Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Seri Racun Dari Barat 3

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Sabtu, 10 Desember 2011

Siapa yang membentak? Ternyata Miau Ciu Jin Chu. Kemudian dia
menghampiri mereka berdua seraya berkata.
"Su Ciau Hwa Cu adalah orang Wisma Hong Cu Lau, itu memang
benar! Masakanmu itu pun tergolong masakan yang amat terkenal!
Tapi kau bukan Su Ciau Hwa Cu, melainkan Su Ciau Hwa Cu palsu!"
Hati Ouw Yang Hong tersentak. Tadi dia pun mengira Ang Cit Kong
adalah Su Ciau Hwa Cu, tapi ternyata bukan.
Sedangkan Ang Cit Kong manggut-manggut, kelihatan tenang sekali,
kemudian menyahut.
"Bagaimana kau tahu aku bukan Su Ciau Hwa Cu?"

Bab 5
Miau Ciu Jin Chu dan teman-temannya terus menatap Ang Cit Kong.
Pengemis itu tahu bahwa kali ini dirinya pasti celaka, tapi wajahnya
tetap tampak tenang dan kemudian dia berkata.
"Aku bukan Su Ciau Hwa Cu, namun aku juga adalah Su Ciau Hwa
Cu. Bukankah kalian berlima telah menyaksikan aku mahir masak
seperti Su Ciau Hwa Cu? Nah! Aku adalah Su Ciau Hwa Cu, aku pun
adalah pengemis, apa bedanya?"
Jawaban Ang Cit Kong sungguh membingungkan kelima orang itu,
sehingga mereka berlima terus memperhatikannya. Su Ciau Hwa Cu
amat terkenal, lagi pula jujur, sedangkan pengemis ini bermata
seperti tikus, dia berani memasuki dapur istana, jangan-jangan dia
adalah seorang peram-pok!
Ketika Miau Ciu Jin Chu sedang berpikir, Cian Ban Keng Ko-Ko Jie Ya
berbisik.
"Toa ko (Saudara Tua), aku lihat dia tidak seperti orang baik."
Ang Cit Kong tersentak mendengar ucapan itu, dan seketika
timbullah rasa bencinya terhadap Ko Jie Ya. Kemudian dia berkata
dalam hati. Sialan kau! Bagaimana kau tahu aku bukan orang baik?
Aku adalah orang terbaik di kolong langit, hanya saja aku suka
makan. Sesungguhnya aku adalah orang yang paling baik di kolong
langit.
Setelah berkata dalam hati, dia pun berkata sambil tertawa.
"Kalau tidak salah, kau pasti Ko Jie Ya. Aku tahu kalian berlima
adalah orang gagah dalam istana. Oleh karena itu, saking kagumnya
aku pun datang ke mari untuk bermain-main dan ingin berkenalan
dengan kalian berlima."
Wajah Ko Jie Ya langsung berseri karena merasa bangga akan pujian
itu.

"Kami berlima memang tukang masak dalam istana, namun kaum
rimba persilatan juga memberi sedikit muka kepada kami.
Sebetulnya siapa kau, beri tali u kan lah kepada kami!" katanya.
Aku dari Kay Pang (Partai Pengemis), namaku Ang Cit, tapi biasanya
dipanggil Ang Cit Kong," sahutnya.
Begitu Ang Cit Kong mengaku, kelima orang itu tampak terkejut,
sebab Ang Cit Kong adalah Tianglo (Tetua) Kay Pang. Walau dia
masih muda, namun amat terkenal, lebih terkenal daripada Su Ciau
Hwa Cu. Akan tetapi, mengapa dia mau menyamar sebagai Su Ciau
Hwa Cu?
"Lalu mengapa kau menyamar sebagai Su Ciau Hwa Cu? Dan dari
mana kau memperoleh kepandaian memasak?" tanya Yu Tam Hwe
Lou-Sam Ya dengan kening berkerut.
Ang Cit Kong terpaksa menyahut dengan jujur.
"Su Ciau Hwa Cu adalah guruku. Aku belajar memasak kepadanya."
Kelima orang itu manggut-manggut.
Ang Cit Kong melirik Ouw Yang Hong. Dia tertegun, sebab Ouw Yang
Hong masih rendah kepandaiannya, tapi saat ini dia tampak begitu
tenang, tidak kelihatan gugup maupun panik. Ang Cit Kong amat
kagum kepadanya, sebab walau berkepandaian rendah, namun dia
memiliki ketenangan yang luar biasa. Ang Cit Kong yakin, kelak dia
akan menjadi orang yang luar biasa pula.
Sementara It Kie Cong Peng-Peng Ngo Ya yang diam dari tadi,
mendadak membuka mulut.
"Kau bilang kau adalah Ang Cit, bukan?"
Ang Cit Kong menatapnya, dan seketika tahu bahwa orang tersebut
yang paling sulit dihadapi.
"Tidak salah, aku memang Ang Cit!" sahutnya sambil manggutmanggut.

"Aku percaya kau adalah Ang Cit, karena kalau bukan, bagaimana
mungkin berkepandaian begitu tinggi?" kata Peng Ngo Ya.
Yang lain manggut-manggut. Mereka berempat mempercayai apa
yang dikatakan Peng Ngo Ya. Kalau orang itu bukan Ang Cit,
bagaimana mungkin gerakannya tadi begitu cepat? Lagi pula dia pun
dapat membuat masakan terkenal, itu membuat mereka berlima
semakin yakin, bahwa pengemis yang di hadapan mereka itu adalah
Ang Cit Kong.
"Kau tidak seperti Su Ciau Hwa Cu, sebab kau adalah orang yang tak
bisa duduk diam. Ya, kan?" kata Peng Ngo Ya lagi.
"Peng Ngo Ya, aku datang ke mari memang ingin belajar memasak,
aku tidak membohongi kalian berlima," sahut Ang Cit Kong.
Peng Ngo Ya berkata perlahan-lahan.
"Kalau Ang Cit Kong datang ke mari ingin belajar memasak, tidak
seharusnya memasuki dapur istana secara diam-diam. Apabila kau
datang secara terang-terangan, tentunya kami akan me-nyambutmu
dengan senang hati. Tapi kini kami melihatmu, maka bercuriga
pula."
Ang Cit Kong mengerutkan kening.
"Apa maksudmu, Peng Ngo Ya?"
"Aku bilang, kau justru seorang maling kecil. Kau datang ke mari
cuma untuk mencuri makan. Siapa kaum rimba persilatan yang tidak
tahu Ang Cit Kong suka mencuri makan?"
Ang Cit Kong tidak gusar mendengar ucapan itu, sebaliknya malah
tertawa gelak.
"Ha ha ha! Peng Ngo Ya, tidak salah perkataanmu! Kaum rimba
persilatan memang tahu aku doyan makan!"
Peng Ngo Ya manggut-manggut.

"Tidak salah, kau memang amat serakah dalam hal makan. Biasanya
begitu, apalagi di dapur istana?"
Ang Cit Kong tertawa lebar.
"Betul! Betul! Aku memang amat serakah dalam hal makan, lalu
kenapa?"
Peng Ngo Ya diam seketika, sebab tidak tahu harus menyahut apa.
Miau Ciu Jin Chu-Miau Toaya memandang Ang Cit Kong, sambil
berkata dalam hati. Ternyata Ang Cit Kong datang ke mari cuma
untuk mencuri makan. Itu bukan urusan besar. Akan tetapi mereka
berlima adalah tukang masak istana yang amat terkenal, maka
perbuatan Ang Cit Kong justru telah menyinggung perasaannya.
Ko Jie Ya tahu akan apa yang dipikirkan Miau Toaya, maka segera
berkata.
"Ang Cit, kau datang secara diam-diam, apakah menganggap kami
berlima adalah orang mati?"
Ang Cit Kong tahu ucapan Ko Jie Ya bernada menegurnya, karena
tidak memandang mereka berlima. Sebetulnya Ang Cit Kong tidak
mau bersitegang dengan kelima orang itu, namun kalau dia terus
bersabar, akhirnya dirinya yang akan diinjak-injak.
Oleh karena itu, wajah Ang Cit Kong berubah serius, kemudian dia
berkata dengan suara dalam.
"Miau Toaya, Ko Jie Ya, kalian berdua mau apa, katakan saja! Aku
pasti menurut!"
Ang Cit Kong menatap mereka berlima. Seandainya aku tidak
membawa Ouw Yang Hong, bagaimana mungkin aku akan merasa
takut terhadap kalian berlima? Asal aku turun tangan, kalian berlima
pasti tidak dapat lolos dari tanganku!
Akan tetapi, saat ini dia justru harus menjaga Ouw Yang Hong. Di
sana bersamaan, kelima orang itu pun memperhatikan Ouw Yang
Hong. Karena

Ouw Yang Hong diam dari tadi dan tampak tenang, maka kelima
orang itu menganggapnya sebagai orang yang berkepandaian tinggi
pula.
''Ang Cit, kau tidak usah banyak omong lagi. Asal kau dapat
melewati kami berlima, tentunya kami akan melepaskanmu.
Bagaimana?" kata Ko Jie Ya.
Hm! Dengus Ang Cit Kong dalam hati. Apa hebatnya kalian berlima?
Kalau aku tak dapat melawan kalian, apakah aku tidak bisa kabur?
Tapi Ouw Yang Hong justru tidak dapat meloloskan diri. Cara
bagaimana aku membawanya pergi?
Ang Cit Kong terus berpikir. Dia mengerti apabila dia turun tangan,
yang bakal celaka lebih dulu adalah Ouw Yang Hong.
Karena Ang Cit Kong diam, maka Ko Jie Ya segera bertanya.
"Ang Cit, siapa dia?"
Tentunya Ang Cit Kong tahu siapa dia, bernama Ouw Yang Hong
berasal dari See Hek. Tapi karena Ouw Yang Hong berkepandaian
rendah maka Ang Cit Kong harus mencegah mereka bertarung
dengannya.
Setelah berpikir sejenak, Ang Cit Kong tertawa seraya menyahut.
"Dia adalah kawanku, aku yang mengajaknya ke mari untuk
mencicipi masakan kalian. Maka kalian tiada urusan dengannya!
Kalian boleh menghukum diriku, tapi tidak boleh menghukumnya!"
Sedangkan Ouw Yang Hong justru tidak tahu apa yang dipikirkan
Ang Cit Kong. Ketika mendengar ucapannya, dia segera
menyambung.
"Aku bernama Ouw Yang Hong, berasal dari Gunung Pek Tho San di
See Hek."
"Ha ha ha!" Miau Toaya tertawa gelak. "Apakah orang See Hek juga
tidak pernah mencicipi masakan yang lezat?"

Ketika berkata, Miau Toaya pun membatin. Kalian berdua pasti
bukan orang baik. Yang satu adalah pengemis busuk dari Kay Pang,
yang satu lagi adalah orang liar dari See Hek. Mereka berdua pasti
bukan orang baik.
Ang Cit Kong manggut-manggut, lalu memandang mereka berlima
sambil berkata.
"Baiklah! Kalian berlima boleh maju, aku malas melawan kalian satu
persatu!"
"Ha ha!" Sui Sam Ya tertawa. "Ang Cit Kong, aku tahu kau amat
terkenal dalam dunia persilatan! Akan tetapi, tempat ini adalah
dapur istana, kau tidak perlu berlaku gagah-gagahan di sini!"
katanya.
Ang Cit Kong sudah tidak sabaran. Dia membentak ringan sambil
menerjang ke arah mereka berlima. Ternyata dia telah melancarkan
serangan kilat terhadap kelima orang itu.
Miau Ciu Jin Chu-Miau Toaya, Cian Ban Keng
Ko-Ko Jie Ya, Yu Tam Hwe Lou-Sui Sam Ya, Pek Ciu Cap Ciang-Lo
Sie Ya dan It Kie Cong Peng-Peng Ngo Ya sudah terbiasa disanjung
orang, maka bagaimana mungkin mereka berlima membiarkan Ang
Cit Kong berlagak di hadapan mereka? Saking gusarnya, kelima
orang itu ingin sekali membunuhnya. Karena itu mereka berlima
balas menyerangnya.
Miau Ciu Jin Chu-Miau Toaya menggunakan ilmu To Kou Sah Cap
Lak Sek (Tiga Puluh Enam Jurus Ilmu Golok Dan Kaitan), itu
merupakan sepasang senjata yang biasa dipergunakannya setiap
hari di dapur, sebuah golok dan sebuah kaitan. Kalau goloknya
bergerak cepat, kaitannya pasti bergerak lambat, begitu pula
sebaliknya. Apabila kaitan di tangan kirinya bergerak cepat, maka
golok di tangan kanannya akan bergerak lambat. Memang pantas dia
menjadi tukang masak terkenal dalam istana, sebab dia pun memiliki
ilmu silat tinggi.

Ko Jie Ya tertawa gembira ketika mulai menyerang Ang Cit Kong. Dia
menggunakan sebuah rantai besi yang cukup panjang.
Sui Sam Ya juga menyerang Ang Cit Kong. Dia tidak menggunakan
senjata, melainkan hanya dengan sepasang tangannya. Tapi
pukulan-pukulannya menimbulkan suara menderu-deru.
Lo Sie Ya juga hanya menggunakan sepasang tangannya. Namun
gerakannya amat lamban. Sambil menyerang, dia membentak.
"Apakah kau tahan pukulan?"
Ang Cit Kong tidak menyahut, melainkan berkelit ke sana ke mari.
Sedangkan Peng Ngo Ya menyerangnya dengan senjata andalannya,
yaitu sebuah penggorengan.
Mereka berlima menyerang dengan bertubi-tubi. Cukup lihay dan
dahsyat serangan-serangan yang mereka lancarkan.
Ang Cit Kong berkelit ke sana ke mari dengan gesit sekali.
Sementara Ouw Yang Hong menyaksikan pertarungan itu dengan
hati berdebar-debar. Kelima orang yang sedang bertarung itu,
kadang-kadang juga melirik ke arahnya. Apabila Ouw Yang Hong
bergerak, mereka pasti akan menye-rangnya. Akan tetapi, Ouw Yang
Hong justru diam saja, maka mereka tidak menyerangnya.
Semakin menyaksikan pertarungan itu, Ouw Yang Hong merasa
semakin panik.
"Semua berhenti, aku mau bicara!" serunya dengan tiba-tiba.
Sebelum berseru, Ouw Yang Hong sudah berpikir, kalau mereka
berdua bicara baik-baik dengan kelima orang itu, kemungkinan besar
kelima orang itu akan melepaskan mereka. Sebab saat ini Ouw Yang
Hong amat sadar, seandainya kelima orang itu berteriak-teriak, para
pengawal istana tangannya. Namun gerakannya amat lamban.
Sambil menyerang, dia membentak.
"Apakah kau tahan pukulan?"

Ang Cit Kong tidak menyahut, melainkan berkelit ke sana ke mari.
Sedangkan Peng Ngo Ya menyerangnya dengan senjata andalannya,
yaitu sebuah penggorengan.
Mereka berlima menyerang dengan bertubi-tubi. Cukup lihay dan
dahsyat serangan-serangan yang mereka lancarkan.
Ang Cit Kong berkelit ke sana ke mari dengan gesit sekali.
Sementara Ouw Yang Hong menyaksikan pertarungan itu dengan
hati berdebar-debar. Kelima orang yang sedang bertarung itu,
kadang-kadang juga melirik ke arahnya. Apabila Ouw Yang Hong
bergerak, mereka pasti akan menye-rangnya. Akan tetapi, Ouw Yang
Hong justru diam saja, maka mereka tidak menyerangnya.
Semakin menyaksikan pertarungan itu, Ouw Yang Hong merasa
semakin panik.
"Semua berhenti, aku mau bicara!" serunya dengan tiba-tiba.
Sebelum berseru, Ouw Yang Hong sudah berpikir, kalau mereka
berdua bicara baik-baik dengan kelima orang itu, kemungkinan besar
kelima orang itu akan melepaskan mereka. Sebab saat ini Ouw Yang
Hong amat sadar, seandainya kelima orang itu berteriak-teriak, para
pengawal istana pasti akan datang, dan sudah barang tentu mereka
berdua sulit untuk meloloskan diri.
Akan tetapi, walau dia terus berseru sekeras-kerasnya, tiada seorang
pun menghiraukannya. Sebab kelima tukang masak itu hanya ingin
merobohkan Ang Cit Kong, tidak memikirkan urusan lain.
Kalau Ouw Yang Hong berkepandaian tinggi, dia pasti turun tangan
membantu Ang Cit Kong. Namun kepandaiannya justru amat rendah,
maka hanya menjadi penonton.
Sedangkan Ang Cit Kong diam-diam berkeluh dalam hati. Dia tahu
bahwa sulit bagi mereka berdua untuk melarikan diri, sebab kini dia
telah terluka walaupun ringan. Tampak pakaiannya yang rombeng
bernoda darah.

Keadaannya itu membuat Ouw Yang Hong bertambah gugup dan
panik. Dia tahu apabila Ang Cit Kong roboh di tangan mereka,
dirinya pun pasti celaka.
Oleh karena itu, dia menjadi nekat menerjang ke arah Peng Ngo Ya
dan Lo Sie Ya. Tapi di saat bersamaan, kaitan yang ada di tangan
Miau Toaya justru menyerang ke arahnya. Dia tidak meng-hiraukan
senjata itu, terus menerjang ke arah Peng Ngo Ya dan Lo Sie Ya.
Kaitan itu merobek pakaiannya, sekaligus melukai badannya,
sehingga pakaiannya berlumuran darah. Walau dia berhasil memukul
Peng Ngo Ya dan Lo Sie Ya, namun tidak dapat melukai mereka
berdua. Sebaliknya kepalan Peng Ngo Ya dan Lo Sie Ya yang
menghantamnya hingga dia jatuh terduduk di lantai.
Sepasang mata Ouw Yang Hong tampak memerah. Mendadak dia
bangkit berdiri, lalu sambil menggeram menyerang Peng Ngo Ya.
Ketika melihat kenekatannya, Peng Ngo Ya berkelit ke samping. Ouw
Yang Hong tidak keburu menghentikan langkahnya, maka terus
menerjang dan kebetulan sekali, dia justru menerjang ke arah sisi
Ang Cit Kong dan berhenti di situ.
Nafas Ang Cit Kong memburu saking gusarnya. Kalau dia roboh di
tangan kelima orang itu, dia pasti kehilangan muka, karena tentang
kejadian tersebut akan tersiar di luar.
Ang Cit Kong sungguh kewalahan karena kelima orang itu
berkepandaian tinggi. Kalaupun pertarungan itu dilanjutkan, tentu
tiada gunanya. Oleh karena itu, mendadak dia meloncat ke atas
meja, lalu berteriak-teriak.
"Tunggu! Tunggu! Tidak usah berkelahi lagi!"
Kelima orang itu berhenti menyerang, lalu menatap Ang Cit Kong
dengan dingin sekali.
Ang Cit Kong berkata lagi.

"Kalian berlima juga merupakan kaum rimba persilatan yang
terkenal! Tiada artinya kalian membunuh seorang pengemis dan
seorang liar di sini! Lagi pula kalian memasak untuk kaisar. Kalau
atasan kalian tahu, kalian berlima pasti akan repot!
Menurutku, lebih baik kalian membiarkan kami pergi! Aku akan tetap
menjadi pengemis di luar, sedangkan kalian tetap menjadi tukang
masak di sini! Bagaimana?"
"Ha ha!" Miau Ciu Jin Chu-Miau Toaya tertawa. "Ang Cit, Kay Pang
merupakan perkumpulan besar di kolong langit, sedangkan dirimu
pun amat terkenal! Akan tetapi, walau tempat ini adalah dapur
istana, kami tidak bisa membiarkanmu da-tang dan pergi secara
bebas!"
Cian Ban Keng Ko-Ko Jie Ya tertawa terkekeh, kemudian berkata
dengan dingin.
"Ang Cit, tinggalkan sebelah telingamu untuk dimasak!"
Peng Ngo Ya menyambung cepat, nadanya seperti bersimpati
kepada Ang Cit Kong.
"Kalau Ang Cit meninggalkan sebelah telinganya, bukankah
wajahnya akan bertambah buruk? Oleh karena itu, lebih baik
tinggalkan sebuah jari tangan saja!"
Ang Cit Kong tertawa dingin, lalu menyahut.
"Kalian lepaskan dulu saudara Ouw Yang ini, aku pasti akan
membereskan urusan kita!"
Ouw Yang Hong tersentak dan berkata dalam hati. Kepandaianku
memang rendah, tidak seharusnya aku ikut Ang Cit Kong ke mari.
Kini aku mau pergi tidak bisa, dan tinggal di sini pun tidak bisa, lalu
harus bagaimana? Namun Ouw Yang Hong besar di daerah See Hek,
sudah terbiasa hidup menderita.
Dia tahu percuma banyak bicara, maka mengeraskan hati, lalu
berkata sambil memelototi kelima orang itu, sepertinya ingin
menelan mereka bulat-bulat.

"Baik, aku pergi!"
Pek Ciu Cap Ciang-Lo Sie Ya berkata dengan dingin.
"Kau melototi kami, apakah kau ingin membuat perhitungan dengan
kami kelak?" kata Pek Ciu Cap Ciang-Lo Sie Ya dengan dingin.
Ouw Yang Hong tidak menyahut, hanya memberi hormat kepada
Ang Cit Kong seraya berkata.
"Ang Cit, sesungguhnya kita tidak saling mengenal. Tapi dikarenakan
urusan ini, justru menjadi teman. Seandainya kau mati di sini, aku
pasti bersumpah membunuh mereka berlima!"
Ang Cit Kong amat kagum padanya. Dia tidak menyangka Ouw Yang
Hong begitu gagah dan solider.
Dia manggut-manggut, kemudian berkata.
"Sudahlah! Cepatlah kau pergi! Kau sungguh bodoh tapi hatimu
cukup baik. Dengan kepandaian-mu itu, bagaimana mungkin kau
melawan mereka berlima? Cepatlah pergi!"
Ouw Yang Hong mengerutkan kening. Saat ini dia malah menjadi
ragu untuk meninggalkan Ang Cit Kong.
Miau Ciu Jin Chu-Miau Toaya memandang Ang Cit Kong seraya
berkata.
"Ang Cit, bagaimana keputusanmu? Kau mau meninggalkan sebuah
telinga atau sebuah jari tangan?" Dia juga menuding Ouw Yang
Hong. "Kau pun sama, harus meninggalkan sebuah telinga atau
sebuah jari tangan!"
Di saat bersamaan, mendadak terdengar suara 'Krek', ternyata pintu
dapur itu terbuka sendiri dengan perlahan-lahan, sepertinya
didorong oleh setan atau arwah penasaran.

Kebetulan saat itu tengah malam, sehingga membuat mereka
terkejut dan ketakutan.
Mereka semua memandang ke arah pintu itu, kemudian Cian Ban
Keng Ko-Ko Jie Ya membentak.
"Siapa? Cepat keluar!"
Tiada sahutan maupun bayangan orang. Tetapi ketika mereka
membalikkan kepala, justru melihat seseorang di atas meja.Orang
itu agak aneh, memakai topi rumput lebar, rambut panjang dan
berkumis panjang, mengenakan jubah panjang warna abu-abu,
duduk bersila dengan wajah dingin sambil menghisap cangklong.
Kelima tukang masak mengenalnya, tidak lain adaluh Su Ciau Hwa
Cu, tukang masak nomor satu dari Wisma Hong Cu Lau.
Mendadak Su Ciau Hwa Cu tertawa gembira, kemudian bertepuk
tangan seraya berkata.
"Bagus! Bagus! Bagus! Memang istana lebih bagus, memasak untuk
kaisar, orang berubah menjadi tak berperasaan! Untuk apa kalian
memegang golok, kaitan dan rantai?"
Ketika melihat yang muncul itu adalah Su Ciau Hwa Cu, bukan main
girangnya Ang Cit Kong. Kelihatannya nyawaku tidak akan melayang
di sini. Kini guruku sudah datang, urusan yang besar bagaimana pun
guruku pasti menanggungnya.
Sementara Su Ciau Hwa Cu menunjuk Miau Ciu Jin Chu-Miau Toaya,
Cian Ban Keng Ko-Ko Jie Ya, Yu Tam Hwe Lou-Sui Sam Ya, Pek Ciu
Cap Ciang-Lo Sie Ya dan It Kie Cong Peng-Peng Ngo Ya, kemudian
berkata.
"Miau Toa, apakah setiap hari kau masih mengait daging manusia
panggang? Ko Jie, apakah setiap hari kau masih membacok tulang?
Sui Sam, tiga tahun lalu, kau mencincang Hek Hong menjadi bakso,
kau sungguh kejam! Aku belum membuat perhitungan denganmu!
Peng Ngo, kau inenye-rakahi barang orang, aku harus membuat
perhitungan denganmu!"

Begitu melihat yang muncul itu adalah Su Ciau Hwa Cu, kelima
orang itu amat terkejut, dan tidak berani banyak bicara, hanya gusar
dalam hati.
Sedangkan Ouw Yang Hong terus memperhatikannya. Pengemis itu
tampak biasa, tapi kelima orang itu justru kelihatan takut
kepadanya, itu membuatnya terheran-heran.
Su Ciau Hwa Cu memandang Ang Cit Kong, lalu berkata.
"Ang Cit, kalau kau doyan makan, lebih baik makan di Wisma Hong
Cu Lau saja. Tentunya kau tahu, walau kelima tukang masak dalam
istana itu anjing, tapi bukan anjing biasa. Mereka berlima adalah
anjing penjaga istana, sudah pasti amat galak, bagaimana kau
melawannya?"
Bukan main girangnya Ang Cit Kong karena Su Ciau Hwa Cu mencaci
kelima orang itu. Sedangkan kelima orang itu amat gusar, tapi tidak
berani bersuara.
Ketika melihat kelima orang itu diam saja, Su Ciau Hwa Cu tertawa
gelak.
"Ha ha ha! Kalian lima ekor anjing, majulah bersama, aku akan
menggebuk kalian semua!"
Miau Ciu Jin Chu-Miau Toaya, Cian Ban Keng Ko-Ko Jie Ya, Yu Tam
Hwa Lou-Sui Sam Ya, Pek Ciu Cap Ciang-Lo Sie Ya dan It Kie Cong
Peng-Peng Ngo Ya tahu, bahwa urusan hari ini tidak akan bisa beres
begitu saja. Kalau hari ini mereka berlima tidak berani melawan Su
Ciau Hwa Cu, selanjutnya bagaimana bisa menaruh kaki dalam dunia
kang ouw lagi? Oleh karena itu, mereka berlima menjadi nekat.
"Baiklah! Su Ciau Hwa Cu, hari ini kita bertarung mati-matian!"
"Ha ha ha!" Su Ciau Hwa Cu tertawa gelak. "Kalian berlima
berderajat bertarung denganku?"
"Su Ciau Hwa Cu, aku akan bertarung denganmu!" sahut Miau
Toaya.

Di tengah malam, di dapur istana itu akan terjadi suatu pertarungan
sengit. Air muka Miau Toaya tampak serius tapi tenang. Dia
menghampiri tungku, lalu menjulurkan tangannya untuk mengambil
dua potong arang yang membara dari dalam tungku itu. Kemudian
dibukanya telapak tangannya, dan dibiarkannya arang yang
membara itu membakar telapak tangannya. Tak lama, terciumlah
bau daging hangus.
Miau Toaya terus memandang telapak tangannya yang hangus itu.
Telapak tangannya sudah tampak tidak karuan. Namun wajah Miau
Toaya tidak berubah sama sekali. Perlahan-lahan telapak tangannya
dikepalkan, maka hancurlah arang yang membara itu.
Ouw Yang Hong dan Ang Cit Kong tak tega menyaksikannya. Kalau
ingin bertarung, kenapa harus menyiksa diri sendiri? Pikir mereka.
Akan tetapi, Miau Toaya justru kelihatan tenang.
"Su Ciau Hwa Cu, kau juga boleh coba!" katanya dengan dingin
sekali.
Si Pengemis Su tetap tertawa, kemudian menyahut dengan gembira.
"Waduh! Sungguh celaka, sepasang tanganku amat berharga! Kalau
dibakar dengan arang yang membara, bukankah aku akan mati
hangus?"
Meskipun berkata begitu, namun dia tetap menghampiri tungku itu,
lalu berbuat seperti apa yang dilakukan Miau Toaya tadi. Tampak
arang yang membara di telapak tangannya.
Semua orang memandang telapak tangannya Justru membuat
mereka terperangah, sebab arang yang membara itu tidak
menghanguskan telapak tangannya. Semua orang terus
memperhatikan telapak tangan Su Ciau Hwa Cu, ternyata telapak
tangannya tidak menempel pada arang yang membara itu.
Yu Tam Hwe Lou-Sui Sam Ya melihat hal tersebut, dan segera
membentak keras.
"Su Ciau Hwa Cu, kau adalah orang gagah, tapi justru menipu kami!"

Si Pengemis Su langsung melotot, dan menyahut dengan nada tidak
senang.
"Aku menipu kalian? Kau lihat sendiri, aku sudah memegang arang
yang membara ini, tapi tidak mau menempel di telapak tanganku,
lalu aku harus bagaimana?"
It Kie Cong Peng-Peng Ngo Ya amat gusar. Sepasang tangannya
dijulurkan bagaikan cakar harimau, untuk mencengkeram sepasang
tangan Su Ciau Hwa Cu, tujuannya agar arang yang membara itu
menempel di telapak tangan Su Ciau Hwa Cu, biar telapak
tangannya hangus terbakar.
Akan tetapi, walau dia telah berhasil mencengkeram sepasang
tangan Su Ciau Hwa Cu dengan sekuat tenaga, namun arang yang
membara itu tetap tidak jatuh menempel di telapak tangan si
Pengemis Su.
Miau Toaya segera menghardik.
"Ngo te (Adik Kelima), cepat mundur!"
Peng Ngo Ya segera mundur.
"Su Ciau Hwa Cu," kata Miau Toaya. "Kami menghormatimu sebagai
kang ouw cian pwee (Tokoh Tua Dunia Persilatan), maka tidak mau
bergebrak denganmu. Walau kami berlima bekerja di istana, tapi
juga tergolong kaum dunia kang ouw, balikan punya hubungan pula
dengan beberapa anggota Kay Pang! Kau adalah Tetua Kay Pang
berkarung sembilan, memiliki dua macam ilmu silat Kay Pang yang
amat tinggi, yakni Hang Liong Cap Pwe Ciang (Delapan Belas Jurus
Ilmu Penakluk Naga) dan ilmu Tah Kauw Pang Hoat (Ilmu Tongkat
Penggebuk Anjing)! Bagaimana mungkin kami berlima melawanmu?
Tapi semua urusan harus ada keadilan, tentunya tidak bisa
membiarkan-mu menindas kami. Urusan harus diselesaikan
berdasarkan peraturan!"
Mendengar itu, wajah Su Ciau Hwa Cu ber-ubah menjadi serius.
"Baik. katakanlah! Bagaimana aku memberi keadilan padamu?"
katanya.

Kelima orang itu tahu, apabila bertarung de-ngan Su Ciau Hwa Cu,
mereka berlima pasti akan terjungkal di tangan pengemis itu. Namun
mereka juga tidak bisa membiarkan Su Ciau Hwa Cu menghina
mereka. Justru ini mereka berlima saling memandang, kemudian Sui
Jie Ya berkata.
"Tahun ini bulan delapan, kami akan menemui Sui ciang pwee dan
saudara Ang Cit di Gunung Ko San. Kita selesaikan urusan ini di
sana, harap cian pwee menyetujuinya!"
Su Ciau Hwa Cu mengangguk setuju, lalu bersama Ang Cit Kong
memapah Ouw Yang Hong meninggalkan dapur istana.
Kelima orang itu memandang punggung me-reka. Setelah mereka
bertiga tidak kelihatan, ba-rulah kelima orang itu menarik nafas
dalam-dalam.
Setelah meninggalkan istana, Su Ciau Hwa Cu bertiga menggunakan
ginkang melesat di pinggir kota. Beberapa saat kemudian mereka
sampai di sebuah rimba, lalu berhenti sekaligus beristirahat di sana.
Saat itu, Ang Cit Kong sudah tidak berani berlaku konyol-konyolan
lagi. Dia berdiri dengan kepala tertunduk di hadapan Su Ciau Hwa
Cu, kelihatannya seperti menunggu dihukum.
Akan tetapi, Su Ciau Hwa Cu justru diam dengan mata terpejam,
duduk bersila tanpa menghiraukan Ang Cit Kong.
Ang Cit Kong memandang Su Ciau Hwa Cu, lalu berkata.
"Guru ada petunjuk apa, teecu (Murid) pasti dengar dan ingat
selalu."
"Ang Cit, kau adalah murid Kay Pang berkarung delapan, tapi justru
memiliki sifat buruk. Kau serakah makan dan sering memasuki dapur
istana mencuri untuk makan, itu sungguh memalukan Su Ciau Hwa
Cu . . ."

Sebetulnya Ouw Yang Hong tidak ingin bersuara, namun ketika
mendengar Su Ciau Hwa Cu menyalahkan Ang Cit Kong, sedangkan
Ang Cit Kong cuma menundukkan kepala, maka dia ter-paksa
bersuara.
"Su Lo Cianpwee, ada satu hal aku ingin mohon petunjuk!"
Dari tadi Su Ciau Hwa Cu sudah melihat Ouw Yang Hong bukan
orang biasa. Kini dia menyelak sehingga membuat si Pengemis Su
menjadi gusar, tapi tidak bisa melampiaskan kegusarannya.
"Kau mau bicara apa?" tanyanya.
Ketika Ouw Yang Hong baru memasuki Tiong-goan, pertama kali
bertemu Tong Hai Tho Iloa To Tocu-Oey Yok Su bersama It Sok
Taysu. Kini betemu lagi Ang Cit Kong dan Su Ciau Hwa Cu. Mereka
merupakan tokoh besar dalam rimba persilatan Tionggoan atau
bukan, Ouw Yang Hong tidak tahu sama sekali. Tapi mereka
berempat berkepandaian amat tinggi, bagaimana mungkin dia ikut
berbicara?
Tapi apa boleh buat, dia memang harus ber-bicara, maka menyahut
setelah membungkam beberapa saat.
"Aku memang orang liar, namun keluargaku kaya raya. Lagi pula
sejak kecil sudah memperoleh pendidikan keluarga, maka tahu
sedikit tentang tata krama. Kini Su Cianpwec merasa tidak puas
terhadap Cit Kong, sesungguhnya urusan itu tidak sepenuhnya harus
menyalahkannya, karena ketika mendengar cerita Cit Kong
mengenai keadaan istana, aku jadi tertarik dan ikut bersamanya.
Kalau bukan disebabkan diriku, Cit Kong pasti dapat pergi dengan
bebas, bagaimana mungkin akan terjadi urusan itu?"
Ketika Ouw Yang Hong sedang berbicara, mendadak Su Ciau Hwa
Cu meloncat bangun seraya membentak.
"Kau panggil dia apa?"
Ouw Yang Hong tersentak, tidak tahu harus menjawab apa.
Su Ciau Hwa Cu membanting kaki saking gu-sarnya, lalu menuding
Ang Cit Kong seraya membentak.

"Bagus sekali kau Ang Cit! Kau masih muda tapi menyebut diri
sendiri sebagai Cit Kong! Kau adalah Cit Kong, lalu aku ini apa?"
Ang Cit Kong cuma menyengir, namun ber-keluh dalam hati. Ouw
Yang Hong, kau memang anjing liar! Kau telah menyusahkanku,
mengapa sekarang kau justru memanggilku Cit Kong di hadapan tua
bangka ini? Kau mengangkatku atau ingin menyusahkanku?
Walau berkeluh dalam hati, namun wajahnya tetap berseri.
"Guru, orang memanggilku Cit Kong karena tampangku sudah tua,
tidak seperti guru yang awet muda," katanya kepada Su Ciau Hwa
Cu.
Su Ciau Hwa Cu tampak gusar sekali.
"Ang Cit, meskipun kau benci aku tidak mati! Kau . . . kau memang
ingin membuatku mati kegusaran!"
Usai menghardik, dia pun melancarkan sebuah pukulan.
Pukulan itu justru salah satu jurus ilmu Hang Liong Cap Pwee Ciang,
ilmu andalan Kay Pang.
Walau kelihatannya lamban, tapi mendadak terdengar suara
ledakan, sehingga membuat pe-pohonan di sekitar tempat itu
bergoyang-goyang.
Betapa terkejutnya Ang Cit Kong. Wajahnya langsung berubah
pucat. Cepat-cepat dia meloncat ke belakang dua depa, tapi tidak
terlepas dari pukulan itu. Dia menjerit lalu roboh pingsan di tanah.
Ouw Yang Hong tersentak menyaksikan ke-jadian itu. Dia menerjang
ke arah Su Ciau Hwa Cu seraya membentak.
"Su Ciau Hwa Cu, jahanam kau! Harimau lapar pun tidak akan
memangsa anak sendiri, tapi kau malah tega membunuh muridmu!
Percuma kau berkepandaian tinggi!"

Su Ciau Hwa Cu menghardik gusar.
"Kau tuh apa berani menegurku? Sekali aku melancarkan pukulan,
nyawamu pasti melayang!"
Su Ciau Hwa Cu mengangkat sebelah tangan-nya, sikapnya seakan
ingin melancarkan pukulan.
Ouw Yang Hong tidak takut. Matanya melotot menatap Su Ciau Hwa
Cu tak berkedip sama sekali.
Su Ciau Hwa Cu pun menatapnya tajam. Anak ini cukup berbakat
dan bertulang bagus, bahkan bernyali besar pula. Karena berpikir
begitu, kegusarannya menjadi reda seketika, dan kemudian tertawa
seraya berkata.
"Ouw Yang Hong, maukah kau belajar ilmu silat kepadaku? Kalau
mau, cepatlah kau bersujud mengangkatku sebagai gurumu!"
Kegusaran Ouw Yang Hong masih belum reda, maka dia mendengus
dingin.
"Hmm! Kepandaian apa yang kau miliki?"
Su Ciau Hwa Cu tampak gembira sekali. Dia menepuk dada sendiri
seraya menyahut.
"Kau berani memandang rendah diriku? Baiklah! Akan kuperlihatkan
kepandaianku, agar kau dapat menyaksikannya!"
Perlu diketahui, pada masa itu adalah tahun Siau Cong. Di Lam Song
(Song Selatan) dalam istanu, kaisar dan para pejabat tinggi hanya
hidup bersenang-senang, sedangkan rakyat jelata hidup dengan
penuh penderitaan, namun tiada seorang pun berani bersuara. Oleh
karena itu, kebanyakan rakyat jelata bergabung dengan Kay Pang
(Partai Pengemis), maka Kay Pang menjadi partai yang amat besar
dan berpengaruh. Kebetulan Su Ciau Hwa Cu adalah Tetua Kay Pang
yang amat berkuasa. Ketua Kay Pang Suto Cak baru meninggal
karena sakit, semua urusan Kay Pang ditangani Su Ciau Hwa Cu,

otomatis dia amat dihormati para anggota Kay Pang. Akan tetapi, dia
paling tidak senang orang lain menentangnya. Dia mengampuni Ouw
Yang Hong dan bersedia menerimanya se-bagai murid, itu
merupakan hal yang sungguh luar biasa.
Akan tetapi, tak disangka Ouw Yang Hong malah tidak mau menjadi
muridnya. Sesungguhnya Su Ciau Hwa Cu amat gusar, namun
kemudian berkata dalam hati. Tidak apa-apa kau tidak mau menjadi
muridku, karena kau hanya merupakan seorang tolol. Kalau kau
menjadi muridku, justru malah akan merepotkanku. Tapi aku Su
Ciau Hwa Cu, bagaimana mungkin membiarkanmu meman-dang
rendah diriku? Setelah berkata dalam hati, Su Ciau Hwa Cu pun
memandangnya seraya berkata.
"Bocah busuk, kau harus melihat baik-baik. Sebentar lagi aku akan
memperlihatkan kepandaianku!" Dia membusungkan dada sedikit
sambil melanjutkan. "Di kolong langit memang terdapat banyak
partai dan ilmu silat yang aneh-aneh, tapi kami Kay Pang memiliki
dua macam ilmu silat yang amat tinggi dan hebat, yakni Hang Liong
Cap Pwee Ciang dan Tah Kauw Pang Hoat. Kedua macam ilmu silat
itu amat terkenal dalam dunia kang ouw, aku akan memperlihatkan
padamu."
Usai berkata, dia mulai memperagakan Hang Liong Cap Pwee Ciang.
Ilmu pukulan tersebut menggunakan gwa kang (Tenaga Luar) yang
amat keras, maka menim-bulkan angin yang menderu-deru,
membuat pe-pohonan di sekitar tempat itu bergoyang-goyang,
sehingga daun-daunnya beterbangan ke mana-mana.
Setelah itu, dia berkata.
"Kau sudah melihat? Jurusku ini tidak sama dengan jurus tadi. Jurus
ini adalah Kian Liong Cai Tian (Naga Tampak Di Sawah). Hebat tidak
jurus ini?"
Ketika menyaksikan jurus itu, diam-diam Ouw Yang Hong tersentak
dalam hati dan membatin. Pohon pun bergoyang-goyang. Kalau
orang yang terpukul, bukankah akan tewas seketika? Setelah
membatin demikian, dia tidak berani bersuara.

Su Ciau Hwa Cu melihat jurusnya itu telah mengejutkan Ouw Yang
Hong, maka dia kelihatan semakin puas.
"Kau tidak menyaksikan kepandaian asliku, tentunya tidak akan tahu
bagaimana kehebatanku. Kini kau sudah menyaksikannya, kan?"
katanya sambil tertawa.
"Walau pukulanmu itu amat lihay dan hebat, tapi hanya bertenaga
besar saja!" sahut Ouw Yang Hong.
Begitu mendengar sahutan Ouw Yang Hong itu, Su Ciau Hwa Cu
tertawa dalam hati. Bocah ini sungguh tolol! Pukulanku mengandung
gwa kang yang amat keras, namun dia bilang hanya ber-tenaga
besar. Ini sungguh menggelikan! Kelihatannya dia tidak menyukai
ilmu silat keras, yang dia sukai adalah ilmu silat yang mengandung
tenaga lunak. Kalau aku tidak memperlihatkannya, bagaimana
mungkin matanya akan terbuka?
Setelah berpikir demikian, dia berkata.
"Baik! Baik! Aku akan memperlihatkan ilmu Tah Kauw Pang lloat
(Ilmu Tongkat Penggebuk Anjing)."
Sementara itu, Ang Cit Kong yang pingsan sudah siuman. Ketika
mendengar Su Ciau Hwa Cu berkata begitu, dia menyela.
"Guru, dia bukan orang Kay Pang kita, juga bukan ketua suatu
partai, bagaimana mungkin Guru memperlihatkan ilmu itu?"
Su Ciau Hwa Cu melotot, kemudian membentak.
"Kau tahu apa? Aku ingin memperlihatkan ilmu Tah Kauw Pang Hot,
agar dia tahu kehehatan ilmu itu! Cepatlah kau minggir ke sana!"
Apa boleh buat, Ang Cit Kong terpaksa me-nurut. Dia segera minggir
ke samping agar tidak mengganggu Su Ciau Hwa Cu.

Sedangkan Ouw Yang Hong diam saja. Su Ciau Hwa Cu
menghendakinya menyaksikan ilmu Tah Kauw Pang Hoat, apa
salahnya menyaksikan ilmu tersebut? Namun dia juga berkata dalam
hati. Begitu mendengar namanya, aku yakin ilmumu itu bukan
merupakan ilmu yang hebat.
Ketika melihat air muka Ouw Yang Hong, Su Ciau Hwa Cu sudah
tahu, bahwa Ouw Yang Hong meremehkan ilmu tersebut.
Oleh karena itu, dia langsung membentak gu-sar.
"Bocah, lihat baik-baik!"
Su Ciau Hwa Cu mengambil sebatang ranting pohon, setelah itu
berkata lagi dengan sungguh-sungguh.
"Bocah! Ilmu Tah Kau Pang Hoat merupakan ilmu turun-temurun
dari ketua Kay Pang generasi pertama. Sejak dulu kaum pengemis
selalu dihina, bahkan ada yang menyuruh anjing untuk menggigit
mereka pula. Karena itu, ketua Kay Pang generasi pertama
menciptakan ilmu Tah Kauw Pang Hoat yang amat hebat. Kau
memang beruntung dapat menyaksikan ilmu tersebut."
Usai berkata, Su Ciau Hwa Cu mulai mem-pragakan ilmu Tah Kauw
Pang Hoat untuk disaksikan Ouw Yang Hong.
Ilmu Tah Kau Pang Hoat memang lihay dan hebat. Kemudian
gerakan Su Ciau Hwa Cu ber-ubah lamban, namun penuh
mengandung tenaga lunak. Itu adalah jurus Pah Cau Sui Coa
(Mencabut Rumput Mencari Ular).
Ouw Yang Hong menyaksikan jurus tersebut dengan mulut
ternganga dan terbelalak, ternyata dia dapat melihat akan
kehebatan jurus itu.
Pada hal Su Ciau Hwa Cu tidak menyangka Ouw Yang Hong dapat
mengetahui kehebatan jurus tersebut. Ketika menyaksikan air
mukanya yang begitu serius, timbullah kecurigaan Su Ciau Hwa Cu
dalam hati. Dia segera berhenti, kemudian berkata dengan suara
keras.

"Ouw Yang Hong, kau sudah lihat bagaimana ilmu tongkat ini?"
"Memang hebat sekali ilmu tongkat itu, tapi aku tetap tidak mau
belajar ilmu silatmu itu!" sahut Ouw Yang Hong.
Su Ciau Hwa Cu tertegun.
"Mengapa kau tidak mau belajar?"
"Kakakku adalah orang yang berkepandaian amat tinggi di daerah
See Hek, hanya saja aku tidak begitu berminat belajar ilmu silat.
Kalau aku mau, kakakku pasti mengajariku."
Su Ciau Hwa Cu mengerutkan kening.
"Kau tidak bersedia belajar ilmu silatku?"
Ouw Yang Hong mengangguk.
"Tidak bersedia!"
Su Ciau Hwa Cu mencak-mencak.
"Penasaran! Sungguh penasaran! Aku harus membunuhmu! Aku
harus membunuhmu agar tidak merasa penasaran!"
Su Ciau Hwa Cu langsung turun tangan, se-hingga membuat Ouw
Yang Hong terpental jatuh. Si Pengemis Su menuding kepalanya,
lalu bertanya dengan dingin sekali.
"Kau bersedia atau tidak?"
"Tidak bersedia!" sahut Ouw Yang Hong tanpa merasa takut.
Su Ciau Hwa Cu melotot seraya berkata.
"Baik, tidak bersedia berarti kau harus mampus!"
Pengemis itu mengibaskan tangannya, mem-buat Ouw Yang Hong
terpental, kemudian jatuh terguling-guling.

"Ha ha!" Su Ciau Hwa Cu tertawa. "Kau mirip anjing yang tergulingguling!
Kini aku akan menggunakan Tah Kauw Pang Hoat
membuatmu seperti anjing meloncat tembok!" katanya.
Ouw Yang Hong menjadi nekat, ingin mengadu nyawa dengan Su
Ciau Hwa Cu. Akan tetapi, ketika dia bangkit berdiri, mendadak
menjadi tertegun, ternyata Su Ciau Hwa Cu dan Ang Cit Kong sudah
tidak kelihatan lagi.
Ouw Yang Hong termangu-mangu di tempat. Dia sama sekali tidak
tahu Su Ciau Hwa Cu dan Ang Cit Kong pergi ke sana. Berselang
sesaat, barulah dia meninggalkan tempat itu.
***
Bab 6
Sesungguhnya Ouw Yang Hong pergi ke kota-raja untuk menikmati
panorama daerah selatan. Namun begitu dia tiba di kotaraja, justru
mengalami berbagai kejadian, bahkan dipermalukan pula oleh Su
Ciau Hwa Cu. Oleh karena itu, dia berjanji dalam hati, apabila kelak
dia berhasil menguasai kungfu tinggi, dia akan membalasnya.
Setelah berjanji demikian dalam hati, dia segera kembali ke kotaraja.
Ketika melewati sebuah desa, dia berhenti sambil menengok ke sana
ke mari. Tampak puluhan gubuk di situ. Gubuk-gubuk tersebut
sudah tidak karuan, boleh dikatakan menyerupai kandang kambing.
Terlihat pula belasan orang sedang mengerjakan pekerjaan rumah
tangga. Di antaranya terdapat kaum wanita yang semuanya
mengenakan pakaian kasar, pertanda itu adalah sebuah desa miskin.
Akan tetapi, mereka justru bekerja sambil mengobrol, dan kadangkadang
terdengar pula suara tawa.
Ouw Yang Hong merasa lapar. Dia menghampiri mereka, kemudian
berkata dengan sopan.

"Maaf, aku datang dari tempat jauh, bolehkah aku minta sedikit
makanan?"
Semua orang itu berhenti bekerja. Mereka memandang Ouw Yang
Hong dengan penuh keheranan. Terutama tiga orang gadis, mereka
menatapnya dengan mata terbeliak. Maklum, Ouw Yang Hong
termasuk pemuda yang cukup tampan, maka ketiga gadis itu
kesemsem menyaksikannya.
Berselang sesaat, salah seorang tua menyahut.
"Anak muda, di desa miskin ini tidak ada ma-kanan lezat."
Ouw Yang Hong memang sudah lapar sekali, bagaimana memilih
makanan lagi?
"Tidak jadi masalah, terimakasih!" katanya.
Orang tua itu lalu mempersilakannya masuk. Ouw Yang Hong
mengucapkan terimakasih lagi dan kemudian masuk ke dalam.
Setelah Ouw Yang Hong duduk, orang tua itu menyajikan beberapa
macam hidangan yang terdiri dari sayur-mayur. Dia pun
menyuguhkan arak lalu duduk di hadapan Ouw Yang Hong.
"Silakan makan!" ucap orang tua itu.
"Terimakasih. Paman tua!" sahut Ouw Yang Hong.
Mereka berdua mulai bersantap, kemudian me-neguk arak.
Berselang beberapa saat, orang tua itu berkata.
"Kau begitu sopan dan mirip seorang sastra-wan, tapi logatmu
seperti dari daerah See Hek. Di sini merupakan desa miskin di luar
kotaraja, maka jarang aku berjumpa dengan orang semacammu."
Ouw Yang Hong menyahut memberitahukan.
"Dugaan Paman tua tidak salah, aku memang berasal dari Gunung
Pek Tho San di See Hek. Sejak kecil aku sudah belajar membaca dan
ilmu surat. Aku datang di kotaraja hanya ingin menikmati

panoramanya, sekaligus menambah pengetahuanku. Akan tetapi,
aku sungguh kecewa! Karena yang kusaksikan hanya penindasan
belaka, bahkan saling membunuh pula."
Orang tua itu menggeleng-gelengkan kepala. Mereka berdua terus
minum sambil bercakap-cakap, kelihatannya mereka berdua amat
cocok satu sama lain.
Tak terasa hari sudah mulai senja. Orang-orang yang bekerja di
sawah, dan yang menggembala sapi sudah kembali ke rumah
masing-masing.
Orang tua itu tampak gembira sekali. Dia segera memperkenalkan
semua keluarganya kepada Ouw Yang Hong. Betapa terharunya
Ouw Yang Hong, sebab mereka semua amat baik dan ramah
terhadapnya.
Mendadak terdengar suara suling yang amat nyaring dan merdu,
dan menggetarkan hati, sehingga membuat mereka
mendengarkannya dengan penuh perhatian.
Setelah itu terdengar pula suara langkah yang amat ramai, yang
kemudian disusul oleh suara seruan lantang.
"Semuanya dengar baik-baik, Tay Mok Pek Tho San San Kun (Tuan
Dari Gunung Pek Tho San) akan melewati tempat ini, semua orang
yang ada di desa ini harus menyingkir!"
Tampak begitu banyak obor dan orang berjalan di desa itu.
Berselang sesaat, lenyaplah suara yang amat ramai tadi.
Ouw Yang Hong mengerutkan kening sambil berkata dalam hati.
Sungguh mengherankan! Sudah lama aku tinggal di See Hek, tahu
Pek Tho San San Kun merupakan orang yang berkepandaian amat
tinggi di sana, bersifat aneh dan suka membunuh orang. Tapi
mengapa dia menuju kotaraja, apakah dia ingin bertarung dengan
tokoh-tokoh tangguh di Tionggoan?
Ketika Ouw Yang Hong sedang berpikir, mendadak terdengar lagi
suara seruan lantang.

"Keluar semua! San Kun ingin bicara!"
Desa itu amat kecil, hanya terdiri dari puluhan rumah dan kurang
lebih seratus penduduk.
Para penduduk desa melongok keluar dari jendela. Di bawah sinar
obor, tampak sebuah tandu yang dikelilingi belasan orang bersenjata
tajam. Di belakang orang-orang itu, berbaring pula entah berapa
banyak ular berbisa sambil mendesis-desis menjulurkan lidahnya.
Di tandu itu duduk seorang anak kecil, tapi setelah diperhatikan
dengan seksama, ternyata bukan anak kecil, melainkan seorang
lelaki yang sudah berumur. Hanya saja lelaki itu amat pendek, begitu
pula sepasang tangan dan kakinya, tapi kepalanya amat besar dan
brewok.
Ternyata dia adalah Pek Tho San San Kun. Tak lama terdengar lagi
suara seruan.
"Kalian semua adalah penduduk desa di pinggir kotaraja, tentunya
tahu keadaan rimba persilatan Tionggoan! Kalian katakan, siapa
yang memiliki Iwee kang, ilmu pedang, formasi pasukan dan mahir
racun yang paling hebat dalam rimba persilatan Tionggoan?"
Tiada seorang pun penduduk desa itu yang menyahut, sebab
mereka adalah petani, bukan kaum rimba persilatan, bagaimana
mungkin mengetahui itu?
Karena para penduduk desa diam saja, maka timbullah kegusaran
orang yang berseru tadi.
"Bicaralah! Mengapa tidak bicara?" bentaknya.
Orang tua yang menjamu Ouw Yang Hong berjalan ke luar,
kemudian berkata kepada orang itu.
"Kami semua hanya merupakan penduduk desa biasa, yang setiap
hari berada di sawah ladang, bagaimana tahu urusan dalam rimba
persilatan? Karena itu, lebih baik San Kun bertanya ke tempat lain!"

Mendadak terdengar suara tawa, yang walau kedengaran halus, tapi
amat menusuk telinga, bahkan menggoncangkan hati, sehingga
membuat wajah mereka menjadi pucat pias. Tampak bibir lelaki
pendek berkepala besar yang duduk di tandu itu bergerak-gerak,
dan terdengarlah suara yang serak dan parau.
"Pernahkah kalian melihat Ong Tiong Yang, ketua Coan Cin Kauw?"
Bagaimana mungkin penduduk desa itu tahu tentang orang
tersebut? Mereka hanya tahu ber-cocok tanam, maka mereka diam
saja.
Lelaki itu tertawa gelak, kemudian bersiul panjang. Begitu
mendengar suara siulan itu, ular-ular berbisa yang diam dari tadi
mulai merayap ke arah para penduduk desa.
Betapa takutnya para penduduk desa, terutama anak gadis dan anak
kecil. Saking takutnya mereka menjadi tidak bisa lari. Sedangkan
ular-ular berbisa itu telah mendekati mereka, dan tak lama
terdengarlah suara jeritan.
Menyaksikan itu, lelaki pendek tersebut malah bertepuk tangan
sambil tertawa gelak.
"Ha ha ha! Bagus! Bagus! Aku tidak usah bersusah payah mencari
makanan untuk ular-ular peliharaanku! Dengan adanya kalian,
semua ularku pasti akan kenyang!"
Sementara para penduduk desa sudah kacau balau, malah di
antaranya sudah ada yang digigit ular berbisa.
Sesungguhnya Ouw Yang Hong tidak mau menemui Pek Tho San
San Kun, tapi ketika melihat para penduduk desa akan mati digigit
ular berbisa, maka dia segera keluar sambil berseru.
"Tunggu, aku mau bicara!"
Begitu mendengar suara seruan Ouw Yang Hong, Pek Tho San San
Kun bersiul aneh, lalu semua ular berbisa diam seketika.

Pek Tho San San Kun menatap Ouw Yang Hong seraya bertanya.
"Siapa kau?"
Ouw Yang Hong menyahut lantang.
"Aku tahu jago-jago tangguh rimba persilatan Tionggoan, tapi
kenapa kau tidak bertanya kepadaku, melainkan malah bertanya
kepada penduduk desa, bagaimana mungkin mereka tahu?"
San Kun menatap Ouw Yang Hong dengan penuh perhatian. Dia
merasa heran dalam hati, sebab di desa sekecil itu terdapat pemuda
yang begitu gagah?
Setelah menatapnya sejenak, barulah San Kun berkata.
"Katakan! Siapa jago yang paling tangguh da-lam rimba persilatan
Tionggoan masa kini?"
Ouw Yang Hong tertawa menyahut.
"Aku bukan kaum rimba persilatan, hanya per-nah mendengar dari
orang, bahwa jago yang paling tangguh dalam rimba persilatan
Tionggoan masa kini adalah Ong Tiong Yang, ketua Coan Cin Kauw
di Gunung Cong Lam San, masih muda dan serba bisa. Namun
sayang sekali, aku tidak pernah berjumpa dengannya. Akan tetapi,
ketika aku berada di kotaraja, aku pernah berjumpa dengan Su Ciau
Hwa Cu, Tetua Kay Pang yang berkarung sembilan, dan Ang Cit
Kong, muridnya yang berkarung delapan.
Bahkan aku pun pernah melihat It Sok Taysu dari Yun Lam Tayli,
keluarga Toan. Taysu itu bersama Oey Yok Su, majikan Pulau Tho
Hoa To dari Tong Hai. Mereka berdua mengadu kepandaian. Amat
luas kolong langit, aku hanya berjumpa dengan beberapa jago
tangguh dalam rimba persilatan Tionggoan."
Pek Tho San San Kun mengerutkan kening, lalu berkata.

"Meskipun mereka merupakan jago tangguh dalam rimba persilatan
Tionggoan, tapi apakah mereka bisa dibandingkan dengan jago-jago
tangguh dari Gunung Pek Tho San?"
Ouw Yang Hong tertawa. Ternyata dia menter-tawakan Pek Tho San
San Kun, yang terlampau menyombongkan diri. Ouw Yang Hong
tinggal di kaki Gunung Pek Tho San, maka dia tahu orang yang
berkepandaian paling tinggi di kaki gunung tersebut adalah Ouw
Yang Coan, kakaknya.
Akan tetapi, kepandaian kakaknya masih tidak dapat dibandingkan
dengan It Sok Taysu dari Tay-li, juga tidak dapat dibandingkan
dengan Oey Yok Su maupun Su Ciau Hwa Cu. Kepandaian aliran Pek
Tho San boleh dikatakan terbatas, seperti halnya Pek Tho San San
Kun, tapi dia justru amat menyombongkan diri.
Setelah berpikir demikian, Ouw Yang Hong berkata dengan sungguhsungguh.
"Menurutku, San Kun masih tidak dapat diban-dingkan dengan It
Sok Taysu, Oey Yok Su maupun Su Ciau Hwa Cu, sebab kepandaian
mereka amat tinggi ..."
Ketika Ouw Yang Hong berkata sampai di situ, Pek Tho San San Kun
langsung berteriak aneh dan berkata.
"Aku tidak percaya, pokoknya aku tidak percaya! Katakan! Di mana
Ong Tiong Yang ? Suruh dia ke mari! Di mana Su Ciau Hwa Cu? Aku
mau bertanding dengannya!"
Begitu mendengar kata-katanya, Ouw Yang Hong tahu Pek Tho San
San Kun merupakan orang yang tak tahu aturan.
Pek Tho San San Kun tertawa dingin, lalu menuding Ouw Yang Hong
sambil bersiul. Seketika juga tampak beberapa ekor ular berbisa
meluncur ke arah Ouw Yang Hong, lalu melilit pinggang dan
lehernya.

Betapa terkejutnya Ouw Yang Hong. Kemu-dian dengan hati
berdebar-debar tegang, dia memandang Pek Tho San San Kun
seraya berkata.
"San Kun mau apa, bilang saja!"
Pek Tho San San Kun tertawa gelak, lalu me-nyahut.
"Kau katakan, dengan kepandaianku ini, apakah aku bisa menjadi
orang gagah nomor wahid dalam rimba persilatan?"
Ouw Yang Hong diam tapi berkata dalam hati. Kau memang tak tahu
diri. Hanya sebagai majikan Gunung Pek Tho San, kau sudah begitu
sombong! Kau seperti katak dalam sumur, tidak tahu berapa
tingginya langit! Ingin menjagoi rimba persilatan Tionggoan? Itu
hanya bermimpi di siang hari bolong! Walau Ouw Yang Hong berkata
demikian dalam hati, namun tidak berani mencetuskannya, sebab
dia tahu Pek Tho San San Kun berhati kejam. Kalau majikan Pek Tho
San itu gusar, nyawanya pasti melayang.
Ketika melihat Ouw Yang Hong diam saja, Pek Tho San San Kun
mengerutkan kening sambil berkata.
"Aku akan menyuruhmu menyaksikan keht; balauku!"
Pek Tho San San Kun bersiul aneh. Kemudian semua ular berbisa
yang melilit Ouw Yang Hong langsung merayap turun.
Ouw Yang Hong menarik nafas lega seketika. Tapi di saat
bersamaan, Pek Tho San San Kun bertepuk tangan tiga kali.
Kemudian terdengarlah suara musik mengalun halus, merdu dan
amat sedap didengar. Tak lama tampak dua baris anak-anak cantik
jelita berjalan ke luar dengan lemah gemulai. Semua gadis itu
mengenakan gaun putih panjang. Mereka berjalan melayang-layang,
sehingga gaun mereka berkibar-kibar, sungguh indah menakjubkan!
"Tiada orang berjalan di gurun. Sunyi sepi tiada suara di langit.
Memandang dengan mata bening berharap tuan selalu ada. Orang
selalu menikmati keindahan alam."

Para gadis itu bernyanyi sambil menari, se-hingga membuat
penduduk desa memandang dengan mata terbelalak dan mulut
ternftmga lebar.
Mereka semua tidak pernah melihat gadis-gadis secantik itu, apa lagi
tari-tarian seperti itu. Maka mereka melupakan mara bahaya yang
mengancam diri mereka.
Tiba-tiba hati Ouw Yang Hong tersentak. Ter-nyata dia pernah
mendengar dari kakaknya, bahwa Pek Tho San San Kun memiliki
semacam ilmu sesat, yang dapat membuat para gadis menari porno,
menyebabkan orang yang menyaksikannya akan terpengaruh. Oleh
karena itu, hati Ouw Yang Hong menjadi tersentak, tahu akan
kelihayan ilmu sesat itu.
Seorang pemuda desa, ketika menyaksikan para gadis itu menari,
darahnya pun mulai bergolak-golak. Saking tak tahan akhirnya
menerjang ke arah gadis-gadis itu, namun mendadak roboh
menindih ular-ular berbisa yang di situ.
Ular-ular berbisa itu langsung menggigitnya, dan dalam waktu
sekejap, pemuda itu sudah ber-ubah menjadi sebuah tengkorak.
Bukan main terkejutnya para penduduk desa itu, tapi mereka tetap
terpengaruh oleh musik yang menggetarkan hati, maka mereka
tampak seperti kehilangan kesadaran.
Salah seorang wanita muda, wajahnya berseri-seri dengan penuh
rasa cinta, berkata dengan lembut seakan berhadapan dengan sang
kekasihnya.
"Atua, aku menyukaimu. Kau pun bilang me-nyukaiku, tapi mengapa
kau tidak berbicara? Apakah kau telah melupakanku? Hari itu aku
memetik sekuntum bunga dari rumahku, lalu kupersembahkan
kepadamu. Kau takut, tidak berani menerima persembahanku itu,
maka aku terpaksa menaruh bunga itu di tanah. Tengah malam
secara diam-diam kau menemuiku,lalu kita berdua saling memadu
cinta. Apakah kau telah melupakan semua itu?"

Dengan wajah penuh diliputi perasaan cinta, wanita muda itu
mendekati ular-ular berbisa. Dalam penglihatannya, ular-ular berbisa
itu adalah sang kekasihnya.
Betapa terkejutnya para penduduk desa. Sesungguhnya wanita
muda itu merupakan wanita baik dan amat lembut di desa tersebut.
Apabila dia tadi berkata begitu, siapa pun tidak akan tahu dia
mencintai Atua secara diam-diam.
Akan tetapi, para penduduk pun sudah ter-pengaruh oleh musik itu,
maka tidak dapat berbuat apa pun, karena kaki mereka terpaku di
tempat. Semuanya hanya diam menyaksikan wanita muda itu
berjalan ke arah ular-ular berbisa, kelihatannya wanita muda itu
pasti akan mati digigit ular-ular berbisa tersebut.
Di saat bersamaan, mendadak terdengar suara suling yang amat
nyaring. Begitu mendengar suara suling itu, para penduduk dan
wanita muda itu tersentak sadar, kemudian wanita muda itu
menghentikan langkahnya.
Dapat dibayangkan, betapa gusarnya Pek Tho San San Kun. Dia
segera mengerahkan lwee kang, kemudian membentak seperti
guntur.
"Siapa?"
Terdengar suara tawa panjang, terlihat se-seorang berdiri di atap
rumah gubuk. Orang itu masih muda dan tampan, mengenakan
jubah panjang dan sebelah tangannya memegang sebuah suling
giok. Ternyata pemuda itu yang meniup suling.
Ketika mendengar bentakan Pek Tho San San Kun, dia pun berhenti
tertawa, lalu tersenyum dan menyahut.
"Hanya berdasarkan sedikit kepandaian, kau sudah ingin menjagoi
rimba persilatan Tionggoan? Bukankah itu merupakan suatu lelucon
besar?"
Pek Tho San San Kun gusar bukan main, lalu berkata dalam hati.
Pemuda itu berani mencampuri urusanku, kelihatannya pasti bukan

pemuda biasa. Kemungkinan besar dia merupakan jago tangguh
dalam rimba persilatan Tionggoan.
Setelah berkata demikian dalam hati, dia menatap pemuda itu lalu
membentak, "Siapa kau? Cepat beritahukan namamu! Hati-hati
terhadap ular-ular berbisa itu, karena mereka akan menggerogotimu
sehingga kau akan berubah menjadi sebuah tengkorak!"
"Aku adalah majikan Pulau Tho Hoa To dari Laut Timur, namaku Oey
Yok Su! Siapa kau?" sahut pemuda yang berdiri di atap rumah itu.
Pek Tho San San Kun mengerutkan kening. Dia gusar dalam hati
karena pemuda itu tidak tahu nama besarnya.
"Kau justru tidak tahu namaku, baiklah! Aku menghendakimu
mengetahui namaku!"
Kemudian tak henti-hentinya Pek Tho San San Kun bersiul panjang.
Semua ular berbisa itu lang-sung bergerak merayap ke arah rumah
gubuk itu, kemudian merayap ke atas mengarah Oey Yok Su.
Ketika melihat ular-ular berbisa itu merayap ke arahnya, Oey Yok Su
tersenyum, lalu menaruh suling gioknya di bibir, dan ditiupnya
perlahan-lahan.
Begitu suara suling mengalun, semua ular berbisa itu tampak panik.
Mereka mendongakkan kepala, kelihatannya seperti tidak tahu harus
mendengar suara siulan atau suara suling itu.
Akhirnya ular-ular berbisa itu saling menggigit satu sama lain.
Menyaksikan kejadian itu gusarlah Pek Tho San San Kun. Dia segera
meninggikan suara siulannya, namun nada suling itu pun meninggi
pula.
Sepasang mata Pek Tho San San Kun berapi-api. Dia berhenti bersiul
lalu melambaikan tangannya. Empat orang langsung menggotong
tandu itu mendekati rumah tersebut, kemudian berhenti dan Pek
Tho San San Kun segera melesat ke atas rumah itu.

Ouw Yang Hong terbelalak menyaksikannya. Setelah itu dia melihat
Pek Tho San San Kun mulai bertarung dengan Oey Yok Su.
Berselang beberapa saat, tampak seseorang terjatuh dari atap
rumah gubuk, tidak lain adalah Pek Tho San San Kun.
Keempat penggotong tandu segera memapahnya ke tandu. Setelah
Pek Tho San San Kun duduk, mereka langsung menggotong tandu
tersebut meninggalkan tempat itu. Para gadis yang bermain musik
dan menari tadi, juga ikut pergi.
Heninglah tempat itu. Terlihat Oey Yok Su meloncat turun dari atap
rumah gubuk, berdiri di hadapan Ouw Yang Hong.
"Siapa kau? Mengapa orang aneh itu men-desakmu?" tanyanya.
Ouw Yang Hong tidak menyahut. Dia hanya tertawa sambil
menengok ke sana ke mari. Sungguh mengenaskan keadaan di
tempat itu, sebab beberapa penduduk desa telah mati digigit ular
berbisa, dan ada pula yang dilukai anak buah Pek Tho San San Kun.
Dia memandang ke dalam rumah gubuk orang tua yang
menjamunya makan, ternyata orang tua itu telah mati juga, karena
digigit ular berbisa, keluarganya sedang menangisinya duduk desa
akan mati semua di tangan Pek Tho San San Kun. Karena itu, dia
merasa telah salah menegur Oey Yok Su, maka segera memberi
hormat seraya berkata.
"Maaf, namaku Ouw Yang Hong berasal dari Gunung Pek Tho San di
See Hek.
Menyaksikan perbuatan Pek Tho San San Kun, hatiku terasa tidak
enak, aku mohon pamit pada tocu!"
Oey Yok Su tersenyum. Dia tidak begitu mem-perdulikan Ouw Yang
Hong, sebab tahu Ouw Yang Hong tidak berkepandaian tinggi.
Mendadak dia bergerak secepat kilat, tahu-tahu Ouw Yang Hong
sudah jatuh gedebuk di tanah. Ketika Ouw Yang Hong bangkit
berdiri, Oey Yok Su sudah tidak kelihatan bayangannya.

Ouw Yang Hong termangu-mangu. Begitu ce-pat gerakan Oey Yok
Su, membuatnya amat ka-gum.
Malam ini Ouw Yang Hong tidak jadi me-ninggalkan desa kecil itu.
Dia berkumpul dengan penduduk desa, sekaligus membantu mereka
me-ngubur mayat-mayat penduduk dengan mata bersimbah air,
setelah itu barulah berpamitan untuk pergi.
Ouw Yang Hong baru memasuki daerah Tionggoan, tapi sudah
menyaksikan begitu banyak kejadian, dan nyawanya pun nyaris
melayang. Dia pun merasakan penyambutan hangat dari para
penduduk, bahkan juga menyaksikan perbuatan Pek Tho San San
Kun yang amat sadis, sehingga dia sadar akan satu hal, yakni harus
memiliki kepandaian tinggi.
Oleh karena itu, dia mengambil keputusan pulang ke Gunung Pek
Tho San untuk belajar ilmu silat kepada Ouw Yang Coan, kakaknya.
Saat itu, ketika Ouw Yang Hong hampir me-masuki daerah See Hek,
hari sudah mulai senja. Akan tetapi, di daerah tersebut sama sekali
tidak terdapat penduduk, hanya terdapat beberapa buah rumah
yang dibuat dari tanah, tapi rumah-rumah itu telah rusak dan tiada
penghuninya.
Ouw Yang Hong sudah merasa lapar sekali dan kedinginan, namun
harus ke mana mencari makanan? Apa boleh buat, dia terpaksa
harus menahan lapar, kemudian beristirahat di bawah sebuah
pohon, dan akhirnya pulas di situ.
Ketika tengah malam, mendadak dia mendusin dan . . . matanya
terbelalak. Ternyata dia melihat sepasang mata yang bersinar-sinar,
dan samar-samar tampak sosok bayangan di hadapannya. Orang itu
berambut panjang terurai ke bawah dan berpakaian putih, duduk di
hadapannya.
Bukan main terkejutnya Ouw Yang Hong, se-hingga hatinya jadi
tegang. Bahkan saking tegangnya, tanpa sadar dia meloncat seraya
membentak.

"Siapa?"
Mendadak dia menjerit kesakitan, ternyata kepalanya membentur
dahan pohon, dan kemudian dia jatuh gedebuk di atas tanah.
Sekonyong-konyong angin berhembus kencang, sehingga membuat
rambut orang itu yang panjang terurai berkibar-kibar ke kaki Ouw
Yang Hong.
Ouw Yang Hong tidak habis berpikir, bagai-mana mungkin di tempat
sesepi ini terdapat orang lain? Ketika sedang berpikir, di saat
bersamaan, dia mencium bau harum dari badan orang itu.
OuwYang Hong tersentak. Kini dia baru tahu orang yang duduk di
hadapannya adalah seorang wanita, jangan-jangan wanita itu adalah
arwah penasaran, pikirnya sehingga membuatnya tidak berani
bergerak.
Berselang beberapa saat, hari sudah mulai terang. Ouw Yang Hong
belum berani bergerak, namun memperhatikan wanita itu. Justru
mem-buatnya terbeliak, ternyata wanita itu amat cantik. Ouw Yang
Hong terheran-heran, bagaimana di tempat yang amat sepi ini
terdapat wanita yang begitu cantik?
Perlahan-lahan wanita itu membuka matanya. Ketika melihat Ouw
Yang Hong duduk di hadapannya, dia tampak tertegun.
"Kau ... kau . . ."
Ouw Yang Hong tersenyum.
"Nona, kau sudah mendusin!"
Wanita itu melotot dan langsung melancarkan pukulan yang bertubitubi
ke arah Ouw Yang Hong.
Begitu menyaksikan pukulan yang amat sengit itu, terperanjatlah
hati Ouw Yang Hong. Walau dia berkepandaian rendah, namun
cukup berpengetahuan, itu diperolehnya dari kakaknya yang

berkepandaian tinggi, maka tahu wanita yang tampak lemah itu
amat lihay.
Ouw Yang Hong ingin berkelit, tapi terlambat. Pukulan yang
dilancarkan wanita itu telah menghantam jalan darah Khie Hai
Hiatnya. Untung Iwee kang wanita itu masih dangkal, kalau tidak,
Ouw Yang Hong pasti terluka parah atau paling tidak kesakitan.
"Aduuh!" jeritnya dengan wajah meringis-ringis. "Nona, aku tidak
mengenalmu, kenapa kau begitu kejam memukulku?"
"Jangan banyak bicara! Kau mau membunuh-ku silakan, pokoknya
aku tidak akan ikut kau pulang ke Pek Tho San Cung (Perkampungan
Pek Tho San)!" sahut wanita itu.
Ouw Yang Hong tercengang dan berkata dalam hati. Aku memang
ingin pulang ke Pek Tho San Cung, tapi ini adalah urusanku,
bagaimana wanita ini mengetahuinya? Lagi pula kalaupun aku
pulang ke sana, juga tidak akan membawanya. Aku dan dia tidak
saling mengenal, tentunya tidak mungkin aku akan pulang
bersamanya. Tapi sungguh mencurigakan, bagaimana dia tahu aku
akan pulang ke Pek Tho San Cung? Pasti ada SUatu yang tak beres,
aku harus berhati-hati!
Setelah berkata dalam hati, Ouw Yang Hong memandang wanita itu
seraya bertanya.
"Kau berasal dari Pek Tho San Cung?"
Wanita itu menyahut dengan penuh kebencian.
"Aku sungguh ingin membunuh semua orang Pek Tho San Cung,
sekaligus membakar musnah perkampungan itu! Aku adalah
binatang kalau aku adalah orang Pek Tho San Cung itu!"
Ketika mendengar wanita itu mencaci dan me-nyumpahi orangorang
Pek Tho San Cung, Ouw Yang Hong sudah tahu wanita itu
bukan orang Pek Tho San Cung, sebaliknya punya dendam yang
amat dalam terhadap perkampungan tersebut!

Teringat akan Pek Tho San Cung, timbullah rasa rindu dalam hati
Ouw Yang Hong kepada kakaknya. Entah apa sebabnya, mendadak
hatinya pun berdebar-debar tegang, ternyata dia khawatir telah
terjadi sesuatu di perkampungan itu, maka bertanya.
"Kau datang dari San Cung itu?"
Ketika wanita itu baru mau menjawab, justru mendadak teringat
akan sesuatu.
"Siapa kau? Kok tahu Pek Tho San Cung?"
Ouw Yang Hong memberitahukan.
"Aku adalah orang dari perkampungan itu”
Wajah wanita itu langsung berubah, kemudian mendadak bangkit
berdiri sambil mengayunkan tangannya untuk menampar Ouw Yang
Hong.
Plak! Plak! Plak!
Setelah menampar, dia pun menendang. Ouw Yang Hong
tertendang hingga mundur dua langkah dengan wajah meringis. Dia
tidak tahu sama sekali, mengapa wanita itu menampar dan
menendangnya.
Ouw Yang Hong menjerit kesakitan, lalu ber-tanya dengan berteriakteriak.
"Mengapa tiada angin tiada hujan kau me-mukulku?"
Wanita itu balik bertanya.
"Kau . . . kau adalah orang perkampungan Pek Tho San Cung?"
Ouw Yang Hong tersenyum getir.
"Tidak salah!"

Wanita itu berkata dengan penuh kebencian dan dendam.
"Bagus! Bagus! Aku harus membunuhmu! Harus membunuhmu!"
Ouw Yang Hong tertegun, baru bertemu sudah ingin membunuhnya?
Itu sungguh mengherankan!
Sementara wanita itu menengok ke sana ke mari, kemudian
menyambar semacam rumput merambat, lalu dengan rumput
tersebut dia mengikat Ouw Yang Hong.
Setelah Ouw Yang Hong diikat tak bergerak, wajah wanita itu
tampak berseri-seri, namun di-liputi kekejaman.
Dia menatap Ouw Yang Hong, lalu berkata dengan dingin sekali.
"Bagus! Dimulai dari dirimu, aku sudah mem-bunuh seorang Pek Tho
San Cung!"
Ouw Yang Hong tersentak. Kini dia baru tahu wanita itu tidak mainmain,
melainkan ber-sungguh-sungguh ingin membunuhnya.
Aaaah! Keluhnya dalam hati. Aku akan mati di sini sebelum
berjumpa kakakku, ini membuatku penasaran sekali.
Sedangkan wanita itu justru mengeluarkan sebilah pedang pendek.
Pedang itu memancarkan cahaya kehijau-hijauan, pertanda sangat
tajam. Kemudian dengan ujung pedang itu dia menuding muka Ouw
Yang Hong seraya berkata.
"Kalian kaum lelaki Pek Tho San Cung, tiada seorang pun yang baik!
Aku harus membunuhmu!"
Ouw Yang Hong memang bernyali besar. Wa-laupun nyawanya
sudah terancam, namun dia tidak merasa takut sedikit pun,
sebaliknya malah tersenyum.
"Nona, kau sungguh cantik!"

Wanita itu memang sudah ingin turun tangan membunuh Ouw Yang
Hong, tapi justru tidak menyangka Ouw Yang Hong malah herkata
begitu, maka wanita itu menjadi tertegun.
Ouw Yang Hong menatapnya, lalu berkata lagi sambil tersenyum.
"Nona memang baik, begitu juga pedang pendek itu. Tapi . . .
rumput yang mengikat diriku ini tidak baik, maka aku pun menjadi
tidak baik."
Ucapan Ouw Yang Hong itu amat aneh, mem-buat wanita itu
semakin tertegun. Aku sudah mau membunuhnya, tapi mengapa dia
masih bisa ber-gurau? Kata wanita itu dalam hati. Namun ke-mudian
dia membentak.
"Kau omong kosong apa?"
Ouw Yang Hong tertawa lalu menyahut.
"Kau memang berwajah cantik. Walau pakai-anmu dari bahan kasar,
tapi kau tetap kelihatan cantik. Orang dulu hilang, pakaian berkibarkibar,
maka yang indah membinar-binar. Kau adalah wanita cantik,
ingin membunuh orang pasti tidak bisa. Tanganmu memegang
pedang pendek, mulut mengatakan ingin membunuh orang, namun
matamu tidak bersinar kejam, bagaimana kau membunuh orang?"
Wanita itu tertegun sambil menatap Ouw Yang Hong, lama sekali
barulah herkata.
"Bagaimana . . . kau tahu aku tidak akan membunuhmu?"
Ouw Yang Hong cuma tertawa, tidak menyahut sama sekali.
Saat itu, matahari sudah berada di atas kepala. Mendadak wanita itu
menyambar Ouw Yang Hong, lalu dibawa pergi. Kira-kira belasan
langkah, dia menghentikan langkahnya, lalu memandang Ouw Yang
Hong seraya berkata.

"Kau berjalan di depan dan berhati-hatilah! Kalau kau tidak menuruti
perintahku, akan ku-tusuk dengan pedang pendek ini, dan kau pasti
tewas!"
Ouw Yang Hong manggut-manggut, lalu mengayunkan kakinya.
Wanita itu menyuruhnya berjalan ke arah mana, dia terpaksa
menurut.
Akan tetapi, dia berkeluh dalam hati, sebab wanita itu menyuruhnya
menuju ke arah Tiong-goan, pada hal dia ingin pulang ke
perkampungan Pek Tho San Cung.
Ouw Yang Hong tahu tidak beres dan berkata dalam hati. Aku
hersusah payah dari Tionggoan pulang ke kampung halaman, tapi
justru harus kembali ke Tionggoan lagi, bukankah aku akan jadi gila?
Setelah berkata dalam hati, Ouw Yang Hong lalu memohon kepada
wanita itu.
"Nona yang baik, aku mohon kepadamu mem-perbolehkanku pulang
ke Pek Tho San Cung, aku pasti berterimakasih dan ingat selalu akan
budi kebaikanmu!"
Wanita itu tertawa ringan.
"Kalau kau pergi, akan tinggal aku seorang diri di dalam hutan
rimba! Apabila diriku terjadi apa-apa, bukankah kau yang berdosa?"
Ouw Yang Hong tertegun mendengar ucapan
itu.
"Baiklah! Karena Nona berkata begitu, biarlah aku menemani Nona
ke Tionggoan lagi, agar Nona tidak kesepian dalam perjalanan,"
katanya.
Wanita itu mengerutkan kening, tapi setelah itu lalu tertawa, dan
menuding Ouw Yang Hong sambil berkata.
"Bagus! Kau memang pandai bicara! Aku dengar dari orang, bahwa
lelaki panjang usia, wanita yang meloncat tembok! Kau adalah lelaki
semacam itu! Tapi kuberitahukan, sebetulnya tiada gunanya aku
menghendakimu mengikutiku! Kalau muncul penjahat, aku pasti

membiarkan mereka membunuhmu! Apabila aku lapar, kau harus
carikan makanan untukku. Aku haus, kau harus carikan air untuk
kuminum! Seandainya aku terlalu lapar tapi tiada makanan, maka
aku akan mengiris dagingmu dengan pedang pendek ini untuk
kumakan. Dan kalau aku terlalu haus tiada air, aku akan memotong
urat nadimu, lalu kuhirup darahmu!"
Ouw Yang Hong mendengar dengan mata terbelalak, namun tidak
bersuara sama sekali.
Semula Ouw Yang Hong berjalan dengan di-ancam pedang pendek
di punggungnya, maka terpaksa berjalan dengan kepala tertunduk
dan menuruti kemauan wanita itu. Tapi kini wanita itu telah
menurunkan pedang pendek itu dari punggungnya, sehingga
langkah kaki Ouw Yang Hong menjadi bertambah cepat.
Oleh karena itu, wanita tersebut harus mem-percepat langkahnya,
dan itu membuat nafasnya agak memburu.
"Berhenti! Cepatlah kau berhenti!"
Begitu mendengar suara teriakan wanita itu, Ouw Yang Hong
langsung menghentikan langkah-nya.
Wanita itu berlari ke hadapannya, lalu me-nudingkan pedang
pendeknya ke dada Ouw Yang Hong seraya membentak.
"Kau . . . kau ingin kabur?"
Ouw Yang Hong tertawa sambil menunjuk ke-empat penjuru dan
berkata.
"Lihatlah! Tempat ini merupakan gurun, aku bisa kabur ke mana?"
"Kau boleh kabur, tapi dalam puluhan langkah, aku akan
menerbangkan pedang pendekku, dan kepalamu pasti melayang!"
Ouw Yang Hong tahu wanita itu cuma omong besar, tapi tidak mau
mengungkapnya, hanya berkata.

"Lebih baik Nona jangan membunuhku, sebab kalau aku mati, ke
mana Nona mencari orang lain menemani melakukan perjalanan
ini?"
Wanita itu memandang Ouw Yang Hong yang tampak kelelahan,
namun masih bisa tertawa. Diam-diam dia menghela nafas panjang,
kemudian menurunkan pedang pendeknya.
Orang ini lelaki sejati ataukah lelaki yang jahat dan licik? Pikir wanita
itu. Tapi dia bertampang baik, tentunya bukan orang jahat. Kalau dia
lelaki sejati, aku justru akan salah membunuh orang, dan itu
merupakan perbuatan dosa. Kini lelaki ini bersamaku, makan dan
minum bersama, bahkan begitu dekat pula seperti . . . suami istri.
Seandainya aku tidak membunuhnya, bagaimana kelak aku menemui
orang? Karena itu, wanita tersebut mengambil keputusan untuk
membunuh Ouw Yang Hong setelah melalui gurun itu.
Ouw Yang Hong amat cerdas. Ketika menyak-sikan ekspresi wajah
wanita itu, dia sudah tahu bahwa wanita ingin membunuhnya, hanya
saja wanita itu masih berhati baik, maka belum turun tangan.
Ouw Yang Hong menggeleng-gelengkan kepala, kemudian bertanya.
"Nona, bolehkah aku tahu namamu?"
Wanita itu balik bertanya dengan mata melotot.
"Mau apa kau tahu namaku?"
Ouw Yang Hong menyahut.
"Aku tahu kau akan membunuhku. Setelah aku mati arwahku pasti
menuju ke alam baka. Para setan di alam baka akan bertanya
kepadaku, siapa yang membunuhku. Aku pasti menjawab seorang
Nona. Bukankah para setan itu akan mentertawa-kanku, karena mati
dibunuh tapi tidak tahu nama si pembunuh?"
Mendengar itu, wanita tersebut tertawa dingin.

"Kau kira dirimu apa? Kau memang tolol! Apabila kau kubunuh, di
dunia ini akan berkurang seorang tolol!
Ouw Yang Hong diam saja. Wanita itu amat membenci kaum lelaki,
maka dia mau bilang apa lagi?
***
Bab 7
Pada malam harinya, di gurun terasa amat dingin sekali. Samarsamar
tampak bulan bersinar remang-remang, sehingga kelihatan
merana.
Ouw Yang Hong dan wanita itu duduk ber-hadapan. Wanita itu terus
memandang Ouw Yang Hong dengan air muka berubah tak
menentu. Ternyata dia sedang berpikir harus bagaimana tidur. Kalau
dia pulas di hadapan Ouw Yang Hong, tentunya akan merasa malu
sekali. Apabila dia membelakangi Ouw Yang Hong, lalu pulas,
bukankah Ouw Yang Hong akan kabur?
Sementara Ouw Yang Hong terus memper-hatikan perubahan wajah
wanita itu. Dia tahu apa yang sedang dipikirkannya, maka tersenyum
se-raya berkata dengan sungguh-sungguh.
"Nona tidak perlu banyak berpikir. Di gurun ini hanya ada kita
berdua. Lebih baik Nona tidur, agar tidak merasa ngantuk."
Mendengar kata-kata Ouw Yang Hong, men-dadak wanita itu
meloncat bangun, lalu menuding Ouw Yang Hong dengan pedang
pendeknya.
"Kau hati-hati, tidak usah berbaik hati ke-padaku! Kalau aku gusar,
kau pasti mampus!"
Ouw Yang Hong menggeleng-gelengkan kepala.

"Aku amat sopan terhadapmu, tapi sebaliknya kau malah bersikap
begitu kasar! Kita tidak punya dendam apa pun, namun kau justru
berniat mem-bunuhku! Ini boleh dikatakan orang baik digigit anjing
..."
Wanita itu langsung melotot.
"Apa? Kau berani mengatai diriku anjing?"
Ouw Yang Hong tertegun, kemudian tertawa.
"Maaf! Aku tidak bermaksud begitu, itu hanya merupakan pepatah
saja!"
Wanita itu mendengus dingin, lalu memejam-kan matanya. Tak lama
dia sudah pulas, tapi entah benar-benar pulas atau cuma pura-pura?
Sebaliknya Ouw Yang Hong justru tidak bisa pulas sama sekali. Dia
duduk sambil menahan dingin dan rasa lapar. Karena itu, dia tertawa
dalam hati. Mengapa harus pura-pura pulas? Aku tidak bisa pulas,
bagaimana mungkin kau bisa pulas? Dia tidak menghiraukanku,
mengapa aku harus mem-perdulikannya? Daripada memandangnya,
lebih baik memandang bulan yang kesepian di langit.
Ouw Yang Hong mendongakkan kepala memandang bulan yang
bersinar remang-remang itu. saking tertariknya, sehingga tanpa
sadar dia bersenandung.
"Memakai jubah panjang berjalan penuh kedinginan, sekolah
tanggung tiada artinya. Bersenandung menghadap bulan, bunga pun
tidak mau bersuara, hanya menyatukan hati dengan bulan . . .!"
Mendadak terdengar suara tawa dingin, ternyata wanita itu yang
tertawa. Dia menatap Ouw Yang Hong dengan mata melotot, lalu
berkata.
"Kelihatannya kau tidak hanya pandai bicara, bahkan pandai
bersenandung pula! Apakah kau bisa menulis dan membaca? Aku
paling membenci orang semacammu, cerdik tapi licik dan selalu

menipu kaum wanita! Kalau lelaki berkepandaian tinggi, pasti
menggunakan pedang, golok atau senjata lainnya untuk saling
membunuh! Tapi orang semacam itu justru bertampang seperti lelaki
sejati, kelihatan ramah dan sopan, namun justru penjahat!"
Mulut Ouw Yang Hong ternganga lebar. Dia tidak tahu harus
menyahut apa, hanya berkata dalam hati. Kau memang wanita usil.
Aku memandang bulan sambil bersenandung, ada urusan apa
denganmu? Kau tidak tahu akan keindahan alam, cuma tahu
memegang pedang mengancam orang! Percuma aku bicara
denganmu, sebab kau tidak mengerti apa-apa!
Oleh karena itu, Ouw Yang Hong sama sekali tidak mau bicara,
hanya tertawa dingin.
"Mengapa kau tidak bicara?" tanya wanita itu dengan kening
berkerut.
Ouw Yang Hong tetap tidak bicara, melainkan terus tertawa.
Wanita itu mendengus dingin.
"Hm! Jangan kau kira dirimu hebat karena pernah belajar menulis,
membaca dan bisa bersenandung! Di gurun ini kau memandang
bulan sambil bersenandung, bukankah amat menggelikan?"
Ouw Yang Hong tetap diam, sejenak kemudian baru menyahut.
"Kalau Nona pernah sekolah dan tahu kesopanan, pasti akan
melahirkan kelembutan, memiliki budi pekerti yang baik. Namun
sayang sekali, Nona tidak mengerti semua itu dan juga tidak tahu
akan keindahan alam, terutama di gurun ini, di bawah sinar
rembulan."
Wanita itu tertawa dingin, lalu bangkit berdiri dan memberi hormat
kepada Ouw Yang Hong dengan gaya seperti seorang sastrawan.
Setelah itu dia pun bersenandung.
Ouw Yang Hong terbelalak, karena tidak menyangka wanita itu juga
pandai bersenandung, bahkan senandungnya bernada sedih. Hati
wanita ini penuh diliputi rasa dendam dan kebencian, pasti dia
pernah mengalami suatu pukulan hebat dan penghinaan. Dia adalah

wanita baik, tapi berubah membenci segalanya. Bukankah amat
sayang sekali? Pikirnya!
Wanita itu tampak tersenyum, tapi senyumannya penuh dendam dan
kebencian.
"Kau bisa bersenandung, aku pun bisa!" katanya sengit.
Usai berkata begitu, mendadak dia menusukkan pedang pendeknya
ke bawah, lalu diayunkannya ke atas mengarah Ouw Yang Hong.
Ouw Yang Hong tidak tahu wanita tersebut akan melakukan itu,
pasir berhamburan ke mukanya, membuat matanya kemasukan
pasir. Tangannya meraih ke sana ke mari, sambil berteriak-teriak.
"Mataku kemasukan pasir! Mataku kemasukan pasir . . .!"
Ternyata sepasang tangan Ouw Yang Hong masih terikat, sedangkan
matanya terasa pedih sekali.
Wanita itu cuma tertawa dingin, sama sekali tidak memperdulikan
Ouw Yang Hong. Sesaat kemudian dia tertawa cekikikan seraya
berkata.
"Bagus begini, kau masih bisa bersenandung tentang kemasukan
pasir! Sepasang matamu melotot hampir keluar, itu sungguh baik
untuk bersenandung! Ayolah! Cepat bersenandung!"
Ouw Yang Hong berkeluh dalam hati, sebab sepasang matanya
masih terasa pedih sekali, sehingga air matanya meleleh ke luar.
Sungguh sial diriku bertemu wanita cantik ini, sial sekali! Gumamnya
dalam hati.
Sedangkan wanita itu tertawa puas, lalu menatap Ouw Yang Hong
sambil berkata perlahan-lahan.
"Kini aku tidak takut padamu lagi! Kalau tidak, di gurun ini hanya
terdapat kita berdua, aku khawatir . . ."

Wanita itu tidak melanjutkan ucapannya, karena wajahnya sudah
tampak memerah. Ouw Yang Hong tidak melihat itu. Pada hal saat
itu dia amat gusar, tapi ketika mendengar ucapan wanita itu,
kegusarannya menjadi reda.
"Mengapa Nona harus marah? Kalau Nona tidak menghendakiku
melihat, aku pasti tidak melihat," katanya dengan suara rendah.
Ouw Yang Hong berusaha menyeka matanya, tapi tidak bisa, karena
sepasang tangannya masih terikat.
"Nona, tolong lepaskan rumput yang mengikat tanganku, aku ingin
membersihkan mataku!" katanya memohon.
Wanita itu tidak memperdulikannya. Karena wanita itu diam saja,
Ouw Yang Hong tidak memohon lagi. Dia tetap memejamkan
matanya sambil menahan rasa pedih di hatinya.
Tak terasa saat itu sudah tengah malam. Ketika Ouw Yang Hong
hampir pulas, mendadak terdengar suara langkah, kemudian
terdengar pula suara percakapan seorang lelaki.
"Ada perintah dari San Kun, harus membawa wanita itu pulang.
Kalau tidak, dia pasti herbangga diri."
Kemudian terdengar seorang wanita tertawa cekikikan, lalu
menyahut.
"San Kun yang ingin menangkapnya, ataukah kau yang ingin
membawanya kembali ke Pek Tho San Cung?"
Lelaki itu menyahut dengan gugup.
"Sumoi jangan mengatakan begitu, aku sama sekali tidak berniat
demikian! Kau omong sem-barangan, kalau San Kun tahu, aku pasti
dihukum berat."
Wanita itu tertawa ringan, kemudian berkata dengan dingin.

"San Kun itu apa? Berkaki tangan pendek dan berkepala besar, tapi
justru menghendaki begitu banyak wanita cantik! Setiap hari tak
bosan-bosannya dia memandang dan mempermainkan mereka.
Sungguh kasihan mereka!"
Terdengar suara yang agak parau.
"Suheng dan sumoi, kalian sedang membicarakan apa?"
Terdengar suara tawa beberapa orang, seakan mentertawakan
orang yang bersuara parau itu. Kemudian salah seorang dari mereka
menyahut.
"Sudahlah! Jangan bertanya, yang dimaksudkan adalah dirimu."
"Mengapa diriku?" tanya orang yang bersuara parau.
Terdengar suara sahutan.
"Maksud sam suheng (Kakak Seperguruan Ketiga), kau amat
tampan."
Orang yang bersuara parau memang agak tolol. Ketika mendengar
ucapan itu, dia tertawa gembira seraya berkata.
"Apakah sumoi juga bilang aku tampan?"
Semua orang tertawa, kemudian salah seorang menyahut.
"Betul, sumoi pun bilang kau amat tampan." Orang bersuara parau
Bertambah gembira, semua orang mentertawakannya.
Sementara itu, Ouw Yang Hong terus mendengarkan percakapan
mereka dengan penuh perhatian. Tiba-tiba dia merasa badannya
hangat dan hidungnya mencium semacam hawa yang amat harum,
ternyata wanita yang duduk di hadapannya mendekatinya. Ketika
Ouw Yang Hong baru mau membuka mulut, wanita itu sudah
mendahuluinya dengan suara rendah.

"Jangan bersuara!"
Suaranya agak bergemetaran, sepertinya dia ketakutan.
Ouw Yang Hong tidak jadi membuka mulut. Sedangkan wanita itu
bersandar pada badan Ouw Yang Hong. Terasa detak jantungnya
amat cepat, pertanda dia dalam keadaan tegang.
Di saat bersamaan, terdengar lagi suara percakapan orang-orang
tadi.
"Toa suheng, kita berteduh di sini saja, besok baru melanjutkan
perjalanan, sebab kini hari sudah gelap."
Terdengar suara si wanita yang amat lembut.
"Suheng, memang lebih baik kita beristirahat di sini. Tidak gampang
mencari orang di tengah malam, lagi pula kalau kurang berhati-hati,
bisa-bisa kita akan tersesat jalan."
Toa suheng itu berpikir sejenak, kemudian manggut-manggut
seraytt berkata dengan wibawa.
"Baiklah! Kita beristirahat di sini saja."
Ouw Yang Hong membelalakkan matanya memandang ke arah suara
percakapan itu. Samar-samar dia melihat empat orang sedang duduk
tak jauh dari tempatnya, kira-kira hanya belasan depa.
Betapa gugupnya wanita yang bersama Ouw Yang Hong. Badannya
menggigil seperti kedinginan.
Ouw Yang Hong tertawa dalam hati, sebab tadi wanita itu begitu
galak dan bengis, tapi kini amat ketakutan sehingga badannya terus
menggigil. Dasar wanita tak bernyali!
Sementara keempat orang itu mulai bercakap-cakap lagi, kemudian
sang sumoi menghela nafas panjang.
"Aaaaah . . .!"

"Sumoi, mengapa kau menghela nafas panjang?" tanya Toa Suheng.
"Aku pikir . . . lebih baik kita tidak berhasil mengejarnya," sahut sang
sumoi.
Terdengar suara selaan yang bernada terkejut.
"Kau bilang apa? Kalau kita tidak berhasil mengejarnya, begitu
pulang, guru pasti menghukum kita semua!"
Suasana di tempat itu mendadak berubah menjadi hening. Tiada
seorang pun bersuara. Berselang sesaat Toa Suheng itu berkata
dengan suara dalam.
"Giok moi, aku tahu apa yang kau pikirkan. Tapi itu adalah perintah
dari guru, maka kita sebagai murid tidak bisa berbuat apa-apa. Lagi
pula, guru . . . patut dikasihani . . ."
Semua orang diam mendengar ucapan itu. Sedangkan Ouw Yang
Hong sama sekali tidak tahu, bahwa keempat orang itu adalah murid
kesayangan Pek Tho San San Kun-Jen It Thian. Toa Suheng adalah
Tay Mok Sin Eng (Elang Sakti Gurun) Teng Khie Hong, Sam Sumoi
adalah Bie Li Sang Seng Kiam (Wanita Cantik Berpedang Bintang
Ganda). Giok Shia, Jie Suheng adalah Sang Pwe Seh Nuh (Si
Pendiam) dan Sute adalah Hui Jin Wan To (Si Golok Lengkung) M a
Sih. Mereka berempat amat terkenal di daerah See Hek, sedangkan
guru mereka Pek Tho San San Kun-Jen 11 Thian merupakan lelaki
yang tak normal, bahkan juga tidak bisa mendekati kaum wanita.
Hal itu membuat sifatnya berubah amat aneh sekali. Dia sering
meninggalkan Gunung Pek Tho San untuk mencari wanita cantik,
lalu dibawanya pulang untuk menemaninya, sekaligus
dipermainkannya.
Ketika memasuki Tionggoan, dia bertemu Ouw Yang Hong,
kemudian muncul Oey Yok Su bertarung dengannya. Dalam
pertarungan itu dia mengalami kekalahan, maka segera kembali ke
Gunung Pek Tho San.

Akan tetapi, di tengah perjalanan pulang itu dia menculik seorang
gadis bernama Bokyong Cen, murid seorang biarawati. Ketika
melihat gadis itu
Pek Tho San San Kun-Jen It Thian amat kagum akan kecantikannya,
maka langsung menangkapnya. Bokyong Cen melawannya matimatian,
namun bagaimana mungkin gadis itu sanggup melawan Pek
Tho San San Kun-Jen It Thian? Akhirnya gadis itu ditangkap dan
dibawa pulang ke Gunung Pek Tho San.
Betapa gembiranya Pek Tho San Sn Kun. Sejak dia menjadi majikan
Gunung Pek Tho San, belum pernah melihat gadis secantik itu.
Karena itu semakin lama melihat dia semakin menyukainya. Maka
setelah sampai di rumahnya dia langsung menaruh gadis itu di atas
meja, sekaligus menotok beberapa jalan darahnya, sehingga
membuat gadis itu menjadi tak dapat bicara dan bergerak.
Pek Tho San San Kun tertawa gembira, kemudian menyuruh semua
orang keluar. Dia lalu duduk di hadapan Bokyong Cen sambil
menatapnya dengan penuh kekaguman. Setelah itu, dielus-elusnya
lengan gadis itu. Kelihatannya dia seperti sedang menikmati sebuah
benda antik, namun tiada gairah nafsu birahi sama sekali.
Menyaksikan lelaki yang tak normal itu, Bokyong Cen langsung
merasa muak, gusar dan merasa malu. Kemudian dia berkata dalam
hati. Kau adalah lelaki tak normal. Kaki dan tanganmu pendek,
kepalamu besar, bahkan wajahmu amat menakutkan. Kau
sedemikian terkesima memandangku.
Kalau punya kesempatan, aku pasti menusukmu dengan pedang . . .
Sementara Pek Tho San San Kun terus memandangnya. Kemudian
dia meloncat ke atas meja, lalu berjalan mengitari Bokyong Cen
sambil memandangnya dengan mata terbelalak, dan menggelenggelengkan
kepalanya yang besar itu seraya berkata.
"Bukan main cantiknya!"
Pek Tho San San Kun mulai mengusap kaki Bokyong Cen, membuat
gadis itu jengah dan gusar. Tapi tidak bisa berbuat apa-apa, karena

beberapa jalan darahnya tertotok, sehingga dia tak bisa bergerak
dan tak mampu bicara.
Pek Tho San San Kun terus menatapnya sambil tertawa aneh,
setelah itu berkata lagi.
"Tahukah kau, di mana keistimewaan wanita cantik?"
Bokyong Cen diam saja. Dia memandang Pek Tho San San Kun
dengan penuh kebencian.
Pek Tho San San Kun tertawa terkekeh-kekeh.
"Tentunya kau tahu, keistimewaan wanita cantik adalah bertelanjang
bulat. Itu sungguh indah mempesonakan! Apalagi berjalan dengan
lemah gemulai, sudah pasti amat indah sekali!" katanya lalu mulai
mengusap-usap paha Bokyong Cen yang putih mulus.
Betapa benci dan mendongkolnya hati Bokyong Cen. Gadis itu sama
sekali tidak menduga kalau tubuhnya akan diraba-raba lelaki yang
tak normal itu. Bahkan dia amat takut akan diperkosanya.
Akan tetapi, Pek Tho San San Kun-Jen It Thian justru tidak
melakukan hal tersebut. Setelah meraba-raba paha gadis itu
sejenak, dia berkata.
"Baiklah! Aku sudah harus menaruhmu ke bawah."
Pek Tho San San Kun memeluknya. Pada hal Bokong Cen lebih tinggi
dan lebih berat dari lelaki itu, tapi dengan gampang sekali Pek Tho
San San Kun menurunkannya ke bawah.
Setelah menaruh Bokyong Cen ke bawah, Pek Tho San San Kun lalu
membuka sebuah peti besar.
Ketika peti besar itu dibuka, terbelalaklah Bokyong Cen, karena
bagian dalam peti besar itu amat indah, dihiasi dengan kaca dan
berbagai macam mutiara yang memancarkan cahaya.

Pek Tho San San Kun tersenyum, dan memandang Bokyong Cen
seraya bertanya.
"Bagaimana menurutmu mengenai petiku ini?"
Bokyong Cen cuma mengerutkan kening. Pek Tho San San Kun tetap
tersenyum-senyum, kemudian mengangkat gadis itu dan
menaruhnya ke dalam peti.
Dia tidak menutup peti tersebut, melainkan hanya mendorongnya ke
depan ranjang.
"Aku mau tidur. Kau pun harus tidur. Besok aku akan menengokmu
lagi," katanya sambil menutup peti itu. Kemudian dia naik ke tempat
tidur, tapi berselang sesaat dia berkata lagi.
"Tidak begitu nyaman kan di dalam peti?"
Bokyong Cen tidak menyahut, karena Pek Tho San San Kun masih
belum membebaskan jalan darahnya. Peti besar itu memang
sungguh aneh, pada bagian dindingnya terdapat beberapa lubang
kecil untuk masuk hawa udara. Ketika berada di dalamnya, Bokyong
Cen merasa heran sekali, sebab terasa nyaman sekali, sehingga
membuatnya cepat pulas.
Di saat Bokyong Cen tidur pulas, mendadak peti besar itu bergerak
dan itu membuatnya men-dusin. Tampak cahaya menyorot ke dalam
melalui lubang-lubang kecil itu, maka Bokyong Cen tahu bahwa peti
besar itu digeser ke luar.
Gadis itu cepat-cepat mengerahkan hawa murninya. Maksudnya
ingin membuka jalan darahnya yang ditotok oleh Pek Tho San San
Kun, namun tidak berhasil, maka terpaksa pasrah.
Akan tetapi, mendadak peti besar itu berhenti bergerak, dan di saat
bersamaan terdengar suara seseorang.
"Sesungguhnya dia bisa melihatmu, aku pun bisa melihat. Setelah
menyelamatkanmu, aku pasti bisa melihatmu. Tapi . . . kau harus
berpakaian."

Bokyong Cen mendengar jelas suara itu. Maka ia tahu bahwa orang
yang berkata itu adalah lelaki sejati, mencuri peti besar tersebut
demi menyelamatkan dirinya. Betapa girangnya Bokyong Cen,
namun kemudian merasa cemas karena khawatir akan bertemu
penjahat.
Di saat dia sedang berpikir, tiba-tiba peti besar itu terbuka, tapi
langsung tertutup kembali, kemudian terdengar orang itu berkata
lagi.
"Kau tidak berpakaian. Aku akan mengambil pakaian untukmu. Kau
mau pakai atau tidak, itu terserah padamu! Tapi kalau aku adalah
kau, pasti akan pakai, agar tidak masuk angin setelah berada di
luar."
Mendengar itu, Bokyong Cen berkeluh dalam hati, sebab orang yang
bermaksud menolongnya, sama sekali tidak tahu kalau jalan
darahnya sedang dalam keadaan tertotok, sehingga tidak dapat
bergerak.
Di saat Bokyong Cen sedang berkeluh dalam hati, orang itu justru
berkata lagi.
"Kau kira dirimu belum bisa bergerak? Pada hal sesungguhnya kau
sudah bisa merangkak ke luar dari dalam peti itu!"
Bokyong Cen tersentak mendengar ucapan orang itu, dan segera
mencoba bergerak. Sunggguh di luar dugaan, ternyata ia sudah bisa
bergerak. Bukan main girangnya dan ia cepat-cepat berpakaian.
Kemudian ia mendorong ke atas dan begitu tutup peti itu terbuka ia
langsung meloncat keluar. Ia menengok ke sana ke mari, nan1 ui
tiada seorang pun di tempat itu.
Seketika juga dia merinding, mengira dirinya telah bertemu setan
atau arwah penasaran.

Bokyong Cen penasaran sekali, sebab tidak melihat seorang pun
berada di situ, pada hal tadi dia mendengar suara orang. Karena itu
dia segera bertanya.
"Siapa kau?"
Akan tetapi, tiada sahutan.
Itulah kejadian yang dialami Bokyong Cen yang kini bersama Ouw
Yang Hong. Di saat gadis itu sedang memikirkan kejadian tersebut,
mendadak Toa Suheng itu berkata.
"Kita harus menuruti perkataan guru. Guru menyuruh kita mencari
orang, kita menurut saja. Kalau tidak, guru pasti marah, dan kita
pasti dihukum."
Giok Shia menyahut setengah mengeluh.
"Sulit sekali mencarinya, sudah beberapa hari kita berempat mencari
ke sana ke mari. Menurut orang yang melihatnya, Bokyong Cen
berada di sekitar tempat ini . . . kita justru tidak menemukannya.
Kalau terus mencarinya, sulit pula bagi kita kembali ke Gunung Pek
Tho San. Entah bagaimana baik nih?"
Wan To Ma Sih berkata dengan lantang. "Guru menyuruh kita
mencari, maka kita harus mencari! Kalau kita tidak menemukannya,
guru pasti marah besar!"
Yang lain langsung diam. Sedangkan Ouw Yang Hong sudah tahu
jelas, bahwa nona yang berada di sisinya tidak lain adalah Bokyong
Cen yang mereka cari. Nona itu bengis terhadap Ouw Yang Hong,
karena telah dihina oleh Pek Tho San San Kun, kini Ouw Yang Hong
memakluminya.
Wan To Ma Sih berkata lagi.
"Suheng, aku mau pergi buang air kecil seben-tar!"

Orang itu bangkit berdiri, kemudian berjalan, dan arah yang
ditujunya justru tempat persembunyian Ouw Yang Hong dan
Bokyong Cen.
Ouw Yang Hong dan Bokyong Cen tidak berani bergerak sama
sekali. Sedangkan Wan To Ma Sih semakin mendekat, bahkan
kemudian mendadak berseru.
"Toa suheng, ada orang!"
Begitu mendengar seruan Wan To Ma Sih, yang lain langsung
melesat ke sana. Bukan main terkejutnya Ouw Yang Hong, sebab
keempat orang itu sudah tahu akan keberadaan dirinya dan Bokyong
Cen.
Ouw Yang Hong ingin memapah Bokyong Cen bangun, tapi gadis itu
justru malah mengayunkan tangannya menampar Ouw Yang Hong.
Plak!
Ouw Yang Hong terbengang-bengong, tidak mengerti mengapa
Bokyong Cen menamparnya. "Kau ..."
Bokyong Cen berkata dengan bengis. "Kaum lelaki jahat semua! Aku
harus membunuhmu!"
Ouw Yang Hong terbelalak. Sementara keempat orang itu sudah
melihat jelas wajah Bokyong Cen, tentunya mereka amat gembira.
Toa suheng itu mendehem dua kali, kemudian berkata.
"Sungguh cepat nona kabur! Setengah mati kami berempat
mencarimu!"
Bokyong Cen tertawa dingin, lalu menyahut.
"Kalian adalah budak orang pendek itu, mau apa mencariku?"
"Kau gadis liar, kenapa mencaci kami?" kata Wan To Ma Sih.

Bokyong Cen tahu, kalau dirinya sampai jatuh ke tangan mereka,
pasti akan celaka. Oleh karena itu dia menjadi nekat.
"Bukan cuma mencaci, bahkan aku pun harus membunuh kalian!"
sahutnya bengis, lalu mendadak meloncat bangun, sekaligus
menyerang Wan To Ma Sih dengan pedang pendeknya.
Bukan main terkejutnya Wan To Ma Sih. Dia cepat-cepat berkelit,
kemudian berseru dengan penuh kegusaran.
"Toa suheng, aku harus membunuhnya, harus membunuhnya!"
"Guru menyuruh kita mencarinya! Kenapa kau mau membunuhnya?
Kalau kau berani melukainya, guru pasti menghukummu mati!"
sahut Toa Suheng.
"Anjing betina ini terlampau mendesakku, maka kalau aku tidak
membunuhnya, kegusaranku tidak akan reda!" kata Wan To Ma Sih
dengan nada gusar.
Walau Wan To Ma Sih berkata demikian, namun tidak berani
mengeluarkan goloknya. Dia hanya berkelit dan balas menyerang
dengan tangan kosong.
Bokyong Cen tahu bahwa Wan To Ma Sih tidak berani mengeluarkan
goloknya, maka gadis itu menyerangnya bertubi-tubi dengan sengit
sekali. Dia memang berniat membunuh Wan To Ma Sih, dan
beberapa jurus kemudian, bahu wan To Ma Sih telah terluka oleh
sabetan pedang pendeknya, dan darahnya pun mengucur seketika.
"Aduuuh!" jerit Wan To Ma Sih sambil terhuyung-huyung ke
belakang.
Sementara Toa Suheng, Jie Suheng dan Sumoi itu cuma diam saja.
Toa Suheng itu tidak bergerak dari tempat, Jie Suheng menatap
Bokyong Cen dengan dingin sekali, sedangkan Sumoi itu
mengerutkan kening, lalu tertawa dingin seraya berkata.

"Bokyong Cen, kau merupakan benda mustika Pek Tho San San Kun,
maka lebih baik kau ikut kami pulang, guru amat menyukaimu! Dia
tidak akan menyusahkanmu, ikutlah kami pulang ke Gunung Pek Tho
San, agar kau tidak menderita!"
"Guru kalian tuh apa? Tidak lebih dari seekor anjing! Kaulah benda
mustikanya!" sahut Bokyong Cen dengan gusar.
Sahutan Bokyong Cen itu amat menyinggung perasaan Bie Li Sang
Seng Kiam Giok Shia, karena dia paling benci orang mengatai dirinya
benda mustika gurunya. Maka, tidak heran dia berkata dengan
sengit.
"Baik! Kau memang tak tahu diri! Kau ditaruh di dalam peti besar,
cuma merupakan benda mainan guruku . . ."
Betapa gusarnya Bokyong Cen mendengar ucapan itu.
"Bagus! Kau pun harus mampus!" sergahnya lalu mulai menyerang
Wan To Ma Sih dengan jurus-jurus yang mematikan. Maksudnya
setelah membunuh orang itu, dia akan membunuh Bie Li Sang Seng
Kiam Giok Shia.
Sementara Ouw Yang Hong amat gusar dalam hati, sebab dia juga
tinggal di Gunung Pek Tho San, maka secara tidak langsung dirinya
telah dipermalukan lantaran perbuatan Pek Tho San San Kun. Oleh
karena itu dia membentak keras.
"Kalian cepat berhenti! Dengar dulu perkataanku!"
Suara bentakan Ouw Yang Hong itu mengejutkan mereka. Bokyong
Cen dan Wan To Ma Sih langsung berhenti bertarung.
Menyaksikan itu, legalah hati Ouw Yang Hong.
"Aku juga orang Pek Tho San Cung, Coa Thau Cang (Tongkat Kepala
Ular) Ouw Yang Coan adalah kakakku!" katanya sambil menatap
mereka.

Keempat orang itu malang-melintang di daerah See Hek, namun
merasa segan juga terhadap Coa Thau Cang Ouw Yang Coan.
Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong mengerutkan kening, menatap
Ouw Yang Hong seraya berkata dengan dingin.
"Jadi kau adalah Si Sastrawan Bloon Ouw Yang Hong?"
Ouw Yang Hong amat girang, karena orang itu mengetahui
namanya.
"Tidak salah, tidak salah! Aku memang Ouw Yang Hong!" sahutnya
segera.
"Kau kira kami berempat akan takut mendengar nama kakakmu?"
kata Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong.
"Bukan, bukan begitu! Aku cuma ingin berunding dengan kalian
berempat," sahut Ouw Yang Hong.
"Berunding tentang apa?" tanya Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong.
"Begini! Aku mohon kalian berempat sudi melepaskan nona ini,
memberi kesempatan hidup padanya!" jawab Ouw Yang Hong.
Keempat orang itu saling memandang. Mereka pun berkata dalam
hati. Kelihatannya dia memang saudara Ouw Yang Coan. Kalau kami
membunuhnya, iblis itu pasti menuntut balas. Kini harus membawa
Bokyong Cen pulang, tapi juga tidak boleh melakukan kesalahan
terhadap Ouw Yang Hong. Bukankah ini amat menyulitkan?
Mendadak Bie Li Sang Seng Kiam Giok Shia tersenyum-senyum,
kemudian berkata kepada Ouw Yang Hong.
"Saudara Ouw Yang, apakah kau yang menculik wanita ini? Kalau
benar, kami akan melepaskanmu dan memberitahukan kepada guru.
Tentunya guru tidak akan menyalahkanmu. Tapi . . . kau harus
membiarkan kami membawa pulang wanita ini."

"Aku memang bermaksud demikian. Bahkan aku juga tahu kalian
semua mempunyai perasaan dan tahu aturan pula. Apa yang
dilakukan guru kalian, itu amat menyimpang dari prikemanusiaan,
maka mengapa kalian harus menuruti perintahnya?" sahut Ouw
Yang Hong.
Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong langsung membentak.
"Omong kosong! Kau tuh apa berani menghina guru kami? Aku tidak
membunuhmu karena memandang muka kakakmu! Tapi kalau kau
masih menghina guru kami, aku pasti tidak akan berlaku sungkansungkan
terhadapmu!"
Ouw Yang Hong tahu, kakaknya tidak punya hubungan baik dengan
keempat orang itu, lagi pula mereka berempat diperintah oleh Pek
Tho San San Kun, sudah pasti tidak akan melepaskan Bokyong Cen,
maka percuma dia memohon kepada mereka. Oleh karena itu, dia
amat membenci dirinya sendiri, sebab tidak memiliki kungfu tinggi
seperti kakaknya. Justru itu dia menjadi diam.
Bie Li Sang Seng Kiam Giok Shia berkata.
"Toa suheng, menurutku, kita tidak usah merasa segan terhadap
Coa Thau Cang Ouw Yang Coan. Bukankah dia tidak berada di sini?
Kita bunuh saja pemuda itu, lalu kita bawa pulang gadis itu dan kita
kurung di sana! Tiada saksi, tentunya tiada seorang pun akan tahu
kita yang membunuh Ouw Yang Hong."
Mereka bertiga diam, sebab apa yang dikatakan Bie Li Sang Seng
Kiam Giok Shia memang masuk akal.
Berselang sesaat, mereka berempat mulai mengurung Ouw Yang
Hong dan Bokyong Cen. Itu membuat Ouw Yang Hong berkeluh
dalam hati. Kelihatannya aku selalu dipermainkan orang. Kalau
kungfuku setinggi kakakku, aku pasti akan membinasakan mereka!
Aku harus belajar kungfu yang tinggi, harus! Tapi kelihatannya aku
sulit meloloskan diri malam ini, bagaimana mungkin ada kesempatan
untuk belajar kungfu tinggi lagi?

Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong menatap Ouw Yang Hong dengan
tajam, kemudian berkata.
"Ouw Yang Hong, aku memang tidak senang akan wajah kakakmu
yang angkuh itu! Karena itu aku harus menghajarmu!"
"Betul, betul! Suheng, mari kita bunuh dia, agar wanita itu menangis
gerung-gerungan!" sambung Wan To Ma Sih.
Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong manggut-manggut.
"Baik!"
Begitu Tay Mok Sin Seng berkata demikian, Sang Pwee Seh Nuh
segera mengeluarkan senjatanya. Sunggguh aneh senjatanya itu,
menyerupai sepasang cangkir dan diikat dengan benang baja.
Wan To Ma Sih mengeluarkan goloknya, sedangkan Bie Li Sang Seng
Kiam Giok Shia mengeluarkan sepasang pedangnya. Mereka bertiga
menunggu perintah dari Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong.
Betapa gugup dan paniknya Ouw Yang Hong, namun tetap bersikap
gagah. Tiba-tiba Bokyong Cen berteriak.
"Mengapa kau masih tidak mau kabur? Dasar tolol! Orang sudah
ingin membunuhmu, tapi kau masih berdiri di situ!"
Sementara Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong sudah maju
melangkah, lalu mendadak menjulurkan tangannya. Jari tangannya
seperti cakar elang mengarah Ouw Yang Hong, kelihatannya ingin
mencengkeram hancur tulang pemuda itu.
Ouw Yang Hong segera berkelit, namun tidak dapat melepaskan diri
dari serangan Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong.
Bukan main cemasnya hati Bokyong Cen. Dia langsung berseru
memperingatkan Ouw Yang Hong.
"Hati-hati!"

Gadis itu tahu, apabila Ouw Yang Hong tercengkeram, kemungkinan
besar nyawanya akan melayang. Oleh karena itu, dia segera melesat
ke arah Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong, sekaligus menusuknya
dengan pedang pendeknya.
Akan tetapi, di saat bersamaan Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong
menggeserkan badannya, kemudian sebelah tangannya mendorong
Bokyong Cen. Dorongannya yang disertai lwee kang itu, membuat
Bokyong Cen terdorong ke belakang beberapa langkah lalu roboh.
Bie Li Sang Seng Kiam Giok Shia tertawa dingin dan berkata.
"Dasar gadis liar yang tak tahu malu, berani berkumpul dengan
pemuda liar!"
Betapa gusarnya Bokyong Cen, namun tidak dapat berbuat apa-apa.
Akhirnya air matanya meleleh saking gusarnya, sebab ucapan Bie Li
Sang Seng Kiam Giok Shia amat menyakitkan hatinya.
Sedangkan Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong memandang Ouw
Yang Hong sambil tertawa dingin.
"He he! Ouw Yang Hong, ajalmu telah tiba hari ini, jangan
menyalahkan kami berempat.. ."
Belum juga usai berkata, mereka berempat sudah mulai menyerang
Ouw Yang Hong dengan sengit sekali.
Ouw Yang Hong tahu, bahwa dirinya pasti akan mati. Maka dia
segera memejamkan matanya menunggu kematiannya.
Akan tetapi, justru terjadi sesuatu yang sungguh di luar dugaan.
Ternyata keempat orang itu berhenti menyerangnya, namun senjata
mereka masih mengarahnya.
Sebetulnya apa gerangan yang telah terjadi? Ternyata ketika mereka
mau menyerang Ouw Yang Hong, mendadak terdengar suara yang
amat tenang.

"Kalau kalian bergerak lagi, kalian berempat pasti mati!"
***
Bab 8
Di gurun pasir itu amat sepi dan sunyi, apalagi di tengah malam,
maka suara itu terdengar jelas sekali.
Keempat orang itu segera menoleh ke belakang, namun tidak
melihat orang lain di situ, hanya tampak Bokyong Cen yang
tergeletak di sana.
Wan To Ma Sih mengerutkan kening, kemudian membentak dengan
suara lantang.
"Siapa? Cepat keluar!"
Sedangkan Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong cepat-cepat
memandang Ouw Yang Hong, namun wajahnya tidak
memperlihatkan ekspresi apa pun, jelas dia tidak mendengar suara
tersebut.
Oleh karena itu, Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong baru tahu, orang
yang bersuara itu menggunakan ilmu Menyampaikan Suara,
pertanda orang itu berkepandaian amat tinggi. Tapi sungguh
mengherankan, orang tersebut sama sekali tidak kelihatan.
Sementara Ouw Yang Hong diam-diam menarik nafas lega. Dia tahu,
dirinya akan lolos dari kematian, namun tidak tahu mengapa
keempat orang itu berubah pikiran tidak membunuhnya, hanya
mengira Bokyong Cen mengatakan sesuatu pada mereka, sehingga
mereka berempat batal membunuhnya.
Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong tampak gusar, lalu membentak
dengan dingin sekali.

"Ayo! Cepat keluar untuk bicara!"
Akan tetapi, tetap tiada sahutan, dan itu membuat Tay Mok Sin Seng
Teng Khie Hong bertambah gusar.
"Dasar pengecut, tidak berani memperlihatkan diri!" bentaknya
dingin.
Mendadak terdengar sahutan yang bergema-gema.
"Kalau kalian masih tidak mau pergi, pasti akan mati di gurun pasir
ini!"
Wan To Ma Sih menyahut berang.
"Siapa kau? Cepat keluar!"
"Orang tinggi dari mana, harap memberi petunjuk!" sambung Tay
Mok Sin Seng Teng Khie Hong.
Tiada sahutan, itu membuat Bie Li Sang Seng Kiam Giok Shia
berseru lantang.
"Sebetulnya siapa kau? Kalau kau jantan, cepatlah keluar!"
Terdengar suara sahutan yang agak malas-malasan.
"Aku bilang, Teng Khie Hong, cepatlah kau membawa mereka
bertiga meninggalkan tempat ini! Kalau tidak, kalian berempat pasti
akan mati di tempat ini!"
Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong berempat berkepandaian tinggi,
bagaimana mungkin akan mundur hanya karena ancaman itu?
Mereka diam saja, tiada seorang pun yang bersuara.
Sedangkan Ouw Yang Hong dan Bokyong Cen saling memandang,
setelah itu mereka berdua pun menengok ke sana ke mari, namun
tidak melihat seorang pun di tempat tersebut.
Tiba-tiba, Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong membentak.

"Cepat keluar!"
Terdengar suara tawa terkekeh-kekeh dan bersamaan itu tampak
pula sosok bayangan hitam berkelebat ke arah mereka. Bayangan
hitam itu bagaikan segulung asap hitam. Sungguh cepat gerakannya,
sehingga sulit diketahui siapa orang tersebut.
Wajah Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong dan saudara-saudara
seperguruannya langsung berubah karena mereka tahu, orang itu
berkepandaian amat tinggi.
Bayangan hitam itu berhenti di hadapan mereka, kemudian berkata
dengan dingin sekali.
"Kalian ingin membunuh Ouw Yang Hong?"
Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong dan saudara seperguruannya
memandang orang yang baru muncul itu. Mereka tercengang,
karena orang itu memegang sebuah tongkat aneh yang berlubang,
mengenakan pakaian kasar, menatap keempat orang itu dengan
dingin sekali.
Ketika Ouw Yang Hong melihat orang tersebut, giranglah hatinya,
lalu berseru dengan suara terisak-isak.
"Kakak! Kakak . . ."
Ternyata orang itu adalah jago tangguh di kaki Gunung Pek Tho
San, Coa Thau Cang Ouw Yang Coan.
Bokyong Cen memandangnya dengan penuh perhatian. Orang itu
memang mirip Ouw Yang Hong, hanya badannya agak pendek.
Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong menatapnya dengan tajam,
kemudian berkata dengan suara parau.
"Ouw Yang Coan! Kau terus berkeluyuran di perkampungan Pek Tho
San Cung dengan membawa tongkat ular, sikapmu amat angkuh, itu
sungguh menyebalkan!"

Ouw Yang Coan menatap mereka berempat dengan mata berapi-api,
dan wajahnya diliputi hawa membunuh, kemudian menyahut.
"Kalian ingin membunuh saudaraku?"
Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong berkata dengan lantang.
"Ouw Yang Coan! Kau tidak usah banyak bicara! Kalau kau mau
turun tangan silakan!"
Ouw Vang Coan manggut-manggut.
"Baik! Aku menghendaki kalian melihat baikbaik, orang dari keluarga
Ouw Yang tidak boleh dipandang remeh!"
Usai berkata, Ouw Yang Coan melangkah maju ke hadapan Tay Mok
Sin Seng Teng Khie Hong, sekaligus menjulurkan tongkat ularnya
perlahan-lahan, kemudian berkata lagi.
"Pada dasarnya Pek Tho San San Kun bukanlah orang baik-baik,
begitu pula kalian berempat, maka hari ini aku harus memberi
pelajaran pada kalian!"
Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong menyahut gusar.
"Bagus! Kalau begitu kau harus merasakan kelihayan kami
berempat!"
Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong tertawa panjang, kemudian
mereka berempat menyerang ke arah Ouw Yang Coan.
Akan tetapi. Ouw Yang Coan sama sekali tidak gugup. Dia langsung
menggerakkan tongkat ularnya untuk menangkis, bahkan tangan
kirinya juga ikut bergerak, sekaligus balas menyerang.
Namun Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong berempat pun bukan
orang lemah. Mereka segera berkelit dan menyerang lagi. Tay Mok
Sin Seng Teng Khie Hong menyerang dengan jari tangan, itu adalah
ilmu silat Cakar Elang. Sedangkan Wan To Ma Sih menyerang
dengan golok, Bie Li Sang Seng Kiam Giok Shia menyerang dengan

sepasang petiang, dan Sang Pwe Jeh Nuh menyerang dengan
sepasang cangkir.
Walau Ouw Yang Coan diserang dari empat penjuru, namun masih
sanggup berkelit dan balas menyerang. Maka terjadilah pertarungan
yang amat sengit.
Tongkat ular di tangan Ouw Yang Coan berkelebat ke sana ke mari,
sebentar ke arah Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong, sebentar ke
arah Bie Li Sang Seng Kiam Giok Shia, kadang-kadang menangkis
serangan dari Wan To Ma Sih dan Sang Pwe Jeh Nuh.
Ouw Yang Coan memang bersifat angkuh. Semula dia berpikir begitu
turun tangan, pasti dapat merobohkan mereka berempat. Akan
tetapi, tak disangka walau sudah bertarung dua tiga puluh jurus, dia
tetap tidak berhasil merobohkan mereka berempat, itu membuatnya
amat penasaran dan gusar.
Mendadak Ouw Yang Coan bersiul panjang, dan di saat berasaan
tongkat ularnya pun bergerak aneh. Ternyata dia mulai
mengeluarkan jurus-jurus andalannya.
Itu membuat Tay Mok Sin Seng Khie Hong dan saudara
seperguruannya mulai terdesak, dan mereka berempat cepat-cepat
mundur.
Sementara Bokyong Cen menyaksikan pertarungan itu dengan mata
terbelalak lebar. Gadis itu tampak tertegun akan ilmu silat Ouw Yang
Coan yang amat aneh itu. Begitu pula Ouw Yang Hong, mulutnya
ternganga lebar.
Mendadak terdengar suara benturan senjata, menyusul terlihat
pedang Bie Li Sang Seng Kiam Giok Shia terpental ke udara, dan
terdengar pula suara jeritannya, lalu meloncat ke samping.
Bukan main terkejutnya Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong. Justru di
saat bersamaan, tongkat ular itu pun mengarah bagian dadanya,
sehingga membuatnya terpaksa berkelit.

Bersamaan itu, Wan To Ma Sih segera menyerang Ouw Yang Coan.
Tapi mendadak Ouw Yang Coan menundukkan kepalanya, sekaligus
menggerakkan tongkat ularnya ke arah kaki Wan To Ma Sih.
"Aduuuh!" jerit Wan To Ma Sih.
Ternyata kakinya terpukul oleh tongkat ular itu. Dia roboh seketika.
Ujung tongkat ular itu pun menotok bagian dadanya, sehingga
membuatnya menjerit lagi.
"Aduuuh . . .!"
Kemudian Wan To Ma Sih roboh telentang, dan telah terluka dalam
yang cukup parah.
Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong, Bie Li Sang Seng Kiam Giok Shia
dan Sang Pwe Jeh Nuh saling memandang. Mereka tahu, setelah
Wan To Ma Sih terluka, mereka sudah bukan tandingan Ouw Yang.
"Ouw Yang Coan, suteku telah terluka parah. Kalau kau ingin
membunuh orang, bunuhlah aku saja!"
Ouw Yang Coan tidak menyahut, hanya tertawa ringan.
Bie Li Sang Seng Kiam Giok Shia maju selangkah, lalu berkata
dengan dingin.
"Mau bunuh silakan! Yang takut mati bukan orang jantan!"
"Kau adalah wanita, bukan orang jantan!" sahut Ouw Yang Coan.
Bukan main gusarnya Bie Li Sang Seng Kiam Giok Shia, namun tidak
berani berbuat apa-apa. Justru dia berlega hati, karena yakin Ouw
Yang Coan tidak akan turun tangan terhadap mereka.
Sementara Ouw Yang Hong dan Bokyong Cen menyaksikan itu
dengan tegang, sehingga tanpa sadar Ouw Yang Hong memegang
lengan gadis itu.
Berselang sesaat, Ouw Yang Coan berkata.

"Kalian boleh pergi!"
Usai berkata, dia membalikkan badannya, lalu berjalan mendekati
Ouw Yang Hong dengan wajah berseri.
"Adik, apakah enak jalan-jalan ke kotaraja?" tanyanya.
Sejak kecil Ouw Yang Hong kehilangan kedua orang tuanya. Dia
hidup bersama Ouw Yang Coan selama itu. Ketika Ouw Yang Coan
bertanya dengan nada lembut, melelehlah air mata Ouw Yang Hong.
"Cukup enak, Kakak," sahutnya.
Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong melihat Ouw Yang Coan tidak
menghiraukannya, dia segera mengajak Bie Li Sang Seng Kiam Giok
Shia meninggalkan tempat itu.
Ouw Yang Coan amat girang bertemu adiknya, maka dia tidak
menghiraukan kepergian Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong bersama
Bie Li Sang Seng Kiam Giok Shia. Dia menggenggam tangan adiknya
erat-erat sambil menatapnya dengan penuh kasih sayang.
Berselang sesaat, barulah Ouw Yang Coan memandang Bokyong Cen
yang di sisi adiknya. Seketika juga hatinya tersentak, karena gadis
itu amat cantik dan menatapnya dengan mata tak berkedip.
Sementara itu, hari sudah mulai terang. Mereka bertiga duduk
berhadapan dengan wajah cerah ceria. Ouw Yang Coan memandang
Ouw Yang Hong seraya berkata.
"Adik, tentunya kotaraja jauh lebih ramai dari perkampungan Pek
Tho San Cung."
Pada hal banyak yang ingin dibicarakan Ouw Yang Hong, namun dia
justru tidak tahu harus memulainya dari mana.
"Adik, kenapa kau diam saja?" tanya Ouw Yang Coan sambil
tersenyum.

OuwYang liong menghela nafas panjang, setelah itu barulah
menutur tentang dirinya bertemu Oey Yok Su, It Sok Taysu dan
bersama Ang Cit Kong ke istana mencuri makan hidangan-hidangan
kaisar, serta menutur pula tentang perbuatan Pek Tho San San Kun
di desa kecil itu.
Ouw Yang Coan mendengarkan dengan penuh perhatian, begitu
pula Bokyong Cen. Seusai Ouw Yang Hong menutur, Ouw Yang
Coan berkata.
"Pek Tho San San Kun Jen It Thian memang berhati jahat, sering
melakukan kejahatan di Pek Tho San Cung. Dia memasuki
Tionggoan dan bertemu jago tangguh di sana, itu sungguh baik
sekali! Setelah mendapat pelajaran itu, mungkin akan mengurangi
keangkuhannya dan tidak akan memandang rendah orang lain lagi."
Justru sungguh mengherankan, walau Ouw Yang Hong bercakapcakap
cukup lama, namun dia sama sekali tidak menceritakan
tentang urusan Bokyong Cen.
Ouw Yang Coan memandang mereka berdua. Dalam hatinya dia
berpikir, gadis itu pasti kawan baik adiknya, sebab mereka berdua
tampak begitu akrab. Tapi mengapa Ouw Yang Hong tidak mau
menceritakan tentang gadis itu? Ouw Yang Coan tidak habis berpikir,
maka membuatnya termangu-mangu.
Ouw Yang Hong tidak menceritakan, tentunya Ouw Yang Coan juga
merasa tidak enak untuk bertanya.
Berselang sesaat, Ouw Yang Hong berkata.
"Kakak, dulu aku tidak mendengar perkataanmu, hanya mengira
kalau sudah memiliki ilmu surat, maka dapat dipergunakan
sebagaimana mestinya. Tapi setelah melakukan perjalanan ke kotaraja,
barulah aku tahu betapa pentingnya ilmu silat. Oleh karena itu,
aku mengambil keputusan untuk belajar ilmu silat, harap Kakak sudi
mengajariku!"

Ouw Yang Coan tidak menduga, begitu bertemu Ouw Yang Hong,
adiknya itu akan berkata demikian kepadanya, sehingga
membuatnya tidak tahu harus menjawab apa.
Ouw Yang Hong terheran-heran, karena Ouw Yang Coan tidak
menjawab. Pada hal Ouw Yang Coan amat menyayanginya. Apa
yang diinginkannya, Ouw Yang Coan pasti menuruti. Tapi kali ini
Ouw Yang Coan justru diam, bahkan kelihatan tidak begitu gembira
ketika mendengar Ouw Yang Hong ingin belajar ilmu silat. Itu
sungguh membi-ngungkan Ouw Yang Hong.
Sedangkan Ouw Yang Coan sudah tidak banyak bicara lagi dengan
Ouw Yang Hong. Dia memandang Bokyong Cen sambil mengangguk,
seakan memberi hormat lalu berkata.
"Nona datang dari kotaraja, tentunya amat lelah. Sebentar lagi kita
berangkat, tidak sampai setengah hari, kita akan sampai di Pek Tho
San Cung, nona boleh beristirahat di rumah."
Pada hal Ouw Yang Hong ingin memohon kepada kakaknya agar
diajari ilmu silat, namun ketika menyinggung tentang itu, kakaknya
malah diam tidak menanggapinya. Itu sungguh membingungkannya,
sebab selama itu kakaknya tidak pernah bersikap demikian
terhadapnya. Sesungguhnya apa gerangan yang telah terjadi?
Karena Ouw Yang Hong amat menghormati kakaknya, maka dia
tidak banyak bertanya dan tidak berani mengungkit tentang itu lagi.
Tapi ketika Ouw Yang Coan menyinggung tentang Bokyong Cen, dia
tahu kakaknya telah salah paham, maka segera berkata.
"Tampangnya begitu galak, maka aku harus mengikutinya,
bagaimana mungkin dia mengikutiku dari kotaraja?"
Kini tampang Bokyong Cen sudah tidak galak. Ketika Ouw Yang
Hong berkata begitu, justru membuat wajahnya menjadi kemerahmerahan.
"Aku tidak mengikuti Saudara Ouw Yang Hong dari kotaraja,
sebaliknya aku kabur dari Pek Tho San Cung," sahutnya dengan
suara aneh tapi lembut.

Ouw Yang Coan tersentak mendengar itu. Dia langsung
memperhatikan air muka Bokyong Cen, kemudian berkata dalam
hati. Aku pernah mendengar bahwa Pek Tho San San Kun
merupakan orang sesat. Dia menganggap kaum wanita sebagai
benda mustika yang harus disimpan dan dipajang. Gadis ini
sedemikian cantik, bagaimana mungkin dia dapat meloloskan diri
dari tangan Pek Tho San San Kun? Kini Ouw Yang Coan tersadar,
keempat murid Pek Tho San San Kun ingin membunuh adiknya,
tentunya disebabkan gadis tersebut. Oleh karena itu, Ouw Yang
Coan amat kesal dalam hati dan membatin. Adik! Kau seorang diri
pergi ke kotaraja untuk pesiar di sana, mengapa berniat menjadi
kaum rimba persilatan? Apakah kau tidak tahu aku lahir di Pek Tho
San Cung, justru merasa tidak enak bentrok dengan Pek Tho San
San Kun? Kini kau membawa pergi gadis ini, bukankah akan
menimbulkan kerepotan?
Setelah berpikir demikian, Ouw Yang Coan berkata kepada Bokyong
Cen.
"Nona berhasil meloloskan diri dari mulut harimau, itu sungguh tidak
gampang! Kini hari sudah terang, lebih baik Nona pergi seorang diri
menempuh jalan selatan saja!"
Apa yang diucapkan Ouw Yang Coan, sungguh di luar dugaan Ouw
Yang Hong dan Bokyong Cen.
Ketika melihat Ouw Yang Coan bertarung dengan keempat murid
Pek Tho San San Kun, Bokyong Cen amat kagum kepadanya,
sekaligus menghormatinya pula. Namun selelah mendengar ucapan
itu, dia tahu maksud Ouw Yang Coan, dan tahu pula Ouw Yang Coan
merasa enggan bentrok dengan Pek Tho San San Kun. Itu membuat
hatinya berduka. Maka dia tersenyum getir seraya berkata.
"Baik! Anda berkata begitu, Bokyong Cen harus menurut dan
mengucapkan terimakasih atas pertolongan Ouw Yang Tayhiap, aku
mohon diri!"
Gadis itu memberi hormat, lalu tanpa banyak bicara lagi dia
membalikkan badannya dan berjalan pergi.

Pada hal Ouw Yang Hong tidak begitu terkesan baik terhadap
Bokyong Cen, namun ketika mendengar suaranyabernada sedih, hati
Ouw Yang Hong menjadi tersentuh, dan dia langsung berseru.
"Nona, cepat kembali!"
Bokyong Cen membalikkan badannya, menatap Ouw Yang Hong
dengan mata tak berkedip, lalu tertawa dingin seraya berkala.
"Apakah Saudara Ouw Yang masih ingin menemaniku ke kotaraja?"
Ouw Yang Hong tertawa getir. Sesungguhnya ia memanggil Bokyong
Cen dengan maksud baik, tapi tak disangka gadis itu justru
menyahut dengan ketus sekali.
"Kalau Nona mau pergi, harus membereskan suatu urusan!"
Bokyong Cen mengerutkan kening.
"Membereskan urusan apa?"
Ouw Yang Hong menyahut sungguh-sungguh, tapi juga setengah
bergurau.
"Sebelum pergi, kau harus mengeluarkan pasir yang ada di dalam
mataku."
Bokyong Cen tertegun, seketika tidak tahu harus berbuat apa. Dia
tidak menyangka Ouw Yang Hong akan berkata begitu.
Ouw Yang Coan juga terheran-heran. Dia tidak tahu apa sebabnya
mereka berdua berbicara begitu. Mereka berdua kelihatan cukup
akrab, tapi juga seperti tidak begitu kenai. Oleh karena itu dia pun
tidak tahu harus berkata apa.
"Adik, kalau matamu kemasukan pasir, biar aku yang membantumu
membersihkannya. Kau tidak usah merepotkan nona ini!" katanya
kemudian.
Bokyong Cen tahu, bahwa Ouw Yang Hong ingin mencari gara-gara
dengannya. Maka tidak heran ia amat kesal dan gusar, lalu berkata

dalam hati. Kau tuh apa? Aku tidak membunuhmu, itu sudah
merupakan keberuntungan bagimu! Kalau kau masih cari gara-gara
denganku, aku pasti menusukmu dengan pedangku! Tapi Bokyong
Cen melihat Ouw Yang Coan berada di sisi Ouw Yang Hong. Apabila
terjadi bentrokan, dirinya pasti sulit untuk meloloskan diri.
Berpikir sampai di situ, dia lalu tersenyum seraya berkata.
"Baik, aku akan membantumu membersihkan matamu."
Usai berkata begitu, Bokyong Cen mendekatinya, lalu mulai
membersihkan matanya.
Sikapnya amat lembut seakan terhadap seorang kekasih, namun
berbisik dengan sengit.
"Kau jangan merasa puas! Kalau tiada kakakmu di sini, kau pasti
mampus di ujung pedangku!"
Ouw Yang Hong tersenyum, lalu menyahut.
"Kau mengikat diriku dan membuat mataku kemasukan pasir. Kelak
aku pasti membuat perhitungan denganmu!"
"Kau adalah tuan muda kedua, seorang lelaki jantan! Tapi begitu
bertemu kakakmu, langsung menangis terisak-isak, itu sungguh
mirip seorang anak kecil yang masih berbau kencur!" kata Bokyong
Cen ringan.
Ketika berkata, suara Bokyong Cen amat lembut, begitu pula
sikapnya. Itu tidak terlepas dari mata Ouw Yang Coan, sehingga
hatinya tergerak. Jangan-jangan gadis itu tertarik pada adikku?
Kalau benar, tidak seharusnya aku mengusirnya dengan ucapan.
Akan tetapi, Ouw Yang Coan mana tahu, gadis tersebut sedang
berbicara sengit dengan Ouw Yang Hong, hanya saja wajahnya
tampak tersenyum.
Sedangkan Ouw Yang Hong memang bernyali besar, sama sekali
tidak merasa takut pada Bokyong Cen, dia pun berbicara sengit
menimpalinya dengan wajah tersenyum pula.

"Aku baru tahu nama Nona. Sungguh indah dan sedap didengar
nama Bokyong Cen! Aku dengar, keluarga Bokyong di daerah Kang
Lam, merupakan keluarga yang amat terkenal. Anak gadis keluarga
Bokyong cantik-cantik semua, bahkan memiliki kungfu tinggi pula.
Itu sungguh me-ngagumkan!"
Dasar anak gadis! Ketika Bokyong Cen mendengar itu, dia amat
girang dalam hati, dan sudah tentu merasa bangga.
Di saat bersamaan, Ouw Yang Hong berkata lagi.
"Tapi aku masih ragu, maka ingin mohon petunjuk Nona."
"Petunjuk apa? Katakanlah!" sahut Bokyong Cen.
Ouw Yang Hong tertawa, lalu berkata.
"Keluarga Bokyong memiliki dua jurus ilmu silat yang amat lihay dan
dahsyat, yaitu mengikat orang dengan rumput merambat. Itu
disebut jurus Jeratan Benang Asmara. Jurus yang satu lagi yaitu
Dalam Mata Kekasih Muncul Pasir. Itu tidak salah kan?"
Mendengar itu, tak tertahan lagi sehingga Bokyong Cen tertawa
cekikikan saking gelinya.
Ouw Yang Coan yang menyaksikan itu, semakin yakin bahwa
mereka berdua sudah saling jatuh cinta, karena sikap mereka berdua
persis seperti sepasang kekasih.
Sementara Bokyong Cen tertawa sambil memandang Ouw Yang
Hong, kemudian bertanya.
"Bagaimana? Sudah baik matamu?"
Ouw Yang Hong juga memandangnya, sehingga beradu pandang
dengan Bokyong Cen. Mendadak hatinya berdebar-debar tidak
karuan, maka wajahnya menjadi memerah, membuatnya tak mampu
mencetuskan ucapan yang menyindir lagi.

Di saat bersamaan, Ouw Yang Coan menghampiri mereka. Ketika
menyaksikan sikap mereka, dia tersenyum dan bertambah yakin
bahwa mereka berdua saling mencinta.
"Saudara Ouw Yang, apakah aku sudah boleh pergi?" tanya Bokyong
Cen.
Ouw Yang Hong tertegun, lama sekali baru menyahut.
"Baik, baik! Tentunya kau boleh pergi."
Bokyong Cen tersenyum, lalu memberi hormat kepada mereka
berdua, dan kamu diam berjalan pergi.
Akan tetapi, mendadak Ouw Yang Coan berseru.
"Nona, tunggu!"
Bokyong Cen berhenti, tapi tidak membalikkan badannya, lalu
bertanya dengan dingin.
"Ouw Yang Tayhiap masih ingin bicara apa?"
"Tadi aku dengar Nona kabur dari Pek Tho San Cung, aku sungguh
kagum akan keberanian Nona! Nona ingin pergi seorang diri, itu
amat berbahaya. Alangkah baiknya Nona tinggal beberapa hari di
rumahku, kalau ada orang ingin berangkat ke Tionggoan, barulah
Nona berangkat bersama mereka. Bagaimana?"
Betapa terkejutnya Ouw Yang Hong mendengar itu. Dia yakin Ouw
Yang Coan telah salah paham terhadap mereka berdua, maka
berlaku begitu sungkan terhadap Bokyong Cen. Pada hal
sesungguhnya, Ouw Yang Hong dan Bokyong Cen bagaikan musuh
bebuyutan, tentunya tidak mungkin saling mencinta.
Ketika Ouw Yang Hong baru mau membuka mulut, justru Bokyong
Cen telah mendahuluinya.

"Kalau begitu, aku mengucapkan terimakasih kepada Ouw Yang
Tayhiap."
Mengapa Bokyong Cen menurut? Ternyata gadis itu berpikir, apabila
ada Ouw Yang Coan, sudah pasti Pek Tho San San Kun Jen It Thian
tidak bisa menangkapnya. Gadis itu pun tahu, kalau pergi sekarang,
di daerah gurun pasir itu masih merupakan tempat kekuasaan Pek
Tho San San Kun, maka sulit baginya untuk meloloskan diri.
Dia tersenyum, kemudian berkata lagi.
"Aku memang amat kagum pada Ouw Yang Tayhiap, namun kalau
demikian, tentunya akan merepotkan Ouw Yang Tayhiap. Bagaimana
hatiku bisa tenang?"
Pada hal Ouw Yang Coan tidak begitu bersungguh-sungguh
mengundang Bokyong Cen ke rumahnya, tapi ketika mendengar
gadis itu berkata begitu, timbullah kegagahannya dalam hati dan
membatin. Aku merupakan jago tangguh nomor satu di daerah See
Hek. Kalau aku takut urusan, bukankah akan ditertawakan kaum
rimba persilatan di kolong langit? Karena berpikir demikian, maka dia
mengambil suatu keputusan lalu berkata.
"Legakanlah hati Nona! Aku Ouw Yang Coan masih tergolong orang
nomor satu di daerah See Hek. Jen It Thian menghendaki nyawaku,
itu tidak begitu gampang."
Bokyong Cen bergirang dalam hati. Dia memang menghendaki Ouw
Yang Coan berkata demikian. Namun di mulut justru berkata lain.
"Ouw Yang Tayhiap harus berpikir matang. Kau tinggal di Gunung
Pek Tho San, boleh dikatakan terhitung orang Pek Tho San San Kun.
Apabila kau bentrok dengannya, menyesal sudah terlambat."
Apa yang diucapkan Bokyong Cen, justru penuh mengandung
perhatian. Itu membuat hati Ouw Yang Coan terharu, sehingga
timbul niatnya untuk melindungi gadis tersebut.
Akan tetapi, Ouw Yang Coan justru bertanya dengan dingin.

"Apakah Nona Bokyong tidak mempercayaiku?"
Bokyong Cen tersenyum, lalu menyahut.
"Ouw Yang Tayhiap berkata demikian, maka aku terpaksa
merepotkanmu."
Sementara Ouw Yang Hong cuma termangu-mangu. Dia ingin
mengatakan sesuatu, tapi tidak tahu harus mengatakan apa. Dia
bersama Ouw Yang Coan berada di situ, bagaimana mungkin
membiarkan Bokyong Cen pergi seorang diri me-nempuh perjalanan
di gurun pasir? Namun apabila Bokyong Cen sampai di rumahnya,
tentunya akan menimbulkan berbagai macam kesulitan. Kesulitan
apa, Ouw Yang Hong justru tidak dapat mengatakannya.
Sedangkan Ouw Yang Coan pun tidak berunding dengan Ouw Yang
Hong. Dia melakukan sesuatu hanya berdasarkan keputusannya. Dia
yang membesarkan Ouw Yang Hong, maka melakukan apa pun pasti
berdasarkan keputusannya. Kini walau Ouw Yang Hong sudah
dewasa, tetap Ouw Yang Coan yang mengambil keputusan. Ouw
Yang Hong sama sekali tidak mau memberi pendapat, mem-biarkan
kakaknya yang mengambil keputusan, sebab Ouw Yang Hong sendiri
pun tidak mau banyak pusing.
Oleh karena itu, mereka hertiga lalu berangkat ke Pek Tho San
Cung. Ternyata Ouw Yang Coan tinggal di sebelah timur Pek Tho
San Cung. Di situ terdapat dua buah gubuk, tempat tersebut amat
sepi.
Siapa pun tidak akan menduga, di tempat yang amat sepi itu justru
merupakan tempat pemukiman Ouw Yang Coan yang berkepandaian
tinggi dan Ouw Yang Hong yang mahir ilmu surat.
Selain mereka berdua, masih terdapat seorang pembantu tua
dipanggil Lo Ouw dan seorang gadis pelayan kecil dipanggl Ceh Liau
Thou.
Setelah mereka bertiga sampai di gubuk, Ouw Yang Coan segera
memanggil Lo Ouw dan Ceh Liau Thou menemui Bokyong Cen.

Setelah bertemu Bokyong Cen, pembantu tua dan muda itu amat
bergirang dalam hati, sebab Bokyong Cen sangat cantik dan
merupakan gadis yang baik. Tuari muda yang mana memperistrinya,
pasti akan hidup bahagia. Demikian mereka berdua berpikir dalam
hati. Sudah barang tentu kedua-duanya memandang Bokyong Cen
sambil tersenyujm-senyum.
Bokyong Cen tahu apa yang dipikirkan mereka berdua, sehingga
wajahnya kelihatan memerah.
Hari ini ada dua orang mengunjungi Ouw Yang Coan. Kedua orang
itu merupakan jago tangguh di daerah See Hek. Yang seorang
adalah padri dari Tibet bergelar Yam Ceh Sianjin, dan seorang lagi
berasal'dari Hopak, julukannya adalah Cian Ciu Jin Tou-Teng Pian
Hou. Mereka berdua seusia dengan Ouw Yang Coan. Karena
mengagumi nama besar Ouw Yang Coan, maka mereka berdua
mengunjunginya.
Ouw Yang Coan menyambut kedatangan mereka dengan penuh
keramahan dan kehangatan. Setelah mempersilakan mereka berdua
duduk, mulailah mereka bercakap-cakap tentang keadaan rimba
persilatan.
Mereka kelihatan amat cocok satu sama lain, maka tidak heran
mereka bercakap-cakap sambil tertawa gembira.
Berselang sesaat, Yam Ceh Sianjin berkata.
"Ada satu hal, aku ingin bertanya kepada Ouw Yang Tayhiap."
"Taysu ingin bertanya tentang hal apa?" tanya Ouw Yang Coan.
"Di rimba persilatan Tinggoan, telah terjadi suatu urusan, apakah
Ouw Yang Tayhiap mengetahuinya?" sahut Yam Ceh Sianjin sambil
memandangnya.
Ouw Yang Coan menggeleng-geleng kepala.

"Kami kakak beradik tinggal di tempat ini, tentunya tidak tahu akan
kejadian di luar. Entah apa yang telah terjadi di rimba persilatan
Tiong-goan?"
"Dulu terdapat seorang aneh, orang itu bernama Oey Sang. Dia lahir
pada jaman Kaisar Hui Cong. Pada jaman itu, Kaisar Hui Cong
memberi perintah mengumpulkan semua kitab pusaka untuk disalin
menjadi sebuah kitab yang dinamai Ban Siu To Cong (Kitab Pusaka
Panjang Usia). Oey Sang ditugaskan menyalin semua kitab pusaka
tersebut, itu merupakan tugas yang sangat berat. Apabila salah
menyalin, sudah pasti akan dihukum berat. Oleh karena itu, sebelum
mulai menyalin, terlebih dahulu dia membaca semua kitab pusaka
tersebut, sehingga memahami isi-isi semua kitab pusaka itu.
Akhirnya dia mulai melatih diri berdasarkan isi isi semua kitab pusaka
tersebut yang telah dipahaminya, maka dia berhasil menguasai
Ivvee kang dan gwa kang yang amat tinggi. Sudah barang tentu dia
menjadi seorang yang berkepandaian amat tinggi. Setelah itu, dia
pun menulis dua buah kitab. Salah sebuah kitab dinamai Kiu Yang
Cin Keng yang akan dibicarakan sekarang. Ternyata kitab Kiu Yang
Cin Keng telah jatuh ke tangan Ong Tiong Yang, ketua Coan Cin
Kauw. Kami pikir, kalau Ouw Yang Tayhiap bersedia menampilkan
diri, kita akan segera pergi mencari Ong Tiong Yang untuk minta
kitab pusaka itu. Apabila kita memperoleh kitab pusaka tersebut,
bukankah kita akan malang-melintang dalam rimba persilatan tanpa
tanding?"
Ouw Yang Coan termangu-mangu mendengar itu. Setelah berpikir
sejenak, dia justru tahu tidak benar dan segera berkata.
"Aku dengar, Ong Tiong Yang, ketua Coan Cin Kauw itu masih
muda, tapi memiliki ilmu silat yang amat tinggi. Kalau benar dia yang
memperoleh kitab pusaka Kiu Yang Cin Keng, tentunya dia
bertambah hebat dan lihay. Kalian ingin ke sana minta kitab pusaka
itu, bagaimana mungkin dia mau memberikan? Seandainya dia tidak
memberikan, lalu bagaimana kalian?"
"Dia pasti berikan. Kalau tidak, kita turun tangan serentak
menghabiskannya," sahut Cian Ciu Jin Tou Teng Pian Hou.

Ouw Yang Coan memang tergolong orang sesat, namun tidak
sembarangan membunuh orang. Ketika mendengar Cian Ciu Jin Tou
Teng Pian Hou ingin menghabisi Ong Tiong Yang, dia berpikir dalam
hati. Orang ini tampak gagah tapi berhati kejam. Kalau ikut dia pergi
mencari kitab pusaka Kiu Yang CinrKeng, bukankah akan
menimbulkan kerepotan? Dia cuma tahu membunuh, tidak tahu
menggunakan siasat. Seandainya bekerja sama dengannya,
tentunya tidak akan menghasilkan apa-apa.
Berpikir sampai di situ, Ouw Yang Coan ter-senyum-senyum,
kemudian berkata sambil memandang mereka berdua.
"Menurutku, cara kalian tidak akan berhasil."
Yam Ceh Sianjin segera bertanya.
"Apakah ada cara lain? Harap Ouw Yang Tayhiap memberi
petunjuk!"
Ouw Yang Coan menyahut.
"Aku tahu jelas tentang Ong Tiong Yang, ketua Coan Cin Kauw itu.
Dia adalah orang yang amat terkenal di rimba persilatan Tionggoan,
mungkin tiada seorang pun berkepandaian tinggi seperti dia.
Sebelum memperoleh kitab pusaka Kiu Yang Cin Keng,
kepandaiannya sudah amat tinggi. Kita semua bukan tandingannya.
Apalagi kini dia telah memperoleh kitab pusaka Kiu Yang Cin Keng,
sudah pasti kepandaiannya bertambah tinggi. Lalu bagaimana
mungkin dia akan memberikan kitab pusaka itu kepada kalian?
Kalian jauh-jauh pergi ke daerah Tionggoan, tapi begitu sampai di
tempat Ong Tiong Yang, justru kalian yang terbunuh. Bukankah
akan penasaran sekali?"
Yam Ceh Sianjin adalah seorang padri, namun masih bersifat kasar.
Dia langsung menyahut dengan lantang.
"Baik! Kalau dia tidak mau memberikan kitab pusaka itu, kita rebut
saja!"

Ouw Yang Coan menggeleng-gelengkan kepala.
"Bagaimana begitu gampang? Lagi pula kalau kau berhasil
memperoleh kitab itu, sudah jelas itu bukan merupakan kitab
pusaka. Seandainya kitab
Kiu Yang Cin Keng merupakan kitab pusaka, tentunya kau akan
roboh di tangannya."
Yam Ceh Sianjin diam. Padri itu tahu apa yang dikatakan Ouw Yang
Coan memang masuk akal dan beralasan. Ketika dia mendengar di
Tionggoan terdapat kitab pusaka tersebut, timbullah niatnya untuk
menyerakahinya. Kalau tidak memperolehnya, dia tidak akan tenang
dan merasa penasaran sekali. Karena itu, dia dan Cian Ciu Jin Tou
Teng Pian Hou mengunjungi Ouw Yang Coan dengan maksud
mengajaknya ke Tionggoan.
Akan tetapi, setelah Ouw Yang Coan berkata begitu, akhirnya dia
pun berkata.
"Karena Ouw Yang Tayhiap tidak bersedia ke Tionggoan bersama
kami, maka kami mohon diri saja!"
"Mengapa harus terburu-buru? Alangkah baiknya kalian tinggal di
sini beberapa hari, barulah berangkat ke Tionggoan," kata Ouw Yang
Coan.
Yam Ceh Sianjin menggeleng kepala.
"Kami tidak mau merepotkan Ouw Yang Tayhiap, lebih baik kami
mohon diri!"
Yam Ceh Sianjin dan Cian Ciu Jin Tou Teng Pian Hou memberi
hormat kepada Ouw Yang Coan, lalu meninggalkan tempat itu.
Bab 9
Sejak Yam Ceh Sianjin dan Cian Ciu Jin Tou Teng Pian Hou pergi, di
rumah Ouw Yang Coan tidak pernah ada urusan besar. Sedangkan
Ouw Yang Hong sudah tidak berniat menjadi sastrawan nomor satu

di daerah See Hek. Dia hanya memikirkan satu hal, yakni ingin
menjadi seorang yang berkepandaian tinggi. Walau tangannya
memegang buku, namun tidak membacanya, melainkan cuma
termangu-mangu.
Ouw Yang Hong pun merasa heran dalam hati. Ketika bersama
Bokyong Cen bertemu Ouw Yang Coan di gurun pasir, dia pernah
memberitahukan kepada kakaknya bahwa ingin belajar ilmu silat,
tapi kakaknya justru tidak mengabulkannya, juga tidak menjelaskan
apa sebabnya. Dapat dibayangkan, betapa kesalnya hati Ouw Yang
Hong.
Sedangkan Bokyong Cen jarang bercakap-cakap dengan mereka
kakak beradik, hanya membantu Ceh Liau Thou dan Lo Ouw
memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah, tentunya amat
menggirangkan pembantu muda dan tua itu. Dalam hati mereka
sudah menganggap Bokyong Cen sebagai nyonya majikan, maka
mereka amat menghormatinya.
Bokyong Cen tidak berniat cepat-cepat pergi. Gadis itu merasa
tenang tinggal di situ, sehingga tak terasa sudah lewat beberapa
hari.
Hari ini, Ouw Yang Coan pergi belum pulang. Di rumah hanya
terdapat Ouw Yang Hong, Bokyong Cen, Lo Ouw dan Ceh Liau Thou.
Ouw Yang Hong tidak mengerjakan apa pun, hanya memegang buku
sambil berjalan ke sana ke mari.
Mendadak muncul Bokyong Cen. Gadis itu menghampirinya sambil
tersenyum-senyum dan berkata.
"Saudara Ouw Yang, sedang membaca buku ya?"
Ouw Yang Hong menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum
getir, kemudian menyahut.
"Hanya memegang buku, tapi tidak membaca-nya. Oh ya, Nona
tinggal di sini, apakah tidak merasa kesepian?"
Bokyong Cen tertawa kecil.

"Tentunya lebih nyaman daripada di gurun pasir. Di sini tidak akan
kedinginan dan kelaparan, bahkan juga . . . badan tidak terikat dan
mata tidak kemasukan pasir. Ya kan?"
Mendengar itu, Ouw Yang Hong langsung membungkam.
Sedangkan Bokyong Cen tertawa geli dalam hati dan membatin.
Ouw Yang Coan merupakan jago tangguh nomor satu di daerah See
Hek, sebaliknya Ouw Yang Hong hanya merupakan seorang kutu
buku. Tapi dia cukup luar biasa, sebab dia adalah sastrawan yang
amat terkenal di daerah See Hek. Akan tetapi, Bokyong Cen juga
merasa heran, karena dalam beberapa hari ini, Ouw Yang Hong
jarang bersuara, hanya tampak melamun seakan memikirkan
sesuatu.
Bokyong Cen memandangnya sambil tersenyum, lalu berkata.
"Entah Ouw Yang Tayhiap pergi mengerjakan apa? Mengapa
sedemikian lama masih belum pu-lang?"
"Kakakku sering pergi seorang diri. Dia ke mana tidak pernah
memberitahukan padaku. Mungkin dia pergi mengunjungi temannya.
Mengenai urusannya, aku sama sekali tidak pernah bertanya," sahut
Ouw Yang Hong.
"Aku lihat kakakmu mengerjakan sesuatu yang amat misterius. Ilmu
silatnya berasal dari aliran mana?" tanya Bokyong Cen dengan
heran.
Ouw Yang Hong menggelengkan kepala pertanda tidak tahu.
Bokyong Cen menatapnya sejenak, kemudian melangkah pergi.
Sebetulnya Ouw Yang Coan ke mana? Ternyata dia menuju suatu
tempat yang penuh curam, terus mengerahkan ilmu ginkang. Tak
seberapa lama, dia sudah sampai di sebuah lembah, lalu mendadak
berseru.
"Guru, murid sudah datang!"

Usai berseru, dia mendekati sebuah goa, lalu menyalakan sebuah
obor. Setelah itu, barulah dia berjalan memasuki goa dengan
membawa obor itu.
Sungguh di luar dugaan, ternyata amat indah di dalam goa itu, tapi
amat dingin, karena dinding goa merupakan batu es, begitu pula
lantainya.
Setelah memasuki goa es itu, Ouw Yang Coan segera memberi
hormat seraya berkata.
"Guru, teecu Ouw Yang Coan memberi hormat!"
Di dalam goa es terdapat sebuah batu es yang amat besar dan
indah, bergemerlapan dan diukir dengan indah sekali. Di atas batu
es itu duduk seseorang, yang ternyata seorang wanita. Sungguh
menyeramkan wajah wanita itu, sebab amat kurus sehingga tulang
yang menonjol tampak jelas di wajahnya. Wanita itu mengenakan
pakaian putih, rambutnya panjang terurai sampai ke bawah, duduk
diam tak bergerak di atas batu es itu, bahkan juga tidak bersuara.
"Guru, teecu Ouw Yang Coan memberi salam sejahtera kepada
Guru!" seru Ouw Yang Coan lagi.
Sepasang mata wanita itu bergerak, ternyata biji matanya putih
semua. Berselang sesaat, barulah dia bersuara.
"Kau sudah datang?"
"Guru, teecu ke mari menengokmu!" sahut Ouw Yang Coan.
Wanita itu manggut-manggut, kemudian berkata perlahan-lahan.
"Bagaimana keadaan dunia setan ini? Cerita-kanlah!"
Ouw Yang Coan memberi hormat, setelah itu baru menyahut.
"Pek Tho San San Kun tetap bersifat jahat, belum berubah sama
sekali. Setiap hari memper-mainkan wanita bagaikan benda antik."

Wanita itu tertawa dingin, lalu berkata.
"Apakah masih ada urusan lain yang akan kau sampaikan
kepadaku?"
"Guru, beberapa hari lalu, teecu bertemu adikku di gurun pasir.
Kebetulan melihat seorang gadis yang akan dibunuh murid-murid
Pek Tho San San Kun, teecu yang menyelamatkan gadis itu. Kini dia
tinggal di rumah teecu, maka teecu memberitahukan kepada Guru,
mohon Guru tidak gusar!"
Mendadak wanita itu membentak.
"Ouw Yang Coan, apakah kau sudah gila? Kau tuh orang apa,
tentunya kau tahu jelas! Kau berbuat begitu, bukankah konyol
sekali?"
Ouw Yang Coan tidak berani bersuara, hanya menundukkan kepala.
Wanita itu menghela nafas, sambil menggeleng-gelengkan kepala
seraya berkata.
"Anak Coan, apakah kau sudah melupakan masa lalu?"
"Budi kebaikan Guru. anak Coan tidak berani melupakannya . . ."
sahut Ouw Yang Coan dengan suara gemetar.
Wanita itu menundukkan kepala, lama sekali haru berkata dengan
suara rendah.
"Anak Coan, apakah kau menyukainya? Siapa dia, bagaimana ilmu
silatnya dan apakah dia can-tik?"
Suara wanita itu bernada sedih. Ketika men-dengar nada suara itu,
Ouw Yang Coan segera menjatuhkan diri berlutut dengan wajah
tampak agak gugup.

"Teecu sama sekali tidak punya hubungan apa-apa dengannya,
hanya melihat adik teecu amat akrab dengannya, barulah teecu
membawanya ke Pek Tho San Cung. Dia berasal dari Kang Lam
keluarga Bokyong, berguru kepada seorang biarawati. Dia diculik
oleh Pek Tho San San Kun, tapi teecu tidak tahu cara bagaimana dia
meloloskan diri dan bertemu adik teecu. Teecu lihat mereka berdua
amat cocok, mungkin dia akan menjadi orang keluarga Ouw Yang."
Wanita itu diam, berselang sesaat barulah ber-kata perlahan-lahan.
"Anak Coan, naiklah ke mari!"
Ouw Yang Coan menurut, dan langsung melon-cat ke atas batu es
dan duduk di hadapan wanita itu. Ouw Yang Coan menatapnya.
Dalam matanya memancarkan sinar yang mengandung cinta kasih.
Wanita itu menjulurkan tangannya. Ouw Yang Coan segera
memegang tangan itu, lalu ditaruh pada keningnya.
"Guru, seumur hidupku takkan menyukai wanita lain . . ." katanya
dengan ringan.
"Anak Coan, kau tidak akan menyesal ber-samaku yang tidak
menyerupai manusia? Bagai-mana kau akan gembira?" sahut wanita
itu dengan suara gemetar.
"Guru, tanpa kau, aku sudah lama mati. Bagai-mana mungkin aku
menjadi seorang jago tangguh di daerah See Hek?" kata Ouw Yang
Coan.
Dia seperti anak kecil, bersandar pada badan wanita itu. Saat ini,
wanita tersebut sudah tidak banyak bicara lagi, hanya membelaibelai
rambut Ouw Yang Coan.
Walau goa itu amat dingin, namun hati mereka berdua terasa hangat
sekali.
Sementara itu, Ouw Yang Hong dan Bokyong Cen pun sedang asyik
mengobrol dengan penuh kegembiraan. Gadis itu menceritakan
tentang pe-mandangan di Kang Lam yang amat indah, juga

mengenai kaum gadis Kang Lam yang cantik jelita. Seusai Bokyong
Cen bercerita, Ouw Yang Hong berkata dengan gembira.
'Baik, kalau nanti Nona Bokyong pulang ke Kang Lam, aku pasti ikut
pesiar ke sana. Naik perahu menikmati keindahan panorama di
sungai dan lain sebadainya, itu pasti menyenangkan sekali!"
Bokyong Cen tertawa. Wajahnya tampak agak kemerah-merahan.
Kemudian dia bertepuk tangan dan berkata.
"Siapa menghendakimu ikut aku ke Kang Lam? Lebih baik aku
pulang seorang diri. Memangnya aku tidak bisa jalan?"
Di saat bersamaan, mendadak terdengar suara tawa terkekeh-kekeh.
"He he he! Alangkah baiknya aku yang me-nemanimu ke Kang Lam!
Bagaimana?"
Bukan main terkejutnya Ouw Yang Hong dan Bokyong Cen. Mereka
berdua segera menoleh. Entah sejak kapan di atas meja duduk
seorang kerdil, tidak lain adalah Pek Tho San San Kun Jen It Thian.
Pintu dan jendela tidak terbuka, bagaimana Pek Tho San San Kun
masuk ke dalam?
"Kau sungguh tak tahu aturan, tanpa permisi memasuki rumah
orang! Sebaiknya kau keluar saja!" bentak Ouw Yang Hong.
Pek Tho San San Kun tertawa.
"Tengah malam duduk bersama seorang gadis, mengobrol dengan
cara yang sopan, itu sungguh merupakan seorang lelaki sejati! Ouw
Yang Hong, kau juga tergolong orang yang terkenal di daerah See
Hek, tapi mengapa pikiranmu berubah sesat, mau menemani anak
gadis pesiar ke Kang Lam? Itu bukan watakmu!"
Ouw Yang Hong dan Bokyong Cen amat gusar dan kesal, sehingga
tidak tahu harus menyahut apa.
Sedangkan Pek Tho San San Kun berkata lagi sambil tertawa.

"Terus terang, sejak melihatmu, Nona Bokyong, aku tidak bisa tidur
nyenyak. Kau tidur di dalam peti mutiara yang amat indah, itu amat
nyaman dan enak, mengapa kau justru malah kabur? Kau adalah
gadis yang cantik jelita, berkeliaran di gurun pasir, kedinginan,
kelaparan, terhembus angin dan terjemur terik matahari, itu
sungguh tak pantas bagi dirimu yang cantik jelita!"
"Sebetulnya kau mau apa?" tanya Bokyong Cen dingin.
Pek Tho San San Kun Jen It Thian tertawa gelak, kemudian
badannya berputar-putar di atas meja. Berselang sesaat, barulah dia
berhenti seraya berkata.
"Ouw Yang Hong, aku juga temasuk sastrawan! Tiada seorang pun
yang tidak menyukai gadis cantik. Kau suka mendekati kaum gadis
cantik, maka ikut aku saja! Di tempatku banyak terdapat gadis
cantik, kau suka yang mana, boleh pilih? Kalau kau suka beberapa
gadis cantik di tempatku, juga tidak apa-apa, asal kau kembalikan
Nona Bokyong pa-daku!"
"Nona Bokyong mau mengerjakan apa, bagaimana mungkin aku bisa
memperdulikannya? Namun setahuku, Nona Bokyong tidak sudi
kembali ke tempatmu, juga tidak sudi tidur di peti mutira itu!" sahut
Ouw Yang Hong.
Pek Tho San San Kun tertawa, lalu berkata dengan gembira.
"Nona Bokyong, sudikah kau ikut aku?"
Bokyong Cen amat gugup dan panik. Dia ingin mencaci Pek Tho San
San Kun, tapi tidak berani mencetuskannya.
"Aku tidak sudi!" sahutnya kemudian.
Mendadak Pek Tho San San Kun menatapnya dengan tajam. Bahkan
sepasang matanya menyo-rotkan sinar aneh. Ternyata laki-laki kerdil
itu telah mengerahkan semacam ilmu sesat, dan itu membuat
Bokyong Cen langsung terpengaruh.

"Aku akan mengikuti kehendakmu," katanya.
Ouw Yang Hong berkepandaian rendah, tentunya tidak tahu bahwa
Pek Tho San San Kun telah mengerahkan ilmu sesat mempengaruhi
Bokyong Cen. Dia justru merasa heran, mengapa Bokyong Cen sudi
mengikuti Pek Tho San San Kun. Bukankah gadis itu kabur dari Pek
Tho San Cung? Kenapa sekarang malah berubah pikiran, sudi
mengikuti laki-laki itu?
Sedangkan Pek Tho San San Kun meloncat turun ke sisi Bokyong
Cen, lalu badannya berputar.
Bokyong Cen juga ikut berputar sambil meman-dangnya dengan
wajah berseri-seri.
"Aku ikut kau! Aku ikut kau . . ." gumamnya.
Usai bergumam, dengan mata tak berkedip gadis itu berjalan ke
luar. Betapa gugupnya Ouw Yang Hong menyaksikannya, tapi tidak
tahu harus berbuat apa. Dia maju selangkah sekaligus menarik
lengan baju Bokyong Cen.
"Nona Bokyong, kau tidak boleh pergi! Kau tidak boleh pergi!"
katanya.
"Lepaskan tanganmu! Aku mau ke mana, itu urusanku! Kau itu apa,
berani melarangku!" sahut gadis itu tanpa memandang Ouw Yang
Hong.
Semula Ouw Yang Hong tidak tahu bahwa Bokyong Cen terpengaruh
ilmu sesat Pek Tho San San Kun. Tapi ketika melihat gadis itu
berjalan melayang-layang, dan tampak seperti kehilangan sukma,
barulah dia tersentak sadar, tahu bahwa gadis itu telah terpengaruh
oleh ilmu sesat.
"Bokyong Cen! Bokyong Cen! Bukankah kau ingin pulang ke Kang
Lam? Mau apa kau ikut dia? Dia akan menyekapmu di dalam peti,
dan itu akan menyiksa dirimu!" katanya lantang.

Bokyong Cen menatapnya dengan tatapan ko-song, kemudian
menyahut.
"Ouw Yang Hong, aku tidak suka kau, aku suka kakakmu!
Kepandaiannya amat tinggi, aku suka dia . .
OuwYang Hong tertegun, tidak menyangka Bokyong Cen akan
mengatakan begitu. Seketika dia membungkam, namun berkata
dalam hati. Tak disangka dia menyukai kakakku. Kalau begitu, mati
hidupnya pasti akan bersama kakakku pula. Tapi apakah kakakku
tertarik padanya? Aku sungguh bodoh, selama ini kakak tidak pernah
berhubungan dengan kaum gadis, kali ini justru lain. Kakak
mengajaknya ke rumah, sama sekali tidak takut akan bentrok
dengan Pek Tho San San Kun, pertanda kakak memang tertarik
padanya.
Setelah berkata dalam hati, dia berkata dengan suara yang keras.
"Nona Bokyong, berhenti! Kau berhenti! Aku beritahukan, kakakku
akan segera pulang! Tunggu dia pulang, barulah kau pergi!"
Bokyong Cen tersenyum, memandang Ouw Yang Hong seraya
berkata.
"Sandra Ouw Yang, aku harus pergi! Apakah kau tidak melihat rimba
yang indah dan kuil yang amat tenang itu? Dan tidakkah mendengar
suara kakak dan adik seperguruanku?" Dia tersenyum lagi, tapi agak
aneh, kemudian melanjutkan, "Aku harus pergi! Aku harus pergi!
Aku harus kembali ke kuil yang tenang itu!"
Sementara Pek Tho San San Kun sudah berjalan pergi. Bokyong Cen
segera mengikutinya dengan langkah melayang-layang.
Ouw Yang Hong terpaksa mengikutinya sambil berseru-seru dengan
gugup. Dia tahu, apabila Bok-yong Cen kembali ke Pek Tho San
Cung, pasti sulit baginya untuk meloloskan diri lagi. Maka, dia terus
berseru agar gadis itu sadar.
Akan tetapi, Bokyong Cen sama sekali tidak menghiraukannya, terus
melangkah mengikuti Pek Tho San San Kun.

Keluar dari rumah, mereka justru bertemu Lo Ouw dan Ceh Liau
Thou. Begitu menyaksikan itu, Lo Ouw dan Ceh Liau Thou langsung
mengerti.
"Orang kerdil, kau amat busuk! Mengapa kau membawa pergi Nona
Bokyong? Cepatlah lepaskan!" bentak Lo Ouw.
Ceh Liau Thou juga ikut berseru.
"Nona Bokyong, kau jangan ikut dia! Jangan ikut dia!"
Di saat bersamaan, mendadak muncul dua orang, yaitu Sang Seng
Kiam Giok Shia dan Sang Pwe J eh Nuh, yang masing-masing
memegang senjata, dan langsung membentak.
"Pelayan cilik! Kalau kau ribut lagi, kami pasti akan
menghabiskanmu!"
Sang Seng Kiam Giok Shia menuding Ouw Yang Hong dengan
pedangnya.
"Kalau kau berani bergerak, nyawamu pasti melayang!" katanya
mengancam.
Ouw Yang Hong tidak berani bergerak lagi, sebab dia tahu apabila
bergerak, pasti akan mati di ujung pedang Sang Seng Kiam Giok
Shia.
Sementara itu di dalam goa es, Ouw Yang Coan sedang bermesramesraan
dengan wanita berambut putih. Wanita itu memeluk Ouw
Yang Coan sambil membelai-belai kepalanya, sepertinya memeluk
se-orang anak kecil.
"Anak Coan, kau tidak dingin?" katanya dengan suara rendah.
"Aku tidak dingin. Aku bersamamu, tentunya tidak akan dingin,"
sahut Ouw Yang Coan dengan lembut.

Wanita itu memeluknya erat-erat, sambil berkata dengan suara
ringan.
"Anak Coan, sejak hari itu aku menyelamat-kanmu, aku merasa tidak
bisa meninggalkanmu."
Ouw Yang Coan dan wanita itu sama-sama mengenang kejadian hari
itu, ternyata sudah dua belas tahun berlalu. Pada waktu itu, Ouw
Yang Coan masih anak-anak. Dia ke tempat itu, kemudian
merangkak ke atas sambil berteriak-teriak.
"Sungguh indah tempat ini, aku suka tempat ini!"
Dia berteriak-teriak dengan girang, namun mendadak kakinya
terpeleset, sehingga menggelin-ding ke bawah, dan akhirnya jatuh
ke dalam sebuah goa yang amat gelap.
Ketika jatuh ke dalam goa itu, dia masih sempat berteriak panik dan
suaranya kedengaran bergemetar saking ketakutan.
"Habislah aku! Aku pasti mati, kalau aku mati, bagaimana adikku?"
Begitu teringat akan adiknya, dia langsung me-nangis gerunggerungan.
Berselang sesaat, dia ba-rulah berhenti menangis dan
merasa tubuhnya di-ngin sekali. Dia tersentak lalu meraba ke bawah.
Bukan main dinginnya seakan meraba batu es, bahkan amat licin
pula. Dia putus asa, karena tidak bisa merangkak ke atas lagi.
Ouw Yang Coan duduk diam, kemudian mulai memikirkan adiknya
dan mulai menangis lagi seraya bergumam.
"Adik baru berusia sepuluh tahun. Kalau aku tidak bisa keluar dari
goa ini, dia pasti akan mati kelaparan. Ini bagaimana baiknya?"
Ouw Yang Coan menangis lagi dengan sedih, akhirnya tertidur di
dalam goa itu.
Entah berapa lama kemudian, mendadak dia mendengar suara
seruan seseorang yang amat lem-but.

"Nak, sadarlah!"
Perlahan-lahan Ouw Yang Coan membuka ma-tanya. Samar-samar
tampak seorang wanita di ha-dapannya. Rambut wanita itu amat
panjang, dia menundukkan kepala sambil memandangnya.
Ouw Yang Coan adalah anak yang cerdas. Dia tidak kenal wanita itu,
tapi tahu wanita itu yang menyelamatkan dirinya. Namun dia purapura
belum sadar.
Wanita itu menghela nafas panjang, lalu ber-gumam perlahan.
"Kasihan, anak baik ini akan mati di sini. Sungguh sayang sekali!"
Ouw Yang Coan diam saja. Dia ingin tahu apa yang akan diperbuat
wanita itu.
Wanita itu terus memandangnya, kemudian memeluknya erat-erat,
sepertinya khawatir Ouw Yang Coan kedinginan. Ouw Yang Coan
justru tidak tahu kalau wanita itu memiliki kungfu yang amat tinggi.
Dia sudah tahu Ouw Yang Coan pura-pura belum sadar, sehingga
membuatnya tertawa dalam hati, bahkan timbul pula rasa sukanya
terhadap Ouw Yang Coan.
Berselang sesaat, wanita itu berkata.
"Kalau kau mati, aku terpaksa melemparkan-niu ke dalam jurang
yang dalamnya ribuan kaki!"
Walau wanita itu berkata demikian, Ouw Yang Coan tidak merasa
takut, karena wanita itu masih memeluknya erat-erat
menghangatkan badannya.
Ouw Yang Coan membuka matanya sedikit untuk mengintip.
Ternyata wanita itu duduk di atas sebuah batu es yang amat besar,
bergemerlapan bagaikan sebuah kaca yang tembus pandang. Ouw
Yang Coan juga melihat wajah wanita itu amat cantik, namun
rambutnya putih panjang terurai ke bawah, dan bdannya amat
kurus, sehingga tampak seperti makluk aneh.

Mendadak wanita itu bersikap seakan ingin melemparkan Ouw Yang
Coan. Betapa terkejutnya Ouw Yang Coan, maka dia langsung
berteriak-teriak.
"Jangan lempar! Jangan lempar! Aku belum mati ..."
Wanita itu menyahut dengan gembira.
"Memang aku tahu kau belum mati. Siapa kau? Bagaimana kau
datang di goaku ini?"
"Memangnya aku sudi kemari? Aku mencari kayu di gunung, karena
kurang hati-hati, maka aku terjatuh ke dalam goa ini."
Wanita itu manggut-manggut, lalu memandang Ouw Yang Coan
dengan penuh perhatian.
"Oh ya! Bolehkah aku tahu namamu?" tanyanya.
"Namaku Ouw Yang Coan, adikku bernama Ouw Yang Hong."
"Siapa ayah dan ibumu?"
Pertanyaan tersebut membuat Ouw Yang Coan tampak tidak begitu
senang.
"Ayah dan ibuku sudah lama meninggal," sa-hutnya dengan suara
ringan.
Hati wanita itu tersentak. Kini dia baru tahu bahwa Ouw Yang Coan
adalah anak yatim piatu.
Seketika juga dia merasa iba padanya, dan kemudian berkata dalam
hati. Aku juga bernasib malang. Tak kuduga anak ini pun bernasib
malang pula. Sudah lama dia tidak punya orang tua, hidup
menderita di gunung ini, terjatuh ke dalam goaku. Kalau tidak
kutemukan, bukankah dia akan mati?

Wanita itu menghela nafas panjang, kemudian berkata.
"Kau terjatuh ke dalam goa es ini, pertanda kau berjodoh denganku.
Aku telah menyelamatkan nyawamu, bagaimana kalau kau
mengangkatku sebagai gurumu?"
Ouw Yang Coan amat cerdas, maka segera bertanya.
"Kalau aku berguru padamu, maka aku tidak akan hidup menderita
lagi?"
Wanita itu manggut-manggut.
"Tentu! Setelah berhasil mempelajari semua ilmu silatku, kau boleh
berkecimpung dalam dunia kang ouw dan membunuh para penjahat.
Kau bersedia?"
Mendengar ucapan itu, Ouw Yang Coan lalu berpikir. Kelihatannya
baik juga wanita ini menjadi guruku. Aku tidak akan hidup menderita
lagi. Setelah aku menguasai ilmu silatnya, aku akan berkecimpung
dalam dunia kang ouw sebagai seorang pendekar, membunuh para
penjahat.
Setelah berpikir demikian, Ouw Yang Coan berkata sungguhsungguh.
"Guru mengajarku ilmu silat, kelak aku pasti mewakili Guru
membasmi para penjahat."
Wanita itu terharu mendengar ucapan Ouw Yang Coan, lalu
membatin. Kau anak baik, tapi tidak tahu tingginya langit. Kau kira
musuh-musuhku gampang dihadapi? Kalau gampang dihadapi,
tentunya aku tidak akan hidup menyepi di dalam goa es ini. Kau
memang berbakat belajar ilmu silat, namun biar bagaimana pun kau
bukan lawan orang itu.
Diam-diam wanita itu menghela nafas panjang, kemudian menaruh
Ouw Yang Coan di atas batu es itu.
Akan tetapi, Ouw Yang Coan justru berteriak.

" Aduuuh!" Ternyata dia merasa amat dingin ketika menyentuh batu
es itu. "Guru, mengapa batu es ini amat dingin?"
Wanita itu tertawa, lalu memberitahukan.
"Ini batu es ribuan tahun, tentunya amat di-ngin."
"Guru duduk di atas batu es ini, apakah tidak merasa dingin?" tanya
Ouw Yang Coan.
Terharu lagi wanita itu, sebab pertanyaan Ouw Yang Coan penuh
mengandung perhatian. Ternyata wanita itu amat terkenal di daerah
See Hek, julukannya adalah Pek Bin Lo Sat. Dia bertarung dengan
musuh besarnya, mengalami luka parah maka bersembunyi di dalam
goa es itu.
Berselang sesaat, wanita itu menyahut.
"Ouw Yang Coan, kau amat berbakat. Bersediakah kau belajar ilmu
silat kepadaku?"
Ouw Yang Coan langsung mengangguk.
"Bersedia. Aku bersedia."
"Baik. Sekarang kau harus duduk di atas batu es ini, aku akan mulai
mengajarmu ilmu silat!"
Ouw Yang Coan menatapnya sambil menggeleng kepala.
"Tidak bisa. Aku tidak bisa mulai belajar ilmu silat hari ini, karena
aku harus pulang dulu mengantar makanan pada adikku. Setelah itu,
harulah aku ke mari."
Pek Bin Lo Sat membentak gusar.
"Aku tidak perduli adikmu, kau harus berada di sini! Kalau bukan aku
yang menyelamatkanmu, kau pasti sudah mati!"
Ouw Yang Coan mengerutkan kening sambil berpikir, apa yang
dikatakan wanita ini memang tidak salah. Aku harus mulai belajar
ilmu silat padanya, lalu pergi memberi makanan pada adikku.

Setelah berpikir begitu, dia lalu berkata.
"Baik, aku menurut perkataan Guru."
Sejak itulah Ouw Yang Coan belajar ilmu silat pada Pek Bin Lo Sat
tersebut. Ouw Yang Coan memang cerdas, apa yang diajarkan Pek
Bin Lo Sat, cepat sekali dikuasai.
Itu amat menggembirakan Pek Bin Lo Sat. Maka wanita itu berkata
dengan wajah berseri-seri.
"Bagus! Bagus! Kau memiliki bakat yang se-demikian bagus, tidak
usah khawatir tidak dapat mempelajari ilmu silat tingkat tinggi. Kalau
kau belajar empat lima tahun, pasti akan menguasai semua ilmu
silatku."
Ouw Yang Coan terbelalak, kemudian berkata dengan kening
berkerut.
"Aku harus belajar empat lima tahun? Kalau begitu, aku tidak mau
belajar!"
Pek Bin Lo Sat tampak gusar sekali, dan lang-sung membentak.
"Mengapa kau tidak mau belajar?"
"Aku harus memberi makanan pada adikku. Kalau tidak, dia pasti
akan mati kelaparan."
Pek Bin Lo Sat tertawa.
"Bukankah kau muridku?"
Ouw Yang Coan mengangguk.
Pek Bin Lo Sat tertawa dingin, lalu berkata.

"Nah, itu! Kau adalah muridku, maka harus mendengar perkataanku!
Adikmu itu amat me-repotkanmu, kau tidak usah memperdulikannya,
biar dia mati saja!"
Mendengar ucapan wanita itu, Ouw Yang Coan berpikir, kelihatannya
guruku ini bukan orang baik. Dia menyuruhku jangan
memperdulikan adikku, bukankah adikku akan mati kelaparan? Biar
bagaimana pun aku harus pulang memberikannya makanan. Kalau
tidak, dia pasti menangis me-manggilku.
Ouw Yang Coan terus berpikir, akhirnya meng-ambil keputusan, lalu
berkata.
"Guru, aku mau pergi buang air kecil."
Pek Bin Lo Sat manggut-manggut.
"Kau boleh keluar sebentar melalui tempat yang kau masuk itu."
"Guru, teecu ada perkataan yang harus disam-paikan pada Guru ..."
kata Ouw Yang Coan.
"Kau mau berkata apa, katakanlah!" sahut Pek Bin Lo Sat dingin.
"Teecu pikir, kalau buang air kecil di dalam goa ini, rasanya kurang
leluasa. Tentunya akan me-ngotori goa Guru ini, aku tidak bisa . . ."
kata Ouw Yang Coan.
Pek Bin Lo Sat menatapnya, kemudian manggut-manggut, tapi tidak
tahu Ouw Yang Coan yang masih kecil itu, banyak akalnya.
"Baik, kau boleh keluar."
Ouw Yang Coan mengerutkan kening, lalu ber-kata.
"Bagaimana mungkin aku keluar? Harap Guru sudi membawaku
keluar!"
Pek Bin Lo Sat menggelengkan kepala.

"Aku tidak mau meninggalkan goa ini. Keluarlah kau sendiri!"
Ouw Yang Coan menghela nafas, dan tidak banyak bicara lagi.
"Mengapa kau menghela nafas?" tanya Pek Bin Lo Sat.
"Begitu melihat Guru, aku mengira Guru adalah seorang pendekar
wanita dalam dunia kang ouw yang amat ternama, maka aku pun
bisa menjadi seorang pendekar muda pula. Tidak tahunya aku justru
telah salah pikir . . ."
"Bagaimana kau salah pikir?" tanya Pek Bin Lo Sat dengan suara
hambar.
Ouw Yang Coan menggeleng-gelengkan kepala dan menghela nafas
panjang.
"Aaaah! Sudahlah! Tak usah dikatakan!"
Pek Bin Lo Sat mengerutkan kening, lalu me-natapnya seraya
berkata.
"Apa yang kau pikirkan, guru bertanya, kau harus menjawab! Kalau
tidak, aku pasti mem-bunuhmu!"
"Aku pikir kepandaian Guru pasti tinggi sekali, bisa keluar masuk goa
es ini. Kalau Guru tidak berkepandaian tinggii, bagaimana mungkin
tinggal di dalam goa es yanj» amat dingin ini? Aku ber-sungguhsungguh
ingitn belajar kungfu pada Guru, setelah belajar kungfu
baru bisa keluar dari goa ini. Tapi begitu melihat Giuru, aku tahu
pikiranku itu salah. Guru tidak bisa meninggalkan goa ini, apalagi
aku."
"Bagaimana kau tahu aku tidak bisa keluar dari goa ini?" tanya Pek
Bin Lo Sat dengan nada gusar.
Ouw Yang Coan tertawa, lalu menyahut.
"Guru pasti tidak bisa meninggalkan goa ini. Kalau Guru bisa keluar,
bagaimana mau duduk menderita di atas batu es yang amat dingin

ini setiap hari? Kelihatannya Guru yang berkepandaian tinggi pun
tidak bisa keluar, maka aku tidak mau belajar kungfu pada Guru,
sebab percuma. Kalaupun memiliki kungfu, juga tidak bisa
meninggalkan goa ini, untuk apa aku belajar kungfu?"
Pek Bin Lo Sat melotot, lalu bertanya dengan nada gusar.
"Bagaimana kau tahu, setelah belajar kungfu padaku, kau tetap
tidak bisa meninggalkan goa ini?"
Seusai bertanya, mendadak Pek Bin Lo Sat menyambar Ouw Yang
Coan, lalu melemparkannya ke bawah.
Betapa terkejutnya Ouw Yang Coan. Dia yakin dirinya pasti akan
terbanting hingga menderita luka. Akan tetapi, justru sungguh di
luar dugaannya, ternyata badannya melayang ringan ke bawah, dan
ketika sepasang kakinya menginjak tanah, dia tetap berdiri tegak.
"Kau lihat kungfuku, apakah sama sekali tiada gunanya?" kata Pek
Bin Lo Sat.
Ouw Yang Coan tahu saat ini tidak boleh ber-suara. Apabila
mengatakan kungfu gurunya tak berguna, kemungkinan besar
gurunya akan mem-bunuhnya. Oleh karena itu, dia langsung
memutar otaknya, kemudian bertepuk tangan seraya bersorak.
"Wah! Kungfu yang dimiliki Guru sungguh hebat!"
Begitu melihat Ouw Yang Coan bertepuk tangan sambil bersorak,
giranglah hati Pek Bin Lo Sat.
"Baik, aku akan membawamu ke luar goa untuk melihat-lihat!"
katanya.
Wanita itu menyambar Ouw Yang Coan, ke-mudian membawanya
pergi. Dalam sekejap dia sudah sampai di mulut goa.
Semula Ouw Yang Coan mengira Pek Bin Lo Sat akan menggunakan
tali untuk memanjat ke atas, tapi tidak. Dikempitnya Ouw Yang Coan

di bawah ketiaknya, lalu dibawanya berloncat- loncatan ke atas, dan
tak seberapa lama sampailah dia di atas.
Menyaksikan itu, Ouw Yang Coan berpikir. Kelihatannya lebih dahulu
aku harus belajar kungfu ini. Kalau tidak, tentunya aku tidak bisa
me-ninggalkan goa itu.
Seusai berpikir, Ouw Yang Coan memandang ke bawah. Tampak
titik-titik terang di bawah sana.
Itu adalah obor yang menerangi Pek Tho San Cung. Ternyata saat
itu hari sudah malam. Seketika itu juga Ouw Yang Coan teringat
pada Ouw Yang Hong, adiknya. Hatinya gelisah. Dia yakin adiknya
itu pasti menangis memanggilnya. Maka dia segera berkata kepada
Pek Bin Lo Sat.
"Guru, aku harus pulang . . ."
Ouw Yang Coan langsung melarikan diri. Namun sungguh
mengherankan, dia hanya berlari-lari di tempat, badannya seperti
tertarik oleh sesuatu.
Terdengar suara Pek Bin Lo Sat bernada dingin.
"Kau ingin kabur? Tidak begitu gampang!"
"Guru, aku bukan mau kabur, melainkan ingin pulang menengok
adikku," sahut Ouw Yang Coan.
"Kalau kau tidak mendengar perkataanku, aku akan membunuh
adikmu itu!" kata Pek Bin Lo Sat.
Hati Ouw Yang Coan tersentak, kemudian dia berteriak.
"Guru, aku mendengar perkataanmu! Jangan bunuh adikku, jangan
bunuh adikku!"
Pek Bin Lo Sat manggut-manggut.

"Baik! Asal kau mendengar perkataanku, aku tidak akan membunuh
adikmu! Tapi kalau kau tidak mendengar perkataanku, aku pasti
membunuhnya!"
"Apa kehendak Guru?" tanya Ouw Yang Coan. Pek Bin Lo Sat
berpikir sejenak, setelah itu memberitahukan.
"Setiap malam, setelah adikmu tidur, kau harus datang di guaku
belajar kungfu! Kalau kau tidak datang satu malam pun, aku pasti
membunuh adik-mu!"
Ouw Yang Coan manggut-manggut.
"Aku pasti datang! Aku pasti datang . .
Itu yang dialami Ouw Yang Coan belasan tahun yang lalu.
Sementara Pek Bin Lo Sat masih me-meluknya erat-erat, sambil
berkata dengan suara ringan.
"Anak Coan, kau bersamaku sudah belasan tahun, bukan?"
Ouw Yang Coan mengangguk.
"Ya! Sudah sebelas tahun lewat dua puluh tiga hari . . ."
"Anak Coan, sekarang kau boleh meninggal-kanku. Kini aku tidak
akan membunuh adikmu, kau tidak usah takut! Lagi pula . . . kau
telah menguasai semua ilmu silatku," kata Pek Bin Lo Sat dengan
nada lembut.
"Guru, aku tidak akan meninggalkanmu. Tapi . . . baru-baru ini aku
justru takut akan meninggalkanmu untuk sementara waktu . . ."
Pek Bin Lo Sat tampak tersentak, lalu menatap Ouw Yang Coan
dengan mata terbelalak.
"Anak Coan, kau bilang apa? Kau bilang apa?"

"Aku dengar dari Ya m Ceh Cianjin dan Cian Ciu Jin Tou, bahwa di
rimba persilatan Tionggoan telah muncul sebuah kitab pusaka Kiu Ini
Cin Keng, maka aku ingin pergi ke Tionggoan untuk mengambil kitab
pusaka itu. Kemungkinan kitab pusaka itu bermanfaat bagi Guru.
Siapa tahu kitab itu memuat pula cara-cara menyembuhkan penyakit
Guru."
Pek Bin Lo Sat mengerutkan kening, lalu berkata.
"Kiu Im Cin Keng? Kenapa aku tidak pernah mendengar itu?"
"Aku pun baru mendengar itu, maka aku harus berangkat ke
Tionggoan. Setelah berhasil memperoleh kitab pusaka itu, aku pasti
segera pulang."
Pek Bin Lo Sat menatapnya lembut, sambil berkata dengan setengah
bergumam.
"Anak Coan, penyakitku sulit disembuhkan. Kau pergi atau tidak, itu
tidak jadi masalah. Lebih baik kau tetap berada di sini menemaniku,
bagaimana?"
"Guru, penyakitmu pasti dapat disembuhkan. Apabila penyakitmu
sembuh, aku akan bersamamu pergi mencari musuh besarmu itu
demi menuntut balas."
Mata Pek Bin Lo Sat tampak berbinar-binar.
"Apakah . . . aku masih bisa menuntut balas?" tanyanya dengan
suara rendah.
"Bisa! Pasti bisa!" sahut Ouw Yang Coan cepat.
Mereka berdua saling memeluk lagi. Pek Bin Lo Sat membelainya
sambil berkata.
"Anak Coan, aku takut . . . rupaku yang me-nakutkan ini, begitu
keluar dari goa ini, pasti akan ditertawakan orang .. ."

"Guru jangan takut! Siapa berani mentertawa-kanmu, aku pasti
membunuhnya," sahut Ouw Yang Coan menghiburnya.
Bab 10
Ouw Yang Hong tahu bahwa dirinya tak mampu menyelamatkan
Bokyong Cen. Dia harus menunggu Ouw Yang Coan pulang, baru
bisa menyelamatkan gadis itu. Tapi dia amat mencemaskan Bokyong
Cen, maka biar bagaimana pun harus mengikuti Pek Tho San San
Kun. Akan tetapi, Sang Seng Kiam Giok Shia dan Sang Pwe Jeh Nuh
menghadang di hadapannya dengan ancaman senjata. Mereka
menatapnya dengan penuh kebencian.
"Kalau kau herani ikut, pasti mampus!" hentak Sang Seng Kiam Giok
Shia.
"Baik, baik! Aku tidak akan ikut kalian!" sahut Ouw Yang Hong
sambil tertawa.
"Ouw Yang Coan datang, bagus!" kata Sang Pwe Jeh Nuh.
Orang tersebut memang selalu berkata singkat. Maksudnya apabila
Ouw Yang Coan pulang, lalu pergi ke Pek Tho San Cung membuat
perhitungan, mereka tidak takut, malah bagus sekali. Karena itu, dia
berkata 'Ouw Yang Coan datang, bagus!'
Ouw Yang Hong menahan kegusarannya. Di-tatapnya Pek Tho San
San Kun yang membawa pergi Bokyong Cen, tapi dia tak dapat
berbuat apa-apa.
Setelah melihat Pek Tho San San Kun Jen It Thian meninggalkan
rumah itu, barulah Sang Seng Kiam Giok Shia dan Sang Pwe Jeh
Nuh pergi sambil tertawa gelak.
Ouw Yang Hong memandang kepergian mereka dengan mata
berapi-api, kemudian menggeram.

"Karena kakak tidak ada, aku pun tidak bisa berbuat apa-apa
terhadap mereka! Kelihatannya kalau aku tidak belajar kungfu, pasti
selalu dihina orang!"
Dia memandang Lo Ouw dan Ceh Liau Thou, kemudian berkata.
"Lebih baik kalian berdua pergi mencari kakakku. Beritahukan bahwa
Nona Bokyong diculik Pek Tho San San Kun, dan aku akan ke sana
mencarinya!"
Lo Ouw dan Ceh Liau Thou tahu Ouw Yang Hong bersifat keras,
percuma melarangnya. Maka mereka berdua segera pergi mencari
Ouw Yang Coan.
Sementara Ouw Yang Hong terus berpikir, akhirnya dia pergi ke Pek
Tho San Cung. Berselang beberapa saat, dia sudah sampai di depan
pintu Pek Tho San Cung.
Akan tetapi, Ouw Yang Hong tidak langsung masuk, melainkan
menengok ke sana ke mari lalu berpikir. Apa hebatnya Pek Tho San
Cung, istana kaisar pun aku berani masuk, apalagi Pek Tho San
Cung ini! Setelah hari gelap, aku akan masuk ke dalam untuk
melihat-lihat! Kata orang, Pek Tho San San Kun Jen It Thian adalah
seorang bloon. Setiap hari dia bermain dengan gadis cantik seperti
bermain dengan benda antik, barulah bisa tidur! Malam ini aku akan
melihat, bagaimana cara orang kerdil itu bermain dengan wanita!
Setelah berpikir demikian, Ouw Yang Hong lalu duduk di bawah
sebuah pohon menunggu hari gelap, kemudian berpikir lagi. Kalau
kakaknya ada hari ini, entah urusan akan jadi bagaimana? Kakaknya
pasti bergebrak dengan mereka. Kakaknya adalah jago nomor satu
di daerah See Hek, tentunya para murid Pek Tho San San Kun bukan
lawannya. Tapi apabila kakaknya bertarung dengan si Kerdil Pek Tho
San San Kun, apakah kakaknya dapat mengalahkannya dengan
gampang? Ouw Yang Hong terus berpikir, entah bagaimana keadaan
Bokyong Cen yang berada di dalam Pek Tho San Cung. Dia adalah
gadis yang cerdas, namun cepat emosi. Seandainya dia tersadar,
pasti akan mencaci maki Pek Tho San San Kun.

Ouw Yang Hong sebentar memikirkan kakaknya, sebentar
memikirkan Bokyong Cen, sehingga tak terasa hari pun sudah mulai
gelap. Entah Lo Ouw dan Ceh Liau Thou sudah berhasil mencari
kakaknya atau belum. Ouw Yang Hong bangkit berdiri, lalu berjalan
perlahan-lahan memasuki Pek Tho San Cung menuju rumah si Kerdil
Pek Tho San San Kun.
Tak lama kemudian sampailah dia di tempat yang dituju. Dilihatnya
beberapa penjaga sedang bermain kartu di depan rumah itu. Kalau
Ouw Yang Hong berkepandaian tinggi, tentunya gampang sekali
melesat ke dalam. Namun kepandaiannya masih amat rendah, maka
dia tidak berani berbuat, takut diketahui oleh para penjaga itu. Ouw
Yang Hong mengerutkan kening, bagaimana cara masuk ke dalam?
Dia terpaksa mendekati tembok pagar, lalu memanjat tembok itu
masuk ke dalam.
Setelah berada di halaman, dia segera bersem-bunyi di tempat yang
gelap, dan mengintip orang-orang Pek Tho San Cung yang berjalan
ke sana ke mari.
Berselang sesaat, Ouw Yang Hong berjalan berendap-endap menuju
sebuah rumah yang paling besar. Sampai di rumah itu, dia
mendekati sebuah jendela, mengintip ke dalam melalui sela-sela
jendela itu.
Sungguh kebetulan si Kerdil Pek Tho San San Kun berada di dalam,
sedang duduk di atas sebuah kursi besar, maka bisa berloncatloncatan
di situ.
Mendadak sepasang matanya menyorot tajam menatap ke depan.
Ternyata dia menatap empat orang yang berdiri di hadapannya.
Keempat orang itu adalah murid-muridnya, yaitu Tay Mok Sin Seng
Teng Khie Hong berdiri dengan kepala tertunduk, begitu pula Sang
Pwe Jeh Nuh dan Wan To Ma Sih, sedangkan Sang Seng Kiam Giok
Shia berdiri sambil tersenyum-senyum.
"Kalian tolol semua! Ya, kun?" kata Pek Tho San San Kun Jen It
Thian.

Keempat orang itu sama sekali tidak berani bersuara. Setelah
beberapa lama kemudian, barulah Sang Seng Kiam Giok Shia
membuka mulut.
"Guru, kami tak dapat melawan Tok Coa Cang Ouw Yang Coan. Dia
adalah jago nomor satu di See Hek, kungfu kami tak dapat
dibandingkan dengan-nya."
Pek Tho San San Kun tertawa. Dia jelas tentang itu.
"Coba kalian bilang, kalau dia jago nomor satu di See Hek, lalu aku
ini apa?" katanya.
Keempat orang itu tidak tahu harus berkata apa.
Pek Tho San San Kun tertawa terkekeh-kekeh, kemudian berkata
lagi.
"Kuberitahukan pada kalian, akulah jago nomor satu di See Hek.
Kalau kalian tidak percaya, akan kubuktikan."
Mendadak badan Pek Tho San San Kun mencelat ke atas, setelah itu
melayang turun lagi kembali ke kursi tanpa mengeluarkan suara,
bahkan posisinya juga tidak berubah.
Sang Seng Kiam Giok Shia berseru dengan kagum.
"Sungguh hebat kungfu Guru!"
Menyusul Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong, Sang Pwe Jeh Nuh dan
Wan To Ma Sih juga ikut berseru dengan kagum.
Pek Tho San San Kun tertawa dingin, lalu berkata.
"Dengan kepandaianku ini, apakah aku dapat menundukkan Ouw
Yang Coan?"
Sang Seng Kiam Giok Shia menyahut.
"Kepandaian Guru amat tinggi, sudah pasti Ouw Yang Coan tak
mampu menandingi. Tapi kami berempat bukan tandingannya,
kelihatannya Guru harus turun tangan sendiri, barulah dapat
membunuhnya."

Pek Tho San San Kun manggut-mangggut, lalu menatap Tay Mok Sin
Seng Teng Khie Hong seraya berkata.
"Khie Hong, katakanlah! Bagaimana kepandaian Ouw Yang Hong
dan berasal dari aliran mana?"
Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong menyahut.
"Menurut teecu, kepandaian Ouw Yang Coan berasal dari aliran
sesat. Di daerah See Hek kita ini, belum pernah ada orang memiliki
kepandaian ter-sebut. Aku pernah mengutus orang pergi menyelidiki
tentang itu, tapi Kun Lun dan Soat San Pai tidak memiliki kepandaian
itu. Juga aku pernah bertanya kepada Tionggoan Tayhiap Liau Bun
Sen, dia memberitahukan bahwa dulu ada seseorang memiliki
kepandaian tersebut, namun orang itu sudah lama mati, maka
kepandaian tersebut pun ikut lenyap."
Wajah Pek Tho San San Kun tampak serius, kemudian dia bertanya.
"Apakah Liau tayhiap menjelaskan siapa orang itu?"
Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong menyahut.
"Liau tayhiap menjelaskan bahwa orang itu adalah seorang wanita.
Teecu yakin Guru kenal wanita itu, julukannya adalah Pek Bin Lo
Sat."
Air muka Pek Tho San San Kun berubah tak menentu.
"Tidak salah, tidak salah! Aku memang kenal wanita itu, tapi wanita
itu telah mati belasan tahun yang lalu."
"Teecu tidak tahu tentang itu. Tapi Liau tayhiap berpesan, biar
bagaimana pun Guru harus berhati-hati," kata Tay Mok Sin Seng
Teng Khie Hong.
Pek Tho San San Kun bergumam dengan wajah aneh.

"Aku harus berhati-hati? Aku harus berhati-hati?"
Usai bergumam, laki-laki kerdil itu tertawa terkekeh-kekeh,
kelihatannya dia tertawa tidak wajar.
Keempat muridnya sama sekali tidak berani ikut tertawa, mereka
hanya memandangnya seakan menunggu perintah.
"Baiklah! Hari sudah malam, kalian berempat boleh pergi
beristirahat! Kata Pek Tho San San Kun.
Keempat muridnya langsung mengangguk, lalu meninggalkan ruang
itu.
Sementara Ouw Yang Hong yang berada di samping jendela, amat
bergirang dalam hati karena kepergian keempat orang itu. Kalau
keempat orang itu tidak pergi, sulit baginya untuk mencari Bokyong
Cen. Kini keempat orang itu telah pergi, maka dia yakin dapat
menemukan gadis itu, lalu membawanya pergi. Demikian pikirnya
dengan wajah berseri-seri.
Tampak Pek Tho San San Kun menutup pintu ruangan itu, kemudian
mengambil beberapa buah kotak.
Ketika melihat kotak-kotak itu, Ouw Yang Hong berpikir. Apakah
Bokyong Cen ditaruh di dalam salah satu di antara kotak-kotak itu?
Setelah berpikir begitu dia tertawa dalam hati, sebab kotak-kotak itu
amat kecil, bagaimana mungkin Bokyong Cen ditaruh di dalam?
Sementara Pek Tho San San Kun memandang kotak-kotak itu, lalu
tertawa seraya berkata.
"Lihatlah kotak ini berisi sebuah pagoda, berasal dari Dinasti Tong!
Kotak itu berisi sebuah mutiara yang amat besar dan indah,
memancarkan cahaya di malam hari! Lihatlah, indah sekali, bukan?"
Ouw Yang Hong tertawa geli dalam hati sebab Pek Tho San San Kun
berbicara seorang diri.
Terdengar Pek Tho San San Kun berkata lagi.

"Begini, dia pasti akan merasa puas!"
Usai berkata, Pek Tho San San Kun mendekati tempat tidurnya, lalu
menarik ke luar sebuah peti besar dari kolong tempat tidur itu.
Setelah itu, dibukanya peti besar itu dengan hati-hati sekali seraya
berkata.
"Nona, kau keluarlah!"
Dari dalam peti besar itu berjalan ke luar seorang wanita, ternyata
Bokyong Cen. Wajahnya penuh diliputi kebencian, menatap Pek Tho
San San Kun dengan mata berapi-api, kelihatannya seperti ingin
membunuhnya. Akan tetapi, gadis itu tidak bisa berbuat apa-apa,
karena jalan darahnya telah ditotok oleh Pek Tho San San Kun Jen It
Thian.
Si Kerdil Jen It Thian tersenyum-senyum, dan memandangnya
seraya berkata.
"Nona Bokyong, sejak melihatmu, aku sama sekali tidak bisa
melupakanmu. Aku memang pernah mengumpulkan banyak wanita
cantik, namun mereka tidak sepertimu, dapat menggembirakan
hatiku."
Bokyong Cen tetap menatapnya dengan penuh kebencian, tapi Pek
Tho San San Kun tidak meng-hiraukan itu.
"Nona Bokyong, kau wanita yang paling cantik di kolong langit,"
katanya.
Bokyong Cen memejamkan mata, kelihatannya seperti merasa muak
terhadap laki-laki itu.
Namun hal itu tidak membuat Pek Tho San San Kun menjadi gusar,
sebaliknya malah tertawa gem-bira.
"Ha ha ha! Aku harus melihat pahamu! Tapi menurutku, melihat
wanita cantik harus dari depan dan belakang! Lihatlah!"

Mendadak tangan Pek Tho San San Kun ber-gerak, tahu-tahu dia
sudah menggendong Bokyong Cen ke atas meja.
Bokyong Cen duduk di atas meja. Dia menatap Pek Tho San San Kun
dengan kening berkerut-kerut.
Sedangkan Pek Tho San San Kun menatapnya dengan wajah berseriseri,
lalu berkata sambil manggut-manggut.
"Sungguh asyik memandang wanita cantik di bawah lampu! Ini
merupakan suatu kenikmatan."
Tiba-tiba Pek Tho San San Kun mengibaskan tangannya, dan lampu
itu padam seketika. Namun ruangan itu malah bertambah terang.
Ternyata mutiara yang ada di dalam kotak memancarkan cahaya
menerangi ruang itu, sehingga membuat Bokyong Cen kelihatan
bertambah cantik.
Pek Tho San San Kun tertawa gembira.
"Ha haaa! Nona Bokyong, kau bertambah cantik tersorot oleh cahaya
mutiara!"
Bokyong Cen tidak menyahut.
Sedangkan Pek Tho San San Kun bertepuk-tepuk tangan, tampaknya
gembira sekali.
"Ha ha! Nona Bokyong, Nona Bokyong, kau memang amat cantik
jelita! Aku Jen It Thian sung-guh . . ."
Berkata sampai di situ, Pek Tho San San Kun mulai mengusap wajah
Bokyong Cen, seakan sedang menikmati suatu benda antik yang
amat menarik hatinya.
Ouw Yang Hong yang mengintip, sungguh tidak mengerti, sebab Pek
Tho San San Kun menyukai kaum wanita cantik berbeda dengan
lelaki lain. Lelaki lain menyukai wanita cantik, pasti menidurinya.
Tapi Pek Tho San San Kun tidak berbuat demikian, hanya
menganggap Bokyong Cen sebagai benda antik, menikmati
keindahan saja.

Pek Tho San San Kun tertawa gembira, sambil meraba-raba lengan
Bokyong Cen dan berkata.
"Pepatah mengatakan, indah bagaikan batu giok, putih bagaikan
bulu domba! Semula aku tidak percaya, kini setelah
menyaksikannya, barulah aku percaya!" Dia terus meraba-raba
lengan gadis itu, kemudian melanjutkan. "Sungguh indah menakjubkan
lenganmu!"
Setelah mendengar itu, Ouw Yang Hong kagum juga terhadap Pek
Tho San San Kun, sebab si Kerdil itu mengerti tentang sastra kuno.
Sementara Pek Tho San San Kun terus menik-mati keindahan lengan
Bokyong Cen.
Berselang beberapa saat kemudian dia berkata lagi.
"Sungguh indah sekali! Aku jadi terpukau . . ."
Kelihatannya Pek Tho San San Kun memang amat terpukau oleh
keindahan lengan Bokyong Cen. Dia terus meraba-raba lengan yang
amat mulus itu.
"Nona Bokyong, lihatlah! Aku memiliki berbagai macam mutiara dan
perhiasan, boleh dihadiahkan padamu. Kau mau apa, katakanlah!"
Setelah itu tanpa sengaja jarinya menyenggol jalan darah gagu
Bokyong Cen sehingga bebas, maka gadis itu menjerit mendadak.
Pek Tho San
San Kun terkejut sekali, dan langsung berkata.
"Kau adalah wanita cantik. Wanita cantik tidak boleh menjerit seperti
itu, harus mengeluarkan suara yang merdu dan lembut bagaikan
kicauan burung. Lain kali kau tidak boleh menjerit seperti itu lagi,
sebab tidak baik bagi dirimu yang cantik jelita."
Bokyong Cen tidak bersuara. Pek Tho San San Kun memuji dirinya,
bagaimana mungkin dia men-cacinya? Bukankah akan
menggusarkannya?

Si Kerdil Pek Tho San San Kun berkata lagi.
"Nona Bokyong, kalau kau bersedia menerima mutiara-mutiara dan
perhiasan itu pasti kuberikan padamu. Dengan adanya dirimu di sini,
semua barang yang berharga di sini kuanggap sebagai barang
rongsokan. Katakanlah! Kau menyukai ba-rang apa, pasti
kuberikan!"
"Aku tidak mau! Aku tidak mau barang-barangmu!" sahut Bokyong
Cen ketus.
Terbelalak si Kerdil Pek Tho San San Kun. Kelihatannya dia tidak
mengerti.
"Nona Bokyong, kenapa kau tidak mau barang-barangku? Apakah
barang-barangku tidak ba-gus?"
Bokyong Cen tidak menyahut, tapi malah mem-buang muka.
Pek Tho San San Kun berkata.
"Aku pernah melihat kau marah, dan pernah melihat kau menangis,
tapi tidak pernah melihat kau tertawa. Bagaimana rupamu di saat
tertawa? Aku tidak bisa membayangkannya, juga tidak tahu harus
bagaimana membuatmu tertawa. Kalau kau tertawa, pasti amat
sedap dipandang!"
"Mau aku tertawa gampang! Setelah kau mati, aku pasti tertawa!"
sahut Bokyong Cen.
Pek Tho San San Kun berkata sambil tersenyum.
"Baik! Baik! Asal kau mau tertawa, aku sudah merasa puas. Tapi . .
." Pek To San San Kun menatapnya lalu melanjutkan. "Tidak baik,
tidak baik! Kalau aku betul-betul mati, kau tertawa aku pun tidak
bisa menyaksikannya itu tidak haik!"

Bokyong Cen diam dengan wajah agak memerah, dia tahu tiada
gunanya berdebat dengan Pek Tho San San Kun, maka diam saja.
Ketika melihat Bokyong Cen diam, Pek Tho San San Kun berkata.
"Nona Bokyong, kalau kau tidak mau bicara, aku akan merasa gusar
dan kesepian. Kuberitahukan, aku akan merasa puas sekali apabila
kau mau tertawa."
Bokyong Cen sama sekali tidak memperduli-kannya.
"Nona Bokyong, aku berkepandaian tinggi dan amat menyayangimu.
Siapa dapat dibandingkan dengan diriku?" kata Pek Tho San San
Kun.
Bokyong Cen menatapnya dengan kening ber-kerut. Dia merasa
muak dalam hati, bagaimana mungkin akan tertawa?
Pek Tho San San Kun mengambil sebuah sisir, kemudian berkata
pada Bokyong Cen.
"Nona Bokyong, bolehkah kusisir rambutmu?"
"Tidak mau! Tidak mau!" sahut Bokyong Cen dengan membentak.
Akan tetapi, mendadak Pek Tho San San Kun menotok jalan darah
gagunya, sehingga membuatnya tidak bisa bersuara.
"Nona Bokyong, kaum wanita cantik di kolong langit, semuanya
lemah lembut dan tidak pernah berteriak-teriak, maka lebih baik kau
tidak bicara," katanya.
Bokyong Cen ingin bicara, tapi tidak bisa, karena jalan darah
gagunya telah tertotok.
Sementara Ouw Yang Hong terus mengintip. Dilihatnya Pek Tho San
San Kun bergerak amat cepat menyisir rambut Bokyong Cen,
.sehingga dalam sekejap rambut gadis itu telah disisir rapi. Setelah
itu, Pek Tho San San Kun mengambil sebuah kotak kecil, ternyata
berisi berbagai macam perhiasan.

Pek Tho San San Kun mengambil sebatang tusuk rambut yang amat
indah, lalu ditancapkannya pada rambut Bokyong Cen. Sesudah itu
dia menghiasi rambut Bokyong Cen dengan perhiasan lain.
Bukan main! Sebab kini Bokyong Cen bertambah cantik dan anggun.
Itu membuat Ouw Yang Hong yang mengintip, ternganga lebar
mulutnya, dan matanya pun terbeliak tak berkedip.
Sedangkan Pek Tho San San Kun juga kelihatan amat puas.
"Nona Bokyong, lihatlah! Bagaimana keahlian-ku dalam bidang
merias?" katanya sambil tersenyum.
Pek Tho San San Kun tertawa puas, lalu meng-ambil sebuah cermin
dan disodorkannya ke hadapan Bokyong Cen.
Mau tidak mau gadis itu harus memandang dirinya yang di dalam
cermin. Ketika menyaksikan dirinya yang di dalam cermin, dia pun
tertegun dengan mata terbelalak lebar. Apakah wanita yang di dalam
cermin itu adalah dirinya? Apakah wanita yang di dalam cermin itu
adalah Bokyong Cen? Wanita yang di dalam cermin itu justru
menyerupai mendiang ibunya, yang sudah lama ibunya me-ninggal.
Kini dia melihat dirinya yang menyerupai mendiang ibunya, tak
tertahan air matanya langsung meleleh.
Pek Tho San San Kun dan Ouw Yang Hong, yang mengintip itu sama
sekali tidak tahu apa sebabnya Bokyong Cen mengucurkan air mata.
Mungkinkah karena merasa dihina oleh Pek Tho
San San Kun, maka gadis itu mengucurkan air mata? Pikir Ouw Yang
Hong.
Begitu melihat Bokyong Cen mengucurkan air mata, bukan main
terkejutnya si Kerdil Pek Tho San San Kun.
"Nona Bokyong, mengapa kau menangis? Apa yang terganjel dalam
hatimu, bolehkah diberitahu-kan padaku?"tanyanya.

Bokyong Cen tidak menyahut, hanya air mata-nya saja yang terus
mengucur deras.
Pek Tho San San Kun berkata perlahan.
"Nona Bokyong, peti besar yang penuh perhiasan telah rusak,
karena perhiasan yang di dalamnya telah dicuri orang, maka
sementara ini kau tidur di ranjangku saja!"
Bokyong Cen menatapnya seakan memohon. Dia tidak sudi tidur di
ranjang Pek Tho San San Kun. Akan tetapi laki-laki kerdil itu tidak
memper-dulikannya.
"Nona Bokyong, tidurlah kau di ranjangku, agar aku bisa melihatmu
setiap saat! Lagi pula kau akan merasa lebih nyaman daripada tidur
di dalam peti."
Bokyong Cen tak dapat bicara, hanya air ma-tanya yang meleleh.
Ketika melihat gadis itu me-nangis lagi, Pek Tho San San Kun segera
berkata.
"Jangan menangis lagi! Jangan menangis lagi! Hatiku akan hancur
kalau melihatmu menangis.
Pek Tho San San Kun berkata dengan nada terisak-isak, sehingga
membuat Ouw Yang Hong tertawa geli dalam hati. Di saat
bersamaan, laki-laki kerdil itu membopong Bokyong Cen ke tempat
tidur, lalu ditatapnya dengan lembut sekali.
"Nona Bokyong, apakah kau merasa takut di saat mau tidur? Kalau
kau merasa takut, panggillah aku!" katanya.
Bokyong Cen tidak bicara, hanya duduk diam di tempat tidur. Justru
di saat bersamaan, mendadak Ouw Yang Hong membentak sekaligus
menerjang ke dalam, langsung menuju tempat tidur itu. Bokyong
Cen melihatnya. Gadis itu tampak terperanjat, tapi matanya
mengandung rasa terimakasih. Dia tahu Ouw Yang Hong datang
demi menyelamatkannya. Tapi hal itu membuatnya amat cemas,
sebab dia tahu jelas bahwa Ouw Yang Hong bukan lawan Pek Tho
San San Kun. Mungkin nyawanya akan melayang di tangan si Kerdil
itu.

Pek Tho San San Kun sama sekali tidak menoleh, tapi sudah tahu
siapa yang datang. Kemudian dia berkata dengan suara ringan.
"Lihatlah Nona Bokyong, ada seorang lelaki busuk ke mari ingin
menolongmu! Orang gagah menolong si Cantik, kan? Kalau yang
datang itu bukan orang gagah, melainkan orang yang tak tahu diri,
katakanlah harus bagaimana?"
Tentunya Bokyong Cen tidak dapat mengatakan apa-apa, sebab dia
tidak bisa bicara.
"Menurutku, dia harus kubunuh! Harus ku-bunuh!" kata si Kerdil lagi
lalu mendadak meloncat bangun, dan menuding Ouw Yang Hong.
"Bocah mau apa kau ke mari?" tanyanya.
"Lepaskan Nona Bokyong!" sahut Ouw Yang Hong.
Pek Tho San San Kun tertawa gelak.
"Ha ha haaa! Lepaskan Nona Bokyong .. ."
Kata-kata itu merupakan sindiran, membuai Ouw Yang Hong jadi
membungkam. Sementara Bokyong Cen terus memandangnya dan
membatin. Dia seorang sastrawan bodoh. Saking banyaknya
membaca buku, akhirnya jadi bodoh. Tidak se-harusnya dia datang
menolongku, sebab itu sama juga mencari mati.
Pek Tho San San Kun memandang Ouw Yang Hong, kemudian
mengalihkan pandangannya pada Bokyong Cen dan mendadak
berkata.
"Nona Bokyong, katakanlah! Apakah bocah ini kekasihmu?"
Bokyong Cen tidak bersuara, namun wajahnya tampak memerah.
Sedangkan Pek Tho San San Kun berkata sepatah demi sepatah.
"Betul! Betul! Aku justru tidak mengerti, meng-apa para wanita
cantik merasa tidak tenang berada di dalam petiku? Mengapa

mereka semua ingin keluar? Apakah mereka selalu memikirkan lelaki
yang seperti bocah busuk ini? Menurutku memang begitu, maka aku
harus membunuhmu! Aku harus membunuhmu!"
"Jen It Thian, kau adalah pemilik Pek Tho San Cung! Kau selalu
menculik anak gadis, bukankah kau telah melakukan kejahatan?"
"Bagaimana kau tahu aku yang menculiknya? Tanyakan padanya
apakah aku yang menculiknya?" kata Pek Tho San San Kun.
Ouw Yang Hong maju ke hadapan Bokyong Cen, maksudnya ingin
membebaskan jalan darahnya yang ditotok oleh Pek Tho San San
Kun. Namun dia tidak mengerti ilmu totok tubuh, maka dia hanya
sembarangan menotok ke sana ke mari.
Menyaksikan itu, Pek Tho San San Kun tertawa gelak.
"Ha ha ha! Kau sungguh bodoh! Lebih baik kau mati agar aku tidak
merasa mual melihatmu!"
Setelah berkata begitu, dia lalu berkata pada Bokyong Cen.
"Nona, kalau aku membunuhnya, maka kau tidak akan memikirkan
apa-apa lagi, kan?"
Kemudian mendadak dia meloncat ke hadapan Ouw Yang Hong,
sekaligus menjulurkan tangannya.
Ouw yang Hong ingin berkelit, namun terlambat, karena
tenggorokannya telah dicengkeram oleh Pek Tho San San Kun.
Si Kerdil tertawa dingin, lalu menatap Bokyong Cen seraya berkata.
"Nona, katakanlah! Kau menghendakinya mati atau hidup?"
Bokyong Cen tidak bisa bicara, tapi tampak gugup, panik dan cemas
begitu melihat Pek Tho San San Kun mencengkeram tenggorokan
Ouw Yang Hong.

Tentunya si Kerdil melihat itu, maka dia menjadi semakin gusar dan
berkata dalam hati. Kelihatannya Ouw Yang Hong ini adalah
kekasihnya. Hari ini aku harus membunuhnya! Aku ingin tahu
selanjutnya Bokyong Cen masih memikirkannya tidak?
Oleh karena itu, dicengkeramnya tenggorokan Ouw Yang Hong
dengan sekuat tenaga, sehingga membuat Ouw Yang Hong tak
dapat bernafas dan seketika juga pingsan.
Di saat bersamaan, terdengar suara yang amat dingin.
"Lepaskan dia! Kalau tidak, kau pasti mampus.
Bukan main terkejutnya Pek Tho San San Kun. Tanpa menoleh dia
tahu orang yang datang itu berkepandaian amat tinggi. Senjata
orang itu me-nodong punggungnya, maka apabila dia berani menoleh,
nyawanya pasti melayang.
"Ouw Yang Coan?" tanyanya dengan dingin.
Ternyata orang itu memang Ouw Yang Coan, jago nomor satu di
daerah See Hek.
Lo Ouw dan Ceh Liau Thou pergi mencari Ouw Yang Coan, hingga
malam hari baru berhasil me-nemukannya.
"Toa siau ya! Toa siau ya! Celaka . . .!" teriak Lo Ouw.
Ouw Yang Coan terkejut.
"Apa yang celaka?" tanyanya sambil menatap Lo Ouw.
Lo Ouw segera memberitahukan tentang kejadian itu. Bukan main
terkejutnya Ouw Yang Coan.
"Aku harus segera ke Pek Tho San Cung!" katanya lalu melesat
pergi.
Sampai di rumah Pek Tho San San Kun, dia melihat si Kerdil itu ingin
membunuh Ouw Yang Hong. Maka dia segera berkelebat ke
belakangnya, sekaligus menodong punggungnya dengan senjata.

"Ouw Yang Coan, kedatanganmu sungguh ke-betulan! Kau boleh
mengubur mayat adikmu!" kata Pek Tho San San Kun.
"Jen It Thian, kalau kau berani membunuh adikku, aku pun akan
memusnahkan Pek Tho San Cung ini!" sahut Ouw Yang Coan.
Pek Tho San San Kun tertawa dingin.
"Oh, ya?"
Si Kerdil membalikkan badannya sambil men-cengkeram
tenggorokan Ouw Yang Hong. Setelah berhadapan dengan Ouw
Yang Coan. dia berkata dengan sengit.
"Hari ini aku menghendaki kalian kakak beradik mati di sini!"
Mendadak dia menotok jalan darah di bahu Ouw Yang Hong,
sehingga membuat pemuda itu langsung roboh. Setelah itu, dia
menatap Ouw Yang Coan.
"Baik, mari kita bertarung!" tantangnya.
Pek Tho San San Kun bersiul panjang, dan seketika pintu ruangan
itu terbuka. Tampak begitu banyak orang di halaman, yang berdiri
paling depan adalah keempat muridnya.
Ouw Yang Coan tertawa getir, lalu berkata dalam hati. Jen It Thian,
kalau kau ingin membunuh kami kakak beradik, aku akan mengadu
nyawa denganmu!
Dia mengangkat tongkatnya perlahan-lahan, siap bertarung matimatian
dengan Pek Tho San San Kun.
Bab 11
Pek Tho San San Kun tertawa dingin, lalu menatap Ouw Yang Coan
seraya berkata dengan dingin pula.

"Ouw Yang Coan, aku melewati hari-hari di Pek Tho San Cung, kau
justru hidup berdekatan denganku pula, bahkan amat angkuh dan
menganggap dirimu sebagai jago nomor satu di daerah See Hek.
Lalu aku Jen It Thian terhitung apa? Aku harus membunuhmu, agar
diriku menjadi jago nomor satu di daerah See Hek ini!"
"Jen It Thian, aku dan kau selama ini tidak saling bertikai, mengapa
kau berniat membunuhku?" sahut Ouw Yang Coan perlahan-lahan.
Pek Tho San San Kun tertawa terkekeh-kekeh.
"He he he! Ouw Yang Coan, kau mencampuri urlisanku, maka aku
harus membunuhmu!"
"Kau adalah makluk aneh! Kau kumpulkan wanita cantik kemudian
kau taruh di dalam peti! Bukankah kau orang gila?"
"Ouw Yang Coan, aku mau berbuat apa adalah u rusa n ku, kau
tidak usah turut campur! Hari ini kau ke mari, maka harus mampus!"
Pek Tho San San Kun bersiul panjang. Seketika semua orang yang
berdiri di halaman, termasuk keempat muridnya langsung
mengeluarkan senjata. Mereka menatap Ouw Yang Coan dengan
dingin sekali.
Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong berseru sekeras-kersanya.
"Kalian dengar baik-baik! Apabila Ouw Yang Coan berhasil
meloloskan diri, leher kalian semua pasti putus!" seru Tay Mok Sin
Seng Teng Khie Hong.
Semua orang mengangguk.
Sang Seng Kiam Giok Shia berkata lantang.
"Ouw Yang Coan, kau pasti mampus di Pek Tho San Cung!" kata
Sang Seng Kiam Giok Shia dengan lantang.

"Ouw Yang Coan, kau pasti mampus! Tidak perlu guru kami yang
turun tangan, kau akan mampus di tangan kami!" sambung Wan To
Ma Sih.
Ouw Yang Coan tertawa dingin sambil menatap Pek Tho San San
Kun. Laki-laki kerdil itu tertawa puas, kemudian berkata pada
Bokyong Cen.
"Nona, aku bukan cuma menghendakimu, melainkan juga
menghendaki kakak beradik Ouw Yang mampus di sini! Bagaimana
menurutmu?"
Bokyong Cen diam saja, namun keningnya ber-kerut-kerut.
Sedangkan Ouw Yang Coan memandang Ouw Yang Hong. Hatinya
terasa tenggelam entah ke mana, karena tahu kalau cuma dia
seorang diri, sudah pasti gampang meloloskan diri. Tapi ditambah
adiknya dan Bokyong Cen, sulit baginya membawa mereka pergi.
Setelah berpikir demikian, dia lalu berkata kepada Pek Tho San San
Kun.
"San Kun, lepaskan adikku dan Nona Bokyong, lalu kita bertarung!
Bagaimana?"
Pek Tho San San Kun menggelengkan kepala sambil tertawa, lalu
meloncat ke atas meja. Setelah itu dia memandang Ouw Yang Coan
seraya berkata.
"Ouw Yang Coan, mengapa aku harus melepaskan mereka? Lagi
pula kau sudah ke mari, bagaimana mungkin aku melepaskan macan
kembali ke sarangnya? Tentunya kau mengerti, bukan?"
Ouw Yang Coan mengerutkan kening.
"Kau tidak setuju?"
Pek Tho San San Kun tertawa, kemudian memberi isyarat. Seketika
tampak tiga orang bersenjata golok, cambuk dan kampak memasuki
ruangan itu.

Tanpa banyak bicara, mereka bertiga langsung menyerang Ouw
Yang Coan dengan senjata masing-masing.
Bukan main cepatnya gerakan ketiga macam senjata itu, sehingga
menimbulkan suara menderu-deru. Ouw Yang Coan segera berkelit,
maka golok itu menyabet pinggiran meja hingga somplak, cambuk
panjang itu menghantam lantai hingga pecah, sedangkan kampak itu
menghantam meja hingga berlubang.
Hati Ouw Yang Coan tersentak. Semula dia hanya mengira bahwa
Pek Tho San San Kun dan keempat muridnya yang berkepandaian
tinggi, tapi tidak tahunya ketiga orang ini pun berkepandaian begitu
tinggi pula. Kalau begitu, bagaimana cara aku menyelamatkan Ouw
Yang Hong dan Bokyong Cen? Itu membuatnya berkeluh dalam hati.
Kemudian dia menggerakkan tongkatnya bagaikan kilat menyerang
ketiga orang itu.
Akan tetapi dia baru menyerang dua jurus, ketiga orang itu telah
menyerangnya hampir tiga puluh jurus.
Ouw Yang Coan tertawa dingin lalu berkata.
"Kalian bertiga sungguh berani bertarung denganku!"
Mendadak dia menggerakkan tongkatnya menyerang orang yang
bersenjata kampak, mengarah tiga jalan darahnya. Orang itu
tersentak, dan langsung meloncat ke belakang.
Akan tetapi, mendadak tongkat di tangan Ouw Yang Coan mengarah
orang yang bersenjata golok. Sibuklah orang itu, karena ujung
tongkat itu mengarah jalan darah di bagian dadanya.
Apa boleh buat! Orang itu terpaksa meloncat ke samping.
Kesempatan itu dimanfaatkan Ouw Yang Coan untuk menyerang
orang yang bersenjata cambuk. Orang itu sama sekali tidak
menduga akan adanya serangan itu, sehingga tangannya terpukul
oleh tongkat Ouw Yang Hong.

Wajah orang itu berubah pucat, dan dia langsung meloncat ke
belakang.
Orang itu tahu bahwa tongkat di tangan Ouw Yang Coan
mengandung racun ganas. Kini tangannya terpukul oleh tongkat itu,
maka sudah pasti dirinya akan keracunan.
"San Kun, tongkatnya . . . mengandung racun . . ." teriaknya.
Dia masih ingin menyerang Ouw Yang Coan, tapi mendadak roboh,
tak mampu bangkit berdiri lagi.
Kedua temannya saling memandang. Di saat bersamaan Ouw Yang
Coan justru menyerang mereka berdua.
Serangan Ouw Yang Coan sungguh membahayakan. Tiba-tiba
terdengar suara bentakan, ternyata keempat murid Pek Tho San San
Kun yang membentak, sekaligus menyerangnya.
Apa boleh buat! Ouw Yang Coan terpaksa berkelit, maka kedua
orang itu selamat.
Ouw Yang Coan berseru keras.
"Jen lt Thian, kau sebagai majikan Pek Tho San Cung, apakah
pantas bertarung dengan cara keroyokan? Itu terhitung kepandaian
apa? Ayoh! Mari kita bertarung di halaman!"
Pek Tho San San Kun tertawa dingin lalu menyahut.
"Baik! Mari kita bertarung di halaman! Aku ingin lihat jago nomor
satu daerah See Hek memiliki kepandaian apa!"
Kemudian dia menyuruh para anak buahnya ke halaman. Begitu pula
keempat muridnya, mereka berempat pun membawa Bokyong Cen
dan Ouw Yang Hong ke halaman.
Semua orang berdiri di halaman dengan membawa obor, sehingga
halaman itu menjadi terang.

Pek Tho San San Kun Jen It Thian berdiri di tengah-tengah,
mengangkat sepasang tangannya dekat dada, kelihatannya sedang
menunggu Ouw Yang Coan menyerang lebih dulu.
Ouw Yang Coan berdiri di hadapan Pek Tho San San Kun. Hatinya
terasa tegang juga, sebab pertarungan ini akan menyangkut
namanya, bahkan juga menyangkut nyawa Ouw Yang Hong dan
Bokyong Cen.
Mendadak Pek Tho San San Kun berkata.
"Kata orang, tongkat ularmu itu amat lihay. Tapi menurutku jurusjurus
ilmu tongkat ularmu itu hanya biasa-biasa saja! Tadi kau
bertarung dengan Soat San Sam Lo cuma mampu merobohkan satu
orang itu, bagaimana bertarung denganku?"
Ouw Yang Coan mendengus dingin. Ketika dia baru mau
menggerakkan tongkatnya, mendadak terdengar suara aneh, yang
disusul oleh suara pintu yang hancur herantakan, lalu tampak
muncul seseorang dengan ramhut awut-awutan, sebelah tangannya
memegang sebuah cambuk.
Dia meloncat ke hadapan Ouw Yang Coan, lalu menggeram dengan
mata melotot dan wajahnya tampak kehijau-hijauan.
"Ouw Yang Coan, cepat berikan obat pemunah racun!"
Ouw Yang Coan tidak menyahut, hanya tertawa dingin. Orang itu
langsung menyerangnya dengan cambuk, tapi Ouw Yang Coan
segera berkelit, sehingga cambuk itu menghantam tempat kosong.
Di saat bersamaan, Ouw Yang Coan menggerakkan tongkatnya
untuk menggaet ujung cambuk itu, lalu dikibaskannya ke arah orang
tersebut. Ujung cambuk tersebut menghantam kening orang itu
sehingga orang itu roboh dan nyawanya pun melayang seketika.
Bukan main terkejutnya semua orang menyaksikan kejadian itu.
Suasana di tempat itu menjadi hening seketika, tak terdengar suara
apa pun. Kini semua orang baru percaya akan kelihayan ilmu silat

Ouw Yang Coan, maka mereka semua menyingkir lebih jauh, agar
tidak tersambar tongkatnya.
Sebaliknya Pek Tho San San Kun Jen It Thian malah tertawa gelak,
lalu menuding Ouw Yang Coan seraya berkata.
"Ouw Yang Coan, kau kira dengan tongkat ularmu itu, kau dapat
meracuni seluruh Pek Tho San Cungku? Kau harus tahu, aku pernah
mengumpulkan begitu banyak ular berbisa di Tiong-goan! Kalau
tidak bertemu Oey Yok Su, pemilik Pulau Tho Hoa To, saat ini kau
pasti akan menghadapi barisan ular berbisaku! Karena itu, tongkat
ularmu tak dapat berbuat apa-apa terhadap diriku!"
Usai berkata, mendadak dia bersiul panjang, sekaligus menyerang
Ouw Yang Coan secepat kilat.
Ouw Yang Coan berkelit lalu balas menyerang. Maka terjadilah
pertarungan yang amat sengit. Ouw Yang Coan menggunakan
tongkat ular. Sedangkan Pek Tho San San Kun bertangan kosong,
tapi gerakannya sangat cepat, gesit dan lincah. Tongkat ular di
tangan Ouw Yang Coan meliuk-liuk bagaikan seekor ular yang
kadang-kadang juga bergerak bagaikan kilat.
Sementara Ouw Yang Hong telah siuman dari pingsannya, tapi tiga
buah jalan darahnya dalam keadaan tertotok. Dia tidak bisa
bergerak, namun masih dapat menyaksikan pertarungan yang amat
dahsyat itu.
Setelah menyaksikan sejenak, dia tersadar akan satu hal. Kakaknya
bertarung dengan Pek Tho San San Kun. Mereka berdua
menggunakna tenaga lunak dan jurus-jurus yang bergerak cepat.
Apabila salah seorang di antara mereka menggunakan tenaga keras,
dalam beberapa jurus pasti dapat memenangkan pertarungan itu.
Walau Ouw Yang Hong sadar akan hal itu, tapi kedua orang yang
sedang bertarung itu justru tidak tahu, sebab mereka berdua
bertarung dengan gerakan cepat, maka tiada kesempatan untuk
memperhatikan hal tersebut.

Mereka berdua bertarung seimbang. Berselang sesaat Ouw Yang
Coan berkata kepada Pek Tho San San Kun.
"Jen It Thian, lepaskanlah adikku dan Nona Bokyong, kita bertarung
lain hari saja!"
Pek Tho San San Kun tertawa.
"Ouw Yang Coan, kau menganggap dirimu sebagai jago nomor satu
di daerah See Hek, maka hari ini aku menghendakimu mampus di
sini!"
Pek Tho San San Kun memberi isyarat. Sang Seng Kiam Giok Shia
segera maju ke depan, lalu memberi hormat.
"Ada perintah apa, Guru?" tanyanya.
Pek Tho San San Kun menunjuk Ouw Yang Hong, lalu menyahut.
"Bawa dia ke mari agar bisa berdekatan dengan kakaknya!"
Sang Seng Kiam Giok Shia mengangguk, kemudian menyeret Ouw
Yang Hong ke tengah-tengah halaman.
Pek Tho San San Kun tertawa terkekeh-kekeh.
"He he heee! Ouw Yang Coan, buang tongkat ularmu dan segera
membunuh diri di hadapanku, aku pasti melepaskan Ouw Yang Hong
dan Nona Bokyong, itu agar keluarga Ouw Yang punya keturunan!"
Betapa gusarnya Ouw Yang Coan. Dia tidak tahu harus bagaimana
baiknya.
"Aku akan menyebut namamu tiga kali, kau harus membunuh diri!
Kalau tidak, Ouw Yang Hong pasti jadi mayat!" kata Pek Tho San
San Kun lagi.
Ouw Yang Coan berdiri tak bergerak. Namun sepasang matanya
berapi-api.
Pek Tho San San Kun menudingnya.

"Ouw Yang Coan jago nomor satu di daerah See Hek, kau harus
mampus atau tidak?" katanya dingin.
Ouw Yang Coan berkertak gigi. Rupanya ingin sekali menghantam
Pek Tho San San Kun dengan tongkatnya.
Sedangkan Pek Tho San San Kun tertawa puas, menengadahkan
kepala seraya berseru.
"Ouw Yang Coan jago nomor satu di daerah See Hek, kau harus
mampus atau tidak?"
Ouw Yang Coan tidak menyahut, hanya mengangkat tongkatnya ke
atas. Saat ini pikirannya kacau balau. Haruskah aku mati? Keluarga
Ouw
Yang hanya tinggal kami berdua kakak beradik, maka keluarga Ouw
Yang harus punya keturunan! Kalau begitu, adikku harus hidup!
Apabila adikku mati, bagaimana mungkin keluarga Ouw Yang akan
punya keturunan? Keluarga Ouw Yang punya keturunan, mati pun
tidak akan penasaran! Tapi guru yang telah menyelamatkanku.
Sedangkan dendamnya belum terbalas, bagaimana mungkin aku
mati? Itu membuat pikiran Ouw Yang Coan semakin kacau.
Pek Tho San San Kun berseru lagi dengan suara lantang,
kelihatannya dia tidak ingin Ouw Yang Coan berpikir banyak.
"Ouw Yang Coan jago nomor satu di daerah See Hek, kau harus
mampus . . ."
Sebelum Pek Tho San San Kun usai berseru, mendadak terdengar
suara yang amat dingin.
"Dia harus mampus atau tidak, itu urusanku! Kau tuh apa, berani
menentukan mati hidupnya?"
Semua orang terperanjat, karena tahu orang yang bersuara itu
memiliki Iwee kang yang amat tinggi. Mereka semua menengok ke
sana ke mari, tapi tidak tampak seorang pun berada di sekitar
mereka.

Bukan main terkejutnya Pek Tho San San Kun, sebab dia mendengar
jelas suara itu. "Siapa? Cepat keluar!" bentaknya. Berselang
beberapa saat barulah terdengar suara sahutan, yang bernada
ringan dan dingin.
"Kau menghendakiku keluar, itu tidak bisa! Sebab aku sudah tua,
lagi pula cacat! Apabila aku keluar, kau pasti akan merasa kecewa!"
Sang Seng Kiam Giok Shia langsung membentak keras.
"Ayo cepat keluar!"
Terdengar suara sahutan lagi.
"Tanganmu memegang sepasang pedang! Pada hal kau adalah gadis
cantik, tapi dalam hatimu penuh diliputi hawa membunuh! Hari ini
kau harus merasakan tusukan pedangmu sendiri!"
Mendengar kata-kata itu, Pek Tho San San Kun cepat-cepat memberi
isyarat kepada Sang Seng Kiam Giok Shia, agar muridnya itu diam.
"Cianpwee, harap perlihatkan diri!" katanya kemudian dengan serius.
Terdengar suara sahutan.
"Jen It Thian, kau meremehkan muridku, itu memang masuk akal
sebab kau memiliki ilmu silat yang beracun, maka tongkat ular itu
tidak bisa berbuat apa-apa terhadapmu. Lagi pula kau pun memiliki
tujuh puluh dua macam akal licik, sehingga membuatmu
meremehkan orang lain!"
"Kau mau bagaimana?" tanya Pek Tho San San Kun.
Terdengar suara sahutan lagi. "Lepaskan mereka!"
Pek Tho San San Kun berpikir lama sekali.
"Baik! Ouw Yang Coan, kau boleh pergi sekarang!" katanya
kemudian.
"Aku harus membawa serta adikku dan Nona Bokyong!" kata Ouw
Yang Coan.

Pek Tho San San Kun menggelengkan kepala.
"Tidak bisa! Tidak bisa! Aku tidak perduli akan Ouw Yang Hong, tapi
Nona Bokyong adalah benda mustikaku! Bagaimana mungkin kau
membawanya pergi?"
Terdengar suara orang itu.
"Anak Coan, urus dirimu sendiri saja, tidak usah memperdulikan
orang lain!"
Hati Ouw Yang Coan tergerak, menyahut dengan suara rendah.
"Benar kata Guru."
Ouw Yang Coan membalikkan badannya, lalu berjalan mendekati
Ouw Yang f tong dan Bokyong Cen, sekaligus membebaskan jalan
darah adiknya yang tertotok itu.
"Adik, mari kita pergi!" katanya dengan ringan kepada Ouw Yang
Hong.
Kemudian dia juga berkata kepada Bokyong Cen, tapi tidak berani
memandang wajahnya.
"Nona Bokyong, mari ikut kami pergi!"
Bokyong Cen memandang Ouw Yang Hong dengan ala berbinarbinar,
namun bagaimana perasaan dalam hatinya, siapa pun tidak
mengetahuinya.
Ouw Yang Coan menarik Ouw Yang Hong pergi, tapi hanya beberapa
langkah, Ouw Yang Hong sudah menoleh ke belakang seraya
berseru.
"Nona Bokyong, kalau kau tidak mau pergi, bagaimana mungkin aku
meninggalkanmu?"
Ouw Yang Hong tidak mau melangkah, dan ini membuat Ouw Yang
Coan terpaksa berhenti, tidak bisa meninggalkan halaman rumah itu.
Terdengar tawa dingin.

"He he! Tidak salah. Anak Coan, apa yang kau katakan itu memang
tidak salah. Mereka berdua sudah saling mencinta, maka kau harus
membiarkan mereka berdua berada di tempat ini. Anak Coan, mari
kita pergi!"
Ouw Yang Coan terpaksa menurut, Dia berjalan beberapa langkah,
lalu berhenti dan menundukkan kepalia.
"Guru, mengapa Guru melarang adikku dan Nona Bokyong ikut
pergi?" tanyanya.
Akan tetapi tiada sahutan. Sepertinya orang yang bersuara merasa
serba salah, maka tidak menyahut.
Itu membuat Pek Tho San San Kun Jen It Thian merasa tidak beres.
"Ouw Yang Coan, janganlah kau mendesakku!" serunya.
Ouw Yang Coan menatapnya tanpa mengeluarkan suara,
kelihatannya seakan sedang menunggu perintah dari orang yang
bersuara tadi.
Berselang beberapa saat, barulah terdengar suara orang itu, yang
bernada ringan dan datar.
"Sudah belasan tahun aku tidak bertemu orang! Anak kecil, kau
jangan mendesakku!"
"Kalau kau ingin membawa pergi Nona Bokyong, aku pasti akan
mengadu nyawa denganmu!" sahut Pek Tho San San Kun.
Sementara para anak buah Pek Tho San San Kun sudah mulai
mengurung kakak berdik Ouw Yang itu. Apabila si Kerdil memberi
perintah, mereka semua pasti menyerang Ouw Yang Coan dan
adiknya.
Di saat bersamaan, terdengar lagi suara orang itu.
"Aku malas turun tangan, tapi tahukah kau siapa aku?"

Pek Tho San San Kun Jen It Thian tertawa dingin.
"Apakah kau adalah Tionggoan tayhiap Liau Bun Sen? Kau adalah
Ong Tiong Yang, ataukah Su Ciau Hwa Cu, Tetua Kay Pang? Kalau
kau adalah salah seorang di antara mereka, tentunya aku takut
padamu! Tapi kalau bukan, kau justru harus takut padaku!"
Orang itu berkata perlahan-lahan.
"Belasan tahun aku tidak keluar, di kolong langit sudah kacau balau!
Anak kecil, aku adalah Pek Bin Lo Sat!"
Seketika suasana di tempat itu menjadi hening.
"Jen It Thian, lepaskan gadis itu, aku akan mengampuni nyawamu!"
kata orang itu lagi.
Pek Tho San San Kun mengerutkan kening, kemudian berjalan
mondar-mandir di hadapan Bokyong Cen sambil bergumam.
"Aku tidak bisa! Aku tidak bisa! Lebih baik ambillah semua
perhiasanku, asal kau tidak membawa pergi Nona Bokyong! Tidak
bisa! Tidak bisa . . ."
Terdengar tawa aneh.
"Hik hik hik! Anak kecil, aku akan menemuimu!"
Mendadak terdengar suara 'Blam!' Ternyata tembok pagar
berlubang, lalu tampak seseorang menyerupai setan berjalan masuk
dari lubang tembok. Di belakanggnya tiada bayangan, kakinya tidak
mengeluarkan suara, bahkan tiada hawa manusia pula.
Dia berjalan ke hadapan Ouw Yang Coan dan adiknya. Wajah orang
itu tidak tampak karena tertutup oleh rambutnya yang panjang
terurai ke bawah. Dia menunjuk Ouw Yang Hong, kemudian
manggut-manggut.
"Bagus! Bagus! Tak percuma Anda adik Ouw Yang Coan!"
Siapa orang itu? Ternyata memang benar adalah Pek Bin Lo Sat. Dia
tertawa terkekeh dua kali, lalu memandang Bokyong Cen.

"Apakah kau memandang rendah diriku? Mengapa kau tidak bicara?"
katanya.
Guguplah hati Bokyong Cen. Dia mendengar wanita itu memanggil
Ouw Yang Coan sebagai 'Anak Coan!' pertanda tingkatan tuanya.
Kemudian mendengar Ouw Yang Coan memanggil wanita itu 'Guru',
membuat Bokyong Cen terkejut sekali, karena yakin wanita itu
berkepandaian amat tinggi. Ketika wanita itu bertanya, Bokyong Cen
ingin menjawab, tapi jalan darah gagunya dalam keadaan tertotok,
sehingga tidak dapat mengeluar-kan suara. Itulah yang
menyebabkannya gugup sekali.
"Kau dalam bahaya, namun mengapa tidak mau bicara? Dan . . .
mengapa tidak mau bangkit berdiri?" tanya Pek Bin Lo Sat sambil
tersenyum.
Bokyong Cen diam dan mulai ragu terhadap Pek Bin Lo Sat. Kalau
wanita itu berkepandaian tinggi, bagaimana tidak tahu jalan
darahnya dalam keadaan tertotok? Gadis itu tidak habis pikir.
Sementara si Kerdil Jen It Thian juga merasa serba salah. Dia
sebagai majikan Pek Tho San Cung, tentunya tidak bisa mundur
karena itu, maka dia terpaksa memberanikan diri.
"Pek Bin Lo Sat, kau mau apa?" bentaknya.
"Sudah belasan tahun, aku duduk diam bersemedi! Hari ini terpaksa
aku turun tangan!" sahut Pek Bin Lo Sat lalu mengibaskan
tangannya ke arah para anak buah Pek Tho San San Kun.
Si Kerdil Jen It Thian langsung membentak, "Serang wanita itu!"
Keempat murid Pek Tho San San Kun segera menyerang Pek Bin Lo
Sat. Menyaksikan itu, Ouw Vang Coan amat gusar. Ketika dia baru
mau menyerang keempat murid Pek Tho San San Kun, Pek Bin Lo
Sat pun berkata.

"Anak Coan, kau tidak menghendaki guru turun tangan, apakah
khawatir guru akan celaka di tangan mereka?"
Ouw Yang Coan tidak menyahut. Di saat itulah, Pek Bin Lo Sat
bergerak. Tampak bayangannya berkelebat ke sana ke mari,
dibarengi suara jeritan di sana sini dan darah pun muncrat ke manamana.
"Pek Bin Lo Sat, berhenti!" seru Pek Tho San San Kun gusar.
Wanita itu berhenti menyerang, lalu menatap Pek Tho San San Kun.
"Anak kecil, kau mau bicara apa?" tanyanya.
"Pek Bin Lo Sat, aku akan mengadu nyawa denganmu!" sahut Pek
Tho San San Kun.
Pek Bin Lo Sat nianggut-manggut, tapi hanya diam di tempat. Begitu
pula Pek Tho San San Kun, dia berdiri dengan kaki ditekuk sedikit,
sebelah tangannya diangkat ke atas, seakan menunggu Pek Bin Lo
Sat menyerang lebih dulu.
Pek Bin Lo Sat tertawa dingin. Kemudian mendadak pakaiannya
berkibar-kibar, sepertinya terhembus angin kencang, kemudian
badannya bergerak berputar tiga kali mengitari Pek Tho San San
Kun. Setelah itu ia berhenti, sekaligus menjulurkan sepasang
tangannya ke depan.
Si Kerdil tertawa panjang, lalu dengan tiba-tiba badannya mencelat
ke atas dengan ringan sekali, sambil menggerakkan kedua
tangannya untuk me-notok jalan darah bagian dada Pek Bin Lo Sat.
Apabila totokan itu mengenai sasarannya, Pek Bin Lo Sat pasti
menderita luka parah. Akan tetapi, Pek Bin Lo Sat justru tidak
berkelit, melainkan mengibaskan sebelah tangannya untuk
menangkis serangan itu. Kibasan tangan Pek Bin Lo Sat
menimbulkan angin yang menderu-deru. Pek Tho San San Kun
cepat-cepat meloncat ke belakang sekaligus mengeluarkan
senjatanya, lalu mulai menyerang Pek Bin Lo Sat.

Tak terasa pertarungan mereka berdua telah melewati belasan jurus,
namun kelihatannya masih berimbang. Itu membuat Pek Tho San
San Kun bergirang dalam hati, karena Pek Bin Lo Sat yang amat
terkenal itu, kepandaiannya cuma setinggi itu.
Sedangkan Pek Bin Lo Sat merasa amat penasaran, karena sudah
belasan jurus, namun dia belum dapat merobohkan si Kerdil Jen It
Thian.
Mendadak dia bersiul panjang. Gerakannya juga berubah. Ternyata
dia mulai mengeluarkan ilmu Thian Lo Ci (Ilmu Jari Langit).
Pek Tho San San Kun terkejut bukan main, ketika tubuh Pek Bin Lo
Sat mengeluarkan hawa yang amat dingin, sehingga membuatnya
tak dapat mengerahkan kepandaiannya.
Keempat murid Pek Tho San San Kun tahu guru mereka sudah
berada di bawah angin. Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong dan Sang
Pwe Jeh Nuh membentak keras, kemudian menyerang Pek Bin Lo
Sat serentak.
Ketika melihat kedua orang itu menyerang Pek Bin Lo Sat, Ouw Yang
Coan segera maju.
Akan tetapi, Pek Bin Lo Sat segera berseru.
"Anak Coan, aku masih dapat menghadapi mereka bertiga!"
Mendengar seruan Pek Bin Lo Sat itu, Ouw Yang Coan langsung
diam, tidak berani menyerang kedua orang itu.
Pada saat bersamaan, Pek Bin Lo Sat bergerak meraih senjata Sang
Pwe Jeh Nuh, yang berupa sepasang cangkir.
Itu membuat Sang Pwe Jeh Nuh bergirang dalam hati, karena dia
yakin tangan Pek Bin Lo Sat akan terluka. Dia cepat-cepat menarik
senjatanya itu, namun mendadak merasa tangannya amat dingin,
seakan membeku tak dapat bergerak sama sekali.
Bukan main terkejutnya Sang Pwe Jeh Nuh. Dia ingin meloncat ke
belakang, tapi mendadak salah satu dari kedua cangkir itu meluncur
secepat kilat menghantam dadanya.

"Aaaakh . . .!" jeritnya lalu roboh, pingsan.
Tertegun Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong. Pek Bin Lo Sat tidak
menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia langsung mengibaskan
lengannya menyerang orang tersebut.
"Aaaakh . . .!" jerit Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong. Badannya
terpental beberapa depa, dalam keadaan luka parah.
Sang Seng Kiam Giok Shia dan Wan To Ma Sih terbelalak. Mereka
berdua sama sekali tidak berani maju.
Sedangkan si Kerdil Pek Tho San San Kun gusar sekali.
"Pek Bin Lo Sat, kau mau apa?" bentaknya berapi-api.
"Aku menghendaki kalian melepaskan gadis ini! Kalau tidak, kau
pasti mampus di sini!" sahut Pek Bin Lo Sat.
"Kau menghendaki apa pun boleh, asal jangan menghendaki gadis
ini. Kau juga seorang wanita, untuk apa kau menghendakinya?" kata
Pek Tho San San Kun dengan ringan.
"Untuk apa aku menghendakinya! Hanya saja dia adalah kekasih
adiknya Ouw Yang Coan, maka kau harus melepaskannya!" sahut
Pek Bin Lo Sat.
Pek Tho San San Kun berkertak gigi, tidak bicara sepatah kata pun.
Pek Tho San Cung merupakan aliran yang amat besar di daerah See
Hek. Maka tidak mengherankan kalau si Kerdil Pek Tho San San Kun
malang melintang dan bersikap sewenang-wenang di daerah
tersebut.
"Pek Bin Lo Sat, hari ini aku terpaksa harus mengadu nyawa
denganmu!" pekiknya dengan melotot.
Wanita itu tidak melayaninya, melainkan mendekati Bokyong Cen,
lalu memandangnya dengan penuh perhatian.

"Sungguh cantik kau! Anak Coan, pantas adikmu mau
menolongnya!" katanya dengan suara rendah.
Mendadak jari tangannya bergerak, tahu-tahu jalan darah Bokyong
Cen yang tertotok itu sudah bebas.
"Terimakasih Cianpwee!" ucap Bokyong Cen sambil menatapnya.
"Mengapa rambut Cianpwee sudah putih semua?"
Pek Bin Lo Sat tertegun, kemudian tertawa ringan.
"Hi hi! Kalau kau terus memikirkan sesuatu, bagaimana rambutmu
tidak akan berubah putih? Karena Ouw Yang Hong amat baik
padamu, maka kau tidak merasa risau, rambut pun tidak akan
berubah putih."
Usai berkata, dia menarik tangan Bokyong Cen mengajak pergi
sambil bergumam.
"Sungguh kesepian melewati hari! Orang sudah tua, rambut pasti
memutih, tidak tahu cinta kasih kemarin, hari ini sudah berakhir . .
.?"
Ouw yang Coan dan Ouw Yang Hong mengikutinya dari belakang.
Pek Tho San San Kun amat penasaran, tapi tidak berani
menghadang mereka, hanya memandang kepergian mereka dengan
mata berapi-api. Tak lama, mereka sudah hilang dari pandangannya.
Di saat bersamaan, mendadak terdengar suara jeritan Sang Seng
Kiam Giok Shia.
"Wajahku! Wajahku . . ."
Sementara itu, Pek Bin Lo Sat dan lainnya terus berjalan
meninggalkan Pek Tho San Cung.
"Baik, mari kita beristirahat di sini sebentar!" ajak Pek Bin Lo Sat.

Wanita itu duduk di atas sebuah batu, Ouw Yang Coan dan Ouw
Yang Hong berdiri di sisinya, sedangkan Bokyong Cen duduk di
hadapannya.
Bulan yang bergantung di langit bersinar remang-remang. Sungguh
sepi tempat itu, hanya kadang-kadang terdengar suara desiran
angin.
"Nona Bokyong, kau adalah orang Kang Lam, berasal dari perguruan
mana?" tanya Pek Bin Lo Sat sesaat kemudian.
"Aku adalah murid Kuil Cing Ani," sahut Bokyong Cen.
"Kuil Cing Am di Kang Lam? Aku tidak pernah mendengarnya," kata
Pek Bin Lo Sat.
Nada kata-kata Pek Bin Lo Sat agak meremehkan kuil tersebut,
maka sudah barang tentu membuat Bokyong Cen merasa tidak
senang. Namun dia tidak diperlihatkan perasaan itu pada wajahnya,
sebaliknya malah tersenyum.
"Tentunya Cianpwee tahu, ilmu silat aliran Kuil Cing Am tidak begitu
luar biasa, maka Cianpwee tidak pernah mendengarnya," katanya.
Pek Bin Lo Sat tertegun, tidak menyangka gadis itu begitu pandai
berbicara, maka manggut-manggut seraya berkata.
"Lumayan! Kau memang lumayan!"
Ucapan tersebut membuat Ouw Yang Hong dan Bokyong Cen
terheran-heran, karena tidak tahu akan makna ucapan itu. Tapi Ouw
Yang Coan bergirang dalam hati. Dia tahu gurunya yang jarang
memuji orang itu kini memuji Bokyong Cen lumayan, pertanda
terkesan baik padanya.
"Guruku jarang memuji orang lain . . ." katanya.
Bokyong Cen tidak mengerti, hanya tersenyum-senyum. Kemudian
perlahan-lahan dia bangkit berdiri, lalu memberi hormat kepada Pek
Bin Lo Sat.

"Terimakasih atas pujian Cianpwee!" ucapnya.
Di antara mereka bertiga, Ouw Yang Hong-lah yang sudah tahu jelas
akan sifat Bokyong Cen. Tapi kini dia justru termangu-mangu akan
sikap gadis itu. Kelihatannya sifat gadis itu telah berubah, tidak
cepat emosi lagi. Pikirnya sambil tersenyum.
"Anak Coan, kulihat . . . kalian tidak bisa kembali ke Pek Tho San
Cung lagi. Lebih baik kau pergi mengatur orang-orang yang ada di
rumahmu, setelah itu pergi mencariku!" kata Pek Bin Lo Sat.
Ouw Yang Coan memberi hormat.
"Aku memang harus pergi mencari Lo Ouw dan Ceh Liau Thou,
menyuruh mereka pergi bersembunyi. Tapi adikku dan Nona
Bokyong . . ."
"Aku akan membawa mereka ke goa es, kau harus cepat kembali!"
sahut Pek Bin Lo Sat.
Wanita itu lalu bangkit berdiri, dan langsung berjalan pergi.
Ouw Yang Coan segera berkata pada Ouw Yang Hong.
"Adik, ajaklah Nona Bokyong mengikuti guruku! Aku pergi sebentar
dan akan kembali secepatnya."
Usai berkata, Ouw Yang Coan langsung melesat pergi. Ouw Yang
Hong dan Bokyong Cen saling memandang, lalu mengikuti Pek Bin
Lo Sat dari belakang.
Berselang beberapa saat kemudian, mereka bertiga sudah sampai di
mulut goa es itu. Pek Bin Lo Sat melesat ke dalam. Ouw Yang Hong
dan Bokyong Cen terbelalak, berdiri termangu-mangu di mulut goa
es itu.
"Saudara Ouw Yang, aku . . ." kata Bokyong Cen dengan kening
berkerut.

Ouw Yang Hong tahu bahwa gadis itu merasa takut.
"Aku akan meloncat ke dalam duluan, lalu menyambutmu dari
bawah," sahutnya.
"Tangan dan kakimu begitu kaku, lagi pula amat bodoh! Bagaimana
mungkin dapat menyambut diriku!"
Wajah Bokyong Cen tampak kemerah-merahan. Tampaknya dia
sedang berpikir, apabila meloncat ke bawah, Ouw Yang Hong tidak
kuat menyambutnya. Tentunya mereka berdua akan terjatuh
bersama saling menindih.
Ouw Yang Hong menatap Bokyong Cen. Menyaksikan wajah gadis
itu yang tersorot sinar rembulan tampak kemerah-merahan,
membuatnya ter-heran-heran. Sungguh mengherankan nona
Bokyong itu, kelihatannya dia takut meloncat ke dalam lubang goa,
tapi . . . mengapa wajahnya kemerah-merahan? Begitulah pikir Ouw
Yang Hong yang tak dapat menduga pikiran gadis itu.
Berselang sesaat, Ouw Yang Hong berkata.
"Kalau begitu, kau meloncat duluan saja!"
Bokyong Cen menggeleng-geleng kepala, pertanda tidak mau.
Ouw Yang Hong jadi gelisah, takut guru kakaknya tidak sabaran
menunggu.
"Baik! Biar aku saja yang meloncat duluan!" ujarnya kemudian.
Usai berkata begitu, Ouw Yang Hong langsung meloncat ke dalam
lubang itu.
"Tidak bisa! Tidak bisa! Aku yang harus meloncat duluan, aku takut
seorang diri berada di sini!" teriak Bokyong Cen.
Akan tetapi, bayangan Ouw Yang Hong sudah tidak tampak, karena
sudah meloncat ke dalam lubang itu.

Bokyong Cen menengok ke sana ke mari. Suasana gelap dan amat
sunyi, sehingga menimbulkan rasa takutnya. Tanpa banyak pikir lagi,
dia memejamkan matanya lalu meloncat ke dalam.
Suara angin menderu-deru melewati telinganya. Hal itu membuatnya
terkejut sekali karena sama sekali tidak menduga sedemikian dalam
lubang tersebut.
Entah berapa lama kemudian Bokyong Cen merasa badannya
didorong orang hingga jatuh menyentuh sesuatu yang amat licin,
tapi bergemerlapan memancarkan cahaya. Sesaat kemudian
terdengar suara seruan Ouw Yang Hong.
"Nona Bokyong, kau sudah meloncat turun?"
Suara nadanya penuh perhatian, membuat hati Bokyong Cen terasa
hangat. Ouw Yang Hong memang orang baik, katanya dalam hati.
Tiba-tiba ada orang meraba-raba tubuhnya, bahkan sampai ke
bagian dadanya. Dia menjerit karena terperanjat. Mendengar jeritan
itu, Ouw Yang Hong jadi terkejut sekali.
"Nona Bokyong, kau kenapa?" tanyanya kekerasan.
"Ti . . . tidak apa-apa. Mari kita ke dalam!"
Ketika sampai di dalam, mereka tidak dapat melihat apa-apa.
Setelah lewat beberapa saat, barulah mata mereka dapat melihat
tempat tersebut. Tempat itu terdiri dari batu es yang bergemerlapan.
Terdapat sebuah terrowongan es yang amat panjang. Mereka
berdua memasuki terowongan tersebut.
Setelah berjalan, beberapa saat kemudian mereka melihat Pek Bin
Lo Sat duduk di atas es batu yang amat besar.

Bab 12
Ouw Yang Hong dan Bokyong Cen tidak kuat berdiri lama di tempat
itu, karena hawanya sangat dingin. Keduanya menengok ke sana ke
mari, ingin mencari suatu tempat yang tidak terlalu dingin. Namun
goa itu seluruhnya terdiri dari batu es.
Kini mereka semakin merasa kedinginan. Selain itu mereka mulai
lapar. Akhirnya terpaksa mendekati Pek Bin Lo Sat.
"Lo Cianpwee, apakah di sini tiada tempat yang hangat?" tanya Ouw
Yang Hong.
Pek Bin Lo Sat diam saja.
Bokyong Cen pun ikut berkata.
"Cianpwee berkepandaian tinggi, tentunya dapat melawan hawa
dingin di dalam goa ini. Tapi aku dan saudara Ouw Yang tidak dapat
bertahan, mohon Lo Cianpwee memberi petunjuk!"
Pek Bin Lo Sat menatap mereka seraya menyahut.
"Tempat ini memang dingin, hati pun jadi beku. Kalau bukan suatu
hal, bagaimana dingin dan panas jadi satu?"
Tertegun Ouw Yang Hong mendengar itu, lalu berpikir. Kelihatannya
guru kakakku memberitahukan, bahwa dia pun terpaksa tinggal di
dalam goa es ini, maka harus bertahan hidup dalam kedinginan.
Di saat Ouw Yang Hong sedang berpikir, Bokyong Cen berteriakteriak.
"Aku akan mati kedinginan! Aku akan mati kedinginan!"
Pek Bin Lo Sat tidak memperdulikan gadis itu, dia meloncat turun
lalu menyambar Ouw Yang Hong, dan langsung dibawanya ke atas
batu es itu. Begitu berdiri di atas batu es itu, Ouw Yang Hong
langsung menggigil.

"Cianpwee, batu es ini amat dingin ..." ujarnya dengan suara
gemetaran.
Pek Bin Lo Sat tertawa.
"Ini adalah batu es ribuan tahun, tentunya amat dingin sekali!"
Ouw Yang Hong terbelalak. Dia merasa tak memiliki lwee kang yang
tinggi, bagaimana mungkin dapat melawan hawa dingin itu.
Menyaksikan Ouw Yang Hong menggigil kedinginan, Bokyong Cen
jadi tercengang seraya berpikir. Aku dan dia sama-sama berada di
dalam goa es ini, tapi mengapa dia tidak dapat bertahan, bahkan
menggigil kedinginan? Apakah batu es yang diduduki Pek Bin Lo Sat
itu jauh lebih dingin? Bokyong Cen menjulurkan tangannya meraba
batu es itu. Rasa dingin langsung menyerang telapak tangannya, itu
membuatnya terkejut bukan main!
Sedangkan Ouw Yang Hong sudah tidak tahan, dia ingin meloncat
turun dari batu es itu, tapi mendadak Pek Bin Lo Sat berkata.
"Aku dengar dari anak Coan, bahwa kau tidak mau belajar ilmu
sastra lagi, melainkan ingin berkecimpung dalam rimba persilatan
jadi seorang pendekar. Namun kau harus tahu, tidak gampang
belajar ilmu silat, sebab harus tahan derita. Misalnya batu es ribuan
tahun ini, dinginnya sampai menusuk ke dalam tulang sumsum, tapi
tahukah kau? Batu es ini justru merupakan suatu benda mustika
bagi orang yang belajar ilmu silat! Apabila kau dapat bertahan
beberapa waktu, berarti kau dapat menahan derita dan akan
berhasil menguasai ilmu silat tingkat tinggi!"
Mendengar itu, Ouw Yang Hong jadi tertarik dan berusaha menahan
rasa dinginnya. Dia duduk di hadapan Pek Bin Lo Sat. Dirasakan
badannya semakin menggigil. Rasa dingin itu pun merasuk ke dalam
aliran darahnya, membuatnya jadi seperti manusia es.
Dia tahu lwee kangnya masih dangkal, kalau tak untung dia akan
mati kedinginan. Tapi dia tetap berkeras hati. Meski akan mati
kedinginan, dia tetap harus duduk di atas es itu. Hatinya sudah bulat
bertekad.

Sementara Bokyong Cen terjadi beringsut mundur dari batu es itu.
Ia tahu betapa dinginnya. Ketika melihat Ouw Yang Hong berkeras
hati duduk di atas es itu, dia kelihatan gelisah sekali.
"Bodoh sekali kau! Batu ini amat dingin, sedangkan kau
berkepandaian rendah, jangankan berlama-lama, sesaat saja kau
pasti mati beku!" teriak gadis itu.
Walau Bokyong Cen berseru dengan suara keras, Ouw Yang Hong
malah memejamkan matanya, tidak memperdulikan seruan gadis itu.
Beberapa saat telah berlalu, wajah Ouw Yang Hong tampak berubah
putih kehijau-hijauan. Bibirnya pun sudah kebiru-biruan. Hawa
dingin telah menjalar ke seluruh tubuhnya, sedangkan dia telah
kehilangan kesadaran.
Ketika dia kembali tersadar, tampak goa itu telah diterangi nyala
obor-obor. Tampak pula Ouw Yang Coan dan Bokyong Cen
menatapnya dengan penuh perhatian.
Ouw Yang Hong tercengang, karena dadanya terasa hangat dan
sekujur badan pun terasa nyaman sekali.
"Adik, guruku telah menyelamatkanmu!" Berkata tiba-tiba Ouw Yang
Coan.
Ouw Yang Hong terbelalak mendengar itu. Dia menoleh ke arah Pek
Bin Lo Sat dengan tidak mengerti.
Pek Bin Lo Sat menoleh ke arah Ouw Yang Coan.
"Anak Coan, aku lihat dia cukup gagah dan bertulang bagus. Kalau
dia belajar ilmu silat, keherhasilannya kelak pasti tidak berada di
bawahmu!"
Dengan penuh gembira Ouw Yang Hong langsung bersujud di
hadapan Pek Bin Lo Sat.
"Ouw Yang Hong memang ingin belajar ilmu silat, harap guru
menyempurnakan diriku!" ujarnya penuh harap.

Ouw Yang Hong yang tidak begitu tahu peraturan rimba persilatan
mengira guru kakaknya adalah juga gurunya, maka memanggil Pek
Bin Lo Sat sebagai guru pula.
Pek Bin Lo Sat tertawa.
"Anak Coan, perlukah aku menerima adikmu sebagai murid?"
Ouw Yang Hong memandang Ouw Yang Coan dengan wajah berseriseri.
Pek Bin Lo Sat bertanya demikian pada kakaknya, tentu orang
ini bersedia menerimanya sebagai murid, tentu kakaknya pasti
setuju.
Akan tetapi, mendadak Ouw Yang Coan menjatuhkan diri berlutut di
hadapan Pek Bin Lo Sat.
"Guru, keluarga Ouw Yang hanya mengandalkan pada adikku, dia
harus punya keturunan. Biar teecu saja yang ikut guru pergi
menuntut balas, jangan menerimanya! Harap guru mengabulkan
permohonan teecu!"
Apa yang dikatakan Ouw Yang Coan membuat Ouw Yang Hong
terheran-heran, sama sekali tidak mengerti. Kalaupun Pek Bin Lo Sat
punya musuh besar, cari saja musuh besar itu dan membunuhnya,
bukankah urusan jadi beres? Mengapa kakaknya harus mengungkit
tentang itu? Aku ingin berguru pada Pek Bin Lo Sat, lalu apa
hubungannya dengan keturunan keluarga Ouw Yang? Apa-kah
setelah aku berguru pada Pek Bin Lo Sat, seumur hidup tidak boleh
kawin dan punya anak? Ouw Yang Hong betul-betul merasa tak
habis pikir.
Mendengar percakapan mereka, Bokyong Cen sama sekali tidak
turut campur. Gadis itu cuma diam saja.
Sementara Ouw Yang Coan terus memandang Pek Bin Lo Sat.
Kelihatannya dia sedang menunggu jawaban gurunya itu.
Oleh karena itu, Ouw Yang Hong berpikir lagi, Kakak berkepandaian
amat tinggi, merupakan jago nomor satu di daerah See Hek,
sedangkan diriku tak berguna sama sekali, selalu dihina dan

dipermainkan orang. Kalau guru kakakku tidak mau mengajarku ilmu
silat, aku harus cari siapa untuk belajar ilmu silat?
Setelah berpikir begitu, Ouw Yang Hong pun bangkit berdiri dan
mendekati Bokyong Cen. Apabila Pek Bin Lo Sat tidak mau
mengajarnya ilmu silat, lalu untuk apa berada di dalam goa es itu?
Ouw Yang Hong memandang Bokyong Cen. Ternyata dia teringat
akan seruan gadis itu yang penuh perhatian ketika dirinya duduk di
atas batu es. Namun dia tidak mengucapkan apa pun.
Pek Bin Lo Sat tetap duduk diam di atas batu es. Berselang sesaat,
dia berkata dengan suara rendah.
"Anak Coan, kemarilah kau!"
Ouw Yang Coan segera mendekati Pek Bin Lo Sat yang
memandangnya.
"Anak Coan, kau pernah mengatakan bahwa di Tionggoan telah
muncul sebuah kitab Kiu Im Cin Keng. Setelah kupikir-pikir, harus
memperoleh kitab tersebut. Kepandaian musuhku itu amat tinggi
sekali. Walaupun kita bergabung, mungkin masih bukan lawannya.
Lagipula dia sudah belasan tahun tidak memunculkan diri dalam
rimba persilatan, tentu kepandaiannya bertambah tinggi. Karena itu,
kau boleh ke Tionggoan mencari kitab pusaka tersebut. Siapa tahu
kau akan memperolehnya, sehingga kelak kita dapat menuntut balas
dendam itu!"
Ouw Yang Coan manggut-manggut. Sementara Pek Bin Lo Sat
memandang Bokyong Cen seraya tersenyum.
"Nona, kau dari keluarga di Kang Lam. Panorama di Kang Lam amat
indah, tidak seperti di daerah See Hek. Oleh karena itu, kau ikut
anak Coan ke daerah selatan, dia bisa menjagamu dalam
perjalanan!"
Betapa girangnya Bokyong Cen, yang tak menduga Pek Bin Lo Sat
akan mengatur demikian.
Gadis itu buru-buru maju, lalu memberi hormat pada Pek Bin Lo Sat.

"Terimakasih, Cianpwee!"
Pek Bin Lo Sat tesenyum sambil manggut-manggut, sedangkan Ouw
Yang Hong amat kesal dalam hati. Kakakku pergi ke Kang Lam
ditemani nona Bokyong Cen, dalam perjalanan mereka berdua pasti
bersenda gurau sambil menikmati keindahan alam. Sebaliknya aku
harus tetap berada di dalam goa es ini menemani guru kakak.
Berpikir begitu, dia pun berseru sekeras-kerasnya.
"Kakak, kau kurang tahu jalan menuju ke Tionggoan, biar aku yang
menemanimu ke sana!"
Ouw yang Coan menyahut, "Adik, lebih baik kau menungguku di sini,
aku pergi paling lama satu tahun, mungkin setengah tahun aku
sudah pulang!"
Ouw Yang Hong mengerutkan kening. Berada di dalam goa es ini
setengah hari rasanya seperti sudah setengah tahun. Bagaimana
kalau harus menetap selama setengah tahun atau setahun? Dia
berkata dengan kening berkerut-kerut.
"Kakak ke Tionggoan, harus kenal beberapa orang di sana! Kalau
tidak, begitu kakak muncul, pasti akan dianggap sebagai musuh, itu
amat merepotkan!"
Pek Bin Lo Sat terus mendengar percakapan itu. Dia tahu kalau Ouw
Yang Hong lehih cerdik dari Ouw Yang Coan. Apahila mereka
bergahung, kemungkinan besar akan berhasil memperoleh kitab Kiu
Im Cin Keng tersebut.
"Ouw Yang Hong, kau kenal kaum rimba persilatan Tionggoan?"
tanya Pek Bin Lo Sat kemudian.
Ouw Yang Hong menyahut dengan jujur, "Aku pernah ke Tionggoan
sampai di kotaraja, berkenalan dengan Oey Yok Su majikan Pulau
Tho Hoa To, kepandaiannya amat tinggi. Aku juga melihat seorang
padri muda bergelar It Sok Taysu. Dia mengadu kepandaian dengan
Oey Yok Su. Kepandaiannya juga amat tinggi, seimbang dengan Oey

Yok Su, dia berasal dari keluarga Tayli Yun Lam ti
Mendengar nama It Sok Taysu, mendadak sekujur badan Pek Bin Lo
Sat tampak tergetar.
"Kau bilang It Sok Taysu berasal dari keluarga Tayli Yun Lam?"
Ouw Yang Hong mengangguk.
"Tidak salah!"
"Dia mahir ilmu telunjuk?" lanjut Pek Bin Lo Sat.
Ouw Yang Hong mengangguk lagi.
"It Sok Taysu memang mahir ilmu telunjuk. Ketika mengadu
kepandaian dengan Oey Yok Su, aku melihat jari telunjuknya
bergerak ke sana ke mari!" paparnya menjelaskan.
"Berapa usianya dan bagaimana rupanya?"
Ouw Yang Hong tercengang, sebab Pek Bin Lo Sat terus bertanya
tentang padri tersebut.
"Usianya sekitar lima puluhan, berwajah ramah, dan suaranya pun
amat lembut. Siapa yang melihatnya, pasti menaruh hormat
padanya!"
Mendadak Pek Bin Lo Sat tertawa terkekeh-kekeh, kemudian
menyingkap rambutnya yang amat panjang itu.
"Kau lihat aku, kira-kira berapa usiaku?" tanyanya dengan nada
sedih.
Ouw Yang Hong terheran-heran, tidak mengerti mengapa Pek Bin Lo
Sat bertanya begitu. Kelihatannya Pek Bin Lo Sat kenal haik dengan
It Sok Taysu. Tapi mereka terpisah, yang satu di Yun Lam, yang satu
lagi berada di See Hek, bagaimana saling mengenal? Melihat Pek Bin
Lo Sat begitu emosi, Ouw Yang Hong tahu pasti ada sebabmusababnya.

"Apakah jari telunjuknya bergerak demikian?"
Pek Bin Lo Sat memperagakan gerakan itu, Ouw Yang Hong melihat
dengan penuh perhatian.
Seusai memperagakan gerakan itu, Pek Bin Lo Sat bertanya,
"Apakah hweeshio itu bergerak demikian jari telunjuknya?"
Ouw Yang Hong mengangguk. "Ya!"
Pek Bin Lo Sat menundukkan kepala agak lama. Kemudian dia
membuka mulut dengan suara dalam.
"Ternyata dia sudah jadi hweeshio . . ."
Ouw Yang Coan yang sejak tadi diam, kini mengerti, ternyata musuh
perguruannya adalah It Sok Taysu, berasal dari keluarga Toan di
Tayli.
Pek Bin Lo Sat mendongakkan kepala, dan berseru sekeraskerasnya,
"Toan kongcu (Tuan Muda Toan)! Toan kongcu! Mengapa
kau jadi hweeshio? Mengapa?"
Bersamaan itu, melelehlah air mata Pek Bin Lo Sat. Sedangkan Ouw
Yang Hong cuma terbengang-bengong tidak mengerti sama sekali.
"Anak Coan, ada baiknya kau ajak adikmu ke Tionggoan!"
Ouw Yang Coan mengangguk.
"Ya, Guru!"
Wajah Ouw Yang Hong berseri-seri karena begitu gembiranya, sebab
akan meninggalkan goa es yang amat dingin itu.
Ouw Yang Coan, Ouw Yang Hong, dan Bokyong Cen meninggalkan
goa es. Dan setelah melewati Mok Pak, akhirnya mereka bertiga
sudah tiba di Ciau Liang.
Ciau Liang merupakan kota besar di wilayah utara, yang terbilang
ramai. Ouw Yang Hong yang rupanya banyak mengetahui kota ini
banyak memberi penjelasan kepada kakaknya dan Bokyong Cen
diam saja.

Kemudian mereka bertiga memasuki rumah makan. Rumah makan
Ting Ih Lou yang amat terkenal di kota Ciau Liang. Suasananya
tampak tidak begitu ramai sebab bukan waktunya makan. Di lantai
atas rumah makan itu terdapat dua puluh meja. Selain mereka
bertiga, tampak ada delapan orang, mereka duduk dekat jendela,
menghadapi cawan arak dengan kepala tertunduk.
Ouw Yang Coan memperhatikan kedelapan orang itu. Dia tahu kalau
mereka memiliki kepandaian. Salah satu dari mereka adalah wanita.
Empat orang yang duduk di sisi kanan meja, semuanya berpakaian
compang-camping. Di tubuh mereka tergantung sembilan buah
kantong kecil, delapan buah kantong kecil, dan enam buah kantong
kecil. Pakaian mereka yang compang-camping itu menyiarkan bau
busuk. Sedangkan tiga lelaki dan seorang wanita yang duduk di sisi
kiri meja, semuanya berpakaian amat indah.
Di atas meja terdapat tiga buah guci arak. Ouw Yang Coan tahu
mereka sedang menunggu orang.
Ouw Yang Hong tidak begitu memperhatikan mereka, terus
hercakap-cakap dengan Bokyong Cen. Gadis itu pun melayaninya
dengan penuh semangat.
Tak lama kemudian terdengar suara langkah.
Tampak dua orang berjalan menuju lantai atas. Ouw Yang Hong
mendongakkan kepala memandang. Seketika hatinya bergirang
karena ternyata dia kenal kedua orang yang baru muncul itu, yang
tak lain adalah Su Ciau Hwa Cu dan Ang Cit Kong yang pernah
membawanya ke istana mencuri makanan.
Ouw Yang Hong ingin pergi menyapa mereka, namun dicegah oleh
Ouw Yang Coan, bahkan juga diberi isyarat agar dia tidak bersuara.
Sementara Su Ciau Hwa Cu dan Ang Cit Kong sama sekali tidak
memandang ke arah meja Ouw Yang Hong, langsung menuju ke
meja yang dekat jendela.

Ouw Yang Hong memperhatikan Su Ciau Hwa Cu dan Ang Cit Kong.
Yang membuatnya heran melihat Su Ciau Hwa Cu kelihatan tak
bersemangat. Dia mengenakan pakaian yang amat aneh, berlubanglubang
tapi amat bersih. Dia dan Ang Cit Kong menuju ke meja itu
dengan wajah muram. Duduk di salah sebuah kursi yang kosong, kemudian
manggut-manggut pada kedelapan orang itu.
Ouw Yang Coan terus memperhatikan mereka, sementara Su Ciau
Hwa Cu sudah duduk, namun tiada seorang pun bersuara. Berselang
sesaat, barulah Su Ciau Hwa Cu membuka mulut.
"Arak wangi! Arak wangi! Ini adalah arak wangi berusia lima puluh
tahun, aku harus minum secawan!"
Su Ciau Hwa Cu mulai meneguk arak wangi itu. Sekejap saja sudah
menghabiskan sembilan cawan.
Delapan orang yang duduk di sisi kiri kanan meja sama sekali tidak
bersuara. Mereka memandangi Su Ciau Hwa Cu yang meneguk arak
wangi.
Tiba-tiba salah seorang yang berpakaian mentereng berkata.
"Pengcu (Ketua), lihat . . ."
Belum juga orang itu usai berkata, Su Ciau Hwa Cu sudah
membentak keras.
"Jangan panggil aku pangcu, kalian jangan panggil aku pangcu! Apa
gunanya aku jadi pangcu kalian? Setiap hari kalian cuma berkelahi,
sebentar disebut partai Baju Mentereng, kemudian jadi partai Baju
Kembang, membuat kepalaku sakit sekali. Sekarang aku punya usul,
lagipula kalian pun sudah melihat pakaianku ini. Separuh adalah
pakaian mentereng, separuhnya lagi merupakan pakaian kembang,
pertanda adalah partai Baju Mentereng dan partai Baju Kembang! Ya
kan?" Su Ciau Hwa Cu memandang mereka sambil melanjutkan.
"Tapi tidak baik aku berpakaian demikian, karena semua orang akan
menganggap diriku sebagai makluk aneh! Tidak baik, ini sungguh
tidak baik."

Orang berpakaian mentereng berkata.
"Pangcu berpakaian begini, memang kurang pantas . . ."
Su Ciau Hwa Cu langsung membentak gusar.
"Kau hilang apa? Ini tidak pantas, itu tidak pantas! Lalu aku harus
berpakaian apa?"
Orang berpakaian mentereng amat gugup ketika melihat Su Ciau
Hwa Cu marah. Lalu dengan gugup dia menyahut, "Maksudku
pakaian Pangcu tidak sesuai dengan peraturan. Pangcu . . ."
Mendengar orang berpakaian mentereng mengatakan begitu,
kegusaran Su Ciau Hwa Cu memuncak, membentak dengan suara
mengguntur.
"Bagaimana pakaianku tidak sesuai dengan peraturan kalian? Coh Lo
Toa, katakanlah! Separuh pakaianku bukankah merupakan baju
mentereng? Tahukah kau, aku telah mengeluarkan hampir lima
puluh tael perak untuk membeli bahannya."
Coh Lo Toa terkejut mendapat bentakan.
"Pakaian Pangcu memang mentereng, persis seperti baju partai
kami! Tapi . . ."
Su Ciau Hwa Cu menyelak dengan suara lantang, "Persis ya sudah!
Ayo, mari kita minum! Sungguh bagus apabila partai Baju Mentereng
kalian sudah tiada urusan lain, begitu pula partai Baju Kembang!"
Salah seorang lelaki langsung bangkit berdiri, memberi hormat
seraya berkata, "Pangcu, apa yang dikatakan saudara Coh memang
benar. Pakaian Pangcu tidak mirip baju mentereng juga tidak mirip
baju kembang. Kami murid Kay Pang tidak mengerti sama sekali,
harap Pangcu memikirkan suatu cara yang terbaik!"
Su Ciau Hwa Cu menyahut dengan wajah lesu.
"Sudahlah! Harus memikirkan cara apa lagi? Kalian menyuruhku
berpakaian compang-camping, yang lain menyuruhku berpakaian

mentereng. Sungguh membuatku pusing tujuh keliling, lebih baik
aku berpakaian begini saja!"
Semua orang diam. Sementara Ouw Yang Coan, Ouw Yang Hong,
dan Bokyong Cen sudah paham. Ternyata orang-orang itu sedang
mempermasalahkan pakaian, yang amat merepotkan ketua Kay
Pang.
Ternyata pada masa itu terdapat partai yang amat besar, yaitu Kay
Pang (Partai Pengemis). Partai ini terbagi jadi dua aliran. Aliran Baju
Mentereng dan aliran Baju Kembang yang penuh tambalan. Prinsip
aliran Baju Kembang harus mengenakan pakaian yang penuh
tambalan, sedangkan aliran Baju Mentereng harus berpakaian indah.
Oleh karena itu, kedua aliran tersebut sering terjadi keributan,
bahkan ketuanya terbawa-bawa karena harus berpakaian mentereng
dan berpakaian kembang. Karena itu, ketua terpaksa membuat
pakaian aneh tersebut.
Beberapa saat kemudian, Su Ciau Hwa Cu sudah tampak tidak
saharan, dia berkata pada delapan orang itu.
"Aku tidak sudi jadi ketua kalian, aku mau pergi! Kalian mau
melakukan apa, lakukan saja!" Su Ciau Hwa Cu bangkit perlahanlahan,
setelah itu berkata lagi, "Menurutku, kalian harus memilih
seorang ketua lain. Aku sudah pusing dengan masalah pakaian, aku
tidak tahu harus berpakaian apa!"
Dengan gugup delapan orang itu segera bangkit berdiri dan cepatcepat
menghadang kepergiannya.
"Hei! Apakah kalian menghendaki nyawaku?" bentak Su Ciau Hwa
Cu.
Su Ciau Hwa Cu ingin kabur, tapi delapan orang itu bergerak cepat
menghadangnya. Hal itu membuat Su Ciau Hwa Cu mencak-mencak.
"Mengapa kalian menghadangku? Lebih baik kalian duduk minum
arak wangi saja!"

Delapan orang itu tetap berdiri di hadapan Su Ciau Hwa Cu tanpa
bergerak. Su Ciau Hwa Cu menatap Ang Cit Kong.
"Kau kenapa tenang-tenang saja? Kalau kau sudah jadi pangcu,
barulah akan pusing!"
Sementara Ouw Yang Coan terus memperhatikan Su Ciau Hwa Cu.
Dia tahu kepandaian pengemis tua itu masih di atas kepandaian
gurunya. Sesunggguhnya, pengemis tua itu dapat kabur sesukanya,
tapi rupanya dia tidak mau menyinggung perasaan delapan orang
itu, maka duduk kembali.
Di saat bersamaan, mendadak terdengar suara seman di lantai
bawah.
"Siangkoan Pangcu dari Tiat Ciang Pang (Partai Telapak Besi)
datang!"
Menyusul terdengar suara langkah menaiki tangga, tampak sembilan
orang berjalan ke lantai atas. Mereka bercakap-cakap dengan
gembira. Sampai di lantai atas dan ketika melihat Su Ciau Hwa Cu
serta yang lain, mereka langsung diam.
Tampak salah seorang berbisik perlahan.
"Pangcu, perlukah kita pindah ke tempat lain?"
Seorang yang berdiri di tengah-tengah mereka menyahut.
"Tidak perlu pindah, kita duduk di sini saja!"
Orang yang berbisik itu mengangguk, lalu mempersilakan Siangkoan
Pangcu duduk. Setelah itu dia memanggil pelayan, memesan
beberapa macam hidangan dan arak wangi.
Sementara si pelayan pergi, sembilan orang itu duduk diam
menunggu hidangan disiapkan.
Dari tadi Ouw Yang Coan sudah memperhatikan mereka. Dalam hati
dia tahu, di antara sembilan orang itu terdapat tujuh orang
berkepandaian tinggi, terutama orang yang dipanggil Siangkoan

Pangcu itu. Dia berusia empat puluh lebih, sepasang tangannya
berwarna hitam sekali.
Tak seberapa lama kemudian, pelayan mulai menyajikan semua
hidangan tersebut.
Siangkoan Pangcu segera berkata singkat.
"Cepat makan dan cepat melanjutkan perjalanan!"
Mereka mulai bersantap secepatnya bagaikan macan kelaparan.
Namun tampak Siangkoan Pangcu itu sama sekali tidak bersantap,
hanya duduk tertegun sambil melihat semua orang yang bersantap.
Orang-orang itu tidak memperdulikannya, terus bersantap dengan
cepat.
Sebentar kemudian, seorang pelayan membawakan seguci arak ke
hadapannya. Siangkoan Pangcu itu membuka tutup guci, lalu
mencium arak di dalamnya. Ketika dia mau menuang arak ke dalam
cawannya, mendadak seorang anak kecil berpakaian compangcamping
masuk dan menuju ke hadapannya. Maksudnya ingin
menuju meja orang Kay Pang, namun saking cepatnya berlari,
sehingga menyenggol lengan Siangkoan Pangcu, membuat guci arak
yang di tangan Siangkoan Pangcu terjatuh.
Anak kecil itu berseru kaget, tidak tahu harus berbuat apa.
Sedangkan guci arak itu terus meluncur ke bawah, kelihatannya sulit
ditangkap lagi.
Di saat bersamaan, terdengar suara tawa Siangkoan Pangcu. Dia
mengayunkan kakinya menendang guci arak itu ke atas, lalu
menjulurkan tangan menyambarnya dengan cepat.
Seorang lelaki yang berada di situ membentak gusar, langsung
mencengkeram tangan anak kecil itu.
"Kenapa kau berlari begitu cepat seperti dikejar setan? Apakah ayah
bundamu mati mendadak?"

Si anak kecil tak dapat bersuara, dia menahan rasa sakit di
tangannya karena dicengkeram oleh orang itu.
Salah seorang lelaki lagi ketika melihat anak kecil itu diam, langsung
bangkit berdiri seraya membentak.
"Kalau aku tidak membunuhmu, kau pasti akan berkeliaran di sini!"
Lelaki itu mengayunkan tangannya memukul anak kecil, tapi
mendadak Siangkoan Pangcu menjulurkan tangannya menarik baju
anak kecil itu.
Serrrt!
Baju anak kecil tersobek, sehingga membuatnya menangis seketika
dan berteriak-teriak.
"Kau harus ganti pakaianku! Kau harus ganti pakaianku!"
"Kau telah menjatuhkan guci arak pangcu kami, sudah bagus kau
tidak dihukum! Apakah kau mau dipukul?" bentak orang yang
hendak memukulnya.
Ketika lelaki itu hendak memukul anak kecil, Siangkoan Pangcu
segera mencegahnya.
"Siapa namamu?" tanyanya.
"Aku bernama Ciu Cian Jen!" sahut si anak kecil dengan lantang.
"Nama yang bagus, Cian Jen! Cian Jen, apakah tinggi sekali?"
Anak kecil itu menyahut.
"Aku tidak tinggi sekali. Kakakku bernama Ciu Cian Cang, dia lebih
tinggi dariku. Adik perempuanku bernama Ciu Cian Ciok, dia lebih
pendek dariku."
Sementara Ouw Yang Coan yang memperhatikan kejadian itu, sudah
siap menolong si anak kecil, apabila lelaki itu memukulnya. Begitu
pula Su Ciau Hwa Cu, tangannya memegang sebatang sumpit, siap

menyambit lelaki tersebut. Untung Siangkoan Pangcu mencegah
lelaki itu bertindak. Hal itu membuat Ouw Yang Coan dan Su Ciau
Hwa Cu menarik nafas lega.
"Namaku Siangkoan Wei, namaku tidak sebagus namamu."
Siangkoan Wei berpaling pada temannya. "Saudara Mai, kau ke toko
pakaian yang di depan, belilah pakaian yang bagus!"
Mai San tampak tak mengerti.
"Pangcu, siapa yang akan ganti pakaian baru? Apakah Pangcu ingin
ganti pakaian baru?"
"Buat apa aku ganti pakaian haru?" sahut Siangkoan. "Kau lihat anak
kecil ini! Pakaiannya sudah compang-camping tidak karuan, kau
pergi beli pakaian untuknya, dia harus ganti pakaian baru!"
Mai San masih tidak begitu mengerti. Tapi karena itu perintah sang
Pangcu, maka dia tidak berani membangkang, segera berlari ke toko
yang di seberang.
"Di mana kakak dan adik perempuanmu?" tanya Siangkoan Wei pada
si anak kecil.
Anak kecil itu menyahut dengan wajah muram, kemudian air
matanya meleleh membasahi pipinya.
"Mereka . . . mereka kerja di rumah orang."
Siangkoan Wei bertanya dengan lembut, "Mereka bekerja di rumah
siapa?"
Ciu Cian Jen memberitahukan.
"Mereka bekerja di rumah dermawan Tio, kakakku bekerja sebagai
budak, adik perempuanku bekerja sebagai pelayan."
"Orang itu disebut dermawan Tio, dia pasti baik sekali terhadap
kalian kau?" ujar Siangkoan Wei.
Mendengar itu, Ciu Cian Jen malah menangis sedih memilukan hati.

"Akan kusuruh orang pergi membawa kakak dan adik perempuanmu
ke mari. Bagaimana?" bujuk Siangkoan Wei lembut.
Anak kecil itu tampak tersentak. Cepat-cepat dia menolak.
"Tidak bisa! Tidak bisa! Kalau mereka kemari, orang-orang
dermawan Tio pasti akan memukul mereka!"
Siangkoan Wei tersenyum.
"Kakakmu bekerja di sana, dermawan Tio memberikannya berapa
tael perak?"
Ciu Cian Jen menyahut.
"Tidak diberi uang tapi hanya diberi makan saja!"
Siangkoan Wei manggut-manggut.
"Aku akan bawa kakak dan adikmu kemari, biar mereka bekerja
padaku. Setiap bulan akan kuberikan mereka tiga puluh tael perak.
Bagaimana?"
Tertegun Ciu Cian Jen mendengar itu, sehingga mulutnya jadi
ternganga lebar, kemudian memandang Siangkoan Wei.
"Kau membohongiku? Kau pasti membohongiku!"
Siangkoan Wei tersenyum lembut.
"Mengapa aku harus membohongimu?" Pangcu itu berpaling, lalu
menjulurkan tangannya ke arah seorang lelaki yang berdiri di sini.
Lelaki itu segera mengeluarkan uang perak.
Siangkoan Wei mengambil uang perak itu, kemudian ditaruhnya ke
tangan Ciu Cian Jen seraya berkata.
"Ini lima puluh tael perak, perlihatkan pada kakak dan adikmu,
apakah mereka berdua mau ikut kau kemari?"

Ciu Cian Jen masih kecil. Dia tentu tidak pernah melihat uang perak
sebanyak itu. Maka tampak terbengong-bengong melihat uang itu.
"Aku akan beritahukan mereka, mereka pasti mau kemari!"
Siangkoan Wei berkata pada lelaki yang di sisinya.
"Kau pergi ke sana, katakan pada dermawan Tio bahwa kau akan
membawa kakak dan adik anak kecil ini ke dalam Pang kita!"
Lelaki itu mengangguk dan segera berangkat.
Ouw Yang Coan, Ouw Yang Hong, dan Bok-yong Cen semakin tidak
mengerti, mengapa Siangkoan pangcu itu berbuat demikian. Apakah
betul dia berhati-hati?
Su Ciau Hwa Cu yang menyaksikan itu juga tidak mengerti.
Bab 13
Kalau Tiat Ciang Pang terkenal baik dalam dunia persilatan, itu
memang tidak mengherankan. Akan tetapi, semua orang tahu Tiat
Ciang Pang merupakan partai yang jahat.
Siangkoan Wei adalah ketua partai tersebut. Tentunya dia berhati
jahat dan kejam. Seharusnya dia memperlakukan anak kecil itu
dengan galak, namun justru malah sebaliknya. Dia memperlakukan
anak Ciu Cian Jen dengan baik dan amat lembut.
Siangkoan Wei menuruh Ciu Cian Jen duduk, kemudian berseru.
"Tiam Keh (Pemilik Rumah Makan), cepat kemari!"
Pemilik rumah makan segera menghampiri Siangkoan Wei dengan
terbungkuk-bungkuk, memberi hormat.
"Pangcu mau pesan apa, katakan saja!"

Siangkoan Wei menatapnya tajam.
"Tiam Keh, aku bertanya padamu, mengapa di dalam arak ini
terdapat racun?"
Bukan main terkejutnya para tamu yang sedang minum di situ.
Wajah mereka langsung berubah. Begitu pula pemilik rumah makan,
wajahnya berubah pucat sambil menggoyang-goyangkan sepasang
tangannya.
"Pangcu, jangan bergurau! Ini adalah arak wangi yang amat
terkenal, baru diambil dari gudang. Bagaimana mungkin beracun?
Apa yang dikatakan Pangcu, sungguh membuatku merasa tidak
enak!"
Siangkoan Pangcu tersenyum sinis.
"Seandainya anak kecil itu tidak menabrak lenganku, aku tidak tahu
kalau arak ini mengandung racun. Apabila aku mati keracunan oleh
arakmu, apakah kau akan merasa gembira sekali?"
Siangkoan Wei mengangkat tangannya, sikapnya seakan ingin
memukul pemilik rumah makan itu.
Pemilik rumah makan tahu jelas, kalau dirinya terpukul nyawanya
pasti melayang seketika. Dengan gugup dan panik orang itu segera
memohon.
"Pangcu jangan gusar, aku akan pergi menyelidikinya, tapi . . ."
"Tapi kenapa?" bentak Siangkoan Wei, sengit.
"Tapi apakah benar arak ini beracun?" tanya pemilik rumah makan.
"Kau kira aku sedang bergurau denganmu?" sahut Siangkoan
dengan gusar sekali.
Mendadak Siangkoan Wei memukul guci arak itu hingga hancur.
Arak yang di dalam guci langsung mengucur ke lantai, mengeluarkan
suara 'Ces! Cess!' Itu pertanda arak itu mengandung racun.

Pemilik rumah makan terbelalak, memandang arak itu dengan mulut
terbungkam.
"Lihatlah! Bukankah arak itu mengandung racun?" bentak Siangkoan
Wei lagi.
Pemilik rumah makan tak mampu mengeluarkan suara, karena
sudah terbukti arak itu mengandung racun.
Salah seorang bangkit berdiri, dan berkata dengan dingin.
"Kau berani meracuni pangcu kami dengan arak? Nyalimu sungguh
besar!"
Orang itu menyambar leher baju pemilik rumah makan. Tentu saja si
pemilik rumah makan tak bisa berkata apa-apa, karena dia sama
sekali tidak tahu siapa yang menaruh racun ke dalam arak itu.
"Cepat bilang! Siapa yang menaruh racun ke dalam arak itu? Kalau
kau tidak bilang, aku akan memhinasakanmu!" bentak orang itu
sambil mengeluarkan belatinya. Suaranya mengguntur, membuat
pemilik rumah makan bertambah ketakutan. Dia ingin bersuara tapi
tenggorokannya seakan tersumbat.
Ternyata pemilik rumah makan itu masih punya bos besar, berada di
lantai bawah. Mendengar suara ribut-ribut di lantai atas, bos besar
itu segera naik. Begitu melihat Siangkoan Pangcu, dia berkeluh
dalam hati, lalu segera menghampiri mereka dengan wajah berseri.
"Maaf, Tuan! Ada apa, bicarakan saja!"
Lelaki itu melepaskan pemilik rumah makan, kemudian dengan cepat
mencengkeram bos besar itu dengan mata melotot tajam.
"Baik, kau adalah bos besar rumah makan ini? Aku ingin bicara
denganmu!"
Bos besar itu manggut-manggut. "Bicaralah! Tapi . . . lepaskan
tanganmu!" Lelaki itu mendengus.

"Hmm! Tapi kalau hari ini kau tidak menjelaskan, aku pasti
mencabut nyawamu!"
Kejadian itu diam-diam telah menggusarkan Ouw Yang Coan. Dia
ingin memberi pelajaran kepada lelaki yang bertindak kurang ajar
terhadap pemilik rumah makan. Karena berpikir demikian, dia melirik
Bokyong Cen. Wajah gadis itu tampak emosi sekali, begitu pula Ouw
Yang Hong.
Sementara di meja Su Ciau Hwa Cu, semuanya tampak diam. Saat
itu mendadak seseorang berbicara, suaranya amat keras dan
lantang, sepertinya kuatir orang-orang Tiat Ciang Pang tidak
mendengarnya.
"Lihatlah! Apa baiknya dunia persilatan? Seperti halnya Tiat Ciang
Pang itu, pada dasarnya memang seperti perampok! Entah
bagaimana mereka berkecimpung dalam dunia persilatan, sehingga
kini punya muka sedikit. Bukankah amat aneh sekali?"
Siapa yang berbicara itu? Ternyata seorang pengemis tua Su Ciau
Hwa Cu. Dia memandang cawan araknya sambil berteriak-teriak.
Sementara pihak Tiat Ciang Pang tahu, di meja itu terdiri dari orangorang
Kay Pang, bahkan ketuanya juga hadir di situ, yaitu Su Ciau
Hwa Cu.
Didampingi pula Ang Cit Kong yang sudah terkenal, sehingga pihak
Kay Pang itu jadi amat kuat sekali.
Sesungguhnya pihak Tiat Ciang Pang tidak ingin berurusan dengan
Kay Pang. Namun kini Su Ciau Hwa Cu sudah mulai menyindir. Apa
boleh buat! Siangkoan Wei terpaksa menyahut.
"Cianpwee menyindir Tiat Ciang Pang, apakah memandang rendah
Tiat Ciang Pang kami?"
Su Ciau Hwa Cu tertawa gelak mendengar pertanyaan Siangkoan
Wei.
"Mengapa aku harus menyindir Tiat Ciang Pang, aku sudah pusing
mengurusi perkumpulanku. Bagaimana mungkin aku masih berniat

menyindir Tiat Ciang Pang kalian? Hei, Sobat Siangkoan, lihatlah!
Apakah pakaianku ini sedap dipandang?"
Su Ciau Hwa Cu tampak gembira, sebaliknya Siangkoan Wei amat
gusar. Kau telah menyindir Tiat Ciang Pangku, bahkan juga
memandang rendah diriku! Walau kau adalah Su Ciau Hwa Cu,
namun aku tetap tidak dapat menerima sindiran-mu! Kemudian
Siangkoan Wei bangkit berdiri, lalu memberi hormat kepada
pengemis tua tersebut.
"Kalau tidak salah dugaanku, Cianpwee pasti adalah Su Lo
Cianpwee!"
Su Ciau Hwa Cu menyahut.
"Lo cianpwee atau bukan lo cianpwee, aku adalah Su Ciau Hwa Cu!"
Su Ciau Hwa Cu menyindir Siangkoan Wei di hadapan para anak
buahnya. Hal itu tentu saja membuat Saingkoan Wei amat marah.
Dia berkata dalam hati, Tiat Ciang Pangku juga tergolong partai
besar dalam dunia persilatan, kau hebat apa? Apakah Kay Pang
boleh sembarangan menghinaku?
"Su Lo Cianpwee, aku sedang mengusut urusan ini, tapi Lo Cianpwee
malah menyela dengan sindiran! Apakah racun dalam arak itu
berkaitan dengan Kay Pangmu itu?"
Su Ciau Hwa Cu bangkit berdiri, lalu berjalan ke hadapan Siangkoan
Wei.
"Bukan! Bukan! Kay Pang berkecimpung di dunia persilatan, jika
melakukan sesuatu pasti secara terang-terangan. Tidak akan
meracuni orang, dan juga tidak akan membokong orang. Maka . . .
Kay Pang tidak melakukan itu!"
Ketika berkata demikian, wajah Su Ciau Hwa Cu tampak serius, tidak
bersikap bergurau lagi seperti tadi. Tapi setelah itu, dia tertawa lagi
seraya menatap Siangkoan Wei dan melanjutkan, "Siangkoan
Pangcu! Pihak Tiat Ciang Pangmu, bulan kemarin melukai orang di
telaga Thai Ouw, bahkan juga merampok dua belas perahu nelayan!
Ya, kan?"

Dalam hati Siangkoan yakin, bahwa pihak Kay Pang yang menaruh
racun ke dalam aruk itu. Kalian pihak Kay Pang berkumpul di sini,
ternyata ingin meracuniku! Kay Pang memang amat besar, namun
Tiat Ciang Pangku juga cukup besar!
Setelah berkata dalam hati, Siangkoan Wei lalu berkata dengan
sengit.
"Su Ciau Hwa Cu, apakah kedatanganmu sengaja ingin cari garagara
dengan Tiat Ciang Pang kami?"
Su Ciau Hwa Cu menyahut.
"Tidak salah! Sesungguhnya orang-orangku kemari hanya ingin
membicarakan pakaianku. Tapi begitu melihatmu, sudah tidak perlu
membicarakan pakaianku lagi! Melainkan . . . ingin cari gara-gara
denganmu!"
Sebetulnya Siangkoan Wei masih ingin bersabar, jangan sampai
bertikai dengan Su Ciau Hwa Cu. Tapi Su Ciau Hwa Cu terus
menghinanya. Tentu saja itu membuatnya tidak dapat
mengendalikan diri.
"Su Ciau Hwa Cu! Kau mau apa?" dengusnya dengan dingin.
Su Ciau Hwa Cu tidak menyahut, melainkan langsung meloncati
meja, lalu memandang mereka satu persatu.
"Kalian mau berkelahi? Itu bagus sekali! Tahukah kalian! Beberapa
hari ini hatiku amat kesal, ingin melampiaskannya. Siangkoan Wei,
ayolah! Kau adalah pangcu, aku pun pangcu! Bagaimana kita berdua
saja yang berkelahi?"
Siangkoan Wei menyahut dengan dingin. "Baik!"
Anak buahnya ingin maju, tapi Siangkoan Wei segera mencegah
mereka. Memang lebih baik aku saja yang bertarung dengan Su Ciau
Hwa Cu. Walau dia amat lihay, tapi hatinya tidak jabat! Kalaupun
aku kalah, tidak apa-apa! Begitu pikir Siangkoan Wei.

Sementara Ouw Yang Coan, Ouw Yang Hong, dan Bokyong Cen juga
tahu Siangkoan Wei tidak rendah kepandaiannya, sebab dia berani
menerima tantangan Su Ciau Hwa Cu yang amat terkenal itu.
Sedangkan Su Ciau Hwa Cu ingin melampiaskan rasa kesalnya dalam
hati, maka Siangkoan Wei jadi sasarannya. Sambil tertawa gelak dia
berkata.
"Rimba persilatan Kang Lam memiliki tiga perkumpulan yang suka
bertindak sewenang-wenang, yaitu Sang Ih, Yang Kiam, dan
perkumpulan Tiat Ciang! Sudah lama aku ingin mencarimu.
Kebetulan bertemu di sini. Jangan me-nyalahkanku jika bertindak
bengis terhadap kali-an!"
Siangkoan Wei cuma mendengus dingin.
Su Ciau Hwa Cu tertawa panjang, kemudian mendadak mulai
menyerangnya. Siangkoan Wei juga berkepandaian tinggi, dia
segera mundur selangkah, lalu balas menyerang pula dengan ilmu
pukulan Telapak Besi. Kepandaiannya telah sampai ke tingkat enam,
maka tidak mengherankan kalau ilmu pukulannya itu begitu lihay.
Ketika melihat Siangkoan Wei mengeluarkan ilmu pukulan tersebut,
Su Ciau Hwa Cu tampak gembira sekali.
"Ha ha ha! Kau memiliki ilmu pukulan hebat, aku pun memiliki ilmu
pukulan dahsyat! Tapi sudah pasti ilmu pukulanmu tidak dapat
menandingi ilmu pukulanku!" katanya sambil tertawa gelak, lalu
mulai mengeluarkan ilmu pukulan andalannya.
Begitu menyaksikan ilmu pukulan itu, hati Ouw Yang Coan tersentak
seketika, bahkan juga tercengang. Sebab ilmu pukulan yang
dikeluarkan Su Ciau Hwa Cu tampak sederhana, apakah dapat
digunakan untuk melawan musuh?
Ouw Yang Coan justru tidak tahu, bahwa itu merupakan ilmu rahasia
Kay Pang, yaitu Hang Liong Cap Pwe Ciang atau Hang Liong Sip Pat
Ciang (Delapan Belas Jurus Ilmu Penakluk Naga).

Siangkoan Wei terhuyung-huyung ke belakang dengan badan
sempoyongan, membuatnya nyaris roboh. Meja yang ada di
belakangnya hancur berkeping-keping, dan beberapa orang yang
berdiri dekat situ terpelanting tersambar angin pukulan Su Ciau Hwa
Cu.
Ternyata Su Ciau Hwa Cu mengeluarkan jurus Ti Liong Yu Hui (Naga
Menunduk Merasa Menyesal). Jurus tersebut amat dahsyat, sehingga
membuat Siangkoan Wei terhuyung-huyung sempoyongan.
Wajah Siangkoan Wei tampak berubah. Kini dia baru sadar akan
kelihayan ilmu pukulan Hang Liong Cap Pwe Ciang. Kalau Su Ciau
Hwa Cu menggunakan tenaga sepenuhnya, nyawa Singkoan Wei
pasti sudah melayang ke akhirat. Itu membuatnya berkeluh dalam
hati, dan kemudian menjadi nekat. Dia menggeram, lalu menyerang
Su Ciau Hwa Cu dengan sepenuh tenaga.
Ciu Can Jen yang berusia tiga belas tahun itu merupakan anak yang
cerdas. Tadi Siangkoan Wei bersikap begitu lembut dan
memberikannya lima puluh tael perak, guna menyuruh kakak dan
adiknya bekerja di markas Tiat Ciang Pang.
Oleh karena itu, Ciu Cian Jen menganggap Siangkoan Wei sebagai
tuan penolongnya. Sebaliknya dia menganggap Su Ciau Hwa Cu
adalah orang jahat. Anak kecil itu menyaksikan pertarungan mereka
dengan mata tak berkedip. Ketika melihat Siangkoan Wei berada di
bawah angin, dia ke-lihatan ingin sekali maju memukul pengemis tua
itu.
Siangkoan Wei menyerang Su Ciau Hwa Cu dengan dahsyat sekali.
Pengemis tua itu menangkis dengan jurus Kian Liong Cai Tian (Naga
Tampak Di Sawah), menggunakan tujuh bagian tenaganya.
Terdengar suara benturan, kemudian tampak Siangkoan Wei
terpental membentur tembok. Sepasang mata Siangkoan Wei
melotot, kemudian dia mendadak menyerang Su Ciau Hwa Cu lagi.
Ouw Yang Coan, Ouw Yang Hong dan Bokyong Cen menyaksikan itu
dengan jelas. Ketika Siangkoan Wei dan Su Ciau Hwa Cu mulai
bertarung, para anak buah Siangkoan Wei kelihatan tegang sekali,

sedangkan pihak Kay Pang malah kelhatan santai, Ang Cit Kong dan
lainnya bersantap dan minum.
Para anak buah Siangkoan Wei menyaksikan pertarungan itu dengan
mata tak berkedip. Tangan mereka menggenggam senjata, siap
menyerang Su Ciau Hwa Cu apabila Siangkoan Wei dalam bahaya.
Sementara Siangkoan Wei terus menyerang Su Ciau Hwa Cu.
Sedangkan pengemis tua itu cuma berkelit ke sana ke mari.
"Siangkoan Wei, kau berhati-hatilah!" bentak pengemis tua itu.
Usai membentak, Su Ciau Hwa Cu balas menyerang dengan jurus
Liong Can Kan Ya (Naga Menyerang Dengan Liar).
"Aaaakh . . .!" Jerit Siangkoan Wei terkena pukulan itu.
Badannya terpental melayang bagaikan layang-layang putus, lalu
roboh. Namun kemudian dia segera kembali berdiri tegak.
"Su Ciau Hwa Cu, lebih baik bunuhlah aku!" bentaknya sengit.
Di saat bersamaan, enam orang anak buahnya menggeram sambil
menyerang Su Ciau Hwa Cu dengan senjata. ,
Pengemis tua itu cuma tertawa, memandang remeh pada mereka.
Saat ini semua senjata telah mengarah pada dirinya. Anak kecil
bernama Ciu Cian Jen juga kelihatan ingin memukulnya.
Akan tetapi, mendadak terdengar suara hiruk pikuk. Ternyata semua
senjata para penyerang itu telah terbang dari tangan masingmasing.
Golok dan pedang menancap di dinding, sebuah cambuk
melingkar di sebuah meja dan beberapa senjata lain menancap di
lantai, sehingga keenam orang itu berdiri tertegun di tempat.
Ternyata delapan Tetua Kay Pang dan Ang Cit Kong berdiri di
hadapan orang-orang itu. Merekalah yang membuat semua senjata
itu terlepas dari tangan mereka.
Pihak Tiat Ciang Pang telah mengalami kekalahan. Wajah Siangkoan
Wei tampak lesu tak bersemangat, sedangkan para anak buahnya
berdiri dengan kepala tertunduk.

Su Ciau Hwa Cu menatap Siangkoan Wei seraya berkata.
"Aku masih memandangmu sebagai seorang ketua, maka aku tidak
akan menyulitkanmu! Hanya saja apa yang kau perbuat di Kang
Lain, Tetua Liang akan memperhitungkannya!"
Salah seorang berpakaian mentereng maju ke depan. Dia adalah
Tetua Liang dari Kay Pang. Badannya agak gemuk, dan wajah selalu
berseri-seri.
"Dalam dua tahun ini Siangkoan Pangcu telah banyak melakukan
perbuatan-perbuatan yang cukup menggemparkan. Agar kau tidak
melupakannya, maka aku harus membacakannya!" katanya sambil
tersenyum.
Setelah berkata, dia mengeluarkan selembar kulit kambing yang
mengkilap, lalu membacanya.
"Tahun kemarin, tanggal lima bulan lima, membunuh keluarga Liu
seratus tiga orang, membawa kabur uang perak berjumlah tiga
puluh ribu tael. Tahun kemarin akhir musim Rontok, ketika hari
ulang tahun pendekar tua Chu, Tiat Ciang Pang membunuh orang di
sana dengan racun ber-jumlah tiga puluh tujuh orang, menculik
wanita dan anak kecil. Tahun ini tanggal delapan belas bulan satu,
Tiat Ciang Pang membunuh tiga orang Pek Tho San Cung di daerah
See Hek, lalu mayat-mayat mereka dibuang di dalam hutan. Tanggal
sembilan bulan kemarin, ketua Tiat Ciang Pang membunuh keluarga
mertuanya berjumlah tujuh orang, dan semua kasus pembunuhan
itu dikambinghitamkan pada Kay Pang kami."
Mendengar itu, wajah orang-orang Tiat Ciang Pang itu langsung
berubah, lalu mereka saling memandang. Sedangkan suara Tetua
Liang amat dingin. Ketika membaca sampai di situ, dia menatap
mereka dengan dingin.
"Apakah harus dibacakan terus?" tanyanya.
Siangkoan Wei menyahut dengan wajah pucat pias.

"Apa yang kuperbuat, tentunya aku tahu jelas dalam hati."
Su Ciau Hwa Cu meloncat ke atas meja, kemudian duduk di situ
seraya berseru.
"Tetua Sun, Siangkoan Wei melakukan perbuatan itu, dia harus dia
pakan?"
"Aku tahu dosa orang itu sudah amat berat. Berdasarkan peraturan
Kay Pang, dia harus dikeluarkan dari perkumpulan, biar dia mati di
luar," sahut Tetua Sun.
Usai menyahut, Tetua Sun merasa tidak enak dalam hati, sebab
Siangkoan Wei adalah ketua Tiat Ciang Pang, bukan anggota Kay
Pang. Bagaimana mungkin menghukumnya dengan peraturan Kay
Pang? Lagi pula juga tidak masuk akal dia dikeluarkan dari Tiat
Ciang Pang.
"Baik, harus dihukum mati! Biar dia mati di sini saja!" kata Su Ciau
Hwa Cu.
Usai berkata, Su Ciau Hwa Cu mengibaskan tangannya. Berdasarkan
peraturan Kay Pang, apa yang diucapkan ketua, itu merupakan
suatu ke-putusan yang tak dapat diganggu gugat, artinya Siangkoan
Wei harus dihukum mati.
Ouw Yang Coan, Ouw Yang Hong dan Bokyong Cen menyaksikan itu
dengan mata terbelalak. Mereka bertiga tidak percaya Siangkoan
Wei akan dihukum mati oleh ketua Kay Pang, hanya berdasarkan
ucapan ketua Kay Pang saja.
Sementara wajah Siangkoan Wei semakin memucat, dan nafasnya
pun memburu. Namun dia dan para anak buahnya sama sekali tidak
berusaha kabur, sebab Siangkoan Wei amat baik terhadap para anak
buahnya, semua diperlakukan bagaikan saudara. Maka, ketika
melihat ketua dalam bahaya, para anak buahnya tidak mau pergi,
tetap setia mendampingi sang ketua.

Salah seorang anak buah Siangkoan Wei yang sudah agak tua,
memandang ketua itu, kemudian berkata.
"Tiat Ciang Pang Toan Kiam Cih Cak, Liong Pian Di Lip, Siau Yu Sin
Hou Kim Hong, Khau Cioh Sin kakak beradik Su dan Pok To Cu Beng
rela mati!" Setelah berkata demikian, orang tua itu menatap Su Ciau
Hwa Cu dan melanjutkan. "Orang Kay Pang dengar baik-baik,
pangcu kami telah terluka! Kalau kalian ingin membunuh ketua kami,
harus membunuh kami berenam dulu!"
Orang tua itu menghunus pedangnya, yang ternyata sebilah pedang
buntung, lalu diarahkan pada tenggorokannya sendiri.
"Jangan membunuh ketua kami, lebih baik bu nuh kami saja!"
katanya.
Kemudian yang lain pun segera mengambil senjata masing-masng,
lalu diarahkan pada tenggorokannya sendiri-sendiri.
Sesungguhnya pihak Kay Pang amat memandang rendah Tiat Ciang
Pang. Mereka mengira, bahwa dalam perkumpulan itu tidak terdapat
anggota yang setia. Namun justru di luar dugaan, ternyata para
anak buah Siangkoan Wei amat setia, bahkan rela mati demi
ketuanya.
Oleh karena itu, para Tetua Kay Pang segera memandang Su Ciau
Hwa Cu, kelihatannya mereka sedang menunggu keputusan
pengemis tua itu.
Su Ciau Hwa Cu mengerutkan kening sambil berpikir.
"Lihatlah! Yang harus mati tidak ingin mati, yang tidak harus mati
malah ingin mati! Kalau begitu . . . diubah!" katanya kemudian.
Pihak Kay Pang tentunya mengerti apa yang dimaksudkan Su Ciau
Hwa Cu, tapi Ouw Yang Coan bertiga justru tidak mengerti.
Su Ciau Hwa Cu memang serba salah. Apabila dia membunuh
keenam orang Tiat Ciang Pang itu, sudah pasti nama Kay Pang akan
tercemar, sebab yang harus dibunuh adalah Siangkoan Wei.

Di saat bersamaan, mendadak Ciu Cian Jen berlari ke arah
Siangkoan Wei, lalu memeluknya erat-erat seraya berkata.
"Tuan! Kau . . . kau tidak boleh mati!" Dia menangis terisak-isak, lalu
melanjutkan. "Aku hidup hingga kini berusia tiga belas, tidak pernah
bertemu orang baik, baru kali ini! Kau teiah berjanji akan
membawaku pergi, dan juga membawa pergi kakak dan adikku,
setiap bulan akan mem-berikan mereka tiga puluh tael perak! Kau
orang baik, kau tidak boleh mati!"
Tergerak juga hati Su Ciau Hwa Cu dan lainnya. Kalau ingin
membunuh Siangkoan Wei, tentunya harus memisahkan anak kecil
itu, bagaimana mungkin mereka tega melakukannya?
Berselang sesaat, Tetua Sun berkata pada Ciu Cian Jen.
"Nak, bangunlah! Jangan menangis! Dia bukan orang baik, mengapa
kau harus menangis?"
"Kalianlah bukan orang baik! Kalian bilang dia bukan orang baik,
bagaimana dia bukan orang baik?" sahut Ciu Cian Jen dengan air
mata ber-linang-linang.
"Dia sering membunuh orang baik. Coba katakan, bukankah dia
harus mati?" kata Tetua Sun.
"Menurutku dia tidak harus mati, yang harus mati adalah kalian!"
Anak kecil itu menunjuk Su
Ciau Hwa Cu. "Kau yang harus mati!"
Semua orang tertegun, sebab anak kecil itu sungguh berani berkata
begitu terhadap ketua Kay Pang.
Akan tetapi, Su Ciau Hwa Cu malah tertawa, lalu menunjuk
hidungnya sendiri.

"Apakah aku harus mati? Betul! Betul! Aku memang harus mati dari
dulu, aku harus mati! Tapi mengapa tidak mati? Itu dikarenakan aku
tidak melakukan kejahatan seperti dia!"
Su Ciau Hwa Cu menunjuk Siangkoan Wei sambil tertawa, tapi
kemudian melotot.
"Dia tidak cari gara-ara dengan kalian! Dia masuk ke mari hanya
duduk minum arak saja! Tapi arak itu beracun! Mengapa dia tidak
boleh bertanya? Kalian bilang dia tidak baik, justru yang tidak baik
adalah kalian! Kau jahat, ajak dia berkelahi! Kalian semua adalah
telor busuk ..."
Mendadak Ciu Cian Jen menerjang ke arah Su Ciau Hwa Cu, lalu
memukul dan menggigitnya. Su Ciau Hwa Cu berkepandaian amat
tinggi, namun tidak pernah belajar ilmu yang khususnya menghadapi
anak kecil. Karena itu, tidak heran dia terpukul dan tergigit oleh anak
kecil itu.
Ang Cit Kong yang berdiri diam itu, mendadak berkata.
"Guru, mari kita pergi!"
"Pergi? Baik, mari kita pergi!" sahut Su Ciau Hwa Cu.
Su Ciau Hwa Cu dan Ang Cit Kong langsung melesat pergi melalui
jendela, sedangkan yang lainnya segera turun ke lantai bawah.
Di saat bersamaan, Siangkoan Wei yang pingsan dari tadi telah
mulai siuman, lalu menengok ke sana ke mari.
"Apakah orang-orang Kay Pang sudah pergi?"
Toan Kiam Cih Cak mengangguk.
"Mereka sudah pergi, berkat anak kecil ini," sahut Toan Kiam Cih
Cak.
Usai menyahut, Toan Kiam Cih Cak menutur tentang kejadian itu.

"Nak, sudah dua kali kau menyelamatkanku!" kata Siangkoan Wei
sambil memandang Ciu Cian Jen.
Ciu Cian Jen tidak menyahut, hanya memandangnya.
Ketua Tiat Ciang Pang itu manggut-manggut.
"Cepat papah aku pergi, kita tidak boleh lama-lama di sini!"
Dua orang langsung memapah Siangkoan Wei turun ke lantai
bawah, kemudian memanggil sebuah tandu, dan mereka lalu pergi
dengan naik tandu itu.
Kini di lantai atas rumah makan itu hanya tinggal Ouw Yang Coan
bertiga.
"Adik, aku lihat ilmu pukulan pengemis tua itu sungguh jarang
terdapat di kolong langit, dan boleh dikatakan terhitung ilmu pukulan
yang amat lihay dan dahsyat. Apakah para anggota Kay Pang berada
di sini, dan bagaimana kepandaian mereka?" tanya Ouw Yang Coan,
"Aku pernah bersama Ang Cit Kong menyelinap ke dalam dapur
istana. Kami berdua menikmati hidangan-hidangan lezat di sana.
Kakak, menurutku di antara orang Kay Pang, Ang Cit Kong
berkepandaian paling tinggi, tidak berada jauh di bawah kepandaian
Su Ciau Hwa Cu."
"Itu belum tentu," kata Ouw Yang Coan.
Ouw Yang Hong tampak tercengang akan perkataan Ouw Yang
Coan, namun kakaknya itu tidak menjelaskan.
Seusai bersantap, mereka bertiga meninggalkan rumah makan
tersebut, lalu jalan-jalan di kota Ciau Liang itu. Bokyong Cen tampak
gembira sekali, sebab Ouw Yang Coan amat lembut dan sabar
terhadapnya. Dalam hatinya menganggap Ouw Yang Coan lebih
gagah dari Ouw Yang Hong. Karena itu, gadis tersebut terus
bercakap-cakap dengan Ouw Yang Coan.

Itu tidak terlepas dari mata Ouw Yang Hong. Dia tahu Bokyong Cen
lebih senang bersama Ouw Yang Coan. Dia pun bergirang dalam hati
dan membatin, mengapa aku tidak pergi main ke tempat lain biar
kakak dan Nona Bokyong tetap bersama? Setelah membatin
demikian, Ouw Yang Hong lalu berjalan pergi, dan tak lama
kemudian sampailah dia di pinggir kota itu.
Ouw Yang Hong menikmati pemandangan di tempat itu, kemudian
melangkah mendekati seorang yang berbadan kurus. Orang itu
duduk di kursi, di hadapannya terdapat sebuah meja. Di atas meja
itu terdapat pula sebuah tabung bambu yang berisi belasan barang
bambu kecil. Berdasarkan itu, dapat diketahui bahwa orang itu
adalah peramal.
Hati Ouw Yang Hong tergerak. Dia ingin mengetahui bagaimana
masa depannya, maka mendekati peramal itu, lalu berdiri di depan
meja.
Peramal itu memandangnya seraya tersenyum.
"Tuan ada hati atau tidak ada hati?"
"Bagaimana ada hati dan bagaimana tidak ada hati?" Ouw Yang
Hong balik bertanya.
Peramal itu tertawa.
"Sejak dahulu kala, orang yang ada hati pasti sukses. Yang tidak ada
hati tidak akan sampai ke daratan."
"Ada hati justru terbengkalai, tidak ada hati malah sukses," kata
Ouw Yang Hong.
Peramal itu tampak tertegun, kemudian tersenyum.
"Tuan ke mari, entah dikarenakan apa?" "Ke mari tiada sebab, pergi
tiada alasan. Itu yang paling haik di kolong langit," sahut Ouw Yang
Hong.
Peramal itu manggut-manggut. ^ "Bolehkah aku melihat telapak
tanganmu?" Ouw Yang Hong segera memperlihatkan telapak

tangannya. Peramal itu memperhatikan telapak tangan Ouw Yang
Hong sampai beberapa lama.
"Aku bukan hanya mahrr meramal, tapi tahu pula tentang ilmu
pengobatan. Tuan bertulang bagus, kelihatannya bukan orang biasa.
Tapi entah bagaimana nasib Tuan, bolehkah aku menghitungnya?"
Ouw Yang Hong tersenyum. "Tentu boleh."
Peramal itu memegang urat nadi di pergelangan tangan Ouw Yang
Hong. Sesaat kemudian dia tampak gembira sekali.
"Kau . . . ternyata kau tidak bisa ilmu silat!"
Ouw Yang Hong tertegun, tidak menduga peramal itu
berpengetahuan luas.
"Aku tidak bisa ilmu silat, maka aku merasa kesal sekali. Sebaliknya
kau malah tampak gembira, bukankah aku akan penasaran?"
Peramal itu tersenyum.
"Tuan mahir ilmu surat, maka tidak begitu mementingkan ilmu silat."
Ouw Yang Hong manggut-manggut.
"Bagaimana Tuan mengambil sehatang bambu kecil yang di dalam
tabung bambu itu?" kata peramal itu lagi.
Ouw Yang Hong mengangguk, lalu mengambil sebatang bambu kecil
yang ada di dalam tabung bambu, kemudian diserahkan kepada
peramal itu.
Peramal menerima bambu kecil itu, lalu membaca beberapa baris
tulisan yang tertera pada bambu kecil tersebut.
"Burung Hong Hoang (Phoenix) terbang di langit, kekuatan Hong
Hoang menembus hembusan angin . . ." Dia memandang Ouw Yang
Hong seraya berkata. "Coba lanjutkan syair ini!"

Ouw Yang Hong berpikir sejenak, lalu melanjutkan syair tersebut.
"Ha Mo (Kodok) meloncat di tanah, Ha Mo meloncat sendiri dengan
kekuatan Ha Mo Kang (Ilmu Kodok)."
Peramal itu tampak tersentak, bahkan nyaris meloncat dari kursi
yang didudukinya. Kemudian dia menggenggam tangan Ouw Yang
Hong seraya berkata dengan suara lantang.
"Bagus! Bagus! Tidak salah Ha Mo meloncat sendiri dengan kekuatan
Ha Mo Kang! Bagus, bagus sekali!"
Sebaliknya Ouw Yang Hong malah melongo, tidak tahu apa
sebabnya peramal itu kelihatan begitu girang.
Peramal itu terus menatap Ouw Yang Hong dengan penuh perhatian,
kemudian tertawa gelak dan berkata lagi.
"Bagus! Bagus! Tak disangka Tuan telah ke mari! Sudah lama
kutunggu ..." Mendadak dia itu memukul meja, setelah itu tertawa
lagi seraya berkata, "Bagus! Bagus! Sungguh bagus! Sungguh ada
Ha Mo meloncat sendiri dengan kekuatan Ha Mo Kang!"
Saking girangnya, peramal itu pun mengucurkan air mata.
Ouw Yang Hong tertegun. Dia memandang peramal itu dengan tidak
mengerti sama sekali. Mengapa peramal itu begitu girang? Apakah
peramal itu kurang waras? Sementara peramal itu terus tertawa
gembira . . .
Bab 14
Berselang sesaat, barulah Ouw Yang Hong berkata, "Aku hanya
melanjutkan syair itu, tapi mengapa Tuan begitu gembira?"

"Bagaimana hatiku, hanya Thian (Tuhan) yang tahu," sahut peramal
itu dengan wajah berseri-seri, namun air matanya masih tetap
meleleh.
Ouw Yang Hong termangu-mangu, tidak mengerti akan makna
ucapan peramal itu.
Peramal tersebut tersenyum.
"Maaf, kelakuanku pasti amat membingungkan Tuan! Oh ya, apakah
Tuan bersedia minum bersamaku?"
"Kita tidak saling mengenal, tentunya tidak enak merepotkan Tuan,"
sahut Ouw Yang Hong.
Peramal itu menggeleng-gelengkan kepala.
"Tidak apa-apa! Tidak apa-apa! Selanjutnya kita sudah saling
mengenal, ini sungguh menggembirakan!" katanya.
Ouw Yang Hong semakin kebingungan. Sementara sudah banyak
orang mengerumuni tempat itu. Akhirnya Ouw Yang Hong
mengangguk, lalu mengikuti peramal itu meninggalkan tempat
tersebut.
Peramal itu mengajak Ouw Yang Hong ke sebuah kedai di pinggir
jalan. Di depan kedai itu terdapat sebuah bendera. Ketika melihat
bendera itu, tersentaklah hati Ouw Yang Hong, sebab ben-dera itu
bertulisan 'Racun'.
Sudah jelas itu adalah sebuah kedai arak, tapi mengapa bendera itu
bertulisan 'Racun'?
Ouw Yang Hong memandang ke dalam kedai itu. Tampak begitu
banyak orang bermabuk-mabukan di dalamnya.
Peramal itu mengajak Ouw Yang Hong ke dalam. Pemilik kedai
langsung menyambut kedatangan mereka dengan penuh rasa heran.

"Adik, kau sudah ke mari minum arak, apakah sudah berhasil?"
tanyanya kepada peramal itu.
"Tentu! Aku menunggu di tempat ini sudah melewati tiga kali musim
semi, akhirnya aku berhasil menunggu orang yang kutunggu. Kalian
lihat, inilah orangnya!" sahut peramal itu dengan gembira.
Seketika semua orang memandang Ouw Yang Hong dengan penuh
perhatian. Itu membuat Ouw Yang Hong bertambah heran dan
bingung.
Semua orang yang berada di dalam kedai arak itu terus
memandangnya, namun Ouw Yang Hong tidak kelihatan luar biasa,
maka mereka mendengus dingin.
"Kaukah orangnya? Berhasil melanjutkan syair itu?" tanya salah
seorang dari mereka kepada Ouw Yang Hong.
Ouw Yang Hong tidak menyahut, hanya mengerutkan kening karena
tidak mengerti, mengapa mereka mendadak mendengus dingin.
Orang itu menghampirinya, lalu menjulurkan tangannya.
"Saudara berilmu begitu tinggi, aku ingin men-cobanya!" katanya.
Orang itu ingin menarik Ouw Yang Hong, namun Ouw Yang Hong
tidak tahu apa yang akan diperbuat orang itu, maka Ouw Yang Hong
langsung mundur. Tapi orang itu berhasil menggenggam lengannya.
Ouw Yang Hong menduga orang itu akan mempermainkan dirinya,
karena itu dia diam saja.
Ketika melihat Ouw Yang Hong tak bergerak, orang itu tampak gusar
sekali.
"Kau kelihatan meremehkan diriku, aku harus memberi sedikit
pelajaran padamu!" bentaknya.
Orang itu menggenggam lengan Ouw Yang Hong menggunakan
tujuh bagian tenaganya.

Tentunya membuat lengan Ouw Yang Hong terasa sakit sekali.
Namun Ouw Yang Hong tidak mengeluh sedikit pun, hanya menatap
semua orang yang ada di situ dengan dingin.
Orang itu menambah tenaganya. Dia mengira Ouw Yang Hong
berkepandaian tinggi. Akan tetapi, dia sama sekali tidak merasa Ouw
Yang Hong mengerahkan Iwee kang untuk melawan.
Itu membuat orang itu tertegun dan bercuriga, apakah Ouw Yang
Hong memiliki kepandaian yang amat tinggi? Kalau tidak, dia pasti
memiliki ketenangan yang amat luar biasa.
Orang itu menambah tenaganya lagi, membuat sekujur badan Ouw
Yang Hong berkeringat, namun tetap tidak mengeluh sedikit pun.
Kini orang itu baru tahu bahwa Ouw Yang Hong tidak ber-kepad.-
.ian, maka timbullah niat jahat dalam hatinya ingin mempermalukan
Ouw Yang Hong.
Ouw Yang Hong memang sama sekali tidak mengeluh. Dia berkata
dalam hati. Ketika aku bersama Bokyong Cen di gurun pasir, aku
memohon dengan cara yang baik, namun tidak dihiraukan. Aku baru
tahu, hati orang dibuat dari besi, mana ada orang baik di dunia?
Sekarang aku baru memasuki kedai arak ini, sudah menerima
penghinaan dari orang ini. Setelah berkata dalam hati, timbul pula
rasa bencinya kepada orang itu dan ingin memukulnya.
Semula orang itu mengira Ouw Yang Hong akan memohon ampun
padanya, tapi Ouw Yang Hong justru tidak mengeluh sama sekali.
Orang itu terheran-heran dan merasa ragu, bagaimana Ouw Yang
Hong dapat bertahan? Kalau dia memiliki kepandaian, mengapa
tidak mau turun tangan, malah rela menerima siksaan?
Sementara si Peramal itu terus meneguk arak. Ketika melihat sekujur
badan Ouw Yang Hong berkeringat, dia berkata.
"Kalau Tuan berkepandaian, silakan turun tangan! Apabila orang itu
teriuka, biar aku yang bertanggung jawab!"

Ouw Yang Hong berkeluh dalam hati. Cara-cara syair itu, dia ikut
peramal tersebut ke kedai arak, sehingga harus menerima
penghinaan. Pada hal Ouw Yang Hong tidak bermusuhan dengan
mereka, tapi kenapa mereka menghinanya habishabisan?
Kini wajah Ouw Yang Hong meringis. Ternyata dia sudah tidak kuat
menahan sakit. Di saat itulah dia teringat akan sebuah syair yang
pernah dibacakan Pek Bin Lo Sat. Karena itu, dibacanya syair
tersebut agar menghilangkan rasa sakitnya.
"Dinginnya es membekukan bumi, hati orang memang begitu. Kalau
tidak tahu masalah, bagaimana panas dan dingin bisa menyatu?"
Semua orang sedang menyaksikan orang itu menggenggam lengan
Ouw Yang Hong. Mereka semua tahu akan kelihayan genggaman itu,
tapi mengapa tiada reaksinya? Ketika mereka terheran-heran, justru
terdengar Ouw Yang Hong membaca syair tersebut. Semua orang
tersentak, begitu pula orang itu dan langsung melepaskan
tangannya.
"Adik, kau tepat mencari orang itu," kata pemilik kedai arak kepada
si Peramal sambil tersenyum.
Si Peramal manggut-manggut, sedangkan orang yang
menggenggam lengan Ouw Yang Hong juga tertawa sambil memberi
hormat kepada Ouw Yang Hong.
"Maaf, tadi aku sudah berlaku tak sopan!"
Ouw Yang Hong tidak tahu apa sebabnya orang itu melepaskan
tangannya, maka hanya mengangguk.
Orang itu menarik nafas lega, kemudian menjatuhkan diri berlutut di
hadapan Ouw Yang Hong, dan memanggut-manggutkan kepalanya.
Ketika bangkit berdiri, wajahnya tampak berseri-seri.
Tiba-tiba pemilik kedai arak itu berseru lantang dengan penuh
kegembiraan, yang lain pun kelihatan gembira sekali.

"Kita sudah boleh pulang ke rumah! Kita sudah boleh pulang ke
rumah!"
Semua orang kelihatan sudah lama berpergian. Ketika pemilik kedai
arak berseru mata mereka semua menjadi basah saking gembira.
"Mohon tanya Tuan, siapa nama Tuan dan berasal dari mana?"
tanya si Peramal.
Ouw Yang Hong tertawa dalam hati, hampir setengah harian kita
bersama, baru sekarang kau ingat menanyakan nama dan asalku.
"Namaku Ouw Yang Hong, berasal dari See Hek. Aku ke mari
bersama kakakku, kami mau pesiar ke Kang Lain," sahutnya
kemudian dengan jujur.
Ouw Yang Hong memang cerdik, dia tidak memberitahukan tujuan
kakaknya datang di Tiong-goan, itu agar tidak menimbulkan masalah
yang tak diinginkan!
"Kami semua berasal dari daerah utara. Semua yang ada di sini
adalah saudara kami. Mari ku-perkenalkan! Ini adalah Cu Kuo Cia
dan . . ." kata si Peramal.
Si Peramal memperkenalkan mereka semua. Tentunya Ouw Yang
Hong tak dapat mengingatnya satu persatu. Lagi pula mereka baru
berkenalan, tidak perlu mengingat nama mereka satu persatu, sebab
sebentar lagi akan berpisah dengan mereka.
Cu Sianseng berkata pada Ouw Yang Hong, "Sudah tiga kali musim
semi kami menunggu di sini. Majikan menyuruh kami menunggu
seseorang di kota Ciau Liang ini. Katanya kau pasti ke mari.
Perhitungan majikan tidak meleset, maka tidak sia-sia kami
menunggu hingga tiga kali musim semi. Kau harus ikut kami pergi.
Kalau kau tidak mau, tentunya kami akan menggunakan kekerasan
untuk memaksamu ke rumah majikan kami."
Ketika Ouw Yang Hong teringat akan kakaknya dan Bokyong Cen,
hatinya menjadi gelisah, karena seharusnya dia pergi bersama
saudaranya, tapi dipaksa harus mengikuti orang-orang itu.

"Aku tidak mau pergi ke daerah utara," sahutnya.
Cu Sianseng tersenyum.
"Biar Tuan tidak mengabulkan, kami bertiga pasti dapat membawa
Tuan ke daerah utara."
Ouw Yang Hong tertawa dingin.
"Kalau aku tidak mau, kalian bisa berbuat apa?"
Cu Sianseng berkata, "Apabila Tuan mengabulkan, tentunya kami
akan menyuruh seseorang pergi memberitahukan kepada
saudaramu. Tapi kalau Tuan tidak mengabulkan, kami akan
membawamu pergi secara paksa, sehingga dalam perjalanan tiada
kebebasan sama sekali. Seandainya Tuan tetap tidak setuju, kami
pasti akan pergi membunuh saudaramu, setelah itu kami pun akan
membuatmu pingsan, barulah membawamu ke daerah utara."
Ouw Yang Hong tertawa, sebab orang-orang itu menganggap Ouw
Yang Coan seperti dirinya, tidak berkepandaian apa-apa.
"Baik, aku akan ajak kalian pergi menemui kakakku. Kalau kakakku
setuju, aku pasti pergi bersama kalian!"
Semua orang manggut-manggut, lalu ikut Ouw Yang Hong pergi
menemui Ouw Yang Coan.
Sementara itu, Ouw Yang Coan dan Bokyong Cen duduk di dalam
rumah penginapan dengan cemas. Mereka menunggu Ouw Yang
Hong dengan hati tercekam. Apakah telah terjadi sesuatu atas diri
adiknya itu? Pikir Ouw Yang Coan.
Di saat Ouw Yang Coan sedang berpikir, mendadak tampak Ouw
Yang Hong melangkah ke dalam rumah penginapan dan langsung
menemuinya.
"Kakak, mari kuperkenalkan beberapa temanku!"

Ouw Yang Coan merasa heran melihat adiknya punya begitu banyak
teman di kota Ciau Liang.
Siapa orang-orang itu?
Ouw Yang Coan memperhatikan orang-orang itu. Heran pula
hatinya, sebab mereka kelihatan bukan kaum dunia persilatan,
namun justru memiliki kepandaian tinggi, terutama Cu Sianseng dan
beberapa orang yang berdiri di belakangnya. Salah satu dari mereka
tampak sudah tua, berbadan kurus dan lemah, tapi justru
berkepandaian tinggi.
Ouw Yang Hong yang belum berpengalaman dalam dunia persilatan,
langsung memheritahu pada Ouw Yang Coan.
"Kakak, mereka ingin memaksaku ke daerah utara."
Bokyong Cen segera bertanya dengan heran. "Mengapa?"
Ouw Yang Hong tidak menyahut, melainkan memandang Cu
Sianseng sejenak.
"Bahkan ada tiga cara pula!" ujarnya memberitahukan.
Bokyong Cen tercengang, dengan kening berkerut.
"Tiga cara? Mengapa harus ada tiga cara?"
Ouw Yang Hong memberitahukan.
"Cara pertama, aku harus ikut mereka pergi dengan baik-baik.
Kedua, mereka akan memaksaku, dan ketiga, mereka akan
membunuh kakak, kemudian membuatku pingsan. Setelah itu,
mereka akan membawaku pergi."
Ouw Yang Coan tertegun. Apakah mereka itu dari golongan hitam
yang selalu menculik orang? Tapi mengapa harus menculik Ouw
Yang Hong adiknya? Ouw Yang Coan sungguh tak mengerti dan
tidak habis pikir. Lalu dia bertanya pada Cu Sianseng.

"Cara ketiga itu, kau ingin membunuhku?" Cu Sianseng menyahut.
"Tidak salah! Itu kalau Tuan Ouw Yang Hong tidak mau ikut kami ke
daerah utara. Maka kau dan nona ini harus mati!"
Ouw Yang Coan tidak gusar mendengar itu, hanya berkata dengan
dingin.
"Cu Sianseng, kau kira, kalian yang beberapa orang ini bisa begitu
gampang membunuhku?"
Ouw Yang Coan menggenggam tongkat ularnya, air mukanya tidak
berubah, hanya kening yang berkerut-kerut dan berdiri dengan
tenang.
Cu Sianseng menyahut.
"Kalau aku tidak bisa membunuhmu, masih ada saudara Ciok.
Apabila saudara Ciok tidak berhasil, masih ada Cu Kuo Hu Cu. Kami
menghendakimu mati, bagaimana kau bisa hidup?"
Kini Ouw Yang Coan tampak mulai gusar sekali.
"Kalau begitu, mengapa kau tidak coba?" ujarnya menantang.
"Jadi . . . aku harus coba?" sahut Cu Sianseng dengan senyum sinis.
Ouw Yang Coan manggut-manggut.
"Betul!" Perlahan-lahan Ouw Yang Coan mengangkat tongkat
ularnya, sudah siap menghadapi serangan. "Kau boleh turun tangan
membunuhku!"
Tanpa bicara lagi Cu Sianseng langsung mengeluarkan senjatanya
yang berupa tiga buah uang logam berukuran besar, di tengahtengahnya
terdapat lubang.
"Maaf, aku akan mulai menyerang!" teriak Cu Sianseng dengan
lantang.

Cu Sianseng mulai menyerang dengan senjatanya. Satu keping
logam langsung meluncur ke arah Ouw Yang Coan. Namun Ouw
Yang Coan tertawa panjang.
"Bagus!" teriaknya. Kemudian berkelit dengan cepat, dan mulai balas
menyerang dengan tongkat ularnya.
Senjata yang dimiliki Cu Sianseng memang aneh. Ketika Ouw Yang
Coan berkelit, keping logam itu berbalik ke arah Cu Sianseng dan
masuk ke tangannya.
Sementara itu Ouw Yang Coan sudah mulai balas menyerang. Cu
Sianseng meloncat mundur sambil mengibaskan tangannya. Maka
seketika dua keping uang logam melesat secepat kilat ke arah Ouw
Yang Coan.
Meski sempat terkejut, Ouw Yang Coan cepat-cepat menghindar,
sambil berseri dengan keras. "Tahan!"
Ouw Yang Coan meloncat mundur. Tampak kedua uang logam
sudah kembali ke tangan Cu Sianseng.
Air muka Ouw Yang Coan memerah dan mulutnya pun
membungkam. Hal itu membingungkan Ouw Yang Hong, sebab
semula dia mengira begitu kakaknya turun tangan, orang-orang itu
pasti akan roboh. Tidak dikira kalau teryata ketiga keping uang
logam itu justru mampu mengatasi tongkat ular milik kakaknya.
Cu Sianseng tersenyum mengejek menyaksikan Ouw Yang Coan
yang terbungkam.
"Tuan Ouw Yang pasti sudah setuju, saudaramu berangkat ke
daerah utara. Aku berani jamin, tidak akan terjadi apa-apa terhadap
adikmu . . ."
Ouw Yang Coan masih diam membisu.
"Untuk bawa dia pergi, harus bertanya padaku dulu!" kata Bokyong
Cen.
Cu Sianseng menatap gadis itu seraya bertanya.

"Siapa kau? Ketika Ouw Yang Hong berbicara padaku, dia hanya
menyinggung kakaknya, tidak menyinggung dirimu sama sekali!"
Bokyong Cen tertawa. Sungguh manis tawanya.
"Dia tidak menyinggung tentang diriku? Itu sungguh aneh . . . Oh
ya! Kuberitahukan pada kalian, gara-gara ribut denganku dia marah
lalu pergi. Katanya mau pergi jalan-jalan. Tidak disangka justru
bertemu kalian yang tidak karuan, kuberitahukan dia siapa, dia
adalah . . ."
Wajah Bokyong Cen tampak berubah aneh. Sesaat kemudian dia
melanjutkan dengan suara rendah, "Dia adalah suamiku!"
Ouw Yang Coan dan Ouw Yang Hong jadi melongo, begitu pula Cu
Sianseng dan lainnya. Mereka tidak tahu harus berkata apa.
Cu Sianseng menatap Ouw Yang Hong. Kelihatannya gadis itu tidak
seperti istrinya. Namun gadis itu telah mengatakan begitu, sudah
pasti benar.
"Menurut Nona harus bagaimana?"
Bokyong Cen tertawa, lalu sambil menunjuk mereka dia menjawab,
"Aku akan bertanding dengan kalian. Tuan sudah bertanding dengan
Ouw Yang Coan, aku akan bertanding dengan saudara Ciok. Kalau
aku menang, aku akan bertanding lagi dengan Tuan Lo Hu Cu dan
lainnya!"
"Bagaimana kalau Nona yang kalah?" sahut Cu Sianseng.
Bokyong Cen tertawa mendengar ucapan Cu Sianseng barusan.
"Kalau aku menang, suamiku tidak usah ikut kalian. Apabila aku
kalah, tetap akan bertanding dengan kalian!"
Cu Sianseng menggelengkan kepala.

"Tidak bisa, kau hanya boleh bertanding dengan salah seorang di
antara kami. Kau menang terserah, tapi kalau kau kalah, Tuan Ouw
Yang Hong harus ikut kami pergi! Apabila kau merasa khawatir,
boleh ikut kami pergi ke daerah utara!"
Sementara itu Ouw Yang Coan terus memutar otak. Tadi Bokyong
Cen mencetuskan begitu, tentunya berdasarkan suara hatinya. Dia
memang mencintai Ouw Yang Hong, maka wajar mengatakan
begitu. Karena itu, Ouw Yang Coan memutus kan akan melawan
mereka, agar tidak bisa membawa adiknya dan Bokyong Cen pergi.
Di saat Ouw Yang Coan sedang berpikir, Bokyong Cen pun berpikir.
Biar bagaimana pun aku tidak akan menikah dengan Ouw Yang
Hong, dia tampak bloon dan tiada kegagahan. Tadi aku bilang dia
adalah suamiku, hanya agar dia tidak dibawa pergi oleh orang-orang
itu.
Bersamaan itu, Ouw Yang Hong juga berpikir. Sungguh sial diriku,
aku kira begitu bertemu kakakku, semua urusan akan jadi beres.
Ternyata malah bertambah kacau. Kalau tahu begini, aku tadi tidak
harus melanjutkan syair si Peramal itu.
Ketika mereka bertiga sedang berpikir, wajah Cu Sianseng justru
kelihatan murung sekali. Dia menengadahkan kepala seraya berkata.
"Tuan Ouw Yang, majikanku sudah menunggu tiga tahun. Usia
majikanku sudah tua, "-«p hari berharap kami pulang. Kami semua
punya keluarga, sudah tiga tahun kami berada di luar. Sudah pasti
anak istri kami amat merindukan kami. Karena itu, kami mohon Tuan
Ouw Yang sudi ikut kami ke daerah utara, juga memenuhi harapan
majikan kami."
Begitu mendengar ucapan itu, Ouw Yang Hong tahu dia juga punya
kesulitan. Seketika timbullah rasa simpati, maka ingin menyatakan
bersedia ikut mereka ke daerah utara. Tapi mendadak
dibatalkannya, karena tidak tahu apa yang akan terjadi atas dirinya,
jika ikut mereka ke daerah utara. Seandainya terjadi sesuatu,
menyesal pun sudah terlambat.

"Baik, kalau itu maumu, aku setuju. Aku akan bertanding dengan
salah seorang di antara kalian!" ujar Bokyong Cen, manggutmanggut.
Bokyong Cen memandang mereka dengan penuh perhatian. Gadis
itu tahu mereka semua punya kepandaian. Hanya ada satu orang
yang tampak lesu tak bersemangat, mungkin orang itu tidak
berkepandaian tinggi. Siapa orang itu? Tidak lain adalah orang tua
yang kurus kering bernama Cu Kuo Lo Hu Cu. Orang tua itu mirip
mayat hidup, sudah pasti berkepandaian rendah.
Oleh karena itu, Bokyong Cen tampak gembira sekali.
"Aku akan bertanding dengan orang tua itu!" ujarnya, memandang
Cu Kuo Lo Hu Cu.
Usai berkata begitu, Bokyong Cen masih tertawa gembira. Namun
sungguh di luar dugaan, mendadak Cu Sianseng dan Ciok Cuan Cak
tertawa gelak. Itu amat membingungkan Bokyong Cen.
"Nona, menurutku lebih baik kau jangan bertanding dengannya!"
Bokyong Cen mengira Cu Sianseng kuatir orang tua kurus kering itu
akan roboh di tangannya, sehingga tanpa banyak pikir lagi, langsung
menyerang orang tua itu dengan pedang.
"Lihat pedang!"
Pedangnya meluncur ke arah Cu Kuo Lo Hu Cu, sedangkan orang
tua itu tetap berdiri diam di tempat. Bokyong Cen girang sekali,
namun juga merasa menyesal, sebab pedangnya akan menembus
dada orang tua itu. Ingin menarik kembali pedangnya, sudah
terlambat.
Namun apa yang terjadi Ouw Yang Coan dan Ouw Yang Hong
terpekik karena kaget bukan main.
Sementara orang tua itu tetap berdiri tak bergerak di tempat. Cu
Sianseng dan lainnya juga diam saja.

Ujung pedang itu telah menusuk dada orang tua itu, sehingga
bajunya tersobek. Akan tetapi, Bokyong Cen justru merasa
pedangnya tak bisa bergerak lagi. Ternyata pedangnya telah terjepit
oleh kedua jari tangan si orang tua kurus kering.
Bokyong Cen terbelalak kaget dan kengerian.
"Nona, hatimu tidak begitu jahat! Pergilah!" ujar si orang tua kurus
kering, lemah, seakan tak bertenaga.
Mendadak terdengar suara Trang!' Ternyata pedang itu telah patah
jadi dua, sedangkan Bokyong Cen terhentak mundur beberapa
langkah.
Setelah tegak berdiri, gadis itu memandang Cu Kuo Lu Hu Cu
dengan mata terbeliak lebar. Tidak disangkanya, orang tua itu
ternyata berkepandaian paling tinggi di antara semua orang.
Cu Sianseng segera berkata.
"Tuan Ouw Yang, lihatlah! Nona itu akan pergi bersama kita atau
kau seorang yang ikut kami?"
"Kalau menghendaki adikku pergi dengan kalian, kalian harus
memberitahukan padaku, siapa sebetulnya kalian dan mengapa
harus bawa adikku ke daerah utara?" tanya Ouw Yang Coan.
"Maaf, hanya dapat kuberitahukan, bahwa kami bawa adikmu ke
daerah utara bukan untuk niat jahat. Kalian boleh berlega hati, kalau
nona ini juga ingin ikut, tentunya boleh. Namun kalau dia ikut hanya
akan termenung seorang diri, karena tidak akan melihat Tuan Ouw
Yang Hong!"
Bokyong Cen melongo mendengarnya.
"Mengapa aku tidak akan melihatnya?" tanyanya penuh keheranan.
Cu Sianseng memberitahukan.
"Karena Tuan Ouw Yang Hong akan sibuk sekali di tempat kami!"

Sibuk? Gumam Bokyong Cen, merasa curiga. Ouw Yang Hong akan
sibuk apa di sana? Mungkinkah dia akan menulis syair? Selain
menulis syair, dia tidak bisa apa-apa!
Ouw Yang Coan serba salah, sebab dia tahu dirinya tidak mampu
melawan mereka. Melawan orang tua itu saja dia tidak sanggup,
apalagi harus melawan semua.
Mendadak Cu Sianseng menyambar tangan Bokyong Cen yang masih
menggenggam pedang buntung, kemudian diayunkan ke arah jari
tangannya. Seketika itu putuslah jari kelingking Cu Sianseng. Darah
mengucur deras.
"Apabila aku mencelakai Tuan Ouw Yang Hong, maka diriku akan
seperti jari kelingkingku!" sumpahnya sambil menatap Bokyong Cen
dan Ouw Yang Coan,
Ouw Yang Coan, Bokyong Cen, dan Ouw Yang Hong saling
memandang. Mereka tidak tahu mengapa Cu Sianseng berbuat
begitu dan mencetuskan sumpah pula. Mengapa harus membawa
Ouw Yang Hong ke daerah utara? Semua membuat heran hati
ketiganya.
"Kalau begitu, aku memperbolehkan adikku ikut kalian. Tapi kapan
dia akan kembali?" ucap Ouw Yang Coan.
"Asal dia sudah bertemu majikan, mungkn setahun dua tahun dia
akan pulang. Kalau dia merasa cocok dengan majikan, mungkin tiga
tahun kemudian haru pulang. Sebaliknya kalau tidak cocok
kemungkinan besar hanya setengah tahun dia sudah pulang!" jelas
Cu Sianseng.
Ouw Yang Coan manggut-manggut, lalu berkata pada Ouw Yang
Hong.
"Adik, aku juga ada urusan, tidak bisa menemanimu ke daerah
utara. Terhadapmu hatiku khawatir ..."
Usai berkata begitu, Ouw Yang Coan memandang Bokyong Cen,
maksudnya agar gadis itu menyertai adiknya ke daerah utara.

Bokyong Cen berpikir, kau kira aku mencintai adikmu yang bloon itu?
Kalau dia ikut mereka ke daerah utara, sudah pasti akan celaka.
Mengapa aku harus menyertainya? Sudah cukup menderita ketika
aku berada di Pek Tho San Cung, maka aku tidak akan menyertainya
ke daerah utara.
Ouw Yang Coan pun tahu gadis itu tidak mau ikut adiknya ke daerah
utara. Itulah yang memuatnya tidak habis pikir. Tadi gadis itu
menyatakan bahwa Ouw Yang Hong adalah suaminya. Maka sang
suami kemana, si istri pun harus ikut. Tapi kini Bokyong Cen masih
merupakan seorang gadis, dia tidak mau ikut Ouw Yang Hong ke
daerah utara, bagaimana mungkin memaksanya.
Sementara Ouw Yang Hong juga memandang Ouw Yang Coan. Dia
tahu pasti akan celaka jika berangkat ke daerah utara. Sehingga
tanpa sadar ia mengucurkan air mata.
Ouw Yang Coan menatapnya sejenak, kemudian berkata, "Adik, aku
datang di Tionggoan ini karena ada urusan penting. Setelah urusan
itu beres, tentunya aku akan ke daerah utara mencarimu. Kalau
tidak terjadi suatu apa pun atas dirimu, aku pasti berterima kasih
pada mereka. Namun, apabila terjadi sesuatu atas dirimu, aku dan
guru pasti membuat perhitungan dengan mereka."
Ouw Yang Coan berkata begitu, agar hati adiknya merasa tenang.
Mereka berdua bercakap-cakap, sedangkan yang lain diam saja.
Hingga tak lama kemudian, akhirnya Ouw Yang Hong ber-pamit
pada kakaknya dan Bokyong Cen. Dia ikut orang-orang itu pergi.
Sesaat dia masih sempat menoleh ke belakang melihat Bokyong Cen
menundukkan kepala, sepertinya sedang mengucurkan air mata.
Ouw Yang Hong dan orang-orang itu telah tiba di sebuah kota. Cu
Sianseng membeli tujuh ekor kuda. Mereka bertujuh menunggang
kuda menuju ke daerah utara, menempuh jalan siang dan malam,
hanya bermalam di dalam hutan.
Ouw Yang Hong sama sekali tidak tahu apa sebabnya mereka
membawanya ke daerah utara. Dia hanya tahu, mereka punya

seorang majikan yang sudah tua, sedang menunggu dan ingin bertemu
Ouw Yang Hong.
Sepanjang jalan, Cu Sianseng dan Cu Kuo Lo Hu Cu melarang semua
orang menimbulkan masalah. Namun Cu Sianseng berlaku amat
sungkan terhadap Ouw Yang Hong.
Dalam perjalanan, Ouw Yang Hong sering bertanya pada Cu
Sianseng, mengapa mereka membawanya ke daerah utara, apa
yang harus dikerjakannya di sana, dan mengapa majikan mereka
ingin menemuinya. Walau Ouw Yang Hong bertanya berulang kali,
Cu Sianseng cuma tersenyum tanpa memberi jwaban. Hati Ouw
Yang Hong jadi kesal, akhirnya tidak mau bertanya lagi, bahkan juga
tidak mau bicara dengan mereka.
Kian lama hawa kian bertambah dingin. Saat itu memang bulan
delapan, pertengahan musim gugur. Malam harinya, angin
berhembus dingin menusuk tulang. Ouw Yang Hong yang hanya mengenakan
pakaian biasa, tentunya merasa kedinginan. Sebaliknya
orang-orang itu tidak tampak kedinginan, Cu Sianseng malah
bersenandung.
"Langit tiada batas, rimba tiada ujung. Tinggal di rumah gubukku
dan mencuci pakaianku, bulu burung amat panjang, adalah ibuku.
Seekor kijang, kau, dan aku sama-sama menikmatinya. Melahirkan
anak . . ."
Mendengar senandung itu, semua orang segera menyambungnya
dengan suara lantang.
"Lihatlah gubuk itu, ada istriku yang tercinta, menungguku pulang,
hidup bahagia hingga berambut putih!"
Ouw Yang Hong yang juga mendengar, berkata dalam hati, mereka
semua berasal dari daerah utara, tapi datang ke kota Ciau Liang
menunggu diriku lingga tiga tahun. Apakah hanya demi me-lanjutkan
syair itu? Sungguh tak dapat dipercaya, namun nyatanya memang
begitu.

Malam itu mereka bermalam di sebuah rimba, menyalakan ranting
dan menyuruh seseorang menjaga, yang lain boleh tidur.
Ouw Yang Hong tidak bisa pulas, dia tahu orang-orang itu amat
sungkan padanya, maka dia tidak berniat untuk kabur.
Mendadak terdengar suara derap kaki kuda, terdengar pula suara
siulan yang saling menyusul. Tak lama tampak beberapa orang
berkuda menerjang ke arah tempat itu. Mereka mengenakan pakaian
kulit binatang, membawa busur, golok, dan tombak.
Setelah sampai di depan api unggun, terdengar suara bentakan yang
amat keras.
"Kalian semua dengar, kami adalah Pak Cong Ngo Pit (Lima Jagoan
Daerah Utara)! Harimau,
Macan Tutul, Macan Belang, Srigala, dan Anjing! Cepat tinggalkan
barang-barang kalian dan berlutut, kami akan mengampuni nyawa
kalian!"
Orang-orang yang tidur itu langsung terjaga. Ouw Yang Hong
memandang mereka, tahu jelas mereka berkepandaian amat tinggi,
tapi pendatang yang tak diundang itu membawa busur dan panah.
Kalau mereka melepaskan panah, tentunya akan merepotkan orangorang
itu. Hatinya jadi cemas.
Akan tetapi, Cu Sianseng dan beberapa orang tetap duduk tak
bergerak, memandang para pendatang itu sambil tersenyum. Mereka
tahu yang baru muncul itu adalah perampok, namun mereka tetap
bersikap acuh tak acuh.
Kepala perampok membentak dengan suara mengguntur.
"Cepat tinggalkan barang-barang kalian, apakah aku harus turun
tangan?"
"Kau menghendaki barang-barang kami?" sahut Cu Sianseng sambil
tertawa.
Kepala perampok itu mengangguk.

"Betul!"
Cu Sianseng tertawa sambil berkata pada kepala perampok itu.
"Kami memang memiliki sedikit barang, datang dari kota Ciau Liang,
tentunya membawa barang."
Kepala perampok itu tampak tertegun.
"Siapa kalian?"
Cu Kuo Lo Hu Cu berkata sambil tersenyum.
"Lo Ji, Lo Sam! Kita ke Ciau Liang baru tiga tahun, orang-orang di
sini sudah tidak mengenali kita lagi!"
"Toako (Kakak Pertama), asal kita mendekati mereka, sudah pasti
mereka akan mengenali kita!" sahut Cu Sianseng menimpali.
Mereka berenam bangkit berdiri. Kepala perampok itu tampak
tersentak, lalu berkata dengan suara bergemetar.
"Kalian adalah orang Liu Yun Cun (Perkampungan Liu Yun)?"
Cu Sianseng dan lainnya tidak menyahut, hanya tertawa.
Menyaksikan itu kepala perampok tahu, mereka pasti orang-orang
Liu Yun Cun. Maka cepat-cepat meloncat turun dari kuda, dan
langsung menjatuhkan diri berlutut di hadapan mereka.
"Tuan besar berenam, hamba tidak tahu Tuan-tuan berada di sini,
hamba memang harus mampus!"
Cu Sianseng tertawa.
"Kalian berlima harus mampus atau tidak, aku juga tidak tahu. Tapi
kami sedang tidur di sini. Kalian muncul mengganggu kami, tentunya
kalian harus bertanggung jawab tentang itu!"

Orang yang dipanggil Hou toako berkertak gigi, kemudian berkata
dengan suara bergemetar.
"Kami memang sial tidak mengenali Tuan besar berenam, maka aku
. . ."
Hou toako itu mengangkat sebelah tangannya, mendadak bergerak
cepat mencungkil keluar sebuah matanya. Dia menjerit keras, lalu
roboh dan pingsan.
Yang lain tak berani bergerak sama sekali, tetap berlutut di tanah
dengan wajah pucat pias.
Cu Sianseng memandang mereka sambil tertawa, setelah itu berkata
perlahan-lahan.
"Kalian masih belum mau pergi dari sini? Aku mau tidur lagi!"
Mereka segera mengucapkan terimakasih, dan terbirit-birit
meninggalkan tempat itu.
Bab 15
Tidak terjadi urusan apa-apa lagi. Kini Cu Sianseng, Ouw Yang Hong
dan lainnya sudah sampai di kaki Gunung Cian San daerah utara.
Tak seberapa lama kemudian, mereka sudah berada di depan
sebuah perkampungan. Tampak pohon-pohon dan rerumputan
menghijau. Sungguh indah tempat itu!
Di depan pintu perkampungan, terlihat belasan orang menjaga.
Begitu melihat kedatangan mereka bertujuh, para penjaga itu
tampak tersentak. Ke-mudian salah seorang dari mereka yang
berdandan sebagai pengurus segera menghampiri mereka, dan
memegang bahu Cu Kuo Hu Cu erat-erat.
"Bagus! Bagus! Kalian sudah pulang!" katanya.
Air mata pengurus itu meleleh. Dia pun me-meluk yang lain dengan
air mata bercucuran. Se-telah itu dia berpaling seraya berseru.

"Cepat buka pintu! Salah seorang harus pergi melapor ke ruang
tengah, ruang belakang dan harus memberitahukan pada paman
guru kecil, bahwa lo toa dan lainnya sudah pulang!"
Usai berseru, pengurus itu memandang Ouw Yang Hong dengan
penuh perhatian, lama sekali barulah tertawa seraya berkata.
"Toako, tentunya kalian berenam tidak salah mencari orang. Tahun
kemarin, Coh Cun membawa seorang ke mari, katanya orang itu
yang ditunggu majikan, tapi bukan. Kali ini kalau toako berhasil
menemukan orang yang ditunggu majikan, majikan pasti girang
sekali. Jangan seperti kejadian tahun kemarin, Coh Cun membawa
seorang tolol ke mari, sehingga membuat majikan amat gusar sekali.
Kami harap toako tidak akan mengecewa kan majikan!"
"Harap saudara berlega hati, kami berenam tidak akan salah melihat
orang!" sahut Cu Sianseng sambil tersenyum.
Pengurus itu manggut-manggut.
"Syukurlah!"
Dia lalu mengajak mereka masuk ke dalam perkampungan, menuju
sebuah rumah yang amat besar. Ketika memasuki halaman
perkampungan tersebut, Ouw Yang Hong menjadi tercengang,
sebab dia melihat begitu banyak syair bergantung di tembok
halaman, bahkan terdapat tulisan 'Harimau' dan tulisan 'Tenang'
serta sebuah tulisan yang amat besar, yaitu 'Racun'.
Setelah melihat tulisan-tulisan itu, Ouw Yang Hong yakin bahwa
majikan perkampungan ini pasti orang aneh.
Ketika berjalan beberapa langkah, Ouw Yang Hong melihat sepasang
syair yang bunyinya agak aneh. 'Rumah punya majikan banyak
rejeki, dalam kamar terdapat ibu amat menakutkan hati.'
Setelah membaca sepasang syair itu, air muka Ouw Yang Hong
tampak biasa-biasa saja.

Pengurus itu menatap Ouw Yang Hong, ke-lihatannya memang ingin
mengujinya, kemudian menjura seraya berkata.
"Yang menulis sepasang syair itu adalah majikan kami, tapi kami
amat bodoh, tidak tahu apa maknanya. Tuan pasti orang
cendekiawan, kalau tidak, bagaimana diundang ke Liu Yun Cun
kami? Aku mohon tanya pada Tuan, sesungguhnya se-pasang syair
itu mengandung makna apa?"
Ouw Yang Hong yang belum berpengalaman dalam dunia persilatan,
langsung menjawab dengan sejujurnya.
"Berdasarkan sepasang syair itu, dapat diketahui bahwa majikanmu
tergolong orang Sin Sang Tie. Dahulu kala, Sin Sang Tie menelan
racun, itu bukan dikarenakan dia suka akan racun, melainkan agar
keluarganya tidak keracunan. Di tempat ini terdapat begitu banyak
tulisan 'Racun'. Lagi pula dua buah huruf yang terdapat di dalam
kedua syair itu, kalau digabungkan akan menjadi huruf Ibu Majikan.
Tulisan 'Racun' begitu penting bagi majikanmu, tentunya majikanmu
bermaksud dengan Racun memunahkan Racun."
Ketujuh orang itu mendengarkan dengan serius, kemudian mereka
memandang Ouw Yang Hong dengan kagum, terutama pengurus itu.
Dia cepat-cepat memberi hormat seraya berkata.
"Terimakasih atas petunjuk Tuan!" Kemudian dia memandang Cu
Sianseng dan lainnya sambil memberi hormat. "Kelihatannya toako
tidak sia-sia menunggu di kota Ciau Liang hingga tiga tahun."
Semua orang tertawa gembira, lalu mengantar Ouw Yang Hong
memasuki rumah besar itu. Setelah melewati beberapa ruangan,
barulah mereka sampai di ruangan belakang.
Wajah mereka tampak serius ketika berdiri di depan ruangan
tersebut. Badannya pun dibungkuk-kan sedikit. Cu Kuo Hu Cu berdiri
di paling depan. Di belakangnya berdiri Cu Sianseng atau si Peramal
dan lainnya.
Sesaat kemudian Cu Kuo Hu Cu berkata dengan suara ringan.

"Majikan, kami berenam sudah pulang dari kota Ciau Liang, kini
melapor pada majikan!"
Suara Cu Kuo Hu Cu amat ringan dan halus, sepertinya dia khawatir
akan mengejutkan orang sakit, atau mengejutkan bayi yang sedang
tidur pulas. Itu membuat Ouw Yang Hong terheran-heran dan tidak
habis pikir. Ketika bertemu Ouw Yang Coan dan Bokyong Cen,
mereka tampak begitu gagah. Namun kini justru berubah begitu tak
bernyali, kelihatannya mereka takut kepada orang yang berada di
dalam ruangan itu.
Cu Kuo Hu Cu memanggil dua kali, tapi tiada sahutan dari dalam
ruangan tersebut. Oleh karena itu dia tidak berani bersuara lagi.
Tujuh orang itu berbaris di depan ruangan, tak berani bergerak dan
bersuara.
Ouw Yang Hong berpikir dalam hati, sungguh angkuh sang majikan
itu! Orang sudah memanggil dua kali, namun sama sekali tidak mau
menyahut.
Di saat Ouw Yang Hong sedang berpikir, men-dadak terdengar suara
anak kecil.
"Aku lihat tuh! Keenam orang itu juga tiada gunanya. Yang tua itu
amat kurus! Terlampau banyak berpikir setiap hari, sering
mempermainkan orang hingga badan menjadi kurus kering! Cu
Sianseng itu tampak seperti lelaki sejati, wajah selalu serius, justru
kelihatan angker, sepertinya banyak orang di daerah utara ini punya
hutang kepadanya! Begitu pula yang lain, tiada seorang pun yang
benar!"
Ouw Yang Hong mendengar jelas bahwa itu suara anak kecil, tapi
dibikin-bikin seperti suara orang tua. Siapa anak kecil itu? Mengapa
dia berani menegur keenam orang tersebut? Sedangkan ke-enam
orang itu tidak berani menyahut, hanya men-dongakkan kepala
memandang ke atas sebuah po-hon, kemudian mereka serentak
memberi hormat.
"Susiok (Paman Guru), apakah susiok baik-baik saja?"
Ouw Yang Hong memandang ke atas pohon itu. Tampak seorang
anak kecil duduk di dahan sedang tertawa-tawa. Dia berpakaian

kembang-kembang, rambut dikuncir ke atas. Justru sungguh menggelikan,
karena anak itu baru berusia sekitar se-puluh tahun, tapi
mengapa keenam orang itu me-manggilnya paman guru?
Anak kecil itu menyahut, "Cu Kuo Cia (Nama Cu Kuo Hu Cu)! Kau
pergi tiga tahun, menantumu tidak baik terhadapku. Bulan kemarin
dia bikin kembang gula, hanya berikanku sekotak kecil! Hm! Katanya
khawatir aku sakit kebanyakan makan kembang gula. Itu jelas tidak
menghormati tingkatan tua! Masih ada hal lain lagi, dia sering
menghinaku! Kini kau sudah pulang, bagus! Kau harus menghajar
mereka, agar selanjutnya mereka lebih menghormatiku!"
Ouw Yang Hong terbelalak mendengar ucapan anak itu. Namun
keenam orang itu tetap bersikap biasa, bahkan Cu Kuo Hu Cu
manggut-manggut.
"Terimakasih atas nasihat paman guru!" kata-nya.
Anak kecil itu memandang Ciok Cuang Cak.
"Ciok Sam, mengapa istrimu terus menangis selama tiga tahun ini?
Terutama di malam hari, dia memeluk bantal sambil menangis, tapi
kemudian tertawa-tawa. Mengapa dia tertawa? Nanti tanyalah kau
kepadanya, dan besok kau harus mem-beritahukan kepadaku!
Jangan lupa!"
Wajah Ciok Cuang Cak alias Ciok Sam itu memerah. Bibirnya
bergerak tapi tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
OuwYang Hong memandang anak kecil itu yang duduk di dahan
pohon. Begitu tinggi hampir sepuluh depa. Bagaimana cara anak
kecil itu meloncat ke atas, dan bagaimana dia adalah paman guru
keenam orang tersebut?
Ouw Yang Hong tidak habis pikir. Di saat bersamaan, anak kecil itu
justru memandangnya. Ketika melihat Ouw Yang Hong, anak kecil
itu tampak gembira, bertepuk tangan seraya berkata.
"Bagus sekali! Kaukah orangnya yang mereka cari?"

Anak kecil itu kelihatan periang, membuat Ouw Yang Hong menjadi
gembira.
"Tidak salah, aku memang orang yang mereka cari," sabutnya
sambil tertawa.
Mendadak air muka anak kecil itu berubah, kemudian berseru-seru.
"Celaka! Celaka! Kau terjebak, kau sudah ter-tipu!"
Ouw Yang Hong tersentak.
"Apa maksudmu?" tanyanya segera.
Badan anak kecil itu tampak bergerak. Tahu-tahu dia sudah
melayang turun dengan ringan sekali ke hadapan Ouw Yang Hong,
lalu menyahut.
"Kuberitahukan, cepatlah kau kabur! Mereka mencarimu dengan
maksud tidak baik. Kau akan disuruh belajar tentang racun. Padahal
itu bukan pekerjaan yang baik. Sungguh sial kau jika bertemu
mereka! Cepatlah kau kabur mumpung masih ada waktu! Aku akan
memberimu uang perak dan sedikit makanan kering. Kau cepat
kabur, biar aku yang menghadapi mereka bertujuh!"
Anak kecil itu menyodorkan sebuah bungkusan kecil kepada Ouw
Yang Hong. Apa yang dikatakan anak kecil itu, membuat Ouw Yang
Hong menjadi curiga.
Akan tetapi, di saat bersamaan justru terdengar suara seorang tua
yang amat perlahan.
"Apakah kalian berenam sudah pulang?"
Begitu mendengar suara itu, sekujur badan Cu Sianseng tampak
gemetar.
"Guru, kami berenam sudah pulang," sahutnya.

"Sudahkah kalian berhasil mencari orang itu?" tanya orang tua.
Cu Sianseng segera menjawab.
"Sudah! Sudah! Dia adalah Tuan Ouw Yang Hong, berdiri di samping
kami."
Sementara itu, setelah mendengar suara orang tua tersebut, wajah
anak kecil itu pun berubah lesu.
"Habislah kau! Habislah kau! Tua bangka itu sudah mendusin, kau
tidak bisa kabur lagi!" bisiknya kepada Ouw Yang Hong.
Usai berbisik, mendadak dia melesat pergi, dan dalam sekejap sudah
hilang dari pandangan Ouw Yang Hong.
Ouw Yang Hong terheran-heran. Dia mendengar suara tua itu, tapi
tidak melihat orangnya. Maka dia menengok ke sana ke mari, tapi
tetap tidak melihat orang tua tersebut.
Di saat dia terheran-heran itulah, keenam orang itu mengajak Ouw
Yang Hong ke dekat sebuah pohon besar. Ouw Yang Hong
terbelalak, karena melihat sebuah lubang besar di pohon itu.
Keenam orang itu membawanya ke dalam. Dengan hati berdebardebar
tegang Ouw Yang Hong berjalan ke dalam lubang pohon itu.
Setelah memasuki lubang pohon itu, Ouw Yang Hong tampak
tersentak. Ternyata dia melihat se-orang tua bergantung dengan
kepala di bawah kaki di atas.
Ujung kakinya bergantung di dahan, rambutnya panjang menyentuh
tanah, dan sepasang matanya dipejamkan. Ketika Ouw Yang Hong
masuk ke dalam, orang tua itu langsung bertanya.
"Kaukah yang berhasil melanjutkan syairku?"
"Ya! Ketika itu aku berada di Kota Ciau Liang. Tanpa sengaja aku
berhasil melanjutkan syair itu, sahut Ouw Yang Hong.
Orang tua tertawa.

"Ha ha! Bagus, bagus! Ha ha ha . .."
Usai tertawa, dia lalu membaca sebuah syair, Ouw Yang Hong
segera melanjutkan syair tersebut.
Orang tua itu diam sejenak, baru kemudian berkata.
"Anak muda, kau salah melanjutkan. Sejak dahulu kala, syair apa
pun yang terdapat huruf Langit, harus dijawab dengan huruf Bumi.
Hem-busan Angin harus dijawab dengan arus Air. Kau mahir
mengenai syair, tentunya tahu akan hal ter-sebut. Oleh karena itu,
kau telah keliru melanjutkan syairku itu. Cobalah kau pikirkan yang
lebih tepat untuk melanjutkan syairku!"
Ouw Yang Hong tertawa.
"Mohon tanya, apakah kau adalah majikan rumah ini?"
Orang tua itu diam sejenak, setelah itu baru menyahut.
"Aku memang majikan rumah ini."
Ouw Yang Hong tertawa lagi, lalu berkata.
"Ketika aku memasuki rumah ini, aku melihat sepasang syair,
katanya kau yang menulis syair itu. Tentunya tidak salah kan?"
Orang tua itu manggut-manggut.
"Syair itu kutulis secara sembarangan, harap jangan ditertawakan!"
"Syair itu amat bagus, mengandung makna yang amat dalam. Aku
kagum sekali," kata Ouw Yang Hong.
Orang tua tampak gembira karena Ouw Yang Hong memuji syair
yang ditulisnya.
"Aku justru tidak tahu bagaimana bagusnya syair itu," katanya.

Sebelum menyahut, mendadak Ouw Yang Hong teringat akan anak
kecil yang menyuruhnya cepat-cepat kabur. Maka dia yakin, cepat
atau lambat nyawanya pasti akan melayang di tempat ini. Oleh
kaerna itu dia mengambil keputusan tidak mau mati secara
penasaran.
"Terus terang, sepasang syair itu terdapat sedikit penyakit, boleh
dikatakan tidak masuk akal," sahutnya.
Orang tua itu sedang merasa bangga terhadap syair yang
dituliskannya itu, namun kini Ouw Yang Hong justru mencelanya.
Maka seketika wajahnya berubah menjadi tak sedap dipandang,
kemudian dia berkata dengan dingin sekali.
"Katakan, di mana letaknya kesalahan syairku itu!"
Mendadak dia mengibaskan tangannya, dan seketika tampak dua
batang ranting meluncur ke arah Ouw Yang Hong. Dapat
dibayangkan betapa terkejutnya Ouw Yang Hong. Namun dia cepatcepat
meloncat ke belakang, sehingga hanya satu ranting yang
menyambar kepalanya. Sedangkan ranting yang lain melesat lalu
menancap di sebuah pohon.
Wajah Ouw Yang Hong pucat pias. Perlahan-lahan dia mengangkat
sebelah tangannya untuk meraba kepalanya. Ternyata salah satu
ranting itu menancap di rambutnya. Ketika dia melihat tangannya,
tidak bernoda darah, barulah hatinya merasa lega.
"Orang tua, mengapa kau berbuat begitu?"
"Cepat katakan, di mana letak kesalahan syair-ku itu?" Orang tua
balik bertanya.
"Kau menggunakan kata Majikan dan Ibu, serta menggunakan kata
Rumah dan kamar, bukankah itu merupakan suatu kesalahan?"
sahut Ouw Yang Hong dengan lantang.

Orang tua itu tertawa terkekeh-kekeh, sambil memandang Ouw
Yang Hong dan berkata dengan suara nyaring.
"Kau memang pintar! Aku justru memandang remeh para sastrawan.
Mereka menganggap dirinya berpengetahuan luas, bahkan sering
membicarakan ajaran Sang Buddha. Tapi mereka cuma sok pintar.
Rasanya aku ingin membunuh mereka satu persatu!"
Ouw Yang Hong menatap orang tua itu, ke-mudian mendadak
berloncat-loncatan seraya ber-kata sekeras-kerasnya.
'Bagus! Bagus! Ucapanmu itu sesuai dengan maksud hatiku!"
Orang tua itu tertawa ringan, lalu berkata.
"Bagus! Tapi kau masih tidak tahu, bahwa di kolong langit ini
terdapat seseorang yang berjalan sendiri. Kuberitahukan, namaku
adalah Tok liang (Berjalan Sendiri)."
Kini Ouw Yang Hong baru tahu, bahwa ternyata di dalam dua
pasang syair yang dilanjutkannya itu, terdapat nama orang tua
tersebut.
"Siapa yang paling kau benci?" tanya orang tua.
Ouw Yang Hong tertegun mendengar perta-nyaan itu. Siapa yang
paling dibencinya? Pek Tho San San Kun Jen It Thian atau gadis
yang bernama Bokyong Cen? Sebab gadis itu pernah menghina dan
mempermainkannya. Mungkinkah Su Ciau Hwa Cu Si Pengemis tua
itu? Ouw Yang Hong terus berpikir.
"Kalau kau bisa membunuh orang, apakah kau ingin membunuh
mereka?" tanya orang tua itu lagi. "Bunuh! Mengapa aku tidak
membunuhnya?"
sahut Ouw Yang Hong.
Orang tua tertawa terkekeh-kekeh.

"He he he! Oh ya, kau menyukai perhiasan, uang, kekuasaan dan
wanita cantik?"
"Suka! Tapi bagaimana mungkin aku bisa memperolehnya?" sahut
Ouw Yang Hong dengan suara dalam.
Orang tua tertawa gelak, kemudian bersiul pan-jang dan mendadak
badannya melayang ke atas, setelah itu melesat turun sekaligus
duduk di ha-dapan Ouw Yang Hong. Dia tertawa sambil memandang
Ouw Yang Hong lalu berkata.
"Bocah! Kau telah berhasil melanjutkan syairku itu, pertanda kau
berjodoh denganku! Aku memiliki kungfu aneh, akan kuajarkan
padamu!" Usai berkata begitu, orang tua itu pun bergumam. "Kodok
berloncat di tanah, kodok berloncat sendiri dengan kekuatan Ha Mo
Kang."
Setelah bergumam, orang tua itu bergerak cepat sekali, lalu
mendadak berjongkok di tanah. Dia membuka mulutnya sambil
mengeluarkan suara Krok! Krok! Krok! Lalu mendongakkan
kepalanya dan sepasang tangannya bergerak cepat sekali se-hingga
tampak menjadi puluhan pasang. Kemudian dia membentak keras
dan sepasang tangannya di-julurkan ke depan, ke arah sebuah
pohon, sehingga pohon itu hancur berantakan.
Terbelalak Ouw Yang Hong menyaksikan itu. Dia yakin kepandaian
orang tua itu masih jauh di atas kepandaian guru kakaknya.
Orang tua itu tersenyum lalu berkata, "Inilah dua macam kungfu
yang amat tinggi di kolong langit, disebut Hong Huang Lat (Kekuatan
Phoenix) dan Ha Mo Kang (Tenaga Sakti Kodok). Apabila kau setuju,
aku akan mengajarmu kedua macam kungfu itu."
Tentu saja Ouw Yang Hong setuju. Bahkan saking girangnya dia
langsung menjatuhkan diri bersujud di hadapan orang tua itu.
Akan tetapi, mendadak orang tua itu men-cegahnya.

"Tidak bisa! Kau ingin belajar kungfuku, ter-lebih dahulu harus
belajar menggunakan racun, makan racun dan menjadikan dirimu
seorang bera-cun," katanya.
Bukan main terkejutnya Ouw Yang Hong. Dia teringat akan anak
kecil yang menyuruhnya cepat-cepat kabur, apakah dikarenakan ini?
Seandainya dia makan racun, bukankah dirinya akan mati
keracunan? Setelah berpikir demikian, dia berseru sekeras-kerasnya.
"Aku tidak mau menjadi orang beracun, aku tidak mau menjadi
orang beracun!"
Orang tua itu tersenyum, lalu berkata dengan ringan.
"Apakah tidak baik menjadi orang beracun? Di kolong langit itu
banyak terdapat orang beracun.
Kalau ditambah kau seorang, itu tidak akan menjadi masalah."
"Aku tidak sudi, aku tidak sudi!" sahut Ouw Yang Hong.
Orang tua itu menatapnya seraya berkata.
"Kuberitahukan, kau jangan mendengarkan omongan anak kecil itu.
Apa yang diomongkannya, hanya dusta belaka. Lebih baik kau
dengar kataku. Bagaimana?"
Ouw Yang Hong menatapnya. Dia merasa aneh dan tiba-tiba
teringat akan Bokyong Cen yang me-natap Pek Tho San San Kun,
lalu berjalan ke luar meninggalkan rumahnya, seakan dalam
keadaan tak sadar.
Orang tua itu juga tampak demikian, apakah dia akan
mempengaruhi Ouw Yang Hong dengan ilmu sesat? Berselang
sesaat, orang tua itu berkata dengan lembut dan ringan.
"Semua orang di kolong langit berlaku tidak adil terhadapmu.
Bukankah mereka sering menghina, mencaci dan memukulmu?
Mengapa kau tidak mau melawan mereka?"

Ouw Yang Hong tidak menyahut.
"Betul kan mereka sering menghina, mencaci dan memukulmu?"
tanya orang tua itu lagi.
"Betul," sahut Ouw Yang Hong.
"Kalau begitu, mengapa kau tidak, mau turun tangan melawan
mereka?"
"Karena aku tidak memiliki ilmu silat tinggi, maka tidak dapat
membalas mereka," sahut Ouw Yang Hong tanpa banyak pikir.
"Ha ha!" Orang tua itu tertawa. "Kau boleh memiliki wanita cantik,
juga boleh memiliki banyak budak dan pelayan! Kau menghendaki
mereka mengerjakan apa, mereka pasti menurut! Bukankah itu baik
sekali?"
Ouw Yang Hong mengangguk.
"Kau akan menjadi orang nomor wahid di kolong langit. Mau menjadi
kaisar pun boleh. Kalau kau tidak mau menjadi kaisar, kau boleh
menjadi raja dalam rimba persilatan! Bagaimana menurutmu, baik
tidak begitu?" lanjut orang tua.
Timbul pertentangan dalam hati Ouw Yang Hong. Aku tidak boleh
menurutinya. Kalau aku menurutinya, aku pasti akan menuju ke
jalan iblis. Tapi apabila aku tidak menurutinya, bukankah selamanya
aku akan dihina, dicaci dan dipukul orang? Ouw Yang Hong terus
berpikir, sehingga tidak tahu harus bagaimana memberi jawaban.
Orang tua itu tersenyum, lalu memandangnya sambil berkata.
"Ouw Yang Hong, apakah kau ingin mencoba dan melewati harihariku?"
Mendadak orang tua itu berseru, dan seketika juga muncul
seorang gadis pelayan, yang langsung memberi hormat kepadanya.
"Majikan ada pesan apa?" tanyanya.

"Bawalah Tuan Muda Ouw Yang ini ke dalam rumahku, biar dia
tinggal di rumahku saja!"
Gadis pelayan itu tampak tersentak. Dipan-dangnya orang tua itu
dengan terheran-heran, ke-mudian berkata.
"Majikan, sudah beberapa tahun rumah itu tidak dihuni."
Orang tua itu tertawa, lalu berkata dengan ringan.
"Bawalah Tuan Muda Ouw Yang ini ke sana, agar dia menikmati
kesenangan hidup manusia!"
Gadis pelayan itu tersenyum, lalu menoleh me-mandang Ouw Yang
Hong.
"Tuan Muda Ouw Yang, silakan!" ajaknya de-ngan lembut.
Gadis pelayan itu berjalan di depan, Ouw Yang Hong mengikutinya
dari belakang. Tak lama mereka sampai di sebuah rumah yang amat
besar.
Mereka berdua berdiri di depan rumah besar itu. Tampak dua
penjaga berdiri di sana.
"Di sini adalah tempat tinggal majikan. Mengapa kau berani
membawa orang luar ke mari?" tanya salah seorang dari dua
penjaga itu.
Gadis pelayan itu tertawa, lalu menyahut de-ngan nyaring.
"Kau kira dia adalah orang luar? Majikan sama sekali tidak
menganggapnya sebagai orang luar, bahkan mengundangnya
tinggal di rumah ini untuk menikmati berbagai macam kesenangan."
Kedua penjaga itu segera memberi hormat ke-pada Ouw Yang Hong.
"Silakan Tuan Muda, budak telah berlaku ku-rung hormat, harap
Tuan Muda sudi memaafkan kami!" katanya dengan serentak.

Ouw Yang Hong berjalan ke dalam rumah. Ketika memasuki rumah
tersebut, terbelalaklah matanya, karena menyaksikan kemewahan
rumah itu, yang dihiasi dengan berbagai macam batu mus-tika,
mutiara dan benda-benda antik.
"Tuan Muda, kalau ingin menyalakan lampu, goyang saja perlahanlahan
pohon ini, lampu pasti menyala," kata gadis pelayan itu.
Usai berkata, gadis pelayan itu menggoyangkan sebuah pohon
perlahan-lahan. Seketika juga muncul sebuah mutiara yang amat
besar, sinarnya me-nerangi ruangan itu.
Setelah itu, gadis pelayan tersebut menjelaskan mengenai semua
benda yang ada di sana. Ouw Yang Hong mendengarkan dengan
mulut ternganga lebar dan membatin. Apakah aku bisa menikmati
semua ini? Mungkinkah aku akan menjadi orang yang demikian?
Bukankah aku akan menyerupai seorang pangeran atau sebagai
majikan Perkampungan Liu Yu Cun ini?
Ketika Ouw Yang Hong sedang berpikir, gadis pelayan itu membuka
pintu, lalu berjalan pergi meninggalkannya.
Ouw Yang Hong duduk di sana dengan hati berdebar-debar.
Mendadak terdengar suara lang-kah yang amat ringan, yang disusul
oleh suara yang amat merdu.
"Tuan Muda harus mandi dulu!"
Ouw Yang Hong menoleh. Tampak dua wanita cantik berdiri di
depan ranjang, memandang Ouw Yang Hong sambil tersenyum dan
berkata.
"Tuan Muda pasti masih lelah dan badan Tuan Muda pun kotor.
Lebih baik Tuan Muda mandi dulu, setelah itu barulah beristirahat!"
Usai berkata, kedua wanita itu mendekati Ouw Yang Hong, lalu
memapahnya ke dalam melewati sebuah koridor, kemudian melewati
halaman be-lakang dan sampai di sebuah rumah.

Kedua wanita itu membawa Ouw Yang Hong ke dalam rumah
tersebut. Begitu sampai di dalam, Ouw Yang Hong menjadi melongo.
Ternyata di dalam rumah itu terdapat sebuah kolam mandi yang
cukup besar, dan tampak pula dua gadis telanjang bulat berdiri di
sisinya.
Ketika melihat kedua gadis telanjang itu, hati Ouw Yang Hong
berdebar-debar tegang, karena dia yakin mereka berdua akan
memandikan dirinya.
Kedua gadis itu memberi hormat kepada Ouw
Yang Hong, lalu berkata.
"Harap Tuan Muda mandi dulu!"
Mereka memapah Ouw Yang Hong ke dalam kolam mandi. Air kolam
itu hangat, namun sekujur badan Ouw Yang Hong malah gemetar.
Itu bukan karena kedinginan, melainkan karena badannya dipapah
oleh kedua gadis yang telanjang itu. Belum pernah dia mengalami
hal seperti itu, maka badan-nya menjadi gemetar saking tegangnya.
Kedua gadis itu menatapnya,kemudian salah satu dari mereka
bertanya.
"Apakah Tuan Muda merasa tidak enak? Biasa-nya majikan mandi
dengan cara demikian."
"Baik, baik! Ikuti saja cara mandi majikan kalian!" sahut Ouw Yang
Hong.
Kedua gadis itu tampak berlega hati, lalu me-nanggalkan pakaian
Ouw Yang Hong dan mulailah jari tangan mereka yang halus
menggosok-gosok badannya, sehingga membuat Ouw Yang Hong
merasa nyaman sekali. Selama ini aku tidak tahu sama sekali,
seorang lelaki akan melewati hari-hari yang sedemikian senang dan
nyaman, ini sungguh tak terduga . . .

Di saat Ouw Yang Hong berkata dalam hati, kedua gadis itu terus
menggosok badannya, mem-buat wajahnya menjadi memerah.
Kedua gadis itu tertawa cekikikan, kemudian berkata hampir
serentak.
"Tuan muda jangan merasa malu!"
Ouw Yang Hong manggut-manggut, namun wajahnya tetap tampak
memerah. Di saat ber-samaan, mendadak dia teringat akan Bokyong
Cen. Kini dia baru sadar, bahwa dirinya terkesan baik terhadap gadis
itu.
Tiba-tiba masuk beberapa anak gadis lagi, yang semuanya juga
telanjang bulat seperti kedua gadis itu. Mereka berjalan dengan
lemah gemulai ke hadapan Ouw Yang Hong. Ketika melihat gadisgadis
itu, salah satu gadis yang menggosok badan Ouw Yang Hong
segera berbisik.
"Tuan Muda, kalau Tuan Muda tertarik salah satu di antara gadisgadis
itu, Tuan Muda manggut saja! Aku akan menyuruhnya
menemanimu!"
Ouw Yang Hong segera memperhatikan gadis-gadis itu. Semuanya
cantik dan kelihatannya semua ingin menemaninya sehingga
membuatnya menjadi bingung memilihnya.
Anak gadis yang menggosok badannya tahu akan hal itu. Maka dia
tersenyum seraya berbisik.
"Kalau Tuan Muda setuju, bagaimana kalau kusuruh mereka semua
menemanimu?"
Ouw Yang Hong memang setuju, namun dia baru saja tiba di tempat
itu, maka bagaimana mungkin bersama gadis-gadis tersebut?
Mendadak Ouw Yang Hong menolehkan kepalanya. Dilihatnya seraut
wajah yang berseri-seri, ternyata adalah salah satu gadis yang
menggosok badannya. Gadis itu tampak lemah-lembut dan amat
cantik, mengapa tidak dia saja yang menemaniku? Pikirnya.

Setelah berpikir demikian, dia berkata pada gadis itu dengan suara
ringan.
"Bagaimana kalau kau saja yang tinggal di sini menemaniku?"
"Baik, tapi . . . bagaimana dengan para gadis itu?" sahut gadis itu.
"Suruh mereka pergi!" bisik Ouw Yang Hong.
Gadis itu mengangguk, lalu segera memberi isyarat kepada para
gadis tersebut. Mereka meng-angguk, lalu meninggalkan kolam
mandi.
Kini Ouw Yang Hong hanya bersama gadis itu, sebab salah satu
gadis yang menggosok badannya juga ikut pergi. Betapa tegangnya
Ouw Yang Hong, karena sejak dia dewasa, belum pernah berdekatan
dengan kaum gadis. Saat ini dia begitu dekat dengan gadis itu, maka
sudah barang tentu hatinya berdebar-debar tidak karuan, bahkan
merasa je-ngah pula.
Tak lama kemudian, mereka berdua kembali ke rumah besar. Ouw
Yang Hong duduk di kursi, tampak segar dan bersemangat.
Seorang gadis mendekatinya, lalu menjatuhkan diri berlutut sambil
menyodorkan sebuah Cu Ko (Buah Cu Ko). Gadis itu
memberitahukan bahwa buah tersebut berusia seribu tahun, kalau
dimakan dapat menambah Iwe kang.
Ouw Yang Hong tidak menyahut, tapi segera makan buah itu.
Rasanya manis terasa kepahit-pahitan. Setelah makan buah itu,
badannya merasa bertambah segar dan bertenaga.
Sesaat kemudian tampak beberapa anak gadis masuk ke dalam lagi.
Mereka memberi hormat lalu salah seorang bertanya.
"Tuan Muda, apakah Tuan Muda suka men-dengarkan musik?"
Hati Ouw Yang Hong girang bukan main, sebab dia memang amat
menyukai musik.

"Majikan mengumpulkan kitab-kitab musik, akhirnya menciptakan
musik.
Mudah-mudahan Tuan Muda suka mendengarnya!" kata gadis itu.
Ouw Yang Hong manggut-manggut, namun ha-tinya tidak percaya,
bahwa para gadis itu mahir memainkan musik.
"Baiklah! Kalian boleh memainkan musik itu, aku ingin
mendengarnya!" katanya.
Ketujuh gadis itu, menggunakan tujuh macam alat musik. Ouw Yang
Hong memperhatikan alat-alat musik itu, di antaranya ada yang
belum pernah dilihatnya.
Sesaat kemudian, terdengarlah suara musik yang amat merdu,
membuat Ouw Yang Hong ber-girang hati dan berseri-seri.
"Bagus! Bagus sekali!" serunya.
Ouw Yang Hong pun berkata dalam hati, kalau aku tidak ikut ke
mari, bagaimana mungkin dapat menikmati musik ini? Kalau bisa
menjadi majikan perkampungan ini, tentunya amat menyenangkan
sekali!
"Baik, kalian boleh pergi beristirahat sebentar! Kapan-kapan aku
akan menyuruh kalian main mu-sik lagi!"
Seketika musik berhenti dan gadis-gadis itu saling memandang, tapi
tiada seorang pun yang mau meninggalkan tempat itu.
Ouw Yang Hong tercengang.
"Mengapa kalian tidak mau pergi?" tanyanya sambil memandang
gadis-gadis itu.
"Kami bersedia memainkan musik penggetar sukma untuk Tuan
Muda!" sahut salah seorang gadis.

Ouw Yang Hong tersentak, mendengar ucapan gadis itu sebab dia
tahu bahwa musik penggetar sukma adalah semacam musik bernada
porno. Ba-nyak orang tahu tentang hal itu, namun tidak pernah
mendengarnya.
"Dulu majikan kami amat senang akan musik dan tarian penggetar
sukma. Apakah Tuan Muda ingin menikmatinya?" lanjut gadis itu.
Ouw Yang Hong berpikir sejenak, kemudian manggut-manggut.
"Baiklah! Aku ingin menikmatinya!" katanya.
Para gadis itu tampak girang sekali. Kemudian mereka mulai
memainkan musik tersebut.
Ouw Yang Hong memperhatikan gadis-gadis itu. Mereka semua
tersenyum-senyum, menatapnya dengan penuh rasa cinta,
kemudian bernyanyi dengan merdu dan merangsang.
"Hatimu mendekap pada dadaku. Sepasang payudaraku merupakan
bukit bagimu. Semoga hatimu selalu berada di dalam lubuk hatiku.
Walau tidak bertemu orangnya, tapi hati tetap bertemu."
Ketika mendengar suara nyanyian itu, jantung Ouw Yang Hong
berdetak lebih cepat, bahkan terasa bergejolak.
Para gadis itu bernyanyi lagi.
"Kau bilang mau datang, maka aku menunggu-mu. Terus
menunggu. Apakah kau sudah datang? Kau memang harus mati.
Kau bilang mau datang, maka aku menunggumu.
Menunggu dan terus me-nunggu. Apakah kau sudah datang? Kau
memang harus mati."
Ouw Yang Hong mendengarkan nyanyian itu dengan hati berdebardebar,
sedangkan para gadis itu terus bernyanyi.
"Kau bilang mau datang, maka aku menunggu-mu. Menunggu dan
terus menunggu. Aku takut tidak bisa hidup lagi. Tinggal kau
seorang diri pasti akan kesepian. Lebih baik kau jangan datang ..."

Gadis-gadis itu mulai menari dengan indahnya.
Tarian mereka sangat merangsang, membuat Ouw Yang Hong
tenggelam dalam lamunan. Kalau ada seorang gadis menunggunya,
dia pasti mencarinya. Dia tidak akan membuat gadis itu terus
menunggu.
Sesaat kemudian, musik, nyanyian dan tarian itu berhenti, para
gadis itu mendekati Ouw Yang Hong. Mereka mengerumuninya,
duduk dan berlutut di dekat kakinya, lalu berkata dengan ringan.
"Tuan muda, ketika kau mendengar nyanyian kami, air matamu
meleleh. Itu pertanda kau adalah orang yang berperasaan. Kalau
kami bisa mem-peroleh cinta kasih darimu, kami pasti merasa
bahagia dan beruntung."
Usai berkata, gadis-gadis itu mulai bernyanyi lagi dengan merdu.
Bahkan mereka pun bersandar di badan Ouw Yang Hong.
"Aku menunggumu, terus menunggu. Aku takut tidak bisa hidup lagi.
Tinggal kau seorang diri pasti akan kesepian. Lebih baik kau tidak
datang ..."
Mereka bernyanyi sambil memandang Ouw Yang Hong dengan
penuh rasa cinta kasih, bahkan juga menggoyang-goyangkan
badannya dengan perlahan-lahan, sehingga membuat pikiran Ouw
Yang Hong menjadi menerawang.
Demikian menjadi orang, memang sungguh me-nyenangkan! Orang
lain bisa demikian, aku Ouw Yang Hong juga harus bisa demikian.
Asal aku mau belajar ilmu Ha Mo Kang dari majikan tempat ini,
bukankah aku akan menjadi orang yang tanpa tanding di kolong
langit? Pada waktu itu tentunya aku dapat malang melintang di
dunia persilatan, mau berbuat apa pun bisa. Pikirnya.
Pada malam harinya, ketika Ouw Yang Hong tidur sambil memeluk
seorang wanita, tiba-tiba terdengar suara seseorang.

"Ouw Yang Hong, mengapa kau masih belum mau bangun?"
Ouw Yang Hong tersentak, lalu mendongakkan kepala, namun tidak
melihat siapa pun berada di sekitarnya.
"Siapa kau? Mau apa kau ke mari?" sahutnya.
Terdengar suara sahutan.
"Siapa aku, apakah kau tidak melihat?"
Di bawah remang-remang cahaya mutiara, tampak seorang tua
duduk di pinggir ranjang, sedang memandang Ouw Yang Hong
sambil ter-senyum.
"Bagaimana? Apakah kau mau melewati hari-hari yang begini?"
Ouw Yang Hong tentu mau, maka dia meng-angguk.
"Tinggallah kau di sini! Kau pasti akan hidup senang, sebab di sini
banyak wanita cantik, berbagai macam benda mustika dan lain
sebagainya. Aku mau berbuat apa, pasti dapat kulakukan. Aku ingin
membunuh siapa, pasti bisa. Segala apa yang ada di dunia berada di
tanganku. Apabila ku-senang, aku pun dapat menolong siapa pun.
Tapi aku juga dapat memusnahkan semua perguruan dalam rimba
persilatan dalam waktu sekejap. Cobalah kau pikir, haikkah aku
orang yang begini macam?"
"Baik," sahut Ouw Yang Hong.
"Aku menghendakimu menjadi orang beracun, justru
menginginkanmu membunuh orang. Asal kau mau, kau boleh
membunuh orang. Lihatlah! Wanita itu milikku, namun kalau aku
turun tangan, dia pasti mati. Segera pula aku akan memperoleh
penggantinya." Orang tua memandang wanita yang tidur di atas
ranjang. Ternyata orang tua itu telah menotok jalan tidurnya,
sehingga wanita tersebut tidak mendusin. Berselang sesaat, dia
menatap Ouw Yang Hong, kemudian melanjutkan kata-katanya
dengan sungguh-sungguh, "Asal kau mau, kau akan menjadi

seorang pendekar besar di kolong langit, dan akan memiliki kungfu
yang aneh."
Ouw Yang Hong mengangguk. Dia rela menjadi murid orang tua
tesebut, akan mewarisi semua kepandaiannya, menjadi orang
beracun untuk malang melintang di dunia persilatan.
Bab 16
Di kolong langit, memang banyak terdapat ke-anehan. Ketika Ouw
Yang Hong tiba di perkam-pungan Liu Yun Cun, justru tidak
terpikirkan bahwa dirinya akan rela menjadi murid orang tua itu,
akan berubah menjadi orang beracun malang melintang di kolong
langit.
Dia ingin belajar ilmu silat agar dirinya bisa berkepandaian tinggi
untuk berkecimpung dalam dunia persilatan.
Kini dia ingin berguru kepada Tok Hang, si orang tua itu, yakni
belajar ilmu Hong Hoang Lat dan ilmu Ha Mo Kang.
Di dalam sebuah rumah kecil yang berada di dalam lubang pohon,
Cen Tok Hang berkata kepada Ouw Yang Hong.
"Kedua macam ilmuku ini, tidak pernah ku-turunkan kepada muridmuridku.
Bukan karena mereka tidak berbakat, melainkan turun
temurun harus orang yang melakukan sesuatu dengan hati keji. Lagi
pula harus orang yang mengerti ilmu surat dan sastra, maka
pilihanku jatuh pada dirimu. Mereka yang belajar ilmu silat harus dari
sejak kecil, begitu pula belajar Iwee kang. Sepuluh tahun baru
lumayan, dua puluh tahun berbentuk, tiga puluh tahun hingga empat
puluh tahun baru bisa ternama, lima puluh tahun baru bisa
sempurna. Itu adalah cara golongan lurus belajar ilmu silat.
Bukankah akan membosankan? Berapa lama orang hidup di dunia?
Kalau hanya untuk belajar ilmu silat, bagaimana mereka hidup?
Tentunya akan keburu tua sebelum menikmati hidup. Ya, kan? Aku

mengajarmu ilmu sesat, tidak seperti ilmu silat aliran putih. Yang kita
kehendaki adalah aneh, cepat, racun dan keji. Asal begitu, barulah
ada hasilnya. Ha Mo Kang adalah ilmu aneh di kolong langit. Semua
orang meremehkan ilmu tersebut, tapi siapa pun tidak tahu akan
kelihatannya. Tentang Iwee kangnya hanya mementingkan hawa.
Lihat semua makluk yang ada di dunia, seperti halnya kuda berpacu,
dan binatang kecil yaitu kodok. Hanya menggunakan hawa, kodok
bisa meloncat tinggi dan jauh. Itu adalah Ha Mo Kang, lain hari akan
kujelaskan. Mengenai Hong Hoang Lat, itu adalah ginkang (Ilmu
Peringan Tubuh). Setelah aku berusia empat puluh, barulah
kuciptakan ilmu tersebut. Hong Hoang Lat terdiri dari tiga belas
jurus. Ketiga belas jurus itu merupakan ilmu gin-kang yang tiada
duanya di kolong langit. Aku akan menjelaskan padamu .. ."
Kemudian orang tua itu menjelaskan tentang ilmu ginkang Hong
Hoang Lat, dan setelah itu, dia pun memperagakannya. Badannya
mencelat ke atas ke sebuah pohon yang tingginya belasan depa.
Begitu ringan gerakannya, membuat Ouw Yang
Hong terheran-heran.
Kemudian mendadak badan orang tua itu ber-gerak melayang turun,
namun berhenti di tengah udara, lalu melambung kembali ke atas
pohon itu. Gerakannya sungguh mirip seekor burung Hong Hoang.
"Ouw Yang Hong, inilah ilmu Hong Hoang Lat," katanya.
Ouw Yang Hong manggut-manggut.
"Aku paling benci orang-orang golongan putih. Mereka pandai
berpura-pura dan bermuka-muka. Rasanya aku ingin membunuh
mereka satu persatu, agar mereka habis semua!" lanjut orang tua
itu.
Ouw Yang Hong terus manggut-manggut. Jiwa-nya mulai
terpengaruh oleh ucapan-ucapan orang tua tersebut.
Di perkampungan Liu Yun Cun, Ouw Yang Hong selalu tinggal
bersama orang tua itu. Justru membuatnya tercengang, mengapa
orang tua itu tidak mau tinggal di rumah, melainkan tinggal di dalam

lubang pohon? Ouw Yang Hong pun tidak tahu apa sebabnya Cu Kue
Hu Cu dan lainnya begitu takut kepada orang tua itu. Dia pun tidak
tahu siapa anak kecil itu, mengapa menyuruhnya cepat-cepat kabur
ketika dia baru tiba di perkampungan Liu Yun Cun?
Setelah tinggal bersama, orang tua itu dan Ouw Yang Hong sering
membicarakan soal sastra, se-hingga membuat Ouw Yang Hong
mulai menaruh hormat padanya.
"Kau akan menolong siapa? Seandainya kau berlayar seperahu
dengan ayah, ibu dan istrimu, mendadak perahu itu tenggelam!"
Tertegun Ouw Yang Hong, lalu balik bertanya.
"Bagaimana ada kejadian yang begitu kebe-tulan?"
"Di kolong langit ini, tentunya ada kejadian yang kebetulan, justru
kejadian tersebut. Kau harus bagaimana?" sahut orang tua.
Ouw Yang Hong berpikir sejenak.
"Tentunya harus menolong ayah dan ibu, sebab anak merupakan
darah daging mereka," sahutnya kemudian.
Orang tua itu menggeleng-geleng kepala.
"Salah! Salah!"
Ouw Yang Hong berpikir lagi. Tiba-tiba dia teringat akan keturunan,
kalau tiada istri, bagai-mana mungkin punya keturunan?
"Menurut Guru, harus menolong istri duluan?" tanyanya.
Orang tua itu tertawa.
"Kuberitahukan, empat puluh tahun yang lam-pau, aku malang
melintang di dunia persilatan, hingga memperoleh julukan Si Racun
Tua. Karena tindakanku amat keji dan tak berperasaan, kalau
perahu yang kau tumpangi itu tenggelam, harus menolong ayah ibu

atau istrimu duluan, tentunya tidak bisa tanpa dipikirkan. Seandainya
ayahmu amat kaya, dapat membuatmu hidup senang, meng-apa kau
tidak menolongnya? Tapi apabila ayahmu hanya memberimu sesuap
nasi, dan mengandalmu memeliharanya, bukankah kalau dia mati
akan meringankan bebanmu? Tentang istrimu, jika dia cantik jelita
dan lemah lembut, kalau kau tidak menolongnya, bukankah sayang
sekali? Ke mana kau cari istri yang begitu cantik dan baik? Tapi
seandainya istrimu selalu ribut denganmu, dan wa-jahnya terus
masam setiap hari, kalau dia tidak mati, bukankah kau akan tersiksa
setiap hari? Nah! Lelaki jantan, harus bisa mengambil dan menaruhkannya,
barulah bisa sukses!"
Ouw Yang Hong memberi hormat, mendengar-kan dengan khidmat.
Namun dalam hatinya dia tidak setuju akan apa yang dikatakan
orang tua itu. Walau demikian, dia tetap bersikap menurut.
Orang tua memandangnya, kemudian tertawa dingin seraya berkata.
"Kalau hari ini kau tidak mau mendengar per-kataanku, cepat atau
lambat kau pasti akan men-derita!"
Ouw Yang Hong tidak menyahut.
Malam harinya, ketika dia berada di dalam ruangan orang tua itu,
terdengar suara tawanya dan suara tawa wanita. Sejak tinggal di
perkampungan Liu Yun Cun, setiap hari dia bersenang-senang
dengan wanita cantik.
Ouw Yang Hong pernah teringat akan Bokyong Cen, namun kini
Bokyong Cen bersama kakaknya menuju daerah selatan.
Kelihatannya gadis itu amat tertarik pada kakaknya, sebaliknya amat
me-mandang rendah pada Ouw Yang Hong. Oleh karena itu, Ouw
Yang Hong tidak mau memikirkannya lagi, karena di tempat ini
begitu banyak wanita cantik, yang selalu siap menemaninya.
Saat itu ketika Ouw Yang Hong sedang ber-cakap-cakap dengan
kedua gadis yang memandi-kannya, tiba-tiba terdengar suara yang
amat nya-ring.

"Hei! Kaukah yang baru datang?"
Ouw Yang Hong segera menoleh. Dilihatnya seorang anak kecil
duduk di atas meja di belakang-nya.
Wajah Ouw Yang Hong langsung memerah, karena kebetulan
sebelah tangannya sedang me-rangkul salah seorang dari kedua
gadis itu. Ke-mudian tangannya cepat-cepat dilepaskan.
Anak kecil itu tertawa, lalu menatapnya seraya berkata dengan nada
orang yang sudah tua.
"Kelihatannya kau tidak begitu jahat, tidak seperti para murid tua
bangka itu. kau bercumbu-cumbuan dengan gadis, lebih baik jangan
terlihat oleh aku orang tua, aku akan marah ..."
"Kalau kau orang tua berminat, juga boleh ikut bersenang-senang.
Di dalam perkampungan Liu Yun Cun banyak wanita cantik," sahut
Ouw Yang Hong.
Mendengar ucapan Ouw Yang Hong itu, anak kecil tersebut tampak
gusar.
"Kau kira aku ini siapa? Aku akan sepertimu? Aku orang tua sudah
tiga puluh tahun lebih tidak pernah mendekati kaum wanita!"
katanya dengan sengit.
Ouw Yang Hong tercengang. Dia tahu bahwa anak kecil itu adalah
paman guru Cu Kuo Cia dan lainnya. Usianya baru sekitar sepuluh
tahun, tapi selalu menyebut dirinya orang tua. Bukankah itu sungguh
menggelikan? Biar bagaimana pun anak kecil itu tetap adalah adik
seperguruan Cen Tok Hang, yang sudah pasti memiliki kepandaian
tinggi. Maka Ouw Yang Hong tidak berani bersikap kurang ajar
terhadapnya.
"Bukankah dia akan mengajarmu dua macam ilmu silat, yaitu Hong
Hoang Lat dan Ha Mo Kang? Dia pasti memberitahukan padamu,
bahwa kedua macam ilmu silat itu amat tinggi, tiada seorang pun
yang dapat dibandingkan dengannya. Ya kan?" kata anak kecil itu.

Ouw Yang Hong tidak tahu harus bagaimana menjawabnya. Dia
memandangnya dan mendadak bertanya.
"Apakah kau adalah adik seperguruan guruku?"
Anak kecil itu menepuk dada seraya menyahut.
"Tidak palsu! Kuberitahukan padamu, dia dipanggil Cen Tok liang,
aku dipanggil Cha Ceh Ih. Aku adalah adik seperguruannya. Semua
kaum dunia persilatan sudah tahu itu. Kalau kau tidak percaya, boleh
bertanya kepada orang lain!"
"Kalau begitu, berarti kau adalah paman guruku. Usiamu masih kecil
sudah menjadi paman guruku, bukankah akan membuat tidak enak
hatimu?"
Anak kecil itu menggeleng-gelengkan kepala, kemudian menyahut.
"Tidak benar. Tidak benar. Kau tidak usah perduli berapa usiaku.
Aku adalah paman gurumu. Betul kan? Jangan kan kau yang baru
mulai berkecimpung dalam rimba persilatan, yang sudah lama
seperti Cu Kuo Cia dan lainnya pun harus menaruh hormat padaku.
Katakan, berapa usiaku sekarang?"
Ouw Yang Hong tertawa seraya menyahut. .
"Aku lihat . . . Paman Guru berusia sekitar sepuluh tahun sekarang."
Anak kecil itu tertawa gelak mendengar ucapan itu, lalu bertepuk
tangan seraya berkata dengan gembira.
"Ha ha! Kau memang bocah tolol, mengira usiaku sekitar sepuluh
tahun. Kuberitahukan pa-damu, aku orang tua sudah berusia tiga
puluh sembilan tahun."
Ouw Yang Hong tidak percaya, justru juga tidak bisa tidak percaya.
Wajah paman guru ini, kelihatannya baru berusia sekitar sepuluh
tahun, namun dia mengatakan sudah berusia tiga puluh sembilan
tahun, entah apa sebabnya dia mengata-kan demikian?

Anak kecil itu mendekati Ouw Yang Hong, lalu berkata dengan suara
ringan.
"Sebelum aku berusia dua puluh sembilan ta-hun, aku sudah belajar
ilmu Ha Mo Kang. Namun gara-gara gurumu yang sial dangkalan itu,
sehingga membuat diriku mengalami kesesatan. Untung guru
menyelamatkanku, kalau tidak, nyawaku pasti sudah melayang."
Ouw Yang Hong tersentak, karena gurunya mengatakan bahwa ilmu
Hong Hoang Lat dan Ha Mo Kang, hanya diturunkan dari generasi ke
generasi penerus. Bagaimana paman guru ini mem-pelajarinya? Oleh
karena itu dia segera berkata.
"Aku dengar dari guru, kedua macam ilmu itu hanya diturunkan
kepada generasi penerus saja. Bagaimana Paman Guru juga bisa
ilmu Ha Mo Kang?"
Anak kecil itu tertawa dingin lalu berkata. "Kau sudah berguru
kepada Cen Tok Hang itu, mengapa tidak bertanya kepadanya saja?"
"Kalaupun aku bertanya, belum tentu guru akan memberitahukan,"
sahut Ouw Yang Hong.
Anak kecil itu berkata dengan dingin.
"Tentunya dia tidak akan memberitahukan, Ketika itu aku
bersamanya berguru kepada Kiu Sia Tok Ong (Raja Racun Sembilan
Sesat). Dia murid sulung, sedangkan aku murid bungsu. Guru
mengajarnya ilmu Hong Hoang Lat, dan mengajarku ilmu Ha Mo
Kang. Di saat guru sedang sakit, dia melakukan suatu kejahatan,
yakni menyerangku ketika aku berlatih lwee kang, sehingga
membuat hawa murniku buyar. Untung guru berhasil menyelamatkanku.
Tapi sejak itu aku tidak bisa tumbuh besar lagi."
Ouw Yang Hong memandangnya, kemudian berkata dengan suara
keras.
"Aku tidak percaya! Aku tidak percaya! Kau omong kosong, kau
membohongiku!"

Ternyata Ouw Yang Hong mendengar dari gurunya, bahwa ilmu
Hong Hoang Lat diciptakan gurunya ketika berusia empat puluh
tahun. Kini paman guru mengatakan, bahwa ilmu tersebut dari
perguruannya, sesungguhnya siapa yang berbohong tentang itu?
Wajah anak kecil itu tampak serius.
"Kalau kau tidak percaya, silakan tanya kepada gurumu itu!" katanya
sepatah demi sepatah lalu pergi.
Ouw Yang Hong telah kehilangan gairah untuk bersenang-senang.
Dia cepat-cepat meninggalkan ruangan itu, menuju pohon besar
yang berlubang, tempat tinggal gurunya, kemudian berdiri di bawah
pohon besar itu.
"Ouw Yang Hong ya? Masuklah!" Terdengar suara gurunya.
Ouw Yang Hong segera masuk ke lubang pohon itu. Dilihatnya
gurunya bergantung pada dahan pohon dengan mata terpejam,
kelihatannya sudah pulas, membuatnya tidak berani bersuara.
Di saat Ouw Yang Hong berdiri termenung, mendadak terdengar
suara Cen Tok Hang, gurunya.
"Ouw Yang Hong, kenapa kau tidak bersenang-senang di ruangan,
malah datang di tempat yang kotor dan dingin ini?"
Ouw Yang Hong terharu, sebab ucapan gurunya penuh perhatian,
juga amat baik terhadapnya. Kelihatannya apa yang dikatakan
paman guru hanya dusta belaka. Karena berpikir demikian, maka dia
tidak bertanya pada gurunya mengenai apa yang dikatakan paman
guru.
"Teecu bersenang-senang di rumah Guru, se-dangkan Guru hidup
sengsara di sini, teecu merasa tidak tenang," katanya sambil
memberi hormat.
"Ouw Yang Hong, kuberitahukan! Sejak aku mengajarmu kedua
macam ilmu silat tingkat tinggi itu, aku menghendakimu menjagoi
dunia persilatan. Kalau kau bisa menjadi jago nomor wahid di dunia

persilatan, mati pun aku tidak akan penasaran," kata Cen Tok Hang.
Ketika berkata begitu, nada suara Cen Tok Hang kedengaran agak
sedih. Wajah pun berubah menjadi muram. Mendengar ucapan itu,
Ouw Yang Hong pun telah melupakan apa yang dikatakan paman
gurunya itu, bahkan yakin pula gurunya adalah orang yang amat
baik.
Cen Tok Hang memandangnya.
"Apakah hatimu terganjal sesuatu, mengapa tengah malam ke
mari?" tanyanya kepada Ouw Yang Hong.
"Ketika teecu berada di dalam ruang, mendadak paman guru muncul
. . ." sahut Ouw Yang Hong dengan jujur.
Cen Tok Hang mengerutkan kening.
"Oh? Dia bilang apa padamu?"
"Suhu, teecu . . ." sahut Ouw Yang Hong terputus.
Cen Tok Hang menatapnya tajam.
"Apakah bocah itu memberitahukan padamu, bahwa aku yang
mencelakainya?" tanyanya dengan suara keras.
Ouw Yang Hong mengangguk.
Cen Tok Hang tampak gusar sekali.
"Dia bilang aku yang mencelakainya ketika dia sedang berlatih Iwee
kang, sehingga membuatnya mengalami jalan kesesatan, bahkan
nyawanya nya-ris melayang kan?" tanyanya sengit.
Ouw Yang Hong mengangguk lagi.

Cen Tok Hang tertawa aneh, kemudian men-dadak melayang turun
ke hadapan Ouw Yang Hong.
"Dia bilang gurumu orang jahat, kau percaya atau tidak?" tanyanya
sambil menatapnya dalam-dalam.
Ketika melihat Cen Tok Hang begitu serius, Ouw Yang Hong segera
menyahut dengan sungguh-sungguh.
"Aku tidak percaya, dia cuma omong sem-barangan. Walau dia
adalah paman guru, namun tidak omong sesungguhnya."
"Dia memang berkata sesungguhnya!" kata Cen Tok Hang dengan
lantang.
Ouw Yang Hong tercengang, sebab tidak tahu mengapa gurunya
mengatakan begitu.
Cen Tok Hang berkata lagi.
"Kuberitahukan, gurumu ini adalah seorang jahat. Adalah makluk
racun tua. Bukan hanya mencelakai paman gurumu, bahkan juga
telah me-racuni para suhengmu. Kalau tidak, bagaimana mereka
begitu takut padaku?"
Ouw Yang Hong tidak mengerti.
"Apakah henar apa yang dikatakan Guru, tidak membohongi teecu?"
tanyanya dengan penuh rasa heran.
"Buat apa aku membohongimu? Kuberitahukan, kelak kalau kau
berkecimpung dalam rimba persilatan, juga harus menggunakan
huruf 'Racun'. Kalau kau tidak beracun, bagaimana bisa malang
melintang dalam rimba persilatan? Kalau kau tidak menggunakan
racun, orang lain pasti akan menggunakan racun terhadapmu. Kau
pasti akan mati."
"Aku tidak mau berbuat begitu terhadap orang. Aku tidak sudi
meracuni orang. Aku haik terhadap orang, orang juga akan haik
terhadapku," kata Ouw Yang Hong.

"Baik terhadap orang, orang juga akan haik terhadapku!" kata Cen
Tok Hang lalu tertawa gelak, tapi suara tawanya berubah sedih.
Ouw Yang Hong berpikir, mungkin gurunya pernah mengalami
pukulan batin, maka menganggap tiada orang baik di dunia. Apakah
aku harus seperti guru? Tentunya tidak. Sebab terhadap sesama
manusia, aku harus memiliki perasaan.
Walau berpikir demikian, Ouw Yang Hong sama sekali tidak
memprotes akan perkataan gurunya.
"Kau telah belajar ilmu Ha Mo Kangku, para suhengmu pasti tidak
mengandung niat baik terhadapmu. Mereka pergi begitu jauh dan
mem-bawamu ke mari, itu bukan atas kemauan mereka, melainkan
karena terpaksa. Karena aku telah me-racuni mereka, agar mereka
mau menunggu di kota Ciau Liang. Aku menghendaki seorang
generasi penerus, tidak seperti mereka yang begitu goblok. Untung
mereka menemukan dirimu, sehingga ter-penuhi harapanku. Setelah
mereka membawamu ke mari, barulah kuberi mereka seorang
sebutir obat pemunah racun, maka mereka bisa hidup hingga tahun
depan."
Hati Ouw Yang Hong terasa dingin mendengar ucapan itu. Dia
berkata dalam hati, kalau guru tidak baik terhadapku, bukankah aku
juga akan seperti para suheng? Dia telah melakukan perjalanan
bersama Cu Kuo Cia dan lainnya, maka sudah barang tentu timbul
suatu kasih dalam hatinya terhadap mereka. Ketika mendengar ucap
gurunya, timbullah tanda tanya dalam hatinya. Apakah gurunya
sedang bergurau? Mengapa harus mengatakan begitu?
Di saat bersamaan, mendadak terdengar suara seruan di luar.
"Suhu! Teecu mohon bertemu!"
"Lihatlah mereka datang lagi. Mereka pasti tiada urusan baik,
mungkin akan membunuhku."
Orang tua itu tertawa dingin, sedangkan Ouw Yang Hong
memandang ke depan, melihat Cu Kuo

Cia, Ciok Cuang Cak dan Su Bun Seng berdiri di depan. Di belakang
mereka berdiri dua orang. Mereka berlima memandang ke dalam
lubang po-hon dengan sikap hormat sekali.
"Suhu, teecu Cu Kuo Cia berlima mohon ber-temu!" Terdengar lagi
suara seruan Cu Kuo Cia.
Cen Tok Hang yang berada di dalam lubang pohon cuma menengok,
sama sekali tidak bersuara. Kemudian dia berpaling memandang
Ouw Yang Hong.
"Selama ini kelima orang itu tidak berniat baik terhadapku. Kali ini
mereka ke mari pasti akan mencelakaiku," katanya.
Ouw Yang Hong tidak begitu mempercayai omongan gurunya.
Kelima suhengnya datang di tengah malam, pasti karena ada urusan
penting. Kalau tidak, tentunya mereka tidak mungkin datang di
tengah malam.
Kemudian dia memandang ke depan lagi. Men-dadak kelima orang
itu menjatuhkan diri berlutut.
"Suhu, ketika teecu berada di Kota Ciau Liang, teecu mendengar dari
orang bahwa di dalam istana tersimpan arak wangi. Teecu semua
sudah ke sana mengambil arak itu untuk Suhu," kata Cu Kuo Cia.
Ketika melihat kelima suhengnya berlutut de-ngan sikap begitu
hormat, Ouw Yang Hong berkata dalam hati. Guru terlampau
bercuriga, tidak mem-percayai para muridnya. Mereka berlima
membawa arak wangi untuk guru, itu merupakan maksud baik.
Namun guru justru mengatakan mereka berlima ingin
mencelakainya. Bukankah itu tidak masuk akal?
Cen Tok Hang berkata kepada Ouw Yang Hong dengan suara ringan.
"Mereka pasti sudah menaruh racun ke dalam arak wangi itu . . ."
Wajahnya berubah serius. "Kuberitahukan padamu, itu pasti arak
wangi, tapi sudah beracun." Dia tertawa dingin. "Kau kira muridKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
muridku itu bernama kosong? Cu Kuo Cia dan Su Bun Seng amat
mahir menggunakan racun," lanjutnya lalu tertawa dingin lagi.
Cu Kuo Cia menaruh sebuah guci di atas tanah.
"Yang melahirkanku adalah ibu, yang menge-tahuiku adalah Guru.
Walau teecu jatuh berada di Kota Ciau Liang, namun selalu rindu
pada Guru. Teecu membawa arak wangi khusus untuk meng-hormati
Guru," katanya.
Dia lalu mengeluarkan sebuah cangkir antik yang sangat indah.
Cangkir itu terbuat dari giok, maka bergemerlapan ketika tertimpa
cahaya rem-bulan.
Ketika melihat cangkir itu, Cen Tok Hang tam-pak tersentak.
"Cu Kuo Cia! Dari mana kau peroleh cangkir itu?" tanyanya.
"Suhu, cangkir ini merupakan benda pusaka dari Istana Ciau Liang.
Teecu mencuri dari dalam istana. Kalau Suhu suka, silakan ambil!"
Cu Kuo Cia menuang sedikit arak ke dalam cangkir, lalu
meneguknya.
"Cangkir giok berada di tangan, arak wangi berada di dalam cangkir
giok. Sungguh sedap rasanya arak wangi ini!" katanya kemudian.
Usai berkata, Cu Kuo Cia menaruh cangkir itu di samping guci arak,
lalu bersama saudara seperguruannya mundur tiga depa.
Kelihatannya Cen Tok Hang amat menyukai cangkir giok. Namun dia
merupakan orang yang banyak curiga. Sepasang matanya terus
menatap cangkir giok itu, yang bergemerlapan kehijau-hijauan
tertimpa cahaya rembulan.
"Ouw Yang Hong, cangkir giok ini pasti cangkir giok itu. Pasti cangkir
giok itu. Sudah sekian tahun aku ingin memilikinya, tapi Cu Kuo Cia
yang berhasil memperolehnya. Sungguh tidak gampang memperoleh
cangkir itu!"

Ouw Yang Hong tampak melongo. Sebab Cen Tok Hang mengatakan
cangkir giok ini dan cangkir giok itu. Dia tidak mengerti akan maksud
ucapan tersebut, maka hanya menatap orang tua itu dengan mata
terbelalak.
"Cangkir giok itu dipergunakan Raja Toan di masa itu. Raja Toan
amat romantis. Sebelah tangan memegang cangkir giok, yang
sebelah lagi memeluk wanita cantik. Hidup manusia kalau bisa
seperti Raja Toan, sungguh tidak sia-sia! Walau mereka berniat jahat
dalam hati, tapi aku harus keluar untuk melihat cangkir giok dan
arak wangi itu," kata Cen Tok Hang.
Orang tua itu lalu mengayunkan kakinya, ber-jalan ke luar
meninggalkan lubang pohon.
Ouw Yang Hong melihatnya mendekati guci arak, kemudian
mengambil cangkir giok itu. Cen Tok Hang tampak girang sekali.
Jelas dia amat menyukai cangkir giok tersebut.
"Kalian memang berbakti, mempersembahkan arak wangi dan benda
pusaka," katanya sambil memandang Cu Kuo Cia dan lainnya.
Kemudian dia menatap Ciok Cuang Cak dan berkata dengan ringan
dan lembut.
"Anak Cak, arak wangi ini tidak akan menim-bulkan penyakit apaapa,
bukan?"
Ciok Cuang Cak tersentak mendengar perta-nyaan itu. Dia segera
berlutut seraya menyahut.
"Teecu tidak berani."
Cen Tok Hang tertawa dingin.
"Mengapa kau tidak berani? Suheng-suhengmu sudah puluhan tahun
ikut suhu. Mereka amat ber-nyali dan serba bisa. Kenapa kau tidak
berani?"
Sementara air muka Cu Kuo Cia dan lainnya tampak biasa-biasa
saja. Orang tua itu duduk ber-sila, lalu sebelah tangannya membuka

tutup guci arak, dan yang sebelah lagi mengambil cangkir giok.
Setelah itu, mulailah dia meneguk arak wangi itu secangkir demi
secangkir.
Berselang sesaat, dia memandang murid-muridnya seraya berkata.
"Bagus! Cu Kuo Cia, kalau kalian berlima bisa terus demikian
terhadap suhu, cepat atau lambat pasti akan menerima
manfaatnya."
"Suhu, arak wangi itu amat keras, jangan ter-lampau banyak
minum!" kata Su Bun Seng.
Cen Tok Hang tampak tidak senang, maka langsung membentak
gusar.
"Kau berani melarangku?"
Mendadak tangan orang tua itu bergerak, dan seketika tampak
sebuah batu meluncur ke arah kepala Su Bun Seng. Di bawah
cahaya rembulan, tampak kepala Su Bun Seng mengucurkan darah
kehitam-hitaman.
Orang tua itu mencaci dengan sengit lagi.
"Cu Kuo Cia, kau memang telor busuk! Tahukah kau telah
melakukan kesalahan?"
Cu Kuo Cia tersentak, dan segera memberi hormat.
"Suhu, teecu telah melakukan kesalahan apa?" Orang tua itu
menyahut dengan mata melotot. "Arak ini sangat wangi dan sedap.
Kenapa kau cuma membawa seguci untukku?"
Ouw Yang Hong cuma tertawa dalam hati.
Kelihatannya mereka adalah orang baik, hanya saja guru itu agak
kelewatan dan bersifat aneh.

Di saat Ouw Yang Hong sedang berpikir, men-dadak terdengar
gurunya bersiul panjang, kemu-dian tertawa dengan nada sedih, dan
melesat ke hadapan Cu Kuo Cia.
Cu Kuo Cia dan lainnya segera meloncat ke belakang beberapa depa.
Orang tua itu menudingnya sambil berkata de-ngan suara gemetar.
"Kau . . . kau meracuniku?"
Badannya kelihatan sempoyongan, bahkan menggigil seperti
kedinginan.
Dia segera duduk bersila dan menghimpun iwee kangnya. Di saat
bersamaan, terdengar Cu Kuo Cia tertawa aneh dan berkata.
"Berhasil! Berhasil! Tua bangka ini jatuh ke tangan kita hari ini!"
Cu Kuo Cia dan lainnya mendekati Cen Tok Hang, sekaligus
mengurungnya di tengah-tengah, namun tetap menjaga jarak.
Kelihatannya mereka berlima masih merasa takut terhadap orang
tua itu.
Begitu lama Cen Tok Hang duduk bersila. Tam-pak kepalanya
mengepulkan uap putih.
Cu Kuo Cia menudingnya sambil berkata de-ngan penuh kebencian.
"Kau tidak menganggap kami sebagai murid, mengapa kami harus
menghormatimu sebagai gu-ru? Kau meracuni kami dengan racun
Pemutus Usus, membuat kami sangat menderita! Kau pun
mengurung sanak keluarga kami di Perkampungan Liu Yun Cun! Kau
memang harus cepat mampus, agar tidak menimbulkan malapetaka
lagi!"
Cen Tok Hang mendongakkan kepala meman-dang Su Bun Seng,
lalu berkata.
"Anak Bun, sejak kecil kau ikut aku, bahkan aku pun telah tiga kali
menyelamatkan nyawamu! Tentunya hari ini kau tidak akan
bersekongkol dengan suhengmu untuk mencelakaiku! Asal kau bisa
membantuku memunahkan racun di dalam tubuhku, setelah aku

sembuh, pasti menurunkan ilmu Ha Mo Kang padamu, dan
mengangkatmu sebagai generasi kelima Perkampungan Liu Yun Cun
ini."
Sebetulnya Ouw Yang Hong ingin menerjang ke luar, tapi setelah
berpikir sejenak, dibatalkannya niat itu karena tahu dirinya masih
bukan tandingan kelima orang itu. Kalau dia nekat menerjang ke
luar, itu sama juga mencari mati. Ketika mendengar gurunya berkata
begitu pada Su Bun Seng, giranglah hati Ouw Yang Hong.
Terdengar Su Bun Seng bertanya.
"Suhu, betulkah Suhu akan mengajarku ilmu Ha Mo Kang?"
Cen Tok Hang manggut-manggut.
"Betul."
"Baik, Suhu tunggu saja! Aku pergi sebentar," kata Su Bun Seng.
Cen Tok Hang mengerutkan kening.
"Bun Seng, kau tidak menolongku, kok malah mau pergi?"
Su Bun Seng tertawa.
"Aku akan pergi membunuh Ouw Yang Hong."
Cen Tok Hang bertanya.
"Mengapa kau ingin membunuhnya?" tanya Cen Tok Hang.
Su Bun Seng tertawa licik, lalu berkata.
"Kalau dia tidak mati, bagaimana Suhu akan mengajarkanku?"
Cen Tok Hang terdiam. Orang tua itu tidak menghendaki Ouw Yang
Hong mati, sebab tindak-tanduknya menyerupainya. Lagi pula dia

amat menyukai Ouw Yang Hong, bagaimana mungkin dibunuh
secara sembarangan?
Su Bun Seng menatap Cen Tok Hang, kemudian tertawa dingin
seraya berkata dengan dingin pula.
"Kau membohongiku, aku tidak akan terjebak. Aku harus
menghabiskanmu!"
Cen Tok Hang membungkam, dan menunduk-kan kepala seakan
sedang menunggu kematian.
Sudah tiga tahun, kelima orang itu berada di kota Ciau Liang. Dalam
tiga tahun itu, mereka tidak mengerjakan apa-apa, hanya berpikir
bagaimana membunuh Cen Tok Hang.
Hari ini rencana mereka telah berhasil, maka merasa girang. Namun
mereka masih merasa takut, tidak tahu harus berbuat apa.
Berselang sesaat, Cu Kuo Cia berkata.
"Cen Tok Hang, serahkan kitab ilmu racun padaku. Kau juga harus
menyerahkan ilmu Ha Mo Kang pada kami, agar kami membuatmu
mati secara baik-baik!"
Cen Tok Hang tidak menyahut.
"Suhu, tubuhmu telah keracunan, dan tidak akan sembuh. Cepat
atau lambat kau pasti mati. Maka, lebih baik kau serahkan kedua
macam ilmu itu pada kami, agar kau bisa mati dengan tenang!" kata
Su Bun Seng.
"Suhu, lebih baik serahkan saja agar suheng membiarkan Suhu mati
secara baik-baik!" sambung Ciok Cuang Cak dengan terisak-isak.
"Selama ini aku Cen Tok Hang malang melin-tang, tak diduga justru
akan mati di tangan kalian!" bentak Cen Tok Hang.
Cu Kuo Cia tampak puas sekali.

"Cen Tok Hang, kalau kau mati di tanganku, apakah kau akan
merasa puas?" katanya sambil tertawa gelak.
Orang tua itu menundukkan kepala, kelihatan sudah putus asa.
Cu Kuo Cia memandang adik seperguruannya, kemudian berkata.
"Si Sute (Adik Seperguruan Keempat), ngo sute (Adik Seperguruan
Kelima)! Majulah kalian, masing-masing herikan sebuah pukulan,
agar dia terluka parah!"
Kedua orang yang pendiam itu memandang Cu Kuo Cia, kemudian
memandang Cen Tok Hang yang duduk di tanah. Mereka berdua
kelihatan serba salah. Sesungguhnya mereka berdua memang setuju
bersekongkol dengan Cu Kuo Cia untuk mencelakai guru mereka itu,
namun kalau harus turun tangan duluan, mereka berdua tidak berani
melakukannya.
Begitu menyaksikan sikap kedua adik seper-guruannya itu, Cu Kuo
Cia segera berkata.
"Kita berenam harus turun tangan agar dapat bertanggung jawab
bersama!"
Apa boleh buat, kedua orang itu terpaksa maju untuk turun tangan
terhadap orang tua itu. Si Sute berlutut di hadapan Cen Tok Hang,
setelah itu meloncat bangun, sekaligus melancarkan sebuah
pukulan.
Cen Tok Hang tidak mampu berkelit karena tubuhnya sudah
keracunan. Maka pukulan itu tepat mengenai dadanya, sehingga
membuatnya terpental lalu roboh dengan mulut menyemburkan
darah segar.
Orang yang dipanggil ngo sute juga segera me-lancarkan sebuah
pukulan ke arah orang tua itu, membuatnya muntah darah lagi.

Cu Kuo Cia tertawa gelak, sambil menatap orang tua itu, dan
berkata.
"Suhu! Kau telah terluka parah, tidak mungkin bisa hidup lama lagi,
lebih baik mati saja! Walau Suhu amat kaya raya dan memiliki begitu
banyak benda pusaka, dan di perkampungan Liu Yun Cun ini juga
tersimpan begitu banyak wanita cantik, tapi Suhu justru tidak bisa
menikmatinya! Setiap hari Suhu cuma bergantung di pohon! Hidup
seperti itu apa artinya? Karena itu, lebih baik mati saja! Suhu boleh
berlega hati, kalau Suhu mati, pasti kami kubur baik-baik, dan
sepersepuluh dari benda pu-saka Suhu, akan kami kubur juga
bersama Suhu. Wanita-wanita cantik yang Suhu sukai itu juga akan
kami bunuh, agar dapat mendampingi Suhu di alam baka! Baikkah
begitu?"
Cen Tok Hang terbatuk-batuk beberapa kali, kemudian muntah
darah lagi.
"Suhu, kami sudah memperoleh obat pemunah racun Pemutus Usus.
Kami tidak akan mati tahun depan! Ha ha ha . . .!" kata salah
seorang muridnya.
Kemudian Cu Kuo Cia berkata kepada Ciok Cuang Cak.
"Sam Sute, berikanlah sebuah pukulan! Tapi hati-hatilah, sebab kau
harus menghancurkan se-belah kakinya!"
Ciok Cuang Cak diam. Kelihatannya dia tidak tega melakukannya.
Akan tetapi, Cu Kuo Cia segera membentak.
"Satu sute, kau masih belum mau turun tangan?!"
Su Bun Seng berkata dengan dingin.
"Sam sute, aku lupa memberitahukan. Kalau kau tidak turun tangan,
kemungkinan istrimu akan keracunan hari ini . . ."
Ciok Cuang Cak berseru kaget.
"Ji suko, kau mau apa?"

"Aku sudah berpesan pada istriku, apabila kami tidak pulang esok
pagi, maka istriku akan mem-berikan sebutir pil Pemutus Nyawa
untuk istrimu," sahut Ji suko itu dengan dingin.
Bukan main terkejutnya Ciok Cuang Cak. Dia menghela nafas
panjang seraya berkata dengan lesu.
"Baik, aku menurut pada kalian."
Ciok Cuang Cak lalu maju ke hadapan Cen Tok Hang, setelah itu
bersujud di hadapannya seraya berkata.
"Suhu, maafkan teecu berbuat dosa terhadap Suhu!"
Usai berkata begitu, mendadak Ciok Cuang Cak melancarkan sebuah
pukulan ke arah kaki Cen Tok Hang. Orang tua itu menjerit
menyayat hati dan roboh telentang seketika.
Cu Kuo Cia dan Su Bun Seng saling memandang sambil tertawa,
kemudian Su Bun Seng berkata.
"Suheng, kau dan aku siapa duluan?" Cu Kuo Cia tersenyum.
"Kalau salah satu di antara kita turun tangan, dia pasti mampus.
Nah, lebih baik kau saja yang turun tangan," sahutnya.
Su Bun Seng memandang Cu Kuo Cia. Kelihatannya dia amat
menghormati suhengnya itu, namun di dalam hatinya penuh
kebencian. Kau menghendakiku memikul dosa atas perbuatan ini.
Cepat atau lambat kau pasti akan membunuhku pula. Kau amat keji
dan licik, bagaimana aku akan masuk ke dalam perangkapmu? Akan
tetapi, kalau dia tidak melakukan itu, tentunya tiada kebaikan bagi
dirinya. Oleh karena itu, dia lalu berjalan ke hadapan Cen Tok Hang
dan berkata.
"Suhu, maafkan teecu berlaku tidak hormat!"
Usai berkata, dia bersujud di hadapan orang tua itu.

"Ji Suheng, kami sudah bersujud di hadapan Suhu. Mengapa kau
masih berbuat begitu?" kata Ciok Cuang Cak.
Su Bun Seng tersenyum.
"Kau bersujud dengan alasanmu, aku bersujud dengan alasanku
pula! Suhu amat baik terhadap kita, hanya saja . . . tidak mau
menurunkan kedua macam ilmu silat itu pada kita."
Setelah berkata begitu, mendadak dia meloncat bangun, sekaligus
melancarkan sebuah pukulan ke arah Cen Tok Hang.
Orang tua itu menjerit menyayat hati. Dia ter-pental dan roboh
pingsan seketika.
Betapa gusarnya Ouw Yang Hong menyaksikan semua kejadian itu.
Dia tahu nyawa orang tua itu sulit diselamatkan. Tapi dia pun tahu,
kalau dia keluar, pasti akan mati di tangan kelima orang itu. Maka,
dia mengambil keputusan untuk tidak keluar. Setelah berhasil
menguasai ilmu Ha Mo Kang, barulah dia akan menuntut balas
terhadap mereka. Ouw Yang Hong berkertak gigi, matanya menatap
kelima orang yang menyiksa Cen Tok Hang dengan mata berapi-api.
Berselang sesaat Cen Tok Hang mulai siuman. Dia duduk sambil
menatap kelima orang itu sambil berkata perlahan-lahan.
"Kalian kira gampang membunuhku? Cu Kuo Cia, kemarilah,
bunuhlah aku!"
Cu Kuo Cia memandang Su Bun Seng. Ke-lihatannya dia merasa
tidak puas terhadap adik seperguruannya itu. Dengan kening
berkerut, dia maju selangkah demi selangkah menghampiri Cen Tok
Hang.
Setelah berada di hadapan orang tua itu, dia mengangkat sebelah
tangannya, ke arah kepala orang tua itu. Apabila dia turun tangan,
orang tua itu pasti mati.
Betapa gugup dan paniknya Ouw Yang Hong. Apa boleh buat dia
harus menerjang ke luar demi menyelamatkan orang tua itu.

Akan tetapi, di saat bersamaan, terdengar pula suara orang, yang
nadanya seperti anak kecil.
"Aaaah! Kau sungguh menyulitkan aku orang tua. Kalau aku
menyelamatkanmu, kau pasti tidak akan mati. Tapi kalau kau tidak
mati, justru membuat hatiku terganjel sesuatu. Namun asal aku
masih hidup, bagaimana mungkin Cu Kuo Cia dan lainnya
membunuhmu? Kalau berita penganiayaan terhadap guru ini tersiar
keluar, bagaimana mungkin kami semua yang ada di bawah
perguruan Kiu Sia Tok Ong masih punya muka untuk berkecimpung
di dunia persilatan?"
Cu Kuo Cia dan lainnya menengok ke sana ke mari, namun tidak
melihat siapa pun. Maka dia langsung membentak.
"Susiok, keluarlah! Cepat keluarlah!"
Terdengar suara tawa dan sahutan.
"Cu Kuo Cia, mau apa kau menghendakiku keluar? Kalau aku keluar,
kau pasti celaka!"
"Susiok, suhu tidak baik terhadapmu! Kami membunuhnya, juga
melampiaskan kemendong-kolan susiok lho!" kata Cu Kuo Cia.
Terdengar sahutan perlahan.
"Tidak bisa! Kalau kau membunuh suhengku, tentu akan tersiar ke
dunia persilatan. Apakah aku masih punya muka? Lebih baik aku
yang mem-bunuhnya, sebab aku setingkat dengannya. Bagai-mana
menurutmu?"
Betapa girangnya hati Cu Kuo Cia dan lainnya mendengar ucapan
itu. Apabila mereka yang mem-bunuh orang tua itu, tentu akan
memikul nama busuk selamanya. Kini ada orang bersedia membunuhnya,
bukankah baik sekali?
Oleh karena itu, Cu Kuo Cia menyahut.
"Susiok, itu memang baik sekali!"

Mendadak berkelebat sosok bayangan yang ke-mudian berdiri di
hadapan Cen Tok Hang. Bayangan itu ternyata Cha Ceh Ih, paman
guru kecil.
Dia memandang Cen Tok Hang.
"Kasihan! Sungguh kasihan! Kukira kau pintar selama ini, tidak
tahunya ceroboh! Bagaimana Cu Kuo Cia terhadapmu setiap hari,
tentunya kau tahu! Mengapa kau menuruti kemauannya?" katanya
lalu mengalihkan pandangannya kepada Cu Kuo Cia. "Kau
menggunakan racun apa sehingga gurumu yang mahir racun
terkena racunmu?" tanyanya.
Cu Kuo Cia merasa puas dalam hati, namun memperlihatkan sikap
merendah.
"Susiok terlampau memuji. Ketika aku berada di Kota Ciau Liang,
justru memperoleh suatu cara yang amat bagus. Cara itu disebut
'Setengah racun setengah racun dan setengah racun lagi!' Oleh karena
itu, disebut Tiga Setengah. Artinya arak sete-ngah racun,
cangkir giok setengah racun dan orang pun setengah racun. Siapa
yang terkena racun tersebut, pasti tidak bisa hidup. Guruku telah
ter-kena racun itu, maka pasti akan mati!"
Cha Ceh Ih manggut-manggut.
"Cu Kuo Cia, beritahukan padaku! Bagaimana orang juga setengah
racun?"
Cu Kuo Cia tahu Cha Ceh Ih berkepandaian amat tinggi, maka tidak
berani menjawab dengan sembarangan.
"Arak bersifat keras dan mengandung api, se-dangkan cangkir giok
amat dingin. Kalau arak dituang ke dalam cangkir giok, memang
sedap sekali untuk diminum dan bermanfaat bagi orang. Tapi kalau
orang terlampau banyak mengandung hawa panas, justru
merupakan orang setengah racun. Karena itu, tiga setengah racun
pasti mencabut nyawanya."

Cu Kuo Cia menjelaskan dengan bangga. Cha Ceh Ih manggutmanggut,
kemudian memandang Cen Tok Hang seraya berkata.
"Orang yang berbuat jahat, tidak bisa berakhir dengan baik. Suheng,
kau menyesal atau tidak?"
"Aku amat penasaran tidak dapat membunuh mereka, bagaimana
menyesal?" sahut Cen Tok liang.
Cha Ceh Ih tertawa sambil bertepuk tangan. Sepasang biji matanya
berputar-putar.
"Bagus! Bagus! Sudah muncul suatu ide yang bagus! Seharusnya
aku yang paling membencimu! Tapi kini aku pun membenci Cu Kuo
Cia, karena istrinya tidak memperbolehkanku makan kembang gula,
bahkan anaknya juga berani berkelahi de-nganku. Sungguh kurang
ajar sekali! Sedangkan istri Su Bun Seng, selalu bermuka masam
terhadapku, lebih jahat dari Su Bun Seng! Aku harus membuat
mereka menderita! Kalau kau sudah mati, bagaimana mungkin
mereka masih akan menghar-gaiku? Tidak bisa! Tidak bisa! Kau
tidak boleh mati!"
Usai berkata, dengan penuh rasa iba Cha Ceh Ih menghapus noda
darah yang ada di wajah orang tua itu.
"Susiok, lebih baik kau jangan macam-macam! Kalau kami berlima
maju serentak, kau pasti bukan lawan kami!" bentak Cu Kuo Cia.
Cha Ceh Ih bertepuk-tepuk tangan.
"Bagus! Bagus! Boleh berkelahi lagi!" sahutnya. Namun ketika dia
baru mau maju, tiba-tiba teringat sesuatu. "Lupa! Aku lupa
memberitahukan suatu urusan besar pada kalian!" Kemudian dia
menunjuk Ciok Cuang Cak, sambil berkata perlahan-lahan.
"Bocah! Tadi aku berada di rumahmu, makan burung dara goreng
bersama istrimu. Di saat sedang menikmati burung dara goreng,
mendadak istrimu jatuh pingsan. Padahal udara tidak panas, namun
dia justru pingsan. Sungguh mengherankan! Mungkin dia masuk

angin?"
Ciok Cuang Cak terkejut bukan kepalang, lalu segera pergi.
"Kau harus cepat ke sana! Kalau tidak, nyawa istrimu pasti tidak
akan tertolong!" seru Cha Ceh Ih di belakangnya.
Usai berseru Cha Ceh Ih pun tertawa, kemudian memandang Su Bun
Seng seraya berkata.
"Su Bun Seng! Kau harus segera pulang menengok istrimu!"
Air muka Su Bun Seng berubah, lalu berkata dengan suara dalam.
"Isteriku selalu bermuram durja. Kalau Susiok membunuhnya, amat
menggembirakan hatiku! Aku akan mencari istri yang lebih muda
dan cantik, dan akan segera kuperkenalkan pada Susiok."
Ketika melihat Su Bun Seng tidak mencemaskan istrinya, Cha Ceh Ih
menjadi agak gugup.
Sementara Cu Kuo Cia, Su Bun Seng dan kedua orang yang pendiam
itu sudah mulai mendekati Cha Ceh Ih.
"Celaka! Mau bunuh orang!" teriak Cha Ceh Ih.
Walau Cha Ceh Ih berteriak-teriak, namun tiada seorang pun muncul
di tempat itu. Sebab tempat itu merupakan tempat terlarang, maka
tiada seorang pun berani ke tempat itu, kecuali Cha Ceh Ih, Ouw
Yang Hong, Cu Kuo Cia dan beberapa adik seperguruannya.
Mendadak Cha Ceh Ih tampak gembira sekali. Dia memandang Cu
Kuo Cia sambil tertawa.
"Betul! Betul! Aku masih menyimpan enam biji kembang gula, tapi
telah kumakan satu biji. Kau katakan, masih tersisa berapa biji?"
Sebelum Cu Kuo Cia menyahut, Cha Ceh Ih sudah melanjutkan.

"Masih tersisa lima biji, kan? Tapi kenapa cuma tersisa empat biji?
Waduh celaka! Pasti anakmu yang makan sebiji kembang gulaku!"
Air muka Cu Kuo Cia berubah hebat, dan dia tidak berani maju lagi.
"Toa suheng, jangan kau dengarkan kata-kata-nya! Kalau kita
membunuhnya, pasti dapat mencari obat pemunah!"
Cha Ceh Ih memiringkan kepalanya, lalu me-nyahut sambil
tersenyum.
"Oh, ya? Aku punya tujuh belas biji kembang gula. Setiap biji
mengandung semacam racun. Ba-gaimana kalian bisa mencari obat
pemunahnya? Anak kecil itu pasti sudah mati!"
Usai berkata, dia tertawa gelak sehingga badannya bergoyanggoyang.
Bab 17
Walau Cu Kuo Cia berhati kejam, namun dia amat menyayangi
anaknya itu. Maka, ketika mendengar anaknya terkena racun,
hatinya menjadi kacau balau. Seketika dia tidak tahu harus berbuat
apa. Sudah sepuluh tahun lebih dia ingin membunuh gurunya, dan
saat ini memperoleh kesempatan. Tentunya kesempatan itu tidak
akan disia-siakannya. Namun nyawa anaknya jauh lebih penting. Di
saat dia tercekam kepanikan itulah Su Bun Seng berseru.
"Toa suheng! Susiok cuma menakut-nakutimu, kau jangan percaya!"
Sesungguhnya Cu Kuo Cia juga tidak percaya, tapi hatinya tetap
merasa tidak tenang.
Berselang sesaat, dia berkata pada Cha Ceh Ih.
"Susiok! Betulkah kau menyuruh anakku makan kembang gula itu?"
Cha Ceh Ih tertawa lalu menyahut.

"Omongan anak kecil, tidak seperti omongan orang besar, selalu
berdusta! Kalau berdusta, wajah pasti memerah. Nah, lihatlah
wajahku, apakah memerah?"
Disaat bersamaan, Su Bun Seng ingin membunuh Cen Tok Hang,
namun Cu Kuo Cia segera membentak.
"Jangan bergerak!"
Ternyata Su Bun Seng memanfaatkan kesempatan ketika Cu Kuo Cia
sedang berbicara dengan Cha Ceh Ih untuk turun tangan membunuh
Cen Tok Hang, tapi gerak-geriknya tidak terlepas dari mata Cu Kuo
Cia.
"Toa suheng, kau memelihara macan, pasti akan celaka kelak!"
sahut Su Bun Seng.
Wajah Cu Kuo Cia tampak berubah.
"Sute! Jangan banyak bicara, cukup mendengarkanku saja!"
katanya.
Usai berkata, wajahnya tampak gusar sekali. Ternyata dia tidak
senang Su Bun Seng mencampuri urusannya.
Cha Ceh Ih tersenyum-senyum, sebentar memandang Cen Tok
Hang, sebentar memandang Cu Kuo Cia dan lainnya yang tampak
bimbang.
"Susiok! Kalau kami melepaskan guru, apakah Susiok juga mau
melepaskan kami?" tanya Cu Kuo Cia kepada Cha Ceh Ih.
Cha Ceh Ih tampak berpikir sejenak, kemudian barulah menyahut.
"Baik!"
Bukan main girangnya Cu Kuo Cia. Namun berkata dalam hati, kau si
Kecil mana tahu akan kelihayanku? Cepat atau lambat kau pasti akan
celaka di tanganku! "Harap Susiok memberitahukan kami,
bagaimana cara memunahkan racun itu, agar aku dan sute dapat
menolong mereka! Guru

berada di sini, kami serahkan pada Susiok!" katanya kemudian.
Cha Ceh Ih tertawa gelak, kemudian mengeluarkan dua biji kembang
gula, dan diberikannya kepada Cu Kuo Cia dan Su Bun Seng.
"Cepat ambil, jangan merepotkanku lagi!" katanya.
Cha Ceh Ih tampak tidak sabar. Akan tetapi, Cu Kuo Cia dan Su Bun
Seng justru tidak tahu, apakah kedua biji kembang gula itu adalah
obat pemunah racun. Walau bercuriga dalam hati, mereka berdua
tidak herani mencetuskannya dan kemudian kedua-duanya
meninggalkan tempat itu.
Cha Ceh Ih memandang Cen Tok Hang, kemudian menengok kesana
kemari. Setelah itu, dia memandang ke dalam lubang pohon seraya
berseru.
"Boleh yang di dalam lubang pohon, cepatlah kau keluar! Kau
memang bocah aneh, menyaksikan guru mau mati, kau malah tak
bergerak sama sekali! Hanya mementingkan nyawa sendiri, Cen tua!
Banyak orang di kolong langit, namun telor busuk itu tidak banyak,
cara bagaimana kau mem-perolehkannya?"
Ouw Yang Hong tidak menyahut.
"Ouw Yang Hong, cepatlah kau keluar!" seru Cha Ceh Ih lagi.
Saat ini Ouw Yang Hong merasa amat malu dalam hati. Gurunya
dalam keadaan bahaya, seharusnya dia keluar untuk
menyelamatkannya, tapi ilmu silatnya masih rendah, mengapa harus
bertindak gagah? Di saat nyawa gurunya terancam, haruslah keluar
demi mati bersama guru. Kini ada orang berseru memanggil
namanya, itu membuatnya merasa malu sekali.
Apa boleh buat, dia memang harus keluar. Di bawah cahaya
rembulan, tampak seorang anak kecil berdiri di situ. Di sisi anak kecil
itu berbaring Cen Tok Hang dalam keadaan pingsan.

Ouw Yang Hong maju ke hadapan Cen Tok Hang, lalu
memhungkukkan badannya untuk me meriksa nafas di hidung
gurunya. Memang masih ada nafas, tapi amat lemah sekali,
membuatnya cemas dan tidak tenang.
"Susiok, apakah luka suhu bisa sembuh?" tanyanya kepada Cha Ceh
Ih.
Cha Ceh Ih memandangnya, tertawa dingin seraya menyahut.
"Kau jangan berpura-pura! Kalau suhumu mati, di kolong langit ini
hanya tinggal kau seorang yang mahir kedua macam ilmu silat itu.
Carilah tempat yang sunyi sepi, baik-baiklah melatih kedua ilmu silat
itu! Tentunya kau akan menjadi jago yang amat tangguh. Kalau dia
mati, bukankah kau akan bergembira dalam hati?"
Ouw Yang Hong diam saja, tidak berani mengucapkan apa pun.
"Ayoh! Bantu aku memapahnya ke dalam ruangan itu!" ajak Cha Ceh
Ih.
Ouw Yang Hong dan Cha Ceh Ih memapah Cen Tok Hang ke rumah,
langsung menuju ruang santai. Badan Cen Tok Hang tergoncang,
sehingga membuat orang tua itu merintih-rintih.
"Kau begini macam, bagaimana dijuluki Racun Tua? Bukankah akan
ditertawakan orang-orang di kolong langit? Kau amat cerdik, namun
justru dikerjai para muridmu itu. Kau memang patuh dikasihani,"
kata Cha Ceh Ih sengit.
Yang Hong tidak mengatakan apa-apa. Namun ia merasa masuk akal
apa yang dikatakan paman gurunya itu. Maka dia berkata dalam
hati, guruku amat terkenal dan gagah, tapi saat ini jadi begini. Itu
membuktikan bahwa jadi orang dan melaksanakan sesuatu, memang
harus kejam. Tapi pikirannya berubah lagi, teringat kalau gurunya
tidak begitu jahat terhadap murid, Cu Kuo Cia dan lainnya pasti tidak
akan bertindak begitu terhadap guru dan tentunya tidak ada
kejadian itu.

Ouw Yang Hong dan Cha Ceh Ih membaringkan Cen Tok Hang di
tempat tidur yang dibuat dari giok. Wajah Cen Tok Hang pucat pias,
nafasnya amat lemah dan dalam keadaan pingsan. Ouw Yang Hong
dan Cha Ceh Ih terus memandangnya. Perasaan mereka berdua
amat tercekam.
Entah berapa lama kemudian, terdengar suara kokok ayam,
menyusul terdengar pula suara seseorang. Mereka berdua tersentak
sadar, baru tahu hari sudah pagi. Cha Ceh Ih menatap Cen Tok
Hang, kemudian mengeluarkan sebilah belati, sepertinya ingin
menusuk orang tua itu, apabila dia siuman.
Sementara nafas Cen Tok Hang semakin lemah. Cha Ceh Ih duduk di
pinggir tempat tidur. Mendadak badannya berputar-putar, mirip
seorang anak kecil sedang bermain, tidak memperdulikan mati
hidupnya Cen Tok Hang.
Ouw Yang Hong menariknya, lalu berkata dengan wajah murung.
"Susiok! Luka suhu begitu parah, menurut Susiok harus bagaimana?"
"Terus terang, suhumu sudah sekarat. Kalaupun ada tabib yang
terbaik di kolong langit, juga tidak mampu mengobatinya. Apalagi
kau dan aku. Menurutku lebih baik menangislah kau sejenak, agar
suhumu tenang dan terhibur hatinya!"
"Susiok, di sini tersimpan begitu banyak obat-obatan, berikan saja
kepada suhu! Siapa tahu suhu bisa sembuh!"
Cha Ceh Ih manggut-manggut.
"Baik! Berilah dia obat! Racun pun boleh kau berikan. Kalau dia mati,
urusan jadi beres. Kalau dia bisa hidup sejenak, itu pun baik sekali."
Kemudian dia meloncat turun, dan langsung menuju lemari
penyimpan berbagai macam obat. Dengan sembarangan diambilnya
beberapa macam obat dari dalam lemari itu, lalu mendekati Cen Tok
Hang yang berbaring di tempat tidur.

Dimasukkannya obat-obat itu ke dalam mulut Cen Tok Hang yang
masih dalam keadaan pingsan, namun obat-obat itu keluar lagi.
Cha Ceh Ih tampak gusar.
"Ayoh! Cepat makan obat! Cepat makan obat!" bentaknya dengan
sengit.
Usai berkata, Cha Ceh Ih mengangkat kepala Cen Tok Hang,
kemudian memasukkan semua obat itu lagi ke dalam mulutnya.
Karena Cen Tok Hang tidak bisa menelan, maka Cha Ceh Ih
menepuk bahunya dua kali.
Plak! Plak!
Ouw Yang Hong terkejut bukan main. Namun justru sungguh
mengherankan, bersamaan dengan tepukan itu, semua obat itu pun
masuk ke teng-gorokan Cen Tok Hang.
Entah berapa lama kemudian, tampak Cen Tok Hang siuman. Orang
tua itu memandang Cha Ceh Ih lalu memandang Ouw Yang Hong
dengan pandangan yang penuh kedukaan. Berselang sesaat, dia
bertanya kepada Cha Ceh Ih.
"Kaukah yang menolongku?"
"Siapa yang menolongmu? Apakah kau orang baik yang harus
ditolong? Lain kali kalau kita bertemu lagi kau boleh membunuhku
dan aku pun boleh membunuhmu! Kau tua bangka, sudah mati
setengah, bagaimana mungkin masih ada lain kali?" sahut Cha Ceh
Ih.
Cen Tok Hang tampak gusar.
"Hm! Lihatlah aku akan menghabiskanmu!" katanya dengan dingin.
Cen Tok Hang ingin bangun, tapi justru membuat sekujur badannya
jadi sakit bukan main, sehingga membuatnya merintih-rintih.

Cha Ceh Ih girang sekali. Dia meloncat ke atas tempat tidur, lalu
duduk sambil menuding orang tua itu dan berkata.
"Empat puluh tahun yang lampau, kau menerima seorang murid
yaitu Cu Kuo Cia! Kau menyaksikannya membunuh orang dengan
mata tak berkedip dan langsung menganggapnya sebagai orang
jahat! Karena itu, kau menerimanya sebagai murid. Tapi justru kau
tidak tahu bahwa dia amat bodoh dan kejam! Huh! Kau telah salah
menerimanya sebagai murid!"
"Salah! Memang sudah salah!" sahut Cen Tok Hang dengan suara
parau.
Cha Ceh Ih tertawa.
"Karena salah maka harus menerima akibatnya." Dia menjulurkan
tangannya untuk mencabut beberapa helai jenggot Cen Tok Hang,
kemudian
ditiupnya. "Setelah itu, kau berada di dalam sebuah kedai arak,
melihat beberapa pengemis memukul seorang anak kecil. Anak kecil
itu tidak takut mati, maka kau menerimanya sebagai murid kedua.
Dia adalah Su Bun Seng. Sifatnya aneh dan berhati kejam. Dia pun
tidak pantas menjadi seorang racun tua, tapi kau menerimanya
sebagai murid kedua, salah atau tidak?"
Wajah Cen Tok Hang berubah muram.
"Memang salah! Di dunia ini yang bisa jadi orang jahat, hanya ada
beberapa orang," sahutnya perlahan.
Cha Ceh Ih tertawa lagi. Setelah itu dia menjulurkan tangannya
untuk mencabut jenggot Cen Tok Hang, membuat orang tua itu
kesakitan hingga menjerit-jerit.
Ouw Yang Hong terheran-heran ketika menyaksikan tingkah laku
mereka berdua. Dia lalu berkata dalam hati. Mereka berdua
melakukan sesuatu amat berbeda dengan orang lain, kedua-duanya
selalu mengatakan ingin jadi orang jahat, tapi tidak tahu bagaimana
macamnya orang jahat. Setelah berkata dalam hati, dia pun berkata
pada Cen Tok Hang dan Cha Ceh Ih.

"Suhu, Susiok! Kalian berdua selalu mengatakan ingin menjadi
penjahat besar, tapi justru tidak tahu bagaimana macamnya
penjahat besar."
Kedua orang itu memandang Ouw Yang Hong, mereka tertawa
kemudian Cha Ceh Ih menyahut.
"Lihatlah aku dan suhumu! Kami berdua adalah penjahat besar di
kolong langit. Aku lebih jahat dari dia, sedangkan dia lebih kejam
dariku."
"Aku yang lebih jahat dan kejam darimu," kata Cen Tok Hang.
"Bukan kau, tapi aku ..." sahut Cha Ceh Ih.
Mereka berdua menjadi ribut, akhirnya Cha Ceh Ih membentak.
"Sudahlah! Kau sudah tua, tapi masih mau ribut dengan anak kecil.
Kau sungguh tak berguna!"
"Kau anak kecil apa? Cuma tidak bisa besar saja! Kecil orangnya,
tapi besar usianya!" sahut Cen Tok Hang.
Mereka berdua ribut lagi, namun mendadak Ouw Yang Hong
bertanya.
"Suhu, Susiok! Bagaimana disebut penjahat besar? Apakah toa
suheng dan ji suheng terhitung penjahat besar?"
Cen Tok Hang cuma tertawa dingin.
Cha Ceh Ih menyahut.
"Kuberitahukan padamu, para murid Kiu Sia Tok Ong, selalu ingin
menjadi penjahat besar. Yang mereka kagumi hanya tiga orang,
yaitu Kaisar Cin Sie Ong. Ketika masih muda, dia sudah menjadi
Kaisar Cin. Dia membunuh ayahnya sendiri, bahkan juga membunuh
adik-adik tirinya. Dia menyerang sekaligus mencaplok enam kerajaan
kecil, dan merebut harta kekayaan keenam kerajaan itu serta para

wanita cantiknya. Setiap hari dia bersenang-senang dengan para
wanita cantik itu. Akhirnya dia mati dan istananya dibakar oleh
rakyat. Api berkobar selama tiga hari tiga malam. Nah, katakanlah!
Apakah dia tidak cukup menjadi penjahat besar di kolong langit?"
Kelihatannya Cen Tok Hang juga amat kagum terhadap Kaisar Cin
Sie Ong.
"Orang kedua yang disebut penjahat besar adalah seorang wanita,"
lanjut Cha Ceh Ih. "Dia selir di masa Dinasti Song generasi kedua,
bergelar Kui Hui. Dia adalah selir yang amat berambisi, bahkan amat
gusar kalau dirinya harus berlutut di hadapan kaisar. Oleh karena
itu, dia menghendaki kaum wanita di kolong langit bertekuk lutut di
bawah kaki wanita. Setelah menjadi permaisuri, dia mengangkat
dirinya sebagai kaisar wanita, dikenal dengan nama Bu Cek Thian.
Sejak itulah kaum wanita pun diangkat sebagai menteri dan lain
sebagainya, sehingga para jenderal harus berlutut di hadapan kaum
wanita. Siapa yang tidak menurutinya, pasti dibunuh tanpa ampun,
terutama kaum lelaki. Bahkan dia pun sering mempermainkan kaum
lelaki. Lelaki mana yang tidak menyenangkannya, pasti dibunuhnya.
Jadi orang memang harus begitu, baru ada artinya."
Wajah Cen Tok Hang tampak serius. Kelihatannya dia juga amat
kagum terhadap kaisar wanita itu.
Ouw Yang Hong adalah sastrawan, tentunya tahu tentang riwayat
kedua orang tersebut. Cin Sie Ong dan Bu Cek Thian meninggalkan
nama busuk sepanjang masa, akan tetapi, Cen Tok Hang dan Cha
Ceh Ih malah amat memuja mereka. Hal itu membuatnya tidak habis
pikir.
Cha Ceh Ih tertawa gembira, kemudian berkata pada Ouw Yang
Hong.
"Bukankah kau juga ingin melakukan suatu kejahatan. Setelah kau
melakukan kejahatan tanpa diketahui oleh orang lain, apakah hatimu
merasa gembira sekali? Jadi orang jahat ada manfaatnya, karena
boleh berbuat sesuka hatinya. Kuberitahukan, masih ada seorang
jahat. Aku dan gurumu amat kagum dan salut kepadanya. Dia

adalah seorang menteri bernama Cing Kwei. Dia memang amat jahat
dan kejam.
Membunuh Gak Hui dan menghancurkan kerajaan, sehingga
kerajaan Lam Ciau dikuasai oleh pasukan Kim (Tatar). Di dunia
memang terdapat banyak orang jahat, tapi siapa yang dapat
menyamai Cing Kwei? Ha ha! Kalau ingin menjadi orang jahat
janganlah kepalang tanggung, harus betul-betul jahat agar dikenang
sepanjang masa, itu haru ada artinya."
Mendengar itu, darah Ouw Yang Hong agak bergejolak, sebab dia
adalah seorang sastrawan, yang dapat membedakan mana jahat dan
baik. Namun guru dan paman gurunya ...
Cen Tok Hang memandangnya,kemudian berkata dengan ringan.
"Ouw Yang Hong, kuberitahukan padamu bahwa Cu Kuo Cia dan
lainnya pasti akan menipuku, bahkan juga akan mencelakaiku. Tapi
kau tidak percaya, bukan?"
Ouw Yang Hong tidak menyahut.
Cen Tok Hang berkata lagi.
"Ouw Yang Hong, kini aku telah terluka parah, sedangkan kau telah
memperoleh kedua macam ilmu silatku itu. Mumpung aku masih
hidup, cepatlah kau melarikan diri! Kalau aku mati, susiokmu pasti
akan membunuhmu."
Ouw Yang Hong tertegun, dia tidak percaya akan apa yang
dikatakan gurunya. Susiok mau menolong guru, sudah pasti tidak
akan mencelakai dirinya. Ujar Ouw Yang Hong dalam hati. Kemudian
dia memandang Cha Ceh Ih, tapi paman gurunya itu cuma tertawatawa.
Hati Ouw Yang Hong tersentak, karena teringat tadi paman
gurunya memuji ketiga orang jahat itu.
Walau hatinya tersentak dan merasa takut, namun tetap merasa
tidak sampai hati meninggalkan gurunya.
"Suhu, aku harus merawatmu, sebab lukamu amat parah, harus ada
orang yang merawatmu," katanya kepada Cen Tok Hang.

"Ouw Yang Hong, kuberitahukan padamu, susiokmu berkepandaian
amat tinggi. Kalau kau tidak pergi sekarang, nyawamu pasti
melayang nanti," sahut Cen Tok Hang.
Ouw Yang Hong memandang Cha Ceh Ih.
"Kalau Susiok ingin membunuhku, itu terserah dia saja," katanya
perlahan.
Malam itu amat panjang. Mereka bertiga du duk dengan
membungkam. Cen Tok Hang menatap Ouw Yang Hong. Dalam
hatinya berkata, apabila kelak Ouw Yang Hong menjadi penjahat
besar, hatiku akan terhibur dan diriku pun akan menjadi seorang
racun tua. Akan tetapi, kini aku sudah sekarat. Kalau dia tidak
berhati licik, bagaimana mungkin dapat menghadapi paman
gurunya? Juga bagaimana mungkin menghadapi Cu Kuo Cia dan
lainnya? Berpikir sampai di situ, dia pun amat menyesal tidak
membunuh Ouw Yang Hong.
Sedangkan Ouw Yang Hong menatap Cha Ceh Ih, lalu berkata
dengan sungguh-sungguh.
"Paman Guru, lebih baik kau beristirahatlah! Biar aku yang menjaga
guru. Kalau aku merasa capek, aku akan memanggil Paman Guru
untuk menggantikanku!"
Cha Ceh Ih tertawa.
"Aku tidak perlu beristirahat, harus menjaganya. Jangan
menelantarkan urusan!"
Ouw Yang Hong mengerutkan kening.
"Menelantarkan urusan apa? Susiok, beritahu-kan padaku, aku akan
mengingatkanmu!"
Cha Ceh Ih menunjuk hidung Ouw Yang Hong, lalu bertanya dengan
lantang.
"Kau akan mengingatkanku?" Dia tertawa gelak. "Bocah! Aku sedang
menunggu urusan yang tidak akan dilakukan gurumu. Aku

menunggu saat itu untuk menyelesaikan dua urusan. Urusan
pertama yaitu aku ingin menggunakan Ilmu Sedot untuk menyedot
lwee kangnya ke dalam tubuhku. Urusan kedua, aku sedang
menunggunya mati, agar aku bisa menggeledah badannya untuk
mencari kedua kitab ilmu silatnya itu. Kedua urusan tersebut tentu
tidak usah menyuruhmu mengingatkanku."
Usai berkata, Cha Ceh Ih tertawa gelak lagi dan tak henti-hentinya.
Bukan main terperanjatnya Ouw Yang Hong. Dia segera berkata
kepada Cen Tok Hang.
"Suhu, Suhu! Beritahukanlah padaku, apakah susiok sedang
bergurau?"
"Dia berkata sesungguhnya. Asal Suhu mati, dia pasti
membunuhmu. Bahkan dia pun akan menghancurkan mayatku, agar
dendamnya terhadapku terbalas," sahut Cen Tok Hang sambil
menarik napas panjang.
Kini Ouw Yang Hong baru tersadar bahwa dirinya dalam keadaan
bahaya. Kalau gurunya mati, Cha Ceh Ih pasti membunuhnya. Oleh
karena itu, dia harus mencari akal untuk melarikan diri.
Namun walau sudah berpikir sekian lama, Ouw Yang Hong tetap
tidak menemukan suatu akal apa pun. Dia memandang Cen Tok
Hang. Tampak wajah gurunya semakin pias. Nafas pun semakin
lemah. Itu membuat Ouw Yang Hong amat gugup, maka terpaksa
duduk termenung. Dia akan menyaksikan gurunya menemui ajal,
dan menunggu paman gurunya membunuhnya. Hanya itu yang
dapat ditunggunya. Karena itu, rasa takutnya pun menjadi hilang
perlahan-lahan, menunggu mati dengan tenang.
Entah berapa lama kemudian, mendadak Cen Tok Hang memanggil
Cha Ceh Ih dengan suara lemah.
"Ceh Ih! Ceh Ih! Aku ingin bicara sejenak dengan Ouw Yang Hong
mengenai lwee kang Ha Mo Kang. Maukah kau mencuri
mendengarnya?"

Cha Ceh Ih kelihatan gusar sekali. Ditudingnya Cen Tok Hang dan
Ouw Yang Hong seraya membentak dengan keras.
"Kalian berdua merupakan orang mati, mengapa aku harus mencuri
dengar? Aku akan membunuhmu dulu, setelah itu baru gilirannya!
Dia pasti akan berlutut memohon ampun padaku dan
memberitahukan rahasia kedua ilmu silat itu padaku! Untuk apa aku
harus mencuri dengar? Bukankah itu akan merusak nama baikku?"
"Setelah kuberitahukan padanya tentang lwee kang Ha Mo Kang, dia
pasti dapat melawanmu! Kau tidak takut itu?" kata Cen Tok Hang.
Cha Ceh Ih tertawa.
"Ha ha! Dia baru belajar ilmu Ha Mo Kang, apa hebatnya?"
Cen Tok Hang memandang Ouw Yang Hong.
"Duduklah kau di sisiku!" perintahnya.
Ouw Yang Hong menurut, segera duduk di sisi Cen Tok Hang,
kemudian menatap gurunya itu dengan rasa iba. Suhu akan mati,
biar bagaimana pun aku harus mencari akal untuk mencegah susiok
menghinanya. Kata Ouw Yang Hong dalam hati. Namun dia sama
sekali tidak menemukan suatu akal. Akhirnya dia mengambil suatu
keputusan, apabila susioknya akan turun tangan terhadap gurunya,
maka dia akan melawan susioknya dengan mati-matian.
Cen Tok Hang terus memandangnya.
"Ouw Yang Hong, kau melihatku hampir mati, apakah kau juga
seperti para suhengmu amat ber-girang dalam hati?" tanyanya
dengan sedih.
"Suhu, aku ..." sahut Ouw Yang Hong.
Mendadak Cen Tok Hang membentak keras.

"Kau harus girang! Kalau tidak, kau bukan muridku si Racun Tua!"
"Suhu telah salah. Aku hanya berpikir bagaimana cara mencegah
susiok turun tangan terhadap suhu," kata Ouw Yang Hong.
Cen Tok Hang menatapnya dengan nafas memburu.
"Aku Cen Tok Hang berbuat jahat seumur hidup, sebaiknya malah
menerimamu sebagai murid yang berhati bajik, ini sungguh tidak
gampang!" katanya.
Ketika Cen Tok Hang berkata begitu, justru tidak tahu apakah dia
bergirang, benci, gusar atau dendam. Ouw Yang Hong tahu bahwa
hati Cen Tok Hang sedang kacau balau, maka tidak mau banyak
bicara dengannya, hanya menatapnya saja.
"Sudahlah! Aku lihat kau berjodoh denganku. Aku akan menurunkan
lwee kang Ha Mo Kang padamu!" kata Cen Tok Hang.
Cen Tok Hang tahu jelas mengenai lwee kang Ha Mo Kang. Lwee
kang itu amat hebat dan ganas. Kalau tidak berhati-hati mempelajari
lwee kang tersebut, orang akan gampang sekali mengalami
kesesatan. Oleh karena tu, begitu mulai mengajarkan gerakangerakan
Ha Mo Kang, Cen Tok Hang tidak pernah mengajarnya ilmu
lwee kang tersebut, melainkan mengajarnya lwee kang lain yang
ringan-ringan. Tapi kini keadaan Cen Tok Hang sudah krisis, apabila
tidak memberitahukan ilmu lwee kang itu pada Ouw Yang Hong,
sudah pasti tiada kesempatan lagi untuk memberitahukannya.
Sementara Cha Ceh Ih tampak tersenyum-senyum, sepertinya tidak
mau mencuri dengar tentang itu. Namun dia tertawa dalam hati dan
membatin. Cen Tok Hang! Kau cerdik selama ini, tapi justru ceroboh!
Kau di sini memberitahukan ilmu lwee kang pada Ouw Yang Hong,
apakah tidak khawatir akan kudengar semua? Aku dibandingkan
dengan muridmu yang tolol ini, tentunya dia tidak akan lebih
mengerti dariku tentang ilmu lwee kang Ha Mo Kang, sebaliknya
justru aku yang akan mengerti! Pada saat itu, kau pasti sudah
mampus, aku pun akan membunuh muridmu ini! Di kolong langit

hanya aku seorang yang mahir ilmu tersebut. Bukankah amat
menggembirakan? Ketika berpikir sampai di situ, hatinya merasa
gembira sekali.
Mendadak Cen Tok Hang memandangnya dan berkata dengan
perlahan-lahan.
"Ceh Ih, aku akan memberitahukan ilmu lwee kang Ha Mo Kang
pada Ouw Yang Hong. Kau tidak boleh mencuri dengar! Kau harus
tahu, orang sejahat apa pun, dalam melakukan sesuatu harus
terang-terangan!"
Usai berkata, nafas Cen Tok Hang semakin memburu. Cha Ceh Ih
memandang Ouw Yang Hong, kemudian memandang Cen Tok Hang.
"Baik! Apakah dia bisa terbang ke langit?" katanya.
Ternyata Cha Ceh Ih sudah punya perhitungan di dalam hati. Dia
membiarkan Cen Tok Hang memberitahukan ilmu lwee kang Ha Mo
Kang pada Ouw Yang Hong, sebab cepat atau lambat Ouw Yang
Hong pasti akan jatuh ke tangannya. Maka, dia tidak perlu terburu
nafsu.
Cha Ceh Ih tersenyum, lalu berkata lagi.
"Tua bangka, kau terlampau memandang rendah diriku! Apakah aku
begitu membutuhkan Ha Mo Kangmu? Hm! Cepat atau lambat
muridmu itu pasti akan mampus gara-gara belajar ilmu tersebut!"
Cen Tok Hang diam saja, tapi memberi isyarat agar Ouw Yang Hong
lebih mendekatinya.
Ouw Yang Hong tahu Cen Tok Hang akan menurunkan ilmu tersebut
padanya, maka segera mendekatinya.
Di saat bersamaan, mendadak Cen Tok Hang berseru.
"Golok Cepat!"

Sambil berseru dia pun menjulurkan tangannya untuk menekan
pinggir tempat tidur. Sungguh tak terduga sama sekali, tempat tidur
itu langsung merosot ke bawah.
Cha Ceh Ih tertegun menyaksikan kejadian itu, dan ketika dia baru
mau meloncat ke arah tempat tidur itu, mendadak merasa ada
sambaran angin dibelakangnya. Bukan main terkejutnya Cha Ceh Ih.
Mau tidak mau dia harus berkelit, sebab tahu itu adalah sambaran
senjata tajam.
Ternyata ketika dia baru mau meloncat ke arah tempat tidur, justru
muncul seseorang di belakangnya. Ouw Yang Hong pernah bertemu
orang itu, yakni ketika baru tiba di perkampungan Liu Yun Cun.
Orang tersebut adalah Si Golok Cepat.
Dia langsung menyerang Cha Ceh Ih dengan golok, sehingga
membuat si Kecil itu terdesak mundur. Jadi dia tak dapat mendekati
tempat tidur yang sedang merosot itu. Sedangkan lantai di tempat
itu pun mulai tertutup kembali.
Cha Ceh Ih gusar sekali. Kalau si Golok Cepat tidak muncul, saat ini
Cha Ceh Ih pasti sudah berada di tempat tidur itu bersama Cen Tok
Hang dan Ouw Yang Hong. Kini hanya tinggal dia seorang,
bagaimana mencari Cen Tok Hang dan bagaimana mengetahui
rahasia ilmu lwee kang Ha Mo Kang? Cha Ceh Ih betul-betul marah
besar.
"Golok Cepat, akan kuhabiskan kau!" bentaknya mengguntur.
Cha Ceh Ih langsung menyerangnya, namun si Golok Cepat
menangkis dan balas menyerang dengan goloknya. Sesuai dengan
julukannya, gerakan goloknya amat cepat sekali.
Cha Ceh Ih menyerangnya dengan pikiran bercabang, karena sedang
berpikir bagaimana cara memasuki ruang rahasia itu, bagaimana
cara membunuh Cen Tok Hang dan cara bagaimana memaksa Ouw
Yang Hong memberitahukannya tentang rahasia ilmu lwee kang Ha
Mo Kang.

Lantaran pikirannya bercabang, bahunya tersambar golok, sehingga
darahnya langsung mengucur.
Cha Ceh Ih meloncat ke belakang sambil menatap si Golok Cepat
dengan mata berapi-api.
"Golok Cepat! Kalau kau tidak kabur sekarang, nyawamu pasti
melayang!" bentaknya sengit.
Akan tetapi, si Golok Cepat sama sekali tidak menghiraukan
ancamannya, terus menyerangnya bertubi-tubi.
Kini Cha Ceh Ih betul-betul marah. Mendadak dia melancarkan tiga
buah pukulan yang penuh mengandung lwee kang. Bukan main
dahsyatnya ketiga pukulan itu, membuat golok di tangan si Golok
Cepat terpental, bahkan dirinya juga ikut terpental, lalu roboh tak
bergerak lagi. Dia menatap Cha Ceh Ih, sepertinya menunggu si
Kecil itu turun tangan membunuhnya.
Namun Cha Ceh Ih tidak langsung turun tangan membunuhnya,
melainkan bertanya dengan sengit.
"Ada kebaikan apa Cen Tok Hang terhadapmu, sehingga
membuatmu rela berkorban demi dirinya? Asal kau memberitahukan
bagaimana cara memasuki ruang rahasia itu, aku pasti
melepaskanmu!"
Si Golok Cepat tertawa sedih.
"Dia menyelamatkan anak istriku, maka aku harus berkorban demi
dirinya," sahutnya.
Usai menyahut, mendadak dia mengangkat sebelah tangannya untuk
menepuk ubun-ubunnya sendiri. Cha Ceh Ih ingin menolongnya, tapi
terlambat, maka si Golok Cepat mati dengan otak berhamburan.
Cha Ceh Ih membanting-banting kaki karena jengkelnya, kemudian
melancarkan beberapa pukulan ke arah mayat si Golok Cepat untuk
melampiaskan kejengkelannya itu.

Setelah itu, dia berlari ke sana ke mari mencari pintu rahasia, namun
tidak berhasil, akhirnya dia terpaksa meninggalkan ruangan itu.
Sementara tempat tidur itu terus merosot ke bawah. Berselang
sesaat barulah sampai di lantai dasar. Hati Ouw Yang Hong pun jadi
lega. Dia menengok ke sekelilingnya, ternyata dirinya berada di
sebuah ruang batu yang cukup besar. Di dalam ruang batu itu
terdapat meja kursi, makanan ringan, buah-buahan dan lain
sebagainya, tidak kurang suatu apa pun.
"Suhu, tempat apa ini?" tanyanya kepada Cen Tok Hang.
Cen Tok Hang tertawa dingin.
"Ini adalah kuburanku."
Hati Ouw Yang Hong tersentak. Ruang batu ini adalah kuburan
gurunya? Kalau begitu, apakah gurunya berniat mati bersamanya di
ruang batu tersebut?
Ouw Yang Hong diam, kemudian memapah Cen Tok Hang lalu
mendudukkannya di kursi. Setelah didudukkan di kursi, Cen Tok
Hang menatapnya seraya berkata.
"Ouw Yang Hong, aku mengajarmu ilmu Ha Mo Kang. Kau boleh
membunuhku, lalu meninggalkan ruang batu ini. Kalau tidak, kau
pasti mati terkurung di sini."
"Suhu, aku akan berada di sini merawat lukamu, setelah lukamu
sembuh, barulah kita meninggalkan ruang batu ini," sahut Ouw Yang
Hong.
Cen Tok Hang tertawa dingin, tapi tidak berkata apa-apa lagi. Ouw
Yang Hong segera mengambil secangkir teh, lalu ditaruhnya di atas
meja.
Cen Tok Hang menatapnya, kemudian mendadak berkata.

"Di dalam hatimu ada suatu rencana, maka kini kau amat puas
dalam hati, bukan? Kau kira kalau bisa bersamaku, pasti bisa belajar
ilmu lwee kang Ha Mo Kang?"
Ouw Yang Hong memandang Cen Tok Hang. Dia cuma tersenyum
getir, tidak tahu harus berkata apa pada gurunya itu.
"Mengapa kau tidak mau meloncat ke luar ketika tempat tidur
sedang merosot ke bawah?" tanya Cen Tok Hang.
"Aku tidak boleh meninggalkan Suhu, harus bersama Suhu. Ketika
tempat tidur itu sedang merosot ke bawah, aku tidak bisa banyak
berpikir, hanya tahu harus bersama Suhu," sahut Ouw Yang Hong.
Cen Tok Hang kelihatan tidak percaya akan jawaban Ouw Yang
Hong. Dia terus tertawa dingin.
Ouw Yang Hong tidak banyak bicara, hanya duduk di hadapan Cen
Tok Hang. Sedangkan orang tua itu terus menatapnya, sejenak
kemudian barulah berkata dengan perlahan-lahan.
"Kenapa kau tidak bertanya padaku, bagaimana si Golok Cepat itu
bisa muncul di sisi tempat tidur?"
Ouw Yang Hong berpikir sejenak, dan langsung tahu apa maksud
Cen Tok Hang, tertawa seraya berkata.
"Meskipun Suhu tidak bilang, aku juga tahu. Si Golok Cepat amat
berterimakaih atas kebaikan budi Suhu. Maka setiap hari dia
menjaga di tempat rahasia dekat tempat tidur Suhu. Apabila Suhu
dalam keadaan bahaya dia pasti muncul untuk menyelamatkan
Suhu."
Cen Tok Hang menatap Ouw Yang Hong, kemudian mendadak
tertawa gila dan setelah itu berkata.
"Kau hilang apa? Kau kira aku akan begitu baik terhadap orang lain?
Kau kira aku bukan orang yang amat jahat? Kuberitahukan, selama
ini aku tidak pernah berlaku baik terhadap siapa pun. Tiada gunanya

kau baik terhadap orang. Seharusnya kau membuat orang lain takut,
itu baru benar. Seperti halnya si Golok Cepat, dia amat takut
padaku. Tahukah kau, mengapa dia begitu takut padaku?"
Ouw Yang Hong menggeleng kepala.
"Teecu tidak tahu."
Cen Tok Hang tersenyum.
"Aku menyandra anak istrinya di suatu tempat, yang amat sepi dan
nyaman. Setiap bulan dia boleh pergi menemui anak istrinya di sana,
tapi hanya setengah hari saja. Coba kau katakan, apakah tidak
cukup setengah hari itu baginya?"
Ouw Yang Hong tidak menyahut, namun tahu jelas dalam hatinya.
Bagaimana mungkin waktu setengah hari itu cukup bagi si Golok
Cepat untuk berkumpul dengan anak istrinya?
Cen Tok Hang berkata.
"Tentunya tidak cukup, tapi kukatakan padanya, kalau dia tidak mati
dan berhasil menyelamatkanku dari bahaya, maka dia boleh
berkumpul lagi dengan anak istrinya untuk selamanya. Karena itu,
barulah dia bersedia menyelamatkanku dari bahaya. Sudah
mengertikah kau?"
Ouw Yang Hong diam saja.
"Kenapa kau diam saja?" tanya Cen Tok Hang.
"Aku tidak ingin bicara," sahut Ouw Yang Hong.
Cen Tok Hang berkata.
"Aku sudah terluka parah. Setelah keluar dari sini, kau harus
membunuh kelima muridku itu, kemudian membunuh adik
seperguruanku itu pula. Bersediakah kau mengabulkan
permintaanku ini?"

Ouw Yang Hong berpikir, kalau tidak mengabulkannya, gurunya
pasti akan marah besar. Apabila gurunya marah besar, sudah pasti
lukanya akan bertambah parah. Tapi kalau mengabulkannya, sudah
pasti harus pergi membunuh mereka berenam. Bagaimana mungkin
sebab kepandaiannya masih rendah? Hal itu membuatnya termangumangu.
Melihat Ouw Yang Hong tidak menjawab, Cen Tok Hang segera
berkata dengan sengit.
"Apakah kau tidak bersedia? Kalau tidak bersedia, kau boleh pergi!"
Ouw Yang Hong tidak bergerak. Dia tidak tega meninggalkan
gurunya yang dalam keadaan terluka parah itu.
Akan tetapi, mendadak Cen Tok Hang membentak keras.
"Cepat pergi! Cepatlah kau pergi! Aku tidak mau melihat kalian yang
seperti telor busuk! Kalian semua tiada satu pun yang baik! Kau pun
begitu, berada di sampingku, hanya ingin menipu diriku agar kau
memperoleh ilmu silat tinggi saja! Apakah kau masih punya tujuan
lain?"
Ouw Yang Hong berjalan ke samping, tidak mau mendengar
perkataannya. Dia tahu gurunya amat jengkel pada kelima
muridnya, tentunya akan mencaci maki mereka. Dalam hal ini, Ouw
Yang Hong sama sekali tidak menyalahkan gurunya. Ketika melihat
Ouw Yang Hong menyingkir ke samping, Cen Tok Hang bertambah
gusar.
"Ouw Yang Hong, kau juga seperti kelima muridku itu! Kemari cuma
ingin menipuku!"
Mendadak Cen Tok Hang memuntahkan darah segar dan nafasnya
mulai memburu lagi, sehingga wajahnya berubah menjadi pucat
pias.
"Suhu, baik-baiklah istirahat! Suhu jangan marah-marah, sebab akan
membuat lukamu bertambah parah!" kata Ouw Yang Hong.
Cen Tok Hang tertawa dingin.

"Kau tidak usah pura-pura berbaik hati padaku! Kau juga bukan
murid yang baik!"
Usai berkata, sekonyong-konyong badannya bergerak ke arah Ouw
Yang Hong. Walau dalam keadaan terluka parah, namun masih
bertenaga.
Leher Ouw Yang Hong tercengkeram oleh tangan Cen Tok Hang.
Kelihatannya orang tua itu ingin mencekiknya hingga mati.
Sesungguhnya saat ini, tenaga Ouw Yang Hong lebih kuat dari Cen
Tok Hang. Namun Ouw Yang Hong merasa tidak sampai hati
memukul gurunya itu.
"Suhu! Suhu! Cepat lepaskan tanganku!" teriaknya.
Akan tetapi, Cen Tok Hang malah menambah tenaganya untuk
mencekik leher Ouw Yang Hong, sehingga membuat mata Ouw Yang
Hong berkunang-kunang, dan akhirnya pingsan.
Ketika Ouw Yang Hong siuman, Cen Tok Hang duduk di
hadapannya. Walau wajah gurunya masih pucat, namun kelihatan
tidak begitu lesu lagi.
Cen Tok Hang menatapnya, kemudian berkata dengan dingin.
"Kau tidak cukup jadi seorang jahat, maka tidak pantas jadi muridku.
Kalau kau betul-betul seorang jahat, tadi sudah turun tangan
membunuhku!"
Cen Tok Hang dan Ouw Yang Hong sama-sama tahu, apabila tadi
Ouw Yang Hong melawannya, sudah pasti Cen Tok Hang akan
celaka. Namun Ouw Yang Hong justru tidak berbuat begitu, malah
membiarkan gurunya mencekiknya hingga pingsan, bahkan nyaris
mati.
Cen Tok Hang amat menyesal, karena Ouw Yang Hong yang dibawa
dari Kota Ciau Liang, bukan merupakan orang jahat, melainkan
merupakan seorang sastrawan yang lemah lembut.

Berselang sesaat, Cen Tok Hang berkata secara terang-terangan.
"Kalau aku tahu kau begini, aku pasti sudah membunuhmu tempo
hari, agar aku tidak gusar saat ini!" Orang tua itu menatap Ouw
Yang Hong tajam, lalu melanjutkan dengan sengit. "Aku tidak akan
mengajarmu lwee kang Ha Mo Kang. Sikapmu seperti itu, maka
meskipun kau berhasil menguasai ilmu Ha Mo Kang juga tak akan
ada gunanya. Sebab aku pasti akan dibunuh oleh orang licik kelak,
sehingga kaum rimba persilatan akan mengatakan, bahwa ilmu Ha
Mo Kang hanya merupakan ilmu biasa. Bukankah itu akan
mencemarkan nama baikku?"
Ouw Yang Hong tidak menyahut. Namun dalam hatinya berkata. Aku
harus membunuhmu? Aku justru tidak bisa. Biar kau omong apa,
kau tetap guruku. Aku tidak mau jadi murid durhaka!
Cen Tok Hang menatapnya, kemudian berkata.
"Ouw Yang Hong, di dunia ini terdapat penjahat besar dan penjahat
kecil. Kau hanya merupakan penjahat kecil, sebab kau masih
memiliki hati nurani. Itu apa gunanya? Kau harus tahu, jadi penjahat
besar juga bisa jadi kesatria besar. Kau mengerti itu?"
Hati Ouw Yang Hong tergerak. Kalau tadi dia mati di tangan Cen Tok
Hang, bukankah akan mati secara penasaran sekali? Dia belum
melaksanakan pekerjaan besar, tapi malah mati di sini, tentunya
akan menyesal setelah mati. Dia terus berpikir, entah benar atau
tidak pengajaran gurunya.
Cen Tok Hang berkata.
"Orang melaksanakan pekerjaan baik tidak sulit, justru sulit
melaksanakan pekerjaan jahat. Melaksanakan pekerjaan jahat kirakira
ada tiga macam. Pertama yaitu pekerjaan jahat yang tiada
manfaatnya bagi orang lain dan bagi diri sendiri. Itu berarti penjahat
yang tiada gunanya. Penjahat semacam itu harus dibunuh agar tidak
mencemarkan nama para penjahat. Kedua yaitu penjahat yang
pekerjaan jahatnya ada sedikit manfaatnya bagi orang lain, juga

bermanfaat bagi diri sendiri. Itu pun tergolong penjahat yang tiada
harganya. Aku tidak suka akan penjahat semacam itu. Mungkin kau
melaksanakan pekerjaan jahat, tapi merupakan pekerjaan besar,
juga dapat menolong banyak orang. Itu merupakan yang ketiga.
Lalu mengapa kau tidak mau melaksanakannya? Seperti halnya
dengan kasar wanita Bu Cek Thian, bukankah banyak sekali orang
memperoleh kemanfaatannya? Kalau dia sepertimu bertele-tele,
sudah pasti akan merusak pekerjaan besar."
Apa yang dikatakan Cen Tok Hang, membuat Ouw Yang Hong terus
berpikir. Masuk akal juga
apa yang dikatakan guru. Asal dapat memberi kebaikan pada orang
lain dan pada diri sendiri, tidak jadi masalah membunuh orang.
Siapa tidak membunuh orang? Sastrawan membunuh orang dengan
tulisan, pesilat membunuh orang dengan senjata. Mana yang tidak
merupakan penjahat? Seperti halnya dengan paman guru dan kelima
kakak seperguruannya, bukankah mereka tergolong penjahat? Kalau
bertemu mereka, tidak membunuh, pasti akan dibunuh oleh mereka.
Mereka adalah penjahat yang harus mati . . .
Cen Tok Hang tahu bahwa Ouw Yang Hong terus berpikir. Berselang
sesaat orang tua itu berseru.
"Bocah bodoh! Apakah pikiranmu sudah terbuka? Kalau kau tidak
bersedia, janganlah kau belajar ilmu Ha Mo Kang! Tapi . . . kau pasti
mati. Asal kau keluar dari sini, kelima suhengmu pasti mencarimu,
lalu mendesakmu memberitahukan rahasia ilmu Ha Mo Kang, setelah
itu baru membunuhmu!"
"Aku masih belum berhasil menguasai ilmu Ha Mo Kang," sahut Ouw
Yang Hong.
"Jangan bilang padaku, bahwa kau akan mem-beritahu mereka,
bahwa kau belum berhasil menguasai ilmu Ha Mo Kang! Kau kira
mereka akan mempercayaimu?" kata Cen Tok Hang dengan dingin
sambil menatapnya.
Usai berkata, Cen Tok Hang pun tertawa gelak.

Ouw Yang Hong terdiam. Dia tahu apa yang dikatakan gurunya
memang masuk akal. Kalau dia tidak memberitahukan tentang ilmu
lwee kang Ha Mo Kang, mereka pasti membunuhnya, mungkin juga
akan menyiksanya hingga mati.
Bukan main cemasnya hati Ouw Yang Hong. Aku harus bagaimana?
Aku harus mati di tangan mereka ataukah harus berada di sini
mempelajari ilmu lwee kang Ha Mo Kang, lalu keluar membunuh
mereka? Katanya dalam hati.
***
Tengah malam, angin di musim gugur berhembus dingin menusuk
tulang. Di tempat yang amat sunyi sepi ini, tampak beberapa ekor
burung gagak beterbangan sambil berkaok-kaok.
Di tempat tersebut, tampak sebuah bangunan yang telah runtuh
tidak karuan. Di malam yang amat sunyi, mendadak dipecahkan oleh
suara nyanyian.
"Lihatlah gumpalan awan, dengarlah suara gemuruh ombak! Hanya
tinggal kampung halaman yang sudah berantakan, sunyi sepi
menyedihkan
Suara nyanyian itu bernada sedih. Tampak sosok bayangan yang
tinggi besar di bawah sebuah pohon. Dia mengenakan pakaian
hitam, berdiri termangu-mangu sambil memandang bangunan yang
runtuh itu. Berselang sesaat, orang itu bergumam.
"San Ji, San Ji . . . San Ji! Sungguh mengenaskan kematianmu! Aku
bersamamu hanya bermesraan semalam, amat panjang malam itu.
Aku kembali dari Kota Ciau Liang, membawa perhiasan untukmu!
Aku tahu, kau amat menyukai perhiasan! Siapa tahu malam ini kau
justru tidak dapat melihat lagi! Malam itu kita bermesraan, saling
memeluk sampai pagi. Setelah itu, aku sibuk melaksanakan
pekerjaan guru! Aku tidak berpikir bahwa kau akan mati, San Ji! Aku
harus membunuhnya! Aku harus membunuhnya!"

Di saat orang itu bergumam, tampak pula seorang anak kecil duduk
di atas tembok. Ternyata yang bernyanyi tadi anak kecil itu. Dia
tertawa sedih, kemudian bernyanyi lagi.
"Sejak dahulu kala, orang jahat selalu membicarakan kegagahan!
Tapi bagaimana melewati pedang dan golok ..."
Anak kecil itu bernyanyi sambil tertawa. Di luar tembok berdiri dua
orang. Mereka berdua tidak mengeluarkan suara dari tadi. Sesaat
kemudian mereka berdua berjalan perlahan mendekati anak kecil itu.
Salah seorang dari mereka sudah tua. Di punggungnya terdapat
sebuah bungkusan, ternyata berisi seorang anak kecil yang telah
lama mati.
Orang yang berdiri di sisinya, berdandan seperti sastrawan.
Wajahnya putih bersih tapi amat dingin. Dia terus memandang anak
kecil yang duduk bernyanyi di atas tembok itu.
Anak kecil itu sepertinya tidak melihat kehadiran mereka. Dia terus
bernyanyi sambil tertawa-tawa.
Mendadak orang tua itu bertanya dengan suara parau.
"Tau Ji (Anak Tau), Tau Ji! Apakah kau merasa lelah? Kalau lelah
marilah ikut kakak tidur! Ingat, jangan makan kembang gula orang
lain, sebab kembang gula itu mengandung racun!"
Orang tua itu menoleh ke belakang, memandang anak kecil yang di
punggungnya dengan lemah lembut.
"Toako! Kau harus tahu, anak itu sudah lama mati. Walaupun kau
telah membalsemnya, namun lama kelamaan juga akan berbau.
Mengapa kau terus-menerus memanggulnya?" kata orang yang
berdiri di belakangnya.
"Sute, kau hilang apa? Kau bilang Tau Ji sudah mati? Kau yang
sudah mampus!" bentak orang tua itu.

Sekonyong-konyong orang tua tersebut menyerangnya. Kemudian
terjadilah pertarungan sengit. Mereka adalah saudara seperguruan,
maka sudah barang tentu saling mengetahui jurus masing-masing.
Puluhan jurus kemudian, barulah mereka berhenti dengan nafas
memburu.
"Cu Kuo Cia, kau jangan mendesakku, musuhmu duduk di atas
tembok. Kenapa kau tidak ke sana membunuhnya, malah
menyerangku?" kata orang yang lebih muda.
"Su Bun Seng, kalau kau masih bilang Tau Ji sudah mati, aku pasti
menghabiskanmu!" sahut Cu Kuo Cia dengan dingin.
Kemudian Cu Kuo Cia menolehkan kepalanya memandang anak kecil
yang duduk di atas tembok, dan mengepal tinjunya sambil berkertak
gigi.
Anak kecil itu menoleh memandang mereka berdua. Dia tidak
merasa heran maupun terkejut, malah tertawa.
"Kalian sudah datang?" katanya.
"Susiok, selama ini kami berlima tidak begitu tunduk pada Susiok,
namun hari ini setelah bertemu Susiok, kami jadi tunduk dan kagum.
Susiok amat cerdik, kami berlima tidak dapat menyamai Susiok,"
sahut Su Bun Seng.
Anak kecil itu ternyata Cha Ceh Ih, si Kecil yang tidak bisa tumbuh
besar itu.
Cha Ceh Ih tertawa, lalu menyahut dengan wajah berseri-seri.
"Oh, ya? Kalian berlima hanya tunduk pada tua bangka itu, sama
sekali tidak memandang sebelah mata padaku? Tapi . . . mengapa
hari ini kalian justru merasa tunduk dan kagum padaku?"
Su Bun Seng menjawab.

"Susiok cerdik, amat cerdik sekali! Kini Susiok sudah memperoleh
ilmu rahasia Ha Mo Kang, tentunya akan menjadi orang nomor
wahid di kolong langit. Namun bagi orang lain, apabila sudah
memperoleh kitab rahasia ilmu itu, pasti lalu pergi ke tempat sepi
untuk mempelajarinya. Namun Susiok malah tidak pergi. Bagaimana
kami berlima bisa membunuhmu? Dan bagaimana bisa tahu Susiok
menyimpan kitab ilmu lwee kang Ha Mo Kang itu?"
Cha Ceh Ih menunjuk Cu Kuo Cia dan Su Bun Seng, kemudian
tertawa seraya berkata.
"Hanya berdasarkan kalian berlima, sama sekali tidak berada dalam
mataku lho! Kalau aku sudah memperoleh kitab ilmu lwee kang Ha
Mo Kang, tentunya sudah kubunuh kalian beserta keluarga kalian
semua! Untuk apa membiarkan kalian hidup?"
Su Bun Seng berkata perlahan-lahan.
"Kepandaian Susiok amat tinggi, namun mau turun tangan
membunuh kami sekaligus, itu mungkin tidak gampang. Apabila aku,
toasuheng dan sam sute turun tangan serentak, pasti dapat
membunuhmu!" Dia berkertak gigi sambil melanjutkan. "Karena kau
telah membunuh istriku, aku akan mengorek jantungmu untuk
melampiaskan dendam itu!"
Cha Ceh Ih tertawa, lalu berkata.
"Su Bun Seng, bukankah kau bilang sudah tidak suka lagi pada
istrimu? Begitu mendengar itu aku langsung membantumu. Itu demi
kebaikanmu lho!"
Ketika mendengar ucapan Cha Ceh Ih itu, Cu Kuo Cia gusar bukan
kepalang.
"Sialan kau! Kau harus mengembalikan Tau Jiku! Kau harus
mengembalikan Tau Jiku!" bentaknya keras.
Dia lalu melesat ke arah Cah Ceh Ih, setelah itu terjadilah
pertarungan sengit dan seru.

Menyaksikan pertarungan itu, Su Bun Seng bergirang dalam hati.
Aku akan lihat kalian bertarung sampai kapan. Padahal
sesungguhnya, Cu Kuo Cia amat licik. Kalau bukan karena enam
belas orang keluarganya mati di tangan Cha Ceh Ih, dia tidak akan
bertarung dengan Cha Ceh Ih dan Su Bun Seng pun tidak akan
memperoleh kesempatan tersebut.
Semakin lama bertarung, Cu Kuo Cia semakin nekat, kelihatannya
dia ingin mengadu nyawa dengan Cha Ceh Ih.
"Kembalikan Tau Jiku! Kembalikan Tau Jiku! Kembalikan . . .!"
teriaknya.
Wajah Cha Ceh Ih tetap dingin dan terus berkelit ke sana ke mari.
Ketika Cu Kuo Cia mengayunkan kakinya, Cha Ceh Ih menangkis. Di
saat bersamaan, dia juga membentak.
"Cu Kuo Cia, apakah kau seorang tolol? Sudah puluhan tahun kau
tinggal di Perkampungan Liu Yun Cun, beristri dan anak! Setelah itu,
anakmu pun punya istri, dan tak lama istrinya juga punya anak! Nah,
bukankah itu amat merepotkanmu? Aku telah membantumu
menghabiskan mereka, agar kau bisa bebas! Seharusnya kau
berterima-kasih padaku, sebab mulai sekarang kau sudah bebas,
bisa makan enak dan tidur nyenyak, tidak usah memikirkan beban
apa pun!"
Apa yang dikatakan Cha Ceh Ih, membuat Cu Kuo Cia termangumangu,
dan tak sempat berpikir panjang. Dia menganggap masuk
akal apa yang dikatakan Cha Ceh Ih kalau tiada anak istri dan cucu,
bukankah dia akan bebas untuk pergi ke mana pun?
Cha Ceh Ih berkata dengan lembut.
"Cu Kuo Cia, hidup manusia hanya beberapa puluh tahun saja. Kini
semua keluargamu telah mati, untuk apa kau masih hidup? Percuma
kau hidup! Cu Kuo Cia, kini kau telah kehilangan anak istri dan cucu!
Kalau kau tidak mati, pasti menderita sekali!"

Pikiran Cu Kuo Cia jadi kacau balau, bahkan bertanya pula dalam
hati. Apakah aku sudah mati? Kini hanya tinggal aku seorang diri,
apakah artinya hidup? Lebih haik aku mati! Kemudian dia
mengangkat sebelah tangannya ke atas, seakan ingin memukul
ubun-ubunnya sendiri.
Bukan main cemasnya Su Bun Seng menyaksikan itu.
"Cu Kuo Cia, bukankah kau ingin menuntut balas kematian anak istri
dan cucumu?" serunya.
Cu Kuo Cia memandang Su Bun Seng dengan mata sayu.
"Menuntut balas apa? Tau Ji sudah mati, semuanya sudah mati! Kini
tinggal aku seorang diri, apa artinya aku hidup?" gumamnya
perlahan-lahan.
Su Bun Seng bertambah cemas. Kalau Cu Kuo Cia mati, sudah pasti
dia seorang diri bukan lawan Cha Ceh Ih. Kemungkinan besar dia
pun akan mati di tempat ini. Maka, dia segera berkata.
"Cu Kuo Cia, setelah kau mengkhianati si Racun Tua Cen Tok Hang,
bukankah sudah jadi penjahat? Tapi . . . sebaliknya malah kau suruh
orang untuk membunuhmu. Bukankah itu amat penasaran sekali?"
Cu Kuo Cia tertegun. Air matanya meleleh.
Kemudian dia menengadahkan kepala seraya berseru.
"Aku harus jadi penjahat! Aku harus jadi penjahat? Penjahat bisa
berbuat apa? Keluargaku telah habis semua! Sudahlah! Untuk apa
aku jadi penjahat?"
Dia langsung memukul ubun-ubunnya sendiri, akan tetapi Su Bun
Seng bergerak lebih cepat me-notok jalan darahnya, sehingga
membuatnya berdiri mematung di tempat.
Cha Ceh Ih tertawa gelak, lalu berkata.

"Su Bun Seng, kau punya maksud begitu, maka tidak seharusnya
kau terkena oleh rencana busukku! Maksud hatimu dan Cu Kuo Cia
hanya ditujukan pada tua bangka itu, tentunya melupakan diriku!
Itulah kelalaian kalian, sehingga jadi gagal!"
Setelah berkata begitu, Cha Ceh Ih tertawa gelak lagi hingga
badannya bergoyang-goyang.
Usai tertawa, Cha Ceh Ih memandang rembulan, kemudian berkata
perlahan-lahan.
"Su Bun Seng, kau paling cerdik. Coba katakan, sebelum gurumu
mati apakah dia akan menurunkan ilmu lwee kang Ha Mo Kang?"
Su Bun Seng berpikir sejenak, lalu menjawab.
"Berdasarkan adat suhu, pasti akan menurunkan ilmu itu. Tapi ketika
itu, suhu sama sekali tidak menaruh perhatian pada kami, bahkan
mengatakan bahwa dia punya seorang pewaris di Kota Ciau Liang.
Pewaris itu harus membawa syairnya ke sana untuk dilanjutkan.
Mungkin dia takut kami mengerjainya, namun mungkin juga dia
bersungguh-sungguh menyuruh kami mencari pewarisnya itu.
Karena itu, kami mencari seorang sastrawan, agar tidak dapat
digembleng jadi penjahat. Tapi perhitungan orang tidak dapat
disamakan dengan takdir. Ternyata kami telah salah serangkah. Kini
kau telah memperoleh kitab itu, maka jangan terlampau mendesak
kami. Kalau kami terdesak, tentunya akan mati bersama."
Cha Ceh Ih meloncat turun dari atas tembok, berdiri di hadapan Su
Bun Seng dan menatapnya dalam-dalam.
"Su Bun Seng, kuberitahukan! Aku tidak memperoleh kitab ilmu Iwee
kang itu, kau percaya tidak?" katanya.
Su Bun Seng tidak begitu mempercayainya, membuat Cha Ceh Ih
tidak sabaran, dan segera menutur tentang kejadian malam itu.
Ternyata malam itu, setelah si Golok Cepat bunuh diri, dia mulai
mencari ruang rahasia, namun tiada hasilnya. Akhirnya dia
menyuruh semua penghuni Perkampungan Liu Yun Cun untuk

membantu mencari, tapi tetap tiada hasilnya. Hari pun sudah pagi,
semua orang jadi malas mencari ruang rahasia tersebut.
Bukan main gusarnya Cha Ceh Ih, dia menyambar sebuah obor yang
menyala, kemudian berteriak-teriak.
"Walau kalian berdua bersembunyi, tapi pasti mampus di tanganku!
Aku akan membakar perkampungan ini! Coba kalian berdua keluar
atau tidak?"
Cha Ceh Ih mulai membakar beberapa rumah. Api langsung
berkobar-kobar, membuat semua orang jadi panik. Mereka segera
kembali ke rumah masing-masing untuk menyelamatkan harta benda
dan anak istri mereka.
Sedangkan Cha Ceh Ih tetap berdiri di depan rumah Cen Tok Hang,
menunggu Cen Tok Hang dan Ouw Yang Hong keluar dari rumah itu.
Akan tetapi, kedua orang tersebut justru tidak keluar.
Cha Ceh Ih berkata dalam hati. Bagus sekali aku membakar
perkampungan ini. Walau tidak memperoleh kitab ilmu lwee kang Ha
Mo Kang, namun akan membakar mati Cen Tok Hang dan Ouw Yang
Hong!
Tak seberapa lama kemudian, Perkampungan Kiu Yun Cun telah
musnah dilalap api. Tetapi Cha Ceh Ih masih ragu, apakah Cen Tok
Hang dan Ouw Yang Hong sudah mati terbakar?
Dia terus mencari jejak kedua orang itu. Namun hingga belasan hari,
tetap tidak menemukan jejak mereka. Karena itu, setiap hari dia
pasti duduk di atas tembok menunggu, sekaligus memandang
Perkampungan Liu Yun Cun yang telah musnah itu.
"Kau menghendaki aku mempercayai kata-katamu? Bagaimana aku
bisa percaya?" kata Su Bun Seng.
"Kalau kau tidak percaya, aku pun tidak bisa apa-apa. Tapi aku
harap kau mempercayaiku. Kalau tidak, tentunya tiada kebaikan
bagimu," sahut Cha Ceh Ih.

"Kau mau apa?" tanya Su Bun Seng.
"Perkampungan Liu Yun Cun telah musnah, namun kita masih ada.
Kalau kalian berdua mau mendengar perkataanku, mari kita
berkelana da lain dunia persilatan, melaksanakan pekerjaan besar,
agar kaum dunia persilatan tahu akan ke-lihayan orang-orang
Perkampungan Liu Yun Cun! Ha ha ha . . .!" sahut Cha Ceh Ih.
Su Bun Seng berpikir, sejenak kemudian barulah berkata.
"Aku tidak mau merantau bersamamu, sebab kau selalu meracuni
orang. Bagaimana kami akan merantau bersamamu?"
Cha Ceh Ih tertawa, lalu memandangnya seraya berkata.
"Lihatlah kalian berdua, yang satu sinting dan yang lain bloon. Kalau
kalian berdua tidak bersamaku, apakah kalian berdua mampu
melakukan sesuatu yang menggemparkan dunia persilatan?"
Su Bun Seng kelihatan berpikir keras, setelah itu barulah
memandang Cu Kuo Cia.
Bab 18
"Toako, kepandaian kita memang tidak bisa menyamai susiok,
bagaimana kita bergabung dengannya?" katanya.
Cu Kuo Cia diam saja, sebab dia masih dalam keadaan tertotok.
Namun dia tetap dapat berpikir secara jernih.
"Susiok, kau telah membantai seluruh keluargaku, mengapa aku
harus bergabung denganmu?" katanya sambil menatap Cha Ceh Ih
dengan tajam.
"Aku menghendakimu bergabung denganku, agar kau dapat malang
melintang di dunia persilatan, dapat melakukan sesuatu yang
menggemparkan dunia persilatan. Bukankah itu baik sekali?"

Mendengar ucapan itu, Cu Kuo Cia diam. Sedangkan Su Bun Seng
membebaskan totokannya. Kemudian mereka bertiga duduk dengan
mulut membungkam.
Berselang sesaat, ketika mereka baru mau membuka mulut,
mendadak muncul sosok bayangan hitam, yang langsung menyerang
mereka dengan golok.
Sambaran golok itu justru terarah pada Cha Ceh Ih. Kemunculannya
tidak mengeluarkan suara, namun sambaran goloknya menimbulkan
suara menderu-deru. Terdengar pula suara pekik-annya.
"Kembalikan nyawa San Jiku! Kembalikan nyawa San Jiku!"
Cha Ceh Ih segera menghindar, namun orang berpakaian hitam itu
terus menyerangnya dengan sengit sekali, membuat Cha Ceh Ih
kelabakan.
"Cu Kuo Cia, Su Bun Seng! Mengapa kalian berdua masih diam saja?
Cepat turun tangan, halangi dia!" teriaknya.
Cu Kuo Cia dan Su Bun Seng tetap duduk diam. Kemudian Su Bun
Seng berkata sambil tersenyum dingin.
"Kalau Susiok bergebrak dengan sam sute, harus baik-baik memberi
pelajaran padanya, agar dia tidak berlaku kurang ajar pada Susiok!"
Saat ini pikiran Cu Kuo Cia mulai kacau lagi. Dia menyaksikan
pertarungan itu sambil bergumam.
"Aku harus membunuhnya! Aku harus membunuhnya! Aku harus
menuntut balas kematian Tau Ji! Aku harus membunuhnya!"
Ketika Cu Kuo Cia baru mau menerjang ke arah Cha Ceh Ih, justru
dicegah oleh Su Bun Seng.
"Toako, lihatlah ilmu golok sam sute! Bukankah selama ini kau tidak
pernah menyaksikannya?"

Cu Kuo Cia memperhatikan ilmu golok yang digunakan Ciok Cuang
Cak. Sungguh aneh dan hebat ilmu golok itu.
Setelah memperhatikan sejenak, dia manggut-manggut paham.
"Ji sute, aku memang tidak pernah menyaksikan ilmu golok itu.
Jurus itu amat aneh. Betul! Jurus itu khusus untuk menghadapimu!
Ya, kan?" Su Bun Seng manggut-manggut.
"Lihatlah jurus itu, Toako! Bukankah jurus itu khusus untuk
menghadapimu?" sahutnya dengan suara dalam.
Hati mereka berdua tersentak. Mereka tidak menyangka kalau Ciok
Cuang Cak memiliki ilmu golok yang khusus untuk menghadapi
mereka berdua. Kini karena ingin membunuh Cha Ceh Ih yang telah
membantai anak istrinya, maka dikeluarkannya ilmu golok
simpanannya itu untuk menghadapi Cha Ceh Ih.
Ketika melihat Ciok Cuang Cak menyerang dengan maksud mengadu
nyawa, Cha Ceh Ih berkeluh dalam hati. Kalau cuma Ciok Cuang Cak
seorang, tentunya Cha Ceh Ih tidak akan merasa cemas. Namun
masih ada Cu Kuo Cia dan Su Bun Seng menghendaki nyawanya.
Maka kalau dia tidak segera merobohkan Ciok Cuang Cak, sudah
pasti dirinya akan celaka.
Di saat Ciok Cuang Cak menyerang, Cha Ceh Ih cepat-cepat berkelit
seraya berseru.
"Ciok Cuang Cak, aku akan menggunakan racun!"
Ciok Cuang Cak memang paling takut apabila Cha Ceh Ih
menggunakan racun. Namun kini dia telah kehilangan anak istri,
sehingga membuatnya tidak merasa takut lagi. Maka, dia terus
menyerang Cha Ceh Ih dengan golok.
Di saat bersamaan, mendadak Cha Ceh Ih menggerakkan tangannya
ke arah Ciok Cuang Cak. Ternyata si Kecil itu telah menggunakan
racun. Tapi Ciok Cuang Cak justru tidak menghiraukannya, tetap
menyerangnya.

Akan tetapi, setelah menghirup racun itu, wajah Ciok Cuang Cak
berubah menjadi hebat.
"Kau . . . kau menggunakan Pah Ong Hun (Bubuk Racun Algojo)?"
serunya dengan suara gemetar.
Dia termundur-mundur, lalu roboh tak bergerak lagi.
"Bagus! Susiok memang cerdik dan mahir menggunakan racun, aku
salut sekali pada Susiok!" kata Su Bun Seng memuji.
Sementara Cu Kuo Cia diam saja. Jelas dia masih amat mendendam
pada Cha Ceh Ih yang telah membunuh anak istri dan cucunya.
"Susiok mau diapakan Ciok Cuang Cak?" tanya Su Bun Seng.
Cha Ceh Ih tertawa.
"Menurutmu harus diapakan?"
"Memang tidak jadi masalah Susiok membunuhnya, sebab Susiok
adalah penjahat besar. Namun belum tentu Susiok akan
membunuhnya Bagaimana kalau dia dibiarkan hidup agar dapat
membantu Susiok melakukan sesuatu?" sahut Su Bun Seng.
"Melihat sikapnya, kemungkinan besar dia tidak sudi membantuku
melakukan sesuatu. Idemu itu salah," kata Cha Ceh Ih.
Su Bun Seng tersenyum.
"Susiok terlampau curiga. Apabila Susiok menaruh sedikit racun pada
dirinya, bagaimana dia tidak akan mendengar perkataan Susiok?"
Cha Ceh Ih tertawa gembira sambil bertepuk tangan, lalu berkata
dengan wajah berseri-seri.
"Bagus! Bagus! Idemu itu bagus sekali! Aku akan memberinya obat
pelupa diri sendiri. Bukankah dia akan menjadi orangku?"

Usai berkata dia tertawa gelak. Su Bun Seng juga ikut tertawa gelak
hingga badannya bergoyang-goyang.
Sementara itu di dalam ruang rahasia, Ouw Yang Hong melayani
Cen Tok Hang dengan penuh perhatian dan kesabaran,
memberikannya makan dan minum, namun Cen Tok Hang hanya
selalu makan sedikit.
Mendadak terdengar suara hiruk pikuk di luar, maka tersentak Ouw
Yang Hong, dan langsung bertanya kepada Cen Tok Hang.
"Suhu, apa yang terjadi di luar?"
Cen Tok Hang mendengarkan suara hiruk pikuk itu dengan penuh
perhatian, kemudian tertawa dingin seraya menyahut.
"Aku duga pasti Cha Ceh Ih menyuruh semua orang mencari ruang
rahasia ini."
Bukan main terkejutnya Ouw Yang Hong.
"Suhu, mereka pasti akan mencari sampai di sini!" katanya.
"Kau tidak baik-baik mempelajari ilmu Ha Mo Kang. Begitu keluar
pasti mati, takut juga percuma," kata Cen Tok Hang.
Ouw Yang Hong menundukkan kepala, dan berpikir. Suhu
menghendakiku berlaku kejam terhadap orang, juga harus
membunuh orang. Aku justru tidak bisa berlaku kejam, dan tidak
sudi membunuh orang. Itu pasti akan mengecewakan suhu. Tapi
bagaimana mungkin aku dapat melakukan itu?
Di saat Ouw Yang Hong sedang berpikir, mendadak terdengar suara
menderu-deru di luar, seakan timbul angin topan.
"Suhu, mengapa di luar timbul angin topan?" tanya Ouw Yang Hong.
Cen Tok Hang tertawa.

"Itu bukan suara angin topan, melainkan dia mulai membakar
perkampungan ini," sahutnya.
Dapat dibayangkan betapa terperanjatnya Ouw Yang Hong.
"Suhu! Kalau begitu, bagaimana cara kita keluar?"
"Bagaimana cara kita keluar? Kau dan aku pasti akan mati di sini.
Aku memang sudah hampir mati. Ruang ini merupakan kuburanku.
Kau menemaniku di sini, sungguh bagus sekali!"
Usai menyahut, orang tua itu lalu memejamkan matanya,
kelihatannya ingin beristirahat.
Ouw Yang Hong jadi gugup dan panik. Bagaimana cara keluar?
Kalau aku tidak keluar, bukankah akan mati sia-sia di ruang ini? Dia
semakin panik, berlari ke sana ke mari di dalam ruang rahasia itu,
akhirnya melihat sebuah batu besar. Dia yakin batu besar itu
merupakan jalan ke luar, maka segera didorongnya batu besar itu
dengan sekuat-kuatnya. Akan tetapi, batu besar itu tak bergeming
sedikit pun. Ouw Yang Hong berhenti mendorong, lalu
memperhatikan batu besar tersebut. Bukan main girangnya, karena
melihat sebuah tombol kecil di sisi batu besar itu.
Ouw Yang Hong cepat-cepat menekan tombol kecil itu, namun batu
besar tersebut tetap tidak bergeming. Setelah menekan beberapa
kali, barulah Ouw Yang Hong tahu, bahwa tombol kecil itu sudah
tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Dia jatuh duduk. Sekujur
badannya merasa tak bertenaga, kemudian berkata dalam hati.
Bagus! Kali ini aku mau jadi orang jahat, tapi tidak bisa, hanya bisa
jadi setan jahat di alam baka! Seketika timbul rasa gusarnya. Dia
membentak keras sambil bangkit berdiri, lalu memukul-mukul tombol
kecil itu sekuat tenaganya. Tapi batu besar itu tetap tak bergeming,
malah akhirnya tangannya yang berdarah.
Ouw Yang Hong menghela nafas panjang. Dia mendekati Cen Tok
Hang, lalu duduk di hadapan orang tua itu dengan mulut
membungkam.

Cen Tok Hang menatapnya, lalu tertawa dingin seraya berkata.
"Lebih baik kau tidak keluar. Kalau kau keluar sekarang, pasti akan
mati di tangan Cha Ceh Ih, bahkan dia akan menganiayaimu dulu,
agar kau menderita dan tersiksa."
Ouw Yang Hong diam. Matanya terus memandang Cen Tok Hang,
namun hatinya justru teringat pada kakaknya dan Bokyong Cen,
sehingga timbul pula rasa dukanya dalam hati.
Saat itu yang paling dibenci Ouw Yang Hong adalah Cen Tok Hang.
Orang tua itu bukan guru yang baik. Setiap hari sekeluarga hanya
saling membunuh tak henti-hentinya, bagaimana mungkin bisa
menjadi seorang penjahat besar di dunia persilatan? Itu cuma
omong kosong belaka!
Cen Tok Hang memandangnya, kemudian berkata perlahan-lahan.
"Katakan! Kau mau belajar ilmu Ha Mo Kang atau tidak?"
"Kalaupun aku belajar ilmu Ha Mo Kang, juga belum tentu dapat
menyelamatkan nyawaku sendiri. Untuk apa aku belajar ilmu itu?"
sahut Ouw Yang Hong.
Cen Tok Hang tertawa gelak.
"Ha ha ha! Bocah, kau meremehkan ilmu silat Perkampungan Liu
Yun Cun, seharusnya kau mati! Dengarlah! Pada masa itu aku
menggunakan ilmu Ha Mo Kang, dapat menghancurkan sebuah batu
besar dari jarak satu depa!"
Hati Ouw Yang Hong tersentak. Dia tahu Cen Tok Hang tidak
membual.
"Apabila aku berhasil menguasai ilmu Ha Mo Kang, bisakah aku
keluar dari sini?" tanyanya segera.
Cen Tok Hang menyahut dengan sungguh-sungguh.

"Kalau kau berhasil menguasai ilmu Ha Mo Kang, bukan cuma bisa
keluar dari sini, bahkan kau pun dapat malang melintang di kolong
langit. Tapi kau harus bersumpah di hadapanku, setelah keluar asiri
sini, harus membunuh para penghuni Perkampungan Liu Yun Cun,
sebab para penghuni itu terdiri dari keluarga Cu Kuo Cia, Su Bun
Seng,
Ciok Cuang Cak dan lainnya. Kau pun harus membunuh Cha Ceh Ih.
Maukah kau melakukan itu?"
"Suhu, mengapa kita harus membunuh begitu banyak orang?" tanya
Ouw Yang Hong.
"Kau kira aku sudi membunuh orang? Mereka berada di luar, sama
sekali tidak memikirkan kita berdua. Kalau mereka memikirkan kita,
tentunya tidak akan membakar perkampungan ini, artinya mereka
ingin membakar kita hingga mati hangus! Kau kira mereka berniat
baik terhadapmu? Asal kau berkecimpung di dunia persilatan, begitu
mereka tahu, pasti menggunakan berbagai macam rencana busuk
untuk menghadapimu! Jika kau tidak bisa ilmu Ha Mo Kang, mereka
menggunakan racun, kau pasti mati!"
Apa yang dikatakan Cen Tok Hang, membuat Ouw Yang Hong terus
berpikir. Harus bagaimana? Apabila tidak belajar ilmu Ha Mo Kang,
tentunya akan mati di ruang ini.
Setelah berpikir, beberapa saat kemudian barulah dia berkata
dengan suara rendah.
"Suhu, aku mau belajar."
Cen Tok Hang menatapnya dengan tajam, hatinya merasa gembira
dan kemudian dia berkata.
"Aku melakukan sesuatu sudah enam puluh tahun, begitu pula
malang melintang di dunia persilatan. Selama ini tiada seorang pun
yang mampu menghalangiku. Namun aku melakukan sesuatu,
sama sekali tidak menimbulkan suara, maka tidak begitu banyak
kaum rimba persilatan tahu tentang Perkampungan Liu Yun Cun.

Padahal aku ingin melakukan sesuatu yang menggemparkan. Tapi
ketika aku berusia empat puluh tahun, aku bergebrak dengan
susiokmu. Dia terluka parah dan aku pun terluka parah, sehingga
niatku untuk melakukan sesuatu yang menggemparkan, justru
kandas begitu saja. Kalau kau berhasil menguasai ilmu Ha Mo Kang,
hanya takut pada seorang jenius masa itu, dia bernama Oey Sang.
Aku pernah dengar, ketika itu di Tionggoan muncul sebuah kitab
pusaka, yaitu kitab pusaka Kiu Im Cin Keng. Orang tersebut yang
menulis kitab pusaka itu. Seandainya kau berhasil keluar dari sini,
kau harus segera pergi mencari kitab pusaka itu, sekaligus
mempelajarinya."
Ouw Yang Hong mendengarkan cerita itu dengan penuh perhatian,
sebab dia tahu Cen Tok Hang berkata dengan sungguh-sungguh.
Tentang kitab pusaka Kiu Im Ci Keng, kakaknya pergi, ke Tionggoan
justru mencari kitab pusaka tersebut. Oleh karena itu, dia manggutmanggut.
Cen Tok Hang melanjutkan.
"Aku pikir, kitab pusaka Kiu Im Cin Keng memang merupakan kitab
pusaka yang aneh dan hebat. Aku pernah mendengar dari orang,
bahwa kini kitab tersebut jatuh di tangan Ong Tiong Yang, ketua
muda Partai Coan Cin Kauw. Kalau kau ke sana, sudah pasti harus
bertarung dengannya. Dia adalah ketua Partai Coan Cin Kauw,
tentunya tidak akan menyerahkan kitab pusaka begitu saja
padamu."
Ouw Yang Hong terus mendengarkan. Keitika teringat akan dirinya
menjadi seorang racun tua, ke Tionggoan merebut kitab pusaka Kiu
Im Cin Keng, dirinya bukan seorang sastrawan lemah lagi, yang
selalu dihina orang. Hal itu membuatnya ber-girang dalam hati,
bahkan amat terharu pula.
Dia segera menjatuhkan diri berlutut di hadapan Cen Tok Hang,
bersujud dengan hormat sekali, sambil memanggut-manggutkan
kepalanya sampai sembilan kali. Setelah itu, dia pun bersumpah
berat di hadapan orang tua itu.

"Teecu Ouw Yang Hong telah mengambil ke-putusan untuk menjadi
pewaris Racun Tua Cen Tok Hang. Seumur hidup teecu akan berlaku
kejam dan jahat di dunia persilatan, dan melakukan sesuatu tidak
akan sama seperti orang lain. Setelah teecu berhasil menguasai ilmu
Ha Mo Kang, keluar dari sini pasti teecu membunuh Susiok Cha Ceh
Ih dan seluruh penghuni Perkampungan Liu Yun Cun . . ."
Bersumpah sampai di situ, Ouw Yang Hong mendongakkan
kepalanya memandang Cen Tok Hang seraya bertanya. "Suhu,
apakah teecu juga harus membunuh para pelayan di perkampungan
ini?"
Cen Tok Hang menyahut dengan lantang.
"Bunuh! Mengapa tidak bunuh mereka? Kau harus membunuh
mereka! Siapa suruh mereka tidak ke mari menyelamatkan kita?
Mereka melihat aku tidak ada, maka mereka pun pergi! Karena itu,
mereka harus dibunuh!"
Ouw Yang Hong melanjutkan sumpahnya.
"Aku pun akan membunuh para pelayan, baik yang kecil, muda
maupun yang tua. Aku pasti membunuh mereka semua! Kalau teecu
Ouw Yang Hong tidak melakukannya, pasti akan mati secara
mengenaskan!"
Bukan main girangnya hati Cen Tok Hang setelah mendengar
sumpah Ouw Yang Hong itu.
"Kau kucari justru ingin kujadikan pewarisku. Kini kau akan
melanjutkan niatku, bukankah sepertinya aku hidup kembali?"
Usai berkata begitu, Cen Tok Hang mengucurkan air mata,
kelihatannya hatinya amat terhibur.
Ouw Yang Hong terus berlutut. Dia mendengarkan dengan penuh
perhatian ketika Cen Tok Hang menjelaskan ilmu Iwee kang Ha Mo
Kang. Setelah itu, Cen Tok Hang berkata.

"Kau harus tahu, lwee kang Ha Mo Kang amat sulit dipelajari. Ketika
susiokmu masih kecil, secara diam-diam melatih Iwee kang Ha Mo
Kang, sehingga mengalami kesesatan. Sejak itu dirinya tidak bisa
tumbuh besar, malah menuduhku mencelakainya. Oleh karena itu,
dia amat membenciku. Kau adalah orang yang cerdik, harus dengar
baik-baik dan ingat selalu apa yang kuberitahukan."
Cen Tok Hang menjelaskan lagi mengenai Iwee kang Ha Mo Kang,
dan Ouw Yang mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Tenaga besar seperti tidak ada, tidak berjalan lima langkah, harus
mengerahkan hawa yang ada di dalam tubuh . . ."
Cen Tok Hang hanya menjelaskan dua kali, tapi Ouw Yang Hong
sudah paham akan inti pelajaran Iwee kang Ha Mo Kang. Itu
sungguh mengejutkan Cen Tok Hang. Kemudian dia berkata dalam
hati. Kalau aku dalam keadaan sehat, melihatnya begitu jenius,
tentu menjadi tidak enak tidur. Setelah aku membunuhnya barulah
hatiku bisa tenang. Orang ini sedemikian jenius, sedangkan diriku
sudah sekarat. Sungguh beruntung diriku! Setelah aku mati, tidak
akan merasa penasaran lagi.
Ilmu Ha Mo Kang merupakan semacam Iwee kang sesat. Namun
setelah belajar Ha Mo Kang, tidak sulit untuk belajar ilmu lain.
Ouw Yang Hong terus berlatih sesuai dengan petunjuk Cen Tok
Hang. Gerakannya persis seperti kodok berloncat-loncatan, namun
amat aneh dan penuh mengandung Iwee kang.
Cen Tok Hang mengajarnya dengan sepenuh hati, sedangkan Ouw
Yang Hong berlatih dengan sungguh-sungguh. Sepuluh hari
kemudian, Ouw Yang Hong sudah berhasil menguasai ilmu tersebut.
Malam harinya, ketika Cen Tok Hang tidur pulas, Ouw Yang Hong
bangun lalu mendekati mulut goa. Ternyata dia masih ingat akan
perkataan gurunya itu, bahwa asal dia berhasil menguasai ilmu Ha
Mo Kang, maka bisa membuka mulut goa tersebut. Maka malam itu
Ouw Yang Hong ingin mencobanya. Apabila berhasil membuka mulut
goa itu, dia akan meninggalkan tempat itu bersama gurunya.

Ouw Yang Hong berjongkok seperti kodok, menghimpun Iwee kang,
lalu menghantam ke arah mulut goa itu.
Seketika terdengar suara bergemuruh. Ouw Yang Hong segera
meloncat ke samping, lalu memandang mulut goa. Tampak tanah
meleleh, namun tidak terlihat jalan keluar. Hatinya menjadi dingin
dan berpikir. Berdasarkan kungfunya, mungkin sulit baginya untuk
meninggalkan tempat ini. Guru mendustaiku! Guru mendustaiku!
Teriaknya dalam hati sambil memandang mulut goa itu. Kalau
gurunya mati, bukankah akan tinggal dirinya sendiri di tempat
tersebut?
Ouw Yang Hong menjadi putus asa. Perasaan sedih dan kecewa
membaur menjadi satu. Berselang sesaat, barulah dia kembali ke
ruang batu, lalu duduk dengan nafas memburu.
Mendadak Cen Tok Hang bersuara.
"Kau sudah pergi mencoba, apakah tidak berhasil membuka mulut
goa itu?"
"Tidak salah," sahut Ouw Yang Hong dengan lesu.
"Kalau kau baru sekali turun tangan sudah berhasil membuka mulut
goa itu, tentunya sungguh menakjubkan! Kau baru berhasil
menguasai ilmu Ha Mo Kang, sudah pasti belum bisa membuka
mulut goa itu. Kalau aku tidak terluka parah, pasti bisa membuka
mulut goa itu."
Ouw Yang Hong diam Gurunya memang terluka parah, bagaimana
mungkin mengerahkan Iwee kang untuk mendorong pintu goa itu?
Sedangkan Iwee kangnya masih dangkal, apakah mereka berdua
tidak dapat keluar selamanya?
Sudah tiga bulan mereka berdua berada di dalam ruang rahasia itu.
Kian hari kondisi badan Cen Tok Hang kian melemah. Ouw Yang
Hong tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menyaksikan gurunya
dalam keadaan sekarat. Kini Iwee kang Ouw Yang Hong semakin

maju. Dia telah menguasai Iwee kang Ha Mo Kang sebanyak empat
bagian.
Hari ini Cen Tok Hang memanggil Ouw Yang
Hong. Dipandangnya Ouw Yang Hong dengan mata sayu.
"Ouw Yang Hong, mulai hari ini kau adalah penjahat si Racun Tua
yang jarang ada di kolong langit. Mudah-mudahan kau tidak
melupakan kebencian dan dendam!"
Air mata Ouw Yang Hong meleleh.
"Suhu telah menolongku, aku amat berterima-kasih pada Suhu.
Bagaimana mungkin aku membenci Suhu?" katanya terisak-isak.
Cen Tok Hang menghela nafas panjang.
"Kau membenciku juga tidak apa-apa. Namun kau jangan lupa akan
sumpahmu itu. Kalau kau tidak melaksanakannya, biar mati pun aku
tidak akan melepaskanmu."
Ouw Yang Hong manggut-manggut.
"Kungfu perguruan kita ini ada pula semacam kungfu yang disebut
Hua Kang Tay Hoat (Ilmu Menyedot Lwee Kang). Asal kau menyedot
Iwee kangku, pasti dapat keluar dari ruang rahasia ini. Telapak
tanganmu harus ditaruh pada Keng Tiong Kiatku."
Usai berkata, Cen Tok Hang bangkit berdiri. Akan tetapi, Ouw Yang
Hong justru berteriak-teriak.
"Tidak, tidak! Suhu, aku tidak akan melakukan itu!"
"Apakah kau adalah murid dari perguruan Kiu Sia Tok Ong?
Mengapa mengerjakan sesuatu harus bertele-tele? Itu bukan sifat
dari perguruan kita!" kata Cen Tok Uang.

Setelah berkata begitu, mendadak dia ber teriak-teriak sekeraskerasnya.
"Ouw Yang liong! Kalau kau tidak mendengar kataku, aku pasti mati
penasaran dan mataku tidak akan dapat dipejamkan!"
Orang tua itu berjalan ke hadapan Ouw Yang Hong, kemudian
dengan tiba-tiba dia menyambar tangan Ouw Yang Hong, lalu
ditaruh pada Keng Tiong Hiatnya.
Sesungguhnya Ouw Yang Hong tidak sudi berbuat begitu. Namun
ilmu Ha Mo Kang merupakan ilmu yang amat aneh. Jika dia semakin
meronta justru membuat Iwee kangnya semakin besar pula
menerjang keluar, sehngga telapak tangannya menempel pada Keng
Tiong Hiat gurunya, maka dia tidak bisa bergerak lagi.
Apa boleh buat, dia terpaksa harus memusatkan perhatiannya untuk
menyedot Iwee kang gurunya.
Ketika Ouw Yang Hong mulai menyedot Iwee kang Cen Tok Hang,
orang tua itu merasa nyaman.
Berselang beberapa saat kemudian, mendadak Cen Tok Hang
menjerit.
"Aduuuh!"
Badannya terlepas dari tangan Ouw Yang Hong, lalu terkulai. Ouw
Yang Hong segera memapahnya, namun wajah gurunya semakin
pucat pias, bahkan nafasnya memburu.
Itu membuat Ouw Yang Hong langsung menangis terisak-isak.
"Suhu! Suhu! Mengapa Suhu menyusahkan diri sendiri . . .?" katanya
dengan suara gemetar.
"Ouw Yang Hong, ingatkah kau akan perkataanku?" tanya Cen Tok
Hang.
Ouw Yang Hong mengangguk, tak mampu berkata apa-apa.

"Kau harus ingat akan perkataanku. Jadi . . . seorang penjahat harus
melakukan sesuatu yang menggemparkan ..." kata Cen Tok Hang.
Nafas orang tua itu semakin lemah, membuat hati Ouw Yang Hong
seperti tersayat. Suhu tidak begitu baik terhadap kelima muridnya,
tapi amat baik terhadapku. Aku berhutang budi padanya. Aku harus
mendengar perkataan suhu, jadi seorang penjahat yang jarang ada
di kolong langit. Aku harus membunuh susiok, kelima suheng dan
para penghuni Perkampungan Liu Yun Cun. Katanya dalam hati.
Ouw Yang Hong duduk beristirahat. Dia tahu Iwee kangnya sudah
amat tinggi, karena menyedot iwee kang suhunya yang telah
berlatih selama enam puluh tahun. Itu membuat hatinya girang dan
sedih, sebab Cen Tok Hang telah berkorban demi dirinya. Aku harus
keluar. Aku percaya akan perkataan suhu. Aku pasti bisa keluar!
Begitu keluar, aku pasti membalaskan dendam suhu, membunuh
mereka semua, agar suhu dapat tenang di alam baka! Pikir Ouw
Yang Hong, lalu bersujud di hadapan Cen Tok Hang.
"Suhu, aku mau pergi. Kalau benar apa yang dikatakan Suhu, aku
pasti bisa keluar. Setelah aku keluar, aku pasti membalas
dendammu."
Ouw Yang Hong segera mendekati mulut goa, lalu menatap lekatlekat
batu besar itu. Dia menarik nafas dalam-dalam sambil
mengerahkan Iwee kang, kemudian mendorong ke arah batu besar
itu.
***
Sementara itu, ketika Ciok Cuang Cak, Su Bun Seng, Cu Kuo Cia dan
C ha Ceh Ih sedang bercakap-cakap di atas tumpukan puing-puing.
Mendadak terdengar suara mengggelegar dari kamar istirahat Cen
Tok Uang, dan tampak bayangan mencelat ke atas setinggi
beberapa depa, lalu melayang turun. Bayangan itu ternyata sesosok
manusia.

Mereka berempat tersentak kaget, dan langsung meloncat ke
belakang. Orang yang baru melayang turun itu berdiri tertegun,
kemudian menengok ke sana ke mari dengan mata terbelalak.
Orang itu berpakaian biru, yang sobek-sobek dan rambutnya awutawutan.
Kemunculannya yang mendadak sungguh menyerupai
arwah penasaran.
Cha Ceh Ih segera mendekatinya.
"Siapa kau?" tanyanya dengan suara keras.
Orang tersebut menyingkap rambutnya, kemudian tertawa dingin
dengan nada yang amat tajam. Bukan main terkejutnya Cha Ceh Ih,
sebab suara tawa orang itu penuh mengandung lwee kang, pertanda
dia berkepandaian amat tinggi.
"Siapa kau?" tanya Cha Ceh Ih lagi dengan suara keras pula.
"Apakah Susiok sudah tidak mengenaliku lagi?" Orang itu balik
bertanya dengan suara dalam.
Pertanyaan tersebut membuat Cha Ceh Ih tersentak. Dia menatap
orang itu dengan penuh perhatian. Orang itu ternyata Ouw Yang
Hong. Ketika mengetahui orang itu adalah Ouw Yang Hong, Cha Ceh
Ih bergirang dalam hati. Pada hal dia mengira Cen Tok Hang dan
Ouw Yang Hong telah mati di ruang rahasia itu, siapa tahu Ouw
Yang Hong masih hidup. Oleh karena itu, dia tertawa gembira seraya
berkata.
"Ouw Yang Hong, di mana suhumu? Kenapa dia tidak keluar
bersamamu?"
"Kau ingin membunuh suhuku, tapi mengapa masih menaruh
perhatian padanya?" Ouw Yang Hong balik bertanya.
"Suhumu sudah mati, bukan?" kata Cha Ceh Ih dengan gembira.

Ouw Yang Hong menengadahkan kepala, memandang rembulan
yang tertutup awan hitam.
"Suhu memang sudah mati," sahutnya kemudian.
Cha Ceh Ih bertepuk tangan, lalu berkata dengan wajah berseri-seri.
"Bagus! Racun Tua itu telah mati! Itu betul-betul kemauan kita! Ouw
Yang Hong, ketika Racun Tua itu mati, apakah dia menurunkan ilmu
lwee kang Ha Mo Kang kepadamu?"
Ouw Yang Hong merasa muak dalam hati. Tak disangka orang-orang
Perkampungan Liu Yun Cun, sama sekali tidak menaruh perhatian
akan kematian Cen Tok liang. Tapi, ternyata ketika gurunya mati, dia
sendiri yang menunggunya di dalam ruang rahasia. Oleh karena itu,
Ouw Yang Hong menghela nafas panjang.
Cha Ceh Ih menatapnya, kemudian bertanya lagi.
"Suhumu menurunkanmu ilmu Ha Mo Kang?"
Ouw Yang Hong manggut-manggut. Dia sudah bersiap-siap, karena
yakin susioknya itu punya suatu rencana busuk.
Cha Ceh lh tertawa gembira dan memandang Ouw Yang Hong.
"Ouw Yang Hong, maukah kau menurunkan Ha Mo Kang itu
padaku?" tanyanya dengan sungguh-sungguh.
Ketika mendengar pertanyaan itu, Ouw Yang Hong tertawa. Sampai
lama sekali barulah dia menyahut.
"Susiok mau belajar ilmu Ha Mo Kang, terpaksa harus berguru
padaku. Kalau Susiok berguru padaku, bukankah tingkatan Susiok
akan berubah rendah dariku? Itu sungguh tidak baik, bukan?"
Wajah Cha Ceh Ih berseri-seri.
"Ouw Yang Hong, aku tumbuh seperti anak kecil, berguru padamu
juga tidak akan merasa malu. Apalagi kau satu-satunya ahli waris

perguruan kita. Maka apabila aku berguru padamu, akan menambah
cemerlang perguruan kita."
Anda sedang membaca artikel tentang Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Seri Racun Dari Barat 3 dan anda bisa menemukan artikel Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Seri Racun Dari Barat 3 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cersil-pendekar-pemanah-rajawali-seri_8945.html?m=0,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Seri Racun Dari Barat 3 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Seri Racun Dari Barat 3 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Seri Racun Dari Barat 3 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cersil-pendekar-pemanah-rajawali-seri_8945.html?m=0. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar