak memperlihatkan bahwa apa yang dipelajarinya dari dua orang kakek yang disayangnya itu tidak sia-sia dan dia dapat menjujung nama mereka dengan ilmu-ilmu yang telah diberikannya kepadanya itu, juga dia tahu benar bahwa selama pangeran itu tidak mainkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw, maka dia akan dapat menanggulanginya dengan ilmu-ilmu pemberian kakeknya dan Kok Beng Lama, bahkan akan mampu untuk mengalahkannya. Setiap kali pangeran itu menghujankan pukulan, kadang-kadang dia bahkan menggunakan Thi-khi-i-beng untuk memunahkan semua serangan, karena dengan Thi-khi-i-beng, pangeran itu tidak berani melanjutkan serangannya dan setiap kali tangannya melekat dan tersedot, dia menggunakan ilmu yang pernah diterimanya dari subo­nya, yaitu ilmu melemaskan diri me­ngosongkan tangan yang tertempel se­hingga tidak mengandung sin-kang lagi dan mudah terlepas.



“Anak itu hebat sekali, berbakat baik!” Yap Kun Liong memuji. Cia Giok Keng dan Yap In Hong, yang juga menonton dengan hati tegang, mengangguk mem­benarkan.



Pangeran Ceng Han Houw sejak tadi memang tidak mengeluarkan ilmu simpanannya, karena dia menghendaki agar lawannya itu lebih dulu mengeluarkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari Bu Beng Hud-couw di bawah bimbingan Ouwyang Bu Sek itu, akan tetapi alangkah kecewa dan marahnya ketika dia melihat bahwa Sin Liong hanya mengeluarkan ilmu-ilmu seperti yang dimainkan oleh Cia Bun Houw tadi. Biarpun permainan Sin Liong dalam hal ilmu-ilmu itu tidaklah sehebat Bun Houw, akan tetapi karena Sin Liong memiliki tenaga yang luar biasa kuatnya dan karena Han Houw tidak atau belum mengeluarkan ilmu-ilmunya yang dirahasiakan, pangeran itu kewalahan dan kalau dilanjutkan, akhirnya dia tentu akan ka­lah. Oleh karena itu, gagal memancing Sin Liong mengeluarkan ilmu simpanan lebih dulu untuk dipelajarinya, Ceng Han Houw tiba-tiba mengeluarkan bentakan aneh dan nyaring dan tiba-tiba tubuhnya sudah menubruk ke depan dan dia sudah mulai mainkan Ilmu Hok-liong Sin-ciang yang amat ampuh dan yang tadi telah membuat Bun Houw sendiri terkejut dan kewalahan itu!



Sin Liong sudah berjaga-jaga karena dia sudah selalu waspada. Menyaksikan perubahan gerak tubuh lawan, dan melihat betapa dahsyatnya angin pukulan yang menyambar ke arahnya, maklumlah dia bahwa inilah ilmu simpanan yang dipelajari pangeran itu di dalam gua-gua dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw! Ma­ka diapun lalu mencondongkan tubuh atas ke belakang, dan dari mulutnya keluar pula gerengan seperti seekor naga marah dan kedua tangannya membuat gerakan menyilang dan dari gerakan ini menyam­barlah dua angin pukulan bersilang yang selain amat kuat dan mampu menangkis serangan Han Houw, juga telah menggulung pukulan itu dan membalas dengan tamparan yang amat kuatnya pula!



“Uhhh!” Ceng Han Houw terkejut dan cepat dia membuang diri ke belakang dan sejenak dia berdiri memandang dengan mata terbelalak. Para tokoh kang-ouw yang menonton dengan asyik tidak tahu bahwa ada dua jurus aneh yang berbeda dengan tadi telah dikeluarkan oleh masing-masing, namun para tokoh Cin-ling-pai yang tentu saja tadi mengenal gerakan Sin Liong ketika pemuda itu mainkan ilmu-ilmu Cin-ling-pai, kini tahu bahwa pemuda itu telah menggunakan jurus yang amat aneh, yaitu ketika dia mencondongkan tubuh ke belakang dan kedua tangannya membuat gerakan menyilang tadi.



Dan kini berturut-turut dua orang pemuda itu mengeluarkan jurus-jurus yang aneh, yang mendatangkan angin dahsyat dan yang mengeluarkan bunyi bersiutan dan bahkan kadang-kadang nampak asap atau uap tebal mengepul dari kedua tangan mereka! Dan memang pangeran Ceng Han Houw sudah mainkan Hok-liong Sin-ciang dengan penuh rasa penasaran sedangkan Sin Liong sudah menghadapinya dengan Hok-mo Cap-sha-ciang! Dan ternyata bahwa semua serangan pangeran itu dapat dibuyarkan, bahkan ketika Sin Liong membalas, pangeran itu terhuyung-huyung ke belakang!

“Keparat!” pikir Ceng Han Houw dan kembali dia memekik, sekali ini tubuhnya seperti berubah kaku dan meluncurlah tubuhnya itu ke depan. Dia menyerang bukan hanya dengan gerakan tangan atau kaki, melainkan dengan tubuh meloncat atau meluncur ke depan dalam keadaan kaku dan lurus, dan kedua tangan yang di depan itu terbuka jari-jarinya dan tidak diketahui apakah dia hendak memukul, menampar, menusuk atau mencengkeram! Ini merupakan satu di antara jurus-jurus Hok-liong Sin-ciang yang paling lihai.



Sin Liong agak terkejut menghadapi serangan aneh ini. Tubuh pangeran itu seolah-olah berubah menjadi sebatang tombak raksasa yang dilontarkan ke arah dadanya! Akan tetapi, kalau tombak, betapapun besarnya, hanya merupakan benda mati saja dan tentu dapat dihindarkannya dengan mengelak atau menolak dari samping. Sedangkan yang meluncur ini adalah seorang manusia, dan bukan manusia sembarangan, melainkan Ceng Han Houw yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, tenaga sin-kang yang amat kuat, dan kecurangan yang membahayakan. Maka Sin Liong tidak mau mengelak, melainkan dia memasang kuda-kuda dengan kuatnya, lalu dia bergerak melakukan jurus yang ampuh dari Hok-mo Cap-sha-ciang, menggerakkan kedua lengan dari bawah ke atas, seolah-olah dia menyedot tenaga bumi dan langit, kemudian dengan bentakan nyaring dia menyambut luncuran tubuh lawan itu dengan kedua tangan didorongkan ke depan, dengan jari-jari terbuka. Inilah yang dinamakan menyambut keras lawan keras dan untuk ini tentu saja diandalkan kepada tenaga sepenuhnya. Melihat ini, pangeran itu terkejut. Tak disangkanya lawan akan menggunakan kekerasan. Dia tadinya mengharapkan Sin Liong untuk mengelak atau menangkis, dan kalau hal itu terjadi, tentu dia akan lebih mudah untuk me­rubah gerakan tangan dan dengan demi­kian dia mengharapkan untuk dapat mengelabuhi dan memukul lawan. Siapa kira, pemuda itu agaknya nekat menyam­butnya dengan kekerasan juga, dengan dorongan kedua tangannya yang disertai pengerahan tenaga sin-kang! Apa boleh buat, terpaksa pangeran itupun mengerah­kan tenaga pada kedua lengannya dan membuka lengan untuk menyambut atau menahan dorongan lawan.



Dua pasang telapak tangan yang sa­ma kuatnya bertemu di udara dengan tenaga sepenuhnya.



“Desss...!” bukan main hebatnya pertemuan dua pasang tangan itu. Semua tamu sampai merasa betapa ada hawa pukulan kuat mengguncang mereka dan bumi seperti tergetar. Akibat dari pertemuan dua telapak tangan itu ternyata merugikan sang pangeran. Sin Liong terdorong kuda-kuda kakinya sampai satu meter ke belakang, kakinya terseret dan membuat guratan dalam sampai hampir dua senti di lantai, sedangkan mukanya berubah pucat. Akan tetapi lawannya, Pangeran Ceng Han Houw, yang melakukan adu tenaga dengan tubuh masih meluncur, terpelanting dan terbanting ke atas tanah.



“Pangeran...!” Ciauw Si mengeluarkan seruan kaget.



Akan tetapi Ceng Han Houw yang terbanting itu sudah bergulingan lalu tahu-tahu dia sudah meloncat bangun, mengeluarkan teriakan nyaring yang aneh, melengking tinggi dan setelah itu, dia lalu berjungkir balik. Kepalanya yang kini menggantikan kedudukan kedua kakinya itu berloncatan mengeluarkan suara duk-duk-duk, kaki tangannya bergerak-gerak dan dia sudah mulai menyerang Sin Liong dengan ilmu silatnya yang aneh itu, yaitu Hok-te Sin-kun (Silat Sakti Membalikkan Bumi). Sin Liong yang mengenal ilmu aneh yang amat berbahaya, yang tadi hampir mengalahkan ayah kandungnya, cepat bersikap hati-hati dan dia tetap mempergunakan Hok-mo Cap-sha-ciang untuk menandingi ilmu aneh ini.



Sementara itu, kiranya teriakan melengking yang dikeluarkan oleh pangeran itu bukan semata-mata teriakan marah, melainkan merupakan suatu tanda bagi para pembantunya untuk bergerak. Buktinya, begitu dia mengeluarkan teriakan melengking itu, beberapa orang dari golongan hitam yang tadinya duduk di antara para tamu, telah bangkit berdiri, para pengawal yang tadinya berjaga-jaga di luar kini datang dan mengurung tempat itu, dan kedua orang kakek dari Lam-hai Sam-lo juga sudah meloncat untuk mengeroyok Sin Liong! Akan tetapi, Yap Kun Liong dan Yap In Hong sudah siap siaga, maka begitu melihat dua orang kakek itu berloncatan ke medan pertandingan, merekapun dengan loncatan jauh telah berada di situ. Yap Kun Liong sudah menghadapi Hai-liong-ong Phang Tek sedangkan adik kandungnya telah menghadapi Kim-liong-ong Phang Sun!



“Hemm, kiranya Lam-hai Sam-lo yang tinggal dua orang ini tak lain hanya orang-orang licik dan curang tukang keroyok seperti tukang-tukang pukul di pasar saja!” Yap Kun Liong berkata sambil menghadapi Phang Tek dengan senyum mengejek.



“Kau agaknya sudah bosan hidup, bocah tua bangka!” Yap In Hong juga membentak Phang Sun yang disebutnya bocah tua karena memang tubuh kakek ini seperti anak kecil.

“Saudara-saudara, para pendekar sombong ini sudah mulai mengacau, hayo bangkit serentak dan menghancurkan mereka sebelum kelak mereka yang akan membasmi kita!” tiba-tiba terdengar bentakan seorang kakek yang baru muncul dan ternyata dia itu adalah Kim Hwa Cinjin, Ketua Pek-lian-kauw dari selatan yang perkumpulannya telah diobrak-abrik oleh Pangeran Hung Chih akan tetapi yang sempat pula melarikan diri bersama banyak pimpinan Pek-lian-kauw yang pada saat itu berkumpul pula di situ. Kalau tadi dia tidak nampak adalah karena dia disuruh bersembunyi dulu oleh Pangeran Ceng Han Houw yang sudah membuat bekas musuh-musuh ini menjadi sekutunya. Mendengar seruan ini, banyak tokoh kang-ouw dari golongan hitam yang serentak bangkit dari tempat duduk mereka. Golongan ini adalah orang-orang yang selalu mengejar keuntungan, dan tentu saja mereka melihat kesempatan baik untuk memperoleh keuntungan jika mereka membantu pangeran yang selain lihai juga besar pengaruhnya dan kaya raya itu.

Akan tetapi pada saat itu Cia Bun Houw sudah meloncat maju dan menghadapi ketua Pek-lian-kauw itu sambil membentak marah, “Pemberontak-pemberontak hina! Cu-wi yang gagah perkasa dari dunia kang-ouw tentu tidak akan membiarkan kaum sesat ini untuk menjebak kita dan untuk memberontak kepada pemerintah. Siapa yang merasa dirinya gagah, silakan maju membantu pemerintah untuk menghadapi mereka!”



“Bagus! Mari kita basmi penjahat-penjahat pemberontak ini! Siauw-lim-pai takkan pernah sudi bersahabat dengan kaum pemberontak dan penjahat!” teriakan dengan suara amat lantang ini dikeluarkan oleh Cui Khai Sun, pemuda Siauw-lim-pai yang gagah perkasa tadi. Seruannya ini membangkitkan semangat para orang gagah di situ dan banyak di antara mereka yang bangkit dan siap menghadapi kaum sesat. Akan tetapi masih banyak yang ragu-ragu dan tetap duduk saja dan tidak ingin mencampuri urusan itu.



Sementara itu, Pangeran Ceng Han Houw yang mengamuk dalam keadaan jungkir balik itu, selalu dapat disambut oleh sin Liong dengan baik. Melihat betapa banyak orang gagah yang bangkit dan hendak menentangnya, dia meloncat dalam keadaan jungkir balik dan menjauhi Sin Liong sambil berkata, “Tahan semua orang yang hendak melawan kami! Pasukanku berjumlah ribuan orang telah mengurung tempat ini! Kalian telah terkurung, siapa menyerah dan membantuku akan diampuni, yang menentang akan dibunuh!”



“Pangeran pemberontak! Engkau dan pasukanmulah yang terkurung! Dengar dan lihat baik-baik, sepuluh ribu pasukan telah mengurung Lembah Naga!” teriak Bun Houw pula dan pada saat itu Cia Giok Keng sudah melepaskan sebatang anak panah yang membumbung tinggi di angkasa dan anak panah api itu mengeluarkan asap tebal di angkasa. Tiba-tiba terdengar suara tambur dan hiruk-pikuk di empat penjuru, tanda bahwa tempat itu telah dikurung oleh pasukan besar yang kini mulai datang mengurung dan mendesak!



Bukan main kaget dan marahnya Pangeran Ceng Han Houw. Dia meloncat dan menyerang lagi Sin Liong yang sudah menyambutnya dengan tangkas. Maka perkelahianpun dimulailah! Lam-hai Sam-lo yang tinggal dua orang kakek itu ditandingi Yap Kun Liong dan Yap In Hong, sedangkan ketua Pek-lian-kauw Kim Hwa Cinjin dihadapi Bun Houw. Orang-orang golongan hitam yang membantu pangeran pemberontak itu berhadapan dengan orang-orang gagah yang menjadi tamu di situ. Setelah melepaskan anak panah api yang menjadi tugasnya dan mendengar sambutan balatentara kerajaan, Cia Giok Keng juga menyerbu dan ikut mengamuk dalam pertempuran itu, karena jumlah para tokoh sesat yang dibantu oleh pe­ngawal-pengawal itu jauh lebih banyak daripada jumlah orang gagah yang me­nentang pangeran.



Pertempuran hebat terjadi di tempat pesta atau tempat pertemuan itu. Sin Liong dan Pangeran Ceng Han Houw berkelahi di tengah-tengah dan perkelahi­an mereka itu amat serunya, dan tidak ada yang mendekat untuk membantu karena keduanya telah mengeluarkan ilmu silat mereka yang mujijat, yang mereka dapatkan dari Bu Beng Hud-couw dan merupakan ilmu silat yang luar biasa sekali sehingga membantu mereka selain bahkan akan mengganggu, juga mungkin pembantunya akan terancam bahaya oleh­ yang dibantunya itu sendiri.



Sementara itu, di luar Lembah Naga sudah terjadi perang antara pasukan Lembah Naga melawan pasukan pemerintah. Akan tetapi karena jumlah pasukan yang datang nienyerbu itu jauh lebih besar, maka sebentar saja pasukan Lembah Naga itu terdesak dan terus mundur, dihimpit dari luar dari pasukan kerajaan.



Sementara itu, pertempuran yang ter­jadi di ruangan yang luas itupun terjadi dengan hebatnya. Akan tetapi karena tokoh tokoh besarnya seperti Pangeran Ceng Han Houw dan dua orang kakek Lam-hai Sam-lo, juga para tokoh Pek-lian-kauw, menemui tanding yang amat kuat dari pihak keluarga Cin-ling-pai, Siauw-lim-pai dan tokoh-tokoh kang-ouw lain yang tangguh, maka kaum sesat itupun kehilangan semangat dan mereka itu banyak yang sudah roboh oleh para orang gagah.



Ketua Pek-lian-kauw Kim Hwa Cinjin yang sudah amat tua itu bukanlah lawan dari Cia Bun Houw. Dalam pertandingan yang kurang dari lima puluh jurus saja, dengan tamparan Thian-te Sin-ciang yang dahsyat, pendekar ini telah merobohkan kakek ini yang tewas seketika karena tidak dapat menahan tamparan dahsyat yang mengenai dadanya. Cia Ciok Keng yang mengamuk dengan pedang Gin-hwa-kiam yang bersinar perak telah merobohkan beberapa orang tokoh Pek-lian-kauw.



Juga perkelahian antara Yap In Hong yang melawan Kim-liong-ong Phang Sun berlangsung dengan luar biasa serunya. Pendekar wanita itu menemui tanding karena kakek kecil pendek itu memang hebat dan merupakan tokoh yang terkenal dengan ilmu silat yang tinggi. Namun, karena dasar ilmu silat yang dimiliki pendekar wanita itu lebih murni dan juga karena hati kakek pendek kecil ini sudah gentar menyaksikan betapa keadaan kini tanpa diduga-duga telah terbailk, dan keadaan pangeran yang dibelanya itu terancam bahaya, maka perlahan-lahan Kim-liong-ong Phang Sun mulai terdesak hebat. Perlahan namun tentu, Yap In Hong mulai melancarkan lebih banyak serangan, terutama tamparan-tamparan Thain-te Sin-ciang dan Phang Sun hanya main mundur, mengelak dan menangkis tanpa sempat melakukan penyerangan balasan. Dia yang biasanya lihai ini sudah mulai mencari-cari jalan keluar untuk melarikan diri, namun lawannya terus mengurungnya dengan serangan-serangan dahsyat dan bertubi-tubi sehingga kakek kecil ini repot sekali.



Tidak demikiain dengan kakaknya, yaitu Hai-liong-ong Phang Tek. Kalau Phang Sun masih dapat melakukan perlawanan, sebaliknya Hai-liong-ong Phang Tek begitu bergerak melawan Yap Kun Liong segera mendapat kenyataan bahwa lawannya ini hebat bukan main, tidak kalah hebatnya dibandingkan dengan Cia Bun Houw! Bahkan pendekar yang sudah setengah tua ini selain memiliki kematangan dalam gerakan juga ternyata memiliki banyak sekali ilmu silat yang aneh-aneh! Hanya gerakan gin-kang yang amat tinggi dari Hai-liong-ong Phang Tek, maka dia masih dapat bertahan akan tetapi dia tahu bahwa tidak mungkin dia akan menang menghadapi pendekar yang amat lihai ini dan seperti juga Kim-liong-ong Phang Sun, mulailah orang pertama dari Lam-hai Sam-lo ini untuk mencari kesempatan lari! Ketika dia melihat kesempatan itu terbuka, yaitu ketika lawannya bergerak agak lambat, dia menggereng dan dari samping lengan kanannya yang panjang itu menyambar, tangannya mencengkeram ke arah muka Yap Kun Liong. Ini merupakan gerakan yang cepat dan dahsyat, akan tetapi hanya untuk menggertak saja dan dia sudah siap me­lompat jauh dan melarikan diri kalau lawannya mengelak dan mundur.

Akan tetapi ternyata lawannya tidak mengelak, melainkan mundur sedikit dan membiarkan pundaknya terbuka tidak terlindung. Melihat ini, tentu saia Hai-liong-ong Phang Tek tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk menang ini. Tangannya yang masih terbuka seperti cakar harimau itu tiba-tiba mencengke­ram ke arah pundak lawan yang tak terlindung itu.



“Capp...!” Seperti cakar baja kelima jari tangan kanan kakek itu mencengkeram ke arah pundak dan Yap Kun Liong sama sekali tidak mengelak maupun menangkis, melainkan membiarkan pundaknya dicengkeram.



“Auhhhh...!” Terdengar Hai-liong-ong Phang Tek berseru kaget sekali ketika dia merasa betapa cengkeramannya mengenai benda lunak yang melekat dan terus menyedot sehingga tenaga sin-kang dari tubuhnya menerobos keluar melalui tangannya itu! Dia berusaha menggunakan tenaga untuk menarik kembali tangannya, akan tetapi makin dia mengerahkan tenaga, makin hebat pula sin-kangnya mengalir dan membanjir keluar! Pucatlah wajah Hai-liong-ong Phang Tek dan tubuhnya menggigil. Dengan nekat tangan kirinya lalu menghantam, akan tetapi sekali ini tangan itu ditangkap oleh lawan. Begitu tertangkap, kembali sin-kangnya mengalir kuat dari pergelangan tangan yang tertangkap itu sehingga makin banyaklah kini sin-kang yang membanjir keluar itu.



“Aduh... celaka...!” Kakek itu berseru. Teringatlah dia akan Ilmu Thi-khi-i-beng yang mujijat dan dia menjadi takut bukan main.



“Hemm, kejahatanmu sudah melewati takaran agaknya. Pergilah!” Yap Kun Liong tiba-tiba menampar dengan tangan kirinya, tepat mengenai belakang telinga lawan dan Hai-liong-ong Phang Tek me­ngeluh, tubuhnya terpelanting dan dia tewas di saat itu juga.



Melihat kakaknya roboh, Kim-liong-ong Phang Sun menjadi semakin jerih. Dia mengeluarkan teriakan panjang dan tiba-tiba dia meloncat pergi. Akan tetapi wanita perkasa itu membentak. “Hendak lari ke mana kau?” Dan Yap In Hong mengejar dengan cepat, tangan kirinya bergerak dan sinar hijau menyambar. Itulah Siang-tok-swa, senjata rahasia is­timewa merupakan pasir hijau yang ber­bau harum. Akan tetapi pasir halus ini mengandung racun yang amat berbahaya. Kim-liong-ong Phang Sun cepat melempar tubuh ke samping lalu bergulingan sehingga sambaran pasir beracun itu lewat di atas kepalanya, akan tetapi baru saja dia hendak meloncat bangun, lawannya telah menerjangnya. Kakek kecil pendek ini hendak mengelak, namun dia kalah cepat dan begitu tangan Yap In Hong mengenai tengkuknya dengan tamparan Thian-te Sin-ciang yang ampuh, robohlah kakek itu dan nyawanyapun melayang sebelum tubuhnya terbanting ke atas lantai.



Cia Bun Houw, Yap Kun Liong, Yap In Hongs dan Cia Giok Keng kini terus mengamuk, membantu para tokoh kang-ouw golongan bersih untuk menghadapi kaum sesat yang membantu Pangeran Ceng Han Houw. Biarpun jumlah kaum sesat lebih banyak, namun dengan bantuan mereka berempat ini mereka menjadi kocar-kacir dan banyak di antara mereka yang roboh dan tewas. Sementara itu, Lie Ciauw Si masih tetap duduk seperti patung di kursinya yang tadi, sedikitpun tidak bergerak, tidak membantu suaminya, juga tidak menentang suaminya. Dia seperti orang kehilangan semangat menyaksikan keruntuhan cita-cita pria yang dicintanya itu dan diam-diam dia merasa ikut bersedih untuk suaminya itu. Semenjak tadi dia tidak melihat yang lain kecuali menonton suaminya yang masih bertanding dengan hebat dan serunya melawan Sin Liong!



Para tokoh Cin-ling-pai itu setelah merobohkan banyak orang dari golongan hitam dan kini ikut menonton pertandingan antara Sin Liong dan pangeran itu, mulai mendekat dan melihat mereka mendekat, Sin Liong berkata, sambil tetap mendesak lawannya, “Harap cu-wi dari Cin-ling-pai membiarkan saya menghadapi musuh besar ini sendiri.” Mendengar ini, tiga orang itu berhenti dan hanya menonton dengan penuh kagum. Pertandingan itu sudah mencapai puncaknya, dan keduanya sudah mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaga mereka untuk saling mendesak dan kalau mungkin merobohkan lawan. Ceng Han Houw masih mempergunakan ilmunya yang aneh, dengan berjungkir balik dia berusaha untuk mendesak lawan dengan kedua tangan dari bawah dan kedua kaki dari atas. Namun, dengan ilmu Hok-mo Cap-sha-ciang, Sin Liong selalu dapat membuyarkan semua serangannya, bahkan serangan balasan Sin Liong selalu membuat tubuh yang berjungkir balik itu tergetar dan bergoyang, bahkan kadang-kadang memaksa pangeran itu untuk berloncatan ke belakang sehingga kepala yang menyentuh lantai itu mengeluarkan suara dak-duk-dak-duk.



Dengan sekilas pandang saja tahulah Pangeran Ceng Han Houw bahwa dia telah gagal total. Para tokoh kang-ouw golongan hitam yang membantunya telah roboh satu demi satu, para pembantunya yang dipercaya, seperti subo dan sucinya, telah tewas dan bahkan dua orang Lam-hai Sam-lo telah roboh pula. Dan dari gemuruh suara pertempuran antara pasukannya dan pasukan pemerintah, dia maklum pula bahwa pasukannya terus terdesak mundur, karena suara gemuruh itu makin lama makin dekat juga. Hatinya menjadi sedih dan kecewa, akan tetapi kemarahannya terhadap Sin Liong mengatasi semua itu. Bocah inilah yang menjadi gara-gara kegagalanku, demikian pikirnya. Kini dia telah dikurung oleh tokoh-tokoh Cin-ling-pai. Dia harus dapat merobohkan Sin Liong lebih dulu, harus dapat menewaskan bocah ini. Maka, nekatlah Ceng Han Houw. Dengan mengeluarkan pekik dahsyat yang melengking tinggi, tubuhnya yang berjungkir balik itu meluncur ke depan dan tiba-tiba tubuh itu meloncat tinggi kemudian dari atas tubuhnya me­luncur turun dan dia menubruk ke arah Sin Liong seperti seekor harimau kelaparan menubruk seekor kijang! Tubrukannya ini hebat, cepat dan dilakukan dengan te­naga sepenuhnya, tenaga yang dipusatkan kepada dua tangan dan kepalanya karena dia hendak menyerang lawan dengan kedua tangan dan kepala!

Menghadapi serangan seperti ini, Sin Liong juga terkejut. Inilah serangan yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah nekat, yang tidak memperdulikan keselamatan diri sendiri, yang ingin mengadu nyawa kalau perlu dengan musuhnya! Sin Liong maklum bahwa kalau dia menyambut serangan itu dengan kekerasaan pula, biarpun dia akan dapat merobohkan lawan, akan tetapi dia sendiri terancam bahaya maut. Tenaga yang dipergunakan Han Houw dalam serangan itu adalah tenaga yang dipusatkan, ditambah tenaga luncurannya yang kuat, sehingga amat berbahaya kalau disambut dengan kekerasan. Oleh karena itu, diapun lalu mainkan jurus terakhir dari Hok-mo Cap-sha-ciang yang memang khusus diciptakan untuk mempergunakan tenaga lemas me­lawan serangan dahsyat yang keras. Sin Liong berdiri tegak, mengerahkan tenaga “Im” dan mula-mula dia hendak mem­pergunakan Thi-khi-i-beng, akan tetapi segera dibatalkan niat ini karena dia maklum bahwa ilmu ini akan membahaya­kan dirinya kalau ada tenaga sin-kang yang demikian kuat dan kerasnya mem­banjir masuk dengan kekuatan sepenuh­nya, bisa merusak seluruh isi perutnya. Maka dia lalu melakukan jurus terakhir itu, dan pula saat kedua tangan lawan sudah hampir mengenai dadanya, dia me­nangkis dari bawah dan pada saat itu, karena dia menyimpan tenaga, tidak terjadi benturan tenaga dan dia terjeng­kang atau sengaja melempar diri ke bela­kang sehingga dia terlentang dan karena lawannya meluncur dengan tenaga penuh, maka tubuh pangeran itu meluncur terus di atasnya tanpa dapat ditahan oleh pangeran itu sendiri. Saat itulah Sin Liong menggerakkan tangan kanan dari bawah, menghantam ke atas dan ujung-ujung jari tangannya dengan tenaga Thian-te Sin-ciang telah dengan cepat menampar perut lawan agak ke atas dekat ulu hati.



“Plaakkk!” Tubuh pangeran itu masih meluncur terus akan tetapi kehilangan keseimbangan dan akhirnya terbanting ke atas tanah, bergulingan dan tidak ber­gerak lagi. Dari mulutnya mengalir darah segar dan sepasang matanya mendelik, napasnya empas-empis. Ternyata dia telah menerima pukulan yang amat hebat dan tepat sehingga sebelum tubuhnya terbanting, pangeran ini telah pingsan dan dia telah menderita luka dalam yang amat hebat.



“Pangeran...!” Terdengar suara jeritan dan Lie Ciauw Si telah meloncat dan menubruk tubuh suaminya sambil menangis. Sin Liong berdiri dengan muka pucat, memandang kepada pangeran itu. Hatinya penuh dengan penyesalan dan kedukaan. Betapapun juga, dia teringat akan semua kebaikan pangeran itu dan sekarang, begitu melihat pangeran itu roboh pingsan dan dia tahu berada dalam keadaan gawat karena pukulannya tadi amat kuat dan tepat mengenai ulu hati, timbul rasa terharu dan kasihan dalam hatinya. Dia tahu bahwa sebetulnya ba­nyak terdapat sifat-sifat baik pada diri pangeran ini, hanya sayang, karena ke­manjaan dan karena ambisi yang luar biasa besarnya maka pangeran itu tidak segan-segan melakukan segala kecurangan dan kejahatan. Dia menunduk dan me­mandang kepada Lie Ciauw Si dengan penuh iba, lalu berkata lirih.



“Piauw-ci... dia... semua ini adalah salahnya sendiri...”



Lie Ciauw Si menoleh dan meman­dang kepada Sin Liong. Pemuda ini sudah menduga bahwa tentu wanita yang amat mencinta pangeran itu akan membenci dan marah kepadanya. Akan tetapi dia terheran melihat betapa wanita yang pucat dan basah air mata itu memandangnya tanpa membayangkan kemarahan atau kebencian sama sekali.



“Aku tahu... dan terima kasih atas sikapmu. Engkaulah satu-satunya orang yang agaknya tidak membencinya, Sin Liong. Biarlah aku membawanya...”



“Silakan, piauw-ci...”



Ciauw Si dengan terisak lalu me­mondong tubuh itu, kemudian tanpa me­noleh lagi kepada para tokoh Cin-ling-pai dia lalu meloncat dan membawa lari tubuh yang pingsan itu dari tempat itu.



“Ciauw Si...!” Cia Giok Keng berseru dan hendak mengejar, akan tetapi lengannya dipegang dengan halus oleh suaminya.



“Jangan ganggu dia... pangeran itu tentu akan tewas, sebaiknya biarkan dia seorang diri dalam kedukaannya...”



Cia Giok Keng lalu menjerit dan menangis di atas dada suaminya yang merangkulnya. Sementara itu, pertempuran di ruangan itu telah berhenti dan semua tokoh kang-ouw golongan hitam telah dapat dirobohkan. Di antara para tokoh kang-ouw yang gagah perkasa dan yang menentang pangeran tadi, terdapat beberapa orang yang terluka dan kini mereka sedang dirawat oleh teman-teman sendiri.



Dan benar seperti dugaan Pangeran Ceng Han Houw, perang kecil-kecilan itupun tidak lama berlangsung karena fihak pasukan Lembah Naga jauh kalah kuat dan sisanya melarikan diri me­ninggalkan mayat teman-teman mereka. Orang-orang kang-ouw golongan sesat yang tadi sudah membuang senjata dan menaluk, setelah menerima peringatan dari komandan-komandan pasukan yang mewakili Pangeran Hung Chih, lalu di­bebaskan. Pangeran Hung Chih sendiri menghampiri tokoh-tokoh Cin-ling-pai dan dengan senyum lebar menghaturkan terima kasih, terutama sekali kepada Cia Sin Liong. Ketika dia mendengar bahwa pemuda itu adalah putera Cia Bun Houw, dia cepat menjura dan berkata kagum. “Ah, seekor naga sakti tentu mempunyai turunan seekor naga pula!”



Setelah melakukan pembersihan di lembah itu, Pangeran Hung Chih me­nyuruh seorang komandan mengepalai pasukan kecil untuk melakukan penjagaan di Istana Lembali Naga, kemudian dia memimpin pasukannya kembali ke kota raja. Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Yap In Hong, dan Cia Bun Houw menitip­kan puteranya yang masih kecil di dalam istana Pangeran Hung Chih. Tentu saja rombongan keluarga Cin-ling-pai ini juga mengajak Cia Sin Liong dan Bhe Bi Cu yang telah diterima sebagai keluarga Cin-ling-pai, dan bersama-sama mereka pergi ke kota raja.

Di dalam perjalanan inilah, dalam keadaan gembira karena berhasil melaksanakan tugas membela negara, Sin Liong menceritakan semua pengalamannya semenjak dia kecil dan dipelihara oleh monyet-monyet besar di hutan-hutan sekitar Lembah Naga, didengarkan oleh semua orang dengan rasa penuh keharuan dan kekaguman. Terutama sekali hati Cia Bun Houw menjadi terharu dan juga bangga. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa peristiwa yang terjadi antara dia dan Liong Si Kwi yang mencintanya pada saat dua puluh tahun yang lalu itu (baca cerita Dewi Maut), akan menghaslikan seorang anak seperti Sin Liong ini! Tak pernah diduga-duganya bahwa dia mempunyai seorang anak laki-laki seperti ini, ketemu sesudah dewasa.



Hanya Cia Giok Keng seorang yang mendengarkan dengan wajah lesu dan hati diliputi kedukaan. Betapapun juga, hati nyonya ini terasa prihatin dan berduka sekali kalau dia mengingat puterinya. Baru saja hatinya tertusuk dan berduka dengan peristiwa yang terjadi atas diri puteranya, Lie Seng. Kini, sebelum perasaan dukanya itu sembuh, dia tertimpa lagi oleh peristiwa ke dua yang menimpa diri puterinya. Diam-diam dia merasa berduka sekali mengapa dua orang anaknya, putera dan puterinya, mengalami kesengsaraan dan kemalangan dalam kehidupan mereka, dalam perjodohan mereka?



Ketika pada malam hari itu terpaksa rombongan harus bermalam di tengah jalan, di luar daerah kota raja di sebelah dalam Tembok besar, Yap Kun Liong yang mendapat kesempatan untuk berdua saja dengan isterinya, membiarkan isteri­nya menangis ketika mereka membicara­kan tentang dua orang anak isterinya itu. Yap Kun Liong, sebagai seorang pendekar yang sudah mengalami gemblengan hidup yang amat mendalamg maklum sepenuhnya akan kesengsaraan hati isterinya, oleh karena itu dia tidak mencela dan tidak menegur isterinya yang membiarkan dirinya terseret oleh duka. Baru menjelang tengah malam, ketika dia berhasil menghibur isterinya dan perasaan duka tidak terlalu menghimpit hati isteri­nya sehingga mengaburkan kewaspadaan, dia mengajak isterinya bicara dengan hati terbuka.



“Isteriku, sungguhpun aku telah menganggap Seng-ji dan Ciauw Si sebagai anak-anakku sendiri, akan tetapi selama ini aku tidak berani mencampuri urusan antara mereka dengan engkau. Sekarang, semuanya itu telah terjadi, marilah kita bicara dari hati ke hati dengan hati terbuka, dengan kewaspadaan sepenuhnya untuk melihat peristiwa-peristiwa itu tanpa dicampuri oleh pendapat dari pikiran kita yang selalu ingin memenangkan diri sendiri dan membenarkan diri sendiri saja. Marilah kita memandang dengan mata terbuka dan mempelajarinya, menyelidikinya, di mana letak ke­salahannya sehingga perjodohan kedua orang anak kita itu mengalami kegagalan seperti itu.”



Giok Keng mengangguk, kemudian berkata sambil menarik napas panjang. “Apalagi yang perlu kita selidiki? Sudah jelas bahwa semua kegagalan dan ke­sengsaran itu diakibatkan oleh karena mereka itu terburu nafsu, terdorong oleh darah muda dan mereka salah pilih.”



“Isteriku yang baik, bagaimana kau dapat mengatakan bahwa mereka salah pilih. Pikirlah dengan tenang dan dengan teliti, penuh kebijaksanaan, apa sebabnya engkau mengatakan bahwa mereka salah pilih?”



“Tentu saja, mereka memilih jodoh tanpa melihat bagaimana keadaan orang yang mereka pilih. Lie Seng memilih se­orang wanita yang sama sekali tidak ber­harga menjadi isterinya sehingga meng­akibatkan bencana yang demikian hebat dan mematahkan hatinya, sedangkan Ciauw Si... ahhh... perlukan kukatakan lagi betapa kelirunya pilihannya itu?”



Tiba-tiba Kun Liong merangkul isterinya. Biarpun usianya sudah lima puluh lebih dan demikian pula isterinya, namun kedua orang suami isteri ini masih saling mencinta dan tidak jarang me­nunjukkan cinta kasih mereka melalui pandang mata, suara, maupun rangkulan mesra. “Isteriku, katakanlah, apakah eng­kau cinta padaku?”



Sepasang mata Giok Keng terbelalak, lalu dia merangkul. “Ah, jangan kau main-main. Perlukah hal itu ditanyakan lagi? Tentu saja aku mencintamu.”



“Akupun percaya akan hat itu. Engkau cinta sepenuh hati kepadaku seperti juga aku cinta padamu, Giok Keng. Nah, se­andainya ada orang-orang lain yang me­ngatakan bahwa pilihanmu terhadap diri­ku itu keliru, bagaimana pendapatmu?”



“Aku tidak akan perduli! Aku cinta padamu dan aku tidak perduli siappun yang akan mengatakan bagaimanapun tentang dirimu, tentang hubungan kita.”



“Nah, itulah! Dan dua orang anakmu itupun memiliki watak seperti engkau, setia dan penuh cinta kasih murni, dan aku kagum dan menghormat mereka se­perti aku kagum dan menghormatimu, isteriku!” Kun Liong lalu mencium isterinya.



“Eh, eh, apa maksudmu?” Giok Keng bertanya heran, menatap wajah suaminya melalui sinar api unggun yang merah.

“Perjodohan adalah urusan dua orang saja, urusan pria dan wanita yang bersangkutan, urusan hati dan perasaan mereka, dan orang lain, siapapun mereka itu, baik orang tua sendiri sekalipun, tidak semestinya mencampuri! Orang tua atau keluarga hanya membantu pelaksanaannya belaka, akan tetapi sedikitpun tidak boleh mencampurinya, karena sekali mencampuri, hanya akan merusak suasana! Cobalah kita pikir secara mendalam dan jujur. Andaikata... andaikata keluarga Cin-ling-pai tidak mencampuri urusan cinta kasib antara Lie Seng dan Sun Eng, kurasa cinta kasih mereka tidak akan berakhir sedemikian menyedihkan.”

Cia Giok Keng diam saja, tak bergerak seperti pulas dalam pelukan suaminya. Akan tetapi sesungguhnya dia merasa terpukul, tertusuk dan ucapan suami­nya itu mengena benar di hatinya dan terbayanglah semua peristiwa yang ter­jadi dengan diri Lie Seng dan Sun Eng.



“Aku tidak mencela siapa-siapa, tidak mencela keluarga kita yang mencampuri, karena aku tahu bahwa maksud kalian semua itu baik saja. Akan tetapi baik untuk siapa? Untuk kalian sendiri tentu saja, bukan untuk Lie Seng dan Sun Eng. Itulah akibatnya kalau kita sebagai orang-orang tua mencampuri urusan cinta kasih antara dua orang anak muda.”



Hening sejenak. Akhirnya terdengar suara pembelaan Cia Giok Keng, lirih dan lemah, “Akan tetapi mana mungkin seorang ibu seperti aku mendiamkannya saja melihat puteranya keliru memilih calon jodoh? Aku ingin melihat puteraku bahagia...”



“Nah, di situlah letak kesalahannya, bukan? Kita ingin melihat putera kita bahagia, oleh karena itu kita hendak memilihkan jodoh yang tepat untuk putera kita! Ah, seolah-olah jodoh itu seperti sehelai baju yang dapat kita patut-patut. Bahkan bajupun tergantung dari­pada selera, isteriku, dan selera kita tentu belum tentu sama dengan selera putera kita! Apa yang kita anggap baik belum tentu baik bagi putera kita, oleh karena itu wajarlah kalau apa yang di­anggap baik oleh putera kitapun belum tentu baik bagi pandangan kita. Kalau kita berkata bahwa kita ingin melihat putera kita bahagia, maka dia harus me­nurut pilihan kita, bukankah itu berarti bahwa sesungguhnya, di balik semua kata-kata kita itu, kita sebetulnya ingin melihat hati kita sendiri senang karena pu­tera kita memilih jodoh yang kita sukai? Kita harus jujur, isteriku. Dalam per­jodohan, yang terutama adalah cinta-mencinta. Itu saja, yang lain tidak masuk hitungan! Dan cinta kasih, apakah cinta itu mengenal usia, maupun kedudukan, maupun baik buruk? Cinta adalah cinta dan bagaimana mungkin kita dapat menyalahkan seseorang, apalagi putera kita sendiri kalau dia jatuh cinta kepada se­seorang? Kalau engkau jatuh cinta ke­padaku dan aku jatuh cinta kepadamu, siapakah yang berhak menyalahkan kita, isteriku?”



Giok Keng termenung. “Jadi... kaupikir... dahulu Lie Seng dan Sun Eng sudah saling jatuh cinta, maka mereka berdua sudah berhak untuk saling berjodoh, dan kita, fihak keluarga dan orang-orang tua, sama sekali tidak boleh mencampurinya?”



“Tidakkah begitu menurut kesadaran­mu?”



“Ah, engkau mengatakan begitu kare­na sekarang akibatnya buruk bagi mere­ka.”



“Bukan, isteriku. Aku tidak mengata­kan bahwa andaikata dahulu keluarganya tidak mencampuri, Lie Seng dan Sun Eng akan hidup berbahagia atau tidak sampai mendapatkan halangan. Soal halangan dan apakah hidup dapat beruntung atau tidak sama sekali tidak ada hubungannya de­ngan ini. Akan tetapi, setelah kita mencampuri urusan jodoh mereka sehingga akhirnya persoalan menjadi berlarut-larut dan mengakibatkan hal yang amat menyedihkan, bukankah hal itu menyadarkan kita bahwa urusan jodoh adalah urus­an dua orang dan di mana ada cinta-mencinta maka perjodohan itu sudah benar, asalkan tidak melanggar suatu hal lain yang merugikan orang lain? Lie Seng masih bebas, dan Sun Eng pun wanita bebas, mereka saling mencinta, maka sudah benarlah itu, dan sudah benar pula kalau mereka itu saling berjodoh. Kita harus dapat melihat kesalahan kita yang telah mencampuri urusan mereka, lepas dari soal apakah hal itu mendatangkan kerusakan atau kebaikan.”



Hening lagi sejenak dan perlahan-lahan, semua ucapan suaminya itu dapat menembus kekerasan hati Cia Giok Keng dan dapat membuka mata hatinya.”Akan tetapi... bagaimana kalau apa yang terjadi dengan pilihan Ciauw Si itu?”



“Apa salahnya pilihan Ciauw Si? Dia­pun memilih pangeran itu karena saling mencinta, dan kita harus menghormatinya bahwa dia memang benar-benar mencinta pilihan hatinya itu, sampai mati sekali­pun! Demikianlah seharusnya orang me­milih jodohnya, berdasarkan cinta, bukan berdasarkan sifat-sifat baik dari yang dipilih, karena memilih jodoh berdasarkan apakah yang dipilih itu tampan, cantik, pandai, kaya, berpangkat, berbudi dan sebagainya sama sekali bukan berdasar­kan cinta, melainkan berdasarkan ingin menyenangkan hati sendiri. Bukankah demikian?”



Akhirnya ibu yang merana ini kembali terisak dan merangkul suaminya. “Engkau benar... mengapa aku hendak mencampuri urusan cinta kasih anak-anakku? Aku tidak ingat akan pengalamanku sendiri, pengalaman kita...”



“Sudahlah, isteriku. Segala sesuatu telah terjadi, dan betapapun juga, kita harus bangga mempunyai anak-anak yang demikian tulus cinta kasihnya seperti Lie Seng dan Ciauw Si.”



Memang demikianlah adanya. Betapa banyaknya orang tua yang tanpa mereka sadari sendiri telah melakukan tindakan-tindakan yang sama sekali menyimpang daripada cinta kasih dan kebenaran. Kita selalu ingin menyatakan cinta kasih kita kepada anak-anak kita dengan jalan mengatur sedemikian rupa untuk anak-anak kita, bukan hanya mengatur pen­didikannya, pemeliharaannya, akan tetapi juga kita ingin mengatur masa depannya, mengatur kesukaannya, bahkan mengatur jodoh mereka! Kita beranggapan bahwa kalau anak-anak kita itu menurut kepada kita, mereka pasti akan hidup berbahagia, seolah-olah kehidupan merupakan garis tertentu yang sudah mati, yang dapat diatur sedemikian rupa menuju kepada kebahagiaan! Seolah-olah apa yang kita anggap baik den menyenangkan tentu akan baik dan menyenangkan pula bagi anak-anak kita! Kita lupa bahwa kehidup­an itu selalu berubah, bahwa alam-­pikiran dan selera manusia itupun ber­kembang dan mengalami perubahan-perubahan. Apa yang kita sendiri senangi di waktu kita masih kanak-kanak akan menjadi membosankan di kala kita sudah dewasa, dan apa yang menyenangkan kita di waktu kita dewasa mungkin akan menjadi memuakkan di waktu kita telah tua. Oleh karena itu, benarkah itu kalau kita memakai ukuran mata kita untuk mengatur kehidupan anak-anak kita yang lebih muda dan mempunyai selera lain sama sekali dari kita? Benarkah kita mencinta anak-anak kita kalau kita hanya ingin mereka itu menurut kepada kita, yang pada hakekatnya menunjukkan bahwa sesungguhnya kita ingin senang sendiri. Ingin melihat anak-anak kita menuruti kemauan hati kita? Cinta adalah demi si anak, demi perasaan hati si anak, se­karang, bukan kelak! Bukan masa depan, melainkan saat demi saat! Maukah kita sebagai orang tua yang bijaksana mem­beri kebebasan seluasnya kepada anak-anak kita, dengan memberi petunjuk-petunjuk, bukan mendikte, melainkan memberi petunjuk dan menjaga, mem­buka mata batin mereka kalau mereka itu tanpa mereka sadari menyeleweng, dengan penuh kasih sayang dan demi kebahagiaan mereka saat demi saat? Hal ini hanya mungkin dilakukan kalau sudah tidak ada keinginan dalam hati kita untuk menikmati kesenangan diri sendiri melalui anak kita!

Setelah tiba di kota raja, keluarga Cin-ling-pai mengajak Sin Liong dan Bi Cu untuk ikut ke Cin-ling-pai. “Engkau adalah puteraku, dan Bi Cu adalah calon mantuku,” demikian Cia Bun Houw ber­kata dengan terus terang kepada mereka, “maka sebaiknya kalau kalian berdua ikut bersama kami ke Cin-ling-pai. Engkau adalah keluarga Cin-ling-pai dan berhak tinggal di sana, dan karena semenjak kecil kita saling berpisah, maka sebaik­nya kalau kita sekarang berkumpul.”



“Benar, Sin Liong. Ayahmu dan aku ingin membangun kembali Cin-ling-pai. Marilah ikut bersama kami di sana, ke Cin-ling-san!” Cia Giok Keng juga membujuk.



“Akan tetapi... sri baginda kaisar telah menganugerahkan Lembah Naga kepada kami...” Sin Liong menjawab agak ragu-ragu.



“Maksudku untuk sementara kalian tinggal di Cin-ling-san sampai kalian menikah. Kalau kalian sudah menikah, terserah kalau kalian ingin tinggal di Istana Lembah Naga,” kata Bun Houw.



“Apakah tidak terlalu sunyi tinggal di tempat itu?” Cia Giok Keng bertanya.



“Ah, kalau tinggal berdua, mana bisa merasa sunyi?” Yap Kun Liong menyam­bung sambil tertawa dan semua orang tertawa, juga Bi Cu tersenyum malu-malu.



“Banyak terima kasih atas kebaikan ayah, ibu dan paman serta bibi berempat. Kami berdua pasti akan pergi ke Cin-ling-san, akan tetapi sekarang ini kami ingin pergi ke selatan untuk menengok adik-adik saya Kui Lan dan Kui Lin. Setelah menengok mereka, kami tentu akan menyusul ke Cin-ling-pai dan selanjutnya tentang pernikahan, terserah kepada semua orang tua di Cin-ling-pai.”



Akhirnya mereka semua setuju dan berangkatlah Sin Liong dan Bi Cu ke kota Su-couw di Ho-nan. Sesungguhnya, bukanlah semata untuk menengok Lan Lan dan Lin Lin saja mereka pergi ke Su-couw, melainkan untuk melihat keada­an Kui Hok Boan. Di tengah perjalanan menuju ke kota raja, Sin Liong telah menceritakan secara terus terang kepada Bi Cu bahwa dia menduga keras bahwa pembunuh ayah kandung Bi Cu yang bernama Bhe Coan itu adalah Kui Hok Boan, ayah tirinya sendiri.



“Aku mendengar ketika dia mengigau,” demikian antara lain Sin Liong menuturkan. “Dan agaknya dialah yang membunuh ayahmu.”



“Keparat, sungguh jahat jahanam itu! Aku harus membalas kematian ayah!” Bi Cu berkata dengan marah.



“Nanti dulu, Bi Cu, dengarlah dulu baik-baik. Ketahuilah, bahwa ketika dia mengigau itu, dia berada dalam keadaan tidak sadar dan dia telah berubah ingatannya.”



“Ah? Maksudmu, dia...” Bi Cu membuat tanda dengan melintangkan telunjuk di atas dahinya.



“Benar, dia telah mengalami tekanan batin sehingga menjadi gila.” Sin Liong lalu menceritakan tentang semua riwayat Kui Hok Boan, kemudian tentang dua orang pemuda yang sebenarnya adalah anak-anaknya sendiri akan tetapi yang diakuinya sebagai keponakan dan betapa dua orang anaknya itu saling bermusuhan dan saling bunuh sendiri. Semua itu membuat Kui Hok Boan merasa menyesal dan membikin dia menjadi gila.



“Nah, dalam keadaannya seperti sekarang ini, dalam keadaan hidup menderita dan merana, sampai menjadi gila, apakah engkau masih mempunyai gairah untuk membalas dendam? Membalas kepada orang yang sudah terhukum sehebat itu karena perbuatan-perbuatannya sendiri?”



Bi Cu termangu-mangu, kemudian berkata, “Memang tidak enak memusuhi orang sakit, apalagi sakit gila. Akan tetapi aku masih penasaran sebelum melihat keadaannya dengan mata sendiri, Sin Liong. Mari kita mengunjunginya dan setelah melihat keadaannya, baru aku akan memutuskan apakah aku akan membalas kematian ayah ataukah tidak.”

Demikianlah, setelah mendapatkan persetujuan para tokoh Cin-ling-pai, Sin Liong dan Bi Cu lalu berangkat ke selatan. Mereka menunggang dua ekor kuda yang amat baik karena mereka mendapatkan hadiah dari Pangeran Hung Chih. Pakaian merekapun serba bersih dan indah. Bukankah mereka adalah pahlawan-pahlawan yang berjasa menentang dan menggagalkan pemberontakan? Mereka menerima banyak hadiah berupa pakaian dan uang emas dari pangeran itu, bahkan kaisar sendiri berkenan menyerahkan Istana Lembah Naga kepada Sin Liong setelah mendengar bahwa pendekar itu terlahir di dalam istana itu. Raja Sabutai telah dihubungi melalui utusan dan raja itupun tidak membantah ketika kaisar menentukan bahwa istana itu diserahkan dan menjadi hak milik yang dilindungi dari Cia Sin Liong!

Tentu saja perjalanan kali ini yang dilakukan oleh Sin Liong dan Bi Cu berbeda dengan perjalanan-perjalanan yang lalu sebagai orang yang dikejar-kejar oleh kaki tangan Pangeran Ceng Han Houw. Kini mereka berdua melakukan perjalanan dengan santai dengan hati penuh keriangan, karena hati mereka penuh dengan cinta kasih yang terpancar dari sinar mata mereka yang saling memandang penuh kelembutan, kata-kata yang penuh kemesraan dan sentuhan-sentuhan yang menggetar. Mereka adalah sepasang kekasih yang saling mencinta, melakukan perjalanan bersama. Kadang-kadang mereka berlumba dengan kuda mereka dan ada kalanya mereka ber­jalan kaki sambil bergandengan tangan, menuntun dua ekor kuda itu di belakang mereka, dan kalau mereka beristirahat, Bi Cu menyandarkan dadanya di pundak atau dada Sin Liong.



Akan tetapi, betapapun meara hu­bungan antara mereka, dan betapapun besar cinta kasih mereka, keduanya se­lalu menjaga diri dan mereka tidak sampai melakukan pelanggaran dalam hu­bungan mereka itu. Sebaliknya, seorang wanita yang sejak kecil hidup sendiri dan tidak malu-malu seperti kebanyakan wa­nita muda, pernah dalam keadaan istira­hat itu Bi Cu menyatakan terus terang kepada Sin Liong.



“Sin Liong, kita sudah bertunangan secara resmi, direstui oleh ayahmu dan keluarga Cin-ling-pai.”



“Ya, kita beruntung sekali, Bi Cu,” jawab Sin Liong sambil mengelus rambut yang hitam halus dan panjang itu.



“Dan kulihat engkau tidak pernah mencoba untuk membujukku, untuk mengajakku... eh, menyerahkan diri kepadamu... sungguhpun... hemm, mungkin sekali... ah, tiada bedanya bagiku, aku merasa bahwa aku telah menjadi milikmu lahir batin. Mengapa, Sin Liong?”



“Ah, kita belum menikah dengan res­mi, Bi Cu.”



“Hemm, aku tahu, akan tetapi... andaikata engkau minta kepadaku dan aku menuruti permintaanmu, kita melakukan hubungan sebelum menikah, lalu mengapa?”



“Tidak, hal itu tidak mungkin Bi Cu.”



“Mengapa, Sin Liong? Apakah karena engkau tidak menginginkannya?”



Sin Liong mendekap kepala itu penuh kasih sayang. “Tentu saja aku ingin sekali!”



“Kalau begitu, sama dengan aku. Lalu apa halangannya?”



Bukan main, kekasihnya ini sungguh seorang gadis yang jujur dan terbuka, tidak pura-pura!



“Tidak, Bi Cu, karena aku cinta pada­mu!”



“Mengapa kalau engkau cinta padaku malah engkau tidak menuntut penyerahan diri dariku?”



“Ah, kekasihku, dewiku, betapa polos dan jujurnya engkau. Engkau percaya sepenuhnya kepadaku, dan justeru karena kepercayaanmu itulah, justeru karena cinta kita itulah, maka aku tidak akan melakukan hal itu, betapapun besar do­rongan gairah nafsuku! Aku cinta pada­mu, Bi Cu, dan karena aku cinta pada­mu, maka aku tentu menghormatimu, aku tentu menjaga namamu, aku tentu, akan menjaga dengan nyawaku untuk tidak merendahkanmu, meremehkanmu. Betapa­pun juga, kita hidup di dalam belenggu-belenggu peraturan, kesusilaan, dan ke­budayaan. Belenggu-belengga itu telah menentukan bahwa tidak semestinya hu­bungan itu dilakukan sebelum menikah, dan siapa melanggarnya, apalagi wanita, tentu akan dikutuk dan dipandang rendah! Nah, karena cintaku kepadamu, betapa­pun besar keinginan hatiku, harus kujaga agar engkau jangan sampai dikutuk dan dipandang rendah. Aku sayang kepadamu, aku ingin engkau senang dan hidup bahagia. Kalau aku membujukmu untuk me­lakukan hubungan suami isteri, hal itu berarti bahwa aku hanya ingin mencari senang dan enak sendiri dan membiarkan engkau yang terancam aib. Mengertikah engkau, Bi Cu?”



Bi Cu bergerak perlahan dan mem­balik, mengangkat muka ke atas dan merangkul leher kekasihnya. Sin Liong menunduk dan mereka berciuman sampai napas mereka terengah-engah dan ter­paksa mereka melepaskan ciuman karena sukar untuk bernapas!



“Sudahlah, mari kita lanjutkan per­jalanan. Kalau begini terus, bisa-bisa aku tidak kuat dan mata gelap!” Sin Liong mendorong dara itu dengan halus dan mereka bangkit berdiri. Bi Cu tersenyum dan memandang kekasihnya dengan sinar mata menggoda.



“Kalau begitu kenapa? Kalau aku rela, siapa perduli?”



“Ihh, engkau nekat!” Sin Liong tertawa. “Ingat, kebahagiaan itu adalah kita punya, maka perlu apa kita rusak sendiri? Mengapa kita tidak menahan bersama, agar kelak setelah tiba saatnya kita berdua akan lebih dapat menikmatinya?”

DEMIKIANLAH, dengan dasar cinta kasih yang mendalam, dua orang muda itu mampu mempertahankan kemurnian mereka dan tidak sampai menjadi buta oleh nafsu berahi. Sesungguhnya kasih sayang itu membuat kita menjadi kuat menghadapi apapun juga, bahkan kuat pula menghadapi godaan setan berupa nafsu berahi yang biasanya tak terkalahkan oleh manusia itu!



Pada suatu hari, setelah mereka tiba di perbatasan Propinsi Ho-nan. Mereka melewati sebuah hutan yang amat luas. Dari pagi sampai matahari hampir naik menjelang tengah hari, mereka masih berada di dalam hutan. Tiba-tiba mereka mendengar suara orang-orang bertempur di depan dan mereka lalu membedalkan kuda mereka menuju ke arah suara hiruk-pikuk itu.



“Bi Cu, jangan kau sembarang ber­gerak, ya?” Sin Liong memesan dan Bi Cu hanya mengangguk.



Dan tibalah mereka di tempat pertempuran itu. Kiranya ada banyak orang bertempur. Sedikitnya ada sebelas orang yang berpakaian sebagai piauwsu, yaitu para pengawal kiriman barang, melawan hampir dua puluh orang-orang yang ber­pakaian kasar dan mudah diduga bahwa mereka itu tentu perampok-perampok yang buas. Yang menarik perhatian Bi Cu adalah seorang pemuda yang memainkan sebatang pedang dengan gagahnya, melawan kepala perampok yang berambut panjang dan bermuka brewok. Biarpun pemuda yang kelihatannya seperti melakukan perlawanan mati-matian itu berusaha mati-matian dan gagah perkasa, namun jelas bahwa dia mulai terdesak hebat oleh sepasang golok kepala perampok yang amat lihai itu. Melihat wajah pemuda itu, Bi Cu tertarik dan cepat dia mengerling ke arah gerobak piauwkiok dan begitu dia melihat bendera piauwkiok yang berdasar merah dengan lukisan garuda berwarna kuning, terkejutlah dia dan dia yang sudah meloncat turun dari atas kudanya itu memegang lengan Sin Liong.



“Dia itu twako Na Tiong Pek...!”



Sekarang Sin Liong juga mengenal ilmu pedang yang dimainkan oleh pemuda tampan gagah itu. “Benar, dialah itu!”



“Lihat, itu bendera Ui-eng-piauwkiok! Aku harus membantunya, dia sudah ter­desak!” kata Bi Cu dan dia lalu meng­ambil sebatang ranting kayu pohon, kemudian dengan cepat dia sudah meloncat ke depan dan menyerbu ke medan laga sambil berseru keras.



“Na-twako, jangan khawatir, minggir­lah, biarkan aku menghajar babi hutan ini!”



Tongkat di tangannya berkelebat dan membentuk segulung sinar hijau yang mengejutkan kepala perampok itu se­hingga dia meloncat ke belakang karena gulungan sinar hijau itu dapat menembus sinar goloknya dan hampir saja ujung ranting itu menusuk hidungnya! Semen­tara itu, Na Tiong Pek yang sudah terdesak itu meloncat mundur dengan napas terengah-engah dan dia terkejut dan heran melihat munculnya seorang dara cantik yang bergerak cepat bukan main seperti burung terbang saja dan tahu-tahu sudah mendesak kepala perampok itu dengan sebatang ranting di tangan! Ketika dia melihat wajah dara itu, ham­pir dia tidak percaya.



“Bi... Bi Cu...!” Dia tergagap, karena biarpun dara itu wajahnya persis Bi Cu, akan tetapi mana mungkin Bi Cu memiliki ilmu kepandaian sehebat itu sehingga hanya dengan sebatang ranting saja mampu menahan sepasang golok di tangan kepala perampok yang lihai dan yang tadi membuat dia kewalahan?



“Benar, twako, lekas kauhajar anak-anak babi itu dan biarkan aku meroboh­kan babi butan yang satu ini!” teriak Bi Cu dengan nada suara gembira sekali dapat bertemu dengan pemuda ini.



Na Tiong Pek kembali memandang dengan penuh kagum dan dia menoleh, memandang kepada Sin Liong yang masih berdiri memegangi dua ekor kuda. Agaknya, pemuda itu datang bersama Bi Cu, akan tetapi dia tidak tahu siapa pemuda itu. Maka, melihat betapa anak buahnya masih dengan gigihnya melawan para perampok, dia lalu berteriak nyaring dan mengamuk, menyerang para anak buah perampok itu, mengeluarkan kegesitan dan kepandaiannya karena dia ingin me­mamerkan kepandaiannya kepada Bi Cu, lupa bahwa dia tadi hampir kalah oleh kepala perampok yang kini ditandingi oleh Bi Cu itu. Dan ternyata bahwa dibandingkan dengan teman-temannya, yaitu para piauwsu, kepandaian pemuda she Na ini memang lebih menonjol. Begitu dia terjun ke dalam pertempuran itu, maka beberapa orang perampok ro­boh dan mereka menjadi kacau-balau dan terdesak oleh pemuda yang mengamuk seperti seekor harimau marah itu.



Sin Liong hanya menonton, akan te­tapi tentu saja setiap saat dia siap untuk melindungi kekasihnya. Dia melihat bah­wa gerakan kepala perampok itu hanya dahsyat dipandang saja, namun hanya merupakan orang kasar yang mengandalkan tenaga otot, tidak memiliki dasar kepandaian berarti sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Begitu ber­gebrak, dia tahu bahwa kekasihnya itu tidak akan kalah. Dan memang benar, baru belasan jurus saja Bi Cu yang mempergunakan ilmu Ngo-lian Pang-hoat yang dipelajarinya dari mendiang Hwa-i Sin-kai, telah dapat melecut muka kepala perampok itu berkali-kali dan paling akhir malah dia berhasil menusuk sebelah mata kiri kepala perampok itu sehingga terobek dan berdarah. Kepala perampok itu merasa bahwa dia tidak akan menang, maka dia lalu mengeluarkan seruan keras dan meloncat jauh ke belakang terus melarikan diri, diikuti oleh anak buahnya yang telah mendengar aba-aba lari tadi, sambil menyeret dan membawa teman-teman mereka yang terluka, memasuki hutan lebat, diikuti suara tertawa dan sorakan para piauwsu yang merasa gembira memperoleh kemenangan.



Na Tiong Pek cepat menghampiri Bi Cu dan sejenak mereka berdiri saling berhadapan dan saling pandang. Melihat betapa sinar mata pemuda tampan itu ditujukan kepadanya dengan penuh kagum, kekaguman seperti yang dulu sering dia lihat dari tatapan pandang mata Tiong Pek, tiba-tiba Bi Cu merasa jantungnya berdebar dan kedua pipinya merah. Apalagi ketika Tiong Pek berkata, “Bi Cu... alangkah cantiknya engkau sekarang! Dan betapa hebat kepandaianmu, sungguh aku merasa kagum bukan main!”

Untuk mengalihkan rasa jengah dan malu, Bi Cu tersenyum. “Ah, engkau masih sama saja seperti dulu, Na-twako. Mari kautemui dia...”



“Siapa?” Tiong Pek menoleh dan me­mandang kepada pemuda yang menuntun dua ekor kuda itu.



“Hei, lupakah engkau kepadanya? Li­hat baik-baik, siapa dia?” Bi Cu berkata lagi sambil menghampiri Sin Liong, di­ikuti oleh Tiong Pek.



Kini mereka berhadapan Sin Liong tersenyum. “Saudara Na Tiong Pek, lupa­kah engkau kepada Sin Liong?”



“Sin Liong...? Ah, engkaukah ini?” Tiong Pek berseru kaget dan girang. Tak disangkanya bahwa pemuda itu adalah Sin Liong, anak yang dahulu ditolong oleh mendiang ayahnya! “Ah, bagaimana kalian dapat datang bersama? Di manakah saja engkau tingagal selama ini, Bi Cu? Dan bagaimana bisa bersama Sin Liong ber­temu denganku di sini?” Bertubi-tubi per­tanyaan itu diajukan kepada Bi Cu.



“Kami... hanya kebetulan saja bertemu dan kami berdua mengadakan perjalanan bersama menuju ke Ho-nan, ke kota Su-couw.”



“Aih, tidak pernah aku bermimpi akan dapat bertemu denganmu di sini, Bi Cu. Dan kepandaianmu demikian hebat! Dari mana engkau mempelajari ilmu tongkat yang demikian lihai? Sungguh lucu, be­gitu bertemu, engkau yang menyelamat­kan aku malah! Haii, teman-teman, lihat­lah baik-baik, nona penolong kita ini bukan lain adalah sumoiku sendiri! Kalau tidak ada dia yang lihai, mungkin barang-barang kita terampas dan kita belum tentu selamat!” Semua piauwsu memandang dengan kagum.



“Ah, sudahlah jangan banyak sungkan, twako.”



“Kita bukan suheng dan sumoi lagi!”



“Terserah, akan tetapi karena aku sudah menjadi murid orang lain, maka biarlah kusebut engkau Na-twako saja. Bagaimana keadaanmu selama ini, twako? Apakah engkau sudah berumah tangga?”



Tiong Pek menggeleng kepalanya, dan dia tertawa, ketawanya polos dan Sin Liong melihat bahwa biarpun pemuda ini masih mempunyai sifat sombong, akan tetapi kini sudah berubah dan lebih jujur.



“Setelah ditolak olehmu, aku jera untuk mencari jodoh, takut ditolak lagi. Pula, di mana mencari orang yang melebihimu?”



“Aih, jangan bergurau, twako!” Bi Cu berkata dan mukanya berubah merah lagi.



“Siapa bergurau? Coba tanya Sin Liong ini! Betul tidak ucapanku tadi, Sin Liong? Mana ada gadis melebihi dia ini? Eh, dan kau sendiri bagaimanat, Sin Liong? Apakah engkau sudah memperoleh jodoh?”



Sin Liong memandang wajah Bi Cu dan melihat dara itu kelihatan malu se­kali, Sin Liong menjawab lirih, “Belum.”



“Ha-ha, kita masih sama seperti dulu! Kalau kuingat betapa kita bertiga melawan para penyerbu itu. Ah... sungguh malang ayah dan ibuku... eh, kau dibawa pergi wanita sakti itu, lalu apa yang terjadi, Sin Liong?”



“Aku hanya merantau ke segala tempat sampai... kebetulan bertemu dengan Bi Cu dan kami lewat di sini, kebetulan bertemu denganmu.”



“Kita harus rayakan pertemuan kita! Akan tetapi di hutan begini bagaimana kita bisa merayakannya? Hayo kalian mampir dulu di rumahku, aku masih tinggal di Kun-ting, di rumah yang dulu. Sumoi... eh, Bi Cu, tidak maukah engkau singgah di rumahku lagi?”



“Tentu saja twako, akan tetapi, aku ada urusan penting sekali, harus pergi ke Su-couw, nanti kalau aku kembali dari selatan, tentu aku mau mampir...”



“Ke Su-couw? Kau sendiri, atau bersama Sin Liong?”



“Kami berdua ke Su-couw...”



“Kalau begitu, aku akan mengantar­mu. Ada urusan apa, Bi Cu? Biar kubantu engkau!” Tiong Pek memwarkan jasanya. Akan tetapi sebelum mereka melanjutkan percakapan itu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan muncullah seorang tosu, yang menunggang kuda. Pakaiannya seperti tosu, rambutnya seperti tosu, akan tetapi sikapnya seperti perampok ganas! Pria itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, biarpun jenggot dan kumisnya terpelihara rapi, namun sepasang matanya melotot liar dan sikapnya kasar. Di belakang tosu ini nampak kepala perampok yang sebelah matanya masih terluka dan kini dibalut, sehingga nampak lucu sekali.



Sekali lihat saja, mengertilah Bi Cu bahwa agaknya tosu ini merupakan teman si kepala perampok, maka dia sudah bangkit dan memandang kepada kepala perampok tadi sambil mengejek. “Eh, babi hutan mata satu berani datang lagi? Apakah masih kurang merasakan gebukan dan minta lagi?”



Kini tosu itu sudah meloncat turun dari atas kudanya dan melihat caranya meloncat, Sin Liong maklum bahwa tosu ini memiliki kepandaian yang lumayan. Tosu itu memegang sebatang tongkat panjang dan dengan berdiri tegak dia membentak, “Siapa berani melukai murid­ku?”

Na Tiong Pek mengkhawatirkan keselamatan Bi Cu, maka dengan pedang di tangan dia sudah meloncat ke depan sambil memaki, “Tosu busuk, kau mem­bela perampok?” Dan pedangnya sudah menyerang dengan gencar ke arah tubuh tosu itu.



Terdengar suara nyaring berkali-kali ketika tongkat itu menangkis pedang, kemudian tiba-tiba tosu itu membentak nyaring dan tongkatnya kini balas menyerang dan Na Tiong Pek menjadi sibuk sekali, harus berloncatan ke sana-sini sambil menangkis, dan akhirnya kaki kanannya kena diserampang.



“Tukk!” Dia terguling roboh karena tulang keringnya kena dipukul dan pada saat itu tongkat panjang sudah menyambar lagi ke arah kepala Tiong Pek.



“Takkk!” Tongkat panjang itu tertang­kis oleh ranting di tangan Bi Cu. Kakek itu memandang dengan penuh perhatian.



“Minggirlah, twako,” kata Bi Cu dan Tiong Pek menyeret pedang sambil ter­pincang-pincang mendekati Sin Liong.



“Tosu kerbau itu lihai juga...” dia mengomel, akan tetapi Sin Liong tidak memperdulikannya karena dia mengkhawatirkan kekasihnya yang harus menghadapi tosu yang dia tahu memiliki kepandaian lumayan itu. Akan tetapi dia maklum akan kekerasan hati Bi Cu maka dia tidak mau membantu atau meng­gantikannya karena hal itu akan menyinggung hati Bi Cu. Dia hanya siap untuk melindungi kekasihnya itu kalau perlu dan diam-diam mempergunakan jari-jari tangannya meraba dan memainkan beberapa buah batu kerikil.



Setelah memandang wanita muda yang memegang ranting pohon itu, si tosu menjadi terkejut dan terheran-heran. “Inikah dia dara yang mengalahkan kamu?” tanyanya kepada kepala perampok brewok itu.



“Betul, suhu, akan tetapi dia curang, dia menusuk mata!”



“Heh-heh-heh, memang cantiknya bisa menusuk mata. Eh, nona, engkau telah kesalahan tangan melukai mata muridku, maka kalau engkau mau ikut dengan pinto, menjadi murid pinto selama satu bulan, pinto mau mengampunimu. Mari pergi bersama pinto, sayang kalau sampai kulitmu yang halus itu luka oleh tongkatku.”



“Heh, tosu busuk, tosu cabul, mulut­mu kotor! Belum tentu engkau dapat mengalahkan dia!” Na Tiong Pek sudah memaki-maki dengan marah mendengar ucapan tosu itu. Dan Bi Cu tidak mau melayani tosu itu, terus saja dia sudah menerjang dan menggunakan ranting di tangannya untuk menyerang dengan totokan-totokan ke arah jalan darah yang berbahaya.



“Eh, kau hebat juga!” Tosu itu ber­seru kaget dan cepat mengelak sambil menggerakkan tongkatnya menangkis. Akan tetapi Bi Cu tidak memberi kesempatan kepadanya dan terus saja dara ini mainkan ilmu tongkatnya yang amat lincah. Semenjak dia menerima petunjuk-petunjuk dari Sin Liong memang dia memperoleh kemajuan pesat, terutama sekali kekuatan sin-kang dan kecepatan gerakan tubuhnya.



Akan tetapi, tepat seperti dugaan Sin Liong, tosu itu memang tangguh sekali. Setelah bertanding selama tiga puluh jurus lebih, tiba-tiba tosu itu menangkis dengan keras dan membuat Bi Cu ter­dorong ke belakangy lalu tosu itu mem­bentak. “Hei, bukankah kau mainkan Ngo-lian Pang-hoat? Masih apamukah mendiang Hwa-i Sin-kai?”



“Beliau adalah guruku! Kau mau apa?”



“Ha-ha-ha!” Tosu itu tertawa ber­gelak. “Kalau begitu, semestinya kalau aku bersikap lunak kepadamu. Bahkan andaikata dia masih hidup, tentu pinto akan mengalah. Akan tetapi dia sudah mati, dan engkau begini cantik, kau jadilah muridku selama sebulan...”



“Tosu busuk!” Bi Cu sudah menerjang lagi, akan tetapi sekali ini tosu itu memutar tongkatnya yang panjang, mem­bentuk gulungan sinar yang lebar dan begitu Bi Cu bertemu dengan gulungan sinar ini, dia terhuyung ke belakang dan nyaris dia roboh kalau saja tidak cepat meloncat dan berjungkir balik. Akan tetapi pada saat itu, tangan yang ber­lengan panjang dari tosu itu menyambar lengannya dalam cengkeraman yang amat kuat. Selagi Bi Cu terkejut, tiba-tiba tosu itu berteriak kesakitan dan melepas­kan lengan Bi Cu. Tiba-tiba saja, ketika dia tadi memegang lengan dara itu, sikunya dihantam oleh benda kecil, entah apa dan tiba-tiba saja, lengannya menjadi kesemutan dan lumpuh!



Melihat bahwa tidak ada apa-apa, dia mengira bahwa hal itu kebetulan saja, maka dia sudah memutar lagi tongkat panjangnya dan hendak menyerang Bi Cu. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan yang amat nyaring, “Tahan senjata! Di mana ada seorang pendeta suci menyerang seorang gadis remaja?”



Dan muncullah seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar dan demikian gagahnya sehingga mengagumkan Na Tiong Pek yang memandangnya. Bi Cu mengenal pemuda itu, sungguhpun hanya sekelebat­an saja ketika pemuda ini ikut pula mengamuk di Istana Lembah Naga. Juga Sin Liong mengenalnya, karena pemuda itu bukan lain adalah Ciu Khai Sun, pe­muda tinggi tegap, gagah dan tampan dari Siauw-lim-pai itu! Akan tetapi Ciu Khai Sun tidak memperhatikan dara itu, juga tidak melihat Sin Liong karena se­mua perhatiannya ditujukan ke arah tosu itu.



Tosu itu mengira bahwa tentu pemuda ini yang tadi berlaku usil dan membuat pegangannya terlepas, maka dia lalu membentak marah, “Manusia lancang! Berani kau mencampuri urusan pinto?” Dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menggerakkan tongkat panjangnya me­nyerang pemuda itu!



Akan tetapi sekali ini tosu itu kecelik dan dia bertemu dengan batu karang! Melihat gerakan tongkat panjang itu jagoan Siauw-lim-pai ini menghadapinya dengan dua tangan kosong saja! Perlu diketahui bahwa ahli-ahli silat Siauw-lim-pai sebagian besar pandai memainkan toya, maka melihat gerakan tongkat itu Ciu Khai Sun maklum bahwa biarpun tosu ini memiliki kepandaian lumayan, namun ilmu tongkat itu belum cukup hebat untuk membuat dia terpaksa mencabut senjata! Dan memang pemuda tinggi tegap ini memiliki tenaga sin-kang yang kuat, maka dengan mengerahkan tenaga sin-kang, dia berani menggunakan kedua lengannya untuk menangkis tongkat lawan dan setiap tangkisannya bahkan membuat lawan itu merasa telapak tangannya panas dan nyeri!

Terkejutlah tosu itu. Tak disangkanya bahwa di tempat ini dia bertemu dengan seorang tokoh Siauw-lim-pai yang begini tangguh! Bertempur belasan jurus saja sudah membuka matanya bahwa yang dilawannya adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai, maka gentarlah tosu itu. Dia menyerang secara membabi-buta, akan tetapi setelah lewat tiga puluh jurus, tiba-tiba Ciu Khai Sun mengeluarkan bentakan nyaring, tangan kirinya menangkis tongkat itu dengan keras dan tangan kanannya menghantam ke depan.



“Krakkk! Bukk...!” Tubuh tosu itu terlempar sampai dua meter dan roboh terbanting ke atas tanah dengan napas megap-megap karena dadanya terasa sesak. Melihat itu, kepala perampok brewok itu cepat menyambar tubuh gurunya dan melarikan diri dengan membalapkan kudanya. Cui Khai Sun tidak mengejar dan Na Tiong Pek sudah berlari menghampiri dan menjura dengan penuh hormat.



“Bukan main hebat kepandaian eng­hiong yang perkasa!” Dia memuji. “Saya akan merasa terhormat sekali berkenalan dengan enghiong. Saya Na Tiong Pek, kepala piauwsu dari Ui-eng-piauwkiok di Kun-ting.”



Ciu Khai Sun membalas penghormatan itu dengan sederhana. “Aku Cui Khai Sun. Eh, Na-piauwsu, apa yang terjadi di sini? Siapakah tosu tadi dan siapa pula orang brewok tadi?”



“Mereka itu perampok-perampok ja­hat! Mula-mula si brewok itu memimpin anak buahnya merampok kami, dan kemudian setelah para perampok itu dipukul mundur, muncullah guru si brewok, yaitu tosu tadi. Untung engkau muncul, Ciu-enghlong dan ternyata engkau adelah seorang pendekar yang jempol!”



Pada saat itu, Sin Liong dan Bi Cu datang mendekat. Ciu Khai Sun menoleh dan begitu melihat dua orang muda itu, dia terkejut sekali dan cepat-cepat dia menghadapi Sin Liong dan Bi Cu sambil menjura penuh hormat.



“Aih, kiranya Cia-taihiap berada di sini? Dan yang bertanding dengan tosu tadi adalah Bhe-lihiap? Ah, kalau begitu aku telah lancang sekali...”



“Engkau telah menyelamatkan aku, Ciu-enghiong...”



“Eh, jangan membuat aku merasa malu, nona. Jangan menyebut enghiong, sungguh membikin aku merasa malu di depan Cia-taihiap.”



“Baikiah, diantara orang sendiri, biarlah kusebut engkau Ciu-twako saja!” kata Bi Cu yang merasa suka melihat sikap yang begitu jujur dan sederhana dari jagoan Siauw-lim-pai yang lihai ini. Mereka semua tertawa dan Na Tiong Pek merasa heran sampai bengong. Apalagi mendengar betapa pandekar yang gagah itu menyebut Sin Liong dengan “Cia-taihiap”! Tentu saja dia menjadi bingung dan tidak mengerti sama sekali.



“Ciu-twako hendak pergi ke manakah?” Sin Liong bertanya ramah.



“Aku sedang menuju ke rumah pamanku di Su-couw.”



“Su-couw? Ah, sungguh kebetulan, kami berduapun hendak pergi ke Su-couw,” kata Sin Liong girang.



“Begitulah? Aku sudah merasa heran bertemu dengan ji-wi di sini, tidakkah semestinya ji-wi pergi ke utara, ke Lembah Naga? Bukankah aku mendengar bahwa kaisar...”



“Tidak, kami masih banyak urusan dan hendak pergi ke Su-couw.” kata Sin Liong memotong ucapan itu. Melihat sikap pendekar ini agaknya tidak suka membicarakan urusan Lembah Naga, maka jagoan Siauw-lim-pai itupun tidak mau menyebutnya lagi.



“Kalau begitu, kebetulan sekali, kita dapat melakukan perjalanan bersama!” katanya dengan girang, “Kita dapat pergi bertiga...”



“Berempat, Ciu-enghiong. Akupun akan pergi ke sana! Sekarang juga aku akan mengatur semua piauwsu untuk mengantarkan barang-barang ini sampai ke tempat tujuan yang sudah tidak jauh lagi dan aku akan ikut bersama kalian ke Su-couw. Ketahuilah, Ciu-enghiceng, aku baru saja berjumpa kembali dengan dua orang... eh, sute dan sumoiku ini setelah kami berpisah selama bertahun-tahun.”



“Ahh...!” Ciu Khi Sun tentu saja terkejut sekali mendengar bahwa pemuda tampan ini adalah suheng dari Cia Sin Liong yang sakti dan nona Bhe Bi Cu. “Tentu saja...” katanya dengan pandang mata terheran-heran.



Sin Liong dan Bi Cu tidak berkata apa-apa dan setelah Tiong Pek membagi-bagi tugas kepada para piauwsu yang menjadi anak buahnya untuk melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan, dia lalu memberikan seekor kuda kepada Ciu Khai Sun dan mereka berempat lalu melanjutkan perjalanan menuju ke selatan. Mereka berjalan seenaknya saja sambil menikmati keindahan pemandangan di pegunungan itu setelah keluar dari hutan, karena memang pemandangan alam di daerah perbatasan utara Propinsi Honan amatlah indahnya.

Pada tengah hari itu mereka berhenti di tepi sebuah danau kecil di lereng gunung untuk makan siang dari perbekalan masing-masing sambil mengobrol ke barat dan ke timur. Setelah memberi waktu kepada kuda mereka untuk beristirahat sejenak, mereka lalu melanjutkan perjalanan.



Akan tetapi, menjelang senja, tiba-tiba mereka mendengar derap kaki kuda dan nampak ada tiga penunggang kuda mengejar mereka. Tadinya mereka tidak menaruh perhatian, akan tetapi setelah mereka mendengar teriakan-teriakan dari belakang, Na Tiong Pek mengenal bahwa seorang di antara mereka adalah si perampok brewok bersama dua orang yang membalapkan kuda mereka. Jelaslah bahwa tiga orang itu mengejar mereka berempat!



“Wah, si babi hutan mata satu itu lagi!” kata Na Tiong Pek gembira, menirukan julukan yang diberikan oleh Bi Cu kepada kepala perampok yang terluka sebelah matanya. Hatinya sedikitpun tidak merasa khawatir karena di situ terdapat Ciu Khai Sun, yang gagah perkasa dan berkepandaian tinggi, juga tokoh Siauw-lim-pai pula seperti yang didengarnya dari percakapan mereka. Selain ada Ciu Khai Sun, juga di situ ada Bi Cu yang sekarang ternyata lebih lihai daripada dia sendiri. Mengenai diri Sin Liong, dia meragukan apakah pemuda inipun memperoleh kemajuan seperti Bi Cu!



Empat orang muda itu menahan kuda lalu membalikkan kuda mereka menghadapi tiga orang yang datang dengan cepat itu. Ternyata mereka itu adalah si kepala perampok yang mata kirinya tertutup balutan kain bersama dua orang kakek, akan tetapi bukan tosu yang menjadi gurunya dan yang telah dikalahkan oleh Khai Sun tadi. Mereka ini juga dua kakek tua, dan seorang di antara mereka berpakaian seperti tosu, mukanya putih dan matanya memandang bengis, di punggungnya terdapat sebatang pedang panjang. Orang ke dua berpakaian seperti seorang pengemis, membawa sebatang tongkat dan tubuhnya tinggi kurus, muka­nya penuh senyum.



“Hemm, mereka itu adalah Kim Lok Cinjin dan Lam-thian Kai-ong.” Sin Liong berkata lirih akan tetapi cukup dapat di­dengar oleh tiga orang temannya.



“Ahh! Mereka yang terkenal sebagai datuk-datuk kaum sesat di selatan itu?” Ciu Khai Sun berkata dengan nada suara kaget. Biarpun dia sendiri belum pernah jumpa dengan dua orang itu, namun nama besar mereka sudah pernah didengarnya. Kim Lok Cinjin, tosu muka putih itu adalah sute dari mendiang Kim Hwa Cinjin ketua Pek-lian-kauw yang tewas di tangan Cia Bun Houw ketika terjadi pertempuran di Lembah Naga. Sedangkan Lam-thian Kai-ong (Raja Pengemis Dunia Selatan) adalah seorang pengemis yang berilmu tinggi dan yang menguasai seluruh kai-pang (perkumpulan pengemis) di seluruh daerah selatan.



“Bi Cu, harap engkau diam saja dan jangan ikut maju,” tiba-tiba Sin Liong berkata kepada kekasihnya.



“Tapi, Sin Liong...” Bi Cu hendak membantah.



“Mereka itu lihai bukan main, dan kejam,” kata pula Sin Liong memotong kata-kata kekasihnya.



“Cia-taihiap, biarlah jembel tua itu kuhadapi dan Kim Lok Cinjin yang ka­barnya luar blasa lihainya itu taihiap yang menandinginya.”



“Ciu-twako, kuharap twako sekali ini menonton saja, biar aku yang menghadapi mereka berdua,” jawab Sin Liong yang maklum akan bahayanya dua orang lawan itu dan biarpun dia tahu akan kelihaian pemuda Siauw-lim-pai ini namun dia kha­watir kalau-kalau pemuda itu akan ce­laka.



Na Tiong Pek mendengarkan percakapan itu dengan heran sampai dia melongo. Sin Liong hendak menghadapi lawan yang dikabarkan amat lihai itu seorang diri saja, menghadapi mereka berdua? Apa artinya ini? Dia merasa tidak enak melihat semua orang mengaju­kan diri untuk menghadapi musuh, maka diapun berkata, “Sute, aku akan mem­bantumu!”



Sin Liong tersenyum. “Na-twako ja­ngan main-main. Mereka itu datuk-datuk golongan sesat yang lihai, biarlah kau nonton saja dan siap membantuku kalau aku sampai terancam bahaya.” Kalimat terakhir itu dimaksudkan untuk “mengangkat” orang ini, akan tetapi Tiong Pek yang belum tahu benar bahwa Sin Liong kini telah menjadi seorang yang memiliki kepandaian luar biasa tingginya, bahkan yang kini terkenal dengan sebutan Pendekar Lembah Naga, segera menjawab dengan sungguh-sungguh. “Baik!”



Kini tiga orang itu sudah tiba di situ dan mereka sudah berloncatan turun dengan sikap mengancam. Melihat ini, Sin Liong menyerahkan kendali kudanya kepada Tiong Pek yang berada di sebelah kirinya sambil berkata, “Twako, tolong kau pegangkan kendali kudaku sebentar.” Setelah berkata demikian, diapun lalu turun dari kudanya dan melangkah ke depan menyambut dua orang kakek itu dengan sikap tenang.



“Kim Lok Cinjin dan Lam-thian Kai-ong, apakah ji-wi baik-baik saja? Dan ada keperluan apakah ji-wi mengejar kami?” tanya Sin Liong dengan suara tenang. Dua orang kakek itu yang tadinya memandang ke arah Ciu Khai Sun yang ditunjuk oleh si kepala rampok sebagai orang yang mengalahkan gurunya dan kepada Bi Cu sebagai gadis yang telah melukainya, kini terkejut dan memandang kepada Sin Liong dengan heran. Tak disangkanya begitu jumpa, pemuda sederhana ini telah mengenal nama mereka. Mereka kini mengamati pemuda itu dengan penuh perhatian. Kemudian merekapun mengenal pemuda ini dan Kim Lok Cinjin berseru kaget, “Kau... kau adalah... adalah bocah bernama Sin Liong itu...?”



Tentu saja Kim Lok Cinjin terkejut karena dia pernah bertemu, bahkan pernah bergebrak dengan pemuda ini ketika diadakan pemilihan bengcu di selatan, bahkan Lam-thian Kai-ong juga hadir dan menyaksikan kelihaian anak itu ketika menghadapi Lam-hai Sam-lo!

“Ah, kalau begitu dia inilah yang menggagalkan gerakan di Istana Lembah Naga!” teriak pula Lam-thian Kai-ong. Kiranya dua orang inipun telah dihubungi oleh Kim Hwa Cinjin untuk membantu gerakan Pangeran Ceng Han Houw, akan tetapi mereka terlambat dan mereka mendengar bahwa gerakan itu gagal sama sekali, banyak orang kang-ouw golongan hitam tewas dan pasukan Pangeran Ceng Han Houw ditumpas oleh pasukan peme­rintah. Dan kaum kang-ouw golongan hitam atau sesat yang telah dibebaskan itu mengabarkan bahwa gara-gara ke­gagalan itu adalah Cia Sin Liong!



“Kim Lok Cinjin, suhengmu telah tewas, demikian pula Lam-hai Sam-lo dan banyak lagi kaum sesat yang membantu pemberontakan. Pemberontakan telah ditumpas, oleh karena itu, sebaiknya kalau engkau pergi dan membujuk para anggauta Pek-lian-kauw agar jangan men­coba-coba untuk memberontak terhadap pemerintah. Dan engkau, Lam-thian Kai-ong, apakah engkaupun hendak membawa kaum pengemis untuk memberontak pula?”



“Mengapa tidak? Kaum pengemis di kota raja dikejar-kejar, dan Hwa-i Sin-kai juga dibunuh. Bukankah pemerintah menindas kaum pengemis yang sudah su­kar hidupnya?” kata Lam-thian Kai-ong.



“Bohong!” tiba-tiba Bi Cu berteriak, “Hwa-i Sin-kai adalah guruku dan aku tahu bahwa dia tewas karena difitnah, karena semua itu diatur oleh Kim Hong Liu-nio yang sekarang sudah tewas pula! Pemerintah tidak pernah memusuhi rak­yatnya, apalagi rakyat miskin.”



“Sudahlah, sebaiknya kalian mundur saja sebelum terlambat. Masih banyak kesempatan bagi kalian untuk kembali ke jalan benar!”



“Cia Sin Liong! Pinto mendengar bahwa engkau adalah keturunan Cin-ling-pai dan bahwa ilmu kepandaianmu hebat sekali. Dahulu di dalam pemilihan bengcu kita tidak sempat mengadu ilmu secara memuaskan, sekarang pinto ingin men­coba-coba ilmumu sebelum mendengarkan bujukanmu itu!” kata Kim Lok Cinjin.



“Akupun ingin mencoba kepandaian orang yang dijuluki Pendekar Lembah Naga!” kata pula si Raja Pengemis.



Sin Liong tersenyum. “Kalian ini orang-orang tua masih saja memiliki nafsu besar untuk berkelahi. Biarlah aku mengaku kalah tanpa berkelahi, asal kalian suka mundur dan kembali ke jalan benar,” kata Sin Liong sambil menjura. Melihat ini, Na Tiong Pek mengerutkan alisnya. Tadi dia merasa semakin heran sampai memandang dengan mata terbelalak mendengar percakapan itu. Tak disangkanya bahwa Sin Liong telah memperoleh kemajuan sedemikian hebatnya sehingga dikenal sebagai seorang pendekar yang sakti. Pantas saja Ciu Khai Sun menyebutnya Cia-taihiap! Akan tetapi mendengar dan melihat sikap Sin Liong yang mengalah itu, sungguh dia merasa penasaran. Kalau memang benar Sin Liong memiliki kepandaian tinggi, kenapa dia tidak menyambut tantangan dua orang kakek sesat itu?



Kim Lok Cinjin masih merasa sakit hatinya mendengar akan kematian suheng­nya, yaitu Kim Hwa Cinjin, yang menurut berita tewas di tangan Cia Bun Houw, tokoh Cin-ling-pai atau ayah dari pemuda yang kini berdiri di depannya itu. Sebagai seorang tua yang banyak penga­laman, dia tentu tidak akan mau me­nimpakan dendamnya kepada pemuda ini, akan tetapi karena kegagalan gerak­an pangeran itu dikabarkan karena pemuda ini, maka dia ingin melampiaskan rasa kecewanya dengan menghinanya.



“Cia Sin Liong, kalau engkau mau berlutut dan minta ampun sebanyak dela­pan kali kepadaku, barulah pinto akan menghabiskan segala urusan dan akan pergi meninggalkanmu.”



Sin Liong masih tetap tenang, akan tetapi kedua matanya mencorong tanda bahwa dia mulai marah. “Kim Lok Cinjin, bagi seorang gagah, kalau memang ber­salah, aku akan suka tanpa diminta lagi untuk berlutut minta ampun kepada se­orang anak kecil sekalipun, akan tetapi kalau tidak bersalah, biar menghadapi siapapun, biar setan atau iblis, aku tidak akan sudi berlutut dan mengalah!”



“Bagus! Itu artinya menantang kami!” kata Si Raja Pengemis yang sudah meng­gerakkan tongkatnya melakukan penyerang­an yang amat cepat dan ganas. Kim Lok Cinjin yang pernah menyaksikan kelihaian Sin Liong, tidak malu-malu lagi untuk membantu temannya itu dan dia juga mencabut pedang dan menubruk, me­lakukan serangan kilat ke arah Sin Liong.



Sin Liong cepat mengelak sambil ber­loncatan ke sana-sini. “Hem, kalian me­mang sudah tidak dapat diperbaiki lagi,” katanya dan diapun balas menyerang dengan tamparan-tamparan tangannya.



Tongkat butut di tangan Raja Penge­mis itu menyambar ganas, namun hanya dengan miringkan kepalanya, tongkat itu lewat dan luput.



“Darrr!” Batu besar di belakang Sin Liong yang terkena pukulan tongkat itu pecah!

“Singgg...!” Sinar kilat pedang di tangan Kim Lok Cinjin menyambar, namun kembali serangan dahsyat ini dapat dielakkan oleh Sin Liong dengan mudah. Dua orang kakek itu menjadi semakin marah dan penasaran, mereka lalu memutar senjata mereka dengan cepat sehingga lenyap bentuk pedang dan tongkat itu, berubah menjadi dua gulungan sinar hitam dan sinar keemasan yang amat cepat menyambar-nyambar. Tubuh kedua orang kakek itu sampai lenyap tertutup gulungan sinar senjata mereka, hanya nampak kaki mereka saja kadang-kadang menginjak tanah dan berloncatan ke sana-sini. Namun dengan tenangnya Sin Liong menghadapi pengeroyokan itu dengan langkah-langkah Thai-kek Sin-kun dia dapat menghindarkan setiap serangan, dan kedua lengan yang dipenuhi tenaga sin-­kang dari Thian-te Sin-ciang itu, seperti juga kedua lengan Kok Beng Lama dahulu, dapat dipergunakannya untuk me­nangkis tongkat dan bahkan menangkis pedang tanpa terluka!

Melihat betapa pemuda itu yang bergerak tenang dikeroyok oleh dua orang kakek yang demikian lihainya, Na Tiong Pek menjadi gelisah sekali. “Ciu-enghiong, kenapa engkau tidak membantunya? Sumoi... lebih baik engkau membantu Sin Liong... dua orang lawannya demikian ganas...!”



“Na-twako, jangan khawatir, Sin Liong tidak akan kalah.”



“Saudara Na, apakah engkau tidak dapat melihat betapa Cia-taihiap sudah mulai mendesak mereka?”



Mendengar ucapan kedua orang itu, Tiong Pek membelalakkan mata dan me­mandang dengan penuh perhatian ke arah pertempuran, akan tetapi gerakan dua orang kakek itu terlalu cepat sehingga dia tidak dapat mengikuti dan sama sekali tidak dapat melihat bagaimana keadaan Sin Liong yang kini juga mulai bergerak dengan cepat bukan main. Maka, tentu saja ucapan dua orang tadi tidak dapat melenyapkan kekhawatirannya. Dia lalu mencabut pedangnya. Melihat ini, Bi Cu terkejut.



“Eh, twako, kau mau apa?”



“Mau... ini... mau meminjamkan pedangku kepada Sin Liong. Dua orang lawannya menggunakan senjata, dia harus menggunakan pedang ini... agar tidak kalah...”



Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan keras dan nampak olehnya be­tapa tubuh Lam-thian Kai-ong terlempar dan terbanting ke atas tanah, tongkgtnya patah menjadi dua, dan selagi Na Tiong Pek memandang dengan mata terbelalak, terdengar teriakan lain dan tubuh Kim Lok Cinjin juga terlempar dan terbanting roboh! Dua orang kakek itu mengeluh, lalu merangkak bangun dan dengan saling bantu mereka berdua lalu bangkit berdiri memandang kepada Sin Liong.



“Cia-taihiap, pinto mengaku kalah...” kata tosu itu.



“Taihiap sungguh hebat, pantas menjadi Pendekar Lembah Naga... uhh... saya mengaku kalah...” Si Raja Pengemis juga mengeluh dan keduanya lalu dibantu oleh kepala perampok brewok menaiki kuda masing-masing dan mereka bertiga lalu pergi dari situ tanpa menoleh lagi.



Tiong Pek menyimpan kembali pedangnya dan dia berlari menghampiri Sin Liong, memegang tangan pendekar itu dan berkata, “Ah, sungguh tak pernah ku­sangka! Engkau telah menjadi seorang pendekar yang demikian lihai... ah, sute... hemm, tak pantas lagi aku menyebutmu sute... kau... Cia-taihiap...”



Sin Liong tertawa dan memegang pundak Tiong Pek. “Twako, kenapa engkau begini sungkan? Aku masih tetap Sin Liong yang biasa. Kepandaian apapun tidak merubah seorang manusia.”



Na Tiong Pek makin gembira dan diam-diam dia merasa malu kepada diri sendiri yang biasanya suka mengagulkan diri sendiri. “Ah, Sin Liong... sungguh tak pernah kubayangkan engkau menjadi sehebat ini!”



Ciu Khai Sun juga menghampiri dan menyerahkan kendali kuda Sin Liong dan Tiong Pek yang tadi dipegangnya ketika Tiong Pek menghampiri Sin Liong dengan girang sehingga melepaskan tali kendali dua ekor kuda itu.



“Mari kita lanjutkin perjalanan, seben­tar lagi malam akan tiba dan kita se­baiknya kalau sudah tiba di dusun depan untuk bermalam,” kata Ciu Khai Sun.



Mereka melanjutkan perjalanan dan membalapkan kuda masing-masing. Malam itu mereka bermalam di sebuah dusun di mana mereka mengobrol dan makan ma­lam di rumah seorang penghuni dusun yang mereka tumpangi dan mereka sewa kamarnya. Dalam percakapan ini, tanpa disengaja Ciu Khai Sun bertanya kepada Sin Liong, “Maaf, taihiap dan nona Bhe, kalau boleh aku mengetahui, setelah kita menjadi sahabat baik, ehh... kapan kiranya aku menerima surat undangan untuk pernikahan ji-wi?”



Wajah Bi Cu menjadi merah dan dia menundukkan mukanya. Sin Liong ter­senyum dan menjawab singkat. “Kalau sudah tiba saatnya kami takkan melupa­kanmu, Ciu-twako.”



Mendengar ini, Na Tiong Pek me­loncat bangun dan wajahnya berseri gem­bira. “Wah, kalian akan menikah? Ahaiii.... betapa bodohnya aku! Seperti buta saja! Kiranya kalian sudah saling berjodoh dan bertunangan?”



Melihat sikap ini, sejenak Sin Liong dan Bi Cu saling pandang. Mula-mula mereka merasa khawatir, akan tetapi melihat betapa Tiong Pek benar-benar bergembira, keduanya lalu tersenyum lega.



“Na-twako, kami... berdua saling mencinta...” pengakuan Bi Cu ini untuk menyatakan bahwa pertunangannya dengan Sin Liong adalah berdasarkan cinta dan minta agar bekas suhengnya itu suka memakluminya.



“Tentu saja! Aku memang setuju sekali bahwa setiap perjodohan harus berdasar­kan cinta kedua fihak, baru dapat di­harapkan pernikahan itu akan berbahagia. Kionghi (selemat), Sin Liong dan Bi Cu. Kionghi dan jangan lupa kelak untuk mengirim undangan untuk aku ikut minum arak pengantin!”



Melihat betapa kegembiraan pemuda itu tulus, Sin Liong lalu memegang ta­ngan bekas suheng itu. “Aku senang sekali melihat sikapmu, twako. Tidak percuma engkau menjadi putera tunggal mendiang paman Na Ceng Han yang budiman.”

Tiong Pek teringat sikapnya ketika mereka bertiga masih bersama-sama dahulu dan dia menarik napas panjang. “Aku bukan kanak-kanak lagi dan sudah menjadi dewasa sekarang, Liong-te dan sumoi! Aku sungguh girang bahwa kalian dapat berjodoh, dan memang kalian sudah cocok sekali untuk menjadi suami isteri.”

Demikianlah, perjalanan pada keesokan harinya dilakukan dengan lebih menyenangkan dan lebih leluasa bagi Sin Liong dan Bi Cu yang kini sudah tahu akan isi hati Tiong Pek. Sebelum percakapan malam tadi, baik Sin Liong maupun Bi Cu merasa agak tidak enak terhadap Tiong Pek dengan adanya kenyataan bahwa pemuda itu pernah jatuh cinta kepada Bi Cu dan mengingat pula akan segala peristiwa yang pernah terjadi di waktu dahulu. Oleh karena itulah pula maka di depan Tiong Pek, keduanya tidak pernah memperlihatkan kemesraan, bahkah mereka tidak pernah menyinggung soal pertunangan mereka. Akan tetapi sekarang mereka merasa lega dan karena itu mereka dapat melanjutkan perjalanan dengan lebih gembira.



***






Setelah mereka tiba di Su-couw, sebelum pergi mengunjungi pamannya, Ciu Khai Sun pergi dan ikut bersama Sin Liong dan Bi Cu mengunjungi rumah Kui Hok Boan yang oleh Sin Liong diakui sebagai rumah pamannya. Dia tidak perlu memberitahukan orang lain bahwa Kui Hok Boan yang hendak dikunjungi itu adalah ayah tirinya, karena hal ini akan menimbulkan kenang-kenangan yang amat tidak enak.



Kedatangan mereka disambut oleh Beng Sin, Lan Lan dan Lin Lin dengan gembira bukan main.



“Liong-koko...!” Dua orang dara kembar yang cantik jelita itu berteriak dan berlari-larian menyambut, kemudian mereka berdua memegangi kedua tangan Sin Liong dengan wajah gembira. Sin Liong juga merangkul pundak kedua orang adik tirinya yang disayangnya ini.



“Kalian baik-baik saja, bukan?” tegurnya.



Setelah pertemuan tiga orang yang gembira dan mengharukan ini, barulah Sin Liong menyalam Tee Beng Sin atau yang lebih tepat lagi bernama Kui Beng Sin, dan memperkenalkan adik-adik tirinya itu kepada Bi Cu yang sudah mereka ketahui, kemudian kepada Ciu Khai Sun dan Na Tiong Pek. Dalam perkenalan ini, terjadi hal yang amat menarik, yaitu pertukaran pandang mata antara dua orang dara kembar itu dengan Ciu Khai Sun dan Na Tiong Pek! Seketika, dua orang pemuda itu tertarik sekali kepada dua dara kembar itu dan jantung mereka berdebar tidak karuan karena di dalam hati, mereka berdua harus mengakui bahwa selamanya belum pernah mereka bertemu dan berkenalan dengan dua orang dara yang demikian cantik manis dan lincah! Mereka lalu dipersilakan masuk oleh Beng Sin dan dua orang adik kembarnya. Sambil meng­gandeng tangan Lan Lan dan Lin Lin, Sin Liong, Bi Cu dan dua orang pemuda itu memasuki ruangan dan diajak duduk di kamar tamu. Tujuh orang muda-mudi ini riang gembira sekali dan macam-macam yang mereka bicarakan.



Tiba-tiba Sin Liong berkata kepada Beng Sin, Lan Lan dan Lin Lin, “Di manakah ayah kalian? Aku... aku dan Bi Cu ingin sekali jumpa. Bolehkah kami masuk untuk menemuinya?”



Lin Lin dan Lan Lan saling pandang dengan alis berkerut, sedang Beng Sin segera bangkit berdiri sambil berkata, “Dia beristirahat di dalam. Marilah kalau kalian hendak bertemu, kuantarkan. Lan-moi dan Lin-moi, kau temani dulu dua orang tamu kita ini.”



Sin Liong dan Bi Cu bangkit berdiri dan mengikuti Beng Sin masuk. Setelah tiba di dalam Beng Sin lalu berkata, sambil memandang kepada dua orang muda itu dengan sinar mata tajam penuh selidik, “Sin Liong, dan nona... aku tahu bahwa... ayahku telah melakukan banyak sekali kesalahan di masa lalu terhadap kalian, terutama terhadapmu, Sin Liong. Akan tetapi, melihat keadaannya sekarang, yang menderita dan tidak sadar, dan melihat muka kami, yaitu aku, Lan-moi dan Lin-moi, tidak maukah kalian memaafkannya?”



Ketika tadi bertemu dengan tiga orang muda yang menjadi putera dan puteri musuh besar pembunuh ayah kandungnya, sudah banyak kebencian di dalam hati Bi Cu menurun, bahkan ada rasa tidak enak kalau sampai dia harus turun tangan membunuh Kui Hok Boan, tidak enak terhadap tiga orang muda yang baik-baik dan yang kelihatannya amat menyayang Sin Liong itu. Betapapun juga, dua orang dara kembar yang cantik manis itu adalah saudara seibu dari Sin Liong, maka kalau sampai dia menyusahkan hati mereka dengan membunuh ayahnya, sungguh merupakan hal yang amat tidak enak baginya. Mulailah timbul keraguan apakah dia akan sampai hati membunuh ayah dua orang dara kembar itu yang tidak tahu apa-apa dan sama sekali tidak berdosa, bahkan yang dahulu berani menentang ayah sendiri demi menolong dia dan Sin Liong! Sekarang, mendengar ucapan Beng Sin, dia makin merasa canggung dan tidak enak, dan dia tidak berkata apa-apa dan memblarkan Sin Liong yang menjawab.



“Beng Sin, antar sajalah kami melihatnya. Kami ingin melihat bagaimana keadaannya sekarang.”



Beng Sin mengangguk lalu menarik napas panjang. “Menyedihkan sekali... dan kalau keadaannya seperti itu terus, mana mungkin aku dapat melangsungkan pernikahanku?”



Mereka tiba di depan sebuah kamar. Sunyi sekali di situ dan Beng Sin me­nuding ke kamar itu. “Dia selalu berdiam di kamarnya.” Kemudian dia membuka daun pintu lebar-lebar agar ada cahaya memasuki kamar yang gelap itu.



Kui Hok Boan duduk di atas kursi, diam seperti patung. “Ayah, Sin Liong dan nona Bhe datang untuk menengokmu, ayah,” kata Beng Sin kepada pria tinggi kurus pucat yang duduk di atas kursi itu.

Sin Liong dan Bi Cu terkejut melihat pria itu yang dulunya merupakan seorang pria setengah tua yang tampan dan gagah, kini telah menjadi tengkorak terbungkus kulit dan mukanya pucat, matanya cekung itu. Dan tiba-tiba pria itu bangkit berdiri, memandang kepada Sin Liong dan Bi Cu dengan sinar mata yang membuat Bi Cu merasa ngeri karena sinar mata itu liar dan penuh kedukaan. Dan tiba-tiba kakek itu menjatuhkan diri berlutut dan berkata dengan suara penuh penyesalan, “Ampunkan aku... ampunkan aku...”



Sin Liong dan Bi Cu terkejut sekali dan melangkah mundur. Akan tetapi pada saat itu, Kui Hok Boan sudah meloncat berdiri dan ternyata gerakannya masih gesit, dan dia berkata, suaranya masih penuh kedukaan, “Atau, kalau tidak mau mengampuniku, mari kita bertanding sampai aku menggeletak mati!” Dan dia sudah memasang kuda-kuda.



“Ayah, Sin Liong dan nona Bhe datang hanya untuk menjenguk,” Beng Sin berkata dan kakek itu sudah duduk kembali di atas kursinya seperti tadi, seperti patung hidup!



“Mari... mari kita pergi...” kata Bi Cu sambil menggandeng tangan Sin Liong dan pemuda ini merasa lega bukan main. Kata-kata itu saja sudah menunjukkan bahwa Bi Cu sama sekali tidak berniat untuk membunuh musuhnya ini. Akan tetapi dia masih belum puas. Dia menarik tangan Bi Cu mendekati Kui Hok Boan dan dia lalu berkata dengan suara halus.



“Paman Kui Hok Boan, lihat baik-baik. Inilah Bhe Bi Cu, puteri mendiang Bhe Coan yang telah kaubunuh itu!”



Bibir Kui Hok Boan bergerak-gerak dan berbisik-bisik, “Bhe Coan... Bhe Coan...” Lalu kembali dia menjatuhkan diri dan berlutut. “Ampunkan aku... ampunkan aku...!” Sejenak kemudian dia sudah meloncat bangun dan seperti tadi dia memasang kuda-kuda dan berkata, “Atau, kalau tidak mau mengampuniku, mari kita bertanding sampai aku menggeletak mati!”



“Mari kita pergi!” Bi Cu berkata lagi dan kini dia menarik tangan kekasihnya diajak ke luar dari kamar itu. Beng Sin menutupkan lagi daun pintu dan dia sudah menyusul mereka berdua. Dia menjura ke arah Bi Cu.



“Kiranya ayahku telah berdosa pula kepada nona, maka biarlah aku yang mintakan ampun dan menghaturkan terima kasih kepada nona yang telah berbesar hati untuk memaafkannya,” Berkata demikian, Beng Sin sudah menjatuhkan diri berlutut! Cepat-cepat Sin Liong dan Bi Cu memegang pundaknya dan membangunkannya. Sin Liong merangkulnya.



“Beng Sin, engkau sungguh seorang putera yang amat berbakti dan baik. Bi Cu tidak mendendam, bahkan kami kasihan sekali melihat penderitaan ayahmu. Dia jauh lebih menderita daripada kalau sampai terbunuh oleh orang yang membalas dendam.”



Beng Sin menghela napas. “Yaah, memang dia sengsara sekali. Setiap kali dia hanya minta ampun dan menantang seperti itu. Agaknya ada dua hal yang menggores hatinya, yaitu penyesalan dan juga sifat angkuhnya yang tidak mau tunduk.”



“Apakah setiap saat dia hanya duduk di dalam kamarnya itu?”



“Kadang-kadang dia keluar, akan tetapi hanya untuk berjalan-jalan di dalam taman di belakang rumah, tak pernah pergi ke lain tempat kecuali dua tempat itu, kamarnya dan taman bunga.”



“Sudahlah,” kata Bi Cu. “Mari kita kembali ke ruangan tamu dan kita bicara dengan gembira. Yang sudah biarlah berlalu, itu adalah urusan orang-orang tua.”



Mereka lalu kembali ke ruangan tamu di mana dua orang dara kembar itu nampak bicara dengan asyik bersama Tiong Pek dan Khai Sun. Biarpun baru saja berkenalan, agaknya nampak ada semacam keakraban antara Khai Sun dan Kui Lan, dan antara Tiong Pek dan Kui Lin!



Lan Lan dan Lin Lin menjadi girang sekali ketika mereka melihat Sin Liong dan Bi Cu kembali tanpa terjadi apa-apa, bahkan Beng Sin kelihatan gembira. Mereka lalu memanggil pelayan dan dua orang dara kembar itu sibuk untuk menjamu para tamu mereka dan tujuh orang muda-mudi itu makan minum sambil ber­cakap-cakap dan bersendau-gurau seperti lajimnya orang-orang muda yang merasa cocok satu sama lain bertemu dan ber­cengkerama.



Akan tetapi, selagi mereka bergem­bira, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dari belakang rumah. Sin Liong yang ter­cepat di antara mereka sudah meloncat dan lari masuk, terus menuju ke bela­kang, diikuti oleh yang lain-lain. Dan di tengah-tengah taman bunga di belakang rumah itu kelihatanlah pemandangan yang mengerikan. Kui Hok Boan menggeletak mandi darah, dan di dekatnya meng­geletak pula seorang kakek yang tinggi besar dan brewok yang agaknya juga menderita luka hebat akibat pukulan yang mengenai tenggorokannya dan membuat­nya muntah darah. Ketika Sin Liong dan orang-orang muda itu tiba di situ, keadaan dua orang itu tidak tertolong lagi.



Pedang kakek brewok itu menembus dada Kui Hok Boan dan agaknya pukulan maut Kui Hok Boan membuat kakek itu tidak mampu bangkit kembali.



Lan Lan dan Lin Lin berseru kaget ketika mereka mengenal kakek brewok itu. “Dia ini yang dulu menculik kami!” teriak Kui Lin.



Sin Liong juga ingat akan pengalaman­nya sepuluh tahun yang lalu. Ketika itu terdapat seoranq kakek brewok yang me­larikan Lan Lan dan Lin Lin dan ke­betulan dia melihat hal itu, maka diapun menyerang kakek itu, menolong Kui Lan dan Kui Lin, dibantu oleh monyet-monyet besar yang menjadi kawan-kawannya. Bahkan monyet betina yang menjadi induk­nya, yang merawatnya ketika dia masih bayi, tewas oleh kakek brewok ini. Maka dia cepat mendekati, monotok beberapa jalan darah untuk mengurangi penderitaan­nya, lalu bertanya, “Mengapa kau membunuh paman Kui Hok Boan?” tanyanya.

Orang itu terengah-engah, napasnya tinggal satu-satu. “Aku... Ciam Lok... puas sudah dapat membalaskan kematian puteriku Ciam Sui Noi... yang dinodai dan ditinggalkannya...” dan kepalanya terkulai. Matilah orang she Ciam ini, nyawanya menyusul nyawa Kui Hok Boan yang telah mati lebih dulu. Beng Sin, Lan Lan dan Lin Lin hanya dapat menangisi kematian ayah mereka dan mereka lalu mengurus jenazah Kui Hok Boan, dibantu oleh Sin Liong, Tiong Pek dan Khai Sun.



Sin Liong dan Bi Cu tinggal di Su-couw, ikut membantu keluarga Kui yang mengurus pemakaman jenazah Kui Hok Boan. Bahkan Na Tiong Pek dan Ciu Khai Sun yang kini telah menjadi sahabat-sahabat baik keluarga itu, juga membantu sampai selesainya pemakaman.



Kemudian, Sin Liong dan Bi Cu berpamit, meninggalkan Su-couw untuk pergi ke Cin-ling-san. Di tempat ini, mereka disambut keluarga Cin-ling-pai dengan gembira sekali. Sampai beberapa hari lamanya mereka bercakap-cakap dan saling menceritakan pengalaman masing-masing, terutama sekali Sin Liong dihujani pertanyaan-pertanyaan dan anak ini harus menceritakan lagi semua riwayatnya dari kecil sampai dewasa.



Beberape bulan kemudian, atas per­setujuan seluruh keluarga Cin-ling-pai, dilangsungkan pernikahan antara Cia Sin Liong dan Bhe Bi Cu. Pernikahan itu dirayakan dengan amat meriah karena di­hadiri oleh hampir seluruh tokoh kang-ouw di empat penjuru, dan juga dihadiri pula oleh banyak tokoh-tokoh besar dari pemerintah di kota raja! Bahkan Pangeran Hung Chih sendiri berkenan hadir! Semua tamu memandang dengan gembira dan harus mengakui bahwa pasangan pengan­tin itu memang tepat dan cocok sekali, apalagi melihat betapa dari dua pasang mata pengantin itu memancarkan cahaya penuh cinta kasih kalau mereka saling pandang.



Tidak semua cerita berakhir dengan kebahagiaan. Namun, Sin Liong dan Bi Cu, akhirnya menemui kebahagiaan dalam rumah tangga yang mereka bina bersama dan setiap pasangan sudah pasti akan mengecap kebahagiaan hidup apabila rumah tangga mereka didasari dengan cinta kasih. Apapun di dunia ini, baik yang oleh umum dipandang sebagai hal yang paling buruk, akan dapat dihadapi dengan tabah dan mudah diatasi apabila suami isteri hidup dalam sinar cinta kasih. Yang umum menganggap kesenangan akan terasa lebih nikmat, dan yang umum menganggap sebagai kesengsaraan akan terasa ringan apabila dihadapi oleh sepasang suami isteri yang saling mencinta.



Beberapa bulan kemudian, pengantin muda dan masih baru ini menghadiri pernikahan yang diadakan di Su-couw, yaitu sekaligus tiga pasang pengantin dirayakan pernikahannya, antara Kui Beng Sin dengan Ciook Siu Lan, Cui Khai Sun dengan Kui Lan, dan Na Tiong Pek dengan Kui Lin!



Demikianiah, cerita ini berakhir dengan catatan bahwa suami isteri Cia Sin Liong dan isterinya, Bhe Bi Cu, kemudian menjadi penghuni dari Istana Lembah Naga, hidup berbahagia di tempat sunyi itu. Harapan pengarang, semoga cerita Pendeker Lembah Naga ini dapat menghibur hati para pembatanya di waktu senggang dan mengandung manfaat bagi pembukaan kesadaran dan kewaspadaan kita bersama. Sampai jumpa di dalam cerita “Pendekar Sadis” yang merupakan cerita sambungan dari cerita ini.



T A M A T

Anda sedang membaca artikel tentang Cersil Kho Ping Hoo : Pendekar Lembah Naga 5 Tamat dan anda bisa menemukan artikel Cersil Kho Ping Hoo : Pendekar Lembah Naga 5 Tamat ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/05/cersil-kho-ping-hoo-pendekar-lembah_8825.html?m=0,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cersil Kho Ping Hoo : Pendekar Lembah Naga 5 Tamat ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cersil Kho Ping Hoo : Pendekar Lembah Naga 5 Tamat sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cersil Kho Ping Hoo : Pendekar Lembah Naga 5 Tamat with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/05/cersil-kho-ping-hoo-pendekar-lembah_8825.html?m=0. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar