Cersil Online : Pendekar Pemanah Rajawali 3

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Sabtu, 10 Desember 2011

Bab 6. Pengejaran

Tidak ada jalan lain, Cie Kee terjang musuhnya, si buta itu, ujung pedangnya menikam ke arah muka. Tin Ok dengar anginnya senjata, ia menangkis. Keras kedua senjata beradu, lalu Cie Kee menjadi kaget sekali. Dia hampir membikin terlepas pedangnya.“Lihay tenaga dalam si buta ini! Mungkinkah ia melebihi aku?“ pikirnya. Ia penasaran, maka lagi sekali, ia menikam. Kali ini, ia insyaf kenapa ia kalah kuat. Nyatanya luka di pundaknya itu menyebabkan tenaganya jadi berkurang hingga separuhnya. Oleh karena ini, ia lantas pindahkan pedangnya ke tangan kiri. Dengan tangan kiri ini, ia bersilat dengan ilmu silatnya “Kie Siang Kim-hoat” atau “Melukai Semua”. Inilah ilmu silat yang sejak ia yakinkan belum pernah ia pakai untuk melawan musuh. Dengan menggunai ini ia telah menjadi nekat. Dengan ini, di sebelah musuh ia sendiri pun bisa celaka. dengan “melukai semua” hendak diartikan “mati bersama”.
Segera juga Kwa Tin Ok, Cu Cong dan Ciauw Bok terarah semua bagian tubuhnya yang berbahaya. Maka repotlah mereka membuat perlawanan. Sejak turun gunung, Cie Kee belum pernah menemui lawan setimpal, inilah pertama kalinya. Tidak peduli tenaganya kurang, dengan berlaku nekat ia tetap berbahaya..
Baharu belasan jurus paha Tin Ok telah tertikam pedang.
“Kwa Toako, Cu Jieko, biarkan si imam berlalu!” berseru Ciauw Bok Taysu.
Paderi ini lihat ancaman bahaya, ia memikir untuk mengalah tetapi justru ia serukan kawannya, ujung pedang Cie Kee mengenai iga kanannya hingga ia kaget dan menjerit, tubuhnya rubuh seketika!
“Imam anjing!” Cu Cong mencaci. “Imam bangsat! Racun ditubuhmu telah menyerang hatimu! Kau tikamlah pula tiga kali!”
Bangkit kumisnya si imam, mendelik sepasang matanya, tanpa bilang suatu apa, ia melompat kepada Manusia Aneh yang kedua itu.
Cu Cong tidak melayani, ia hanya berlari-lari berputaran di pendopo kuil.Sembari berlari, Cie Kee insyaf bahwa tak dapat ia menyandak lawan itu. Ia pun mulai terhuyung. Maka sambil menghela napas, ia berhenti mengejar. Tiba-tiba ia rasai matanya kabur, lekas-lekas ia pusatkan semangatnya. Sekarang ia baru ingat untuk angkat kaki saja. tetapi terlambat. Mendadak bebokongnya mengasi dengar suara keras! Ia merasa sakit sekali, tubuhnya pun terhuyung!
Cu Cong yang cerdik itu telah timpuk imam itu dengan sepatunya, cukup keras timpukannya itu. Cie Kee merasai pikirannya kacau tetapi kembali ia memusatkannya. Justru itu, batok kepalanya telah terpukul keras. Kali ini Cu Cong menimpuk dengan bok-hie, itu tambur teroktok peranti mambaca doa.
“Sudah, sudah, hari ini Tiang Cun Cu mesti terbinasa di tangannya bangsat-bangsat licik…” ia mengeluh. Ia menahan sakit, ia melompat ke depan, akan tetapi ketika kakinya menyentuh tanah, kedua kakinya itu lemas, tubuhnya terus terguling!

“Bekuk dia dulu, baru kita bicara!” berseru Cu Cong. Ia dekati imam itu, yang rebah diam saja. Ia geraki kipasnya untuk menotok jalan darah di dada si imam. Tiba-tiba ia lihat tangan kiri Cie Kee bergerak, ia kaget. Ia menginsyafi bahaya, dengan cepat ia menangkis dengan tangan kanannya. Tidak urung, ia merasakan dorongan suatu tenaga keras sekali, tubuhnya terpental ke belakang, belum lagi tubuh itu tiba di tanah, ia sudah muntahkan darah hidup!Cie Kee telah gunai tenaganya yang terakhir untuk serang lawannya itu.
Paderi-paderi dari Hoat Hoa Sian Sie tidak mengerti ilmu silat, mereka juga tidak tahu bahwa guru mereka mengerti ilmu itu, dari itu selama pertempuran mengambil tempat, mereka semua pada sembunyikan diri. Sampai keadaan sunyi, baru mereka keluar dari tempat persembunyian mereka, akan saksikan segala apa kacau dan orang rebah di sana sini, darah pun berhamburan.
Mereka jadi ketakutan, mereka lantas pergi mencari Toan Thian Tek.
Orang she Toan itu terus sembunyi di dalam ruang dalam tanah, takutnya bukan main. Tempo ia diberitahu orang telah pada rubuh semua, ia masih khawatirkan tidak ada Khu Cie Kee di antara korban-korban itu. Ia suruh dulu sat kacung paderi untuk melihatnya, kemudian barulah ia keluar, hatinya lega. Ia telah diberitahu si imam lagi rebah diam dengan kedua mata tertutup.Dengan tarik tangan Lie Peng, Thian Tek pergi cepat-cepat ke pendopo. Ia lantas hampirkan Cie Kee, tubuh siapa dia dupak.
Imam itu masih belum putus jiwanya, ia bernapas berlahan sekali.
Thian Tek cabut goloknya. “Imam bangsat, kau kejar aku hingga aku bersengsara, sekarang hendak aku kirim kau pulang ke Langit Barat!” ia kata, lalu ia ayunkan goloknya.
“Jangan….jangan bunuh dia…!” berseru Ciauw Bok Taysu, tapi suaranya sangat lemah. Ia rebah dengan terluka parah tapi ia dapat lihat perbuatan si keponakan murid.
“Kenapa?” Thian Tek tanya.
“Dia adalah satu imam yang baik…” sahut Ciauw Bok. “Dia Cuma berhati keras… Di sini telah terbit salah mengerti…”
“Orang baik apa!” kata Thian Tek. “Dia perlu dibunuh dulu…!”
Ciauw Bok menjadi gusar. “Kau tidak mau dengar perkataanku?!” dia membentak. “Letaki golokmu…!”
Thian Tek tertawa tergelak. “Kau ingin aku meletaki golokku? Hahaha!” ia tertawa mengejek. Ia ayunkan pula goloknya, ia arahkan ke kepalanya si imam.
Dengan mendadak Lie Peng berteriak. “Kau…kau hendak lagi membunuh orang!” tanyanya.
Ciauw Bok Taysu juga gusar bukan main, dengan sisa tenaganya ia timpuk Thian Tek dengan sepotong kayu di tangannya.
Thian Tek berkelit tetapi ia terlambat, mukanya kena terhajar hingga rontok ziga buah giginya. Ia merasakan sangat sakit, ia jadi kalap, tanpa ingat budinya Ciauw Bok, ia lantas menyerang.
Di situ ada beberapa kacung paderi, mereka ini kaget. Satu kacung langsung tubruk Thian Tek untuk tarik lengannya, yang lainnya mengigit. Thian Tek gusar bukan kepalang, dengan kejam, dengan dua bacokan ia bikin kedua kacung itu rubuh.
Tiang Cun Cun, Ciauw Bok dan Kanglam Cit Koay adalah orang-orang yang lihay, akan tetapi di saat seperti ini, justru jiwa mereka sendiri terancam bahaya, mereka Cuma bisa membuka mata menyaksikan kejadian hebat itu.
Lie Peng berteriak-teriak pula: “Hai, manusia jahat, tahan!”
Tidak ada orang yang kenali Lie Peng, walaupun suaranya nyaring. Ini nyonya tetap mengenakan seragam, orang sangka ia adalah serdadu sebawahannya Thian Tek. Cuma Tin Ok, walaupun ia buta, mendengar suara orang, dia tahu pasti orang adalah seorang wanita. Maka itu sembari menghela napas, dia berkata: “ Ciauw Bok Hweshio, kami semua telah kau aniaya! Benar saja di dalam kuilmu ini kau ada sembunyikan orang perempuan….!”
Ciauw Bok terkejut, hatinya mencekat. Ia bukannya seorang tolol, segera ia pun sadar. Maka itu bukan main menyesalnya ia untuk kealpaannya itu.
“Binatang ini telah jual aku, dia membikin aku mencelakai sahabat-sahabatku,” katanya dalam hati. Hampir ia pingsan saking kerasnya ia melawan kemendongkolannya. Ia kerahkan tenaganya dengan kedua tangannya menekan lantai, ia lompat kepada Thian Tek.
Orang she Toan itu tidak menangkis, dia hanya menyingkir sambil egos tubuhnya.
Tubuh paderi itu lewat terus, dengan cepat, tepat mengenai tiang pendopo, maka tubuhnya rubuh dengan kepala pecah, tubuh itu tidak berkutik lagi.
Toan Thian Tek kaget, hatinya menjadi ciut, dari itu dengan sambar tangannya Lie Peng, ia lari keluar kuil.
“Tolong! Tolong!” Lie Peng berteriak-teriak. “Tidak, aku tidak mau pergi….!”
Tapi ia ditarik terus, hingga suaranya tidak terdengar lagi.
Kuil itu menjadi berisik, semua paderi menangis karena kebinasaan guru mereka. Mereka pun menjadi repot, akan tolongi orang-orang yang terluka, guna pindahkan mayat. Selagi mereka bekerja, tiba-tiba mereka dengar suara apa-apa dari arah genta, hingga mereka kaget. Kemudian belasan paderi itu menggunai dadung, akan tarik genta itu untuk dibikin terbalik, setelah mana mereka dapatkan satu tubuh tergelumuk menggelinding keluar. Mereka kaget, mereka lari serabutan.
Tubuh bergelumbuk itu sudah lantas lompat bangun, ia mengeluarkan napas lega. Ia bukan lain daripada Ma Ong Sin Han Po Kie yang tadi kena ditungkrap Khu Cie Kee, hingga ia tak mampu keluar dari jambangan dan genta itu. Ia heran dan kaget saksikan pendopo itu, hingga ia berkoak-koak.
Kwa Tin Ok masih sadar walaupun ia terluka, ia panggil Po Kie, untuk sabarkan padanya. Ia pun keluarkan obatnya untuk suruh satu paderi pergi obat Khu Cie Kee dan Han Siauw Eng, ia sendiri memberi keterangan pada Po Kie perihal jalannya pertempuran, tentang Toan Thian Tek dan si wanita yang menyamar sebagai serdadu.
“Nanti aku susul dia!” teriak Po Kie sangkin gusarnya.
“Jangan!” Tin Ok mencegah. “Nanti ada ketikanya untuk menghukum dia, sekarang kau perlu rawat dulu saudara-saudaramu yang terluka.”
Po Kie dapat dibikin sadar.
Cu Cong dan Lam Hie Jin adalah yang terluka paling parah. Thio A Seng patah lengannya, setelah pingsan, ia sadar, ia tidak terancam bahaya.
Po Kie lantaa rawat semua saudaranya itu.
Paderi pengurus dari Hoat Hoa Sian Sie telah bekerja, disatu pihak ia ajukan pengaduan kepada pembesar negeri, di lain pihak ia kirim kabar pada Kouw Bok Taysu di Kong Hauw Sie, Hangciu. Jenazahnya Ciauw Bok Taysu pun lantas diurus.
Selang beberapa hari, Cie Kee dan Siauw Eng telah dapat ditolong dari racun. Cie Kee mengerti ilmu obat-obatan, ia lantas obati Tin Ok semua, ia pun uruti mereka, hingga selang beberapa hari, semuanya telah dapat bangun dari pembaringan.
Pada suatu hari, semua orang duduk berkumpul dengan dirundung kemasgulan hingga mereka pada berdiam saja. Mereka menyesal sekali sudah jadi korbannya Toan Thian Tek, hingga Ciauw Bok Taysu menjadi korban.
“Totiang, bagaimana sekarang?” Siauw Eng tanya Khu Cie Kee. Ia memangnya polos. “Totiang berkenamaan dan kami pun bukannya orang-orang yang masih hijau, kita sekarang rubuh di tangannya satu kurcaci, apa kata kaum kang-ouw bila peristiwa disini sampai tersiar? Tidakkah itu sangat memalukan? Tolong Totiang tunjuki kami bagaimana kami harus berbuat.”
“Kwa Toako, kau saja yang bicara,” kata Cie Kee menyahuti si nona. Ia sendiri pun bukan main masgul, menyesal dan mendongkolnya. Ia merasakan kesembronoannya. Coba ia tidak turuti hawa amarahnya dan berbicara dengan tenang sama Ciauw Bok, peristiwa celaka itu pasti dapat dicegah.
Tin Ok tertawa dingin. Ia memang aneh tabiatnya. Ia malu sekali yang ia bertujuh saudara kena dikalahi Cie Kee, terutama dirinya sendiri, yang kena ditikam kakinya hingga tak dapat dia berjalan dengan leluasa.
“Totiang biasa malang melintang, mana kau melihat mata kepada kami!” katanya tawar, “ Tentang ini untuk apa kau menanya pula kami…”
Cie Kee tahu orang masih mendongkol, ia lantas bangkit berbnagkit untuk menjura kepada tujuh saudara itu. “Pinto sangat menyesal, aku mohon maaf,” dia bilang.
Cu Cong semua membalas hormat, Cuma Tin Ok yang diam saja, ia berpura-pura tidak tahu.
“Segala urusan kaum kang-ouw, kami tidak ada muka untuk mencampuri tahu lagi,” kata ini ketua Kanglam Cit Koay. “Selanjutnya kami akan berdiam di sini, untuk menangkap ikan atau mencari kayu. Asal Totiang tidak mengganggu kami, kami akan melewati sisa hidup kami…”
Mukanya Cie Kee menjadi merah, ia jengah hingga tak dapat ia membuka mulutnya. Selang sesaat baru ia dapat bicara.
“Aku telah menerbitkan malapetaka, lain kali tak nanti aku datang kemari untuk membuat onar pula,” katanya seraya berbangkit. “Tentang sakit hatinya Ciauw Bok Taysu serahkan itu padaku, dengan tanganku sendiri, akan aku bunuh jahanaman itu! Sekarang aku mohon diri…”
Ia menjura pula, lantas ia ngeloyor keluar.
“Tahan!” Tin Ok berseru.
Imam itu memutar tubuhnya. “Kwa Toako hendak menitah apa?” ia tanya. Tetap ia sadar.
“Kau telah lukakan parah saudara-saudaraku ini, apakah itu cukup dengan hanya kata-katamu barusan?” tanya Tin Ok.
“Habis Kwa Toako memikir bagaimana?” menegaskan Cie Kee. “Apa saja yang tenagaku dapat kerjakan, suka aku menuruti titahmu.”
“Tak sanggup aku menelan peristiwa ini,” Tin Ok bilang. “Aku masih ingin menerima pengajaran dari Totiang!”
Kanglam Cit Koay gemar melakukan amal akan tetapi mereka berkepala besar, sepak terjang mereka biasanya luar biasa, kalau tidak, tidak nanti mereka disebut “Cit Koay” – tujuh Manusia Aneh. Mereka semua lihay, jumlah mereka pun banyak – bertujuh – dari itu, orang malui mereka. Mereka sendiri belum pernah nampak kegagalan, malah dengan pernah mengalahkan seratus lebih jago Hoay Yang Pang, nama mereka jadi menggemparkan dunia Kang-ouw. Sekarang mereka kalah di tangan Khu Cie Kee satu orang, bagaimana mereka tidak menjadi penasaran?
Cie Kee terkejut. “Pinto telah terkena senjata rahasiamu, Kwa Toako,” kata ia, tetap tenang.
“Tanpa pertolonganmu, pasti sekarang aku telah berada di Negara Setan. Di dalam urusan kita ini, walaupun benar pinto telah lukai kamu, kenyataannya adalah pinto telah rubuh, maka itu pinto menyerah kalah…”“Kalau begitu, letaki pedang di bebokongmu itu!” bentak Tin Ok. “Dengan meninggalkan pedangmu, suka aku melepas kau pergi!”
Bukan main mendongkolnya Cie Kee, di dalam hati ia berkata: “Aku telah beri muka kepada kamu, aku telah menghanturkan maaf dan mengaku kalah, kenapa kamu masih merasa belum cukup?” Ia lantas menjawab: “Pedang ini adalah alat pembela diriku, sama saja dengan tongkat Kwa Toako…”
Tin Ok tapi tetap murka. “Kau pandang entang kakiku pengkor?!” ia membentak.
“Pinto tidak berani,” sahut si imam itu.
Dalam murkanya, Tin Ok bilang: “sekarang kita sama-sama terluka, sulit untuk kita bertempur lagi, maka itu baiklah lain tahun pada hari ini, aku minta totiang membuat pertemuan pula di Cui Siang Lauw!”
Cie Kee mengerutkan keningnya. Ia sangat masgul. Ia tahu Cit Koay bukan orang busuk, tak dapat ia layani mereka. Bagaimana ia bisa loloskan diri dari mereka itu? Pula ada sulit untuk melayani mereka bertempur pada lain tahun. Ia bersendirian dan mereka bertujuh. Mungkin sekali, selama tempo satu tahun, mereka itu akan tambah kepandaiannya. Ia pun bisa berlatih diri tapi barangkali sukar untuk beroleh kemajuan. Ia terus berpikir, sampai ia dapat satu pikiran.
“Tuan-tuan, kamu hendak adu kepandaian yang memutuskan denganku, tidak ada halangannya,” ia berkata. “Hanya untuk itu, syaratnya haruslah pinto yang menetapkannya. Kalau tidak, pinto suka menyerah kalah saja.”
Han Po Kie bersama Siauw Aeng dan A Seng bnagkit berdiri, dan CU Cong dan lainnya yang terluka mengangkat kepalanya dari pembaringan. Hampir berbareng mereka itu kata: “Kalau Kanglam Cit Koay bertaruh selamanya adalah pihak sana yang memilih tempat dan waktunya!”
Cie Kee tersenyum dapatkan orang demikian gemar menang sendiri.
“Apakah kamu suka terima syarat apapun?” dia tanya.
Cu Cong dan Coan Kim Hoat adalah yang tercerdik di antara saudara-saudaranya, mereka tidak jeri.
“Kau sebutkan saja syaratmu!” kata mereka. Di dalam hatinya mereka berkata: “Tidak peduli kau pakai akal licin apa juga, mustahil kami nanti kalah…”
“Kata-katanya satu kuncu?” berkata imam itu.
“Sama cepatnya dengan satu cambukan kuda!” sahut Siauw Eng lantas.
Kwa Tin Ok masih sedang memikir ketika Khu Cie Kee berkata pula: “Mengenai syaratku ini, masih tetap berlaku kata-kataku tadi. Ialah umpama kata tuan-tuan anggap tidak sempurna, pinto tetap suka menyerah kalah!”
Dengan ini, imam itu memancing hawa amarah ke tujuh Manusia Aneh itu. Ia tahu benar Cit Koay adalah sangat besar kepala.

“Jangan kau coba pancing hawa amarah kami!” Tin Ok memotong. “Lekas kau bicara!”Cie Kee lantas berduduk.
“Syaratku ini ada meminta tempo yang lama,” ia menyahut dengan sabar. “Tapi apa yang kita akan adu adalah kepandaian sejati. Aku sendiri tidak menghendaki cara mengandali kekosenan saja, dengan menggunai alat senjata atau kepalan dan tendangan.
Kepandaian semacam itu, siapa menyakinkan ilmu silat tentunya semua mengerti. Bukankah kita, kaum Rimba Persilatan yang kenamaan tak dapat berlaku demikian cupat sebagai anak-anak muda yang terlahir belakangan?”Kanglam Cit Koay saling mengawasi, hati mereka masing-masing menduga: “Kau tidak hendak menggunai senjata, tangan dan kaki, habis apakah syaratmu itu?” Maka mereka menanti penjelasan.
Cie Kee berkata pula, dengan sikapnya yang agung. “Biar bagaimana, kita mesti melakukan suatu pertempuran yang memutuskan. Aku akan menghadapi kalian bertujuh, tuan-tuan! Kita bukan Cuma mengadu kepandaian, juga mengadu kesabaran, kita memakai akal budi. Marilah kita lihat, siapakah yang paling gagah – satu enghiong sajati!”
Kata-kata ini membuat darahnya Kanglam Cit Koay mengalir deras.
“Lekas bilang, lekas!” Han Siauw Eng. “Semakin sulit adanya syarat, semakin baik!”
Cu Cong tapinya tertawa. Ia berkata: “Kalau syaratmu itu adalah untuk mengadu bertapa atau membikin obat mujarab atau membikin surat jimat guna menangkap roh-roh jahat, maka kami bukanlah tandingan kamu bangsa imam!”
Khu Cie Kee pun tertawa.
“Pinto juga tidak berpikir untuk adu kepandaian sama Cu Jieko dalam hal mencuri ayam atau meraba-raba anjing atau mengulur tangan menuntun kambing!” Ia maksudkan ilmu mencopet.
Mendengar itu Siauw Eng pun tertawa. “Lekas bicara, lekas!” ia mendesak pula.
“Jikalau kita mencari pokok sebabnya,” kata Tiang Cun Cu dengan tenang, “Biangnya gara-gara hingga kita bertempur dan saling melukai adalah urusan menolongi turunannya orang-orang gagah, oleh karena itu, baiklah kita kembali kepada sebab musabab itu.”
Dengan “orang gagah” imam itu maksudkan “ho-kiat” atau “enghiong”. Lalu ia menjelaskan tentang persahabatannya sama Kwee Siauw Thian dan Yo Tiat Sim – yang ia maksudkan si orang-orang gagah itu – yang mengalami nasib celaka, karena itu ia telah ubar-ubar Toan Thian Tek. Ia juga tuturkan bagaimana caranya ia kejar Thian Tek itu, tetapi sangkin licinnya, Thian Tek saban-saban dapat meloloskan diri.
Selagi memasang kuping, beberapa kali Kanglam Cit Koay mengutuk bangsa Kim serta pemerintah Song yang sewenang-wenang dan kejam.
Habis menutur, Cie Kee tambahkan: “Orang yang Toan Thian Tek bawa lari itu adalah Lie-sie, istrinya Kwee Siauw Thian. Kecuali Kwa Toako bersama saudara Han, empat saudara lainnya telah pernah lihat mereka itu”
“Aku ingat suaranya Lie-sie itu,” kata Kwa Tin Ok. “Umpama berselang lagi tiga puluh tahun, tidak nanti aku dapat melupakannya.”
“Tentang istri Yo Tiat Sim, yaitu Pauw-sie,” Cie Kee menambahkan, “Aku masih belum tahu dia ada dimana. Pernah pinto melihat romanya Pauw-sie, tidak dengan demikian tuan-tuan. Inilah yang pinto hendak gunai sebagai syarat pertaruhan kita…”
Siauw Eng segera menyela: “Kami pergi tolongi Lie-sie, kau pergi tolong Pauw-sie! Siapa yang lebih dulu berhasil, dia yang menang, bukankah?”
Khu Cie Kee tersenyum.
“Cuma menolongi saja?” ia ulangi. “Untuk pergi mencari dan menolongi, itu memang benar bukannya kerjaan terlalu gampang, akan tetapi selain itu, masih ada hal yang terlebih sukar lagi, yang meminta banyak waktu, tenaga dan pikiran..”
“Apakah adanya itu?” Kwa Tin Ok bertanya.
“Akan aku jelaskan,” jawab si imam.
“Dua-duanya Pauw-sie dan Lie-sie itu sama-sama lagi mengandung. Pinto ingin setelah dapat cari dan tolong mereka, kita mesti pernahkan mereka itu. Kita tunggu sampai mereka telah melahirkan anak, lalu anak-anak mereka itu kita rawat dan didik dalam ilmu silat. Pinto akan didik anak Yo Tiat Sim dan tuan-tuan bertujuh merawat anaknya Kwee Siauw Thian…”Tujuh bersaudara itu membuka mulut mereka. Heran untuk kata-kata si imam.
“Bagaimana sebenarnya?” Han Po Kie tanya
“Kita menanti sampai lagi delapan belas tahun,” menerangkan Tiang Cun Cu. “Itu waktu, anak-naka itu telah berumur delapan belas tahun, lalu kita ajak mereka ke Kee-hin, untuk membuat pertemuan di Cui Sian Lauw. Berbareng dengan itu, kita undang sejumlah orang gagah lainnya untuk menjadi saksi. Kita membuatnya pesta, sesudah puas makan minum, baru kita suruh kedua anak itu adu kepandaian. Di situ nanti kita lihat, murid pinto yang berhasil atau muridnya tuan-tuan bertujuh!”
Tjuh bersaudara itu saling memandang, tidak ada satu jua yang segara menjawab imam itu. Bukankah syarat itu ada sangat luar biasa?
“Jikalau tuan-tuan bertujuh yang bertempur sama aku, umpama kata kamu yang menang, itu tidak ada artinya,” Cie Kee berkata pula. “Bukankah tuan-tuan menang karena jumlah yang banyak lawan jumlah yang sedikit? Kemenangan itu bukan kemenangan yang mentereng! Dengan syarat kita ini aku nanti turunkan kepandaianku kepada satu orang, tuan-tuan pun mewariskan kepandaian kamu kepada satu orang juga, setelah itu mereka bertanding satu lawan satu, sampai itu waktu, andaikata muridku yang menang, bukankah tuan-tuan akan merasa puas?”
Akhirnya Tin Ok ketruki tongkat besinya ke lantai. “Baiklah, secara demikian kita bertaruh! katanya.
Tapi Coan Kim Hoat campur bicara. Ia tanya: “Bagaimana kalau pertolongan kami terlambat, dan Lie-sie keburu dibikin binasa oleh Toan Thian Tek?”
“Biarlah kita sekalian adu keberuntungan juga!” sahut Cie Kee. “Jikalau Thian menghendaki aku yang menang, apa hendak dibilang?”
“Baik!” Han Po Kie juga turut bicara. “Memang menolong anak piatu dan janda juga adalah perbuatan yang mulia, umpama kami tak dapat lawan kamu, kami toh telah lakukan juga satu perbuatan yang baik.”
Cie Kee tonjolkan jempolnya. “Han Samya benar!” pujinya. “Tuan-tuan berkenan menolongi abak yatim piatu dari keluarga Kwee itu, untuk ini sekarang pinto wakilkan saudara Kwee menghanturkan terima kasih terlebih dahulu!” Dan ia lantas menjura dalam.
“Cara pertaruhan ini adalah terlalu licin,” berkata Cu Cong kemudian. “Cuma dengan beberapa kata-katamu ini, kau hendak membikin kamu bercapek lelah selama delapan belas tahun!”
Wajahnya Khu Cie Kee berubah, akan tetapi ia berdongak dan tertawa besar.
“Apakah yang lucu?” tanya Han Siauw Eng.
“Selama dalam dunia kang-ouw telah aku dengar nama besar dari Kanglam Cit Koay,” sahut si imam yang ditanya, “Orang umumnya bilang mereka itu gemar sekali menolong sesamanya, mereka gagah perkasa dan mulia, tetapi hari ini bertemu dengan kamu – hahaha!”
Kanglam Cit Koay menjadi panas hatinya. Han Po Kie segera menghajar bangku dengan tangannya. Ia hendak bicara tetapi si imam dului dia.
“Sejak zaman dahulu hingga sekarang ini,” kata Cie Kee. “Kalau satu orang gagah sejati bersahabt, dia bersahabat untuk menjual jiwanya, ialah denagn segala urusan ia bersedia untuk mengorbankan dirinya. Pengorbanan itu tidak ada artinya! Bukankah kita belum pernah dengar bahwa di jaman dahulu ada Keng Ko dan Liap Ceng berhitungan?”
Wajahnya Cu Cong menjadi pucat, tak ada sinarnya. “Tidak salah apa yang totiang bilang!” katanya sambil goyang kipasnya. “Aku mengaku keliru! Baiklah, kita bertujuh akan terima tanggung jawab kita ini!”
Khu Cie Kee lantas berbangkit.
“Hari ini adalah tanggal dua puluh empat bulan tiga,” ia berkata pula, “Maka itu lagi delapan belas tahun, kita akan bertemun pula di rumah makan Cui Siang Lauw, untuk orang-orang gagah di kolong langit ini menyaksikan siapa sebenarnya laki-laki sejati!”
Habis berkata, seraya kibaskan tangannya, ia bertindak pergi.
“Nanti aku susul Toan Thian Tek!” kata Han Po Kie. “Dia tak dapat dibiarkan menghilang, hingga pastilah sulit kita mencari padanya!”
Di antara Cit Koay, dialah yang tidak terluka. Setelah berkata begitu, ia lantas lari keluar, untuk terus menaiki kudanya, guna susul Thian Tek.
“Sha-tee! Sha-tee! Cu Cong memanggil-manggil. “Kau tidak kenal mereka itu!”.
Dengan mereka, orang she Cu ini menyebutkannya Thian Tek dan Lie Peng.
Tetapi Po Kie si tak sabaran telah pergi jauh.
Thian Tek telah angkat kaki dengan naik perahu. Ketika ia tarik Lie Peng keluar dari tempat berbahaya itu, lega hatinya apabila ia menoleh ke belakang, ia tak tampak ada orang yang kejar atau susul padanya. Ia cerdik, maka itu segera ia menuju ke sungai, malah tanpa memilih kenderaan air lagi, ia lompat naik ke sebuah perahu, ia ajak Lie Peng bersama.
“Lekas berangkat!” ia membentak tukang perahu sambil ia cabut goloknya.
Kanglam adalah daerah air, disana ada banyak sungai atau kali, dari itu, kendaraan air adalah alat penghubung atau pengangkut yang paling umum, sama saja dengan kuda atau keledai di Utara. begitu muncul kata-kata: “Orang Utara naik kuda, orang Selatan naik perahu.”
Tukang perahu itu ketakutan lihat orang demikian galak., ia buka tambatan perahunya, ia lantas mengayuh. Dengan lekas ia keluar dari daerah kota.
Thian Tek lantas asah otaknya: “Aku telah terbitkan onar besar, tak dapat aku pulang untuk pangku pula jabatanku. Baiklah aku pergi ke Utara untuk menyingkir dulu dari ancaman bahaya. Semoga itu imam bangsat dan tujuh siluman dari Kanglam itu bertempur hingga mampus semuanya, supaya aku dapat kembali ke Lim-an.”
Kudanya Po Kie lari pesat, tetapi ia hanya mondar-mandir di darat, tentu sekali ia tak dapat cari Thian Tek, apapula ia kenali roman orang itu. Ia tanya-tanya orang akan tetapi pertanyaannya tidak jelas.
Thian Tek tunjuki terus kelicinannya. ia menukar perahu beberapa kali. Berselang belasan hari, tibalah ia di Yangciu. Paling dulu ia mencari rumah penginapan. Ia telah memikir untuk cari suatu tempat untuk bertinggal buat sementara waktu. Sebab bukanlah soal yang sempurna untuk terus-terusan berkelana dengan hati tidak tentram.
Itu hari selagi berada di dalam kamar, ia dengar suara Han Po Kie tengah berbicara sama pemilik penginapan, menanyakan tentang dia dan Lie Peng.
Ia kaget tetapi ia berlaku tenang. Dari dalam kamarnya ia mengintai, memasang mata. Ia lihat tegas seorang kate dampak yang romannya jelek sekali yang berbicara dengan lidah Kee-hin. Setelah merasa pasti bahwa orang adalah salah satu Cit Koay, ia tarik tangannya Lie Peng untuk diajak segera menyingkir dari pintu belakang. Kembali ia menyewa sebuah perahu. tak sudi ia berjalan sedikit juga. Ia berlayar terus ke Utara, hingga mereka sampai di perhentian Lie-kok-ek, di tepi telaga Bie San Ouw di wilayah propinsi Shoatang. Belum sampai setengah bulan ia berdiam di tepi telaga itu, Han Po Kie dapat susul ia. Malah Po Kie ada bersama denagn satu nona.Adalah pikirannya Thian Tek, untuk keram diri di dalam kamarnya , akan tetapi Lie Peng, yang merasa ada bintang penolongnya, sudah lantas menjerit-jerit. Akan tetapi ia adalah satu wanita lemah, ia diringkus Thian Tek, dibekap mulutnya dengan selimut. Ia pun telah dipukuli. Setiap kali ia berlepas tangan atau mulutnya, ia terus berontak dan berteriak-teriak. Syukur untuk Thian Tek, Po Kie bersama kawannya yaitu Siuaw Eng, adiknya, tidak mendengar apa-apa.
Dalam sengitnya, saking khawatirnya, Thian Tek berniat membunuh Nyonya Kwee itu. Ia telah hunus pedangnya, ia dekati Lie-sie.
Nyonya Kwee telah tawar hatinya sejak kebinasaan suaminya, ia sebenarnya sudah memikir untuk bunuh diri, lebih baik bia ia bisa binasa bersama musuhnya itu, maka itu, menampak sikapnya Thian Tek itu, ia tidak takut, ia justru diam-diam memuji kepada roh suaminya: “Engko Siauw, engko Siauw, aku mohon kepadamu, ingin aku supaya sebelum datang saatnya, aku bertemu pula denganmu, kau lindungi kepadaku, agar dapat aku membinasakan manusia jahat ini!” Lalu dengan diam-diam, ia siapkan pisau belati atau badik yang Cie Kee hadiahkan kepadanya.
Thian Tek tersenyum aneh, ia angkat tangannya untuk dikasih turun denagn bacokannya.
Lie Peng tidak mengerti silat, tetapi telah bulat tekadnya, maka itu sebaliknya dari ketakutan, ia justru mendahului sambil menubruk, ia menikam!
Thian Tek kaget dan heran. Inilah ia tidak sangka. Maka terpaksa ia gunai goloknya untuk menangkis.
“Trang!” demikian satu suara nyaring.
Untuk kagetnya manusia busuk ini, ujung goloknya putus dan jatuh ke tanah dan ujung pisau belati menyambar terus ke dadanya. Dalam kagetnya ia buang diri ke belakang, tetapi tak urung, bajunya kena terobek, dadanya kena tergurat, hingga darahnya lantas mengucur keluar. Coba Lie-sie bertenaga cukup, dadanya itu pasti telah tertancap pisau belati itu.
Sia Tiauw Enghiong - 3
By admin • Sep 1st, 2008 • Category: 2. Silat China, CY - Sia Tiauw Enghiong
Untuk bela diri terlebih jauh, Thian Tek sambar sebuah kursi. “Simpan senjatamu!” ia membentak. “Aku tak akan membunuh padamu!”Lie Peng sendiri telah lemas kaki dan tangan dan tubuhnya, ia telah keluarkan tenaga terlalu besar, ia sudah umbar hebat hawa amarahnya tanpa merasa ia membuat kandungannya tergerak, hingga bayi di dalam perutnya itu meronta-ronta. Dengan letih ia jatuhkan diri ke kursi, napasnya memburu. Tapi ia masih ingat akan pisau belatinya yang ia pegangi keras-keras.
Thian Tek tetap jerih untuk Han Po Kie beramai, ia juga tak dapat lari seorang diri, sudah kepalang tanggung, ia terus membawa Lie Peng.
Kali ini ia kembali naik perahu, tetap ia menuju ke Utara. Ia melalui Lim-ceng dan Tek-ciu dan tiba di propinsi Hoopak. Selama itu rasa takutnya tak jadi berkurang. Setiap ia mendarat, selama tinggal di penginapan, saban-saban ada orang mencari dia. Syukur ia waspada dan cerdik, selalu dapat ia menjauhkan diri dari mereka itu. Ia peroleh kenyataan, kecuali si kate terokmok dan si nona, ada lagi seorang lain yang cari padanya, ialah seorang pincang dan bermata buta yang membawa-bawa sebatang tongkat besi. Syukur untuknya, tiga orang itu tidak kenali dia, walaupun kedua pihak bertemu muka, mereka itu tidak kenali padanya. Ini yang menyebabkan ia selamanya dapat lolos.Tidak lama kemudian, Thian Tek dapat godaan lain. Dengan tiba-tiba otaknya Lie Peng terganggu, baik selama di penginapan, maupun di tengah perjalanan, nyonya Kwee suka ngoceh tidak karuan, ada kalanya ia robek bajunya atau bikin kusut rambutnya, hingga mereka jadi menarik perhatian orang. Ia menjadi masgul dan bingung sekali. Kelakuan si nyonya itu gampang menimbulkan kecurigaan orang. Kemudian ia menjadi mendongkol. Ia dapat kenyataan si nyonya si nyonya bukan gila benar-benar, ia hanya berpura-pura edan, untuk sengaja menarik perhatian orang, supaya tentang perjalanan mereka – ke mana saja mereka menuju – ada menimbulkan bekas. Ia marah tetapi ia tidak bisa berlaku keras kepada nyonya itu kecuali ia mengancam agar si nyonya terus ikut padanya. Ia jadi semkin hati-hati.
Ketika itu hawa udara telah mulai berubah. Hawa panas mulai lenyap, sang angin sejuk telah mulai menghembus. Udara begini tidak terlalu mengganggu orang-orang yang membuat perjalanan, malah menyenangkan.
Thian Tek telah menyingkir jauh ke utara, akan tetapi ia tetap dibayangi pengejar-pengejarnya. Celaka untuknya, setelah berjalan jauh dan melewatkan banyak hari, bekalan uangnya mulai habis. Pada suatu, saking uring-uringan, ia ngoceh seorang diri: “Selama aku pangku pangku di Hangciu, bagaimana senangnya aku. Setiap hari aku bisa dahar dan minum enak, dapat ku bersenang-senang dengan wanita-wanita cantik, tetapi dasar pangeran Kim yang keenam itu yang kemaruk sama istri orang, dia telah celakai aku hingga begini…”

Justru ia ngoceh ini, mendadak ia dapat ingat suatu apa. “Bukankah aku telah tidak jauh dari Yan-khia?” demikian ia ingat. “Kenapa aku tidak pergi kepada Liok-taycu?”Liok-taycu itu adalah putra keenam dari raja Kim, itu pangeran Kim yang ia maksudkan. Tanpa ragu-ragu lagi, ia bernagkat menuju ke Yan-khia, ibukota kerjaan Kim itu.
Ibukota Yan-khia itu disebut juga Tiong-touw atau Chungtu, artinya “Kota Tengah”. Sekarang ini ialah kota Pakkhia (Peking). Di sana Thian Tek langsung mencari istananya pangeran itu, ialah Tio Ong atau Chao Wang (Pangeran Tio atau Chao)
Kapan Wanyen Lieh dengar tentang kedatangannya satu perwira dari selatan, ia lantas ijinkan orang menemui dia. Ia terkejut akan ketahui, tetamunya adalah Toan Thian Tek dan orang ingin numpangi diri kepadanya.
Ia lantas mengerutkan kening, mulutnya mengeluarkan kata-kata yang tak nyata. Didalam hatinya, ia berpikir: “Tentang Pauw-sie, aku masih belum dapat mempernahkannya, bagaimana aku bisa menerima Thian Tek? Ia tahu rahasiaku, kalau ia membocorkannya, urusan bisa menjadi rewel. Kenapa aku mesti meninggalkan satu , mulut hidup? Bukankah ada peribahasa kuno yang mengatakannya, “Yang cupat pikirannya kuncu, yang tak kejam bukannya satu laki-laki?” Karena ini ia lantas tersenyum.“Kau baru sampai dari satu perjalanan jauh, kau tentunya letih, pergilah beristirahat dulu,” katanya dengan manis.
Thian Tek mengucap terima kasih. Ia sebenarnya hendak beritahu juga bahwa ia datang bersama Lie Peng, tetapi satu hambanya pangeran itu muncul dengan tiba-tiba mengabarkan ‘kunjungannya Sam-ongya’ – pangeran yang ketiga.
Wanyen Lieh bangkit dari kursinya. “Pergilah kau beristirahat!” katanya sambil ia mengibaskan tangannya, setelah mana ia bertindak untuk sambut tetamunya.
Sam-ongya itu adalah Wanyen Yung Chi, putra yang ketiga dari Wanyen Ching, raja Kim.
Ia bergelar Wei Wang atau Wee Ong, pangeran Wei atau Wee. Di antara saudara-saudaranya, ia bergaul paling erat dengan Wanyen Lieh, sang adik. Ia ada lemah, maka itu, dalam segala hal, ia suka dengari adiknya yang cerdik dan tangkas.Pada masa itu pemimpin bangsa Mongolia, Temuchin sudah mulai kuat kedudukannya, tetapi ia takluk kepada bangsa Kim, ia malah membantui negara Kim memusnahkan bnagsa Tartar, oleh karena mana, guna menghargai jasanya itu, raja Kim utus Wanyen Yung Chi, sang putra pergi menganugerahkan Temuchin sebagai Pak Kiang Ciauw-touw-su, semacam kommissaris tinggi. Di samping itu, kepergian putra ini sebenarnya guna melihat sendiri keadaan bangsa Monglia itu. Karena tugasnya ini, Wee Ong telah datang menemui Tio Ong, untuk memohon pikiran.
“Bangsa Monglia itu tak tetap tempat tinggalnya,” berkata Wanyen Lieh. “Mereka juga bertabiat kasar, gemar mereka menghina yang lemah tetapi jerih terhadap yang kuat, untuk pergi ke sana, kakak harus membawa satu pasukan tentera yang terpilih, supaya melihat keangkeran kita, hatinya menjadi ciut. Denagn begitu, selanjutnya mereka tidak akan berani berontak.”
Wanyen Yung Chi terima baik nasehat itu, ia mengucapkan terima kasih, setelah omong-omong lagi sebentar ia pamitan. Ketika ia hendak berbnagkit, adik itu berkata kepadanya: “Hari ini ada datang padaku satu mata-mata dari kerajaan Selatan.”
“Begitu?” tanya sang kakak, heran, “Habis?”
“Dia datang untuk tumpangkan diri padaku,” sahut adik itu. “Itulah alasannya belaka, sebenarnya ia hendak mencari tahu keadaan kita bangsa Kim.”
“Kalau begitu, bunuh saja padanya!” kata sang kakak.
“Tindakan itu tidak sempurna,” Wanyen Lieh bilang. “Kakak tahu sendiri kecerdikan bangsa Selatan itu. Mungkin mata-mata yang datang bukan dia satu orang, kalau dia ini dibunuh, yang lainnya pasti bakal jadi waspada. Aku pikir hendak mohon kakak bawa ia pergi ke utara.”
“Bawa ia ke Utara?” Yung Chi tanya.
“Ya” sahut Wanyen Lieh. “Di sana, di padang gurun, di mana tidak ada lain orang, dengan cari satu alasan kakak boleh hukum mati padanya. Di sini aku nanti layani lain-lainnya mata-mata.”
“Bagus!” Yung Chi bertepuk tangan, dia tertawa riang. “Sebentar kau kirim dia padaku, bilang saja dia hendak dijadikan pengiringku.”
Sang adik menjadi girang. “Baik!” katanya.
Sore itu Wanyen Lieh tidak panggil Toan Thian Tek menghadap lagi padanya, hanya sambil dibekali uang perak dua potong, dia suruh Thian Tek pergi ke istana Wei Wang untuk bantu pangeran itu, katanya.
Thian Tek tidak tahu rencana orang, ia menurut saja. Ia khawatir Lie Peng nanti buka rahasianya, ia tetap ajak nyonya itu. Ia mempengaruhinya hingga si nyonya diam saja. Sedang si nyonya ini masih mengharapkan datangnya pertolongan padanya……..
Berselang beberapa hari, Wanyen Yung Chi berangkat ke Monglia, dia ajak Thian Tek bersama.
Sementara itu perutnya Lie Peng makin menjadi besar, perjalanan jauh denagn menunggang kuda, sangat meletihkan dia. Tapi ia telah bertekad untuk membalas sakit hatinya, dia kuatkan hati dan tubuhnya untuk lawan penderitaan ini. Di lain pihak ia jaga diri baik-baik agar tentara Kim tidak tahu siapa dia. Demikian untuk beberapa puluh hari, dia terus menderita.
Wanyen Yung chi berangkat bersama seribu serdadu pilihan yang semua kelihatan gagah dan mentereng. Dia sengaja menunjuki pengaruh menurut nasihat Wanyen Lieh.
Pada suatu hari tibalah barisan ini di satu tempat dekat dengan perkemahan Temuchin. Wanyen Yung Chi lantas kirim belasan serdadunya untuk memberi warta terlebih dahulu tentang tibanya itu sekalian menitahkan Temuchin datang menyambut utusan Kim.
Tatkala itu bulan kedelapan untuk di Utara, hawa ada dingin luar biasa. kapan sang malam tiba, salju beterbangan turun bagaikan lembaran-lembaran unga. Diwaktu begini, barisan dari seribu serdadu pilihan dari bangsa Kim berjalan berlerot bagaikan seekor ular panjang, berjalan di padang pasir yang seperti tak ada ujung pangkalnya.
Selagi pasukan ini berjalan terus, sekonyong-konyong orang mendapat dengar suara berisik yang datangnya dari arah utara, suara seperti satu pertempuran. Selagi Wanyen Yung Chi terheran-heran, ia lantas tampak lari mendatangi satu pasukan kecil serdadu.
“Sam-ongya, lekas kasih perintah untuk bersiap untuk berperang!” demikian kata perwiranya yang pimpin pasukan kecil itu setibanya dia di depan pangeran Kim itu. Dialah Ouw See Houw.
Yung Chi menjadi kaget. “Pasukan musuh manakah itu?” dia bertanya.
“Mana aku tahu?!” sahut si perwira yang lantas saja mengatur barisannya. Ia keprak kudanya untuk maju ke depan.
Hampir itu waktu, apa yang disebutkan tentara musuh itu, sudah datang dekat sekali. Mereka itu terpencar si segala penjuru, memenuhi bukit dan tegalan di hadapan angaktan perang Kim itu.
Ouw See Houw ada satu panglima yang berpengalaman yang diandalkan negeranya, sebaliknya Wanyen Yung Chi lemah, dia tak dapat berpikir, maka itu kepala perang ini telah melancangi pangeran itu untuk mengatur persiapan.
Segera juga terlihat suatu keanehan. Tentara ‘musuh’ itu bukan terus menerjang pasukan Kim, hanya mereka kabur keempat penjuru. Kapan Ouw See Houw sudah mengawasi sekian lama, ia dapat kenyataan, itulah pasukan sisa yang habis kalah perang, yang telah membuang panah dan tombak mereka, semua tidak menunggang kuda, roman mereka ketakutan. Disamping itu di belakang mereka menerjang sejumlah pasukan berkuda, hingga banyak serdadu yang kena terinjak-injak.
Ouw See Houw berlaku tabah. ia beri perintah akan tenteranya mengurung pangerang mereka, untuk melindungi. Mereka bersiap tanpa bersuara.
Tentera musuh yang kabur itu melihat pasukan Kim, mereka lari tanpa berani datang mendekati, mereka kabur jauh-jauh.
Tiba-tiba dari arah kiri terdengar ramai suara terompet tanduk, di situ muncvul satu pasukan serdadu, yang terus menerjang tentera sisa. Tentera sisa ini berjumlah lebih besar tapi mereka tidak berdaya terhadap pasukan berkuda ynag jauh lebih kecil itu.
Terpaksa untuk menyingkir, tentara sisa ini meluruk ke arah pasukan Kim.“Lepaskan panah” Ouw See Houw memberi titah.
Tentara sisa itu segera diserang, sejumlah diantaranya lantas rubuh, akan tetapi jumlah mereka banyak, mereka pun lagi ketakutan, mereka menerobos terus. Dengan sendirinya mereka jadi bertempur sama tentara Kim. Hebat akibatnya untuk tentara Kim itu, yang berjumlah lebih sedikit. Kekalutan sudah lantas terjadi, musuh dan kawan bercampur menjadi satu, bergumul.
Ouw See Houw kewalahan, maka bersama sejumlah serdadu ia lindungi Wanyen Yung Chi mundur ke arah selatan.

Bab 7. Adu Panah

Lie Peng ada bersama Toan Thian Tek, mereka masing-masing menunggang satu kuda, tetapi serbuan sisa tentera “musuh” itu demikian hebat, mereka ke dibikin terpencar, terpaksa nyonya Kwee lari sendirian. Syukur untuknya, karena sisa tentera itu main saling selamatan diri sendiri, ia tidak mendapat gangguan. Hanya sesudah lari serintasan, ia merasakan perutnya mulas, sakit sekali, hingga tanpa dapat ditahan lagi, ia rubuh dari kudanya. Ia pingsan. Entah sudah lewat berapa lama, ia sadar sendirinya dengan perlahan-lahan. Untuk kagetnya, samar-samar ia dengar tangisan bayi. Ia belum sadar betul, tak tahu ia dirinya berada di dunia baka atau masih hidup. Ia hanya dengar tangisan itu makin lama makin keras. Ia geraki tubuhnya, tapi ia merasa ada benda yang membanduli perutnya.Ketika itu masih malam, sang rembulan mengencang di atas langit, muncul di antara sang awan. Sekarang baru Lie Peng sadar betul, setelah ia melihat dengan tegas, tanpa merasa ia menangis menggerung-gerung. Nyatalah dalam keadaan seperti itu, ia telah melahirkan anak…….
Cepat nyonya itu berduduk, ia angkat bayinya itu, untuk kegirangannya, ia dapatkan satu bayi laki-laki. Ia mengeluarkan air mata kegirangan yang berlimmpah-limpah. Dengan gigitan ia bikin putus tali pusar, setelah mana ia peluki anaknya.
Di bawah terangnya sang rembulan, bayi itu nampak cakap, suaranya pun nyaring, potongan wajahnya mirip dengan suaminya Kwee Siauw Thian. Roman anak ini telah membantu menguatkan semangatnya, kalau tadinya ia telah berputus asa, sekarang timbullah harapannya.
Entah dari mana datangnya tenaganya, Lie-sie mencoba menggunai kedua tangannya, akan menggali pasir, untuk membuat sebuah liang yang besar dimana bersama bayinya ia bisa menyingkir dari angin dan salju. Dari situ ia bisa dengar rintihan serdadu-serdadu yang terluka parah atau hendak mati dan ringkikannya banyak kuda perang.
Buat dua malam satu hari, Lie Peng mendekam di liangnya itu, lalu dihari ketiga, tak tahan ia akan rasa laparnya. Air ada air salju tapi barang daharan, tidak ada sama sekali. Terpaksa ia merayap keluar. Di sekitarnya tidak ada seorang juga kecuali mayat-mayat serdadu dan kuda-kuda. Karena hawa dingin, semua mayat serdadu dan bangkai itu belum busuk. Cuma pemandangannya yang sangat menggiriskan hati. mau tidak mau, Lie-sie mesti kuatkan hati.
Lie-sie coba geledah tubuhnya myat-mayat itu untk cari rangsum kering. Ia dapatkan sejumlah sisa. Lalu ia coba menyalakan api, dengan itu ia pun dapat bakar daging kuda. Ia dapatkan golok dengan gampang karena di situ bergeletakan banyak alat senjata.
Buat tujuh atau delapan hari, Lie-sie dapat berdiam disitu bersama bayinya, setelah ia mulai dapat pulang kesegarannya, ia gendong bayinya untuk di bawa pergi ke araha timur. Ia mesti terus berjalan di tempat yang sepi dimana ada terdapat pepohonan dan tegalan rumput. Sampai tiba-tiba ia mendengar anak panah mengaung di atasan kepalanya. Kaget ia, hingga keras sekali ia rangkul bayinya.
Segera terlihat dua penunggang kuda, mendatangi dari arah depan.
“Siapa kau?” tanya salah satu diantara dua penunggang kuda itu.
Lie Peng tidak buka rahasia, ia Cuma kata ia lagi lewat di situ tempo ia terhalang oleh pertempuran tentera, hingga ia mesti melahirkan anak seorang diri.
Dua penunggang kuda itu adalah orang Monglia, mereka itu berbaik hati, walaupun mereka tidak tahu jelas, apa katanya Lie.sie, mereka jaka si nyonya ke tendanya, untuk dikasih tempat meneduh dan barang makanan, untuk kemudian ibu dan bayinya itu tidur guna melepaskan lelah dan kantuknya.
Orang Monglia itu tidak berumah tangga, sebagai pengembala tak tentu tempat tinggalnya, dengan mengiring binatang piarannya, mereka biasa pergi ke timur atau ke barat untuk mencari makanan binatang, guna mencari air, sebagai rumah adalah tenda yang bertenung daripada bulu binatang, guna melindungi diri dari gangguan angin dan hujan. Demikian telah terjadi dengan Lie-sie, ketika kedua penolongnya hendak berpindah tempat, terpaksa ia ditinggal pergi. Akan tetapi dua orang itu tidak menolong kepalang tanggung, diwaktu hendak berangkat, mereka meninggalkan tiga ekor kambing.
Maka mulailah Lie Peng mesti bercape lelah, untuk hidup sendiri. Hidup sendiri, sebab bayinya masih belum mengerti suatu apa pun. Ia mesti membangun satu gubuk dengan beratap daun. Untuk hidupnya, ia mulai bertenun yang hasilnya ia dengan barang makanan. Bisalah dibayangi, bagaimana hebat penderitaannya itu. Oleh karena kebiasaan, ia pun dapat hidup sebagai orang Mongolia, malah tanpa terasa enam tahun telah lewat. Ia tidak hendak melupakan peasn suaminya, ia beri nama Ceng kepada putranya. untuk kelegaan hatinya, anak itu bertubuh kuat dan cerdik, ia bisa membantu ibunya menggembala kambing. Selama tempo bertahun-tahun hidupnya Lie Peng ada lumayan.
Pada suatu hari dari bulan tiga, selagi uadra hangat, Kwee ceng giring kambingnya untuk diangon. Ia sekarang memelihara anjing sebagi pembantunya, dan untuk menempuh perjalanan jauh, ia menunggang kuda kecilnya.
Tepat tengah hari, selagi ia menjagai kambing-kambingnya, tiba-tiba kwee Ceng lihat seekkor burung elang yang besar sekali menyambar kepada rombongan kambingnya. Semua binatang itu kaget. Malah yang seekor – anak kambing – kabur ke timur. Ia memanggil dengan berteriak-teriak, anak kambing itu lari terus. Maka ia naiki kudanya untuk mengejar. Sekitar tujuh lie, baru ia dapat tangkap anak kambing itu, tapi selagi ia hendak menuntun pulang, mendadak ia dengar susra keras dan nyaring, hingga ia terperanjat. Ia mulanya menyangka kepada guntur, sampai setelah memasang kuping sekian lama, ia dengar suara seperti tambur berikut meringkiknya kuda serta suara orang banyak.
Ia menjadi takut, belum pernah ia dengar suara semacam itu.Tidak ayal lagi, Kwee Ceng tuntun kambingnya buat diajak mendaki suatu tanjakan, untuk bersembunyi didalam rujuk.
Tapi ia ingin mengetahui sesuatu, ia keluarkan kepalanya untuk mengintai.Jauh di sebelah depan nampak debu mengepul naik, lalu muncullah pasukan tentera, yang ia tidak tahu berapa jumlahnya, ia cuma dapatkan, yang menjadi kepala perang telah memberikan belbagai titahnya, maka tentera itu lantas memecah diri dalam dua barisan, timur dan barat. Ada serdadu yang kepalanya digabut pelangi putih, ada yang ditancapkan bulu burung warna lima.
Sekarang, sebaliknya daripada takut, hati Kwee ceng menjadi tertarik. Ia mengintai terus.
Tidak lama setelah barisan teraur rapi, segera terdengar suara terompet dari sebelah belakang, dari sana muncul beberapa barisan lain yang dikepalai oelh satu perwira muda jangkkung dan kkurus, tubuhnya ditutupi dengan mantel merah. Ia memegang sebatang golok panjang, lantas ia pimpin tentaranya menyerbu, dari itu di situ sudah lantas terjadi suatu pertempuran.
Pihak penyerang ini berjumlah lebih sedikit, walaupun tampaknya mereka kosen, tidak lama mereka mesti mundur sendirinya. Tapi di belakang mereka lantas tiba bala bantuan, mereka menyerang pula. Meski begitu, agaknya mereka ini tidak dapat bertahan lama.
Sekoyong-konyong terdengar suara terompet riuh, dibantu sama suara tambur, mendengar itu tentera penyerang lantas berseru-seru kegirangan: “Kha Khan Temuchin telah datang! Kha Khan telah datang!”
Atas itu orang-orang yang lagi bertempur lantas menoleh ke arah timur selatan, dari mana datangnya suara terompet dan tambur tadi.
Juga Kwee Ceng turut beralih pandangannya. Ia tampak satu pasukan besar, yang mendatangi dengan cepat. Di tengah pasukan di panjar sebuah tiang yang tinggi di mana ada tergantung beberapa lapis bulu putih. Dari sana pun datang seruan-seruan kegirangan. Atas ini, tentera penyerang jadi dapat semangat, mereka menyerang pula dengan seru, hingga mereka dapat mengacaukan lawannya.
Tiang yang tinggi itu bergerak ke arah tanjakan bukit, Kwee Ceng dengan matanya yang jeli, dari tempat sembunyinya, mengawasi ke arah tiang itu. Dengan begitu ia dapat lihat satu perwira yang menunggang kuda, yang larikan kudanya itu naik ke tanjakan. Dia ada memakai kopiah perang dari besi, janggutnya merah, dari atas kudanya ia memandang ke medan pertempuran. Disamping dia ada beberapa pengiringnya.
Tidak antara lama panglima muda yang bermantel merah larikan kudanya naik ke tanjakan.
“Ayah, musuh berjumlah lebih banyak berlipat ganda, mari kita mundur dulu!” berseru ia kepada orang di bawah tiang bendera itu.
Temuchin, demikian panglima yang dipanggil ayah itu, sudah melihat tegas keadaan pertempuran itu, ia Cuma berdiam sebentar, lantas ia berikan titahnya: “Kau bawa selaksa serdadu mundur ke timur!” demikian titahnya itu. Sambil berbuat begitu, ia tetap mengawasi medan perang. Lalu ia memberi perintah pula: “Mukhali, kau bersama pangeran kedua serta selaksa serdadu mundur ke barat, kau Borchu, bersama Chilaun serta selaksa serdadumu mundur ke utara! Dan kau, Kubilai, bersama Subotai serta selaksa serdadu, lekas mundur ke selatan! Kapan kau lihat bendera besar di kerak tinggi dan dengar terompet dibunyikan, kau mesti kembali untuk melakukan penyerangan membalas!”
Semua perwira itu menyahuti tanda mereka menerima titah, habis itu semua bawa barisannya menyingkir ke arah yang telah disebutkan tadi, maka sebentar saja, tentera Mongolia itu nampaknya lati serabutan keempat penjuru arah.
Tentara musuh bersorak-sorai menampak lawannya lari tumpang siur, mereka pun segera melihat bendera putih besar dari Temuchin di atas bukit, mereka lantas saja berkoak-koak: “Tangkap hidup Temuchin! Tangkap hidup Temuchin!”
Lalu tentara itu dengan rapat sekali, berlomba mendaki bukit, mereka tidak ambil peduli lagi kepada musuh yang lari tunggang-langgang.
Temuchin tetap berdiam tegak di tempatnya, ia dikitari belasan pengiringnya yang dengan memasang tameng mereka itu, melindungiini pemimpin dari sambarannya berbagai anak panah. Dilain pihak adik angkat Temuchin, yaitu Sigi Kutuku, bersama Jelmi panglima yang kosen, dengan lima ribu jiwa serdadu mereka, melakukan pembelaan si sekitar bukit itu, tak sudi mereka mundur dari serangan musuh, mereka tidak menghiraukan anak panah dan golok.
Kwee Ceng saksikan itu semua, ia gembira berbareng negri.
Setelah bertempur sekitar satu jam lebih, dari lima ribu serdadunya Temuchin itu, seribu lebih telah terbinasa, akan tetapi juga serdadu musuh, banyak yang telah rubuh, jumlahnya bebearap ribu jiwa, hanya karena jumlah mereka jauh lebih besar, mereka menang di atas angin, apa pula penyerang di pojok timur utara tampak lebih garang. Musuh telah mendesak hingga hampir sukar untuk dicegah lagi.
Putra ketiga dari Temuchin, yaitu Ogatai yang berada di samping ayahnya, menjadi cemas hatinya.
“Ayah, apa boleh kita kerek bendera dan membunyikan terompet?” dia bertanya.
Dengan matanya yang tajam bagai mata burung elang, Temuchin mengawasi ke bawah kepada tentara musuh, lalu dengan suara dalam, ia menyahuti: “Musuh masih belum lelah.”
Ketika itu penyerangan musuh di timur laut bertambah hebat. Di sana pun dikerek batang bendera besar.
Itu ada tanda bahwa di sana ada tiga kepala perang yang memegang pimpinan.Di pihak Mongolia, orang terpaksa main mundur.
Jelmi lari naik ke atas bukit.
“Kha Khan, anak-anak tak sanggup bertahan!” dia teriaki junjungannya.
“Tak sanggup bertahan?!” berseru Temuchin dengan gusar. “Bagaimana dapat kau banggakan diri sebagai satu pendekar gagah perkasa?!”
Air mukanya Jelmi menjadi berubah, lantas ia rampas sebatang golok besar dari tangannya satu serdadu, dengan bawa itu sambil serukan seruan-seruan peperangan bangsanya, ia menerjang barisan musuh, ia membuka jalan hingga di depan satu bendera hitam.
Sejumlah serdadu mush mundur melihat orang demikian bengis. Jelmi maju menyerang tiga serdadu musuh yang bertubuh besar, ia binasakan satu demi satu, kemudian dengan lemparkan goloknya, ia rangkul ketiga bendera besar itu untuk dibawa lari mendaki bukit, setibanya di atas, ia tancap tiga batang bendera itu di tanah!
Kaget nusuh menyaksikan lawannya demikian kosen. Dilain pihak, tentara Mongolia bertempik sorak, mereka lantas tutup pula kebocoran di timur utara itu.
Berselang lagi satu jam, dipihak musuh, di pojok barat selatan, tampak satu panglima dengan pakaian perang hitam, hebat ilmu panahnya, sebentar saja ia telah rubuhkan belasan tentera Mongolia. Dua perwira Mongolia maju hendak menerjang tetapi mereka disambut oleh anak panah dan rubuh karenanya.
“Bagus ilmu panahnya!” Temuchin puji musuh itu.
Justru itu, “Ser!” sebatang anak panah menyambar sebelum pimpinan Mongol ini dapat berdaya, lehernya telah terkena anak panah itu, sedang satu anak panah lainnya menyambar ke arah perutnya.
Biar bagaimana juga, Temuchin adalah satu orang peperangan yang ulung, walaupun lehernya terluka dan sakit sekali rasanya, ia tidak menjadi gugup, dengan kedut lesnya, ia membuat kudanya berjingkrak berdiri dengan dua kaki belakangnya. Dengan begitu, anak panah tidak lagi menyambar ke perut orang, hanya nancap di dadanya kuda, nacap sampai di batas bulu. Maka tidak ampun lagi, rubuhlah binatang tunggangannya itu berikut penunggangnya.
Semua serdadu Mongol kaget, semua lantas meluruh untuk tolongi kepala perang mereka. Musuh gunai ketika baik ini untuk menerjang naik dengan hebat.
Kutuku di arah barat telah pimpin tentaranya melawan musuh, ia kehabisan anak panah dan tobaknya pun telah patah, terpaksa ia balik mundur.
Merah matanya Jelmi melihat kawannya itu mundur.
“Kutuku, apakah kau ngiprit sebagai kelinci?” ia menegur dengan ejekannya.
Kutuku tidak gusar, sebaliknya ia tertawa. “Siapa lari ngiprit?” katanya. “Aku kehabisan anak panah!”
Temuchin yang rebah di tanah telah tarik keluar anak panahnya dari kantong panahnya yang tersulam, ia lemparkan itu kepada adik angkatnya itu.
Mendapatkan anak panah, Kutuku segera beraksi. Beruntun tiga kali ia memanah kepada musuh yang berada dibawahnya sebuah bendera hitam, sebatang busur membuat musuh itu rubuh, sesudah mana, ia memburu ke bawah bukit, untuk rampas kuda musuh, akan kemudian ia lari pula naik ke atas.
“Saudaraku yang baik, hebat kau!” Temuchin puji adik angkatnya itu.
Kutuku mandi keringat.
“Apakah sekarang sudah boleh kita menaikkan bendera dan membunyikan terompet?” ia tanya, suaranya perlahan.
Temuchin tutup lukanya dengan telapakn tangannya, darah molos keluar dari sela-sela jari tangannya itu, dalam keadaan terluka, ia memandang ke arah musuh.
“Musuh masih belum lelah,” sahutnya. “Kita tunggu sebentar lagi.”
Kutuku lantas berlutut di depan kakak angkatnya itu, yang berbareng menjadi pemimpinnya.
“Kami semua rela berkorban untuk kau,” katanya, “Tapi Kha Khan, tubuhmu penting sekali!”
Mendengar itu, melihat sikap orang, Temuchin lantas berlompat untuk naik ke atas seekor kuda.
“Semuanya membela mati bukit ini!” ia berseru. Dengan goloknya yang panjang, ia bunuh tiga musuh yang menerjang ke arahnya.
Musuh yang tengah merangsak naik, kaget melihat kepala perang lawannya dapat naik kuda pula, sendirinya mereka mundur, hingga penyerangan mereka menjadi reda.
Temuchin lihat keadaan itu, ia gunai ketikanya yang baik. “Naikkan bendera! Tiup terompet!” dia berteriak dengan titahnya.
Tentara Mongolia bertempik sorak, lalu bendera putih yang besar dikerek naik, disusul sama bunyi terompet ynag riuh. Serempak dengan itu, tentera Mongolia dengan bersemangat menyerang dari segala penjuru, dimana mereka berada.
Musuh berjumlah besar, barisan mereka tengah kacau, maka itu diserang demikian mendadak, mereka menjadi bertambah kacau.
Panglima dengan seragam hitam itu nampak keadaan jelek, ia berteriak-teriak untuk mencegah kekacauan, akan tetapi sia-sia saja percobaannya itu, tentaranya tak dapat dikendalikan lagi. Maka itu tidak usah berselang dua jam, runtuhlah pasukan perang yang besar itu, termusnahkan pasukan Mongolia yang jumlahnya lebih sedikit tetapi yang semangatnya berapi-api. Sisa tentara lantas lari serabutan, si panglima seragam hitam sendiri terpaksa kaburkan kudanya.
“Tangkap musuh itu!” Temuchin memberi titah. “Hadiahnya sepuluh kati emas!”
Beberapa puluh serdadu Mongol sudah lantas kaburkan kuda mereka, akan kejar panglima berbaju hitam itu. Mereka itu mendekati saling susul. Akan tetapi lihay panah si panglima, tak pernah gagal, maka itu belasan serdadu lantas saja terjungkal dari kuda mereka, hingga yang lainnya menjadi terhalang. Dengan begitu pula pada akhirnya, panglima itu dapat meloloskan diri.
Kwee Ceng dari tempat sembunyinya sangat mengagumi panglima berbaju hitam itu.
Dengan pertempuran ini Temuchin, ialah pihak Mongolia, telah peroleh kemenangan besar dan musuhnya ialah bangsa Taijiut, telah musnah lebih daripada separuhnya. Maka sejak itu, Temuchin tidak usah khawatirkan lagi ancaman dari pihak musuhnya itu.
Dengan kegirangan, sambil bersorak-sorak, tentara Mongolia iringi kepala perangnya berangkat pulang.
Kwee Ceng tunggu sampai orang sudah pergi semua, tak kecuali mereka yang mengurus korban-korban, baharu ia keluar dari tempat sembunyinya. Ketika ia tiba dirumahnya, waktu sudah tengah malam, justru ibunya sedang berdebar-debar hatinya memikirkan anaknya yang dikhawatirkan menghadapi ancaman bahaya.
Kwee Ceng segera terangkan kepada ibunya kenapa ia pulang lambat sekali.
Senang Lie Peng akan saksikan anaknya bercerita dengan cara sangat gembira, anak ini tidak sedikit juga menunjukkan hati jeri, maka itu ia menjadi teringat kepada suaminya.
“Dasar turunan orang peperangan, ia mirip dengan ayahnya…” pikir ibu ini. Maka diam-diam ia pun bergirang.
Tiga hari kemudian, pagi-pagi sekali, Lie Peng berangkat ke pasar yang terpisahnya kira-kira tigapuluh lie lebih dari rumahnya untuk menukar tenunannya, - dua helai permadani – dengan barang-barang makanan. Kwee Ceng ditinggal di rumah untuk menjagai binatang piaraan mereka. Anak ini ingat akan peperangan yang ia saksikan, ia jadi gembira sekali, ia anggap peperangan itu dapat dibuat permainan, maka dengan mainkan cambuknya, sambil ia duduk di atas kudanya, ia mencoba menggiring kambingnya pulang pergi. Ia mau anggap dirinya adalah satu panglima perang!
Tengah anak ini main jenderal-jenderalan itu, tiba-tiba ia dengar tindakan kaki kuda di arah timur, apabila ia menoleh, ia tampak seekor kuda lari mendatangi, di bebokong kuda ada satu tubuh manusia yang mendekam. Begitu datang dekat, kuda itu kendorkan larinya. Penunggang kuda itu yang mendekat, treus angkat kepalanya, memandang kepada si bocah itu, siapa lantas menjadi kaget sekali, hingga ia keluarkan teriakan tertahan.
Penunggang kuda itu mukanya penuh debu bercampur darah, adalah si panglima perang berbaju hitam yang gagah, yang Kwee Ceng saksikan dan mengaguminya, ditangan kirinya ia mencekal goloknya yang telah buntung, golok yang mana pun ada darah yang sudah mengental, sedang panahnya tidak kedapatan padanya. Mungkin ia yang tengah melarikan diri telah bertemu pula dengan musuh. Di pipi kanannya ada sebuah luka besar dan masih mengucurkan darah. Paha kudanya pun terluka, darahnya masih mengalir.
Tubuh panglim aitu bergoyang-goyang, matanya bersinar merah.
“Air…air…lekas bagi air…” katanya, suaranya parau.
Kwee ceng lantas lari mengambil air dingin dari jambangannya, yang mana si panglima lantas saja sambar untuk digelogoki.
“Mari lagi satu mangkok!” dia meminta pula.
Panglima itu baharu minum setengah mangkok, air itu sudah bercampur dengan darah yang mengalir dari lukanya, tetapi ia rupanya telah puas telah dapat air, tiba-tiba ia tertawa, hanya habis itu wajahnya berjengit, tubuhnya terus rubuh dari atas kudanya itu. Dia jatuh pingsan.
Kwee Ceng kaget dan bingung, ia menjerit. Tak tahu ia mesti berbuat apa.
Selang sekian lama, orang itu sadar dengan sendirinya.
“Lapar! Lapar!” kali ini ia bersuara.
Kwee Ceng lekas-lekas mengambilkan beberapa potong daging kambing, orang itu memakannya dengan sangat bernafsu, setelah itu ia dapat pulang tenaganya. Demikian dia bisa geraki tubuhnya untuk berduduk.
“Adik yang baik, banyak-banyak terima kasih kepadamu!” dia mengucap. Dari lengannya ia tarik sebuah gelang emas yang kasar dan berat. “Untukmu!” dia tambhakan seraya dia angsurkan barang permata itu kepada bocah itu.
Kwee Ceng menggeleng-gelengkan kepala. “Ibu telah pesan, kami harus membantu tetamu tetapi tidak boleh menginginkan barang tetamu,” ia bilang.
Orang itu tercengang, lalu ia tertawa terbahak-bahak. “Anak yang baik! Anak yang baik!” ia memuji. Ia lantas sobek ujung bajunya, untuk dipakai membalut lukanya. Ia pun balut luka kudanya.
Itu waktu samar-samar terdengar suara larinya banyak kuda di arah timur, mendengar itu tetamunya Kwee Ceng ini menjadi gusar sekali.
“Hm, dia tak hendak melepaskan aku!” serunya sengit. Ia pun lantas memandang ke arah timur itu.
Kwee Ceng pun lantas ikut memandang juga.
Sekarang di sebelah suara berisik itu terlihat debu mengepul. Rupanya banyak sekali serdadu barisan berkuda temgah mendatangi.
“Anak yang baik, apakah kau ada punya panah?” tanya si tetamu.
“Ada!” sahut Kwee Ceng yang terus lari ke dalam untuk ambil panahnya.
Orang itu perlihatkan roman girang, hanya tempo si bocah itu kembali, ia menjadi lesu. Tapi lekas sekali ia tertawa berkakakkan.
Kwee Ceng telah bawa gendewa dan anak panahnya yang kecil.
“Aku hendak bertempur, aku ingin panah yang besar….” katanya panglima itu kemudian, alisnya lantas menjadi ciut.
“Yang besar tidak ada….” sahut Kwee Ceng.
Ketika itu pasukan yang mendatangi telah tampak semakin tegas, benderanya pun berkibar-kibar.
“Seorang diri tak dapat kau lawan mereka, lebih baik kau sembunyi,” kata Kwee Ceng kemudian.
“Sembunyi di mana?” orang itu tanya.
Kwee Ceng menunjuki tumpukan rumput kering di belakang rumahnya.
“Aku tidak akan mengasih tahu kepada mereka,” ia berjanji tanpa diminta.
Orang itu mengambil putusan dengan segera. Ia insyaf, walaupun ia sudah dapat pulang tenaganya, dengan kudanya yang terluka, tak dapat ia lari lebih jauh. Jadi ada lebih selamat untuk sembunyikan diri. Lain jalan tidak ada.
“Baik, aku serahkan jiwaku kepadamu!” katanya. “Pergi kau usir kudaku!” setelah berkata demikian, ia pun lari ke tumpukan kering itu dan menyelusup kedalamnya.
Kwee Ceng mencambuk kuda itu, dua kali atas mana kuda yang hitam bulunya itu segera lompat kabur, sesudah lari cukup jauh, baharu ia berhenti untuk makan rumput.
Kwee Ceng naik ke atas kudanya, ia larikan kuda itu bolak balik. Ia bisa berlaku tenang, seperti tak pernah terjadi sesuatu.
Tidak lama tibalah barisan berkuda itu. Mereka rupanya lihat bocah yang menunggang kuda itu, dua serdadu lantas menghampirinya.
“Eh, bocah, kau lihat tidak satu orang yang menunggang kuda hitam?”
Itulah teguran dari satu diantara dua serdadu itu, suaranya kasar.“Ya, aku dapat lihat,” Kwee ceng menjawab.
“Di mana?” tanya serdadu yang kedua.
Kwee Ceng menunjuk ke barat. “Dia sudah pergi lama sekali,” ia menerangkan
“Bawa dia kemari” berseru perwira yang mengepalai pasukan itu. Ia tidak dengar pembicaraan di antara dua orangnya dengan si bocah.
“Mari ketemu pangeran!” berkata dua serdadu itu, yang lantas terus tarik les kuda orang untuk dibawa kepada sang pangeran.

Si pangeran telah sampai di depan rumah“Aku tidak akan bicara!” Kwee Ceng telah mabil keputusan dalam hatinya.
Ia lihat banyak serdadu sedang mengiringi satu anak muda yang kurus dan jangkung, yang tubuhnya ditutupi denagn mantel merah. Ia lantas kenali itu adalah panglima yang pimpin tentera. Dia adalah putra sulung dari Temuchin.
“Apakah katanya bocah ini?” tanya ia membentak.
Dua serdadu itu sampaikan jawabannya Kwee Ceng.
Dengan matanya mengandung kecurigaan, putra sulung itu memandang ke sekitarnya.
Ia lantas dapat lihat itu kuda hitam yang lagi makan rumput di kejauhan.“Bukankah itu kudanya?” ia tanya, suaranya dalam. “Coba bawa kuda itu kemari!”
Begitu keluar perintah itu, sepuluh serdadu lanats bergerak dengan mereka memecah diri dalam lima rombongan, untuk hampirkan itu kuda dengan dikurung, hingga walaupun binatang itu berniat lari, jalannya sudah tertutup. Dengan gampang ia kena ditangkap dan dituntun.
“Hm! Bukankah itu kudanya Jebe?” putra itu tanya.
“Benar!” sahut banyak serdadu, suara mereka riuh.
Putra sulung itu ayunkan cambuknya ke arah kepalanya Kwee Ceng.

“Dia sembunyi di mana, hai, setan cilik?!” tanya dengan bengis. “Jangan kau harap dapat mendustai aku!”Jebe, itu panglima berseragam hitam yang sembunyi di dalam tumpukan rumput, bersembunyi sambil memasang mata, tangannya mencekal keras goloknya yang panjang. Ia lihat penganiayaan itu yang menyebabkan jidatnya Kwee ceng memeberi tanda baret merah, hatinya menjadi memukul keras. Ia kenal si putra sulung – putra Temuchin itu – ialah Juji yang tabiatnya keras dan kejam.
Ia memikir: “Pasti bocah itu tak tahan sakit dan ketakutan. Tidak ada jalan lain, aku terpaksa mesti keluar untuk adu jiwaku….”Kwee Ceng kesakitan bukan main, mau ia menangis akan tetapi ia menahan sakit, ia cegah keluarnya air matanya. Dia angkat kepalanya dan menanya dengan berani: “Kenapa kau pukul aku? Mana aku ketahui dia bersembunyi di mana!”
“Kau membandel?!” bentak Juji. Lagi sekali ia mencambuk.
Kali ini Kwee Ceng tak dapat tak menangkis. Tapinya ia lantas berteriak : “Aku tidak tahu! Aku tidak tahu!”
Ketika itu sejumlah serdadu sudah geledah rumahnya Kwee ceng, sedang dua yang lain menusuk-nusuk ke dalam tumpukan rumput kering itu.
Kwee Ceng lihat orang hendak tusuk bagian dimana panglima nelusup, tiba-tiba tangannya menunjuk ke tumpukan rumput yang jauh sambil ia berteriak: “Lihat di sana, benda apakah itu yang bergerak-gerak?”
Semua serdadu lantas berpaling mengawasi, mereka tidak lihat suatu apa yang bergerak. Kedua serdadu tadi pun sampai lupa untuk menusuk-nusuk terlebih jauh.
“Kudanya ada disini, dia mestinya tidak lari jauh!” Juji berkata pula. “Eh, setan cilik, kau hendak bicara atau tidak?!”. Dia mengancam pula Kwee Ceng dengan cambuknya diayun tiga kali beruntun.
Hampir di itu waktu dari kejauhan terdengar suara terompet.
“Kha Khan datang!” sejumlah serdadu berteriak.
Juji lantas berhenti mencambuk, ia putar kudanya untuk menyambut ayahnya, Temuchin, Kha Khan – Khan yang terbesar.
“Ayah!” demikian ia menyambut.
Ayahnya itu dirubungi banyak pengiringnya.
Berat lukanya Temuchin bekas terpanah Jebe, tetapi di medan perang, ia coba sebisanya akan menahan sakit, adalah sehabisnya pertempuran, ia pingsan beberapa kali, hingga ia perlu ditolongi dengan Jelmi panglimanya serta Ogotai putranya yang ketiga, mesti isap darah – hingga darahnya itu ada yang kena ketelan dan dimuntahkan. Satu malam dia gadangi semua panglimanya serta keempat putranya. Baharu keesokan harinya, di hari kedua, dia lolos dari ancaman bahaya maut.
Oleh karena itu, tentera Mongolia dikirim ke empat penjuru untuk cari Jebe, yang hendak ditawan, untuk hukum dia dengan dibeset empat kuda dan dicincang tubuhnya guna membalaskan sakit hatinya Khan yang terbesar itu.
Dihari kedua pada waktu sore, sepasukan serdadu berhasil menemukan Jebe. Musuh itu dikepung tetapi ia dapat meloloskan diri sambil membinasakan beberapa jiwa serdadu Mongol. Ia sendiri pun telah terluka.
Kapan Temuchin dengar kabar itu, lebih dahulu ia kirim putra sulungnya, Juji, pergi menyusul dan mengejar, kemudian ia sendiri mengajak putranya yang kedua, Jagati, putranya yang ketiga, Ogotai dan putra sulungnya, Tuli, cepat menyusul. Inilah sebabnya kenapa ia datang belakangan.
“Ayah, kuda hitamnya bangsat itu telah dapat ditemukan!” ia memberitahukan.
“Aku tidak menghendaki kuda tetapi orangnya!” ayahnya itu menjawab.
“Ya!” sahut putra itu. “Pasti kita akan mendapatkannya!” Ia balik kepada Kwee Ceng . Kali ini ia hunus goloknya, ia bolang-balingkan itu ke udara.
“Kau hendak berbicara atau tidak!” ia mengancam.
Kwee Ceng telah mandi darah pada mukanya, ia jadi terlebih berani. “Aku tidak mau bicara! Aku tidak mau bicara!” ia berteriak berulang-ulang.
Mendengar itu, Temuchin berpikir, kenapa bocah itu mengatakan: “Tidak mau bicara” dan bukannya “Aku tidak tahu?” Maka ia lantas berbisik kepada Ogotai: “Pergi kau bujuki ia hingga ia suka berbicara.”
Putra ketiga itu menurut sambil tertawa, muka ramai dengan senyuman, ia hampiri Kwee Ceng. Dari kopiah perangnya ia pun cabut dua batang bulu merak yang berkilauan.
“Kau bicaralah, akan aku berikan ini padamu…” ia kata seraya angsurkan bulu merak itu.
“Aku tidak mau bicara!” Kwee Ceng ulangi jawabannya.
Putra kedua dari Temuchin menjadi habis sabar. “Lepas anjing!” ia menitahkan.
Lantas pengiringnya muncul dengan enam ekor anjing yang besar. Bangsa Mongol paling gemar berburu, maka itu setiap keluarga bangsawan atau panglima perang mesti memelihara anjing-anjing peranti berburu, begitupun burung elang besar. Jagatai adalah putra paling gemar berburu, kapan ia pergi berburu, dia tentu bawa enam ekor anjingnya itu. Sekarang anjing itu diperintah dibawa mengitari kuda hitam, untuk diberi bercium bau, habis itu baru semuanya dilepaskan dari rantainya.
Kwee Ceng dengan Jebe tidak saling mengenal, hanya kegagahan panglima berseragam hitam itu sangat mengesankan kepadanya, hingga dengan lantas ia suka memberikan pertolongannya. Sekarang setelah ia dianiaya Juji, timbul kemarahannya, bangkit keangkuhannya dan tidak sudi ia menyerah. Kapan ia lihat orang melepas anjing, tahu ia panglima itu terancam akan ketahuan tempat persembunyiannya, untuk mencegah ia lantas bersiul memanggil anjingnya sendiri, anjing pembantu penggembala.
Enam ekor anjingnya Jagati sudah mulai mencium-cium ke tumpukan rumput kering, kapan anjing Kwee Ceng dengar panggilan majikannya, tahu ia akan tugasnya, ia mendahului menghalang di depan tumpukan rumput kering itu dan melarang enam ekor anjing itu menghampirinya.
Jagati menjadi tidak senang, ia perintah anjingnya maju, maka sekejap saja terjadilah pertarungan yang sengit sekali, gonggongan mereka sangat berisik. Sayang anjing penggembala itu jauh lebih kecil dan ia pun bersendirian, ia lantas digigit di sana sini, banyak lukanya. Tapi ia gagah, dia tak mau mundur.
Hati Kwee Ceng menjadi kecil, tetapi ia pensaran dan marah, ia perdengarkan suaranya berulang-ulang menganjuri anjingnya melawan terus.
Hati Juji menjadi sangat dongkol, ia ayunkan pula cambuknya berulangkali hingga Kwee Ceng merasakan sakit ke ulu hatinya, hingga ia rubuh bergulingan, tempo ia berguling sampai di kaki si putra sulung, mendadak ia angkat tubuhnya untuk sambar pahanya si Juji yang terus ia gigit.
Juji berontak tetapi ia tak dapat lepaskan pelukannya anak itu yang memegang ia dengan keras sekali.
Menampak sang kakak kelabakan, Jagatai, Ogotai dan Tuli menjadi tertawa bergelak-gelak.
Mukanya Juji menjadi merah, ia ayunkan goloknya ke lehernya si Kwee Ceng. Disaat batang lehernya bocah yang bernyali besar itu bakal menjadi putus, tiba-tiba sebuah golok buntung menyambar, mengenai tepat goloknya Juji itu. Nyaring bentroknya kedua senjata itu. Juji terperanjat, sebab goloknya hampir terlepas dari cekalannya.
Semua orang terkejut, antaranya ada yang berseru kaget.
Menyusuli goloknya itu, Jebe lompat keluar dari tempatnya bersembunyi. Ia sambar Kwee Ceng, yang ia tarik tubuhnya dengan tangan kiri untuk disingkirkan ke belakangnya, terus dengan tertawa dingin, dia berkata: “Menghina anak kecil, tak malukah?!”
Lantas saja Jebe dikurung oleh serdadu Mongol, yang bersenjatakan golok dan tombak.
Ia lemparkan goloknya.Juji menjadi sangat gusar, ia meninju dada orang. Atas itu Jebe tidak membalas menyerang. Sebaliknya ia berseu: “Lekas bunuh aku!” Kemudian, dengan suara mendalam, ia menambahkan: “Sayang aku tak dapat terbinasa di tangannya satu orang gagah perkasa…!”
“Apakah kau bilang?” tanya Temuchin.
“Jikalau aku dibinasakan di medan perang oleh orang yang dapat menangi aku, aku akan mati dengan puas,” sahut Jebe, “Sekarang ini burung elang jatuh di tanah, dia mati digerumuti semut!”
Habis mengucap begitu, terbuka lebar matanya ini panglima, dia berseru dengan keras.
Enam anjingnya Jagatai yang lagi gigiti anjingnya Kwee Ceng menjadi kaget, semuanya lompat mundur dengan ketakutan, ekornya diselipkan ke selangkangannya.
Disampingnya Temuchin muncul satu orang. “Kha Khan, jangan kasih bocah ini pentang mulut besar!” dia berseru.
“Nanti aku layani dia!”Temuchin lihat orang itu adalah panglimanya, Borchu.
Ia girang sekali. “Baik, pergi kau layani dia!” ia menganjurkan.Borchu maju beberapa tindak. “Seorang diri akan aku bunuh kau, supaya kau puas!” katanya nyaring.
Jebe awasi orang itu, yang tubuhnya besar dan suaranya nyaring. “Siapa kau?!” ia tanya.
“Aku Borchu!” panglima itu membentak.
Jebe berpikir: “Memang pernah aku dengar Borchu adalah orang kosen bangsa Mongolia, kiranya dia inilah orangnya…” Ia tidak menjawab, ia cuma perdengarkan suara dingin, “Hm!”
“Kau andalkan ilmumu memanah, orang sampai menyebut kau Jebe,” berkata Temuchin. “Maka sekarang, pergilah kau bertanding dengan sahabatku ini!”
“Jebe” itu memang berarti “Ahli memanah”. Jebe ada punya namanya sendiri tetapi nama itu kalah dengan gelarannya, hingga orang tidak mengetahuinya lagi.
Mendengar orang adalah “sahabatnya” Temuchin, Jebe berkata: “Kau adalah sahabatnya Khan yang terbesar, aku akan lebih dahulu binasakan padamu!”
Tertawa Mongol tertawa riuh. Mereka anggap orang ini tidak tahu diri. Borchu itu kosen dan belum pernah ada tandingannya.
Ketika dahulu Temuchin belum menjadi kepala bangsa Mongol, dia pernah ditawan bangsa Taijiut, musuhnya, lehernya dipakaikan kalung kayu. Bangsa Taijiut itu membikin pesta di tepinya sungai Onan, sembari minum koumiss, mereka saban-saban mencaci Temuchin, yang mereka hinakan sesudah mana mereka berniat membunuhnya. Setelah pesta bubaran, Temuchin berhasil menghajar penjaganya dengan kalung kayunya itu, ia lari ke dalam rimba, sia-sia bangsa Taijiut mencari dia.
Satu anak muda yang bernama Chila’un tidak takut bahaya, dia tolongi Temuchin, kalung kayunya dirusaki dan dibakar. Ia dinaiki ke atas sebuah kereta besar yang muat bulu kambing. Ketika musuh Taijiut datang mencari dan rumah Chila’un digeledah, digeledah juga kereta itu. Hampir Temuchin kepergok tapi ayahnya Chila’un pintar, dia berkata: “Hari begini panas mengendus, mustahil orang dapat sembunyi di dalam bulu kambing” Memang hawa ada sangat panas, setiap orang seperti bermandikan keringat. Alasan itu kuat, kereta itu batal digeledah.
Setelah lolos ini, sengsara hidupnya Temuchin. Bersama ibu dan adik-adiknya ia mesti hidup dari daging tikus hutan. Sudah itu pada suatu hari, delapan ekor kudanya yang putih pun kena orang curi. Ia penasaran, ia pergi mencari pencuri kuda itu. Ia ketemu satu anak muda yang lagi peras susu kuda. Ia tanya kalau-kalau pemuda itu lihat pencuri kudanya.
Pemuda itu ialah Borchu.
Dia berkata: “Penderitaannya bangsa pria sama saja, mari kita ikat persahabatan.” Temuchin sambut itu ajakan. Maka kemudian, mereka berdua pergi mencari bersama. Tiga hari mereka menyusul, baharu mareka dapat menyandak si pencuri kuda. Dengan panah mereka yang lihay, mereka bubarkan rombongan pencuri kuda itu dan berhasil merampas pulang ke delapan kuda yang dicuri itu. Temuchin hendak membalas budi dengan membagi kudanya. Ia tanya sahabatnya itu menghendaki berapa ekor. Borchu menjawab: “Aku keluarkan tenaga untuk sahabatku, seekor juga aku tidak menginginkannya!”Sejak itu keduanya bekerjasama, sampai Temuchin berhasil mengangkat dirinya. Borchu tetap menjadi sahabatnya dengan berbareng menjadi panglimanya, hingga bersama Chila’un ia menjadi empat di antara menteri besar dan berjasa dari Jenghiz Khan (nama Temuchin setelah ia menaklukan bangsa-bangsa yang lain).
Temuchin tahu kegagahannya Borchu, ia serahkan panahnya sendiri. Ia pun lompat turun dari kudanya.
“Kau naik atas kudaku, kau pakai panahku,” katanya. “Itu sama saja dengan aku sendiri yang memanah dia!”
“Baik!” Borchu menyahuti. Dengan tangan kiri mencekal gendewa dan tangan kanan memegang naka panah, dia lompat ke atas kudanya Temuchin.
“Kau kasihkan kudamu pada Jebe!” Temuchin berkata pada Ogotai, putranya yang ketiga.
“Sungguh dia beruntung!” kata Ogotai, yang suruh orang serahkan kudanya.
Jebe naik ke bebokong kuda, dia berkata pada Temuchin: “Aku telah terkurung olehmu, sekarang kau beri ketika untuk aku adu panah dengannya, aku bukannya seorang yang tak tahu diri, tak dapat aku layani dia cara seimbang. Aku menghendaki hanya sebuah gendewa, tak usah anak panahnya!”
“Kau tak pakai anak panah?!” tanya Borchu gusar.
“Tidak salah!” sahut Jebe. “Dengan sebuah gendewa saja, aku pun dapat membunuh kau!”
Tentara Mongol menjadi berisik. “Binatang ini sangat sombong!” seru mereka.
Borchu tahu Jebe memang lihay, dia tidak berani memandang enteng. Ia jepit perut kudanya akan bikin kuda itu lari. Binatang itu yang telah berpengalaman, tahu akan tugasnya.
Jebe lihat kuda lawan gesit, ia pun larikan kudanya ke lain arah.
Borchu lantas bersiap, lalu “Ser!” maka sebuah anak panah menyambar ke arah Jebe.
Jebe berkelit dan sambil berkelit tangannya menyambar, menangkap anak panah itu.
Borchu terkejut, ia memanah lagi pula.
Jebe tidak sempat menangkap pula, ia mendekam akan kasih lewat anak panah itu. Ia selamat. Tapi Borchu tidak berhenti sampai disitu, lagi dua kali ia memanah dengan saling susul. Kali ini Jebe kaget. Inilah ia tidak sangka. Tidak lagi ia mendekam, ia hanya bawa tubuhnya turun dari bebokong kuda, kaki kanannya nyangkel pada sanggurdi, tubuhnya meroyot hampir mengenai tanah. Ia tidak cuma menolong diri, kesempatan ini dipakai untuk membalas menyerang, mengarah perut Borchu, habis mana ia angkat tubuhnya, untuk duduk pula atas kudanya!
“Bagus!” Borchu memuji lawannya itu. Ia terus memanah, untuk papaki anak panah lawan. Maka kedua anak panah itu saling bentrok lalu mental, jatuh nancap di tanah.
Temuchin dan semua orangnya bersorak memuji.
Borchu memanah pula. Mulanya ia cuma mengancam, setelah itu ia memanah betul-betul. Ia mengincar ke sebelah kanan.
Jebe lihat anak panah datang, ia menyambok dengan gendewanya, hingga anak panah itu jatuh ke tanah. Ketika ia diserang pula, beruntun tiga kali, terus ia main berkelit. Kemudian ia larikan kudanya, selagi kuda itu lari, ia cenderungkan tubuh ke bawah untuk jemput tiga anak panah yang tergeletak di tanah. Cepat sekali ia membalas memanah, satu kali.
Borchu perlihatkan kepandaiannya. dengan enjot diri, ia berdiri di atas kudanya, lalu dengan sebelah kakinya ia sampok anak panah yang menyambar kepadanya itu. Dilain pihak, ia berbareng membalas memanah.
Jebe berkelit, sambil berkelit ia memanah pula. Tapi ia panah anak panahnya Borchu, hingga anak panah itu terpanah dua.
Borchu menjadi berpikir: “Aku ada punya anak panah, dia tidak, sekarang kita seri, dengan begini mana bisa aku membalaskan sakit hatinya Khan yang terbesar?”
Ia menjadi bergelisah. Lantas ia memanah pula beruntun beberapa kali, terus-menerus.Selagi mata orang banyak seperti di bikin kabur, Jebe pun berkelit tak hentinya. Tapi anak panah datang demikian cepat, hingga akhirnya pundaknya yang kiri kena juga terpanah, hingga ia merasakan sangat sakit.
Semua penonton bersorak.
Borchu menjadi girang sekali. Tapi ia belum puas, hendak ia memanah lebih jauh, untuk rampas jiwa orang. Maka ia lantas merogoh ke kantung panahnya, tiba-tiba ia menjadi terkejut. Tanpa merasa, ia telah gunai habis semua anak panahnya, anak panah yang diberikan oleh Temuchin kepadanya. Sebenarnya ia biasa berbekal banyak anak panah, kali ini ia pakai kantong panah Temuchin, yang anak panahnya ada batasnya. Dalam kagetnya ia putar kudanya untuk balik, sambil turunkan tubuhnya, ia pungut anak panah di tanah.
Jebe telah lihat tegas musuhnya itu, ia gunai ketikanya. Ia panah bebokong musuh itu, dan tepat mengenai.
Semua penonton kaget, mereka menjerit. Hanya aneh, walaupun sambaran anak panah itu keras sekali, itu cuma menyebabkan Borchu merasa sakit pada bebokongnya, ujung panah tidak menancap, anak panah itu jatuh ke tanah! Dengan keheranan, ia pungut anak panah itu. Segera ia ketahui sebabnya ia tidak terluka. Anak panah itu tidak ada ujungnya yang tajam! Jebe telah singkirkan itu. Jadi terang, Jebe hendak mengasih ampun padanya.
“Siapa menghendaki kamu jual kebaikanmu!” teriak Borchu. “Jikalau kau benar ada punya kepandaian, kau panah mati padaku!”
Jebe menjawab: “Biasanya Jebe tidak pernah mengasih ampun pada musuhnya! Panahku barusan berarti, satu jiwa tukar dengan satu jiwa!”
Temuchin kaget dan berkhawatir menampak Borchu kena terpanah, kemudian mendapatkan orang tidak terbinasa atau terluka parah, ia menjadi girang. Kapan ia dengar perkataan Jebe itu, ia talangi Borchu menyahut: “Baik! Sudah, kamu jangan adu panah pula! Biar, jiwanya ditukar dengan jiwamu!” ia mengatakannya pada Borchu.
“Bukannya untuk ditukar dengan jiwaku!” Jebe berseru.
“Apa!” Temuchin menegaskan.
Jebe menunjuk kepada Kwee Ceng, yang berdiri di depan pintu. “Aku hendak menukarnya dengan jiwa anak ini!” katanya. “Aku minta Khan yang mulia jangan ganggu itu anak. Tentang aku sendiri….” sepasang alisnya bangkit bangun, “Aku telah panah kepada Khan yang mulia, aku harus mendapatkan hukumanku!”
Ia cabut anak panah di pundaknya, anak panah yang berdarah itu ia pasang di gendewanya.
Sementara itu serdadunya Borchu sudah hanturkan beberapa puluh batang anak panah kepala kepala perangnya itu.
“Baiklah!” kata Borchu. “Mari kita mengadu pula!” Ia lantas memanah pula, dengan saling susul.
Jebe lihat serangan berbahaya, ia lindungi diri di perut kudanya, sambil bersembunyi, ia membalas menyerang.
Kudanya Borchu sangat lihay, melihat serangan datang, tanpa tanda dari penunggangnya, ia lompat berkelit ke kiri. Tapi Jebe lihay, incarannya luar biasa, anak panahnya justru mengenai batok kepalanya kuda, maka tidak ampun lagi, rubuhlah binatang itu!
Borchu turut rubuh, terguling ke tanah. Ia khawatir ia nanti dipanah terus, ia mendahului membalas menyerang. Kali ini ia kena hajar gendewanya Jebe, hingga gendewa itu panah menjadi dua potong.
Kehilangan senjatanya, Jebe kasih kudanya lari berputaran.
Tentara Mongol bertempik sorak, untuk memberi semangat kepada Borchu.
“Dia satu laki-laki sejati!” Borchu sebaliknya berpikir. Ia menjadi si orang gagah yang menyayangi sesama orang gagah, tak ingin ia mengambil jiwa orang. Maka ketika ia memanah, walaupun ia incar tenggorokkan, ia menggeser sedikit.
Jebe gagal mengelakkan diri, anak panah lewat menyempret di pinggiran tenggorokkannya, darahnya lantas mengucur dengan keluar. Ia merasa sakit dan kaget.
“Habislah aku hari ini….” ia mengeluh dalam hatinya.
Borchu siapkan pula anak panahnya, tetapi ketika ia menoleh kepada Temuchin, ia berkata: “Kha Khan, berilah ampun kepadanya!”
Temuchin pun menyayangi Jebe. “Eh, apakah kau masih tetap tidak mau menyerah?!” ia tanya panglima musuh itu.
Jebe lihat Temuchin demikian angker, ia menjadi kagum sekali, maka ia lompat turun dari kudanya untuk terus bertekuk lutut.
Temuchin tertawa berbahak-bahak. “Bagus! Bagus!” katanya. “Selanjutnya kau ikutlah aku!”
Orang Mongol polos dan sangat gemar bernyanyi, demikian Jebe, sambil mendekam, ia lantas perdengarkan nyanyiannya:
Khan yang terbesar mengampunkan selembar jiwaku,
di belakang hari walaupun mesti menyerbu api berkobar-kobar,
aku rela.
Akan aku memotong Sungai hitam
menggempur batu gunung,
akan aku tunjang Khan yang maha besar!
Aku akan menghajar musuh,
untuk ambil hatinya!
Ke mana aku diperintah pergi,
kesana aku pergi!
Temuchin menjadi sangat girang. Ia ambil dua potong emas, yang sepotong ia berikan kepada Borchu, yang sepotongnya pula kepada Jebe.
Jebe menghanturkan terima kasih. Tapi ia terus menambahkan. “Khan yang mulia, hendak aku berikan emas ini kepada itu bocah, bolehkah?”
Temuchin tertawa. “Kalau emas itu adalah emasku, aku boleh kasihkan itu kepada siapa aku suka!” katanya. “Emas adalah kepunyaanmu, kau boleh berikan kepada siapa kau suka!”
Jebe angsurkan emas itu kepada Kwee Ceng.
Bocah itu menggoyangi kepala, tak mau ia menerimanya.
“Ibu bilang, kalau kita membantu tetamu kita, jangan kita termahai uangnya,” katanya.Temuchin telah sukai bocah ini, sekarang mendengar perkataan orang, rasa sukanya menjadi bertambah-tambah.
“Sebentar kau bawalah bocah ini kepadaku!” katanya kepada Jebe. Lantas ia ajak pasukan perangnya balik ke arah darimana tadi ia datang.
Beberapa serdadu angkat naik bangkai kuda putihnya ke bebokong dua kuda lainnya, untuk dibawa bersama, mengikuti di sebelah belakang.
Jebe menjadi girang sekali. Ia lolos dari kematian dan mendapati tuan yang bijaksana. Sambil rebahkan diri di atas rumput, ia beristirahat. Ia tunggu pulangnya Lie Peng, ibunya bocah itu, akan tuturkan kejadian barusan.
Lie Peng lantas berpikir. Dengan hidup terus sebagai penggembala, tidak tahu sampai kapan Kwee Ceng dapat membalas dendamnya. Ia percaya, kalau ia turut Temuchin, mungkin ketikanya akan lebih baik. Di dalam pasukan perang, Kwee Ceng pun dapat berlatih ilmu perang.
Maka kesudahannya, ia ajak putranya ikut Jebe kepada Temuchin.

Bab 8. Pedang Mustika

Girang Temuchin melihat kedatangan Jebe. Ia menempatkan orang gagah itu dibawah Ogotai, putranya yang ketiga yang menjadi satu siphu-thio, kepala komponi yang memimpin sepuluh serdadu. Setelah menemui tiga putra Temuchin, Jebe mencari Borchu untuk menghanturkan terima kasih. Borchu menyambut dengan baik, karena keduanya saling menghormati dan menghargai, lantas saja mereka menjdia sahabat kental.Jebe ingat budinya Kwee Ceng, ia perlakukan itu bocah dan ibunya dengan baik. Ia telah pikir, setelah Kwee Ceng tambah umurnya akan ia wariskan ilmu panah dan ilmu silat kepadanya.
Pada suatu hari selagi Kwee Ceng memain timpuk-timpukan batu bersama beberapa kawannya anak-anak Mongol di depan markas Temuchin, ia dapat lihat mendatanginya dari kejauhan dua penunggang kuda yang larikan binatangnya tunggangannya dengan kencang sekali. Ia menduga kepada berita penting yang mesti disampaikan kepada Khan yang terbesar itu. Tidak lama sejak masuknya dua orang itu ke dalam markas, lalu terdengar ramai suara terompet, menyusul mana dari pelbagai tangsi terlihat munculnya orang-orang peperangan.
Keras disiplin tentaranya Temuchin yang mengatir barisannya dalam empat rombongan. Yang pertama ialah sepuluh jiwa serdadu menjadi satu barisan kecil, komponi yang dikepalai oleh datu opsir disebut siphu-thio, lalu sepuluh komponi, atau satu eskadron, terdiri dari seratus jiwa dipimpin oleh satu pekhu-thio, kemudian lagi sepuluh eskadron, atau satu resimen, dikepalai satu cianhu-thio, dan sepuluh resimen, atau satu devisi, dipimpin oleh satu banhu-thio. Mereka itu terlatih sempurna, merupakan sebagai satu badan, kalau ada titah dari Temuchin, mereka menjadi bersatu, dari itu hebat penyerangan mereka.
Kwee ceng bersama kawan-kawannya berdiri menonton. Mereka lihat, setelah terompet yang pertama, semua serdadu sudah siap dengan senjata mereka dan naik kuda, setelah terompet yang kedua, kaki kuda mereka berbunyi tak hentinya, tubuh setiap serdadu bergoyang-goyang. Begitu terdengar terompet yang ketiga kali, sunyi senyap semuanya, kecuali napasnya kuda, yang nampak adalah satu angkatan perang besar yang terdiri dari lima pasukan dari setiap sepuluh ribu jiwa.
Dengan diiringi putra-putranya, Temuchin muncul dari dalam kemah.
“Kita telah kalahkan banyak musuh, negeri Kim pun telah tahu itu,” berkata ini pemimpin besar. “Begitulah negeri Kim itu sudah utus putranya yang ketiga bersama putranya yang keenam datang kemari untuk menganugrahkan pangkat kepada Kha Khan kamu!”
Dengan angkat tinggi golok mereka, tentara Mongol bersorak.
Tatkala itu bangsa Kim telah menduduki Tiongkok Utara, pengaruhnya tersiar luas dan jauh, sebaliknya bangsa Mongol adalah suatu suku kecil di tanah datar atau padang pasir, maka itu Temuchin anggap adalah suatu kehormatan yang ia dianugrahkan pangkat oleh kerajaan Kim itu.
Dengan satu titah dari ayahnya, Juji si putra pertama maju bersama selaksa serdadunya untuk sambut utusan Kim, sedang empat laksa serdadu lainnya mengatur diri dengan rapi untuk menanti.
Beberapa tahun yang lalu Wanyen Yung Chi telag diutus menganugrahkan pangkat kepada Wang Khan dan Temuchin, kebetulan Temuchin lagi berperang, tentara musuh yang dikalahkan sudah menyerbu dan membikin bubarnya pasukan pengiringnya Wanyen Yung Chi, hingga Yung Chi mesti lari pulang ke Chungtu, Yangkhia.
Lewat beberapa tahun setelah itu, raja Kim dengar Temuchin jadi semakin kuat, ia khawatir Temuchin itu menjadi bahaya untuknya di bagian utara, maka sekarang dia utus putranya itu dengan dibantu Wanyen Lieh, putranya yang keenam, yang ia tahu cerdik. Ia ingin Temuchin dapat dipengaruhi dengan keangkerannya atau dengan cara halus, tinggal lihat gelagat saja untuk mewujudkan politik itu.
Kwee Ceng dan kawan-kawannya terus tinggal menonton, sampai mereka nampak debu mengepul naik, tandanya Juji telah dapat memapak dan menyambut utusan bangsa Kim itu, yaitu wanyen Yung Chi dan Wanyen Lieh.
Kedua saudara itu membawa selaksa serdadu pilihan, yang berseragam lapis baja, senjatanya tombak panjang, kudanya tinggi dan besar, hingga tampaknya jadi angker sekali. Belum lagi pasukan perang itu datang dekat, lebih dulu sudah terdengar suara beradunya pakaian baja mereka.
Wanyen Yung Chi datang berendeng bersama adiknya.
Temuchin bersama putra-putranya ambil tempat di samping untuk menyambut.
Wanyen Yung Chi lihat Kwee Ceng beramai, itu anak-anak Mongol yang dengan membuka matanya lebar-lebar mengawasi kepadanya tanpa berkedip, ia lantas tertawa dan merogoh ke dalam sakunya, untuk meraup sejumlah uang emas, yang mana terus ia lemparkan ke arah anak-anak itu. Sambil tertawa terus, ia berkata: “Itulah persenan untuk kalian!”
Yung Chin tidak tinggi ilmu silatnya akan tetapi uang emas hancur itu dapat ia lempar cukup jauh. Ia mengharap anak-anak itu nanti berebut memungutinya, dan berteriakan. Dengan berbuat begitu, pertama ia hendak unjuk keagungannya, dan kedua itulah sebagai pelesiran. Akan tetapi kesudahannya ia menjadi kecewa.
Bangsa Mongol paling mengutamakan menghormati tetamu, perbuatan Yung Chi ini justru perbuatan yang memandang enteng, tidak menghargai tuan rumah, maka itu semua serdadu Mongol saling memandang satu dengan lainnya.
Anak-anak Mongol itu juga terdidik menghormati tetamu mereka, walaupun masih kecil, mereka dapat menghargai diri sendiri, demikian menampak perbuatan Yung Chi itu, mereka tidak memperdulikannya.
Yung Chi menjadi penasaran. Ia merogoh pula sakunya untuk mengambil uang emas lainnya, ia melemparkannya kembali sekalian ia beseru: “Hayo anak-anak, ramai-ramai kamu merebutnya! Hayo rebut, setan-setan cilik!”
Mendengar itu semua orang Mongol berubah air mukanya.
Dimasa itu bangsa Mongol belum kenal mata surat, adat kebiasaan mereka masih “kasar”, akan tetapi mereka biasa menaati adat istiadat, mereka polos dan pegang derajat, terutama terhadap tetapi, mereka sangat menghormati, dari mulut mereka tidak pernah keluar kata-kata kotor, dan terhadap musuh, atau tengah bergurau, tidak pernah mereka mengutuk atau mencaci. Umpama ada tetamu mendatangi tenda mereka, kenal atau tidak, tetamunya tentu disambut dan dilayani dengan baik. Sebaliknya pihak tetamu tidak selayaknya berlaku tidak hormat atau memandang enteng. Kalau tetamu berbuat tidak mengindahkan kehormatan diantara tuan rumah dan tetamu, perbuatan itu dipandang sebagai kejahatan paling besar.
Kwee Ceng bukan orang Mongol, selama berada bersama ibunya, sering ia dengar ibunya itu bercerita tentang kajahatan bangsa Kim yang di Tiongkok, mereka suka merampas dan memperkosa wanita, menganiaya dan membunuh rakyat jelata, bagaimana bangsa Kim itu telah bersekongkol dengan pengkhianat-pengkhianat Han untuk membinasakan Gak Hui dan lainnya, maka sekarang melihat orang Kim itu demikian kurang ajar, ia lantas pungut beberapa potong emas, ia lari mendekati Yung Chi kepada muka siapa ia menimpuk sambil ia berseru: “Siapa sudi mengambil emasmu yang bau!”
Yung Chi berkelit tapi ada juga uang yang mengenai pipinya, meski ia tidak merasakan terlalu sakit, ia toh malu bukan main. Bukankah ia telah diperhina di depan orang banyak? Adalah orang Mongol sendiri, dari Temuchin sampai pada semua bawahannya pada merasa puas
“Setan cilik, kau cari mampus?” Yung Chi membentak. Ia mendongkol bukan main. Biasanya di Tiongkok, sedikit saja ia merasa tidak puas, ia main bunuh orang. Belum pernah ada yang berani menghina dia. Ia lantas rampas sebatang tombak panjang dari satu pengiringnya, dengan itu ia hendak menimpuk kepada bocah she Kwee itu.
“Tahan, shako!” Wanyen Lieh mencegah. Ia lihat gelagat jelek, tetapi tombak sudah melayang.
Disaat Kwee Ceng menghadapi saat ajalnya, tiba-tiba sebatang anak panah menyambar dari pasukan Mongol yang kiri, tombak itu kena terserang tepat sekali dan jatuh bersama anak panah itu. Kwee Ceng ketolongan tetapi ia telah bermandikan keringat dingin, dengan ketakutan ia mengangkat kaki. Sebaliknya tentara Mongol perdengarkan gemuruh seruan memuji penyerangan panah itu.
“Shako, jangan layani dia!” Wanyen Lieh berkata kepada kakaknya.
Yung Chi jeri akan saksikan keangkeran tentara Mongolia itu, akan tetapi memandang Kwee Ceng, ia tetap panas hatinya, maka ia mendelik kepada bocah itu. “Bocah haram jadah!” ia mencaci dengan perlahan.
Temuchin bersikap tenang, bersama putra-putranya ia sambut kedua tetamu itu dengan menyuguhkan koumiss dan daging kambing dan kuda.
Wanyen Yung Chi membacakan firman dengan apa Temuchin diangkat menjadi Pak-kiang Ciauwtouwsu dari negeri Kim, pangkat turun temurun, untuk dia selamanya menjadi seperti alingan di utara dari negeri Kim itu.
Temuchin terima pengangkatannya sambil berlutut, ia menyambuti firman dan pelat emas itu.
Malam itu bangsa Mongol jamu tetamu-tetamunya yang dilayani dengan hormat dan telaten.
Selagi minum, Wanyen Yung Chi berkata,: “Besok kami hendak pergi menganugrahkan Wang Khan, apakah Ciauwtouwsu suka turut pergi bersama?”
Temuchin senang dengan ajakan itu, ia menyatakan suka turut.
Wang Khan itu adalah pemimpin dari pelbagai suku di tanah datar, angkatan perangnya besar dan kuat.
Ia berasal dari suku Kerait, ia pun disebut Togrul Khan. Ia adalah saudara angkat dari Yesukai, ayahnya Temuchin. Ketika dahulu hari Yesukai mati diracuni musuhnya, Temuchin terlunta-lunta dan ia kemudian pergi ke Wang Khan untuk menumpang. Lalu Wang Khan angkat ia jadi anak pungut. Kemudian tempo istrinya Temuchin dirampas bangsa Merkit, musuhnya, ia dapat rampas pulang istrinya itu adalah dengan bantuan Wang Khan dan adik angkatnya, yaitu Jamukha. Itu waktu Temuchin menikah belum lama dan Juji, putranya masih belum lahir.Girang Temuchin akan ketahui ayah angkatnya pun dianugerahkan pangkat.
“Siapakah lagi yang dianugerahkan negara Kim yang besar?” ia tanya.
“Tidak ada lagi,” jawab Wanyen Yung Chi
Wanyen Lieh segera menambahkan:” Untuk di utara ini, Khan sendiri serta Wang Khan adalah orang-orang gagah perkasa, orang lain tidak ada yang dapat disamakannya.”
“Kami disini masih ada punya seorang gagah yang lain, liok-ongya mungkin belum pernah mendengarnya,” berkata Temuchin. Ia membasakan “liok-ongya”, pangeran keenam kepada Wanyen Lieh.
“Apakah benar?” Wanyen Lieh berkata dengan cepat. “Siapakah dia?”
“Dialah adik angkatku, Jamukha,” jawab Temuchin. “Dia jujur dan berbudi tinggi, dia pandai memimpin angkatan perang. Aku mohon sukalah sam-ongya dan liok-ongya juga menganugerahkan dia sesuatu pangkat.”
Erat sekali pergaulannya Temuchin dengan Jamukha, tempo mereka angkat saudara, Temuchin baru berumur sebelas tahun. Adalah kebiasaan bangsa Mongolia, diawaktu angkat saudara mereka saling mengasih barang tanda mata. Ketika itu Jamukha memberikan Temuchin biji pie-sek yang terbuat dari tulang binatang, dan Temuchin membalas dengan biji pie-sek yang terbuat dari tembaga. Pie-sek itu adalah biji yang orang Mongol biasa pakai untuk menimpuk kelinci, tetapi anak-anak gunakan itu untuk main timpuk-timpukan. Maka setelah angkat saudara, keduanya bermain timpuk-timpukan di sungai Onon, yang airnya telah membeku menjadi es. Ditahun kedua, selagi main panah-panahan dengan panah kecil yang terbuat dari kayu, Jamukha hadiahkan kepada Temuchin kepala panah yang terbuat dari tulang mata kerbau dan Temuchin sebaliknya menghadiahkan kepala panah yang terbuat dari kau pek. Lagi sekali mereka mengangkat suadara. Kemudian setelah keduanya dewasa, berdua mereka tinggal bersama-sama dengan Wang Khan, selalu mereka saling menyayangi, setipa pagi mereka berlomba bangun pagi, siapa yang menang, ia diberi minum susu dari gelas kumala dari Wang Khan. Maka tidak heran, tempo istrinya Temuchin dirampas orang, Wang Khan dan Jamukha bekerja sama membantu merampasnya pulang. Kali ini Temuchin dan Jamukha saling menghadiahkan ban emas dan kuda. Inilah untuk ketiga kalinya mereka angkat saudara. Sekarang saling mereka minum arak dari satu cawan, malam tidur berkerubung sehelai selimut. Adalah kemudian karena masing-masing mencari air dan rumput sendiri dan memimpin barisan sendiri-sendiri, mereka jadi berpencaran, tetapi hubungan mereka masih tetap kekal. Demikian ingat saudara angkatnya itu, Temuchin timbulkan usul ini.
Wanyen Yung Chi telah minum hingga separuh mabuk, tanpa pikir ia langsung menjawab: “Bangsa Mongolia berjumlah banyak, kalau semuanya diberi pangkat, mana kami negeri Kim yang besar dapat punyakan demikian banyak pembesar?”
Wanyen Lieh mengedipkan mata kepada kakaknya, sang kakak tetapi tidak memperdulikannya.
Temuchin tidak senang dengan jawaban itu. “Kalau begitu tidak apa, serahkan saja pangkatku kepadanya!” ia bilang.
Yung Chi tepuk pahanya, ia berseru: “Apakah kau pandang enteng pangkat yang diberikan kerajaan Kim yang besar?!”
Temuchin tahu diri, ia tutup mulutnya.
Wanyen Lieh pun lantas menyelak dengan ia berbicara sambil tertawa, untuk simpangkan soal.

Anda sedang membaca artikel tentang Cersil Online : Pendekar Pemanah Rajawali 3 dan anda bisa menemukan artikel Cersil Online : Pendekar Pemanah Rajawali 3 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cersil-online-pendekar-pemanah-rajawali_10.html?m=0,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cersil Online : Pendekar Pemanah Rajawali 3 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cersil Online : Pendekar Pemanah Rajawali 3 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cersil Online : Pendekar Pemanah Rajawali 3 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cersil-online-pendekar-pemanah-rajawali_10.html?m=0. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar