Cersil Online : Pendekar Pemanah Rajawali 6

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Sabtu, 10 Desember 2011

Kanglam Liok Koay berdiam, lalu mereka mengawasi Ma Giok, mereka berenam menjadi ragu-ragu.
Imam itu bertindak mau, ia menjura. “Sudah lama pinto mengagumi tuan-tuan, sekarang kita dapat bertemu, sungguh pinto merasa sangat beruntung,” dia berkata.
Cu Cong lepaskan tangan Kwee Ceng, yang ia masih pegangi. Ia membalas hormat. Ia pun lantas berkata: “Tidak berani memohon tanya gelaran totiang.”
Sekarang Kwee Ceng ingat, belum lagi ia menolongi si imam menyampaikan berita, ia lantas berkata: “Inilah Tan-yang-cu Ma Goik Ma Totiang.”
Liok Koay heran, mereka terperanjat. Mereka tahu Ma Giok itu adalah murid kepala dari Ong Tiong Yang, yang menjadi kauwcu atau kepala agama dari Coan Cin Kauw. Setelah wafatnya Ong Tiong Yang, dengan sendirinya dia menjadi pengganti kepala agama itu. Tiang Cun Cu Khu Cie Kee adalah adik seperguruan dari Ma Giok ini. Dia biasanya berdiam di dalam kelentengnya, jarang sekali ia membuat perjalanan, dari itu, dalam hal nama ia kalah terkenal dengan Khu Cie Kee, sedang tentang ilmu silatnya, tidak ada orang yang mengetahuinya.
“Kiranya ciang-kauw dari Coan Cin Kauw!” berkata Tin Ok. “Maafkan kami! Entah ada pengajaran apa dari ciang-kauw maka telah datang ke gurun Utara ini? Adakah kiranya berhubungan sama janji suteemu mengenai pibu di Kee-hin nanti?”
“Suteeku itu adalah seorang pertapa, tetapi ia masih gemar seklai dalam urusan pertaruhan,” berkata Ma Giok, “Mengenai tabiatnya itu, yang bertentangan dengan agama kami, sudah beberapa kali pinto menegurnya. Mengenai pertaruhan itu sendiri, pinto tidak ingin memcampurinya. Kedatanganku ini adalah untuk lain urusana. Pertama-tama pinto ingin bicara tentang anak ini. Pinto bertemu dengannya pada dua tahun yang lalu, pinto lihat dia polos dan jujur, denagn lancang pinto ajari dia cara untuk membantu panjang umurnya. Tentang itu pinto belum dapat perkenanan tuan-tuan, maka sekarang pinto mohon tuan-tuan tidak berkecil hati.”
Liok Koay heran tetapi tidak dapat mereka tidak mempercayainya. Coan Kim Hoat lantas saja lepaskan cekalannya kepada muridnya itu.
Siauw Eng menjadi girang sekali. “Adakah totiang ini yang ajarkan kamu ilmu?” ia tanya muridnya. “Kenapa kau tidak hendak memberitahukannya dari siang-siang, hingga kami menjadi keliru menyangka terhadapmu?” Ia mengusap-usap rambut muridnya itu, nampaknya ia sangat menyayanginya.
“Totiang larang aku bicara,” Kwee Ceng jawab gurunya ini.
“Pinto biasa berkelana, tidak suka pinto orang ketahui tentang diriku,” Ma Giok berkata. “Itulah sebabnya walaupun pinto berada dekat dengan tuan-tuan tetapi pinto tidak membuat kunjungan. Tentang ini pinto pun memohon maaf.” Ia lantas menjura pula.
Kanglam Liok Koay membalas hormat. Mereka lihat orang alim sekali, beda daripada saudara-saudaranya, kesan mereka lantas berubah.
Disaat enam saudara ini hendak tanyakan hal Bwee Tiauw Hong, justru itu terdengar suara tindakannya banyak kuda, lalu tertampak beberapa penunggang kuda tengah mendatangi ke arah kemahnya Temuchin. Kwee Ceng menjadi sangat bingung. tahulah ia, itu adalah orang-orangnya Sangum, yang hendak memancing Temuchin.
“Toasuhu, hendak aku pergi sebentar, sebentar aku akan kembali!” kata ini anak muda dalam bingung dan khawatirnya.
“Jangan, jangan pergi!” mencegah Tin Ok. “Kau berdiam bersama kami.” Tin Ok mencegah karena ia menyesal atas perbuatannya yang semberono tadi. ia menjadi sangat menyayangi muridnya ini, karena mana, ia jadi berkhawatir untuk ancaman bahaya dari pihaknya Bwee Tiauw Hong. Bagaimana kalau si Mayat Besi datang dengan tiba-tiba?
Kwee Ceng jadi semakin bingung. Ia masih bicara sama guru itu tapi si guru sudah lantas bicara sama Ma Giok tentang pertempuran mereka melawan Hek Hong Siang Sat. Terpaksa ia berdiam, hatinya berdenyutan.
Segera setelah itu, terdengar pula congklangnya kuda, kapan Kwee Ceng menoleh, ia tampak datangnya Gochin. Putri itu menghentikan kudanya sejarak belasan tindak, lantas ia mengapai berulang-ulang.
Kwee Ceng takut pada gurunya, ia tidak berani pergi menghampirkan, ia hanya menggapai, minta si tuan putri datang lebih dekat.
Gochin menghampiri. kelihatan kedua matanya merah dan bendul, ruapanya ia baru habis menangis. Setelah datang dekat, ia berkata dengan suara seperti mendumal: “Ayahku….ayahku ingin aku menikah sama Tusaga…” Lalu air matanya turun pula.
Kwee Ceng tidak sahuti putri itu, ia hanya kata: “Lekas kau pergi kepada Khan yang agung, bilang Sangum bersama Jamukha lagi mengatur tipu daya untuk membinasakan kepada Khan!”
Gochin terkejut. “Benarkah itu?” tanyanya.
“Tentu saja benar!” sahut Kwee Ceng. “Aku dengar sendiri persekutuan mereka itu! Lekas kau pergi kepada ayahmu!”
Gochin menjadi tegang hatinya tetapi ia tertawa. “Baik!” katanya. Ia putar kudanya, untuk segera dikasih lari.
Kwee Ceng heran. “Ayahnya hendak dibikin celaka orang, kenapa dia girang?” ia tanya dirinya sendiri. Lalu ia ingat suatu apa. “Ah! dengan begini bukankah ia jadi tidak bakal menikah sama Tusaga?” Maka ia pun bergirang. Ia memang sayangi Gochin sebagai adik kandungnya!
Itu wkatu terdengar suaranya Ma Giok. “Pinto bukan hendak menangi lain orang dengan merendahkan diri sendiri, dengan sebenarnya Bwee Tiauw Hong itu telah jadi sangat lihay. Dia sekarang telah dapat mewariskan kepandaiannya Tocu Oey Yok Su dari Tho Hoa To, Tanghay. ilmunya Kiu Im Pek-kut Jiauw sudah terlatih sempurnya, sedang cambuknya ada luar biasa. Kalau kita bekerjasama berdelapan, kita tidak bakal kalah, tetapi untuk singkirkan dia, jangan harap malah mungkin bakal rugi sendiri…”
“Habis apa sakit hatinya ngoko dan toako mesti dibiarkan tak terbalas?” kata Siauw Eng yang selalu ingat Thio A Seng.
“Sejak dahulu kala ada dibilang, permusuhan harus dilenyapkan, tetapi jangan diperhebat,” Ma Giok bilang. “Tuan-tuan telah binasakan suaminya, bukankah berarti sakit hati itu telah terbalas? Dia sebatang kara, dia pun buta matanya, dia harus dikasihani.”
Liok Koay berdiam. “Dia melatih diri secara demikian hebat, setiap tahun ia telah bunuh berapa banyak orang yang tidak bersalah dosa,” kata Po Kie kemudian, “Maka itu totiang, dapatkah kau membiarkannya saja?”
“Laginya sekarang ini dia yang mencari kami, bukan kami yang emncari dia,” CU Cong berkata pula.
“Taruh sekarang kita menyingkir dari dia,” Coan Kim Hoat menyambungi, “Kalau benar dia hendak menuntut balas, untuk selanjutnya tak dapat kita tidak berjaga-jaga. Inilah sulit!”
“Untuk itu pinto telah dapat pikir suatu jalan untuk menghindarkannya,” berkata Ma Giok. “Jalan ini ada sempurna, asal tuan-.tuan suka berlaku murah dan suka mengasihani dia untul membuka satu jalan baru untuknya.”
Cu Cong semua berdiam, mereka awasi kakak mereka, untuk dengar putusan si kakak.
“Kami Kanglam Cit Koay biasa sembrono, kami Cuma gemar berkelahi,” kata Tin Ok emudian. “Kalau totiang sudi menunjuki suatu jalan terang, kami pasti akan bersyukur. Silahkan totiang bicara.”
Tin Ok mengerti, imam ini bukan melulu memintakan ampun untuk Bwee Tiauw Hong, hanya orang lagi melindungi juga mereka sendiri. Selama sepuluh tahun ini, entah bagaimana kemajuannya si Mayat Besi. Suara kakaknya ini membikin heran saudara-saudaranya yang lain.
“Kwa tayhiap berhati mulia, Thian tentu akan memberkahi,” kata Ma Giok seraya mengangguk. “Satu hal hendak pinto memberitahukannya. Turut pikiranku, selama sepuluh tahun ini, mungkin sekali Bwee Tiauw Hong telah dapat pengajaran baru dari Oey Yok Su….
Cu Cong semua terkejut. “Hek Hong Siang Sat adalah murid-murid murtad dari Oey Yok Yu, cara bagaimana dia dapat ajarakan pula ilmu?” ia tanya.
“Itulah memang benar,” berkata Ma Giok, “Hanya setelah mendengar Kwa tayhiap berusan perihal pertempuran pada belasan tahun yang sudah lalu itu, pinto dapat menyatakan kepandaiannya Bwee Tiauw Hong telah maju pesat seklai, tanpa dapat penunjuk dari guru yang lihay, dengan belajar sendiri, tidak nanti ia dapat peroleh itu. Umpama kata sekarang kita dapat singkirkan Bwee Tiauw Hong, kemudian Oey Yok Su mendapat tahu, bagaimana nanti…?”
Tin Ok semua berdiam. Mereka pernah mendengar perihal kepandaian Oey Yok Su itu, mereka masih kurang percaya sepenuhnya. Mereka mau menyangka orang bicara secara dilebih-lebihkan. tapi aneh kenapa Ma Giok ini nampaknya jeri kepada pemilik pulau Tho Hoa To itu?
“Totiang benar,” Cu Cong berkata kemudian. “Silakan totiang beri petunjuk kepada kami.”
“Pinto harap tuan-tuan tidak menertawainya,” Ma Giok minta.
“Harap totiang tidak terlalu merendah,” kata Cu Cong. “Ada siapakah yang tidak menghormati Cit Cu?”
Dengan “Cit Cu” dimaksudkan tujuh persaudaraan Tiang Cun Cu.
“Bersyukur kepada guru kami, memang Cit Cu ini ada juga nama kosongnya di dalam dunia kangouw,” kata Ma Giok. “Pinto percaya, terhadap kami dari Coan Cin Kauw, mungkin Bwee Tiauw Hong tidak berani lancang turun tangan. Karena ini juga, pinto hendak menggunai suatu akal untuk membikin ia kabur…” Lantas imam itu tuturkan tipunya.
Sebenarnya Tin Ok tidak sudi mengalah, tetapi untuk membari muka kepada Ma Giok, terpaksa mereka menurut. Maka itu, habis bersantap, mereka sama-sama mandaki jurang. Ma Giok dan Kwee Ceng yang jalan di muka, Tin Ok berenam jalan di belakang Kwee Ceng, murid mereka itu. Mereka dapat lihat cara naiknya ma Giok. Mereka percaya, imam ini tidak ada di sebawahannya Khu Cie Kee, Cuma tabiatnya itu dua saudara seperguruan saja yang berbeda.
Setibanya Ma Giok dan Kwee Ceng di atas, mereka lantas kasih turun dadung mereka, guna bnatu menggerek naik kepada Kanglam Liok Koay.
Sesempai di atas, enam saudara itu segera dapat lihat tumpukan tengokraknya Bwee Tiauw Hong. Sekarang ini baharu mereka percaya habis imam itu.
Lantas semua orang duduk bersamedhi, sambil beristirahat, mereka menantikan sang sore. Dengan lewatnya sang waktu, cuaca mulai menjadi guram, lalu perlahan-lahan menjadi gelap. Masih mereka menantikan, hingga tibanya tengah malam.
“Eh, mengapa dia masih belum datang?” tanya Po Kie, mulai habis sabarnya.
“St! Dia datang…!” kata Tin Ok.
Semua orang berdiam, hati mereka berdenyut. Kesunyian telah memerintah di atas jurang itu.
Sebenarnya Tiauw Hong masih jauh tetapi kuping lihay dari Tin Ok sudah mendengarnya.
Sungguh gesit si Mayat Besi ini. Dia muncul dalam rupa seperti segumpal asap hitam. Dia terlihat nyata di bawah sinar rembulan. Setibanya di kaki jurang, ia lantas mulai mendaki. Ia seperti tidak menggunai kakinya, Cuma kedua tangannya. Dia seperti naik di tangga saja.
Cu Cong semua yang mengawasi, mejadi kagum. Kapan Cu Cong berpaling pada Coan kim Hoat dan Han Siauw Eng, dia tampak wajah orang tegang. Ia percaya, wajahnya sendiri tentu begitu juga.
Segera juga Tiauw Hong tiba di atas. Di bebokongnya ia menggendol satu orang, yang lemas, entah mayat atau orang hidup.
Kwee Ceng terkejut kapan ia sudah lihat pakaian orang itu, yang adalah dari kulit burung tiauw yang putih. Itulah Gochin Baki, putrinya Temuchin, kawan kesayangannya. Tak dapat dicegah lagi, mulutnya bergerak, suaranya terdengar. tapi disaat itu juga, Cu Cong bekap mulutnya, seraya guru yang kedua ini berkata terus: “Kalau Bwee Tiauw Hong, si wanita siluman itu terjatuh ke dalam tanganku, - aku Khu Cie Kee – pasti aku tidak akan mau sudah saja!”
Tiauw Hong dengar seruan kaget dan suaranya Kwee Ceng itu, ia heran, sekarang ia dengar suara orang bicara dan menyebut-nyebut Khu Cie Kee dan namanya juga, ia menjadi terlebih kaget. Ia lantas saja bersembunyi di samping batu untuk memasang telinga.
Ma Giok semua telah dapat lihat tingkah laku si Mayat Besi ini, di dalam hati mereka tertawa. Cuma Kwee Ceng yang hatinya goncang, karena ia pikirkan keselamatannya Gochin.
“Bwee Tiauw Hong atur tulang-tulangnya di sini, sebentar dia bakal datang,” berkata Han Po Kie. “Kita baik tunggui saja padanya.”
Tiauw Hong sembunyi tanpa berani berkutik. Ia tidak tahu ada berapa orang lihay yang bersembunyi di situ.
“Dia memang banyak kejahatannya,” ia dengar suaranya Han Siauw Eng, “Tapi karena Coan Cit Kauw mengutamakan wales asih, baiklah ia diberi jalan baru….”
Cu Cong tertawa. “Ceng Ceng San-jin sangat murah hati, pantas suhu pernah bilang kau gampang untuk mencapai kesempurnaan!” katanya. Siauw Eng bicara sebagai juga ia adalah Ceng Ceng San-jin.
Kauwcu Ong Tiong Yang ada punya tujuh murid yang mendapat nama baik, tentang mereka itu, tidak seorang juga kaum kangouw yang tidak mengetahuinya. Murid kepala, si toa-suheng, ialah Tan-yang-cu Ma Giok. Yang kedua adalah Tiang-cin-cu Tam Cie Toan, yang ketiga Tiang-sen-cu Lauw Cie Hian. Yang keempat ialah Tang Cun Cu Khu Cie Kee, yang kelima Giok-yang-cu Ong Cie It. Yang keenam Kong-leng-cu Cek Tay Thong. Dan yang terakhir adalah Ceng Ceng San-jin Sun Put Jie, istrinya Ma Giok pada sebelum Ma Giok sucikan diri.
“Tam Suko, bagaimana pikiranmu?” tanya Siauw Eng. Ia tanya Hie Jin, yang disini menyamar sebagai Tam Cie Toan.
“Dia berdosa tak terampunkan!” sahut Hie Jin sebagai Cie Toan.
“Tam Suko,” berkata Cu Cong, “Selama ini telah maju pesat sekali kau punya ilmu Cie-pit-kang, kalau sebentar si siluman perempuan datang, silahkan kau yang turun tangan, supaya kami yang menjadi saudara-saudaramu dapat membuka mata kami. Kau akur?”
Hie in sengaja menyahut: “Lebih baik minta Ong Sutee yang gunai kaki besinya untuk dupak dia, untuk antarkan dia pergi ke sorga di Barat…”
Dalam Coan Cin Cit Cu, Khu Cie Kee yang namanya paling tersohor, yang kedua adalah Ong Cie It, yang mendapat julukan Thie Kak Sian si Dewa Kaki Besi, karena lihaynya tendangannya dan pernah ia bertaruh mendaki jurang yang tinggi hingga ia dapat menakluki beberapa puluh orang gagah di Utara. Sembilan tahun ia mengeram di dalam gua, untuk menyakinkan kekuatan kakinya itu. Cie Kee sendiri puji padanya.
Demikian mereka ini berbicara, seperti sandiwara. Cuma Tin Ok yang bungkam, karena ia khawatir suaranya dikenali Bwee Tiauw Hong. Pembicaraan itu membikin gentar hatinya si Mayat Besi, hingga ia berpikir: “Coan Cin Cit Cu telah berkumpul semua, kepandaian mereka juga maju pesat, kalau aku terlihat mereka, mana bisa aku hidup lebih lama?”
Cu Cong berkata pula: “Malam ini gelap sekali sampai lima jeriji tangan sukar terlihat, kalau sebentar kita turun tangan, baik semua berlaku hati-hati. Kita mesti mencegah si siluman perempuan itu dapat meloloskan diri!”
Girang Tiauw Hong mendengar itu. “Syukur langit gelap,” katanya dalam hati. “Kalau tidak, dengan mata mereka yang lihay, mereka tentulah telah dapat lihat aku.
Berterima kasih kepada Langit dan Bumi yang sang rembulan tidak muncul!”Kwee ceng sendiri mengawasi Gochin, perlahan-lahan si nona membuka matanya. Ia menjadi lega hatinya. itu tandanya si nona tidak dalam bahaya jiwa. ia lantas menggoyangi tangan, untuk mencegah si nona itu berbicara.
Si nona tapinya tidak mengerti. “Engko Ceng lekas tolongi aku!” ia berteriak.Kwee Ceng menjadi sangat bingung. “Jangan bicara!” katanya. Tapi dia toh bicara dengan suara keras!
Kagetnya Tiauw Hong tidak kalah dengan kagetnya si anak muda. Segera ia totok urat gagu si tuan putri itu. Ia lalu menjadi heran dan curiga.
“Cie Peng, apakah kau yang barusan berbicara?” tanya Coan Kim kepada muridnya, yang disamarkan sebagai In Cie Peng.
Kwee Ceng tahu peranannya. “Barusan teecu seperti dengar suara wanita,” ia menyahut.
Tiba-tiba Tiauw Hong ingat apa-apa. “Coan Cin Cit Cu ada disini semua? Benarkah ada begini kebetulan? Bukankah orang lagi menghina aku karena aku buta dan sengaja mereka mengatur sandiwara?” ia mulai geraki tubuhnya.
Ma Giok kasih lihat gerakan si Mayat Besi itu, mengertilah ia bahwa orang mungkin mulai curiga. Ia menjadi berkhawatir. Kalau terjadi pertempuran, pihaknya tak usah takut, Cuma dikhawatirkan keselamatan Kwee Ceng dan Gochin. Dipihak Liok Koay juga mungkin bakal ada yang bercelaka.
Cu Cong mengawasi gerak-geriknya Bwee Tiauw Hong, ia lihat bahaya mengancam, segera ia berkata dengan nyaring: “Toa suko, bagaimana dengan penyakinan pelajaran yang suhu ajarakan beberapa tahun ini, yaitu Kim-kwan Giok-cauw ie-sie Koat? Pastilah kau telah peroleh kemajuan. Coba kau pertunjuki untuk kami lihat.”
Ma Giok tahu Cu Cong ingin dia perlihatkan kepandaiannya guna menakluki Bwe Tiauw Hong, ia lantas menjawab: “Sebenarnya walaupun aku menjadi saudara yang tertua, lantaran aku bebal, tak dapat aku lawan kau, saudara-saudaraku. Apa yang aku dapati dari guru kita, dalam sepuluh tahun tidak ada dua….
Imam ini bicara secara merendah akan tetapi ia telah gunai tenaga dalamnya, maka itu suaranya nyaring luar biasa, terdengar tedas sampai jauh, berkumandang di dalam lembah.
Bwee Tiauw Hong mengkerat mendengar suara orang itu. Perlahan-lahan ia kembali ke tempat sembunyinya.
Ma Giok llihat kelakuan orang, ia berkata pula: “Kabarnya Bwee Tiauw Hong telah buta kedua matanya, kalau benar, ia harus dikasihani juga, umpama kata ia menyesal dan suka mengubah kesalahannya yang dulu-dulu dan tidak tidak lagi mencelakai orang-orang yang tidak bersalah dosa serta tidak akan mengganggu pula kepada Kanglam Liok Koay, baiklah kita beri ampun kepadanya. Khu Sutee, kau bersahabat serat dengan Kanglam Liok Koay, pergi kau menemui mereka itu, untuk mohon mereka jangan membuat perhitungan pula dengan dia. Aku pikir, kedua pihak baiklah menyudahi urusan mereka.”
“Itulah perkara gampang,” sahut Cu Cong. “Penyelesaiannya berada di pihak Bwee Tiauw Hong sendiri, asal dia suka mengubah perbuatannya….”
Tiba-tiba terdengar suara dingin dari belakang batu: “Terima kasih untuk kebaikannya Coan Cin Cit Cu! Aku, Bwee Tiauw Hong ada di sini!”
Semua orang terperanjat sangking herannya. Mereka duga Tiauw Hong jeri dan bakal menyingkirkan diri secara diam-diam, tidak tahunya dia benar bernyali besar, dia malah menghampiri mereka.
Tiauw Hong berkata pula: “Aku adalah seorang wanita, tidak berani aku memohon pengajaran dari totiang beramai, tetapi telah lama aku dengar ilmu silatnya Ceng Ceng San-jin, ingin aku memohon pengajaran daripadanya…” Habis berkata, ia berdiri, siap sedia dengan cambuknya yang panjang itu.
Kwee Ceng lihat Gochin rebah di tanah, tubuhnya diam saja, ia berkhawatir. Memang persahabatannya erat sekali dengan itu putri serta Tuli. Maka sekarang, tanpa pedulikan lihaynya Bwee Tiauw Hong, ia lompat kepada kawannya itu, untuk mengasih bangun padanya. Tahu-tahu tangan kirinya si Mayat Besi sudah lantas menyambar dan mencekal tangan kirinya. Tentu sekali, tidak dapat ia berdiam saja. Di satu pihak ia lemparkan tubuh Gochin kepada Siauw Eng, dilain pihak ia geraki tangan kirinya itu, untuk berkelit. Ia dapat lolos. Tapi Tiauw Hong benar-benar lihay, ia menyambar pula, kali ini ia memegang nadi orang, maka anak muda itu menjadi mati daya. “Siapa kau?” tanya si buta.
Cu Cong memberi tanda dengan tangan kepada muridnya itu, atas mana Kwee Ceng segera memberikan penyahutan: “Teecu adalah In Cie Peng, murid dari Tiang Cun Cin-jin.”
Tiauw Hong segera berpikir: “Muridnya begini muda tetapi tenaga dalamnya sudah bagus sekali, ia dapat meloloskan diri dari tanganku. Baiklah aku menyingkir dari mereka…” Dengan perdengarkan suara, “Hm!” ia lepaskan cekalannya.
Kwee Ceng lantas lari menjauhkan diri, apabila ia lihat tangannya, di situ ada petahan lima jari tangan, dagingnya melesak ke dalam. Coba si Mayat Besi tidak jeri, mungkin tangannya itu sudah tidak dapat ditolong lagi….
Oleh karena ini, Tiauw Hong pun tidak berani mengulangi tantangannya untuk mencoba menempur Sun Put Jie. Tapi ia ingat suatu apa, maka ia tanya Ma Giok: “Ma totiang, timah dan air perak disimpan denagn hati-hati, apakah artinya itu?”
Ma Giok menyahuti: “Timah itu sifatnya berat, diumpamakan dengan rasa hati. Itu artinya, rasa hati harus dikendali, dengan berdiam, peryakinan berhasil.”
Tiauw Hong tanya pula: “Nona muda dan anak muda, apakah artinya itu?”
Pertanyaan itu membuat Ma Giok terkejut. Itu bukanlah pertanyaan biasa. Kata-kata itu ialah istilah dalam kalangan agama To Kauw. Maka ia lantas membentak: “Silumanm, kau hendak mendapatkan pelajaran sejati? Lekas pergi!”
Tiauw Hong tertawa lebar. “Terima kasih atas petunjukmu, totiang!” katanya. Terus ia berlompat, cambuknya digeraki melilit batu, apabila ia menarik dan tubuhnya mencelat, ia lompat ke arah jurang, gerakannya sangat enteng dan pesat, hingga orang semua kagum.
Di lain pihak, orang berlega hati melihat perginya wanita bagaikan siluman itu. Ma Giok segera totok sadar kepada Gochin yang diletaki di atas batu untuk beristirahat.
“Sepuluh tahun ia tak tertampak, tidak disangka si Mayat Besi telah jadi begini lihay,” berkata Cu Cong. “Coba tidak totiang membantu kami, sudah tentu kami sukar lolos dari nasib celaka.”
“Jangan mengucap begitu,” berkata Ma Giok, yang keningnya berkerut, suatu tanda bahwa ia ada mendukakan apa-apa.
“Totiang, apabila kau memerlukan sesuatu, walupun kami tidak punya guna, kami bersedia untuk menerima titah-titahmu,” Cu Cong tawarkan diri.
Ia lihat imam itu berduka. “Harap totiang jangan segan-segan menitah kami.”“Oleh karena kurang pikir, sejenak barusan pinto telah kena tertipu wanita yang sangat licin itu,” berkata imam itu setelah menghela napas panjang.
Cu Cong semua terkejut. “Adakah totiang dilukai senjata rahasia?” mereka tanya.
“Itulah bukan,” sahut imam itu. “Hanya tadi ketika ia menanya padaku, tanpa berpikir lagi, pinto telah jawab dia. Pinto khawatir jawaban itu nanti menjadi bahaya di belakang hari…”
Cu Cong semua mengawasi, mereka tidak mengerti.
“Ilmunya si Mayat Besi ini, yaitu yang disebut Gwa-mui atau ilmu luar, telah berada di atasan pinto dan saudara-saudara,” sahut si imam kemudian, “Umpama kata Khu Sutee dan Ong Sutee berada di sini, masih belum tentu kita dapat menangkan dia. Hanya dalam Iweekang, atau ilmu dalam, dia belum menemui jalannya yang benar. Setahu darimana, dia rupanya telah dapat cari jalan itu, hanya karena tidak ada orang yang tunjuki, dia belum berhasil menyakinkannya. Tadi ia menanyakan jalan itu kepada pinto. Mestinya itu adalah jalan yang ia belum dapat tangkap artinya. Benar pinto telah baharu menjawab sekali, akan tetapi itu satu juga bisa membantu banyak padanya untuk ia peroleh kemajuan…”
“Harap saja ia insyaf dan tidak nanti melakukan pula kejahatan,” kata Siauw Eng separuh menghibur.
“Harap saja begitu. Kalau dia tambah lihay dan tetap ia berbuat jahat, dia jadi terlebih sukar untuk ditakluki. Ah, dasar aku yang semberono, aku tidak bercuriga….!”
Selagi Ma Giok mengatakan demikian, Gochin perdengarkan suara, lalu ia sadar. Terus ia angkat tubuhnya, untuk berduduk di atas batu. Ia rupanya sadar seluruhnya, karena ia lantas berkata kepada Kwee Ceng: “Engko Ceng, ayahku tidak percaya keteranganku, ayah sudah ajak orang pergi kepada Wang Khan…”
Kwee Ceng kaget. “Kenapa Khan tidak percaya kepada kau?” ia tanya.
“Tempo aku beritahukan bahwa kedua paman Sangum dan Jamukha hendak membikin ayah celaka, ayah tertawa terbahak-bahak. Ayah bilang, lantaran aku tidak sudi menikah denagn Tusaga, aku jadi hendak memperdayainya. Aku telah jelaskan bahwa hal itu kau dengar dengan kupingmu sendiri, ayah malah jadi semakin tidak percaya. Ayah bilang, sepulangnya nanti, ia hendak hukum padamu. Ayah pergi dengan mengajak ketiga kakakku serta belasan pengiring. Karena itu aku segera berangkat untuk cari kau, tetapi di tengah jalan aku dibekuk perempuan buta itu. Adakah dia yang membawa aku menemui kamu?”
Putri ini tak sadar akan bahaya yang mengancam padanya tadinya, maka itu Cu Cong dan yang lainnya kata dalam hati mereka: “Coba tidak ada kita disini, tentulah batok kepalamu sudah berlobang lima jari tanga…”
“Sudah berapa lama Khan pergi?” tanya Kwee Ceng yang hatinya cemas.
“Sudah sekian lama,” sahut Gochin. “Mereka menunggang kuda pilihan. Tidak lama lagi tentulah mereka akan sudah sampai di tempatnya Wang Khan. Engko Ceng, Sangum dan Jamukha bakal celakai ayahku itu, bagaimana sekarang?” Lantas saja ia menangis.
Kwee Ceng menjadi bingung. Inilah yang pertama kali ia menghadapi soal sulit itu.
“Anak Ceng lekas kau pergi!” berkata Cu Cong. “Kau pakai kuda merahmu itu untuk susul Khan yang agung! Umpama kata ia tidak mempercayaimu, dia harus mengirim orang untuk mencari keterangan terlebih dahulu. Dan kau, tuan putri, lekas kau pergi kepada kakakmu Tuli, untuk minta ia lekas siapkan tentara guna segera pergi menyusul dan menolongi ayahmu!”
Kwee Ceng menginsyafi keadaan, tanpa ayal lagi, ia mendahului turun dari atas jurang, sedang Ma Giok denagn mengikat tubuh Gochin, telah turunkan tuan putri itu.
Setibanya di lembah. Kwee Ceng kabur ke kemah di mana ia ambil kudanya, untuk menaikinya, guna dikasih lari sekeras-kerasnya. Ia khawatir Temuchin keburu sampai di tempat Wang Khan dan itu artinya bahaya untuk Khan yang maha agung itu. Di lain pihak ia menjadi girang sekali, ia puas benar dengan kudanya yang larinya sangat pesat, apapula di tanah rata. Pernah ia mencoba menahan, untuk berjalan perlahan-lahan, ia khawatir hewan itu terlalu letih, tetapi si kuda tidak mau berhenti, terus ia lari, nampaknya ia tidak takut capek.

Selang dua jam, baru kuda itu mau juga diistirahatkan sebentar, habis mana, ia kabur pula. Sesudah lari lagi satu jam, tibalah Kwee Ceng di tempat datar dimana kedapatan tiga baris tentera yang jumlahnya mungkin tiga ribu jiwa. Dari benderanya ketahuan, itulah pasukan Wang Khan, yang siap sedia denagn panah dan golok terhunus.Di dalam hati Kwee Ceng mengeluh. Terang Temuchin telah lewat di situ, dan itu berarti, jalan pulang dari Khan agung itu telah terpegat. Karena ini, ia keprak kudanya untuk dikasih lari lewat di sini tentara itu. Ketika si opsir dapat ketahui dan berseru, untuk mencegah, ia sudah lewat jauh!
Di tengah jalan Kwee Ceng tidak berani berlambat, malah tiga jagaan telah ia lewatkan terus. Maka itu kemudian ia sudah mulai dapat melihat bendera yang besar dari Temuchin. Setelah ia mendatangi lebih dekat, ia tampak rombongan dari belasan orang yang tengah maju terus, ia keprak kudanya, untuk tiba di samping khan itu.
“Kha Khan, lekas kembali!” ia berteriak. “Jangan pergi lebih jauh!”
Temuchin heran, ia tahan kudanya, “Ada apa?” ia menanya.
“Ada bahaya,” sahut Kwee Ceng, yang terus tuturkan persekutuannya Wanyen Lieh. Ia pun beritahukan perihal tentera pencegat di belakang mereka.
Dengan roman bersangsi, Temuchin awasi bocah tanggung ini. Ia pun berpikir: “Memang Sangum tidak akur dengan aku, tetapi ayah angkatku, Wang Khan, tengah mengandali tenagaku. Saudaraku Jamukha ada sangat baik denganku, kita sehidup semati, apa mungkin nia hendak mencelaki aku?”
Kwee Ceng tahu khan itu bersangsi, ia kata pula: “Kha Khan, cobalah kirim orang untuk periksa benar atau tidak ada tentara pencegat jalan!”
Biar bagaimana, Temuchin adalah seorang yang teliti. Ia pun berpendirian, “Lebih baik terpedaya satu kali tetapi jangan mati konyol!” Maka ia terus berpaling pada Ogotai, putranya yang kedua itu dan Chilaun, panglimanya, untuk mengatakan: “Lekas kamu pergi menyelediki!”
Dua orang itu sudah lantas lari balik.
Temuchin memandang ke sekelilingnya. “Naik ke bukit itu!” Ia kasih perintah. “Siap sedia!”
Dalam keadaan seperti itu, khan ini tidak jeri. Ia pun ada bersama orang-orangnya ynag gagah, malah mereka ini tahu tugasnya, begitu naik ke atas bukit, mereka lantas menggali lobang dan memindahkan batu, buat berjaga-jaga diiri dari serangan anak panah.
Tak lama dari selatan terlihat debu mengepul naik, disusul sama munculnya satu pasukan tentara terdiri dari beberapa ribu jiwa. Dipaling depan pasukan itu terlihat Ogotai dan Chilaun lari kabur mendatangi.
Jebe ada sangat awas, ia tampak tentara itu tengah mengejar. “Benar-benar pasukannya Wang Khan!” ia berseru.
Segera terlihat pula, pasukan pengejar itu memecah diri dalam diri dalam jumlah ratusan jiwa, mereka ambil sikap mengurung, guna memegat Ogotai dan Chilaun, siapa sudah lari terus, tubuhnya mendekam di punggung kuda, cambuknya dipecut berulang-ulang.
“Anak Ceng, mari kita sambut mereka!” Jebe berteriak. Dan ia keprak kudanya, diturut oleh muridnya.
Hebat lari kudanya kwee Ceng, mendahulukan gurunya, ia tiba lebih dahulu kepada Ogotai dan Chilaun, terus ia gunai panahnya, kapan tiga anak panahnya melesat, tiga pengejar terdepan rubuh dari kuda mereka. Cepat luar biasa, ia menyusuli dengan anak panahnya yang keempat.
Jebe lebih lihay daripada muridnya ini, ia turut memanah, dengan berulang-ulang, maka denagn berulang-ulang sejumlah serdadu musuh rubuh terguling. Akan tetapi musuh berjumlah besar, mereka maju bagaikan gelombang!
Ogotai dan Chilaun telah tahan kuda mereka dan berbalik, mereka sekarang turut menyerang denagn panah mereka, sembari menyerang mereka mundur ke bukit dimana Temuchin menanti. Di sini khan itu bersama Borchu, Juji dan lainnya, sudah lantas memanah juga. Panah mereka tidak pernah gagal, denagn begitu pihak pengejar dapat tertahan majunya.
Temuchin naik ke tempat yang lebih tinggi, akan memandang jauh ke empat penjuru. Ia telah menyaksikan tentaranya Wang Khan tengah mendatangi di empat jurusan itu. Kemudian pada sebuah pasukan ia tampak seorang yang menunggang seekor kuda yang besar, yang ditawungi bendera kuning yang besar juga. Orang itu ialah Sangum, putranya Wang Khan. Ia lantas saja berpikir. Ia anggap ia mesti menang tempo, dengan memperlambat segala apa. Sendirian saja, sukar buat ia menoblos kurungan, Tuli sendiri belum tentu tepat datangnya, karena ada kemungkinan tentaranya tak mau dengar putra yang masih muda itu.
“Adik Sangum, aku minta sukalah kau datang ke mari untuk bicara!” ia lanats teriaki itu saudara angkat.
Dengan diiringi pasukan pengawalnya, Sangum mendekati bukit. Beberapa puluh tentara lain pun melindungi dia dengan mereka, siap sedia tameng besi mereka guna menangkis panah gelap. Ia berlaku jumawa. Ketika ia buka mulutnya, ia pun nyata sekali kepuasannya. “Temuchin, lekas menyerah!” demikian ia berteriak.
Temuchin tidak menyahuti, ia hanya menanya: “Apakah salahku terhadap ayahku Wang Khan, maka kau bawa pasukanmu untuk menyerang aku?”
Sangum pun menjawab dengan pertanyaannya: “Adakah sejak jaman dahulu kala bangsa Mongol tinggal pada masing-masing sukunya, ternaknya kambing dan kerbau adalah kepunyaan beramai satu suku, tetapi kau kenapa, kau langgar aturan leluhur kita? Kenapa kau hendak persatukan semua suku?”
“Bangsa Mongolia telah diperhina oleh negara Kim, negara itu menghendaki kita setiap tahun membayar upeti beberapa laksa ekor kerbau, kambing dan kuda, adakah itu selayaknya?” Temuchin balik tanya. “Asal saja kuta bangsa Mongolia tidak saling menyerang, kenapa kita mesti takuti bangsa Kim itu?”

Kata-kata ini tajam, kapan orang-orangnya Sangum mendengarnya, hati mereka goncang. Mereka setujui perkataan itu.Temuchin lanjtui perkataannya: “Bangsa Mongolia bangsa orang-orang peperangan yang pandai, kenapakah kita tidak hendak pergi mengambil emas dan perak dan permatanya bangsa Kim itu? Kenapa kita mesti tiap tahun membayar upeti terhadap mereka? Kita bangsa Mongolia ada diantaranya yang rajin memelihara kerbau dan kambing, ada juga yang malas dan cuma doyan gegares! Kenapa mereka yang rajin mengasih makan mereka yang malas itu? Kenapa kita tidak hendak memberikan lebih banyak kerbau dan kambing kepada yang rajin?
Kenapa kita tidak mau membiarkan si malas itu mati kelaparan?”Dijaman dahulu bangsa Mongolia hidup dalam suatu keluarga atau suku, ternaknya adalah kepunyaan suku bersama, kemudian karena tenaga pertumbuhan mereka bertambah dan adanya pemakaian alat-alat dari besi, perlahan-lahan sifat itu berubah, ialah kebanyakan bangsa penggembala itu memakai cara memiliki sendiri-sendiri. Temuchin sengaja singgung sifat itu, ia membuatnya tentaranya Sangum menyetujuinya, diam-diam mereka itu pada mengangguk.
Sangum mengerti orang lagi menghasut tentaranya. “Jikalau kau tidak mau menyerah!” ia membentak, “Asal aku menuding dengan cambukku ini, berlaksanaan anak panah bakal dilepaskan terhadap dirimu! Jikalau itu sampai terjadi, jangan kau memikir untuk hidup lebih lama pula!”
Kwee Ceng menjadi cemas sekali. Keadaan ada sangat mendesak dan sulit. Bagaimana bahaya dapat dihindarkan? Selagi ia berpikir, ia lihat satu penunggang kuda di kaki bukit itu. Penunggang kuda itu dandan sebagai satu panglima perang, di sebelahnya baju lapis, ia mengenakan juga mantel bulu kulit binatang tiauw yang mahal. Di tangannya panglima itu ada sebatang golok besar. Dengan aksi ia larikan kudanya mondar-mandir. Kwee Ceng kenali panglima yang masih muda itu, Tusaga adanya, putra Sangum, dengan siapa ia pernah berkelahi waktu kecil. Ia lantas ingat suatu apa, maka ia jepit kudanya, ia kasih lari turun gunung, untuk menghampiri pemuda itu.
Celaka untuk Tusaga, begitu kena di cekal, ia mati kutu, tidak dapat ia berontak, maka tempo Kwee Ceng menarik, tubuhnya kena diangkat dari kudanya.
Selagi Kwee ceng hendak geser pemuda itu, ia dengar suara anginnya senjata mengaung di arah belakangnya. ia berpaling lekas, sambil berpaling, tangan kirinya menangkis. Tepat tangkisan itu, sepasang tombak kena dibikin terpental ke udara. Segera ia bentur perut kudanya denagn dengkulnya yang kanan. Kuda itu pun lantas mengerti, ia lantas lari ke arah bukit untuk mendaki. Dia dapat lari tak kalah pesatnya seperti waktu turun tadi.
“Lepas panah!” orang-orangnya Sangum berteriak.
Kwee Ceng tidak takut, ia pegang tubuhnya Tusaga, untuk dipakai menjadi tameng. Menampak itu, tidak ada satu serdadu pun yang berani memanah, mereka khawatir nanti kena memanah pemimpin mereka yang muda itu.
Dengan tidak kurang suatu apa pun Kwee Ceng tiba di samping Temuchin. Ia lempar tubuh Tusaga ke tanah, ke dekatnya khan yang agung itu.
Bukan main girangnya Temuchin. Ia segera menuding dada Tusaga dengan ujung tombaknya sembari berbuat begitu, ia teriaki Sangum: “Lekas kau suruh semua orangmu mundur seratus tombak!”


Bab 14. Ujian Yang Pertama

Sangum murka berbareng bingung. Ia kaget dan tidak menyangka putranya dapat ditawan musuh selagi putra itu berada dalam lindungan tentaranya yang berjumlah besar itu. ia tidak bisa berbuat lain daripada keluarkan titahnya untuk pasukannya itu mundur seratus tombak. Mereka Cuma mundur, tapi pengurungan tidak dibubarkan, malah kereta besar dikitarkan diseputar bukit itu, dalam tujuh dan delapan lapis!Temuchin puji Kwee Ceng, yang diperintah gunai dadung, untuk ringkus Tusaga.
Tiga kali Sangum mengirim utusan, meminta putranya dimerdekaan, supaya Temuchin menyerah, nanti jiwanya Temuchin akan diberi ampun, katanya. tapi tiga-tiga kalinya, Temuchin usir utusan itu.
Tanpa terasa, langit telah menjadi gelap. Temuchin khawatir Sangum menyerbu, ia kasih perintah orang-orangnya terus memasang mata.
Kira-kira tengah malam, seorang denagn pakaian putih muncul di kaki bukit. ia lantas berteriak: “Di sini Jamukha! Aku ingin bicara dengan saudara Temuchin!”
“Kau naiklah kemari!” Temuchin menjawab
Jamukha mendaki dengan perlahan-lahan. Ia tampak Temuchin berdiri menantikan dengan romannya yang angker. Ia maju mendekati, ingin ia memeluk. Adalah adat istiadat bangsa Mongolia akan saudara muda memeluk dan merangkul saudara tuanya.
Temuchin hunus goloknya. “Adakah kau masih anggap aku sebagai kakak angkatmu?” ia menegur.
Jamukha menghela napas. Ia lantas duduk bersila. “Kakak kau telah menjadi Khan yang agung, kenapa kau masih berambekan besar sekali?” ia tanya. “Kenapa kau bercita-cita mempersatukan bangsa Mongolia?”
“Kau sebenarnya menghendaki apa?” Temuchin tanya.
“Pelbagai kepala suku pada membilangnya bahwa leluhur kita sudah turun temurun beberapa ratus tahun hidup secara begini, maka itu kenapa khan yang agung Temuchin hendak mengubahnya? Tuhan juga tidak memperkenankan itu,” katanya Jamukha lagi.
“Apakah kau masih ingat cerita tentang leluhur kita Maral Goa?” Temuchin tanya. “Lima putra mereka tidak hidup rukun, ia masaki daging kambing kepada mereka, mereka juga masing-masing diberikan seorang sebatang anak panah, ia suruh mereka masing-masing mematahkannya. Dengan gampang mereka itu melakukannya. Lalu ia berikan mereka lima batang anak panah yang digabung menjadi satu, kembali ia menitahkan mereka untuk mematahkannya. Bergantian mereka berlima mencoba mematahkan anak panah itu, mereka gagal. Ingatkah apa pesan leluhur kita itu?”
Dengan perlahan Jamukha mengatakan: “Jikalau kamu masing-masing bercerai-berai, kamu menjadi seperti anak panah ini, yang gampang sekali orang siapapun dapat mematahkannya; jikalau kamu berpadu hati bersatu tenaga, kamu menjadi seperti lima batang anak panah yang digabung menjadi satu ini, yang tak dapat dipatahkan siapa juga!”
“Kau masih ingat itu, bagus!” seru Temuchin. “Kemudian bagaimana?”
“Kemudian mereka berlima bersatu padu bekerja sama, mereka menjadi leluhur kita bangsa Mongolia!” sahut Jamukha.
“Benar begitu!” kata Temuchin. “Kita juga adalah orang-orang gagah, kenapa kita tidak hendak mempersatukan bangsa Monglia kita? Kita harus saling kepruk, kita bersatu hati bekerja sama untuk memusnahkan bangsa Kim itu!”
Jamukha terkejut. Kata ia: “Negeri Kim itu banyak tentaranya dan banyak panglima perangnya, emasnya tersebar di seluruh negaranya, rangsumnya bertumpuk bagaikan gunung, cara bagaimana bangsa Mongolia bisa main gila terhadapnya?”
“Hm!” Temuchin perdengarkan ejekannya. “Jadinya kau suka yang kita semua diperhina dan ditindih bangsa Kim itu?”
“Mereka pun tidak menghina dan menindih kita,” kata Jamukha. “Raja Kim itu telah anugerahkan pangkat Ciauwtouwusu padamu.”
Temuchin menjadi mendongkol. “Mulanya akun juga menyangka raja Kim itu baik hati,” katanya. “Siapa tahu permintaannya kepada kita makin lama jadi makin hebat! Sudah minta kerbau dan kambing, dia minta kuda, dan sekarang dia menghendaki orang-orang peperangan kita membantu ia berperang!”
“Wang Khan dan Sangum tidak ingin memberontak terhadap negara Kim itu,!” kata Jamukha pula.
“Berontak? Hm! Berontak!” seru Temuchin menghina. “Dan bagaimana dengan kau sendiri?”
“Aku datang untuk meminta kau jangan gusar, kakak. Aku minta supaya kau kasih pulang Tusaga kepada Sangum. Aku tanggung Sangum nanti melepaskan kau pulang dengan selamat!”
“Aku tidak percaya Sangum! Aku juga tidak percaya kau!”
“Sangum bilang, kalau satu putranya terbinasa, dia bakal melahirkan dua putra lagi! Kalau satu Temuchin terbinasa, untuk selamanya tidak bakal ada Temuchin lagi! Jikalau kau tidak merdekakan Tusaga, kau bakal tak dapat melihat lagi matahari besok!”
Temuchin membacok ke udara. “Aku lebih suka terbinasa dalam perang, tak nanti aku menyerah!” serunya.
Jamukha bangkit berdiri. “Kita membagi-bagikan kerbau dan kambing rampasan kepada tentara, kau mengatakannya itu milik mereka pribadi, bukannya milik suku beramai. Mengenai itu, semua pelbagai kepala suku mengatakannya kau berlaku buruk, tak tepat itu dengan pengajaran leluhur kita!”
Temuchin berseru: “Akan tetapi semau orang peperangan yang muda-muda senang dengan caraku itu!”
“Baiklah saudara Temuchin,” kata Jamukha. “Harap kau tidak mengatakannya aku tidak berbudi!”
Temuchin lantas keluarkan satu bungkusan kecil dari dalam sakunya, ia lemparkan ke depan Jamukha. Ia bilang: “Inilah tanda mata ketika angkat saudara untuk ketiga kalinya, sekarang kau terimalah kembali! Besok kau membawa golokmu untuk berperang di sini!” Sembari berkata begitu, ia geraki tangannya seperti hendak membacok batang lehernya. Ia tambahkan. “Yang dibunuh itu adalah musuh, bukannya kakak angkatmu!”
Jamukha jemput bungkusan kecil itu. Ia pun keluarkan satu kantung kulit kecil dari sakunya, tanpa membilang apa-apa, ia letaki itu di samping kakinya Temuchin, lalu ia memutar tubuhnya untuk turun dari bukit itu.
Temuchin mengawasi belakang orang, sekian lama ia diam asaj. Ia ada sangat berduka. Sungguh tidak ia sangka, saudara angkat itu yang bagaikan saudara kandungnya bisa berubah demikian rupa, hingga membaliki belakang kepadanya. Lalu dengan perlahan-lahan ia buka kantung kulit itu, akan tuang keluar isinya, ialah kepala panah dan biji piesek yang diwaktu muda mereka sering membuat main. Segera terbayang di hadapan matanya saat dahulu hari ketika mereka sama-sama bermain-main di es. Ia menghela napas. Dengan goloknya ia mencongkel sebuah liang di tanah, di situ ia pendam itu barang tanda mata dari adik angkatnya itu.
Kwee Ceng di samping mengawasi dengan perasaan berat. Ia mengerti, apa yang Temuchin pendam itu adalah persahabatan yang ia paling hargakan….
Habis menguruk tanah dengan kedua tangannya, Temuchin bangun berdiri. Ia memandag ke depan. Ia nampak api yang dinyalakan tentaranya Sangum dan Jamukha, yang menerangi tanah datar seperti juga banyak bintang di langit. Ia berdiam sekian lama, kemudaian berpaling, hingga ia dapatkan Kwee Ceng berdiri diam di sampingnya.
“Apakah kau takut?” ia tanya.
“Aku tengah memikirkan ibuku,” Kwee Ceng menyahuti.
“Kau ada seorang gagah, orang gagah yang baik sekali,” Temuchin memuji. Ia menunjuk kepada api di kejauhan itu, ia melanjutkan: “Mereka itu juga orang-orang gagah! Kami bangsa Mongolia ada punya begini banyak orang gagah, sayang kami saling bunuh satu sama lain! Coba semua dapat berserikat menjadi satu…” Ia memandang ke ujung langit, lalu menambahkan pula; “….kita pasti dapat membuat seluruh dunia, membuat seluruh dua menjadi ladang tempat kita menggembala ternak kita!”
Kagum Kwee Ceng akan dengar itu cita-cita dari Khan yang agung ini. Ia lantas kata: “Khan yang agung, kita bisa menang perang, tidak nanti kita dapat dikalahkan Sangum yang berhati kecil dan hina dina itu!”
Temuchin pun menjadi bersemangat. “Benar!” sambutnya. “Mari kita ingat pembicaraan kita malam ini! Selanjutnya akan aku pandang kau sebagai anak kandungku!” Dan ia rangkul si anak muda!
Sementara itu, cuaca sudah mulai terang. Di dalam pasukannya Sangum dan Jamukha segera terdengar suara terompet.
“Bala bantuan tidak datang. Hari ini kita akan mati perang di gunung ini!” kata Temuchin.
Ini waktu terlihat tentara musuh sudah mulai bergerak, rupanya mereka hendak memulai penyerbuan mereka.
Temuchin bersama ketiga putranya dan semua panglimanya mendekam di belakang tumpukan tanah, anak panah mereka diarahkan ke setiap jalanan di gunung itu, jalanan yang bisa diambil musuh untuk menerjang naik.
Tidak antara lama, sebuah bendera kuning muncul dari dalam pasukannya Sangum. Di bawah bendera itu ada tiga orang, yang menuju ke sisi gunung. Mereka itu adalah, di kiri Sangum, di kanan Jamukha, dan di tengah-tengah adalah Chao Wang Wanyen Lieh, putra keenam dari raja Kim. Pangeran Kim ini memakai kopiah dan jubah perang bersalut emas, tangan kirinya mencekal tameng untuk pencegah panah.

“Temuchin, adakah kau hendak memberontak terhadap negara Kim yang agung?!” tanya itu pangeran.Juji, putra sulung Temuchin, tujukan panahnya dan memanah pangeran itu. Di belakang pangeran ini segera muncul satu orang, yang menyambuti anak panah itu dengan tangannya. Dia sangat gesit dan gapa.
Wanyen Lieh lantas saja berseru dengan titahnya: “Tolongi Tusaga! Bekuk Temuchin!”
Atas titah itu, empat orang berlompat maju, untuk lari mendaki ke atas gunung.
Kwee Ceng terperanjat menyaksikan kegesitan empat orang itu. Mereka itu menggunai ilmu enteng tubuh. Jadi mereka adalah orang-orang Rimba Persilatan, bukannya orang peperangan yang biasa.
Setibanya empat orang itu di tengah jalan, mereka dipapaki hujan panah oleh Jebe dan Borchu beramai, tetapi dengan tamengnya, mereka halau setiap anak panah itu.
Kwee Ceng jadi berkhawatir, “Kita di sini adalah orang-orang peperangan semua, kita bukannya tandingan jago-jago Rimba Persilatan itu…” pikirnya. “Bagaimana sekarang?”
Satu di antara empat orang itu, satu pemuda dengan pakaian hitam sudah lantas sampai di atas gunung. Dia dirintangi oleh Ogotai yang bersenjatakan sebatang golok besar. Dia ayun tangannya, lantas sebatang panah tangan menyambar ke batang lehernya putra Temuchin itu, disusul sama bacokan goloknya. Berbareng dengan itu, berkelebatlah sebatang golok putih mengkilap, menikam dari samping kepada lengan penyerang itu. Dia terkejut, sambil kelit lengannya, ia lompat mundur. Maka ia lihat di depannya ada satu anak muda dengan alis gompiak dan mata besar, yang mencekal pedang. Ia ini menghalang di depannya Ogotai. Dia heran dalam rombongannya Temuchin ada orang yang pandai ilmu pedang.

“Kau siapa?” dia menegur. “Beritahukanlah she dan namamu!” Dia bicara dalam bahasa Tionghoa.“Aku Kwee Ceng!” sahut anak muda itu.
“Tidak pernah aku dengar namamu! Lekas kau menyerah!” kata orang itu sombong.
Kwee Ceng sementara itu telah melihat, tiga kawannya orang ini sudah tiba di atas gunung dan tengah bertempur sama Chilaun, Boroul dan lainnya. Dilain pihak orang-orangnya Sangum hendak bergerak pula.
Mukhali lantas saja tandalkan goloknya di lehernya Tusaga. “Siapa berani maju!” ia berteriak. “Akan aku lantas memenggal!”
Sangum menjadi khawatir dan bingung. “Tuan pangeran, titahkanlah mereka itu turun!” ia mohon kepada Wanyen Lieh. “Mari kita memikir daya lainnya, supaya anakku jangan terbinasa…!”
“Tetapkan hatimu, anakmu tak bakal terbinasa!” kata Wanyen Lieh sambil tertawa.
Orang-orangnya Sangum tidak berani naik, sedang empat orangnya Wanyen Lieh itu melanjuti pertempurannya.
Kwee Ceng telah gunai ilmu pedang Wat Lie Kiam pengajaran Han Siauw Eng, ia layani musuh yang bersenjatakan golok itu. Segera ia dapat kenyataan, berat tangannya lawan itu, yang goloknya tebal. benar-benar musuh ini bukan sembarang orang. Ia pun tidak mengerti cara bersilatnya orang, sedang dari enam gurunya pernah ia dengar pelbagai macam ilmu silat. Orang ini mengancam ke kanan, tiba-tiba ancamannya itu berubah di tengah jalan, menjadi bacokan ke kiri………
Mau tidak mau, Kwee Ceng main mundur. Segera juga ia ingat pengajaran gurunya yang kesatu: “Di waktu bertempur mesti mempengaruhi orang tetapi jangan kasih diri kena dipengaruhi. Sekarang aku main menangkis aja, apakah itu ukan berarti aku kena didesak?” karena ini, waktu datang pula bacokan, ia tidak mundur lagi, sebaliknya ia menyambut seraya tekuk kaki kanan dan tangan kiri bersiap sedia. Keras sekali, tangan kanannya, ialah pedangnya, membalas menikam lempang.
terkejut juga musuh menyaksikan orang seperti nekat, bersedia akan celaka bersama, ia lantas tarik pulang goloknya. Kwee Ceng lihat ini ia gunai ketikanya, ialah ia menikam pula, kapan musuh berkelit, ia ulangi serangannya dengan beruntun. Terus ia bersilat dengan Wat Lie Kiam-hoat. Kali ini, ialah yang membuat lawannya repot.
Dipihak lain, tiga kawannya musuh itu sudah berhasil merubuhkan empat atau lima lawannya, kapan satu di antaranya melihat ia terdesak, dengan bawa tombaknya, dia lompat menghampirkan. “Toasuko, mari aku bantu kau!” dia berteriak.
“Kau lihat saja dari samping, kau lihat kepandaiannya toasukomu!” berseru orang yang bergenggaman golok itu, yang dipanggil toasuko atau kakak seperguruan yang tertua. Dia ini menganggap dirinya adalah tertua kaum Rimba Persilatan, sebab ia adalah orang undangannya Wanyen Lieh, yang untuk itu telah mengeluarkan banyak uang, sedang hari ini adalah yang pertama kalinya ia muncul di medan pertempuran. Tentu saja di hadapan ribuan serdadu, ia malu mengaku kalah terhadap adik seperguruannya itu. Memangnya di antara empat saudara seperguruan ini ada perbedaan tabiat atau sikap, masing-masing tidak sudi mengalah.
Kwee ceng gunai ketika orang bicara, ia tekuk kaki kirinya dan menikam dari bawah ke atas. Itulah gerakan “Kie hong teng kauw” atau “Burung hong bangkit dan ular naga mencelat”. Musuh kaget dan berlompat berkelit, tidak urung tangan bajunya yang kiri telah kena tersontek robek.
“Lihat kepandaiannya toasuko!” berseru saudaranya yang memegang tombka itu sambil tertawa.
Itu waktu Temuchin telah dilindungi dengan dikurung oleh Jebe dan lainnya yang belum terluka, sikap garang mereka membuat dua musuh lainnya yang memegang ruyung besi dan dan sepasang kampak pendek, tidak berani sembarang merangsak. Mereka ini pun telah dengar suaranya jiesuko mereka, saudara yang kedua, maka mereka anggap baiklah mereka menonton kakak mereka yang kesatu. Mereka mau percaya musuh tidak bakal lolos lagi. Mereka hampirkan jiesuko itu, untuk berdiri berendeng bertiga, akan menonton pertempuran sang kakak tertua.

Sebelum berkelahi terus, si pemegang golok itu lompat keluar kalangan. “Kau muridnya siapa?!” ia tegur Kwee Ceng. “Kenapa kau datang kemari untuk antarkan jiwamu?!”Kwee Ceng lintangi pedangnya, ia bersikap tenang. “Teecu adalah muridnya Kanglam Cit Koay,” ia menjawab dengan terus terang. “Teecu mohon tanya suwie empunya she dan nama yang besar?” ia terus berbalik menanya empat orang itu. “Suwie” ialah “keempat tuan”.
Orang itu menoleh kepada ketiga saudaranya. Lalu ia berpaling pula, katanya: “Tentang nama kami berempat, taruh kami mengatakannya, kau satu anak kecil tentulah tak dapat mengetahuinya. Lihat golokku!” Ia lantas menyerang.
Kwee Ceng sudah tempur orang, ia merasa orang ada terlebih terlatih daripadanya, akan tetapi ia adalah muridnya tujuh guru, telah banyak pengetahuannya, dan ilmun pedangnya pun sudah dapat mendesak musuh ini, maka itu ia melawan dengan berani, bukan ia mundur, ia mencoba mendesak terus.
Sia Tiauw Enghiong - 6
By admin • Sep 1st, 2008 • Category: 2. Silat China, CY - Sia Tiauw Enghiong
Sebentar saja, tigapuluh jurus telah dikasih lewat.
Puluhan ribu serdadu musuh, juga Temuchin semua, berdiam menyaksikan pertempuran itu. Tidak terkecuali adik seperguruannya si toasuko. Ia ini cemas juga setelah banyak jurus, ia masih belum bisaberbuat suatu apa. Diakhirnya, ia menjadi seperti nekat. Demikian satu kali, dengan bengis ia membacok melintang.Kwee Ceng lihat pinggangnya terancam tebasan, ia mendahulukan menikam ke arah lengannya musuhnya. Musuh itu menjadi girang melihat lawan tidak berkelit hanya membalas menyerang. Di dalam hatinya ia berkata: “Belum lagi pedangmu tiba, golokku sudah mengenai tubuhmu.” ia menebas terus tanpa membuat perubahan.
Tenang adanya sikap Kwee Ceng, jeli matanya, sebat tangannya. Ia tunggu sampai ujung golok hampir mampir di pedangnya, mendadak ia mengegos sedikit, sedang tangan kanannya menikam terus ke dada lawannya itu!
Bukan main kagetnya si toasuko. Sambil berteriak, ia lepas dan lemparkan pedangnya, sebagai gantinya, dengan tangan kosong ia sampok pedang si anak muda. Keras sampokan ini, pedang Kwee Ceng terlepas dan jatuh ke tanah. Ia tertolong jiwanya tetapi pedangnya toh mampir juga di tangannya, maka tangan itu bercucuran darahnya!
“Sayang!” kata Kwee Ceng di dalam hati. Cuma karena kurang pengalaman, ia gagal, sedang sebenarnya, dengan sedikit lebih sebat saja, ia akan dapat tancapkam pedangnya di dada lawannya itu. Selagi musuh lompat undur, ia jumput golok musuh yang jatuh di dekatnya.
Hampir pada itu waktu ada angin menyambar di belakangnya.
“Awas!” Jebe teriaki muridnya.
Kwee Ceng dengar pemberian peringatan itu, tanpa membalik tubuh lagi, sambil mendak sedikit, ia mendupak ke belakang. Tepat dupakannya ini, ia membuatnya tombaknya musuh terpental, habis mana, sambil memutar tubuh, ia membacok ke arah lengannya musuh. Kali ini ia gunai bacokan ajarannya Lam Hie Jin, yaitu jurus “Burung walet masuk ke sarangnya” dari tipu silat “Lam Sam Too-hoat” – ilmu pedang Lam San.
“Bagus!” seru lawan yang bersenjatakan tombak itu, yang membokong. Setelah berkelit dari bacokan, ia menikam ke dada pula.
Kembali Kwee Ceng bebaskan diri dengan kelitan “Dalam mabuk meloloskan sepatu”, untuk membarengi membalas menyerang, ialah sambil melayangkan kaki kanannya ke bahu musuh.
Penyerang bertombak ini menggunai ketikanya yang baik. Ia lihat Kwee Ceng lihay dengan ilmu pedangnya, setelah pedang orang terlepas, ia membokong. Ia tidak sangka si anak muda luas pengetahuannya dan gesit, tikamannya itu dapat dihalau dan ia ditendang, terpaksa ia menarik pulang serangannya.
Tapi ia penasaran, terus ia maju pula, hingga ia melayani musuh muda ini. Ia penasaran sebab ia tahu, dengan tombaknya itu ia sudah punyakan pengalaman dua puluh tahun…………Kwee Ceng berkelahi sambil matanya melitah dan otaknya bekerja. ia tahu musuh ingin menerbangkan goloknya, bahwa musuh itu ingin memperlekas kemenangannya.
Maka ia melawannya dengan sabar dan hati-hati. Tapi ini bukan berarti ia berlaku kendor. Ia tetap berlaku cepta dan keras, seperti tadi melawan si toasuko, ia mencoba mendesak, guna mempengaruhi musuh. Karena ini ia tampaknya jadi semakin lihay, sehingga ia membuatnya si toasuko heran. Si toasuko ini tadinya menyangka orang hanya lihay dengan pedangnya, tak tahunya, goloknya sama aja.
Lagi beberapa lama, Kwee Ceng dapatkan musuh mulai ayal gerakannya. ia lantas menantikan satu tikaman. Turut kebiasaan, ia mestinya menyampok tombak seraya membarengi membacok. Tiba-tiba ia merasa tenaga musuh berkurang, maka itu, ia batal membacok, ia terus memapas ke sepanjang batang tombak, ke arah jari tangan musuh itu. Celaka kalau musuh itu tidak lepaskan cekalannya.
Musuh itu terkejut, ia lantas mendahului lompat mundur.
Menghadapi lawan yang menggunai tombak ini, Kwee Ceng ada punya satu keuntungan. ia telah dipertaruhkan akan bertempur sama anaknya Yo Tiat Sim, karena Tiat Sim adalah keturunan kaum keluarga Yo yang terkenal untuk ilmu tombaknya keluarga Yo, yaitu Yo Kee Chio-hoat, maka Lam Hie Jin sengaja ajarkan muridnya ini tipu golok melawan tombak. Kebetulan sekali, sekarang ini Kwee Ceng ada kesempatan akan pakai ilmu goloknya yang istimewa itu dan ia berhasil. Apa yang tidak disangka, ilmu ini bukan digunai di Kee-hi hanya di sini.
Setelah dapat merampas tombak musuh, Kwee Ceng lempar goloknya ke bawah gunung. Ia lantas berdiri diam mengawasi keempat musuhnya itu.
Musuh yang keempat, yang paling muda, tidak tahan sabaran, dengan putar kampaknya, ia maju menyerang, mulutnya pun perdengarkan seruan. ia agaknya penasaran yang mereka kalah dari satu bocah. Siapa menggunai senjata pendek, ia mesti berkelahi rapat, baru ia bisa mengenai musuh, demikian ia ini, dia mencoba merapatkan Kwee Ceng. Tapi pemuda kita, dengan tombaknya, membuatnya orang kewalahan, sia-sia saja dia itu mencoba berulang-ulang.
Sesudah lewat beberapa jurus, Kwee Ceng menggunai tipu. Dengan cara biasa, tidak dapat ia rubuhkan atau lukai musuhnya ini. Ia berhasil. Musuh tidak menduga jelek, ia mendesak, sambil membentak, ia lompat menubruk, sepasang kampaknya turun dengan berbareng.
Kwee Ceng angkat tombaknya untuk menangkis. Hebat kampaknya itu, gagang tombak kalah dan kena terkampak patah hingga menjadi tiga potong. Disaat kemenangannya itu, musuh hendak mengulangi kampakannya. Diluar dugaannya, baru ia kerahkan tenaganya, tiba-tiba perutnya dirasainya sakit. Tanpa ia ketahui, sebelah kaki Kwee Ceng telah melayang ke perutnya, malah ia terdumpak mental. Berbareng ia mental, tangan kirinya terbalik, mengampak ke arah kepalanya sendiri.
Melihat bahaya itu, si saudara yang ketiga melompat dengan ruyung besinya, akan hajar kampak di tangan kiri itu, maka di antara satu suara nyaring, kampak itu terlepas dan terpental, si pemiliknya sendiri jatuh numprah. Syukur untuknya, ia tertolong dari bahaya maut. Tapi ia bertabiat keras, ia gusar dan penasaran, ia lompat bangun untuk merangsak pula, mulutnya berteriakan tak henti-hentinya.
Kwee Ceng tidak punya senjata, ia melawan dengan ilmu silat tangan kosong melawan senjata. Segera ia dikepung oleh musuhnya yang ketiga, yang bersenjatakan ruyung besi itu.
Melihat orang main keroyok, tentara Mongolia di kaki gunung menjadi tidak senang, mereka membaut ribut dengan mencaci maki dua pengeroyok itu. Bangsa Mongolia adalah bangsa yang polos dan memuju orang gagah, maka itu tidak puas mereka menyaksikan empat orang mengepung bergantian kepada satu musuh, apapula satu musuh itu bertangan kosong.
Sampai disitu, Boroul dan Jebe maju untuk membantu Kwee Ceng. Karena majunya mereka berdua, dua musuh lainnya turut maju juga. Berat untuk Jebe berdua, mereka adalah orang-orang peperangan biasa, mereka bukan orang kaum Rimba Persilatan, repot mereka menghadapi musuh-musuhnya yang lihay itu. Lekas juga senjata mereka dirampas musuh.
Kwee Ceng lihat Boroul terancam bahaya, ia lompat kepada toasuheng yang bersenjatakan golok sebatang, untuk menghajar punggungnya, ketika si orang Hwee menebas tangannya, ia segera tarik pulang tangannya itu untuk terus dipakai menyikut si jiesuheng, hingga dengan begitu ia pun dapat menolongi Jebe.
Orang itu rupanya bersatu pikiran, mereka lantas meluruk kepada anak muda she Kwee ini, mereka tidak menghiraukan lagi Jebe berdua.
Segera juga Kwee Ceng terancam bahaya, karena tidak mempunya senjata, terpaksa ia melawan dengan menunjuki kelincahannya, ialah main berkelit dengan mengegos tubuh atau berlompatan.
“Ini golok!” teriak Borchu seraya ia melemparkan goloknya.
Disaat Kwee Ceng hendak sambuti golok itu, ia diserang oleh musuhnya yang menggenggam ruyung besi hingga goloknya Borchu kena disampok mental, sedang musuh yang memegang sepasang kampak memberangi mengampak juga. Dia ini bersakit hati bekas kena didupak tadi.
Kwee Ceng berkelit dengan berlompat, atau sebatang golok melayang ke arahnya. Ia masih sempat berkelit pula seraya ia angkat kakinya yang kiri untuk menendang musuh yang memegang kampak yang berada paling dekat dengannya. Hanya ketika itu, ia dibarengi musuh yang mencekal ruyung besri tadi, maka tidak ampun lagi, paha kanannya kena dihajar. ia merasakan sangat sakit, matanya pun kabur, hampir ia rubuh pingsan. Syukur untuknya, tulang pahanya itu tidak patah, tetapi gerakannya menjadi lambat, ia lantas kena ditubruk musuh yang bersenjatakan kampak, yang telah melepaskan kampaknya itu. Karena ini, ia roboh bersama-sama musuh itu, yang tak sudi melepaskan pelukannya.
Kwee Ceng insyaf ia berada dalam bahaya, sekejab itu ia ingat ibunya, tujuh gurunya, Tuli dan Gochin, lalu semangatnya bangun, maka ia jambak dada musuh, denagn kerahkan semua tenaganya, ia angkat tubuh orang ke atasan tubuhnya snediri, denagn begitu ia pakai musuh sebagai tameng.
Benar saja ketiga musuh lainnya berhenti menyerang karena mereka khawatir nanti mencelakai kawan sendiri.
Kwee Ceng tetap bertahan secara demikian, hanya sekarang ia ubah caranya mencekal. denagn sebelah tangan ia memencat nadi musuh, untuk membikin dia itu tak dapat bergerak, denagn tangan yang lainnya, ia mencekik tenggorokan. Ia tidak pedulikan orang menendangi pundak atau kakinya. ia telah pikir: “Biar aku mati, asal aku pun telah membunuh seorang musuh!”
Jebe berdua yang tadi telah terpukul mundur, maju pula untuk membantu kawannya.
“Kamu pegat mereka ,nanti aku bunuh ini bocah haram!” kata si suheng yang memegang golok sebatang kepada dua saudaranya, habis mana ia terus bekerja.
Kwee Ceng kaget, ia merasakan sakit pada pundaknya, terpaksa ia menggulingkan tubuh sekitar dua tombak, habis mana ia lompat bangun, untuk berdiri. Musuhnya yang ia cekik, telah rebah diam karena pingsan. Baharu ia berdiri dengan berniat melawan musuh, atau kaki kanannya dirasakan sangat sakit, sekali lagi ia roboh.
Musuh sudah lantas tiba. Dlam keadaan sangat berbahaya itu, Kwee Ceng ingat ia ada punya joan-pian atau cambuk lemas pembela dirinya, lekas-lekas ia lepaskan itu dari pinggangnya, lalu dengan menggulingkan tubuh, ia menangkis, kemudian selanjutnya, ia melakukan perlawanan dengan terus main bergulingan dengan ilmu silatnya “Kim Liong Pian-hoat” atau “Ilmu cambuk lemas naga emas”
Musuh yang pingsan telah lantas sadar, ia ingin membalas sakit hatinya, ia lompat bangun, untuk membantu saudaranya. Tak lama, mereka pun dibantu oleh dua saudara yang lain, yang telah berhasil memukul mundur Jebe berdua. denagn begini Kwee Ceng kembali kena dikepung berempat.
Selagi Kwee Ceng terancam bahaya, di bawah bukit, pasukan tentara kacau sendirinya, lalu tertampak enam orang bergerak dengan lincah mengacau barisan itu, terus mereka berenam lari naik ke atas gunung.
Matanya Jebe sangat tajam, ia lantas kenali enam orang itu. “Kwee Ceng, gurumu datang!”, ia berseru.
Kwee Ceng sudah letih betul, kedua matanya pun sudah mulai kabur, kapan ia dengar itu teriakan, semangatnya terbangun, terus ia melawan dengan hebat.
Cu Cong dan Coan Kim Hoat lari di paling depan, mereka segera tampak murid mereka dalam bahaya. Kim Hoat lompat maju, dengan dacinnya ia rabu empat batang senjata musuh. “Tidak tahu malu!” ia membentak.
Empat musuh itu sudah lantas lompat mundur, tangan mereka kesemutan bekas rabuhan senjata aneh dari orang yang baru datang ini. Mereka merasa bahwa dalam tenaga dalam, mereka kalah jauh.
Cu Cong lompat maju, akan kasih muridnya bangun. Itu waktu, Tin Ok bersama yang lain pun telah tiba.
“Bandit-bandit tidak tahu malu, pergi kamu!” Kim Hoat mengusir.
Si toasuheng yang bersenjatakan golok sebatang menebali muka. Ia tahu pihaknya tak berdaya tetapi mereka malu untuk lari turun gunung, mereka malu bertemu sama pangeran yang keenam.
“Liok-wie, adakah kamu Kanglam Liok Koay?” ia tanya enam orang itu.
“Tidak salah!” sahut Cu Cong tertawa. “Siapakah tuan berempat?”
“Kami adalah empat muridnya Kwie-bun Liong Ong,” sahut si toasuheng.
Kwa Tin OK dan Cu Cong mulanya menyangka orang adalah orang-orang yang tak bernama, sebab mereka itu main keroyok, maka terkejutlah mereka mengetahui empat orang itu adalah murid-,muridnya Kwie-bun Liong Ong.
“Pasti kamu berdusta!” bentak Tin Ok. “Kwie-bun Liong Ong bernama besar, mana bisa murid-muridnya ada bangsa tak berguna seperti kamu!”
“Siapa berdusta!” berseru orang ynag dicekik Kwee Ceng tadi, yang masih merasakan sakit pada tenggorokannya, “Inilah toasuheng kami, Toan-hun-to Sim Ceng Kong! Ini jiesuheng Tiwi-beng-chiop Gouw Ceng Liat! Ini samsuheng Toat-pek-pian Ma Ceng Hiong!
Dan aku sendiri, aku Song-bun-hu Cian Ceng Kian!”“Kedengarannya kamu tidak berdusta,” berkata Tin Ok pula, “Benarlah kau adalah Hong Ho Su Koay! Kamu cukup ternama, kenapa kamu merendahkan diri begini rupa, emapt orang bersaudara mengepung satu musuh, seorang bocah! Dialah muridku!”
Gouw Ceng Liat membelar. “Siapa bilang kami berempat mengepung satu orang?!” katanya, “Bukankah di sini ada banyak orang Mongolia yang membantu padanya?”
Cian Ceng Kong pun tanya Ma Ceng Hiong: “Samsuheng, ini buta dan pengkor sangat berlagak, siapakah dia?”
Ceng Kong menanya perlahan sekali, tetapi Kwa Tin Ok dapat mendengarnya, ia menjadi mendongkol. Tiba-tiba ia menekan denagn tongkatnya, tubuhnya terus mencelat, sebelah tangannya menyambar, maka tidak ampun lagi, punggung Ceng Kong kena dijambak, terus dilemparkan ke bawah gunung!
Tiga pengepung lainnya menjadi kaget, mereka maju untuk menolongi, tetapi mereka tidak berdaya, malah sebaliknya, cepat luar biasa, satu demi satu, mereka juga kena dilempar-lemparkan si Kelelawar Terbangkan Langit!
Tentara Mongolia di atas bukit bersorak-sorai menyaksikan keempat saudara itu, yaitu Hong Ho Su Koay, merayap bangun dengan muka penuh debu dan seluruh badan dan pinggangnya sakit bekas jatuh terbanting dan bergeluntungan. Syukur mereka tidak patah tangan dan kaki atau singkal batang lehernya.
Itu waktu terlihat debu mengulah naik, tanda dari datangnya beberapa ribu serdadu, maka itu, menampak demikian, tentaranya Sangum menjadi kecil hatinya.
Temuchin menampak datangnya bala bantuan, mengetahui Jamukha lihay dan Sangum hanya mengandal kepintaran ayahnya, ia menunjuk ke kiri ke pasukannya Sangum itu seraya berseru: “Mari menerjang ke sini!”
Jebe berempat dengan Borchu, Juji dan Jagatai sudah lantas mendahulukan menerjang ke bawah, darimana pun terdengar seruannya bala bantuan.
Mukhali kaburkan kudanya denan ia peluki Tusaga, batang leher siapa ia tandalkan goloknya, sembari turut menerjang, ia berteriak-teriak: “Lekas buka jalan! Lekas buka jalan!”
Sangum menyaksikan musuh menerobos turun, hendak ia memegat, atau ia lantas tampak putranya berada di bawah ancama maut, putra itu tak dapat berkutik, ia menjadi tergugu, hingga tak tahu ia harus mengambil tindakan apa.
Sementara itu rombongannya Temuchin sudah sampai di bawah bukit, malah Jebe sudah lantas saja turun tangan, dengan mengincar Sangum, ia memanah.
Sangum terperanjat, ia berkelit ke kiri, tidak urung pipi kanannya kena tertancap anak panah, maka tak ampun lagi, ia rubuh terjungkal dari kudanya. Tentu saja, karenanya, tentaranya menjadi kaget dan kalut sendirinya.
Temuchin ajak rombongannya kabur terus. Ada beberapa ratus musuh yang mengejar, akan tetapi mereka dirintangi panahnya Jebe dan Borchu beramai, yang sembari menyingkir telah menoleh ke belekang dan saban-saban menyerang denagn panah mereka.
Kanglam Liok Koay turut mundur dengan Lam Hie Jin yang memondong Kwee Ceng.
Sesudah melalui beberapa lie, rombongan ini bertemu sama bala bantuan, ialah barisannya Tuli, putra keempat Temuchin, maka itu mereka lantas menggabungkan diri.
Tuli masih muda, walaupun ia adalah satu pangeran, kepala-kepala suku dan panglima-panglima Temuchin tidak suka dengar titahnya, dari itu, ia datang dengan cuma bersama itu beberapa ribu serdadu anak-anak muda, hanya ia telah didulukan Kanglam Liok Koay. Tapi ia cerdik, ia tahu jumlah musuh terlebih besar, ia perintahkan semua serdadu mengikat cabang pohon diekor masing-masing kuda mereka, dari itu debu menjadi mengulak besar dan musuh menyangkanya bala bantuan lawan ada berjumlah besar sekali.
Di tengah jalan pulang, Temuchin bertemu bersama Gochin, yang pun datang bersama sejumlah serdadu. Putri ini girang bukan main melihat ayahnya semua tidak kurang satu apa pun.

Malam itu Temuchin membuat pesta dengan semua panglima dan tentaranya diberi hadiah. Hanya untuk herannya semua orang, yang hatinya mendongkol, mereka itu lihat Tusaga diundang duduk bersama di meja pesta, dan diperlakukan sebagai tamu agung.Temuchin hanturkan tiga cawan arak kepada putra Sangum itu.
“Aku tidak bermusuh dengan ayah Wang Khan dan saudaraku Sangum,” ia berkata kepada putranya Sangum itu, “Maka itu aku persilahkan kau pulang untuk menyampaikan maafku. Aku pun akan mengantar bingkisan kepada ayah dan saudara angkatku itu, yang aku minta supaya tidak menjadi berkecil hati.”
Tusaga girang bukan main. Bukankah ia telah tidak dibunuh? Maka ia berjanji akan meyampaikan permohonan maaf dari Temuchin itu.
Semua orang menjadi bertambah heran dan mendongkol menyaksikan Khan mereka yang besar menjadi demikian lemah dan jeri terhadap Wang Khan, tetapi terpaksa mereka berdiam saja.
Besok harinya Temuchin kirim sepuluh serdadunya mengiringi Tusaga pulang, berbareng dengan itu ia mengirimkan dua buah kereta yang berisikan emas dan kulit tiauw.
Tiga hari sepulangnya Tusaga itu, Temuchin kumpulkan orang-orang peperangannya. Dengan mendadak ia perintahkan mereka itu kumpulkan tentara mereka.
“Sekarang juga kita menyerang Wang Khan!” demikian titahnya.
Heran semua panglima itu, mereka melongo.
“Wang Khan banyak tentaranya, serdadu kita sedikit, tak dapat kita melawan dia dengan terang.terangan,” menjelaskan Temuchin. “Kita mesti membokong padanya! Aku merdekana Tusaga dan mengirim bingkisan, itulah untuk membuatnya tidak bersiaga.”
Baharu semua panglima itu sadar, mereka jadi sangat mengagumi Khan mereka itu. Segera mereka bertindak maju dalam tiga pasukan.
Wang Khan dan Sangum dilain pihak girang melihat Tusaga pulang dengan selamat dan Temuchin pun mengirim bingkisan, mereka menyangka Temuchin jeri, mereka tidak bercuriga, maka di dalam tendanya, mereka jamu Wanyen Lieh dan Jamukha, yang mereka layani dengan hormat. Adalah tengah mereka berpesta malam ketika mendadak datang serangannya Temuchin. Mereka menjadi kaxau, tanpa berdaya mereka pada melarikan diri.
Wang Khan bersama Sangum kabur ke barat. Di sana mereka kemudian terbinasa di tangan bangsa Naiman dan Liauw Barat. Tusaga terbinasa terinjak-injak kuda tentara.
Hong Ho Su Koay, Empat Siluman dari sungai Hong Ho, yang bisa menerobos kepunganm telah lindungi Wanyen Lieh kabur pulang ke Tiongtouw (Pakkhia).
Jamukha kehilangan tentaranya, dia lari ke gunung Tannu, di sana selagi ia dahar daging kambing, dia ditawan oleh tentara pengiringnya, terus ia dibawa kepad Temuchin.
Temuchin terima orang tawanan itu, tetapi ia gusar, ia berseru: “Serdadu pengiring pemberontak dan berkhianat kepada majikan! Apakah gunanya akan mengasih hidup kepada orang-orang tak berbudi begini?” Di depan Jamukha sendiri, ia perintahkan hukum mati pada kelima pengiring itu. Kepada Jamukha, yang ia awasi, ia kata: “Apakah tetap kita menjadi sahabt-sahabat kekal?”
Jemukha mengucurkan air mata. “Meskipun saudara suka memberi ampun padaku, aku sendiri tidak mempunyai muka akan hidup lebih lama pula di dalam dunia ini,” ia menyahuti. “Saudara, aku minta sudilah kau memberi kematian tak mengucurkan darah padaku, supaya rohku tidak mengikuti darahku dan meninggalkan tubuh ragaku….”
Temuchin berdiam sekian lama. “Baiklah,” berkata ia kemudian. “Akan aku menghadiahkan kau kematian tak mengalirkan darah, nanti aku kubur kau di tempat di mana dahulu hari, semasa kecil, kita bermain bersama…”
emukha memberi hormat sambil berlutut, habis itu ia putar tubuhnya untuk bertindak keluar kemah.
Besoknya Temuchin mengadakan rapat besar di datar sungai Onon. Ketika itu namanya telah naik tinggi sekali, maka rakyat dan orang peperangan dari pelbagai suku tak ada yang tak tunduk kepadanya, semuanya menyunjungnya. Maka di dalam rapat besar itu ia telah diangkat menjadi Kha Khan, atau Khan terbesar dari Mongolia, dengan gelaran Jenghiz Khan, artinya Khan yang besar dan gagah bagaikan pengaruhnya lautan besar.
Di sini Jenghiz Khan membagi hadiah besar. Empat pahlawannya yakni Mukhali, Borchu, Boroul dan Chiluan serta Jebe, Jelmi dan Subotai, diangkat menjadi cian-hu-thio, semacam kapten dari seribu serdadu. Kwee Ceng yang dianggap jasanya paling istimewa, dijadikan cian-hu-thio juga. Maka anehlah satu bocah umur belasan tahun, pangkatnya sama dengan satu pahlawan panglima yang berjasa.
Dalam pesta itu Jenghiz Khan minum banyak arak hadiah dari pelbagai panglimanya, dalam keadaan seperti itu, ia kata kepada Kwee Ceng: “Anak yang baik, aku akan menghadiahkan pula kepadamu sesuatu yang aku paling hargakan!”
Kwee Ceng sudah lantas berlutut untuk menghanturkan terima kasihnya.
“Aku serahkan Putri Gochin kepadamu!” berkata Jenghiz Khan. “Mulai besaok kau adalah Kim-to Hu-ma!”.
Semua panglima bersorak, lalu mereka memberi selamat kepada Kwee Ceng. Mereka juga berseru-seru: “Kim-to Hu-ma! Kim-to Hu-ma! Bagus! Bagus!”
“Kim-to Hu-ma” itu berarti menantu raja golok emas.
Tuli sangat kegirangan sehingga ia merangkul Kwee Ceng erat-erat, tak mau ia lekas-lekas melepaskannya. Si anak muda sebaliknya berdiam diam, tubuhnya terpaku, mulutnya bungkam. Ia menyukai Gochin, tetapi sebagai adik, bukan sebagai kekasih. Ia lagi mengutamakan ilmu silat, tak ia pikirkan lainnya soal apa pula soal jodoh, soal asmara. Maka keget iamendengar hadiah Khan yang maha besar itu. Selagi ia tercengang, semua orang tertawa padanya, menggodainya.
Setelah pesta bubar, Kwee Ceng lantas cari ibunya, akan tuturkan hadiah dari Jenghiz Khan itu.
Liep Peng terdiam, ia pun bingung. “Coba undung gurumu semua!” titahnya kemudian.
Kanglam Liok Koay lantas datang. Apabila mereka mendengar hal pertunangan itu, mereka girang, mereka lantas memberi selamat kepada nyonya Kwee itu. Bukankah murid mereka sangat dihargai oleh Khan dan peruntungannya bagus sekali?
Lie Peng berdiam sebentar, lalu tiba-tiba ia berlutut di depan enam manusia aneh itu, sehingga mereka itu menjadi heran.
“Ada apa, enso?” mereka tanya. “Kenapa enso menjalankan kehormatan besar ini? Harap enso lekas bangun!”
“Aku ada sangat bersyukur yang suhu beramai sudah didik anakku ini sehingga ia menjadi seorang yang berharga,” berkata nyonya ini. “Budi ini tak dapat aku balas walaupun tubuhku hancur lebur. Hanya sekarang ada satu hal sulit untuk mana aku mohon pertimbangan dan keputusan suhu beramai.”
Lie Peng tuturkan keputusan suaminya almarhum dengan Yo Tiat Sim, yang tunangkan anak-anak mereka sebelum anak-anak itu lahir.
“Maka itu, kendati kedudukan anakku mulia sekali, mana dapat ia menjadi hu-ma?” kata si nyonya kemudian. “Kalau aku menyangkal janji ini, aku malu sekali. Bagaimana nanti suamiku dan aku menemui paman Yo dan istrinya itu di dunia baka?”
Mengdengar keterangan, Kanglam Liok Koay tertawa.
Lie Peng heran, ia mengawasi mereka itu.
“Orang she Yo itu benar telah memperoleh keturunan tetapi bukannya perempuan, melainkan pria,” Cu Cong kasih keterangan.
“Bagaimana suhu ketahui itu?” menanya Lie Peng kaget.
“Seoarng sahabat di Tionggoan mengabarkan kami dengan sepucuk surat,” menerangkan Cu Cong lebih jauh. “Sahabat itu pun mengharap kami mengajak anak Ceng ke sana untuk menemui putranya orang she Yo itu, untuk mereka menguji kepandaian silat mereka.”
Mendengar itu, Lie Peng sangat girang. Ia setuju anaknya itu diajak pergi. Ia harap, sekalian anaknya itu mencari Toan Thian Thek, guna menuntut balas. Sepulangnya dari perjalanan itu, baharu Kwee Ceng nanti menikah dengan Gochin.
Setelah mendapat keputusan, Kwee Ceng menghadap Jenghiz Khan, untuk memberitahukan tentang niat perjalanannya itu.
“Bagus, kau pergilah!” Khan itu setuju. “Sekalian kau pulang nanti bawalah juga kepalanya Wanyen Lieh, putra keenam raja Kim! Untuk melakukan pekerjaan besar itu, berepa banyak pengiring yang kau butuhkan?”


Bab 15. Oey Yong

“Anak akan pergi bersama keenam guruku, tak usah anak membawa pengiring,” sahut Kwee Ceng. Ia anggap dengan pergi bersama guru-gurunya, ia tentu bakal berhasil, sedang membawa pengiring-pengiring, yang tidak mengerti ilmu enteng tubuh, melainkan menambah berabe saja. Ia senang sekali dengan easn Khan ini, untuk membinasakan Wanyen Lieh. Memang semenjak kecil ia telah diempos ibunya, yang sangat membenci bangsa Kimn itu.Jenhiz Khan menerima baik, ia pesan pula: “Sekarang ini kuda kita belum terpelihara gemuk dan tentara kita belum terlatih sempurna, kita belum dapat menandingi negara Kim, maka itu kau harus bekerja baik-baik supaya kau tidak meninggalkan bekas-bekas!”
Kwee Ceng memberikan janjinya.
Jenghis Khan lantas hadiahkan baba mantu itu uang emas tigapuluh tael, untuk ongkos di jalan, sedang Kanglam Liok Koay dipersen barang-barang emas dan berharga bekas rampasan dari Wang Khan.
Di hari ketiga, setelah pamitan dati ibunya dengan keduanya mengucurkan air mata, Kwee Ceng berangkat bersama guru-gurunya. Lebih dahulu mereka sambangi kuburannya Thio A Seng, untuk ambil selamat berpisah dari rohnya guru almarhum itu. Lalu tujuan mereka adalah selatan.
Baharu mereka jalan sepuluh lie lebih, di atasan kepala mereka terlihat dua ekor burung rajawali kepala putih terbang berputaran, lalu terlihat Tuli datang bersama Gochin dengan dua saudara itu merendengi kuda mereka. Tuli memberi bingkisan sepotong baju bulu tiauw yang mahal, yang pun adalah barang rampasan dari Wang Khan.
Gochin datang menemui bakal suaminya itu, akan tetapi ia tidak dapat berbicara, cuma kulit mukanya menjadi bersmu merah.
“Adikku, kau bicaralah dengannya, aku tak akan mendengarinya!” berkata Tuli sambil tertawa, terus ia larikan kudanya, untuk menjauhkan diri.
Gochin menoleh, ia masih belum dapat bicara. Selang beberapa lama, barulah ia pesan: “Kau mesti lekasan pulang…..”
Kwee Ceng mengangguk. “Ada pesan lagi?” ia menanya.
Gochin menggelengkan kepalanya.
Kwee Ceng dekati itu putri, ia pondong tubuhnya, terus ia bawa kepada Tuli. Lalu ia pun saling rangkul dengan Tuli itu, habis mana ia larikan kudanya guna menyusul keenam gurunya, yang sudah berjalan jauh juga.
Gochin melongo, hatinya menjadi tawar. Ia dapatkan sikap Kwee Ceng sama seperti biasa, bukan sebagai satu tunangan. Saking masgul, ia hajar kudanya hingga binatang itu lari berjimpratan.
Kwee Ceng sendiri berjalan terus, keenam gurunya ajak dia menuju ke timur selatan, siang jalan, malam singgah. Segera juga mereka melintasi tanah datar gurun pasir. Pada suatu hari hampir tiba di Hek Sui Ho, tak jauh lagi dari Kalgan, Kwee Ceng lantas merasakan suasana bertukar. Belum pernah ia melintas dari gurun, sekarang ia mulai tiba di Tionggoan, ia dapatkan pemandangan mata yang lain. Tanpa merasa, ia gencet perut kudanya, membikin kudanya itu lari pesat. Maka lekas sekali tibalah ia di Hek Sui o, disebuah rumah makan di tepi jalanan.
Kwee Ceng merasa kasihan melihat kudanya yang kecil itu lari demikian keras hingga bermandikan keringat, ia ambil sabuk dengan apa ia menyusuti. Tiba-tiba saja ia menjadi kaget. Sabuk itu menjadi merah seluruhnya. Tempo ia meraba kudanya dengan tangannya, tangannya itu juga menjadi merah, penuh dengan darah. Hampir ia mengucurkan air mata saking menyesal sudah menyiksa kudanya itu. Tidakkah kuda itu bercelaka diluar keinginannya? Maka ia rangkul leher kuda itu, untuk menghibur.
Kuda itu sebaliknya nampak segar bugar, tidak ada tanda-tandanya terluka.
Kwee Ceng menoleh, akan mengawasi ke jalan besar darimana tadi ia datang. Ia mengharap-harap segera tibanya gurunya yang ketiga, Han Po Kie, supaya guru itu suka tolong mengobati kudanya itu. Ia tidak melihat guru-gurunya, yang ketinggalan jauh, maka berulangkali ia menoleh dan menoleh pula.
Masih enam guru itu tak nampak, sebaliknya, kupingnya bocah ini mendengar mengalunnya kelenengan unta. Apabila ia mengawasi, ia lihat mendatanginya empat ekor unta bulu putih, yang penunggangnya pun berpakaian serba putih putih . Mereka itu pria semua.
Belum pernah Kwee ceng melihat unta-unta yang begitu bagus, ia menjadi mengawasi. Ia pun menjadi tertarik dan heran akan mendapatkan keempat penunggangnya semua masih muda-muda, mungkin baru berumur duapuluh dua atau duapuluh tiga tahun, dan semuanya pun beroman tampan.
Setibanya di depan restauran, keempat penunggang unta itu lompat turun dari punggung masing-masing untanya, terus mereka bertindak ke dalam rumah makan itu. Dari gerak-geriknya mereka itu, terang mereka itu mengerti silmu silat. Disamping pakaian mereka yang putih, di leher mereka itu terlihat bulu rase.
Satu pemuda melihat Kwee Ceng mengawasi padanya, ia menjadi likat, wajahnya pun bersemua dadu, lekas-lekas ia tunduk. Adalah satu kawannya menjadi tidak senang.
“Eh, bocah kau awasi apa?” ia menegur.
Kwee Ceng terperanjat, lekas-lekas ia melengos. Ia lantas dengar mereka itu berbicara satu pada lain, entah apa yang mereka bicarakan itu, habis itu mereka tertawa riuh. Ia malu sendirinya. tentu orang tengah menertawainya. Ia sempat berpikir untuk menukar tempat singgahnya. Syukur unttuknya, ia dapatkan tibanya Han Po Kie. Ia lari kepada gurunya itu, untuk terus beritahukan hal kudanya mengeluarkan keringat darah.
“Begitu?” tanya guru itu heran. Ia dekati kuda Kwee Ceng, ia raba punduknya kuda itu, setelah mana, ia bawa tangannya yang berlepotan darah itu ke arah matahari. Ia mengawasi sekian lama, lalu tiba-tiba ia tertawa lebar.
“Ini bukannya darah, inilah keringat!” serunya.
Kwee Ceng tercengang. “Keringat?” ia menanya. “Ada keringat merah?”
Po Kie tidak sahuti muridnya itu, hanya dengan bersemangat ia kata; “Anak Ceng, kau telah dapatkan han-hiat po-ma, yang untuk seribu tahun sukar didapatkan!”

Kwee Ceng heran dan girang. Ia bergirang sebab kudanya tidak terluka. Ia heran akan mendengar halnya han-hiat po-ma, ialah kuda istimewa dengan keringat seperti darah.“Suhu, kenapa dia mengeluarkan keringat bagaikan darah?” ia menegasi.
“Dulu pernah aku dengar keterangannya guruku, almarhum,” sahut Po Kie. “Turut katanya guruku itu, di tanah barat, yaitu di daerah Ferghana, ada kedapatan sebangsa kuda liar biasa, yang disebut kuda langit, punduk kuda itu mengeluarkan keringat merah seperti darah, bahwa kuda itu keras larinya, satu hari dapat menempuh jarak seribu lie.
Tentu itu baru cerita saja, belum pernah ada yang melihat buktinya.”Selagi guru dan murid ini berbicara, rombongannya Tin Ok tiba. Mereka lantas beritahukan tentang kuda berkeringat merah itu.
Cu Cong adalah seorang sastrawan, ia luas pengetahuannya.
“Tentang itu ada ditulis jelas dalam Kitab Hikayat dan Kitab Jaman Han,” berkata Cu Cong. “Ketika dahulu hari itu bangsawan Pok-bong-houw Thio Kian diutus ke Tanah Barat, di Ferghana dia telah melihat seekor kuda han-hiat po-ma itu, sekembalinya ke negerinya, ia memberitahukannya kepada rajanya, Kaisar Han Bu Tee. Kaisar menjadi kagum, ingin ia mempunyai kuda itu, terus ia kirim utusan membawa emas seribu kati serta seekor kuda-kudaan emas, sebesar kuda biasa, ke Barat itu, untuk dipakai menukar dengan kuda istimewa itu. Raja Ferghana menolak permintaan itu, dia mengatakannya: ‘Kuda itu adalah kuda pusaka negara Ferghana, jadi kuda itu tidak dapat dihadiahkan kepada bangsa Han.’ Utusan Han itu menjadi gusar, mengumbar tabiatnya, ia hajar rusak kuda emas itu, terus ia pulang. Raja Ferghan pun gusar, dia perintah menawan utusan itu, terus dibunuh, emas dan kuda emas itu dirampas.”
Kwee Ceng berseru heran.
Cu Cong menghirup air tehnya.
“Kemudian bagaimana?” tanya murid itu.
Dipihak lain, keempat pemuda serba putih itu juga memperhatikan cerita itu.
“Shatee,” tanya Cu Cong sehabis ia minum pula tehnya, “Kau ahli pemelihara kuda, takukha kau darimana asalnya po-ma?”
“Menurut keterangan guruku, po-ma terlahir dari perkawinan kuda rumahan dengan kuda liar!” sahut Po Kie.
“Benar!” berkata Cu Cong. “Menurut kitab, di negara Ferghana itu ada sebuah gunung di dalam mana kedapatan sebangsa kuda liar, yang dapat lari seperti terbang, hingga orang liar tidak dapat mengejarnya. Tapi orang Ferghana telah mendapat satu akal bagus.Pada suatu malam hari musim semi, mereka lepas satu ekor kuda betina yang berwarna lima di kaki gunung. Kuda liar itu kena terpincuk, dia kawin dengan kuda pancingan itu, ketika kemudian kuda biang itu mendapat anak, anak kuda itu ialah po-ma tersebut. Anak Ceng, mungkin sekali kudamu itu adalah keturunan dari kuda Ferghana itu.
“Bagaimana dengan Kaisar Han Bu Tee itu, apa dia mau sudah saja?” menanya Han Siauw Eng, yang tertarik denagn cerita kakak angkatnya itu.
“Mana mau dia sudah begitu saja,” kata Cu Cong. “Dia lantas perintah Jenderal Lie Kong mengepalai beberapa laksa serdadu pergi ke Ferghana untk mendapatkan kuda itu. Untuk itu, Lie Kong diangkat menjadi jenderal istimewa. Tapi Ferghana adalah negera gurun pasir, tak ada rangsum dan air disana, selama perjalanan banyak tentara terbinasa, sebelum mencapai tempat tujuan, pasukan tentara itu tinggal hanya tiga bahagian. Lie Kong kalah oerang, ia terpaksa mundur ke Tun-hong, darisana ia meminta rajanya mengirim pula bala bantuan. Raja gusar, ia kirim utusan membawa pedang, ke kota Gak-bun-kwan, untuk menjaga. Utusan itu diberi tugas dan kekuasaan: Panglima atau serdadu mana saja yang pergi berperang benani memasuki kota Gak-bun-kwan itu, dia mesti dihukum mati! Lie Kong menjadi serba salah, terpaksa ia menunda di Tun-hong itu.”
Ketika itu terdengar pula kelenengan unta, lalu tertampak datangnya lagi empat penunggang unta seperti empat yang pertama itu.
Melihat mereka itu, yang masuk ke dalam restauran, Kwee Ceng heran. Mereka itu muda dan tampan dan pakaiannya serba putih seprti rombongan yang pertama. Dan mereka dua rombongan lantas duduk bersama-sama.Cu Cong melanjuti ceritanya: “Kaisar Han Bu Tee tidak puas, ia merasa malu. Dengan kalah perang, ia khawatir bangsa lain memendang enteng bangsa Han. Maka ia mengerahkan pula lebih daripada duapuluh laksa serdadu, ia siapkan serbau, kuda dan rangsum tak terhingga banyaknya. Masih ia khawatir tentaranya itu belum cukup, ia menambah dengan semua orang hukuman, pamong praja rendah, baba-baba mantu dan kaum pedagang, yang dijadikan serdadu, hingga negera menjadi gempar. Pula dua ahli kuda diberi pangkat tinggi, ialah satu menjadi Kie-ma Kawm-oet, yang lainnya menjadi Cit-ma Kauw-oet, tugasnya ialah nanti sesudah Ferghana dipukul pecah mereka mesti memilih kuda jempolan. Lioktee, kerajaan Han itu mengutamakan tani dan sebaliknya memandang enteng bangsa saudagar, kalau kau hidup di jaman Kaisar Han Bu Tee, apeslah kau, sebaliknya dengan shatee, dia bisa memangku pangkat! Ha ha ha!”
“Dan baba-baba mantu itu, apakah salahnya mereka?” Siauw Eng menanya.
“Siapa miskin dan tak punya sanderan, siapa kesudian dipungut mantu?” Cu Cong menjawab. “Kali ini Lie Kong memimpin angkatan perang yang besar itu. Untuk lebih daripada empatpuluh hari, ia kurung dan serang kota musuh. Banyak panglima musuh terbinasa. Akhirnya kaum ningrat Ferghana menjadi ketakutkan, mereka berontak, rajanya dibunuh, kepala raja diserahkan. Mereka mohon menakluk. Mereka pun serahkan kuda yang diperebuti itu. Lie Kong pulang dengan kemenangan besar, raja sangat girang, dia di anugrahkan menjadi bangsawan Hay-see-houw. Orang-orang peperangan yang lainnya pun turut kenaikan pangkat. untuk seekor kuda po-ma itu, entah berapa banyak jiwa sudha melayang, setahu berapa banyak uang sudah dikorbankan. Kaisar mengadakan satu pesta besart, ia perintah mengarang syair untuk memuji kuda langit itu, yang dianggap melainkan naga yang pantas menjadi kawannya….”
Mendengar cerita itu, delapan pemuda itu mengawasi kudanya Kwee Ceng, agaknya mereka sangat tertarik.
Cu Cong berkata pula: “Kuda langit menjadi kuda jempolan sebab perkawinannya dengan kuda liar, Kaisar Bu Han Tee sudah kerahkan kekuatan seluruh negeri untuk mendapatkan beberapa ekor kuda itu tapi kemudian ia tidak mendapatkan kuda liar, maka selang beberapa turunan, semua kuda itu tak lagi menjadi po-ma dan keringatnya pun tidak merah…”

Habis Cu Cong bercerita, mereka melanjuti memasang omong sambil dahar mie.Delapan pemuda itu duduk jauh-jauh, mereka kasak-kusuk tetapi kupingnya Kwa Tin Ok lihay, ia dapat mendengar jelas pembicaraan mereka.
“Kalau kita hendak rampas kuda itu, cukup dengan satu kali turun tangan,” berakta satu pemuda, “Satu kali kita sudah naik atas punggung kuda itu, siapa dapat mengubarnya?”
“Tapi disini ada banyak orang lain dan ia pun ada kawan-kawannya…” kata seorang yang lain.
“Jikalau kawannya berani membantui, kita bunuh saja semua!” kata seorang lagi.
Hu Thian Pian-hk Kwa Tin Ok menjadi heran sekali. “Mereka berdelapan wanita semuanya, mengapa mereka jadi begini galak dann telengas?” tanya ia dalam hatinya. Ia berdiam saja, ia sengaja berpaling ke luar rumah makan. dengan begitu delapan pemuda itu menjdai tidak bercuriga.
“Setelah mendapatkan kuda jempolan ini, kita menghadiahkannya kepada San-cu,” berkata seorang pula. “Dengan menungggang kuda ini, San-cu pergi ke kota raja,tentunya dia menjadi semakin terang mukanya! Pasti seklai Som Sian lao Koay dari Tiang Pek San dan Leng Tie Sianjin jago Bit Cong Pay dari Tibet tak dapat menangkan keagungannya…!”
Tin Ok berpikir. Ia pernah dengar namanya Leng Tie siangkin, seorang paderi kenamaan dari Tibet itu, tetapi tak tahu ia perihal Som Sian Lao Koay. Ia terus memasang kupingnya.
“Dalam beberapa hari ini di tengah jalan kita menemui tak sedikit sahabat dari Jalan Hitam,” berkata seorang muda yang lainnya lagi, “Katanya mereka adalah bawahannya Cian-ciu jin-touw Peng Lian Houw. Merek aitu tentu hendak berkumpul juga di kota raja, maka kalau mereka dapat lihat kuda ini, mana kita dapat kebagian?”

Tentang Peng Lian Houw ini Tin Ok ketahui dengan baik. Dialah kepala penjahat paling berpengaruh untuk wilayah Hopak dan Shoasay, yang pun sangat kejam, maka juga dia dapat gelarannya itu, “Pembunuh Ribuan Jiwa”. Maka ia berpikir, “Orang lihay itu pergi ke kota raja, mereka hendak bikin apa di sana? Delapan wanita ini, siapakah mereka?”Mendengar terlebih jauh, Tin Ok mendapat kepastian mereka itu hendak merampas kudanya Kwee Ceng. Merek ahendak pergi lebih dulu, guna memegat di tengah jalan.
Habis mengambil keputusan, delapan pemuda itu, yang Tin Ok mengatakannya pemudi-pemudi, lalu berkasak-kusuk tentang asmara, mereka pun bergurau. Ada yang kata “San-cu paling sukai kamu!” Ada yang membilang, “Diwaktu begini tentulah San-cu lagi menantikanmu!” maka ia menjadi mengerutkan keningnya, ia menajdi sebal….
“Kalau kita menghadiahkan kuda ini kepada San-cu, coba kau terka, San-vu bakal menghadiahkan apa kepada kita?” berkata satu orang, yang kembali ke urusan kuda.
Yang seorang tertawa dan berkata: “ Pasti San-cu menghendaki kau menemani ia tidur untuk beberapa malam…!
“Kurang ajar!” membentak kawan yang digoda itu dan hendak mencubit. Yang lain-lain lantas tertawa geli.
“Kira-kira, hati-hatilah!” seorang memperingati. “Jangan kita membocorkan rahasia sendiri…!”

“Wanita itu membawa pedang, dia tentu mengerti ilmu silat,” kata satu orang. “Dia juga cnatik sekali, coba dia lebih muda sepuluh tahun, baharulah heran anadikata San-cu melihat dia dan tidak menjadi kerindu-rinduan…”Tin Ok tahu Siauw Eng yang menjadi bulan-bulanan, ia mendongkol. ia percaya orang yang dipanggil “San-cu” itu atau “majikan gunung” mestilah bukan orang baik-baik.
“Awas, jangan kau mencari muka dari San-cu dan hendak mati-matian mencarikan nona manis untuknya…!” memperingati satu kawan.
Orang itu tertawa, ia tidak menyahuti.
“Kita harus berhati-hati,” berkata pula seorang yang lain. “Kali ini kita datang ke Tionggoan untuk mengangkat nama, guna menakluki orang kosen, supaya orang-orang kosen di kolong langit ini ketahui kegagahan kita dari Pek To San, maka itu haruslah kita waspada, jangan seperti Hong Ho Su Koay yang sial dankalan itu, yang menyebabkan orang tertawa hingga giginya copot!”
Tin Ok tidak tahu Pek To San itu, yang berarti Gunung Unta Putih, ada dari partai mana, akan tetapi mendengar disebutnya Hong Ho Su Koay – Empat Siluman dari sungai Hong Ho, ia teringat kepada mereka yang mengeroyok Kwee Ceng.
Seorang berkata pula: “Menurut katanya San-cu, Hong Ho Su Koay adalah murid-murid paling disayangi oleh Kwie-bun Liong Ong, untuk di Liongsee dan Tiong-ciu, namanya sangat kesohor, maka itu adalah sangat aneh yang mereka kabarnya roboh ditangannya satu bocah umur belasan tahun…”
Satu kawannya menyahuti: “Ada orang bilang bocah itu pandai ilmu silat Kiu-im Pek-kut Jiauw, karena tubuhnya Hong Ho Su Koay itu masing-masing meninggalkan beberapa bekas cengkeraman…”
“Maka hati-hatilah kau!” tertawa satu kawannya, “Supaya kau jangan sampai kena dijambak bocah itu!”
“Cis!” sang kawan berludah.
Maka lagi sekali, mereka itu tertawa.
Mendengar pembicaraan itu, Tin Ok mendongkol berbareng merasa lucu. “Sungguh pesat sekali tersiarnya kabaran dalam dunia kangouw!” katanya. “Hanyalah tidak tepat untuk menyiarkan berita anak ceng mengerti Kiu-im Pek-kut Jiauw. Ilmu itu mana dapat dikuasai tanpa penyakinan belasan tahun? Anak umur belasan tahun mana mempunyakan semacam ilmu silat itu?”
Diam-diam Tin Ok puas yang murid mereka dapat mengalahkan Hong Ho Su Koay, maka tidaklah kecewa didikan mereka selama sepuluh tahun lebih ini.
Habis dahar mie, delapan pemuda itu berlalu dengan cepat bersama untanya.
Tin Ok tunggu sampai orang sudah pergi jauh, ia tanya adiknya yang kedua: “Jietee, bagaimana kau lihat kepandaiannya delapan wanita itu?”
“Wanita?” Cu Cong mengulangi dengan heran sebelum ia menjawab.
“Habis?” sang kakak membalasi.
“Oh, mereka menyamar demikian sempurna!” berkata Cu Cong. “Nampaknya mereka luar biasa, mirip mengerti ilmu silat, rupanya seperi tidak mengerti…”

“Apakah pernah kau dengar tentang Pek To San?” Tin Ok tanya pula.“Tidak,” sahut Cu Cong setelah berpikir sejenak.
Tin Ok lantas tuturkan apa yang ia dengar barusan. Cu Cong semua tertawa. Besar nyali mereka berani berniat menggempur gunung Tay San….

“Perkara kecil niat mereka merampas kuda ana Ceng,” Tin Ok berkata pula. “Yang penting ialah pembilangan bahwa ada banyak orang gagah hendak berkumpul di kota raja. Mungkin ada gerakan rahasia apa-apa. Aku pikir tak dapat kita membiarkannya saja, perlu kita mencari tahu.”“Tetapi janji pibu di Kee-hin bakal tiba harinya, tidak dapat kita main ayal-ayalan,” Coan Kim Hoat memperingati.
Mereka itu berdiam, mereka itu merasa sulit juga.
“Kalau begitu, biarlah anak Ceng berangkat lebih dahulu!” Lam Hie Jin menyarankan.
“Apakah sieko maksudkan biar anak Ceng pergi seorang diri ke Kee-hin? Kita menyusul dia sesudah kita menyelidiki warta perihal orang-orang gagah yang berkumpul di kota raja?” Siauw Eng menegaskan.
Lam Hie Jin mengangguk.
“Benar,” Cu Cong menyatakan setuju. “Biar anak Ceng berjalan seorang diri, untuk mencari pengalaman.”
Mendengar itu Kwee Ceng merasa puas. Tidak menggembirakan untuk ia berjalan seorang diri. Ia utarakan perasaannya itu.
“Orang begini besar masih bersifat kebocahan!” Tin Ok menegur.
Siauw Eng lantas membujuki: “Kau pergi lebih dahulu di sana menunggui kita. Tak sampai satu bulan, kami akan menyusul. Umpama di harian pibu kita tidak dapat kumpul semua berenam, satu atau dua tentulah dapat tiba untuk mengurus kamu. Jangan kau khawatir.”
Dengan terpaksa Kwee Ceng memberikan persetujuannya.
“Delapan wanita itu hendak merampas kudamu,” Tin Ok pesan, “Pergi kau ambil jalan kecil, untuk mendahului mareka. Kudamu keras larinya, tidak nanti dapat mereka menyusul. Kau mempunyai urusan penting, jagalah supaya kau jangan terganggu urusan sampingan.”
“Umpama benar mereka main gila, Kanglam Cit Koay tidak nanti lepaskan mereka!” berkata Han Po Kie. Dia tetap menyebut diri Cit Koay meskipun sudah belasan tahun semenjak meninggalnya Thio A Seng, hingga sekarang mereka tinggal berenam (Liok Koay). Itulah tandanya ia tidak bisa melupakan saudara angkatnya itu.
Habis bersantap, Kwee Ceng lantas memberi hormat kepada keenam gurunya, untuk mengucapak selamat jalan.
Liok Koay berlega melepaskan muridnya ini, yang kelihatan sudah dapat diandalkan menyaksikan perlawanannya terhadap Hong Ho Su Koay. Memang perlu murid ini membuat perjalanan sendiri, sebab pengalaman tak dapat diajari, itu mesti diperoleh sendiri. Mereka itu pada memesan, paling belakang pesan Hie Jin singkat saja: “Jikalau tidak ungkulan, menyingkir!” Pesan ini diberikan sebab ia melihat, melayani Empat Siluman dari Hong Ho, muridnya ini ngotot hingga ia membahayakan diri sendiri.
“Memang,” berkata Coan Kim Hoat, “Ilmu silat tidak ada batasnya, di luar gunung ada gunung lainnya lebih tinggi, di sebelah orang ada lagi lain orang yang terlebih pandai, biarpun kau sangat lihay, tidak dapat kau menjagoi sendiri di kolong langit. Maka ingatlah pesa gurumu yang keempat ini.”
Kwee Ceng mengangguk. Ia payku kepada enam gurunya itu, lantas ia menuju ke selatan. Belum ada dua lie, ia sudah menghadapi jalan cabang dua. Ia turuti pesan Tin Ok, ia lantas ambil jalan kecil. Jalanan ini lebih jauh, sebab kecil dan berliku-liku, di sini sangat sedikit orang berlalu lintas. Jalanan pun sukar, banyak kolar dan pasirnya, ada pepehonan kecil yang liar. Untungnya untuk dia, ia menunggang kuda dan kudanya pun dapat lari pesat.
Sekira tujuh atau delapan lie, Kwee Ceng tiba di jalanan pegunungan yang sulit dan berbahaya, jalanan sempit dan banyakl batu besarnya. mau tidak mau, ia berlaku hati-hati. I apun meraba ganggang pedangnya.
“Kalau sam-suhu melihat sikapku nini, dia pasti akan damprat aku…” pikirnya.
Selagi jalan terus, di sebuah tikungan, Kwee Ceng terkejut. Di depan ada tiga nona dengan pakaian serba putih, ketiganya bercokol di atas punggung unta. Mereka itu melintag di tengah jalan. Dari jauh-jauh, ia tahan kudanya, hatinya pun tercekat. “Numpag jalan!” ia lantas berkata, suaranya nyaring.
Ketiga nona itu tertawa tergelak. “Adik kecil, takut apa?” kata satu diantaranya. “Lewat saja! Kami pun tidak nanti gegares padamu!”
Kwee Ceng jengah, mukanya dirasai panas. Ia bersangsi. Bicara dulu atau menerjang saja?
“Kudamu bagus, mari kasih aku lihat!” kata satu nona lain. Ia mengasih dengar nada lagi bicara sama anak kecil.
Tentu saja tak puas Kwee Ceng diperlakukan demikian. Ia mengawasi jalanan yang sempit itu. Di tempat begitu, tak dapat ia tempur mereka itu. Maka ia lantas ambil keputusan. Ia tarik les kudanya, kedua kakinya menjepit. Dengan ini cara, ia kasih kudanya kaget, untuk lari dengan tiba-tiba. ia seperti hendak menerjang ketiga orang itu.
“Awas! Buka jalan!” ia berseru seraya ia hunus pedangnya.
Pesat lari kudanya, sebentar saja ia sudah datang dekat.
Satu nona lompat turun dari untanya, iamaju seraya ulur tangannya, maksudnya hendak menyambar les kuda, untuk tahan kuda itu. Tapi Kwee Ceng membentak, kudanya berbenger, terus berlompat tinggi, lompat lewati tiga nona itu!
Ketiga nona itu terkejut, Kwee Ceng sendiri tidak tak terkecuali, saking heran atas lihaynya kuda itu, untuk pengalamannya ini yang luar biasa. Belum sempat ia menoleh ke belakang, ia sudah dengar bentakan ketiga nona itu, tepat waktu ia menoleh, ia lihat menyambarnya dua rupa barang berkilauan. Ia mau berlaku hati-hati, ia khawatir senjata rahasia itu ada racunnya, ia menyambuti dengan kopiahnya, yang ia lekas cabut.
“Bagus!” memuji dua nona.
Kwee Ceng periksa kopiahnya. Nyata dua senjata rahasia itu adalah gin-so atau torak terbuat dari perak yang indah, ujungnya tajam, tajam juga kedua pinggirannya.
“Kamu telengas hendak mengambil jiwaku,” pikir si anak muda denagn mendongkol. “Bukankah kita tidak kenal satu sama lain dan tidak bermusuhan?” Tapi ia tidak mau membalas, tak sudi iamelayani, gin-so itu ia masuki dalam sakunya.
Ia hanya dapat lihat, gin-so bertabur emas yang merupakan unta-unta kecil.Sampai disitu, pemuda ini larikan pula kudanya. Ia tidak menaruh perhatian ketika ia dengar dua ekor burung dara terbang lewat di atas kepalanya, dari utara ke selatan. Ia hanya khawatir nanti ada yang memegat pula. Tidak sampai satu jam, ia sudah melalui seratus lie lebih. Ia singgah sebentar, terus ia jalan pula. belum sore, ia sudah tiba di Kalgan. ia percaya ketiga nona tadi tidak bakal dapat candak dia, sebab ia duga jarak mereka kedua pihak ada jarak seperjalanan tiga hari…….
Kalgan adalah kota hidup untuk perhubungan antara selatan dan utara, penduduknya padat, perdagangannya ramai. Di situ terutama terdapat banyak kulit dan bulu binatang, yang datangnya dari tempat lain tempat. Di sini Kwee Ceng turun dari kudanya, ia berjalan seraya menuntun binatang ini, matanya menoleh ke kiri dan ke kanan. Belum pernah ia melihat kota seramai ini. Kebetulan tiba di depan restoran, ia merasa lapar, maka ia tambat kudanya di luar, ia masuk ke dalam, akan pilih tempat duduk.
Ia minta sepring daging kerbau dan dua kati mie. Seorang diri ia dahar dengan bernafsu. Ia hanya tidak pakai sumpit, ia turut kebiasaan orang Mongolia, memakai tangannya.Tengha bersantap, ia dengar suara kerisik di luar rumah makan. Ia lantas ingat kepada kudanya, ia lompat bangun, untuk melongok keluar. Ia dapatkan kudanya sedang makan rumput dengan tenang. Yang membikin banyak berisik adalah dua jongos terhadap satu pemuda ynag tubuhnya kurus dan pakaiannya butut.
Pemuda itu berumur lima atau enambelas tahun, kepalanya ditutup dengan kopiah kulit yang sudah pecah dan hitam dekil, mukanya pun hitam mehongan, hingga tidak terlihat tegas wajahnya. Di utara, sekalipun di musim semi, hawa udara dingin, dan pemuda ini tidak memakai sepatu.
Teranglah ia seorang melarat. Di tangannya ia mencekal sepotong bakpauw. Ia mengawasi kedua jongos dengan tertawa, hingga terlihat dua baris giginya yang putih, rata, hingga gigi bagus itu tak sembabat sama dandannya yang compang-camping itu.“Mau apa lagi?!” menegur satu jongos, “Kenapa kau tidak mau lantas pergi?!”
“Baiklah, pergi ya pergi…” kata pemuda itu seraya ia putar tubuhnya.
“Eh, lepas bakpauw itu!” menitah jongos yang satunya.
Pemuda itu letaki bakpauw itu yang tapinya sekarang tertanda tapak tangan, hitam dan kotor. Tentu saja kue itu tak laku dijual.
Jongos itu menjadi gusar. Ser! kepalannya melayang. pemuda itu mendak, kepalan lewat diatasan kepalanya.
Kwee Ceng menjadi kasihan. ia tahu orang tentu sudah lapar. “Jangan!” ia cegah si jongos. “Aku yang membayar uangnya.” Ia jumput bakpauw itu, ia sodorkan kepada si pemuda.
Pemuda itu menyambuti. “Makhluk yang harus dikasihani, ini aku bagi kau!” berkata ia. Dan ia lemparkan itu kepada seekor anjing buduk di depan pintu.
Anjing itu, seekor anjing kecil, menubruk dengan kegirangan, terus ia gegares bakpauw itu.
“Sayang…sayang…” kata satu jongos. “Bakpauw yang lezat dikasihi ke anjing….”
Kwee Ceng pun heran, tetapi ia diam saja, ia balik ke mejanya untuk melanjuti bersantap. Pemuda itu mengikuti ke dalam, ia mengawasi ana muda kita
Kwee Ceng lihat kelakuan orang, ia menjadi malu hati. “Mari dahar bersama!” ia mengundang.
“Baik!” tertawa pula pemuda itu. “Aku sendirian tidak gembira, aku memang lagi mencari kawan.” Ia bicara dengan lidah Selatan. Kwee Ceng mengerti omongan orang. Bukankah ibunya berasal dari Lim-an, Cit-kang, dan ia biasa dengar ibunya bicara? Ia malah girang mendengar lagu suara orang sekampung.
Pemuda itu menghampiri, untuk duduk bersama.
Kwee ceng teriaki jongos, meminta tambahan makanan. Jongos itu melayani dengan ogah-ogahan, sebab ia lihat pakaian orang yang butut dan kotor itu.
“Apakah kau sangka aku melarat dan jadinya tak pantas aku dahar barang makananmu?” si pemuda tegur jongos itu, yang ia lihat lagak lagunya. “Aku khawatir, meski kau menyuguhkan makananmu yang paing jempol, bagiku itu rasanya masih kurang cocok.” lanjutnya lagi.
“Apa?!” sahut jongos itu tawar, “Coba lojinkee menyebutkannya, pasti kami dapat membuatnya! Hanya aku khawatir, habis kau dahar, kau tidak punya uang untuk membayarnya!”
Dengan sengaja ia menyebut “lojinkee” atau orang tua yang dihormati, untuk menyindir.
Pemuda itu mengawasi Kwee Ceng. “Tidak peduli aku dahar berapa banyak, maukah kau yang mentraktir?” tanyanya.
“Pasti!” sahut Kwee Ceng tanpa berpikir lagi. Ia menoleh kepada si jongos, akan memerintahkan: “Potongi aku sekati daging kerbau serta setengah kati hati daging kambing!” Ia telah hidup terlalu lama di Mongolia hingga tahunya, makanan yang paling lezat di kolong langit ini adalah daging kerbau dan kambing. Ia menoleh pula kepada si anak muda: “Kita minum arak atau tidak?” ia tanya.
“Kita jangan repoti mendahar daging, baik kita makan bebuahan dulu!” menyahuti si anak muda. Ia lantas kata pada jongos: “Eh, kawan, lebih dulu kau sediakan empat rupa buah kering dan empat rupa buah segar, dua yang asam manis, dua yang manis bermadu.”
Jongos itu heran hingga ia terperanjat. Ia tidak menyangka orang omong demikian takabur.
“Toaya menghendaki buah apa yang segar bermadu?” tanyanya, suaranya tawar.
“Rumah makanmu ini rumah makan kecil dan tempatmu ini tempat melarat, pasti tidak dapat kamu menyediakan barang bagus,” berkata si anak muda. “Sekarang begini saja! Empat rupa buah kering itu ialah leeci, lengkeng, co dan ginheng. Buah yang segar yaitu kau cari yang baharu dipetik, yang asam aku ingin uah ento harum, dan kiang-sie-bwee. Entah disini ada yang jual atau tidak? Yang manis bermadu? Ialah jeruk tiauw-hoa-kim-kie, anggur hiangyoh, buah tho-tong-songtiauw dan buah lay-hauwlongkun….”
Mendengar itu, jongos itu menjadi melongo. Sekarang ia tak berani lagi memandang enteng kepada anak muda ini.
Si anak muda berkata pula; “Untuk teman arak, di sini tidak ada ikan dan udang segar, maka kau sajikan saja delapan rupa barang hidangan yang biasa!”
Jongos itu mengawasi. “Sebenarnya tuan-tuan ingin dahar masakan apa?” ia tanya.
“Ah, tidak dijelaskan, tidak beres!” berkata si anak muda itu. “Delapan rupa masakan itu ialah puyuh asap, ceker bebek goreng, lidah ayam cah, soto manjangan keekangyauw, soto burung wanyoh, bakso kelinci, paha mencak dan kaki babi hong.”
Mendengari itu mulutnya si jongos ternganga.
“Delapan masakan itu mahal harganya,” kata kemudian. “Untuk ceker bebek dan lidah ayam saja kita membutuhkan beberapapuluh ekor ayam….
Si anak muda menunjuki Kwee Ceng. “Tuan ini yang mentraktir, apakah kau kira dia tidak kuat membayaranya?” tanya ia.
Jongos mengawasi pemuda kita, yang dandannya indah dan malah mengenakan bulu tiauw, ia duga bukan sembarang orang.
“Baiklah,” sahutnya kemudian. “Apakah sudah cukup semua ini?”
“Habis itu, kau sajikan lagi duabelas rupa untuk teman nasi,” berkata pula si anak muda. “Lainnya ialah delapan rupa tiamsim. Nah, sebegitu dulu!”
Jongos itu berlalu dengan cepat, ia khawatir orang nanti minta pula makanan lainnya. Setelah pesan koki, baharu ia keluar pula. Sekarang ia tanya tetamunya, hendak minum arak apa. Ia kata, ia ada punya arak Pek-hun-ciu simpanan sepuluh tahun, apa boleh ia menyediakan dulu dua poci?
“Baiklah!” sahut si anak muda yang mengenai arak tak banyak cerewet.
Tidak terlalu lama, semua buah yang diminta telah disajikan saling susul-menyusul.
Kwee ceng cobai itu semua, satu demi satu, dan ia merasakan kelezatan yang dulu-dulunya ia belum pernah cicipi.
Sembari dahar bebuahan, si anak muda bercerita banyak, tentang segala apa di Kanglam. Kwee ceng tertarik hatinya. Orang bicara rapi, enak didengarinya. Rupanya orang luas pengetahuannya. Ia sampai mau percaya, anak muda itu ada lebih pintar daripada gurunya yang kedua.
“Aku menyangka ia cuma miskin, tak tahunya dia terpelajar tinggi,” katanya dalam hatinya.
Selang kira setengah jam, datanglah barang hidangan, yang mesti disajikan atas dua meja disambung menjadi satu.
Anak muda itu minum sedikit sekali. Barang hidangan, yang ia pilih, ia pun Cuma dahar beberapa sumpitan. Sembari berdahar, ia sekarang banyak bertanya kepada Kwee Ceng, yang mengaku datang dari padang pasir. Kwee Ceng ingat pesan gurunya, ia tidak berani bicara terlalu banyak, ia jadi Cuma bicara tentang memburu binatang liar, memanah burung rajawali, menunggang kuda dan menggembala kambing. tapi si anak muda sangat tertarik hatinya, hingga ia tertawa dan bertepuk tangan.

Kwee Ceng sendiri sangat gembira berkumpul bersama ini kawan baru. Di gurun pasir ia bergaul erat sekali dengan Tuli dan Gochin, toh masih ada perbedaannya, ialah Tuli sering mendampingi ayahnya. Gochin benar baik tetapi putri itu kadang-kadang manja sekali dan ia tidak sudi mengalah, maka sering mereka bertengkar. Maka itu, bicara lebih jauh, ia pun suka omong lebih banyak, kecuali hal ia mengerti silat dan mempunyai hubungan erat dengan Temuchin. Satu kali, saking gembira, ia cekal tangan si anak muda, untuk dipegang keras-keras. Hanya aneh, tangan itu ia rasai halus sekali. Si anak muda pun tersenyum dan menunduk.Pernah Kwee Ceng menatap muka si anak muda, walaupun mehongan, kult muka itu agakanya halus dan bersemu putih, tetapi tentang ini, ia tidak memperhatikannya.

“Sudah terlalu lama kita bicara, barang hidangan keburu dingin,” kata si anak muda seraya tarik tangannya. “Nasi pun sudah dingin…”“Benar,” sahut Kwee ceng, sadar. “Baik suruh panasi lagi…”
“Tidak usahlah, terlalu panas pun tidak dapat didahar,” berkata si anak muda, yang tapinya memanggil jongos, menyuruh menukar hidangan yang terlalu dingin dengan yang baru!
Jongos dan kuasa brumah menjadi heran. Seumurnya, baru kalin ini mereka mendapatkan tetamu seaneh ini. Tapi mereka iringi kehendak itu.
Kwee Ceng pun berdiam saja, ia tidak pikirkan harganya barang makanan itu.
Sesudah barang makanan siap semua, anak muda itu dahar lagi sedikit saja, lalu ia mengatakannya sudah cukup. Menyaksikan itu, si jongos katakan Kwee ceng dalam hatinya: “Dasar kau, bocah tolol! Bocah hina ini permainkan padamu!”
Kapan kuasa restoran sudah berhitungan, harganya semua buah dan makanan itu berjumlah tigaratus sembilan tail, tujuh chie empat hun. Untuk membayar itu, Kwee Ceng mengeluarkan dua potong emas, untuk ditukar dengan limaratus tael perak. Sehabis membayar, Kwee ceng pun kasih persen sepuluh tael hingga kuasa restoran dan jongos itu menjadi girang, dengan kelakuan sangat menghormat, mereka mengantar keluar kedua tetamunya itu.
Di luar salju memenuhi jalan besar.
“Aku telah mengganggu kamu, ijinkan aku pamitan,” si anak muda meminta diri seraya memberi hormat.
Kwee Ceng berhati mulia, melihat pakaian orang yang tipis dan pecah, ia loloskan baju kulit tiauwnya, ia kerobongi itu di tubuh si anak muda. Ia kata: “Saudara, kita baharu ketemu tetapi kita sudah seperti sahabat-sahabat kekal, maka aku minta sukalah kau pakai baju ini!” Tidak Cuma baju, ia pun memberikan uang. Ia masih punya sisa empat potong emas, yang tiga ia sisipkan ke dalam saku baju tiauw itu.
Si anak muda tidak mengucap terima kasih, ia pakai baju itu, terus ia negeloyor pergi. Adalah setelah jalan beberapa tindak, ia baru menoleh ke belakang, hingga ia tampak Kwee Ceng lagi berdiri bengong dengan tangan memegangi les kuda merahnya, seperti juga pemuda itu kehilangan sesuatu. ia lantas saja angkat tangannya, untuk menggapaikan.
Kwee Ceng lihat itu panggilan, ia menghampirkan dengan cepat. “Saudaraku, apakah kau masih kekurangan apa-apa?” ia menanya. Ia sebenarnya memanggil adik (hiantee).
Anak muda itu tersenyum. “Aku masih belum belajar kenal she dan nama kakak yang mulia,” ia menyahuti.
Kwee ceng pun tertawa. “Benar, benar!” katanya. “aku pun sampai lupa! Aku she Kwee, namaku Ceng. Kau sendiri hiantee?”
“Aku she Oey, namaku pun satu, Yong,” jawab anak muda itu.
“Sekarang hiantee hendak pergi kemana?” Kwee ceng tanya. “Umpama kata hiantee hendak kembali ke Kanglam, bagaimana apabila kita berjalan bersama?”
Oey Yong menggeleng kepala. “Aku tidak niat pulang ke Selatan,” sahutnya. “Tapi toako, aku merasa lapar pula…” ia menambahkan.
“Baiklah,mari aku temani lagi kau bersantap,” jawab Kwee ceng, yang tidak merasa aneh atau mendongkol.
Kali ini Oey Yong yang mengajak kawannya itu. Ia pilih rumah makan yang paling besar dan kenamaan untuk kota Kalgan, yaitu Restoran Tiang Keng Lauw, yang bangunannya juga mencontoh model restoran besar dari Pian Liang, ibukota dahulu. Hanya kali nini ia tidak meminta banyak macam makanan, cuma empat rupa serta sepoci the Liong-ceng.
Di sini kembali mereka pasang omong.
Kapan Oey Yong dengar Kwee ceng omong perihal dua ekor burung rajawali putih, ia menjadi tertarik hatinya.
“Justru sekarang tidak tahu aku mesti pergi ke mana, baik besok aku pergi saja ke Mongolia,” ia kata. “Di sana aku cari dan tangkap dua anak burung itu untuk aku buat main.”
“Hanya sukar untuk mencari anaknya,” Kwee ceng beritahu.
“Tapi kau toh dapat menemuinya,” berkata si anak muda.
Kwee Ceng tidak dapat menjawab, ia pun menemuinya burung itu secara kebetulan.
“Eh, hiantee, rumahmu di mana?” ia tanya. “Kenapa kau tidak mau pulang saja?”
Tiba-tiba saja mata Oey Yong menjadi merah. “Ayahku tidak menginginkan aku…” ia menyahut.
“Kenapa begitu?” Kwee Ceng tanya.
“Ayahku larang aku pergi pesiar, aku justru mau pergi,” sahut Oey Yong. “Ayah damprat aku. Karena itu malam-malam aku minggat….”
“Sekarang pasti ayahmu tengah memikirkan kau,” Kwee ceng berkata pula. “Dan ibumu?”
“Ibuku sudah meninggal dunia. Aku tidak punya ibu sejak masih kecil…”
“Kalau begitu, habis pesiar, kau mesti pulang.” kata Kwee ceng lagi.
Oey Yong menangis. “Ayahku tidak menginginkan aku lagi…” katanya.
“Ah, tak bisa jadi,” Kwee Ceng bilang.
“Jikalau begitu, kenapa ayah tidak cari aku?” kata si anak muda lagi.
“Mungkin ia mencari, Cuma tidak ketmu…” Kwee ceng mencoba menghibur.
Oey Yong tertawa. “Kalau begitu, baiklah, habis pesiar aku pulang!” katanya. “Cuma aku mesti dapati dulu dua ekor anak rajawali putih…”
Selagi kedua pemuda ini bicara dengan asyik, di tangga lauwteng terdengar suara tindakan kaki, lalu tertampak munculnya tiga orang, ialah dua kacung yang mengiringi satu pemuda denagn baju sulam yang indah. pemuda itu tampan sekali, wajahnya terang, usianya barangkali baru delapan atau sembilanbelas tahun. Ia memandang Kwee Ceng dan Oey Yong. Melihat pakaian orang yang kotor, ia mengerutkan kening, lantas ia menunjuk meja yang terpisah jauh. Atas itu kedua kacung menghampirkan meja yang ditunjuk itu, untuk mengatur mangkok dan sepasang sumpit, yang ia bawa dari rumah. Mangkok dan sumpit yang mana disimpan dalam sebuah kotak. Jongos juga segera repot melayani tetamu baru ini.
Kwee Ceng mengawasi sebentar, lantas ia tidak pedulikan lagi tetamu itu. Ia kembali mengobrol bersama sahabat barunya itu.
Belum lama, di bawah lauwteng terdengar suara kuda meringkik, disusul mana beberapa kali bentakan dari beberapa orang. Ia ingat akan kudanya, maka ia lari ke jendela untuk melongok ke bawah. Ia dapatkan beberapa orang dengan pakaian serba putih tengah mengurung kudanya itu, yang hendak ditangkap, tetapi kuda itu berjinkrakan, hingga ia tak dapat didekatkan. Ia menjadi gusar sekali, terutama sebab ia lantas kenali, orang-orang itu adalah delapan penunggang unta yang memang berniat merampas kudanya itu. Ia hanya heran kenapa orang dapat menyusul ia demikian lekas. Lantas ia berseru: “Di siang bolong kamu berani merampas kudaku?” Lantas ia lari turun dari lauwteng. Setibanya ia di depan rumah makan, di sana ia dapatkan delapan orang berpakaian putih itu sedang rebah tanpa berkutik. Ia menjadi heran sekali, sehingga ie berdiri menjublak.


Bab 16. Gara-Gara Sepatu Sulam Dan Jubah Salut Emas

Tiba-tiba Kwee Ceng sadar. Ia merasakan ada tangan yang lemas yang memegang tangannya. Ketika ia menoleh, dengan lantas ia lihat Oey Yong, yang setahu kapan telah turun dari lauwteng.“Jangan pedulikan dengan mereka, mari kita naik pula ke lauwteng!” berkata ini sahabat baru.
“Mereka ini hendak merampas kudaku,” kata Kwee Ceng. “Setahu kenapa, mereka pada rubuh sendirinya….”
Meski ia mengucap demikian, Kwee ceng menurut, ia memutar tubuhnya. Demikian juga si anak muda itu.
Justru mereka memutar tubuh, si pemuda tampan dan berpakaian mewah itu juga telah berada di depan, malah ia sudah lantas membungkuk kana melihat delapan pemudi yang menyamar sebagai pemuda-pemuda itu, kemudian ia mengawasi kedua anak muda itu, sinar matanya menandakan ia sangat heran.
Oey Yong tarik tangannya Kwee ceng, untuk naik di tangga, kemudian sembari tertawa manis, ia tuangi air the di cawannya pemuda itu.
“Toako, kudamu itu bagus sekali!” katanya memuji.
Kwee Ceng hendak sahuti sahabatnya ketika ini tatkala ia dengar ramai suara kelengan unta di depan rumah makan itu, ia pergi ke jendela diikuti Oey Yong, apabila mereka melongok ke bawah, mereka lihat delapan nona serba putih itu berlalu dengan unta mereka. salah satu nona menoleh ke belakang, ia memandang Kwee Ceng, maka Kwee Ceng dapat melihat sinar matanya yang tajam, tanda dari kemurkaan, sepasang alisnya pun terbangun. Tiba-tiba saja ia ayun tangannya yang kanan, atas mana dua potong ginso menyambar ke loteng, ke arah pemuda ini.
Cepat-cepat Kwee Ceng cabuti kopiahnya, dengan niat menyambuti torak perak itu. Akan tetapi si pemuda tampan dan berpakaian mewah itu telah dului ia, dengan menyentil dua kali, ia melayangkan dua batang senjata rahasia yang bersinar emas berkilauan, lalu di antara dua kali suara tintong, ginso itu jatuh sendirinya, jatuh bareng bersama senjata penyerangnya. kedua kacung lantas pungut empat senjata rahasia itu, diserahkan kepada si pemuda, yang menyambuti seraya terus dikasih masuk ke dalam sakunya. Habis itu, ia lantasbertindak naik di tangga lauwteng, dia terus menghampirkan Kwee Ceng, di depan siapa ia berhenti, untuk terus segera memberi hormat sambil berjura.
“Aku mohon tanya she dan nama mulia dari toako,” ia minta.
Kwee ceng cepat-cepat membalas hormat. “Siauwtw she Kwee, bernama ceng,” ia menyahuti. “Kongcu ada pengajaran apakah?” lanjutnya.
“Apakah saudara Kwee datang dari pulau Tho Hoa To dari Tang-hay? pemuda itu menaya. “Aku mohon tanya, ada urusan apakah saudara datang ke mari?”
Ditanya begitu, Kwee melengak. “Siauwtee datang dari gurun pasir utara,” ia menyahut. “Belum pernah siauwtee pergi ke pulau Tho Hoa To itu. Barusan kongcu membnatu aku, aku sangat berterima kasih.”
Kongcu itu berkata: “Saudara Kwee tak hendak mengenalkan diri, nah di sini saja kita berpisahan, sampai nanti kita bertemu pula!” Lalu ia menjura dalam sekali.
Kwee ceng lekas-lekas membalasi, di waktu mana ia merasakan sambaran angin. Kongcu itu telah mengibaskan tangannya, ujung tangan bajunya menjurus ke matanya.
Inilah Kwee ceng tidak sangka. Sembari memberi hormat orang menyerang ia secara hebat sekali. Celaka kalau ia kena tersampok. Maka dengan ia lantas tunduk, untuk masuki kepalanya ke selangkangannya, guna terus lompat berjumpalitan. Meski begitu, pundaknya kena tersambar juga, hingga terbit satu suara nyaring dan ia merasakan sakit ngilu pada pundaknya itu. Karena ini, diwaktu ia sudah taruh kakinya, ia kaget dan gusar dengan berbareng.
“Kau…kau….”
Tapi si kongcu pegat ia, sembari tertawa, ia kata: Aku cuma mencoba ilmu kepandaianmu, saudara Kwee. Ilmu totok kau lihay sekali, ilmu silatmu tangan kosong tapi biasa saja. Maaf…!” Kembali ia menjura.
Kwee ceng khawatir orang nanti bokong pula padanya, ia mundur setindak.
Oey Yong agaknya kaget, tubuhnya bergeser, tangannya menjatuhkan sebatang sumpit ke kaki kongcu, disaat kongcu itu mengangkat tubuhnya habis menjura, Oey Yong pun telah dapat menjumput sumpitnya itu. Si kongcu rupanya jijik untuk pakaian kotor anak muda ini, ia mundur satu tindak, kepada Kwee Ceng ia tersenyum, terus ia putar tubuhnya untuk bertindak ke tangga lauwteng.
“Ini untuk kau…” kata Oey Yong dengan perlahan, tangannya disodorkan.
Kwee Ceng melihat telapak tangan anak muda ini, ia tercengang. Di tangan kawan ini terlihat dua potong tusuk konde emas serta dua potong ginso, yang bergemerlapan kuning dan putih. Itulah ginso yang tadi si kongcu simpan dalam sakunya. Entah kapan sahabat ini mengambilnya. Ia tercengang sebentar lantas ia ingat, ia mengerti. Ia sambuti tusuk konde emas dan ginso itu.
“Kongcu, kau lupakan barangmu ini!” ia panggil si pemuda yang seperti anak bangsawan itu.
Kongcu itu menghentikan tindakannya, ia berpaling.
Kwee Ceng angsurkan kedua barang emas dan perak itu.
Menampak barangnya itu, kongcu terkejut sehingga air mukanya berubah, cepat luar biasa tangannya menyambar ke arah Kwee ceng, lima jarinya yang kuat seperti kuku garuda menyambar ke tangan Kwee Ceng itu.
Kwee Ceng kaget tidak terkira. Dari gerakannya saja, ia sudah dapat menduga orang bergerak dengan ilmu silat Kiu-im Pek-kut Jiauw seperti keenam gurunya sering menuturkan kepadanya. Maka ia menduga, adakah kongcu ini sekaum dengan Tiat Sie Bwee Tiauw Hong si Mayat Besi? Ia menginsyafi hebatnya cengkeraman Tulang Putih itu, sebab masih ada bekas cengkeramannya Bwee Tiauw Hong dulu hari pada lengannya, cuma ia dapat membedakannya, sambaran kongcu ini kalah jauhnya sebatnya dengan sambarannya si Mayat Besi. Tidak berani ia menangkis atau menyambuti cengkeraman itu, belum ia terjambak, empat senjata di tangannya sudah lantas mencelat. cepat luar biasa ia telah kerahkan tenaganya.
Kongcu itu terkejut. Ia dapatkan, belum lagi serangannya mengenai, empat senjata itu sudah mendahulukan menyambar ke arahnya. ia juga dapat lihat anak muda itu berdiri tegar ditempatnya. Dengan terpaksa ia sambuti empat potong benda itu. Setelah menatap, ia memutar tubuhnya untuk terus turun di tangga lauwteng.
Kapan Kwee Ceng kembali ke kursinya, ia dapatkan Oey Yong mengawasi ia sambil sahabat itu tertawa geli.
“Kenapa barang itu berada di tanganmu?” ia menanya, heran.
“Dia membikinnya jatuh selagi dia menjura kepadamu, lantas aku jumput!” sahut Oey Yong masih tertawa.
Kwee Ceng jujur, ia tidak menduga orang mendusta.
“Toako, kenapa rombongan wanita itu mencoba merampas kudamu?” kemudian Oey Yong menanya.
“Sebab kudaku adalah han-hiat-po-ma,” jawab Kwee Ceng, yang terus tuturkan perihal kuda itu sampai ia bertemu rombongan si wanita itu, yang menyamar sebagai pemuda-pemuda dan menunggang unta. Kemudian ia melanjuti: “Setahu siapa yang membnatu aku secara diam-diam dengan merobohkan mereka itu. Kalau tidak tentulah mesti terjadi pertempuran hebat…”
Oey Yong masih tersenyum.
“Kudaku itu lari cepat sekali, sebenarnya aku telah lombai mereka seperjalanan tiga hari, entah kenapa, mereka dapat menyusul padaku…” Kwee Ceng kemudian mengutarakan keheranannya. “Sungguh memusingkan kepala..”
“Aku lihat di antara mereka ada satu yang mencekal sepasang burung dara,” kata Oey Yong.
Tiba-tiba Kwee ceng menepuk meja. “Ya, aku ingat sekarang!” ia kata pula separuh berseru. “Itu waktu memang aku lihat terbangnya dua ekor burung di atasan kepalaku. Rupanya tiga wanita itu melepaskan burung itu untuk memberi kabar kepada lima kawannya, untuk mereka memegat atau mengawasi aku, dari itu, mereka gampang saja mencari padaku.”
Setelah itu, Oey Yong tanya tentang tenaga larinya kuda merah itu dan Kwee ceng menuturkannya dengan jelas. Ia kelihatannya menjadi kagum sekali. Ia keringkan secawan teh, lalu ia tertawa.
“Toako,”katanya, “Hendak aku meminta sesuatu yang berharga darimu, apa kau sudi mengabulkannya?” dia bertanya.
“Kenapa tidak?” Kwee Ceng menjawab.
“Sebenarnya aku suka sekali dengan kudamu itu,” menerangkan Oey Yong.
“Baik, hiantee, aku hadiahkan itu padamu!” kata Kwee Ceng tanpa bersangsi.
Oey Yong terperanjat. Sebenarnya ia main-main saja. Bukankah mereka baru pertama bertemu? Ia malah mengharap jawaban si pemuda adalah penolakan. Ia lantas mendekam di meja, terus terdengar tangisannya sesegukan.
Sekarang adalah giliran Kwee Ceng yang menjadi heran. “Hiantee, kau kenapakah?” ia menanya cpat. “Apakah kau kurang sehat?”
Oey Yong angkat kepalanya, ia mengawasi si pemuda. Mukanya penuh air mata. Tapi sekarang ia tidak menangis, sebaliknya ia tertawa. Air matanya itu yang mengalir di kedua belah pipinya itu, menyebabkan mehongan luntur, hingga tampak dua baris kulitnya yang putih mulus.
“Toako, marilah kita pergi!” ia mengajak.
Kwee Ceng menurut. Bersama-sama mereka turun dari lauwteng. Lebih dulu ia membayar uang makan, baru ia tuntun kudanya. Ia pesan kepada kudanya: “Aku haurkan kau kepada sahabatku yang baik, maka baik-baiklah kau mendengar katanya, jangan kau bawa adatmu.” Kemudian sembari menoleh kepada si anak muda, ia mepersilakan: “Hiantee, kau naiklah!”
Sebenarnya kuda itu tak dapat ditunggangi orang lain, akan tetapi ia sekarang tidak membangkang.
Oey Yong naik kuda itu. Kwee Ceng menyerahkan les kuda itu, ia terus tepuk kempolan kudanya itu. Dengan lantas kuda itu berlari pergi.
Pemuda itu menanti sampai orang tidak terlihat lagi, baru ia melihat langit. Ia mendapatkan sang malam bakal lekas tiba. Karena ini, ia lantas pergi mencari rumah penginapan. Ketika disaat ia hendak memadamkan api, untuk rebahkan diri, tiba-tiba ia dengar ketokan pada pintu.
“Siapa?” ia tanya heran.
“Satu sahabat,” sahut suara di luar, suaranya parau.
Kwee Ceng turun dari pembaringan, ia membuka pintu. Di antara cahaya lilin, ia tampak lima orang berdiri di depannya. Setelah ia mengenali orang, ia terkejut bukan main. Empat di antaranya ada membawa golok dan ruyung. Mereka itulah Hong Ho Su Koay. Dua orang yang ke lima, yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, tubuhnya kurus, mukanya lonjong, di jidatnya ada tiga kutil besar, romannya sangat tidak mengasih untuk diawasi.
Si kurus sudah lantas tertawa tawar, tanpa bilang suatu apa, ia membuka tindakan lebar akan memasuki kamar orang, akan terus mencokol di atas pembaringan, sambil melirik, ia awasi tuan rumah.
Kwee Ceng pun mengawasi, hingga ia melihat tegas, muka orang ada tanda bekas luka-luka senjata tajam, hingga dia itutak dapat melihat lepas ke depan.
Toan-hu-to Sim Ceng Kong si Golok Memutus Roh, dengan dingin, lantas berkata: “Inilah paman guru kami, Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay yang sangat ternama besar! Lekas kau berlutut dan mengangguk-angguk kepalanya!”
Kwee Ceng mengerti bahwa ia telah terkurung, bahwa Hong Ho Su Koay saja sudah bukan tandingannya, apapula mereka dibantu oleh paman gurunya itu, yang julukannya pun berarti si Ular Naga Kepala Tiga.
“Tuan-tuan ada punya urusan apa?” ia tanya sambil menjura.
“Mana guru-guru kamu?” Hauw Thong hay menanya.
“Guruku tidak ada di sini,” sahut Kwee Ceng.
“Ah! Kalau begitu hendak aku memberi ketika padamu untuk hidup lagi setengah harian!” kata Ular Naga Kepala Tiga itu. “Sekarang hendak kau memberi pengajaran kepadamu, agar orang tidak nanti mengatakan Sam-tauw-kauw menghina anak kecil. Besok tengah hari aku menantikan di rimba Hek-siong-lim di luar kota, kau datang ke sana dengan minta gurumu semua temani padamu!” Habis berkata, ia berbangkit, tanpa menanti penyahutannya Kwee Ceng, ia sudah ngeloyor keluar. Sesampai di luar, ia suruh Twie-beng-chio Gouw Ceng Liat si Tombak Mengejar Jiwa menutup pintu, hingga terdengar suara membeletok.
Kwee Ceng memadamkan api, terus ia duduk numprah di atas pembaringannya. Kapan ia memandang ke jendela, ia tampak bayangan orang mondar-mandir. Rupanya orang telah menjaga ia di luar kamar. Ia masih berdiam saja. Selang tidak lama, ia dapat dengar apa-apa di atas genting. Itulah suara ketokan beberapa kali, disusul sama bentakan: “Bocah, jangan kau memikir untuk kabur, engkongmu menunggui kau disini!”
Jadi terang dia telah dikurung keras. Dia lantas rebahkan dirinya, niatnya untuk tidur tanpa menghiraukan segala apa. Tapi ia tidak dapat pulas, ia mesti gulak-galik saja.
Besok pagi, jongos muncul dengan air cuci muka dan tiamsim, untuk sarapan. Di belakang jongos itu terlihat Cian Ceng Kian dengan sepasang kampaknya.
“Suhu semua berada di tempat jauh, tidak nanti mereka dapat menolongi aku,” Kwee Ceng berpikir. “Sudah terang aku tidak bakal dapat lolos, baiklah aku mati bertempur!”
Oleh karena berpikir begini, hatinya menjadi mantap. Ia lantas saja bercokol di atas pembaringan, untuk bersemadhi menuruti ajarannya Ma Giok. Ia bersemadhi hingga tengah hari, baru ia berbangkit turun.
“Mari kita pergi!” ia kata kepada Cian Ceng Kian.

Mereka jalan berendeng, menuju ke arah barat, sampai sepuluh lie lebih. Di sana ada sebuah rimba besar, yang menutupi matahari. Seram suasana di situ. Di sini Ceng Kian tinggalkan si pemuda, untuk dengan cepat bertindak ke sebelah dalam rimba.Kwee ceng loloskan joan-pian, cambuk lemasnya. Ia berlaku tenang, setindak demi setindak, ia maju. Ia menjaga diri dari bokongan di kiri atau kanannya. Satu lie sudah ia berjalan, ia tidak bertemu dengan musuhnya. Tiba-tiba ia dapat ingatan, ialah pesan gurunya yang keempat: “Jikalau tidak ungkulan, lari!” Maka ia berpikir: “Sekarang tidak ada orang mengawasi aku, rimba pun lebat, kenapa aku tidak hendak sembunyikan diri?” Maka hendak ia segera mewujudkan pikirannya ini. Tapi tiba-tiba.

“Bocah haram! Anak campuran! Anak jadah!” demikian ia dengar makian hebat.Sambil berlompat, Kwee Ceng putar cambuknya, untuk melindungi diri. Akan tetapi tidak ada serangan terhadapnya.
Sambil berdiri diam, ia angkat kepalanya, memandang ke arah dari mana cacian itu datang. Lantas ia berdiri menjublak!Di atas empat pohon di dekatnya itu, ia tampak Hong Ho Su Koay tergantung masing-masing di sebuah cabang besar, kaki dan tangan mereka terbelenggu, tubuh mereka bergelantungan, sia-sia saja mereka mencoba meronta-ronta, melainkan mulut mereka yang dapat di pentang lebar-lebar. Mereka mencaci kalang-kabutan begitu lekas mereka tampak si pemuda musuhnya itu.
Kwee Ceng heran bukan kepalang, akan tetapi ia tertawa. “Apakah kau tengah main ayunan di sini?” dia bertanya. “Sungguh menggembirkan, bukan?” Nah sampai bertemu pula! Sampai bertemu pula! Maaf, tidak dapat aku menemani kalian lama-lama…!”
Sim Ceng Kong berempat mencaci maki pula, semakin hebat. Mereka malu untuk minta tolong. Di samping itu mereka heran sekali kenapa paman guru mereka itu yaitu Hauw Thong Hay, tidak lekas kembali. Selagi Kwee ceng bertindak, hampir ia lenyap dari pandangan mata, tiba-tiba Toat-pek-pian, Ma Ceng Hiong si Cambuk Perampas Roh, berubah pikirannya. Ia takut mati, maka ia lupa akan malunya.
“Kwee Enghiong, kami menyerah kalah!” dia berteriak. “Aku mohon sukalah kau memerdekakan kami!”
Kwee Ceng sudah lantas berpikir: “Sebenarnya aku tidak bermusuh dengan mereka, adalah mereka yang memusuhi aku, maka itu apa perlunya aku membiarkan mereka mati bersengsara di sini?” Dengan cepat ia mengambil keputusan, terus ia kembali dengan berlompatan, ia kasih turun mereka itu satu per satu. Pantas Hong Ho Su Koay tidak sanggup berontak melepaskan diri, alat menggantungnya itu adalah tambang kulit yang kuat. Ia pun mengutanginya itu dengan golok emasnya.
Sesudah empat Siluman itu direbahkan di tanah, pemuda itu totok mereka bergantian, maka mereka itu lantas saja tidak dapat geraki kaki dan tangan mereka, habis mana barulah ia putuskan belengguan mereka itu. Sambil tertawa, ia berkata: “Lagi dua belas jam baru kamu dapat pulang tenaga dalam dan merdeka. Sebetulnya, siapakah yang menggantung kamu di sini?”
“Kau masih berpura-pura!” membentak Cian Ceng Kian mendongkol. “Kalau bukannya kau, siapa lagi?”
Kwee Ceng heran. Ia lantas saja mengangkat kaki, akan meninggalkan mereka itu. Ia heran orang menuduh padanya, tetapi ia mengerti, mesti ada orang yang sudah tolongi ianya. Di mana di situ tidak ada Hauw Thong Hay, ia khawatir paman guru mereka itu nanti keburu kembali, maka ia pikir, mesti ia lekas menyingkir. Ia lari keluar rimba, terus ia balik ke kota, malah di sini ia segera membeli seekor kuda untuk dengan itu ia lantas melanjuti perjalannya ke selatan.
“Siapakah itu orang secara diam-diam menolongi aku?” ia berpikir di sepanjang jalan. Keanehan itu tak dapat ia melupainya. “Hong Ho Su Koay lihay tetapi mereka dapat digantung, teranglah lawannya itu mesti jauh terlebih lihay daripada mereka. Yang hebat mereka sampai tidak melihat padanya, hingga mereka menyangka aku. Herannya, ke mana perginya Hauw Thong Hay si Ular Naga itu? dia tidak tertampak sekalipun bayangannya?”
Kwee Ceng terus melakukan perjalannya itu. Pada suatu hari, tibalah ia di Tiongtouw, kota raja Tay Kim Kok, negara Kim (Kin) yang besar, yang paling ramai dan indah, sampai tidak dapat dilawan oleh Pian-liang, kota raja yang lama dari kerajaan Song, atau Lim-an, kota raja yang baru. Ia menjadi besar di gurun pasir, belum pernah ia menyaksikan suasana kota besar itu, yang indah lauwteng dan rangonnya, yang permai sero-seronya, sedang kereta-kereta bagus dengan semua kuda pilihannya mondar-mandir di jalan-jalan besar. Di pelbagai rumah minum ia pun dengar suara tertawa, merdunya bunyi tetabuan. Semua itu ia saksikan diwaktu siang berderang. Untuk bersantap, ia sampai tidak berani memilih erstoran yang mentereng, ia cari sebuah restoran yang kecil. habis berdahar, ia berjalan-jalan, ia baru berhenti ketika di sebelah depannya ia dengar sorak-sorai yang ramai, di sana ada berkumpul sejumlah orang. Ia mendekati. Ia menyelak di antara banyak orang itu, untuk melihat ke sebelah dalam.
Orang banyak itu mengurung sebuah tanah lapang, di situ ada dipancar bendera suram, dasarnya putih, ada sulaman empat huruf besar: “Pi Bu Ciauw Cin”. Artinya: mencari jodoh denagn jalan pibu atau mengadu kepandaian. Di bawah bendera itu ada satu nona dengan baju merah tengah bertempur sama seorang pria, yang tubuhnya jangkung dan besar, bertempur dengan seru sekali. Heran Kwee Ceng apabila ia saksikan ilmu silat si nona itu. Ia berpikir: “Dia lihay, kenapa dia munculkan diri di tempat umum seperti ini?”
Selang lagi beberapa jurus, nona itu menggunai akal. Si pria dapat melihat lowongan, ia menjadi kegirangan, ia lantas menyerang dengan kedua tangannya, ke arah dada. Nona itu tidak mengambil sikap menangkis, atau berkelit. Pria itu tidak sampai hati, ia batal meninju, hanya mengubah kepalannya menjadi tangan terbuka, ia menolak ke arah pundak.
Luar biasa gesitnya nona itu, ia berkelit dengan mendak, kedua kakinya bergerak saling susul-menyusul, membawa tubuhnya melejit ke samping ke belakang penyerangnya itu, kapan tangan kirinya diayunkan, “Buk!” punggung si pria kena terhajar, sampai terjerunuk ke depan, roboh ke tanah, hanya syukur, setelah memegang tanah, dia dapat menahan diri dan mengerahkan tenaga, untuk berlompat bangun. Mukanya pemuda itu menjadi merah, dengan kemalu-maluan ia menyelinap di antara orang banyak. Syukur untuknya, ia tadi berkasihan terhadap si nona, maka sekarang si nona tidaj menghajar hebat kepadanya.
Para penonton lantas saja bertampik sorak.
Nona itu singkap naik rambut yang turun ke dahinya, lalu iamundur ke bawah bendera.
Kwee Ceng pandang nona itu, yang cantik sekali, umurnya mungkin baru tujuh atau delapanbelas tahun, sikapnya pun berpengaruh. Mendadak ia ingat apa-apa, hingga ia berpikir: “Kenapa aku seperti kenal dia? seperti aku pernah bertemu dengannya, entah dimana…?” kemudian ia tersenyum sendiri, ia ingat: “Baharu saat ini kau tiba di Tionggoan, kapan aku pernah bertemu orang lain? Aku tadinya menyangka, nona-nona serba putih dan menunggang unta itu sudah elok semua, aku pikir kenapa ada demikian banyak wanita cantik, siapa tahu nona ini melebihkan mereka itu…. Dasar aku kurang berpengalaman! Rupanya di Tionggoan ini dimana-mana wanitanya cantik semuanya, maka tak usahlah aku menjadi heran…”
Pemuda ini polos, hatinya masih terbuka, maka itu, walaupun ia telah melihat wajah-wajah yang cantik manis, hatinya tidaj tergiur. Maka itu ia lantas memandang ke kiri dan kanannya.
Si nona lantas bicara perlahan sama seorang yang berdiri di dekatnya, pria itu mengangguk, terus ia mengangguk keempat penjuru seraya terus berkata: “Aku yang rendah bernama Bok Ek, aku lewat di tempat tuan-tuan tidak dengan maksud mencari nama atau mencari uang, hanya guna anakku ini. Anakku sudah dewasa usianya, ia masih belum ketemu jodohnya, maka itu sekarang aku lagi mencarikan jodohnya itu. Adalah keinginanku, pasangan anakku tidak usah berharta, cukup asal ia satu pria sejati yang mengerti ilmu silat.
Karena ini dengan beranikan diri, aku mancarikan jadohnya dengan jalan pibu ini. Siapa yang usianya di bawah tiga puluh tahun dan belum menikah, asal ia bisa menyerang anakku dengan satu kepalannya atau kakinya, akan aku rangkap jodoh anakku ini dengan jodohnya. Kami berdua, ayah dan anak, sudah membuat perjalanan dari selatan hingga di utara, sudah melintas tiga belas propinsi, akan tetapi kami masih belum menemui jodoh yang dicari itu, sebabnya rupanya, mereka yang gagah sudah pada menikah atau mereka yang muda sungkan hatinya?” Ia berhenti sebentar, lagi ia menjura kepada orang banyak, baharu ia menambahkan: “Kota Pakhia ini adalah tempat rebahnya harimau atau tempat sembunyi naga, disini mesti banyak orang berilmu dan gagah, oleh karena itu, aku harap tuan-tuan memaafkannya kalau ada kata-kataku yang tidak tepat. Tuan-tuan, perkenankanlah kami undurkan diri, untuk pulang ke rumah penginapan guna beristirahat, nanti besok kami datang pula ke mari untuk melayani tuan-tuan.”Habis mengucap, lagi sekali orang itu mengangguk, lalu ia cabut benderanya, itu bendera Pi Bu Ciauw Cin. Tiba-tiba saja.
“Tunggu dulu!”
Itulah suara berbareng, yang datangnya dari sebelah kiri dan kanan, dari mana lantas terlihat dua orang berlompat ke dalam kalangan.
Orang bnayak lantas mengawasi, akhirnya mereka semua tertawa geli. Yang muncul dari sebelah timur itu adalah seorang tua dengan tubuh terokmok, mukanya penuh berewokan, kumisnya sudah ubanan separuh lebih, dan umurnya juga sudah lewat lebih dari setengah abad. Yang datang dari barat itu lebih lucu pula. Dialah satu paderi yang kepalanya licin lanang!
“Eh, kamu tertawakan apa?” tanya si tua itu kepada orang banyak, yang ia awasi. “Bukankah dia mau adu kepandaian untuk mencari suami? Nah, aku masih belum menikah!
Mustahilkah aku tidak cocok?”Si paderi itu awasi si tua, ia tertawa. “Oh, kakek-kakek!” katanya. “Taruh kata kau menang, apakah kau tidak kasihan terhadap si nona yang masih demikan remaja bagaikan sekuntum bunga? Apakah setelah kau menikah kau hendak membuatnya ia menjadi janda?”
Orang tua itu menjadi gusar. “Habis kau, apakah kau mau dengan datang kemari?” ia menegur.
Paderi itu tersenyum. “Setelah aku mendapatkan istri begini cantik, aku akan segera pulang asal menjadi orang biasa lagi!” sahutnya.
Mendengar itu, kembali riuhlah tertawa orang banyak.
Si nona menjadi mendongkol. Ia merasa bagaimana orang hendak mempermainkan padanya, maka juga, wajahnya menjadi merah, sepasang alisnya terbangun, matanya bersorot tajam. Ia lantas loloskan mantelnya, berniat ia menghajar kedua manusia ceriwis itu.
Bok Ek tarik tangan gadisnya. “Tenang, nanti aku yang melayani mereka,” ia membujuk.

Si empe dan paderi masih adu omong terus, mereka jadi sengit sekali. Disamping mereka, para penonton juga tak henti-hentinya tertawa. Tidakkah pemandangan itu sangat lucu?“Saudara-saudara, nah kamu pibulah terlebih dulu!” satu penonton yang membuka mulut. “Nanti, siapa yang menang, ia yang maju melawan si nonan manis!”
“Bagus!” berseru si paderi, yang agaknya tidak menghiraukan ejekan orang banyak itu. “Aki-aki, mari kita berdua main-main…!”
Paderi ini menantang, tetapi, belum lagi ia peroleh jawaban, sebelah tangannya sudah melayang.
Si empe-empe berkelit, segera ia balas menyerang. Maka dengan itu, keduanya menjadi bertempur.
Kwee Ceng menonton. Ia dapatkan si paderi bersilat dengan jurus-jurus Lo Han Kun dari ilmu silat Siauw Lim Pay, sedang si empe menggunai ilmu silat Ngo Heng Kun. Jadi keduanya ada dari golongan Gawkang, ilmu Bagian Luar. Si paderi dapat berlompat danmendekam dengan cepat, lincah gerakannya. Si empek sebaliknya tenang tegar, jangan pandang usianya yang tua, tenaganya sebenarnya masih besar.
Satu kali si paderi dapat meraptakan diri, kepalannya menghajar tiga kali beruntun, ke arah pinggang lawannya. Si empek kuat sekali, ia terima serangan tanpa berkelit atau menangkis, tapi berbareng dengan itu, ia angkat tinggi tangan kanannya, untuk dikasih turun ke arah kepala lawannya, bagaikan martil, kepalannya menumbuk kepala licin mengkilap dari si paderi. Tak tahan paderi itu, segera ia jatuh duduk, numprah di tanah.
Ia berdiam tidak lama, mendadak ia tarik keluar sebatang golok kayto dari dalam jubahnya, dengan itu ia membabat kakinya si tua!“Celaka!” berteriak orang banyak.
Si tua dapat menolong diri dengan berlompat berkelit, berbareng dengan mana, tangannya meraba ke pinggangnya, untuk mengasih keluar sepotong thiephie atau ruyung besi. Kiranya mereka sama-sama membekal senjata. Maka itu sekarang mereka melansungkan pertandingan itu dengan golok dan ruyungnya masing-masing.
“Bagus! Bagus!” teriak orang banyak berulangkali. Hanya sambil berseru-seru, mereka pada mengundurkan diri setindak demi setindak. Hebat menyambar-nyambarnya golok kayto dan ruyung besi, takut mereka nanti kena terserempet….
“Tuan-tuan, tahan!” Bok Ek berseru seraya ia menghampirkan. “Di sini adalah kota raja, tidak dapat kita sembarang menggunai senjata tajam!”
Dua orang itu lagi bertempur seru sekali, mereka tidak memperdulikan seruan itu.
Melihat ia tidak dihiraukan, tiba-tiba Bok Ek menyerbu. Dengan satu dupakan, ia membuat golok kayto terpental tinggi dan dengan sambaran tangan ia rampas ruyungnya si empek-empek, kemudian selagi golok turun, ia hajar itu dengan ruyung sehingga golok itu patah dua!
Para penonton kagum, mereka bersorak. Tapi itu belum semua, dalam sengitnya, Bok Ek cekal kedua ujung ruyung, ia lantas menekuk, maka ruyung itu menjadi bengkok melengkung, hingga sudah tentu saja selanjutnya tak dapat digunai lagi!
Si tua dan si paderi tercengang, mereka menjadi kuncup hatinya, tanpa membilang suatu apa lagi, keduanya nyelusup antara orang banyak, untuk angkat kaki!
Kwee Ceng mengawasi Bok Ek, yang tubuhnya sedikit bongkok tetapi badannya lebar dan kekar, tanda dari tenaganya yang besar, Cuma rambut dekat kedua samping kupingnyas udah berwarna kelabu dan kulit mukanya berkerenyut dan itu waktu, wajahnya guram. Dilihat dari roman, ia mungkin telah berusia enam puluh hampir.
“Besok kita pulang ke selatan…” berkata dia dengan masgul. Dia pun menghela napas.
“Ya,” menyahut si nona, yang diajak bicara.
Sampai disitu, penonton hendak bubaran. Bukankah pibu telah berakhir? Tapi justru itu, mereka dengar suara kelenengan kuda, hingga mereka pada menoleh, Kwee Ceng pun tak terkecuali.
Ke situ datang satu kongcu atau pemuda sambil diiringi beberapa puluh pengikut. Suara kelenengan itu datang dari rombongan itu. Kapan Kwee Ceng telah melihat si koncu, lekas-lekas ia sembunyikan diri di antara orang banyak itu. Ia kenali si kongcu yang ia telah ketemukan di rumah makan di Kalgan.
Kongcu itu melihat bendera Pi Bu Ciauw Cin, ia lantas awasi si nona baju merah, terus ia loncat dari kudanya, sembari tersenyum, ia masuk ke dalam kalangan.
“Apakah nona ynag mengadakan pibu untuk mencari jodoh?” ia menanya sambil ia memberi hormat.
Nona itu dengan wajah bersemu merah, melengos, ia tidak menyahuti. Adalah Bok Ek, yang menghampirkan pemuda itu, untuk memberi hormat.
“Aku yang rendah she Bok. Kongcu ada keperluan apa apakah?” ia menanya.
“Bagaimana aturan atau syarat-syaratnya pibu perjodohan ini?” menanya si pemuda.
Bok Ek memberikan keterangannya.
“Kalau begitu, hendak aku mencoba-coba,” kata si pemuda.
“Ah, kongcu bergurau!” berkata Bok Ek tertawa. Lagi-lagi ia memberi hormat.
“Kenapa begitu?” si pemuda menegaskan.
“Kami adalah orang kangouw, mana berani kami beradu tangan sama kongcu?” menyahut Bok Ek. “Laginya ini bukannya cuma soal menang atau kalah, ini mengenai hari kemudian dari anakku. Aku minta kongcu sudi memaafkan aku.”
Pemuda itu mengawasi si nona. “Sudah berapa lama sejak kamu mengadakan pibu ini?” ia tanya pula.
“Sampai sebegitu jauh sudah satu tahun lebih dan kami telah menjelajahi tiga belas propinsi,” menjawab Bok Ek dengan sebenarnya. Pemuda itu tampaknya heran.
“Apakah mungkin belum pernah ada orang yang dapat menangkan dia?” ia menegaskan. “Ah, aku tidak percaya!” Ia tunjuki si nona.
Bok Ek tersenyum. “Sebabnya mungkin, orang yang pandai silat itu sudah menikah atau ia sungkan beradu tangan dengan anakku,” ia menerangkan.
“Kalau begitu, mari, mari!” berkata si pemuda, menantang. Ia bertindak ke tengah kalangan.
Diam-diam girang hatinya Bok Ek. Ia dapatkan orang, muda dan tampan. Si nona agaknya kagumi pemuda itu. Ia tahu, di dalam tiga belas propinsi, belum pernah ia bertemu pemuda semacam ini. Maka itu ia loloskan mantelnya, ia hampirkan si pemuda untuk memberi hormat.
Pemuda itu membalas hormat, ia tersenyum. “Silakan mulai, nona!” ia kata.
“Silakan kongcu membuka dulu bajumu,” berkata nona itu.
“Tidak usah,” menyahuti si kongcu.
Para penonton pada berkata dalam hatinya, “Si nona lihay sekali, sebentar kau nanti merasai…” Tapi ada juga yang berpikir: “Bok Ek ayah dan anak adalah orang kangouw, masa mereka berani bikin malu satu kongcu? Tentu si kongcu bakal dibikin mundur teratur, supaya ia tidak hilang mukanya…”
“Silahkan, kongcu!” berkata si nona.
Kali ini kongcu itu sudah tidak sungkan lagi. Tiba-tiba ia memutar ke kanan, hingga bajunya yang panjang dan tangan bajunya juga, turut bergerak, lalu tangan kirinya menyambar ke pundak si nona.
Terkejut si nona itu apabila ia menyaksikan gerakn orang yang luar biasa itu. Sambil mendak, ia nyelusup di bawah ujung bajunya pemuda itu. Di luar dugaannya, orang ada sangat gesit. Sekarang ujung baju dari tangan kanan si pemuda yang menyusul menyambar. Sukar untuk menyingkir dari serangan susulan itu, maka si nona menjejak tanah untuk mencelat mundur.
“Bagus!” berseru si kongcu. Ia lantas merangsak, tidak menunggu kedua kaki si nona keburu menginjak tanah, ia mengebut pula.
Nona itu bukan melainkan berlompat mundur, ia hanya berjumpalitan, maka itu ketika si kongcu datang dekat, sebelah kakinya menjejak ke arah hidung si kongcu.
Untuk membebaskan diri, kongcu itu lompat ke kanan. maka barenglah mereka diwaktu mereka menurunkan tubuh.
Penonton semua kagum, untuk lihaynya si kongcu dan untuk kelincahan si nona. Mereka itu sama-sama lincah.
Si nona dengan wajah merah, mulai membalas menyerang. Sekarang si koncu yang main berkelit. Maka ada menarik akan menyaksikan baju indah si kongcu bagaikan bercahaya, dan baju si nona seperti mega bermain.
Kwee Ceng pun kagum. Pemuda-pemudi itu berimbang usianya, mereka tampan dan elok, mereka pun pandai silat, sungguh cocok apabila mereka menjadi pasangan hidup, menjadi suami-istri. Karena ini tidak lagi ia benci si kongcu untuk kelakuannya di rumah makan baru-baru ini, sekarang ia mengharap-harap akan kemenangan si kongcu.
Pertandingan itu berjalan terus dengan seru, sampai tiba-tiba orang dengar suara “bret!” robek. Nyata si nona dapat menjambret ujung baju si kongcu dan ia menariknya, sebab si kongcu juga membetot, ujung baju itu putus dengan menerbitkan suara nyaring itu. Si nona lantas lompat mundur jauh-jauh, tangannya mengibaskan baju rampasannya itu!
“Tunggu dulu!” Bok Ek segera kasih dengar suaranya. “Kongcu, silakan kau loloskan bajumu, untuk kamu menentukan kemenangan terakhir!”
Kongcu itu bermuram wajahnya, kedua tangannya bergerak, maka robeklah bajunya, kancing-kancingnya jatuh di tanah. Ia bukan membuka dengan baik, ia hanya menyobeknya!
Satu pengiring lari menghampirkan guna membantui meloloskan baju itu.
Sekarang terlihat kongcu ini dengan pakaian dalamnya dari sutera hijau muda yang indah, yang pinggangnya dilibat dengan sabuk hijau. Ia nampak semakin tampan. Bercahaya wajahnya yang putih dan bibirnya yang merah.
Tanpa berkata apa-apa, kongcu ini mulai menyerang. Ia menggunai tangan kirinya, anginnya menyambar keras. Melihat itu si nona, Bok Ek dan Kwee Ceng terperanjat. Mereka tidak sangka, satu kongcu demikian lihay.
Setelah menyaksikan lagi sekian lama, Kwee Ceng jadi berpikir: “Ilmu silatnya dia ini mirip betul sama ilmu silatnya In Cie Peng, si imam muda, yang itu malam menempur aku. Apakah boleh jadi mereka berasal dari satu perguruan?”
Sekarang si kongcu tidak mau mengalah lagi, karena itu sukar untuk si nona membalas mendesak, malah untuk merapatkan saja sulit.
“Kongcu ini lebih lihay daripada In Cie Peng, si nona bukan tandingannya,” berpikir Kwee Ceng setelah ia menyaksikan terlebih jauh. “Pasti jodoh mereka bakal terangkap…”
Bok Ek pun girang melihat jalannya pertempuran ini, malah ia lantas berseru: “Anak Liam, sudah tak usah kau melawan lebih lama lagi, kongcu menang jauh daripadamu…!”
Tapi orang lagi bertempur hebat sekali, sedang si kongcu kata di dalam hatinya,: “Kalau sekarang aku hendak robohkan kau, gampang sekali, Cuma aku tidak tega…”
Benar saja, ketika tangan kirinya menyambar, tangan kiri si nona kena dicekal. Ia tahu si nona bakal mengibas keluar, selagi si nona mengerahkan tenaganya, ia sekalian menolak seraya cekalannya itu dilepaskan. Maka tidak ampun lagi, nona itu rubuh terjengkang. Hanya, belum lagi tubuh orang mengnai tanah, tangan kanan si kongcu sudah menyambar, merangkul, hingga si nona manis lantas berada di dalam pelukannya.
Orang banyak bertempik bersorak, tapi ada juga yang menggerutu.
Si nona menjadi sangat malu. “Lekas lepaskan aku!” ia minta, suaranya perlahan.
Si kongcu tertawa. “Kau panggil engko padaku, nanti aku lepas kau!” sahutnya.
Nona itu mendongkol. Itulah permintaann ceriwis. Ia lantas berontak. Tapi sia-sia saja, ia malah terpeluk semakin keras.
Bok Ek lantas maju. “Kongcu sudah menang, tolong kau lepaskan anakku,” ia minta.
Pemuda itu tertawa lebar, ia masih belum mau melepaskan pelukannya. Dalam sengitnya, si nona menjejak.
Kongcu itu melepaskan tangannya yang kanan, tangan itu dipakai menangkis dan menangkap kaki orang, dengan begitu, tetap ia memegang tubuh di nona.
Nona ini penasaran, ia berontak sekuat tenaganya, tempo akhirnya ia bebas, ia jatuh terduduk di tanah. Ia menjadi malu sekali, ia tunduk, sembari tunduk, ia raba kaos kakinya yang putih. Sebab sepatunya telah terlepas.
Kongcu itu berdiri sambil tertawa haha-hihi, tangannya mencekali sepatu orang, yang ia bawa ke hidungnya!
Melihat itu, beberapa penonton bangsa bergajul, lantas saja berseru-seru, “Harum! Harum!”
“Kau she apa kongcu?” Bok Ek menanya. Ia tertawa, ia tidak menghiraukan sikap ceriwis si pemuda.
Kongcu itu pun tertawa.
“Tidak usah bicara lagi!” katanya, seraya ia putar tubuhnya untuk minta jubah sulamnya dari pengiringnya. tapi ia menoleh kepada si nona yang ia awasi, sepatu siapa ia masuki ke dalam sakunya.
“Kami tinggal di Hotel Ko Seng di jalan utama kota barat,” berkata Bok Ek, “Mari kita pergi sama-sama ke sana untuk berbicara.”
“Aku tidak sempat,” berkata si anak muda. “Apakah yang hendak dibicarakan?” tanya kemudian.
Bok Ek heran, air mukanya sampai berubah. “Kau toh telah mengalahkan anakku!” ia kata. “Aku telah melepas kata, maka itu tentu saja aku hendak jodohkan anakku ini denganmu. Ini ada urusan seumur hidupnya manusia, mana bisa kita memandangnya enteng?”
Kongcu itu melengak, ia tertawa besar. “Bukankah kita main-main dengan ilmu silat?” katanya. “Tidakkah itu sangat menarik hati? Tentang perjodohan, terima kasih banyak!”
Mukanya Bok Ek menjadi pucat, ia sampai berdiam saja.
“Kau…! Kau…!” katanya kemudian seraya menuding.
Pengiringnya si kongcu tertawa dingin dan menyela, “Kau kira kongcu kami ini bangsa apa? Kongcu kami bersanak dengan kamu orang kangouw tukang jual silat dari kelas tiga rendah empat bawah? Hm! Pergilah kau tidur dengan mimpimu di siang bolong!”
Bukan main gusarnya Bok Ek, tangannya melayang, maka pengiring itu berkoak kesakitan, mulutnya mengeluarkan darah, beberapa giginya rontok, seketika ia roboh di tanah, terus pingsan!
Kongcu itu tidak ambil peduli kejadian itu, ia suruh lain pengiringnya tolongi pengiring yang terluka itu, ia sendiri menghampirkan kudanya, untuk menaikinya.
“Jadi kau sengaja mengganggu kami?!” berteriak Bok Ek.
Kongcu itu tetap tidak mengambil mumat, ia injak sanggurdi denagn sebelah kakinya.
Bok Ek habis sabar, dengan tangan kirinya ia cekal lengan kiri pemuda itu. “Baik!” serunya. “Anakku pun tidak nanti nikah dengan kau, manusia hina dina! Bayar pulang sepatu anakku itu!”
Kongcu itu mengawasi, ia tertawa. “Sepatu ini toh anakmu yang dengan suka sendiri menghanturkannya kepadaku,” ia menyahuti. “Ada apa sangkut pautnya denganmu?”
Ia terus geraki tangan kirinya itu dan terlepaslah cekalannya Bok Ek.
“Akan aku adu jiwa!” berteriak ayah yang dipermainkan itu seraya ia lompat berjingkrak, kedua tangannya digeraki berbareng, untuk menyerang kedua pelipis orang. Itulah jurus “Ciong kouw cie beng” atau “Gembreng dan tambur ditabuh berbareng.”
Kongcu ini berkelit sambil menjajak sanggurdinya, maka itu tubuhnya lantas mencelat ke tengah kalangan.
“Jikalau aku telag hajar roboh padamu, orang tua, kau tentunya tidak bakal memaksa aku nikahi anakmu, bukan?” kata ia sambil tertawa, untuk mengejek.
Kecuali bangsa bergajul, semua penonton menjadi panas hatinya, dari berkesan baik mereka menjadi jemu dan membenci.
Kongcu ini terang selain ceriwis pun kurang ajar dan keterlaluan. Cumalah mereka bisa mendelu saja, tidak ada yang berani membuka mulut.Bok Ek sudah lantas lompat untuk menerjang pemuda itu.
Kongcu itu mengetahui orang seperti kalap, bahwa serangannya itu sangat berbahaya, maka dengan sebat ia berkelit, sesudah mana dari samping, tangan kirinya membalas menyerang perut dengan jurusnya “Tok coa sim hiat” yaitu “Ular berbisa mencari lubang.”
Bok Ek berkelit ke kanan, dari situ ia menyerang pula, dua jari tangannya mencari pundak bagian yang kosong. Itulah salah satu jurus “Eng Jiauw Kun” atau “Kuku Garuda” dari ilmu silat Utara.
Kongcu itu lihay, agaknya dengan gampang saja ia mendak sedikit, lalu ia lolos dari bahaya, menyusul itu, tidak kelihatan ia menarik pulang tangan kirinya atau tangan kanannya sudah melakukan penyerangan pembalasan. Tangan kirinya itu telah diangkat ke depan mukanya, dalam sikap “Touw in hoat jit” atau “Nyelusup ke mega menukar matahari”, guna melindungi mukanya.
Bok Ek tarik lengan kirinya, dilain pihak, ia menyerang dengan tangan kanannya. Untuk membalas serangan dengan serangan, dengan tidak kalah sebatnya. Ketika lawan itu berkelit, ia mendesak, lagi ia menyerang, kali ini dengan kedua tangannya, ke arah kedua belah pipi. Inilah pukulan “Wie Hok Hong cu” atau “Malaikat Wie Hok mempersembahkan toya”.
Kongcu itu tidak memandang enteng kepada musuh ini, ia hanya tidak menyangka semua serangan lawan sedemikian berbahayanya, maka ia tidak mau main acuh tak acuh lagi, ia membalas dengan sama hebatnya. mendadak saja kedua tangannya bergerak, menyambar kedua tangannya Bok Ek itu, pada bagian belakang telapakan tangan, menyusul mana ia menarik tubuhnya, mencelat mundur, sepuluh jarinya berubah menjadi merah semuanya.
Para penonton berseru kaget. Sebab belakang telapakan tangan dari Bok Ek telah berlumuran darah!
Si nona menjadi kaget berbareng gusar, ai memburu kepada ayahnya itu, untuk menolongi. Ia robek ujung baju si ayah, guna robekannya dipakai membalut lukanya.
Bok Ek tolak mundur anaknya. “Kau minggir!” katanya sengit. “Hari ini saku mesti mengadu jiwa dengannya, atau aku tidak hendak berhenti!”

Wajahnya si nona guram, ia memandang tajam kepada si pemuda. Tiba-tiba tangannya merogoh ke sakunya, akan mengasih keluar sebuah pisau belati dengan apa ia terus tublas dadanya sendiri.Bok Ek kaget bukan main, lupa kepada tangannya yang sakit, ia tangkis tublasan itu, maka sekarang ia terlukai anaknya itu, sebab si nona tidak keburu membatalkan tikamannya.
Para penonton menjadi mendongkol berberang berduka. Inilah mereka tidak sangka. Mereka pun tidak berani mencampur tangan.
Adalah Kwee Ceng yang tidak dapat melihat terlebih jauh. Selagi si kongcu hendak menaiki pula kudanya, ia bertindak ke dalam kalangan, ia berseru. “Halo, sahabat! Perbuatanmu ini tidak tepat!”
Kongcu itu berpaling, kapan ia lihat anak muda kita, ia tercengang. Tapi cuma sebentar saja, terus ia tertawa. “Habis kau mau apa!” ia menantang. “Bagaimana baru tepat?”
Semua pengiring si kongcu tertawa ramai. Mereka lihat roman orang yang ketolol-tololan, dan lagu suaranya pun beda dari lagu suara mereka, sikap dan lagu suara itu telah diajoki kongcu mereka. Tentu saja mereka menganggap itu lucu.
Kwee Ceng melongo sebentar. Ia tidak lantas menginsyafi orang lagi permainkan padanya.
“Kau harus menikah dengan baik-baik dengan nona ini!” ia menjawab kongcu itu.
Si kongcu miringkan kepalanya, ia tertawa haha-hihi. “Jikalau aku tidak sudi nikahi dia?” dia tanya.
“Jikalau kau tidak sudi menikah dengannya, apa perlunya kau maju dalam pertandingan?” Kwee Ceng tanya. “Apakah kau tidak lihat itu merek bendera yang menjelaskan pibu untuk pernikahan?”
Kongcu itu tidak menjawab, ia hanya mengawasi dengan tajam. “Sebenarnya kau hendak main gila denganku atau bagaimana? dia tanya tegas kemudian.
Kwee ceng tidak menjawab, hanya ia pun balik menanya. “Nona ini cantik dan ilmu silatnya pun sempurna, kenapa kau tidak sudi menikah dengannya? Jikalau kau tidak hendak menikah sama nona macam vegini, di belakang hari ke mana lagi kau hendak mencarinya?”
“Eh, kau tidak mengerti urusan, bicara denganmu sia-sia saja!” kata si kongcu. “Kau sebenarnya murid siapa? Kau memanggil apa kepada Oey Yok Su dari pulau Tho Hoa To?”
Kwee Ceng menggoyangi kepalanya. “Siapa guruku, tak dapat aku beritahu padamu!” ia jawab. “Aku tidak tahu Oey Yok Su itu orang macam apa.”
“Habis, siapa yang ajarkan kau ilmu menotok istimewa dari pulau Tho Hoa To it?” si kongcu masih menanya.
“Ilmu menotok jalan darahku itu adalah guruku yang kedua yang mengajarkannya,” menjawab Kwee Ceng.
“Siapa itu gurumu yang kedua?” tanya kongcu itu kemudian.
“Aku tidak mau memberitahu” jawab Kwee Ceng pula.
“Baiklah, masa bodoh!” berkata itu pemuda yang lantas memutar tubuhnya.
Kwee Ceng ulur tangannya untuk mencegah. “Eh, kenapa kau hendak pergi pula?” ia menanya.
“Habis kenapa?” kata si kongcu lagi.
“Bukankah aku telah beri nasehat kepadamu untuk kau nikahi nona ini?” kata Kwee Ceng.
Kongcu itu tertawa dingin, dia buka tindakannya yang lebar, untuk berjalan pergi.
Sampai di situ, Bok Ek hampairkan ini anak muda. Sajak tadi ia mendengari orang pasang omong, disamping ia mendongkol terhadap si kongcu, tahu ia bahwa anak muda ini baik hatinya dan berpihak padanya. Ia Cuma merasa orang masih terlalu muda dan belum mengenal dunia.
“Saudara kecil, jangan kau ladeni dia!” dia berkata. “Asal nyawaku masih ada, sakit hati ini tidak dapat tidak dilampiaskan!” Terus ia kata dengan suara nyaring: “Anak muda, kau tinggalkan she dan namamu!”
Kongcu itu berpaling, ia tertawa. “Aku sudah bilang, tidak dapat aku memanggil mertua kepadamu, maka kenapa kau begini melit hendak mengetahui she dan namaku?” ia bertanya.
Kwee Ceng menjadi habis sabar, ia lompat kepada pemuda itu. “Kalau begitu, kau bayar pulang sepatunya si nona!” ia membentak.
Kongcu itu menatap. “Kau gemar campur urusan bukan urusanmu!” ia berkata. “Bukankah kau menaruh hati kepada nona itu?”
“Bukan!” jawab Kwee Ceng, yang menggeleng kepalanya. “Sebenarnya kau hendak membayar pulang sepatu itu atau tidak?”
Dengan mendadak saja anak muda ini menggeraki kedua tangannya, mencekal kedua nadi si kongcu. Ia telah gunai salah satu tipu dari ilmu silat Kim-na-ciu, yang semuanya terdiri dari tujuh puluh dua jurus. Ilmu silat itu adalah untuk menangkap tangan lawan.
Kongcu itu terkejut berbareng gusar. Ia berontak tetapi tidak berdaya. “Kau mau mampus?!” tanyanya, sebelah kakinya menendang ke bawahan perut si anak muda.
Kwee Ceng tidak menangkis atau berkelit, dengan sebat ia tarik tangannya kongcu itu, hingga orang terlempar tubuhnya, dengan begitu, ia bebsa dari tendangan orang itu.
Kongcu itu enteng sekali tubuhnya, walaupun ia telah terlempar, ia Cuma terpelanting, tidak sampai ia mencium tanah. Hanya dengan begitu, ia telah kalah satu babak. Ia menjadi gusar sekali.
“Kau sudah bosan hidup, bocah?” ia berseru.
Kwee Ceng mengawasi, ia menggeleng kepala. “Buat apakah aku bertempur denganmu?” ia berkata, “Kau tidak mau nikahi dia, sudah saja, kau bayar pulang sepatunya itu!”
Orang banyak menyangka pemuda ini hendak membelai keadilan, mereka tidak ayana, akhirnya cuma sebegitu saja sikapnya. Mereka yang gemar menonton menjadi kecele.
Kongcu ini jeri juga terhadap Kwee Ceng, bahwa orang tidak ingin berkelahi, itu cocok dengan keinginannya, akan tetapi ia dipaksa menyerahkan sepatu si nona, mana dapat ia mengalah: Tidakkah ia berada di hadapan orang banyak? Maka itu seraya menyingkap jubahnya, ia memutar tubuh, mulutnya mengasih dengar tertawa dingin.
“Apakah kau hendak pergi?” menegur Kwee Ceng seraya menyambar jubah orang itu.
Si kongcu lantas menggunai ketikanya. Ia berkelit, jubahnya itu dilayangkan sekali, dipakai menungkrap kepala orang.
Kwee Ceng gelagapan. Justru itu dua kali iganya kena dihajar, sebab si kongcu sudah tidak menyia-nyiakan kesempatan yang baik itu.


Bab 17. Pangeran Wanyen Kang

Kena dihajar secara demikian, pemuda kita merasa kegelapan mata. Tidak sempat ia mengempos semangatnya. Bagus untuknya, selama dua tahun ia telah peroleh latihan tenaga dalam dari Tang Yang Cu Ma Giok, walaupun ia terhajar hebat, ia tidak terluka, tidak patah tulang-tulang rusuknya, ia cuma merasakan sangat sakit. Dalam pada itu, ia sadar akan dirinya, maka tidak membuat tempo lagi, ia melakukan pembalasan, dengan tendangan beruntun Wanyoh Lian-hoan-twie, maka dalam sekejap saja, ia dapat menendang terus-terusan sembilan kali, semuanya cepat dan hebat. Inilah pelajaran yang ia wariskan dari Ma Ong Sin Han Po Kie di Malaikat Raja Kuda, dengan ilmu mana Han Po Kie pernah robohkan beberapa jago dari Selatan dan Utara. Hanya sampai sebegitu jauh, Kwee Ceng belum mendapatkan kesempurnaannya.Kongcu itu menjadi repot, ia berklit dan berlompatan tiada hentinya. Tujuh tendangan ia bisa kasih lolos, tetapi yang kedelapan dan kesembilan, telah mengenakan kempolannya kiri dan kanan. Syukur untuknya, karena berberang ia berkelit, ia tak sampai tertendang roboh, ia cuma terjerunuk.
Karena ini keduanya menjadi terpisah. Kwee Ceng lantas aja singkirkan jubah sulam yang menungkrup kepalanya itu. Ia menjadi kaget dan mendongkol. Pertempuran itu merupakan satu pengalaman luar biasa untuknya. Mulanya di Mongolia ia menghadapi orang-orang jujur, lalu perlahan-lahan ia melihat perubahan. Ia merasa asing untuk kelakuan curang.
Kongcu itu kena tertendang, ia menjadi gusar sekali, maka dia segera maju seraya tangan kirinya dipakai menyerang ke pundaknya si pemuda.
Kwee Ceng menangkis, atau ia menjadi kaget. Tiba-tiba saja ia merasakan sakit pada dadanya. Karena ini ketika ia didesak, ia kewalahan, maka tempo kakinya disambar, dengan mengasih dengar suara “Bruk!” ia roboh memegang tanah!
Semua pengiringnya si kongcu lantas bertepuk tangan dan tertawa.
Kongcu itu tepuki kempolannya yang penuh debu, ia tertawa tawar. “Dengan kepandaian begini kau hendak mencari balas untuk orang lain?” ia mengejek. “Hm, baik kau pulang dulu untuk belajar lagi sama gurumu sedikitnya buat duapuluh tahun!”
Kwee Ceng tidak menyahuti, ia hanya menjalankan napasnya, hingga ia merasakan sakit di dadanya itu berkurang. Ia berlompat bangun kapan ia lihat orang kembali hendak ngeloyor pergi.

“Lihat kepalan!” ia berseru sambil menyerang.Dengan mendak, kongcu itu berkelit. Kwee Ceng tidak berhenti sampai disitu, tangan kirinya menyambar ke muka orang. Si kongcu menangkis. Kedua tangan lantas bentrok, mereka saling menolak. Kelihatan nyata, tenaga dalam Kwee Ceng terlatih besar tetapi si kongcu menang latihan ilmu silatnya. Maka itu mereka menjadi berimbang.
Kwee Ceng menyedot napas, ia hendak mengerahkan tenaganya, selagi begitu ia masih tetap menolak. Tiba-tiba ia rasai tenaga lawan lenyap, tak sempat ia menahan dirinya, tubuhnya terhuyung ke depan. Ketika ia bisa menahan dirinya, dari belakangnya datang serangan. Ia sudah terjerunuk melewati lawannya, dalam keadaan sulit itu, ia menangkis dari belakang, tubuhnya sekalian diputar.
“Kau pergi!” berseru si kongcu, yang tangannya menolak keras.
Tidak dapat Kwee Ceng bertahan, ia rubuh ngusruk, tetapi sikutnya mengenai tanah, dengan cepat ia mencelat bangun, kakinya dibarengi dipakai menendang dada lawannya.
Ia berlaku sangat sebat, ia ingin membalas, untuk mencari kemenangan.Kongcu itu dapat berkelit, hanya setelah itu, ia didesak oleh si pemuda yang bersilat dengan “Hun-kin Co-kut Ciu” yaitu ilmu silat untuk memisah otot-otot dan tulang.
Kongcu ini pernah juga menyakinkan Hun-kin Co-ku Ciu hanya pelajarannya beda daripada pelajaran Kwee Ceng yang didapat dari Biauw Ciu Sie-seng Cu Cong, maka itu, ia membela diri dengan berlaku hati-hati. Habis itu, keduanya bertempur terus. Selama tujuhpuluh jurus, mereka berimbang dengan ketangguhannya.
Menampak demikian si kongcu menggunai akal.
Kwee Ceng tidak tahu lawannya lagi memancing, ia lantas menyerang. Ia hendak menotok jalan darah hian-kie-hiat. Tiba-tiba ia ingat bahwa ia tidak bermusuhan sama si kongcu, ia lantas geser incarannya ke sisi sasanan semula. Maka adalah diluar dugaannya ketika si kongcu, yang menangkis dengan tangan kiri, sudah membarengi menyerang dengan tangan kanan kanan ke arah pinggang, malah tinjuan itu dilakukan saling susul hingga tiga kali.
Kwee Ceng berkelit, dengan menggeser pinggangnya, lalu ia membalas. Ketika ini digunai si kongcu, untuk memegang tangan orang yang kanan itu, buat terus ditarik dengan kaget sambil berbareng kakinya dipakai menjejak paha si pemuda. Maka tidak ampun lagi, pemuda itu terguling jatuh.
Bok Ek menonton dari bawah benderanya. Lukanya telah dibalut rapi oleh putrinya. mendapatkan tiga kali Kwee Ceng roboh, ia lantas maju, untuk mengasih bangun. Ia tahu sekarang, pemuda itu bukan lawan si kongcu, yang menang seurat. Ia pun kata: “Lao-tee, mati kita pergi, jangan kita layani segala manusia hina!”
Kwee Ceng roboh dengan mata kabur dan kepala pusing, ia menjadi gusar sekali, maka setelah dikasih bangun, ia lepaskan diri dari tangan Bok Ek, ia maju pula, untuk menyerang.
“Eh, kau masih belum takluk?” berkata si kongcu, seraya mundur.
Kwee Ceng tidak menyahuti, hanya ia merangsak.
“Jikalau kau tetap ganggu aku, jangan salahkan aku berlaku kejam!” kongcu itu mengancam.

“Kau pulangi sepatu orang!” bentak Kwee Ceng. “Kalau tidak, aku tidak mau mengerti!”Kongcu itu tertawa melihat orang berkukuh, romannya ketolol-tololan. “Bukankah nona itu bukan adikmu?” ia bertanya, “Kenapa kau seperti hendak mengadu jiwa memaksa aku menjadi toakomu!”
Anda sedang membaca artikel tentang Cersil Online : Pendekar Pemanah Rajawali 6 dan anda bisa menemukan artikel Cersil Online : Pendekar Pemanah Rajawali 6 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cersil-online-pendekar-pemanah-rajawali_2174.html?m=0,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cersil Online : Pendekar Pemanah Rajawali 6 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cersil Online : Pendekar Pemanah Rajawali 6 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cersil Online : Pendekar Pemanah Rajawali 6 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cersil-online-pendekar-pemanah-rajawali_2174.html?m=0. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar