Cerita Silat : Asmara Berdarah 3

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 11 Mei 2012

Cerita Silat : Asmara Berdarah 3

Apakah yang terjadi di dusun kecil itu? Seorang kakek lain yang juga seperti raksasa, bertubuh tinggi besar dengan perut gendut, membawa sebuah tongkat panjang, mengamuk den membunuhi para penduduk. Seorang ayah yang melindungi anak isterinya, mencoba melawan dengan golok di tangan. Akan tetapi dia bukan lawan kakek raksasa yang seperti iblis itu. Sekali dorong saja petani itu roboh dan ujung tongkat menembus dadanya, sedangkan isterinya telah tewas di am-bang pintu. Anaknya yang tunggal, seo-rang anak laki-laki berusia sepuluh tahun, menangis dan tak mampu bergerak ketika lengan kanannya dicengkeram oleh jari-jari tangan kiri yang besar dan panjang itu. Melihat betapa ayahnya dibunuh, anak itu menjadi nekat. Sambil menjerit-jerit dia lalu menggigit punggung tangan kakek yang mencengkeram lengannya.



Huh! Keparat!" Kakek itu menghardik dan sekali tangan kirinya bergerak, kepala anak itupun pecah dan tubuhnya terpelanting ke dekat mayat ayahnya dalam keadaan tewas seketika. Melihat betapa kakek ini mengamuk, para penduduk dusun melarikan diri ketakutan, meninggalkan belasan orang kawan yang sudah roboh dan tewas terlebih dahulu. Ketika Wu-yi Lo-jin, Siang-kiang Lo-jin, Hui Song dan Sui Cin tiba di situ dan mengintai, semua penduduk yang masih hidup telah lari mengungsi dan yang ada hanya kakek raksasa itu yang tertawa bergelak memegangi tongkatnya, di tengah-tengah dusun dan di sana-sini nampak mayat-mayat berserakan.



Kembali Wu-yi Lo-jin harus menahan Sui Cin yang sudah merah mukanya karena marah dan sudah gatal-gatal tangannya untuk keluar dan menyerang iblis itu.



"Sabarlah. Mereka itu memang sengaja membuat pembersihan agar semua dusun di sekitar tempat ini ditinggalkan kosong dan pertemuan mereka tidak terganggu. Dan perbuatan mereka itu, selain berusaha mengusir semua penghuni penduduk, juga agaknya hendak memancing keluarnya golongan musuh yang mungkin datang mengintai seperti yang kita lakukan. Jangan kita mudah terpancing keluar dan mati konyol. Mari kita bersembunyi dan mengintai lagi di padang rumput itu. Di sana adanya bendera itu, maka tentu di sana pula mereka akan datang berkumpul."



Empat orang itu berindap-indap dan menyusup-nyusup melalui belakang semak-semak dan batu-batu besar, kembali ke tempat tadi. Masih sunyi di situ dan bendera itupun masih berkibar di ujung tiang bendera dari bambu. Akan tetapi, dengan gerakan tangan Wu-yi Lo-jin menudingkan telunjuknya dan memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk memperhatikan ke atas. Sui Cin dan Hui Song memandang ke arah yang ditunjuk dan mereka terbelalak. Di sana, di atas puncak tiang bambu seperti ada dua ekor burung raksasa bermain-main. Yang seekor hinggap di atas puncak tiang bambu dan yang seekor lagi berjungkir balik di atas. Ketika yang berjungkir balik tadi melayang turun, yang hinggap di ujung bambu mencelat ke atas, berjungkir balik dan tempatnya kini dipakai oleh burung kedua. Akan tetapi setelah dipandang dengan teliti, nampak oleh Sui Cin dan Hui Song bahwa dua bayangan yang bermain-main di puncak tiang bambu itu sama sekali bukan burung melainkan manusia! Dua orang manusia yang keduanya berambut panjang riap-riapan, berpakaian longgar dan dari jarak sejauh itu sukar dikenal wajahnya. Akan tetapi melihat bentuk tubuh yang seorang ramping, mudah diduga bahwa mereka itu adalah seorang pria dan seorang wanita. Akan tetapi yang amat mengagumkan adalah gerakan mereka. Sui Cin sendiri seorang ahli gin-kang yang telah mewarisi ilmu gin-kang ibunya yang juga hebat. Akan tetapi melihat cara dua orang itu main-main di puncak tiang bambu yang lentur seperti dua ekor burung saja, diam-diam ia terkejut dan kagum bukan main. Tahulah ia bahwa kedua orang itu memiliki ilmu gin-kang yang amat tinggi dan ia, seperti juga Hui Song, menduga-duga siapa adanya kedua orang lihai itu. Ketika Sui Cin menoleh dan memandang kepada Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin, ia melihat betapa Dewa Arak dan Dewa Kipas itu nampak pucat, terbelalak dan seperti orang ketakutan. Bahkan ketika Si Dewa Arak Wu-yi Lo-jin menoleh kepada Sui Cin dan melihat gadis ini seperti hendak membuka mulut, dia cepat memberi isyarat agar gadis itu tidak mengeluarkan suara.



Kini nampak oleh empat orang pengintai itu betapa yang pria hinggap di atas ujung bambu dan yang wanita melayang ke atas, berjungkir balik beberapa kali kemudian turun, melayang ke arah pria yang berdiri dengan satu kaki di atas puncak bambu. Akan tetapi, pria itu tidak meninggalken tempatnya dan si wanita dengan lunaknya dapat hinggap di atas kepala pria itu dengan kepalanya pula! Mereka beradu kepala dan si wanita kini berdiri jungkir balik, kepalanya menempel pada kepala pria yang masih berdiri tegak. Sungguh pertunjukan yang amat mengagumkan dan kalau saja tidak ada tiga orang lain yang memperingatkannya, tentu Sui Cin akan bertepuk tangan dan bersorak memuji. Gin-kang seperti yang diperlihatkan dua orang yang agaknya sedang berlath itu sungguh membuat hatinya kagum bukan main. Akan tetapi, Wu-yi Lo-jin yang juga merupakan seorang ahli gin-kang yang hebat, memandang khawatir. Dia tahu bahwa menghadapi sepasang iblis itu, hanya dalam gin-kang saja dia masih mampu mengungguli mereka, akan tetapi kini, melihat cara kedua orang itu berlatih, dia merasa sangsi apakah ilmu gin-kangnya akan mampu menandingi mereka sekarang!



Melihat kekhawatiran di wajah kedua orang kakek sakti, Sui Cin lalu menyentuh lengan Wu-yi Lo-jin, kemudian de-ngan isyarat ia mengangkat dua jari ta-ngan, telunjuk dan jari tengah ke atas. Melihat isyarat ini, Wu-yi Lo-jin mengangguk dan tahulah Sui Cin bahwa kedua orang yang sedang berlatih itu benar ada-lah Raja Iblis dan Ratu Iblis seperti yang pernah diceritakan Dewa Arak yang ka-tai itu kepadanya. Maka tentu saja iapun menjadi gelisah dan tertarik, memandang dengan penuh perhatian.



Tiba-tiba para pengintai melihat berkelebatnya bayangan orang. Agaknya mereka yang sedang berlatih di puncak bambu juga melihatnya karena mereke berdua tiba-tiba melayang turun dan gerakan mereka ketika melayang sambil mengembangkan kedua lengan dan jubah mereka yang lebar berkibar benar-benar membuat mereka nampak seperti dua ekor burung besar. Tanpa mengeluarkan sedikitpun suara, kedua orang itu turun hinggap di atas dua buah batu besar yang agaknya seperti juga tiang bendera itu, sudah sengaja dipersiapkan lebih dahulu di tempat itu. Dengan berdiri di atas batu yang besar setinggi manusia ini, maka kedua orang itu nampak nyata dari jarak jauh.



Sui Cin memandang penuh perhatian. Laki-laki itu bertubuh jangkung dan berperawakan sedang. Wajahnya sama sekali bukan seperti wajah iblis atau wajah tokoh-tokoh sesat lain yang biasanya menyeramkan. Orang-orang Cap-sha-kui juga berwajah menyeramkan, juga dua orang raksasa yang dilihatnya tadi jelas membayangkan bahwa mereka adalah orang-orang sesat yang kejam sekali. Akan tetapi kalau pria ini dinamekan Raja Iblis yang yang ditakuti sekali oleh dua orang kakek sakti yang berada di dekatnya, sungguh membuat hatinya penasaran. Laki-laki itu sukar ditaksir berapa usianya karena walaupun wajahnya masih nampak muda dan tidak keriputan, akan tetapi rambutnya yang panjang riap-riapan itu sudah putih semua. Kumis dan jenggotnya dipotong pendek. Tidak nampak sesuatu yang aneh atau menakutkan pada diri pria ini kecuali barangkali matanya. Sepasang matanya itu mencorong dan nampak kehijauan! Sungguh bukan seperti mata manusia biasa. Orang kedua, seorang wanita yang bertubuh langsing, juga tidak kelihatan aneh atau menakutkan. Tubuhnya masih langsing padat seperti tubuh seorang wanita muda, dan wajahnya juga belum berkeriput. Akan tetapi rambutnya yang riap-riapan itupun sudah putih semua dan seperti juga pria itu, ia meiliki sepasang mata yang mencorong bersinar kehijauan. Selain mata mereka yang mencorong kehijauan, juga sikap kedua orang ini amat dingin, wajah mereka seperti topeng saja, seperti kulit mati dan hanya mata mereka yang hidup. Wajah itu tidak membayangkan perasaan apa-apa kecuali dingin dan mati, dengan kerut dekat mata dan mulut yang menunjukkan kemarahan atau ejekan atau tidak perdulian. Pakaian mereka hanya dari dua macam warna, putih dan kuning, dan polos. Potongannya sederhana sekali, kebesaran dan longgar, akan tetapi kain-nya terbuat dari sutera halus dan nam-pak bersih.



Bagaikan setan-setan yang berkeliar-an, bayangan-bayangan berkelebat dan kini di tempat itu telah berkumpul ba-nyak orang. Tidak kurang dari tiga puluh orang berdatangan dari segala penjuru.



Sui Cin yang mengintai, diam-diam bergidik melihat betapa puluhan orang ini, sebagian besar memiliki bentuk wajah, tubuh atau pakaian yang aneh-aneh dan menyeramkan. Dua orang kakek raksasa yang dilihatnya tadipun berada di situ. Anehnya, di antara tiga puluh orang lebih itu, sebagian berlutut menghadap kepada dua orang yang berdiri tegak di atas batu besar, akan tetapi sebagian lagi, kurang lebih setengahnya tetap berdiri dan menghadap dua orang itu dengan sikap yang jelas menyatakan bahwa mereka yang berdiri ini tidak tunduk! Dan dua orang kakek raksasa tadi termasuk di antara mereka yang berdiri dengan sikap angkuh. Puluhan orang itu rata-rata sudah tua, di antara empat puluh tahun sampat ada yang sukar ditaksir berapa usianya. Dan Sui Cin melihat betapa hidung kakek gendut Dewa Kipas berkem-bang kempis tanda bahwa dia mencium sesuatu. Ia sendiripun lapat-lapat dapat mencium bau yang bermacam-macam. Ada bau yang amis sekali, ada bau harum yang aneh, dan iapun tahu bahwa di an-tara orang-orang yang berkumpul di situ tentu terdapat banyak datuk-datuk sesat yang selalu bergelimang dengan racun yang berbahaya. Kalau ia membayangkan betapa di situ terdapat orang yang mele-pas racun dalam air sehingga membunuh puluhan orang, sungguh ia merasa ngeri dan bergidik. Agaknya mereka semua itu bukan manusia lagi, melainkan iblis-iblis jahat yang berhati kejam bukan main.



Pria dan wanita yang berdiri di atas batu besar itu kini memandang ke ba-wah. Wajah mereka yang tertimpa sinar bulan itu nampak kehijauan, akan tetapi mereka tidak memperlihatan perasaan apapun wajah mereka ketika melihat betapa sebagian dari mereka yang mun-cul itu tidak berlutut.



Wanita berambut riap-riapan putih itu kini mengangkat tangan kanan ke atas dan terdengar suaranya, suara yang lan-tang dan melengking halus, menusuk anak telinya. "Kawan-kawan yang sudah memperlihatkan penghormatan kepada kami, kami menerimanya dan silakan kalian duduk dan berkumpul di sebelah kanan!" Jarinya menuding ke kanan dan mereka yang berlutut itu, berjumlah belasan o-rang, lalu bangkit dan berkumpul di se-belah kanan, di mana mereka lalu duduk dengan santainya di atas rumput. Akan tetapi, dasar orang-orang kasar yang ti-dak mengindahkan kesopanan dan aturan, mereka duduk seenaknya, ada yang jong-kok, ada yang mekangkang, ada yang se-tengah tiduran.



Tinggal belasan orang yang merupakan kelompok yang sejak tadi berdiri saja, tidak mau berlutut seperti yang lain. Dan di tengah-tengah mereka, kini bahkan berada paling depan, berdiri seorang kakek yang sudah dikenal oleh Sui Cin, yaitu kakek buta yang terkenal dengan julukan Iblis Buta! Itulah Siangkoan Lo-jin, kakek yang berpakaian petani hitam sederhana, yang matanya buta hanya nampak putihnya saja dan melek terus, kakek yang menjadi datuk sesat dan yang pernah memimpin sebagian dari anggauta Cap-sha-kui. Siangkoan Lo-jin atau Iblis Buta itu kini berdiri tegak dengan tong-kat kayu cendana hitam di tangannya. Sikapnya tegak dan angkuh berwibawa dan agaknya inilah yang membuat belas-an orang datuk lain, termasuk mereka dari Cap-sha-kui, berani untuk berdiri di belakangnya menentang suami isteri yang merupakan raja dan ratu baru di kalang-an sesat, akan tetapi yang belum pernah mereka rasakan sendiri kehebatan mereka itu. Mereka semua kaum sesat yang pernah mendengar nama Raja Iblis dan Ratu Iblis dari Guha Tengkorak, akan tetapi karena selama puluhan tahun suami isteri ini tidak pernah muncul, maka mereka-pun tidak pernah bertemu dengan mereka dan kini mereka sangsi apakah benar suami isteri itu hebat dan lebih tangguh daripada Si Iblis Buta!



Wanita itu kembali menghadapi mereka yang berdiri di bawah dan suara-nya masih terdengar melengking nyaring dan tidak ada bedanya dengan tadi, tidak menunjukkan kemarahan, hanya terdengar lebih dingin. "Dan kalian yang berani me-nentang kami dengan pandang mata dan sikap, kami masih memberi kesempatan untuk bicara dan mengemukakan alasan mengapa kalian tidak mau tunduk kepada kami, Raja dan Ratu kalian!"



Belasan orang yang berdiri tegak dan tidak mau tunduk itu nampak ragu-ragu. Sikap wanita itu biarpun nampak halus namun sungguh mengandung suatu wibawa yang amat menyeramkan, dan lebih-lebih lagi sikap pria yang berdiri tegak di atas batu besar tanpa mengeluarkan sepatah kata itu, yang hanya memandang dengan matanya yang mengeluarkan si-nar hijau seperti mata iblis. Agaknya, Raja Iblis ini memang jarang bicara dan isterinya, Ratu iblis itu yang menjadi ju-ru bicara untuknya.



Nama seseorang memang mempunyai pengaruh besar. Biarpun belum pernah melihat kelihaian Raja dan Ratu Iblis i-tu, namun tiga belas orang Cap-sha-kui yang kini berkumpul semua, bersama be-berapa orang datuk sesat lainnya, dan di-pelopori oleh Iblis Buta, sudah pernah mendengar kesaktian suami isteri bang-sawan yang kini menjadi manusia iblis itu. Maka, bagaimanapun juga, ada pera-saan gentar di dalam lubuk hati mereka. Hanya karena di situ terdapat Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta yang menjadi pelopor, maka mereka masih berbesar hati karena mereka semua sudah melihat sendiri ke-saktian Iblis Buta ini yang telah mereka akui sebagai pemimpin, atau setidaknya beberapa orang di antara Cap-sha-kui telah mengakuinya. Kini, mendengar perta-nyaan dan ucapan Ratu Iblis, belasan o-rang itu memandang ke arah Siangkoan Lo-jin, mengharapken tokoh pemimpin ini yang akan menjawab.



Siangkoan Lo-jin yang buta itu mak-lum malalui pendengaran dan perasaan hatinya bahwa rekan-rekannya mengharapkan dirinya sebagai pemimpin untuk menghadapi suami isteri yang begitu muncul telah menentukan dan mengangkat diri sendiri sebagai raja dan ratu para datuk. Dia menjadi marah.



"Tukk! Tukk! Tukk!" Tiga kali ujung tongkat kayu cendana yang berada di tangannya itu menotok, ke atas sebongkah batu yang berada di depan kakinya. Totokan-totokan itu nampaknya perlahan saja, akan tetapi sebongkah batu itu retak-retak dan ketika tongkat kakek buta mendorong, batu itu pecah menjadi empat potong! Betapa hebat tenaga sin-kang kakek buta ini yang disalurkan melalui tongkatnya!



"Seorang pemimpin dinilai dari perbuatannya, bukan dari namanya atau omongannya! Kalian datang-datang mengangkat diri menjadi raja dan ratu dan minta agar kami tunduk dan taat. Kami bukan anak kecil yang dapat kalian takut-takuti begitu saja. Aku Siangkoan Lo-jin, minta bukti apakah kalian memang sudah pantas untuk memimpin kami!"



Melihat betapa pemimpin ini sudah berani maju menentang, tiba-tiba suami isteri dari Kui-kok-pang, yaitu Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bp juga berloncatan ke depan dengan sikap menantang.



"Kami juga penasaran!" kata Kui-kok Lo-bo dengan suara melengking. "Melihat keadaan kalian, tidak lebih hebat daripada aku dan suamiku. Mana mungkin kami berdua mau tunduk dan taat kepada kalian kalau kami belum tahu sampai di mana kesaktian kalian?" Kui-kok Lo-bo memandang dengan mata terbolalak. Nenek ini sesungguhnya tidak kalah angkernya dibandingkan dengan nenek yang berdiri di atas batu besar. Ia dan suaminya memang merasa penasaran sekali. Mereka merupakan suami isteri yang terkenal sebagai sepasang iblis, ketua Kui-kok-pang (Perkumpulan Lembah Iblis) dan merupakan tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang ditakuti. Kini muncul suami isteri yang seolah-olah hendak menyaingi mereka, dan melihat betapa suami isteri yang baru muncul dan mengangkat diri sendiri menjadi Raja Iblis dan Ratu Iblis, tentu saja Kui-kok Lo-bo merasa penasaran. Kakek nenek di atas batu itu merupakan orang-orang biasa saja. Dan memang keadaan suami isteri Kui-san-kok ini lebih menyeramkan dibandingkan dengan Raja dan Ratu Iblis itu. Suami isteri ini berpakaian putih-putih dan muka merekapun putih pucat, seperti muka mayat. Mata mereka mencorong mengerikan dan kekejaman mereka sudah terkettal di seluruh dunia kang-ouw. Jauh lebih mengesankan daripada suami isteri biasa sederhana yang kini berdiri di atas batu besar itu.



Sejenak nenek berambut putih itu memandang kepada suami isteri yang berdiri bertolak pinggang menentangnya di bawah batu itu tanpa perubahan air muka, hanya sepasang matanya berkedip-kedip dan sinar pandang matanya menyambar ganas. Dengan suara tetap halus akan tetapi nadanya semakin dingin saja, akhirnya ia bertanya sambil memandang ke arah sekelompok orang yang berdiri di sebelah belakang Iblis Buta dan sepasang Iblis Kui-kok-pang itu, "Masih ada lagikah yang merasa penasaran dan yang hendak menentang kami selain tiga ekor monyet ini?"



Biarpun di situ berkumpul datuk-datuk sesat yang amat kejam deperti sakumpulan Cap-sha-kui, namun ternyata selain tiga orang itu, tidak ada lagi yang berani menentang secara terang-terangan. Mereka merasa lebih aman untuk menunggu dan melihat bagaimana kelanjutan dari sikap Iblis Buta dan suami isteri Kui-kok-pang itu.



Sementara itu, mendengar dirinya di-sebut "tiga ekor monyet", tentu saja Iblis Buta dan suami isteri Kui-kok-pang menjadi marah. Itulah penghinaan yang hebat! Akan tetapi, merasa betapa derajat-nya lebih tinggi, yaitu sebagai pemimpin sebagian tokoh Cap-sha-kui termasuk suami isteri Kui-kok-pang itu, Iblis Buta diam saja, membiarkan bawahannya untuk bertindak lebih dahulu. Pula, dia sendiri belum mengenal kelihaian lawan, maka kalau lawan sudah bergebrak melawan suami isteri Kui-kok-pang, dia dapat mempergumkan pendengarannya yang tajam untuk mengikuti gerakan mereka dan mengukur sampai di mana kelihaian dua orang itu.



"Kawan-kawan semua yang telah datang memenuhi undangan kami, kani berdua

mengucapkan selamat datang dan terima kasih atas perhatian kalian. Percayalah, kami berdua Raja dan Ratu kalian akan mendatangkan suasana baru bagi kita semua, dan sudah waktunya bagi kita untuk menguasai dunia! Sekarang, kalau ada yang tidak setuju bahwa kami berdua yang menjadi Raja dan Ratu, dan kalau ada yang hendak menentang, kami persilakan naik ke atas batu ini. Kalau kami sampai dapat digusur turun dari atas batu ini, biarlah kami tidak akan banyak bicara lagi dan kembali ke tempat pertapaan kami dan tinggal di sana sampai mati. Nah, hayo, siapa hendak naik? Tiga ekor monyet ini?"



Sikap dan ucapan nenek berambut putih itu sungguh menyakitkan hati Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo. Mereka melihat bahwa batu besar itu cukup luas, tidak kurang dari lima meter persegi luasnya. Memang kurang luas untuk menjadi tempat perkelahian, akan tetapi, mereka maju bersama dan mereka berdua sudah memiliki ilmu gabungan yang dapat dimainkan oleh mereke berdua. Tempat yang sempit itu bahkan menguntungkan kalau mereka maju bersama.



"Perempuan sombong, biarkan kami yang mencoba untuk menyeret kalian turun!" Bentak Kui-kok Lo-bo yang berwatak keras dan galak. Ia mendahului suaminya meloncat dan nampaklah dua bayangan berkelebat cepat ketika suami isteri ini melayang naik ke atas batu dan dalam waktu sekejap saja mereka kini telah berdiri berdampingan, menghadapi nenek berambut putih yang menyambut mereka dengan sikap dingin dan mata mencorong penuh selidik. Adapun suaminya, kakek berambut putih riap-riapan itu, agaknya tidak memperdulikan, bahkan kini dia mengundurkan diri dan duduk bersila di sudut permukaan batu, bahkan lalu memejamkan kedua matanya seperti orang bersamadhi.



"Agaknya kalian yang disebut Sepasang Iblis Kui-kok-pang, dua orang di antara Cap-sha-kui. Sayang, mulai sekarang, Cap-sha-kui harus merasa puas dengan sebutan Cap-it-kui (Sebelas Iblis) saja," kata nenek berambut putih.



Suami isteri Kui-kok-pang itu mendelik. Penghinaan ini lebih hebat daripada makian monyet tadi, karena ucapan itu amat meremehkan mereka, memastikan bahwa mereka berdua tentu akan tewas sehingga Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis) hanya akan tinggal sebelas orang lagi saja.



"Perempuan sombong, engkaulah yang akan mampus di tangan kami!" bentak Kui-kok Lo-bo yang sudah menubruk ke depan. Kedua lengannya tadinya terkembang, kemudian menubruk dengan sepuluh jari tangan membentuk cakar setan. Gerakannya demikian kuatnya dan mengandung sin-kang amat kuat sehingga mengeluarkan bunyi angin bersiutan!



"Plak! Plakk!" Dua kali tangan nenek berambut putih menangkis dan tubuh Kui-kok Lo-bo terdorong dan hampir terjengkang. Tentu saja ia terkejut, bukan main ketika merasa betapa dorongan tangan lawan itu lunak dan lembut, akan tetapi di balik kelembutan itu terkandung tenaga dahsyat yang tenang seperti air telaga sehingga tenaga sin-kangnya sendiri yang bersifat keras itu seperti tenggelam ke dalamnya! Itulah semacam tenaga halus yang amat hebat, yang membuat telapak tangan wanita itu seperti kapas halusnya akan tetapi mengandung tenaga dahsyat yang sewaktu-waktu dapat dikeluarkan untuk mengirim serangan maut dari balik kelembutan.



Pada saat isterinya terdorong mundur, Kui-kok Lo-mo yang terkejut melihat cara lawan menangkis isterinya dan membuat isterinya terhuyung, sudah mengeluarkan teriakan nyaring dan diapun menerjang maju mengirim pukulan dengan targan kanan terbuka ke arah dada lawan. Kali ini, angin yang berhembus lebih kuat daripada gerakan Kui-kok Lo-bo dan tangan maut itu menyambar dahsyat, mengeluarkan suara berdesing.



Nenek rambut putih mengenal pukulan dahsyat, maka iapun mengelak, dengan gerakan yang gesit, tubuhnya menyelinap ke samping akan tetapi bukan hanya se-kedar mengelak karena sambil mengelak kakinya melayang ke arah selangkang lawan.



"Wuuuttt...!" Kui-kok Lo-mo cepat meloncat ke belakang sehingga tendangan yang amat berbahaya itu lewat di depan tubuhnya. Menggunakan kesempatan ini, Kui-kok Lo-bo sudah menerjang lagi dari belakang, mencengkeram ke arah tengkuk lawan, sedangkan tangan yang lain menusuk dengan jari-jari tangan ditegakkan ke arah lambung. Sungguh merupakan serangan maut yang amat berbahaya, dilakukan dari belakang tubuh lawan pula! Akan tetapi nenek rambut putih itu sama sekali tidak kelihatan terkejut atau gugup menghadapi serangan dari belakang ini. Ia menarik tubuh atas ke belakang sambil memutar tubuh, menangkis tusukan ke arah lambungnya itu sedangkan cengkeraman ke arah tengkuknya luput, dan secepat kilat ia menggerakkan kepala dan rambutnya yang putih dan riap-riapan itu tiba-tiba saja berubah kaku seperti kawat-kawat baja menyambar ke depan.



Bukan main hebatnya serangan ini! Di dunia persilatan ada ilmu memperguna-kan rambut sebagai senjata. Akan tetapi biasanya rambut itu dikuncir sehingga kalau kepala digerakkan, kuncir yang te-bal itu depat menghantam seperti ujung toya. Ilmu mempergunakan rambut nenek ini lain lagi. Rambutnya tidak dikuncir melainkan riap-riapan dan menurut nalar, rambut yang riap-riapan ini tentu saja tidak mempunyai daya kekuatan. Akan tetapi hebatnya, begitu nenek ini meng-gerakkan kepalanya, rambut putih yang riap-riapan dan beribu-ribu banyaknya itu menjadi tegeng seperti kawat-kawat baja halus menyambar ke arah lawan. Kui-kok Lo-bo terkejut bukan main ketika tubuh-nya dari dada sampai kepala diserang o-leh rambut-rambut putih yang menjadi kaku itu. Ia cepat melempar tubuh ke belakang, akan tetapi masih saja ada rambut yang menyentuh kulit lehernya dan dan kulit leher itupun terluka berlubang-lubang seperti ditusuki jarum-jarum halus! Memang tidak terlalu nyeri bagi wanita iblis ini, akan tetapi cukup mengejutkan karena ternyata kekebalan kulitnya tidak dapat bertahan terhadap rambut-rambut putih halus itu.



Sementara itu, Kui-kok Lo-mo sudah menyerang lagi dengan pukulan-pukulan dahsyat. Juga Lo-bo cepat membantu suaminya dan sebentar saja nenek rambut putih itu sudah dikeroyok dua oleh sepasang iblis dari Kui-kok-pang. Perlu diketahui bahwa suami isteri Kui-kok-pang itu melatih diri bersama, mempelajari berbagai ilmu pukulan yang ampuh-ampuh sehingga mereka berdua merupakan pasangan yang dapat bekerja sama dengan baik. Akan tetapi, nenek yang tidak mengesankan keadaannya itu ternyata lincah bukan main dan ia seperti mempermainkan kedua orang pengeroyoknya! Gerakannya begitu mantap dan cepat sehingga ke manapun kedua orang lawannya menyerang, ia sudah siap untuk mengelak atau menangkis, bahkan hampir selalu secara langsung ia membalas setiap serangan dengan tidak kalah dahsyatnya. Hebatnya, makin dahsyat serangan lawan, makin dahsyat pula ia membalas, seolah-olah kedahsyatan serangannya tergantung kepada serangan lawan.



Hui Song dan Sui Cin yang nonton dari tempat persembunyian mereka, terbelalak kagum. Mereka berdua sudah maklum akan kesaktian suami isteri Kui-kok-pang itu. Akan tetapi melihat betapa nenek rambut putih itu mampu mempermainkan pengeroyokan mereka, sungguh hal ini amat mengejutkan dan mengagumkan. Kini mengertilah mereka mengapa dua orang kakek sakti seperti Dewa Arak dan Dewa Kipas itu nampak jerih terhadap Raja dan Ratu Iblis!



Perkelahian di atas batu itu menjadi semakin seru. Bagaimanapun juga, harus diakui bahwa Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo adalah dua orang datuk sesat yang sudah memiliki kedudukan tinggi dan mengalahkan pengeroyokan dua orang ini bukan merupakan hal mudah, biarpun bagi nenek berambut putih itu sekalipun. Memang benar bahwa nenek itu menang segala-galanya, baik kekuatan sin-kang maupun kepandaian silat dan ketinggian gin-kang, akan tetapi berkat kerja sama yang amat kompak suami isteri iblis dari Kui-san-kok itu dapat bertahan dan menjaga diri. Mereka berdua terdesak hebat dan kini bahkan sukar untuk membalas serangan nenek itu yang dibantu oleh rambutnya itu. Bagaikan gelombang samudera, nenek itu mengirim serangannya susul-menyusul, dengan kedua tangan, kedua kaki dan diseling dengan gerakan rambutnya yang amat berbahaya.



Karena merasa kewalahan, suami isteri dari Kui-kok-pang itu menjadi penasaran dan marah. Biarpun mereka bertangan kosong dan nenek rambut putih itu juga bertangan kosong, akan tetapi penggunaan rambut nenek itu bahkan lebih merepotkan daripada kalau lawan menggunakan senjata. Maka merekapun mengeluarkan bentakan nyaring dan nampaklah sinar berkelebat di bawah bayangan cahaya bulan yang kini bersinar terang. Tahu-tahu Kui-kok Lo-mo telah memegang sebatang pedang panjang lemas yang tadinya dipakai sebagai ikat pinggang, sedangkan isterinya telah memegang dua buah pisau belati yang tajam mengkilat. Dengan senjata di tangan, mereka lalu mengamuk dan menyerang kalang kabut.



"Plak! Plak! Plak!" Sui Cin hampir berseru saking kagumnya. Nenek rambut putih itu tidak hanya pandai mengelak, bahkan berani menangkis pedang dan pisau yang amat tajam itu dengan kedua lengannya! Kulit lengan menjadi lunak sekali sehingga ketika bertemu dengan senjata tajam, sama sekali tidak terluka karena tenaga bacokan senjata-senjata itu lenyap disedot oleh kulit pembungkus daging yang lunak dan ulet seperti kapas di udara yang tidak akan rusak terbacok senjata tajam.



Betapapun juga, nenek itu belum berani menerima senjata-senjata yang digerakkan oleh tangan-tangan yang memiliki tenage sin-kang amat kuat itu dengan tubuhnya. Yang berani beradu dengan senjata-senjata tajam itu hanyalah kedua lengannya saja yang agaknya sudah terlatih dengan amat baiknya.



"Tringgg... crakkk... tranggg...!" Bunga api berpijar ketika ujung pedang mencium permukaan batu, membuat debu batu bertaburan. Diserang kedua kakinya dengan babatan pedang sedangkan Kui-kok Lo-bo menggerakkan sepasang belatinya mengarah jalan-jalan darah yang berbahaya, nenek itu harus memperlipatgandakan kecepatannya. Setelah suami isteri itu mempergunakan senjata, perkelahian menjadi semakin seru menegangkan. Semua orang yang hadir di situ, baik yang sekelompok dan duduk di sebelah kanan maupun mereka yang masih berdiri di belakang Iblis Buta, nonton dengan hati tegang. Bagi mereka, yang berkelahi itu seolah-olah mewakili golongan masing-masing, yaitu golongan yang tunduk kepada Raja dan Ratu Iblis dan golongan yang menentang.



Biarpun ia harus mengakui bahwa nenek berambut putih itu memang lihai sekali sehingga dikeroyok suami isteri iblis dari Kui-kok-pang itu yang keduanya bersenjata tajam tidak sampai kalah, namun ia masih merasa ragu-ragu apakah orang-orang seperti Dewa Arak atau Dewa Kipas harus takut menghadapinya. Menurut penilaiannya, tingkat kepandaian dua orang kakek itu belum tentu kalah oleh nenek berambut putih itu, akan tetapi mengapa mereka berdua nampak sedemikian takutnya menghadapi Raja dan Ratu Iblis? Ia menaksir bahwa kalau hanya dapat mengimbangi kepandaian kedua orang suami isteri Kui-kok-pang itu saja, ayahnya atau ibunya belum tentu akan kalah!



Akan tetapi tiba-tiba kakek katai menyentuh lengannya dan menudingkan telunjuknya ke arah batu di mana perkelahian masih berlangsung dengan serunya. Dan Sui Cin yang tadinya termenung itu kini terbelalak. Dua orang suami isteri Kui-kok-pang itu kini kelihatan terhuyung-huyung! Yang membuat Sui Cin terheran-heran dan merasa ngeri adalah ketika ia melihat betapa kedua tangan suami isteri itu kini berubah menjadi hijau, juga muka mereka yang tadinya pucat seperti muka mayat itu ber-ubah menjadi kehijauan! Dan ia, sebagai puteri suami isteri pendekar sakti, dapat menduga apa artinya itu. Suami isteri Kui-kok-pang itu ternyata telah keracunan secara hebat sekali. Inilah sebabnya mengapa gerakan mereka menjadi kacau dan lemah. Padahal, nenek berambut putih itu sama sekali tidak pernah kelihatan menggunakan racun! Dari mana datangnya racun yang menguasai suami isteri itu? Dan kedua suami isteri Iblis Kui-kok-san itupun merupakan datuk-datuk sesat yang tidak asing dengan segala macam racun, bagaimana mungkin mereka dapat keracunan semudah itu?



Tiba-tiba nenek berambut panjang itu mengeluarkan suara bentakan melengking, tubuhnya bergerak cepat dan tahu-tahu sepasang pisau dan pedang itu terbang dari tangan para penyerangnya. Suami isteri itu nampak terkejut, akan tetapi mereka menggunakan tangan kosong untuk melawan terus. Bahkan kini mereka mengamuk dengan nekat, melihat betapa tubuh mereka telah dipengaruhi hawa racun hijau yang tidak menimbulkan rasa nyeri, akan tetapi membuat tubuh mereka makin lama semakin lemas.



"Hyaaattt!" tiba-tiba Kui-kok Lo-bo menubruk dengan kedua tangan membentuk cakar setan. Nenek ini sudah nekat karena betapa sebetulnya ia dan suaminya dipermainkan, dan agaknya kalau dikehendaki, sejak tadi ia dan suaminya sudah dapat dikalahkan. Ia tadi sudah mencoba menggunakan pel anti racun untuk menyembuhkan keracunan itu dengan menelannya, akan tetapi tidak ada hasilnya sama sekali. Maka, ia berlaku nekat, kalau perlu hendak mengadu nyawa dengan lawan. Maka serangannya itu amat hebat, tidak lagi memperdulikan daya pertahanan lagi, melainkan mengerahkan seluruh tenaga dan perhatian untuk mencengkeram tubuh lawan. Tentu saja ia menyerang sambil mengerahkan tenaga sin-kang yang membuat kedua tangannya berubah hitam dan mengandung hawa beracun yang amat berbahaya. Akan tetapi karena racun hijau itu mulai menguasai dirinya, gerakannya menjadi kurang cepat dan lawannya dengan mudah saja dapat mengelak, bahkan kini lawannya berhasil menangkap kedua pergelangan tangan Kui-kok Lo-bo. Sebelum Lo-bo dapat mencegahnya, tahu-tahu sinar putih berkelebat dan rambut-rambut putih yang riap-riapan itu sudah bergerak menyerang mukanya! Terdengar jerit mengerikan ketika rambut-rambut halus yang berobah menjadi kaku meruncing menerkam muka dan leher Kui-kok Lo-bo. Ketika nenek berambut putih itu melepaskan pegangan sambil mendorong, tubuh Kui-kok Lo-bo terjengkang dan terlempar jauh dari atas batu, terbanting ke atas tanah dan di situ tubuhnya berkelojotan. Muka dan lehernya mandi darah, juga kedua matanya rusak dan hancur karena tusukan-tusukan rambut-rambut itu!



Melihat isterinya roboh, Kui-kok Lo-mo menjadi marah dan mata gelap. Dia lupa bahwa sudah jelas dia bukan lawan nenek rambut putih, akan tetapi dia sudah nekat dan sambil berseru keras dia memukul dengan tangan kanannya ke arah kepala nenek berambut putih, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah perut. Serangan kedua tangan ini hebat bukan main. Biarpun kakek ini juga sudah keracunan dan tenaganya banyak berkurang, namun pengerahan sinkang dalam keadaan marah ini memperlipatgandakan kekuatannya dan dua serangan itu sungguh dahsyat dan berbahaya sekali.



Nenek rambut putih itu cepat menyambut cengkeraman itu dengan pukulan kedua tangan miring ke bawah, sedangkan tangan yang menghantam ke arah kepalanya itu ia sambut dengan rambutnya. Akan tetapi, sekali ini rambut di kepalanya tidak bergerak sendiri-sendiri, melainkan menjadi bergumpal sebesar lengan dengan kekuatan dahsyat menyambut pukulan tangan kanan Kui-kok Lo-mo dengan tangkisan dari atas ke bawah pula, seperti sebuah lengan atau sebatang toya baja menangkis.



"Krakk!! Krekkk...!!"



Kui-kok Lo-mo meloncat ke belakang dan mukanya yang pucat agak kehijauan itu menjadi semakin pucat. Kedua lengannya tergantung lemas dan tak berdaya lagi karena tulang-tulang kedua lengannya patah-patah oleh tangkisan gumpalan tambut dan kedua tangan nenek itu! Dalam satu jurus saja, kedua lengannya menjadi tak beedaya dan tidak dapat dipergunakan untuk menyerang lagi.



"Haiiiittt...!" Biarpun kedua lengannya sudah lumpuh, Kui-kok Lo-mo masih tidak mau mundur. Sudah kepalang baginya. Isterinya sudah tewas dan bagaimanapun juga, tidak mungkin dia mundur menelan penghinaan dan kekalahan begitu saja di depan banyak orang. Akan dikemanakan mukanya? Namanya akan hancur dan menjadi buah tertawaan orang kalau dia mundur dan mengaku kalah. Sambil mengeluarkan pekik yang nyaring tadi, kedua kakinya bergerak dan tubuhnya melayang ke atas, kedua kaki melakukan tendangan dahsyat sekali.



"Plakkk! Brukkk...!" Tubuh Kui-kok Lo-mo terbanting keras ke atas batu ketika nenel itu mengelak ke samping sambil menangkis dengan lengannya. Akan tetapi Kui-kok Lo-mo bangkit lagi dengan loncatan karena kedua tangannya tidak dapat dipergunakan untuk menyangga tubuhnya, dan dengan nekat dia menendang lagi. Akan tetapi, sampai empat kali tubuhnya terbanting karena setiap tendangan dapat dielakkan dengan mudah oleh lawannya, bahkan tangkisan keras lawannya membuat tubuhnya terpelanting dan terbanting.



"Aaahhhh...!" Tiba-tiba Kui-kok Lo-mo mengambil posisi menunduk seperti seekor kerbau mengamuk dan hendak menggunakan tanduk menyerang. Akan tetapi karena Kui-kok Lo-mo tidak bertanduk, ketika dia lari menyeruduk ke depan, dia hanya menggunakan kepalanya yang menerjang dan menyeruduk ke arah perut nenek berambut putih itu. Jangan dipandang ringan serangan seperti ini! Bukan hanya kaki tangan kakek itu yang terlatih dan dapat disaluri tenaga sin-kang sehingga mampu menghancurkan batu karang. Akan tetapi kepalanya juga merupakan anggauta badan yang dapat dipakai untuk menyerang. Seruduken kepala itu amat berbahaya. Tembok tebal sekalipun akan jebol kalau diseruduk kepala yang penuh dengan tenaga sin-kang ini. Sui Cin dan Hui Song yang sejak tadi melihat semua peristiwa itu dengan mata jarang berkedip, kini memandang penuh perhatian. Mereka tahu bahwa nenek berambut putih itu tentu akan mengelak.



Akan tetapi, betapa kaget hati mereka melihat bahwa nenek itu sama sekali tidak mau mengelak, bahkan menerima kepala yang menyeruduk ke arah perutnya yang kecil itu.



"Ceppp...!" Terdengar suara nyaring ketika kepala itu membentur perut dan... kepala itu menancap ke dalam perut. Perut yang ramping itu seperti menjadi kosong dan kepala Kui-kok Lo-mo masuk ke dalam rongga perut, disedot den tidak dapat dikeluarkan lagi!



Kui-kok Lo-mo terkeJut bukan main. Dari hidungnya ke atas, kepalanya sudah terbenam ke dalam perut wanita itu. Dia hanya dapat bernapas melalui mulutnya dan dia merasa betapa kepalanya menjadi panas sekali, seperti dimasukkan ke dalam perapian! Dan ada gencatan amat kuat yang seolah-olah akan meledakkan kepalanya. Kedua lengannya sudah lumpuh, tidak dapat dipakai untuk menyerang, dan kedua kakinyapun tidak dapat melakukan tendangan karena terlalu dekat dengan lawan. Kini dia hanya dapat mengerahkan tenaga seadanya untuk meronta dan berusaha melepaskan diri dari sedotan perut itu. Akan tetapi semua usahanya sia-sia belaka dan kepalanya terasa semakin nyeri dan panas. Demikian hebat rasa nyeri yang dideritanya sehingga kedua kakinya meronta-ronta, kemudian terdengar mulutnya mengeluarkan pekik mengerikan ketika tubuhnya terlempar dari atas batu karena wanita berambut putih itu secara tiba-tiba menggerakkan perutnya dan tenaga dari perut itu menendang kepala Kui-kok Lo-mo sehingga tubuhnya terpental ke bawah batu, tepat di samping tubuh isterinya yang masih berkelojotan, dari mulut, hidung dan telinganya bercucuran darah dan mulutnya mengeluarkan suara ngorok seperti seekor babi disembelih.



Melihat tubuh kakek dan nenek itu berkelojotan dalam keadaan sekarat, Sui Cin merasa ngeri sekali. Betapa sadisnya nenek berambut putih itu, pikirnya. Biarpun ia ingat bahwa kakek dan nenek itu juga merupakan iblis-iblis berujud manusia, akan tetapi menyaksikan kekejaman sedemikian hebatnya terjadi di depan mata, hampir ia tidak dapat bertahan untuk meloncat keluar dan menyerang nenek iblis itu! Akan tetapi, Dewa Arak yang berada di dekatnya, agaknya tahu akan isi hati gadis ini, maka beberapa kali kakek itu menepuk pundak atau lengan Sui Cin untuk menyabarkannya.



Sementara itu, Siangkoan Lo-jin kini menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya mencelat ke atas batu besar, berhadapan dengan nenek berambut putih yang sudah bertolak pinggang menanti lawan itu. Biarpun buta, akan tetapi kakek berambut putih itu tadi dapat mengikuti jalannya perkelahian dengan baik, menggunakan pendengarannya saja. Bahkan lebih daripada mereka yang memiliki mata sehat, dia mampu meneliti dan mengenal gerakan-gerakan nenek berambut putih itu, dapat mengetahui di mana letak kekuatannya dan di mana pula letak kelemahannya. Kini, dengan tenang dia berhadapan dengan nenek itu, memegang tongkatnya dengan tangan kiri.



"Hemm, sobat. Kini agaknya tinggal aku seorang saja yang berani menentang kalian. Majulah dan mari kita selesaikan urusan ini dengan taruhan darah dan nyawa."



Melihat sikap kakek buta ini, nenek berambut putih nampak ragu-ragu. Biarpun buta, kakek ini tak boleh dibuat main-main, tidak boleh dipandang ringan karena iapun sudah mendengar bahwa Siangkoan Lo-jin atau Iblis Buta ini sudah berhasil menundukkan banyak tokoh sesat yang lihai, bahkan beberapa orang anggauta Cap-sha-kui, termasuk suami isteri yang telah dirobohkannya itu telah tunduk kepada Iblis Buta ini. Orang yang sudah dapat menundukkan mereka, apalagi dalam keadaan buta, tentu mengandalkan ilmu silat yang luar biasa dan ia harus berhati-hati.



Agaknya suaminya maklum akan keraguan isterinya, karena suaminya itu tiba-tiba saja bangkit berdiri dan melangkah maju. Tanpa bicara apapun, si isteri agaknya maklum bahwa kalau suaminya sudah maju sendiri, tidak ada alasan baginya untuk mencampurinya. Maka iapun mundur dan duduk bersila di sudut batu seperti yang dilakukan suaminya tadi. Kini kakek yang mukanya kehijauan itu berdiri berhadapan dengan Iblis Buta.



Siangkoan Lo-jin juga dapat mengikuti semua gerakan tadi dan tahu bahwa nenek itu mundur, digantikan dengan seorang yang langkah kakinya perlahan namun getarannya terasa mempengaruhi batu besar itu sehingga kakinya sendiripun dapat merasakan getaran itu! Diam-diam Siangkoan Lo-jin mengerutkan alisnya dan maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan yang amat tangguh. Akan tetapi dia adalah pemimpin para datuk sesat, selama ini dia dianggap raja, maka tentu saja dia akan mempertahankan kedudukannya itu yang hendak dirampas oleh suami isteri yang menyebut diri Raja Iblis dan Ratu Iblis itu.



"Apakah aku berhadapan dengan pangeran yang dijuluki Raja Iblis?" Slangkoan Lo-jin bertanya, tongkatnya mengetuk-ngetuk permukaan batu besar untuk mengenal keadaan.



"Kami adalah Pangeran Toan Jit-ong," untuk pertama kalinya terdengar kakek berambut putih riap-riapan itu bicara, suaranya halus dan tenang berwibawa, seperti suara dan sikap seorang bangsawan tinggi. "Kamu tentu orang she Siangkoan itu. Menyerahlah dan kami akan mengampunimu, dan mengangkatmu menjadi pembantu kami!"



"Manusia sombong! Aku baru mau menyerah kalau kalah olehmu dan aku lebih baik mati kalau sampai kalah oleh orang lain!" Berkata demikian, si buta sudah menggerakkan tongkatnya.



"Wirrrr... siuuuuttt...!" Nampak sinar hitam bergulung-gulung lalu mencuat ke arah kakek rambut putih yang mengaku bernama Pangeran Toan Jit-ong itu. Serangan ini dahsyat sekali karena tong-kat kayu cendana itu digerakkan dengan tenaga sin-kang yang amat kuat.



Pangeran yang dijuluki Raja Iblis itu agaknya mengenal serangan ampuh, maka cepat dia menggerakkan tubuhnya. Yang mengagumkan adalah bahwa gerakannya itu seenaknya saja tidak tergesa-gesa dan hanya menarik kaki menggeser tubuh dan serangan tongkat itu luput dan lewat di samping tubuhnya. Akan tetapi, kakek buta itu lihai bukan main. Biarpun matanya buta, akan tetapi pendengarannya dapat mengikuti semua gerakan lawan dan biarpun tongkatnya luput dalam serangan pertama, akan tetapi tongkat itu seperti hidup dapat mengejar lawan dengan susulan serangan yang lebih dahsyat lagi, kini menghantam dari atas ke bawah!



"Wuuuttt... tarrr...!" Bunga api berpijar ketika tongkat itu menghantam batu dan debu berhamburan. Hebat bukan main tenaga pukulan ini. Batu besar itu tergetar dan dapat dibayangkan kalau hantaman seperti itu mengenai kepala atau anggauta badan lainnya.



Sampai lima kali pangeran yang kini menjadi datuk sesat itu mengelak, dengan gerakan seenaknya saja, kemudian tahu-tahu tubuhnya mencelat ke tempat tadi dalam keadaan duduk bersila. "Kamu orang buta masih tidak berharga menjadi lawan kami!" katanya dan diapun sudah memejamkan kedua matanya.



Agaknya sikap ini mudah dimengerti oleh isterinya. Nenek itu yang tadinya juga duduk bersila, sudah meloncat ke depan, menyambut si buta yang menjadi marah dan mengejar lawan yang meninggalkannya. Ketika dia mendengar suara nenek itu bergerak menyambutnya, dia menggerakkan tongkatnya menyapu dari samping. Wanita berambut putih itu mengelak dengan loncatan tinggi. Ketika tongkat lewat di bawah kakinya, nenek itu membalas serangan dengan tamparan tangan dari atas. Akan tetapi, Siangkoan Lo-jin sudah melanjutkan babatan tongkat tadi dengan membalikkan tongkatnya dan kini gagang tongkat yang berbentuk kepala ular atau naga itu menyambut serangan nenek itu dengan dorongan kuat!



Hampir saja Ratu Iblis itu celaka ketika gagang tongkat itu menyambut dadanya langsung dari depan. Namun ia lihai sekali, dalam keadaan meloncat tadi, selagi tubuhnya melayang di udara dan didorong tongkat, tiba-tiba rambutnya menyambar ke depan ketika ia menggerakkan kepala dan ribuan helai rambut membelit ujung tongkat. Tubuhnya terbawa oleh gerakan tongkat sehingga tubuh itu terpelanting, akan tetapi berkat rambutnya yang bertahan pada tongkat, ia tidak sampai terkena dorongan, juga tidak sampai terbanting ke atas batu. Siangkoan Lo-jin terkejut sekali ketika tubuh lawan menempel seperti lintah pada tongkatnya. Ia tidak dapat melihat, juga tidak dapat mengikuti gerakan rambut yang halus itu, hanya mengira bahwa lawannya tentu mempergunakan semacam senjata lemas untuk menangkap ujung atau gagang tongkatnya. Maka dia segera memutar tongkatnya agar tubuh itu ikut terputar dengan cepat.



Untung bagi Ratu Iblis bahwa ia dapat menduga maksud lawan. Kalau sampai ia terbawa berputar oleh tongkat pada rambutnya, ia dapat celaka, terbanting keras atau rambutnya tercabut dari kepala! Namun nenek ini cerdik sekali. Ia dapat menduga siasat lawan, maka cepat ia melepaskan rambutnya pada satu kali putaran, dan dengan berjungkir balik di udara sampai lima kali ia dapat mematahkan tenaga putaran itu dan melayang turun ke atas batu. Namun Iblis Buta sudah menyambutnya lagi dengan hantaman-hantaman dahsyat, membuat nenek itu terpaksa berloncatan ke sana-sini dengan sigapnya, seperti seekor lalat saja.



"Dinda, jangan main-main, cepat bereskan dia!" terdengar kakek yang duduk bersila itu berkata. Dan tiba-tiba saja terdengar suara getaran lembut, seperti suara nyamuk yang beterbangan di dekat telinga. Akan tetapi suara mendengung itu makin lama semakin kuat sehingga menusuk telinga.



Sui Cin terkejut sekali. Suara mendengung yang tadinya lembut seperti nyamuk itu, kini benar-benar merupakan suara yang amat menyiksa dan tahulah ia bahwa suara itu dikeluarkan oleh Raja Iblis, suara mengandung khi-kang yang amat kuat, semakin lama semakin kuat. Terpaksa ia harus mengerahkan sin-kang untuk bertahan, karena ia tahu bahwa kalau dibiarkan saja, kekuatan yang tersembunyi dalam suara itu akan merusak jantungnya, dan akan merusak telinganya. Ketika ia melirih ke arah Hui Song, iapun melihat betapa pemuda itu juga sedang mengerahkan tenaga sin-kang untuk melawan suara yang menyiksa itu. Juga dua orang kakek sakti. Maka tahulah Sui Cin bahwa memang suara mendengung itu amat kuat.



Dan kini terjadi perobahan pada perkelahian di atas batu besar. Kalau tadi Siangkoan Lo-jin menggerakkan tongkatnya dengan ganas sehingga Ratu Iblis sibuk mengandalkan gin-kangnya untuk mengelak terus-menerus, kini nampak seperti orang kebingungan. Jelas bahwa dia terserang suara itu dan hal ini sungguh membuat dia bingung. Biarpun dengan sin-kangnya yang kuat dia mampu bertahan dan suara mendengung itu tidak sampai melukainya, namun tetap saja pendengarannya terganggu. Padahal, untuk berkelahi, dia hanya mengandalkan pendengaran sepenuhnya. Kini pendengarannya terganggu suara berdengung yang semakin kuat itu menggetarkan anak telinga den dia tidak mungkin lagi dapet mengikuti gerakan Ratu Iblis dengan seksama. Maka, kini dia hanya memutar tongkatnya secara ngawur saja seperti sebuah perahu tanpa kemudi dan tanpa kompas. Sudah tentu saja menghadapi seorang lawan selihai Ratu Iblis, tidak mungkin dilawan dengan pemutaran tongkat secara ngawur.



"Plakk!" Sebuah tamparan yang amat keras dari tangan kiri Ratu Iblis mengenai telinga kanan Siangkoan Lo-jin. Tamparan itu masuk menyelinap melalui putaran tongkat dan sama sekali tidak mampu dielakkan atau ditangkis oleh Siangkoan Lo-jin yang kini benar-benar menjadi seperti buta-tuli itu.



"Ahhh...!" Tubuh kakek itu terpelanting. Tamparan itu amat keras, bukan hanya mengandung tenaga sin-kang akan tetapi juga mengandung hawa beracun. Seketika muka kakek buta itu yang sebelah kanan menjadi kehijauan dan telinga kanannya menjadi rusak. Darah segar mengalir keluar dari telinga itu!



Akan tetapi kakek buta itu memang hebat bukan main. Setua itu dia masih memiliki daya tahan yang mengagumkan. Padahal, kalau orang lain yang terkena pukulan seperti itu, tentu akan roboh dan tewas, atau setidaknya terluka parah dan tidak mampu melawan lagi. Kakek ini begitu terpelanting, mempergunakan tongkatnya melindungi tubuh agar tidak menerima serangan susulan, lalu sekali menggerakkan tubuh dia sudah meloncat bangkit lagi dan memutar tongkatnya. Kini begaikan orang gila dia mengamuk, memutar tongkatnya dan kakinya meraba-raba sambil melangkah ke kanan kiri dengan tegapnya! Darah yang bercucuran keluar dari telinga kanannya tidak mengurangi kegesitannya.



Akan tetapi, sekarang dia sungguh tidak berdaya, seperti seekor tikus menghadapi seekor kucing yang mempermainkan dirinya. Telinga kanannya sudah rusak, telinga kirinya seperti tuli saja karena dipenuhi suara mendengung-dengung yang keluar dari dalam kerongkongan Raja Iblis. Kini tahulah Sui Cin bahwa Raja Iblis itu secara lihai sekali menyerang dengan suara dan membuat Iblis Buta menjadi tidak berdaya sama sekali. Sungguh cerdik dan licik! Pantas saja dia tidak mau melawan Siangkoan Lo-jin yang dianggapnya terlalu rendah atau terlalu lemah. Kiranya sekali berhadapan, Raja Iblis itu telah tahu apa yang harus dilakukan untuk melumpuhkan lawan sehingga isterinya saja sudah lebih dari cukup untuk menghadapi lawan ini.



"Desss...!" Kembali Ratu Iblis memukul dan sekali ini pukulannya mengenai telinga kiri kakek buta itu. Darah kini mengucur keluar dari telinga kiri yang rusak dan tubuhnya terhuyung-huyung. Akan tetapi dia masih dapat bertahan dan tidak roboh! Kembali dia memutar tongkatnya.



Sut Cin mengerutkan alisnya. Ia melihat betapa nenek berambut putih itu tersenyum dingin, senyuni yang amat keji dan sinar mata yang mencorong itu kini berkilauan seperti mata seekor binaang buas yang haus darah. Penuh kesadisan! Tahulah ia bahwa nenek itu sengaja tidak mau merobohkan lawan, melainkan hendak mempermainkannya lebih dahulu. Tiba-tibe suara mendengung itu lenyap dan sungguh hal ini mendatangkan perasaan amat tidak enak dalam hati. Kalau tadi ada suara mendengung-dengung sehingga ia terpaksa harus mengerahkan tenaga sin-kang untuk melawan, kini tiba-tiba suara itu lenyap dan telinganya masih saja mendengar suara dengungan itu, seakan-akan selamanya tidak akan mau meninggalkan telinga. Dan perasaan tidak enak ini dapat nampak pada wajah semua orang yang berada di situ dan yang tadipun semua mengerahkan sin-kang melawan suara yang menyiksa itu. Sungguh hebat sekali serangan suara Raja Iblis.



Agaknya memang benar dugaan Sui Cin. Kini Ratu Iblis itu mempermainkan Siangkoan Lo-jin yang sudah tidak dapat menggunakan pendengarannya lagi. Wanita itu berloncatan ke sana-sini dan begitu tiba di belakang kakek yang mengamuk ke depan, ia mengirim tamparan. Tidak cukup keras untuk mematikan lawan, akan tetapi juga tidak terlalu perlahan karena setiap kali terkena tamparan, tubuh kakek itu terputar-putar dan terhuyung-huyung. Muka kakek itu sudah berlumuran darah. Derah bercucuran dari mulut, bidung, telinga, bahkan kedua matanya menjadi sasaran-sasaran pukulan ringan yang cukup membuat biji mata yang tak dapat melihat itu pecah-pecah dan berdarah. Namun kakek itu dengan semangat pantang mundur melawan terus dengan napas terengah-engah!



Yang mengerikan, di antara para tokoh yang berada di kelompok yang me-nakluk kepada Raja dan Ratu Ibils, terdengar sorak-sorai dan tepuk tangan. Mereka itu nampak beringas, seperti harimau-harimau mencium darah, dan semakin tersiksa Si Iblis Buta, semakin gem-bira suara mereka bersorak-sorak.



"Dinda, hentikan main-main itu. Bereskan dia!" Kembali terdengar Raja IbliS berkata.



"Dukkk...! Aughhhh...!" Tubuh Siangkoan Lo-jin terjengkang dan terbanting jatuh ke bawah batu. Di atas tanah, tubuh itu berkelojotan akan tetapi tongkat hitam kayu cendana masih saja dipegangnya erat-erat. Kakek itu tewas dengan dada pecah dan dengan senjata masih di tangan!



Sui Cin menahan napas menahan isak. Dia tahu bahwa kakek buta itu juga se-orang datuk sesat yang kejam seperti iblis. Akan tetapi melihat kakek ini ter-siksa seperti itu, hatinya menjadi panas dan dia membenci Raja dan Ratu Iblis itu. Akan tetapi ia masih ingat bahwa ia tidak boleh sembarangan menurut perasa-an hati terhadap dua orang yang benar-benar memiliki kepandaian amat hebat itu. Maka ia menahan diri, sejenak me-nundukkan muka dan mengumpulkan hawa murni untuk menenangkan batinnya yang terguncang. Ketika ia mengangkat muka lagi, ia melihat betapa kini para iblis Cap-sha-kui dan semua datuk yang tadinya berdiri dengan sikap menentang, di belakang Si Iblis Buta, telah menjatuhkan diri berlutut. Agaknya mereka maklum bahwa setelah suami isteri Kui-kok-pang dan Siangkoan Lo-jin sendiri tewas di tangan pangeran dan isterinya yang mengangkat diri menjadi Raja dan Ratu Iblis, tidak ada harapan lagi bagi mereka untuk dapat menang. Menentang suami isteri yang amat lihai itu berarti mencari kematian yang mengerikan.



Ratu Iblis tersenyum dingin melihat sebelas orang Cap-sha-kui dan dua orang tokoh sesat lainnya berlutut tanda menakluk. "Kalian tadi berani menentang kami, dan hal itu saja sudah cukup bagi kami untuk membunuh kalian! Akan tetapi karena kalian telah insyaf dan menyerah, kalian harus bersumpah untuk selamanya tidak akan menentang kami lagi. Bersediakah kalian disumpah?"



Cap-sha-kui kini tinggal sebelas orang lagi karena suami isteri Kui-kok-pang telah tewas. Mereka adalah datuk-datuk sesat yang amat lihai dan ditakuti, akan tetapi kini mereka maklum bahwa berhadapan dengan dua orang yang memiliki kepandaian amat tinggi. Dan mereka tahu pula bahwa nenek berambut putih itu tidak mengancam kosong belaka. Kalau mereka menolak untuk takluk dan bersumpah, tentu nenek itu tidak akan ragu-ragu turun tangan membunuh mereka semua!



"Kami bersedia!" Serentak mereka menjawab!



Nenek itu kini menghadap ke arah suaminya yang masih duduk bersila dan sambil menjura ia berkata, "Pangeran, silakan. Saya akan menyumpah mereka."



Pangeran Toan Jit-ong membuka matanya dan bangkit berdiri. Tubuhnya yang jangkung nampak semakin tinggi dan Sui Cin memandang penuh perhatian kepada kakek berambut putih ini. Tadi ia mendengar bahwa kakek ini bernama Pangeran Toan Jit-ong. Hal ini mengingatkan ia akan sesuatu yang membuat dara ini diam-diam merasa jantungnya berdebar dan ia bergidik. Ibunya, yang selama ini ia anggap sebagai seorang wanita gagah perkasa, seorang pendekar wanita yang hebat, kabarnya pernah menjadi seorang datuk sesat di selatan! Dan ibunya itupun she Toan! Kakeknya, yaitu ayah dari ibunya yang telah meninggal, bernama Pangeran Toan Su-ong! Jangan-jangan masih ada hubungan keluarga antara kakek-nya, Toan Su-ong itu dengan Raja Iblis yang mengaku bernama Pangeran Toan Jit-ong ini. Kalau benar demikian, berar-ti Raja Iblis masih kakeknya juga! Kakek paman! Mengerikan, pikirnya.



Dengan gerakan perlahan dan tenang, kakek berambut putih itu lalu mengeluarkan sebuah tongkat pendek hitam dari pinggangnya. Sebatang tongkat yang panjangnya hanya dua kaki dan dari jauh hanya nampak kehitaman. Kakek itu mengangkat tongkat ke atas kepalanya dengan sikap menghormat sekali. Dengan heran bukan main, Sui Cin melihat betapa Dewa Arak dan Dewa Kipas bersikap hormat pula dan menundukkan muka meng-hadap ke arah tongkat hitam itu!



"Kalian semua lihat baik-baik. Tong-kat di tangan Raja kalian itu adalah Tongkat Suci, tongkat keramat pegangan para kaisar jaman dahulu, yang sampai sekarangpun masih dianggap suci dan da-pat membuka semua pintu di istana kai-sar! Pemegang tongkat suci ini berhak menasihati dan menegur kaisar yang ma-napun juga. Tongkat suci inipun mengandung kekuasaan untuk menghukum siapapun yang bersalah, termasuk kaisar! Oleh karena itu, kalian harus menganggap tongkat ini sebagai tongkat suci dan disaksi-kan oleh tongkat suci ini kalian diminta bersumpah. Bersediakah kalian?"



"Kami bersedia!" Jawab belasan orang itu yang sudah terpengaruh oleh keterangan Ratu Iblis mengenai tongkat hitam i-tu.



"Nah, ikuti kata-kataku!" kata nenek itu, kemudian dengan suara lantang ia mengucapkan kata-kata sumpah sekalimat demi sekalimat yang ditirukan oleh belasan orang itu dengan serempak.



"Kami bersumpah, bahwa mulai saat ini kami mengangkat Pangeran Toan Jit-ong dan isterinya menjadi Raja dan Ratu kami. Kami bersumpah akan mentaati semua perintahnya, dan kami siap mengor-bankan nyawa untuk membela Tongkat Suci! Kami bersama seluruh murid dan keturunan kami akan selalu menjunjung Tongkat Sakti atau Tongkat Suci, dan akan taat kepada pemilik atau pemegangnya. Kalau kami melanggar, kami rela mati di ujung Tongkat Suci! Sumpah ka-mi disaksikan oleh tongkat suci dan ke-saktian tongkat suci akan menghukum kami, biarlah Bumi dan Langit akan mengutuk kami sampai tujuh turunan kalau kami melanggar sumpah!"



Sui Cin meleletkan lidahnya. Sungguh merupakan sumpah yang amat berat dan diam-diam ia memikirkan keadaan dua kakek sakti yang datang bersamanya ke tempat itu. Seperti itu pulakah sumpah dua orang sakti ini maka kini mereka begitu ketakutan? Kebetulan pada saat itu kakek katai memandang kepadanya dan agaknya kakek itu dapat menangkap pertanyaan di hati Sui Cin itu melalui pandang matanya, karena kakek itu se-akan-akan memberi jawaban dengan mengangguk-angguk!



Kini Raja Iblis itu menyimpan kembali tongkat hitamnya dan berdiri tegak menghadapi semua datuk sesat yang kini berlutut semua. Di sudut nampak mayat tiga orang yang tadi dikalahkan Ratu Iblis.



"Kawan-kawan semua, bangkitlah dan dengarkan baik-baik!" kata Ratu Iblis yang agaknya memang menjadi juru bicara suaminya yang mungkin marasa terlalu ting-gi untuk bicara sendiri kepada para da-tuk yang baru saja tunduk kepadanya itu.



"Toan Ong-ya sudah puluhan tahun meninggalkan istana, tetapi selama ini kaisar-kaisar yang memimpin kerajaan tidak ada yang becus, bahkan kaisar yang sekarang terlalu muda dan tolol, diper-mainkan oleh pembesar-pembesar korup. Oleh karena itu, Toan Ong-ya mengambil keputusan untuk pulang ke istana dan memimpin sendiri pemerintahan!"



"Pemberontakan...?" terdengar suara kasar dari tengah rombongan orang-orang yang berdiri itu.



"Bukan pemberontakan! Melainkan perbaikan. Dengan menggunakan Tongkat Su-ci, Toan Ong-ya akan mempergunakan kekuasaannya menyalahkan dan menurunkan kaisar dan mengangkat penggantinya yang cakap. Akan tetapi, karena mungkin akan timbul perlawanan dan pertentangan, kita perlu membina pasukan yang kuat. Untuk itulah kawan-kawan semua dikumpulkan malam ini. Kalian semua diwajibkan untuk menghimpun pasukan-pasukan dan membawa pasukan-pasukan itu untuk di-latih bersama oleh Ong-ya sendiri."



"Mengumpulkan pasukan-pasukan tentu diketahui pemerintah dan sebelum dapat dihimpun, tentu pemerintah akan mengi-rim balatentara untuk menghancurkan kita!" kata pula seorang datuk.



"Kita harus dapat bekerja secara rahasia. Pasukan itu dikirim serombongan demi serombongan kecil, menuju ke ben-teng yang sudah tersedia. Ong-ya memi-lih benteng di luar tembok besar, di u-tara. Kalian tentu dapat mencari benteng itu. Tempat itu dahulu merupakan mar-kas dari perkumpulan Jeng-hwa-pang..."



"Ah, aku tahu..."



"Aku tahu tempat itu!"



"Akan tetapi tempat itu telah terbakar dan orang-orang Jeng-hwa-pai telah terbasmi!"



Mendengar suara-suara itu, nenek be-rambut putih mengangkat tangan kanan ke atas dan suasana menjadi tenang kembali. "Kami tahu. Tempat itu kosong dan sunyi, bangunan-bangunannya sudah rusak. Akan tetapi tempat itu amat baik, berada di puncak bukit dan kalau kita membangun kembali benteng itu, akan menja-di markas yang amat baik. Tempatnya di luar tembok besar, jadi pemerintah tentu tidak akan mencampuri. Kita gembleng pasukan yang kita kumpulkan di situ dan pada waktu yang tepat, pasukan kita turunkan melalui tembok besar ke selatan, menuju ke kota raja, bertepatan dengan munculnya Toan Ong-ya di istana. Pasu-kan kita itu mungkin tak usah bergerak, hanya untuk memperkuat wibawa saja."



Nenek itu berhenti bicara dan semua tokoh sesat yang berada di bawah kem-bali bicara sendiri-sendiri sehingga keadaannya menjadi berisik seperti tawon di-ganggu dari sarangnya. Sementara itu, Sui Cin melihat betapa Dewa Arak den Dewa Kipas saling pandang dengan mata terbelalak den wajah mereka yang biasa-nya gembira itu nampak gelisah sekali.



"Kawan-kawan harap tenang! Apakah kalian sudah mengerti dan dapat mentaati perintah pertama tadi?"



"Akan tetapi, mengumpulkan pasukan membutuhkan waktu..."



"Kawan-kawan, dengar baik-baik! Toan Ong-ya sudah memikirkan hal itu pula. Maka, beliau memberi waktu selama tiga tahun. Tiga tahun lagi, tepat pada per-mulaan musim semi, pada hari Tahun Ba-ru, semua pasukan harus dikumpulkan di luar tembok besar, di benteng kita untuk segera memulai dengan pembangunan benteng dan melatih pasukan. Mengertikah kalian?"



Semua orang mengangguk dan menjawab bahwa mereka mengerti dan dapat menerima perintah itu. Kalau diberi wak-tu selama tiga tahun, tentu saja mereka akan sanggup mengumpulkan kawan-ka-wan. Bagaimanapun juga, mereka sudah bosan menjadi golongan hitam yang sela-lu dimusuhi para pendekar dan selalu di-kejar pasukan pemerintah. Kini, di bawah pimpinan suami isteri yang amat sakti i-tu, mereka ditawari kehidupan lain yang lebih mulia. Kalau sampai perjuangan Pangeran Twa Jit-ong itu berhasil, tentu mereka akan memperoleh kedudukan tinggi dan mereka dapat hidup mulia dan terhormat seperti para pembesar, bukan seperti sekarang ini. Dan mereka yakin bahwa pemimpin mereka sekarang ini tentu akan berhasil, tidak seperti Liu-thaikam yang hanya seorang pembesar korup saja. Kalau pemimpin sekarang ini berhasil me-rebut tahta kerajaan, tentu mereka semua akan menjadi pejabat tinggi!



Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara keras, "Tidak! Tidak boleh begitu! Pange-ran Toan tidak boleh memberontak ter-hadap kerajaan dan menimbulkan perang saudara, sehingga menghancurkan kehidupan rakyat!" berseru demikian adalah Siang-kiang Lo-jin atau San-sian Si Dewa Kipas. Agaknya kakek ini tidak dapat menahan dirinya lagi. Melihat dan mendengar semua yang terjadi di situ, dia merasa khawatir dan penasaran. Hal ini tidak aneh karena di waktu mudanya, kakek ini adalah seorang yang berjiwa patriot, yang selalu condong membela pemerintah dan dia paling anti pemberontakan. Oleh karena itu, walaupun dia sendiri tidak berani menentang Toan Jit-ong dan isterinya, namun rasa penasaran mendengar persekutuan yang hendak melaku-kan pemberontakan itu, dia segera me-lompat keluar dan menegur. Melihat ini, tahulah Wu-yi Lo-jin bahwa tempat per-sembunyian mereka tak dapat dipertahan-kan lagi, maka tidak ada lain jalan ba-ginya kecuali keluar dan mendukung pen-dapat temannya.



"Benar, Ong-ya. Tidak baik merencanakan pemberontakan karena akhirnya pem-berontakan hanya mendatangkan kehan-curan bagi diri sendiri dan perang amat menyengsarakan rakyat!"



Melihat munculnya dua orang ini, Pa-ngeran Toan Jit-ong memandang dengan mata mencorong marah. Juga Ratu Iblis menjadi marah sekali ketika mengenal dua orang itu. Ia tidak turun tangan sen-diri karena ingin menguji kesetiaan para anak buah baru yang baru saja mengucapkan sumpah. Maka ia menudingkan telun-juknya kepada dua orang kakek yang baru muncul itu sambil berteriak, "Kawan-kawan, tangkap dan bunuh dua orang tua bangka tak tahu diri ini!"



Kebetulan yang dekat dengan San-sian Si Dewa Kipas adalah raksasa pemakan anak kecil yang tadi mereka lihat. Raksasa ini ingin memperlihatkan kesetiaan-nya dan juga kelihaiannya, maka begitu membalik dia mengeluarkan suara mengggereng seperti seekor binatang buas, dan mulutnya mmyeringai, nampaklah giginya yang besar-besar dan ada taring di ujung mulutnya.



"Grrrrr... mampuslah!" Bentak raksasa itu dan dengan gerakan seperti seekor biruang dia sudah menubruk ke depan dan yang menjadi sasaran kedua tangan-nnya yang besar-besar berbulu adalah pe-rut gendut San-sian yang tidak tertutup baju itu. Agaknya si pemakan daging manusia ini sudah ngilar melihat gumpalan di perut San-sian yang putih halus itu, maka langsung saja dia menghantam de-ngan tangan kanan, lalu mencengkeram dengan tangan kiri ke arah perut itu! Semua orang memandang dengan mata terbelalak, maklum akan kehebatan raksasa ini. Akan tetapi, San-sian hanya menyeringai saja, tersenyum lebar dan sama sekali tidak mengelak atau membalas, bahkan menonjolkan perutnya sehingga perut itu mengembung seperti balon ditiup!



"Bukk! Bung...!" Suara yang terdengar itu nyaring sekali, keluar dari perut gendut itu seperti sebuah tambur besar ditahuhi. Akan tetapi hebatnya, raksasa pemakan daging manusia itu terpental ke belakang dan hampir saja terbanting! Tentu saja dia menjadi marah sekali. Kekuatannya amat besar dan jarang ada orang mampu menahan pukulan atau cengkeramannya. Akan tetapi, cengkeramannya tadi seperti mengenai bola baja saja, licin dan keras, sedangkan pukulannya membuat tubuhnya malah terpental, seperti orang memukul bola karet yang besar. Kembali dia mengeluarkan gerengan marah dan kini dia tahu bahwa lawannya lihai, maka dia sudah menerjang ke depan, tidak ngawur macam binatang buas seperti tadi, melainkan dengan gerakan-gerakan silat tinggi yang amat berbahaya!



Sementara itu, kakek raksasa kedua yang mereka lihat membunuhi orang-orang dusun dengan tongkat kepala harimau tadi, kinipun menerjang Ciu-sian dengan tongkatnya. Agaknya, tidak seperti raksasa pemakan daging manusia, kakek ini sudah dapat menduga bahwa lawannya lihai, maka begitu menyerang dia sudah menggunakan tongkatnya. Gerakannya mantap dan mengandung tenaga yang amat besar. Akan tetapi tiba-tiba dia melongo, karena kakek katai kecil yang dihantam tongkatnya itu mendadak hilang begitu saja! Selagi dia kebingungan, telinganya yang sebesar telinga gajah itu tahu-tahu disentil orang dari belakang, dibarengi suara orang terkekeh.



"Heh-heh-heh, aku di sini!"



Kakek raksasa itu membalik dan me-mutar tubuhnya, lalu menyerang lagi. Akan tetapi kembali Ciu-sian sudah le-nyap. Kakek katai ini mempermainkan lawan dengan menggunakan gin-kangnya yang memang luar biasa hebatnya itu. Kakek tinggi besar itu seperti seorang anak kecil yang berusaha memukul see-kor capung dengan tongkatnya saja, me-mukul ke sana ke mari akan tetapi tidak pernah mampu mengenai Ciu-sian. Jangankan mengenai tubuhnya, menyentuh ujung jubahnyapun tidak mampu. Demikian ce-pat gerakan kakek katai itu ketika mengelak.



"Wah, mulutmu bau darah dan mayat, bau bangkai, tidak kuat aku!" Berkali-kali San-sian mengeluh dan mengejek, mem-buat raksasa pemakan bangkai itu sema-kin marah. Dia adalah seorang di antara Cap-sha-kui, seorang yang tadinya me-miliki ilmu silat tinggi akan tetapi karena menjadi buronan lalu menyembunyikan diri di dalam hutan dan akhirnya dia berubah seperti seorang sinting atau seekor binatang buas yang suka makan daging mentah, termasuk daging manusia! Akan tetapi, biarpun dia sinting atau buas se-perti binatang, dia tidak melupakan ilmu silatnya dan karenanya, dia amat berbahaya.



Dengan lompatan tinggi, kini raksasa itu menerjang San-sian yang sejak tadi hanya mengelak atau membiarkan perut dan tubuhnya dipukuli. Kini, tiba-tiba saja dia membalikkan tongkat kipasnya, gagang tongkat itu dia sodokkan, menyambut tubuh lawan, menotok ke arah muka di antara alis. Itulah serangan yang amat hebat dan berbahaya sekali bagi lawan. Namun, raksasa buas itu menggunakan kedua tangannya, mencengkeram dan menangkis ke arah ujung tongkat, berusaha menangkapnya. Karena itu, terpaksa San-sian menarik kembali tongkatnya sambil mengelak karena tubuh lawan sudah menubruknya seperti seekor singa menubruk domba. Dan kini, pada saat lawannya membalik, dia juga membalikkan senjatanya dan kipas besar itu bergerak meniup ke arah muka si raksasa. Tiupan kipas ini hebat sekali. Datang angin seperti badai yang kekuatannya dipusatkan dan menyambar ke arah muka si raksasa. Tentu saja raksasa itu terkejut sekali, me-narik kepala ke belakang dan terpaksa memejamkan matanya karena angin yang menyambar itu amat dahsyat. Saat itu, tongkat membalik lagi dan ujungnya menotok ke arah dada.



"Dukk...!" Kakek raksasa mengeluarkan pekik menyeramkan, kedua tangannya mencengkeram ke arah dada sendiri, akan tetapi tiba-tiba dia muntah-muntah dan darah segar yang berbau busuk muncrat-muncrat dari mulutnya. Totokan pada ulu hatinya itu ternyata telah membuat jantungnya pecah. Biarpun dia berusaha untuk menyerang lagi, akan tetapi matanya terbelalak dan kini dia terpelanting roboh dan berkelojotan. Kakek raksasa yang suka membunuh dan makan daging anak- itu akhirnya tewas dalam keadaan yang amat mengerikan!



Sementara itu, raksasa kedua yang menyerang Ciu-sian juga mulai ter-engah karena sejak tadi dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk menyerang seca-ra bertubi-tubi tanpa hasil sedikitpun ju-ga. Ketika Ciu-sian yang selalu memper-mainkan lawan itu melihat betapa teman-nya telah merobohkan musuh, diapun ce-pat menyemburkan arak dari mulutnya. Semburan arak itu menyerang muka si raksasa yang menjadi bingung menghindar, dan kesempatan itu dipergunakan oleh Ciu-sian untuk menendang ujung tongkat lawan ke samping, lalu menyusulkan pukulan dengan ciu-ouw (guci arak) yang besar itu.



"Krakk!" Robohlah raksasa yang men-jadi lawannya itu dengan kepala retak-retak.



Tentu saja peristiwa ini mengejutkan sembilan orang Cap-sha-kui yang lain. Tak mereka sangka bahwa dua orang rekan mereka akan roboh dalam waktu sesingkat itu, tidak sampai dua puluh jurus! Dan dalam waktu singkat mereka telah kehilangan empat orang rekan! Pertama-tama adalah suami isteri Kui-kok-pang yang tewas oleh Ratu Iblis sendiri, kemudian dua orang rekan ini tewas di tangan kedua orang kakek aneh yang agaknya menentang Toan Jit-ong! Kini, Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis) hanya tinggal menjadi Kiu-lo-kwi (Sembilan Iblis Tua) saja!



"Ciu-sian dan San-sian! Berani kalian membunuh para pembantu Toan Jit-ong ya?" Bentak Ratu Iblis dengan nada marah dan penasaran sekali.



"Maaf, aku melihat si pemakan bangkai ini tadi membunuh seorang anak kecil dan memakan dagingnya. Dia bukan manusia lagi, melainkan iblis busuk yang sudah selayaknya dienyahkan dari muka bumi!" kata Siang-kiang Lo-jin sambil mengipasi perutnya yang gendut dan berkeringat dengan kipasnya.



"Dan raksasa buas inipun bukan manusia karena tadi aku melihat dia mem-bunuhi banyak orang dusun yang sama sekali tidak berdosa, bahkan dia membu-nuh anak-anak dengan tongkatnya itu. Maka, ketika dia menyerangku dan aku teringat akan kekejiannya, terpaksa aku membunuhnya!"



"Tua bangka-tua bangka gila, berani kalian melawan Toan Ong-ya?" Ratu Iblis membentak lagi, menoleh kepada suami-nya yang kini berdiri tegak memandang kepada dua orang kakek itu dengan ma-ta mencorong seperti mengeluarkan api.



"Ha-ha, kami tidak pernah menentang siapa saja, melainkan menentag kejahatan. Seperti tidak tahu saja!" jawab Ciu-sian sambil menenggak arak dari gucinya, sikapnya acuh tak acuh walaupun Sui Cin dan Hui Song yang kini mengintai dengan khawatir itu maklum betapa sebetulnya dua orang kakek itu merasa ketakutan dan jerih terhadap suami isteri di atas batu itu.



Melihat sikap dua orang kakek yang jelas menentang itu, tiba-tiba Toan Jit-ong mengeluarkan tongkat hitamnya dan mengangkatnya ke atas kepala, lalu terdengar bentakannya halus namun berwi-bawa, "Berlututlah kalian semua meng-hormati Tongkat Suci!"



Para datuk yang tadinya mengambil sikap bermusuh dan siap menerima dua orang kakek itu, kini tiba-tiba menjatuh-kan diri berlutut menghadap ke arah Toan Jit-ong yang mengangkat tongkat itu. Hanya tinggal Ciu-sian dan San-sian yang masih berdiri, akan tetapi wajah kedua orang kakek ini berobah pucat dan sikap mereka bingung.



"Ciu-sian dan San-sian, apakah kalian berani menentang Tongkat Suci dan melanggar sumpah kalian sendiri?" terdengar Raja Iblis atau Pangeran Toan Jit-ong berkata kepada mereka.



Dua orang kakek itu saling pandang, kemudian menghadap ke arah tongkat dan kakek katai yang menjadi wakil -mereka itu berkata dengan lirih, "Kami tidak berani..."



Kini Sui Cin melihat betapa wajah yang dingin seperti topeng itu agak tersenyum, menambah seram. "Ciu-sian dan San-sian, kalian berdua telah berdosa, berani memperlihatkan sikap menentang kepada kami, bahkan telah membunuh dua orang pembantu kami. Kalian berdosa kepada Tongkat Suci, melanggar janji dan karena itu, kami menjatuhkan hukuman mati kepada kalian. Adinda, laksanakan hukuman itu sekarang juga!"



Ratu Iblis mengangguk dan nampak girang sekali. Sui Cin dan Hui Song melihat dengan mata terbelalak, apalagi melihat betapa dua orang kakek itu agaknya tidak akan melawan sama sekali, berlutut dengan muka tunduk, agaknya sudah pasrah! Sui Cin yang cerdik itu tadi sudah mencari sepotong kayu dan di dalam keremangan cuaca, kayu itu yang ukuran-nya sama dengan tongkat suci di tangan Toan Jit-ong, nampak kehitaman. Ia ber-bisik ke dekat telinga Hui Song.



"Kita harus bertindak menolong mereka. Biar kupergunakan akal untuk me-rampas tongkat iblis itu dari tangannya." Setelah membisikkan kata-kata ini, Sui Cin menyelipkan tongkatnya di balik ju-bah, lalu meloncat keluar, diikuti Hui Song.



"Tahan dulu...!" Dengan gerakan yang amat gesit karena memang gin-kang dara ini cukup hebat, tahu-tahu tubuh Sui Cin telah berada di atas batu besar, berhadapan dengan Raja dan Ratu Iblis. Hui Song juga meloncat dan tiba di belakang dara itu.



"Hemm, bocah-bocah bosan hidup! Siapa kalian berani mencampuri urusan kami?" bentak Ratu Iblis marah. Hui Song tidak dapat menjaWab. Dia tidak tahu apa yang menjadi siasat Sui Cin. Karena tindakan Sui Cin itu secara mendadak den dia tidak tahu apa yang akan dilakukan selanjutnya, maka dia diam saja, ha-nya bersikap waspada dan menyerahkan jawabannya kepada dara itu.



"Aku mau mengataken bahwa tongkat suci yang berada di tangan Pangejan Jit-ong ini palsu!"



Tentu saja semua orang terkejut bukan main mendengar ucapan ini dan semua muka diangkat, semua mata memandang ke arah gadis yang berani mengeluarkan tuduhan seperti itu. Bahkan Ciu-sian dan San-sian yang tadinya menunduk dan pasrah, kini mengangkat muka memandang dengan mata terbalalak. Apakah gadis itu telah menjadi gila karena gelisahnya?



Pangeran Toan Jit-ong tentu saja ma-rah bukan main. Dengan tongkat masih diangkat tinggi di atas kepalanya, dia melirik ke arah tongkatnya itu, lalu bar-kata, suaranya agak keras, tidak sehalus tadi, "Anak perempuan gila, apa yang kaukatakan itu? Siapakah kamu?"



"Ibuku adalah she Toan, ayah dari ibuku adalah Pangeran Toan Su-ong...!" Sui Cin memperkenalkan diri.



"Gadis itu puteri Pendekar Sadis! Dan pemuda itu putera ketua Cin-ling-pai! Bunuh mereka!" Kini orang-orang dari Cap-sha-kui mengenal Sui Cin dan Hui Song dan mereka berteriak-teriak.



"Tenang!" Tiba-tiba Pangeran Toan Jit-ong berseru sambil mengangkat tongkat di atas kepalanya. Suasana menjadi tenang dan pangeran itu memandang tajam kepada Sui Cin. "Mendiang Toan Su-ong adalah kakakku! Jadi engkau ini cucunya? Apa hubungannya kakekmu itu dengan tongkat suci ini?"



Sui Cin merasa mendapat hati dan ia-pun berkata dengan suara lantang. "Tongkat Suci adalah sebuah tongkat keramat hadiah yang amat mulia dari kaisar sendiri. Tongkat itu diberi nama Ceng-thian Hek-liong (Naga Hitam Naik ke Langit) dan menjadi semacam tek-pai atau tanda kekuasaan seseorang di istana. Yang me-nerima tongkat itu adalah mendiang kakekku, dan benda keramat itu diwariskan kepadaku. Maka, kalau kini muncul tong-kat yang lain, benda itu adalah palsu! Yang aseli berada bersamaku!"



Tentu saja ucapan Sui Cin ini semua ngawur saja, walaupun pada saat itu sempat membikin kaget dan bingung semua orang, termasuk Hui Song, Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin. Sikap gadis itu sedemikian meyakinkan sehingga Pargeran Toan Jit-ong sendiri mengerutkan alisnya dan matanya terbelalak. Demikian pula isterinya.



"Tongkat ini adalah Tongkat Suci yang aseli! Tongkat Sakti yang aseli dan selamanya berada di tanganku. Mana mungkin palsu?" kata pangeran itu sambil memandangi tongkatnya.



"Sebagai cucu tunggal mendiang kakek Pangeran Toan Su-ong, tentu saja aku dapat mengenal mana palsu mana aseli. Yang aseli berada di tanganku," katanya dengan lantang.



Pangeran Toan Jit-ong mengerutkan alisnya dan semua orang yang hadir saling pandang dengan bingung. "Bocah lancang, perlihatkan tongkatmu agar kuperiksa apakah omonganmu itu benar!" ben-taknya.



"Boleh, akan tetapi akupun ingin melihat tongkatmu apakah bukan palsu seperti kuduga! Tidak boleh orang mempergunakan tongkat palsu untuk me-ngelabuhi begini banyak orang!"



Tadinya pangeran tua iti ragu-ragu, akan tetapi lalu teringat bahwa seorang dara seperti Sui Cin ini akan dapat berbuat apakah terhadap dirinya? Sekali serang saja dara itu akan roboh tewas.



"Baik, mari kita saling memeriksa tongkat masing-masing!" katanya mengulurkan tongkat hitam itu. Sui Cin juga mencabut kayu dari pinggangnya. Sambil menerima sodoran tongkat pangeran itu dengan tangan kiri, ia menyerahkan tongkatnya sendiri. Dengan sikap pura-pura memeriksa lebih teliti tongkat hitam yang ternyata berat itu, mundur dua langkah, lalu tiba-tiba dara itu meloncat jauh!



"Hei, kembalikan tongkatku!" Pange-ran Toan Jit-ong terkejut sekaii dan ma-rah, tangannya bergerak hendak menge-jar. Akan tetapi kini Hui Song baru me-ngerti siasat apakah yank dipergunakan oleh temannya yang bengal itu dan langsung saja dia membantu. Melihat pange-ran itu hendak mengejar, dia lalu mem-bentak.



"Perlahan dulu!" Dan tannganya sudah menusuk ke arah perut orang itu. Bukan sembarang tusukan karena jari-jari ta-ngannya sudah terisi oleh tenaga Thian-te Sin-ciang sepenuhnya dan dia menusuk dengan jurus San-in Kun-hoat yang cepat dan halus.



Melihat serangan yang tenaga sin-kangnya dapat dia rasakan kehebatannya ini, Pangeran Toan Jit-ong menggerakkan tongkat yang diambilnya dari tangan Sui Cin tadi untuk menangkis.



"Krekkk...!" Tongkat yang sebetulnya hanya sepotong dahan yang diambil Sui Cin tentu saja tidak dapat bertahan ketika bertemu dengan tangan Hui Song. Tongkat pendek itu hancur berkeping-keping dan tahulah Pangeran Toan Jit-ong bahwa dia telah ditipu mentah-mentah oleh gadis yang agaknya memang hendak merampas tongkat suci itu.



"Plakk...!" Sebuah tamparan yang a-neh dan tiba-tiba datangnya mengenai pundak Hui Song. Untung pemuda ini masih dapat membuang tubuh ke belakang sehingga yang terkena tamparan hanya pundaknya. Akan tetapi ini cukup mem-buatnya terpelanting. Sementara itu, Ra-tu Iblis yang juga baru tahu bahwa suaminya diakali orang, kini mengejar Sui Cin dengan kemarahan memuncak.



"Berikan tongkat itu!" Teriaknya dan tangannya diulur ke depan, mencengkeram ke arah tengkuk Sui Cin.



"Hihhh...!" Sui Cin bergidik ketika merasa betapa tengkuknya diserang hawa dingin. Ia mempercepat gerakannya, berjungkir balik ke samping dan serangan itu luput. Sui Cin sudah meloncat ke atas cabang pohon dan mengangkat tongkat hitam itu tinggi di atas kepalanya.



"Berani kau melawan tongkat suci ini?" bentaknya kepada Ratu Iblis ketika wanita itu hendak menyerangnya lagi. Aneh, tiba-tiba saja nenek itu menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah Sui Cin yang berdiri di atas cabang pohon, tidak berani berkutik.



"Hayo kalian semua berlutut!" Bentak Sui Cin lagi. "Beri hormat kepada Tongkat Suci!"



Para datuk sesat itu mula-mula menjadi bingung. Akan tetapi mereka teringat akan sumpah mereka dan karena kini tongkat itu berada di tangan gadis itu, terpaksa mereka lalu menjatuhkan diri berlutut, walaupun hati mereka meragu dan bingung.



Sementara itu, Pangeran Toan Jit-ong masih hendak mengejar Sui Cin, akan tetapi Hui Song selalu menghalangi dan menyerangnya, membuat Raja Iblis itu semakin marah. Melihat ini Sui Cin berseru, "Hayo berlutut! Kau juga, Pangeran Toan Jit-ong...!"



Akan tetapi pangeran itu sama sekali tidak mau mentaatinya, bahkan kini sambil mendesak Hui Song, dia berkata, "Dinda, bangkit dan bantu aku menangkap bocan itu, merampas kembali tongkatku!"



Nenek itu mengeluarkan seruan nyaring dan tubuhnya mencelat ke arah Sui Cin. Kaget bukan main gadis itu.



"Krakkk...!" Batang yang tadi dijadikan tempat ia berdiri patah-patah, akan tetapi untung ia sudah meloncat turun lebih dulu sehingga terhindar dari bahaya maut. Kini ia harus berloncatan menjauh karena nenek itu mengejarnya dengan rambutnya yang putih itu riap-riapan seperti ular-ular hidup, amat mengerikan.



"Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin, apakah kalian akan berlutut sampai tua? Tongkat sudah berada di tanganku, kalian tidak perlu berlutut lagi kepada Toan Jit-ong! Bantulah aku dan Hui Song!"



Mendengar teriakan Sui Cin, baru kedua orang kakek itu tahu mengapa dara itu melakukan hal yang demikian berani dan aneh. Baru mereka sadar bahwa kini merek atidak berarti melanggar sumpah kalau melawan Raja dan Ratu Iblis, karena bukankah Tongkat Suci sudah pindah tangan? Akan tetapi mereka berdua maklum bahwa sampai kinipun, mereka bukanlah lawan Raja Iblis. Maka mereka segera meloncat dan San-sian sudah menerjang Raja Iblis membantu Hui Song yang kewalahan. Kipasnya mengebut dengan serangan dahsyat.



"Hemm...!" Pangeran Toan Jit-ong menghardik dan kedua tangannya mendorong. Dari kedua tangan itu keluar hawa pukulan yang dahsyat, bukan main, bahkan ketika kedua telapak tangan pangeran itu saling bersentuhan, nampak sinar berkilat seperti ada api bernyala! Akibatnya, Hui Song dan San-sian terdorong dan terpelanting! Bukan main kagetnya kakek gendut itu.



"Mari...!" serunya kepada Hui Song.



Sementara itu, Sui Cin menjerit ketika tiba-tiba lengan kirinya terlibat rambut putih yang panjang! Akan tetapi pada saat itu, Ciu-sian menyemburkan arak ke arah muka nenek berambut putih dan sekali tangannya mengebut selagi nenek itu mengelak, rambut-rambut itu putus dan lengan Sui Cin bebas.



"Lari...!" teriak pula Ciu-sian kepada Sui Cin.



Sui Cin dan Hui Song cepat meloncat dan melarikan diri, disusul oleh dua orang kakek yang menjaga di belakang dengan senjata masing-masing, yaitu tongkat kipas dan guci arak. Tentu saja Pangeran Toan Jit-ong dan isterinya tidak mau membiarkan mereka melarikan diri begitu saja dan mereka berdua mengejar!



Gerakan Toan Jit-ong dan isterinya sungguh amat cepat dan yang dapat mengimbangi kecepatan lari mereka hanya Sui Cin dan tentu saja kakek katai, maka Sui Cin lalu memegang tangan Hui Song untuk dibantunya agar larinya lebih cepat, sedangkan kakek katai memegang ujung tongkat kipas kakek gendut untuk ditariknya. Namun, biarpun kini mereka dapat berlari lebih cepat, tetap saja me-reka dapat disusul!



"Sui Cin, cepat buang tongkat itu ke dalam jurang di kiri sana!" Teriak Ciu--sian kepada Sui Cin. Gadis yang cerdik ini maklum akan maksud kakek itu, maka sambil mengangkat tongkat hitam itu tinggi-tinggi, dara itu berteriak ke belakang.



"Toan Jit-ong, lihat tongkatmu melayang ke jurang dan lenyap di sana!" Ia melemparkan tongkat itu tinggi-tinggi ke arah jurang. Tongkat itu melayang di bawah sinar bulan.



"Tongkatku...!" Kakek berambut putih itu menjerit dan diapun cepat meloncat ke arah jurang, agaknya hendak mencari tongkatnya. Melihat ini, Ratu Iblis tidak berani melakukan pengejaran sendirian saja. Dua orang kakek itu terlampau lihai, apalagi dibantu dua orang muda yang tak boleh dipandang ringan. Selain itu, iapun harus membantu suaminya mencari Tongkat Suci karena tongkat itu amat penting bagi mereka, untuk menundukkan dan menguasai semua datuk sesat. Maka, wanita itupun menghentikan pergejaran dan ikut turun ke dalam jurang.



Empat orang itu mempercepat lari mereka dan kini dipimpin oleh Wu-yi Lo-jin atau Ciu-sian yang sengaja mengam-bil jalan berlika-liku agar tidak dapat di-susul oleh musuh. Biarpun tidak kelihatan ada yang mengejar mereka, namun me-reka tidak berani berhenti sebelum pagi. Raja dan Ratu Iblis itu terlalu berbaha-ya, apalagi setelah mereka dibantu oleh para datuk sesat.



Setelah malam berganti pagi, barulah kakek katai itu berhenti di sebuah lereng bukit. Pagi itu hawanya dingin di lereng bukit, akan tetapi tetap saja San-sian si-buk mengipasi perutnya yang basah oleh peluh. Kakek gendut ini mengomel panjang pendek.



"Wah, wah, untung aku tidak mempunyai anak cucu. Kalau punya, malam ta-di sungguh merupakan bagian riwayat hi-dupku yang akan memalukan anak cucu. Lari terbirit-birit seperti anjing tua di-ancam cambuk. Ha-ha-ha!"



Ciu-sian juga tertawa. "Masih mending daripada mati konyol disiksa Ratu Iblis. Aku si tua bangka ini sudah tidak berdaya dan sudah pasrah menanti maut. Eh, gendut, apa kaukira kita masih akan dapat menikmati sinar matahari pagi mengusir kabut ini kalau dua orang muda ini tidak turun tangan menyelamatkan kita dengan akal mereka?"



"Ha-ha, memang mereka ini menga-gumkan sekali! Dan ilmu silat merekapun hebat. Aku ingin sekali mengambil mere-ka ini sebagai murid-muridku. Bagaimana pendapatmu, katai?"



"Enak saja kau ngomong! Aku yang terkena getahnya engkau yang mau menikmati hasilnya! Aku yang susah payah menemukan mereka dan kamu yang enak-enakan saja mengambil mereka sebagai murid? Mana ada aturan macam ini?"



Kakek gendut menghentikan senyum-nya, menyeringai dan alisnya berkerut. "Hai, katai! Kau berani menghalangi kehendakku?"



"Tentu saja, habis kau mau merampas muridku! Kau kemarin sudah mencuri a-rakku, itu bisa dimaafkan antara teman. Akan tetapi mencari murid? Nanti dulu, ya!"



"Wah, kalau aku mengambil mereka menjadi murid, lalu engkau mau apa?" bentak si kakek gendut, kini melotot.



"Boleh, asal engkau dapat mengalahkan aku lebih dulu!" Si kakek katai memban-tah, ngotot. Keduanya kini berdiri berha-dapan dengann mata sama-sama melotot, dengan pasangan kuda-kuda. Si gendut hendak membusungkan dada, akan tetapi apa daya perutnya yang terlalu gendut itu mendahului dada sehingga yang membusung bahkan perutnya. Sebaliknya, si katai yang hendak membusungkan dadapun tidak mungkin karena dadanya kerempeng, makin dibusungkan makin kempis! Keduanya seperti dua ekor ayam aduan berlagak, siap untuk saling serang. Melihat ini Sui Cin tersenyum geli, akan tetapi Hui Song mengerutkan alisnya karena pemuda ini khawatir kalau-kalau dua orang kakek itu saling gempur dan akibatnya bisa hebat. Hanya Sui Cin yang agaknya sudah dapat menangkap watak kedua orang kakek sakti itu, yang kelihatan ayem saja, bahkan gembira karena ia tahu bahwa ia hendak diberi suguhan tontonan yang hebat kalau sampai dua orang kakek sakti itu mengadu ilmu.



"Kau mau apa?" bentak si gendut.



"Kau mau apa?" bentak si katai.



"Heiii! Kalian punya apa? Aku sih apa-apa mau!" tiba-tiba Sui Cin berseru sambil maju menghampiri kedua orang kakek itu. Tentu saja ucapan dara ini membuat kedua orang kakek yang sudah saling tantang seperti dua orang anak kecil memperebutkan kembang gula itu menjadi bingung, saling pandang dan seperti lupa bahwa mereka tadi sudah saling tantang. "Punya apa? Kau mau apa?" kata kakek katai bingung.



"Aku tidak punya apa-apa!" kakek gendut juga menjawab ragu.



Sui Cin terkekeh menutupi mulutnya dengan punggung tangan. "Hi-hik, kalian ini kulihat seperti dua orang badut wayang sedang melawak!"



"Aku ingin mengambil kalian menjadi murid!" kata si gendut.



"Tidak bisa, aku yang lebih dulu!" kata si kakek katai.



"Aku dulu!"



"Aku dulu!" Kembali mereka melangkah maju, mulut dicemberutkan sampai meruncing, mata melotot, muka dijulurkan ke depan seolah-olah keduanya hendak berciuman dengan mulut.



"Eiit, eiit... harap ingat, ji-wi adalah dua orang sahabat. Kalau memang ingin adu ilmu, harus dilakukan tanpa emosi, tanpa kebencian agar tidak sampai saling bunuh!" kata Sui Cin.



"Eh, siapa yang mau saling bunuh?" kakek gendut bertanya heran.



"Heh-heh-heh! Sui Cin, kaukira kami ini orang-orang apa, mau saling bunuh? Kami hanya memperebutkan kebenaran. Nah, gendut, kau sudah mendengar nasihat nonamu. Kalau kau mampu menerima pukulan guci arakku sebanyak tiga kali, baru aku mau mengaku kalah."



"Baik! Dan kalau kau mampu menerima kebutan kipasku tiga kali, akupun mengaku kalah."



"Bagus! Nah, bersiaplah, aku akan memukulmu lebih dulu." kata Wu-yi Lo-jin.



"Enaknya! Tidak, aku yang mulai dulu dengan kebutan kipasku," bantah Siangkoan Lo-jin.



"Aku dulu!"



"Aku dulu!" Kembali mereka bersitegang seperti dua orang anak kecil, tidak mau saling mengalah. Diam-diam Sui Cin dan Hui Song merasa heran. Mereka itu adalah dua orang kakek yang memiliki kesaktian, akan tetapi mengapa kedang-kadang sikap mereka seperti anak kecil? Apakah benar kata orang bahwa yang sudah terlalu tua berubah seperti kanak-ka-nak? Dan ada pula yang bilang bahwa orang yang terlalu pintar itupun kadang-kadang sifatnya seperti kanak-kanak?



Betapapun juga, Sui Cin yang sudah mendapatkan janji kakek katai untuk be-lajar gin-kang diam-diam berpihak kepada kakek ini. Maka, melihat mereka bersi-tegang lagi, iapun maju lagi dan berkata, "Di dalam dunia ini, apa yang lebih baik daripada keadilan? Biarpun gagah perkasa, kalau tidak adil apa gunanya?"



"Benar sekali!" kata Ciu-sian.



"Tidak salah itu!" kata San-sian.



"Demi kebenaran dan keadilan, sudah sepantasnya kalau Wu-yi Lo-jin yang me-mulai lebih dulu dalam adu ilmu ini. Pertama, melihat bentuk tubuhnya, dia jauh lebih kecil ketimbang Siang-kiang Lo-jin, dan kedua, memang sebenarnya kami berdua lebih dulu kenal dengan Ciu-sian sebelum bertemu dengan San-sian. Nah, kalau kalian memang adil, tentu Ciu-sian yang memperoleh kesempatan lebih dulu. Kecuali kalau kalian memang tidak adil."



Wajah si gendut menjadi merah. "Hah, siapa tidak adil dan siapa takut? Katai, kaupukulilah dulu, nih, perutku sudah siap menerima pukulanmu yang kaubanggakan itu. Mulailah!" Berkata demikian, si gendut itu lalu berdiri memasang kuda-kuda, kaki kiri di belakang, kaki kanan di depan, tangan kiri memegang tongkatnya, tangan kanan dikepal di pinggang, perutnya dikembungkan ke depan!



"Bagus! Aku memang tahu bahwa engkau seorang gagah yang adil!" seru kakek katai dengan girang sekali sambil menu-runkan guci araknya. Dia membuka tutupnya, minum sisa arak yang tinggal se-dikit sampai kosong, menutup mulut guci lagi dan memegang leher guci yang kecil dengan kedua tangannya. "Nah, kau bersiaplah baik-baik, aku akan mulai menghantam!" katanya sambil memasang kuda-kuda dengan kedua kakinya yang kecil namun kokoh kuat. Kemudian, diayunkannya guci itu dari belakang ke de-pan, menghantam ke arah perut gendut itu.



"Bunggg...!" Guci menghantam perut dan terdengar seperti gentong dipukul. Tubuh gendut itu tidak bergeming dan guci arak itu terpental sediki seperti menghantam karet amat kuat.



"Bukkk...!" Hantaman kedua lebih kuat lagi, namun tetap saja tubuh kakek gendut tidak bergoyang dan kakek gendut itu selalu tersenyum lebar, mulutnya sedikit terbuka dan senyum itu membuat kedua matanya semakin sipit.



Kakek katai menjadi penasaran. Dua kali pukulan gucinya itu hebat sekali. Batu karang sekalipun akan ambrol dan pecah terkena pukulannya, akan tetapi pukulan guci araknya itu sungguh kehilangan daya kekuatannya ketika mengenai perut gendut yang terisi penuh hawa sin-kang itu. Diam-diam dia merasa kagum karena dua puluh tahun yang lalu. San-sian ini takkan mungkin kuat menerima hantamannya itu. Hal ini membuktikan bahwa selama ini si gendut memang telah memperoleh banyak kemajuan.



"Awas, sekali lagi!" Teriaknya dan dua orang muda yang berdiri di pinggir memandang dengan penuh perhatian dan kekaguman. Mereka berdua dapat mera-sakan kehebatan pukulan ciu-ouw itu. Dari tempat mereka berdiri saja mereka dapat merasakan getaran hawa pukulan yang amat dahsyat dari guci arak, dan ketika guci arak tadi bertemu dengan perut, terjadi getaran yang lebih hebat lagi, terasa benar oleh mereka.



"Siuuuttt... bunggg...!" Pukulan ketiga ini hebat bukan main, getarannya sampai membuat daun-daun pohon bergerak dan bumi yang diinjak Hui Song dan Sui Cin ikut tergetar. Akan tetapi, San-sian menerima pukulan ketiga itu sambil tersenyum lebar dan sedikitpun tubuhnya tidak tergoncang!



"Heh-heh-heh-ha-ha-ha!" Kakek gendut tertawa. Sui Cin dan Hui Song maklum bahwa kakek itu bukan sembarangan saja tertawa, melainkan mengeluarkan hawa yang tadi dipergunakan untuk melindungi isi perutnya. Ketika dia tertawa, hawa itu keluar dan nampak uap putih keluar dari mulutnya. "Tiga kali gucimu yang butut itu menghantamku dan aku tidak merasa apa-apa! Kau kalah, Ciu-sian!"



Ciu-sian mengerutkan alisnya dan mengamati gucinya, seolah-olah hendak menyalahkan gucinya dalam kegagalannya itu. Lalu dia mengikatkan guci di punggungnya lagi dan berkata, "Gendut! Engkau memang kuat. Akan tetapi sekarang cobalah kau menyerangku tiga kali dengan kipas lalatmu itu. Kalau aku tidak kuat bertahan, maka kekalahanku menjadi lengkap dan baru aku mengakui kekalahan."



"Ha-ha-ha, Ciu-sian, hati-hati kau dengan kebutan kipasku. Pohon besar itupun akan roboh dilanda kebutanku!" kata kakek gendut. "Apalagi tubuhmu yang kecil kerempeng ini!"



"Tak perlu memperlebar mulutmu yang sudah besar, San-sian. Mulailah!" Kakek katai itu memasang kuda-kuda, kedua kakinya terpentang lalu ditekuk, seperti orang menunggang kuda dan kedua lengan disilangkan, dipasang di depan dada.



"Sini, agak jauh dari pohon itu!" kata San-sian sambil melangkah mundur menjauhi pohon.



"Srrrttt...!" Kakek katai itu mengikuti maju, akan tetapi kedua kakinya sama sekali tidak melangkah. Tubuhnya maju dalam keadaan masih memasang kuda-kuda seperti tadi. Hal ini saja sudah membuktikan betapa hebatnya Kakek Dewa Arak ini. Diam-diam kakek gendut harus mengakuinya juga.



"Awas, Sui Cian, aku mulai! Jangan salahkan aku kalau kipasku mengebutmu sampai terlempar dan terbang ke langit!"



Setelah memasang kuda-kuda, kakek gendut menggerakkan tongkatnya, diputarnya ke atas kepala dan tiba-tiba kipas itu menyambar dari belakang tubuhnya, membawa angin besar mengebut ke arah kakek katai dengan kekuatan kebutan yang amat hebat.



Angin kebutan menyambar dahsyat, membuat jenggot panjang dan jubah kakek katai itu berkibar, bahkan Sui Cin dan Hui Song yang berada agak jauh merasakan kebutan angin yang membuat pakaian dan rambut mereka berkibar. Akan tetapi, tubuh kakek katai itu sendiri sama sekali tidak bergemin, seperti angin keras yang biarpun mampu menumbangkan pohon, sama sekali tidak berdaya terhadap sebongkah pilar baja yang kokoh kuat dan tertanam dalam-dalam di tanah!



San-sian menjadi penasaran dan kebutannya yang kedua kalinya lebih kuat lagi, sampai mengeluarkan angin yang suaranya bersiutan. Akan tetapi, seperti juga tadi kakek katai berdiri tegak dan tidak bergeming, hanya memejamkan mata karena angin keras membuat matanya perih. Kedua kakinya yang kecil seolah-olah sudah berakar dalam-dalam di tanah di mana dia berpijak.



"Heh-heh-heh, satu kali lagi dan awas, hati-hati kau!" bentak kakek gendut dan kini dia memutar tongkatnya, kemudian kipasnya membuat gerakan berputar yang aneh. Dan akibatnya hebat sekali. Debu beterbangan, bukan hanya debu, melainkan juga pasir dan batu kerikil yang beterbangan lalu berpusingan. Ternyata gerakan kipas itu mendatangkan angin berpusing yang kuat dan melanda tubuh kakek katai, seolah-olah angin puyuh yang hendak mencabut kakek katai itu dari atas tanah! Akan tetapi, kakek katai itu nampak mengerahkan kekuatannya, kedua kainya agak tergetar, akan tetapi kekuatan dahsyat yang timbul dari gerakan kebutan kipas itupun sekali ini tidak mampu mengangkat kedua kakinya!



"Wah, wah, Ciu-sian, engkau ini ternyata tua-tua keladi, makin tua makin jadi! Hebat dan kita masih belum ada yang kalah atau menang!"



"Jalan satu-satunya, San-sian, hanya mengadu ilmu silat," kata kakek katai sambil melepaskan guci araknya dari punggung.



"Boleh, boleh, memang aku ingin sekali melihat kemampuanmu!" kata San-sian sambil melintangkan tongkat kipasnya.



Melihat betapa dua orang kakek katai itu sudah siap untuk saling gebuk, Sui Cin cepat melangkah maju melerai. "Harap kalian bersabar dulu," katanya.



"Mana bisa bersabar kalau kehendakku ditentang?" kata kakek gendut.



"Mana bisa bersabar kalau muridku hendak dirampas?" bantah kakek katai.



Sui Cin tersenyum. "Ji-wi berdua, dan kamipun berdua, mengapa harus ribut-ribut dan diperebutkan? Bagi rata kan beres? Ciu-sian sudah berjanji akan mengajarkan gin-kang kepadaku, dan kalau kakek San-sian mengajarkan ilmunya kepada Song-twako, bukankah itu sudah tepat sekali?"



Dua orang kakek itu bingung, lalu keduanya menggeleng kepala. "Kenapa kita jadi tolol begini?" kata si gendut.



"Kenapa hal begini sepele saja kita tidak mampu pecahkan tadi?" gumam si katai.



"Nah, pemecahannya mudah, bukan? Mulai sekarang, Song-twako menjadi murid Siang-kiang Lo-jin dan..."



"Tidak ada murid! Tidak ada murid!" Dua orang kakek itu berkali-kali bicara, dan ketika dua orang muda itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki mereka, keduanya membalikkan tubuhnya tidak mau menerima penghormatan murid terhadap guru itu.



"Eh, bukankah ji-wi tadi sampai mau berkelahi karena memperebutkan kami untuk menjadi murid? Kenapa sekarang malah menolak? Apa maksud ji-wi ini?" Hui Song mengerutkan alisnya dan bertanya. Tadi dia sudah merasa gembira sekali karena kalau dia dapat mempelajari ilmu dari kakek gendut itu, alangkah senang hatinya.



"Bangun dan duduk, mari bicara," kata Wu-yi Lo-jin. Dua orang itu lalu bangkit dari berlutut dan mereka duduk di atas batu-batu di bawah pohon. "Seperti pernah kuceritakan kepada kalian, kami sudah terikat oleh sumpah kami kepada tongkat laknat... eh, Tongkat Suci itu bahwa kami seketurunan termasuk murid-murid harus tunduk dan taat, tidak boleh melawan mereka yang memiliki tongkat itu. Kami tidak ingin kalian menjadi murid kami dan terseret ke dalam ikatan itu. Kalian sudah melihat sendiri betapa Pangeran Toan Jit-ong mempengaruhi dan mengikat mereka yang kalah dengan sumpah. Nah, kami yang pernah dijuluki Delapan Dewa juga telah diikat dengan sumpah."



"Akan tetapi, kek. Melihat ilmu kepandaian Ratu Iblis itu, agaknya kalian tidak akan kalah..."



Kakek katai menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Engkau tidak tahu... kepandaian mereka itu hebat sekali. Ketika Ratu Iblis itu mengalahkan lawan-lawannya, ia tidak mengeluarkan semua ilmunya, hanya mempermainkan saja. Dan pangeran itu sendiri, baru mengeluarkan suara saja sudah mampu menaklukkan Iblis Buta! Agaknya, aku sendiri hanya dapat mengimbanginya dalam hal gin-kang, sedangkan dalam ilmu-ilmu lain, jelas aku masih tidak mampu menandinginya."



"Benar Itu! Ilmu iblis itu hebat bukan main. Aku sendiripun mungkin hanya mampu menandingi dalam hal kekuatan, akan tetapi dalam ilmu silat, aku kalah jauh," sambung kakek gendut dengan sua-ra sungguh-sungguh.



"Karena kami sendiri tidak berdaya dan tidak mau melanggar atau mengkhianati sumpah sendiri, maka satu-satunya jalan bagi kami adalah menurunkan ilmu-ilmu kami kepada orang-orang muda yang berbakat dan berjiwa bersih. Mere-kalah yang kelak harus menghadapi dan membasmi Raja dan Ratu Iblis bersama para pembantunya."



"Orang muda, maukah engkau belajar ilmu dariku?" tanya San-sian sambil me-natap wajah pemuda yang ganteng dan gagah itu."



Hui Song mengangguk-angguk dan menjura dengan wajah girang. "Tentu saja aku mau, kek," katanya meniru Sui Cin karena kini dia tahu benar bahwa ka-kek inipun tidak mau dianggap guru o-lehnya.



"Akan tetapi, tidak mudah belajar da-riku. Selain harus tekun, juga harus tahan uji dan sekali bilang mau, harus be-lajar sampai berhasil. Latihan-latihannya berat sekali dan engkau tidak boleh me-ninggalkannya setengah jalan, karena kalau demikian, terpaksa aku akan membunuhmu daripada engkau membawa pergi ilmuku yang masih mentah."



Hui Song mengangguk-angguk. Dia putera ketua Cin-ling-pai, seorang yang se-jak kecil digembleng untuk menjadi pen-dekar tulen. Maka tentu saja dia siap menghadapi segala macam kesukaran da-lam belajar ilmu.



"Dan engkau ikutlah denganku, Sui Cin. Aku akan mengajarkan ilmu gin-kang, akan tetapi jangan dikira latihan-latihan dariku tidak berat! Kalau engkau kurang tekun dan sembarangan, nyawa taruhan-nya!" kata Ciu-sian.



Sui Cin tersenyum. "Kesukaran dan bahaya adalah makananku sejak kecil, kek, jangan khawatir aku akan mundur karenanya. Akan tetapi, berapa lamakah kiranya kami masing-masing harus bela-jar dari kalian?"



"Ilmu silat kalian sudah cukup tinggi, kalau dilatih sampai matang kiranya su-dah cukup untuk menghadapi lawan se-perti Raja Iblis sekalipun. Akan tetapi, iblis-ibils itu memiliki sin-kang dan gin--kang yang amat hebat. Kalian jauh kalah cepat dan kalah kuat, maka kami akan memperkuat kalian dalam hal itu, disamping mematangkan ilmu silat kalian. Karena kita diburu waktu, kalian sendiri sudah mendengar bahwa dalam waktu ti-ga tahun lagi mereka akan mempersiap-kan pemberontakan mereka, maka sebe-lum waktu itu kalian harus sudah selesai mematangkan ilmu kalian," kata Ciu-sian dan mendengar ini, San-sian mengangguk-angguk.



"Benar sekali. Orang muda, dengan bekal ilmu silatmu yang tinggi dan murni dari Cin-ling-pai itu, kalau dimatang-kan selama tiga tahun, tentu engkau akan cukup kuat untuk menentang mereka."



Hati kedua orang muda itu merasa girang sekali, akan tetapi wajah Hui Song menjadi muram dan hatinya berduka ketika dia mendengar bahwa kedua orang kakek itu akan berpisah sehingga terpak-sa diapun akan berpisah dari Sui Cin! Dan perpisahan itu untuk waktu tiga ta-hun!



"Cin-moi..." katanya ketika mereka diberi kesempatan untuk bicara empat mata karena dua orang kakek itupun sedang bercakap-cakap dan berunding berdua di bawah pohon, agaknya tidak memperdulikan dua orang muda itu.



"Bagaimana Song-twako? Tidak girangkah hatimu memperoleh guru yang demikian lihai?" Dara itu menatap wajah yang tampan itu, lalu menyambung cepat. "Mengapa wajahmu muram seperti orang berduka, twako?"



"Cin-moi, bagaimana hatiku tidak akan berduka? Kita akan saling berpisah!"



Dara itu tersenyum. "Aih, tentu saja! Bukankah kita masing-masing akan mengikuti pelatih kita ke tempat masing-masing? Tiga tahun lagi kita akan saling berjumpa, twako."



"Tiga tahun... alangkah lamanya. Aku akan merasa rindu sekali kepadamu, Cin-moi."



"Tentu saja, akupun akan merasa rindu kepadamu, twako," kata Sui Cin yang berhati polos dan jujur. Mendenger ini, sepasang mata Hui Song bersinar penuh harapan.



"Benarkah itu, Cin-moi? Engkau akan rindu kepadaku?"



Sui Cin memandang heran. Kenapa yang begitu saja Hui Song bertanya dan seperti tidak percaya? "Tentu saja! Kenapa tidak?"



"Ah, aku akan setiap malam mimpikan engkau, Cin-moi...!"



Sui Cin tertawa, "Ya, akupun akan mimpikan engkau, twako. Akan tetapi tidak saban malam. Wah, bisa capek kalau setiap malam mimpikan engkau saja."



Hui Song mengerutkan alisnya dan menatap tajam wajah yang cantik manis itu. "Cin-moi, jangan main-main, engkau... engkau tidak tahu apa artinya semua ini begiku... Aku akan menderita, Cin-moi... selama tiga tahun tidak melihatmu. Ah, rasanya belum tentu kuat aku menahan kerinduan hatiku..."



"Ah, apa-apaan sih engkau ini twako? Omonganmu tidak seperti biasa dan aku menjadi bingung."



"Cin-moi, benarkah engkau tidak tahu atau tidak dapat menduganya?, Baiklah, sebelum kita saling berpisah, aku harus memberi tahu kepadamu. Cin-moi, semenjak kita berjumpa, semenjak kita berkenalan, bahkan selagi aku mengenalmu sebagai pemuda, aku... aku telah jatuh cin-ta padamu! Nah, lega hati ini setelah mengaku. Aku cinta padamu, Cin-moi, a-ku cinta padamu!"



Sepasang pipi dara itu memang berubah merah, akan tetapi ia tidak menun-dukkan mukanya seperti lajimnya gadis yang menghadapi pengakuan cinta seo-rang pemuda dan menjadi malu. Tidak, Sui Cin tidak merasa malu, bahkan me-rasa geli dan ia tidak dapat menahan ke-tawanya. Ia tertawa bebas, seperti bia-sanya kalau ia tertawa di depan Hui Song, tanpa malu-malu dan tidak ditutup-tutupinya lagi mulutnya seperti kalau ia tertawa di depan orang lain.



"Eh, kenapa kau tertawa, Cin-moi?"



"Habis, engkau lucu sih!"



"Cin-moi, aku tidak main-main. Aku bicara sungguh-sungguh dan semua kata-kataku keluar langsung dari lubuk hatiku. Aku sungguh telah jatuh cinta padamu, Cin-moi!"



"Ih, twako, engkau ini aneh-aneh saja. Aku tidak tahu apa dan bagaimana cinta itu. Aku suka padamu, twako, suka bersahabat denganmu. Akan tetapi cinta? Entahlah, aku tidak tahu apakah aku mencintamu atau mencinta seseorang ataukah tidak?"



"Cin-moi, aku... aku ingin agar kelak kita menjadi jodoh, menjadi suami isteri..."



"Ihhh! Kau membikin aku bingung dan canggung, twako. Aku belum memikirkan yang tidak-tidak. Kita masih memiliki banyak tugas, pertama belajar yang te-kun dan kedua menghadapi persekutuan Raja Iblis itu, bukan? Pula, urusan perjo-dohan selayaknya dibicarakan orang tua, bukan kita."



Sui Cin teringat akan usul orang tua-nya yang ingin menjodohkan ia dengan Can Koan Ti, putera Pangeran Can Seng Ong yang menjadi gubernur Propinsi Ce--kiang di Ning-po itu. Tentu saja ia akan memilih Hui Song daripada Koan Ti, akan tetapi ia tidak tahu apakah ia ingin menjadi isteri Hui Song atau isteri siapa sa-ja.



"Memang benar, Cin-moi. Akan tetapi hatiku akan tenteram kalau mengetahui bahwa engkaupun setuju, bahwa engkau sudi menerima cintaku, bahwa engkaupun cinta padaku..."



Kembali Sui Cin tertawa dan kembali suara ketawa itu seperti ujung pedang menusuk hati Hui Song. "Eh, kenapa eng-kau tertawa lagi, Cin-moi?" tanyanya dengan -alis berkerut.



"Ucapanmu tadi mengingatkan aku akan pertunjukan wayang yang pernah kutonton... kalau tidak salah, ketika Pangeran Can Seng Ong gubernur di Ning-po, mengadakan pesta ulang tahunnya. Ada sandiwara wayang di situ dan dalam pertunjukan itu, ada seorang pemain pria mengucapkan kata-kata sama persis dengan ucapanmu tadi kepada seorang pemain wanita..."



"Cin-moi, agaknya ucapan pengakuan cinta di bagian dunia manapun saja. Ucapan itu suci dan mulia, Cin-moi, jangan ditertawai karena aku sungguh-sungguh cinta padamu. Sudikah engkau menerima cintaku Cin-moi?"



"Aih, sudahlah twako, jangan bicara tentang hal itu sekarang. Aku belum mau memikirkan hal itu dan aku tidak tahu!"



Itulah ucapan terakhir Sui Cin, karena Hui Song ticlak berani mendesak lagi. Dia cukup mengenal watak dara itu dan kalau dia mendesak, tentu Sui Cin akan marah. Dara itu baru berusia lima belas atau enam belas tahun, mungkin belum cukup dewasa untuk bicara tentang cin-ta. Dia harus bersabar. Betapapun juga, hatinya terasa berat, tertekan dan sedih ketika dia berpisah pada siang hari itu dari Sui Cin yang mengikuti kakek katai dengan wajah gembira. Dia sendiri meng-ikuti kakek gendut yang menjadi gurunya tanpa mau disebut guru.



***



Teriakan-teriakan yang menyelingi desir angin pukulan itu tidak terdengar lagi dari luar air terjun, karena selain guha yang berada di belakang air terjun itu amat dalam, juga suara air terjun yang gemuruh itu menyeilmuti suara di sebelah dalam. Guha itu memang lebar dan dalam, luas sekali. Dasarnya berupa anak sungai yang mengalir jernih di antara batu-batu besar yang menonjol di sana-sini. Di tepi anak sungai itu terdapat lantai guha dari batu dan melihat betapa di sana-sini terdapat pilar-pilar batu, dapat diketahui bahwa guha ini, yang tercipta oleh alam, telah dibantu oleh manusia yang membuat pilar-pilar batu untuk menyangga. Sebuah tempat persembunyian yang amat luas dan enak. Inilah tempat pertapaan Siang-kiang Lo-jin. Sebuah guha di balik air terjun yang terdapat di lembah Sungai Siang-kiang.



Kalau orang memasuki guha itu, yang tidak nampak dari luar dan merupakan tempat tersembunyi, dia akan melihat bahwa teriakan-teriakan itu keluar dari mulut seorang pemuda yang sedang berlatih silat. Akan tetapi cara pemuda ini bermain silat akan membuat orang merasa heran dan kagum bukan main. Pemuda itu bertubuh sedang dan tegap, hanya memakai celana panjang saja tanpa baju. Nampak tubuh yang sedang itu penuh dengan otot-otot yang melingkar-lingkar, membuat tubuh itu nampak kokoh kuat penuh tenaga. Rambutnya a-gak awut-awutan, digelung ke atas dan sisanya berjuntai ke bawah, ikut berge-rak-gerak bersama kepalanya ketika dia bermain silat. Anehnya, pemuda itu me-makai beban besi yang besar pada kedua kaki dan tangannya. Beban di kakinya itu masing-masing tentu tidak kurang dari empat puluh kati dan di tangan masing-masing melingkari lengan, tentu ada dua puluh lima kati. Selain dibebani besi pa-da kedua kaki dan lengannya, juga pemu-da ini bersilat di atas batu-batu yang menonjol di permukaan anak sungai itu, batu-batu yang amat licin. Dapat diba-yangkan beratnya latihan ini. Namun, pe-muda yang usianya sekitar dua puluh em-pat tahun itu berlatih dengan tekun, mengatur napas dalam setiap gerakan, dan mengeluarkan bentakan-bentakan un-tuk setiap pukulan atau tangkisan. Orang biasa saja tentu sudah akan mereka tersiksa kalau harus bergerak dengan beban pada kaki tangan itu, apalagi harus ber-main silat, di atas batu-batu licin lagi! Namun, pemuda itu bersilat dengan gaya yang indah, dengan gerakan yang cepat dan amat keras. Setiap gerakannya menimbulkan desiran angin.



Di tepi anak sungai itu berdiri seorang kakek yang perutnya gendut sekali, berdiri sambil tersenyum lebar dan memegang sebatang tongkat yang ujungnya ada kipasnya. Dengan ramah dia memberi petunjuk-petunjuk dan mengangguk-angguk dengan wajah puas sekali.



Memang tidak ada alasan bagi Siang-kiang Lo-jin untuk tidak merasa puas dengan kemajuan yang dicapai oleh Hui Song, pemuda itu. Selama hampir tiga tahun, pemuda itu berlatih dengan amat tekunnya. Dia digembleng keras oleh kakek gendut itu, berlatih memperkuat sin-kang dengan bertapa di dalam air setinggi leher. Air dingin itu menyeilmuti tubuhnya, sampai tiga hari tiga malam dan dia hanya boleh meneguk air di depannya setiap kali kelaparan atau kehausan menyiksanya. Kemudian, latihan dengan beban-beban berat pada kaki dan lengannya. Mula-mula memang tidak berapa berat beban itu, akan tetapi lambat laun ditambah sampai akhirnya dia berlatih silat dengan beban seberat itu. Namun, hasilnya memang hebat bukan main. Tubuh pemuda itu menjadi kuat sekali, gerakannya lincah dan tenaganya besar. Kini Hui Song mampu mainkan semua ilmu silat Cin-ling-pai jauh lebih sempurna daripada tiga tahun yang lalu!



"Hentikan sebentar dan buka beban kaki tanganmu. Aku ingin melihat untuk yang terakhir kali apakah selama tiga tahun ini aku tidak mengajar secara sia-sia belaka!" Tiba-tiba kakek itu berkata.



"Terakhir kali? Apa maksud locianpwe?" tanya Hui Song sambil membuat gerakan melompat ke tepi. Gerakannya demikian sigapnya seolah-olah dia tidak dibebani besi yang berat itu. Sambil melepaskan beban kaki tangannya, pemuda itu memandang wajah kakek gendut dengan penuh perhatian.



"Tentu saja! Apakah engkau ingin selama hidupmu tinggal di sini?" tanya kakek gendut.



"Tapi, locianpwe, rasanya belum lama saya berada di sini..."



"Ha-ha-ha! Itu berkat ketekunanmu. Memang demikianlah rahasia waktu. Kalau tidak pernah kita pikirkan, ia berlalu amat cepatnya melebihi anak panah. Akan tetapi kalau diingat selalu, ia merayap seperti siput. Tak tahukah engkau bahwa kita berada di sini hampir tiga tahun lamanya? Nah, kau bersilatlah, kini tanpa beban itu."



Hui Song yang kini sudah melepaskan beban besi dari kaki dan lengannya, lalu meloncat lagi ke tengah sungai, di atas batu-batu licin itu dan dia bersilat dengan amat cepatnya. Berkali-kali dia berseru kaget karena tubuhnya bergerak luar biasa ringan dan cepatnya, lebih ringan dan lebih cepat daripada yang dikehendakinya. Hal ini adalah karena dia belum biasa terbebas dari beban-beban besi pada kaki tangannya itu. Selama bertahun-tahun dia dibebani pada kaki tangannya dan begitu dibuka, tentu saja dia merasa gerakarmya amat cepat dan ringan sehingga mengejutkan. Akan tetapi, begitu dia dapat menyesuaikan diri, gerakannya mulai teratur dan kini tubuhnya berkelebatan di atas batu-batu licin itu dengan amat mudahnya.



Kakek gendut itu mengangguk-angguk dan wajahnya berseri gembira. "Cukuplah, Hui Song, ke sinilah aku mau bicara."



Tubuh Hui Song mencelat ke tepi anak sungai itu dan dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. Baru sekarang dia dapat merasakan benar kemajuan yang diperolehnya selama tiga tahun digembleng kakek itu. "Saya menghaturkan terima kasih atas semua bimbingan locianpwe selama ini," katanya dengan hati terharu.



Kakek itu tertawa. "Ha-ha-ha, akulah yang bergembira, Hui Song.Engkau memenuhi harapanku. Siapa lagi kalau bukan orang-orang muda seperti engkau ini yang dapat menyelamatkan dunia dari bencana. Biarpun aku masih sangsi apakah engkau seorang diri saja akan mampu menentang mereka, akan tetapi setidaknya engkau akan dapat mengimbangi kelihaian Ratu Iblis. Mudah-mudahan saja temanmu itupun akan memperoleh kemajuan pesat di bawah pimpinan Wu-yi Lo-jin dan dapat bekerja sama denganmu, bersama para pendekar muda lainnya."



Mendergar ucapan ini, Hui Song merasa seperti diingatkan, dan terbayanglah wajah manis dari Sui Cin di depan matanya. Wajahnya berseri dan sinar matanya berkilat ketika dia teringat kepada gadis itu. Selama ini, dia memaksa batinnya untuk tidak selalu mengenangkan Sui Cin dan dia mencurahkan seluruh perhatian dan ketekunannya untuk mempelajari ilmu dari kakek gendut. Dia memperoleh kenyataan bahwa kakek itu memang lihai bukan main, memiliki kesaktian yang jauh melampaui tingkat ayah ibunya sendiri. Maka diapun belajar dengan giat dan mentaati semua petunjuk gurunya yang tidak mau disebut guru itu.



"Apakah ia juga sudah menamatkan pelajarannya dari Wu-yi Lo-jin, locianpwe?" tanyanya dengan penuh gairah.



Kakek itu tersenyum lebar dan mengangguk-angguk. "Kami berdua memang sudah bersepakat untuk menggembleng kalian berdua selama kurang lebih tiga tahun dan sebelum tiba waktunya pemberontakan terjadi, harus sudah selesai penggemblengan itu. Aku yakin temanmu itu sudah selesai belajar pula sekarang."



"Kalau begitu, locianpwe tahu di mana Wu-yi Lo-jin membawanya dan di mana saya dapat menjumpai Sui Cin?"



"Tentu saja dia membawa gadis itu ke Wu-yi-san, ke tempat pertapaannya. Kami hanya berjanji akan menggembleng kalian sampai tahun ini dan sebelum Tahun Baru, kami akan menyuruh kalian masing-masing pergi keluar Tembok Besar di utara, mencari bekas benteng Jeng-hwa-pang itu. Jadi, kalian bersiap-siap saja di sana dan kita semua akan bertemu di sana untuk bersama-sama menghadapi gerombolan pemberontak itu."



"Karena saya tidak pernah lagi mengikuti hari dan bulan, kapankah kiranya hari Tahun Baru itu, locianpwe? Masih berapa lamakah?"



"Sekarang pertengahan bulan sembilan. Masih ada tiga setengah bulan lagi bagimu untuk melakukan perjalanan sebelum Tahun Baru tiba."



Hui Song menjadi girang sekali. "Kalau begitu, masih banyak waktu bagi saya untuk singgah ke Cin-ling-san. Orang tua saya tentu merasa gelisah karena tiga tahun saya tidak pulang."



"Terserah, dan alangkah baiknya kalau Cin-ling-pai mau pula turun tangan membantu dalam usaha kita menentang ancaman malapetaka dari Pangeran Toan Jit-ong dan sekutunya."



"Baik, locianpwe, akan saya bicarakan hal itu dengan ayah dan ibu dan semua saudara pimpinan Cin-ling-pai."



Setelah menghaturkan terima kasih lagi dan menerima doa restu dari kakek gendut itu, Hui Song lalu meninggalkan guha di balik air terjun itu dan melakukan perjalanan dengan cepat ke utara. Hatinya gembira bukan main dan dia merasa seperti seekor burung yang bebas terbang ke udara. Betapa nikmatnya, betapa senangnya dapat melakukan perjalanan bebas seperti itu setelah hampir tiga tahun dapat dibilang selalu berada di dalam guha, atau paling jauh juga keluar dari situ dan mencari sayur-sayuran ke sekitar air terjun di lembah sungai itu. Yang amat menggembleakan hatinya lagi adalah bayangan Sui Cin yang segera akan dapat dijumpainya lagi. Juga membayangkan bahwa dia akan bertemu dengan ayah dan ibunya, amat menggembirakan hati pemuda ini. Tidak dia sadari sendiri, Hui Song kini jauh berbeda dengan keadaan dirinya tiga tahun yang lalu. Kini tubuhnya lebih tegap dan gerak-geriknya lebih gesit berisi, bahkan ketika dia melakukan perjalanan cepat sambil berlari, larinya jauh lebih ringan dan cepat dibandingkan dahulu sebelum dia digembleng oleh Siang-kiang Lo-jin atau Si Dewa Kipas.



Kita tinggalkan dulu Hui Song yang dengan hati gembira sekali melakukan perjalanan cepat menuju ke utara itu, dan mari kita mengikuti kakek Wu-yi Lo-jin menuju ke tempat pertapaan kakek itu di Wu-yi-san.



Dalam perjalanan hari pertama saja, kakek Wu-yi Lo-jin sudah mulai menguji ilmu gin-kang dara itu. "Mari kita ikuti lariku secepatnya!" katanya dan belum juga kata-katanya habis diucapkan, tubuhnya sudah berkelebat lenyap dari situ. Sui Cin maklum bahwa kakek itu hendak mengujinya, maka iapun cepat mengejar dan mengerahkan seluruh tenaganya dan ilmu gin-kangnya untuk menyusul kakek itu. Akan tetapi, kakek yang bertubuh kecil pendek itu sungguh luar biasa sekali. Betapapun ia mengerahkan seluruh ilmunya, tetap saja ia tertinggal dalam jarak belasan tombak. Dan hebatnya, kakek itu dari belakang kelihatan seperti tidak berjalan, melainkan seperti orang amelayang saja dan kelihatan seenaknya, berbeda dengan ia yang mengerahkan tenaga. Sampai ia terengah-engah, kakek itu masih terus berlari. Akhirnya, setelah napasnya hampir putus, Sui Cin berhenti dan berteriak memanggil.



"Berhenti, kek, aku tidak kuat lagi...!"



Mulai hari itu juga, Wu-yi Lo-jin memberi kuliah tentang teori-teori ilmu gin-kangnya yang oleh kakek itu dinamakan Bu-eng Hui-teng (Lari Terbang Tanpa Bayangan), semacam ilmu meringankan diri ciptaannya sendiri. Setelah tiba di Wu-yi-san, Sui Cin kagum melihat keadaan puncak di mana kakek itu mengasingkan diri selama pu-luhan tahun. Tidak sembarang orang da-pat mencapai puncak ini karena tidak a-da jalan umum dari bawah, jalan setapakpun tidak ada. Yang ada hanyalah jurang-jurang yang mengelilingi puncak dan me-reka harus mendaki puncak melalui jurang-jurang yang curam dan tebing-tebing yang terjal. Hanya orang-orang yang me-miliki gin-kang tinggi sajalah kiranya yang akan mampu mencapai puncak Wu-yi-san di bagian yang didiami kakek Wu-yi Lo-jin itu.



Semenjak hari itu, mulailah kakek Wu-yi Lo-jin menggembleng Sui Cin dengan tekun dan keras sekali. Dia melatih dara itu untuk bersamadhi dan melatih sin-kang dan khi-kang, dia mengajarkan ilmu silat yang seluruhnya digerakkan dengan tena-ga dalam dan dengan ilmu meringankan tubuh sehingga dalam melatih ilmu silat ini berarti juga melatih dan menyempurnakan gin-kang.



Kurang lebih tiga tahun kemudian, dengan latihan yang amat tekun di ba-wah bimbingan dan penggwasan Wu-yi Lo-jin yang ketat dan keras, Sui Cin te-lah memperoleh kemajuan hebat tanpa disadarinya sendiri. Pada suatu hari, ka-kek itu membawanya ke sebelah belakang puncak gunung itu dan mereka berdiri di tepi sebuah jurang yang amat curam. Ketika menjenguk ke bawah, Sui Cin bergidik. Jurang itu sungguh curam, sam-pai tidak nampak dasarnya! Di bawah nampak batu-batu gunung yang meruncing seperti pedang-pedang raksasa, atau seperti gigi naga yang ternganga lebar. Di sebelah depan, dipisahkan celah yang mengerikan itu, terdapat dataran yang merupakan tepi jurang di seberang.



Wu-yi Lo-jin mengeluarkan gulungan-gulungan besar tali yang terbuat dari otot dan kulit binatang yang sudah kering dari dalam kantong besar yang tadi dibawanya, kemudian dia mengeluarkan pula potongan-potongan baja sebesar kaki orang yang tadinya disembunyikan di balik sebuah batu besar. Potongan-potongan baja ini runcing dan panjangnya ada tiga kaki. Sui Cin melihat kesibukan kakek itu dengan heran, tidak tahu apa yang hendak dilakukan Wu-yi Lo-jin.



"Sui Cin, mulai hari ini, engkau akan kuberi latihan-latihan terakhir yang selain melatih silat dan gin-kang, juga melatih keberanian, kecermatan dan kekuatan batinmu. Nah, dapatkah engkau meloncat ke seberang sana?" Dia menuding ke tebing di depan yang tepinya agak lebih rendah daripada tepi tebing sebelah sini.



Sui Cin memandang terbelalak, lebih heran daripada takut. "Meloncat ke seberang sana? Ah, perlukah itu, kek? Melihat jaraknya, agaknya aku akan bisa meloncat ke sana, akan tetapi apa gunanya menentang bahaya maut padahal latihan meloncat jauh tidak perlu menggunakan tempat seperti ini?"



Kakek itu tertawa. "Heh-heh, engkau belum mengerti maksudku. Tempat ini memang merupakan tempat aku berlatih gin-kang. Sudahlah, engkau saja yang memasang tonggak-tonggak ini di sebelah sini, biar aku yang memasang di sebelah sana. Kaulihat lubang-lubang di tepi tebing ini? Ada sebelas lubang. Nah, pasanglah tonggak-tonggak besi ini dalam lubang, masukkan yang dalam dan kuat. Aku akan memasang tonggak-tonggak besi di sebelah sana." Kakek itu membagi tonggak-tonggak itu yang dibongkoknya menjadi satu, tubuhnya lalu meloncat ke depan, melalui jurang yang curam itu. Sui Cin memandang dan biarpun ia merasa yakin bahwa kakek itu akan mampu meloncati celah, namun tidak urung hatinya merasa ngeri dan ia menahan napas sampai kakek itu selamat tiba di seberang sana. Melihat kakek itu mulai menancap-nancapkan tonggak baja di tepi tebing di seberang, iapun lalu melakukan apa yang dipesankan kakek itu. Ternyata lubang-lubang dalam batu di tepi tebing itu besarnya tepat sekali dan tonggak-tonggak itu masuk dengan pas sampai hanuya satu kaki yang nampak di atas permukaan batu. Sebentar saja selesailah pekerjaan itu dan ketika ia mengangkat muka memandang, kakek itupun sudah menyelesaikan pekerjaannya.



"Sui Cin!" teriak kakek itu dari seberang. "Sekarang ambillah tali-tali itu. Ada sebelas helai banyaknya, ikatkan ujungnya pada tiap tonggak dan lemparkan ujung yang lain ke sini! Awas, yang kuat mengikatnya karena nyawamu tergantung pada tali-tall ini!"



Terkejutlah hati Sui Cin mendengar ucapan itu dan ia menduga-duga apa yang diajarkan kakek itu kepadanya. Akan tetapi, ia tidak berkata apa-apa dan mulai mengikatkan ujung tali-tali itu dengan amat kuatnya pada tonggak-tonggak itu dan melemparkan ujung yang lain ke seberang. Kakek itu menangkap ujung yang lain itu dan mulailah dia mengikatkan ujung itu pada tonggak-tonggak di depannya. Kini terbentanglah tali-tali itu, merupakan jembatan-jembatan istimewa yang berjumlah sebelas helai. Dan hebatnya, kakek itu menyetel kendur kuatnya tali-tali itu sehingga ketika dia menyentil-nyentilnya, terdengar bunyi nyaring yang berbeda-beda, seperti tali-tali yang-kim yang mengeluarkan nada-nada berbeda, makin ke kanan semakin tinggi nadanya. Setelah selesai, diapun berkata kepada Sui Cin dari seberang.



"Mulai hari ini, engkau harus berlatih di atas tali-tali ini. Kalau engkau sudah dapat memainkan semua ilmu silat yang kaukuasai di atas tali-tali ini, baru engkau lulus dan boleh meninggalkan tempat ini!"



Kakek itu lalu memberi petunjuk-petunjuk. Mula-mula memang ngeri rasa hati Sui Cin ketika ia harus berjalan, melangkah dan berlari-lari, berloncatan di atas tali-tali itu. Menjenguk ke bawah dari atas tali-tali itu membuat ia merasa seperti ia sedang melayang di langit dan setiap saat kalau tali yang diinjaknya putus, tubuhnya akan meluncur ke bawah, disambut ujung batu-batu runcing untuk kemudian terbanting hancur berkeping-keping di dasar jurang yang tidak nampak dari atas. Akan tetapi, setelah terbiasa, lenyaplah rasa ngeri atau takutnya. Ia berlatih dengan tekun setiap hari dari pagi sampai sore, kadang-kadang di malam hari dan kini kedua kakinya demikian trampilnya menginjak tali, berloncatan, berjungkir balik dan bermain-main seolah-olah ia berada di atas tanah datar saja.



Pada suatu pagi, Sui Cin sudah berlatih di atas tali-tali itu. Gerakannya lincah bukan main, seperti menari-nari ia bersilat di atas tali-tali itu. Dan tali-tali yang diinjaknya mengeluarkan bunyi dengan nada-nada berbeda dan terdengarlah irama nada yang teratur seperti bunyi yang-kim yang mendendangkan lagu merdu! Kendur kuatnya tali-tali itu, lembut dan kuatnya loncatan dan injakan kaki Sui Cin menciptakan getaran-getaran berbeda pada tali-tali itu.



Kakek Wu-yi Lo-jin berdiri tegak di tepi jurang, memandang dengan sepasang mata bersinar-sinar dan wajah berseri. Setelah data itu selesai bersilat dan meloncat ke tepi, kakek itu mengangguk-angguk.



"Heh-heh-heh, bagus! Bagus sekali! Tidak sia-sia jerih payah kita selama hampir tiga tahun ini. Engkau sudah memiliki gin-kang yang setingkat denganku, dan aku yakin engkau dapat menandingi Raja dan Ratu Iblis dalam hal kecepatan. Sekaranglah tiba waktunya bagimu untuk pergi dari sini, mempersiapkan dirimu untuk menentang persekutuan busuk dari Pangeran Toan Jit-ong itu, Sui Cin. Masih ada setengah tahun waktunya bagimu untuk pergi keluar tembok besar, ke sarang mereka itu, bekas benteng Jeng-hwa-pang. Kita semua akan berkumpul di sana."



"Engkau juga akan pergi ke sana, kek?" tanya Sui Cin yang selalu bersikap akrab dan bicara kepada kakek itu seperti terhadap keluarga sendiri, tanpa banyak peradatan. Wu-yi Lo-jin agaknya lebih senang dengan sikap ini, sesuai dengan wataknya yang memang suka akan kebebasan dan tidak mau terikat oleh segala macam peraturan.



"Tentu saja! Juga Siang-kiang Lo-jin dan temanmu itu, dan kalau memang masih hidup, enam orang rekan kami, para Dewa yang lain, tentu akan muncul di sana."



Ucapan ini mengingatkan Sui Cin kepada Hui Song yang sudah bertahun-tahun tidak pernah dijumpainya itu dan hatinya memang gembira. Juga jantungnya berdegup aneh karena begitu teringat kepada Hui Song, iapun segera teringat akan ucapan terakhir pemuda itu ketika mereka akan saling berpisah. Pengakuan cinta pemuda itu terhadap dirinya! Ia kini bukan kanak-kanak lagi. Usianya sudah hampir sembilan belas tahun! Masa akhil baliq sudah lewat dan ia kini sudah menjadi seorang wanita dewasa. Biarpun tidak mempunyai pengalaman tentang cinta, namun perasaan wanitanya membuat ia sadar akan hal itu dan mulailah ia mempertimbangkan tentang uluran cinta pemuda yang amat disukanya itu. Akan tetapi, tetap saja Sui Cin belum dapat menentukan apakah iapun mencinta pemuda itu ataukah sekedar suka saja karena watak pemuda itu cocok dengan wataknya.



"Kek, karena waktunya masih cukup, aku akan singgah dulu ke Pulau Teratai Merah. Sudah terlalu lama aku meninggalkan orang tuaku dan mereka tentu merasa gelisah sekali."



"Heh-heh, Pendekar Sadis dan Lam-sin, ya? Sui Cin, ayah bundamu itu adalah orang-orang hebat dan kalau mereka depat mengulurkan tangan membantu kita untuk menentang persekutuan pemberontak itu, alangkah baiknya!"



"Akan kusampaikan kepada mereka kek, dan mudah-mudahan saja mereka dapat melihat pentingnya menentang Raja dan Ratu Iblis itu. Tentu mereka, terutama ibu, akan tertarik sekali kalau mendengar bahwa Pangeran Toan Jit-ong itu masih paman dari ibu."



Demikianlah, pada hari itu juga Sui Cin meninggalkan Wu-yi-san dan melakukan perjalanan cepat ke utara, menuju ke Ning-po untuk menyeberang ke Pulau Teretai Merah. Dara yang melakukan perjalanan turun Gunung Wu-yi-san ini sungguh jauh bedanya dengan dara remaja yang hampir tiga tahun lalu mendaki gunung itu bersama kakek katai. Kini Sui Cin bukan lagi seorang dara remaja, melainkan seorang gadis dewasa yang amat cantik dan manis. Ia memang masih lincah jenaka seperti biasa, masih nyentrik karena pakaiannya juga sembarangan saja asalkan bersih, akan tetapi pada sikapnya terdepat kematangan dan sepasang matanya juga mengeluarkan sinar mencorong yang biasanya hanya dimiliki oleh orang-orang yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya.



Dengan kepandaiannya yang tinggi, Sui Cinmelakukan perjalanan cepat dan tanpa halangan sesuatu, tibalah ia di Pulau Teratai Merah. Akan tetapi, alangkah kecewa hatinya ketika ia melihat ayah bundanya tidak berada di pulau! Ia hanya disambut oleh para pelayan yang menjadi girang dan gembira bukan main melihat munculnya nona mereka itu. Bahkan di antara mereka yang sudah tua dan yang pernah mengasuh Sui Cin sejak gadis itu kecil, menangis saking terharu dan gembiranya.



"Aih, nona... terima kasih kepada Thian bahwa nona ternyata dalam keadaan selamat. Betapa nona telah membuat kami semua gelisah dan berduka. Bahkan ayah ibu nona selalu bingung dan entah sudah berapa kali meninggalkan pulau untuk mencari nona. Yang terakhir mereka berdua pergi shbulan yang lalu, entah kapan pulangnya."



Baru Sui Cin merasa betapa besar kesalahannya terhadap ayah ibunya. Mereka hanya mempunyai anak ia seorang dan ia telah pergi selama tiga tahun tanpa memberi tahu! Dan ayah ibunya kebingungan, mencari-carinya. Tentu saja ayah ibunya tidak dapat menemukannya karena ia bersembunyi di Wu-yi-san dan tidak pernah meninggalkan tempat pertapaan kakek katai. Dan sekarang ayah ibunya pergi, tentu mencarinya lagi, entah ke mana. Padahal iapun tidak dapat lama-lama menanti kambali mereka di Pulau Teratai Merah karena ia mempunyai tugas berat membantu para pendekar yang akan menentang persekutuan pemberontak di luar tembok besar. Maka iapun lalu membuat surat panjang lebar kepada ayah bundanya, menceritakan tentang semua pengalamannya, tentang pertemuannya dengan Wu-yi Lo-jin, tentang Raja dan Ratu Iblis yang menghimpun para datuk sesat untuk melakukan pemberontakan, kemudian dalam surat itu ia menceritakan ayah ibunya bahwa ia berangkat keluar Tembok Besar untuk menentang persekutuan pemberontak itu bersama para pendekar lain. Juga ia mengharapkan agar ayah ibunya suka pula membantu, mengingat betapa kuatnya para datuk sesat itu. Bahkan ia tidak lupa menulis dalam surat itu bahwa Raja Iblis itu bernama Pangeran Toan Jit-ong yang mengaku masih bersaudara dengan mendiang kakeknya, Pangeran Toan Su--ong!



Setelah meninggalkan surat itu di kamar ayah ibunya dan memesan kepada para pelayan agar menyerahkan surat itu kepada mereka, Sui Cin lalu meninggalkan lagi pulau itu dan mulailah ia melakukan perjalanan menuju ke utara. Perjalanan yang amat jauh, akan tetapi ia mempunyai banyak waktu dan iapun dapat mengandalkan ilmunya berlari cepat.



***



Ruangan itu luas dan terhias indah, juga hiasannya membayangkan kegagahan. Pilar besar yang berada di ruangan itu diukir dengan gambar dua naga berebut mustika. Ukirannya kuat dan indah, dengan warna yang mengkilap dan hidup. Meja kursi yang berada di situ juga merupakan perabot-perabot yang kuno dan terawat baik. Pada dinding ruangan itu nampak lukisan-lukisan yang indah pula tergantung, lukisan keindahan alam dengan sajak-sajaknya yang berisi dan berbobot. Tulisan-tulisan indah menghias pula dinding ruangan itu. Sebuah ruangan yang menimbulkan kesan kagum dan hormat bagi orang luar. Akan tetapi pada sore hari itu, di dalam ruangan indah ini terjadi ketegangan. Tiga orang laki-laki gagah yang usianya sekitar tiga puluh tahun, nampak berlutut di atas lantai, menghadap seorang laki-laki dan seorang wanita yang duduk berdampingan. Sikap tiga orang yang berlutut itu tegang dan gelisah, bahkan takut-takut, terutama sekali laki-laki yang berlutut di tengah-tengah. Laki-laki ini membawa sebatang pedang di punggungnya, mukanya pucat dan membayangkan duka, kepalanya masih diikat kain putih tanda bahwa ia sedang berkabung!



Pria yang duduk di atas kursi itu usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih. Akan tetapi rambutnya, yang dikuncir ke belakang itu masih lebat dan hitam, alisnya tebal dan jenggotnya yang pendek itupun masih hitam. Wajahnya tampan dan sikapnya gagah, akan tetapi pada pandang mata dan bibirnya membayangkan kekerasan hati yang penuh wibawa. Pakaiannya sederhana, terbuat dari kain tebal yang bersih. Duduknya tegap berwibawa dan sepasang matanya memandang dengan alis berkerut tanda bahwa pada saat itu hati pria ini sedang tidak senang. Wanita yang duduk di sebelah kanannya itu usianyapun sudah hampir lima puluh tahun, akan tetapi masih nampak cantik dengan mukanya yang putih halus belum dimakan keriput, tubuhanya agak pendek dan dandanannya menunjukkan bahwa ia adalah seorang keturunan Jepang.



Pria itu adalah ketua Cin-ling-pai, yaitu pendekar Cia Kong Liang dan wanita itu adalah isterinya yang bernama Bin Biauw, puteri dari seorang bekas datuk timur yang bernama Bin Mo To atau Minamoto dan berjuluk Tung-hai-sian (Dewa Lautan Timur). Pada siang hari itu, dia dan isterinya berada di ruangan dalam rumahnya yang besar, yang merupakan rumah perguruan Cin-ling-pai yang terkenal itu, dihadap tiga orang muridnya. Hawa Pegunungan Cin-ling-san yang memasuki ruangan itu melalui jendela-jendela yang terbuka lebar, tidak melenyapkan ketegangan yang terasa oleh mereka. Selain mereka berlima, masih ada lagi dua puluh orang lebih murid Cin-ling-pai yang berlutut di luar ruangan itu dan merekapun memandang dengan muka tegang karena mereka tahu bahwa ketua mereka sedang marah dan bahwa ada murid Cin-ling-pai yang bersalah dan sedang diadili. Ketua atau guru mereka itu terkenal dengan kekerasan hatinya yang tidak mengenal maaf dalam menghukum murid Cin-ling-pai yang bersalah.



"Su Kiat, engkau telah melanggar pantangan Cin-ling-pal, menodai nama baik Cin-ling-pai dengan perbuatanmu. Nah, ceritakan semuanya!" terdengar ketua Cin-ling-pai berkata, suaranya datar dan bengis, pandang matanya berkilat.



Laki-laki yang berada di tengah itu kini bangkit dalam keadaan masih berlutut. Mukanya muram, akan tetapi sepasang matanya penuh semangat. "Suhu, teecu telah melakukan pelanggaran dan bersedia menerima hukuman suhu."



"Hemm, Koan Tek, ceritakan bagaimana kalian dapat membawanya ke sini. Apakah dia melakukan perlawanan?" ketua itu bertanya kepada laki-laki yang berlutut di pinggir kanan.



"Ciang Su Kiat suheng tidak melakukan perlawanan, suhu. Teecu berdua dapat menemukan tempat dia bersembunyi dan membujuknya untuk memenuhi panggilin suhu. Dia hanya mengatakan bahwa dia siap menerima hukuman walaupun dia menganggap bahwa peraturan Cin-ling-pai tidak adil dan terlalu keras."



Wajah ketua Cin-ling-pai menjadi merah sekali. "Su Kiat, benarkah engkau mengatakan demikian?"



"Benar, suhu dan memang teecu tetap beranggapan bahwa teecu tidak bersalah walaupun teecu telah melakukan pelanggaran. Akan tetapi teecu siap menerima hukuman karena teecu adalah murid Cin-ling-pai yang setia dan taat."



"Ceritakan semua yang terjadi!"



"Harap suhu dan subo ketahui bahwa ayah teecu yang sudah tua bekerja sebagai tukang kebun di gedung Coan Ti-hu. Ayah teecu bekerja sejak dia masih muda dan dianggap sebagai seorang pembantu yang setia. Akan tetapi, Coan Ti-hu terkenal pelit dan tidak dapat menghargai jasa para pembantunya. Ketika ibu dan adik bungsu teecu sakit, ayah hamba minta bantuan majikannya, akan tetapi malah dihardik dan dihina. Karena terpaksa dan tidak berdaya lagi, ayah teecu melakukan penyelewengan, mencuri sebuah perhiasan emas yang dijualnya untuk biaya pengobatan ibu dan adik teecu. Perbuatan itu diketahui dan ayah lalu dihukum. Kalau hanya hukuman yang wajar saja, tentu teecu dapat menerimanya karena bagaimanapun juga alasannya, ayah teecu mencuri dan wajarlah kalau dipersalahkan dan dihukum yang pantas. Akan tetapi, ayah telah dihajar, disiksa sampai setengah mati, bahkan ketika pulang, dalam waktu tiga hari ayah meninggal dunia karena luka-lukanya!" Laki-laki itu berhenti sebentar dan menghapus dua titik air mata yang membasahi matanya.



"Aku mendengar bahwa ayahmu melawan dan mengeluarkan kata-kata makian kepada Coan-taijin," kata ketua Cin-ling-pai.



"Mungkin saja ayah menegur karena ayah sudah menghambakan diri sejak muda akan tetapi dalam keadaan terpepet ayah tidak dapat mengharapkan bantuan. Bagaimanapun juga, teecu menganggap perbuatan pembesar itu keterlaluan. Ayah dibunuh hanya untuk perbuatan mencuri yang dilakukan untuk mengobati isteri dan anaknya. Maka, dalam keadaan berkabung dan berduka, teecu lupa diri dan mengamuk di gedung Coan Ti-hu. Sayang teecu tidak berhasil membunuh pembesar sewenang-wenang itu."



"Dan engkau menjadi buronan peme-rintah! Su Kiat, perbuatanmu itu tidak hanya menyangkut dirimu sendiri, melainkan juga menyeret nama baik Cin-ling-pai. Coan Ti-hu menuntut kepada Cin-ling-pai, menyalahkan kami karena eng-kau adalah murid Cin-ling-pai. Kalau ka-mi tidak dapat menangkapmu, kami akan diadukan dan dianggap pemberontak ka-rena murid perguruan Cin-ling-pai telah berani menyerang seorang pembesar pe-merintah! Nah, apa yang hendak kaukatakan sekarang?"



"Suhu, bagaimanapun juga, teecu tidak merasa bersalah terhadap pembesar itu, bahkan dia masih berhutang nyawa kepa-da teecu. Akan tetapi teecu memang merasa telah melakukan pelanggaran terhadap Cin-ling-pai."



"Dan mengapa engkau berani menganggap bahwa peraturan Cin-ling-pai tidak adil dan terlalu keras?"



"Benar, memang teecu mengatakan demikian kepada kedua orang sute yang mencari dan menemukan tempat persembunyian teecu!" jawab Su Kiat dengan gagah. "Memang peraturan kita terlalu keras, menghukum murid tanpa kebijaksanaan, dan tidak adil karena tidak melihat lagi alasan-alasan perbuatan pelanggaran dilakukan. Akan tetapi bukan ber-arti bahwa teecu akan mengingkari sum-pah, teecu siap menerima hukuman."



"Kesalahanmu terhadap Cin-ling-pai sudah jelas. Engkau telah mencoreng nama baik Cin-ling-pai, bahkan menghadapkan Cin-ling-pai pada pemerintah sehingga perkumpulan kita terancam bahaya dianggap pemberontak. Nah, kesalahanmu jelas. Akan tetapi, Su Kiat, kami hanya ingin menangkapmu dan menyerahkanmu kepada Coan Ti-hu untuk membersihkan nama Cin-ling-pai."



"Tidak...! Teecu... teecu menerima hu-kuman Cin-ling-pai, akan tetapi teecu ti-dak mau diserahkan kepada pembesar laknat itu. Teecu dianggap menodai nama Cin-ling-pai, hal itu merupakan pelanggaran peraturan nomor tiga. Nah, biarlah teecu melakukan pelaksanaan hukuman itu!" Secepat kilat Su Kiat mencabut pedangnya dengan tangan kanan lalu membacok lengan kirinya sendiri.



"Crakkk...!" Lengan kiri Su Kiat terbabat buntung sebatas siku! Darah muncrat-muncrat dan dua orang sutenya yang berlutut di kanan kirinya memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Akan tetapi, Su Kiat sendiri melaksanakan hukuman itu dengan sikap gagah dan sedikitpun tidak mengeluh walaupun lengan kirinya buntung dan rasa nyeri menusuk jantung.



Wajah ketua Cin-ling-pai dan isterinya juga sedikitpun tidak membayangkan perasaan hati mereka. Bahkan pada wajah ketua Cin-ling-pai itu terbayang penyesalan dan dengan sikap dingin dia berkata, "Perbuatanmu itu adalah atas kehendakmu sendiri. Bagaimanapun juga, buntung atau tidak, engkau harus kuserahkan kepad Coan Ti-hu karena hal itu akan membersihkan nama Cin-ling-pai!"



"Tidak...! Suhu... suhu tidak... akan begitu kejam..." Si buntung itu terkejut memandang ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi ketua Cin-ling-pai itu dengan wajah dingin mengangguk seperti hendak menegaskan pendiriannya.



"Kalau begitu... lebih baik teecu mati...!" Berkata demikian, Su Kiat mempergunakan pedang yang masih berlumuran darah itu, membacok ke arah leher sendiri.



"Wuuuttt, plakkk... trangggg...!" Gerakan ketua Cin-ling-pai itu cepat bukan main. Tubuhnya yang tadinya duduk itu meloncat ke depan, kakinya menendang dan tangan yang memegang pedang itu sudah terkena tendangan sehingga pedang yang mengancam leher itu terpental dan terjatuh ke atas lantai mengeluarkan suara nyaring. Su Kiat terbelalak memandang kepada gurunya yang sudah berdiri di depannya. Sejenak ketua Cin-ling-pai itu menatap wajah murid yang dianggap bersalah itu, lalu dia mundur lagi, duduk di atas kursinya dengan sikap tenang.



"Siapa bersalah dan melanggar peraturan, dia harus menerima hukuman, tidak perduli apapun alasannya!" kata ketua Cin-ling-pai itu dengan wajah dan sikap keras.



Wajah Su Kiat yang tadinya pucat itu kini berubah merah dan matanya melotot. "Mulai saat ini, saya Ciang Su Kiat bersumpah tidak menjadi murid Cin-ling-pai lagi, dan nyawa saya adalah milik saya pribadi, kalau saya mau membunuh diri, siapa yang akan dapat menghalangi sa-ya!" Berkata demikian, laki-laki yang su-dah putus asa dan marah ini lalu meng-gerakkan tubuhnya hendak membenturkan kepalanya ke atas lantai!



"Jangan...!" Tiba-tiba berbareng dengan seruan ini, nampak bayangan berkelebat cepat bukan main dan tahu-tahu tubuh Su Kiat terangkat ke udara dan di lain saat tubuhnya sudah turun lagi bersama seorang pemuda yang gagah. Kiranya pemuda inilah yang tadi menyambar tubuh Su Kiat pada saat yang tepat sehingga menyelamatkan nyawa orang buntung yang sudah mengambil keputusan tetap bendak membunuh diri itu.



"Hui Song...!" Teriak isteri ketua Cin-ling-pai, wajahnya cantik dan yang sejak tadi nampak dingin saja itu, tiba-tiba berseri gembira dan sepasang matanya mengeluarkan sinar. Ia bangkit dari tempat duduknya. Nyonya ini memang berada dalam kedukaan besar karena selama ini ia sudah meragukan apakah puteranya itu masih hidup.



Hui Song cepat memberi hormat kepada ayah ibunya. "Ayah dan ibu, maafkan, aku akan membereskan urusan dengan Ciang-suheng ini. Ciang suheng, bunuh diri bukanlah cara yang baik bagi seorang gagah untuk mengatasi persoalan. Bahkan bunuh diri merupakan suatu perbuatan yang rendah dan pengecut." Dia lalu menotok pundak dan pangkal lengan kiri yang buntung itu, dan menerima obat dari seorang saudara seperguruan, mengobati luka itu dan membalutnya.



"Ambillah lengan buntungmu itu dan mari kita bereskan urusan ini dengan pembesar Coan tanpa Cin-ling-pai. Seorang gagah, berani berbuat harus berani bertanggung jawab!" Berkata demikian, Hui Song lalu menyambar tubuh Su Kiat yang sudah memungut lengan buntungnya dan sekali berkelebat diapun lenyap dari tempat itu bersama suhengnya yang sudah buntung lengannya.



"Hui Song, apa yang hendak kaulakukan?" Ayahnya membentak dan meloncat untuk mengejar, akan tetapi pemuda itu sudah tiba jauh di luar rumah dan hanya terdengar suaranya yang lirih, akan tetapi seolah-olah diucapkan di dekat telinga ketua Cin-ling-pai itu.



"Ayah, aku akan membantunya menyelesaikan urusannya tanpa campur tangan Cin-ling-pai, karena dia sekarang bukan murid Cin-ling-pai lagi."



Ketua Cin-ling-pai itu terkejut. Puteranya telah memperoleh kemajuan hebat dalam ilmu kepandaiannya. Suara yang dikirim dari jauh itu saja sudah sedemikian hebat, terdengar lirih namun jelas sekali dekat telinganya, tanda bahwa kini Hui Song telah mampu mempergunakan ilmu mengirim suara dari jauh secara hebat sekali, lebih hebat daripada kalau dia sendiri yang melakukannya. Pula, diapun sadar bahwa dengan sumpahnya tadi, Su Kiat telah menyatakan dirinya bukan lagi murid Cin-ling-pai. Kalau memang Su Kiat hendak menyelesaikan sendiri urusannya dengan pembesar Coan dan meyakinkan pembesar itu bahwa dia bu-kan lagi murid Cin-ling-pai, maka semua sepak terjangnya bukan lagi menjadi tanggung jawah Cin-ling-pai. Bagaimanapun juga, Cin-ling-pai sudah melakukan tindakan dan telah menghukum murid yang bersalah.



Diam-diam diapun merasa kagum melihat ketegasan sikap puteranya, yang hendak membantu Su Kiat menyelesalkan urusannya. Hanya dia kecewa melihat puteranya yang baru saja tiba setelah bertahun-tahun pergi tanpa berita, telah meninggalkannya lagi. Dia lalu membubarkan pertemuan itu dan mengundurkan di-ri ke dalam kamar bersama isterinya, menanti dengan hati tak sabar kembalinya Hui Song yang sudah amat lama me-reka rindukan itu.



Sore telah berganti malam ketika Hui Song berkelebat di atas genteng gedung tempat tinggal Coan Ti-hu yang berada di tengah kota Han-cung yang terletak di kaki Pegunungan Cin-ling-san. Gedung itu dijaga ketat di sekelilingnya oleh pasukan penjaga, namum mereka tidak dapat melihat gerakan Hui Song yang amat ce-pat bagaikan burung malam beterbangan itu.



Suasana sunyi di gedung besar itu ti-ba-tiba menjadi ribut ketika terdengar teriakan suara nyaring dari atas genteng.



"Coan Ti-hu, buka telingamu dan de-ngar baik-baik. Ini aku Ciang Su Kiat yang datang!"



Tentu saja para pengawal segera datang berlarian dan mereka menjadi panik sendiri. Setelah ada yang melihat dua -bayangan yang berdiri tegak di atas wu-wungan rumah, mereka berteriak-teriak dan sebentar saja bangunan itu dikurung. Tentu aaja Coan Ti-hu sendiri juga men-dengar teriakan itu, akan tetapi dia ti-dak berani keluar, bahkan memerintahkan agar para pengawal pribadinya menjaganya di dalam kamar dan dia memerintah para penjaga untuk menangkap pemberontak itu.



"Diam di bawah!" Su Kiat berteriak pula. "Dan biarkan pembesar laknat itu mendengar kata-kataku! Coan Ti-hu, engkau telah bertindak sewenang-wenang membunuh ayahku. Aku sendiri yang hendak membalas dendam telah dihukum oleh Cin-ling-pai, kehilangan sebelah lenganku! Ketahuilah bahwa semua perbuatanmu ini adalah urusan sendiri, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Cin-ling-pai. Orang she Coan, sekarang aku tidak berdaya, akan tetapi tunggu saja, akan datang saatnya aku membalaskan kematian ayahku dan buntungnya lenganku karena perbuatanmu!" Setelah berkata demikian, Su Kiat melemparkan potongan lengannya itu ke bawah. Lengan itu jatuh ke dalam ruangan dan semua pengawal memandang dengan jijik dan ngeri.



"Serang dengan anak panah!" bentak seorang komandan pasukan keamman dan belasan orang perajurit penjaga segera menghujankan anak panah ke arah dua bayangan di atas wuwungan itu. Akan tetapi, Hui Song sudah menghadang di depan tubuh suhengnya dan dengan kebutan-kebutan kedua tangannya dia meruntuhkan semua anak panah yang menyambar tubuh suhengnya dan dilarikannya suhengnya keluar kota Han-cung.



Di persimpangan jalan di lereng Pegunungan Cin-ling-san, Hui Song berhenti dan melepaskan tubuh suhengnya. "Ciang suheng, di sini kita berpisah. Bawalah ini untuk bekal dan engkau mengerti bahwa sejak sekarang, engkau tidak seharusnya naik lagi ke Cin-ling-san, dan jangan memperlihatkan diri di kota Han-cung dan sekitarnya. Engkau tentu menjadi buronan pemerintah."



Dengan tangan kanannya Su Kiat memeluk pemuda itu dan menangislah dia. "Sute... ah, sute... kalau tidak ada engkau, aku akan mati penasaran. Dan ilmumu sekarang demikian hebatnya. Akupun sekarang mempunyai cita-cita, sute. Aku akan mempelajari ilmu sampai tinggi agar aku dapat membalaskan kematian ayah dan juga membalaskan semua yang menimpa diriku kepada pembesar laknat itu. Sute, sampaikan maafku kepada suhu dan subo. Mereka telah begitu baik kepadaku, akan tetapi apa balasku? Hanya menyeret Cin-ling-pai ke dalam kesukaran saja. selamat tinggal, sute...!" Dan orang buntung itupun pergilah berlari-lari meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata haru oleh Hui Song. Dia dapat mengenal seorang jantan yang gagah perkasa. Suhengnya itu, Ciang Su Kiat, dia takkan merasa heran kalau suhengnya itu kelak dapat berhasil memenuhi cita-citanya dan muncul sebagai seorang yang pandai.



"Kasihan Ciang-suheng...!" Tak terasa lagi kata-kata ini keluar dari mulutnya seperti keluhan dan Hui Song menggeleng-geleng kepala, menghela napas.



"Seorang murid murtad seperti itu tidak perlu dikasihani!"



Mendengar suara orang yang tiba-tiba menyambut ucapannya tadi, Hui Song membalik dan memandang bayangan yang muncul dari balik batang pohon.



"Sumoi...!" tegurnya, kaget dan juga girang mengenal bahwa bayangan itu adalah Tan Siang Wi, murid ayah ibunya yang amat disayang sekali oleh ibunya. Sebelum dia mengikuti Dewa Kipas Siangkoan Lo-jin untuk mempelajari ilmu selama tiga tahun, pernah dia bertemu dengan sumoinya itu dalam perantauannya, ialah ketika dia menghadiri pesta ulang tahun Ang-kauwsu. Di tempat itu Tan Siang Wi ikut pula membantunya ketika dia dan Sui Cin menyelamatkan Jenderal Ciang yang diserbu oleh para datuk sesat. Ternyata kini Siang Wi telah berada di depannya, memandang tajam kepadanya dan di bawah sinar bulan yang baru muncul, wajahnya nampak cantik manis dan matanya bersinar-sinar.



"Suheng, setelah bertahun-tahun pergi baru engkau kembali! Betapa rinduku kepadamu!" Gadis itu lari mendekat dan memegang kedua tangan Hui Song.



"Sumoi, bagaimana engkau bisa berada di sini?" Hui Song bertanya, membiarkan kedua tangannya dipegang sambil menekan perasaan hatinya yang berdebar ketika dia merasa betapa tangan gadis itu lunak hangat dan jari-jari tangannya menggetar.



"Suheng, aku sengaja membayangimu ketika engkau mengajak pergi Ciang-suheng tadi. Aku melihat semua sepak terjangmu di gedung pembesar itu dan ah... betapa hebat engkau, suheng, aku kagum sekali kepadamu. Kepandaianmu kini amat hebat."



Hui Song melepaskan kedua tangannya dengan halus, kemudian tersenyum. "Kau terlalu memuji, sumoi. Kau sendiri sudah dapat membayangi kami tanpa kami ketahui, hal ini membuktikan bahwa engkau kini bertambah lihai saja. Tak kusangka bahwa engkau masih tinggal bersama ibu di Cin-ling-san."



"Habis, di mana lagi kalau tidak di Cin-ling-san bersama subo dan suhu?" tanya Siang Wi heran.



Hui Song tertawa. "Tentu saja di rumah... suamimu! Aku mengira bahwa engkau tentu sudah menikah, seperi banyak para suheng lainnya."



Pemuda itu tidak dapat melihat di bawah sinar bulan remang-remang betapa wajah gadis itu menjadi merah sekali, bukan merah karena malu saja, terutama sekali karena kecewa, marah dan penasaran.



"Suheng! Kenapa kau bisa berkata begitu, menyangka aku seperti itu?"



Mendengar suara yang bernada keras itu, Hui Song terheran. "Aih, sumoi, kenapa marah? Apa anehnya kalau aku mengira bahwa engkau sudah menikah? Usiamu hanya lebih muda dua tahun dariku dan mengingat bahwa aku sudah berusia dua puluh empat, sudah sepatutnya kalau engkau sudah menikah, bukan?"



"Bukan itu, suheng! Tapi ah... masih pura-pura tidak tahukah engkau bahwa selama tiga tahun ini aku selalu menantimu dengan penuh rindu? Lupakah engkau akan janji-janji kita di waktu kita masih remaja dulu, suheng? Suhu dan subo juga sudah setuju mengenai kita dan aku... aku selalu menunggu dengan hati rindu..."



Hui Song terbelalak, terkejut dan mundur tiga langkah melihat sumoinya membuat gerakan seperti hendak memegang tangannya atau merangkulnya itu. Dia teringat akan masa remajanya bersama Siang Wi. Mereka masih kekanak-kanakan ketika itu dan karena Siang Wi merupakan murid istimewa kesayangan ibunya, hubungan antara mereka memang akrab sekali. Dan ketika mereka bermain-main, setengah bergurau mereka memang pernah berjanji bahwa kelak mereka akan menjadi suami isteri. Pada waktu itu tentu saja dia tidak pernah mimpi bahwa pernikahan adalah sebuah urusan besar yang mutlak bersyaratkan cinta kasih kedua pihak. Dan dia tidak pernah mencinta sumoinya ini, bahkan semakin dewasa dia merasa tidak cocok dengan sumoinya yang berwatak galak, angkuh dan serius ini.



"Tapi... janji kanak-kanak... hanya main-main saja, sumoi."



"Suheng...! Apa maksud kata-katamu itu? Salahkah keyakinan hatiku selama ini bahwa... bahwa engkau cinta padaku seperti aku mencintaimu? Suhu dan subo sudah yakin pula akan hal ini!"



Hui Song terkejut. Tak disangkanya sudah sejauh ituurusan yang tadinya dianggap permainan kanak-kanak itu. Sumoinya selam ini, mungkin sejak anak-anak, mencintanya dan merasa yakin bahwa diapun mencinta gadis ini, dan ayah ibunya juga yakin dan setuju pula menjodohkan dia dengan Siang Wi. Ini bukan urusan kecil dan main-main lagi!



"Sumoi, jangan kita bicarakan hal itu sekarang di tempat ini. Aku sendiri belum pernah berpikir tentang perjodohan. Mari kita pulang!" Dan tanpa menanti jawaban dia sudah meloncat dan lari dari situ. Siang Wi juga meloncat dan mengejar, akan tetapi ia tertinggal jauh. Gadis itu mengerahkan tenaga dan ilmu gin-kangnya, mencoba untuk menyusul, akan tetapi tetap saja pemuda itu lenyap dengan cepat. Terkejutlah ia dan baru ia tahu bahwa ketika ia tadi membayangi Hui Song, ia dapat mengejar dan menyusul karena pemuda itu tidak mengerahkan kepandaiannya, mungkin karena bersama Su Kiat. Kini pemuda itu berlari cepat sekali dan sebentar saja sudah lenyap, membuat ia menjadi semakin kagum.



Ketika tiba di rumahnya, Hui Song disambut oleh ayah ibunya yang ternyata masih menantinya dengan hati gembira bercampur gelisah. Gembira melihat putera tunggal mereka itu pulang setelah merantau selama bertahun-tahun, dan gelisah melihat Hui Song bersikap membela kepada Su Kiat.



"Apa yang kaulakukan bersama Su Kiat?" tanya ketua Cin-ling-pai kepada puteranya yang telah berlutut di depan dia dan isterinya.



"Aih, biarkan dia beristirahat dulu!" isterinya mencela, kemudian wanita itu merangkul Hui Song menyuruh puteranya bangun dan duduk di atas kursi di sebelahnya. Sambil memegang tangan puteranya dan kedua matanya yang basah oleh air mata menatap wajah tampan itu penuh kasih sayang, wanita itu melanjutkan, "Hui Song, anak nakal kau, membikin hati ibumu gelisah selama bertahun-tahun! Ke mana saja engkau pergi tanpa berita selama ini?"



"Maaf, ibu. Aku pergi merantau, kemudian bertemu seorang sakti dan mempelajari ilmu selama tiga tahun."



"Hui Song," potong ayahnya, "mengenai perantauanmu itu, kauceritakan besok saja. Sekarang ceritakan dulu apa yang telah kaulakukan bersama Su Kiat."



"Ayah, Ciang-suheng secara jantan mengakui dengan suara keras di atas gedung Coan Ti-hu bahwa perbuatannya tidak ada sangkut-pautnya dengan Cin-ling-pai, bahwa dia bukan murid Cin-ling-pai."



"Hemm, engkau mencampurinya dan ikut mengacau gedung pembesar itu?" tanya ayahnya dengan alis berkerut.



"Tidak, ayah. Aku hanya mengantar dan melindungi Ciang-suheng sampai di sana. Setelah dia melemparkan potongan lengannya den meneriakkan kata-katanya, kami segera pergi."



Pada seat itu masuklah Siang Wi. Ia baru saja dapat menyusul Hui Song dan ia dapat mendengar keterangan pemuda itu.



"Benar, suhu," katanya cepat. "Suheng hanya melindungi Ciang Su Kiat ketika dia dihujani anak panah. Suheng meruntuhkan semua anak panah hanya dengan kebutan kedua tangannya, dan ketika dia mengerahkan gin-kangnya, teecu sama sekali tidak mampu menyusulnya. Dia kini lihai bukan main, suhu!"



Tentu saja Cia Kong Liang, ketua Cin-ling-pai itu den isterinya, merasa girang dan bangga sekali, akan tetapi Hui Song lalu digandeng ibunya yang berkata, "Sudahlah, kau harus beristirahat dulu, anakku. Mari lihat kamarmu, masih tidak berubah sejak dulu dan tiap hari kusuruh bersihkan."



Ketika rebah di atas pembaringannya, di dalam kamar yang amat dikenalnya itu, diam-diam Hui Song merasa terharu sekali. Orang tuanya, terutama ibunya, amat sayang kepadanya dan dia merasa begitu tenteram dan terlindung berada di kamarnya ini, merasa betah dan enak. Dia dapat tidur melepaskan lelahnya tanpa mimpi dan ketika pada keesokan harinya dia bangun, tubuhnya terasa segar sekali.



Hari itu, setelah makan pagi mereka semua, ketua Cin-ling-pai dengan isteri dan puteranya, dihadiri pula oleh Tan Siang Wi yang sudah dianggap sebagai keluarga sendiri, berkumpul di ruangan keluarga di belakang dan bercakap-cakap. Dalam kesempatan ini, Hui Song menceritakan semua pengalamannya yang dide-ngarkan dengan penuh perhatian oleh ayah bundanya dan sumoinya. Ketika dia bercerita tentang Sui Cin puteri Pende-kar Sadis yang menjadi temannya dalam menghadapi bermacam peristiwa hebat, Cia Kong Liang mengerutkan alisnya. Di dalam hatinya terasa tidak enak mende-ngar betapa puteranya bergaul dengan puteri Pendekar Sadis, bahkan dia dapat merasakan dalam kata-kata puteranya itu terkandung rasa kagum dan suka. Dia merasa tidak suka kepada Pendekar Sadis yang dianggapnya sebagai seorangpen pendekar berhati kejam sekali dan tidak menghendaki puteranya bergaul dengan keluar-ga itu. Memang ketua Cin-ling-pai dan isterinya itu sebelumnya sudah mendengar dari Siang Wi yang melaporkan bahwa Hui Song bergaul dengan puteri Pendekar Sa-dis dan mereka sudah merasa tidak senang, akan tetapi baru sekarang mereka mendengar pengakuan langsung dari Hui Song.



Ketika Hui Song bercerita tentang kakek sakti Dewa Kipas Siang-kiang Lo-jin, hati ayahnya tertarik sekali. Dia be-lum pernah mendengar nama itu, juga belum pernah mendengar kakek sakti yang berjuluk Dewa Arak Wu-yi Lo-jin. Dan mendengar bahwa puteranya mendapatkan gemblengan ilmu selama tiga ta-hun dari kakek sakti Dewa Kipas dia ikut merasa gembira. Akan tetapi ketika Hui Song bercerita tentang Raja dan Ra-tu Iblis yang menghimpun para datuk un-tuk melakukan pemberontakan kelak, mendengar betapa oleh gurunya itu Hui Song ditugaskan untuk membantu para pende-kar menentang gerakan para calon pemberontakan, ketua Cin-ling-pai mengerut-kan alisnya.



"Hui Song, aku tidak setuju kalau engkau mencampuri urusan pemerintah! Se-jak dulu Cin-ling-pai adalah perkumpulan para pendekar dan kita hanya bertindak sebagai seorang pendekar pembela kebenaran dan keadilan, bukan bertindak menjadi pembela kaisar atau sebaliknya! Biarkan urusan pemerintahan dibereskan oleh para pejabat, itu adalah kewajiban dan urusan mereka sendiri, kita tidak perlu mencampurinya."



"Akan tetapi, ayah! Mana mungkin kita berdiam diri kalau melihat ada komplotan busuk merencanakan pemberontakan terhadap kaisar?" Hui Song membantah.



"Hemm, mana kita tahu siapa sebetulnya yang busuk? Apakah engkau tidak mendengar betapa kaisar yang muda itu hanya mengutamakan kesenangan dan beliau dikelilingi pembantu-pembantu yang amat busuk dan korup? Sudahlah, tidak pernah kita mencampurinya dan serahkan saja kepada mereka, baik para pejabat maupun mereka yang tidak puas dan ingin memberontak. Kita tidak perlu mencampuri, dan aku tidak suka melihat engkau mencampuri urusan pemerintahan dan pemberontakan!"



"Akan tetapi, ayah, bukankah sudah menjadi tugas kewajiban para pendekar untuk menentang semua kejahatan yang akan mengacaukan kehidupan rakyat, menjaga agar masyarakat dapat hidup tente-ram?"



"Benar, karena itu kita tidak boleh mencampuri urusan pemberontakan dan urusan pemerintahan."



"Akan tetapi, mana mungkin ada ke-tenteraman kalau terjadi pemberontak-an?"



"Pemerintah sudah mempunyai pasu-kan yang kuat. Apa gunanya pemerintah mengeluarkan banyak biaya untuk membentuk bala tentara? Kalau terjadi pem-berontakan, pemerintah tentu akan me-numpasnya dengan kekuatan tentaranya."



"Justeru itulah, ayah. Sebelum terjadi perang yang hanya akan menyengsarakan kehidupan rakyat bukankah lebih baik ka-lau para pendekar turun tangan menen-tang komplotan yang hendak memberon-tak itu?"



"Hemm, bagaimana kalau kaisarnya yang tidak baik? Bagaimana kalau peme-rintahnya yang tidak baik?" Ketua Cin-ling-pai itu membantah. "Dengan campur tanganmu itu, bukankah berarti engkau akan membantu pihak yang tidak benar? Sudah, jangan mencampuri urusan peme-rintah, itu bukan tugas kita sebagai pen-dekar!"



"Ayahmu benar, Hui Song. Pemerintah belum tentu selamanya betul, dan kalau ada yang memberontak, itu tentu disebabkan karena pemerintah tidak benar. Ka-lau kita selalu membela pemerirtah, ber-arti kita tersesat kalau membantu pemerintah yang tidak benar," sambung ibunya.



"Ayah dan ibu, harap maafkan kalau aku terpaksa membantah. Pemerintah terdiri dari orang-orang juga, manusia-ma-nusia biasa yang tidak akan bebas dari-pada kesalahan-kesalahan. Akan tetapi, pemerintah tidak terlepas dari kita. Kita adalah warga negara yang membentuk masyarakat dan bangsa. Tanpa warga ne-gara, tidak akan ada pemerintah karena para pejabat juga warga negara yang terpilih untuk mengurus negara. Kalau pemerintahnya tidak baik, akibatnya rakyat pula yang menanggung, sebaliknya kalau pemerintah dipegang oleh orang-orang bi-jaksana dan berjalan dengan baik, rakyat pula yang akan makmur. Kalau pemerin-tahan tidak benar, dan orang-orang yang mengemudikannya menyeleweng, hal itu merupakan tugas para warga negara pula untuk mengawasinya, mengeritik dan memprotesnya. Tanpa pengawasan, tanpa kritik, mana mungkin orang-orang pemerintah akan menyadari kekeliruan-kekeliruannya? Kalau pemerintah bersalah, bukan cara yang baik untuk menimbulkan pem-berontakan dan merebut kekuasaan, ka-rena yang merebut kekuasaan itupun be-lum tentu benar, hanya kelihatannya saja benar karena kebetulan pemerintah yang dihadapinya dalam keadaan tidak benar! Jadi, baik atau buruk keadaan pemerin-tah, tetap saja kita, terutama para pen-dekar, mempunyai tugas untuk menjaga keamanan negara dari gangguan luar yang berupa pemberontakan."



Hui Song yang kini sudah banyak mendengar dari Dewa Kipas tentang kepatri-otan dan kependekaran, bicara penuh semangat. Akan tetapi ayahnya melambaikan targan dengan tidak sabar, seolah-olah mendengarkan ocehan seorang anak kecil saja-.



"Hayaaa, Hui Song. Perlu apa engkau memusingkan pikiran dan merepotkan diri sendiri? Aku juga sudah banyak mendengar tentang kaisar yang masib seperti kanak-kanak itu! Kabarnya dia hanya mabok kesenangan dan roda pemerintahan diserahkan kepada para thaikam yang lalim. Dengan demikian, para pembesar korup merajalela, memeras rakyat dan bertindak sewenang-wenang, hanya menggendutkan perut sendiri tanpa memperdulikan keadaan rakyat yang sengsara. Maka kalau ada yang hendak memberontak, hal itu sudah wajar saja. Tidak perlu kita membantu pemerintahan yang buruk seperti itu, karena hal itu berarti kita membantu tegaknya kelaliman yang menggencet rakyat!"



"Tidak ayah, aku tidak setuju! Peme-rintah dalam bahaya, diancam gerombolan penjahat yang hendak memberontak. Inilah yang terpenting. Aku harus membantu para pendekar menghalau bahaya ini lebih dahulu. Barulah kemudian kita bertindak mengoreksi kesalahan-kesalahan pemerintah. Bukankah aku sudah pula membantu sehingga pembesar korup Liu-thaikam terbongkar rahasianya dan tertangkap? Kalau pemerintah sudah aman dari ancaman pemberontakan, baru kita mengadakan perbaikan-perbaikan dengan menentang para pembeser korup. Apalagi kalau diingat bahwa pemberontakan kali ini dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis yang mengumpulkan para datuk sesat, sisa-sisa dari Cap-sha-kui dan para datuk sesat lainnya."



"Cukup! Aku tidak mau bicara lagi tentang pemberontakan dan..." Pada saat itu terdengar ketukan pintu dan ketua Cin-ling-pai itu menghentikan ucapannya dan menyuruh murid yang mengetuk pin-tu itu masuk. Seorang murid masuk memberi tahu bahwa di luar ada tamu.



"Bin-locianpwe datang berkunjung," katanya.



Mendengar bahwa ayahnya datang ber-kunjung, Bin Biauw isteri ketua Cin-ling-pai itu meloncat bangun dengan wajah gembira. Mereki semua menyongsong keluar dan dengan gembira kakek itu disambut dan dipersilakan duduk di ruangan dalam. Kembali keluarga ketua Cin-ling-pai itu, ditemani oleh Tan Siang Wi dan sekali ini ditambah lagi dengan ayah mertua sang ketua, berkumpul di dalam ruangan.



Kakek itu sudah tua sekali, usianya sudah delapan puluh tahun lebih, namun tubuhnya masih nampak sehat berisi. Bentuk tubuhnya pendek tegap, kepalanya botak dan hampir gundul. Sedikit rambut yang menghias di belakang kepalanya su-dah berwarna putih semua. Inilah dia to-koh persilatan yang pernah merajai laut-an timur dan berjuluk Tung-hai-sian (De-we Lautan Timur), seorang berbangsa Jepang yang tadinya bernama Minamoto kemudian berobah menjadi Bin Mo To. Kakek ini dahulu merupakan seorang datuk kaum sesat yang amat terkenal, menguasai wilayah timur di sepanjang pantai laulan. Akan tetapi setelah puterinya, Bin Biauw yang merupakan anak tunggalnya, berjodoh dengan keluarga Cia dari Cin-ling-pai, dia mencuci tangan dan meninggalkan julukannya, bahkan membubarkan perkumpulan Mo-kiam-pang yang dipimpinnya. Dia cukup kaya sehingga biarpun meninggalkan segala macam pe-kerjaan haram, dia masih dapat hidup berkecukupan, di kota Ceng-to di Propin-si Shan-tung.



Melihat Hui Song, kakek itu merang-kulnya, lalu memegang kedua pundak pe-muda itu, mendorongnya agar dia dapat melihat lebih jelas, lalu dia tertawa ber-gelak dengan gembira sekali.



"Ha-ha-ha, engkau cucuku Hui Song! Ahh, engkau sudah menjadi seorang laki-laki jantan yang amat gagah. Bagus, be-gus, aku bangga sekali. Berapa usiamu sekarang, Hui Song?"



"Dua puluh empat tahun, kek."



Kakek itu menggerakkan alisnya yang putih. "Apa? Dua puluh empat tahun dan engkau

belum kawin?" Dia menoleh ke-pada Siang Wi, lalu menuding. "Apakah dia ini...?"



Wajah Hui Song menjadi merah. "Tidak, kek, aku belum menikah."



"Aih, bagaimana ini?" Kakek itu me-noleh kepada anaknya den mantunya. "Sudah dua puluh empat tahun dan belum menikah? Aku sudah ingin melihat cucu buyutku."



"Mana ada waktu untuk memikirkan pernikahan?" Bin Biauw mengomel. "Wak-tunya dihabiskan untuk merantau dan bertualang saja, ayah. Dia baru saja pulang kemarin dari perantauannya yang mema-kan waktu hampir empat tahun!"



"Ha-ha-ha, merantau den bertualang amat baik bagi seorang pemuda untuk menambah pengalaman dan meluaskan pengetahuan. Akan tetapi, menikah juga perlu sekali untuk menyambung keturun-an," kata kakek itu.



"Aku juga berpikir begitu, ayah, bah-kan muridku ini merupakan calon mantu yang amat baik."



Bin Mo To memandang wajah gadis yang manis itu, yang kini menunduk malu-malu dan dia mengangguk-angguk. "Engkau tentu lebih pandai memilih..." katanya.



"Aku belum memikirkan tentang pernikahan!" Hui Song berkata, nada suara-nya jengkel.



"Nah, itulah ayah, cucumu yang keras kepala. Kalau diajak bicara tentang pernikahan, nampak tidak senang, dan senangnya hanya bicara tentang pemberontakan dan petualangan saja," kata Bin Biauw.



"Pemberontakan? Apa yang dimaksudkan dengan pemberontakan? Siapa yang hendak memberontak?" Kakek itu bertanya dengan penuh perhatian, agaknya dia tertarik sekali.



"Entahlah, katanya para tokoh hitam ingin melakukan pemberontakan terhadap kerajaan dan dia berkeras hendak menen-tang komplotan itu."



Kakek itu menarik napas panjang. "Ahh... sungguh berbahaya sekali...!" kakek itu berkata, memandang kepada mantunya dengan mata penuh tanda tanya.



"Saya sudah melarangnya, ayah. Cin-ling-pai tidak pernah mencampuri urusan pemerintah," kata Cia Kong Liang.



Kakek itu mengangguk-angguk, lalu memandang kepada Hui Song yang diam saja. "Hui Song, benarkah bahwa engkau bermaksud membantu kaisar dan menen-tang mereka yang hendak memberontak terhadap kaisar?"



Pemuda itu mengangguk, mengharap bantuan kakeknya dalam hal ini untuk menghadapi kekakuan ayahnya. "Kong-kong, dalam perantauanku aku melihat dan mendengar sendiri adanya para datuk kaum sesat yang dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis, yang merencanakan pemberon-takan terhadap kaisar. Tidak benarkah kalau aku membantu pihak yang akan melindungi kerajaan dan menentang usaha pemberontakan itu?"



"Ha-ha-ha, tentu saja, cucuku. Engkau benar, dan searang pendekar memang se-patutnya kalau berjiwa pahlawan, mem-bela negara nusa dan bangsa. Akan teta-pi hal ini harus pula diperhitungkan dan dilihat kenyataan bagaimana sifat kaisar atau pemerintah yang dipimpinnya, bagaimana keadaan orang-orang yang meme-gang tampuk pimpinan itu! Kalau mereka itu lalim, kalau mereka itu menjadi pe-nindas rakyat, apakah kita sebagai pen-dekar dan pahlawan juga harus membela kelaliman?"



"Nah, dengarkan ucapan kong-kongmu itu Hui Song!" kata Cia Kong Liang. "Terdapat kebijaksanaan dalam kata-kata itu!"



"Akan tetapi, mereka yang hendak memberontak itu adalah datuk-datuk se-sat yang amat jahat, kong-kong!" Hui Song membantah.



Kakek itu tersenyum sabar. "Cucuku, engkau harus dapat membagi-bagi antara pejuangan para pahlawan dan perjuangan para pendekar. Pendekar adalah pembela kebenaran dan keadilan perorangan saja, karena itu dia memang harus memilih mana yang baik mana yang jahat, untuk membela yang baik dan menentang yang jahat. Akan tetapi dalam perjuangan pa-ra pahlawan berbeda lagi. Dalam per-juangan itu, untuk sementara sifat-sifat pribadi perorangan tidak masuk hitungan lagi, yang penting adalah membela nusa bangsa dan kepentingan rakyat banyak."



"Jadi... dengan kata lain, kong-kong membenarkan para datuk sesat yang hendak memberontak itu?"



Kakek itu tetap tersenyum ramah. "Sudah kukatakan tadi, dalam hal ini kita harus memejamkan mata untuk sementara terhadap sifat-sifat pribadi karena hal itu mengenai urusan negara. Yang penting kita melihat keadaan mereka yang memegang tampuk kekuasaan. Bagaimanakah keadaannya? Sepanjang pendengaranku, biarpun kini Liu-thaikam telah tertangkap dan tewas, namun keadaan kergjaan masih penuh dengan kotoran. Hanya beberapa orang menteri saja dan beberapa orang jenderal, yang merupakan pejabat-pejabat bersih. Lainnya bertangan kotor dan semua ini tidak terlepas dari tanggung jawab kaisar. Sri baginda kaisar masih terlalu muda dan terlalu membiarkan dirinya dimabok kesenangan, tidak memperdulikan pemerintahan. Kalau keadaan ini dibiarkan berlarut-larut, maka rakyatlah yang akan menderita. Oleh karena itu, kalau terjadl pemberontakan, hal itu kuanggap wajar, sebagai akibat dari tidak baiknya pemerintahan. Bukan berarti bahwa aku membenarkan para pemberontak, akan tetapi jelas bahwa pemerintahan seperti keadaannya sekarang tidak patut memperoleh bantuan para pendekar yang berjiwa patriot!"



"Akan tetapi, kong-kong, bukankah sejak jaman dahulu yang disebut orang gagah dan patriot itu adalah orang-orang yang setia kepada kerajaan dan membela pemerintah mati-matian? Bukankah orang orang seperti itu akan selalu menentang pemberontakan?"



"Hui Song, engkau belum mengerti!" bentak ayahnya. "Seorang patriot adalah seorang gagah yang membela rakyat, membela nusa bangsa! Kalau pemerintahannya baik dan mengangkat nasib rakyat jelata, maka patriot tentu akan membela pemerintah itu mati-matian karena berarti membela rakyat pula. Sebaliknya, kalau pemerintahnya lalim dan dia membantu pemerintah, berarti dia membantu kelaliman dan ikut pula menindas rakyat. Yang seperti ini namanya bukan pahlawan, bukan patriot, melainkan antek-an-tek pembesar lalim!"



"Akan tetapi, ayah. Yang namanya pemberontak itu, sejak dahulu, bukankah dikutuk dan dianggap pengkhianat dan jahat?"



"Belum tentu! Tidak semua pemberontak jahat. Kalau orang memberontak ter-hadap pemerintah yang baik, maka jelas bahwa dia jahat dan pamrihnya untuk mencari keuntungan. Akan tetapi kalau dia memberontak terhadap pemerintah yang lalim, dia tidak dapat dinamakan jahat."



"Tapi pemberontak mengobarkan api perang saudara dan mengorbankan banyak harta milik dan nyawa rakyat jelata!"



"Itu pengorbanan untuk mencapai sesuatu yang lebih baik!" Kakek Bin Mo To menjawab cepat. "Untuk dapat membangun sesuatu yang lebih baik, kita harus berani membongkar yang lama dan buruk dan hal ini selalu mendatangkan pengorbanan. Cucuku, ingat bahwa dalam setiap pergantian kekuasaan, calon kaisar yang setelah menjadi kaisar melakukan perbaikan-perbaikan dan bertindak bijaksana, ta-dinya adalah seorang pemberontak pula terhadap kekuasaan lama yang lalim."



Hui Song termenung. Kewalahan juga dia dikeroyok oleh ayah dan kong-kongnya, dan kini timbul keraguan dalam hatinya. Gerombolan yang hendak membe-rontak itu dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis, yang dia ketahui jahat hanya dari pendengaran saja. Akan tetapi Raja Iblis itu adalah seorang bekas pangeran, jadi, bukan tidak mungkin kalau pemberontak-annya itu didorong oleh jiwa patriot untuk menghalau kaisar dan antek-anteknya yang tidak memperdulikan nasib rakyat. Dia menjadi bingung, bimbang dan ragu, lalu mengundurkan diri dan menyendiri dalam kamarnya.



Pahlawan! Patriot! Dari manakah la-hirnya sebutan ini dan apakah sesungguh-nya arti sebutan itu? Pada umumnya, pe-ngertian kata pahlawan adalah orang yang berjasa terhadap nusa dan bangsa, namanya diagungkan dan dihormati, dicatat dalam sejarah bahkan kadang-kadang diperingati, walaupun hanya sekali setahun dan hanya makan waktu beberapa menit saja. Akan tetapi benarkah demikian? Benarkah bahwa seorang pahlawan itu dianggap pahlawan oleh seluruh lapisan masyarakat, oleh seluruh bangsa? Ataukah hanya oleh satu golongan saja, satu kelompok saja karena orang yang berjasa itu menguntungkan atau membantu golongannya, kelompoknya? Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa yang dipuja dan diagungkan sebagai pahlawan hanyalah mereka yang dianggap berjasa terhadap golongan yang pada saat itu kebetulan menjadi pemenang saja, kebetulan memegang kekuasaan saja. Bagaimana dengan mereka yang dahulu dianggap berjasa kepada nusa bangsa oleh golongan lain yang dikalahkan oleh golongan yang kini berkuasa? Mereka sama sekali tidak dinamakan pahlawan, bahkan sebaliknya, dicap sebagai "pengkhianat"! Inilah kenyataan pahit yang harus dapat kita hadapi dengan mata terbuka. Lihatlah keadaan di seluruh dunia. Bukankah demi-kian pula? Tokoh-tokoh yang tadinya di-anggap pahlawan dan patriot terbesar sekalipun, kalau sekali waktu yang meme-gang kekuasaan adalah pihak yang pernah menjadi lawannya, maka tokoh-tokoh ini lalu dicap pengkhianat, yang masih hidup lalu ditangkap dan kadang-kadang ada pula yang dibunuh, yang sudah mati akan diejek dan dihina namanya! Dan ini bu-kan terjadi antara bangsa, melainkan di dalam negeri, antara golongan satu bang-sa yang berlainan golongan, berlainan co-rak pendapat dan gagasannya. Yang ta-dinya oleh satu golongan diagungkan se-bagai pahlawan, oleh golongan lain yang menang dan berkuasa sebagai lawan go-longan pertama, dicap pengkhianat dan jahat. Sebaliknya, orang yang oleh golongan pertama tadinya dicap pengkhianat dan pemberontak, setelah golongan orang itu menang, dia akan dipuja sebagai pah-lawan, patriot dan sebagainya.



Jelaslah bahwa manusia telah menjadi boneka permainan gagasan mereka sendi-ri, saling bertentangan, bermusuhan, bu-nuh-membunuh. Dan seperti biasa, hanya beberapa gelintir orang saja yang duduk di atas mendalangi semua itu, mempergunakan nama rakyat, menyanjung dan memuji rakyat di waktu mereka sedang berjuang untuk merebut kekuasaan dari tangan pihak lawan yang berkuasa, demi memperoleh dukungan dan bantuan rakyat. Para pejuang dari golongan manapun, yang sedang berusaha menumbangkan kekuasaan yang dianggap lalim, selalu menggunakan nama rakyat sebagai perisai dan senjata untuk mencapai kemenangan. Demi rakyat, untuk rakyat, demikian semboyan usang yang diulang-ulang sepanjang sejarah. Dan rakyatpun terbujuk, terpukau, tergugah semangatnya mmbantu para "patriot yang berjuang demi keadilan dan kebenaran, demi rakyat" itu. Akan tetapi bagaimanakah kalau perjuangan itu sudah berhasil baik dan selesai? Lagu lama! Sekelompok orang yang berada di tingkat atas itulah, bersama para pembantunya, yang akan menikmati hasil kemenangan itu. Mereka akan berkuasa membagi-bagi kedudukan seperti orang membagi-bagi warisan di antara mereka. Dan rakyat? Rakyat yang paling menderita, berkorban menyerahkan harta milik dan darah dalam perjuangan merebut kekuasaan itu? Lagu lama pula! Rakyat hanya menerima janji-janji sedangkan yang mati akan diperingati setahun sekali untuk beberapa menit. Tapi, apa yang dapat dilakukan rakyat terhadap golongan yang berkuasa? Di mana-mana yang berkuasa itu sama saja. Tidak mau salah, tidak mau kalah, apa pula mengalah. Yang menentang, walaupun dia dahulu membantu dalam perjuangan, akan dicap pengacau dan pemberontak. Hal ini dapat dibuktikan dan dilihat dalam sejarah.



Rakyat tertekan lagi. Lalu muncul lagi golongan baru yang kembali mengulang sejarah usang. Mereka yang baru muncul ini, seperti dahulu, seperti mereka yang kini berkuasa, akan menggandeng rakyat untuk menentang mereka yang kini berkuasa, menuduh pemerintah lalim dan kembali semboyan usang demi rakyat, demi keadilan dan kebenaran, terulang lagi!



Berbahagialah rakyat kalau ada sekelompok pemimpin yang berjuang dengan dasar demi rakyat secara murni, bukan demi rakyat sebagai semboyan dan slogan kosong belaka. Kalau ada sekelompok pemimpin seperti itu, yang tidak mementingkan diri pribadi, tidak hanya mendahulukan kemuliaan, kekayaan dan kesenangan diri pribadi, melainkan para pemimpin yang benar-benar berjuang dan berusaha demi kepentingan rakyat, maka negara itu pasti akan makmur dan rakyat pasti akan hidup dengan tenteram dan makmur.



Malam itu Hui Song tak dapat tidur, gelisah dicekam keraguan dan kebingungan. Sebagai seorang muda, dia merasa penasaran dan ingin menyelidiki sendiri. Ingin dia melihat sendiri siapakah yang benar. Pendapat ayah ibu dan kakeknya, ataukah pendapat Dewa Kipas dan golongannya? Dia harus pergi, sekarang juga, untuk melakukan penyelidikan sendiri.



Pada keesokan harinya, ketua Cin-ling-pai dan isterinya hanya menemukan sesampul surat di dalam kamar Hui Song. Dalam surat itu Hui Song mohon maaf dari ayah ibunya dan bilang bahwa dia ingin melakukan penyelidikan tentang usaha pemberontakan yang dipimpin para datuk sesat itu. "Saya akan menyelidiki dengan seksama sebelum mengambil keputusan apa yang akan saya lakukan terhadap pemberontakan itu," demikian Hui Song mengakhiri suratnya.



"Anak bandel!" Cia Kong Liang mengepal tinju dengan marah, dan isterinya menangis. Anak tunggal yang baru saja tiba setelah pergi bertahun-tahun, hanya semalam saja tinggal di rumah lalu pergi lagi tanpa pamit, entah ke mana.



"Ah, sudahlah. Tidak aneh kalau putera kalian haus akan petualangan. Bukankah kematangan seorang pendekar juga hanya bisa didapat melalui pengalaman? Biarkan Hui Song memperdalam pengetahuannya dalam perantauan," kata Bin Mo To menghibur.



"Tapi, ayah. Aku ingin melihat dia menikah atau setidaknya bertunangan dulu dengan muridku Siang Wi. Eh, mana Siang Wi...?" Isteri ketua Cin-ling-pai itu memanggil-manggil muridnya, akan tetapi tidak nampak bayangan Siang Wi. Ketika para murid Cin-ling-pai ditanya, mereka mengatakan bahwa sejak pagi mereka tidak pernah melihat Hui Song maupun Siang Wi.



"Jangan-jangan muridmu itu pergi bersama puteramu," kata Bin Mo To.



"Entahlah... akan tetapi baik sekali kalau memang begitu. Aku senang sekali kalau mereka pergi berdua meluaskan pengalaman. Kuharap saja dugaanmu itu benar, ayah," kata Bin Biauw.



Selanjutnya, dalam percakapan di antara mereka, kakek Bin Mo To perlahan-lahan membujuk mantunya untuk mendukung setiap perjuangan menentang kaisar.



"Setiap usaha menentang pemerintahan yang buruk patut didukung oleh orang orang gagah. Dan perjuangan menentang kelaliman, siapapun juga yang memimpin perjuangan itu, adalah usaha yang benar dan baik," antara lain Bin Mo To berkata dengan nada suara serius.



Mendengar ucapan ayahnya dan melihat sikap ayahnya sejak kemarin jelas mendukung pemberontakan terhadap kaisar, Bin Biauw mengerutkan alisnya dan memandang ayahnya dengan heran.



"Ayah, ada apa pulakah ini? Bukankah sejak puluhan tahun, semenjak aku menikah, ayah telah meneuci tangan dan tidak ingin mencampuri lagi segala urusan dunia? Kenapa kini tiba-tiba saja ayah begitu menaruh perhatian terhadap usaha pemberontakan itu dan mendukungnya?"



Bin Mo To tersenyum. Anaknya ini memang cerdik sekali dan agaknya sudah amat mengenal gerak-geriknya. Memang tepat sekali apa yang diduga dan ditanyakan Bin Biauw tadi. Dia memang menaruh perhatian besar, bahkan mendukung gerakan itu. Kiranya, gerakan yang dipimpin Raja dan Ratu Iblis, setelah diadakan pertemuan antara para datuk sesat, telah mengguncangkan dunia kaum sesat. Berita itu disambut dengan ramai dan di daerah Ceng-tao juga terguncang oleh berita itu. Biarpun Bin Mo To sudah lama mengundurkan diri dari dunia kang-ouw, akan tetapi dia tetap saja dikenal dan disegani oleh para tokoh hitam di wilayah pantai timur. Bekas kawan-kawan kakek itu datang berkunjung dan urusan gerakan pemberontakan itu mereka bicarakan. Mendengar bahwa gerakan itu dipimpin Raja Iblis yang sesungguhnya juga seorang pangeran bernama Toan Jit-ong, dan memperoleh dukungan Cap-sha-kui dan sebagian besar para datuk dan tokoh sesat, Bin Mo To tertarik sekali. Dia sendiri sudah tua akan tetapi dia ingat akan mantunya. Dia sama sekali tidak ingin menentang kerajaan karena bujukan atau karena paksaan, melainkan ada suatu hal yang mendorongnya. Dia sudah muak akan kekayaan yang dirasakannya tidak mampu mendatangkan kabahagiaan. Kini dia ingin melihat mantunya, sebagai suami anaknya, dapat meraih kedudukan. Kalau orang seperti mantunya, ketua Cin-ling-pai, dapat ikut membantu perjuangan, dan kelak kalau pemberontakan itu berhasil, tentu mantunya akan memperoleh pangkat tinggi. Dan anaknya akan terangkat dalam kemuliaan, juga dia sebagai mertua akan ikut pula naik derajatnya! Inilah sebabnya mengapa Bin Mo To datang mengunjungi mantunya dan kebetulan sekali cucu dan mantunya bicara tentang pemberontakan. Kini dia memperoleh jalan untuk membujuk mantunya.



"Anakku, ayahmu ini sudah tua, mana ada tenaga lagi untuk ikut berjuang? Perjuangan adalah untuk yang muda-muda. Akan tetapi, aku hanya dapat mendukung dalam batin. Dan siapa yang tidak akan mendukung perjuangan menumbangkan kekuasaan lalim karena hal itu berarti membebaskan rakyat dari kelaliman pemerintah?" demikian dia menjawab pertanyaan-pertanyaan puterinya tadi.



"Akan tetapi, sepanjang pendengaran saya, Kaisar Ceng Tek bukan seorang kaisar lalim, hanya masih terlalu muda sehingga dia lemah dan mudah dipermainkan oleh para pejabat tinggi yang membantunya," kata Cia Kong Liang.



Kakek itu mengangguk-angguk. "Mungkin benar, akan tetapi kalau dia lemah dan membiarkan para pejabat merajalela dengan kelaliman mereka, apa bedanya? Tetap saja rakyat yang tertindas, dan hal itu berarti bahwa kaisar yang bersalah karena dia harus bertanggung jawab atas kelaliman para pembantunya." Bin Mo To terus membujuk mantunya, dan dibantu oleh Bin Biauw yang memihak ayahnya, akhirnya Cia Kong Liang tertarik juga dan berjanji akan memban-tu kelak kalau saatnya telah tiba.



***



Hati Hui Song masih diliputi rasa pe-nasaran dan dia nampak termenung keti-ka dia berjalan seorang diri melalui ja-lan raya yang kasar dan sunyi itu. Hari itu amat panas dan perutnya terasa amat lapar. Tengah hari sudah lewat dan du-sun di depan sudah nampak genteng-gen-tengnya.



Sudah tiga hari dia meninggalkan Cin-ling-san dan kini Gunung Cin-ling-san sudah tertinggal jauh di belakang, hanya nampak puncaknya saja dari situ. Dia merasa penasaran dan gelisah. Benarkah ayahnya dan kakeknya dan salahkah gurunya Si Dewa Kipas, juga Dewa Arak yang menjadi guru Sui Cin? Benarkah ayah dan kakeknya bahwa pemerintah tidak baik dan sudah sepatutnya kalau ditumpas? Akan tetapi... membantu gerakan gerombolan seperti Cap-sha-kui itu? Ah, tidak mungkin dapat dia lakukan! Orang-orang seperti mereka itu amat jahat dan perjuangan murni bagaimanapun yang menjadi alasannya, dia tidak sudi bekerja sama dengan kaum sesat itu. Dan diapun yakin bahwa Sui Cin juga tidak mungkin sudi membantu para datuk hitam itu. Bagaimanapun juga, dia tidak boleh sembrono, tidak boleh secara membuta membenarkan satu pihak saja tanpa penyelidikan sendiri. Dia tahu bahwa kaisar memang dikelilingi pembesar lalim dan korupsi merajalela di seluruh negeri. Setiap orang pejabat disangsikan kejujurannya karena terlalu banyak pejabat yang mempergunakan hak dan kekuasaannya untuk menindas dan untuk mengeruk kekayaan bagi diri sendiri. Pada jaman itu, sukarlah ditemukan pejabat yang jujur dan benar-benar merupakan pelindung rakyat. Dan memang sudah menjadi kewajiban seorang pendekar untuk menentang kebobrokan ini, akan tetapi dia sangsi apakah tepat kalau dia membantu pem-berontakan para datuk sesat, walaupun pemberontakan itu berdalih mengenyahkan pemerintah lalim. Sukar dia memba-yangkan sebuah pemerintahan baru yang lebih baik kalau kekuasaan berada di ta-ngan para datuk sesat!



Dia sudah mendekati dusun di depan ketika terdengar derap kaki kuda dari a-rah belakangnya. Hui Song cepat minggir karena jalan itu sempit, memberi kesem-patan kepada si penunggang kuda untuk lewat lebih dulu. Dan ternyata kuda itu lewat dengan cepat di sampingnya, seekor kuda yang besar dan baik. Hui Song dapat mengenal kuda baik, akan tetapi begitu penunggang kuda lewat di sampingnya, hidungnya mencium bau yang harum sekali, membuat dia memperhatikan si penunggang kuda. Seorang wanita muda yang berwajah cantik, bertubuh ramping dengan pakaian yang sederhana potongan-nya namun bersih dan baru dan minyak wangi yang dipergunakan wanita itu sungguh harum. Wajah gadis ini mengingatkan Hui Song kepada Sui Cin karena memiliki ciri kecantikan yang sama. Rambutnya hitam panjang, berjuntai di punggung dan diikat pita merah. Bagian atasnya yang tidak tertutup menjadi kusut karena tiupan angin, namun kekusutan itu tidak mengurangi kecantikannya, bahkan me-nambah manis. Sebatang bunga putih menghias di atas telinga kirinya. Telinganya memakai anting-anting emas dan se-lain itu tidak ada perhiasan menempel di tubuhnya. Yang membuat gadis itu nam-pak lebih manis adalah sebuah tahi lalat hitam yang menghias di atas dagu sebe-lah kiri, agak di bawah mulut. Dan ke-tika gadis itu mengerling ketika lewat, Hui Song merasa jantungnya berdebar. Lirikan itu sungguh tajam dan mengan-dung banyak arti, lirikan yang dapat di-katakan genit memikat! Lirikan yang di-hiss senyum membayang pada bibir yang tipis merah membasah itu. Dan ketika kuda itu sudah lewat, dari belakang Hui Song dapat melihat betapa gadis itu me-miliki pinggang yang amat ramping dan pinggulnya menari-nari di atas punggung kudanya ketika kuda itu berlari congklang.



Agak sukar menduga orang macam apa adanya gadis itu. Usianya tentu tidak kurang dari dua puluh empat tahun. Melihat pakaiannya yang cukup sederhana, dengan baju luar berkembang, ia seperti seorang gadis dusun biasa saja. Akan te-tapi perawatan mukanya menunjukkan bahwa ia seorang gadis kota. Ia tidak membawa senjata, seperti seorang gadis lemah biasa saja, akan tetapi melihat cara ia menguasai kudanya, membayang-kan bahwa ia bukan seorang gadis yang begitu lemah, dan terutama sekali jelas bahwa ia menguasai ilmu menunggang kuda dengan cukup baik.



Kuda dan penunggangnya itu bersembunyi di balik debu yang ditimbulkan oleh kaki kuda dan akhirnya menghilang di balik pagar tembok dusun, melalui pintu gerbang yang terbuka lebar. Hui Song sudah melupakan gadis itu ketika dia memasuki dusun, sebuah dusun yang cukup besar dan hatinya girang melihat bahwa di dalam dusun Lok-cun itu terdapat ru-mah penginapan dan juga terdapat sebuah restoran yang cukup besar. Setelah memesan sebuah kamar dalam rumah penginapan sederhana itu, dia lalu keluar memasuki kedai makan yang cukup besar dan ramai dikunjungi tamu. Ada belasan meja di situ dan lebih dari setengahnya diduduki tamu yang makan sore. Mereka makan minum sambil bercakap-cakap dan melihat sikap mereka yang bebas mudah diduga bahwa mereke adalah langganan--langganan restoran itu. Akan tetapi di sudut yang terpisah Hui Song melihat dua orang kakek duduk berhadapan dan keadaan kakek itu menarik perhatiannya sehingga diapun memilih meja yang tidak berjauhan dengan dua orang tamu itu, hanya terpisah dua meja kosong.



Dua orang kakek itu berusia kurang lebih enam puluh tahun. Seorang di an-tara mereka bertubuh tinggi kurus dan tubuh itu nampak menjadi semakin jang-kung karena dia memakai sebuah topi hi-tam yang tinggi, topi seperti yang biasa dipakai oleh tosu atau kepala agama atau pertapa. Jubahnya juga lebar dan kedodoran menutupi semua tubuhnya dari leher sampai kaki yang mengenakan se-patu kulit setinggi betis. Rambutnya panjang dibiarkan terurai di depan dan bela-kang, mencapai dadanya. Tubuhnya yang kurus itu seperti tulang dibungkus kulit, seperti tengkorak berkulit, dengan sepa-sang mata kecil yang dalam. Kumis dan jenggotnya membentuk lingkaran hitam di sekeliling mulutnya. Adapun orang kedua tidak kalah anehnya. Orang ini tubuhnya besar dan perutnya gendut, dibiarkan perutnya itu nampak karena bajunya terbu-ka tanpa kancing, atau kancingnya agak-nya sudah putus semua karena besarnya perut, atau memang baju itu kurang le-bar untuk dapat menutupi perutnya. Pe-rut gendut dan dadanya terbuka. Jubah-nya juga lebar dan panjang di bagian be-lakang, sampai hampir menyentuh tanah. Sebuah guci arak tergantung di pinggang kanan. Kepalanya yang bundar itu dicu-kur gundul kecuali di tengah-tengah, di atas ubun-ubun terdapat segumpal ram-but yang diikat dengan tali kasa. Kakek ini seperti hwesio akan tetapi bukan hwesio sedangkan temannya itu seperti tosu akan tetapi bukan tosu. Pada jaman itu, banyak para pendeta dan pertapa yang meninggalkan pantangan makan daging dan berkeliaran memasuki rumah-rumah makan, maka kehadiran dua orang itupun tidak menimbulkan perhatian orang. Na-mun tidak demikian bagi Hui Song. Pe-muda ini amat tertarik dan menaruh perhatian karena sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, dari sinar mata, gerak-gerik dan sikap dua orang kakek itu, dia dapat menduga bahwa mereka bukanlah orang-orang sembarangan.



Tiba-tiba percakapan di sebelah kiri-nya di antara empat orang muda yang sudah setengah mabok menarik perhatian Hui Song. Pesanan makanan sudah dihi-dangkan dan sambil makan diapun mema-sang telinga mendengarkan percakapan yang terdengar cukup lantang, dan jelas dapat dikenal suara orang setengah ma-bok.



"Huh, di jaman seperti sekarang ini, mana ada orang benar?" terdengar suara yang lantang seorang pemuda bermuka hitam. Dengan kepala bergoyang-goyang dan mulut menyeringai tanda kemabokannya, dia melanjutkan. "Sekarang ini jamannya pagar makan tanaman, mereka yang menjadi pelindung malah mengganyang yang dilindungi sendiri. Tidak ada orang dapat dipercaya sekarang ini!"



"Benar, benar! Jamannya sudah berubah, penjahat-penjahat kabarnya berjiwa patriot, sebaliknya orang-orang yang menjadi pendeta melakukan hal-hal memalukan. Lihat saja, di mana-mana terdapat pendeta-pendeta yang lahap makan daging dan mabok-mabokan minum arak, huh!"



Mudah saja diketahui bahwa orang kedua yang mukanya kekuningan ini dalam maboknya telah menyindir dua orang kakek yang berpakaian seperti tosu dan hwesio itu. Empat orang pemuda itupun melirik ke arah dua orang kakek itu penuh ejekan, sedangkan Hui Song juga mengamati dari sudut kerlingnya. Diam-diam Hui Song mencela empat orang pemuda mabok-mabokan ini yang tak tahu diri, tidak mengenal gelagat berani sekali menyinggung dua orang kakek yang sama sekali tidak pernah mengganggu mereka itu. Dan dia khawatir kalau-kalau dua orang kakek itu marah. Akan tetapi dari kerling matanya dia melihat bahwa dua orang kakek itu diam saja, seolah-olah tidak mendengar percakapan lantang itu dan melanjutkan makan minum tanpa memberi komentar, bahkan sedikitpun juga tidak menoleh ke arah meja empat orang yang menyindir mereka itu.



Agaknya mereka sudah selesai makan sekarang. Keduanya bangkit berdiri, membayar harga hidangan lalu melangkah keluar. Ketika mereka berjalan menuju keluar pintu, mereka melewati meja Hui Song. Tiba-tiba pemuda itu terkejut bukan main karena ketika dua orang itu lewat, dia merasa ada dua hawa yang amat berlainan. Si jangkung berjalan di depan dan ketika dia lewat, Hui Song meramkan hawa yang amat panas lewat pula, sebaliknya ketika si gendut yang lewat, ada hawa yang amat dingin. Akan tetapi Hui Song belum menduga buruk, dan kedua orang itu kini lewat di dekat meja empat orang muda yang masih bercakap-cakap dengan asyik dan melirik ke arah dua orang kakek itu dengan mulut me-nyeringai penuh ejekan. Tidak terjadi se-suatu dan dua orang kakek itupun tidak kelihatan bergerak melakukan serangan. Akan tetapi setelah tiba di ambang pin-tu, mereka menoleh dan tiba-tiba empat orang pemuda itu mengeluarkan teriakan-teriakan kesakitan dan merekapun tergu-ling roboh. Kursi-kursi mereka terbawa roboh dan semua tamu tentu saja memandang terbelalak melihat betapa em-pat orang muda itu berkelojotan dan ma-ta mereka mendelik, dari mata, hidung, mulut dan telinga keluar darah! Karena tidak menaruh curiga, tidak seorangpun di antara para tamu itu menoleh kepada dua orang kakek. Akan tetapi Hui Song memandang kepada mereka dan melihat betapa mereka itu melepas senyum keji lalu mereka membalik dan terus melang-kah lebar keluar dari rumah makan itu.



Hui Song cepat meninggalkan mejanya setelah meninggalkan harga makanan di atas meja. Sekali melewati empat orang yang kini sudah tidak bergerak lagi dan sudah tewas itu tahulah dia tanpa memeriksa bahwa empat orang itu tewas karena pukulan beracun atau senjata ge-lap beracun, maka diapun langsung saja mengejar keluar. Dia celingukan dan akhirnya dia melihat bayangan dua orang yang dicarinya itu, sudah jauh di depan, mendekati pintu gerbang dusun Lok-cun. Diapun cepat melakukan pengejaran.



Tepat seperti yang telah diduganya, dua orang kakek itu ternyata lihai. Be-gitu tiba di luar dusun, mereka berdua lalu berkelebat dan berlari cepat sekali, bagaikan terbang saja! Akan tetapi, Hui Song adalah seorang pendekar muda gemblengan yang telah mewarisi bermacam ilmu yang hebat-hebat. Apalagi selama tiga tahun dilatih Si Dewa Kipas, dia te-lah memperoleh kemajuan pesat dan latihan beban besi pada kedua kakinya kini membuat gin-kangnya juga memper-oleh kemajuan. Ketika dia meloncat dan berlari, tubuhnya amat ringan dan diapun dapat berlari amat cepatnya melakukan pengejaran.



Dua orang kakek itu agaknya maklum bahwa ada orang yang mengejar, karena mereka itu tiba-tiba membelok memasuki hutan dan gerakan lari mereka semakin cepat. Hui Song terus mengejar dan akhirnya, karena makin lama jarak di antara mereka semakin dekat, tiba-tiba dua o-rang yang merasa tidak akan dapat me-lepaskan diri dari pengejarannya, berhenti di sebuah tempat terbuka yang merupa-kan padang rumput kecil di antara hutan di lereng bukit itu. Mereka berdiri tegak dan mengambil sikap menantang, juga si-nar mata mereka membayangkan kema-rahan.



Begitu Hui Song tiba di depan mere-ka, kedua orang kakek itu memandang dengan penuh selidik, kemudian si jang-kung yang mukanya kelihatan kering dan galak itu menegur, "Orang muda, siapa-kah engkau dan kenapa engkau mengikuti dan mengejar kami?"



Hui Song maklum bahwa dia berha-dapan dengan dua orang pandai. Dia ti-dak mau bersikap sembrono sebelum mengenal mereka dan tahu mengapa mereka membunuh orang-orang sedemikian mudah dan kejinya, maka diapun menjura dengan hormat. "Harap ji-wi locianpwe suka me-maafkan kalau aku bersikap kurang hor-mat dan melakukan pengejaran. Secara kebetulan aku melihat ji-wi melakukan pembunuhan di dalam restoran terhadap empat orang itu..."



"Hemm, engkau yakin bahwa kami yang membunuh mereka?" tanya si gen-dut.



"Pembunuhan itu dilakukan dengan se-rangan beracun dan hanya ji-wi yaqg mampu melakukan serangan seperti itu. Mengapa ji-wi membunuh mereka?"



Dua orang kakek itu saling pandang, nampaknya terkejut melihat betapa pe-muda yang pandai berlari cepat ini ternyata bermata tajam. Si jangkung lalu menarik napas panjang dan berkata de-ngan nada suara menantang, "Baik, me-mang kami yang membunuh mereka. Ha-bis, kau mau apa? Siapa engkau?"



Hui Song mulai mengerutkan alisnya. Jawaban kedua orang ini sungguh meru-pakan tantangan dan sikap mereka bukan seperti sikap orang baik-baik. Akan tetapi dia masih tersenyum dan menjawab, "Namaku Cia Hui Song dan kalau benar ji-wi yang membunuh mereka, aku ingin sekali mengetahui mengapa ji-wi melaku-kan pembunuhan sedemikian keji. Apakah hanya karena ucapan yang mereka keluarkan di restoran itu?"



"Ha-ha, engkau sudah tahu akan teta-pi masih juga bertanya. Telingamu sen-diri tentu sudah menangkap penghinaan mereka yang ditujukan kepada kami," ka-ta si gendut dan perutnya bergerak aneh, seperti ada seekor kelinci besar yang hi-dup di dalam perutnya dan kini berlari ke sana-sini. Melihat ini, Hui Song ter-kejut. Si gendut ini memiliki sin-kang yang amat kuat, pikirnya.



"Kalau hanya ocehan orang-orang yang mabok saja membuat ji-wi demikian ri-ngan tangan membunuh orang, sekaligus empat nyawa, sungguh aku tidak dapat menerimanya begitu saja," katanya dan sinar matanya mencorong menyambar ke arah wajah kedua orang kakek itu yang kelihatan terkejut sekali. Baru sekarang mereka melihat betapa sepasang mata pemuda itu mencorong seperti itu, juga mereka berpikir-pikir mendengar nama keturunan Cia itu, diam-diam menduga-duga apakah pemuda ini ada hubungannya dengan keluarga Cin-ling-pai yang juga she Cia.



"Bagus, bagus! Engkau orang muda yang bernyali besar! Kami sudah membu-nuh empat orang lancang mulut dan ku-rang ajar itu. Nah, kalau engkau tidak dapat menerimanya, habis engkau mau a-pa?" tantang lagi si jangkung sambil ber-tolak pinggang di sebelah dalam jubahnya dengan cara menyisipkan tangannya ke dalam jubah. Hui Song yang bermata ta-jam melihat gerakan tak wajar ini dan dia sudah bersikap waspada dan siap sia-ga.



"Ji-wi sebagai pembunuh-pembunuh harus ikut bersamaku untuk menyerahkan diri kepada petugas keamanan. Kejahatan yang ji-wi lakukan harus diadili."



Dua orang itu saling pandang lalu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha!" Si gendut berkata. "Engkau ini seperti seekor burung yang baru turun dari sarang dan belajar terbang, tidak mengenal peraturan kang-ouw. Bagi kami, hukum berada di tangan kami sendiri. Siapa bersalah terhadap kami akan kami huRum sendiri dan tidak ada pengadilan yang boleh mengadili kami!"



Tentu saja Hui Song sudah mengenal kehidupan dunia kang-ouw yang tidak mengenal hukum pemerintah itu. "Karena itulah maka aku harus menenteng kejahatan yang tidak diadili. Ji-wi membunuh orang tak berdosa, tak mungkin dapat dilepaskan begitu saja tanpa hukuman..."



Tiba-tiba tangan kiri yang tadinya menyusup ke balik jubah itu bergerak dan Hui Song cepat meloncat ke samping, membiarkan tiga sinar menyambar lewat. Itulah pisau-pisau kecil yang menyambar cepat sekali dan bau amis yang tercium olehnya ketika pisau-pisau itu lewat, tahulah dia bahwa senjata-senjata rahasia itu beracun. Akan tetapi yang mencabut nyawa empat orang di dalam restoran itu bukanlah senjata seperti ini, melainkan lebih kecil lagi atau mungkin juga hanya pukulan jarak jauh yang mengandung racun.



"Kau bocah yang bosan hidup!" melihat pemuda itu dapat menghindarkan serangan gelap kawannya, si gendut membentak dan kedua tangannya bergerak ke depan, dengan jari-jari terbuka dia memukul dengan gerakan mendorong ke arah dada Hui Song. Angin pukulan dahsyat menyambar ke depan dan mengeluarkan hawa dingin! Hui Song mengenal pukulan ampuh yang mengandung sin-kang kuat, maka diapun mengerahkan tenaga dan menyambut dengan kedua tangan pula.



"Syuuuttt... dukkk...!" Dua tenaga dahsyat bertemu di udara dan biarpun tangan mereka belum bersentuhan, masih dalam jarak beberapa senti, namun benturan tenaga sin-kang dahsyat itu sudah memperlihatkan akibatnya. Tubuh si gendut terpental ke belakang dan Hui Song tetap tegak walaupun tubuhnya terguncang hebat.



Dua orang kakek itu mengeluarkan seruan kaget dan heran, lalu merekapun melompat dan melarikan diri! Hui Song tidak mengejar. Dia maklum bahwa dua orang kakek itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan amatlah berbahaya mengejar dua orang selihai itu padahal mereka sudah melarikan diri dan agaknya tidak menginginkan permusuhan dengan dirinya. Bagaimanapun juga, empat orang itu telah tewas dan dia bukan seorang petugas keamanan. Andaikata empat orang itu belum tewas dan berada dalam ancaman bahaya, sudah menjadi tugasnya untuk melindungi mereka. Akan tetapi, mereka telah tewas karena kelancangan mulut mereks sendiri.



Sambil menduga-duga siapa adanya dua orang kakek yang seperti pendeta akan tetapi mempunyai watak seperti iblis kejamnya itu, mudah membunuh orang hanya karena urusan amat kecil, dia lalu kembali memasuki dusun Lok-cun. Matahari sudah condong ke barat ketika dia memasuki dusun dan menuju ke rumah penginapan di mana dia sudah menyewa sebuah kamar.



Bagaimanapun juga, hati Hui Song tertarik sekali dengan keadaan dusun ini. Dusun yang kecil saja akan tetapi cukup ramai karena di sekitar bukit itu terdapat bukit yang menghasilkan banyak rempah-rempah sehingga penduduknya cukup makmur. Yang menarik hatinya adalah munculnya dua orang kakek itu di tempat kecil seperti ini. Setelah mandi dan makan malam, dia mencari keterangan kepada pelayan penginapan itu tentang keadaan dusun dan terutama sekali dia menyelidiki apakah di tempat itu terdapat kuilnya mengingat bahwa dua orang kakek itu berpakaian seperti pendeta.



"Dahulu memang terdapat sebuah kuil di pinggir dusun sebelah selatan," pelayan itu menerangkan, "akan tetapi semenjak empat lima tahun ini, kuil itu kosong, bahkan tidak ada orang berani mendekati, terutama sekali di waktu malam."



"Eh, kenapa?" Hui Song bertanya.



"Karena... tempat itu angker, ada setannya."



"Hemm, benarkah itu? Ada setannya bagaimana dan mengapa kuil itu ditinggalkan? Ke mana perginya para pendetanya?"



"Kuil itu dahulu adalah kuil Kwan Im Po-sat yang diurus oleh lima orang nikouw, yaitu seorang nikouw tua bersama empat orang muridnya yang usianya kira-kira tiga puluh tahun. Akan tetapi pada suatu malam, terdengar jeritan-jeritan dari kuil itu dan pada keesokan harinya, kami para penduduk melihat mereka berlima telah tewas dalam keadaan mengerikan!" Pelayan itu bergidik dan kelihatan ketakutan.



"Bagaimana? Terbunuhkah?"



"Mereka terbunuh... dan agaknya iblis-iblis saja yang dapat melakukan pembunuhan itu. Kepala mereka berobah hitam membengkak, dan empat orang nikouw muda itu kesemuanya telanjang bulat."



Hui Song mengerutkan alisnya. Bukan iblis, pikirnya, melainkan orang atau orang-orang yang amat kejam dan jahat, dan bukan tidak mungkin empat orang nikouw muda itu diperkosa penjahat sebelum mereka dibunuh.



"Dan semenjak peristiwa itu, kuil itu dibiarkan kosong dan sekarang, seperti keteranganmu tadi, ada setannya? Bagaimana pula itu?"



Pelayan itu mengangguk-angguk. "Para penduduk mengurus jenazah mereka dan sejak hari itu, kuil dibiarkan kosong dan tidak ada yang berani tinggal, bahkan mendekatipun tidak berani, apalagi di waktu malam. Sering terdengar suara-suara aneh dan nampak bayangan-bayangan setan di sekitar kuil. Bahkan beberapa orang pemberani yang mengumpulkan tenaga sebanyak sepuluh orang pernah tidur di sana untuk membuktikan dan mereka semua tertidur pulas atau pingsan dan tahu-tahu tubuh mereka digantung di atas pohon, dengan kaki di atas dan kepala di bawah!"



"Mati...?" tanya Hui Song kaget.



"Tidak, hanya pingsan. Akan tetapi tentu saja hal itu membuat kami semua makin takut dan sejak itu tidak ada orang berani mencoba-coba mendekati kuil di waktu malam, apalagi tidur di situ."



Mendengar keterangan ini, Hui Song makin tertarik. Hampir yakin hatinya bahwa tempat itu tentu saja menjadi tempat yang amat baik bagi orang-orang jahat untuk menyembunyikan diri mereka. Dan dia teringat akan dua orang kakek siang tadi. Bukan tidak mungkin kalau mereka itupun mempergunakan tempat yang ditakuti orang itu untuk bersembunyi atau setidaknya melewatkan malam.



Malam itu Hui Song keluar dari penginapan dan berjalan menuju ke selatan. Setelah tiba di depan kuil, dia melihat bahwa tempat itu memang terpencil dan sunyi. Gelap sekali di situ, dan kuil itu nampak sunyi kosong dan menyeramkan. Pohon-pohon besar yang tumbuh di depan dan kanan kiri kuil menambah keseraman. Batang-batang pohon itu nampak kehitaman dan cabang serta ranting-ranting yang belum lebat menutupi sebagian genteng kuil yang nampak masih kokoh namun kotor tidak terpelihara itu. Memang sebuah tempat yang amat sunyi, juga menyeramkan apalagi kalau mengandung cerita tentang setan-setan. Baru mengingat akan kematian lima orang nikouw itu saja sudah mendatangkan kengerian, apalagi sudah terjadi keanehan pada sepuluh orang pemberani yang berani tidur di situ. Di pohon-pohon itukah mereka kedapatan tergantung dengan kepala di bawah?



Hui Song mengayun tubuhnya, meloncat ke atas pohon dan mengintai. Sampai beberapa lama dia mengintai dengan sembunyi di atas cabang, di balik daun-daun lebat. Namun tidak nampak sesuatu dan tidak terdengar sesuatu dari dalam kuil. Ketika dia memandang dari atas ke arah empat penjuru, nampak kelap-kelip sinar lampu rumah-rumah agak jauh dari kuil, sedangkan di kuil dan sekelilingnya sunyi saja, sunyi dan gelap.



Malam makin larut dan kini nampak bulan sepotong tersembul naik dari awan awan gelap yang menutupinya. Awan-awan terakhir meninggalkannya sehingga kini cahaya bulan menerangi pohon dan genteng kuil, cukup terang bagi Hui Song schingga dia dapat melihat berkelebatnya bayangan orang! Bukan setan, melainkan orang! Tentu saja, kalau ada penduduk dusun yang kebetulan melihat bayangan itu, akan menyangka bahwa itu adalah bayangan setan karena memang bayangan itu berkelebat dengan amat cepatnya, akan sukar dlikuti oleh pandang mata orang biasa.



Hui Song melihat seorang gadis cantik berhenti di atas wuwungan kuil, setelah tadi gadis itu menjadi bayangan berkelebatan di bawah, kemudian dengan ringan sekali melayang naik. Dan diapun terkejut dan terheran. Dia mengenal gadis ini! Bukan lain adalah gadis penunggang kuda yang melewatinya di luar dusun, ketika dia akan memasuki dusun Lok-cun. Dan kini tidak menunggang kuda, melainkan berlompatan dengan gesit dan ringan. Akan tetapi pakaian yang dipakainya masih seperti tadi. Gadis yang sederhana akan tetapi manis sekali.



Karena kaget tadi, dan karena ingin memandang lebih jelas, Hui Song membuat gerakan sehingga ranting-ranting dari cabang yang diinjaknya bergoyang dan daun-daunnya ikut pula bergoyang. Sedikit saja, seperti goyangan angin, namun cukup bagi wanita itu yang memandang ke sekeliling untuk dapat melihat ketidakwajaran ini. Hanya ranting-ranting di cabang itu yang bergoyang, sedangkan angin tidak ada sedikitpun juga di malam itu.



"Wuuuttt... cit-cittt...!" Dua sinar putih menyambar ke arah Hui Song ketika gadis itu menggerakkan jari tangan kirinya. Kiranya ada dua batang jarum sulam yang meluncur bagaikan kilat menyambar ke arah tubuh pemuda itu.



"Aihh... galak amat...!" Hui Song melompat keluar dari balik rumpun daun dan berdiri di atas wuwungan, berhadapan dengan gadis itu sambil tersenyum. Dua batang jarum dia serahkan kepada gadis itu. "Sayang jarummu ini, nona, engkau akan kehilangan dan tidak dapat melanjutkan pekerjaanmu menyulam." Dia sudah melihat bahwa jarum itu tidak mengandung racun, maka diapun tidak menyangka buruk.



Dengan pandang mata kagum dan tangan cekatan, gadis itu mengambil kembali dua batang jarumnya dan menyimpannya di dalam saku di balik baju luar. "Siapa kau?"



"Nanti dulu, nona. Kita sudah saling bertemu di luar dusun dan kenapa engkau begitu mudah menyerangku dengan jarum-jarummu? Kalau aku tidak hati-hati dan jarummu itu menembus kepala atau dadaku, bukankah sekarang juga aku sudah tidak dapat menjawab pertanyaanmu tadi?"



Sejenak sepasang mata yang tajam dan jeli itu menatap wajah Hui Song penuh selidik dan kekerasan, yang tadi membayang di wajah manis itu mulai melembut. Wajah pemuda yang tampan, gagah dan juga penuh senyum itu amat menarik dan mengagumkan hatinya. Akan tetapi ia masih menaruh curiga.



"Engkau memata-matai dan menyelidiki tempatku!" bentaknya.



Hui Song tersenyum dan kembali pada sepasang mata tajam itu terbayang kekaguman. Sungguh ganteng pemuda ini, apalagi kalau tersenyum. "Nona, menurut cerita orang di dusun ini, kuil ini adalah tempat tinggal para setan. Bagaimana menjadi tempat tinggalmu? Aku yakin engkau bukan setan."



"Untuk sementara aku memilih tempat sunyi ini sebagai tempat berteduh, dan engkau malam-malam begini datang dan bersembunyi di dalam pohon, tentu bermaksud buruk. Agaknya engkau mengandalkan sedikit kepandaianmu menangkap jarum-jarumku. Nah, lihat serangan!" Gadis itu kembali menjadi galak dan tiba-tiba saja melakukan serangan yang cukup keras dan cepat.



"Dukk! Plakk!" Hui Song menangkis dua kali dan setiap kali ditangkis, tubuh gadis itu terdorong mundur. Hal ini amat mengejutkan hati gadis itu. Tak disangkanya bahwa pemuda ini benar-benar amat lihai, maka iapun lalu mengeluarkan suara melengking dan tubuhnya menyambar-nyambar, serangannya semakin hebat dan cepat. Jari-jari tangannya berubah kaku keras dan dia menyelingi pukulan-pukulan dengan cengkeraman atau totokan ke arah jalan-jalan darah yang berbahaya.



Akan tetapi, Hui Song menghadapi semua serangan itu dengan tenang saja. Ia mengelak ke sana-sini, kadang-kadang menangkis dan tidak pernah membalas. "Eiiit, perlahan dulu, nona. Kenapa galak amat? Kita tidak pernah bermusuhan, mengapa engkau menyerangku dengan pukulan-pukulan maut? Eiiit, sayang tak kena!"



Nona itu semakin penasaran dan tiba-tiba ia mengeluarkan sebuah saputangan sutera putih dari lengan bajunya. Saputangan itu dipergunakannya sebagai senjata dan biarpun saputangan itu hanya merupakan kain sutera tipis lemas, namun di tangannya berubah menjadi senjata ampuh, kadang-kadang merupakan cambuk yang melecut dan mengeluarkan suara ledakan, kadang-kadang menjadi kaku dan keras seperti besi baja!



Hui Song masih tetap tenang. Saputangan sutera itu boleh jadi berbahaya bagi lain orang, akan tetapi baginya tidak ada artinya. Pula, dia mendapat kenyataan bahwa saputangan itu tidak mengandung racun, seperti jarum-jarum tadi, maka hatinya semakin senang. Seorang gadis manis seperti ini tidak mau berlaku curang, tentu seorang gadis baik-baik, mungkin seorang gadis kang-ouw yang gagah perkasa, seorang pendekar wanita seperti Sui Cin. Dia mulai membanding-bandingkan. Gadis ini juga cantik manis, dan juga galak seperti Sui Cin, akan tetapi kalau dinilai dari kepandaian silatnya, Sui Cin tentu saja lebih lihai, apalagi sekarang setelah Sui Cin digembleng oleh Dewa Arak! Dia ingin sekali menguji sampai di mana kemajuan dan kelihalan Sui Cin sekarang.



Gadis itu semakin kagum saja, terbukti dari seruan-seruannya ketika setiap serangannya selalu dapat dihindarkan oleh lawan dengan amat baik. Dan diapun menyerang semakin nekat. Melihat ini, Hui Song mengerutkan alisnya. Nona ini bukan orang sembarangan, memiliki ilmu silat tinggi, tentu sudah tahu bahwa dia sengaja mengalah dan tidak pernah membalas. Akan tetapi mengapa nona ini nekat menyerang terus?



"Nona, hentikanlah seranganmu dan mari kita bicara. Di antara kita tidak ada permusuhan. Kalau engkau tidak mau berhenti, terpaksa aku akan membalas!" Terpaksa dia mengancam dan dia mengepal tinju kanan, siap untuk membalas se-rangan kalau lawannya tetap berkeras hati tidak mau menyudahi perkelahian itu.



Tiba-tiba saputangan sutera itu menyambar lagi ke arah muka Hui Song dan kini benda itu menjadi lemas. Karena yang diserang adalah mukanya dan karena dia sudah mengambil keputusan untuk membalas, Hui Song menarik tubuh atasnya ke belakang dan saputangan itu tidak mengenai muka, hanya lewat saja.



Akan tetapi tiba-tiba hidungnya mencium bau yang sangat wangi dan tiba-tiba saja kepalanya pening dan pandang matanya gelap.



"Celaka...!" teriaknya, sadar bahwa sekali ini, entah bagaimana caranya, saputangan itu mengandung bubuk beracun yang ketika dikebutkan telah menyambar dan masuk ke dalam hidungnya, membuat dia keracunan.



"Tukk!" Jari tangan gadis itu sudah menyambar dan menotok pinggang, membuat Hui Song yang sudah setengah pingsan itu seketika menjadi lemas. Dia masih mendengar suara gadis itu terkekeh disusul kata-katanya memuji, "Engkau gagah perkasa..." Dan diapun tidak ingat apa-apa lagi. Juga dia tidak sadar sama sekali ketika gadis itu memondongnya dan membawanya melompat turun dari atas genteng, lalu membawanya masuk ke dalam sebuah kamar dalam kuil itu.



Kalau saja Hui Song tahu siapa gadis ini, tentu dia tidak akan bersikap sembrono dan mengalah seperti tadi. Gadis yang berusia dua puluh empat tahun ini memang kelihatannya saja cantik manis dan lemah lembut, juga tidak nampak membawa senjata atau bersikap menyeramkan. Akan tetapi sesungguhnya ia merupakan seorang tokoh besar dunia hitam pada waktu itu, dan walaupun ia baru saja keluar dari tempat pertapaan bersama gurunya, ia boleh dibilang menduduki tempat tinggi di kalangan kaum hitam, terbawa oleh nama gurunya yang ditakuti semua orang di dunia kaum sesat. Siapakah gurunya? Bukan lain adalah Pangeran Toan Jit-ong atau Si Raja Iblis sendiri!



Tokoh sakti Toan Jit-ong yang dijuluki Raja Iblis dan isterinya yang berjuluk Ratu Iblis itu walaupun merupakan sepasang tokoh yang memiliki kesaktian luar biasa, hanya mempunyai seorang murid itulah. Oleh karena itu, dapat dibayangkan betapa sayangnya mereka kepada murid itu dan tentu saja murid itu digembleng dan diberi pelajaran ilmu-ilmu yang hebat. Murid itu bernama Gui Siang Hwa, seorang gadis yatim piatu yang dipelihara suami isteri itu semenjak berusia sepuluh tahun dan digembleng dengan ilmu-ilmu yang hebat. Selain ahli dalam bermacam ilmu silat, memiliki sin-kang kuat dan gin-kang yang hebat, juga gadis ini amat ahli dalam pengolahan dan penggunaan racun, terutama sekali racun yang berbau wangi. Karena pandainya bermain racun wangi, dan karena memang ia cantik manis, maka sebentar saja ia memperoleh julukan Siang-tok Sian-li (Dewi Racun Wangi). Siang Hwa sudah berusia dua puluh empat tahun, akan tetapi ia belum menikah. Biarpun kedua orang gurunya sudah membujuknya, namun ia belum mau menikah karena ia belum menemukan seorang pria yang dianggapnya pantas menjadi suaminya. Akan tetapi karena sejak kecil berada di lingkungan penjahat, wataknyapun menjadi binal dan seperti para penjahat lain, gadis inipun menjadi budak nafsunya sendiri. Di luarnya saja kelihaten halus dan sopan, juga alim dan lembut. Akan tetapi, seperti para rekannya, iapun dapat bertindak ke-jam sekali, penuh dengan akal dan mus-lihat busuk, dan terutama sekali, sejak mulai dewasa, ia sudah suka berhubungan dengan pria-pria tampan yang menarik hatinya. Bahkan ia termasuk seorang wa-nita mata keranjang yang akan memper-gunakan segala akal, kalau perlu mem-pergunakan ilmu kepandaian silatnya yang tinggi, untuk berhasil mendapatkan pria yang disukainya.



Seperti telah kita ketahui, Toan Jit-ong dan isterinya pada tiga tahun yang lalu telah mengumpulkan para datuk sesat untuk mengadakan pertemuan dan di dalam pertemuan ini Raja Iblis dan isterinya mengangkat diri mereka sendiri menjadi pimpinan para datuk untuk merencanakan pemberontakan. Pada waktu diadakan pertemuan itu, Siang Hwa berusia dua puluh satu tahun dan ia sendiri tidak memperlihatkan diri dalam perte-muan itu karena ia mempunyai tugas lain yang diberikan gurunya kepadanya. Ia ha-rus bersembunyi dan melakukan penjaga-an rahasia bersama belasan orang teman yang menjadi kaki tangan gurunya.



Setelah pertemuan para datuk itu selesai, Raja Iblis dan isterinya lalu menggembleng lagi murid mereka sambil mengatur persiapan untuk melakukan rencana pemberontakan mereka. Murid inilah yang mendapat tugas mewakili mereka mengadakan pertemuan-pertemuan dan persekutuan rahasia dengan para tokoh dan juga para pembesar penting. Berkat kecantikannya, kecerdikan dan juga kepandaiannya, Siang Hwa berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik sekali dan pada waktu itu, sudah banyaklah pembesar-pembesar yang mempunyai kekuatan pasukan telah diam-diam menjadi sekutu para pemberontak yang sudah siap siaga dan sewaktu-waktu mereka akan dapat mengerahkan pasukan untuk bersama-sama menggempur kota raja dan merampas kekuasaan dari Kaisar Ceng Tek! Selain membujuk para pembesar untuk berseku-tu, juga Siang Hwa bertugas membujuk orang-orang gagah dari dunia kang-ouw, yang biasanya bahkan menjadi lawan kaum sesat, untuk bekerja sama demi perjuangan membasmi kelaliman!



Dalam rangka tugas inilah Siang Hwa berada di dusun Lok-cun itu. Dara ini mempergunakan kuil sunyi yang ditakuti orang itu untuk tempat tinggal sementara sehingga ia dapat melakukan pertemuan-pertemuan rahasia dengan para pembantunya tanpa dilihat orang. Sungguh tidak disangkanya bahwa malam hari itu ia akan bertemu dengan seorang pemuda yang selain amat tampan dan ganteng, juga amat gagah perkasa sehingga ia sendiri tidak mampu mengalahkannya dengan ilmu silat. Munculnya pemuda seperti Hui Song ini sungguh di luar dugaan Siang Hwa dan begitu bertemu ia sudah jatuh cinta! Inilah pemuda yang selama ini diidam-idamkannya. Banyak sudah ia bertemu dengan pemuda tampan, bahkan sudah sering pula ia menyerahkan diri kepada pria-pria yang disukainya, akan tetapi belum pernah ia bertemu dengan seorang pemuda yang tampan dan disukainya, yang memiliki kepandaian lebih tinggi darinya. Akan tetapi para pria itu tidak masuk hitungan, hanya merupakan alat penghiburnya saja untuk melampiaskan nafsu. Ia hanya mau menjadi isteri seorang pemuda yang selain disukanya juga memiliki kepandaian lebih tinggi darinya, dan pemuda ini sungguh amat lihai. Maka, terpaksa ia harus mempergunakan akal dan saputangannya yang berbahaya itu, yang kalau tidak dikehendakinya merupakan saputangan biasa, akan tetapi pada saat ia terdesak, ia dapat menarik alat halus pada saputangan itu yang akan membuka tempat penyimpanan bubuk beracun wangi yang amat ampuh.



Selain tugas untuk menghubungi para orang gagah di dunia kang-ouw agar mau bekerja sama menentang kaisar, juga ada suatu tugas rahasia lain, yang pada waktu itu amat menganggu hati Siang Hwa. Gurunya menunjuk ia untuk memimpin teman-teman yang boleh dipercaya dan yang memiliki kepandaian tinggi, untuk menyelidiki dan mencari sebuah harta karun yang berada di sebuah tempat rahasia yang amat sulit dan sukar dikunjungi. Ia sudah berkali-kali mencoba dengan teman-temannya menyelidiki tempat itu, namun selalu gagal, bahkan beberapa orang temannya berkorban nyawa di tempat itu sedangkan tempat penyimpanan harta karun itu tetap saja belum dapat ia temukan. Gurunya berpesan bahwa kalau ia tidak mampu, barulah kedua orang gurunya akan turun tangan sendiri. Teman-temannya sudah menganjurkan dan menasihatkannya untuk melapor kepada Raja dan Ratu Iblis saja bahwa ia dan teman-temannya tidak sanggup lagi. Akan tetapi Siang Hwa adalah seorang gadis yang keras hati dan angkuh. Ia merasa malu kalau harus menghadap kedua orang gurunya dan melaporkan kegagalannya. Ini berarti mengakui kelemahan sendiri! Tidak, ia harus mencoba lagi dan untuk itu ia harus mendapatkan seorang kawan yang lihai, setidaknya memiliki tingkat kepandaian, terutama gin-kang yang setingkat dengannya!



Di antara para pembantunya, terdapat dua orang kakek yang menjadi orang-orang kepercayaan gurunya. Mereka itu adalah Hui-to Cin-jin (Manusia Sakti Pisau Terbang) dan Kang-thouw Lo-mo (Setan Tua Kepala Baja) yang siang hari tadi sudah pernah berjumpa dengan Hui Song. Mereka adalah dua orang kakek yang tadi membunuh empat orang pemuda mabok di dalam restoran. Dua orang kakek ini bukan orang sembarangan, bukanlah penjahat biasa. Mereka itu adalah dua di antara Cap-sha-kui yang tentu saja memiliki kepandaian hebat! Dan dari dua orang kakek inilah Siang Hwa mendengar bahwa di dusun itu muncul seorang pemuda yang amat lihai, seorang pemuda bernama Cia Hui Song yang bukan hanya mampu menghindarkan diri dari sambaran pissu-pisau maut yang dilempar oleh Hui-to Cin-jin, akan tetapi bahkan sanggup menahan pukulan Kang-thouw Lo-mo yang amat kuat itu. Mendengar ini, Siang Hwa merasa tertarik sekali, juga curiga. Jangan-jangan pemuda itu adalah mata-mata pihak musuh, pikirnya. Ia tahu bahwa gerakan gurunya mengumpulkan orang-orang kang-ouw dan niat hendak memberontak itu tentu sudah teedengar oleh dunia persilatan dan tidak merupakan hal aneh kalau ada pihak yang akan menentangnya.



***



Ruangan yang meniadi tempat tidur itu tidak berapa luas dan keadaannya tidak dapat dibilang bagus, apalagi mewah. Namun, kalau orang melihat keadaan kuil yang sudah tidak dipakai dan rusak itu, dia akan heran melihat betapa di dalam kuil kosong yang rusak itu terdapat sebuah kamar di dalamnya, kamar yang cukup teratur dan terawat. Kamar itu bersih walaupun sederhana dan berbau harum. Di dalam kamar itu hanya terdapat sebuah dipan kayu dan sebuah meja kayu. Satu-satunya hiasan hanyalah sehelai tirai sutera yang juga dipergunakan sebagai penutup jendela yang sudah berlubang dan daun jendelanya rusak.



Inilah ruangan yang dipergunakan oleh Siang Hwa untuk menjadi kamar tidurnya, sementara ia bersembunyi di dalam kuil itu. Dan setelah berhasil membuat Hui Song pingsan dan tidak berdaya lalu menawannya, ia membawa pemuda itu ke dalam kamar dan setelah mendudukkan tubuh Hui Song ke atas pembaringan dan mengikat kedua tangan pemuda itu dengan erat, ia lalu menyandarkan Hui Song dengan usapan-usapan pada muka, terutama di depan hidungnya, menggunakan obat bubuk penawar racun yang membuat pemuda itu jatuh pingsan.



Tak lama kemudian, sadariah Hui Song. Dia menggerakkan cuping hidungnya karena yang pertama terasa olehnya adalah keharuman yang menusuk hidungnya. Lalu dia membuka mata dan terbelalak menatap wajah manis yang berada begitu dekat dengan mukanya. Wajah cantik manis yang berbau harum, dengan sepasang mata setengah terpejam, bibir setengah terbuka, menantang dengan tahi lalat keeil di atas dagu. Dia terkejut dan otomatis meronta, akan tetapi dia semakin kaget mendapat kenyataan bahwa kedua lengannya tak dtpat digerakkan, terbelenggu pada pergelangan tangannya.



Diapun teringat kini dan alisnya berkerut, matanya menatap tajam wajah cantik yang amat dekat itu. Siang Hwa juga merasa bahwa tawanannya sadar, maka ia membuka mata menatap sambil tersenyum dan semakin mendekat sehingga tangannya menyentuh dada Hui Song. Pemuda itu bergidik ketika jari-jari tangan halus itu menyentuh dadanya yang ternyata sudah telanjang karena baju di bagian dadanya terbuka. Jari-jari tangan itu bergerak halus seperti cecak merayap di sepanjang dadanya, membuat Hui Song merasa malu dan canggung, akan tetapi dia tidak mampu mengelak karena punggungnya bersandar pada kepala dipan dan kedua lengannya tidak mampu digerakkan, Dia hanya dapat menarik kepalanya ke belakang untuk menjauhi muka manis yang begitu dekat sehingga napas gadis itu menyapu pipinya.



"Ehh...? Kau... kau perempuan curang!" dia membentak, teringat bagaimana dia sampai tertawan oleh gadis ini.



"Kau... kau laki-laki yang gagah perkasa, seorang jantan perkasa yang mengagumkan hatiku..." Siang Hwa berbisik dan merangkul, mendekap dan membenamkan mukanya di dada yang bidang dan telanjang itu. Sejenak mereka diam saja dan gadis itu dapat merasakan dan mendengar degup jantung yang amat kuat di balik dada itu, sedangkan Hui Song memejamkan kedua matanya. Seluruh tubuhnya tergetar oleh dekapan yang penuh gairah dan nafsu ini. Terasa olehnya betapa dari seluruh tubuh wanita ini seperti keluar hawa panas yang membakarnya dan dia terpaksa harus mengerahkan sin-kang untuk melawan dorongan nafsu yang mulai timbul dalam benaknya. Pengerahan sin-kang ini menolongnya dan dia membuka mata. Pada saat itu, dia melihat berkelebatnya bayangan orang di luar jendela! Ada seorang wanita yang mengintai ke dalam! Penglihatan ini sungguh amat membantunya dan seketika kegelisahan dan kebimbangannya lenyap. Tidak, dia tidak boleh jatuh ke dalam rayuan gadis jalang ini!



"Pergilah kau, perempuan curang dan jalang!" dia membentak.



Siang Hwa tidak menjadi marah, me-lainkan memandang dengan sinar mata lembut dan sikap memikat. "Kalau aku menghendaki tetap tadi aku sudah mem-bunuhmu. Akan tetapi tidak, aku tidak ingin membunuhmu, karena itu aku harus menggunakan siasat untuk mengalahkan-mu tanpa melukaimu atau membunuh. Kau maafkanlah aku."



"Hemm, siapakah engkau dan mengapa engkau menawanku?"



"Aku... namaku Siang Hwa, Gui Siang Hwa, seorang yatim piatu yang hidup se-batangkara. Aku ingin sekali bersahabat denganmu, akan tetapi engkau begitu ga-gah perkasa, tanpa menggunakan akal a-ku tidak akan dapat merobohkanmu. Engkau... yang bernama Cia Hui Song, bukan?"



Diam-diam pemuda itu terkejut. Kira-nya wanita ini bukan saja lihai dan berbahaya, akan tetapi juga cerdik sekali. Dia sendiri belum mengenal gadis ini, bahkan mendugapun tidak dapat siapa gerangan gadis cantik ini, akan tetapi gadis ini sudah mengenal namanya.



"Engkau sudah mengenalku. Engkau bilang ingin bersahabat dengan aku, akan tetapi engkau menyerangku, kemudian merobohkan aku dengan bubuk beracun dan kini menawanku, siapa mau percaya omonganmu?"



"Cia-taihiap, aku... begitu melihatmu, kemudian melihat kepandaianmu, aku... suka sekali kepadamu, aku... jatuh cinta dan aku ingin sekali bersahabat dengan-mu. Akan tetapi karena aku takut eng-kau akan memberontak dan tidak percaya kepadaku, maka terpaksa aku merobohkanmu secara itu dan kalau sekarang engkau berjanji mau menerima uluran tangan dan hatiku, aku tentu akan segera melepaskan ikatan kedua tanganmu..."



"Hemm, apa yang kaumaksudkan dengan uluran tangan dan hati itu?" Hui Song sudah berusia dua puluh empat tahun, akan tetapi dia masih asing dengan istilah-istilah mengenai cinta dan dia be-lum berpengalaman tentang wanita.



Siang Hwa tersenyum, mendekat dan meraba lalu mengelus dada telanjang itu, dan ia mendekatkan mukanya, bibirnya bergerak hendak mencari dan mencium bibir pemuda itu. Hui Song terpaksa menarik kepalanya ke belakang dan terde-ngar gadis itu berbisik, "Taihiap, uluran tangan dan hatiku adalah penyerahan se-luruh jiwa ragaku kepadamu, aku cinta padamu, taihiap..." Dan Siang Hwa tiba-tiba mencium bibir Hui Song yang tidak dapat mengelak lagi.



"Perempuan hina tak tahu malu!" Tiba-tiba terdengar bentakan halus dari luar jendela dan mendengar ini, tiba-tiba Siang Hwa melepaskan rangkulannya dan sekali meloncat ia sudah keluar dari dalam ka-mar itu.



Begitu ia tiba di luar kamar, seorang gadis yang manis menyambutnya dengan serangan sepasang pedang mengeluarkan sinar berkilat. Siang Hwa terkejut bukan main. Sebagai seorang ahli silat pandai, ia mengenal gerakan pedang yang amat lihai, maka iapun cepat mengelak dengan loncatan ke belakang. Akan tetapi gadis itu mendesaknya dengan kilatan-kilatan sepasang pedang yang dimainkan dengan cepat, indah dan berbahaya.



"Siapa engkau?" Siang Hwa membentak sambil meloncat mundur lagi ke ruangan depan kamarnya yang luas.



"Perempuan hina, aku adalah algojomu untuk mengakhiri kecabulanmu!" Gadis itu berteriak semakin marah dan penasaran melihat betapa serangan-serangannya tidak pernah berhasil. Ia menerjang lagi ke depan dan sepasang pedang di kedua tangannya itu berkelebatan membentuk dua gulungan sinar yang berkilauan.



"Bagus! Ilmu pedangmu bagus juga!" Siang Hwa berseru dan begitu tangan kanannya meraba pinggang, ia telah mengeluarkan sebatang pedang yang kebiruan. Kiranya pedangnya itu terbuat dari baja yang tipis sekali, tipis dan lemas sehingga dapat disimpan di pinggang sebagai ikat pinggang! Dan begitu ia mengelebatkan pedangnya, nampak sinar kebiruan.



"Trang! Cringg...!"



Gadis itu mengeluarkan seruan kaget. Pedang kebiruan itu dengan gerakan aneh dan cepat, telah menangkis dan begitu membentur sepasang pedangnya, ia mera-sa betapa tangannya kesemutan. Cepat ia meloncat ke belakang sambil memutar sepasang pedangnya untuk melindungi di-rinya. Terdengar Siang Hwa terkekeh dan iapun kini membalas dengan serangan-se-rangan dahsyat yang membuat gadis pemegang siang-kiam (sepasang pedang) itu menjadi repot untuk menangkis dan menghindarkan diri dari sambaran sinar biru yang amat lihai itu.



Mendengar suara gadis di luar kamar itu, Hui Song segere mengenalnya. Itulah suara Tan Siang Wi, sumoinya! Tentu sa-ja dia merasa gelisah sekali karena dia tahu bahwa sumoinya bukanlah lawan Siang Hwa yang amat lihai itu. Dia ber-usaha melepaskan diri, akan tetapi pe-ngaruh obat bius masih melemaskannya dan tali yang mengikat kedua pergelang-an tangannya juga amat kuat. Dia harus menanti sampai tenaganya pulih kembali akan tetapi saat itu sumoinya berada da-lam bahaya maut. Dia sudah mendengar suara berdencingan senjata pedang yang saling beradu dan dengan pendengarannya diapun dapat mengenal gerakan sumoi-nya yang kini mulai kacau dan terdesak, lebih banyak menangkis daripada menye-rang.



"Gui Siang Hwa, jangan celakai sumoiku...!" Akhirnya kcrena khawatir sumoinya celaka, dia berteriak.



Terdengar suara ketawa merdu wanita itu disusul tangkisan-tangkisan yang me-nimbulkan suara berdenting. "Hi-hik, ki-ranya sumoimu sendiri? Tentu saja aku tidak akan membunuhnya kalau begitu!" Dan suara ini disusul keluhan Tan Siang Wi dan terdengar jatuhnya tubuh gadis Cin-ling-pai itu.



"Sumoi, awas bubuk beracun obat biusnya!" Kembali Hui Song berteriak dengan khawatir.



Akan tetapi sumoinya tidak menjawab dan suasana menjadi sunyi. Yang terde-ngar hanyalah suara ketawa Siang Hwa dan tak lama kemudian wanita itu masuk lagi ke dalam kamar sambil mengempit tubuh Siang Wi yang sudah pingsan! Kiranya suara terjatuh tadi adalah robohnya Siang Wi terkena obat bius seperti yang pernah dialaminya tadi.



Sambil tersenyum kepada Hui Song, Siang Hwa berkata, "Lihat, kalau tidak berat kepadamu, tentu ia telah menjadi mayat. Cia-taihiap, dengan perbuatanku tidak membunuh engkau dan sumoimu, bukankah sudah cukup bukti bahwa aku ingin bersahabat denganmu?"



Hui Song maklum bahwa pada saat itu, sebelum dia dapat membebaskan dirinya, keselamatan nyawanya dan nyawa sumoinya memang berada di tangan gadis lihai ini. "Baiklah, kalau memang benar engkau ingin bersahabat denganku, apa salahnya? Akan tetapi, engkau tidak boleh memaksakan kehendakmu mengenai... mengenai cinta. Hal seperti ini tidak boleh dipaksakan, sama sekali tidak boleh!"



Siang Hwa mengerutkan alisnya. Belum pernah atau jarang sekali ada pria menolak cintanya. Hampir semua pria yang disenanginya menyambut cintanya dengan kedua tangan terbuka, sebagian kecil saja karena takut kepadanya dan sebagian besar karena memang mereka tergila-gila oleh kecantikannya. Akan tetapi pemuda Cin-ling-pai ini, ia yakin benar bahwa tentu pemuda she Cia ini adalah pemuda Cin-ling-pai karena ia tadi mengenal beberapa macam gerakan dasar dari Cin-ling-pai, pemuda ini tidak tergila-gila kepadanya, juga sama sekali tidak takut walaupun sudah tertawan dan tidak berdaya! Belum pernah ia bertemu dengan seorang pemuda seperti ini. pemuda gagah perkasa seperti ini selain amat mengagumkan hatinya dan menjatuhkan hatinya seperti yang belum pernah dialaminya, juga dapet merupakan seorang sahabat dan sekutu yang amat baik. Gurunya tentu akan girang sekali kalau bisa mendapatkan pembantu seperti Cia Hui Song ini dan tentu akan memujinya sebagai seorang yang pandai menarik tenaga yang amat kuat sebagai sekutu.



Hatinya amat kecewa dan nafsu berahinya yang tadinya memuncak itu tiba-tiba saja menjadi menurun banyak. Baiklah, bagaimanapun juga, aku harus dapat memanfaatkan pertemuannya dengan pemuda istimewa ini. Kalau tidak dapat menariknya sebagai kekasih, setidaknya untuk saat ini, biarlah ia menariknya sebagai sahabat dan sekutu. Kalau sudah menjadi sahabat, perlahan-lahan ia akan dapat merayunya dan ia masih penuh kepercayaan akan kemampuan dirinya dalam hal ini, bahkan hampir merasa yakin bahwa akhirnya pemuda ini akan roboh ke dalam pelukannya juga.



"Cia-taihiap, kaukira aku ini orang macam apakah? Aku tidak biasa memak-sakan cinta, dan walaupun aku jatuh ha-ti kepadamu dan mencintamu sejak per-tama kali bertemu, akan tetapi aku ha-nya mengharapkan engkau akan dapat menerima uluran tangan dan hatiku, aku tidak akan memaksamu. Baiklah, apakah engkau mau berjanji untuk bersahabat denganku?"



Hui Song juga bukan orang bodoh. Dia tahu bahwa gadis ini lihai dan berbahaya sekali dan dalam keadaan seperti itu, dia tidak dapat memilih. Dia sendiri sudah merasa betapa tenaganya sudah pulih dan dia merasa yakin bahwa kalau dia meng-hendaki, pada saat itupun dia akan mam-pu mengerahkan tenaga dan membebas-kan diri dari belenggu. Akan tetapi, de-ngan adanya Siang Wi yang masih tak mampu bergerak, akan berbahaya sekali kalau dia melakukan hal itu. Dan wanita ini hanya minta kepadanya untuk bersa-habat. Apa salahnya?



"Baiklah, apa salahnya kalau kita ber-sahabat? Akan tetapi sikapmu tidak se-perti bersahabat. Engkau menawan aku dan sumoi..."



"Sabarlah, aku akan membebaskanmu. Dalam keadaan sekacau ini, bagaimana aku tahu bahwa kalian adalah orang baik-baik? Siapa tahu kalau-kalau kalian ini mata-mata dari pihak pemberontak? Ka-lau kau mau berjanji menjadi sahabatku dan membantuku dengan suatu urusan, a-ku tentu akan membebaskunmu dan juga sumoimu dan minta maaf."



Diam-diam Hui Song merasa heran. Wanita ini agaknya tahu pula akan rencana pemberontakan para datuk sesat. Akap tetapi hal inipun tidaklah berapa aneh. Bukankah berita itu telah tersiar di dunia kang-ouw dan melihat kepandai-annya, wanita inipun tentu seorang kang-o-ouw yang lihai dan sudah mendengar pula akan berita itu. Dan agaknya wanita ini menentang kaum pemberontak, akan tetapi dia harus yakin akan hal ini.



"Nona, seorang dengan kepandaian seperti engkau ini mana takut akan segala kekacauan? Dan pemberontakan apa yang nona maksudkan?"



"Hemmm, tidak tahukah engkau bahwa kini ada rencana pemberontakan yang di-atur oleh para datuk di dunia kang-ouw?"



Hui Song mengangguk. "Aku sudah mendengar. Bukan datuk kang-ouw, me-lainkan datuk kaum sesat, bahkan Cap-sha-kui bersatu dan bersekutu dengan pa-ra datuk jahat dan dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis!" Hui Song memandang ta-jam untuk melihat reaksi pada wajah ga-dis itu.



"Ihh...!" Siang Hwa menarik muka kaget dan ngeri. "Sampai sedemikian jauh dan hebat? Kalau begitu, kerajaan teran-cam bahaya!"



"Nona, engkau mempunyai kepandaian tinggi, lalu dengan adanya kenyataan ini apakah yang akan kaulakukan? Apa-kah engkau hendak bergabung dengan mereka yang akan memberontak itu?"



Muka Siang Hwa menjadi merah, se-betulnya mukanya merah karena malu dan tidak enak hati, akan tetapi Hui Song mengiranya merah karena marah sehingga diam-diam dia merasa girang dan menduga bahwa gadis ini bukan te-man para pemberontak.



"Hemm, Cia-taihiap, apakah engkau juga hendak membantu Cap-sha-kui dan para pemberontak itu?" Siang Hwa yang cerdik balas bertanya sambil menatap tajam.



Hui Song menggeleng kepala. "Aku bukan penjahat dan bukan pula pemberontak, dan aku lebih suka menentang Cap-sha-kui daripada menjadi sahabat mere-ka!"



"Bagus, kalau begitu kita sepaham!" Siang Hwa berkata dengan senyum lebar. "Tadinya aku meragukan apakah engkau dan sumoimu itu mata-mata pemberontak. Maafkan aku, kalau begitu aku harus membebaskanmu, taihiap." Berkata de-mikian, ia mendekat dan hendak melepaskan tali yang mengikat kedua pergelang-an tangan Hui Song. Akan tetapi ia berhenti dan menatap wajah itu. "Tapi... kau belum berjanji untuk membantuku."



"Setelah kita bersahabat, tentu saja aku akan membantumu, asal saja bukan untuk perkara kejahatan."



"Hemm, apakah kau belum percaya padaku, taihiap? Aku bukan penjahat. Berjanjilah baHwa engkau akan membantuku, dan aku akan membebaskan kau dan sumoimu. Akan tetapi, sumoimu tidak boleh ikut serta."



"Mengapa?"



"Urusan itu adalah rahasiaku sendiri, orang lain, kecuali engkau yang kuminta bantuan tidak boleh tahu."



Hui Song mengangguk, mengerti. Pula, diapun tidak senang kalau sumoinya mencampuri urusannya. Pertama, watak sumoinya itu angkuh dan keras sehingga di mana-mana mudah menimbulkan keri-butan dan permusuhan, kedua, tingkat il-mu kepandaian sumoinya, walaupun pada umumnya dapat dianggap cukup lihai, a-kan tetapi belum boleh diandalkan kalau bertemu dengan datuk-datuk sesat dan ke tiga, dia tahu betapa sumoinya mencinta-nya dan mengharapkan dia menjadi sua-minya dan hal ini membuat dia merasa canggung dan tidak enak untuk berha-dapan dengan gadis itu.



"Kalau begitu, aku akan membebaskanmu sekarang!" Siang Hwa mendekat tetapi Hui Song tersenyum.



"Tidak perlu lagi, nona. Kalau aku mau, sejak tadipun aku sudah bisa mem-bebaskan diri sendiri." Berkata demikian, dia mengerahkan tenaga sin-kang, disalur-kan kepada lengannya dan sekali kedua lengan itu bergerak merenggut, terdengar suara keras, dan belenggu itupun putus-putus.



"Ihhh...!" Siang Hwa terkejut dan melompat ke belakang, meraba pinggang dan matanya terbelalak.



Akan tetapi Hui Song tersenyum. "Ja-ngan kaget dan jangan khawatir, nona. Aku tadi hanya ingin melibat apakah be-nar-benar engkau berniat baik maka aku sengaja membiarkan diri terbelenggu."



"Aihh... engkau... sungguh hebat, taihiap," katanya kagum. "Dan sekarang aku akan membebaskan sumoimu," Iapun cepat menghampiri Siang Wi, menggunakan obat penawar racun bius tadi. Tak lama kemudian terdengar Siang Wi mengeluh dan membuka mata. Begitu melihat gadis yahg tadi merayu suhengnya itu duduk berjongkok di dekatnya, Siang Wi mengeluarkan teriakan marah dan langsung saja ia mengirim pukulan-pukulan bertubi ke arah tubuh lawan yang amat dibencinya karena cemburu itu.



Siang Hwa meloncat ke belakang dan mengelak sambil menangkis beberapa ka-li. Gerakannya amat diperhatikan Hui Song den pemudia ini diam-diam harus mengakui bahwa tingkat ilmu silat dari Gui Siang Hwa memang amat tinggi, ge-rakannya cekatan, cepat sekali dan juga indah walaupun aneh dan liar sifatnya. Mudah nampak olehnya bahwa gerakan gadis itu jauh lebih lihai daripada gerak-an sumoinya dan kalau dilanjutkan, tentu sumoinya akan kalah walaupun Siang Hwa tidak mempergunakan racun bius.



"Sumoi, hentikan seranganmu!" bentak Hui Song.



Mendengar bentakan ini, Siang Wi me-nahan serangannya dan membalik, me-mandang kepada Hui Song dengan mata terbelalak mengandung sinar marah penasaran. "Suheng, ia... ia... si wanita cabul ini, tak tahu malu dan patut dibunuh!"



"Sumoi, tenanglah. Nona Gui ini ada-lah segolongan, tadi hanya terjadi salah paham antara kami..."



"Tapi... tapi aku melihat dengan me-taku sendiri, mendengar dengan telingaku sendiri betapa ia telah menawanmu, dan merayumu secara tak tahu malu..."



"Sstt, sumoi. Sudahlah. Kukatakan ta-di hanya salah paham. Kini kami sudah bersahabat, dan kami akan melakukan kerja sama untuk suatu urusan yang tak boleh diketahui orang lain. Karena itu, kuminta agar engkau suka meninggalkan tempat ini sekarang juga. Kembalilah kau ke Cin-ling-san dan jangan aku lagi."



"Tapi... suheng..."



"Sudahlah, sumoi. Kau jangan banyak membantah. Ketahuilah bahwa kalau ti-dak berniat baik, kita berdua tadi sudah tewas di tangan nona Gui. Pergilah!"



Tan Siang Wi berdiri dengan muka pucat, kedua tangan dikepal dan kini ke-dua matanya mulai basah. Ia memandang kepada dua orang itu secara bergantian, tatapan matanya pada Siang Hwa penuh kebencian, sedangkan kalau ia memandan-g suhengnya sepasang matanya me-mancarkan permohonan dan kekecewaan. "Suheng... haruskah aku pergi... Engkau mengusir aku begitu saja?"



Hui Song mengangguk. Dia tidak ingin menyakiti hati sumoinya, akan tetapi mengingat akan watak sumoinya yang keras, dia harus bersikap tegas. Dia su-dah berjanji kepada Siang Hwa dan dia tidak boleh melanggar janji itu. Pula, diam-diam dia menaruh hati curiga kepada Siang Hwa dan ingin menyelidiki siapa sesungguhnya wanita ini dan peran apa yang dipegangnya. Dia merasa bahwa ada sesuatu di balik diri wanita ini, karena seorang wanita selihai Siang Hwa tidak mungkin secara kebetulan saja bertemu dengan dia, mengajak bersahabat dan minta bantuannya untuk mengurus sesua-tu yang rahasia.



"Sumoi, harap jangan banyak bicara lagi. Pergi dan kembalilah ke Cin-ling-san."



Kini beberapa tetes air mata jatuh menitik. "Suheng... engkau... selalu mengecewakan dan menyakiti hatiku..."



"Maafkan, sumoi..."



Akan tetapi Tan Siang Wi sudah me-nyambar sepasang pedangnya yang tadi jatuh ke atas lantai ketika ia roboh ping-san dan berloncatan pergi meninggalkan tempat itu. Sunyi keadaan di dalam ruangan itu setelah Siang Wi pergi dan akhirnya terdengar tarikan napas panjang dari Siang Hwa.



"Aihhh... agaknya dengan kegantengan dan kegagahanmu engkau ditakdirkan untuk menjatuhkan dan mengecewakan hati wanita, taihiap. Sudah dua orang wanita kulihat hari ini yang menjadi korbanmu. Pertama adalah diriku sendiri, dan kedua adalah sumoimu!"



Hui Song juga menarik napas panjang. Diam-diam dia merasa kasihan sekali kepada Siang Wi, sumoinya itu. Sejak kecil sumoinya mencintanya dan cinta kanak-kanak itu makin lama semakin kuat dan akhirnya menjadi cinta kasih seorang wanita terhadap seorang pria, cinta kasih yang mengharapkan untuk diikat dan dikukuhkan menjadi perjodohan suami isteri. Dan dia tahu benar bahwa hatinya tidak mencinta sumoinya, walaupun dia sayang kepada sumoinya itu yang dianggap sebagai adik sendiri. Akan tetapi gadis di depannya ini? Dia belum mengenalnya benar dan tidak tahu apakah benar gadis ini cinta kepadanya seperti yang diakuinya. Dia harus bersikap hati-hati terhadap wanita ini.



"Maafkan aku kalau memang demikian, nona. Akan tetapi semua itu terjadi tanpa kesengajaan dari pihakku, dan ingat, cinta tidak mungkin dapat dipaksakan."



Siang Hwa tersenyum pahit dan mengangguk-angguk, diam-diam dia semakin kagum dan membayangkan betapa akan nikmatnya kelak kalau sampai ia berhasil membujuk pria ini menjadi kekasihnya dan berada dalam dekapannya. "Aku tidak menyalahkanmu, Cia-taihiap, dan aku merasa kasihan kepada sumoimu itu yang agaknya mencintamu dengan amat mendalam."



"Nona, ingin sekali aku mengetahui bagaimana engkau dapat mengenal namaku?"



Mereka kini duduk berhadapan di atas dua buah bangku yang berada di dalam ruangan itu, terhalang sebuah meja kecil. Siang Hwa tersenyum. "Aku mendengar dari Ciang-tosu dan Ciong-hwesio yang menjadi teman-temanku dalam urusan yang kumintakan bantuanmu ini."



Hui Song teringat akan dua orang kakek itu dan diapun tersenyum mengejek. "Wah, jangan-jangan dua orang kakek berpakaian tosu dan hwesio yang kejam itu, yang membunuh empat orang muda di dalam restoran dan..."



"Benar mereka!" kata Siang Hwa dengan sikap sungguh-sungguh. "Dan harap taihiap jangan mentertawakan dan salah sangka terhadap mereka! Mereka itu adalah bekas-bekas tosu dan hwesio dan biarpun kini bukan lagi terikat agama, mereka sudah terbiasa memakai jubah seperti yang dahulu mereka pakai ketika masih menjadi pendeta. Kini mereka adalah pertapa-pertapa dan mereka juga turun di dunia ramai untuk menentang kaum pemberontak."



"Ahh...!" Hui Song terheran dan juga kagum. "Akan tetapi mengapa mereka begitu kejam, menyebar maut di restoran, membunuh empat orang muda yang tidak berdosa?"



Gadis itu tersenyum, manis sekali kalau tersenyum, terutama karena tahi lalat kecil di atas dagu itu. "Orang-orang muda yang tidak berdosa? Taihiap tidak tahu..."



"Mungkin mereka melakukan kesalahan, akan tetapi kesalahan itu hanyalah berupa ejekan terhadap mereka yang berpakaian pendeta, dan itupun dilakuken dalam keadaan mabok."



"Taihiap salah mengerti. Empat orang muda itu tidaklah sebersih itu, tidak seperti yang taihiap sangka. Mereka adalah mata-mata pemberontak yang menyamar, sebagai pemuda-pemuda pemabokan dan kalau Ciang-tosu dan Ciong-hwesio tidak mempergunakan pukulan beracun, mereka tentu tidak mudah dikalahkan dan tempat kami tentu sudah ketahuan dan kami diserbu oleh para pemberontak."



Hui Song terbelalak heran, juga terkejut karena sungguh hal itu tidak pernah disangkanya sama sekali.



"Aku merasa gembira sekali dapat bersahabat dengan taihiap, apalagi akan mendapatkan bantuanmu. Ketika kedua orang locianpwe itu memberi tahu kepadaku tentang diri taihiap, kami bertiga sudah mengambil kesimpulan bahwa tentu engkau adalah seorang tokoh Cin-ling-pai dan ternyata dugaan kami benar seperti yang taihiap nyatakan sendiri ketika taihiap bicara dengan sumoi taihiap itu dan menyebut-nyebut Cin-ling-san."



"Memang aku adalah putera ketua Cin-ling-pai," kata Hui Song yang merasa tidak ada gunanya lagi menyembunyikan keadaan dirinya.



"Ahh...!" Gadis itu bangkit dan menjura. "Kalau begitu aku telah berlaku kurang hormat dan maafkanlah kelancanganku, taihiap."



"Sudahlah, nona. Kedudukan dan nama tidak merubah keadaan seseorang. Sebaiknya nona ceritakan, urusab apakah itu yang membutuhkan bantuanku?"



"Urusan ini amat penting dan rahasia, taihiap. Ketahuilah bahwa kami yang mewakili beberapa orang-orang kang-ouw di wilayah selatan, mengutus aku dan dibantu oleh dua orang locianpwe itu untuk menyelidiki sebuah harta karun."



"Hemm..." Hui Song termenung. Tak disangkanya bahwa urusan itu hanyalah urusan menyelidiki dan mencari harta karun!



"Bukan sembarang harta karun, taihiap. Kalau engkau mengira bahwa kami adalah orang-orang yang haus akan harta karun, engkau keliru! Ketahuilah bahwa kami mencari harta karun itu justeru dalam usaha kami menentang usaha para pemberontak. Para pemberontak itu akan menjadi kuat sekali kalau harta karun itu tidak kita dahului dan kita ambil."



"Apa maksudmu? Aku tidak mengerti, nona."



"Begini, taihiap. Tempat di mana harta karun itu berada kini juga diintai oleh para pemberontak. Kabarnya malah Raja dan Ratu Iblis sendiri juga mencarinya. Akan tetapi, kami lebih beruntung karena kami sudah dapat menemukan tempat itu. Hanya saja... tempat itu sukar didatangi, bahkan aku telah kehilangan nyawa beberapa orang teman ketika mencoba untuk mencari harta karun di tempat itu."



"Ah, begitu berbahayakah? Apa yang menyebabkan bahaya itu?"



"Tempatnya amat sukar dilalui dan tempat itu terkenal dengan nama Guha Iblis Neraka! Agaknya tempat itu memang sengaja dibuat agar tidak ada orang yang berani memasuki. Kabarnya, dahulu dibuat oleh seorang tosu sakti, yang mencuri harta karun dari kaisar la-lim dan disimpan di tempat itu, dan di-sediakan untuk mereka yang akan menen-tang kaisar lalim di kemudian hari. Har-ta karun itu sudah hampir seribu tahun umurnya dan sampai kini belum juga ada yang berhasil menemukannya."



"Kalau demikian sukarnya, mengapa engkau minta bantuanku? Kalau orang seperti engkau dan teman-temanmu tidak sanggup, mana mungkin aku akan bisa membantumu?"



"Begini, taihiap. Di antara kami yang depat menyeberangi jembatan batu pedang, hanya aku seorang. Kedua locianpwe itupun hanya sanggup maju belasan meter saja. Dan aku sudah menyeberangi jembatan batu pedang itu, namun selanjutnya aku tidak sanggup menggerakkan batu penutup lubang di sebelah dalam. Aku membutuhkan bantuan orang yang memiliki gin-kang dan sin-kang yang melebihi aku dan ternyata engkau amat lihai, jauh melampaui tingkatku dan..."



"Dan dengan mudah aku yang lebih lihai ini tertawan olehmu!" Hui Song mengejek



Siang Hwa tertawa. "Aih, engkau sakit hati benarkah, taihiap? Sudahlah, biar aka mengaku bahwa aku telah bertindak curang dan maafkanlah aku. Nah, rahasia itu sudah kuceritakan dan kalau engkau membantu kami, hal itu berarti bahwa engkau sudah menentang para pemberon-tak. Kalau kita berhasil, berarti kita te-lah memukul para pemberontak dan me-lumpuhkan setengah dari kekuatan mereka!"



Tentu saja Hui Song tertarik sekali. Biarpun dua orang kakek itu dianggapnya kejam, dan ternyata tidak dapat dinama-kan kejam kalau empat orang muda itu adalah mata-mata pentberontak, dan biarpun gadis ini pernah bersikap tidak me-nyenangkan hatinya, akan tetapi mereka ini adalah orang-orang yung menentang pemberontak yang dipimpin Raja dan Ratu Iblis, berarti masih rekan sendiri da-lam usahanya menentang para pemberontak.



"Baik, kapan kita berangkat ke sana?"



"Sekarang juga, taihiap."



"Baik, mari kita berangkat, singgah di rumah penginapan karena aku akan mengambil buntalan pakaianku lebih dahulu."



Wanita itu tertawa, pergi ke sebelah kamar dan kembali membawa sebuah buntalan yang terisi semua pakaian Hui Song yang tadi ditinggalkan di dalam ka-mar rumah penginapan itu.



"Eh? Bagaimana... kapan..."



"Taihiap, ketika aku mendengar dari kedua locianpwe tentang dirimu, aku ter-tarik sekali dan aku lalu pergi ke rumah penginapan itu, diam-diam memasuki ka-marmu. Ternyata engkau tidak ada, maka aku lalu mengambil pakaianmu, kubawa ke sini karena aku bermaksud untuk mencarimu sampai dapat. Ketika kulihat engkau berada di balik pohon, aku menyim-pan pakaian ini, lalu aku pergi lagi un-tuk muncul berlarian di atas genteng a-gar nampak olehmu dan selanjutnya kita bertanding..." Ia terkekeh lirih dan menutupi mulut, gayanya manis sekali. Wajah Hui Song menjadi kemerahan.



"Sudahlah, mari kita pergi."



"Pakaianmu biar disimpan di sini dulu."



Berangkatlah mereka berdua, seperti dua sahabat lama, meninggalkan kuil tua itu setelah Siang Hwa memadamkan pe-nerangan dan menutupkan pintu kamar sederhana itu. Dari luar, kuil itu nampak sunyi dan menyeramkan.



Mereka melakukan perjalanan cepat keluar dusun menuju ke arah timur. Pada pagi harinya, setelah melakukan perjalanan beberapa jam lamanya, mereka tiba di kaki bukit dan di luar sebuah hutan telah menanti dua orang yang dari jauh sudah dikenal oleh Hui Song, yaitu dua orang kakek yang pernah bertanding dengan dia, si tosu tinggi kurus dan si hwesio gendut!



Dua orang itu nampak terkejut meli-hat Hui Song, akan tetapi Siang Hwa se-gera tersenyum dan memperkenalkan.



"Ji-wi locianpwe jangan khawatir. Cia-tai-hiap telah menjadi sahabat kita yang se-haluan dan sudah kujelaskan semua ten-tang ji-wi kepadanya. Cia-taihiap adalah putera ketua Cin-ling-pai dan agaknya dialah yang memiliki kemampuan untuk membuat usaha kita berhasil."



Dua orang itu kini sikapnya berbeda dengan ketika pertama kali bertemu dengan Hui Song. Mendengar ucapan Siang Hwa, mereka segera menjura kepada Hui Song dengan sikap hormat dan ramah.



"Cia-taihiap, maafkan kami yang te-lah bersikap tidak patut kepadamu," kata Ciang-tosu yang sebenarnya adalah Hui-to Cin-jin, seorang di antara Cap-sha-kui yang belum pernah dikenal Hui Song.



"Ha-ha-ha, ada peribahasa mengatakan bahwa Tidak Berkelahi Maka Tidak Kenal ternyata benar! Cia-taihiap, kita sudah saling bertanding, maka saling mengenal isi perut masing-masing! Ha-ha-ha!" Ciong hwesio yang sebenarnya adalah Kang-thouw Lo-mo juga berkata.



"Cia-taihiap, harap maafkan. Ciang-tosu memang selalu serius dan Ciong-hwesio sebaliknya suka bergurau!" Siang Hwa cepat berkata untuk memberi isya-rat kepada kedua orang temannya bahwa ia memperkenalkan mereka kepada Hui Song sebagai Ciang-tosu dan Ciong-hwe-sio.



"Siancai... memperoleh seorang pem-bantu seperti Cia-taihiap sungguh merupakan suatu kebahagiaan besar!" kata Ciang-tosu.



"Omitohud, sungguh pinceng yang ti-dak becus sehingga merepotkan saja ke-pada putera ketua Cin-ling-pai." kata pu-la Ciong-hwesio.



Berangkatlah empat orang itu melan-jutkan perjalanan menuju ke utara. Per-jalanan itu dilakukan dengan cepat dan setelah mereka melewati dan menyebe-rangi Sungai Ching-ho, tibalah mereka di kaki Pegunungan Lu-liang-san yang amat luas itu. Perjalanan sampai ke situ sudah makan waktu lima hari dan selama lima hari itu, Siang Hwa dan dua orang kakek itu selalu bersikap ramah dan sopan sehingga keraguan dan kecurigaan hati Hui Song semakin menipis. Gadis itu memang seorang pendekar wanita, pikirnya, hanya agaknya memiliki kelemahan terhadap pria yang menarik hatinya, ataukah me-mang gadis ini benar-benar jatuh cinta kepadanya. Di sepanjang perjalanan, Siang Hwa tidak memperlihatkan sikap genit. Bujuk rayu yang amat berani, yang dila-kukon ketika Hui Song tertawan itu, kini sama sekali tidak nampak lagi dan ia ha-nya kelihatan amat memperhatikan Hui Song dan selalu berusaha menyenangkan hatinya, seperti biasanya seorang wanita yang jatuh cinta.



Setelah melewatkan malam di kaki bukit, pada keesokan harinya pagi-pagi sekali mereka sudah berangkat lagi, sekali ini memasuki hutan dan melalui ja-lan yang amat sukar, naik turun bukit dan jurang, melalui jalan liar berbatu-batu yang runcing dan tajam. Jelas bahwa orang biasa akan sukar melalui jalan seperti itu, dan kalaupun ada orang pandai yang dapat, untuk apa mereka bersusah payah mendatangi tempat ini? Tanpa tujuan penting, kiranya tidak akan ada orang begitu gila untuk menyusahkan diri memasuki daerah yang liar dan su-kar dilalui ini.



Setelah matahari naik tinggi, di ba-wah pimpinan Ciang-tosu yang agaknya mengenal baik jalan liar itu, tibalah me-reka di daerah berbukit-bukit dan mereka berhenti di depan sebuah bukit yang di-kelilingi jurang. Hui Song terbelalak ka-gum. Bukit ini seperti sebuah rumah be-sar saja, dan pintunya adalah sebuah guha yang besar. Agaknya guha ini dahulu-nya ditutup dengan pintu batu yang amat besar. Akan tetapi pintu batu itu kini sudah terbuka miring dan pada pintu ba-tu yang amat tebal dan beratnya tentu ribuan kati itu terdapat ukiran tulisan tiga huruf yang berbunyi GUHA IBLIS NERAKA. Sungguh amat indah, megah dan juga menyeramkan. Siapakah orang-nya yang sudah dapat membuat pintu batu seperti itu dan siapa pula yang kuat membukanya? Kalau menggunakan tenaga manusia biasa, sedikitnya membutuhkan lima puluh orang yang menggabungkan tenaganya. Dan guha yang sudah terbuka itu nampak begitu luas, seolah-olah bu-kan guha melainkan sebuah pintu tem-busan menuju ke sebuah dunia yang lain lagi, dunia penuh dengan batu-batu rak-sasa yang aneh-aneh bentuknya, seperti diukir saja. Ataukah ini merupakan istana besar yang dihuni setan?



Empat orang itu begitu terpesona dan asyik memandang ke dalam, berdiri seperti patung-patung di depan guha yang pintunya terbuka itu sehingga mereka tidak tahu sama sekali bahwa sejak tadi, sebelum mereka tiba di tempat itu, jauh tinggi di atas pohon terdapat seorang gadis yang mendekam di atas dahan dan bersembunyi di balik daun-daun lebat, mengintai ke arah mereka! Seorang gadis manis yang cantik jelita, berusia kurang lebih sembilan belas tahun, berwajah periang dan bermata kocak, berpakaian sederhana.



Kalau saja Hui Song dapat melihat gadis itu, tentu dia akan berteriak kegirangen karena gadis itu adalah wanita yang selama ini selalu terbayang olehnya, dibawa ke dalam mimpi, dan tak pernah dilupakannya. Gadis itu adalah Ceng Sui Cin!



"Sebaiknya kita masuk sekarang sebelum gelap," kata Ciang-tosu atau Hui-to Cin-jin sambil menunjuk ke dalam dengan tangan kirinya.



"Mari, taihiap, kita masuk, biar aku yang menjadi penunjuk jalan karena aku yang sudah beberapa kali pernah masuk ke sini!" kata Siang Hwa.



Hui Song yang sudah tertarik sekali mengangguk. Mereka berempat lalu ma-auk ke dalam guha, Siang Hwa dan Hui Song di depan, diikuti oleh dua orang ka-kek itu. Setelah mereka berempat ma-suk, Sui Cin dari atas "mclayang" ke bawah. Ya, gerakannya itu seperti seekor burung melayang saja, demikian ringan dan cepatnya. Ternyata gadis ini jauh berbeda dengan Sui Cin tiga tahun yang lalu. Gerakannya sungguh luar biasa dan ia telah benar-benar menguasai ilmu Bu-eng Hui-teng (Lari Terbang Tanpa Ba-yangan) dengan baik. Dengan gerakan yang amat sigap, iapun menyelinap me-suk ke dalam guha di sebelah sana pintu dan ternyata di bagian dalam itu meru-pakan daerah yang luas dan berbatu-batu sehingga memudahkan gadis ini untuk me-nyelinap di antara batu-batu, bersembunyi dan membayangi empat orang yang berloncatan di sebelah depan.



Setelah melalui perjalanan berliku-liku di antara batu-batu besar, empat orang itu berhenti di depan terowongan dan memandang ke depan.



"Inilah jembatan batu pedang itu!" ka-ta Siang Hwa dan Hui Song memandang terbelalak ke depan. Hebat memang. Bu-kan jembatan, melainkan lorong yang pe-nuh dengan batu-batu meruncing seperti dibuat oleh tangan manusia sakti saja. Lorong itu demikian penuh dengan batu-batu meruncing ini sehingga untuk melewati lorong itu, satu-satunya jalan ha-ruslah berloncatan dari batu ke batu, di atas ujung-ujung batu runcing seperti pe-dang itu! Dan untuk mengerjakan ini bu-kanlah hal yang mudah, membutuhkan gin-kang yang sudah matang dan juga tenaga sin-kang yang kuat.



"Nah, di sinilah semua teman mogok. Ciang-tosu dan Ciong-hwesio sudah pernah mencoba, akan tetapi mereka hanya sampai beberapa meter saja. Aku sendiri sudah tiga kali melewati jembatan ini dengan hasil baik, akan tetapi selanjut-nya aku tidak sanggup lagi. Di sebelah depan sana terlalu berbahaya dan sukar," Siang Hwa menerangkan.



"Apakah kesukarannya?" Hui Song ber-tanya.



"Menuturkannya membuang-buang waktu saja dan tidak ada gunanya. Marilah kita melewati jembatan ini dulu, di de-pan engkau akan dapat melihatnya sen-diri, taihiap. Mulai dari sinilah aku membutuhkan bantuan seorang seperti engkau maka selanjutnya engkaulah yang memim-pin karena kepandaianmu jauh lebih lihai dan dapat dipercaya daripada aku sen-diri."



"Nanti dulu, nona. Selama beberapa hari aku mengikutimu dan membantumu tanpa banyak bertanya. Kini kita telah tiba di tempat ini dan kukira aku berhak mengetahui segala sesuatu tentang pe-kerjaan yang kita lakukan. Tempat apa-kah ini sebenarnya dan harta pusaka itu milik siapakah? Bagaimanapun juga, aku sungguh tidak akan mau membantu kalau terdapat kenyataan bahwa kita sedang melakukan pencurian atau perampasan."



Mendengar ini, Siang Hwa dan dua o-rang kakek itu saling pandang dan nampak keraguan pada pandang mata dua o-rang kakek itu. Akan tetapi Siang Hwa mengangguk dan berkata. "Memang sudah sepatutnya kalau taihiap mengetahuinya, dan orang yang lebih mengetahuinya mengenai harta pusaka itu adalah Ciang-to-su." Dan ia menoleh kepada kakek ber-pakaian tesu itu. "Ciang-locianpwe, Cia-taihiap adalah orang segolongan dan sehaluan, tiada salahnya kalau mendengar tentang harta pusaka ini. Harap locian-pwe suka menjelaskannya."



"Siancai, sesungguhnya cerita menge-nai harta pusaka ini merupakan rahasia besar, tadinya rahasia keluarga pinto, ki-ni menjadi rahasia kita yang menentang pemberontakan. Akan tetapi karena Cia-taihiap, biarlah pinto membuka rahasia dan menceritakannya."



Kakek yang berlagak seperti pendeta beragama To itu mulai bercerita. Kira-nya dia adalah keturunan Bangsa Mongol, bahkan nenek moyangnya pada hampir dua ratus tahun yang lalu merupakan pe-jabat tinggi atau ningrat dalam Kerajaan Goan yang berbangsa Mongol. Ketika itu pemerintahan Mongol yang memakai nama Dinasti Goan menguasai seluruh Tiongkok dan cerita tosu ini terjadi pada waktu pemerintahan dipegang oleh Kaisar Shun Ti (1333-1368). Pada waktu itu hasil tanah rampasan dari daerah-daerah yang tadinya masih belum mau mengakui kekuasaan Kerajaan Goan kemudian ditaklukkan, dibagi-bagi di antara para ningrat Mongol. Pembagian itu amat besar karena paling kecil tanah yang dibagikan kepada mereka itu mencapai luas seratus hektar! Terjadilah perampasan-perampasan karena para pejabat tinggi menjadi "mabok tanah" dan timbullah tuan-tuan tanah dalam arti yang sebenarnya karena mereka itu masing-masing memiliki tanah yang ratusan, bahkan ribuan hektar luasnya! Tentu saja orang yang menguasai tanah sampai sekian luasnya itu merupakan raja kecil dalam tanah yang dikuasainya. Tanah-tanah itu oleh para tuan tanah disewakan kepada buruh-buruh tani dengan memungut hasil tanah yang amat menekan, seolah-olah para petani itu diperas keringatnya dan dihisap sebagian besar hasil tenaga me-reka. Dan para petani itu tetap mau sa-ja diperas seperti itu karena mereka ha-nya bermodal tenaga, tidak memiliki tanah secuilpun. Tanpa adanya tanah, kepandaian dan tenaga mereka untuk ber-cocok tanam tidak ada artinya dan me-reka perlu makan setiap hari.



Dengan adanya kekuasaan mutlak yang dipergunakan dengan sewenang-wenang ini, maka banyak di antara para pejabat tinggi dan ningrat ini yang berhasil menumpuk harta kekayaan yang sukar diba-yangkan banyaknya. Dan di antara mere-ka itu terdapat nenek moyang Ciang-tosu atau yang sesungguhnya berjuluk Hui-to Cin-jin itu! Pembesar Mongol ini menum-puk harta kekayaan yang amat besar, kemudian menurunkan harta kekayaan itu kepada keturunannya sampai akhirnya pe-merintah Mongol ditumbangkan oleh rakyat yang memberontak pada tahun 1368 dan brakhirlah pemerintahan penjajah Mongol dan lahirlah Dinasti Beng-tiauw yang dipimpin oleh bangsa sendiri sampai saat Hui Song mendengar cerita itu dituturkan oleh Ciang-tosu.



Akan tetapi, seperti juga banyak pembesar tinggi pemerintah Mongol lainnya, nenek moyang Ciang-tosu berhasil melarikan sebagian besar harta kekayaannya dan menyembunyikannya ke dalam tempat rahasia yang dinamakan Guha Iblis Neraka itu. Dengan bantuan beberapa orang pandai, pembesar Mongol itu menyembunyikan harta kekayaan berupa emas dan batu-batu permata dan setelah berhasil menyembunyikannya, pembesar ini memerintahkan para pengawalnya untuk membunuh semua pembantu sehingga tempat itu menjadi rahasia yang hanya diketahuinya sendiri saja. Rahasia ini dibawanya lari ketika pemerintahan bangsanya jatuh dan hanya sedikit harta benda yang dapat dibawanya lari ke utara. Dan rahasia itu menjadi warisan bagi anak cucunya. Akan tetapi, tidak mudah bagi anak cucunya untuk dapat mengambil harta pusaka yang tersimpan di tempat yang rahasia dan berbahaya itu. Ketika menyimpan rahasia itu, orang-orang pandai yang membantunya menggunakan alat-alat rahasia sehingga ketika mereka keluar, alat-alat itu digerakkan dan betu-batu runtuh menimbun dan menghapus jejak sehingga amatlah sukar bagi orang untuk menemukan harka itu, biarpun dia sudah tahu di mana letaknya. Apalagi bagi orang luar. Dan jalan menuju ke harta karun itupun amatlah sulit dan berbahayanya. Inilah sebabnya, mengapa sampai hampir dua ratus tahun, tidak ada orang yang menemukan harta itu yang masih tersimpan dan tertimbun dengan aman di tempat yang menyeramkan itu.



"Keturunan pembesar penyimpan harta karun itu, yang terakhir adalah pinto sendiri. Akan tetapi, biarpun pinto juga mewarisi pengetahuan tentang harta itu dan memiliki peta yang menunjukkan tempatnya, untuk apakah harta itu bagi pinto yang sejak muda menjadi pendeta? Pula, kepandaian pinto terlalu rendah untuk dapat menggali dan menemukan harta pusaka itu, maka sampai kini pinto tinggal diam saja. Barulah setelah pinto mendengar bahwa rahasia harta karun ini sampai ke telinga para pemberontak dan mereka berusaha mencari dan menguasainya untuk dipakai biaya melakukan pem-berontakan, hati pinto tergerak dan ber-sama kawan-kawan sehaluan pinto ber-usaha mendapatkan harta karun itu men-dahului para pemberontak!"



"Jalan selanjutnya bukan terjun ke bawah, melainkan melompati sumur pa-sir itu dan berusaha mendarat di seberang," kata Siang Hwa.



"Menyeberang ke sana? Tapi, di depan itu hanya tebing..."



"Inilah mengapa aku mengatakan bah-wa tempat ini amat sukar, taihiap. Dan bagian ini bukanlah yang paling sukar. Aku sendiri sudah sampai ke sana. Kaulihat batu menonjol di tebing itu, yang berwarna agak kehitaman? Nah, tonjolan batu itu dapat dipakai tempat mendarat. Di sebelah atas tonjolan itu terdapat le-kukan yang cukup dalam dan lebar untuk tangan berpegangan dan bergantung, sedangkan di bawah tonjolan batu itu ter-dapat pula lekukan yang lebih besar lagi untuk tempat kaki berpijak. Kau dapat melihatnya, taihiap?"



Hui Song mengangguk-angguk dan dia merasa kagum kepada nona ini. Seorang diri, Siang Hwa dapat menemukan tem-pat mendarat yang luar biasa itu, sung-guh merupakan kecerdikan dan juga ke-beranian yang jarang terdapat. Dia sen-diri, kalau tidak diberi tahu, belum tentu akan dapat menemukan kemungkinan me-loncati sumur pasir dan mendarat di te-bing yang curam itu.



"Kalau ragu-ragu, biarlah aku yang melompat lebih dulu, taihiap," kata Siang Hwa. Mendengar ini, tersinggung rasa harga diri Hui Song. Kalau gadis itu berani meloncati, mengapa dia tidak? Dan pula, setelah melihat tonjolan batu dan lekukan-lekukan pada dinding itu, dia maklum bahwa meloncati dan hinggap di tebing itu bukan merupakan pekerjaan yang terlalu sukar baginya.



"Tidak, biarkan aku melompat lebih dulu."



Tanpa menanti jawaban, Hui Song mengerahkan tenaganya dan meloncat. Dengan mudah saja tubuhnya melayang ke depan dan di lain saat dia sudah hinggap di tebing itu, tangan kanannya mencengkeram lekukan di atas tonjolan batu dan kaki kirinya hinggap di lekukan bawah.



"Bagus, sekarang harap merayap ke kiri. Di balik batu itu terdapat batu datar, harap berputar di balik batu dan meninggalkan tempat mendarat itu untukku, taihiap."



Hui Song merayap ke kiri, berpegang kepada lekukan-lekukan di permukaan tebing yang tidak rata dan sebentar saja dia menemukan tempat yang dimaksud oleh gadis itu. Memang, di balik tebing terdapat batu datar dan diapun berputar dan berdiri di atas batu datar itu. Kiranya di balik tebing terdapat lereng yang batunya datar.



Dia memandang ketika gadis itu meloncat dan ternyata Siang Hwa mampu pula meloncati sumur pasir itu dengan mudah, hinggap di tempat dia mendarat tadi. Tak lama kemudian gadis itu telah berdiri di sampingnya, dan sebuah tangan yang hangat lunak memegang tangannya. Dia merasa betapa tangan gadis itu agak dingin gemetar.



"Kenapa?" tanyanya heran.



Jari-jari tangan itu mencengkeram dengan hangat, lalu melepaskan kembali pegangannya. "Maaf, taihiap. Aku selalu merasa tegang sekali kalau sudah meloncati sumur mengerikan itu, teringat kepada teman-teman yang telah ditelannya." Ia bergidik. Kemarahan Hui Song karena kemesraan yang lancang itu lenyap dan dia merasa kasihan.



"Engkau tidak sendirian, nona. Akupun merasa tegang dan ngeri. Tempat ini memang sungguh menyeramkan dan sukar dilalui. Akan tetapi aku berjanji akan membantu sampai engkau dapat menemukan tempat penyimpanan harta karun itu, terutams demi untuk menentang para penjahat yang hendak memberontak."



"Terima kasih, Cia-taihiap, mari kita lanjutkan perjalanan ini. Tidak jauh lagi, akan tetapi masih harus melalui dua tempat yang lebih sukar dan lebih berbahaya lagi. Nah, kaulihat, di depan itu terbentang rawa yang menghalang perjalanan menuju ke tempet penyimpanan harta karun itu. Perjalananku yang sudah-sudah, untuk pertama kalinya ketika aku melakukan perjalanan seorang diri menyelidik, hanya sampai di tepi rawa ini dan aku tidak mampu melanjutkan. Kemudian aku datang lagi dibantu oleh seorang yang cukup lihai dan kami berhasil menyeberang, akan tetapi pada rintangan terakhir kami gagal dan pulangnya, temanku itu celaka dan tewas di rawa itu."



Kalau saja Hui Song tahu akan kebohongan gadis ini, tentu dia akan bergidik ngeri. Memang benar gadis itu pernah berhasil menyeberangi rawa dengan ban-tuan seorang gagah, akan tetapi setelah gagal menemukan harta pusaka, khawatir karena rahasia harta karun itu telah di-ketahui orang luar, secara keji ia lalu membunuh orang gagah yang tadinya membantunya itu di tengah rawa!



Mendengar ini, Hui Song memandang rawa itu dengan penuh perhatian. Mereka kini sudah tiba di tepi rawa. Sebuah ra-wa yang kecil saja, akan tetapi sungguh tidak mungkin dilewati tanpa mempergu-nakan alat. Melompati rawa ini hanya mampu dilakukan oleh burung dan bina-tang bersayap lainnya saja. Rawa itu merupakan air lumpur yang ditumbuhi bermacam tumbuh-tumbuhan yang biasa hidup di atas lumpur dan tidak melihat perahu atau alat lain untuk menyeberang.



"Bagaimana cara menyeberangi rawa ini dan apa bahayanya, nona?" ta-nyanya.



Siang Hwa tersenyum. "Nampaknya aman dan tenang, bukan? Akan tetapi ketahuilah, taihiap, di bawah permukaan air berlumpur yang kelihatan tenang itu bersembunyi binatang-binatang iblis yang amat mengerikan dan liar sekali. Bina-tang yang siap mengintai dari bawah un-tuk menerkam dan menyerang siapa saja yang berani melintas di permukaan ra-wa."



"Binatang apakah itu?"



"Lihat, akan kupancing keluar mere-ka!" kata Siang Hwa, kemudian ia mengambil sebatang kayu dan menggunakan kayu itu untuk mengaduk-aduk dan menggerak-gerakkan permukaan air berlumpur di tepi rawa. Tak lama kemudian air berlumpur itu berguncang dan muncullah moncong beberapa ekor binatang seperti buaya dan mereka bergerak ganas, memukul-mukul dengan ekor mereka yang seperti gergaji ke arah kayu itu bahkan ada yang menggunakan moncongya untuk menyerang. Moncong itu mengerikan. Panjang dan ketika dibuka, amat lebarnya, penuh dengan gigi yang tajam meruncing seperti gigi gergaji pula! Dan gerakan ini memancing datangnya segerombolan binatang ini sehingga dalam waktu singkat saja di seluruh permukaan rawa itu nampak moncong atau ekor tersembul keluar! Mungkin ada ribuan ekor di seluruh rawa itu.



"Ah, sungguh berbahaya!" Hui Song bergidik ngeri. Bagaimana mungkin mereka akan dapat melawan sekian banyaknya binatang liar dan buas ini? "Lalu begaimana kita akan dapat menyeberang?"



Siang Hwa tersenyum, agaknya bangga akan pengetahuan dan kecerdikannya. "Kita tidak depat menggunakan perahu. Selain akan sukar meluncur, juga sekali terpukul ekor binatang itu, perahu kayu akan hancur berkeping-keping. Kita menggunakan bambu. Kalau kita berdiri di atas bambu den mendayung, tentu bambu akan meluncur laju dan kalau kita berdua, kita dapat berjaga di kedua ujung bambu. mengusir dan menghantam setiap ekor binatang yang berani mendekat dengan pentungan kayu yang dapat kita cari di sini. Seorang diri saja akan amat berbahaya karena kalau kita diserang dari depan belakang, selagi berdiri di atas bambu dan mengatur keseimbangan badan pula, akan sukarlah menyelamatkan diri."



Gadis itu lalu mengajak Hui Song pergi mengambil alat-alat itu yang disembunyikannya di balik bukit kecil tidak jauh dari situ. Mereka lalu menggotong sebatang bambu yang panjangnya kurang lebih tiga meter, kedua ujungnya meruncing. Bambu ini sudah tua dan kering, kuat den ulet sekali dan Siang Hwa juga sudah menyediakan dayung sebanyak dua batang dengan gagang panjang. Dayung ini terbuat dari kayu dilapis baja dan ujungnya bahkan seluruhnya terbuat dari besi, maka dayung ini dapat dipergunakan untuk mendayung perahu istimewa berupa sebatang bambu itu, juga dapat dipergunakan sebagai senjata ampuh untuk menghadapi binatang-binatang seperti buaya itu.



"Hemm, kiranya engkau sudah mem-persiapkan segalanya, nona," kate Hui Song kagum.



"Sudah kukatakan bahwa sudah beberapa kali aku datang ke tempat ini, taihiap. Namun sampai kini tanpa hasil dan sekaranglah timbul harapanku akan ber-hasil, dengan bantuanmu. Mari kita me-nyeberang. Biar aku menjaga di ujung depan dan engkau di ujung belakang, taihiap."



"Baiklah!" kata Hui Song yang merasa betapa jantungnya berdebar juga ketika batang bambu itu diturunkan di atas per-mukaan air berlumpur.



Siang Hwa meloncat ke atas bambu dan berjalan sampai ke ujung depan, diikuti oleh Hui Song. Jangan dikira mudah berdiri di atas batang bambu besar yang terapung di atas air berlumpur. Bambu itu bergoyang-goyang dan condong untuk berputar sehingga orang yang tidak me-miliki gin-kang yang tinggi dan pandai mengatur keseimbangan tubuh, tentu akan terbawa berputar dan terpelanting ke da-lam air berlumpur itu. Dan di kanan kiri bambu itu kini sudah nampak moncong-moncong mengerikan dan ekor-ekor yang panjang dan kuat!



"Jangan sembarangan memukul mere-ka, taihiap. Kalau ada yang mencoba menyerang, baru kita memukul, akan tetapi sekali pukul harus mengenai kepalanya dan harus menewaskannya, kalau ti-dak dia akan mengamuk dan berbahaya-lah kita. Sesudah seekor kita tewaskan, kita harus cepat mendayung bambu ini meluncur maju, karena bangkainya akan dijadikan rebutan kawan-kawannya sendiri sehingga air lumpur akan berguncang he-bat."



Hui Song mengangguk-angguk, mata-nya tidak berani berkedip memandang ke sekelilingnya dan diapun menggerakkan dayungnya membantu Siang Hwa yang sudah mulai mendayung. Bambu yang ujungnya runcing itu menggeleser lembut dan meluncur dengan cepatnya di atas permukaan air berlumpur itu, menyusup di antara alang-alang dan tumbuh-tumbuhan lain.



Baru belasan meter bambu mereka meluncur, setelah banyak pasang mata di belakang moncong-moncong itu memandang seperti terkejut dan terheran, mulailah datang serangan itu. Seekor binatang liar menerjang dari depan menyambut ujung bambu. Melihat behaya ini, Siang Hwa menggerakkan dayungnya, menyambut dengan hantaman keras.



"Prakkk!" Pecahlah kepala binatang itu dan dengan dayungnya Siang Hwa mencongkel dan melempar bangkai binatang itu agak jauh. Hui Song melihat betapa tempat di mana bangkai itu jatuh kini penuh dengan binatang yang mengeroyok dan memperebutkan bangkai yang sebentar saja sudah dirobek-robek dan ditelan habis. Air lumpur menjadi merah warnanya. Diam-diam dia bergidik juga membayangkan bagaimana kalau tubuh manusia yang dijadikan rebutan seperti itu!



"Cepat dayung!" Siang Hwa berteriak. "Mereka mendayung dan bambu meluncur ke depan, akan tetapi terpaksa Hui Song harus berhenti mendayung karena tiba-tiba seekor binatang yang amat besar berenang dengan cepat dan memukulkan ekornya ke arahnya. Dayungnya terlampau pendek untuk mencapai kepala buaya itu, maka dia hanya mempergunaken dayung untuk menangkis ekor. Buaya itu kesakitan dan marah, membalik dan dengan moncong dibuka lebar dia menyerang, hendak menggigit apa saja. Hui Song menggerakkan dayungnya dan pecahlah kepala binatang itu. Seperti yang dilakukan oleh Siang Hwa tadi, dengan dayungnya dia mendorong dan melemparkan bangkai itu agak jauh dari bambu. Bangkai itu segera menjadi rebutan seperti tadi.



Akan tetapi, agaknya binatang-binatang itu menganggap bahwa dua orang penunggang bambu itu mendatangkan rejeki dan memberi makanan kepada mereka, kini mereka semua bereng menghampiri dan nampak betapa moncong-moncong itu muncul banyak sekali di kanan kiri, depan dan belakang perahu.



Dayung cepat...!" Siang Hwa berteriak khawatir melihat begitu banyaknya binatang yang mendekati bambu. Kembali mereka mendayung sambil mengerahkan tenaga sin-kang dan karena tenaga Hui Song memang besar sekali, dayungnya membuat bembu itu meluncur dengan amat lajunya. Akan tetapi, baru sampai di tengah-tengah rawa, bambu itu sudah dikurung oleh ratusan ekor binatang buas itu yang kini agaknya menjadi marah karena tidak mendapatkan makanan lagi. Binatang ini agaknya mempunyai watak seperti ikan-ikan hiu di lautan. Mereka bekerja sama dengan rukun, akan tetapi sekali mencium darah, mereka tidak memperdulikan darah kawan atau lawan. Semua yang berdarah akan diserbu dan diganyang dengan lahapnya!



Melihat ancaman hebat ini, Siang Hwa berteriak, "Taihiap, cepat, kita berkumpul di tengah dan saling melindungi!"



"Ah, sungguh berbahaya!" Hui Song bergidik ngeri. Bagaimana mungkin mereka akan dapat melawan sekian banyaknya binatang liar dan buas ini? "Lalu begaimana kita akan dapat menyeberang?"



Siang Hwa tersenyum, agaknya bangga akan pengetahuan dan kecerdikannya. "Kita tidak depat menggunakan perahu. Selain akan sukar meluncur, juga sekali terpukul ekor binatang itu, perahu kayu akan hancur berkeping-keping. Kita menggunakan bambu. Kalau kita berdiri di atas bambu den mendayung, tentu bambu akan meluncur laju dan kalau kita berdua, kita dapat berjaga di kedua ujung bambu. mengusir dan menghantam setiap ekor binatang yang berani mendekat dengan pentungan kayu yang dapat kita cari di sini. Seorang diri saja akan amat berbahaya karena kalau kita diserang dari depan belakang, selagi berdiri di atas bambu dan mengatur keseimbangan badan pula, akan sukarlah menyelamatkan diri."



Gadis itu lalu mengajak Hui Song pergi mengambil alat-alat itu yang disembunyikannya di balik bukit kecil tidak jauh dari situ. Mereka lalu menggotong sebatang bambu yang panjangnya kurang lebih tiga meter, kedua ujungnya meruncing. Bambu ini sudah tua dan kering, kuat den ulet sekali dan Siang Hwa juga sudah menyediakan dayung sebanyak dua batang dengan gagang panjang. Dayung ini terbuat dari kayu dilapis baja dan ujungnya bahkan seluruhnya terbuat dari besi, maka dayung ini dapat dipergunakan untuk mendayung perahu istimewa berupa sebatang bambu itu, juga dapat dipergunakan sebagai senjata ampuh untuk menghadapi binatang-binatang seperti buaya itu.



"Hemm, kiranya engkau sudah mem-persiapkan segalanya, nona," kate Hui Song kagum.



"Sudah kukatakan bahwa sudah beberapa kali aku datang ke tempat ini, taihiap. Namun sampai kini tanpa hasil dan sekaranglah timbul harapanku akan ber-hasil, dengan bantuanmu. Mari kita me-nyeberang. Biar aku menjaga di ujung depan dan engkau di ujung belakang, taihiap."



"Baiklah!" kata Hui Song yang merasa betapa jantungnya berdebar juga ketika batang bambu itu diturunkan di atas per-mukaan air berlumpur.



Siang Hwa meloncat ke atas bambu dan berjalan sampai ke ujung depan, diikuti oleh Hui Song. Jangan dikira mudah berdiri di atas batang bambu besar yang terapung di atas air berlumpur. Bambu itu bergoyang-goyang dan condong untuk berputar sehingga orang yang tidak me-miliki gin-kang yang tinggi dan pandai mengatur keseimbangan tubuh, tentu akan terbawa berputar dan terpelanting ke da-lam air berlumpur itu. Dan di kanan kiri bambu itu kini sudah nampak moncong-moncong mengerikan dan ekor-ekor yang panjang dan kuat!



"Jangan sembarangan memukul mere-ka, taihiap. Kalau ada yang mencoba menyerang, baru kita memukul, akan tetapi sekali pukul harus mengenai kepalanya dan harus menewaskannya, kalau ti-dak dia akan mengamuk dan berbahaya-lah kita. Sesudah seekor kita tewaskan, kita harus cepat mendayung bambu ini meluncur maju, karena bangkainya akan dijadikan rebutan kawan-kawannya sendiri sehingga air lumpur akan berguncang he-bat."



Hui Song mengangguk-angguk, mata-nya tidak berani berkedip memandang ke sekelilingnya dan diapun menggerakkan dayungnya membantu Siang Hwa yang sudah mulai mendayung. Bambu yang ujungnya runcing itu menggeleser lembut dan meluncur dengan cepatnya di atas permukaan air berlumpur itu, menyusup di antara alang-alang dan tumbuh-tumbuhan lain.



Baru belasan meter bambu mereka meluncur, setelah banyak pasang mata di belakang moncong-moncong itu memandang seperti terkejut dan terheran, mulailah datang serangan itu. Seekor binatang liar menerjang dari depan menyambut ujung bambu. Melihat behaya ini, Siang Hwa menggerakkan dayungnya, menyambut dengan hantaman keras.



"Prakkk!" Pecahlah kepala binatang itu dan dengan dayungnya Siang Hwa mencongkel dan melempar bangkai binatang itu agak jauh. Hui Song melihat betapa tempat di mana bangkai itu jatuh kini penuh dengan binatang yang mengeroyok dan memperebutkan bangkai yang sebentar saja sudah dirobek-robek dan ditelan habis. Air lumpur menjadi merah warnanya. Diam-diam dia bergidik juga membayangkan bagaimana kalau tubuh manusia yang dijadikan rebutan seperti itu!



"Cepat dayung!" Siang Hwa berteriak. "Mereka mendayung dan bambu meluncur ke depan, akan tetapi terpaksa Hui Song harus berhenti mendayung karena tiba-tiba seekor binatang yang amat besar berenang dengan cepat dan memukulkan ekornya ke arahnya. Dayungnya terlampau pendek untuk mencapai kepala buaya itu, maka dia hanya mempergunaken dayung untuk menangkis ekor. Buaya itu kesakitan dan marah, membalik dan dengan moncong dibuka lebar dia menyerang, hendak menggigit apa saja. Hui Song menggerakkan dayungnya dan pecahlah kepala binatang itu. Seperti yang dilakukan oleh Siang Hwa tadi, dengan dayungnya dia mendorong dan melemparkan bangkai itu agak jauh dari bambu. Bangkai itu segera menjadi rebutan seperti tadi.



Akan tetapi, agaknya binatang-binatang itu menganggap bahwa dua orang penunggang bambu itu mendatangkan rejeki dan memberi makanan kepada mereka, kini mereka semua bereng menghampiri dan nampak betapa moncong-moncong itu muncul banyak sekali di kanan kiri, depan dan belakang perahu.



Dayung cepat...!" Siang Hwa berteriak khawatir melihat begitu banyaknya binatang yang mendekati bambu. Kembali mereka mendayung sambil mengerahkan tenaga sin-kang dan karena tenaga Hui Song memang besar sekali, dayungnya membuat bembu itu meluncur dengan amat lajunya. Akan tetapi, baru sampai di tengah-tengah rawa, bambu itu sudah dikurung oleh ratusan ekor binatang buas itu yang kini agaknya menjadi marah karena tidak mendapatkan makanan lagi. Binatang ini agaknya mempunyai watak seperti ikan-ikan hiu di lautan. Mereka bekerja sama dengan rukun, akan tetapi sekali mencium darah, mereka tidak memperdulikan darah kawan atau lawan. Semua yang berdarah akan diserbu dan diganyang dengan lahapnya!



Melihat ancaman hebat ini, Siang Hwa berteriak, "Taihiap, cepat, kita berkumpul di tengah dan saling melindungi!"



Mereka berdua melangkah ke tengah-tengah bambu dan beradu punggung, menghadapi penyerbuan binatang-binatang buas itu. "Bunuh sebanyaknya dan lemparkan bangkai mereka ke sana-sini, untuk mencerai-beraikan mereka!" Kembali gadis itu berkata dengan tenang, namun hanya sikapnya yang tenang, suaranya agak gemetar. Diam-diam Hui Song merasa kagum. Dia sendiri merasa ngeri dan dia tahu bahwa kalau hanya sendirian saja, akan lebih besarlah bahayanya, walaupun dia tentu akan memperoleh akal untuk menyelamatkan dirinya.



Kini, binatang-binatang liar itu menyerbu dari kanan kiri dan kedua orang muda itu menggerakkan dayung mereka untuk menyambut. Terdengar suara keras pecahnya kepala binatang itu berkali-kali disusul terlemparnya bangkai-bangkai mereka ke kanan kiri. Bangkai-bangkai itu menjadi rebutan, akan tetapi karena yang menyerbu amat banyaknya, biarpun sebagian ada yang memperebutkan bangkai kawan sendiri, yang menyerbu bambu itu tetap saja masih amat banyak.



Hui Song merasa tidak leluasa kalau menghadapi sekian banyaknya binatang itu hanya dengan berdiri di atas bambu dan menyambut setiap binatang yang berani menyerang paling dekat. Maka dia lalu meloncat dari atas bambu, menghantam seekor buaya, lalu kakinya hinggap di atas kepala seekor buaya lain, menghantam lagi dan dengan cara berloncatan dari kepala ke kepala, dia dapat membagi-bagi pukulan dengan lebih baik. Sebentar saja, belasan ekor buaya telah pecah kepalanya dan terjadilah perebutan bangkai yang hiruk-pikuk. Melihat sepak terjang pendekar itu, Siang Hwa terkejut dan juga amat kagum. Biarpun dia tahu bahwa pendekar itu lihai sekali, namun dia tidak pernah mengira bahwa Hui Song akan seberani dan sehebat itu.



"Mari, taihiap, kini ada kesempatan untuk melarikan diri!" katanya setelah kini para binatang itu sibuk sendiri saling serang dan memperebutkan bangkai-bangkai yang banyak itu.



Mereka lalu mendayung lagi setelah dengan sigapnya Hui Song meloncat kembali ke atas bambu. Bambu meluncur cepat dan biarpun ada beberapa ekor binatang yang memburu, namun mereka sudah dapat tiba di seberang dengan selamat. Mereka menarik bambu itu ke darat dan menyembunyikannya ke belakang serumpun semak-semak.



"Hayaaa... berbahaya juga...!" kata Hui Song sambil menyusuti peluh dari lehernya dengan saputangan.



Siang Hwa juga menyusuti keringatriya dan memandang kagum. "Akan tetapi engkau hebat, taihiap. Sungguh hebat den membuatku kagum sekali. Memang amat berbahaya tadi, den sekiranya bukan engkau yang mendampingiku, tentu tamatlah riwayat Gui Siang Hwa pada hari ini!"



"Ah, sudahlah jangan terlalu memuji, nona. Engkau sendiri juga mengagumkan sekali. Nah, sekarang apa pula yang akan kita hadapi?"



"Tinggal satu lagi, taihiap, akan tetapi satu yang paling sukar den biarpun sudah dibantu oleh teman lihai yang akhirnya tewas di rawa, tetap saja aku tidak mampu mengatasi kesukaran tera-khir ini. Mari kita lanjutkan perjalanan."



Akhirnya tibalah mereka di depan se-buah guha kecil yang tertutup batu bun-dar yang besar. "Nah, di belakang batu besar inilah tempat penyimpanan harta karun, yaitu menurut peta rahasia yang menjadi warisan Ciang-tosu. Akan tetapi, biarpun aku sudah berusaha mati-matian bersama teman itu, tetap saja kami ti-dak berhasil menggerakkan batu ini yang seolah-olah melekat pada guha di bela-kangnya."



Hui Song tertarik sekali dan meman-dang batu besar bulat itu. Batu itu me-mang besar, akan tetapi karena bentuk-nya bulat, rasanya kalau orang memiliki tenaga sin-kang yang sudah cukup kuat, tentu akan mampu mendorongnya sehing-ga menggelinding atau tergeser dari tempat semula. Gadis ini cukup lihai dan kuat, apalagi dibantu seorang teman yang juga lihai, bagaimana sampai tidak ber-hasil mendorong batu bulat ini ke sam-ping? Dia tidak boleh mempergunakan tenaga kasar saja. Kalau dua orang itu dengan tenaga digabung tidak berhasil menggeser batu ini, tentu ada rahasia-ya. Dia harus berhati-hati dan tidak boleh sembrono. Maka mulailah dia mene-liti dan mendekati batu itu meraba sana-sini dan memeriksa ke sekelilingnya. Akhirnya dia mengambil kesimpulan bahwa memang batu ini, biarpun tidak melekat dan menjadi satu dengan mulut guha, na-mun ditahan oleh sesuatu yang membuat batu itu sukar dilepaskan dari mulut gu-ha. Tentu ada alat rahasianya.



"Taihiap, mari kita mencoba untuk menyatukan sin-kang dan mendorong batu ini agar tergeser dan membuka pintu gu-ha," kata gadis itu.



Akan tetapi Hui Song menggeleng ke-palanya. "Nona, kurasa akan percuma sa-ja mempergunakan tenaga kasar memaksa batu ini tergeser. Batu ini besarnya membuat ia tidak mungkin dipecahkan dun biarpun garis tengahnya ada dua meter, mestinya dapat didorong dan digeser. Kalau tidak dapat digeser, itu berarti bah-wa di balik batu ini ada sesuatu yang mungkin sengaja dipasang untuk menahan batu ini agar tidak pindah dari tempatnya. Aku mempunyai akal yang akan lebih mudah kita laksanakan."



"Bagaimana, taihiap?" gadis itu memandang penuh harapan.



"Kekuatan manusia ada batasnya. Akan tetapi kekuatan yang timbul dari berat jenis batu ini sendiri akan sukar dapat ditahan oleh alat yang membuat batu itu tidak bergoyah dari tempatnya. Mari kita membuat batu itu melepaskan diri sendiri dengan berat jenisnya."



Mula-mula Siang Hwa tidak mengerti, akan tetapi melihat pemuda itu mulai menggali tanah di sebelah batu besar, ia mengerti dan cepat membantu penggalian itu. Karena mereka berdua adalah orang-orang pandai yang bertenaga besar, sebentar saja mereka sudah menggali cukup lebar dan dalam. Tiba-tiba Hui Song berteriak mendorong tubuh gadis itu ke samping. Batu itu bergerak! Tak lama kemudian batu itupun menggelinding masuk ke dalam lubang galian di sebelah kirinya dan terbukalah setengah pintu guha itu!



"Awas, jangan masuk dulu dengan sembrono!" Hui Song memperingatkan dan betapapun ingin hati Siang Hwa, ia cukup waspada dan mentaati peringatan ini. Terdengar suara keras dan tiba-tiba dari dalam lubang guha itu menyambar tujuh batang anak panah menghitam yang sudah berkarat disusul oleh debu yang mengepul keluar, debu yang jelas mengandung racun! Kedua orang muda itu menyingkir dan bergidik melihat anak panah itu meluncur lewat dan jatuh ke dalam jurang di belakang mereka.



"Aih, sungguh berbahaya sekali!" kata Siang Hwa.



Hui Song mempergunakan tenaga sin-kang untuk pukulan jarak jauh, mendorong dengan kedua telapak tangannya ke arah lubang guha mengusir sisa debu dan juga untuk menahan kalau-kalau dari dalam ada serangan mendadak.



Mereka berindap masuk dan ternyata bukan manusia menyerang mereka, melainkan alat rahasia yang agaknya dipasang orang untuk menyerang siapa saja yang berani membuka batu dan memasuki guha itu. Ternyata seperti dugaan Hui Song, di belakang batu itu terdapat sam-bungan besi yang terkait pada kaitan ba-ja yang ditanam di lantai dua. Pantas saja tenaga manusia tidak mampu men-dorong batu itu dari luar. Setelah batu itu bergantung pada lubang yang mereka gali, kaitan baja itu tidak kuat menahan berat batu yang patah. Akan tetapi be-gitu guha terbuka dan batu tergeser, berjalanlah alat-alat rahasia yang membuat tujuh anak panah itu meluncur keluar dan kantong terisi debu beracunpun jatuh pecah berhamburan. Semua itu digerak-kan dengan per yang bekerja setelah batu itu tergeser.



Setelah meniliti semua itu, Hui Song menggeleng kepala kagum. "Sungguh he-bat sekali kepandaian orang yang mema-sangkan alat rahasia ini." Akan tetapi Siang Hwa tidak begitu memperhatikan lagi semua alat rahasia itu.



"Taihiap, mari kita masuk. Menurut peta, harta karun tersimpan dalam jarak dua puluh satu langkah dari pintu dan tersembunyi di dalam dinding guha sebe-lah kiri. Biar kuukur jarak itu!" Dengan sikap gembira dan penuh ketegangan, Siang Hwa lalu melangkah sambil meng-hitung dari pintu guha. Setelah dua pu-luh satu langkah dia berhenti.



"Tentu di sini tempatnya," katanya sambil berjongkok den memeriksa dinding sebelah kiri. Hui Song mendekati, hatinya juga ikut merasa tegang.



"Ihh... apa ini...?" tiba-tiba gadis itu berteriak.



"Awas...!" Hui Song berseru dan cepat tangan kanannya mencengkeram pundak Siang Hwa untuk ditariknya ke belakang dan tangan kirinya menangkis ketika ada benda hitam tiba-tiba saja meluncur ke arah dada gadis itu.



"Trakkk!" Benda itu ternyata sebuah tombak kuno yang menghitam dan mudah diduga pula bahwa tombak ini, seperti juga anak panah tadi, mengandung racun. Akan tetapi bukan itu yang mengejutkan hati Hui Song dan Siang Hwa, melainkan jatuhnya pula sebuah kerangka manusia lengkap dari dinding itu. Tadi Siang Hwa meraba-raba dinding itu dan menemukan besi kaitan yang segera ditariknya dan begitu penutup dinding terbuka, kerangka itu terjatuh berikut tombak yang meluncur!



Hui Song menyingkirkan tombak itu, kemudian bersama Siang Hwa menyalakan lilin-lilin yang sudah mereka bawa seba-gai bekal tadi. Di bawah penerangan si-nar lilin-lilin yang lumayang terang, mereka melihat bahwa di balik pintu yang menutup dinding tadi terdapat sebuah pe-ti besar hitam.



"Itulah harta karunnya!" Siang Hwa berseru girang sekali dan melonjak se-perti anak kecil. Hui Song tersenym dan pemuda inipun dapat merasakan gejolak hatinya yang ikut bergembira. Usaha me-reka berhasil dan semua jerih payah tadi tidak sia-sia.



"Hati-hati, nona. Jangan-jangan ada jebakan lagi atau senjata rahasia. Mari kita turunkan peti itu perlahan-lahan."



Hui Song lebih dulu mencoba dengan mencokel-cokel peti itu menggunakan se-potong batu, bahkan Siang Hwa lalu menghunus pedang dan memukul-mukul di atas peti. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu. Barulah mereka berani menarik dan menurunkan peti besar itu yang ukurannya lebih dari setengah meter persegi.



"Mengapa begini ringan?" Hui Song berkata.



"Kita buka saja, coba lihat isinya!" kata Siang Hwa tak sabar.



Peti itu dapat dibuka dengan mudah dan merekapun bersikap hati-hati ketika membuka tutup peti. Tidak terjadi sesua-tu, akan tetapi keduanya terbelalak memandang ke dalam peti karena peti itu ternyata kosong sama sekali! Bagaikan awan tipis ditiup angin, lenyaplah semua kegembiraan yang memenuhi hati, ter-ganti rasa kecewa yang amat menghimpit batin.



"Peti kosong...!" teriak Siang Hwa kemudian setelah ia dapat mengeluarkan suara.



"Mungkin bukan ini, mungkin di tem-pat lain," kata Hui Song membangkitkan harapan.



"Tidak, tidak!" Pasti ini. Tempatnya sudah tepat, dan memang beginilah gam-baran peti dalam peta Liang-tosu... Yang dimaksudkan seperti apa yang diceritakan suhunya. "Tapi... sudah kosong. Ah, inilah sebabnya mengapa ada kerangka manusia ini, dan pasti ada o-rang mendahului kita. Dalam peta tidak pernah disebutkan adanya kerangka manusia atau tombak!"



"Didahului orang? Akan tetapi siapa dapat mendahuluimu, nona? Bagaimana pula dia dapat masuk kalau tadi batu itu masih utuh dan kaitannya juga baru saja terlepas? Dan siapa pula kerangka manu-sia? Mari kita selidiki!" Hui Song dan Siang Hwa masing-masing membawa lilin karena bagian dalam guha itu sudah mu-lai remang-remang, melakukan pemerik-saan dengan hati kecewa dan tegang.



Hui Song ingin sekali membuktikan kebenaran dugaan Siang Hwa bahwa ada orang mendahului mereka. Kalau benar demikian, harus ada tanda-tandanya ba-gaimana orang itu dapat memasuki guha itu. Ataukah orang itu yang memasang semua alat rahasia di dalam guha itu? Akan tetapi, bukankah jebakan dan alat-alat rahasia itu sudah diketahui oleh Siang Hwa melalui peta, kecuali alat terakhir berupa tombak meluncur tadi? Tidak, ka-lau benar ada yang mendahului, tentu orang itu mengambil jalan lain yang ti-dak perlu merusak kaitan batu bundar penutup mulut guha!



Akhirnya usahanya berhasil. Dia me-nemukan sebuah lubang di lantai guha sebelah kanan, dan ketika dia menying-kirkan tanah yang menutupi lubang itu, lubang itu ternyata menuju ke bawah dan menembus keluar guha, melalui bawah batu! Mengertilah dia kini dan dia berseru kagum.



"Ah, orang itu memasuki guha dengan jalan membuat lubang terowongan di ba-wah batu. Sungguh cerdik sekali!" katanya.



"Dan kerangka ini adalah kerangka seorang Mongol dan pembunuhnya atau orang yang telah mengambil harta karun ini tentu ada hubungannya dengan per-kumpulan rahasia Harimau Terbang di Mongol!"



"Apa...? Begaimana engkau bisa tahu, nona?" Hui Song mendekati gadis itu yang sedang memeriksa sebuah lencana yang terbuat dari emas.



"Aku pernah mempelajari ciri-ciri khas dari tulang pipi dan dagu orang Mongol aseli dan tengkorak kerangka ini jelas adalah tengkorak seorang Mongol. Dan lencana ini kudapatkan genggamannya, agaknya sampai tewas, orang ini terus menggenggam sebuah lencana yang besar kemungkinannya dapat dirampasnya dari leher lawannya yang membunuhnya. Lencana ini adalah tanda anggauta Hari-mau Terbang, sebuah perkumpulan raha-sia di Mongol, yaitu menurut tulisan Mo-ngol yang diukir di atasnya."



Hui Song melihat lencana itu dan dia merasa semakin kagum terhadap Siang Hwa. Kiranya gadis ini selain lihai, juga mempunyai pengetahuan yang luas. "Jadi kalau begitu kesimpulannya..."



"Seorang atau lebih orang yang lihai dan cerdik sekali telah tahu akan rahasia harta karun ini, dan telah mendahului ki-ta, mungkin sudah belasan bulan melihat betapa mayat ini telah menjadi kerangka yang masih utuh. Dia atau mereka memasuki guha dengan jalan membuat lu-bang terowongan kecil itu. Kemudian a-gaknya terjadi perebutan di sini, dan o-rang ini tewas sedangkan dia hanya da-pat merampas lencana yang agaknya di-pakai oleh lawan sebagai kalung tanpa diketahui lawan itu. Orang itu, atau le-bih dari seorang, lalu mengambil seluruh isi peti harta karun, memasukkan mayat orang ini ke dalam lubang bersama peti, memasang sebuah tombak untuk menye-rang orang yang datang kemudian mem-buka tempat penyimpanan peti harta pusaka, Bagaimana pendapatmu, taihiap?"



Hui Song mengangguk-angguk. Perki-raan yang tepat sekali dan dia sendiripun tidak dapat menerka lain. "Dugaanmu a-gaknya tepat sekali, nona. Memang ha-nya seperti itulah kiranya yang dapat terjadi. Alat-alat rahasia di balik batu penutup guha itu dibuat oleh mereka atau dia yang menyimpan harta pusaka itu, sedangkan mayat dan tombak tadi me-mang ditaruh kemudian, dan pasti oleh si pencuri harta pusaka. Lalu sekarang ba-gaimana?"



Tiba-tiba Siang Hwa menangis! Hal ini amat mengejutkan hati Hui Song. Dia terkejut dan terheran, sama sekali tidak pernah dapat membayangkan seorang yang gagah dan lihai seperti Siang Hwp dapat menangis sesenggukan seperti anak kecil begitu, akan tetapi dia segera teringat bahwa bagaimanapun juga, Siang Hwa adalah seorang wanita, dan harus diakuinya bahwa mendapatkan peti harta pusaka yang telah kosong itu sungguh merupakan pukulan batin yang amat hebat! Dia sendiri yang sama sekali tidak mempunyai kepentingan dengan hatta itu, yang hanya terlibat secara kebetulan saja, merasa amat kecewa, menyesal dan tertekan batinnya. Apalagi Siang Hwa! Gadis ini sudah lama menyelidiki tempat ini, sudah berkali-kali gagal, bahkan sudah banyak temannya tewas dalam tugas penyelidikan. Kini, setelah berhasil menemukan tempat dan peti harta pusaka, setelah harapan sudah memuncak di ambang keberhasilan, tiba-tiba saja segala-galanya hancur dan gagal sama sekali! Dia merasa kasihan, lalu teringat bahwa harta pusaka itu diperebutkan hanya demi menentang pemberontakan, bukan untuk kepentingan diri pribadi.



"Sudahlah, nona. Kiranya tidak ada gunanya ditangisi lagi. Pula, kita mencari harta pusaka untuk menghalangi pusaka itu terjatuh ke tangan pemberontak. Dan sekarang seperti dugaanmu tadi, yang mengambilnya adalah orang Mongol, bukan para datuk sesat yang hendak memberontak. Yang penting adalah tidak terjatuh ke tangan pemberontak, jadi sama saja apakah pusaka itu terjatuh ke tangan kita ataukah orang lain asal jangan pemberontak, bukankah begitu?"



Siang Hwa memandang tajam dan sepasang matanya seperti berkilauan di bawah cahaya lilin. "Taihiap, engkau tentu akan suka membantu kami untuk melakukan pengejaran ke Mongol, membantu kami merampas kembali harta pusaka itu, bukan?"



Hui Song mengerutkan alisnya. "Untuk apa, nona? Aku... aku mempunyai urusan lain..." dia teringat akan tugasnya seperti yang dipesankan oleh gurunya. Tentu saja dia tidak berani berterus terang kepada Siang Hwa tentang usaha para pendekar menentang para datuk sesat yang merencanakan pemberontakan, wa-laupun dia menganggap Siang Hwa juga seorang di antara para orang gagah yang menetang pemberontakan.



Akan tetapi, ucapan gadis itu meye-kinkan hatinya dan memperkuat kepercayaannya. "Taihiap, bukankah kita sehaluan, yaitu hendak menentang para pem-berontak? Nah, usaha mendapatkan harta karun itu merupakan pukulan paling he-bat bagi mereka, selain mereka gagal memperoleh harta yang akan dapat me-reka pergunakan untuk membiayai pem-berontakan, juga kita dapat menggunakan harta itu untuk keperluan gerakan me-nentang mereka."



Timbul kepercayaan di hati Hui Song. Jangan-jangan gadis ini adalah seorang di antara pimpinan para patriot yang hen-dak membela negara! "Nona Gui, aku ha-rus pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang..." Dia memancing sambil menatap tajam wajah gadis itu. Akan tetapi wajah Siang Hwa tidak menunjukkan sesua-tu, hanya sepasang mata itu yang berki-lat penuh penyelidikan mengamati wajah Hui Song.



"Cia-taihiap, sudah terlalu lama aku sibuk dengan tugasku mencari harta ka-run ini sehingga aku agak terlambat mengikuti perkembangan gerakan kawan-kawan kita di luar. Tentu di sana akan diadakan pertemuan rahasia antara kita, bukan?"



Hui Song mengangguk. "Para pendekar akan mengadakan pertemuan di sana, kalau aku harus membantumu, aku khawatir akan terlambat."



"Ah, kalau begitu aku tidak boleh mengganggumu! Apakah engkau akan da-tang sebagai wakil dan utusan Cin-ling-pai?"



Betapa inginnya hati Hui Song untuk mengaku demikian. Akan tetapi dia ter-ingat akan sikap ayahnya dan dia tidak berani berbohong, maka diapun tidak menjawab secara langsung melainkan hanya menggeleng kepala.



"Baiklah, kalau begitu terpaksa kami akan melanjutkan sendiri pencarian kami, dan sekarang kita harus keluar dari tem-pat ini sebelum malam tiba, taihiap."



Akan tetapi, melihat gadis itu mengangkat lilin tinggi di atas kepala dan te-rus berjalan menuju ke sebelah dalam guha, Hui Song bertanya, "Eh, jalan ke mana, nona?"



"Taihiap, menurut peta yang dimiliki Ciang-tosu, guha ini merupakan terowongan yang menuju ke belakang bukit. Se-perti yang kaulihat, di depan sana ada sinar terang, berarti di sana ada lubang mulut guha di belakang bukit ini. Mari kita mengambil jalan ke sana, dan meli-hat keadaannya. Siapa tahu kalau-kalau penjahat-penjahat yang mencuri harta itu menyembunyikan harta itu di sana, walaupun harapan ini tipis sekali. Akan tetapi setelah berhasil memasuki tempat yang luar biasa ini, tiada salahnya kalau kita melihat sebentar bagaimana macamnya tembusan guha ini, bukan?"



Hui Song mengangguk dan mengikuti gadis itu. Setelah maju belasan meter dan membelok, benar saja nampak mulut guha dan kini tidak perlu lagi mereka memakal lilin karena cahaya terang me-masuki guha dari pintu atau mulut guha itu. Matahari sudah condong ke barat, akan tetapi sinarnya masih nampak te-rang. Silau juga rasanya mata yang sudah lama berada di dalam guha gelap, hanya diterangi api lilin, kini tiba-tiba harus menghadapi cahaya matahari di luar guha itu. Dan pemandangan di depan guha itu sungguh indah, juga amat mengerikan. Depan guha itu merupakan batu datar yahg lebarnya dua meter dan panjangnya kurang lebih lima belas meter, akan te-tapi selanjutnya tidak ada apa-apa lagi, merupakan jurang yang amat curam! Me-ngerikan kalau memandang ke bawah, yang nampak hanya kabut. Tidak ada jalan keluar dari tempat itu, merupakan jalan mati yang berakhir dengan jurang yang amat dalam. Di depan nampak pun-cak bukit batu karang menonjol, jaraknya dari tepi jurang itu tidak terlampau jauh, hanya kurang lebih lima puluh meter, akan tetapi karena adanya jurang yang amat curam itu, nampak menganga mengerikan dan nampak lebih jauh dari kenyataannya.



"Ini merupakan jalan buntu dan mati, tidak ada jalan keluar dari sini. Tidak, nona, pencuri harta pusaka itu tidak mengambil jalan sini, melainkan kembali melalui terowongan kecil yang mereka buat di bawah batu," kata Hui Song sambil menjenguk ke bawah dari tebing ju-rang itu.



Tidak terdengar jawaban sampai lama. Hui Song menengok dan terbelalak sam-bil memutar tubuh, memandang dengan terheran-heran kepada tiga orang itu. Siang Hwa, Ciang-tosu dan Ciong-hwesio sudah berdiri menghadang di depan mulut guha dengan wajah beringas! Senyum mengejek menghias bibir Siang Hwa yang bia-sanya bersikap manis dan halus itu.



"Cia Hui Song, pencuri itu tidak keluar dari sini, akan tetapi sekarang engkau harus keluar dari sini!"



"Nona, apa artinya ini?" Hui Song bertanya, sikapnya masih tenang namun waspada karena dia maklum bahwa tiga orang ini telah membohonginya, buktinya kini dua orang kakek yang katanya tidak dapat melewati jembatan batu-batu pe-dang itu ternyata telah dapat menyusul ke sini.



"Arntinya, engkau harus mampus di si-ni untuk menebus dosa-dosamu. Pertama, engkau berani menghina dengan menolak perasaan hatiku kepadamu, dan kedua, engkau tidak bersedia membantu kami mencari harta karun itu ke Mongol, dan ketiga, engkau sebagai orang luar telah tahu akan harta karun itu, maka untuk menutup rahasia ini dan untuk menebus dosamu, engkau harus mati. Nah, terjun-lah ke dalam jurang itu."



Tapi... bukankah kita sehaluan...?" Hui Song bertanya, bukan karena takut melainkan karena penasaran dan heran.



"Ha-ha-ha-ha!" kakek gendut yang di-sebutnya Ciong-hwesio tertawa bergelak. "Sehaluan? Ha-ha-ha...!"



"Nona, apa artinya semua ini?" Hui Song membentak kepada Siang Hwa, me-rasa cukup dipermainkan dan menuntut penjelasan, namun matanya tiduk lepas dari sikap mereka itu karena dia cukup mengenal kelihaian dan kecurangen me-reka.



"Orang tampan yang berhati dingin, engkau ingin tahu dan masih belum dapat menerkanya? Baik, dengarlah sebelum engkau mati. Aku Gui Siang Hwa adalah murid Pangeran Tonn Jit-ong dan aku mewakili suhu mencari harta karun. Mereka ini adalah para pembantu suhu yang berjuluk Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo..."



Mata Hui Song terbelalak dan ingin dia menampar muka sendiri karena me-rasa menyesal sekali atas kebodohannya. Dia seperti pernah mendengar nama ke-dua orang kakek itu, mengingat-ingat lagi mengangguk-angguk. "Kiranya dua orang dari Cap-sha-kui...? Bagus sekali kiranya kalian bertiga adalah komplotan busuk itu sendiri!"



"Cia Hui Song, lebih baik kau cepat meloncat ke bawah, atau engkau lebih suka kami yang memaksamu?" Siang Hwa menghunus pedang tipisnya. Hui-to Cin-jin juga sudah menghunus keluar sepasang pisau belati, sedangkan kakek gendut Kang-thouw Lo-mo melepaskan tali guci arak yang tadinya tergantung di pinggang. Ki-ranya guci arak kecil ini juga dapat dipergunakan sebagai senjata oleh si gendut ini!



Hui Song tersenyum mengejek, timbul kembali kegembiraan dun ketabahannya. Lebih baik menghadapi lawan secara ber-terang begini daripada menghadapi mere-ka yang disangkanya teman sehaluan yang dapat dipercaya. "Perempuan hina, jangan disangka bahwa aku takut menghadapi kalian bertiga. Dahulu, karena tidak me-ngira bahwa engkau adalah seorang iblis betina, aku terjebak. Jangan harap seka-rang akan dapat mengulangi lagi kecuranganmu itu!"



"Manusia sombong!" bentak Hui-to Cin-jin yang tadinya diberi nama Ciang-tosu itu dan tiba-tiba sinar kilat menyambar ketika kedua tangannya bergerak. Dua batang pisau itu telah menyambar ke arah tenggorokan dan perut Hui Song dengan kecepatan kilat! Memang inilah keistimewaan kakek itu, bahkan nama julukannya Hui-to (Pisau Terbang). Akan tetapi sekali ini Hui Song sudah siap siaga dengan penuh kewaspadaan, maklum bah-wa yang dihadapinya adalah lawan-lawan yang tangguh, berbahaya den juga curang sekali. Maka begitu melihat ada dua si-nar berkelebat, dengan tenang saja dia menggerakkan tangannya dan dengan sen-tilan jari tangannya, dua batang pisau itu runtuh ke atas tanah dan menancap sam-pai hanya nampak gagangnya saja! Tosu itu terkejut dan kedua tangannya sudah memegang dua batang pisau lainnya.



Siang Hwa yang sudah maklum akan kelihaian Hui Song, sudah menerjang ke depan dan pedangnya sudah berkelebat membentuk gulungan sinar yang menyam-bar-nyambar. Hui Song dengan tenang mengelak ke sana-sini, dan karena tem-pat itu memang sempit, diapun mengelak sambil membalas dengan tendangan kaki-nya yang hampir saja mengenai lutut la-wan. Gadis itu terpaksa meloncat ke be-lakang dan menyerang lagi, sekali ini di-bantu oleh dua orang kawannya yang masing-masing mempergunakan sebuah guci arak dan sepasang pisau belati. Hui Song melihat bahwa dua orang kakek itupun ternyata lihai sekali, maka diapun berge-rak dengan hati-hati. Namun, di belakangnya terdapat jurang yang amat curam dan dia didesak oleh tiga orang yang kepandaiannya tinggi dan bersenjata, maka betapapun lihainya, dia tersudut dan ter-ancam bahaya maut. Gerakannya kurang leluasa, terutama karena ada ancaman maut ternganga di belakangnya dan tiga orang lawan yang cerdik itu agaknya me-mang hendak mendesak dan memaksanya untuk terjun ke dalam jurang.



Tiba-tiba Siang Hwa mengeluarkan suara bentakan nyaring dan tangan kiri-nya sudah mengeluarkan saputangannya yang mengandung bubuk obat bius. Akan tetapi Hui Song sudah siap pula mengha-dapi ini. Mulutnya meniup dan bubuk o-bat bius itu buyar membalik, juga dia menahan napas dan baru berani menarik napas setelah racun itu lenyap. Pada sa-at itug kembali Hui-to Cin-jin menyerang dengan sepasang belatinya dan tiba-tiba, ketika pemuda itu mengelak, tosu itu melepaskan dua batang pisaunya menjadi sambitan dari jarak yang amat dekat! Hui Song tidak menjadi gugup dan berhasil menyampok dua batang pisau itu. Pada saat itu, Siang Hwa sudah menyerang dengan pedangnya menusuk ke arah pe-rut sedungkan si gendut menghantam da-ri samping ke arah kepalanya mengguna-kan guci arak itu!



Hui Song meloncat dan hendak me-nangkap hantuman guci arak, akan tetapi pedang Siang Hwa membalik dan tahu-tahu sudah menyerempet pahanya.



"Brettt...!" Ujung pedang itu merobek celana kakinya yang kanan, merobek celana itu dari paha ke bawah sampai betis, akan tetapi ujung pedang itu tidak mampu membuat luka dalam, hanya membuka sedikit kulit kaki yang biarpun mengeluarkan darah namun bukan merupakan luka yang berat, hanya lecet saja.



"Iblis-iblis busuk yang curang!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan da-ri dalam guha itu berkelebatan bayangan orang yang amat cepat dan ringan ge-rakannya. Begitu tiba di luar mulut gu-ha, bayangan ini sudah menendang ke arah perut gendut Kang-thouw Lo-mo dan tangan kirinya mencengkeram ke a-rah kepala Hui-to Cin-jin! Gerakannya demikian cepatnya sehingga hampir saja perut gendut itu tercium ujung sepatu. Si gendut cepat mundur, akan tetapi tetap saja pinggnnggnya terserempet tendangan yang membuat dia terbuyung. Hui-to Cin-jin juga terkejut akan tetapi mampu menghindarkan diri.



"Sui Cin...!" Hui Song berseru girang bukan main ketika mengenal wajah gadis yang baru datang itu. Tadinya ketika melihat bayangan berkelebat datang membantunya dan melihat bahwa bayangan itu adalah seorang gadis, dan masih belum mengenalnya, akan tetapi kini dia dapat melihat jelas dan kegembiraan yang amat besar menyelinap dalam hatinya ketika dia menyebut nama gadis itu.



Sui Cin meloncat dekat dan mereka saling melindungi. "Song-ko, jangan khawatir, aku membantumu. Mari kita hajar tiga ekor tikus ini... eh, mana mereka?"



Ternyata Siang Hwa dan dua orang kakek itu sudah lenyap dari depan mulut guha. Hui Song terkejut. "Mari kita kejar...!"



Akan tetapi tiba-tiba terdengar stara keras dan ada pintu besi yang bergerak menutup mulut guha itu, agaknya digerakkan oleh alat rahasia yang membuat daun pintu besi itu keluar dari dalam dinding. Ternyata Siang Hwa amat cerdiknya. Me-lihat datangnya seorang gadis yang amat lihai membantu Hui Song, ia merasa khawatir dan cepat ia mengajak dua orang pembantunya lari masuk ke dalam guha dan menggerakkan pintu rahasia yang memang sudah diketahuinya.



Hui Song dapat menduga kecurangan itu yang amat membahayakan keselamat-an dia dan Sui Cin, maka diapun mener-jang daun pintu itu.



"Brungggg...!" Daun pintu tergetar akan tetapi tidak pecah oleh terjangan kaki tangan Hui Song. Ternyata daun pintu itu terbuat dari baja yang tebal.



"Song-ko, kita dapat lari melalui te-bing di depan itu!" kata Sui Cin sambil menunjuk ke arah puncak bukit yang me-rupakan tebing di depan, di seberang jurang yang tak nampak dasarnya saking dalamnya itu. "Kita dapat meloncat ke sana."



Hui Song memandang dan menggeleng kepala. "Terlalu berbahaya..." Dia sendiri merasa sanggup meloncat ke sana, akan tetapi bagaimana dengan Sui Cin? Terlalu berbahaya bagi Sui Cin, bukan baginya dan meloncati jarak itu sambil menggendong tubuh Sui Cin jelas tidak mungkin.



Sui Cin sudah lama mengenal Hui Song dan mengerti apa yang berada dalam ba-tin pemuda itu. "Song-ko, jangan khawatir, aku dapat meloncat ke sana...!"



Pada saat itu terdengar suara ketawa Siang Hwa dari balik daun pinto baja. "Ha-ha-ha, orang she Cia. Lebih baik engkau ajak temanmu itu meloncat turun ke dalam jurang karena mau tidak mau ka-lian harus melakukannya!" Dan tiba-tiba pintu baja itu terbuka sedikit dan meluncurlah pisau-pisau terbang, jarum-jarum dan juga batu-batu yang dilemparkan o-leh tiga orang itu! Karena mereka ada-lah orang-orang yang lihai, tentu saja lemparan mereka itu amat kuat dan ber-bahaya, terutama pisau-pisau terbang yang menjadi kepandaian khas dari Hui-to Cin-jin. Sibuk juga Hui Song dan Sui Cin mengelak dan memukul runtuh senjata-senjata rahasia itu dan dalam gerakan Sui Cin, Hui Song melihat kecepatan yang amat luar biasa. Besarlah hatinya. Agak-nya selama tiga tahun ini Sui Cin yang digembleng oleh Dewa Arak Wu-yi Lo-jin telah memperoleh kemajuan pesat, ter-utama dalam ilmu gin-kang seperti dapat dilihatnya ketika gadis itu tadi menyerbu menolongnya dan kini ketika mengelak dari sambaran senjata-senjata rahasia. Dia dan Sui Cin meloncat ke arah pintu, akan tetapi pintu itu cepat sudah tertu-tup kembali dari dalam!



"Memang tidak ada jalan lain," kata Hui Song mengerutkan alisnya yang te-bal. "Kalau kita berdiam di sini, tentu mereka akan mencari akal untuk mence-lakakan kita. Kalau cuaca sudah gelap, sukarlah kita untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan gelap mereka. Me-nerjang pintupun percuma saja. Akan tetapi, benarkah engkau sanggup meloncat ke sana, Cin-moi?"



"Tentu saja sanggup, biar aku melom-pat lebih dulu agar hatimu tiduk akan khawatir lagi."



"Jangan Cin-moi. Jangan, biar aku yang melompat lebih dulu sehingga eng-kau dapat memperoleh tempat pendarat-an yang aman di sana."



"Baiklah, Song-ko. Akan tetapi cepat, itu di sebelah kanan kulihat banyak le-kukan pada dinding batu, kau loncatlah ke sana, Song-ko."



"Baik, Cin-moi."



"Berhati-hatilah."



Hui Song mengambil ancang-ancang, lalu berlari dan meloncat sambil menge-rahkan gin-kangnya , menuju ke tempat pendaratan di tebing bukit di depan. Tu-buhnya meluncur seperti seckor burung saja dan tepat tiba pada dinding di ma-na terdapat banyak lekukan, agak ke ba-wah. Dengan cekatan tangannya men-cengkeram lekukan batu dan kedua kaki-nya hinggap pada lekukan batu pula. Dia telah mendarat dengan selamat! Dia menoleh dan tersenyum kepada Sui Cin, la-lu berseru, "Cin-moi, sekarang kau meloncatlah. Ke sebelah kenanku ini, banyak lekukan dan baik untuk mendarat. Aku akan menjagamu di sini!" Dia sudah siap dengan tangan kirinya untuk menolong kalau-kalau loncatan Sui Cin tidak men-capai sasaran. Bagaimanapun juga, dia belum tahu sampai di mana kemampuan gin-kang gadis itu.



"Baik, Song-ko, aku meloncat!"



Gadis itu meloncat dengan gerakan yang indah dan cekatan, akan tetapi pa-da saat itu, Hui Song melihat dua orang kakek itu keluar dari pintu mulut guha yang tiba-tiba terbuka dan melihat beta-pa kakek gendut itu melontarkan batu-batu yang sebesar kepala orang ke arah Sui Cin yang sedang meloncat.



"Cin-moi, awas...!" Teriaknya, akan tetapi terlambat. Gadis itu tentu saja sama sekali tidak pernah menduganya bahwa ia akan diserang dari belakang dan dalam keadaan melayang itu, sukar baginya untuk mengelak.



"Bukkk...!" Sebuah batu sebesar kepala tepat mengenai belakang kepalanya.



"Oughhh...!" Gadis itu mengeluh dan tubuhnya terkulai. Untung baginya bahwa loncatannya tadi amat kuat sehingga tubuhnya kini melayang ke arah Hui Song. Pemuda ini cepat menangkap lengan kiri Sui Cin dan gadis itu bergantung pada pegangannya dengan tubuh lemas. Gadis itu tidak pingsan, akan tetapi kelihatan lemas dan pandang matanya nanar dan agaknya timpukan yang mengenai belakang kepalanya itu membuatnya nanar dan pening.



"Jangan takut... tenang saja... aku menolongmu...!" Hui Song menghibur dengan kata-kata lembut sambil menguatkan hatinya yang dicekam kegelisahan. Pada saat itu, dia mendengar desir angin dari belakang dan tahulah dia bahwa ada beberapa batang pisau terbang menyambar ke arah tubuh belakangnya. Dia tidak mungkin dapat mengelak atau menangkis, maka Hui Song mengerahkan tenaga sin-kang, disalurkannya ke punggung.



Empat batang pisau mengenai tengkuk dan punggungnya, akan tetapi semua runtuh dan hanya merobek bajunya saja, sama sekali tidak mampu menembus kulit tubuhnya yang dilindungi tenaga sin-kang yang amat kuat. Dia lalu menarik tubuh Sui Cin ke dinding batu, kemudian memanjat dengan satu tangan saja dibantu pengerahan tenaga pada kedua kakinya dan akhirnya, dengan susah payah, berhasillah dia mencapai puncak yang tidak begitu jauh lagi dan memondong tubuh Sui Cin yang lemas, dibawa meloncat ke balik puncak sehingga terlepas dari sasaran senjata-senjata rahasia lawan.



Hui Song duduk di balik batu besar dan merebahkan tubuh Sui Cin. Gadis itu masih sadar, akan tetapi sepasang matanya yang terbuka itu nampak kosong dan tubuhnya lemas. Cepat Hui Song meraba kepala bagian belakang gadis itu. Hanya terluka sedikit saja akan tetapi banyak darah yang keluar. Dia menotok beberapa jalan darah untuk menghentikan aliran darah, kemudian mengurut tengkuk dara itu perlahan-lahan. Dia dapat menduga bahwa otak dalam kepala dara itu terguncang oleh hantaman batu sehingga membuat gadis itu nanar dan pening. Dia khawatir kalau-kalau ada kerusakan di dalam susunan syaraf otak. Dengan sin--kangnya yang disalurkan ke dalam tela-pak tangannya, dia membantu gadis itu untuk menyembuhkan luka di dalam ke-pala. Rasa hangat yang menyelinap ke dalam kepala itu agaknya terasa nyaman sekali karena tak lama kemudian, keluh-an-keluhan kecil dan rintihan yang tadi-nya keluar dari mulut Sui Cin terhenti dan tak lama kemudian gadis itupun ter-tidur pulas. Hui Song membebaskan jalan darah yang ditotoknya agar tidak meng-halangi darah yang mengalir ke otak dan dia menjaga tubuh yang lemah itu terti-dur pulas terlentang di depannya. Dia ti-dak berani membuat api unggun karena khawatir kelau-kalau para iblis itu melakukan pengejaran. Tiga orang musuh itu lihai dan curang, dan Sui Cin sedang da-lam keadaan terluka, maka berbahayalah kalau dia membuat api unggun dan tiga orang itu dapat mencarinya. Karena maklum bahwa dalam keadaan seperti itu Sui Cin tidak dapat mengerahkan sin-kang melawan hawa dingin, dia lalu menanggal-kan jubah dan bajunya, menyelimuti tu-buh Sui Cin dengan itu dan dia sendiri bertelanjang dada.



Malam itu udara cerah dan bulan bersinar terang. Hawanya dingin sekali akan tetapi dengan kekuatan sin-kangnya, Hui Song mampu bertahan terhadap ha-wa dingin itu. Dia duduk dekat Sui Cin dan tiada jemunya mengamati wajah ga-dis itu, wajah yang selama ini selalu terbayang olehnya terbawa dalam mimpi.



"Sui Cin... ah, Cin-moi... tak kusangka bahwa begitu berjumpa, engkau telah menyelamatkan nyawaku..." bisiknya dengan perasaan hati penuh haru. Dia tahu bahwa tadi, selagi dia diserang oleh tiga orang jahat yang curang itu di tepi tebing, kalau tidak muncul dara ini, besar sekali kemungkinannya dia akan terjengkang dan tewas! Masih bergidik dia membayangkan bahwa gadis cantik yang tadinya dianggap sahabat dan teman sehaluan, yang dianggap sebagai seorang pendekar yang sedang bergerak menentang pera datuk yang hendak memberontak, ternyata malah merupakan tokoh sesat itu sendiri, bukan sembarang orang me-lainkan murid Raja Iblis! Dan dua orang kakek yang berdandan seperti tosu dan hwesio itu ternyata adalah dua orang di antara Cap-sha-kui. Sungguh berbahaya sekali. Jelaslah bahwa memang Siang Hwa, gadis murid Raja Iblis itu, sedang mencari harta karun itu untuk membea-yai pemberontakan yang dipimpin oleh gurunya. Dan semua yang terjadi tadi memang merupakan perangkap baginya. Tenaganya hendak dipergunakan untuk mencari harta karun den setelah harta karun itu lenyap didahului orang, dianggap tidak berguna lagi dan tentu saja a-kan dibunuh.



Hui Song mengepal tinju dan terse-nyum dingin. "Bagaimanapun juga, bagus sekali bahwa aku telah mengetahui akan adanya harta pusaka itu dan akan kuperjuangkan agar harta pusaka itu jangan jatuh ke tangan para pemberontak!"



Untunglah bahwa pencuri harta pusaka itu meninggalkan jejak berupa tanda lencana perkumpulan Harimau Terbang di Mongol. Dia sendiripun harus pergi keluar Tembok Besar untuk menghadiri pertemuan antara para pendekar dan sebelum itu dia akan dapat menyelidiki tentang harta karun yang dicuri itu di Mongol. Akan tetapi sekarang ini, yang terpenting ada-lah menolong Sui Cin. Dia hanya mengharap dara ini tidak terluka terlalu pa-rah.



Pada keesokan harinya, setelah mata-hari terbit, Hui Song melihat Sui Cin menggeliat dan mengeluh halus. Dia yang tadinya duduk bersila di bawah pohon, cepat menghampiri sambil tersenyum, jantungnya berdebar girang karena kini dia akan dapat bercakap-cakap dengan gadis pujaan hatinya itu.



"Cin-moi...!" Panggilnya lirih sambil mendekat.



Sui Cin membuka mata, bangkit du-duk sambil menoleh. Begitu melihat Hui Song, ia mengeluarkan teriakan nyaring den tubuhnya mencelat ke depan, menye-rang dengan tendangan ke arah dada pe-muda itu. Gerakannya demikian ringan dan cepat. Andaikata Hui Song sudah tahu sebelumnya bahwa dia akan diserang, biarpun gerakan gadis itu amat cepat, agaknya dia masih akan mampu menghindar. Akan tetapi perbuatan Sui Cin itu sama sekali tidak pernah disangkanya, maka dia terkejut dan heran dan karena itu gerakannya mengelak kurang cepat sehingga ujung sepatu gadis itu masih saja menyambar pundaknya.



"Bukk...!" Tubuh Hui Song terpelanting dan Sui Cin sudah meloncat lagi datang dan mengirim serangan bertubi-tubi dengan tangan dan kakinya.



"Heiii...!" Hui Song terpaksa bergulingan untuk mengelak. Akan tetapi betapapun dia berteriak mencegah, gadis itu seperti kesetanan dan menyerang terus semakin hebat saja. Hui Song terpaksa mempergunakan kepandaiannya, meloncat ke sana-sini dan kadang-kadang harus menangkis karena serangan-serangan gadis itu cepat bukan main.



"Cin-moi, ingatlah... Cin-moi...!"



"Engkau jahat, kejam, curang...!" Sui Cin memaki-maki dan menyerang terus. Makin lama, Hui Song menjadi semakin bingung dan khawatir. Beberapa kali tubuhnya sudah terkena pukulan atau tendangan, walaupun tidak mengakibatkan luka parah karena dia sudah menjaga diri dengan kekuatan sin-kang, namun terasa nyeri dan beberapa kali dia jatuh bangun.



"Cin-moi, aku... aku Hui Song, lupakah kau padaku?" beberapa kali dia berseru karena kini dia mulai menduga bahwa agaknya gadis ini kehilangan ingatannya, padahal kemarin masih menolongnya, berarti masih ingat kepadanya. Tidak salah lagi, tentu hantaman batu yang mengenai belakang kepala gadis itulah yang menyebabkan kini Sui Cin seperti lupa kepadanya.



Akan tetapi Sui Cin agaknya tidak perduli dan menyerang terus lebih hebat lagi. Dia mendapat kenyataan betapa kini Sui Cin dapat bergerak amat cepatnya, kadang-kadang seperti berkelebat lenyap saja. Dia merasa kagum dan dapat menduga bahwa tentu kehebatan gadis ini adalah hasil dari bimbingan dari Wu-yi Lo-jin selama tiga tahun. Makin lama makin repotlah dia kalau harus bertahan saja. Gerakan gadis itu terlalu cepat dan ka-lau hanya dihadapi dengan elakan dan tangkisan, akhirnya dia tentu akan terkena pukulan telak yang akibatnya akan berbahaya sekali. Maka, terpaksa untuk menahan gelombang serangan Sui Cin, Hui Song mulai membalas. Gerakannya mantap dan pukulan atau sambaran ta-ngannya amat kuat sehingga ketika Sui Cin menangkis, gadis ini terhuyung.



"Sui Cin, ingatlah...!" Hui Song masih terus mencoba untuk menyadarkan. Akan tetapi, gadis itu menyerang lagi dan keduanya berkelahi dengan amat serunya. Kini Hui Song juga mengerahkan tenaga dan kepandaiannya. Dia yakin bahwa Sui Cin kehilangan ingatan dan percuma sajalah kalau dibujuk atau diingatkan dengan omongan. Ia harus dapat merobohkan gadis ini, membuatnya tidak berdaya, baru dia akan berusaha untuk mencarikan obat atau untuk mengingatkan kembali.



Dia membalas dan terjadilah pertandingan yang hebat. Sui Cin bergerak amat cepat berkat ilmu gin-kang bimbingan Wu--yi Lo-jin sedangkan Hui Song sendiri mempunyai gerakan yang juga cepat dan mengandung tenaga sin-kang yang mem-buat gadis itu agak kewalahan.



Tiba-tiba Sui Cin terhuyung ke bela-kang dan memegangi kepala dengan ta-ngan kiri. Hui Song menahan gerakannya. Gadis itu terhuyung bukan oleh serangannya dan kini kelihatan memejamkan ke-dua matanya dan mengeluh. "Aihh... kepalaku... pening...!"



"Cin-moi, engkau kenapakah...? Sudah ingat lagikah engkau...?" Hui Song menghampiri dan hendak memegang tangan gadis itu. Akan tetapi Sui Cin merenggutkan tangannya dan menampar. Untung Hui Song dapat cepat meloncat ke belakang sehingga tamparan yang amat berbahaya itu luput. Sui Cin memandang wajah pemuda itu dengan mata mengandung kemarahan, akan tetapi ia mengeluh lagi, memegang kepalanya, lalu ia meloncat jauh dan lari meninggalkan tempat itu.



"Cin-moi, tunggu...!" Hui Song berteriak memanggil dan melakukan pengejaran. Akan tetapi, biarpun berkali-kali memanggil, gadis itu sama sekali tidak menjawab atau menoleh, apalagi berhenti. Dan larinya cepat sekali, secepat kijang! Betapapun Hui Song telah mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat, tetap saja dia tidak mampu menyusul bahkan semakin jauh tertinggal. Dia sendiri telah memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu gin-kang, namun tentu saja kalau dibandingkan dengan Sui Cin yang telah menguasai Bu-eng Hui-teng dari Wu-yi Lo-jin, dalam hal berlomba lari, dia masih kalah jauh.



"Cin-moi...!" teriaknya penuh kekhawatiran ketika dia melihat betapa bayangan gadis yang jauh meninggalkannya itu kini lenyap ke dalam sebuah hutan lebat. Dia mengejar terus akan tetapi menjadi bingung karena di dalam hutan itu dia sudah kehilangan jejak dan bayangan Sui Cin. Berkali-kali dia memanggil sambil berlari ke sana-sini, namun hasilnya nihil dan akhirnya pemuda ini menjatuhkan diri duduk di bawah pohon sambil menghapus keringat yang membasahi leher dan mukanya.



"Sui Cin, ke mana kau pergi dan apa yang akan terjadi dengan dirimu?" Teringat kembali bahwa gadis itu agaknya sedang menderita kehilangan ingatan, dia lalu meloncat bangun dan kembali mencari-cari dengan penuh semangat. Mengenai keselamatan diri gadis itu dia tidak begitu mengkhawatirkan karena biarpun berada dalam keadaan lupa ingatan, ternyata gadis itu kini merupakan seorang wanita yang luar biasa lihainya. Dia sendiripun tadi sampai hampir kewalahan menghadapi Sui Cin. Tidak, tidak ada orang akan dapat sembarangan saja mencelakai gadis yang lihai itu. Akan tetapi dia khawatir bagaimana akan jadinya gadis yang kehilangan ingatan itu.



Akan tetapi dia bingung ke mana ha-rus mencarinya, sedangkan ada dua ma-cam tugas penting yang harus dilaksana-kannya. Pertama, memenuhi pesan Siang-kiang Lo-jin untuk mendatangi bekas benteng Jeng-hwa-pang di luar Tembok Be-sar. Kedua, dia harus menyelidiki tentang harta karun yang agaknya dilarikan orang ke Mongol. Urusan kedua ini tidak kalah pentingnya karena kalau sampai harta karun itu terjatuh ke tangan Raja Iblis, maka pemberontak-pemberontak itu akan semakin berbahaya, memiliki harta untuk membiayai pemberontakan mereka. Maka secara untung-untungan diapun melakukan pencarian ke arah utara, sambil mencari Sui Cin, sekalian menuju ke tempat yang harus didatanginya. Pemuda ini melakukan perjalanan cepat, di sepanjang perja-lanan bertanya-tanya den menyelidiki ka-lau-kalau ada orang melihat Sui Cin le-wat di situ.



***



Bagaimana Sui Cin dapat muncul di depan Guha Iblis Neraka den membantu Hui Song yang terdesak tiga orang lawannya den berada dalam bahaya? Seperti telah kita ketahui, Sui Cin berpisah dari Hui Song tiga tahun yang lalu setelah ia bersama pemuda itu dan dua orang kakek sakti menyaksikan pertemuan para datuk bahkan sempat membuat kacau dalam pertemuan para datuk sesat itu, gadis ini lalu diajak pergi oleh Wu-yi Lo-jin atau Dewa Arak untuk mempelajari ilmu. Seperti juga halnya Hui Song yang dibawa pergi dan digembleng ilmu oleh Siang-kiang Lo-jin Si Dewa Kipas, Sui Cin juga diberi tahu oleh gurunya bahwa ia harus pergi ke utara, ke bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk mengadakan pertemuan dengan para pendekar yang siap menentang para datuk sesat yang dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis dengan rencana pemberontakan mereka. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Sui Cin mampir ke Pulau Teratai Merah, akan tetapi ayah ibunya tidak berada di pulau itu. Mereka kabarnya pergi untuk mencarinya. Maka Sui Cin lalu meninggalkan surat dan pergi lagi menuju ke utara.



Secara kebetulan saja dalam perjalanannya itu ia tiba di dusun Lok-cun, beberapa hari sebelum Hui Song tiba di situ. Ketika ia lewat di depan kuil kosong, ia melihat dua orang penghuni dusun berlari-larian dengan muka pucat. Sebagai seorang pendekar wanita tentu saja ia menjadi tertarik. Waktu itu sudah senja dan matahari sudah mulai mengundurkan diri dari ufuk barat.



"Kalian mengapa berlari-lari ketakutan? Ada apakah?" tegurnya kepada dua orang dusun yang usianya sudah empat puluhan tahun itu. Dua orang itu berlari semakin cepat ketika tiba-tiba saja ada seorang wanita cantik berlari di belakang mereka tanpa mereka dengar sebelumnya. Akan tetapi Sui Cin sekali meloncat sudah berdiri menghadang mereka dan mengembangkan kedua lengannya.



"Nanti dulu, kalian harus memberi tahu mengapa kalian berlari ketakutan?"



Dua orang itu memandang kepada Sui Cin dengan mata terbelalak dan muka pucat, lalu seorang di antara mereka berkata, "Nona... kami... kami dikejar se-tan..."



Sui Cin memandang ke belakang mereka dan diam-diam ia merasa ngeri. Kalau hanya penjahat, tentu ia sama sekali tidak merasa takut. Akan tetapi setan? Ah, mana ada setan berani mengejar manusia, pikirnya.



"Mana setannya? Di mana?" tanyanya.



Di... di kuil, nona. Memang kuil itu terkenal berhantu, akan tetapi kami tidak memasuki kuil, hanya lewat. Tiba-tiba kami mendengar suara tangis disusul tawa seorang wanita, dan ada bayangan berkelebatan lenyap begitu saja di depan kami...!" dua orang itu masih menggigil, dan yang seorang segera menarik tangan kawannya lalu diajak lari dari tempat itu sambil mengomel.



"Hayo kita pergi, siapa tahu ia ini..."



Keduanya lari tunggang langgang meninggalkan Sui Cin yang tersenyum seorang diri. Sialan, ia malah disangka setan!



Akan tetapi sikap dan keterangan dua orang dusun itu membuatnya penasaran. Benarkah ada setan? Bagaimanapun juga, ia harus membuktikan sendiri, tidak percaya omongan orang begitu saja tentang setan. Selama hidupnya in belum pernah melihat setan, dan kiranya semua orang pemberani juga belum pernah melihatnya. Yang pernah melihat setan biasanya hanya orang-orang yang sudah mempunyai rasa takut di dalam hatinya, dan sebagian besar setan hanya ada dalam dongengan dan cerita orang lain saja.



Bagaimanapun juga, ia merasa betapa jantung di dalam dadanya berdebar keras ketika ia menghampiri kuil tua itu. Cuaca sudah mulai gelap sehingga kuil kuno itu nampak menyeramkan.



Sui Cin bergerak dengan hati-hati. Mungkin tidak ada setan, akan tetapi kalau dua orang dusun itu melihat bayangan, berarti setidaknya tentu ada orang di sekitar atau di dalam kuil. Dan orang yang dapat berkelebat lenyap di depan dua orang dusun itu begitu saja, jelas bukan orang sembarangan, melainkan memiliki kepandaian tinggi. Ia harus hati-hati dan tidak sembrono. Andaikata ada orang pandai di situ, ia masih belum tahu siapa orang itu dan dari golongan apa. Dan ia merasa betapa tidak patut dan kurang ajar mendatangi tempat orang begitu saja.



Dengan hati-hati sekali, Sui Cin mempergunakan ilmu gin-kangnya yang hebat sehingga tubuhnya bagaikan seekor burung saja berkelebat dan melayang ke atas pohon-pohon, lalu melayang ke atas genteng kuil. Kedua kakinya tidak mengeluarkan bunyi apa-apa sehingga mereka yang berada di dalam kuil, biarpun memiliki kepandaian tinggi, tidak mendengar gerakannya dan tidak tahu akan ke-datangan pendekar wanita ini.



Sui Cin melakukan pemeriksaan dari atas genteng kuil dan akhirnya ia dapat melihat tiga orang sedang bercakap-ca-kap di dalam kuil itu! Ia tersenyum. Bu-kan setan bukan iblis, melainkan seorang gadis cantik dan dua orang kakek yang sedang bercakap-cakap dengan suara per-lahan di dalam ruangan kuil itu, ruangan yang buruk dan temboknya sudah banyak yang retak-retak.



"Dua orang dusun tadi tidak curiga?" tanya si gadis cantik.



"Ha-ha-ha, seperti biasa, orang-orang dusun itu tahyul. Mereka menyangka ka-mi setan dan lari tunggang langgang," jawab kakek gendut sambil tertawa.



"Bagus! Biarlah mereka menyebarkan berita bahwa tempat ini berhantu. Kita tidak ingin diganggu," kata pula si gadis cantik. "Aku lelah sekali malam ini, be-sok pagi-pagi kita harus mencoba lagi di Guha Iblis Neraka."



"Kurasa percuma saja," kata kakek kurus, "batu besar itu mana bisa kita buka? Sudah kita coba dengan bantuan banyak kawan tetap gagal. Apakah tidak lebih baik kalau kita melapor saja kepa-da Ong-ya?"



Gadis itu menggeleng kepala. "Tidak, suhu dan subo kini sedang sibuk dan su-kar mencari mereka. Pula, mereka sudah menugaskan ini kepadaku, mana bisa ku-tinggalkan begitu saja sebelum berha-sil? Kita harus mencoba lagi besok pa-gi-pagi, kalau gagal, biar aku akan men-cari bantuan lagi."



Agaknya dua orang kakek itu merupa-kan pembantu-pembantu si gadis cantik karena mereka kelihatan tunduk dan taat. Mereka berdua lalu duduk bersila di ruangan itu sedangkan si gadis cantik mema-suki sebuah kamar yang agaknya menjadi kamar tidurnya di dalam kuil itu.



Yang diintai oleh Sui Cin itu adalah Gui Siang Hwa, murid Raja Iblis yang berjuluk Siang-tok Sian-li dan dua orang pembantunya, yaitu Hui-to Cin-jin si ka-kek kurus dan Kang-thouw Lo-mo si ka-kek gendut, dua orang tokoh dari Cap-sha-kui. Ia tidak mengenal siapa adanya tiga orang itu, akan tetapi gadis ini da-pat menduga bahwa tiga orang yang ber-ada di dalam kuil itu tentulah orang-o-rang yang memiliki kepandaian tinggi. Percakapan mereka amat menarik perhatiannya, terutama sekali mengenai Guha Iblis Neraka itu. Ingin sekali ia tahu sia-pa adanya mereka dan tempat macam apakah guha itu. Karena ia ingin sekali tahu, maka malam itu ia kembali ke pe-nginapan dan pada keesokan harinya, pa-gi-pagi sekali ia sudah bersembunyi di balik pohon dekat kuil. Pagi-pagi sekali ia melihat tiga orang itu berkelebat ke-luar dan berlari cepat meninggalkan kuil. Ia semakin tertarik karena ternyata tiga orang itu memang benar memiliki kepandaian tinggi dan dapat berlari cepat se-kali. Akan tetapi dalam hal ilmu berlari cepat, ia adalah ahlinya dan tanpa kesu-karan sama sekali ia dapat membayangi tiga orang itu dari jauh tanpa mereka ketahui.



Ketika tiga orang yang dibayangi itu tiba di Guha Iblis Neraka, Sui Cin semakin tertarik sekali. Ia mengikuti kegiatan mereka, ikut pula menyeberangi jembatan batu pedang dan melihat betapa mereka gagal membuka batu beser yang menutupi guha di sebelah dalam. Dari percakapan mereka yang dapat ditangkapnya, akhirnya Sui Cin tahu bahwa mereka itu se-dang mencari harta karun yang terdapat di balik batu besar itu! Tentu saja hati-nya menjadi semakin tertarik dan ketika akhirnya dengan putus asa mereka gagal lagi, Sui Cin mendengar bahwa gadis cantik itu hendak meneari bantuan. Ke-tika mereka pergi, Sui Cin tinggal di si-tu dan ia sendiripun lalu melakukan penyelidikan. Akan tetapi iapun tidak mam-pu membuka batu besar penutup guha, dan karena ia tidak tahu rahasia harta itu, tidak tahu di mana letaknya yang tepat, iapun lalu menanti kembalinya ga-dis cantik yang akan membawa pemban-tu-pembantu itu. Ia mulai curiga mende-ngar dan melihat sikap dua orang kakek yang amat kasar, dan melihat sikap ga-dis yang genit. Biarpun belum merasa yakin benar karena belum ada buktinya, namun perasaannya mengatakan bahwa tiga orang itu bukanlah orang baik-baik dan tentu termasuk golongan sesat. Ia bersabar menunggu untuk melihat perkembangannya lebih jauh dan ia tinggal di dalam guha itu seorang diri sampai bebe-rapa hari lamanya.



Akhirnya, pada suatu hari ia melihat munculnya tiga orang itu, sekali ini dite-mani oleh seorang pemuda! Dan ketika dengan cepat ia bersembunyi di dalam pohon di atas guha dan melihat pemuda gagah itu, hampir ia berteriak saking gi-rang den kagetnya. Tentu saja ia menge-nal Hui Song! Akan tetapi karena ia me-sih menaruh hati curiga kepada tiga orang itu, ia menahan diri dan merasa heran sekali bagaimana Hui Song depot bergaul dengan mereka dalam keadaan yang demikian karib. Apalagi melihat si-kap gadis cantik itu yang demikian me-mikat den dalam sikap dan gerak-gerik-nya nampak sekali bahwa gadis itu mencinta Hui Song, mendatangkan perasaan tidak enak dalam hati Sui Cin. Ia mem-bayangi terus dan terheran-heran melihat betapa kini Hui Song dan gadis itu me-nyeberangi jembatan batu pedang sedang-kan dua orang kakek itu berhenti dan mengatakan bahwa mereka tidak sanggup maju lagi. Padahal, ia pernah melihat kedua orang kakek itu menyeberangi jembatan batu pedang ini bersama si ga-dis cantik, dan walaupun dengan agak sukar, kedua orang itu mampu menyebe-rangi. Mengapa kini berpura-pura tidak dapat menyeberang? Ia semakin curiga, apalagi ketika melihat betapa setelah menanti beberapa lama dan Hui Song su-dah lenyap bersama gadis itu, kedua o-rang kakek ini berindap-indap menyeberangi batu pedang! Mulailah Sui Cin mencium sesuatu yang tidak beres dan ia mengkhawatirkan keselamatan Hui Song di tangan tiga orang ini dan iapun cepat membayangi dua orang kakek itu masuk ke begian dalam.



Demikianlah, keinginan tahu Sui Cin menyelidiki tiga orang itu dan rahasia di dalam Guha Iblis Neraka telah menyelamatkan Hui Song. Ketika pemuda ini dikeroyok tiga, Sui Cin muncul membantu dan menyelamatkannya karena Hui Song memang amat terancam bahaya ketika itu. Akan tetapi, dalam usaha mereka berdua untuk melarikan diri, Sui Cin ter-kena lontaran batu Kang-thouw Lo-mo yang mengakibatkan dalam kapalanya terguncang dan ia kehilangan ingatannya!



Ketika ia siuman, ia lupa segala dan melihat Hui Song, ia lalu menyerangnya. Hal ini adalah karena yang masuk ke da-lam ingatannya pada saat terakhir ada-lah orang-orang jahat yang dilawannya. Maka begitu melihat Hui Song sebagai o-rang pertama pada saat ia siuman, iapun menganggap bahwa Hui Song adalah orang jahat dan diserangnya pemuda itu mati-matian. Akan tetapi pemuda itu ternyata merupakan lawan yang amat kuat dan ia merasa kepalanya pusing maka iapun me-larikan diri, mempergunakan ilmu lari cepat Bu-eng Hui-teng yang membuat pemuda itu tidak mampu mengejarnya.



Sui Cin sudah tidak ingat apa-apa lagi, yang diingatnya hanyalah bahwa ia bertemu dengan lawan, seorang pemuda jahat dan curang yang amat lihai, yang telah menyambitkan benda keras dan mengenal kepalanya karena kepala itu masih terasa sakit, dan yang tidak dapat ia kalahkan tadi. Ia hanya tahu bahwa lawan itu mengejarnya, dan karena kepa-lanya pening, apalagi ia tidak mampu mengalahkan, maka akan berbahayalah kalau sampai pria itu dapat mengejarnya. Maka, Sui Cin mengerahkan tenaganya dan berlari dengan cepat sekali. Sehari lamanya ia berlari terus, hanya kadang-kadang lambat dan mengaso kalau ia su-dah merasa lelah sekali. Setelah malam tiba, baru ia berhenti dan beristirahat di dalam sebuah hutan. Gadis ini sudah lupa sama sekali akan masa lalunya. Bahkan namanya sendiripun ia lupa! Iapun tidak mempunyai apa-apa lagi karena semua, pakaiannya tertinggal di tempat persem-bunyian di dekat Guha Iblis Neraka.



Malam itu ia menangkap seekor kelinci dan setelah memanggang dagingnya lalu makan daging panggang. Lalu ia duduk melamun di depan api unggun, mengerahkan pikiran untuk mengingat-ingat, akan tetapi tetap saja ia tidak tahu apa-apa. Yang diketahuinya hanyalah, bahwa ia dikejar-kejar seorang lawan tangguh, dan bahwa ia harus pergi ke utara, jauh melewati Tembok Besar. Entah bagaimana, mungkin karena urusan menghadapi pemberontakan para datuk sesat itu amat terkesan di dalam batinnya, maka inilah yang teringat olehnya, yaitu bahwa ia harus pergi ke utara, keluar Tembok Be-sar!



Biarpun sudah kehilangan ingatannya tentang masa lalu, namun Sui Cin tidak kehilangan semangat dan kelincahannya. Ia tetap nampak segar dan wajahnya selalu berseri-seri, melakukan perjalanan dengap cepat, terus menuju ke utara. Sama sekali tidak ada tanda-tandanya bahwa ia sedang menderita luka dan guncangan yang membuat ia kehilangan ingatannya. Hanya kalau sedang duduk seorang diri melamun den mencoba untuk mengingat-ingat keadaan dirinya, siapa dirinya dan bagaimana asal usulnya, ia nampak bengong dan bingung.



Karena ia tidak sadar betul ke mana ia harus pergi, setelah melewati Tembok Besar, Sui Cin memasuki daerah Mongol tanpa ia ketahui di mana ia berada dan ke mana ia harus pergi. Ia merasa gembira melihat daerah yang sama sekali asing baginya ini. Akan tetapi ia merasa bingung ketika bertemu dengan serombongan orang Mongol, ia sama sekali tidak mengerti bahasa mereka! Setelah rombongan itu pergi ia melamun. Untuk apa ia datang ke tempat asing ini? Ia hanya merasa betapa ada dorongan dalam hatinya bahwa ia harus pergi keluar Tembok Besar, akan tetapi di mana dan untuk apa ia tidak tahu! Ia mengambil keputusan untuk merantau selama beberapa hari. Kalau selama itu ia tidak juga dapat teringat untuk keperluan apa ia berada di tempat ini, ia akan kembali ke selatan, ke daerah di mana bahasa orang-orangnya ia dapat mengerti artinya.



Pada suatu hari, dalam keadaan kese-pian, ia melihat serombongan orang Mo-ngol lagi dan sekali ini di antara mere-ka terdapat beberapa orang wanita Mo-ngol yang memakai pakaian wanita Han. Sui Cin teringat akan pakaiannya sendiri. Pakaiannya sudah kotor dan banyak yang robek-robek. Hanya beberapa kali saja, di tempat sunyi di mana tidak terdapat orang lain, ia mencuci pakaiannya dan menjemur pakaian itu. Ia sendiri bertelanjang bulat, karena tidak mempunyai pakaian cadangan. Dan kini pakaiannya sudah kotor lagi, bahkan sudah robek-robek. Ia bukan seorang gadis pesolek, bahkan biasanya iapun memakai pakaian seadanya dan seenaknya saja, bahkan kadang-kadang nampak nyentrik. Walaupun Sui Cin seorang gadis puteri Pendekar Sadis yang kaya raya, namun sejak kecil ia lebih suka berpakaian sederhana. Dalam keadaan kehilangan ingatan inipun ia tidak berubah. Hanya ia sejak kecil memang suka akan kebersihan sehingga biarpun pakaiannya buruk dan lama, akan tetapi harus selalu bersih. Dan kini, dengan pakaian hanya satu-satunya sehingga tak dapat diganti dan sudah kotor, ia merasa tersiksa sekali. Karena itulah, melihat beberapa orang yang mengenakan pakaian bagus-bagus dan bersih itu, ia kepingin sekali. Akan tetapi, di saku bajunya sama sekali tidak ada apa-apanya, apalagi uang untuk membeli pakaian.



Dengan hati amat kepingin akan tetapi tidak berdaya membeli dan juga merasa malu untuk mencoba-coba minta, Sui Cin diam-diam mengikuti rombongan yang terdiri dari belasan orang itu. Mereka membawa dua buah kereta untuk wanita dan anak-anak, sedangkan para prianya berjalan sambil berjaga-jaga. Malam itu, ketika rombongan berhenti dan bermalam di sebuah dusun, Sui Cin beraksi dan pada keesokan harinya, keluarga itu ribut-ribut karena kehilangan dua stel pakaian wanita yang masih baru. Dua stel pakaian itu menghilang tanpa bekas!



Dan pada pagi hari itu, Sui Cin dengan pakaian baru tersenyum-senyum gembira. Ia telah berganti pakaian dan merasa dirinya segar sehabis mandi di luar dusun dan mengenakan pakaian baru dan bersih, bahkan kini masih ada satu stel yang dibuntalnya dengan pakaian lamanya.



Hanya satu hal yang masih membuatnya tidak senang, yaitu bahwa ia sama sekali tidak dapat berhubungan dengan orang-orang itu karena tidak mengerti bahasanya. Dan iapun tidak ingin pakaian yang dipakainya itu dikenal oleh rombongan semalam, maka iapun melanjutkan perjalanannya, kini membelok ke timur.



Pada keesokan harinya, selagi berjalan seorang diri menimbang-nimbang apakah tidak sebaiknya kulau ia kembali ke selatan, tiba-tiba ia melihat seorang nenek sedang menangis di tepi sebuah hutan. Nenek itu berjongkok dan menangisi seekor ular yang mati dan melingkar di atas tanah. Nenek itu jelek sekali. Mukanya penuh keriput dan buruk, tubuhnya kurus dan punggungnya bongkok melengkung, rambutnya yang putih riap-riapan. Pakaiannya jubah kedodoran dan ketika Sui Cin mendekat, ia mencium bau yang tidak enak. Akan tetapi, biarpun demikian, tetap saja hati gadis itu merasa gembira dan ia terus menghampiri. Yang membuatnya bergembira adalah karena ia dapat mengerti kata-kata tangisan atau keluhan nenek itu! Nenek itu mempergunakan bahasa Han dari selatan, walaupun agak kaku, namun ia dapat mengerti dengan jelas.



"Aduhhh, anakku yang baik... ah, kenapa engkau mati dan kenapa engkau tega sekali meninggalkan aku seorang diri... hu-hu-huhh... ke mana aku harus mencari pengganti sepertimu, yang setia, patuh dan tangguh? Hu-hu-huuhhh...!"



Dalam keadaan biasa, tentu Sui Cin akan merasa ngeri mendekati nenek itu. Wajahnya demikian buruk menakutkan, dan sikapnya itu seperti orang gila. Mana ada orang menangisi kematian seekor ular besar? Akan tetapi, karena sudah berhari-hari baru sekarang ia mendengar kata-kata yang dapat dimengertinya, hatinya gembira sekali dan ia merasa kasihan kepada nenek ini.



Memang bukan hanya gadis itu yang mempunyai perasaan demikian. Semua orangpun, kalau berada di tempat asing, atau lebih tepat lagi, kalau berada di negara asing, di antara bangsa asing yang berbahasa asing pula, akan merasa gembira sekali kalau berjumpa dengan orang sebangsa, atau setidaknya sebahasa! Seolah-olah bertemu dengan seorang saudara di antara orang-orang asing.



"Nenek yang baik, mengapa engkau begini bersedih? Engkau kematian binatang peliharaanmu? Mengapa ular ini bisa mati, nek?"



Nenek itu menghentikan tangisnya dengan tiba-tiba, lalu menoleh. Matanya yang melotot lebar itu amat mengerikan, akan tetapi Sui Cin tersenyum manis kepadanya, dengan sikap menghibur. Nenek ini seperti anak kecil saja, pikirnya, menangisi binatang peliharaannya yang mati. Kalau binatang peliharaan seperti kucing, anjing, kuda atau ternak lainnya, bahkan burung kesayangan, masih wajar. Akan tetapi yang ditangisi kematiannya ini adalah seekor ular besar yang mengerikan!



"Siapa kau...?" Nenek itu tiba-tiba bertanya, seolah-olah merasa heran ada orang menegurnya, apalagi dalam bahasa Han. Kemudian matanya terbelalak dan mengeluarkan sinar berkilat. "Eh, engkau... engkau gadis she Ceng itu...!" nenek itu berseru dan bangkit berdiri. Setelah ia berdiri, bongkoknya nampak sekali.



Sui Cin juga bangkit berdiri, memandang kepada nenek itu dengan wajah berseri. "Nenek yang baik, engkau mengenalku? Engkau tahu benar bahwa aku she Ceng? Sesungguhnya, nek, aku telah lupa segala tentang diriku, maka... tolonglah kauberitahu siapa diriku ini, nek?"



Nenek itu tertawa, suara ketawanya terkekeh lirih dan mata yang lebar itu berkilauan membayangkan kecerdikan dan kelicikan, juga kekejaman luar biasa. Kalau saja Sui Cin tidak kehilangan ingatannya, tentu ia akan terkejut setengah mati berjumpa dengan nenek ini, karena nenek ini adalah seorang musuh lamanya, yaitu Kiu-bwe Coa-li (Nenek Ular Ekor Sembilan), seorang di antara Cap-sha-kui yang kejam dan lihai! Dan agaknya nenek yang menjadi datuk kaum sesat ini tidak melupakan Sui Cin, maka ia nampak terkejut sekali. Akan tetapi begitu melihat sikap Sui Cin yang lupa akan keadaan dirinya, nenek itu terkekeh girang.



"Ah, bagaimana engkau bisa melupakan dirimu sendiri, nona?" tanyanya, si-kapnya kelihatan ramah dan wajahnya yang amat buruk itu tidak begitu mena-kutkan lagi.



"Entahlah, nek. Seingatku, ada yang menghantam kepalaku, mungkin batu yang dilontarkan seorang musuhku kepa-daku dan mengenai belakang kepalaku. Akan tetapi aku menjadi pening dan sampai sekarang aku lupa segalanya tentang diriku. Bahkan engkau yapg ternyata su-dah mengenal akupun sama sekali aku ti-dak ingat lagi. Siapakah aku ini, nek? Tolonglah bantu aku agar kembali ingatanku. Siapakah aku ini?"



"Anak baik, siapakah musuhmu yang menyerangmu dengan lontaran batu itu?"



Sui Cin menggeleng kepala. "Akupun tidak tahu, nek. Hanya setahuku, dia seorang pemuda yang lihai sekali ilmu silatnya, dan aku tidak akan melupakan wajahnya karena sekali waktu aku harus membalas perbuatannya itu!" Sui Cin mengepal tinju dengan gemas.



"Heh-heh-heh, anak baik, engkau bu-kan orang lain, masih terhitung cucu keponakanku sendiri."



Sui Cin terbelalak, terkejut, heran dan juga girang. "Aih, benarkah itu, nek? Siapakah engkau dan siapa pula namaku, siapa pula orang tuaku?"



"Engkau benar-benar tidak ingat kepadaku? Lihat ini, apakah engkau lupa kepada benda ini?" Kui-bwe Coa-li mengeluarkan senjatanya, yaitu cambuk ekor sembilan yang ampuh dan menyeramkan itu. Akan tetapi Sui Cin memandang bia-sa saja dan menggeleng kepalanya.



"Tidak, nek, aku tidak mengenal cambuk itu."



Legalah hati Kiu-bwe Coa-li. Agaknya gadis ini memang benar-benar kehilangan ingatannya dan tidak ingat lagi akan se-gala hal yang dikenalnya di masa lalu. Bagus, pikirnya, memudahkan ia untuk melumpuhkan gadis ini!



"Namamu... Bi Hwa, Ceng Bi Hwa, ayah ibumu sudah tidak ada, engkau yatim piatu dan pernah engkau ikut belajar silat kepadaku selama beberapa tahun dahulu. Mendiang ayahmu adalah keponakanku, jadi engkau adalah cucu keponakanku. Aku dijuluki orang sesuai dengan senjataku ini, ialah Kiu-bwe Coa-li." Nenek itu memegang cambuk ekor sembilan di tangan kanannya dan diam-diam ia mempersiapkan diri untuk menyerang, kalau gadis itu teringat kembali akan nama julukannya. Akan tetapi, Sui Cin sama sekali tidak ingat, hanya mengulang namanya dengan alis berkerut, "Bi... Ceng Bi Hwa... ah, aku sama sekali tidak ingat lagi namaku sendiri, nek, Harap maafkan aku..." Kemudian ia memberi hormat kepada nenek itu. "Terimalah hormatku, nek."



Kiu-bwe Coa-li mengangguk-angguk sambil terkekeh girang. "Bagus, bagus... jangan khawatir, cucuku. Setelah engkau bertemu dengan nenekmu ini, engkau tentu akan menemukan kembali ingatanmu, heh-heh."



"Aih, benarkah, nek? Benarkah engkau hendak mengobatiku? Ah, aku akan girang sekali kalau aku dapat mengingat semua keadaan diriku."



"Tentu saja! Bukankah engkau cucu keponakanku yang tersayang? Jangan khawatir, dengan mudah saja aku akan dapat menyembuhkanmu dan mengembalikan ingatanmu. Akan tetapi sebelum itu, aku ingin sekali menyelidiki bagaimana keadaan orang yang kehilangan ingatannya. Perlu bagiku untuk pengobatan. Bi Hwa, apakah engkau lupa pula dengan semua ilmu silatmu yang pernah kuajarkan kepadamu?"



Sui Cin mengerutkan alisnya dan menggeleng. "Aku lupa bahwa engkau yang mengajarkan ilmu silat kepadaku, nek, dan lupa lagi ilmu silat apa adanya itu. Akan tetapi gerakan ilmu silat itu sudah mendarah daging di tubuhku, menjadi ge-rakan otomatis kaki tanganku sehingga aku bergerak tanpa kuingat lagi. Agaknya... agaknya aku tidak melupakan ilmu silat itu, nek."



"Hemm... aneh, aneh. Akan tetapi sebaiknya kalau kucoba untuk membuktikan kebenaran omonganmu. Nah, kau bergeraklah menurut nalurimu, aku akan mencoba untuk menyerangmu dengan cambukku. Setelah ujian ini, baru nanti aku akan mengobatimu sampai sembuh, cucuku tersayang." Nenek itu menggerakkan cambuknya ke atas, terdengar bunyi meledak-ledak ketika sembilan ekor cambuknya itu seperti hidup sendiri-sendiri, bergerak-gerak bagaikan sembilan ekor ular hidup! Dan tiba-tiba cambuk itu menyambar ke arah Sui Cin.



"Tar-tar-tarr...!"



Sui Cin terkejut melihat gerakan cambuk yang hebat ini. Tak disangkanya nenek yang aneh seperti orang gila atau seperti anak kecil ini, yang menangisi kematian seekor ular, dan yang ternyata adalah bibi dari ayahnya seperti yang dikatakan nenek itu, kiranya memiliki kepandaian hebat dan serangan cambuk itu benar-benar amat berbahaya. Sembilan ekor ujung cambuk itu bergerak seperti ular-ular hidup dan masing-masing kini menyerang secara bertubi ke arah sembilan jalan darah di tubuhnya! Tentu saja iapun cepat menggerakkan tubuhnya dan tiba-tiba saja tubuh gadis di depannya itu berkelebat dan lenyap! Terkejutlah Kiu-bwe Coa-li. Seingatnya, gadis yang ia ketahui adalah puteri Pendekar Sadis ini, walaupun memang lihai, namun tidak sehebat ini kelihaiannya. Gadis yang ber-ada di depannya ini memiliki gin-kang yang mentakjubkan! Ia menjadi penasaran sekali, akan tetapi mulutnya terkekeh.



"Heh-heh, bagus, engkau masih memi-liki kegesitanmu. Nah, bersiaplah, aku akan menyerang sungguh-sungguh!" Dan cambuk itu diputar, mengeluarkan suara ledakan-ledakan kecil dan kini nenek itu menyerang dengan hebat sekali. Dahsyat dan buas serangannya, ujung cambuk yang sembilan itu mematuk-matuk dan meno-tok-notok, mencari jalan darah di tubuh Sui Cin. Gadis ini secara otomatis meng-gerakkan tubuhnya, dengan gin-kang yang baru-baru ini dipelajarinya dari Wu-yi Lo-jin, tubuhnya berkelebatan seperti ba-yang-bayang yang cepat sekali menyam-bar-nyambar di antara gulungan sinar-si-nar hitam dari cambuk nenek itu. Tentu saja ia tidak membalas kerena ia meng-anggap bahwa nenek itu hanya sekedar menguji apakah ia tidak melupakan ilmu silatnya yang menurut nenek itu diajarkan oleh nenek itu kepadanya!



Tentu saja niat yang terkandung di dalam hati Kiu-bwe Coa-li tidaklah de-mikian. Ia hanya ingin melihat sampai di mana kelihaian gadis ini. Kalau mungkin, tentu lebih mudah baginya membunuh ga-dis puteri Pendekar Sadis itu secara langsung saja dengan cambuknya ini. Akan tetapi, kalau ternyata gadis itu terlalu lihai, dalam keadaan hilang ingatan, ia akan dapat mempergunakan akal lain yang lebih halus untuk menjerat dan melumpuhkannya. Kini, melihat gerakan Sui Cin yang demikian hebatnya ketika berkele-batan mengelak dari sambaran cambuk-nya, nenek itu terkejut. Tak disangkanya gadis itu kini sedemikian hebatnya, memperoleh kemajuan yang demikian pesat, jauh lebih hebat dibandingkan dahulu. Maka, iapun maklum bahwa dengan cam-buknya, ia tidak akan mampu membunuh gadis ini, dan iapun lalu melompat ke belakang menghentikan serangannya.



"Bagus, bagus... heh-heh, engkau masih belum lupa akan ilmumu. Baiklah, sekarang aku akan memberi obat kepadamu agar engkau dapat pulih kembali, agar ingatanmu sehat kembali."



Hati Sui Cin merasa lega dan girang sekali. Tadi ia sudah merasa khawatir melihat betapa nenek itu menyerangnya secara dahsyat dan berbahaya. "Terima kasih, nek."



Nenek itu lalu duduk bersila di atas tanah, Sui Cin juga berjongkok di depan-nya, melihat nenek itu mengeluarkan se-guci arak, sebuah cawan dan sebuah bo-tol kecil dari balik jubah yang lebar itu. Ia menuangkan arak dari guci ke dalam cawan, hanya setengah cawan, kemudian menuangkan bubuk kehijauan dari botol kecil ke dalam cawan berisi arak setc-ngahnya itu. Sambil terkekeh ia mengo-cok arak itu sehingga bubukan hijau ber-campur ke dalam arak.



"Nah, ini obat mujarab sekali, cucuku. Sekali minum engkau akan merasa me-ngantuk, tertidur dan setelah engkau ba-ngun dari tidur, ingatanmu akan pulih kembali," katanya sambil menyodorkan minuman itu.



Sui Cin menerimanya dan langsung membawa cawan itu ke bibirnya. Akan tetapi begitu cawan itu menempel di bibirnya, ia tidak jadi minum dan meman-dang nenek itu dengan alis berkerut.



"Eh, ada apakah, cucuku? Hayo minum obat itu dan engkau akan sembuh."



"Tapi, nek. Aku tidak tahu apa isi o-bat ini, hanya perasaanku melarang aku untuk meminumnya karena mengandung bau amis beracun!"



"Heh-heh-heh-heh, tentu saja, memang obat itu mengandung racun dari ular sen-dok merah! Memang obat itu racun, ra-cun itu obat, asal kita tahu cara mempergunakannya saja. Eh, Bi Hwa, apakah engkau tidak percaya kepada nenekmu sendiri, kepada orang yang menimang-ni-mangmu di waktu engkau kecil, kepada orang yang telah mengajarkan semua il-mu itu kepadamu? Apa kaukira aku akan meracunimu? Pikiranmu telah jadi hilang ingatan, akan tetapi tentu belum begitu gila untuk mengira bahwa aku, nenekmu yang menyayangmu, akan meracunimu!"



Merah wajah Sui Cin. Tentu saja ia merasa tidak enak sekali. Ia tidak tahu pasti apakah minuman itu akan mencelakakannya, akan tetapi nenek ini mengenalnya, dan nenek ini tadi sudah mengujinya dan kini hendak menyembuhkannya. Mengapa ia ragu-ragu? Ia mendekatkan lagi cawan itu sambil memejamkan mata, iapun menuangkan arak itu ke dalam mulut dan terus ditelannya. Ia menahan diri untuk tidak muntah oleh bau amis itu! Begitu arak itu memasuki perutnya, ia merasa ada hawa panas berputaran di dalam perutnya. Itulah hawa gin-kang dari pusar yang otomatis memberontak dan hendak melawan ketika perut itu dimasuki benda berbahaya. Akan tetapi, racun itu sudah bekerja dan Sui Cin merasa betapa tubuhnya lemas dan matanya mengantuk.



"Heh-heh-heh, engkau sudah mulai mengantuk, bukan? Nah, tidurlah dan setelah bangun nanti engkau sudah akan sembuh sama sekali. Tidurlah, cucuku yang baik, tidurlah." Nenek itu sambil tersenyum melihat Sui Cin yang lemas itu merebah-kan tubuhnya di atas tanah, dan Sui Cin mendengar nenek itu bersenandung, se-perti sedang meninabobokkan cucunya!



Suara itu aneh sekali, dan tidak enak didengar, akan tetapi karena rasa kantuk tak tertahankan lagi, iapun tertidurlah.



Sui Cin tidak tahu berapa lama ia tertidur pulas, akan tetapi ketika it sadar kembali, matahari telah naik tinggi dan ia berada dalam keadaan terikat pada sebatang pohon! Tentu saja ia terkejut sekali dan otomatis ia mencoba untuk meronta. Akan tetapi, usahanya sia-sia belaka karena ia mendapat kenyataan yang amat mengejutkan, yaitu bahwa ka-ki tangannya lemas tidak bertenaga! Ia teringat akan nenek itu dan tahulah ia bahwa ia telah tertipu!



"Nenek iblis jahanam!" Ia memaki dan terdengar suara terkekeh di belakangnya. Lalu muncullah nenek itu, yang tadinya tertidur pula di atas rumput, agaknya menanti sampai korbannya terbangun. Ki-ni nenek itu menyeringai dan berdiri di depan Sui Cin, mengebut-ngebutkan ba-junya yang terkena tanah.



"Heh-heh-heh, nona yang tolol, heh-heh-heh!" Ia terkekeh-kekeh girang melihat korbannya. Nenek ini, sebagai seorang di antara Cap-sha-kui, memang memiliki hati yang kejam sekali dan kepuasan ha-tinya adalah kalau ia dapat menyiksa korbannya. Maka, kini dapat menawan nona yang menjadi musuhnya itu dalam keada-an tidak berdaya, tentu saja hatinya gi-rang bukan main.



"Nenek iblis, kiranya engkau telah menipuku! Hayo kalau memang engkau gagah, lepaskan aku dan kita bertanding sampai mati!" Sui Cin berteriak memaki.



"Heh-heh-heh, andaikata kulepaskan juga, engkau takkan mampu bertahan le-bih dari satu dua jurus. Dan aku tidak menipu, karena memang aku adalah Kiu-bwe Coa-li, musuh besarmu, ha-ha-ha!"



Diam-diam Sui Cin terkejut. Kiranya hilangnya ingatannya berakibat demikian hebat sampai musuh lamanya tidak ia kenal dan akibatnya ia mudah terjebak. "Jadi kalau begitu... namaku itu... bukan... bukan Ceng Bi Hwa..."



"Heh-heh-heh, namamu Ceng Sui Cin, engkau puteri Pendekar Sadis, heh-heh--heh, dan sekarang jatuh ke tanganku. Aku ingin menikmati kematianmu yang akan terjadi perlahan-lahan... ha-ha. Eh, nona manis, apa engkau suka dengan ular?"



"Ular...?" Sui Cin yang merasa bingung itu bertanya.



"Ya, ular... heh-heh, engkau tahu, aku adalah Kiu-bwe Coa-li, Ratu Ular!"



Dan nenek itu lalu membunyikan cambuknya berkali-kali. Terdengar suara meledak-ledak dan suara ledakan ini seperti bergema sampai jauh. Tidak lama kemudian, terbelalak mata Sui Cin melihat datangnya banyak ular dari empat penjuru, seperti tertarik oleh suara cambuk yang masih meledak-ledak itu, dan suara mendesis yang keluar dari mulut ompong Kiu-bwe Coa-li. Ular-ular itu menggeleser di atas tanah, membuat rumput-rumputan bergerak-gerak dan terdengerlah suara mereka mendesis-desis, lidah mereka itu keluar masuk dan kini mereka semua berkumpul mengelilingi tempat itu.



"Bagus, bagus, heh-heh-heh, anak-anakku, kalian sudah datang..."



Sui Cin bergidik. Teringat ia akan nenek itu yang menangisi kematian seekor ular yang juga disebut anaknya. Nenek ini gila atau lebih dari itu, jahat dan keji seperti iblis. Kini nenek itu membuat suara dengan mulutnya, suara mendesis dibarengi ledakan cambuknya dan beberapa ekor ular yang besar mengembangkan lehernya. Itulah ular-ular sendok yang amat berbahaya karena amat kuat. Sekali saja digigit oleh ular seperti ini, dalam waktu beberapa jam saja, kalau tidak memperoleh obat penawarnya yang ampuh, orang itu tentu akan mati!



Sui Cin yang kehilangan ingatannya itu tidak mengenal ular seperti itu, akan tetapi ia tahu bahwa ular-ular ini tentu berbahaya sekali. Tiga ekor ular sendok yang paling besar berjoget di depannya, dengan lidah merah menjilat-jilat keluar, mata yang tak berkedip itu memandang kepedanya, kepalanya lenggang-lenggok seperti menggoda dan hendak mempermainkan Sui Cin.



"Heh-heh-heh, mereka bertiga ini yang kupilih untuk menggerogoti dagingmu, sedikit demi sedikit, ha-ha-ha!" kata nenek itu dan makin gencar cambuknya berbunyi, makin lincah lagi tiga ekor ular itu menari-nari di depan Sui Cin, makin lama makin mendekati gadis yang terikat kaki tangan dan pinggangnya pada batang pohon itu. Sui Cin memandang tak berkedip kepada tiga ekor ular ini, menahan hatinya agar jangan sampai ia menjerit kengerian. Sementara itu, puluhan ekor ular lainnya yang mengurung tempat itu ikut pula bergerak-gerak seperti menari, akan tetapi mereka tidak berani mendekati tiga ekor ular sendok itu.



"Heh-heh-heh, Ceng Sui Cin, engkau baru tahu bahwa aku ini adalah ratu ular, ya? Aku dapat memerintah ular-ular ini menurut sekehendakku. Dan pertama-tama, aku akan memerintahkan mereka itu menyusup ke dalam pekaianmu, menelusuri seluruh tubuhmu sampai kau hampir mati karena geli dan ngeri. Kemudian, aku akan memerintahkan mereka itu merobek-robek semua pakaianmu sampai kau bertelanjang bulat. Nah, sesudah itu mulailah pesta untuk mereka. Gigit sana-sini, betis, paha, lengan dan bagian-bagian yang tidak berbahaya, menjilati darah dari luka-luka itu. Kemudian mukamu, pipimu yang halus itu, hidungmu yang mancung, bibirmu yang merah, akan digerogoti perlahan-perlahan. Engkau takkan mudah mati, akan kusiksa dulu sampai puas, sebagai hukuman ayahmu, Si Pendekar Sadis, ha-ha-ha!"



Cambuknya meledak-ledak dan tiga ekor ular itu mulai nampak beringas. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara suling yang ditiup dengan indah dan kuatnya, menyelinap suara itu di antara ledakan-ledakan cambuk dan akibatnya sungguh aneh. Ular-ular yang mengelilingi tempat itu nampak gelisah dan ketakutan, lalu perlahan-lahan mereka meninggalkan tempat itu! Kini hanya tinggal tiga ekor ular sendok itu saja yang masih bertahan, menari-nari di depan Sui Cin. Akan tetapi suara suling terdengar semakin kuat dan tiga ekor ular itu kelihatan ragu-ragu dan bingung, kacau oleh suara ledakan-ledekan cambuk yang kini bercampur suara suling yang agaknya lebih terasa dan lebih mempengeruhi mereka!



"Eh, keparat jahanam kurang ajar!" Nenek Kiu-bwe Coa-li memaki dan menoleh. Matanya terbelalak marah ketika ia melihat seorang pemuda datang sam-bil meniup suling, sikapnya tenang dan gagah. Sui Cin juga melihat datangnya pemuda ini dan iapun merasa girang karena ia mengerti bahwa suara suling pe-muda itu telah mengusir ular-ular yang tadinya mengurung tempat itu, dan kini suara suling itu membuat tiga ekor ular itu menjadi bimbang dan bingung, seperti kehilangan pegangan. Ia dapat menduga bahwa suara suling itu menghancurkan pengaruh nenek iblis terhadap ular-ularnya dan timbullah harapannya walaupun ia sendiri masih lemas dan tidak mampu meloloskan diri dari belenggu. Pemuda yang mampu menlup suling seperti itu tentu memiliki kepandaian tinggi, ia menduga.



Sementara itu, Kiu-bwe Coa-li yang menengok dan memandang pemuda itu, segera mengenalnya dan wajahnya agak berubah, kemarahannya memuncak. "Kau...! Keparat, kau putera ketua Pek-liong-pang di Lembah Naga itu?" Nenek itu menggerakkan cambuknya dan mengeluarkan suara mendesis. Karena semua ularnya sudah pergi terusir oleh suara suling tadi, kini tinggal tiga ekor ular sendok yang hendak dikerahkan untuk menyerang pemuda itu. Akan tetapi, dengan tenang pemuda itu melangkah maju ketika tiga ekor ular sendok menerjangnya dengan semburan-semburan uap hitam dari mulut mereka. Tiba-tiba pemuda yang bukan lain adalah Cia Sun itu, meniup sulingnya dengan kuat. Terdengar suara melengking yang membuat Sui Cin sendiri terpaksa harus berusaha mematikan rasa menulikan telinga karena suara melengking itu amat tinggi dan dahsyat, menusuk telinga menikam jantung. Akan tetapi agaknya suara itu memang sengaja ditujukan untuk menyerang atau menyambut tiga ekor ular itu. Tiga ekor ular yang sudah mengangkat kepala tinggi-tinggi itu, tiba-tiba mendengar suara ini lalu terkulai dan berkelojotan seperti dalam keadaan kesakitan hebat. Cia Sun melangkah maju dan tiga kali kakinya menginjak, pecahlah kepala tiga ekor ular itu. Tubuh mereka masih berkelojotan, akan tetapi karena kepala sudah hancur terinjak kaki yang kuat itu, mereka berkelojotan dalam keadaan sekarat!



Dapat dibayangkan betapa marahnya Kiu-bwe Coa-li melihat tiga ekor ular andalannya itu mati. Sambil mengeluarkan suara melengking ia menerjang ke depan, cambuknya meledak-ledak di atas kepalanya dan tangan kirinya yang berkuku panjang itupun dipergunakan untuk menyerang dengan cakaran-cakaran dan cengkeraman-cengkeraman maut karena kuku-kuku panjang tangan kiri itu mengandung racun.



Akan tetapi, dengan amat tenangnya, Cia Sun mengelak mundur dua langkah kemudian sekali tangan kirinya bergerak mendorong ke depan, angin pukulan dahsyat menyambar bagaikan hawa berapi, panas dan kuat. Kiu-bwe Coa-li menyambut dengan cambuk dan tangan kirinya dan akibatnya, ia terpental ke belakang!



"Ehhh...!" Nenek itu berseru kaget bukan main. Kalau tadi ia dikejutkan oleh kecepatan gerakan Sui Cin, kini ia dikejutkan pula oleh kekuatan sin-kang yang menyambar keluar dari tangan kiri pemuda ini. Ia pernah melawan pemuda ini, bahkan pernah ia hampir merobohkan Cia Sun dengan bantuan ular-ularnya beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi, pada waktu itu, biarpun pemuda ini sudah amat lihai, tenaga sin-kangnya tidaklah sehebat sekarang ini.



Tentu saja nenek ini tidak tahu bahwa Cia Sun tiga tahun yang lalu tidak dapat disamakan dengan Cia Sun sekarang. Seperti kita ketahui, pemuda ini diajak pergi oleh seorang kakek sakti yang hanya memperkenalkan diri sebagai Go-bi San-jin dan di antara puncak-puncak Pegunungan, Go-bi-san yang sunyi, pemuda ini telah digembleng dengan hebat. Setelah oleh gurunya yang baru itu dia dinyatakan sudah cukup menerima ilmu, gurunya menyuruhnya pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang di luar Tembok Besar, tidak begitu jauh dari Lembah Naga, untuk menghadiri pertemuan para pendekar.



"Dunia sudah berubah," demikian Go-bi San-jin yang gendut itu berkata, "para datuk sesat, seperti iblis-iblis, keluar dari neraka dan siap mengacau dunia. Sudah menjadi kewajiban kita untuk menentang mereka itu dan para pendekar sudah bersepakat untuk mengadakan pertemuan di tempat itu. Pergilah ke sana. Akan tetapi jangan lupa, engkau mempunyai semacam tugas lain. Jika engkau bertemu dengan seorang murid dari Ciu-sian Lo-kai, nah, dia itu lawanmu. Bukan musuh, melainkan lawan dan antara aku dan Ciu-sian Lo-kai sudah saling berjanji untuk mengadu murid kami masing-masing. Engkau tidak boleh kalah karena hal itu akan membuatku malu."



Tugas pertama diterima dengan gembira oleh Cia Sun, akan tetapi tugas kedua ini sebenarnya tidak berkenan di dalam hatinya. Bagaimana dia harus melawan dan berkelahi dengan seorang yang tidak dikenalnya, tanpa sebab, bahkan bukan musuh, melainkan hanya karena perjanjian antara guru mereka untuk saling mengadu murid-murid mereka? Seperti ayam aduan atau jengkerik saja. Akan tetapi, perintah guru tidak mungkin diabaikan dan diapun menyanggupi. Demi-kianlah, pemuda dari Lembah Naga ini meninggalkan gurunya dan dalam perjalanan menuju ke bekas benteng Jeng-hwa-pang, di daerah Mongol ini, secara kebetulan saja dia melihat seorang gadis yang akan dikorbankan kepada ular-ular berbisa oleh seorang nenek mengerikan. Cia Sun segera mengenal nenek itu seba-gai Kiu-bwe Coa-li, seorang di antara Cap-sha-kui, akan tetapi hampir dia ber-teriak ketika dia mengenal pula Sui Cin! Gadis yang dibelenggu dan menghadapi ancaman mengerikan dari ular-ular sen-dok itu adalah Sui Cin puteri Pendekar Sadis yang selama ini tidak pernah dia lupakan.



Akan tetapi, Cia Sun adalah seorang pemuda yang tenang. Melihat keadaan Sui Cin, din tidak tergesa-gesa bertindak sembrono untuk menyelematkannya de-ngan kekerasan begitu saja. Dia tahu be-tapa lihainya nenek itu dan tiga ekor u-lar sendok itu sudah siap mematuk, apa-lagi tempat itu dikelilingi oleh puluhan ekor ular. Maka, sambil bersembunyi dia lalu meniup sulingnya yang selalu diba-wanya, dan mengerahkan khi-kang untuk mengusir ular-ular itu. Barulah dia mun-cul dan dia masih terus menggunakan sulingnya untuk mengalihkan perhatian tiga ekor ular sendok itu dari Sui Cin kepada dirinya. Setelah ular-ular itu menyerang-nya, barulah dia turun tangan membunuh binatang-binatang itu.



Melihat betapa nenek iblis itu menye-rangnya dengan ganas, Cia Sun tidak tinggal diam menahan diri begitu saja. Nenek ini adalah seorang di antara Cap-sha-kui, datuk-datuk sesat yang amat ja-hat dan karenanya haruslah dibasmi. Du-lu, pernah dia hampir celaka diserang nenek ini bersama pengeroyokan ular-ularnya dan pada waktu itu untung muncul Sui Cin yang membantunya. Kini, Sui Cin yang menjadi korban kejahatan nenek itu, dan untung dia yang tanpa disengaja tiba di tempat itu sehingga dapat menyelamatkan Sui Cin. Yang membuat dia terheran-heran adalah melihat Sui Cin kelihatan begitu lemah, tidak mampu membebaskan diri dari belenggu yang tidak begitu kuat itu. Apa yang telah terjadi dengan gadis itu? Dan mengapa Sui Cin memandang-nya dengan sinar mata keheranan seperti itu, sama sekali tidak kelihatan bahwa gadis itu mengenalnya? Apakah Sui Cin sudah pangling kepadanya?



Setelah mengelak dari sambaran cam-buk ekor sembilan, Cia Sun membalas dengan serangan tamparan tangan kirinya, disusul totokan suling yang tadi dipergu-nakannya untuk mengusir ular. Nenek itu mengelak dan menggerakkan lagi cambuknya yang mengeluarkan suara meledak-le-dak. Terjadilah perkelahian yang seru, serang-menyerang dengan dahsyatnya. A-kan tetapi, segera nenek itu mendapat-kan kenyataan pahit bahwa lawannya ini luar biasa kuatnya, terlalu tangguh bagi-nya. Semua serangannya gagal, bukan ha-nya gagal, akan tetapi setiap kali bentur-an tenaga, ia tentu terdorong dan terhu-yung. Hatinya mulai merasa jerih. Akan tetapi Cia Sun yang mengambil keputus-an untuk membunuh nenek jahat ini, mendesak terus dengan pukulan-pukulannya yang ampuh.



Pada suatu saat nenek itu terdesak dan terhuyung ke belakang. Dengan ge-rakan aneh tangan kanan Cia Sun menyambar ke arah ubun-ubun kepala nenek itu dengan cengkeraman maut yang dah-syat. Nenek itu terkejut, cepat mengge-rakkan cambuknya menangkis dan lang-sung melibat lengan kanan lawan, kemudian kepalanya bergerak dan rambutnya yang riap-riapan itu menyambar ke arah leher Cia Sun untuk menotok jalan darah maut. Pemuda itu tidak menjadi gugup, tangan kirinya menyambar dan menang-kap bulu-bulu cambuk, kemudian kaki ki-ri Cia Sun melayang ke depan mengirim tendangan yang mengarah leher lawan. Hebat sekali tendangan ini dan dilakukan selagi kedua tangan mereka tidak bebas. Kiu-bwe Coa-li terkejut dan cepat meng-elak dengan miringkan kepala, akan te-tapi tetap saja ujung sepatu kaki Cia Sun mengenai pundaknya.



"Dukkk...!" Tubuh nenek itu terpelanting dan ujung bulu cambuknya rontok karena sebagian putus oleh cengkeraman tangan Cia Sun, sedangkan rambut kepalanya juga banyak yang jebol. Ia menggulingkan tubuh untuk menghindarkan se-rangah susulan, akan tetapi pemuda itu tidak mau mendesak lawan yang sudah roboh, hanya bersiap-siap melanjutkan perkelahian itu. Kiu-bwe Coa-li tidak terluka berat, akan tetapi ia maklum bah-wa kalau dilanjutkan, tentu akhirnya ia akan kalah karena pemuda itu sungguh lihai bukan main. Ia khawatir bahwa ka-lau ia melarikan diri, pemuda itu tentu akan mengejarnya, maka iapun memper-gunakan akal. Sambil menudingkan cam-buknya yang sudah bodol itu ke arah Sui Cin yang masih terbelenggu, ia berkata, "Kau membelanya? Biarlah ia mampus sekarang juga!" Dari tengah gagang cam-bukhya meluncur jarum-jarum halus yang digerakkan oleh alat di gagang cambuk.



Cia Sun terkejut bukan main. Tangannya cepat membuat gerakan memukul ke arah depan gadis itu dan jarum-jarum halus beracun itupun runtuh semua! Kiu-bwe Coa-li semakin kaget. Pemuda ini benar-benar hebat, pikirnya dan hatinya menjadi semakin gentar. Kini cambuknya menuding ke arah pemuda itu dan kem-bali ada belasan batang jarum halus menyambar ke arah Cia Sun.



"Nenek iblis jahat!" Cia Sun membentak dan begitu ia mengebutkan lengan bajunya, jarum-jarum itu bukan hanya runtuh, melainkan membalik ke arah nenek itu! Kiu-bwe Coa-li mengebutkan cambuknya dan jarum-jarum itupun runtuh.



"Heh-heh-heh, orang muda, kau boleh juga. Akan tetapi temanmu itu jangan harap akan dapat hidup lagi, ia telah keracunan. Lihat, wajahnya sudah mulai kehilangan cahayanya!"



Cia Sun terkejut dan menoleh. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kiu-bwe Coa-li untuk meloncat dan melarikan diri. Cia Sun tiduk mau mengejar karena dia mengkhawatirkan keadaan Sui Cin. Dia tahu bahwa nenek itu tidak membohong. Keadaan Sui Cin memang tidak wajar. Gadis yang dahulu dia kenal sebagai se-orang pendekar wanita yang hebat, puteri tunggal Pendekar Sadis, kini demikian lemah dan tidak berdaya sehingga terbelenggu seperti itupun tidak mampu mem-bebaskan diri. Tentu gadis itu telah ter-luka, atau keracunan seperti yang dikata-kan nenek itu. Diapun cepat meloncat dekat dan melepaskan ikatan kaki tangan dan pinggang gadis itu.



Sejak tadi Sui Cin menjadi saksi per-kelahian itu dan iapun merasa kagum ke-pada pemuda berpakaian serba putih se-derhana yang lihai itu. Setelah semua belenggu yang mengikat kaki tangannya putus dan ia menjadi bebas, ia segera merangkap kedua tangan depan dada memberi hormat dan berkata, "Terima kasih, engkau telah menyelamatkan aku dari tangan nenek iblis itu."



Cia Sun membalas penghormatan itu sambil tersenyum. "Adik Sui Cin, kenapa engkau begini sungkan? Di antara kita mana ada sebutan pertolongan?"



Sui Cin memandang dengan mata ter-belalak dan jelas nampak oleh Cia Sun betapa gadis ini sekarang menjadi sema-kin cantik menarik. "Saudara yang gagah perkasa, apa maksudmu...?"



Kini Cia Sun yang melongo. "Cin-moi... lupakah engkau kepadaku? Aku Cia Sun..."



Akan tetapi gadis itu memandang bingung. "Cia Sun...? Aku... aku tidak mengenal nama itu..."



"Ehh...? Bagaimana ini? Bukankah engkau... adik Ceng Sui Cin?"



Sui Cin menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya. "Aku tidak tahu... aku ti-dak tahu..."



Cia Sun merasa khawatir sekali dan memandang tajam. "Apa maksudmu? Apakah engkau hendak mengatakan bahwa engkau bukan adik Ceng Sui Cin?"



"Aku tidak tahu apakah namaku Ceng Sui Cin ataukah Ceng Bi Hwa..."



"Apa pula ini? Bagaimana engkau ti-dak yakin akan nama sendiri?"



"Aku tidak tahu, aku sudah lupa segalanya... dan nama Ceng Sui Cin atau Ceng Bi Hwa itupun kudengar dari nenek itu..."



"Engkau adalah adik Ceng Sui Cin, tak salah lagi! Coba ingat-ingat baik-baik, aku adalah Cia Sun, dari Lembah Naga. Lupakah engkau kepada nama itu? Antara ayahmu dan ayahku terdapat hubungan yang amat erat... bukankah ayahmu adalah paman Ceng Thian Sin yang berjuluk Pendekar Sadis?"



Dengan sedih Sui Cin menggeleng kepala. "Aku lupa semua, aku tidak tahu apa-apa, aku lupa siapa sebenarnya diriku. Aku hanya ingat bahwa aku terkena lemparan batu pada kepalaku, dan aku dikejar-kejar seorang musuh lihai. Kemudian aku bertemu dengan nenek itu dan ia telah menipuku, memberi minum yang katanya obat mengembalikan ingatanku. Akan tetapi ternyata obat itu adalah racun, aku menjadi lemas dan dibelenggunya seperti tadi... dan ia mengaku bernama Kiu-bwe Coa-li, katanya ia adalah musuh besarku..."



"Tentu saja! Ia adalah seorang di antara Cap-sha-kui yang jahat. Lupakah engkau?"



"Aku tidak ingat lagi siapa itu Cap-sha-kui..."



"Aih, Cin-moi. Aku pernah hampir celaka di tangan nenek ini beberapa tahun yang lalu, dan engkaulah yang muncul menolongku. Apakah engkau tidak ingat?"



Sui Cin menggeleng kepalanya. "Aku lupa segala... kepalaku pening, ahh... batu itu menghantam kepalaku amat kerasnyna..." Gadis itu duduk kembali dan memejamkan mata untuk berusaha mengumpulkan tenaganya, akan tetapi ia mengeluh. Tenaganya hilang. "Aku lemas sekali, seluruh tenagaku lenyap... ini tentu karena racun yang diberikan nenek iblis itu kepadaku..."



"Cin-moi, kalau begitu aku mengerti sekarang. Engkau tentu telah kehilangan ingatanmu, entah mengapa, mungkin seperti yang kauingat itu, terkena lemparan batu sehingga otokmu terguncang dan ingatanmu hilang atau kabur. Kemudian, dalam keadaan hilang ingatan itu engkau bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li dan nenek iblis yang curang itu telah menipumu, menggunakan keadaan dirimu yang lupa ingatan, kemudian meracunimu. Engkau keracunan, Cin-moi. Dan inilah yang harus lebih dahulu disembuhkan. Mari kubantu engkau..." Cia Sun lalu duduk bersila di belakang Sui Cin, akan tetapi gadis itu meloncat bangun dan memandang dengan sinar mata meragu.



"Adikku yang baik, apakah engkau tidak percaya kepadaku?"



"Aku tidak kenal denganmu..."



"Cin-moi, dalam keadaan hilang ingatan, aku tidak merasa heran kalau engkau tidak lagi mengenal aku, bahkan namamu sendiripun engkau lupa, juga siapa orang tuamu. Akan tetapi, biarpun aku sekarang menjadi seorang kenalan baru, apakah engkau tetap tidak percaya kepadaku setelah tadi melihat betapa aku mati-matian membantumu dari ancaman nenek iblis itu?"



Sui Cin boleh jadi kehilangan ingatannya tentang mesa lalu, akan tetapi ia tidak kehilangen kegagahan dan keadilannya. Ia mengangguk. "Baiklah, aku yang salah. Lalu, apa yang hendak kaulakukan dalam usahamu mengobatiku?"



"Aku tidak tahu racun apa yang diminumkan nenek itu kepadamu, Cin-moi, karena itu tentu saja akupun tidak tahu apa obat penawarnya. Akan tetapi setidaknya, dengan pengerahan sin-kang, barangkali aku akan dapat memulihkan tenagamu, atau setidaknya aku akan dapat mencegah racun itu menjalar dan membahayakan keselamatan nyawamu."



Kembali Sui Cin mengangguk. "Baiklah, saudara..."



"Cin-moi, dahulu engkau selalu menyebut twako kepadaku, dan namaku Cia Sun..." pemuda itu berkata halus.



"Baik, Sun-twako, silakan dan sebelumnya aku menghaturkan terima kesih." Gadis itu duduk bersila kembali. Cia Sun duduk di belakangnya dan menempelkan kedua telapak tangannya di punggung gadis itu. Segera Sui Cin merasa betapa ada hawa panas menjalar ke dalam tubuhnya melalui telapak kedua tangan itu yang menempel punggung dan ia bergidik. Ia tahu bahwa pemuda itu sungguh lihai, akan tetapi mengerti juga bahwa nyawanya seolah-olah berada di telapak tangan pemuda itu. Ia menyerah dengan ikhlas dan memejamkan kedua matanya.



***



Kiu-bwe Coa-li lari sambil memaki-maki. "Keparat! Anjing monyet tikus sia-lan!" Ia merasa betapa nasibnya amatlah buruknya. Sudah baik-baik bertemu de-ngan puteri Pendekar Sadis, malah sudah berhasil ia meringkus tanpa banyak susah dan selagi ia menikmati kepuasan hatinya menyiksa gadis itu sebelum membunuh-nya, tahu-tahu muncul pemuda lihai itu, putera ketua Pek-liong-pang dari Lembah Naga! Dan nyaris ia celaka, mungkin te-was di tangan pemuda itu! Hanya dengan susah payah dan berkat kecerdikannya ia mampu lolos dari ancaman maut, walau-pun cambuk ekor sembilan dan rambut-nya rontok dan bodol!



"Sialan...!" gerutunya. Mungkin ia kurang perhitungan ketika melakukan perjalanan, keliru memilih hari baik!



Memang menggelikan sekali ulah ne-nek iblis itu. Akan tetapi, kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan hidup ini, akan nampaklah oleh kita bah-wa kenyataan hidup sehari-hari di antara kita tidaklah banyak bedanya dengan si-kap nenek Kiu-bwe Coa-li itu. Kitapun sudah terbiasa sejak kecil untuk meng-gantungkan diri pada nasib! Dan setiap ada peristiwa merugikan menimpa diri kita, kita lalu menyalahkan kepada nasib. Nasib buruk, sial, bintang gelap, dan se-bagainya kita lontarkan sebagai ungkapan kekecewaan hati. Mari kita sama mem-buka mata dan mengamati kenyataan ini. Tidak demikianlah kebiasaan kita sehari-hari? Kita selalu mencari kambing hitam keluar, menimpakan semua kesalahan ke-luar diri kita dan mencari-cari alasan dari luar, lalu kalau tidak menemukan lain orang atau barang sebagai penyebab datangnya kegagalan atau kerugian, kita masih melontarkan sebabnya kepada nasib!



Seorang yang gagal dalam ujian akan mencari-cari alasan keluar, menyalahkan gurunya yang dikatakan tidak adil, me-nyalahkan sistim pelajarannya, menyalah-kan teman-teman dan kalau tiada alasan menimpakan kesalahan kepada orang lain lalu melontarkannya kepada nasib. Nasib buruk katanya! Seorang yang gagal dan kalah dalam pertandingan olah raga dan lain-lain akan mencari-cari alasan di luar dirinya, menyalahkan lapangannya yang dikatakan buruk, licin dan sebagainya, me-nyalahkan alat permainan yang dikatakannya tidak memenuhi syarat dan sebagai-nya, atau ada pula yang menyalahkan keadaan kesehatannya atau juga melontarkannya kepada nasib! Seorang yang da-gangannya tidak laku dan gagal dalam u-sahanya akan selalu mencari kesalahan pada tempatnya, para pembelinya, atau juga kepada nasib. Seorang pengarang yang hasil karangannya tidak mendapat sambutan, tidak dibaca orang akan menyalahkan para pembaca yang dikatakan-nya tolol dan bodoh tidak mengenal ka-rangan yang bermutu dan yang baik, atau juga melontarkannya kepada nasib.



Bukankah semua ini merupakan suatu sikap yang amat buruk, suatu kelucuan yang konyol dan tidak lucu? Bukankah si-kap seperti itu merupakan suatu kebodohan dan menjadi penghalang besar daripa-da kemajuan diri pribadi? Kalau saja mereka itu mau menyelidiki dan mencari alasan-alasan kegagalan itu dalam diri sendiri, pasti akan mereka temukan sebab-sebab kegagalan semua itu. Sebabnya terletak dalam diri sendiri! Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini berputar pada suatu sumber yang berada di dalam diri sendiri. Dan sikap mencari segala se-bab pada diri sendiri merupakan suatu kebijaksanaan yang amat besar dan amat berguna bagi kehidupan manusia, karena dengan cara demikian, kita masing-masing akan dapat melihat dan menemukan kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan pada diri sendiri dan hanya kalau kita sudah menemukan kesalahan-kesalahan kepada diri sendiri inilah maka akan dapat terjadi perbaikan-perbaikan dan pembetulan-pembetulan. Nasib ber-ada di dalam telapak tangan kita sendiri karena segala sebab dan semua akibat berada di telapak tangan kita sendiri.



Bukan hanya kegagalan, bahkan segala peristiwa, seyogianya ditelusur dari dalam diri sendiri. Kalau ada orang membenci kita, biasanya kita menjadi marah, kita membiarkan pikiran berceloteh, mengagungkan diri sendiri sedemikian tingginya. "Mengapa dia benci kepadaku? Kurang bagaimanakah aku? Aku selalu baik, selalu ramah, selalu memberi, akan tetapi mengapa dia benci kepadaku? Dasar dia orang dengki, iri, jahat...!" Demikianlah celoteh pikiran yang selalu mengangkat dan mengagung-agungkan diri sendiri.



Dengan cara membiarkan pikiran berceloteh macam itu, kita akan mandeg, bahkan mundur, dan kita tidak akan mampu melihat kenyataan, melihat kesalahan sendiri dan kita hanya akan menambah kebencian di antara manusia. Akan tetapi, kalau kita selalu waspada terhadap diri sendiri, mengamati diri sendiri tanpa menilai, tanpa mencela atau memuji, akan nampaklah segalanya itu, akan jelaslah bagi kita mengapa ada orang membenci kita dan sebagainya. Dan kewaspadaan ini, pengamatan ini sekaligus menimbulkan kesadaran yang melahirkan tindakan nyata pula, mendatangkan keberanian untuk merobah kesalahan sondiri.



Kiu-bwe Coa-li bersungut-sungut dan marah-marah, menyalahkan nasibnya. Padahal semua kegagalan yang menimpa dirinya bukan lain merupakan buah yang dipetik dari pohon yang ditanamnya sendiri! Ia bersungut-sungut dan karena ia berjalan cepat sambil melamun, hampir saja ia menabrak seorang yang sedang berjalan perlahan dari depan. Orang itu menyerongkan langkah, memiringkan tubuh sehingga tabrakan terhindar. Kiu-bwe Coa-li hanya merasakan angin berseliwer halus ketika orang itu lewat di sampingnya dan barulah ia sadar bahwa hampir saja ia bertubrukan dengan orang lain. Hatinya yang sedang murung itu menjadi panas dan marah, apalagi ketika ia mengangkat muka dan melihat bahwa yang hampir bertubrukan dengannya itu juga seorang nenek yang pakaiannya indah dan bersih. Nenek inipun sudah tua, tentu sudah tujuh puluh tahun lebih, malah lebih tua dari nenek Kiu-bwe Coa-li. Akan tetapi jelas nampak perbedaan antara kedua orang nenek itu. Kalau Kiu-bwe Coa-li berwajah buruk sekali, sebaliknya nenek ini menunjukkan bahwa di waktu mudanya ia tentu seorang wanita yang amat cantik. Akan tetapi bukan kecantikan seorang wanita Han, melainkan kecantikan asing, dengan matanya yang lebar, hidungnya yang terlalu mancung dan dagunya yang panjang meruncing itu. Juga dandanannya jauh berbeda dengan wanita Han, bahkan juga berbeda dengan pakaian wanita-wanita Mongol pada umumnya. Rambutnya yang sudah putih itu dikuncir dua, bukan dikuncir melainkan dibagi dua dan diikat dengan kain lebar. Telinganya yang lebar itu memakai anting-anting gelang yang besar pula. Lehernya memakai kalung dari untaian batu-batu putih bundar seperti tasbeh. Jubahnya berwarna putih bersih, dengan rangkapan berwarna biru dan kuning yang indah. Tangannya memegang sebatang kebutan yang juga berbulu putih seperti rambutnya. Nenek ini nampak agung dan berwibawa, juga gerak-geriknya halus seperti wanita bangsawan. Mulutnya tersenyum membayangkan kebesaran hati ketika ia memandang kepada Kiu-bwe Coa-li.



Sejenak Kiu-bwe Coa-li mempergunakan sepasang matanya yang agak juling itu untuk memandang dan hatinya menja-di semakin panas. Nenek itu dianggapnya terlalu sombong dan genit! Sudah tua masih berdandan begitu rapinya, memakai kalung dan anting-anting pula, dan pakaiannya bagus-bagus!



"Perempuan tak tahu malu!" bentaknya sambil menggoyang-goyang cambuk-nya. "Di mana kautaruh matamu maka engkau berani hampir menubruk aku?"



Nenek berjubah putih-putih itu tersenyum. "Sobat, jangan marah-marah dulu dan ingatlah baik-baik, siapa yang bendak menubruk tadi? Engkau berjalan setengah berlari sambil melamun sehingga tidak melihat ke depan dan kalau aku kurang cepat menyingkir tentu telah kautabruk." Suaranya halus dan dari suara dan kata-katanya jelas bahwa ia adalah seorang wanita Mongol yang pandai berbahasa Han. Kata-katanya menunjukkan bahwa ia terpelajar, karena ia menggunakan baha-sa yang halus, lebih halus daripada kata-kata yang keluar dari mulut Kiu-bwe Coa-li, seorang nenek berbangsa Han aseli.



Ucapan yang halus dan sikap yang te-nang itu menambah kemarahan Kiu-bwe Coa-li, karena ia merasa seolah-olah di-ejek. Ia menudingkan cambuknya ke arah muka nenek itu sambil membentak, "Pe-rempuan tua bangka Mongol yang bosan hidup! Buka mata dan telingamu baik-ba-ik. Engkau berhadapan dengan Kiu-bwe Coa-li dan kalau engkau tidak lekas ber-lutut minta ampun, cambukku akan men-cabut nyawamu!"



"Ck-ck-ck..." Nenek itu menggeleng kepala perlahan sehingga anting-antingnya yang seperti gelang itu bergoyang-goyang, akan tetapi mulutnya masih tersenyum. "Kiranya Kiu-bwe Coa-li, seorang dari Cap-sha-kui yang namanya menggelapkan angkasa di selatan? Wah, hebat sekali. Kiu-bwe Coa-li, aku sudah tua, nyawa ini tidak akan dapat kupertahankan selamanya dan sekali hendak pergi meninggalkan badan, siapa yang mampu menangguhkannya? Akan tetapi jangan harap dapat memaksaku berlutut karena aku tidak mempunyai kesalahan apapun kepadamu."



"Keparat! Berani engkau membantah dan menantangku? Apakah kau bosan hidup?"



Pada saat itu terdengar auman yang keras dan menggetarkan bumi. Kiu-bwe Coa-li terkejut bukan main ketika tiba-tiba seekor harimau yang amat besar muncul dan berlari menghampiri nenek berjubah putih itu. Harimau itu juga memandang kepadanya dan menggereng marah, matanya mencorong dan bibir atasnya mendesis-desis, meringis memperlihatkan gigi dan taring yang amat kuat. Diam-diam Kiu-bwe Coa-li merasa ngeri dan jerih juga. Biarpun ia lihai, akan tetapi menghadapi seekor harimau yang demikian besarnya, ia maklum betapa besar bahayanya melawan binatang seperti ini.



"Houw-cu... diamlah dan jangan ribut," kata nenek itu dengan suara membujuk dan harimau itu lalu mendekam di samping si nenek berjubah putih.



"Huh, biarpun engkau mempunyai peliharaan kucing itu, jangan dikira aku takut!" Kiu-bwe Coa-li menantang.



Nenek itu tetap tersenyum, akan tetapi sepasang matanya yang lebar itu mengeluarkan sinar mencorong, seperti mata binatang pelibaraannya. "Kiu-bwe Coa-li, sungguh mengherankan sekali bahwa orang dengan watak seperti engkau ini dapat hidup sampai usia tua. Aku bukan orang yang suka mempergunakan kekerasan, tidak suka berkelahi, akan tetapi juga bukan orang yang takut akan ancaman-ancaman dan gertak-gertak kosong belaka!"



"Akan tetapi yang suka mengandalkan perlindungan binatang buas!" ejek Kiu-bwe Coa-li yang masih merasa ragu-ragu untuk turun tangan mengingat adanya harimau yang nampaknya buas sekali itu. Kalau hanya harimau biasa saja, ia tidak akan gentar. Akan tetapi harimau ini sungguh luar biasa besarnya dan nampaknya kuat bukan main.



"Begitukah? Aku tidak minta perlindungan Houw-cu, dia hanya marah karena hidungnya dapat mencium bau busuk. Eh, Houw-cu, pergilah bersembunyi sebentar agar perempuan kejam ini tidak menjadi ketakutan."



Seperti seekor binatang jinak yang mengenal perintah majikannya, harimau itu pergi setelah beberapa kali menoleh ke arah Kiu-bwe Coa-li sambil mengge-reng seperti merasa curiga dan marah. Kemudian dia menghilang di balik pohon-pohonan dan tidak terdengar lagi suara-nya.



"Nah, dia sudah pergi, Kiu-bwe Coa-li. Sekarang engkau mau apa?"



"Mau membunuhmu!" bentak Kiu-bwe Coa-li marah dan nenek ini sudah mela-kukan serangan dengan cambuknya. Cambuk itu mengeluarkan suara ledakan-ledakan dan biarpun sudah ada dua ekornya yang putus ketika ia menghadapi Cia Sun tadi, akan tetapi masih ada sisa tujuh e-kor yang kini menyambar dan melakukan totokan-totokan yqng dahsyat.



"Hemmm...!" Nenek berjubah putih itu berseru kaget menyaksikan kehebatan gerakan serangan Kiu-bwe Coa-li dan ia melompat ke belakang sambil mengebutkan kebutan putih di tangannya.



"Pratt-pratt-prattt!" Cambuk itu bertemu dengan kebutan beberapa kali dan nenek berjubah putih itu terhuyung ke belakang.



"Heh-heh-heh, kematian sudah di depan mata, bersiaplah engkau, tua bangka!" Kiu-bwe Coa-li mengejek dan terus me-nyerang lagi. Ia sama sekali tidak me-mandang sebelah mata kepada nenek itu sehingga bertanya namapun tidak. Demi-kian watak orang-orang Cap-sha-kui yang rata-rata sombong dan kejam itu. Dan itulah kesalahannya. Andaikata ia tadi bertanya dan ia tahu dengan siapa dia berhadapan, tentu ia akan bersikap hati-hati dan mungkin ia akan pergi tanpa berani mengganggu nenek berjubah putih itu. Akan tetapi ia terlalu sombong dan pada saat itu hatinya sedang marah karena kekalahannya terhadap Cia Sun.



Didesak oleh serangan-serangan yang dahsyat itu, nenek jubah putih mengelak sambil berloncatan dan anehnya, ia sama sekali tidak pernah membalas. Akan tetapi iapun terkejut memperolch kenyataan betapa hebat dan berbahayanya serangan-serangan yang dilakukan oleh Kiu-bwe Coa-li itu, maka begitu melompat ke belakang ia menudingkan kebutannya sam-bil berkata halus, "Kiu-bwe Coa-li, mem-benci orang lain beranti membenci diri sendiri. Engkau menyerang orang lain sa-ma saja dengan menyerang diri sendiri!"



Kiu-bwe Coa-li tidak perduli walaupun ucapan nenek itu seperti menembus ke dalam dadanya. Dengan ganas ia menu-bruk dengan cambuknya. "Tar-tar-tarrr...!" Cambuk meledak-ledak lalu menerjang ke arah nenek itu. Akan tetapi, en-tah kekuatan apa yang terdapat dalam kebutan berbulu putih, tiba-tiba saja cambuk itu membalik dan memukul muka Kiu-bwe Coa-li sendiri!



"Ihhh...!" Kiu-bwe Coa-li berteriak keras dan berusaha mengelak, akan tetapi tetap saja tiga ekor cambuk itu mengenai muka dan lehernya dan nampaklah jalur-jalur merah berdarah di muka dan lehernya. Ia terbelalak, akan tetapi tidak menjadi takut, bahkan makin marah.



"Kubunuh kau... kau harus mampus!" Ia berteriak marah sekali dan kembali ia meloncat ke depan. Nenek itu mengacungkan kebutannya ke atas, lalu membanting kebutan itu ke bawah. Aneh sekali, tiba-tiba saja tubuh Kiu-bwe Coa-li yang se-dang meloncat itu tiba-tiba saja terban-ting ke bawah oleh tenaga yang tidak nampak.



"Brukkk...!" Kiu-uwe Coa-li terbelalak dan menjadi semakin marah karena bantingan itu tidak melukainya, walaupun membuat napasnya agak sesak dan jalannya menjadi pincang. Ketika ia mengangkat mukanya, nenek itu sudah berjalan pergi sambil membawa kebutannya, seolah-olah tidak lagi mau memperdulikannya! Kemarahannya memuncak. Dilihatnya nenek itu menuruni sebuah lereng yang curam.



"Tunggu, ke mana engkau hendak la-ri, keparat?" Ia mengejar dan menuruni lereng yang diapit-apit jurang yang curam itu.



Nenek itu menengok. "Kiu-bwe Coa-li, aku melihat awan hitam mempengaruhimu. Mundurlah sebelum terlambat!" Ucapannya itu halus dan bernada serius. Akan tetapi orang macam Kiu-bwe Coa-li mana mau mengalah dan mundur sebelum kalah?



Setelah mengejar sampai jarak empat meter, tiba-tiba Kiu-bwe Coa-li mengge-rakkan cambuknya dan meluncurlah belasan jarum halus menyerang ke arah tubuh belakang nenek itu. Akan tetapi, nenek itu membalikkan tubuhnya dan kembali mengacungkan kebutannya dan belasan batang jarum halus yang sedang meluncur itu, tiba-tiba saja membalik ke arah Kiu-bwe Coa-li sendiri! Nenek buruk itu terbelalak, terkejut bukan main karena kembalinya belasan batang jarumnya itu amat cepatnya, lebih cepat daripada ketika ia pakai menyerang. Ia tidak mau kalau senjatanya makan tuan. Untuk menangkis tidak sempat lagi saking cepatnya jarum-jarum itu meluncur, maka iapun meloncat ke kiri untuk mengelak dan... terdengarlah jeritan menyayat hati ketika tubuhnya meluncur ke bawah, ke dalam jurang yang amat curam! Nenek ini dalam kemarahannya telah menjadi lengah dan kehilangan kewaspadaan sehingga lupa bahwa di kanan kiri tempat itu terdapat jurang-jurang yang curam sehingga ketika ia mengelak dan melompat ke kiri, ia telah melompat ke dalam jurang.



Jeritan itu berhenti dan nenek berju-bah putih menjenguk dari tepi jurang, memandang ke bawah. Masih nampak o-lehnya tubuh Kiu-bwe Coa-li yang dari atas nampak kecil seperti boneka meng-gelinding ke bawah, terlempar-lempar ke-tika menimpa batu-batu dan akhirnya terbanting ke dasar jurang den diam tak bergerak lagi.



"Ck-ck-ckk...!" Nenek itu menggeleng-geleng kepalanya lalu bertepuk tangan. Tepukan tangan itu terdengar nyaring se-kali dan agaknya merupakan isyarat bagi harimau peliharaannya karena kini muncullah harimau besar itu, berlari-lari men-datangi. Nenek itu lalu naik ke punggung harimau, menggerakkan kebutannya dan harimau itupun berlari ke arah dari mana Kiu-bwe Coa-li tadi datang.



Tak lama kemudian tibalah nenek dan harimaunya itu di tempat di mana Cia Sun sedang berusaha untuk mengobati Sui Cin. Dari jauh nenek itu sudah melihat mereka dan iapun menyuruh harimaunya berhenti. Ia mengintai dan sampai lama ia mengamati dua orang muda itu. Berulang kali ia menarik napas panjang dan menggumam seorang diri. "Ah, agaknya akan perempuan itu keracunan dan tentu perbuatan Kiu-bwe Coa-li itu. Kasihan, aku melihat cahaya gelap menyelubungi wajahnya."



Nenek ini bukan orang sembarangan. Kalau tadi Kiu-bwe Coa-li tidak begitu sombong dan mau bertanya nama, agaknya ia belum tentu akan tewas, mati konyol karena terjatuh ke dalam jurang karena nama nenek itu tentu akan membuatnya merasa jerih dan membuatnya tidak berani sembarangan menyerang. Nenek itu terkenal sekali di daerah utara, di luar Tembok Besar dan bahkan seluruh penduduk Mongol dan Mancu amat takut kepadanya. Di Mongol, ia dikenal sebagai seorang dukun wanita yang terkenal sakti dan ampuh. Apalagi, di samping menjadi dukun yang diakui mempunyai banyak macam ilmu yang aneh-aneh, juga ia merupakan keturunan dari Yelu Ce-tai, seorang arif bijaksana yang dahulu menjadi penasihat Raja Jenghis Khan! Biarpun sudah lama Kerajaan Goan, yaitu penjajah Mongol, terjatuh dan sisa-sisa orang Mongol kembali ke utara di luar Tembok Besar, namun nama keluarga Yelu Ce-tai masih dikenal orang, bahkan ratusan tahun kemudian, nenek itu sebagai keturunan keluarga Yelu, masih dihormati orang-orang Mongol, apalagi karena ia memang seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama sekali ilmu sihirnya. Bahkan para kepala suku yang banyak terdapat di daerah itu semua menghormatinya. Ia menjadi tempat bertanya nasihat para pimpinan suku dan bahkan pertikaian-pertikaian yang timbul di antara mereka seringkali baru dapat didamaikan kalau Yelu Kim demikian nama nenek itu, sudah turun tangan melerai. Di kalangan orang Mongol yang masih percaya akan hal-hal mujijat dan ketahyulan, nenek itu dikabarkan sakti seperti dewa, dapat menghidupkan orang mati dan mematikan orang hidup!



Sebetulnya, Yelu Ce-tai dahulu adalah seorang bangsawan Khitan akan tetapi ahli dalam kebudayaan bangsa pribumi Han sehingga dia dianggap sebagai seorang berbangsa pribumi. Keturunannya banyak yang menikah campuran sehingga darah Yelu Kim sekarang adalah darah campuran, bahkan ada pula darah Bangsa India di barat. Itulah sebabnya mengapa wajahnya memiliki kecantikan yang asing dan aneh. Namanya terkenal sekali, bahkan tokoh-tokoh besar di pedalaman yang sering menjelajah ke utara, sudah mendengar akan kehebatan nama ini. Maka sayanglah bahwa Kiu-bwe Coa-li tidak menanyakan namanya sehingga nenek iblis itu tewas tanpa mengetahui bahwa lawannya adalah orang yang paling terkenal di Mongol.



Sebagai seorang yang dihormati, Yelu Kim yang berdarah bangsawan itu bersikap agung dan ramah, akan tetapi di balik kehalusan sikapnya itu tersembunyi kekuatan yang menakutkan dan memang nenek ini kadang-kadang mempunyai sikap yang aneh dan mengejutkan orang, kadang-kadang ia murah hati sekali dan mudah mengampuni, akan tetapi ada kalanya ia bersikap amat keras hati dan amat kejam. Padahal, pada dasarnya Yelu Kim bukanlah seorang kejam, melainkan seorang yang bijaksana dan adil, dan pandangannya sedemikian jauh sehingga banyak orang tidak mengerti dan menganggap ia kejam. Nenek yang sudah beberapa kali menikah ini tidak pernah mengecap kebahagiaan hidup keluarganya, dan ia tidak pernah mempunyai anak sehingga kini hidup kesepian dalam usia tua. Dan sebagai seorang janda tua yang hidup kesepan, ia suka akan binatang peliharaannya. Akan tetapi kalau para janda itu suka memelihara kueing atau anjing, nenek ini memelihara seekor harimau yang amat besar dan menakutkan. Dan harimau ini bukan hanya menjadi binatang peliharaan dan kesayangan, bahkan juga dapat menjadi binatang tunggangan dan binatang yang menjaga dan melindungi keselamatannya. Melihat binatang ini saja membuat orang yang tadinya berniat buruk terhadap Yelu Kim harus berpikir panjang lebih dulu karena harimau itu nampaknya amat menyayang dan setia kepada majikannya.



Demikianlah sedikit tentang nenek aneh itu yang kini mengintai Cia Sun dan Sui Cin yahg sedang duduk bersila. Sui Cin yang merasa betapa hawa yang panas menjalar ke dalam tubuhnya merasa nyaman sekali dan hampir tertidur. Sebaliknya Cia Sun dengan pengerahan sin-kang berusaha untuk membangkitkan kembali tenaga gadis itu yang seakan-akan menjadi lumpuh. Namun, dia tidak pernah menemui perlawanan sehingga hal ini menandakan bahwa Sui Cin belum juga menemukan kembali kekuatannya. Sin-kang atau hawa sakti dalam tubuh gadis itu belum bangkit.



Telah lewat tiga jam lamanya sejak Cia Sun mencoba untuk mengobati gadis itu dan terpaksa dia berhenti dulu untuk menyimpan tenaganya sendiri. Dia melepaskan kedua tangannya dan Sui Cin sadar dari keadaan seperti tidur itu. Mereka lalu duduk beristirahat, berhadapan di atas rumput tebal, saling memandang. Melihat betapa sepasang mata gadis itu memandang kepadanya penuh pertanyaan, Cia Sun menarik napas panjang.



"Cin-moi, kita harus mengaso dulu. Sungguh heran, aku belum menemui perlawanan, agaknya sin-kang di dalam tubuhmu sama sekali tidak bangkit. Entah pengaruh racun apa yang dipergunakan Kiu-bwe Coa-li sehingga bisa melumpuhkan kekuatan dalam tubuhmu seperti ini."



Gadis itu memandang wajah yang gagah dan nampaknya sedih itu, dan hatinya terharu. Ia tidak mengenal pemuda ini, atau lebih tepat lagi, ia sudah lupa lagi siapa adanya pemuda ini, namun menurut penuturan pemuda ini, di antara mereka terdapat hubungan dekat dan bahwa pemuda itu adalah putera ketua Pek-liong-pang di Lembah Naga, seorang pendekar! Dan melihat sepak terjangnya tadi, memang pemuda ini seorang pendekar yang mengagumkan, bukan hanya telah menyelamatkannya dari ancaman maut di tangan nenek iblis Kiu-bwe Coa-li, akan tetapi juga bersikap sopan dan mengagumkan ketika berusaha mengobatinya dengan pengerahan sin-kang. Seorang pe-muda yang hebat, dan sinar mata pemu-da itu kalau ditujukan kepadanya mem-buat jantungnya tergetar karena jelas te-rasa dan nampak olehnya betapa pemuda ini jatuh cinta kepadanya, atau mungkin juga sudah sejak dahulu mencintanya.



"Sudahlah, Sun-twako, biarkan saja. Tidak perlu engkau menghambur-hambur-kan tenagamu untuk mencoba mengobatiku. Aku tidak menderita rasa nyeri, ha-nya lemas dan tidak mampu membangkitkan tenaga sin-kangku..."



"Akan tetapi, engkau tentu menderita. Engkau sakit, mukamu pucat dan ma-tamu layu, Cin-moi, bagaimanapun juga, aku harus berusaha mengobatimu sampai sembuh. Setidaknya aku akan mencarikan obat, mencarikan ahli untukmu."



Pada saat itu, Cia Sun meloncat berdiri dan memandang ke arah pohon-pohon di mana kini sudah berdiri seorang nenek yang memegang sebuah kebutan putih. Karena baru saja dia berkelahi melawan seorang nenek iblis, maka munculnya ne-nek ini tentu saja mendatangkan kecurigaan besar dan mengingat bahwa Sui Cin masih tidak berdaya, diapun cepat lari menghampiri nenek itu dengan pandang mata penuh curiga.



Nenek itu adalah Yelu Kim dan kini tiba-tiba saja sikap nenek ini berubah sama sekali. Pandang matanya nampak jahat dan kejam, senyumnya penuh ejekan. "Orang muda, kaukah yang tadi bertanding dengan Kiu-bwe Coa-li?"



Cia Sun mengerutkan alisnya dan me-mandang tajam. "Benar sekali, dan sete-lah nenek iblis itu melarikan diri seka-rang muncul engkau. Siapakah kau ini, nek, dan ada hubungan apa engkau de-ngan Kiu-bwe Coa-li?"



Senyum mengejek di mulut nenek itu melebar dan pandang matanya nampak heran dan tidak percaya. "Engkau yang semuda ini mampu mengalahkan Kiu-bwe Coa-li?"



"Kalau nenek iblis itu tidak melarikan diri, tentu ia sekarang sudah tewas di tanganku. Seorang manusia berwatak iblis seperti ia memang sudah sepatutnya di-basmi dari permukaan bumi. Dan engkau, siapakah engkau, dan apa maksudmu muncul di sini?"



"Aku tidak percaya bahwa engkau mampu mengalahkan Kiu-bwe Coa-li, dan aku datang untuk mencoba apakah kepandaianmu benar-benar sehebat itu." Berkata demikian, nenek itu langsung saja menubruk ke depan dan mengelebatkan kebutannya. Ujung kebutan yang menjadi kaku meluncur dan menotok ke arah tiga jalan darah di dada, leher dan pundak Cia Sun secara bertubi-tubi.



"Hemm, kiranya engkau sebangsa nenek iblis itu!" bentak Cia Sun yang cepat mengelak dan diapun membalas dengan tamparan-tamparan tangannya yang ampuh. Melihat tamparan ini yang mengandung hawa pukulan amat dahsyat, nenek Yelu Kim terkejut bukan main dan tahulah ia bahwa memang pemuda ini lihai sekali. Tidaklah mengherankan kalau Kiu-bwe Coa-li sampai melarikan diri dalam keadaan marah-marah sehingga hampir menubruknya. Iapun menggunakan kelincahan gerakan tubuhnya untuk berloncatan dan mengelak ke sana-sini sambil membalas dengan cambuknya.



Beberapa kali nenek itu mengelebatkan kebutannya dan setiap kali Cia Sun kehilangan lawannya. Pemuda ini terkejut sekali, apalagi ketika melihat nenek itu sudah berada dalam jarak empat lima tombak di sebelah depan. Dia mengejar dan berkelahi lagi, akan tetapi nenek itu seringkali berkelebatan lenyap dan tanpa diketahuinya, Cia Sun sudah terpancing meninggalkan tempat di mana Sui Cin duduk bengong tadi. Gadis ini merasa gelisah karena ia tidak dapat membantu Cia Sun menghadapi nenek yang nampaknya juga lihai sekali itu.



Makin gelisah rasa hati Sui Cin melihat betapa kini Cia Sun yang masih berkelahi melawan nenek aneh itu, telah lenyap di sebuah tikungan, terhalang oleh pohon-pohon. Iapun melangkahkan kaki untuk mengejar karena walaupun ia sendiri tidak berdaya, tidak mampu membantu karena tenaganya belum pulih, kaki tangannya masih lemas, akan tetapi ia harus menyaksikan bagaimana kelanjutan perkelahian itu.



Tiba-tiba terdengar suara gerengan dan tahu-tahu muncullah seekor harimau yang amat besar, yang melompat keluar dari balik semak-semak belukar. Harimau itu demikian besar dan nampak garang sekali sehingga Sui Cin berdiri terpukau dengan mata terbelalak dan muka pucat. Kalau ia berada dalam keadaan biasa, tentu ia akan mampu melawan binatang ini mengandalkan kepandaiannya. Akan tetapi dalam keadaan kehilangan tenaga itu, mana mungkin ia mampu menyelamatkan diri? Ia mencoba untuk membalikkan tubuh dan lari, akan tetapi tiba-tiba harimau itu menubruk dan tahu-tahu sudah menghadang di depannya. Sui Cin menjadi panik. Rasa ngeri mencekam hatinya dan ia berusaha untuk memanjat sebatang pohon yang berada di samping kirinya. Ia berhasil naik dahan pohon, akan tetapi harimau itu mengaum dan menubruk pohon. Pohon yang batangnya sebeser paha manusia itu roboh, membawa Sui Cin bersama roboh ke bawah!



"Ahhhh...!" Demikian ngeri rasa hati gadis yang biasanya amat gagah perkasa ini dan iapun jatuh pingsan.



Sementara itu, nenek pemegang kebutan ketika mendengar auman-auman harimau itu, tersenyum dan berkata, "Orang muda, cukuplah kita bermain-main. Ilmu silatmu hebat sekali, membuat aku kagum bukan main. Nah, selamat tinggal!" Ia menggerakken kebutannya dan tiba-tiba saja tubuhnya lenyap dari depan Cia Sun. Pemuda ini tercengang, mencari dengan pandang matanya ke sana-sini, akan tetapi sia-sia belaka, ia tidak dapat melihat kembali nenek itu. Maka iapun cepat kembali ke tempat tadi karena iapun mendengar suara auman-auman harimau tadi dan mengkhawatirkan keselamatan Sui Cin.



Ketika tiba di tempat tadi, di mana dia meninggalkan Sui Cin untuk melawan nenek itu, dia terkejut bukan main. Sui Cin tidak ada lagi di situ.



"Cin-moi...!" Dia berseru memanggil mengharap kalau-kalau gadis itu bersembunyi ketika mendengar suara auman harimau. Akan tetapi, panggilannya yang dilakukan dengan pengerahan khi-kang itu hanya bergema dari jauh, tidak ada jawaban same sekali.



"Cin-moi, di mana kau...?" Dia berteriak lagi dan mulai mencari ke sana sini dengan hati khawatir. Akan tetapi dia tidak dapat menemukan bayangan ataupun jejak gadis itu. Akhirnya dia menghentikan usahanya mencari dan duduk termenung di atas sebongkah batu besar, alisnya berkerut. Timbul kecurigaannya kepada nenek tadi. Nenek tadi adalah seorang yang amat pandai dan biarpun ilmu silatnya tidak begitu hebat, juga tenaganya tidak terlalu kuat baginya, namun nenek itu memiliki ilmu yang luar biasa, yaitu pandai menghilang. Ataukah itu hanya semacam ilmu sihir saja? Dan nenek itu seperti sengaja memancingnya menjauhi Sui Cin. Kemudian setelah terdengar auman harimau, nenek itupun menghilang! Kini dia teringat bahwa agaknya nenek itu memang sengaja memancingnya untuk menjauhi Sui Cin. Jelas bahwa ada hubungan antara hilangnya gadis itu dengan si nenek aneh.



Cia Sun mengepal tinju dan bangkit berdiri. Sinar matanya tajam dan keras. "Nenek siluman, sampai di manapun juga, aku akan mengejarmu!" Dan diapun pergi meninggalkan tempat itu, memulai tugasnya untuk menyelidiki dan mencari Sui Cin dengan jalan mencari menek itu karena dia merasa yakin bahwa Sui Cin tentu diculik oleh nenek itu, mungkin dilakukan oleh pembantu-pembantunya.



***



Daerah pegunungan itu penuh dengan batu-batu karang yang besar-besar, seperti barisan bukit-bukit kecil atau jajaran bangunan-bangunan kuno yang aneh-aneh bentuknya. Dan di daerah ini banyak terdapat guha-guha alam yang besar-besar dan juga aneh-aneh bentuknya. Di atas sebuah di antara bukit-bukit batu itu, terdapat sebuah guha yang amat besar. Pintu guha ini luas, besar dan tinggi, juga amat bersih, tanda bahwa guha itu dirawat dengan baik. Lantainya amat rata dan halus, dan dari luar guha sudah nampak bahwa di sebelah dalam guha itu memang dijadikan tempat tinggal manusia, nampak tirai-tirai kain di balik pintu.



Nenek itu duduk bersila di atas sebuah tikar yang terbentang di ruangan depan guha. Ia adalah nenek Yelu Kim. Pakaiannya tetap bersih dan rapi dan wajahnya berseri. Tangan kaanannya membawa kebutan bulu putih dan di depannya terdapat sebuah guci yang mengkilap dan indah, entah terisi apa karena tertutup.



Terdengar auman harimau dari depan guha. Untuk mencapai guha itu orang harus mendaki dari bawah. Nenek itu memandang ke bawah dan mengucapkan kata-kata dalam Bahasa Mongol untuk menyuruh harimau peliharannya itu mendaki naik membawa gadis yang diseretnya itu.



Harimau besar itu mendaki naik, menyeret tubuh Sui Cin dengan menggigit punggung baju gadis itu. Gadis itu masih dalam keadaan pingsan dan agaknya tidaklah sukar bagi harimau itu untuk menyeret tubuh Sui Cin menaiki anak tangga menuju ke mulut guha di mana nenek itu menanti dengan wajah berseri.



"Letakkan ia di sini, Houw-cu," kata nenek itu sambil menudingkan kebutannya. Harimau itu membawa Sui Cin ke depan si nenek dan melepaskannya di atas lantai. Tubuh Sui Cin rebah terlentang. "Nah, kau boleh pergi mengaso, Houw-cu," kata pula nenek Yelu Kim dan harimau itu mengeluarkan suara mengaum panjang lalu berlari pergi menuruni anak tangga.



Nenek itu lalu membuka baju atas Sui Cin dan melakukan pemeriksaan, meraba sana-sini, mengetuk sana-sini dan akhirnya ia menutupkan lagi baju gadis itu dan mengangguk-angguk.



"Sungguh keji sekali Kiu-bwe Coa-li, meracuni seorang anak perempuan dengan racun ular bunga kuning, racun yang melumpuhkan kaki tangannya."



Kemudian, dengan gerakan ringan nenek itu mengangkat tubuh Sui Cin, dipondongnya tubuh itu dan dibawanya masuk ke dalam guha. Ternyata guha itu amat lebar dan di sebelah dalamnya terdapat sebuah kamar tidur dan sebuah ruangan yang luas. Nenek itu merebahkan tubuh Sui Cin di atas pembaringan kayu yang berada di sudut ruangan luas itu. Kemudian ia membuat api di tungku dan memasak obat.



Sebelum obat itu siap, Sui Cin sadar dari pingsannya. Ia mengeluh dan seketika teringat akan harimau itu, maka iapun bangkit duduk dan matanya terbelalak memandang ke kanan kiri. Tidak dilihatnya ada harimau di situ sehingga melegakan hatinya. Akan tetapi ketika ia melihat nenek yang sedang memasak obat, ia cepat turun dari pembaringan dan alisnya berkerut. Tentu saja ia mengenal nenek yang tadi berkelahi melawan Cia Sun itu.



"Nenek iblis! Apa yang telah kaulakukan terhadap Sun-twako?" bentaknya marah, akan tetapi perasaannya menjadi gentar ketika ia mencoba mengerahkan tenaga, masih saja tidak dapat membangkitkan tenaganya.



Yelu Kim masih duduk berjongkok di depan tungku api, menoleh dan tersenyum. "Ah, engkau sudah sadar, nona? Aku dan Houw-cu sudah banyak mengejutkan hatimu, bukan? Lupakanlah itu, karena aku berniat baik terhadap dirimu."



"Hemmm, siapa mau percaya omongan seorang nenek iblis sepertimu? Di mana Sun-twako dan mau apa engkau membawaku ke tempat ini?"



Nenek itu tersenyum dan sebelum menjawab, ia mengambil tempat obat dari atas api dan menuangkan air obat yang berwarna coklat itu dan yang me-ngebulkan uap panas ke dalam sebuah mangkok. Bau sedap harum mencapai hi-dung Sui Cin, bau masakan obat.



"Aku tidak menyalahkan engkau kalau terjadi salah pengertian. Dengarlah, no-na, aku Yelu Kim jangan kausamakan dengan Kiu-bwe Coa-li."



"Kalau tidak sama, mengapa engkau menyerang Sun-twako?"



"Memang kusengaja memancing dia meninggalkanmu agar mudah bagi Houw-cu untuk membawamu ke sini."



Mata Sui Cin terbelalak. "Apa? Hari-mau itu peliharaanmu dan dia kausuruh datang menculikku?"



Nenek itu masih tersenyum dan mengangguk. "Aku tidak berniat jahat, anakku yang baik."



Sui Cin mendengus marah. "Tidak berniat jahat akan tetapi menyuruh harimaumu mengejutkan hatiku dan menculikku, dan engkau sendiri menyerang dan me-mancing Sun-twako meninggalkan aku? Bagus, kaukira ada orang mau percaya o-monganmu ini?"



"Terserah kepadamu, nona. Akan te-tapi, kalau aku berniat buruk, apakah kaukira kau masih hidup sekarang ini, dan juga temanmu itu masih hidup?"



"Di mana Sun-toako?"



"Aku meninggalkan dia. Dia terlalu kuat dan aku tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Setelah engkau dibawa hari-mauku, akupun meninggalkannya."



"Tapi... tapi apa artinya semua ini dan apa kehendakmu melakukan hal itu terhadap kami?"



"Sabarlah dan dengarkan kata-kataku dengan baik. Terserah kepadamu apakah engkau akan percaya kepadaku atau ti-dak, akan tetapi sesungguhnya aku tidak mempunyai niat buruk terhadap dirimu atau terhadap temanmu yang gagah per-kasa itu. Namaku Yelu Kim dan di dae-rah Mongol ini aku dihormati orang, bah-kan dianggap sebagai orang tua yang pa-tut dimintai nasihat oleh para kepala su-ku." Nenek itu mulai bercerita dan ia merasa heran melihat betapa gadis ini sama sekali tidak kaget mendengar namanya. Timbul keinginan hatinya mengenal siapa adanya gadis ini dan apakah ia salah pilih, mengira gadis ini adalah seo-rang yang memiliki kepandaian silat tinggi dan boleh diandalkan kelak.



"Nona, engkau sendiri siapakah, siapa namamu dan siapa pula gurumu, mengapa engkau sampai berada di daerah ini dan keracunan?"



Melihat sikap orang yang begitu ra-mah dan halus, berkuranglah kecurigaan Sui Cin. Bagaimanapun juga, dari sikap dan bicaranya, sukarlah menyamakan ne-nek ini dengan nenek iblis Kiu-bwe Coa-li. Ia menarik napas panjang. Bagaimana-pun juga, dalam keadaan kehilangan te-naga ini iapun tidak akan mampu menjaga diri dan keselamatannya berada di ta-ngan nenek ini, maka sebaiknyalah kalau ia bersikap halus mengimbangi sikap ne-nek itu.



"Ah, aku menjadi bingung kalau dita-nya begitu, nek. Ketahuilah, aku telah lupa sama sekali akan keadaan diriku atau riwayatku. Karena aku kehilangan ingatan inilah maka Kiu-bwe Coa-li dapat meni-puku, memberiku minum racun itu yang melumpuhkan kaki tanganku. Aku sampai sekarang tidak ingut lagi siapa adanya diriku, apalagi nama orang tua atau guruku, bahkan aku sendiri tidak tahu untuk apa aku berada di daerah ini..."



Mendengar ucapan itu dan melihat si-kap yang sedih dari Sui Cin, nenek itu terkejut dan tertarik sekali. Ia meman-dang tajam penuh selidik. "Apa? Engkau kehilangan ingatanmu? Bagaimana bisa terjadi demikian dan kapan terjadinya?"



"Bagaimana aku tahu, nek? Yang ku-ingat hanyalah bahwa kepalaku terpukul batu yang dilontarkan seorang musuh yang lihai. Aku lupa segala dan ada dorongan dalam hatiku untuk pergi keluar Tembok Besar dan di sinilah aku. Aku bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li yang sejak dahulu menjadi musuh besarku. Akan tetapi aku tidak mengenalnya dan baru aku tahu setelah ia memberi minum racun dan aku terjatuh ke dalam tangannya, aku ditawan dan ia mengaku bahwa ia adalah musuh besarku. Hampir aku tewas olehnya, akan tetapi untung muncul Cia Sun yang menolongku. Menurut Sun-twako, antara aku dan dia masih ada hubungan dekat, akan tetapi akupun sudah tidak ingat lagi siapa dia. Dia berusaha mengobatiku dari pengaruh racun yang melumpuhkan, dan engkau muncul..."



Nenek itu tertarik sekali dan mengangguk-angguk. "Ah, kalau begitu, selain menyembuhkan engkau dari keracunan, akupun harus berusaha membangkitkan kembali ingatanmu itu, nona."



Sui Cin memandang tajam. "Mengapa, nek? Mengapa engkau hendak menolongku dengan cara seperti itu? Memisahkan aku dari Sun-twako dan menyuruh harimau peliharaanmu itu untuk membawaku ke sini?"



"Nona, di tengah jalan aku bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li dan iblis itu tan-pa sebab menyerangku. Akan tetapi akhirnya ia tewas oleh ulahnya sendiri, terja-tuh ke dalam jurang. Lalu ketika aku melanjutkan perjalanan, aku melihat engkau sedang diobati oleh pemuda itu. Aku da-pat menduga bahwa engkau tentu terluka oleh Kiu-bwe Coa-li. Aku merasa kasihan kepadamu dan ingin mengobatimu, akan tetapi juga aku dapat menduga bahwa engkau tentu memiliki ilmu silat tinggi, dan agaknya hanya engkaulah yang akan mampu membantuku menyelesaikan se-buah persoalan. Akan tetapi aku tidak mau kalau pemuda itu mencampurinya, maka aku lalu menggunakan akal untuk memancingnya meninggalkanmu dan aku menyuruh Houw-cu untuk membawamu ke sini."



Sui Cin mengerutkan alisnya. Tahulah ia kini bahwa nenek ini hendak menolongnya, akan tetapi juga hendak minta ban-tuannya. Pertolongan yang bersyarat, pi-kirnya. "Nenek yang baik, hendaknya eng-kau ketahui lebih dahulu bahwa kalau minta bantuanku untuk melakukan kejahatan, aku tidak sudi dan biarlah aku tidak me-nerima pengobatanmu!"



Nenek itu tertawa. "Nona, sekali lagi kukatakan bahwa jangan engkau menyamakan aku dengan mendiang Kiu-bwe Coa-li."



"Sungguh aneh sekali. Engkau yang mampu mengalahkan bahkan membunuh seorang iblis seperti Kiu-bwe Coa-li, masih mengharapkan bantuanku. Apakah yang dapat kulakukan untuk seorang sak-ti seperti engkau?"



"Sudahlah, tidak perlu engkau mem-buang banyak tenaga. Mari kuobati eng-kau lebih dulu, baru nanti kuceritakan a-pa yang harus kaulakukan untukku. Mari, kauminumlah obat ini dan racun ular itu akan menjadi tawar dan kelumpuhanmu akan lenyap, tenagamu akan pulih kem-bali."



"Tapi... tapi engkau belum menceritakan syaratmu..." Sui Cin meragu.



"Tidak usah. Biar kusembuhkan dulu engkau, baru kemudian kuceritakan dan andaikata engkau menganggap syarat itu terlalu berat atau tidak berkenan di hati-mu, engkau boleh tidak usah melakukan-nya. Nah, kau tahu sekarang bahwa aku tidak berniat buruk. Minumlah dan engkau akan sembuh."



Sui Cin yang tahu bahwa kalau ia ti-dak minum obat, keselamatannya tentu terancam maut, maka iapun lalu nekat. Memang benar ucapan nenek ini, kalau nenek ini bermaksud buruk dan hendak membunuhnya, apa sukarnya? Apa perlu-nya nenek ini susah-susah membawanya ke sini dan memberinya obat kalau mak-sudnya buruk? Ia lalu menerima mangkok itu dan minum isinya. Cairan berwarna coklat itu rasanya tidaklah seburuk rupa-nya. Baunya sedap dan rasabya agak ma-nis, maka tanpa ragu-ragu lagi diminumnya obat itu sampai habis.



Tiba-tiba ia merasa betapa dalam pe-rutnya bergerak-gerak dan terdengar sua-ra berkeruyukan seperti perut yang lapar sekali. Ia terkejut dan memandang nenek itu dengan tajam. Akan tetapi nenek Ye-lu Kim tersenyum.



"Nona, kau duduklah bersila dan cobalah perlahan-lahan menghimpun tenagamu. Jangan tergesa-gesa, kalau pintu pusar sumber tian-tian sudah terbuka, salurkan tenagamu perlahan-lahan agar tidak me-rusak jaringan syaraf yang penting. Nah, mulailah. Lebih baik pejamkan matamu."



Sui Cin menurut dan iapun bersila. Makin lama makin keras gerakan dalam perutnya dan perlahan-lahan ia merasa betapa hawa panas bangkit dari pusarnya dan ada kekuatan yang naik. Ia lalu me-nguasai tenaga itu dan perlahan-lahan menyalurkannya ke seluruh tubuh, perlahan-lahan dan hati-hati sampai ia merasa biasa kembali dengan tenaga sakti yang ta-di seperti tenggelam itu. Tak lama ke-mudian ia merasa segar dan sehat kem-bali dan dibukanya kedua matanya. Ne-nek Yelu Kim berdiri memandang kepa-danya dengan senyum ramah. Kini lenyaplah keraguan dari hati Sui Cin dan iapun cepat bangkit dan memberi hormat kepa-da wanita itu, malu kepada diri sendiri mengingat betapa ia tadi bersikap kasar dalam keraguannya.



"Harap locianpwe sudi memaafkan ke-kasaranku tadi dan terima kasih atas per-tolongan locianpwe."



Nenek itu tersenyum. "Nantl dulu, aku ingin melihat apakah aku tidak salah menilai orang. Nona, sambutlah seranganku ini!" Dan kebutan di tangannya bergerak menyambar, ujung kebutan melakukan totokan kilat ke arah pundak Sui Cin. Gadis ini terkejut, namun otomatis ia bergerak mengelak dan setelah ia mengerti bahwa nenek itu hendak mengujinya, maka iapun bergerak lincah menghadapi serangan kebutan bertubi-tubi itu, bahkan berani menangkis menggunakan tenaga sin-kangnya.



"Plakk!" Tangkisannya itu membuat Yelu Kim terhuyung ke belakang dan ne-nek ini menjadi semakin girang. Ia mempercepat gerakan kebutannya, akan tetapi segera ia merasa pusing setelah Sui Cin menggunakan gin-kangnya yang istimewa. Nenek ini dapat menghilang dengan ban-tuan sihirnya, akan tetapi sekarang ia menghadapi kecepaten Sui Cin, ia men-jadi bingung karena kadang-kadang bayangan gadis itu seperti lenyap dan ta-hu-tahu telah berada di samping atau be-lakangnya. Ia melompat mundur dan memandang kagum.



"Cukup, cukup! Aih, girang hatiku ka-rena aku sama sekali tidak kecewa. Eng-kau bahkan melampaui semua harapan dan dugaanku, nona."



"Ah, locianpwe terlalu memuji. Seka-rang harap locianpwe ceritakan, bantuan apakah yang dapat kulakukan untukmu!"



Nenek itu kembali tersenyum. "Nanti dulu, nona, jangan tergesa-gesa. Urusan itu penting sekali dan aku tidak mau bantuan orang untuk mewakiliku tanpa kuke-nal benar siapa adanya orang itu. Karena itu, biarlah aku akan mencoba untuk me-nyembuhkan dulu luka di dalam kepala-mu yang membuatmu kehilantan ingatan itu."



Sepasang mata Sui Cin terbelalak dan wajahnya berseri saking girangnya. "Lo-cianpwe dapat menyembuhkan aku dan mengembalikan ingatanku yang hilang?" tanyanya penuh harapan.



Nenek itu mengangguk. "Mudah-mudahan demikian agar tidak percuma sebutan semua rakyat Mongol yang menyebut aku Dewi Penyelamat. Marilah masuk ke da-lam kamarku dan aku akan mulai dengan pengobatan itu, nona. Akan tetapi engkau harus percaya penuh kepadaku dan ber-sabar karena mengobati bagian kepala harus sangat hati-hati dan teliti."



Demikianlah, nenek Yelu Kim yang ternyata memiliki ilmu pengobatan yang tinggi itu memeriksa kepala Sui Cin dan mulai memberi pengobatan dengan urut-an-urutan pada jalan darah dan juga memberi obat minum yang rasanya amat pahit. Namun Sui Cin yang sudah mena-ruh kepercayaan penuh kepada nenek yang ramah itu mentaati semua petunjuknya dengan sabar. Kemudian ia melihat beta-pa nenek ini dibantu oleh beberapa orang pelayan wanita Mongol yang datang seti-ap kali tenaga mereka diperlukan dan a-gaknya mereka itu tinggal di luar guha yang hanya ditempati nenek Yelu Kim seorang diri saja. Juga ia melihat betapa harimau besar yang pernah mengejutkan-nya itu ternyata adalah seekor binatang yang amat jinak jika berada di dekat ne-nek Yelu Kim. Bahkan ia sendiri mulai bersababat dengan binatang itu yang a-gaknya mengerti bahwa ia bukenlah seo-rang musuh melainkan seorang kawan baik.



***



Hui Song memasuki kota kecil yang merupakan benteng terakhir di daerah u-tara dari pasukan pemerintah. Benteng i-tu berada di dekat Tembok Besar, sebe-lah selatan tembok dan penduduknya cu-kup banyak karena kota San-hai-koan ini benar-benar merupakan kota dekat laut dan gunung. Penghuninya sebagian besar adalah orang-orang Han utara, akan te-tapi banyak juga terdapat orang-orang Mongol dan Mancu, yaitu para pedagang yang datang dari luar Tembok Besar. Ka-rena kota benteng ini merupakan perta-hanan terakhir dari pemerintah Kerajaan Beng. Pada waktu itu, kekuasaan Kerajaan Beng meliputi daerah yang cukup luas. Ke selatan sampai lautan dan propinsi paling selatan adalah Kiang-si dan Yun-nan, ke barat hanya sampai Se-cuan dan Shen-si saja dan ke utara hanya sampai batas Tembok Besar. Tentu saja luasnya wilayah ini merupakan warisan atau ram-pasan dari kekuasaan Kerajaan Goan atau penjajah Mongol yang memang berambisi untuk memperluas wilayah.



San-hai-koan merupakan kota penghu-bung antara Tiongkok dan daerah Mongol dan Mancu, dan menjadi satu di antara benteng-benteng terakhir di utara, dan merupakan benteng terakhir dan terkuat di daerah timur laut. Karena itu, ben-teng ini diperkuat dengan pasukan yang cukup besar, dipimpin oleh seorang gu-bernur yang dibantu oleh seorang pangli-ma perang. Karena letaknya di tepi laut-an, di tepi teluk besar Po-hai, maka se-bagian besar daripada penghuninya ada-lah pelaut-pelaut dan nelayan yang biasa bekerja keras, di samping banyak pula yang menjadi pedagang karena ramainya lalu-lalang di daerah perbatasan ini. Ko-tanya cukup besar, banyak terdapat rumah makan dan rumah penginapan. Akan tetapi, penjagaan kota itu cukup ketat dan para penjaga keamanan selalu meng-adakan pemeriksaan untuk mencegah ter-jadinya kerusuhan di kota benteng itu.



Ketika Hui Song memasuki kota itu, dia melihat banyak orang, kesemuanya pria, menuju ke satu jurusan. Dia sedang melakukan penyelidikan dan pencarian terhadap diri Sui Cin, maka melihat ra-mainya orang pergi ke jurusan tengah kota, diapun lalu menyusup di antara banyak orang sambil bertanya-tanya. Siapa tahu dia akan bertemu dengan Sui Cin di pusat keramaian, karena dia tahu bahwa Sui Cin suka sekali menyamar sebagai pria. Dia tersenyum geli kalau teringat akan hal itu. Betapa bodohnya dia dahu-lu, kena dipermainkan gadis itu yang menyamar sebagai pria dan dia sama sekali tidak tahu bahwa "pemuda jembel" yang lucu dan jenaka itu adalah Sui Cin! Akan tetapi sekarang, biar gadis itu akan me-nyamar seribu kali, dia pasti akan dapat mengenalnya.



"Sobat, ada peristiwa apakah maka orang-orang begini banyak berbondong-bondong ke suatu arah? Ke manakah kalian hendak pergi?" tanyanya kepada seorang laki-laki brewok yang wajahnya memba-yangkan keramahan.



Orang itu memandang kepada Hui Song dan memicingkan matanya. "Hemm, agaknya engkau baru datang dari selatan, ya?"



"Benar," Hui Song menjawab terus te-rang, "aku sedang melancong."



Si brewok itu menggeleng kepala. "Aihh, melancong dalam waktu begini, sungguh berbahaya."



"Eh, ada apakah?"



"Negara sedang tidak aman. Didesas-desuskan orang bahwa akan ada pembe-rontakan besar. Karena itu, sejak sepekan ini, Kok-taijin dan Ji-ciangkun mengada-kan sayembara penerimaan perwira-per-wira baru, juga perajurit-perajurit cadangan untuk menjaga kalau-kalau benteng ini diserang musuh."



"Ah, begitukah? Sayembara apakah i-tu?"



"Tentu saja semacam pibu (adu kepan-daian silat). Setiap orang yang mampu mengalahkan pengujinya, akan diterima. Akan tetapi jangan harap untuk dapat mengalahkan penguji untuk penerimaan calon perwira itu. Kalau hendak masuk perajurit, boleh saja karena pengujinya tidak begitu berat. Akan tetapi penguji para calon perwira itu, waah, luar biasa sekali. Raksasa itu tak terkalahkan sehingga dalam sepekan ini, belum ada seorangpun yang lulus ujian! Dan hari ini kami semua ingin melihat apakah masih ada orang berani menghadapi raksasa itu."



Hati Hui Song tertarik sekali dan diapun ikut bersama rombongan orang yang berduyun menuju ke alun-alun, semacam lapangan rumput yang luas dan yang berada di tengah kota. Kota itu memang merupakan kota tentara, dikurung tembok benteng yang tinggi dan kokoh kuat, dan di dalamnya terdapat pula lapangan-lapangan untuk berlatih baris dan olah raga bagi para perajurit.



Ternyata di tempat itu sudah terdapat banyak orang. Mereka berdiri mengepung sebuah panggung yang tingginya setombak dan di belakang panggung itu terdapat sebuah bangunan kecil di mana duduk seorang pembesar sipil dan seorang pembesar militer yang dijaga oleh belasan orang pengawal yang bersenjata tombak dan golok. Dan di atas panggung berdiri seorang laki-laki yang tinggi besar. Hui Song dapat menduga bahwa orang ini tentu memiliki tenaga yang amat besar. Dia sendiri mungkin hanya setinggi leher orang itu dan tubuhnya tidak ada setengahnya dibandingkan dengan tubuh raksasa itu. Kepalanya gundul, akan tetapi alisnya tebal dan hitam, kepala itu besar, dengan sepasang telinga yang lebar, mulut, hidung dan matanya juga besar. Tubuhnya yang hanya memakai cawat menutupi pinggul dan selangkangnya itu, kelihatan menyeramkan. Pada bagian dada, lengan, paha dan betis ditumbuhi rambut yang panjang-panjang seperti monyet. Selain cawat itu, betisnya diikat semacam tali hitam dan sepatunya berwarna abu-abu. Perutnya besar gendut, akan tetapi penuh kekuatan dan nampak keras. Lengan dan kakinya juga penuh tonjolan dan gembungan otot-otot yang kekar. Pundaknya seperti pundak sapi jantan. Pendeknya, raksasa ini cukup menakutkan bagi orang yang harus menghadapinya sebagai lawan. Dan melihat bentuk mukanya, Hui Song dapat menduga bahwa raksasa itu tentu bukan Bangsa Han, melainkan suku Mongol atau Mancu. Dan melihat dandanannya yang hanya mengenakan cawat, diapun dapat menduga bahwa orang itu tentu ahli silat yang amat kuat.



Seorang pengawal yang agaknya bertugas sebagai tukang bicara, dengan suara lantang berkata sambil berdiri di sudut panggung, "Saudara-saudara sekalian! Bagi mereka yang belum mengenalnya, kami perkenalkan penguji calon perwira yang diajukan oleh Ji-ciangkun, dan inilah dia jagoan kami, ahli gulat yang bernama Moghul!"



Pegulat raksasa itu mengangkat kedua tangannya ke atas dan memberi hormat ke empat penjuru disambut tepuk sorak para penonton yang kagum kepadanya karena selama ini belum ada seorangpun mengalahkannya. Akan tetapi banyak juga di antara penonton memandangnya penuh kebencian.



"Biarkan aku maju menghadapinya, paman," kata seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun yang berbaju hitam dan nampaknya gagah. Hui Song memperhatikan percakapan antara orang ini dan seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun yang berada di tempat itu pula, tidak jauh darinya.



"Aih, sudahlah, Bian-ji, jangan mencari penyakit. Engkau tidak tahu, selama beberapa hari ini sudah ada belasan orang-orang gagah yang naik melawannya, hanya untuk menjadi bulan-bulan dan permainannya, kemudian dilempar ke bawah panggung dalam keadaan menyedihkan, sedikitnya tentu tulang lengan atau kaki mereka patah-patah. Dia lihal sekali, kuat dan kebal," kata yang tua.



"Akan tetapi aku tidak takut, paman. Bukankah aku sudah mempelajari silat bertahun-tahun?" bantah yang muda.



"Ah, apa kaukira belasan orang muda yang maju pada hari-hari yang lalu itupun bukan ahli-ahli silat? Percuma saja, mereka itu satu demi satu, begitu ter-tangkap oleh tangan raksasa itu, tidak mampu berkutik, dibanting, ditekuk dan dipatah-patahkan tulangnya."



"Saudara-saudara sekalian," kembali tukang bicara itu berteriak nyaring, "Sampai hari ini belum ada seorangpun calon perwira yang lulus! Apakah benar di kota kita ini tidak ada orang gagah? Kami hanya membutuhkan lima sampai sepuluh orang saja. Tidak perlu mengalahkan Moghul, asal dapat bertahan melawan dia sampai habis terbakarnya sebatang hio saja sudah dianggap lulus. Kamipun tahu bahwa tidak ada orang yang akan mampu menandingi dan mengalahkan Moghul, si manusia gajah!"



Ucapan itu merupakan tantangan. De-ngan mengatakan pertanyaan apakah di kota San-hai-koan tidak ada orang gagah, pertanyaan yang sengaja dikeluarkan o-leh si pembicara tadi, si pembicara membangkitkan amarah dan penasaran dalam hati orang-orang yang merasa mempunyai kepandaian.



"Paman, aku akan mencoba...!" Pemuda baju hitam tadi segera melangkah maju mendekati panggung.



"A-bian... jangan...!" pamannya mencegah, akan tetapi si baju hitam itu sudah meloncat naik ke atas panggung. Gerakannya cukup cekatan ketika meloncat dan para penonton menyambut penantang pertama ini dengan sorakan dan tepuk tangan memberi semangat. Si baju hitam itu lalu menghampiri bawah panggung tempat duduk dua orang pembesar dan memberi hormat.



"Hamba Kui Bian mohon perkenan pa-duka untuk mencoba kebodohan hamba."



Ji-ciangkun memberi isyarat dengan tangannya. "Majulah dan mudah-mudahan engkau dapat lulus."



Seorang pengawal siap dengan sebatang hio dan dinyalakannya ujung itu. A-sap mengepul dan hio itu ditancapkan di tempat hio yang ditaruh di sudut depan panggung yang luas tempat bertanding i-tu. Si baju hitam lalu bangkit dan meng-hampiri raksasa. Moghul yang sudah siap dengan kedua tangan bertolak pinggang dan mulut menyeringai, lagaknya memandang rendah sekali.



Si baju hitam kini menghadapi Moghul dan sudah memasang kuda-kuda dengan sikap gagah. Akan tetapi raksasa itu hanya memandang saja dan menyeringai, dan melihat si baju hitam diam saja, diapun berkata dengan bahasa Han yang kaku, "Majulah, hio telah menyala."



Si baju hitam tiba-tiba berteriak, "Lihat serangan!" dan diapun menggerakkan tubuhnya yang meluncur ke depan. Ternyata dia menggunakan tendangan dengan tubuh seperti terbang dan kedua kakinya itu meluncur ke arah dada si raksasa Mongol. Agaknya Moghul tidak menduga akan diserang seperti ini, maka dia terkejut sekali dan tidak mampu mengelak atau menangkis.



"Blukk...!" Sepasang kaki itu menghantam dada telanjang itu dengan kuat sekali dan akibatnya, tubuh yang besar itu terjengkang ke atas papan panggung, menimbulkan suara berdebuk nyaring. Sementara itu, si baju hitam sudah berjungkir balik dan tubuhnya sudah berdiri kembali ke atas papan dengan tegak. Sorak-sorai menyambut jatuhnya si raksasa ini dan Hui Song melihat betapa pembesar sipil yang duduk di atas panggung itu mengangguk-angguk sambil tersenyum girang dan mengelus jenggotnya. Agaknya pembesar ini girang melihat bahwa akhirnya muncul seorang gagah yang mampu merobohkan si raksasa dalam satu serangan saja. Sementara itu, Ji-ciangkun mengerutkan alisnya, agaknya tidak senang melihat jatuhnya jagoannya.



Memang tubuh raksasa Moghul itu kebal. Kiranya tendangan yang amat keras dan membuat dia terjengkang itu sama sekali tidak melukainya. Sebelum lawan sempat menyerang lagi, dia sudah meloncat bangun dan gerakannya ini amat mengherankan. Sukar dapat dipercaya seorang yang segendut dia dapat bergerak demikian cepatnya.



Dengan marah Moghul balas menyerang. Dia mementang kedua lengannya seperti seorang jago gulat atau seperti seekor biruang yang hendak menerkam, kemudian menerjang ke depan, kedua tangannya menyambar dari kanan kiri hendak menangkap kedua pundak lawan. Akan tetapi si baju hitam itu cukup gesit, dengan gerakan yang cepat dia menyelinap di antara kedua tangan itu dan meloncat ke samping den kembali melayang dan kedua kakinya menerjang dengan tendangan terbang seperti tadi, akan tetapi sekali ini dari samping kanan Moghul. Raksasa ini agaknya kini tahu akan kelihaian lawan, terutama tendangan terbang yang berbahaya itu. Maka diapun lalu menangkis dengan lengan kanannya yang besar.



"Bresss...!" Dan kembali dia terguling. Biarpun dia dapat menangkis, namun tenaga tendangan kedua kaki yang dibantu berat badan yang melayang itu agaknya tidak mampu ditahannya dan untuk kedua kalinya dia roboh terpelanting. Agaknya si baju hitam itu sudah lama mengamati gerakan si raksasa Moghul dan tahu bagaimana untuk mengalahkannya, maka dia menggunakan tendangan- tendangan terbang itu untuk menyerang secara tiba-tiba dan dengan kekuatan yang amat besar.



Sekali ini si raksasa Mongol itu agak terlambat bangun dan agaknya kesempatan ini hendak dipergunakan oleh si baju hitam untuk mencari kemenangan. Diapun sudah meloncat ke depan untuk mengirim tendangan beruntun. Akan tetapi, tiba-tiba saja Moghul mengulur tangan dan dengan kecepatan kilat, jari-jari tangannya yang besar itu telah menangkap kaki kiri lawan! Si baju hitam mengeluarkan seruan kaget, kakinya terasa nyeri seperti dijepit jepitan baja dan ketika Moghul yang masih mencengkeram kakinya itu meloncat bangun, tubuh si baju hitam hampir terbanting dan kakinya terangkat pula ke atas. Akan tetapi, selagi Moghul menyeringai girang karena melihat akalnya yang pura-pura lambat bangun tadi kini berhasil, tiba-tiba si baju hitam mengeluarkan bentakan keras dan kaki kanannya menyambar ke atas, ke arah muka lawan. Moghul terkejut. Kalau hanya tubuhnya yang ditendang, dia dapat menerimanya dengan lindungan kekebalannya. Akan tetapi kini yang diserang adalah mukanya di mana terdapat bagian-bagian yang tidak mungkin bisa kebal seperti mata den hidung. Dan tendangan itu cepat bukan main datangnya, lagi tidak terduga-duga.



"Desss...!" Cengkeraman tangan pada kaki kiri si baju hitam itu terlepas dan Moghul terhuyung ke belakang, kedua tangannya menutupi mukanya. Hidungnya mengeluarkan darah yang cukup banyak. Kembali terdengar sorak-sorai menyambut kemenangan si baju hitam ini, dan juga Kok-taijin tersenyum girang akan tetapi Ji-ciangkun menggeleng-geleng kepala dengan alis berkerut.



Akan tetapi Moghul belum kalah karena dia hanya menderita luka ringan saja, berdarah pada hidungnya. Dia menekan batang hidungnya dan darah itupun berhenti mengalir. Kini matanya agak kemerahan dan mulutnya membayangkan kemarahan besar. Dan hio yang bernyala itupun belum padam, baru terbakar setengahnya. Dengan demikian berarti bahwa si baju hitam belum menang. Menurut peraturannya, kalau dia dapat bertahan sampai hio itu habis terbakar, atau kalau dia dapat merobohkan Moghul sampai si raksasa itu mengaku kalah, barulah calon perwira itu dinyatakan menang. Kini Moghul menerjang maju dengan kedua lengan bergerak mencengkeram dari atas ke bawah. Melihat serangan yang ganas ini, si baju hitam kembali menyambutnya dengan tendangan. Agaknya si baju hitam itu tidak mempunyai akal lain kecuali hendak mengalahkan lawan dengan tendangan-tendangannya yang memang ampuh. Dia tidak tahu bahwa Moghul, selain kebal dan bertenaga besar, juga memiliki kecerdikan. Begitu melihat lawan menyambutnya dengan tendangan, Moghul juga menggerakkan kakinya ke depan, menerima tendangan kaki kanan lawan itu dengan kaki kanannya sendiri. Dua batang kaki menyambar, sebatang amat kecil dibandingkan dengan kaki Moghul.



"Bresss...!" Dua batang kaki itu bertemu dan kini tubuh si baju hitam yang terpelanting keras, lalu terguling-guling di atas papan panggung. Semua penonton terdiam dan Kok-taijin mengerutkan alis-nya. Juga Hui Song mengerutkan alisnya, bukan karena kekalahan si baju hitam, melainkan karena dia melihat betapa si raksasa itu curang. Mungkin hanya dia yang tahu, juga tentunya si baju hitam, bahwa di sebelah dalam kain yang dilibat-libatkan di betis raksasa itu, yang diikat dengan tali-temali, tersembunyi perisai baja! Tentu saja kaki si baju hitam yang terdiri dari kulit daging dan tulang, terasa nyeri bukan main bertemu dengan kaki besar yang dilindungi baja ini. Ketika si baju hitam dapat bangkit berdiri, dia agak terpincang. Akan tetapi, dia masih belum mau menerima kalah dan sudah menyerang lagi dengan layangan kedua kaki meluncur ke depan. Agaknya dia hendak mengalahkan lawan dengan tendangan terbang seperti tadi.



Si raksasa menyeringai. Dia kini berdiri dengan kedua kaki terkangkang lebar, tubuh direndahkan, dan kedua tangannya yang besar itu melindungi mukanya. Tubuhnya kokoh kuat seperti batu karang dan memang sekali ini dia sudah siap-siap menghadapi tendangan terbang yang lihai itu. Dia tidak memandang rendah lagi tendangan itu dan mengerahkan tenaga untuk memasang kuda-kuda yang kokoh kuat. Kedua kaki si baju hitam itu menyambar dengan tumbukan keras mengenai dada yang bidang dari Moghul.



"Bresss...!" Den sekali ini tubuh Moghul hanya bergoyang-goyang saja, akan tetapi sebaliknya tubuh si baju hitam terlempar ke belakang den terbanting keras. Dan sebelum si baju hitam sempat melompat bangun, tahu-tahu Moghul sudah melangkah lebar menghampirinya dan begitu tubuh si baju hitam bangkit, Moghul mengirim tendangan! Agaknya si raksasa ini masih marah karena tadi beberapa kali menjadi bulan-bulan tendangan yang membuatnya roboh, maka kini dia hendak membalas dengan tendangan pula.



Melihat tendangan yang menyambar ke arah perutnya, si baju hitam yang tak sempat mengelak itu terpaksa menggunakan lengan tangan menangkis keras.



"Dukkk...!" Dan si baju hitam mengeluh kesakitan dan terguling, tulang lengan yang menangkis itu patah bertemu dengan sepatu besar si raksasa. Hui Song yang mendengarkan dengan seksama ketika terjadi pertemuan antara lengan dan sepatu itu, mengerti bahwa juga sepatu itu dalamnya berlapis baja!



Kini Moghul mendesak terus dengan tendangan-tendangannya. Si baju hitam yang sudah patah tulang lengannya, terhuyung-huyung dan sebuah tendangan yang keras mengenai lututnya, membuat dia terpelanting. Dan Moghul menghampirinya, lalu menggunakan kedua kakinya bergantian menginjak kedua kaki si baju hitam. Si baju hitam berteriak kesakitan dan ternyata kedua kakinya itu retak-retak tulangnya diinjak oleh Moghul. Sambil tertawa-tawa Moghul sekali lagi menendang dan tubuh yang sudah terkulai itu terlempar ke bawah panggung, menimpa para penonton yang kini terdiam dan terbelalak ngeri menyaksikan betapa Moghul menyiksa korbannya. Ada pula beberapa orang yang menang bertaruh berso-rak girang memuji dan menyambut ke-menangan raksasa Moghul. Memang di antara para penonton, banyak yang menga-dakan taruhan dalam setiap pertandingan dan kini orang-orang yang bertaruh me-megang Moghul berani melipatgandakan taruhannya dengan satu banding tiga! A-gaknya mereka sudah merasa yakin benar bahwa tidak ada yang akan mampu lulus jika harus berhadapan dengan Moghul!



Setelah si baju hitam itu kalah dan diusung pergi oleh pamannya, muncul pu-la beberapa orang pemuda berturut-turut, mencoba peruntungan mereka. Akan te-tapi, mereka itu satu demi satu diroboh-kan oleh Moghul dengan tulang kaki atau tangan patah-patah. Agaknya si raksasa itu semakin lama semakin kuat saja se-hingga berturut-turut, bersama si baju hitam, sudah ada lima orang calon yang dirobohkan dan terpaksa digotong pergi dalam keadaan pingsan dan patah-patah tulangnya. Keadaan menjadi sunyi dan semua penonton mengerutkan alisnya, ke-cuali mereka yang menang bertaruh. Si tukang bicara sudah berteriak-teriak lagi melakukan tugasnya, menantang dan menganjurkan orang-orang gagah untuk ma-ju.



"Saudara-saudara yang gagah perkasa, silakan, siapa mau maju lagi? Benarkah tidak ada seorangpun yang mampu berta-han menandingi Moghul sampai habis ter-bakarnya sebatang hio saja? Apakah ka-lian tidak malu kalau dikatakan bahwa di San-hai-koan tidak ada seorangpun yang dapat disebut gagah? Ingat, yang masuk menjadi perwira akan memperoleh pang-kat tinggi dan gaji besar, juga mempunyai tugas amat mulia, membela negara dari gangguan para pemberontak!" Demikian si tukang bicara itu membujuk, menantang dan memanaskan hati para penonton. Akan tetapi agaknya, mereka yang merasa memiliki kepandaian silat, sudah menjadi gentar dan melihat betapa lima orang tadi, yang gagah-gagah, kalah dan men-derita siksaan mengerikan, dan merasa bahwa mereka tidak akan mampu menan-dingi raksasa itu. Maka, para penonton hanya bisa saling pandang dengan perasaan mendongkol, penasaran, juga kecewa dan menyesal. Kini perasaan mereka se-mua hanya ingin melihat si raksasa Moghul itu dikalahkan. Sayembara memasuki ketentaraan itu kini berobah menjadi se-macam pibu atau adu kepandaian untuk mengalahkan raksasa yang kini nampak-nya semakin sombong itu.



Moghul kini berdiri di tengah-tengah panggung, bertolak pinggang dan tubuh-nya yang telanjang berkilauan karena ke-ringat. Dia terbelalak memandang ke em-pat penjuru, mulutnya menyeringai lebar. "Ha-ha-ha, apakah tidak ada lagi yang maju? Aku belum lelah, belum keluar ke-ringat!" Tentu saja ucapan ini hanya di-pergunakan untuk menyombongkan diri saja. Dia lalu menggerak-gerakkan kaki tangannya dan terdengar suara berkero-tokan dan nampak betapa otot-ototnya mengembang, membayangkan kekuatan yang dahsyat.



Sejak tadi Hui Song hanya menonton saja dan pemuda ini merasa heran. Dia tahu bahwa raksasa itu memang hebat dan sukar dikalahkan. Mengapekah pembesar setempat mengadakan syarat yang demikian beratnya untuk menjadi calon perwira? Jelaslah bahwa di antara para ahli silat biasa saja, jarang ada yang da-pat bertahan sampai habis terbakarnya sebatang hio kalau menandingi seorang jago gulat yang demikian kuatnya seperti Moghul, apalagi raksasa itu masih berla-ku curang, menyembunyikan besi di da-lam sepatu dan pembalut kakinya. Seolah-olah pembesar setempat itu bahkan hen-dak menghalangi masuknya orang-orang pandai ke dalam ketentaraan. Dan dia tadi melihat betapa setiap kali ada pe-serta yang unggul, biarpun Kok-taijin nampak gembira, si panglima itu nampak tidak senang dan bahkan khawatir. Meng-apa begini? Bukankah si panglima itu justeru yang membutuhkan perwira-per-wira baru untuk membantunya? Dan Moghul juga dia yang memilih sebagai peng-uji. Bukankah dengan demikian, Ji-ciang-kun itu bahkan hendak mencegah masuknya orang-orang gagah menjadi perwira baru? Semua ini, ditambah pula oleh si-kap Moghul yang sombong, dan melihat betapa para penonton menjadi penasaran, mendorong Hui Song untuk meloncat ke atas panggung. Dia harus menyelidiki se-mua ini. Pula, kalau dia sudah memper-oleh kedudukan, biarpun hanya untuk sementara, dia akan lebih mudah menggu-nakan pasukan untuk mencari Sui Cin, selain itu, diapun dapat membantu de-ngan pasukannya kalau para pemberontak itu bergerak dari utara seperti yang di-sangkanya.



Begitu muncul pula seorang pemuda yang melihat tubuhnya hanya sedang-se-dang saja dan tidak ada apa-apanya yang istimewa, Moghul tertawa girang dan matanya bersinar-sinar seperti seekor kucing melihat seekor tikus yang akan dapat dipermainkannya sepuas hatinya. Akan tetapi, para penonton sudah bersorak-sorai lagi menyambut kehadiran Hui Song, walaupun sorak-sorai itu hanya untuk mele-paskan ganjalan hati yang menjadi pena-saran karena si pembicara tadi mengata-kan bahwa tidak ada orang gagah lagi di San-hai-koan. Di lubuk hati mereka, tim-bul kekhawatiran baru akan melihat pemuda tampan ini nanti juga dilemparken ke bawah panggung dalam keadaan menyedihkan, luka-luka atau patah-patah tu-lang kaki tangannya. Hui Song menghampiri panggung di mana dua orang pembe-sar itu duduk, memberi hormat dan ber-kata dengan suara nyaring, "Saya Cia Hui Song mohon ijin memasuki sayembara."



Kok-taijin mengangguk-angguk dan Ji-ciangkun melambaikan tangan berkata, "Baik, majulah dan lawanlah Moghul dengan sungguh-sungguh."



Hui Song memberi hormat lagi, lalu dia bangkit dan menghampiri Moghul. Dia tadi sudah melihat betapa jago gulat ini mempergunakan keuntungan karena lawannya berpakaian. Raksasa ini sekali tang-kap dan berhasil mencengkeram baju la-wan, tentu akan celakalah lawan itu. Dengan gerakan-gerakan ilmu gulat, lawan yang sudah ditangkap bajunya akan dapat diangkat atau dibanting. Sedangkan tubuh si raksasa ini sendiri yang telanjang, berkeringat dan licin. Teringat akan ini, dia tidak mau dirugikan oleh pakaiannya. Setidaknya, karena Moghul mempergunakan ilmu gulat dan cengkeraman, dia khawatir kalau pakaiannya akan robek. Maka sambil tersenyum Hui Song berkata.



"Moghul, tunggu dulu. Engkau telanjang badan, tidak adil kalau aku memakai baju ini. tunggu aku akan melepaskan pakaian ini dulu." Dan diapun menanggalkan jubah dan baju atasnya, kini hanya memakai sebuah celana saja. Dia melangkah ke tepi panggung dan menghadap penonton.



"Di antara cu-wi sekalian, apakah ada yang kebetulan membawa minyak? Atau gajih? Kalau ada, maukah membantuku dan memberi sedikit?" tanya Hui Song kepada mereka. Para penonton menjadi heran, akan tetapi memang kebetulan ada yang membawa karena memang tadi dia berbelanja dan datang ke tempat itu mampir dari berbelanja. Dia menghampiri dekat panggung dan menyerahkan sebotol minyak. Hui Song mengambil sedikit di kedua telapak tangannya, dan dia lalu menggosok seluruh tubuh bagian atas yang telanjang itu dengan minyak. Tentu saja para penonton saling pandang dan menjadi terheran-heran, akan tetapi melihat ini, Moghul terkejut dan diam-diam dia memandang pemuda itu dengan penuh perhatian. Setelah menitipkan bajunya kepada seorang penonton terdekat, Hui Song lalu menghadapi Moghul dan sebatang hio dibakar oleh seorang petugas.



"Apakah engkau seorang jago gulat?" Moghul bertanya kepada Hui Song setelah pemuda itu berdiri di depannya.



Hui Song menggelengkan kepala. "Bukan, akan tetapi melihat tubuhmu berminyak, akupun melumuri tubuhku dengan minyak," katanya dengan sikap tolol.



"Orang muda, engkau menanggalkan baju dan melumuri tubuhmu dengan minyak, apakah kau akan menghadapi aku bertanding gulat? Ataukah dengan ilmu silat?"



"Dengan apa saja asal aku dapat mengalahkanmu dan dapat diterima menjadi perwira," jawab Hui Song seenaknya.



"Kau pandai gulat?" tanya Moghul. Hui Song menggeleng kepala.



"Pandai silat?" Kembali Hui Song menggeleng kepala.



Mendengar percakapan ini, semua penonton terbelalak. Sudah gilakah pemuda ini? Tidak bisa gulat atau silat, akan tetapi berani naik ke panggung melawan Moghul! Apakah pemuda ini mencari mati?



Moghul sendiri tertawa bergelak, ke-palanya ditarik ke belakang, wajahnya bordongak dan perutnya sampai bergelombang ketika dia tertawa. "Ha-ha-ha, bocah nakal, lebih baik pulanglah saja dan minum susu ibumu sebelum terlambat, ha-ha!"

Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Silat : Asmara Berdarah 3 dan anda bisa menemukan artikel Cerita Silat : Asmara Berdarah 3 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/05/cerita-silat-asmara-berdarah-3.html?m=0,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Silat : Asmara Berdarah 3 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Silat : Asmara Berdarah 3 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Silat : Asmara Berdarah 3 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/05/cerita-silat-asmara-berdarah-3.html?m=0. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar