Cersil Online : Pendekar Pemanah Rajawali Serial 14

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Sabtu, 17 Desember 2011

Pemuda ini tidak berani banyak omong lagi, ia mengundurkan diri, akan balik ke kemahnya. Ia bingung dan berduka.
Melihat sikapnya anak muda itu, Yoe Kiak heran, ia menanya apa sebabnya. si anak muda menuturkannya. ” Itulah tidak apa,” Yoe Kiak menghiburkan.
sorenya, Yoe Kiak masuk ke dalam kemah, ia kata pada pemuda itu: ” Kalau tahu begini, ketika berangkat dari selatan tentulah aku membawa kitab ilmu perang dari sun Bu Cu atau kitabnya Kiang Thay Kong, dengan begitu, bereslah semua.” Mendengar ini, mendadak Kwee Ceng ingat kitab peninggalan Gak Hui. “Ah, mengapa aku melupakannya?” pikirnya. “Bukankah itu kitab ilmu perang?”
Ia lantas mengeluarkan kitabnya Gak Hui itu, lantas ia membaca. Dan ia membaca terus-terusan hingga malam itu ia lupa tidur dan lupa dahar. Paginya ia masih melanjuti membaca. sampai tengah hari barulah ia letih dan kantuk.
Kitabnya Gak Hui itu lengkap memuat segala apa mengenai pengaturan tentara dan berperang, umpama siasat menyerang dan membela diri, mendidik tentara, mengendalikan kepala-kepala perang, maka itu, si anak muda menjadi ketarik, Ketika itu hari ia membacanya di dalam perahu, perhatiannya kurang, sekarang lain. Tapi adabagian-bagiannya yang kurang jelas, maka ia mengundang Yoe Kiak dan minta tiang lo itu tolong menjelaskan.
“sekarang ini aku juga kurang mengerti,” berkata si pengemis. “Nanti aku pikirkan dulu, sebentar aku mencoba menjelaskannya.”
Dan ia mengundurkan diri Tidak lama ia kembali lagi, lalu ia menjelaskannya, dengan sempurna.
Bukan main girangnya Kwee Ceng, maka saban-saban ia minta bantuannya tiang lo itu. sebaliknya Yoe Kiak aneh. setiap kali ia ditanyakan, tidak dapat ia menjawab seketika juga, mesti ia berlalu dulu, untuk memikirkan dan memahamkannya, katanya setelah ia balik lagi, sebera ia bisa mengasih keterangan dengan baik sekali. Mulanya Kwee Ceng tidak memperhatikan itu, sesudah lewat beberapa hari, ia menjadi heran dan curiga. Maka ia ingin mencoba. Demikian itu malam, ia undang Yoe Kiak. La menanyakan satu huruf. “Nanti aku pikirkan,” berkata sitianglo yang lantas mengundurkan diri
” Kalau satu soal, pantas itu dipikirkan,” pikir Kwee Ceng seberlalunya si pengemis, “Akan tetapi ini hanya satu huruf, mustahil itu tidak dapat segera diartikannya?”
Maka ini kepala perang mudah lantas menyusul dengan diam-diam pada pengemis itu, untuk mencari tahu apa yang orang perbuat.
Loe Yoe Kiak bertindak cepat ke arah sebuah kemah kecil. Tidak lama ia berdiam di
dalam kemah itu, lantas ia kembali. Kwee Ceng lekas kembali ke kemahnya. Yoe Kiak menyusul dengan cepat.
“Sekarang aku telah mengerti,” kata si pengemis, yang terus menjelaskannya. Kwee Ceng lantas tertawa.
“Lou Tiang lo” katanya, “Kalau kau mempunyai guru, mengapa kau tidak mengundang dia untuk bertemu sama aku?” Pengemis itu melengak.
“Tidak” sangkalnya. Kwee Ceng menggenggam tangan orang.
“Mari kita pergi melihat” katanya. Dan ia berjalan sambil menuntun, untuk pergi ke kemah kecil tadi.
Di depan kemah itu ada menjaga dua orang pengemis, kapan mereka itu melihat Kwee Ceng datang, keduanya berbatuk satu kali. Mendengar itu, si anak muda melepaskan tangannya Yoe Kiak, ia lompat ke tenda untuk menyingkap. Ia melihat tenda bagian belakang bergerak, seperti bekas orang keluar dari situ. Ia memburu terus.
Tiba di belakang tenda, ia menampak rumput tebal, tidak ada orang di situ. Ia heran hingga ia berdiri dia saja. Kemudian ia menanyakan Yoe Kiak. Tianglo ini mengasih tahu bahwa kemah
itu kemahnya sendiri, tidak ada lain orang tinggal bersama dengannya. Ia heran dan masgul, ia tetap bercuriga.
setelah itu, kalau Kwee Ceng menanyakan sesuatu kepada Yoe Kiak. pengemis ini baru dapat menjawab di hari besoknya. Karena ini ia percaya benar, di sana mesti ada seorang lain, hanya orang tidak sudi menemui padanya. sebab orang tidak bermaksud jahat, selanjutnya ia tidak memaksa ingin mengetahui orang itu, ia membiarkannya saja.
selama belum berangkat perang, Kwee Ceng bekerja. Malam ia membaca kitab dan memahamkannya, mengingatnya baik-baik, siang ia melatih tentaranya, melatih berbaris dan berperang juga. Tentara Mongolia itu biasa berperang di tempat terbuka dengan menuruti caranya sendiri, sekarang mereka terlatih, tugas itu berat, tetapi mereka mesti menurut perintah, mereka terpaksa melakukannya.
satu bulan lebih Jenghiz Khan bersiap sedia terutama di bagian rangsum, selama itu Kwee Ceng telah berhasil melatih tentaranya itu hingga pasukannya mengerti apa yang dinamakan delapan barisan Thian-hok Tee-cay, Hong- yang, In-sui, Liong- hui, Houw-ek. Niauw-siang dan coa-poan, yang berdasarkan barisan rahasianya Cu-kat Liang, hanya di tangan Gak Hui, barisan itu diubah pula.
Kemudian datanglah hari yang ditunggu-tunggu. Lima belas laksa serdadu berkumpul di tanah datar selagi udara bersih dan nyaman. Di situ Jenghiz Khan mengadakan sembahyang kepada langit dan bumi, untuk bersumpah untuk keberangkatannya pergi berperang. Kepada semua panglima perangnya ia kata: “Batu itu tidak ada kulitnya, jiwa manusia ada habisnya, lihat sekarang rambut kepala dan kumisku sudah putih semua, maka itu, dengan kepergian perang ini, belum tentu aku dapat pulang dengan masih hidup, karenanya ini hari hendak aku mengangkat seorang putra mahkota, supaya semeninggalnya aku, dia dapat menggantikan aku mengangkat benderaku yang agung ini”
Mendengar kata-kata itu, yang tidak disangka, orang heran berbareng girang. Heran sebab itulah luar biasa, dan girang karena memang Khan itu perlu memilih ahli warisnya. semua mata lantas diawasi kepada pemimpin mereka itu, untuk mendengar disebutkannya nama calon penggantinya .
“Juji, kaulah putra sulungku,” berkata Jenghiz Khan, “Kau bilang, aku harus memilih siapa?”
Juji kaget di dalam hatinya. Dia pandai bekerja, dia paling banyak jasanya, dia pula putra sulung, maka dia percaya kalau nanti ayahnya menutup mata, dengan sendirinya dia bakal menggantikannya ayah itu. sekarang dia ditanya secara mendadak. Tidak dapat dia segera memberikan jawabannya.
Putra yang kedua dari Jenghiz Khan,jagatai, bertabiat keras, dengan kakaknya itu ia memang tidak akur, maka itu mendengar pertanyaan ayahnya itu dan melihat si kakak menjublak, dia kata dengan keras- “Juji hendak disuruh berbicara, dia hendak diperintah apakah? Apakah dapat kami dibiarkan diperintah oleh anak campuran bangsa Mergid?”
Ada sebabnya kenapa Jagatai mengatakan demikian. pada mulanya, pasukannya Jenghiz Khan lemah, itu waktu istrinya kena dirampas bangsa Mergid yang menjadi musuhnya, tempo istri itu kembali, ia sedang hamil, kemudian terlahirlah Juji. Meski demikian adanya si putra sulung Jenghis Khan menerimanya dengan baik, dia memandang si putra sebagai putra sejati. Maka hebatlah sikapnya Jagatai ini.
Bukan main gusarnya Juji kepada adiknya itu, ia berlompat dan menjambak dadanya si adik, Ia membentako “Ayah sendiri tidak memandang aku sebagai orang luar, kenapa kau begitu menghina aku? Kepandaian apa kau mempunyai yang dapat melebihkan aku? Kau cuma menang jumawa Marilah kita bertanding Jikalau dalam hal mengadu panah aku kalah dari kau, aku akan mengutungi jari jempolku Jikalau kita bertempur dan aku terkalahkan, akan aku rebah di tanah untuk selama-lamanya dan tidak akanbangunpula” Ia lantas berpaling kepada jenghiz Khan dan berkata. “Ayah silahkan ayah mengeluarkan firman mu” Jagatai tidak suka dijambak. dia melawan maka dua saudara itu sudah lantas berkutat.
Beberapa panglima segera maju untuk memisahkan. Borehu menarik tangan Juji dan Mukhali menarik tangannya Jagatai.
Jenghiz Khan berdiam, air mukanya muram. Ia ingat masa mudanya itu di waktu mana sekalipun kehormatan istrinya tidak sanggup membelanya, hingga sekarang terjadilah percederaan yang hebat ini.
Banyak panglima mempersalahkan Jagatai, yang dikatakan tidak seharusnya berbuat demikian hingga dia menyebabkan orang tuanya menjadi berduka.
Diakhirnya Jenghiz Khan berkata juga “Kamu berdua meletaki tangan kamu Juji putraku yang sulung, aku memang mencintai dan menghargai dia, maka itu mulai hari ini dan selanjutnya, aku larang siapa juga bicara tentang dia”
Jagatai melepaskan tangannya, ia tertawa dan berkata: “Juji memang gagah, siapa pun mengetahuinya. Hanya dia kalah dari adik ketiga ogotai dalam hal kemurahan hati, maka itu aku memilih ogotai”
“Juji, kau bagaimana?”Jenghiz Khan tanya putra sulungnya.
Juji dapat melihat suasana, ia tidak mempunyai harapan lagi, karena ia baik dengan ogotai dan mengetahui baik hati murah dari adik ini, dan ia percaya juga di belakang hari sang adik tidak bakal mencelakai padanya, ia menjawab “Baiklah Aku juga memilih ogotai”
Putra keempat, Tuli, tidak menentang pemilihan itu, maka itu Jenghiz Khan lantas mengadakan pesta, guna mengangkat dan meresmikan keangkatan putra mahkota itu.
Perjamuan berjalan sampai jauh malam, baru bubar.
Kwee Ceng pulang ke kemahnya dengan rada pusing, disaat ia hendak membuka baju, untuk tidur, satu serdadu pengiringnya lari masuk ke dalam kemahnya itu dan melaporkan: “Huma, hebat Pangeran sulung dan pangeran kedua, yang telah minum hingga mabuk. telah membawa pergi masing-masing senjatanya untuk bertempur satu pada lain”
Pemuda itu kaget bukan main. “Lekas laporkan kepada Kha Khan” ia memerintahkan.
“Kha Khan juga sudah mabuk dia telah dipanggil-panggil tetapi tidak dapat mendusin”
Kwee Ceng menjadi bingung. Hebat kalau dua saudara itu bertempur, sedangmereka mempunyai masing-masing pengikut dan tentaranya. Pula hebat akibatnya untuk angkatan perang Mongolia seumumnya. Ia berjalan mondar-mandir. Ia mengoceh seorang diri “Kalau Yong-jie ada di sini, dla dapat mengajari aku apa yang aku mesti lakukan”
sementara itu terdengar suara riuh, tanda dua pasukan hendak mulai bertempur.
Mendengar itu, pemuda itu menjadi semakin bingung. Tiba-tiba saja Lou Yoe Kiak datang masuk dan menyodorkan sehelai kertas di atas mana ada ini tulisan: “pakailah barisan Coa-poan untuk memisahkan kedua pasukan, lalu menggunai barisan Houw-ek untuk mengurung dan menawan yang tidak sudi menyerah.”
selama ini Kwee Ceng telah membaca hapal bunyinya kitab Gak Hui, maka itu begitu melihat surat itu, ia sadar. Ia menyesalkan dirinya: “Kenapa aku begini tolol hingga aku tidak dapat mengingat ini? Perlu apa aku membaca kitab ilmu perang?” segera ia menitahkan pasukan parangnya bersiap.
Tentara Mongolia telah terlatih baik, tata tertibnya sempurna, biar banyak yang sudah mabuk. begitu titah dikeluarkan, begitu mereka bersiap hingga sebentar saja. Mereka sudah berbaris rapi. Kwee Ceng lantas memimpin mereka memburu ke timur laut, sampai beberapa lie. Di sana ia menerima laporan, kedua pihak pasukannya Juji dan Jagatai sudah berhadapan dan pertempurannya mungkin telah dimulai. Ia pun lantas mendengar teriakan riuh dari tentara kedua pangeran itu
“jangan-jangan aku terlambat” pikirnya bingung sekali. “jangan-jangan bencana besar tak dapat dicegah pula” Tapi ia masih ingat untuk memberikan titah- titahnya, mengatur barisannya, Coa-poan-tin, atau barisan ular, yang ia titahkan terlebih jauh untuk menghalang di antara pasukan-pasukan kedua saudara yang lagi menuruti nafsu amarahnya itu.
Dua-dua juji dan Jagatai menjadi heran atas datangnya pasukan sama tengah itu, hingga mereka melengak.
“Siapa? siapa di sana?”Jagatai berteriak-teriak dengan pertanyaannya. “Kau hendak membantui aku atau Juji si anak haram?”
Kwee Ceng tidak menjawab, ia bekerja terus. Ia menggubah barisan ularnya, Coa-poan-tin, menjadi barisan sayap Harimau, Houw-ekstin, guna seluruhnya datang sama tengah, untuk mempengaruhi pasukannya kedua saudara itu. Jagatai segera mendapat lihat benderanya Kwee Ceng, ia menjadi gusar.
“Memang aku tahu bangsat bangsa Lam-ban bukan manusia baik-baik” serunya. Ia lantas menitahkan tentaranya menerjang pasukan si anak muda.
Barisan sayap Harimau sementara itu sudah bekerja. Itulah barisan yang dijaman dahulu digunakan Han sin menghajar Han Ie. Barisan itu terdiri dari pelbagai barisan kecil dan barisan-barisan kecil inilah yang bertindak sebat sekali.
Jagatai telah mengerahkan dua laksa serdadunya tetapi sekarang dua laksa serdadu itu kena dipisahkan satu dari lain. Memangnya tentara itu tidak berkelahi sungguh melawan pasukannya Juji, ke satu merekalah orang sendiri, kedua mereka takut kepada jenghiz Khan, dan sekarang, yang memisahkan mereka bangsa sendiri juga.
Kwee Ceng lantas berteriak-teriak: “Kita semua ada saudara-saudara bangsa Mongolia, tidak dapat kita saling membunuh diri Lekas kamu meletaki golok dan panah kamu, supaya Khan yang agung tidak nanti menghukum potong kepala kamu”
Berpengaruh suaranya anak muda ini, tentaranya Jagatai lantas saja lompat turun dari masing-masing kudanya dan meletaki senjata mereka.
Jagatai panas bukan main, dengan memimpin seribu lebih pengiringnya, ia merangsak kepada si anak muda, untuk menyerang.
Di antara pasukannya Kwee Ceng lantas terdengar tiga kali suara tambur, lantas ada delapan barisan kecilnya yang bergerak dari delapan penjuru, mereka itu bukannya menyambut penyerangan hanya memapakinya dengan tambang-tambang kalakan, maka hampir serentak, seribu lebih serdadunya Jagatai itu roboh, karena kaki kuda mereka telah terkalak, lantas mereka ditubruk dan diringkus, tangan mereka ditelikung ke belakang.
Juji kaget berbareng girang melihat sepak terjangnya Kwee Ceng itu Ia hendak menghampirkannya untuk berbicara, atau mendadak ia melihat pasukannya Kwee Ceng bergerak lebih jauh, mengurung kepada pihaknya. Ia terkejut sekali menyaksikan cara bergeraknya tentara si anak muda itu. Ialah seorang peperangan ulung, meski ia bingung, ia lantas memberikan titahnya untuk melakukan perlawanan. Tapi juga tentaranya itu, di dalam tempo yang pendek. kena dibubarkan dan ditawan tentaranya si anak muda.
Dua-dua Juji dan Jagatai menjadi berkhawatir sekali. Mereka ingat saat pertemuan pertama kali dari mereka dengan Kwee Ceng .Juji telah mencambuki si anak muda sampai anak muda itu mati hidup dan hidup mati, sedang Jagatai pernah menganjurkan anjing mengeroyok dan menggigitinya. Maka mereka khawatir si anak muda menggunai ketikanya ini untuk mencari balas. saking khawatir dan kaget, mereka sadar dari mabuk arak mereka. sekarang mereka pun menjadi takut nanti dihukum ayah mereka, bukan main mereka menyesal.
juga Kwee Ceng, setelah tindakannya itu, menjadi tidak tentram hatinya. Bukankah ia bergerak lancang, tanpa titah siapa juga? Bukankah ia, biar bagaimana, ada orang luar?
Tidakkah tindakannya ini berarti sangat besar? Maka ia tidak tahu, apa akan jadi akibatnya: bencana atau kebaikan? Karena ini, ia pikir, baiklah ia berdamai sama ogotai dan Tuli. Tapi ia tidak dapat kesempatan akan menemui kedua pangeran itu, kupingnya sudah lantas mendengar suara terompet, lalu ia melihat lari mendatanginya Jenghiz Khan, yang akhirnya sadar juga dari pusingnya, hingga dia kaget dan gusar mendengar hal pertempuran dua putranya itu, tanpa dandan lagi, dengan rambut riap-riapan dia lari keluar dari tendanya, dia kaburkan kudanya. Ketika dia tiba, dia menjadi heran. Semua serdadu dari Juji dan Jagatai duduk diam di tanah, dan tentaranya Kwee Ceng menilik mereka itu. Pula kedua putranya, meski mereka tetap duduk di atas kuda mereka, mereka masing-masing diawasi oleh delapan pahlawan yang bersenjatakan golok, yang mengurung mereka itu.
Kwee Ceng lantas menghampirkan, untuk sambil berlutut menuturkan duduknya hal, juga tentang tindakannya sendiri untuk mencegah pertumpahan darah hebat.
sesudah mengetahui duduknya kejadian Jenghiz Khan girang bukan kepalang. Ia lantas mengumpulkan semua panglimanya, ia lantas menegur hebat kepada Juji dan Jagatai. sebaliknya, Kwee Ceng dan opsir-opsirnya diberi persenan.
Kwee Ceng menerima persenan, tetapi ia tidak ambil itu untuk dirinya sendiri, ia lantas menghadiahkan itu kepada tentaranya, maka juga semua serdadunya bersorak kegirangan.
setelah itu Kwee Ceng diberi selamat oleh sekalian panglima atas jasanya itu.
Anak muda itu menanti sampai semua tetamu sudah mengundurkan diri, ia ambil surat yang dibawa Lou Yoe Kiak. surat yang mengajari ia bagaimana harus bertindak tadi. Ia meneliti itu Ia heran.
“Dua barisan coa-poan dan Houw-ek memang telah aku melatihnya terhadap tentaraku tetapi belum pernah aku menyebutkan nama-namanya,” pikirnya. “Kenapa sekarang dia mengetahuinya? Mungkinkah dia mencuri baca kitab ilmu perangku itu?
Kitab itu tapinya selalu tersimpan di tubuhku, tidak pernah aku berpisah dengannya, cara bagaimana dia dapat membacanya?”
Ia masih berpikir sekian lama, lantas memerintahkan orangnya memanggil Lou Yoe Kiak.
“Lou Tiang lo,” ia berkata setelah si pengemis tiba. “Inilah kitab ilmu perangku, jikalau kau suka melihatnya. ini aku beri pinjam kepadamu.” Yoe Kiak tertawa.
“si pengemis melarat ini, seumurnya dia tidak bakal menjadi jendral” katanya.
“Untukku buat apakah sebuah kitab ilmu perang?” Kwee Ceng menunjuk kepada surat yang ia terima dari pengemis itu.
“Kalau begitu, mengapa kau mendapat tahu tentang dua pasukan coa-poan dan Houw-ek ini?” ia tanya.
“Bukankah koanjin pernah membicarakan itu padaku?” balik tanya si pengemis.
Agaknya ia heran. “Apakah koanjin sudah lupa?”
Kwee Ceng berdiam. Ia tahu orang mendusta, ia tetap bingung. Ia tidak bisa menerka duduknya hal yang benar.
Besoknya siang Jenghiz Khan berapat pula. Kali ini ia mengatur angkatan parangnya.
sebagai pasukan nomor satu ditetapkan pasukannya Jagatai dengan ogotai sebagai komandannya Jagatai sendiri dijadikan sianhong ialah pasukan depan. Pasukan nomor tiga ialah pasukan kiri Jenghis Khan sendiri bersama Tuli memimpin pasukan utama.
sebat sekali tindakan itu diambil, maka dilain saat berangkatlah angkatan perang ini beserta iring-iringan rangsumnya menuju ke Barat, menghampirkan Khoresm. Majunya makin lama makin jauh, masuknya makin lama makin dalam di wilayahnya shah Muhammad Ala-ed-Din. Angkatan perang shah itu besar jumlahnya tetapi mereka bukan tandingannya tentara Mongolia dalam ketangkasan berperang, dengan begitu dia kena terdesak.
Pada suatu hari Kwee Ceng menunda pasukan perangnya di tepi sungai. Malamnya, selagi ia membaca kitab perangnya, untuk dipahamkan terlebih jauh, ia mendengar suara berkelisik di atas tendanya, lalu pintu tendanya tersingkap dan satu orang bertindak masuk. Beberapa serdadu penjaga mencegah, mereka membentak. Tetapi satu demi satu mereka kena ditotok roboh. Kwee Ceng segera menyimpan kitabnya, ia berbangkit. orang yang menerobos masuk itu lantas memandang kepadan a dan tertawa. Dialah see Tok Auwyang Hong.
Kwee Ceng kaget berbareng girang. siapa sangka di tempat jauh sepuluh ribu lie dari Tiong-goan dia bertemu sama siBisa dari Barat itu.
“Mana nona oey?” itulah pertanyaannya yang pertama.

Bab 75. See Tok Auwyang Hong
“Aku justru hendak menanya kau, budak cilik itu ada di mana” Auwyang Hong balik menanya. “Lekas kau serahkan dia padaku”
Mendengar itu, Kwee ceng terperanjat karena girangnya. Ia lantas berpikir: “Kalau begitu, Yong-jie masih hidup dan dia telah lolos dari tangannya iblis ini”
Tapi ia jujur, perasaan hatinya gampang berpeta pada wajabnya, kegirangannya itu lantas dapat dilihat See Tok.
“Mana dia itu budak cilik?” Auwyang Hong membentak
“Entahlah,” menyahut Kwee ceng sejujurnya. “Selama di Kang lam dia mengikuti kau, kemudian bagaimana?”
See Tok tahu pemuda ini tidak pernah mendusta, ia menjadi heran. Menurut dugaannya, oey Yong mesti berada di dalam pasukan perang ini. Kenapa pemuda ini tidak mengetahuinya? Ia lantas duduk bersila untuk berpikir.
Kwee ceng membebaskan orang-orangnya dari totokan, ia menitahkan menyuguhkan teh koumiss. Auwyang Hong meminum satu cawan tanpa curiga.
“Anak tolol, tidak ada halangannya aku bercerita kepadamu,” katanya kemudian.
“Memang benar bocah itu telah kena aku tawan di dalam kuil Tiat ciang Bio di Kee-bin, hanya di itu malam juga dia berhasil meloloskan dirinya.”
Kwee Ceng girang hingga ia berseru: “Bagus” Ia pun menambahkan: “Dia sangat cerdik, jikalau dia memikir untuk lari, pasti dia dapat lari Bagaimana dia lolosnya?”
“Dia lolos di Kwie-in-chung di telaga Than ouw” menyahut see Tok sengit sekali. Hm, untuk apa menuturkannya? Tegasnya dia sudah kabur”
Kwee Ceng tidak mendesak. Dia tahu orang besar kepala dan kejadian itu pastilah membuatnya see Tok gusar dan malu dan menyesal.
“setelah dia kabur, aku mengejarnya,” see Tok toh menuturkan. “Beberapa kali aku dapat menemui dia, hanya saban-saban dia lolos lagi. Aku mengejar terus, terus aku berada di dekatnya, dia tidak dapat kabur pulang keTho Hoa To. Kita main kejar-kejaran, sampai d i perbatasan Mongolia. Mendadak dia lenyap. Maka aku menduga dia mesti berada di dalam pasukan plangmu ini. Demikian aku datang padamu.”
Mendengar oey Yong telah tiba di Mongolia, Kwee Ceng heran berbareng girang.
“Apakah kau pernah melihat dia?” ia tanya. Ditanya begitu, see Tok mendongkol.
” Kalau aku dapat melihat dia, mustahil aku tidak dapat membekuknya?” katanya keras. “siang dan malam aku mengintai dia di dalam pasukanmu ini. Aku menyangka dia tinggal bersama kau tetapi aku belum pernah melihat dia. Eh, bocah tolol, kau sebenarnya lagi main gila apa?” Kwee Ceng terbengong.
“siang dan malam kau mengintai, mengapa aku tidak dapat tahu?” Ia balik tanya.
Auwyang Hong tertawa puas.
“Aku ialah satu serdadu orang Wilayah Barat yang tidak berarti di dalam barisanmu yang dinamakan barisan Thian-cian-ciong” sahutnya. “Kaulah si kepala perang, mana kau kenal aku?”
Di dalam tentara Mongolia terdapat banyak serdadu- serdadu musuh yang tertawan dan diberi pekerjaan, maka itu kalau seorang Wilayah Barat, atau see Hek. nyelip di dalam satu barisan, dia memang sukar untuk diketahuinya. Tapi mendengar keterangan itu, Kwee Ceng terkejut. Ia berpikir. “Jikalau dia menghendaki jiwaku, pastilah jiwaku sudah lenyap lama” Lalu dengan suara tak tegas ia menanya: “Kenapa kau bilang Yong-jie berada di dalam pasukanku?”
“Kau telah meringkus kedua putranya jenghiz Khan, kau berhasil memukul pecah kota-kota dan melabrak musuh,” menyahut Auwyang Hong, “Tanpa petunjuk dari sibudak cilik itu, mana dapat kau si tolol melakukannya semua itu? Hanya budak itu tidak pernah memperlihatkan dirinya, ini benar-benar heran. sekarang tidak bisa lain, kau mesti bertanggung jawab, kau mesti menyerahkan dia itu padaku” Kwee Ceng tertawa.
“Kalau Yong-jie memperlihatkan dirinya, itulah hal yang aku paling harapi” ia kata.
“Sekarang cobalah kaupikirkan, dapatkah aku menyerahkan dia padamu?”
“Jikalau kau tidak mau menyerahkannya, aku mempunyai jalanku sendiri” kata Auwyang Hong. Dia mulai mengancam. “Kau berkuasa atas pasukan tentara besar, akan tetapi di mata Auwyang Hong tendamu ini, di luar dan di dalam, adalah seperti
tempat di mana tidak ada barang satu manusia Asal aku mau datang, aku datang, asal
aku mau pergi, aku pergi siapa dapat melarang aku”
omong besar itu bukan omong besar belaka, maka itu Kwee Ceng membungkam.
“Eh, bocah tolol, bagaimana kalau kita membuat perjanjian?” Auwyang Hong tanya.
“Perjanjian apakah itu?”
“Kau menyebutkan tempat sembunyinya si bocah, aku tanggung tidak nanti aku mengganggu sekalipun selembar rambutnya Jikalau kau tidak sudi menyebutkannya, aku akan mencari dia terus, biar perlahan, tetapi satu kali aku mendapatkan dia, hm Itu pasti bukannya urusan yang menyenangkan”
Kwee Ceng tahu see Tok sangat lihay, kecuali si nona bersembunyi di Tho Hoa To, mesti dia akan dapat dicari.
“Baik, suka aku berjanji,” katanya. “Hanya bukan menurut caramu itu”
“Habis?”
“Auwyang sianseng, sekarang ini ilmu silat kau jauh terlebih menang daripada kepandaianku,” berkata si anak muda, “Akan tetapi usiaku jauh lebih muda daripada usiamu, maka itu di belakang hari, setelah usiamu bertambah dan tenagamu berkurang, mesti datang satu hari yang kau bakal tidak sanggup melawan aku”
Auwyang Hong tidak pernah memikir saat dari “Usia bertambah dan tenaga berkurang”, sekarang ia mendengar suara anak muda ini, hatinya bercekat. “Kata-katanya bocah ini bukan kata-kata dungu,” pikirnya. Maka ia tanya: “Habis bagaimana?”
“Di antara aku dengan kau ada permusuhan disebabkan kau membinasakan guru-guruku,”
berkata pula Kwee Ceng, “Dan sakit hati itu tidak dapat tidak dibalas, maka itu walaupun kau kabur ke ujung langit, akan ada satu harinya yang aku nanti dapat mencari padamu” see Tok tertawa terbahak.
“justru sebelum aku tua dan loyo, sekarang aku bunuh padamu” Ia berseru. Belum lagi suaranya berhenti, kedua kakinya telah lantas dipentang dan ditekuk untuk berjongkok, sedang kedua tangannya diangsurkan hebat ke depannya, ke arah si anak muda.
Kwee Ceng tahu orang menyerang ia dengan ilmu Kodok-nya, tetapi la telah
meyakinkan sempurna “Ie-kin toan-kut-pian”, ilmu ” menukar otot dan melatih tulang”,
maka begitu serangan tiba, ia berkelit, setelah berkelit, dengan cepat ia membalas menyerang dengan jurus “Kian liong can tian” dari Hang Liong sip-pat Ciang.
Auwyang Hong menarik pulang tangannya, ia menyambuti serangan pembalasan si anak muda. Ia mengenal baik ilmu silat orang, yang ada ajarannya Ang Cit Kong, ia merasa bahwa ia sanggup melayaninya. Hanya kali ini ia salah menduga. Begitu ia menyambut, begitu tubuhnya tergerak hampir kuda-kudanya bergoyang. Ia menjadi kaget. Kalau ia tidak bisa mengegosnya, pastilah ia terluka.
“Jangan-jangan belum lagi aku tua dan loyo, bocah ini bakal dapat menyusul aku,”
pikirnya. Maka segera ia menyerang dengan tangan kirinya. Kwee Ceng berkelit, terus ia membalasnya pula.
sekali ini Auwyang Hong tidak mau menyambut keras dengan keras, ia menekuk tangannya menangkis sambil berkelit, guna mengasih lewat ancaman bahaya.
Kwee Ceng tidak dapat menangkap hati lawan, ia mengira orang cuma berkelit, ia tidak tahu Auwyang Hong terus menyerang pula, maka kagetlah ia kapan ia merasakan dorongan keras sekali. Dengan terpaksa ia mengeluarkan tangan kanannya, guna menolak itu.
Mengenai tenaga dalam, Kwee Ceng kalah d ari jago see Hek itu, maka kalau terus ia bertahan secara demikian, tidak lama, ia bakal roboh. Ia memang dipancing lawannya ini. Auwyang Hong girang pancingannya memakan. Lantas dia merasa tangannya Kwee Ceng menjadi lunak. seperti orang yang tidak dapat melawan lebih jauh. segera dia menambah tenaganya. justru itu, tangan si anak muda melejit licin.
“Hari ini tibalah saat kematianmu” pikir see Tok. yang meneruskan mengulur lengannya hingga jeriji tangannya segera akan tiba di dada lawan.
Kwee Ceng menggunai tangan kirinya untuk menangkis di depan dadanya, sembari menangkis, tangan kanannya yang melejit itu, dengan telunjuknya, menotok ke arah jalan darah tay-yang-hiat dari see Tok. Inilah It Yang Cie, ilmu silat totokan ajarannya It Teng Taysu, yang telah lama ia meyakinkannya tetapi belum pernah dipakai. It Yang Cie ialah penakluk dari Hap Moa Kang, ilmu silat Kodok.
Auwyang Hong menjadi kaget sekali, dengan lantas ia menjejak tanah, untuk lompat mundur, sembari lompat, dia berseru: “Ha, Toan Tie Hin si tua bangka hendak membikin susah padaku”
It Yang Cie dari Kwee Ceng ini belum mencapai kemahiran, itu masih belum dapat dipakai memecahkan Kap Moa Kang, sudah begitu, ia pun tidak paham betul cara menggunainya, habis menotok dan gagal, ia lantas menarik pulang pula. see Tok. Yang belum mundur lebih jauh, melihat itu. seharusnya, serangan dilanjuti. Melihat ini, jago tua itu tahu orang belum mahir, maka tanpa menanti ketika, dia terus menyerang lagi, kembali dengan kedua tangannya.
Kwee Ceng terkejut. Dengan luar biasa gesit, ia berlompat berkelit. Celakalah meja kecil di belakang, meja itu kena terhajar tangan lihay dari si Bisa dariBarat, siapa terus tidak mau berhenti, terus dia mengulangi serangannya. Rupanya dia pikir, anak muda yang lihay itu mesti didesak habis-habisan.
selagi menyerang, Auwyang Hong merasa ada bokongan dari arah belakang. Dia tidak takut, tanpa berpaling lagi dia menendang ke belakang. Inilah tipu untuk mendahului musuh, atau serangan untuk serangan. Kebetulan dia dibokong dengan tendangan, maka kedua kaki bentrok, kaki si penyerang tertolak. tubuhnya roboh, hanya kaki ia itu tidak patah. Dia heran, lantas dia menoleh. sekarang di muka pintu tenda dia melihat tiga pengemis tua, ialah ketiga tiang lo Lou, Kan dan Nio.
Louw Yoe Kiak segera berlompat, kedua tangannya memegang masing-masinglengannya kedua tangannya. Itulah siasat pembelaan diri dari kaum Kay Pang. Ini pula siasat yang digunai Kay Pang di harian rapat di Kun san dengan apa mereka dapat mengadakan pembelaan bagaikan tembok tangguh untuk mendesak Kwee Ceng dan oey Yong, sampai muda-mudi itu kewalahan.
Auwyang Hong tertawa terbahak. Ia lantas menggunai siasat. Melawan Kwee Ceng ia cuma menang seurat, kalau ia dikepung tiga pengemis ini, yang cukup lihay, ia bisa berabe. Ia pun berkata: “Anak tolol, ilmu silatmu maju pesat sekali” setelah itu ia menekuk kedua kakinya, untuk duduk bersila, sama sekali ia tidak menghiraukan Yoe Kiak bertiga. Ia berkata pula kepada si anak muda: “Kau hendak membuat perjanjian denganku, kau jelaskanlah”
“Kau menghendaki nona oey memberi penjelasan Kiu Im Cin-keng terhadapmu,”
berkata si anak muda, “Mengenai itu, dia sudi menjelaskannya atau tidak. mesti terserah kepadanya, tidak dapat kau membikin dia celaka.” Auwyang Hong tertawa.
“Jikalau dia suka memberi penjelasan, memang aku pun tidak tega mencelakai dia,”
sahutnya. “Memangnya oey Laoshia seorang yang dapat dibuat permainan? Hanya kalau dia tetap tidak suka bicara, mana dapat aku tidak menggunai sedikit kekerasan terhadapnya?”
“Tidak. aku larang” Kwee Ceng menggeleng kepala. “Kau menghendaki aku berjanji, habis apakah tukarannya untuk itu?”
” Itulah semenjak hari ini, jikalau kau terjatuh ke dalam tanganku, aku akan memberi ampun padamu hingga tiga kali, kau akan dibebaskan dari kematian.”
see Tok berbangkit, dia tertawa lebar. Tajam tertawanya itu, terdengar sampai jauh, hingga banyak kuda menjadi kaget dan meringkik saling sahutan. Kwee Ceng mengawasi dengan tajam.
“Inilah tidak lucu, tidak ada yang harus dibuat tertawa,” katanya perlahan, “Hanya kau harus ketahui sendiri, akan datang satu hari yang kau bakal terjatuh ke dalam tanganku”
Auwyang Hong tertawa, tetapi di dalam hatinya, ia berpikir. sedikitnya ia merasa jeri juga. Ia lantas mendapat satu pikiran. Ia tertawa ketika ia berkata: “Aku Auwyang Hong, aku menghendaki keampunan dari kau, bocah busuk? Hm Tapi baiklah, kita lihat saja nanti”
Kwee Ceng mengulur sebelah tangannya. “Kata-katanya seorang ksatria” ujarnya.
Auwyang Hong tertawa, dia menyahuti: “seumpama kuda tercambuk satu kali” see Tok menepuk perlahan tangannya si anak muda hingga tiga kali.
Itulah janji mereka -janji menurut caranya orang di jaman dinasti song. Siapa menyangkal janji itu, selanjutnya dia akan terhina.
Habis membuat perjanjian, Auwyang Hong hendak menanya Kwee Ceng tentang oey Yong, hanya belum lagi ia membuka mulutnya, ia melihat bayangan berkelebat di luar kemah, gerakannya sangat gesit. Ia bercuriga, lantas ia lompat keluar, untuk menyusul.
Ia ketinggalan, ia tidak melihat bayangan siapa juga. Maka ia berpaling ke arah tenda dan kata: “Di dalam tempo sepuluh hari, akan aku datang pula ke mari Itu waktu kita akan melihatnya, kau yang memberi ampun padaku, atau aku yang mengampunimu” sambil tertawa lebar tubuh sea Tok mencelat, lantas dia lenyap. sebab sekejap saja dia sudah memisahkan diri belasan tombak.
Lou Yoe Kiak bertiga saling mengawasi dengan bengong, hati mereka mengatakan “Dia sangat lihay, tidak heran dia sama tersohornya seperti Ang Pangcu.”
Kwee Ceng lantas memberitahukan ketiga tiang lo itu bahwa datangnya Auwyang Hong untuk mencari oey Yong.
“Dia bilang oey Pangcu ada di dalam pasukan ini, dia ngaco belo” berkata Yoe Kiak, “Jikalau itu benar, mustahil kita tidak tahu? Laginya” Kwee Ceng menunjang janggut.
“Akan tetapi akupikir dugaannya itu beralasan,” katanya perlahan. “sering aku merasakan yang nona oey seperti berada di sampingku, kalau ada soal-soal sukar.
selalu dia membantu memecahkannya. Hanya tidak perduli apa yang akupikir, dia tetap tidak sudi memperlihatkan diri padaku”
Tanpa merasa, kedua matanya pemuda itu menjadi merah.
“Baiklah koanjin jangan berduka,” Yoe Kiak menghibur. “Inilah perpisahan sekejab mata, diakhirnya toh kita bakal berkumpul.”
“Aku telah berbuat keliru terhadap nona oey, aku khawatir dia tidak akan sudi menemui aku pula,” kata lagi Kwee Ceng, yang mengaku salah. “Aku tidak tahu bagaimana aku harus berbuat untuk menebus dosaku itu” Yoe Kiak bertiga saling memandang.
“Taruh kata dia tidak sudi bicara sama aku,” Kwee Ceng berkata pula, “Kalau dia membiarkan aku melihatnya satu kali saja, hatiku tentu terhibur”
“Kau letih, koanjin,” berkata Yoe Kiak. “Silahkan kau beristirahat. Besok kita berdamai pula untuk menjaga Auwyang Hong datang mengacau lagi.” Kwee Ceng mengangguk, maka ketigg tiang lo itu mengundurkan diri
Besoknya angkatan parang maju terus, malamnya mereka singgah, Yoe Kiak datang ke kemah. Kwee Ceng membawa sehelai gambar lukisan. Ia kata “Pada tahun yang lalu selama di Kang lam aku telah mendapatkan gambar ini, aku seorang kasar, tidak mengerti aku akan maksudnya itu, maka selagi sekarang koanjin kesepian, dapatlah koanjin menikmati ini perlahan-lahan.” Lantas gambarnya itu ia letaki di atas meja.
Kwee Ceng membeber itu. Ia tercengang begitu ia melihat lukisannya: Seorang nona tengah menenun, romannya mirip sama oey Yong, melainkan lebih perok, alisnya turun, romannya lesu. Ia mengawasi terus. Di samping itu ia mendapati dua baris huruf halus, bunyinya mirip dengan syairnya Eng Kouw. Yang pertama: “Tujuh perkakas tenun Suteranya habis, citanya rampung, jangan sembarang dibuat pakaian nanti tergunting rusak tak disengaja, hingga burung-burungnya hong dan loan, terpisah menjadi dua pinggiran baju” Dan yang kedua: “Sembilan perkakas tenun Sepasang bunganya, sepasang daunnya, sepasah cabangnya Cinta tipis semenjak dahulu kala sering berpisah, dari mulanya sampai di akhimya, hati terikat, menembusi sehelai benang”
Tidak lama si anak muda berpikir, lantas ia ingat. Pikirnya: “Ini gambar mesti dilukis Yong-jle Entah dari mana Lou Tiang lo mendapatkannya” Ketika ia mengangkat tangan, untuk menanya, pengemis itu sudah berlalu dari kemahnya. Ia lantas menyuruh serdadunya memanggil, akan tetapi waktu ditanya, pengemis itu berkukuh membilang dia membelinya dari toko buku di kang lam.
Biarnya ia sepuluh kali tolol, Kwee Ceng dapat menduga, hanya disebabkan Yoe Kiak menutup mulut, ia kewalahan. Ia berpikir. justru itu Kan Tiang lo datang, pengemisitu bicara dengan perlahan: “Barusan aku melihat bayangan orang di ujung timur laut ini, waktu aku menyusul, bayangan itu lenyap setahu ke mana. Maka aku khawatir malam ini Auwyang Hong si bangsat tua nanti nyelundup ke dalam tangsi.”
“Biarlah,” kata Kwee Ceng. “Mari kita bersiap untuk membekuk dia.”
“Aku mempunyai satu akal, entah koanjin setuju atau tidak.” kata Kan Tiang lo.
“Mestinya itu bagus. Coba kau tuturkan.”
“Inilah tipu daya sangat sederhana,” kata tiang lo she Kan itu. “Kita menggali liang jebakan. Kita menyuruh duapuluh serdadu menyiapkan karung terisi pasir menjaga di luar kemah. Beruntung bangsat tua itu jikalau dia tidak datang, kalau dia muncul, aku tanggung dia dapat datang tetapi tidak dapat pergi.”
Kwee Ceng setuju dengan akal itu, ia bahak girang. Ia percaya Auwyang Hong bakal terjebak sebab see Tok sangat jumawa dan tidak melihat mata kepada lain orang.
Lou Tiang lo bertiga lantas mengepalai sejumlah serdadu menggali tanah dalamnya dua puluh tombak kira-kira, di atasnya ditutup rapi dengan permadani, di situ ditaruhkan sebuah kursi kayu yang enteng. Duapuluh serdadu dengan karung-karung pasir disembunyikan di luar tenda itu.
Pekerjaan menggali tanah itu tidak mencurigai siapa juga sebab di gurun pasir biasa orang menggali sumur untuk mendapatkan air. setelah rapi, Kwee Ceng menanti sambil duduk membaca buku. Malam itu, Auwyang Hong tidak muncul. Besoknya itu Auwyang Hong tidak muncul.
Besoknya, tentara maju terus, malamnya singgah pula. Yoe Kiak bertiga menggali liang jebakan yang baru.
Malam kedua itu, tetap Auwyang Hong tidak muncul, juga tidak di malam ketiga.
Hanya di malam keempat, Kwee Ceng mendengar suara apa-apa di kain tendanya, selagi hatinya berdebaran, ia melihat Auwyang Hong muncul sambil tertawa panjang.
see Tok bertindak dengan tenang, terus dia menghampirkan kursi, untuk berduduk.
atau mendadak. bruk Maka kejebloslah kursi itu berikut orang yang duduk di atasnya.
Liang dalam duapuluh tombak. tidak bisa Auwyang Hong segera berlompat naik. Di lain pihak, duapuluh serdadu sembunyi segera datang menguruk dengan karung pasir mereka itu.
Lou Yoe Kiak girang sekali, hingga ia memuji. “Dugaan oey Pangcu tepat sebagai malaikat” Tapi ia berhenti secara tiba-tiba sebab Kan Tianglo mendelik kepadanya. “oey Pangcu apa?” tanya Kwee Ceng.
“Aku salah omong,” berkata Yoe Kiak, menyambungi. “Aku mau menyebutnya Ang Pangcu. Jikalau Ang Pangcu ada di sini, dia tentu girang sekali.”
Kwee Ceng mengawasi tianglo itu, hendak ia menanya pula ketika serdadu-serdadunya di luar tenda menerbitkan suara berisik, bersama ketiga tianglo ia lari ke luar. Di sana sekalian serdadunya itu membuatnya berisik sambil tangan mereka menunjuk ke tanah. Tanah itu, yang tadinya rata, bergerak-gerak, sebentar mumbul, sebentar rata pula. Tidak lama anak muda ini mengawasi, ia segera mengerti sebabnya itu.
“Auwyang Hong lihay, dia bisa menyungkur tanah” katanya. Lantas dia menitahkan beberapa puluh serdadu menaik kuda, untuk jalan mondar-mandir di atas tanah itu, di bagian mana saja yang munjul. sekian lama sekalian serdadu itu bekerja, lalu tak ada lagi tanah yang munjul. Maka dianggap Auwyang Hong tidak tahan dan telah mati karenanya. “Coba gali,” Kwee Ceng menitah.
Ketika itu sudah tengah malam. orang memasang obor. Semua serdadu berdiri memutari tempat yang digali oleh belasan serdadu lainnya. setelah menggali belasan tombak. tubuh Auwyang Hong kedapatan berdiri diam. Tempat terpisah duapuluh tombak dari liang jebakan. Maka hebatlah tenaganya Auwyang Hong, tidak perduli tanah di situ tidak keras. Berkat tenaga dalamnya, dia dapat nelusup bagaikan tikus. Dia lantas digotong naik, diletaki di tanah.
Lou Yoe Kiak menghampirkan, untuk meraba dadanya. Tubuh see Tok masih hangat.
“Coba ambil rantai dan belenggu padanya,” tianglo ini menitah.
Baru pengemis ini berkata demikian atau mendadak tubuh Auwyang Hong bergerak dan sebelah tangannya menyambar kaki kanan si pengemis di bagian otot nadi kaki itu.
semua serdadu kaget, mereka berteriak mengatakan mayat hidup pula. Mereka tidak tahu, Auwyang Hong telah menutup jalan napasnya dan berpura-pura mati, setelahberada di luar urukan, dia membukanya pula jalan napasnya itu seraya terus membekuk si pengemis.
Kwee Ceng berlompat menubruk. tangan kirinya menekan jalan darah kie-kut-hiat dan tangan kanannya menekan jalan darah yang penting. Di dalam keadaan biasa, tidak nanti Auwyang Hong dapat dikotok secara demikian. Dia terkejut, dia hendak membela diri, tetapi kasep. dia kalah gesit. Dia merasakan tubuhnya kaku. Tapi dia mengerti, Kwee Ceng tidak menyerang hebat, kalau tidak. dia bisa mati lantas. Terpaksa dia melepaskan tangannya dari kakinya Yoe King. dia berdiri diam.
“Auwyang sianseng,” Kwee Ceng berkata, “Hendak aku mengajukan satu pertanyaan padamu. Adakah kau melihat nona oey?”
“Aku melihat hanya bayangannya,” menjawab See Tok. “Itu sebabnya kenapa aku datang mencari ke mari.”
“Apakah kau melihatnya nyata?” Kwee Ceng menanya pula. “Jikalau bukannya setan budak itu berada di sini, kau pasti tidak dapat menggunai jebakan ini untuk menangkap orang” sahut si Bisa dari Barat. Kwee Ceng melengak.
“Nah, kau pergilah” katanya akhirnya. “Kali ini aku memberi ampun padamu”
Dengan satu dorongan tangan kanan dengan perlahan, pemuda ini membikin tubuh orang terpelanting setombak lebih. Ia berbuat begini karena ia khawatir jago Barat yang lihay itu nanti menggunai ketika akan menyerang kepadanya.
Auwyang Hong berpaling, ia kata dengan dingin: “Biasanya aku bertempur sama bangsa cilik, tidak pernah aku mengunai senjata, tetapi kau dibantu si budak setan yang licik dan banyak akal muslihatnya, maka aku menyingkir dengan kebiasaanku itu Di dalam tempo sepuluh hari, aku akan datang pula ke mari dengan membawa tongkat ularku. Kau telah melihat sendiri bisa di kepala tongkatku itu, dari itu kau berhati-hatilah”
Lantas ia mengangkat kaki.
Kwee Ceng mengawasi orang menghilang, lalu ia merasakan sambaran angin Utara yang dingin, hingga ia menggigil sendirinya. Ia lantas mengingat lihaynya tongkat see Tok. ia merasa ngeri. Tongkat itu telah lenyap di dasar laut tetapi sembarang waktu Auwyang Hong dapat memperoleh yang lainnya, sedang ular berbisanya dia mempunyai banyak. Berbayang di depan matanya bagaimana Yan Ie Lauw, si bisabangkotan itu membuatnya Coan Cin Cit Cu kewalahan. Tentu sekali, tongkat ular itu tidak dapat dilawan dengan tangan kosong sedang dia sendiri tidak pernah meyakinkan ilmu silat dengan senjata yang tertentu, sedang apa yang Liok Koay mengajarinya ada ilmu silat yang biasa. Ia menjadi bingung, matamya mendelong mengawasi awan putih di langit
Tidak lama, hawa udara menjadi dingin sekali, maka serdadu pelayan menyalakan api. Kwee Ceng berdiam di dalam kemahnya. Semua kuda pun dimasuki ke dalam tangsi. Kawanan pengemis tidak membekal baju kulit, untuk melawan hawa dingin itu, mereka mencoba menggunai tenaga dalamnya masing-masing. Adalah kemudian, Kwee Ceng menitahkan tentaranya membuat baju kulit kambing untuk mereka itu.
Besoknya hawa menjadi terlebih dingin, saiju di tanah berubah menjadi es.
Menggunai saat dingin ini, tentara Khoresm datang menyerang. Tapi Kwee Ceng telah bersiap, ia menyambutnya dengan barisan Liong Hui Tin, ia menang, lantas ia melabrak, mengejarnya ke Utara.
Sudah biasa Kwee Ceng tinggal di gurun Utara, ia tidak takut hawa dingin. Tapi iaingat Oey Yong. Kalau benar si nona ada bersamanya, bagaimana nona itu dapat melawan hawa dingin itu? Maka ia menjadi berkhawatir.
Malamnya, diam-diam pemuda ini memeriksa semua kemah. Tidak berhasil ia mencari si nona. Ketika ia akhirnya balik ke kemahnya, di sana Yoe Kiak lagi mengepalai penggalian lubang jebakan.
“Auwyang Hong itu sangat licin, setelah satu kali terjebak, mana dia kena dijebak untuk kedua kalinya?” berkata si anak muda.
“Dia tentu menduga kita memakai lain akal, tidak tahunya kita tetap sama liang kita ini,” menjawab si pengemis. “Biarlah dia dibikin bingung dengan itu pembilangannya, yang kosong ialah yang berisi, yang berisi ialah yang kosong, kosong dan berisi tak dapat diterkanya “
Kwee Ceng mengawasi tajam. Ia berpikir: ” Inilah akal muslihat dari dalam kitab ilmu perang, cara bagaimana kau mengetahuinya?”
Yoe Kiak tidak menghiraukan sikap orang, ia berkata ” Kalau kita menggunai lagi karung pasir, dia bakal dapat daya untuk menghindarkannya, maka kali ini kita mengubah cara, kita menggunai air panas, kita banjur dia”
Memang Kwee Ceng mendapatkan di luar tenda ada puluhan serdadu lagi menyiapkan belasan kuali besar, sebagai airnya mereka mengampaki kepingan-kepingan es dimasuki ke dalam kuali itu, untuk dimasak lumer.
“Dengan begitu bukankah dia bakal mati terseduh?” si anak muda tanya. “Memang koanjin telah berjanji dengannya akam mengampuni dia tiga kali,” menyahut Yoe Kiak. “Tetapi kalau ini kali dia mampus, itulah bukan dia roboh langsung di tangan koanjin, maka biar dia mau diberi ampun, tidak bisa. Dengan begitu koanjin tidak menyalah janji.”
Kwee Ceng menganggap alasan itu benar juga, ia berdiam saja.
setelah sekian lama, selesai sudah jebakan itu diatur. Tetapi sebuah kursi kayu diletaki di tengah-tengahnya. Di luar, dapur pun dinyalakan apinya, untuk orang memulai memasak air. Hawa ada sangat dingin, nyalanya api lamhat, es lumer dan keburu beku pula,maka Yoe Kiak berulang kali mendesak: “Lekas, kobarkan api”
justru di situ terlihat bayangan orang mencelat muncul Dan itulah see Tok Auwyang Hong. Dengan tongkatnya dia menyingkap tenda, terus dia berkata: “Eh, bocah tolol, kali ini kau mengatur liang jebakan, kakekmu tidak takut” Terus dia mengenjot tubuh ke arah kursi, untuk duduk bercokol di atasnya.
Yoe Kiak bertiga menjadi bingung sekali. Tidak disangka orang datang demikian cepat. Air mereka belum termasak panas, bahkan air sangat dingin. Di dalam hati mereka mengeluh menyaksikan see Tok bercokol di kursinya.
Mendadak terdengar suara nyaring, disusul sama caciannya Auwyang Hong. Kursi telah terjeblos bersama orang yang duduk di atasnya. Di situ tidak ada persediaan pasir, musuh tidak bisa diuruk pula. Untuk Auwyang Hong, gampang buat berlompat naik dari liang jebakan itu.
“Koanjin, lekas keluar” akhirnya ketiga tianglo berteriak sebab mengkhawatirkan keselamatannya si anak muda. Berbareng dengan itu di belakang mereka terdengar teriakan: “Tuang air”
Kapan Yoe Kiak mendengar suara itu, tanpa sangsi lagi ia berteriak-teriak: “Tuang air Tuang air”
sekalian serdadu itu mentaati titah, dengan sebat mereka menggotong kuali- kuali besar itu, untuk airnya dituangkan ke dalam liang perangkap.
Auwyang Hong lagi berlompat naik ketika dia diseblok air, hingga dia kaget dan kembali jatuh. Dia mengerti ancaman bahaya itu, dia lantas bersiap. Lagi sekali diaberlompat naik. Kali ini dia salah menaksir. Dia mengira dia bakal terus disiram denganair. Memang benar, dia disiram, hanya dia lupa memikir, setelah diangkat dari dapur, air es yang baru lumer itu segera membeku pula. Maka sekarang dia tertimpa es, yang keras. Dia kaget bukan main, dia kesakitan pada kepalanya. Kembali dia jatuh.
sekarang dia jatuh hebat, sebab kakinya pun terbelesak di dalam air yang lagi membeku menjadi es itu, hingga ia tak dapat bergerak. Ia mengerahkan tenaganya, untuk berlompat naik lagi, tetapi selagi begitu tubuhnya sebatas pinggang sudah keuruk dan kegencet es
Di dalam halnya menuang air dari dalam kuali itu, serdadu-serdadunya Kwee Ceng sudah terlatih: Empat serdadu menggotong sebuah kuali, empat yang lain menggotong yang lainnya, demikian juga yang lain-lainnya lagi. kalau yang empat bersedia di tepi liang, empat yang lain bersiap untuk menggantikannya, demikian selanjutnya. Maka itu, rapi sekali tertuangnya air. ini pula yang menyebabkan Auwyang Hong menjadi tidak berdaya.
Yoe Kiak semua girang karena tipu mereka menjadi hal yang kebetulan - air panasberganti dengan air es. setelah itu ia mengatur tindakan guna meringkus korbanperangkap itu. serdadu-serdadu diperintah membongkar es di sekitarnya see Tok. lalues yang membungkus tubuh itu dilibat dengan dadung dan ujung dadung diikat kepada serombongan dari dua puluh ekor kuda. Begitu sudah siap. kuda itu dituntun untukjalan, untuk menarik es itu, buat diangkat naik.
Berisik suaranya sekalian serdadu itu, maka dari lain-lain tangsi orang datang berkerumun, untuk menyaksikan, buat menonton. Banyak obor dipasang terang-terang hingga segala apa tampak nyata.
Auwyang Hong terbungkus es, dia tidak dapat bergerak. Karena dia sangat murka, matanya mendelik, giginya terbuka, alisnya berdiri Dia mendongkol akan mendengar semua serdadu berteriak-teriak kegirangan.
Yoe Kiak khawatir, karena lihaynya tenaga dalamnya, Auwyang Hong nanti bisa berontak melepaskan diri Itulah berbahaya, maka ia hendak menambah es dengan menyiramkan yang baru lumer. Untuk itu ia memerintahkan serdadunya masak es pula.
“Jangan,” berkata Kwee Ceng, yang ingat kepada janjinya. “Tiga kali dia mesti diberi ampun. Gempurlah es itu, biarkan dia pergi.”
Ketiga tianglo menghela napas, mereka menyesal, tetapi mereka juga bangsa laki-laki, mereka tidak menentang. Yoe Kiak sendiri yang mengangkat martilnya menghajar es itu.
“Keanjin,” tiba-tiba Kan Tianglo tanya, ” orang seperti Auwyang Hong ini, berapa lamadia dapat bertahan digencet es?”
“Mungkin tiga hari dan tiga malam, lewat dari itu, jiwanya terancam bahaya,” jawab Kwee Ceng.
“Baiklah, lagi tiga hari baru kita lepas dia,” kata tianglo she Kan itu. “Jiwanya boleh diampunkan, kesengsaraan tak dapat dia tak menderitanya” Kwee Ceng ingat akan sakit hati gurunya, ia mengangguk.
Besoknya, dari lain-lain pasukan pun datang penonton. Menampak demikian, Kwee Ceng menyuruh serdadu mengurung see Tok di dalam tenda, supaya dia tidak jadi tontonan terlebih jauh. Anak muda kata pada Yoe Kiak: “Pepatah kuno membilang, seorang ksatria dapat dibunuh, tidak dihina, dan dia ini, dia tetap ada seorang guru besar, dia tidak dapat diperhina sembarang orang.” Karena ini bukan saja serdadu, segala perwira pun dilarang menonton See Tok lagi.
Tepat tiga hari, ketiga tiang lo menggempur es dan Auwyang Hong dimerdekakan.
Dia lantas duduk bersila, untuk menyalurkan tenaga dalamnya. Selang setengah jam,tiga kali dia memuntahkan darah hitam, setelah itu dengan roman mendongkol, dia ngeloyor pergi.
Melihat keuletan orang, Kwee Ceng dan ketiga tiang lo kagum sekali. Merekamenyayangi si Bisa yang sesat ini.
Selama tiga hari Auwyang Hong digencet, hati Kwee Ceng tidak tenang. Sekarangsetelah orang berlalu, ia tetap merasa tidak tentram. Ia khawatir See Tok nanti munculsetiap waktu. Untuk menenangkan diri, ia duduk bersemedhi. Di sebelah itu, ada lagihalyang memberatkan hatinya. Ialah itu teriakan dari orang yang tidak dikenal, yang menitahkan menuangkan es kepada See Tok - es pengganti air panas. Ia ingat, itu mestinya suaranya oey Yong. Mulanya ia tidak perhatikan itu, baru selama tiga hari, ia mengingatnya baik-baik, lalu selanjutnya, suara itu seperti terus mendengung di kupingnya
“Tidak salah. Yong-jie ada di dalam pasukan ini” serunya sendiri seraya berlompat bangun. “Aku mesti mengumpulkan semua pumggawa dan serdadu, untuk memeriksa satu demi satu orang, mustahil dia dapat lolos” Hanya sejenak ia mengubah pikirannya itu. Ia ingat “Yong-jie tidak sudi menemui aku, periu apa aku memaksanya?” Maka ia menjadi berduka sekali. Ia bengong memg awasi gambar nona yang ia dapat dari Lou Tiang lo.
Malam itu selagi kesunyian memerintah jagat, Kwee Ceng mendengar derapnya kuda mendatangi, lantas itu disusul sama suara serdadu teguran pengawalnya, kemudian muncullah seorang pesuruh, yang menghaturkan surat titah dari Jenghiz Khan.
Angkatan parang Mongolia maju dengan lancar, di mana-mana mereka memperoleh kemenangan, maka itu, lagi beberapa ratus lie, mereka bakal tiba di samarkand, salah satu kota kenamaan di Khoresm Jenghiz Khan telah mendapat tahu kota itu telah dijadikan ibu kota baru oleh shah Muhammad, bahwa di situ telah dikumpul belasan laksa serdadu berikut rangsum yang cukup, kotanya sendiri pun kuat, maka untuk menggempur kota itu, ia pikir baiklah penyerangan dilakukan serentak.
Dengan datangnya titah panggilan itu, besoknya pagi Kwee Ceng memberangkatkan pasukannya menuju ke selatan mengikuti sungai, di dalam tempo sepuluh hari, tibalah ia diluar kota samarkand. Musuh rupanya melihat pasukannya yang berjumlah kecil, musuh keluar dan menerjamg. Ia melawan dengan dua barisannya, Hong-yang dan In-sui. Musuh kehilangan seribu jiwa lebih, dengan kekalahan mereka lari masuk ke dalam kota.
Di hari ketiga tibalah pasukan besar dari Jenghiz Khan sendiri, disusul oleh Juji dan ogotai. Maka samarkand lantas dikepung. Benar-benar kota itu kuat, sulit untuk dipecahkan dan dirampasnya. sebaliknya, banyak serdadu yang roboh sebagai korban.
Lewat lagi satu hari, putranya Jagatai penasaran, dia menyerang seorang diri Dia berani sekali, dia merangsak hebat. Apa celaka, dia kena dipanah kepalanya dan mati di situ juga.
Jenghiz Khan sangat menyayangi cucunya itu, ia sangat berduka. Ketika mayat sang cucu digotong pulang, ia memeluk. air matanya bercucuran. ia sendiri yang mencabut anak panah musuh. Ia terkejut ketika ia mendapatkan, anak panah itu memakai bulu burung rajawali dan terbungkus emas di mana ada ukiran huruf-huruf yang berbunyi:
“chao Wang dari negeri Kim.”
“Hm, kiranya Wanyen Lleh sijahanam ada di sini” dia berseru. Ia lantas lompat naik atas kudanya, ia memberikan pengumumannya “Semua perwira tinggi dan rendah, siapa saja yang dapat paling dulu memanjat kota dan memecahkannya serta berhasil membekuk Wanyen Lieh, guna membalas sakit hatinya cucuku, maka kota ini, semua wanita, permata dan citanya, akan dihadiahkan kepadanya”
seratus serdadu berkuda segera mengumumkan terlebih jauh janji junjungannya ini, maka di dalam tempo yang pendek. semua barisan lantas merangsak maju, seruan mereka mengguntur, semua berlomba memanjat tembok atau menggempur pintu kota.
Musuh membela diri dengan keras, kotanya tidak dapat digempur, sebaliknya pihak Mongolia rugi empat ribu orang. Inilah kekalahan yang pertama dari Jenghiz Khan selama dia maju di Khorems, maka itu ia menjadi sangat mendongkol dan berduka.
Pulang ke kemahnya, Kwee Ceng memeriksa kitab perangnya Gak Hui. Ia mau mencari daya untuk dapat memukul pecah kota samarkand itu. Ia tidak berhasil. Kota samarkand lain daripada kota-kota di Tiongkok. Lantas ia menyuruh orang mengundang Lou Yoe Kiak. Ia percaya, Yoe Kiak bakal pergi mencari oey Yong, maka kalau Yoe Kiak meminta tempo, hendak ia menguntitnya.
Yoe Kiak itu cerdik, dia telah mengatur orang-orangnya, dari itu di mana Kwee Ceng sampai, lantas ada orang Kay Pang yang menyambut ia sambil berseru. “Inilah tentu dayanya Yong-jie untuk ia bisa menghindarkan diri dari aku. sungguh dia cerdik, dia dapat menerka segala apa yang aku pikir”
selang satu jam, Yoe Kiak kembali. Ia kata “Kota ini benar kuat sekali. Cobalah tunggu lagi beberapa hari, kita lihat bagaimana gerak-gerik musuh, baru kita memikir pula.”
Kwee Ceng mengangguk dengan terpaksa.
Waktu berangkat dari Mongolia, pemuda ini polos sekali dan tolol, tetapi sekarang sang waktu dan pengalamannya, membikin dia mendapat banyak kemajuan. Dia jadi bisa berpikir. Demikian itu malam berdiam seorang diri di dalam kemahnya, ia memikirkan syair di gambar nona itu. Itulah artinya asmara.
“Pastilah Yong-jie tidak menganggap aku tidak berbudi,” pikirnya. “Tentulah ia lagi mengharap-harap penghaturan maafku terhadapnya . sayang aku tolol, tidak tahu aku caranya untuk menebus dosa, untuk membikin puas hatinya”
oleh karena susah pulas, sampai jam tiga barulah Kwee Ceng layap-layap. Ia lantas mimpi bertemu oey Yong. Ia segera menanya bagaimana caranya ia harus minta maaf.
si nona membisiki ia, ia jadi girang sekali, ia berlompat bangun dan ia mendusin Lantas ia menjadi berduka. Ia tidak ingat lagi kisikan si nona, sia-sia ia memikirkannya. Tapi ia ingat satu hal. Ia berteriak: ” Lekas undang Lou Tianglo datang ke mari” Perintah itu dijalankan.
Lou Yoe Kiak menyangka ada urusan militer penting, dia datang hanya dengan berkerebong baju kulitnya, sepatunya tidak keburu dipakai. Kwee Ceng lantas kata padanya: “Lou Tianglo, biar bagaimana, besok malam aku ingin bertemu sama nona oey. Tidak perd uli kau memikirkannya sendiri, atau kau minta bantuan lain orang, besok sebelum tengah hari, kau mesti telah memberikan aku satu daya upaya yang bagus untuk memukul pecah kota” Pengemis itu kaget.
“oey Pangcu tidak ada di sini, cara bagaimana koanjin dapat bertemu dengannya?” ia kata.
“Kau pandai berpikir, kau tentu mempunyai dayamu,” kata si anak muda. “Kalau besok siang kau tidak menghaturkan dayamu itu, aku akan menjalankan undang-undang ketentaraan”
Yoe Kiak masih hendak bicara, atau Kwee Ceng telah memberi perintah kepada serdadu pengiringnya: “Besok tengah hari kauperintahkan seratus algojo menanti di muka tenda ini”
serdadu itu memberikan penyahutannya, sedang Yoe Kiak. dengan roman masgul, ngeloyor pergi.
Besoknya pagi, salju turun besar-besaran, tembok kota menjadi licin. Mana bisa kota itu dipanjat? Maka Jenghiz Khan tidak mencoba menyerbu kota. Ia pula bersangsi meninggalkan kota itu. Hawa udara sangat dingin. Kalau ia maju terus ke Barat, belakangnya bias dipotong musuh. Kalau lama ia berdiam di situ, musuh bisa mendapat bala bantuan. ia menjublak memandangi puncak yang tinggi seperti masuk mega. Iajalan mondar-mandir dengan menggendong tangan.
Puncak itu mencil sendirian, mirip pohon tanpa cabang dan daun, maka penduduk samarkand menamakannya “Puncak Gundul”. Dan kota samarkand dibangun dengan menyender puncak itu. Hebat pendirian kota ini. Mengingat kuatnya kota, entah berapa banyak belanja pendiriannya. juga panglima yang mengatur rencananya dan tukang-tukang yang mengerjakannya, mereka semua pasti pintar sekali. Kota terbuat dari batu semua, di situ rumput pun tidak tumbuh. Mungkin kera juga tidak dapat memanjatnya.
Lama Jenghiz Khan memandang hingga ia berpikir: “Semenjak aku bergerak, aku telah melakoni beberapa ratus kali perang besar dan kecil belum pernah aku nampak kesukaran seperti kali ini. Adakah Thian hendak memutuskan aku?”
salju turun terus, semua tenda telah menjadi putih, sebaliknya di dalam kota, dari mana-mana tampak asap mengepul.
Kwee Ceng pun ada kemasgulannya sendiri. Ia menantikan sang waktu dengan hatinya berdebaran. Dapat kah oey Yong memberi akal kepadanya? Bagaimana kalau Yoe Kiak bungkam? Bisakah dia membunuh pengemis itu?
Mendekati tengah hari pemuda ini duduk sendirian di dalam kemahnya. Ia berpikir keras. Algojo-algojonya telah siap menantikan.
Kemudian, tanpa merasa terdengarlah bunyi terompet dari markas besar. Itu dia tanda bahwa sang tengah hari telah tiba. Berbareng dengan itu, Lou Yoe Kiak muncul di dalam kemah, terus dia berkata “Aku telah dapat memikir satu daya, hanya dikhawatir koanjin sukar menjalankannya.”
Tapi Kwee Ceng sudah lantas menjadi kegirangan.
“Lekas bilang” ia mendesak. “Apakah yang menjadi kesukarannya? Biarnya itu meminta tenagaku, akan aku kerjakan juga”
Yoe Kiak menunjuk kepada puncak gundul. “Sebentar tengah malam, oey pangcu menantikan koanjin di sana.”
“Benar saja, inilah suaranya Yong-jie,” kata sipemuda di dalam hatinya. “Ia hendak membikin aku tidak berdaya. Puncak ini tinggi melebihkan Tiong cie Hong beberapa lipat, jurangnya hebat, sekalipun ada burung rajawali, belum tentu aku dapatmendakinya Mungkinkah di atas puncak ada dewa yang akan meluncurkan dadung untuk mengerek aku naik?”
Ia menjadi masgul. Ia lantas membubarkan barisan algojonya. Dengan menunggang kuda, seorang diri ia mendekati puncak gunung gundul itu. Ia menampak es bertumpuk bersusun bagaikan batu yang licin mengkilap. Es itu mirip es yang dipakai menggencetAuwyang Hong. cuma burung dapat terbang ke atas puncak itu
Pemuda ini mengangkat kepalanya, memandang ke puncak. Tiba-tiba kopiahnya jatuh. Mendadak ia mendusin.
“Ah” katanya seorang diri. “Bukan maksud hatinya oey Yong menjanjikan aku mendaki puncak ini, ia hanya hendak menguji hatiku apa aku benar-benar tulus memcintainya. Biarlah, aku nanti mencoba mendakinya. Umpama aku jatuh terpeleset hingga mati, aku toh telah menunjuki hatiku” setelah berpikir begini, hatinya menjadi lega.
Malam itu habis bersantap. Kwee Ceng siap. Ia membekal pisau belatinya serta
sepotong dadung panjang. Belum lagijagat gelap seluruhnya, ia sudah keluar dari
kemahnya, untuk menuju ke puncak. Di luar kemah, ketiga tiang lo menantikannya.
“Kami mengantarkan koanjin,” kata mereka.
Ia heran.
“Mengantar aku naik?”
“Benar,” menjawab Yoe Kiak. “Bukahkah koanjin berjanji akan bertemu sama oey
pangcu di atas puncak?” Kembali si pemuda heran sekali.
“Jadi benar- benarkah Yong-jie menjanjikan aku?” pikirnya. Jadi dia tidak mendustai aku?” Ia heran berbareng girang. Maka lantas ia mengikuti ketiga tianglo itu.
Di kaki puncak sudah menanti beberapa serdadu pengiringnya bersama beberapa puluh ekor kerbau dan kambing. ia heran.
“Potonglah” Yoe Kiak menitah. Seorang serdadu mengangkat goloknya yang lancip. ia menebas sebelah kaki belakangnya seekor kambing, kaki mana selagi darahnya masih panas, lantas ditancapkan di es. sebentar saja, darah itu membeku keras, sedang paha kambing itu sendiri nancap di es itu keras seperti nancapnya paku.

Bab 76. Pembalasan
Belum lagi Kwee ceng mengerti maksudnya penyembelihan kambing itu sertaditancapnya paha di es di kaki puncak itu, satu serdadu yang lain sudah membacok kutung satu kaki yang lainnya dari kambing itu terus kaki itu ditancapkan seperti yang pertama itu. Jaraknya kedua kaki kambing ialah empat kaki. Setelah ini, barulah ia sadar. Ketiga tianglo itu hendak membuat tangga dari kaki kambing, tangga untuk mendaki puncak. Perbuatan itu menyiksa binatang tetapi terpaksa dilakukan karena tidak ada lainnya jalan lagi.
Lou Yoe Kiak berlompat naik ke tangga kaki kambing undak pertama, Kan Tianglo mengutungi kaki kambing lainnya, dia lemparkan itu kepada kawannya, Yoe Kiak menyambuti dan menancapnya dengan sebat, habis mana, dia naik satu tindak. Hal ini dilakukan terus-menerus, di dalam tempo sebentar, pengemis itu telah naik tingginya belasan kaki. Sekarang ketiga tianglo bekerja semua, bekerja sama. Karena sudah tinggi, kalau kaki kambing dilemparkan ke atas, sesampainya di atas sudah dingin, maka kambing hidup dikerek naik, kakinya dikutungi di atas juga. Demikian orang bekerja terus, sampai Kwee ceng pun membantu.
Ketika akhirnya mereka tiba di puncak, ketiga tianglo sangat letih, sedang si anak muda mengeluarkan peluh .
“Koanjin, dapatkah kau memaafkan aku?” kata Yoe Kiak setelah ia dapat bernapas lega. Tapi Kwee Ceng kagum dan bersyukur.
“Aku justru tidak tahu bagaimana harus membalas kebaikan tianglo bertiga,”
jawabnya.
” Inilah titahnya pangcu. Yang terlebih sukar pun kami akan melakukannya. Siapa suruh kami mempunyai Pangcu yang luar biasa?”
Yoe Kiak tertawa, juga dua kawannya, habis mana, mereka mendahului turun dari puncak, untuk itu, mereka dibantu dadung yang diikat di pinggang mereka masing-masing.
Kwee Ceng mengawasi sampai ketiga tianglo itu tiba di pinggang gunung, baru iamemandang puncak itu. Ia melihat suatu pemandangan, yang sangat mengagumi, yang membikin pikirannya terbuka. Itulah wilayah es, yang merupakan kaca. Ada es yang berupa seperti bunga atau rumput atau binatang kaki empat atau burung, ada pula yang berdiri bagaikan rebung, bagaikan pohon. Ia menjadi tersengsem. Ia tentu tercengang terus kalau tidak ia mendengat suara tertawa halus di sebelah belakangnya, hingga ia berpaling dengan segera. Di sana ia melihat seorang nona dengan pakaian putih lagi mengawasi padanya, wajah si nona seperti lagi tertawa. Ia menjublak mengawasi. Orang itu bukan lain daripada oey Yong. Yong-jie yang ia cari, yang ia buat pikiran setiap detik.
sekian lama mereka saling memandang, lantas mereka sama-sama bertindak menghampirkan. Mereka girang dan berduka, karenanya, selagi saling mendekati, tanpa merasa, kaki si nona terpeleset. si pemuda kaget, dia berlompat, untuk menolongi.
Karena itu, mereka jadi saling rangkul, tubuh mereka rebah bersama.
Sampai sekian lama barulah oey Yong melepaskan diri, untuk duduk di atas satu gundukan es yang mirip sepotong batu besar.
“Jikalau bukannya kau sangat memikirkan aku, tidak mau aku menemui kau,” kata dia. Kwee Ceng mengawasi, bengong mulutnya tertutup. si nona pun, habis mengatakan begitu, terus berdiam.
“Yong-jie” kata si pemuda akhirnya.
“Engko Ceng” si nona menyahuti.
“Yong-jie” kata pula si pemuda, girangnya bukan kepalang.
“Ah, apakah masih belum cukup kau memanggil namaku?” si pemudi tertawa.
“Bukankah meski aku tidak berada di sampingmu, setiap hari kau telah menyebut-nyebut namaku puluhan kali?”
“Bagaimana kau ketahui itu?” Kwee Ceng heran. oey Yong tertawa.
“Kau tidak melihat aku, aku sering melihat kau” jawabnya.
“sampai sebegitu jauh kau berada di dalam pasukanku, kenapa kau tidak membiarkan aku melihat padamu? “
“Hm, masih kau ada muka menanyanya? satu kali kau ketahui aku tidak kurang suatu apa, tentulah kau bakal menikah dengan putri Gochinmu Maka aku lebih suka tidak memberitahukan kau tentang di mana adanya aku Apakah kau kira aku tolol?”
Mendengar disebutnya nama Gochin Baki, kegembiraan Kwee Ceng lenyap separuhnya, dengan lantas ia menjadi masgul.
“Pemandangan di sana indah, mari kita pergi ke sana” mengajak oey Yong yang melihat air muka orang itu, tangannya menunjuk. “Mari kita berbicara sambil berduduk.”
Kwee Ceng berpaling ke tempat yang ditunjuk itu. Di sana ada sebuah gua es, karena sinarnya rembulan, gua itu mengasih lihat wujud mirip istana. Ia mengangguk.
Dengan berpegangan tangan, keduanya menghampirkan gua itu. Dengan mereka mengambil tempat duduk.
“Jikalau aku ingat perlakuanmu terhadapku selama di Tho Hoa To, kau bilang, pantas atau tidak aku memberi ampun padamu?” tanya si nona kemudian. Kwee Ceng berbangkit.
“Akan aku berlutut dan mengangguk padamu,” ia kata. Benar-benar ia menekuk lututnya.
“Sudahlah” kata si pemudi tertawa. “Jikalau aku telah tidak memberi ampun padamu, meski kau kutungi seratus kepalanya Lou Yoe Kiak, tidak kesudian aku merayap naik ke atas puncak ini.”
“Yong-jie, sungguh kau baik”
“Apakah bicara tentang baik atau tidak baik? Mulanya aku menduga kau Cuma mengingat sakit hati guru-gurumu dan hendak menuntut balas untuk itu, bahwa di matamu, separuh dari bayanganku juga tidak ada, adalah setelah mengetahui perjanjianmu dengan Auwyang Hong, untukku kau suka memberi ampun tiga kali kepadanya, baru aku ketahui kau sebenarnya masih memikirkan aku”
si anak muda menggeleng kepala. “Baru sekarang kau mengetahui hatiku,” ujarnya. Oey Yong bersenyum.
“Kau lihat, apakah yang aku pakai?”
Ditanya begitu, bagaikan baru sadar, Kwee Ceng mengawasi. Ia lantas mengenali baju putih si nona, baju bulu yang dulu hari dia mengasihkannya kepada nona itu di Thio-kee-kauw. Ia lantas menggenggam tangan orang. Berdua mereka duduk saling menyender.
“Yong-jie,” kata pula Kwee Ceng kemudian, “Dari suhu aku mendengar bagaimana kau di Tiat ciang Bio telah dipaksa Auwyang Hong untuk mengikuti dia. Bagaimana duduknya maka kemudian kau lolos dari tangannya iblis itu?” oey Yong menghela napas.
“sayang karena itu maka musnahlah Kwie-in-chung yang indah kepunyaan Liok suko,” ia berkata masgul. “Ketika itu si bisa bangkotan memaksa aku menjelaskan artinya Kiu Im cin-keng. Aku bilangi dia, menjelaskan kitab itu tidak sukar tetapi aku membutuhkan tempat yang bersih dan tenang. Dia bilang dia mengerti, dia hendak mencari sebuah kuil. Aku menolak kuil, aku kata aku sebal sama hweeshio dan aku pun tidak suka dahar sayur saja. Lantas dia tanya, bagaimana mauku. Aku lantas membilang di Kwie-in-chung di Thay ouw, kataku tempatnya bagus, makanannya lengkap dan lezat.
si bisa bangkotan setuju, dia menyatakan suka menuruti kehendakku.”
“Kenapa dia tidak bercuriga?” tanya Kwee Ceng.
“Dia dapat menduga aku kenal pemilik dari Kwie-in-chung akan tetapi dia tidak takut.
Dialah orang yang besar kepala, yang tidak melihat mata kepada lain orang. Dia bilang tidak perduli ada berapa banyak sahabatku di Kwie-in-chung, dia sanggup melayaninya.
Ketika kita sampai di sana, Liok suko ayah dan anaknya tidak ada di rumah, mereka lagi pergi menjenguk nona Thia di Poo-eng, Kangpak. Kau tahu sendiri, Kwie-in-chung itu diatur menurut Tho Hoa To. Begitu tiba di sana, si bisa bangkotan lantas merasa tidak wajar, sedang aku, dengan jalan berliku-liku, lantas aku menghilang. Kapan dia tidak dapat mencari aku, bangkitlah kemarahannya, dia lantas melepas api membakar rumah itu.” Kwee Ceng kaget, ia mengeluarkan seruan tertahan.
“Aku telah menduga si bisa bangkotan bakal membakar rumah, aku telah memberi kisikan pada sekalian penghuninya untuk menyingkirkan diri siang-siang.” oey Yongmelanjuti. “Bisa bangkotan itu lihay sekali, habis membakar, dia pergi ke jalanan yangmenuju ke Tho Hoa To, guna memegat aku. Begitulah beberapa kali hampir aku tercekuk dia. Akhirnya aku berangkat ke Mongolia. Nyatanya dia mengintil terus, Engko tolol, syukur kau tolol-tololan, jikalau kau sama licinnya seperti si bisa bangkotan dan kau mencari aku seperti dia mencarinya, pastilah aku bakal kena terkepung, tak tahu aku mesti bersembunyi di mana” Mendengar itu, Kwee Ceng tertawa.
“Tapi akhirnya ternyata kau pintar juga,” berkata oey Yong, “Kau mengerti bahwa dengan mendesak Lou Yoe Kiak pasti bakal ada akal”
“Yong-jie, itulah kau yang mengajarnya.”
“Aku yang mengajarnya di dalam impian.” Pemuda ini lantas menutur tentang impiannya.
Oey Yong tidak tertawa, tapi ia bersyukur.
”Orang dulu membilang kesujutan dapat membuka emas dan batu, itulah benar,” katanya. ” Karena kau sangat memikirkan aku, sudah selayaknya dari siang-siang aku menemukan kau.”
“Yong-jie, baikkah kalau kemudian kau tidak berpisah pula dari aku untuk selama-lamanya? “
Nona itu tidak menyahuti, ia hanya memandang awan yang mengitari puncak. “Engko
Ceng, aku merasa dingin,” katanya.
Dengan sebat Kwee Ceng mengerebongi si nona dengan baju kulitnya.
“Marilah kita turun,” katanya.
“Baiklah Besok malam kita berkumpul pula di sini, nanti aku menjelaskan artinya Kin Im Cin-keng kepadamu.”
“Apa?” menanya Kwee Ceng heran.
semenjak tadi tangan kanan si nona telah memegang tangan kiri si pemuda, sekarang ia menggenggamnya erat-erat.
“Ayahku telah menterjemahkan bagian paling belakang dari kitab itu, besok aku akan menjelaskannya itu kepadamu,” bilangnya.
Kwee Ceng berpikir. Ia heran. Bagian itu telah dijelaskan it Teng Taysu, mengapa sekarang nona ini menyebut ayahnya? Ia masih hendak menanya tegas ketika si nona memencet tangannya, maka ia membatalkannya. Ia tahu mesti ada sebabnya untuk tingkah aneh pemudi ini.
“Baiklah,” katanya akhirnya.
Sampai di situ, mereka turun dari puncak. untuk pulang ke kemah mereka. oey Yong berbisik: “Auwyang Hong juga telah naik ke puncak. selagi kita bicara, dia mencuri mendengari di belakang kita.” Pemuda itu terperanjat. “Ah, mengapa aku tidak tahu?”
“Dia bersembunyi di belakang sebuah batu es yang besar. Bisa bangkotan itu sangat licin tetapi kali ini dia lupa satu hal. Meskipun es besar tetapi es terang bagaikan gelas, tidak dapat dia pakai bersembunyi. Dengan bantuannya sinar rembulan aku mendapat lihat samar-samar tubuhnya itu.” Kwee Ceng sadar sekarang.
“Maka itu kau sengaja menyebut-nyebut Kin im Cin-keng,” ia berkata.
“Ya. Aku hendak memancing dia naik ke puncak, setelah itu kita merusaki tangga kaki kambing itu, supaya dia tinggal menetap sebagai dewa hidup, berkata si nona.
Kwee Ceng memuji bagus. Ia bersorak.
Besoknya pagi Jenghiz Khan menyerang pula kota, tanpa hasil, hanya dia meninggalkan korban seribu jiwa lebih.
Kwee Ceng sementara itu telah bersiap sedia. Untuk merusak tangga kaki kambing, ia minta bantuannya ketiga tianglo.
Auwyang Hong lihay sekali. Malam itu ia muncul, tetapi ia memasang mata dari jauh-jauh. sebelum oey Yong dan Kwee Ceng naik, ia terus bersembunyi.
Melihat akalnya tidak berjalan, oey Yong memikir akal lain. ia memerintahkan menyiapkan beberapa lembar dadung panjang, dadung itu direndam dulu di minyak tanah. Di Khoresm itu, di mana-mana terdapat sumber minyak tanah, minyak mana oleh rakyat dipakai untuk masak nasi dan lainnya. Menurut kitab Yuan shih, ketika Jenghiz Khan menyerang kota Urungya, ibukota lama dari Khoresm, ia telah menggunai minyak tanah membakar rumah-rumah hingga kota menjadi pecah karenanya.
Dengan membawa dadung itu, Kwee Ceng berdua oey Yong naik ke atas puncak, di dalam gua es, mereka duduk memasang omong. Kali ini si pemuda pun turut memasang mata secara diam-diam. Tidak lama maka mereka melihat bayangannya see Tok yang bersembunyi di belakang es besar. Karena lihaynya, dia tidak mendatangkansuara apa juga. Dia rupanya menduga kedua orang itu tidak melihat atau mengetahuiakan kedatangannya itu. oey Yong berlagak pilon, terus ia menjelaskan bunyinya kitabKiu Im Cin-keng kepada Kwee Ceng, dan si anak muda pun bersandiwara dengan menanya ini dan itu Tentu sekali mereka merundingkan isi kitab yang asli hinggamereka membuatnya Auwyang Hong girang tidak terkira. see Tok pikiri ” Kalau aku paksa budak itu, tidak nanti dia bicara begini rupa. sekarang dengan mencuri dengar, aku dapat mendengar dengan jelas.”
oey Yong berbicara dengan perlahan, ia baru menjelaskan tiga baris kata-kata, mendadak di kaki puncak terdengar suara terompet, nyaring dan cepat. Kwee Ceng berlompat berdiri seraya berkata: “Jenghiz Khan menghimpunkan panglima, aku mesti lantas turun”
” Kalau begitu, besok saja kita datang pula ke mari,” berkata si nona.
“Tidak berhentinya kita mendaki puncak. tidakkah itu sukar dan membuang tempo?”
Kwee Ceng tanya. “Apa tidak bisa kita bicara saja di dalam kemah?”
“Tidak” menyahut si nona. “Tua bangka Auwyang Hong terus-terusan mencari aku. Tua bangka itu sangat licin, sulit untuk menyingkir daripadanya, tetapi meski kelicinannya itu, tidak nanti dia dapat menduga kita membuat pertemuan di atas puncak ini.”
Auwyang Hong mendengar itu, dengan sangat puas ia kata di dalam hatinya:
“Jangan kata baru puncak sekecil ini, kau kabur ke ujung langit juga akan aku dapat cari padamu”
” Kalau begitu, kau tunggulah di sini,” kata Kwee Ceng. “Di dalam tempo setengahjam aku akan kembali.”
“Baiklah,” si nona mengangguk.
Pemuda itu turun dari puncak dengan hatinya tidak tentram. Bukankah oey Yong ditinggal seorang diri? Tapi mengingat yang see Tok sangat menginginkan artinya kitab,ia mau percaya si nona tidak dalam bahaya langsung. Maka dapat ia melegakan hatinya itu.
oey Yong menantikan hingga ia merasa si anak muda turun dan selesai dengan tugasnya, ia berbangkit seraya mengoceh seorang diri: ” Entah di puncak ini ada setannya atau tidak Kalau aku ingat kepada Yo Kang dan enci Liam Cu, sungguh aku takut Baiklah aku turun sebentar, sebentar aku datang pula bersama-sama engko Ceng.”
Auwyang Hong dapat mendengar ocehan orang itu, tetapi dia tidak berani berkutik dari tempatnya bersembunyi, dia khawatir si nona nanti melihat atau mendengarnya.
Maka leluasalah oey Yong pergi turun.
Kwee Ceng bersama ketiga tianglo menantikan di kaki puncak. begitu oey Yong turun, begitu mereka menyalakan api, membakar dadung yang telah dilibatkan si anakmuda di setiap undakan tangga kaki kambing itu Dadung itu telah direndam di minyak, maka itu
api lantas menyala, membakarnya dari bawah terus ke atas. setiap kaki kambing jatuh ke bawah setelah api bekerja melumerkan es yang melekat dan membekukannya kuat sekali. Api itu pun memperlihatkan pemandangan yang bagus, bagaikan cacing melapai naik, sebab waktu itu cuaca gelap dan es berkilau.
oey Yong bertepuk tangan memuji bagus. Katanya: “Engko Ceng, bilanglah Kali ini kau masih hendak memberi ampun atau tidak kepadanya?”
“Inilah yang ketiga kali, tidak dapat melanggar janji,” menyahut si anak muda. Oey Yong tertawa.
“Aku mempunyai akal,” katanya. “Tanpa menyalahi janji, aku bisa membinasakan dia untuk membalaskan sakit hatinya gurumu semua.” Kwee ceng girang sekali.
“Yong-jie” katanya. “Benar-benar di dalam dirimu semuanya tipu daya Apakahakalmu itu?”
“Akal gampang saja,” menyahut si nona. “Kita membiarkan si bisa bangkotan makan angin barat daya selama sepuluh hari dan sepuluh malam, biar dia kelaparan dan kedinginan, hingga habis tenaganya, baru kita memasang pula tangga kambing ini menolongi dia. setelah dia ditolong turun dari sini, bukankah itu berarti dia telah diberi ampun hingga tiga kali?”
“Benar,” Kwee Ceng menyahut.
”Karena dia telah diberi ampun tiga kali, kita tidak usah sungkan-sungkan lagi,”
berkata si nona. “Kita menanti padanya, begitu dia turun di bawah, kita lantas turun tangan menyerang padanya. Kita dibantu ketiga tianglo, kita berlima menyerang seorang yang sudah setengah mampus, kau bilang, mustahil kita tidak bakal menang?”
“Tentu saja kita bakal menang,” terkata Kwee Ceng, yang tapinya menggeleng kepala. “Dengan membunuh dia secara demikian, aku anggap itulah bukan caranya laki-laki sejati”
“Hm, dengan manusia sejahat dia kita masih bicara tentang kehormatan?” berkata si nona dingin. “Ketika dia membinasakan gurumu yang nomor dua dan nomor empat itu, adalah dia ingat akan cara terhormat itu?”
Kwee Ceng gusar sekali diperingati akan kebinasaan guru-gurunya itu, matanya sampai terbuka mendelik. Ia pun ingat, Auwyang Hong demikian lihay, kalau dia diberiampun, lain kali tidak ada lagi ketikanya sebaik ini untuk ia membalaskan sakit hati sekalian gurunya itu. Maka ia menggertak gigi. “Baiklah, begitu kita bekerja” bilangnya, menyatakan setuju.
segera setibanya di dalam kemah, muda mudi ini lantas duduk berbicara terlebihjauh. Kali ini benar-benar mereka berunding tentang Kin im Cin-keng. Keduanya merasa senang sekali, sebab ternyata selama satu tahun, mereka memperoleh kemajuan pesat.
“Yong-jie,” berkata Kwee Ceng kemudian. “Jahanam Wanyen Lieh berada di dalam kota musuh ini, kita dapat melihat dia tetapi tidak berdaya membekuknya, maka itu bisakah kau memikir suatu akal sempurna untuk memukuli pecah kota?”
“Selama beberapa hari ini aku terus memikirkannya,” menyahut si nona, “Hanya selama itu aku belum peroleh daya yang dapat digunakan.”
“Di dalam saudara-saudara Kay Pang ada belasan yang cukup baik ilmunya enteng tubuh,” kata si anak muda, “Kalau mereka itu ditambah kita berdua, dapatkah kita secara diam-diam mendaki tembok kota?”
“Tembok kota itu terjaga kuat sekali, setiap tombak ada penjagaan belasan tukang panahnya,” berkata si nona. “Sulit untuk melewati mereka semua. Laginya di dalam kota ada puluhan laksa serdadu, apa yang kita belasan orang dapat kerjakan? Untuk
memaksa membuka pintu kota pun sukar.” Kwee Ceng berdiam. Demikian malam itu dilewatkan.
Besoknya Jenghiz Khan mencoba menyerang pula kota, ia gagal. Kegagalan itu berlangsung selama tiga hari terus-menerus. Di hari keempat turun saiju besar.
“Mungkin tidak sampai sepuluh hari, Auwyang Hong bakal setengah mati karena kedinginan,” berkata Kwee Ceng sambil ia mengawasi ke puncak gunung.
“Dia sempurna ilmu tenaga dalamnya, dia dapat bertahan sepuluh hari,” kata oeyYong. Tapi baru habis ia menutup mulutnya, berdua Kwee Ceng ia terkejut melihat dariatas puncak ada benda yang jatuh. Kemudian si nona bertepuk tangan dan katakegirangan: “si bisa bangkotan tidak tahan, dia membunuh diri”
Tapi Auwyang Hong tidak jatuh cepat dan meluncur langsung, hanya tubuhnya itu memain, melayang-layang bagaikan layangan. Menyaksikan itu, kedua muda mudi ini heran. Mereka mengawasi terus. Mestinya orang jatuh langsung dan tubuhnya bakal hancur luluh. Kenapa sekarang tubuh see Tok turun perlahan-lahan? Adakah dia mengerti ilmu siluman?
Ketika Auwyang Hong sudah turun semakin ke bawah, baru terlihat apa yang benar.
Dia bertelanjang seluruh tubuh, di atasan kepalanya nampak dua buah benda seperti bola bundar yang besar.
“sayang-sayang” kata si nona setelah ia melihat tegas. Ia lantas mengerti duduknya hal.
Auwyang Hong itu terserang hebat hawa dingin dan lapar. Dia berotak kuat, dengan lantas dia dapat memikir akal. Bukankah tidak ada tangga untuk turun dan dia tidak dapat lompat turun? Maka dia menggunai akalnya. Untuk itu, terpaksa dia membuka baju dan celananya juga, dengan itu dia membuat dua buah buntalan seperti karung bulat, seperti bola. Dengan menggertak gigi, dengan kedua buah karung itu diikat dipinggangnya, dia berlompat turun. Dia membuang diri tetapi ini daya semata-mata untuk menolong jiwanya. Karung itu terkena angin, yang masuk ke dalamnya, lalu menjadi kembung dan bulat, maka dengan bantuan bola istimewa itu, tubuhnya tertahan, turunnya perlahan-lahan. saking mahirnya tenaga dalamnya, dia dapat melawan hawa dingin, meskipun benar kedua tangannya hampir beku.
Turunnya Auwyang Hong ini dari atas puncak dapat dilihat oleh tentara dari kedua pihak, mereka itu heran sekali, lantas ada yang menduga kepada dewa, maka banyakserdadu yang bertakhyul pada berlutut dan memuji.
Kwee Ceng mengawasi. Karena Auwyang Hong terbawa angin, mungkin dia bakal turun di dalam kota. Ia lantas menyiapkan panahnya, ia menunggu sampai Auwyang Hong terpisah dari tanah beberapa puluh tombak. la melepaskan panah berantainya. Ia mengharap mengenai sedikitnya payung bolanya siBisa dari Barat, supaya dia jatuh dengan terluka parah. Tapi see Tok lihay, dia melihat datangnya anak panah, diamenangkis dengan kakinya. Menyaksikan kejadian yang luar biasa itu, tentara bersorak memuji.
Jenghiz Khan yang telah menerima laporan dari Kwee Ceng, juga menitahkan tentaranya melepaskan anak panah, maka hebatlah datangnya serangan.
Auwyang Hong mendapat lihat ancaman bahaya itu, dia menjadi nekat. Diamelepaskan kedua tangannya, hingga lantas saja dia jatuh dengan kepala turun terlebih dulu. Kembali puluhan ribu serdadu bersorak riuh.
Auwyang Hong turun tepat ke dalam kota, di betulan sebuah bendera besar. Dia menyambar dengan kedua tangannya, dia memegang keras kain bendera. Dia bertubuh berat, kain bendera itu robek. Tapi justru dia menjambret, hingga tubuhnya sedikit tertahan, kedua kakinya pun menyambar ke arah tiang bendera, maka dilain saatlenyaplah dia di dalam kota.
Tentara di kedua pihak heran, mereka bicarakan urusan itu hingga mereka melupakan peperangan.
“Kali ini dia terhitung tidak diberi ampun,” berpikir Kwee Ceng, yang segera menyesal sekali, “Dia jadi masih mempunyai ketikanya satu kali lagi. Tentunya oey Yong masgulsekali”
Ketika ia berpaling kepada si nona, nona itu justru nampak girang, dia bersenyum. Ia menjadi heran.
“Yong-jie, mengapa kau bergembira?” tanyanya. si nona bertepuk tangan, dia tertawa.
“Aku hendak mempersembahkan hadiah besar kepadamu, kau senang atau tidak?”
dia balik menanya.
“Apakah itu?”
“Kota samarkand” Kwee Ceng tercengang.
“Si bisa bangkotan barusan mengajari aku tipu daya memecahkan kota,” berkata si nona. “Pergi kau menyiapkan pasukan perangmu, sebentar malam kau bakal berhasil”
Selagi pemuda itu masih belum mengerti, nona ini berbisik di kupingnya. Baru setelahmendengar itu, dia juga girang hingga dia bertepuk-tepuk tangan.
siang itu Kwee Ceng memberi titah rahasia kepada semua serdadunya, untuk mereka itu memotong tenda mereka masing-masing, guna membikin sebuah payung kecil, yang ukurannya ia berikan, payung mana mesti diikatkan tambang. Titah itu diberi batas waktu, ialah semua payung mesti sudah rampung di dalam tempo setengah jam.
Ia membutuhkan selaksa buah. semua serdadu menjadi heran. Pula, di waktu hawa begitu dingin, tanpa tenda, bagaimana mereka bisa melindungi diri? Tapi titah ialah titah.
Maka bekerjalah mereka.
Masih ada titah lainnya dari Kwee Ceng. Pertama-tama titah mengumpulkan kerbau dan kambing di kaki puncak, di mana orang mesti menanti titah lebih jauh untuk bekerja.
selaksa serdadu diperintah pergi ke tempat tigapuluh lie di luar pintu kota utara, untuk di sana mereka itu mempersiapkan diri dalam empat barisan Thian-hok. Tee-cay, Hong-yang dan In-sui. Mereka mesti menanti waktu untuk membekuk musuh. Lagi selaksa serdadu diperintah mengambil tempat di kiri dan kanan pintu utara itu, mereka mesti mengatur diri dalam empat barisan Liong-hui, Houw-ek. Niauw-siang dan coa-poan.
Tugas mereka ini ialah mendesak memaksa musuh masuk ke dalam empat barisan yang lainnya itu. Kemudian, selaksa serdadu yang ketiga diperintah siap sedia untuk tugas yang akan diberikan terlebih jauh.
Demikian malam itu, setelah bersantap. empat laksa serdadu diberangkatkan. Lebih dulu dua laksa jiwa dikirim ke pintu kota, lalu yang selaksa ke kaki puncak. dan yang selaksa lagi untuk bersiap sedia.
Kwee Ceng menitahkan satu serdadu pengiringnya pergi pada jenghiz Khan untuk memberitahukan yang kota musuh bakal terpukul pecah, dari itu junjUngan itu diminta menyiapkan barisannya untuk menyerbu.
Jenghiz Khan heran, ia bersangsi. Maka ia memerintahkan si serdadu pergi memanggil Kwee Ceng datang padanya, untuk ditanya tegas, tetapi serdadu itu membilangi: “sekarang ini Kim Too Huma tentu sudah memimpin pasukan perangnya menyerang musuh, ia hanya menantikan Kha Khan membantu padanya.”
Benar juga, disana sudah lantas terdengar tentaranya Kwee Ceng membunyikan terompet perang. Di sana seribu lebih serdadu telah bekerja menyembelih kerbau dan kambing untuk membuat tangga istimewa, pekerjaan mana dilakukan oleh orang-orang Kay Pang yang dapat bergerak dengan cepat dan gesit. Maka dengan lekas telah terampungkan seratus lebih tangga istimewa itu. setelah itu, Kwee Ceng sendiri yang mulai, yang mengasih contoh mendaki tangga itu, untuk naik ke atas puncak gundul. Ia ditiru oleh selaksa serdadu.
Hanya mereka ini dibantu dengan dadung yang diikat di pinggang mereka, perlahan mereka merayapnya naik. Atas titah yang keras, mereka itu dilarang mengasih dengarsuara apa-apa.
Puncak tidak luas, selaksa serdadu tidak bisa ditempatkan di situ, maka itu KweeCeng sudah lantas menitahkan rombongan pertama mengikat payung di pinggang dan memegang golok di tanah, setelah ia memberi tanda dengan tepukan tangan, mereka itu pada berlompat ke arah kota musuh, ke pintu kota selatan guna mulai dengan penyerangan mereka. Pula ia sendirilah yang memberi contoh dengan berlompat paling dulu.
semua serdadu telah melihatnya tadi siang bagaimana Auwyang Hong berlompat turun dari puncak itu, maka dengan berani mereka meniru perbuatan kepala perang mereka. Maka sekejab saja, udara seperti penuh dengan payung manusia itu.
Rombongan demi rombongan tentara itu pada menerjunkan dirioey Yong menanti di batu es, senang ia menyaksikan rampungnya tindakan permulaan itu. Ia kata di dalam hatinya: “Jenghiz Khan berhasil atau tidak, itu tidak ada hubungannya sama aku, hanya kalau engko Ceng menuruti perkataanku, dia sekalian dalam melakukan sesuatu yang besar.”
Kwee Ceng adalah yang pertama tiba. Belum sampai di tembok kota, ia sudah melepaskan payungnya, dan belum lagi kakinya menginjak tanah, ia sudah putar goloknya yang besar menyerang serdadu-serdadu penjaga kota itu.
Di dalam kota ada sejumlah serdadu yang melihat datangnya musuh dengan cara yang luar biasa itu, mereka kaget dan heran, mereka pun takut, hilang semangat berkelahinya.
Lagi pula, tentara yang pertama turun itu ada dari rombongan Kay Pang, dari itu hebat penyerangan mereka ini, dengan lantas mereka mendekati pintu kota. Tentara Mongolia menyusul belakangan. Di antara mereka ini ada beberapa ratus yang gagal, payung mereka rusak. jiwa mereka melayang. pula mereka yang sampainya ditanah terpencar, banyak yang kena dikurung, ditangkap atau dibinasakan tentara Khoresm. Di antara tentara itu, dalam sepuluh sembilan yang mendarat dengan berhasil. Dengan titahnya Kwee Ceng, mereka ini memecah diri, ialah yang separuh menyerang musuh, yang separuh lagi memaksa menerjang pintu kota untukdibuka dan dipentang.
Tentu sekali penyerangan itu sangat mengacaukan musuh, suara pertempuran juga sangat berisik Jenghiz Khan mendengar suara itu, ia mau percaya Kwee Ceng tidak melaporkan hal yang tidak-tidak. maka ia lantas bekerja, menitahkan pasukannya maju ke pintu kota, untuk menyerang musuh.
Pintu kota selatan sudah lantas terpentang, beberapa ratus serdadu Mongolia berjaga-jaga di situ, membiarkan ribuan kawannya masuk. untuk bekerja sama. Kawan-kawan yang lainnya menerobos terus saling susul.
Belum sampai fajar, buyar sudah tentara Khoresm yang melindungi pintu kotanya.
shah Muhammad diberitahukan di pintu kota utara belum ada musuh dia memerintahkan membuka pintu kota itu, untuk melarikan diri dari sana. Di sana telah menanti barisan sembunyi dari Kwee Ceng, barisan itu menyambut musuh dengan penyerangan mereka dari kiri dan kanan.
Shah tidak berniat berkelahi lagi. Dia menyuruh Wanyen Lieh bertahan di sebelah belakang, dia sendiri bersama barisan pengiringnya membuka jalan untuk molos dari kepungan, guna kabur paling dulu.
Biar penjagaan rapat tetapi karena musuh berjumlah lebih besar dan mereka itu nekat, pasukan Khoresm itu bisa juga mendesak.
Kwee Ceng terutama hendak mencari Wanyen Lieh, ia mengubar pangeran Kim itu, yang dapat dikenali dari kopiah perangnya yang terbuat dari emas dan berkilauan.
Beberapa kali ia diwartakan musuh bakal bisa lolos diakhirnya, terpaksa ia memegang pimpinan juga.
Pertempuran yang kacau itu berjalan terus sampai terang tanah, banyak musuh yang tertawan tetapi di antaranya Wanyen Lieh tak tampak. Jenghiz Khan telah lantas berkumpul di istana shah.
Kwee Ceng lagi membereskan pasukannya, mengurus yang terbinasa dan menghibur yang terluka ketika ia mendengar terompet emas dari khan yang agung.
Dengan lantas ia lari mentaati panggilan. Di depan istana ia melihat satu pasukan kecil, di antaranya ada oey Yong bersama ketiga tianglo. si nona lantas menepuk tangan, maka dua serdadunya menggotong sebuah kantung goni yang besar.
“Eh, coba kau terka, apakah isinya karung ini?” ia tanya si anak muda. Ia tertawa.
“Di dalam kota ini terdapat banyak barang luar biasa, mana bisa aku menerka?” sahut si anak muda, yang pun tertawa.
“Hendak aku menghadiahkannya kepada kau, pasti kau girang,” kata si nona pula.
Tiba-tiba Kwee Ceng ingat halnya Kiu Cian Jin di “Tiat Ciang Hong menghadiahkan Lam Kim sebagai bingkisan untuk Yo Kang, nona itu dimasuki ke dalam keranjang, maka ia menduga, mesti oey Yong telah mendapatkan nona yang cantik dan ia sekarang hendak digoda. “Ah, aku tidak mau,” ia kata sambil menggoyang kepala.
“Apakah benar-benar kau tidak mau?” oey Yong tanya sambil tertawa. “Awas, setelah kau melihat, jangan kau menarik pulang kata-katamu”
Tanpa menantijawaban, nona oey mengulur tangannya, untuk mengangkat karung itu, untuk mengeluarkan isinya yang benar saja ada seorang orang dengan rambut kusut dan mukanya penuh darah, pakaiannya seragam dari satu serdadu Khoresmia, hanya ketika diawasi, dialah Wanyen Lieh atau Chao Wang, pangeran dari Kim. Maka bukan main girangnya.
“Yong-jie” ia berseru. “Di mana kau dapat membekuk dia?”
“Aku melihat serombongan serdadu kabur dari pintu kota utara,” menyahut si nona, “Pasukan itu memakai bendera chao Wang dan seorang panglima dengan kopiah emas dan jubah perang tersulam kabur ke arah timur. Aku tahu Wanyen Lieh sangat licik, tidak bisa terjadi diwaktu kekalahan sebagai itu dia masih berani mengibarkan benderanya dan tetap memakai kopiah dan seragamnya, lantas aku menduga itulah mesti akal belaka guna mengelabui orang. Kalau benderanya ke timur, dia mesti kabur kebarat. Maka bersama Lou Tianglo beramai aku bersembunyi menjaga di sebelah barat. Benarlah dugaanku, di sana aku berhasil membekuk jahanam ini.”
Kwee Ceng menjura dalam kepada nona itu. Ia sangat bersyukur.
“Yong-jie,” ia berkata, “Kau telah membalaskan sakit hatinya ayahku, aku tidak tahu apa aku mesti bilang padamu.” oey Yong tertawa.
“Itulah hal kebetulan saja,” ia berkata. “Kau telah mendirikan jasa besar, kau pasti
bakal diberi hadiah oleh khan yang agung. Itulah baru bagus”
“Sebenarnya aku tidak mengharapkan jasa,” berkata si anak muda yang polos.
“Engko Ceng, ke mari,” kata si nona kemudian, perlahan, seraya bertindak ke samping. Kwee ceng mengikuti.
“Benarkah di dalam dunia ini tidak ada apa-apa yang dikehendakimu?” si nona tanya.
Pemuda itu melengak.
“Melainkan satu keinginanku,” jawabnya. “Ialah agar untuk selama-lamanya aku tidak dapat berpisah dari kau.” oey Yong mengawasi.
“Hari ini kau mendirikanjasa besar ini, aku percaya umpama kata kau menyebabkan khan yang agung gusar tidak nanti dia menghukummu” katanya. Pemuda itu belum mengerti, ia berdiam.
“Ah” katanya.
” Kalau hari ini kau minta pangkat atau gelaran, dia pasti menerimanya dengan baik,”
berkata pula si nona. “Kalau juga kau minta dia jangan menghadiahkannya, dia juga sukar menolaknya. Yang penting sekarang ialah kau mesti mendayakan agar dia menjanjikannya dengan mulutnya sendiri apa juga yang kau minta dia mesti meluluskannya.”
“Benar” kata si anak muda, singkat.
Mendengar jawaban hanya sebegitu, oey Yong menggoyang kepala. Ia mendongkol.
“Rup,anya kedudukan sebagai Kim Too Huma paling jempol, bukankah?” ia kata. Kwee Ceng terkejut. sekarang ia sadar.
“Aku mengerti sekarang” katanya. “Bukankah kau menghendaki aku menolak jodoh putrinya, supaya dia berjanji dulu, baru aku mengutarakan permintaanku? Dengan begitu dia jadi tidak dapat menolak. bukankah?” oey Yong tetap kurang puas.
”Itulah terserah padamu Mungkin kau tetap suka menjadi menantu raja..”
“Yong-jie,” berkata si anak muda, “Memang Gochin Baki sangat mencintai aku, tetapi aku, aku menyayangi dia seperti saudara saja, bahwa dulu hari aku tidak menampik, itulah karena aku hendak menepati janji belaka, maka kalau khan yang agung suka menarik keputusannya, sungguh itu bagus untuk kedua belah pihak.” Mendengar itu, baru lega hati si nona. Ia menatap pemuda itu.
Sementara itu terdengar suara terompet emas yang kedua kali. Kwee Ceng mencekal tangan si nona. “Yong-jie, kau tunggu kabar baik saja” bilangnya. Terus ia masuk ke dalam istana dengan menggiring Wanyen Lieh.
Melihat munculnya si anak muda Jenghiz Khan girang sekali. Ia berbangkit darikursinya, untuk menyambut sendiri, ia menarik tangan orang guna berjalan bersama. Ia terus menitahkan orang mengambil sebuah kursi, untuk menyuruh anak muda itu duduk di sisinya.
Kwee Ceng lantas memberitahukan bahwa Wanyen Lieh telah dapat ditangkap. Ia lantas menitahkan agar orang tawanan itu dibawa menghadap.
Jenghiz Khan menjadi terlebih girang lagi. Dia melihat pangeran Kim itu berlutut di depannya, ia mendupak dengan kaki kanannya ke kepala orang.
“Ketika dulu hari kau datang ke Mongolia dengan tingkah kerenmu, pernahkah kaumemikir bakal datang satu hari seperti ini?” ia tanya. Wanyen Lieh tahu ia bakal mati, ia mengangkat kepalanya.
“Dulu hari itu negaraku, negara Kim, kuat, aku menyesal tidak lebih dulumemusnahkan Mongolia” katanya dengan berani. “Begitulah maka terjadi bencana hari ini”
Jenghiz Khan tertawa lebar. Tidak ayal lagi, ia menitahkan menghukum mati pada orang tawanannya itu.
Maka Wanyen Lieh lantas digusur keluar istana, untuk menerima nasibnya.
Kwee Ceng girang berbareng berduka mengingat akhirnya sakit hati ayahnya telah terbalaskan.
Jenghiz Khan lantas berkata: “Telah aku janjikan siapa dapat memukul pecah kota ini serta membekuk Wanyen Lieh, hendak aku menghadiahkan dia dengan orang-orang perempuan, permata dan cita dari kota ini maka itu sekarang pergilah kau menerimanya itu semua” Kwee Ceng menggeleng kepala.
“Aku dan ibuku telah menerima budi besar, semua itu sudah cukup” katanya. “Segala budak, permata dan cita pun sudah cukup, berlebihan tidak ada gunanya.”
“Bagus” khan agung itu memuji, “Itulah sifatnya seorang ksatria Sekarang, apakah yang kau kehendaki? Apa juga yang kau minta, tidak ada yang aku bakal tidak luluskan.” Kwee Ceng berbangkit, ia menjura.
“Aku hendak mengajukan satu permohonan, aku minta khan yang agung tidak buat gusar,” ia berkata.
“Kau bilanglah” kata Jenghiz tertawa.
Kwee Ceng lagi hendak menyebutkan permintaannya itu ketika dengan sekonyong-konyong terdengar tangisan dan jeritan-jeritan yang hebat sekali, hingga orang menjadi terkejut. semua perwira berlompat bangun sambil menghunus senjatanya masing-masing. Mereka menduga tentara dan rakyat musuh berontak. mereka mau pergi untuk menindasnya.
“Tidak apa-apa” berkata Jenghiz Khan sambil tertawa. “Kota anjing ini tidak mau takluk. dia membikin aku kehilangan banyak perwira dan serdadu, dla juga menyebabkan kebinasaan cucuku yang kucintai, maka dia perlu dibasmi secara besar-besaran Nah, mari kita pergi melihatnya”
Jago Mongolia ini berbangkit, terus dia bertindak keluar, dlikuti semua panglima. Dari luar istana mereka naik kuda, untuk kabur ke barat dari arah mana datangnya tangisan dan jeritan-jeritan hebat itu. semakin dekat mereka mendengar semakin tegas tangisan yang menyayatkan hati itu. Ketika mereka tiba di luar kota, di sana terlihat berkumpulnya tak terhitung penduduk kota, pria dan wanita, tua dan muda, dikumpulkan satu baris demi satu baris, di tegalan yang kosong. sebab tentara Mongolia telah menitahkan semua penduduk kota keluar dari rumah mereka, tidak ada satu jua yang ketinggalan.
Penduduk itu mengira bakal dilakukan pemeriksaan guna mencari mata-mata, siapa tahu, setelah merampas alat senjata, tentara itu merampas juga barang permata dan lainnya yang berharga, akan akhirnya mereka pilih nyonya- nyonya dan nona-nona yang parasnya elok-elok. Baru sekarang penduduk itu mengerti bahwa mereka lagi diancam malapetaka. siapa yang melawan, dia lantas dibacok atau ditombak mati. Kemudian, sesudah pemilihan wanita yang cantik-cantik itu, tentara Mongolia menyerbu di antara orang banyak itu, tak perduli tua dan wanita dan anak-anak. semua dibacoki kalang kabutan. Itulah yang menyebabkan tangisan danjeritan yang menyayatkan itu, yang seperti menggetarkan langit dan bumi. Ketika Jenghiz Khan beramai muncul, telah jatuh korban lebih dari belasan jiwa, daging dan darah mereka berhamburan, mayat berserakan terinjak-injak kuda.
“Bagus Bagus” Jenghiz Khan tertawa bergelak-gelak. “Biar mereka tahu rasa”
Tapi Kwee Ceng tidak tega melihatnya. Dia lari ke depan khan yang agung itu. Ia mohon keampunan untuk mereka itu. Jenghiz Khan mengangkat tangannya. “Bunuh habis mereka itu satu pun jangan dikasih ampun”
Kwee Ceng terkejut, ia melengak justru itu ia melihat seorang bocah umur tujuh atau delapan tahun lari keluar dari rombongan orang banyak yang bercelaka itu, dia menubruk seorang wanita yang roboh diterjang kuda sambil dia berteriak-teriak: “Ibu ibu” Lantas seorang serdadu menerjang ke arah mereka, dia mengayun goloknya yang panjang, maka tubuh ibu dan anak itu lantas terkutung menjadi empat potong, hanya sebelum napasnya putus, bocah itu masih memeluki ibunya. Darahnya Kwee Ceng menjadi naik.
“Khan yang agung” dia berseru, “Kau telah membilang bahwa semua wanita, permata dan cita dari kota ini kepunyaanku, kenapa sekarang kau menitahkan melakukan pembasmian ini?” Jenghiz Khan tercengang, tapi lantas dia tertawa.
“Kau sendiri yang tidak menghendakinya” sahutnya.
“Bukankah kau telah bilang, apa juga yang aku minta, kau bakal menerimanya?” si anak muda menegaskan. “Benar bukan?” Khan itu mengangguk. dia bersenyum.
“Kata-katanya khan yang agung adalah seperti gunung yang maha besar” kata si anak muda nyaring. “Aku minta kau memberi ampun kepada jiwanya beberapa puluh laksa rakyat negeri ini”
Jenghiz Khan kaget. Inilah dia tidak menyangka. Tapi dia sudah memberi janji, mana dapat dia menyangkal itu? Maka itu, dia jadi mendongkol bukan main, matanya terbuka lebar, merah seperti api Dia mendelik mengawasi si anak muda. Tangannya pun memegang gagang goloknya.
“Telur busuk, benar- benarkah permintaanmu ini?” tanyanya bengis.
semua pangeran dan panglima pun kaget karena kemurkaannya khan mereka itu.
Kwee Ceng juga tidak pernah melihat orang bergusar demikian macam, tanpa merasa hatinya berdebaran, tetapi ia memberikan jawabannya. “Aku cuma minta rakyat ini diberi ampun,” demikian penyahutannya.
“Apakah kau tidak bakal menyesal?” menegasi Jenghiz Khan, suaranya dalam.
“Tidak.”prmuda itu menyahut pula. Tapi ia terluka hatinya, sebab itu artinya iamenyia-nyiakan pengharapannya oey Yong untuk ia menolak perjodohannya denganGochin Baki.
Jenghiz Khan mendengar suara orang menggetar, tanda dari hati takut, hanya orang paksa membesarkan nyali. Mau atau tidak. la menghargainya. Ia lantas menghunus pedangnya seraya memberi titah menarik pulang tentaranya. Tukang terompetnya pun segera membunyikan alat tiupnya itu.
Beberapa laksa serdadu Mongolia, dengan tubuh mereka kecipratan darah, lantas mengundurkan diri dari antara puluhan laksa rakyat itu, terus mereka berbaris dengan seumurnya, belum pernah Jenghiz. Khan menemui orang yang berani menentang titahnya, sekarang dia menghadapi Kwee Ceng, bukan main mendongkolnya, tidak bisa dia lantas melenyapkan itu, maka setelah berseru, dia melemparkan goloknya ke tanah, lantas dia mengaburkan kudanya pulang ke dalam kota.
semua panglima mengawasi Kwee Ceng dengan sorot mata mereka penuh kegusaran. Hati mereka itu kebat-kebit. Khan mereka gusar, maka itu, entah siapa yang apes yang bakal kena digusari nanti. Mereka juga tidak puas sekali. setelah kota terpukul pecah, mereka mengharap dapat melakukan pembunuhan selama beberapa hari, tidak tahunya, harapan mereka menjadi kosong.
Kwee Ceng tahu orang tidak puas, ia tidak menghiraukannya. Dengan perlahan ia menjalankan kuda merahnya ke tempat yang sepi. Ia menyaksikan sisa peperangan itu.
Mayat-mayat berserakan, rumah-rumah habis terbakar. ia berduka untuk nasib rakyat itu. Ini telah terjadi karena ia hendak menuntut balas sakit hati ayahnya, sebab Jenghiz Khan hendak menjadi jago dunia. Ia memikirkan, apa dosa rakyat itu. Ia menjadi ngelamun hingga ia tanya dirinya sendiri: “Aku memukul pecah kota untuk membalas sakit hati ayahku, sebenarnya, pantaskah itu atau tidak?”
Seorang diri, ia masih jalan mondar-mandir di daerah yang sunyi itu, yang pemandangannya menggiriskan. sampai lohor baru ia pulang ke kemahnya. Di muka kemah ia disambut dua serdadu pengiring Khan, yang lantas memberi hormat kepadanya sambil memberitahukan dia dipanggil Khan, bahwa sudah lama mereka menantikan.
“Tadi siang aku berbantah, mungkin dia hendak menghukum mati padaku” pikir pemuda ini. “setelah sampai begini-jauh, aku melihat salatan saja.” Ia memanggil seorang pengiring kepercayaannya, ia berbisik kepadanya, yang disuruh segera pergi kepada Lou Yoe Kiak. habis mana ia menuju ke istana, hatinya tidak tenang, tetapi ia telah berkeputusan: “Tidak perduli Khan bagaimana gusar dan aku dipaksanya, aku tetap tidak akan menarik pulang permintaanku mengampuni rakyat Samarkand Dialah Khan, dia tidak dapat menarik pulang kata-katanya”
Kwee Ceng menduga jenghiz Khan lagi mengumbar hawa amarahnya, tidak tahunyamulai tiba di pintu pendopo, ia sudah mendengar tertawa nyaring dan riang dari orangagung itu, maka ia melekaskan tindakannya. setibanya di dalam, ia menampak di sisi Khan ada berduduk satu orang, dan di kakinya ada mendeprok seorang wanita muda, yang menyender kepada kakinya. orang yang berduduk itu, yang rambutnya telah putih semua tetapi wajahnya sehat, adalah Tiang cun Cu Khu Cie Kie, sedang si nona ialah putri Gochin Baki. Ia girang bukan main, ia lari menghampirkan untuk menemui imam itu.
Jenghiz Khan menyambar sebatang tombak dari tangan seorang pengiringnya, begitu ia membalik tubuh, ia menghajar Kwee Ceng dengan tombak itu. Pemuda ini terkejut, ia tidak melawan, hanya berkelit. Maka tombak itu mengenai pundaknya dan patah menjadi dua potong. Mendadak Jenghiz tertawa dan kata “Telur busuk habis sudah Jikalau bukannya aku melihat muka Khu Totiang dan anakku, hari ini aku hendak mengutungi lehermu”
Putri Gochin berlompat bangun seraya berseru: “Ayah Aku tidak ada di sini, kau pasti menghina engko Ceng”
Ayah itu melemparkan tombak buntungnya.
“siapa yang bilang?” tanyanya tertawa terbahak.
“Aku melihatnya sendiri Apakah ayah masih menyangkal?” kata putri itu aleman.
” Hatiku tidak tentram, maka itu aku datang bersama Khu Totiang untuk menyaksikannya”
Jenghiz Khan menarik tangan putrinya dan tangannya Kwee Ceng dengan masing-masing sebelah tangannya.
“Mari duduk, jangan rewel” katanya. “Mari mendengari Khu Totiang membaca syair.”
Memang benar, ketika itu, Tiang cun cu tengah hendak membacakan syairnya.
setelah pertempuran di Yan ie Lauw, Khu Cie Kie mendapat tahu Ciu Pek Thong, paman gurunya, tidak kurang suatu apa, dan bahwa yang membinasakan Tam Cie Hian, saudara seperguruannya, adalah Auwyang Hong, maka itu dengan hati lega ia dan saudara-saudaranya menghaturkan terima kasih kepada oey Yok su. Ketika ia mengatur barisannya di Yan ie Lauw itu, ia mengharap datangnya Yo Kang, untuk membantu pihaknya, maka ia menyesal bukan main tempo ia mendengar dari Kwa Tin ok tentang tersesatnya muridnya itu, Cie Kie menyesalkan diri mendapat murid tak kebetulan. Ia menyesal tidak membawa muridnya itu pergi hanya dibiarkan tinggal tetap di istana, jadi si murid terlalu terpengaruhkan penghidupan mewah. justru itu, ia menerima suratnya Jenghiz Khan, yang diiringi surat Kwee Ceng, yang mengundang kepadanya, karena mengingat pemuda itu, yang ia buat kangen, ia memenuhi undangan itu dan berangkat bersama belasan muridnya, hingga kesudahannya ia berhasil bertemu sama pendekar Mongolia itu. (Menurut kitab Yuan Sih, setelah surat- menyurat tiga kali dengan Jenghiz Khan, baru Khu Cie Kie berangkat ke Mongolia dengan melewati pegunungan Kun Lun San, ia membawa delapan belas muridnya dan mengambil tempo perjalanan empat tahun. Umumnya Khu Cie Kie dikenal sebagai Chang Chun, diambil dari gelarannya, Tian Cun Cu).
Khu Cie Kie melihat kulitnya Kwee Ceng menjadi sedikit hitam tetapi kesehatannya sempurna. Ia girang sekali. Sebelum Kwee Ceng datang, ia telah bicara sekian lama sama Jenghiz Khan tentang apa yang ia tampak di tengah jalan, ia menuliskannya secara berirama. Beginilah kira-kira syairnya itu:

Sepuluh tahun bencana peperangan, maka laksaan rakyat bersengsara.
Di dalam ribuan laksa jiwa, yang hidup tak ada satu dua.
Tahun yang lalu menerima panggilan,
Tahun ini berangkat memenuhinya,
Dengan menerjang hawa yang dingin,
Tanpa memperdulikan gunung 3000 lie.

Sekarang pun masih mengingat tanah daerah, Dan sisa napas letih masih ada, Asal saja rakyat dapat bebas dari sengsara.
Syair itu oleh seseorang pembesar sipil disalin ke dalam bahasa Mongolia, kapan Jenghiz Khan mendengarnya, dia berdiam saja, dia cuma mengangguk. Rupanya dia menginsyafi akibatnya bencana peperangan itu
Khu cie Kie menoleh kepada Kwee Ceng dan berkata ” Ketika tahun itu aku serta tujuh gurumu mengadu kepandaian di Yan ie Lauw, gurumu yang nomor dua telah meraba keluar dari sakuku sebuah syair tentang keindahan malam tanggal lima belas bulan delapan di waktu rembulan paling terang dan permainya, setelah itu aku menulis menyambungi syair itu, hanya sekarang, mereka itu tidak dapat melihat sambungan ini dalam mana aku mengharap terhentinya peperangan untuk menjamin perdamaian.”
Disebutnya ketujuh gurunya itu membuat Kwee Ceng sangat berduka hingga air matanya mengembang.
“Totiang telah datang ke Barat ini, pasti totiang telah menyaksikan keangkeran angkatan perangku,” berkata Jenghiz Khan.”Berhubung dengan itu, apakah totiang ada membuat syair untuk memujinya?”
“Di sepanjang jalan aku telah melihat bekas-bekas Khan yang agung menyerang kota dan merampas daerah, dalam hatiku timbul kesannya,” menyahut Khu Cie Kie ” Karena itu aku telah membuat syair. Beginilah syairku itu.”
Thian yang maha mulia mengirim walinya ke dunia, Mengapa tidak menolong umatnya dari penderitaan?
Umat ini siang dan malam bersengsara, Menahan hati menelan napas sampai mati tidak berbicara.
Mereka berdongak ke langit, Memanggil kepada Thian, Thian tidak menyahut
sipenterjemah menjublak. Mana dia berani menyalin itu untuk junjungannya?
Khu Cie Kie tidak memperhatikan orang itu, ia membacakan pula:

oh, dunia telah dibuka,
Di sana hidup ribuan juta manusia,
Di sana kejahatan bertempur tak hentinya,
Hingga hebatlah penderitaannya.
Raja Langit, Ratu Bumi, semua malaikat,
Mengapa melihat kematian tidak menolong?
si wali berduka tak berdaya,
sia-sia siang dan malam berduka saja.

Kwee Ceng merasakan artinya syair itu. Bukankah ia telah menghadapi peperangan dan baru tadi menyaksikan pembasmian manusia itu?
“Syair totiang indah,” berkata Jenghiz Khan, yang memasang kupingnya. “Apakah bunyinya itu? Lekaslah salin”
Penterjemah itu bersangsi, ingin ia membuat salinan lain, tetapi di situ ada Kwee Ceng, ia khawatir anak muda ini nanti menjelaskannya, dengan begitu ia bisa bersalah, maka dengan terpaksa, ia menterjemahkannya juga. Mendengar itu Jenghiz Khan tidak puas.
“Katanya di Tionggoan ada ilmu untuk hidup lama dan tak menjadi tua, tolong totiang mengajari itu padaku,” ia minta.
“Ilmu hidup lama dan tak menjadi tua itu, di dalam dunia ini tidak ada,” menyahut imam itu, ” Hanya ada juga ilmu bersemedhi dari golongan Too Kauw, ilmu itu benar-benar dapat menolak penyakit untuk menambah umur.”
“Bagaimanakah ilmu itu, totiang?” tanya khan agung itu “Bagaimakah pokoknya?”
” Hukum Thian tidak mengenal sanak. cuma mengenal orang baik,” sahut Cie Kie singkat.
“Apa itu yang dibilang baik” Jenghiz Khan menanya pula.
“Nabi tidak mempunyai hati lain, hatinya dicurahkan cuma kepada rakyat.” Khan itu berdiam.
Khu cie Kie berkata pula. “Di Tionggoan ada sebuah kitab suci yang dinamai Too Tek Keng yang kami kaum Too Kauw menganggapnya sebagai mustika. Demikian kata-kataku barusan, dari kitab itu asalnya. Kitab itu pun membilang, serdadu itu senjata tak membahayakan, itu bukan senjatanya bangsa budiman. senjata itu dipakai setelah sangat terpaksa. siapa memuji senjata, dia gemar membunuh orang, dan siapa gemar membunuh orang, dia tidak dapat mewujudkan cita-citanya di kolong langit ini.”
selama perjalanannya ke Barat ini, di sepanjang jalan itu Khu Cie Kie telah
menyaksikan akibat bencana perang, ia merasa sangat terharu, maka itu ia menggunai ketikanya ini untuk membuka jalan, guna memohon untuk rakyat.
Jenghiz Khan meminta pengajaran panjang umur, sebaliknya ia dinasihati untuk jangan terlalu menggunai tentaranya, jangan terlalu banyak membunuh orang, kata-kata itu tidak cocok untuknya, maka juga, ia lantas kata pada Kwee Ceng. “Pergi kau menemani totiang beristirahat.”
Kwee Ceng menurut, ia lantas mengajak imam itu mengundurkan diri Di luar istana ia segera disambut oey Yong serta ketiga tianglo bersama semua anggota Kay Pang.
Mereka itu datang dengan menunggang kuda. si nona lantas mengajukan kudanya sambil menanya dengan tertawa: “Tidak apa-apakah?”
Kwee Ceng menyahut sambil tertawa juga: “Untung justru totiang datang”
oey Yong memberi hormat kepada Tiang Cun cu, lalu kepada Kwee Ceng ia menambahkan: “Aku khawatir khan yang agung gusar dan nanti membunuh kau, maka kami datang ke mari untuk menolongi. Apakah katanya jenghiz Khan^? Apakah dia menerima baik penampikan jodohmu itu?”
Ditanya begitu, Kwee Ceng berdiam. Ia ragu-ragu. “Aku tidak melakukan penolakan,” katanya akhirnya. Tidak bisa ia berdiam terus. oey Yong tercengang.
”Kenapa?” tanyanya selang sejenak. “Jangan gusar, Yong-jie. sebabnya”
Baru pemuda ini mengatakan demikian, di sana terlihat putri Gochin lari keluar dari istana, sembari lari dia memanggil-manggil keras: “Engko Ceng Engko Ceng”
Melihat putri itu, oey Yong terkejut. Dengan lantas ia melompat turun dari kudanya, untuk menyingkir ke samping. Kwee Ceng hendak memberi penjelasan kepada kekasih itu atau Gochin Baki sudah lantas menarik tangannya sambil berkata dengan bernafsu: “
Kau tentu tidak menyangka aku bakal datang ke mari, bukankah? Kau telah melihat aku, kau girang atau tidak?”
Si anak muda mengangguk. terus ia menoleh ke samping, tetapi ia tidak melihat oey Yong
Putri Gochin, yang hanya memikirkan Kwee Ceng, juga tidak mendapat lihat nona oey. Ia tetap memegangi tangan si anak muda, ia tanya ini dan itu, tidak perduli di situ ada banyak orang lain.
Kwee Ceng mengeluh di dalam hatinya. Ia pun pikir: “Tentulah Yong-jie menganggap karena aku bertemu adik Gochin ini, aku menjadi tidak sudi menampik perjodohanku dengannya” Karena ini, apa yang si putri bilang, ia hampir tidak mendengarnya.
Akhirnya Gochin melihat orang melengak saja, ia heran, ia tidak puas.
“Eh, kau kenapakah?” tanyanya. “Dari jauh-jauh aku datang menjenguk kau, kau tidak memperdulikan orang”
“Adikku, aku mengingat satu hal,” berkata si anak muda. ” Hendak aku melihat dulu itu, sebentar aku kembali untuk bicara denganmu”
Pemuda ini memesan serdadu pengiringnya, untuk melayani Khu Cie Kie, lantas ia lari ke kemahnya. Begitu ia tiba, serdadu pengiringnya memberi laporan kepadanya, “Nona oey baru saja pulang, dia mengambil gambar, terus dia pergi dari pintu kota timur.”

Bab 77. Si orang aneh

Kaget pemuda itu.
“Gambar apakah?” ia tanya.
“Gambar yang Huma sering pandang.”
Kembali Kwee ceng kaget. Lantas ia mendapat pikiran: “Dia membawa pergi gambar itu, terang dia telah memutuskan segala apa denganku Tidak bisa lain, aku mestimenyusul dia ke Selatan”
Dengan cepat pemuda ini menulis surat untuk Khu cie Kie, lalu ia kabur dengan kuda merahnya keluar dari kota.
Kuda itu kuat dan cepat larinya, tetapi Kwee ceng masih tidak puas, ia mencambuki, maka sebentar saja ia telah melalui beberapa puluh lie. Di sini pun ia menyaksikan mayat orang dan bangkai kuda masih berserakan- Di tempat luas beberapa puluh lie, salju melulu yang nampak. Ia memperhatikan tapak kaki kuda, ia kabur ke timur. Lega sedikit hatinya. Ia berpikir “Kudaku kuat lari tanpa tandingan, lagi sebentar aku tentu dapat menyusul Yong-jie. Aku akan mengajak dia menyambut ibuku, untuk bersama-sama pulang ke Selatan-Adik Gochin boleh sesalkan aku tetapi apa boleh buat”
Lagi belasan lie, Kwee ceng melihat arah tapak kaki kuda menjurus ke utara, hanya di samping itu ada tapak kaki orang. Ia menjadi heran. Tapak kaki itu juga luar biasa, ialah jarak di antara kaki kiri dengan kaki kanan ada kira-kira lima kaki. Tindakan demikian lebar, tetapi tapaknya, bekas injakannya, enteng sekali melesaknya salju hanya beberapa dim. Teranglah sudah, sebelum melesak ke dalam salju, kaki itu sudah lantas diangkat pula.
Kapan pemuda ini ingat kepada kepandaian enteng tubuh, ia terkejut. Ia tahu, untuk di tempat ini, kecuali Auwyang Hong, tidak ada lain orang yang mempunyai kepandaian sedemikian lihay. Maka itu, mungkinkah see Tok telah mengejar oey Yong?
Mengingat itu, meskipun diwaktu salju dingin begitu, tubuh si anak muda mengeluarkan peluh. Ia kaget dan berkhawatir bukan main- Itu artinya oey Yong terancam bahaya
si kuda merah seperti mengerti kekhawatiran majikannya, tanpa dikeprak lagi, ia lari mengikuti tapak kuda dan tapak orang itu, yang terus berdampingan.
Lewat pula beberapa lie, kembali terjadi keanehan pada tapak kaki manusia itu.
.tujuannya telah berubah-ubah. sebentar tapak itu belok ke barat, sebentar mengkol ke selatan. Terputar-putar. Tidak ada yang tujuannya lempang. Tapi Kwee Ceng berpikiri “Pastilah Yong-jie mengetahui Auwyang Hong mengejar padanya, dia sengaja berjalan berputaran begini rupa. Di salju ini, tapak kaki terlihat tegas, tentulah Auwyang Hong melihatnya dan dapat mengejar terus padanya.”
Lagi-lagi belasan lie dikasih lewat. Di sini kedapatan banyak tapak kaki manusia, yang arahnya bertentangan. Melihat itu, terpaksa Kwee Ceng lompat turun dari kudanya, guna meneliti. Ia mendapat tahu, yang mana tapak lebih dulu, yang mana yang belakangan,
atau yang mana yang di depan, yang mana yang di belakang. Ia pun mengawasi itu dari jauh. Tiba-tiba ia ingat, “Yong-jie bertindak menuruti ajaran kitabnya Gak Buk Bok.
ia mengguna i Pat Tin Touw, barisan rahasianya Cukat Liang, untuk mengacaukan arahnya Auwyang Hong, supaya see Tok jalan terputar-putar hingga dia tidal dapat keluar dari kurungan tin ini, supaya dia pergi serintasan lantas dia berjalan kembali”
Kwee Ceng lompat naik atas kudanya. sekarang ini ia bergirang berbareng masgul.
Girang sebab ia percaya Auwyang Hong tidak bakal dapat mengejar terus si nona. Dan berduka, sebab kacaunya tindakan kaki, dia juga tidak akan dapat mengikuti jejak nona itu. Karena ini ia maju lebih jauh dengan tidak mengikuti jejak kaki hanya garis dari barisan rahasia Pat Tin Touw itu. Lebih dulu ia menuju ke timur selatan, lalu ke timur langsung. Tidak lama, ia melihat pula tapak kaki. lalu ia pun melihat, di kejauhan, di antara salju dan langit, yang seperti menempel, ada petaan seperti bayangan manusia.
Ia lantas mengaburkan kudanya, guna menyusul orang itu.
Lantas Kwee Ceng mengenali Auwyang Hong, siapa pun telah melihat kepadanya, bahkan dia segera memanggil-manggil: “Lekas, lekas Nona oey terjeblos di dalam embal” la kaget sekali, ia kaburkan kudanya. Ketika lagi beberapa puluh tombak akan mendekati see Tok, ia merasakan kaki kudanya menginjak bukan tanah keras hanya embal yang ketutupan salju. Kuda merah juga merasa yang ia menginjak sesuatu yang empuk. dia mempercepat tindakannya.
sekarang, setelah datang lebih dekat pada Auwyang Hong, Kwee Ceng melihat kelakuan orang yang luar biasa. sec Tok lagi jalan mengitari sebuah pohon kecil, cepat tindakannya, dia tidak mau berhenti sejenak juga.
“Apakah dia bikin?” tanya si anak muda kepada dirinya sendiri Ia menahan kudanya, niatnya hendak menanya siBisa dari Barat itu, atau mendadak kudanya itu lari terus, lalu kembali. sekarang ia baru mengerti. Kudanya itu berada di embal, kalau dia berdiam, dia dapat terpendam, kakinya bakal melesak masuk ke dalam lumpur. ia pun menjadi kaget.
sekelebatan otaknya berpikiri “Apakah Yong-jie kejeblos di dalam embal ini?” Lantas dia menanya: “Mana nona oey?”
Auwyang Hong berlari-lari terus, tapi ia menyahut: “Aku mengikuti tapak kudanya dan tapak kakinya sendiri, sampai di sini, dia lenyap Kau lihat” Ia menunjuk ke arah pohon-Kwee Ceng melarikan kudanya lewat, ia memandang ke atas pohon yang ditunjuk. Ia melihat tergantungnya gelang rambut dari emas. Tepat selagi lewat di bawahan pohon, ia menyambar itu. Ia mengenali baik gelang rambutnya oey Yong. Karena ini, ia memutar kudanya, untuk menuju ke timur. Baru lari kira satu lie, ia melihat suatu benda berkilau di atas salju. Tanpa turun dari kudanya, hanya sambil membungkuk dalam, ia menjumput itu selagi kudanya lewat. sekarang ia mengenali bunga mutiara yang si nona biasa pakai. Hatinya menjadi tidak karuan rasa, saking bingungnya. “Yong-jie, Yong-jie” ia memanggil-manggil. “Yong-jie, kau di mana?” Tidak ada jawaban sama sekali.
Memandang jauh ke depannya, Kwee Ceng melihat segala apa putih, tidak ada setitik juga yang hitam yang bergerak-gerak. Ia berkhawatir, ia penasaran. ia lari terus lagi beberapa lie. Kali ini di sebelah kirinya, ia melihat sepotong baju bulu - ialah baju bulu si nona. Kembali ia kaget. Baju itu dipandang sangat berharga oleh oey Yong dan biasanya tak pernah terpisah darinya, sekarang baju itu berada di tengah jalan bukankah itu alamat dari bencana?
Kwee Ceng menyuruh kudanya lari mengitari baju itu, ia berseru^ “Yong-jie.”
Di situ tidak ada gunung atau lembah, suara keras itu tidak mendatangkan kumandang. Hampir anak muda itu menangis. selagi ia tidak berdaya, Auwyang Hong datang menyusul.
“Mari kasih aku mengasoh di atas kuda,” berkata see Tok. “Mari kita sama-sama mencari nona oey”
Tapi Kwee Ceng gusar, ia membentak: “Kalau bukannya kau yang mengejar-ngejar, mana bisa dia lari ke daerah embal ini?” Ia menjepit perut kudanya, hingga kuda merah itu berlompat.
Auwyang Hong menjadi gusar sekali, dia berlompat, baru tiga kali, dia sudah datang dekat, tangannya menyambar ekor kuda.
Kwee Ceng kaget. Ia tidak menduga orang demikian gesit. segera ia menyabet ke belakang dengan jurusnya “sin liong pa bwee”, atau “Naga sakti menggoyang ekor”.
Kedua tangan beradu dengan keras. Kebetulan mereka sama-sama menggunai tenaga penuh. Tubuh Kwee Ceng terpental, hingga ia mencelat dari atas kudanya.
syukur kudanya maju terus. Dengan tangan kirinya, ia menjambret pelana kuda, ia menarik. maka sedetik kemudian, ia sudah bercokol pula di punggung kudanya itu.
Auwyang Hong sebaliknya mundur dua tindak. karena tolakan Kwee Ceng keras dan dia mesti memasang kuda-kuda, untuk mempertahankan diri, kakinya melesak di embal.
Ialah kaki kirinya masuk ke lumpur sebatas dengkul, hingga dia kaget, tidak terkira. Dia tahu betul, asal ia menggunai tenaga, dia bakal melesak semakin dalam, kaki kanannya akan melesak juga. Karena ini dengan cepat dia merebahkan tubuhnya, kaki kanannya menendang ke udara. Berbareng dengan itu, dia mengangkat kaki kirinya, untuk dipakai menendang. Maka itu, dengan lumpur bercipratan, kaki kirinya itu bebas dari dalam lumpur. setelah itu dia berlompat bangun.
“Yong-jie Yong-jie.” Ia mendengar Kwee Ceng memanggil-manggil pula. Lantas dia melihat pemuda itu, bersama kudanya, sudah meninggalkan dia pergi lebih dari satu lie jauhnya. Dia menduga orang sudah keluar dari daerah embal melihat larinya kuda yang mantap sekali. Dia mendongkol dan menyesal. Terpaksa dia lari mengikuti jejak kuda merah itu. Hanya, untuk kagetnya, dia merasakan kakinya menginjak dasar yang semakin lunak. Rupanya, dia bukan mendekati tepian hanya berada semakin tengah di embal itu. Dalam khawatir dan menyesalnya itu, dia jadi membenci si anak muda, yang berulang kali membuatnya malu, apa pula yang paling belakang ini, dia mesti bertelanjang dengan ditonton puluhan ribu serdadu. Lantas, dengan ilmunya enteng tubuh yang paling mahir, dia berlari untuk mengejar anak muda itu.
Kwee Ceng tengah melarikan kudanya tatkala ia menoleh ke belakang. Tahu-tahu Auwyang Hong sudah berada dekat beberapa tombak. Ia lantas menggeprak kudanya, hingga kuda itu terkejut dan berlompat lari. Hingga kuda dan orang, menjadi berkejar-kejaran-”Yong-jie” si anak muda terus memanggil-manggil. sementara itu, belasan lie telah dilalui.
Kwee Ceng bergelisah ketika ia melihat cuaca mulai gelap. Di waktu hari terang, oey Yong susah dicari, apa pula setelah datang sang malam. syukur untuknya, kudanya itulihay sekali, mendapat tahu dia menginjak salju yang longgar dia lari semakin keras, mirip terbang.
Auwyang Hong mengejar terus tetap dia ketinggalan semakin jauh. Dia menjadi letih, larinya menjadi kendor. Tapi juga si kuda merah cape, keringatnya membasahi seluruh tubuhnya, bulunya menjadi mengkilap dan cahaya merahnya bertambah marong, nampak tegas di antara warna putih dari salju di sekitarnya, mirip dengan sekuntum bunga cherri.
Akhir-akhirnya ketika langit telah menjadi gelap. kuda merah pun sudah keluar dari daerah embal yang luas itu. Auwyang Hong telah ketinggalan jauh entah di mana.
Hanya, meski ia bebas dari see Tok. Kwee Ceng tidak bebas dari kekhawatiran atas nasibnya oey Yong. Di mana adanya si nona? Dia kependamkah di embal? Kalau benar, mana ada pertolongan lagi?
Anak muda ini mencoba menguasai dirinya. Ia turun dari kudanya, untuk beristirahat, guna menentramkan hati, agar ia bisa menggunai pikirannya. Ia mengusap-usap punggung kudanya, katanya^ “Kudaku yang baik, hari ini kaujangan takuti kesengsaraan, sebentar kau maju pula lagi sekali, ya”
Tidak lama ia beristirahat, ia melompat pula ke punggung kudanya. Tali les ditarikmembikin kuda itu berbalik ke embal, mencari oey Yong di daerah lumpur itu. Kuda itu agaknya jerih, setelah dipaksa, baru dia lari. Keras larinya.
Tiba-tiba Kwee Ceng mendengar jeritan Auwyang Hongo “Tolong Tolong” see Tok menjerit berulang-ulang. Dia ternyata terbelesak di dalam embal, sampaisebatas dada, kedua tangannya diangkat tinggi ke atas, digerak-geraki seperti lagi menjambret sesuatu.
Kalau tububnya masuk terus ke dalam lumpur itu, sampai di mulutnya, melewati hidungnya, maka akan habislah dia Kwee Ceng hampir lompat turun dari kudanya menyaksikan bahaya yang mengancam see Tok itu. Ia membayangkan, jangan-jangan oey Yong pun telah mendapat nasib serupa. “Tolong” Auwyang Hong berteriak pula. “Lekas”
”Kau telah membunuh guruku Kau pun mencelakai nona oey” Kwee Ceng seraya menggertak gigi. “Kau ingin aku menolong mu? Jangan harap”
“Ingatlah janji kita” kata Auwyang Hong. “Tiga kali kau mesti memberi ampun padaku Dan inilah yang ketiga kalinya Apakah kau tidak mau memegang kepercayaanmu?” Kwee Ceng mengucurkan air mata.
“Nona oey sudah tidak ada di dalam dunia, apakah gunanya perjanjian kita itu?” katanya berduka.
Auwyang Hong menjadi sangat mendongkol, ia mencaci kalang kabutan.
Kwee Ceng tidak memperdulikan, ia larikan kudanya. Baru belasan tombak.
mendadak ia mendengar jeritan yang menyayatkan hati, lantas hatinya menjadi lemah.
Ia menghela napas. Terpaksa ia memutar balik kudanya. Ia melihat see Tok sudah melesak sebatas lehernya.
“suka aku menolong kau,” katanya pada jago dari see Hek itu “Hanya kudaku ini, kalau kita menaikinya berdua, muatannya menjadi berat, aku khawatir dia pun akan kebelesak di embal”
“Kau menggunai tambang untuk menarik aku,” Auwyang Hong mengasih pikiran.
Kwee Ceng tidak membekal tambang tetapi ia mengingat baju panjangnya, maka ia meloloskan itu, dengan memegang keras satu ujungnya, ia melemparkan itu.
Auwyang Hong menjambret dengan tangannya. Begitu dia dapat memegang, kuda merah dikasih lari keras, maka dia lantas kena tercabut dari dalam embal, terus dia diseret lari kuda itu ke arah timur. Belum lama, tibalah dia di tempat yang selamat.
Kwee Ceng mau mencari oey Yong, pikirannya selalu berada pada si nona, dari itu ia kabur terus bersama kudanya itu, hingga see Tok juga turut terbawa-bawa. Maka itu, dia memasang diri terlentang, dia membiarkan tubuhnya di bawa kabur di atas salju itu.
Ketika ini dipakai dia untuk meluruskan jalan napasnya. selama apa yang terjadi itu, sang tempo lewat dengan cepat.
Kwee Ceng telah melintasi pula wilayah embal. Ia mendapatkan lagi tapak kuda dan tapak orang. Itulah tempat darimana oey Yong datang, hanya sekarang, si nona tetap tidak ada. Ia lompat turun dari kudanya, ia bengong mengawasi tapak kaki itu Dalam keadaan berduka dan berkhawatir itu, Kwee Ceng lupa kepada musuhnya. Ia berdiri diam dengan tangan kiri memegangi les dan tangan kanan mencekal baju bulunya oey Yong. setelah mengawasi tapak kaki, terus ia memandang jauh ke depan.
ia baru terkejut ketika ia merasa benturan perlahan pada pundaknya. Hendak ia memutar tubuh, atau tahu-tahu tangan Auwyang Hong telah mengancam intay-hiat,jalan darah di punggungnya, hingga ia tidak berdaya lagi. Inilah cara ketika ia pun mencekuk si bisa bangkotan ketika dia baru keluar dari liang perangkap. Auwyang Hong mengasih dengar tertawanya yang dingin-
“Jikalau kau hendak membunuh aku, bunuhlah” kata si anak muda, yang hatinya sudah tawar. “Kita memang tidak membuat perjanjian aku menghendaki diberi ampun olehmu”
see Tok melengak. Dia memang berniat menyiksa pemuda ini, untuk menghina padanya, habis mana dia hendak mengambil jiwa orang. Di luar dugaannya, si pemuda justru meminta kematiannya.
“si tolol ini sangat mencintai itu budak celaka, kalau aku binasakan dia maka tercapailah cita-citanya mencari kematian,” ia berpikir. “Karena budak celaka itu sudah mampus, tentang artinya kitab Kiu Im Cin-keng sekarang aku bergantung hanya kepada dia ini”
Karena ini, ia lantas mengangkat tubuh si anak muda, buat dibawa naik ke atas kuda, lalu kuda itu ia kasih lari ke selatan di mana ada sebuah lembah.
selagi melewati sebuah kampung, Auwyang Hong masuk ke situ. Ia berniat singgah.
Di situ berserakan banyak mayat. Hawa udara sangat dingin tidak membikin mayat-mayat itu rusak. bahkan segala apa juga tidak berubah, maka semua mayat terlihat tegas seperti waktu baru matinya - dipandangnya menggiriskan, sebab semua tubuhnya tidak sempurna lagi. Mereka semua korban kekejaman tentara Mongolia.
Beberapa kali Auwyang Hong memanggil, ia tidak mendengar penyahutan dari orang kampung, yang ada hanya suaranya beberapa puluh ekor kerbau dan kambing yang seperti saling sahutan. Mengetahui ada binatang itu, ia senang juga. Ia bawa Kwee Ceng ke dalam sebuah rumah batu. Ia kata: “Kau sekarang tertawan olehku. tidak ada niatku membunuh kau, umpama kata kau dapat melawan aku, kau merdeka untuk pergi.”
Kemudian ia menangkap seekor kambing, untuk disembelih dan dijadikan penangsal perutnya yang kosong.
Kwee Ceng mendelu melihat sikap orang yang sangat bangga akan dirinya sendiri itu. see Tok sangat puas dengan kemenangannya itu. Dari mendelu, ia menjadi gusar sekali. Kemudian Auwyang Hong melemparkan sepotong paha kambing. “Kau dahar biar kenyang, sebentar kita bertempur,” katanya mengejek.
” Kalau kau mau bertempur, marilah” Kwee Ceng menjawab gusar. “Buat apa menanti sampai sudah gegares kenyang” ia lantas berlompat maju dan menyerang see Tok menekuk kedua kakinya, untuk menongkrong, dari mulutnya keluar dua kali suara kera k- kerok. Ia telah lantas menggunai ilmu silat Kedoknya, dengan apa ia membalas menyerang. Maka itu, di situ mereka lantas bertarung.
setelah bertempur lebih dari seratus jurus, Kwee Ceng terdesak. Ia masih kalah dalam hal tenaga dalam. Begitu ia dirangsak satu tindak dan kemcungannya ditinju. Ia kaget dan tidak berdaya, maka ia menanti kebinasaannya. Auwyang Hong tidak meneruskan hajarannya itu, dia hanya tertawa.
“Hari ini sampai di sini saja” dia berkata, “Pergi kau melatih ilmu silatmu dari kitab Kiu Im Cin-keng, besok aku nanti melayani pula padamu”
“Pui” menghina si anak muda, yang lantas pergi duduk di bangku. ia menjumput paha kambing, untuk dimakan. sembari makan, ia berpikiri “Dia hendak mempelajari ilmu silat dari kitab, kalau aku berlatih, dia akan menontonnya. Tidak, aku tidak boleh kena diakali Ah, ya, tadi serangannya ke kempunganku itu, bagaimana harus aku menangkis atau mengelakkannya? “
Ia lantas berpikir. Ia ingat, belum pernah ia mempelajari sesuatu jurus yang dapat memecahkan serangan lawan itu. Ada juga di dalam kitab, bagian “Hui Sie Keng”, ialah ilmu “Kapas Terbang”. Ilmu itu, kalau dapat diyakinkan, akan membikin tenaga di kempungan bisa menghindarkan serangan-
“Biar aku mempelajarinya di dalam hati, dia hendak menelan juga tidak dia mampu,” pikirnya pula. Maka lekas-lekas ia menghabisi daging kambingnya, terus ia duduk bersila, untuk belajar sambil bersemedhi. Dengan begitu ia bisa memusatkan pikirannya.
Ia menghapal bunyinya kitab. Setelah mengerti “It kin toan kut pian”, ia sudah mendapati pokoknya ilmu silat, dan sesudah mendapatkan pengajaran dari It Teng Taysu, ia telah memperoleh kemajuan terlebih jauh, maka itu, tidaklah sukar untuk ia meyakinkan “Hui Sie Keng”. Belum dua jam, ia sudah berhasil. Ia lantas melirik kepada Auwyang Hong, yang lagi bersemedhi.
“Awas” ia berseru. Ia bangun, lantas ia lompat menerjang, sebelah tangannya melayang.
Auwyang Hong telah siap sedia. Ia menangkis. Tadi ia berhasil dengan tinjunya ke kempungan, maka selang tidak lama, setelah melihat lowongannya, ia mengulangi serangannya itu. Hanya sekarang ia menjadi heran- Tinjunya itu melejit lewat, tinju itu seperti mengenai sesuatu yang licin, hingga tubuhnya sendiri sedikit terjerunuk ke depan-Justru itu, tangan kiri Kwee Ceng terbang ke lehernya.
“Bagus” pikirnya. Ia kaget dan girang. Ia menjerunuki tubuhnya terus ke depan, dengan begitu ia bebas dari serangan si anak muda. Setelah itu ia membalik diri, akan berkata: “Bagus ilmumu ini Adakah ini dari dalam kitab? Apakah namanya?”
“seecat iet-wi, ayboat kek-ji,” sahut Kwee Ceng.
see Tok melengak. Ia tidak mengerti. Tapi segera ia ingat akan penyebutan lafal bahasa sansekerta. Maka ia pikir. “Baik aku melayani dia dengan akal.” Karena ini, ia lantas melayani lebih jauh pemuda itu.
semenjak itu, sebulan lebih keduanya berdiam di rumah batu itu. Kalau yang satu ingin mencangkok ilmu silat dari Kiu Im Cin-keng, yang lain hendak menuntut balas.
saban-saban Kwee Ceng kena dibikin tidak berdaya, selamanya ia tidak dihajar atau dibinasakan, maka terus saban-saban ia meyakinkan secara baru, untuk menandingi setiap pukulan dahsyat dari see Tok. selama itu, terus mereka dahar daging kambing, sampai binatang itu hampir habis.
Lama-lama, Kwee Ceng sendiri mendapatkan kemajuan yang tentu, Auwyang Hong sebaliknya cuma dapat berlatih, tidak dapat dia ilmu dari Kiu Im Cin-keng yang diharap-harap itu. Dia malah menjadi bingung. Apa yang dia lihat dari Kwee Ceng ini, tidak cocok sama bunyinya kitab yang dia suruh si pemuda menuliskannya untuknya selama mereka berdiam di dalam perahu dulu hari itu. Karena ini, lama- lama jago dari see Hek ini berkhawatir juga. Dia pikiri “secara begini, selagi aku sendiri tidak mendapatkan artinya kitab, bisa-bisa aku akan menjadi bukan tandingan dia” Dia menjadi jeri sendirinya.
selama beberapa hari ini, dengan cara berlatihnya itu di otak. Kwee Ceng mulai mempelajari ilmu silat bersenjata. Ia menggunai pedang pendeknya membuat pedang kayu.
Dengan itu ia melayani tongkat ular dari see Tok.
sekarang Auwyang Hong memakai tongkat kayu tanpa dibantu ularnya yang istimewa. Ketika dulu dia menempur Ang cit Kong, tongkatnya terlempar lenyap di laut.
Kemudian dia membikin tongkat baja, dia melilitkan ularnya di ujung tongkat, tetapi tongkat ini lenyap di kurungan es selama dia digencet es oleh Lou Yoe Kiak. Meski hanya tongkat kayu dan tanpa ularnya, ilmu silatnva tak berubah, dari itu, tongkatnya ini tetap lihay. Beberapa kali pedang kayu si anak muda kena dibikin mental. Coba tongkat itu ada ularnya, pasti lihaynya bertambah.
selama itu, kuping mereka mendengar suara terompet, kuda dan tentara, dari tentara Jenghiz Khan yang berangkat kembali ke timur, yang mana berjalan beberapa hari lamanya. semua itu tidak dihiraukan dua orang yang lagi bertarung ini. Adalah pada suatu malam, ketika pasukan Mongolia itu sudah pergi semua, baru mereka merasakan kesunyian.
“Malam ini tetap aku tidak bakal dapat mengalahkan kau tetapi juga tongkatmu tidak akan dapat berbuat banyak atas pedangku,” kata Kwee Ceng di dalam hatinya selagi ia berdiri siap. dengan pedang di tangannya. Ia baru dapat memikir satu jurus yang baru dan hendak mencobanya, untuk mana ia menanti lawannya menyerang lebih dulu.
Mereka belum mulai bertempur tatkala mendadak mereka mendengar bentakan di atas genting: “Jahanam, kau hendak lari ke mana?” Itulah suaranya Ciu Pek Thong.
Dua-dua Kwee Ceng dan Auwyang Hong terbengong. sama-sama mereka memikiri “Kenapa dia datang begitu-jauh kc Barat ini?” Mereka baru mau membuka mulut atau mereka mendengar tindakan kaki, dari dua orang, yang satu di depan, yang lain di belakang, datang mendekati ke rumah batu ini. Inilah mungkin disebabkan- selagi lain-lain rumah kosong, di sini nampak cahaya api.
Dengan sebat see Tok mengebut dan apinya padam.Justru itu daun pintu tertolak hingga bersuara dan seorang lari masuk.
Didengar dari tindakan kakinya yang enteng, orang yang dikejar Pek Thong itu tak usah kalah ilmunya enteng tubuh dari Loo Boan Tong. Maka heranlah see Tok hingga ia berkata di dalam hatinya: “Dia dapat lari puluhan ribu lie tanpa terbekuk Loo Boan Tong, dia lihay. orang dengan kepandaian seperti dia, sekarang ini tinggal Oey Yok Soedan Ang cit Kong. Inilah hebat untukku si bisa bangkotan”
Di dalam gelap itu terdengar suara orang berlompat naik ke atas penglari di mana dia terus berduduk. terus terdengar tertawanya ciu Pek Thong, yang berkata: “Kau main petak dengan LooBoan Tong, aku senang sekali sekarang jangan kau molos pula”
setelah itu terdengar si tua tukang guyon itu menutup pintu dan mengangkat sebuah batu besar guna dipakai menunjang belakang pintu, sesudah mana, dia berkata: “Eh, bangsat bau, kau berada di mana?” Dia pun bertindak dengan tangannya meraba-raba, seperti lagi mencari sesuatu.
Kwee Ceng, yang telah lama berdiam di tempat gelap. dapat melihat samar-samar lagaknya kakak angkat itu, hendak ia menunjuki bahwa orang ada di atas penglari, akan tetapi sebelum ia keburu membuka mulutnya, mendadak Ciu Pek Thong berlompat sambil tertawa, dia menyambar kepada orang yang lagi sembunyi itu. Rupanya dia telah ketahui di mana orang berdiam dan berlagak mencari, untuk bersiap berlompat naik, orang yang dipanggil jahanam itu benar lihay. Tidak menanti sampai ia kena dicekuk.
ia mendahului menyingkir dengan lompat jumpalitan turun, hingga sesaat kemudian ia sudah berjongkok di pojok rumah.
Pek Thong agaknya jeri juga terhadap sijahanam itu, ia berlaku sangat berhati-hati.
sebelum mencari, ia memasang dulu kuping dan matanya. Maka itu sebagai orang lihay, ia lantas mendapat ketahui, kecuali ia sendiri, di situ ada suara bernapas dari tiga orang.
Ia heran kenapa orang berdiam saja. Mungkin orang kaget dan takut? Ketika tadi ia mendatangi rumah batu ini, ia juga menduga mesti ada penghuninya dan itu dibuktikan sama padamnya api serta sekarang sama suara bernapas. Akhirnya ia berkata: “Tuan rumah, jangan takut Aku datang ke mari untuk membekuk satu maling cilik, setelah dia terbekuk, akan aku lantas berlalu dari sini.”
Habis berkata, LooBoan Tong memasang kupingnya. Ia lantas mendengar suara bernapas yang semakin perlahan. ia mendapat tahu, suara bernapas itu datangnya dari tiga penjuru, timur, barat dan selatan- ia terkejut tetapi ia segera berseru: “Hm, jahanam, kiranya di sini kau menyembunyikan kawanmu” Ia tidak mendengar jawaban.
Kwee Ceng juga berdiam saja. ia tahu, dengan ciu Pek Thong menghadapi lawan tangguh, Pek Thong tentulah tidak bisa membantu padanya. Ia pikir baiklah ia menanti ketikanya.
Habis mementang mulut, Pek Thong bertindak perlahan ke pintu, dari mulutnya keluar ocehan^ Jangan-jangan LooBoan Tong tidak bakal berhasil membekuk orang dan sebaliknya ialah yang nanti kena dicekuk.” la bertindak terus Itu waktu dari kejauhan terdengar suara seruan ramai dibarengi sama tindakan kaki kuda yang riuh, rupanya itu dari satu pasukan tentara yang besar. suara itu mendatangi ke arah rumah batu ini.
Mendadak terdengar suaranya Ciu Pek Thong: “Bantuanmu makin lama makin banyak, nah, sudahlah, LooBoanTong minta maaf saja, tidak dapat dia menemani kau lebih lama pula” Dia lantas memegang batu besar penunjang pintu itu, agaknya dia hendak menyingkirkannya guna membuka pintu, guna mengangkat kaki. Akan tetapi, setelah batu itu terangkat kedua tangannya, mendadak dia melemparkannya ke arah tempat sembunyinya orang yang dia kejar-kejar itu. Pintu itu menghadap ke selatan dan orang itu jadinya berada di utara.
Auwyang Hong dapat mendengar segala apa. Ia berpikir. “Dia menyerang, dengan begitu bagian kanannya menjadi tidak terlindung, baiklah aku hajar padanya, kalau dia sudah mampus, maka berkuranglah bencana untukku di belakang hari, dan kalau nanti terjadi rapat yang kedua di Hoa san, musuhku juga lenyap satu” Begitu berpikir, begitu ia menongkrong, sebelah tangannya diajukan- ia menyerang dengan Kap Moa Kang, ilmu Kedoknya. Dia berada di barat, dari barat dia menyerang ke timur.
Kwee Ceng sementara itu tidak berdiam saja. Ia memasang matanya ke segala penjuru, terutama terhadap see Tok. seperti siBisa dari Barat, ia juga sudah biasa dengan tempat gelap itu. Demikian ia melihat sepak terjangnya Auwyang Hong.
Bokongan itu berbahaya untuk Pek Thong. Tidak ayal lagi, dengan jurus “Hang Liong yu hui”, ia menyerang ke arah manusia licik itu.
Di pihak orang yang dikejar-kejar Pek Thong itu, dia pun tidak berpeluk tangan, ketika dia mendapat tahu datangnya serangan, dia memasang kuda-kudanya, terus kedua tangannya dipakai menyambut sambil menolak pergi batu besar itu. Karena ini dengan berbareng empat orang sama-sama mengeluarkan tenaganya.
Dengan suara nyaring, batu besar jatuh ke tengah-tengah ruangan. Di situ ada sebuah meja, maka ringsaklah meja itu, suaranya berisik menulikan telinga.
Mendengar itu, Kwee Ceng girang, dia tertawa. sebenarnya dia tertawa nyaring sekali tetapi suaranya lenyap di antara seruan riuh pasukan tentara yang mendatangi itu, yang sudah mulai memasuki dusun.
sekarang ini Kwee Ceng dapat mendengar lebih nyata. Itulah dua buah pasukan yang lagi bertempur.
Rupanya tadi orang main berkejar-kejaran. Itu pula pasukan Khoresmia, yang kalah perang, yang kabur sambil dikejar tentara Mongolia. Mungkin tentara shah Muhammad itu hendak mempertahankan diri di dusun ini atau mereka telah kecandak. Demikian, suara anak panah pun terdengar swang-swing tak hentinya, disusul sama bentrokan pelbagai senjata lainnya.
Mendadak Pek Thong mendapatkan ada orang menerobos masuk. Ia menyambar, ia mencekuk orang itu, terus ia melemparkannya keluar. Habis itu ia mengangkat batu, guna dipakai mengganjal pula pintu itu, yang ia telah lantas menutup rapat kembali.
sampai itu waktu Auwyang Hong, yang gagal dengan bokongannya karena dirintangi Kwee Ceng, mengasih dengar suaranya. Rupanya menyangka yang ia telah terpergoki.
Ia tanya:
“LooBean Tong, tahukah kau aku siapa?”
Pek Thong tidak segera mengenali suara orang, sebaliknya, dengan sebelah tangan menjaga diri, dengan tangan yang lain, ia menyerang ke arah darimana suara datang. Ia lantas mendapat perlawanan. Mulanya tangannya ditangkis untuk ditangkap. terus ia diserang. Ia kaget sekali ketika ia menangkis.
“Ha, bisa bangkotan, kau di sini?” tanyanya heran. Untuk memperbaiki diri, ia menggeser tubuh ke kiri Justru itu, orang yang bersembunyi di utara itu, mendadak menghajar ke punggungnya. Ia lihay, sambil tangan kanannya menyerang see Tok dengan tangan kirinya ia menangkis ke belakang. Ia menganggap inilah ketika nya yang baik akan mencoba ilmu silat yang ia ciptakan di Tho Hoa To, ialah ilmu kedua tangannya berkelahi masing-masing, yang tadinya ia belum peroleh kesempatannya akan mengujinya. Akan tetapi tangkisannya ke belakang ini telah ditalangi Kwee Ceng.
si anak muda berlompat maju, tangan kanannya menangkis tangan kakak angkat itu, tangan kirinya menangkis serangan si lawan belum dikenal.
Berbareng sama bentrokan tangan ketiga orang itu, dua seruan terdengar berbareng.
“saudara Kwee” demikian suaranya LooBoan Tong, si tua tukang berguyon-”Kiu Cian jin” berteriak Kwee Ceng.
sudah tentu suara itu membuat Auwyang Hong heran, karena di sini ia dapat bertemu sama LaoBoan Tong serta ketua Tiat Ciang Pang itu.
Ketika terjadi pertandingan di Yan ie Lauw itu, lantaran takut ular berbisa, Pek Thong telah menyembunyikan dirinya di wuwungan lauteng, dengan begitu, ia bebas dari panah tentara negeri dan selamat juga dari pagutan ular. Ia berdiam terus di situ sampai kabut buyar dan orang semua bubaran- Habis itu, ia berkeliaran saja. Lewat beberapa bulan, ia bertemu dengan seorang anggota Kay Pang, yang memberikan sepucuk surat kepadanya. Itulah suratnya oey Yong, yang menagih janji padanya. Ia pernah menjanjikan si nona, apa saja yang dia minta, ia tidak bakal tolak. Sekarang oey Yong minta ia pergi membinasakan Kiu Cian Jin. Si nona menulis juga, kalau “tugas” ini rampung, maka Lauw Kui-hui atau Eng Kouw, tidak bakal mencari pula padanya. Ia menerima baik permintaan si nona. Ia pikir, Kiu Cian Jin toh jahat sudah bersekongkol sama bangsa Kim, sebagai pengkhianat, pantas dia dibinasakan- Maka seorang diri ia pergi ke Tiat Ciang Hong. Mulanya, mereka berimbang, sesudah Pek Thong menggunai kedua tangannya menuruti caranya masing-masing, Kiu Cian Jin keteter, dia kabur, dia lantas dikejar terus-terusan-sebetulnya Cian Jin heran kenapa Pek Thong memusuhkannya, pernah ia minta keterangan, tapi Pek Thong tidak dapat memberikannya. Begitu mereka berkejar-kejaran, sebentar kecandak dan bertempur, sebentar Cian Jin lari pula. Sampai akhirnya tibalah mereka di rumah batu itu di mana justru berada Auwyang Hong dan Kwee Ceng. Kiu Cian Jin lari ke Barat ini dengan pengharapan LooBoan Tong tidak kuat menahan hawa dingin, sedang Pek Thong norek, ia cuma tahu mengejar tak hentinya.
Sampai di situ, Kwee Ceng dan Ciu Pek Thong masing-masing mengetahui baik, siapa itu dua orang yang berada bersama mereka di dalam rumah batu itu. Auwyang Hong juga mengetahui mereka itu bertiga dan bahwa Kiu Cian Jin musuhnya Pek Thong. Sebaliknya Kiu Cian Jin itu cuma mengenali Pek Thong dan Auwyang Hong, ia masih ragu-ragu untuk Kwee ceng.
Kiu Cian Jin, ciu Pek Thong dan Auwyang Hong adalah orang-orang lihay, yang sebanding kepandaiannya, tetapi juga Kwee Ceng, setelah melayani see Tok sekian lama, pesat kemajuannya, hingga ia jadi berimbang sama mereka itu. Hanya sekarang mereka itu merasakan rintangan dari ruang yang gelap dan suara sangat berisik di luar.
Kwee Ceng bebal tetapi sekarang ia dapat berpikiri “Baik aku merintangi see Tok biar Ciu Toako membinasakan Kiu Cian Jin, kemudian berdua kita mengepung si Bisa dari Barat ini.” ia lantas mengambil putusannya. Ia juga bisa berkelahi dengan dua tangannya seperti Pek Thong, maka sekarang ia menggunai ilmu silat yang istimewa itu.
Dengan tangan kanan ia menyerang ke dada, dengan tangan kiri menyambut satu serangan. Tapi ketika tangannya bentrok. la terkejut. Ia mengenali ia bentrok sama tangannya Pek Thong Ia lantas lompat, ingin ia menarik tangannya toako itu. Mendadak Pek Thong bergerak mendahului ia, tangan kirinya ditarik pulang tangan kanannya menyerang. Inilah ia tidak sangka, maka tahu-tahu ia terhajar pundaknya. ia merasa sakit dan kaget sekali.
“Ah, saudara yang baik, kau hendak menguji aku?” kata Pek Thong. “Hati-hatilah”
Dan dia menyerang pula dengan tangan kirinya. sekarang ini Kwee Ceng telah bersedia^ ia berhasil menangkis.
selagi Pek Thong dan Kwee Ceng bertempur, Auwyang Hong juga bergebrak sama Kiu Cian jin- Cian Jin lantas berpikir: “Kita tidak bermusuh satu dengan lain tetapi di Hoa san nanti, kita bakal bentrok, maka kalau sekarang aku dapat menghajar dia, pasti itulah baik,” Maka itu ia menyerang dengan hebat. Hanya, baru beberapa jurus, dua-dua ia dan seeTok mendapat pikiran yang serupa. Itulah disebabkan mereka mendapat kenyataan Pek Thong bertempur sama Kwee Ceng. Mereka berpikir. “Pek Thong ini tidak karuan lagaknya, kenapa sekarang aku tidak mau memberi rasa padanya?” Maka itu, keduanya lantas menanti ketika yang baik,
setelah belasan jurus, Pek Thong mendapat tahu kemajuan Kwee Ceng. Ia girang sekali, ia heran juga. Ia tanya: “Eh, saudara yang baik, darimana kau peroleh kepandaianmu?” suara di luar berisik sekali, Kwee Ceng tidak mendengar, ia tidak menjawab. Pek Thong menjadi gusar. Ia tidak ingat suara berisik itu.
“Baik” katanya. “Kau tidak mau memberitahukan aku Kau main gila, ya”
Justru itu datang serangan berbareng dari Kiu Cian Jin dan Auwyang Hong, ia lantas lompat berkelit, terus ia kata kepada si anak muda. “Baiklah, aku membiarkan kau sendiri melawan mereka” Benar-benar, ia tidak melawan kedua penyerangnya. Ia digantikan Kwee Ceng, yang hendak membelai padanya.
Auwyang Hong dan Kiu Cian Jin, yang mendapat tahu Ciu Pek Thong mundur, lantas menyerang Kwee Ceng.
Anak muda ini menjadi bingung. Tadi ia heran atas serangannya Pek Thong.
sekarang ia menghadapi dua musuh tangguh. Satu Auwyang Hong saja sudah hebat.
Tapi ia terpaksa mesti berkelahi. Maka ia berkelahi dengan sungguh-sungguh. Sesudah bertempur sekian lama, Auwyang Hong dan Kiu Cian Jin menjadi heran.
Menurut mereka, siapa saja di antara mereka berdua, pasti akan dapat mengalahkan Kwee Ceng, siapa tahu sekarang, mereka menampak kesulitan. Ke mana mereka menyerang, si anak muda selalu dapat melayani. Akhir-akhirnya, mereka menjadi kewalahan.
Ciu Pek Thong beristirahat di atas penglari. Ia tahu berapa lama sudah Kwee Ceng telah menempur dua musuh yang tangguh itu. Ia pikir, ia perlu lekas turun, untuk membantu, kalau tidak adik angkatnya itu bisa susah. Lantas ia turun dengan diam-diam, ia bertindak berindap-indap ke belakang Auwyang Hong. Di dalam gelap itu, ia sengaja menutup kedua matanya. Hanya tangannya yang diajukan ke depan, guna menjambret. Kebetulan ia melanggar punggungnya Auwyang Hong, yang lagi nongkrong guna menyerang Kwee Ceng dengan ilmu Kedoknya.
see Tok terkejut, ia segera menyerang ke belakang. Kwee Ceng mendapatkan tidak ada serangan, ia menendang Kiu Cian Jin, habis mana ia berlompat mundur ke pojok.
Kebetulan untuknya, Pek Thong datang pada waktunya yang tepat, kalau tidak ia bisa celaka di tangannya si Bisa dari Barat. Ia sudah bernapas memburu. Tapi ia tidak bisa beristirahat lama, segera ia mesti menghadapi pula ketua dari Tiat Ciang Pay, sedang ciu Pek Thong menyambut Auwyang Hong. Atau mereka mesti saling ganti lawan. Yang lucu adalah kalau Pek Thong bertempur pula sama adik angkatnya itu seperti tadi. Di dalam gelap. sukar untuk mereka lekas saling mengenali.
Pek Thong gembira sekali dengan ini pertempuran kacau. satu kali, selagi melayani Kwee Ceng, ia kata kepada anak muda itu. “Tangan kita masing-masing seperti melayani dua musuh, sekarang aku hendak mencoba, kau melayani empat tangan- Kau anggap mereka berdua hanya satu orang”
Kwee Ceng tidak mendengar apa yang orang bilang hanya ia lantas merasa ia seperti dikepung tiga orang. Tentu sekali, itulah berbahaya. Maka ia lebih sering berkelit.
“Jangan takut, jangan takut,” kata Pek Thong, yang ketahui orang lebih banyak menolong diri daripada membalas menyerang. Jangan takut, kalau ada bahaya, aku nanti bantu kau”
LooBoan Tong boleh mengatakan demikian, tetapi mereka berada di tempat gelap dia bisa terlambat, maka itu, Kwee Ceng menjadi letih pula, sedang begitu ia merasakan tangan kedua lawannya semakin berat. Ia telah memikir untuk lompat naik ke penglari, untuk beristirahat siapa tahu, Pek Thong mendesak kepadanya. Ia kaget dan mendongkol, akhirnya ia kata nyaring: “Ciu Toako, manusia tolol, perlu apa kau mengganggu aku?”
Percuma anak muda ini mengasih dengar suaranya, suara itu tak terdengar Pek Thong. Di luar, suara pertempuran ada sangat berisik. Ia lantas mundur. Tiba-tiba kakinya terpeleset, hampir ia roboh. Di saat itu datanglah serangannya Kiu Cian Jin-Sambil terhuyung, ia memungut batu yang ia injak itu, ia angkat tinggi kedadanya, guna dipakai melindungi tubuhnya. Maka itu, serangannya Cian Jin mengenai batu itu.
Menyusul itu datang serangannya Auwyang Hong, yang menuju ke kirinya. Ia menggunai terus batunya. Kali ini sambil menangkis, ia melemparkan batu keras sekali ke tinggi. Kesudahannya, batu itu membikin wuwungan bolong, hingga di sana nampak sedikit cahaya terang dan bintang-bintang di langit.
Pek Thong gusar melihat cahaya terang itu. Ia membentak “Sekarang segala apa tampak nyata Mana menggembirakan?”
Kwee Ceng merasa sangat letih la tidak memperdulikan teguran itu, bahkan ia lompat tinggi sekali, noblos di wuwungan yang bolong itu. Auwyang Hong berlompat naik, untuk menyusul.
“Jangan pergi Jangan pergi” Pek Thong berseru-seru. Mari menemani aku bermain-main” Dan ia berlompat juga, guna menyambar kakinya see Tok. Auwyang Hong kaget, ia menendang. Kakinya itu bebas, tetapi karena itu, ia tidak dapat naik terus, ia mesti turun pula.
Kiu Cian Jin melihat keadaan orang, tanpa menanti si Bisa dari Barat menginjak lantai, dia berlompat menendang ke dada, karena mana, Auwyang Hong mesti
membikin mengkerat dadanya itu, sambil menolong diri, ia juga menotok ke kaki si penyerang. Karena ini, keduanya jadi bertarung pula.
sekarang dengan adanya cahaya terang, orang bertempur dengan satu sama lain bisa saling melihat. Hanya ketika itu, di luar, suara berisik telah jadi semakin berkurang.
Ciu Pek Thong menjadi lenyap kegembiraannya, ia menjadi mendongkol, karena uring-uringan, ia menyerang Auwyang Hong dan Kiu Cian Jin, ia menyerang dengan hebat sekali.
Kwee Ceng dilain pihak lari terus hingga ke luar dusun. ia telah menyaksikan sisa kedua pihak tentara yang terluka dan terbinasa, ia pun mendengar rintihan datang dari sana sini. ia tidak memperdulikan mereka, ia hanya mencari satu tempat sunyi di mana ia segera merebahkan diri, untuk beristirahat. Ia sangat letih, ia merasakan otot-ototnya dan buku-buku tulangnya ngilu dan nyeri. Tanpa merasa ia tidur kepulasan.
Lama anak muda ini tidur, ketika besoknya pagi ia mendusin, ia mendusin dengan kaget hingga ia berlompat bangun. Itulah disebabkan ia merasa mukanya terusap-usap sesuatu.
Ketika ia berlompat, ia berbareng mendengar meringkiknya kuda, untuk girangnya ia melihat kuda merahnya, yang datang padanya dan menjilati mukanya. Ia menjadi girang sekali ia merangkul leher binatang itu.
Ketika si anak muda dikurung Auwyang Hong, kuda itu diumbar saja, dia dapat hidup sendiri Tempo terjadi pertempuran tentara Kim dan tentara Mongolia, dia menyingkir jauh, setelah kedua pihak tentara pergi, dia mencari majikannya itu.
Dengan menuntun kudanya, Kwee Ceng berjalan perlahan-lahan kembali ke dalam dusun. sekarang ia melihat tegas sisa pertempuran, mayat serdadu dan bangkai kuda, berserakan di sisi pelbagai senjata. Masih ada serdadu yang terluka, yang merintih.
Ia terharu sekali. Terpaksa ia tidak menghiraukan segala itu, ia langsung kembali ke rumah batu. sebelumnya masuk. lamemasang kuping dulu, lalu ia mengintai dari sela pintu, setelah tidak mendengar apa-apa dan tidak melihat sesuatu, dengan perlahan ia menolak daun pintu, untuk bertindak masuk. Tidak ada orang di situ, entah ke mana perginya ciu Pek Thong, Auwyang Hong dan Kiu Cian Jin bertiga. Untuk sejenak. La berdiri menjublak. Kemudian ia keluar dari dalam rumah, untuk naik kudanya, guna berangkat ke arah timur. Ia melarikan binatang tunggangannya itu. Tidak lama ia berhasil menyandak pasukan perangnya jenghiz Khan-Itu waktu Khoresmia telah terpukul hebat, pelbagai kotanya pecah atau diserbu rusak. angkatan perangnya hancur luluh, bahkan rajanya, shah Muhammad ed-Din, kabur entah ke mana. Tapi shah itu, atas titahnya Jenghiz Khan, dicari terus oleh subotai dan Jebe, yang menyusul ke arah Barat.Jenghiz Khan sendiri berangkat pulang dengan kemenangannya itu. subotai berdua telah mengejar sampai di sebelah barat Moskwa, di dekat kota Kiev, di tepi sungai Dnieper, di mana mereka telah melabrak beberapa puluh ribu jiwa serdadu Russia dan Kimchak. dimana pun mereka menghukum hertog dari Kiev serta sebelas pangeran dengan jalan melindas mereka dengan kereta. Ini dia yang dinamakan “Perang Kalka”. Demikian padang rumput Russia mengeluh di bawah injakan kaki kuda Mongolia.
Jenghiz Khan masgul dan cemas karena hilangnya Kwee Ceng di samarkand, sekarang ia melihat si anak muda kembali, hatinya girang. Pula tak dapat dikatakan girangnya putri GochinBaki.
Khu Cie Kie tetap turut di dalam angkatan perang yang pulang ke timur ini, saban-saban ia membujuk pendekar Mongolia itu untuk dia mencintai rakyat dan mencoba mengurangi pembunuhan kepada musuh Jenghiz Khan sangat tidak menyetujui sikap imam ini tetapi karena ia tahu orang ada orang berilmu, ia tidak mau terlalu menentang nasihat itu. Dengan begitu, kata-katanya imam dari Coan cin Kauw ini telah menolong banyak sekali jiwa orang. Di dalam kitab Yuan shih,-j asanya Khu Cie Kie ada tercatat jelas.
Untuk pemerintah ” dunia”, Cie Kie menasihati janganlah orang gemar membunuh.
Ditanya tentang cara memerintah, ia menganjurkan untuk menghormati Thian dan mencintai rakyat.
Mengenai pertanyaan ilmu umur panjang, ia menasihati untuk membersihkan hati dan mengurangi seggla nafsu keinginan. Karena ini, ia disebut sin-sian atau dewa dan Jenghiz Khan menganjurkan putra-putranya mencontoh imam ini. Ketika kemudian Mongolia menyerang negara Kim, kembali Khu Cie Kie berhasil menolong banyak jiwa manusia.
Untuk pulang dari Khoresmia ke negerinya Jenghiz Khan memerlukan banyak waktu.
Ketika akhirnya ia tiba di negaranya, ia membuat pesta besar. Terus ia memelihara
tentaranya. Lewat lagi beberapa bulan, timbullah keinginan pendekar ini maju pula ke selatan, guna menyerang bangsa Kim. Untuk itu ia segera mengadakan rapat.
Di dalam rapat ini, Kwee Ceng menutup mulut. semenjak pulang, ia senantiasa berduka, sering seorang diri ia pesiar di tanah datar atau dipadang rumput, dengan menunggang kuda merahnya sambil membawa kedua burungnya. Ada kalanya selama bicara, ia berdiam terbengong saja. semua ini disebabkan ia terlalu keras memikirkan oey Yong yang lenyap itu. Putri Gochin membujukinya, ia tidak mengambil perduli, ia seperti tidak mendengarnya. orang tahu ia bersusah hati, sampai tidak ada yang menyebut-nyebut urusan jodohnya. Demikian di harian rapat itu, selagi lain orang bicara banyak ia berdiam saja.
Habis rapat,Jenghiz Khan menitahkan semua panglimanya mengundurkan diri.
seorang diri ia berdiam di atas bukit, otaknya bekerja. Besoknya pagi ia mengasih titah untuk angkatan perangnya maju di tiga jurusan, untuk menyerang negeri Kim.
Tatkala itu Juji bersama subotai masih ada di Barat lagi mengurus negara-negara taklukannya, maka itu sekarang pasukan kesatu dikepalai oleh ogotai, putra nomor tiga pasukan kedua diserahkan di bawah pimpinan Tuli, putra nomor empat. Kwee Ceng dapat tugas pula, untuk memimpin pasukan ketiga.
Jenghiz Khan memanggil berkumpul ketiga kepala perangnya itu, ketika ia mau bicara sama mereka itu, ia menitahkan semua pengiringnya mengundurkan diri Lantas ia berkata^ “Pasukan perang Kim dipusatkan diTongkwan- Kota itu sukar dipukul pecah karena keletakannya di selatan nempel sama pegunungan dan di utara berbatas dengan sungai besar. pikiran dari pelbagai perwira pun tidak ada yang akur satu dengan lain-Kalau kita maju dari depan, gerakan kita tentu bakal meminta tempo yang lama. Maka itu aku pikir, jalan yang paling sempurna ialah kalau kita bangsa Mongolia berserikat sama kerajaan song. Aku pikir baiklah kita meminjam jalan dari negara song itu, ialah kita maju dari Tong- ciu dan Teng- ciu untuk menuju langsung ke ibukota Kim, Tay-liang.”
Mendengar itu, ogotai, Tuli dan Kwee Ceng berlompat untuk saling rangkul, buat bersama-sama berteriak: “Bagus”
Jenghiz Khan memandang Kwee Ceng sambil bersenyum.
” Kau pandai mengatur tentara, aku senang denganmu,” kata pendekar ini. “sekarang aku hendak tanya kau, setelah Tay- liang kena dipukul pecah, bagaimana?” Kwee Ceng menggeleng kepala. “Tidak menyerang Tay- liang,” sahutnya.
ogotai dan Tuli menjadi heran- Terang barusan ayah mereka menyebutnya menyerang ibukota Kim itu. Kenapa sekarang Kwee Ceng membilang demikian? Maka keduanya mengawasi dengan melongo.
Jenghiz Khan sebaliknya tetap bersenyum.
“Kalau tidak menyerang Tay- liang, bagaimana?” dia tanya pula.
Kwee Ceng menjawab, tenang: “sudah tidak menyerang, bukannya juga tidak menyerang -menyerang tetapi tidak menyerang, tidak menyerang tetapi menyerang”
Kedua pangeran itu menjadi heran bukan main.
Jenghiz Khan tertawa, ia berkata pada si anak muda “Menyerang tetapi tidak menyerang, tidak menyerang tetapi menyerang. Bagus kata-kata itu Nah, kau menjelaskanlah kepada semua kakakmu ini.”
Kwee Ceng mengangguk. la berkata: “Aku dapat menerka siasat perang dari Khan yang agung. Kita berpura-pura menyerang ibukota Kim, untuk membasmi musuh di kaki tembok kota. Tay- liang ialah kota tempat kediaman raja Kim, tetapi di sana tentara yang tempatkan tidak banyak. jikalau kita pergi ke sana, pasti sekali raja Kim bakal segera mengirim pasukan dari Tong- kwan untuk menolongnya. Tong-kwan terpisah jauh dari Tay- liang kalau tentara dikirim cepat, tentara itu akan keburu lelah di tengah jalan, umpama kata tentara itu dapat tiba tepat, mereka tentulah tidak kuat berperang, dari itu tentara kiTayang besar tinggal melabrak saja kepadanya. Kita pasti menang Kalau bala bantuan musuh itu dapat dipukul hancur, kota Tay- liang bakal jatuh tanpa diserang lagi.
sebaliknya kalau langsung kita menyerang Tay- liang, itulah sulit, kita pun bisa digencet musuh dari depan dan belakang.”
Jenghiz Khan bertepuk tangan sambil tertawa lebar. “Bagus Bagus” pujinya.
Lantas raja ini mengeluarkan sehelai peta bumi, ia membeber itu di atas meja, untuk ketiga panglima perangnya itu melihatnya. Menampak itu, semua ketiga panglima itu heran bukan main.
Peta itu ialah peta bumi sekitar kota Tay- liang, di situ terlukis garis untuk dua pasukan tentara - pasukan Mongolia dan musuh. Di situ pun tercatat jelas siasat guna menyerang musuh, buat menghajar bala bantuan dari Tong-kwan selagi bala bantuan itu baru tiba dan masih letih Jadi cocoklah itu dengan pikiran Kwee Ceng barusan. Kota Tay-liang mau diserang, toh tidak diserang - kota itu tidak diserang, toh bakal dirampas.
ogotai dan Tuli sating memandang, mereka memandang ayah mereka, lalu mereka memandang Kwee Ceng. Pada wajah mereka terlukis nyata keheranan dan kekaguman mereka.
Jenghiz Khan berkata pula: “Dengan penyerangan kita ke selatan kali ini, sudah pasti negara Kim bakal kena dipukul pecah. Di sini ada tiga buah surat tertutup, kamu bawalah seorang satu. Kalau nanti kota Tay- liang sudah dipukul pecah, kamu berkumpul di istana Kim-loan-thian raja Kim, di sana kamu membukanya dengan berbareng, lalu kamu bertindak menuruti apa yang tertera di situ.”
sembari berkata, khan agung itu merogoh sakunya mengeluarkan surat tertutup itu atau kim-long atau ” kantong sulam”, ia menyerahkannya seorang satu.
Kwee Ceng melihat surat itu tertutup dan tersegel, laknya dicap dengan cap khan sendiri
“Sebelum kamu memasuki kota Tay-liang,jungan kamu lancang membuka surat tertutup ini, “Jenghiz Khan memesan. “Maka itu, sebelumnya kamu membuka, mesti kamu mengasih lihat satu pada lain, untuk diperiksa dulu ada atau tidak tanda rusaknya.” Ketiga panglima itu menjura seraya berjanji akan mentaati pesan itu “Kau biasanya lambat, kenapa sekarang kau cerdas dan sebat?” kemudian khan menanya Kwee ceng.
Pemuda ini tidak mau mendusta, ia mengaku bahwa. ia telah membaca kitab Gak Hui.
Jenghiz Khan lantas menanyakan hal ikhwalnya Gak Hui dan sianak muda menuturkannya Gak Hui itu telah melabrak bangsa Kim di Cu-sian-tin, hingga Gak Hui dipangil “Gak Yaya” alias ” Kakek Gak”, sampai timbul sebutan, “Menggoncang gunung gampang, menggoncangkan tentaranya Gak Hui sukar.”
Mendengar itu, khan ini membungkam, ia jalan mondar-mandir di kemahnya sambil menggendong tangan, kemudian ia menghela napas dan mengatakannya: “Menyesal aku tidak terlahir pada seratus tahun dulu supaya aku bisa bersahabat sama pendekar itu. Sekarang ini di dalam dunia ini siapakah dapat menjadi tandinganku?”
Untuk sejenak itu, hati raja jago ini menjadi tawar sendirinya karena menyesalnya Kwee Ceng sendiri, sekeluarnya dari kemah, sudah lantas menuju langsung ke kemah ibunya. saking repot sama tugasnya, sudah beberapa hari ia tidak dapat ketika menjenguk orang tuanya itu. Besok ia mau berangkat perang ke selatan, guna membalas sakit hati negara, jadi hari itu perlulah ia menemani ibunya. Ketika ia sampai di kemah, ia mendapat sebuah kemah kosong, segalanya sudah dibawa pergi. Cuma seorang serdadu tua menjaga di situ. Atas pertanyaan, serdadu itu memberitahukan bahwa atas perintah khan agung, ibunya sudah pindah ke lain kemah. Setelah menanya jelas, ia pergi terus ke kemah yang disebutkan itu. Ia lantas mendapatkan sebuah kemah besar, yang beberapa lipat lebih besar dari kemah yang lama tadi. Dan begitu ia menyingkap pintu, ia terbengong. Di situ terlihat banyak barang berharga yang bergemerlapan, yang tentara Mongolia dapat merampas dari musuh. Putri Gochin juga berada di situ tengah menemani ibunya, yang lagi menutur hal ikhwal ia sendiri di waktu masih kecil. Menampak si anak muda, putri itu berbangkit menyambut sambil bersenyum.
“ibu” Kwee Ceng memanggil. “Dari mana semua ini?”
“Khan agung membilang selama berperang di Barat, kau berjasa besar, maka semua ini ialah hadiah untukmu,” sahut sang ibu. “sebenarnya kita sudah terlalu biasa dengan penghidupan kecil, semua ini tidak ada perlunya untuk kita”
Di kemah itu ada tambah delapan budak. untuk merawati Lie Peng. semua mereka ada budak-budak asal rampasan, maka itu bisa dimengerti kalau mereka ada dari kalangan bangsawan.
Ketiganya lantas duduk memasang omong. Tidak lama, putri Gochin mengundurkan diri Ia tahu, anak itu tentu mau bicara banyak sama ibunya, ia tidak mau mengganggu mereka. Hanya, lama ia menantikan di luar, ia tidak melihat si anak muda keluar.
“Anak Ceng,” berkata Lie Peng. “Putri menantikan kau di luar, pergi kau bicara sama dia.”
Kwee Ceng menyahut “ya”, tetapi ia tidak bergerak dari tempatnya duduk.
Lie Peng menghela napas, ia berkata “Sudah dua puluh tahun kita tinggal di Utara ini, meski benar khan agung sangat memperhatikan kita, akutapinya ingin sangat pulang, maka itu semoga kau berhasil memusnahkan negara Kim, supaya kita berdua bisa lekas kembali ke kampung halaman kita. Kita tinggal tetap di Gu-kee-cun, di tempat kediaman lama dari ayahmu. Kau bukannya seorang yang kemaruk harta dunia dan keagungan, jadi tak usahlah kau datang pula ke sini. Hanya urusan putri sulit”

Bab 78. NASIB

“TENTANG perjodohanku ” kata Kwee Ceng, “aku pernah membicarakannya dengan Putri. Kalau Yongji mati, aku takkan menikah untuk selamanya.”
Li Peng menghela napas lagi.
“Mungkin Putri sendiri mau mengerti, tapi bagaimana dengan Khan Agung? Aku khawatir sekali…”
“Kenapa Khan Agung?”
“Beberapa hari ini Khan luar biasa baik padaku.
Lihatlah hadiah ini, emas, perak, dan permata.
Memang benar katanya hadiah ini untuk jasamu berperang di Barat, tapi aku sudah dua puluh tahun tinggal di sini, kurasa aku telah mengenal baik sifatnya. Aku yakin ada alasan lain!”
“Ibu, menurut Ibu apa alasan itu?”
“Aku wanita, pendapatku tidak luhur,” sahut sang ibu. “Tapi setelah aku melihat dan memikirkan semua ini, mungkin Khan hendak memaksa kita melakukan sesuatu….”
“Tentu dia menghendaki aku menikah dengan putrinya,” kata Kwee Ceng.
“Menikah itu urusan baik,” kata sang ibu lagi.
“Khan tidak tahu kau tak setuju dengan pernikahan itu, dia tak bisa memaksakannya. Tapi, menurut penglihatanku, kau mengepalai sepasukan tentara besar, kau pun berperang ke Selatan, maka aku khawatir Khan mencurigai kau akan mendapat pikiran untuk berontak…”
Kwee Ceng menggeleng.
“Aku tidak mempunyai minat untuk kekayaan dan keagungan, Khan tahu hal ini dengan baik,” katanya.
“Buat apa aku memberontak?”
“Kalau begitu, aku ingat suatu cara.” kata Li Peng.
“Mungkin ini dapat dipakai untuk mengetahui apa yang dipikir Khan. Pergilah kau melaporkan pada Khan, bilang aku kangen pada kampung halamanku, aku ingin pulang bersamamu. Coba dengar apa katanya.”
Kwee Ceng girang mendengar pikiran ibunya itu.
“Oh, Ibu, mengapa Ibu tidak mengatakannya dari siang-siang?” katanya. “Kita pulang bersama, betapa senangnya! Pasti Khan Agung akan memperkenankannya.”
Pemuda ini lantas keluar dari kemah. Ia tidak melihat Gochin. Mungkin karena menanti terlalu lama, putri itu habis sabar dan berlalu dengan kecewa. Ia lantas menuju markas besar. Ia pergi sekian lama, ketika kembali pada ibunya, ia menunduk lesu.
“Khan tidak memperkenankannya, bukan?” Li Peng bertanya,
“Anakmu tidak mengerti. Ibu ” sahut Kwee Ceng.
“Apa perlunya Khan menghendaki Ibu tetap berdiam di sini?”
Sang ibu diam.
“Khan bilang,” Kwee Ceng menjelaskan, “sesudah Negara Kim dihancurkan, barulah kita bisa berangkat
pulang. Katanya waktu itu kita akan pulang dengan kehormatan besar. Aku bilang Ibu sangat kangen dan ingin lekas pulang, lantas Khan tampaknya gusar. Dia menggeleng dan tetap menolak.”
“Apa lagi kata Khan padamu?”
Kwee Ceng memberitahu bahwa dalam rapat tentara, ia diberi tugas serta dibekali dengan kim-long.
“Ah.” desah sang ibu masygul, “kalau suhu keduamu dan Yongji berada di sini, mereka pasti dapat menerka maksud Khan ini. Aku merasa tidak enak memikirkan ini, tapi entah apa sebabnya, aku tak tahu….”
Kwee Ceng mengeluarkan kim-long-nya, mempermainkannya dengan tangannya.
“Ketika Khan menyerahkan ini, kulihat air mukanya beda sekali,” katanya. “Maka aku khawatir jangan-jangan sikapnya berhubungan dengan surat rahasia ini.”"
Li Peng mengambil kim-long itu, mengawasinya dengan teliti, kemudian menyuruh para pelayannya menyingkir.
“Kita buka dan lihat saja,” katanya kemudian.
Kwee Ceng terkejut.
“Tidak bisa!” katanya. “Surat ini dicap. Kalau membukanya berarti akan mendapat hukuman mati….”
Li Peng tertawa.
“Kau tahu kepandaian menyulam dari kota Lim-an sangat tersohor di seluruh negara?” katanya.
“Ibumu ini orang Lim-an. sedari kecil aku telah mempelajari kepandaian itu. Tanpa merusak, aku dapat membuka kantong bersulam ini, dan aku dapat menjahitnya kembali seperti semula.”
Kwee Ceng percaya pada ibunya, ia jadi girang sekali.
Li Peng lantas mengambil jarum halus, dengan itu ia mulai membuka sulaman kantong wasiat itu.
Pekerjaannya rapi. Surat itu lantas dibeber untuk dibaca bersama. Segera keduanya tersentak, tubuh mereka langsung terasa dingin tidak keruan.
Surat itu berisi titah rahasia Jenghis Khan untuk Ogotai, Tuli, dan Kwee Ceng. Begitu mereka dapat mengalahkan bangsa Kim, mereka harus maju ke Selatan untuk secepat kilat menyerang kota Lim-an dan memusnahkan Kerajaan Song, supaya Mongolia dapat mempersatukan dunia. Dalam perintah rahasia itu ada tambahan: Kalau Kwee Ceng berhasil berjasa besar, ia mesti diangkat jadi raja muda dan dihadiahi besar-besaran; tapi kalau hatinya berubah, Ogotai dan Tuli diperintahkan untuk segera menjatuhkan hukuman mati padanya, ibunyapun harus ikut dihukum picis.
“Ibu,” kata Kwee Ceng setelah diam sekian lama, “jika Ibu tadi tidak membuka kim-long ini, jiwa kita berdua tentulah celaka. Kita adalah orang Song, mana bisa kita menjual negara kita sendiri?”
“Sekarang bagaimana?” Li Peng bertanya.
“Ah, Ibu, biarlah kita tanggung penderitaan ini,” kata sang anak masygul. “Sekarang juga kita lari pulang ke Selatan.”
“Baik!” sahut ibunya. “Pergilah kau bersiap-siap. Jagalah supaya rahasia ini jangan terbongkar.”
Kwee Ceng mengangguk. Ia kembali ke kemahnya untuk berbenah seperlunya. Selain kuda merahnya, ia akan membawa tiga ekor kuda lain. Bagaimanapun, setelah berdiam belasan tahun di gurun pasir ini, ia merasa sedikit berat untuk meninggalkannya.
Sebagai kepala perang, Kwee Ceng dapat bergerak dengan leluasa. Juga ketika itu, rombongan Lou Yu Kiak sudah tidak ada bersamanya, mereka sudah pulang lebih dulu ke Selatan. Semua hadiah dari Khan ia tinggalkan. Paling akhir ia membuka seragamnya, dengan pakaian biasa, ia kembali ke kemah ibunya.
Begitu menyingkap tenda, ia terkesiap. Ibunya tidak ada, yang ada hanya dua bungkusan yang menggeletak di tanah.
“Ibu!” panggilnya.
Tidak ada jawaban, la khawatir dan curiga. Ketika ia hendak keluar, tenda tersingkap dari luar, lantas cahaya api terlihat terang benderang. Chilaun dengan seribu serdadu sudah mengurung tenda itu.
“Khan Agung memanggil-menghadap!” demikian ia mendengar.
Kwee Ceng kaget dan bingung. Ia mesti segera mengambil putusan. Kalau ia mau menggunakan kekerasan, Chilaun tidak bakal dapat merintanginya.
Tapi ibunya telah ditawan, mana bisa ia kabur seorang diri? Akhirnya ia menyerah, membiarkan Chilaun menggiringnya ke markas besar.
Di kemah Khan, telah berkumpul barisan pengiring Khan yang terdiri atas dua ribu jiwa. Mereka orang-orang Mongolia pilihan, semua bersenjatakan tombak panjang dan menjaga rapat.
Kwee Ceng berjalan masuk dengan langkah lebar.
Jenghis Khan terlihat bengis sekali. Ia menggebrak meja.
“Kuperlakukan kau dengan baik sekali, dari kecil kau kurawat hingga besar, putriku juga kuserahkan padamu!” bentaknya. “Eh, bangsat kecil, kenapa kau berani memberontak terhadapku?”
Kwee Ceng melihat kim-long yang dibuka ibunya ada di atas meja, maka tahulah ia bahwa jiwanya sudah sukar ditolong lagi. Ia menjadi berani. Ia mendongakkan kepalanya.
“Aku rakyat Kerajaan Song, mana bisa aku tunduk pada titahmu?” katanya gagah. “Mana bisa aku menyerang negaraku sendiri?”
Jenghis Khan bertambah gusar melihat sikap melawan pemuda itu.
“Seret dia keluar! Hukum mati dia!” titahnya.
Kwee Ceng tidak dapat melawan. Ia telah dibelenggu kuat sekali dan delapan algojo mendampinginya. Tapi ia tetap tidak takut. Ia berkata nyaring, “Kau telah berserikat dengan Kerajaan Song untuk memukul bangsa Kim, di tengah jalan kau mengingkari janjimu. Apakah itu perbuatan pendekar?*’
Jenghis Khan makin gusar. Ia mendepak meja.
“Sesudah Negara Kim hancur, selesai sudah perjanjianku dengan pihak Song!” katanya “Kalau kemudian aku menyerang Selatan, mana bisa dibilang melanggar janji? Lekas hukum mati dia!”
Banyak panglima mengenal baik Kwee Ceng, tetapi saat itu tidak ada yang berani buka suara. Khan sedang marah besar.
Kwee Ceng tidak bilang apa-apa lagi, dengan langkah lebar ia berjalan keluar.
Segera terlihat Tuli berlari mendatanginya dari padang rumput.
“Tahan! Tahan!” teriaknya berulang-ulang. Ia bertelanjang dada dan cuma mengenakan celana kulit. Jelas ia baru terbangun dari tidurnya. Ia langsung memasuki kemah ayahnya dan berseru, “Ayah, Anda Kwee Ceng besar jasanya, dia juga pernah menolong jiwaku, biarpun berdosa, jangan hukum mati dia!”
Jenghis Khan terpengaruh kata-kata putranya itu.
“Bawa dia kembali!” ia memberikan perintah.
Kwee Ceng lantas dibawa kembali.
“Kau memberatkan Kerajaan Song, apa ada untungnya?” Khan bertanya. “Kau pernah bicara tentang Gak Hui. Dia begitu setia dan berjasa, tapi akhirnya dia dihukum mati juga! Lebih baik kau membantuku merobohkan Kerajaan Song, aku berjanji padamu, setelah berhasil aku akan mengangkatmu menjadi raja Song!”
“Aku bukannya berontak terhadapmu!” Kwee Ceng menyahut. “Tapi kalau kau menghendaki aku menjual negara untuk kehidupan mewah dan agung, biar tubuhku dicincang, tak dapat aku menerima baik permintaanmu ini!”
“Bawa ibunya kemari!” perintah Jenghis Khan.
Lantas dua serdadu menggiring Li Peng keluar dari kemah belakang.
“Ibu!” Kwee Ceng memanggil, la mendekati ibunya, tapi dihalangi dua serdadu. Ia lantas bertanya dalam hati, “Urusanku ini cuma Ibu dan aku yang tahu. Siapa yang membocorkannya?”
Jenghis Khan tidak memberinya kesempatan untuk berpikir, katanya, “Jika kau menerima baik kata-kataku, kalian berdua ibu dan anak akan hidup agung dan berbahagia. Jika tidak, lebih dulu aku akan membunuh ibumu! Itu artinya kau yang membunuh ibumu, dan kau menjadi anak put-hauw”
Kaget Kwee Ceng mendengar perkataan Khan, terutama kata put-hauw tidak berbakti. Ia menunduk.
“Anda,” kata Tuli, “dari kecil kau tinggal di Mongolia, kau tak ada bedanya dari bangsa Mongolia.
Sebaliknya pembesar-pembesar Kerajaan Song temaha sekali, mereka bersekongkol juga dengan bangsa Kim, bahkan mereka telah membunuh ayahmu dan membikin ibumu tak punya tempat untuk pulang.
Kalau tidak ada ayahku, dapatkah kau hidup seperti sekarang ini? Kita sudah seperti saudara, tak dapat aku membiarkanmu menjadi anak tak berbakti. Maka kuminta sukalah kau memikirkannya lagi baik-baik.”
Kwee Ceng menoleh pada ibunya. Sebenarnya ia ingin menerima baik nasihat Tuli itu, tetapi ia segera ingat akan ajaran ibunya. Ia juga ingat dan tahu betul nasib negara-negara di Barat yang ditaklukkan Mongolia, akhirnya rakyat mereka hidup sengsara.
Maka ia diam terus.
Dengan matanya yang tajam, Jenghis Khan mengawasi anak muda itu. Ia menantikan jawaban.
Seluruh kemah menjadi sangat sunyi, “Aku…” kata Kwee Ceng. Ia telah maju selangkah, lantas berhenti lagi, tidak melanjutkan kata-katanya.
“Khan yang Agung,” mendadak Li Peng berkata, “aku khawatir anak ini kurang mengerti. Bagaimana kalau kucoba membujuk dan menasihatinya?”
Jenghis Khan girang sekali.
“Bagus!” katanya. “Nasihati dia!”
Li Peng mendekati anaknya, menarik lengan pemuda itu. lalu membawanya ke salah satu sudut kemah. Di sana mereka berdua () duduk.
Karena sikap rajanya sudah mulai sabar, algojo tidak menghalangi Kwee Ceng.
Li Peng memeluk putranya.
“Dua puluh tahun lalu di Gu-kee-cun. Lim-an, aku telah mengandungmu, Nak,” katanya pelan. “Suatu hari ketika turun hujan salju lebat, Khu Ci Kee, Khu Tootiang, berkenalan dengan ayahmu. Dia
memberikan dua bilah belati, yang satu untuk ayahmu, yang lain untuk Paman Yo….”
Anda sedang membaca artikel tentang Cersil Online : Pendekar Pemanah Rajawali Serial 14 dan anda bisa menemukan artikel Cersil Online : Pendekar Pemanah Rajawali Serial 14 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cersil-online-pendekar-pemanah-rajawali_4088.html?m=0,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cersil Online : Pendekar Pemanah Rajawali Serial 14 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cersil Online : Pendekar Pemanah Rajawali Serial 14 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cersil Online : Pendekar Pemanah Rajawali Serial 14 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cersil-online-pendekar-pemanah-rajawali_4088.html?m=0. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar