Cerita Silat : Asmara Berdarah 4

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 11 Mei 2012

Cerita Silat : Asmara Berdarah 4

minta agar Hui Song turun saja dari atas panggung.



Akan tetapi Hui Song bersikap tenang. Dia bahkan menghampiri tempat hio yang sudah ditancapi sebatang hio bernyala, lalu dia menggunakan jari menjepit ujung hio itu sehingga apinya padam.



"Hei, apa yang kaulakukan itu?" Si petugas yang tadi membakar hio mene-gur.



"Terlalu cepat kalau dibiarkan terba-kar. Kalau begini kan bisa lama bermain-main dengan gajah bengkak itu? Biarlah kami berdua main-main sampai seorang di antara kami roboh tak mampu mela-wan lagi!" jawab Hui Song dengan sikap yang masih tenang.



Mendengar ini, semua orang menjadi terkejut dan semakin terheran. Pemuda ini benar-benar sudah gila! Kalau tidak, mana mungkin berani bersikap seperti i-tu, menantang si raksasa untuk bertan-ding sampai seorang di antara mereka menggeletak tak mampu melawan lagi? Seolah-olah dia akan mampu bertahan se-kian lamanya!



Akan tetapi, sikap Hui Song ini mem-buat Moghul menjadi marah. Dia merasa ditantang dan bahkan dipandang rendah oleh pemuda hijau itu. "Majulah dan aku akan mematahkan seluruh tulang-tulang tubuhmu!" bentaknya sambil melangkah lebar menghampiri Hui Song yang sudsh kembali ke tengah panggung. "Engkau ini tikus kecil berani banyak lagak!"



Hui Song tersenyum jenaka. "Dan engkau ini babi kebiri terlalu banyak kaok-kaok, cobalah tangkap aku kalau bisa!"



Para penonton mulai tertawa melihat betapa pemuda ingusan itu berani mempermainkah si raksasa dan memakinya babi kebiri. Moghul memandang marah, matanya menjadi semakin lebar dan alisnya bangkit berdiri, kemudian tanpa banyak cakap lagi dia menubruk ke depan, kedua tangannya mencengkeram hendak menangkap tubuh Hui Song, seperti seekor kucing menubruk tikus. Akan tetapi, dengan gaya yang lucu namun cepat, Hui Song sudah menyelinap dan menyuruk ke bawah lengan si raksasa sambil berseru "Sayang luput!"



Kemudian, karena dia tadi menyelinap melalui bawah lengan lawan, kini tubuhnya berada di belakang lawan dan sekali dia mengangkat kaki kiri, sepatunya telah menendang panggul yang besar dan berdaging tebal itu. Tentu saja dia tidak mengerahkan tenaga sin-kangnya karena dia ingin mempermainkan raksasa yang berhati kejam ini.



"Bukkk...!" Pinggul itu kena ditendang dan walaupun Moghul tidak roboh dan tendangan itu tidak mendatangkan rasa nyeri akan tetapi suaranya yang nyaring itu terdengar semua orang dan mulailah para penonton bersorak gembira. Walaupun gerakan pemuda itu tidak memperlihatkan gerak silat atau gerak gulat yang mahir, namun buktinya pemuda itu telah berhasil menendang pinggul Moghul. Ini saja sudah hebat!



Moghul memutar tubuhnya, membalik dan mukanya merah sekali, matanya melotot saking marahnya. Dia menyerbu dan hendak menangkap, namun kembali Hui Song mengelak. Moghul mengejarnya dan kini raksasa itu mempergunakan kakinya yang besar untuk menyerang dengan tendangan-tendangan bertubi-tubi. Hemm, pikir Hui Song, kiranya pegulat inipun mahir ilmu tendangan yang cukup lihai, apalagi kalau diingat bahwa di balik sepatu dan pembalut kakinya itu tersembunyi baja yang keras dan kuat. Dia mengelak dengan sembarangan saja, sengaja bersikap bodoh untuk memancing si raksasa agar bersikap lengah. Beberapa kali tendangan itu lewat dan ketika tendangan kaki kanan raksasa itu menyambar, dia cepat merendahkan tubuhnya dan begitu kaki itu lewat, dia mengulur tangannnya, menangkap bawah kaki itu dan terus mendorongnya ke atas. Karena Hui Song hanya menambah tenaga luncuran kaki itu sendiri, maka Moghul tidak mampu mempertahankan diri. Karena kakinya terus terangkat ke atas, otomatis tubuhnya terjengkang dengan keras.



"Brukkk...!" Papan lantai panggung itu tergetar hebat dan untung tidak ambrol tertimpa tubuh yang besar dan berat itu.



"Waah, hati-hati, babi kebiri. Perutmu bisa pecah kalau kaubanting-banting begitu!" Hui Song mengejek dan kembali terdengar sorak-sorai yang amat hebat. Kini mulailah timbul harapan di dalam hati penonton. Boleh jadi pemuda itu tidak mampu silat, tidak mampu gulat, akan tetapi jelas amat pemberani dan cerdik, dan sudah terbukti bahwa dalam beberapa gebrakan saja sudah mampu menendang pinggul si raksasa dan kini malah membuatnya terjengkang dan terbanting keras. Dan Moghul tidak segera bangkit, sengaja memancing agar pemuda itu melanjutkan serangannya untuk ditangkatnya, seperti yang dilakukannya terhadap si baju hitam tadi. Akan tetapi Hui Song tidak menyerang lagi, melainkan hanya pringas-pringis mengejek.



"Heh-heh, apakah perutmu terasa mulas dan kau tidak mampu bangun berdiri? Nah, baiklah. Mari kubantu, babi!" Hui Song mengulurkan tangannya seperti hen-dak membantu raksasa itu bangun. Tentu saja para penonton menjadi panik, bahkan ada yang berteriak-teriak agar Hui Song berhati-hati. Memang pemuda itu nampaknya terlalu sembrono dengan memberikan tangannya seperti itu. Sekali tangannya tertangkap, tentu pemuda itu akan cela-ka, akan dipatah-patahkan tulangnya dan mungkin saja akan dibunuh karena raksa-sa itu sudah amat marah padanya. Akan tetapi Hui Song pura-pura tidak mende-ngar cegahan-cegahan itU dan tetap mengulur tangan kepada Moghul.



Dan raksasa itu benar-benar menyambar tangan Hui Sbng yang diulurkan dan jari-jari yang panjang besar itu berhasil menangkap pergelangan tangan Hui Song dengan kuat. Akan tetapi, tiba-tiba Hui Song menarik lengannya dan cekalan itu terlepas, tangan itu licin seperti belut terlepas tak mampu dipertahankan oleh Moghul. Hui Song tersenyum dan memandang kepada orang yang memberi minyak kepadanya tadi, menjura.



"Terima kasih atas minyaknya, lenganku jadi licin, hi-hik!" Kembali orang-orang bersorak-sorai dan Hui Song kembali mengerahkan lengan yang satu lagi kepada Moghul. Ketika secara otomatis Moghul mengulur tangan hendak menangkap, Hui Song menarik kembali tangannya, seperti menggoda seorwg anak kecil saja. Sorak-sorai makin keras, orang-orang tertawa dan merasa geli menyaksikan pertunjukan yang lucu itu. Seperti bukan melihat pibu yang menyeramkan saja melainkan nonton panggung lawak yang lucu.



Dapat dibayangkan betapa kemarahan Moghul makin menjadi. "Kupatahkan semua tulangmu, kuhancurkan kepalamu...!" katanya berkali-kali dengan suara`mendesis.



"Silakan, kalau kau mampu menangkap aku," Hui Song mengejek.



Moghul yang sudah marah sekali itu tidak menjawab, melainkan menubruk lagi dengan cepat sambil mengeluarkan suara gerengan seperti seekor biruang marah. Namun, Hui Song mengelak dan sambil tersenyum mengejek pemuda ini tidak membalas, melainkan terus mengelak sampai raksasa itu terengah-engah kecapaian. Para penonton tertawa-tawa melihat tingkah Hui Song yang mempermainkan Moghul. Akan tetapi, agaknya bagi Moghul tidak ada kata kalah dalam benaknya. Dia sudah terbiasa selalu menang, sehingga kini, menghadapi seorang lawan yang demikian licin bagai belut sehingga semua serbuan dan terkamannya mengenai tempat kosong selalu, diapun merasa penasaran dan belum sadar bahwa dia sebenarnya menghadapi seorang lawan yang jauh lebih pandai daripada dia.



"Hohhhhh...!" Kembali raksasa itu menubruk dari samping, dan untuk ke sekian kalinya Hui Song mengelak dan menyelinap di bawah lengan kanannya. Raksasa yang sudah lelah itu terhuyung ke depan karena terdorong tenaga tubrukannya sendiri. Ketika dia membalik, tiba--tiba dia melihat lawannya yang tubuhnya kecil dibandingkan dengan tubuh raksasa itu, menerjang ke depan.



Hui Song meloncat dan menggunakan jari-jari tangan kirinya hendak menceng-keram muka raksasa itu. "Awas, kucokel keluar matamu!" Moghul terkejut dan tentu saja dia terpengaruh ucapan itu, mem-perhatikan tangan kiri lawan yang menyerangnya dan siap melindungi matanya dengan kedua tangan sambil mencari ke-sempatan untuk menangkap tangan kiri itu. Sejak tadi dia sudah mengancam da-lam hatinya bahwa sekali dia dapat me-nangkap pemuda itu, akan diangkat dan dibantingnya, akan dipatah-patahkan se-mua tulang tubuhnya! Akan tetapi, dia sama sekali tidak tahu bahwa serangan Hui Song itu hanya merupakan gertakan saja, karena yang bekerja adalah tangan kanannya yang menepuk-nepuk ke arah perut gendut itu dengan keras.



"Plak! Plak! Pungg...!" Akan tetapi tamparan-tamparan tangannya itu membalik dan perut yang ditamparnya mengeluarkan suara seperti sebuah tambur besar dipukul.



"Wah, gentong ini kosong!" Hui Song masih mengeluarkan suara ejekan keras sehingga para penonton semakin geli tertawa. Akan tetapi, suara ketawa mereka terhenti seketika karena pada saat itu, Moghul telah berhasil menangkap lengan kiri Hui Song dengan tangan kanannya. Dengan gerakan seekor jago gulat yang mahir, tangan kirinya menyusul dan su-dah menangkap pundak pemuda itu. Ke-mudian, secepat kilat tahu-tahu tubuh Hui Song sudah diangkat ke atas kepala. Semua orang memandang pucat dan Moghul menyeringai, mengeluarkan suara ha-ha-huh-huh seperti orang terengah-engah saking girangnya. Dia hendak membanting lawannya ke atas lantai panggung dan sudah mengerahkan tenaga agar bantingannya dapat dilakukan sekuatnya. Akan tetapi, tiba-tiba dia memekik kesakitan dan kedua lengannya menjadi lemas. Kiranya Hui Song menggunakan jari-jari tangannya, biarpun pergelangan tangan sudah ditangkap, untuk mencengkeram dan mencabuti bulu-bulu panjang di dada dan lengan raksasa itu, berbareng dengen itu, ujung sepatunya telah menotok jalan darah di dekat punggung lawan, membuat Moghul kehilangan tenaga untuk beberapa detik lamanya. Ini sudah cukup bagi Hui Song untuk meronta dan melepaskan diri dari pegangan kedua tangan lawannya. Dia menggeliatkan tubuhnya yang sudah dilumuri minyak tadi dan terlepas lalu meloncat ke belakang sambil berkata, "Heh-heh, tubuhku licin, berkat minyak!" Kembali penonton tertawa dengan hati lega. Biarpun sampai kini pemuda itu belum juga memperlihatkan ilmu silat atau ilmu gulat, namun semua gerakannya yang kelihatannya ngawur itu ternyata telah membuat si raksasa tidak berdaya!



Lumpuhnya kedua tangan Moghul tidak lama dan tentu saja raksasa ini menjadi semakin penasaran dan marah. Apalagi melihat betapa pemuda itu kini ber-diri sambil bertolak pinggang dengan ke-dua kaki terpentang lebar, berkata kepa-danya, "Hei, babi bengkak, coba sekarang engkau mengangkat dan membantingku kalau mampu!"



Tantangan ini mendatangkan rasa he-ran dan khawatir kepada para penonton, kecuali beberapa orang di antara mereka yang bermata tajam dan sudah dapat menduga bahwa pemuda itu tentulah se-orang pendekar yang lihai dan tinggi il-mu kepandaiannya. Akan tetepi yang merasa girang adalah Moghul. Tadi dia pe-nasaran dan kecewa karena sungguh tidak disangkanya, pemuda yang sudah berada dalam cengkeramannya dan tinggal ban-ting saja itu dapat lolos. Kini dia ditan-tang, tentu saja dia merasa girang. Se-kali ini, kalau aku dapat menangkapnya, tak mungkin dia akan dapat lolos, pikirnya. Dengan langkah lebar dia lalu menghampiri dan tadinya mengira bahwa pe-muda itu tentu hanya mempermainkannya dan akan mengelak kalau ditangkap. Akan tetapi ternyata tidak! Ketika kedua tangannya yang besar itu menangkap pinggang Hui Song dan dia mengerahkan te-naga untuk mengangkatnya, ternyata tubuh kecil itu tidak bergeming dan tidak dapat diangkatnya! Tubuh yang kecil itu, yang agaknya akan dapat diangkat walaupun hanya dengan satu tangan saja oleh Moghul, kini terasa berat sekali, atau se-olah-olah kedua kaki pemuda itu sudah berakar pada lantai panggung. Moghul ti-dak percaya dan semakin penasaran. Di-kerahkannya kekuatannya sehingga urat dan otot di kedua lengan dan dadanya menggembung dan dicobanya lagi untuk mengangkat tubuh Hui Song. Namun tetap tak terangkat olehnya. Kedua tangannya pindah ke pundak, lalu ke pinggang lagi, tetap saja tidak terangkat.



Tiba-tiba Hui Song merendahkan tubuhnya, menggunakan kedua tangannya untuk menyangga paha dan perut si raksasa, mengerahkan sin-kangnya dan sambil mengeluarkan lengking suara yang nyaring, dia meluruskan tubuh dan Moghul sudah terangkat ke atas olehnya! Tentu saja perbuatannya ini disambut sorak-so-rai gemuruh, bahkan Ji-ciangkun terbela-lak dan mukanya berobah agak pucat sementara itu Kok-taijin bertepuk tangan saking gembiranya.



"Brukkkk...!" Tubuh tinggi besar itu dilempar oleh Hui Song, bukan dibanting, melainkan hanya dilempar, akan tetapi akibatnya, bagian papan lantai panggung di ujung depan yang tertimpa tubuh raksasa itu ambrol!



Di bawah suara ketawa dan sorak-so-rai para penonton. Moghul merangkak ke luar lagi dari lantai papan panggupg. yang ambrol dan kini mukanya menjadi hitam, matanya merah sekali dan ada hawa pembunuhan membayangi wajahnya ketika dia melangkah maju lagi menghampiri Hui Song. Karena kini tidak ada lagi hio yang terbakar, maka orang tidak tahu lagi be-rapa lama batas pertandingan itu dan a-gaknya Moghul juga belum mau meneri-ma kalah.



"Eh-eh, engkau masih juga belum mau mengaku kalah?" Hui Song bertanya mengejek. Raksasa itu tidak menjawab, melainkan menubruk dengan dahsyat, penuh ke-marahan. Akan tetapi tiba-tiba dia ter-belalak karena tubuh pemuda di depannya itu lenyap. Semua penonton dapat meli-hat betapa pemuda itu mengelak tubruk-an lawan sambil meloncat ke atas, tinggi sekali melampaui kepala Moghul dan ke-tika tubuhnya berjungkir balik dengan indahnya seperti seekor burung walet di udara, tubuh itu menukik turun dan tahu-tahu Hui Song telah hinggap di atas kedua pundak raksasa itu sambil tertawa-tawa!



Sejenak Moghul kebingungan, akan te-tapi melihat kedua batang kaki Hui Song bergantung di depan dadanya, dia cepat menangkap kedua kaki itu. Akan tetapi tiba-tiba kedua kaki itu membalik dan menjepit lehernya dan kini tubuh atas Hui Song bergantung di belakang pung-gungnya dalam keadaan menelungkup.



"Wah, wah, celaka, kain cawatmu bau sekali, babi bengkak!" Hui Song berseru dan dengan kedua kaki masih menjepit leher, dia menggunakan kedua tangannya untuk menangkap ujung kain cawat di belakang pinggul Moghul dan membukanya. Tentu saja nampak kedua bukit pinggul raksasa itu yang berkulit halus dan lebih putih daripada bagian tubuh lainnya. Semua penonton tertawa bergelak melihat ini karena dengan ditariknya cawat itu, nampaklah semua tubuh bagian bawah raksasa itu dari belakang!



Kini Moghul sama sekali tidak ingat untuk melakukan serangan lagi karena kedua kaki yang menjepit lehernya itu membuat dia merasa sukar bernapas. Ke-dua kaki itu sedemikian kuatnya seperti jepitan baja dikalungkan di lchernya saja. Dengan susah payah dia mencoba untuk melepaskan jepitan kedua kaki itu, na-mun sia-sia dan tiba-tiba Hui Song yang bergantungan di belakang tubuhnya itu menggunakan kedua tangannya untuk me-notok belakang lutut Moghul. Raksasa itu mengeluh keras dan kedua kakinya terte-kuk. Hui Song melepaskan jepitan kaki-nya dan meloncat turun kemudian dia berdiri mengejek di depan Moghul. Rak-sasa ini merasa betapa kedua kakinya nyeri sekali akibat totokan di belakang lutut tadi, akan tetapi kemarahan membuat dia mata gelap. Dia bangkit berdiri dan kini menyerang dengan pukulan tangannya yang dikepalkan, tidak menggunakan ilmu gulat lagi. Hui Song agaknya sudah merasa cukup mempermainkannya, maka diapun menyambut pukulan lengan kanan ini dengan tangkisan tangan kirinya, dengan jari-jari terbuka dan tangan dimiringkan seperti golok membacok ke arah lengan kanan lawan.



"Krekkk...!" Moghul memekik dan lengan kanannya menjadi lumpuh karena tulang lengan itu sudah patah! Dasar manusia yang keras kepala. Dia masih menyerang terus dengan tangan kirinya. Kembali Hui Song menangkis dan kini lengan kiri itupun patah lengannya. Pemuda itu teringat betapa raksasa ini sudah menyiksa banyak orang dengan mematahkan tulang kaki tangan mereka, maka diapun cepat melakukan tendangan susulan dua kali yang mematahkan tulang kedua kaki raksasa itu. Moghul roboh dan tak dapat bangkit kembali karena kedua kaki dan tangannya sudah tidak dapat digerakkan, sudah patah-patah tulangnya. Hui Song kini membungkuk, menyambar se-buah lengan dan kaki, lalu mengangkat tubuh raksasa itu ke atas, memutar-mu-tarnya cepat lalu melemparkannya ke bawah panggung. Tubuh itu melayang dan jatuh terbanting ke atas tanah, di luar kepungan para penonton! Sorak-sorai bagaikan meledak dan seperti akan merun-tuhkan panggung itu sendiri. Semua pe-nonton mengangkat kedua tangan dan ada yang berjingkrak-jingkrak menari kegirangan.



Akan tetapi, semua penonton kini berdiam dan memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan dan kekhawatiran ketika melihat betapa Ji-ciangkun bersama belasan orang pengawalnya telah berdiri di atas panggung dan mengurung pemuda yang baru saja memperoleh ke-menangan secara mutlak itu.



"Tangkap keparat ini!" bentak Ji-ciangkun kepada para perajuritnya yang nampak ragu-ragu.



Tentu saja Hui Song juga berdiri de-ngan mata terbelalak heran dan diapun merasa penasaran sekali. "Ciangkun, apa sebabnya aku akan ditangkap?" bantah-nya.



"Orang muda, engkau masih belum mengakui kesalahan-kesalahanmu? Perta-ma, engkau telah memadamkan hio yang terbakar, dan kedua, engkau telah melu-kai penguji yang menjadi jagoan kami. Berarti engkau menyalahi peraturan dan tidak memandang kepada kami, berani mempermainkan dan melukai orang kami, dan itu berarti bahwa engkau telah memberontak, berani melawan pejabat tinggi!"



Akan tetapi pada waktu itu, Kok-taijin muncul pula dan terdengar pembesar sipil ini berkata, "Tidak, dia jangan di-tangkap, ciangkun. Biarlah kuampunkan kesalahan-kesalahannya dan aku akan mengambil dia menjadi seorang pengawal pribadiku. Orang she Cia, maukah engkau menjadi seorang pengawal pribadiku?"



Hui Song merasa semakin heran. Agaknya ada pertentangan secara rahasia antara kedua pejabat itu dan diapun men-jura kepada gubemur itu, "Saya bersedia, taijin."



Ji-ciangkun nampak marah, akan te-tapi karena Kok-taijin merupakan wakil dari kerajaan yang merupakan penguasa tertinggi di daerah itu, maka diapun ti-dak berani menentang secara terang-te-rangan dan diapun memberi isyarat kepa-da para perajuritnya untuk mundur dan meninggalkan panggung. Kok-taijin meng-ajak Hui Song mengikutinya pulang ke dalam gedungnya dan pemilihan calon per-wira itupun dibubarkan.



Setelah tiba di dalam gedungnya, Kok-taijin mengajak Hui Song memasuki se-buah kamar untuk bicara empat mata. Pembesar yang berwibawa itu menyuruh Hui Song duduk di atas kursi, berhadapan dengan dia terhalang sebuah meja kecil dan setelah dia menyuruh seorang pela-yan menghidangkan minuman dan menyu-ruh pelayan lain mempersiapkan sebuah kamar untuk pengawal pribadi baru ini, dia lalu mengajak Hui Song bercakap-ca-kap.



"Cia-sicu, aku sudah terlalu banyak mengenal para pendekar gagah maka begitu engkau muncul, walaupun engkau bersikap ketolol-tololan, aku sudah dapat menduga bahwa engkau tentu seorang pendekar yang berkepandaian tinggi. Dan timbul keheranan dalam hatiku, karena janggal dan anehlah kalau seorang pende-kar berilmu seperti engkau ini hendak masuk menjadi seorang perwira. Sebetul-nya, apakah yang mendorongmu naik ke panggung dan melawan Moghul?"



Diam-diam Hui Song memuji kecerdikan pembesar ini yang ternyata mempunyai pandangan tajam sekali. Dan diapun tidak perlu lagi bersembunyi karena dia tahu bahwa pembesar ini boleh dipercaya, ti-dak seperti Ji-ciangkun yang sikapnya mencurigakan itu. "Harap taijin suka memaafkan saya. Sesungguhnya ada dua hal yang mendorong saya memasuki sayem-bara itu. Pertama karena saya merasa jengkel melihat kekejaman Moghul yang menyiksa para pengikut sayembara yang kalah dan saya ingin membalaskan mere-ka itu dan menghukumnya. Kedua, saya merasa heran sekali mengapa kalau pe-merintah membutuhkan perwira-perwira baru, dengan mengajukan Moghul sebagai penguji maka seolah-olah pemerintah daerah bahkan menghalangi adanya perwira-perwira baru. Sukarlah dicari orang yang akan mampu mengalahkan raksasa itu. Maka, saya ingin sekali menyelidiki kejanggalan ini."



Pembesar ini mengangguk-angguk. "Tepat seperti yang sudah kuduga, Cia-sicu. Oleh karena itulah maka aku turun tangan dan mengangkatmu menjadi pengawal pribadi. Sesungguhnya, sudah lama aku merasa curiga akan gerak-gerik Ji-ciangkun yang berobah semenjak beberapa bulan yang lalu ini. Dahulu diapun merupakan seorang panglima yang setia kepada pemerintah, akan tetapi entah mengapa, semenjak beberapa bulan ini terjadi perobahan pada sikapnya dan Moghul itupun pilihan dia. Dialah yang tadinya tidak setuju ketika aku mengusulkan untuk menerima perajurit dan perwira baru karena adanya desas-desus pemberontaken. Cia-sicu, tentu engkaupun sudah mendengar tentang desas-desus itu, bukan?"



Hui Song mengangguk. "Bukan berita bohong, taijin. Memang ada datuk-datuk kaum sesat yang sedang menghimpun tenaga untuk mengadakan pemberontakan, dan terus terang saja, saya sampai ke daerah inipun adalah untuk menyelidiki tentang hal itu."



"Bagus kalau begitu, sicu. Bagaimana kalau engkau tinggal di sini, pura-pura saja menjadi pengawal pribadiku, kemudian tugas yang sesungguhnya bagimu adalah menyelidiki Ji-ciangkun? Siapa tahu dia mempunyai hubungan dengan para tokoh yang hendak memberontak itu."



"Baik, taijin. Saya dapat menggunakan waktu kira-kira sebulan untuk melakukan penyelidikan di sini."



Demikianlah, mulai hari itu, Hui Song berpakaian pengawal dan menjadi pengawal pribadi Kok-taijin. Tentu saja hal ini hanya untuk menyembunyikan tugasnya yang sebenarnya, yaitu menyelidiki Ji-ciangkun. Hanya dia sendiri dan Gubernur Kok yang tahu, bahkan keluarga gubernur itu sendiripun tidak mengetahuinya. Gubernur Kok tinggal dengan seorang isterinya, beberapa orang selir dan hanya mempunyai seorang anak, yaitu seorang anak perempuan yang ketika itu baru berusia sepuluh tahun. Sebagai seorang pengawal pribadi, Hui Song mengenal baik semua keluarga Kok-taijin dan dengan pakaian pengawal, tidak begitu sukar baginya untuk melakukan penyelidikan, karena tidak dicurigai.



Pada suatu malam, beberapa hari ke-mudian, dua bayangan yang amat gesit gerakannya, berlompatan memasuki benteng dengan melewati tembok benteng yang tinggi. Anehnya, ketika para pensa-ga melihat dua orang ini, mereka diam saja, bahkan ada perwira yang memberi hormat kepada mereka, lalu perwira ini melapor kepada Ji-ciangkun yang berada di sebelah dalam gedungnya.



"Ciangkun, dua orang tamu yang di-tunggu sudah datang," perwira itu mela-porkan.



"Baik. Persilakan mereka menanti ke dalam kamar tunggu dan suruh para pengawal menjaga di luar, jangan menerima tamu dari luar pada malam hari ini, aku tidak mau diganggu."



Perwira itu memberi hormat dan keluar, menanti di pekarangan gedung atasannya itu. Tak lama kemudian, dua sosok bayangan berlompatan turun dan mereka itu ternyata adalah seorang tosu tinggi kurus dan seorang hwesio gendut yang bukan lain adalah Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo, dua orang tokoh dari Cap-sha-kui yang pernah bersama-sama Siang-to Sian-li Gui Siang Hwa murid Raja Iblis memikat Hui Song ke Guha Iblis Neraka tempo hari! Sang perwira menyambut mereka dengan hormat, lalu mempersilakan mereka menanti Ji-ciangkun di dalam ruangan tamu yang luas. Tiga orang ini memasuki pintu ruangan tamu, sama sekali tidak tahu bahwa seorang perajurit pengawal yang berdiri di situ dengan tombak di tangan sama sekali bukanlah perajurit benteng itu, melainkan Hui Song yang telah menyamar! Dengan bantuan Kok-taijin, tidak sukar bagi Hui Song untuk menyamar dengan pakaian perajurit benteng dan menyelundup masuk untuk melakukan penye-lidikan. Malam itu, tanpa disangka-sangkanya dia melihat dua orang tamu dari Ji-ciangkun, yang bukan lain adalah kenalan lamanya, yaitu Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo yang pernah nyaris mene-waskannya di Guha Iblis Neraka.



Terkejut, heran dan juga giranglah hati Hui Song bahwa kecurigaannya ter-hadap Ji-ciangkun ternyata kini terbukti kebenarannya. Jelaslah bahwa Ji-ciangkun tentu bersekongkol dengan kaum sesat yang hendak memberontak, karena dua o-rang kakek iblis itu adalah para pemban-tu Raja dan Ratu Iblis dan tentu kini menjadi semacam utusan dari Raja Iblis untuk bersekongkol dengan Ji-ciangkun. Maka, setelah keadaan sunyi dan dia memperoleh kesempatan, Hui Song lalu melakukan pengintaian ke dalam ruangan tamu.



Tidak salah penglihatannya tadi, yang duduk di dalam ruangan itu adalah Hui-to Cin-jin, Kang-thouw Lo-mo, bersama Ji-ciangkun dan Moghul! Agaknya orang Mongol jago gulat itu memang kuat sekali. Biarpun tulang kedua kaki tangannya patah, akan tetapi kini, dengan bantuan kursi roda, dia mampu menghadiri pertemuan itu dengan kaki tangan dibalut kuat. Tentu dia menggunakan obat yang amat manjur, pikir Hui Song kagum juga. Dia sudah mendengar betapa Bangsa Mongol mempunyai obat-obat yang amat mujarab untuk luka-luka atau patah tulang. Dan kini makin mengertilah dia. Kiranya Moghul yang dijadikan jagoan penguji itupun merupakan seorang di antara tokoh persekutuan pemberontak itu! Dari percakapan di antara empat orang itu, tahulah dia bahwa Moghul bukanlah orang biasa. Dia mengaku sebagai keturunan para Raja Mongol yang pernah memerintah di Tiongkok dan kini dia berusaha untuk membangun kembali kekuasaan bangsanya yang sudah jatuh. Jadi terdapat persekutuan antara tiga unsur di sini. Yang pertama adalah seorang panglima pemerintah sendiri yang berambisi untuk memberontak, yaitu Panglima Ji Sun Ki. Kedua adalah Moghul yang mewakili orang-orang Mongol yang menjadi anak buahnya. Dan ketiga adalah rombongan kaum sesat yang diketuai Raja Iblis! Suatu persekutuan yang amat ber-bahaya, pikir Hui Song yang mengintai dan mendengarkan dengan hati-hati.



"Pemuda itu...?" kata Kang-thouw Lo-mo sambil menenggak araknya ketika dia mendengar Ji-ciangkun bercerita tentang pemuda yang mengalahkan Moghul dalam sayembara pemilihan perwira baru. "Ah, dialah orang she Cia, putera ketua Cin-ling-pai itu! Pantas saja kalau saudara Moghul kalah karena dia memang lihai bukan main."



"Dan sekarang telah menjadi pengawal pribadi Kok-taijin?" Hui-to Cin-jin menyambung. "Wah, berbahaya sekali itu. Dia harus disingkirkan lebih dahulu!"



Ji-ciangkun mengerutkan alisnya. Dia terkejut bukan main mendengar bahwa pemuda yang sikapnya ketolol-tololan itu, yang telah mengalahkan Moghul, ternyata bukan orang sembarangan, melainkan se-orang pendekar!



"Tidak mudah begitu saja menyingkir-kannya, bukan hanya karena dia lihai, a-kan tetapi karena dia sudah menjadi pengawal pribadi Kok-taijin. Kita harus bertindak hati-hati dan jangan sampai menimbulkan kecurigean di hati Kok-taijin sebelum gerakan kita itu dilakukan. Jelaslah bahwa Kok-taijin tidak dapat dibu-juk dan dia akan menjadi penghalang terbesar. Maka, biarlah aku mengerahkan o-rang-orangku untuk mengamati orang she Cia itu. Sama sekali aku tidak mengira bahwa dia adalah seorang pendekar, ma-ka aku tidak menaruh curiga."



Mendengar ini, Hui Song sudah mera-sa cukup. Kalau kini Ji-ciangkun sudah mengerti siapa dirinya, tentu dia akan selalu diawasi dan hal itu membuat dia tidak akan leluasa bergerak. Maka dia lalu secara hati-hati meninggalkan tempat itu dan malam itu juga dia menghadap Kok-taijin yang menjadi terkejut karena pembesar ini tadinya sudah mengaso dan bahkan hampir tidur pulas ketika dibangunkan.



"Cia-sicu, ada apakah...?" tanyanya kaget.



"Taijin, mari kita bicara di dalam. A-da hal penting sekali," jawab Hui Song. Mereka lalu memasuki ruangan dalam dan di situ Hui Song menceritakan apa yang baru saja dilihat dan didengarnya.



Diceritakannya kepada pembesar itu bahwa Ji-ciangkun benar-benar bersekongkol dengan orang-orang yang hendak memberontak, betapa Moghul sebenarnya menurut pengakuannya adalah keturunan Jenghis Khan dari Raja-raja Mongol yang hendak membangkitkan kembali kekuasaan bangsanya, kemudian diceritakannya tentang dua orang tokoh Cap-sha-kui yang menjadi para pgmbantu Raja Iblis yang memimpin para datuk sesat yang hendak memberontak.



Mendengar penuturan itu, Kok-taijin terkejut bukan main. Pembesar ini mengerutkan alisnya. "Ah, tak kusangka sudah sejauh itu! Dan biarpun di San-hai-koan ini aku menjadi penguasa tertinggi, akan tetapi untuk menangkap Ji-ciangkun, aku kekurangan kekuatan. Di sini aku hanya mempunyai pasukan pengawal dan penjaga keamanan yang jumlahnya tidak ada seribu orang sedangkan Ji-ciangkun menguasai pasukan yang beribu-ribu banyaknya. Kita harus bertindak hati-hati dan tidak ada jalan bagiku kecuali mela-porkan ke kota raja. Akan tetapi hal itu membutuhkan waktu lama dan melapor-kan kepada kaisar harus disertai bukti-bukti sedangkan bukti itu belum ada. Maka, sicu, aku minta bantuanmu. Sam-paikan suratku kepada komandan benteng Ceng-tek. Komandan itu adalah seorang panglima yang setia dan kalau dia mene-rima suratku, tentu dia akan percaya dan dia akan mengirimkan pasukan yang be-sap ke sini untuk membantuku. Tidak ada orang lain yang dapat kupercaya untuk melakukan tugas ini, sicu. Berangkatlah malam ini juga."



Hui Song tidak dapat menolak karena dia sendiripun maklum akan gawatnya keadaan. Agaknya pihak pemberontak itu akan menduduki San-hai-koan lebih dulu untuk menjadi markas dan basis pembe-rontakan mereka. Maka, malam itu juga, dia diberi seekor kuda yang paling baik, membawa surat dari Kok-taijin dan be-rangkatlah dia meninggalkan San-hai-koan.



***



Dugaan Hui Song memang tidak banyak selisihnya dengan kenyataan sebenarnya. Kedatangan Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo ke markas San-hai-koan itu selain untuk berunding di mana dua orang kakek itu membongkar keadaan diri Cia Hui Song, juga dua orang kakek itu diutus oleh Raja Iblus untuk mengundang Ji-ciangkun agar pada malam itu juga datang menemui Raja Iblis di suatu tempat tersembunyi tidak jauh da-ri San-hai-koan! Setelah dia memanggil para perwira pembantu dan kepercayaannya, memberi tahu kepada mereka agar mulai saat itu juga mereka semua mengamat-amati semua gerakan gubernur itu, Ji-ciangkun lalu berangkat naik kuda bersama dua orang tamunya. Dia tidak membawa pengawal karena memang tidak boleh sembarang orang datang menghadap Raja Iblis. tadinya Moghul juga diundang, akan tetapi mengingat bahwa orang Mongol itu berada dalam keadaan terluka dan tidak dapat berjalan, yang berangkat hanyalah Ji-ciangkun saja bersama dua orang tokoh Cap-sha-kui itu.



Malam itu terang bulan dan tiga orang yang menunggang kuda itu berhenti di sebuah lereng bukit. Dua orang kakek itu memberi isyarat kepada Ji-ciangkun untuk menghentikan kuda masing-masing dan menambatkan kuda mereka itu pada batang pohon.



"Dari sini kita harus berjalan kaki dan jangan sekali-kali mengeluarkan suara," kata Hui-to Cin-jin berbisik.



"Lihat saja isyarat tangan kami. Ka-lau bicara sebelum ditanya, dapat meng-akibatkan bencana," kata pula Kang-thouw Lo-mo.



Mendengar ucapan dua orang kakek itu dan melihat sikap mereka seperti o-rang yang amat takut, diam-diam Ji-ciangkun bergidik. Dia sendiri belum pernah bertemu dengan Raja dan Ratu Iblis, dan dia hanya mendengar bahwa Raja Iblis a-dalah seorang pangeran yang bernama Toan Jit-ong dan bahwa tokoh ini memiliki ilmu kepandaian yang tidak lumrah manusia dan mempunyai watak yang amat aneh dengan wibawa melebihi kaisar sen-diri! Setelah mereka berjalan kira-kira setengah jam lamanya, menyusup-nyusup melalui semak-semak belukar, akhirnya mereka tiba di sebuah lereng terbuka dan dari jauh, di bawah sinar bulan purnama, nampaklah tembok-tembok nisan kuburan berjajar-jajar. Dua orang kakek itu berhenti memandang ke arah tanah kuburan itu dan ketika Ji-ciangkun me-mandang kepada mereka, dua orang itu tanpa bicara menuding ke arah tanah kuburan itu.



"Di sanakah...?" Ji-ciangkun berbisik.



"Sssstt!" Hui-to Cin-jin menegur dan menaruh telunjuk ke depan mulut, lalu mengangguk membenarkan. Mereka lalu maju lagi perlahan-lahan menghampiri tanah kuburan yang sudah nampak dari jauh itu.



Ketika mereka tiba di luar tanah pe-kuburan, tiba-tiba dua orang kakek itu memegang lengan Ji-ciangkun dan mem-beri isyarat agar diam dan tidak menge-luarkan suara, mereka hanya memandang ke depan. Panglima itu ikut memandang dan matanya terbelalak, wajahnya berobah pucat. Memang amat mengerikan apa yang terlihat olehnya di tengah kuburan itu. Biarpun sinar bulan redup, namun lambat laun matanya sudah terbiasa dan dia da-pat melihat dengan jelas apa yang terja-di di tengah kuburan itu.



Di antara kuburan-kuburan yang nampak sudah kuno dan tidak terawat, nampak dua orang yang sedang berlatih ilmu kesaktian yang amat luar biasa. Seorang di antara mereka, adalah seorang pria yang rambutnya sudah putih semua, awut-awutan dan riap-riapan, jenggot dan kumisnya pendek, tubuhnya jangkung dan wajah yang tertimpa sinar bulan itu nampak seperti topeng saja, agak kehijauan dan dingin seperti muka mayat, sepasang matanya yang kehijauan mencorong seperti mata harimau, pakaiannya yang berwarna putih dan kuning itu longgar dan kedodoran, usianya sukar ditaksir berapa karena biarpun rambutnya sudah putih semua, akan tetapi wajah seperti topeng itu sukar ditaksir usianya, mungkin saja empat puluh atau mungkin juga enam puluh tahun lebih. Dan orang ini sedang duduk di atas tumpukan tengkorak-tengkorak manusia! Sedikitnya ada lima pu-luh buah tengkorak yang ditumpuk berbentuk kerucut itu dan dia kini duduk bersi-la di atas tumpukan tengkorak itu. Baru duduk di atas tumpukan tengkorak saja sudah merupakan hal yang sukar dilaku-kan, karena tengkorak yang hanya ber-tumpuk-tumpuk itu tentu akan runtuh kalau di puncaknya diduduki orang. Akan tetapi kakek itu dapat duduk dengan te-gak, bersila dan matanya memandang ta-jam ke depan. Di depannya, terpisah ku-rang lebih tiga tombak, ada tumpukan tengkorak lain seperti yang didudukinya. Dan di atas tumpukan tengkorak kedua berdiri seorang wanita, akan tetapi bar-diri dengan kepala di bawah dan kedua kaki lurus ke atas! Wanita inipun rambutnya putih riap-riapan, pakaian dan wajahnya sama dengan yang pria, mukanya yang ada garis-garis cantik itu nampak dingin dan kaku, dan pakaiannya juga longgar dan kedodoran sehingga karena ia berdiri jungkir balik di atas tumpukan tengkorak, jubahnya tersingkap ke bawah dan nampak celananya yang berwarna putih.



"Sudah slap?" terdengar suara yang halus akan tetapi mengandung getaran kuat dari pria yang duduk bersila itu.



"Siap," jawab wanita itu dengan tubuh yang jungkir balik itu sama sekali tidak bergoyang.



"Mulai...!" kata pula yang pria. Kedua orang itu kini meggerakkan sepasang tangan ke depan, dengan gerakan mendorong, dengan jari-jari tangan terbuka dan telapak tangan menghadap ke depan.



"Tarrrr...!" terdengar ledakan di tengah udara antara keduanya seolah-olah ada suatu tenaga tak nampak yang saling bertemu dan beradu di udara! Dan mereka berdua melakukan adu tenaga ini bet-ulang kali. Setiap kali tentu terdengar suara ledakan itu, akan tetapi, kini setiap ledakan makin mendekati si wanita, seo-lah-olah tenaga yang bertemu itu kini tidak seimbang lagi dan tenaga si wanita terpukul mundur.



"Jagalah ini...!" Tiba-tiba si pria berseru dan kembali mereka saling dorong.



"Tarr... brukkkkk...!" Tubuh wanita itu jungkir balik meloncat ke atas dan tumpukan tengkorak yang tadi terinjak kepalanya itu berantakan, dan ada beberapa buah tengkorak yang pecah berhamburan seperti diterjang tenaga dahsyat!



"Tenagaku masih kurang kuat...!" Wanita itu menarik napas ketika ia sudah turun dan berdiri tak jauh dari pria yang masih duduk bersila itu.



"Siapa bilang? Engkau sudah kuat sekali dan hampir aku tidak tahan. Lihat ini!" Diapun melayang turun dari atas tumpukan tengkorak dan begitu menendang, tumpukan tengkorak itu berantakan dan ada empat buah tengkorak yang berada paling atas, remuk menjadi debu!



Melihat pertunjukan yang seperti sulap atau sihir itu, diam-diam Ji-ciangkun menjadi terkejut ngeri dan juga gentar hatinya. Apalagi ketika tiba-tiba dua orang berambut putih itu menoleh ke arah mereka.



"Majulah kalian!" Wanita itu berseru sambil menggapai dengan jari-jari tangannya yang berkuku runcing.



Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo segera maju, sedangkan Ji-ciangkun mengikuti dari belakang. Dua orang kakek itu menjatuhkan diri berlutut di depan Raja Iblis, dan panglima itu yang merasa bahwa dia hanyalah sekutu, bukan anak buah iblis-iblis itu, hanya menjura dengan hormat.



"Inikah Ji-ciangkun dari San-hai-koan?" tanya wanita itu yang bukan lain adalah Ratu Iblis. Seperti biasa, ialah yang menjadi juru bicara suaminya, sedangkan Raja Iblis hanya berdiri memandang dengan sepasang matanya yang mencorong kehijauan.



"Benar, toanio, saya adalah Ji Sun Ki, panglima di San-hai-koan. Saya datang memenuhi undangan Ong-ya melalui Cin-jin dan Lo-mo."



Raja Iblis memberi isyarat kepada mereka untuk duduk di atas tanah, sedang-kan dia sendiri duduk di ates tumpukan kecil tengkorak. Isterinya duduk pula di atas tumpukan kecil tengkorak, sedang-kan dua orang kakek pembantu mereka itupun masing-masing mengambil sebuah tengkorak untuk dijadikan tempat duduk.



Ji-ciangkun sendiri merasa ngeri kalau duduk di atas tengkorak manusia itu, maka dia hanya menduduki sebuah batu nisan.



"Ji-ciangkun," terdengar suara Raja Iblis. Jarang dia bicara, akan tetapi agaknya kini dia merasa betapa pentingnya merangkul panglima ini untuk mulai me-nyalakan api pemberontakan. "Apakah sewaktu-waktu benteng itu dapat kita kua-sai?"



Agak lega rasa hati Ji-ciangkun mendengar suara Raja Iblis. Ternyata suaranya halus dan bahasanya rapi seperti biasa dipergunakan para bangsawan atau orang terpelajar. "Semua sudah saya persiapkan, Ong-ya. Sepuluh ribu perajurit yang tergabung dalam pasukan di benteng San-hai-koan, sebagian besar dikuasai oleh perwira-perwira pembantu saya. Yang mungkin akan menentang tidak lebih dari dua tiga ribu perajurit saya yang akan mudah diatasi. Akan tetapi, Kok-taijin sukar diajak berdamai dan tidak mungkin bekerja sama. Dari dialah mungkin datangnya tentangan dan halangan."



"Kekuatannya?" tanya Raja Iblis itu tenang.



"Lumayan. Ada seribu orang pasukan pengawal yang akan selalu membelanya. Apalagi baru-baru ini dia memperoleh seorang pengawal pribadi yang lihai..." Ji-ciangkun berhenti karena pada saat itu Hui-to Cin-jin yang melihat keraguannya menyambung.



"Ong-ya, orang yang menjadi pengawal pribadi Kok-taijin itu telah mengalahkan Moghul dan dia bukan lain adalah putera ketua Cin-ling-pai!"



Raja Iblis mengerutkan alisnya dan mengelus jenggotnya yang pendek. "Hemm, bukankah Bin Mo To dari Ceng-tao itu sudah memberikan janjinya akan membantu, dan juga mantunya, ketua Cin-ling-pai akan membantu pula kalau sudah tiba waktunya? Apakah keluarga itu akan melanggar janji?"



"Hamba tidak tahu, Ong-ya. Akan tetapi kita memang tidak boleh terlalu percaya kepada orang-orang seperti ketua Cin-ling-pai itu. Apalagi Bin Mo To yang sudah lama mencuci tangan, tidak seperti dahulu ketika dia masih berjuluk Tung-hai-sian."



"Pemuda itu harus dibunuh, juga kalau mungkin, secepatnya Kok-taijin yang menjadi penghalang itu harus dibunuh!" kata Raja Iblis kepada Ji-ciangkun.



Ji-ciangkun mengerutkan alisnya. "Maaf, Ong-ya. Saya sudah menyuruh anak buah mengawasi pemuda she Cia itu. Dan kalau perlu, kiranya tidak begitu su-kar membunuhnya dengan pengeroyokan. Akan tetapi membunuh Kok-taijin saya kira tidak bijaksana, bahkan akibatnya bisa amat merugikan."



"Mengapa?"



"Seperti telah saya katakan tadi, Kok-taijin mempunyai pasukan pengawal yang setia kepadanya, kurang lebih seribu orang. Kalau saya menyerangnya secara berterang, tentu seribu orang pengawal itu akan memberontak dan melawan, dan kalau terjadi demikian, tentu dua tiga ribu orang pasukan yang belum dapat saya tundukkan itu akan bergabung. Hal ini akan menimbulkan perang sendiri dalam benteng dan biarpun kita dapat menang, namun tentu akan mengalami kerugian banyak pasukan. Lebih baik kalau dapat kita pergunakan akal agar benteng jatuh ke tangan kita tanpa banyak korban, dan lebih baik lagi kalau kita dapat memaksa Kok-taijin menakluk kepada kita."



"Caranya? Dengan menawannya dan memaksanya?" Raja Iblis bertanya.



Ji-ciangkun menggeleng kepala. "Biar-pun dia seorang sipil, namun Kok-taijin memiliki hati yang keras. Andaikata dia ditangkap dan disiksa sekalipun, jangan harap dia akan mau menakluk. Akan te-tapi, dia hanya mempunyai seorangi anak, yaitu anak perempuan yang baru berusia sepuluh tahun. Kalau kita menculik anak itu, besar kemungkinan dia mau tunduk dan menurut, demi keselamatan anaknya yang amat disayangnya."



"Bagus! Lakukanlah itu, Ji-ciangkun. Ingat kami tidak akan mau bergabung denganmu sebelum kau berhasil menguasai benteng San-hai-koan. Setelah berhasil, barulah engkau akan resmi menjadi pang-lima besar semua pasukan kita dan kelak engkau tentu akan tetap menjadi panglima kerajaan baru kita."



Wajah Ji-ciangkun berseri gembira membayangkan kedudukan yang akan diperolehnya kalau gerakan mereka berhasil. Dan dia yakin akan berhasil setelah dia bertemu dengan bekas pangeran yang sakti luar biasa ini. Setelah mengadakan perundingan dengan matang dan Raja Iblis menyatakan siap membantu kalau terdapat kesukaran dalam pengambilalihan kekuasaan di San-hai-koan itu, Ji-ciangkun lalu kembali ke San-hai-koan, dikawal oleh dua orang kakek iblis.



Sementara itu, Hui Song yang keluar dari San-hai-koan dengan berkuda, baru kira-kira meninggalkan benteng itu sejauh sepuluh li, dia mendengar suara derap kaki kuda dari belakang. Pemuda ini da-pat menduga bahwa derap kaki banyak kuda itu tentulah pasukan dan ke mana lagi malam-malam begitu ada pasukan membalapkan kuda mereka kalau bukan untuk mengejar dirinya? Dia sama sekali tidak merasa takut, akan tetapi karena dia sedang membawa tugas yang amat penting, dia tidak mau menunda perjalanan itu dengan perkelahian melawan pasukan yang mengejarnya. Maka diapun lalu berhenti, mengumpulkan bekalnya dan diikatnya buntalan itu di punggungnya, kemudian dia mencambuk kuda itu, diusir dan dikejarnya agar kuda itu lari ke lain jurusn, bukan ke jurusan Ceng-tek, me-lainkan ke timur. Kuda itu ketakutan dan lari cepat, dia masih mengejarnya dengen lemparan-lemparan batu sehingga kuda itu lari tunggang-langgang. Setelah itu, Hui Song meloncat naik ke atas dahan pohon dan bersembunyi di balik daun-daun lebat.



Tak lama kemudian, muncullah serombongan pasukan itu dan ternyata jumlah mereka ada seratus orang! Akan sukar juga kalau dia harus melawan orang se-demikian banyaknya, dan juga akan membuang-buang waktu saja. Pasukan itu berhenti, memeriksa tanah dengan obor-obor dan akhirnya mereka membelok ke kiri, mengejar kuda yang meninggalkan jejak di atas tanah itu.



Setelah pasukan itu membalapkan ku-da ke timur, barulah Hui Song meloncat turun dari atas pohon, lalu memperguna-kan ilmu lari cepat, lari ke selatan lalu ke barat, menuju ke Ceng-tek. Jarak yang ditempuhnya akan makan waktu sehari semalam, dan pada besok malam baru dia akan tiba di Ceng-tek.



***



Kota Ceng-tek merupakan kota yang cukup besar dan ramai. Kota ini merupakan semacam benteng pertahanan pula atau merupakan pintu menuju ke kota raja Peking, karena itu di kota ini ter-dapat benteng yang cukup besar dan kuat. Yang menjadi komandan pasukan di Ceng-tek adalah seorang jenderal berna-ma Lui Siong Tek, seorang laki-laki ting-gi besar dan gagah perkasa, berusia em-pat puluh lima tahun. Dia menguasai se-laksa pasukan tetap dan dengan mudah dia akan memperlipatgandakan pasukan-nya itu dengan pasukan-pasukan lain yang berada di sekeliling daerah itu, yang me-rupakan mata rantai pertahanan di utara di sebelah dalam Tembok Besar untuk melindungi kota raja dari serbuan-serbuan yang mungkin datang dari bangsa-bangsa liar di utara.



Sudah menjadi kebiasaan bahwa seo-rang pembesar yang mempunyai kekuasa-an penuh di suatu daerah, akan merasa yang paling berkuasa, seolah-olah menjadi raja kecil di wilayah kekuasaannya. Pem-besar itu akan lupa bahwa dia hanyalah seorang petugas yang bekerja untuk atas-an di kota raja. Dan seorang pembe-sar militer seperti Lui-goanswe ini, di waktu negara sedang aman dan tidak ada perang, akan menjadi malas dan lengah, membiarkan diri tenggelam dalam kese-nangan-kesenaangan yang mudah saja di-dapat karena kekuasaan dan kekayaannya. Demikian pula dengan Lui Siong Tek, ka-rena wilayahnya dalam keadaan aman dan tenteram, diapun membiarkan dirinya hanyut dalam kesenangannya yang telah memperbudaknya sejak dia masih amat muda, yaitu bersenang-senang dengan wanita cantik.



Ketika Hui Song tiba di Ceng-tek, sebelum dia mengunjungi pembesar itu, dia lebih dahulu menyelidiki dan mencari keterangan perihal komandan yang menjadi panglima di benteng kota itu. Dan dia mendengar bahwa komandan itu adalah seorang yang gagah perkasa, yang pandai mengatur pasukan dan sudah amat terkenal, akan tetapi juga memiliki kelemahan, yaitu suka mengumpulkan wanita-wanita cantik dan mempunyai banyak selir yang tak terhitung banyaknya. Bahkan ada kabar angin bahwa pembesar itu kini mempunyai seorang selir baru dan setiap hari bersenang-senang dengan selir barunya itu.



Setelah mendapat keterangan di mana adanya pembesar itu, malam itu juga Hui Song lalu memasuki benteng melalui tembok benteng yang tidak terjaga ketat. Kalau pemimpinnya malas, anak buahnyapun tentu saja malas, dan kalau pemimpinnya lengah, anak buahnyapun lengah, maka penjagaan di sekitar benteng itupun tidak ketat. Para penjaga hanya bergerombol di pintu gerbang, mengobrol atau bermain kartu sehingga dengan mudah Hui Song dapat melompati tembok dan meloncat ke sebelah dalam, menyelinap di antara bangunan-bangunan besar di da-lam benteng itu dan dengan mudah saja dia dapat memasuki sebuah gedung ter-besar di tengah benteng. Itulah gedung tempat tinggal Lui-goanswe yang nampak sunyi saja, tanpa ada penjagaan di seki-tar gedung, dan agaknya semua penghu-ninya telah tidur. Hui Song menyelinap masuk ke dalam gedung itu dan tak lama kemudlan dia sudah mengintai ke da-lam sebuah ruangan yang terang dan di mana dia mendengar suara orang bercakap-cakap. Ketika dia mengintai ke da-lam, dia melihat seorang laki-laki tinggi besar dan berwajah gagah, mukanya di-hias jenggot dan kumis lebat, berusia empat puluh tahun lebih, sedang makan mi-num dilayani oleh dua orang pelayan wa-nita muda dan di depannya duduk pula seorang wanita cantik. Melihat wanita itu, jantung Hui Song berdebar keras dan dia kaget sekali karena dia mengenal baik wanita cantik ini yang bukan lain adalah Gui Siang Hwa, wanita yang pernah memperdayainya dan nyaris membunuhnya, mu-rid dari Raja Iblis itu!



Dan ternyata bahwa pada saat dia mengintai, mereka sudah selesai makan. Tiba-tiba wanita cantik itu bangkit berdiri dan berkata kepada dua orang pelayan wanita, "Bersihkan meja!" lalu ia menggandeng tangan pria itu dan dengan sikap manja menariknya bangkit dari kursinya. Pria itu hanya tersenyum dan Hui Song melihat bahwa keduanya hanya memakai pakaian tidur yang tipis dan longgar saja. Karena dia tahu betapa lihainya Gui Siang Hwa, Hui Song merasa terheran-heran melihat hadirnya gadis iblis itu di tempat itu, cepat dia meloncat dan menyelinap ke dalam sebuah kamar yang berdekatan dengan ruangan itu karena- dia melihat kamar itu terbuka daun pintunya dan kosong. Tempat itulah yang paling baik untuk bersembunyi. Sebelum dia menghadap Lui-goanswe, dia harus lebih dahulu menyelidiki apa artinya murid Raja Iblis itu berada di tempat ini.



Akan tetapi, dapat dibayangkan beta-pa kaget hatinya ketika dia mendengar suara langkah kaki dan percakapan dua orang itu menuju ke kamar di mana dia telah bersembunyi. Celaka, pikirnya. Agaknya dia telah salah masuk dan yang dimasukinya agaknya malah kamar tidur mereka! Tidak ada waktu lagi untuk keluar dari situ, maka jalan satu-satunya bagi Hui Song hanyalah bersembunyi dan cepat dia menyusup ke bawah tempat tidur.



Dan tepat seperti yang diduganya, langkah kaki itu menuju ke kamar dan dari bawah tempat tidur, di bawah kain tilam tempat tidur itu, dia dapat melihat dua pasang kaki memasuki kamar itu, lalu daun pintu ditutup dan sambil tertawa-tawa mereka berdua langsung saja menuju ke tempat tidur!



Tempat tidur berderit ketika tertimpa pinggul wanita itu yang sudah merangkul sang pria yang ditariknya duduk di sampingnya.



"Aih, manis, kenapa engkau begini tergesa-gesa? Baru saja kita habis makan...!" kata pria itu yang bukan lain adalah Jenderal Lui Siong Tek berkata sambil tertawa menerima cumbuan wanita cantik yang bertubuh menggiurkan itu.



"Hemm, siapa sih yang kepingin? Apa kaukira aku tergesa-gesa mengajakmu tidur? Tak tahu malu...!" Dengan sikap genit wanita itu mencela.



"Ha-ha-ha, engkau menarikku dari meja makan, lalu kini menarik-narikku ke atas tempat tidur, mau apalagi kalau..."



"Pikiranmu memang penuh dengan itu-itu saja!" Siang Hwa terkekeh manja dan merangkul leher pria itu. "Aku tidak mau bicara di depan para pelayan maka aku tergesa-gesa mengajakmu masuk kamar. Bukan untuk itu, melainkan untuk bicara."



"Bicara apakah, Siang Hwa? Engkau minta apakah?"



"Lui-ciangkun, benarkah... benarkah engkau cinta padaku...?"



Jenderal itu merangkul dan menciumnya. "Aihhh, Siang Hwa, masihkah engkau tidak yakin akan cintaku? Semenjak kita berjumpa di hutan itu, ketika aku berburu dan engkau berjalan sendirian, aku sudah menyangka engkau seorang bidadari dan aku sudah jatuh cinta padamu."



"Ciangkun, sudah sepekan lebih aku berada di sini, melayanimu dengan sepe-nuh hati, akan tetapi mengapa engkau belum juga mau memenuhi permintaanku, tidak mau membalaskan dendam sakit hatiku?"



"Aaahh... itu...?" Tiba-tiba saja jenderal itu kehilangan kegembiraan dan gairahnya, lalu duduk di tepi tempat tidur. Hui Song cepat menyusup ke dalam kolong lagi, menarik kepalanya yang tadinya dikeluarkan agar dia dapat mendengar den melihat lebih jelas, karena setelah jenderal itu duduk di tepi tempat tidur, dia akan dapat kelihatan kalau menjulurkan kepalanya.



"Ciangkun, sejak kita saling jumpa dan saling mencinta, tidak ada perminta-an lebih dariku kecuali yang satu itu. Lui-ciangkun, aku telah menyerahkan segala-galanya kepadamu, hanya untuk i-tu..."



Jenderal itu mengerutkan alisnya dan kelihatan berduka. "Sayangku, kenapa justeru itu yang kauminta? Mintalah yang lain. Apa saja tentu akan kupenuhi, kecuali itu. Aku adalah seorang panglima yang setia, yang sejak nenek moyangku menjunjung tinggi nama dan kehormatan, mana mungkin engkau memintaku agar aku memberontak terhadap pemerintah?"



Hui Song terkejut bukan main mende-ngar ini. Ah, dia mengerti sekarang. Ga-dis iblis ini tentu sedang melakukan tu-gasnya, dan tugas itu adalah menggoda dan membujuk panglima benteng Ceng-tek ini untuk bersekutu dengan pembe-rontak! Kiranya Raja Iblis sudah mende-ngar akan kelemahan jenderal ini terha-dap wanita cantik, maka menyuruh mu-ridnya sendiri yang selain lihai juga can-tik manis itu untuk menjebak sang jen-deral den kini Siang Hwa sedang menja-lankan peranannya dengan amat baik.



Mendengar ucapan sang jenderal, Siang Hwa membujuk-bujuk lagi. "Ciangkun, di dalam hidupku ini tidak ada legi hal lain yang kuinginkan kecuali membalas den-dam. Ayah bundaku, saudara-saudaraku semua tewas oleh pemerintah, difitnah dan dihukum mati sekeluargaku! Aku he-rus membalas dendam dan satu-satunya jalan hanyalah memberontak terhadap pemerintah! Ciangkun, engkau memegang kekuasaan atas puluhan ribu tentara, betapa akan mudahnya kalau engkau mau memenuhi permintaanku itu..."



"Hushhh... diamlah dan jangan bicara lagi tentang hal itu, sayang. Mudah saja kau bicara begitu. Kalau bukan engkau yang bicara, tentu sudah kutangkap atau kubunuh karena kata-katamu itu berarti pemberontakan. Dan mudah saja melawan pemerintah, ya? Apa artinya balatentara puluhan ribu ini menghadapi balatentara pemerintah yang ratusan ribu? Sudahlah, jangan melamun yang bukan-bukan dan anggap saja malapetaka yang menimpa keluargamu itu memang sudah menjadi nasibmu yang ditentukan takdir."



"Ciangkun, kiraku bukan aku saja yang mendendam kepada pemerintah. Engkau dapat mencari kawan-kawan dalam hal ini, dan aku sanggup mencarikan kawan-kawan sehaluan. Lui-ciangkun, aku... aku akan mencintamu sampai mati kalau engkau mau memenuhi permintaanku ini..." Dan wanita itu merangkul dan menciumi. Akan tetapi tiba-tiba jenderal itu meng-hardik.



"Siang Hwa, cukup! Aku tidak mau bicara lagi tentang hal itu! Kaudengar baik-baik, aku adalah seorang panglima yang setia, kehormatan dan kesetiaanku lebih berat daripada dirimu, bahkan leblh berat daripada nyawaku sendiri, mengerti?"



Diam-diam Hui Song merasa kagum juga kepada jenderal ini. Boleh jadi dia memiliki kelemahan terhadap wanita, ma-ta keraniang dan menjadi hamba nafsu kelamin, akan tetapi harus diakui bahwa dia seorang laki-laki yang gagah dan te-guh pendiriannya.



"Bagus! Begitukah, ciangkun? Setelah kuserahkan segala-galanya selama sepe-kan ini kepadamu, menyenangkan hatimu, menahan kemuakan hatiku sendiri, semua itu hanya untuk sia-sia belaka? Kalau begitu, ketahuilah bahwa aku adalah mu-rid dari Pangeran Toan Jit-ong yang a-kan memimpin pemberontakan, dan kare-na penampikanmu, engkau tidak boleh hi-dup lebih lama lagi!"



Hui Song terkejut bukan main dan seperti kilat cepatnya dia sudah menerobos keluar dari dalam kolong tempat tidur. Namun terlambat. Dia mendengar jende-ral itu memekik keras dan tubuh yang tinggi besar itu terguling roboh di atas lantai tanpa nyawa lagi karena jari-jari tangan gadis iblis itu telah menusuk pe-lipisnya! Gui Siang Hwa telah menyambar segulung kertas dari atas meja, akan te-tapi gadis itu terkejut setengah mati ketika tiba-tiba muncul seorang pemuda dari kolong tempat tidur, apalagi ketika di bawah sinar lampu ia melihat dan mengenal wajah pemuda itu.



"Kau... kau... Cia Hui Song...!" Serunya dengan suara gemetar dan muka berobah pucat.



"Perempuan jahat!" Hui Song memaki marah karena dia melihat betapa munculnya terlambat dan jenderal itu tidak da-pat ditolong lagi. Maka diapun segera -langsung menyerang ke arah wanita itu dengan maksud untuk merobohkannya dan menangkapnya, apalagi dia melihat bahwa Siong Hwa mengambil gulungan kertas yang menurut dugaannya tentu merupakan benda penting.



Akan tetapi, tiba-tiba wanita itu tertawa dan tangan kirinya bergerak ke depan. Sinar hijau yang berbau harum menyambar ke arah muka Hui Song. Pemuda ini sudah mengenal kelicikan dan kelihaian wanita itu, maka diapun mengelak dengan lemparan diri ke kiri. Kesempat-an itu dipergunakan oleh Siang Hwa un-tuk melompat keluar dari dalam kamar terus melarikan diri dalam keadaan ma-sih memakai pakaian dalam dan kedua kakinya telanjang tanpa sepatu.



"Mau lari ke mana kau?" bentak Hui Song sambil mengejar.



Akan tetapi, suara ribut-ribut itu me-mancing datangnya serombongan penjaga dan Hui Song mendengar Siang Hwa berkata, "Tolong, pengawal...! Penjahat itu membunuh Lui-ciangkun...!"



Karena para pengawal mengenal Siang Hwa sebagai kekasih baru Jenderal Lui, mereka percaya dan serta merta mereka menghadang dan menyerang Hui Song de-ngan senjata mereka!



"Perempuan itulah pembunuhnya! Ia siluman jahat...!" Hui Song berseru, akan tetapi mana mungkin para penjaga percaya kepadanya? Mereka tidak mengenalnya, sebaliknya, wanita itu telah mereka kenal baik sebagai kekasih atasan mereka. Mereka mengurung sambil berteriak-teriak. Dengan gemas Hui Song tidak mau melayani mereka, mendorong mereka roboh terpelanting ke kanan kiri dan melanjutkan pengejarannya. Akan tetapi, serbuan para penjaga itu membuatnya terlambat dan dia sudah kehilangan jejak Siang Hwa yang sudah menghilang entah ke jurusan mana. Hui Song membanting-banting kaki dan diapun tidak mau melanjutkan pengejarannya. Keadean sudah a-mat gawat. Tidak perlu membuang waktu. Bagaimanapun juga, Jenderal Lui telah tewas dan dia harus menyerahkan surat dari Kok-taijin kepada wakil dari jenderal itu.



Dengan hati tabah Hui Song lalu kembali lagi ke benteng. Tentu saja dia disambut oleh para penjaga dengan tombak di tangan. Hui Song mengangkat tangan kanan ke atas dan berkata dengan suara nyaring, "Sobat-sobat harap jangan salah sangka. Aku adalah tamu dari San-hai-koan, membawa pesan dari Kok-taijin untuk Lui-ciangkun. Akan tetapi, kebetul-an sekali kedatanganku melihat betapa Lui-ciangkun dibunuh oleh perempuan iblis itu...!"



"Bohang! Wanita itu adalah selir Lui-ciangkun dan dia ini..."



"Tenang dulu, sobat! Pikirlah baik-baik. Di mana adanya perempuan itu sekarang? Kalau memang ia orang baik-baik, kenapa ia melarikan diri? Karena kalian menghadangku, maka aku sampai tidak berhasil menangkapnya. Lui-ciangkun telah di-bunuhnya, dan ketahuilah bahwa wanita itu adalah seorang tokoh pemberontak!"



Akan tetapi para penjaga tidak mau percaya begitu saja walaupun ada di an-tara mereka yang mencari-cari dan tidak dapat menemukan Siang Hwa. Di dalam gedung Lui-ciangkun sudah geger dan terdengar tangisan dari isteri-isterinya.



"Sebaliknya kalian bawa aku mengha-dap wakil dari Lui-ciangkun. Biar yang menentukan apakah aku bersalah atau tidak!"



Usul ini dapat diterima oleh para penjaga dan dengan pengawalan ketat, Hui Song digiring masuk ke dalam benteng dan dihadapkan kepada Bhe-ciangkun yang menjadi wakil dari Lui-ciangkun. Bhe-ciangkun adalah seorang panglima yang sudah berpengalaman dan usianya sudah lima puluh tahun lebih. Sekali pandang saja dia dapat menduga bahwa yang di-bawa menghadap padanya adalah seorang pemuda yang gagah perkasa dan memiliki kepandaian tinggi, juga sikapnya tabah dan gagah, sama sekali tidak membayangkan watak yang jahat.



Dengan jujur Hui Song membuat laporan di depan panglima itu. "Harap ciangkun maafkan bahwa saya telah menimbulkan keributan dan salah sangka. Saya adalah utusan pribadi dari Kok-taijin di San-hai-koan, membawa surat untuk Lui-goanswe. Karena tidak ingin membuang waktu, malam-malam saya langsung mema-suki benteng hendak menghadap Lui-goanswe. Akan tetapi, saya melihat seorang wanita yang saya kenal, yaitu Gui Siang Hwa. Ia adalah murid Raja Iblis yang se-dang menghimpun para datuk sesat untuk memberontak, maka kehadirannya di Ceng-tek tentu saja membuat saya heran dan curiga. Demikianlah, saya melakukan pengintaian di kamar Lui-goanswe dan tak saya sangka-sangka, iblis perempuan itu membunuh Lui-goanswe ketika rayuan dan bujukannya terhadap panglima itu a-gar ikut memberontak ditolak oleh Lui-goanswe. Dan ia pergi membawa gulungan kertas dari dalam kamar. Saya mengejarnya, akan tetapi para penjaga salah sangka dan tertipu oleh perempuan jahat itu, sehingga ia dibiarkan pergi dan saya malah yang dikeroyok."



Dengan tenang Bhe-ciangkun mende-ngarkan pula laporan para penjaga dan mendengar bahwa memang ternyata wa-nita bernama Gui Siang Hwa itu telah lenyap dan wanita itu pergi dalam keadaan setengah telanjang.



Bhe-ciangkun menerima surat kiriman dari Kok-taijin. Begitu membaca surat i-tu, wajahnya berobah dan dia lalu meng-ajak Hui Song untuk masuk ke dalam sebuah kamar untuk diajak bicara empat mata. Tentu saja para penjaga merasa heran dan baru mereka tahu bahwa me-reka tadi telah salah tangkap.



Sementara itu, setelah tiba di dalam kamarnya bersama Hui Song, Bhe-ciang-kun berkata, "Ah, kiranya pengkhianat Ji Sun Ki itu bersekongkol dengan pemberontak?"



Hui Song mengangguk. "Dia malah merencanakan dengan para pemberontak un-tuk membujuk Kok-taijin, akan tetapi ti-dak berhasil. Agaknya mereka akan menguasai San-hai-koan untuk dijadikan ba-sis gerakan pemberontakan mereka. Ka-rena itu, Kok-taijin mengharap bantuan pasukan dari sini, ciangkun." Hui Song lalu menceritakan semua tentang sayembara dan bagaimana dia memasuki sayembara karena curiga dan kemudian dia membantu Kok-taijin.



"Hemm, agaknya para tokoh pembe-rontak itu berusaha keras untuk mempe-ngaruhi pula Lui-goanswe dan ketika mereka tidak berhasil, Lui-goanswe dibunuh dan gulungan kertas itu adalah catatan keadaan kekuatan di benteng ini. Sungguh berbahaya sekali. Cia-sicu, jasamu besar sekali dan jangan khawatir, aku akan mempersiapkan pasukan besar untuk se-waktu-waktu menggempur pasukan Ji-ciangkun kalau dia benar-benar berani memberontak."



"Terima kasih, ciangkun. Tugas saya di sini sudah selesai. Saya mengkhawatir-kan keadaan di San-hai-koan, maka saya akan kembali ke sana secepatnya."



Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi Hui Song kembali ke San-hai-koan dan Bhe-ciangkun memberi seekor kuda yang baik, lengkap dengan satu stel busur dan anak panah yang memang di-minta oleh Hui Song sekedar untuk pen-jagaan diri karena dia maklum bahwa se-telah dirinya terlihat oleh Siang Hwa, bukan tidak mungkin gadis itu mempersiapkan teman-temannya untuk menghadangnya apabila dia kembali ke San-hai-koan.



Kekhawatiran Hui Song itu sama se-kali tidak terbukti. Dia tidak tahu bahwa pada saat itu, Siang Hwa dan kawan-ka-wannya sedang sibuk untuk suatu urusan yang lebih penting lagi, yaitu persiapan untuk menguasai benteng San-hai-koan! Hal ini terjadi di luar sangkaan den per-hitungan Hui Song. Tak disangkanya bah-wa secepat itu Ji-ciangkun akan bergerak untuk merampas dan menguasai benteng untuk kaum pemberontak.



Dipercepatnya pengambilalihan benteng San-hai-koan oleh para pemberontak ada hubungannya dengan pertemuan antara Hui Song dan Siang Hwa di dalam kamar Lui-ciangkun di Ceng-tek itu. Setelah bertemu dengan Hui Song dan menyampaikan berita ini secepatnya kepada gurunya dan Raja Iblis juga segera minta kepada Ji-ciangkun untuk bergerak pada hari itu juga! Raja Iblis dapat menduga bahwa munculnya Cia Hui Song di Ceng-tek itu tentu ada hubungannya dengan Kok-taijin, bahkan dia hampir yakin bahwa pemuda itu yang menjadi pengawal pribadi Kok-taijin itu tentu menjadi utusan gubernur San-hai-koan untuk minta bantuan kepada benteng Ceng-tek!



Karena desakan yang mendadak ini, Ji-ciangkun menjadi sibuk. Dia belum melaksanakan rencananya menculik Kok Hui Lien, anak perempuan dari Kok-taijin itu. Karena desakan Raja Iblis, mau tidak mau harus mempergunakan kekerasan. Demikianlah, pada hari itu juga dia mengerahkan pasukannya untuk mengepung gedung Kok-taijin. Gubernur ini yang sudah siap siapa menghadapi segala kemungkinan, segera mengumpulkan para pengawalnya. Pasukan pengawal yang berada di luar gedung segera berkumpul dan menjaga rumah majikan mereka dengan ketat.



Ji-ciangkun masih hendak mempergu-nakan bujukan. Setelah gedung dikepung, dia menyampaikan pesan kepada gubernur itu melalui para pengawal, agar sang gubernur menyerah saja daripada harus di-serbu dengan kekerasan. Akan tetapi Gu-bernur Kok membalas dengan makian dan semua pengawalnya juga siap untuk me-lindunginya. Terjadilah penyerbuan yang dilakukan oleh pasukan Ji-ciangkun. Akan tetapi, para pengawal melakukan perla-wanan dengan gagah perkasa sehingga terjatuhlah banyak korban di antara kedua pihak. Sampai sehari lamanya, gedung Kok-taijin masih dapat dipertahankan oleh para pengawal walaupun jumlah mereka sudah banyak berkurang dan gedung itu masih tetap dikurung.



Dalam keadaan seperti itulah Hui Song muncul. Dari para penghuni San-hai-koan yang lari mengungsi keluar kota, dia mendengar akan terjadinya pertempuran antara pasukan Ji-ciangkun melawan para pengawal Kok-taijin dan bahwa gedung gubernur telah dikepung pasukan Ji-ciangkun. Maka diapun membalapkan kudanya dan ketika dia memasuki pintu gerbang kota benteng itu, keadaan masih kacau-balau. Hui Song tidak perduli dan terus membedal kudanya menuju ke gedung Gubernur Kok. Dia menerjang semua perajurit yang berani menghalanginya dan ketika para pengawal Gubernur Kok mengenalnya, mereka membukakan pintu dan membiarkan Hui Song memasuki pintu gerbang yang mereka jaga ketat.



Sedih juga hati Hui Song melihat betapa mayat para pengawal sudah bertumpuk-tumpuk dan berserakan, dan betapa besar jumlah pasukan Panglima Ji yang mengepung rumah gedung itu. Melihat perbandingan jumlah pasukan, jelaslah bahwa tak mungkin pihak gubernur akan dapat bertahan lebih lama lagi. Dia segera menghadap Kok-taijin yang berkumpul di ruangan dalam bersama keluarganya. Keluarga gubernur itu sudah menangis dan nampak ketakutan, hanya sang gubemur yang masih bersikap tenang dan tabah, walaupun wajahnya juga pucat sekali.



"Cia-sicu...!" Gubemur itu girang sekali melihat Hui Song dan merangkulnya. "Ah, engkau dapat datang juga? Bagaimana dengan tugasmu?"



Dengan singkat dan cepat Hui Song menceritakan pengalamannya dan bahwa Bhe-ciangkun di Ceng-tek sudah menyanggupi untuk mengirim pasukan. Akan tetapi dia menambahkan bahwa dia dan mereka yang berada di Ceng-tek sama sekali tidak menduga bahwa pengkhianat Ji Sun Ki akan bertindak demikian cepatnya, sehingga tentu saja bantuan dari Ceng-tek tidak dapat diharapkan akan datang hari ini.



Mendengar ini, sang gubemur menarik napas panjang dan menjatuhkan diri di atas kursi dengan lemas. Para keluarga wanita makin keras menangis ketika mendengar bahwa tidak ada harapan datangnya pertolongan.



"Diam! Jangan menangis lagi!" bentak sang gubernur. Suara tangisan itu membuat dia semakin bingung. Kemudian dia menoleh kepada Hui Song dan berkata, "Biarlah, kalau mereka terlambat datang, aku akan memimpin semua pengawalku melakukan perlawanan sampai titik darah terakhir!"



"Taijin, saya mempunyai usul. Bagaimana kalau taijin menyelamatkan diri keluar dari San-hai-koan? Biarlah saya yang akan mengawal taijin menyelamatkan diri, dibantu oleh pasukan pengawal."



Gubernur itu menggeleng kepala. "Tidak ada gunanya, sicu. Mana mungkin menyelamtkan seluruh keluarga yang begini besar keluar dengan selamat? Dan engkau tentu akan repot sekali, tidak mungkin dapat melindungi kami semua. Pula, sebagai seorang gubernur, mana aku ada muka untuk melarikan diri ketakutan seperti anjing mau disembelih? Tidak, aku akan tetap bersama kcluargaku di sini, akan kuhadapi semua dengan tabah. Lebih baik aku tewas sebagai seorang pejabat yang membela kehormatannya sampai akhir daripada harus lari terbirit-birit ketakutan. Hanya ada satu permintaanku kepadamu, sicu. Kauselamatkanlah Hui Lian, anakku satu-satunya ini." Dan gubemur itu menuntun tangan Hui Lian, ditariknya ke depan Hui Song.



Hui Song yang baru beberapa hari lamanya berdekatan dengan gubernur itu, sudah dapat mengenal wataknya yang gagah dan teguh, maka diapun tahu bahwa berbantah tidak akan ada gunanya. Di samping itu, diapun menyangsikan apakah dia dan para pengawalnya akan berhasil kalau hendak menyelamatkan gubemur itu sekeluarganya karena pihak musuh terlampau banyak dan kalau kereta yang membawa gubernur itu dihujani snak panah, bagaimana pula dia akan dapat melindungi mereka? Berbeda halnya kalau hanya menyelamatkan satu orang saja, apalagi yang bertubuh kecil seperti anak perempuan ini. Dan diapun tahu akan hati seorang ayah seperti Gubernur Kok, yang lebih senang melihat puterinya selamat daripada dirinya sendiri.



"Baik, taijin, akan saya coba untuk menyelamatkan adik ini," katanya sambil memegang tangan anak perempuan itu. Anak itu tidak nampak ketakutan karena agaknya ia belum mengerti benar apa se-betulnya yang sedang terjadi. Rambutnya yang hitam diikat menjadi dua di atas kepalanya, seperti sepasang sayap burung saja dan ia memakai pita merah. Ia ter-senyum ketika tangannya digandeng Hui Song yang biarpun belum dikenalnya be-nar, namun agaknya ia tahu bahwa orang ini adalah sahabat ayahnya. Akan tetapi ketika Hui Song menggandengnya dan mengajaknya keluar dari ruangen itu, a-nak itu menangis.



"Ayah...! Ibu...! Aku ikut ayah dan ibu...!"



Ibunya menangis, akan tetapi Kok-tai-jin memberi isyarat kepada Hui Song un-tuk membawa anak itu keluar. Hui Song lalu mengangkat dan memondongnya. A-nak itu meronta-ronta, akan tetapi tidak berdaya dalam pondongan Hui Song.



"Diamlah, adik yang manis, kita ke-luar untuk menyelamatkanmu. Marilah!" Hui Song membujuk dengan halus. Dia lalu berlari keluar dan meloncat ke atas punggung kudanya. "Adik yang manis, kau rangkullah leherku dan kugendong di be-lakangku. Jangan takut, aku akan menye-lamatkanmu," katanya dan diapun sudah mengambil busur dan mempersiapkan a-nak panahnya, lalu membedal kudanya keluar. Para pengawal sudah tahu bahwa pemuda ini bertugas menyelamatkan pu-teri sang gubernur, maka mereka melin-dunginya dengan anak panah yang mereka luncurkan ke depan.



Pertempuran sudah terjadi lagi dan kini Hui Song membalapkan kudanya di antara pertempuran. Dia dihujani anak panah, akan tetapi semua itu dapat dia runtuhkan dengan busurnya dan kadang-ka-dang diapun melepas anak panah merobohkan beberapa orang perajurit musuh yang berani menghadang. Kadang-kadang dia menggunakan tangan atau tendangan kakinya merobohkan musuh yang berani mendekat. Kebakaran-kebakaran terjadi ketika para perajurit Ji-ciangkun menghujankan panah api ke arah gedung. Hui Song melompati pagar-pagar yang terbakar dengan kudanya. Ketika ada beberapa batang anak panah menyambar dari atas, dia membalas dengan anak panahnya, dan robohlah dua orang perajurit yang menyerangnya dari atas benteng. Dan para petajurit agaknya gentar juga menyaksikan sepak terjangnya, karena siapapun yang menghalang di depannya, kalau tidak terpelanting ditabrak kuda pendekar itu, tentu roboh oleh tamparan tangan atau tendangan kakinya. Akhirnya, biarpun dengan susah payah, berhasillah Hui Song membawa anak perempuan itu keluar dari pintu gerbang San-hai-koan. Legalah hatinya dan dia terus membalapkan kudanya memasuki sebuah hutan.



Akan tetapi, tiba-tiba ada benda-benda berkilauan menyambarnya dengan kecepatan luar biasa. Hui Song terkejut sekali dan sambil memondong tubuh Hui Lian, dia meloncat turun dari atas pung-gung kudanya. Kuda itu ketakutan, sejak tadi memang kuda itu sudah panik di antara pertempuran yang terjadi di San-hai-koan, setelah dia terbebas dari beban penunggangnya, dia membalap melarikan di-ri.



Setelah meloncat turun dan menengok ke kanan dari mana pisau-pisau terbang tadi menyambar, tahulah dia siapa yang tadi menyerangnya. Si pisau terbang Hui-to Cin-jin sudah berdiri di situ, bersama Kang-thouw Lo-mo si gendut dan tak ke-tinggalan pula Gui Siang Hwa! Mereka bertiga berdiri di situ dan memandang kepadanya dengan senyum mengejek.



"Hemm, kembali si tampan gagah pu-tera ketua Cin-ling-pai mencampuri urus-an kita," kata Siang Hwa biarpun suara-nya mengandung ejekan, namun sinar matanya tidak dapat menyembunyikan pera-saan kagum dan sukanya kepada pende-kar yang tampan dan gagah itu.



"Ha-ha-ha, sekali ini kita tidak boleh membiarkan tikus ini terlepas!" Kang-thouw Lo-mo tertawa dan Hui-to Cin-jin yang merasa penasaran karena serangan pisau-pisau terbangnya tadipun gggal, ki-ni sudah mencabut sepasang belatinya dan siap untuk menyerang dengan sikap mengancam.



Hui Lian yang berada dalam gendong-an Hui Song, ketakutan dan menangis. Anak itu mulai memanggil-manggil ayah ibunya dan kembali Siang Hwa tertawa.



"Hi-hik, kiranya Cia Hui Song yang gagah perkasa itu kini menjadi seorang pangasuh anak-anak." Dan kini wanita itu mengeluarkan sebatang pedang yang tadi terselip di punggungnya dan suaranya menjadi keren dan ganas ketika ia ber-kata, "Tidak, sekali ini dia tidak boleh lolos. Pekerjaanku di Ceng-tek hampir saja gagal karena campur tangannya."



Kang-thouw Lo-mo juga sudah meng-ambil guci araknya dan membuka tutup guci, minum araknya sambil menyeringai. Hui Song maklum bahwa dia kini meng-hadapi tiga orang musuh besarnya yang pernah hampir menewaskannya di dalam Guba Iblis Neraka. Selain maklum akan kelihaian dan kecurangan mereka, juga dia ingin sekali membalas kelicikan mereka ketika di dalam guha dahulu itu. Sekali ini dia harus dapat membasmi ti-ga orang iblis ini, karena kalau tidak, mereka ini hanya akan menimbulkan kekacauan-kekacauan saja di dalam dunia. Maka, diapun segera menurunkan anak perempuan itu, melepaskannya di bawah sebatang pohon tidak jauh dari situ. "A-dik yang baik, kau duduklah di sini dulu, dan jangan pergi ke manapun," katanya. Anak itu berhenti menangis dan duduk sambil memeluk batang pohon, seolah-o-lah hendak mencari perlindungan pada sebatang pohon yang kokoh kuat itu. Sete-lah melepaskan anak itu, Hui Song mera-sa lega dan dia lalu dengan senyum di bibir, sikapnya tenang dan tabah sekali, menghampiri tiga orang musuh yang su-dah siap mengeroyoknya itu.



"Hui-to Cin-jin, Kang-thouw Lo-mo dan Gui Siang Hwa, kalian ini tiga orang manusia berhati iblis, jangan harap akan dapat melakukan kecurangan lagi kepadaku. Sekali ini aku akan menghajar dan menghukum kalian yang sudah terlalu banyak melakukan dosa!" Pendekar ini me-mang tidak pernah membawa pedang dan sudah biasa menghadapi lawan yang tangguh dengan tangan kosong saja. Bagi se-orang pendekar seperti Hui Song yang sudah mewarisi ilmu-ilmu dari keluarga Cin-ling-pai, bertangan kosongpun tidak kurang berbahayanya daripada kalau dia bersenjata dan setiap benda bisa saja menjadi senjata baginya.



Tiga orang lawan yang sudah meme-gang senjata andalan mereka masing-masing itu melihat Hui Song melangkah maju tanpa senjata, diam-diam merasa gen-tar juga. Orang yang sudah berani maju bertangan kosong, apalagi dengan sikap sedemikian tenangnya, tentu memiliki il-mu silat yang amat tinggi. Dan mereka-pun sudah pernah menguji kehebatan ilmu silat pemuda ini, maka kini mereka bertiga bersikap hati-hati dan diam-diam mereka mempersiapkan senjata rahasia masing-masing. Namun, gerakan mereka itu sudah diketahui oleh Hui Song. Apa-lagi pemuda ini sudah mengenal kecurangan mereka. Kalau dia teringat kepada gadis yang menjadi pujaan hatinya, Sui Cin, yang sekarang entah berada di ma-na, yang mengalami gegar otak dan ke-hilangan ingatannya, bahkan nyaris tewas ketika terkena sambitan batu yang dilon-tarkan oleh Kang-thouw Lo-mo, dia me-rasa sakit hati sekali. Sekali ini dia harus mampu membalaskan penderitaan Sui Cin dan dia sendiri, juga melenyapkan tiga orang manusia jahat ini dari permu-kaan bumi berarti mengurangi terjadinya kejahatan yang timbul dari perbuatan mereka.



"Bocah sombong, bersiaplah untuk mampus!" Tiba-tiba Hui-to Cin-jin menyerang dengan kedua pisaunya. Gerakannya memang cepat dan lengannya yang pan-jang itu bergerak dari atas bawah dan kanan kiri, ujung pisaunya yang runcing tajam menyambar-nyambar seperti patuk-an maut. Namun, dengan lincahnya Hui Song mengelak dan menangkis hantaman Kang-thouw Lo-mo yang sudah menyusul pula dengan serangan hantaman ciu-ouw di tangannya.



"Dess...!" Tangkisan Hui Song membuat tubuh gendut itu terhuyung dan pa-da saat itu nampak sinar berkelebat dan tahu-tahu pedang di tangan Siang Hwa telah menyambar ke arah leher Hui Song.



"Mampuslah kau!" bentak Siang Hwa dan pedangnya mengeluarkan suara ber-desing ketika menyambar lewat karena dengan mudah saja Hui Song dapat meng-elak dengan merendahkan dirinya sedang-kan kaki kanan pemuda itu sudah melun-cur ke kanan, menghantam ke arah pe-rut gendut Kang-thouw Lo-mo. Kakek ini terkejut dan menangkis dengan tangan kirinya yang dimiringkan sambil menge-rahkan tenaganya.



"Dukkk...!" Kembali kakek itu terhuyung. Terkejutlah kakek gendut ini. Dia adalah seorang tokoh Cap-sha-kui, yang terkenal memiliki tenaga besar, akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja sudah dua kali dia terhuyung karena terdorong oleh kekuatan besar sekali dalam pertemuan tenaga itu. Hal ini tidaklah mengherankan. Hui Song telah mewarisi tenaga sakti Thian-te Sin-ciang dari ayahnya dan ketika dia digembleng selama tiga tahun oleh Dewa Kipas Siang-kiang Lo-jin, tenaganya itu bertambah kuat saja.



Terjadilah perkelahian yang amat seru antara Hui Song dengan ketiga orang pengeroyoknya. Biarpun tiga orang lawannya mempergunakan senjata, Hui Song sama sekali tidak nampak terdesak. Dengan mudahnya dia dapat mengelak dari semua seranan, atau kadang-kadang menangkis dengan lengannya yang tidak kalah kuatnya dibandingkan dengan senjata lawan. Bahkan jari-jari tangan pemuda ini berani menangkis pedang di tangan Siang Hwa, membuat gadis itu terpekik kagum dan kaget karena jari-jari tangan pemuda itu kalau menangkis pedang, membuat pedangya terpental dan mengeluarkan suara berdencing seolah-olah pedangnya bertemu dengan baja. Hui Song sama sekali tidak terdesak, bahkan diapun dapat membagi-bagi pukulan atau tendangan sebagai balasan. Badan pemuda itu kadang-kadang dilindungi ilmu kekebalan yang luar biasa kuatnya, yaitu ilmu kebal Tiat-po-san yang membuat kulitnya tidak tembus oleh bacokan senjata tajam. Karena ini, biarpun beberapa kali pisau atau pedang mengenai tubuhnya karena dia memang tidak merasa perlu untuk menghindarkan diri, senjata-senjata tajam itu bertemu dengan kulit dan membalik. Hanya baju pemuda itu saja yang robek oleh senjata-senjata tajam itu. Dan permainan ilmu silat sakti Thai-kek Sin-kun yang mempunyai daya tahan amat kuat itu membingungkan tiga orang la-wannya, membuat mereka sukar sekali mencari tempat lowong, seolah-olah selu-ruh tubuh pemuda itu dilindungi oleh bayangan lengan yang merupakan benteng yang kokoh kuat.



Hui-to Cin-jin menjadi penasaran dan tidak sabar. Dia mengeluarkan pekik nyaring dan ada tiga sinar berkelebat ter-bang ke arah Hui Song. Itulah tiga ba-tang pisau terbang yang dilepasnya kepa-da pemuda itu.



"Tring-tring-tringg...!" Jari-jari tangan Hui Song menyambut dengan sentilan-sentilan dan tiga batang pisau terbang itu membalik ke arah pemlliknya! Nyaris leher Hui-to Cin-jin terkena pisaunya sendiri kalau dia tidak cepat merendahkan tubuhnya. Akan tetapi pada saat dia merendahkan tubuh, tiba-tiba tubuh Hui Song berkelebat datang dan sebuah tendangan kaki kiri pendekar muda itu tidak mampu dihindarkan oleh si kakek yang berpakai-an tosu itu, walaupun dia mencoba meng-elak dengan miringkan tubuhnya.



"Dess...!" Pinggulnya disambar kaki Hui Song dan kakek ini terlempar dan terbanting jatuh. Dia menyeringai karena merasa pinggulnya nyeri sekali dan keti-ka dia bangkit bangun dan berjalan, langkahnya terpincang-pincang. Hanya kema-rahan dan rasa malu yang membuat dia nekat menyerang lagi dengan sepasang pisaunya.



Guci arak di tangan si gendut Kang-thouw Lo-mo menyambar ke arah dada Hui Song. Pemuda ini tidak ingin berke-lahi terlalu lama karena kalau dia tidak cepat merobohkan mereka ini mungkin teman-teman mereka akan datang atau andaipun tidak, dia akan berada dalam ancaman bahaya kalau sampai ada pengejaran dari pasukan anak buah Ji-ciangkun.



Maka, melihat datangnya guci arak yang menyambar ke dadanya, dia cepat mengerahkan tenaga Tiat-po-san melindungi da-danya. Pada saat guci itu menghantam dadanya, dia membarengi tamparan ta-ngan kanannya dengan tenaga Thian-te Sin-ciang ke arah perut gendut itu.



"Bunggg...!" Terdengar perut itu berdengung ketika terkena hantaman dan tubuh si gendut itu terjengkang dan terguling-guling sampai jauh. Akan tetapi, ternyata dia juga memiliki kekebalan bukan hanya di kepalanya, melainkan juga di perutnya. Perutnya itu kuat seperti bola karet yang penuh hawa, maka ketika kena hantaman Thian-te Sin-ciang, isi perut itu tidak terluka hanya tubuhnya saja yang terlempar dan hanya terasa nyeri karena babak-belur saja terguling-guling. Kakek berbaju hwesio ini bangkit dan mukanya berobah merah karena malu dan marah. Dia tertatih-tatih maju lagi mengayun-ayun guci araknya di atas kepala.



Sementara itu, melihat betapa dua o-rang pembantunya sempat dirobohkan Hui Song, Siang Hwa menjadi marah. Gerakan pedangnya semakin gencar dan ia mener-jang ke depan bagaikan kesetanan dan ti-ba-tiba tangan kirinya mengebutkan sa-putangan merah yang mengandung racun pembius itu. Akan tetapi sekali ini, Hui Song sudah bersiap-siap. Dia menahan napas dan meniup ke arah debu yang mengepul dari sapu tangan dan buyarlah debu itu, bahkan membalik ke arah Siang Hwa sendiri.



"Keparat!" Siang Hwa berteriak marah.



Pada saat itu terdengar bentakan nyaring Hui-to Cin-jin, "Cia Hui Song, hentikan perlawananmu atau anak ini akan kusembelih!"



Hui Song terkejut bukan main. Dia meloncat mundur dan ketika menengok ke arah suara itu, mukanya berobah pucat. Kiranya Hui-to Cin-jin sudah menjambak rambut anak perempuan itu dengan ta-ngan kiri sedangkan tangan kanannya yang memegang pisau tajam berkilauan itu ditempelkan di leher anak kecil yang mulai menangis ketakutan itu!



"Jahanam busuk! Lepaskan anak itu dan mari kita bertanding sampai satu di antara kita roboh tewas!" Hui Song membentak marah akan tetapi tosu itu menyeringai.



"Kau menyerah atau anak ini kusembelih lebih dulu... aihhhh...!" Tiba-tiba tosu itu menjerit dan terhuyung, dari lambungnya bercucuran darah segar dan diapun terguling roboh dan berkelojotan. Kiranya diam-diam muncul seorang pria yang menggunakan pedang menusuk lambung kakek berpakaian tosu itu. Gerakannya demikian aneh dan cepat sehingga tosu itu tidak sempat mengelak dan kini dia menyelipkan pedangnya di sarung pedang, kemudian menyambar tubuh Kok Hui Lian dengan lengan kanannya lalu dia melompat pergi dari situ tanpa mengeluarkan sepatahpun kata.



"Ciang-suheng...!" Hui Song berseru, kaget dan juga girang. Dia mengenal orang yang lengan kirinya buntung itu karena orang itu adalah Ciang Su Kiat, bekas murid Cin-ling-pai yang membuntungi lengan kiri sendiri karena dipersalahkan oleh ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi, laki-laki buntung sebelah lengannya itu tidak menjawab, menolehpun tidak, bahkan berlari semakin cepat. Larinya cepat sekali sehingga mengagetkah hati Hui Song yang dapat menduga bahwa bekas suhengnya itu kini memiliki kepandaian tinggi.



Tentu saja Kang-thouw Lo-mo dan Siang Hwa terkejut sekali melihat betapa kawan mereka tewas secara tidak terduga-duga, hanya karena serangan satu kali saja dari orang buntung tadi. Akan tetapi mendengar Hui Song menyebut "suheng" kepada orang itu, tentu saja mereka terkejut dan gentar. Baru Hui Song sudah begini lihai, apalagi suhengnya! 0rang-orang yang berwatak kejam biasanya berjiwa pengecut. Tanpa banyak kata lagi, dua orang itu lalu membalikkan tubuhnya dan lari!



Melihat ini, Hui Song mengejar, "Keparat, kalian hendak lari ke mana?" bentaknya dan diapun mengerahkan gin-kangnya melakukan pengejaran. Semenjak berlatih di bawah bimbingan Si Dewa Kipas, ilmu meringankan tubuh pemuda ini memang meningkat dengan hebat. Belum lama dia mengejar, dia sudah dapat menyusul Kang-thouw Lo-mo yang larinya tidak secepat Siang Hwa.



"Iblis tua, engkau hendak lari ke mana?" Hui Song membentak.



Karena maklum bahwa lari tiada gunanya, Kang-thouw Lo-mo menjadi nekat. Dia membalik dan menghantamkan guci araknya ke arah muka Hui Song. Pemuda yang sudah marah ini tidak mengelak, bahkan menggunakan tangan kanan yang terbuka memapaki pukulan itu dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang.



"Prokkk...!" Guci arak itu pecah berantakan dan isinya, setengahnya masih berisi arak, berhamburan memercik ke mana-mana dan terciumlah bau arak yang sangat menyengat hidung. Melihat senjatanya yang amat disayangnya itu pecah, Kang-thouw Lo-mo marah bukan main. Dia lalu melangkah mundur dan menundukkan kepalanya, tubuhnya direndahkan dan seperti seekor kerbau mengamuk, dia lalu lari ke depan, menggunakan kepalanya yang botak itu untuk menyeruduk ke arah perut Hui Song! Hebat bukan main serangan ini dan agaknya ka-kek yang sudah putus harapan dan nekat ini mempergunakan senjatanya yang terakhir, yaitu kepalanya. Kepalanya me-mang sudah terlatih, dapat membentur pecah batu karang, kuat bukan main.



Hui Song belum tahu sampai di mana kekuatan yang berada dalam kepala itu, maka diapun tidak mau sembrono mene-rima serudukan itu begitu saja. Cepat dia miringkan tubuhnya dan ketika kepala botak itu meluncur lewat dekat perutnya, dia menggerakkan tangan kanannya, me-ngerahkan Thian-te Sin-ciang dan tangan kanannya itu seperti sebatang golok atau sebuah palu godam menyambar turun dari atas, tepat ke arah tengkuk di bela-kang kepala botak besar itu.



"Ngekkk...!" Tengkuk itu besar dan kuat seperti tengkuk kerbau, akan tetapi kekuatan yang berada di tangan Hui Song amat hebat. Maka sekali pukul saja, kakek itu mengeluh dan terpelanting roboh dan matanya mendelik, nyawanya putus bersama dengan patahnya tulang tengkuknya! Tewaslah Kang-thouw Lo-mo.



Hui Song sejenak meragu. Siapakah yang harus dikejar? Siang Hwa ataukah bekas suhengnya? Siang Hwa sudah tidak nampak lagi dan dia tahu betapa lihai-nya wanita itu. Kalau sampai wanita itu mendahuluinya mencapai guru-gurunya, dia akan celaka. Bagaimanapun lihainya, dia masih ragu-ragu apakah dia akan da-pat menandingi Raja dan Ratu Iblis yang dia tahu sakti bukan main itu. Dan diapun mengkhawatirkan keselamatan puteri gubernur, maka dia mengejar ke arah la-rinya Ciang Su Kiat. Akan tetapi, iapun kehilangan jejak bekas suhengnya ini dan akhirnya dia menghibur hatinya sendiri bahwa puteri gubernur itu tentu selamat berada di tangan Ciang Su Kiat yang dia yakin memiliki jiwa pendekar yang gagah perkasa. Maka diapun lalu kembali ke San-hai-koan untuk melihat bagaimana perkembangan di kota benteng itu. Akan tetapi, dia tidak dapat masuk. San-hai-koan sudah jatuh ke tangan pasukan Ji-ciangkun yang memberontak! Dan pintu gerbang dijaga ketat. Juga di atas tembok-tembok benteng terdapat barisan anak panah yang siap menyerang siapa saja yang berani naik.



Apa gunanya lagi memasuki San-hai-koan, pikirnya. Keluarga gubernur telah terbasmi dan dari para pengungsi dia mendengar bahwa gubernur sekeluarganya telah tewas dalam gedungnya yang terbakar habis. Sebagian dari pasukan pengawal menyerah kepada pasukan Ji-ciangkun dan pembersihan masih terus dilakukan. Siapapun juga yang mencurigakan ditangkap, dan yang condong memihak Kok-taijin dibunuh. Kekacauan terjadi di kota San-hai-koan dan karena dia sudah dikenal sebagai pengawal pribadi Kok-taijin, tentu saja Hui Song tidak begitu bodoh untuk memasuki kota itu. Dia lalu mengambil keputusan untuk kembali ke Ceng-tek dan mengabarkan jatuhnya San-hai-koan ke tangan pemberontak itu kepade Bhe-ciangkun yang kini menjadi komandan sementara di Ceng-tek menggantikan kepalanya yang telah tewas. Mendengar tentang jatuhnya San-hai-koan itu, Bhe-ciangkun tidak berani sembarangan turun tangan dan segera mengutus anak buahnya untuk cepat menunggang kuda ke kota raja dan mengirimkan berita ke kota raja, menanti keputusan dan perintah selanjutnya dari pusat pemerin-tahan mengenai pemberontakan Ji-ciangkun itu.



***



Pemuda yang berjalan seorang diri di luar Tembok Besar itu amatlah gagahnya. Usianya masih muda, paling banyak dua puluh dua tahun, akan tetapi tubuhnya tinggi tegap dan wajahnya tenang serius sehingga dia nampak jauh lebih dewasa daripada usia yang sebenarnya. Rambutnya yang hitam dan lebat itu dikuncir tebal dan panjang, dikalungkan ke lehernya yang nampak kokoh kuat itu. Pakaiannya amat sederhana, terbuat dari kain kasar saja, namun bersih dan di sebelah luarnya dia mengenakan jubah pendek terbuat dari kulit harimau. Dandanan sederhana dan gagah ini memberi kesan bahwa dia adalah seorang pemuda yang gagah, seorang pendekar muda atau setidaknya seorang pemburu, atau orang yang biasa hidup menghadapi kesukaran dan kekeras-an. Sinar matanya tajam mencorong dan membayangkan kekerasan hati, walaupun terdapat kelembutan dan kejujuran, ter-utama pada bentuk dagu dan tarikan mulutnya.



Pemuda tinggi tegap yang gagah per-kasa ini adalah Siangkoan Ci Kang yang pada waktu itu sudah berusia dua puluh satu tahun. Seperti telah kita ketahui, pemuda ini adalah putera tunggal dari mendiang Siangkoan Lo-jin yang berjuluk Iblis Buta yang merupakan seorang datuk kaum sesat yang amat ditakuti. Akan te-tapi, datuk sesat ini tewas di tangan Ra-tu Iblis. Dan sebelumnya, seperti telah diceritakan di bagian depan, Ci Kang melarikan diri dari ayahnya setelah antara anak dan ayah ini terdapat bentrokan pa-ham, bahkan oleh para tokoh Cap-sha-kui pemuda itu dianggap musuh yang harus ditangkap atau dibunuh. Kemudian, pemu-da ini bertemu dengan Ciu-sian Lo-kai, tokch sakti yang berpakaian pengemis i-tu, dan digembleng sebagai muridnya. Di bawah bimbingan Ciu-sian Lo-kai, bakat dan watak yang baik dan gagah pemuda ini berkembang, bahkan Ciu-sian Lo-kai, seperti telah diadakannya perjanjian dan perlombaan mendidik murid dengan Go-bi San-jin, telah menanamkan pandangan hidup Cia Han Tiong, ketua Pek-liong-pang di Lembah Naga, kepada muridnya itu. Maka, biarpun Ci Kang terlahir di kalangan sesat dan sejak kecil bergaul dengan datuk-datuk sesat, melihat segala macam tindakan yang kejam, ganas dan curang, kini dapat melihat dengan jelas betapa buruknya kehidupan di antara te-man-teman ayahnya itu. Jiwa kependekerannya semakin bangkit dan biarpun dia tetap ingin menentang segala bentuk kejahatan, namun dia sudah berjanji kepada diri sendiri untuk meluruskan yang bengkok, menyadarkan yang sesat, dan bukan-nya mematahkannya atau membunuhnya, sesuai dengan pesan-pesan Ciu-sian Lo-kai yang mentrapkan pandangan hidup Cia Han Tiong kepada muridnya ini.



Setelah lewat tiga tahun, Ciu-sian Lo-kai menyuruh muridnya untuk pergi ke Benteng Jeng-hwa-pang di luar Tembok Besar. Gurunya itu memberi tahu kepadanya bahwa di tempat ini akan diadakan pertemuan para pendekar untuk membicarakan tentang bangkitnya para datuk sesat yang hendak mengadakan gerakan bemberontakan dan pemuda itu ditugaskan oleh gurunya untuk ikut pula menentang usaha para datuk sesat.



Berangkatlah Ci Kang meninggalkan gurunya akan tetapi bagaimanapun juga, dia teringat akan ayahnya yang sudah tua dan buta. Biarpun ayahnya menjadi seorang datuk sesat, akan tetapi kasih sayangnya sebagai seorang anak terhadap ayahnya membuat Ci Kang lebih dahulu pergi mengunjungi ayahnya di Po-hai, Sen-si, sebelum dia melakukan perjalanan keluar Tembok Besar di utara. Akan tetapi, dia tidak dapat bertemu dengan ayahnya, bahkan dia mendengar berita bahwa ayahnya telah tewas di tangan Raja dan Ratu Iblis, datuk sesat baru yang kini menguasai seluruh datuk sesat ketika terjadi pertemuan antara para datuk di lereng Pegunungan Tapie-san. Dia hanya menarik napas panjang, tahu bahwa kematian ayahnya di tangan datuk sesat itu hanyalah akibat daripada sikap dan perbuatan ayahnya sendiri. Dia akan menentang para datuk sesat, terutama Raja Iblis, akan tetapi bukan karena dendam terhadap kematian ayahnya, melainkan karena sudah menjadi kewajiban seorang pendekar untuk menentang kejahatan. Andaikata ayahnya masih hidup sekalipun, dia akan menentang kejahatan yang dilakukan ayahnya dan anak buahnya.



Ketika pada pagi hari itu dia berjalan seorang diri di luar Tembok Besar di wilayah yang dahulu pernah dikuasai oleh Jeng-hwa-pang, tempat itu masih nampak sunyi. Pemuda ini tidak tahu bahwa dia datang terlalu pagi. Waktu yang ditentukan oleh para pendekar untuk mengadakan pertemuan di tempat itu masih satu bulan lagi. Akan tetapi, akhirnya dia tiba juga di bekas benteng Jeng-hwa-pang yang tembok-temboknya masih kokoh kuat akan tetapi kini hanya menjadi sebuah dusun kecil yang dihuni oleh orang-orang yang biasa melakukan pekerjaan sebagai pemburu dan juga menjadi tempat persinggahan para pedagang atau mereka yang sering berlalu-lalang melalui Tembok Besar.



Hatinya agak tegang dan berdebar karena dia merasa gembira. Biarpun dia dahulu selalu bergaul dengan datuk sesat, akan tetapi dia selalu menentang perbuatan-perbuatan mereka yang tidak baik dan dia merasa tidak pernah suka bergaul dengan mereka. Akan tetapi kini, dia da-tang ke tempat itu sebagai seorang pen-dekar yang menghadiri pertemuan antara kauni pendekar! Hatinya merasa gembira sekali karena dia akan bertemu dan berkenalan dengan orang-orang gagah yang menurut gurunya akan berkumpul di tem-pat ini dan di antara mereka terdapat o-rang-orang sakti yang berilmu tinggi. Sungguh merupakan pertemuan yang akan membuka matanya dan menambah penga-laman dan meluaskan pengetahuannya.



Ketika dia tiba di tempat itu, dia pertama-tama melihat serombongan orang gagah, terdiri dari tujuh orang lima pria dua wanita. Usia mereka antara dua puluh lima sampai tiga puluh lima tahun dan sikap mereka nampak gagah sekali dengan pedang di punggung mereka. Karena dari sikap mereka saja Ci Kang sudah dapat menduga bahwa mereka adalah pendekar-pendekar yang datang menghadiri pula pertemuan maka diapun menghampiri mereka. Mereka bertujuh sedang duduk di bawah pohon, di luar bekas benteng itu dan tujuh ekor kuda yang baik ditambatkan di batang pohon itu. Di atas sebuah di antara sela-sela kuda, dia melihat berkibarnya sebuah bendera kecil berwarna kuning yang bertuliskan tiga buah huruf Hoa-kiam-pang (Perkumpulan Pedang Bunga) dan ada gambar sepasang pedang melintang. Ci Kang belum pernah mendengar tentang nama perkumpulan itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa tentu ini nama sebuah perkumpulan pendekar pedang yang tangguh. Dia semakin gembira dan cepat menjura kepada mereka dengan sikap hormat dan wajah ramah.



"Selamat berjumpa, cu-wi-enghiong (para pendekar sekalian)! Cu-wi tentu tokoh-tokoh dari Hoa-kiam-pang yang terkenal."



Seorang di antara mereka, seorang laki-laki jangkung yang kurus dan paling tua di antara mereka, agaknya menjadi pemimpin rombongan, bersama yang lain membalas penghormatan itu dan si jangkung kurus menjawab, "Selamat bertemu, sobat. Kami hanyalah murid-murid Hoa-kiam-pang yang diutus oleh para pemimpin kami untuk melihat-lihat keadaan. Selamat berkenalan! Bolehkah kami mengenal siapa adanya sobat yang gagah ini?"



Ci Kang tersenyum ramah. "Saya bernama Siangkoan Ci Kang dan saya diutus oleh suhu untuk menghadiri pertemuan para pendekar yang akan diadakan di tempat ini. Bukankah cu-wi juga datang untuk keperluan itu?"



Si jangkung kurus memandang tajam. "Pertemuan itu akan diadakan sebulan lagi. Engkau datang terlalu pagi, sobat. Kami sendiri datang hanya untuk melihat-lihat keadaan, apakah tempat ini aman untuk pertemuan itu dan selain kami, ada pula belasan orang sahabat dari berbagai perkumpulan pendekar yang juga datang, melihat keadaan."



"Benarkah? Ah, saya ingin sekali belajar kenal dengan para pendekar itu."



"Mereka berkumpul di sebelah dalam bekas benteng, di sebuah kedai arak kecil yang dibuka oleh penduduk tempat ini. Mari, saudara Siangkoan Ci Kang, mari kita perkenalkan." Tujuh orang itu lalu mengajak Siangkoan Ci Kang memasuki bekas benteng Jeng-hwa-pang dan ketika mereka menghampiri sebuah kedai arak, beberapa orang yang nampaknya gagah-gagah dan yang duduk minum arak di kedai itu memandang penuh perhatian.



"Cu-wi-enghiong!" kata murid Hoa-kiam-pang yang jangkung kurus itu memperkenalkan, "ini seorang pendatang baru, seorang pendekar muda bernama Siangkoan Ci Kang...!"



"Dia tokoh sesat!" Tiba-tiba terdengar suara orang dan seorang pemuda tampan gagah meloncat keluar kedai dan menghadapi Ci Kang dengan mata mencorong penuh kemarahan. Ci Sang terkejut dan memandang. Dia tidak lupa. Pemuda ini adalah seorang di antara para pendekar yang dahulu membela Jenderal Ciang di dalam perayaan pasta ulang tahun Ang-kauwsu di kota Pao-fan! Pemuda ini se-lalu bersama Ceng Sui Cin, gadis cantik gagah puteri Pendekar Sadis itu. Ah, be-nar. Pemuda ini adalah putera ketua Cin-ling-pai seperti yang diketahuihya dari para tokoh Cap-sha-kui!



Tentu saja seruan yang dikeluarkan oleh Hui Song ini mengejutkan semua pendekar yang berkumpul di situ. Seperti kita ketahui, Hui Song tidak depat kembali ke San-hai-koan yang sudah diduduki oleh pemberontak dan diapun pergi ke benteng Jeng-hwa-pang di mana dia ber-temu dengan beberapa orang pendekar dan dia bercerita tentang gerakan para pem-berontak kepada mereka. Ketika tujuh orang murid Hoa-kiam-pang itu muncul bersama Ci Kang, dia segera mengenal pemuda berbaju kulit harimau ini dan tentu saja dia menjadi marah.



"Dia ini tokoh pemberontak sesat, tentu datang untuk memata-matai kita!" Hui Song berseru lagi sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Ci Kang.



Ci Kang menjura dengan sikap hormat dan gagah, akan tetapi juga tenang, walaupun ucapan putera ketua Cin-ling-pai itu seperti pedang menusuk jantung. "Maaf, saya datang sebagai utusan suhu yang berjuluk Ciu-sian Lo-kai, harap cu-wi tidak salah sangka."



Nama Ciu-sian Lo-kai tidak terkenal di dunia kang-ouw karena memang kakek ini, seperti juga kakek-kakek sakti lain yang baru bermunculan setelah dunia kang-ouw dikacau oleh Cap-sha-kui dan terutama sekali karena munculnya Raja dan Ratu Iblis. Oleh karena itu, nama ini tidak mendatangkan kesan di hati pendekar muda yang berkumpul di situ. A-kan tetapi, Hui Song juga bukan seorang pemuda sembrono dan dia mau yakin du-lu apakah benar pemuda ini yang pernah dilihatnya membantu Cap-sha-kui lolos dari kepungan beberapa tahun yang lalu.



"Hemm, namamu Siangkoan Ci Kang, engkau putera tunggal dari datuk sesat Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta, bukan?"



"Benar, akan tetapi saya tidak pernah mencampuri semua perbuatan jahat dunia sesat," jawab Ci Kang dengan jujur dan gagah.



"Hemm, bukankah engkau pernah be-berapa kali menggunakan anak panah membantu para tokoh Cap-sha-kui lolos dari tangkapan?" Hui Song mendesak la-gi.



Siangkoan Ci Kang terlalu jujur dan gagah untuk menyangkal. Dia mengangguk. "Benar..."



"Nah, mau bicara apa lagi? Engkau mata-mata kaum sesat, terimalah ini!" Hui Song menerjang sambil mengirim tamparan dengan tenaga Thian-te Sin-ciang yang amat dahsyat. Tamparannya itu mendatangkan angin bersiut menyam-bar ke arah muka Siangkoan Ci Kang. Pemuda ini tidak mempunyai kesempatan lagi untuk membantah dan melihat beta-pa serangan Hui Song demikian hebatnya, diapun menggerakkan lengan menangkis.



"Dukkk...!" Keduanya mengeluarkan seruan kaget karena pertemuan lengan itu membuat kedua orang pemuda itu terdorong ke belakang seolah-olah bertemu dengan gelombang tenaga yang amat kuat. Mereka saling pandang dan tahulah mereka bahwa keduanya menemukan lawan yang amat tangguh. Sementara itu, para pendekar yang berada di situ semua mengenal Hui Song sebagai putera ketua Cin-ling-pai yang berkepandaian tinggi. Tentu saja mereka lebih percaya kepada Hui Song. Apalagi, pemuda berjubah kulit harimau itu sudah mengaku sebagai pu-tera Si Iblis Buta. Hal ini saja sudah cu-kup membuat mereka semua memusuhi-nyai, dan serentak mereka lalu mencabut senjeta dan menerjang maju. Dihujani senjata, Ci Kang cepat berloncatan de-ngan amat gesitnya mengelak ke sana-si-ni. Dia tahu bahwa percuma saja mem-bantah dan bicara untuk membersihkan dirinya dan tidak baik kalau sampai dia bentrok dengan para pendekar ini, maka sambil mengeluh panjang dia lalu melon-cat dan melarikan diri dari tempat itu.



"Aku datang hendak membantu kalian menentang kejahatan, sayang kalian tidak percaya!" teriaknya dan tubuhnya sudah berkelebat cepat sakali meninggalkan benteng itu. Hui Song tidak melakukan pe-ngejaran dan para pendekar itupun tidAk karena mereka maklum betapa lihainya putera Si Iblis Buta itu. Hui Song sendiri tentu saja dapat mengimbangi kecepatan gerakan Ci Kang dan dapat melakukan pengejaran kalau dia mau, akan tetapi dia teringat bahwa bagaimanapun juga Siangkoan Ci Kang itu pernah menyela-matkan Sui Cin den biarlah kini dia ber-laku murah untuk membalas budi Ci Kang terhadap gadis pujaan hatinya itu.



Ci Kang berlari cepat sekali dengan hati murung. Dia lari ke barat dan tidak tahu harus pergi ke mana. Dia telah datang terlalu pagi dan dia tidak dapat menghadiri pertemuan para pendekar itu tanpa adanya gurunya. Kalau ada Ciu-sian Lo-kai di situ, baru dia akan dapat hadir karena tentu gurunya yang akan dapat memberi kesaksian akan kebersihan dirinya. Dia tidak menyalahkan Cia Hui Song putere ketua Cin-ling-pai itu, melainkan hanya merasa mendongkol sekali. Bagaimanapun juga, memang pemuda Cin-ling-pai itu pernah melihat dia memban-tu den menyelamatkan orang-orang Cap-sha-kui bersama ayahnya. Sudah tentu saja Hui Song curiga kepadanya. Dan satu-satunya orang yang akan dapat me-nanggung dirinya agar dipercaya oleh pa-ra pendekar hanyalah gurunya, Ciu-sian Lo-kai yang belum nampak ada di tem-pat itu.



Hatinya murung sekali dan ketika dia memasuki sebuah desa kecil di mana terdapat sebuah kedai arak, diapun mema-suki kedai itu. Kedai yang cukup besar, bahkan terlalu besar untuk sebuah dusun yang penghuninya sedikit dan agaknya hanya terdiri dari crang-orang miskin atau pemburu-pemburu. Agaknya kedai ini dibuka orang belum begitu lama dan agaknya dibuka untuk menjadi pemberhentian orang-orang yang melakukan per-jalanan dan lewat di tempat ttu. Bagai-manapun juga, bau arak yang sedap menarik perhatian Ci Kang dan diapun yang diganggu rasa mendongkol perlu beristi-rahat menenangkan hatinya.



Ci Kang mengambil tempat duduk di atas kursi yang kasar buatannya, meng-hadapi sebuah meja yang kasar pula. Seorang pelayan cepat menghampirinya dan dengan membungkuk-bungkuk penuh se-nyum menjilat pelayan itu menyapanya. "Selamat siang, tuan. Tuan hendak makan dan minum apakah?"



"Bawakan aku seguci besar arak!" kata Ci Kang. Pemuda ini setelah menjadi murid Ciu-sian Lo-kai, mewarisi kebiasaan gurunya, suka minum arak. Tentu saja dia tidak minum terlalu banyak walaupun banyaknya arak dapat dilawannya dengan kepandaiannya sehingga dia tidak akan terpengaruh, akan tetapi saat itu hatinya sedang mendongkol dan dia hendak minum sebanyaknya!



"Seguci besar...? Apakah tuan menunggu datangnya banyak teman?"



"Tidak, aku hanya seorang diri..."



"Tapi, arak seguci beser cukup untuk sepuluh orang..."



"Jangan cerewet! Bawa arak itu dan aku akan membayarnya!" bentak Ci Kang marah. Hatinya yang sedang kesal itu tidak sabar lagi mendengar kerewelan si pelayan. Pelayan itu membungkuk-bung-kuk pergi dan Ci Kang mendengar pela-yan itu berbisik-bisik dengan teman-temannya dalam bahasa sandi yang menge-jutkan hatinya. Bahasa rahasia seperti itu hanya dipergunakan orang-orang dari go-longan hitam! Dan pelayan itu berkata kepada teman-temannya agar berhati-hati karena tamu yang datang ini tentulah seorang pendekar. Ci Kang melirik sam-bil lalu dan dia melihat bchwa pelayan i-tu berbisik-bisik dengan teman-temannya. Jumlah mereka semua ada enam orang! Heran dan curigalah hatinya. Sebuah kedai arak begini besar di dalam sebuah dusun miskin kecil! Dan dibukanya tentu masih baru pula. Lebih lagi, dilayani oleh enam orang! Dan mereka mengguna-kan kata-kata sandi, bahasa rahasia dari golongan hitam.



Ci Kang duduk dengan wajah muram. Kenyataan bahwa dia duduk di warung golongan hitam membuat hatinya semakin kesal. Keadaan dirinya membuat dia me-raaa mendongkol dan juga murung dan sedih. Dia dilahirkan di tengah keluarga sesat, walaupun mendiang ayahnya dahulu bukanlah orang jahat. Dia dibesarkan di antara para datuk sesat. Dia tidak me-nyukai cara hidup demikiann sehingga dia menentang ayahnya sendiri, bahkan ham-pir dibunuh ayahnya karena tidek menu-ruti kehendak ayahnya. Di dunia golongan kotor, dia tidak dapat hidup dan dimusuhi. Kemudian, setelah digembleng se-lama tiga tahun oleh Ciu-sian Lo-kai dan dia mulai hidup baru, di antara golongan bersih, diapun dihina dan diserang, tidak diterima! Hati siapa takkan merasa murung?



Pada saat itu muncul tiga orang ber-pakaian seperti orang dusun. Tubuh mereka kurus-kurus dan melihat pakaian mereka yang kotor, mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang miskin yang kekurangan makan kekurangan pakaian. Melihat mereka, pemilik atau kua-sa kedai yang bertubuh gendut dan ber-muka ramah itu segera menghampiri dan menyambut ke depan pintu.



"Eh, kalian bertiga ada keperluan apakah?" tegur pemilik kedai dengan ramah.



"Maaf, twako, kami datang mengganggu lagi..." kata seorang di antara mereka.



"Kalian butuh apa lagi? Bukankah kemarin dulu kami sudah menyumbangkan tiga karung beras untuk dibagi-bagi antara kalian penduduk dusun ini? Apakah beras itu sudah habis?"



"Belum, toako dan terima kasih atas segala pertolongan twako yang dilimpahkankan kepada kami para penduduk dusun selama ini. Akan tetapi, kamipun bukan orang-orang yang hanya mengandalkan hi-dup dari minta-minta saja. Kemi ingin bercocok tanam, akan tetapi tanah itu perlu digarap dan kami tidak mempunyai alat-alatnya. Kalau twako sudi menolong kami untuk sekali ini dan kami dapat mengerjakan tanah, selanjutnya kami tentu akan mampu mencukupi diri sendiri..." Si gendut itu meraba jenggotnya yang agaknya baru beberapa pekan dicukur dan kini mulai tumbuh dengan liar. Dia mengangguk-angguk dan melirik ke arah para tamu yang kebetulan sedang duduk minum arak dan makan di kedal itu, seolah-olah dia ingin agar semua percakapan itu didengar oleh mereka. Dan memang, percakapan yang cukup keras itu didengarkan oleh mereka, juga Ci Kang memperhatikan.



"Baiklah, kami akan membantu dan membelikan alat-alat pertanian untuk kalian. Nah, pulanglah dulu, dan malam nanti saja kita rundingkan kembali kalau kedaiku sedang sepi."



"Baik, twako, dan terima kasih, twako, sungguh engkau merupakan tuan penolong kami." Dan tiga orang itu memberi hormat sampai hampir berlutut, kemudian pergi dengan wajah berseri-seri. Dari percakapan dan melihat sikap para penduduk dusun miskin itu saja mudah diketahui bahwa pemilik kedai ini adalah seorang yang dermawan dan baik hati. Akan tetapi sikap ini justeru membuat Ci Kang mengerutkan alisnya. Mereka itu jelas golongan hitam yang menggunakan kata-kata sandi, akan tetapi mengapa kini mereka bersikap begitu dermawan terhadap para penduduk miskin? Sungguh suatu keadaan yang amat aneh dan tidak sewajarnya!



Ketika pesanannya tiba, yaitu seguci besar arak, yang menggotongnya dua o-rang pelayan diantar pula oleh si kuasa kedai yang gendut dan ramah itu. Si gendut ini membungkuk-bungkuk dengan ra-mah, akan tetapi matanya yang tajam itu memandang wajah Ci Kang penuh perhatian, tersenyum-senyum dan berkata, "Harap sicu sudi memaafkan bahwa pela-yan kami agak terlambat karena ganggu-an para petani tadi. Kasihan sekali me-reka itu, memang perlu dibantu dan di-bimbing."



Jelaslah bagi Ci Kang bahwa si gen-dut kuasa kedai ini memang sengaja me-mancing percakapan dengan dia. Dia ti-dak dapat menduga apa maunya, akan tetapi karena hatinya sedang kesal, dia tidak mau menanggapi, bahkan sama sekali tidak mengacuhkan dan segera me-nyambar guci arak dan minum langsung dari bibir guci tanpa cawan atau mang-kok lagi. Dia mau minum sepuasnya, biarpun dia bukan seorang pecandu arak, a-kan tetapi sekali ini dia ingin minum sampai mabok untuk mengusir kekesalan hatinya! Mengingat betapa dia dituduh mata-mata oleh para pendekar dan ham-pir dikeroyok, hatinya merasa panas dan penasaran sekali. Dia kini menjadi orang setengah matang, kepalang tanggung, ma-suk golongan hitam dimusuhi karena dia menentang mereka, masuk golongan pu-tih dimusuhi pula karena tidak diperca-ya.



"Sialan! Manusia tiada guna!" gerutu-nya dalam hati sambil menenggak lagi a-raknya. Melihat pemuda tinggi besar yang bertubuh tegap dan berpakaian seperti seorang pemburu dengan jubah kulit hari-mau, dan melihat caranya minum arak, semua orang yang berada di dalam kedai itu memandang dan mereka semua dapat menduga bahwa pemuda ini tentulah se-orang yang gagah perkasa.



"Saya berani bertaruh apa saja bahwa sicu tentulah seorang pendekar yang me-miliki ilmu kepandaian tinggi dan amal terkenal." Kembali terdengar suara si gendut. Ci Kang merasa semakin kesal dan baru dia melihat bahwa si gendut itu masih berdiri di dekat mejanya. Dia hanya mengerling dengan alis berkerut tan-pa menjawab atau berkata sesuatu. Ka-lau melihat kerut di antara alisnya, se-patutnya si gendut itu mengerti bahwa pemuda itu tidak suka diajak ngobrol. A-kan tetapi agaknya dia tidaklah secerdik itu.



"Tentu tidak salah lagi bahwa sicu a-dalah seorang di antara para pendekar yang hendak mengadakan pertemuan, bu-kan? Sicu, kapankah diadakannya perte-muan itu dan di mana? Saya ingin sekali mengetahui agar dapat membuat persiap-an dagangan saya. Pada hari itu tentu a-kan banyak para pendekar lewat di sini dan..."



"Plakk!" Tangan Ci Kang menyambar ke arah muka orang gendut itu. Si gen-dut ternyata memiliki gerakan cepat untuk ukurannya, dan berusaha mengelak, akan tetapi tangan itu mengejarnya dan akhirnya mengenai pipinya tanpa dia da-pat menghindarkannya lagi.



"Aduhh...!" Si gendut terhuyung dan meraba pipinya yang menjadi merah sekali.



"Eh, kenapa kau memukul orang...?" Dua orang pelayan cepat menghampiri untuk melerai, akan tetapi tanpa bangkit dari kursinya, tangan kanan dan kakinya bergerak menyambut dua orang pelayan itu. Terdengar mereka mengaduh dan dua orang itupun terpelanting roboh. Kini si gendut menjadi marah dan dengan suara menggereng seperti harimau, diapun menubruk dengan kedua tangannya yang membentuk cakar harimau, menyerang ke arah kepala dan dada pemuda yang kini sudah menggerakkan tubuh memutar kursinya sehingga meja yang tadi berada di depannya kini berada di sebelah kirinya.



"Wuuuttt...!" Serangan si gendut itu cukup kuat, mendatangkan angin dan ini membuktikan bahwa dugaan Ci Kang memang benar. Si gendut itu yang nampaknya seorang pengurus kedai arak yang ramah dan murah hati, ternyata memiliki kepandaian silat yang cukup lihai. Akan tetapi, ketika Ci Kang mengangkat tangan kirinya menangkis, menyambut kedua lengan itu, terdengar suara "krekk!" dan lengan kanan si gendut itu patah. Sebelum si gendut sempat menghindar, secepat kilat kaki Ci Kang menendang lutut dan si gendut mengaduh, lalu jatuh berlutut. Tangan kanan Ci Kang mencengkeram rambut orang itu den menekan kepala itu ke bawah.



Dua orang pelayan yang tadi dirobohkan, terkejut bukan main melihat kepala mereka sudah dikalahkan, dan mereka berdua itu dalam keadaan berlutut hanya dapat memandang penuh kekbawatiran. Juga tiga orang lain yang menjadi pengurus kedai itu, berdiri berkelompok di dekat pintu menuju dapur dengan muka ketakutan.



Tiba-tiba seorang di antara para tamu yang sedang duduk menghadapi hidangannya, menggebrak meja dan bangkit berdiri. Orang ini adalah seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, pakaiannya sederhana namun bersih dan gerak-geriknya halus, wajahnya tampan dan dia sejak tadi duduk menghadapi hidangan di depan mejanya, makan dan minum sendirian saja. Pakaiannya serba putih dan dia lebih pantas menjadi seorang sasterawan daripada seorang ahli silat. Akan tetapi ketika dia menggebrak meja, mangkok piring di atas mejanya itu mencelat ke atas dan menimbulkan suara berisik ketika jatuh kembali ke atas mejanya. Pemuda berpakaian putih ini bangkit dan menoleh, memandang kepada Ci Kang yang masih menjambak rambut si gmdut yang hanya mengeluh panjang pendek. Dengan tangan kanan menekan sandaran kursi, pemuda baju putih itu menudingkan telunjuknya ke arah muka Ci Kang.



"Manusia sombong dan kasar! Berani kau menghina orang mengandalkan sedikit kepandaian?"



Sepasang alis hitam tebal yang seperti sayap burung geruda terbentang itu bergerak-gerak dan sepasang mata yang tajam itu mengeluarkan sinar berapi. Hati Ci Kang menjadi semakin panas. Orang berpakaian putih tentulah kawan golongan hitam yang menyamar menjadi pengurus-pengurus kedai ini, pikirnya.



"Habis, kau mau apa?" Diapun membentak sebagai jawaban ucapan pemuda baju putih itu.



Pemuda baju putih itu memandang tajam dan suaranya penuh wibawa. "Hayo lepaskan paman itu dan kau harus mohon maaf atas sikapmu yang kasar dan sombong, baru aku akan melupakan kesombonganmu!"



Ci Kang adalah seorang yang sejak kecil dididik dalam kekerasan. Dasar wataknya jujur dan keras, dan karena sejak kecil hidup di tengah golongan sesat, dia sudah terbiasa dengan sikap dan perbuatan keras dan kasar. Akan tetapi, dia selalu menentang kejahatan, dan setelah dia digembleng selama beberapa tahun oleh Ciu-sian Lo-kai, dia sudah dapat mengatasi kekerasan hatinya. Dia selalu bersikap mengalah dan sabar, sesuai dengan pelajaran yang diterimanya dari kakek Dewa Arak itu. Akan tetapi, penolakan dan penentangan para pendekar terhadap dirinya membuat hatinya kesal dan murung dan mudah marah. Kini, melihat sikap pemuda baju putih yang menentangnya pemuda baju putih yang dianggapnya tentulah kawan dari gerombolan penjahat yang membuka kedai arak ini, dia tidak lagi dapat menahan kemarahannya. Gerombolan penjahat ini harus dihajarnya, demikian dia mengambil keputusan.



"Kau mau membelanya? Nih, terimalah!" Dengan gerakan tangannya yang kuat, Ci Kang bangkit dan melontarkan tubuh gendut yang dicengkeram rambutnya itu ke depan. Tubuh gendut itu terlempar melayang ke arah pemuda baju putih! Kalau mengenai dan menubruk pemuda baju putih itu, tentu dia akan terpelanting pula.



Akan tetapi, pemuda baju putih itu dengan sikap tenang menyambut tubuh itu dengan dua tangannya dan dia sudah berhasil menangkap tubuh itu pada lengan dan pundaknya, lalu menurunkan tubuh gendut itu sehingga tidak sampai jatuh terbanting. Ketika dia memandang, ternyata Ci Kang sudah duduk lagi menghadapi meja dan mengangkat guci arak, menuangkan isinya ke mulut menggunakan tangan kiri, sedangkan lengan kanannya terletak di atas meja.



"Engkau sungguh manusia sombong yang patut dihajar!" Si beju putih itu dengan cepat melangkah maju dan menggerakkan tangannya menotok ke arah leher Ci Kang yang sedeng minum araknya.



Tiba-tiba Ci Kang menurunkan gucinya dan tanpa bangkit dari kursinya, dia menggerakkan tangan kanannya ke atas untuk menangkis tangan lawan. Gerakannya cepat mengandung tenaga amat kuat kerena memang dia mengerahkan sin-kangnya untuk menangkis dengan harapan sekali tangkis akan dapat mengalahkan lawan, sedikitnya mematahkan tulang lengan lawan.



"Dukkk...!"



Akibat benturan dua lengan itu membuat keduanya mengeluarkan teriakan tertahan saking kagetnya. Tubuh pemuda baju putih itu terdorong ke belakang sampai empat langkah, sedangkan sebaliknya, biarpun tubuh Ci Kang tidak terlempar karena dia sedang duduk, namun kursi yang didudukinya pecah berantakan!



Ci Kang sudah meloncat bangun dan alisnya berkerut semakin dalam. Kecurigaannya makin kuat. Orang ini tentu seorang tokoh sesat walaupun belum pernah dia melihatnya. Seorang tokoh muda yang entah datang dari mana dan agaknya diam-diam menjadi pelindung gerombolan penjahat yang menyamar menjadi pengusaha kedai arak. Teringatlah dia betapa si gendut tadi berusaha memancingnya agar dia suka bicara tentang pertemuan para pendekar dan kini diapun menduga bahwa tentu tokoh sesat ini bertugas menyelidiki pertemuan itu!



"Bagus, kiranya engkau seorang yang memiliki kepandaian juga. Sayang, kepandaian itu kaupergunakan untuk kejahatan!" Setelah berkata demikian, Ci Kang melompat ke depan dan menyerang dengan pukulan tangannya yang kuat.



Orang berbaju putih itu sudah mengenal kekuatan tangan lawan, maka diapun bersikap hati-hati sekali. Dengan mudah dia mengelak dari serangan Ci Kang lalu membalas dengan tendangan. Terjadilah perkelahian yang amat hebat dalam restoran itu antara Ci Kang dan pemuda baju putih. Dan para tamu segera meninggalkan meja masing-masing, menjauh akan tetapi menonton perkelahian itu. Dari sikap mereka, hampir semua berpihak kepada baju putih!



"Pemburu dari mana dia?" terdengar orang bertanya-tanya.



"Entah, dia baru datang, akan tetapi dia jahat sekali!"



"Dia telah memukuli Cou-twako, pengurus kedai yang baik hati!"



"Tentu dia penjahat!"



Demikianlah percakapan antara mereka yang sedang menonton perkelahian itu. Ci Kang menjadi semakin heran mendengar semua ini. Kenapa semua orang menganggapnya jahat? Akan tetapi dia tidak perduli karena dia maklum bahwa tentu semua orang telah tertipu oleh sikap penjahat-penjahat yang menyamar menjadi pemilik kedai arak ini. Hanya dia yang tahu bahwa mereka ini adalah orang-orang golongan hitam. Dan diapun merasa penasaran sekali. Pemuda baju putih ini hebat bukan main! Bukan hanya dalam kegesitan dan tenaga si baju putih ini dapat menandinginya, juga dalam ilmu silat pemuda ini agaknya dapat pula mengimbanginya. Gerakannya demikian kuat dan tenang, dan semua serangannya dapat dielakkan atau ditangkisnya dengan baik. Ci Kang yang sedang murung itu masih dapat menenangkan hatinya dan menahan kemarahannya dan ini adalah berkat gemblengan dari Ciu-sian Lo-kai selama ini. Sebelum dia menjadi murid Si Dewa Arak, mungkin saja tadi dia telah membunuh para pengurus kedai itu, dan mungkin kini dia akan mengeluarkan serangan-serangan maut untuk membunuh pemuda baju putih yang disangkanya tentu juga seorang tokoh sesat yang membela para penjahat yang menyamar menjadi pengurus kedai.



"Manusia jahat! Terimalah ini...!" Tiba-tiba si baju putih itu membalas dengan serangan yang amat mengejutkan hati Ci Kang. Pemuda itu menyerangnya dengan pukulan aneh, dengan kedua tangan disilangkan dan didorongkan sambil merendahkan tubuhnya. Akan tetapi dari kedua tangannya itu menyambar hawa pukulan panas yang amat dahsyat, yang menyambar kepadanya seperti badai mengamuk! Tahulah Ci Kang bahwa pemuda itu ternyata memiliki pukulan sakti yang amat berbahaya dan kini menyerangnya dengan ganas sekali. Maka diapun cepat mengerahkan sin-kangnya dan mendorongkan kedua tangannya dengan telapakan terbuka ke depan.



Kembali dua tenaga raksasa saling bentur dan sekali ini sebelum dua pasang tangan bertemu, lebih dulu hawa pukulan itulah yang saling beradu. Dan sekali ini, Ci Kang merasakan betapa tubuhnya tergetar hebat oleh hawa panas itu dan biarpun dia tidak sampai terhuyung ke belakang, namun pasangan kuda-kuda kakinya tergeser. Terkejutlah dia. Tak disangkanya sama sekali bahwa lawannya sehebat itu. Dan dia yang sudah banyak pengalamannya tentang ilmu-ilmu kaum sesat, tidak dapat mengenal ilmu pukulan apa yang dipergunakan pemuda baju putih ini. Maka mulailah timbul keraguannya. Jangan-jangen pemuda baju putih ini bukan seorang tokoh sesat, melainkan seorang pendekar yang juga tertipu oleh para pengurus kedai dan menganggap para pengurus kedai itu orang baik-baik dan dermawan, dan mengira bahwa dialah yang jahat!



Pemuda baju putih itu agaknya juga terkejut ketika melihat betapa pukulannya yang ampuh tadi dapat ditahan oleh Ci Kang dan hanya membuat pemuda berpakaian pemburu itu bergeser sedikit saja kakinya.



"Seorang pemuda yang berilmu tinggi, akan tetapi mempergunakannya untuk kekejaman dan kejahatan! Orang macam engkau ini harus dibasmi agar tidak menyebar kekejaman lagi!" Pemuda beju putih itu berseru marah dan kini dia menyerang semakin hebat, dengan gerakan-gerakan aneh yang setiap gerakan mengandung daya serang mematikan! Ci Kang terkejut mendengar ucapan itu, apalagi melihat serangan bertubi-tubi yang amat hebatnya dan mendengar pula kata-kata para penonton yang jelas berpihak kepada si pemuda baju putih. Semua orang agaknya menganggap dia yang jahat!



Cepat dia mengelak beberapa kali lalu meloncat ke belakang sambil berteriak, "Kalian semua seperti orang buta saja! Tidak tahukah kalian siapa enam orang pengurus kedai ini? Mereka adalah orang-orang dari golongan hitam, kaum sesat atau penjahat-penjahat yang menyamar! Mereka hanya pura-pura saja dermawan, akan tetapi mereka adalah penjahat-penjahat keji yang memusuhi para pendekar!"



Pemuda baju putih itu agaknya tidak percaya, bahkan semakin marah. "Sudah busuk perbuatannya, busuk pula mulutnya melontarkan fitnah keji!" Dan diapun menyerang lagi dengan pukulan tangan kanan.



"Wuuuttt... dukk!" Kembali Ci Kang menangkis dan keduanya tergetar dan terpaksa melangkah mundur beberapa tindak.



"Sobat, engkau masih belum percaya? Lihat, ke manakah mereka itu? Mereka telah lari setelah aku membuka kedok mereka!" Ci Kang berseru dan pemuda baju putih itu menengok dan diapun tidak melihat seorangpun di antara enam pengurus kedai tadi.



"Kebakaran...! Kebakaran...!"

"Pembunuhan...! Rampok... rampok...!"



Di luar kedai terdengar suara gaduh dan tiba-tiba di bagian belakang kedai itupun dimakan api. Asap sudah masuk ke dalam ruangan itu dan semua orang sudah cerai-berai dalam keadaan panik dan sebentar saja yang tertinggal di da-lam kedai tinggal Ci Kang dan si pemu-da baju putih. Akan tetapi keduanya se-gera sadar bahwa di luar tentu terjadi hal-hal yang membutuhkan pertolongan mereka, maka seperti orang berlomba, ke dua orang muda itu meloncat keluar ke-dai. Dan memang keadaan di dusun kecil itu kacau balau. Kebakaran-kebakaran terjadi di sana-sini dan orang-orang ber-larian simpang siur dengan panik. Ci Kang melihat betapa enam orang pang-urus kedai tadi, dengan belasan orang lain yang jelas terdiri dari golongan se-sat, sedang membakari rumah dan merampoki barang-barang yang mereka angkut keluar. Tentu saja Ci Kang menjadi ma-rah bukan main. Akan tetapi dia sudah keduluan pemuda baju putih yang sudah meloncat dan menerjang orang-orang yang membakari rumah-rumah dan merampoki barang-barang itu. Di beberapa tempat terdapat mayat bergelimpangan, agaknya mayat dari mereka yang hendak melawan keganasan para perampok.



Ci Kang menerjang segerombolan orang yang sedang melakukan pembakaran rumah. Empat orang penjahat yang ber-tubuh tinggi besar dan berwajah kejam mengeroyoknya dengan senjata golok me-reka. Akan tetapi, dengan mudah Ci Kang menyambut serangan mereka de-ngan tamparan dan tendangan yang membuat empat orang itu kocar-kacir dan ja-tuh bangun. Mereka merasa penasaran dan hendak melawan terus, akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja Ci Kang membuat mereka tak berdaya, mematah-kan tulang lengan atau kaki mereka dan akhirnya empat orang penjahat itu lari tunggang-langgang, yang patah tulang kakinya menyeret kaki itu terpincang-pin-cang. Ci Kang tidak mengejar mereka. Gurunya, Si Dewa Arak, selalu menekankan kepadanya betapa tidak baiknya me-lakukan pembunuhan-pembunuhan. Bahkan sedapat mungkin jangan melakukan kekerasan, kata gurunya itu. Andaikata ter-paksa harus menggunakan kekerasan ter-hadap penjahat, cukup kalau menunduk-kan dan sekedar memberi hukuman saja agar mereka tidak berani melanjutkan kejahatan mereka, akan tetapi sama se-kali tidak boleh dibunuh. Ajaran Si Dewa Arak ini sungguh berlawanan sekali de-ngan kebiasaan hidup di lingkungan kaum sesat, akan tetapi Ci Kang menerimanya dengan hati senang dan patuh karena memang cocok sekali dengan pendiriannya sendiri yang tidak suka akan kejahatan dan kekerasan karena dia sudah muak hi-dup di lingkungan yang penuh dengan ke-kerasan.



Tiba-tiba Ci Kang terkejut oleh suara teriakan-teriakan yang mengerikan. Dia cepat menoleh dan wajahnya berobah me-rah. Dia melihat pemuda baju putih itu mengamuk dan sepak terjangnya menggi-riskan sekali. Sudah ada tujuh atau dela-pan orang penjahat termasuk si gendut dari kedai arak dan anak buahnya, ber-serakan menjadi mayat. Pemuda itu me-nurunkan tangan mautnya den tidak memberi ampun kepada para penjahat. Masih ada beberapa orang penjahat yang mengeroyoknya, akan tetapi Ci Kang maklum bahwa mereka semua itu tentu akan te-was di tangan si pemuda baju putih ka-lau dia tidak mencegahnya. Cepat dia meloncat dan ketika tangan pemuda baju putih itu menyambar dengan serangan maut kepada seorang penjahat yang go-loknya sudah terlempar, dia menubruk dan menangkis.



"Dukkk...!" Untuk ke sekian kalinya kembali dua lengan yang mengandung tenaga kuat itu saling bertemu, menggetarkan tubuh kedua pihak.



Pemuda baju putih itu mengerutkan alisnya dan matanya memandang terbela-lak kepada Ci Kang. "Gilakah kau?" ben-tak pemuda itu kepada Ci Kang. "Tadi engkau menyerang mereka dan aku yang tidak mengenal siapa mereka membela mereka. Sekarang, setelah mengetahui bahwa mereka ini adalah penjahat-penjahat terkutuk dan hendak membasmi mereka, engkau muncul melindungi mereka!" Pemuda baju putih itu benar-benar terkejut, heran dan penasaran melihat tingkah Ci Kang yang dianggapnya aneh sekali itu.



"Sobat, engkau memang gagah perkasa, akan tetapi terlalu kejam! Memang sudah menjadi kewajiban seorang pendekar untuk menentang kejahatan, akan tetapi bukan membunuh!"



Pemuda itu mengerutkan alisnya. "Kau perduli apa?" Dan diapun sudah menerjang lagi ke depan, merobohkan seorang penjahat dengan tamparan tangan kirinya yang ampuh. Sekali terkena tamparan itu, golok yang menangkisnya terlempar dan orang itu tidak mampu menghindarkan dirinya lagi, dadanya kena dihantam dan terdengar tulang-tulang iga yang patah-patah dan orang itu menjerit dan roboh berkelojotan.



"Kau kejam...!" Ci Kang menghardik dan ketika orang baju putih itu hendak mengejar para penjahat yang menjadi gentar dan melarikan diri, Ci Kang sudah menghadangnya.



"Kau kini membela mereka? Gila dan biar kubasmi sekalian!" Orang berbaju putih itu membentak dan menyerang Ci Kang. Tentu saja Ci Kang cepat mengelak dan untuk mencegah orang itu menyebar maut lebih banyak lagi, diapun membalas dan kini mereka kembali berkelahi dengan amat serunya. Kerena masing-masing kini sudah yakin akan kelihaian lawan, maka merekapun berkelahi lebih seru dan lebih hebat daripada tadi, masing-masing mengeluarkan ilmu-ilmu silat yang hebat. Kini para penjahat sudah lari semua dan juga para penghuni dusun sudah sejak tadi melarikan diri. Sebagian besar dari rumah-rumah dusun itu terbakar. Namun, dua orang muda itu agaknya lupa akan keadaan sekeliling karena mereka itu asyik berkelahi dan terpaksa harus mencurahkan seluruh perhatian, menggunakan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaga kalau tidak mau kalah! Dan kepandaian keduanya memang hebat, setingkat dan seimbang.



Entah berapa lama perkelahian itu akan berlangsung sampai ada yang kalah. Sudah hampir seratus jurus berlalu dan keduanya masih terus saling hantam dengan gigihnya. Tiba-tiba terdengar suara jerit minta tolong. Suara wanita yang ketakutan! Mendengar suara ini, seketika dua orang muda itu melupakan perkelahian mereka dan meloncat lalu berlari ke arah suara itu seperti orang berlomba. Jerit tangis itu kini semakin jelas, keluar dari sebuah rumah yang sudah terbakar bagian belakangnya.



"Tolong...! Toloooonggg... ahh, tolonglah aku...!" Demikianlah suara itu terdengar dari dalam rumah yang sedang terbakar.



"Brakkkkk...!" Dua tempat pada dinding rumah itu jebol ketika si pemuda baju putih dan Ci Kang secara berbareng menerjang tembok. Keduanya berlari memasuki rumah itu dan melihat seorang gadis yang terbelenggu kedua tangannya pada tiang rumah sedang meronta-ronta ketakutan melihat api mulai membakar dinding kamar itu! Seorang gadis yang cantik sekali, berpakaian sederhana akan tetapi justeru pakaian sederhana itulah yang membuat kecantikannya semakin menonjol. Karena kedua lengannya ditelikung ke belakang dan ia meronta-ronta, maka lekuk lengkung dan tonjolan-tonjolan pada tubuhnya nampak jelas dan amat menggairahkan! Melihat munculnya dua orang itu, sepasang mata yang jeli itu terbelalak ketakutan, akan tetapi agaknya ia dapat menduga bahwa mereka adalah orang orang yang hendak menolongnya, bukan orang-orang jahat yang menyerang dusun itu.



"Ah, tolonglah saya...!" Ia memohon.



Pada saat itu, dinding di bagian belakang kamar itu, yang mulai terbakar, runtuh ke bawah mengancam gadis itu yang tentu akan tertimpa runtuhan dinding tembok! Dua orang muda yang gagah perkasa itu bergerak cepat sekali. Pemuda baju putih itu sudah meloncat dan sekali sambar dia sudah merenggut putus tali yang mengikat gadis itu dengan tiang, lalu meloncat sambil memondong tubuh itu, sedangkan Ci Kang meloncat menggempur dinding yang runtuh itu dengan kedua tangannya.



"Braaakkkk...!" Runtuhan dinding itu pecah berantakan dan diapun cepat meloncat keluar menyusul. Di luar rumah yang terbakar itu, dia melihat pemuda beju putih sudah menutunkan gadis tadi yang kini berdiri kebingungan dan masih menangis. Ketika Ci Kang tiba pula di situ, gadis itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang pemuda itu sambil menangis.



"Sudahlah, jangan menangis dan ceritakan apa yang telah terjadi." kata Ci Kang sambil memandang kepada pemuda baju putih yang berdiri tenang dan menghadapi gadis itu dengan pandang mata penuh selidik.



Gadis itu menyusut air matanya. Usianya tidak sangat muda lagi, kurang lebih dua puluh lima tahun. Akan tetapi usia ini bagi seorang wanita merupakan usia yang sedang masaknya, bagaikan setangkai bunga sedang mekarnya. Pakaiannya sederhana namun rapi, wajahnya cantik dan terutama sekali mulutnya manis sekali.



"Saya menghaturkan terima kasih kepada ji-wi taihiap... yang sudah menyelamatkan nyawa saya yang tidak berharga..."



"Sudahlah," kata pemuda baju putih. "Tak perlu bicara tentang itu. Yang penting sekarang ceritakan apa yang telah terjadi maka kau beraaa dalam rumah terbakar itu dalam keadaan terbelenggu." Pada waktu itu, dusun kecil yang terbakar ini sudah ditinggalkan orang dan agaknya hanya mereka bertiga saja yang masih berada di situ, kecuali mayat-mayat yang menggeletak di sana-sini, korban kekejaman para perampok.



"Saya bernama Ji Hwa dan tinggal bersama ayah dan ibu di luar dusun, di lereng bukit sana itu... dan saya berada di sini karena mengunjungi paman dan bibi saya, pemilik rumah ini. Ketika tadi para penjahat datang, paman melawan dan bibi entah lari ke mana, dan saya... perampok ganas itu menawan saya, hendak dibawa pergi. Tapi ketika paman melawan, perampok itu mengikat saya di tiang tadi dan dia lalu berkelahi dengan paman di luar rumah... selanjutnya... saya tidak tahu apa yang terjadi, rumah terbakar dan saya ketakutan sekali..."



Ia menengok ke kiri di mana terdapat mayat-mayat bergelimpangan, membuat gadis itu bergidik ngeri.



"Siapakah pemimpin para perampok itu, nona?" Ci Kang bertanya. "Apakah engkau mengenal para pengurus kedai arak itu?" Dia menunjuk ke arah kedai arak yang sudah habis terbakar.



Gadis itu menggeleng kepala dan kelihatan ketakutan. "Saya tidak tahu... akan tetapi... saya merasa yakin bahwa ayah saya tahu akan semua itu. Pernah dia berkata kepada saya bahwa dusun ini terancam kekuasaan para penjahat..."



"Hemm, kalau begitu mari kuantar kau pulang, nona. Aku ingin bicara dengan ayahmu," kata Ci Kang.



"Akupun ingin bertemu dengan ayahmu, nona," kata pula pemuda baju putih itu.



Ci Kang memandang pemuda itu sambil tersenyum mengejek. "Agaknya dalam segala hal engkau tidak mau kalah, sobat. Perlu apa engkau ikut pula dengan kami?"



Pemuda itu tersenyum pahit. "Aku belum tahu benar siapa engkau dan orang macam apa adanya dirimu. Melihat engkau pergi berdua dengan seorang gadis yang tak berdaya ini, sungguh hatiku merasa tidak enak. Aku baru lega kalau melihat ia sudah berkumpul kembali dengan orang tuanya."



"Sialan!" Ci Kang membentak. "Engkau masih tidak percaya kepadaku? Nah, mari kita saling mengenal. Namaku Ci Kang."



"Shemu?" tanya pemuda itu, ingin tahu nama keluarga Ci Kang.



"Tidak perlu kuperkenalkan." Ci Kang memang tidak ingin memperkenalkan nama keluarga ayahnya yang terkenal sebagai Siangkoan Lo-jin atau Si Iblis Buta.



"Namaku Sun," kata pemuda baju putih itu, juga tidak mau menyebutkan shenya melihat betapa Ci Kang menyembunyikan shenya pula. Pemuda ini sesungguhnya she Cia. Ya, dia adalah Cia Sun, putera dari Cia Han Tiong yang tinggal di Lembah Naga! Seperti telah kita ke-tahui, pemuda ini merasa penasaran sekali akan sikap ayahnya. Ibunya tewas di tangan musuh dan ayahnya mengampuni musuh-musuh itu. Dalam keadaan penasaran dan penuh duka dan dendam ini, dia bertemu lalu diambil murid oleh Go-bi San-jin dan digembleng selama tiga ta-hun. Oleh gurunya ini, di dalam batinnya ditanam jiwa kependekaran yang tegas dan keras menentang kejahatan. Gemblengan ini, ditambah oleh rasa dendam atas kematian ibunya, membuat Cia Sun men-jadi seorang pendekar yang tidak mau mengampuni orang-orang jahat dan dia menganggap sebagai tugasnya untuk me-nentang kejahatan dan membasmi para penjahat, membunuh mereka tanpa mengenal ampun lagi!



Seperti juga Ci Kang yang disuruh oleh gurunya, Ciu-sian Lo-kai untuk pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang di luar Tembok Besar untuk mengadakan pertemuan dengan para pendekar, juga Cia Sun diutus oleh Go-bi San-jin untuk pergi ke tempat itu. Munculnya Raja dan Ratu Iblis yang dibantu oleh Cap-sha-kui dan para datuk kaum sesat membuat o-rang-orang sakti dan para pendekar ber-usaha menentangnya dan mereka akan mengadakan pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang.



Setelah memperkenalkan nama masing-masing tanpa menyebut nama keturunan, dua orang muda itu lalu mengawal gadis yang bernama Ji Hwa itu pulang. Mereka keluar dari dusun kecil yang sudah sunyi itu dan menuju ke utara di mana terdapat sebuah bukit yang penuh dengan po-hon-pohon rindang.



"Jauhkah rumahmu dari sini, nona?" tanya Cia Sun yang masih belum percaya benar kepada gadis ini dan selalu tidak meninggalkan kewaspadaannya.



"Tidak jauh, di lereng bukit itu, taihiap. Akan tetapi harap jangan sebut no-na padaku, namaku Hwa dan biasa dise-but Hwa Hwa saja."



Cia Sun mengerutkan alis dan tidak menjawab. Gadis ini baru saja mengalami peristiwa yang menakutkan dan mengejutkan, baru saja terlepas dari maut dan nyaris terbakar hidup-hidup dalam rumah tadi. Akan tetapi sekarang sudah bicara sambil senyum-senyum dan kerling mata gadis ini membuat hatinya terasa tidak enak. Biarpun Cia Sun sampai saat itu belum pernah bergaul rapat dengan wani-ta, namun dia mengenal kerling yang ta-jam memikat, kerling yang membayang-kan kegenitan yang disembunyikan, sikap yang agaknya tidak wajar dan berpura-pura.



Rumah itu besar dan kuno sekali, terletak di lereng bukit. Rumah yang besar dan kuno, terpencil sendiri dan dari jauh tidak nampak karena tersembunyi di ba-lik pohon-pohon dan semak-semak belu-kar. Karena kuno, besar dan sudah rusak tak terpelihara, bangunan itu nampak menyeramkan, pantasnya hanya dihuni o-leh setan-setan dan iblis-iblis saja.



"Di sinikah engkau dan orang tuamu tinggal?" Ci Kang bertanya ketika mere-ka tiba di depan rumah. "Bekerja apakah orang tuamu?" Kiranya diapun, seperti Cia Sun, mulai merasa heran dan curiga melihat betapa gadis itu bersama orang tuanya tinggal di tempat yang serem se-perti ini.



Gadis yang minta disebut Hwa Hwa itu tersenyum memandang Ci Kang. "Ka-lau melihat pakaian taihiap, agaknya pe-kerjaan ayah tidak asing bagi taihiap. Dia seorang pemburu dan karena itu ka-mi memilih tempat di bukit dekat hutan-hutan ini." Dengan sikap ramah dan lincah gadis itu mempersilakan dua orang pemuda itu untuk memasuki gedung ku-no. "Marilah, harap ji-wi taihiap sudi masuk dan menemui ayah dan ibu yang berada di dalam. Saya merasa yakin bah-wa ayah akan dapat bercerita banyak tentang penjahat-penjahat yang tadi menga-cau dusun."



Cia Sun dan Ci Kang saling pandang sejenak. Biarpun mereka masih merasa penasaran dan ada rasa tidak suka satu kepada yang lain, akan tetapi kini mere-ka berada dalam sebuah perahu yang sa-ma. Maka, biarpun hanya sedikit, terda-pat suatu kepentingan bersama di antara mereka dan setelah saling pandang, tahulah mereka bahwa masing-masing tidak akan mau kalah dan merasa malu kalau mundur. Mereka lalu mengikuti gadis itu memasuki bangunan dan ternyata memang bangunan itu kuno dan tidak terawat. Banyak bagian yang sudah rusak, akan tetapi sebagian besar masih kokoh kuat karena memang bangunan kuno itu kuat buatannya.



"Mari silakan, ji-wi taihiap. Saya kira ayah dan ibu sedang bersamadhi di dalam kamar samadhi," kata gadis itu sambil mengajak mereka menuju ke sebuah ruangan yang pintunya kecil. Mendengar ini, kembali Cia Sun dan Ci Kang melirik. Kalau mereka sedang bersamadhi, tentu orang tua gadis ini termasuk orang-orang yang pandai ilmu silat, atau kalau tidak tentu orang-orang yang saleh.



Mereka melewati pintu kecil itu dan memasuki sebuah ruangan yang bentuknya aneh. Kamar itu tidak berjendela, dan bentuknya bundar. Lantainya tertutup babut tipis yang sudah lapuk, dan tidak terdapat perabot rumah, akan tetapi cukup bersih keadaannya. Di dekat dinding nampak seorang kakek dan seorang nenek sedang duduk bersila dalam keadaan bersamadhi. Dan melihat keadaan dua orang kakek dan nenek ini, dua orang pemuda itu merasa heran dan terkejut. Kakek itu berpakaian serba polos putih kuning, rambutnya putih semua riap-riapan, jenggot dan kumisnya pendek terpelihara baik-baik, tubuhnya jangkung dan wajahnya aneh menyeramkan. Wajah itu memang bagus bentuknya, membayangkan ketampanan, akan tetapi wajah itu nampak bekitu dingin, agak kehijauan kulitnya dan matanya terpejam. Sukar ditaksir berapa usianya, akan tetapi tentu sudah enam puluh tahun lebih. Adapun nenek itu juga mempunyai keadaan yang sama, baik pakaiannya yang sederhana kedodoran maupun rambutnya yang juga sudah putih semua dan riap-riapan. Rambutnya lebih panjang ketimbang rambut kakek itu, dan bentuk atau raut wajah wanita inipun menunjukkan bekas kecantikan, hanya nampak begitu dingin seperti topeng.



"Silakan duduk, ji-wi taihiap dan maaf, di sini tidak ada bangku atau kursi, terpaksa kita duduk di atas lantai," kata Hwa Hwa dengan ramahnya. Cia Sun dan Ci Kang yang sudah terlanjut masuk, la-lu duduk di atas lantai berbabut itu, bersila dengan sikap hormat karena mereka berdua meragu orang-orang macam apa adanya kakek dan nenek ini. Yang jelas, bukan orang-orang sembarangan saja, demikian mereka berpikir.



Setelah dua orang pemuda itu duduk, Hwa Hwa lalu keluar dari dalam kamar itu, sampai di ambang pintu menoleh dan berkata sambil tersenyum, "Maafkan, sa-ya akan mempersiapkan minuman untuk ji-wi..."



Sebelum dua orang muda itu menolak, pintu yang sempit itu tiba-tiba sudah di-tutup dari luar oleh Hwa Hwa dan baru nampak oleh dua orang muda itu bahwa pintu itu berbuat daripada besi yang ko-koh kuat! Akan tetapi karena di dalam ruangan itu masih terdapat kakek den nenek tadi, Cia Sun dan Ci Kang bersi-kap tenang saja dan kini mereka berdua memandang kepada kakek den nenek itu dengan penuh perhatian.



Tiba-tiba kakek dan nenek itu mem-buka matanya dan terkejutlah dua orang pendekar muda itu melihat betapa dua pasang mata itu amat tajam, mencorong seperti bukan mata manusia biasa! Mata kakek dan nenek itu mencorong dan ke-hijauan! Terkejutlah Cia Sun dan Ci Kang, tahu bahwa mereka itu ternyata bukan orang sembarangan, melainkan orang-o-rang yang memiliki tenaga sin-kang amat kuat, kalau tidak demikian, tak mungkin mereka memiliki sinar mata seperti itu. Akan tetapi keduanya tetap tenang saja dan menanti apa yang akan terjadi selan-jutnya, tentu saja dengan penuh kewaspadaan karena kini mereka mulai dapat menduga bahwa sikap gadis yang bernama Hwa Hwa tadi hanya pura-pura saja.



Tiba-tiba terdengar suara kakek itu yang bicara seolah-olah tanpa menggerakkan bibir. "Berlutut...!"



Dua orang pemuda itu terkejut dan heran, akan tetapi biarpun mereka men-duga bahwa kakek itu menyuruh mereka berlutut, tentu saja mereka tidak sudi melaksanakan perintah itu. Mereka hanya memandang tajam, menentang dua pasang mata hijau yang mencorong itu. Kini, nenek itulah yang bicara, suaranya lirih akan tetapi mendesis dan menusuk jantung.



"Kalau murid kami sudah membawa kalian ke sini, tentu kalian bukan orang-orang biasa dan ada harganya untuk menjadi pembantu-pembantu kami. Nah, orang-orang muda, berilah hormat kepada Ong-ya!"



Dua orang muda itu kini terkejut bukan main. Mereka berdua sudah mendengar dari guru masing-masing tentang Raja dan Ratu Iblis yang menganggap dirinya raja dan ratu, dan betapa semua tokoh sesat yang takluk kepada mereka menyebut Raja Iblis itu Ong-ya karena memang dia dahulunya seorang pangeran bernama Toan Jit-ong. Kini Cia Sun dan Ci Kang memandang penuh perhatian dan merekapun baru sadar bahwa mereka sebenarnya berhadapan dengan Raja dan Ratu Iblis yang amat ditakuti itu, yang kini kabarnya sedang menggerakkan para datuk kaum sesat termasuk Cap-sha-kui untuk menguasai dunia! Bahkan karena adanya gerakan mereka inilah maka para pendekar dan orang sakti hendak mengadakan pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk merencanakan langkah-langkah untuk menentang gerakan berbahaya itu. Dan kini, tanpa mereka sangka-sangka, mereka telah dipancing oleh seorang gadis cantik yang ternyata murid iblis-iblis ini, dan telah berhadapan dengan mereka, berada di sebuah ruangan tertutup!



"Apakah ji-wi yang berjuluk Raja dan Ratu Iblis?" Dengan hati tabah, sedikitpun tidak gentar suaranya Ci Kang bertanya.



Nenek itu mengeluarkan suara seperti orang tertawa, walaupun mulutnya tidak tertawa.



"Kalau kalian sudah tahu, cepat memberi hormat!" katanya.



Akan tetapi, seperti dikomando saja, Cia Sun dan Ci Kang sudah meloncat berdiri. Mereka berdua sudah banyak mendengar tentang suami isteri iblis ini, dan mereka tahu bahwa sudah menjadi kewajiban mereka untuk menentang dua orang ini. Mereka sama sekali tidak merasa takut, walaupun mereka sudah mendengar betapa lihainya kakek dan nenek ini.



"Inilah penghormatanku!" kata Cia Sun yang sudah menyerang kakek yang duduk bersila itu.



"Dan ini bagianku!" bentak Ci Kang, secepat kilat diapun menyerang ke arah si nenek.



Serangan dua orang muda itu hebat sekali, mendatangkan angin pukulan dahsyat karena mereka berdua yang maklum akan kelihaian kakek dan nenek itu sudah mengerahkan sin-kang dan menyerang sekuat tenaga. Kakek dan nenek itu mendengus dan mengulur tangan menyambut. Mereka hanya mendorong tangan mereka ke depan dan segumpal uap menyambar dan menyambut serangan Cia Sun dan Ci Kang.



"Bresss...!" Tubuh dua orang muda itu terdorong ke belakang dan tanpa dapat mereka cegah lagi, keduanya terbanting pada dinding di belakang lalu terguling ke atas lantai!



Pada saat itu, lantai tertutup babut itu terbuka dan tentu saja dua orang pemuda yang baru saja terguling, cepat meloncat ke depan. Hanya bagian di mana kakek dan nenek itu duduk saja yang tidak terjeblos dan jalan satu-satunya hanyalah mencoba untuk menyerang lagi kakek dan nenek yang masih duduk bersila di atas lantai, bagian yang tidak terbuka.



"Desss...!" Kini empat pasang tangan itu bertemu langsung secara dahsyat sekali dan akibatnya, kakek dan nenek itu mengeluarkan seruan kaget bukan main. Benturan tangan mereka dengan tangan pemuda-pemuda itu membuat tubuh mereka tergetar dan terguncang hebat! Akan tetapi karena mereka duduk di atas lantai, sedangkan tubuh Cia Sun dan Ci Kang melayang, tentu saja kedua orang pemuda itu yang tidak mempunyai landasan, terdorong mundur dan tak dapat dihindarkan lagi tubuh mereka terjatuh ke dalam lubang di bawah mereka.



Mereka mempergunakan gin-kang dan tidak sampai terbanting, juga mereka tiba di dasar lubang itu dengan kaki lebih dulu, dalam keadaan berdiri. Akan tetapi tiba-tiba tempat di mana mereka terjatuh itu menjadi gelap gulita karena lantai dari kamar di atas tadi telah tertutup kembali!



Tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis dan tercium bau harum yang menyengat hidung. "Asap beracun...!" Cia Sun berseru dan keduanya segera menahan napas dan meraba-raba mencari jalan keluar. Akan tetapi kamar di mana mereka tersekap itu ternyata terbuat dari besi dan tidak ada pintunya! Mereka lalu meloncat ke atas dan menghantam ke arah lantai kamar atas yang kini menjadi langit-langit bagi mereka itu.



"Bress! Bress!" Akan tetapi lantai itu terlalu kuat dan tubuh mereka terlempar lagi ke bawah. Mereka seperti dua ekor tikus memasuki perangkap dan kini kamar itu mulai penuh dengan asap wangi beracun. Mereka menahan napas sekuat mungkin, akan tetapi tentu saja kekuatan ini ada batasnya. Betapapun saktinya kedua orang muda itu, jantung mereka harus berdenyut terus dan untuk ini, jantung membutuhkan hawa murni melalui pernapasan.



Akhirnya Cia Sun den Ci Kang tidak kuat bertahan lagi dan merekapun terpaksa menyedot asap itu dan tubuh mereka terguling dan mereka pingsan oleh asap pembius. Sebelum mereka kehilangen kesadaran, mereka mendengar suara ketawa merdu, suara dari Hwa Hwa yang sebetulnya adalah Gui Siang Hwa, murid terkasih dari Raja Iblis atau Pangeran Toan Jit-ong.



Ketika Cia Sun dan Ci Kang siuman kembali, mereka telah saling berpisah, Cia Sun yang siuman mendapatkan dirinya telah berada di atas pembaringan sebuah kamar dalam keadaan terbelenggu dan tertotok jalan darahnya! Dia berusaha membebaskan jalan darahnya ketika terpaksa usaha ini dihentikannya karena ada langkah kaki orang memasuki kamar. Kiranya yang masuk adalah gadis cantik yang telah menjebaknya itu! Tentu saja Cia Sun menjadi marah sekali dan memandang dengan mata melotot.



"Hemm, perempuan hina! Kiranya engkau adalah seorang penjahat betina yang sengaja menjebak kami! Engkau tentu kaki tangan perampok yang mengacau di dusun itu!" bentak Cia Sun.



Siang Hwa tersenyum manis dan menghampiri, lalu duduk di tepi pembaringan dan membelai pundak yang nampak karena baju di bagian pundak Cia Sun robek ketika dia meloncat dan mendobrak lantai atas. Cia Sun merasa betapa bulu-bulu tubuhnya meremang ketika jari-jari tangan yang berkulit halus itu menelusuri pundaknya dengan belaian sayang. Dia menggerakkan pundaknya untuk menolak, akan tetapi karena dia berada dalam keadaan tertotok, pundaknya hanya bergerak sedikit saja, membuat Siang Hwa tertawa geli.



"Hi-hik, pemuda yang gagah dan tampan. Sun-koko, dugaanmu itu terbalik. Bukan aku kaki tangan mereka, akan tetapi mereka adalah kaki tanganku, para pembantuku. Sun-koko, tahukah engkau kenapa suhu dan subo tidak langsung saja membunuhmu? Akulah yang minta ampun. Nyaris aku dibunuh karena mintakan ampun untukmu, koko. Akan tetapi, aku menangis dan meratap minta agar engkau tidak dibunuh..."



"Hemm, apa maksudmu?" Cia Sun bertanya, merasa heran mendengar bahwa murid kedua iblis itu mintakan ampun untuknya.



Tiba-tiba Siang Hwa merangkul leher pemuda yang masih rebah terlentang karena belum dapat bangun itu. Tentu saja Cia Sun terkejut bukan main akan tetapi dia tidak mampu meronta atau mengelak, apalagi memukul. Kedua tangannya ditelikung ke belakang, juga kedua kakinya terikat dan selain itu, kaki tangannya lumpuh oleh totokan.



"Sun-koko, tidak dapatkah engkau menebak? Aku cinta padamu...! Aku cinta padamu, karena itu mati-matian aku mempertahankan nyawamu. Kalau engkau mau membalas cintaku, kita akan hidup bahagia dan menjadi pembantu-pembantu suhu yang amat dipercaya. Ah, koko, marilah kita hidup bahagia bersamaku..."



Siang Hwa mendekatkan mukanya dan siap untuk mencium dengan sikap yang amat memikat. Bau harum semerbak keluar dari rambut dan leher gadis itu, akan tetapi hal ini sama sekali bukan membuat Cia Sun terpikat atau terangsang, sebaliknya mengingatkan dia akan bau harum asap beracun yang membuat dia dan Ci Kang terbius.



"Ci Kang... di mana dia?"



Gadis itu tersenyum manis dan karena mukanya sangat dekat, Cia Sun dapat melihat rongga mulut yang merah, lidah yang meruncing merah dan deretan gigi yang putih bersih. Mulut yang penuh daya pikat, akan tetapi yang mendatangkan rasa jijik dan marah kepadanya karena maklum bahwa di balik kecantikan ini tersembunyi kejahatan yang mengerikan.



"Sun-koko, temanmu itu sudah dibunuh, dan kalau tidak ada aku, engkau tentu dibunuh pula. Karena itu, marilah kita mengecap kebahiagiaan, mari kita menikmati hidup berdua..." Gadis itu kini menunduk dan mencium bibir Cia Sun. Akan tetapi ia terkejut dan mengeluh. "Aihhh...!" Ia merasa betapa bibir itu kaku dan dingin, betapa pemuda itu sama sekali tidak membalas perasaan cintanya, bahkan pemuda itu kini memandang marah.



"Iblis betina, perempuan tak tahu malu, jahanam busuk! Jangan harap aku akan dapat terbujuk olehmu. Bujuk rayumu tiada gunanya dan kalau mau membunuh aku, bunuhlah! Lebih baik seribu kali mati daripada harus tunduk kepada ular betina seperti kamu ini!"



Siang Hwa melepaskan rangkulannya dan memandang dengan alis berkerut. Pandang matanya membayangkan kekecewaan besar. "Sun-koko, pikirlah baik-baik... engkau masih muda, gagah perkasa, haruskah mati konyol begitu saja? Sun-koko, aku cinta padamu dan aku dapat membahagiakanmu..."



"Sudahlah! Sampai mati aku tidak mungkin dapat berbaik dengan iblis-iblis berwajah manusia macam engkau dan Raja Iblis! Kalau aku tidak dijatuhkan dengan kelicikan dan kecurangan, kalau aku bebas, pertama-tama yang akan kulakukan adalah mencekikmu sampai mampus baru kucari kakek dan nenek iblis untuk kubunuh! Jadi tidak perlu engkau membujuk rayu seperti itu. Bunuh saja kalau mau bunuh!"



Tiba-tiba terdengar suara lirih, terde-ngar dari jauh akan tetapi jelas sekali. "Nah, apa kubilang, Siang Hwa. Becah dari Lembah Naga itu mana mau diajak bekerja sama? Bunuh saja, akan teteipi siksa dulu!"



Itulah suara Ratu Iblis yang agaknya diam-diam mengikuti usaha muridaya un-tuk membujuk Cia Sun agar suka menjadi pembantu mereka dengan menggunakan kecantikan gadis itu.



"Baik, subo," kata Siang Hwa dengan suara gemas dan kini pandang matanya kepada Cia Sun berobah kelam, "Akan kusiksa mereka, kubikin mereka mati teng-gelam, mati perlahan-lahan!"



Setelah berkata demikian, kedua ta-ngan gadis yang tadi membelai-belai Cia Sun dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, kini mencengkeram pundak pemu-da itu dan menariknya turun dari pemba-ringan, lalu menyeretnya keluar kamar itu. Cia Sun yang tidak berdaya itu melihat bahwa dia diseret keluar dari dalam bangunan induk menuju ke bangunan be-lakang yang berada di tempat yang agak tinggi, akan tetapi setelah gadis itu me-nyeretnya naik dan memasuki bangunan itu, ternyata di dalam bangunan terdapat sebuah anak tangga yang menurun. Ke-mudian, sesampainya di sebuah ruangan sempit, Siang Hwa melepaskan cengke-ramannya dan dengan pengerahan tenaga, ia memutar sebuah roda besi di sudut. Terdengar suara berkerotokan dan dua buah batu besar persegi empat yang ber-ada di atas lantai bergerak terbuka ke kanan kiri, memperlihatkan sebuah lu-bang.



"Nah, mampuslah kau di situ!" kata Siang Hwa sambil menendang tubuh Cia Sun yang tak mampu melawan dan tubuh pemuda itu terlempar masuk ke dalam sebuah kolam atau sumur yang sempit. Dia hanya mengangkat kepala agar tidak sampai terbanting menimpa dasar sumur. Untung bahwa yang menimpa dasar itu adalah pinggulnya lebih dulu.



"Bukk!" Agak nyeri rasanya akan tetapi dia tidak terluka. Kiranya sumur itu tidak sangat dalam, kurang lebih dua meter saja dan kejatuhannya itu disusul dengan menutupnya kembali dua buah batu persegi yang mengeluarkan suara gaduh.



"Ah, kau juga?" Tiba-tiba terdengar suara teguran. Cia Sun terkejut dan menengok. Matanya sudah agak terbiasa dengan keremangan tempat itu dan dia melihat behwa Ci Kang sudah berada di tempat itu pula, duduk di sudut bersandarkan dinding batu! Cia Sun tidak memperdulikan orang ini. Bagaimanapun juga, dia masih merasa mendongkol dan penasaran. Harus diakuinya bahwa rasa bersaing dengan pemuda inilah yang memaksa dia mengikuti Siang Hwa. Andaikata tidak ada perasaan itu, mungkin dia akan menolak ajakan Siang Hwa. Dia bangkit berdiri dan dengan kedua tangannya yang masih ditelikung ke belakang, dia meraba-raba dinding melakukan penyelidikan, dengan kedua kaki yang juga terbelenggu itu mcloncat-loncat.



"Sobat, tiada gunanya kau mencari jalan keluar. Sudah sejak tadi aku menyelidiki dan semua dinding ini terbuat dari besi kuat, dan lantai ini batu-batu gunung. Jalan keluar satu-satunya hanyalah batu penutup lubang di atas itu, akan tetapi sudah kucoba pula dan kuatnya bukan main."



Cia Sun menghentikan usahanya dan duduk di sudut, memandang pemuda di depannya itu. Ci Kang agaknya sudah kehilangan bajunya karena hanya tubuh bagian bawah sajalah yang tertutup celana. Tubuhnya yang kokoh kuat dengan otot yang melingkar-lingkar itu nampak besar menyeramkan. Dia sendiri masih untung, pikir Cia Sun, hanya robek saja bajunya, akan tetapi orang itu malah setengah telanjang!



"Kenapa mereka ingin membunuhmu juga?" akhirnya Ci Kang bertanya. Cia Sun mengerutkan alisnya.



"Karena mereka mangenalku."



"Hemm, kenapa engkau tidak tinggal di atas saja, hidup bahagia dengan perempuan cabul itu dan menjadi pembantu Raja dan Ratu Iblis?" Ci Kang mengejek.



"Aha, agaknya engkaupun telah dibujuk rayu oleh perempuan itu!" Cia Sun mengejek. "Agaknya lebih parah, sampai baju atasmu ditanggalkan. Kenapa engkau tidak memilih hidup enak di sana? Dan kenapa mereka juga ingin membunuhmu?"



"Karena merekapun mengenalku, mengenal keadaanku."



"Mengenal ayahmu?" Cia Sun mendesak.



Ci Kang mengangguk dan tiba-tiba wajahnya menjadi muram. "Mereka... telah membunuh ayahku! Dan untuk itu aku harus hidup, aku harus hidup untuk membuktikan kepada mendiang ayah, bahwa aku bukanlah seperti mereka!" Ci Kang berkata dengan suara gemetar penuh perasaan.



Cia Sun menjadi tertarik. "Sobat, kita senasib. Agaknya nasib yang mempertemukan kita dimulai dari kesalahpahaman. Dan ternyata akulah yang salah. Aku tertipu oleh penjahat-penjahat yang menyamar menjadi pengurus-pengurus kedai itu. Sobat, aku she Cia. Namaku Cia Sun dan ayahku tinggal di Lembah Naga, itulah yang menyebabkan mereka hendak membunuhku. Boleh aku mengetahui siapa ayahmu?"



"Aku she Siangkoan, ayahku... ayahku dikenal sebagai Siangkoan Lo-jin..."



"Ahhh...!" Cia Sun terkejut bukan main sampai memandang dengan mata terbelalak. "Maksudmu... maksudmu... yang dijuluki Iblis Buta...?"



Ci Kang mengangguk dan menarik na-pas panjang. "Benar, ayahku dijuluki Iblis Buta dan memang ayahku buta..."



"Tapi... tapi... bukankah ayahmu memimpin para penjahat, bahkan para datuk Cap-sha-kui juga menjadi sekutunya? Kenapa engkau dimusuhi Raja dan Ratu Iblis?"



"Ayah mereka bunuh karena menen-tang mereka, baru kuketahui tadi setelah aku menolak perempuan hina itu dan menghinanya."



"Hemm, jadi karena ayahmu dibunuh maka engkau memusuhi mereka? Akan tetapi mengapa di kedai arak itu engkau memusuhi pula para penjahat yang menyamar?" Kini tahulah Cia Sun mengapa pe-muda ini mengenal penjahat yang menyamar sedangkan ia sama sekali tidak mengenal mereka. Kiranya pemuda ini adalah putera seorang datuk penjahat!



"Sejak lama aku berpisah dari ayahku karena aku tidak cocok dengan cara hidupnya. Aku menentang kejahatan dan karenanya aku dibenci golongan sesat, akan tetapi golongan bersih juga menghina dan menentangku karena aku putera Siangkoan Lo-jin..."



"Kalau ada pendekar menentangmu karena engkau putera Siongkoan Lo-jin, maka dia itu sembrono, Ci Kang. Orang ditentang karena perbuatannya yang jahat, bukan karena keturunannya!"



Ci Kang mengangkat mukanya. Dalam cuaca remang-remang itu sepasang matanya mencorong ketika memandang wajah Cia Sun penuh selidik. "Orang she Cia, benarkah omonganmu itu? Aku baru saja dikecewakan oleh para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang. Ketika aku tiba di sana dan dikenal sebagai putera ayah, aku nyaris celaka karena dikeroyok mereka."



"Ah, mereka itu sembrono. Jadi itukah sebabnya mengapa engkau murung dan mengamuk di kedai arak itu ketika engkau melihat bahwa mereka adalah penjahat-penjahat yang menyamar?"



Ci Kang mengangguk dan diam-diam timbul rasa sukanya kepada Cia Sun, walaupun masih ada rasa tidak puas bahwa dia belum mampu mengalahkan pemuda gagah perkasa ini.



Tiba-tiba terdengar suara mengejek, suara ketawa Siang Hwa. "Hi-hi-hik, kalian ini dua orang laki-laki yang tak tahu diri, berlagak alim dan gagah. Rasakan kini pembalasanku. Kalian akan mampus sebagai dua ekor tikus tenggelam, hi-hik!" Dan tiba-tiba terdengar suara air gemercik dan dari atas, dari celah-celah batu yang menutupi lubang itu, turunlah air dengan derasnya!



"Kita harus dapat keluar dari sini!" kata Cia Sun yang segera mencoba untuk mengerahkan tengga agar ikatan kaki tangannya dapat dipatahkan. Akan tetapi totokan pada jalan darah di tubuhnya mesih menguasainya dan dia tidak memiliki tenaga otot terlalu besar untuk dapat melawan kuatnya tali pengikat itu. Ci Kang juga berusaha. Dia sendiripun baru saja dapat membebaskan totokannya karena memang dia lebih dahulu dilempar ke dalam lubang ini setelah dengan mati-matian Siang Hwa mencoba merayunya tanpa hasil! Kini dia mengerahkan tenaga dan putuslah tali yang membelenggu kaki tangannya! Dia lalu bangkit berdiri dan berusaha mendorong batu yang menutupi lubang dengan kedua tangannya. Otot-otot perut, dada, pundak dan kedua lengannya menggembung besar, akan tetapi ternyata batu penutup itu amat kuatnya sehingga semua usahanya untuk membukanya dari bawah sia-sia belaka! Apalagi batu penutup itu terlalu tinggi sehingga dia tidak dapat mengerahkan seluruh tenaga. Andaikata agak rendah, tentu tenaganya akan lebih besar. Sementara itu, dengan cepat air mulai menggenangi lubang itu, dan Cia Sun melihat betapa air telah mencapal setinggi paha dan terus naik dengan cepatnya.



"Ci Kang, cepat kaulepaskan tali pengikat tanganku agar aku dapat membantumu!" kata Cia Sun sambil menoleh kepada Ci Kang yang masih berusaha sekuat tenaga untuk membuka batu penutup lubang.



Akan tetapi Ci Kang tidak menjawab, menengokpun tidak, seolah-olah tidak perduli kepada Cia Sun dan masih terus berusaha menggunakan tenaganya untuk mendorong membuka batu penutup lubang jebakan itu ke atas. Namun, agaknya batu itu terlalu berat baginya dan air terus naik dengan cepatnya. Dua pendekar muda itu terancam maut dan keadaan mereka amat gawat!



***



Seperti telah kita ketahui, sudah beberapa pekan lamanya Raja dan Ratu Iblis berada di daerah utara. Daerah ini sama sekali bukan merupakan daerah asing bagi mereka. Sama sekali tidak. Bahkan ketika Raja Iblis masih menjadi Pangeran Toan Jit-ong, dalam pelariannya dari kota raja, dia bersembunyi di utara. Gedung itu adalah sebuah istana kuno yang dahulu dipergunakan kaisar untuk melepaskan lelah dan bermalam jika mengadakan perjalanan ke utara, yang amat jarang terjadi. Dan kaisar yang masih ingat akan pertalian kekeluargaan dengan Pangeran Toan Jit-ong, diam-diam mengutus orang untuk menyerahkan istana kuno itu kepada Pangeran Toan Jit-ong. Make pangeran pelarian itupun tinggal di dalam istana tua itu. Istana itu selain kokoh kuat juga mempunyai beberapa tempat untuk tahanan, karena para pengawal kaisar selalu siap dengan mereka yang menentang kaisar, mata-mata musuh ataupun pengacau-pengacau. Tempat-tempat ini oleh Pangeran Toan Jit-ong diperbaiki dan disempurnakan menjadi tempat-tempat jebakan yang berbahaya.



Ketika dia meninggalkan kota raja sebagai buronan, Toan Jit-ong sudah berusia tiga puluh tahun lebih, memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi. Dan ketika dia merantau ke utara dan tinggal di dalam istana kuno itu, dia memperdalam ilmu-ilmunya dengan menghubungi pertapa-pertapa dan orang-orang pandai. Pintar sekali pangeran ini mengambil hati orang-orang pandai sehingga dia berhasil mengumpulkan ilmu-ilmu kesaktian yang aneh-aneh. Di dalam perantauan inilah dia bertemu dengan seorang gadis puteri seorang pertapa di Pegunungan Go-bi-san, gadis Thio yang kini menjadi Ratu Iblis. Gadis itu selain cantik juga memiliki kepandaian tinggi dan setelah mereka menjadi suami isteri, mereka lalu mengadakan perjalanan ke seluruh negeri. Dengan kepandaian mereka yang tinggi, mereka mencoba dan menandingi semua datuk sesat dan tak seorangpun di antara para datuk itu ada yang mampu mengalahkannya!



Nama Raja dan Ratu Iblis, demikian mereka dijuluki oleh para datuk sesat, menjadi amat terkenal dan ditakuti di kalangan kaum sesat. Akan tetapi, pangeran ini tinggi hati dan tidak mau merendahkan dirinya untuk bergaul dengan kaum sesat walaupun dia membenci pemerintah dan kaum pendekar pula. Dia dan isterinya hidup terasing, hanya bertapa dan memperdalam ilmu kepandaian mereka di dalam perantauan mereka sampai jauh ke barat.



Dalam usia setengah tua, Raja dan Ratu Iblis baru kembali ke istana di utara itu dan tinggal di situ. Mungkin karena kini merasakan ketenteraman hati setelah tidak merantau lagi, Ratu Iblis yang setengah tua itu mengandung! Hal ini menggirangkan hati Raja Iblis yang kini hidup seperti raja kecil di tempat sunyi, dilayani belasan orang taklukan yang juga rata-rata berkepandaian tinggi. Akan tetapi dasar watak Pangeran Toan Jit-ong aneh dan jahat seperti iblis, bahkan mendekati kegilaan, dia mengatakan kepada isterinya bahwa dia ingin anak laki-laki.



"Awas kalau engkau melahirkan anak perempuan," katanya mengancam, "akan kubunuh anak itu, atau kalau tidak, akan kuambil ia sebagai selirku!"



Biarpun ia sendiri sudah biasa melakukan hal-hal yang menyeramkan dan juga memiliki dasar watak yang liar dan jahat, akan tetapi hati wanita itu khawatir sekali mendengar ucapan suaminya. Dan ia tahu betul bahwa suaminya itu bukan hanya mengancam kosong belaka, akan tetapi tentu akan melaksanakan apa yang diancamkannya. Kalau ia gagal melahirkan seorang putera, kalau yang terlahir itu seorang anak perempuan, tentu akan dibunuh suaminya atau lebih menyakitkan hati lagi, kelak akan menjadi selir suaminya!



Akan tetapi Ratu Iblis bukan seorang bodoh. Sebaliknya, ia cerdik sekali dan dalam keadaan terancam itu, jauh hari sebelumnya ia sudah mengatur siasat dan merencanakan penyelamatan bayinya andaikata bayinya itu lahir perempuan. Ia telah memperoleh seorang pembantu yang akan melaksanakan segala rencananya itu andaikata bayinya terlahir perempuan.



Saat yang dinanti-nantikan itupun tibalah. Dan untung bagi Ratu Iblis, kelahiran itu terjadi tengah malam sehingga amat memudahkan pelaksanaan siasatnya. Siasat yang amat keji karena pembantunya itu telah menyingkirkan bayinya yang ternyata terlahir perempuan dan menaruhkan seorang bayi lain, juga bayi perempuan yang diperolehnya dari dalam dusun yang berdekatan. Menculik bayi itu dan menukarnya dengan bayi yang baru dilahirkan oleh Ratu Iblis! Dan ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Raja Iblis datang menjenguk, dia hanya mendapatkan seorang bayi perempuan yang sudah mati!



"Ia lahir perempuan dan... mati?" ta-nyanya.



"Ya, aku membunuhnya. Lebih baik mati di tanganku daripada di tanganmu," jawab Ratu Iblis sederhana.



Beberapa hari kemudian, setelah Ratu Iblis pulih kembali kesehatannya, secara aneh pembantu itupun tewas pada suatu malam. Tentu saja yang membunuhnya a-dalah Ratu Iblis yang merasa khawatir kalau-kalau rahasianya terbongkar. Sete-lah ia menyelidiki di mana adanya anak yang ditukarkan itu, ia lalu membunuh si pembantu sehingga rahasia itu hanya di-ketahui oleh dirinya sendiri saja.



Demikian besarlah "aku"nya Ratu I-blis yang selalu mementingkan diri sen-diri saja. Demi menyelamatkan nyawa bayinya, ia tidak segan-segan untuk mem-bunuh lain bayi secara kejam sekali! A-kan tetapi, penyakit seperti yang men-cengkeram batin Ratu Iblis inipun agak-nya diderita oleh kita semua pada umumnya. Keakuan yang amat kuat menceng-keram batin kita masing-masing sehingga demi kepentingan sang aku, kita tidak segan-segan melakukan apa saja, kalau perlu merugikan orang lain. Kalau orang dengan mati-matian, dengan memperta-ruhkan nyawa, membela negara, agama, keluarga atau harta dan apapun juga, maka yang dibela dan dipentingkan itu se-sungguhnya adalah aku-nya. Negara-Ku yang kubela, agama-Ku yang kubela, keluarga-Ku, harta-Ku dan selanjutnya. Bu-kan negara yang penting, bukan agama-nya dan sebagainya, melainkan AKU-nya. Negara orang lain? Masa bodoh kalau mau dijajah orang lain! Masa bodoh ka-lau mau dihina, asal jangan agama-Ku. Demikian selanjutnya, yang menunjukkan bahwa semua itu hanyalah merupakan perluasan daripada si aku belaka. Si aku yang penting. Milikku!



Demikian pula dengan Ratu Iblis itu. Ia melindungi bayi, bukan bayi pada umumnya, melainkan bayi-NYA, dengan cara membunuh bayi lain! Demikian pula ter-jadi di seluruh dunia. Untuk membela a-gama-NYA, orang rela menyerang agama lain. Untuk membela bangsa-NYA, orang rela membunuhi bangsa lain. Untuk membela keluarga-NYA, orang rela menghan-curkan keluarga lain.



Akan tetapi, setelah isterinya mela-hirkan seorang anak perempuan yang di-bunuhnya sendiri, Raja Iblis menjadi se-makin menggila. Dia ingin sekali mem-peroleh keturunan terutama seorang pu-tera.



"Kalau kelak aku menjadi kaisar, lalu siapa yang akan menggantikan aku? Aku tidak rela kalau digantikan oleh orang lain!" Mulailah dia mengambil selir-selir, bahkan Siang Hwa yang menjadi murid-nya juga tidak terlepas dari gangguannya, dengan harapan agar dia dapat memper-oleh keturunan, terutama keturunan laki-laki dari para selirnya itu. Akan tetapi, Ratu Iblis yang merasa betapa kedudukannya sebagai "permaisuri" akan terancam kalau ada selir yang melahirkan seorang anak laki-laki, diam-diam mengancam mereka agar mereka itu suka makan ramu-an obat yang dibuatnya khusus untuk mencegah kehamilan, dengan ancaman akan membunuh mereka kalau tidak me-nurut. Juga Siang Hwa diancam dan di-paksa minum obat itu. Sebagai balas ja-sa, juga sebagai penyimpan rahasia ini, Siang Hwa selalu dilindungi oleh Ratu I-blis, bahkan dilindungi dan diperbolehkan pula murid itu berbuat cabul dengan pria mana saja yang disukainya.



Seperti telah kita ketahui, Siang Hwa gagal membujuk Lui Siong Tek, koman-dan kota Ceng-tek sehingga ia membunuh komandan itu dan melarikan dokumen penting mengenai keadaan benteng Ceng-tek. Ia melarikan diri menemui gurunya dan sementara itu pasukan Ji-ciangkun yang dibantu oleh para tokoh sesat telah berhasil menguasai benteng San-hai-koan. Siang Hwa melaporkan peristiwa di Ceng-tek dan Raja Iblis girang mendengar bahwa komandan kota Ceng-tek yang setia terhadap pemerintah itu telah tewas. Siang Hwa lalu diberi tugas untuk mela-kukan penyelidikan tentang berita bahwa para pendekar hendak mengadakan perte-muan di bekas benteng Jeng-hwa-pang. Gadis yang cerdik ini lalu memasang ba-nyak pembantunya untuk menjadi mata-mata, di antara mereka adalah enam o-rang yang membuka kedai arak itu. Dan ketika muncul Cia Sun dan Ci Kang yang lihai, hati Siang Hwa menjadi tertarik sekali. Dengan cepat gadis ini dapat menyelidiki siapa adanya dua orang muda yang tampan dan gagah perkasa itu. Terkejut-lah ia mendengar bahwa mereka itu ada-lah putera penghuni Lembah Naga dan putera mendiang Iblis Buta. Timbul niatnya untuk menaklukkan dua orang pemuda itu agar suka menjadi pembantu-pembantu gurunya, dan terutama sekali tentu saja, menarik dua orang pemuda itu menjadi kekasihnya! Diaturlah siasat yang amat kejam, mengorbankan penghuni dusun yang dirampok dan dibunuh, hanya untuk membuat dua orang itu mudah percaya kepa-danya. Dan akhirnya iapun berhasil menjebak Cia Sun dan Ci Kang sehingga dua orang muda itu terperangkap dan karena mereka berdua menolak bujuk rayu Siang Hwa, kini gadis itu mencari kesenangan dengan jalan menghukum dan menyiksa mereka berdua sampai mati. Ia merasa yakin bahwa kedua orang pemuda itu su-dah pasti akan menemui kematian seperti dua ekor tikus yang tenggelam karena ia tahu bahwa tidak mudah membuka batu-batu penutup lubang yang digerakkan dengan alat rahasia, tidak mungkin pula membobol dinding yang terbuat dari besi yang melapisi batu gunung!



Dan, direbutnya San-hai-koan juga mengharuskan Raja dan Ratu Iblis, bersama murid mereka itu untuk cepat-cepat memasuki San-hai-koan dan menyusun kekuatan di benteng pertama yang berhasil direbut itu. Oleh karena itu, yakin bahwa dua orang muda itu tentu akan tewas tenggelam dalam lubang yang dialiri air, kakek dan nenek itu bersama Siang Hwa lalu bergegas pergi meninggalkan istana kuno itu yang hanya disuruh jaga beberapa orang anak buah. Mereka pergi menuju ke San-hai-koan.



***



Ada kekuasaan rahasia yang mujijat, yang mengatur segala sesuatu di alam mayapada ini. Kekuasaan mutlak yang tak dapat dilawan oleh siapa atau oleh apapun juga. Kekuasaan tertinggi yang meliputi seluruh jagat raya. Kekuasaan ini tidak dapat dipercaya atau tidak dipercaya lagi, karena terjadi dan dapat kita dengar, cium, lihat, dan rasakan sendiri, menjadi kenyataan yang terjadi di sekeliling kita, bahkan di dalam diri kita. Kekuasaan yang mengatur arah angin, mengatur alam semesta, perederan bintang-bintang, kekuasaan yang memberi kehidupan di angkasa, di atas bumi, di dalam air, dari makhluk-makhluk hidup bergerak yang paling kecil tak dapat dilihat mata sampai kepada makhluk yang paling besar. Kekuasaan yang menciptakan ketertiban dalam kehidupan di bagian tanah paling dalam, di dasar laut yang paling dalam, ataupun di angkasa yang paling tinggi. Kekuasaan yang membuat jantung kita berdenyut di luar kemampuan kita untuk mengaturnya, kekuasaan yang membuat kuku dan setiap helai rambut bartumbuh di luar kekuasaan kita untuk mengaturnya, kekuasaan yang menciptakan kelahiran dan kematian!



Satu di antara hal-hal yang tidak dapat dikuasai oleh kita adalah kematian. Kalau memang sudah tiba saatnya, ke manapun juga kita bersembunyi, maut tentu akan datang menjemput. Sebaliknya, kalau memang belum semestinya kita mati, seribu ancaman mautpun akan luput. Siapapun adanya Dia yang mengatur semua itu, disebut dengan apapun juga menurut istilah dan kebiasaan dari bangsa, bahasa, dan agama masing-masing, namun kita manusia tidak mungkin dapat menyangkal akan adanya kenyataan itu, bahwa kekuasaan rahasia yang mujihat itu memang ada terjadi di sekitar kita, di alam dan bahkan di dalam diri kita sendiri. Pikiran kita terlalu dangkal untuk dapat menyelidiki tentang ada atau tidaknya Pengatur itu yang terlalu agung dan tinggi bagi kita, namun, pikiran dan tubuh kita dengan jelas dapat melihat adanya kenyataan akan kekuasaan yang mujijat itu. Di sini tidak ada masalah percaya atau tidak percaya, karena kita dapat melihatnya, merasakannya, segalanya terjadi pada diri kita sendiri masing-masing.



Agaknya memang belum tiba saatnya bagi Cia Sun dan Ci Kang untuk mati sebagai dua ekor tikus yang tenggelam. Dua kali sudah Cia Sun yang masih terbelenggu itu minta kepada Ci Kang untuk melepaskan belenggunya.



"Bantulah aku melepaskan diri, Ci Kang, agar aku depat membantumu membongkar penutup lubang itu!" untuk ketiga kalinya Cia Sun berseru setelah air sudah mencapai dada.



"Hemm, melepaskan diri dari belenggu sendiri saja tidak mampu, apa artinya bantuanmu mendorong batu ini?" Ci Kang berkata dengan pandang mata merendahkan dan hatinya menjadi semakin penasaran. Dia belum dapat mengalahkan pemuda yang begini lemah, yang tidak mampu membikin putus belenggu macam itu saja!



Cia Sun menjadi tidak sabar lagi. Pemuda itu sungguh terlalu memandang rendah dirinya.



"Ci Kang, apakah kau sudah siap mati seperti tikus tenggelam?" bentaknya. "kalau kau tidak mau melepaskan belengguku, tolong kaubebaskan totokanku. Jangan dikira aku tidak mampu membebaskan diri kalau pengaruh totokan sudah punah. Kau lebih banyak mempunyai waktu untuk membebaskan totokanmu daripada aku, maka jangan kau tekebur dan sombong!"



Ci Kang menoleh dan baru dia teringat bahwa adanya Cia Sun tidak mampu melepaskan belenggu itu adalah karena jalan darahnya tertotok. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu menghampiri Cia Sun dan menotok kedua pundak pemuda itu. Cia Sun memperoleh lagi tenaga sin-kangnya setelah jalan darahnya lancar.



"Mari kita cepat menyatukan tenaga!" katanya karena air sudah mencapal leher. Sentar lagi mereka akan mati tenggelam kalau tidak cepat memperoleh jalan keluar.



"Mari!" kata Ci Kang dan mereka berdua kini berdiri dengan kaki kokoh kuat di atas lantai dan dua lengan mereka menyangga batu penutup lubang, lalu mereka mengerahkan sin-kang sekuat tenaga untuk mendorong batu ke atas. Hebat bukan main tenaga kedua orang pemuda itu. Batu itu bukan hanya amat berat, akan tetapi juga diikat rantai baja yang dihubungkan dengan alat rahasia yang menggerakkannya. Akan tetapi kekuatan kedua orang muda itu membuat batu itu mulai bergerak terangkat! Akan tetapi, ketika batu itu terangkat sedikit, air yang masuk dari celah-celah batu semakin banyak sehingga sebentar saja air sudah sampai ke mulut mereka! Mereka mengerahkan seluruh tenaga terakhir.



"Brakkkk...!" Bukan batu di atas itu yang terangkat, melainkan lantai yang menjadi landasan kaki mereka yang tentu tertekan dengan hebatnya ke bawah, kini jebol ke bawah! Dan kedua orang muda itu terjatuh ke dalam lubang baru yang timbul karena jebolnya lantai yang mereka injak, terbawa bersama air yang membanjir ke bawah. Cepat mereka mengerahkan gin-kang dan menyalurkan tenaga ke kulit mereka melindungi diri. Mereka terjatuh dan terbanting ke atas batu lantai yang jebol tadi, dan kalau bukan mereka berdua yang memiliki kekebalan dan ilmu yang tinggi, tentu setidaknya akan menderita patah tulang atau babak belur. Mereka cepat berloncatan dan menjauhi air yang masih terjun ke bawah itu. Dengan tubuh basah kuyup keduanya kini berdiri di dalam ruangan yang amat luas itu, siap menghadapi segala kemungkinan. Mereka saling pandang dan tidaklah mengherankan kalau ada rasa haru di lubuk hati mereka. Terharu karena baru saja mereka terlepas dari cengkeraman maut. Air tadi sudah mencapai mulut dan terlambat satu menit lagi saja mereka akan tewas.



"Siangkoan Ci Kang, kita masih hidup?" seru Cia Sun.



Ci Kang mengangguk. Kalau dia tadi tidak cepat-cepat membebaskan totokan pada tubuh Cia Sun, belum tentu sekarang mereka masih hidup. "Cia Sun, engkau hebat!" Dia memuji karena bagaimanapun juga, tanpa bantuan tenaga Cia Sun, tak mungkin lantai itu dapat jebol.



"Sudahlah, tak perlu saling puji. Mari kita selidiki tempat ini!" kata Cia Sun sambil memeras air dari rambut dan bajunya. Mereka lalu menjauhi tempat yang jebol bagian atasnya itu dan tempat itu merupakan ruangan batu yang luas sekali.



"Ssttt... lihat...!" Tiba-tiba Ci Kang berbisik. Cia Sun cepat membalikkan tubuhnya dan matanya terbelalak. Tak jauh dari situ dia melihat orang yang melihat pakaian dan tata rambutnya adalah seorang tosu, duduk bersila di atas sebuah batu datar tinggi yang mepet pada dinding batu. Dilihat dari tempat mereka, tosu yang nampak dari sisi itu berambut panjang, sudah putih semua, pakaiannya juga serba putih dan dia memegang sebuah kebutan berbulu putih pula.



Tentu saja dua orang muda itu siap siaga karena di tempat seperti ini, mereka dapat menduga bahwa tentu tosu itupun merupakan sekutu dari Raja Iblis dan merupakan lawan yang amat berbahaya. Dengan hati-hati keduanya lalu melangkah menghampiri batu datar itu dan ketika mereka tiba di depan tosu itu, mereka memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan. Kiranya tosu itu telah menjadi tulang-tulang manusia yang masih duduk bersila, masih berpakaian lengkap! Mukanya merupakan tengkorak yang menyeramkan, juga kedua tangan yang terjulur keluar dari lengan baju itu merupakan tulang-tulang rangka yang panjang-panjang dengan kuku panjang pula. Akan tetapi rambut putih panjang itu masih utuh, demikian pula pakaian putih dan kebutan berbulu putih! Menyeramkan sekali keadaan kerangka manusia berpakaian lengkap itu.



"Ah, hanya kerangka..." kata Cia Sun dan suaranya hanya bisikan yang agak gemetar karena dia masih dipengaruhi rasa kaget dan heran, juga serem.



"Ssst, lihat...!" Ci Kang berbisik dan suaranya juga gemetar. Keduanya terbelalak dengan muka berobah agak pucat ketika melihat betapa tiba-tiba saja kebutan berbulu putih itu bergerak-gerak ke atas! Ini tandanya bahwa kerangka itu masih hidup dan dapat menggerakkan kebutan! Bukan itu saja, bahkan tiba-tiba terdengar suara keluar dari dalam tengkorak itu, suara yang melengking tinggi dan terdengar menyeramkan penuh wibawa, bergema di seluruh ruangan luas itu.



"Kalian ini orang-orang lancang dari mana berani mati memasuki dan mengotori tempat ini?"



Cia Sun dan Ci Kang yang terkejut setengah mati itu sejenak saling pandang dengan muka masih pucat. Mereka sungguh hampir tidak dapat percaya kepada telinga sendiri. Jelaslah bahwa kerangka manusia itu bukan topeng, melainkan kerangka yang benar-benar terbungkus pakaian. Akan tetapi kenapa kerangka itu dapat menggerakkan kebutan dan dapat mengeluarkan suara seperti masih hidup?



Karena suara ini jelas adalah suara wanita, mereka lalu menduga bahwa pendeta yang sudah menjadi kerangka ini dahulunya adalah seorang pendeta wanita. Maka Cia Sun segera menjura dengan sikap hormat. "Harap locianpwe sudi me-maafkan karena tanpa sengaja kami ber-dua telah memasuki tempat ini..."



"Tiada maaf! Cepat kalian pergi dari sini, kalau tidak akan kucabut nyawa ka-lian!" kerangka itu memotong dan suara-nya terdengar galak sekali.



"Heeii!" Tiba-tiba Ci Kang berseru sambil menudingkan telunjuknya ke arah kerangka itu. "Lihat, mulutnya tidak ber-gerak dan kebutan itu gagangnya tidak dipegang oleh tangannya!" Setelah berka-ta demikian, dengan cekatan Ci Kang melompat naik melalui lantai tangga yang menuju ke atas batu datar tinggi di ma-na tengkorak berpakaian itu duduk. Kira-nya selagi Cia Sun tadi bicara kepada kerangka itu, diam-diam Ci Kang memper-hatikan dan pandang matanya yang tajam melihat kejanggalan-kejanggalan itu yang membuatnya berteriak dan cepat melon-cat ke atas untuk mendekati kerangka i-tu. Pada saat itu, dari belakang kerangka itu berkelebatan bayangan putih yang melesat dengan cepatnya sehingga sukar ba-gi pandang mata untuk mengikutinya. Akan tetapi Cia Sun dan Ci Kang adalah dua orang muda yang terlatih sejak kecil, dengan pandang mata mereka yang terlatih, mereka dapat melihat bahwa yang berke-lebat dari belakang kerangka itu adalah seorang gadis muda yang gerakannya lin-cah bukan main. Mereka teringat akan Siang Hwa yang telah memperdayakan mereka, maka dengan marah mereka lalu mengejar dengan gerakan yang tidak ka-lah cepatnya.



Gadis yang berpakaian serba putih itu menyelinap ke sudut ruangan yang luas itu, bersembunyi di balik batu yang me-nonjol. Ketika dia melihat betapa dua o-rang pemuda itu melakukan pengejaran dengan gerakan yang cepat, ia lalu me-ngeluarkan teriakan nyaring. "Laki-laki kurang ajar dan tidak sopan, jangan de-kati aku!"



Tentu saja Cia Sun dan Ci Kang ti-dak takut oleh gertakan ini. Mereka menduga bahwa wanita itu Siang Hwa, maka dengan marah mereka mengejar terus hendak menghadapi wanita jahat yang mencelakakan mereka itu. Akan tetapi, begitu mereka tiba di situ, gadis itu meloncat keluar dari balik batu menonjol dan sinar putih yang amat cepat menyambar ke arah leher Cia Sun dan Ci Kang. Dua orang pemuda itu terkejut bukan main. Serangan ini sungguh amat cepat dan tidak terduga sehingga nyaris leher mereka kena totokan ujung kebutan putih yang bertubi-tubi menyerang ke arah leher mereka bergantian. Untung keduanya cepat melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan ketika mereka turun lagi ke atas lantai, mereka berhadapan dengan seorang gadis yang sama sekali bukan Siang Hwa!



Dara itu bertubuh kecil ramping, wajahnya agak pucat seperti wajah orang yang kurang memperoleh sinar matahari, akan tetapi sepasang mata itu amat tajam mencorong seperti mata seekor harimau, agaknya mata yang terlatih dalam gelap. Rambutnya hitam panjang digelung sederhana, wajahnya manis sekali, terutama mulutnya yang kecil dengan bibir yang kelihatan amat merah dengan latar belakang kulit mukanya yang putih agak pucat. Pakaiannya putih bersih namun potongannya sederhana, seperti pakaian pertapa saja, juga bulu kebutan yang dipegangnya putih bersih, seperti kebutan yang berada di pangkuan kerangka berpakaian itu. Melihat wajah yang manis itu, agaknya dara ini paling banyak delapan belas tahun usianya, masih amat muda dan bahkan sikapnya masih kekanak-kanakan ketika ia berdiri menghadapi dua orang pemuda itu dengan mata terbelalak, marah dan juga takut atau ngeri melihat tubuh Ci Kang yang telanjang dada itu, suatu penglihatan yang belum pernah dialaminya sebelumnya. Ia tidak berani memandang dada itu lama-lama dan menundukkan muka, akan tetapi sepasang matanya mengerling penuh kewaspadaan, memperhatikan gerak-gerik dua orang pemuda itu.



Ci Kang dan Cia Sun berdiri memandang, sejenak seperti kehilangan akal karena mereka sungguh tidak mengira bahwa wanita itu bukan Siang Hwa, melainkan seorang gadis muda yang sama sekali tidak mereka kenal. Akan tetapi, karena gadis ini berada di tempat yang mereka anggap sebagai sarang dari Raja Iblis, tentu saja merekapun menaruh curiga kepada gadis ini. Apalagi setelah mereka mengalami malapetaka dan nyaris tewas akibat seorang gadis cantik pula. Dan gadis inipun tadi menyerang mereka dengan amat hebatnya, serangan maut yang kalau tidak cepat mereka elakkan, mungkin dapat membunuh mereka.



Betapapun juga, karena yang mereka hadapi hanya seorang gadis remaja yang kini nampak bingung dan ketakutan seperti seekor harimau yang terkurung, dua orang pemuda itu sendiripun tidak tahu harus berbuat apa. Tentu saja mereka tidak sudi menyeran gadis yang tidak mereka kenal ini.



"Nona, kenapa engkau menakut-nakuti kami kemudian menyerang kami dengan kebutanmu itu?" tanya Cia Sun.



"Karena demikian pesan ibuku..." jawab gadis itu, suaranya mardu akan tetapi agak kaku seperti orang yang jarang sekali bicara.



"Pesan ibumu? Untuk membunuh kami?"



"Ya, kalian atau siapa saja yang berani masuk ke sini, terutama laki-laki. Aku... aku tadi tidak tega untuk menyerang kalian, maka hendak mengusir kalian dengan menakut-nakuti, akan tetapi kalian tidak takut..."



Cia Sun dan Ci Kang saling pandang. Mereka mengerutken alis. Gadis ini masih seperti anak-anak saja. Akan tetapi bagaimanapun juga, ketika mengatakan bahwa ia tidak tega menyerang mereka, menunjukkan bahwa gadis ini tidaklah sejahat Siang Hwa.



"Siapakah ibumu, nona?"



"Ibuku... ya, ibuku, satu-satunya orang yang baik kepadaku, yang kadang-kadang mengunjungi dan yang melatih ilmu silat, mengajarku membaca dan menulis. Sayang, ibu kini hanya jarang saja dapat mengunjungiku..."



"Akan tetapi, kenapa engkau berada di tempat ini? Dan bagaimana dapat keluar dari sini?" Cia Sun mendesak.



"Aku berada di sini sejak kecil, aku sudah lupa lagi berapa lamanya... sejak kecil, dan yang menemani aku hanya ke-rangka itu... dan ibu yang kadang-kadeng datang menjengukku."



"Engkau tidak pernah keluar dari si-ni?" tanya Ci Kang yang juga terheran-heran.



Gadis itu menggeleng kepala. "Tidak diperkenankan ibu. Katanya, kalau aku keluar, aku tentu akan dibunuh orang. Aku hanya dapat mandi cahaya matahari selama beberapa jam saja setiap hari ketika sinar matahari memasuki ruangan belakang melalui sebuah lubang."



"Bagaimana engkau makan? Minum? Dan mandi atau mencuci pakaian?" Cia Sun bertanya, merasa heran dan kasihan.



"Aku masak sendiri, bahan makanan diberi ibu, banyak sekali." Gadis itu lalu berjalan perlahan, diikuti dua orang pe-muda itu. Ia memperlihatkan tumpukan bahan makanan di sebuah ruangan lain dan juga adanya sebuah sumber air. Ada beras, ada daging kering dan bumbu-bumbunya. Cukup untuk makan berbulan-bulan.



"Akan tetapi, kenapa engkau dikurung di sini? Siapa yang akan membunuhmu kalau kau keluar?"



"Entahlah, ibu hanya bilang bahwa a-ku tidak boleh bertemu dengan laki-laki. Kalau ada laki-laki masuk ke sini, aku harus membunuhnya. Akan tetapi aku ti-dak suka membunuh, dan aku sekarang merasa girang sekali dapat bertemu dan bercakap-cakap denganmu..." Gadis itu memandang wajah Cia Sun dengan mata bersinar-sinar. "Aku girang tadi tidak sampai membunuhmu!"



"Hemm, jangan dikira mudah membu-nuh dia atau aku, nona," kata Ci Kang.



"Aku tentu dapat kelau aku mau!" gadis itu berkata. "Kebutanku ini lihai se-kali, bahkan ibu sendiri bilang kebutanku akan sukar dilawan olehnya. Lihat...!" Gadis itu menggerakkan kebutannya.



"Tar-tar...!" Ujung batu di langit-langit ruangan itu terkena sambaran ujung kebutan dan hancur menjadi debu! Diam-diam dua orang pemuda itu kaget dan kagum. Gadis ini tidak main-main dan ilmu mempergunakan kebutan itu lihai dan berbahaya sekali.



"Siapa yang mengajarmu mainkan kebutan selihai itu?" Cia Sun bertanya. Kalau sampai ibu gadis itu sendiri yang katanya mengajarnya silat menyatakan tidak sanggup menandingi kebutan itu, berarti tentu bukan ibu gadis itu yang membimbingnya dalam ilmu menggunakan kebutan itu.



"Guruku dalam ilmu kebutan adalah dia!" Gadis itu menuding ke arah kerangka manusia berpakaian tosu itu. Dua orang pemuda itu terkejut dan kini mereka semua kembali, menghampirl kerangka yang masih duduk bersila. Kini mereka berdua dapat membayangkan betapa lihainya orang ini dahulu ketika masih hidup. Jelas bahwa orang itu mati dalam keadaan bersamadhi. Dan hebatnya, biarpun seluruh kulit dan dagingnya telah habis dimakan waktu dan hanya tinggal kerangkanya saja, akan ketapi kerangka itu tetap dalam keadaan duduk bersila dan tidak runtuh.



"Siapakah locianpwe ini...?" tanya Ci Kang dengan hati kagum.



"Dia adalah kakek guruku, dia adalah guru terakhir dari ibu dan ayahku." Gadis itu menjawab tanpa ragu-ragu dan dengan suara mengandung kebanggaan. Agaknya dara itu merasa bangga sekali kepada kerangka itu yang selain menjadi kakek gurunya, juga menjadi temannya hidup di dalam guha bawah tanah ini.



"Akan tetapi dia... mana bisa mengajarmu? Dia sudah mati lama sekali," kata Cia Sun.



Gadis itu tertawa dan wajahnya yang agak pucat itu nampak manis bukan main. Sepasang matanya memandang wajah Cia Sun dan berseri-seri. Agaknya ia dapat mendengar atau merasakan betapa di dalam suara pemuda itu terkandung perasaan iba dan kagum dan hal ini amat manyenangkan hatinya.



"Tentu saja tidak secara langsung. Dia sudah menjadi kerangka ketika aku dibawa ke sini untuk pertama kalinya. Akan tetapi atas petunjuk ibuku, aku mempelajari catatan-catatan dan gambar-gambar yang terukir di atas batu yang berada di belakangnya. Ilmu itu, kata ibu merupakan ilmu rahasia yang tidak pernah diajarkan kepada siapapun, juga tidak kepada ibu, sehingga kini menjadi milikku sendiri."



Dua orang pemuda itu kint dapat menduga bahwa gadis ini bukan orang jahat, dan agaknya tidak ada hubungannya de-ngan Raja Iblis, Ratu Iblis, maupun Siang Hwa. Akan tetapi Ci Kang masih belum puas.



"Apakah engkau mengenal seorang gadis bernama Siang Hwa?" tanyanya sam-bil memandang wajah dara remaja itu. Yang ditanya mengerutkan alisnya seperti orang mengingat-ingat, lalu menggeleng kepala.



"Tentu engkau mengenal Raja Iblis atau Ratu Iblis!" Ci Kang menyambung tiba-tiba dan pandang matanya penuh selidik mengamati wajah cantik manis itu. Akan tetapi gadis itu kelihatan geli dan menggeleng kepalanya lagi.



"Kaukira aku ini siapakah mengenal segala iblis? Aku hanya mengenal iblis dan setan dalam dongeng-dongeng ibuku atau cerita-cerita dalam buku-buku yang ditinggalkan ibu untukku."



Cia Sun dan Ci Kang saling pandang, kini yakin bahwa gadis ini memang tidak ada sangkut-pautnya dengan keluarga iblis itu.



"Siapakah nama ibumu dan ayahmu, nona?" Cia Sun bertanya, sikapnya halus dan sopan walaupun dia dapat menduga bahwa gadis ini sejak kecil tidak pernah bergaul dengan manusia lain.



Gadis itu memandang Cia Sun dan seperti tadi, wajahnya berseri dan jelas nampak dari pandang matanya bahwa ia suka dan kagum kepada pemuda itu. Lalu ia menggeleng kepala. "Aku tidak tahu, aku tidak pernah jumpa dengan ayah, dan ibuku tidak pernah memberitahukan nama. Tapi aku... aku benci ayah!"



Cia Sun mengerutkan alisnya. Seorang gadis yang begini manis dan yang keadaannya amat aneh, menarik perhatian dan rasa ibanya, tidak layak kalau mengeluarkan kata-kata keji seperti itu, kata-kata yang hanya patut keluar dari mulut seorang anak durhaka.



"Nona, tidak baik membenci ayah sendiri." dia menegur.



Mendengar nada suara teguran ini, dan melihat betapa pandang mata Cia Sun sedemikian marah dan tidak senang, tiba-tiba saja gadis itu menutupi muka dengan kedua tangan dan menangis! Tentu saja Cia Sun dan Ci Kang menjadi heran dan tidak tahu harus berbuat apa. Cia Sun yang merasa bersalah telah menegur o-rang padahal urusan pribadi nona itu sa-ma sekali tidak ada sangkut-pautnya de-ngan dia, segera maju dan berkata de-ngan suara menyesal, "Maafkan aku, no-na. Bukan maksudku untuk menegurmu dan menyinggung hatimu, akan tetapi aku tadi hanya merasa heran begaimana seo-rang gadis seperti engkau ini dapat membenci ayah sendiri. Kenapa engkau membencinya? Kalau sampai engkau memben-cinya, tentu dia seorang ayah yang tidak baik!"



Gadis itu menurunkan kedua tangan-nya dan sejenak Cia Sun terpesona. Se-telah menangis, ada warna merah pada kedua pipi gadis itu dan kini ia nampak cantik manis sekali, amat menarik hati! Gadis itu mengusap air mata dari kedua pipinya dengan ujung lengan baju, kemu-dian memandang Cia Sun.



"Dia... dia mau membunuhku!"



"Apa...?" Cia Sun benar-benar terkejut mendengar ini. "Kenapa?"



"Aku tidak tahu. Aku tidak pernah berjumpa dengan dia, akan tetapi ibu mene-kankan kepadaku bahwa aku tidak boleh bertemu dengan orang lain, terutama de-ngan laki-laki dan lebih-lebih lagi dengan ayahku karena ayahku pasti akan membu-nuhku kalau bertemu denganku. Karena itulah maka aku dikurung di sini."



Hati Cia Sun tertarik sekali. Ayah dan ibu gadis ini sungguh merupakan ma-nusia-manusia aneh. Ibu gadis ini barang-kali gila, ataukah ayahnya yang gila? Ataukah gadis ini sendiri yang miring o-taknya?



"Engkau tidak tahu siapa nama ayah-mu atau ibumu?"



Gadis itu menggeleng kepalanya.



"Dan namamu sendiri? Siapakah namamu?"



"Ibu memanggil aku Hui Cu."



"She-mu...?"



"Apa itu she?"



"Nama keluargamu? Siapakah nama keluarga ayahmu?"



"Aku tidak tahu, tahuku hanya bahwa ibu memanggil aku Hui Cu den kata ibu usiaku sekarang sudah hampir delapan belas tahun."



Sementara itu, Ci Kang kelihatan tidak sabar melihat betapa Cia Sun asyik bicara dengan gadis ini. Dia tahu bahwa Cia Sun hanya tertarik oleh riwayat gadis yang amat aneh itu, akan tetapi baginya, hal itu tidak ada sangkut-pautnya sama sekali.



"Sudahlah, mari kita cepat keluar da-ri sini. Nona, tunjukkanlah jalan keluar dari tempat ini untuk kami," katanya.



Baru teringat Cia Sun bahwa mereka terkurung di dalam guha bawah tanah. Diapun mengangguk kepada gadis berna-ma Hui Cu itu sambil berkata, "Benar, kami perlu cepat keluar dari sini, adik Hui Cu. Tolonglah kami keluar dari sini!"



Hui Cu kelihatan girang sekali dipanggil adik oleh Cia Sun. Ia tersenyum dan nampaklah giginya berderet putih. Agak-nya, ibu gadis ini tidak lupa untuk mem-beri pelajaran cara merawat dan membersihkan diri kepada gadis yang hidupnya terkurung dalam guha bawah tanah ini.



"Kau... siapakah namamu?" tiba-tiba ia bertanya kepada Cia Sun.



"Namaku Cia Sun dan dia bernama Siangkoan Ci Kang. Nah, adik Hui Cu, tunjukkanlah jalan keluar itu."



"Cia Sun... Cia Sun... kakak Sun, kenapa engkau mau keluar? Kenapa tidak tinggal saja di sini menemani aku?"



Keharuan menyelinap dalam hati Cia Sun. Sungguh patut dikasihani anak ini, pikirnya.



"Tidak mungkin, siauw-moi (adik kecil), tidak mungkin aku tinggal di sini. Aku harus keluar dari sini. Banyak urus-an yang harus kuselesaikan. Nah, tunjuk-kanlah jalan keluar bagi kami."



Gadis itu menggigit bibir, agaknya terjadi pertentangan dalam hatinya, akan tetapi ia mengangguk lalu melangkah menuju ke lorong samping, diikuti oleh Cia Sun dan Ci Kang dari belakang. Akhirnya gadis itu berhenti di depan sebuah pintu yang terbuat dari besi dan dicat hitam.



"Hanya dari sinilah jalan kcluar, dan ini merupakan rahasia. Kalau bukan un-tukmu, Sun-ko, aku tidak akan suka membuka rahasia ini. Kalau diketahui ibu, tentu aku akan mendapat kemarahan besar sekali." Berkata demikian, gadis itu me-raba dinding batu dekat pintu dan terde-ngar suara berderit ketika pintu besi itu bergerak masuk ke dalam dinding. Seke-tika Cia Sun dan Ci Kang memicingkan mata dan melindungi mata dengan tangan karena mereka menjadi silau ketika tiba-tiba berbareng dengan terbukanya daun pintu itu, nampak sinar matahari yang amat terang di balik pintu.



Mereka melewati ambang pintu dan berdiri di dalam cahaya matahari. "Di sinilah aku setiap pagi berjemur diri seperti yang diajarkan ibu. Kalau pintu ini terbuka, maka penutup sumur ini di bagian atas terbuka pula. Kalau pintu tertutup, penutup di atas itupun ikut tertutup sehingga tempat ini tidak pernah dapat di-ketahui orang dari atas," kata Hui Cu.



Dua orang pemuda itu memandang ke atas. Tempat itu merupakan dasar sebuah sumur yang dalam, agaknya tidak kurang dari seratus kaki dalamnya!



"Adik Hui Cu," kata Cia Sun meman-cing. "Apakah engkau pernah keluar dari lubang ini?"



Gadis itu mengangguk. "Beberapa ka-li aku keluar, biasanya di waktu malam saja kalau suasana sepi karena aku takut... kalau sampai ketahuan orang yang akan membunuhku. Dan juga pernah beberapa kali keluar siang bersama ibu, akan tetapi tidak lama dan sebelum bertemu orang lain aku sudah harus masuk lagi."



"Dan bagaimana caranya engkau keluar dari sini?"



Hui Cu memandang ke atas, lalu nampak kaget. "Aih, kenapa aku tidak ingat? Aku dapat naik dengan mudah, akan tetapi engkau, Sun-ko, kalian... mana bisa memanjat naik?"



"Kenapa tidak bisa?" Ci Kang berkata dan pemuda ini sudah cepat mengerahkan sin-kang dan menggunakan kedua tangan dan kakinya untuk memanjat naik. De-ngan menggunakan kedua tangan mencengkeram dinding sumur itu, dia dapat terus merayap naik seperti seekor cecak.



Hui Cu memandang dengan mata ter-belalak. "Wah, dia lebih pandai daripada aku!" Lalu ia membalikkan tubuhnya menghadapi Cia Sun. "Sun-ko, jangan kau pergi...!"



"Mana bisa? Tak mungkin aku tinggal terus di sini, adik Hui Cu."



"Sun-ko, jangan tinggalkan aku, Sun-ko. Maukah engkau menemani aku barang beberapa hari saja? Aku amat kesepian, Sun-ko, hampir tak tertahankan lagi... dan begitu bertemu denganmu, aku ingin lebih lama berkenalan denganmu, bercakap-cakap denganmu..."



Cia Sun memandang dengan hati ter-haru. Gadis ini masih separti kanak-ka-nak saja, polos dan bersih, dan menderi-ta. "Adik Hui Cu, tidak mungkin aku tinggal di sini. Engkau saja agar minta kepada ibumu, kalau benar ia mencintamu, supaya engkau dibawa keluar dari tempat ini. Kulihat kepandaianmu hebat, kiranya engkau akan dapat pergi jauh dari orang yang hendak membunubmu dan andaikata bertemu dengan aku, aku tentu akan siap melindungimu dari ancaman o-rang yang hendak membunuhmu."



Tiba-tiba Hui Cu memegang kedua tangan pemuda itu. Dengan kedua mata basah ia memandang wajah Cia Sun. "Benarkah, koko? Benarkah bahwa engkau a-kan suka melindungi aku? Menurut ibu, ayahku itu memiliki kepandaian tinggi, sukar dikalahkan siapapun juga..."



"Tentu, siauw-moi, tentu aku akan melindungimu. Nah, sekarang selamat tinggal. Lihat, kawanku sudah hampir sampai di atas!"



Akan tatapi, tiba-tiba saja terdengar Ci Kang mengeluarkan seruan kaget dan tubuhnya melayang turun ke bawah! Cia Sun terkejut bukan main dan cepat dis menyambut tubuh kawannya itu dengan kedua lengannya. Untung Ci Kang masih sempat mengerahkan gin-kangnya sehingga dibantu oleh Cia Sun, dia dapat tiba di dasar sumur itu dengan selamat.



"Ibu...!" Tiba-tiba Hui Cu berseru nyaring dan tubuhnya melesat ke atas. Cia Sun kagum melihat kehebatan gin-kang gadis itu. Sebentar saja tubuhnya sudah merayap naik dengan cepat sekali. Dari bawah, dia melihat bayangan orang di atas dan maklumlah dia bahwa yang berada di atas itu adalah ibu Hui Cu!



"Ia menyerangku dengan angin pukulan dahsyat!" kata Ci Kang dengan marah.



"Mari kita susul Hui Cu!" Cia Sun berkata. Dengan cerdik dia hendak mempergunakan Hui Cu sebagai pelindung atau perisai. Kalau mereka merayap di bawah Hui Cu, tentu ibu gadis itu tidak dapat menyerang mereka dan ibu itu kiranya tidak akan mau mencelakai anak sendiri. Ci Kang mengerti apa maksud kawannya, maka diapun cepat merayap kembali bersama Cia Sun mengejar Hui Cu yang sudah merayap lebih dulu. Benar saja, nenek yang berada di luar sumur itu menjenguk ke bawah dan mengeluarkan teriakan-teriakan yang tidak jelas, agaknya menyuruh puterinya itu turun kembali. Akan tetapi Hui Cu tidak perduli dan terus merayap naik. Ketika gadis itu akhirnya meloncat keluar sumur, ibunya hendak menyerang Cia Sun dan Ci Kang yang masih belum tiba di atas.



"Ibu, jangan...!" Hui Cu berseru dan menubruk ibunya, memeluk pinggang ibunya untuk menahan ibunya yang hendak mendekati sumur.



"Lepaskan aku, biar kubunuh mereka...!" Nenek itu berseru dan meronta-ronta. Akan tetapi Hui Cu tetap tidak mau melepaskan rangkulannya dari pinggang ibunya dan kedua orang ini bersitegang. Keributan itu memberi cukup waktu bagi Cia Sun dan Ci Kang untuk berloncatan keluar dari sumur dan kini mereka berdiri terbelalak. Kiranya nenek yang kini berusaha melepaskan rangkulan Hui Cu adalah seorang nenek berambut dan berpakaian putih, dan mereka berdua segera mengenalnya sebagai Ratu Iblis!



Nenek itu kinipun mengenal Ci Kang dan Cia Sun. Sejenak matanya yang kehijauan itu terbelalak, seolah-olah tidak percaya pandang matanya sendiri dan ia nampak kaget seperti melihat orang-orang yang sudah mati hidup kembali! Akan te-tapi otaknya yang amat cerdik segera dapat membuat perhitungan dan ia men-jadi kagum bukan main. Ia dapat mendu-ga bahwa tentu dua orang muda itu ber-hasil menjebol lantai kamar jebakan yang dialiri air dari atas itu! Dua orang pe-muda ini, yang menjadi musuh besar ke-luarganya, telah mengetahui rahasianya, rahasia puterinya!



Gadis itu, Toan Hui Cu, adalah puteri Ratu Iblis yang ketika lahir dahulu ditu-kar dengan bayi seorang penghuni dusun. Puteri inilah yang diselamatkan itu dengan mengorbankan nyawa bayi puteri penghuni dusun yang sama sekali tidak berdosa. Ratu Iblis membunuh seorang bayi untuk menyelamatkan puterinya da-ri ancaman suaminya. Kemudian, setelah anak itu berusia lima enam tahun, dia menculiknya dari suami isteri penghuni dusun itu dan mengurung anak yang di-beri nama Hui Cu, Toan Hui Cu itu, ke dalam guha bawah tanah yang merupakan tempat rahasia yang hanya diketahuinya sendiri. Raja Iblis tentu saja tahu akan tempat ini, akan tetapi tempat ini meru-pakan kuburan atau tempat terakhir dari seorang gurunya dan menjadi tempat ke-ramat, maka dia sendiripun tidak pernah dan tidak mau menjenguk tempat itu. Sama sekali dia tidak mengira bahwa isterinya mempunyai rahasia, bahwa tempat itu menjadi tempat persembunyian pute-rinya sendiri!



Ratu iblis merahasiakan segalanya dan bersikap hati-hati sekali. Bahkan ia tidak pernah memperkenalkan namanya sendiri atau nama suaminya kepada Hui Cu, dan menakut-nakuti gadis itu agar membunuh setiap orang yang berani masuk, juga memberi tahu bahwa ayah gadis itu tentu akan membunuhnya kalau sampai melihatnya. Hal ini membuat Hui Cu keta-kutan dan ia mentaati pesan ibunya, sampai belasan tahun lamanya ia menjadi penghuni guha bawah tanah itu sampai akhirnya, tanpa tersangka-sangka, nasib mempertemukan ia dengan Cia Sun dan Ci Kang!



Ketika Ratu Iblis mengenal dua orang pemuda itu, selain terkejut dan heran, ia juga marah dan khawatir sekali. Dua orang muda ini harus dibunuhnya, kalau tidak, rahasianya tidak akan dapat dipertahankannya lagi dan suaminya tentu akan marah kalau tahu bahwa ia mempunyai seorang puteri, yang disembunyikan sampai belasan tahun lamanya. Entah apa yang akan diperbuat suaminya terhadap dirinya dan terhadap Hui Cu, ia tidak sanggup membayangkan.



"Lepaskan, aku harus bunuh mereka!" Tiba-tiba ia menggerakkan tubuhnya dengan kuat dan Hui Cu terpelanting jauh. Melihat puterinya terpelanting jatuh, Ratu Iblis tidak jadi menyerang dua orang muda itu melainkan mendekati puterinya, merangkulnya dan bertanya dengan suara penuh kasih sayang, "Anakku, engkau tidak terluka...?"



Diam-diam dua orang pemuda yang memperhatikan gerak-gerik Ratu Iblis merasa heran. Lenyaplah sifat liar dan ganas dari nenek itu, terganti sifat yang menimbulkan rasa haru, karena sikapnya ketika merangkul den mengelus rambut Hui Cu, dan juga suaranya menggetarkan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya!



"Ibu, jangan bunuh mereka... jangan serang Sun-koko...!"



Nenek itu melepaskan rangkulannya dan mengerutkan alianya. "Sun-koko...? Siapa itu?"



"Seorang dari mereka... mereka tidak sengaja memasuki guha bawah tanah, ibu, jangan serang mereka, mereka itu orang-orang yang amat baik..."



"Setan! Mereka adalah musuh-musuh kita, kalau tidak dibunuh hanya akan mendatangkan bencana di kemudian hari!" Dan tiba-tiba saja sikap nenek itu berobah lagi dan tubuhnya melesat ke depan, kedua tangannya sudah mendorong ke arah Cia Sun dan Ci Kang.



Akan tetapi kini dua orang pemuda itu sudah siap menghadapi serangan lawan. Mereka berdua tahu bahwa nenek itu lihai bukan main. Serangannya tadi saja mengeluarkan hawa yang amat kuat dan panas den sebelum tangan itu menyentuh mereka, telah ada angin pukulan dahsyat yang menyerang. Mereka cepat mengelak dan balas menyerang sambil mengerahkan tenaga mereka.



Ratu Iblis menggereng marah melihat betapa tamparan-tamparannya dapat dielakkan oleh dua orang lawan itu, bahkan kini mereka membalas dengan pukulan-pukulan yang keras. Ia masih memandang rendah mereka dan menggunakan kedua lengannya untuk menangkis, dengan maksud tangkisan itu akan dilanjutkan dengan cengkeraman untuk menangkap lengan mereka.



"Dukk! Dukk...!"



Nenek itu kembali mengeluarkan suara geraman aneh ketika ia merasa betapa benturan lengan itu membuat tubuhnya tergetar hebat, jangankan merobah tangkisan menjadi cengkeraman, bahkan ia terhuyung ke belakang oleh benturan-benturan itu. Sedangkan Cia Sun dan Ci Kang juga terhuyung ke belakang karena nenek itu memang memiliki tenaga kuat yang aneh sekali. Mulailah nenek itu memandang mereka dengan mata lain, tidak lagi berani memandang rendah. Dan iapun mulai mengerti bahwa dua orang pemuda itu memang memiliki ilmu kepandaian hebat. Tadinya memang Siang Hwa melaporkan bahwa mereka itu lihai, akan tetapi ia masih belum percaya. Sekarang baru ia tahu bahwa memang tingkat kepandaian mereka ini lebih lihai daripada tingkat Siang Hwa. Pantas saja muridnya itu terpaksa mempergunakan siasat untuk menjebak mereka. Karena tidak memandang rendah lagi, nenek itu menggerakkan tangan kanannya dan nampaklah sinar berkilat ketika ia tahu-tahu sudah mencabut pedangnya. Dicabutnya pedang ini membuktikan bahwa Ratu Iblis benar-benar tidak memandang rendah lawan. Jarang ia mempergunakan pedangnya kalau bertanding karena jarang pula ada orang mampu menandinginya walaupun ia tidak mencabut pedang.



Ci Kang maklum akan kelihaian lawan, maka diapun cepat mematahkan sebuah cabang pohon yang sebesar lengannya dan panjangnya satu tombak. Menghadapi pedang seorang datuk sesat seperti nenek itu dia harus berhati-hati. Cia Sun juga berhati-hati dan untung bahwa suling yang terselip di pinggangnya, di balik bajunya, masih ada, maka iapun mencabut sulingnya itu. Benda ini telah menjadi senjata yang ampuh semenjak dia di digembleng oleh Go-bi San-jin. Bukan hanya suling ini, bahkan kini dia pandai mempergunakan ujung lengan baju atau benda apa saja sebagai senjata. Dengan cerdiknya, kedua orang muda itu lalu berpencar, menghadapi nenek itu dari kanan kiri. Mereka bersikap hati-hati dan hanya menanti dengan waspada, tidak mau menyerang lebih dulu.



Sejenak tiga orang itu berdiri tegak seperti patung, hanya mata nenek itu yang melirik ke kanan kiri untuk mengikuti gerakan dua orang lawannya. Pedang di tangan kanannya itu diangkat tinggi-tinggi dan melintang di atas kepala, sedangkan tangan kiri dengan jari-jari terbuka, diletakkan di depan dada, rambutnya yang putih panjang itu tergantung di depan.



"Ibu, jangan serang mereka...! Sun-ko, jangan berkelahi dengan ibuku..."



Akan tetapi nenek itu tentu saja tidak memperdulikan teriakan puterinya, bahkan membentak marah, "Diam kau...!"



"Siauw-moi, aku hanya membela diri...!" Cia Sun menjawab. Akan tetapi begitu dia bicara, nenek itu sudah menggerakkan pedangnya menyerang dengan amat hebatnya. Pedang itu menyambar dari atas seperti halilintar dan mengeluarkan hawa dingin.



Cia Sun cepat mengelak. Pedang menyambar lewat akan tetapi cepat membalik dan meluncur turun, kalau tadi membacok kini berbalik menusuk! Demikian cepatnya datangnya serangan lanjutan itu sehingga Cia Sun terpaksa harus mengangkat sulingnya menangkis.



"Trakkk...!" Kembali keduanya mendapat kenyataan bahwa lawan memang me-miliki tenaga sin-kang yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan.



Pada saat itu, Ci Kang sudah menyerang dengan tongkatnya yang dibuat secara darurat, yaitu kayu cabang pohon tadi. Serangannya hebat sekali, sampai mengeluarkan angin dan suara bersuitan. Tongkat itu menyambar ke arah kepala nenek itu yang sedang menyerang Cia Sun.



Ratu Iblis itu sungguh lihai bukan main. Menghadapi serahgan tongkat yang datang dari samping agak belakang ini, ia bersikap tenang saja. kepalanya digerakkan mengelak dan tiba-tiba saja gumpalan rambut putihnya menyambar dan menangkis batang kayu itu. Hebatnya, kini gumpalan rambut itu tiba-tiba saja berobah menjadi kaku dan keras seperti besi.



"Takkk...!" Tongkat di tangan Ci Kang tertangkis dan mendadak tangan kiri nenek itu mendorong ke depan dan serangkum hawa panas yang amat hebat menyambar dada Ci Kang sebagai balasan serangannya.



"Ehhh...!" Ci Kang berseru kaget dan terpaksa dia meloncat jauh ke belakang karena serangan itu sungguh amat berbahaya.



Dua orang muda itu kini bersikap hati-hati sekali. Mereka semakin tahu betapa hebatnya lawan mereka yang memiliki tiga macam senjata ampuh itu, yakni pedangnya, rambutnya, dan tangan kirinya. Belum lagi diperhitungkan kedua kakinya kalau mengirim tendangan karena mereka melihat betapa sepatu nenek itu berlapis beja!



Nenek itu sendiri juga menjadi terkejut. Belum pernah ia menghadapi lawan yang begini tangguhnya. Andaikata dua orang pemuda itu maju satu demi satu saja, agaknya ia masih akan dapat mengatasi mereka, bahkan mengungguli mereka. Akan tetapi pemuda itu maju bersama dan setelah kini mereka bersikap hati-hati, gerakan mereka amat kuat dan terpusatkan sehingga ia segera terdesak hebat! Juga pertemuan-pertemuan tenaga antara ia dan dua orang muda itu membuat ia lelah karena ia harus mengerahkan seluruh tenaganya kalau tidak mau celaka dilanda gelombang tenaga yang dahsyat dari mereka.



"Anakku, cepat maju dan gunakan kebutanmu! Bantulah aku!" Akhirnya setelah terdesak hebat, nenek itu berseru minta bantuan puterinya yang sejak tadi hanya nonton saja dengan mata terbelalak penuh kegelisahan. Kini, mendengar seruan ibunya, ia menjadi semakin bingung.



"Tidak, ibu! Kata ibu semua orang terutama laki-laki jahat, akan tetapi mereka ini tidak jahat, aku tidak bisa menyerang mereka. Ibu jangan memusuhi mereka!" Gadis itu menjawab dengan suara yang tegas.



"Desss...!" Tubuh nenek itu terhuyung akan tetapi ia dapat menguasai dirinya dan tidak sampai roboh walaupun tongkat cabang pohon di tangan Ci Kang yang menyerempet pinggangnya tadi kuat bukan main. Karena puterinya tidak mau membantunya dan maklum bahwa dua orang lawannya sungguh merupakan lawan tangguh yang dapat membahayakan keselamatannya, Ratu Iblis mengeluarkan pekik melengking yang sejenak membuat kedua orang pemuda itu tercengang dan mereka harus mengerahkan sin-kang untuk melawan pengaruh suara itu dan kesempatan itu dipergunakan oleh nenek itu untuk meloncat ke arah puterinya, memegang lengan puterinya dan melarikan diri sambil menarik Hui Cu bersamanya.



"Kurasa tidak perlu dikejar, terlalu berbahaya...!" Cia Sun berkata ketika melihat temannya hendak mengejar. Mendengar suara Cia Sun, Ci Kang menahan kakinya dan melangkah kembali menghampiri temannya yang sedang memeriksa tangan kirinya yang ternyata kulitnya berwarna hitam kehijauan dari jari-jari tangan sampai ke pergelangan.



"Cia Sun, engkau keracunan!" kata Ci Kang mendekat.



"Nenek itu memiliki banyak pukulan beracun yang jahat. Sungguh berbahaya sekali!" keta Cia Sun. "Karena itu aku mencegahmu melakukan pengejaran. Aku tidak dapat membantumu dan kalau sampai ia dibantu kawan-kawannya, tentu engkau terancam bahaya. Aku harus menggunakan waktu beberapa hari untuk membersihkan racun ini."



"Tidak perlu begitu lama, Cia Sun. Aku telah mempelajari ilmu membersihkan hawa beracun itu dan dengan bantuanku, tanganmu akan sembuh dengan cepat."



Tak lama kemudian Ci Kang sudah mengobati tangan kiri temannya itu. Cia Sun duduk bersila, mengerahkan sin-kang dan dengan hawa murni dia mendorong-kan tenaga ke arah tangan kirinya. Kalau dia melakukan pengobatan ini sendiri saja, tentu akan memakan waktu sedikitnya sepekan baru hawa beracun dalam tangan kirinya itu dapat terusir bersih. Akan te-tapi, kini Ci Kang menempelkan kedua telapak tangannya di siku dan pundak kirinya dan teman ini membantunya de-ngan mengerahkan sin-kang. Hawa panas memasuki lengan kirinya itu dan dengan kekuatan disatukan, dengan mudah mere-ka depat mengusir racun dari tangan ki-ri. Tak lama kemudian, kulit tangan itu berobah warnanya. Warna hitam kehijau-an itu perlahan-lahan surut dan akhirnya lenyap melalui kuku-kuku jari tangan.



"Terima kasih, Ci Kang, engkau telah menolongku," kata Cia Sun dengan girang dan kagum.



Ci Kang menggeleng kepala. "Tidak ada terima kasih, Cia Sun. Ketika aku terjatuh kembali ke dalam sumur tadi, engkaupun telah menolongku. Sikapmu yang baik terhadap diriku saja sudah membuat aku bersyukur sekali."



"Ci Kang, sampai kini aku masih me-rasa heran mengingat bahwa engkau, se-perti pengakuanmu, adalah putera Siang-koan Lo-jin! Dan engkau memusuhi datuk-datuk sesat! Sebetulnya, kalau aku boleh bertanya mengingat bahwa nasib telah mempertemukan kita yang menjadi saha-bat senasib sependeritaan, apakah yang kaucari di sini?"



"Sama dengan engkau, Cia Sun. Bukankah engkau datang ini untuk menghadiri pertemuan para pendekar yang hendak bangkit menentang Raja dan Ratu Iblis yang kabarnya dibantu oleh para datuk sesat termasuk Cap-sha-kui?"



Cia Sun mengangguk lalu bertanya, "Apa maksudmu ingin menghadiri perte-muan itu?"



Ci Kang tersenyum pahit. "Aku yang tolol ini hendak menipu diri sendiri. A-yahku seorang datuk sesat, begaimana mungkin aku diterima di antara para pendekar? Tadinya kusangka..."



Melihat Ci Kang tidak melanjutkan kata-katanya dan wajahnya menjadi muram, Cia Sun memegang lengan yang kokoh kuat itu. "Sahabatku, jangan kau persalahkan sikap para pendekar. Andaikata aku sendiri belum mengalami bahaya-bahaya itu bersamamu dan telah mengenalmu benar bahwa engkau adalah seorang gagah yang menentang para datuk sesat, mungkin akupun akan curiga kepadamu. Bayangkan saja. Engkau, putera Siangkoan Lo-jin, berkeliaran di sini, padahal para pendekar hendak mengadakan pertemuan untuk menentang golongan sesat! Tentu saja orang yang tidak mengenal keadaan dirimu akan menyangka engkau memata-matai pertemuan para pendekar itu. Akan tetapi jangan takut. Ada aku di sini yang akan menjelaskan segalanya kepada para pendekar. Tapi katakan dulu, apa sesungguhnya niat hatimu datang ke sini?"



"Aku hendak menyumbangkan tenaga menentang para datuk yang hendak melakukan pemberontakan."



"Bagus! Kalau begitu kita sehaluan. Mari kita pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk menemui para pendekar, Ci Kang."



Akan tetapi pemuda yang tinggi besar itu menggeleng kepala. "Cia Sun, sejak kecil aku selalu ingin berusaha sendiri. Usaha apapun yang kuhadapi, kalau berhasil hanya karena bantuan orang lain, tidak akan memuaskan hatiku. Biarlah, aku akan hadapi sendiri para pendekar, apapun akibatnya. Aku girang sekali telah dapat bertemu dan berkenalan denganmu, Cia Sun. Selamat berpisah!" Setelah berkata demikian, Ci Kang lalu meloncat lari meninggalkan Cia Sun yang berdiri termenung, hatinya kagum melihat pemuda perkasa yang memiliki ilmu kepandaian yang dapat menandinginya. Diapun lalu meninggalkan tempat berbahaya itu.



***



Semenjak Bangsa Mongol yang pernah menjajah dan menguasai Tiongkok terusir dan terbasmi sehingga sisa-sisa bangsa itu kembali ke utara, maka Bangsa Mongol menjadi bangsa yang lemah. Lenyaplah kebesarannya seperti ketika mereka masih menguasai Kerajaan Goan yang menjajah seluruh Tiongkok itu. Kini sisa bangsa itu terpecah-pecah, bercampur baur dengan Bangsa Mancu dan Bangsa Khin. Jumlah suku bangsa mereka amat banyak, terpecah-pecah oleh berbagai aliran, tradisi, dan agama. Mereka tinggal berkelompok-kelompok di luar Tembok Besar, dan hidup kembali sebagai suku-suku Nomad yang berpindah-pindah sesuai dengan situasi dan kondisi iklim dan tanah.



Karena terpecah-pecah menjadi kelompok itulah maka Bangsa Mongol, Mancu dan Khin ini menjadi lemah. Di antara mereka sendiri terjadilah persaingan, bahkan kadang-kadang persaingan itu menjadi permusuhan dan pertempuran karena memperebutkan tanah, air dan sebagainya. Mereka adalah bangsa yang sudah terbiasa dengan kekerasan, karena sifat hidup mereka memang keras, selalu berhadapan dengan kesukaran yang ditimbulkan oleh keadaan alam di daerah itu yang tidak menguntungkan manusia.



Masing-masing suku atau kelompok memiliki kepala sendiri, dan seperti bia-sa terjadi di seluruh dunia ini di antara manusia, kepala-kepala inilah yang me-nimbulkan permusuhan dan pertentangan karena ambisi masing-masing yang menyeret kelompok atau pengikut mereka ke dalam permusuhan. Tidak pernah lagi la-hir seorang Jenghis Khan baru yang memiliki kekuatan sedemikian hebatnya un-tuk menundukkan semua kepala suku itu sehingga terdapat persatuan seperti di jaman Jenghis Khan dahulu yang akan membuat Bangsa Mongol menjadi bangsa yang kuat.



Nenek Yelu Kim yang sudah tua itu memang cukup berpengaruh di antara suku bangsa utara ini. Akan tetapi peranan nenek Yelu Kim bukanlah sebagai pemimpin dan pembangkit semangat mereka, melainkan sebagai penengah. Nenek ini ditakuti karena memang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi tidak pernah nenek Yelu Kim bangkit untuk memimpin mereka, hanya turun tangan kalau terjadi pertempuran-pertempuran antara kelompok atau suku. Dan setiap kali, nenek ini harus memperlihatkan kepandaiannya untuk dapat melerai dan memadamkan api permusuhan di antara mereka.



Akan tetapi pergolakan di utara yang dipimpin oleh pemberontakan para datuk sesat yang bersekongkol dengan Panglima Ji Sun Ki di San-hai-koan, menimbulkan guncangan hebat di kalangan para suku Nomad di utara itu, membangkitkan se-suatu di dalam hati mereka yang selama ini tidak pernah lagi memikirkan kekua-saan yang sudah hilang di selatan. Juga Yelu Kim seperti baru terbangun dari ti-durnya. Mengapa tidak, demikian pikirnya. Kalau para datuk sesat saja berani mengadakan pemberontakan, mengapa ia tidak bisa memimpin suku-suku bangsa yang kuat dan terkenal sebagai ahli-ahli perang itu untuk mencoba membangkit-kan kembali kekuasaan Bangsa Mongol dan sekutunya, meraih kembali mahkota yang pernah dikuasai oleh Bangsa Mo-ngol?



Akan tetapi, api semangat yang mulai membakar dada orang-orang yang menjadi kepala kelompok atau suku itu kembali menimbulkan pertentangan di antara mereka sendiri. Masing-masing ingin menjadi pemimpin kalau sampai mereka bersatu dan melakukan penyerbuan ke se-latan selagi keadaan kacau oleh adanya pemberontakan. Masing-masing ingin menjadi pemimpin, tentu saja dengan ambisi bahwa kalau gerakan mereka kelak ber-hasil, sang pemimpin itulah yang akan menjadi kaisar sampai ke anak cucu keturunannya!



Hal inilah yang membuat prihatin dan menyesal di hati nenek Yelu Kim sampai ia bertemu dengan Sui Cin. Dalam diri gadis ini ia melihat bakat dan kepandai-an yang depat ia pergunakan untuk men-capai hasil baik dalam rencananya meng-hadapi pertikaian baru di antara para kepala suku itu. Nenek itu berhasil mem-bawa pergi Sui Cin dengan bantuan hari-mau peliharaannya, dan mengobati Sui Cin yang tertipu oleh Kiu-bwe Coa-li dan minum racun pembius. Akan tetapi selain keracunan, nenek itu mendapat kenyatan bahwa gadis itupun kehilangan ingatannya, maka iapun berusaha dengan sepenuh perhatian dan kepandaiannya un-tuk mengobati Sui Cin sehingga gadis itu akan sembuh sama sekali, juga dari pe-nyakit kehilangan ingatan itu.



Nenek Yelu Kim memang ahli dalam hal pengobatan dan akhirnya ia berhasil mengobati Sui Cin sehingga gadis itu memperoleh kembali ingatannya! Ingatan itu kembali kepadanya ketika pada suatu pagi ia terbangun dan melihat nenek itu telah duduk di dekat pembaringannya. Nenek itu memegang sebatang jarum e-mas dan agaknya nenek itu tadi telah mengerjakan jarumnya ketika ia sedang tidur dan berhasil "membuka" kembali ingatannya.



"Aihhh...!" Sui Cin meloncat dan bangkit duduk, memandang nenek itu dengan mata terbelalak. "Aihh, semuanya terjadi seperti dalam mimpi saja...! Tapi aku tidak bermimpi!" Ia menengok ke arah pintu kamar itu dan memanggil girang ketika melihat seekor harimau besar menjenguk ke dalam. "Houw-cu, engkaupun kenyataan, bukan mimpi! Dan nenek Yelu Kim, yang telah menolongku!"



Nenek itu tersenyum dan wajahnya nampak cantik ketika ia tersenyum. "A-nak baik, engkau sudah ingat semua, juga akan keadaan dirimu? Tadinya engkau lu-pa sama sekali akan keadaan dirimu dan asal-usulmu."



Sui Cin membelalakkan matanya. "Be-narkah itu? Ah, ya, teringat olehku se-karang. Tentu timpukan batu yang me-ngenai belakang kepalaku itu yang mem-buatku lupa segalanya. Dan bagaimana nasib Hui Song...?"



Nenek itu menggeleng kepala. "Aku tidak tahu. Apakah dia pemuda yang me-nolongmu dari Kiu-bwe Coa-li itu?"



"Bukan! Pemuda itu adalah Cia Sun-twako. Ah, tentu locianpwe tidak tahu. Betapa hebat den mengerikan semua pe-ngalamanku selama ini dan akhirnya lo-cianpwe yang dapat menyembuhkanku. Sungguh besar sekali budi locianpwe kepadaku."



"Hushh, sudahlah. Di antara guru dan murid mana ada budi? Ingat, sesuai de-ngan janjimu, engkau telah menjadi murid juga pembantuku. Sekarang, ceritakan keadaan dirimu dengan singkat."



"Namaku Ceng Sui Cin dan ayahku..." Sui Cin teringat bahwa ia tidak boleh membawa-bawa nama orang tuanya, maka ia meragu. Bagaimanapun juga, ia belum mengenal benar siapa sesungguhnya nenek Yelu Kim yang telah menolongnya ini.



AKAN tetapi nenek itu tersenyum setelah tadinya sepasang matanya terbelalak mendengar gadis itu memperkenalkan diri. Lalu tangannya yang kurus memegang lengan Sui Cin dan matanya yang tajam itu menatap wajah gadis itu, mulutnya tersenyum ramah. "Sungguh para dewa telah mempertemukan kita! Tepat suara hatiku bahwa engkaulah yang akan dapat membantuku dan menolong bangsa dan golongan kita. Kiranya engkau adalah keturunan Puteri Khamila, engkau masih berdarah bangsa kami, anak baik!"



Sui Cin terkejut dan merasa heran. Benarkah nenek ini dapat mengenal keluarganya hanya dengan namanya? Padahal, sebelum ini belum pernah ia mengenal nenek Yelu Kim.



"Apa maksud locianpwe?" tanyanya sambil memandang tajam.



Senyum nenek ini melebar. "Tidak sukar mengenalmu, Sui Cin. Ilmu silatmu lihai dan selama engkau berada di sini, di dalam latihan engkau memainkan be-berapa ilmu silat yang kukenal bersumber pada ilmu-ilmu Cin-ling-pai. Tadinya ku-kira engkau murid Cin-ling-pai, akan te-tapi setelah kini aku tahu bahwa engkau she Ceng, mudah saja menduga siapa adanya dirimu. Bukankah ayahmu adalah Pendekar Sadis Ceng Thian Sin?"



Sui Cin mengangguk. "Locianpwe sungguh cerdik sekali." Ia memuji.



"Dan ayahmu itu adalah putera Ceng Han Houw atau Pangeran Oguthai. Kakekmu itu adalah putera mendiang Kaisar Ceng Tung dan Puteri Khamila, dengan sendirinya antara engkau dan aku masih ada hubungan yang dekat sekali, Sui Cin." Dan kata-kata itu diakhiri dengan suara ketawa girang bukan main dari nenek i-tu. Sui Cin memandang bengong ketika melihat nenek itu tiba-tiba bangkit dan menari-nari di dalam kamar itu, menari-nari sambil bernyanyi lagu Mongol dan bertepuk tangan! Harus diakuinya bahwa biarpun di situ tidak ada iringan musik, akan tetapi tarian itu indah sekali dan suara nyanyian nenek itupun merdu.



"Locianpwe..."



"Aku sudah menjadi gurumu dan kau masih menyebutku locianpwe?" Nenek yang sudah selesai menari itu menegur.



"Subo," akhirnya Sui Cin berkata de-ngan nada agak terpaksa. Sebenarnya, kalau ia berada dalam keadann sadar, ia tidak akan mau begitu saja berjanji men-jadi murid dan pembantu nenek itu tanpa lebih dahulu mengenal keadaannya. Akan tetapi ia sudah berjanji dan ia tidak akan menarik kembali apa yang telah di-janjikan. "Subo, hubungan dekat apakah yang ada antara kita?"



"Tidak dapatkah engkau menduganya? Nama keturunanku Yelu! Tidak tahukah engkau apa artinya nama itu?"



Sui Cin menggeleng kepala den me-nyesal mengapa ia tidak tahu akan hal i-tu karena ia melihat betapa wajah nenek itu nampak kecewa sekali.



"Aih, agaknya Ceng Thian Sin tidak pernah menceritakan kepadamu tentang kebesaran bangsa kita di utara."



"Ayah memang tidak suka menceritakan riwayat nenek moyang kami," kata Sui Cin.



"Sayang sekali. Nah, dengarlah baik-baik. Ketika Kaisar Jenghis Khan, raja terbesar di seluruh dunia, masih bertahta dan menguasai seluruh daratan sampai ke lautan selatan, beliau mempunyai seorang pembantu dan penasihat yang amat arif bijaksana, bernama Yelu Ce-tai. Siapakah orangnya yang tidak mengenal nama besar Yelu Ce-tai di samping nama besar Jenghis Khan? Yelu Ce-tai inilah peng-atur semua siasat yang membuat peme-rintahan Jenghis Khan berhasil dengan baik."



"Dan subo tentulah keturunan Yelu Ce-tai itu," kata Sui Cin karena memang mudah saja menduganya sekarang.



Nenek itu mengangguk dan wajahnya yang agung itu nampak diangkat penuh kebanggaan. "Dan beliau tidak malu mempunyai keturunan seperti aku! Kerajaan Mongol yang menguasai seluruh daratan selatan sudah hancur, keturunan Jenghis Khan yang besar itu telah lenyap tidak ada sisanya lagi, akan tetapi kebesaran Yelu Ce-tai masih belum kabur! Lihat a-ku ini, aku keturunannya, walaupun aku hanya seorang wanita, akan tetapi aku masih dipandang dan diakui oleh semua kelompok suku bangsa di utara sebagai penasihat agung yang selalu mereka se-gani dan taati!"



Kini mengertilah Sui Cin mengapa nenek ini nampak begitu agung dan penuh bangga diri. Kiranya memiliki kedudukan tinggi di antara suku bangsa utara.



"Subo telah menyelamatkan aku, dan aku telah berjanji untuk membantu subo, sebenarnya bantuan apakah yang dapat kulakukan? Bukankah sebagai seorang pe-nasihat agung, subo memiliki banyak pembantu dan tidak membutuhkan lagi ban-tuanku?"



"Engkau tidak tahu betapa aku mengalami banyak kepusingan karena sifat yang liar dan keras dari orang-orang suku utara ini. Terutama sekali suku Khin yang amat ganas. Mereka itu menghormati aku, akan tetapi kadang-kadang memperlihatkan kekerasan mereka dan agaknya mereka itu akan mudah sekali memberontak. Baiknya selama ini aku mampu mengendalikan mereka. Kini timbul keguncangan di kalangan kami karena adanya pergerakan kaum sesat di selatan yang hendak memberontak."



Sui Cin terkejut. Betapa pandainya nenek ini, sehingga urusan di selatan tentang gerakan para datuk sesat yang hen-dak memberontakpun diketahuinya! "Apa-kah yang subo ketahui tentang hal itu?"



Nenek itu tersenyum bangga. "Tentu saja aku tahu semuanya! Ha, jangan dikira bahwa kami orang-orang Mongol sudah melupakan kekalahan kami! Orang-orang kasar itu mungkin sudah menerima kekalahan mereka dan sudah putus asa. Akan tetapi aku tidak! Aku selalu memperhatikan perobahan dan pergolakan di selatan. Aku tahu bahwa seorang pangeran she Toan yang kini menjadi datuk sesat dengan julukan Raja Iblis, dibantu oleh Cap-sha-kui dan para datuk sesat lainnya, sedang berusaba untuk memberontak. Bahkan mereka sudah berhasil mengadakan persekutuan dengan panglima San-hai-koan dan merampas benteng itu!"



"Selain itu?" Sui Cin mendessk.



"Tidak cukupkah itu? Kami melihat kesempatan yang baik sekali untuk bergerak selagi keadaan pemerintah Beng-tiauw kacau. Saatnya tiba bagi kami untuk bergerak ke selatan, menegakkan kembali kekuasaan utara atas daerah selatan. Akan tetapi orang-orang kasar itu, orang-orang liar itu, mereka bahkan saling berebut, saling bertentangan sendiri memperebutkan kedudukan pimpinan seperti anjing memperebutkan bungkusan kosong! Sungguh memuakkan!"



Nenek itu mengepal tinju dan kelihatan marah sekali. Sui Cin menduga bahwa nenek itu agaknya belum tahu akan gerakan para pendekar yang hendak mengadakan pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang.



"Lalu apa hubungannya semua itu de-ngan bantuan yang subo harapkan dariku?"



"Orang-orang gila itu makin menjadi-jadi dalam nafsu mereka untuk memperebutkan kedudukan sebagai pemimpin gerakan kami. Bahkan setiap kelompok mengajukan usul agar masing-masing mengeluarkan jagoan dan diadakan pertandingan-pertandingan. Siapa yang jagonya menang berarti berhak menjadi pemimpin gerakan ke selatan. Dan aku ingin engkau membantuku, mewakili aku maju sebagai penghukum yang menaklukkan semua jagoan itu, atau menundukkan jagoan yang paling kuat dan yang keluar sebagai pemenang."



"Ahh...!" Sui Cin terkejut. "Mengingat betapa kepandaian subo sendiri sudah amat tinggi, tentu di antara kelompok itu terdapat orang-orang pandai. Bagaimana aku akan dapat mengalahkan jagoan yang paling pandai? Jangan-jangan subo akan menyesal dan kecelik, aku malah yang akan kalah oleh jagoan itu sehingga nama dan wibawa subo menjadi turun."



"Tidak, tidak mungkin! Mereka itu hanya orang-orang kasar yang hanya menggunakan kekuatan dan kelincahan menunggang kuda disertai keberanian. Mana mungkin ada yang mampu mengalahkanmu? Sui Cin, aku sudah tahu akan keli-haianmu. Dalam ilmu berkelahi, aku sendiri tidak menang melawanmu. Pula, ka-lau engkau maju sambil menunggang Houw-cu, siapa yang akan mampu mengalahkan? Di samping itu, masih ada yang membantumu dari belakang dengan kekuatan sihir. Kami pasti menang dan kemenanganmu akan membuat semua orang tunduk akan keputusanku!"



"Aih, jadi subo bercita-cita untuk memperebutkan kedudukan pemimpin i-tu"



"Jangan salah sangka! Seorang nenek setua aku ini tidak butuh lagi kedudukan dan kemuliaan, akan tetapi aku ingin melihat bangsaku memperoleh kembali ke-kuasaannya sebelum aku mati, apalagi kalau kekuasaan itu diperoleh karena ban-tuan dan jasaku! Aku ingin kelak kalau mati, dapat menghadap nenek moyang Yelu Ce-tai dengan hati bangga. Biar semua orang melihat bahwa sampai kini Yelu Kim tetap menjadi orang yang menurunkan keluarga yang bahkan lebih besar daripada keturunan Jenghis Khan sendiri! Aku harus memimpin kelompok-kelompok liar itu agar berhasil menyerbu ke selatan. Kemudian, untuk pemilihan kaisar, harus dilakukan dengan bijaksana dan adil, di bawah bimbinganku pula!"



Sui Cin merasa heran dan diam-diam merasa khawatir kalau-kalau orang yang menjadi gurunya ini bukan hanya seorang yang mempunyai cita-cita besar, akan tetapi juga merupakan orang yang miring otaknya!



"Kalau aku sudah melakukan tugasku mengalahkan jagoan itu, lalu bagaimana dengan aku, subo?"



"Janjimu itu hanya terikat oleh bantuanmu memenangkan sayembara itu. Selanjutnya aku serahkan kepadamu. Kalau engkau mau membantu kami dalam perjuangan kami, tentu saja aku akan merasa gembira dan bersyukur sekali. Andaikata tidak dan engkau ingin meninggalkan aku, silakan."



Tentu saja, setelah kini semua ingatannya pulih, diam-diam Sui Cin merasa tidak setuju dengan rencana nenek yang telah menjadi gurunva ini. Nenek ini bersama bangsa dan kelompoknya merenca-nakan pemberontakan! Padahal, sudah menjadi tugasnya untuk menentang pemberontakan, untuk membela negara dan mencegah terjadinya perang agar rakyat tidak akan menderita. Bahkan ia kini teringat bahwa ia berada di utara adalah karena ditugaskan oleh gurunya, Wu-yi Lo-jin, untuk menghadiri pertemuan para pendekar yang hendak menentang Raja dan Ratu Iblis yang hendak mengerahkan kaum sesat untuk memberontak. Mana mungkin kini ia harus membantu pembe-rontakan nenek ini terhadap pemerintah? Akan tetapi iapun tahu bahwa nenek ini bukan orang jahat, bahkan telah menye-lamatkannya dan menolongnya dari keadaan yang amat menyedihkan, yaitu kehi-langan ingatannya. Bagi nenek ini tentu saja gerakan memberontak itu merupakan suatu perjuangan untuk memulihkan kem-bali kekuasaan bangsanya, Bangsa Mongol yang pernah menjajah Tiongkok.



"Subo, apakah subo kira mudah saja melakukan pemberontakan? Mana mung-kin kelompok-kelompok suku di sini akan mampu nmnandingi kekuatan balatentara kerajaan? Sebelum dapat berbuat banyak, tentu subo dan teman-teman subo sudah akan dihancurkan oleh kekuatan balaten-tara kerajaan yang amat bamyak jumlah-nya dan kuat."



Nenek itu tersenyum. "Ucapanmu memang benar. Akan tetapi seperti sudah kukatakan tadi, kini tiba saatnya yang amat baik, terbuka kesempatan besar ka-rena kaum sesat telah bergerak. Biarlah mereka yang akan menandingi balatenta-ra pemerintah dan kami akan memukul mereka dari belakang dan merampas semua kota yang sudah mereka duduki. Dengan menghadapi perlawanan pasukan pemerintah dari depan, tentu mereka akan lemah dan tidak akan mampu bertahan kalau kami pukul dari belakang. Mereka itulah yang akan menjadi pelopor kami dan kami tinggal merampas hasil-hasil mereka dari belakang saja."



Diam-diam Sui Cin terkejut juga. Nenek ini sungguh cerdik dan kalau berhasil semua siasat nenek itu, sungguh berbaha-ya keadaannya bagi pemerintah. Berarti pemerintah akan menghadapi dua gelom-bang serangan musuh, dan menurut seja-rah yang pernah dibacanya, suku Bangsa Mongol di utara merupakan orang-orang yang amat gagah perkasa, berani mati dan tangkas dalam pertempuran.



"Akan tetapi, subo. Hal itu akan me-nyalakan api peperangan besar dan untuk menggerakkan banyak orang bertempur, membutuhkan biaya yang amat besar. Kalau subo tidak mempunyai harta benda yang banyak untuk itu..."



"Jangan khawatir. Aku selalu membiasakan diri berpikir sampai matang dan membuat persiapan selengkapnya sebelum bergerak. Kalau aku tidak memiliki harta pusaka yang amat besar jumlahnya, mana berani aku merencanakan gerakan perjuangan?"



Tiba-tiba terdengar suara mengaum dan harimau besar itu mendekati Sui Cin dan mengelus-elus punggung gadis itu de-ngan kepalanya. Itulah tandanya bahwa si harimau itu mengajaknya bermain-main.



"Houw-cu, bersabarlah, nanti kita main-main," katanya dan tiba-tiba melihat harimau ini, Sui Cin teringat akan sesuatu. Terbayanglah semua peristiwa di dalam guha. Guha Iblis Neraka! Ketika ia menyelidiki guha itu, sebelum muncul Hui Song bersama Siang Hwa dan dua orang kakek, ia melihat bayangan lima orang yang dengan amat cepatnya berkelebatan memasuki guha. Kemudian ia melihat mereka keluar lagi sambil memikul sebuah peti yang nampaknya berat. Ia teringat akan harta pusaka di dalam guha itu. Agaknya Hui Song bersama wanita cantik dan dua orang kakek itu memasuki guha untuk mencari harta pusaka, akan tetapi kedahuluan oleh lima bayangan itu. Dan kini teringatlah ia bahwa pada dada mereka itu nampak gambar harimau, tersulam pada baju mereka.



"Subo, aku pernah mendengar tentang pusaka di Guha Iblis Neraka..." Ia memancing.



Nenek itu membelalakkan matanya. "Aha! Engkaupun tahu akan hal itu? Tak perlu kusembunyikan lagi. Kami telah mendapatkan harta pusaka itu. Untung, karena harta pusaka itu telah diincar oleh Raja dan Ratu Iblis!"



"Kalau begitu, subo mempunyai banyak anak buah? Kukira, tadinya subo hanya bertiga dengan aku dan Houw-cu ini..."



"Jangan bodoh. Mana mungkin kalau hanya sendirian saja aku dapat mempertahankan kedudukanku? Pernahkah engkau mendengar tentang Perkumpulan Harimau Terbang?"



Sui Cin menggeleng kepala, hanya diam-diam menduga bahwa tentu lima orang yang memakai baju bersulam gambar harimau itu merupakan anggauta-anggauta Perkumpulan Harimau Terbang.



"Harimau Terbang adalah nama perkumpulan rahasia yang kudirikan di daerah Mongol ini. Sebetulnya pendirinya adalah nenek moyangku, sejak Yelu Ce-tai dan merupakan perkumpulan yang anggautanya terdiri dari orang-orang pandai. Dengan bantuan para anggauta perkumpulan itu, aku dapat menguasai para kepala kelompok dan kepala suku sehingga sampai kini persatuan di antara mereka dapat kupertahankan."



Diam-diam Sui Cin merasa semakin kagum kepada nenek ini. Seorang nenek yang selain memiliki kepandaian tinggi, pandai sihir, juga cerdik bukan main, bahkan menjadi kepala dari sebuah perkumpulan rahasia yang agaknya bergerak secara rahasia pula dan disegani oleh semua kepala suku dan kepala kelompok yang liar di daerah Mongol dan Mancu. Iapun melihat betapa para pendekar akan sukar untuk dapat menentang Raja dan Ratu Iblis yang ternyata bukan hanya dibantu oleh kaum sesat, akan tetapi bahkan telah bersekutu dengan pasukan pemberontak yang besar jumlahnya dan kini bahkan telah berhasil merampas dan menduduki benteng pertama San-hai-koan. Kalau begini, untuk menghadapi mereka dibutuhkan pasukan yang kuat pula, bukan hanya sekedar beberapa puluh orang pendekar saja. Maka, iapun mengambil keputusan untuk menentang pemberontakan yang dipimpin Raja dan Ratu Ibils itu dengan cara membantu orang-orang Mongol ini. Bukan membantu untuk membe-rontak, melainkan membantu mereka untuk menentang pasukan pemberontak Ra-ja Iblis.



"Subo sudah mempunyai banyak anggauta Perkumpulan Harimau Terbang yang terdiri dari orang-orang berilmu tinggi, kenapa subo masih membutuhkan bantuanku untuk menghadapi jagoan dari para kelompok itu?"



"Tidak, Sui Cin. Mereka itu lihai akan tetapi kelihaian mereka dalam hal ilmu silat jauh di bawah tingkatmu. Mereka itu hanya menguasai ilmu yang mereka pelajari dariku saja, jadi tidak dapat ter-lalu diandalkan untuk menghadapi jagoan yang tentu memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi kalau engkau dengan ilmu silatmu yang tinggi maju, dibantu oleh Houw-ji yang menjadi binatang tunggang-anmu, kubantu pula dari belakang dengan kekuatan sihirku, aku yakin engkau pasti akan menang dan kemenanganmu akan membuat mereka semua tunduk padaku."



"Baiklah, subo. Aku akan membantu subo, bahkan aku akan membantu pula kalau subo menentang pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Raja Iblis. Akan tetapi aku tidak mungkin dapat membantu kalau subo melawan pemerintah. Tentu subo tahu bahwa tidak mungkin aku menjadi pemberontak."



Nenek itu mengangguk-angguk. "Aku mengerti, Sui Cin. Kita sama-sama me-rupakan orang yang setia kepada negara dan bangsa, hanya sayang sekali kita terlahir sebagai bangsa yang berlainan."



Demikianlah, Sui Cin lalu diberi pe-tunjuk oleh Yelu Kim untuk dapat ber-tanding sambil menunggang harimau besar itu dan karena gadis ini memang me-miliki gin-kang dan ilmu silat yang hebat, ditambah lagi bahwa ia telah akrab de-ngan harimau itu, sebentar saja ia sudah mahir menunggang harimau itu sambil menggerakkan sebatang tongkat baja se-bagai pengganti senjata payungnya.



Yelu Kim juga sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi sayembara meng-adu jagoan untuk memilih pimpinan per-juangan itu. Anak buahnya, yaitu para anggauta Perkumpulan Harimau Terbang, yang jumlahnya ada seratus orang telah dipersiapkan, akan tetapi seperti biasa, mereka ini tidak muncul di depan umum melainkan bergerak secara rahasia, me-nyelinap di antara para anggauta kelom-pok berbagai suku bangsa itu, menutupi baju sulaman gambar harimau dengan ju-bah masing-masing kelompok.



Sejak pagi mereka sudah berkumpul di padang tandus itu. Sebuah tanah datar luas yang kering. Puluhan kelompok suku bangsa yang bermacam-macam, akan te-tapi berasal dari tiga suku bangsa, yaitu Mongol, Mancu, dan Khin, telah berkum-pul di situ. Mereka masing-masing mendirikan tenda besar dan dari dandanan pakaian dan bendera masing-masing dapat dibedakan antara mereka walaupun ben-tuk tubuh dan wajah mereka tidak ba-nyak berbeda, bahkan banyak sekali yang serupa. Mereka adalah tukang-tukang berkelahi, orang-orang yang sudah terbiasa sejak kecil hidup di alam liar dan selalu menghadapi tantangan hidup yang keras dan sukar. Kepala kelompok atau kepala suku mengenakan pakaian yang bermacam-macam, akan tetapi semuanya serba indah dan gagah. Ada pula yang mengena-kan pakaian seragam panglima, mungkin peninggalan nenek moyang mereka ketika masih menjajah Tiongkok. Ada pula yang berkepala gundul berjubah pendeta, me-nunjukkan bahwa kepala kelompok ini se-orang pendeta Buddha. Para kepala ke-lompok yang jumlahnya sampai tiga pu-luh orang lebih karena banyak di antara mereka mempunyai wakil, berkumpul di tengah lapangan luas itu untuk berunding tentang pelaksanaan adu jago di antara mereka. Nampak Yelu Kim hadir pula dan kedudukan nenek ini jelas nampak karena kalau para kepala kelompok itu du-duk bersila di atas tanah yang memben-tuk sebuah lingkaran, adalah nenek Yelu Kim sendiri yang duduk di atas sebuah tandu. Ia tidak memimpin perundingan itu, namun bertindak sebagai penasihat dan selalu nenek inilah yang memecahkan persoalan yang mereka hadapi dan meru-pakan jalan buntu.



Setelah mengadakan perundingan yang ramai dan kadang-kadang diselingi pembantahan yang nyaris menjadi perkelahian kalau tidak dilerai oleh Yelu Kim, akhir-nya diambil keputusan bahwa masing-ma-sing kelompok yang hadir hanya diperbo-lehkan mengajukan seorang jagoan saja. Masing-masing jagoan hanya dipertandingkan dalam pertandingan satu kali, secara bebas, boleh naik kuda atau tidak, boleh menggunakan senjata apa saja. Jagoan dianggap kalah kalau dia menyatakan tak berani melawan lagi atau kalau dia roboh tak mampu bangun lagi. Kematian atau luka parah yang terjadi dalam pertandingan ini dianggap wajar dan tidak akan dijadikan alasan untuk menaruh dendam atau membalas. Untuk menentukan siapa yang maju lebih dahulu, diadakan undian dan jagoan yang menang satu kali diper-kenankan beristirahat, tidak diharuskan menghadapi lawan secara beruntun. Per-aturan pertandingan diadakan sedemikian adilnya sehingga Sui Cin yang diam-diam menyaksikan perundingan itu sebagai pengawal nenek Yelu Kim merasa kagum dan merasakan benar betapa orang-orang yang kasar ini sesungguhnya memiliki kegagahan dan sama sekali tidak mau memper-gunakan kecurangan dalam memperebut-kan kedudukan itu. Tidak seorangpun memperdulikannya karena ia dianggap se-bagai pengawal atau pembantu Yelu Kim dan Sui Cin merasa aman bersembunyi di balik punggung nenek Yelu Kim. Betapa-pun juga, ia merasa ngeri juga. Pertan-dingan itu, walaupun dilaksanakan di an-tara sahabat-gahabat seperjuangan, namun jelaslah bahwa jagoan masing-masing ti-dak akan mau saling mengalah. Dan melihat sikap dan watak mereka, agaknya dapat dibayangkan bahwa setiap orang jagoan agaknya akan mempertahankan nama dan kehormatan sampai saat ter-akhir! Pertandingan yang keras dan ke-jam dan sudah dapat ia bayangkan bahwa tempat itu nanti tentu akan menjadi merah oleh darah!



Tak lama kemudian, perundingan itu-pun berakhir dan masing-masing kepala kelompok mengajukan jagoan masing-ma-sing. Bahkan ada kepala kelompok yang maju sendiri karena dia tidak puas de-ngan wakil seorang yang dianggapnya kurang tangguh. Nenek Yelu Kim lalu memberi tanda kepada empat orang pemikul tandu untuk mengundurkan diri, diikuti oleh Sui Cin dan nonton dari satu pinggiran yang terpisah. Ternyata, ti-dak semua kelompok mengajukan jagoan. Agaknya ada pula di antara mereka yang tidak berhasil menemukan jago yang mereka anggap cukup tangguh, maka mereka hanya menjadi tontonan saja. Mereka ini kebanyakan terdiri dari kelompok-kelompok yang kecil. Karena itu, setelah semua jagoan maju, dari dua puluh orang lebih kelompok itu yang muncul hanya sembilan orang jagoan saja. Di antara sembilan orang jagoan ini hanya ada tiga orang yang tidak menunggang kuda, sedangkan enam orang yang lain menunggang seekor kuda yang besar dan tangkas. Memang satu di antara keahlian orang-orang utara ini adalah menunggang kuda.



Sui Cin hampir mengeluarkan seruan kaget dan heran ketika dia mengenal seorang di antara sembilan jagoan itu. Seorang pemuda tinggi tegap yang amat gagah, dengah memakai jubah kulit harimau, menunggang seekor kuda putih dan bersenjata sebatang tombak kongce yang bercabang dan bergagang panjang. Pemuda ini nampak pendiam dan tidak bersikap sombong seperti para jagoan lain yang membusungkan dada dan tersenyum-senyum bangga. Pemuda ini hanya menundukkan muka dan bersikap acuh tak acuh. Tentu saja Sui Cin merasa terkejut dan heran karena pemuda ini bukan lain adalah Siangkoan Ci Kang! Mau apa putera Si Iblis Buta ini berada di situ, bahkan menjadi jagoan dari satu di antara kelompok suku dari utara? Biairpun Sui Cin tahu bahwa Ci Kang adalah seorang pemuda gagah perkasa yang tak dapat dikatakan jahat, akan tetapi bagaimanapun juga dia adalah putera seorang datuk sesat yang ditakuti seperti iblis! Mengapa pemuda ini tidak berada bersama sekutu Raja Iblis dan berada di situ? Sungguh merupakan hal yang amat mengherankan dan juga mencurigakan. Sui Con lupa bahwa kehadirannya sendiri di tempat itupun merupakan hal yang amat aneh, mungkin lebih aneh daripada kehadiran Ci Kang sendiri. Ia adalah dari golongan pendekar dan kini ia berada di situ sebagai pengawal atau murid Yelu Kim, orang yang paling tinggi kedudukannya di antara kepala suku yang sedang memilih pimpinan untuk memberontak!



Sui Cin tidak tahu bahwa kehadirannya di situ yang agaknya tidak terlihat oleh Ci Kang, membuat seorang yang menyelinap di antara kelompok Suku Bangsa Mancu Timur hampir saja berteriak pula. Orang ini juga seorang pemuda yang mengenakan pakaian seperti teman-temannya, pakaian orang Mancu Timur yang kehidupannya sebagai pemburu dan nelayan di pantai timur. Dia seorang pemuda tampan yang berwajah gembira. Ketika pemuda ini melihat Sui Cin, matanya terbelalak dan hampir saja mulutnya berteriak. Akan tetapi dia menahan diri dan alisnya berkerut. Dia merasa heran bukan main melihat Sui Cin berada di situ, apalagi setelah dia memperoleh keterangan dari teman-teman di kanan kirinya yang menceritakan siapa adanya nenek itu! Dan orang ini bukan lain adalah Hui Song!



Dapat dibayangkan betapa besar rasa girang, kaget dan heran bercampur aduk di dalam hati Hui Song ketika tiba-tiba dia melihat Sui Cin di antara orang-orang liar dari utara ini. Dan diapun merasa curiga apalagi mendengar bahwa nenek itu adalah Yelu Kim yang merupakan orang paling ditakuti di antara para kepala suku! Dan Sui Cin, menurut keterangan orang-orang di kanan kirinya, adalah pengawal nenek itu! Sui Cin menjadi pengawal tokoh dari suku-suku bangsa yang hendak mengadakan pemberontakan?



Memang merupakan suatu kebetulan yang amat mengherankan melihat tiga orang muda itu berada di situ, di antara suku-suku bangsa utara. Kita sudah mengetahui mengapa Sui Cin dapat hadir di situ, akan tetapi bagaimana dengan Ci Kang dan Hui Song dapat pula berada di situ dalam keadaan terpisah-pisah, bahkan Ci Kang menjadi seorang di antara jagoan yang terpilih?



Seperti kita ketahui, Ci Kang telah terhindar dari malapetaka bersama Cia Sun ketika mereka berdua terjebak oleh Ciang Hwa ke dalam guha bawah tanah. Akan tetapi akhirnya mereka berhasil ke luar atas pertolongan Toan Hui Cu, puteri Raja dan Ratu Iblis. Setelah kedua orang muda ini saling berpisah, Ci Kang tidak mau lagi menuju ke Jeng-hwa-pang di mana dia pernah disambut dengan serangan oleh para pendekar dan diapun melakukan perjalanan di sekitar daerah itu dengan hati murung. Dia akan berusaha mencari gurunya di antara para pendekar, karena hanya dengan perantaraan gurunya dia akan dapat diterima sebagai rekan oleh para pendekar.



Pada suatu hari dia tiba di sebuah hutan dan dari jauh dia sudah mendengar suara ribut-ribut di dalam hutan itu, teriakan-teriakan manusia dan kadang-kadang suara gerengan yang seolah-olah menggetarkan seluruh hutan. Ci Kang yang masih bertelanjang dada itu cepat berlari memasuki hutan dan segera dia melihat keadaan yang mengerikan. Seorang anak laki-laki berusia kurang lebih sepuluh tahun berada dalam cengkeraman seekor biruang hitam yang besar sekali dan belasan orang laki-laki Suku Bangsa Khin mengurung binatang itu dan berte-riak-teriak dalam usaha mereka menye-rang biruang itu dan menyelamatkan a-nak laki-laki itu. Akan tetapi biruang itu sungguh kuat. Dengan kaki depan kiri yang bergerak seperti lengan binatang itu merangkul dan mencengkeram tubuh anak kecil tadi, sedangkan tangan kanannya mencengkeram dan menangkis semua se-rangan tombak atau pedang yang ditusukkan kepadanya. Karena anak itu masih dicengkeram dan dipeluknya, maka para pembantu itupun berhati-hati sekali da-lam penyerangan mereka, khawatir kalau kalau senjata mereka mengenai anak itu sendiri. Dan mereka sama sekali tidak berani mempergunakan anak panah.



Melihat keadaan anak yang berada dalam ancaman maut itu, dengan pundak yang sudah robek terluka, Ci Kang tidak sempat menyelidiki lagi siapa adanya orang-orang itu dan siapa pula anak itu. Dia sudah marah sekali melihat keganasan biruang itu dan melihat pula sudah ada dua orang yang terluka parah, mungkin terkena cengkeraman kuku kaki depan kanan biruang itu. Ci Kang mengeluarkan suara melengking nyaring, mengejutkan para pemburu bangsa Khin itu dan dapat dibayangkan, betapa heran dan kagum rasa hati mereka ketika melihat pemuda yang bertelanjang dada dan mengeluarkan bunyi melengking seperti binatang buas itu meloncat dan tahu-tahu sudah menusukkan jari tangannya menotok pundak kiri biruang itu. Binatang itu mengeluarkan auman marah dan kesakitan, akan tetapi totokan yang mengenai urat besar di pundaknya itu sejenak melumpuhkan lengan kirinya sehingga ketika Ci Kang menyambar tubuh anak itu, dia tidak mampu mempertahankan.



Ci Kang cepat melemparkan tubuh anak itu kepada seorang di antara para pemburu, dan dia sendiri cepat menghadapi biruang yang kini menjadi semakin marah. Biruang itu sudah menerjang dan menubruk ke depan, kedua kaki depan itu bergerak seperti lengan yang amat kuat, dengan kuku-kuku jari yang meruncing panjang, menerkam dari kanan kiri ke arah tubuh Ci Kang. Akan tetapi, Ci Kang sudah siap siaga. Dengan gerak-an yang amat gesit tubuhnya menyelinap ke bawah kaki yang menerkam itu, dan begitu dia terhindar, dia membalik dan tangan kanannya menyambar.



"Dukkk...!" Betapapun kuatnya kepala biruang itu, begitu terkena tamparan tangan Ci Kang yang amat kuatnya, biruang itu mengeluarkan suara pekik he-bat dan tubuhnya terpelanting dan terbanting keras sampai bergulingan. Akan tetapi, binatang itu memang kuat sekali. Kulitnya yang tebal melindungi kepalanya sehingga tidak sampai pecah terpukul dan biarpun binatang itu menjadi pening ka-rena guncangan hebat pada kepalanya, ia masih dapat meloncat bangun dan me-nerkam lagi, kini gerakannya ngawur ka-rena matanya masih berkunang.



Ci Kang meloncat ke samping, kemudian dari samping dia memukul. Kini dia mengerahkan tenaga pada telapak tangan kanannya itu menghantam ke arah dada kiri biruang.



"Krakkk!" Jelas sekali terdengar tulang-tulang patah ketika tangan yang ampuh itu menghantam tulang-tulang iga di balik kulit tebal. Biruang itu mengaum dan terjengkang. Ci Kang meloncat de-kat dan sekali tangannya bergerak memukul, kini terkepal, terdengar lagi pecahnya tulang dan kepala biruang itupun retak. Binatang itupun tewas dengan mata, hidung, mulut dan telinga mengeluar-kan darah!



Terdengar sorak-sorai memuji dan bahkan ada yang bertepuk tangan, dan ada pula yang menari-nari mengelilingi bangkai biruang itu. Seorang di antara mereka yang agaknya menjadi pemimpin rombongan, memegang lengan Ci Kang dan mengguncang-guncangkan lalu memeluk Ci Kang dengan sikap ramah bersahabat.



"Orang muda, engkau telah menyela-matkan putera kepala suku kami," kata orang itu dalam bahasa Han yang cukup lancer. Kiranya orang ini adalah seorang bangsa Khin yang sudah sering berhubungan dengan orang-orang Han di perbatasan untuk menjual kulit-kulit harimau hasil buruan rombongannya.



Ci Kang melihat bahwa luka di pun-dak anak itu sudah dibalut dan bahwa anak itu tidak terancam bahaya. Dia mengangguk. "Aku tidak perduli dia anak siapa, akan tetapi aku girang kalau dia selamat," jawabnya sederhana. Jawaban ini agaknya membuat semua orang ber-gembira dan kagum dan satu demi satu mereka menyalami Ci Kang. Orang-orang ini sudah hagitu biasa dengan sikap ga-gah dan jujur, sehingga pernyataan Ci Kang itu menambah rasa kagum di hati mereka. Biasanya orang-orang Han selalu merupakan penjilat-penjilat kepada atasan dan penindas-penindas kepada bawahan, pikir mereka.



"Orang muda, mari ikut bersama ka-mi pergi menemui kepala suku kami," kala si brewok yang menjadi pimpinan rombongan itu.



Ci Kang memandang orang itu dan mengerutkan alisnya. "Aku tidak butuh hadiah!" setelah berkata demikian, dia membalikkan tubuhnya hendak pergi dari situ. Akan tetapi, dengan langkah lebar si brewok itu mengejarnya dan mendahu-luinya lalu menghadang di depannya.



"Kau mau apa?" bentak Ci Kang sambil mengepal tinju. Hatinya yang sedang kesal membuatnya murung dan mudah marah.



Tiba-tiba orang brewok itu menjatuhkan diri berlutut, "Orang muda, aku hanya minta agar engkau suka menyelamatkan nyawaku."



Tentu saja Ci Kang menjadi heran dan terkejut. "Apa maksudmu?"



"Orang muda, anak yang kauselamat-kan tadi adalah putera kepala suku kami. Kalau engkau tidak mau ikut bersama kami menemuinya, bukan untuk minta pahala melainkan untuk menjadi saksi, tentu aku dianggap mempunyai dua kesalahan dan akan dihukum mati. Pertama, aku membiarkan puteranya sampai terlu-ka dan kedua, aku membiarkan penolongnya tanpa memperkenalkannya ke-pada kepala kami."



Ci Kang mengerutkan alisnya. Dia percaya bahwa orang-orang yang kasar ini, orang-orang yang mempunyai pekerjaan yang sama dengannya, yaitu pemburu-pemburu binatang, tidak pernah membo-hong, dan kebiasaan yang kasar dan ke-ras dari kapala suku itu mungkin benar. Dan apa salahnya kalau dia berkenalan dengan orang-orang ini? Berada di antara orang-orang kasar jujur pekerjaannya memburu binatang ini dia merasa tidak asing.



"Jauhkah tempat kepala suku itu?"



"Tidak, orang muda, tidak sampai seperempat hari perjalanan. Siang nanti kita sudah akan tiba di sana."



"Baiklah. Mari kita berangkat."



Dan orang brewok itu memang tidak berbohong. Setelah matahari naik tinggi, tibalah mereka di perkampungan Suku Bangsa Khin itu dan andaikata Ci Kang tidak ikut datang, tentu si brewok ini mengalami hukuman berat. Kepala suku itu orangnya tinggi besar dan kasar, sepasang matanya yang lebar itu keras dan terbuka. Dia mendengarkan penuturan si brewok dengan alis berkerut. Akan tetapi setelah memeriksa pundak puteranya yang terluka dan mendapat kenyataan bahwa keadaan puteranya tidak berbahaya, apelagi mendengar bahwa pemuda yang tak berbaju ini telah membunuh biruang hitam besar hanya dengan pukulan tangan kosong, dia lupa akan kemarahannya. Sejenak dia memandang Ci Kang dengan sepasang mata penuh selidik dan agaknya dia tidak percaya ketika mendengar penuturan si brewok dan kawan-kawannya bahwa Ci Kang telah membunuh biruang itu hanya dengan tiga kali pukulan saja!



Kepala suku itu menggeleng kepala dan dia memandang kepada kedua lengannya yang berotot dan besar. "Mana mungkin membunuh biruang hitam dewasa de-ngan tiga kali pukulan saja? Kedua ta-ngan inipun tidak sanggup menandingi kekuatan biruang hitam. Mungkin dalam perkelahian mati-matian akhirnya aku akan dapat membunuhnya, akan tetapi dengan tiga kali pukulan? Tak mungkin! Orang muda, benarkah engkau tadi telah membunuh seekor biruang hitam dewasa dengan tiga kali pukulan?"



Ci Kang sudah menyukai sikap terbuka itu. Orang-orang ini mengagumkan, pikirnya dan cocok sekali dengan wataknya. Dia sejak kecil suka sekali berburu binatang dan walaupun ayahnya dan rekan-rekan ayahnya suka mencemoohkannya, namun dia menganggap berburu binatang untuk dimakan dagingnya dan dimanfaatkan kulitnya merupakan pekerjaan yang gagah. Mencari makan dengan cara yang perkasa!



"Benar, dan kalau aku mau, aku dapat membunuh binatang itu dengan satu kali pukulan saja!" Ucapan Ci Kang ini timbul dari hati yang sejujurnya, bukan untuk menyombongkan diri.



Kepala suku itu mengerutkan alisnya dan menganggap ucapan ini sebagai tanda ketinggian hati. "Orang muda, kalau engkau tidak dapat membuktikan ucapanmu itu, terus terang saja engkau mengecewakan hatiku dan aku menjadi tidak suka kepadamu walaupun engkau telah menolong puteraku."



"Aku tidak berbohong dan perlu apa aku membuktikan omonganku? Andaikata engkau mempunyai seekor biruang hitam di sini, akupun tidak mau membunuhnya tanpa sebab, hanya untuk membuktikan omonganku."



"Orang muda, kekuatanku lima kali seekor biruang hitam. Kalau engkau mampu mengalahkan seekor biruang dengan satu kali pukulan saja, berarti bahwa engkau akan mampu mengalahkan aku dengan lima kali pukulan. Betapa tidak masuk di akal! Nah, aku akan melihat buktinya. Kalau engkau dapat mengalahkan aku dalam sepuluh jurus, berarti omonganmu memang benar."



"Kalau tidak dapat?"



"Berarti engkau bohong dan perkenalan kita hanya sampai di sini saja. Nah, bersiaplah engkau, kecuali kalau engkau takut!"



Harga diri Ci Kang tersentuh dengan ucapan itu. "Aku tidak butuh membuktikan kemampuanku, akan tetapi kalau engkau memaksaku, jangan dikira aku takut!"



Sepasang mata yang lebar itu berseri. "Bagus, nah, mari kita mulai, orang muda!" Dia lalu mengajak Ci Kang keluar dari dalam rumahnya dan mereka sudah saling berhadapan di depan rumah itu, di halaman yang luas di mana tumbuh rum-put hijau yang subur. Orang-orang Khin ini selain merupakan pemburu-pemburu yang ulung, juga beternak domba dan mereka menanam semacam rumput yang amat gemuk dan baik sekali untuk makanan ternak mereka. Kini dua orang laki--laki itu berdiri berhadapan dan banyak sekali orang Khin yang mendengar akan kedatangan pemuda yang gagah perkasa penolong putera kepala suku mereka, su-dah berada di situ dan kini dengan wajah berseri mereka melihat betapa kepala suku mereka akan menguji pemuda itu! Melihat Ci Kang bertelanjang dada, ke-tua itupun menanggalkan baju atasnya dan Ci Kang melihat tubuh seorang laki-laki yang jantan dan amat tegap, kokoh dan kuat. Akan tetapi dia dapat menduga bahwa kepala suku itu hanya memiliki tenaga otot yang amat besar saja, dan dia tidak merasa gentar. Akan tetapi diapun tidak memandang rendah dan mengambil keputusan untuk mengalahkan rak-sasa ini kurang dari sepuluh jurus karena diapun tidak ingin kehilangan persahabat-an dengan orang-orang yang menyenang-kan hatinya. Bahkan orang-orang wanitanya yang berada di situ kelihatan gagah-gagah, sama sekali berbeda dengan wani-ta-wanita Han yang kebanyakan lemah. Tentu saja ada kecualinya, pikirnya, ter-utama sekali gadis-gadis seperti Sui Cin dan Hui Cu, puteri Ratu Iblis itu!



"Aku sudah siap!" katanya ketika melihat ketua itu melangkah maju dengan kedua lengan panjang itu tergantung ke sisi, dengan jari-jari tangan terbuka dan agak melengkung. Sikap ini mirip sikap biruang hitam tadi, pikir Ci Kang dan diapun bersikap waspada, dapat menduga bahwa orang ini tentu ahli dalam ilmu gulat dan karenanya amat berbahaya kalau sampai kedua lengan panjang de-ngan jari-jari tangan kuat itu sampai da-pat menangkapnya.



Akan tetapi ketika kepala suku itu menerjang dengan amat cepatnya, dia su-dah mengambil keputusan untuk memperlihatkan kepandaiannya dan menundukkan raksasa ini secepat mungkin. Ci Kang mempergunakan perhitungan yang matang dan berani. Ketika dua tangan yang besar itu menyambar dari kanan kiri, dia sengaja berlaku lengah atau lambat, akan tetapi untuk menjaga kecepatan gerak tangannya, dia tidak membiarkan pundak atau lengannya tersentuh, apalagi tertangkap. Dengan mengembangkan kedua lengannya, dia membiarkan batang leher dan pangkal lengan kirinya kena dicengkeram, sedangkan secepat kilat, begitu merasa kedua tangan lawan menyentuhnya, jari tangan kanannya bergerak dua kali menotok ke arah jalan darah di kedua pundak lawan. Saking cepatnya, gerakan ini sampai tidak nampak oleh kepala suku itu sendiri yang tiba-tiba merasa betapa dua buah lengannya kehilangan tenaga sama sekali dan menjadi seperti lumpuh. Biarpun kelumpuhan itu hanya terjadi untuk beberapa detik saja lamanya, namun cukup bagi Ci Kang untuk menggerakkan kakinya dan ujung sepatunya menyentuh kedua lutut lawan. Kedua kaki yang besar dan kuat itu se-ketika kehilangan tenaga dan tubuh itu-pun terkulai dan roboh miring!



Kepala suku itu merasa kaget, heran dan penasaran sekali ketika mendapat kenyataan betapa dalam segebrakan saja dia sudah roboh dan kini kedua lengannya dicengkeram oleh lawan yang sudah berlutut di belakangnya. Dia mengerahkan tenaga raksasanya, akan tetapi tiba-tibe dia mengeluh dan tubuhnya mengejang, tenaganya hilang. Tiap kali dia mengerahkan tenaga, rasa nyeri yang amat hebat naik ke dalam dadanya dari kedua lengan yang dicengkeram Ci Kang. Belum pernah selama hidupnya kepala suku itu mengalami hal seperti ini. Cengkeraman rahasia dari lawan itu membuat dia menderita nyeri hebat setiap kali dia menge-rahkan tenaga!



Melihat betapa kepala suku itu kini sama sekali tidak meronta lagi, Ci Kang melepaskan cengkeraman kedua lengannya dan melompat bangun, berdiri dengan si-kap tenang. Semua orang yang menonton pertandingan itu melongo, tak dapat percaya betapa kepala suku itu tak berdaya dan dikalahkan hanya dalam satu gebrakan saja! Hal seperti ini mereka ang-gap sama sekali tidak mungkin! Kepala suku mereka itu mempunyai kekuatan le-bih dari sepuluh orang biasa!



Akan tetapi kepala suku bangsa Khin itu sendiri adulah seorang gagah yang tentu saja cerdik. Kalau tidak demikian, tak mungkin dia bisa menjadi kepala suku bangsa yang kasar dan gagah berani, juga sukar diatur. Dia tahu apabila dia kalah dan menghadapi orang-orang yang jauh lebih kuat darinya. Oleh karena itu, diapun bangkit, memijit-mijit kedua lengannya bergantian, memandang kepada Ci Kang dengan wajah berseri, lalu mengulurkan kedua tangannya dan merangkul Ci Kang! Pemuda ini sudah siap membela diri kalau kepala suku itu akan bertindak curang, akan tetapi ternyata rangkulan itu adalah pelukan persahabatan biasa saja.



"Orang muda, sungguh engkau hebat dan aku sendiri akan memukul orang yang tidak percaya bahwa dengan satu pukulan, engkau akan mampu merobohkan seekor biruang hitam dewasa! Engkau hebat dan aku, Moghu Khali, mengaku kalah!" Ke-pala suku itu tertawa gembira dan sikap ini makin mengagumkan hati Ci Kang.



"EngkKau memiliki tenaga yang amat kuat!" Dia memuji dengan sejujurnya. "Kalau hanya mempergunakan tenaga badan saja melawanmu, aku tentu akan kalah."



Kedudukan Moghu Khali yang tinggi di antara suku bangsanya itu sama sekali tidak membuat kepala suku ini sombong atau tinggi hati. Dia tertawa dan girang sekali mendengar ucapan yang jujur itu. "Orang muda, siapakah namamu?"



"Siangkoan Ci Kang."



"Saudara Siangkoan, kita sudah saling mengenal nama dan saling mengenal tenaga dan kepandaian. Ilmu kepandaianmu dalam perkelahian memang hebat dan kalau engkau suka mengajarku tentang cengkeraman rahasia yang membuat aku tidak mampu mengerahkan tenaga tadi, sung-guh aku akan merasa gembira sekali."



Ci Kang memang merasa kagum dan suka kepada kepala suku ini, maka diapun mengangguk. "Baiklah, saudara Moghu, akan kuajarkan cara mencengkeram seperti tadi."



Moghu Khali girang sekali dan sambil menggandeng tangan Ci Kang, dia lalu mengajak pemuda itu masuk ke dalam rumah. Sejak saat itu Ci Kang menjadi seorang tamu yang amat dihormat dan disuka. Karena sikap ini, Ci Kang menjadi semakin akrab dengan mereka. Melihat betapa kepala suku itu mempunyai banyak bulu binatang liar yang bagus, diapun lalu minta dibuatkan sebuah jubah bulu harimau yang menjadi kesukaannya. Kemudian, dalam percakapan mereka, dia mendengar bahwa di antara kepala suku akan diadakan pemilihan ketua atau pimpinan.



"Di selatan terjadi pergolakan dan pemberontakan," demikian antara lain Moghu Khali berkata. "Kota benteng San-hai-koan telah diduduki pemberontak yang kabarnya didukung oleh orang-orang pandai. Kami, bangsa Mongol, Khin dan Mancu harus bersatu untuk menghadapi pemberontak itu dan rencana kami adalah merampas kota-kota yang telah mereka duduki untuk dijadikan benteng-benteng kami di perbatasan. Dan untuk itu, kami akan mengadakan pemilihan pimpinan dan kalau engkau sudi membantu, dan suka menjadi jago kami, aku yakin bahwa tentu aku yang akan terpilih menjadi pimpinan."



"Menjadi jago? Apa yang kaumaksudkan, saudara Moghu Khali?" tanya Ci Kang, di dalam hatinya terkejut mendengar betapa para pemberontak yang dipimpin oleh Raja Iblis itu ternyata telah merampas dan menduduki benteng kota San-hai-koan.



Moghu Khali lalu menceritakan kepada pemuda itu tentang rencana para suku bangsa untuk mengadakan pemilihan pimpinan melalui adu jago, seperti yang diusulkan oleh nenek Yelu Kim dan diterima oleh mereka semua.



Biarpun kepala suku itu tidak membuka semua rencana para suku bangsa utara, Ci Kang sudah dapat menduga bahwa tentu para suku bangsa itu tidak memusuhi para pemberontak karena setia kawan kepada pemerintah Kerajaan Beng, melainkan karena mereka itu juga ingin membangun kembali kekuatan mereka yang telah hancur berantakan akibat jatuhnya Kerajaan Mongol. Akan tetapi baginya, yang penting sekarang adalah menghadapi para pemberontak, dan kalau Raja Iblis sudah bersekutu dengan pasukan, bahkan telah merampas kota benteng San-hai-koan, sebaiknya kalau dia mempergunakan suku bangsa Khin ini untuk menentang para pemberontak.



"Baik, saudara Moghu, aku akan membantumu dan suka menjadi jagoanmu untuk mengalahkan para jagoan lain. Tentu saja aku tidak yakin akan menang karena suku-suku bangsa itu tentu akan mengajukan jago-jago yang tangguh."



"Ha-ha-ha! Kesanggupanmu sudah merupakan kemenangan, saudara Siangkoan. Andaikata nasib tidak mempertemukan aku dan engkau, tentu aku sendiri yang maju. Akan tetapi walaupun tidak ada kulihat jagoan di utara yang dapat mudah mengalahkan aku, namun aku masih ragu-ragu karena memang banyak orang-orang kuat yang memiliki tenaga besar dan ilmu gulat yang hebat di daerah ini. Akan tetapi, tak mungkin ada di antara mereka yang akan dapat mengalahkanmu. Ha-ha-ha, aku sendiri kalah dalam segebrakan, siapa mampu mengalahkan seorang seperti engkau? Terima kasih, saudaraku. Kita harus mengadakan persiapan sekarang."



Demikiahlah, ketika sayembera adu jago untuk menentukan pemenang bagi calon pemimpin suku-suku di utara, Ci Kang muncul dengan gagahnya, mewakili Bangsa Khin, menunggang seekor kuda putih dan memegang sebatang tombak kong-ce.



Akan tetapi bagaimana Hui Song tiba-tiba dapat menyelinap di antara banyak orang, dan berpakaian sebagai seorang anggauta romborgan Mancu Timur? Untuk mengetahui jawabannya, mari kita mengikuti perjalanan Hui Song, pemuda jenaka yang biasa bergembira dan yang kini telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi berkat gemblengan selama kurang lebih tiga tahun oleh Siang-kiang Lo-jin Si Dewa Kipas.



Seperti telah kita ketahui, Cia Hui Song hanya berhasil menyelamatkan Kok Hui Lian, anak perempuan berusia sepuluh tahun, puteri gubernur San-hai-koan yang telah tewas bersama semua keluar-ganya itu. Ketika melarikan anak perem-puan itu, dia bertemu dengan sebagian dari Cap-sha-kui dan dikeroyok. Untung ketika anak perempuan itu terancam, muncul Ciang Su Kiat murid Cin-ling-pai yang buntung lengan kirinya itu dan o-rang ini melarikan Hui Lian.



Karena San-hai-koan telah jatuh ke dalam tangan pemberontak dan dia tidak mampu melakukan suatu untuk menentang para pemberontak, Hui Song lalu pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk menghadiri pertemuan para pende-kar. Pertemuan itu menjadi semakin pen-ting saja setelah kini Raja Iblis dan ka-wan-kawannya sudah membuktikan pelak-sanaan rencana mereka untuk memberontak dengan direbutnya San-hai-koan. Di tempat ini dia bertemu dengan beberapa orang pendekar yang sudah datang terlebih dahulu. Akan tetapi karena memang hari yang ditentukan belum tiba, dia bersama para pendekar menanti di sekitar tempat itu. Tak disangkanya Siangkoan Ci Kang yang dianggap sebagai seorang tokoh muda kaum sesat yang amat berbahaya itu muncul di situ. Tentu saja Hui Song menjadi curiga. Dia tahu benar sia-pa adanya pemuda ini dan betapapun ga-gah pemuda itu, kenyataan bahwa dia adalah putera tunggal Si Iblis Buta tentu saja menimbulkan kecurigaan bahwa Ci Kang tentu datang untuk menjadi mata-mata kaum hitam. Itulah sebabnya tanpa ragu-ragu lagi Hui Song menyerangnya dan para pendekar juga menjadi marah kepada Siangkoan Ci Kang.



Pada hari itu juga girang Hui Song melihat kedatangan gurunya, yaitu Si Dewa Kipas. Murid dan guru ini segera bercakap-cakap dan ternyata kakek gendut itupun sudah mendengar tentang jatuhnya San-hai-koan ke tangan para pemberon-tak.



"Mereka telah benar-benar bergerak," kata kakek itu sambil menarik napas panjang. "Kini tidak mungkin lagi kita mela-wan mereka begitu saja. Raja dan Ratu Iblis bersama para datuk kaum sesat, be-tapapun sakti mereka itu, dapat kita ha-dapi bersama. Kalau para pendekar bersatu, agaknya fihak kita tidak akan ka-lah kuat. Akan tetapi setelah mereka itu mempunyai pasukan besar sebagai sekutu, tentu saja tak mungkin bagi kita mela-wan pasukan yang beribu-ribu banyaknya. Jalan satu-satunya bagi kita hanyalah berpencar dan membantu pasukan pemerin-tah kalau bertempur dengan mereka, di manapun juga."



Hui Song lalu bercerita tentang putera Si Iblis Buta yang baru pagi tadi datang ke tempat itu dan melarikan diri setelah mereka serang. "Dia itu tentu mata-mata musuh, suhu. Sayang kami tidak dapat menangkapnya. Dia sungguh lihai."



Kakek gendut itu mengerutkan alis-nya. Kakek yang biasanya tertawa-tawa gembira itu kini kehilangan kegembiraan-nya melihat betapa kaum pemberontak telah bergerak sebelum mereka mampu mencegahnya. "Aku tidak dapat menduga bagaimana sesungguhnya mereka itu. Aku tidak yakin apakah putera Iblis Buta itu juga bekerja untuk mereka."



"Tentu saja, suhu. Bagaimana tidak? Sejak dahulu dia itu merupakan tokoh ja-hat yang berbahaya sekali."



"Akan tetapi engkau harus ingat bah-wa ayahnya dibunuh oleh Raja Iblis," bantah kakek gendut itu.



"Sekali jahat tetap jahat!" Hui Song berkata lagi. "Putera seorang datuk se-perti Iblis Buta itu, tentu menjadi seo-rang tokoh sesat yang luar biasa. Biarpun ayahnya terbunuh oleh Raja dan Ratu I-blis, mana mungkin dia lalu berubah menjadi orang baik-baik, bahkan hendak mendekati kaum pendekar? Dia tentu mata-mata, suhu."



Kakek itu mengangguk-angguk. "Mungkin ada perebutan kekuasaan di antara mereka, Hui Song. Akan tetapi ada yang lebih penting lagi. Biarlah aku yang menghadiri pertemuan dan engkau kuberi tu-gas baru yang amat penting."



Girang rasa hati Hui Song. Dia gelisah memikirkan Sui Cin dan duduk menganggur sambil menanti hari pertemuan itu di bekas benteng Jeng-hwa-pang sungguh tidak menyenangkan hatinya. "Tugas apakah itu, suhu?"



"Setelah kini Raja Iblis bersekutu dengan pasukan pemberontak, bagi kita hanya dapat membantu pasukan-pasukan pemerintah untuk menumpas mereka. Akan tetapi ada kekuatan lain yang mungkin dapat kita manfaatkan. Kekuatan itu adalah para suku bangsa di daerah ini. Kalau mereka itu mau bergerak membantu dan menentang pemberontak, tentu akan mudah lagi menghancurkan para pemberontak berikut Raja Iblis dan kaki tangannya. Karena itu, aku menguasakan kepadamu untuk melakukan penyelidikan terhadap suku-suku liar itu, Hui Song. Kalau ada kemungkinan mengajak mereka itu untuk menentang pemberontak, sungguh merupakan bantuan besar sekali kepada pemerintah."



"Akan tetapi, bukankah suhu pernah mengatakan bahwa kita tidak akan mencampuri urusan pemerintah dan hanya semata-mata bangkit untuk menentang Ra-ja Iblis dan para datuk sesat yang hen-dak mengacaukan negara."



"Benar, akan tetapi setelah mereka itu bergabung dengan pasukan pemberon-tak, tidak ada jalan bagi kita untuk membantu pemerintah menumpas mereka."



"Baiklah, suhu, akan kuselidiki keada-an para suku bangsa di daerah ini."



Hui Song lalu meninggalkan bekas benteng Jeng-hwa-pang dan menuju ke uta-ra, mendaki bukit dan melintasi gurun pasir. Tanpa disadarinya, ia tersesat ja-lan menuju ke timur dan pada suatu ha-ri tibalah dia di sebuah dusun kecil. Ha-ri telah menjelang senja ketika dia me-masuki pintu gerbang sederhana dusun i-tu, akan tetapi yang membuat dia mera-sa heran adalah karena dusun itu sunyi senyap, tidak nampak seorang manusia, bahkan tidak terdengar sesuatu. Sebuah dusun kosong? Bukan, pikirnya. Masih ada asap mengepul dari sebuah rumah di an-tara rumah-rumah kecil yang agaknya di-bangun secara darurat di dusun itu. Akan tetapi ke manakah perginya semua orang? Agaknya mereka bersembunyi, pikirnya. Bagaimanapun juga pendengarannya yang terlatih dan amat tajam dapat menang-kap gerakan-gerakan dan dia merasa ya-kin bahwa dia telah dikurung secara sembunyi-sembunyi oleh banyak orang!



Karena dia merasa sebagai seorang tamu yang tidak diundang di dusun itu, maka Hui Song merasa tidak enak sekali dan diapun berdiri di tengah-tengah la-pangan di antara rumah-rumah itu, di mana ia melihat bekas api unggun yang agaknya baru saja dipadamkan secara tergesa-gesa. Di sini dia berdiri tegak, me-mandang ke empat penjuru, ke arah ru-mah-rumah yang sunyi itu, dan diapun berkata dengan dengan suara lantang. "Saya Cia Hui Song, seorang kelana yang kemalaman di jalan, mohon kebaikan hati para penghuni dusun untuk mengijinkan saya melewatkan malam di dusun ini!"



Tidak ada jawaban. Sampai tiga kali dia mengulang kata-katanya akan tetapi hanya dijawab oleh ringkik kuda di kejauhan saja. Akan tetapi Hui Song dapat merasakan bahwa pengurungan tempat itu makin rapat sehingga dia bersikap waspada. Tiba-tiba saja, seperti yang sudah diduganya, terdengar teriakan-teriakan dalam bahasa yang tidak dimengertinya dan tahu-tahu puluhan batang anak panah menyerbu dan menyerangnya dari semua penjuru!



"Aku bukan penjahat...!" Teriak Hui Song akan tetapi percuma saja karena anak panah yang amat banyak itu sudah mcluncur ke arah dirinya. Hui Song terpaksa menanggalkan jubahnya dan memutar jubahnya itu untuk melindungi tubuhnya. Semua anak panah runtuh dan tidak ada sebatangpun yang mengenai dirinya, akan tetapi jubahnya robek-robek, juga bajunya ada yang robek, terkena anak panah.



Begitu anak panah itu dapat diruntuh-kannya semua, tiba-tiba nampak sinar hi-tam meluncur dan dia melihat bahwa itu adalah tali-tali hitam panjang yang ber-bentuk laso pada ujungnya. Dia tersenyum dan berdiri tegak tidak mengelak. Dan laso-laso itu ternyata dengan amat cepatnya telah mengalungi lehernya, bahkan kedua tangannya juga kena dibelenggu. Harus diakuinya bahwa pelempar-pelempar laso itu amat mahir dan agaknya para penghuni dusun ini adalah peternak-peternak lembu karena hanya peternak- peternak lembu saja yang pandai menggunakan laso untuk menangkap lembu-lembu mereka yang binal atau kabur. Setelah tubuhnya terbelit-belit laso, terdengar sorak kegirangan dan kini muncul puluhan orang, laki-laki dan wanita, yang kesemuanya berpakaian indah, berwajah cantik-cantik dan tampan-tampan, akan tetapi yang pada saat itu memandang kepadanya dengan penuh kemarahan! Mereka muncul sambil mengacungkan senjata mereka yang berupa tombak-tombak, golok dan juga anak panah, semua dia-cungkan dan diangkat tinggi-tinggi. Agaknya mereka itu siap untuk mengeroyok dan menghancurkan tubuhnya. Akan tetapi terdengar bentakan nyaring dan mereka semua itu berhenti, lalu muncul seorang laki-laki muda yang tampan. Usia laki-laki ini tiga puluh tahun lebih, wajahnya tampan dan pakaiannya paling indah, dengan jubah dari bulu tebal. Laki-laki ini maju dan dia diiringkan oleh belasan orang wanita yang kesemuanya muda-muda dan cantik-cantik, usia mereka dari lima belas sampai dua puluh lima tahun! Laki-laki bermantel bulu dan bartopi lebar ini melangkah maju dan semua orang yang mengepung Hui Song hanya memandang, namun siap untuk mengeroyok Hui Song andaikata pemuda yang sudah terbelenggu banyak tali laso itu memberontak.



Kini laki-laki bertopi itu berdiri di depan Hui Song yang masih berpura-pura tidak berdaya dalam lilitan laso. Kalau dia mau, tentu saja sekali meronta semua tali laso akan putus dan dia dapat bergerak bebas. Akan tetapi dia hendak melihat dahulu perkembangannya, ingin tahu mengapa orang-orang yang tidak dikenalnya ini memusuhinya. Kemunculan mereka saja sudah menarik perhatiannya karena mereka itu tidak nampak seperti orang-orang liar yang kasar, bahkan gerak-gerik mereka halus, pakaian mereka indah dan tubuh mereka terpelihara rapi dan bersih. Laki-laki bertopi inipun nam-pak tampan dan bersih, dan wanita-wani-ta yang datang bersamanya juga cantik-cantik dan berpakaian rapi.



"Aha, kiranya engkau tampan juga!" kata laki-laki bertopi itu. "Dengan ketampanan dan kemudaanmu, apa sukarnya bagimu untuk menjatuhkan hati wanita-wanita cantik. Kenapa engkau harus mencari wanita dengan cara menculik dan memperkosanya?"



Tentu saja Hui Song melongo mendengar tuduhan-tuduhan ini. Seorang di an-tara para wanita itu, yang termuda dan paling manis tiba-tiba melangkah maju menghampirinya. Mata wanita ini merah oleh tangis.



"Kembalikan adikku...!" bentaknya dan tiba-tiba tangan yang kecil halus itu bergerak menampar.



"Plak! Plak!" Dua kali pipi Hui Song ditamparnya dan laki-laki bertopi itu cepat menangkap lengannya dan melarang-nya memukul lagi. Wanita itupun mundur sambil terisak.



"Ia adalah kakak gadis yang kauculik semalam. Nah, tidak tergerakkah hatimu menyusahkan hati seorang gadis semanis ia? Padahal, kalau engkau menjadi orang baik-baik, banyak kiranya gadis yang a-kan jatuh hati kepadamu, yang menyerahkan jiwa raga kepadamu tanpa kaupaksa atau perkosa...!"



Biarpun pria itu bicara dengan halus, dengan bahasa yang teratur dan tidak kaku, bahkan halus dan sopan seperti ba-hasa orang terpelajar, namun Hui Song merasa tersinggung dan bingung. Tampar-an tadi tidak begitu dirasakannya, akan tetapi tuduhan bahwa ia menculik dan memperkosa wanita, sungguh keterlaluan. Tahulah dia mengapa dia dimusuhi. Kira-nya dia disangka penculik wanita yang agaknya sudah beberapa kali menculik wanita-wanita dari suku ini dan malam ini sengaja mereka berusaha menjebak dan menangkap si pencuri anak perawan!



"Aku bukan pencuri perawan! Untuk apa aku mencuri wanita...?" Dia berseru beberapa kali. Akan tetapi agaknya yang mengerti bahasanya hanyalah pria berto-pi, gadis-gadis pengikutnya dan beberapa orang saja. Yang tidak mengerti lalu bertanya-tanya dan keadaan menjadi be-risik.



Tiba-tiba saja terdengar jerit wanita melengking nyaring. Semua orang terke-jut. Jerit itu keluar dari rumah terbesar yang berada di tengah dusun.



"Adikku perempuan...!" Laki-laki bertopi itu berteriak gelisah.



Hui Song segera dapat mcngerti apa yang telah terjadi. Agaknya, selagi dia ditawan dan dituduh sebagai pencuri anak perawan, si pencuri yang aseli sedang bekerja dan agaknya sekali ini yang di-curinya bukan perawan kepalang tang-gung, melainkan adik dari orang bertopi yang agaknya menjadi pemimpin mereka itu! Dan inilah kesempatan baik baginya untuk membuktikan bahwa dia bukanlah penculik perawan, dan kesempatan baik baginya untuk mencegah terjadinya perbuatan terkutuk dan juga membasmi penjahat pemetik bunga itu. Maka diapun bergerak dan sekali meronta, terdengar suara keras dan semua tali laso itupun putus. Orang-orang berteriak kaget dan Hui Song meloncat dengan gerakan seper-ti seekor burung terbang saja.



"Aku akan menangkap penjahat itu!" serunya kepada si kepala dusun dan tan-pa memperdulikan lagi teriakan-teriakan atau halangan-halangan dari mereka, dia berlompatan menuju ke arah suara jerit-an wanita tadi.



Gerakannya yang memang lincah se-kali itu tidak terlambat. Dia melihat ba-yangan berkelebat keluar dari rumah itu, memanggul tubuh seorang wanita yang kelihatan pingsan atau mungkin juga ter-totok.



"Perlahan dulu, sobat!" Hui Song ber-kata dan dia sudah menerjang ke depan, jari tengan kirinya menotok ke arah pun-dak. Orang itu nampak terkejut dan ge-rakannya ternyata juga amat cepat dan ringan. Dengan mudahnya dia menggerak-kan pundak, mengelak dan melonjutkan larinya.



Akan tetapi, dapat dibayangkan beta-pa kaget hatinya ketika tahu-tahu tangan yang tadi luput menotok itu dilanjutkan dengan totokan ke arah lambungnya sedangkan tangan lain menyambar ke atas, mencengkeram ke arah kepalanya. Dan dua gerakan ini mengandung hawa yang amat kuat! Agaknya orang itu sama sekali tidak pernah menyangka akan bertemu dengan orang sepandai ini di daerah liar itu, maka dia mengeluarkan ke arah kepalanya.



"Dukk...!" dan orang yang tidak mengerahkan semua tenaganya itu terhuyung!



"Eh, siapa kau...?" bentaknya dan dari suaranya Hui Song tahu jelas bahwa orang ini adalah seorang Han. Dan setelah orang itu kini melempar korbannya ke atas tanah dan menghadapinya, dia melihat di dalam keremangan senja bahwa dia adalah seorang laki-laki muda yang berwajah tampan bertubuh tegap dan berpakaian pesolek. Dia teringat akan putera Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta. Bukan, pemuda ini bukan putera datuk sesat itu, melainkan seorang pemuda tampan pesolek yang gerak-geriknya halus. Kalau di tempat seperti ini ada seorang penjahat bangsa Han, jelaslah bahwa penjahat itu tentu anggauta dari para datuk sesat a-nak buah Raja Iblis!



"Aku adalah pembasmimu, jai-hwa-cat terkutuk!" Hui Song membentak dan dia sudah menerjang lagi dengan tamparan-tamparan yang amat kuat karena dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang menghadapi penjahat yang dia dapat menduga juga lihai ini.



Tamparan-tamparan itu hebat sekali dan si penjahat agaknya mengenal pukul-an lihai, maka dia menggerakkan tangan, sekali ini mengerahkan seluruh tenaganya untuk menangkis.



"Plakk! Dukkk...!" Sekali ini, dua tenaga raksasa bertemu dan akibatnya, keduanya terdorong mundur dan seluruh tubuh mereka tergetar. Hui Song terkejut dan marah, akan tetapi pada saat itu, orang-orang dusun sudah datang dengan senjata di tangan. Mereka berteriak-teriak dan hendak maju mengeroyok, sebagian lagi, dipimpin pemuda bertopi, menolong gadis yang tadi dilemparkan ke atas tanah. Melihat keadaan tidak menguntungkan, penjahat pemetik bunga itu lalu mengeluarkan seruan panjang dan melon-cat jauh, terus lari menghilang dalam cuaca yang sudah mulai gelap. Hui Song tidak mengejar karena penjahat itu sudah melepas korbannya. Mengejar seorang musuh selihai itu di dalam gelap amat-lah berbahaya, dan pula, tugasnya adalah menyelidiki suku-suku bangsa ini, bukan mengejar-ngejar jai-hwa-cat.



Si pria bertopi kini menghampiri dan merangkulnya. "Engkau telah menyelamatkan adikku. Maafkan kecurigaan kami ta-di. Kami mengira engkau penjahat itu, siapa tahu engkau malah penolong kami."



"Sudahlah, kesalahpahaman itu dapat kumengerti dan dapat kumaafkan. Beta-papun juga, penjahat itu telah menolong-ku."



"Menolongmu?" Pria bertopi itu ber-seru heran.



"Kalau tidak dia muncul mencuri adikmu, tentu aku masih terus didakwa pen-curi anak perawan." Hui Song tertawa dan orang itupun tertawa, juga belasan orang wanita cantik yang mengerti omongannya tertawa. Suasana berobah gembira sekali.



"Ha-ha, ternyata engkau selain tampan dan lihai, juga periang seperti kami. Saudara yang baik, siapakah namamu tadi? Engkau tadi pernah memperkenalkan nama ketika muncul untuk pertama kali, akan tetapi sayang aku tidak begitu memperhatikan karena kemarahan menyangka engkau penjahat."



"Namaku Cia Hui Song."



"Bagus sekali, Cia-taihiap. Namaku adalah Lam-nong dan aku kepala suku bangsaku, bangsa Mancu Timur yang terpencil dan tidak besar jumlahnya. Kami hidup sebagai nelayan dan juga kadang-kadang memburu atau beternak, akan tetapi kami masih suka merantau seperti kebiasaan nenek moyang kami. Betapapun juga, kami hidup bahagia. Lihat, kami selalu bergembira, bukan? Saudaraku yang baik dan gagah, engkau menjadi tamu kehormatan kami. Malam ini kami akan berpesta untuk menyatakan kegembiraan kami." Dengan suara lantang kepala suku bernama Lam-nong itu lalu memerintahkan pembantu-pembantunya untuk menyembelih domba dan lembu dan mempersiapkan pesta untuk menghormati Cia Hui Song.



Hui Song menerima dengan gembira dan sambil bergandeng tangan dengan Lam-nong yang diiringkan belasan orang wanita cantik, Hui Song diajak memasuki bangunan terbesar di dalam dusun itu.



"Dusun ini hanya menjadi tempat peristirahatan selama beberapa pekan saja, maka kami membangun pondok-pondok darurat." Lam-nong menerangkan ketika mereka sudah mengambil tempat duduk di atas lantai bertilamkan kulit domba. "Taihiap, orang seperti engkau ini tentulah seorang pendekar seperti yang pernah kudengar diceritakan orang tentang dunia persilatan. Akan tetapi bagaimana seorang pendekar seperti engkau sampai tersesat ke sini?"



Hui Song tidak ingin bicara tentang pertemuan para pendekar dan diapun teringat kepada Sui Cin. Tadipun dia sudah cemas membayangkan Sui Cin yang kehilangan ingatan itu bertemu dengan jai-hwa-cat yang jahat seperti orang tadi.



"Aku... aku sedang mencari seorang teman..." Dia teringat betapa tadi dituduh pencuri anak perawan, maka dia menahan lidahnya yang hendak bercerita tentang Sui Cin, seorang teman perempuan! Dia tidak mau kalau nanti disangka seorang mencari wanita lagi. "Aku ingin mencari keterangan tentang Harimau Terbang..."



"Ah! Maksudmu perkumpulan rahasia Harimau Terbang?"



"Ya, benar!" Hui Song bertanya gembira. Dia memang sedang melakukan penyelidikan tentang Perkumpulan Harimau Terbang yang lencananya tertinggal di dalam Guha Iblis Neraka yang menunjukkan bahwa mereka itulah pencuri harta pusaka di dalam guha itu. "Apakah di daerah ini terdapat perkumpulan bernama Harimau Terbang?"



Mendengar pertanyaan ini, wajah Lam-nong yang tadinya gembira dan tersenyum-senyum itu berobah agak pucat dan alisnya berkerut, bahkan dia menengok ke kanan kiri seolah-olah tidak ingin percakapan itu didengar orang lain. Melihat sikap ini, berdebar rasa hati Hui Song. Agaknya penyelidikannya tentang pencuri harta pusaka itu akan mendapatkan jejak. "Harap jangan takut, saudara Lam-nong, kalau ada ancaman datang dari mereka, akulah yang akan menghadapinya!" katanya dengan suara tegas dan meyakinkan. Agaknya jaminan ini melegakan hati Lam-nong dan wajahnya berseri kembali, bibirnya tersenyum lagi.



"Cia-taihiap, bukannya kami takut, melainkan kami tidak suka berurusan dengan nenek iblis itu."



"Nenek iblis siapa yang kaumaksudkan?"



"Namanya Yelu Kim, menurut pengakuannya. Ia adalah keturnan dari Menteri Yelu Ce-tai penasihat agung dari Jenghis Khan. Kini ia menjadi tokoh sesat di daerah utara dan dianggap sebagai penasihat para kepala suku."



"Dan apa hubungannya dengan Perkumpulan Harimau Terbang?"



"Hemm, biarpun ia tidak pernah mengaku dan tidak pernah terbukti karena perkumpulan itu merupakan rahasia yang bergerak secara rahasia pula, akan tetapi semua orang di sini tahu belaka bahwa nenek itulah pemimpin Perkumpulan Harimau Terbang."



"Di manakah sarang mereka? Di mana aku bisa bertemu dengan nenek Yelu Kim itu?" Cia Hui Song bertanya dengan penuh semangat.



"Tinggallah bersama kami dan engkau akan dapat bertemu dengannya, Cia-taihiap. Besok lusa kami akan berangkat menuju ke padang pasir di mana para ketua suku mengadakan pertemuan dan pemilihan calon pemimpin. Aku yakin bahwa nenek Yelu Kim pasti akan hadir pula di sana."



"Para suku bangsa di utara ini hendak melakukan pemilihan pemimpin? Untuk apa dan apakah yang terjadi?" Hui Song bertanya girang. Tak disangka-sangkanya bahwa selain berita yang baik sekali mengenai Harimau Terbang yang diselidikinya, juga dia mendengar berita tentang kepala-kepala suku. Justeru inilah tugas yang diberikan gurunya kepadanya.



"Di perbatasan terjadi pergolakan yang mengguncangkan kehidupan tenteram para suku kami. Menurut berita, golongan hitam di selatan telah bersekutu dengan para pemberontak, dan mereka bahkan telah merampas dan menduduki benteng San-hai-koan, dan kabarnya akan terus bergerak melebarkan wilayah mereka sebelum mereka menyerang ke selatan. Kami terancam, dan... menurut rekan-rekan yang berambisi, inilah saatnya terbaik bagi kami untuk bergerak, menegakkan kembali kekuasaan Mongol di selatan. Sebetulnya aku sendiri pribadi tidak menyukai ambisi itu, akan tetapi kalau memang ketenteraman kami terancam oleh para pemberontak dan diadakan persatuan untuk menghadapi mereka, tentu aku setuju. Nah, kini para kepala suku akan mengadakan pemilihan pimpinan dan lusa kami akan berangkat."



Bukan main girangnya rasa hati Hui Song. Sambil tersenyum dan dengan wajah berseri dia segera menyatakan setuju untuk menemani Lam-nong dan anak buahnya yang akan berangkat ke tempat pertemuan itu



Malam itu, dengan penuh kegembiraan Lam-nong mengadakan pasta untuk menghormati Hui Song. Seperti telah menjadi kebiasaan mereka, pesta itu dilakukan di luar rumah, di sebuah lapangan rumput di mana dibangun tenda besar dan dinyalakan api unggun. Hui Song diberi pakaian orang Mancu dan mereka duduk di atas rumput. Daging-daging domba dan lembu dipanggang dengan bumbu-bumbu sedap sehingga asap dan uapnya memenuhi tempat itu, mengundang selera.



Lam-nong duduk di samping Hui Song, diapit-apit belasan orang wanita cantik yang ternyata adalah selir-selirnya! Hui Song sampai melongo ketika Lam-nong memperkenalkan mereka sebagai isteri-isterinya! Seorang dengan isteri demikian banyak, kesemuanya muda-muda dan cantik-cantik!



"Kenapa engkau kelihatan heran, Cia-taihiap? Aku hanya mempunyai empat belas orang isteri, itu masih sangat sedi-kit sekali kalau dibandingkan dengan yang dipunyai kepala-kepala para suku bangsa lainnya. Ada seorang kawanku mempunyai empat puluh empat orang isteri, ha-ha-ha!" Lam-nong tertawa bergelak melihat keheranan di wajah Hui Song.



Hui Song yang disuguhi arak istimewa buatan suku bangsa itu, arak yang amat harum dan keras, tertawa lepas. Memang wataknya bebas gembira, maka kini de-ngan hawa arak di benaknya, dia menja-di semakin gembira. "Ha-ha, saudara Lam-nong. Aku pernah melihat seekor a-yam jantan dengan puluhan ekor ayam betina, hal itu masih dapat kupercaya dan kumengerti. Akan tetapi manusia? Seorang harus... dengan demikian banyak...?"



"Ha-ha-ha-ha!" Lam-nong tertawa dan para selirnya yang rata-rata mengerti bahasa Han itupun tersenyum dan tersi-pu-sipu, menutupi mulut mereka dengan saputangan atau punggung tangan. "Kalau perlu aku bisa lebih kuat daripada seekor ayam jantan, ha-ha-ha! Cia-taihiap, memang manusia berbeda dengan ayam, ka-rena itu dalam hal itupun berbeda, tidak sembarang saat seperti ayam."



Merekapun tertawa-tawa dan suasana menjadi meriah ketika para selir yang memiliki suara merdu itu bernyanyi-nyanyi diiringi suara gendang, tambur dan suling. Dan mulailah selir termuda dari Lam-nong, yang manis sekali dengan kedua pipi kemerahan bukan oleh pemerah muka melainkan merah karena sehat saking halusnya kulit pipi, bangkit dan atas isyarat Lam-nong, selir itupun mulai menari. Dan Hui Song memandang dengan terpesona. Sellr ini pandai sekali manari, tubuhnya demikian lembut dan lemas meliuk-liuk di depannya, seolah-olah tubuh seekor ular saja. Suara gendang dan tambur menambah kuat gerakan pinggul dan leher itu.



"Sekarang permainan yang kami na-makan Bulan Jatuh. Siapa kejatuhan bu-lan harus bangkit dan menari, siapapun tidak boleh menolak karena menolak bulan yang jatuh ke pangkuannya berarti mengundang malapetaka dan tidak menghormati orang lain." Lam-nong berkata kepada Hui Song. Tentu saja pemuda ini tidak mengerti apa artinya kata-kata itu dan dia tidak pernah mendengar tentang permainan ini.



Sambil tertawa gembira Lam-nong menerangkan. Permainan itu seperti permainan kanak-kanak yang dikenal oleh Hui Song di selatan, akan tetapi kini dimainkan oleh orang-orang dewasa! Selir yang menari tadi membuka permainan. Kedua matanya ditutup dengan sehelai saputangan diikatkan ke belakang kepalanya, kemudian oleh dua rekannya ia diputar-putar, hal ini dimaksudkan agar selir yang tertutup matanya itu akan lupa di mana dan siapa yang duduk di sekitarnya. Setelah itu dilepas dan mulailah ia meraba-raba. Kalau ia berhasil menangkap seorang yang duduk berkeliling, ia akan meraba-raba muka orang itu dan mengatakan siapa dia. Kalau dugaannya keliru, yang ternyata setelah ia diperkenankan membuka penutup mata, maka ia harus menari lagi, kemudian setelah habis satu lagu, ia akan mencari sasaran lagi. Bagaikan bulan meluncur di antara awan-awan, penari itu akan meraba-raba dan kalau bulan itu "jatuh" kepada seseorang dan orang itu dapat ditebak siapa adanya, maka ia kejatuhan bulan dan ialah yang harus menggantikan permainan itu dan menari. Demikian selanjutnya. Tentu saja dengan adanya Hui Song di situ, permainan itu menjadi lucu dan selain menegangkan hati Hui Song, juga membuatnya merasa malu-malu dan sungkan sekali.



Selir muda yang cantik itu sudah diputar-putar dan dilepas. Kini dengan mata tertutup selir itu melangkah ke depan perlahan-lahan, kedua tangannya diluruskan ke depan meraba-raba.



Hui Song merasa betapa jantungnya berdebar tegang, apalagi ketika kedua kaki yang kecil itu agaknya hendak maju ke arah tempat dia duduk! Akan tetapi kedua kaki itu meragu, dan membelok ke kiri, kemudian maju terus dan akhirnya berhenti karena kaki itu terantuk kaki seseorang yang duduk di situ. Selir itu terkekeh, lalu berjongkok dan kedua tangannya meraba-raba kepala dan muka orang itu.



"Ihhh...!" jeritnya kecil ketika ia me-raba topi orang itu dan tahulah ia bahwa ia telah menangkap atau "jatuh" kepada seorang pemukul tambur atau gendang. Terdengar suara ketawa dari para selir dan selir yang menjadi bulan itu membuka penutup matanya, cemberut secara main-main mencela kesialan dirinya. Kalau kebetulan menangkap seorang pemain musik, maka hal itu dianggap sial karena itu berarti bahwa ia harus main lagi. Pemain musik tidak masuk hitungan karena kalau dia harus main, lalu siapa yang memukul gendang? Kembali selir itu ditutup mukanya dengan saputangan dan diputar-putar. Akan tetapi selir tadi sudah melirik ke arah Hui Song dan tersenyum. Ketika ia dilepas, iapun berjalan perlahan-lahan, berkeliling dan kedua kaki kecil tertutup sepatu baru itulah yang yang kini meraba-raba dan ketika kakinya menginjak bagian yang agak menonjol, iapun berhenti lalu membalik dan kini kedua kakinya itu bergerak perlahan menuju ke arah Hui Song duduk! Selir ini memang menjatuhkan pilihannya kepada Hui Song dan sebagai orang yang sudah biasa melakukan permainan Bulan Jatuh ini, tentu saja ia mengerti akan akal-akal yang dipergunakan orang dalam permainan ini. Tadi ketika ia membuka penutup matanya, ia telah memperhatikan dan mempelajari tanah di depan Hui Song dan ia melihat ada tanah menonjol di depan pemuda itu dan inilah yang dapat menuntunnya kepada Hui Song. Maka tadi ia berjalan keliling sampai kakinya mengijak tanah menonjol, baru ia menujukan langkahnya kepada Hui Song. Ia hendak memilih pemuda yang telah menolong adik suaminya ini untuk penghormatan dan bukan hanya selir ini, juga selir-selir yang lain dan mereka yang hadir di situ ingin sekali melihat Hui Song menjadi bulan dan menari-nari.



Dengan jantung berdebar penuh ketegangan Hui Song melihat betapa selir itu

menggerakkan dua buah kaki kecilnya menghampirinya. Dia tidak mungkin dapat lari, dan hanya tersenyum tegang. Diapun tidak dapat mengelak ketika kaki kecil itu menumbuk kakinya dan ketika selir muda itu terkekeh kecil dan berjongkok di depannya, Hui Song memejamkan mata karena hidungnya mencium bau yang amat harum dan melihat kulit muka yang demikian halusnya. Dia tetap memejamkan mata ketika wanita itu meraba-raba kepalanya, lalu mukanya, meraba-raba telinganya, hidungnya, bibir dan dagunya. Hui Song merasa betapa jari-jari tangan yang berkulit halus dan hangat itu merayap di mukanya dan dia merasa betapa semua bulu di tubuhnya meremang.



"Haii... ini... ini... Cia-taihiap...!" kata selir itu dan tebakannya disambut tepuk sorak memuji. Selir itu cepat membuka penutup matanya dan sambil tersenyum manis ia menjura dan mempersilakan.



"Silakan, taihiap, kami mohon taihiap menjadl bulan," katanya merdu.



"Ha-ha-ha, nasibmu baik, Cia-taihiap. Kami ingin sekali menyaksikan keindahan tarianmu!" kata Lam-nong gembira. Suling, tambur dan gendang dipukul gencar dan Hui Song yang mukanya menjadi merah itu terpaksa bangkit berdiri. Dia merue tubuh dan kepalanya ringan karena pengaruh arak. Hal ini membuat dia tidak malu-malu lagi dan karena dia tidak pandai menari, maka diapun mencoba untuk menirukan gerakan selir tadi. Maka nampaklah pemandangan yang amat lucu ketika Hui Song melenggang-lenggok menggoyang pinggul mengikuti irama musik, berjoget dang-dut! Karena dia memang ahli silat yang amat pandai, biarpun gerakannya lucu, namun juga lemas dan kadang-kadang bahkan diisi dnegan gerak-gerak silat. Para selir tertawa-tawa dan bertepuk-tepuk tangan memuji, membuat Hui Song bertambah gembira dan tariannyapun menjadi semakin panas.



Ketika tiba giliran Hui Song untuk ditutup kedua matanya dengan saputangan, dengan mudah saja, mengandalkan ketajaman pendengarannya, dia menjatuhkan pilihannya kepada Lam-nong! Biarpun Hui Song seorang pemuda romantia dan lincah jenaka dan gembira, namun dia belum cukup berani untuk menjatuhkan pilihannya kepada para selir itu, merasa tidak berani kalau harus meraba-raba muka seorang di antara mereka. Hal ini mengecewakan hati para selir karena mereka ingin sekali kejatuhan bulan! Mereka merasa suka kepada pemuda yang lincah ini dan ingin mempererat persahabatan.



Lam-nong adalah seorang kepala suku. Tentu saja diapun tahu bagaimana caranya untuk menjatuhkan pilihannya kepada Hui Song sehingga terjadilah hal lucu, yaitu hanya dua orang itu saja yang silih berganti menari! Akhirnya Lam-nong menyuruh para selirnya menari bersama-sama dan suasana menjadi semakin gembira dan suara ketawa mereka riuh rendah ketika mereka menari bersama-sama. Hui Song merasa suka sekali kepada keluarga kepala suku ini dan mereka makan minum dan bernyanyi-nyanyi, menari-nari sampai hampir pagi.



Demikianlah, bersama rombongan ini, Hui Song ikut pula hadir ketika diadakan pertandingan jagoan di antara kepala-kepala suku. Lam-nong sendiri tidak mengajukan jagoan. Dia bersama para pangikutnya datang hanya untuk menyaksikan saja siapa pimpinan yang terpilih. Dan Hui Song yang hendak melakukan penyelidikan tentang Perkumpulan Harimau Terbang, bersembunyi di antara orang-orang Mancu Timur itu dan dapat dibayakngkan betapa besar rasa girang, kaget dan herannya melihat Sui Cin bersama seorang nenek yang menurut keterangan Lam-nong adalah nenek Yelu Kim, kepala dari Perkumpulan Harimau Terbang yang dicari-carinya itu! Dia merasa curiga dan heran, lalu diam-diam dia memperhatikan sambil menyelinap di antara anak buah Lam-nong.



***



Demikianlah, tanpa disengaja, tiga orang muda itu ikut menghadiri pertemuan antara para suku di utara yang sedang mengadakan pertandingan untuk menentukan siapa di antara mereka yang hendak menjadi pimpinan para suku untuk memulai dengan gerakan mereka menegakkan kembali kekuasaan Mongol yang sudah runtuh. Dan mereka bertiga terpisah-pisah dalam kelompok suku yang berlainan, dengan alasan yang berlainan pula. Sui Cin berada di situ karena ia telah ditolong oleh nenek Yelu Kim yang menjadi gurunya dan kini ia membantu Yelu Kim sebagai balas budi. Siangkoan Ci Kang berada bersama suku Khin untuk membantu Moghu Khali, ketua suku Khin yang telah menjadi sahabatnya, bahkan dia mau dianggap menjadi jagoan suku itu. Adapun Hui Song berada di tempat- itu karena dia hendak menyelidiki Perkumpulan Harimau Terbang, juga untuk menyelidiki keadaan para suku bangsa di u-tara ini sesuai dengan tugas yang dibe-bankan kepadanya oleh gurunya, yaitu Siang-kiang Lo-jin atau Si Dewa Kipas.



Kini pertandingan telah dimulai dan seperti sudah diduga semula oleh setiap pengikut, jagoan-jagoan itu memang ma-sing-masing memiliki ketangguhan yang mengagumkan. Suku Mongol yang meru-pakan suku kedua terbesar sesudah suku Mancuria, mengajukan jagoan seorang ahli gulat yang bertubuh raksasa dan ja-goan ini tidak menunggang kuda, juga tidak memegang senjata apapun. Akan tetapi, ketika dia sudah maju karena menurut undian dia harus maju lebih dahulu, dia menghadapi lawan yang menunggang kuda secara mengagumkan dan mengerikan. Lawannya itu menggunakan sebatang golok dan menunggang seekor kuda. Ketika lawan itu menerjangnya dengan golok diputar dan kaki depan kuda itu mengancam hendak menumbuknya, raksasa Mongol ini tertawa, menangkap dua kaki depan kuda itu dan sekali putar, kuda itu terpelanting dan kedua tulang kaki depan itu patah membuat kuda itu tidak ammpu bangkit kembali. Lawannya cukup tangguh, ketika kuda terpelanting, dia melompat turun dan kini dia menerjang si raksasa dengan goloknya.



"Plakkk!" Raksasa Mongol itu tidak mengelak, bahkan menerima golok itu dengan tangan kosong begitu saja. Akan tetapi, bukan tangannya yang terluka, melainkan golok itu sendiri yang terlempar dan di lain saat, raksasa itu sudah menangkap pergelangan tangan lawan dan sekali mengerahkan tenaga, tubuh lawan itu sudah terlempar jauh sekali dan terbanting dengan keras ke atas tanah se-hingga jatuh pingsan dengan tulang re-muk!



Sorak sorai yang riuh rendah menyam-but kemenangan raksasa Mongol ini dan diapun memperoleh waktu beristirahat menurut peraturan walaupun si raksana Mongol itu masih menantang-nantang de-ngan congkaknya.



Menurut hasil undian, kini tiba giliran jagoan Mancu. Seperti juga jagoan Mo-ngol, maka jago dari Mancu inipun ber-tubuh tinggi besar dan terutama sekali sepasang kakinya amat panjang dan ber-otot kekar sekali. Kaki itu memakai se-patu panjang sampai ke lutut dan solnya dilapisi besi dan diapun tidak menung-gang kuda dan tidak memegang senjata. Setelah dia melawan seorang jagoan lain, Hui Song yang nonton dari dalam kelom-poknya melihat bahwa raksasa Mancu ini tidak kalah hebatnya dibandingkan dengan raksasa Mongol tadi. Kalau raksasa Mo-ngol tadi kebal dan kuat sekali, juga ahli dalam ilmu gulat, maka raksasa Mancu yang lebih tinggi ini selain ahli dalam ilmu gulan campur silat, juga tangguh sekali dengan kedua kakinya!



Dalam satu gebrakdn saja, lawannya yang menunggang kuda dan memegang tombak, dihadapi dengan tendangan kakinya yang panjang dan kuat itupun terpe-lanting jauh! Lawannya berhasil melom-pat dan menyerangnya dengan tombak. Akan tetapi, kembali kakinya bergerak dan tombak itu dihantam tangan yang amat kut, membuat tombak itu patah menjadi tiga potong! Lawannya masih penasaran dan menyerang dengan pukulan-pukulan, akan tetapi setiap pukulan ini ditangkis oleh tendangan secara sedemikian cepat dan tepatnya seolah-olah ke-dua kaki itu merupakan sepasang tangan yang lengannya panjang sekali, dan sebelum lawan itu mampu mengelak, tiba-ti-ba sebuah kaki melayang dan menghan-tam kepalanya dari samping. Orang itu terjengkang dan roboh pingsan, atau mungkin juga mati karena ketika digotong o-leh kawan-kawannya, dia sama sekali tidak bergerak dan terkulai lemas!



Ketika Ci Kang menerima gillrannya, Hui Song memandang dengan alis berkerut. Sejak tadi dia sudah melihat pemuda ini dan dia merasa heran, bertanya-tanya dalam hati mengapa putera Si Iblis Buta itu berada di sini, bahkan menjadi seorang di antara jagoan suku utara! Akan tetapi karena pertandingan itu bukan urusannya diapun diam saja dan hanya nonton. Dengan tombaknya, Ci Kang dengan mudah mengalahkan lawan, akan tetapi berbeda dengan pemenang-pemenang terdahulu, lawannya dirobohkannya tanpa menderita luka apapun, kecuall senjatanya runtuh dan lawan itu ditodong ujung tombak pada lehernya sehingga tidak mampu bergerak dan terpaksa mengaku kalah. Dan hal inipun dilakukan setelah dia membiarkan lawan menyerangnya sampai belasan jurus sehingga lawannya yang kalih itu tidak sampai terlalu kehilangan muka seperti yang diderita mereka yang tadi kalah dalam satu gebrakan saja!



Setelah semua jagoan dipertandingkan, akhirnya hanya tinggal satu orang yang belum kalah, yaitu raksasa Mongol, raksasa Mancu dan Ci Kang. Dua orang raksasa itu telah memenangkan tiga kali pertandingan yang mereka selesaikan hanya dalam beberapa jurus saja, sedangkan Ci Kang memenangkan dua pertandingan. Dan kini, menurut undian, dua orang raksasa itulah yang akan saling berhadapan. Tentu saja para penonton menjadi tertarik sekali karena sudah depat dibayangkan betapa akan hebatnya kalau dua orang raksasa yang sama tangguhnya itu maju dan saling melawan!



Mereka berdua sudah melangkah maju, kakinya melangkah seperti king-kong, dengan kedua lengan tegak terpentang, kedua kaki agak membungkuk, kepala ditundukkan dan mata mereka mengintai dari bawah alis mata yang tebal, mulut mennyeringai seperti mulut orang hutan marah. Langkah mereka seperti menggetarkan bumi dan ketegangan semakin memuncak setelah akhirnya mereka saling berhadapan dalam jarak dua meter. Agaknya mereka saling menilai dan menimbang keadaan lawan dengan pandang mata mereka. Keduanya berdiri seperti arca yang menyeramkan, sedikitpun tidak bergerak. Tiba-tiba terdengar gerengan nyaring dan kaki bersepatu itu meluncur dengan kecepatan kilat ke arah dada si raksasa Mongol. Demikian cepatnya kaki itu menyerang sehingga tidak sempat dielakkan oleh raksasa Mongol yang lamban itu, namun raksasa itu memasang dadanya dan mengerahkan tenaga sampai perutnya mengembung besar dan otot-otot menonjol di dadanya.



"Blukkk...!" Hebat sekali benturan antara kaki dan dada itu dan akibatnya, tubuh raksasa Mongol terdorong mundur tiga langkah, akan tetapi tubuh si penendang itupun terlempar ke belakang dalam jarak yang hampir sama! Keduanya kini berdiri saling pandang dan tahulah mereka bahwa tenaga mereka seimbang dan si raksasa Mancu juga tahu bahwa lawannya sungguh kebal, walaupun dia dapat menduga bahwa kekebalan itu hanya sebatas kulit saja dan tendangannya tadi setidaknya mengguncangkan isi dada lawan. Hal ini memang benar karena si raksasa Mongol merasa betapa tendangan tadi menyesakkan napasnya, maka diapun bersikap hati-hati sekali.



Ketika mereka maju kembali, si raksasa Mancu melancarkan serangan tendangan lagi. Akan tetapi kini lawannya menangkis bertubi-tubi dengan kedua lengan sehingga semua tendangannya gagal dan pada suatu saat, kaki kirinya dapat dicengkeram oleh tangan kanan jagoan Mongol. Dengan tenaga yang besar, raksasa Mongol itu mengangkat tubuh lawan ke atas dan diputar-putar dengan maksud akan dilemparkan atau dibantingkan. Akan tetapi, jagoan Mancu itu dengan kaki kanannya berhasil menendang pundak kanan lawan, sehingga cengkeramannya mengendur dan pada saat hampir dibanting, jagoan Mancu depat melepaskan dirinya. Dia terbanting akan tetapt tidak terlalu keras sedangkan lawannya yang tertendang pundaknya juga terhuyung ke belakang. Keduanya kini terengah-engah dan berdiri saling pandang bagaikan dua ekor gajah yang sedang berlaga.



Kemudian keduanya mengeluarkan teriakan-teriakan keras dan mereka saling menerjang ke depan dengan cepat. "Bress...!" Keduanya bertumbukan, mempergunakan kedua tangan dan kaki, juga dada untuk mengadu kekuatan dengan lawan. Kembali keduanya terjengkang! Mereka merangkak bangun dan melanjutkan pertandingan yang kini semakin seru bahkan mati-matian. Jagoan Mancu masih mengandalkan tendangan-tendangan-, yang disambut lawan dengan kekebalan dan kelincahan sehingga tiap kali kena dicengkeram, dia selalu dapat melepaskan diri, bahkan beberapa kali dia terbanting, akan tetapi dapat bangun kembali. Juga raksasa Mongol beberapa kali kena terjangan kedua kaki yang melakukan tendangan terbang, sampai terjengkang akan tetapi juga dapat bangkit kembali. Sorak sorai dan tepuk tangan riuh rendah menyambut pertandingan yang hebat ini.



Pertandingan itu memang ramai sekali. Dua orang raksasa itu pukul-memukul, tendang-menendang, saling mencengkeram dan berusaha merobohkan lawan mengandalkan kekuatan otot-otot tubuh yang melingkar-lingkar dan melindungi diri masing-masing dengan kekebalan tubuh. Mereka seperti dua ekor ayam jantan yang tidak mengenal artinya menyerah. Dan agaknya mereka itu akan berkelahi terus sampai mati. Para penonton menjadi seperti binatang-binatang haus darah, ingin sekali melihat seorang di antara mereka roboh dan tewas!



Akan tetapi tiba-tiba kepala suku Mongol dan kepala suku Mancu memasuki arena pertandingan dan masing-masing menyerukan kepada jagoan-jagoan itu un-tuk menghentikan perkelahian mereka. Dua orang reksasa itu mentaati dan me-reka mundur, berdiri terengah-engah dan tubuh mereka yang kokoh itu basah oleh keringat.



"Kami sudah melihat cukup!" kata ke-pala suku Mongol. "Kedua orang jagoan ini sama kuat dan kalau dilanjutkan, mungkin keduanya akan tewas. Hal ini tidak adil karena masih ada seorang jago lagi yang akan memperoleh kemenangan tanpa berkelahi kalau mereka berdua ini keduanya tewas."



"Benar!" sambung kepala suku Mancu. "Biarlah jagoan ketiga maju dulu melawan seorang di antara mereka menurut undian, baru kemudian perkelahian antara dua jagoan ini dilanjutkan!" Agaknya kedua kepala suku itu merasa yakin bahwa jagoan ketiga itu tentu akan dapat dikalahkan dengan mudah.



Mendengar itu, Ci Kang sudah mem-bisiki sahabatnya, Moghu Khali kepala suku Khin itu. Moghu Khali bangkit berdiri dan berkata dengan suara lantang, "Memang benar. yang tinggal hanya tiga orang jago. Agar adil, maka biarlah tiga orang jago itu maju bersama, saling se-rang sampai seorang di antara mereka tinggal sebagai pemenang dan yang dua orang lagi roboh."



Usul kepala suku Khin ini disetujui oleh semua orang. Tentu saja para penonton menjadi semakin gembira. Orang muda berjubah kulit hartmau itupun tadi mereka lihat cukup tangguh sehingga ka-lau tiga orang jagoan tangguh itu maju bersama dan saling serang, tentu mereka dapat menonton perkelahian yang sungguh menarik, seru dan mati-matian.



Kini tiga orang jagoan itu sudah ma-ju ke tengah arena pertandingan. Ci Kang yang maklum akan kekuatan lawan dan juga kekebalan tubuh mereka, maju sam-bil menunggang kuda putihnya dan memegang tombak kong-ce yang bergagang panjang itu. Sikapnya tenang saja. Dia sebetulnya tidak gentar kalau harus mengha-dapi mereka dengan jalan kaki dan ber-tangan kosong, akan tetapi dia tidak mau membiarkan dirinya terancam bahaya terlalu besar karena menghadapi dua orang itu dengan tangan kosong amatlah berba-haya, kecuali kalau dia menggunakan il-munya untuk membunuh mereka dengan pukulan-pukulan ampuh. Justeru dia sama sekali tidak ingin membunuh orang, apa-lagi dalam suatu pertandingan adu ke-pandaian ini di mana dia hanya menjadi wakil kepala suku Khin yang menjadi sa-habatnya.



Sementara itu, dua orang raksasa Mongol dan Mancu itu tadi telah menerima bisikan kepala suku masing-masing. Mereka memang cerdik. Mereka berdua itu maklum bahwa antara mereka terdapat tingkat kekuatan yang seimbang dan biarpun masing-masing belum dapat menen-tukan kemenangan, akan tetapi setidak-nya kesempatan mereka untuk menang adalah setengah bagian. Akan tetapi, ka-lau seorang di antara mereka sampai dibantu oleh pemuda berbaju kulit harimau itu yang dikeroyok akan celaka Maka, jalan satu-satunya bagi mereka adalah maju bersama mengeroyok pemuda berkuda itu dan setelah pemuda itu roboh, hal yang mereka yakin akan dapat mereka lakukan dengan cepat kalau mereka maju berdua, barulah mereka berdua akan dapat bertanding kembali untuk menentukan siapa yang lebih unggul.



Ci Kang sama sekali tidak menyangka bahwa dia akan dikeroyok dan barulah dia tahu akan hal ini ketika dua orang raksasa itu maju menghampirinya dari kanan kiri dengan sikap mengancam dan wajah beringas. Ci Kang sama sekali ti-dak merasa gentar, akan tetapi, diam-diam dia mengkhawatirkan kudanya, maka diapun meloloskan kedua kakinya dari injakan agar kedua kakinya bebas. Ge-rengan dari kanan kiri menandakan bahwa dua orang raksasa itu sudah mulai menyerangnya. Raksasa Mongol itu me-nyerang dari kiri dengan kedua tangan menubruk seperti seekor harimau sedangkan raksasa Mancu yang mengandalkan kekuatan kakiya telah mengirim tendangan ke arah perut Ci Kang. Pemuda ini sudah siap siaga, menyambut tubrukan raksasa Mongol dengan tombaknya. Dia bukan menusuk tubuh melainkan menggu-nakan ujung tombak yang dibalik, yaitu menggunakan gagang tombak, menusuk ke arah mata! Inipun hanya gertakan saja, atau siasat untuk mencegah raksasa itu melanjutkan serangannya. Sementara itu, tendangan kaki raksaaa Mancu ke arah perutnya itu dia sambut dengan kaki kanannya.



"Dukkk...!"



Terdengar dua orang raksasa itu me-ngeluarkan seruan kaget bukan main. Raksasa Mongol terkejut karena tiba-tiba saja ada ujung gagang tombak menyam-bar cepat ke arah matanya. Dia boleh mengandalkan kekebalannya, akan tetaipi kalau matanya dicolok dengan gagang tombak, tentu akibatnya celaka baginya. Maka tidak ada jalan lain baginya kecuali membuang diri ke belakang dan bergu-lingan setelah mengeluarkan seruan ka-get. Sedangkan raksasa Mancu yang mengandalkan kekuatan kakinya itu, begitu kakinya bertemu dengan kaki pemuda itu, tubuhnya terjengkang dan diapun bergu-lingan sambil menahan rasa nyeri yang membuat tulang kering kakinya berde-nyut-denyut panas! Dua orang raksasa itu meloncat bangun lagi dan suasana menja-di sunyi senyap karena semua penonton melongo ketika melihat betapa dalam ge-rakan pertama saja pemuda itu sudah berhasil membuat dua orang raksasa yang mereka jagoi itu jatuh bergulingan! Bahkan orang-orang Khin sendiri yang mengajukan Ci Kang sebagai jagoan mereka, nampak sunyi dan melongo, terlalu heran dan kaget sehingga lupa untuk bersorak. Bukan hanya karena ini saja, akan tetapi juga karena suku itu diam-diam merasa takut dan segan kepada suku Mongol dan Mancu yang merupakan suku-suku terbe-sar dan terkuat, maka melihat kepala su-ku mereka diam saja merekapun tidak berani untuk bersorak sorai.



Sementara itu Ci Kang maklum bah-wa kalau dia menunggang kuda mengha-dapi dua orang lawan yang ingin dia ja-tuhkan tanpa membunuh, maka kudanya tentu akan terancam bahaya, dan agak sukarlah baginya untuk melindungi kuda itu. Maka begitu kedua orang itu melom-pat bangun, dia sudah meloncat dari atas kudanya. Ci Kang sengaja meloncat dengan gaya lompatan ke atas, tinggi dan kemudian tubuhnya berjungkir balik beberapa kali di udara sebelum meluncur -turun, didahului oleh tombaknya yang menancap di atas tanah dan Ci Kang berdiri tegak di atas tombak itu dengan se-belah kaki. Sedikitpun tubuhnya tidak bergoyang! Tentu saja hal ini amat me-ngagumkan para penonton dan orang-o-rang Khin tidak dapat lagi menahan ke-banggaan dan kegembiraan hati mereka. Ketika kepala suku mereka bertepuk tangan memuji, merekapun bersorak gembira sehingga suasana menjadi riuh kembali.



Nenek Yelu Kim terkejut sekali dan ia mendekati Sui Cin, berbisik, "Pemuda itu hebat sekali, apakah engkau sanggup menandinginya?"



Sui Cin juga melihat semua itu dan diam-diam kagum akan kelihaian Ci Kang. Akan tetapi kalau hanya gin-kang seperti yang dipertontonkan Ci Kang itu, dia masih sanggup menandinginya, bahkan mengatasinya.



"Harap subo jangan khawatir," bisiknya kembali.



Sementara itu, Hui Song yang juga melihat Ci Kang bergaya, diam-diam merasa panas hatinya walaupun dia harus pula akui bahwa pemuda putera Iblis Buta itu agaknya telah memperoleh kemajuan dan kini mungkin lebih lihai daripada dahulu, hal yang sudah diduganya ketika Ci Kang muncul di bekas benteng Jeng-hwa-pang. Ada timbul keinginan untuk mencoba kepandaian pemuda itu. Akan tetapi hal itu tidak mungkin dilakukan di sini karena tentu akan mengacaukan pemilihan pimpinan itu dan dia tidak mau menyusahkan rombongan Lam-nong. Maka diapun diam saja dan hanya menonton, sambil diam-diam seringkali melirik ke arah rombongan nenek Yelu Kim dan Sui Cin.



Dua orang raksasa itu sudah menjadi marah sekali karena dalam gebrakan pertama tadi mereka telah dibikin malu. Walaupun mereka tidak terluka, akan tetapi mereka telah dipaksa roboh bergulingan. Maka kini, biarpun mereka juga kaget melihat betapa pemuda itu memperlihatkan keringanan tubuh yang istimewa, mereka berlari menerjang dengan marah.



Akan tetapi betapa kaget dan heran mereka ketika tiba-tiba saja pemuda itu lenyap bersama tombaknya dan mereka hanya menubruk tempat kosong, bahkan hampir saling pukul sendiri. Kalau saja mereka berdua itu tidak mempunyai siasat untuk lebih dahulu merobohkan Ci Kang, tentu mereka sudah saling hantam karena mereka kini saling berhadapan dekat sekali. Akan tetapi keduanya sama sekali tidak melakukan hal ini, melainkan cepat membalik dan mencari Ci Kang. Ketika melihat pemuda itu berdiri tak jauh di belakang mereka sambil melintangkan tombaknya, merekapun menyerbu lagi. Kini semua penonton maklum bahwa dua orang raksaka yang tadi saling banting-membanting itu tiba-tiba saja sudah bersatu untuk menghadapi dan mengeroyok pemuda berbaju kulit hatimau itu!



"Curang...!" Moghu Khali, kepala suku Khin itu mengomel akan tetapi tidak berani bicara keras. Bagaimanapun juga, setelah memasuki arena pertandingan, tiga orang itu bebas berkelahi dengan cara bagaimanapun juga. Dia hanya mengkhawatirkan keselamatan jagoannya karena menghadapi pengeroyokan dua orang raksasa itu sungguh amat berbahaya sekali. Juga Sui Cin dan Hui Song menonton dengan hati tegang. Mereka juga dapat merasakan betapa berbahayanya keadaan Ci Kang sekarang.



Akan tetapi Ci Kang menghadapi mereka dengan sikap tenang-tenang saja. Diapun bukan orang bodoh dan majunya ke tempat itu hanya untuk membantu Moghu Khali yang menjadi sahabatnya. Kalau dia mengerahkan tenaga dan kepandaiannya, kiranya akan mudah baginya melawan dan menewaskan dua orang raksasa ini. Akan tetapi dia tahu bahwa dengan melakukan hal ini, tentu akan timbul iri dan penasaran dalam hati para kepala suku Mongol dan Mancu yang merupakan suku yang terbesar dan kuat. Dan hal itu tentu akan membuat keadaan Moghu Khali tidak menguntungkan dan mungkin dimusuhi. Oleh karena itu, dia mengambil keputusan untuk mencapai kemenangan setelah memberi muka kepada dua orang raksasa ini, yang berarti memberi muka kepada kepala suku masing-masing.



Oleh karena itu, ketika dua orang raksasa itu datang menyerbu lagi, dia hanya mengelak dan menangkis, mampergunakan kegesitannya untuk menghindarkan diri. Terjadilah perkelahian yang kelihatannya saja seru dan menegangkan, akan tetapi bagi orang-orang pandai seperti Sui Cin dan Hui Song, nampak jelas bahwa Ci Kang sengaja mengalah dan belum pernah membalas. Dan mereka berdua inipun setelah mengamati gerak-gerik kedua orang raksasa itu mendapat kenyataan bahwa dua jagoan tinggi besar itu hanya memiliki tenaga besar saja namun dalam hal ilmu berkelahi masih jauh kalah kalau dibandingkan dengan tingkat ilmu silat Ci Kang.



Setelah membiarkan dirinya dihujani serangan sampai tiga puluh jurus lebih, tiba-tiba Ci Kang memutar-mutar tombaknya dan tombak itu lenyap berubah menjadi gulungan sinar putih yang membungkus tubuhnya. Tubuh Ci Kang sendiri lenyap, hanya nampak kedua kakinya saja kadang-kadang menginjak tanah. Melihat ini, dua orang raksasa itu menjadi terkejut dan tentu saja merasa ragu-ragu karena mereka gentar untuk menerjang dinding yang terbuat dari gulungan sinar putih itu.



Ci Kang tidak bermaksud membunuh lawan. Dia memutar tombak itu hanya untuk menciptakan dinding sinar yang menutup tubuhnya, dan memang menjadi maksudnya agar kedua orang lawan itu menghentikan serangan mereka. Pada saat kedua orang raksaaa itu berdiri bimbang, tiba-tiba Ci Kang meloncat ke depan, menggunakan tombak yang dibalik untuk menotok kedua lutut raksasa Mancu yang ahli tendang itu dan berbareng tangan kirinya menampar ke arah tengkuk raksasa Mongol sambil mengerahkan tenaga sin-kang.



Dua serangan yang dilakukukan Ci Kang ini sudah memakai perhitungan dan pemusatan tenaga, maka mengenai suarannya secara tepat sekali. Dua orang raksasa itu terpelanting dan tidak mampu bangkit kembali! Raksasa Mancu tertotok kedua lututnya dan kedua kakinya menjadi lumpuh, sedangkan raksasa Mongol yang kena dihantam tengkuknya dengan tangan yang dimiringkan itu roboh pingsan. Ternyata kekebalannya tidak mampu melindungi tengkuknya dari hantaman yang mengandung tenaga sin-kang amat kuat itu.



Suasana kembali menjadi sunyi, karena semua orang untuk ke sekian kalinya tertegun dan melongo, hampir tidak percaya bahwa pemuda itu akan mampu mengalahkan dua orang jagoan raksasa yang mengeroyoknya itu sedemikian mudahnya! Ketika tadi Ci Kang memperlihatkan kepandaiannya, tak pernah dapat dirobohkan oleh kedua orang penyerangnya, orang-orang mulai menjadi tegang dan mengira bahwa tentu akan terjadi perkelahian mati-matian. Akan tetapi siapa kira pemuda itu akan mampu mengakhiri pertandingan itu sedemikian mudah dan cepat. Akan tetapi Ci Kang tidak perduli dan dia sudah meloncat lagi ke atas punggung kuda putihnya sambil melintangkan tombaknya. Dengan gagahnya, Ci Kang menjalankan kudanya berputaran di lapangan itu, tidak bersikap sombong, melainkan menanti kalau-kalau masih ada jagoan lain yang akan maju menandinginya, sementara itu dua orang raksasa yang roboh telah digotong pergi oleh teman-temannya.



Setelah Moghu Khali mengangkat tangan bersorak, berulah anak buahnya berani bertepuk tangan dan bersorak kegirangan melihat betapa jagoan mereka mendapat kemenangan, dan tak lama kemudian hampir semua orang yang hadir bersorak menyambut kemenangan ini. Bagaimanapun juga, mereka itu adalah suku-suku bangsa yang menghargai kegagahan dan melihat kehebatan Ci Kang, mereka merasa kagum sekali. Melihat sikap semua orang ini, Moghu Khali berbesar hati untuk menuntut haknya, yaitu menjadi pimpinan karena jagoannya telah keluar sebagai pemenang. Dia melangkah maju dan mengangkat kedua tangan ke atas dan berseru dengan suara lantang.



"Seperti saudara sekalian menyaksikannya, jagoan yang kami ajukan telah menjadi juara dan mengalahkan semua jagoan lainnya, oleh karena itu..."



"Tunggu dulu...!" Suara nenek Yelu Kim melengking dan mengatasi semua suara sehingga semua orang menengok kepadanya. Nenek ini sudah bangkit berdiri pula dan mengebut-ngebutkan hud--tim di tangannya. Karena nenek ini dikenal sebagai seorang yang disegani bahkan ditakuti, dan nasihat-nasihatnya selalu ditaati oleh para suku bangsa di utara karena nasihat-nasihat itu memang amat baik dan tepat, maka kini semua orang memandang dan menanti apa yang aken dikatakan oleh nenek itu.



"Saudara sekalian harap tenang dulu. Aku sendiri masih mempunyai seorang jago, dan aku berhak mengajukan jagoku, setidaknya untuk menguji sampai di mana kemampuan jago dari saudara-saudara suku Khin itu!"



Tiba-tiba terdengar suara auman harimau yang menggetarkan jantung dan dari belakang rombongan nenek Yelu Kim melompotlah keluar seekor harimau besar yang ditunggangi oleh seorang bertubuh kecil ramping yang muka dan kepalanya ditutupi kain hitam sebagai kedok. Hanya sepasang matanya yang mencorong itu saja yang nampak dari lubang pada kain hitam itu. Orang ini menunggang harimau seperti menunggang kuda saja, tanpa sela, dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat yang panjangnya hanya dua kaki lebih.



"Harimau Terbang...!" Terdengar orang berbisik-bisik dengan mata terbelalak, dan mereka memandang dengan gentar. Hui Song yang sejak tadi memandang ke arah rombongan nenek Yelu Kim di mana terdapat pula Sui Cin, kini ikut terbelalak karena tadi dia hanya melihat gadis itu menyelinap lenyap di antara rombongan nenek itu, kini muncul orang menunggang harimau dan Sui Cin tidak nampak pula. Biarpun orang itu menyembunyikan kepala dan mukanya di balik kedok kain sutera hitam, akan tetapi dia mengenal perawakannya dan juga tadi Sui Cin memakai pakaian seperti yang kini dipakai penunggang harimau itu. Saking herannya Hui Song hanya memandang saja. Apa artinya semua ini, pikirnya. Sui Cin maju sebagai jagoan nenek Yelu Kim pemimpin perkumpulan rahasia Harimau Terbang, bahkan kini Sui Cin memakai kedok dan menunggang harimau!



Ci Kang juga terkejut sekali melihat munculnya orang menunggang harimau itu. Dari Moghu Khali, dalam percakapan mereka, dia sudah mendengar akan nenek Yelu Kim yang disegani itu, juga bahwa nenek itu memimpin sebuah perkumpulan rahasia yang bernama Harimau Terbang dan nenek itu bertindak sebagai penasihat dan pengawas para suku di utara. Kini, melihat munculnya penunggang harimau itu, dia bersikap tenang tetapi waspada. Dia tahu bahwa penunggang harimau itu seorang wanita, dan kalau seorang wanita sudah mampu menunggang harimau dengan gerakan seperti itu, tentulah wanita itu lihai sekali.



Akan tetapi calon lawannya itu agaknya tidak memberi banyak waktu baginya untuk berpikir dan melamun. Dengan lompatan-lompatan jauh, harimau itu sudah datang mendekat dan Ci Kang sudah siap siaga dengan tombaknya.



"Lihat serangan!" Tiba-tiba penunggang harimau itu membentak dan harimau itu sudah melompat, menerkam ke arah Ci Kang dan kudanya, sedangkan penunggangnya juga menggerakkan tongkatnya menusuk ke arah mata Ci Kang!



Sungguh hebat bukan main serangan itu dan melihat kenyataan betapa orang ini memberi peringatan sebelum menyerang, dalam bahasa Han yang tidak kaku, Ci Kang dapat menduga bahwa orang di balik kedok sutera hitam itu tentulah seorang pendekar wanita dari selatan! Menghadapi serangan maut itu, yang amat berbahaya bagi dirinya dan juga kuda yang ditungganginya, Ci Kang bergerak cepat. Tangan kirinya diangkat ke atas menangkis tusukan tongkat.



"Dukkk...!" Tangan kirinya yang kuat itu bertemu dengan tongkat dan tongkat itu terpental, akan tetapi Ci Kang juga merasa betape lengan kirinya tergetar. Pada saat itu diapun harus menyelamatkan kudanya, maka dia menggerakkan tombaknya menangkis dua kaki depan harimau yang menerkam itu.



"Bresss...!" Dua kaki harimau itu tertangkis dan tombaknya dilanjutkan menusuk dada harimau yang masih melompat itu.



"Dukkk...!" Kini ujung tombaknya ditangkis oleh tendangan wanita penunggang harimau! Ci Kang terkejut sekali. Sungguh hebat gerakan wanita itu dan kini harimau itu sudah menyerang lagi dengan cepat setelah tadi meloncat turun, membalik dan mengaum.



Ci Kang terpaksa memutar tombaknya untuk melindungi dirinya sendiri dan juga kudanya. Dan binatang tunggangannya itu menjadi panik, mengangkat kaki depan ke atas dan meringkik-ringkik ketakutan, juga meronta-ronta. Hal ini sungguh membahayakan dirinya dan hampir saja pundaknya terkena pukulan tongkat. Kalau dilanjutken begini, menunggang seekor kuda yang ketakutan, dia akhirnya akan celaka, pikirnya. Maka Ci Kang lalu meloncat turun dari atas kudanya dan begitu kuda itu merasa terbebas dari kendali, diapun meringkik dan melarikan diri ketakutan! Kini Ci Kang berdiri di atas tanah, siap dengan tombaknya. Dia merasa penasaran dan marah, apalagi mendengar wanita itu tertawa lirih di balik kedoknya. Engkau curang, pikirnya, mengandalkan harimau itu untuk membikin takut kuda. Maka, melihat harimau itu kembali menubruk, diapun memapakinya dengan tusukan tombaknya yang panjang.



"Tranggg...!" Ujung tombak tertangkis tongkat baja den keduanya merasa betapa masing-masing memiliki tenaga sin-kang yang sama kuat. Akan tetapi Ci Kang tidak mau memberi hati dan diapun memutar tombaknya, mendesak dan ujung tombaknya melakukan serangan bertubi-tubi ke arah tubuh harimau! Maka repotlah penunggang harimau itu yang harus melindungi tubuh harimaunya dengan tangkisan-tangkisan, yang membuat tubuhya kadang-kadang membungkuk ke sana-sini. Karena senjata di tangan Ci Kang jauh lebih panjang, maka mudah bagi pemuda itu untuk menghujankan serangan. Kalau dia menujukan serangannya kepada penunggang harimau itu, tentu lebih mudah bagi lawannya untuk melindungi dirinya dan harimau itu akan merupakan bahaya baginya. Akan tetapi karena dia menujukan serangan-sarangannya kepada tubuh harimau, sebaliknya si penunggang harimau itu yang repot bukan main harus menyelamatkan binatang tunggangannya dari tusukan tombak.



Wanita penunggang harimau itu tentu saja Sui Cin orangnya. Seperti kita ketahui, ia telah dipilih oleh Yelu Kint untuk menjadi murid dan pembantunya. Sui Cin merasa hutang budi kepada nenek itu yang telah menyembuhkannya, bukan saja dari pengaruh racun yang diberikan oleh Kiu-bwe Coa-li kepadanya, melainkan juga nenek Yelu Kim itu telah monyembuhkannya dari penyakit hilang ingatan. Dan kini, atas perintah Yelu Kim, ia maju menghadapi Ci Kang sambil menunggang harimau.



Memang benar bahwa harimau itu telah merepotkan Ci Kang dan membuat pemuda itu terpaksa turun dari kudanya yang ketakutan. Akan tetapi setelah kini pemuda itu tidak lagi menunggang kuda dan menghadapinya di atas tanah dengan tombaknya, kini keadaannya menjadi terbalik. Sui Cin kini menjadi kerepotan sekali, harus melindungi harimaunya. Ia merasa penasaran dan marah, lalu tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik beberapa kali lalu meluncur turun menyerang Ci Kang dari udara. Tongkat baja di tangannya diputar dan menhantam ke arah kepala pemuda itu.



Ci Kang terkejut dan cepat menangkis sambil mengerahkan tenaganya. Tongkat bertemu dengan tombak, nampak bunga api berpijar dan keduanya terdorong ke belakang. Sui Cin berjungkir balik lagi dan turun ke atas tanah.



"Houw-ji, mundurlah!" Ia berkata kepada harimau itu yang mengeluarkan suara menggereng, meringis memperlihatkan taringnya, akan tetapi agaknya binatang ini sudah mengenal dan mentaati suara Sui Cin. Diapun mundur mendekat nenek Yelu Kim yang mengelus kepalanya.



Kini Ci Kang berhadapan dengan Sui Cin, keduanya berdiri tegak tidak menunggang apa-apa lagi.



"Hemm, kini engkau tidak dapat mengandalkan kegalakan macan itu!" Ci Kang mengejek, diam-diam merasa kagum dan menduga-duga siapa adanya wanita perkasa bangsa Han yang menjadi kaki tangan nenek Yelu Kim ini.



"Lihat serangan!" Sui Cin membentak marah dan tidak melayani ejekan Ci Kang, tongkat di tangan menyambar ganas. Akan tetapi sambil tersenyum Ci Kang menggerakkan tombaknya menangkis dengan mudah, lalu balas menyerang, menyapukan tombaknya ke arah kaki lawannya. Akan tetapi sapuan tombak itupun dapat dielakkan dengan amat mudahnya oleh Sui Cin, dengan cara meloncat ke atas. Melihat gerakan loncatan ke atas lalu tongkat di tangan itu langsung menusuk dari atas, diam-diam Ci Kang merasa kagum juga. Bukan main wanita ini, pikirnya, memiliki gin-kang yang amat hebat dan dia harus berhati-hati karena gin-kang sehebat ini dapat mendatangkan kesukaran baginya. Maka diapun menggerakkan tombaknya melindungi dirinya dengan amat kuat, memutar tombak itu sehingga membentuk lingkaran dari gulungan sinar.



Sui Cin yang mengenal Ci Kang dan mengetahui pula bahwa putera datuk sesat Si Iblis Buta ini memang lihai sekali, tidak merasa gentar dan diapun mengandalkan gin-kangnya untuk mengimbangi kecepatan gerakan tombak. Terjadilah se-rang-menyerang dan pertandingan yang seru ini membuat semua penonton men-jadi gembira. Bagaimanapun juga, jago yang diajukan oleh suku Khin itu adalah orang Han, dan merekapun tidak tahu siapa adanya jago Harimau Terbang yang diajukan oleh nenek Yelu Kim, maka merekapun sukar menentukan siapa yang mereka dukung. Akan tetapi melihat be-tapa kedua orang itu berkelahi dengan amat cepat, perkelahian dengan ilmu si-lat yang belum pernah mereka saksikan sebelumnya, membuat mereka kagum se-kali, juga bergembira.



Akan tetapi, setelah Ci Kang menge-rahkan tenaga sin-kangnya dan mengeluar-kan semua ilmu silatnya, Sui Cin terke-jut sekali. Tadinya ia merasa yakin akan mampu mengatasi pemuda itu mengingat bahwa selama tiga tahun ini ia digembleng oleh Wu-yi Lo-jin. Akan tetapi siapa kira agaknya pemuda itupun selama ini telah memperoleh kemajuan pesat sekali sehingga kini ia sama sekali tidak mampu mendesaknya, apalagi mengatasinya. Bahkan ia mulai terdesak karena kalah kuat tenaganya walaupun dalam hal ke-cepatan ia masih lebih unggul. Akan te-tapi keunggulan dalam gin-kang inipun di-tutup oleh Ci Kang dengan gerakan tom-baknya yang luar biasa cepatnya. Tentu saja Sui Cin tidak tahu bahwa seperti juga ia sendiri, pemuda itu menerima gemblengan hebat selama tiga tahun oleh Cui-sian Lo-kai!



Nenek Yelu Kim juga melihat betapa murid atau pembantunya itu sama sekali tidak mampu mendesak pemuda baju ku-lit harimau yang amat lihai itu, walau-pun muridnya tidak dapat dibilang kalah karena keduanya agaknya memiliki kepandaian yang seimbang. Akan tetapi ia me-rasa khawatir kalau-kalau Sui Cin kalah. Ia tidak boleh kalah. Kekalahan muridnya itu berarti akan menghancurkan nama besar Harimau Terbang dan akan meruntuhkan namanya pula sebagai orang yang paling disegani di antara suku-suku di u-tara. Terutama sekali, kekalahan Sui Cin berarti kegagalannya untuk memegang tampul pimpinan di antara para suku yang hendak berjuang menegakkan kembali kekuasaan utara atas daerah selatan! Maka, diam-diam nenek ini duduk bersila dan mengerahkan semua tenaga batinnya, mulutnya kemak-kemik dan ia mulai mengerahkan kekuatan sihirnya untuk membantu Sui Cin.



Tiba-tiba terjadilah perubahan dalam perkelahian itu. Beberapa kali Ci Kang terhuyung dan kelihatan betapa dia keheranan dan kebingungan, kadang-kadang menggunakan tombaknya untuk menangkis ke kanan, kiri atau belakang, padahal dari tiga jurusan itu tidak ada sesuatu yang menyerangnya. Memang dia merasa seperti ada angin-angin pukulan menyambar dari jurusan-jurusan ini sehingga dia cepat menangkis, akan tetapi selalu hanya menangkis angin kosong saja. Karena itu, tentu saja Sui Cin memperoleh kesempatan untuk mendesaknya. Gadis ini merasa seolah-olah lawannya menghadapi pengeroyokan. Sejenak ia sendiripun heran melihat perobahan pada lawannya. Akan tetapi iapun lalu teringat kepada nenek Yelu Kim yang pandai sihir dan dapat menduga bahwa tentu nenek itu yang membantunya dengan kekuatan sihir. Hal ini malah membuat ia merasa jengkel dan marah. Ia belum kalah dan tidak akan kalah, dan sungguh memalukan kalau harus menghadapi Ci Kang dengan pengeroyokan.



Kemarahan ini yang membuat Sui Cin bertindak sambrono. Karena marah, ia menumpahkan kemarahannya kepada lawan di depannya. Tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking keras dan tangan kirinya bergerak ke depan. Nampak sinar merah disusul teriakan Ci Kang yang kaget dan kesakitan dan tubuh pemuda itupun terjengkang keras, roboh dan tidak bergerak lagi karena dia telah pingsan! Kiranya dalam kemarahannya, Sui Cin telah mempergunakan senjata rahasianya yang ampuh, yang diajarkan ibunya kepadanya. Senjata rahasia itu berupa jarum-jarum halus berwarna merah harum dan beracun! Inilah senjata rahasia yang biasa dipergunakan oleh golongan hitam dan hal ini tidak mengherankan mengingat bahwa ibu gadis itu, Toan Kim Hong, dahulunya pernah bertahun-tahun terkenal sebagai Lam-sin, seorang datuk sesat dari selatan!



Baru setelah melihat lawannya menggeletak dengan muka pucat dan pingsan, Sui Cin memandang dengan mata terbelalak, merasa menyesal mengapa ia mempergunakan senjata rahasia yang bahkan oleh ibunya sendiri ia sudah dilarang untuk sembarangan mempergunakannya. Dan dalam penyesalannya, Sui Cin sampai berdiri terbelalak dan seperti orang kehilangan akal, diam saja ketika melihat beberapa orang Khin cepat maju den menggotong tubuh Ci Kang yang masih pingsan. Sorak-sorai gegap gempita menyambut kemenangan Sui Cin dan kini terdengar suara nenek Yelu Kim yang melengking tinggi mengatasi semua suara sehingga orang orang menjadi tenang mendengarkan.



"Saudara-saudara sekalian yang tercinta. Para dewata telah menunjuk kami sebagai pemenang den pimpinan. Para jagoan tadi merupakan tenaga-tenaga yang amat baik untuk membantu perjuangan kita, juga pemuda baju kulit harimau itu agar dirawat sebaiknya. Sekarang kita beristirahat dan mempersiapkan diri untuk malam nanti mengadakan pertemuan rapat besar. Jagoku telah menang, berarti kami berhak menjadi pimpinan kalian yang akan membimbing kalian melakukan perjuangan dengan berhasil. Apakah ada yang tidak setuju dan ada yang masih hendak mengajukan jago baru?"



Semua orang menyatakan setuju. Kalau masih ada yang merasa penasaran, merekapun tidak berani bicara terus terang, karena mereka semum merasa segan dan takut kepada nenek Yelu Kim. Apalagi kini nenek itu mempunyai seorang jago yang sedemikian lihainya, sehingga melawanpun tidak akan menang. Akan tetapi, di antara para kepala suku, ada pula beberapa yang diam-diam merasa tidak setuju kalau perjuangan mereka itu dipimpin oleh seorang wanita, sudah nenek-nenek pula. Sejak dahulu, perjuangan bangsa mereka itu dipimpin oleh orang laki-laki yang gagah perkasa, bukan oleh seorang nenek tua renta. Hal ini sungguh menyinggung rasa harga diri dan kejantanan mereka. Akan tetapi, sedikit kepala suku itu, termasuk Lam-nong kepala suku Mancu Timur, tidak berani berterus terang, hanya mereka sudah kehilangan gairah untuk melanjutkan perjuangan menyerbu ke selatan kalau dipimpin oleh seorang nenek tua. Dan diam-diam kelompok-kelompok yang tidak setuju inipun meninggalkan tempat itu, tidak ingin menghadiri rapat yang dipimpin nenek itu. Juga Lam-nong mengajak rombongannya untuk kembali ke timur dan tidak mencampuri pemberontakan.



Sui Cin baru sadar ketika lengannya dipegang nenek Yelu Kim yang mengajaknya mengundurkan diri. Melihat wajah muridnya yang nampak agak pucat dan penuh penyesalan, nenek itu berbisik, "Engkau kenapakah, Sui Cin? Engkau telah menang, dan aku amat berterima kasih kepadamu. Lawanmu itu sungguh lihai sekali. Akan tetapi kenapa engkau tidak kelihatan senang, sebaliknya kelihatan muram? Apakah kemenanganmu itu tidak menggembirakan hatimu?"



Sui Cin menggeleng kepala. "Tidak, sama sekali tidak menggembirakan hatiku."



Mendengar ini, nenek Yelu Kim terkejut dan iapun menggandeng tangan muridnya dan diajaknya muridnya itu me-masuki tendanya yang sunyi menyendiri dan di sini ia bicara dengan wajah serius dengan gadis itu.



"Nah, anak yang baik, sekarang ceri-takan mengapa engkau begini muram dan mengapa kemenangan itu tidak menggembirakan hatimu."



"Subo, aku telah kesalahan tangan kepada Siangkoan Ci Kang..."



"Siangkoan Ci Kang? Siapakah itu?"



"Jagoan suku Khin tadi."



"Ah, jadi engkau sudah mengenalnya? Dia... sahabatmu?"



Sui Cin menggeleng kepala. "Bukan, bahkan dapat dibilang musuh karena dia pernah menjadi tokoh golongan hitam. Akan tetapi, subo, dia pernah menolongku, aku berhutang budi kepadanya dan tadi, karena aku merasa penasaran, aku... aku telah merobohkannya dengan jarum merah beracun yang amat berbahaya..."



Nenek itu mengangguk-angguk dan matanya yang mencorong itu menatap wa-jah muridnya penuh selidik, dan tiba-tiba ia memegang lengan gadis itu. "Sui Cin, apakah engkau... cinta padanya?"



Tiba-tiba saja wajah gadis itu berobah merah sekali dan ia memandang nenek i-tu dengan mata terbelalak. "Tidak, subo, kenapa subo bertanya dan menduga de-mikian?"



Nenek itu menarik napas panjang dan diapun menundukkan mukanya. "Karena orang hidup harus ada cinta di hatinya, anak baik. Tiadanya cinta dalam hati berarti orang hidup dalam neraka, dalam kesengsaraan, dalam kesepian, seperti aku ini..."



Sui Cin semakin heran dan kini ia bengong memandang nenek itu yang tiba-tiba saja menangis! Tangisnya sungguh -menyedihkan, kedua pundaknya tergun-cang-guncang, mukanya disembunyikan di balik jari-jari tangan itu, dan suara ta-ngisnya sampai sesenggukan. Sui Cin hampir tidak percaya melihat semua ini. Ne-nek Yelu Kim yang biasanya demikian penuh wibawa dan semangat, yang biasanya demikian tabah dan tegas, kini menangis seperti anak kecil! Sebagai seorang wanita yang biasanya amat peka menghadapi kesedihan dan tangis wanita lain, Sui Cin menahan air matanya dari kedua mata yang sudah terasa panas itu dan iapun memegang kedua lengan nenek itu.



"Subo, ada apakah? Kenapa subo menangis?"



Sampai lama nenek itu tidak dapat menjawab, hanya terisak-isak dan kadang-kadang mengusap air mata yang bercucuran. Akhirnya dapat juga ia menguasai dirinya dan tangisnya terhenti, hanya tinggal isak yang kadang-kadang saja. Ia mengeringkan semua bekas air mata dengan sehelai saputangan, lalu memandang wajah gadis itu dengan mata yang merah bekas tangis.



"Maafkan aku, Sui Cin, baru sekarang aku memperoleh kesempatan menumpahkan semua rasa duka di hatiku di depan seseorang. Ini merupakan yang pertama dan terakhir, walaupun kalau sedang sendirian, terutama sekali sebelum tidur, aku lebih sering menangis daripada tidak."



"Akan tetapi, kenapa subo? Subo adalah seorang yang sakti, yang berwibawa dan berpengaruh, bahkan kini berhasil menjadi pimpinan para suku untuk melakukan gerakan perjuangan, akan tetapi kenapa subo berduka?"



"Karena aku takut!"



Jawaban ini makin mengherankan hati Sui Cin. "Takut? Subo...? Ah, bagaimana mungkin subo mengenal takut? Takut apakah?"



"Aku takut, Sui Cin. Sungguh, aku menggigil dan jantungku berdebar hampir copot kalau aku membayangkan. Aku takut... takut akan kematian..."



"Eh? Takut akan kematian?"



"Aku takut, Sui Cin. Bagaimana nanti kalau aku sudah mati? Usiaku sudah amat tua dan hari kematianku tentu tidak lama lagi. Aku tahu bahwa kematian tidak dapat dihindarkan, bahwa semua manusia hidup pada suatu ketika pasti mati. Akan tetapi aku takut, karena begaimana mungkin aku tidak hidup lagi? Lalu bagaimana dengan aku? Bagaimana dengan kedudukanku? Ah, kalau saja aku dapat melihat apa yang terjadi setelah mati! Sudah banyak ilmu kupelajari, banyak tempat kujelajahi, namun aku belum berhasil mem-peroleh ilmu untuk menjenguk keadaan sesudah mati. Aku takut, Sui Cin... aku takut..."



Sui Cin duduk diam termenung, alis-nya berkerut. Ia sendiri belum pernah berpikir tentang kematian, bahkan sampai saat inipun ia tidak pernah perduli akan hal itu. Akan tetapi ia tidak pernah me-rasa takut walaupun ia sendiripun tidak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya sesudah mati. Akan tetapi ia tidak takut!



Rasa takut akan kematian ini bukan hanya dirasakan oleh nenek Yelu Kim, melainkan oleh kebanyakan dari kita, ti-dak perduli tua ataupun muda, kaya ataupun miskin, tinggi ataupun rendahnya ke-dudukan. Bahkan rasa takut ini lebih ba-nyak hinggap dalam batin mereka yang berkedudukan tinggi, yang kaya raya, yang terkenal dan dipuja. Sesungguhnya, meng-apa timbul rasa takut akan kematian ini? Benarkah seperti yang dikatakan oleh Yelu Kim bahwa rasa takut ini akan hi-lang kalau kita dapat menjenguk keadaan sesudah mati? Agaknya ini hanya merupakan pendapat kosong belaka. Bagaimana kita dapat takut akan sesuatu yang tidak kita mengerti? Kita hanya takut akan sesuatu yang kita mengerti, yaitu kesengsaraan, kehilangan, takut kalau-kalau hal semacam itu akan terjadi. Kita hanya takut akan hal-hal yang belum terjadi, karena rasa takut sesungguhnya merupakan akibat permainan pikiran yang mengkhayalkan hal-hal buruk yang belum ter-jadi, pikiran yang mengada-ada. Rasa ta-kut timbul karena kita tidak mau kehi-langan hal-hal yang menyenangkan kita, hal-hal yahg telah mengikat batin kita, seperti kcluarga, kedudukan, kekayaan, nama besar dan sebagainya. Kita takut kehilangan semua ini kalau kita mati, ki-ta takut akan merasa kesepian karena ti-dak adanya semua yang kita cinta itu, cinta mengandung kesenangan, cinta yang timbul karena ingin disenangkan.



Jelaslah bahwa rasa takut akan kematian timbul dari ikatan-ikatan itu, ikatan yang kita adakan karena kesenangan, karena kita ingin selalu memiliki kesenangan itu. Kita terikat kepada harta benda kita, maka kita takut kalau kehilangan harta benda itu, terikat kepada keluarga, isteri, suami, anak-anak, terikat kepada kedudukan, kemuliaan, kepada nama besar, dan kita takut kalau kehilangan itu semua. Andaikata semua yang kita anggap menyenangkan itu dapat ikut bersama kita mati, kiranya rasa takut akan kematian itupun tidak akan pernah ada!



Karena itu, dapatkah kita bebas daripada ikatan? Sehingga dengan bebas dari ikatan kita tidak akan tercekam rasa takut, bahkan tidak lagi terpengaruh oleh perpisahan dan kehilangan, sehingga tidak akan menderita kesengsaraan, kekecewaan dan kedukaan sewaktu masih hidup?



Kita semua tahu bahwa kematian tak dapat dihindarkan. Berarti bahwa perpisahan dengan apa dan siapapun juga tidak mungkin dapat pula dielakkan. Sekali waktu pasti terjadi perpisahan itu, entah kita yang ditinggalkan ataukah kita yang meninggalkan. Karena sudah pasti terjadi perpisahan ini, maka sebelum terjadi perpisahan jalan satu-satunya untuk menghindarkan duka dan rasa takut adalah kebebasan. Bebas dari ikatan. Kalau sesuatu telah mengikat kita, maka sesuatu itu akan berakar dalam hati dan kalau tiba saatnya perpisahan, sesuatu itu dicabut, sudah tentu hati kita akan terluka, akar itu akan jebol dan hati kita akan pecah berdarah.



Bebas dari ikatan bukan berarti lalu meninggalkan semua itu selagi masih hidup atau lalu acuh tak acuh, atau meninggalkan keluarga dan harta milik, meninggalkan dunia ramai dan lari ke puncak gunung atau ke tepi laut yang sunyi untuk hidup menyendiri dan bertapa. Ikatan yang dimaksudkan adalah ikatan batin. Melarikan diri hanya melepaskan ikatan lahir saja. Apa gunanya menyingkir di puncak gunung kalau hati masih terikat? Hanya sengsara yang akan dirasakan!



Bebas dari ikatan berarti tidak memiliki apa-apa secara batiniah. Secara lahiriah memang kita memiliki isteri, suami, anak-anak, keluarga, harta benda, kedudukan, nama dan sebagainya lagi, akan tetapi secara batiniah kita berdiri sendiri, tidak terikat oleh apapun juga. Bukan berarti acuh tidak acuh, bukan berarti tidak mencinta. Justeru cinta kasih sama sekali bukan ikatan! Ikatan ini hanyalah nafsu ingin senang, kesenangan untuk diri sendirt tentunya. Karena ingin senang, maka segala yang menyenangkan diri sendiri ingin dimiliki selamanya, den timbullah ikatan.



Bebas dari ikatan ini berarti mati dalam hidup. Dan kalau selagi hidup sudah bebas dari ikatan, maka kematian bukan apa-apa. Karena tidak memiliki apa-apa maka tidak akan kehilangan apapun. Orang yang berduka karena kehilangan adalah orang yang merasa memiliki yang hilang itu, terbelenggu oleh ikatan batin yang erat. Padahal, di dalam kehidupan ini tiada apapun yang langgeng, segala sesuatu yang kita punyai hanyalah untuk sementara saja, atau seperti juga berang titipan yang sewaktu-waktu akan diambil kembali oleh Sang Pemilik Abadi.



Yang bebas dari ikatan ini, yang tidak memiliki apa-apa ini, tidak membutuhkan apapun, karena segalanya sudah ada padanya, bagaikan sebuah guci yang sudah penuh, dapat menikmati kehidupan ini, dapat menikmati segala seuatu tanpa keinginan memilikinya. Karena tidak memiliki apa-apa maka dunia ini sudah menjdadi miliknya. Dan hanya yang bebas dari ikatan ini yang mengenal apa itu sesungguhnya yang dinamakan cinta kasih.



Tidak semua orang dapat bebas dari ikatan. Bahkan banyak orang-orang yang dianggap dan merasa dirinya pandai, maju dan sebagainya, masih terbelenggu oleh ikatan-ikatan. Seperti juga nenek Yelu Kim, biarpun ia pandai dan berkedudukan tinggi, namun ia belum mampu membebaskan diri dari ikatan sehingga timbul rasa takut akan kematian yang pada hakekatnya takut kehilangan segala yang mengikatnya itu.



Sui Cin memandang wajah nenek itu yang kini menjadi ag&k pucat dan wajah itu membayangkan kedukaan. "Subo, aku sendiri tidak takut terhadap kematian. Aku tidak mengerti tentang kematian, perlu apa takut? Biarlah kuserahkan hidup dan matiku kepada Thian yang Maha Kuasa."



Nenek itu kini dapat tersenyum dan mengangguk. "Akupun sudah berusaha berbuat demikian, akan tetapi hatiku selalu masih meragu, Sui Cin. Sudahlah, hatiku sudah mulai tenang, dan aku teringat kepada pemuda perkasa itu. Sui Cin, apakah engkau merasa menyesal setelah melukainya dan apa yang akan kaulakukan sekarang?"



"Aku bingung, subo. Jarum-jarum merah itu beracun dan berbahaya sekali, padahal, aku telah kehilangan bekal obat penawarnya. Kalau dia tidak cepat mendapatkan obat yang tepat, dan sampai tewas oleh jarum-jarumku, sungguh aku merasa menyesal bukan main. Di antara kami tidak ada permusuhan, bahkan aku berhutang nyawa kepadanya..." Sui Cin tidak mau menceritakan bahwa pemuda itu menolongnya dari ancaman bahaya yang lebih hebat daripada nyawa, yaitu ketika ia hampir diperkosa oleh Sim Thian Bu, jai-hwa-cat yang menjadi saudara seperguruan sendiri dari Ci Kang.



Nenek itu tersenyum. "Jangan khawatir, muridku. Tidak percuma engkau menjadi murid Yelu Kim! Coba keluarkan jarum merahmu, setelah mengenal macam racunnya, kiranya aku akan dapat memberikan obat penawarnya."



Giranglah hati Sui Cin dan ia cepat mengeluarkan beberapa batang jarum merah halus kepada nenek itu. Yelu Kini menerima jarum-jarum itu dan membawanya masuk ke dalam kamarnya untuk mempelajari racunnya tanpa gangguan. Tak lama kemudian, nenek itu sudah keluar membawa obat penawarnya! "Campur bubukan ini dengan secawan arak, minumkan padanya dan dia pasti akan sembuh. Kalau dia masih lemah, masak akar ini dengan nasi lalu beri dia makan, tentu kesehatannya akan pulih sama sekali."



Dengan hati kagum terhadap kelihaian nenek itu dan juga dengan girang Sui Cin menerima bungkusan dua macam obat itu. Akan tetapi ia mengerutkan alisnya dan bertanya, "Subo, bagaimana aku dapat memberikan obat-obat ini kepadanya?"



Yelu Kim tersenyum lebar. "Anak bo-doh, apa sukarnya itu? Ingat, aku ini menjadi pemimpin mereka. Apa sukarnya bagimu untuk mengunjungi pemuda itu di perkemahan orang-orang Khin? Nah, kau-bawa ini dan perlihatkan kalau ada yang menghalangi kunjunganmu,. Katakan bah-wa aku yang mengutusmu untuk mengo-bati pemuda itu."



Sui Cin menerima sebuah lambang berupa seekor harimau terhang dari ne-nek itu. Ia memandang kagum. Ia sudah tahu bahwa gurunya adalah pemimpin Perkumpulan Heriman Terbang yang ditakuti oleh para suku utara, akan tetapi baru sekarang ia melihat lambang perkumpulan itu. Ia mengantongi obat-obat dan lam-bang itu, lalu memberi hormat kepada Yelu Kim.



"Terima kasih atas bantuan subo se-hingga aku mendapatkan kesempatan un-tuk membalas budi Siangkoan Ci Kang dan menebus kesalahanku telah malukainya."



"Berangkatlah sekarang. Perkemahan orang-orang Khin berada di ujung barat dan malam ini semua kepala suku berkumpul untuk mengadakan rapat seperti yang kuperintahkan tadi. Engkau mempunyai banyak waktu dan kesempatan untuk mengobati dan merawatnya tanpa banyak gangguan."



Tepat seperti yang dikatakan nenek itu, ketika Sui Cin berkunjung ke perke-mahan suku Khin, begitu ia dikenal seba-gai murid nenek Yelu Kim yang dapat menunjukkan lambang Harimau Terbang, ia di diterima dengan gembira den penuh hormat. Apalagi ketika ia menyatakan maksud kunjungannya adalah untuk meng-obati Siangkoan Ci Kang, Moghu Khali sendiri menyambutnya dan mengantarkan-nya ke dalam kamar Ci Kang.



Keadaan Ci Kang amat menyedihkan. Pemuda itu rebah terlentang di atas se-buah pembaringan, hanya memakai sepa-tu dan celananya saja. Tubuh atasnya te-lanjang, tertutup selimut sampai ke dada dan wajahnya agak pucat, kedua matanya terpejam dan dia masih pingsan.



"Kami telah mencabuti beberapa batang jarum halus merah dari dadanya, akan tetapi ahli pengobatan kami tidak sanggup menyadarkannya. Agaknya jarum-jarum itu mengandung racun yang jahat. Bagaimana nona akan dapat menyembuhkannya?" tanya kepala suku itu dengan khawatir.



Sui Cin tersenyum. "Jangan khawatir, aku mempunyai obat penawarnya."



Kepala Suku Khin itu memandang tajam, kemudian dia bertanya dengan ragu-ragu. "Jadi... nona ini... adalah penunggang harimau yang telah mengalahkannya tadi?"



Sui Cin mengangguk, hanya tersenyum dan mengangguk.



"Ahhh...!" Seru Moghu Khali dengan takjub. Dia seorang yang amat menghargai kegagahan dan sama sekali ia tidak mengira bahwa penunggang harimau yang telah mengalahkan jagoannya itu adalah gadis cantik jelita yang kelihatan lemah ini. "Sungguh beruntung aku dapat berhadapan dengan seorang yang berkepandaian tinggi seperti nona," katanya sambil memberi hormat.



Sui Cin merasa suka kepada kepala suku yang tinggi besar dan nampak kuat sekali akan tetapi yang bersikap jujur dan ramah ini.



"Sekarang harap aku diberi kebebasan untuk mengobatinya."



"Baiklah, silakan nona," Moghu Khali lalu memanggil seorang pelayan wanita untuk membantu Sui Cin. Kemudian dia meninggalkan kamar itu. Kepada pelayan yang biarpun tidak lancar dapat pula berbahasa Han itu Sui Cin minta disediakan arak yang baik, juga minta disediakan alat memasak obat di dalam kamar itu. Setelah semua ini tersedia, iapun menyuruh pelayan wanita meninggalkannya dengan Ci Kang berdua saja. Ia lalu menutupkan daun pintu kamar, dan membuka jendela kamar lebar-lebar agar hawa di dalam kamaar menjadi segar.



Ia memeriksa luka-luka kecil di dada Ci Kang. Jantungnya berdebar dan mukanya menjadi merah tanpa disadarinya ia melihat dan meraba dada yang bidang dan kokoh kuat itu. Belum pernah ia berada sedekat ini dengan pria, apalagi meraba dada yang tak berbaju. Ia melihat bekas-bekas tusukan jarumnya, kemerahan dan agak menghitam. Dikeluarkannya obat bubuk pemberian nenek Yelu Kim, dicampurnya obat itu dengan secawan arak. Dengan hati-hati ia lalu menggunakan tangan kanan untuk membuka rahang pemuda itu dan setelah mulut terbuka, ia menuangkan arak obat itu perlahan-lahan, ke dalam mulut. Untung baginya bahwa pemuda itu agaknya hanya setengah pingsan saja, karena buktinya dia dapat menelan arak yang memasuki kerongkongannya.



Setelah semua arak obat dalam cawan pindah ke dalam perut Ci Kang, Sui Cin lalu menyingkap selimut yang menutupi dada, dan menempelkan kedua telapak tangannya ke atas luka-luka kecil merah itu dan mengerahkan sin-kang untuk menyedot racun. Lambat laun ia merasa betapa kulit dada itu panas sekali, makin lama semakin panas sehingga ia hampir tidak tahan. Akan tetapi Sui Cin bertahan terus mengerahkan sin-kangya sampai akhirnya ia merasa betapa telapak tangannya yang menempel pada dada Ci Kang itu menjadi basah dan ketika ia melihatnya, ternyata telapak tangannya berdarah. Kiranya darah telah dapat disedot dari luka-luka kecil itu dan ia tahu bahwa ini bukan hanya karena tenaga sin-kangnya, melainkan terutama sekali karena manjurnya obat penawar racun yang mulai bekerja dengan cepatnya.



"Uhhh...!" Ci Kang mengeluh dan menggerakkan bibirnya. Bulu matanya bergerak-

gerak dan dia mulai sadar. Sui Cin hanya memandang tanpa melepaskan kedua telapak tangannya dari dada pemuda itu.



Sepasang mata itu kini perlahan-lahan- terbuka dan Ci Kang memandang nanar ke atas. Akan tetapi kesadarannya pulih kembali dan ketika pandang matanya bertemu dengan wajah cantik yang berada tidak jauh dari mukanya, dia terbelalak, mengejap-mengejapkan matanya seperti ingin memastikan apakah dia tidak sedang bermimpi. Apalagi ketika dia teringat akan wajah cantik itu. Inilah puteri Pendekar Sadis itu, yang pernah ditolongnya, juga pernah menolongnya, dan pernah pula mereka berdua saling bertanding karena memang keduanya berdiri di dua pihak yang saling bertentangan. Gadis gagah perkasa yang amat menarik hatinya itu! Dan kini gadis itu meletakkan kedua tangan ke atas dadanya, dan dari getaran yang keluar dari telapak tangan itu diapun maklum bahwa gadis ini sedang berusaha untuk menyembuhkannya! Dan diapun teringat bahwa dia roboh karena menjadi korban serangan jarum halus yang harum dan merah.



"Kau... kau nona Ceng... kau... mengobati aku...?" tanyanya dengan suara berbisik dan dia merasa betapa tubuhnya lemah sekali.

"Diamlah, jangan bergerak dulu. Lihat, racun itu sudah tersedot keluar dari tubuhmu!" Sui Cin melepaskan kedua tangannya dan Ci Kang melihat betapa ada darah merah kehitaman pada kedua tepalak tangan yang tadi menempel di tubuhnya, yang dia rasakan amat halus dan hangat. Sui Cin mencuci kedua tangannya. Obat dari nenek itu telah bekerja dan ia maklum bahwa obat itu memang mujarab sekali.



"Tapi... mengapa... bagaimana engkau dapat berada di sini, nona? Dan mengapa engkau bersusah payah mengobati orang macam aku?" Ada rasa haru menyelinap di dalam hati Ci Kang. Sama sekali ia tidak pernah dia mimpi bahwa seorang nona seperti Ceng Sui Cin ini mau mengobatinya seperti itu.



"Ci Kang, apa salahnya kalau aku mengobatimu? Bukankah engkau pernah pula menolongku dahulu? Sudah sewajarnya kalau sekarang aku mencoba untuk menyembuhkan dan aku gembira sekali telah berhasil. Racun jarum itu berbahaya sekali dan tanpa obat penawar yang tepat, bisa berbahaya bagi keselamatan nyawamu."



"Engkau sungguh lihai, nona, di samping ilmu silat yang tinggi, juga masih memiliki keahlian mengobati luka beracun."



"Ah, tak perlu memuji," kata Sui Cin sambil duduk kembali di tepi pembaringan dan menggunakan kain bersih untuk membersihkan darah dari dada Ci Kang. "Aku dapat mengobati karena tentu saja aku mengenal bekerjanya jarum-jarumku sendiri."



Pemuda itu terkejut. "Kau...? Jadi engkaukah penunggang harimau itu, nona? Ahh, sungguh tak kusangka. Akan tetapi, bagaimana engkau dapat berada di sini, bahkan menjadi jagoan nenek Yelu Kim? Sungguh membingungkan!"



"Aku sendiripun bingung melihat engkau menjadi jagoan suku Khin. Aku pernah diselamatkan nenek Yelu Kim dan aku membalas budinya dengan membantunya di dalam perebutan kedudukan pimpinan itu. Ketika melihat engkau juga menjadi jagoon, aku terheran-heran. Kemudian engkau keluar sebagai pemenang seperti yang sudah kuduga dan aku terpaksa mentaati permintaan nenek Yelu Kim untuk maju dan menghadapimu."



"Dan aku roboh. Engkau sungguh lihai sekali, nona."



"Sudahlah, pujianmu membuat aku malu. Kalau tidak mengandalkan jarum-jarum itu sebagai senjata yang curang, tentu aku sudah kalah. Engkaulah yang lihai sekali, Ci Kang. Akan tetapi bagaimana engkau tiba-tiba saja menjadi jagoan yang diajukan oleh orang-orang Khin? Amat lucu dan aneh keadaan kita berdua ini, tiba-tiba saja berada di antara suku-suku bangsa liar di utara dan menjadi jagoan-jagoan mereka."



Ci Kang menarik napas panjang, agaknya tidak merasa lucu seperti Sui Cin melainkan merasa berduka. "Ah, semua ini adalah gara-gara ayahku. Kalau tidak karena ayahku, tidak mungkin aku sampai terlibat dalam urusan para suku utara ini, bahkan tidak mungkin aku bisa berkeliaran sampai ke utara ini." Suara Ci Kang mengandung penuh penyesalan.



"Ah, kenapa engkau menyalahkan ayahmu?" Sui Cin bertanya heran.



Kembali pemuda itu menarik napas panjang, diam-diam merasa heran mengapa tubuhnya menjadi semakin lemas saja.



"Ayahku dikenal sebagai Siangkoan Lo-jin, lebih celaka lagi dikenal sebagai Iblis Buta. Ayahku dikenal pula sebagai seorang datuk sesat. Sejak dahulu aku tidak setuju dengan cara hidup ayah dan selalu menentangnya. Akan tetapi hal itu malah membuat ayah marah dan menyebabkan aku terpaksa melarikan diri dari ayah. Aku mencoba untuk mencuci nama ayahku dengan bergabung kepada para pendekar, menentang kejahatan. Akan tetapi, karena nama ayah sudah begitu tersohor busuk, aku malah dimusuhi ketika tiba di bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk menghadiri pertemuan para pendekar. Dengan rasa malu dan duka, aku berkeliaran sampai di sini dan bersahabat dengan kepala suku Khin sehingga akhirnya aku menjadi jagoannya. Bukankah menyedihkan sekali keadaanku? Sayang jarum-jarummu masih terhalang oleh baju kulit harimauku sehingga tidak masuk lebih dalam. Kalau kuingat keadaanku, lebih baik kalau jarum-jarum itu menewaskanku saja. Mati di tanganmu adalah mati terhormat karena engkau adalah seorang pendekar wanita gagah perkasa, puteri Pendekar Sadis...!"



"Sudahlah, Ci Kang. Tak perlu menye-sali diri dan tidak ada baiknya pula mencela ayah kandung sendiri yang sudah tidak ada, apalagi bagaimanapun juga ayahmu meninggal dengan gagah perkasa, be-rani menentang Raja dan Ratu Iblis. Sayang bahwa dia meninggal karena kecurangan Raja Iblis..."



"Apa...?" Sepasang mata Ci Kang terbelalak. "Kematian ayah karena kecurangan Raja Iblis? Apa maksudmu?"



Baru Sui Cin mengerti bahwa pemuda ini belum tahu bagaimana ayahnya me-ninggal. Ia memandang dengan hati kasihan. Walaupun pemuda ini putera datuk sesat, akan tetapi telah meninggalkan kesan baik dalam hatinya dalam pertemuan- yang pertama, ketika pemuda ini menyelamatkannya dari bencana perkosaan. Dan apa yang diceritakan Ci Kang tadi bahwa dia selalu menentang ayahnya sampai di-musuhi, membuat hatinya merasa semakin kasihan dan suka.



"Aku melihat sendiri peristiwa itu, Ci Kang. Dalam pertemuan para datuk sesat itu, Raja dan Ratu Iblis hendak menguasai mereka, menjadi pimpinan dan hendak mengajak para datuk untuk memberontak. Akan tetapi ayahmu menentang dan dia lalu diserang oleh Ratu Iblis. Mereka berkelahi dengan hebat dan nyaris Ratu Iblis tidak mampu menandingi ayahmu, akan tetapi diam-diam ia dibantu Raja Iblis yang curang dan ayahmu tewas."



"Ayah!" Ci Kang bangkit duduk, wajahnya berseri, tangannya dikepal. "Akhirnya! Akhirnya engkau juga menentang mereka dan bahkan mengorbankan nyawa dalam menentang mereka. Aku bangga, ayah, aku bangga...!" Pemuda itu tiba-tiba memejamkan kedua matanya dan terjengkang ke belakang, terjatuh rebah lagi dan mukanya kini menjadi pucat sekali, kedua tangannya menekan-nekan pelipis kepala.



"Eh, Ci Kang, engkau kenapakah...?"



Sui Cin bertanya kaget setelah tadi terheran-heran melihat sikap Ci Kang bergembira mendengar ayahnya tewas oleh kecurangan Raja Iblis. Ia memegang tangan pemuda itu dengan khawatir karena wajah pemuda yang tadinya sudah nampak segar itu kini menjadi layu kembali.



"Tidak tahu... tubuhku lemas sekali... tenagaku hilang dan kepalaku... pusing..."



Tiba-tiba Sui Cin teringat akan pesan nenek Yelu Kim yang sudah memberinya obat berupa akar-akaran yang harus dimasak dengan nasi untuk menyembuhkan Ci Kang kalau tubuhnya terasa lemah den lemas. Tentu akibatnya atau pengaruh obat penawar tadi, pikirnya.



"Jangan khawatir, Ci Kang. Kau rebah saja yang enak, aku akan membuatkan obat untuk menyembuhkanmu dan memulihkan tenagamu." Ia memasang bantal di punggung dan kepala Ci Kang sehingga pemuda itu dapat duduk setengah rebahan dengan enak. Lalu sibuklah gadis itu memasak akar dicampur nasi dan masakan yang sudah disediakan oleh pelayan tadi. Sebentar saja selesailah pekerjaannya dan ia membawa mangkok nasi berikut akar dan sayuran itu ke pembaringan. Dengan sepasang sumpit, diaduknya nasi itu agar agak dingin. Ci Kang masih rebah dengan kedua mata terpejam itu.



"Ci Kang, obatnya sudah masak. Mari kau makan ini, tentu engkau akan sembuh sama sekali." katanya.



Ci Kang membuka mata, nampak lemas sekali dan ketika dia mengulur tangan menerima mangkok itu, hampir saja mangkok itu terlepas dan tumpah karena tangannya juga gemetar. Melihat ini, Sui Cin cepat mengambil kembali mangkok itu.



"Ah, engkau benar-benar kehilangan tenagamu. Biarlah kubantu kau, Ci Kang." Sui Cin lalu menggunakan sumpit untuk menyuapkan makanan ke mulut pemuda itu.



"Sungguh engkau membuat aku merasa malu, nona. Perawatanmu seperti ini... aku... aku berterima kasih sekali..." kata Ci Kang yang merasa sungkan.



"Aihhh, engkau sedang sakit, sudahlah jangan banyak memikirkan hal-hal yang tidak perlu. Makanlah ini." kata Sui Cin dan mulai menyuapkan nasi berikut obat dan sayur-mayur itu ke mulut Ci Kang yang menerimanya dengan hati penuh rasa terima kasih.



Ci Kang sedang menderita sakit sedangkan Sui Cin sedang mencurahkan seluruh perhatiannya kepada pemuda itu, maka mereka berdua yang berilmu tinggi dan biasanya amat waspada itu tidak mendengar sama sekali bahwa di luar jendela terdapat sesosok bayangan orang yang baru tiba dan kini bayangan itu mengintai dari balik jendela. Bayangan orang itu adalah Cia Hui Song dan setelah melihat keadaan di dalam kamar itu, Hui Song mengerutkan alisnya dan matanya mengeluarkan sinar marah! Hati siapa yang tidak akan marah melihat gadis yang sudah lama menjatuhkan hatinya itu, gadis pujaan hati yang diam-diam amat dicintanya, kini duduk di tepi pembaringan dan menyuapkan makanan kepada Ci Kang! Begitu mesra nampaknya. Hui Song bukan seorang pemuda yang sembrono dan singkat pandangan. Dia tahu bahwa Ci Kang tadi roboh terluka dan agaknya pemuda itu kini menderita sakit cukup berat, maka kalau dia disuapi makanan, hal itu tidak membuatnya heran atau ribut-ribut. Akan tetapi, justeru yang menyuapkan makanan adalah Sui Cin! Apa artinya ini! Bukankah tadi yang merobohkan Ci Kang adalah wanita penunggang harimau yang dia yakin adalah Sui Cin juga. Mending kalau Sui Cin merawat orang lain, akan tetapi yang dirawat ini adalah Ci Kang, tokoh sesat muda yang lihai dan berbahaya lagi jahat itu! Hati siapa tidak akan panas?



Hati Sui Cin merasa lega dan girang ketika melihat perubahan pada wajah Ci Kang. Kini warna pucat itu berangsur-angsur hilang dari wajah yang ganteng itu, terganti warna kemerahan. Akan tetapi, makin banyak pemuda itu menelan nasi den obat, mukanya menjadi semakin merah dan pandang matanya yang juga kemerahan itu kini menatap wajah Sui Cin dengan aneh sekali, seolah-olah beru sekarang dia mengenal gadis itu!



Sui Cin masih terus menyuapkan makanan, diam-diam merasa heran dan juga agak khawatir. Agaknya kesehatan pdmuda ini mulai pulih, pikirnya, akan tetapi kenapa mukanya menjadi begitu merah, bahkan kedua matanya juga agak kemerahan dan kini napas pemuda itu mulai terengah-engah? Dan yang amat menggelisahkan hatinya adalah pandang mata Ci Kang itu. Pandang mata itu se-perti merayap-rayap dan seolah-olah te-rasa olehnya betapa pandang mata itu menyentuh dan meraba-raba di seluruh mukanya, matanya, telinganya, pipinya, bibirnya bahkan lehernya. Diam-diam ia bergidik dan jantungnya berdebar keras dan tegang.



Hui Song yang mengintai dari luar jendela harus menekan perasaannya agar kemarahannya tidak sampai membuat dia berbuat sesuatu. Dia tiba di tempat ini bukan hanya kebetulan saja. Rombongan suku bangsa Mancu Timur yang dipimpin oleh Lam-nong telah diam-diam pergi meninggalkan para suku lain, bersama suku-suku lain yang juga tidak setuju kalau pimpinan dipegang oleh Yelu Kim akan tetapi tidak berani menentang dengan terang-terangan. Lam-nong mengajak Hui Song pergi, akan tetapi Hui Song tidak mau dan mereka saling berpisah pada hari itu juga. Hui Song masih mempunyai tugas lain, yaitu pertama menyelidiki Yelu Kim sehubungan dengan Perkumpulan Harimau Terbang yang diduganya telah mencuri dan melarikan harta pusaka di Guha Iblis Neraka. Di samping tugas ini, juga dia ingin berjumpa dengan Sui Cin. Dia harus bersikap hati-hati dan sebelum dia bertindak terhadap nenek Yelu Kim, dia harus lebih dahulu menemui Sui Cin dan mendapatkan keterangan mengapa gadis itu membantu nenek Yelu Kim. Akan tetapi, dia tidak berhasil menemukan Sui Cin ketika pada malam hari itu dia melakukan penyelidikan. Akhirnya dia melakukan penyelidikan di perkemahan suku bangsa Khin untuk mencari keterang-an tentang Siangkoan Ci Kang dan bagaimana putera datuk sesat ini dapat men-jadi jagoan orang-orang Khin. Hal ini se-hubungan dengan tugas yang diberikan o-leh gurunya kepadanya, yaitu menyelidiki keadaan para suku bangsa yang agaknya hendak bergerak pula melakukan pemberontakan ke selatan.



Dan tanpa disengaja dia menjenguk ke dalam kamar itu dan melihat Sui Cin sedang merawat Ci Kang yang sakit, se-dang menyuapkan makanan kepada putera Iblis Buta itu dengan sikap demikian me-sra yang membuat perutnya terasa panas.



Sementara itu, keadaan Ci Kang semakin aneh. Pemuda ini merasa gelisah bukan main dan napasnya semakin memburu, matanya melotot menatap wajah Sui Cin tanpa berkedip. Melihat ini, Sui Cin menjadi gelisah sekali. Nasi itu su-dah hampir habis dan ia meletakkan mangkok di atas pembaringan. Lalu dira-banya dahi Ci Kang dengan telapak ta-ngan kirinya. Terkejutlah ia merasa be-tapa dahi itu panas sekali dan kulit tu-buh pemuda itu dari kepala sampai ke dada nampak merah!



Ci Kang sendiri sejak tadi gelisah bu-kan main. Setelah perutnya terisi nasi dan obat, tenaganya pulih kembali de-ngan cepat, akan tetapi bersama kemba-linya tenaganya, datang pula suatu pera-saan yang amat aneh. Tubuhnya terasa panas dan jantungnya berdegup seperti akan pecah, dan timbul gairah rangsangan yang amat kuat, makin lama makin kuat, yang membuat Sui Cin nampak semakin jelita menggairahkan, yang mendatangkan dorongan hasrat dalam hatinya untuk merangkul dan bemesraan dengan Sui Cin. Namun, dengan kekuatan batinnya Ci Kang mempertahankan diri, tidak mau tunduk terhadap rangsangan gairah yang mendorongnya itu, rangsangan berahi yang tiba-tiba saja menyerangnya secara hebat.



Ketika Sui Cin meraba dahinya, gadis itu seolah-olah merupakan minyak bakar disiramkan kepada nafsu berahi yang sedang bernyala sehingga menjadi semakin berkobar. Dan Ci Kang yang sejak tadi mempertahankan diri, kini tidak kuat lagi.



"Nona...!" Serunya dan tiba-tiba saja kedua lengannya bergerak merangkul, gadis itu sudah dipeluknya dengan ketat dan dia sudah menciumi muka Sui Cin dengan penuh nafsu berahi. Karena dirinya dipengaruhi nafsu maka belaian dan ciuman Ci Kang kasar sekali. Sejenak Sui Cin terbelalak dan tak mampu bergerak saking kagetnya, akan tetapi ciuman-ciuman yang panas pada pipinya, bibirnya, le-hernya, membuat ia tiba-tiba menjerit dan meronta untuk melepaskan dirinya. Akan tetapi pelukan Ci Kang itu kuat sekali dan terjadilah pergulatan. Karena keduanya menggunakan tenaga terdengar suara "brettt..." dan kain baju bagian leher dan sebagian dada yang menutupi tubuh Sui Cin terobek! Melihat kulit leher dan dada bagian atas ini, Ci Kang seperti menjadi buas dan dia menciumi bagian itu seperti orang gila.



"Lepaskan...! Ah, lepaskan...!" Sui Cin meronta sekuat tenaga dan pada saat itu terdengar suara keras disusul jebolnya tirai dan papan di atas jendela ketika Hui Song menerjang masuk. Sui Cin telah berhasil melepaskan dirinya dari pelukan Ci Kang dan ia meloncat turun dari pembaringan dan menjauhi pemuda itu. Ci Kang sendiri terkejut mendengar suara gaduh itu dan diapun meloncat turun dan berdiri dalam keadaan siap siaga. Pada saat itu, Hui Song meloncat dan menyerbu ke arah Ci Kang, menggerakkan sebatang tongkat kayu yang disambarnya dari luar tadi, menyerang Ci Kang. Tongkat kayu itu menghantam ke arah kepala Ci Kang dan terdengar suara Hui Song memaki.



"Jahanam busuk, kuhancurkcn kepalamu!"



Melihat datangnya serangan potongan kayu sebesar lengan yang menyambar kepalanya dengan dahsyat itu, Ci Kang cepat melemparkan selimut yang masih menempel di tubuhnya, kemudian dia mengelak sambil melompat ke belakang.



Hui Song yang sudah marah sekali terus menerjang lagi dengan hebatnya. Ke-tika dia melihat Sui Cin merawat Ci Kang yang sakit, biarpun hatinya terasa panas, namun dia masih mampu mengendalikan dirinya. Ketika dia melihat Ci Kang tiba-tiba bangkit duduk dan merangkul Sui Cin, menciumi gadis itu dan melihat Sui Cin meronta-ronta, darah dalam tubuh Hui Song mendidih. Dia menyam-bar sepotong kayu dari dekatnya dan me-nerjang ke dalam kamar, langsung saja menyerang Ci Kang tanpa bertanya-tanya lagi. Apalagi yang perlu ditanyakan kalau sudah jelas betapa Ci Kang berbuata kurang ajar terhadap Sui Cin dan gadis itu meronta dan menolak? Agaknya Ci Kang hendak memperkosa Sui Cin dan untuk perbuatan itu, Ci Kang harus dibunuhnya!



"Hyaattt...!" Kembali tongkat itu meluncur dan menyambar ke arah kepala Ci Kang yang masih berdiri kaget dan bingung. Pemuda ini masih bingung karena semua peristiwa yang terjadi ini sungguh berada di luar kemampuannya untuk menguasainya. Tadipun ketika dia merangkul dan menciumi Sui Cin, hal itu dilakukan dalam keadaan perang di dalam batinnya, sepihak didorong oleh nafsu berahi yang berkobar, di pihak lain batinnya menentang keras. Ketika Hui Song muncul, dia merasa terkejut, malu dan bingung, tidak tahu harus berkata atau berbuat apa. Betapapun juga, tenaganya sudah pulih kembali dan melihat sambaran tongkat, maklumlah dia bahwa Hui Song yang marah itu menyerangnya dengan sungguh-sungguh, dengan pengerahan tenaga sin-kang dan dia tahu betapa bahayanya kalau sampai kepalanya terkena hantaman kayu yang menpndung tenaga sin-kang amat kuatnya itu.



"Ihhh...!" Ci Kang terpaksa menggerakkan lengan kanannya untuk menengkis, karena mengelak dari sambaran tongkat seperti itu di ruangan yang sempit ini sungguh berbahaya sekali.



"Dukkk...!" Keras sekali pertemuan antara tongkat dan lengan tangan itu. Ci Kang merasa betapa lengannya tergetar hebat, akan tetapi tongkat kayu itupun pecah berantakan! Hui Song membuang sisa tongkat itu yang tadi hanya dipergu-nakan karena dia sudah hampir lupa diri saking marahnya. Padahal, menggunakan kedua tangannya bahkan lebih dahsyat dan lebih berbahaya daripada tongkat yang mati itu.



Ci Kang yang merasa bahwa telah melakukan hal yang amat memalukan, merasa bahwa dia bersalah, tidek berniat melawan, dan dia bahkan merasa malu sekali kepada Sui Cin. Dilihatnya Sui Cin berdiri di sudut kamar itu dengan mata dan muka pucat, kedua tangan berusaha menyatukan lagi baju yang terobek. Ci Kang merasa jantung seperti ditusuk me-lihat baju yang robek itu, suatu bukti bahwa hal tadi memang telah terjadi, bahwa dia tadi telah melakukan sesuatu yang amat memalukan. Bahkan sekarangpun, darahnya tersirap dan mukanya te-rasa panas melihat kecantikan Sui Cin. Dia tahu bahwa tidak ada gunanya me-nerangkan segalanya, tidak ada gunanya membela diri.



"Nona, maafkan aku...!" katanya de-ngan suara gemetar dan tubuhnya mela-yang keluar dari dalam kamar itu.



"Jahanam busuk, hendak lari ke mana kau? Dosamu harus kautebus dengan nya-wa!" Hui Song membentak dan melakukan pengejaran dengan loncatan jauh keluar dari dalam kamar itu.



Sui Cin yang sejak tadi tercengang dan masih terpengaruh oleh peristiwa yang amat mengejutkan dan membingungkan hatinya itu, kini baru tersadar dan iapun turut pula meloncat dan melakukan pengejaran, tangan kirinya memegang dan merapatkan bagian baju yang terobek tadi.



Akan tetapi ternyata oleh mereka ketika mereka tiba di luar, Ci Kang sudah tidak lagi nampak bayangannya. Pemuda itu masih dalam keadaan bingung dan menyadari kesalahannya itu, agaknya tidak mau melayani mereka, bahkan merasa malu untuk bertemu muka dengan Sui Cin, maka dengan cepat sekali dia telah melarikan diri menghilang ke dalam kegelapan malam yang mulai menyelimut tempat itu.



"Jahanam, jangan lari kau!" Hui Song membentak dan mencari-cari, akan tetapi dia tidak tahu ke jurusan mana Ci Kang melarikan diri dan pada saat itu, terdengar suara ribut-ribut karena suara gaduh mereka tadi telah menarik perhatian para penjaga dan kini banyak pengawal Bangsa Khin mulai berdatangan.



"Song-ko, mari kita pergi dari sini!" Sui Cin berkata. Ia telah mengikat baju yang robek dengan saputangan. "Tak perlu dicari lagi!"



Suara Sui Cin ini membuat jantung Hui Song berdebar keras saking girangnya. Sui

Cin telah mengenalnya! Ini berarti bahwa gadis itu telah memperoleh kembali ingatannya! Akan tetapi di samping rasa girangnya, dia masih merasa terbakar oleh kemarahan.



"Tidak, aku harus mencarinya sampai dapat dan membunuhnya!" bentaknya marah.



Sui Cin mengerutkan alisnya. Dia sendiri tidak marah kepada Ci Kang, hanya merasa heran. Tidak biasanya Ci Kang bersikap seperti tadi. Dia tidak memperlihatkan sikarp kurang ajar, apalagi berani melakukan hal seperti tadi. Bukankah dahulu Ci Kang bahkan telah menentang Sim Thian Bu mati-matian ketika saudara seperguruannya itu hendak memperkosanya? Akan tetapi, kenapa secara tiba-tiba Ci Kang melakukan hal itu? Dan sikap itu timbul setelah pemuda itu makan nasi dengan akar obat, mula-mula mukanya menjadi merah, juga matanya, dan tubuhnya panas sekali. Apakah tidak ada apa-apa di balik itu? Kini, melihat Hui Song marah-marah dan hendak membunuh Ci Kang tanpa dipertimbangkan lebih dahulu persoalannya, ia merasa tidak senang.



"Kalau begitu carilah sendiri!" Dan Sui Cin lalu membalikkan tubuhnya dan melompat pergi.



"Cin-moi...!" Hui Song gelagapan melihat gadis itu melarikan diri dan dia cepat mengejar, takut kehilangan bayangan Sui Cin dalam kegelapan malam itu. Sui Cin tidak menjawab dan terus melarikan diri. Mereka berkejaran dan meninggalkan perkemahan itu, melalui padang pasir yang halus dan sunyi. Bintang-bintang bertaburan di langit, mcrupakan kumpulan titik-titik terang yang membuat cuaca remang-remang, sejuk dan indah.



Akhirnya, di sebuah lapangan yang penuh batu-batu gunung, Sui Cin berhenti den duduk. Hui Song menyusulnya dan pemuda ini berdiri di depan gadis itu. Mereka saling berpandangan sampai lama tanpa berkata-kata, masing-masing meng-atur pernapasan yang agak memburu ka-rena berlari cepat tadi.



"Cin-moi... ah, engkau telah sembuh dan mendapatkan ingatanmu kembali? Girang sekali hatiku. Dan jahanam itu! Siangkoan Ci Kang, sekali waktu aku akan membunuhnya! Akan tetapi mengapa engkau merawatnya, padahal, bukankah siang tadi engkau pula yang merobohkannya? Engkau maju sebagai penunggang harimau itu, bukan? Cin-moi, mengapa engkau berada di daerah ini, bahkan lebih aneh lagi, mengapa engkau menjadi jagoan yang membantu nenek iblis itu?"



Dihujani pertanyaan bertubi-tubi itu, Sui Cin diam saja. Setelah Hui Song selesai dengan pertanyaan-pertanyaannya, barulah ia menjawab, "Song-ko, ceritaku panjang sekali. Kuharap engktu yang lebih dulu bercerita kepadaku sejak kita berpisah dan mengapa pula engkau dapat berkeliaran di tempat ini?" Sui Cin masih terguncang batinnya oleh peristiwa dengan Ci Kang tadi, maka ia belum sempat memperoleh kembali kegembiraannya dan bersikap serius. Hal inipun dipengaruhi oleh sikap Hui Song yang agaknya amat membenci Ci Kang, padahal ia sendiri, walaupun sikap Ci Kang tadi amat mengejutkan dan membuatnya amat marah, masih belum merasa bahwa ia membenci pemuda putera datuk sesat itu.



Melihat sikap serius gadis itu, Hui Song juga bersikap tenang dan diapun mencari tempat duduk di depan Sui Cin. Sejenak mereka saling berpandangan kembali dan keduanya merasa seolah-olah mereka tidak pernah berpisah, apalagi saling berpisah sampai tiga tahun lebih.



"Aaihh, betapa cepatnya waktu berkelebat," akhirnya Hui Song berkata. "Ingatkah kau bahwa kita telah saling berpisah selama tiga tahun lebih? Akan tetapi, berhadapan denganmu seperti sekarang ini, aku merasa seolah-olah kita tidak pernah saling berpisah, atau baru kemarin saja."



Sui Cin mengangguk karena memang demikian pula perasaan hatinya. "Song-ko, ceritakanlah segala pengalamanmu. Aku ingin sekali tahu mengapa engkau dapat bekerja sama dengan murid Raja Iblis di Guha Iblis Neraka itu, dan bagaimana pula sekarang engkau tiba-tiba berada di daerah ini."



"Ceritaku juga panjang, akan tetapi baiklah akan kusingkat saja. Tiga tahun lebih yang lalu, kita saling berpisah. Engkau diajak pergi oleh locianpwe Wu-yi Lo-jin, sedengkan aku pergi mengikuti Siang-kiang Lo-jin untuk mempelajari ilmu. Nah, selama tiga tahun aku belajar ilmu dari suhu Siang-kiang Lo-jin. Setelah tiga tahun, suhu menyuruh aku untuk menghadiri pertemuan para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang sehubungan dengan tekad para pendekar untuk menentang gerakan yang dipimpin oleh Raja Iblis. Dalam perjalanan itu aku bertemu dengan iblis betina itu. Ia menipuku, mengaku sebagai pejuang yang menentang Raja Iblis, karena itu aku membantunya mencari harta karun yang tersembunyi di dalam Guha Iblis Neraka itu. Akan tetapi, harta itu telah diambil orang lain lebih dulu yang meninggalkan lencana Harimau Terbang di daerah utara. Dan aku terjebak, tentu telah tewas kalau tidak ada engkau muncul menolongku. Akan tetapi, engkau sendiri malah tertimpa bencana ketika menolongku, terluka kepalamu oleh pukulan batu musuh sehingga engkau kehilangan ingatan, dan bahkan menyerangku. Nah, pertemuan yang hanya sebentar itu berakhir dan kita saling berpisah lagi. Aku lalu menyelidiki ke utara dan aku sempat terlibat dalam pemberontakan yang terjadi di San-hai-koan." Hui Song lalu menceritakan pengalamannya dt kota benteng itu.



"Nah, karena tidak mungkin lagi menyelamatkan San-hai-koan, aku pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang, bertemu dengan suhu yang menyuruhku melakukan penyelidikan kepada para suku bangsa di sini. Aku bertemu dan berkenalan dengan Lam-nong, kepala suku Mancu Timur dan ikut dengan rombongannya ke tempat pertemuan para suku untuk memilih pimpinan. Aku ingin menyelidiki Yelu Kim yang kabarnya adalah ketua Harimau Terbang, menyelidiki tentang harta karun dan juga tentang pergerakan para suku di sini dan aku melihat engkau! Melihat pula Ci Kang, jahanam busuk itu..."



"Sekarang dengarkan pengalamanku." Sui Cin memotong cepat ketika mendengar Hui Song mulai hendak memaki-maki Ci Kang lagi. "Seperti juga engkau, aku mengikuti suhu Wu-yi Lo-jin selama tiga tahun untuk menerima gemblengan ilmu. Dan akupun disuruh oleh suhu untuk pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang. Di tengah jalan aku melihat kuil tempat tinggal murid Raja Iblis itu dan kaki tangannya. Aku merasa curiga dan menyelidiki mereka. Aku mendengar percakapan mereka tentang harta pusaka di Guha Iblis Neraka, maka aku melakukan penyelidikan ke sana. Aku lalu melihat engkau bersama iblis-iblis itu dan selanjutnya engkau tahu. Aku terluka, kehilangan ingatan. Dalam keadaan seperti itu, aku hampir celaka oleh Kiu-bwe Coa-li. Untung ada saudara Cia Sun yang menolongku. Akan tetapi, pada saat itu juga muncul nenek Yelu Kim yang mengobati aku sampai sembuh sama sekali dari racun yang diberikan oleh Kiu-bwe Coa-li, juga sembuh sama sekali dari kehilangan ingatan. Karena budinya ini, aku lalu diangkat menjadi muridnya dan menjadi pembantunya. Aku berjanji membantunya memperoleh kedudukan pimpinan dalam pemilihan jago dan aku berhasil."



"Akan tetapi, kenapa setelah engkau merobohkan Ci Kang, engkau lalu..."



Sui Cin menggerakkan tangan dengan kesal. "Dengarkanlah dulu! Engkau tahu bahwa Ci Kang pernah menyelamatkan aku dan pertandingan antara kami itu bukan urusan pribadi. Dan aku telah merobohkannya dengan menggunakan jarum merah beracun. Aku merasa menyesal karena kalau tidak kuobati, dia mungkin akan celaka. Aku akan merasa menyesal bukan main kalau sampai dia mati dalam pertandingan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pribadi kami itu. Maka, aku lalu mengobatinya. Sungguh tidak kusangka sama sekali dia... dia akan melakukan hal itu..."



"Dasar orang jahat, anak seorang datuk sesat seperti Iblis Buta, mana bisa baik?"



"Aku tidak yakin, Song-ko, perbuatannya itu seperti tidak sewajarnya..."



"Ah, dia itu putera datuk sesat, tentu seorang yang jiwanya sudah kotor. Kalau dahulu dia menolongmu, bukan karena kebaikan hatinya, melainkan karena dia tidak ingin engkau diganggu orang lain itulah!"



"Sudahlah, Song-ko, aku tidak mau bicara lagi soal itu. Anehnya, aku sendiri tidak mendendam atas peristiwa itu dan masih ragu-ragu, akan tetapi kenapa engkau malah ribut-ribut?"



"Kenapa tidak, Cin-moi? Melihat engkau hendak dipaksa, hatiku sudah terbakar dan aku tentu sudah menghancurkan kepalanya kalau saja dia tidak lari. Siapa tidak cemburu melihat itu...?"



"Cemburu...?"



"Cin-moi, masih haruskah kujelaskan lagi? Perlukah kuulangi lagi? Sui Cin, sejak dahulu sampai sekarang aku tetap mencintamu dan sampai saat inipun engkau belum pernah memberi jawaban yang pasti. Sui Cin, aku cinta padamu dengan sepenuh jiwa ragaku dan aku hampir merasa yakin bahwa cintaku tidak bertepuk tangan sebelah, bahwa engkaupun cinta padaku. Cin-moi, jawablah..." Kini sikap Hui Song yang biasanya gembira jenaka itupun berobah menjadi serius, bahkan di dalam suaranya terdengar nada memelas dan memohon.



Sampai lama Sui Cin menatap wajah pemuda itu. Hatinya diliputi kebimbangan yang membuatnya bingung dan sejenak tidak mampu menjawab. Harus diakuinya bahwa ia merasa amat suka, mungkin mencinta kepada pemuda ini. Hui Song adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, budiman, dan berwatak cocok dengannya, riang jenaka dan gembira. Akan tetapi, iapun tahu bahwa ayah ibunya tidak suka kepada orang tua pemuda ini, dan iapun belum tahu apakah orang tua pemuda ini, ketua Cin-ling-pai, suka pula kepada ayah bundanya. Dan baik ia sendiri maupun Hui Song adalah anak-anak tunggal!



"Cin-moi..."



"Song-ko, maafkan aku. Bagaimana mungkin kita bicara tentang hal itu kalau kita berdua masih sibuk dengan urusan perjuangan yang amat penting? Raja Iblis dan sekutunya telah menduduki kota San-hai-koan, dan kekuatan mereka semakin membahayakan keselamatan negara. Lebih baik kita selesaikan tugas kita lebih dahulu. Setelah urusan ini selesai, barulah kita sempat berpikir tentang urusan pribadi. Kalau saatnya tiba, sudah sepatutnya kalau orang-orang tua kita yang saling berunding tentang hal itu, bukan kita sendiri. Bukankah begitu, Song-ko?"



Wajah Hui Song berobah merah. Dia seperti menerima teguran dan merasa tidak enak sendiri. Orang-orang gagah sedunia sedang sibuk bersiap-siap menanggulangi para datuk yang hendak memberontak, dan dia sendiri ribut-ribut bicara tentang cinta!



"Ah, maafkan aku, Cin-moi. Bukan maksudku melupakan perjuangan, hanya aku ingin sekali tahu dan merasa pasti tentang cinta kita... ah, sudahlah. Engkau benar. Biar nasib kita saja yang menentukan kelak. Kalau sudah selesai perjuangan, kita bicara lagi dan aku tentu akan minta orang tuaku pergi kepada orang tuamu untuk meminang. Nah, sekarang mari kita bicara tentang perjuangan. Bagaimana pendapatmu tentang usaha kita untuk menentang Raja Iblis dan kaki tangannya?"



"Aku tidak tahu, Song-ko. Aku menjadi bingung setelah mendengar bahwa Raja Ibils dan para datuk telah bergabung dengan pasukan pemberontak di San-hai-koan dan bahkan sudah menduduki kota benteng itu. Dengan demikian tentu tidak mungkin bagi kita untuk menentang pasukan besar secara begitu saja. Kurasa, lebih besar hasilnya kalau aku melanjutkan perjuangan di sini, membantu nenek Yelu Kim yang akan menggerakkan para suku utara untuk menghantam pasukan pemberontak. Dengan demikian berarti akupun secara tidak langsung menentang kekuasaan Raja Iblis, melawan pasukan pemberontak dengan mengandalkan pasukan suku utara."



"Akan tetapi, para kepala suku itupun bermaksud memberontak dan menyerang ke selatan!" Hui Song berseru.



"Itu adalah soal nanti. Kini yang penting adalah menentang para pemberontak, bukan? Kalau pemberontak sudah dapat dihancurkan dan kalau para suku utara hendak melanjutkan gerakan mereka menyerang ke selatan, masih belum terlambat bagiku untuk meninggalkan mereka. Dengan adanya gerakan dari para suku utara yang menyerang mereka, dan pasukan pemerintah yang menyerang dari selatan, berarti Raja Iblis dan sekutunya akan tergencet dari utara dan selatan."



Hui Song mengangguk-angguk. "Aku dapat melihat kebenaran pendapatmu, Cin-moi. Baikiah, aku akan pergi menghadiri pertemuan para pendekar untuk melihat apa yang akan dibicarakan dan keputusan apa yang akan diambil."



"Song-ko, kalau bertemu dengan suhu, ceritakan keadaanku dan rencenaku menghadapi para pemberontak."



Mereka lalu berpisah. Sui Cin kembali ke perkemahan nenek Yelu Kim sedangkan Hui Song pergi menuju ke bekas benteng Jeng-hwa-pang. Betapapun gembira hatinya telah dapat bertemu kembali dengan Sui Cin dan melihat gadis itu telah sehat kembali, namun ada sedikit kekecewaan dalam hati Hui Song mendengar jawaban Sui Cin tentang cintanya, jawaban yang masih belum meyakinkan hatinya bahwa gadis itupun mencintanya.



Cinta asmara memang lebih banyak mendatangkan rasa kekecewaan dan sengsara dalam hati. Asmara selalu menuntut balasan! Asmara selalu mengandung cemburu, dan asmara yang tidak dibalas merupakan sumber kekecewaan dan kedukaan. Asmara adalah nafsu berahi yang menciptakan ikatan. Namun, asmara amat mengasyikkan, membuai batin setiap orang manusia sehingga manusia seperti dengan rela menentang semua kesengsaraan itu demi mencicipi madu asmara, walau sedikitpun. Hal ini adalah manusiawi, karena nafsu berahi terbawa oleh badan sejak lahir. Yang penting adalah menyadarinya, mengenalnya sebagai satu di antara sifat-sifat badan sehingga kita tidak sampai terseret dan menjadi hambanya, terikat kuat sehingga akhirnya menjadi permainan nafsu.



***



Pemuda itu menangis seorang diri! Lucu nampaknya, akan tetapi juga mengharukan melihat seorang pemuda bertubuh tinggi beser, yang gagah perkasa seperti Siangkoan Ci Kang itu menangis! Akan tetapi, tangis tak terlepas daripada kehidupan setiap orang manusia, karena hidup ini memang merupakan tempat bagi tawa dan tangis untuk bersilih ganti mengisi batin manusia. Tangis merupakan alat pelepas semua ganjalan dalam batin, pelepas semua kedukaan dan kekecewaan. Orang yang tidak dapat menangis, yang tidak memiliki tangis sebagai pelepasan duka, tentu akan terganggu kesehatannya.



Siangkoan Ci Kang adalah seorang pemuda yang sejak kecil hidup dalam lingkungan yang keras dan boleh dibilang tidak pernah mengenal tangis. Sejak kecil hampir tidak pernah dia menangis. Segala derita batin diterima dengan gigitan bibir. Namun, hal itu bukan berarti dia tidak pernah menangis dalam batinnya. Hanya karena kerasnya hati maka tangis tidak sampai tersalur keluar dari mulut. Akan tetapi sekarang, menghadapi pengalaman yang bertubi-tubi yang amat menyakitkan hatinya, setelah berada seorang diri di tempat sunyi itu, Ci Kang tidak kuasa lagi membendung air matanya dan diapun menangis tersedu-sedu sembil ber-lutut di atas tanah dan menutupi muka dengan kedua tangannya! Dan begitu air matanya mengucur, bagaikan air yang sudah lama terbendung dan sudah terlalu penuh, tangisnyapun menjadi-jadi. Terbayanglah segala pengalaman yang menyedihkan dan mengecewakan hatinya dan diapun membiarkan semua rasa duka itu mengalir keluar melalui air matanya.



Tangis timbul dari perasaan-perasaan hati yang dilanda iba diri. Dan, iba diri ini timbul dari kekecewaan dan kedukaan. Semua ini muncul dari pikiran yang mengenangkan masa lalu, mengenangkan semua pengalaman pahit, semua pengalaman yang mengecewakan dan tidak menyenangkan hati. Pikiran mengunyah-ngunyah kembali semua hal busuk yang mengecewakan diri, dan hal ini menimbulkan rasa iba diri. Pikiran yang mengenang-ngenang hal-hal yang mengecewakan dan tidak menyenangkan itu seolah-olah berobah menjadi tangan yang mencengkeram dan meremas-remas hati sendiri sehingga air matapun bercucuran keluar. Kalau sudah begitu, kesadaran akan kenyataanpun menjadi kabur dan pikiran yang menguasai perasaan itupun membayangkan bahwa dirinya merupakan orang yang paling sengsara, paling menderita di dalam dunia ini.



Dengan demikian nampaklah dengan jelas bahwa duka timbul karena pikiran yang mengunyah-ngunyah semua pengalaman yang dianggap tidak menyenangkan. Andaikata pikiran tidak mengenang-ngenang kembali semua yang telah terjadi itu, adakah duka? Hal ini hanya dapat kita ketahui dengan mempelajari diri sendiri dan mengamati diri sendiri. Tidak akan ada duka kalau pikiran tidak mengunyah-ngunyah masa lalu, tidak akan ada rasa takut kalau pikiran tidak bermain-main dengan masa lalu dan masa depan.



Segala peristiwa yang terjadi di dunia ini, tentu bersebab. Akan tetapi, pikiran kita yang dipenuhi oleh kesibukan memikirkan masa lalu dan masa depan, membuat kita seringkali tidak dapat melihat bahwa segala macam sebab daripada peristiwa yang menimpa diri kita dapat dipisahkan dari sikap dan perbuatan kita sendiri sebelum peristiwa itu terjadi. Mungkinkah bagi kita manusia-manusia lemah ini, membiarkan segala macam peristiwa yang menimpa kita lewat begitu saja tanpa meninggalkan bekas sehingga pikiran kita tidak akan mengenang dan mengunyah-ngunyahnya kembali sebagai sesuatu yang menimbulkan duka dalam hati? Dapatkah seluruh perhatian kita tertuju kepada saat ini, saat demi saat, tanpa harus berpaling ke belakang, kepada masa lalu atau menjenguk ke depan, kepada masa yang akan datang? Terikat kepada masa lalu adalah duka, terikat kepada masa depan menimbulkan takut. Hidup adalah saat ini sepenuhnya! Alangkah indahnya, alangkah bahagianya! Bukan berarti tidak perduli, bukan berarti masa bodohm melainkan justeru waspada karna bukankah hidup adalah SEKARANG INI? Sekarang ini, saat demi saat, adalah hidup. Masa lalu telah lewat, telah mati. Masa depan hanya khayal, belum ada.



Ketika menangis amat sedihnya itu, pikiran Ci Kang penuh dengan kenangan-kenangan yang mengecewakan hatinya. Teringat dia akan semua nasibnya, sejak dia dimusuhi ayahnya sendiri sehingga hampir dia dibunuh oleh ayahnya. Betapa dia senang menentang kejahatan, yang dilakukan oleh ayahnya dan kawan-kawan ayahnya akan tetapi hal ini membuat dia dibenci oleh golongan sesat. Kemudian, dalam usahanya menjadi orang baik, menggabungkan diri dalam golongan pendekar, dia tidak dipercaya, bahkan dimusuhi oleh para pendekar, dianggap sebagai putera datuk sesat yang tentu jahat pula. Dan berita tentang kematian ayahnya di tangan Raja Iblis. Walaupun dia merasa bangga bahwa pada saat terakhir hidupnya, ayahnya menentang raja datuk sesat itu, bahkan mengorbankan nyawa, akan tetapi tetap saja kenangan akan ayah kandungnya yang tidak pernah akrab dengannya itu menghancurkan perasaannya pula. Kemudian sekali, pengalaman yang baru-baru ini dia alami bersama Sui Cin! Dia tahu benar bahwa semenjak pertemuannya pertama dengan gadis pendekar itu, ketika dia menolong Sui Cin dari ancaman tangan kotor Sim Thian Bu, dia sudah merasa kagum dan tertarik sekali, bahkan dalam pertemuannya tadi, ketika dia diobati gadis itu, dia merasakan benar betapa dia telah jatuh cinta sejak dahulu kepada nona itu!



Dan teringatlah dia akan ulahnya kepada Sui Cin. Gadis itu mengobatinya, merawatnya, menyuapkan nasi ke mulutnya! Bukan main kenyataan ini! Akan tetapi apa yang dilakukannya tadi? Dia telah membalas kebaikan hati gadis itu dengan perbuatan yang tidak senonoh! Dia telah menghina gadis itu! Makin dibayangkan perbuatannya tadi, makin hancurlah hatinya dan dia merintih-rintih.



"Ya Tuhan... apa yang telah kulakukan tadi...?" Dia mengeluh dan menjatuhkan dirinya di atas tanah, rebah menelungkup sambil menangis!



Batin yang kemasukan satu di antara perasaan girang, susah, takut dan sebagainya akan kehilangan kepekaannya dan biarpun Ci Kang seorang pemuda terlatih yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun dalam keadaan menangis dan tenggelam dalam lautan kedukaan itu dia menjadi lengah. Sama sekali dia tidak tahu ketika ada bayangan orang berkelebat dengan gerakan yang amat cepat dan ringan. Bayangan itu tahu-tahu telah berada dekat sekali dengan Ci Kang dan sekali tangan kanannya bergerak, tubuh Ci Kang mengejang lalu lemas dan tidak mampu bergerak lagi, karena jalan darahnya telah tertotok secara amat lihai!



"Hi-hi-hik, akhirnya engkau jatuh juga ke tanganku, orang sombong!" Bayangan yang ternyata seorang wanita itu tertawa mengejek dan menggunakan kaki kirinya untuk membalikkan tubuh Ci Kang yang sudah lemas itu sehingga terlentang. Ci Kang yang tiba-tibe saja merasa tubuhnya lemas dan lumpuh melihat wanita itu. Seorang wanita cantik, bajunya kembang-kembang, perawakannya ramping, pakaiannya sederhana dengan hiasan rambut setangkai kembang. Akan tetapi alis Ci Kang berkerut melihat wanita muda yang cantik ini karena dia mengenalnya sebagai seorang iblis betina yang amat lihai dan berbahaya, juga amat kejam. Gadis ini bukan lain adalah Gui Siang Hwa yang berjuluk Siang-tok Sian-li (Dewi Racun Wangi), murid Raja Iblis!



Tahulah Ci Kang bahwa dia berada dalam ancaman bahaya maut. Iblis ini tentu tidak akan mau melepaskannya, dan dia merasa heran mengapa totokan tadi bukan merupakan serangan maut, karena kalau hal itu dilakukan, tentu kini dia sudah tewas. Kemudian teringat olehnya akan watak cabul wanita ini yang pernah membujuk rayu padanya. Teringat akan ini, dia maklum bahwa tentu sekarangpun, sebelum membunuhnya, wanita cabul ini akan mengulangi lagi usaha dan bujuk rayunya. Dia merasa sebal dan merasa lebih baik mati, apalagi hatinya sedang berduka seperti itu. Memang kematian lebih baik baginya, sebagai hukuman atas perbuatannya terhadap Sui Cin tadi.



"Iblis betina, engkau telah merobohkan aku dengan curang seperti seorang pengecut. Nah, tidak perlu lagi engkau mengulangi perbuatanmu yang hina dan tak tahu malu, tak perlu lagi engkau merayuku. Kalau engkau memang gagah, bebaskan aku dan kita bertanding sampai mati, atau kalau memang engkau seorang pengecut hina seperti yang kuduga, bunuh saja aku!" katanya sambil memandang dengan mata melotot penuh tantangan.



Akan tetapi, Siang Hwa yang dimaki-maki itu hanya tersenyum mengejek, sama sekali tidak memperlihatkan sikap marah. Dengan lagak genit ia menggunakan telunjuk tangen kirinya mengelus dagu Ci Kang. "Ehm, tampan! Jangan dikira bahwa hanya engkau saja laki-laki tampan di dunia ini. Kalau engkau menolak melayaniku, masih ratusan orang pria tampan yang siap untuk menyenangkan hatiku. Dan tentang membunuhmu, tentu saja aku akan membunuhmu, akan tetapi jangan mengira engkau akan mati dengan nyaman. Hi-hik, tidak, tampan, karena engkau menyakitkan hatiku dengan penolakanmu, engkau akan mati perlahan-lahan dan dengan sengsara sekali. Aku akan menyayat-nyayat seluruh kulit badanmu sampai penuh darah, dan kutinggalkan engkau di sini dalam keadaan seperti itu biar engkau dikeroyok semut dan dipatuk burung-burung sampai engkau mati dengan siksaan hebat. Nah, menarik sekali, bukan?"



Akan tetapi, sebaliknya Ci Kang juga tidak nampak gentar. Dia sudah bertekad untuk menghadapi kematian dengan tabah. "Perempuan iblis busuk, pengecut jahanam, tak perlu banyak mengeluarkan omongan busuk lagi, bunuhlah kalau mau bunuh, dengan cara apapun juga, aku tidak takut mati!" Dan Ci Kang lalu memejamkan mata seperti orang yang merasa muak dan hendak tidur, tidak lagi mau memperdulikan gadis itu. Sebetulnya perbuatan ini dilakukan untuk menyembunyikan rasa sesal dan malunya. Dia memaki-maki wanita iblis ini sebagai wanita yang hina dan busuk, wanita yang cabul. Akan tetapi bagaimana dengan dia sendiri? Apa yang telah dilakukannya terhadap Sui Cin hampir tidak ada bedanya dengan kecabulan yang dilakukan wanita ini. Memaksakan hasrat dan gejolak berahi kepada orang lain.



Gui Siang Hwa sudah mengenal watak seorang pendekar muda seperti Ci Kang yang amat keras hati ini. Ia tahu bahwa percuma saja membujuk pemuda ini, baik untuk menjadi kekasihnya atau menjadi pembantu gurunya. Dan orang yang tidak mau bekerja sama berarti musuh, apalagi orang yang memiliki kelihaian seperti pemuda ini. Sungguh bisa berbahaya sekali. Maka, jalan terbaik adalah membunuhnya! Ia mencabut pedangnya dan siap untuk melaksanakan ancamannya tadi, yaitu merobek-robek kulit tubuh pemuda itu dan membiarkannya tergolek di situ dalam keadaan lumpuh dan penuh luka agar dia mati perlahan-lahan kehabisan darah dan dikeroyok binatang-binatang kecil yang tentu akan tertarik oleh bau darah.



"Hi-hik, lebih dulu aku akan membikin putus otot-otot kaki tanganmu agar setelah bebas dari totokan engkau tidak akan mampu bergerak!" kata Gui Siang Hwa. Pedangnya diangkat ke atas, lalu berkelebat ke arah lutut kiri Ci Kang.



Akan tetapi, tiba-tiba pedang itu berhenti di udara, tertahan oleh sesuatu yang amat kuat. Siang Hwa terkejut sekali dan cepat membalikkan tubuhnya. Ia melihat bahwa pedangnya itu telah terlibat oleh bulu-bulu panjang sebuah kebutan berwarna putih yang gagangnya dipegang oleh seorang gadis remaja yang berdiri sambil memandang kepadanya dengan sepasang mata berapi penuh teguran! Gadis ini paling banyak delapan belas tahun usianya. Pakaiannya amat sederhana, rambutnyapun dibiarkan riap-riapan ke belakang dan mukanya agak pucat, akan tetapi sepasang mata yang jeli itu mengeluarkan smar mencorong!



"Engkau orang jahat!" Gedis ini menegur Siang Hwa dengan suara halus. "Akan membunuh orang begitu saja, orang yang sudah tidak mampu melawan sama sekali. Sungguh jahat!"



Akan tetapi Siang Hwa marah bukan main. Gadis muda ini cukup cantik dan mengingat bahwa Ci Kang selalu menolaknya, kemudian muncul gadis ini yang membela Ci Kang, mudah diduga bahwa tentu gadis ini merupakan kekasih Ci Kang. Ia merasa betapa libatan bulu kebutan itu mengendur, maka iapun lalu menarik pedangnya dan menghadapi gadis itu dengan senyum mengejek. Tentu saja ia memandang rendah gadis bertampang pucat seperti orang berpenyakitan ini. "Hi-hik, engkau hendak menemaninya mampus? Baik, akan kukirim engkau lebih dulu ke neraka!" Berkata demikian, pedangnya menyambar ganas ke arah leher gadis itu. Akan tetapi, Siang Hwa kecelik kalau mengira bahwa pedangnya akan mudah merobohkan lawan dengan sekali serang saja. Ia tadi mengeluarkan jurus yang penuh tipuan, pedangnya meluncur menusuk ke arah tenggorokan, akan tetapi sebetulnya pedang itu hanya menggertak saja karena secara tiba-tiba pedang yang meluncur itu berobah arah dan membacok ke bawah, ke arah perut!



Hebatnya, gadis bermuka pucat itu agaknya mengenal gerak serangan ini, karena ia sama sekali tidak melindungi lehernya, melainkan menangkis ke depan dada dengan gagang kebutannya sehingga secara tepat sekali ia menggagalkan serangannya ke arah perut.



"Trangg...!" Dan Siang Hwa mundur dua langkah dengan kaget karena tangkisan gagang kebutan itu membuat lengannya tergetar, juga gerakan menangkis tadi amat dikenalnya.



Dengan penasaran Siang Hwa lalu menyerang lagi sambil memutar pedangnya dengan amat cepat. Ia menerima pelajaran ilmu pedang dari Raja dan Ratu Iblis, tentu saja ilmu pedangnya amat ganas dan berbahaya. Pedangnya lenyap berobah menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar ganas ke arah lawan.



Akan tetapi, keheranan hati Siang Hwa menjadi-jadi ketika lawannya itu mampu mengelak atau menangkis, menghindarkan semua serangannya dengan amat mudah dan seolah-olah semua gerakan serangannya itu telah diduga lebih dulu. Ia terkejut bukan main ketika lawannya membalas dengan serangan ujung kebutan dan terpaksa Siang Hwa harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya untuk mempertahankan diri karena serangan balasan lawannya itu benar-benar amat hebat. Ujung kebutan itu menyambar-nyambar dan setiap helai bulu kebutan seperti hidup, kadang-kadang berobah kaku seperti kawat-kawat baja dan kadang-kadang lemas sekali dan dapat menyerang ke arah jalan darah.



Ci Kang tidak merasa heran melihat betapa gadis muda yang baru datang ini mampu menandingi Siang Hwa. Begitu membuka matanya memandang, dia segera mengenal gadis itu yang bukan lain adalah Toan Hui Cu, puteri Raja dan Ratu Iblis yang tinggal di dalam guha bewah tanah itu. Munculnya gadis muda yang membelanya ini menimbulkan harapan baginya bahwa dia akan tertolong dari ancaman maut, walaupun hal ini tidak mendatangkan kegirangan besar dalam hatinya. Bagi Ci Kang pada saat itu, mati dan hidup tiada bedanya, bahkan dia tidak akan menyesal kalau tewas karena hal ini hanya akan membebaskan dirinya daripada kedukaan dan penyesalan.



Perkelahian itu berlangsung dengan serunya dan lima puluh jurus telah lewat. Kini tiada keraguan lagi dalam hati Siang Hwa bahwa lawannya telah mengenal semua gerakan silatnya, dan iapun mengenal gerakan yang serupa dengan ilmu silat yang diajarkan kepadanya oleh suhu dan subonya. Malang baginya, gerakan kebutan itu asing baginya sehingga baberapa kali ia kebobolan dan hampir celaka ketika ujung kebutan menyambar. Untung ia amat gesit sehingga hanya keserempet saja dan belum terkena serangan yang telak. Bagaimanapun juga, hal ini mengecutkan hatinya dan Siang Hwa mulai terdesak hebat oleh Hui Cu. Untung bagi Siang Hwa, sejak kecil Hui Cu hidup menyendiri di dalam guha di bawah tanah sehingga ia berwatak bersih, belum terseret ke dalam lembah kekejaman dan kejahatan oleh kehidupan orang tuanya. Oleh karena itu, walaupun ia telah mempelajari ilmu-ilmu silat dari ibunya, bahkan menguasai ilmu kebutan yang merupakan ilmu rahasia dan yang hanya dipelajari olehnya sendiri, namun tiada sedikitpun keinginan di hatinya untuk mencelakakan orang lain. Perasaan inilah yang membuat ia menentang mati-matian ketika ibunya pernah hendak membunuh Cia Sun dan Ci Kang dan kini ia menentang Siang Hwa yang hendak membunuh Ci Kang.



"Hyaaaattt...!" Tiba-tiba Hui Cu mengeluarkan bentakan aneh seperti sering dilatihnya ketika ia berlatih silat di dalam guha bawah tanah dan ujung kebutannya membuat gulungan sinar yang membuat pandang mata Siang Hwa kabur. Sebelum Siang Hwa dapat menghindarkan dirinya baik-baik, pundak kirinya telah disambar ujung kebutan dan ia berteriak kesakitan lalu meloncat ke belakang. Pundaknya terasa nyeri bukan main dan kalau saja ia tidak melindungi dirinya dengan tenaga sin-kang, tentu ia sudah roboh.



Dengan muka agak pucat Siang Hwa memandang gadis itu lalu telunjuknya menuding ke arah muka yang putih agak pucat itu. "Kau... dari mana engkau mencuri ilmu perguruan kami...!"



Yang ditanya tersenyum dan wajahnya tidak lagi nampak menyeramkan karena kepucatan wajahnya setelah tersenyum karena wajah itu menjadi manis sekali. "Aihh, agaknya engkaulah murid ibuku. Engkau lihai dengan pedangmu, sayang engkau jahat, mau membunuh orang! Ibu pernah bercerita tentang seorang muridnya bernama Gui Siang Hwa. Engkaukah itu?"



Siang Hwa menjadi semakin terkejut. Puteri subonya? Belum pernah ia mendengar subonya mempunyai seorang puteri. Memang, subonya pernah melahirkan seorang anak perempuan akan tetapi anak itu telah mati!



"Kau... kau... puteri subo...?" Ia memandang terbelalak seperti melihat setan. Mungkinkah anak yang mati dapat hidup kembali?



Tiba-tiba Hui Cu teringat akan pesan ibunya agar tidak memperkenalkan diri kepada siapapun juga, maka iapun berkata dengan tak sabar lagi, "Sudahlah, engkau cepat pergi dari sini dan jangan mengganggu orang lain. Pergilah!" Ia melangkah maju dan mengancam dengan kebutannya untuk mengusir Siang Hwa.



Pada saat itu ada angin menyambar kuat dan tiba-tiba muncullah seorang nenek berpakaian putih dengan rambut putih riap-riapan dan wajah pucat kchijauan. Ci Kang mengenal nenek ini sebagai Ratu Iblis dan diam-diam diapun merasa menyesal mengapa dia masih dalam keadaan tertotok. Kalau tidak, ingin dia melawan Ratu Iblis ini dengan muridnya yang jahat.



"Hui Cu, apa yang kaulakukan ini?" bentak nenek itu kepada puterinya dan ketika ia melihat Siang Hwa, wajah nenek itu berobah, alisnya berkerut dan sinar matanya mencorong. "Siang Hwa, apa yang kaukerjakan di sini?" Nenek ini sejenak bingung dan terkejut melihat betapa anaknya yang kehadirannya dirahasiakan itu ternyata telah bentrok dengan muridnya dan kalau sampai hal ini ketahuan oleh suaminya tentu akan terjadi geger. Suaminya tentu akan menuntut agar Hui Cu dibunuh mati atau diberikan kepadanya untuk menjadi selirnya!



"Subo, teecu berhasil merobohkan Siangkoan Ci Kang dan akan membunuhnya, akan tetapi lalu muncul... eh, adik ini yang menentang teecu," kata Siang Hwa membela diri karena ia tahu bahwa subonya sedang marah.



Nenek itu membalikkan tubuhnya memandang kepada tubuh Ci Kang, lalu kepada puterinya dengan sikap marah. Sebelum ia mengeluarkan kata-kata, Hui Cu sudah meloncat dan sekali berkelebat, tubuhnya sudah tiba dekat Ci Kang dan ia bersikap melindungi. "Ibu, kenapa engkau dan juga muridmu itu berkeras hendak membunuh orang yang tidak bersalah?"



"Hui Cu, pergilah dan biarkan Siang Hwa membunuhnya!" bentak Ratu Iblis.



"Tidak! Siapapun tidak boleh membunuhnya! Aku akan menentang siapa saja yang hendak membunuhnya!" berkata Hui Cu dengan sikap gagah dan ia melintangkan kebutannya di depan dada. "Siang Hwa, kalau engkau berkeras hendak membunuhnya, aku yang akan lebih dulu merobohkanmu. Kalau engkau jahat, akupun terpaksa akan tega melukaimu!"



Tentu saja Siang Hwa tidak berani sembarang bergerak. Ia sudah tahu akan kelihaian gadis itu, apalagi setelah kini tahu bahwa gadis itu puteri subonya. Mana ia berani menyerang atau menentangnya?



"Kalau aku yang membunuhnya?" bentak pula nenek itu.



"Aku tetap akan melindunginya dan agaknya ibu harus membunuh aku lebih dulu sebelum dapat membunuhnya!"



Nenek itu nampak terkejut dan sepasang matanya yang mencorong itu terbelalak. "Apa? Kau... kau cinta pemuda itu?"



"Aku tidak tahu apa maksudmu, ibu. Aku tidak tahu apa artinya cinta, akan tetapi aku suka kepadanya karena dia orang baik dan aku tidak suka melihat dia dibunuh, aku akan menentang setiap pembunuhan tanpa sebab."



Melihat kenekatan puterinya, nenek itu sejenak nampak bingung dan kehabisan akal. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Akan tetapi baginya, mati hidupnya seorang pemuda seperti Siangkoan Ci Kang tidaklah begitu penting. Yang merupakan urusan besar adalah pertemuan antara anaknya dengan Siang Hwa. Maka ia menoleh kepada Siang Hwa dan berkata dengan suara penuh mengandung ancaman, "Siang Hwa, berjanjilah untuk menutup mulutmu dan tidak bicara kepada siapapun juga tentang Hui Cu, terutama kepada suhumu. Kalau hal ini sampai bocor, engkaulah satu-satunya orang yang tahu dan engkau akan kubunuh!"



Mendengar suara subonya dan melihat sikap yang mengancam itu, Siang Hwa menjadi pucat dan iapun mengangguk sambil berkata lirih, "Baik subo... teecu berjanji tidak akan bicara dengan siapa juga mengenai... sumoi."



"Nah, Hui Cu, Siang Hwa, mari kita pergi!" kata pula nenek itu.



Hui Cu memandang kepada Ci Kang dan kemudian kepada ibunya dengan ragu-ragu. "Ibu... dan... suci sungguh tidak akan membunuh dia?"



"Tidak, mari kita pergi," kata pula nenek itu mendesak.



"Pergilah dulu, ibu dan suci, nanti aku menyusul," kata pula Hui Cu yang masih belum percaya benar bahwa ibunya dan sucinya itu benar-benar akan membebaskan Ci Kang dan tidak mengganggunya.



"Mau apa kau?" ibunya membentak.



"Aku mau bercakap-cakap dulu sebentar dengan dia," jawab gadis itu menunjuk kepada Ci Kang.



Nenek itu mendengus marah akan tetapi segera meninggalkan tempat itu. Siang Hwa tersenyum mengejek. "Sumoi yang manis, agaknya engkau tergila-gila kepada pemuda ini, ya? Memang dia tampan dan gagah, akan tetapi hati-hati, dia jahat dan curang tak dapat dipercaya. Jangan-jangan engkau akan celaka olehnya. Kalau engkau ingin agar dia dapat melayanimu sepuas hatimu, engkau berilah dia minum ini." Wanita itu mengeluarkan sebungkus bubukan merah dan memberikannya kepada Hui Cu.



Akan tetapi Hui Cu menolak, menggeleng kepala dengan alis berkerut. "Aku tidak tahu apa yang kaumaksudkan, akan tetapi dia tidak jahat dan curang seperti engkau. Pergilah cepat!" bentaknya marah.



Gui Siang Hwa hendak menjawab, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara melengking lirih dan ini adalah panggilan subonya, maka sambil tersenyum mengejek Siang Hwa mengangkat pundak dan pergi meninggalkan sumoinya.



Hui Cu berjongkok dan melihat betapa pemuda itu tak mampu bergerak karena totokan, ia lalu menepuk dan mengurut punggung dan kedua pundak Ci Kang. Akhirnya berhasillah dia membebaskan pemuda itu dari pengaruh totokan dan Ci Kang lalu bangkit duduk sambil mengatur pernapasan.



"Aku sungguh tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh suci tadi." Hui Cu mengomel sambil duduk di depan Ci Kang. Pemuda ini menatap wajah yang manis itu dan merasa kagum. Gadis ini sungguh masih bersih dan polos, batinnya belum tercemar kekotoran yang mengelilingi keluarganya.



"Sucimu itu jahat sekali, Hui Cu. Dan kalau tadi aku tidak tertotok, tentu akan kuserang dan kurobohkan sucimu."



Gadis itu memandang dengan alis berkerut, agaknya bingung dan tidak mengerti. "Kenapa akan kaulakukan itu?"



"Karena ia jahat dan berbahaya bagi orang lain dan ibumu juga."



"Engkau akan menyerang dan membunuh ibuku pula?"



"Kalau mungkin, walaupun ibumu lihai sekali. Mereka itu jahat bukan main, mereka adalah datuk-datuk sesat, bahkan ibumu dijuluki Ratu Iblis. Mereka itu hanya menyebarkan perbuatan jahat dan kejam dan merupakan ancaman bagi keselamatan orang-orang lain yang tidak berdosa dan mengotorkan bumi."



"Engkau... benci kepada mereka?"



Mendengar pertanyaan ini, Ci Kang termenung dan mengamati batinnya sendiri. Tidak, dia tidak benci siapapun. Apa yang diajarkan oleh Ciu-sian Lo-kai tentang cinta dan benci dan dendam sudah mendalam di dalam batinnya dan dia tidak merasa membenci siapapun juga. Akan tetapi dia merasa harus menentang orang-orang seperti Ratu Iblis dan Siang Hwa karena mereka itu jahat dan berbahaya bagi manusia pada umumnya, seperti juga dia menentang ayahnya sendiri yang sama sekali tidak dibencinya.



"Tidak, Hui Cu. Aku tidak membenci mereka, akan tetapi yang kutentang adalah kejahatan mereka demi menyelamatkan orang-orang dari ancaman kejahatan mereka."



Gadis itu menggeleng-geleng kepala. "Aku menjadi bingung dan tidak mengerti, Ci Kang. Akan tetapi, tadi aku melihat engkau seorang diri menangis demikian sedihnya. Kemudian muncul suci yang menotokmu dengan curang. Ci Kang, kenapa engkau menangis begitu menyedihkan? Apakah yang menyusahkan hatimu?"



Ci Kang merasa terharu sekali. Terhadap seorang gadis sejujur dan sebersih ini, dia merasa mendapatkan seorang sahabat dan tak perlu dia merasa malu atau menyembunyikan rahasia hatinya. Bahkan Hui Cu dapat merupakan satu-satunya orang kepada siapa dia boleh mencurahkan semua kepedihan hatinya saat itu.



"Hui Cu, aku memang berduka sekali karena aku mencinta seorang gadis dan tidak ada harapan bagiku untuk berjodoh dengannya."



Gadis itu mengerutkan alisnya seperti hendak mengerahkan otaknya untuk menangkap arti ucapan Ci Kang. "Engkau cinta padanya? Apakah cinta itu?"



Ci Kang tersenyum. Tidak mengherankan kalau gadis ini demikian hijau, karena sejak kecil selalu berada seorang diri saja di dalam guha bawah tanah. "Cinta adalah perasaan seorang pria terhadap wanita, Hui Cu, dan orang yang mencinta mengharapkan untuk dapat hidup bersama dengan wanita yang dicintanya. Aku jatuh cinta kepada seorang gadis akan tetapi tidak ada harapan bagiku untuk dapat berjodoh dan hidup bersamanya."



"Kenapa, Ci Kang? Engkau seorang pemuda yang gagah perkasa dan baik. Apakah ia tidak suka kepadamu?"



"Aku tidak tahu..." Dia teringat betapa Sui Cin menyuapkan makanan ke mulutnya, betapa gadis itu mengobati dan merawatnya. "Mungkin ia suka padaku... akan tetapi aku telah melakukan kesalahan besar terhadap dirinya... dan pula ia adalah puteri seorang pendekar besar, sedangkan aku..."



"Engkau kenapa?"



"Aku sebaliknya adalah anak seorang datuk sesat yang amat jahat!" kata Ci Kang dengan gemas dan suaranya mengandung penuh penyesalan.



Ucapan ini amat menarik hati Hui Cu. Gadis itu memegang lengan Ci Kang dan memandang tajam wajah pemuda itu. "Apa? Orang tuamu itu jahat? Sejahat... orang tuaku?"



Ci Kang mengangguk. "Ayah dan ibumu berjuluk Raja dan Ratu Iblis dan kini menjadi raja para datuk sesat. Sebelum itu, yang menjadi raja datuk sesat adalah ayahku yang berjuluk Iblis Buta."



"Ahh... kenapa mereka itu jahat? Dan aku tidak suka perbuatan jahat, engkaupun tidak suka. Kenapa mereka begitu, Ci Kang?"



Pertanyaan yang sederhana ini tidak mampu terjawab oleh Ci Kang. "Aku tidak tahu, Hui Cu. Akan tetapi aku girang bahwa engkau tidak suka kejahatan seperti mereka. Kita senasib, sama-sama menjadi anak orang-orang jahat. Dan ayahku kini telah tiada..."



"Akan tetapi kalau dia buta, berarti tidak dapat melihat, kenapa jahat? Dan dia tentu lihai sekali, karena engkaupun lihai."



"Dia lihai, akan tetapi masih kalah oleh ayah ibumu. Ayahku tewas di tangan ibumu."



"Ihhh...! Dan kau... kau puteranya, karena itu engkau membenci ibu dan hendak membalas..."



"Tidak! Engkau keliru, Hui Cu. Kalau aku menentang ibumu, itu hanya karena ibumu jahat. Ayahku mati karena akibat ulahnya sendiri, akibat kejahatannya sendiri. Aku tidak mendendam kepada siapapun juga."



Gadis itu terdiam. "Aku bingung dan tidak mengerti tentang semua ini, Ci Kang. Akan tetapi, mendengar bahwa engkaupun anak seorang datuk sesat seperti aku, aku makin suka padamu. Eh, Ci Kang, di manakah kawanmu itu?"



"Kawanku? Kaumaksudkan Cia Sun?"



"Benar! Cia Sun, yang bersamamu masuk ke dalam guha bawah tanah itu. Di manakah dia sekarang dan kenapa tidak bersamamu? Aku ingin sekali bertemu dan bicara dengan dia."



Mendengar kegairahan dalam suara gadis itu, Ci Kang menatap wajahnya dengan penuh selidik. Akan tetapi, wajah dan pandang mata yang berseri itu tidak berobah dan tetap polos terbuka.



"Hui Cu, kau... kau cinta pada Cia Sun?"



"Cinta? Ah, kau tadi bilang bahwa cinta berarti ingin hidup bersama orang yang dicinta selamanya. Aku tidak tahu, apakah aku ingin hidup selamanya dengan Cia Sun, akan tetapi, aku suka sekali padanya dan semenjak bertemu dengannya, aku selalu teringat kepadanya."



"Hemm, kalau tidur engkau seringkali mimpi bertemu dengannya?"



"Benar..."



"Dan kalau engkau sedang duduk seorang diri, wajahnya terbayang olehmu, suaranya seperti kaudengar kembali, setiap gerak-geriknya amat menyenangkan hatimu?"



"Wah, benar! Benar sekali! Eh, bagaimana engkau bisa tahu?"



Ci Kang tersenyum pahit. Tentu saja dia tahu karena seperti itulah keadaan dan perasaannya selama ini terhadap Sui Cin! Puteri Raja dan Ratu Iblis ini telah jatuh cinta kepada Cia Sun! Kenyataan ini membuat hatinya semakin pedih. Dia, putera datuk sesat jatuh cinta kepada puteri Pendekar Sadis yang terkenal. Dan kini, puteri Raja Iblis yang amat jahat itu jatuh cinta kepada putera ketua Pek-liong-pang dari Lembah Naga yang juga terkenal sebagai seorang pendekar sakti yang dihormati orang! Mana mungkin terjadi?



"Ci Kang, kenapa engkau bengong saja? Engkau belum menjawab pertanyaanku, bagaimana engkau dapat mengetahui apa yang kualami selama ini, dan di mana pula adanya Cia Sun?"



"Hui Cu, aku tahu apa yang kaualami karena aku sendiripun mengalami hal yang sama terhadap bayangan gadis yang kucinta. Dan Cia Sun... ah, engkau belum tahu siapa dia. Dia bukan orang sembarangan saja, dia adalah putera dari pendekar besar Cia Han Tiong, ketua Pek-liong-pang di Lembah Naga."



"Lembah Naga? Aku pernah mendengar nama tempat itu dari ibu, tidak begitu jauh dari sini! Jadi dia berada di sana?"



"Entahlah, kukira begitu."



"Kalau begitu, aku akan pergi mencerinya! Aku akan mencari Cia Sun, aku tidak senang tinggal bersama ibuku!" Gadis itu bangkit berdiri.



"Nanti dulu, Hui Cu!" Ci Kang juga melompat dan memegang lengan gadis itu.



"Kenapa kau menahanku? Ada apa?"



Ci Kang merasa kasihan kepada gadis ini dan tidak ingin melihat gadis ini mengalami patah hati dan penghinaan di Lembah Naga. "Dengarkan dulu baik-baik. Ingat bahwa engkau adalah puteri Raja dan Ratu Iblis, sedangkan Cia Sun adalah putera pendekar..." Dia tidak melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu menyambar angin dahsyat sekali dan tahu-tahu di situ muncul seorang kakek yang rambutnya riap-riapan putih, pakaiannya juga serba putih dan sepasang matanya mencorong mengerikan, sedangkan mukanya pucat kehijauan. Melihat kakek ini, terkejutlah Ci Kang karena dia mengenal kakek ini sebagai Raja Iblis sendiri!



"Aku mendengar tadi ada puteri Raja dan Ratu Iblis. Siapa puteri itu?" terdengar suara kakek aneh itu, suaranya seperti terdengar dari lain tempat yang jauh, dan bibirnya tidak nampak bergerak.



Hui Cu yang juga kaget melihat munculnya seorang kakek aneh, kini memandang kakek itu dengan mata terbelalak. "Engkau kakek aneh dan lucu, bicara tanpa menggerakkan bibir! Akulah puteri Raja dan Ratu Iblis!"



Ci Kang terkejut dan tidak sempat menahan gadis itu mengeluarkan kata-kata yang demikian beraninya. Berhadapan dengan iblis ini tidak perlu banyak cakap, pikirnya, karena tidak mungkin iblis itu akan mau melepasnya seperti yang dilakukan Ratu Iblis karena bujukan puterinya tadi. Maka diapun tanpa banyak cakap lagi lalu menerjang maju dengan pukulan tangannya yang ampuh. Karena dia maklum bahwa lawannya ini amat sakti, maka begitu menerjang dia sudah mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya dan mengirim pukulan yang mengandung tenaga dahsyat.



"Wuuuttt... dukk...!" Tubuh Ci Kang terjengkang ke belakang dan dia tentu akan terbanting keras kalau saja dia tidak cepat berjungkir balik dan berloncatan ke belakang. Dia dapat berdiri lagi dengan tegak dan merasa betapa lengan kanannya yang tertangkis oleh lengan kakek itu terasa nyeri dan panas.



"Jangan pukul kawanku!" Hui Cu membentak dan iapun sudah menyerang kakek itu dengan kebutannya. Ia marah melihat betapa Ci Kang terjengkang dan hampir roboh.



Kakek itu mengeluarkan suara menggereng aneh dan begitu jari-jari tangannya bergerak, bulu kebutan itu berhenti dan menempel pada telapak tangannya, sedangkan tangan kirinya diulur untuk mencengkeram ubun-ubun kepala Hui Cu. Jelas bahwa dia bermaksud membunuh puterinya itu dengan sekali serangan.



"Iblis keji! Kau hendak membunuh anakmu sendiri?" Ci Kanig membentak dan dengan nekat dia menerjang dari samping, memukul ke arah tengkuk kakek itu dan tangan kirinya menangkis tangan kakek yang mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Hui Cu.



"Dukk! Dukkk!" Kembali lengan mereka beradu dan Ci Kang terjengkang, akan tetapi Hui Cu selamat dan dapat menarik kembali kebutannya. Gadis ini memandang kakek itu dengan mata terbelalak ketika ia mendengar bentakan Ci Kang tadi.



"Apa? Dia... dia ini ayahku?" teriaknya.



"Benar, dialah Raja Iblis atau Pangeran Toan Jit-ong, ayah kandungmu. Pangeran Toan Jit-ong, gadis ini adalah Toan Hui Cu, puterimu sendiri. Jangan ganggu ia, akulah lawanmu dan mari kita bertanding sampai mati!" Ci Kang menantang dengan sikap gagah dan dia sudah memasang kuda-kuda dan siap untuk berkelahi mati-matian melawan raja kaum sesat ini.



Akan tetapi kakek itu tidak menjawab, bahkan tidak memperhatikan dia. Sepasang mata yang mencorong itu ditujukan kepada Hui Cu, mengamatinya dari pucuk rambut sampai ke kaki. "Ia harus mati, tapi sayang, ia gagah dan cantik. Engkau harus melahirkan anak laki-laki dariku!" Dan tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara melengking nyaring dan tangannya sudah meluncur ke depan. Lengan itu dapat mulur panjang dan tangan itu hendak menangkap pinggang Hui Cu. Gadis ini terkejut dan menjerit, kebutannya digerakkan menotok ke arah pergelangan tangan lawan.



"Tukk!" Raja Iblis itu bagaimanapun saktinya, terkejut karena pergelangan tangan yang tertotok ujung kebutan itu seperti dipatuk ular dan terasa kesemutan. Mengertilah dia bahwa isterinya telah melatih anak ini dan mungkin anak ini telah mewarisi ilmu kebutan rahasia dari mendiang gurunya yang belum sempat dipelajarinya, dan ilmu kebutan ini lebih lihai daripada ilmu menggunakan rambut dari isterinya. Terpaksa dia menarik kembali lengannya.



"Iblis keji!" Ci Kang menyerangnya dari samping dengan totokan ke arah lambung kiri Raja Iblis. Totokan ini hebat sekali dan saking cepatnya, tidak dapat ditangkis lagi maka terpaksa pula Raja Iblis itu menggerakkan tubuh ke belakang untuk mengelak. Diam-diam dia terkejut. Pemuda ini cukup lihai, mungkin lebih lihai daripada semua pembantunya. Dan anak perempuan itupun memiliki ilmu kebutan yang hebat. Tiba-tiba dia melompat ke belakang dan mengangkat kedua tangan. Kakek ini memang memiliki wibawa yang kuat karena dua orang muda itu berhenti dan memandang.



"Siapa namamu?" tanyanya kepada Ci Kang.



"Aku Siangkoan Ci Kang," jawab pemuda itu dengan tabah.



"Bagus! Kau putera Siangkoan Lo-jin?"



"Benar!"



"Hemm, kau datang untuk membalas kematian ayahmu?"



"Tidak, aku datang untuk menentang kejahatanmu!"



"Siangkoan Ci Kang, apakah engkau cinta puteriku ini? Jadilah suaminya dan kalian menjadi pembantu-pembantuku yang setia. Bagaimana?"



Sungguh luar biasa sekali watak iblis ini! Baru saja menyerang dan hendak membunuh, sekarang tiba-tiba menawarkan hal yang sebaliknya. Ini menunjukkan betapa cerdiknya Raja Iblis. Dia segera dapat mengubah pendirian begitu melihat segi keuntungannya.



"Persetan dengan engkau!" bentak Ci Kang. Usul Raja Iblis itu tentang perjodohannya dengan Hui Cu tentu saja bukan merupakan hal yang buruk, akan tetapi menjadi pembantu iblis itu sungguh merupakan tawaran yang dianggapnya amat menghina. "Lebih baik mati daripada menjadi antekmu!" Dan pemuda itu sudah menyerang lagi. Raja Iblis mengelak dengan mudah dan balas menendang dengan keeepatan kilat. Akan tetapi Ci Kang juga dapat menghindarkan diri dan menyerang langsung dengan bertubi-tubi.



"Kalau begitu engkau akan mampus dan ia menjadi isteriku!" Raja Iblis berloncatan sambil berkata demikian, kemudian membalas. Terjadilah serang-menyerang dengan hebat dan lewat beberapa jurus, kembali tangannya yang ampuh itu ketika ditangkis Ci Kang membuat pemuda itu terhuyung ke belakang.



"Mampuslah!" Raja Iblis meloncat dan mengirim pukulan susulan terhadap pemuda yang sedang terhuyung itu. Akan tetapi Hui Cu menerjang dari samping dengan kebutannya yang menyambar dan beruntun mematuk ke arah jalan darah di pelipis, leher dan pundak! Terpaksa Raja Iblis mengurungkan pukulannya terhadap Ci Kang dan mengelak dari sambaran ujung kebutan yang cukup lihai itu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Ci Kang untuk memperbaiki kedudukannya, lalu diapun membantu Hui Cu menyerang lagi.



Raja Iblis menjadi marah sekali. Hampir tidak pernah ada orang yang berani menentangnya, dan kini, seorang pemuda, hanya putera mendiang Iblis Buta, berani menentangnya. Dan yang lebih menggemaskan lagi anak perempuan itu, anakaya sendiri, membantu si pemuda! Dia mengeluarkan suara lengkingan nyaring berkali-kali dan kedua tangannya kini bergerak dengan dorongan-dorongan yang mengeluarkan hawa panas dan mengeluarkan angin kuat. Nampak uap putih setiap kali dia mendorongkan kedua tangannya. Dan dua orang muda itupun terdesak hebat. Hanya dengan pengerahkan sin-kang sekuatnya saja keduanya tidak sampai terlempar oleh hawa dorongan yang demikian kuatnya. Biarpun demikian, Ci Kang maklum bahwa tidak lama lagi dia dan Hui Cu tentu akan roboh. Raja Iblis ini sungguh memiliki ilmu kepandaian yang amat dahsyat.



Karena merasa bahwa tenaga sin-kangnya masih kalah jauh dibandingkan kakek itu, Ci Kang teringat akan ilmu yang diajarkan oleh Ciu-sian Lo-kai kepadanya, yaitu ilmu silat menggunakan tongkat atau benda apa saja yang berbentuk tongkat. Dia melompat ke kiri dan menyambar patah sebatang cabang pohon yang besarnya selengan, kemudian diapun menggunakan senjata ini. Ilmu tongkat bambu merupakan satu di antara ilmu-ilmu yang ampuh dari Ciu-sian Lo-kai, maka begitu Ci Kang mainkan tongkat ini, dia dapat menggempur desakan-desakan lawan dan dibantu oleh Hui Cu, kini dia mampu membalas, bekerja sama dengan kebutan gadis itu yang juga ampuh.



Menghadapi keadaan yang berbalik ini, Raja Iblis semakin marah dan diapun tiba-tiba mengeluarkan gerengan keras dan ketika kedua tangannya bergerak menyilang menyambut tongkat di tangan Ci Kang, terdengar suara keras. Tongkat itu hancur dan tubuh Ci Kang terjengkang! Dengan mengeluarkan suara gerengan seperti tertawa, kakek itu menubruk ke arah Ci Kang yang masih terlentang. Pemuda ini menyambutnya dengan tendangan, akan tetapi kakek itu dapat menangkis tendangan dan terus menjatuhkan diri berlutut, kedua tangannya dihunjamkan dengan jari-jari terbuka ke arah kepala Ci Kang. Pemuda ini merasa betapa ada hawa pukulan dahsyat menyambar dan maklumlah dia bahwa dia terancam maut karena sekali jari-jari tangan itu mengenai kepalanya, tentu kepalanya akan hancur berantakan. Jalan satu-satunya baginya hanya menangkis. Dia mengangkat kedua tangannya dan berhasil menangkap dua lengan tangan lawan. Terjadilah adu tenaga yang mengerikan. Kakek itu berusaha melanjutkan terkaman kedua tangannya, sedangkan Ci Kang yang berada di bawah itu mempertahankan. Mereka bersitegang dan kedua lengan Ci Kang mulai menggigil, mukanya pucat dan penuh keringat, tanda bahwa dia sudah mengerahkan seluruh tenaga dan berada di tepi maut. Agaknya sebentar lagi dia tidak akan kuat bertahan dan kakek itu dapat melanjutkan pukulan mautnya. Melihat keadaan Ci Kang terancam maut seperti itu, tiba-tiba Hui Cu mengeluarkan teriakan keras dan diapun menggerakkan kebutannya. Ujung kebutannya berubah menjadi dua gumpal yang ujungnya meruncing seperti pedang dan dua batang pedang dari bulu-bulu halus yang kini menjadi kaku keras itu menusuk ke arah sepasang mata Raja Iblis! Tusukan ini cepat den hebat sekali dan agaknya gadis itu sudah lupa bahwa ia bisa menewaskan atau setidaknya membutakan mata ayah kandungnya.



Menghadapi serangan mendadak yang amat berbahaya ini, Raja Iblis terkejut dan terpaksa dia menarik kembali kedua tangan yang tadi menekan ke bawah, dan kaki kanannya menyambar ke depan menyambut serangan gadis itu.



"Desss...!" Tubuh Hui Cu terpental dan biarpun ia telah melindungi dirinya dengan sin-kang, tidak urung tubuhnya terlempar sampai beberapa meter jauhnya dan terbanting ke atas tanah sampai bergulingan. Akan tetapi, perbuatannya itu menyelamatkan Ci Kang yang cepat meloncat bangun dan menjauhkan diri karena dia harus mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan tenaganya. Hui Cu juga sudah melompat bangun den kedua orang muda itu sudah bersiap lagi, kini wajah mereka pucat dan kedua kaki agak gemetar karena kecapaian.



Raja Iblis tersenyum mengejek. Dua orang itu tentu akan dapat dirobohkannya dalam serangan berikutnya. Dia menggerak-gerakkan kedua tangannya, saling bersilang dan setiap kali kedua lengan itu bergesekan, tentu nampak uap putih mengepul. Memang hebat sekali ilmu kakek ini kalau dia sudah mengeluarkan tenaga sakti seperti itu. Ci Kang memandang khawatir. Dia tidak mengkhawatirkan diri sendiri. Memang tadi dia sudah menghadapi kematian dengan tenang. Akan tetapi dia mengkhawatirkan Hui Cu. Gadis itu tadi telah menyelamatkan nyawanya. Dia tahu bahwa tanpa bantuan Hui Cu tadi, dia sudah tewas. Dan kini, dia merasa tidak kuat untuk dapat melindungi gadis itu dari ayah kandungnya yang jahat seperti iblis itu. Betapapun juga, dia akan melawan den melindungi Hui Cu sampai napas terakhir. Karena niat melindungi ini perlahan-lahan Ci Kang menghampiri Hui Cu sambil terus memandang ke arah Raja Iblis yang berdiri dalam jarak lima meter dari mereka. Setelah dekat, dia menyentuh lengan gadis itu.



"Jangan takut, Hui Cu, aku akan membelamu sampai mati."



Hui Cu tersenyum duka. "Kita akan mati, Ci Kang. Akan tetapi aku gembira dapat mati bersama seorang sahabat sepertimu. Mari kita lawan dia."



"Yang berat adalah tenaga dorongannya, mari kita satukan tenaga untuk menyambutnya." bisik Ci Kang. Gadis itu mengangguk dan menyelipkan kebutan pada pinggangnya, kemudian bersama Ci Kang dia melangkah maju berdampingan.



Melihat dua orang muda itu nekat maju bersama, Raja Iblis kembali tersenyum mengejek. Dia tahu akan siasat pemuda itu untuk menyatukan tenaga. Akan tetapi dia tadi sudah mengukur sampai di mana tenaga mereka dan dia tidak menjadi gentar. Bahkan sengaja dia maju lagi menyerang dengan kedua tangannya didorongkon ke depan, kedua telapak tangannya menghadap kepada dua orang lawan itu. Begitu kedua tangannya mendorong, nampak uap putih dan angin menyambar dahsyat. Ci Kang dan Hui Cu yang sudah maklum akan kehebatan tenaga dorongan itu, cepat menyambut dengan kedua tangan didorongkan pula. Kini mereka bergerak dengan berbareng, menyatukan tenaga sin-kang menyambut dengan kuatnya.



"Desss...!" Hebat bukan main ketika tiga pasang tangan itu bertemu dan akibatnya tubuh Raja Iblis undur dua langkah, akan tetapi tubuh Ci Kang dan Hui Cu terjengkang dan roboh terbanting! Mereka kalah tenaga dan kini mereka berdua merasa betapa napas mereka menjadi sesak. Terpaksa mereka cepat mengatur pernapasan dan menyalurkan hawa murni untuk mencegah dada yang terguncang hebat itu jangan sampai terluka. Kesempatan baik terbuka bagi Raja Iblis dan sambil tersenyum lebar dia melangkah maju, siap untuk mengirim pukulan maut!



"Sungguh tak tahu malu tua bangka menghina orang-orang muda!" Tiba-tiba terdengar suara halus dan suatu hawa tenaga yang amat kuat mendorong dan menyambut Raja Iblis. Kakek ini terkejut dan mengerahkan tenaga, menggunakan tangannya mengibas dan dua tenaga sakti saling bentur membuat keduanya terkejut karena masing-masing mendapat kenyataan betapa kuatnya lawan yang dihadapi!



Raja Iblis cepat memandang dan alisnya berkerut. Yang muncul di depannya adalah seorang laki-laki yang usianya paling banyak lima puluh tahun. Perawakannya gagah dan wajahnya masih nampak tampan menarik, pakaiannya serba indah dan membuat dia nampak semakin anggun. Wajah itu tersenyum ramah akan tetapi sepasang matanya mencorong penuh kekuatan. Di samping pria ini berdiri seorang wanita yang usianya sebaya, cantik sekali, dengan pakaian yang juga mewah, bersih dan baru, rambutnya dihias batu permata. Namun wanita cantik ini nampak anggun dan angkuh, serius dan sepasang matanya menatap wajah Raja Iblis seperti hendak menegur.



Raja Iblis tidak pernah mengenal mereka, akan tetapi dia dapat menduga bahwa kedua orang ini tentulah dua orang dari golongan pendekar yang memiliki kepandaian tinggi, maka dia tidak memandang rendah dan bersikap waspada dan hati-hati. Biasanya, kalau ada Ratu Iblis di sampingnya, dia tidak pernah mau bicara sendiri dan bahkan jarang dia turun tangan sendiri. Kini, karena dia seorang diri saja, dia terpaksa bicara dan bertindak sendiri. Dia teringat bahwa di antara para datuk di dunia persilatan, banyak yang sudah pernah ditaklukkannya, bahkan mereka bersumpah tidak akan melawannya kalau dia memegang Tongkat Suci Sakti. Kini berhadapan dengan dua orang itu, bahkan dia sudah mengukur tenaga pria itu yang ternyata amat kuat, dia ingin mengambil cara yang lebih mudah. Kalau dua orang ini mempunyai hubungan dengan para tokoh yang pernah ditundukkannya, tentu mereka tidak akan berani pula menentang dia yang memegang Tongkat Suci Sakti. Cepat dia mengeluarkan sebatang tongkat dari balik jubahnya dan sambil mengangkat tongkat itu ke atas kepala, dia berkata, suaranya bergema seperti datang dari jauh dan amat berwibawa.



"Lihat Tongkat Suci Sakti dan berlututlah kalian sebelum aku menyatakan kalian berdosa dan menerima hukumanku!"



Pria dan wanita itu memandang dengan heran, lalu saling pandang dan pria itu tertawa.



"Ha-ha-ha! Yang suci dan sakti bagi orang jahat belum tentu suci bagi kami! Aku she Ceng belum pernah melihat tongkat butut itu!"



"Tua bangka, jangan membadut di depan kami. Pergilah dan jangan ganggu dua orang muda ini sebelum aku turun tangan menghajarmu!" kata si wanita dengan suara galak den sepasang matanya medeorong penuh ancaman.



Raja iblis menjadi marah sekali. Tongkat Suci Sakti itu mereka hina! Padahal, melihat tongkat itu saja banyak tokoh persilatan gemetar dan berlutut.



"Bagus, kalau begitu kalian adalah calon-calon bangkai!" Raja Iblis menyerbu ke depan, menggunakan tongkat itu dan secepat kilat tongkat itu sudah melakukan dua kali pukulan ke arah pria dan wanita itu secara bertubi, bahkan diikuti oleh cengkeraman tangan kirinya yang tidak kalah berbahaya.



Pria dan wanita itupun bukan orang sembarangan. Sekali gerakan saja mereka sudah maklum akan kelihaian kakek yang mukanya seperti kedok mayat itu, dan mereka tahu akan bahayanya tongkat yang dinamakan Tongkat Suci Sakti itu. Maka keduanya cepat mengelak dengan gerakan yang indah dan cepat sehingga semua serangan kakek itu mengenai tempat kosong.



Wanita itu meloncat untuk menghindar dan ketika ia membalikkan tubuhnya, kedua tangannya sudah memegang sepasang pedang berwarna hitam dan ketika dicabut, nampak dua sinar hitam berguung-gulung.



"Awas, tongkatnya itu beracun!" kata si wanita kepada pria yang hanya tersenyum saja.



"Orangnya busuk, bagaimana tongkatnya tidak akan beracun?" Pria itu malah mengejek.



Raja Iblis semakin marah. Tongkatnya menyambar ganas ke arah kepala wanita itu. Wanita setengah tua cantik itu bersikap tenang. Sepasang pedang hitamnya membuat gerakan menangkis dan menggunting, menyambut tongkat.



"Trakk!" Tongkat itu terjepit sepasang pedang hitam. Pada saat itu, tangan kiri Raja Iblis melayang, menampar kepala lawan.



"Singgg...!" Pedang kanan melesat dari tongkat menyambut tangan! Raja Iblis kaget, tak mengira wanita itu memiliki gerakan sedemikian cepat dan lihainya. Dia tidak berani mengadu lengannya dengan pedang hitam, menarik tangan dan langsung tangan itu mendorong ke depan. Serangkum hawa panas dan kuat sekali menyambar.



"Ihhh!" Wanita itu berseru kaget dan cepat meloncat ke belakang. Ketika Raja Iblis hendak mendesak, suami wanita itu sudah menghadapinya dan menghalanginya mendesak isterinya.



"Hemm, engkau lihai juga," kata pria itu. Orang yang mampu mengejutkan isterinya dalam segebrakan saja sungguh jarang terdapat. "Siapakah engkau?"



Akan tetapi Raja Iblis tidak menjawab melainkan menubruk dengan serangan tongkatnya yang menyambar dengan totokan ke arah dahi di antara mata lawan. Pria itu cepat mengelak dengan kepala ditundukkan dan ketika tongkat itu melanjutkan gerakannya menyambar ke arah tengkuknya, dia mengangkat tangan kiri menangkis sambil mengerahkan tenaga sin-kang untuk melindungi kulit lengannya kalau-kalau tongkat itu benar mengandung racun seperti yang tadi diperingatkan oleh isterinya. Dalam hal racun, isterinya memang jauh lebih ahli daripada dia. Akan tetapi dia tidak takut terhadap racun.



"Plakkk!" Dan kembali keduanya terkejut. Pria itu merasa betapa lengannya tergetar dan dia tahu pula bahwa tongkat itu memang dilumuri atau direndam racun. Sebaliknya Raja Iblis merasa tengannya yang memegang tongkat bertemu dengan tenaga yang dahsyat sekali. Jarang dia bertemu tanding sehebat ini tenaganya. Apalagi melihat betapa lawan itu sama sekali tidak terpengaruh oleh racun pada tongkatnya. Sejak tongkatnya terampas oleh kelicikan Sui Cin dahulu itu, dia merendam tongkat saktinya dengan racun yang amat jahat agar siapapun yang akan merampas tongkatnya menjadi keracunan, dan juga setelah direndam racun, tongkat itu selain merupakan benda pusaka untuk menundukkan tokoh-tokoh dunia persilatan, juga dapat menjadi sebuah senjata yang ampuh. Akan tetapi lawan ini sedemikian lihainya sehingga sin-kangnya mampu menolak hawa beracun yang amat kuat dari tongkatnya.



Maklum akan kehebatan lawan, begitu tongkat tertangkis, Raja Iblis secara tiba-tiba dan cepat sekali menggerakkan tangan kirinya dan sebelum pria itu mengelak atau menangkis, tangan kirinya telah menghantam punggung lawan. Hebat dan cepat sekali tamparan telapak tangan kiri Raja Iblis ini, sama sekali tidak tersangka-sangka dan agaknya pria itupun tidak sempat pula mengelak.



"Plakk...!" Tiba-tiba sepasang mata Raja iblis terbelalak dan nampak dia menarik kembali tangan kirinya, akan tetapi tangannya itu telah melekat pada punggung lawan. Baru dia tahu bahwa lawannya memang sengaja tidak mengelak dan memang menerima tamparannya tadi.



"Thi-khi-i-beng...!" Raja Iblis berseru dan secepat kilat tongkatnya menyambar ke arah mata lawan. Pria itu terpaksa mundur dan Raja Iblis menyimpan tenaga saktinya. Agaknya dia tahu pula bagaimana cara menghadapi Ilmu Thi-khi-i-beng. Setelah Raja Iblis menyimpan tenaga saktinya, tangannya yang tadi melekat pada punggung lawan terlepas dengan mudah dan diapun meloncat jauh ke belakang.



"Kau... Pendekar Sadis?" tanyanya, lalu menoleh ke arah wanita cantik.



"Dan kau... yang dulu berjuluk Lam-sin, kau puteri Pangeran Toan Su Ong?"



Kini tahulah pria dan wanita itu dengan siapa mereka berhadapan dan keduanya nampak terkejut bukan main.



"Aha! Kiranya engkau yang terkenal dengan julukan Raja Iblis yang tersohor itu?" kata Ceng Thian Sin Si Pendekar Sadis.



Isterinya, Toan Kim Hong, berkata, "Inikah Pangeran Toan Jit Ong yang kabarnya memberontak terhadap pemerintah itu?"



"Hemm, kalau engkau puteri Toan Su Ong, berarti engkau adalah keponakanku sendiri! Keponakan dan mantu keponakan. Tidak lekas memberi hormat kepada pamanmu?"



"Biar paman, biar siapapun, kalau jahat adalah musuh kami!" kata Toan Kim Hong dengan suara garang.



Raja Iblis Toan Jit Ong adalah seorang yang amat cerdik. Dia tidak takut menghadapi dan melawan Pendekar Sadis dan isterinya, akan tetapi diapun tahu bahwa tidak akan mudah baginya untuk mengalahkan suami isteri perkasa ini. Apalagi ada Siangkoan Ci Kang di situ dan pemuda inipun tidak dapat dipandang ringan. Belum lagi puterinya sendiri yang malah membantu musuh! Kalau dia nekat melawan mereka berempat dan kalah atau mati sekalipun tidak takut, akan tetapi namanya akan jatuh dan pula, bagaimana dengan rencana besarnya?



Raja Iblis menarik napas panjang. "Sudahlah, mengingat hubungan darah, biar aku memandang arwah kakanda Toan Su Ong untuk mengampuni kalian berdua. Inilah anakku. Kemarilah, nak. Mereka ini adalah encimu sendiri dan kakak iparmu." Dengan lagak kebapakan dia menghampiri Hui Cu seperti hendak memperkenalkan mereka. Hui Cu yang masih hijau itu tentu saja menjadi lengah melihat sikap kakek yang menjadi ayah kandungnya itu. Dengan mudah sekali Raja Iblis dapat menangkap lengan kanan anaknya dan tiba-tiba kakek itu sudah menotoknya dan memanggulnya lalu meloncat jauh, melarikan diri.



Melihat ini, Ci Kang meloncat dan hendak mengejar.

"Lepaskan ia!" bentaknya marah. Akan tetapi, suami isteri pendekar dari Pulau Teratai Merah itu tahu-tahu telah menghadangnya.



"Mengejar dia sama dengan bunuh diri!" kata Pendekar Sadis.



"Gadis itu dibawa pergi ayah kandungnya sendiri, mencampurinya adalah suatu kebodohan!" kata pula Toan Kim Hong.



Ci Kang maklum bahwa suami isteri ini mencegahnya untuk melakukan pengejaran dengan maksud menghindarkannya dari bahaya maut dan diapun sadar akan kebodohannya. Pula, Raja Iblis itu telah cepat menghilang dan dia sendiri tidak begitu mengenal daerah ini maka melakukan pengejaran selain tak mungkin, juga benar-benar sama dengan membunuh diri. Baru menghadapi Raja Iblis seorang diri saja dia sudah kalah, apalagi kalau raja sesat itu muncul bersama kaki tangannya. Akan tetapi, bagaimanapun juga, tidak mungkin dia dapat mendiamkan saja Hui Cu dibawa ayahnya. Gadis itu seperti berada dalam cengkeraman harimau. Lebih celaka lagi, seperti berada dalam cengkeraman iblis. Harimau takkan membunuh anaknya sendiri, akan tetapi Raja Iblis itu hendak memaksa Hui Cu menjadi isterinya, atau akan dibunuhnya.



Kini setelah Raja Iblis pergi, Ci Kang dapat mencurahkan perhatiannya kepada suami isteri itu. Dia memandang kepada mereka dan merasa jantungnya berdebar penuh ketegangan. Jadi inikah yang terkenal dengan julukan Pendekar Sadis itu? Ayah dan ibu Sui Cin, gadis yang dicintanya. Dan mereka ini demikian gagah perkasa, demikian anggun dan berpakaian indah. Sepasang pendekar yang berilmu tinggi, yang dapat membuat datuk sesat seperti Raja Iblis melarikan diri. Sepasang pendekar perkasa yang agaknya kaya raya pula. Sedangkan dia? Dia hanya seorang yatim piatu, dan lebih lagi, anak seorang datuk sesat yang buta. Dibandingkan dengan Sui Cin dan keluarganya, dia tidak lebih pantas menjadi seorang pelayan atau pegawai mereka saja. Akan tetapi dia teringat bahwa kemunculan dua orang ini tadi telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut. Kalau tidak ada mereka ini, tentu dia sudah tewas di tangan Raja Iblis, maka diapun cepat menjura dengan sikap menghormat.



"Ji-wi locianpwe telah menyelamatkan nyawa saya. Saya menghaturkan terima kasih."



Suami isteri itu memandang dengan wajah berseri. Mereka merasa suka kepada pemuda gagah yang berani melawan Raja Iblis dan membela gadis itu. Mereka menduga bahwa tentu pemuda ini kekasih gadis itu, atau setidaknya mencinta gadis itu dan mungkin Raja Iblis tidak merestui hubungan mereka. Akan tetapi semua itu bukan urusan mereka.



"Orang muda, engkau gagah dan agaknya tidak akan mudah dapat dirobohkan oleh Raja Iblis itu. Tidak perlu berterima kasih karena kebetulan saja kita berjumpa di sini dan setiap orang gagah memang wajib menentang iblis jahat seperti Raja Iblis itu. Nah, selamat berpisah," kata Ceng Thian Sin dengan ramah. Bersama isterinya dia membalikkan tubuhnya hendak melanjutkan perjalanan mereka.



Kepergian Sui Cin yang amat lama itu menggelisahkan hati suami isteri ini dan mereka seringkali melakukan perjalanan untuk mencari puteri mereka. Itulah sebabnya ketika Sui Cin pulang ke Pulau Teratai Merah, ia tidak bertemu dengan ayah bundanya yang sedang pergi mencarinya. Ia meninggalkan surat dan melanjutkan perjalanannya ke utara, sesuai dengan perintah gurunya. Dan tak lama kemudian, Ceng Thian Sin dan isterinya yang kembali ke pulau itu, menemukan surat puteri mereka. Tentu saja keduanya merasa khawatir sekali mendengar betapa Sui Cin terlibat dalam urusan menentang pemberontakan di utara, hendak menghadiri pertemuan para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk menentang gerakan pemberontakan yang dipimpin oleh Raja Iblis. Karena mengkhawatirkan puteri mereka, suami isteri ini berangkat lagi melakukan pengejaran ke utara.



"Ji-wi, harap perlahan dulu!"



Mendengar suara pemuda itu menahan mereka, Ceng Thian Sin dan isterinya berhenti melangkah dan menengok dengan heran.



"Ada apakah, orang muda?" Pendekar Sadis bertanya.



"Kalau tadi saya tidak salah dengar, locianpwe berjuluk Pendekar Sadis. Apakah locianpwe bernama Ceng Thian Sin dan ji-wi adalah ayah bunda dari nona Ceng Sui Cin?"



"Benar, apakah engkau mengenal anakku?" Toan Kim Hong berseru dengan wajah berseri dan suaranya mengandung kegembiraan. Selama ini mereka berdua sudah mencari-cari akan tetapi belum pernah mendengar tentang puterinya dan tidak dapat menemukan jejaknya. Dan kini, tanpa disangkanya ia mendengar orang bertanya tentang Sui Cin!



"Saya mengenal nona Ceng dengan baik," jawab Ci Kang perlahan.



Ceng Thian Sin memandang wajah pemuda itu dengan penuh perhatian. Setelah mendengar bahwa pemuda ini mengenal Sui Cin dan agaknya merupakan sumber berita di mana adanya puterinya itu, tiba-tiba saja pemuda itu menjadi penting baginya. "Orang muda, sungguh Thian telah menuntun kami untuk bertemu denganmu di sini. Siapakah namamu, orang muda?"



"Nama saya Siangkoan Ci Kang."



"Siangkoan...? Jarang mendengar tokoh dengan she Siangkoan di dunia persilatan," kata Pendekar Sadis.



"Bukankah ada seorang datuk yang juga memiliki she Siangkoan, yang terkenal dengan ilmu silatnya yang tinggi?" tiba-tiba Toan Kim Hong berkata.



"Ah, maksudmu Siangkoan Lo-jin? Mana ada hubungannya dengan..."



"Maaf, locianpwe. Siangkoan Lo-jin adalah mendiang ayah saya."



"Ahh...!" Suami isteri itu saling pandang. Mereka sudah mendengar tentang Siangkoan Lo-jin atau Si Iblis Buta yang terkenal sebagai seorang datuk kaum sesat yang selain berilmu tinggi, juga amat kejam. Dan mereka juga mendengar berita di dunia kang-ouw selama mereka mencari Sui Cin bahwa Iblis Buta telah tewas di tangan Raja dan Ratu Iblis yang kini merampas kedudukan pemimpin para datuk kaum sesat. Kini merekapun menduga bahwa tentu pemuda ini memusuhi Raja Iblis karena mendendam atas kematian ayahnya. Akan tetapi mengapa pemua ini membela puteri Raja Iblis? Mereka tidak ingin tahu lebih banyak karena hal itu bukan urusan mereka.

Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Silat : Asmara Berdarah 4 dan anda bisa menemukan artikel Cerita Silat : Asmara Berdarah 4 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/05/cerita-silat-asmara-berdarah-4.html?m=0,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Silat : Asmara Berdarah 4 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Silat : Asmara Berdarah 4 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Silat : Asmara Berdarah 4 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/05/cerita-silat-asmara-berdarah-4.html?m=0. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 1 komentar... read them below or add one }

poker mengatakan...

poker online terpercaya
poker online
Agen Domino
Agen Poker
Kumpulan Poker
bandar poker
Judi Poker
Judi online terpercaya

Posting Komentar