Cerita Silat : Asmara Berdarah 2

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 11 Mei 2012

Cerita Silat : Asmara Berdarah 2
Akan tetapi pukulan yang dinanti-nan-tikan itu tak kunjung datang. Bahkan pendekar itu menoleh ke arah mayat isteri-nya, membalik memandang kakek dan nenek itu, lalu bicara, suaranya mengge-tar penub duka.



"Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo, setelah kalian membunuh isteriku dan li-ma belas orang muridku, keuntungan apa-kah yang kalian peroleh dari kematian mereka? Dan apakah dengan kematian mereka itu nenek guru kalian yang tewas oleh mendiang ayahku itu dapat hidup kembali?"



Mendengar pertanyaan aneh ini, kakek dan nenek itu saling berpandangan de-ngan bimbang, kemudian kakek itu yang menjawab, "Tentu saja nenek guru kami tidak dapat hidup kembali, dan keuntung-an yang kami dapat adalah rasa puas bahwa dendam kami sudah terbalas sebagi-an!"



"Benarkah itu? Benarkah kalian mera-sa puas? Ataukah akan timbul dendam lain karena kalian gagal membunuhku dan dengan sekali pukul aku akan dapat membunuh kalian?"



"Sudahlah, kami sudah kalah dan ga-gal, engkau boleh membunuh kami, kami tidak merasa takut!"



Akan tetapi Han Tiong menggeleng kepala dan menarik napas panjang lalu menundukkan mukanya. "Tidak, aku tidak akan mau memperpanjang dan menyam-bung karma buruk ini. Biarlah isteriku dan lima belas orang muridku menjadi penebus hutang mendiang ayahku dan ku-bikin putus rantai karma yang membe-lenggu diriku. Harap kalian dapat menghabiskan permusuhan sampai di sini sa-ja."



Kakek dan nenek itu kembali saling pandang seperti tidak percaya akan apa yang mereka dengar.



"Kau... kau tidak akan membunuh kami...?" Nenek itu bertanya, suaranya mengandung isak tertahan karena ia ter-lepas dari ketegangan hati seorang yang menghadapi maut yang nampaknya tak terelakkan lagi mengancam dirinya tadi.



Han Tiong mengangguk dan menarik napas panjang. "Benar, kalian boleh pergi..."



Kakek dan nenek itu merasa terharu sekali. Baru saja mereka membunuh iste-ri dan lima belas orang murid pendekar ini, akan tetapi pendekar ini mengampuni mereka! Selama hidup mereka belum pernah mendengar yang seganjil ini, apalagi mengalaminya. Jantung mereka seperti ditusuk-tusuk rasanya dan sekarangpun mereka mulai merasa menyesal sekali. Peristiwa pembunuhan ini akan menghan-tui mereka selama hidup dengan penye-salan. Kalau pendekar ini merasa den-dam dan hendak membalas atas pembunuhan-pembunuhan itu, tentu tidak akan terdapat penyesalan di hati mereka. Akan tetapi kini sikap pendekar itu akan membuat mereka selama hidup menyesal se-kali telah melakukan pembunuhan di ha-ri ini. Mereka lebih suka kalau dibunuh saja.



Keduanya menjura dengan muka pucat dan mata basah. "Cia-taihiap, kami berhadapan dengan seorang mulia, kami takluk dan merasa menyesal sekali..." kata kakek itu.



"Pergilah kalian... pergilah...!" kata Han Tiong, lalu dia menghampiri mayat

isterinya, dipondongnya jenazah itu dan dibawanya pulang. Para muridnya juga

mengangkat mayat saudara-saudara mereka mengikuti suhu mereka dari belakang.



Kakek dan nenek itu mengikuti iring-iringan jenazah yang amat menyedihkan itu dengan muka pucat dan pandang ma-ta sayu, kemudian tertatih-tatih mereka-pun pergi meninggalkan Lembah Naga.



Setelah belasan jenazah itu dimasukkan peti dan para murid Pek-liong-pang berkumpul dan berkabung, suasana men-jadi amat menyedihkan. Sisa para murid cepat memberi kabar kepada saudara-saudara seperguruan mereka dan setiap kali ada murid Pek-liong-pang datang, meledaklah ratap tangis di antara mereka.



Hampir tiga puluh orang murid Pek-liong-pang berkumpul di malam terakhir itu. Besok pagi, enam belas peti mati i-tu akan dikebumikan. Dalam kesempatan ini, para murid kepala menyatakan rasa penasaran hati mereka terhadap sikap suhu mereka kepada kakek dan nenek yang memusuhi Pek-liong-pang dan yang menyebar maut itu.



"Suhu, teecu sekalian tetap merasa penasaran mengapa suhu membiarkan

kakek dan nenek iblis itu pergi. Sepatutnya mereka dibunuh untuk membalaskan

kematian subo dan enam belas murid Pek-liong-pang. Karena suhu mengampuni dan membebaskan dua iblis itu, apakah arwah subo dan sute tidak penasaran?" demikian seorang murid tua yang sudah lulus dan baru saja tiba, mewakili saudara-saudara seperguruannya menyampaikan rasa penasaran hati mereka. Para murid lainnya mengangguk setuju dan semua mata di-tujukan kepada pendekar itu. Dalam beberapa hari ini, Cia Han Tiong seolah-olah bertambah tua sepuluh tahun. Dia memandang para muridnya yang duduk bersila di depannya, dekat dengan peti-peti jenazah yang berjajar.



"Subo kalian dan para murid Pek-liong-pang tewas dalam perkelahian, bahkan pihak kita yang melakukan pengeroyokan. Mereka, juga subo kalian, tewas karena memang kalah pandai. Bukankah kalah menang adalah wajar saja dalam perkelahian? Juga luka atau tewas merupakan rangkaian dan akibat dari kekerasan yang dilakukan kedua pihak. Apa yang harus dibuat penasaran lagi?"



"Akan tetapi, suhu. Mereka yang datang menyerang, bukan kita yang mulai perkelahian itu."



"Mereka datang bukan tanpa sebab. Mereka datang sebagai akibat dari sebab lama, yaitu terbunuhnya nenek guru mereka oleh mendiang sukong kalian."



"Tapi, suhu. Mereka datang menyebar maut membunuh! Setelah suhu mengalah-kan mereka, mengapa suhu melarang tee-cu sekalian membunuh mereka untuk membalas dendam, malah suhu membe-baskan mereka. Sungguh bisa membuat orang mati penasaran!" kata seorang murid yang berwatak keras.



Han Tiong tersenyum duka dan timbul niatnya untuk mengajak para muridnya

membuka mata melihat betapa pahit kadang-kadang kenyataan hidup itu ada-nya.



"Kalian dengar dan camkanlah baik-baik. Kalian bilang bahwa mereka datang membalas dendam dan membunuh, dan kalian menganggap mereka itu jahat. A-kan tetapi kalian juga ingin membunuh mereka untuk membalas dendam. Lalu apa bedanya antara mereka dengan kita kalau kita juga ingin membunuh karena dendam? Membunuh adalah perbuatan jahat, apapun alasannya, apalagi membu-nuh dengan dasar dendam dan kebencian. Andaikata kita membunuh mereka berdua apakah enam belas jenazah ini akan da-pat hidup kembali? Tidak, tidak ada gu-nanya sama sekali kalau kita membunuh mereka, bahkan kita menanam lagi bibit permusuhan baru. Mungkin bibit ini kelak berbuah dengan datangnya keturunan me-reka yang akan membalas dendam kepada kita atau keturunan kita."



Hening sejenak. Semua kata-kata itu meresap di dalam hati sanubari para mu-rid Pek-liong-pang karena mata mereka kini terbuka dan baru melihat kenyataan yang hebat.



"Lihatlah," ketua Pek-liong-pang itu melanjutkan, "bukankah setiap peristiwa yang menimpa diri kita hanya merupakan pemetikan buah saja dari pohon yang kita tanam sendiri, sedangkan setiap perbuatan kita seperti menanam bibit yang kelak menjadi pohon dan berbuah yang harus kita petik sendiri pula? Karena itu, kita tidak perlu penasaran memetik buah pohon tanaman sendiri, dan kalau menanam bibit, tanamlah yang baik! Kalau aku menerima malapetaka ini sebagai pemetikan buah dari pohon lama tanaman ayah, kemudian aku tidak menanam bibit baru, berarti aku telah mamatahkan belenggu mata rantai karma yang akan mengikat aku dan keluargaku."



"Akan tetapi suhu, dapatkah manusia hidup bebas dari karma?" tanya seorang murid.



"Setiap perbuatan yang didorong oleh nafsu dan pamrih, tentu mengikatkan diri kita kepada karma. Karma adalah hukum rangkaian sebab-akibat. Harus diketahui bahwa sebabnya berada di telapak tangan kita sendiri. Jadi, terputus atau bersambungnya karmapun berada di tangan kita sendiri. Dendam-mendendam, hutang-pihutang budi atau dendam, menciptakan mata rantai karma yang amat kuat. Kalau setiap tindakan atau perbuatan kita dilandasi cinta kasih yang berarti wajar tanpa pamrih, perbuatan itu akan habis sampai di situ saja, bukan merupakan akibat maupun sebab, tanpa dipengaruhi karma. Pamrih timbul karena kita mengharapkan jasa bagi kita dan kutuk bagi orang lain yang merugikan diri kita. Maka, murid-muridku, hiduplah bebas dari dendam dan hutang-pihutang budi, dan kalian akan bebas dari karma."



Malam sudah larut. Tengah malam baru lewat dan para murid mengganti lilin yang tinggal sedikit dengan lilin-lilin baru. Han Tiong sendiri menyalakan hio (dupa lidi) harum sehingga ruangan itu dipenuhi asap dupa harum. Keadaan menjadi amat hening ketika mereka tidak bicara lagi, keheningan yang mencekam, penuh duka dan keseraman.



Tiba-tiba terjadi hal aneh yang membuat mereka semua merasa terkejut sekali. Ada angin bertiup dari arah kiri ruangan sehingga api lilin-lilin besar di atas meja sembahyang bergoyang seperti hendak padam, menimbulkan banyak bayangan hitam menari-nari di atas dinding putih. Juga asap dupa beterbangan ke arah kanan. Ini bukan angin biasa, pikir mereka. Sebelum mereka sempat bertanya-tanya, tiba-tiba saja ada angin bertiup dari arah yang berlawanan. Kini api lilin tenang kembali, seperti dihimpit dua tenaga atau tertiup dari dua arah, membuat api tergetar-getar. Asap dupa yang tertiup dari dua arah menjadi berputaran seperti anak-anak domba kebingungan diancam dua ekor harimau dari dua jurusan.



Han Tiong tahu akan hal ini, akan tetapi dia bersikap tenang, bahkan lalu menggeser duduknya di belakang peti jenazah isterinya, tepat di belakang menghadap ke meja sembahyang. Pendekar ini dapat menduga bahwa tentu akan muncul orang-orang pandai yang belum diketahuinya siapa dan apa maksud kunjungan mereka di saat seperti itu. Dia tidak mengharapkan tamu luar. Para muridnya sudah dipesan agar mengundang murid-murid Pek-liong-pang saja dan kalau mungkin mencari Cia Sun puteranya, dan agar peristiwa itu tidak dikabarkan kepada orang luar. Dia tidak ingin malapetaka yang menimpanya itu diketahui dunia kang-ouw. Dan rahasia ini mungkin saja dipegang rapat mengingat bahwa Lembah Naga adalah sebuah tempat terpencil yang jarang dikunjungi orang luar. Akan tetapi, mengapa kini muncul orang-orang pandai?



Para murid Pek-liong-pang tidak ada yang mengira bahwa peristiwa angin ganjil itu dilakukan orang pandai. Mereka saling pandang dan merasa ngeri, menyangka bahwa hal itu tentu dilakukan oleh mahluk-mahluk halus, atau mungkin oleh arwah-arwah yang mati penasaran itu. Mereka merasa ngeri dan bulu tengkuk mereka meremang.



Tiba-tiba saja ada suara terkekeh. Para murid Pek-liong-pang tersentak kaget dan memandang terbelalak kepada seorang kakek yang tiba-tiba saja muncul di depan meja sembahyang. Kakek itu usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih. Tubuhnya tinggi besar dan mukanya hitam kasar, matanya bundar besar. Seorang kakek dengan wajah angker, mengingatkan orang akan tokoh jaman Sam-kok yang bernama Thio Hwi! Mukanya penuh cambang bauk yang terpelihara rapi sehingga dia nampak bersih, dan pakaiannya seperti jubah pendeta, akan tetapi cukup mewah dan mahal. Sepatunya baru mengkilap.



"Ha-ha-ha...! Menyembunyikan rasa takut di balik filsafat dan kebajikan, itu namanya pengecut. Si jembel membela si pengecut, itu namanya berhati lemah. Aku ikut berduka cita atas malapetaka yang menimpa keluarga Cia!" Berkata demikian, kakek ini lalu menjura ke arah meja sembahyang.



Han Tiong sudah cepat bangkit berdiri. Selama beberapa hari ini dia telah minum obat dan merawat diri sehingga luka tidak parah yang dideritanya dalam perkelahian melawan Hek-hiat Lo-mo dan Lo-bo itu sudah sembuh. Kini dia melihat munculnya orang aneh dan mendengar kata-kata tadi, dapat menduga bahwa kekek ini muncul bukan sebagai sahabat. Ketika kakek itu menjura ke arah-nya, dia terkejut dan cepat mengerahkan sin-kang dan balas menjura untuk menangkis serangan jarak jauh itu. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia merasa kehe-batan tenaga sakti yang menyambar ke-padanya. Dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya, akan tetapi tetap saja tidak mampu menahan dorongan kuat yang membuatnya merasa dadanya terhimpit sesak!



Selagi Han Tiong hendak menghenti-kan adu tenaga ini dengan jalan meng-hindar dengan loncatan ke samping, tiba-tiba terdengar suara terkekeh lain lagi di sebelah belakangnya. Para murid Pek-liong-pang juga melihat seorang kakek lain yang tahu-tahu sudah berada di belakang suhu mereka. Kakek inipun sudah tua, sudah enam puluh tahun lebih usia-nya. Tubuhnya tinggi kurus, tangan kirinya memegang sebuah tongkat bambu dan di punggungnya tergantung sebuah ciu-ouw (guci arak).



"Heh-heh-heh...! Dasar orang hutan liar! Mana tahu akan filstafat yang indah? Tahunya hanya mengandalkan kekuatan memaksakan kehendaknya. Keluarga Cia yang gagah perkasa dan budiman, mana bisa dibandingkan dengan orang gunung yang buta huruf?"



Sambil berkata demikian, kakek ting-gi kurus yang bajunya penuh tambalan inipun menjura dari belakang Han Tiong dan pendekar ini merasa betapa ada te-naga mujijat mendorong kekuatannya sendiri dari belakang dan menolak tenaga dorongan kakek tinggi besar itu.



Sementara itu, seorang murid Pek-liong-pang yang tidak tahu akan adanya adu tenaga sakti itu, mengira bahwa dua orang kakek itu memang tamu yang hen-dak bersembahyang, lalu menyalakan be-berapa batang hio dan dengan sikap hor-mat menyerahkan dupa lidi membara itu kepada kedua orang kakek, masing-ma-sing tiga batang. Agaknya murid yang tak tahu gelagat ini menganggap bahwa dua orang kakek itu adalah sahabat-saha-bat suhunya, kerena dia memang tahu bahwa di dunia kang-ouw terdapat ba-nyak sekali orang-orang yang berwatak aneh. Dia tidak menyadari bahwa di an-tara kedua orang kakek itu diam-diam telah terjadi adu tenaga sakti yang se-ru!



Dua orang kakek itu tersenyum-se-nyum menerima tiga batang hio. Kakek bercambang bauk lalu bersembahyang di depan meja dan asap dari tiga batang hio yang dipegangnya itu tiba-tiba me-luncur ke depan dan mengeluarkan suara mendesis seperti tiga ekor ular yang hendak menyerang Han Tiong dan kakek jembel! Barulah para murid Pek-liong-pang terkejut. Juga Han Tiong terkejut sekali, dan dia siap mengelak atau menangkis serangan asap hio itu. Akan tetapi pada saat itu, asap dari tiga batang hio di ta-ngan kakek jembel juga meluncur ke de-pan, menyambut tiga jalur asap pertama. Terjadilah pemandangan yang amat yang amat menarik, aneh dan menegangkan. Dari satu pihak terdapat tiga jalur asap dan kini enam jalur asap itu bergulung, saling belit, saling dorong, seperti enam ekor ular sakti bermain-main di angkasa! Pengendalinya adalah dua orang kakek itu yang berdiri memegangi tiga batang hio. Anehnya, bara api pada hio-hio itu amat besar nyalanya seperti ditiup terus-menerus sehingga tak lama kemudian hio-hio itupun habis terbakar dan padam. Ular-ular asap itupun membuyar dan per-tandingan berhenti.



"Ha-ha-ha! Si jembel pemabok ternyata semakin kuat saja!" kakek tinggi be-sar tertawa gembira.



"Dan engkau orang gunung liar sema-kin binal saja!" kakek jembel itupun ter-tawa.



"Kau masih menganggap kelemahan orang she Cia ini benar?" tanya kakek tinggi besar.



"Tentu saja! Hidup haruslah bebas, baru dapat menikmati hidupnya!" kata kakek jembel.



"Huh! Hidup tanpa adanya sesuatu yang mengikat, lalu apa artinya? Tiada isi, hampa

belaka!" kata kakek tinggi besar.



"Itu pendapatmu! Hidup harus bebas dari pendapat..."



"Ha-ha, jembel mabok! Ucapanmu itu-pun merupakan suatu pendapat, bukan?"



Wajah kakek jembel itu berobah merah dan sejenak dia seperti kebingungan. "Sudahlah!" dia mengetukkan tongkat bambunya di atas lantai. "Kita bukan nenek-nenek bawel yang suka berdebat. Kalau engkau ingin mengadu kepandaian, hayoh! Di manapun dan kapanpun akan kulayani. Sudah lama tongkatku tidak pernah menggebuk anjing tinggi besar dari gunung!"



Akan tetapi kakek tinggi besar yang disindir itu hanya tertawa. "Engkau tahu bahwa

ucapanmu itu hanya gertak sambal! Akupun tahu bahwa aku takkan mudah mengalahkan engkau jembel busuk. Kita sudah semakin tua, tiada gunanya membuang tenaga sia-sia. Mari kita berlomba membuktikan kebenaran filsafat lemah pengecut dari orang she Cia ini!"



"Baik, bagaimana caranya?"



"Kita didik murid menurut cara masing-masing, engkau boleh mencontoh filsafatnya dan

aku sebaliknya. Tiga tahun kemudian kita adu murid kita!"



"Baik!"



Kedua orang kakek itu lalu berkelebat lenyap! Cia Han Tiong cepat menjura dan mencoba menahan. "Ji-wi locianpwe, harap duduk dulu...!"



"Ha-ha!" Terdengar suara kakek jembel. "Kau mau tahu. Aku hanya jembel tua Ciu-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Arak)!"



"Dan aku adalah Go-bi San-jin (Orang Gunung Gobi)!" terdengar suara kakek tinggi besar. Suara mereka terdengar dari jauh sekali, dan dari dua jurusan!



Cia Han Tiong duduk kembali, menarik napas panjang dan menghapus keringatnya.



"Suhu, siapakah dua orang aneh itu?" tanya seorang murid.



Han Tiong menarik napas panjang dan mengerutkan alisnya. "Sungguh aku seorang yang harus malu melihat kepandaian sendiri tiada artinya dibandingkan mereka itu. Melihat sin-kang mereka, agaknya mereka memiliki tingkat yang tak kalah tingginya dibandingkan tingkat mendiang ayahku sendiri! Dan mereka itu jauh lebih lihai daripada Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo! Namun, baik kedua Lo-mo dan Lo-bo maupun kedua kakek tadi, sama sekali tak terkenal di dunia kang-ouw! Terbuktilah kini bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat orang pandai, jauh lebih pandai daripada orang yang terke-nal!"



"Apakah maksud kedatangan mereka itu, suhu?"



"Entahlah. Entah ada hubungannya dengan kemunculan Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo itu atau tidak. Akan te-tapi, kalau orang-orang sakti seperti me-reka muncul, biasanya tentu akan terjadi hal-hal yang penting."



Setelah mengubur peti-peti jenazah itu, Han Tiong lalu membubarkan Pek-liong-pang! Dia mengambil keputusan un-tuk mengundurkan diri. Peristiwa yang terjadi baru-baru ini membuka matanya bahwa memperkuat diri sendiri dan kelompoknya berarti mengundang datangnya lawan yang tak mau kalah kuat.



"Kalian jalanlah sendiri-sendiri dan peganglah teguh semua ajaran yang te-lah kalian peroleh di sini. Akan teetapi jangan lagi sebut-sebut namaku atau Pek-liong-pang. Pek-liong-pang sudah bubar dan segala perbuatan kalian adalah urus-an pribadi yang harus kalian pertanggungkan sendiri. Kalau ada yang bertemu de-ngan Cia Sun, beritahukan segalanya dan suruh dia pulang. Selanjutnya, aku tak mau diganggu dengan persoalan-persoalan dunia lagi."



Tentu saja para murid menjadi berdu-ka. Akan tetapi mereka mengenal watak suhu mereka yang keras. Beberapa hari kemudian, Lembah Naga menjadi sunyi ditinggalkan semua murid Pek-liong-pang. Cia Han Tiong hidup menyendiri sebagai seorang pertapa!



***



Sui Cin yang menyamar sebagai se-orang pemuda jembel, merasa cocok dan senang sekali melakukan perjalanan bersama Hui Song. Pemuda ini berandalan, jenaka, gembira dan nakal, suatu sifat yang cocok dengan wataknya sendiri. Ke-tika ia melakukan perjalanan bersama Sim Thian Bu menuju ke telaga setelah gagal nonton pertemuan para pendekar yang urung diadakan, mula-mula iapun merasa cocok. Sim Thian Bu seorang pemuda ganteng pesolek yang pandai memikat hati. Akan tetapi, baru sehari melakukan perjalanan bersama, ia sudah melihat bahwa keramahan pemuda itu pura-pura dan pandang matanya, tutur sapanya, semakin berani mengarah cabul. Maka, pada malam harinya ketika mereka bermalam di rumah penginapan, diam-diam Sui Cin meninggalkan tanpa pamit. Ia lalu menyamar sebagai pemuda jembel yang merantau sendirian, bebas gembira sampai ia bertemu dengan Hui Song.



Seperti telah kita ketahui, Sui Cin yang menyamar sebagai pemuda jembel melakukan perjalanan dengan Hui Song menuju ke kota raja. Ia mengatakan hendak mencari encinya! Dan Hui Song juga pergi ke kota raja dengan dalih hendak menyelidiki Hwa-i Kai-pang yang bekerja sama dengan pasukan pemerintah. Padahal sesungguhnya dia ingin sekali berkenalan dengan enci dari pemuda jembel itu yang ternyata adalah dara yang pernah dijumpainya dan yang amat menarik hatinya itu.



Di sepanjang perjalanan, keduanya merasa cocok sekali. Akan tetapi setiap kali malam tiba, Sui Cin tidak pernah mau diajak bermalam di rumah penginapan, melainkan mengajak bermalam di kolong-kolong jembatan atau di emper-emper toko! Ketika Hui Song memprotes, Sui Cin menjawab.



"Song-twako, engkau tahu bahwa aku sudah biasa hidup sebagai pengemis. Maka, akupun lebih leluasa tidur di kolong jembatan daripada di kamar hotel. Kalau engkau mau tidur di hotel, silakan. Aku di emper toko sini saja."



Hui Song terpaksa menurut biarpun dia mengomel karena dia tahu bahwa pemuda ini bukan jembel aseli melainkan putera Pendekar Sadis yang kaya raya dan suka membagi-bagi uang pada para jembel! Dia tidak tahu bahwa Sui Cin sendiri jarang tidur di tempat kotor itu. Kalau sekarang ia memilih tidur di emper adalah untuk menghindari tidur sekamar dan seranjang dengan Hui Song!



Pada suatu malam mereka terpaksa tidur di bawah pohon dalam sebuah hutan. Kota raja sudah dekat dan hawa udara malam itu dingin sekali. Melihat betapa pemuda jembel itu tidur meringkuk kedinginan, Hui Song membesarkan api unggun. Akan tetapi agaknya masih belum cukup dapat mengusir dingin, bahkan dalam tidurnya Sui Cin agak menggigil. Karena khawatir kalau-kalau pemuda jembel itu jatuh sakit, Hui Song melepaskan jubahnya dan menyelimuti tubuh Sui Cin yang sudah tidur nyenyak.



Akan tetapi, pemuda jembel itu masih kelihatan meringkuk kedinginan se-dangkan Hui Song sendiri setelah menanggalkan jubahnya juga merasa dingin se-kali. Maka dia lalu merebahkan dirinya dekat Sui Cin dan untuk mengurangi rasa dingin bagi mereka berdua, dia lalu merangkul tubuh Sui Cin merapatkan diri. Benar saja, dia merasa hangat dan nya-man. Juga Sui Cin mengeluarkan suara lega. Akan tetapi hanya sebentar saja karena tiba-tiba Sui Cin meronta dan si-ku lengannya menyodok ke belakang.



"Hekk...!" Hui Song merasa dadanya sesak karena tersodok siku dan dia memandang terbelalak kepada Sui Cin yang sudah meloncat berdiri. Pemuda jembel itu bertolak pinggang dan memandang kepadanya dengan marah sekali.



"Apa... apa yang kaulakukan tadi?" bentaknya.



Hui Song bangkit duduk termangu-mangu, keheranan. "Apa...? Mengapa...? Aku tidak apa-apa..." jawabnya bingung.

"Kenapa engkau... memelukku tadi?"



Hui Song mengangkat alis dan pundaknya. "Agar kita berdua tidak kedinginan. Cin-te, engkau sungguh aneh, apa salah-nya kalau aku memelukmu?"



Baru Sui Cin sadar akan keadaannya, akan penyamarannya. Iapun duduk dekat api unggun. "Maaf, Song-twako. Engkau mengagetkan aku yang sedang tidur dan... dan engkau mengingatkan aku akan pengalaman tidak enak beberapa bulan yang lalu ketika tadi engkau merangkul aku."



"Pengalaman apakah, Cin-te? Kurasa tidak ada salahnya dua orang laki-laki yang sudah bersahabat saling merangkul." Hui Song mengomel karena dadanya ma-sih terasa memar.



"Ada seorang pria yang juga merangkulku... ihh, aku masih jijik dan ngeri membayangkan perbuatannya itu!"



"Aih, engkau seperti wanita saja, Cin-te. Apa salahnya laki-laki itu merangkul-mu kalau memang dia sahabatmu?"



"Dia bukan hanya merangkul, akan tetapi... hendak... mencium dan mengajakku melakukan... hal yang tidak senonoh..." Sui Cin tidak membohong ketika menceritakan ini karena memang dalam penyamarannya sebagai seorang pemuda jembel, pernah ada seorang jembel pria lainnya yang berbuat seperti itu kepadanya sehingga ia menjadi marah, menghajar jembel itu sampai babak belur dan pingsan baru meninggalkannya.



"Ahh...!" Kini Hui Song terbelalak, kemudian menepuk pahanya sambil tertawa geli. Sui Cin melirik dengan hati mendongkol.



"Kenapa kau mentertawakan aku?" bentaknya.



"Aku tidak mentertawakan kau, Cin-te. Aku hanya merase geli sendiri. Aku sudah pernah mendengar tentang pria yang suka berjina dengan pria lain, juga ten-tang wanita yang lebih suka bercinta de-ngan sesama wanita. Akan tetapi, wah, sialan benar! Apakah engkau menyamakan aku dengan pria itu?"



"Bukan begitu, akan tetapi pengalam-an itu membuat aku merasa geli setiap kali ada pria

memelukku. Itulah sebabnya mengapa aku tadi terkejut sekali."



"Maaf... maaf... aku tidak tahu dan tidak sengaja..."



"Sudahlah, asal mulai sekarang engkau jangan sekali-kali lagi mengulang perbuatan itu."



"Aku tidak berani...!" Hui Song tertawa.



"Awas kalau kauulangi lagi, aku akan bilang kepada enciku bahwa engkau ada-lah soorang pemuda kurang ajar yang su-kanya kepada sesama pria."



"Wah, gawat! Sungguh mati, aku tidak berani lagi. Eh, Cin-te, siapakah nama encimu itu?"



Sui Cin tidak segera menjawab, mem-besarkan nyala api unggun. "Enci akan marah kalau aku lancang memperkenal-kan namanya. Engkau tanya sendiri saja kalau sudah bertemu dengannya."



Pada keesokan harinya, mereka memasuki pintu gerbang kota raja. Ketika Hui Song bertanya di mana adanya enci sahabatnya itu, Sui Cin menjawab, "Soal enciku mudah. Akan tetapi aku ingin sekali mengikutimu dan melihat bagaimana caranya engkau menyelidiki Hwa-i Kai-pang itu."



Terpaksa Hui Song mengajak Sui Cin melakukan penyelidikan. Setelah mereka mendapat keterangan di mana adanya gedung perkumpulan Hwa-i Kai-pang, me-reka segera menuju ke sana. Gedung itu besar den megah, sungguh tidak pantas menjadi pusat perkumpulan para penge-mis. Dan di pintu gerbang nampak pengemis-pengemis muda yang bertampang se-rem melakukan penjagaan dengan lagak seperti pasukan tentara menjaga pintu gerbang saja. Dan nampak pula beberapa kali orang-orang berpakaian seperti pejabat pemerintah naik kereta memasuki halaman gedung itu sebagai tamu.



Sui Cin sudah tidak sabar dan hendak menyerbu saja, akan tetapi Hui Song mencegahnya. "Kita datang bukan untuk menyerbu, melainkan untuk menyelidiki rahasia mereka. Nanti malam saja kita kembali dan melakukan pengintaian."



Malam itu sunyi dan dingin. Setelah makan malam Hui Song dan Sui Cin berangkat menuju ke gedung perkumpulan pengemis Hwa-i Kai-pang. Gedung itu megah den besar, dikelilingi tembok tinggi dan satu-satunya pintu masuk peka-rangan hanya pintu gerbang yang terjaga ketat siang malam itu. Akan tetapi, ti-dak sukar bagi Hui Song dan Sui Cin un-tuk memasuki pekarangan belakang dengan meloncati pagar tembok bagian belakang. Agaknya Hwa-i Kai-pang begitu percaya akan kebesaran nama dan penga-ruh mereka sehingga menganggap musta-hil ada orang yang bosan hidup berani memasuki pekarangan mereka tanpa ijin, maka bagian belakang tidak dijaga.



Bagaikan dua ekor kucing, Hui Song dan Sui Cin menyelinap dan naik ke atas genteng bangunan bersembunyi di balik wuwungan. Tak lama kemudian mereka sudah membuka genteng mengintai ke bawah, ke dalam sebuah ruangan di bagian belakang gedung itu. Ruangan itu luas dan melihat gambar-gambar orang bersilat yang berada di atas dinding, juga adanya rak penuh bermacam senjata di sudut, mudah diduga bahwa ruangan itu tentu sebuah lian-bu-thia (ruangan berlatih silat). Di sebuah sudut ruangan nampak empat orang duduk seenaknya di atas lantai. Keadaan empat orang kakek itu menyeramkan. Keempatnya mengenakan baju tambal-tambalan dan berkembang-kembang seperti baju pengemis akan tetapi kainnya masih baru. Yang menyeramkan adalah wajah dan sikap mereka. Seorang yang duduk hampir rebah bertubuh gendut dengan perut seperti gentong, kepala botak dan rambutnya dikuncir lucu seperti ekor babi. Alisnya tebal, mata hidung dan mulutnya besar-besar. Orang kedua di sebelah kirinya adalah seorang kakek tinggi kurus yang rambutnya panjang riap-riapan, kepalanya memakai kopyah pendeta, tangan kanan memegang pipa tembakau berbentuk ular. Dia nampak kurus sekali bersanding kakek pertama yang kegerahan membuka bajunya, atau mungkin juga karena perutnya terlalu gendut, kancing bajunya tak dapat ditutup. Orang ketiga lebih menyeramkan lagi. Tubuhnya tinggi besar nampak kuat. Mata kirinya ditutup dengan penutup mata berwarna hitam. Rambutuya sedikit, hampir gundul dan wajah yang bermata satu ini membayangkan kebengisan yang kejam. Orang keempat berwajah buruk, dengan mulut yang moncong bentuknya, punggungnya bongkok dan dia memegang sebatang tongkat bulat. Agaknya mereka sedang bercakap-cakap dengan santai, menghadapi arak wangi dan sepiring ayam panggang utuh berada di antara mereka.



Hui Song dan Sui Cin yang mengintai merasa heran. Melihat pakaian mereka berempat itu, agaknya tak salah lagi bahwa empat orang itu tentu tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang. Akan tetapi sikap dan wajah mereka sama sekali tidak pantas menjadi tokoh jembel. Lebih patut kalau menjadi kepala-kepala rampok!



"Kurang ajar sekali, kini di Cin-an muncul dua orang muda yang berani menentang kita!" si perut gendut, berkata sambil mengembangkan lengan kanan.



"Kalau mereka tidak lari dan kuketahui tempatnya, tentu keduanya takkan kuampuni lagi, akan kupatahkan kaki tangan mereka dan kukeluarkan isi perut mereka!" kata si mata satu dengan suara penuh geram.



Kakek yang mengisap huncwenya mengepulkan asap sehingga tercium bau yang harum memuakkan. "Hemm, sebaliknya diselidiki benar-benar siapa pemuda jembel yang membagi-bagi uang itu. Sungguh kedengaran aneh sekali."



"Kalian tak perlu khawatir," kini kakek buruk rupa yang memegang tongkat berkata. "Kewajiban kita hanyalah menjaga kota raja dan sekitarnya, bekerjasama dengan pasukan pemerintah, mencegah pengaruh buruk mendekati sri baginda. Peristiwa di Cin-an itu membuktikan adanya kerja sama yang baik antara anak buah kita dengan pasukan pemerintah. Itu sudah cukup menguntungkan kita. Rakyat melihatnya dan kita tentu semakin ditaati sebagai pembantu pemerintah."



"Akan tetapi, Lo-eng (Pendekar Tua), dua pemuda itu kabarnya lihai sekali. Kalau tidak dicari dan dibasmi, bisa berbahaya, kelak hanya akan mendatangkan kesulitan," kata si gendut.



Mendengar percakapen itu, Sui Cin mengepal tinju. Ingin ia turun dan mengamuk, menghajar mereka, terutama si perut gendut. Akan tetapi agaknya Hui Song dapat merasakan gerakannya. Pemuda itu menyentuh tangannya dan berbisik, "Hati-hati ada orang datang!"



Tiba-tiba ada dua bayangan berkelebat. Sui Cin terkejut bukan main karena bayangan itu memiliki gerakan yang amat cepat dan ringan, tanda bahwa mereka mempunyai kepandaian yang cukup tinggi. Untung Hui Song telah mengetahui kedaaan mereka lebih dulu sehingga ia tak jadi turun tangan.



Bagaikan dua ekor burung, bayangan dua orang itu sudah melayang turun memasuki

ruangan itu. Empat orang yang sedang bercakap-cakap itu terkejut dan berlompatan bardiri, siap menggempur musuh. Sepasang orang muda yang mengintai di atas melihat betapa gerakan mereka hebat, membayangkan kepandaian tinggi. Akan tetapi ketika empat orang itu mengenal kakek dan nenek yang muncul seperti iblis itu, wajah mereka menjadi girang. Kakek bertongkat yang menjadi ketua Hek-i Kai-pang, yaitu yang menamakan diri Hwa-i Lo-eng, cepat menjura dengan hormat.



"Aih, kiranya Kui-kok Pang-cu berdua yang datang berkunjung! Selamat datang dan silakan duduk!" Juga tiga orang kakek yang menjadi pembantu-pembantunya memberi hormat.



Kakek dan nenek itu adalah Kui-kok Lo-mo dan isterinya Kui-kok Lo-bo, sepasang

suami isteri yang berpakaian putih-putih dan bermuka pucat seperti mayat itu. Mereka adalah tokoh-tokoh Cap-sha-kui dan karena Cap-sha-kui juga sudah diperalat oleh Liu-thaikam, seperti halnya Hwa-i Kai-pang, maka tentu saja mereka terhitung rekan dan saling me-ngenal.



Melihat betapa kakek dan nenek yang bermuka putih pucat itu masih berdiri saja, ketua Hwa-i Kai-pang kembali mempersilakan mereka duduk. "Ji-wi, silakan duduk."



"Nanti dulu, Kai-pang-cu, kami menanti munculnya tamu lain!" Lalu Kui-kok Lo-bo melambaikan tangan ke atas sambil membentak, "Apakah kau masih juga belum mau turun?"



Sui Cin terkejut sekali, mengira bahwa ialah yang disuruh turun karena ne-nek bermuka pucat itu memandang ke a-rah tempat ia bersembunyi. Tentu saja ia tidak takut dan hendak turun. Akan teta-pi kembali Hui Song mencegahnya dan memegang lengannya. Dan pada saat itu terdengarlah bunyi ledakan cambuk disusul melayangnya seorang nenek bongkok kurus ke dalam ruangan itu. Kiranya Kui-bwe Coa-li, satu di antara Cap-sha-kui yang dimaksudkan oleh kakek dan nenek iblis itu!



"Hi-hik, matamu masih tajam sekali Lo-bo?" Kui-bwe Coa-li berkata dengan nada mengejek.



"Coa-li, untuk mengetahui kehadiran-mu, tak memerlukan ketajaman mata, cukup mencium bau yang amis seperti ular itupun cukuplah, ha-ha-ha!" Kui-kok Lo-mo mengejek.



"Huh! Hidung kerbau ini masih besar kepala juga!" Nenek iblis itu balas me-maki. Tidaklah aneh sikap antara para iblis Cap-sha-kui ini. Memang mereka a-dalah datuk-datuk sesat yang kasar.



Akan tetapi Hwa-i Lo-eng girang se-kali kedatangan tamu-tamu lihai ini. De-ngan hormat dia mempersilakan mereka duduk di ruangan tanpa kursi itu. Lantai mengkilap bersih, maka mereka lalu du-duk di lantai begitu saja. Ketua penge-mis itu membunyikan genta kecil dan muncullah lima orang gadis cantik me-nyuguhkan arak dan daging.



"Ha-ha! Para pelayanmu cantik-cantik, Lo-eng!" kata Kui-kok Lo-mo sambil mencolek pinggul seorang di antara mereka.



Hui Song dan Sui Cin memandang de-ngan heran. Perkumpulan pengemis akan tetapi mempunyai pelayan-pelayan yang terdiri dari gadis-gadis cantik yang berpakaian indah seperti perkumpulan orang-orang bangsawan atau hartawan saja! Akan tetapi sepasang orang muda ini tetap mengintai dengan hati-hati karena mereka kini maklum bahwa datuk-datuk sesat dari Cap-sha-kui ternyata bersekongkol dengan Hwa-i Kai-pang dan agaknya mereka diperalat oleh pemerintah! Betapapun aneh kedengarannya, namun agaknya kenyataannya begitulah karena bukankah tadi ketua Hwa-i Kai-pang menyebut tentang adanya kerja sama antare mereka dan pemerintah?



Sambil makan minum, Kui-kok Lo-mo menceritakan maksud kedatangannya. "Sebagai sesama rekan, kami membuka rahasia kami. Kami menerima tugas untuk membunuh Jenderal Ciang."



"Ah...! Beliau adalah panglima kedua di kota raja! Bukan hal mudah untuk mendekatinya, apalagi membunuhnya!" kata kakek yang mengisap pipa tembakau.



Hui Song dan Sui Cin juga kaget bukan main! Dan mereka merasa bingung. Para datuk sesat int bekerja sama dengan pemerintah, akan tetapi mengapa iblis muka pucat mendapat tugas membunuh Jenderal Ciang, panglima kedua dari kerajaan? Sungguh sukar dimengerti. Akan tetapi mereka mendengarkan terus.



"Kami mengerti akan beratnya tugas kami, karena itulah kami datang ke sini mengharapkan bantuan kawan-kawan yang tentu lebih tahu akan kebiasaan-kebiasaan panglima itu sehingga kami dapat turun tangan pada saat yang tepat," kata Kui-kok Lo-bo.



"Sebaiknya, kalau kita bekerja sama!" Tiba-tiba Kui-bwe Coa-li berseru. "Kalian

membantuku Menteri Kebudayaan Liang, baru kemudian aku membantu kalian menyingkirkan Ciang-goanswe. Dengan majunya kita bertiga, mustahil kita takkan berhasil membunuh jenderal itu!"



Suami isteri itu saling pandang dan mengangguk setuju. Membunuh Menteri Liang merupakan pekerjaan amat mudah kalau dibandingkan dengan tugas mereka membunuh Jenderal Ciang. Dan bantuan Kiu-bwe Coa-li tentu saja amat berhar-ga.



"Bagus, kami setuju dengan kerja sama itu," kata Kui-kok Lo-mo.



"Nah, sekarang kita minta bantuan kawan-kawan dari Hwa-i Kai-pang bagai-mana sebaiknya untuk dapat menyerang Menteri Liang!" kata Kui-bwe Coa-li.



"Mencari kesempatan baik untuk menyerang Menteri Liang jauh lebih mudah daripada Jenderal Ciang!" kata Hwa-i Lo-eng yang tentu saja lebih banyak me-ngenal keadaan para pembesar di kota raja. Apalagi dia sudah banyak menerima tugas mengamati dan memata-matai pa-ra pembesar yang menjadi lawan Liu-thaikam termasuk Jenderal Ciang dan Men-teri Liang.



"Ceritakan yang jelas, pang-cu," kata Kiu-bwe Coa-li dengan girang karena merasa betapa tugasnya akan menjadi ri-ngan setelah mendapat bantuan rekan-rekannya.



"Begini : Menteri Liang mempunyai suatu kegemaran, yaitu berlayar dan memancing ikan di Telaga Emas di sebelah selatan kota raja. Sebulan dua tiga kali dia pergi ke telaga itu dan saat itulah terbaik untuk turun tangan. Pertama, dia berada di luar kota raja dan kedua, bia-sanya dia tidak disertai banyak pengawal. Nah, cu-wi tinggal bersiap-siap saja, ka-lau dia pergi ke telaga itu, cu-wi turun tangan. Kami sendiri sudah banyak dike-nal, tentu saja tidak mungkin dapat membantu turun tangan sendiri. Akan tetapi, di sini ada saudara Bhe Hok ini yang merupakan tokoh baru dan belum banyak di-kenal di daerah telaga itu, maka dialah yang akan membantu cu-wi mengamati dan memata-matai lebih dahulu sehingga akan tahu keadaan pembesar itu kalau sampai di telaga." Ketua perkumpulan pengemis itu menunjuk kepada kakek berperut gendut yang ikut hadir di situ dan kakek gendut ini mengangguk-angguk sambil terkekeh girang menerima tugas penting ini.



Ketua Hwa-i Kai-pang itu bicara li-rih ketika mengatur siasatnya, sama se-kali tidak tahu bahwa semua percakapan itu didengarkan oleh Hui Song dan Sui Cin!



***



Pagi itu amat indahnya di tepi telaga. Masih sunyi karena hari masih amat pagi, belum ada orang datang ke tempat itu. Sui Cin sejak tadi sudah berada di tepi telaga seorang diri dan ia terpesona oleh keindahan pemandangan pagi hari itu. Pagi yang cerah. Sinar matahari masih lemah, kuning emas membentuk garis-garis mengkilap di permukaan air telaga yang tenang dan halus seperti sutera kehijauan berkeriput. Kicau burung-burung di antara daun-daun pohon menambah meriahnya suasana. Langit bersih, hanya ada awan putih berkelompok-kelompok membentuk beraneka macam mahluk khayali. Indah sekali awan-awan itu, tak pernah diam mati melainkan setiap detik berobah dengan halus, seperti permukaan air telega yang selalu bergerak menimbulkan perobahan-perobahan. Seperti mengalirnya air kehidupan yang setiap saat berobah.



Hening sekali. Keheningan yang agung menyelimuti seluruh telaga dan sekitarnya, keheningan total di mana Sui Cin juga termasuk. Keheningan yang terasa benar pada saat itu oleh Sui Cin. Keheningan yang menenteramkan, sama sekeli bukan rasa kesepian yang menggelisahkan. Dara itu sejak tadi berdiri tak bergerak, seperti patung, memiliki keindahan tersendiri walaupun ia menjadi bagian dari keindahan total itu. Seorang dara yang menjelang dewasa, cantik jelita dan manis dalam kesederhanaannya. Pakaiannya sederhana, bersahaja dan lebih diutamakan sebagai pelindung tubuh daripada sebagai hiasan seperti kebanyakan wanita. Rambutnya yang hitam panjang itu terurai ke belakang hanya diikat sutera hijau, agak awut-awutan karena tak diminyaki dan kurang sisiran, juga karena dipermainkan angin pagi sejak tadi. Anak rambut terjuntai di dahi dan pelipis menjadi penambah manis. Wajah yang berkulit halus dan berbentuk ayu itu tidak dilapisi bedak. Akan tetapi kulit muka itu sudah halus putih dan kedua pipinya se-gar kemerahan.



Tiba-tiba patung cantik jelita itu bergerak, menggerakkan kepalanya dan dua gumpalan rambut itu bergerak pula, yang satu pindah dari punggung ke dada. Terdengar tawa kecil dan sekilat deretan gigi rapi berkilauan tertimpa cahaya matahari, mata yang jelita itu agak menyipit ketika ia tertawa kecil. Yang memancingnya tertawa kecil sehingga sadar dari lamunannya adalah tingkah dua ekor burung gereja yang sedang berkasih-kasihan. Yang jantan selalu mengejar, yang betina lari, jinak-jinak merpati seperti menggoda tapi akhirnya menyerah dan ketika yang jantan hinggap di atas punggungnya, yang betina terpeleset sehingga keduanya jatuh tunggang-langgang ke bawah. Akan tetapi sebagai burung yang memiliki sayap dengan indahnya mereka dapat menghindarkan diri dari kejatuhan itu dan di lain saat sudah berkejaran lagi sambil berteriak-teriak bersendau-gurau dalam bahwa mereka.



Sui Cin sama sekali tidak tahu bahwa selagi ia terpesona oleh keindahan pemandangan di telaga, ada sepasang mata orang lain juga terpesona, bukan o-leh keindahan telaga melainkan keindahan dirinya. Seorang pria yang sejak tadi me-nyembunyikan diri di balik semak-semak sambil mengamati setiap gerak-geriknya.



Setelah memperoleh banyak keterang-an penting dalam pengintaian mereka di Hwa-i Kai-pang, Hui Song dan Sui Cin lalu mengadakan perundingan. Mereka bersepakat untuk mencegah usaha jahat kaum sesat yang hendak membunuh Menteri Liang dan Jenderal Ciang. Juga da-lam percakapan rahasia antara para da-tuk sesat itu mereka tahu bahwa para kaum sesat itu diperalat oleh Liu-thai-kam. Dua orang pembesar yang hendak dibunuh adalah musuh-musuh Liu-thaikam karena mereka merupakan pembesar-pem-besar jujur yang dapat membahayakan kedudukannya. Juga kini Hui Song dan Sui Cin tahu mengapa kaum sesat melin-dungi kaisar. Bukan karena kesetiaan Liu-thaikam, melainkan karena pembesar ko-rup ini merasa aman dengan berkuasanya kaisar muda yang mempercayanya itu. Melindungi dan mempertahankan kaisar muda ini berarti melindungi dan mem-pertahankan kedudukannya sendiri. Semua ini mereka ketahui dari percakapan an-tara para datuk sesat malam itu.



Hui Song lalu membagi pekerjaan. Dia minta agar Sui Cin yang dikenalnya se-bagai pemuda jembel lihai itu melakukan pengamatan di telaga yang disebut Tela-ga Emas, sedangkan Hui Song sendiri a-kan menghubungi Menteri Liang dan Jen-deral Ciang. Mereka lalu berpisah. Sui Cin yang sudah merasa bosan menyamar sebagai pemuda jembel setelah kini ber-pisah dari Hui Song lalu berganti pakaian menjadi dara cantik sederhana seperti biasa dan pagi itu ia sudah menikmati keindahan alam di tepi telaga. Kini ia mengerti mengapa telaga itu dinamakan Telaga Emas. Memang tiap pagi sinar matahari merobah air telaga menjadi ke-emasan. Ia tidak perlu melakukan pengamatan sambil bersembunyi. Kini ia merupakan seorang gadis perantau yang se-dang berkelana dan melancong ke telaga ini. Cukup wajar dan ia dapat pesiar sambil memasang mata. Andaikata Kiu-bwe Coa-li muncul dan nenek iblis ini menye-rangnya, iapun tidak takut!



Akan tetapi ketika pagi itu ia datang ke tepi telaga, keadaan di situ amat sepi dan yang muncul bukan Kiu-bwe Coa--li atau tokoh sesat lainnya, melainkan seorang pemuda tampan pesolek yang su-dah dikenalnya, yaitu Sim Thian Bu! Ia sama sekali tidak tahu bahwa pemuda i-ni sejak tadi telah mengamati semua gerak-geriknya dari tempat tersembunyi.



Sim Thian Bu tiba-tiba muncul dan dengan ramah berseru gembira, "Nona Ceng! Aih, akhirnya kita saling berjumpa juga. Memang kita ada jodoh! Aku me-mang tempo hari mengajakmu pesiar ke telaga ini, akan tetapi di tengah perja-lanan engkau pergi. Tak kusangka kita justeru saling jumpa di Telaga Emas ini. Bukankah ini jodoh namanya?"



Tentu saja Sui Cin merasa kaget melihat munculnya pemuda ini dan iapun agak tertegun mengingat bahwa ia pernah meninggalkan pemuda ini malam-malam tanpa pamit. Akan tetapi iapun ter-ingat akan sikap kurang ajar pemuda i-ni, bahkan sekarangpun pemuda ini ber-kali-kali bicara tentang jodoh!



"Saudara Sim, pergilah dan jangan ganggu, aku ingin sendirian," katanya singkat.



Akan tetapi pemuda tampan pesolek itu tersenyum dan memandang ke kanan kiri. Tempat itu sangat sepi pada saat itu. Permukaan telagapun masih sunyi, hanya ada sebuah perahu kecil nampak jauh di tengah telaga dengan seorang saja di dalamnya, agaknya seorang nelayan yang kesiangan. Sim Thian Bu sama sekali tidak memperdulikan nelayan dengan perahunya yang jauh itu.



"Nona Ceng, kenapa sikapmu begitu terhadapku? Bukankah kita sudah berke-nalan dan menjadi sahabat baik? Perte-muan yang tidak kita sangka-sangka ini tandanya bahwa kita berjodoh. Marilah kita pelesir dan bersenang-senang ber-dua, nona. Jangan kautinggalkan aku lagi. Aku... sejak pertemuan pertama itu, aku sudah tergila-gila padamu, nona..."



"Tutup mulutmu!" Sui Cin membentak marah.



"Ahhh...! Salahkah kalau seorang pemuda seperti aku tergila-gila dan jatuh cinta kepada seorang gadis sepertimu? Engkau yang salah, siapa suruh engkau begini cantik manis menggairahkan?"



Wajah Sui Cin yang putih halus itu menjadi merah. Belum pernah selama hi-dupnya ada laki-laki bicara seperti itu kepadanya. Rasa malu dan marah, membuatnya sukar bicara. Akan tetapi sebagai seorang gadis bebas yang jujur, harus diakuinya bahwa ucapan pemuda itu tak dapat disebut kurang ajar. Bukankah Sim Thian Bu mengeluarkan isi hatinya seca-ra jujur? Pendapat ini menyabarkan hatinya dan iapun tersenyum.



"Saudara Sim, pergilah dan jangan menggangguku kalau kau tidak ingin ku-anggap sebagai musuh."



Thian Bu tersenyum lebar, dan mata-nya dipicingkan, memandang dengan gaya lucu memikat, kemudian dia bertepuk tangan tertawa. "Ha-ha! Aku mengerti se-karang. Engkau belum dapat menerima cintaku karena engkau belum mengenal kepandaianku, bukan? Seorang dara pendekar tentu hanya mau bergaul dengan seorang pembda yang lihai pula ilmu silatnya. Nah, di sini merupakan tempat yang baik sekali untuk menguji kepandaian, nona Ceng. Silakan!" Pemuda itu memasang kuda-kuda dengan gaya dibuat-buat.



Sui Cin tersenyum mengejek. Bagaimanapun juga, terasa olehnya ketidakwajaran dalam sikap Thian Bu. Hui Song juga nakal dan jenaka, akan tetapi selalu menjaga kesopanan dan tidak pernah menyinggung perasaan. Sebaliknya, dalam kata-kata, pandang mata dan senyum Sim Thian Bu terkandung suatu sikap cabul dan kurang ajar yang membuat Sui Cin merasa ngeri dan juga marah.



"Aku tidak ingin mengujimu melainkan menghajarmu!" hardiknya dan Sui Cin sudah menerjang maju dengan tamparan-tamparan kedua tangannya.



"Heiittt... perlahan dulu...! Wah, jangan galak-galak, nona manis!" Thian Bu mengelak, bahkan berusaha menangkap pergelangan tangan Sui Cin.



Tentu saja Sui Cin tidak sudi ditangkap dan ia menarik kembali tangannya lalu menerjang dengan dahsyat mempergunakan pukulan dan tendangan.





"Aih, engkau bersungguh-sungguh, manis?" Thian Bu mengejek dan diapun mengelak, menangkis dan membalas tak kalah dahsyatnya.



Sim Thian Bu sudah tahu bahwa dia berhadapan dengan puteri Pendekar Sadis yang lihai sekali, maka dia tidak berani memandang ringan dan segera mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Sebaliknya, baru sekarang Sui Cin benar-benar berkenalan dengan ilmu kepandaian pemuda itu dan diam-diam ia terkejut karena ternyata Thian Bu amat lihai! Melihat ketangguhan lawan, Sui Cin lalu mainkan Ilmu Silat Hok-mo Sin-kun (Silat Sakti Penakluk Iblis) dari ibunya. Ilmu silat ini amat cepat dan ganas dan jarang ada orang mampu menandinginya. Akan tetapi ternyata Thian Bu dapat melawan dengan baik, bahkan keceriwisan pemuda itu membuat Sui Cin merasa malu, kikuk dan gugup.



"Ha-ha, manis. Bagaimanapun, engkau harus menyerahkan diri padaku!" Pemuda itu menyerang sambil main colek ke arah dada dan dagu Sui Cin secara kurang ajar sekali.



Kini barulah dara itu sadar dengan orang macam apa ia berhadapan. Seorang pemuda cabul yang agaknya biasa menggoda, mempermainkan dan menghina wanita. Ia sudah mendengar tentang seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) den kini ia menduga bahwa tentu pemuda yang disangkanya pendekar ini sebetulnya adalah seorang penjahat cabul!



"Bangsat jai-hwa-cat!" Sui Cin memaki.



"Heh-heh, baru sekarang engkau tahu? Ha-ha-ha!" Thian Bu tidak marah dimaki begitu, malah tertawa-tawa dan mempercepat gerakannya.



Kini Sui Cin benar-benar kaget. Kiranya pemuda tampan yang tadinya dianggap seorang pendekar yang berkunjung pada pertemuan para pendekar di Bukit Perahu itu, ternyata benar seorang jai-hwa-cat seperti pengakuannya tadi. Seorang penjahat cabul! Berarti kaki tangan kaum sesat yang menyusup dan kini muncul pula di tepi telaga. Tentu ada hubungannya dengan usaha pembunuhan Menteri Liang.



"Jahanam busuk, manusia palsu! Engkau tentu kaki tangan kaum sesat!" bentaknya dan dengan tenaga sakti Thian-te Sin-ciang ia menerjang. Kemarahan membuat tenaga dara ini menjadi berlipat ganda. Sim Thian Bu memang berwatak sombong dan selalu memandang rendah orang lain. Maka dia kurang waspada dan terjangan dahsyat Sui Cin itu ditangkis seenaknya saja.



"Dess...!" Akibatnya, tenaga Thian-te Sin-ciang yang dahsyat itu melanda ke arah Thian Bu dan membuatnya terlempar ke belakang dan terbanting keras!



Akan tetapi pada saat Sui Cin berhasil membuat lawan terjengkang, pada saat itu ada angin keras menyambar dari arah kiri. Sui Cin yang tadinya siap menyusulkan pukulan pada Thian Bu, cepat memutar tubuh hendak menangkis.



"Plakk!" Tongkat itu tertangkis, akan tetapi bukan mental malah meluncur ke samping dan menotok punggung Sui Cin.



"Tukk!" Dara itu merasa betapa tubuhnya menjadi lemas dan iapun roboh terkulai.



Sejak tadi, perahu kecil yang nampak dari jauh tadi sudah bergerak menuju ke pantai itu. Kakek sendirian yang duduk di perahu kecil itu bukan nelayan karena dia duduk sambil memainkan sebuah alat yang-kim (semacam siter). Ketika kakek itu melihat robohnya Sui Cin, dia menghentikan permainan musiknya.



Kakek penabuh yang-kim ini adalah Shan-tung Lo-kiam. Seperti telah kita ketahui, kakek sasterawan pendekar ini pernah muncul pula dalam pertemuan antara para datuk sesat. Dia ikut mendengar rencana kaum sesat untuk membunuh Menteri Liang yang sejak lama menjadi sahabat baiknya, maka dia selalu mengamati. Hari itu dia mendengar bahwa Menteri Liang akan pesiar di Telaga Emas. Oleh karena itulah maka dia menanti di situ untuk ikut melindunginya. Ketika pagi hari itu dia melihat seorang gadis yang tidak dikenalnya dirobohkan orang, tentu saja pendekar tua ini tidak tinggal diam dan segera mendayung perahunya ke pantai.



"Siancai...! Di tempat hening seperti ini masih saja ada kejahatan!" Shan-tung Lo-kiam meloncat naik ke darat sambil membawa alat musik yang-kim yang tadi ditabuhnya.



Melihat munculnya seorang kakek tua renta membawa yang-kim, orang yang

merobohkan Sui Cin dengan totokan itu memandang galak. Dia adalah seorang kakek yang perutnya gendut sekali. Dan kakek ini pernah dilihat oleh Sui Cin ketika ia mengintai di gedung Hwa-i Kai-pang bersama Hui Song. Kakek inilah yang bernama Bhe Hok, tokoh Hwa-i Kai-pang baru yang menjadi pembantu ketua perkumpulan pengemis ini. Dia cukup lihai dengan tongkatnya dan juga licik sehingga ketika Sui Cin lengah tadi karena berhasil membuat Sim Thian Bu terjengkang, dara itu berhasil ditotoknya.



"Hemm, tua bangka bosan hidup dari mana berani mencampuri urusan kami?" bentak kakek berperut gendut itu.



"Bhe-lopek, dia adalah Shan-tung Lo-kiam, musuh kita!" Tiba-tiba Sim Thian Bu berseru. Ternyata pemuda ini tidak terluka parah, tadi hanya terjengkang karena dahsyatnya tenaga dara itu.



Mendengar nama ini, kakek perut gendut terkejut dan cepat dia menyerang dengan tongkatnya, menghantam ke arah kepala lawan. Shan-tung Lo-kiam mengangkat alat musiknya menangkis.



"Trang... cringg...!" Terdengar suara nyaring ketika tongkat bertemu yang-kim. Dua orang kakek itu lalu berkelahi dengan seru. Sementara itu, sambil tersenyum licik, Sim Thian Bu menyambar tubuh Sui Cin yang lemas, memanggulnya dan membawanya lari dari situ.



Perkelahian antaya dua orang kakek itu terjadi cepat dan seru, akan tetapi si gendut segera mengerti bahwa kakek yang menjadi lawannya itu terlalu kuat baginya. Melihat Sim Thian Bu sudah melarikan gadis tadi, diapun meloncat dan melarikan diri memasuki hutan di tepi telaga. Kakek pemegang yang-kim itu tidak mengejar, melainkan mencari-cari dengan pandang matanya. Ketika dia tidak melihat ke mana dara tadi dilarikan, dia hanya menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang, kemudian diapun melompat kembali ke dalam perahunya dan mendayung perahunya ke tengah telaga. Dia memiliki tugas yang dianggapnya lebih penting daripada mencari dara yang dilarikan orang itu.



Orang-orang mulai berdatangan ke tepi telaga. Nelayan dan pelancong. Keadaan tenang dan biasa saja seolah-olah tidak pernah dan tidak akan terjadi sesuatu yang luar biasa di tempat itu.



Kemudian, saat yang ditunggu-tunggu dengan hati tegang oleh orang-orang yang bersembunyi, tibalah. Sebuah kereta yang dikawal enam orang perajurit datang ke tepi telaga. Dengan pengawalan ketat, seorang laki-laki berpakaian pembesar bergegas menuruni kereta dan masuk ke dalam sebuah perahu besar yang memang sudah siap di pantai itu. Itulah Menteri Kebudayaan Liang, pejabat tinggi yang gemar memancing ikan di telaga itu. Perahu itu berlayar ke tengah telaga. Peristiwa ini tidak menarik perhatian orang yang asyik dengan kesibukan masing-masing dan sebentar saja perahu besar yang kini berada di tengah telaga itu sudah dilupakan orang.



Sementara itu, kesibukan-kesibukan rahasia terjadi di sekitar tempat itu. Sebuah perahu hitam dengan bilik tertutup didayung cepat oleh dua orang, meluncur ke tengah telaga menuju perahu besar Menteri Liang. Setelah perahu hitam tiba dekat perahu besar, mendadak tiga orang berlompatan naik ke atas perahu besar dengan kecepatan luar biasa. Mereka itu adalah Kiu-bwe Coa-li, Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo! Serentak mereka menyerbu pembesar yang asyik duduk memegang tangkai pancing itu.



"Tar-tar-tar...! Pembesar Liang, bersiaplah engkau untuk mampus!" Kiu-bwe Coa-li yang memegang tugas membunuh pembesar itu menerjang sambil menggerakkan cambuknya yang berekor sembilan. Sinar hitam menyambar ke arah pembesar itu dari belakang. Kakek dan nenek Kui-kok itupun sudah berhantam melawan enam orang perajurit pengawal dan terkejutlah mereka ketika mendapatkan kenyataan bahwa pera pengewal itu ternyata rata-rata memiliki ilmu silat tinggi. Dan terjadilah perkelahian hebat antara suami isteri Kui-kok-pang itu melawan pengeroyokan enam orang pengawal istimewa.



Akan tetapi yang paling kaget adalah Kiu-bwe Coa-li. Ketika cambuknya menyambar, tiba-tiba Menteri Kebudayaan Liang itu menggerakkan tangkai pancingnya ke belakang.



"Wuuuttt...! Ayaaaa... aduuuhh...!" Kiu-bwe Coa-li berteriak kesakitan. Tali pancing yang panjang itu menangkis dan membelit cambuk, membuat sembilan ekor cambuk itu lumpuh dan ujung tali kail masih menyambar dan mengait pangkal lengan kiri nenek iblis itu, masuk ke dalam daging tua! Bukan main nyerinya, kiut-miut rasanya dan nenek itu cepat mencengkeram dan membikin putus tali pancing sehingga mata kail itu tertinggal di daging pangkal lengannya. Pembesar itu sudah bangkit berdiri dan membalik-kan tubuh. Kiranya dia seorang pemuda tampan yang tertawa gembira, dengan nada mengejek.

"Wah, tak kusangka pancingku men-dapat seekor ikan siluman ekor sembi-lan!"



Kiu-bwe Coa-li memandang dengan mata mendelik dan kemarahannya me-muncak ketika ia melihat bahwa orang yeng memakai pakaian pembesar ini ada-lah seorang pemuda, sama sekali bukan Menteri Kebudayaan Liang. Ia dan teman-temannya telah tertipu dan terjebak. Ada orang yang sengaja menyamar den meng-gantikan pembesar itu untuk menyambut serangan mereka.



"Kita tertipu!" teriaknya mengingatkan dua orang kawannya. "Dia bukan Menteri Liang!" Kemudian ia menggerak-kan senjatanya dan menyerang pemuda itu dengan ganas.



Pemuda itu adalah Hui Song. Seperti kita ketahui, pemuda ini membagi tugas dengan Sui Cin. Dia sendiri mengunjungi Menteri Liang dan melaporkan bahaya yang mengancam keselamatan menteri itu. Lalu diatur jebakan. Hui Song me-nyamar dan menggantikan sang menteri dalam kereta menuju ke perahu di telaga, dikawal oleh enam orang jagoan yang menyamar sebagai perajurit-perajurit bia-sa. Padahal mereka adalah perwira-per-wira pilihan!



Akan tetapi enam orang pengawal itu masih kewalahan menghadapi amukan ka-kek dan nenek Kui-kok-pang, sedangkan Hui Song sendiri mendapat kenyataan be-tapa lihainya nenek bercambuk ekor sem-bilan ini. Dia dapat menduga bahwa nenek ini tentulah seorang tokoh Cap-sha-kui yang berjuluk Kiu-bwe Coa-li. Diam-diam dia harus mengakui kelihaian nenek ini. Masih untung mereka berkelahi di atas perahu, bukan di darat. Kabarnya nenek ini pandai memanggil dan menge-rahkan ular-ular untuk mengeroyok lawan.



Kedua pihak yang berkelahi mengha-rapkan bantuan masing-masing. Para pe-nyerbu tentu saja merasa heran sekali mengapa dua orang kawan yang boleh mereka andalkan itu tidak juga muncul. Mereka telah bertemu dengan Sim Thian Bu yang sudah berjanji membantu, bahkan pemuda cabul itu hendak melakukan pengamatan bersama seorang tokoh Hwa-i Kai-pang yang bernama Bhe Hok itu. Tentu saja para ibli Cap-sha-kui tidak tahu bahwa Bhe Hok tidak kuat menandingi Shan-tung Lo-kiam sehingga melarikan diri sedangkan Sim Thian Bu setelah memperoleh mangsa, lupa akan janjinya.



Di lain pihak, Hui Song juga terheran-heran mengapa pemuda jembel yang menjadi sahabatnya itu, Sui Cin, tak kunjung muncul untuk membantunya. Tiba-tiba terdengar suara yang-kim dan muncullah seorang kakek lihai yang bukan lain adalah Shan-tung Lo-kiam. Begitu naik ke atas perahu di mana sedang terjadi perkelahian itu, kakek ini segera membentu enam orang pengawal yang terdesak.



Melihat betapa para penjahat itu terjebak oleh seorang pemuda perkasa yang menyamar sebagai Menteri Liang yang dibantu oleh enam orang pengawal pilihan, kakek ini tertawa. "Ha-ha-ha! Para tokoh Cap-sha-kui terjebak seperti tiga ekor tikus dalam perangkap, ha-ha-ha." Dan diapun menggerakkan senjatanya yang sesungguhnya, yaitu sebatang pedang sedangkan yang-kim di tangan kiri-nya hanya dipergunakan sebagai perisai. Dan ternyata, sesuai dengan julukannya, yaitu Lo-kiam (Pedang Tua), begitu me-mainkan pedangnya, kakek ini memperlihatkan kelihaiannya.



Tiga orang tokoh Cap-sha-kui merasa terkejut bukan main melihat munculnya Shan-tung Lo-kiam yang sudah mereka ketahui kelihaiannya. Munculnya kakek ini tentu saja menambah kekuatan lawan dan membahayakan diri mereka. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara berdesir nyaring dan segera terasa getaran perahu disusul teriakan para anak buah perahu besar, "Perahu terbakar...!"



Hui Song, enam orang pengawal dan Shan-tung Lo-kiam terkejut melihat be-tapa ujung perahu terbakar. Mereka meloncat ke tepi dan melihat sebuah perahu kecil tak jauh dari situ. Ada dua orang yang berada di dalam perahu itu, seorang kakek kurus memegang tongkat dan seorang pemuda remaja yang berdiri tegak di atas perahu. Pemuda ini memegang sebuah busur dan dialah yang tadi melepaskan anak panah berapi yang membakar perahu besar.



Melihat peristiwa ini, tiga orang datuk Cap-sha-kui bergerak cepat. Merekapun meloncat meninggalkan lawan dan melihat perahu kecil itu mereka lalu berlompatan turun dari perahu besar menuju ke perahu kecil itu. Kui-kok Lo-mo dan Lo-bo dapat hinggap di atas perahu kecil itu. Perahu terguncang dan lompatan Kiu-bwe Coa-li tidak tepat. Nenek ini tentu terjatuh ke air kalau saja pemuda itu tidak cepat mengulur tangan kiri menyambar ujung baju si nenek dan sekali tarik dengan sentakan, tubuh nenek itu tertahan dan dapat turun ke atas perahu dengan selamat! Gerakan pemuda yang memegang busur ini sungguh cekatan dan amat kuatnya sehingga diam-diam Hui Song harus mengakui bahwa pemuda itu merupakan lawan yang amat tangguh.



Ketika para pengawal dan Hui Song hendak mengejar, tiba-tiba pemuda di atas perahu kecil itu kembali meluncurkan dua buah anak panah berapi yang tepat mengenai layar dan bilik perahu besar sehingga terjadi kebakaran besar. Sementara itu tiga orang tokoh Cap-sha-kui sudah bergerak mendayung perahu tanpa diperintah lagi sehingga perahu kecil itu meluncur pergi dengan cepatnya.



Terpaksa Hui Song, para pengawal dan Shan-tung Lo-kiam sibuk membantu para anak buah perahu memadamkan api dan membiarkan perahu kecil yang membawa lima orang sesat itu melarikan diri. Dengan kecepatan luar biasa, perahu kecil yang didayung oleh orang-orang kuat itu sebentar saja lenyap. Hui Song kecewa sekali. Dia tadinya mengharapkan untuk dapat menangkap seorang di antara mereka agar rahasia kejahatan Liu-thaikam dapat terbongkar. Tanpa adanya bukti, sukar untuk menjatuhkan pembesar korup yang amat dipercaya oleh kaisar itu. Kalau ada bukti dan saksi, barulah kejahaten pembesar itu dapat terbongkar dan diketahui oleh kaisar.



Para pengawal dan anak buah perahu besar ternyata sudah mengenal baik ka-kek pembawa yang-kim itu dan mereka semua bersikap hormat. Memang kakek ini tidak asing bagi para pembantu dan keluarga Menteri Liang yang menjadi sahabat baiknya. Hui Song segera maju memberi hormat kepada Shan-tung Lo-kiam.



"Terima kasih atas bantuan locianpwe."



Kakek itu tersenyum dan memandang kagum kepada pemuda itu. "Orang muda, aku Shan-tung Lo-kiam, sejak dahulu adalah sahabat baik Menteri Liang maka ti-dak aneh kalau aku membela beliau. A-kan tetapi engkau seorang muda sudah berani menghadapi para datuk sesat dari Cap-sha-kui, sungguh amat mengagumkan. Siapakah engkau, orang muda?"



Mendengar bahwa kakek ini adalah Shan-tung Lo-kiam yang terkenal sebagai seorang pendekar angkatan tua, Hui Song menjadi kagum. Dia menjura dan mem-perkenalkan diri, "Saya bernama Cia Hui Song, locianpwe."



"She (marga) Cia? Adakah hubungan-nya dengan keluarga Cia dari Cin-ling-pai?"



Hui Song agak meragu. Akan tetapi ketika dia menghadap Menteri Liang, terpaksa dia memperkenalkan diri sehing-ga enam orang pengawal itu telah me-ngetahui keadaan dirinya. Kini seorang da-ri mereka menyela, "Locianpwe, Cia-tai-hiap ini adalah putera ketua Cin-ling-pai."



"Ah, pantas begini gagah perkasa!" kakek itu memuji kagum, kemudian dia menarik napas panjang. "Sayang para penjahat itu dapat melarikan diri..."



"Siapakah pemuda yang melepas anak panah dan kakek bertongkat dalam perahu kecil tadi, locianpwe? Saya melihat pe-muda itu lihai sekali," tanya Hui Song.



"Aku sendiri belum pernah bertemu dengan kakek itu, akan tetapi aku yakin bahwa tentu dia yang kini memimpin pa-ra tokoh sesat dan dialah agaknya yang bernama Siangkoan Lo-jin dan berjuluk Si Iblis Buta."



"Ahhh...!" Enam orang perwira pengawal itu terkejut mendengar nama ini. Akan tetapi Hui Song tidak mengenalnya.



"Dan pemuda itu?" tanyanya.



"Entahlah," jawab Shan-tung Lo-kiam, "Akan tetapi aku pernah mendengar bahwa dia mempunyai seorang putera yang kabarnya telah mewarisi semua kepandaiannya. Mungkin juga pemuda tadi puteranya. Sayang, kalau kita tadi dapat menawan seorang saja di antara mereka, tentu akan memperoleh banyak keterangan."



Hui Song teringat akan sahabatnya yang tidak pernah muncul. "Locianpwe, saya mempunyai seorang kawan, seorang pemuda jembel yang berada di sini terlebih dulu untuk mengamati. Dia cukup lihai, dan kalau dia tadi membantu, mungkin kita berhasil. Akan tetapi saya merasa heran sekali mengapa dia tidak muncul. Apakah barangkali locianpwe tadi ada melihatnya?"



Kakek itu mengingat-ingat lalu menggeleng kepala. "Seorang pemuda jembel? Tidak ada aku melihatnya. Pagi tadi di sini aku hanya melihat seorang gadis cantik berkelahi melawan seorang pemuda dan seorang tokoh Hwa-i Kai-pang gendut. Aku turun tangan membantunya, akan tetapi iblis Hwa-i Kai-pang itu melarikan diri dan nona itu ditawan dan dilarikan si pemuda. Sayang aku tidak dapat mengejar, karena aku harus menanti datangnya Menteri Liang."



"Siapakah pemuda itu dan siapa pula gadis yang dilarikannya itu, locianpwe?" tanya Hui Song dengan alis berkerut dan hati terasa tidak enak.



"Aku tidak mengenal mereka akan tetapi harus diakui bahwa mereka berdua bukan orang muda sembarangan. Gadis itu lihai dan roboh karena dibokong dan dikeroyok. Pemuda itupun lihai sekali dan melihat gerak-geriknya, sepatutnya dia seorang pendekar. Akan tetapi pandang matanya cabul. Aku sedang menanti Menteri Liang untuk melindunginya, maka menyesal sekali aku tidak sempat melakukan pengejaran terhadap pemuda yang melarikan gadis itu."



Hui Song merasa semakin tidak enak hatinya. Dia teringat akan enci dari Sui Cin. Dia sendiri tidak tahu mengapa dia menghubungkan peristiwa itu dengan encinya Sui Cin. Akan tetapi ketidakmunculan pemuda jembel itu membuat hatinya merasa gelisah.



"Biar saya yang akan mencarinya, locianpwe," katanya sambil menanggalkan jubah menteri yang menutupi pakaiannya sendiri, kemudian diapun meloncat ke atas sebuah perahu nelayan yang berdekatan dan minta kepada nelayan itu untuk mengantarnya ke pantai. Kini banyak perahu mendekati perahu pembesar itu dan Shan-tung Lo-kiam bersama enam orang perwira pengawal tadi tidak berani menahan Hui Song karena mereka maklum bahwa sudah menjadi kewajiban seorang pendekar seperti puteri ketua Cin-ling-pai itu untuk menolong gadis yang diculik penjahat.



***



Bagaimana dengan nasib Sui Cin? Apakah yang menimpa diri gadis pendekar itu? Ia tidak pingsan ketika roboh tertotok oleh tongkat Bhe Hok tokoh baru Hwa-i Kai-pang, hanya lemas dan ia sama sekali tidak dapat meronta ketika dirinya dipanggul dan dilarikan Sim Thian Bu. Baru sekarang terbukti bahwa pemuda ini sama sekali bukan seorang pendekar gagah perkasa seperti yang disangkanya dalam pertemuan pertama mereka di Bukit Perahu. Sim Thian Bu ini seorang penjahat, seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang cabul den keji. Sui Cin sejak kecil digembleng ayah bundanya menjadi seorang gadis yang selain berilmu tinggi, gagah perkasa juga tidak pernah mengenal rasa takut. Akan tetapi sekali ini ia merasa ngeri juga terjatuh ke dalam tangan seorang jai-hwa-cat dalam keadaan tak berdaya sama sekali. Ia pernah mendengar dari ibunya tentang jai-hwa-cat yang suka memperkosa wanita. Akan tetapi iapun teringat akan pesan den nasihat ibunya bagaimana harus menghadapi bahaya seperti itu. Pertama ia harus tenang dan tidak panik. Dalam keadaan tidak berdaya melakukan perlawanan dengan kekerasan ia harus pura-pura menyerah. Menurut ibunya, jai-hwa-cat akan menjadi lunak hatinya apabila korbannya menyerah dan dalam cengeraman nafsu, penjahat itu akan menjadi lengah. Saat itulah paling tepat untuk tiba-tiba menyerangya. Ia pernah bertanya kepada ibunya bagaimana kalau ia diperkosa dalam keadaan tertotok atau terbelenggu.



Ibunya menjawab bahwa kalau tiada jalan lain menghindarkan malapetaka itu, satu-satunya jalan hanya mematikan rasa dan menutup pikiran. Kelak masih banyak kesempatan untuk membalas perbuatan terkutuk itu berikut bunganya yang berlipat ganda. Bagaimanapun juga, membayangkan betapa ia harus membiarkan dirinya diperkosa orang tanpa dapat melawan, hampir membuat Sui Cin menungis.



Ia diam-diam menghimpun hawa murni. Kalau saja totokan itu dapat ia punahkan, tentu sekali pukul kepala pemuda yang memondongnya ini akan pecah dan ia akan dapat membunuhnya dengan mudah. Sekali ini, ia akan melanggar pesan ayahnya. Ia takkan segan-segan membunuh jai-hwa-cat ini!



Akan tetapi tiba-tiba pemuda itu berhenti berlari, menurunkannya ke atas tanah, kemudian menotok jalan darah di punggungnya, membuat ia terkulai kem-bali dengan lemas dan pemuda itu sam-bil tersenyum-senyum bahkan membeleng-gu kaki tangannya dengan tali sutera ha-lus yang amat ulet dan tidak akan mung-kin terputuskan. Agaknya jai-hwa-cat ini sudah berpengelaman dan sudah memper-siapkan segalanya.



"Ha-ha-ha! Menghadapi seorang gadis lihai sepertimu harus berhati-hati!" kata pemuda itu sambil mencolek dagu Sui Cin yang hanya dapat memandang dengan mata mendelik. Tapi mata itu tak basah dengan air mata. Pemuda itu kini me-mondongnya dan membawa dirinya lari dengan amat cepatnya.



Sambil melarikan gadis itu, di dalam otak pemuda itupun terjadi kesibukan. Sim Thian Bu bukan seorang pemuda ce-roboh dan bodoh yang hanya menurutkan dorongan nafsunya saja. Tidak, dia tidak bodoh karena dia adalah murid utama dari Siang-koan Lo-jin alias Si Iblis Bu-ta! Karena kecerdikannya itulah dia me-rupakan satu-satunya murid datuk itu yang dapat mewarisi hampir semua ilmu kepandaian Si Iblis Buta. Dan karena ke-cerdikannya dia diberi tugas untuk me-nyusup sebagai seorang pendekar ke Bu-kit Perahu. Dia begitu cerdik sehingga selama ini, biarpun dia mempunyai kesu-kaan memperkosa wanita dan membunuhnya, dia tidak dicurigai dan tidak dike-nal kejahatannya. Bahkan dalam pertemu-annya yang pertama dengan Sui Cin dan Cia Sun, Sim Thian Bu begitu cerdiknya mengelabuhi mata mereka. Yang mem-bunuh tiga orang muda dan seorang ga-dis yang lebih dulu diperkosanya adalah dia sendiri. Akan tetapi dengan cerdik dia mampu memaksa seorang laki-laki kasar, seorang penjahat rendahan biasa, untuk mengakui perbuatan itu lalu mem-bunuh diri. Dengan demikian, di dalam pandangan Sui Cin dan Cia Sun dalam pertemuan iiu, dia bukan saja bebas dari tuduhan, bahkan dia menjadi seorang pendekar!



Ketika bertemu Sui Cin yang cantik jelita, jenaka den segar, tentu saja jai-hwa-cat ini merasa tertarik sekali dan bangkitlah nafsunya. Andaikata Sui Cin adalah seorang gadis biasa, tentu pada seat itu juga dia kerjakan! Akan tetapi Sui Cin adelah seorang gadis yang amat lihai, apalagi puteri Pendekar Sadis! Maka Sim Thian Bu mempergunakan siasat lain. Mula-mula dia hendak menjatuhkan hati dara itu dengan rayuannya untuk memikat hatinya, mengandalkan ketampanan wajahnya dan kematangan pengalamannya menghadapi wanita. Akan tetapi Sui Cin adalah seorang dara pendekar yang tidak mudah terpikat rayuan. Usahanya gagal sama sekali ketika dara itu meninggalkannya begitu saja pada suatu malam. Hatinya kecewa, penasaran dan juga marah.



Kedatangannya di Telaga Emas sehu-bungan dengan tugas rahasia yang diteri-ma dari suhunya untuk melakukan pengintaian di telaga itu, bersama seorang tokoh Hwa-i Kai-pang. Maka, bukan main girang hatinya ketika dia melihat Sui Cin di situ. Pertemuan yang sama sekali ti-dak disengaja, bahkan tidak disangka-sangkanya. Dan diapun tidak mau membuang kesempatan baik itu untuk menjumpainya, sampai terjadi perkelahian den akhirnya, dengan bantuan Bhe Hok tokoh gendut Hwa-i Kai-pang, dia berhasil merobohkan dan melarikan Sui Cin.



Tentu saja dia sudah lupa sama sekali akan tugasnya membantu suhunya setelah dia berhasil melarikan dara yang membuatnya tergila-gila itu. Dan kini dia memutar otak mencari akal. Dia tahu ke mana harus membawa gadis itu. Ke dalam sebuah guha rahasia yang menjadi satu di antara tempat-tempat persembunyian suhunya. Tempat itu kosong dan di situ dia takkan terganggu oleh siapapun. Tempat sepi terpencil yang aman bagi-nya.



Dia tidak mungkin memperlakukan gadis ini seperti para korban lainnya, yaitu memperkosa dan mempermainkannya sampai puas lalu membunuhnya un-tuk merahasiakan perbuatannya. Tidak! Gadis ini terlalu penting untuk sekedar dinikmati lalu dibunuh. Dia harus dapat memanfaatkan gadis ini, memperoleh keuntungan sebanyaknya. Gadis ini adalah puteri Pendekar Sadis! Baru mengingat nama ini saja dia sudah merasa ngeri. Kalau dia memperkosa lalu membunuh Sui Cin seperti yang dilakukannya terha-dap wanita-wanita lain, kemudian hal itu terdengar oleh Pendekar Sadis, dia tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya. Terlalu mengerikan! Akan tetapi, kalau dia bisa menjadi sua-mi Sui Cin, mantu Pendekar Sadis? Am-boi...! Betapa hebatnya! Dia akan men-jadi terkenal, ditakuti, dan lebih lagi, dia mendengar bahwa keluarga Pendekar Sadis amat kaya raya, hidup di Pulau Teratai Merah.



Ketika Sim Thian Bu tiba di lembah sunyi itu, di mana guha tempat persem-bunyian

gurunya berada, hari sudah men-jelang senja. Dia berhenti di tepi jurang, merebahkan tubuh Sui Cin di atas tanah berumput, lalu membebaskan totokannya. Sui Cin dapat bergerak kembali akan te-tapi karena kedua kaki tangannya terbelenggu kuat, tetap saja ia tidak berdaya. Ia hanya memandang marah, lalu mema-ki, "Jahanam busuk!"



Thian Bu tersenyum. "Nona Ceng, ke-napa engkau tidak mau melihat kenyataan? Aku cinta padamu, nona. Sungguh, sejak pertemuan kita yang pertama, aku sudah jatuh hati dan tergila-gila kepada-mu. Aku sungguh-sungguh, bukan main-main dan hidupku baru akan berbahagia kalau engkau dapat menjadi isteriku yang sah."



"Lebih baik aku mati!" Sui Cin membentak marah.



"Nona, pikirlah baik-baik. Sekali aku melemparmu ke jurang ini, engkau akan tewas dengan tubuh hancur dan tidak se-orangpun akan dapat menemukanmu. Atau engkau lebih suka diperkosa dan dihina lalu dibunuh? Ingatlah, engkau masih muda. Tidakkah lebih baik engkau men-jadi isteriku yang terhormat? Kurang apakah diriku? Masih muda dan cukup tam-pm, memiliki ilmu silat yang cukup, dan amat mencintamu."



Pura-pura menyerah mencari kelengahannya, pikir Sui Cin. Biarpun dadanya seperti mau meledak saking marahnya, ia menekan kemarahannya dan berkata halus, "Tentu saja aku tidak ingin begitu, akan tetapi beginikah sikapmu yang katanya mencinta? Lepaskan dulu belenggu-belenggu ini, baru kita bicara dan kupertimbangkan usulmu."



Akan tetapi Thian Bu tersenyum dan menggeleng kepala. "Hemm, lihat, bukan-kah di samping semua kelebihanku, ma-sih ditambah kenyataan bahwa aku cerdik sekali dan tidak tertipu muslihatmu? Kecerdikanku membikin aku semakin ber-harga untuk menjadi suamimu. Nona, engkau bersumpahlah dulu bahwa engkau takkan melawan dan menentangku, bahwa engkau akan suka menjadi isteriku, kemudian kita akan bersatu badan sebagai suami isteri, barulah aku akan melepaskan belenggu. Maaf, semua itu hanya un-tuk menjamin den meyakinkan hatiku."



Sui Cin membuang muka, menahan mulutnya yang ingin memaki-maki. Meli-hat sikap gadis itu, Thian Bu melakukan siasatnya yang pertama, yaitu membujuknya dnegan jalan menakut-nakutinya. "Nona, benarkah engkau begitu tega, memilih mati dan menghancurkan hatiku daripada hidup berbahagia bersamaku?"



"Jahanam keparat, tidak perlu banyak cerewet lagi. Mati jauh lebih mulia daripada hidup bersama seorang manusia berwatak iblis macammu ini. Bunuhlah, siapa takut mati?"



"Hemm, perempuan sombong. Hendak kulihat sampai di mana keberanianmu!" Dia lalu memondong tubuh Sui Cin dan dibawanya ke tepi jurang. "Lihat, lihat dasar jurang tak terukur dalamnya yang akan menerima tubuhmu ini!" Dan tiba-tiba dia melepaskan tubuh Sui Cin dengan kepala lebih dulu ke dalam jurang! Tubuh itu melayang ke bawah dan Sui Cin memejamkan mata, menutup mulutnya rapat-rapat agar jangan menjerit. Tiba-tiba tubuhnya berhenti meluncur dan ternyata pemuda itu telah menangkap kedua kakinya sehingga tubuhnya tergantung dengan kepala di bawah. Keadaan ini mengingatkan ia akan latihan samadhi sambil berjungkir balik ketika ia mempelajari ilmu menghimpun tenaga istime-wa dari ayahnya. Maka, begitu tubuhnya tergantung membalik seperti itu, dari pusarnya terhimpun hawa panas dan se-bentar saja aliran darahnya sudah men-jadi lancar dan normal kembali, bekas totokan pemuda jahat itu lenyap sama sekali. Ia percaya bahwa kalau saat itu ia mengerahkan tenaga dan melakukan ilmu Hok-te Sin-kun, tenaganya akan mampu mematahkan belenggu sutera dan sekalian menendang lawan. Akan tetapi, biarpun berhasil, tidak urung tubuhnya akan terjatuh ke dalam jurang dan ini berarti bunuh diri! Tidak, ia tidak sebodoh dan senekat itu.



"Bagaimana, nona? Apakah engkau memilih aku melepaskan kakimu dan tu-buhmu meluncur ke bawah, kepalamu menimpa batu di dasar jurang itu sampai remuk-remuk?" Suara Sim Thian Bu pe-nuh ejekan dan ancaman.



Sui Cin juga searang yang cerdik. Ia tahu bahwa semua ini dilakukan jai-hwa-cat itu hanya untuk menggertaknya. Sa-tu-satunya cara untuk menghentikan siksaan ini hanya memperlihatkan bahwa ia tidak takut.



"Pengecut busuk! Kaukira aku takut? Lepaskan dan aku akan terbebas dari binatang busuk macam kamu ini!"



Thian Bu merasa mendongkol sekali. Kalau dia tidak merasa sayang akan ke-cantikan gadis ini dan mempunyai renca-na yang amat menguntungkan dirinya ter-hadap Sui Cin, tentu sudah dilemparkan-nya tubuh itu ke dalam jurang. Belum pernah selama hidupnya ada wanita be-rani menolaknya, bahkan sebagian besar wanita atau gadis yang diculiknya, dapat ditundukkan dengan rayuan dan ketampanannya. Akan tetapi, gadis puteri Pende-kar Sadis ini tidak mempan dengan dira-yu, dan tidak takut diancam, membuat dia kehilangan akal. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu meloncat dan membawa Sui Cin ke dalam sebuah guha besar yang tertutup semak-semak belukar. Diam-diam Sui Cin memperhatikan tempat ini. Sebuah guha tersembunyi. Tidak mungkin akan ditemukan orang luar karena mulut guha yang tidak berapa besar itu tersembunyi di balik semak-semak belukar yang penuh duri dan pantasnya hanya menjadi sarang ular-ular dan binatang-binatang buas.



Setelah menguak semak-semak belukar den nampak mulut guha, pemuda itu membawa Sui Cin memasuki guha dan menutupkan kembali semak-semak di de-pan guha. Setelah masuk ke dalam guha, ternyata guha itu berlorong lebar yang membawanya ke dalam ruangan yang cu-kup luas. Akan tetapi keadaan di situ kotor dan tidak terawat, tanda bahwa tempat itu sudah lama tidak didatangi o-rang. Ruangan dalam guha itu seperti ruangan rumah saja, di mana terdapat meja-meja tua, bangku-bangku dan juga sebuah dipan kayu yang masih kokoh kuat. Sim Thian Bu menurunkan tubuh Sui Cin dan mengikat kaki dan tangan dara itu, menelentangkannya di atas di-pan.



"Ha-ha-ha, nona manis. Dengar baik-baik, aku mengajakmu hidup bersama se-bagai suami isteri, akan tetapi engkau selalu monolak. Dan engkau bahkan memilih mati daripada hidup sebagai isteriku yang terhormat dan tercinta. Kebandelanmu ini membuat aku bingung dan sebaiknya kalau engkau kupaksa menjadi isteriku, baru kita bicara lagi, ha-ha-ha!"



Sim Thian Bu tersenyum-senyum dan memandang penuh nafsu kepada tubuh gadis yang sudah ditelentangkan di atas dipan dalam keadaan kaki tangan terikat itu. Dia menanggalkan bajunya dan nampaklah dadanya yang bidang. Pemuda ini memang selain memiliki wajah tampan pesolek, juga memiliki bentuk tubuh yang baik. Sayangnya bahwa tubuh yang demikian baik dihuni oleh batin yang bobrok dan kejam.



Melihat betapa pemuda itu mulai membuka baju, Sui Cin menjadi pucat dan ia merasa betapa tengkuknya dingin sekali saking ngeri dan takutnya. Ia dapat menduga apa yang akan dilakukan pemuda bejat ahlak ini kepada dirinya dan mulailah ia meronta-ronta, mengerahkan tenaga untuk melepaskan diri dari ikatan kaki tangannya. Gerakannya ini membuat dipan itu bergoyang-goyang dan keempat kakinya berdetak-detak. Akan tetapi, pada saat itu sambil terkekeh Sim Thian Bu yang menanggalkan bajunya itu menubruk dan memeluknya.



"Aih, jmtung hatiku, engkau hendak lari ke mana sekarang?" Melihat pemuda itu sudah menindihnya dan wajah pemuda itu demikian dekat dengan wajahnya, Sui Cin terbelalak dan menjerit.



"Jangan...! Kau bunuh saja aku...!"



"Ha-ha, bunuh engkau? Aih, sayang dong...! Engkau cantik manis..." Sim Thian Bu hendak mencium akan tetapi Sui Cin mengelak dan miringkan mulutnya, kemudian ia teringat akan akal yang pernah didengarnya dari ibunya. Suaranya terdengar gemetar ketika ia berkata lirih.



"Akan tetapi jangan begini... ah, kalau tiada jalan lain... aku bersedia... tapi jangan begini... lepaskan dulu belenggu ini agar kita dapat melakukannya secara wajar..."



Sim Thian Bu menjadi girang sekali. "Engkau... engkau mau...?" Dia bertanya sambil menatap wajah dara itu. Sui Cin mengeraskan hatinya dan mengangguk.



"Tapi, lepaskan belenggu-belenggu ini... sungguh tidak enak dalam keadaan terbelenggu begini..." Ia sudah siap. Begitu belenggu dibuka, ia akan mengirim serangan kilat yang mematikan kepada pemuda jahanam itu.



"Baik..." kata Sim Thian Bu dengan girang dan pemuda itu turun dari atas tubuh Sui Cin yang ditindihnya. Tangannya meraih ke arah belenggu kaki, dan Sui Cin sudah menanti dengan jantung berdebar tegang. Akan tetapi, jari-jari tangan pemuda itu tidak melepaskan belenggu, melainkan meraba kaki dan kini wajah pemuda itu menoleh, memandangnya dangan tersenyum mengejek. Jari tangan itu kini malah membuka sepatu dari kaki Sui Cin, dan melihat gelagatnya, pemuda itu bukan hendak membuka tali belenggu, melainken hendak melucuti pakaian gadis itu.



"Heh-heh, engkau puteri Pendekar Sadis, sungguh cardik dan licik. Kaukira aku tidak dapat merasakan betapa tubuhmu menegang penuh kekuatan dan betapa engkau akan menyerbu begitu aku membuka kaki tanganmu? Heh-heh, memang hendak kulepaskan, akan tetapi bukan belenggu kaki tanganmu, melainkan saluruh pakaianmu, ha-ha-ha!"



Tangan pemuda itu kini sudah mencengkeram kain celana Bui Cin. "Jangan... ah, jangan...!" Kini gadis itu memohon dengan suara lemah karena hilanglah harapannya dan dia hampir pingsan menghadapi bayangan yang amat mengerikan dari malapetaka yang akan menimpa dirinya.



"Sim Thian Bu! Mundur kau! Apa yang hendak kaulakukan ini?" Tiba-tiba terdengar suara bentakan keras den tahu-tahu di ambang pintu telah muncul seorang pemuda bertubuh tinggi tegap yang melihat wajahnya masih muda sekali, paling banyak berusia delapan belas tahun, akan tetapi wajah itu nampak dingin dan sepasang mata mencorong, sedangkan tubuhnya tinggi tegap melebihi orang dewasa umumnya.



Sim Thian Bu yang tadinya sudah siap untuk merobek dan merenggut pakaian Sui Cin, terkejut den menoleh lalu mundur dua langkah, matanya terbelalak nampak ketakutan akan tetapi mulutnya tersenyum membujuk.



"Ah, kiranya suheng yang datang. Suheng, maafkan aku dan biarkan aku menyelesaikan urusan pribadiku ini dulu, nanti akan kulayani suheng bicara kalau memang suheng datang membewa keperluan yang harus kubantu."



"Sim Thian Bu, aku bertanya tadi. Apa yang akan kaulakukan ini?"



Sim Thian Bu memandang pemuda remaja itu dengan sinar mata mengandung kemarahan, akan tetapi agaknya dia merasa jerih terhadap pemuda remaja itu, dan diapun tersenyum lebar. "Aih, engkau masih terlalu muda untuk mengetahui urusan ini, suheng. Dia ini seorang kekasihku dan kami hendak main-main sebentar. Apakah suheng ingin melihat kami bermain cinta?"



Sui Cin sudah ingin memaki untuk menyangkal ucapan jai-hwa-cat itu, akan tetapi ia diam saja dan memandang heran. Sungguh mengherankan memang keadaan pemuda remaja yang baru tiba. Usianya paling banyak delapan belas tahun, akan tetapi mengapa jai-hwa-cat yang usianya dua puluh lima tahun ini menyebutnya suheng dan bersikap jerih terhadap pemuda remaja itu? Ah, kalau pemuda remaja itu benar suheng dari Sim Thian Bu, tentu ia akan lebih celaka lagi dan tidak mempunyai harapan sama sekeli untuk dapat lolos. Menghadapi Sim Thian Bu yang lihai dan cerdik itu saja ia sudah tidak berdaya dan kini berada di ambang malapetaka yang mengerikan, apalagi kalau kini datang suheng si jahanam itu yang tentu saja lebih jahat dan lebih lihai, walaupun usianya jelas lebih muda. Ia memandang dan mendengarkan penuh perhatian, ingin melihat perkembangan kemunculan pemuda remaja itu dengan waspada. Siapa tahu kemunculan ini bahkan menolongnya.



"Kekasihmu? Dibelenggu?" Pemuda itu berkata dan kulit di antara kedua alisnya yang tebal berkerut, pandang matanya yang tajam mencorong itu ditujukan ke arah tubub Sui Cin, penuh selidik. Kemudian dia berkata lagi, suaranya bernada memerintah, "Lepaskan belenggu kaki tagannya!"



Sim Thian Bu nampak terkejut dan marah. "Akan tetapi, suheng, ia itu punyaku, dan aku berhak melakukan apa saja terhadap dirinya. Aku belum mau membebaskannya, hendak main-main dulu dengan gadis ini..."



"Lepaskan kataku!" Suara itu mengandung wibawa yang amat besar dan terasa pula oleh Sui Cin betapa kuatnya khi-kang terkandung dalam suara itu.



Sim Thian Bu juga meraeakan ini, akan tetapi agaknya dia masih penasaran. "Suheng, engkau keterlaluan mendesakku..."



Sim Thian Bu terpaksa menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba saja pemuda itu sudah menerjangnya. Luar biasa cepatnya gerakan pemuda remaja itu. Seperti terbang saja tubuhnya tahu-tahu menyambar dan meluncur ke arah Sim Thian Bu dan tangannya menampar. Melihat ini Sim Thian Bu terkejut dan cepat mengelak sambil menggerakkan tangan untuk menangkis.



"Plakk!" Entah bagaimana. Walaupun jai-hwa-cat yang tangguh itu sudah mengelak dan menangkis, tetap saja pundaknya terkena tamparan dan tubuhnya terpelanting seperti disambar pukulan yang amat kuat.



"Suheng...!" teriaknya dan diapun meloncat bangun, lalu hendak balas menyerang pemuda remaja itu.



"Plak! Plak!" Kembali tubuh Sim Thian Bu terjengkang, kini lebih keras lagi. Sui Cin memandang heran den kagum. Dara ini dapat melihat betapa pemuda remaja itu menguasai gerakan jai-hwa-cat, sehingga biarpun Thian Bu yang menyerang, akan tetapi sebaliknya dia yang roboh karena serangannya telah dihadang di tengah jalan dan sebaliknya, balasan pemuda remaja itu tidak mampu dihindarkannya.



Kini pemuda remaja itu agaknya sudah marah. Sejak tadi dia tidak mengeluarkan kata-kata lagi, akan tetapi sinar mata yang mencorong itu kini berapi. Dengan gerakan ringan sekali kedua kakinya melakukan gerakan srat-sret-srat-sret, tubuhnya tahu-tahu sudah berada dekat Thian Bu dan kini kaki tangannya bergerak secara aneh. Hebatnya, setiap sambaran tangan atau kakinya tentu mengenai sasaran! Terdengarlah suara plak-plok dan bak-buk ketika tubuh Thian Bu menjadi sasaran pukulan dan tendangan pemuda remaja itu sehingga tubuh Thian Bu terguling-guling dan tidak sempat bangun karena setiap kali merangkak hendak bangun sudah disambut oleh tamparan atau pukulan lain! Akhirnya terdengar Thian Bu mengeluh.



"Suheng... ampunkan aku..."



Pemuda remaja itu berhenti bergerak, menatap wajah jai-hwa-cat yang sudah bengkak-bengkak dan matang biru itu.



"Kau tahu, aku benci laki-laki yang memperkosa wanita. Lain kali kubunuh kau!" Hanya itu kata-katanya dan tiba-tiba tubuhnya melayang ke dekat dipan dan dua kali dia menggerakkan tangannya dan Sui Cin merasa betapa belenggu kaki tangannya putus semua dan ia dapat bergerak lagi! Tentu saja begitu dapat bergerak, meledaklah semua kemarahan dan ketakutan yang tadi menghimpit di dada dara itu.



"Haiiiiittt...!" Ia mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya sudah meluncur ke depan. Dengan pengerahan sin-kang sekuatnya ia sudah menggerakkan tangannya, menghantam ke arah kepala Sim Thian Bu dalam serangan maut!



"Dukk!" Sim Thian Bu sendiri tidak mampu menghindarkan diri karena tubuhnya masih nyeri semua dan kepalanya pening, akan tetapi tiba-tiba pemuda remaja itu bergerak dan pemuda inilah yang menangkis pukulan Sui Cin tadi.



Tangkisan itu kuat bukan main, terasa oleh Sui Cin dan lengannya tergetar hebat. Ia terdorong mundur tiga langkah dan matanya menatap tajam kepada wajah pemuda remaja yang menangkis pukulannya tadi. Ia menjadi serba salah. Mau marah teringat bahwa pemuda inilah yang telah menyelamatkannya dari malapetaka yang nyaris menimpanya. Tidak marah, ia kecewa dan penasaran karena niatnya membunuh atau setidaknya menghukum Thian Bu dihalangi. Sejenak mereka saling pandang dan di dalam pandang mata pemuda remaja itu kini terdapat kekaguman. Agaknya baru dia tahu bahwa dara yang tadi hendak diperkosa Thian Bu itu adalah seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Hal ini dapat dirasakan ketika dia menangkis dan ternyata pukulan gadis itu mengandung sin-kang yang amat hebat sehingga lengannya sen-diri tergetar delam pertemuen tenaga itu. Jelas bukan gedis sembarangan!



"Aku... aku harus menghajar jahanam busuk itu!" Sui Cin akhirnya berteriak marah.



Pemuda itu menggeleng kepala, sikap-nya tenang dan pandang matanya tetap dingin.



"Suteku sudah kuhajar sendiri." kata-nya singkat saja.



"Tapi... tapi dia hendak memperkosaku, dia penjahat jai-hwa-cat terkutuk!"



Kembali pemuda itu menggeleng ke-palanya. "Baru hendak, tapi belum. Per-gilah, nona."



Sui Cin menjadi bingung, seperti kehilangan akal menghadapi pemuda remaja yang tidak banyak cakap dan bersikap dingin serius ini. Kalau dia berkeras dan sampai ia bentrok dengan pemuda ini, berarti ia yang bo-ceng-li (tak tahu aturan). Bukankah ia baru saja diselamatkan dari bencana yang bahkan melebihi maut? Dan kalau pemuda ini membela Thian Bu, hal itu wajar saja karena memang Thian Bu itu sutenya! Bagaimana ada sute seperti itu dan suheng seperti ini? Bumi dan langit bedanya. Sui Cin mengepal tinju, kehilangan akal, akhirnya ia mendengus dan menyambar sepasang sepatunya, kemudian sekali berkelebat ia sudah meloncat keluar dari dalam guha itu!



Kini pemuda remaja itu menghadapi Thian Bu yang sudah merangkak bangun dan duduk di atas dipan di mana dia ta-di hendak memperkosa Sui Cin. Dia me-nyusuti darah dari ujung bibirnya dan ke-lihatan takut walaupun pada sinar mata-nya terdapat rasa marah dan dendam yang disembunyikan.



"Sute, kuulangi. Sekali lagi aku melihatmu memperkosa wanita, kubunuh engkau! Ada urusan penting engkau ting-galkan di telaga, malah engkau sibuk hendak melakukan perbuatan memalukan. Pergilah!" Pemuda itu menundingkan te-lunjuknya ke pintu guha dengan nada dan sikap mengusir.



Sim Thian Bu mengangkat muka me-mandang sejenak, lalu bangkit dan terta-tih-tatih berjalan keluar tanpa berani membantah. Setelah Thian Bu pergi, pe-muda remaja itu menjatuhkan dirinya di atas dipan, duduk termangu-mangu dan mengepal kedua tangannya. Dia seperti orang berpikir mendalam penuh rasa pe-nasaran, lalu memukulkan tinju kanannya pada telapak tangan kiri sendiri sampai terdengar bunyi nyaring, kemudian dia menutupi muka dengan kedua tangan pe-nuh penyesalan. Siapakah pemuda remaja ini?



Dia adalah pemuda yang muncul di telaga, berperahu bersama seorang kakek kurus bertongkat. Dialah pemuda lihai yang melepas anak panah berapi membakar perahu besar di mana terjadi perke-lahian dan dia yang monolong sehingga tiga orang tokoh Cap-sha-kui dapat lolos. Dialah pemuda yang dikagumi Hui Song yang depat menduga bahwa pemuda itu amatlah tangguh dan lihai. Dan tepat se-perti dugaan Shan-tung Lo-kiam ketika dia bercerita kepada Hui Song, pemuda ini adalah putera tunggal Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta.



Siangkoan Lo-jin mempunyai riwayat yang cukup menarik. Sejak muda, orang she Siangkoan ini memang hidup di ka-langan sesat. Akan tetapi di waktu dia masih muda, dia yang sudah merasa ti-dak suka akan perbuatan jahat yang ke-jam. Seringkali dia menentang para pa-man gurunya, bahkan gurunya sendiri se-hingga akhirnya dia dianggap murtad. Se-bagai hukuman kaum sesat yang kejam, kedua matanya dibikin buta oleh guru dan para paman gurunya sendiri dengan jalan meracuninya. Semenjak itu, baru berusia dua puluh tahun, dia telah men-jadi seorang buta. Biarpun matanya tidak cacat dan masih terbuka seperti orang biasa, namun dia tidak dapst melihat apa-apa lagi.



Hukuman yang membuat cacat ini di-terima dengan sabar dan tabah. Akan te-tapi, di dalam hatinya terkandung rasa penasaran yang amat hebat. Dia berlatih silat terus dengan tekun sehingga kepan-daiannya menonjol, bahkan setelah ber-usia kurang lebih lima puluh tahun, kepandaiannya sudah melampaui para pa-man gurunya! Sementara itu, suhunya te-lah meninggal dunia dan pada suatu hari, dendam yang terpendam selama puluhan tahun itu baru memperoleh pelepasan, Siangkoan Lo-jin memberontak dan lima orang paman gurunya yang dahulu ikut membutakan matanya dibunuhnya semua satu demi satu! Dan di kalangan kaum sesat, siapapun yang berani menentangnya lalu dibunuhnya. Mulailah nama Siangkoan Lo-jin si kakek buta ini ditakuti orang. Dan terjadi perobahan pada diri kakek ini. Kalau di waktu mudanya dia menentang kejahatan para gurunya, setelah kini cacat, dia malah ingin menjadi pemimpin kaum sesat! Hal ini mungkin timbul karena derita batinnya. Dia me-nentang kejahatan dan matanya menjadi buta, maka kini dia bahkan hendak men-jadi kepala semua penjahat!



Setelah berusla setengah abad dan di-akui sebagai seorang jagoan yang amat ditakuti di antara golongan sesat, dia la-lu mengambil seorang gadis dari kalangan sesat pula untuk menyambung keturunan. Dan isterinya itu ternyata dapat memberi keturunan padanya, seorang anak laki--laki yang diberi nama Siangkoan Ci Kang. Tentu saja hati kakek buta ini menjadi girang bukan main. Semenjak lahir, Ci Kang digemblengnya. Bahkan untuk man-di bayi itupun dia beri ramuan obat agar jasmani anak itu menjadi kuat dan kebal. Dan gemblengan penuh ketekunan dari Siangkoan Lo-jin tidak sia-sia. Anak itu ternyata memiliki bakat yang amat he-bat dan setelah berusia delapan belas tahun, anak itu telah mewarisi seluruh il-mu kepandaian ayahnya! Dia bahkan le-bib lihai daripada ayahnya karena dia le-bih muda, menang kuat dan menang daya tahannya, menang cepat.



Ternyata Siangkoan Ci Kang bukan hanya menuruni ilmu kepandaian ayahnya, melainkan juga menuruni wataknya! Sejak kecil, sejak dia belajar membaca dan mulai membaca kitab-kitab kuno, Ci Kang menumbuhkan pendiriannya di batinnya yang berlawanan dengan kenyataan yang ada pada keluarganya. Dia, seperti para pendekar dan para budiman dalam kitab-kitab yang dibacanya, tidak suka akan kejahatan! Dia tahu bahwa ayahnya adalah seorang tokoh kaum sesat yang ditakuti dan disegani, dan hal inilah yang membuatnya seringkali termenung dan merasa penasaran. Bahkan setelah dewasa, dia berani pada suatu hari menyerang ayahnya dengan kata-kata mencela mengapa ayahnya terjun ke dalam dunia hitam dan menjadi pemimpin kaum sesat.



"Hemm, kau tahu apa?" ayahnya menjawab dengan senyum kecut. "Engkau tahu mengapa mata ayahmu menjadi buta? Karena akupun ingin menjadi orang bersih macam engkau sekarang ini! Aku ingin menentang kejahatan dan akibatnya aku kehilangan kedua mataku! Kuharap engkau dapat mengerti bahwa menjadi orang baik hanya mengundang datangnya malapetaka dan kerugian saja. Semenjak kehilangan mata, aku mengambil keputusan untuk menjadi tokoh sesat, akan tetapi tidak kepalang tanggung dan harus menjadi nomor satunya!"



Ci Kang merasa tidak puas akan keterangan ayahnya ini. Dia menyelidiki di antara tokoh sesat dan mendengar bahwa ayahnya dibikin buta oleh guru dan para paman gurunya sendiri karena menentang kaum sesat. Akhirnya setelah lihai, ayahnya membalas dendam, membunuh lima orang susioknya sendiri, kemudian bangkit menjadi pemimpin kaum sesat. Hal ini membuat hati Ci Kang kadang-kadang berduka. Terjadi konflik dalam batinnya antara pendirian dan perasaan hatinya yang menentang kejahatan, terutama sekali kekejaman-kekejaman, dan kenyataan bahwa ayahnya adalah tokoh utama kaum setat! Tentu saja, sebagai putera Siangkoan Lo-jin, dia tidak dapat lari dari kenyataan ini dan beberapa kali dia harus turun tangan membantu ayahnya kalau ayahnya atau teman-teman sekaum bertemu dengan lawan atau kalau sedang melaksanakan tugas, seperti yang dilakukannya di Telaga Emas itu. Akan tetapi selamanya dia sendiri tidak pernah melakukan perbuatan jahat yang berupa kekejaman kepada orang lain. Konflik-konflik batin yang dideritanya se-jak dia mengerti itu membentuk suatu watak yang aneh pada Ci Kang. Dia menjadi seorang pemude yang pendiam, di-ngin, keras seperti baja dan kadang-ka-deng membawa mau sendiri, tak perdu-li, dan aneh!



Ketika Ci Kang diajak ayahnya ke te-laga itu dan dengan kegagahannya dia berhesil

membebaskan tiga orang tokoh Cap-sha-kui, ayahnya memarahi tiga o-rang tokoh itu yang gagal membunuh panglima Liang.



"Kalian sungguh tolol dan harus malu menjadi tokoh Cap-sha-kui kalau melak-sanakan pekerjaan membunuh seorang menteri saja gagal, bahkan digagalkan o-leh seorang pemuda yang menyamar se-bagai menteri itu." Demikian Siangkoan Lo-jin mengomel setelah mereka semua berhasil melarikan diri dan berada di tempat persembunyian. "Bukankah seharysnya lebih dulu melakukan pengamat-an dan pengintaian?"



"Maaf, Lo-jin. Sesungguhnya, kami bertiga sama sekali tidak tahu bahwa Menteri Liang telah diganti oleh seorang pemuda lihai, dan semua ini adalah ke-salahan jembel gendut ini yang bertugas sebagai pengamat. Kami telah dijanji o-leh Hwa-i Kai-pang yang hendak mem-bantu dengan penyelidikan, dan perkum-pulan jembel itu telah mengutus si gen-dut yang tidak teliti ini!" kata Kui-kok Lo-mo dengan nada suara jengkel sambil menuding ke arah Bhe Hok, tokoh Hwa-i Kai-pang yang gendut itu.



Siangkoan Lo-jin mengerutkan alisnya yang putih. Tentu saja dia tidak dapat melihat tudingan telunjuk Kui-kok Lo-mo ke arah orang gendut itu, akan tetapi dia dapat mengerti bahwa orang itu hadir pula di situ.



"Hemm, siapakah engkau utusan Hwa-i Kai-pang?" bentaknya.



Bhe Hok adalah seorang bekas penjahat yang kejam dan tabah, akan tetapi berhadapan dengan kakek buta itu dia merasa gentar sekali. Dia sudah mendengar bahwa kakek buta ini amat lihai dan juga tidak segan-segan membunuh pembantu yang bersalah. Maka, biarpun orang itu tidak dapat melihat, dia segera memberi hormat.



"Saya bernama Bhe Hok, Lo-jin. Dan sayalah yang diutus oleh para pimpinan Hwa-i Kai-pang untuk membantu dalam usaha penyergapan di telaga itu. Saya bertugas mengamati dan memata-matai telaga itu sampai Menteri Liang muncul. Akan tetapi, sebelum menteri itu muncul, secara tak disangka-sangka, saya terlibat dalam perkelahian yang disebabkan oleh... oleh murid Lo-jin sendiri."



Iblis buta itu mendengus. "Hemm, kau maksudkan Thian Sin Bu?"



"Benar, Lo-jin. Ketika saya sedang melakukan pengintaian, di pantai telaga saya melihat Sim-sicu sedang berkelahi melawan seorang gadis yang amat lihai. Karena saya melihat murid Lo-jin itu terdesak, saya lalu muncul dan membantunya, menotok roboh gadis itu. Akan tetapi tiba-tiba muncul Shan-tung Lo-kiam dan saya lalu berkelahi melawan jago pedang itu sedangkan murid Lo-jin pergi melarikan gadis yang sudah roboh tertotok itu! Karena ditinggal sendiri, terpaksa saya juga melarikan diri karena Lo-kiam itu lihai sekali. Kalau saja Sim-sicu tidak muncul berkelahi dengan gadis itu, atau kalau saja dia tidak pergi meninggalkan saya dan melarikan gadis itu, tentu kami berdua akan dapat menjatuhkan Shan-tung Lo-kiam den keadaan akan menjadi lain."



"Hemmm...!" Terpaksa Siangkoan Lo-jin tidak jadi marah kepada orang Hwa-I Kai-pang itu karena ternyata muridnya sendiri yang menjadi biang keladi kegagalan usaha itu. "Ci Kang, engkau hendak ke mana?" Tiba-tiba kakek buta itu menegur ketika telinganya menangkap gerakan orang ke pintu. Dia mengenal gerakan puteranya yang ringan dan menegur.



Akan tetapi Ci Kang sudah tiba di luar tempat itu dan terdengar jawaban-nya dari luar, "Ayah, aku mau mencari angin segar." Dan diapun sudah jauh sekali sehingga ayahnya tidak sempat lagi untuk mencegahnya. Siangkoan Lo-jin me-ngenal keanehan watak puteranya maka diapun lalu melanjutkan percakapannya dengan tiga orang tokoh Cap-sha-kui itu.



"Sudahlah, kegagalan membunuh Men-teri Liang biar menjadi pelajaran baik bagi kalian semua. Lain kali kita dapat mencari jalan lain untuk melenyapkan-nya. Sekarang yang penting bagaimana melaksanakan tugas kedua. Lo-mo dan Lo-bo, bukankah kalian sudah mempunyai rencana untuk membunuh jenderal itu?"



"Sudahlah, Lo-jin. Kami akan melaksana-kannya sebaik mungkin, dibantu oleh Ular Betina ini."



"Dalam melaksanakan tugasku, biarpun kalian membantu, telah mengalami kega-galan. Kalau aku membantu kalian sam-pai berhasil, lain kali kalian harus mem-bantuku pula sampai aku berhasil mem-bunuh menteri itu." Kiu-bwe Coa-li mengomel.



Demikianlah, seperti diceritakan di bagian depan, Siangkoan Ci Kang ternya-ta melakukan pengejaran terhadap murid ayahnya. Biarpun murid ayahnya itu jauh lebih tua dari padanya, namun Sim Thian Bu termasuk murid terakhir sehingga me-nyebut suheng kepadanya. Dia sudah tahu akan kejahatan Thian Bu, sudah mende-ngar bahwa sutenya itu adalah seorang jai-hwa-cat keji. Ingin dia mempergoki sutenya dan menghajarnya, akan tetapi Thian Bu yang cerdik itu selalu dapat lo-los den merahasiakan kejahatannya. Kini, mendengar betapa sutenya telah melari-kan seorang gadis, dia menjadi marah dan segera melakukan pengejaran. Dia tentu saja dapat menduga ke mana sute-nya membawa pergi gadis culikannya i-tu. Ke mana lagi kalau bukan ke dalam guha rahasia tempat persembunyian ayahnya? Hanya di sanalah tempat aman ba-gi sutenya itu untuk melakukan segala macam kejahatan tanpa diketahui orang!



Dan ternyata dugaannya memang be-nar. Dan dia datang pada saat yang te-pat. Kalau Sim Thian Bu tidak berniat memperisteri Sui Cin dan melakukan bujukan-bujukan dan ancaman-ancaman, melainkan langsung saja diperksanya seperti yang biasa dia lakukan, tentu kedatangan Ci Kang terlambat dan gadis itu telah ternoda, mungkin jejaknya telah disingkirkan oleh Thian Bu yang licik. Kemudian, setelah menyelamatkan Sui Cin dan mengusir sutenya sehabis menghajarnya babak belur, Ci Kang duduk sendirian di dalam guha itu sambil termenung. Hatinya semakin sakit den menyesal sekali. Perbuatan keji dari sutenya tadi mengingatkan dia bahwa pria amat cabul den keji itu adalah sutenya, murid ayahnya den bahwa ayahnya adalah seorang gembong penjahat yang kini menjadi antek pemerintah yang lalim. Sedih hatinya. Dia sudah banyak membaca tentang pembesar-pembesar lalim yang mempergunakan penjahat-penjahat, dan dia selalu menganggap, betapa jahatnya pembesar seperti itu dan betapa rendah dan hinanya penjahat yang menjadi anteknya. Akan tetapi kini dia dihadapkan kenyataan bahwa ayah kandungnya sendiri menjadi penjahat antek pembesar lalim! Siapa yang takkan hancur dan sedih hatinya?



Baru setelah guha itu mulai gelap, tanda bahwa senja telah mendatang, Ci Kang keluar dari dalam guha, menutupi lagi mulut guha dengan semak belukar, kemudian melangkah pergi dengan gontai dan hilang semangat. Pemuda ini semakin murung dan wajahnya semakin dingin.



***



"Haiii... nona...! Perlahan dulu, nona...!"



Sui Cin sudah tahu bahwa ada seorang pemuda berlari-lari mengejarnya, bahkan dara ini sudah tahu pula siapa pemuda itu. Akan tetapi ia pura-pura tidak dengar atau tidak perduli, melainkan melanjutkan perjalanannya menunggang kuda kecilnya dengan santai. Ia bahkan tidak memegang kendali kuda, dibiarkan kudanya berjalan seenaknya dan ia melindungi kepalanya dengan sebuah payung yang dikembangkan dan dipanggulnya. Iapun duduk miring di atas punggung kuda-nya, seenaknya sambil menikmati keindahan pemandangan alam pegunungan di se-kitarnya. Jalan itu kasar den sunyi, sinar matahari membakar panas, maka terasa nyaman berlindung di bawah payung.



"Prak-plok-prak-plok-prak...!" Suara kaki kuda berirama dan nyaring karena kuda itu mengenakan sepatu atau tapal kaki baru.



Hui Song merasa penasaran sekali. Dari jauh dia mengenal gadis berpayung menunggang kuda itu. Siapa lagi kalau bukan gadis yang pernah membuatnya tak mampu tidur nyenyak, gadis yang mem-buatnya tergila-gila, gadis perkasa yang pernah membantunya ketika dia dikeroyok oleh tiga orang tokoh Cap-sha-kui yang bernama Tho-tee-kui, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo? Maka dia lalu lari mengejar dan bukan main girangnya melihat kenyataan bahwa dugaannya memang benar, terutama sekali karena se-karang gadis itu tidak membalapkan kuda kecil yang lihai itu untuk meninggalkan-nya.



Seperti kita ketahui, Sui Cin telah terlepas dari malapetaka ketika ia terculik Sim Thian Bu dan tortolong oleh Siangkoan Ci Kang. Setelah pergi, ia la-lu kembali ke dusun di mana ia menitipkan kudanya, dan kini ia melakukan per-jalanan berkuda dengan niat pulang ke selatan, ke tempat tinggal orang tuanya di Pulau Teratai Merah. Sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa ia berte-mu dengan Hui Song di tengah perjalanan, atau lebih tepat tersusul oleh pemu-da itu. Ia sengaja membiarkan kudanya berjalan terus dan kini dengan napas agak terengah-engah Hui Song berjalan di se-belah kanan kuda itu sambil tersenyum menoleh dan memandang wajah di bawah payung itu. Sejenak kedua mata pemuda itu terbelalak keheranan, akan tetapi dia lalu tersenyum lagi dan nampak gembira sekali.



"Huh, apa maksudmu teriak-teriak se-perti orang kesurupan dan lari-lari se-perti orang dikejar setan?" Sui Cin me-negur sambil tersenyum mengejek.



"Aku tidak kesurupan, memang gila, tergila-gila dan aku bukan dikejar setan melainkan dikejar ketakjuban. Sungguh tak pernah kusangka sebelumnya bahwa yang bernama Sui Cin adalah seorang gadis yang cantik jelitanya melebihi semua bidadari di kahyangan!"



Kedua pipi itu menjadi merah, dan mata itu mengeluarkan sinar berapi. Entah mana yang lebih besar dan yang lebih memerahkan pipi, kemarahan ataukah kebanggaan mendengar pujian itu. Juga ia merasa terkejut karena ternyata Hui Song dapat menduga bahwa ia adalah Sui Cin si "pemuda jembel" itu. Kini tidak perlu berpura-pura lagi.



"Hemm, baru sekarang engkau tahu?" pancingnya. Ia tidak menghentiken kudanya dan terpaksa Hui Song berjalan-jalan di samping kuda itu yang kelihatan tidak senang kerena ada orang yang mengganggu ketenangannya di tempat sunyi indah itu.



"Memang baru sekarang! Wah, kalau aku tahu sejak dulu..."



"Lalu mau apa?"



"Tidak apa-apa. Sungguh engkau pandai sekali menyamar dan kau bilang mempunyai seorang cici."



"Akulah cicinya!"



"Ha-ha, dan engkau adiknya pula, pe-muda jembel yang membagi-bagi uang kepada para jembel lain. Sungguh luar biasa! Dan engkau menjanjikan kepadaku untuk memperkenalkan aku kepada cici-mu. Nah, sekarang perkenalkan. Kau tahu namaku, akan tetapi apakah namamu ju-ga masih sama? Sui Cin?"



Sui Cin mengangguk. "Eh, bagaimana engkau tiba-tiba saja dapat menduga bahwa aku adalah pemuda jembel itu pula?"



"Nanti dulu, apakah engkau begitu ke-jam membiarkan aku berjalan-jalan ber-sama kudamu yang mempunyai empat ka-ki sedangkan aku hanya mempunyai dua kaki?"



"Hemm, engkaupun boleh mengguna-kan kedua tanganmu sebagai kaki!"



"Sialan! Kau suruh aku merangkak?"



"Kalau kau mau!"



"Sudahlah, kasihanilah padaku. Aku capek dan kepanasan, mari kita berhenti dulu di bawah pohon sana itu, tempatnya teduh dan di situ banyak rumput. Kalau engkau tidak kesihan padaku, sedikitnya engkau kasihan kepada kudamu dan membiarkan dia istirahat dan makan rumput."



Sui Cin tak membantah lagi, lalu menepuk bahu kudanya yang segera membelok ke kiri menuju ke arah pohon rin-dang. Di sini ia turun, menutup payung-nya dan membiarkan kudanya makan rumput sedangkan ia sendiri duduk di a-tas akar pohon yang menonjol di atas tanah, berhadapan dengan pemuda itu. Sejenak mereka saling berpandangan dan sekali ini Hui Song yang menundukkan mukanya karena malu akan tetapi juga girang sekali.



"Nah, engkau belum menjawab pertanyaanku tadi."



"Mengenalimu? Mudah sekali. Ketika aku melihatmu dari jauh, aku segera teringat akan encinya Sui Cin, gadis yang pernah membantuku melawan tiga orang tokoh Cap-sha-kui

itu, maka aku mengejarnya. Begitu tiba di dekat kuda dan melihat wajahmu, aku terkejut dan segera timbul keyakinan di hatiku bahwa engkau adalah Sui Cin pemuda jembel itu."



"Hemm, mengapa begitu yakin? Bagaimana kalau aku encinya?"



"Memang mungkin ada persamaan antara seorang enci dan seorang adiknya, akan tetapi sinar mata dan senyum bibir itu tidak mungkin ada keduanya di dunia ini... eh, maaf, maksudku... aku sudah mengenal benar sinar mata dan senyum itu, jadi begitu melihatnya aku segera mengenalmu, Sui Cin. Maaf, rasanya janggal menyebutmu nona, setelah sekian lamanya menyebutmu Cin-te! Sekarang, agaknya tidak mungkin lagi menyebut Cin-te (adik laki-laki Cin), maka kusebut saja namamu."



"Memang benar, Song-ko. Aku bernama Sui Cin dan tidak mempunyai adik maupun kakak. Memang sudah menjadi kebiasaanku di waktu merantau, aku suka menyamar sebagai seorang pemuda. Kebetulan aku bertemu denganmu dalam penyamaran itu dan berkenalan, tentu saja aku terpaksa menyamar terus."



Tiba-tiba Hui Song tertawa bergelak. Sui Cin mengerutkan alisnya, merasa ditertawakan dan ia menjadi marah. "Mau apa kau tertawa-tawa seperti gila?"



Hui Song menahan ketawanya. "Aku teringat akan ceritamu tentang banci itu... ha-ha, bisa saja engkau mencari alasan mengapa engkau marah-marah ketika aku mendekatimu. Ingat ketika aku merangkulmu karena kuanggap biasa antara laki-laki dan kau marah-marah dan..."



Wajah dara itu menjadi merah sekali. "Sudahlah, tak perlu diungkit-ungkit kembali. Sekarang, mau apa sih engkau mengejarku?"



Hui Song bersikap sungguh-sungguh walaupun kini wajahnya cerah dan gembira sekali.

Memang harus diakuinya bahwa sejak berpisah dari Sui Cin si pemuda jembel, dia merasa kehilangan dan kesepian. "Sebenarnya aku tidak mengejarmu, melainkan mencari jejak Sui Cin pemuda itu."



"Mau apa?"



Hui Song tersenyum malu-malu. "Pertama... eh, untuk bertanya bagaimana dia tidak muncul di pantai telaga, dan kedua... anu... aku ingin menagih janji karena dia berjanji hendak memperkenalkan aku kepada encinya."



"Mata keranjang!"



"Bukan begitu, Sui Cin. Janji tetap janji! Sekarang katakanlah, mengapa engkau tidak muncul di pantai? Aku mendengar penuturan Shantung Lo-Kiam bahwa ada seorang gadis diculik penjahat. Entah bagaimana, aku teringat akan encinya Sui Cin, maka akupun lalu melakukan pengejaran dan pencarian. Dan ternyata aku beruntung sekali, menemukan Sui Cin sahabatku bersama encinya sekaligus. Sui Cin, benarkah engkau yang dikabarkan oleh Shantung Lo-kiam itu?"



Sui Cin mengangguk. "Benar. Aku melakukan pengamatan di pantai seperti yang telah kita rencanakan, dan karena aku sudah berpisah darimu, aku mengenakan pakaian wanita kembali agar lebih mudah mengamati. Di situ aku bertemu dengan Sim Thian Bu yang tadinya tidak kusangka seorang penjahat karena dia pernah mau ikut menghadiri pertemuan antara para pendekar tempo hari. Kiranya dia seorang jai-hwa-cat dan kami segera ber-kelahi. Aku lengah ketika muncul seorang di antara tokoh Hwa-i Kai-pang itu, yang perutnya gendut, dan aku tertotok roboh. Lalu muncul kakek itu, yang membawa yang-kim..."



"Shan-tung Lo-kiam..."



"Kakek itu menyerang si gendut dan mereka berkelahi. Aku yang sudah terto-tok lalu dilarikan oleh jahanam Sim Thian Bu. Aku dilarikan menuju ke sebuah guha tersembunyi dan... dan... si jahanam keparat itu hampir saja menggangguku!"



Hui Song mengepal tinju. "Keparat! Lalu bagaimana?"



"Untung muncul seorang pemuda... anehnya, pemuda itu adalah suheng dari Sim Thian Bu walaupun usianya paling banyak delapan belas tahun sedangkan Sim Thian Bu sudah dua puluh lima ta-hun lebih. Pemuda itu melarang, akan tetapi jahanam itu membantah dan akhirnya jahanam itu dihajar babak-belur oleh pemuda yang amat lihai itu. Kemudian aku dibebaskan dan begitu kaki tanganku bebas, tentu saja aku menyerang Sim Thian Bu yang sudah dihajar parah. Akan tetapi pemuda itu menangkit dan ternyata dia amat kuat..."



Hui Song terbelalak heran. "Nanti du-lu, apakah pemuda itu wajahnya masih amat muda akan tetapi matanya mencorong, pakaiannya sederhana den tubuhnya tinggi tegap?"



"Benar jubahnya kasar belang-belang agaknya dari kulit harimau..."



"Ah, benar dia! Menurut dugaan Shan-tung Lo-kiam, dia tentu putera Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta!"



"Apa? Datuk itu?" Sui Cin bertanya kaget. "Kalau begitu, Sim Thian Bu adalah murid Si Iblis Buta?"



"Mungkin sekali, dan itulah sebabnya dia menyebut suheng kepada pemuda itu, karena kalah tingkat."



"Tapi kalau pemuda itu putera Iblis Buta, kenapa dia menolongku dan meng-hajar sutenya sendiri?"



Hui Song termenung. "Entahlah, sung-guh teka-teki yang membingungkan."



Hening sejenak. Kemudian Sui Sin yang mulai merasa biasa berhadapan dengan Hui Song sebagai seorang wanita, bertanya, "Bagaimana dengan usahamu menyelamatkan Menteri Liang?"



"Berhasil dengan baik," katanya dan diapun lalu menceritakan bahwa dia telah menemui Menteri Liang, menceritakan semua rencana kaum penjahat dan betapa dia lalu pada saat yang ditentukan menyamar sebagai Menteri Liang dan menggantikan menteri itu pergi ke telaga. Diceritakan betapa yang muncul ada-lah Kui-kok Lo-mo, Kui-kok Lo-bo dan Kiu-bwe Coa-li yang menyerangnya akan tetapi dia dan para pengawal istimewa dapat menanggulangi, bahkan sudah hampir berhasil dibantu oleh Shan-tung Lo-kiam untuk mengalahkan mereka.



"Sayang muncul pemuda aneh itu bersama kakek kurus yang menurut dugaan Shan-tung Lo-kiam adalah Si Iblis Buta bersama puteranya. Pemuda itu lihai sekali, menggunakan panah api membakar perahu dan dia berhasil menyelamatkan tiga tokoh Cap-sha-kui itu sehingga kami tidak berhasil mencegah mereka me-loloskan diri."



Sui Cin mendengarkan dengan heran dan kagum. Sungguh tokoh muda yang menolongnya itu amat aneh. Membantu para penjahat, akan tetapi juga menen-tang kejahatan sute sendiri.



"Dan selanjutnya, apa yang akan keu-lakukan, Song-ko?"



"Masih banyak yang hendak kulaksa-nakan, akan tetapi aku ingin melakukan-nya bersamamu, Sui Cin, karena itulah maka aku mengejar dan mencarimu."



"Aku baru saja terlepas dari bencana dan aku ingin pulang, sudah terlalu lama meninggalkan ayah ibu."



"Ah, betapa inginku ikut bersamamu pergi menghadap dan berkenalan dengan orang tuamu, secara langsung bertemu muka dengan Pendekar Sadis yang nama-nya sudah kukenal sejak kecil! Akan te-tapi, tugas masih mengikatku, Sui Cin. Engkau tentu tahu bahwa keselamatan Menteri Liang masih terancam..."



"Engkau bukan pegawai negeri dan perlindungan terhadap seorang menteri dapat dilakukan oleh pasukan keamanan!"



"Engkau benar. Akan tetapi kita tahu bahwa juga Jenderal Ciang terancam. Kalau kita tidak membantu, padahal sum-ber keterangan itu dari kita, tentu pihak pemerintah aken merasa curiga akan ke-benaran berita itu. Apalagi kalau di be-lakang para penjahat itu terdapat pembe-sar yang amat berpengaruh den berkua-sa. Kita harus membongkar semua keja-hatan itu dan menentang kelaliman, be-rulah tidak percuma kita belajar silat se-jak kecil dan menjadi keturunan para pendekar."



"Uwaahhh! Agaknya engkau hendak membanggakan kedudukanmu sebagai putera pendekar, putera ketua Cin-ling-pai, ya?" Sui Cin mengejek sambil tersenyum. "Tidak demikian, adikku yang baik. Akan tetapi, kalau orang tua kita sudah berjuang sebagai pendekar dan memper-oleh nama harum, bukankah sudah menjadi kewajiban kita anak-anak mereka untuk menjunjung tinggi nama itu dengan perbuatan gagah dan baik pula? Selain itu, bukankah di lubuk hati kite sudah terdapat perasaan menentang kejahatan?"



Sui Cin mengibaskan tangan kirinya. "Sudahlah, cukup dengan kuliahmu itu. Sekarang apa kehendakmu setelah engkau bertemu denganku di sini?"



"Cin-moi, aku merasa berbahagia sekali bertemu denganmu di sini, baik sebagai pemuda jembel maupun sebagai seorang gadis. Bagaimanapun juga, di antara kita masih terdapat ikatan yang amat dekat, setidaknya ikatan saudara seperguruan. Ingat bahwa ayahmu juga merupakan seorang murid Cin-ling-pai yang amat membanggakan, dan engkaupun menguasai banyak ilmu-ilmu tingkat tinggi dari Cin-ling-pai."



"Sudahlah jangan memuji-muji, maksudmu bagaimana?"



"Kita masih saudara seperguruan, dan kita bardua sudah mengalami bersama kejahatan yang dilakukan oleh komplotan busuk antek-antek pembesar lalim itu. Maka, jika engkau tidak keberatan, Cin-moi-, marilah kita lanjutkan kerja sama ini untuk menentang mereka. Setidaknya, sampai urusan ini selesai dan aku akan menemanimu kembali ke tempat tinggal orang tuamu, memberi kesempatan kepadaku untuk belajar kenal dengan mereka."



Sui Cin termenung. Bagaimanapun juga, ia merasa suka kepada pemuda ini dan sudah menikmati perjalanan bersama yang penuh petualangan itu. Rasanya tidak enak juga kalau kini membiarkan Hui Song bekerja sendiri menempuh bahaya besar menghadapi komplotan yang lihai itu.



Akhirnya ia mengangguk. "Baiklah, aku akan membantumu sampai usaha pembunuhan terhadap Jenderal Ciang itu digagalkan."



Wajah yang cerah itu makin berseri dan sepasang mata pemuda itu bersinar-sinar ketika dia meloncat bangun dengan girang. "Wah, terima kasih, Cin-moi! Aku memang tahu bahwa engkau adalah seo-rang pendekar wanita sejati!"



"Simpan pujian-pujianmu untuk lain kali, jangan dihabiskan sekarang. Yang penting,

sekarang apa yang harus kita la-kukan?"



"Untuk sementara ini, Menteri Liang sudah dapat diselamatkan dan tentu akan selalu dikawal ketat."



"Dan kalau engkau memberi tahu kepada Jenderal Ciang lalu pembesar itu selalu dikawal pasukan-pasukan yang kuat, penjahat-penjahat itu mampu berbuat apakah? Perlu apa kita harus bersusah payah lagi, Song-ko?"



"Engkau tahu, urusan ini bukan seke-dar kejahatan biasa, melainkan komplotan yang menjadi antek dari Liu-thaikam, pembesar dalam istana yang korup dan jahat itu. Aku sudah menemui Jenderal Ciang dan beliau tidak merasa heran mendengar beritaku bahwa ada tokoh-tokoh sesat yang hendak membunuhnya, karena dia tahu betapa Liu-thaikam membenci-nya. Liu-thaikam harus ditumbangkan ke-kuasaannya, demikian kata Jenderal Ciang. Kalau tidak, pembesar keji itu akan se-makin berani dan mungkin saja kesela-matan kaisar sendiri kelak akan teran-cam oleh kejahatan Liu-thaikam dan an-tek-anteknya."



"Apa susahnya? Laporkan saja kejahatan Liu-thaikam kepada sri baginda kaisar agar dia ditangkap dan dihukum, habir perkara."



"Enak saja kau bicara, Cin-moi! Ketahuilah, menurut penuturan Jenderal Ciang, kedudukan thaikam itu amat ting-gi dan celakanya, kaisar amat percaya kepadanya. Bahkan dia merupakan orang pertama yang dipercaya sri baginda kaisar. Melaporkannya begitu saja kepada kaisar bahkan akan mencelakakan si pelapor karena kaisar tidak akan percaya. Karena itulah, maka Ciang-goanswe minta bantuan dan kerja samaku untuk menghadapi para penjahat itu, memancing mereka agar turun tangan dan kita akan menghadapi mereka sehingga tidak sampai gagal seperti ketika para penjahat menyerbu Menteri Liang. Kita harus dapat menangkap hidup-hidup agar para penjahat itu dapat membuat pengakuan di depan kaisar sebagai saksi. Hanya dengan demikian maka kaisar akan percaya betapa jahat dan palsunya kepala thaikam itu dan dapat menjatuhkan hukuman. Nah, maukah engkau membantu agar usaha penting ini berhasil?"



"Bagaimana rencana jenderal itu?"



"Ciang-goanswe diam-diam memerin-tahkan agar seorang sahabatnya yang menjadi guru silat di kota Pao-fan, merayakan hari ulang tahunnya dan mengundangnya, juga mengundang para tokoh persilatan, baik dari golongan sesat mau-pun dari golongan bersih. Sebagai seorang bekas piauwsu dan juga sebagai guru silat, tidak terlalu menyolok kalau dia memberi kesempatan kepada para tokoh silat untuk menghadiri pestanya. Akan disiarkan berita bahwa pesta itu di-hadiri oleh Jenderal Ciang sehingga komplotan itu tentu akan mendengarnya dan dapat dipastikan bahwa mereka akan turun tangan menyerang Jenderal itu di tempat pesta. Nah, di sinilah kita turun tangan pula menentang den menangkap mereka, bersama dengan pada pengawal yang diam-diam diselundupkan ke tempat itu."



"Bagus sekali, mari kita berangkat!" kata Sui Cin penuh semangat. Gadis ini memang sejak kecil suka berkelahi, apalagi berkelahi menghadapi para penjahat dan dalam urusan menentang kejahatan, ia tidak pernah mengenal takut.



Sui Cin menunggang kudanya lagi, me-makai payung karena panas matahari ma-sih menyengat. Hui Song berjalan di samping kuda, wajahnya berseri dan sema-ngatnya berkobar. Setelah kini didampingi Sui Cin, semangat pemuda ini semakin besar dan diapun tahu bahwa dia telah jatuh cinta kepada gadis ini, bahkan mungkin cintanya itu sudah bersemi ketika dia menganggap gadis ini seorang pemuda jembel.



***



Ang-kauwsu (guru silat Ang) memang mempunyai banyak kenalan. Sebelum menjadi guru silat yang tinggal di kota Pao-fan, di waktu mudanya dia pernah bakerja sebagai kepala piauwau (pengawal barang) yang cukup terkenal di kota raja. Sebagai piauwau, tentu saja dia banyak mengenal dunia hitam, mengenal para penjahat karena hal ini amat penting bagi pekerjaannya. Karena bersahabat dan suka memberi hadiah, maka para penjahat tidak akan mengganggu kiriman barang-barang di bawah bendera piauw-kiok yang dipimpinnya. Kini usianya sudah enam puluh tahun dan ketika dia diundang oleh Jenderal Ciang yang sudah dikenalnya dan diberitahu tentang komplotan yang hendak membunuhi para pembesar yang setia, dia segera menyatakan kesetiaannya untuk membantu jenderal itu menumpas para penjahat. Tentu saja hanya dengan cara mengadakan pesta ulang tahun ke enam puluh dan mengundang semua golongan sebagai pancingan agar para penjahat itu melihat kesempatan hadirnya Ciang-goanswe di situ dan berani turun tangan. Dia sendiri tidak berani mencampuri karena begitu mendengar bahwa komplotan itu terdiri dari orang-orang Cap-sha-kui, nyali guru silat ini sudah terbang dan mukanya menjadi pucat ketakutan. Siapa orangnya takkan ngeri mendengar nama Cap-sha-kui?



Berita tentang pesta ulang tahun Ang-kauwsu telah tersiar luas. Diberikan bahwa Ang-kauwsu mengadakan pesta besar-besaran dan meriah, bahkan mengundang orang-orang penting, juga Jenderal Ciang dari kota raja akan hadir dalam pesta itu. Juga diberitakan bahwa Ang-kauwsu membuka kesempatan kepada se-mua kawan di rimba raya untuk datang tanpa adanya surat undangan karena sukar menyampaikan surat undangan kepada mereka. Berita ini cukup bagi kaum se-sat bahwa Ang-kauwsu tidak melupakan mereka dan bahwa semua orang tokoh sesat akan diterima sebagai tamu ter-hormat kalau menghadiri pesta itu. Tentu saja yang dimaksudkan dengan tokoh adalah mereka yang memiliki kepandaian cukup tinggi untuk menjadi tamu kehor-matan Ang-kauwsu.



Sejak pagi pada hari yang ditentukan, ruangan besar yang merupakan tempat darurat, yaitu halaman depan rumah yang dibangun untuk tempat pesta, mulai dibanjiri tamu dari berbagai golongan. Tidaklah sukar untuk menduga siapakah tamu-tamu dari golongen bersih dan siapa pula tamu dari golongan sesat karena sebagian besar dari para kaum sesat itu bersikap kasar dan congkak, juga aneh-aneh pakaian dan sikap mereka. Karena para undangan itu terdiri dari orang-orang dari kaum persilatan, maka tidak diadakan penggolongan tempat duduk bagi wanita dan pria.



Biarpun wanita, kalau wanita kang-ouw, tidak merasa canggung duduk di antara kaum pria. Ada belasan orang wanita di antara para undangan itu yang duduknya berpencaran. Di antara mereka terdapat seorang gadis yang sikapnya menonjol karena selain wajahnya angker dan galak, juga dara ini amat cantik dan datangnya sendirian saja ke dalam pesta itu. Akan tetapi ketika ia memperkenalkan diri kepada tuan rumah sebagai seorang murid yang mewakili Cin-ling-pai, ia menjadi pusat perhatian orang di sekitarnya. Cin-ling-pai, nama yang sudah amat terkenal. Akan tetapi banyak pula yang merasa heran mengapa Cin-ling-pai diwakili oleh seorang gadis yang masih begitu muda, cantik jelita dan halus pula gerak-geriknya. Yang dapat menunjukkan bahwa ia seorang ahli silat hanyalah sepasang pedang yang tergantung di punggung dan wajahnya yang angker itu.



Dara itu berusia sembilan belas tahun, pakaiannya ringkas namun cukup mewah dan bersih, sepatunya mengkilap, wajahnya manis sekali, dengan mulut yang kecil dan dagu yang meruncing, matanya tajam galak dan rambutnya hitam dan lebat sekali, digelung ke atas merupakan sanggul yang besar dan diikat sutera kuning. Kalau rambut itu dilepas sanggulnya, mungkin panjangnya sampai ke lutut. Sepasang pedang panjang tipis melintang di kanan kiri pundak, tergantung pada punggung dan ini menambah kegagahannya. Ketika Ang-kauwsu mendengar bahwa gadis cantik ini adalah wakil Cin-ling-pai yang memberi selamat kepadanya, dia lalu mengantar tamu ini ke sebuah meja di mana telah duduk tiga orang tamu lain, dua wanita dan seorang pria yang menjadi kenalan baiknya karena mereka itu adalah keluarga piauwsu di kota Pao-fan. Dara Cin-ling-pai itu dipersilakan duduk dan gadis itu nampak lega karena memperoleh teman duduk yang cukup sopan dan yang usianya sekitar tiga puluhan, belum tua benar. Ia memperkenalkan diri sebagai Tan Siang Wi dan segera bercakap-cakap dengan tiga orang semeja itu.



Tak jauh dari meja di mana Tan Siang Wi duduk, terdapat pula tiga orang pria sedang duduk bercakap-cakap. Sukar dikatakan apakah mereka itu golongan sesat ataukan golongan bersih. Pakaian mereka cukup rapi, dan jelas menunjukkan pakaian ahli-ahli silat karena ringkas dan sikap merekapun gagah. Seorang di antara mereka sudah tua, jenggot kumis dan alisnya sudah putih namun tubuhnya masih tegap dan nampak kuat. Dua orang lainnya yang duduk di kanan kirinya berusia empat puluh tahun lebih, rambut mereka dikuncir tebal dan wajah mereka nampak gagah dengan jenggot terpelihara rapi. Akan tetapi, sikap tiga orang ini agak congkak dan hal ini dapat nampak pada pandang mata mereka yang ditujukan kepada para tamu yang hadir. Bah-kan setiap kali ada tamu datang, teruta-ma tamu yang menunjukkan bahwa mereka ini datang dari golongan hitam, me-reka bertiga bicara dan tertawa-tawa. Pandang mata mereka yang ditujukan ke-pada tamu baru itu ketika tertawa-tawa menunjukkan bahwa tentu tamu baru itu yang menjadi bahan ketawa mereka.



Demikian pula ketika Tan Siang Wi muncul, mereka berbisik-bisik dan meli-rik ke arah gadis itu, tersenyum-senyum menyeringai dengan sikap kurang ajar se-kali. Karena Siang Wi tidak mendengar apa yang mereka bicarakan, dara inipun tidak perduli. Akan tetapi setelah ia du-duk bersama tiga orang tamu dan kebe-tulan duduknya menghadap ke arah meja tiga orang itu, mulailah Siang Wi menge-rutkan alisnya. Ia melihat betapa tiga o-rang itu, terutama dua orang termuda, selalu memandang kepadanya dan sengaja mainkan mata mereka seperti lagak la-ki-laki yang hendak menggoda wanita. Tentu saja Siang Wi menjadi mendongkol dan mula-mula ia memang membuang muka saja dan tidak mau balas meman-dang. Akan tetapi, telinganya mulai da-pat menangkap percakapan mereka itu di antara berisiknya suara para tamu lain. Marahlah gadis ini.



Tan Siang Wi adalah murid tunggal dari Bin Biauw, isteri ketua Cin-ling-pai. Seperti kita ketahui, Bin Biauw atau nyo-nya Cia Kong Liang ini adalah puteri bekas datuk sesat Tung-hai-sian, seorang Bangsa Jepang. Setelah berbesan dengan ketua Cin-ling-pai, Tung-hai-sian mencu-ci tangan dan tidak lagi berkecimpung di dalam dunia sesat. Puterinya, Bin Biauw, biarpun puteri seorang datuk sesat, adalah seorang gadis yang baik sehingga dapat menjatuhkan hati Cia Kong Liang. Akan tetapi setelah kini mempunyai se-orang murid, ternyata muridnya ini sedi-kit banyak mewarisi watak Tung-hai-sian. Tan Siang Wi ini berwatak keras sekali, tidak pernah mau mengalah, agak tinggi hati dan angkuh walaupun ia selalu ber-tindak gagah dan menentang kejahatan. Selain mewarisi ilmu dari Bin Biauw, ia juga menerima petunjuk-petunjuk dan ilmu silat dari ketua Cin-ling-pai sendiri maka dapat dibayangkan betapa lihainya Siang Wi. Kelihaiannya membuat dara ini semakin tinggi hati, terutama terhadap golongan sesat yang dianggap musuhnya. Tangannya berobah ganas kalau ia berurusan dengan kaum sesat dan sedikitpun ia tidak mau mengalah atau memberi ha-ti. Maka, selama satu dua tahun saja me-masuki dunia kang-ouw, gadis ini telah dijuluki orang Toat-beng Sian-li (Dewi Pencabut Nyawa) karena ganasnya terha-dap musuh-musuhnya. Agaknya karena kenyataan yang sudah didengarnya bahwa sukongnya, yaitu Bin Mo To di Ceng-to, adalah seorang bekas datuk sesat, gadis ini hendak membuktikan kepada semua orang di dunia bahwa dia adalah murid isteri ketua Cin-ling-pai, jadi seorang pendekar, bukan orang sesat!



Terdapat kecondongan hati kita untuk selalu menutupi kekurangan dan menon-jolkan kelebihan kita. Kita selalu ingin disebut baik. Keinginan seperti ini selalu timbul karena kenyataan yang kita lihat bahwa keadaan kita adalah sebaliknya daripada baik. Hanya orang yang berkulit hitam sajalah yang selalu ingin disebut putih. Hanya orang yang bodoh sajalah yang selalu ingin dianggap pintar, dan hanya orang yang melihat betapa kotor dirinya sajalah yang selalu ingin dianggap bersih dan baik. Kita lupa bahwa justeru keinginan-keinginan untuk dianggap lain daripada kenyataan ini yang seringkali mendorong kita untuk melakukan hal-hal yang buruk dan bodoh. Kalau kita sadar akan kekotoran kita, maka kita akan ber-usaha membersihkannya, bukan dengan cara menyembunyikan atau menutupinya. Kalau kita sadar bahwa kita bersih, ma-ka kita akan menjaga agar kebersihan i-tu tidak ternoda kekotoran, bukan lalu menjadi tinggi hati dan merasa bersih dan baik sendiri karena perasaan demiki-an itu sudah menodai kebersihan itu sendiri. Mengapa kita kadang-kadang merasa ngeri untuk menghadapi dan melihat ke-nyataan apa adanya, betapa buruk dan kotor sekalipun kenyataan itu? Menutupi kenyataan, melarikan diri dari kenyataan, jelas tidak akan dapat merobah keadaan itu.



"Ha-ha-ha!" Seorang di antara tiga pria itu tertawa lagi sambil menyumpit dan makan kue yang mulai dihidangkan. Wajah mereka mulai merah oleh arak. "Agaknya Cin-ling-pai sudah kehabisan jago jantan maka mengeluarkan jago betina, heh-heh!"



Ucapan itu sebenarnya lebih merupakan kelakar di antara mereka sendiri karena diucapkan perlahan dan dimaksudkan untuk mereka dengar sendiri, dan ketiganya tertawa bergelak sambil melontarkan pandang ke arah meja Siang Wi. Akan tetapi karena mencurahkan perhatian ke arah mereka, Siang Wi dapat menangkap kata-kata itu dan marahlah gadis ini. Ia tidak mampu lagi mengendalikan dirinya dan sekali melompat, ia telah meloncati mejanya dan tahu-tahu, seperti seekor burung saja ia sudah hinggap di atas lantai dekat meja tiga orang itu!



"Kalian tadi bilang apa?" bentaknya sambil berdiri dengan kedua tangan bertolak pinggang dan mata tajam penuh kemarahan menatap mereka.



Tiga orang itu terkejut. Tak mereka sangka bahwa gadis itu akan dapat men-dengar ucapan yang menghina Cin-ling-pai tadi, juga mereka terkejut melihat gadis itu demikian gesitnya meloncati meja dan kini berdiri di depan mereka dengan sikap mengancam.



"Eh, kami bilang apa? Tidak ada sangkut-pautnya denganmu!" seorang di anta-ra mereka menjawab dan melanjutkan jepitan sumpitnya pada kue di atas pi-ring.



"Bagus! Kalian menghina Cin-ling-pai dan masih berani bilang tidak ada sang-kut-pautnya denganku? Biarpun Cin-ling-pai diwakili seorang wanita setidaknya jauh lebih gagah daripada kalian ini ban-ci-banci pengecut yang tidak berani me-ngakui perbuatannya!"



Para tamu yang duduk di sekitar tempat itu menjadi kaget dan merekapun menoleh dengan penuh perhatian dan wa-jah mereka tertarik sekali. Dalam perte-muan antara para orang-orang kang-ouw sudah lumrah apabila terjadi keributan dan perkelahian. Mereka bahkan sebagian besar mengharapkan terjadinya hal ini, karena dalam pertemuan para ahli persi-latan, terasa kurang sedap dan kurang bumbu kalau tidak terjadi keributan dan perkelahian.



Tiga orang itu sebenarnya bukan o-rang-orang sembarangan. Kakek yang ber-jenggot putih itu adalah seorang tokoh kang-ouw yang terkenal yang berjuluk Huang-ho Lo-eng (Pendekar Tua Sungai Kuning) bernama Pui Tek. Adapun dua o-rang laki-laki gagah di sampingnya adalah dua orang muridnya, juga amat ter-kenal sebagai Huang-ho Siang-houw (Se-pasang Harimau Sungai Kuning). Mereka bukan penjahat dalam arti kata memiliki pekerjaan jahat seperti perampok atau bajak, akan tetapi karena orang-orang takut kepada mereka, maka dengan mu-dah mereka memperoleh hasil dari ha-diah yang mereka terima dari para peda-gang demi keselamatan dan keamanan. Mereka adalah semacam tukang-tukang pukul yang disegani. Guru mereka, Huang-ho Lo-eng Pui Tek pernah dalam suatu perkelahian dikalahkan oleh Cia Kong Liang ketua Cin-ling-pai. Walaupun bukan merupakan permusuhan pribadi dan tidak ada dendam secara terbuka, namun kekalahan itu membuat Pui Tek mendongkol dan tidak suka kepada Cin-ling-pai, menganggap ketua Cin-ling-pai yang memang keras wataknya itu terlalu sombong. Dengan sendirinya, kedua orang muridnya juga tidak suka kepada Cin-ling-pai, maka tidak heranlah kalau mereka tadi mengeluarkan kata-kata yang nadanya tidak bersahabat terhadap Cin-ling-pai sehingga membuat Siang Wi menjadi marah sekali.



Kini, di depan meja mereka berdiri seorang gadis Cin-ling-pai yang bertolak pinggang dan memaki mereka banci pengecut di depan begitu banyak orang. Tentu saja wajah tiga orang itu menjadi merah sekali dan kemarahan mulai memenuhi hati mereka. Akan tetapi, bagaimanapun juga mengingat akan julukan Pui Tek yang masih memakai Lo-eng (Pendekar Tua), dua orang harimau itu tentu saja lebib condong merasa diri mereka pendekar dari golongan bersih daripada sebagai golongan hitam, maka ada rasa harga diri pada mereka yang membuat mereka merasa malu kalau ha-rus ribut-ribut dan berkelahi melawan se-orang gadis yang masih remaja, yang usianya tentu belum ada dua puluh tahun. Mereka adalah jagoan-jagoan di sepanjang Sungai Kuning, tentu memalukan kalau harus berkelahi melawan seorang dara remaja. Akan tetapi didiamkan sajapun tidak mungkin setelah gadis itu memaki mereka sebagai banci pengecut.



"Bocah perempuan kurang ajar, makanlah ini!" Bentak orang yang menyumpit kue itu dan sekali tangan kanan yang memegang sumpit bergerak, kue sepotong yang disumpitnya itu meluncur ke arah muka Siang Wi dengan kecepatan kilat!



"Capp!" Dara itu menggerakkan ta-ngan kanan dan menjepit ke arah kueh itu. Dengan tepat sekali telunjuk dan ja-ri tengah tangan kanannya telah menje-pit kueh itu dan ia melakukan ini sam-bil tersenyum mengejek.



"Makanlah sendiri!" Dara itu membentak dan tiba-tiba tangannya bergerak. Kueh itu meluncur cepat ke arah muka orang yang menyambit tadi. Orang itu cepat menggerakkan sumpit untuk menjepit kembali, akan tetapi begitu bertemu sumpit, kue itu hancur dan tentu saja hancuran kue itu menyambar dan mengenai muka orang itu. Ternyata sebelum membalas dengan timpukan, Siang Wi telah lebih dulu menggunakan tenaga jari tangan membikin kue itu remuk bagian dalamnya. Hancurnya kue menyerang mata, hidung dan mulut, membuat orang itu repot membersihkan mukanya sambil memaki-maki!



Orang kedua yang melihat saudaranya mendapat malu, sudah bangkit dan mem-bentak marah, "Bocah perempuan, berani kau menghina orang?" Dan sekali kepala-nya bergerak, rambut yang dikuncir te-bal itu menyambar ke depan, mengeluar-kan suara bersuitan dan memukul ke a-rah leher Siang Wi. Sungguh merupakan serangan yang aneh akan tetapi juga ber-bahaya karena thouw-cang (kuncir) yang digerakkan dengan tenaga sin-kang ini tak kalah ampuhnya dibandingkan dengan senjata keras.



Orang itu sungguh terlalu memandang rendah kepada Siang Wi maka dia berani selancang itu menyerang dengan kuncirnya. Kalau tidak begitu tentu dia tidak berani bergerak secara sembrono seperti itu.



"Wuuuuttt...!" Kuncir itu meluncur lewat ketika Siang Wi merendahkan tubuh mengelak dan begitu kuncir menyambar lewat, tangan kiri Siang Wi mencuat dan tahu-tahu kuncir itu sudah dapat dicengkeramnya! Sekali sentakan, terpaksa kepala orang itu tertunduk dan Siang Wi sudah mengangkat lututnya untuk menghajar muka orang! Tentu sedikitnya hidung orang itu akan berdarah kalau saja saudaranya tidak cepat menubruk dengan pukulan tangan ke arah punggung Siang Wi.



"Huh, pengecut curang!" bentak Siang Wi yang terpaksa melepaskan orang per-tama dengan mendorongnya mundur, ke-mudian sambil meloncat dara itu mem-balik dan menangkis pukulan orang ke-dua.



"Dukk!" Dua tenaga besar bertemu dan akibatnya, orang berjenggot itu menyeringai kesakitan dan meloncat ke be-lakang. Tak disangkanya pertemuan le-ngan itu membuat lengannya kesakitan dan seperti lumpuh saking kuatnya lengan kecil milik nona itu. Kini tahulah dua o-rang Harimau Sungai Kuning itu bahwa lawannya, biarpun wanita, biarpun masih muda sekali, ternyata memiliki ilmu kepandaian yang cukup hebat.



Kini para tamu menjadi semakin gem-bira, dan tuan rumah, yaitu Ang-kauwsu yang juga melihat pertikaian itu diam saja karena diapun ingin melihat kesudahannya. Guru silat ini juga memiliki pe-nyakit yang sama dengan orang-orang dari kalangan persilatan, yaitu suka melihat adu silat. Pula, diam-diam diapun merasa tidak senang melihat sikap para jagoan Huang-ho yang terkenal kasar dan banyak lagak itu tadi menghina utusan Cin-ling-pai. Dia mengharapkan jagoan-jagoan sombong itu menemui batunya walaupun hatinya khawatir melihat bahwa di situ terdapat pula Huang-ho Lo-eng yang dia tahu amat lihai sekali.



"Budak perempuan kurang ajar! Berani engkau menghina kami di tempat umum? Hayo cepat berlutut minta maaf kalau tidak ingin menerima hajaran kami!" ben-tak seorang di antara dua jagoan yang mukanya terkena hancuran kue tadi. Ba-gaimanapun juga, dia dan kawannya ma-sih sungkan melawan seorang gadis, apa-lagi sekarang mereka berdua telah memegang senjata andalan mereka, yaitu sebatang tombak besar gagang panjang. Kalau dara itu mau minta maaf, berarti muka mereka telah tercuci, atau kalau dara itu tetap hendak melawan, berarti mereka sudah memberi kesempatan kepa-danya untuk minta maaf.



Seorang seperti Siang Wi, mana me-ngenal minta maaf? Hatinya terlalu ke-ras untuk mau mengalah, apalagi terhadap orang-orang yang sudah berani meng-hinanya dan menghina Cin-ling-pai.



Ia tersenyum mengejek dan mukanya menjadi semakin dingin, sepasang mata-nya mengeluarkan sinar kilat. "Dua mo-nyet busuk, dengarlah baik-baik. Kalian yang telah menghina Cin-ling-pai dan kalau kalian kini berlutut minta ampun, barulah nonamu hendak mempertimbangkan apakah kalian dapat diampunkan. Ka-lau tidak, aku akan menghajar kalian!"



Ucapan ini sungguh amat hebat. Bu-kan hanya menantang terang-terangan di depan orang banyak itu, bahkan menghina. Mana bisa Huang-ho Siang-houw, dua jagoan itu mau menerima begitu saja?



"Bocah setan, engkau bosan hidup!" teriak seorang di antara mereka dan go-lok besar bergagang panjang itu menyam-bar dahsyat ke leher Siang Wi. Tentu sa-ja dara perkasa itu tidak sudi lehernya dibabat begitu saja. Ia cepat mengelak sambil membalikkan tubuh menendang meja di depannya. Kakek Huang-ho Lo-eng yang duduk di belakang meja itu ce-pat menghindar dengan loncatan gesit ke kanan sehingga dia tidak sampai terkena tumpahan makanan dan arak. Akan teta-pi dia bukan hanya meloncat begitu saja, melainkan cepat meraih dan dia sudah berhasil menangkap kaki meja dan mena-ruh meja itu di samping. Gerakan ini sa-ja membuktikan kecepatan dan kelihaian jago tua ini. Kini terdapat ruang agak luas bagi Siang Wi yang menghadapi dua orang lawannya. Dua orang harimau itu mulai menyerang dengan golok gagang panjang mereka. Semua orang meman-dang dengan tegang dan juga agak kha-watir karena Siang Wi tidak mau mem-pergunakan pedangnya. Dara ini tadi me-mang melolos sepasang pedangnya, akan tetapi bukan dicabut untuk melawan, me-lainkan ia letakkan di atas mejanya sen-diri agar sepasang senjata itu tidak mengganggu gerakannya, kemudian ia kembali ke hadapan dua orang lawannya, mela-wan dengan tangan kosong.



"Anak itu terlalu sembrono!"



"Terlalu sombong bisa merugikannya."



"Tapi, ia kelihatan lihai sekali."



Demikianlah para penonton saling ber-bisik melihat betapa dara itu menghadapi Huang-ho Siang-houw dengan tangan ko-song, padahal kedua orang lawan itu menggunakan senjata tajam yang berga-gang panjang. Dua orang jagoan itu sen-diri merasa kikuk dan sungkan.



"Bocah gila, hayo pergunakan pedangmu!" bentak mereka.



"Melawan dua ekor monyet tua ma-cam kalian tidak perlu pakai pedang!" jawab Siang Wi

yang memang tinggi ha-ti.



Dua orang itu tak dapat lagi menahan kemarahan hati mereka. Keduanya lalu menyerang dengan golok mereka. Senjata itu mengeluarkan suara bercuitan dan berdesing-desing, dan terbentuk dua gu-lungan sinar lebar yang menyambar-nyambar. Akan tetapi, para tamu menjadi be-ngong ketika mereka melihat betapa da-ra itu menggerakkan tubuhnya dan se-perti seekor burung walet saja gesitnya beterbangan di antara sambaran kedua golok itu! Bukan main indahnya gerakan dara itu dan tak terasa lagi keluar puji-an dari mulut para tamu yang sudah tinggi ilmunya.



Hui Song dan Sui Cin baru saja menyelinap ke dalam rombongan tamu, me-milih tempat di sudut. Mereka mempergunakan kesempatan selagi keadaan men-jadi kacau karena perkelahian itu, di mana semua tamu mencurahkan perhatiannya ke arah perkelahian untuk menyelinap masuk dan tanpa menemui tuan ru-mah mereka sudah mengambil tempat duduk di sudut yang agak tersembunyi o-leh satu di antara tiang-tiang penyangga bangunan darurat itu. Mereka juga terta-rik menonton ke arah perkelahian.



"Hemm, berani benar gadis itu meng-hadapi pengeroyokan dua orang lawan yang bersenjata panjang dengan tangan kosong saja." kata Sui Cin setelah meli-hat dengan teliti dan mendapat kenyata-an bahwa dua orang bersenjata golok panjang itu tak boleh dipandang ringan.



"Sumoi takkan kalah," kata Hui Song lirih dan Sui Cin terkejut.



"Sumoimu...?" Ia memandang lebih te-liti dan kini iapun mengenal gerakan ka-ki dan tangan gadis itu, walaupun ka-dang-kadang gerakan itu berobah aneh. Masih ada dasar-dasar ilmu silat Cin-ling-pai dalam gerakan silat gadis itu, akan tetapi sudah bercampur dengan il-mu silat lain yang tidak dikenalnya. Me-mang sesungguhnyalah. Setelah menikah dengan Cia Kong Liang, Bin Biauw men-dapat banyak petunjuk dari suaminya dan iapun mempelajari dasar-dasar ilmu silat Cin-ling-pai yang kokoh kuat. Maka, ketika ia melatih Siang Wi, tentu saja dasar-dasar ilmu silat Cin-ling-pai juga diajarkan, bahkan Siang Wi juga menerima gemblengan dari ketua Cin-ling-pai sendiri.



"Ya, namanya Tan Siang Wi," jawab Hui Song sederhana. Dia tidak merasa girang bertemu dengan sumoinya. Pemuda ini tahu benar bahwa sumoinya itu sudah sejak lama sekali menaruh perhatian ke-padanya dan dalam sikap dan gerak-ge-rik dara yang pendiam itu terdapat tanda-tanda bahwa Siang Wi mencintanya. Hal inilah yang membuat dia merasa ti-dak enak kalau bertemu dengan sumoinya. Diapun menyayang sumoinya ini, a-kan tetapi sumoinya berwatak keras, ter-lalu berani dan agak angkuh. Dia tidak mencinta sumoinya, maka merasa sema-kin tidak enak setelah tahu bahwa sumoinya itu jatuh cinta kepadanya.



"Hemm, ia cantik dan gagah!" Sui Cin memuji. Memang gadis itu manis sekali, terutama pinggangnya amat ramping.



"Ya, tapi keras hati dan galak."



Sui Cin menahan senyum dan menger-ling ke arah wajah pemuda itu, akan te-tapi Hui Song tidak sedang bergurau me-lainkan memandang ke arah perkelahian dengan wajah serius dan tegang. Bagai-manapun juga, memang Sui Cin benar. Terlalu sembrono menghadapi dua lawan tangguh yang bersenjata panjang itu de-ngan tangan kosong.



"Haaaiiiittt...!" Tiba-tiba Siang Wi memekik, tangan kanan memukul gagang tombak lawan yang menyerang dari kanan sedangkan kaki kiri mendahului lawan kedua, menendang ke arah dada.



"Bukk... plakkk!" Lawan pertama terpental goloknya sedangkan lawan kedua tidak mampu menghindar. Serangan atau gerakan Siang Wi memang hebat, seperti seekor burung rajawali mementang sayap, kedua lengannya berkembang dan kaki kirinya menendang ke depan selagi tubuhnya masih melayang. Orang yang kena tendang dadanya itu terbanting roboh dan sebelum orang kedua hilang kagetnya, kaki kanan menggantikan kaki kiri yang turun untuk menyambar ke depan.



"Desss...!" Orang kedua juga terbanting karena perutnya dicium ujung sepatu Siang Wi.



Dua orang itu meringis kesakitan dan merayap bangun, sementara itu Huang-ho Lo-eng yang melihat betapa dua orang muridnya dirobohkan seorang gadis muda, mukanya berobah merah sekali. Dia sudah bangkit berdiri, mengebutkan ujung jubahnya dan melangkah maju menghampiri Siang Wi. Akan tetapi sebelum guru dan dua orang muridnya ini sempat bicara atau bergerak, tiba-tiba muncul seorang pemuda tampan yang segera menghadapi tiga orang itu sambil menjura.



"Sam-wi-eng-hiong, saya mewakili tuan rumah menyampaikan permohonan maaf, harap sam-wi menyudahi urusan ini sampai di sini agar tidak mengganggu jalannya pesta." Kemudian pemuda itu membalik dan menghadapi Siang Wi sambil menjura pula, "Nona, harap suka mundur dan mengakhiri keributan ini." Tanpa setahu orang, pemuda itu berkedip. Sejenak Siang Wi terbelalak. Tentu saja dia mengenal suhengnya! Akan tetapi sebeium dia menegur, Hui Song mengedipkan ma-ta, dan Siang Wi yang cukup cerdik itu maklum bahwa suhengnya tidak ingin di-kenal orang. Maka iapun mengangguk dan kembali ke mejanya, menggantung kembali siang-kiamnya di punggung dan du-duk tenang, bersikap seperti tidak pernah terjadi apa-apa.



Tentu saja Huang-ho Lo-eng masih penasaran. Dua orang muridnya diroboh-kan seorang anak perempuan di tempat pesta, hal ini sungguh amat menyakitkan hati dan menjatuhkan pula martabat dan nama besarnya, maka dia harus turun ta-ngan membersihkan noda itu. Akan teta-pi, kini muncul pemuda yang mewakili tuan rumah minta agar keributan jangan dilanjutkan. Selagi kakek ini merasa ser-ba salah, tiba-tiba terdengar seruan di luar.



"Paduka Jenderal Ciang telah tiba...!"



Mendengar ini, semua orang menengok keluar dan Ang-kauwsu sendiri bersama beberapa orang penyambut bergegas lari keluar untuk menyambut datangnya tamu agung ini. Seorang jenderal adalah seorang perwira yang berpangkat tinggi, apa lagi datang dari kota raja, maka tentu saja merupakan seorang tamu agung yang paling terhormat.



Hui Song dan Sui Cin sudah duduk kembali dan mereka berdua menandang penuh kewaspadaan. Seperti sudah mere-ka rencanakan ketika keduanya pergi menghadap Jenderal Ciang, mereka ber-dua bersama belasan orang pengawal pilihan menyelundup ke tempat pesta dan akan berjaga-jaga kalau ada orang mela-kukan serangan gelap. Sementara itu sang jenderal sendiri datang dikawal enam o-rang pengawal pilihan yang dipercaya. A-gaknya belum puas dengan semua ini, Jenderal Ciang juga mengenakan lapisan baja di balik baju kebesarannya sehingga tubuhnya akan kebal terhadap serangan senjata tajam.



Saat yang sudah dinanti-nantikan ba-nyak orang ini tiba! Tentu saja terjadi ketegangan hebat di dalam dada mereka yang memiliki kepentingan dengan keda-tangan jenderal ini. Seperti telah mereka sepakati, Sui Cin memasang mata memandang ke kiri dan Hui Song ke kanan, siap untuk turun tangan kalau melihat orang yang hendak melakukan serangan gelap kepada jenderal itu. Tadipun mereka sudah memasang mata mencari-cari, akan tetapi mereka tidak melihat adanya tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang mereka kenal, walaupun ada beberapa orang dari Hwa-i Kai-pang mereka lihat menyelinap dalam pakaian biasa atau menyamar sebagai orang biasa, bukan pengemis. Mereka merasa yakin bahwa di antara banyak tamu itu terdapat tokoh-tokoh kaum sesat yang lihai.



Akan tetapi, tidak terjadi sesuatu ketika jenderal itu datang sampai diantar oleh tuan rumah menuju ke kursi kehormatan di panggung yang agak tinggi. Sementara itu, Siang Wi yang tadi memandang ke arah suhengnya, merasa heran dan alisnya berkerut ketika ia melihat suhengnya berbisik-bisik dengan seorang gadis yang cantik jelita! Mereka berbisik-bisik demikian akrabnya dan perasaan tidak senang memenuhi hati gadis yang jatuh cinta ini. Perasaan cemburu membakar dadanya dan biarpun tadi ia mengerti akan isyarat suhengnya dan iapun berdiam diri, kini perasaan cemburu membuat ia cepat bangkit berdiri, meninggalkan teman-teman semeja dan langsung saja menghampiri Hui Song dan Sui Cin yang duduk di sudut, di belakang tiang.



"Suheng, siapakah ia ini?" tanyanya menuding ke arah muka Sui Cin dengan alis berkerut dan mulut cemberut mata menantang.



"Ssttt... diamlah, sumoi..." Hui Song berbisik kaget, lalu menarik tangan sumoinya sehingga gadis itu terduduk di kursi kosong dekatnya. "Kau ikut menjaga keselamatan jenderal itu, jangan banyak tanya..."



"Tapi... tapi siapa perempuan ini...?" Siang Wi masih berbisik dan matanya mengerling ke arah Sui Cin dengan wajah membayangkan ketidakpuasan.



"Diam kau, cerewet!" Sui Cin balas menghardik dengan suara berbisik. Siang Wi terkejut setengah mati dan mukanya menjadi pucat lalu merah seperti dibakar. Hatinya panas mendengar ada orang berani bersikap seperti itu menghardiknya dengan kasar. Tentu saja ia hendak membalas akan tetapi pada saat itu terdengar ledakan-ledakan keras dan apipun berkobar!



"Kebakaran! Kebakaran...!" Para tamu menjadi panik dan semua orang bangkit berdiri, ada yang mulai lari ke sana-sini, berdesak-desakan dan keadaan menjadi semakin kacau-balau ketika terjadi perkelahian di sana-sini.



Sui Cin dan Hui Song sudah meloncat ke tengah, mendekati Jenderal Chiang. Ternyata para pengawal sudah mulai berkelahi melawan beberapa orang di antara tamu dan kini dari luar bermunculan tokoh-tokoh Cap-sha-kui! Sui Cin mengenal Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, Kiu-bwee Coa-li, Kui-kok Lo-mo, Kui-kok Lo-bo dan Tho-tee-kwi. Mereka ini tadi menerjang maju seperti berlomba hendak membunuh Jenderal Ciang. Akan tetapi para pengawal, baik yang enam orang maupun yang belasan orang yang penyamar, menyambut mereka. Betapapun juga, saking lihainya para penyerang, masih ada senjeta rahasia menyambar dan mengenai dada sang jenderal, akan tetapi karena pembesar itu memakai perisai di balik bajunya, senjata itu mental kembali. Sebelum para penyerang yang jumlahnya ada dua puluh orang itu dapat mengepung sang jenderal, Hui Song, Sui Cin dan diikuti pula oleh Siang Wi sudah tiba di situ.



Hui Song dan Sui Cin yang bertangan kosong mengamuk melindungi Jenderal Ciang yang juga sudah mencabut pedang panjangnya.



"Goanswe, mari keluar!" Hui Song berteriak sambil menggandeng tangan jenderal itu dengan tangan kirinya. "Sui Cin, engkau di sebelah kirinya." Dara itupun menggamit tangan kiri jenderal itu dengan tangan kanannya.



"Sumoi, kaulindungi kami keluar!" teriak pula Hui Song kepada sumoinya. Siang Wi tidak tahu apa yang terjadi, akan tetapi dengan patuh ia mentaati perintah suhengnya. Ia mencabut sepasang pedangnya melindungi mereka berdua yang berusaha untuk membawa Jen-deral Ciang keluar dari tempat itu.



Akan tetapi, Huang-ho Lo-eng sudah meloncat menghadapi Siang Wi. "Hemm, bocah sombong, sekarang tiba saatnya a-ku membalas kekalahan dua muridku!" katanya dan kakek ini menerjang ke de-pan.



Melihat ini, Hui Song menjadi marah. Kakek ini tidak perduli akan keributan dan hanya mengingat keperluan sendiri saja, keperluan dendam! Demikian pula Sui Cin juga marah melihat lagak kakek ini. Mereka berdua seperti telah bersepa-kat saja, tiba-tiba menerjang maju dan menampar ke arah Huang-ho Lo-eng. Ka-kek itu terkejut ketika merasa ada angin menyambar dari kanan kiri, maklum bah-wa dia diserang oleh dua orang secara hebat sekali.



"Uhhhh!" Dia mengerahkan tenaga ke dalam dua lengannya dan menangkis sambil mendorong.



"Desss...!" Akibatnya, tubuh kakek itu terjengkang dan menimpa meja kursi. Dia memandang dengan bengong, melongo melihat bahwa yang merobohkan dia ada-lab seorang pemuda dan seorang gadis lain yang kini kembali menggamit Jende-ral Ciang untuk keluar, dilindungi oleh Siang Wi yang memutar sepasang pedangnya. Beberapa orang penjahat, agaknya anggauta Hek-i Kai-pang karena di antaranya terdapat Bhe Hok si gendut, hen-dak mencegah Hui Song membawa jende-ral itu keluar. Siang Wi menyerang me-reka dan dara inipun dikeroyok.



Maklum akan besarnya bahaya bagi sang jenderal kalau tidak cepat-cepat ke-luar, Hui Song dan Sui Cin cepat mena-rik tangan jenderal itu menyelinap di an-tara banyak orang, menangkis semua se-rangan dan akhirnya merekapun berhasil keluar. Setelah tiba di luar, Jenderal Ciang mengeluarkan terompet dan ditiup-nya terompet itu berkali-kali. Bagaikan datangnya air bah, bermunculanlah barisan pendam yang memang sudah sejak ta-di dipasang oleh jenderal yang berpenga-laman itu di sekeliling tempat itu dan tempat itupun sudah terkurung rapat!



Jenderal Ciang dengan dikawal oleh Hui Song dan Sui Cin, kini berdiri di atas batu besar, berteriak dengan suara lan-tang, "Hentikan semua perkelahian di dalam! Semua penyerbu agar menyerah!"



Akan tetapi, para penjahat yang tadi menyerbu dan hendak membunuh jenderal itu, malah semakin mengamuk karena mereka merasa penasaran sekali bahwa rencana yang sudah mereka atur dengan rapi itu menemui kegagalan. Dan karena tempat itu penuh dengan orang-orang du-nia persilatan, maka begitu terjadi per-tempuran, orang-orang itupun banyak pu-la yang terseret dan berkelahi sendiri! Tentu saja orang-orang dari golongan sesat membantu rekan-rekan mereka tan-pa mereka ketahui sebab-sebab perkelahi-an, dan orang-orang yang merasa dirinya pendekar atau yang menentang kaum se-sat segera pula melawan mereka. Hal ini membuat tokoh-tokoh lihai seperti Cap-sha-kui itu memperoleh kesempatan ba-nyak untuk merobohkan dan membunuh orang.



"Kalian sudah dikepung ratusan orang pasukan! Kalau tidak menyerah dan melempar senjata, akan diambil tindakan kekerasan!" Kembali terdengar suara jen-deral itu.



Ketika para tokoh sesat yang meng-amuk di dalam itu tidak mau juga men-taati perintahnya, Jenderal Ciang lalu mengeluarkan aba-aba memerintahkan pasukannya menyerbu ke dalam. Hui Song, Sui Cin, dan Siang Wi juga ikut menyerbu bersama pasukan karena Hui Song ingin menangkap hidup-hidup bebe-rapa orang tokoh sesat untuk dijadikan saksi tentang pengkhianatan Liu Kim atau Liu-thaikam.



Ketika para perajurit menyerbu, sua-sana menjadi semakin kacau dan geger. Dan pada saat itu, terdengar suara me-lengking panjang dari luar tempat pesta yang berobah menjadi tempat pertempur-an itu. Suara lengkingan panjang dari luar ini disusul oleh ledakan-ledakan ben-da yang dilempar dari luar. Begitu mele-dak, benda-benda yang dilempar dari luar itu mengeluarkan asap hitam yang tebal sehingga suasana menjadi semakin kacau.



"Cepat lolos dari atas...!" Terdengar teriakan suara yang nyaring, mengatasi suara kegaduhan itu. Mendengar seruan ini, enam orang tokoh Cap-sha-kui berloncatan naik ke atas atap yang sudah dibuka dari atas.



Hui Song, Sui Cin dan Siang Wi melihat pula hal ini dan melihat bahwa di atas berdiri bayangan dua orang, seorang kakek tinggi kurus bertongkat den seorang pemuda tinggi tegap. Pemuda itulah yang membantu enam orang Cap-sha-kui lolos dengan menyambar tangan mereka dan menariknya ke atas setelah mereka itu berloncatan dan hampir tidak mencapai tempat yang amat tinggi itu. Apalagi atap itu adalah atap darurat terbuat dari bambu sehingga tidak begitu kuat dan ada bahayanya mereka akan terjeblos lagi ke bawah. Untung ada pemuda itu yang menyambut mereka den menarik mereka keluar.



"Kejar...!" Hui Song yang merasa penasaran itu lalu berlompatan keluar diiringkan sumoinya den Sui Cin dan dari luar mereka lalu berloncatan naik ke atas atap, Hui Song tidak begitu bodoh untuk menyusul naik dari lubang atap itu selagi musuh-musuh yang lihai itu berada di luar lubang karena tentu mereka itu akan mudah menyambutnya dengan serangan berbahaya.



Ketika tiga orang muda perkasa itu tiba di atas atap, sebagian dari tokoh-tokoh Cap-sha-kui berloncatan ke atas genteng rumah-rumah lain, sedangkan di atas atap itu masih terdapat kekek kurus, pemuda itu dan Kiu-bwe Coa-li bersama ketua Kui-san-kok dan isterinya.



"Penjahat-penjahat keji, kalian hendak lari ke mana?" Hui Song membentak den segera menyerang ke arah pemuda tinggi tegap itu.



"Kau...? Kau seorang tokoh sesat...?" Sui Cin juga berseru ketika ia mengenal pemuda itu sebagai pemuda yang pernah menyelamatkannya dari malapetaka ketika ia akan diperkosa Sim Thian Bu. Akan tetapi ia hanya meloncat mendekat, tidak berani menyerang seperti yang dilakukan Hui Song.



Sementara itu, Siang Wi juga sudah mencabut sepasang pedangya kembali dan menyerang Kiu-bwe Coa-li. "Sing-... singg... tarrr...!" Sepasang pedang yang menyambar-nyambar itu tertahan oleh ledakan pecut ekor sembilan di tangan nenek ular yang lihai itu.



Sementara itu, pemuda yang ternyata adalah Siangkoan Ci Kang, menyambut serangan Hui Song dengan tenang, menangkisnya dari samping.



"Dukk!" Tangkisan itu tepat menyambut pukulan Hui Song dan akibatnya, keduanya terjeblos ke dalam atap yang menjadi jebol di bawah kaki mereka! Hui Song terkejut bukan main dan cepat melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik beberapa kali baru dia dapat mencegah tubuhnya terjatub ke bawah, ke dalam ruangan di mana masih terjadi pertempuran. Dan ketika Siangkoan Ci Kang terjeblos dan tubuhnya terjatuh ke bawah, tiba-tiba saja kakek tinggi kurus itu menggerakkan tongkatnya dan tongkat itu dapat mengait kaki pemuda itu dan menempelnya sehingga pemuda itu terhindar dari jatuh ke bawah.



Bukan main cepatnya gerakan kakek tinggi kurus itu ketika tiba-tiba dia menggerakkan tongkat lagi. Tongkatnya menyelonong di antara Kiu-bwe Coa-li dan Siang Wi dan ketika sebatang pedang di tangan kiri Siang Wi bertemu tongkat, gadis ini berteriak kaget karena ada getaran, hebat membuat tangannya hampir saja melepaskan pedang. Terpaksa iapun melangkah mundur dan kesempatan ini dipergunakan oleh kakek itu untuk berseru, "Kita pergi!"



Hui Song menahan napas dan tidak mau mengejar ketika melihat kakek tinggi kurus, pemuda perkasa, Kiu-bwe Coa-li dan sepasang suami isteri Kui-san-kok itu berloncatan pergi. Dia tahu betapa lihainya mereka itu, terutama pemuda dan kakek tinggi kurus. Mereka berdua itu ditambah tiga orang tokoh Cap-sha-kui sungguh merupakan lawan yang terlalu berat bagi dia, Sui Cin dan Siang Wi. Juga Sui Cin diam saja karena ia masih tertegun melihat betapa pemuda yang pernah menyelamatkannya itu ternyata adalah seorang tokoh sesat dan agaknya tepat seperto yang pernah diceritakan Hui Song kepadanya. Kakek tinggi kurus yang matanya terbuka tanpa berkedip itu tentulah yang bernama Siangkoan Lo-jin alias Si Iblis Buta dan pemuda itu tentulah puteranya.



Akan tetapi Siang Wi yang sudah hilang kagetnya, melihat mereka melarikan diri, segera berseru, "Iblis-iblis busuk, kalian hendak lari ke mana?" Dan iapun meloncat ke depan dan melakukan pengejaran.



"Sumoi, jangan kejar...!" Hui Song berseru sambil meloncat ke depan untuk mencegah sumoinya. Mendengar suara suhengnya yang setengah membentak, Siang Wi terkejut dan menahan kakinya. Pada saat itu, serombongan perajurit yang berada di bawah melepaskan anak panah ke arah para penjahat yang melarikan diri. Akan tetapi, mereka itu hanya mengebutkan tangan dan semua anak panah runtuh ke bawah! Sebentar saja, para penjahat itu telah berhasil meloloskan diri. Dengan bantuan pemuda itu dan ayahnya yang buta, kembali enam orang tokoh Cap-sha-kui dapat lolos dari kepungan pasukan yang kuat!



Hui Song merasa kecewa, akan tetapi dia teringat bahwa di bawah masih terdapat banyak penjahat, terutama orang-orang Hwa-i Kai-pang yang menyamar. Merekapun dapat dijadikan saksi, pikirnya, maka dia lalu mengajak Sui Cin dan Siang Wi untuk kembali ke dalam ruangan di mana masih terjadi pertempuran hebat.



Akan tetapi, tanpa adanya para tokoh Cap-sha-kui, akhirnya para penjahat itu dapat dirobohkan dan ditangkap. Sui Cin, Hui Song dan Siang Wi masing-masing berhasil menangkap seorang penjahat anggauta Hwa-i Kai-pang, bahkan Hui Song menotok roboh Bhe Hok, tokoh Hwa-i Kai-pang gendut bertongkat yang cukup lihai itu. Sui Cin juga menampar seorang anggauta Hwa-i Kai-pang sehingga roboh pingsan dan Siang Wi yang berpedang itu merobohkan seorang tokoh sesat dengan membacok pahanya sampai hampir buntung.



Jenderal Ciang memerintahkan agar semua tawanan itu dikumpulkan untuk dibawa ke kota raja. Gerobak-gerobak tawanan dipersiapkan dan semua tawanan, kecuali Bhe Hok si gendut, dijebloskan ke dalam gerobak-gerobak kerangkeng dengan dibelenggu kaki tangan mereka. Hui Song yang menemui Jenderal Ciang dan minta agar tawanan yang satu ini tidak dimasukkan gerobak kerangkeng, melainkan hendak dikawalnya sendiri ke kota raja. Usul ini timbul dalam hati Hui Song ketika membayangkan kemungkinan tokoh sesat akan berusaha membebaskan para tawanan. Padahal, para tawanan itu merupakan saksi-saksi penting sekali, terutama Bhe Hok yang tahu akan semua persekutuan busuk di istana, seperti yang pernah dia dengar bersama Sui Cin ketika di gedung Hwa-i Kai-pang diadakan pertemuan dan percakapan antara para tokohnya, termasuk Bhe Hok itu.



"Sumoi, kalau engkau lebih dahulu pergi ke Cin-ling-san, tolong beritahukan ayah bahwa setelah selesai urusan di kota raja, aku akan pergi berkunjung ke Pulau Teratai Merah, baru akan pulang ke Cin-ling-san." Hui Song berkata kepada sumoinya. Wajah yang manis itu nampak semakin keruh dan matanya mengerling ke arah Sui Cin. Ia belum tahu siapa adanya dara yang bersama suhengnya ini, akan tetapi dari pertempuran tadi ia melihat bahwa Sui Cin adalah seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian tinggi pula.



"Akan tetapi, aku..." Ia merasa sungkan dan malu untuk menyatakan keinginannya agar dapat selalu bersama suhengnya.



"Engkau pergilah lebih dulu dan aku akan menyelesaikan tugas kami berdua yang sudah melibatkan diri kami sejak lama."



Kembali Siang Wi memandang kepada Sui Cin dengan alis berkerut. Hui Song cukup mengenal watak sumoinya dan ia kini tahu pula betapa hati sumoinya tidak senang karena dia melakukan perjalanan berdua dengan seorang gadis lain.



"Sumoi, engkau belum berkenalan. Nona ini adalah nona Ceng Sui Cin, puteri dari Pendekar Sadis Ceng Thian Sin."



Sepasang mata itu terbelalak, akan tetapi lalu menyipit kembali dan sang alisnya berkerut lebih dalam, wajah-nya dibayangi kekhawatiran yang lebih besar. Kiranya gadis cantik dan lihai ini adalah puteri pendekar yang namanya sudah amat dikenalnya itu. Sungguh merupakan saingan yang amat kuat! Akan tetapi, sebagai murid isteri ketua Cin-ling-pai, iapun cukup tahu akan peraturan, maka cepat ia menjura ke arah Sui Cin.



"Kiranya enci adalah puteri Ceng-locianpwe yang terkenal itu. Maaf kalau aku bersikap

kurang hormat karena belum mengenalmu."



Sui Cin tertawa geli dan mengibaskan tangannya. "Wah, sudahlah, di antara kita tidak perlu banyak memakai sungkan-sungkan lagi."



Hui Song juga tersenyum, lega melihat sikap Siang Wi yang menghormat dan geli melihat sikap wajar Sui Cin. Diapun tertawa. "Sumoi, nona Ceng ini baru berusia enam belas tahun, jadi, sebaiknya kalau engkau menyebutnya adik, bukan enci."



Setelah berpamit dari sumoinya dan juga dari Jenderal Ciang yang sibuk mengatur sendiri pasukannya membawa para tawanan, Hui Song lalu mengajak Sui Cin pergi sambil menggiring si gendut Bhe Hok pergi ke kota raja melalui jalan memotong. Sui Cin tetap menunggang kudanya, Bhe Hok berjalan di belakang kuda dan Hui Song berjalan di belakangnya. Sui Cin dan Hui Song tidak merasa khawatir kalau-kalau tawanan itu akan lari atau akan memberontak karena Hui Song sudah monotok jalan darah di kedua pundaknya yang membuat kedua lengan si gendut itu tidak dapat digerakkan lagi, tergantung lumpuh di kanan kiri tubuhnya.



***



Hui Song dan Sui Cin membawa tawanan itu ke markas Jenderal Ciang begitu mereka tiba di kota raja dengan selamat. Para perwira di markas itu sudah mengenal Hui Song, maka mereka me-nyambut pemuda itu dan dengan gembira mendengarkan penuturan Hui Song ten-tang peristiwa pertempuran di rumah Ang-kauwsu. Si gendut Bhe Hok dimasuk-kan delam kamar tahanan dan dijaga de-ngan ketat. Sesuai dengan permintaan Hui Song, si gendut yang menjadi tawan-an penting ini diperlakukan dengan baik. Hui Song sendiri mengancam bahwa kalau si gendut tidak mau membuat pengakuan di depan kaisar nanti apabila dibutuhkan, dia akan disiksa. "Terutama, engkau akan -dibiarkan kelaparan sampai satu bulan la-manya, akan tetapi kalau engkau mengaku, aku akan mintakan ampun untukmu, dan engkau akan mendapatkan makan enak, mungkin dibebaskan."



Tidak ada siksaan yang lebih menakutkan bagi si gendut Bhe Hok daripada ke-laparan! Baginya, makan enak sekenyang-nya merupakan kenikmatan nomor satu di dunia dan tanpa itu, hidup tidak ada ar-tinya lagi. Maka, mendengar ancaman Hui Song itu, dia sudah mengangguk-angguk seperti burung kakak tua diberi hidangan.



Kemudian, tepat seperti yang sudah dikhawatirkan oleh Hui Song, datang berita mengejutkan bahwa pasukan Jenderal Ciang yang membawa rombongan tawanan menuju ke kota raja, di tengah perjalanan pada senja hari itu telah dihadang dan diserang oleh gerombolan penjahat, namun sebagian besar para tawanan dapat dibebaskan oleh para penyerang, sedangkan yang tidak dapat dibebaskan, telah kedapatan mati di dalam gerobak masing-masing! Tidak ada sisa seorangpun! Ternyata para penjahat yang lihai itu telah membunuh teman-teman sendiri yang tertawan, tentu dengan maksud agar tawanan-tawanan itu tidak sampai membocorkan rahasia. Rahasia besar bahwa Liu-thaikam yang berada di balik semua kejahatan ini!



Begitu memasuki benteng dengan wa-jah muram, Jenderal Ciang lalu menemui Hui Song dan hatinya menjadi lega mendengar bahwa Bhe Hok, satu-satunya ta-wanan yang tinggal, kini sudah aman berada di dalam kamar tahanan.



"Harus dijaga keras agar dia jangan sampai mendengar bahwa tidak ada tawanan lain kecuali dia, bahwa dialah satu-satunya saksi di depan sri baginda kaisar." kata jenderal itu kepada Hui Song. "Kalau dia mendengar akan nasib para tawanan yang tidak sempat dibebaskan, tentu dia akan ketakutan den tidak mau mengaku."



Hui Song lalu mendatangi Bhe Hok. Dengan sikap tenang dan wajar dia menanyakan bagaimana perlakuan para penjaga tahanan terhadap dirinya. "Engkau adalah tawananku, maka akulah yang bertanggung jawab atas dirimu. Tawanan-tawanan lain yang ditawan oleh pasukan dipisahkan dan keadaan mereka tidaklah begitu menyenangkan dibandingkan dengan keadaanmu."



"Apakah... apakah Hwa-i Lo-eng juga... tertangkap?" Bhe Hok bertanya dengan penuh keinginan tahu.



Hui Song sudah mendengar berita mengejutkan lain bahwa ketua Hwa-i Kai-pang itu ternyata telah kedapatan tewas di dalam gedung perkumpulan itu, tidak lama setelah rombongan Jenderal Ciang tiba. Dan dia tahu apa artinya itu. Agaknya para tokoh jahat, tentu saja atas perintah Liu-thaikam, telah melakukan persiapan agar rahasianya tidak terbuka, dengan jalan membunuhi semua tawanan, juga ketua Hwa-i Kai-pang dibunuh agar pemerintah tidak akan menangkap dan memaksanya mengaku!



"Dia? Tentu saja dia ditangkap karena anak buahnya banyak yang terlibat. Akan tetapi, pemeriksaan akan dilakukan secara terpisah dan satu-satu. Maka engkau tidak perlu khawatir, mengakulah saja seperti apa adanya. Kalau engkau menyesali pengkhianatanmu dan mengaku terus terang tentang persekongkolan di bawah pimpinan Liu-thaikam, tentu engkau akan mendapat keringanan."



"Apa? Apa... Liu-thaikam...? Aku tidak... tidak mengerti..."



Hui Song tersenyum. "Ah, tidak perlu engkau berpura-pura lagi. Kami sudah mendengar semua tentang persekutuan itu, tentang bagaimana Hwa-i Kai-pang dipergunakan oleh Liu-thaikam, juga tentang Cap-sha-kui menjadi antek-antek pembesar itu di bawah pimpinan seorang datuk yang bernama Siangkoan Lo-jin berjuluk Iblis Buta. Kami sudah tahu semua, dan engkau hanya tinggal membuat pengakuan saja sejujurnya. Ingat, kalau engkau membohong dan tidak mau mengaku, kamipun sudah mengetahui persoalannya dan akibatnya engkau akan disiksa."



Bhe Hok mengangguk-angguk meyakinkan sehingga legalah hati Hui Song. Pengakuan si gendut ini di depan sri baginda kaisar berarti berhasilnya tugasnya membongkar persekutuan jahat di dalam istana yang dikepalai oleh Liu-thaikam.



Sementara itu, Jenderal Ciang mengadakan hubungan dengan dua orang menteri yang pandai dan yang termasuk sebagai menteri-menteri setia yang juga dianggap sebagai saingan dan ditentang oleh Liu-thaikam. Mereka adalah Menteri Ting Hoo dan Cang Ku Ceng. Di dalam sejarah tercatat bahwa dua orang menteri ini kelak akan menjadi pembantu-pembantu yang amat setia dan pandai dari Kaisar Cia Ceng pengganti Kaisar Ceng Tek. Jenderal Ciang mengadakan perundingan dengan dua orang menteri ini dan pada keesokan harinya, dengan usaha kedua orang menteri ini, sri baginda kaisar berkenan menerima Jenderal Ciang yang diikuti pula oleh Menteri Liang dan kedua orang menteri Ting dan Cang itu.



Tentu saja sri baginda kaisar menjadi terkejut sekali ketika mendengar pelaporan Jenderal Ciang tentang persekutuan yang hendak membunuh Menteri Liang dan Jenderal Ciang apalagi ketika dengan terus terang jenderal itu mengatakan bahwa persekutuan itu dipimpin oleh Liu-thaikam sendiri!



"Mustahil!" Sri baginda kaisar berseru sambil menepuk lengan kursi. "Dia adalah seorang pembantuku yang paling setia. Dan apa sebabnya dia hendak membunuh kalian berdua? Tentu ada permusuhan pribadi!"



Ketika mendengar betapa kaisar agaknya malah berpihak kepada thaikam itu, Jenderal Ciang menjadi pucat wajahnya. Menteri Liang yang berlutut itu lalu berkata, "Mohon beribu ampun, sri baginda. Sesungguhnya, tidak terdapat permusuhan apapun antara hamba dan Liu-thaikam, akan tetapi sebenarnya dia menganggap hamba dan Jenderal Ciang dan banyak hamba paduka yang lain sebagai saingannya karena hamba sekalian tidak mau tunduk kepadanya. Itulah sebabnya mengapa dia hendak membunuh hamba."



"Dan sudah banyak pembesar dibunuhnya, sri baginda. Dia tidak segan-segan mempergunakan para penjahat sebagai antek-anteknya. Ketika hendak membunuh Menteri Liang dan hamba, dia malah memperalat datuk-datuk sesat seperti Cap-sha-kui, dan juga mempergunakan orang-orang Hwa-i Kai-pang yang juga ikut bersekongkol dan menjadi anteknya."



Alis Sri Baginda Kaisar Ceng Tek berkerut, hatinya tidak senang. "Jenderal Ciang, kami tahu bahwa engkau adalah seorang jenderal yang gagah dan setia, dan juga Menteri Liang adalah seorang menteri lama yang setia. Tahukah kalian betapa hebat dan berbahayanya semua cerita kalian ini? Kalau tidak benar, ini merupakan fitnah yang akan dapat membuat kalian terpaksa harus dihukum seberat-beratnya!"



"Hamba bersedia dihukum kalau pelaporan hamba tidak benar, sri baginda!" kata sang jenderal.



"Hamba juga bersedia menyerahkan nyawa kalau hamba menjatuhkan fitnah kepada siapapun juga," sambung Menteri Liang dengan suara tegas. Mulailah Kaisar Ceng Tek merasa bimbang. Sebetulnya, sudah lama banyak pembesar yang mencoba untuk menyadarkannya akan kepalsuan Liu-thaikam, akan tetapi karena thaikam itu selalu bersikap baik dan menyenangkan hatinya, juga karena tidak pernah ada bukti penyelewengannya, kaisar merasa terlalu sayang kepada pembantu itu untuk melakukan penyelidikan secara mendalam. Pula, kaisar yang masih amat muda itu, baru sembilan belas tahun usianya, merasa banyak dibantu oleh Liu-thaikam. Sewaktu dia melakukan perjalanan keluar dari istana secara diam-diam, thaikam itulah yang membantunya, dan urusan dalam istana dapat diselesaikan semua oleh thaikam itu dengan baik, "Bagaimana kalian dapat memastikan bahwa laporan kalian ini bukan fitnah belaka?" kaisar mendesak.



"Penyerangan terhadap Menteri Liang di telaga disaksikan banyak orang, dan penyerangan terhadap hamba di dalam pesta Ang-kauwsu lebih banyak saksinya," jawab Jenderal Ciang.



"Kalian adalah pejabat-pejabat pemerintah. Tidak aneh kalau dimusuhi oleh kaum penjahat. Akan tetapi apa buktinya bahwa Liu-thaikam yang berdiri di bela-kang semua itu?"



Inilah pertanyaan yang dinanti-nanti o-leh Jenderal Ciang. Dengan suara lan-tang namun tetap hormat dia menjawab. "Sri baginda, hamba telah menangkapi sebagian dari para penjahat, akan tetapi ketika hamba menggiring para penjahat itu ke kota raja, di tengah perjalanan para datuk sesat menghadang, merampas tawanan dan membunuh mereka yang ti-dak dapat mereka rampas. Akan tetapi, masih ada seorang tokoh Hwa-i Kai-pang yang berhasil hamba bawa sebagai saksi. Kalau paduka berkenan, hamba dapat menyuruhnya membuat pengakuan di depan paduka." Jenderal itu berhenti sebentar, kemudian menyambung, "Selain itu, juga hamba dibantu oleh seorang pendekar muda yang pernah menyelamatkan paduka ketika paduka diserang oleh orang-orang Kang-jiu-pang, yaitu putera ketua Cin-ling-pai bersama seorang te-mannya, pendekar wanita Ceng Sui Cin."



"Hemm, bawa mereka semua mengha-dap!" Kaisar memerintah, Jenderal Ciang lalu memberi isyarat kepada para penja-ga di luar dan tak lama kemudian muncul Hui Song dan Sui Cin mengiring-kan Bhe Hok sebagai tawanan. Mereka menjatuhkan diri berlutut dan tubuh Bhe Hok gemetar ketakutan.



Jenderal Ciang memperkenalkan dua orang muda pendekar itu dan kaisar masih ingat kepada Hui Song yang gagah. "Hai, engkau orang muda yang gagah perkasa itu! Urusan apalagi yang membawa-mu terlibat dan kini dihadapkan di siin?" Kaisar menegur, suaranya ramah.



"Ampun, sri baginda. Hamba melihat persekutuan busuk mengancam para pem-besar setia, dan kerena persekutuan itu membahayakan pula keselamatan paduka, maka hamba berdua nona Ceng ini mem-bantu Jenderal Ciang untuk membuka rahasia ini dan menghaturkannya kepada paduka."



Kaisar teringat lagi akan tuduhan terhadap thaikam yang disayangnya, maka alisnya berkerut lagi, hatinya kesal dan diapun berkata kepada Jenderal Ciang. "Nah, suruhlah saksi bercerita. Awas, kalau dia berbohong, kalian semua takkan bebas dari hukuman!"



Ucapan kaisar itu untuk mengancam mereka yang memusuhi Liu-thaikam, a-kan tetapi malah membuat si gendut Bhe Hok semakin ketakutan dan tidak berani berbohong. Dia berlutut dan tidak berani berkutik sampai dihardik oleh Jenderal Ciang.



"Penjahat Bhe, lekas membuat peng-akuan apa adanya dan jangan berbohong."



"Hamba... hamba bernama Bhe Hok dan hamba menjadi seorang di antara para pembantu Hwa-i Lo-eng ketua Hwa-i Kai-pang. Bersama rekan-rekan dari Cap-sha-kui, hamba menjadi anggauta kelompok yang dipimpin oleh Siangkoan Lo-jin dan hamba semua bekerja untuk Liu-taijin. Hamba menerima tugas untuk membantu tokoh-tokoh Cap-sha-kui, per-tama-tama untuk membunuh Menteri Liang, kemudian membunuh Jenderal Ciang. Hamba membuat pengakuan sebenarnya, berani disumpah dan berani mempertanggungjawabkan kebenaran pengaku-an hamba."



Wajah kaisar sudah menjadi merah sekali. Haruskah dia mempercaya pengakuan seorang penjahat macam ini? "Tangkap dan seret ketua Hwa-i Kai-pang ke sini!" bentaknya.



"Ampun sri baginda. Hwa-i Lo-eng telah dibunuh oleh tokoh-tokoh sesat, mungkin karena mereka takut kalau-kalau ketua Hwa-i Kai-pang itu akan mem-buat pengakuan dan membuka rahasia kejahatan Liu-thaikam."



"Hemm, kalau begitu tangkap dan bawa Liu-thaikam ke sini!" perintah kaisar.



"Hamba akan melaksanakan perintah paduka. Akan tetapi tanpa adanya leng--ki (bendera tanda utusan kaisar), tentu dia tidak akan percaya dan akan melawan.



"Nih, bawa tanda dari kami!" Berkata demikian kaisar muda itu melepaskan pedangnya dan menyerahkan pedang itu kepada Jenderal Ciang. Benda itu adalah pusaka tanda kekuasaan kaisar, maka tentu saja sudah merupakan bukti kekua-saan yang cukup. Dengan girang sekali Jenderal Ciang menerima pedang, kemu-dian membawa pasukan pengawal pergi menuju ke gedung tempat tinggal Liu-thaikam dan menangkapnya. Melihat pe-dang di tangan jenderal itu, Liu-thaikam tidak berkutik lagi dan dengan muka pu-cat tak lama kemudian dia sudah menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki kaisar.



"Mohon paduka sudi mengampuni se-mua kesalahan hamba, akan tetapi sung-guh hamba merasa terkejut sekali mene-rima panggilan paduka seperti ini. Apa-kah yang telah terjadi? Apakah yang dapat hamba lakukan untuk paduka?" Thaikam kami itu hanya pura-pura saja tentunya. Dia sudah mendengar akan semua yang telah terjadi, akan kegagalan-kegagalan para anteknya dan dialah yang memerintahkan agar semua tokoh Hwa-i Kai-pang dibunuh, dan para tawanan yang tidak sempat dibebaskan juga dibunuh. Biarpun demikian, hatinya masih selalu dalam keadaan was-was maka dia sudah bersiap untuk melarikan diri, walaupun dia masih percaya akan pengaruhnya terhadap kaisar. Kedatangan Jenderal Ciang yang menangkapnya sama sekali tidak disangkanya.



"Orang she Liu, apakah yang telah kaulakukan selama ini? Mengapa engkau memperalat orang-orang jahat dan menyuruh orang-orang jahat mencoba untuk membunuh Menteri Liang dan Jenderal Ciang?" Kaisar membentak.



Dengan mimik muka yang pandai, thaikam itu terbelalak dan memprotes dengan sikap wajar orang yang merasa difitnah. "Ampun, sri baginda! Itu sama sekali tidak benar! Hamba telah difitnah orang! Banyak sekali orang yang merasa iri dan ingin menjatuhkan hamba karena paduka telah melimpahkan kepercayaan yang besar kepada hamba. Ini merupakan fitnah penasaran! Hamba berani bersumpah bahwa hamba setia terhadap paduka sampai mati!"



"Hemm, setia dan memelihara penjahat-penjahat sebagai kaki tanganmu?"



"Tidak, sama sekali tidak benar. Hamba bersumpah..."



"Apakah persekutuan penjahat-penjahat Hwa-i Kai-pang dan Cap-sha-kui yang dipimpin oleh datuk bernama Siangkoan Lo-jin itu bukan antek-antekmu?"



"Tidak, hamba sama sekali tidak pernah mendengar nama-nama itu, hamba tidak mengenalnya. Memang hamba merasa tidak suka kepada Menteri Liang dan Jenderal Ciang karena hamba melihat bahwa mereka itu menentang paduka, tidak taat..."



Kaisar menghardiknya dan berkata kepada Bhe Hok. "Hai, kamu! Katakan apakah ini orangnya yang memimpin seluruh persekutuan busuk itu!"



Bhe Hok memandang kepada Liu-thaikam dengan muka pucat. Tadi dia mendengar betapa Hwa-i Lo-eng sudah dibunuh dan sekarang tinggal dia agaknya yang harus berani menjadi saksi. Akan tetapi dia tadi sudah mengucapkan pengakuannya, tidak mungkin mengingkarinya kembali, maka diapun berkata dengan suara gemetar, "Benar, sri baginda. Dia adalah Liu-taijin yang dibantu oleh kelompok hamba semua..."



Liu-thaikam menengok dan begitu melihat wajah Bhe Hok, dia terkejut dan marah bukan main. "Kau... kau...!" Bentaknya sambil menudingkan telunjuknya. "Engkau pengkhianat busuk! Berani engkau membawa-bawa namaku di sini? Akan kusuruh cincang hancur kepalamu..."



"Cukup!" Kaisar membentak. "Tangkap pengkhianat ini dan seret ke pengadilan tinggi!"



Para pengawal maju dan menangkap Liu-thaikam yang berteriak-teriak dan meronta-ronta, memaki-maki Bhe Hok, Menteri Liang, Jenderal Ciang dan akhirnya memaki-maki kaisar pula sehingga para pengawal membungkam mulutnya dan menyeretnya keluar.



Dengan wajah murung lalu mengucapkan terima kasihnya kepada Jenderal Ciang, Menteri Liang, juga kepada Hui Song dan Sui Cin, kemudian kaisar membubarkan persidangan darurat itu.



Pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepada Liu-thaikam dan ketika diadakan pemeriksaan dan penggeledahan, kaisar sendiri tertegun melihat tumpukan harta hasil korupsi dan penindasan yang dilakukan bekas pembantunya yang tadinya amat disayang dan dipercayanya itu. Harta benda yang ditumpuk oleh Liu Kim atau Liu-thaikam itu sungguh amat besar jumlahnya. Menurut catatan sejarah, emas dan perak yang didapatkan sebanyak 251.583.600 tail, batu permata sebanyak sepuluh kilo lebih, dua stel pakaian perang dari emas, 500 piring emas, 300 pasang gelang dan cincin emas, 4000 ikat pinggang emas permata. Dan istananya di kota raja bahkan melebihi kemewahan istana kaisar sendiri! Memang luar biasa sekali penumpukan harta yang dilakukan oleh Liu-thaikam melalui korupsi dan penindasannya itu. Tiada keduanya dalam sejarah. Kerakusannya dalam hal menumpuk harta sukar dicari bandingannya dan menjadi buah bibir rakyat sampai sepanjang sejarah. Padahal, sebelum menjadi thaikam, Liu Kim adalah seorang anak dari keluarga yang miskin dan rendah.



Setelah komplotan itu berhasil dibongkar, barulah Kaisar Ceng Tek menjadi panik dan kaisar ini lalu melakukan pembersihen di antara para pejabat tinggi. Juga dia memerintahkan Jenderal Ciang untuk mengerahkan pasukan membasmi para penjahat yang tadinya menjadi antek Liu-thaikam. Hwa-i Kai-pang diserbu, para anggautanya ditangkap dan dihukum, gedungnya dirampas pemerintah. Akan tetapi tidak mudah bagi Jenderal Ciang untuk dapat mencari tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang bergerak seperti setan. Dengan tertangkapnya Liu-thaikam dan hancurnya komplotan itu, berulah pemerintahan Kaisar Ceng Tek yang muda itu menjadi bersih dan barulah kaisar muda itu mulai memperhatikan roda pemerintahan.



***



Pemuda itu menangis sampai tersedu-sedu sambil berlutut. Dia mengepal tinju dan ingin dia meraung-raung, akan tetapi ditahannya sehingga dia hanya tersedu dan terisak. Laki-laki setengah tua yang duduk bersila di depannya membuka mata memandang dan menghela napas panjang, lalu berkata dengan suara halus namun mengandung wibawa.



"Hentikan tangismu, hapus air matamu. Tidak layak membiarkan perasaan dipengaruhi pikiran menimbulkan kelemahan. Tidak ada gunanya semua itu."



Pemuda itu berhenti terisak dan mengusap air matanya dengan ujung lengan baju, lalu dia memandang wajah ayahnya dengan sinar mata penuh tanya dan penasaran. Pemuda itu adalah Cia Sun, sedangkan yang bersila di depannya adalah ayahnya, Cia Han Tiong. Baru saja Cia Sun pulang ke Lembah Naga setelah melakukan perantauan ke selatan. Ketika pagi hari itu dia tiba di lembah, dia merasa heran mengapa keadaan demikian sunyinya dan mengapa pula pandang mata para petani gunung kepadanya demikian ganjil den penuh rasa iba. Hetinya merasa tidak enak dan dia menghampiri seorang kakek petani dan bertanya mengapa mereka memandangnya seperti itu.



"Kakek Phoa, aku adalah Cia Sun, apakah kakek dan saudara sekalian telah lupa? Ha-ha, baru saja aku pergi merantau setahun dan kalian memandangku seperti aku ini orang asing bagi kalian."



Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat beberapa orang petani wanita menangis dan pergi meninggalkannya. Juga kakek itu memandang kepadanya dengan mata basah air mata.



"Kakek Phoa, apakah yang telah terjadi?" Dia memegang lengan kakek itu dan bertanya dengan mata terbelalak, hatinya gelisah sekali.



Dan kakek itulah yang bercerita. Betapa orang tuanya didatangi penjahat, betapa banyak murid Pek-liong-pai tewas oleh para penjahat, juga ibunya tewas. Ibunya! Tewas di tangan orang jahat! Mendengar ibunya tewas, Cia Sun tidak menanti sampai kakek itu melanjutkan ceritanya. Dia sudah meloncat dan lari menuju ke pondok orang tuanya. Didapatkannya rumah itu sunyi dan kotor dan ketika dia masuk, ayahnya duduk bersila di dalam kamar. Ayahnya nampak menjadi tua dan kurus. Maka dia lalu menjatuhkan diri berlutut dan menangis sampai ayahnya menyuruhnya berhenti menangis.



"Ayah, siapakah yang membunuh ibu?" Hanya itu yang dapat dikatakan setelah tangisnya dihentikannya.



Ayahnya tidak menjawab, hanya memandang kepadanya. Sejenak ayah dan anak ini saling pandang.



"Anakku, apakah maksudmu dengan pertanyaan itu? Hanya sekedar ingin tahu, apakah di baliknya tersembunyi dendam sakit hati?"



Cia Sun sudah mengenal watak ayahnya, bahkan sejak kecil dia bukan hanya digembleng ilmu silat dan sastera, akan tetapi juga tentang filsafat kehidupan. Akan tetapi pada saat itu hatinya terlampau sakit dan sedih mendengar bahwa ibunya tewas oleh musuh, maka dia tidak mampu lagi mengendalikan perasaannya.



"Akan tetapi, ayah. Sebagai seorang anak, aku mendengar bahwa ibuku dibunuh orang. Apakah aku harus diam saja menerima nasib? Lalu menjadi anak macam apakah aku ini? Mana kebaktianku terhadap ibu kandungku, ayah?"



"Hemm, dengan lain kata-kata, engkau menanyakan pembunuh ibumu untuk dapat mencarinya lalu membalas dendam, membunuhnya untuk membalas sakit hatimu?"



"Bukankah hal itu sudah wajar saja, ayah? Kalau sebagai anak ibu aku tidak mencari pembunuhnya dan membalas sakit hatinya, apakah ibu tidak akan menjadi setan penasaran?"



"Cia Sun!" Ayahnya membentak dan dalam suara pendekar ini terkandung wibawa yang kuat. Nadanya bukan kemarahan, melainkan memperingatkan dan tegas sekali. "Dengarlah baik-baik, buang dulu semua nafsu yang memenuhi batinmu. Cia Sun, bukalah mata dan lihatlah. Apakah engkau mengira bahwa ibumu yang telah meninggal dunia itu kini menjadi setan penasaran yang haus darah, yang akan menyeringai kegirangan melihat anak kandungnya menjadi pembunuh? Serendah itukah engkau menilai ibumu?"



Tentu saja Cia Sun terkejut sekali dan dia mengangkat muka memandang wajah ayahnya dengan mata terbelalak. "Tidak...! Tentu saja tidak! Bukan begitu maksudku, ayah!"



"Kalau bukan begitu maksudmu, maka jangan membawa-bawa nama ibumu jika engkau berniat membunuh orang! Apa yang akan kaulakukan itu tidak ada sangkut-pautnya dengan ibumu, melainkan keluar dari gejolak batinmu yang diracuni dendam kebencian! Engkau hanya akan menodai dan mengotorkan jiwa ibumu kalau engkau menyeret ibumu ke dalam alam pikiranmu yang penuh dendam kebencian itu."



Getaran dalam suara ayahnya meredakan kemarahan yang tadi berkobar di dalam batin Cia Sun. Sejenak dia termenung, diam-diam mengakui bahwa memang kemarahannya itu timbul karena dia merasa kehilangan ibunya yang tercinta, jadi dialah yang sakit hati, dialah yang mendendam karena orang merenggutkan sesuatu yang mendatangkan rasa senang di hatinya.



"Baiklah, ayah. Akan kucoba untuk mengerti apa yang ayah maksudkan. Akan tetapi apakah yang telah terjadi? Apakah kesalahan ibu maka ia sampai dibunuh orang?"



Cia Han Tiong menarik napas panjang. "Dendam... dendam... balas-membalas, baik membalas budi maupun membalas sakit hati, dendam dan kebencian telah mengotorkan batin manusia dan membuat dunia menjadi sekeruh ini. Mereka datang karena dendam kepada keluarga kita, dendam kepada kakekmu dan kamilah yang menerima akibatnya. Mereka datang menyebar maut karena dendam, ibumu dan belasan orang muridku menjadi korban. Nah, bagaimana pendapatmu tentang mereka itu, anakku? Bukankah mereka itu merupakan orang-orang tersesat yang mabok dendam kebencian yang hanya ingin memuaskan nafsu kebencian hati mereka saja dengan melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang sama sekali tidak mereka kenal?"



Cia Sun mengepal tinju dan mengangguk. "Mereka itu orang-orang jahat!" jawabnya.



"Bagus!" kata ayahnya. "Dan sekarang engkaupun ingin menjadi seperti mereka, hendak mencari orang-orang yang tidak kaukenal untuk kaubunuh hanya untuk memuaskan nafsu kebencianmu?"



Cia Sun terkejut, tak mengira bahwa ke situ maksud ayahnya. "Tapi, ibu telah mereka bunuh, juga para suheng!"



"Rasa penasaran dalam pemikiran seperti itulah yang menimbulkan dendam mendendam

dan bunuh-membunuh, menciptakan lingkaran setan dari mata rantai karma. Apakah engkau menghendaki dirimu terikat oleh rantai itu, sampai ke cucumu, terbelenggu rantai karma, terus-menerus dicekam dendam balas-membelas tiada akhirnya? Mata rantai itu kini berada di tanganmu, mau kaupatahkan ataukah mau kausambung, terserah kepadamu. Kalau engkau hendak menyambungnya, engkau mendendam, mencari pembunuh ibu dan para suhengmu, kemudian engkau membunuh mereka. Apakah kaukira sudah selesai sampai di situ saja? Kalau murid atau keturunan mereka mempunyai batin yang sama denganmu, merekapun akan mendendam dan akhirnya mencarimu untuk membalas dendam kepada muridmu atau keturunanmu. Terus-menerus begitu, tiada habisnya. Sebaliknya, kalau engkau hendak membebaskan diri dari lingkaran setan karma itu, engkau diam dan menghapus dendam sekarang juga dan rantai belenggu itupun patah."



Cia Sun termenung, lalu menarik napas panjang. "Ayah, dari ajaran ayah yang lalu, aku dapat mengerti akan penjelasan ayah tadi. Akan tetapi bagaimanapun juga, aku yang masih muda ini, hanyalah seorang manusia biasa ayah, yang tidak terlepas dari perasaan senang susah malu marah dan takut. Menghadapi kematian ibu dan para suheng seperti ini, melihat orang-orang menyebar maut di dalam keluarga kita, bagaimana mungkin aku melupakannya dan mendiamkannya begitu saja?"



"Andaikata engkau berada di sini ketika peristiwa itu terjadi dan engkau membela ibumu dan suheng-suhengmu, seperti yang kulakukan juga, hal itu adalah wajar. Akan tetapi, menanam kebencian dalam hati merupakan racun bagi batin sendiri, anakku."



"Biarkan aku melihat kenyataan yang tumbuh dalam batin sendiri, ayah. Harap ayah suka

menceritakan bagaimana peristiwa ini dapat terjadi, bagaimana asal mulanya."



"Mereka yang datang menyerbu itu berjuluk Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo. Mereka adalah cucu murid dari mendiang mendiang Hek-hiat Mo-li, seorang datuk sesat yang dahulu tewas di tangan kakekmu. Mereka berdua datang jauh dari negeri Sailan untuk mencari mendiang ayah Cia Sin Liong, untuk membalas den-dam. Akan tetapi karena ayah yang mereka cari-cari telah meninggal dunia, mereka lalu menimpakan dendam mereka kepada keturunan ayah yaitu aku seke-luarga. Dan dalam perkelahian itu, para suhengmu dan ibumu jatuh sebagai kor-ban dan tewas."



"Dan kedua iblis itu?"



"Mereka telah pergi dalam keadaan luka."



"Tapi kenapa mereka tidak membunuh ayah? Bukankah ayah merupakan musuh utama, sebagai putera kong-kong? Meng-apa mereka hanya membunuh ibu dan pa-ra suheng, dan melepaskan ayah?"



Cia Han Tiong menghela napas. "Mereka tidak mampu melakukan hal itu ka-rena mereka terluka olehku dan tidak mampu melawan lagi."



Cia Sun memandang dengan mata terbelalak. "Ayah telah mengalahkan mereka?"



Ayahnya mengangguk. "Mereka itu lihai bukan mainm akan tetapi aku berhasil mengalahkan mereka."



"Dan melukai mereka?"



"Kalau mereka kalah dan terluka... bagaimana mereka dapat lolos dan pergi dari sini?"



"Aku telah melepaskan mereka dan membiarkan mereka pergi."



"Apa?" Cia Sun terlonjak berdiri, me-mandang kepada ayahnya dengan muka pucat. "Ayah telah mengalahkan dan melukai mereka, akan tetapi ayah... membiarkan mereka pergi begitu saja selagi jenazah ibu dan para suheng masih menggeletak di depan kaki ayah?"



Ayahnya mengangguk. "Aku sendiripun hanya seorang manusia biasa, anakku, dan akupun tidak luput daripada nafsu amarah dan sakit hati. Akan tetapi aku melihat dengan jelas betapa aku sekeluarge akan terperosok semakin dalam kalau aku menuruti nafsu kebencian, ma-ka aku sengaja membiarkan mereka per-gi."



"Dan dengan perbuatan itu ayah me-rasa yakin bahwa ikatan dendam itu akan putus? Bagaimana kalau dua iblis itu masih penasaran karena ayah dan aku masih belum tewas dan mereka berusaha untuk membunuh kita? Apakah kitapun harus diam saja menyerahkan nyawa untuk dibunuh?" Dalam pertanyaan pemuda ini masih terkandung rasa penasaran yang amat besar.



Mendengar pertanyaan puteranya itu, Cia Han Tiong menahan senyum, menghela napas dan menggeleng kepala. "Aku percaya bahwa merekapun telah insyaf akan kebodohan mereka dan merasa menyesal sekali. Dan andaikata benar seperti yang kaukatakan tadi, andaikata mereka itu pada suatu hari datang dan berusaha untuk menyerang dan membunuh kita tentu saja kita akan melawan mereka."



"Hemm, bukankah itu sama saja namanya, ayah? Kitapun akan menggunakan kekerasan apabila diserang dan kalau mereka itu lihai, berarti mereka atau kita yang akan tewas dalam perkelahian itu?"



"Tidak, anakku. Hal itu sudah menjadi berbeda dan lain lagi. Kalau kita diserang orang, berarti kita terancam bahaya den sudah menjadi hak dan kewajiban kita untuk melindungi dan membela diri berusaha melepaskan diri daripada ancaman bahaya. Dalam pembelaan diri ini tidak terkandung kebencian."



Han Tiong menatap tajam wajah puteranya dan merasa prihatin karena dia dapat melihat betapa rasa penasaran yang amat besar mencekam hati puteranya dan bahwa dendam masih meracuni hati puteranya.



"Ingat, anakku. Kegagahan sejati berarti mengalahkan cengkeraman hawa nafsu diri sendiri yang meracuni batin. Tidak ada orang lain yang akan dapat membersihkan batin sendiri dari cengkeraman beracun nafsu dendam kalau bukan kewaspadaan dan kesadaran sendiri."



Cia Sun tidak membantah lagi, akan tetapi dia masih merasa penasaran dan untuk melapangkan hatinya, dia lalu barpamit dan meninggalkan ayahnya untuk menghirup udara segar di luar rumah yang kini kehilangan keindahan dan daya tariknya baginya itu. Dia pergi ke kuburan ibunya dan di depan kuburan yang masih baru itu dia tidak dapat menahan lagi kesedihannya dan menangislah pemuda yang biasanya tabah ini tersedu-sedu. Mengingat betapa ibunya masih segar bugar dan bergembira ketika dia meninggalkannya setahun yang lalu dan kini telah tiada, apalagi mengingat betapa ibunya yang dianggapnya sebagai seorang wanita paling lembut, paling baik dan paling mulia di dunia ini tewas terbunuh oleh orang jahat, hatinya terasa sakit sekali dan dendam semakin tumbuh dalam hatinya.



Memang, kedukaan, kemarahan yang menimbulkan kebencian, semua itu muncul dalam batin apabila pikiran mengingat-ingat segala hal yang telah lewat, menghidupkan segala peristiwa dan pengalaman yang lalu itu dalam ingatan, memperbesar rasa iba diri melalui penonjolan si aku yang dibikin susah atau tidak disenangkan. Makin mendalam pikiran mengingat-ingat, makin berkobarlah nafsu kedukaan dan amarah, membuat kebencian menjadi semakin subur pula. Kebencian timbul dari ingatan. Kebencian adalah ingatan itu sendiri yang disalahgunakan oleh si aku. Tanpa adanya ingatan, tanpa adanya si aku yang mengingat-ingat, takkan ada kebencian.



Sampai hari berganti malam, Cia Sun belum meninggalkan makam ibunya dan para suhengnya yang tewas dalam tangan musuh. Dia duduk bersila, tidak menangis lagi akan tetapi hatinya diliputi penuh duka dan dendam. Makin dia membayangkan kehidupan yang lalu di samping ibunya, makin dia mengingat akan kematian orang yang disayangnya, semakin besar pula penderitaan batinnya. Dia tidah tahu bahwa sore tadi ayahnya menjenguknya dan memandangya dari jauh tanpa mengganggunya. Orang tua itu hanya memandang dengan sinar mata terharu, kemudian Cia Han Tiong meninggalkan puteranya, kembali ke dalam kamarnya di mana diapun duduk bersamadhi dengan tenang. Dia harus membiarkan puteranya itu sadar sendiri dan dia dapat menduga bahwa pada saat itu sedang terjadi perang batin dalam diri puteranya.



Malam itu langit tak berbintang, akan tetapi bulan purnama menerangi permukaan bumi dengan cahayanya yang lembut. Cia Sun masih tetap duduk di depan makam ibunya. Hatinya terasa seperti ditusuk ketika secara tiba-tiba dia teringat akan Sui Cin, gadis yang telah menjatuhkan hatinya, membuatnya mengalami perasaan cinta untuk pertama kali dalam hidupnya. Ketika dia melakukan perjalanan pulang, sudah terkandung rencana dalam hatinya bahwa ibunya akan merupakan orang pertama yang akan diberi tahu tentang rahasia hatinya itu. Dia hendak menceritakan tentang Sui Cin kepada ibunya dan minta nasihat ibunya, bahkan mengharapkan ibunya akan dapat mengatur dan menyampaikan kepada ayahnya tentang hasrat hatinya terhadap puteri Pendekar Sadis. Dia percaya bahwa ayah ibunya akan merasa girang dan akan menyetujui kalau dia minta dilamarkan Sui Cin. Bukankah di antara ayahnya dan Pendekar Sadis terdapat pertalian batin yang amat erat? Teringat akan semua itu, hatinya menjadi hancur. Kini ibunya telah tiada dan dia merasa malu kalau harus bicara tentang gadis itu kepada ayahnya. Dengan kematian ibunya, dia kehilangan banyak sekali.



Selagi Cia Sun tenggelam ke dalam lamunannya sendiri, tiba-tiba terdengar suara orang di belakangnya, "Uh-uhh, membiarkan diri tenggelam dalam duka hanya dilakukan oleh orang-orang lemah. Kalau seorang pemuda selemah ini batinnya, tidak dapat diharapkan lagi!"



Cia Sun melompat berdiri sambil membalikkan tubuhnya. Dia terkejut sekali mendengar suara orang itu dan kini dia terbelalak memandang kepada seorang kakek yang tahu-tahu telah berdiri di depannya. Seorang kakek yang menyeramkan, dengan tubuhnya yang tinggi besar, mukanya hitam penuh cambang bauk dan matanya melotot galak, pakaiannya jubah pendeta yang nampak bersih bahkan mewah, sepatunya baru mengkilap. Diam-diam Cia Sun merasa heran melihat betapa kakek tinggi besar ini tahu-tahu berada di belakangnya tanpa dia mendengar sama sekali. Hal ini saja membuktikan bahwa tentu kakek ini memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi keheranannya tidak mengurangi kemarahannya. Hatinya sedang dipenuhi kemarahan dan dendam, maka kemunculan orang asing yang begitu saja mencelanya membuat pandang mata pemuda ini mengandung api berkilat.



"Iblis dari mana berani datang mengganggu ketenteramku?" bentaknya marah.



"Ha-ha-ha!" Kakek itu tertaa mengejek. "Kiranya masih ada juga sisa api dalam hatimu. Siapa mengganggu ketenteramanmu? Hatimu jelas tidak tenteram. Apakah kalau engkau menangis seperti itu yang mati akan dapat bangkit kembali? Biar engkau menangis sampai mengeluarkan air mata darah sekalipun, ibumu tetap saja akan tinggal di dalam kuburnya, tidak akan dapat bangkit hidup kembali, ha-ha-ha!"



Tentu saja Cia Sun menjadi marah mendengar kata-kata yang kasar dan na-danya mengejek ini. Andaikata dia tidak sedang diracuni kemarahan dan kebenci-an, tentu kata-kata ini masih dapat diterimanya. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, ucapan kakek ini membuatnya marah sekali.



"Orang asing, pergilah dan jangan ganggu aku. Apa hubunganmu dengan u-rusan kematian ibuku?"



"Ha-ha, engkau belum tahu siapa pem-bunuh ibumu, hanya mendengar nama sa-ja. Siapa tahu pembunuhnya itu adalah orang macam aku, ha-ha!"

Cia Sun terbelalak. Menurut ayahnya, pembunuh ibunya ada dua orang yang berjuluk Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo. "Apakah engkau berjuluk Hek-hiat Lo-mo?" tanyanya dengan suara memben-tak.



"Ha-ha, aku boleh saja disebut Lo-mo (Iblis Tua), akan tetapi apakah aku me-miliki Hek-hiat (Darah Hitam) ataukah tidak, haruslah dibuktikan dulu. Akan tetapi aku tahu benar bahwa engkau adalah pu-tera seorang pendeker yang berhati lemah, yang tidak mmiliki kegagahan, membiarkan diri dihina dan diinjak-injak orang lain. Engkaupun seorang pemuda yang lemah dan tidak dapat diharapkan."



"Iblis tua, engkau terlalu menghina orang!" Cia Sun marah sekali dan dia sudah mengepal kedua tinjunya dan siap untuk menerjang.



"Ha-ha, engkau hendak menyerangku? Engkau memiliki keberanian itu? Cobalah, orang muda, memang aku ingin sekali melihat sampai di mana kehebatan keturunan Pendekar Lembah Naga!"



Mendengar ini, semakin besar kecurigaan hati Cia Sun. Siapa tahu kakek ini benar-benar musuh besar keluarganya yang datang lagi, untuk menyempurnakan pekerjaannya yang terkutuk itu, yakni membasmi habis keluarga Pendekar Lembah Naga. Maka dengan kemarahan meluap, Cia Sun sudah menerjang ke depan dan menyerang kakek berjubah pendeta itu. Karena dia sudah dapat menduga bahwa lawan ini tentu lihai sekali, diapun tidak bersikap sungkan lagi dan begitu menyerang, Cia Sun sudah mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang dan begitu tangannya meluncur dia sudah meluruskan telunjuknya yang menjadi kaku seperti baja melakukan totokan bertubi-tubi ke arah tujuh jalan darah utama di bagian depan tubuh lawan. Terdengar bunyi bercuitan ketika tangannya bergerak dan totokan-totokan itu sungguh amat dahsyat!



Biarpun tubuhnya tinggi besar, namun ternyata kakek itu dapat bergerak dengan amat cepat. Tubuhnya bergerak ke sana-sini mengelak dari sambaran jari tangan Cia Sun dan mulutnya mengeluarkan kata-kata seruan, "Ah, inikah yang disebut totokan It-sin-ci (Satu Jari Sakti)? Hebat, akan tetapi masih mentah!" Dan ucapannya ini bukan hanya sekedar membual karena tujuh kali totokan itu lewat dan tidak satupun dapat mengenai tubuh kakek itu.



Diam-diam Cia Sun terkejut. Jurus-jurus serangannya tadi adalah jurus-jurus simpanan. Lawan mungkin dapat menangkisnya, akan tetapi menghindarkan diri dari tujuh kali totokan bertubi-tubi itu hanya dengan cara mengelak, sungguh amat luar biasa! Selain resikonya terlalu besar, juga gerakan tangannya amat cepat sehingga kalau tidak ada orang yang sudah matang ilmunya sehingga gerakannya sudah otomatis dan mendarah daging, kiranya tidak akan mungkin menghindarkan diri semudah itu dari serangkaian totokannya. Dia juga merasa penasaran dan kini mendesak dan menyerang lagi dengan Hok-mo Cap-sha-ciang! Inilah ilmu yang paling dirahakakan dari ayahnya. Hok-mo Cap-sha-ciang (Tiga Belas Jurus Penakluk Iblis) adalah ilmu yang amat luar biasa dan mujijat. Biarpun hanya tiga belas jurus, akan tetapi setiap jurus mengandung kehebatan yang sukar ditahan atau ditandingi lawan. Kalau tidak berada dalam kesulitan, mendiang Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong sendiripun jarang mempergunakan ilmu dahsyat itu. Juga Cia Han Tiong hampir tidak pernah mempergunakannya dalam perkelahian. Sekali ini, Cia Sun yang berada dalam keadaan sedih dan sakit hati, tak dapat menahan dirinya dan sudah mempergunakan ilmu simpanan terakhir yang paling hebat di antara ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari ayahnya.



"Wuuuttt... singgg...!" Angin yang amat kuat menyambar dan suara berdesing terdengar ketika tangan pemuda itu menyambar ke depan. Kakek itu mengeluarkan suara kaget dan tidak berani main-main lagi, segera mengerahkan tenaga dan menyambut dorongan kedua telapak tangan pemuda itu dengan kedua tangannya sendiri. Dia maklum bahwa serangan sedahsyat itu tidak mungkin dielakkan tanpa membahayakan nyawanya. Satu-satunya jalan adalah menyambu pukulan dahsyat itu.



"Plak! Plak!" Tubuh Cia Sun terdorong ke belakang dan dia merasa betapa tenaganya bertemu dengan sesuatu yang lembut, kedua tangannya bertemu dengan telapak tangan lawan yang amat lunak akan tetapi dia merasa seolah-olah semua tenaganya masuk ke dalam air sehingga hilang kekuatannya, namun ternyata di balik kelembutan itu ada tenaga yang sedemikian halus dan kuatnya sehingga tubuhnya yang terdorong ke belakang. Dan begitu dia berhasil menghentikan tubuhnya yang terdorong, tiba-tiba saja kedua kakinya gemetar dan lemas sehingga dia hampir terguling.



Sebaliknya, kakek itupun membelalakkan kedua matanya yang melotot lebar. "Ihh, ilmu setan apakah itu? Setahuku Pendekar Lembah Naga adalah seorang pendekar gagah yang tidak pernah tersesat, akan tetapi bagaimana cucunya mempunyai ilmu sesat macam itu tadi?" Berkata demikian, kakek itu lalu menubruk maju dan jubahnya yang lebar itu berkembang. Cia Sun merasa seolah-olah dia diserang oleh seekor kelelawar raksasa yang terbang den menyambar ke arahnya. Dia masih merasa lemas kedua kakinya, maka kini diapun mengerahkan Thian-te Sin-ciang untuk melindungi dirinya, menangkis ke depan dari samping sambil mengerahkan tenaga sin-kang.



"Desss...!" Dan kini, pertemuan antara lengan mereka membuat tubuh Cia Sun terpelanting! Belum hilang rasa kaget pemuda itu, kakek yang amat lihai itu sudah menubruk dengan cengkeraman kedua tangannya ke arah kepala dan dada Cia Sun.



"Heh!" Cia Sun yang masih terpelanting itu terkejut melihat dua buah lengan yang besar dan panjang menyambar dengah cengkeraman maut. Dia menggulingkan tubuhnya mengelak lalu meloncat bangun. Ternyata kedua tangan kakek itu masih melanjutkan serangannya secara aneh dan dahsyat. Akan tetapi Cia Sun cepat memainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-ciang untuk membela dan melindungi dirinya sehingga semua serangan kakek itu dapat dielakkan atau ditangkis!



"Bagus!" Kakek itu memuji. "Thai-kek Sin-ciang yang baik sekali!" Akan tetapi biarpun mulutnya memuji, kakek itu melanjutkan serangan-serangannya yang ternyata selain aneh sekali gerakannya, juga amat cepat dan kuat sehingga Cia Sun menjadi repot dibuatnya. Pemuda ini segera merobah gerakannya, berturut-turut dia memainkan San-in Kun-hoat dan semua ilmu yang pernah dipelajarinya. Akan tetapi kakek itu dapat mengenal semua gerakannya dan memuji-muji setengah mengejek!



"Ha-ha, ilmu-ilmu silat yang tinggi dan hebat, akan tetapi masih mentah. Mana Thi-khi-i-beng? Hayo keluarkan, biar kucoba kelihaiannya!"



Cia Sun kini merasa yakin bahwa lawannya benar-benar amat lihai dan telah mengenal ilmu-ilmunya, kecuali Hok-mo Cap-sha-ciang tadi. Hal ini membuatnya merasa gugup dan ketika kakek itu me-nerjangnya dengan tendangan- tendangan berputar yang amat dahsyat, pahanya ke-na tendangan dan diapun terguling lagi. Dan sekali ini, sebelumdia sempat bangun, tahu-tahu kakek itu telah menempelkan jari-jari tangannya ke ubun-ubun kepalanya! Cia Sun memejamkan mata, menanti datangnya maut karena dia yakin bahwa kalau kakek itu menggerakkan jari-jari tangannya, dia tidak akan tertolong lagi. Akan tetapi jari-jari tangan itu tak kunjung terasa oleh kepalanya dan diapun membuka mata. Dilihatnya bahwa jari-jari tangan itu masih menempel di ubun-ubunnya, akan tetapi kakek itu hanya memandang sambil menyeringai.



"Iblis busuk, kalau engkau hendak membasmi kelurga kami, lakukanlah. Bunuhlah, aku tidak takut mati!"



"Ha-ha-ha!" kakek itu menarik tangannya dan melangkah mundur. "Orang muda, kalau aku ini Hek-hiat Lo-mo, apa kaukira engkau masih hidup sekarang ini?"



Sadarlah Cia Sun bahwa kakek ini sesungguhnya bukanlah musuh, melainkan seorang aneh yang agaknya tadi sengaja hendak menguji ilmu kepandaiannya. Dia tahu bahwa banyak sekali orang pandai di dunia ini yang berwatak aneh dan agaknya kakek inipun seorang di antara orang-orang aneh itu yang tidak dikenalnya. Maka tanpa ragu-ragu lagi diapun lalu bangkit duduk dan berlutut menghadap kakek itu.



"Maaf kalau saya keliru menilai orang. Siapakah locianpwe sebenarnya?" tanyanya dengan sikap hormat.



"Orang muda, siapa adanya aku tidaklah begitu penting dan baru akan kujawab satelah engkau mau menjawab pertanyaan-pertanyaanku."



Kini sudah hilang rasa marah di hati Cia Sun terhadap orang aneh yang dia percaya adalah seorang sakti ini. "Silakan bertanya, locianpwe."



"Engkau adalah putera keluarga gagah perkasa yang selalu mengutamakan kebaikan. Ibumu adalah seorang wanita gagah yang berhati mulia, dan murid-murid Pek-liong-pai adalah pendekar-pendekar yang baik hati. Akan tetapi pada suatu hari, malapetaka datang menimpa. Dua orang manusia berhati iblis telah menyebar maut, membunuh ibumu dan para suhengmu, yang sama sekali tidak bersalah terhadap dua orang itu. Nah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu. Apakah engkau ingin membiarkan saja kejahatan itu, sama sekali tidak mendendam dan tidak ingin mencari dan membunuh kedua orang itu untuk membalas dan juga untuk membasmi orang-orang yang demikian jahatnya?"



Cia Sun mengepal tinju, hatinya terasa seperti api disiram minyak, semangatnya semakin berkobar. "Tentu saja, locianpwe! Saya akan berusaha mencari dan membunuh kedua iblis jahat itu!"



Kakek itu mengangguk-angguk. "Benarkah itu? Bukankah ayahmu, ketua Pek-liong-pai yang berhati mulia dan suka mengalah itu tidak menghendaki demikian?"



Diam-diam Cia Sun terkejut. Orang aneh ini agaknya tahu segala-galanya, bukan hanya yang menimpa keluarganya, akan tetapi juga tahu akan watak ayahnya. Tentu saja hatinya memberontak dan dia ingin mempertahankan kehormatan dan nama ayahnya, ingin membenarkan dan membela pendirian ayahnya. Akan tetapi, pada saat itu batinnya sudah terlalu panas oleh dendam sehingga pertanyaan itu bahkan membut dia melihat lebih jelas lagi akan kesalahan dalam pendapat ayahnya itu.



"Mungkin ayah berpendapat demikian, akan tetapi saya tidak! Saya tidak ingin menjadi orang selemah itu dan membiarkan kejahatan berlangsung tanpa memberi hukuman dan tanpa membalas!"



"Jadi engkau ingin membelas dendam? Tahukah engkau siapa pembunuh ibumu?"



"Mereka adalah Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo."



"Tahukah pula engkau di mana adanya mereka?"



Cia Sun memandang bingung dan menggeleng kepala. "Saya tidak tahu, locianpwe. Akan saya cari mereka sampai dapat!"



"Orang muda, semangatmu cukup besar, akan tetapi jangan mengira akan mudah saja mencari mereka. Mereka itu adalah pendatang dari Sailan dan kini menyembunyikan diri. Pula, andaikata dapat bertemu, belum tentu engkau dapat mengalahkan mereka. Sekarang begini. Aku tertarik kepadamu, kagum akan kelihaianmu dan kegagahanmu. Ilmu silatmu sudah hebat dan jarang ada yang akan dapat menandingimu kalau ilmu-ilmu yang kaumiliki itu sudah dapat kaukuasai sampai matang. Ibarat buah engkau masih belum matang benar, dan ibarat batu giok engkau belum digosok. Maukah engkau menjadi muridku dan membiarkan aku membimbingmu selama satu tahun kemudian kutunjukkan kepadamu di mana adanya dua orang musuh besarmu itu?"



Bukan main girangnya hati Cia Sun. Tanpa banyak sangsi lagi dia lalu memberi hormat sambil berlutut dan menjawab. "Saya bersedia dan saya mau, locianpwe!"



"Nah, kalau begitu, ketahuilah bahwa aku adalah Go-bi San-jin, seorang pertapa usil yang tidak terkenal dan mulai sekarang engkau harus ikut bersamaku tanpa memberi tahu ayahmu."



"Baik, suhu. Teecu mentaati perintah suhu," kata Cia Sun dan malam hari itu juga dari makam ibunya dia langsung saja pergi mengikuti gurunya tanpa memberitahukan ayahnya! Dendamnya sudah sedemikian besarnya sehingga dia bersedia melakukan apa saja untuk dapat membalas kematian ibunya dan para suhengnya.



***



Rumah besar di Ta-tung itu tentu akan dianggap sebagai rumah seorang hartawan atau setidaknya rumah bangsawan oleh orang-orang yang baru datang di kota itu. Penduduk Ta-tung juga hanya mengetahui bahwa rumah besar itu adalah milik seorang hartawan kaya raya bershe (marga) Siangkoan. Akan tetapi hartawan yang kabarnya usianya sudah amat lanjut dan sakit-sakitan itu jarang kelihatan orang, kabarnya selalu bersembunyi di dalam kamarnya dan dilayani oleh belasan orang pelayan! Hanya kadang-kadang saja orang melihat kakek hartawan ini keluar rumah memasuki sebuah kereta yang mewah, entah pergi ke mana. Pendeknya, pemilik rumah besar itu diketahui orang sebagai Siangkoan-wangwe (Hartawan Siangkoan) yang sudah tidak kelihatan aktip berdagang lagi, agaknya seorang kakek pensiunan yang menghabiskan sisa hidupnya dengan harta kekayaannya. Akan tetapi kalau saja orang dapat melihat tembus tembok tebal itu dan menyaksikan apa yang seringkali terjadi di dalam rumah itu, orang akan terheran-heran dan terkejut bukan main. Kiranya kakek hartawan yang kabarnya sakit-sakitan ini sebetulnya adalah seorang datuk kaum sesat yang ditakuti hampir semua anggauta dunia hitam. Juga para pendekar di dunia kang-ouw merasa serem kalau mendengar namanya. Dia adalah Siangkoan Lo-jin (Kakek Siangkoan) yang lebih terkenal dengan julukan Iblis Buta! Dengan menyamar sebagai seorang hartawan tua renta yang sakit-sakitan, Siangkoan Lo-jin dapat terbebas dari gangguan, dan lolos dari pengamatan para pendekar dan juga dari pemerintah yang pada waktu itu sedang sibuk mencarinya sehubungan dengan aksi gerakan pembersihan yang dilakukan oleh para petugas pemerintah atas perintah dari kaisar sendiri. Siangkoan Lo-jin dikenal sebagai pemimpin semua gerakan rahasia, persekutuan yang bekerja untuk kepentingan Liu-thaikam yang sudah ditangkap dan dijatuhi hukuman mati itu. Akan tetapi, alat pemerintah tidak berhasil menemukannya, bahkan tidak berhasil pula menemukan para tokoh sesat Cap-sha-kui yang menjadi para pembantu utama dari Siangkoan Lo-jin. Pemerintah hanya mampu membasmi anak buah penjahat saja seperti perkumpulan pengemis Hwa-i Kai-pang dan lain-lain.



***



Pada suatu malam setelah gerakan pembersihan dari pasukan pemerintah agak mereda di kota Ta-tung yang dekat dengan kota raja, di sebelah dalam rumah besar itu terjadi kesibukan. Para komandan keamanan di kota Ta-tung bisa mati berdiri kalau tahu apa yang terjadi di dalam rumah besar itu. Kiranya pada malam hari itu, seluruh tokoh pemberontak yang dicari-cari pemerintah telah berkumpul di rumah itu. Di malam gelap itu, seperti iblis-iblis gentayangan, berturut-turut datang berkelebatan bayangan-bayangan hitam memasuki rumah besar. Mereka ini adalah tokoh-tokoh sesat dari Cap-sha-kui yang terilbat dalam pemberontakan di bawah pimpinan Liu-thaikam yang datang untuk memenuhi panggilan Siangkoan Lo-jin yang mereka anggap sebagai pemimpin mereka dalam persekutuan itu.



Menjelang tengah malam, di waktu kota Ta-tung menjadi sunyi dan sebagiab besar penduduknya sudah tidur nyenyak, lengkaplah para tamu aneh yang berdatangan ke rumah besar menghadap Siangkoan Lo-jin. Di dalam ruangen di belakang, sebuah ruangan luas, mereka berkumpul, duduk menghadapi meja besar panjang dengan berkeliling. Para pelayan Siangkoan Lo-jin yang sesungguhnya bukan orang-orang biasa melainkan anak buah yang rata-rata memiliki ilmu silat tangguh, kini mengadakan penjagaan ketat walaupun mereka yakin bahwa rumah itu aman dan tidak pernah dicurigai orang.



Ruangan itu luas dan terang sehingga nampak jelas wajah mereka yang duduk mengelilingi meja besar panjang. Di kepala meja duduk Siangkoan Lo-jin sendiri, seorang kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi kurus dengan pakaian hitam sederhana, pakaiannya sebagai Si Iblis Buta, berbeda dari pakaian hartawan yang dikenakannya kalau dia kebetulan keluar sebagai pemilik rumah. Kini pakaian hitamnya amat sederhana dan longgar. Kedua matanya mengerikan, nampak putihnya saja dan tak pernah berkedip. Di tangan kirinya terdapat sebuah tongkat kayu cendana hitam yang selain menjadi pembantunya dalam meraba-raba mencari jalan, juga merupakan sebuah senjatanya yang ampuh sekali. Sebetulnya kakek buta ini memiliki sebuah rumah di Pao-ci, di Propinsi Shen-si, akan tetapi semenjak kegagalan persekutuannya yang mengabdi kepada Liu-thaikam, terpaksa dia bersembunyi di Ta-tung ini, di mana dia dikenal sebagai seorang hartawan yang tidak melakukan kegiatan apa-apa lagi.



Di sebelah kirinya duduk seorang pemuda, yaitu Siangkoan Ci Kang, putera tunggalnya. Ci Kang tidak dapat mengingat ibu kandungnya dengan baik. Seingatnya, ketika masih kecil pernah dia diasuh oleh seorang wanita yang menurut ayahnya adalah ibunya yang tewas ketika dia masih kecil. Dia hidup bersama ayahnya, digembleng oleh ayahnya yang buta dan harus diakuinya bahwa ayahnya amat mencintanya, walaupun dengan caranya sendiri yang aneh. Seluruh ilmu kepandaian ayahnya diwariskan kepadanya dan karena memang dia amat berbakat, biarpun kini usianya baru delapan belas tahun lebih, namun dia telah dapat mewarisi kepandaian itu. Siangkoan Ci Kang duduk seperti arca, diam dan wajahnya membayangkan hati yang dingin dan tidak perdulian. Pakaiannya seperti ayahnya, amat sederhana, bahkan jubahnya terbuat dari kulit harimau yang kuat. Usianya baru delapan belas tahun, akan tetpi tubuhnya tinggi tegap. Pada saat itu dia duduk dengan sepasang alis berkerut seolah-olah ada sesuatu yang mengganjal hatinya dan membuat dia merasa tidak gembira. Dan memang sesungguhnya demikianlah. Sejak semula, dia sudah tidak setuju mendengar ayahnya memimpin Cap-sha-kui dan para tokoh sesat untuk menjadi antek pembesar korup Liu-thaikam. Dia tidak setuju, akan tetapi betapapun juga, sebagai seorang anak yang mencinta ayahnya, dia selalu membantu ayahnya, walaupun bantuan itu lebih merupakan perlindungan karena dia tidak pernah mau membantu kalau teman-teman ayahnya melakukan kejahatan. Dia tahu bahwa ayahnya adalah seorang datuk sesat, akan tetapi diapun tahu, bahkan merasa yakin, bahwa sesungguhnya ayahnya bukanlah orang jahat, melainkan orang yang diracuni dendam setelah kedua matanya menjadi buta. Ayahnya hanya ingin menonjol, ingin menjadi orang nomor satu dalam dunia sesat, dan dia merasa kasihan melihat ayahnya yang buta, juga kagum bahwa ayahnya yang buta itu ternyata masih mampu menguasai dan memimpin orang-orang sesat yang jahat seperti iblis macam gerombolan Cap-sha-kui itu.



Berturut-turut mereka datang dan kini sudah berkumpul di situ dengan lengkap. Semua tokoh Cap-sha-kui yang pernah bekerja sama dengan Siangkoan Lo-jin. Mereka adalah Koa-i Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, Kiu-bwe Coa-li, Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo, dan Tho-tee-kwi Si Setan Bumi. Memang hanya enam orang ini saja dari Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis) yang tersangkut dalam gerakan membantu Liu-thaikam yang dipimpin oleh Siangkoan Lo-jin. Sebenarnya Cap-sha-kui bukan merupakan suatu gerombolan dari tiga belas orang datuk sesat, akan tetapi mereka itu masing-masing memiliki nama besar dan keistimewaan sehingga dunia kang-ouw mengenal mereka sebagai Tiga Belas Iblis. Karena nama sebutan ini maka mereka, tiga belas orang tokoh sesat, merasa seolah-olah ada sesuatu yang mengikat mereka satu sama lain, yaitu nama itulah. Sedikit banyak nama sebutan Tiga Belas Iblis itu mendatangkan semacam perasaan setia-kawan dalam hati mereka. Akan tetapi, kecuali yang enam orang ini, yang lain dari mereka tidak tertarik dan tidak mau mencampuri urusan pemberontakan itu.



Mereka sedang bercakap-cakap dengan wajah muram dan lesu, membicarakan kegagalan mereka dan hancurnya persekutuan mereka dengan ditangkap dan dihukum matinya Liu-thaikam yang merupakan sumber uang dan harapan mereka untuk dapat meraih kedudukan. Terutama sekali Siangkoan Lo-jin menjadi kecewa dan penasaran sekali.



"Brakkk!" Dia menggebrak meja sampai ruangan itu tergetar oleh hawa pukulan yang keluar dari gerakannya. "Sungguh membuat orang bisa mati penasaran! Bagaimana untuk pekerjaan membunuh dua orang pejabat saja sampai gagal, bukan saja gagal, bahkan membuat usaha kita hancur dan Liu-thaikam sampai terhukum mati. Kegagalan itu sendiri tidaklah begitu menyedihkan, akan tetapi telah menyeret nama kita ke dalam lumpur. Masa kita, yang sudah dikenal sebagai tokoh-tokoh utama, sampai gagal dan hancur dalam usaha membunuh dua orang pejabat saja?"



Kui-kok Lo-mo yang mewakili teman-temannya berkata dengan suara lirih, jelas bahwa diapun jerih terhadap kakek buta itu. "Lo-jin, harap maafkan kami. Bukan sekali-kali karena kami kurang hati-hati. Semua rencana sudah kami atur sebaik-baiknya, bahkan kami dibantu oleh tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang. Akan tetapi sungguh menjemukan pemuda Cin-ling-pai itu! Dia pula yang menggagalkan rencana kita. Dia yang dahulu menyamar sebagai Menteri Liang, dan dia pula yang menylamatkan Jenderal Ciang dari dalam pesta Ang-kaumu. Dan ternyata bahwa pesta itupun agaknya telah diatur oleh pemuda itu untuk menjebak dan memancing kami. Kalau tidak ada pemuda itu, tentu tugas kami telah berhasil dengan baik semua."



Pemuda keparat itu pula yang telah menyelamatkan ketua Kang-jiu-pang Song Pak Lun ketika aku dan Hwa-hwa Kui-bo menyerbu!" kata Koai-pian Hek-mo dengan suara lantang dan marah.



"Bukan hanya pemuda putera ketua Cin-ling-pai, bahkan juga anak setan puteri Pendekar Sadis itu yang menghalangi pekerjaan kita!" Suara Kiu-bwe Coa-li melengking ketika ia ikut bicara. Semua orang menengok kepadanya dan ada yang terkejut.



"Anak Pendekar Sadis? Yang mana?" tanya Kui-kok Lo-bo, terkejut mendengar disebutnya nama Pendekar Sadis oleh rekannya itu. Juga suaminya nampak kaget.



"Hi-hik, sungguh lucu kalau sampai ketua Kui-kok-pang dapat dikibuli dah tidak mengenalnya. Aku sudah menyelidiki dan aku tahu rahasianya. Ia adalah pute-ri atau anak tunggal Pendekar Sadis, kadang-kadang ia memakai pakaian wa-nita biasa, kadang-kadang menyamar sebagai seorang pemuda jembel. Ilmu ke-pandaian gadis itu tinggi sekali, agaknya telah mewarisi semua kepandaian ayah ibunya," kata Kiu-bwe Coa-li, agaknya gembira karena suami isteri Kui-kok-san itu tidak tahu akan rahasia itu sehingga ia yang tahu berarti lebih waspada dan lebih cerdik daripada mereka.



"Aihh, perempuan setan itukah yang kaumaksudkan?" Hwa-hwa Kui-bo berseru kaget. "Apakah ia yang pernah kita jum-pai di kuil Dewi Laut di Ceng-tao?" Ia memandang kepada rekannnya, Koai-pian Hek-mo dengan mata terbelalak dan re-kannya itu mengangguk-angguk, merasa ngeri. Kakek iblis ini bersama Hwa-hwa Kui-bo pernah bertemu dan bertanding melawan seorang gadis yang luar biasa lihainya sehingga mereka berdua kalah. Kiranya gadis itu adalah puteri Pendekar Sadis! Memang, di antara para tokoh se-sat yang dijuluki Cap-sha-kui, dua orang tokoh ini memiliki tingkat kepandaian yang paling rendah maka biarpun mengeroyok, mereka itu masih belum mampu menandingi Sui Cin.



"Brakkk!" kembali Siangkoan Lo-jin menggebrak meja. Diam-diam dia menyesal sekali mengapa kedua matanya buta sehingga biarpun dia lihai akan tetapi dia tidak dapat menyaksikan sendiri semua itu dan tidak dapat mengenal kedua orang muda yang telah menggagalkan semua usahanya. Kini Liu-thaikam telah dihukum mati semua hartanya telah disita dan ini berarti bahwa usahanya yang dipupuknya selama ini berantakan sama sekali. "Sungguh amat menjemukan! Campur tangan dua orang muda saja telah membuat semua usaha kita gagal. Ci Kang, apakah engkau juga tidak mampu menandingi orang-orang muda itu?" tiba-tiba ayah itu menoleh ke kiri, bertanya kepada puteranya.



Sejak tadi Ci Kang mendengarkan percakapan mereka dengan alis berkerut. Mendengar pertanyaan ayahnya, diapun menarik napas panjang. "Aku sudah pernah bertemu dengan mereka, dan menurut penglihatanku, biarpun mereka itu merupakan dua orang muda yang memiliki kepandaian tinggi, namun tidaklah luar biasa!"



"Kalau begitu, mengapa usaha kita sampai gagal?" bentak ayahnya.



"Karena mereka berada di pibak benar dan di belakang mereka terdapat pasukan pemerintah!" jawab pemuda itu dengan singkat.



"Keparat! Tanpa sebab Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis memusuhi kita. Kita tidak boleh tinggal diam saja. Kita harus membalas dendam atas gangguan mereka ini!"



Enam orang tokoh Cap-sha-kui itu mengangguk-angguk, akan tetapi, tiba-tiba Tho-tee-kwi yang sejak tadi diam saja mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya. Raksasa yang tinggi besar dengan ukuran satu setengah kali orang biasa ini biarpun kasar dan liar, akan tetapi cerdik dan cukup berpengalaman sehingga dia tidak mau melakukan hal-hal yang sembono tanpa perhitungan.



"Heh, bukan aku takut menghadapi mereka, akan tetapi memusuhi ketua Cin-ling-pai dan terutama sekali Pendekar Sadis tanpa perhitungan, bukankah itu sama saja dengan menabrak batu karang dan kita mencari mati konyol!" Suaranya itu membuat para rekannya saling pandang dengan muka berobah agak pucat. Memang, bagaimanapun juga mereka sudah mendengar akan kehebatan tokoh-tokoh yang hendak mereka gempur itu, dan terutama sekali nama besar Pendekar Sadis membuat mereka harus menghitung sampai seratus kali sebelum turun tangan memusuhinya.



"Dalam hal ini, nama Cap-sha-kui tersangkut. Kalau kalian semua sebanyak tiga belas orang maju, apakah masih takut juga? Dan aku sendiripun tidak akan tinggal diam. Setidaknya, anakku Ci Kang akan mewakili aku untuk menghadapi anak-anak ketua Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis."



"Tidak, ayah, aku tidak mau!"



Ucapan Ci Kang ini membuat semua orang terkejut dan para tokoh Cap-sha-kui memandang dengan mata terbelalak kepada pemuda yang berani membantah ayahnya itu. Suasana menjadi sunyi sekali selama beberapa detik setelah Ci Kang mengeluarkan bantahannya, kesunyian yang mendebarkan hati.



"Apa...? Apa kau bilang tadi, Ci Kang?" Akhirnya terdengar suara Siangkoan Lo-jin, lambat dan lirih, akan tetapi penuh dengan kemarahan yang ditahan-tahan.



Siangkoan Ci Kang tetap tenang saja walaupun dia tahu bahwa ayahnya dan sekutu ayahnya itu tentu akan marah menghadapi pembangkangannya. "Aku tidak mau mewakili ayah untuk memusuhi Cin-ling-pai dan keluarga Pendekar Sadis."



Terdengar suara keras disusul meluncurnya sinar hitam dan tahu-tahu dinding di belakang tempat Ci Kang duduk berlubang disambar ujung tongkat kayu cendana. Kalau bukan Ci Kang, agaknya bukan dinding yang berlubang, melainkan tubuh orang yang telah berani membantah dan membangkang terhadap kehendak Si Iblis Buta itu. Melihat betapa tongkat itu menyambar cepat sukar diikuti pandang mata dan betapa besar bahaya maut mengancam kalau diserang oleh kekek buta itu, enam orang Cap-sha-kui diam-diam bergidik. Hebat bukan main kepandaian kakek buta itu dan mereka merasa gentar untuk menghadapinya sebagai lawan, walaupun mereka juga tahu bahwa dengan majunya mereka berenam, apalagi kalau lengkap tiga belas orang, kakek buta itupun belum tentu akan mampu melawan mereka.



"Ci Kang, apa artinya ucapanmu itu? Apakah engkau akan menjadi anak durhaka, mengkhianati ayahmu sendiri?"



"Tidak, ayah. Akan tetapi sejak dahulupun aku sudah tidak setuju dengan persekutuan ini. Ayah bermain api terlalu besar dan berbahaya dan kegagalan yang sudah semestinya menjadi peringatan agar ayah menghentikan semua kegiatan yang tidak sehat itu. Aku tidak suka melihat ayah melakukan kejahatan dan mengumpulkan orang-orang jahat untuk bekerja sama."



"Brakkk!" Ujung tepi meja itu hancur luluh dicengkeram tangan Siangkoan Lo-jin, sedangkan tangan sebelah yang memegang tongkat nampak gemetar. Kakek buta ini marah bukan main.



"Ci Kang, aku sudah tua dan aku sudah mempunyai rencana untuk mengundurkan diri dan mengangkat engkau sebagai penggantiku, memimpin para rekan di dunia hitam. Engkau harus lebih berhasil daripada aku, anakku, dan..."



"Maaf, ayah. Aku tidak sanggup, dan aku tidak mau melumuri hidupku dengan kejahatan dalam bentuk apapun juga. Aku tidak mau mengganggu orang lain..."



"Tutup mulutmu! Kau kira selama ini engkau makan apa kalau tidak hasil pekerjaan ayahmu? Kaukira dari mana kita memperoleh semua harta kekayaan..." Kakek itu menahan diri karena baru dia teringat bahwa di situ terdapat orang--orang lain yang mendengarkan sehingga tidak semestinya dia membuka semua ra-hasia keluarganya.



"Ayah, aku tidak menghendaki semua harta itu. Aku lebih baik hidup miskin dan tidak mempunyai apa-apa daripada harus mendapatkan harta kekayaan melalui kejahatan."



"Sombong engkau! Katakan saja eng-kau jerih dan takut terhadap Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis, engkau takut meng-hadapi manusia-manusia sombong yang menamakan diri mereka kaum bersih, go-longan putih atau para pendekar. Engkau pengecut, penakut..."



"Aku tidak takut kepada siapa juga, ayah. Akan tetapi kurasa penghidupan para pendekar itu jauh lebih bersih dari- pada penghidupan kaum sesat..."



"Anak durhaka...!" Tongkat hitam itu kini berkelebat menyambar ke arah kepala Ci Kang dengan pukulan maut yang amat dahsyat. Akan tetapi pemuda itu sudah mampu mengelak dan melempar diri ke belakang sehingga dia terjengkang, akan tetapi dengan berjungkir balik dia sudah meloncat bangun dan berdiri kembali. Akan tetapi ayahnya yang menjadi semakin marah karena serangan-nya gagal, telah menerjangnya lagi dengan tongkatnya, kini melakukan serangan yang lebih hebat lagi. Biarpun buta, namun Siangkoan Lo-jin memiliki pende-ngaran yang luar biasa tajamnya, jauh lebih tajam daripada orang lain, sehingga dalam menghadapi lawan, dia sepenuhnya bergantung kepada pendengarannya untuk mengikuti gerakan lawan dan mengetahui di mana lawan berada! Melihat ayahnya sudah nekat dan menyerangnya mati-matian, kembali Ci Kang mengelak dan me-loncat agak jauh dekat pintu.



"Ayah!" teriak Ci Kang penasaran. "Ayah sendiri dahulu menentang kejahatan dan karena dibikin buta, ayah lalu berubah dan menjadi pemimpin para datuk sesat. Kalau ayah hendak memaksaku menjadi penjahat, tidak cukup ayah mem-bikin buta, akan tetapi harus lebih dulu membunuhku!"



"Keparat, kalau begitu aku akan membunuhmu!" Siangkoan Lo-jin yang merasa kecewa dan menjadi marah sekali itu sudah meloncat ke arah puteranya dan menusukkan tongkatnya. Akan tetapi Ci Kang sudah menguasai semua ilmu ayahnya, maka diapun tahu akan kehebatan serangan itu, dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke kiri dan ketika dia turun ke atas lantai, kedua kakinya tidak menge-luarkan bunyi. Pemuda ini telah mempergunakan gin-kang yang paling hebat sehingga tubuhnya menjadi ringan sekali dan di situ dia berdiri tegak, sama seka-li tidak bergerak, bahkan pernapasannyapun ditahan dan diatur sehingga tidak mengeluarkan bunyi. Dia tahu akan kelemahan ayahnya yang hanya mengandalkan pendengaran, maka kini, setelah dia tidak mengeluarkan bunyi, ayahnya juga berdiri bingung, tidak tahu ke mana perginya Ci Kang!



"Anak durhaka, jangan lari kau! Di mana engkau? Kurang ajar! Heii, kalian ini apakah sudah berobah menjadi patung semua? Hayo bantu aku menangkap dan membunub anak durhaka itu!" Teriakan ini ditujukan kepada enam orang Cap-sha-kui yang sejak tadi hanya duduk diam saja dengan penuh perhatian dan kegembiraan melihat bentrokan antara ayah dan anak itu. Kini, mendengar bentakan Siangkoan Lo-jin mereka serentak bangkit. Akan tetapi mereka merasa ragu-ragu. Mereka mengenal Ci Kang, den selalu mereka segan kepada pemuda remaja putera Iblis Buta yang selain amat lihai juga pen-diam dan tidak banyak cakap itu. Kini pemuda itu memandang kepada mereka dengan wajah dingin dan mata berkilat membuat mereka menjadi gentar juga. Kalau mereka maju, kemudian ayah dan anak itu bersatu, mereka tentu akan ma-ti konyol.



"Lo-jin, puteramu berada di sebelah kananmu, dekat pintu keluar!" tiba-tiba Kui-kok Lo-mo berseru dan teman-te-mannya menjadi lega. Memang mereka tadi ragu-ragu dan kini mereka hendak melihat sikap anak dan ayah itu sebelum mereka turun tangan membantu Siangko-an Lo-jin. Begitu mendengar ucapan ini, tiba-tiba Siangkoan Lo-jin meloncat ke kanan dengan kecepatan luar biasa tong-katnya diputar dan dihantamkan ke arah kepala puteranya. Ketika Siangkoan Ci Kang mengelak, gerakannya terdengar oleh ayahnya dan ayah yang sudah marah ini lalu mengulur tangan kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala putera-nya. Suatu serangan yang amat berbaha-ya dan cepat, mengandung maut! Meng-elak dari serangan ini selagi tongkat itu mengancam dari lain jurusan, amat ber-bahaya dan jalan satu-satunya hanyalah menangkis, pikir Ci Kang. Dia sebetulnya tidak ingin menghadapi ayahnya dengan kekerasan, akan tetapi untuk melindungi dirinya dari tangan maut yang menceng-keram, terpaksa dia harus mengerahkan tenaganya menangkis.



"Dukk...!" Dua tenaga besar itu ber-temu dan akibatnya, Siangkoan Lo-jin be-rusaha meloncat ke belakang untuk mema-tahkan tenaga yang membuat dia terdorong ke belakang, sedangkan Ci Kang sendiri terlempar keluar pintu ruangan itu! Melihat betapa Siangkoan Lo-jin benar-benar hendak membunuh puteranya, enam orang Cap-sha-kui itu menjadi berani dan merekapun melakukan pengejaran keluar ruangan.



"Orang muda, perlahan dulu!" teriak Kui-kok Lo-mo yang melompat paling depan sambil mengirim serangan dengan kedua tangannya. Angin keras menyambar disertai uap tipis putih keluar dari kedua telapak tangan ketua Kui-kok-pang ini ketika dia menyerang ke arah Ci Kang.



"Jangan kalian mencampuri urusan pribadiku!" bentak Ci Kang dan diapun mengerahkan tenaganya, membalik dan mendorong untuk menyambut serangan lawan.



"Desss...!" Keduanya terpental dan Kui-kok Lo-mo terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa tenaga pemuda remaja itu benar-benar amat hebat dan mampu membuat dirinya terpental. Juga isterinya yang datang menyusul di belakangnya, terkejut melihat suaminya sampai terpental. Karena suami isteri ini kelihatan tercengang dan ragu-ragu, para tokoh sesat lainnya yang memiliki tingkat lebih rendah, menjadi ragu-ragu sehingga Ci Kang memperoleh kesempatan untuk meloncat keluar rumah dan melarikan diri.



Marahlah hati Siangkoan Lo-jin ketika memperoleh kenyataan bahwa puteranya berhasil lolos. "Kalian ini sungguh seke-lompok orang tak berguna. Kalian mem-biarkan anak durhaka itu lolos begitu sa-ja, tanpa mengejar?"



"Jangan salah mengerti, Lo-jin. Kami masih ragu-ragu untuk mengejar, karena bagaimanapun juga, dia adalah putera tunggalmu, kami masih belum yakin benar -apakah engkau hendak melihat dia terbunuh oleh kami," kata Kui-kok Lo-mo dengan cerdik.



"Bodoh! Siapa main-main! Daripada melihat anakku sendiri durhaka dan me-nentangku, lebih baik melihat dia mam-pus. Sekarang kuperintahkan kepada kalian, semua anggauta Cap-sha-kui, untuk selain memusuhi Cin-ling-pai dan Pende-kar Sadis, juga mencari dan menyeret a-nak durhaka itu ke depan kakiku agar a-ku dapat menghukumnya sendiri! Nah, pergilah kalian, aku tak ingin diganggu lagi!"



Enam orang itu lalu berkelebatan pergi dan kakek buta itu kini berada seorang diri di dalam ruangan. Dia berdiri seperti patung, termenung, dan dia membayangkan puteranya sebagai seorang pemuda yang gagah perkasa, yang menentang kejahatan sehingga namanya dipuja dan dikagumi semua pendekar di dunia kang-ouw. Tak terasa lagi, bibirnya yang kering itu tersenyum. Teringatlah dia akan dirinya sendiri. Menjadi seorang gagah yang dikagumi seluruh dunia adalah cita-citanya, dan karena cita-cita itu tidak terlaksana melalui kebaikan, dia hendak mengejar nama besar itu melalui kejahatan dengan memimpin kaum sesat dan menjadi orang jahat nomor satu! Kalau puteranya bisa menjadi orang yang paling menonjol dan terkenal, tidak perduli sebagai penjahat nomor satu atau pendekar nomor satu, dia akan merasa bangga!



Akan tetapi dia telah memerintahkan Cap-sha-kui untuk memusuhi anaknya! Ti-dak apa, memang seharusnya begitu. Ka-lau anakku itu ingin menjadi pendekar nomor satu, dia harus mampu mengha-dapi Cap-sha-kui, bahkan dia harus mam-pu membasmi Cap-sha-kui! Kalau anaknya yang tidak mau menjadi penjahat nomor satu itu tidak bisa menjadi pendekar nomor satu, biar anaknya mati saja daripada menjadi manusia yang tidak terkenal sama sekali!



Pemikiran seperti yang berada dalam batin Siangkoan Lo-jin itu mungkin akan kita anggap gila dan tidak lumrah. Akan tatapit kalau kita mau membuka mata mengamati kehidupan di sekeliling kita, akan kita temui bahwa hampir setiap orang tidak jauh bedanya dengan Siangkoan Lo-jin ini.



Kita semua ini haus akan kehormatan, haus akan penonjolan diri, bahkan watak ini sudah mendarah daging sehingga tidak terasa lagi oleh kita. Lihatlah betapa banyaknya orang yang dengan nada suara penuh kebanggaan menceritakan betapa kakeknya dahulu adalah seorang maling terbesar, seorang jagoan terbesar, seorang penjudi terbesar dan sebagainya? Mereka ini bercerita dengan nada suara sama bangganya dengan mereka yang menceritakan betapa kakek mereka dahulunya seorang yang paling terhormat, terkaya atau tertinggi kedudukannya. Juga, hampir semua orang menceritakan dengan bangga bahwa anaknya adalah yang paling nakal, paling bandel, dan sebagainya, sama bangganya dengan mereka yang menceritakan dengan suara malu-malu den rendah hati bahwa anak mereka adalah yang paling patuh, paling pintar dan sebagainya. Kita sudah berwatak ingin menonjolkan diri, diri sendiri atau perkembangan dari diri sendiri yang menjadi anakku, keluargaku, bangsaku dan selanjutnya.



Membayangkan betapa puteranya akan menjadi seorang yang amat terkenal, kakek itu terkenang akan keadaan dirinya sendiri yang serba gagal, dan dia lalu meraba-raba dengan tongkatnya, menemukan sebuah kursi, menjatuhkan dirinya di atas kursi dan menutupi muka dengan kedua tangan untuk menyembunyikan dua tetes air mata yang jatuh ke atas pipi.



***



Restoran itu cukup ramai dan besar dan malam hari itu restoran ini dikunjungi banyak tamu. Restoran Ban Lok memang merupakan sebuah restoran yang terkenal mempunyai masakan enak, paling terkenal di seluruh kota Cin-an. Ketika Ci Kang memasuki restoran itu, untung baginya dia masih kebagian meja yang paling sudut. Dia memasuki restoran, tidak perduli akan pandangan orang kepadanya, memang agak menyolok pakaian pemuda ini, tidak mewah seperti pakaian para tamu lain. Pakaian Ci Kang yang sederhana, dengan jubah kulit harimau, membuatnya nampak sebagai seorang pemburu, tidak ada keduanya di restoran itu. Ketika dia melewati serombongan orang yang duduk mengelilingi meja bundar besar, ada empat pasang mata yang memandangnya dengan senyum mengejek dan hidung agak dikembang-kempiskan seperti orang mencium bau busuk, akan tetapi ada dua pasang mata halus yang memandang kepadanya, ke arah wajahnya, dengan pandang mata kagum. Empat pasang mata yang terutama memandang kepada bajunya itu adalah mata empat orang laki-laki berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Mereka berpakaian mewah, akan tetapi sekali pandang saja tahulah Ci Kang bahwa mereka adalah orang-orang yang ter-golong penjahat yang suka melakukan hal-hal yang tidak baik untuk mencari uang. Dan dua pasang mata halus itu adalah mata dua orang wanita yang juga berpa-kaian mewah. Mereka itu adalah dua o-rang wanita muda yang usianya antara dua puluh tahun, cantik manis akan te-tapi melihat sikap mereka yang genit dengan gaya yang dibuat-buat untuk me-mikat hati orang, Ci Kang juga menge-nal sifat berandalan pada dua orang wa-nita itu dan dapat menduga bahwa me-reka tentu pelacur-pelacur yang dibawa ke restoran untuk pesta oleh empat o-rang itu yang agaknya baru saja mem-peroleh hasil banyak dari pekerjaan ko-tor mereka. Akan tetapi Ci Kang tidak perduli dan duduk memesan nasi, sayur dan air teh panas. Sudah menjadi watak-nya untuk tidak mencampuri urusan o-rang dan tidak memperhatikan orang lain. Sekali pandang saja dia sudah dapat melihat keadaan dan kalau tadi dia me-mandang ke arah enam orang itu hanyalah karena kewaspadaan saja, bukan ka-rena ingin tahu.



Setelah hidangan yang dipesannya datang, diantar oleh seorang pelayan, pada saat Ci Kang mengangkat muka untuk menerima hidangan itu, kembali dia melihat betapa dua orang wanita cantik yang genit-genit itu memandang kepadanya sambil tersenyum-senyum dan melempar kerling. Bahkan keduanya cekikikan sambil saling berbisik dan memandang kepadanya, jelas sekali mereka itu sedang membicarakan dirinya. Melihat ini, Ci Kang cepat menundukkan muka dan menghindarkan pertemuan pandang mata dengan mereka. Hatinya sedang murung dan sikap kedua orang wanita cantik itu menambah kemurungan hatinya. Dia masih belum dapat melupakan peristiwa yang terjadi di dalam pertemuan antara ayahnya dengan para tokoh Cap-sha-kui itu. Dia sungguh menyesali sikap ayahnya yang demikian keras dan kejam, bahkan tega hendak membunuhnya. Dia yakin benar akan napsu membunuh ayahnya ketika ayahnya menyerang dalam keadaan marah dan hal ini sungguh amat menya-kitkan hatinya. Dia merasa benar betapa ayahnya amat mencintanya, amat sayang kepadanya dan telah mencurahkan kasih sayangnya itu sejak dia kecil. Akan tetapi dia juga tahu bahwa ayahnya me-ngejar ambisi dan untuk itu, ayahnya da-pat bersikap dan berbuat kejam, seperti yang telah diperlihatkannya dengan cara hendak membunuhnya, putera kandung-nya sendiri.



"Heii, kalian melihat siapa sih? Kena-pa lirak-lirik dan senyam-senyum saja kepada orang itu?" terdengar seorang di antara empat pria itu menegur. Ci Kang mendengar ini dan sudah dapat menduga bahwa yang ditegur tentulah dua orang pelacur itu dan yang dimaksudkan dengan "orang itu" tentulah dia sendiri. Akan te-tapi dia terus makan minum dan tidak perduli.



"Percuma kami keluarkan banyak uang kalau kalian main mata dengan pria lain!" tegur suara kedua.



"Apakah pelacur-pelacur masih mata keranjang melihat orang muda dan tampan?" orang ketiga berkata.



"Uhh, biar muda dan tampan, kalau kotor seperti itu, sungguh menjijikkan. Agaknya tak

pernah berganti pakaian dan siapa tahu makanan itu takkan dibayarnya!" ejek orang keempat dan mereka berempat tertawa-tawa. Dua orang pelacur itupun ikut tertawa walaupun suara ketawa mereka itu paksaan atau terdorong oleh kegenitan mereka.



Tentu saja Ci Kang mendengar itu semua dan tahu bahwa mereka molontarkan hinaan-hinaan kepada dirinya, bahkan mendengar suara mereka meludah-ludah ketika orang keempat mengatakan dia kotor dan menjijikkan. Akan tetapi di dalam batin Ci Kang tersenyum, mentertawakan orang-orang itu karena dari sikap mereka itu mereka seperti memperlihatkan kepada umum orang-orang macam apa adanya mereka. Dia tidak mau melayani dan melanjutkan makan nasi dan sayur dengan cepat, lalu minum sedikit arak dan teh. Setelah selesai, diapun cepat membayar harga makanan dan hendak meninggalkan restoran yang masih banyak pengunjungnya itu.



Empat orang itu memang jagoan-jagoan yang terkenal bengis dan ditakuti orang di Cin-an. Maka, biarpun semua orang juga mendengar ucapan-ucapan mereka yang menghina orang, tidak ada yang mau mencampuri karena mencampuri urusan empat orang itu berarti mencari penyakit. Sedangkan empat orang jagoan itu memang tadi sengaja melontarkan kata-kata untuk menghina dan memancing kemarahan Ci Kang. Pemuda itu makan di restoran tidak mengganggu siapapun juga, bahkan tidak pernah menoleh kepada mereka, maka tidak ada alasan bagi mereka untuk mengganggu Ci Kang. Maka, karena hati mereka panas melihat betapa dua orang pelacur yang mereka bawa itu nampaknya tertarik kepada Ci Kang, mereka lalu melontarkan kata-kata hinaan untuk memancing agar pemuda itu marah-marah sehingga mereka mempunyai alasan untuk menghajarnya. Siapa kira, pemuda itu sama sekali tidak mau menyambut atau saking tolol atau takutnya tidak berani menjawab. Melihat betapa pemuda itu sudah bangkit dan hendak pergi, dan kini dua orang pelacur memperoleh kesempatan untuk memandang wajah pemuda itu dengan kagum, empat orang itu tidak dapat menahan kemarahan dan iri hati mereka. Setelah saling pandang dan mengangguk, mereka bangkit dari kursi mereka dan berloncatan menghadang Ci Kang yang hendak keluar dari restoran. Melihat ini, para tamu yang sudah mengenal empat orang jagoan itu menjadi ketakutan dan sebagian cepat menyingkir ke tempat yang agak jauh sambil memandang dengan hati khawatir.



Melihat empat orang itu berdiri menghadangnya, Ci Kang mengerutkan alisnya. Jelaslah bahwa empat orang yang menyeringai ini sengaja mencari keributan. Dia masih mencoba untuk menghindar dan mencari jalan keluar lain, akan tetapi gerakan ini oleh empat orang itu dianggap sebagai tanda takut, maka mereka lalu mengurungnya sambil tersenyum lebar. Ci Kang kehabisan jalan dan terpaksa dia mengangkat muka memandang mereka satu demi satu. Empat orang itu terkejut melihat sinar mata mencorong itu, akan tetapi karena sikap pemuda itu yang sejak tadi tidak pernah memperli-hatkan perlawanan membuat hati mereka menjadi besar. Mereka sengaja hendak berlagak di depan dua orang pelacur itu dan ingin membikin malu kepada pemuda yang agaknya telah menarik hati dan di-kagumi oleh dua orang pelecur yang me-reka sewa.



"Ha-ha-ha, bocah petani busuk, ber-sihkan dulu sepatu kami baru engkau bo-leh pergi dari sini!" kata seorang di an-tara mereka yang berkumis lebat. Tiga orang temannya tertawa sambil bertolak pinggang dengan sikap angkuh dan me-mandang rendah.



Ci Kang tidak marah, hanya merasa muak dengan sikap mereka. Tanpa mem-perdulikan mereka, dia lalu melangkah maju dan ketika si kumis tebal yang berada di depannya itu mengangkat tangan hendak memukul, dia tidak perduli den melangkah terus hendak menabrak tubuh si kumis tebal. Tentu saja si kumis tebal menjadi marah dan melanjutkan pukulannya ke arah kepala Ci Kang dan melihat ini, tiga orang kawannya juga sudah menggerakkan tangan menyerang Ci Kang da-ri kanan kiri dan belakang. Sekaligus, pemuda remaja itu diserang oleh empat orang dari empat jurusan, akan dipukuli begitu saja tanpa salah apa-apa.



Sejenak empat orang itu mengira bahwa pemuda itu takkan melawan dan akan mandah saja mereka pukuli karena tubuh Ci Kang same sekali tidak nampak bergerak atau bersiap melawan. Akan tetapi, ketika tangan empat orang itu sudah tiba dekat tubuhnya, tiba-tiba Ci Kang menggerakkan tubuhnya, mengangkat kedua tangan sambil memutar tubuh menggeser kaki dan terdengarlah suara tulang patah berturut-turut dan empat orang itu mengaduh-aduh sambil terpelanting ke belakang, jatuh dan memegangi tangan yang dipakai menyerang tadi karena lengan tangan itu telah patah-patah tulangnya ketika disambar tangan pemuda itu. Ci Kang sama sekali tidak memperdulikan mereka lagi. Seperti tidak pernah terjadi sesuatu, pemuda ini dengan wajah dingin dan langkah tenang meninggalkan restoran itu, diikuti pandang mata semua orang yang terbelalak penuh keheranan dan kekaguman. Empat orang itu seperti empat orang anak kecil yang karena tololnya memukul benda keras sehingga tangan mereka sakit sendiri. Akan tetapi merekapun maklum bahwa pemuda berwajah dingin yang hendak mereka jadikan korban penghinaan mereka itu ternyata adalah seorang pemuda yang sakti, maka merekapun hanya berani memandang dengan muka pucat karena gentar dan karena menahan rasa nyeri dan tidak berani mengejar.



Peristiwa di dalam restoran itu tentu saja menjadi buah bibir para tamu setelah mereka meninggalkan restoran, akan tetapi karena Ci Kang tidak pernah memperkenalkan nama, bahkan tidak pernah mengeluarkan sepatahpun kata dalam peristiwa itu, orang-orang hanya dapat menduga-duga siapa gerangan pemuda remaja berwajah dingin yang amat lihai itu.



Sementara itu, Ci Kang terus melanjutkan perjalanannya meninggalkan Cin-an pada malam hari itu juga karena dia tidak ingin dirinya terlibat lagi dalam keributan lain sebagai lanjutan dari peristiwa dalam restoran tadi. Sebagai putera seorang datuk sesat yang sudah banyak mengenal watak para penjahat, Ci Kang mengerti bahwa orang-orang macam penjahat-penjahat kecil seperti yang beraksi di restoran tadi, tentu mempunyai kepala atau pemimpin dan orang-orang semacam itu tidak pernah mau mengenal kelemahan sendiri. Mereka tentu tidak mau sudah begitu saja, melapor kepada kepala mereka atau mengumpulkan kawan-kawan mereka kemudian mencarinya untuk melakukan pembalasan. Orang-orang seperti itu tidak memiliki kejantanan sedikitpun juga, tidak malu-malu untuk mengandalkan pengeroyokan dan kecurangan lain. Oleh karena dia tidak ingin direpotkan oleh urusan tetek bengek macam itu, maka lebih baik dia pergi meninggalkan Cin-an malam itu juga, bukan karena takut melainkan karena segan berurusan dengan penjahat-penjahat kecil itu.



Ci Kang tidak pernah menduga bahwa urusan kecil di rumah makan itu memang tidak berhenti sampai di situ saja, melainkan mendatangkan akibat yang amat besar. Peristiwa itu menjadi buah bibir orang di Cin-an karena disebar oleh para tamu restoran yang menyaksikan keributan itu dan terdengar pula oleh enam orang tokoh Cap-sha-kui yang kebetulan pada keesokan harinya tiba di kota itu.



"Heh, tak salah lagi, pemuda berjubah kulit harimau itu tentulah Siangkoan Ci Kang," kata Kiu-bwe Coa-li.



"Benar, dan kita harus cepat mengejarnya!" kata Kui-kok Lo-mo.



"Mengapa? Apa perlunya kita mengejarnya?" tanya Tho-tee-kwi dengan suara tak acuh. Yang lain-lain juga memandang kepada kakek jubah putih itu. Selain tingkat kepandaiannya paling tinggi, juga Kui-kok Lo-mo selain berdua dengan isterinya yang juga amat lihai sehingga suami isteri ini dianggap sebagai pemuka oleh empat orang rekannya.



"Apa perlunya? Tentu saja untuk menangkapnya dan menyeretnya kepada Siangkoan Lo-jin, hidup atau mati." jawab Kui-kok Lo-mo.



"Mengapa kita harus mencampuri urusan ayah dan anak itu?"



Kembali yang bertanya itu adalah Tho-tee-kwi. Di antara empat orang rekan suami isteri dari Kui-kok-san itu, hanya raksasa inilah yang kelihatan tidak gentar menentangnya dan sikapnya selalu kasar, liar dan tak acuh. Tiga orang rekan yang lain menanti jawaban pertanyaan ini yang mereka anggap mewakili keraguan hati mereka sendiri untuk mencampuri urusan keluarga Siangkoan.



"Begitu bodohkah engkau maka hal itu saja engkau tidak mengerti? Apakah kalian

merasa senang selalu diperkuda oleh Siangkoan Lo-jin? Cap-sha-kui yang selama ini merajalela dan merajai dunia persilatan, kini harus tunduk kepada seorang kakek buta! Lihat, di antara kita tiga belas orang, hanya kita berenam saja yang tolol dan mau saja diperkuda olehnya. Kalau kita tempo hari merendahkan diri dan mau membantunya, hal itu adalah karena harapan imbalannya yang amat besar, selain harta benda juga mungkin kedudukan tinggi yang akan kita terima dari Liu-thaikam. Akan tetapi sekarang? Liu-thaikam sudah tidak ada, untuk apa kita masih terus merendahkan diri di bawah kekuasaan kakek buta itu lagi?"



"Nah, kalau begitu, mengapa sekarang kita masih harus mentaati perintahnya untuk menyeret pemuda itu ke depan kakinya?" Hwa-hwa Kui-bo bertanya heran.



"Kakek buta itu tentu tidak akan mengampuni kita kalau mendengar bahwa kita menentangnya. Dan kakek itu sendiri sebetulnya hanya seorang tua bangka buta, betapapun lihainya. Yang membuat dia kuat adalah puteranya itu. Kalau dia dan puteranya maju bersama sungguh sukar untuk ditundukkan. Sekarang mereka itu saling bentrok. Kita harus dapat mempergunakan kesempatan yang baik ini untuk menghancurkan kekuatan ayah dan anak itu. Kalau kita sudah dapat membunuh anaknya, apa sukarnya bagi kita untuk menghadapi tua bangka buta itu? Dia telah menyeret kita ke dalam persekutuan itu, berarti telah merugikan kita, dan sudah cukup lama dia meremehken dan merendahkan kita sebagai pembantu-pembantunya. Sekaranglah tiba saat pembalasan kita!"



Kehidupan para kaum sesat sepenuhnya dipengaruhi oleh nafsu angkara murka dan dendam kebencian, maka pendapat Kui-kok Lo-mo ini segera mendapatkan persetujuan para rekannya dan berangkatlah mereka bergegas untuk mencari jejak Siangkoan Ci Kang dan melakukan pengejaran.



Tidak mengherankan kalau pada keesokan harinya, selagi Ci Kang berjalan sendirian di luar sebuah dusun yang sunyi, di bawah terik matahari, tiba-tiba saja dia mendengar orang-orang berteriak memanggil namanya dan ketika dia berhenti, dia tersusul oleh enam orang tokoh Cap-sha-kui yang kini berdiri di depannya dan setengah mengepungnya.



Ci Kang memandang heran dan mengerutkan alisnya. Sejak pertama kali orang-orang ini membantu ayahnya, dia memang sudah tidak suka kepada mereka. Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo amat menjemukan hatinya karena kedua orang kakek dan nenek ini seakan-akan berlomba untuk memikatnya. Kiu-bwe Coa-li adalah seorang nenek kejam yang mengerikan dengan tubuh dan wajahnya yang buruk, ditambah lagi suka bermain-main dengan ular, menjijikkan. Suami isteri dari Kui-kok-san itupun menimbulkan rasa muak karena mereka berdua itu seperti mayat hidup saja. Adapun Tho-tee-kwi yang suka makan daging manusia itu menjemukan hatinya.



"Ada keperluan apakah cu-wi memanggil-manggil dan menyusulku?" tanyanya singkat.



Yang menjawab adalah Kui-kok Lo-mo, mewakili rekan-rekannya, "Siangkoan Ci Kang, kami disuruh ayahmu untuk membawamu pulang."



Ci Kang mengangkat muka memandang kakek itu dan tahu akan adanya perubahan karena kakek itu biasanya tidak memanggil namanya begitu saja. Biasanya, mereka itu menyebutnya Siangkoan kongcu atau Siangkoan sicu dengan sikap dan nada menghormat.



"Kalau aku tidak mau?" tanyanya sebagai jawaban.



"Kami telah diberi wewenang untuk memaksamu dan membawamu pulang, hidup atau mati. Kalau engkau menolak, kami akan menggunakan kekerasan!"



Tanpa menanti jawaban Ci Kang, begitu Kui-kok Lo-mo berkata demikian, isterinya telah menerjang pemuda itu dengan tamparan tangannya yang mengandung hawa panas. Serangan ini dilakukan oleh Kui-kok Lo-bo dari samping kiri dan tangan kanannya menyambar ke arah pelipis kiri Ci Kang. Pemuda ini maklum betapa ampuhnya tamparan nenek itu, maka cepat diapun mengelak, dengan menggeser kaki ke belakang dan menarik tubuh atasnya ke belakang. Tamparan itu luput dan lewat di depannya sehingga terasa hawa panas menyambar mukanya. Pada saat itu, Kui-kok Lo-mo yang melihat isterinya sudah mulai menyerang, juga menerjang ke depan dan melakukan serangan yang tidak kalah ampuhnya. Ci Kang menangkis dan segera pemuda itu dikeroyok dua oleh suami isteri dari Kui-kok-san itu. Terjadilah perkelahian yang amat seru.



Tak dapat disangkal lagi bahwa Siangkoan Ci Kang adalah seorang pemuda re-maja yang istimewa, bakatnya menonjol sekali sehingga dalam usia delapan belas tahun dia telah berhasil menguasai semua ilmu ayahnya. Akan tetapi, dibandingkan dengan suami isteri itu tentu saja dia kalah pengalaman dan kalah latihan, ka-lah matang ilmu silatnya. Dan mengingat bahwa Kui-kok Lo-mo den Kui-kok Lo-bo adalah tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang tinggi ilmunya, tentu saja dikeroyok dua Ci Kang menjadi repot dan terdesak hebat. Andaikata suami isteri itu maju satu de-mi satu, agaknya tidak akan mudah bagi mereka untuk dapat mengalahkan Ci Kang. Akan tetapi begitu maju bersama, suami isteri yang tentu saja dapat beker-ja sama dengan baik sekali dalam serangan-serangan mereka, Ci Kang terdesak hebat dan lewat lima puluh jurus saja dia sudah terus mundur dan hanya mam-pu mengelak ke sana-sini sambil kadang-kadang menangkis, tidak mempunyai kesempatan untuk balas menyerang. Bahkan tubuhnya sudah menerima beberapa han-taman den tendangan yang berkat keke-balannya membuat dia belum juga dapat dirobohkan. Ci Kang yang keras hati itu tidak pernah mengeluh dan sama sekali tidak berniat untuk melarikan diri. Dia bertekad untuk melawan sampai mati. Pula, apa gunanya lari? Di situ terdapat enam orang tokoh Cap-sha-kui sehingga laripun, dalam keadaan terluka-luka, akan percuma saja. Dan diapun tahu bahwa ti-dak ada harapan baginya untuk lolos. Ba-ru suami isteri Kui-kok-san saja sudah begini hebat, apalagi kalau empat orang tokoh lain itu maju mengeroyok.



Melihat cara kedua orang suami isteri itu menyerang, dengan pukulan-pukulan maut, tahulah Ci Kang bahwa mereka itu menghendaki kematiannya, make diapun membela diri sebaik mungkin dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya, mengerahkan seluruh tenaganya. Hebat bukan main sepak terjang pemuda ini. Biarpun terdesak hebat, namun tidak mudah bagi suami isteri itu untuk merobohkannya. Lengah sedikit saja pemuda itu akan membalas serangan maut yang berbahaya.



Pada saat itu, entah dari mana da-tangnya, tiba-tiba saja di belakang Ci Kang berdiri seorang kakek tinggi kurus. Kakek ini bajunya tambal-tambalan, ta-ngan kanan memegang sebatang tongkat bambu kuning dan di punggungnya nam-pak sebuah ciu-ouw (guci arak). Kakek yang usianya kurang lebih enam puluh li-ma tahun ini memandang perkelahian sambil mengelus jenggotnya, lalu mengomel, "Terlalu, terlalu...! Suami isteri tua bangka mengeroyok seorang bocah ingusan. Sungguh terlalu...!"



Kemudian tiba-tiba dia menggerakkan tubuhnya sambil terus bicara, "Nah, anak baik, bagus begitu! Lawanlah, jangan mau kalah terhadap sepasang mayat itu. Pukul, nah, bagus, begitu haittt... begini... bagus!" Kakek jembel ini, seperti orang gila, lalu meniru-niru gerakan Ci Kang bersilat, akan tetapi karena tangannya memegang tongkat maka tongkatnya bergerak pula dengan lucunya. Dia bukan mengajari Ci Kang, melainkan menirukan gerakan Ci Kang yang berloncatan ke sana-sini mengelak dari serangan suami isteri itu.



Dan... terjadilah hal yang luar biasa sekali. Tiba-tiba saja suami isteri itu merasa betapa tangkisan tangan Ci Kang menjadi sedemikian kuatnya sehingga mereka merasa lengan mereka nyeri dan tubuh mereka terpelanting! Ada angin pukulan dahsyat keluar dari kedua tangan Ci Kang. Pemuda ini sendiri merasa heran, akan tetapi dia dapat menduga bahwa kakek jembel aneh itu telah membantunya dengan tenaga sakti yang luar biasa.



Sementara itu, empat orang tokoh Cap-sha-kui yang lain bukan orang-orang tolol. Kemunculan kakek jembel yang aneh ini dan terdesaknya suami isteri Kui-kok-san tentu ada hubungannya, pi-kir mereka. Tanpa banyak cakap lagi mereka berempat lalu maju menyerang kakek jembel yang masih mencak-mencak menirukan gerakan Ci Kang karena kini suami isteri itu sudah menyerang lagi.



Hwa-hwa Kui-bo menyerang dengan pedangnya yang beracun, ditemani Koai-pian Hek-mo yang menggerakkan senjata-nya, yaitu sebatang pecut baja yang ujungnya berpaku. Kiu-bwe Coa-li meledakkan cambuk hitam ekor sembi-lan, menyerang dari depan bersama Thio-tee-kui yang menggerakkan kedua lengan-nya sehingga dua buah gelang emas yang berat di kedua lengannya itu saling ber-adu mengeluarkan bunyi nyaring. Dike-pung empat orang tokoh sesat yang lihai ini, kakek jembel itu malah tertawa bergelak.



"Ha-ha-ha, bagus, bagus!" Dan tiba-ti-ba saja tubuhnya sudah berkelebatan di antara sinar senjata empat orang penge-royoknya yang bergulung-gulung itu. Ten-tu saja empat orang pengeroyok itu ter-kejut bukan main. Tak pernah mereka sangka bahwa kakek jembel itu sedemi-klan lihainya dan seperti pandai menghi-lang saja saking cepatnya dan ringannya gerakan tubuhnya. Ternyata kakek ini bu-kan hanya mampu menghindarkan diri da-ri sambaran senjata-senjata ampuh itu, bahkan dengan gerakan-gerakannya seper-ti tadi masih dapat pula membantu Ci Kang sehingga kini pemuda itu dapat membalas serangan kedua orang penge-royoknya karena setiap serangan kedua suami isteri itu selalu tertumbuk pada tenaga yang tidak nampak akan tetapi yang kuat sekali.



"Ha-ha-ha, menggembirakan sekali!" kakek itu menari-nari ketika senjata-sen-jata lawan berobah menjadi sinar bergu-lung-gulung dan menyambar-nyambar.



"Tar-tar-tarrr...!" Senjata cambuk hitam ekor sembilan dari Kiu-bwe Coa-li meledak-ledak, diselingi ledakan satu-satu dan nyaring dari cambuk baja di tangan Koai-pian Hek-mo.



"Singggg... tring-tringgg...!" Suara pedang di tangan Hwa-hwa Kui-bo dan sepasang gelang emas di lengan Tho-tee-kui juga terdengar nyaring membuat kakek jembel yang dikeroyok itu menjadi semakin girang seperti seorang anak kecil melihat permainan yang menarik.



"Tar-tar-tarr...!" Cambuk ekor sembilan di tangan Kiu-bwe Coa-li meledak-ledak di atas kepala kakek itu. Sembilan ekor cambuk itu seperti hidup, seperti sembilan ekor ular yang menyambar-nyambar turun. Akan tetapi kakek itu meng-gunakan jari tangannya menyentil setiap kali ujung cambuk menyambar. Tiga kali dia menggunakan telunjuk tangannya me-nyentil dan ekor cambuk itu menyeleweng dan melesat amat cepatnya ke a-rah tiga orang pengeroyok lain. Hal ini sama sekali tidak diduga-duga dan tahu-tahu Hwa-hwa Kui-bo, Koai-pian Hek-mo, dan Tho-tee-kwi berteriak kaget dan tu-buh mereka terpelanting berturut-turut karena tahu-tahu tubuh mereka sudah tertotok oleh ujung cambuk Kiu-bwe Coa-li yang disentil menyeleweng tadi. Melihat robohnya tiga orang itu, kakek jembel tertawa dan mengangkat kedua tangan depan dada, menjura ke arah Kiu-bwe Coa-li.



"Terima kasih, engkau baik sekali te-lah menolongku dengan cambukmu!" Kiu-bwe Coa-li masih terbelalak saking ka-getnya melihat betapa ujung cambuknya malah menotok dan merobohkan tiga orang kawannya sendiri, tiba-tiba merasa ada sambaran angin dari depan ketika kakek itu menjura. Dengan cepat ia hen-dak mengelak, akan tetapi tidak keburu dan ketika ia mengerahkan tenaga untuk melawan, tubuhnya terjengkang dan dada-nya terasa sesak, seperti telah dipukul o-rang dengan keras! Empat orang itu me-rangkak bangun dengan mata terbelalak. Mereka adalah tokoh-tokoh Cap-sha-kui, bagaimana mungkin dapat dirobohkan se-mudah itu oleh kakek jembel ini? Si ka-kek jembel tertawa-tawa.



"Ha-ha-ha, kalian memang amat baik hati, pantas kusuguhi arak!" Dan diapun menurunkan guci araknya, mendekatkan bibir arak ke mulutnya, minum beberapa teguk kemudian dia menyemburkan arak di mulutnya itu ke arah empat orang bekas lawan. Empat orang datuk itu terkejut dan berusaha menghindar, akan tetapi masih terasa oleh mereka betapa kulit tubuh mereka yang terkena percikan air yang disemburkan terasa nyeri seperti ditusuk-tusuk jarum. Bahkan percikan arak itu menembus baju mereka dan mengenai kulit.



Sementara itu, memperoleh kenyataan bantuan rahasia dari kakek aneh, kini Ci Kang mendesak kedua lawannya dan akhirnya dialah yang berada di pihak menyerang. Tiba-tiba terdengar suara kakek itu, "Tendang pantat mereka! Tendeng pantat mereka!" Aneh sekali, di dalam suara itu seperti terkandung tenaga mujijat yang membuat Ci Kang tak dapat menahan diri lagi dan kakinyapun menyambar dan menendang berturut-turut ke arah pinggul dua orang lawannya. Hebatnya, dua orang suami isteri itu tidak kuasa mengelak seolah-olah tubuh mereka terhalang sesuatu.



"Bukk! Bukk!" Dua kali kaki Ci Kang menendang dan dua orang suami isteri itupun terbanting ke atas tanah. Mereka berloncatan bangun sambil meringis dan setelah saling pandang dengan rekan-rekannya, mereka lalu melarikan diri tanpa berani mengeluarkan kata-kata lagi. Peristiwa itu terlampau hebat bagi mereka. Belum pernah selama hidup mereka dikalahkan orang secara ini. Akan tetepi, ketika kakek tadi menyembur dengan arak, wajah mereka pucat karena mereka teringat akan nama seorang yang selama ini dikabarkan sudah mati atau telah menjadi dewa, yaitu Ciu-sian Lo-kai (Jembel Tua Dewa Arak). Memang orang sakti ini tidak pernah muncul di dunia kang-ouw, akan tetapi ada beberapa orang tokoh kang-ouw pernah melihat kesaktiannya sehingga namanya dikenal sebagai seorang di antara tokoh-tokoh rahasia yang amat sakti. Maka, enam orang datuk sesat itu segera mengambil langkah seribu. Biarpun mereka itu sudah menjadi datuk yang berkedudukan tinggi, akan tetapi karena mereka adalah golongan sesat, maka melarikan diri bukanlah hal yang dipantang oleh mereka.



Ci Kang berdiri memandang sambil bertolak pinggeng, sama sekali tidak bergerak untuk melakukan pengejaran.



"Orang muda, kenapa engkau tidak mengejar mereka?"



Ci Kang menoleh kepada kakek jembel itu. "Kenapa aku harus mengejar mereka?" dia balas bertanya sambil memandang tajam kepada kakek jembel yang sakti itu, yang entah mengapa telah mencampuri urusannya dan membantunya. Harus diakuinya dalam hati bahwa kakek ini telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut dikeroyok orang-orang Cap-sha-kui tadi.



"Lhoh! Bukankah mereka tadi mati-matian hendak membunuhmu?"



"Benar, akan tetapi aku tidak ingin membunuh mereka."



Kakek jembel itu melangkah dekat dan memandang sambil tersenyum lebar, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar. "Orang muda, apakah engkau tidak menaruh dendam kepada mereka yang hendak membunuhmu?"



"Tidak, mereka suka kekerasan dan suka membunuh, aku tidak."



"Bagus! Andaikata mereka itu mem-bunuh ayahmu, apakah engkau juga tidak sakit hati dan mendendam?"



Ci Kang teringat akan ayahnya yang hidup sebagai datuk sesat. Kalau ayahnya terbunuh orang, hal itu hanya terjadi ka-rena kesalahan ayahnya sendiri. Orang yang suka bermain dengan api seperti ayahnya, kalau sekali waktu terbakar, ti-dak perlu penasaran lagi. Maka diapun menggeleng kepala.



Kakek jembel itu kelihatan semakin girang. "Wah, inilah orangnya yang kucari selama ini. Orang muda, engkau bernama Siangkoan Ci Kang, bukan? Engkau putera tunggal Siangkoan Lo-jin?"



Pemuda itu menjadi semakin heran dan dia mengangguk.



"Heh-heh, bagus! Ayahnya menjadi pimpinan kaum sesat mengumbar nafsu, puteranya malah bebas dari nafau den-dam. Siangkoan Ci Kang, baru saja kalau tidak ada aku, engkau tentu sudah mati di tangan badut-badut itu. Nah, untuk membalas budi itu, apa yang ingin kaula-kukan untukku?"



Ci Kang mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Locianpwe, walaupun locianpwe telah mengusir orang-orang yang mengeroyokku dan menyelamatkan aku, hendaknya locianpwe ingat bahwa aku tidak pernah minta tolong kepadamu. Jadi aku tidak berhutang budi atau apapun kepada locianpwe."



Orang lain tentu akan merasa pena-saran dan marah sekali mendengar jawab-an orang yang pernah diselamatkan nya-wanya seperti itu, akan tetapi sungguh kakek itu berwatak aneh. Dia malah ter-tawa senang! "Ha-ha-ha, cocok! Bagus! Tidak pernah hutang budi, tidak pernah menghutangkan budi, berarti tidak pula pernah mendendam. Ha-ha, orang muda, engkaulah orang yang kucari-cari!"



Ci Kang merasa semakin heran. Kakek ini sungguh luar biasa, tidak saja menge-tahui keadaannya, akan tetapi juga omongannya aneh dan sikapnya luar biasa.



"Mengapa locianpwe berkata demiki-an? Mengapa locianpwe mencari-cari a-ku?"



"Aku mencari murid dan engkaulah o-rangnya yang paling cocok. Orang muda, tidak kusangkal bahwa engkau telah memiliki ilmu silat yang tinggi dan jarang ada orang dapat menandingimu. Akan tetapi sayang, ilmu-ilmumu masih mentah. Tadipun andaikata ilmumu sudah matang, tanpa kubantu sekalipun engkau akan menang menghadapi para pengeroyokmu."



Ci Kang menggeleng kepala. "Tidak mungkin, locianpwe. Mereka itu adalah tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang berilmu tinggi. Bahkan ayah sendiripun agaknya tidak akan kuat kalau menghadapi pengeroyokan mereka."



"Ha-ha, engkau sudah melihat betapa dengan mudah aku menghadapi mereka. Siangkoan Ci Kang, mari kau ikut bersa-maku setahun saja dan aku akan mama-tangkan ilmumu."



Ci Kang mengerutkan alisnya, mempertimbangkan. Tentu saja dia yang sejak kecil belajar silat, merasa girang kalau sampai dapat menjadi murid kakek yang dia tahu memiliki kepandaian hebat ini. Akan tetapi diapun memiliki watak yang bebas, tidak mau terikat.



"Apakah locianpwe hendak mengambil murid kepadaku sebagai balas budi?"



"Ha-ha-ha, akupun seorang yang suka bebas dari pada segala macam hutang budi seperti

engkau. Aku ingin mengambil murid karena kulihat engkau berbakat sekali, dan karena aku merasa cocok dengan watakmu."



Giranglah rasa hati Ci Kang mendengar ucapan ini. Tanpa ragu-ragu lagi diapun menjatuhkan diri berlutut di depan kakek jembel itu. "Baiklah, suhu, teecu terima dengan gembira sekali."



Kakek itu juga merasa gembira bukan main. Sambil tertawa-tawa dia lalu menarik tangan Ci Kang dan diajaklah pemuda itu pergi dari situ untuk mulai menggemblengnya sebagai murid. Kakek itu adalah Ciu-sian Lo-kai, tokoh sakti aneh yang tak pernah muncul di dunia kang-ouw dan yang pernah mengunjungi Lembah Naga tempo hari. Seperti kita ketahui, Ciu-sian Lo-kai berbeda pendapat dan berbantahan dengan Go-bi San-jin tentang sikap Pendekar Cia Han Tiong mengenai dendam dan ikatan. Dan karena mereka meran sudah terlalu tua untuk saling gempur, keduanya lalu berjanji untuk mencari murid dan mendidik murid itu menurut pandangan hidup masing-masing, tentu saja dengan maksud untuk kemudian diuji siapa yang lebih berhasil. Go-bi San-jin lalu berhasil membujuk Cia Sun yang sedang dicekam dendam karena kematian ibu dan para suhengnya, sedangkan Ci Kang yang jemu dengan dunia hi-tam dan kejahatan, kini menjadi murid kakek jembel itu.



***



Pulau Teratai Marah merupakan sebuah di antara pulau-pulau kecil yang berada di Lautan Tiongkok Timur, beberapa li jauhnya dari pantai. Kalau dilihat dari pantai, hanya nampak bintik-bintik kecil di sebelah timur yang tidak menarik perhatian. Bahkan para nelayan hanya mengenal pulau-pulau kecil itu sebagai pulau-pulau kosong dan sebagian besar hanya merupakan pulau-pulau batu karang yang tiada gunanya karena tidak memiliki tanah subur, tidak memiliki air tawar. Akan tetapi ada beberapa buah pulau yang ditumbuhi pohon-pohon liar dan di antara pulau-pulau inilah yang dinamakan Pulau Teratai Merah. Pulau ini mempunyai tanah yang cukup subur, bahkan ada sumber airnya, dan ada bukit kecilnya. Dahulu, puluhan tahun yang lalu, pulau inipun hanya dilewati saja oleh para nelayan karena hanya terisi pohon-pohon liar dan binatang-binatang berba-haya. Akan tetapi, pulau ini telah dipi-hh oleh Pangeran Toan Su-ong, pangeran pelarian yang meninggalkan kota raja, seorang bangsawan yang menentang ke-luarga kaisar sendiri, dan seorang ahli silat yang amat pandai. Di pulau inilah Pangeran Toan Su-ong bersembunyi, hidup bersama isterinya yang tercinta, yang bernama Ouwyang Ci. Isterinya itu me-miliki kitab pusaka peninggalan Panglima The Hoo yang terkenal dan di tempat sunyi ini, Pangeran Toan Su-ong dan Ouwyang Ci yang menjadi isterinya, te-kun memperdalam ilmu silat, bahkan berhasil menciptakan Ilmu Hok-mo Sin-kun yang hebat. Di tempat itu pula mereka mempunyai seorang anak perempuan yang diberi nama Toan Kim Hong yang kemu-dian menjadi datuk selatan Lam-sin dan akhirnya menjadi isteri Pendekar Sadis (baca cerita Pendekar Sadis). Pangeran bersame isterinya itu membabat hutan di pulau itu, menanami tanah pulau itu de-ngan pohon-pohon yang berguna, sayur-sayuran, bahkan akhirnya mereka berdua menanam bunga-bunga, membuat telaga kecil dari air sumber yang dialirkan ke situ dan sebentar saja mereka dapat memperkembangbiakkan bunga teratai merah. Pulau itu berobah menjadi tem-pat yang indah dan subur dan mereka memberi nama Pulau Teratai Merah.



Demikianlah riwayat singkat Ang-lian-to (Pulau Teratai Merah) itu yang kini menjadi tempat tinggal Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya, Lam-sin Toan Kim Hong. Setelah Pendekar Sadis dan isterinya yang memang ahli waris pulau itu tinggal di situ, pulau itu menjadi semakin indah dan terawat baik. Apalagi karena pendekar ini mempergunakan belasan orang pelayan untuk merawat pulau, tempat itu menjadi sebuah pulau yang mewah. Ceng Thian Sin telah menjadi seorang yang kaya raya, memiliki sebuah bangunan gedung seperti istana di atas pulau. Para pembaca cerita serial Pendekar Sadis tentu maklum, be-tapa suami isteri pendekar ini telah memperoleh harta karun Jenghis Khan yang amat besar nilainya dan yang membuat suami isteri itu menjadi kaya raya.



Biarpun sudah lama suami isteri pendekar ini tidak mencampuri urusan dunia kang-ouw, melainkan hidup makmur dan tenteram di Pulau Teratai Merah, namun hal ini bukan berarti mereka mengasingkan diri dari pergaulan. Sama sekali tidak, karena keluarga Ceng ini mengadakan hubungan dengan kota Ning-po, kota pelabuhan terbesar di daratan yang terdekat dengan Pulau Teratai Merah. Para penghuni kota Ning-po, dari pembesar sampai kepada para pelayannya, tahu di mana letaknya pulau itu dan siapa keluarga yang tinggal di sana. Bahkan Pangeran Can Seng Ong yang menjadi gubernur di Propinsi Ce-kiang dan daerah selatan, berkenan datang berkunjung beberapa hari ke pulau indah itu dan menjadi tamu kehormatan keluarga Ceng. Terjalin persahabatan antara keluarga Ceng dan keluarga Can, apalagi setelah pangeran yang masih berdarah keluarga kaisar di kota raja itu mengetahui bahwa isteri Pendekar Sadis adalah keturunan Pangeran Toan Su-ong yang amat terkenal itu. Bagaimanapun juga, masih ada hubungan keluarga, biarpun jauh, antara keluarga Can Seng Ong dan isteri Pendekar Sadis. Selain itu, sudah beberapa kali suami isteri majikan Pulau Teratai Merah itu berjasa dengan beberapa kali mengusir dan membasmi penjahat-penjahat yang berani merajalela di Ning-po dan sekitarnya, yang tidak dapat ditanggulangi oleh para petugas keamanan.



Pada suatu siang yang panas, sebuah perahu kecil meluncur meninggalkan Pan-tai Ning-po menuju ke timur, ke arah pulau-pulau kecil yang nampak seperti titik-titik hitam itu. Perahu itu didayung gadis berpakaian sederhana dan setelah agak ke tengah, gadis itu me-ngembangkan layar yang segera menang-kap angin dan meluncurlah perahu itu dengan lajunya, dikemudikan tangan-ta-ngan kecil halus dengan sikap cekatan. Jelaslah bahwa gadis ini tidak asing dengan lautan dan perahu. Hal ini bukanlah aneh kalau diketahui bahwa gadis itu lahir dan dibesarkan di Pulau Teratai Merah. Gadis itu adalah Ceng Sui Cin!



Setelah peristiwa pembongkaran rahasia Liu-thaikam di istana selesai dan pembesar korup itu tertangkap dan dihukum mati, Sui Cin bersama Cia Hui Song meninggalkan kota raja. Tadinya Hui Song hendak mengantar Sui Cin sampai ke Pulau Teratai Merah karena pemuda yang sudah jatuh cinta ini selain ingin memperpanjang perjalanannya bersama dara itu, juga ingin berkunjung ke pulau itu bertemu dengan Pendekar Sadis dan isterinya yang sudah lama dia kagumi namanya itu. Akan tetapi Sui Cin mencegahnya.



"Twako, harap kau jangan dulu berkunjung ke rumah kami. Ayah ibuku akan marah kepadaku kalau membawa teman tanpa memberi tahu lebih dahulu. Tidak begitu mudah untuk mendatangi Pulau Teratai Merah tanpa mendapat perkenan ayah ibu. Aku sudah lama merantau meninggalkan mereka. Kalau aku pulang membawa teman tanpa lebih dahulu mendapat ijin, aku tentu akan kena marah. Lain kali saja engkau datang kalau aku sudah menceritakan tentang dirimu kepada mereka."



Hui Song merasa kecewa akan tetapi tidak berani memaksa. "Cin-moi, akupun tidak berani lancang mengunjungi Pulau Teratai Merah tanpa ijin orang tuamu. Biarlah aku mengantarmu sampai ke pantai dan engkau lebih dahulu menyeberang ke pulau dan melaporkan kepada orang tuamu. Kalau mereka setuju, baru aku akan ke sana. Bagaimana?"



Tentu saja tidak ada alasan bagi Sui Cin untuk menolak. Apalagi ia memang suka kepada pemuda yang jenaka dan lincah akan tetapi gagah perkasa dan berbudi ini. Ia tahu benar bahwa Hui Song mencintanya dan hal ini mendatangkan rasa senang di dalam hatinya, walaupun ia sendiri tidak tahu pasti apakah iapun mencinta pemuda ini. Ia suka kepada Hui Song, sebagai seorang sahabat, hal ini sudah jelas. Senang bekerja sama dengan pemuda yang gagah perkasa itu, melakukan perjalanan bersama, bersendau-gurau dan bicara tentang ilmu silat. Dan bagaimanapun juga harus diakuinya bahwa cintanya pemuda itu kepadanya menda-tangkan semacam rasa bangga dalam hatinya.



Mereka lalu melakukan perjalanan ke selatan dan setelah mereka tiba di kota Ning-po, Sui Cin berkata, "Song-twako, harap engkau suka menanti di kota ini lebih dulu. Paling lambat tiga hari aku pasti akan memberi kabar kepadamu, entah aku datang sendiri atau menyuruh pelayan, mengabarkan kepadamu apakah engkau sudah boleh menyeberang ke pu-lau ataukah tidak."



"Baik, Cin-moi. Aku menanti di peng-inapan ini, mudah-mudahan orang tuamu berkenan menerima kunjunganku. Selamat jalan, Cin-moi."



"Selamat tinggal, sampai jumpa kembali."



Sui Cin meninggalkan pemuda itu dan berlayar seorang diri menuju ke Pulau Teratai Merah. Wajahnya gembira sekali, berseri-seri dan senyum menghias bibirnya. Hatinya terasa nyaman dan gembira karena begitu ia berlayar menuju ke pulaunya, barulah terasa betapa sebetulnya ia merasa amat rindu kepada ayah bundanya, kepada pulaunya, bahkan rindu kepada air laut di mana ia biasa bermain-main semenjak ia kecil. Kini, setelah ia mangemudikan perahunya yang ngebut menuju ke timur, hatinya riang sekali. Dalam keriangannya itu teringatlah ia akan sajak yang dibuat ibunya dan yang dihafalnya ketika ia masih kecil. Kini, tak terasa lagi bibirnya bergerak dan terdengarlah alunan suaranya yang nyaring merdu di antara suara percikan air pecah dibelah ujung perahunya.



"Laut! Hidupmu penuh rahasia

airmu luas tak terjangkau mata

bergerak berobah tiada hentinya

tak berdaya namun penuh kuasa!



Kadang marah liar mengganas

kadang lembut halus dan lemas

kadang riang gembira penuh tawa

kadang meraung menangis penuh duka!



Laut! Penuh sgala

kemungkinan rahasia

cermin batin setiap manusia!



Dahulu, di waktu ia masih kecil, biarpun ia hafal akan kata-kata nyanyian itu, namun ia tidak mengerti apa yang termaksud dalam sajak itu. Memang penggambaran lautan itu dapat dimengerti. Lautan selalu berobah. Kalau sedang tenang halus, amat mentakjubkan karena indahnya, bagaikan sutera biru terhampar, atau bagaikan padang rumput segar tertiup angin, seolah-olah melambai mengajak orang menikmati keindahannya. Akan tetapi ada kalanya laut membuat ia berlari menjauh, bersembunyi aman di dalam rumah karena laut mengamuk, mengganas, mengeluarkan suara yang mengerikan, gelombang menderu meraung-raung, kadang-kadang menangis mendesis-desis, menggelegar menghantam batu karang di pantai, demikian perkasa dan menyeramkan. Akan tetapi hanya sampai di situ saja batas kemampuannya untuk menyelami arti sajak buatan ibunya itu. Bahkan setahun yang lalu ketika ia meninggalkan pulau, ia masih tidak perduli akan isi sajak itu, tidak berminat untuk menyelami artinya lebih mendalam. Akan tetapi sekarang, pada saat ia bernyanyi, artinya meresap ke dalam kalbu dan ia mengerti sepenuhnya akan isi kalimat terakhir dari sajak itu. "Laut! Penuh segala kemungkinan rahasia, cermin batin setiap manusia!"



Memang ada gerakan tiada hentinya dalam batin manusia, seperti lautan. Kadang-kadang manusia dapat bersikap lembut, terkadang ganas dan kejam, dan selama ini ia sudah melihat betapa banyaknya manusia melakukan kekejaman-kekejaman dan kebuasan yang lebih mengerikan daripada kebuasan lautan!



Baru saja Sui Cin menghentikan nyanyiannya, perhatiannya tertarik oleh beberapa buah perahu yang agaknya baru saja meninggalkan Pulau Teratai Merah. Sebuah perahu besar mewah dikawal oleh empat buah perahu kecil. Begitu melihat perahu besar itu, Sui Cin tersenyum. Tentu saja ia mengenal perahu mewah yang berbendera besar itu. Perahu siapa lagi kalau bukan perahu Pangeran Can Seng Ong yang menjadi gubernur atau Raja Muda dan mempunyai rumah di Ning-po itu! Ia mengenal keluarga itu, juga me-ngenal putera tunggal raja muda itu, se-orang yang usianya lima enam tahun lebih tua daripada usianya dan yang disukainya karena pemuda bangsawan yang bernama Can Koan Ti itu wataknya ceriwis, suka menggodanya dengan sikap yang kurang ajar! Akan tetapi dalam pergaulan biasa, tentu saja ia tidak me-nyatakan sikap tidak senang itu, karena ia maklum bahwa orang tuanya adalah sahabat baik keluarga Can. Agaknya yang membuat ia tidak suka adalah kemewahan yang terlalu berlebihan itu. Ibunya sendiri seorang wanita cantik jelita yang pesolek dan suka mengenakan pakaian-pakaian indah, demikian pula ayahnya. Dan keluarga Can itu seolah-olah berlomba dalam menonjolkan kekayaan mereka. Hal-hal inilah yang tidak disukai Sui Cin. Entah bagaimana, ia tidak suka bersolek, tidak suka menonjolkan kekayaan dan kadang-kadang selagi ia kecil, ia ngambek kalau oleh ibunya dipaksa mengenakan pakaian-pakaian indah. Ia lebih mengutamakan keenakan pakaian yang menempel di tubuh daripada keindahannya. Karena ini-lah maka Sui Cin seringkali memakai pakaian yang aneh-aneh dan nyentrik, semata-mata dilakukan bukan untuk menarik perhatian, melainkan karena ia mengutamakan keenakan pada pakaian yang dipa-kainya itu.



"Haiii... Ceng Siocia...!" Tiba-tiba terdengar seruan dari perahu besar dan seorang laki-laki menjenguk dari atas pagar besi di tepi geladak perahu. Orang itu berusia kurang lebih dua puluh dua tahun. Wajahnya tidak berapa tampang akan tetapi karena dia pesolek, dengan kulit muka biasa dibedaki, rambut tersisir rapi dan mengkilat karena minyak, pakaiannya mewah sekali, maka dia nampak sebagai seorang pria yang ganteng. Sui Cin segera mengenalnya karena pemuda itu bukan lain adalah Can Koan Ti, putera tunggal Raja Muda Can Seng Ong atau gubernur Ce-kiang itu. Bertemu dengan orang yang sudah dikenalnya setelah lebih dari setahun berpisah mendatangkan kegembiraan. Sui Cin segera melupakan sifat-sifat yang tidak disukanya pada diri putera pembesar itu dan iapun melambaikan tangan.



"Heiii, Cong-kongcu... selamat berjumpa!" teriaknya riang.



Pemuda itu melambaikan tangan dengan gembira, lalu terdengar suaranya nyaring dan sengaja dinyaringkan karena perahu mereka sudah meluncur berpapasan, "Haiii... engkau semakin cantik saja..."



Sui Cin cemberut. Kiranya belum sembuh juga penyakit laki-laki itu, pikirnya. Ia hendak memaki dan sudah mengerahkan khi-kang untuk berteriak agar terdengar dari perahu besar yang sudah jauh, akan tetapi pada saat itu, banyak kepala nongol di tepi perahu itu sehingga ia melirihkan suaranya agar tidak terdengar banyak orang, "Engkau... ceriwis dan brengsek...!"



Karena gadis itu tidak mempergunakan khi-kang ketika berteriak, tentu saja suaranya tidak dapat mencapai perahu besar yang sudah lewat agak jauh. Can Koan Ti merasa penasaran tidak mendengar apa yang diucapkan dara jelita itu, maka diapun berteriak, "Apaaaa...? Kau bicara apa, nona...?"



Akan tetapi Sui Cin hanya memoncongkan mulut mencibirkan bibir saja. Melihat ini, pemuda bangsawan itu menjadi gemas. Awas kau, pikirnya, kalau sudah menjadi milikku, kugigit bibirmu itu!



Sui Cin tertawa-tawa kecil, senang hatinya sudah dapat menggoda pemuda bangsawan itu. Aneh, kenapa aku menjadi marah karena dipuji cantik? Ah, bukan pujiannya yang membuatnya marah, melainkan sikap pemuda itu, dan mungkin juga tergantung dari siapa yang memujinya. Kalau memang hati sudah tidak suka, biar dipujipun mungkin saja dianggap melakukan kekurangajaran. Sebaliknya kalau hati suka, biar dikurangajari sekalipun mungkin akan dianggap sebagai pujian yang menyenangkan!



Sui Cin sengaja memutar perahunya dan menghampiri Pulau Teratai Merah dari arah selatan karena di bagian sela-tan dari pulau itu terdapat sebuah taman laut yang amat indah. Di waktu air laut sedang tenang, dari atas perahu dapat nampak ikan-ikan di bawah permukaan air yang tidak begitu dalam dan dasar laut itupun penuh dengan batu dan bunga karang yang amat indah dan beraneka warna. Ketika tiba di tempat ini, Sui Cin tidak dapat menahan keinginan hatinya untuk menikmati tempat itu. Ia menoleh ke kanan kiri. Sunyi. Memang tidak ada nelayan berani mendekat Pulau Teratai Merah tanpa seijin orang tuanya, dan a-yah bundanya melarang para nelayan mendatangi taman laut itu. Setelah merasa yakin bahwa di situ tidak terdapat orang lain, Sui Cin lalu membuang jangkar, menggulung layar, menanggalkan pakaian luarnya kemudian juga pakaian dalamnya. Dengan bertelanjang bulat ia mengikat rambutnya di atas kepala dan terjunlah ia ke dalam air. Ia menyelam dan segera ia memasuki keadaan yang hanya dapat dibayangkan dalam mimpi. Sebuah alam yang amat indah, beraneka warna, ada bintang-bintang berwarna, ada bunga-bu-nga raksasa dengan warna menyolok, ada ikan-ikan yang warnanya berkilauan dan bentuknya beraneka macam, ada yang teramat aneh dan menyeramkan. Ia menye-lam, hanya timbul untuk berganti napas dan menyedot hawa murni sebanyaknya, menyelam lagi dan tanpa dirasakan telah satu jam lebih ia bermain-main di tem-pat itu, suatu kebiasaan yang dahulu menjadi kesukaannya sebelum ia pergi me-rantau. Setelah ia merasa lelah dan puas, baru ia naik ke perahunya, mengeringkan tubuh dan rambut, lalu mengenakan lagi pakaiannya. Dan hatinya kini menjadi semakin riang, wajahnya semakin cerah ke-tika ia mengemudikan perahunya menuju ke Pulau Teratai Merah.



Biarpun Pulau Teratai Merah tidak pernah dijaga ketat karena keluarga Ceng tidak takut akan ancaman bahaya, namun para pelayan mereka yang rata-rata me-miliki kepandaian silat lumayan itu sela-lu bersikap waspada. Oleh karena itu, ti-dak mengherankan apabila mereka sudah tahu akan kedatanan nona mereka dan hal ini segera mereka laporkan kepada majikan mereka. Itulah sebabnya ketika Sui Cin muncul di ruangan depan rumah gedung keluarganya, ayah ibunya telah berdiri menyambut dengan senyum gembira.



"Ayah...!" Sui Cin berlari dan memeluk ayahnya, sejenak menempelkan mukanya di dada yang bidang itu. Jari-jari tangan ayahnya mengelus rambutnya, mendatangkan rasa senang dan tenteram di hati. Ia lalu mengangkat mukanya, memandang wajah ayahnya yang masih ganteng itu sambil tersenyum.



"Engkau baik saja, bukan?" Ayahnya bertanya halus.



Sui Cin mengangguk, lalu melepaskan dirinya dan menghampiri ibunya, terus merangkulnya, "Ibu...!"



Toan Kim Hong memeluk anaknya dan menciumi pipinya. "Anak bengal, terlalu lama kau pergi, membuat kami merasa rindu sekali."



Sui Cin juga menciumi muka ibunya yang amat cantik itu.



"Ihh, rembutmu basah! Bau air laut pula! Dan pakaianmu... hemm, kenapa engkau memakai pakaian seperti... seperti jembel...!" Wanita itu menegur dan alisnya berkerut. Sebagai seorang ibu yang suka akan pakaian indah, tentu saja hati nyonya ini merasa kecewa melihat puteri tunggalnya berpakaian yang dianggapnya jorok dan terlalu sederhana, pantasnya pakaian wanita petani miskin.



Sui Cin melepaskan rangkulannya, melangkah mundur tiga tindak dan memandang ayah ibunya. Baru sekarang ia melihat betapa pakaian orang tuanya amat mewah, lebih indah daripada biasanya den teringatlah ia bahwa tentu ayah ibunya belum berganti pakaian setelah tadi menerima tamu agung, yaitu keluarga Raja Muda Can itu. Timbul rasa tidak senangnya akan kemewahan ayah bundanya dan ia berkata dengan nada mengejek dan senyum dibuat-buat.



"Wah, pakaian ibu dan ayah indah sekali, baru dan mewah seperti pakaian kaum bangsawan saja!" Memang pakaian yang dikenakan suami isteri itu indah dan mewah. Ceng Thian Sin yang telah berusia empat puluh enam tahun itu ma-sih nampak muda dan gagah, tubuhnya tegap dan sehat, wajahnya berseri dan kepalanya memakai sebuah topi yang ba-gus, dihias bulu. Pakaiannya dari sutera halus biru dan putih, rapi dan mewah se-perti pakaian seorang hartawan aseli, se-patunya mengkilap dan baru. Toan Kim Hong lebih mewah lagi. Rambutnya di-sanggul di atas, dihias emas dan permata berbentuk sebuah mainan naga kecil, ke-dua telinganya dihias anting-anting mu-tiara besar, juga kalung batu-batu per-mata tergantung di luar bejunya yang amat indah. Gaun itu disulam gambar se-ekor burung hong dari benang emas, se-suai dengan namanya "Kim Hong" yang berarti burung hong emas! Wajah wanita yang sebetulnya dua tahun lebih tua dari suaminya ini masih nampak seperti wanita tiga puluh tahunan saja, cantik manis dan kulitnya putih halus. Sungguh sukar dipercaya bahwa wanita yang begini cantik jelita pernah menjadi Lam-sin, datuk selatan yang ditakuti semua golongan hitam.



Toan Kim Hong merasakan nada suara mengandung ejekan itu. Sepasang alisnya berkerut ketika ia berkata, "Sui Cin! Tidak pantas engkau mengejek orang tuamu! Tidak pantas pula engkau mengenakan pakaian semacam ini! Engkau tentu tahu siapa ayahmu, dan dari mana datangnya nama keluarga Ceng. Ayahmu masih berdarah keluarga kaisar! Kakek ayahmu adalah mendiang Kaisar Ceng Tung, maka memang sudah sepatutnya kalau keluarga kita adalah keluarga bangsawan. Dan ayahku sendiri adalah seorang pangeran yang tidak rendah kedudukannya. Keluarga Toan adalah keluarga bangsawan pula. Maka, tidak perlu engkau mengejek."



Thian Sin memegang lengan isterinya dan merangkul pundak puterinya. "Sudah-lah, masa anak baru datang dimarahi. Dan engkau, Cin, tidak baik bersikap se-perti itu kepada ibumu. Mari kita bicara di dalam. Kami ingin menyampaikan be-rita penting sekali mengenai dirimu."



Mereka bertiga lalu berjalan masuk dan suasana antara ibu dan anak itu sudah pulih kembali. Mereka masuk ke ruangan dalam di mana tidak ada pelayan yang berani masuk tanpa dipanggil dan duduklah keluarga yang terdiri dari tiga orang itu.



"Dalam perjalanan pulang tadi, di tengah lautan aku bertemu dengen perahu Raja Muda Can. Agaknya dia berkunjung ke sini, benarkah, ayah?" Sui Cin bertanya, teringat akan perjalanannya tadi.



"Benar," jawab ayahnya. "Memang keluarga Can tadi berkunjung ke sini dan justeru urusan dengan mereka itu yang ingin kami ceritaken kepadamu!"



Sui Cin mengerutkan alis. "Tadi ayah bilang akan menyampaikan berita penting mengenai diriku...?"



"Ada hubungannya dengan kunjungan keluarga Raja Muda Can..." kata ibunya.



Sui Cin memandang kepada ayah ibunya yang kelihatannya ragu-ragu untuk bicara. "Apakah yang terjadi? Apa hubunganku dengan keluarga Can? Ayah, katakanlah!"



Suami isteri itu saling pandang dan dalam pertemuan pandang mata itu tahulah Pendekar Sadis bahwa isterinya dalam keadaan terharu dan menghendaki agar dia yang menyampaikan berita itu kepada anak mereka.



"Anakku, tahukah engkau berapa usiamu tahun ini?" tanyanya, ingin menyampaikan berita itu secara halus dan memutar.



"Usiaku?" Sui Cin memandang heran. "Ayah tentu tahu, usiaku hampir enam belas tahun..."



"Hemmp, sudah dewasa anakku sekarang," Toan Kim Hong berkata.



"Apa hubungannya aku dan usiaku dengan keluarga Raja Muda Can? Ahhh... aku tahu... ahh, si keparat, agaknya mereka datang untuk meminang aku, begitu-kah ayah dan ibu?"



"Sui Cin, hati-hati dengan mulutmu itu!" Ibunya menghardik. "Keluarga Can adalah keluarga bangsawan dan pembesar yang terhormat dan mereka datang meminangmu merupakan suatu kehormatan besar bagi kita, bagaimana engkau berani mengeluarkan kata makian?"



"Sui Cin, bersikaplah tenang dan hadapi segalanya dengan pikiran yang matang, jangan terlalu mudah menurutkan perasaan suka atau tidak suka dan dengarkan kata-kata kami." Suara Pendekar Sadis terdengar tegas dan Sui Cin menunduk.



"Maafkan, ayah." Iapun insyaf bahwa sikapnya memang tidak sepatutnya. Ia sudah dewasa, bukan anak kecil lagi dan ia harus dapat menghadapi segala sesuatu dengan tenang seperti yang dimaksudkan ayahnya.



"Sui Cin, keluarga Can memang datang berkunjung untuk mengajukan pinangan atas dirimu. Engkau tahu bahwa keluarga itu adalah keluarga yang terhormat, seorang wakil kaisar untuk daerah selatan, seorang pangeran yang menjadi raja muda, selain berdarah bangsawan tinggi, juga kaya raya dan kedudukannya tinggi terhormat. Dan puteranya, Can-kongcu adalah seorang pemuda yang terpelajar dan halus budi. Tak perlu kuceritakan banyak karena engkaupun sudah mengenalnya."



"Dan ayah ibu sudah menerimanya?" tanya Sui Cin, jantungnya berdebar te-gang.



"Kami menyambutnya dengan baik dan biarpun di dalam hati kami merasa setuju sekali, akan tetapi kami ingin menanti sampai engkau pulang, jadi kami belum mengambil keputusan menerimanya. Keluarga Can yang bijaksana mengerti keadaan kami karena engkau tidak berada di rumah dan mereka menanti sampai engkau pulang."



"Terima kasih, ayah dan ibu, dan memang tidak perlu diterima pinangan itu karena aku tidak mau."



"Apa?" Ceng Thian Sin bangkit berdiri. "Engkau tidak mau? Mengapa?"



Sui Cin menentang pandang mata ayahnya yang kelihatan tidak senang. "Tidak apa-apa, hanya aku tidak suka dan tidak disuka menjadi isteri Can Koan Ti yang ceriwis itu!"



"Sui Cin, jangan sesombong itu engkau!" Kini ibunya bangkit berdiri dengan sikap marah. "Can-kongcu orangnya baik hati dan ramah, dan engkau memakinya ceriwis! Kami hendak mengangkatmu menjadi seorang yang terhormat dan mulia, akan tetapi engkau menolaknya mentah-mentah! Apakah engkau ingin menjadi perawan tua? Apakah engkau ingin membikin malu orang tua dengan penolakan ini, padahal kami sudah bersikap menerima dan setuju terhadap mereka?"



Melihat ayah ibunya bangkit berdiri dengan sikap marah, Sui Cin juga bangkit berdiri menghadapi mereka. Hatinya terasa panas dan ia merasa dipojokkan. "Ibu sekarang sudah berusia empat puluh tahun lebih dan aku baru enam belas tahun, berarti bahwa ibupun tentu bukan berusia muda ketika menikah dengan ayah. Mengapa hendak memaksa menikah dalam usia enam belas tahun dan khawatir aku menjadi perawan tua?"



"Jangan bawa-bawa masa muda ibumu!" Kini Toan Kim Hong menudingkan telunjuknya dengan sikap marah. "Memang aku telah berusia dua puluh tiga tahun ketika menjadi isteri ayahmu, akan tetapi justeru kami tidak ingin melihat engkau seperti kami di masa muda. Kami ingin melihat engkau kembali kepada kedudukan yang wajar dan pantas bagi seorang keturunan bangsawan seperti engkau, menjadi orang terhormat dan mulia. Dan menjadi mantu Raja Muda Can adalah kedudukan yang paling baik yang akan pernah dapat kaumiliki, kecuali kalau engkau dapat menjadi mantu kaisar yang takkan mungkin terjadi!"



Sui Cin menjadi semakin tak senang. Perut dan dadanya terasa panas dan darahnya bergolak. Iapun bertolak pinggang dan alisnya berkerut ketika ia memandang ayah ibunya. "Jadi... ayah dan ibu hendak memaksaku?"



Melihat ketegangan memuncak, Thian Sin melerai. "Bukan sekali-kali kami hendak memaksamu, anakku. Kami hanya minta agar engkau suka memikirkan secara mendalam semua kata-kataku dan kata-kata ibumu. Engkau tentu tahu betapa besar cinta kami terhadap dirimu, dan kami hanya berusaha untuk membuatmu berbahagia," kata-katanya halus menghibur, membuat Sui Cin rasanya ingin menangis.



"Kalau ayah dan ibu ingin melihat a-ku berbahagia, janganlah memaksaku ka-win dengan

siapapun juga. Tunggu sam-pai aku berusia dua puluh tahun lebih, seperti ibu dahulu. Aku tidak suka, ayah, aku tidak mau menikah dengan orang she Can itu. Pendeknya, aku tidak suka menikah dengan orang bangsawan."



"Ehh...?" Toan Kim Hong berseru marah. Ia sendiri adalah puteri seorang pangeran, walaupun pangeran buangan atau pengasingan, dan sejak kecil ia sudah merindukan kemuliaan itu yang kini hampir tercapai kalau puterinya menjadi mantu Raja Muda Can. Dan kini puterinya itu malah mengatakan tidak suka menikah dengan orang bangsawan! "Kenapa engkau tidak suka menikah dengan orang bangsawan? Kenapa? Hayo jawab, tentu ada alasannya."



"Karena aku benci! Aku benci pada o-rang-orang bangsawan. Mereka itu tinggi hati,

sombong dan korup! Aku benci ke-pada pembesar-pembesar yang korup, ma-cam Liu-thaikam sehingga aku membantu para penentangnya sampai akhirnya dia jatuh."



"Hemm, jadi engkaukah satu di antara mereka yang berhasil menjatuhkan o-rang she Liu itu?" Toan Kim Hong yang tadinya marah-marah kini berkata lunak karena hatinya merasa girang dan bangga sekali. Berita tentang kejatuhan Liu-thai-kam sudah mereka dengar dari keluarga Can yang memuji-muji para pendekar yang membantu pemerintah membongkar per-sekutuan jahat yang dipimpin Liu-thaikam dan kini ternyata bahwa satu di antara orang-orang gagah itu adalah Sui Cin.



"Sui Cin, tidak semua bangsawan tinggi hati dan sombong. Engkau tidak boleh menilai orang dari keadaan atau kedudukannya. Keadaan apapun juga tentu ada kecualinya. Banyak saja bangsawan tinggi yang rendah hati dan orang-orang biasa yang tinggi hati. Juga banyak orang-orang hartawan yang berwatak pendekar sebaliknya orang-orang miskin yang berwatak penjahat. Sudahlah, nanti kita bicarakan lagi. Engkau baru saja pulang dari kepergianmu yang setahun lebih itu."



"Benar ayahmu, Cin. Mari kita beristirahat dulu dan berganti pakaian. Eng-kau harus ceritakan semua pengalaman-mu, terutama perjuanganmu meruntuhkan Liu-thaikam yang menggemparkan itu," kata Toan Kim Hong yang kini sudah memperoleh kembali kesabarannya, me-rangkul puterinya dan mengajaknya ma-auk ke dalam kamar.



Kepada ayah ibunya Sui Cin menceri-takan semua pengalamannya, juga perte-muannya dengan tokoh-tokoh sesat Cap-sha-kui, dengan Cia Sun dan Cia Hui Song. Semua diceritakan dengan jelas ke-cuali bahwa saat ini Hui Song menanti di kota Ning-po, menanti "lampu hijau" da-rinya agar pemuda itu diperbolehkan mengunjungi Pulau Teratai Merah untuk berkenalan dengan orang tuanya.



Ketika Sui Cin bercerita tentang mu-rid Cin-ling-pai yang bernama Tan Siang Wi yang tinggi hati, angkuh dan galak, i-bunya mengerutkan alis. "Ah, ketua Cin-ling-pai itu bernama Cia Kong Liang dan memang wataknya angkuh dan meman-dang rendah semua orang. Pantas kalau dia memiliki seorang murid seperti itu. Terus terang saja, aku tidak suka kepada Cin-ling-pai!"



"Memang wataknya agak tinggi hati, akan tetapi harus diakui bahwa keluarga Cin-ling-pai adalah keluarga gagah per-kasa yang selalu menjunjung tinggi kebe-naran. Bagaimanapun juga, aku sendiripun terhitung murid Cin-ling-pai."



"Memang benar ayah," kata Sui Cin. "Biarpun Tan Siang Wi itu berwatak ang-kuh, akan tetapi Cia Hui Song, putera ketua Cin-ling-pai itu sama sekali tidak sombong, bahkan ramah dan baik sekali di samping ilmu silatnya yang tinggi. Dialah yang berkeras menentang kelaliman Liu-thaikam dan aku membantunya." La-lu diceritakannya semua tentang pemuda itu, tentu saja sambil mencari jalan un-tuk menyampaikan keinginan pemuda itu yang masih menanti di Ning-po.



"Cia Hui Song juga menyatakan keka-gumannya terhadap ayah, dan dia ingin sekali menghadap dan berkenalan dengan ayah dan ibu." Akhirnya ia memancing.



"Hemm, tidak usah ke sini... aku su-dah merasa tidak suka kepada keluarga itu, lebih baik tidak ada hubungan sama sekali," kata Kim Hong dan mendengar ucapan ibunya itu, tentu saja Sui Cin ti-dak berani lagi mendesak. Munculnya u-rusan dengan keluarga Can tentu saja merupakan halangan besar baginya untuk memperkenalkan Hui Song. Ia menolak pinangan keluarga Can dan hal itu tentu mengesalkan hati ayah ibunya yang sudah setuju menerima, maka kalau ia memba-wa Hui Song ke pulau tentu hanya akan makin menjengkelkan hati orang tuanya. Tidak, saatnya tidak tepat bagi Hui Song untuk datang berkunjung dan ia harus se-gera memberi tahu kepada pemuda itu agar tidak menunggu dengan sia-sia di Ning-po.



Pada keesokan harinya, selagi Sui Cin termenung di taman belakang gedung, masih bingung memikirkan tentang Hui Song yang menantinya di seberang, ibu-nya datang menghampiri, memeluk dan duduk di sampingnya, di atas sebuah bangku batu di taman itu.



"Anakku, maafkan sikap ibu kemarin. Aku telah marah-marah kepadamu, aku menyesal sekali menyambut pulangmu yang sudah amat kurindukan dengan ke-marahan." Ibu itu dengan sikap lembut dan sayang mencium pipi anaknya.

Sui Cin balas mencium dan merangkul ibunya. "Tidak, ibu. Akulah yang minta maaf karena setelah lama meninggalkan ibu, aku pulang tidak membawa oleh-o-leh yang menyenangkan, malah mendatangkan kejengkelan di hati ibu dan ayah saja. Kalau aku tahu begini, aku tidak akan pulang dulu dan melanjutkan peran-tauanku."



"Hushhh, sudahlah. Kita lupakan saja peristiwa kemarin dan mari kita bicara dengan hati terbuka. Sui Cin, katakanlah terus terang, engkau menolak keras lamaran putera Raja Muda Can, apakah dalam perantauanmu itu engkau bertemu dengan pemuda yang telah menjatuhkan hatimu?"



Dara itu memandang wajah ibunya dengan mata terbelalak. Kim Hong menatap sepasang mata yang bening itu, penuh selidik, akan tetapi ia tidak melihat sesuatu pada sepasang mata itu dan memang anaknya benar-benar heran dan terkejut, tidak menyembunyikan sesuatu. Kim Hong adalah seorang wanita yang amat tinggi ilmunya, luas pengalamannya dan amat cerdik, maka andaikata Sui Cin menyembunyikan sesuatu perasaan tertentu sudah pasti ibunya akan dapat mengetahuinya atau setidaknya mencurigainya.



"Ibu, apa yang kaumaksudkan? Menjatuhkan hatiku?" Pertanyaan yang polos dan jujur karena memang Sui Cin belum paham akan lika-liku dan istilah tentang cinta.



"Maksudku, apakah ada pemuda yang menarik hatimu dan kausuka?"



Sui Cin masih bersikap biasa saja dan keheranan pada pandang matanya lenyap setelah ia mengerti pengertian yang tanpa diketahuinya keliru. "Ah, itukah yang ibu maksudkan? Tentu saja ada dan banyak. Banyak kujumpai orang-orang pandai dan lihai, gagah perkasa dan menyenangkan. Terutama sekali Cia Sun dan Cia Hui Song. Mereka adalah pemuda-pemuda gagah perkasa yang mengagumkan sekali."



"Bukan begitu maksudku."



"Lalu bagaimana?" Kembali keheranan membayang di mata dara itu.



"Maksudku, apakah ada pemuda yang... eh, kepada siapa engkau jatuh cinta?"



"Ohh...!" Wajah Sui Cin berobah merah dan sejenak ia termangu-mangu, akan tetapi ia segera menggeleng kepala. "Aku tidak mengerti apa yang ibu maksudkan. Aku... aku tidak tahu apakah aku mencinta seseorang, kurasa aku hanya suka saja, ibu, suka bersahabat, terutama kepada... Cia Hui Song."



"Hemm, terutama kepada putera ketua Cin-ling-pai itu? Hati-hati, Sui Cin, jangan kau jatuh cinta kepadanya. Aku tidak suka mempunyai mantu putera Cin-ling-pai!"



Sudah menjadi watak Sui Cin tidak bisa dikeras. Kalau dihadapi dengan kekerasan, ia akan menentang. Maka kini mendengar ucapan ibunya, ia berkata, "Ibu, terus terang saja, aku suka kepada Hui Song, akan tetapi aku tidak tahu apakah aku mencintanya. Andaikata aku mencinta, siapapun juga tidak akan dapat melarangku!"



Wajah ibunya berubah dan matanya terbelalak, akan tetapi melihat sikap puterinya yang begitu tegas dan keras, tiba-tiba nyonya ini tersenyum, teringat akan kekerasan hatinya sendiri. Ia mengangguk dan merangkul puterinya. "Baiklah, akan tetapi engkau tidak cinta kepadanya, bukan?"



Sui Cin menggeleng kepala. "Aku suka kepadanya karena dia gagah perkasa, ramah dan baik budi, ibu. Akan tetapi aku... aku tidak tahu apakah aku cinta kepadanya atau kepada siapapun juga. Aku masih suka hidup bersama ayah ibu, atau hidup seorang diri, merantau dan memperluas pengalaman. Aku tidak ingin terikat oleh pernikahan dan menggantungkan hidupku pada seseorang, mengurung diriku dalam sebuah rumah tangga. Ngeri aku membayangkan betapa aku menjadl nyonya rumah yang tidak pernah meninggalkan rumahnya, seperti seekor anjing yang dirantai di dalam kandangnya. Aku masih ingin bebas, ibu, seperti burung di udara..."



Ibunya mengangguk. "Aku mengerti perasaanmu, anakku. Agaknya, jiwa petualangan ayah ibu menurun kepadamu. Akan tetapi ingat, anakku. Usiamu sudah enam belas tahun dan sudah sepatutnya engkau mempunyai ikatan dengan seseorang yang kelak akan menjadi suamimu. Kulihat Can-kongcu merupakan calon yang paling baik dan tepat untukmu. Kelak dia tentu akan menduduki pangkat yang tinggi dan hidupmu terjamin, mulia, terhormat dan bahagia. Soal pernikahan dapat saja diundur, akan tetapi asal engkau setuju, ikatan perjodohan dapat diadakan lebih dulu."



"Tidak, ibu, aku tidak mau! Aku tidak cinta pada orang itu, aku tidak suka, bahkan aku benci padanya!"



Wajah Toan Kim Hong menjadi keruh dan ia bangkit berdiri. "Engkau hanya mengecewakan hati orang tua saja, Sui Cin." Dan ibu yang kecewa ini meninggalkan anaknya yang duduk termenung dengan muka berubah merah dan hampir menangis. Akan tetapi Sui Cin tidak menangis, walaupun ingin ia melepaskan kemarahan dan kejengkelan hatinya melalui tumpahan air mata. Tidak, ia tidak akan menangis. Ia akan menentang kalau harus dijodohkan dengan pemuda bangsawan she Can yang ceriwis itu! Ia sudah dapat membayangkan kalau menjadi isteri bangsawan. Mengenakan pakaian indah-indah dan tebal tidak enak dipakai, harus bersikap agung-agungan menerima penghormatan orang, harus bersopan-sopan dan berpatut-patut di depan orang banyak, kemudian akan merenungi nasib sendiri di dalam kamar karena suaminya sang bangsawan pergi ke kamar selir-selir yang tak terhitung banyaknya! Tidak, ia tidak mau. Kalau ia menjadi isteri bangsawan, tentu ia akan menjadi pembunuh, membunuh suaminya dan selir-selir suaminya. Ia ingin bebas, biarpun bersuami, akan tetapi bebas bersama suaminya menjelajahi hutan dan gunung, tidak menjadi boneka-boneka hidup di dalam gedung besar dan pengap! Dan ia teringat akan kesenangan ketika melakukan perjalanan bersama Hui Song. Menentang orang-orang jahat, menggoda dan menumpas mereka, menghadapi bahaya-bahaya yang menegangkan, mengatasi ancaman-ancaman bahaya maut, tidur di alam terbuka. Bebas! Alangkah senangnya. Itulah hidup dan itulah kehidupan yang disenanginya. Bukan menjadi boneka hidup di samping seorang bangsawan yang menjadi suaminya, juga majikannya.



Hui Song! Dia masih menanti di Ning-po. Sui Cin lalu bangkit berdiri dan meninggalkan taman itu, menuju ke pantai dan tak lama kemudian iapun sudah melayarkan perahu kecil itu menuju ke seberang, ke daratan besar.



Hari telah senja ketika ia meninggalkan pulau tanpa setahu ayah ibunya dan ketika perahunya mendarat di pantai, cuaca sudah mulai gelap. Akan tetapi ketika ia meloncat ke daratan dan menarik pcrahunya, tiba-tiba muncul sesosok bayangan hitam menghampirinya.



"Cin-moi...! Ah, betapa girang hatiku melihatmu!"



"Song-twako, engkau di sini?" tanya Sui Cin ketika mendengar suara pemuda itu.



"Aku tidak pernah meninggalkan pantai ini sejak kita saling berpisah..."



"Eh? Engkau... tidak kembali ke pengi-napan?"



Pemuda itu membantunya menarik pe-rahu ke darat dan mengikatkan tali pada tonggak. Wajahnya berseri dan nampaknya gembira bukan main dapat melihat kembali gadis itu.



"Tidak, Cin-moi. Aku... aku tidak berani meninggalkan pantai ini, takut kalau-kalau tidak melihat engkau kembali."



Sui Cin menahan tawanya. "Ihh, eng-kau ini aneh sekali, twako. Seperti anak kecil. Masa aku tidak kembali? Bukankah aku sudah berjanji akan memberi kabar kepadamu?"



"Lalu bagaimana, Cin-moi? Bolehkah aku menyeberang? Apakah engkau datang ini untuk mengabarkan bahwa aku boleh menghadap orang tuamu?"



Wajah yang cantik manis itu berubah muram dan ia menggeleng kepala.



"Ah, orang tuamu... menolak kunjunganku?"



Sui Cin merasa rikuh dan serba salah. Ia adalah seorang gadis yang sejak kecil biasa bersikap terbuka, jujur. Akan teta-pi kini ia merasa serba salah untuk mengaku bahwa ayah ibunya tidak suka kepa-da Cin-ling-pai, dan bukan hanya berke-beratan menerima putera ketua Cin-ling-pai datang berkunjung, bahkan tidak suka kalau ia bergaul dengan pemuda itu.



"Maafkan, twako. Pada waktu ini, a-yah dan ibu tidak suka menerima tamu, jadi... lebih baik lain kali saja kalau engkau ingin berkenalan dengan mereka."



"Ah, sayang sekali..." Pemuda itu kelihatan kecewa bukan main. Sesungguhnya, dia ingin sekali berkenalan dengan orang tua gadis ini, Pendekas Sadis yang sudah sejak kecil dia dengar namanya itu. Bukan hanya sekedar berkenalan biasa, akan tetapi dia sudah yakin akan cintanya terhadap Sui Cin dan pada suatu hari dia tentu akan datang bersama orang tuanya untuk meminang gadis itu. Alangkah baiknya kalau sebelumnya dia sudah berkenalan dengan orang tua Sui Cin.



Melihat betapa Hui Song nampak kecewa bukan main, Sui Cin merasa kasih-an dan cepat ia berkata, "Bagaimanapun juga, aku sendiri tidak akan kembali ke sana, twako."



Tentu saja perkataan ini mengheran-kan hati Hui Song. "Apa? Apa maksud-mu? Engkau tidak akan pulang?"



Sui Cin menggeleng. "Tidak, aku akan pergi lagi merantau."



Hui Song mengerutkan alisnya. "Eh, kenapa begitu, Cin-moi? Bukankah eng-kau baru saja pulang dari perantauan? Baru dua hari pulang, masa hendak pergi lagi? Tentu orang tuamu akan melarangmu."



"Aku tidak perlu minta ijin mereka, aku memang pergi tanpa pamit!" kata Sui Cin dengan nada suara tak senang.



Hui Song memandang khawatir. "Cin-moi... maaf, bukan aku ingin mencampuri urusan keluargamu, akan tetapi apakah yang telah terjadi? Engkau nampaknya tidak senang dan marah. Kalau hanya karena aku tidak boleh menyeberang, hal itu tidak ada artinya, Cin-moi dan membuatmu marah, apalagi kepa-da orang tuamu sendiri."



"Bukan hanya itu, twako. Yang mem-buat hatiku kesal dan mendorongku pergi lagi meninggalkan rumah adalah karena aku... mau dijodohkan dengan putera gu-bernur!"



Hati Hui Song berdebar setelah tera-sa nyeri seperti tertusuk. Dia memaksa senyum dan menjura. "Wah, selamat, Cin-moi."



"Selamat hidungmu!" Sui Cin mem-bentak jengkel. "Engkau malah ingin me-nambah kejengkelan hatiku? Aku tidak sudi! Aku tidak sudi menjadi isteri bang-sawan ceriwis itu!"



Hui Song merasa betapa suatu kele-gaan dan kegembiraan luar biasa menye-linap di hatinya mendengar kata-kata se-tengah teriakan dari gadis itu. Akan te-tapi dia pura-pura terkejut dan bersikap serius. "Ah, kalau begitu maafkan aku, Cin-moi. Akan tetapi... mengapa engkau begitu marah dan menolak? Bukankah pu-tera seorang gubernur itu merupakan ca-lon suami yang amat baik, terpelajar, kaya raya dan berkedudukan tinggi? Hemm, aku tahu, Cin-moi. Aku tahu mengapa engkau menolaknya."



Sui Cin memang mudah marah dan mudah bergembira. Orang seperti ia ti-dak dapat marah terlalu lama. Wataknya terlalu lincah gembira untuk dapat ber-tahan marah terlalu lama. Kini ia me-mandang pemuda itu dengan wajah bar-seri dan mulut tersenyum. "Hemm, eng-kau seperti peramal saja, twako. Coba ingin kudengar tebakanmu, kalau memang engkau tahu mengapa aku menolaknya."



"Apalagi kalau bukan karena engkau sudah mempunyai pilihan hati sendiri? Engkau tentu sudah mempunyai seorang calon dalam hatimu."



Wajah yang manis itu menjadi merah, akan tetapi bibirnya berjebi mengejek. "Ihh, engkau hanya ngawur saja! Tidak, aku tidak mempunyai calon seperti yang kauterka itu. Sedikitpun aku belum me-mikirkan tentang itu. Cih, memalukan saja! Aku menolak karena memang aku tidak suka kepada pemuda bangsawan yang ceriwis itu, dan juga karena aku sama sekali belum mau terikat menjadi isteri orarg. Aku masih ingin bebas seper-ti burung di udara, merdeka beterbangan ke manapun yang kukehendaki."



Sui Cin tidak menyadari betapa Hui Song telah memancing untuk mengetahui isi hatinya dan tentu saja pemuda ini meran girang sekali karena kini dia tahu bahwa gedis ini masih kosong hatinya dan dia mengharapkan untuk mengisinya.



"Kalau engkau tidak mau pulang, lalu engkau hendak pergi ke mana, Cin-moi?"



"Ke mana saja asal tidak pulang, asal tidak mendengarkan bujukan orang tuaku untuk menerima tikus itu sebagai calon suamiku!"



"Kalau begitu, marilah ikut bersama-ku, Cin-moi. Aku hendak pulang ke Cin--ling-pai dan mari kuperkenalkan engkau kepada orang tuaku."



Sui Cin mengangguk. "Aku tidak mempunyai tujuan tertentu, boleh saja kalau pergi ke sana. Sudah lama aku mendengar tentang Cin-ling-pai dan akupun ingin berkunjung ke Pegunungan Cin-ling-san yang katanya amat indah. Akan tetapi, jangan mengambil jalan darat. Le-bih baik mempergunakan perahu menyu-suri pantai ke utara dan mendarat di Hang-couw, baru kita melanjutkan perja-lanan melalui daratan."



"Kenapa begitu?"



"Engkau tidak tahu kelihaian orang tuaku. Kalau mereka tahu aku pergi, tentu mereka akan melakukan pengejaran dan kalau aku mengambil jalan darat, ja-ngan harap dapat lolos dari kejaran me-reka. Akan tetapi kalau mengambil jalan laut dari sini, tentu tidak meninggalkan jejak dan betapapun lihainya ayah, tentu dia tidak akan dapat mengikuti kepergi-anku."



Hui Song menyetujui dengan kagum dan tak lama kemudian merekapun sudah berlayar lagi menempuh gelombang me-nuju ke utara. Sementara itu, malam te-lah tiba dan pelayaran mereka diterangi bintang-bintang di langit.



"Song-twako, sekali ini aku benar-be-nar menjadi seorang kelana miskin. Aku pergi tanpa pamit, tidak membawa bekal pakaian, apalagi uang. Perantauanku yang dahulu direstui orang tuaku dan aku membawa bekal banyak emas. Akan tetapi sekarang... aku benar-benar miskin."



"Kita bukan orang-orang hartawan yang sedang pelesir, Cin-moi. Perlu apa bekal uang banyak? Asal engkau tidak menye-bar dan membagi-bagikan uang kepada para jembel di pasar, aku masih mempu-nyai bekal cukup kalau hanya untuk bia-ya di perjalanan saja."



"Kalau hanya untuk biaya perjalanan, apa sih sukarnya? Kalau memang kita memerlukan, mudah saja mengambil dari peti-peti uang orang lain!"



"Wah, engkau hendak mencuri? Dari para hartawan?"



Sui Cin menggeleng kepala. "Ayah dan ibu akan marah kalau aku mencuri milik siapapun. Akan tetapi kalau aku mengambilnya dari tempat judi misalnya, mereka tentu tidak akan marah." Kedua-nya tersenyum dan perahu meluncur de-ngan laju. Indah bukan main pemandang-an di malam hari itu. Bintang-bintang bercermin di permukaan air laut dan ka-dang-kadang orang akan terlupa dan mengira bahwa benda-benda bercahaya yaeg jutaan banyaknya itu bukan berada di atas kepala, melainkan di bawah jauh tak berdasar.



***



Dusun Lok-cun di luar kota Sin-yang di tepi Sungai Huai pada pagi hari itu nampak ramai dan gembira. Para penghuni dusun yang tidak berapa besar itu nampak merayakan sesuatu dan nampak sibuk sejak pagi tadi. Memang, pada hari itu mereka semua merayakan pernikahan anak perempuan dari kepala dusun mereka. Seperti di dusun-dusun lainnya pada jaman itu, seorang kepala dusun merupakan seorang raja kecil yang amat dihormati oleh para penghuni dusun yang merupakan rekyatnya. Maka, ketika kepala dusun Coa dari dusun Lok-cun itu merayakan pernikahan puterinya, seluruh penghuni dusun itu sibuk merayakannya.



Lurah Coa hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu anak perempuan yang kini sedang dirayakan hari pernikahannya. Seluruh keluarga Coa nampak gembira ria. Mereka merasa terhormat sekali karena puteri lurah itu akan menikah dengan jaksa di kota Sin-yang! Walaupun jaksa itu usianya sudah hampir enam puluh tahun dan gadis itu menjadi isteri ke lima, akan tetapi semua orang tahu bahwa jaksa itu memiliki kekuasaan yang amat besar di kota Sin-yang, bahkan mempunyai pengaruh dan kawan-kawan di kota raja. Maka, kalau gadis itu menjadi isterinya, walaupun isteri kelima, bukan hanya gadis itu akan terjamin hidupnya dan menjadi nyonya jaksa yang terhormat, akan tetapi juga kepala dusun itu akan naik derajatnya dan mungkin akan mudah naik pangkat!



Akan tetapi, kalau semua orang bergembira, sebaliknya Coa Lan Kim, gadis puteri kepala dusun itu sendiri, sejak beberapa hari yang lalu menangis saja di dalam kamarnya. Gadis ini selalu membayangkan seorang pemuda sederhana yang selama ini menjadi kekasihnya, seorang pemuda petani yang dahulu menjadi pembantu ayahnya, mengurus sawah ladang ayahnya. Pemuda ini bahkan sudah dise-tujui oleh keluarga lurah Coa sendiri un-tuk menjadi calon mantu karena memang pemuda itu cukup tampan, rajin bekerja dan berbadan sehat. Akan tetapi, begitu datang lamaran dari jaksa itu, si pemuda dilupakan, bahkan didepak keluar oleh lu-rah Coa.



Betapa hati Lan Kim tidak akan ber-duka kalau ia memikirkan nasibnya dan nasib kekasihnya yang bernama Lo Seng itu? Ia dipaksa untuk menjadi isteri o-rang lain, padahal sejak dahulu ia sudah membayangkan kehidupan yang berbaha-gia bersama pemuda itu. Kini ia harus menurut untuk dibawa pergi dari rumah-nya, tidak akan dapat bertemu kembali dengan Lo Seng dan yang membuat ia amat berduka adalah karena ia mende-ngar bahwa selain dipecat, juga Lo Seng dipukuli karena hendak menentang pernikahannya dengan jaksa itu. Dan ia tidak tahu lagi apa yang terjadi dengan kekasihnya itu.



Pagi hari itu, selagi semua penghuni dusun sibuk membantu keluarga lurah Coa, Lan Kim menangis dalam kamarnya, ti-dak mendengarkan bujukan-bujukan dan hiburan-hiburan ibunya dan beberapa o-rang wanita yang bertugas menemaninya.



"Sudahlah, Lan Kim. Mengapa mena-ngis terus? Nasibmu baik sekali, engkau akan meniadi nyonya jaksa yang dihormati orang banyak, bergelimang keme-wahan, kenapa menangis? Nanti matamu akan bengkak-bengkak dan memalukan kalau pengantin matanya bengkak-bengkak. Pula, sebentar lagi engkau mulai di-rias dengan pakaian pengantin dan nanti menjelang sore engkau akan dijemput dan dibawa ke Sin-yang," demikian antara lain ibunya membujuk.



"Ibu, aku tidak suka... aku tidak mau..."



"Ahhhh... engkau memang keras kepala, Lan Kim! Apakah engkau ingin ayahmu marah? Aku tahu, engkau menolak hanya karena di sana ada Lo Sang, bukan?"



"Ibu... bagaimana dengan dia? Ibu, kasihan dia..."



"Hemm, sikapmu ini sama sekali tidak menolongnya. Bahkan akan mencelakakan Lo Seng karena engkau tetap bersikap keras seperti ini. Kau tahu, kalau ayahmu mengetahui bahwa engkau menolak karena Lo Seng, banyak kemungkinan Lo Seng akan dijebloskan penjara atau dibunuh!"



"Ibu...!"



"Karena itu, engkau menurut saja. Dan kalau engkau sudah menjadi isteri jaksa, aku akan membujuk ayahmu agar Lo Seng dipekerjakan lagi. Bukankah de-ngan demikian berarti engkau menolong dan menyelamatkannya?"



Demikianlah sang ibu membujuk pute-rinya yang kini hanya terisak perlahan. "Ambil pakaian pengantin itu, akan kuco-bakan dahulu, kalau ada yang kurang pas masih ada waktu untuk dibetulkan," kata nyonya Coa.



Akan tetapi, terdengar jeritan kaget dan tukang rias itu kini datang memba-wa sebuah peti dengan mata terbelalak dan muka pucat. "Nyonya... celaka... pakaiannya hilang...!"



Wanita itu terkejut bukan main dan bangkit sambil membelalakkan matanya. "Apa? Hilang bagaimana maksudmu?"



"Hilang, nyonya. Peti tempat pakaian pengantin ini kosong!"



Keadaan menjadi geger. Ketika lurah Coa diberi tahu, dia marah-marah dan mengerahkan semua orangnya untuk mencari siapa pencuri pakaian pengantin. Akan tetapi, isterinya lebih cerdik dan cepat-cepat memanggil tukang jahit untuk secara kilat membuatkan pakaian pengantin baru, walaupun pakaian yang dibuat tergesa-gesa ini tentu saja tidak seindah pakaian pengantin yang hilang.



Ketika keadaan menjadi kacau dan tak seorangpun memperhatikan pengantin wanita, tiba-tiba terjadi keributan lain yang lebih menggegerkan lagi. Tiba-tiba saja, seperti juga hilangnya pakaian pengantin tadi, Coa Lan Kim juga lenyap begitu saja dari dalam kamarnya! Tidak ada seorangpun yang melihat bagaimana lenyapnya, juga tidak ada yang mendengar sesuatu. Tentu saja kini keadaan menjadi benar-benar kalut. Lurah Coa semakin marah dan seluruh pasukan ke-amanan dikerahkan, bahkan semua pendu-duk menjadi ikut gelisah dan ikut men-cari-cari ke mana perginya pengantin wanita.



Kegembiraan yang berganti dengan kegelisahan dan kekacauan itu amat me-narik perhatian Sui Cin dan Hui Song yang kebetulan sekali pada pagi hari itu tiba di situ, memasuki dusun Lok-cun da-lam perjalanan mereka menuju ke barat, ke Pegunungan Cin-ling-san. Tentu saja hati mereka tertarik melihat betapa pen-duduk nampak begitu gelisah ketakutan, orang-orang mencari-cari sesuatu ke sa-na-sini sedangkan rumah kepala dusun terhias indah, akan tetapi kini orang-o-rang tidak ada lagi yang melanjutkan pekerjaan merias rumah yang belum selesai sepenuhnya itu. Juga adanya para penja-ga berkeliaran dengan sikap cemas itu menarik sekali. Rasa heran mereka ber-tambah ketika tiba-tiba saja ada belasan orang penjaga keamanan mengepung me-reka dengan senjata tajam di tangan.



"Hemm, kalian ini mau apakah mengepung kami?" Sui Cin bertanya dengan alis berkerut.



"Kalian adalah orang-orang asing yang baru memasuki dusun kami. Menyerahlah. Karena kami yakin bahwa kalian yang kami cari-cari. Siapa lagi yang mengacau dusun kami kecuali dua orang asing?" bentak seorang yang bermata lebar dan bersikap bengis.



"Sabar dulu, sobat," kata Hui Song, mencoba untuk tersenyum ramah. "Apa yang terjadi dan mengapa kalian menuduh kami secara membabi-buta? Kami tidak tahu apa-apa. Kami baru saja tiba di sini dan melihat kekacauan ini, malah kami bertanya-tanya mengapa kalian begini gelisah dan apa yang terjadi...?"



"Cukup! Ikut kami menghadap kepala dusun, tak perlu membela diri di sini!" bentak si muka bengis dan dia sudah ma-ju untuk menangkap lengan Sui Cin. A-kan tetapi gadis itu menarik tangannya dan sekali kakinya bergerak, ujung sepa-tunya mencium lutut si mata lebar dan orang ini mengaduh dan jatuh berlutut.



"Nah, bagus! Minta ampun dahulu baru kita bicara," Sui Cin mengejek.



Melihat betapa seorang kawan mereka roboh oleh gadis itu, kecurigaan mereka semakin kuat bahwa dua orang muda mu-di inilah tentu yang telah mengacaukan dusun mereka. Maka serentak mereka maju menerjang dengan senjata mereka. Hui Song dapat menduga bahwa tentu terjadi sesuatu dan orang-orang dustin ini salah duga. Kalau dilanjutkan sikap Sui Cin, tentu mereka akan semakin curiga lagi. Maka diapun cepat merggunakan kepandaiannya, menyambut serangan itu dengan merampas semua golok dan pe-dang. Gerakannya memang cepat bukan main karena dia menggunakan jurus Kong-jiu-jip-pek-to (Tangan Kosong Menyerbu Ratusan Golok) sehingga para pengeroyok itu tidak tahu apa yang terjadi karena tiba-tiba saja senjata mereka terlepas dan terampas. Kiranya pemuda itu sudah merampas semua senjata mereka dan kini golok dan pedang itu telah ditumpuk di depan kaki si pemuda tampan.



"Tenanglah saudera-saudara. Kami bukan orang jahat dan kalau ada urusan, beritahukanlah kami. Siapa tahu kami dapat membantu kalian," kata Hui Song. Pada saat itu, lurah Coa sudah tiba di situ dan lurah inipun tadi melihat betapa dengan mudahnya pemuda tampan itu merampasi senjata orang-orangnya. Dia da-pat menduga bahwa pemuda ini tentu se-orang pendekar, maka diapun cepat maju menjura.



"Harap taihiap sudi memaafkan orang-orang kami yang kurang ajar. Dusun kami sedang dilanda kekacauan karena munculnya iblis yang mencuri calon pengantin wanita..."



"Eh? Ada pengantin dicuri?" Sui Cin berseru kaget dan tertarik sekali.



"Pengantin itu adalah anak saya sendiri, baru saja lenyap tanpa bekas sete-lah lebih dahulu pakaian pengantin yang lenyap." Lurah Coa lalu menceritakan peristiwa yang baru saja terjadi.



Hui Song dan Sui Cin mendengarkan penuh perhatian. "Kami akan mencoba untuk mencari penculiknya," kata Hui Song. "Mudah-mudahan kami dapat menemukan kembali puterimu itu." Setelah mendengarkan penuturan itu, Hui Song dan Sui Cin mempergunakan kepandaian mereka berloncatan pergi meninggalkan dusun. Mereka mengambil keputusan untuk mencari penculik gadis itu dan tentu saja mereka tidak mengharapkan akan dapat menemukan penculik itu di dalam dusun. Mereka mencari keluar dusun, mengelilingi dusun itu dan akhirnya mereka mendaki sebuah bukit tak jauh dari dusun itu karena bukit itu penuh dengan hutan, tempat yang baik sekali bagi para penjahat untuk menyembunyikan diri.



Dengan cepat sekali mereka mendaki bukit dan tibalah mereka di deerah ber-batu di luar hutan dan dari jauh mereka sudah melihat seorang kakek duduk ber-sila di depan sebuah guha yang besar. Tentu saja mereka menjadi curiga dan tertarik sekali katena keadaan kakek itu sudah amat mengherankan hati. Seorang kakek tua renta yang kepalanya gundul tak ditumbuhi rambut lagi, alisnya amat lebat dan panjang, demikian pula jenggot dan kumisnya yang semua telah berwarna putih. Sukar ditaksir berapa usia kakek ini, mungkin sudah seratus tahun. Akan tetapi tubuh kakek itu pendek kecil, se-orang kakek katai yang pakaiannya juga aneh. Kakek katai jenggot panjang sampai ke perut ini memakai jubah yang mewah! Jubah yang sepatutnya dipakai seorang pembesar atau seorang hartawan!



Dan di punggungnya tergantung guci arak yang besar, sebesar kepalanya yang gundul, diikatkan dengan tali ke pundaknya. Sepatunya dari kulit, juga bagus dan baru.



Ketika Hui Song dan Sui Cin tiba di depan kakek itu, si kakek katai yang tadinya seperti orang bersamadhi itu kini membuka kedua matanya dan begitu sepasang mata itu dibuka, mau tidak mau Sui Cin menahan ketawanya. Dari sepasang matanya ini saja sudah dapat diketahui bahwa kokek ini adalah seorang aneh yang berwatak riang gembira, terbukti dari sepasang mata yang bersinar-sinar dan wajah yang berseri-seri lucu itu.



"Heh-heh-heh!" Kakek katai itu mendahului mereka, terkekeh geli. "Apakah kalian ini sepasang pendekar muda yang pendek mencari penculik pengantin wanita? Heh-heh!"



Tentu saja Hui Song dan Sui Cin ter-kejut, merasa ditodong ketika kakek itu mendadak saja bertanya seperti itu, Hui Song hanya dapat mengangguk dan Sui Cin melangkah maju dan dialah yang menjawab, "Benar, kek. Engkau ini kakek pendek lucu bagaimana bisa tahu bahwa kami mencari penculik pengantin?"



Sejenak kakek itu memandang wajah Sui Cin, matanya semakin bersinar dan wajahnya semakin berseri "Heh-heh, no-na manis, apa sukarnya? Kalian berlari-lari mendaki bukit dengan memperguna-kan ilmu berlari cepat seperti dua orang pebdekar, berkeliaran ke sini mau apalagi kalau bukan mencari penculik pengantin? Heh-heh-heh."



Kini Hui Song sudah dapat menduga bahwa kakek ini tentulah memiliki ke-pandaian tinggi, maka dia bersikap hor-mat dan menjura. "Maaf kalau kami menggangumu, locianpwe. Kami berdua bu-kanlah pendekar, akan tetapi dugaan lo-cianpwe benar bahwa kami sedang mencari pengantin wanita yang lenyap diculik orang. Dapatkah kiranya locianpwe membantu kami..."



"Membantu apa?" kakek itu memo-tong.



"Hi-hik, engkau ini aneh, kek. Tentu saja membantu kami memberi tahu apa-kah engkau tahu di mana adanya pengan-tin wanita yang diculik itu," kata Sui Cin, tidak mau bersikap terlalu hormat dan menyebut locianpwe kepada kakek lucu ini.



Anehnya, menghadapi sikap Sui Cin yang bebas dan seenaknya itu, si kakek katai kelihatan lebih senang dan diapun tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Nona manis, engkau sungguh menyenangkan ha-ti. Tentu saja aku tahu di mana adanya pengantip wanita itu karena akulah orangnya yang telah menculiknya!"



"Uhh...! Heiiiittt...!" Hui Song demikian kaget mendengar pengakuan langsung seperti itu dan diapun sudah meloncat ke belakang sambil memasang kuda-kuda karena ketika bicara tadi si kakek botak mengakhiri pengakuannya sambil menggerakkan kedua tangan ke depan yang disangkanya sebagai gerakan hendak menyerang.



Melihat ini, kakek itu memandang kepada Hui Song dengan mata terbelalak, lalu dia tertawa bergelak sambil menepuk-nepuk perut. "Hua-ha-ha, orang muda, apakah engkau hendak menari monyet? Ha-ha-ha!"



Wajah Hui Song menjadi merah karena malu. Dia sendiri adalah seorang pemuda jenaka dan periang, suka menggoda orang, akan tetapi sekali ini dia bertemu batunya dan sebaliknya malah digoda den menjadi bahan ejekan orang.



Akan tetapi Sui Cin yang sejak semula sudah merasa suka dan menganggap kakek itu lucu, segera mencela. "Wah, siapa percaya omonganmu, kek? Engkau tentu hanya membual saja. Mana bisa orang tua renta lemah sepertimu ini mampu melarikan seorang gadis pengantin? Dan pula, untuk apa bagimu? Engkau membual dan aku tidak percaya kentut itu!"



Kakek itu bangkit berdiri dan melihat betapa kakek itu tingginya hanya sampai ke dadanya, Sui Cin merasa semakin geli. "Wah, kau ini anak kecil beruban ataukah kakek bertubuh kecil?" Ia menggoda.



"Kentut! Siapa yang kentut? Yang bertelur itulah yang berkotek, dan tentu engkau yang kentut, bukan aku, karena mana mungkin aku menjadi ayam biang? Aku jantan, dan engkau betina, maka engkaulah yang menjadi ayam biang dan engkau yang kentut berbau busuk!"



Mendengar omongan yang tidak karuan dan ugal-ugalan itu, Sui Cin terkekeh dan terpingkal-pingkal, membuat kakek itu semakin penasaran lagi. "Eh, nona, berani engkau mentertawakan aku dan mengira aku membual, ya? Nah, lihat sendiri itulah mempelai wanita yang kuculik dari rumah lurah Coa. Hei, anak-anak, keluarlah dan perlihatkan diri kalian kepada nona tukang kentut dan penari monyet ini!"



Sui Cin dan Hui Song memandang ke dalam guha dan mereka terbelalak heran ketika melihat munculnya seorang gadis manis yang bergandeng tangan dengan seorang pemuda yang bajunya robek-robek dan kulit tubuhnya juga memperlihatkan bekas-bekas cambukan. Sui Cin yang tadinya mengira kakek itu membual, kini memandang penuh perhatian. Inikah mempelai wanita yang dikabarkan hilang di-culik orang itu? Dan kakek ini penculik-nya? Lalu siapa pemuda yang kelihatan jujur, seperti kebanyakan pemuda dusun atau petani itu?



"Eh, enci, benarkah engkau puteri lu-rah Coa, yang akan menjadi pergantin la-lu diculik kakek ini? Dan siapa temanmu itu?" Sui Cin bertanya.



Gadis itu memang benar Lan Kim adanya, dan pemuda itu adalah kekasihnya yang bernama Lo Sang. Mendengar perta-nyaan Sui Cin, ia mengangguk. "Aku a-dalah Coa Lan Kim, puteri lurah Coa yang akan menjadi pengantin, dan me-mang aku diculik oleh locianpwe ini dan dia ini adalah Lo Seng, calon suamiku," katanya dengan tabah dan sikap menen-tang. Memang kini ia akan menentang siapa saja yang hendak menghalangi niatnya hidup bersama Lo Seng yang dicintainya.



"Suamimu? Calon suamimu? Bagaima-na pula ini? Kalau engkau mau dikawin-kan dengan pemuda ini, kenapa engkau diculik ke sini dan bersama calon suamimu..." Sui Cin berkata bingung.



"Aku bukan akan dikawinkan dengan dia!" Lan Kim berkata. "Aku hendak dikawinkan menjadi isteri kelima seorang pembesar di Sin-yang, dan aku tidak mau. Dia ini... pilihan hatiku dan aku ingin hidup bersama dia..."



"Ah, jadi engkau penculiknya!" Hui Song menudingkan telunjuknya kepada Lo Seng, "Engkau menculik pengantin untuk kaukawini sendiri? Sungguh berani dan..."



"Hushh, penari monyet ini benar-benar menjengkelkan!" Kakek katai ikut bicara. "Dengarkan dulu penuturan pengantin wanita dan jangan cerewet dulu seperti perempuan!"



"Wah, kek, jangan gitu! Tidak semua perempuan cerewet!" Sui Cin menegur, agak tak senang karena Hui Song diper-mainkan.



"Aku tidak perduli kalau perempuan cerewet, memang sudah pembawaannya. Akan tetapi kalau laki-laki cerewet, aku tidak suka."



Lan Kim mengerti bahwa dua orang muda yang kelihatannya pantas itu tentu bukan orang jahat dan agaknya terjadi kesalahpahaman tentang penculikannya, maka iapun sambil menggandeng tangan kekasihnya, maju melangkah lagi. "Harap ji-wi suka mendengarkan penuturanku agar jangan salah sangka. Sejak dahulu antara aku dan Lo Seng ini terjalin hu-bungan akrab dan kami mengharapkan kelak menjadi suami isteri. Apalagi orang tuaku juga sudah setuju mengambil Lo Seng sebagai mantu, setelah Lo Seng membantu mengurus sawah ladang ayah selama beberapa tahun. Akan tetapi pa-da suatu hari datanglah pinangan pembe-sar di kota Sin-yang terhadap diriku. A-yah tidak berani menolak, bahkan merasa beruntung menerimanya. Dan Lo Seng yang menentang lalu dipecat, bahkan di-cambuki. Nah, dalam keadaan seperti itu, selagi aku putus asa, muncul locianpwe ini membawa aku lari dari rumah dan mempertemukan aku dengan kekasihku di guha ini."



Kini terdengar Lo Seng bercerita. "Aku sudah hampir putus asa dan mengam-bil keputusan membunuh diri saja daripa-da melihat kekasihku menikah dengan o-rang lain dan aku sendiri kehilangan pe-kerjaan dan dimusuhi. Tapi muncul lo-cianpwe ini menyelamatkan aku dan ke-tika aku bercerita tentang keadaanku, locianpwe ini membawaku ke sini, me-nyuruh aku menunggu di dalam guha ini dan tak lama kemudian dia sudah kem-bali membawa Lan Kim. Kini kami ber-dua sepakat untuk hidup bersama atau mati berdua. Harap ji-wi dapat mengerti keadaan kami dan tidak memaksa kami untuk kembali."



Hui Song dan Sui Cin saling pandang dan hati mereka merasa terharu. Kiranya kakek katai itu sama sekali bukan orang jahat, melainkan seorang penolong budi-man.



"Aah, kiranya engkau benar-benar se-orang yang baik, kakek tua," kata Sui Cin gembira dan Hui Song menjura.



"Harap locianpwe maafkan kalau ka-mi menyangka buruk."



"Heh-heh, orang-orang muda baru mempunyai kepandaian sedikit saja sudah tekebur dan ingin berlagak pendekar-pen-dekar jagoan. Orang-orang muda, andaikata aku benar-benar menculik gadis itu untukku sendiri, dengan niat busuk, habis apa yang hendak kalian lakukan?"



"Tentu saya akan menentangnya!" ka-ta Hui Song.



"Kau akan kugempur dan gadis itu kurampas untuk kukembalikan kepada o-rang tuanya, kek," sambung Sui Cin.



"Bagus, nah, kalau begitu kalian ma-julah, hendak kulihat sampai di mana ke-lihaian kalian."



"Tapi, locianpwe tidak berniat buruk dan tidak bersalah...!" Hui Song membantah.



"Hemm, andaikata aku penjahat, apa-kah engkau juga masih ragu-ragu. Nah, majulah dan anggap saja aku pencuilk gadis. Ingin kulihat sampai di mana keli-haian kalian. Atau, aku sebagai penjahat medahului kalian karena tidak ingin di-ganggu!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja kakek itu sudah maju dan ke-tika tangannya bergerak, tangan itu su-dah menampar ke arah dada Hui Song.



"Eeiiitt...!" Hui Song mengelak dengan mundur selangkah, akan tetapi tamparan yang luput itu sudah disambung dengan totokan ke arah pundak. Gerakan kakek itu cepat sekali sehingga mengejutkan hati Hui Song yang kini menggunakan tangan menangkis totokan.



"Dukk!" Tubuh Hui Song terhuyung ke belakang. Pemuda ini terkejut bukan main karena tadi ia hanya mempergunakan sebagian sin-kangnya, khawatir akan melukai kakek tua renta itu, akan tetapi akibatnya, dia terhuyung dan lengannya tergetar hebat. Kiranya kakek ini memi-liki sin-kang yang hebat. Akan tetapi, sambil terkekeh-kekeh kakek itu sudah menyerangnya lagi dan gerakannya cepat bukan main. Tubuh yang kecil itu berke-lebat seperti terbang saja dan tahu-tahu dia sudah mencengkeram ke arah pundak Hui Song.



"Lihat seranganku!" Tiba-tiba terdengar Sui Cin membentak dari samping dan ia sudah menggerakkan tangan kirinya me-notok ke arah iga bawah ketiak dari le-ngan kakek yang mencengkeram itu. To-tokan ini hebat dan cepat datangnya, membuat kakek itu terpaksa membatal-kan cengkeramannya pada pundak Hui Song, lalu menekuk lengan untuk menangkis sekalian menangkap pergelangan ta-ngan gadis itu. Namun Sui Cin sudah menarik pulang tangan kirinya dan kini tangan kanannya menampar dan dari telapak tangan itu keluarlah uap putih ti-pis. Itulah Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih), sebuah ilmu pukulan yang amat ampuh, satu di antera ilmu-ilmu ampuh yang diajarkan Pendekar Sadis kepada puteri tunggalnya itu.



"Ehh...!" Kakek itu terkejut sekali menyaksikan ilmu pukulan yang hebat ini dan begitu dia berkelebat, Sui Cin yang menjadi bengong karena orang yang diserangnya itu tiba-tiba saja lenyap dan tahu-tahu sudah berada di belakang tubuhnya dan sambil terkekeh kakek itu kini menotok ke arah tengkuknya. Sui Cin merasa adanya angin menyambar ini, maka iapun mempergunakan gin-kangnya dan tubuhnya mencelat ke depan untuk mengelak. Akan tetapi pada saat itu, Hui Song yang sudah tahu betapa lihainya kakek itu, sudah menerjang ke depan pa-da saat Sui Cin diserang sehingga andai-kata Sui Cin tidak mempergunakan kece-patan gerakannya mengelak sekalipun, se-rangan kakek itu akan depat digagalkan-nya karena kini Hui Song juga tidak sungkan-sungkan lagi. Begitu menyerang, pe-muda ini telah mempergunakan jurus Thai-kek Sin-kun dan mengerahkan tena-ga sakti Thian-te Sin-kang!



Kembali kakek itu terkejut. Diapun agaknya tidak mengira bahwa dua orang muda itu sungguh merupakan dua orang muda yang berilmu tinggi, dua orang pendekar muda tulen! Apalagi ketika dia melihat betapa ilmu-ilmu yang dipergunakan dua orang muda ini bukanlah ilmu-ilmu silat biasa saja, melainkan ilmu-ilmu yang amat tinggi mutunya.



"Nantl dulu, tahan dulu...!" Tiba-tiba kakek itu berhenti dan tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke belakang menjauhi dua orang muda itu.



"Kek, kami belum kalah kenapa ber-henti?" Sui Cin yang sudah merasa gem-bira dengan pertandingan itu, mencela. Bagaimanapun juga, gadis ini merasa be-nar dalam hatinya bahwa kakek itu bu-kan orang jahat dan pertandingan itu ha-nya merupakan pengujian kepandaian saja. Ia bahkan merasa suka kepada kakek itu yang memiliki wajah jenaka dan gem-bira.



"Heh-heh-heh, akupun belum kalah. A-ku hanya minta berhenti sebentar untuk bicara. Agaknya kalian berdua memiliki sedikit ilmu silat, pantas saja kalian be-gitu tekebur hendak berperan sebagai pendekar-pendekar. Sekarang begini. Kalian melawan aku, dan kalau dalam waktu dua puluh jurus aku masih belum dapat mengalahkan kalian, anggap saja aku ka-lah dan aku akan menyebut kalian suhu dan subo!"



Sui Cin tertawa geli. "Wah, kalau engkau menyebut subo kepadaku, berarti usiaku tentu sudah seratus tahun lebih. Tapi itu merupakan penghormatan besar. Baik, aku setuju!"



Hui Song diam-diam merasa terkejut. Begini tekeburkah kakek ini? Dia tahu a-kan kemampuan diri sendiri dan diapun sudah tahu betapa tinggi ilmu gadis pu-teri Pendekar Sadis itu. Menandingi me-reka satu lawan satu saja jarang dapat ditemukan orangnya, dan kakek ini me-nantang mereka berdua maju mengeroyok dan bertaruh dapat mengalahkan mereka dalam waktu dua puluh jurus! Tentu saja hatinya merasa penasaran karena dia merasa dipandang rendah.



"Baik, locianpwe, kami setuju. Akan tetapi bagaimana kalau... kalau kami yang kalah dalam dua puluh jurus itu?"



"Ha-ha-ha, orang muda yang berhati-hati, tentu engkau sudah menyangka bu-ruk lagi kepadaku, ya? Dengarlah, kalau aku kalah, aku menyebut kalian suhu dan subo, akan tetapi kalau sebelum dua puluh jurus kalian yang kalah, kalian harus membantuku menolong pengantin ini."



"Menolong dengan cara bagaimana?" tanya Sui Cin.



"Kita harus menggagalkan pernikahan itu dan menghajar pembesar mata keranjang itu agar kapok. Akan tetapi, kalian harus menurut semua rencana siasat yang kuatur dan sama sekali tidak boleh menolak."



Tentu saja Sui Cin dan Hui Song menyetujui karena apa salahnya kalau hanya itu taruhannya? Tanpa bertaruh sekalipun, mereka berdua bukankah sekarang juga sudah berusaha menolong pengantin wanita yang tadinya mereka cari karena menyangka diculik penjahat?



"Baik, baik, kami berjanji," kata mereka dengan gembira.



"Nah, bersiaplah. Jurus pertama!" kakek itu berseru dan tubuhnya bergerak secara aneh, tahu-tahu dalam satu jurus saja dia sudah menendang ke arah lutut Hui Song dan tangan kirinya menyambar ke arah pundak Sui Cin. Gerakannya selain aneh dan kuat, juga cepat sekali, mendatangkan angin bersuitan mengejutkan dua orang muda yang cepat menghindarkan diri.



Hui Song adalah seorang pemuda cerdik. Dia maklum bahwa kakek ini memang lihai bukan main, akan tetapi kalau dalam waktu dua puluh jurus saja, mana mungkin mengalahkan dia dan Sui Cin, apalagi kalau mereka berdua mengerahkan seluruh daya untuk melindungi diri? Kalau mereka membagi perhatian untuk menyerang, mungkin mereka akan terlengah dan dapat dikalahkan.



"Cin-moi, pergunakanlah daya tahan Thai-kek Sin-kun!"



Gadis itupun cerdik dan ia mengerti apa yang dimaksudkan Hui Song, maka seperti juga pemuda itu, ia segera mainkan Thai-kek Sin-kun, mencurahkan segala perhatian untuk mempertahankan atau melindungi dirinya. Keadaan kedua orang muda itu tiada ubahnya dua buah benteng baja yang amat kuat dan tidak ada bagian lemah yang akan dapat ditembus!



Kakek itu sejenak terbelalak, kemudian mengeluarkan seruan keras dan sampai beberapa jurus lamanya dia berusaha mendobrak benteng pertahanan itu dengan berbagai macam serangan yang aneh-aneh. Namun semua serangannya kandas dan tidak mampu membobolkan benteng-benteng pertahanan dari Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun itu.



"Wah, hebat, hebat... Thai-kek Sin-kun yang hebat sekali...!" Berkali-kali kakek itu berseru dengan suara mengeluh ketika ke manapun juga dia menyerang, dia selalu gagal karena yang diserang itu pasti bisa mengelak atau menangkis. Padahal, dia sudah menyerang selama dua belas jurus, tinggal delapan jurus lagi!



Dia termangu-mangu sejenak dan Sui Cin mengejek.



"Hi-hik, kakek lucu, bersiap-siaplah menyebut subo kepadaku. Sudah dua belas jurus, tinggal delapan jurus lagi, jangan mengurangi hitungan!"



"Heh-heh-heh, siapa mengurangi hitungan? Masih ada delapan jurus, cukup untuk mengalahkan kalian!" Tanpa menanti jawaban, tiba-tiba saja kakek itu mengeluarkan suara melengking nyaring. Dua orang muda itu terkejut karena suara melengking itu mengandung khi-kang yang amat kuat, yang masuk dengan tajam menusuk jantung melalui telinga. Cepat mereka memasang kuda-kuda dan mengerahkan sin-kang melindungi tubuh bagian dalam dari serangan suara penuh khi-kang ini. Akan tetapi, tiba-tiba tubuh kakek itu melesat dan lenyap, yang nampak kini hanya bayangan berkelebatan mengitari mereka, makin lama makin cepat sehingga tidak lagi nampak jelas bayangannya, menjadi kabur! Inilah berbahaya, pikir mereka. Tanpa dapat mengikuti gerak-gerik kakek itu yang ternyata mempergunakan gin-kang yang sukar dipercaya kalau tidak melihat sendiri, begitu cepat seperti terbang, bahkan seperti menghilang saja, mereka takkan percaya ada gin-kang sehebat itu. Maka, merekapun bersikap waspada, tidak berani berkedip karena sekali berkedip cukuplah bagi kakek itu untuk memasukkan serangannya dengan tepat.



Benar saja, dua kali kakek itu menerjang sambil berputar, akan tetapi karena dua orang muda itu sudah bersiap-siap dengan kuda-kuda yanig amat kuat, mereka berdua mampu menangkis. Kakek itu agaknya merasa penasaran dan menyerang lagi sampai empat jurus, akan tetapi semua serangannnya gagal.



"Hi-hik, tinggal dua jurus lagi dan engkau menyebutku subo!" Sui Cin tak dapat menahan kegembiraan hatinya mengejek.



Tiba-tiba bayangan yang berputaran itu mengeluarkan uap putih dan terciumlah bau arak wangi. Kiranya kakek itu sambil berputar semakin cepat telah menyerang dengan menggunakan semburan arak yang agaknya diminumnya sambil berlari berputar-putar itu. Sui Cin dan Hui Song terkejut. Sambaran arak itu mengenai kulit mereka seperti jarum-jarum halus saja, dan yang membuat mereka repot adalah semburan yang mengarah muka mereka! Tentu saja mereka gelagapan dan melindungi muka, akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba saja mereka merasakan lutut mereka lemas kehilangan tenaga dan betapapun mereka bertahan, tetap saja kaki mereka tertekuk dan keduanya roboh berlutut!



"Hoa-ha-ha-ha, tepat dua puluh jurus dan kalian mengaku kalah. Akan tetapi tak perlu berlutut, jangan sungkan-sungkan, aku tidak bisa menerima penghormatan berlebihan ini, ha-ha-ha!"



Sui Cin dan Hui Song saling berpandangan. Lutut mereka tadi tertotok, akan tetapi tidak parah, hanya cukup membuat mereka terpaksa berlutut saja. Kini pengaruh totokan sudah lenyap lagi dan mereka bangkit berdiri. Tahulah mereka bahwa kakek itu selain amat lihai juga tidak berniat buruk, hanya ingin menang tanpa berniat mencelakakan mereka. Akan tetapi Sui Cid. cemberut.



"Kakek buruk, engkau telah menang dengan menggunakan akal busuk!"



"Ha-ha-ha, anak manis, akal dan siasat memang diperlukan dalam pertandingmu. Siapa kalah kuat harus menggunakan akal. Nah, kalian sudah kalah dan sekarang kalian harus membantuku. Waktunya hanya tinggal setengah hari. Sore hari nanti pengentin wanita she Coa ini akan dijemput dan dibawa ke Sin-yang, ke rumah calon suaminya, si bangsawan keparat itu. Siapakah nama kalian?"



"Saya bernama Cia Hui Song, locian-pwe."



"Namaku Ceng Sui Cin."



"Hemm, she Cia mengingatkan aku kepada Cin-ling-pai dan she Ceng...? Apakah bocah nakal yang dijuluki Pendekar Sadis itu juga she Ceng?"



Karena maklum bahwa kakek ini ten-tu seorang tokoh sakti yang selama ini tidak pernah muncul di dunia kang-ouw sehingga dia tidak pernah mendengar tentang kakek katai ini, Hui Song mera-sa tidak perlu menyembunyikan diri. "Pendekar Sadis adalah ayah kandung nona ini dan ketua Cin-ling-pai adalah ayah saya, locianpwe."



Kakek itu membelalakkan matanya, mengelus jenggot panjangnya dan terta-wa-tawa. "Hua-ha-ha-ha, pantas, pantas...! Sekarang aku tidak penasaran lagi mengapa mengalahkan dua orang bocah ingusan macam kalian saja aku harus mengerahkan seluruh tenaga sampai dua puluh jurus, kalau bukan kalian, ha-ha, baru muncul saja aku sudah jatuh nama. Nah, Sui Cin dan Hui Song, kini dengar baik-baik rencanaku untuk menolong ga-dis itu dan menghajar pembesar mata keranjang itu. Sui Cin, sekarang engkau harus mengantar gadis Coa itu pulang ke rumahnya karena di sana sudah dipersiapkan untuk sore nanti mengantar pengantin wanita ke Sin-yang."



"Eh, bagaimana ini? Bukankah gadis itu akan dipaksa kawin dan engkau hendak mencegah terjadinya hal itu, kek?" tanya Sui Cin yang tetap menyebut ka-kek dan tidak bersikap hormat seperti Hui Song.



"Ingat, kalian sudah kalah dan berjan-ji akan mentaati semua perintakku untuk menolong pengantin."



"Baiklah, kek, aku tidak membantah, hanya bertanya," kata Sui Cin bersungut-sungut.



Kakek itu tertawa, gembira agaknya dapat menggoda Sui Cin. "Engkau meng-antar gadis Coa itu kembali karena eng-kau tadi berjanji untuk mencarinya. Ka-takan saja kepada keluarga itu bahwa gadisnya diculik penjahat dan engkau berhasil merampasnya kembali, dan katakan bahwa engkau akan mengawal sendiri puteri menuju ke Sin-yang agar jangan diganggu penjahat di tengah perjalanan. Mengerti?"



"Wah, kakek buruk, agaknya engkau hendak mengejekku, ya? Sudah jelas bahwa aku gagal merampas kembali pengantin yang kauculik!" Sui Cin mengomel.



"Dan apakah tugas saya, locianpwe?" tanya Hui Song yang terbawa oleh percakapan itu. "Cin-moi, sudahlah kita mentaati saja karena sudah kalah. Pula, kita tahu bahwa locianpwe ini bukan orang jahat, andaikata demikian, tentu kita tidak akan menurut begitu saja."



"Heh-heh, putera Cin-ling-pai ini sukar mempercaya orang, dan selalu menyangka buruk. Untukmu aku sudah mempunyai tugas yang amat tepat. Engkau akan kudandani, ingat, engkau harus taat kepadaku. He, orang muda, kaubawa ke sini pakaian pengantin itu!" kata kakek itu kepada Lo Seng.



Lo Seng mengambil sebuah bungkusan di sudut guha dan menyerahkannya kepada si kakek yang segera membuka bungkusan dan keluarlah seperangkat pakaian pegantin berikut penghias rambut dan sebagainya, milik nona pengantin Coa yang lenyap dicuri orang itu! Melihat ini, Hut Song terbelalak dan mukanya ber-ubah merah.



"Locianpwe, apa maksudmu?"



Akan tetapi kakek itu sudah menghampirinya, membentang pakaian pengantin wanita yang lebar dan berwarna indah dengan hiasan huruf-huruf yang berbunyi "Bahagia" itu. "Engkau harus mentaati perintahku, menjalankan siasatku. Lekas pakai pakaian ini. Engkau harus menyamar pengantin wanita, menggantikannya kelak untuk diboyong ke rumah pejabat itu."



"Wah...! Ini... ini..." Hui Song tergagap dan bingung.



"Hi-hik! Twako, kita sudah kalah dan berjanji mentaatinya. Engkau juga harus mentaati perintahnya." Sui Cin tertawa-tawa gembira dan geli ketika kakek itu memaksa Hui Song memakai jubah pengantin di luar pakaiannya sendiri. Karena pakaian pengantin itu memang besar kedodoran dan tubuhnyapun sedang saja, maka pakaian itu dapat juga menutupi tubuhnya dan tentu saja kelihatan lucu. Apalagi setelah kakek itu memaksanya memakai rangkaian bunga di kepalanya. Sui Cin melihat ini sambil tertawa-tawa geli, sampai memegangi perutnya saking gelinya. Apalagi melihat betapa Hui Song menjadi bengong dan melongo saja dengan muka yang ketololan, ia menjadi semakin geli.



"Wajahmu cukup tampan, akan tetapi kurang halus untuk menjadi wajah pengantin wanita yang halus putih," kakek itu berkata, mengeluarkan bedak dan menggunakan jari tangannya mengoleskan bedak di muka Hui Song yang terpaksa berdiri tak bergerak dan mendorong muka ke depan, pasrah tanpa berani membantah. Sui Cin yang berdiri di belakangnya, tertawa gembira.



"Wah, sulit amat. Membungkuklah, Hui Song, wah, alismu terlalu tebal, harus diaukur bersih dan dibikin kecil," kakek itu tertawa-tawa.



"Wah, jangan, locianpwe...!" Hui Song berkata khawatir.



Melihat ini, Sui Cin lalu turun tangan. "Kakek nakal, biarkan aku yang mendandani Song-twako, tanggung akan kelihatan lebih cantik menarik daripada kalau engkau yang merusak mukanya."



Sui Cin memang ahli dalam melakukan penyamaran dan setelah ia turun ta-ngan, maka Wajah Hui Song memang kelihatan cantik, walaupun tentu saja ails-nya masih terlalu tebal dan juga tubuhnya kaku. Kakek itu lalu memberitahukan siasatnya. Gadis Coa akan diantar pulang oleh Sui Cin den selanjutnya mereka akan bergerak menukar pengantin dan memberi hajaran kepada pembesar itu dan pemuda Lo Seng diharuskan menanti di dalam guha.



Berangkatlah mereka. Sui Cin mengantar gadis Coa pulang ke dusunnya. Ka-rena sudah diberi tahu bahwa para orang gagah itu akan menolongnya dan akan melepaskannya dari cengkeraman pembe-sar di Sin-yang agar ia dapat hidup ber-sama Lo Seng, Coa Lan Kim tidak me-rasa takut ketika dibawa pulang ke dusun oleh Sui Cin.



Lurah Coa dan orang-orangnya menyambut kedatangan mereka dengan gembira sekali. Dengan gayanya yang menarik Sui Cin menceritakan bahwa Lan Kim diculik oleh gerombolan penjahat yang berilmu tinggi, akan tetapi ia berhasil merampasnya kembali. "Lanjutkanlah upacara pernikahan, dan aku sendiri yang akan mengawal enci Lan Kim ke Sin-yang agar dapat membasmi para penjahat yang hendak mencoba menghadang di tengah perjalanan."



Tentu saja keluarga Coa menjadi gembira sekali dan Sui Cin disambut dan di-jamu seperti seorang tamu agung yang amat dihormati. Kepada lurah Coa, Sui Cin memberitahukan bahwa kawannya kini masih menyelidik gerombolan itu, membayangi mereka ketika mereka melarikan diri.



Lan Kim didandani dan kini gadis itu tidak menolak lagi, tidak rewel sehingga ibunya merasa lega dan senang. Biarpun pakaian pengantin yang dikenakan nona pengantin itu dibuat tergesa-gesa dan tidak seindah pakaian pengantin yang hilang, namun Lam Kin nampak cantik dan anggun dalam pakaian pengantin.



Setelah saatnya tiba, muncullah jemputan dari Sin-yang, utusan pengantin pria yang mengirim joli dan barang-barang hadiah. Pengantin pria sendiri tidak muncul. Bukankah dia seorang pejabat tinggi di Sin-yang dan Lan Kim hanya menjadi isteri ke lima?



Kedudukannya terlalu tinggi untuk merendahkan dia turun ke dusun menjemput sendiri calon isterinya kelima, dan para utusannya saja sudah cukup membuat keluarga Coa merasa terhormat sekali, apalagi para utusan itu datang membawa hadiah-hadiah yang luar biasa banyaknya bagi keluarga lurah itu. Setelah lurah Coa menceritakan kepada para utusan bahwa di dusun itu terdapat gangguan gerombolan penjahat dan bahwa Sui Cin adalah seorang pendekar wanita yang mengawal pengantin, para pesuruh dari kota itupun merasa gembira. Siapa tidak akan gembira melakukan perjalanan dikawal seorang pendekar wanita secantik itu?



Berangkatlah rombongan pengantin, diiringi suara musik dan petasan, juga suara tangisan ibu pengantin dan para keluarga wanita lain. Tangis para keluar-ga wanita mengantar pengantin ini sudah merupakan semacam kebiasaan dan tra-disi yang tidak mungkin dapat ditinggal-kan lagi. Sukar lagi membedakan mana tangis yang sungguh-sungguh dan mana tangis buatan, seperti juga ratap tangis yang terdengar pada peristiwa perkabungan.



Menyedihkan memang kalau kita be-nar-benar mau membuka mata dengan waspada dan melihat betapa kepalsuan-kepalsuan semakin tebal menghiasi kehi-dupan kita. Tangis kita, tawa kita, keba-nyakan merupakan perbuatan yang palsu dan pura-pura untuk menutupi atau me-nyembunyikan keadaan yang sesungguhnya dari batin kita. Dengan dalih demi sopan santun, demi tata susila dan sebagainya, banyak hati yang sedang berduka memak-sa mulut untuk tersenyum atau sebalik-nya batin yang tidak sedang perihatin memaksa mata untuk menangis. Bahkan setiap hari kita selalu seperti terpaksa untuk berpura-pura, berpalsu-palsu, ber-sikap atau berbuat yang berlawanan dengan batin! Tidak adanya persamaan atau keserasian antara batin dan ucapan, an-tara batin, ucapan dan perbuatan, meru-pakan konflik-konflik yang setiap hari terjadi dalam diri kita. Kesemuanya itu bahkan seperti sudah menjadi suatu ke-harusan, suatu kebiasaan bagi kita. Da-pat kita selidiki pada diri sendiri. Kalau kita berhadapan dengan orang lain, kalau kita bersikap manis, tersenyum, menangis. Benarkah semua itu sesuai dengan suara hati kita? Ataukah hanya pura-pura sa-ja, sekedar memenuhi syarat umum agar dianggap sopan, beradab dan sebagainya? Mengapa begini? Tidak dapatkah kita ber-sikap wajar dan selalu ada keserasian an-tara batin, ucapan dan perbuatan?



***



Rombongan pengantin itu hanya melalui sebuah hutan kecil karena jarak antara dusun Lok-cun dan kota Sin-yang ju-ga tidak begitu jauh, hanya perjalanan kurang lebih dua jam saja. Maka, para pengawal atau utusan Su-tikoan (jaksa Su) sama sekali tidak merasa khawatir, bahkan agak geli melihat betapa keluarga pengantin wanita menyediakan seorang pendekar wanita untuk mengawal pengan-tin. Sudah bertahun-tahun tidak pernah terjadi pencegatan perampok atau penja-hat lain di hutan itu. Tadipun ketika me-reka pergi ke dusun membawa barang-barang hadiah pengantin yang berharga, sama sekali tidak terjadi gangguan. Pu-la, siapa berani mengganggu rombongan pengantin Su-tikoan? Mencari mati saja namanya!



Ketika mereka tiba di dalam hutan, sore telah larut den senja mendatang, membuat cuaca dalam hutan menjadi re-mang-remang karena sinar matahari yang sudah condong ke barat itu terhalang da-un pohon-pohon. Ketika mereka sedang enak berjalan, tiba-tiba terdengar teriak-an yang amat nyaring dari samping kiri, teriakan yang menggetarkan jantung dan menusuk telinga mereka.



"Berhenti den serahkan nona pengan-tin!"



Mendengar ini, wajah para utusan dan para pengawal yang jumlahnya belasan o-rang itu menjadi pucat dan mata mereka terbelalak. Akan tetapi dengan membe-ranikan hati mereka mencabut senjata masing-masing, dan mereka memandang kepada Sui Cin yang menurut keluarga mempelai ditunjuk sebagai pengawal dan pelindung nona pengantin.



Sui Cin juga memperlihatkan sikap gugup. "Kalian bertahan di sini, biar a-ku yang menyelamatkan pengantin. Aku tunggu kalian di luar hutan ini!" Berkata demikian, Sui Cin lalu mengambil joli atau gerobak dorong itu dan mendorong-nya sendiri sambil berlari keluar dari hu-tan.



Tiba-tiba muncullah seorang yang melihat pendeknya tubuh tentu seorang re-maja, akan tetapi dia memakai kedok le-bar yang menutupi semua wajahnya, ha-nya memperlihatkan dua buah mata yang mencorong di balik lubang-lubang kedok kayu itu. Sambil mementangkan kedua lengannya, orang yang bertubuh kecil pendek seperti anak-anak ini berkata, "Hayo tinggalkan semua senjata dan pakaian kalian di sini kalau ingin selamat!"



Kalau tadi semua orang itu merasa takut, kini mereka tersenyum mengejek. Kiranya hanya seorang anak kecil yang menghadang mereka, yang hendak menakut-nakuti mereka dengan kedok setan, seolah-olah mereka itu dianggap sebagai serombongan anak-anak penakut saja.



"Heh, bocah setan, apa kau sudah bosan hidup?" bentak kepala rombongan. "Hayo buka kedokmu dan berlutut minta ampun telah mengejutkan hati kami!"



"Heh-heh-heh, rombongan tikus. Lekas lakukan perintahku tadi atau kalian harus berlutut delapan kali dan menyebut aku kong-couw!"



Tentu saja rombongan itu menjadi marah sekali. Seorang di antara mereka melangkah maju dan mengayun tangan menampar ke arah muka anak bertopeng itu dengan keras. Orang ini tinggi besar dan tangannyapun lebar, ketika menampar seperti kipas saja mendatangkan angin.



"Plakk! Sungguh aneh sekali. Anak pendek berkedok itu hanya mengangkat tangan menangkis, tepat mengenai lengan si tinggi besar, akan tetapi seketika si tinggi besar mengaduh dan berjingkrak sambil memegang lengan kanannya yang terasa panas dan sakit seperti tadi bertemu dengan tongkat baja. Melihat ini, semua orang menjadi marah dan dengan senjata di tangan mereka menerjang.



"Heh-heh, kalian harus berlutut semua, berlutut semua!" Orang berkedok itu tertawa-tawa dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat lenyap, disusul teriakan-teriakan dan belasan orang itu roboh satu demi satu, roboh berlutut karena tiba-tiba saja mereka merasa kaki mereka seperti lumpuh.



Akan tetapi ketika mereka semua memandang, orang berkedok yang bertubuh pendek itu telah lenyap dari situ, entah ke mana dan agaknya orang itu tidak melakukan sesuatu lagi, buktinya barang-barang mereka masih utuh, juga mereka itu semua tidak terluka dan kini dapat berdiri lagi. Tentu saja pengalaman aneh ini membuat mereka merasa ketakutan. Belum pernah selama hidup mereka bertemu dengan orang yang sehebat itu kepandaiannya, dan tanpa menanti perintah lagi mereka segera berlomba melarikan diri keluar hutan menyusul larinya Sui Cin yang telah pergi lebih dahulu menyelamatkan nona pengantin itu.



Ketika mereka tiba di luar hutan, rombongan itu melihat Sui Cin berdiri menanti bersama joli dorong yang diselamatkannya tadi. Giranglah hati mereka karena ternyata gadis pendekar itu dalam keadaan selamat dan terutama sekali pengantin wanita ternyata tidak terganggu.



Sui Cin berpura-pura heran melihat mereka berlari-lari dengan sikap ketakutan itu dan menyongsong mereka dengan pertanyaan heran, "Eh, kenapa kalian berlari-lari seperti orang ketakutan?"



Dengan suara mengandung ketegangan dan napas masih terengah-engah, mereka lalu menceritakan betapa mereka diserang oleh seorang penjahat bertubuh kecil seperti kanak-kanak yang memakai kedok. Tentu saja Sui Cin diam-diam merasa geli karena ia dapat menduga siapa adanya anak kecil berkedok yang lihai itu.



"Kalau begitu, mari kita cepat pergi dari sini menyelamatkan pengantin sebelum setan itu melakukan penejaran," katanya. Rombongan itu tentu saja setuju dengan ucapan ini dan dengan tergesa-gesa mereka lalu mendorong joli pengantin yan berupa gerobak kecil beroda itu. Saking tegang hati mereka, para pendorong gerobak itu tidak menyadari bahwa joli atau berobak yang mereka dorong itu jauh lebih berat daripada tadi.



Ketika rombongan yang menjemput nona pengantin tiba di gedung Su-tikoan, ternyata rumah itu tidak dirias dan penyambutan tidak semeriah upacara yang diadakan di rumah nona pengantin. Dan memang hal itu tidak mengherankan. Menikahi seorang wanita untuk menjadi isteri kelima, apalagi kalau wanita itu hanya seorang gadis desa, tidak dianggap sebagai peristiwa yang patut dirayakan secara besar-besaran oleh pejabat tinggi itu. Bahkan dianggapnya sebagai suatu kesenian atau hiburan pribadi saja, maka di situ tidak terdapat pesta penyambutan, tidak banyak tamu kecuali beberapa belas orang anak buah pembesar itu. Apalagi ketika para penjemput itu dengan bermacam gaya menceritakan tentang pencegatan, orang aneh yang amat lihai, Su-tikoan sendiri yang merasa khawatir lalu tergesa-gesa memerintahkan agar pengantin perempuan langsung saja dalam jolinya itu dibawa ke dalam gedung dan langsung ke dalam kamar pcngantin! Hanya empat orang yang memanggul joli dorong itu, dan dikawal oleh Sui Cin. Ketika Su-tikoan mendengar bahwa gadis cantik jelita yang ikut bersama rombongan itu adalah seorang pengawal yang melindungi nona pengantin, tentu saja dia memperkenankan pengawal cantik ini ikut masuk pula.



Hati pembesar bertubuh gendut yang mata keranjang itu segera tertarik kepada Sui Cin. Dia sudah pernah melihat Lan Kim dan kini dia melihat betapa wanita gagah itu jauh lebih cantik dari- pada gadis desa yang diangkatnya menjadi isteri kelima, maka tentu saja matanya sudah melirak-lirik dan mulutnya tersenyum-senyum ceriwis. Apalagi ketika dia melihat betapa wanita perkasa yang cantik jelita itu bersikap manis dan selalu tersenyum kepadanya. Pembesar yang usianya sudah enam puluh tatun ini memang terkenal mata keranjang dan agaknya dia beranggapan bahwa semua wanita dibeli dengan harta dan kedudukannya. Baginya, wanita tentu tunduk dan mau kalau dipameri harta dan kedudukan tinggi, biarpun dia sudah tua dan wajahnya buruk, dengan muka kasar menghitam dan perut gendut seperti perut babi.



Maka, ketika joli tiba di depan kamar yang sudah dipilihnya sebagai kamar pengantin bagi calon isterinya yang kelima, dia menyuruh empat orang pemikul joli itu pergi. Joli diturunkan dan kini didorong oleh Sui Cin sendiri memasuki kamar atas isyarat pembesar itu. Lima orang pelayan wanita yang muda-muda dan cantik dengan suara ketawa ditahan yang genit ikut pula memasuki kamar dan mereka ini segera mempersiapkan hidangan yang lezat dan mewah di atas meja dalam kamar.



"Nona tentu lelah dan baru saja mengalami peristiwa yang menakutkan. Silakan duduk, nona," kata pembesar itu.



Tanpa banyak pura-pura lagi Sui Cin duduk di atas kursi, menghadapi meja makan sampai semua hidangan diatur di atas meja dan pembesar itu menyuruh para pelayan keluar dari dalam kamar. "Tinggalkan kami dan jangan ganggu atau masuk kalau tidak dipanggil," kata pembesar gendut itu. Para pelayan itu cekikikan dan berlarian keluar. Tentu saja pembesar yang mata keranjang itu tidak pernah membiarkan wanita begitu saja dan semua pelayan yang muda-muda dan cantik-cantik itu selain bertugas sebagai pelayan juga kadang-kadang memperoleh giliran menemaninya dalam kamar. Karena itulah maka mereka bersikap genit dan berani.



Setelah semua pclayan keluar dan daun pintu kamar itu ditutup, pembesar itu cengar-cengir mendekati Sui Cin. Sekali ini dia mengamati wajah wanita gagah ini dan jantungnya berdebar tegang. Inilah wanita cantik, pikirnya. Belum pernah dia mendapatkan seorang wanita secantik ini, apalagi kalau wanita ini memiliki kegagahan, seorang ahli silat pandai yang selain menjadi miliknya sebagai kekasih juga dapat bertugas menjadi seorang pengawal pribadi yang setia dan menyenangkan!



"Nona, siapakah namamu?"



Sui Cin mengerutkan alisnya akan tetapi tidak memperlihatkan rasa jijik dan marahnya. Pembesar ini adalah seorang laki-laki tua yang buruk rupa juga buruk watak. Mana ada seorang pengantin pria yang sedang dipertemukan dengan calon isterinya, belum juga melihat calon isteri yaag masih dibiarkan di dalam joli, sudah main mata dan berusaha merayu seorang wanita lain yang baru dijumpainya? Benar-benar seorang buaya darat, seorang hidung belang yang mata keranjang! Akan tetapi ia pura-pura tersenyum manis dan melirik menja.



"Taijin, nona pengantin sedang menanti dalam joli."



"Ehh...? Ohh... ya, aku lupa..."



"Biarlah saya keluar dari kamar dan pulang, taijin."



"Eh, jargan dulu... jangan dulu, kita makan minum dulu, bersama nona pengantin. Aih, aku sampai lupa kepada nona pengantin. Nona pengantin, keluarlah dan mari kita makan minum!" katanya sambil tersenyum menyeringai dan membuka joli yang tertutup itu. Akan tetapi ketika nona pengantin itu keluar dari joli, Su-tikoan terbelalak, matanya yang besar itu melotot seperti meloncat keluar dari tempatnya.



"Ini... ini... bukan gadis anak lurah itu...! Eh, siapa engaku, berani mati mempermainkan aku?" Dia membentak dan melotot ke arah Hui Song yang berdiri di depannya dalam pakaian pengantin wanita!



Hui Song yang memang berwatak jenaka dan suka menggoda orang, kini berlenggak-lenggok genit seperti seorang perempuan, tentu saja dengan gaya yang lucu dan kaku, menggigit bibir dan mengerling tajam. "Hayaa... kenapa pengantin pria calon suamiku marah-marah kepadaku di malam pertama ini? Aihhh, kakanda, aku adalah mempelai wanita, calon isterimu tercinta. Mari, peluklah aku, pondonglah aku ke atas pembaringan itu... aihhh..."



Pembesar itu menggigil karena jijik mendengar suara nona pengantin itu besar seperti suara pria dan kini nona pengantin itu melangkah menghampirinya dengan sikap merayu.



"Hiiihh...!" Su-tikoan terbelalak ngeri dan mundur-mundur ketakutan bercampur marah. "Pergi engkau! Keparat, berani engkau mempermainkan aku? Pengawal...!" Akan tetapi suara tikoan itu terhenti karena tiba-tiba jari tangan Hui Song telah menotoknya, pada jalan darah di leher yang membuat tikoan itu tidak mampu lagi mengeluarkan suara. Kemudian, sekali menggerakkan kakinya, Hui Song memendang dan tubuh yang gendut itu terlempar ke atas pembaringan. Dengan muka ketakutan dan mata terbelalak pembesar itu memandang ke arah Sui Cin, mengharapkan bantuan pengawal ini. Akan tetapi, wajahnya menjadi semakin pucat ketika dia melihat gadis itu tersenyum mengejek. Tahulah dia sekarang bahwa orang yang menyamar sebagai mempelai puteri ini tentu sekutu gadis i-tu! Dan jantungnya hampir berhenti sa-king takutnya ketika dia melihat Hui Song menanggalkan pakaian pengantin, menghapus penyamarannya dan menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah.



"Tua bangka mata keranjang, dengar baik-baik. Sekali engkau berteriak, aku akan membunuhmu!" Setelah berkata de-mikian, Hui Song menepuk lehernya dan Su-tikoan mampu lagi bicara.



"Ampunkan aku... kalian ini mau apa? Mengapa menyamar pengantin dan... di mana pengantinku...?"



"Keparat! Engkau hendak menggunakan harta dan kedudukanmu untuk memaksa gadis orang menjadi isteri kelima. Nona Coa adalah milik kami dan akan pergi bersama kami. Kami melarikannya dari tangan orang tuanya yang mata duitan, agar tidak terjatuh ke tangan srigala tua macam engkau. Nah, cepat keluarkan uang saratus tail emas untuk bekal pe-ngantin dan berjanji selamanya tidak akan melakukan paksaan menggunakan harta dan kekuasaan!"



Tubuh pembesar itu menggigil. "Baik... baik..." katanya akan tetapi dari pandang matanya yang berkilat tahulah Hui Song bahwa orang ini merasa penasaran dan marah, hanya tunduk karena terpaksa saja. Juga Sui Cin dapat men-duga hal ini maka gadis itupun menghar-dik.



"Engkau adalah seorang pejabat ting-gi, seorang pembesar yang sepatutnya menjadi pelindung rakyat, menjadi tela-dan bagi rakyat. Akan tetapi, engkau lu-pa bahwa engkaupun seorang manusia biasa, seorang di antara rakyat. Setelah memegang jabatan tinggi, engkau lupa dan gila kekuasaan, mabok kemuliaan, sehingga engkau suka berbuat sewenang-wenang. Mengawini seorang gadis di luar kehendak gadis itu, menggunakan harta dan kekuasaan untuk memaksa orang tua gadis itu. Orang seperti engkau ini layak dilenyapkan dari muka bumi. Akan tetapi kami masih mengampuni asal engkau insyaf dan mulai sekarang menjadi seorang pemimpin rakyat sejati."



Pembesar itu menundukkan mukanya, seperti seorang anak kecil yang dimarahi ibunya.



"Hayo cepat keluarkan seratus tail emas!" bentak Hui Song.



"Baik... baik...!" Kakek gendut itu lalu menghampiri sebuah lemari yang berada di sudut kamar. Di dekat lemari itu terdapat sebuah jendela yang tertutup. Tiba-tiba pembesar itu membuka daun jendela dan berteriak, "Pengawal...! Toloonggg...!"



"Keparat!" Hui Song berseru dan tangannya menyambar kursi lalu dilontarkan ke arah pembesar yang hendak melarikan diri keluar dari jendela itu.



"Brukk...!" Kursi itu menghantam muka si pembesar yang mengeluh dan roboh dengan muka berlumuran darah, karena hidungnya telah remuk kena hantaman kursi itu.



"Cepat, ambil uangnya!" kata Hui Song.



Sui Cin menghampiri lemari itu dan mendobrak daun pintu lemari. Akan tetapi isinya tidak begitu banyak, hanya sepuluh tail emas dan beberapa belas potong perak. Sui Cin mengambil emas dan perak itu, membungkusnya dengan kain sutera yang banyak terdapat dalam lemari. Pada saat itu, terdengar suara ribut-ribut di luar. Hui Song yang sudah berjaga-jaga di pintu, tidak melihat adanya pengawal datang dan di luar seperti terdengar suara orang berkelahi.



"Cin-moi, cepat kita keluar!" teriaknya dan merekapun berloncatan keluar setelah Sui Cin menyimpan uang rampasan itu. Kiranya di ruangan dalam yang menuju ke kamar itu telah terjadi perkelahian yang seru. Kakek katai itu sambil tertawa-tawa telah dikepung dan dikeroyok oleh dua puluh lebih pengawal dan penjaga yang tadi mendengar teriakan majikan mereka. Biarpun para pengepung itu menggunakan segala macam senjata, namun kakek katai yang bertangan kosong itu menghadapi mereka sambil terkekeh-kekeh. Enak saja dia mengelak dan menangkis semua senjata yang datang kepadanya bagaikan hujan. Beberapa buah senjata bahkan bertemu dengan lengan-lengan yang pendek dan kecil dari kakek itu. Akan tetapi jelas bahwa kakek itu tidak mau melukai orang, apalagi membunuh, hanya mempermainkan mereka seperti seekor kucing mempermainkan segerombolan tikus.



Melihat kakek itu bermain-main, Sui Cin lalu berseru. "Kakek, jangan main-main, mari kita pergi!"



"Heh-heh-heh, kalian sudah selesai?" Kata kakek itu dan tiba-tiba saja para pengeroyoknya mengeluarkan seruan kaget ketika tiba-tiba saja kakek yang mereka keroyok itu lenyap seperti berubah menjadi asap dan menghilang. Gegerlah gedung pembesar Su itu, apalagi ketika para penjaga itu memeriksa ke dalam mereka menemukan Su-tikoan pingsan dalam kamarnya dengan hidung remuk sehingga dari hidung yang rusak itu mengucur darah yang melumuri seluruh mukanya. Melihat muka berlumuran darah itu, semua orang terkejut dan merasa ngeri, mengira bahwa pembesar itu tentu luka-luka parah pada mukanya. Akan tetapi setelah muka itu dibersihkan, ternyata hanya hidungnya yang remuk. Biarpun demikian, akan tetapi selamanya Su-tikoan akan menjadi orang cacat karena hidungnya hanya akan dapat sembuh dari lukanya, tidak dapat pulih kembali, menjadi hidung yang melesak dan membuat mukanya buruk menakutkan. Dan pengalaman itu ternyata membuat Su-tikoan menjadi ketakutan dan bertobat. Dia hanya mengerahkan pasukannya untuk mencari penjahat-penjahat yang melarikan gadis Coa itu. Juga lurah Coa berusaha mencari puterinya, namun sia-sia karena puterinya telah pergi jauh sekali, ke propinsi lain bersama laki-laki yang dicintanya, yaitu Lo Seng dan membina rumah tangga yang berbahagia, dengan modal uang yang diberikan oleh Sui Cin kepadanya, uang emas dan perak yang dirampas dari dalam lemari Su-tikoan.



Setelah melarikan diri dari gedung Su-tikoan, Hui Song, Sui Cin dan kakek itu berlari kembali ke dalam hutan di mana kini telah menunggu Lo Seng dan Lan Kim. Sepertu dapat kita duga, ketika kakek itu menggoda para pengawal di hutan dan Sui Cin menyelamatkan pengantin wanita, Lan Kim keluar dari dalam joli dan digantikan oleh Hui Song dan kini Lo Seng bersama Lan Kim menanti di dalam kuil tua. Mereka berdua men-jatuhkan diri berlutut di depan tiga o-rang penyelamat mereka itu dan akhirnya mereka berdua dinasihatkan untuk pergi jauh ke propinsi lain dan diberi bekal uang yang dirampas dari Su-tikoan.



Setelah dua sejoli itu pergi, kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, senang ha-tiku bahwa urusan ini berakhir dengan baik berkat pertolongan kalian berdua."



"Ahh, engkau terlalu merendahkan di-ri, kek. Untuk urusan sepele seperti ini saja, biar tanpa bantuan kamipun engkau tentu akan mampu membereskannya sendiri." Sui Cin mencela.



"Heh-heh-heh, belum tentu! Mana aku mampu bergaya menjadi pengantin wani-ta seperti Hui Song ini? Ha-ha-ha, seti-daknya aku dapat bertemu dan berkenal-an dengan kalian dua orang muda yang hebat, keturunan ketua Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis."



"Locianpwe telah mengenal kami ber-dua, akan tetapi kami belum mengetahui siapa nama locianpwe yang mulia."



"Benar, engkau harus memperkenalkan namamu kepada kami, kek."



"Namaku? Ha-ha, apa sih artinya nama? Hanya sebutan kosong saja. Nama sama sekali tidak menunjukkan isinya, dan kalau mau bicara tentang isi, seka-rang perutku kosong dan lapar bukan main!"



"Jangan khawatir, kek. Aku akan ma-sak makanan untukmu asal engkau suka memperkenalkan nama," kata Sui Cin sambil mengeluarkan bungkusan-bungkus-an kecil dari buntalan pakaiannya. Bung-kusan-bungkusan itu terisi bumbu-bumbu masakan.



"Kau bisa masak?"



Mendengar pertanyaan yang nadanya tidak percaya dan memandang rendah ini, Sui Cin bangkit berdiri dan bertolak pinggang. "Jangan memandang rendah orang sebelum mengujinya, kek. Kalau tidak pandai masak, perlu apa aku membual? Ibuku telah mengajarkan masakan-masakan yang luar biasa, masakan model selatan yang akan membuat lidahmu menari-nari!"



"Ibumu? Aih, bukankah isteri Pendekar Sadis itu datuk yang pernah berjuluk Lam-sin? Ha-ha, jangan-jangan hanya namanya saja yang besar akan tetapi isinya melompong. Jangan-jangan engkau masak, hasilnya hanya masakan gosong dan pahit!" Kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha, bocah sombong, tentang masak-memasak, kiranya engkau harus belajar dulu dari Wu-yi Lo-jin (Kakek dari Gunung Wu-yi)!"



"Hemm, dan siapa itu Kakek Gunung Wu-yi?"



"Siapa lagi kalau bukan ini orangnya!" Kakek itu menunjuk hidungnya sendiri dengan telunjuknya. "Aku bertapa selama puluhan tahun di puncak Gunung Wu-yi, dan aku sekarang menjadi seorang kakek, maka apalagi namaku, kalau bukan Wu-yi Lo-jin? Ha-ha!"



"Huh, engkau seorang pertapa, paling-paling bisanya makan rumput dan daun muda, mana bisa memasak? Mari kita bertaruh. Kalau mankanku kalah olehmu, biar aku mengangkatmu sebagai guru maask. Akan tetapi kalau masakanku lebih enak, engkau harus memberi hadiah kepadaku."



"Ha-ha-ha!" Kakek itu mengelus jenggot yang panjangnya sampai ke perut itu, nampak gembira sekali. "Bagus, coba kau masak untukku, hendak kulihat apakah benar engkau pandai memasak ataukah hanya membual saja. Kalau benar-benar masakanmu lebih enak daripada masakanku, engkau boleh minta hadiah, sebut apa saja, tentu akan kuberikan padamu!"



"Benarkah itu? Apa saja yang kuminta akan kauberikan? Song-twako ini menjadi saksi hidup!"



"Tentu saja selamanya aku tidak pernah bohong."



"Ah, batal saja, aku tidak jadi masak." kata Sui Cin. "Orang seperti engkau ini banyak akalnya, tentu aku akan kalah karena engkau menggunakan akal."



"Akal begaimana?" Kakek yang mengaku bernama Wu-yi Lo-jin itu mendesak.



"Bagaimana enaknya, bisa saja engkau bilang tidak enak, tentu saja aku akan kalah!"



"Ah, tidak mungkin. Perutku lapar begini, kalau ada masakan enak, mana tega aku mengatakan tidak enak? Kalau aku terus makan, berarti enak, kalau tidak enak tentu tidak akan kumakan, padahal perutku lapar sekali."



"Baik, aku akan mencari behan masakan!" Berkata demikian, Sui Cin meloncat dan sekali berkelebat, gadis itu telah lenyap keluar guha.



Kakek itu mengangguk-angguk dan kini, setelah Sui Cin pergi, sikapnya yang tadi jenaka itu berobah serius. "Hui Song, gin-kang gadis itu hebat sekali. Kabarnya ibunya yang memiliki gin-kang istimewa dan ternyata memang benar. Dan dara itu... sungguh hebat. Aku pasti akan jatuh cinta kalau aku sebaya denganmu."



Wajah Hui Song berubah merah sekali. Tadi dia termenung dan diam-diam menganggap betapa bodohnya Sui Cin. Bertaruh melawan kakek ini apa gunanya? Andaikata menang, apa yang dapat diharapkan dari kakek yang hanya mempunyai satu-satunya pakaian mewah yang menempel di badannya berikut guci arak besar itu?



Tak lama kemudian Sui Cin sudah datang lagi membawa sebuah rebung (bambu muda), seekor ayam hutan dan seekor kadal yang gemuk! Hui Song sudah pernah menikmati masakan Sui Cin ketika mereka melakukan perjalanan bersama dan dia tahu bahwa gadis itu memang pandai memasak, bahkan agaknya binatang apa saja dapat disulap menjadi masakan yang lezat olehnya. Biarpun dia belum pernah makan daging kadal, akan tetapi dia percaya bahwa gadis itupun tentu dapat memasak daging binatang itu menjadi santapan nikmat.



"Kakek, pernahkan engkau makan masak rebung campur hati dan daging naga ditambah kepala dan kaki burung Hong? Dan juga, panggang daging burung Hong muda?" Sui Cin bertanya kepada kakek itu sambil melenmpar rebung, ayam hutan dan kadal yang sudah mati itu ke atas lantai. Hui Song tanpa diperintah lagi se-gera mencari kayu bakar dan membuat api unggun.



Kakek itu memandang terbelalak mendengar nama masakan-masakan aneh itu, tidak mampu menjawab hanya geleng-geleng kepala, lalu menelan ludah dan bertanya, "Anak baik, bagaimam mungkin engkau akan memasak daging binatang-binatang suci itu? Mana naganya dan burung Hongnya?"



Sui Cin tersenyum, mengambil bangkai ayam dan kadal. "Inilah burung Hong dan naganya!"



"Kadal itu? Hihh, menjijikkan! Lebih baik masak daging ayam itu saja!"



Sui Cin cemberut den melemparkan dua bangkai binatang itu ke atas lantai, lalu berkata dengan nada suara ngambek, "Sudahlah, kalau belum apa-apa dicela, lebih baik aku tidak jadi masak!"



"Wah, jangan begitu, aku sudah lapar sekali!" kata si kakek terkejut.



"Biar kau kelaparan, siapa peduli?"



"Aih, anak baik, jangan marah. Ma-saklah, masaklah apa saja, hendak kuli-hat apakah engkau benar-benar pandai masak."



"Baik, akan tetapi, engkau harus membantuku mencarikan kebutuhan masak yang kuperlukan saat ini."



"Boleh, boleh! Apa saja?"



Sui Cin menghitung-hitung dengan ja-rinya sambil mengerutkan alisnya. "Per-tama tentu saja adalah panci tanggung berisi air jernih, lalu fetsin, dua jari ja-he, kulit jeruk dan bawang. Nah, itulah yang kuperlukan. Cepat, kek, akupun i-ngin melihat apakah engkau benar-benar memiliki ilmu berlari cepat yang hebat."



"Tunggu sebentar!" Suaranya masih bergema dan kakek itu sudah lenyap da-ri situ!



Sui Cin melongo, juga Hui Song yang sudah kembali membawa kayu bakar itu bengong.



"Song-ko, dia seperti bukan manusia, seperti iblis yang pandai merghilang saja!"



"Cin-moi, kenapa engkau mengadakan pertaruhan dengan dia seperti itu? Kalau engkau menang seperti yang kupercaya, lalu apa yang dapat kauminta darinya?"



Sui Cin tertawa. "Song-twako, ke mana larinya kecerdikanmu dan kenapa semenjak bertemu dengan kakek itu engkau kehilangan rasa gembira dan kejenakaanmu? Aku dapat minta diajari gin-kangya itu!"



Hui Song mengangguk-angguk, akan tetapi dia mengerutkan alisnya.



"Kenapa engkau nampak tidak gembira, twako? Engkau tidak seperti biasanya, kocak dan gembira?"



"Entahlah, Cin-moi, akan tetapi... aku... seperti merasa tidak enak hati semenjak dia muncul..." Dan pemuda ini merasa bingung sendiri di dalam hatinya mengapa dia bisa merasa cemburu kepada kakek tua renta itu! Melihat betapa Sui Cin bergembira dengan kakek itu, sikap Sui Cin yang demikian akrab, dia merasa cemburu! Padahal dia sendiri maklum bahwa Wu-yi Lo-jin adalah seorang kakek yang sakti dan tidak ada alasan sedikit juga baginya untuk merasa cem-buru. Pemuda ini tidak tahu bahwa yang dideritanya bukanlah sekedar cemburu, melainkan iri hati melihat betapa gadis yang dicintanya itu bersikap baik kepada orang lain, walaupun orang lain itu seorang kakek tua renta! Dan hatinya mera-sa lebih tidak enak lagi mendengar bah-wa Sui Cin akan minta diajari gin-kang oleh kakek yang sakti itu. Kalau hal ini terjadi, berarti tidak lama lagi dia akan tertinggal jauh oleh Sui Cin dan dia kha-watir bahwa kalau sampai terjadi demi-kian, gadis itu memandang rendah kepa-danya.



Terdengar suara kakek itu. "Hah-hah, sudah dapat semua yang kaubutuhkan!"



Dan tiba-tiba saja dia sudah berdiri di situ, membawa sebuah panci yang terisi air penuh. Juga dia membawa semua bumbu yang dibutuhkan Sui Cin tadi. Sungguh amat mengherankan sekali betapa kakek ini dapat berlari cepat membawa panci terisi air penuh yang nampaknya sama sekali tidak tumpah karena air itu masih penuh sampai ke bibir panci.



Dengan girang Sui Cin menerima se-mua bumbu dan panci berisi air itu, lalu mulailah gadis itu mempersiapkan masakannya, dibantu oleh Hui Song. Adapun Wu-yi Lo-jin sendiri lalu duduk bersila menanti di sudut guha, memejamkan mata dan sebentar saja terdengar suara mendengkur! Dari pernapasannya, dua o-rang muda yang juga memiliki ilmu ke-pandaian tinggi itu merasa yakin bahwa kakek itu memang benar sudah tidur, maka kembali mereka kagum. Orang yang dapat secara seketika tidur pulas hanya-lah orang yang sudah amat kuat batinnnya yang begitu mengosongkan batin se-gera tenggelam dalam kepulasan. Kepan-daian seperti ini hanya dimiliki orang yang sudah mendalam latihannya dalam ilmu samadhi.



Sui Cin memang seorang gadis yang ahli dalam hal memasak. Bukan hanya karena ibunya mengajarkan ilmu memasak kepadanya, akan tetapi karena memang gadis ini gemar memasak sehingga dalam perantauannya, ia selalu mempelajari ilmu ini dan memperdalamnya. Setiap kali mencicipi masakan yang lezat, umpamanya di dalam sebuah restoran, ia tentu segera menghubungi kokinya dan tidak segan-segan ia mengeluarkan uang untuk membeli resep masakan atau mempelajarinya. Dengan mengumpulkan berbagai cara masakan dari bermacam-macam daerah, akhirnya ia pandai sekali mencampur-campur bumbu sehingga menjadi masakan yang lezat, walaupun yang dimasaknya hanya sayur atau daging seadanya saja. Ia tahu bagaimana caranya menghilangkan bau amis pada daging, membuat daging yang alot menjadi lunak, menghilangkan rasa pahit pada beberapa macara sayur, bahkan membebaskan daging atau sayur dari pengaruh racun.



Dengan dibantu Hui Song yang me-mandang kagum melihat pandainya Sui Cin memasak, tak lama kemudian ter-ciumlah bau sedap ketika masakan-ma-sakan itu matang. Dan sungguh luar bia-sa sekali, kakek yang tadinya tidur nyenyak mendengkur itu tiba-tiba mengeluarkan suara!



"Wah, harumnya...! Sedap... sedap...!" Dan dia langsung saja membuka matanya lalu bangkit berdiri, seperti orang yang tidak pernah tidur saja. Sambil mengucek mata kakek itu memandang dan menghampiri Sui Cin, menelan ludah dan menjilati bibirnya sendiri.



"Nah, sudah matang, kek. Cobalah masakanku dan aku menantangmu apakah engkau berani mengatakan bahwa masakanmu lebih enak daripada masakanku!"



Wu-yi Lo-jin lalu duduk menghadapi dua macam masakan itu. Seperti main sulap saja, dari balik jubahnya yang kedo-doran itu dia mengeluarkan sebuah mang-kok yang masih baru dan mengkilap dan sepasang sumpit yang terbuat dari gading tua yang mahal! Dan mulailah kakek itu menyumpit masakan itu dan tak lama kemudian nampak dia mengunyah makan-an dengan mata meram-melek, jelas se-kali nampak dia menikmati masakan yang lezat itu. Hui Song memandang hampir tak pernah berkedip dan kalamenjingnya turun naik. Dia sendiri sedang merase la-par, maka melihat orang makan dengan demikian lahap dan enaknya, tentu saja seleranya timbul. Sui Cin juga meman-dang sambil tersenyum girang.



"Bagaimana, kek? Bagaimana penda-patmu? Bukankah masakanku enak seka-li?" Sui Cin bertanya tak sabar lagi se-telah dua macam masakan itu habis le-nyap ke dalam perut kakek katai itu.



Sambil mengunyah-ngunyah masakan terakhir, kakek itu mengangguk-angguk, menanti sampai dia menelan makanan itu baru menjawab, "Lumayan, akan tetapi aku belum yakin benar kalau masakanmu lebih enak daripada masakanku. Mana... masih ada lagikah?" Dia mengulur tangan memberi panci kosong kepada Sui Cin. Melihat ini, Sui Cin tidak dapat menahan ketawanya.



"Hi-hik, kakek curang, kaukira aku ti-dak tahu isi hatimu? Kaukira aku dapat kau bodohi begitu saja? Kalau tidak le-zat, mana mungkin engkau makan begitu lahapnya dan engkau sikat semua sampai habis, sehingga engkau sampai lupa sopan santun, makan sendiri tanpa menawarkan kepada kami berdua yang juga sudah lapar sekali? Cih, dan masih ti-dak malu untuk menyangkal bahwa me-sakanku sangat lezat?"



Ditegur begitu, agaknya kakek itu baru sadar dan dia menoleh kepada Hui Song, lalu terkekeh. "Heh-heh-heh, baiklah... tapi mana, apakah masih ada la-gi? Jangan kaubohongi aku, aku tahu bahwa masih ada daging panggang yang be-lum kauhidangkan!" Kakek itu mengusap bibir dengan saputangan sutera, kemudian membuka tutup guci arak dan minum a-rak dengan suara menggelogok.



Sui Cin tersenyum. "Jadi, engkau sudah mengaku kalah?"



"Sudah, kau memang anak yang baik dan pandai masak. Mana panggang ayam itu?"



"Nanti dulu, kek. Kalau kau sudah mengaku kalah, engkau tentu mau memberikan apa saja yang kuminta seperti janji kita, bukan? Ataukah engkau juga tidak malu-malu untuk menjilat kembali ludah yang sudah dikeluarkan?"



"Heh-heh, anak nakal! Katakan, mau minta apa? Aku hanya punya guci arak ini, boleh kauminta setelah araknya habis kuminum nanti!"



"Aku tidak butuh guci arakmu, kek!"



"Apa...?" Kakek itu membelalakkan matanya. "Anak bodoh, kau tahu harganya guci ini? Guci ini terbuat dari emas murni dan sudah seribu tahun umurnya. Tak ternilai harganya! Juga, segala macam makanan atau minuman beracun kalau dimasukkan ke dalam guci ini akan berubah hitam! Belum lagi kalau dipergunakan -sebagai senjata, ampuhnya bukan main!"



"Biarpun begitu, bukan itu yang kuminta darimu."



"Hemm, lalu apa yang kauminta? Aku tidak punya apa-apa lagi. Mangkok dan sumpit ini? Ataukah pakaianku? Aih, ku-rasa engkau tidak begitu kejam untuk merampas sandang panganku!"



"Bukan! Aku hanya minta agar engkau suka mengajarkan gin-kang kepadaku sampai aku dapat bergerak secepat engkau, kek!"



Kini sepasang mata kakek itu terbelalak dan mukanya agak berubah, dan... aneh sekali, dia menoleh ke kanan kiri seolah-olah merasa khawatir kalau-kalau percakapan mereka terdengar orang lain.



"Ah, tidak bisa... tidak bisa...!"



"Nah, ketahuan sekarang belangmu!" Sui Cin berseru. "Sudah menelan habis semua masakan dengan lahap dan enak, lalu lupa janji. Baru begitu saja sudah hendak mengingkari janji, apalagi kalau janji-janji penting!"



"Wahh... berabe... ssttt. Jangan keras-keras...!" Dia lalu berbisik, "Baiklah, akan tetapi hal ini harus dirahasiakan dan engkau tidak boleh menyebut guru kepadaku."



"Aku tidak perduli sebutan guru itu asal dapat mewarisi ilmu gin-kangmu."



"Baik, baik... aku bukan orang yang suka mengingkari janji, tapi hati-hati, jangan ketahuan orang lain. Sudah, kesinikan panggang daging itu."



"Kami sendiripun belum makan, kek."



"Biarlah, Cin-moi, berikan saja kepada locianpwe. Aku masih mempunyai sisa roti kering," kata Hui Song, mengeluarkan roti kering dari buntalannya.



Sui Cin terpaksa memberikan daging ayam panggang kepada kakek itu yang segera makan lagi dengan lahapnya, matanya meram-melek keenakan tanpa merasa sungkan sedikitpun kepada dua o-rang muda yang kini makan roti kering untuk mengurangi rasa lapar.



Setelah semua daging panggang itu amblas, disusul belasan teguk arak, kakek itu nampok

kekenyangan, menutup guci-nya dan menggantung gucinya kembali di punggung, mengusap bibir dengan saputangannya yang indah. Mukanya merah segar dan wajahnya berseri memandang dua orang muda di depannya itu.



"Kalian anak-anak muda yang baik. Tidak rugi aku bertemu dengan kalian. Kalian menjadi sekutu yang baik."



"Wu-yi Lo-jin, kau sudah berjanji akan mengajarkan gin-kang kepadaku." Sui Cin memperingatkan, khawatir kalau-kalau kakek yang wataknya ugal-ugalan ini akan kabur setelah makan kenyang. Siapa dapat membayangkan apa yang akan dilakukan oleh kakek aneh ini.



Kakek itu mengangguk-angguk sambil kembali melirik ke kanan kiri. Hal ini mengherankan hati Sui Cin dan Hui Song.



"Kek, kenapa engkau kelihatan takut kalau aku bicara tentang belajar ilmu darimu. Siapa yang kautakuti?"



"Ssstt... mari kita keluar dari guha dan akan kuceritakan semua kepada kalian," kata kakek itu dan sekali berkelebat, tubuhnya lenyap dari dalam ruangan guha itu. Sui Cin yang takut kakek itu kabur cepat mengejar, diikuti pula oleh Hui Song. Ternyata Wu-yi Lo-jin duduk di atas batu depan guha, menanti mereka.



"Nah, di sini kita bicara agar tidak ada yang ikut mendengarkan tanpa kita ketahui. Anak-anak, ketahuilah bahwa kalau tidak ada terjadi sesuatu yang a-mat hebat, tua bangka seperti aku ini mau apa keluar ke dunia ramai? Tentu kalian tidak pernah mendengar apalagi melihat aku yang hanya tinggal menanti datangnya kematian di dalam tempat pertapaanku di Wu-yi-san. Akan tetapi, seperti kukatakan tadi, telah terjadi se-suatu yan amat hebat, yang mengancam kehidupan dan keselamatan manusia. Ma-ka, bagaimanpun juga, terpaksa aku ha-rus keluar dari tempat partapaanku dan di sini aku bertemu dengan kalian."



Hui Song dan Sui Cin terkejut bukan main, saling pandang, kemudian memandang lagi kepada kakek katai ini. Miringkah otak kakek ini? Mereka tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakek itu, yang mereka anggap menceritakan hal yang bukan-bukan dan aneh-aneh saja.



"Apakah yang telah terjadi, kek? Sia-pa yang mengancam kehidupan dan kese-lamatan manusia?"



Kakek itu memandang ke kanan kiri, lalu menarik napas panjang. "Kalau di-ingat, memang memalukan sekali. Terja-dinya sudah puluhan tahun yang lalu. Ka-mi, sekelompok delapan jagoan yang da-hulu menjadi datuk-datuk dunia persilat-an, sebelum muncul datuk-datuk seperti See-thian-ong sebagai datuk barat, Tung-hai-sian sebagai datuk timur, Lam-sin sebagai datuk selatan dan Pak-san-kui se-bagai datuk utara. Kami delapan orang yang merajai delapan penjuru dunia. Ke-tika itu usiaku baru sekitar tiga puluh tahun. Akan tetapi, tiba-tiba muncullah pasangan Raja dan Ratu Iblis itu!"



Kembali kakek katai itu kelihatan ge-lisah dan memandang ke kanan kiri. Ka-lau seorang sakti seperti Wu-yi Lo-jin saja kelihatan ketakutan, tentu saja hal ini mendatangkan rasa serem di hati dua orang muda itu sehingga mereka ikut pula menoleh ke kanan kiri.



"Siapakah mereka itu, kek?" Sui Cin bertanya lirih.



"Raja Iblis itu seorang pangeran aseli yang melarikan diri dari istana. Dia ber-sama isterinya terjun ke dunia kang-ouw dan segera kami delapan orang jagoan yang menjadi datuk mereka kalahken se-cara mutlak, termasuk aku. Kepandaian mereka memang hebat bukah main, mi-rip iblis-iblis saja mereka itu. Kami de-lapan orang datuk bersumpah di depan suami isteri iblis itu untuk tidak muncul lagi di dunia kang-ouw, bahkan kami semua telah menyerahkan tanda takluk ke-pada kami selama hidup. Dengan tanda itu, kami tidak akan berani melawan me-reka lagi, dan kalau kami melanggar, maka kami akan dihukum mati menurut sumpah kami. Juga murid-murld kami secara otematis terikat oleh sumpah itu. Kami semua terpaksa setuju karena itulah ja-lan satu-satunya untuk menebus nyawa kami yang sudah berada di tangan mere-ka."



Bukan main hebatnya cerita ini, membuat Sui Cin dan Hui Song melongo. Pe-ristiwa itu tentu terjadi puluhan tahun yang lalu, mungkin ketika orang tua me-reka masih kecil, akan tetapi mengapa mereka tidak pernah mendengar cerita itu dari orang tua mereka? Agaknya se-mua itu terjadi diam-diam dan tidak sampai menghebohkan dunia kang-ouw maka tidak terdengar oleh keluarga mereka. Memang di dunia persilatan terdapat ba-nyak sekali orang-orang sakti yang lebih suka menyembunyikan diri.



"Jadi selama puluhan tabun ini locian-pwe selalu bersembunyi dan bertapa?" tanya Hui Song, tertegun.



"Benar, aku tidak pernah melihat dunia ramai, bahkan jarang bertemu manusia. Hanya bertemu manusia kalau ada pemburu tersesat sampai ke puncak Wu-yi-san."



"Akan tetapi sekarang engkau keluar dari pertapaan, kek."



"Itulah! Aku tidak dapat menahan diri lagi ketika aku mengetahui bahwa raja dan ratu iblis itu juga keluar! Semenjak mereka memaksa kami bersumpah, merekapun bertapa dan kabarnya bahkan memperdalam ilmu kepandaian mereka yang sudah hebat. Kami mengira bahwa seperti kami, mereka itu mengundurkan diri sampai mati. Akan tetapi ternyata kini mereka keluar! Dan ini berbehaya sekali. Mereka menaruh dendam kepada istana, juga kepada semua pendekar mereka merasa benci. Jadi, dapat kaubayangkan apa yang akan terjadi kalau mereka itu keluar. Mendengar mereka keluar, akupun meninggalkan pertapaanku. Biarlah kalau perlu aku berkorban nyawa, akan tetapi dalam usiaku yang lanjut ini, dalam hari-hari terakhir, aku harus berusaha membendung kejahatan yang akan mereka lakukan."



"Sudah berapa lama locianpwe meninggalkan pertapaan?"



"Sudah tiga bulan. Dan selama ini aku menyelidiki jejak mereka. Dan terdengar berita yang amat mengejutkan. Kiranya mereka itu benar-benar telah mulai menghimpun datuk-datuk kaum sesat, bukan hanya untuk membasmi para pendekar akan tetapi bahkan untuk menyerbu istana!"



"Wahhh... gawat...!" Sui Cin berseru. "Di mana mereka itu, kek?"



"Gerakan mereka seperti iblis, mana dapat diketahui di mana mereka berada? Akan tetapi, aku mendengar bahwa pada akhir bulan depan para datuk itu, termasuk Cap-sha-kui, akan menghadap mereka di sumber mata air Sungai Huai, di lereng Pegunungan Ta-pie-san, tak jauh dari sini. Karena itulah aku berada di sini dan kebetulan aku bertemu kalian ketika menyelamatkan nona pengantin. Sungguh girang hatiku karena kalian adalah orang-orang muda perkasa keturunan pendekar-pendekar sakti yang patut menjadi sekutu kami menghadapi iblis-iblis itu. Karena itulah aku tidak dapat menerima sebagai murid walaupun aku akan meng-ajarken gin-kang kepadamu, Sui Cin. Ka-lau aku menerimamu sebagai murid, ber-arti engkau akan terikat pula oleh sum-pah kami terhadap kedua iblis itu."



"Kalau memang sepasang iblis itu benar-benar mengancam keselamatan dunia, kami siap membantumu, locianpwe," kata Hui Song dengan sikap gagah.



"Benar, akupun siap membantumu, kek. Iblis-iblis itu sudah sepatutnya di-hadapi dan dibasmi. Mereka tentu jahat, apalagi kalau sampai dapat memperalat Cap-sha-kui yang jahat."



Wu-yi Lo-jin tersenyum geli. "Biarpun aku bangga dan kagum terhadap sikap kalian dua orang muda, akan tetapi aku juga merasa geli. Kalian seperti anak-a-nak ayam mencoba untuk menantang sri-gala! Akan tetapi semangat kalian itulah yang kita perlukan. Bagaimanapun juga, kita memang harus bersatu menentang kejahatan. Kalau kalian sudah siap membantu, marilah kita pergi melakukan penyelidikan. Akan tetapi kalian harus berhati-hati dan jangan bertindak sendiri-sendiri, harus selalu menurut petunjukku."



Berangkatlah tiga orang itu menuju ke lereng Ta-pie-san, mencari sumber air Sungai Huai di mana kabarnya akan dijadikan tempat pertemuan bagi datuk-datuk sesat untuk menghadap Raja dan Ratu Iblis.



***



Dusun di kaki Pegunungan Ta-pie-san itu disebut dusun Kim-ciu-cung, sebuah dusun yang cukup besar karena dusun itu menjadi pusat pasar rempa-rempa yang ditanam oleh para penghuni dusun seki-tarnya dan di dusun itulah semua hasil rempa-rempa itu dikumpulkan, dan orang-orang kota banyak yang datang untuk membeli rempa-rempa itu. kemudian di-muatkan gerobak dibawa ke kota.



Sebuah kedai makan baru dibuka orang. Tidak begitu menarik perhatian karena hanya warung kecil saja yang menyediakan empat buah meja saja dengan beberapa buah bangku. Akan tetapi kalau melihat dua orang penjaganya, orang akan tertarik juga untuk sarapan atau makan siang di kedai ini. Pelayannya hanya seorang saja, seorang pemuda yang berwajah tampan, walaupun agak kaku dalam pakaian pelayan itu. Kasirnya, yang juga kadang-kadang turun tangan sendiri membantu si pelayan muda kalau kedai itu dipenuhi tamu, lebih menarik lagi. Ia seorang gadis yang amat manis, walaupun dandanannya sederhana seperti orang dusun. Tukang masaknya seorang kakek gundul botak berjenggot panjang sampai ke perut.



Mudah diduga siapa mereka. Pelayan muda itu adalah Hui Song, kasir wanita itu Sui Cin dan kakek Wu-yi Lo-jin menjadi tukang masaknya. "Jangan kau yang menjadi tukang masak," kata kakek itu kepada Sui Cin. "Masakanmu terlalu aneh dan terlalu enak, bisa membuat orang terheran-heran dan ketagihan, kita jadi repot. Pula, kalau aku yang membantu di depan, orang-orang tentu akan merasa takut selain juga menarik perhatian dan menimbulkan kecurigaan. Masakanmu hanya aku saja yang menikmatinya."



Kakek itu mengajak Hui Song dan Sui Cin membuka warung nasi dengan menyewa sebuah rumah pondok kecil. Semua ini dilakukan dalam usahanya melakukan penyelidikan, hanya untuk sementara saja menjelang datangnya hari di mana para datuk sesat menghadapi Sepasang Iblis atau Raja Iblis dengan Ratunya.



Tentu saja kesal rasa hati mereka bertiga ketika pada hari-hari pertama, yang memenuhi warung mereka hanyalah pedagang-pedagang rempa-rempa. Terpaksa mereka melayani mereka yang datang makan, dan yang lebih memuakkan hati Sui Cin lagi adalah omongan-omongan mereka yang jorok ketika mereka melihat bahwa warung itu dilayani seorang gadis yang amat manis. Mereka bukan ingin mencari keuntungan, maka makin banyak orang-orang biasa berdatangan, makin gemas hati mereka dan makin lelah mereka melayani. Bahkan kakek na-kal itu, saking jengkelnya kepada orang-orang biasa yang berdatangan makan, se-ngaja mencampurkan keringat kepada ma-sakannya, bahkan kadang-kadang dia ma-sak sembarangan saja. Akan tetapi aneh-nya, para pendatang itu tidak ada yang mengeluh, bahkan memuji-muji bahwa masakan warung itu enak dan pujian ini tentu saja diucapkan sambil melirik dan tersenyum penuh arti kepada Sui Cin!



"Wah, kek, kalau begini terus aku ti-dak kuat!" Pada suatu malam, sepekan kemudian Sui Cin mengeluh kepada kakek itu. "Kalau aku tahu hanya akan dijadi-kan bahan sikap dan ucapan jorok mela-yani orang-orang kasar itu, aku tidak su-di. Pula, katanya kau hendak melatih gin-kang kepadaku. Kalau setiap hari bekerja seperti ini, kapan kita latihan? Apakah engkau begitu mata duitan hendak mencari untung sebesarnya dari usaha buka warung ini dan menggunakan aku dan Song-twako sebagai tenaga suka rela tanpa bayaran?"



"Sabarlah, Sui Cin. Kita hanya bersandiwara dan selama beberapa hari ini permainan kita baik sekali sehingga kita sudah dianggap sebagai tukang-tukang warung yang wajar. Dengan begini, pada suatu hari pasti kita akan dapat mende-ngar tentang mereka, tunggulah saja."



Benarlah apa yang diucapkan Wu-yi Lo-jin itu. Beberapa hari kemudian, pada suatu pagi, ketika warung itu masih sepi dan tiga orang sedang membuat persiapan, masuklah seorang tamu yang aneh. Dia seorang kakek yang sukar ditaksir berapa usianya, akan tetapi tentu sudah enam puluh tahun lebih. Dan segala-galanya nampak besar dan bulat pada kakek ini. Kepalanya besar bulat, botak licin bagian atasnya, hanya tinggal sedikit rambut tertinggal di bagian belakang kepala yang dikumpulkan menjadi gelung kecil di belakang. Anehnya, rambut di kedua pelipisnya tumbuh panjang kecil seperti ekor tikus berjuntai ke bawah sampai ke dada. Kedua telinganya seperti telinga gajah. Mukanya yang seperti bentuk muka arca Ji-lai-hud itu selalu tersenyum ramah. Bajunya yang biru kedodoran itu tidak mampu menutupi dada dan perutnya. Dadanya penuh dengan buah dada seperti wanita, perutnya bulat besar sekali sehingga pusarnya mekar dan menjadi besar pula. Celananya lebar dan sepatunya dari kain putih kekuningan. Ketika memasuki warung kakek gendut ini tersenyum lebar dan membawa sebuah benda aneh. Benda itu adalah kipas yang bergagang besi baja. Agaknya benda ini memiliki tugas ganda. Dapat dipakai untuk mengipas kalau kegerahan, gagangnya dapat dipakai sebagai tongkat dan mung-kin saja benda itu dapat dipergunakan sebagai semacam senjata toya.



Begitu memasuki warung, hidung kakek itu berkembang kempis mencium-cium seperti seekor anjing mencari je-jak. "Heh-heh, sedap! Perutku lapar, bi-sakah aku mendapatkan sarapan di wa-rung ini?" tanyanya kepada tiga orang yang memandang kepadanya.



Baru melihat begitu saja, Sui Cin dan Hui Song sudah dapat menduga bahwa tentu tamu ini bukan orang sembarangan, dan agaknya orang ini adalah seorang di antara para datuk yang hendak mengha-dap Raja dan Ratu Iblis. Maka mereka saling pandang dan bersikap hati-hati.



"Bisa, bisa...!" kata Hui Song sambil menghampiri kakek itu dengan sikap seorang pelayan. "Kami ada bubur ayam, bakmi, daging, sayur..."



"Bubur ayam? Bagus, sediakan semangkok besar!" Dan melihat beberapa buah prabot dapur di atas meja, karena baru saja dicuci, di antaranya sepasang sum-pit besar yang biasa dipergunaken untuk masak, kakek gendut itu mengambil se-pasang sumpit besar itu. "Heh-heh, menggunakan sumpit ini untuk makan lebih enak!"



Wu-yi Lo-jin sudah mempersiapkan bubur ayam satu mangkok besar dan Hui Song cepat membawa bubur ayam yang masih mengepul panas-panas itu -kepada tamunya. Kakek gendut itu duduk di atas bangku, akan tetapi bangku itu terlalu kecil untuk tubuhnya yang gendut besar, maka dia lalu pindah duduk di atas meja kecil pendek, mengangkat kedua kakinya ke atas meja dan duduk seperti orang duduk di lantai. Mangkok terisi bubur panas itu diterimanya, sepasang sumpit besar digerakkan dan terdengar suara berseruputan seperti seekor babi kalau sedang makan.



"Hei, pelayan, tambah lagi buburnya. Tolong cepat sedikit! Bawa saja dua mangkok agar tidak tertunda makanku!" Kakek gendut itu berseru dan Hui Song terkejut. Semangkok besar bubur tadi saja sudah cukup untuk dua orang, akan tetapi agaknya kakek gendut ini hanya menuangkannya sekaligus ke dalam perutnya. Bergegas dia menerima dua mangkok lagi dari Wu-yi Lo-jin dan mengantarnya kepada tamu aneh. Akan tetapi, sebentar saja dua mangkok inipun disikat habis dalam waktu singkat dan si kakek gendut sudah berteriak-teriak minta tambah lagi. Sibuklah Hui Song berlari hilir-mudik, sibuk pula Wu-yi Lo-jin yang harus melayani permintaan tamu aneh itu. Biarpun tamu mereka hanya seorang saja, akan tetapi karena cara makan tamu itu amat cepat dan terus minta tambah, mereka menjadi sibuk seolah-olah melayani banyak tamu.



Setelah menghabiskan belasan mang-kok bubur dan kakek gendut masih minta tambah lagi, mulailah Wu-yi Lo-jin mengerutkan alisnya. Juga Hut Song dan Sui Cin melirik dengan alis berkerut dan hati tidak senang. Akan tetapi, yang dilirik oleh tiga orang itu enak-enak saja duduk sambil tersenyum ramah, mengulurkan tangan kiri memperlihatkan mangkok kosong sambil minta tambah lagi.



"Masih ada buburnya? Bung pela-yan, tambah lagi buburnya lima mangkok, juga mi goreng dua kati, masak daging sekati campur sayuran yang masih segar. Dan araknya seguci!"



Tentu saja mendengar pesanan ini, tiga orang itu menjadi terkejut dan makin heran. Si gendut itu makannya melebihi seekor kerbau! "Hati-hati, tanyakan apa dia membawa uang," bisik Wu-yi Lo-jin kepada Hui Song ketika pemuda ini ma-suk ke dapur. "Kalau dia tidak bayar, bi-sa bangkrut kita!"



Akan tetapi Hui Song yang semakin merasa yakin bahwa kakek gendut ini tentu bukan orang sembarangan, merasa sungkan untuk menanyakan hal itu. Tidak demikian dengan Sui Cin. Gadis ini setuju dengan pendapat Wu-yi Lo-jin, maka dari tempat duduknya ia bertanya, "Kakek yang baik, pesananmu makanan begitu banyak, harap suka bayar lebih dulu!"



Ucapan Sui Cin itu wajar dan tidak mengandung penghinaan melainkan jujur dan terbuka, maka kakek gendut itupun tidak merasa tersinggung, melainkan tertawa, "Hah-hah-ha! Nona, apakah aku kelihatan seperti orang yang biasanya menyikat makanan tanpa membayar?"



"Aku tidak menuduh demikian, akan tetapi, karena pesananmu amat banyak sedangkan warung kami kecil saja..."



"Ya-ya, warung kecil di kaki gunung, pemiliknya seorang gadis cantik jelita, penjaganya seorang pemuda, ganteng perkasa, tukang masaknya kakek aneh luar biasa! Ha-ha, inilah uangku, apa masih kurang?" Berkata demikian, kakek gendut itu mengeluarkan sepotong emas yang beratnya tentu tidak kurang dari satu tail. Tentu saja sepotong emas ini sudah lebih dari cukup untuk membayar makan-an, berapapun banyaknya.



Karena kehabisah air jernih, Hui Song lalu membawa tong air untuk mengambil air dari sumber di belakang warung. Ke-tika dia memikul air memasuki warung itu dan lewat dekat si gendut, tiba-tiba kakek gendut itu menggerak-gerrakkan dan mengembang-kempiskan hidungnya seperti tadi, seperti seekor anjing men-cium sesuatu. Dia menghentikan makan-nya, matanya mengikuti Hui Song yang kini menuangkan air ke dalam tong air besar yang berdiri di sudut dapur. Tiba-tiba kakek gendut itu menggerakkan tangannya dan nampak dua sinar putih ber-kelebat memasuki dapur.



"Prokk! Prak!" dua batang sumpit besar yang tadi dipakai makan si gendut itu kini tahu-tahu sudah menancap dan membikin retak tong-tong air itu. Airnya tentu saja tumpah den mengucur keluar melalui lubang-lubang retakan tong yang disambar sumpit. Melihat ini, tiga orang itu terkejut dan memandang dengan mata terbelalak.



"Apa artinya ini? Mengapa engkau melakukan ini?" Sui Cin menegur dengan marah.



Kakek gendut itu kini sudah meng-hampiri mereka di dalam dapur dan ber-diri tegak sambil memegang tongkat kipasnya dan memandang ke air yang me-menuhi lantai dapur. Kemudian dia me-mandang kepada Wu-yi Lo-jin dan tiba-tiba menudingkan kipasnya ke arah guci arak milik kakek katai itu sambil berka-ta, "Bukankah guci itu guci emas dari Wu-yi-san? Coba kau kakek katai, pergu-nakan gucimu untuk menguji apakah air ini beracun seperti yang kusangka atau tidak!"



Wu-yi Lo-jin terlalu kaget mendengar bahwa air itu beracun sehingga dia tidak memperhatikan betapa si gendut itu me-ngenal gucinya. Dia membuka tutup gu-cinya, akan tetapi nampak ragu-ragu. "Wah, arakku masih setengah guci..."



Kakek gendut menyodorkan sebuah panci kosong dan Wu-yi Lo-jin tanpa banyak cakap lagi lalu memangkan arak dari gucinya ke dalam panci itu. Tercium bau harum dan setelah guci itu kosong, Wu-yi Lo-jin segera menampung air yang tumpah itu ke dalam gucinya. Benar sa-ja, air itu berobah menghitam, tanda bahwa air itu memang benar beracun!



"Ihh, air ini beracun!" katanya sambil membuang air itu dari gucinya. Dia mambalik untuk mengembalikan araknya, akan tetapi panci itu telah kosong, dan araknya telah habis.



"Loh, siapa minum arakku, hah?" Dia tidak perlu terlalu sibuk menyelidiki ka-rena kakek gendut itu masih kelihatan meng-usap bibirnya yang berlepotan arak itu dengan ujung lengan bajunya.



"Heh-heh, arak baik... arak baik...!"



"Kurang ajar si gendut laknat, kau mengbabiskan arakku, ya?" Wu-yi Lo-jin marah sekali dan mengambil sikap me-nyerang. Si gendut juga sudah melangkah mundur setindak dan bersikap hendak melawan.



Melihat kedua orang kakek itu hendak bersitegang hanya karena hilangnya arak, Sui Cin berkata, "Air beracun itu tentu ada yang membuat!"



"Benar!" kata Hui Song. "Tentu ada yang menaruh racun. Wah, tadi banyak orang mengambil air! Mari kita peringatkan mereka, jangan sampai ada yang menjadi korban!"



Dua orang muda itu berlari keluar dan dua orang kakek itupun agaknya sadar lalu mengikuti dari belakang. Akan tetapi, ketika mereka tiba di luar warung, mereka mendengar teriakan-teriakan, jeritan-jeritan dan tangis memenuhi dusun itu. Dan nampaklah penglihatan yang mengerikan. Di sana-sini menggeletak orang-orang yang berkelojotan sambil memegangi perutnya, bahkan ada di antara mereka yang sudah tewas tak mampu bergerak lagi.



Hui Song cepat meloncat ke depan dan suaranya lantang ketika dia berteriak keras, "Saudara-saudara sekalian dengarlah baik-baik! Air sumber itu mengandung racun! Karena itu sebaiknya jangan minum dulu sebelum diperiksa teliti apakah air itu beracun atau tidak. Ingat, jangan ada yang minum dulu, air apapun jangan diminum dulu!"



Suaranya yang lantang ini menolong banyak orang. Mereka yang sedang mengangkat cangkir untuk minum, tiba-tiba saja mengurungkan niatnya. Akan tetapi ketika diperiksa, yang sudah menjadi korban dan roboh keracunan tidak kurang dari tiga puluh orang banyaknya!



Gegerlah dusun itu. Dan tanpa dicegah lagi, para penghuni dusun itu segera mengungsi meninggalkan dusun yang dilanda malapetaka hebat itu. Hanya tinggal beberapa orang saja yang tinggal dan bersama belasan orang ini, Hui Song, Sui Cin, dan dua orang kakek itu segera mengurus jenazah puluhan orang itu. Ternyata racun yang dicampurkan di air itu amat jahat sehingga biarpun kedua orang kakek itu mencoba untuk mengobati mereka yang tadinya belum tewas, percuma saja.



"Huh, ini seperti bekas tangan Setan Selaksa Racun," kata kakek gendut setelah memeriksa seorang korban.



"Siapakah Ban-tok-kwi (Setan Selaksa Racun) itu?" tanya Sui Cin.



"Seorang di antara Cap-sha-kui (Tiga Belas Setan)," jawab si kakek gundul.



"Kalau begitu mereka sudah muncul?" Wu-yi Lo-jin berseru. "Celaka, kita mengintai malah kebobolan."



"Heh-heh, tua bangka katai dari Wu-yi-san memang selalu ceroboh!" kata si kakek gendut.



Kini Wu-yi Lo-jin memandang dengan alisnya yang panjang berkerut kepada ka-kek gendut, wajahnya membayangkan ke-marahan. "Heh, gendut! Engkau licik! Engkau agaknya sudah mengenalku, sudah mengenal guci wasiatku, akan tetapi engkau sendiri menyembunyikan nama. Siapa sih sebetulnya tua bangka gembul gendut ini dan bagaimana kau bisa me-ngenalku, dan apa kehendakmu datang ke tempat ini?"



"Ha-ha-ha-ha, setan pendek, apa be-nar engkau tidak dapat mengenalku lagi hanya karena tubuhku sekarang sudah gendut? Hei, Ciu-sian (Dewa Arak), lupakah engkau kepada kipasku?"



Wu-yi Lo-jin terbelalak, lalu menggunakan tangannya ke depan mukanya dan matanya kini mengincar ke arah wajah si gendut. Dari balik tangannya, dia tidak lagi dapat melihat tubuh si gendut dari leher ke bawah, hanya nampak kepalanya saja dan diapun terkekeh.



"Heh-heh-heh-heh, kiranya San-sian (Dewa Kipas) benar-benar! Siapa bisa mengenalmu kalau kini tubuhmu rusak seperti itu? Dahulu engkau paling gagah dan tampan di antara Pat-sian (Delapan Dewa), akan tetapi sekarang engkau men-jadi seperti kerbau bengkak hamil! Ha-ha--ha-ha!"



Si Dewa kipas juga tertawa bergelak. "Dan engkau semakin pendek saja, apakah selama ini engkau tidak tumbuh tinggi melainkan bahkan mengeriput dan mengecil?"



"Mari kita bicara dalam warung," kata kakek katai. "Dan biarkan semua o-rang pergi saja dari tempat ini. Tempat ini menjadi terlalu berbahaya bagi orang-orang biasa." Mereka lalu menasihatkan kepada belasan orang yang tinggal di situ untuk pergi mengungsi pula, karena mungkin sekali akan muncul banyak datuk-datuk sesat yang amat jahat dan ke-jam. Agaknya tempat itu memang sudah diincar oleh para datuk untuk menjadi tempat mereka berkumpul, maka sengaja melepas racun untuk mengusir semua penghuni dusun.



Empat orang itu lalu memasuki wa-rung dan atas perintah Wu-yi Lo-jin, Hui Song dan Sui Cin menutup semua pintu dan jendela. "Sui Cin, engkau mengintai dari belakang dan engkau Hui Song, eng-kau mengintai dari depan. Kalau nampak orang, beritahu kami."



Dua orang muda itu menuju ke pos masing-masing. Sui Cin berdiri mengintai dari balik jendela belakang, sedangkan Hui Song berdiri mengintai dari balik pintu depan yang direnggangkan sedikit. Dusun itu kini sunyi sama sekali. Tidak ada seekor anjing atau ayampun yang nampak berkeliaran karena binatang-bina-tang itu sudah mati semua, yang masih hidup dibawa mengungsi oleh para pendu-duk. Sementara itu, hari telah menjadi siang dan dusun yang kosong itu ditimpa sinar matahari yang cukup hangat. Akan tetapi, penglihatan yang nampak oleh Sui Cin dan Hui Song di luar warung itu a-mat menyeramkan. Sunyi sekali, tidak a-da sesuatu yang hidup. Karena itu, bergeraknya daun-daun yang tertiup angin saja sudah amat menarik perhatian. Du-sun yang ramai itu kini berobah menjadi sunyi seperti tanah kuburan.



Dua orang kakek itu bercakap-cakap dan biarpun biasanya mereka bersikap kocak bahkan ugal-ugalan, kini mereka terlibat dalam percakapan yang serius dan anehnya, kedua orang kakek itu yang sudah jelas memiliki kesaktian, kini ke-lihatan seperti orang-orang ketakutan!



"San-sian, kalau aku tidak keliru sangka, engkau yang selama ini juga bersem-bunyi dan bertapa, kini keluar tentu de-ngan alasan yang sama dengan aku, bu-kan?"



Si gendut mengangguk dan mengang-kat kedua jari kirinya, telunjuk dan jari tengah ke atas.



"Benar, mereka telah turun ke dunia, atau katakanlah keluar dari neraka dan tentu dunia akan menjadi rusak binasa. Apakah engkau juga mendengar apa yang kudengar di luaran bahwa para datuk sesat akan berkumpul menghadap mereka?"



Kembali si gendut mengangguk. "Karena itulah aku tiba di dusun ini," katanya. "Ketika aku memasuki warung, aku sudah curiga, akan tetapi begitu melihatmu, aku tahu bahwa aku memperoleh teman. Aku makan mempermainkan kalian, akan tetapi ketika pemuda itu membawa air, aku mencium hal yang tidak wajar."



"Wah, hidung anjingmu kiranya semakin tajam saja," kata si kakek katai.



"Apakah selama ini engkau tetap tinggal di Wu-yi-san dan tidak pernah keluar dari tempat pertapaanmu?" kakek gendut bertanya.



Kakek katai mengangguk. "Mau apa keluar? Hanya akan menderita penghinaan saja. Setelah secara kebetulan aku keluar dan mendengar desas-desus bahwa mereka juga keluar dari tempat persembunyian mereka, aku merasa panas hatiku dan akupun nekat keluar. Dan engkau sendiri? Kabarnya tinggal di Lembah Sungai Harum?"



"Benar, aku tinggal di lembah Siang-kiang, tempat yang tersembunyi. Akan tetapi aku tidak betah untuk menyendiri di tempat sunyi terus. Aku mulai suka keluar dan merantau, dan untung perutku menjadi gendut sehingga tidak mudah dikenal, apalagi kipasku juga sudah berubah bentuk. Akupun memakai nama Siang-kiang Lo-jin..."



"Heh-heh-heh, kenapa bisa sama? Aku tinggal di Wu-yi-san dan menggunakan nama Wu-yi Lo-jin, engkaupun menggunakan nama Lo-jin pula. Apakah enam tua bangka yang lain juga menggunakan nama itu? Bagaimana dengan mereka?"



Si gendut yang memakai nama Siang-kiang Lo-jin (Kakek Sungai Harum) itu menggeleng kepala. "Aku tidak pernah lagi mendengar tentang mereka. Akan tetapi aku mendengar betapa Si Iblis Buta memimpin beberapa orang Cap-sha-kui membantu pembesar korup yang kabarnya kini sudah terbasmi. Akan tetapi dengan munculnya mereka berdua itu, kalau sampai para datuk sesat dikuasai mereka berdua, tentu akan rusak binasa keamanan rakyat."



"Karena itu, kita harus menyelidiki apa yang akan mereka lakukan. Dan ternyata mereka telah meninggalkan jejak, walaupun mereka telah membunuh puluh-an orang di dusun ini."



"Kakek, apa sih maksud mereka membunuhi orang-orang dusun dengan penye-baran racun dalam air minum?" Sui Cin ikut bertanya sambil melanjutkan penjagannya karena hatinya ingin sekali ta-hu. "Dan siapakah kiranya yang melaku-kan perbuatan keji itu?"



"Siapa lagi kalau bukan mereka? Ah, perbuatan mereka sekali ini belum bera-pa hebat. Mereka itu dapat melakukan apa saja, bahkan yang jauh lebih kejam daripada ini. Dan mereka membunuhi o-rang-orang dusun itu tentu ada maksudnya."



"Yang jelas tentu saja untuk membu-nuh kalian bertiga yang agaknya sudah mereka curigai," sambung kakek gendut Siang-kiang Lo-jin.



"Belum tentu!" kata kakek katai de-ngan muka berubah gelisah. "Kalau mereka menghendaki kami, kenapa yang mereka racuni adalah sumber air? Tidak, tentu mereka itu hendak membikin panik dan takut kepada penduduk sehingga se-mua penghuni dusun melarikan diri. Ke-adaan seperti sekarang inilah yang mere-ka kehendaki, untuk membuat keadaan sekeliling sini menjadi sunyi agar mereka dapat melakukan pertemuan dengan aman dan tidak diketahui orang lain."



"Hayaaa, tua bangka Ciu-sian ternyata masih cerdik. Agaknya hawa arak te-lah mempertajam otakmu. Benar sekali dugaanmu itu. Akan tetapi, tahulah eng-kau bagaimana kita akan mencari jejak mereka?"



"Aku tahu. Melalui air."



"Bagus! Akupun berpikir demikian. Mari kita selidiki."



"Sssttt...!" Tiba-tiba Sui Cin memberi isyarat tanpa menoleh, matanya ditujukan keluar pondok warung. "Aku melihat berkelebatnya bayangan orang, lima atau enam orang, cepat sekali, di ujung dusun sebelah timur."



"Aku juga melihat bayangan tiga orang di ujung barat, menuju ke utara," bisik Hui Song.



"Benar," kata Sui Cin pula. "Bayangan-bayangan itu menuju ke utara."



Dua orang kakek itu bergerak cepat, mendekati tempat pengintaian dua orang muda itu, akan tetapi bayangan-bayangan yang bergerak cepat itu telah lenyap. Sampai lama mereka menanti, dan kini dua orang kakek itu ikut mengintai, akan tetapi dusun yang sudah kosong itu sunyi sekali, tidak nampak lagi adanya bayang-an lewat di situ. Dan kini senja telah mendatang.



"Kita harus memberanikan diri men-cari jejak mereka sekarang juga sebelum gelap. Siang tadi mereka telah beraksi, membunuh banyak orang, maka kurasa malam inilah penentuan waktu mereka berkumpul." Wu-yi Lo-jin yang bersikap sebagai pemimpin rombongan empat o-rang itu berkata dengan nada mengambil keputusan.



Agaknya Siang-kiang Lo-jin juga tidak berkeberatan membiarkan rekannya mengambil sikap memimpin. Dia mengangguk dan mereka berempat lalu berloncatan keluar dengan hati-hati sekali. Setelah mereka berempat mengadakan pemeriksaan dan merasa yakin bahwa di dusun itu memang tidak ada orang lain kecuali mereka berempat, mulailah dua orang kakek sakti itu mengadakan pemeriksaan. Semua saluran air mereka periksa dan ternyata di antara banyak saluran air, hanya satu saluran air yang tidak mengandung racun, yaitu yang mengalir ke utara!



"Hemm, kalau begitu tepatlah seperti yang dilihat dua orang pembantu muda kita ini, mereka menuju ke utara dan air yang menuju ke sana saja yang bersih dari racun." Dengan penuh semangat akan tetapi amat hati-hati, dipimpin oleh Wu-yi Lo-jin mereka lalu bergerak menuju ke utara, menurutkan jalannya saluran air jernih itu.



Saluran air itu berlika-liku dan akhirnya terjun ke dalam Sungai Huai yang baru saja meninggalkan sumbernya, jadi masih kecil dan jernih. Dan berhentilah mereka di lembah sungai yang datar, yang merupakan padang rumput yang luas, mereka melihat adanya sebatang bambu tinggi yang puncaknya dipasangi sehelai bendera. Itulah bendera yang amat dikenal oleh Wu-yi Lo-jin. Sebuah bendera yang melukiskan dua buah tengkorak disilang tulang-tulang yang menjadi gagang sepasang pedang. Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin nampak pucat dan gelisah. Tentu saja Hui Song dan Sui Cin yang tidak mengenal bendera itu merasa heran, akan tetapi ketika mereka hendak bertanya, dua orang kakek sakti itu sudah menaruh telunjuk di depan mulut, tanda bahwa kedua orang kakek sakti itu amat gelisah, tidak berani sembarangan bergerak, bahkan pernapasan merekapun agaknya ditahan dan tidak sampai terdengar, tanda bahwa mereka berdua itu sungguh tidak ingin ketahuan orang! Tentu saja hal ini membuat dua orang muda itu selain merasa heran, juga merasa ngeri. Kalau sampai dua orang kakek seperti mereka itu ketakutan, tentu ada hal yang amat gawat dan agaknya pemilik bendera itu benar-benar memiliki kesaktian seperti iblis sendiri!



Malam itu bulan bersinar terang, tidak dihalangi awan. Di angkasa memang ada gumpalan-gumpalan awan hitam, akan tetapi gumpalan-gumpalan awan itu terpisah-pisah dan hanya lewat sebentar saja, sejenak menutupi sinar bulan lalu pergi lagi, membentuk berbagai macam rupa yang menyeramkan. Lapangan rumput itupun nampak terang oleh sinar bulan yang lembut dan penuh rahasia. Akan tetapi, yang nampak hanyalah tiang bendera dari bambu itu saja, dan bendera bergambar sepasang tengkorak yang kadang-kadang saja berkibar lembut tertiup angin malam yang halus.



Empat orang yang mengintai itupun berpencar, dengan hati-hati bersembunyi karena kedua orang kakek itu tadi sudah memesan kepada Hui Song dan Sui Cin agar berhati-hati dan jangan sekali-kali sampai memperlihatkan diri.



"Mereka itu amat berbahaya, apalagi kalau sedang berkumpul dalam jumlah banyak. Kita datang hanya untuk menye-lidiki keadaan dan rencana mereka, bu-kan untuk melakukan penyerbuan." Demikianlah dua orang kakek itu berpesan kepada dua orang muda yang tentu saja dapat memaklumi pesanan itu dan tidak berani sembarangan bergerak.



Tiba-tiba, setelah lebih satu jam mereka menanti, terdengar suara jerit tangis seorang anak kecil! Dalam sunyi menegangkan itu, tentu saja suara ini membuat suasana menjadi semakin menyeramkan. Suara anak menangis itu mengaduh-aduh ketakutan, membuat wajah Sui Cin menjadi pucat dan iapun tak dapat menahan lagi perasaan hatinya. Ia bergerak dan biarpun terdengar suara Hui Song "Sshhhh...!" mencegahnya, namun Sui Cin tidak mau diam lagi. Tangis anak itu seperti menusuk-nusuk jantungnya. Mana mungkin ia tinggal diam saja kalau ada seorang anak begitu ketakutan dan agaknya terancam bahaya maut? Bagaimanapun juga, ia harus menyelidikinya dan kalau perlu turun tangan menolongnya, apapun yang akan menjadi resikonya. Maka, dengan hati-hati sekali iapun menyelinap di antara pohon-pohon dan batu-batu besar, bergerak cepat menuju ke arah suara tangis anak itu. Melihat ini, Hui Song merasa khawatir sekali dan iapun terpaksa bergerak mengejar. Ketika dia dapat menyusul, dia menangkap lengan gadis itu.



"Hati-hati, Cin-moi..." bisiknya.



"Aku harus menolongnya, apapun yang terjadi," bisik Sui Cin kembali.



"Hati-hati, siapa tahu ini jebakan mereka..."



Akan tetapi Sui Cin melanjutkan usahanya mencari karena kini hanya terdengar tangis ketakutan lemah saja dari suara anak tadi. Dan ternyata suara itu membawa mereka menjauhi padang rumput dan tiba di luar sebuah hutan. Tiba-tiba, tiba-tiba sekali sehingga amat mengejutkan hati Sui Cin dan Hui Song, terdengar jerit yang menyayat hati kemudian diam! Dua orang pendekar itu saling berpegang tangan dan saling pandang di bawah sinar bulan, keduanya terbelalak dan muka mereka pucat. Jeritan tadi jelas merupakan jeritan maut seorang anak yang berada dalam puncak ketakutan atau kesakitan. Sui Cin kini bergeges lari menyusup di antara semak-semak, diikuti oleh Hui Song dan tak lama kemudian mereka tiba di depan sebuah guha, mengintai dari balik batu, pohon dan semak-semak. Dan apa yang mereka lihat hampir membuat Sui Cin muntah, bahkan Hui Song sampai terbelalak tak mampu bergerak seperti telah berubah menjadi patung. Mereka berdua merasa ngeri, jijik, dan juga marah bukan main.



Penglihatan di depan guha itu sungguh membuat bulu kuduk berdiri. Amat mengerikan! Seorang laki-laki yang seperti raksasa sedang memangku tubuh seorang anak kecil telanjang yang menelungkup dan bagian bawah tubuh anak itu mandi darah yang juga membasahi paha laki-laki raksasa itu. Melihat tubuh kecil telanjang yang tertelungkup di atas pangkuan dalam keadaan mandi darah dan tidak bergerak lagi itu mudah diduga bahwa anak itu tentu sudah mati dan agaknya baru saja tewas. Yang amat menjijikkan adalah betapa raksasa itu memegang sebuah kaki kecil yang agaknya kaki anak itu yang direnggut lepas begitu saja dari tubunya. Raksasa itu memegang kaki seperti memegang paha ayam atau paha kelinci, lalu mengganyangnya mentah-mentah. Daging paha kaki yang masih berdarah itu dilahapnya seperti seekor harimau sedang melahap paha domba.



Sui Cin menutupi mulutnya untuk mencegah muntah atau berteriak. Memang amat mengerikan penglihatan itu. Kakek itu sukar ditaksir berapa usianya. Akan tetapi tubuhnya telanjang hanya mengenakan untaian daun-daun yang melingkar di pinggangnya. Tubuh kakek itu besar sekali dan nampak kuat. Di pundah dan lengannya tumbuh rambut panjang seperti monyet. Di bawah tengkuknya terdapat punuh atau daging jadi. Sebuah gelang akar kayu hitam menghias lengan kirinya. Kepala dan muka orang ini sungguh menyeramkan. Di dahinya juga tumbuh daging jadi dan hanya bagian belakang kepalanya saja yang ditumbuhi rambut pendek kaku. Mukanya tidak berjenggot atau berkumis, muka yang kasar dengan mata besar, hidung pesek dan mulut lebar dengan gigi-gigi menonjol. Di belakang raksasa ini terdapat tulang-tulang dan tengkorak manusia, agaknya raksasa ini sudah biasa makan daging manusia mentah-mentah.



Melihat kekejian yang tiada taranya ini, Sui Cin tak dapat menahan kemarahannya dan iapun sudah bergerak siap menerjang keluar. Akan tetapi tiba-tiba pundaknya ditekan orang dan tubuhnya menjadi lemas. Ketika ia menengok, ternyata yang menekan jalan darah di pundaknya itu adalah Wu-yi Lo-jin sendiri yang agaknya sudah berada di belakangnya bersama Siang-kiang Lo-jin! Sui Cin mengerutkan alisnya, akan tetapi Wu-yi Lo-jin menggeleng kepala dan memberi isyarat kepada dua orang muda itu untuk mengikutinya pergi meninggalkan tempat mengerikan itu. Setelah jauh dari raksasa itu, Wu-yi Lo-jin berkata, "Sui Cin, hampir saja engkau menggagalkan semua usaha kita."



"Tapi, kek, bagaimana mungkin kita mendiamkan saja kekejian seperti yang dilakukan oleh iblis raksasa itu?"



Wu-yi Lo-jin tidak bergurau seperti biasa, melainkan memandang dengan wajah serius. "Sui Cin, kekejian seperti itu saja masih belum apa-apa dibandingkan dengan kejahatan yang dapat dilakukan oleh orang-orang dunia sesat. Anak itu telah tewas, jadi tidak dapat ditolong lagi. Dan belum waktunya bagimu untuk turun tangan menentang iblis itu, karena kalau hal itu kaulakukan tadi, akan bermunculan mereka semua dan kita tidak mungkin dapat menyelamatkan diri lagi."



Sebelum Sui Cin dapat membantah, tiba-tiba terdengar suara teriakan-teriak-an dan hiruk-pikuk di sebelah kiri, dari arah sebuah dusun yang berada di luar hutan. Mendengar ini, empat orang itu, dipimpin oleh Wu-yi Lo-jin, segera meng-gunakan ilmu kepandaian mereka untuk berlari ke arah itu.
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Silat : Asmara Berdarah 2 dan anda bisa menemukan artikel Cerita Silat : Asmara Berdarah 2 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/05/cerita-silat-asmara-berdarah-2.html?m=0,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Silat : Asmara Berdarah 2 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Silat : Asmara Berdarah 2 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Silat : Asmara Berdarah 2 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/05/cerita-silat-asmara-berdarah-2.html?m=0. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 1 komentar... read them below or add one }

poker mengatakan...

poker online terpercaya
poker online
Agen Domino
Agen Poker
Kumpulan Poker
bandar poker
Judi Poker
Judi online terpercaya

Posting Komentar