Cerita Silat TionGoan : BuTong It Kiam 5

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Kamis, 22 Desember 2011

Cerita Silat TionGoan : BuTong It Kiam 5

Berubah paras muka Seebun Yan.
"Jadi kau pun akan menganggapku sebagai orang buronan?"
teriaknya gusar.
"Sesungguhnya dengan senang hati setiap waktu setiap saat
kami siap menerima nona sebagai tamu kami, walaupun kedatangan
nona yang tidak diundang sedikit melanggar tata cara, tapi aku
anggap itu mah urusan kecil.”
"Terima kasih kau tidak mempersoalkan....” baru saja dia akan
menyinggung lagi urusan Bouw It-yu, mendadak terdengar Kim
Teng-hap tertawa paksa sambil menukas, "Maaf, mungkin aku
masih tidak bisa menerima rasa terima kasih nona.”
Seebun Yan berpaling mengikuti arah pandangan matanya,
terlihat ada dua orang lelaki dengan wajah penuh keringat sedang
berlarian mendekat sambil menggotong sebuah tandu.
Kedua orang itu menurunkan tandu keatas tanah, sambil berkata
mereka menyingkap selimut yang menutupi tandu itu.
Ternyata orang yang digotong tandu tidak lain adalah Ouyang
Yong yang belum lama berselang kehilangan sebuah lengannya
karena tertebas kutung pedang Seebun Yan.
"Untung ditemukan lebih cepat, kami telah membubuhi lukanya
dengan obat penghenti darah. Hanya saja karena darah yang


mengalir kelewat banyak, biar bisa disembuhan pun paling dia akan
menjadi seorang cacat,” ujar kedua orang itu.
Mendadak Ouyang Yong bangkit terduduk, dengan suara yang
parau teriaknya, "Budak bajingan itu yang memenggal lenganku.
Tang-keh, kau harusbalaskan dendamku!"
Begitu habis berkata, kembali tubuhnya roboh terkapar.
"Nona,” ujar Kim Teng-hap kemudian dingin, "aku boleh saja
tidak mempermasalahkan kejadian semalam, tapi dalam peristiwa
hari ini, biar aku ingin menyudahi pun belum tentu saudara saudara
ku bisa menerima dengan begitu saja.”
"Siapa suruh dia membokongku lebih duluan, toh aku belakangan
baru memenggal lengannya,” sahut Seebun Yan.
"Terlepas bagaimana kejadian yang sebenarnya, nona, kau tidak
merasa tindakan yang kaulakukan kelewat jahat dan telengas!" kata
Kim Teng-hap hambar.
Perkataan itu kontan saja membangkitkan tabiat nona besarnya,
sambil mendengus teriaknya, "Mau pantas atau tidak, buktinya
sudah kutebas. Mau apa kalian?"
"Tidak mau apa-apa,” kepada salah seorang anak buahnya Kim
Teng-hap berkata, "bunuh orang bayar nyawa, hutang duit bayar
duit. Kau telah mengutungi sebuah lengannya, kami pun hanya
minta ganti sebuah lenganmu.”
"Hmm, jangan lagi hanya sebuah lengan,” jengek Seebun Yan
sambil tertawa dingin, "kalau memang punya kemampuan, silahkan
ambil saja nyawa ku!"
Tampaknya watak orang itu jauh lebih temperamen
danberangasan, seketika itu juga dia membentak, "Kau sangka aku
tidak berani mencabut nyawamu!"
Di tengah umpatan keras, tangannya langsung diayun ke depan,
sebuah senjata rahasia berbentuk bola segera meluncur ke depan
dengan kecepatan tinggi.


"Hey, pembicaraan belum selesai, jangan bersikap kurang sopan
kepada tamu kita!" bentak Kim Teng-hap.
Tapi belum habis perkataan itu diucapkan, senjata rahasia
berbentuk bola itu sudah meledak di tengah udara, ternyata di balik
bulatan itu tersimpan sembilan pisau terbang, ada yang terbang
miring ke samping, ada yang terbang lurus, dari pelbagai sudut
yang berbeda benda-benda itu melesat ke tubuh Seebun Yan.
Dalam waktu sekejap ada dua sosok bayangan tubuh melambung
bersama ke tengah udara.
Yang satu adalah Bouw It-yu, sementara yang lain adalah
seorang perwira yang berada di samping Kim Teng-hap.
Gerakan tubuh perwira itu benar-benar amat cepat hingga sulit
dilukiskan dengan kata, melambung, mencabut pedang dan
mengejar pisau-pisau terbang itu!
"Triiing.... triiing....” terdengar suara dentingan nyaring bergema
berulang kali, entah sudah berapa banyak pisau terbang yang
berhasil ia rontokkan.
Kedatangan Bouw It-yu hanya terlambat setengah detik, mulamula
dia belum tahu maksud perwira itu dengan gerakannya, maka
begitu berada di tengah udara dia langsung mengeluarkan jurus
kebanggaannya, Pek-hok-liang-ci.
Sungguh kuat tenaga serangan dari perwira itu, "Traaang....!"
begitu dua bilah pedang saling membentur, terperciklah bungabunga
api.
Dengan gaya burung belibis membalikkan tubuh, perwira itu
melayang turun lebih kurang tiga tombak dari posisi semula, namun
begitu menyentuh tanah, tubuhnya nampak sempoyongan beberapa
langkah. Sebaliknya Bouw It-yu melayang turun di hadapan Seebun
Yan, begitu kakinya menyentuh tanah, dia segera dapat berdiri
tegak.
Bila berada dalam kondisi biasa, tentu saja dalam gebrakan
barusan Bouw It-yu telah meraih posisi diatas angin, namun perwira


itu memapas pisau terbang terlebih dulu sebelum menyambut
serangan pedang, sekalipun ilmu pedang yang dimiliki tidak berada
diatas kemampuan Bouw It-yu, jelas kemampuannya tidak mungkin
berada di bawahnya.
Terdengar perwira itu berkata, "Aku datang hanya untuk
meluruskan kesalahan yang dilakukan saudaraku, boleh tahu apa
sebabnya Bouw-siauhiap malah berusaha menghalanginya? Jika
Bouw-siauhiap masih tetap berkeinginan adu pedang melawanku,
lebih baik berbuatlah setelah tahu keadaan yang sejelasnya. Jika
kau ngotot ingin bertarung, aku pasti akan melayani tantanganmu
itu!"
Kini Bouw It-yu dapat melihat dengan jelas, ternyata ada
sembilan bilah pisau terbang yang disambit tapi tujuh bilah
diantaranya telah dipapas kutung perwira itu. Sisanya yang dua
bilah jatuh di sisi kaki Seebun Yan.
Biarpun perkataan lawan kedengaran amat tidak sedap, namun
andaikata bukan dia yang turun tangan tepat waktunya, niscaya
tubuh Seebun Yan telah bertambah dengan berapa buah lubang
luka tembus.
Merah padam selembar wajah Bouw It-yu karena jengah, dalam
keadaan begini mau berang pun dia jadi sungkan sendiri.
Tiba-tiba terdengar Seebun-hujin berkata, "Kau adalah jago dari
Tiang-pek-pay. Walaupun dalam jurus Oh-ka-cap-pwe-pai (delapan
belas ketukan seruling) hanya mampu menggunakan empat belas
ketukan, namun hal ini sudah lebih dari cukup. Masih tersisa dua
bilah pisau terbang dalam keadaan utuh, sayang kalau dibuang
begitu saja. Yan-ji, kembalikan kepada mereka.”
"Memangnya mereka tidak dapat memungut sendiri?" sahut
Seebun Yan malu bercampur jengkel. Sekalipun sangat mendongkol,
namun keder juga hatinya, cepat dia kabur balik ke samping ibunya.
Sementara itu Bouw It-yu merasa kebingungan dengan
perkataan dari Seebun-hujin, dia tak habis mengerti apa yang
dimaksud perempuan itu. Dia tidak menyangka kalau diantara anak


buah Kim Teng-hap ternyata terdapat seorang jago pedang yang
demikian hebatnya.
Tentu saja dia tidak tahu kalau perwira yang bernama Che Tinkun
ini merupakan salah satu busu dari pasukan tenda emas yang
khusus mengawal Nurhaci Khan, berbicara soal tenaga dalam,
mungkin dia masih di bawah Ka-cok Hoatsu tapi dalam hal ilmu
pedang, boleh dibilang kehebatannya tidak terkalahkan.
Bila Bouw It-yu tidak paham maksud dan tujuan Seebun-hujin,
maka Che Tin-kun begitu mendengar perkataan tadi langsung
menunjukkan sikap terkejut bercampur sangsi. Yang membuatnya
terkejut bercampur sangsi bukan hanya lantaran dalam sekilas
pandang Seebun-hujin dapat menebak asal perguruan serta jurus
silatnya saja.
Rupanya Oh-ka-cap-pwe-pai merupakan ilmu dahsyat penusuk
jalan darah dari aliran Khong-tong-pay, bila seseorang telah
melatihnya hingga mencapai tingkatan paling tinggi maka dalam
satu jurus saja, dia dapat menusuk delapan belas buah jalan darah
di tubuh lawannya.
Tiga puluh tahun berselang, ketua Tiang-pek-pay dengan tiga
jurus ilmu pukulan Hong-lui-ciang-hoat berhasil menukar dengan
sebuah jurus pedang dari Khong-tong-pay ini dan meleburnya ke
dalam ilmu silat perguruannya, sejak itulah jurus Oh-ka-cap-pwe-pai
berubah menjadi salah satu ilmu andalan Tiang-pek-pay.
Atau dengan perkataan lain, walaupun nama sebutannya sama
namun keistimewaan dan cirinya berbeda. Tenaga dalam Tiang-pekpay
lebih menjurus ke sifat keras, kekuatannya jauh lebih hebat
daripada Khong-tong-pay, karena keras otomatis kelincahan dan
kecepatannya jauh agak berkurang.
Oleh sebab itu jurus Oh-ka-cap-pwe-pai dari aliran Tiang-pek-pay
walau sudah dilatih hingga mencapai tingkat tertinggi pun, hanya
enam belas titik jalan darah yang bisa ditusuk dalam satu gebrakan.
Tapi bila jago lihay dari Khong-tong-pay yang menggunakan kedua


jurus itu, mereka tidak akan mampu menebas tujuh batang pisau
terbang pada saat yang bersamaan seperti apa yang dilakukan Chi
Tin-kun.
Padahal kemampuan Chi Tin-kun menguasai "enam belas
ketukan" sudah merupakan tingkatan tertinggi dalam perguruan
Tiang-pek-oay, sebetulnya dia mampu menebas kutung sembilan
batang pisau terbang, namun entah kenapa, pedangnya tidak
mampu menyentuh ke dua bilah pisau terbang yang lain hingga
pisau pisau terbang itu rontok ke tanah.
Begitu selesai mendengar perkataan Seebun-hujin, timbul
kecurigaan dihati kecilnya, maka dia pun maju ke depan dan
memungut ke dua bilah pisau terbang itu.
Begitu diperiksa dia pun menjerit tertahan karena kaget.
Ternyata pada gagang kedua pisau terbang itu masing-masing
telah tertancap sebutir bunga mutiara yang kecil (bunga mutiara
adalah butiran mutiara yang lembut seperti beras). Kini Chi Tin-kun
baru mengerti, rupanya kedua bilah pisau terbang itu telah
dirontokkan lebih dulu oleh Seebun-hujin.
Biarpun bunga mutiara itu sudah terbenam dalam gagang pisau
namun masih tetap berada dalam keadaan utuh. Hal ini
menunjukkan kalau kemampuannya menggunakan tenaga dalam
jauh lebih tinggi dari kemampuan Chi Tin-kun sendiri. Apalagi
Seebun-hujin sedang berdiri saling berhadapan dengan Kim Tenghap,
bahkan Kim Teng-hap yang sedang bertatap muka pun tidak
mengetahui tindakan yang dilakukan perempuan tersebut, dalam hal
kecepatan melancarkan serangan pun terbukti masih diatas
kehebatan Chi Tin-kun.
Andaikata gerak serangan itu dilakukan dengan menggunakan
pedang, bisa diduga jurus Oh-ka-cap-pwee-pai yang dilancarkan Chi
Tin-kun bisa kalah di tangannya.
Kim Teng-hap menerima pisau terbang itu dari tangan Chi Tinkun,
lalu digetarnya perlahan, bunga mutiara itu pun segera
mencelat keluar.


"Hujin cukup mengembalikan pisau terbangnya saja, buat apa
musti buang harta pula? Silahkan hujin menerima kembali bunga
mutiara milikmu itu!" sembari berkata dia sentilkan jari tengahnya,
bunga mutiara itupun segera meluncur balik.
Dengan sekali raup Seebun-hujin menerima kembali ke dua butir
bunga mutiara itu.
Kini kedua belah pihak sama sama telah menunjuk kan
kebolehannya, tenaga dalam milik Kim Teng-hap terbukti memang
tidak lemah, namun kemampuan Seebun-hujin pun sama sekali
tidak kalah dari lawannya.
Dengan wajah dingin Seebun-hujin berkata, "Seharusnya kau
mengendalikan ulah anak buahmu. Kini sudah saatnya kita kembali
membicarakan urusan pokok bukan?"
"Transaksi kita sudah batal, rasanya persoalan yang ada saat ini
sudah tidak ada sangkut pautnya dengan hujin,” sengaja Kim Tenghap
menyahut.
"Kau tidak usah berlagak pilon, memangnya kau tidak tahu kalau
dua orang yang hendak kau tahan, satu adalah putriku, satu lagi
adalah anak angkatku?"
"Harap hujin maafkan kelancanganku,” sahut Kim Teng-hap
tertawa paksa, "yang mula-mula mengusulkan penyelesaian
masalah menurut aturan dunia persilatan pun rasanya hujin sendiri!"
"Benar!"
"Kalau begitu urusan jadi lebih mudah. Menurut peraturan yang
berlaku dalam dunia persilatan, aku rasa hujin sendiripun pasti
paham. Sikap menghormat kami terhadap hujin adalah satu
masalah, sementara pertikaian yang terjadi antara putra putrimu
dengan kami pun merupakan masalah yang lain!"
Sebetulnya Bouw It-yu hanya anak angkat Seebun-hujin, tapi kini
sebutannya diubah menjadi 'putra' mu, tidak jelas apakah
perubahan panggilan itu memang sengaja dia lakukan karena
mengandung maksud tertentu ataukah karena situasi yang tegang


sehingga dia sadar akan kekeliruan itu.
Namun dalam situasi seperti ini, tidak seorang pun yang
mempermasalahkan apalagi memperhatikannya.
"Tidak usah kau ingatkan aku, justru hari ini aku akan
mengajakmu berbicara tentang peraturan dunia persilatan,” tukas
Seebun-hujin.
"Kalau begitu, silahkan hujin memberi petunjuk.”
"Aku bukan minta kau membebaskan mereka, tapi aku adalah
Cianpwee mereka, perselisihan yang mereka lakukan sudah wajar
bila penyelesaiannya pun dipikul oleh angkatan tuanya!"
Dalam dunia persilatan memang terdapat peraturan semacam ini,
Kim Teng-hap sendiripun tadi telah menggunakan peraturan yang
sama untuk menahan Bouw It-yu karena persoalan yang telah
dilakukan Lan Giok-keng.
Buru-buru Han Cau tampil ke depan, serunya, “Hujin, harap
dengarkan dulu perkataan hamba.”
“Kau adalah pejabat sementara aku hanya rakyat jelata,” sela
Seebun-hujin dingin, "aku tidak berani menerima sanjunganmu.
Harap kau jangan marah karena aku tidak tahu diri, kalau memang
ingin menyampaikan sesuatu, lebih baik sampaikan saja kepada
atasanmu."
Dari malu Han Cau jadi gusar, teriaknya, “Hujin, biarpun kau
tidak sudi menanggapi diriku, aku masih tetap memandang wajah
Lo-tang-keh dan selalu menghormatimu. Hujin, maaf kalau aku akan
bicara blak-blakan, jadi orang yang bijaksana haruslah tahu situasi
dan keadaan. Kau musti ingat, tempat ini bukan wilayah Tionggoan.
Hujin, kau pun tidak punya banyak anak buah yang bisa
diperintahkan di tempat ini. Kim-thayjin menaruh niat baik
kepadamu, itulah sebabnya ingin mengajak kau pergi ke kotaraja
untuk menjumpai Khan. Jadi orang sedikitlah tahu diri, jangan arak
kehormatan ditampik, arak hukuman justru dicari!"
"Bagus sekali, kalau begitu suruh Kim-thayjin mu segera


suguhkan arak hukuman. Betul, kalian boleh saja mengandalkan
jumlah banyak, tapi paling banter kalian hanya bisa merenggut
nyawa kami bertiga, aku tidak percaya kalau dengan kemampuan
kami, tidak mampu mencari modal balik!"
Berubah paras muka Kim Teng-hap. Barusan dia telah
menyaksikan kehebatan dari Seebun-hujin, maka pikirnya,
'Kemampuan Chi tin-kun hanya setingkat lebih unggul ketimbang
Bouw It-yu, andaikata perempuan bangsat ini benar-benar
melakukan pembunuhan yang secara besar-besaran, mungkin tiada
orang yang mampu membendungnya. Betul, mengandalkan jumlah
banyak memang menguntungkan dan akhirnya kemenangan tetap
berpihak padaku. Tapi seperti apa yang dia katakan, paling banter
hanya mereka yang terbunuh, sementara berapa banyak nyawa
pihak kami yang harus ikut menjadi tumbal?'
Dia sadar keselamatan jiwanya memang tidak perlu dikuatirkan,
namun bukan berarti bisa lolos dari luka-luka.
Sementara dia masih berdiri sangsi dan tidak bisa mengambil
keputusan, mendadak terdengar suara pekik an panjang
berkumandang, suara pekikan itu sebentar panjang sebentar
pendek, suaranya keras seperti benda logam yang saling beradu,
gemerincingan dan menggaung sangat menusuk telinga, anehnya
sama sekali tidak terlihat orang yang mengeluarkan pekikan itu.
Seolah terbetot sukmanya, Kim Teng-hap berdiri mematung
setelah mendengar suara pekikan itu. Han Cau pun kelihatan kaget
dan ketakutan setengah mati.
Yang lebih aneh lagi, ternyata Seebun-hujin sendiri pun berdiri
termangu, seolah dibalik suara pekikan itu tersimpan sesuatu
rahasia dan rahasia itu sedang mengetuk perasaan hatinya.
Mendadak Seebun Yan seperti tersentak bangun, serunya, "Ibu,
suara pekikan ini mirip sekali dengan irama tambur yang biasa
digunakan orang-orang Sikang serta Tibet!"
Beberapa kelompok pribumi yang tinggal di wilayah Sikang serta
Tibet sering menggunakan irama tambur untuk menyampaikan


berita, dari komposisi irama tambur yang terkadang cepat atau
melambat, mereka dapat menyampaikan ungkapan isi hatinya
kepada pihak lain, tentu saja ungkapan yang kelewat rumit tidak
mungkin bisa disampaikan, tapi percakapan sehari-hari biasanya
dapat disampaikan lewat irama tambur.
Seebun-hujin manggut-manggut, lalu gelengkan kepalanya.
Mengangguk pertanda ucapan putrinya benar; menggeleng artinya
dia tidak bisa menangkap artinya.
Mendadak Chi Tin-kun bertanya, "Han Cau, apa yang dikatakan
orang itu?"
Dari mimik mukanya, dia seolah sudah tahu kalau Kim Teng-hap
serta Han Cau pasti memahami arti irama tambur itu. Tapi karena
kedudukan Kim Teng-hap hampir sejajar dengan statusnya, maka
dia bertanya kepada Han Cau.
Benar saja, Han Cau tidak berani berbohong, segera sahutnya,
"Dia bilang, kau hanya mendengarkan putranya, apakah tidak
menurut kepada yang tua?"
"Apa maksud perkataan itu?" tanya Kim Teng-hap keheranan.
"Aku sendiripun tidak paham,” Han Cau menggeleng.
Han Cau boleh tidak paham, tapi Kim Teng-hap memahami
artinya.
Surat yang kemarin dibawa pulang Ouyang Yong dari kota Kimleng
tidak lain adalah surat yang ditulis putra orang itu. Dalam surat
itu dia diminta tidak menyusahkan Lan Giok-keng.
Orang yang menulis surat itu mempunyai status dan kedudukan
khusus, sehingga mau tidak mau dia harus mentaatinya.
Dan kini dia ingin menahan Bouw It-yu, untuk melancarkan
rencananya itu maka diapun menggunakan alasan Lan Giok-keng
telah membuat perselisihan dengan dirinya untuk menahan paman
gurunya.
Tapi sekarang, suara pekikan orang itu menyampaikan pesan


lagi, mengingatkan dia, terlepas apa pun maksud dan tujuannya, dia
tidak boleh menyusahkan semua orang yang ada hubungannya
dengan Lan Giok-keng. Bahkan Kim Teng-hap tahu dengan jelas
bahwa orang tua itu jauh lebih susah dihadapi daripada anaknya.
Kim Teng-hap termangu beberapa saat lamanya, kemudian
teriaknya lagi, "Kwik locianpwee, disini ada orang ingin bertemu
denganmu!"
Kembali suara pekikan orang itu berkumandang, kali ini waktunya
jauh lebih panjang.
Begitu suara pekikan berhenti, paras muka Chi Tin-kun ikut
berubah hebat. Ternyata "Kwik locianpwee" yang disebut Kim Tenghap
tidak lain adalah salah satu tokoh yang paling ditakuti
sepanjang hidupnya.
Tanpa terasa dia alihkan pandangan matanya ke arah Han Cau.
Dengan setengah berbisik sahut Han Cau, "Dia bilang, sahabat
yang ingin kujumpai tidak perlu kalian atur, teman yang tidak ingin
kujumpai, biar kalian atur pun tidak ada gunanya.”
Jawaban itu sama artinya telah menyangkal semua janji yang
diberikan Kim Teng-hap kepada Seebun-hujin.
Sambil tertawa dingin Seebun-hujin menyindir, "Huuh,
pertukaran syarat apa yang kau ajukan? Ternyata hanya menjual
pepesan kosong!"
Kim Teng-hap benar-benar malu setengah mati, tanpa
mengucapkan sepatah katapun dia mengulapkan tangannya lalu
beranjak pergi dari situ.
Begitu dia berlalu, kawanan tentara itupun ikut berlalu dari sana.
Siapa pun tidak menyangka kawanan manusia yang sewaktu
datang nampak begitu garang dan menakutkan, kini harus menarik
kembali pasukannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Bouw It-yu sendiri pun terkejut bercampur sangsi, begitu
kawanan tentara itu angkat kaki, dia cepat bertanya kepada


Seebun-hujin, "Apakah orang itu adalah Jit-seng-kiam-kek?"
Entah Seebun-hujin tidak ingin menjawab pertanyaan itu atau
memang tidak sempat menjawab, begitu kawanan tentara itu
mundur, dia langsung lari menuju ke arah bukit dimana suara
pekikan itu berasal.
Tiba di tepi bukit, sejauh mata memandang hanya tanah lapang
nan luas terbentang di depan mata. Nun jauh diatas permukaan
samudra terlihat sebuah perahu kecil membuang sauh. Kecuali
perahu kecil itu, tidak nampak perahu-perahu lainnya.
Bouw It-yu yang mengikuti dari belakang, sama sama merasa
terperanjat bercampur heran. Angin dan suara ombak di samudra
sangat kencang, bila suara pekikan tadi berasal dari seseorang yang
berada di atas perahu kecil itu, dapat diduga kalau kesempurnaan
tenaga dalam yang dimiliki orang itu benar-benar jarang ditemui di
kolong langit (Gb 14).
Seebun-hujin menarik napas panjang, teriaknya, "Kwik-toako,
harap tunggu sebentar!"
Begitu mendengar sebutan 'Kwik-toako', Bouw It-yu segera tahu
kalau dugaannya tidak keliru, ternyata orang itu memang Jit-sengkiam-
kek.
Perahu kecil itu sama sekali tidak berbalik, hanya terdengar irama
senandung bergema dari lautan, "Kehidupan berganti bintang
beralih, berapa musim gugur telah berlalu. Simpatik dan rasa
hormat untuk sahabat lama.
Air hitam bukit putih memendam hawa pedang, sahabat lama
hanya berkumpul di daratan Tiong-ciu.”
Baru suara senandung bergema di telinga, perahu sampan itu
telah lenyap diujung lautan.
"Ibu, apa maksud syair yang disenandungkan itu?" tanya Seebun
Yan kemudian.
"Dia bilang waktu sudah berganti situasi telah berubah, dia tidak


ingin bertemu aku lagi. Julukan Jit-seng-kiam-kek yang sebenarnya
adalah Tiong-ciu-kiam-kek, dia bilang sahabat lama hanya
berkumpul di daratan Tiong-ciu, artinya sekarang dia sudah bukan
dia yang dulu, hanya sewaktu dia masih berada di Tiong-ciu lah
baru merupakan sahabat lamaku.”
"Yang dimaksud air hitam bukit putih tentulah luar perbatasan,
air hitam bukit putih memendam hawa pedang, tampaknya
kehidupan dia di luar perbatasan adalah karena keadaan terpaksa,
kalau tidak kenapa dia begitu putus asa dan kehilangan semangat?
Ibu, kenapa dia tidak kembali ke Tiong-ciu (daratan Tionggoan)?
Bila dia mau kembali ke Tiong-ciu, bukankah kalian masih tetap
sahabat karib.”
"Aku telah berpisah dengan dirinya hampir tiga puluh tahun
lamanya, aku sama sekali tidak tahu bagaimana kehidupannya
selama di luar perbatasan. Tapi aku rasa dia pasti mempunyai
kesulitan yang memaksanya berbuat begitu, karena itulah dia lebih
suka mati tua di tempat ini.”
Habis berkata dia berpaling dan ujarnya kepada Bouw It-yu, "Yuji,
bukannya aku tidak ingin membantumu, kalau akupun tidak ingin
dijumpainya, apalagi kau!"
"Biarpun tidak dapat bertemu dengannya, tapi untung sudah
mengetahui sedikit kabar tentangnya, kalau kusampaikan kepada
ayah, sudah pasti beliau akan gembira sekali. Ibu angkat, boleh aku
bertanya satu hal kepadamu.”
"Tentang apa?"
"Ayah sangat mengkhawatirkan kabar berita tentang Jit-sengkiam-
kek, dulu apakah mereka adalah sahabat karib?"
"Aku hanya kenal dengan Jit-seng-kiam-kek, aku tidak tahu
berapa banyak sahabat yang dia miliki, lebih baik kau pulang dan
tanyakan sendiri kepada ayahmu.”
Bouw It-yu adalah pemuda yang cerdas, sekali pandang dia
sudah tahu kalau wanita ini mempunyai masalah yang sulit untuk


dijelaskan, segera pikirnya, 'Entah masih ada berapa banyak
persoalan yang sengaja dia rahasiakan kepadaku?'
Dalam pada itu Liok Ki-seng telah maju ke depan sambil
bertanya, "Hujin, apakah kita boleh segera pulang?"
"Kalau tidak pulang, memang mau apa disini?" jawab Seebunhujin
ketus.
"Aku telah menyiapkan kereta untuk hujin dan siocia, kereta
menanti di tepi bukit sebelah sana. Harap hujin mengijinkan aku
untuk mengiringi perjalananmu.”
"Buat apa musti merepotkan!"
"Bila kita empat orang wanita asing harus melakukan perjalanan
bersama-sama, kemunculan kita pasti akan memancing perhatian
orang,” kata Hong-sihu, "bagaimana kalau kita naik kereta saja?"
"Hujin,” ujar Peng-toaso pula, "bila kau merasa tidak terbiasa
dilayani orang luar, biar aku saja yang akan menjadi kusir keretamu.
Urusan lain mungkin aku tidak berani membanggakan diri, tapi
kalau soal jadi kusir, akulah ahlinya.”
"Aku tahu,” sahut Seebun Yan sambil tertawa, "adik angkat ku
pernah naik kereta yang kau kusiri.”
"Menyinggung kembali kejadian tersebut, aku belum minta maaf
kepada siocia. Waktu itu siocia berpesan agar kami menghantar
nona Lan balik ke lembah Pek-hoa-kok, siapa tahu kami menemui
kejadian ditengah jalan. Hanya saja, kesalahan itu bukan
disebabkan kemampuanku membawa kereta tidak canggih.”
"Aku tahu. Bila ada waktu dikemudian hari, pasti akan kubantu
kalian mencari orang orang Liong-bun-pang dan melampiaskan
semua kekesalanmu. Sudah cukup, tidak usah bercerita lagi, ibu.
Biar kita terima saja niat baik Peng-toaso.”
Saat i tulah Seebun-hujin baru berkata, "Liok Ki-seng, ternyata
semua yang kau persiapkan untukku telah tersusun rapi, tampaknya
bila aku menolak naik keretamu, keputusanku- itu sedikit tidak tahu


aturan. Baiklah, kalau begitu mari kita buktikan kehebatan Pengtoaso.”
Setelah mengalami peristiwa kali ini, sikap maupun
pandangannya terhadap Liok Ki-seng jadi telah banyak mengalami
perubahan.
"Bouw-toako,” kata Seebun Yan, "kau pun sudah lelah karena
menemani aku datang ke Liauw-tong, hal ini sungguh membuat
perasaanku tidak enak. Apa rencanamu selanjutnya?"
"Biarpun tugas yang kuemban gagal dilaksanakan dengan baik,
sedikit banyak akupun berhasil meraih sedikit hasil. Tentu saja aku
harus balik ke Bu-tong-san,” kata Bouw It-yu, "kegagalan yang
kualami tidak mutlak, biarpun hasil yang diperoleh sedikit. Siapa
tahu masih sempat ikut menghadiri upacara penguburan jenasah
Bu-siang Cinjin "
"Yan-ji,” tiba-tiba Seebun-hujin bertanya, "kau merasa berat hati
untuk berpisah dengan toakomu?"
"Kalau benar lantas kenapa?" tanya Seebun Yan.
"Kalau begitu sementara waktu kita tidak pulang ke rumah, ikut
bersama toakomu naik ke Bu-tong.”
"Sama-sama pergi ke gunung Bu-tong?" tanya Seebun Yan agak
melengak.
"Bu-siang Cinjin merupakan tokoh dalam dunia persilatan yang
paling bagus reputasinya dan paling dihormati setiap umat
persilatan, sayang aku tidak punya rejeki hingga semasa hidupnya
belum sempat memperoleh petunjuk darinya, mumpung saat ini ada
kesempatan, sewajarnya bila kita ikut hadir dalam upacara
penguburannya sebagai wujud hormat kita. Apalagi ayah Bouwtoako
mu adalah Ciangbunjin Butong-pay saat ini, kalau tidak hadir
rasanya kurang sopan. Bagaimana, apakah kau....”
"Tentu saja aku seribu kali setuju,” jawab Seebun Yan cepat,
"sejujurnya, akupun ingin sekali bertemu dengan adik angkatku.”


Padahal yang benar dia ingin bertemu Lan Giok-keng dan
bertanya mengenai hal-hal yang menyangkut piauko nya.
Walaupun dalam hati Bouw It-yu agak curiga dengan niat dan
tujuan Seebun-hujin, tentu saja tidak leluasa baginya untuk
menampik, terpaksa katanya, "Bagus sekali kalau kita melanjutkan
perjalanan bersama-sama!"
Setelah turun ke bawah bukit, benar saja disana telah menunggu
dua buah kereta besar, selain kereta tersedia pula lima orang anak
buah Liok Ki-seng serta belasan ekor kuda.
Kereta diperoleh dari menyewa penduduk setempat, sedang anak
buah dan kuda dibawa sendiri Liok Ki-seng dari daerah perbatasan.
Kepada dua orang kusir kereta penduduk setempat, Liok Ki-seng
pun berkata, "Kami sudah punya kusir sendiri, kalian tidak usah ikut.
Kedua kereta milik kalian ini biar kubeli saja.”
Karena harga yang dibayar untuk kedua buah kereta itu adalah
harga dua kali lipat, tentu saja kedua orang pemilik kereta itu
menyetujuinya.
"Hong-hiocu,” ujar Seebun-hujin kemudian, "kau naik satu kereta
dengan aku karena aku ingin mendengar ceritamu.”
"Terima kasih atas perhatian hujin,” jawab Hong-sihu, "aku telah
menimbulkan banyak kesulitan dan masalah, sudah saatnya untuk
mohon petunjuk dari hujin.”
“Bouw-toako, kalau begitu kau naik satu kereta dengan aku,”
ajak Seebun Yan.
Bouw It-yu segera tertawa.
"Aku adalah seorang lelaki, naik satu kereta denganmu bisa
menimbulkan tertawaan orang. Buat aku lebih baik naik kuda sendiri
saja.”
Kecuali mereka yang duduk dalam kereta dan menjadi kusir
kereta, yang tersisa adalah enam orang penunggang kuda, berarti
masih tiga ekor kuda yang kosong.


"Liok-tuocu, banyak amat kuda yang kau siapkan,” seru Bouw Ityu
kemudian.
"Lebih banyak toh lebih baik,” jawab Liok Ki-seng sambil tertawa
licik, "apalagi kusangka kau masih ada teman lainnya.”
Tergerak hati Bouw It-yu, pikirnya, 'Jangan-jangan diapun sudah
tahu kalau Lan Giok-keng dan Hwee-ko Thaysu pun sudah datang
ke Liauw-tong?'
Mula-mula Bouw It-yu masih sedikit khawatir, dia takut selama
masih berada di wilayah Liauw-tong, setiap saat mereka bakal
bertemu para pengejar, siapa tahu sepanjang jalan aman tenteram,
karena itu perasaan hatinya pun mulai lega.
Kalau pada hari pertama tidak ada masalah, lain halnya pada hari
ke dua.
Selesai bersantap siang, ketika kereta sedang bergerak ke depan,
entah mengapa Peng-toaso yang bertugas menjadi kusir kereta tibatiba
merasakan kepalanya pening dan pandangan matanya
berkunang kunang, sedikit teledor, kereta yang dibawanya nyaris
terjerumus ke dalam sawah di tepi jalan.
Cepat-cepat dia menarik tali les kudanya, dengan susah payah
akhirnya kereta pun berhasil dihentikan, namun dia sudah kecapaian
hingga napasnya tampak terengah-engah.
Dengan wajah tersipu karena malu Peng-toaso berseru, "Selama
hidup aku belum pernah mengalami kecelakaan, entah mengapa,
tiba-tiba kepalaku terasa pening, kakiku lemas, seakan baru
terserang penyakit parah.”
"Mungkin kau lelah,” kata Seebun-hujin, "coba ganti orang lain.”
Siapa tahu baru selesai dia berkata, orang yang bertugas jadi
kusir kereta yang membawa Seebun Yan "sakit" lebih parah lagi,
bahkan jauh lebih parah daripada Peng-toaso, tiba-tiba saja
tubuhnya jatuh terguling dari atas kereta.
Begitu kusirnya terjatuh, kereta pun ikut terguling, sambil


melompat keluar Seebun Yan segera berteriak, "Ibu, apa yang
terjadi, kenapa kepala ku pun terasa berat sekali, semua tenaga
seakan hilang lenyap dan tidak bisa digunakan lagi.”
Menyusul kemudian, berapa orang anak buah Liok Ki-seng pun
susul menyusul berteriak tidak enak badan, seakan-akan mereka
semua telah terjangkit penyakit.
Bouw It-yu sendiripun merasakan ada perubahan aneh dalam
tubuhnya, namun dia tetap membungkam.
Liok Ki-seng yang berada di punggung kudapun nampakber
goncang keras, segera jeritnya, "Celaka, kemungkinan besar kita
semua sudah terkena hawa kabut racun!"
"Kabut beracun? Darimana datangnya kabut beracun?" seru
Seebun Yan.
"Di Bawah bukit yang kita lalui pagi tadi terdapat sebuah hutan
bunga Tho yang amat luas, bunga Tho yang berguguran dan
menumpuk selama banyak tahun menimbulkan bau busuk yang
lama-kelamaan membentuk kabut beracun yang sangat jahat, bisa
jadi hawa beracun itu tersebar ketika terhembus angin. Hutan
bunga Tho itu tak akan terlihat dari bawah bukit,” Liok Ki-seng
menerangkan.
Seebun Yan merasakan rubuhnya makin lama semakin lemas
tidak bertenaga, pikirnya, 'Biarpun tenaga dalam yang kumiliki tidak
termasuk bagus, namun tidak banyak kabut racun yang terhisap
olehku, apalagi kalau kabut racun itu berasal dari atas bukit. Aneh,
kenapa 'sakit' ku bertambah parah?'
Namun gadis inipun sadar kalau pengetahuannya sangat
terbatas, dia tidak berani menyampaikan rasa curiganya terhadap
Liok Ki-seng, hanya tanyanya, "Ibu, bagaimana perasaanmu?"
"Tidak apa-apa,” jawab Seebun-hujin, "aku hanya merasa sedikit
tidak enak badan.”
Sambil tertawa getir Liok Ki-seng segera berkata, "Tenaga dalam
yang dimiliki hujin serta Bouw-siauhiap sangat hebat, sekalipun


terkena kabut racun, rasanya tidak akan terlalu mengganggu. Hanya
saja, kalau dilihat kondisi sekarang, mungkin sulit bagi kita untuk
melanjutkan perjalanan.”
"Lantas bagaimana baiknya?" tanya Seebun Yan.
"Aku rasa mungkin kita harus mendirikan tenda disini. Untung
aku menyiapkan pula sedikit peralatan untuk berkemah serta obat
obatan, walaupun bukan obat untuk memunahkan racun kabut,
siapa tahu setelah diminum, kondisi tubuh kita akan lebih
mendingan. Bila selewat malam nanti kondiri kita sedikit lebih
baikkan, aku akan pergi mencari tabib. Hujin, bagaimana menurut
pendapatmu?"
Seebun-hujin seperti kehabisan akal, sahutnya kemudian, "Aku
belum pernah datang ke Liauw-tong, segala sesuatunya baiklah kau
putuskan sendiri.”
Selesai mendirikan tenda, Liok Ki-seng mengeluarkan bubuk obat
yang dibawanya dan dibagikan kepada semua orang.
"Aku tidak perlu,” tampik Seebun-hujin, "bagikan saja lebih
banyak obat yang kau bawa kepada mereka.”
Begitu Bouw It-yu melihat Seebun-hujin menampik pemberian
itu, tergerak hatinya, cepat katanya pula, "Aku dengar kabut
beracun yang berasal dari hutan bunga Tho merupakan jenis kabut
paling beracun, betul bubuk obatmu bisa memunahkan pelbagai
racun, tapi bila dipakai dalam kadar sedikit sama sekali tidak ada
gunanya. Lagian aku hanya merasa sedikit pening dan tidak
masalah, berikan saja lebih banyak kepada mereka yang kondisi
sakitnya parah. Adik Yan, bagaimana keadaanmu?"
"Kondisiku pun tidak terlalu parah,” sahut Seebun Yan, "kalau
kau tidak mau, akupun tidak mau.”
Oleh karena gadis ini bersikeras menampik, terpaksa Liok Ki-seng
mengulang kembali pembagian jatahnya, termasuk satu bagian buat
diri sendiri.
Padahal keadaan Seebun Yan saat itu bagaikan orang yang baru


terserang penyakit parah, seluruh tubuhnya terasa bagaikan dilolosi,
bukan saja matanya berkunang telinganya mendengung, ke empat
anggota tubuhnya lemah tidak bertenaga.
Namun setelah menyaksikan Liok Ki-seng maupun semua anak
buahnya menelan bubuk obat yang dibagikan, perasaan curiga
terhadap dirinya ikut pula hilang separuh bagian.
Tapi sayang khasiat bubuk obat itu tidak terlalu besar, lewat
setengah jam kemudian kecuali Seebun-hujin dan Bouw It-yu,
seluruh anggota rombongan nyaris dalam kondisi 'sakit parah'.
Berhubung begitu banyak orang jatuh sakit, persoalan mendesak
pun segera muncul di depan mata.
Dengan tubuh lemas dan tidak bertenaga bisik Peng-toaso,
"Tampaknya aku sudah tidak sanggup bertahan lagi, tapi.... Lioktuocu,
malam ini harus ada orang yang menanakkan nasi untuk
hujin.”
"Kalian tidak perlu menguatirkan diriku,” sela Seebun-hujin cepat,
"aku bisa saja mengisi perut dengan rangsum kering. Kalian sedang
sakit dan tidak sehat, tidak cocok rangsum kering untuk kalian
semua.”
"Benar, nasi boleh saja tidak di makan tapi toh harus ada air
yang bisa diminum, Liok-tuocu.... persediaan air kita....”
Sambil tertawa getir sahut Liok Ki-seng, "Beras mah masih
tersedia dua karung, tapi air yang tersisa tinggal sepoci. Untuk
membuatkan bubur satu orang pun mungkin tidak cukup.”
Saat itu Seebun Yan merasakan pula sangat haus, segera
serunya, "Apa jadinya bila orang yang sedang sakit tidak punya air?
Toako, di tempat ini selain ibu, mungkin hanya kau seorang yang
masih dapat bergerak, kau....”
"Baik, aku segera akan pergi mencari air,” jawab Bouw It-yu
cepat.
"Jangan,” cegah Liok Ki-seng, "kami tidak berani merepotkan


Bouw kongcu, lagian soal ini.... soal ini....”
"Apa itu soal ini soal itu, jadi kau tetap menganggap aku sebagai
orang luar?" tukas Bouw It-yu cepat.
Terpaksa Liok Ki-seng menyahut, "Aku tidak bermaksud begitu,
hanya saja.... kemampuanku memang terbatas, aku merasa kurang
enak....”
Keluar dari tenda, Bouw It-yu menghirup napas segar, walaupun
langkah kakinya agak limbung namun otak dan pikirannya tetap
segar.
"Aneh, tanpa sebab yang jelas kenapa ada begitu banyak orang
yang jatuh sakit?"
Dia tidak percaya dengan perkataan Liok Ki-seng, apalagi
menggambarkan pengamh racun kabut hutan bunga Tho yang
konon begitu lihay.
Tapi demikianlah kenyataan yang terpampang di depan mata,
bahkan saat ini tenaga dalamnya sudah tidak dapat digunakan lagi,
yang bisa dia lakukan sekarang hanya bergerak dengan paksakan
diri.
"Moga-moga saja tenaga dalam yang dimiliki Seebun-hujin tidak
lenyap seperti apa yang kualami.”
Biarpun sikap permusuhannya terhadap Seebun-hujin belum
lenyap sama sekali, diapun bukan bersungguh hati menganggapnya
sebagai ibu angkat, namun satu-satunya harapan yang dimilikinya
saat ini hanyalah dia.
Mendadak satu ingatan melintas lewat, “Aduh celaka! Bila tenaga
dalam yang dimiliki Seebun-hujin belum lenyap, dia seharusnya
mulai interogasi Liok Ki-seng, datangnya kejadian ini sangat aneh,
bahkan aku pun merasa kalau Liok Ki-seng sangat mencurigakan,
dia sebagai jago kawakan masa tidak dapat berpikir ke situ?"
Tapi, sekalipun dapat membuktikan kalau semuanya ini
merupakan ulah yang dilakukan Liok Ki-seng, apa pula yang bisa dia


lakukan? Dengan kondisi tubuhnya sekarang, jangan lagi
memikirkan keselamatan orang lain, keselamatan diri sendiripun
masih menjadi tanda tanya besar.
Sementara dia masih bingung dan tidak tahu apa yang mesti
diperbuat, mendadak terdengar suara pekikan nyaring muncul dari
balik hutan.
Suara pekikan itu disertai irama yang istimewa, sekali mendengar
Bouw It-yu segera tahu kalau suara itu berasal dari Jit-seng-kiamkek.
Biarpun dia tidak bisa menangkap arti dari suara pekikan itu,
tidak urung muncul juga secercah harapan dihati kecilnya. Maka
dengan langkah cepat dia menghampiri sumber munculnya suara
tersebut.
Sementara dia masih berlarian dengan napas ngos-ngosan,
mendadak terdengar suara yang sangat menusuk pendengaran
bergema, "Hey bocah muda, kau anggap setelah mempunyai ibu
angkat maka aku tidak bisa berbuat apa-apa kepadamu?"
Suara itu membawa nada hidung yang kental, seperti orang yang
sedang sakit pilek.
Begitu mendengar suara orang itu, dia segera tahu siapa yang
datang, tahu-tahu di depan mata telah muncul manusia
berkerudung itu.
Dalam pada itu Bouw It-yu telah mencabut keluar pedangnya,
Sreeet! Dia langsung melepaskan sebuah bacokan.
Dalam kondisi tenaga dalam masih utuhpun dia tidak sanggup
menghadapi sepuluh jurus serangan dari manusia berkerudung itu,
apalagi sekarang tenaga dalamnya telah punah sama sekali, hanya
saja dia tidak rela untuk menyerah kalah dengan begitu saja.
"Traaang....!" baru saja ujung pedang Bouw It-yu menyentuh
pakaian lawan, serangan itu seketika tersampok runtuh oleh
kebasan manusia berkerudung itu.


Agaknya manusia berkerudung itupun tidak menduga akan hal
ini, sambil mendengus segera tegurnya, "Kau sedang berlagak
bodoh atau benar-benar telah kehilangan ilmu silat?"
Perlu diketahui mereka baru berpisah selama dua hari, biarpun
saat itu Bouw It-yu telah menderita kerugian besar ditangannya,
namun manusia berkerudung itupun tidak berhasil melukai
lawannya.
"Aku telah kehilangan ilmu silatku,” jawab Bouw It-yu dingin,
"bila ingin membunuhku, bukankah bisa kau lakukan dengan lebih
gampang lagi?"
Tampaknya manusia berkerudung itu sudah tahu kalau lawannya
benar-benar telah kehilangan ilmu silat, sebagai seorang jagoan
kelas satu dalam dunia persilatan, mana mungkin dia mau
membunuh seseorang yang telah kehilangan kemampuannya untuk
melawan?
Tangan manusia berkerudung yang telah diangkat ke atas
perlahan-lahan diturunkan kembali, kemudian setelah berpikir
berapa saat akhirnya dengan nada dingin ujarnya, "Baiklah, aku
tidak akan membunuhmu, tapi akan kumusnahkan ilmu silatmu!"
Kondisi Bouw It-yu saat ini tidak lebih hanya 'kehilangan' ilmu
silat, 'kehilangan' dan 'dimusnahkan' jelas dua hal yang berbeda
sekali, bila kehilangan ilmu silat karena keracunan hebat atau sakit
parah, suatu saat kemampuannya dapat pulih kembali, sebaliknya
bila dimusnahkan seorang jago silat maka selama hidup ilmu
silatnya tidakbakalan pulih kembali seperti sedia kala.
Biarpun terancam bahaya maut, Bouw It-yu tidak sudi minta
ampun, dalam keadaan begini dia hanya menggertak giginya kuatkuat.
Tampaknya manusia berkerudung itupun tidak sanggup
mengambil keputusan, tapi saat ini telapak tangannya telah
menempel diatas tulang Pi-pa-kut di tubuh Bouw It-yu.
Pada saat dia sambil menggigit bibir siap melancarkan serangan


yang mematikan itulah, tiba tiba suara pekikan aneh itu kembali
berkumandang.
Manusia berkerudung itu tampak agak tertegun, kemudian
serunya, "Bukannya aku lupa dengan hubungan persahabatan di
masa lampau, aku toh sudah berulang kali memperingatkan bocah
muda ini!"
Kembali suara pekikan berkumandang tapi kini telah berubah
iramanya.
Bouw It-yu tahu suara pekikan itu merupakan irama tambur
untuk menyampaikan berita, hanya sayang dia tidak paham apa
maksud dari pekikan itu.
Dia memang tidak mengerti n,;mun manusia berkerudung itu
sangat memahami artinya, begitu suara pekikan berhenti, kembali
dia berseru, "Baiklah, kau adalah lotoa kami, bila kau bersedia
mewakili bocah ini memberikan janjinya, tentu saja aku akan
mempercayai jaminanmu itu. Memandang diatas wajahmu sebagai
penanggung, kulepaskan dirinya kali ini'
Begitu manusia berkerudung itu berlalu, terdengarlah seseorang
berkata lagi, "Sebetulnya aku tidak ingin bertemu dengan mu, tapi
sekarang mau tidak mau harus bertemu juga!"
Bersamaan dengan selesainya perkataan itu, dalam sekejap mata
seorang kakek berwajah merah yang tinggi besar telah muncul
dihadapannya.
Banyak pertanyaan berkecamuk dalam benak Bouw It-yu selama
ini, cepat dia berseru, "Kwik-locianpwee, terus terang, kedatangan
tecu kali ini ke wilayah Liauw-tong adalah karena ingin menanyakan
berapa masalah yang pelik kepada diri cianpwee....”
Belum sempat dia menyelesaikan perkataannya, secara tegas Jitseng-
kiam-kek telah menukas, "Hanya aku yang boleh bicara, kau
tidak boleh bertanya!"
Bouw It-yu melengak dan berdiri melongo. Sebagaimana
diketahui dia adalah putra seorang pendekar kenamaan, sedikit


banyak dia masih memiliki sedikit pamor dan nama, siapa tahu
bukan saja orang tua itu sama sekali tidak sungkan, bahkan begitu
bertemu muka telah membuatnya ketanggor batunya.
Maka sesudah termangu berapa saat, ujarnya, "Urusan orang lain
boleh saja tak kutanyakan, tapi kalau masalahnya menyangkut
pribadiku dan aku ingin mengetahuinya, hal ini tidak kelewat batas
bukan? Kalau didengar dari perkataan manusia berkerudung itu,
kelihatannya locianpwee telah mewakili aku menyanggupi sesuatu,
apakah hal seperti inipun aku tak pantas bertanya?"
"Kau menyalahkan aku karena berani mewakilimu mengambil
keputusan?"
"Tidak berani, aku tahu cianpwee berbuat begini demi
kebaikanku. Hanya saja aku masih tetap ingin tahu.”
"Betul, persoalan ini memang harus kau ketahui. Sederhana
sekali, aku hanya mewakilimu berjanji setelah balik ke gunung nanti
tidak pernah akan bercerita kepada siapa pun kalau di wilayah
Liauw-tong pernah bertemu dengannya.... termasuk kepada
ayahmu.”
"Tapi bukan hanya tecu seorang yang pernah bertemu
dengannya.”
"Aku tahu,” jawab Jit-seng-kiam-kek, "selain kau, Seebun-hujin
dan putrinya pernah bertemu juga. Tapi mereka tidak bakalan akan
bercerita kepada orang-orang Bu-tong-pay, lagipula yang mereka
ketahui tidak sebanyak apa yang kau peroleh. Seperti misalnya
kejadian barusan, mereka toh tidak tahu. Cuma kau tidak usah
kuatir, siapa yang akan membocorkan rahasia nya dikemudian hari,
dia pasti punya cara untuk menyelidikinya, tidak mungkin dia akan
menagih hutang orang lain kepadamu.”
Bouw It-yu bukan orang bodoh, begitu berpikir sejenak diapun
segera menjadi paham, yang di maksud manusia berkerudung itu
sebagai "kepada siapa" sesungguhnya hanya kata kiasan, sebab
orang yang benar-benar paling ditakuti olehnya hanya ayahnya
seorang.


"Mengapa dia tidak berani membiarkan ayah tahu kalau dia
pernah muncul di Liauw-tong bahkan berulang kali berusaha
menyusahkan diriku? Mungkin masalahnya bukan hanya takut ayah
bakal menuntut balas kepadanya, dulu dia pasti pernah saling
mengenal dengan ayahku dan sekarang ada sesuatu rahasia yang
tidak ingin diketahui ayahku. Semisal secara diam-diam
kuberitahukan hal ini kepada ayah, darimana dia bisa
mengetahuinya?"
Agaknya Jit-seng-kiam-kek dapat membaca suara hatinya, cepat
katanya, "Bila kau mengira dapat mengelabuhinuya, maka
dugaanmu itu keliru besar. Bila ingin orang lain tidak tahu, kecuali
kau tidak pernah melakukannya. Bila kau beritahukan persoalan ini
kepada ayahmu, bukan saja bakal tidak menguntungkan bagimu,
terhadap ayahmu sendiripun lebih banyak ruginya daripada untung.
Jangan kau sangka aku sedang menakut-nakutimu!"
"Boanpwee akan mentaati pesan cianpwee.”
"Bagus, apa yang ingin kau tanyakan telah kujawab, sekarang
kaulah yang harus mendengarkan perkataanku.”
"Boanpwee siap mendengarkan.”
"Tadi kau mengatakan kalau aku mau mewakilimu menyanggupi
permintaan manusia berkerudung itu karena demi kebaikan, salah!"
Tanpa terasa kembali Bouw It-yu tertegun, namun berhubung dia
tidak boleh bertanya terpaksa ditunggunya sampai Jit-seng-kiamkek
sendiri yang memberi penjelasan.
"Aku berbuat demikian demi Seebun-hujin,” Jit-seng-kiam-kek
menerangkan, "bagaimanapun juga, dia masih terhitung sahabat
lamaku. Sekarang dia sedang ketimpa masalah, aku tidak bisa
berpeluk tangan tanpa menolong. Oleh karena itulah terpaksa aku
harus meminjam tanganmu untuk menolongnya! Bila ilmu silatmu
sampai dipunahkan manusia berkerudung itu, berarti tidak bisa
selamatkan dirinya!"
Bouw It-yu merasa terkejut bercampur kaget, tanpa sadar


serunya tertahan, "Apakah Liok....”
Baru mengucapkan dua kata, Jit-seng-kiam-kek telah mengerling
sekejap ke arahnya sambil menukas, "Bagaimana aku berpesan
kepadamu tadi, secepat itu sudah kau lupakan?"
"Tecu hanya sembarangan menebak, tidak berani banyak
bertanya.”
"Kau ingin menduga seperti apapun, itu urusanmu, kau ingin
menggunakan cara apa untuk menghadapi orang yang kau curigai,
itupun urusanmu sendiri, aku tidak mau ikut campur. Yang ingin
kukatakan kepadamu adalah racun yang bersarang di tubuh kalian
bukan racun yang berasal dari kabut melainkan racun yang
dicampur orang di dalam makanan kalian, racun ini dibuat dari
bunga setan yang banyak tumbuh di Tibet, tiada warna tiada bau,
siapapun yang terkena racun itu maka tenaga dalamnya segera
akan punah, kendatipun ilmumu sangat hebat. Racun ini jauh lebih
lihay dari bubuk pelemas tulang.”
Berbicara sampai disini dia mengeluarkan sebuah botol porselen,
di dalam botol itu berisi lima butir obat, katanya, "Untung aku
mempunyai obat penawarnya, kau telanlah sebutir lebih dulu,
sisanya yang empat butir bawa pulang dan berikan kepada orang
orang yang kau anggap butuh pertolongan.”
Tergerak hati Bouw It-yu, pikirnya, 'Ucapan ini terdapat titik
kelemahan. Tujuannya yang paling utama adalah selamatkan
Seebun-hujin, tapi sekarang minta akulah yang melakukan tugas
pem-bagian ini. Mungkin dia sangka jalan pikiranku sama seperti
jalan pikirannya, pasti akan selamatkan Seebun-hujin terlebih dulu.'
Berbagai ingatan segera melintas dalam benaknya, namun mimik
mukanya tidak menunjukkan perubahan apa pun.
Terdengar Jit-seng-kiam-kek berkata lebih jauh, “Obat penawar
ini baru menunjukkan khasiatnya setelah waktu berjalan berapa
saat, bagi orang yang memiliki tenaga dalam seperti Seebun-hujin,
setelah menelan pil pemunah itu maka dalam setengah jam
kekuatannya dapat pulih kembali, namun bagi kau paling tidak


butuh waktu satu jam. Aku rasa dia tidak bisa menunggu
kedatanganmu satu jam lagi, mari biar kubantu dirimu.”
Habis berkata diapun menepuk punggung Bouw It-yu, segulung
hawa panas segera memancar keluar dari telapak tangannya dan
langsung menembusi ke dalam tan-tian Bouw It-yu.
"Nah sudah,” ujar Jit-seng-kiam-kek kemudian, "di saat kau
sudah tiba kembali di tempat semula, aku rasa tenaga dalammu
telah pulih kembali enam, tujuh bagian.”
"Terima kasih banyak atas pemberian obat dari Cianpwee, tecu
mohon diri,” kata Bouw It-yu kemudian sambil menyimpan botol
obat itu ke dalam sakunya.
"Tunggu sebentar,” tiba-tiba Jit-seng-kiam-kek berseru, "melihat
kau sudah jauh-jauh datang ke Liauw-tong, tampaknya paling tidak
aku harus memberi-tahukan sedikit tentang persoalan yang paling
ingin kau ketahui.”
"Terima kasih atas petunjuk Cianpwee!" seru Bouw It-yu
kegirangan, "perguruan kami pasti akan sangat berterima kasih atas
budi kebaikan ini.”
Dia tidak tahu apakah apa yang akan dikatakan Jit-seng-kiam-kek
merupakan persoalan yang benar-benar ingin dia ketahui, karena
itulah dia ingin menggunakan ucapan tersebut untuk "mengunci"
janjinya didalam lingkungan yang dia maksud, agar Jit-seng-kiamkek
tidak salah paham dengan maksud hatinya.
"Kau tidak usah berterima kasih kelewat awal,” kata Jit-sengkiam-
kek lagi, "aku tidak mungkin memberitahukan kepadamu siapa
pembunuh yang kau curigai. Yang bisa kuberitahukan kepadamu
hanyalah.... ehmm, jangan salahkan kalau aku bicara tanpa sungkan
sungkan. Walaupun ayahmu bukanlah terhitung seorang lelaki
sejati, namun dia tidak bakalan mau menjadi pembantu dalam kasus
pembunuhan terhadap orang lain.”
Sedikitpun tidak salah, apa yang dia katakan memang merupakan
persoalan yang paling ingin diketahui Bouw It-yu. Walaupun dia


tidak memberitahukan siapa pembunuh sebenarnya dalam berapa
kasus pembunuhan yang menimpa tokoh-tokoh Bu-tong-pay,
namun jawaban ini telah menghilangkan satu keraguan yang paling
ditakuti Bouw It-yu, dia pernah mencurigai ayahnya tersangkut
langsung dengan beberapa kasus pembunuhan itu.
"Terima kasih Kwik-locianpwee telah membebaskan simpul mati
yang mengganjal pikiranku selama ini!"
Walaupun perkataan Jit-seng-kiam-kek sama sekali tidak
sungkan, namun rasa terima kasihnya ini tetap muncul dari hati
sanubarinya yang paling tulus.
"Cukup, sekarang kau boleh segera kembali. Kalau terlambat
kuatirnya tidak sempat lagi!"
Ketika mengucapkan perkataan yang terakhir, tubuh Jit-sengkiam-
kek telah lenyap di balik hutan belukar.
Setelah mendapat bantuan dari Jit-seng-kiam-kek, di saat Bouw
It-yu balik kembali ke tempat dimana tenda itu didirikan, tenaga
dalamnya telah pulih kembali tujuh bagian.
Pertama-tama yang dia dengar adalah suara tertawa dingin dari
Liok Ki-seng.
Di saat semua orang sedang berharap harap cemas akan
munculnya kembali Bouw It-yu, tiba-tiba Liok Ki-seng berkata,
"Nona Seebun, jangan salahkan kalau aku bicara terus terang, aku
kuatir kau sedang bermimpi bila ingin melihat Bouw It-yu balik
kembali kemari!"
"Kenapa?" tanya Seebun Yan terperanjat.
"Sebab bocah keparat itu sudah kehabisan tenaga, dimulut saja
dia masih berbicara sok gagah, mau pergi mencari air, hmmm....
mungkin saja saat ini tubuhnya sudah terpelanting masuk ke dalam
jurang dan tidak mampu bangkit kembali. Bila nasibnya sedang
baik, mungkin saja jiwanya akan ditolong pemburu yang kebetulan
lewat, tapi paling tidak dia bakal sakit parah setengah sampai
setahun lamanya, jika nasib sedang buruk, apalagi sampai bertemu


tanah longsor atau air bah, mungkin bukan cuma nyawanya saja
yang lenyap, tulang belulangnya pun tidak bakal bisa ditemukan
lagi!"
Meledak hawa amarah Seebun Yan setelah mendengar ucapan
itu, umpatnya, "Liok Ki-seng, kau berani menyumpahi saudara
angkatku! Ibu, coba lihat, kurangajar benar bajingan ini, kita harus
memberi pelajaran yang setimpal kepadanya!"
Namun Seebun-hujin berlagak seolah tidak ada masalah, katanya
sambil tersenyum, "Mungkin Liok-tuocu sengaja menggodamu
setelah melihat kau panik tidak karuan, jangan ditanggapi serius."
Melihat Seebun-hujin tidak berani menegur atau memakinya, Liok
Ki-seng segera tahu kalau apa yang diduga tidak meleset, sikapnya
semakin bertambah kurangajar.
"Seebun-hujin,” jengek Liok Ki-seng kemudian sambil tertawa
dingin, "aku dengar ilmu pedangmu sudah termasuk jagoan nomor
wahid, ternyata yang kau miliki hanya ilmu sandiwara yang hebat!"
Meledak hawa amarah Peng-toaso mendengar ucapan itu,
bentaknya, "Liok-tuocu, aku adalah anak buahmu, tapi kau pun
anak buah hujin, berani amat kau bersikap kurang ajar terhadap
hujin! Hmm, kalau kamipun bersikap seperti itu kepadamu, apa kau
sanggup untuk menerima nya?"
"Itu mah tergantung berada dalam situasi macam apa,” jawab
Liok Ki-seng kembali tertawa dingin, "terkadang tidak tahan pun
terpaksa harus ditahan!"
Hong-sihu jauh lebih cerdas, tampaknya dia sudah menemukan
gejala yang tidak beres, cepat katanya, "Liok-tuocu, apa sih yang
kau andalkan, berani amat kurangajar terhadap hujin?"
"Ucapan enci Hong kelewat serius. Aku hanya membuka jendela
lebar-lebar sambil bicara blak-blakan. Meski apa yang kukatakan
memang tidak enak didengar, tapi seharusnya hujin pun mengerti,
semua yang kukatakan adalah ucapan sejujurnya.”
Bicara sampai disini, dia sengaja berlagak minta maaf, katanya


lagi kepada Seebun-hujin, "Hujin, aku tidak pandai bicara, bila
ucapanku menyinggung perasaanmu, harap kau sudi memaafkan
dan memberi hukuman yang seringan-ringannya.”
Hampir meledak dada Seebun Yan saking gusarnya, kembali dia
berteriak, "Ibu, kenapa kau masih belum turun tangan untuk
memberi pelajaran kepadanya!"
Seebun-hujin menghela napas panjang.
"Aaaai, kau memang bocah yang tidak tahu urusan, hari ini kita
semua sudah terjatuh ke ceng-keraman orang lain!"
"Ibu, apa yang kau katakan?" jerit Seebun Yan terperanjat.
Saat itulah Seebun-hujin baru menatap Liok Ki-seng sambil
perlahan-lahan berkata, "Liok Ki-seng, ilmu meracunmu sungguh
luar biasa, sampai akupun berhasil kau kelabuhi!"
Begitu perkataan itu diucapkan, bukan hanya Seebun Yan saja
yang terperanjat, Hong-sihu serta Peng-toaso pun ikut melompat
bangun saking kagetnya, teriak mereka berbareng, "Liok Ki-seng,
ternyata kau telah meracuni kami!"
Liok Ki-seng tertawa terbahak-bahak, ejeknya, "Hujin kelewat
memujiku, padahal bukan caraku melepaskan racun yang hebat,
bahan racun itu sendiri yang memang luar biasa. Hujin, kau ingin
tahu bahan apa yang telah digunakan? Hahahaha.... obat itu adalah
bubuk Siu-lo-san yang dibawa Ka-cok Hoatsu dari Tibet, bubuk Siulo-
san terbuat dari bunga iblis (opium), daya pengaruhnya berlipat
ganda bila dibandingkan bubuk pelemas tulang.”
"Liok Ki-seng! Kau memang bangsat, bajingan yang sudah
sinting!" umpat Peng-toaso sambil menu-ding ke arah wajahnya,
"hujin begitu baik kepadamu, beginikah balasan yang kau berikan?"
Kembali Liok Ki-seng tertawa keras.
"Peng-toaso, masa kau lupa kalau julukanku adalah sang pelajar
dari alam baka?"
"Kalian tidak perlu mengumpatnya lagi,” tukas Seebun-hujin


hambar, "manusia semacam dia lebih pantas disebut: manusia egois
yang takut dikutuk langit bila tidak mencelakai orang. Buat apa
kalian mengajaknya bicara soal perasaan dan kesetiakawanan?
Jangan sampai dia menterta wakan kalian hingga pecah kulit
perutnya.”
"Tepat sekali!" seru Liok Ki-seng sambil bertepuk tangan,
"ternyata hujin memang lebih tahu perasaanku....”
"Baiklah, sekarang aku ingin bertanya kepadamu, karena apa kau
meracuni diriku?"
"Sebenarnya aku ingin mengandalkan hujin sebagai tulang
punggungku, tapi kau enggan menolong-ku, karena itulah agar bisa
menjadi seorang Liok-lim Bengcu, terpaksa aku mencari orang lain
untuk dijadikan sandaran.”
"Kim Teng-hap maksudmu?"
"Tepat sekali, tapi yang benar-benar cocok menjadi sandaranku
adalah majikan Kim Teng-hap.”
“Khan dari bangsa Boan?"
"Tepat sekali. Kim Teng-hap telah menyanggupi permintaanku,
asal aku berhasil membekuk kalian ibu dan anak dan menyerahkan
kepadanya, dia berjanji akan membantu aku membicarakan masalah
ini dihadapan Khan, agar keinginanku bisa kesampaikan!"
"Liok Ki-seng, anjing gelandangan!" umpat Peng-toaso teramat
gusar, "sungguh tak kusangka kau adalah manusia berhati serigala
berparu paru anjing! Kau ingin menangkap hujin? Lebih baik
bunuhlah aku terlebih dulu!"
"Peng-toaso, siapa yang telah mempromosikan dirimu? Kau lupa
pernah bersumpah setia sampai mati kepadaku?" seru Liok Ki-seng.
"Hmm, siapa pula yang telah menampungmu ketika kau
melarikan diri ke luar perbatasan seperti seekor anjing yang habis
digebuki? Terhadap hujin pun tidak setia, kau masih punya muka
untuk berbicara denganku!"


Bukannya gusar Liok Ki-seng malah tertawa tergelak.
"Hahahaha.... ternyata baru dicoba sudah ketahuan, sejak c.wal
aku sudah tahu kalau kau tidak dapat melupakan majikan lamamu,
kesetiaanmu terhadapku hanya palsu, kesetiaan terhadap majikan
lamalah baru beneran.”
"Liok-toako....” tiba tiba Hong-sihu memanggil dengan suara
lembut.
"Hong-hiocu,” tukas Liok Ki-seng cepat, "kaupun jangan salahkan
aku karena harus meracuni pula dirimu, meski kita adalah rekan
kerja selama banyak tahun, namun selama beberapa hari
belakangan tampaknya hujin sedang berusaha merangkulmu, aku
musti bertindak hati-hati dalam setiap langkahku.”
"Aku baik terhadap hujin, baik pula terhadapmu, bahkan aku bisa
bersikap lebih baik lagi kepadamu,” ucap Hong-sihu.
"Oooh, kebaikan apa lagi yang bisa kau berikan untukku?"
"Asal kau bebaskan hujin, apa pun yang kau inginkan pasti akan
kukabulkan.”
Rupanya selama ini Liok Ki-seng selalu kesemsem dengan
kecantikan wajah Hong-sihu, bahkan berapa kali sempat
mengemukakan keinginannya, namun selama ini Hong-sihu selalu
berlagak tidak paham dan menolak keinginannya.
Liok Ki-seng tampak sangat puas setelah mendengar ucapan itu,
katanya, "Kalau begitu kau bersedia menikah denganku?"
Berlagak seolah tersipu malu Hong-sihu menundukkan kepalanya,
sesaat kemudian dia baru menyahut, "Hal ini tergantung dirimu.”
"Baiklah, bagaimana kalau kita masing-masing mengalah satu
langkah,” usul Liok Ki-seng sambil tertawa, "aku tidak keberatan
untuk membebaskan nona Seebun.”
"Tidak bisa, kalau ingin dibebaskan harus ter-masuk juga hujin.
Bagaimana pun ilmu silat yang hujin miliki telah punah, kau tidak
usah menguatirkan lagi tindakannya untuk mencegahmu menjadi


Liok-lim Bengcu.”
Liok Ki-seng menggelengkan kepalanya berulang kali, katanya,
"Aku pun tidak segan untuk bicara sejujurnya kepadamu, meski aku
menyukaimu tapi kalau gara-gara mendapatkan dirimu lantas aku
harus kehilangan posisi ku sebagai Liok-lim Bengcu, jelas kerugian
dipihakku kelewat besar. Selama mereka belum berhasil
mendapatkan hujin, tidak nanti orang orang itu akan mendukungku.
Bila aku gagal memperoleh kekuatan untuk mendukungku,
sekalipun hujin tidak menghalangi pun, rasanya sulit bagiku untuk
menduduki bangku kehormatan itu.”
"Kalau ada harga tentu ada penawaran, begini saja,” kata Hongsihu
kemudian, "berikan obat penawar untuk nona kami, aku akan
mengabulkan permintaanmu setelah menyaksikan ilmu silatnya pulih
kembali seperti sedia kala.”
Tampaknya tergerak hati Liok Ki-seng setelah mendengar
tawaran itu, dia mulai termenung sambil mempertimbangkan.
Kembali Hong-sihu berkata, "Biarpun ilmu silat yang nona miliki
telah pulih kembali, diapun bukan tandinganmu, apa yang harus kau
takuti?"
Menurut perhitungannya, asal dia bersedia kawin dengan Liok Kiseng
maka sedikit banyak orang itu akan membagikan juga obat
penawar baginya. Asal dia bekerja sama dengan Seebun Yan, paling
tidak dia masih bisa beradu nyawa dengan Liok Ki-seng.
Peng-toaso tidak berpikir sampai kesitu, ucapan mana membuat
sepasang matanya langsung melotot gusar, dia ingin memaki
namun tidak mampu bersuara, akhirnya yang bisa dilakukan
hanyalah menghela napas panjang.
Seebun Yan tidak kuasa menahan amarahnya, dengan nada
kasar kembali teriaknya, "Lebih baik kawin dengan babi atau anjing
daripada kawin dengan bangsat macam dia. Enci Hong, biar
kuterima dalam hati niat baikmu. Tapi aku tidak boleh membiarkan
tubuhmu jadi kotor dan terhina gara gara ingin menolongku.”


Liok Ki-seng mendengus dingin.
"Budak busuk!" umpatnya, "jangan lupa, nyawamu sudah berada
dalam genggamanku, berani amat bicara kotor.”
Buru-buru Hong-sihu melerai, katanya, "Liok-tuocu, kau telah
berjanji kepadaku untuk tidak bertindak sembarangan. Nona, lebih
baik kurangi perkataanmu, pepatah kuno mengatakan: selama
gunung nan hijau....”
Tidak menanti dia menyelesaikan perkataannya, kembali Seebun
Yan telah mengejek sambil tertawa dingin, "Memangnya aku salah
memaki? Aku ingin bertanya kepadamu, bukankah menjadi kuku
garudanya kaum Tartar sama hinanya dengan seekor anjing
busuk?"
Paras muka Hong-sihu berubah jadi hijau kemerah merahan, dia
sadar setelah kejadian berubah jadi begini maka perkataan apa pun
tidak mungkin bisa pulihkan kembali keadaan.
Sambil tertawa dingin kembali Liok Ki-seng berseru, "Toa-siocia,
kau benar-benar tidak tahu diri, hmm! Jangan salahkan kalau aku
orang she-Liok tidak punya perasaan.”
"Kalau kau ingin membunuh, bunuhlah, buat apa banyak bicara.
Setelah kau membunuhku, pasti ada orang yang akan membalaskan
dendam bagiku.”
Liok Ki-seng tertawa mengejek.
"Kau mengharapkan siapa yang akan membalaskan dendammu?
Tonghong Liang atau Bouw It-yu? Sayang Tonghong Liang
menganggap wajahmu kelewat jelek, begitu bertemu denganmu,
sedari jauh sudah berusaha menghindarkan diri, sedang Bouw It-yu
si bocah keparat itu.... hehehe....”
Belum selesai dia berkata, mendadak terdengar lagi seseorang
sedang tertawa dingin.
"Siapa?" hardik Liok Ki-seng.
Sambil tertawa dingin sahut orang itu, "Aku tidak mati


terpelanting, tidak pula roboh karena sakit, maaf, telah membuat
kau kecewa berat!"
Ternyata Bouw It-yu muncul tepat waktu.
Begitu turun tangan dia langsung mengeluarkan jurus
pamungkas dari ilmu pedang Lian-huan-toh-beng-kiam-hoat,
niatnya ingin menggunakan serangan yang tercepat untuk segera
menyelesaikan pertarungan ini.
Ujung pedangnya langsung menusuk ke arah tenggorokan lalu
mata pedang mengikuti gerakan tadi menebas turun ke bahu,
sementara dengan gagang senjata dia sodok perut lawan. Tiga jurus
berantai dilancarkan bersamaan waktu, kedahsyatannya benar
benar luar biasa.
Tapi sayang tenaga dalamnya baru pulih tujuh bagian, Liok Kiseng
berani mengincar kursi kebesaran Liok-lim Bengcu tentu saja
ilmu silat yang dia milikipun bukan sembarangan.
Cepat telapak kirinya menabok ke muka, dia tangkis gagang
pedang lawan terlebih dulu, otomatis tusukan ke arah tenggorokan
dan babatan ke arah bahu pun terurai dengan sendirinya.
Menyusul kemudian telapak tangan kanannya menyodok ke
depan, sepasang tangan bersatu membentuk satu lingkaran busur,
dalam waktu singkat gerakan pedang dari Bouw It-yu pun terkunci
sama sekali.
Kini bukan saja gerakan pedang Bouw It-yu terkunci, bahkan
seluruh tubuhnya berada dalam kurungan angin pukulannya, hal ini
memaksa tubuhnya gontai berapa kali.
Sambil tertawa dingin Liok Ki-seng segera mengejek, "Bocah
dungu, kusangka kepandaianmu benar benar luar biasa, hmmm,
tidak tahunya hanya ujung tombak yang terbuat dari lilin. Hmm!
Tadi kau berhasil kabur satu kali, jangan harap bisa kabur untuk
kedua kalinya, inilah yang dinamakan jalan ke sorga kau tidak
lewati, jalan menuju ke neraka justru kau datangi!"
Walaupun mulutnya tetap berkobar mengejek ketidak becusan


musuhnya, sementara dalam hatinya dia merasa terperanjat
bercampur keheranan, pikirnya, 'Sim-hoat tenaga dalam dari Butong-
pay ternyata memang luar biasa saktinya, Seebun-hujin saja
tidak tahan menghadapi racun dari bunga iblis, ternyata bocah
keparat ini masih mampu bertarung seimbang melawanku!'
Dalam terkejut bercampur ragunya, karena kuatir situasi bakal
berubah tidak menguntungkan pihaknya maka napsu membunuh
pun seketika menyelimuti hatinya.
Waktu itu Seebun-hujin sedang duduk bersila sambil setengah
pejamkan matanya, mendadak dia berseru, "Jalan ke Jian (baratlaut)
berputar ke Sun (tenggara), Kim-ku-lui-ming (tambur emas
guntur menggelegar)"
Jian (Langit/barat-laut), Kun (Bumi/barat-daya), Ken
(Gunung/timur-laut), Sun (Angin/tenggara), Kan (Air/utara), Li
(Api/Selatan), Ceng (Guntur/timur), Tui (Jeram/barat) merupakan
delapan unsur yang menunjuk kan arah yang berbeda dalam Patkwa,
namun bila digunakan dalam ilmu silat maka bukan saja hanya
menunjukkan arah mata angin bahkan memiliki pula makna mana
yang saling menghidupkan dan mana yang saling bertentangan.
Bu-tong-pay merupakan pusat agama To, semua ilmu silatnya
mengandung makna Ngo-heng dan Pat-kwa, jelas merupakan suatu
keistimewaan dari ilmu silat aliran Bu-tong.
Begitu mendengar petunjuk itu, tanpa berpikir panjang lagi Bouw
It-yu bergerak menuju arah yang ditunjuk Seebun-hujin, pedang
dan pukulan digunakan bersama, dia segera mengeluarkan jurus
Kim-ku-lui-ming (tambur emas guntur menggelegar) yang maha
dahsyat.
Jurus pembunuh yang dilancarkan Liok Ki-seng memang tertuju
ke bagian tubuhnya yang kosong, dengan perputaran itu maka
secara persis dia malah menyumbat bagian yang kosong itu bahkan
melancarkan serangan setengah langkah cepat, dari posisi yang
diserang kini dia malah menjadi pihak yang menyerang.
Begitu Bouw It-yu mendapat petunjuk dari Seebun-hujin,


walaupun tenaga dalamnya masih kalah dari musuhnya, namun
setiap jurus serangan yang dilancarkan selalu berhasil
mengendalikan situasi lebih dulu, hal ini menyebabkan Liok Ki-seng
jadi keteter hebat dan kalang kabut dibuatnya.
Cepat Liok Ki-seng merangkap tangannya di depan dada dan
berdiri tegap tanpa melancarkan serangan lagi. Karena dia tidak
bergerak, petunjuk dari Seebun-hujin pun segera berhenti.
Tiba tiba Liok Ki-seng membentak nyaring, "Kalian tidak usah
berlagak mampus, ayoh cepat bangun dan turun tangan!"
Ke lima orang anak buah yang dibawa dari daratan Tionggoan itu
semula masih tergeletak 'sakit' dalam kondisi yang parah, kini tibatiba
saja melompat bangun dalam keadaan segar bugar.
Sasaran pertama yang mereka serang tentu saja Seebun-hujin.
Paras muka Seebun-hujin sama sekali tidak berubah, mendadak
terdengar suara orang menjerit kesakitan, orang pertama yang
menubruk ke arahnya tahu-tahu sudah tergelepar lagi diatas tanah.
Rupanya orang itu hendak menggunakan Seebun-hujin sebagai
sandera, siapa tahu meski tenaga dalam yang dimiliki perempuan ini
telah punah namun ilmu silatnya sama sekali tidak lenyap, sejak
awal secara diam diam dia sudah menyembunyikan sebatang tusuk
konde di balik telapak tangannya.
Begitu orang itu menyerang, diapun langsung menotok urat
nadinya, kemudian dengan tehnik empat tahil membelokkan seribu
kati dia lempar tubuh orang itu ke belakang.
Dengan ilmu silat tenaga luar yang dimiliki orang itu, bagaimana
mungkin dia dapat menghadapi ilmu silat tingkat tinggi, tidak ampun
lagi tubuhnya roboh tertelentang ke tanah.
Tusuk konde perak itu memang sengaja disembunyikan di balik
telapak tangan, rekan orang itu yang ikut menerjang ke muka sama
sekali tidak tahu apa yang telah terjadi dengan temannya, dia hanya
melihat begitu orang itu menerjang maju tahu-tahu sudah roboh
terjengkang, disangkanya Seebun-hujin masih memiliki ilmu


simpanan yang maha dahsyat, hal mana membuatnya terkesiap dan
langsung berdiri mematung.
Dengan tatapan tajam Seebun-hujin mengawasi wajahnya,
kemudian berkata hambar, "Lay Po-ji, kau pun sudah berpindah
keluarga? Bagus, kalau begitu majulah, akan kusempurnakan
keinginanmu itu!"
Ternyata orang yang bernama Lay Po-ji ini adalah pelayan
mendiang suaminya dulu, meski sudah lewat dua puluhan tahun
namun sikapnya terhadap perempuan itu masih takut bercampur
hormat.
Dalam terperanjatnya buru-buru dia berseru, "Hamba tidak
berani!"
Kakinya seolah menginjak minyak pelumas saja, begitu
membalikkan tubuh langsung melarikan diri terbirit-birit.
Mana dia tahu kalau saat itu kondisi Seebun-hujin sudah amat
parah, bukan saja amat lelah bahkan sudah kehabisan tenaga.
Untuk melakukan tehnik empat tahil membelokkan seribu kati,
paling tidak dia harus memiliki modal tenaga sebesar empat tahil,
padahal jangan lagi empat tahil, kekuatan setahil pun saat ini sudah
tidak dimilikinya.
Andaikata dia berani maju menyerang, niscaya Seebun-hujin
akan berhasil dibekuknya.
Orang ke tiga jauh lebih licik, dia tidak berani maju menyerang
Seebun-hujin namun diapun tidak melarikan diri, hanya berganti
sasaran saja, kini dia berbalik menerjang ke arah Seebun Yan.
Saat ini untuk berdiri pun sudah tidak sanggup, bagaimana
mungkin Seebun-hujin dapat menolong putrinya?
"Sudah kalian lihat sendiri bukan!" bentak Liok Ki-seng,
"perempuan bangsat itu sudah ibarat patung lumpur menyeberangi
sungai, untuk menyelamatkan diri sendiripun sudah tidak mampu,
apa lagi yang kalian takuti?"


Baru selesai dia berteriak, kembali terlihat ada dua orang jatuh
bersama keatas tanah. Ternyata Peng-toaso telah memeluk kencang
orang itu, maka mereka berdua pun menggelinding bersama diatas
tanah.
Peng-toaso memang pada dasarnya memiliki tenaga alam yang
sangat kuat, biarpun sudah keracunan hebat, biarpun kekuatan
tenaganya sudah hilang tujuh, delapan bagian, namun serangan
yang dilancarkan dalam keadaan kritis dan berbahaya ini benarbenar
menakutkan.
Mana mungkin dalam keadaan panik dan cemas orang itu dapat
melepaskan diri dari rangkulannya?
Seebun Yan segera mencabut pedangnya dan langsung
ditusukkan ke punggung orang itu.
Tenaga yang dimilikinya saat itu hanya cukup untuk memegang
kencang gagang pedangnya, sewaktu ditusukkan ke depan, ujung
pedangnya bergetar tiada hentinya, Peng-toaso harus menggunakan
seluruh tenaga yang dimilikinya untuk membenturkan punggung
orang itu dengan ujung pedang.
Pada tusukan ke tigalah ujung pedang itu baru tembus ke dalam
punggungnya. Seketika orang itu tidak bergerak lagi sedang Pengtoaso
pun jatuh tidak sadarkan diri....
"Traaang....” pedang Seebun Yan terjatuh ke tanah, sama seperti
ibunya, diapun kehabisan tenaga dan tidak sanggup bergerak lagi.
Masih untung dua orang jagoan yang lain sedang membantu Liok
Ki-seng menyerang Bouw It-yu, agaknya mereka tidak menyangka
kalau orang itu ternyata tidak mampu mengatasi Peng-toaso.
Setelah berhasil menenangkan diri, buru-buru Seebun-hujin
berteriak lagi, "Berputar ke arah Li, menyeberang ke Sun, balik
tangan menusuk ke belakang!"
Waktu itu Bouw It-yu sedang diserang habis habisan hingga tidak
sanggup berganti napas, dia segera mengikuti petunjuk dengan
melakukan tusukan membalik.


Benar saja, tusukan itu langsung menembusi jalan darah seorang
diantaranya, menyusul kemudian tusukan berikut membuat seorang
jago yang tersisa menderita luka pula.
Tampaknya orang itu keder dan tidak berani bertarung lebih
jauh, tergopoh-gopoh dia melarikan diri.
Dari lima orang anak buah yang dibawa Liok Ki-seng, dua orang
telah melarikan diri, tiga orang terkapar dalam keadaan terluka
parah dan kehilangan kesadaran, kini yang tersisa tinggal dia
seorang diri.
Menyadari akan posisinya yang berbahaya, Liok Ki-seng jadi
gugup bercampur panik, serangannya pun mulai kalut.
Dalam pada itu tenaga dalam yang dimiliki Bouw It-yu makin
pulih kembali, dalam keadaan begini, sekalipun tidak ada petunjuk
dari orang lain pun dia sudah memiliki kemampuan untuk meraih
kemenangan.
"Blaaaam....!" sebuah pukulan keras bersarang telak di atas dada
Liok Ki-seng, membuat tubuhnya mencelat ke belakang.
"Perempuan bangsat, aku akan beradu jiwa denganmu!"
teriaknya kalap.
Bouw It-yu khawatir dia akan melukai Seebun-hujin, dengan satu
gerakan cepat dia menghadang di depan perempuan itu sambil
melepaskan sebuah bacokan kilat.
Ternyata bentakan itu hanya gertak sambal, menggunakan
kesempatan itu Liok Ki-seng berjumpalitan di udara dan berusaha
melarikan diri.
Tampaknya pukulan yang bersarang di dadanya menimbulkan
luka yang cukup parah, semburan darah yang muntah keluar dari
tenggorokannya dipaksa untuk ditelan kembali, bentaknya,
"Bajingan muda, dua lawan satu terhitung jagoan macam apa kau,
kalau bernyali ayoh bertarung satu lawan saru!"
Bouw It-yu tertawa dingin.


"Yang berlagak sok jagoan bukan aku, kalau memang bernyali
jangan melarikan diri!"
Padahal Liok Ki-seng memang sengaja bicara sesumbar untuk
menutupi rasa takutnya, begitu selesai berteriak, dia langsung
membalikkan tubuh dan melarikan diri terbirit-birit.
Sampai musuhnya lenyap dari pandangan, Seebun-hujin baru
menghembuskan napas lega, membayangkan kembali ancaman
bahaya yang baru lewat, tanpa terasa peluh dingin membasahi
seluruh tubuhnya.
"Anak Yu, untung ada kau!" bisiknya lirih.
"Bukankah semuanya ini berkat petunjukmu,” sahut Bouw It-yu
hambar.
Ternyata dia tidak menyebut 'ibu angkat' sebaliknya langsung
menggunakan sebutan 'kau' 'aku'. Seebun Yan masih tidak seberapa
memperhatikan, sebaliknya Seebun-hujin nampak tertegun, apalagi
setelah melihat perubahan aneh di wajah pemuda itu.
Sementara itu Seebun Yan berhasil menenangkan hatinya,
dengan perasaan girang serunya, "Bouw-toako, tenaga dalam dari
Bu-tong-pay kalian memang bukan nama kosong, ibu saja berhasil
dipecundangi bajingan itu, ternyata kau sendiri malah tidak apa
apa!"
"Anak Yu, apakah sewaktu keluar tadi kau telah memperoleh
penemuan luar biasa?" tanya Seebun-hujin.
"Akupun tidak tahu apakah kejadian ini termasuk satu penemuan
luar biasa, tapi persoalan ini bisa kujelaskan di kemudian hari saja.”
"Benar, yang penting sekarang adalah menyelamat kan orang
lebih dulu,” seru Seebun Yan, "toako, cepat kau periksa Peng-toaso,
coba lihat apakah dia masih dapat ditolong?"
"Tidak usah diperiksa lagi, dia hanya menggunakan tenaga
kelewat batas hingga jatuh tidak sadarkan diri. Asal dicekoki obat
penawar racun dan biarkan dia tidur sejenak, kondisi tubuhnya


segera akan pulih kembali.”
"Aaah, jadi kau mempunyai obat penawar racun?" seru Seebun
Yan kegirangan.
"Benar, hanya saja obat penawar ini mempunyai sedikit
keistimewaan.”
"Keistimewaan apa?" Bouw It-yu segera menjejalkan obat
penawar racun ke mulut Peng-toaso kemudian membaginya pula
untuk Seebun Yan dan Hong-sihu masing-masing sebutir, setelah itu
baru ujarnya, "Bukan sesuatu yang amat istimewa, hanya saja obat
itu baru berkhasiat jika kalian telah tidur sejenak.”
Bicara sampai disitu dengan kecepatan tinggi dia langsung
menotok jalan darah tidur di tubuh Seebun Yan serta Hong-sihu.
Ilmu menotok jalan darah yang digunakan Bouw It-yu bukanlah
ilmu totokan berat yang bisa merugikan badan, namun tidak urung
menimbulkan kecurigaan juga dalam hati Seebun-hujin.
"Darimana kau dapatkam obat pemunah racun itu? Kenapa baru
berkhasiat bila jalan darah tidur mereka ditotok? Rasanya aku belum
pernah mendengar tentang hal ini,” kata Seebun-hujin. Sementara
dalam hati diapun merasa keheranan, mengapa Bouw It-yu tidak
membagikan obat penawar racun itu untuknya.
"Sebenarnya mah tidak perlu,” sahut Bouw It-yu kemudian,
"hanya saja aku tidak ingin ada orang ke tiga yang ikut
mendengarkan pembicaraan kita berdua.”
"Masalah apa yang ingin kau bicarakan denganku?" tanya
Seebun-hujin terperanjat.
Dengan sorot mata yang bening, dingin dan tajam bagai mata
pedang Bouw It-yu menatap perempuan itu tanpa berkedip, berapa
saat kemudian dia baru berkata, "Hingga kini aku tidak habis
mengerti, mengapa kau bersikap begitu baik kepadaku?"
"Dan sekarang kau sudah mengerti?" tanya Seebun-hujin.
Bouw It-yu manggut-manggut. "Apa yang telah kau pahami?"


desak Seebun-hujin lebih jauh.
"Kau sedang menebus dosa!" jawaban Bouw It-yu dingin
bagaikan es.
"Menebus dosa?" paras muka Seebun-hujin tiba tiba berubah jadi
pucat pias bagaikan kertas, "aku sedang menebus dosa siapa?"
"Kau tidak perlu berlagak pilon, dalam hati kecil-mu kau sudah
tahu dengan jelas.”
"Anak Yu, apakah kau telah mendengar desak desus dari
seseorang?" tanya Seebun-hujin lembut.
"Tidak perlu diberitahu orang lain, aku pernah melihat lukisan
wajahmu di kamar baca ayahku!"
"Haaah?" Seebun-hujin ternganga lebar saking kagetnya, untuk
sesaat dia tidak mampu berkata.
"Ayah menyembunyikan lukisan wajahmu dengan sangat rapi,”
ujar Bouw It-yu lebih lanjut, "aku menemukannya tanpa sengaja.”
"Terus? Apa saja yang kau ketahui?"
"Aku tahu, sikap ayah kepadamu jauh lebih baik ketimbang
sikapnya terhadap ibuku! Benar bukan perkataanku ini?"
Seebun-hujin tidak menyangkal, namun dihati kecilnya dia
berpekik, "Kau keliru besar, justru ayahmu bersikap paling baik
terhadap ibumu.”
Sambil menggigit bibir kembali Bouw It-yu berkata, “Tahukah kau
bagaimana ibuku meninggal? Dia mati karena dibuat jengkel
olehmu! Selama hidup aku tidak akan melupakannya, malam itu
adalah malam menjelang tahun baru Imlek, ibu sangat berharap
ayah pulang ke rumah, hari sudah terang tanah, bunyi mercon telah
bergelegar di udara, tapi ayah belum juga kembali.
Di tengah bunyi petasan yang ramai itulah ibu menghembuskan
napasnya yang penghabisan. Tapi sesaat sebelum ajalnya tiba, dia
sempat meninggalkan pesan kepadaku, dia bilang, "Nak, jangan


salahkah ayahmu, jangan salahkan perempuan itu, dia bukan
perempuan liar.”
"Ibumu sungguh orang baik, aku merasa bersalah kepadanya,”
gumam Seebun-hujin.
"Oleh karena itu kau harus menebus dosa, benar bukan? Tapi
aku minta kau dengar baik-baik, bagaimana pun juga aku tidak
bakal memaafkan diri-mu!"
Tiba-tiba Seebun-hujin menghela napas panjang, katanya, "Aku
menghormati ibumu, akupun iri kepada ibumu.”
Bouw It-yu tertawa dingin, tukasnya, "Seharusnya ibuku yang
mengucapkan perkataan itu. Kau telah merebut suaminya, tapi dia
tidak iri kepadamu, justru sekarang kau yang iri kepadanya!"
"Dalam kejadian ini bukan aku yang salah, juga bukan kesalahan
ayahmu.”
"Memangnya kesalahan ibuku?"
"Tidak, tidak ada yang salah, kami semua hanya dipermainkan
oleh takdir!"
"Takdir? Enak amat kau cuci tangan. Hmmm! Coba katakan, apa
yang kau irikan darinya?"
Seebun-hujin tertawa getir.
"Dia mempunyai seorang anak yang berbakti macam kau,
sementara aku tidak punya!"
Bicara sampai disini, tanpa terasa dia sedikit emosi, jeritnya
dengan suara parau, "Thian memang tidak adil kepadanya, tapi
lebih tidak adil lagi terhadap diriku!"
Bouw It-yu tidak habis mengerti mengapa dia nampak begitu
emosi, terasa sorot matanya tampak aneh sekali dan entah
mengapa ternyata dia merasa sedikit takut saling bersentuhan
dengan sorot matanya itu.
Tangannya mulai meraba gagang pedang, dia ingin secepatnya


menyelesaikan persoalan ini, tapi jantungnya terasa berdebar keras,
jari tangannya ikut gemetaran, dia tidak tahu haruskah membunuh
perem-puan ini atau jangan dibunuh.
"Anak Yu, kau tidak boleh....” teriak Seebun-hujin.
Teriakan itu bukan jerit ketakutan atau ngeri, panggilan "anak
Yu" justru seolah muncul dari hati sanubarinya, penuh diliputi cinta
kasih seorang ibu.
Bouw It-yu merasakan hatinya bergetar keras, ujarnya agak
bimbang, "Kau telah mencelakai ibuku hingga mati, kenapa aku
tidak boleh membunuhmu?"
Secara lamat-lamat dia sudah mulai merasakan sesuatu yang
'tidak beres', pertanyaan yang dia ajukan hanya mempertegas
niatnya untuk membalas dendam, tapi sebelum melakukannya dia
mohon kepada Seebun-hujin untuk memberikan sebuah penjelasan
yang nyata.
Dalam waktu singkat pelbagai ingatan berkecamuk dalam hati
Seebun-hujin, pikirnya, 'Justru disaat kau mengetahui kejadian yang
sesungguhnya, selama hidup kau bakal menyesal!'
Namun pada akhirnya dia berkata begini, “Aku bukannya takut
mati, tapi paling tidak aku pernah hidup bersama ayahmu. Aku tidak
ingin membiarkan kau memikul dosa karena membunuhku....
kau.... lemparkan pedangmu kepadaku, aku masih mempunyai
kekuatan untuk bunuh diri! Ehmm, kenapa kau masih termangu?
Aaai.... baiklah, biar kau pandang aku berapa kejap lebih lama!"
Dari balik sorot matanya Bouw It-yu dapat merasa kan luapan
perasaan cinta kasihnya yang tebal, tapi dia tidak kuasa menahan
diri, akhirnya pemuda itu melakukan satu tindakan yang sama sekali
diluar dugaan Seebun-hujin.
Yang dia melemparkan ke hadapan Seebun-hujin bukan senjata,
melainkan obat penawar racun.
"Kau pernah selamatkan jiwaku, kuberikan obat pemunah ini


untukmu, mulai sekarang kita sama-sama tidak ada yang berhutang.
Kau tidak perlu bersikap baik kepadaku, kau pun jangan berharap
aku bisa melupakan dirimu sebagai orang yang telah mencelakai
ibuku hingga mati!"
Air mata mulai membasahi kelopak mata Seebun-hujin,
mengawasi bayangan punggung Bouw It-yu yang semakin menjauh,
gumamnya, "Anak Yu, maafkan, semua ini merupakan rahasia,
selamanya aku tidak akan membiarkan kau tahu.”
Bouw It-yu mengambil jalan semula, sepanjang jalan dia
menjumpai bekas-bekas kaki kuda yang baru, terlihat pula dua
gumpal bekas cairan darah, tidak usah ditanya pun dapat diketahui
kalau kesemuanya itu ditinggalkan oleh Liok Ki-seng.
Pada mulanya Bouw It-yu masih agak kuatir bila dia balik ke kota
Uh-sah-tin dan memberi laporan, tapi kini dia merasa lega sekali,
pikirnya, 'Bajingan penghianat ini bukan saja gagal mencelakai
orang, dia pun tidak bisa mempertanggung jawabkan tugasnya,
dalam keadaan begini, balik ke tempat Kim Teng-hap sama artinya
mencari penghinaan dan cemoohan buat diri sendiri, tidak heran
kalau dia langsung kabur balik ke daratan Tionggoan'
Jalanan yang dilalui adalah jalan bukit yang sepi dari lalu lalang
manusia. Tidak lama kemudian dari bawah bukit dia menyaksikan
ada satu rombongan manusia sedang bergerak lewat.
Dua orang yang berjalan dipaling depan tidak lain adalah Han
Cau dan Eng Siong-leng.
Bouw It-yu tidak ingin jejaknya ketahuan, cepat dia
menyembunyikan diri dibalik semak belukar.
Waktu itu Han Cau dan Eng Siong-ling sedang bercakap-cakap,
cepat Bouw It-yu menempelkan telinganya diatas permukaan tanah
untuk ikut mendengarkan.
Terdengar Han Cau sedang berkata, "Hingga kini kita belum
memperoleh kabar berita tentang Lan Giok-keng, tapi menurut
dugaan Tauke, kemungkinan besar dia telah berangkat ke KimTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/

leng.”
"Kenapa?" tanya Eng Siong-leng.
"Sebab surat dari Kwik Bu telah terjatuh ke tangannya.”
Siapakah Kwik Bu? Bouw It-yu tidak tahu, apa sebabnya Lan
Giok-keng berangkat ke Kim-leng setelah memperoleh surat itu?
Bouw It-yu pun tidak paham.
Tapi Eng Siong-leng sangat paham, segera sahutnya, "Kalau
begitu urusan disini boleh dibilang telah selesai, mungkin kitapun
harus berangkat ke Kim-leng.”
"Kim-lopan memang punya niatan begitu, tapi masalah yang
didepan mata saat ini belum diketahui apakah bisa berjalan lancar
sesuai dengan dugaan, terus terang aku merasa sedikit....”
"Kau tidak perlu kuatir,” tukas Eng Siong-leng sambil tertawa,
"kau anggap bubuk siu-lo-san dari Ka-cok Hoatsu adalah obat
pemabuk yang biasa dan umum? Aku rasa biar perempuan busuk itu
memiliki kepandaian yang lebih hebat pun pasti akan terkena juga.
Apalagi sekarang terdapat Liok Ki-seng yang menjadi musuh dalam
selimut, kau jangan anggap saudaramu itu adalah orang yang tidak
berguna.”
Ketika berbicara sampai disini, rombongan itu sudah pergi sangat
jauh sehingga kata berikut tidak kedengaran lagi.
Kini Bouw It-yu baru tahu, ternyata Han Cau sekalian sudah
mempunyai janji dengan Liok Ki-seng, itulah sebabnya walaupun
Liok Ki-seng tidak memberikan laporannya namun mereka tetap
datang meminta orang sesuai dengan pernjanjian.
Pada detik itu juga Bouw It-yu nyaris tidak kuasa menahan diri
untuk tampil ke depan dan berteriak keras, dia berniat memancing
perhatian orang orang itu agar datang mengejarnya.
Tapi sayang pertama karena rombongan itu sudah pergi jauh,
kedua menurut perhitungannya, di saat Han Cau sekalian tiba di
tempat mereka mendirikan tenda tadi, Seebun-hujin sudah hampir


setengah jam lamanya minum obat pemunah.
"Antara aku dengan dia sudah putus hubungan dan tidak saling
berhutang, urusannya biar dia selesaikan sendiri, mau selamat atau
berbahaya, kenapa aku musti menguatirkannya?"
Dia sendiripun merasa sedikit agak heran, mengapa dia bersikap
begitu perhatian terhadap Seebun-hujin.
Dengan pikiran bimbang dia meneruskan perjalanannya, namun
suara teriakan Seebun-hujin yang penuh dengan emosi seolah
masih terdengar disisi telinganya.
"Dia punya seorang anak yang berbakti macam kau, sementara
aku tidak punya! Thian memang tidak adil kepadanya, tapi lebih
tidak adil terhadap diriku!"
Sorot matanya yang menggetarkan sukma seakan masih
mengawasinya, sinar mata penuh amarah namun terselip juga sorot
mata penuh kasih sayang.
Mendadak seakan tersadar akan sesuatu, pikirnya, Aaah, dia baik
kepadaku bukan karena ingin menebus dosa, dia memang menaruh
perasaan kasih yang sangat mendalam kepadaku, kasih seorang
sanak'
Segulung angin berhembus lewat, menggoyangkan daun dan
ranting pohon Siong, suara deruan itu bercampur dengan suara
deburan ombak samudra....
persis sama seperti perasaan hatinya yang sedang diombang
ambingkan oleh ombak perasaan.
Ketika Han Cau sekalian tiba ditempat yang telah dijanjikan Liok
Ki-seng, mereka jumpai ada dua buah kereta kuda parkir di tepi
jalan, menemukan pula tenda tenda yang dibangun di sana.
Tapi suasana di seputar sana sangat hening, tidak terdengar pula
sesuatu suara dibalik tenda.
Dengan kening berkerut Han Cau segera berbisik, "Tampak
gelagatnya tidak beres.”


Eng Siong-leng pun seorang jago kawakan, katanya pula, "Benar,
jangan buru-buru masuk.”
Kemudian setelah menarik napas, serunya lantang, “Seebunhujin,
Khan mengundangmu berkunjung ke kotaraja, aku orang she-
Eng sengaja datang untuk menyambutmu.”
Tiada jawaban.
"Liok-toako!" teriak Han Cau pula. Masih tidak ada jawaban.
"Kalau tidak ada orang yang keluar, segera akan kulepaskan api!"
Eng Siong-leng sengaja mengancam.
Ancaman hendak membakar tentu saja bohong, tapi Seebunhujin
yang berada dalam tenda justru cemas bercampur panik.
Ternyata walaupun Seebun-hujin telah menelan pil pemunah itu,
namun karena pukulan batin yang diterimanya kelewat besar, untuk
sesaat dia tidak mampu menenangkan kembali pikirannya.
Dengan dasar tenaga dalam yang dimilikinya, sebetulnya seperti
yang di duga Bouw It-yu, dalam setengah jam kemudian kekuatan
tubuhnya dapat pulih kembali, tapi berhubung pikirannya tidak
tenang, dengan sendirinya tahap penyembuhan yang diperoleh pun
jadi sangat lamban.
Saat ini tenaga dalamnya baru pulih tiga bagian, untuk
menghadapi Han Cau seorang memang masih bisa, tapi bila
ditambah Eng Siong-leng, dia tidak yakin bisa menghadapinya.
Di samping itu masih ada satu hal lagi yang membuatnya kuatir,
hingga kini putrinya belum mendusin kembali. Andaikata rombongan
orang itu benar-benar menyerbu masuk ke dalam tenda, dapatkah
dia jamin keselamatan putrinya?
Untung saja Han Cau sekalian banyak curiga dan ragu sehingga
mereka tidak berani menyerbu masuk ke tenda.
Dengan setengah berbisik Han Cau segera berkata, "Aku rasa
mungkin sudah terjadi perubahan yang sama sekali tidak terduga,
hingga sekarang kita belum tahu apakah Liok-toako masih ada di


dalam atau tidak, kita tidak boleh sembarangan bertindak hingga
berakibat sama-sama rugi.”
Eng Siong-leng segera mengedipkan mata, memberi isyarat kalau
rencananya membakar hanya gertak sc-.mbal, kemudian dengan
suara keras serunya, "Lebih baik kita hancur bersama, apa pun yang
terjadi kita harus paksa mereka untuk keluar! Aku akan mulai
menghitung sampai angka tiga, bila tidak ada yang keluar lagi, akan
kulepaskan panah berapi!"
Kemudian dia pun mulai menghitung, "Satu.... dua.... tiga!"
Pada saat itulah terdengar Seebun-hujin berseru sambil tertawa
dingin, "Bukankah kalian menginginkan orang-orangmu? Baik,
kukembalikan orangmu!"
Di tengah suara tertawa dingin tampak dua orang manusia
"terbang" keluar dari balik tenda.
Pada saat yang bersamaan Eng Siong-leng telah melepaskan
panahnya, tentu bukan panah berapi.
Han Cau segera mengenali siapakah kedua orang itu, dengan
terperanjat buru-buru teriaknya, "Mereka adalah orang sendiri!"
Sayang keadaan sudah terlambat.
Begitu anak buah Eng Siong-leng melihat ada orang melompat
keluar dari balik tenda, mereka segera melepaskan hujan panah.
Tidak ampun kedua orang itu segera terkena bidikan panah,
hanya saja dibalik ketidak beruntungan masih ada keuntungan juga.
Orang pertama yang jalan darahnya sudah ditotok Seebun-hujin
dengan tusuk kondenya, karena totokan belum dibebaskan maka
tubuhnya tidak mampu bergerak, seketika itu diapun terhujan panah
dan mati seketika.
Orang kedua hanya pingsan karena dihajar Peng-toaso, begitu
termakan bidikan panah, dia segera tersadar dari pingsannya karena
kesakitan. Untung nasibnya tidak terlalu jelek, panah itu tidak
bersarang di bagian tubuhnya yang mematikan.


Di saat tubuhnya sedang bergulingan di atas tanah, hujan panah
pun berhenti seketika.
Buru-buru Eng Siong-leng dan Han Cau membangunkan orang
itu dan bertanya cemas, "Apa yang telah terjadi?"
"Apakah perempuan busuk itu tidak keracunan?"
"Mana Liok-toako?"
"Mana rekan-rekan lainnya?"
Orang ini adalah anak buah andalan Liok Ki-seng, sekalipun
reaksinya cukup cepat, namun berhubung dia baru sadar dari
kesakitan, lagipula sekaligus menghadapi serentetan pertanyaan
yang bertubi-tubi, untuk sesaat dia jadi bingung dan tidak tahu
pertanyaan penting mana yang harus di jawab dulu.
Akhirnya sambil menahan sakit teriaknya, "Hujin hanya pura-pura
kehilangan ilmu silat, kalian harus berhati-hati!"
Perlu diketahui, dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri
bagaimana seorang rekannya roboh terjungkal persis di hadapan
Seebun-hujin, menyusul kemudian diapun tidak sadarkan diri hingga
kejadian selanjutnya tidak diketahui olehnya. Dalam anggapannya,
Liok Ki-seng serta ke tiga orang rekan lainnya telah tewas di tangan
Seebun-hujin.
Sementara Eng Siong-leng yang berada diluar tenda merasa
terperanjat bercampur sangsi, Seebun-hujin yang berada dalam
tenda justru merasa terkejut bercampur gembira.
Ternyata Seebun Yan hanya ditotok jalan darah tidurnya oleh
Bouw It-yu dengan ilmu tunggalnya, tujuan Bouw It-yu hanya tidak
ingin gadis itu ikut mendengarkan pembicaraannya dengan Seebunhujin.
Karena itulah totokan yang digunakan tidak terlalu berat, bahkan
sudah memperhitungkan dengan tepat bahwa dia dapat mendusin
sendiri satu jam kemudian.
Dan saat itulah kebetulan dia baru mendusin dari tidurnya.


Begitu mendengar suara hiruk pikuk di luar tenda, dia sangka
Liok Ki-seng belum sempat melarikan diri, tanpa berpikir panjang
lagi dia segera mencabut pedangnya sambil menerjang keluar.
Semula Seebun-hujin merasa gembira, menyusul kemudian
dengan perasaan terkejut buru-buru dia ikut menerjang keluar.
Begitu panah dari Eng Siong-leng meluncur datang, Seebun Yan
segera menangkis dengan pedangnya, anak panah itupun
melenceng dan terbang ke samping.
Pada saat yang bersamaan itulah Seebun-hujin telah muncul di
belakang putrinya dan menangkap anak panah itu.
Dengan perasaan takut buru-buru Han Cau membalikkan tubuh
sambil kabur.
"Kau bukan dalang dari semuanya ini, hukuman mati boleh
dihindari, hukuman hidup tidak bisa dielakkan!" bentak Seebun-hujin
nyaring.
Sepacang jarinya menyentil ke depan dan mementalkan balik
anak panah tadi. Panah itu melesat dengan kecepatan tinggi dan
secara kebetulan menembusi tulang Pi-pa-kut di tubuh Han Cau,
seketika itu juga ilmu silatnya punah.
Sebetulnya Eng Siong-leng masih sangsi dengan perkataan orang
itu, setelah melihat kejadian ini, mana dia berani menjajal lagi ilmu
silat Seebun-hujin, dengan cepat dia melompat naik ke punggung
kudanya dan kabur lebih cepat ketimbang Han Cau.
"Dasar sekawanan gentong nasi!" umpat Seebun Yan sambil
tertawa, "dengan kemampuan macam beginipun ingin mencari gargara.
Ibu, obat penawar racun dari Bouw-toako sungguh mustajab,
ilmu silatku telah pulih kembali. Bajingan tua itu sangat
memuakkan, mari kita mengejarnya balik!"
Diam-diam Seebun-hujin bersyukur, cegahnya, "Tidak usah
banyak urusan.”
Ternyata tenaga dalamnya baru pulih tiga bagian, untuk


mementalkan balik panah dari Han Cau, dia telah menggunakan
seluruh sisa kekuatan yang dimilikinya.
Melihat paras muka ibunya pucat pasi, dengan rasa kaget Seebun
Yan segera menegur, “Ibu, kenapa kau?"
"Tidak apa-apa,” sahut Seebun-hujin sambil tersenyum, "hanya
saja bila panah tadi kusambitkan ke arah Eng Siong-leng, mungkin
rahasiaku segera akan terbongkar.”
Kini Seebun Yan baru sadar akan apa yang terjadi, serunya
tertahan, "Oooh, rupanya mereka kabur lantaran termakan
gertakanmu.”
Mendadak dia teringat kembali akan Bouw It-yu, setelah
memandang sekejap sekeliling tempat itu, Seebun Yan pun berseru
tertahan, "Aaaah, kenapa tidak nampak Bouw-toako?"
"Dia telah pergi.”
"Bukankah dia akan menemani kita naik ke Bu-tong?" seru
Seebun Yan agak heran, "kenapa sebelum aku tersadar kembali, dia
sudah pergi seorang diri?"
"Aku sendiripun tidak tahu mengapa dia pergi secara tiba-tiba,
tapi setiap orang memang memiliki masalah pribadi yang tidak ingin
diketahui orang lain, lagian diapun bukan anak kandungku, mana
boleh aku menanyainya secara detil?"
Walaupun dia gunakan perkataan itu untuk menyumbat agar
putrinya tidak banyak bertanya, tapi dihati kecilnya dia merasa kecut
bercampur sedih.
Sementara itu Hong-sihu dan Peng-toaso telah sadar kembali dari
pingsannya.
Maka Seebun Yan pun bertanya lagi, "Bagaimana rencana kita
sekarang? Apakah masih akan naik ke gunung Bu-tong untuk
menghadiri upacara penguburan Bu-siang Cinjin?"
"Lebih baik kita masuk dulu ke daratan sebelum bicara lagi,”
sahut Seebun-hujin murung.


Ooo)*(ooO
BAB XV
Mengenang kekasih dalam kompleks kuburan.
Mencuri dengar rahasia besar.
Gunung Bu-tong, bawah puncak Ci-siau-hong, terlihat seorang
tosu setengah umur sedang berlatih pedang.
Puncak Ci-siau-hong merupakan tempat dimana Thio Sam-hong,
Couwsu pendiri Bu-tong-pay berlatih diri tempo dulu.
Kini dibekas rumah gubuk yang pernah ditinggali Thio Sam-hong
telah dibangun istana Ci-siau-kiong yang besar dan megah dan
menjadi markas besar dari perguruan Bu-tong-pay.
Dari bawah memandang ke atas, pada puncak Ci-siau-hong
seolah terdapat berpuluh bangunan gedung dan loteng yang sedang
timbul tenggelam di tengah lautan awan.
Istana Ci-siau-kiong dibangun dengan menempel di atas bukit,
bangunan dalam istana terdiri dari pintu gerbang Toa-kiong-bun,
dua buah prasasti, dua pintu pintu istana, pelataran penyembahan,
gedung Ci-siau-tian serta beratus buah undak-undakan batu yang
lebar dan tersusun rapi ke arah atas.
Waktu itu fajar baru menyingsing, tiada awan di angkasa, sejauh
mata memandang lamat-lamat masih terlihat bayangan manusia di
bawah prasasti, di atas undakan batu dan di depan pintu gedung.
Mereka seakan para dewata yang sedang naik gunung untuk
berpesiar.
Tentu saja orang-orang itu bukan para dewata yang sudah tidak
suka dengan hidangan ke duniawian, mereka adalah para tamu
undangan yang berbondong bondong naik ke gunung Bu-tong untuk
ikut hadir dalam upacara penguburan jenasah Bu-siang Cinjin. Di


samping para tosu yang mendampingi para tetamunya.
Hari penguburan jenasah Bu-siang Cinjin masih ada dua hari, tapi
sudah tidak sedikit tamu yang berdatangan. Itulah sebabnya
suasana di seputar istana Ci-siau-kiong tampak jauh lebih ramai
daripada keadaan biasa.
Namun suasana di bawah puncak Ci-siau-kiong, di sisi jembatan
Yu-ci-kiau terasa begitu hening dan sepi, di sana hanya ada toosu
setengah umur seorang diri.
Luas jembatan Yu-ci-kiau tidak terlalu lebar, bangunan itu
didirikan diatas sebuah jeram yang sempit, jembatan yang sempit
lagi tinggi tergantung memberikan pemandangan yang indah di
sekitar tepat itu.
Bila melewati jembatan tadi maka tibalah di sebuah kompleks
pekuburan yang baru saja selesai dibangun, kompleks pekuburan ini
disiapkan untuk mengubur jenasah Bu-siang Cinjin.
Tosu setengah umur itu adalah orang yang diberi tugas
membangun kompleks pekuburan itu, dia adalah satu-satunya murid
Bu-siang Cinjin yang masih tersisa, semasa masih preman bernama
Ko Ceng-kim dan kini bernama Put-ji Tojin.
Biarpun sedang berlatih pedang, disaat berlatih pedang pikiran
harus jernih dan tenang, namun dia nampak gelisah dan tidak
tenang.
Di atas kepalanya terdapat sebuah pohon yang tumbuh
menjulang dari tebing karang, ranting yang besar malang melintang
kemana-mana, tampak dia melambung ke udara sambil
mengeluarkan jurus Pek-hok-liang-ci, dimana cahaya pedang
berkilat, tujuh lembar daun berguguran ke tanah. Bahkan setiap
daun itu telah terpapas kutung sama besar sama rata.
Bisa melatih ilmu pedangnya hingga mencapai taraf sehebat itu
sesungguhnya merupakan satu peristiwa yang luar biasa, namun dia
nampak murung dan masgul sehabis melihat dedaunan yang
berguguran itu, gumamnya, "Apa yang sedang terjadi dengan diriku,


mengapa latihanku pada hari ini bukan saja tiada kemajuan, bahkan
jauh lebih mundur daripada hasil latihanku kemarin.”
Ketika berlatih kemarin, dia berhasil memapas rontok sembilan
lembar daun, tapi hari ini bukan hanya berkurang dua lembar,
bahkan salah satu diantaranya gagal ditebas sama sisi dan sama
besarnya.
Di atas tebing batu yang curam terdapat sebuah tebing kecil
yang disebut Thay-cu-po, di bawah tebing curam terdapat sebuah
sumur kuno yang disebut Mo-ciam-cing sumur penggosok jarum,
sementara kompleks tanah pekuburan yang baru selesai dibangun
berada di samping tebing Thay-cu-po dan tidak jauh dari sumur Mociam-
cing.
Dengan sedih dia menarik kembali pedangnya dan mengalihkan
pandangan matanya ke arah sumur penggosok jarum, kemudian
gumamnya sambil menghela napas, "Sudah tujuh belas tahun
lamanya aku berlatih ilmu pedang, tapi belum mampu mencapai
setengahnya kemampuan suhu. Aaai.... hingga kini aku masih
belum sanggup mengendalikan pikiran dan perasaanku yang
bergejolak, benar-benar membuat malu suhu yang sudah banyak
tahun mendidikku....”
Ternyata tebing pangeran atau Thay-cu-po dan sumur
penggosok jarum Mo-ciam-cing mendapat nama dari cerita yang
terdapat dalam kitab agama To.
Dalam To-keng yang bernama Sam-po-toa-yu-kim-su disebutkan,
ada seorang pangeran dari negeri Cing-lok-kok pada usia lima belas
tahun berpamitan kepada orang tuanya untuk bertapa di atas
gunung, di atas tebing inilah sang pangeran mendapat ajaran dari
Giok-ceng-seng-cou Ci-hian-kun.
Suatu hari dia ingin meninggalkan gunung dan tidak melanjutkan
semedinya lagi, dia berjalan menuju ke tepi sebuah sumur, di sana
tampak seorang nyonya tua sedang mengasah tongkat besinya
diatasbatu.
Diapun bertanya kepada perempuan tua itu, mengapa mengasah


tongkat besinya diatas batu, jawab perempuan tua itu, dia ingin
menggosok tongkat besi itu menjadi sebatang jarum.
Diapun bertanya, bukankah sangat sulit untuk berbuat begitu?
Perempuan tua itupun menjawab: bila kau punya tekad, akhirnya
pasti akan berhasil.
Petunjuk ini seketika membuat sang pangeran tersadar kembali
akan kesalahannya, maka diapun balik ke atas gunung untuk
melanjutkan pertapaannya dan terakhir berhasil mencapai
kesempurnaan.
Ketika di kemudian hari dia naik ke atas langit, jadilah pangeran
itu sebagai Tin-bu Thay-tee.
Tin-bu Thay-tee merupakan dewa pelindung dari bukit Bu-tong.
Karena itulah sewaktu pertama kali Bu-siang Cinjin mengajarkan
ilmu pedang kepada muridnya, Put-ji, dia tidak memilih tempat lain
tapi secara khusus mengajaknya naik ke tebing Thay-cu-po di
samping sumur Mo-ciam-cing. Tentu saja tujuan gurunya adalah
agar dia menirukan pengalaman dari pangeran negeri Cing-lok-kok
dan melatih ilmu dengan tekun.
Waktu itu gurunya sempat berkata begini, "Bakatmu sebetulnya
tidak terlalu jelek, tapi belum terhitung bakat alam yang hebat,
karena itu "dengan rajin menambal kekurangan" merupakan kata
kunci yang paling cocok untukmu.”
Pelbagai kenangan lama pun satu per satu melintas kembali
dalam benaknya, dia tertawa getir, tiba tiba bayangan seseorang
muncul dalam benaknya.
"Tidak heran kalau sumoay menyukai Keng-sute, diluar masalah
tampang yang dia memang lebih ganteng ketimbang aku, bakat
ilmu silatnya memang jauh lebih bagus daripada diriku. Aku telah
mendapat bimbingan langsung dari Ciangbunjin, tujuh belas tahun
sudah aku melatih diri namun belum pernah mencapai kesempurna
an dalam permainan Thay-kek-kiam-hoat, coba kalau diganti dia,
mungkin tidak sampai tujuh tahun keberhasilannya sudah jauh


melebihi kemampuanku hari ini!" demikian Put-ji berpikir dalam hati.
Selama banyak tahun dia berusaha keras untuk menekan
perasaan hatinya itu, tidak ingin memikirkan Keng King-si lagi. Tapi
sekarang tanpa disadari secara tiba-tiba dia teringat akan dirinya.
Tentu saja bukannya tanpa sebab dia bersikap begitu, dia bisa
secara tiba-tiba teringat akan Keng Kingsi tidak lain karena
terpengaruh oleh pemandangan alam yang terpampang di depan
mata.
Dalam kompleks pemakaman yang berada di hadapannya
sekarang, kecuali bagian tengah yang disediakan secara khusus
untuk mengubur jenasah Bu-siang Cinjin, di sampingnya terdapat
pula sebuah kuburan yang agak kecil, biarpun kuburan itu hanya
satu namun dibawahnya terkubur tiga sosok kerangka manusia,
salah satu diantaranya adalah adik seperguruannya, Keng King-si.
Padahal Keng King-si tidak lebih hanya seorang murid dari
kalangan preman yang rendah kedudukannya, mengapa kerangka
tubuhnya bisa dikuburkan dalam satu kompleks pemakaman yang
sama dengan Ciangbunjinnya?
Dalam hal ini memang ada penyebabnya dan penyebab itu timbul
karena sekilas pikiran egois dari Put-ji Tojin.
Keng King-si, Ho Giok-yan, Ho Liang serta Bu-kek Totiang ketua
Tianglo dari Bu-tong-pay tewas pada hari dan tempat yang sama,
Keng King-si mati karena 'salah bunuh', Ho Liang mati karena
dibokong Siang Ngo-nio sedang Ho Giok-yan bunuh diri setelah
melahirkan putranya.
Setelah peristiwa itu, lebih kurang satu jam kemudian dia
menghantar bayi yang baru lahir itu ke rumah keluarga Lan,
menyusul kemudian Bu-kek Totiang yang terluka parah pun muncul
disana. Ketika Bu-kek Totiang selesai menyampaikan pesannya, dia
pun ikut tewas secara mengenaskan.
Terdorong rasa egonya pula, dia enggan menguburkan jenasah
Keng King-si dan Ho Giok-yan dalam satu liang, tapi membuang dua


liang yang beda, satu untuk mengubur jenasah Ho Giok-yan dan
satu lagi untuk mengubur jenasah Bu-kek tianglo, Keng King-si serta
Ho Liang.
Tahun berselang Bu-siang Cinjin menitahkan murid pertamanya,
Put-coat pergi ke bukit Boan-liong-san untuk membawa kerangka
Bu-kek tianglo agar bisa dikubur di atas bukit, setelah lewat enam
belas tahun, jenasah yang dikubur tanpa peti mati pasti sudah lapuk
dan hancur, yang tersisa hanya tulang belulang belaka.
Terpaksa Put-coat mengumpulkan ke tiga sosok kerangka itu
menjadi satu karung dan dibawa pulang ke gunung, kerangka yang
tercampur sudah pasti tidak bisa dibedakan lagi kerangka orang per
orang.
Ditambah lagi Put-coat sendiri diserang musuh tangguh di bukit
Boan-liong-san hingga terluka parah, beruntung muncul Bouw It-yu
yang menyelamatkan jiwanya, tapi begitu tiba di gunung Bu-tong,
pada hari yang sama dia iku t meninggal dunia.
Kedudukan Bu-kek Tianglo dalam partai Bu-tong menempati
posisi di bawah Bu-siang Cinjin, sudah sepantasnya bila jenasahnya
dikuburkan dalam kompleks pemakaman ini.
Oleh karena tulang belulang ke tiga orang itu sudah membaur
jadi satu dan tidak mungkin dipisahkan lagi, maka bukan hanya
Keng King-si saja yang mendapat upacara penguburan istimewa, Ho
Liang si pelayan tua keluarga Ho pun mendapatkan perlakuan yang
sama.
Tapi kini, Put-ji yang berhadapan dengan kom-pleks pemakaman
itu benar-benar dibuat menangis tidak bisa, tertawapun tidak dapat.
"Kau sudah mati tapi keadaanmu jauh lebih enak ketimbang aku
yang masih hidup, setiap hari setiap saat aku harus merasakan
kemurungan, kekhawatiran dan kesedihan yang luar biasa,” pikir
Put-ji sambil tertawa getir.
Peristiwa lama satu demi satu melintas kembali dalam benaknya.


Tentu saja yang paling membuatnya tidak dapat melupakan adalah
Siau-sumoaynya Ho Giok-yan.
"Siau-sumoay, kau jangan marah kepadaku karena setelah
matipun aku tidak membiarkan jenasahmu terkubur dalam satu
liang dengan Keng-sute, biarpun aku sudah banyak melakukan
kesalahan kepadamu, paling tidak ada satu hal aku dapat
mempertanggung jawabkan kepadamu, anak Keng mu, sesuai
dengan permintaanmu terakhir, telah kupelihara hingga dewasa.”
Memandang awan putih yang bergerak di angka-sa, kembali dia
berguman sambil menghela napas, "Sejak anak Keng turun gunung,
hingga kini belum terdengar kabar beritanya lagi, entah ke manakah
dia telah pergi? Aaaai, aku telah memeliharanya hingga tumbuh
dewasa, tapi setiap hari aku harus merasakan ketegangan dan rasa
takut yang luar biasa, aku selalu kuatir suatu saat nanti dia tahu
kejadian yang sebenarnya dan datang mencari balas kepadaku!"
Perasaan hatinya pada Lan Giok-keng memang serba salah dan
saling bertentangan, disatu sisi dia merindukan bocah itu, berharap
dia segera kembali, tapi disisi lain diapun kuatir bila bocah itu tahu
teka-teki tentang asal usulnya, kemudian menganggapnya sebagai
musuh besar pembunuh orang tuanya. Kalau sampai terjadi begini,
apa yang harus dia lakukan?
Sementara pikirannya sedang kusut dan kalut, tiba tiba terlihat
ada seorang tosu kecil berjalan turun dari tebing Thay-cu-po sambil
memanggilnya lirih, "Susiok-tianglo!"
Tosu kecil itu adalah murid Suhengnya Put-po Tojin bergelar Goseng.
Put-po Tojin adalah murid tertua dari Bu-kek Totiang, dalam
deretan angkatan "put" dia mempunyai posisi yang paling tinggi,
sejak Bu-siang Cinjin meninggal dunia, ketua penggantinya Bu-beng
cinjin (yaitu Bouw Ciong-long, ayah Bouw It-yu) mengusulkan agar
mengangkat dua orang murid dari angkatan "put" menjadi tianglo
baru.
Maka diangkatlah dua orang tianglo baru untuk mengisi


kekosongan dalam jabatan tersebut, mereka adalah Put-ji Tojin
serta Put-po Tojin.
Sejak naik ke gunung Bu-tong dan menjadi Tosu, Put-ji selalu
tampil murung, tidak banyak bicara dan berwajah serius, begitu
seriusnya hingga tosu kecil yang berdiri dihadapannya pun seolah
merasa ngeri dan ketakutan.
"Ada urusan apa?" tanya Put-ji.
"Ti.... tidak ada apa apa, hanya saja....” jawaban Go-seng
kedengaran tergagap.
"Hanya saja kenapa, cepat katakan!"
"Bouw-susiok telah kembali, suhu minta aku menyampaikan
kabar ini. Sekarang Bouw-susiok berada di ruang Ci-siau-kiong,
apakah tianglo berniat....”
Rupanya berhubung selama berapa bulan ini Put-ji harus
bertugas mengawasi pembangunan kompleks pemakaman itu, maka
untuk sementara waktu dia mendirikan sebuah rumah gubuk di
dekat kompleks itu dan tinggal disana.
Kini, walaupun pembangunan di kompleks pemakaman telah
usai, namun dia belum pindah ke tempat tinggalnya semula, itulah
sebabnya Go-seng khusus datang kesana untuk mencarinya.
Dalam hati Put-ji merasa terkejut, namun paras mukanya sama
sekali tidak berubah, tukasnya hambar, "Aku sudah tahu, kau boleh
pergi dari sini.”
Karena dia tidak memberi pernyataan apakah akan menjumpai
Bouw It-yu atau tidak, terpaksa Go-seng berlalu lebih dulu.
Mendapat tahu kalau Bouw It-yu telah kembali, perasaan hati
Put-ji bertambah kusut dan tidak tenang. Bouw It-yu lah yang telah
menerima karung yang berisikan tulang belulang Bu-kek tianglo,
Keng King-si serta Ho Liang dari tangan Put-coat, bahkan dia sendiri
yang menyerahkan karung itu ke tangan Bu-siang Cinjin.
Angin berhembus lembut menggoyangkan ranting dan dedaunan,


seharusnya suara itu halus dan lembut, namun dalam pendengaran
Put-ji justru seolah suara gemerutuknya tulang belulang yang
diletakkan diatas meja.
"Baiklah, sekarang keluarkan tulang itu satu per satu dan
letakkan di atas meja, akan kuperiksa dengan seksama!"
Ucapan gurunya kepada Bouw It-yu pada saat itupun sepatah
demi sepatah seakan mengiang kembali disisi telinganya. Waktu itu
dia bersembunyi diluar ruang tidur gurunya sambil mencuri dengar.
Sebuah teka teki besar yang selama ini tersimpan dalam hatinya,
hingga kini belum pernah terungkap.
"Apakah suhu telah mengetahui rahasiaku?"
Tapi "untung" gurunya telah meninggal dunia, sekarang hanya
satu yang dia kuatirkan.
"Entah berapa banyak rahasiaku yang telah diketahui Bouw It-yu
si bocah keparat itu?"
Setelah peristiwa itu, secara tidak langsung Bouw It-yu pernah
memberi kisikan kepadanya bahwa dia telah membantunya,
merahasiakan sejumlah persoalan, termasuk 'lenyap' nya sekerat
tulang tengkorak di tengah jalan (apakah dalam tulang tengkorak
itu tertinggal sebatang jarum Lebah hijau?)
Justru karena dia pernah memperoleh "ancaman" dari Bouw It-yu
(sekalipun Bouw It-yu tidak pernah menerangkan secara jelas),
maka mau tidak mau, meski dengan perasaan tidak puas dan
terpaksa, dia harus menunjukkan sikap loyal dan dukungannya
terhadap Ciangbunjin baru.
Biarpun dia banyak membungkam dan jarang berbincang dengan
rekan seperguruannya, namun berita tentang Bouw It-yu yang turun
gunung dengan cepat telah masuk ke dalam telinganya. Dia bahkan
tahu kalau Bouw It-yu pernah keluar perbatasan dan dalam
perjalanan kembalinya sempat mampir di kota Kim-leng.
"Apakah ketika berada di luar perbatasan, dia pernah melewati


kota Uh-sah-tin?"
Put-ji pernah mendapat perintah dari gurunya untuk berkunjung
ke kota Uh-sah-tin dan menyelidiki Keng King-si saat hidup ditempat
itu, dan di saat berada di kota Uh-sah-tin itulah dia bertemu dengan
Jit-seng-kiam-kek dan kabur pulang dengan membawa luka di
tubuh.
Terbayang kalau Bouw It-yu besar kemungkinan telah datang
pula ke Uh-sah-tin, pikiran dan perasaan hatinya makin kalut dan
tidak tenang.
"Aaai, terlepas seberapa banyak yang berhasil dia ketahui, yang
penting aku harus berhasil melatih ilmu pedangku.”
Dia paksakan diri untuk berkonsentrasi dan mulai berlatih pedang
kembali.
Perangainya memang sekokoh batu karang, ketika sekali
mengalami kegagalan dia segera melatih satu kali lagi, tanpa terasa
semua kemurungan dan kemasgulan pun terbuang jauh-jauh dari
benaknya.
Di saat seluruh konsentrasinya terpusat untuk berlatih pedang
inilah, mendadak terdengar seseorang memuji, "Ilmu pedang yang
hebat!"
Desingan angin tajam membelah angkasa disusul bergugurannya
dedaunan. Kali ini dia berhasil menebas sembilan lembar daun dan
setiap lembar berhasil ter-belah persis di bagian tengahnya.
Begitu menarik kembali pedangnya, dia melihat seorang lelaki
berwajah sangat umum, tidak tampan pun tidak jelek, kesan yang
ditinggalkan orang itu hanyalah orang umum yang setiap saat dapat
kau jumpai dimana pun dan setelah lewat sama sekali tidak
meninggakan kesan apa pun.
Tapi lelaki yang berwajah amat umum itu sedang mengawasinya
dengan sorot mata yang sangat aneh.
"Siapa kau?" sambil menarik kembali pedangnya Put-ji menegur.


Tiba-tiba orang itu tertawa cekikikan, "Masa aku pun sudah tidak
kau kenali?" sapanya.
Suaranya merdu bercampur genit, coba kalau orang itu bukan
berbicara persis dari hadapannya, dia tidak bakalr.n percaya kalau
suara yang merdu merayu itu berasal dari mulu t seorang lelaki
yang begitu bersahaja.
Namun yang membuatnya terperanjat bukan hanya begitu saja,
tapi suara panggilan yang merdu itu telah membangkitkan kembali
kenangannya di masa silam.
Kalau berbicara soal waktu, kenangan ini sudah teramat lama
sekali, namun tidak pernah terlupakan olehnya.
Suara itu pernah membuatnya terbuai, pernah membuatnya
tergila-gila dan kehilangan sukma, pernah membuat hatinya
berdetak keras, takut, ngeri dan merasa seram.
Lama setelah berdiri mematung, akhirnya agak tergagap dia
berbisik, "Kau.... kau.... kau adalah Ngo....”
Siang Ngo-nio tertawa terkekeh.
"Terima kasih banyak kau masih ingat namaku,” katanya, "tapi
aku hanyalah Ngo-nio mu, bila berada dihadapan orang lain, kau
jangan memanggil namaku.”
"Ngo-nio,” ujar Put-ji Tojin setelah berhasil menenangkan
hatinya, "ilmu merubah wajahmu sungguh luar biasa. Tapi,
kendatipun tidak ada yang mengenalimu, tidak seharusnya kau
mengambil resiko sebesar ini untuk datang kemari. Mau apa kau
kemari?"
"Mau apa? Tentu saja datang mencarimu!"
"Mencari aku?" berubah paras muka Put-ji, "tahukah kau apa
posisiku saat ini?"
"Aku tahu, sekarang kau sudah menjadi tianglo di Bu-tong-pay!
Hmm, kenapa? Setelah jadi tianglo, kau tidak mau memperdulikan
aku lagi?"


"Ngo-nio, tolong jangan berteriak-teriak disini" bisik Put-ji dengan
suara lirih, "coba dengarkan dulu perkataanku....”
Siang Ngo-nio sama sekali tidak ambil perduli, setelah tertawa
dingin kembali ujarnya, "Dasar bocah yang tidak punya perasaaan,
masih ingat tidak ketika dulu kau tidur seranjang denganku, berapa
banyak kata mesra dan hangat yang pernah kau bisikkan disisi
telingaku? Dan sekarang, kau memandangku dengan wajah dingin
membeku! Pepatah mengatakan: semalam jadi suami istri....”
Buru-buru Put-ji Tojin mendekap mulutnya sambil berbisik, "Ngonio,
aku mohon.... jangan sembarangan bicara, sebenarnya apa
yang ingin kau katakan?"
"Aku ingin kau melaksanakan janjimu dulu, mengambil aku
sebagai istrimu!"
"Tolong, janganlah bergurau terus!" seru Put-ji sambil tertawa
getir, "aku sudah lama jadi pendeta, bahkan sekarang telah menjadi
tianglo dalam perguruan ku.”
"Kalau jadi tianglo lantas kenapa? Orang yang sudah jadi pendeta
pun dapat kembali jadi preman! Eeei Ceng-kim, aku lihat
kehidupanmu sebagai seorang tosu pun tidak terlalu nyaman dan
gembira, aku rasa lebih banyak kesulitan yang bakal kau jumpai
daripada kesenangan! Mumpung disini tidak ada orang, bagaimana
kalau kita kabur saja ke ujung dunia!"
Tiba-tiba saja nada suaranya berubah, berubah jadi sangat halus
dan lembut, membuat Put-ji Tojin semakin kelabakan dan tidak tahu
apa yang musti dilakukan.
Sadar kalau dia tidak bakal lolos dari cengkeraman perempuan
itu, satu ingatan segera melintas dalam benaknya. Katanya
kemudian, "Lusa adalah saat jenasah guruku dikebumikan, semisal
harus pergi pun, aku tidak mungkin bisa pergi pada hari ini. Ngonio,
berilah waktu kepadaku untuk berpikir, tapi sebelum itu aku
ingin menanyakan satu hal lebih dulu kepadamu.”
"Baik, tanyalah!"


"Kenapa kau bisa sampai disini?"
Berlagak tidak mengerti sahut Siang Ngo-nio, "Aku toh bukan
pincang, tentu saja dengan mengandalkan kedua kakiku aku sampai
disini!"
Put-ji mendengus.
"Hmm, tidak usah berlagak bodoh, kau harus mengerti apa
maksud pertanyaanku ini! Tidak salah, kau telah berganti rupa,
mungkin tiada orang di sepanjang gunung Bu-tong yang bisa
mengenali raut wajah aslimu, tapi masa tidak ada yang bertanya
siapa dirimu?"
"Sebenarnya aku memang sudah siap bila ada yang bertanya
kepadaku, sayang tidak ada kesempatan bagiku untuk
mempraktekkan kemampuanku berbohong. Sejak melangkah masuk
dari pintu Hian-gak-bun, entah mengapa, para murid perguruanmu
yang bertugas menerima tamu tidak ada yang menaruh curiga
kepadaku, bahkan bertanya setengah kecap pun tidak.”
"Hmm, kalau begitu kemampuanmu memang benar-benar luar
biasa!" dengus Put-ji sambil melototkan matanya.
Dari balik sorot matanya Siang Ngo-nio dapat menangkap cahaya
yang sangat aneh, saat itulah dia baru tidak memperolok dirinya
lagi, sambil tersenyum ujarnya, "Bukan kemampuanku yang hebat
dan luar biasa, aku hanya naik gunung mengikuti seseorang, kalau
dibilang ada yang memiliki kemampuan hebat, orang itu pasti bukan
aku melainkan orang tersebut.”
"Siapa?"
"Bouw It-yu!"
"Untung aku tidak bertindak gegabah,” pikir Put-ji dengan
perasaan terperanjat.
Tampaknya Siang Ngo-nio dapat menebak jalan pikirannya,
dengan senyum tidak senyum katanya lagi, "Ceng-kim, bukankah
kau menganggap aku telah membawa kesulitan bagimu, bukankah


kau ingin membunuhku? Hehehehe.... ilmu pedangmu telah kau
latih hingga mencapai taraf begitu sempurna, bila ingin
membunuhku, sebetulnya hal ini bisa kau lakukan dengan gampang
sekali, justru yang sulit adalah bisa membunuh aku tanpa diketahui
siapa pun!"
Put-ji tertawa paksa, ujarnya, "Ngo-nio, kau terlalu banyak
curiga, mana mungkin aku ingin membunuhmu? Lagipula kau telah
berlatih ilmu senjata rahasia aliran keluarga Tong, aku merasa tidak
punya kemampuan untuk membunuhmu!"
"Baiklah, anggap saja aku memang menggunakan pikiran
seorang siaujin untuk mencurigai seorang kuncu. Apa yang sedang
kau pikirkan sekarang?"
"Apakah kau bertemu Bouw It-yu di luar perbatasan?"
"Benar, bertemu di sebuah kota yang bernama Uh-sah-tin, bukan
hanya bertemu Bouw It-yu, disana pun aku telah berjumpa pula
dengan anak angkatmu!"
"Lan Giok-keng? Kau.... kau pun telah bertemu dengannya?"
"Aku rasa sudah waktunya kau mengubah panggilannya sebagai
Keng Giok-keng bukan?"
Put-ji merasakan hatinya sangat tergoncang, serunya tanpa
sadar, "Jadi dia sudah mengetahui orang tua aslinya?"
"Aku tidak tahu seberapa banyak yang teLih dia ketahui, tapi aku
rasa dia sudah bukan seperti dulu lagi, yang sama sekali tidak tahu
apa-apa.”
Paras muka Put-ji berubah hebat, mulutnya melongo tapi tidak
sanggup berbicara.
Sambil tersenyum kembali Siang Ngo-nio berkata, "Aku bahkan
mengetahui pula akan satu hal, bila sekarang kau ingin
membunuhnya, mungkin tidak gampang kau lakukan, karena ilmu
pedangnya sekarang sudah jauh lebih hebat daripada kepandaian
yang kau miliki!"


"Omong kosong!" seru Put-ji dengan wajah serius, "akulah yang
telah mendidik ilmu silatnya, bukan saja hubungan kami adalah guru
dan murid bahkan keakraban kami melebihi seorang ayah dan anak.
Untuk menyayangi dirinya saja aku masih tidak sanggup, mana
mungkin akan mencelakainya?"
Siang Ngo-nio segera tertawa terkekeh.
"Benarkah begitu?" ejeknya, "menurut apa yang kuketahui, ilmu
pedang yang kau ajarkan kepadanya sepertinya aspal, asli tapi
palsu, bukan begitu? Untung saja dia dapat melatih diri sendiri
hingga menguasai ilmu pedang tingkat tinggi, kalau tidak, kasih
sayangmu kepadanya mungkin akan mencelakainya hingga mati.”
Put-ji berlagak sedih, ujarnya sambil menghela napas, "Ngo-nio,
apakah sampai kau pun tidak bisa menyelami perasaan hatiku?
Padahal aku berbuat begitu pun demi kebaikannya, aku hanya ingin
dia hidup tenang tenteram sepanjang masa di atas gunung Bu-tong.
Kau pun seharusnya tahu, orang persilatan yang bisa hidup bahagia
hingga tua biasanya malah mereka yang ilmu silatnya biasa-biasa
saja. Orang kuno mengatakan: orang bersahaja banyak rejeki nya
ternyata memang tidak keliru.”
"Tapi sayang Keng Giok-keng bukan termasuk manusia biasa!"
"Perkataanmu benar sekali. Tapi maksud utamaku adalah baik,
aku tidak menyangka kalau Sucouww nya bakal menyuruh dia turun
gunung, bahkan mewariskan pula kiam-boh perguruan kepadanya.”
"Sekarang dia sudah tahu kalau ilmu pedang asli tapi palsu yang
kau ajarkan kepadanya tidak berguna sama sekali, apakah kau
sangka dia tetap menganggapmu berniat baik? Itupun baru sebatas
masalah ilmu pedang, bila diapun tahu kalau ayah kandungnya
ternyata tewas diujung pedangmu, kau sangka....”
"Jangan dilanjutkan!" jerit Put-ji, "bagaimanapun juga dia
tumbuh dewasa di bawah didikanku, aku telah membuang banyak
tenaga maupun pikiran untuk merawatnya dan dia seharusnya tahu
akan hal ini! Kalau dia tahu maka dia seharusnya percaya
kepadaku!"


"Gurumu saja sepertinya tidak percaya lagi kepadamu, kalau
tidak, masa tanpa memberitahukan kepadamu, dia sudah menyuruh
Giok-keng turun gunung. Kau sangka Giok-keng si bocah itu masih
mau percaya kepadamu setelah mengetahui kejadian yang
sebenarnya? Hehehe.... mungkin itu hanya keinginanmu sepihak?"
Ucapan ini mengena langsung pada penyakit hati Put-ji, kontan
saja seperti ayam jago yang kalah bertarung dia tundukkan
kepalanya dengan wajah murung.
"Ceng-kim, lebih baik kau bersama aku kabur ke ujung dunia
saja. Aku punya cara untuk membantumu, sekalipun Keng Giokkeng
telah mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, aku pun
bisa mengalihkan dendam kesumatnya dari dirimu kepada diriku,”
bujuk Siang Ngo-nio.
Tergerak hati Put-ji sesudah mendengar ucapan itu, tapi ingatan
lain segera melintas, "Setelah melakukan satu kesalahan, aku tidak
boleh mengulang lagi kesalahan yang sama, apalagi sepanjang
hidup berada bersama siluman perempuan ini!"
Dari perubahan mimik mukanya, agaknya Siang Ngo-nio sudah
dapat menebak perubahan yang terjadi dalam hatinya, sambil
menghela napas kembali ujarnya, "Ceng-kim, ternyata kau begitu
muak terhadapku? Aaai, kusangka kita berasal dari jenis manusia
yang sama.”
"Terima kasih banyak atas niat baikmu, tapi aku lebih rela
mampus di ujung pedang anak Keng, seandainya dia benar-benar
tidak mau memaafkan diriku.”
"Kau tidak bakal menyesal?"
."Paling banter juga mati, aku seharusnya sudah mati sejak
delapan belas tahun berselang, tapi karena sumoay telah
menyerahkan bayi yang baru dilahirkan kepadaku, bagaimana pun
aku tidak boleh menyia-nyiakan harapannya, itulah sebabnya aku
bertahan hidup hingga sekarang. Kini anak Keng telah tumbuh
dewasa, biar harus mati secara mengenaskan pun aku tidak bakalan


menyesal!"
Siang Ngo-nio pura-pura ikut menghela napas, katanya,
"Ternyata dalam hati kecilmu selama ini hanya terdapat sumoaymu
seorang, bagimu, Siang Ngo-nio yang masih hidup segar bugar tidak
bisa menandingi Ho Giok-yan yang telah lama meninggal. Hmmm,
anggap saja aku telah salah mengenalimu, tapi masa kau sama
sekali tidak ada pertanggungan jawab sedikit pun terhadapku?"
"Ko Ceng-kim yang pernah kenal denganmu pada delapan belas
tahun berselang telah lama mati, yang ada sekarang adalah tianglo
dari Bu-tong-pay, Put-ji!"
"Aku tidak perduli siapa dirimu, aku hanya ingin tanya, apa yang
hendak kau lakukan terhadapku?"
"Katakan saja sendiri, kecuali aku tidak bisa mengabulkan ajakan
mu untuk pergi bersama, apa pun yang kau inginkan, selama aku
dapat melakukannya pasti akan kukabulkan.”
"Baik, kalau begitu aku akan memohon satu hal kepadamu,
bawalah aku menjumpai Ciangbunjin baru perguruanmu. Tapi dalam
hal ini aku tidak ingin ada pihak ke tiga yang ikut mengetahui.”
"Mana boleh begitu?" seru Put-ji setelah tertegun beberapa saat
saking terkejutnya.
"Kalau tidak kau kabulkan, maka selamanya aku akan hidup
bersamamu selama kau masih hidup dan mati bersamamu bila kau
mati!"
Berdiri semua bulu kuduk Put-ji saking seramnya, cepat-cepat dia
berseru, "Jadi kau tetap bersikeras ingin melihat namaku hancur
posisiku musnah? Baik, kalau begitu hadiahkan saja sebatang jarum
Lebah hijau ke tubuhku!"
"Bila kau tidak punya perasaan, kenapa musti marah bila aku
tidak setia kawan!" ucap Siang Ngo-nio, "terus terang saja aku
beritahu, bila persoalan apa pun tidak mau kau lakukan untukku,
aku pasti akan membuat kau hidup tidak bisa, matipun tidak dapat!
Percaya-kah kau kalau aku mempunyai kemampuan seperti ini? Tapi


bila kau bersedia mengaturkan pertemuanku dengan Bouw Cionglong,
kujamin kau pasti akan aman tenteram tidak kekurangan
sesuatu apa pun.”
Tergerak hati Put-ji setelah mendengar ucapan itu, katanya,
"Kau.... kau.... jadi Bouw Ciong-long pun merupakan bekas....
bekas....”
"Hey, lari ke mana jalan pikiranmu?" tukas Siang Ngo-nio dengan
wajah memerah, "memangnya setiap orang yang ingin kujumpai
pasti merupakan bekas kekasihku?"
"Lalu apa sebabnya kau ingin bertemu dengannya? Kenapa
berani memberikan jaminan kepadaku?"
"Inilah rahasiaku, bila kau bersedia menjadi suami ku, rahasia ini
pasti akan kuberitahukan kepadamu.”
"Kalau begitu kau tidak perlu beritahu kepadaku, tapi mengapa
kau tidak minta bantuan kepada Bouw Ityu? Bukankah dia bersedia
mengajakmu naik ke gunung Bu-tong?"
Siang Ngo-nio segera tertawa.
"Aku adalah perempuan jahat yang sudah tersohor di kolong
langit, mana ada seorang anak mengaturkan pertemuan rahasia
bagi bapaknya dengan seorang wanita jahat!"
Put-ji ikut tertawa geli, pikirnya, 'Hahahaha.... kenapa aku tidak
pernah berpikir sampai ke situ? Jika Bouw Ciong-long benar-benar
adalah bekas kekasihnya, tentu saja dia tidak ingin Bouw It-yu
mengetahui rahasianya, apalagi minta bantuan kepadanya untuk
mengaturkan sebuah pertemuan'
Terdengar Siang Ngo-nio berkata lebih lanjut, "Aku hanya
mengikuti Bouw It-yu naik gunung, bukan Bouw It-yu yang
mengajakku naik gunung. Pada hakekatnya dia malah tak tahu
siapakah diriku. Lagipula dia tidak berhutang apa-apa kepadaku,
aku toh tidak bakalan sembarangan minta tolong kepada orang
lain.”


Perkataan itu setengahnya jujur tapi setengahnya lagi bohong,
namun dalam pendengaran Put-ji, dia hanya bisa tertawa getir.
"Betul, Ngo-nio, aku memang pernah berhutang cinta kepadamu,
tapi dalam kejadian itu....”
"Kalau kau tidak bersedia, lebih baik tidak usah banyak bicara.
Kita lihat saja nanti!" tukas Siang Ngo-nio sambil tertawa dingin.
Paras mukanya tiba-tiba berubah jadi dingin bagaikan lapisan salju.
Buru-buru Put-ji berseru, "Bukankah menampik permintaanmu,
bagaimana pun kau harus memberi waktu kepadaku untuk berpikir.”
Selang berapa saat kemudian kembali Siang Ngo-nio bertanya,
"Sudah kau pikirkan baik-baik?"
"Ssttt!" mendadak Put-ji mendesis lirih, "ada orang datang, kau
cepat pergi dulu!"
Siang Ngo-nio jadi gusar.
"Sebenarnya kau....”
Baru berbicara berapa patah kata, Put-ji telah mendekap
mulutnya sambil berbisik, "Aku berjanji, malam nanti datanglah ke
kompleks pemakaman. Cepat pergi, cepat pergi, jangan sampai
terlihat orang lain!"
Siang Ngo-nio adalah seorang jago senjata rahasia,
pendengarannya jauh lebih tajam daripada orang lain, saat itu
secara lamat-lamat dia telah mendengar ada orang sedang bergerak
mendekat.
Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang lihay, cepat dia
membalikkan tubuh, melompat naik ke atas tebing curam dan
menyembunyikan diri dibalik pohon-pohonan.
Baru saja Put-ji menghembuskan napas lega, terlihat Put-hui
Tokouw dengan menggandeng seorang gadis muda telah berjalan
menghampirinya.
Put-ji tertegun, tapi cepat serunya sambil berlagak sangat


gembira, "Sui-leng, ternyata kau telah kembali!"
"Sejak kemarin Leng-ji sudah kembali,” sahut Put-hui suthay,
"sebenarnya dia ingin segera melapor kepadamu, tapi berhubung
hari sudah malam, aku menyuruhnya datang hari ini.”
Adik Lan Sui-leng adalah putra angkat Put-ji, selama banyak
tahun berbagai masalah yang ada di rumahnya selalu mendapat
perhatian dan bantuan darinya, menurut keadaan pada umumnya,
begitu gadis ini sampai di gunung, dia seharusnya langsung datang
menghadap.
Oleh karena itu Put-ji sama sekali tidak merasa keheranan. Yang
membuatnya heran adalah kenapa Put-hui Suthay punya waktu
menemani muridnya datang mencari dia. Padahal pada saat seperti
ini seharusnya Put-hui Suthay berada di istana Ci-siau-kiong.
Mimik muka Put-hui Suthay kelihatan sedikit aneh, baru saja Putji
hendak mengajukan pertanyaan kepada Lan Sui-leng, dia sudah
berkata duluan, "Aku seperti mendengar ada seseorang sedang
berbicara denganmu, mana dia sekarang?"
Perasaan hati Put-ji tergoncang, tapi rasa kagetnya sama sekali
tidak ditampilkan di wajahnya, buru-buru sahutnya, "Benar, tadi
memang ada tamu, baru saja pergi.”
"Tamu itu adalah....” Put-hui suthay tampak masih curiga.
Put-ji berusaha menenangkan hatinya, lalu menjawab dengan
hambar, "Aku tidak bertanya siapa namanya.”
"Kenapa dia bisa datang kemari?" desak Put-hui suthay lagi
dengan kening berkerut.
"Tamu ini sedikit agak ceroboh, bukan saja telah berpesiar di
seluruh bukit bahkan katanya ingin masuk kompleks pemakaman
untuk berpesiar, sudah kukatakan kalau kompleks ini tertutup bagi
orang awam sebelum upacara penguburan diselenggarakan, tapi dia
ngotot terus, akhirnya setelah kutampik secara tegas, dia baru pergi
dengan wajah bersungut-sungut.”


Pihak Bu-tong-pay memang tak pernah melarang tamunya untuk
berpesiar di atas gunung, misalnya muncul orang tidak tahu aturan
yang bersikeras ingin berkunjung ke kompleks pemakaman lantaran
rasa hormatnya kepada Bu-siang Cinjin, hal semacam inipun lumrah
dan tak aneh. Karena itulah perasaan curiga Put-hui suthay seketika
berkurang banyak setelah mendengar alasan tersebut.
"Oooh, rupanya begitu,” dia berkata.
Diam-diam Put-ji menghembuskan napas lega, ujarnya
kemudian, "Suci, kenapa kau tidak berada di istana Ci-siau-kiong
untuk membantu melayani tamu?"
"Mungkin Ciangbunjin tahu kalau aku tidak terbiasa melayani
kunjungan orang, mungkin juga khawatir aku tidak tahan lelah,
maka kecuali memerintahkan aku untuk ikut hadir dalam upacara
pemakaman lusa, aku telah dibebaskan dari tugas apa pun. Padahal
luka ku telah sembuh, sekalipun dalam seharian harus beberapa kali
naik turun puncak Ci-siau-hong pun tidak menjadi masalah bagiku.”
"Suhu,” timbrung Lan Sui-leng, "sekembali ke atas gunung, aku
baru tahu kalau kau telah terkena jarum Lebah hijau milik Siang
Ngo-nio, perempuan siluman itu hingga nyaris harus berbaring
hampir setengah tahun lamanya. Konon jarum Lebah hijau miliki
siluman wanita itu merupakan senjata rahasia yang sangat beracun,
biarpun kini telah sembuh, lebih baik jaga dirimu dengan seksama.”
"Benar,” sahut Put-hui Suthay sambil tersenyum getir, "biarpun
lukaku telah sembuh, namun ilmu meringankan tubuhku sedikit
terkendala, mungkin butuh berapa waktu lagi sebelum dapat pulih
kembali seperti sedia kala.”
Diam-diam Put-ji sendiripun tertawa getir, pikirnya: 'Untung dia
tidak tahu kalau orang yang baru saja disini adalah si Lebah hijau
Siang Ngo-nio. Mungkin seandainya kungfu yang dia miliki tidak
menyusut mundur gara-gara lukanya, perkembangan cerita bisa jadi
lain.'
Khawatir Put-hui Suthay bertanya lebih jauh, buru-buru dia
mengalihkan pokok pembicaraan, katanya, "A-Leng, kau turun


gunung sudah setengah tahunan, apakah mendengar sesuatu berita
tentang adikmu?"
"Aku malah pernah bertemu dengannya sewaktu ada di Toanhun-
kok, hanya karena dia bersama Hwee-ko Thaysu dari biara
Siau-lim-si akan pergi ke luar perbatasan, lagian dia melarangku ikut
serta. Terpaksa aku pulang seorang diri.”
Dalam hati kecilnya Put-ji merasa gugup bercampur panik,
namun dia berusaha tidak menampilkan kecemasan itu di wajahnya.
"Oooh, jadi dia telah pergi ke luar perbatasan bersama Hwee-ko
Thaysu,” katanya, "aku benar-benar tidak menyangka akan hal ini.
Tahukah kau karena urusan apa mereka keluar perbatasan?"
"Tidak tahu. Justru karena itulah aku ingin bertanya kepada
tianglo, apakah sudah mendapat kabar tentang dirinya. Semasa
hidup dulu Sucouww paling menyayanginya, seharusnya dia akan
mengejar waktu untuk balik ke gunung.”
"Aaai, akupun sedang berharap bocah ini segera pulang ke
gunung, tapi hingga hari ini masih belum mendapat kabar berita
tentang dirinya.”
Biarpun dia sedang berbohong (belum lama berselang dia telah
mendapat kabar tentang Lan Giok-keng dari cerita Siang Ngo-nio),
namun perasaan kasih sayangnya antara ayah angkat dengan
putranya terlihat kentara sekali.
Sebenarnya tujuan kedatangan Lan Sui-leng kali ini hanyalah
untuk melakukan sebuah kunjungan penghormatan saja, terhadap
Put-ji dia sama sekali tidak menyimpan pengharapan apa pun.
Oleh sebab itu walau tidak mendapat berita tentang adiknya, dia
sama sekali tidak merasa kecewa.
Tapi di saat dia hendak mohon diri itulah mendadak terdengar
Put-ji berkata lagi, "Hanya saja....”
Buru-buru Lan Sui-leng menelan kembali ucapan 'pamitan' nya
dan segera bertanya, “Hanya saja kenapa?"


"Walaupun Giok-keng si bocah ini belum kembali, tapi salah
seorang murid perguruan kita yang ikut melakukan perjalanan jauh
bersamanya telah kembali.”
"Siapa?" buru-buru Lan Sui-leng bertanya dengan perasaan hati
berdebar.
"Bouw It-yu. Menurut apa yang kuketahui, tujuannya turun
gunung kali inipun sepertinya pergi juga ke luar perbatasan.”
Perlu diketahui, berita kembalinya Bouw It-yu ke atas gunung
biar tidak dia katakan pun, orang lain pasti akan mengatakannya
juga, oleh sebab itu dia mengatakannya segera. Dia butuh
ketenangan, berharap Put-hui Suthay dan Lan Sui-leng dapat segera
meninggalkan tempat itu secepatnya.
Tiba-tiba saja paras muka Lan Sui-leng berubah jadi pucat pias
seperti mayat.
Melihat itu dengan perasaan kaget Put-hui Suthay menegur,
"Anak Leng, kenapa kau?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya merasa sedikit takut. Siau-susiok
telah kembali, kenapa adik tidak ikut kembali.”
"Walaupun mereka menuju ke sebuah tempat yang sama, belum
tentu secara begitu kebetulan bisa saling bersua muka, kalau
bertemu saja belum tentu, mana mungkin bisa pulang bersamasama?
Kau tidak usah sembarangan berpikir, kalau memang Bouw
It-yu sudah kembali, lebih baik kita mencari kabar darinya.”
Darimana dia tahu kalau yang ditakutkan Lan Sui-leng bukan
kemungkinan adiknya tertimpa bencana atau musibah diluar
dugaan, tapi dia takut bertemu dengan Bouw It-yu, namun mau
tidak mau diapun harus pergi menjumpainya.
Dengan mulut membungkam dia berjalan mengikuti di belakang
gurunya, dari jembatan Yu-ci-kiau menuju ke jembatan Kim-sohkiau,
dari kejauhan bangunan istana Ci-siau-kiong sudah kelihatan.
Di bawah undak undakan batu yang lebar terdapat sebuah tanah


berumput yang luas, di tempat itulah tempo hari Tonghong Liang
menantang duel jago jago dari Bu-tong-pay.
Sambil menghela napas ujar Put-hui Suthay, “Waktu berlalu
begitu cepat, peristiwa Tonghong Liang menantang berduel hari itu
seolah masih berada di depan mata, tanpa terasa mendiang
Ciangbunjin sudah hampir setahun meninggalkan kita semua. Aku
masih ingat, dia sempat mengeluh tentang minimnya orang orang
berbakat dalam partai Bu-tong gara-gara harus menghadapi
tantangan duel itu, beruntung Ciangbunjin yang sekarang tiba tepat
pada saatnya hingga nama baik perguruan terselamatkan.
"Dikemudian hari kami baru tahu, rupanya sejak awal dia telah
berjanji untuk melepaskan status sipilnya untuk menjadi Ciangbunjin
saat ini, tapi berhubung Ciangbunjin belum datang juga seperti
waktu yang telah dijanjikan, akibatnya mendiang Ciangbunjin
sempat ikut dibuat panik dan gelisah. Aaai.... setiap kali teringat
kejadian ini, aku ikut merasa malu sendiri, dasar bakat-ku memang
terbatas, kemajuan yang bakal diperoleh di kemudian haripun sudah
pasti terbatas pula. Tampaknya semua pengharapan hanya bisa
kutumpukan pada kalian generasi berikut!"
Tokoh ini jadi heran ketika tidak mendengar tanggapan dari
muridnya meski dia telah berbicara panjang lebar, sewaktu
berpaling, dilihatnya Lan Sui-leng seperti kehilangan konsentrasi dan
berdiri melamun, dengan perasaan tercengang segera tegurnya,
"Anak Leng, apakah kau mempunyai masalah dalam hati kecil mu?"
"Tii.... tidak ada, benar tidak ada!" sahut Lan Sui-leng gugup,
ketika dilihatnya sorot mata gurunya masih mengawasi wajahnya
tanpa berkedip, cepat ia menambahkan lagi, "kecuali merasa kuatir
akan keselamatan adikku, masalah apa lagi yang bakal mengganjal
pikiran ku?"
Padahal didalam kenyataan, bukan saja dia mempunyai ganjalan
hati, bahkan masalah yang dia hadapi bukan hanya satu!
Sewaktu gurunya menyinggung tentang Tonghong Liang,
persoalan yang sedang dia pikirkan pun tak lain adalah masalahnya


dengan pemuda itu.
Dia seperti terbayang kembali pengalamannya ketika selama
berapa hari melakukan perjalanan bersama Tonghong Liang,
teringat bagaimana ketika turun hujan deras pada malam itu,
Tonghong Liang telah memberikan satu satunya gua yang bisa
dipakai untuk berteduh dari air hujan kepadanya, bahkan menjaga
keamanannya sepanjang malam ditengah hujan badai.
Setiap kali terbayang kejadian itu, ia merasakan hatinya diliputi
kehangatan yang luar biasa, tapi sayang perasaan yang kemudian
muncul adalah teror perasaan takut yang luar biasa.
Sebab setiap kali teringat akan diri Tonghong Liang, otomatis dia
teringat pula akan Bouw It-yu. Bayangan wajah Bouw It-yu selalu
menyingkirkan bayangan Tonghong Liang dan perasaan teror, horor
dan takut menggantikan kehangatan perasaan hatinya.
Sikap Bouw It-yu terhadapnya bukannya jelek atau tidak baik,
tapi Bouw It-yu telah memaksanya untuk menganggap Tonghong
Liang sebagai musuh, bahkan mengintruksikan dirinya untuk
membunuh Tonghong Liang dengan menghalalkan segala cara,
tentu saja bila terbukti Tonghong Liang benar-benar telah mencuri
belajar ilmu pedang dari Bu-tong-pay.
Dia menaruh curiga kalau adiknya secara sembunyi telah
mengajarkan ilmu pedang perguruannya kepada Tonghong Liang,
walaupun dengan pelbagai cara dia sudah berusaha membelai
adiknya, namun paman gurunya itu tidak pernah mau percaya.
Dia tidak berani melaporkan kejadian ini kepada gurunya, karena
dia tidak ingin gurunya mengetahui rahasia hatinya.
Apalagi dari nada pembicaraan gurunya ketika menyinggung
kembali peristiwa di kala Tonghong Liang datang ke Bu-tong untuk
menantang berduel, dapat diketahui kalau pandangannya terhadap
Tonghong Liang mungkin sama persis seperti pandangan dari Bouw
It-yu.
Dengan tatapan tajam Put-hui Suthay mengawasi gadis itu


berapa saat, kemudian serunya, "Aaaah, tidak benar, kau seperti
sedang takut akan sesuatu?"
Lan Sui-leng mencoba tertawa paksa.
"Ketika baru balik ke atas gunung, perasaan hatiku memang
sedikit merasa takut,” katanya, "tapi setelah berada disisi suhu, aku
sudah tidak merasa ketakutan lagi.”
Put-hui Suthay manggut-manggut, katanya, "Aku bisa
memaklumi bila dihati kecilmu, kau merasa ngeri bercampur takut
terhadap Put-ji tianglo. Terus terang, sewaktu kutemukan kalau dia
mengajarkan adikmu dengan ilmu pedang aspal, asli tapi palsu,
timbul juga perasaan curiga, ragu dan tidak tenang di hati kecilku.
Tapi bila dilihat dari sikap rindu dan sayangnya terhadap Giok-keng,
rasanya luapan emosinya itu bukan pura-pura saja, lagipula dalam
setahun belakangan dia hidup di tengah kesedihan dan kepedihan
yang mendalam, aku rasa perasaan semacam ini tidak mungkin bisa
dilakukan dengan pura-pura. Adikmu adalah cucu murid yang paling
disayang mendiang Ciangbunjin, sedang diapun sedih karena
kehilangan gurunya. Menurut nalar yang sehat, tidak sepantasnya
dia menaruh maksud jahat atau rencana busuk terhadap adikmu.”
"Sejak dia mengangkat adikku sebagai anak angkatnya, dia
memang selalu bersikap sangat baik dan sayang kepadanya, aku
sendiripun tidak percaya kalau dia berniat mencelakai adikku, tapi
dalam peristiwa ini....
aku sendiripun jadi bingung.”
Tiba-tiba Put-hui Suthay menyela, "Akupun menghadapi satu
masalah yang membingungkan, ingin kudengar penjelasan darimu.”
"Suhu, apa yang ingin kau ketahui?" tanya Lan Sui-leng
terperanjat.
"Sejak sekembalimu dari merantau, meski aku belum punya
waktu untuk menjajal kungfu mu, tapi dapat kulihat kalau ilmu
silatmu telah mengalami kemajuan yang pesat. Terutama dalam
ilmu meringankan tubuh, aku lihat kehebatanmu sudah jauh


melebihi kemampuanmu dulu, tapi akupun merasa tidak mirip
dengan kungfu yang kuajarkan. Kenapa bisa demikian?"
Diam-diam Lan Sui-leng merasa terperanjat juga akan ketajaman
mata gurunya, segera sahutnya, "Tecu tidak berani berbohong,
apalagi merahasiakan kejadian ini. Benar, dalam perantauanku kali
ini, tecu memang telah menjumpai pengalaman aneh. Telah
berkenalan dengan seorang sahabat dari aliran perguruan lain....”
"Oooh.... sahabat seperti apakah itu?"
"Seorang gadis yang usianya hampir sebaya denganku, dia dari
marga Seebun bernama Yan.”
Begitu tahu kalau sahabatnya adalah seorang gadis, tanpa terasa
Put-hui Suthay menghembuskan napas lega, tapi begitu mendengar
nama marga tersebut, dia seolah tersentuh akan sesuatu, setelah
tertegun, ulangnya, "Dia dari marga Seebun?"
"Benar, ayahnya adalah Seebun Mu, Liok-lim Bengcu wilayah
utara pada tiga puluh tahun berselang, tapi masalah ini baru
kuketahui belakangan.”
"Seebun Mu sudah lama meninggal, tentunya putri dia bukan
bandit wanita bukan?"
"Tatkala ayahnya meninggal, dia baru berusia dua-tiga tahunan.
Sejak ayahnya meninggal, ibunya segera mengundurkan diri dari
dunia persilatan dan membawa nya hidup mengasingkan diri di
tengah gunung. Aku pernah bertemu ibunya, ibunya pun bersikap
sangat baik kepadaku, malah menerima aku sebagai putri
angkatnya.”
"Kalau begitu pastilah Seebun-hujin yang pernah mengajarkan
ilmu silat kepadamu?" desak Put-hui Suthay.
"Harap suhu mau memaafkan kelancangan tecu. Benar, tecu
merasa tidak leluasa untuk menampik niat baiknya. Tapi aku hanya
tinggal sebulan lamanya di rumah mereka, jadi sesungguhnya tidak
banyak yang sempat kupelajari.”


Padahal dalam kenyataan, ilmu meringankan tubuh yang dia
miliki berasal dari ajaran Tonghong Liang, hanya saja hal mana
tidak berani dia ungkap kepada gurunya.
"Aku memandang hambar soal pandangan fanatik perguruan.
Apalagi diapun ibu angkatmu, sedang hingga kini kau baru menjadi
murid tidak resmi diriku. Sekalipun mengikuti peraturan persilatan
yang paling ketat pun aku masih belum berhak untuk melarangmu
mempelajari ilmu silat dari aliran lain.”
"Terima kasih banyak atas pengertian suhu, tecu ingin sekali
memohon sesuatu hal kepada suhu.”
"Katakan.”
"Harap suhu mau secara resmi menerimaku sebagai muridmu.”
Ternyata dia teringat kembali dengan janji Bouw It-yu ketika
waktu itu minta tolong kepadanya untuk 'menghadapi' Tonghong
Liang, saat itu dia berjanji akan memohon kepada ayahnya untuk
menerima dia sebagai muridnya.
Namun Lan Sui-leng tidak ingin memperoleh 'kemuliaan' tersebut
dengan melanggar 'kebiasaan' yang berlaku.
"Aku pun mempunyai niat begitu,” jawab Put-hui Suthay
kemudian, "tapi untuk penerimaan murid wanita yang berasal dari
kalangan preman, menurut aturan Sam-ceng-kau, aku harus
melaporkan dulu hal ini kepada Ciangbunjin. Nanti bila bertemu
Ciangbunjin dan ada kesempatan untuk berbicara, akan kusinggung
hal ini dengannya. Kalau segala prosedur berjalan menurut aturan,
aku rasa dia tidak mungkin akan keberatan.”
"Terima kasih banyak suhu!"
"Apakah Seebun-hujin berwajah sangat cantik?" tiba-tiba Put-hui
Suthay bertanya.
"Bila berdiri bersanding dengan putrinya, mereka mirip seperti
kakak beradik. Putrinya sudah cantik bagaikan sekuntum bunga
segar, tapi ketika berdiri disisi ibunya, kecantikan wajahnya justru


nampak suram karena kalah dengan kecantikan ibunya.”
Put-hui Suthay menghela napas panjang, katanya, “Tidak heran
bila dimasa lampau dia disebut orang sebagai Bu-lim Tee-it-bi-jin
(wanita paling cantik dari dunia persilatan), sayang aku tidak
bersempatan bertemu dengannya.”
Put-hui Suthay sebenarnya adalah seorang tokoh berwajah dingin
berperasaan hangat, dia jarang bergurau apalagi bicara tidak
berguna. Maka tidak heran bila Lan Sui-leng tercengang dibuatnya
setelah mendengar perkataan itu, dia heran, mengapa gurunya bisa
mempunyai pandangan dan ingatan semacam itu terhadap Seebunhujin.
Tampaknya Put-hui Suthay dapat menebak jalan pikirannya, dia
segera menjelaskan, "Aku menjadi pendeta setelah usiaku
melampuai dua puluh tahun. Pada dua puluhan tahun berselang,
aku tinggal di kota Siok-ciu, waktu itu In Beng-cu pernah tinggal di
rumah Cihu nya dikota Hangciu, In Beng-cu adalah perempuan yang
kemudian bernama Seebun-hujin. Waktu itu aku masih muda dan
rasa ingin tahuku besar, pernah terlintas ingatan untuk datang ke
kota Hangciu untuk melihat, sampai dimanakah kecantikan wajah
perempuan yang disebut Bulim Te-it-bi-jin ini. Sayang belum sempat
terpenuhi keinginanku itu, In Beng-cu sudah keburu meninggalkan
kota Hangciu.”
"Suhu, di saat masih muda dulu, kau pasti seorang wanita cantik
juga. Aku duga kau pasti ingin membandingkan kecantikanmu
dengan kecantikan In Beng-cu bukan?" kata Lan Sui-leng sambil
tertawa.
"Dasar budak edan, bicara sembarangan saja, masa berani
menggoda gurumu sendiri!" seru Put-hui Suthay berlagak marah,
"sudah, kita kembali ke pokok persoalan, rasanya cerita tentang
'pengalaman aneh'mu belum selesai bukan.”
"Panjang kalau ingin membicarakan pengalamanku selama
setengah tahun ini. Gedung Ci-siau-kiong sudah hampir tiba, lebih
baik nanti malam saja aku baru bercerita lagi.”


Sebagaimana diketahui, dia tidak ingin menceritakan kisahnya
yang menyangkut Tonghong Liang kepada gurunya, kalau bisa
"memangkas" ceritanya, tentu saja dia ingin berbuat begitu.
Menyinggung tentang Seebun Yan, bagaimana mungkin dia bisa
menghindari pemikirannya tentang Tonghong Liang serta Bouw Ityu.
"Entah enci Yan berhasil menemukan Tonghong-toako atau tidak,
ehmm.... dia begitu tergila-gila terhadap Tonghong-toako, tapi
tampaknya Tonghong-toako justru berniat menghindarinya. Semoga
saja mereka tidak selalu memainkan permainan petak umpat seperti
ini. Kalau permainan berlanjut terus, bisa saja rasa cemburu dan iri
enci Yan bakal dilimpahkan kepadaku.”
Tanpa terasa dia jadi teringat kembali dengan usaha Seebun Yan
yang ingin menangkapnya, tujuannya waktu itu adalah agar dia
tidak bisa berkeliaran di luaran hingga muncul kesempatan
berdekatan dengan Tonghong Liang, setiap kali teringat akan hal ini,
dia benar-benar merasa konyol.
Waktu itu, Bouw It-yu lah yang telah membantu dia menghadapi
Seebun Yan, meskipun selama ini dia tidak menaruh kesan baik
terhadap Bouw It-yu, namun dalam peristiwa tersebut mau tidak
mau gadis ini tetap merasa berterima kasih sekali kepadanya.
"Peristiwa yang terjadi di dunia ini memang sukar diduga, ketika
aku pergi meninggalkan mereka saat itu, dari perkataan terakhir
yang sempat kudengar, tampaknya enci Yan sudah tergerak hatinya
oleh bujukan Bouw It-yu, semoga saja dia memang pergi bersama
ke luar perbatasan untuk mencari Tonghong toako. Aneh, darimana
pula Bouw-susiok bisa tahu kalau Tonghong toako sedang ke luar
perbatasan? Kini Bouw-susiok telah kembali, apakah dia telah
berhasil membantu enci Yan menemukan kembali Tonghong toako?"
Walaupun dalam hati kecilnya dia ingin sekali mengetahui
jawaban dari teka-teki ini, namun dia tetap merasa takut sekali
untuk berjumpa dengan Bouw It-yu.
Karena ada pikiran yang mengganjal hatinya, Lan Sui-leng pun


mempercepat langkahnya sambil memanggil lirih, "Suhu, suhu!"
Put-hui Suthay berpaling, melihat paras muka gadis itu pucat pias
segera tegurnya, "Ada apa? Merasa kelelahan? Kita segera akan
sampai di tempat tujuan!"
"Aku tidak ingin masuk.”
"Kenapa?"
"Sebagian besar tamu yang pantas diundang masuk ke istana Cisiau-
kiong adalah tokoh-tokoh luar biasa, sementara para petugas
penerima tamu pun kebanyakan adalah para Cianpwee dari
perguruan kita, aku tidak lebih hanya seorang murid tidak resmi,
rasanya....”
"Kenapa musti takut, toh ada aku,” tukas Put-hui Suthay cepat,
"tenangkan pikiranmu, jangan membuat lelucon hingga aku sebagai
gurumu ikut jadi malu.”
"Suhu, aku bukannya takut bertemu para tamu, hanya.... hanya
saja aku.... aku tidak ingin.... lebih baik tidak usah ikut ke sana.”
"Bukankah kau ingin mencari berita tentang adikmu dari mulut
Bouw It-yu?"
"Suhu, alangkah baiknya bila kau saja yang sekalian mencarikan
berita. Semisal ada aku, mungkin pembicaraan kalian malah kurang
leluasa.”
"Aaah, benar juga,” batin Put-hui Suthay, "kenapa aku tidak
berpikir sampai ke situ.”
Perlu diketahui, dalam suasana pertemuan akbar semacam ini,
dapat dipastikan Bouw It-yu sangat sibuk melayani para tamunya,
bila dia mengajak muridnya datang ke sana, lalu mengajak Bouw Ityu
ke pojokan untuk berbicara, tindakan semacam ini sudah pasti
akan menimbulkan perhatian orang lain.
Akan tetapi dia sendiripun bukan termasuk seseorang yang kaku
memegang peraturan, maka setelah berpikir sejenak katanya, "Toh
kita sudah sampai disini, lihat saja perkembangannya nanti. Selama


ikut masuk ke sana nanti, lebih baik kau tidak usah banyak bicara,
ikuti aku saja nonton keramaian!"
Lan Sui-leng tidak berani mengemukakan alasan sebenarnya dari
perasaan takutnya itu kepada gurunya, terpaksa dia mengikutinya
dari belakang.
Tapi gurunya bukannya melanjutkan perjalanan, dia malah
menghentikan langkahnya.
Waktu itu mereka telah melewati prasasti dan sedang berjalan
memasuki sebuah hutan pohon siong, lapangan luas di depan istana
Ci-siau-kiong telah muncul di depan mata.
Waktu itu banyak orang sedang berkumpul di tanah lapang tadi.
Bahkan terlihat ada dua orang sedang cekcok ramai.
"Bocah keparat, perkataanmu tajam dan tidak enak didengar,
memangnya berniat menantang aku beradu kekuatan?" yang
berbicara adalah seorang lelaki kurus ceking.
"Menantang mah tidak berani, tapi tidak keberatan untuk
memberi petunjuk bukan?" orang yang diumpat sebagai bocah
keparat itu adalah seorang pemuda berdandan sastrawan, dia
menanggapi ucapan lawan sambil tertawa ringan.
"Hmmm, manusia macam kau belum pantas untuk minta
petunjuk!" kembali lelaki ceking itu mendengus.
Para penonton yang menyaksikan keramaian itu semuanya
berharap mereka bisa segera bertarung, maka ucapan pun bergema
simpang siur, ada yang berkata begini, "Pantas atau tidak baru
bakal ketahuan kalau sudah bertarung!"
Ada pula yang berseru begini, "Benar, saling menjajal ilmu silat
adalah kejadian lumrah. Apalagi disini hadir begini banyak orang,
masa kalian takut kehilangan nyawa?"
Bahkan ada pula yang bicara lebih kasar, "Kau bilang
perkataannya menyindir tidak enak didengar, memangnya kau
anggap ungkapanmu sendiri enak didengar.”


"Aku bukannya takut menghadapi dia,” sahut lelaki ceking itu
segera, "tapi asal usul bocah keparat ini tidak jelas....”
"Hahahaha.... aku lihat asal-usulmu sendiripun rada kurang
jelas!" jawab 'bocah keparat' itu sambil tertawa.
"Kurangajar, kau belum pantas untuk mengetahui asal usulku!"
teriak lelaki ceking itu makin gusar.
'Bocah keparat' itu manggut-manggut, sahutnya, "Ucapanmu
tepat sekali, justru karena itu maka aku ingin minta petunjukmu!"
Untuk sesaat lelaki itu seperti belum memahami maksud di balik
ucapan lawannya, tapi sebelum dia mengucapkan sesuatu, dari sisi
arena sudah ada yang menanggapi, "Tepat sekali, kami semua
memang belum tahu asal usul perguruan kalian berdua. Kau
menuduh asal-usulnya tidak jelas, diapun menuduh asal-usulmu
tidak jelas. Kalau memang kedua belah pihak sama sama tidak mau
berterus terang, cara yang terbaik adalah diselesaikan dengan
pertarungan! Disini hadir jago-jago berpengalaman, asal
pertarungan dimulai, bukankah segala sesuatunya akan jadi jelas!"
Beberapa orang jago lainnya serentak berseru pula, "Benar,
percuma kalau cekcok mulut melulu, terhitung enghiong macam apa
kalau hanya beraninya pentang bacot, hmmm! Jadi anjing atau
beruang saja!"
Hasutan dan provokasi dari para penonton kontan saja membuat
emosi lelaki ceking itu meluap, dengan wajah merah padam
bentaknya, "Baiklah, bocah keparat, ayoh menyeranglah!"
Oleh karena di tengah lapangan ada perkelahian, terpaksa Puthui
Suthay menunda perjalanannya dan berhenti di sisi arena.
Ketika melihat Lan Sui-leng sedang menonton dengan
kesemsem, sambil tertawa segera tegurnya, "Apa bagusnya
menonton perkelahian orang orang persilatan semacam mereka?"
Darimana dia tahu kalau terperangahnya Lan Sui-leng karena ada
penyebab lain.


"Bocah keparat" itu berdandan sebagai seorang sastrawan,
wajahnya bersih dan tampan, suaranya halus lagi merdu, tapi entah
mengapa, justru mendatangkan perasaan aneh dalam
pendengarannya.
Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benak Lan Sui-leng,
pikirnya, Aneh sekali, padahal aku belum pernah bertemu dengan
orang itu, mengapa rasanya seperti pernah kukenal?'
Belum habis ingatan itu melintas, terdengar bocah keparat itu
sudah berkata, "Akulah yang ingin minta petunjuk darimu, tidak
usah sungkan-sungkan, ayoh mulailah melancarkan serangan!"
Lelaki ceking itu mendengus, tanpa banyak bicara lagi
kepalannya langsung dijotoskan ke muka.
Siapa pun tidak ada yang tahu jurus serangan apa yang dia
gunakan, tampak tangan kirinya mengepal kencang, tulang jari yang
mengepal justru menonjol keluar bagaikan tanduk, sementara jari
tangan kanannya lurus bagaikan tombak, di bawah perlindungan
pukulan kepalan yang gencar, dia sodok sepasang mata lawannya.
Sebagaimana diketahui, semua yang hadir di tempat itu
merupakan tamu-tamu undangan dari Bu-tong-pay, kendatipun
terjadi perselisihan paham, pertarungan pun seharusnya hanya
terbatas saling menutul, tidak pantas bila serangan dilancarkan
begitu ganas dan telengas.
Tidak heran kalau suasana menjadi gempar setelah jurus
serangan itu dilancarkan, malahan ada diantara mereka yang mulai
mengumpat dan mencaci maki lelaki ceking itu.
Gerakan tubuh yang dilakukan kedua belah pihak sangat cepat,
belum sempat orang itu mengumpat lelaki ceking itu, tampak bocah
muda itu sudah melambung sambil berkelebat, bagaikan capung
yang menutul di permukaan air, seperti juga burung walet terbang
di bawah wuwungan rumah, dengan satu gerakan yang cepat dia
sudah terhindar dari semua ancaman itu.
Tempik sorak pun berkumandang memecahkan keheningan.


Semula, Put-hui Suthay memandang rendah kemampuan dua
orang jagoan itu, tapi kini mau tidak mau dia ikut berseru tertahan.
Ternyata gerakan tubuh bocah itu selain lincah dan cekatan,
tampak indah menawan, sudah jelas yang digunakan adalah ilmu
meringankan tubuh tingkat tinggi.
Sebaliknya di balik pukulan lelaki ceking itu terselip serangan jari
tangan yang mengancam jalan darah musuh, sudah jelas dia pun
bukan tokoh silat sembarangan.
Lan Sui-leng benar-benar terpana hingga untuk sesaat hanya
bisa berdiri melongo. Baginya, gerakan tubuh anak muda itu sangat
dikenal dan hapal diluar kepala, sekalipun belum sempat melihat
jelas raut wajah aslinya, tapi selain Seebun Yan, siapa pula orang
itu?
Dia masih ingat sangat jelas, ketika pertama kali bertemu Seebun
Yan dan tertawan oleh gadis itu, gerak-an tubuh burung walet
melintas di bawah wuwungan inilah yang telah digunakan Seebun
Yan.
Dalam pada itu lelaki ceking tadi telah membuntuti lawannya
bagaikan bayangan tubuh, dia ikut melambung ke udara, kali ini
kepalan tinjunya diarahkan ke punggung lawan.
Dengan saru gerakan menggeser tubuh beralih posisi, bocah
muda itu balas membacokkan dua pukulan. Biar berada di bawah
serangan gencar musuh, bukan saja orang itu bisa melancarkan
serangan balasan, bahkan gerakan tubuhnya tetap nampak indah
dan menawan.
Sekali lagi tempik sorak bergema gegap gempita.
Melihat Lan Sui-leng berdiri kesemsem, Put-hui Suthay kembali
berkata, "Meski ilmu pukulan bocah itu hebat, sayang tenaga
dalamnya belum cukup sempurna, aku rasa serangan itu hanya
indah dipandang, kurang mantap hasilnya.”
Baru selesai ia berbicara, situasi dalam arena pertarungan
kembali telah berubah, kini pertarungan berlangsung dalam jarak


dekat.
Jari tangan lelaki ceking itu menjojoh berulang kali melepaskan
serangan yang ganas dan gencar, khususnya ke dua jari tangan
kanannya, setiap serangan yang dilancarkan selalu tertuju ke jalan
darah mematikan di tubuh lawan. Hal ini membuat anak muda
tersebut mulai keteter dan kewalahan.
Kembali terdengar Put-hui Suthay berseru tertahan, kepada Lan
Sui-leng ujarnya, "Ilmu menotok jalan darah yang digunakan lelaki
itu hebat sekali, tampaknya merupakan perubahan dari ilmu pena
dari keluarga Lian.”
Ilmu menotok jalan darah dengan Poan-koan-pit dari keluarga
Lian diwilayah Sam-say merupakan salah satu ilmu langka dalam
dunia persilatan, dengan sepasang pit nya empat nadi penting bisa
terancam dalam waktu bersamaan. Apalagi bila dua orang bekerja
sama menggunakan ilmu poan-koan-pit tersebut, dengan empat pit
mereka bisa menotok delapan nadi penting sekaligs.
Atau dengan perkataan lain, dalam satu gebrakan mereka dapat
mengancam delapan nadi lawan secara bersamaan dan
mengurungnya di bawah lingkaran pengaruhnya, dalam keadaan
begini, salah satu di antara delapan nadi itu pasti akan menjadi
sasaran.
Terdengar Put-hui Suthay kembali berkata, “Tampaknya lelaki itu
masih agak sangsi dan takut, apakah kau dapat melihatnya?
Walaupun ilmu pukulannya tampak garang, padahal dia gunakan
untuk melindungi diri. Coba dia berani menggunakan kedua
tangannya berbarengan, sudah pasti ilmu sepasang pit menotok
empat nadi nya bisa dikembangkan lebih sempurna. Dalam keadaan
begitu, biar gerakan tubuh bocah itu lebih cepat pun pasti tidak
akan sanggup menahan serangannya!"
Waktu itu Put-hui Suthay berbicara di dalam hutan Siong, orang
yang berada di lapangan sudah pasti tidak akan mendengarnya.
Namun tampaknya lelaki ceking itupun punya pikiran yang sama,
benar saja, dia segera menarik kembali ilmu pukulannya dan


menggunakan ke dua belah tangannya untuk melancarkan totokan.
Tampak ke empat jari tangannya sebentar menyodok sebentar
ditarik, bagaikan lidah empat ekor ular berbisa mengancam kian
kemari.
Rupanya dia sudah menjajal kalau tenaga dalam yang dimiliki
lawannya masih cetek, meski tubuhnya kena pukulan pun, serangan
tersebut tidak akan berakibat fatal baginya.
Dalam waktu singkat bocah muda itu mulai keteter hebat dan
dipaksa berada di bawah angin, tiba tiba dengan satu gerakan cepat
dia berjumpalitan mundur ke belakang.
"Bocah busuk, mau mencoba melarikan diri?" bentak lelaki ceking
itu nyaring.
Baru selesai dia membentak, tiba-tiba bocah itu sudah
membalikkan tubuh sambil melepaskan sebuah pukulan, gerak
serangannya jauh berbeda dari serangannya semula, setiap
serangan diiikuti dengan gerakan melingkar, walaupun gerakannya
jauh lebih lamban namun selalu berhasil memunahkan datangnya
ancaman lawan yang garang.
Begitu bocah itu membalikkan tubuh menyongsong kedatangan
lawannya, dengan tangan kiri dia menciptakan gerakan melingkar,
tangan kanannya membabat melintang pergelangan tangan lawan,
atau terkadang tangan kanan yang menciptakan gerakan melingkar,
tangan kiri menusuk bagaikan ujung tombak.
Begitu ilmu pukulan itu dikembangkan, tidak sampai puluhan
gebrakan kemudian, dari posisi terdesak kini dia memegang
peranan di atas angin.
Sekali lagi Put-hui Suthay berseru tertahan, dia seolah merasa
sangsi dan tidak habis mengerti.
Namun bagi Lan Sui-leng, dia mengetahui dengan sangat jelas,
karena ilmu pukulan yang digunakan pemuda itu merupakan
perubahan yang diciptakan dari ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat.


Bukan saja Lan Sui-leng tahu kalau ilmu pukulannya merupakan
perubahan dari ilmu pedang, bahkan tahu dengan jelas sumbernya.
Ketika dia masih tinggal di rumah Seebun Yan tempo hari,
Seebun-hujin pernah mengajarkan ilmu pedang kepadanya. Waktu
itu ibunya memberi pelajaran sementara putrinya menjadi patner
berlatih.
Jurus serangan itu bernama Liong-bun-tiap-long (ombak berlapis
menerjang pintu naga), merupakan jurus serangan yang paling
banyak dipraktekkan bersama Seebun Yan.
Kini dia sudah tidak ragu lagi, dia yakin bocah muda
dihadapannya sekarang tidak lain adalah penyamaran dari Seebun
Yan.
Pada dasarnya watak Seebun Yan adalah gadis yang suka akan
keindahan, biarpun sedang menyamar sebagai pria, diapun tetap
menyaru sebagai seorang sastrawan yang tampan.
Kini Lan Sui-leng sudah amat yakin kalau dugaannya tidak salah,
ketika diamati lagi dengan lebih seksama, benar saja, dia segera
menjumpai raut muka aslinya.
Maka sambil tertawa geli, diam-diam ia memaki kebodohan
sendiri, "Masa aku pun mau dikelabuhi dia dengan menyamar jadi
seorang pemuda tampan....”
Begitulah, sementara guru dan murid masing-masing tercekam
dalam jalan pemikiran sendiri, menang kalah di tengah arena segera
telah ketahuan hasilnya.
Tampaknya lelaki ceking itu sudah merasa kalau gelagat tidak
menguntungkan, dalam cemas bercampur gelisah, dia buru-buru
ingin meraih kemenangan.
Tiba-tiba badannya merangsek maju ke depan, ke lima jari
tangannya digenggam kemudian disentilkan ke depan, dalam sekali
gebrakan dia mengurung jalan darah Thian-sian, Tee-kue, Giok-bun,
Sian-ki, Yang-tiong lima buah jalan darah.


Ke lima buah jalan darah yang menjadi incarannya ini termasuk
dalam rangkaian empat nadi utama, jalan darah mana pun yang
tertotok pasti akan menyebab kematian atau paling tidak
menyebabkan luka yang cukup parah.
Tidak sedikit jago totokan yang hadir di seputar arena saat itu,
meski mereka tidak mengenali ilmu tadi merupakan gubahan dari
ilmu pena dari keluarga Lian, namun semua orang tahu kalau
serangan tersebut sangat lihay seketika itu juga jeritan kaget
bergema di udara.
Semua orang mengira Seebun Yan bakal sulit lolos dari serangan
maut itu, diluar dugaan apa yang kemudian terjadi segera membuat
semua orang terperangah.
Terdengar jeritan ngeri yang menyayatkan hati bergema
memecahkan keheningan, tahu-tahu tubuh lelaki ceking itu sudah
mencelat sejauh beberapa depa (satu depa = 1,33 meter), lengan
kanannya terlihat lunglai lemas dan tidak bisa diangkat kembali.
Ada begitu banyak orang yang hadir di seputar arena, ternyata
tidak ada yang melihat dengan jelas, ilmu apa yang telah digunakan
bocah keparat itu, tahu-tahu saja lengan kanan lelaki ceking itu
sudah dipatahkan tulangnya.
Belum lewat rasa kaget yang mencekam perasaan semua orang,
satu peristiwa aneh kembali berlangsung di tengah arena.
Tiba-tiba dari balik kerumunan orang banyak muncul seseorang,
orang itu langsung mencengkeram lelaki ceking itu sambil
membentak, "Siapa kau? Cepatmengaku!"
Ternyata orang itu tidak lain adalah putra ketua Bu-tong-pay saat
itu, Bouw It-yu.
Seharusnya, bila ada tamu bertarung dan terluka, sebagai tuan
rumah apalagi putra ketua Bu-tong-pay, dia harus turun tangan
mencegah, kendatipun kedatangannya agar terlambat sehingga
tidak sempat mencegah, paling tidak dia harus membantu sang
korban untuk merawat lukanya.


Tapi tindakan yang dilakukan Bouw It-yu saat ini jauh diluar
kebiasaan, bukan saja tidak menolong malah menginterogasi orang
itu dengan nada yang keras.
Sambil menahan rasa sakit yang luar biasa lelaki ceking itu
protes, "Kenapa kau tidak menginterogasi juga bangsat cilik itu?"
Peluh sebesar kacang kedela bercucuran membasahi seluruh jidat
dan wajahnya.
Ada diantara penonton yang tidak tega, mereka mulai berbisik
bisik, "Benar juga, kalau mau di interogasi, seharusnya mereka
harus dipandang sama! Lagipula menurut peraturan....”....
Menurut peraturan yang berlaku, bila asal-usul kedua belah pihak
sama-sama tidak jelas namun ada salah satu pihak yang terluka,
maka orang yang tidak terbukalah yang harus diinterogasi lebih
dulu.
Entah apakah Bouw It-yu ikut mendengar perkataan itu atau
tidak, baru selesai orang itu berkata, Bouw It-yu telah menyindir
dengan nada dingin, "Dia adalah tamu kami, sedang kau adalah
mata mata yang khusus menyelinap ke gunung kami, memangnya
aku harus pandang kalian sama rata?"
Begitu ucapan tersebut diutarakan, semua orang yang berbisik
bisik pun membungkam seketika.
Dengan keringat bercucuran membasahi wajahnya, lelaki ceking
itu kembali berteriak parau, "Aku.... aku pun diundang oleh Bu-tongpay
kalian!"
"Siapa yang mengundangmu?"
Entah karena sudah kehabisan tenaga hingga tidak mampu
menjawab atau karena alasan lain, lelaki ceking itu nampak hanya
bisa membuka lebar mulutnya namun sama sekali tidak terdengar
suara apapun.
Di tengah arena hadir seorang busu tua yang mempunyai sedikit
hubungan dengan ayah Bouw It-yu, dengan lagaknya dia


menimbrung, "Hiantit, coba kau bubuhi obat luka dulu kemudian
baru ditanyai.”
"Hmm, dia hanya berlagak mampus!" seru Bouw It-yu. Sambil
berkata dia cengkeram tulang Pi-pa-kut di tubuh lelaki ceking itu,
kontan orang itu menjerit keras seperti babi yang mau disembelih.
Tapi orang itu benar-benar keras kepala, untuk menarik simpatik
orang lain kepadanya, kembali protesnya, 'Manusia she-Bouw, kau
telah menghina aku habis habisan, sampai mati pun aku tidakbakal
mengaku!"
"Hmm, tidak kau katakan pun aku juga tahu siapa dirimu,”
dengus Bouw It-yu dingin, "aku hanya ada satu hal yang belum
jelas, ingin minta petunjukmu lebih dulu.”
Mendadak nada suaranya berubah jadi amat sungkan.
Lelaki ceking itu agak tertegun, kemudian tanyanya, "Petunjuk
apa yang kau inginkan?"
"Sewaktu berada di tebing Yan-cu-ki, siapa yang memerintahkan
dirimu untuk menyergap aku?"
Lelaki ceking itu nampak sangat ketakutan, jeritnya tertahan,
"Kau.... kau.... apa kau bilang? Mana.... mana ada kejadian seperti
ini!"
"Bouw-kongcu, mungkin kau salah orang," kembali busu tua itu
menimbrung, "coba lihat, dia benar-benar mempunyai tanda bukti
sebagai tamu yang kalian undang.”
Ternyata dari sakunya dia telah berhasil menggeledah keluar
selembar berita duka, tentu saja tanda itu merupakan ciri khusus
dari Bu-tong-pay. Sebagai tanda undangan untuk ikut menghadiri
upacara pemakaman dari Bu-siang Cinjin.
Bouw It-yu mengambil lembaran undangan itu, lalu katanya,
"Bagus, asal kau mengaku, segera akan kubebaskan dirimu. Siapa
yang memberi surat undangan ini? Jika tidak kau jawab, jangan
salahkan kalau aku akan bertindak telengas!"


Lelaki ceking itu membuka mulutnya lebar-lebar seperti ingin
mengatakan sesuatu, tiba-tiba biji matanya membalik, tubuhnya
mengejang keras lalu tidak bergerak lagi.
Dengan perasaan terkejut buru-buru busu tua itu menariknya
bangun sambil memeriksa dengus napasnya. Tiba-tiba terdengar
seseorang berteriak keras, “Tidak boleh, tidakboleh!"
"Tidak boleh apa?" tanya busu tua itu tertegun, tapi baru selesai
bicara mendadak seperti terkena serangan jantung, badannya
mengejang keras dan ikut roboh ke tanah.
Pada saat yang bersamaan tampak seseorang berlari mendekat,
sambil berlari kembali dia berteriak, "Jangan sentuh tubuhnya, dia
terserang racun yang sangat ganas!"
Tapi sayang peringatan itu sudah menjadi peringatan yang
terlambat datangnya.
Dengan cepat orang itu menjejalkan sebutir pil ke dalam mulut
busu tua itu, ujarnya setelah mengamati berapa saat, "Untung
kedatanganku belum termasuk terlambat, meski sudah terkena
racun namun jiwanya masih tertolong. Hanya saja lelaki itu....”
Dia tidak meneruskan ucapannya dan hanya gelengkan kepala
berulang kali.
Orang lain tidak butuh penjelasannya lebih jauh, kalau si busu
tua yang baru menyentuh badan lelaki ceking itupun sudah jatuh
pingsan karena keracunan, bisa diduga lelaki itu pasti sudah
menemui ajalnya.
Dalam waktu singkat suasana jadi heboh, terdengar berapa
orang diantara mereka berteriak, "Swan-sianseng, kau sangat ahli
dalam bidang ini, racun apa yang telah bersarang ditubuh lelaki itu?
Kenapa begitu lihay?"
Ternyata orang itu bernama Swan Ji-cing, dia adalah seorang
tokoh ternama yang sangat mendalami ilmu obat-obatan.
Menyinggung soal ilmu menggunakan racun, keluarga Tong dari


Suchuan terhitung jagoan nomor satu, keluarga Bok dari Soatsay
terhitung nomor dua dan keluarga Swan dari Kamsiok terhitung jago
nomor tiga.
Swan Ji-cing adalah jagoan dari keluarga Swan di Kamsiok.
Walaupun ilmu racunnya belum bisa memadahi keluarga Tong dari
Suchuan atau keluarga Bok dari Soatsay, namun kemampuannya
memunahkan racun konon masih jauh diatas kehebatan keluarga
Bok.
Dengan seksama Swan Ji-cing memeriksa seluruh tubuh lelaki
ceking itu, biarpun dia berusaha mengendalikan ketenangannya,
namun tidak urung mimik mukanya tetap menampilkan perasaan
ngeri dan horor yang menggelayut perasaan hatinya.
"Racun.... racun ini adalah racun jahat dari Suchuan....”
Bicara sampai disitu dia berhenti sejenak dan tidak berani
melanjutkan kembali kata-katanya, jelas dia tidak cukup nyali untuk
menyebut nama keluarga Tong dari Suchuan.
Dalam pada itu sudah ada orang menebak pohon untuk
membuat sebuah tandu.
Swan Ji-cing pun mengenakan sarung tangan kulit menjangannya
kemudian mengangkat tubuh busu tua itu dan diletakkan di atas
tandu.
Tampak busu tua itu membuka sedikit mulutnya, seperti akan
mengucapkan sesuatu, namun tidak kedengaran ada suara.
"Apa yang dia katakan?" tanya Bouw It-yu kemudian.
"Tampaknya dia seperti bilang, diatas alis mata lelaki itu terdapat
sebuah lubang jarum,” Swan Ji-cing menerangkan.
Untuk mengucapkan beberapa patah kata itu, kelihatannya si
busu tua tadi telah menggunakan seluruh tenaga yang dimilikinya,
begitu selesai mengucapkan kata-kata tadi, kembali dia jatuh tidak
sadarkan diri.
Ke empat orang rekannya segera menggotong tubuh busu tua itu


ke arah istana Ci-siau-kiong.
Bouw It-yu betul-betul merasakan hatinya bergoncang keras,
dengan pandangan tajam dia mencoba memeriksa sekeliling tempat
itu, namun tidak menemukan Siang Ngo-nio yang menyamar berada
diantara kerumunan orang orang itu, setelah yakin, dia baru merasa
sedikit agak lega.
Di hati kecilnya dia tahu perbuatan itu pasti hasil karya Siang
Ngo-nio, walaupun dia tidak habis mengerti mengapa Siang Ngo-nio
harus membinasakan saksi hidup itu, namun dia tahu dengan
kecerdasan perempuan itu, dia pasti sudah kabur secara diam diam
begitu berhasil dengan serangan bokongannya.
Peristiwa ini terjadi kelewat mendadak, suasana di seputar arena
pun jadi gaduh dan ramai. Semua orang datang mengerubung,
pelbagai pembicaraan pun bergema simpang siur. Tentu saja ada
diantara mereka yang segera menegur, "Bouw-kongcu, darimana
kau bisa tahu kalau orang ini adalah mata-mata?"
Bouw It-yu tidak berbicara, tiba-tiba dia merobek pakaian sendiri
dan dipakai untuk membalut tangan kanannya, lalu dengan sekali
bacokan dia babat wajah lelaki itu.
Kalau tadinya raut muka orang itu nampak sedikit sembab
membengkak, maka begitu babatan tangan Bouw It-yu berlalu,
tahu-tahu paras muka orang tadi sudah berubah jadi rata kembali.
Anehnya ternyata tidak ada darah yang mengalir keluar, yang
dibabat keluar ternyata hanya segumpal benda yang segera hancur
lebur dan berserakan ditanah.
Rupanya lelaki itu telah menggunakan sebangsa pupur yang
dipekatkan untuk membuat pelbagai benjolan diwajahnya, meskipun
belum termasuk ilmu menyaru muka tingkat tinggi, namun boleh
dibilang sangat canggih dan hebat.
Tadi, sebetulnya ada banyak orang sudah merasa kalau raut
wajah orang ini sedikit agak 'istimewa', keistimewaan itu terletak
pada bentuk badannya yang kurus ceking namun memiliki bentuk


wajah yang gemuk dan sedikit melebar, sama sekali tidak serasi
dengan potongan tubuhnya.
Tapi kini, sesudah Bouw It-yu dengan andalkan sabetan
tangannya berhasil menampilkan raut muka aslinya, semua orang
baru sadar apa yang sesungguhnya telah terjadi.
Mi Jian-cong, seorang busu dari soat-pak segera berseru, "Jika
dilihat dari ilmu jari yang digunakan orang ini, rasanya mirip sekali
dengan ilmu pena keluarga Lian yang digubah menjadi ilmu jari, tapi
menurut apa yang kuketahui, ilmu pena dari keluarga Lian tidak
pernah diwariskan orang luar, sedang anak murid keluarga Lian pun
hampir semuanya kukenal, tapi belum pernah kujumpai orang ini.”
Dia dapat melihat asal-usul ilmu jari yang digunakan lelaki ceking
itu, terhitung pengetahuan orang ini cukup luas.
"Kalau hanya soal ini mah buat apa kau katakan kepadaku,” batin
Bouw It-yu.
Namun untuk sopan santunya tentu saja dia harus berterima
kasih untuk petunjuk yang diberikan, katanya cepat, "Kalau begitu
terpaksa dikemudian hari aku harus minta petunjuk lagi dari orang
keluarga Lian."
Mendadak terdengar ada orang berseru, “Hey, ke mana perginya
pemuda tadi? Kenapa secara tiba-tiba lenyap tidak berbekas? Bouwkongcu,
lebih baik kau cari kembali orang itu dan menanyainya. Dia
bisa bertarung melawan lelaki ini, siapa tahu dia sudah tahu asal
usulnya.”
Ternyata menggunakan kesempatan di saat semua orang sedang
heboh, secara diam-diam Seebun Yan telah melarikan diri dari situ.
Ilmu menyaru muka yang dilakukan Seebun Yan jauh lebih hebat
daripada ilmu menyamar dari lelaki ceking itu, namun ilmu pedang
yang ia gunakan tak bisa mengelabuhi ketajaman mata Bouw It-yu.
Karena dia sudah tahu kalau bocah keparat itu adalah Seebun
Yan, maka Bouw It-yu tidak segan di hadapan orang banyak lebih
membelai dirinya daripada lelaki ceking itu.


Sejujurnya dia pun sebenarnya sedang khawatir bila Seebun Yan
di bawah tekanan orang banyak melakukan keonaran lain lagi, dia
jadi merasa sangat lega setelah mengetahui gadis itu sudah tidak
berada di sana lagi.
Hanya saja, biarpun Seebun Yan telah pergi namun peristiwa ini
belum bisa disudahi sampai disitu saja.
Terdengar busu dari soatpak Mi Jian-cong kembali berkata,
"Menurut pandanganku, persoalan paling penting yang harus segera
kita lakukan sekarang adalah menemukan sang pembokong.
Memang benar yang dia bunuh adalah seorang mata-mata, tapi apa
maksudnya menghabisi nyawa orang itu untuk menghilangkan
saksi? Benar bukan perkataanku?"
Diantara para tamu yang hadir, status dia terhitung paling tua
dan dihormati, tentu saja serentak semua orang menyatakan
"benar".
Mi Jian-cong nampak semakin bangga, ujarnya lebih jauh, "Bila
dugaanku tidak meleset, karena dia ingin menghilangkan saksi,
berarti sang pembunuh pasti punya hubungan dengan penghianat
ini. Swan-sianseng, coba kau periksa, apa benar diantara alis mata
bajingan itu terdapat bekas lubang jarum kecil?"
Lubang kecil itu ditemukan busu tua tadi sewaktu menyentuh
tubuh lelaki ceking itu, gara-gara menyentuh tubuhnya dia ikut
keracunan, tapi sebelum jatuh tidak sadarkan diri dia sempat
memberitahukan penemuannya itu kepada semua orang.
Kini Mi Jian-cong kembali menyinggung soal ini, jelas maksudnya
adalah menegur Swan Ji-cing kenapa begitu ceroboh
mengesampingkan jejak penemuan penting itu. Buat orang lain
mungkin bukti itu tidak berguna, tapi Swan Ji-cing adalah keluarga
jago racun nomor tiga di kolong langit.
Darimana dia tahu kalau Swan Ji-cing memang enggan
membongkar rahasia tersebut karena masalah ini ada
keterkaitannya dengan keluarga Tong.


Waktu itu Swan Ji-cing sedang mempertimbangkan masalah itu
dalam hati, "Bila yang kuhisap keluar adalah jarum beracun dari
keluarga Tong, apakah aku harus berlagak bodoh? Atau bicara terus
terang?"
Perlu diketahui, dengan posisinya dalam dunia persilatan, bila
berlagak tak tahu, jelas tindakan tersebut sangat membuatnya
kehilangan muka, belum tentu orang lain mau percaya kepadanya.
Sebaliknya bila bicara terus terang, jelas perbuatan nya ini sama
halnya membuat masalah dengan keluarga Tong.
Padahal senjata rahasia beracun dari keluarga Tong terhitung
nomor wahid dikolong langit, sementara dia sendiri hanya
menempati urutan ke tiga, itupun dalam hal menyelidiki obat
penawar racun, tentu saja dengan posisinya ini, dia tidak akan
berani mencari gara gara dengan keluarga Tong.
Sekalipun timbul keraguan di hati kecilnya, besi semberani yang
telah dia tempelkan diatas mulut luka tetap harus diangkat juga.
Di bawah pengawasan orang banyak, dia mengangkat perlahan
besi semberani itu dari atas alis mata lelaki ceking itu.
Dalam waktu sekejap, perasaan hatinya benar benar terasa berat
sekali, jantungnya berdebar keras.
Tapi begitu diangkat, diapun segera menghembuskan napas lega.
Ternyata di atas besi semberani itu sama sekali tidak terhisap
benda apa pun, meski sebatang jarum sangat halus dan lembut,
namun setiap orang masih dapat melihatnya dengan jelas.
"Aneh,” seru Swan Ji-cing sambil menghembuskan napas lega,
"kenapa tidak ada yang terhisap keluar?"
"Jangan-jangan luka itu bukan karena tertembus jarum
melainkan terluka kena kuku bocah tadi sewaktu bertarung,”
terdengar seseorang berseru.
Seebun Yan memang memelihara kuku panjang, dan melukai
orang dengan kuku mesti merupakan kejadian langka namun bukan


berarti tidak mungkin terjadi.
Gagal menghisap keluar sesuatu, Swan Ji-cing sendiripun merasa
keheranan, pikirnya, Aneh, permainan busuk dari siapa lagi?'
Dia mencoba memperhatikan keadaan disekeliling nya, tampak
semua yang hadir sedang ramai membicara kan kejadian itu, hanya
Bouw It-yu seorang yang berdiri sambil menyunggingkan sekulum
senyuman dingin.
Dalam waktu singkat dia segera memahami keadaan yang
sebenarnya, hanya saja dia menyangka Bouw It-yu pun berdiam diri
karena takut menghadapi keluarga Tong dari Suchuan, tentu saja
dia tidak menyangka kalau Bouw It-yu sedang berusaha melindungi
si Lebah hijau Siang Ngo-nio.
Lalu dengan cara apa dia menghisap keluar jarum beracun itu?
Ternyata ketika Bouw It-yu menggunakan golok tangannya
merobek penyamaran wajah lelaki ceking itu, secara diam-diam dia
telah mengerahkan tenaga dalamnya dan menghisap keluar jarum
Lebah hijau yang menancap di alis mata lelaki itu bahkan segera
memusnahkannya.
Walau begitu bukan berarti tidak ada orang yang menaruh
curiga. Sejak awal Put-hui Suthay sudah curiga akan jarum Lebah
hijau milik Siang Ngo-nio.
Dia adalah salah satu korban yang pernah merasakan hebatnya
racun jahat dari jarum lebah hijau, begitu mendengar kalau kening
penghianat itu ditemukan lubang jarum, perasaan curiganya
langsung saja muncul.
Put-hui Suthay adalah seorang wanita yang dengan tegas
membedakan mana budi dan mana dendam, selain sifat kerasnya
dia pun tinggi hati. Begitu timbul rasa curiganya maka tanpa berpikir
panjang lagi dia melompat keluar dari tempatnya berdiri.
"Aku akan memeriksanya sendiri, kau tunggu aku disini.”
"Suhu, bagaimana kalau aku pulang dulu?"


Ternyata baru kemarin Lan Sui-leng tiba dirumah, karena saat
tiba hari sudah gelap maka dia tinggal di tokoan tempat tinggal
gurunya dan hingga kini belum pulang ke rumah.
Saat itu konsentrasi Put-hui Suthay hanya ingin melakukan
pelacakan yang jelas, bahkan setelah memeriksanya diapun tahu
kalau persoalan tidak akan beres dalam waktu singkat (andaikata
terbukti memang Siang Ngo-nio yang melakukannya).
Maka begitu muridnya minta ijin untuk pulang ke rumah
menjumpai orang tuanya lebih dulu, maka diapun segera
mengiyakan.
"Baiklah, tapi kalau pulang sendirian harus berhati-hati.”
Untuk menghindar agar tidak sampai bertemu dengan ayah
angkat adiknya, Put-ji Tojin, Lan Sui-leng sengaja memilih jalan di
bawah bukit.
Puncak Ci-siau-hong saling berhubungan dengan puncak Tian-kihong,
kedua puncak bukit itu berdiri berjajar, kalau istana Ci-siaukiong
dibangun di atas puncak Ci-siau-hong maka puncak Tian-kihong
ibarat sebuah penahan angin bagi istana Ci-siau-kiong.
Bukit ini berbatu hitam bagai baja, bentuknya seperti sebuah
panji besar yang berkibar terhembus angin, karena bentuknya inilah
nama puncak Tian-ki-hong diperoleh.
Bila ditinjau dari bentuk medannya maka tebing ini jauh lebih
curam dan berbahaya ketimbang puncak Ci-siau-hong, itulah
sebabnya jarang sekali ada orang yang melalui tempat itu.
Lan Sui-leng sengaja memilih jalan perbukitan ini, dia berputar
dari sisi selatan istana Ci-siau-kiong lalu turun dari puncak sebelah
utama puncak Tian-ki-hong.
Sepanjang perjalanan tampak air jeram mengalir diantara
bebatuan yang curam, pemandangan alam sangat indah dan
tenang.
Namun perasaan hati Lan Sui-leng justru naik turun bagai


terombang ambing di tengah samudra luas, sulit rasanya untuk
menjadi tenang kembali.
Sementara dia masih menelusuri jalan bukit yang berliku-liku
itulah, mendadak terdengar suara seseorang menegurnya dengan
merdu, "Adik Leng, kau tidak menyangka bakal bertemu aku disini
bukan? Aku sudah cukup lama menanti kedatanganmu.”
Orang yang muncul dihadapannya tidak lain adalah 'bocah
keparat' tadi.
Walaupun 'bocah keparat' ini belum muncul dengan wajah
aslinya, namun nada ucapannya sudah pulih kembali sebagai suara
wanita.
Dia memang tidak salah melihat, ternyata orang ini memang
Seebun Yan. Bahkan seperti apa yang dikatakan Seebun Yan, dia
pun seakan sudah menduga kalau dia bakal melalui jalan bukit ini.
Setelah berhasil mengendalikan diri, Lan Sui-leng segera
menegur, "Mau apa kau datang ke gunung Bu-tong?"
"Datang mencarimu!"
"Kau jangan mengajakku bergurau. Kalau ingin bergurau dengan
diriku saja tidak mengapa, tapi aku harus memberitahu kepadamu,
berada di gunung Bu-tong, kau tidak boleh membuat keonaran
sekehendak hatimu sendiri, kalau sampai terjadi sesuatu, keadaan
bisa berabe....”
Seebun Yan segera tertawa terkekeh, tukasnya, "Aku telah
membuat keonaran, toh paling juga begitu. Namun denganmu....
aku tidak ingin bergurau, siapa suruh kau menolak pulang ke
rumahku, jadi terpaksa aku datang mencarimu.”
"Aaaai.... aku benar-benar kehabisan akal menghadapi orang
macam kau, sebenarnya apa mau mu?"
"Masa baru saja bertemu, kau sudah ingin mengusirku? Bicaralah
barang satu dua patah kata.”
"Baik, kalau ingin mengucapkan sesuatu, katakan!"


"Apakah adikmu telah kembali?"
"Aku pun sedang mengharapkan dia kembali. Eei.... apakah
kaupun sedang mencarinya?"
"Ooh, jadi dia belum pulang kemari? Bila tidak terjadi sesuatu
yang diluar dugaan, paling lambat sebelum tengah hari lusa, dia
seharusnya sudah tiba disini.”
"Darimana kau tahu?"
"Nanti saja baru kubicarakan soal ini. Percaya tidak, aku benarbenar
sedang mencari dia.”
Selama ini Seebun Yan sangat gemar bicara sambil bergurau,
tapi sewaktu mengucapkan perkataan barusan, dia justru nampak
serius dan bersungguh sungguh. Tidak perlu diselidiki lebih jauh
pun, Lan Sui-leng yang polos dapat melihatnya juga.
Seakan memahami akan sesuatu Lan Sui-leng segera berseru
sambil tertawa, “Aaah.... mengerti aku.”
“Mengerti apa?"
"Kalau dibilang mencari aku, jelas bohong. Dibilang mau mencari
adikku pun bohong. Orang yang sebetulnya sedang kau cari adalah
Piauko mu!"
Seebun Yan tidak mengaku, pun tidak menyang-kal, hanya
ujarnya sambil tertawa, "Sejak kapan kau belajar menebak jalan
pikiran orang?"
"Aku bukan sedang menbak, tapi mendengar dengan telinga ku
sendiri.”
""Mendengar?" tanya Seebun Yan tertegun.
"Bukan hanya mendengar, malah telah melihatnya. Waktu itu kau
memaksa aku untuk pulang bersama mu, kemudian Bouw It-yu
muncul membelai aku. Saat itu meski aku sudah menyingkir tapi
semua pembicara-anmu masih sempat kudengar dari sisi bukit.
Waktu itu Bouw It-yu berkata begini kepadamu, bila kau sedang


mencari Tonghong Liang, sudah seharusnya ikut bersamanya pergi
Liauw-tong. Waktu itu kau bertanya kepadanya, darimana bisa tahu
kalau Tonghong Liang sedang menuju Liauw-tong, dia bilang,
diapun tidak mengetahui berita tentang Tonghong Liang, tapi tahu
kalau adikku sedang menuju Liauw-tong. Dia bilang, dimana adikku
muncul, kemungkinan besar Tonghong Liang akan segera
menyusulnya. Aku tidak salah mendengar bukan?"
"Memang tidak salah mendengar.”
"Pada mulanya kau ribut dengan Bouw It-yu, tapi kemudian
setelah mendengar ucapannya, kau pun mengikutinya pergi tanpa
membantah. Aku tidak salah melihatbukan?"
Kontan saja Seebun Yan berteriak gusar, "Bagus sekali, dasar
setan cilik, kusangka kau adalah seorang nona yang jujur, ternyata
pintar sekali mencuri dengar pembicaraan orang secara diam-diam.”
"Aku bukannya berniat mencuri dengar semua pembicaraan
kalian, tapi enci Yan, kau jangan percaya dengan permainan lain
dari Bouw It-yu.”
"Perkataan lain apa?"
"Aku memang tidak mendengar apa yang dia katakan kepadamu,
tapi aku dapat menduganya, apakah perkataan lain yang telah dia
sampaikan kepadamu.”
Seebun Yan memang cerdas dan berotak encer, sekali dengar dia
segera mengerti, tanpa terasa ujarnya sambil menghela napas
panjang, "Rasa curiga Siau-susiok mu memang sedikit agak besar,
tapi aku sama seperti pandanganmu, tidak percaya kalau Tonghong
Liang bersahabat dengan adikmu hanya gara-gara ingin mencuri
belajar ilmu pedang dari Bu-tong-pay.”
"Terima kasih banyak.”
"Eeei, aku percaya Piauko ku bukan orang jahat, kenapa kau
malah berterima kasih kepadaku,” seru Seebun Yan sambil senyum
tidak senyum.


Merah jengah selembar wajah Lan Sui-leng.
"Kemana kau bawa perkataanmu itu, aku kan demi adikku....”
serunya.
"Jangan tegang!" seru Seebun Yan kemudian sambil tertawa,
"aku hanya menggodamu. Terus terang, pada mulanya aku
memang sedikit agak cemburu ketika melihat Piauko bersikap baik
sekali kepadamu, tapi kini aku baru tahu, ternyata Piauko ku
mencintai rumah berikut seisinya, karena adikmu adalah sahabat
karibnya, tentu saja diapun harus melindungimu, bahkan bukan
cuma begitu, aku malah tahu juga kalau kau sudah mempunyai
kekasih hati, kalau sudah jadi begini, masih ada alasan apa lagi
bagiku untuk minum cuka mu?"
Perkataan itu disampaikan dengan begitu terus terang dan blakblakan,
membuat paras muka Lan Sui-leng berubah jadi merah
padam bagai kepiting rebus, serunya jengkel, "Kau lagi-lagi ngaco
belo, darimana datangnya kekasih hati?"
Seebun Yan tertawa tergelak.
"Ooh, mungkin aku harus memutar balik kata kataku, betul, dia
memang bukan kekasih hatimu, kaulah kekasih hatinya. Hey,
apakah lantaran terhalang oleh perbedaan status, maka kau jadi
sangsi dan ragu? Padahal....”
"Sudah, jangan banyak bicara lagi, kau cepat pergi!" tukas Lan
Sui-leng dengan perasaan tidak tenang.
"Baik, tolong kau menghantarku.”
"Apa? Kau minta aku menghantarmu turun gunung?"
"Siapa bilang aku minta kau menghantarku turun gunung? Aku
mau bertanya, kau hendak ke mana?"
"Ke mana lagi aku akan pergi, tentu saja pulang ke rumahku.”
"Tepat sekali, aku pun akan ikut pulang ke rumahmu!"
"Kau ini serius atau sedang bergurau?" tanya Lan Sui-leng


terkesiap.
"Tentu saja serius.”
"Mana boleh begitu?" teriak Lan Sui-leng semakin terperanjat.
"Kenapa tidak boleh? Takut ada orang melihat kau mengajak
pulang seorang laki-laki hingga timbul isu dan gosip tidak sedap di
belakangmu? Padahal bukan masalah, asal setiba dirumahmu aku
tampil kembali dengan wajah asliku, bukankah semua jadi beres?
Asal orang tuamu mengerti, perduli amat dengan segala gosip dan
isu. Lagipula jalanan ini sepi dan terpencil, belum tentu dalam
perjalanan nanti kita kepergok orang lain.”
Lan Sui-leng benar-benar dibuat tertawa tidak bisa menangis pun
tidak dapat, sambil menghentakkan kakinya berulang kali dia
berseru, "Seharusnya kau memahami maksudku, bukan begitu yang
kuartikan!"
"Kau takut ayah ibuku tidak suka hati?"
"Aku takut kau akan membuat bencana bila tetap berada diatas
gunung!"
"Kau takut aku membuat bencana? Berarti semakin wajib
menerimaku dirumahmu, kalau tidak, kau suruh aku mencari tempat
di mana?"
Akhirnya Lan Sui-leng menghela napas panjang, keluhnya, "Kau
benar-benar seorang nona yang susah dilayani, jadi kau tetap
bersikukuh baru akan pergi setelah bertemu Piaukomu? Percayalah,
perkataan Bouw It-yu tidak bisa dipegang, jangan lagi adikku belum
kembali, sekalipun dia sudah kembali, belum tentu Tonghong toako
akan mengikutinya datang kemari, "Kalau begitu, paling tidak aku
baru akan pergi setelah bertemu adikmu bukan. Begini saja, dua
hari, masa kau tega membiarkan aku hidup bergelandangan? Masa
kau tidak sudi menerimaku tinggal di rumahmu? Adikku, kaupun
sudah hampir sebulan berdiam di rumahku, sekarang aku mohon
hanya tinggal selama dua hari saja di rumahmu!"
Lan Sui-leng dibuat kelabakan dan tidak tahu apa yang harus


dilakukan, pikirnya, 'Waktu itu aku bisa tinggal dirumahmu karena
kau yang paksa aku, menculik diriku, toh bukan keinginanku secara
sukarela.'
Sekalipun dia dipaksa dan diculik, namun selama tinggal dirumah
Seebun Yan sebulan lamanya, banyak menfaat yang berhasil
diraihnya, sebab itulah dia merasa kurang leluasa untuk bicara
secara terus terang.
"Enci Yan, bukan aku tidak menyambut kedatanganmu dengan
suka cita, bila dihari hari biasa, aku pasti akan menerima mu dengan
penuh kegembiraan.”
"Oooh, jadi kau takut kehadiranku menyulitkan kau? Keliru besar,
walaupun aku telah membuat keonaran tadi, tapi hal itu merupakan
bagianku membantu Bouw It-yu untuk membongkar kasus
penyusup, dalam kejadian itu, biar ayahnya, Ciangbunjin perguruanmu
sekarang tahu siapa diriku, aku yakin dia tidak bakalan
menyalahkan dirimu. Aku berjanji tidak akan melakukan keonaran
lagi, masa kau masih takut terseret karena ulahku?"
Lan Sui-leng tahu kalau dia tidak bakal bisa memenangkan debat
melawan gadis itu, lagipula dasar jiwanya baik dan mulia, terpaksa
katanya setelah menghela napas, "Aku bukannya takut terseret oleh
perbuatanmu, aku hanya memikirkan keselamatanmu.”
"Aku hanya ingin bertanya, kau setuju tidak?" tukas Seebun Yan
cepat.
"Aaaai.... kau benar-benar musuh bebuyutanku, baiklah,
sekalipun aku tidak berani menaikkan derajatku dengan
menganggap kau sebagai saudara angkatku, dalam kesopanan aku
memang wajib....”
"Bagus sekali,” kembali Seebun Yan menukas kegirangan, "asal
tahu soal tata kesopanan, kau tidak perlu melanjutkan lagi
perkataanmu. Adikku sayang, padahal aku masih ada banyak
persoalan yang ingin dibicarakan denganmu, selama aku tinggal
dirumahmu, kujamin ayah ibumu pasti ikut gembira. Inginkah kau
tahu....”


"Bila kau senang untuk membicarakan, katakan saja!"
"Dan kau?"
"Biar aku tidak suka mendengar pun terpaksa harus
kudengarkan!"
Mendengar itu Seebun Yan tertawa terbahak-bahak.
"Hey, apa yang lucu?" tegur Lan Sui-leng.
"Tepat sekali, sesuai dengan watakku, biar kau tak ingin
mendengarpuri aku tetap akan mengucapkannya. Kita baru
berkumpul satu bulanan tapi begitu cepat kau bisa menyelami
watakku, sungguh sebuah prestasi yang luar biasa. Tapi apa yang
ingin kukatakan kali ini, tanggung kau pasti ingin mendengarnya!"
"Sudah, tidak usah jual mahal lagi. Kalau ingin bicara cepatlah
bicara, kalau ingin.... ingin....”
Tiba-tiba dia ingat, ucapan "kalau ingin kentut cepat dilepaskan"
tidak patut diucapkan seorang gadis remaja, kontan saja dengan
wajah merah padam dia mengulang kembali kata pertama.
Ternyata Seebun Yan tidak menanggapi serius, katanya sambil
tertawa, "Kau tidak usah memujiku, yang ingin kubicarakan adalah
masalah serius, bukankah kau ingin tahu kabar berita tentang
adikmu? Nah, aku beritahu, bukan saja sewaktu di Liauw-tong aku
telah bersua dengannya, bahkan dia pernah menyelamatkan
nyawaku?"
"Sungguh?"
"Tapi kisah ini memang panjang untuk diceritakan, entar malam
kalau kita sedang tidur bersama saja, akan kuceritakan semuanya.”
Biarpun jalan perbukitan itu sangat suci, namun Lan Sui-leng
masih tetap merasa tidak lega hati, katanya kemudian, "Baiklah, aku
justru takut kau tidak bisa membungkam mulutmu dan berbicara
tidak hentinya, kalau sampai kedengaran orang maka identitasmu
segera akan ketahuan orang. Kalau masih ingin membicarakan
sesuatu, memang lebih baik dilanjutkan di rumah saja.”


Namun biarpun Seebun Yan tidak berbicara lagi, setelah berjalan
beberapa saat tidak tahan dia mulai tertawa, rupanya dia terbayang
kembali keadaan ketika Lan Giok-keng menolongnya setelah dia
terkena asap beracun dari Siang Ngo-nio ketika berada ditanah
perbukitan dekat kota Uh-sah-tin.
Sesudah berhasil memukul mundur Siang Ngo-nio, Lan Giok-keng
membopongnya masuk ke dalam gua, kemudian menggunakan pil
Bi-leng-wan yang terbuat dari teratai salju asal gunung Thian-san
untuk menyelamatkan jiwanya.
"Aku pura-pura tidak sadarkan diri, mendadak dia membuka
suara dan mengajaknya bicara, dia tersipu sipu malu hingga muka
dan telinganya jadi merah.
Hehehehe.... entah hingga sekarang dia masih tersipu malu atau
tidak? Tapi aku tidak tahan ingin sekali menggodanya lagi.”
Kemudian dia berpikir lagi, "Bila waktu itu Piauko yang
membopongku, entah bagaimana pula reaksiku?"
Berpikir sampai disitu, tidak tahan senyumannya kembali hilang,
dia mulai murung dan termenung.
"Kau sinting atau edan?" tegur Lan Sui-leng cepat, "sebentar
tertawa, sebentar murung.... otaknya mulai tidak beres!"
Sekalipun dia sangat memahami watak Seebun Yan namun tidak
menyadari kalau gadis itu sedang dilanda asmara.
Ooo)*(ooO
"Coba bawa kemari, apa benar jarum Lebah hijau?" begitu tiba di
tengah pelataran, Put-hui Suthay langsung menegur Bouw It-yu.
"Darimana datangnya jarum Lebah hijau?" jawab Bouw It-yu,
"jarum bwee-hoa-ciam yang biasa pun tidak terlihat. Bisa jadi luka
kecil dialis matanya disebabkan luka terkena kuku tangan.”
"Sungguh?"
"Benar,” Swan Ji-cing berkata pula, "aku telah mencoba untuk


menghisapnya dengan batu semberani, namun tidak ada benda
yang berhasil kuhisap.”
Put-hui Suthay segera menghampiri jenasah itu dan
memeriksanya sekejap dengan seksama, kemudian serunya, "Aaah,
tidak benar! Aku pernah terluka oleh jarum Lebah hijau dan tahu
bagaimana bentuk keadaannya. Lubang jarum itu sudah pasti bukan
akibat luka karena kuku tangan!"
Sementara berbicara, matanya dialihkan ke wajah Bouw It-yu.
"Tapi Swan-sianseng telah mencobanya,” kata Bouw It-yu,
"andaikata memang ada jarum beracunnya, jarum itu pasti sudah
terhisap keluar oleh batu semberani. Apakah kau ingin mencobanya
sekali lagi?"
Dengan perasaan setengah percaya setengah tidak kata Put-hui
Suthay, "Mungkin saja jarum beracun itu telah menyusup lebih
dalam sampai di tulang, jadi susah dihisap keluar. Tapi bagaimana
pun juga, duduknya persoalan harus diselidiki sampai tuntas!"
Sewaktu mengucapkan perkataan itu, kata "duduk nya
persoalan" sengaja dipertegas.
"Soal ini....”
"Apakah kau masih sangsi akan sesuatu?" tanya Put-hui Suthay
sambil menatap tajam wajahnya.
"Tidak ada yang perlu disangsikan, tapi seandainya benar seperti
yang kau katakan, bila ingin menyelidiki hingga tuntas, mungkin
terpaksa kita harus membelah batok kepalanya, soal ini....”
Mendadak terdengar seseorang berkata, "Perbuatan kejam
semacam ini tidak pantas dilaku kan orang beribadah macam kita.”
Ternyata yang berbicara adalah seorang tosu, dia tidak lain
adalah murid pertama Bu-kek Totiang yang bergelar Put-po.
Sejak Bu-siang Cinjin meninggal dunia, sudah ada dua orang dari
angkatan "Put" yang diangkat menjadi tianglo, yang seorang adalah
Put-ji sementara yang lain adalah dia.


Ketika terjadi kegaduhan di pelataran tadi, kebetulan dia sedang
berjalan keluar dari istana Ci-siau-kiong.
"Perkataan Toa-suheng tepat sekali,” Bouw It-yu segera berkata,
"walaupun orang ini adalah bajingan tengik yang pernah ingin
mencelakaiku, namun aku tetap merasa tidak pantas merusak
jenasahnya dengan cara yang begitu keji. Lagipula setelah kita
belah tengkorak kepalanya pun belum tentu bisa menemukan
sebatang jarum beracun. Masa kita harus membelah setiap tulang
tengkoraknya satu per satu....”
Belum selesai perkataan itu diucapkan, tiba-tiba terdengar ada
tiga orang hampir pada saat yang bersamaan berteriak,
"Tidakbenar!"
"Rasanya tidak benar!"
"Eeei, kelihatannya memang tidak benar.”
Yang mengatakan "tidak benar" adalah Swan Ji-cing, yang
mengatakan "rasanya tidak benar" adalah Put-po tianglo, sedang
yang menjerit terakhir adalah Put-hui Suthay.
Ternyata paras muka mayat itu lambat laun mulai diselimuti
selapis warna hitam pekat, menanti semua orang datang
mengerubung, seluruh wajah mayat itu telah berubah jadi hitam
pekat bagaikan tinta bak.
"Seandainya terkena jarum Lebah hijau, seharusnya wajah maya
t ini dilapiri warna hijau,” ujar Swan Ji-cing.
Put-hui Suthay termasuk korban yang pernah merasakan
kelihayan jarum beracun itu, ketika tubuhnya terkena jarum Lebah
hijau, lapisan hawa hijau yang menyelimuti wajahnya bertengger
hampir belasan hari lamanya sebelum hilang lenyap. Karena itu dia
tidak bisa berkata-kata lagi setelah melihat keadaan tersebut.
"Sungguh tidak kusangka dalam situasi seperti ini orang she-
Swan itu telah membantuku,” pikir Bouw It-yu.
Dia sangka Swan Ji-cing telah melakukan sesuatu untuk


membantu dirinya, tidak terlukis rasa terima kasihnya terhadap
orang ini. Padahal darimana dia tahu kalau perasaan sangsi dan
curiga yang dialami Swan Ji-cing waktu itu jauh melebihi dirinya.
Sudah jelas penyebab terjadinya perubahan warna pada wajah
jenasah itu dikarenakan terkena racun, bahkan sifat racunnya jauh
lebih hebat daripada racun jarum Lebah hijau, oleh karena kadar
racunnya yang kuat maka dari warna hijaunya berubah jadi hitam.
Yang membuat Swan Ji-cing curiga bercampur kaget adalah
bukan saja bukan dia yang meracuni jenasah itu, bahkan jenis racun
apa yang digunakan pun tidak terdeteksi olehnya.
Ada satu hal lagi yang membuat hatinya tercekat, di bawah
penglihatan begitu banyak orang, ternyata orang itu dapat meracuni
mayat itu tanpa diketahui siapa pun, termasuk dia sendiri. Jelas
kecepatan orang itu melancarkan serangan jauh melebihi
kemampuan siapa pun.
Swan Ji-cing sendiri adalah seorang tokoh yang jago dalam
melepaskan racun, justru karena dia ter-masuk seorang jagoan
maka rasa kaget dan ngeri yang dialaminya jauh melebihi siapa pun.
"Perbuatan siapakah ini? Jangan-jangan....”
Belum habis ingatan itu melintas, mendadak terdengar Put-po
membentak nyaring, "Siapa kau?"
Di tengah bentakan nyaring, tubuhnya langsung menerjang ke
arah seorang tamu berwajah kurus tapi tampan. Bersamaan waktu
Put-hui Suthay ikut pula menyergap ke depan sambil membentak,
"Bajingan laknat, tunjukkan wujud aslimu!"
Gerakan tubuh ke tiga orang itu dilakukan dengan kecepatan luar
biasa, dalam waktu singkat tamu asing itu sudah berada diatas
batuan di samping puncak Tian-ki-hong, jaraknya dari pelataran itu
sudah mencapai ratusan langkah.
Put-hui Suthay yang pertama-tama berhasil menyusulnya, ujung
senjata hudtimnya segera digetarkan, bulu lembut berawarna putih
itu langsung mengurung wajah orang itu.


Di susul kemudian tusukan pedang dari Put-po mengancam
punggungnya.
Selisih mereka berdua hanya setengah langkah, tapi berhubung
pedang Put-po jauh lebih panjang daripada senjata hudtim Put-hui
Suthay, karena itu meski menyerang belakangan namun senjatanya
tiba duluan, tampaknya ujung pedang itu segera akan menusuk ke
tubuh orang tadi.
Berhubung gerakan tubuh tamu asing itu kelewat cepat, banyak
orang tidak sempat melihat jelas raut wajahnya. Namun Bouw It-yu
dapat melihat dengan jelas sekali, dengan ketajaman matanya,
dalam sekilas pandang dia sudah tahu kalau orang itu mengenakan
topeng kulit manusia, tubuh serta wajahnya pun telah melalui
penyamaran yang teliti dan seksama.
Siang Ngo-nio yang kemarin naik gunung bersama nya
menyamar sebagai seorang lelaki, dan kini meski tamu ini bukan
tampil dengan wajah seperti penyaruan Siang Ngo-nio kemarin,
namun perawakan tubuhnya boleh dibilang tidak jauh berbeda.
Bouw It-yu sendiri meski tidak sempat melihat jelas raut muka
orang itu, namun dalam waktu sekejap, jantungnya terasa berdebar
sangat keras. Dia kuatir sekali kalau tamu ini tidak lain adalah
'jelmaan' dari Siang Ngo-nio.
Put-po serta Put-hui Suthay sama halnya seperti Bouw It-yu,
mereka pun sudah tahu kalau tamu itu mengenakan topeng kulit
manusia dan muncul dengan penyamaran, karena itu meski timbul
kecurigaan diliati kecilnya, namun mereka tidak berani terlalu yakin.
Kalau Put-po curiga orang itu adalah Tonghong Liang maka Puthui
Suthay mencurigai orang itu sebagai si lebah hijau Siang Ngonio.
Sebagaimana diketahui, Put-hui Suthay sangat mahir dalam ilmu
meringankan tubuh, terdorong oleh rasa curiganya, maka dengan
mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya dia melakukan
pengejaran, dalam jarak yang sangat pendek ini, dia justru tiba
setengah langkah lebih cepat daripada Put-po.


Diantara murid wanita Bu-tong-pay, ilmu silatnya memang
menempati posisi paling atas. Jurus Jian-si-ban-lu (seribu bulu
selaksa serat) yang dia gunakan ini merupakan sebuah jurus yang
digubah dari gerakan Luan-po-hong (angin puyuh liar) dalam ilmu
pedang Lian-huan-toh-beng-kiam-hoat, bila orang itu sampai
terkurung oleh senjata hudtimnya, niscaya seluruh kulit mukanya
ayang tercabik-cabik hingga hancur.
Put-po sendiri adalah salah satu diantara tiga jago pedang dari
Bu-tong-pay, tusukan pedangnya benar benar sangat lihay, asal
tenaga dalamnya dipancarkan lewat ujung pedang itu, niscaya
punggung orang tersebut akan tertembusi oleh tusukan pedang
mautnya.
Jantung Bouw It-yu nyaris melompat keluar dari mulutnya karena
kaget, tapi dalam waktu yang relatif singkat itulah kembali terjadi
perubahan yang sama sekali diluar dugaan siapa pun.
Tiba-tiba orang itu membalikkan tubuh sambil meniup kencang,
tiupan itu begitu kuatnya hingga bulu senjata hudtim yang hampir
mengenai wajahnya segera buyar ke empat penjuru.
Di saat menghembuskan tiupannya tadi, orang itu menyentilkan
juga tangannya....”Criiiing!" terdengar suara dentingan nyaring,
pedang yang hampir menembusi punggungnya itu ikut terpental ke
samping.
Sentilan ini sangat cepat dan tepat waktu, boleh dibilang benarbenar
luar biasa.
Put-hui maupun Put-po adalah jagoan tangguh dari murid
angkatan kedua dalam Bu-tong-pay, khususnya Put-po, bukan saja
ilmu pedangnya hebat, tenaga dalam yang dimiliki pun cukup
tangguh. Namun dalam kenyataan kedua orang jago Bu-tong ini
tidak sanggup menghadapi tiupan serta sentilan tangan orang itu.
Yang lebih hebat lagi, ternyata langkah kaki Put-hui Suthay jadi
gontai dan tidak sanggup berdiri tegak, dengan sempoyongan dia
mundur sampai sejauh tujuh-delapan langkah lebih sebelum berdiri
tegak.


Put-po sendiri walaupun tidak sampai tergetar mundur, namun
tubuhnya terlihat gontai, disusul kemudian....” Traaang!" pedangnya
sudah terlepas dari genggaman.
Dalam terperanjatnya semua orang berlarian maju untuk
memberi pertolongan. Tapi entah mengapa, beberapa orang yang
lari paling depan mendadak merasakan tubuhnya linu dan kaku,
sepasang kaki seolah tidak mau menuruti perintah lagi
dan....”Bluuuk.”
"Blukkk!" secara beruntun mereka jatuh terjerembab ke tanah.
Orang-orang yang berada di belakang serentak menjerit kaget
dan tanpa sadar sama-sama menghentikan larinya, dalam waktu
singkat tamu asing itupun lenyap entah ke mana.
Swan Ji-cing tahu bahwa musuhnya adalah seorang jago
tangguh, maka ujarnya, "Kali ini kita tidak bakal salah lihat lagi,
racun yang barusan disebar orang itu adalah bubuk pelunak tulang,
bila bubuk itu dicampurkan ke dalam air teh, paling tidak sang
korban baru akan pulih kembali tenaganya setelah tiga hari
kemudian, tapi kalau asap itu hanya terhisap karena terbawa angin,
kondisi tubuhnya tidak akan terganggu, asal istirahat setengah jam
saja keadaannya akan pulih kembali.”
Dalam pada itu Put-hui Suthay pun ikut berjalan mendekat,
hampir bersamaan waktu dengan Put-po, serunya, "Bukan!"
"Apanya yang bukan?"
"Bukan perempuan siluman itu. Meski cara menyebar racun yang
dilakukan orang ini masih diatas kemampuan wanita siluman itu,
namun sepak terjangnya tidak seganas perempuan siluman itu.”
"Dia bukan Tonghong Liang, Tonghong Liang tidak memiliki
tenaga dalam sehebat ini,” ucapan Put-po jauh lebih singkat.
Lalu siapakah orang itu? Bouw It-yu serta beberapa orang itu
segera dapat menebak, hanya saja tidak seorang pun berani
menyinggung nama orang itu.


"Baguslah kalau bukan perempuan siluman itu,” ujar Bouw It-yu
kemudian sambil menghembuskan napas lega.
"Hmm, tapi orang ini jauh lebih susah dihadapi ketimbang wanita
siluman itu,” dengus Put-hui Suthay. Put-po tertawa getir, katanya,
"Perduli siapa pun orang ini, yang pasti dia telah mengampuni jiwa
kita semua, coba dia sedikit lebih telengas, mungkin badan kita pun
sudah ikut hancur berantakan.”
Apa yang dia katakan memang tidak salah, tenaga dalam yang
dimiliki orang itu benar-benar sangat hebat, saat itu mereka sedang
bertarung di atas tebing batu, seandainya menggunakan
kesempatan disaat dia sedang menghisap asap bubuk pelemas
tulang itu dia mendorongkan tangannya dengan tenaga dalam,
berada dalam kondisi lemas, mana mungkin dia mampu
melawannya?
"Menurut pendapatku, lebih baik kita tidak usah mencari tahu
siapakah orang itu!" usul Bouw It-yu.
"Kenapa begitu?" tanya Put-hui Suthay.
"Suci, bila apa yang kau curigai merupakan kenyataan,
kemunculan orang ini justru telah membantu Bu-tong-pay kita
melenyapkan seorang penyclinap.”
Walaupun dia tidak menerangkan secara jelas, namun Put-hui
Suthay maupun Put-po memahami maksudnya. Orang itu tidak
sampai turun tangan jahat tentu saja karena dia tidak ingin
mengikat tali permusuhan dengan Bu-tong-pay. Oleh sebab itu bila
Siang Ngo-nio benar-benar seperti apa yang dicurigai Put-hui
Suthay, telah datang ke gunung Bu-tong, maka kehadiran orang itu
besar kemungkinan adalah bermaksud mencari Siang Ngo-nio untuk
diajak pulang.
"Aku dengar murid tidak resmi mu telah kembali?" kembali Bouw
It-yu bertanya.
"Sebetulnya Sui-leng sudah mengikuti aku sampai disini, tapi
berhubung telah terjadi peristiwa disini, maka kusuruh dia pulang


dulu. Eei.... beritamu sungguh cepat, sampai urusan sekecil inipun
mendapat perhatian mu.”
Bouw It-yu hanya tertawa tanpa menanggapi perkataan itu,
ucapnya, "Baiklah, sekarang kita harus segera kembali ke ruang Cisiau-
kiong.”
Ooo)*(ooO
Lan Sui-leng merasa kehabisan daya, terpaksa dia mengajak
Seebun Yan pulang ke rumah.
Orang tuanya jadi terperangah bila melihat dia pulang dengan
mengajak seorang 'pria' asing. Namun perasaan kaget itu segera
berubah jadi gembira setelah dia memberikan penjelasan.
"Nona,” ujar Lan Kau-san, "tinggallah disini dengan perasaan
lega. Di tempat ku ini, kecuali Put-ji Totiang yang terkadang datang
mampir, para tosu lainnya tidak bakalan akan datang kemari. Hanya
saja....”
"Hanya saja kenapa?" tanya Seebun Yan.
"Aku berharap kau berganti dengan dandanan wanita saja, sebab
aku masih mempunyai banyak teman menanam sayur yang sering
mampir kemari, aku khawatir....”
"Aku mengerti,” tukas Seebun Yan sambil tertawa, "mana ada
seorang pria asing tidur sekamar dengan putrimu?"
"Sudah, jangan bergurau lagi,” tukas Lan Sui-leng, "mari kita
bicara secara serius. Rumah kami dibangun menyendiri di sudut
bukit, di sekitar sini tidak ada rumah penduduk lain. Tapi bukan
berarti tidak ada petani yang bakal mampir kemari, meski jarangjarang.
Aku hanya berharap kau tinggallah disini tenang alim,
jangan sembarangan pergi.”
"Aku tahu. Begitu bertemu adikmu, aku segera akan pergi.”
Orang tua Lan Sui-leng yang mendengar perkata-an itu segera
saling berpandangan sambil tersenyum, mereka seperti ingin
mengucapkan sesuatu namun tidak berani.


Seebun Yan tahu kalau mereka pasti salah paham, namun diapun
tidak banyak membantah.
Malam itu mereka tidur seranjang dan bercerita sepanjang
malam, secara ringkas Seebun Yan mengisahkan bagaimana dia
bertemu Lan Giok-keng di Liauw-tong. Mendengar cerita itu Lan Suileng
merasa gembira bercampur terkejut.
"Aaah, betulkah ilmu pedangnya berhasil dilatih hingga selihay
itu?"
"Bukan saja ilmu pedangnya hebat, kesempurnaan tenaga
dalamnya pun sudah jauh lebih maju daripada kemampuanku.
Ketika aku terserang bubuk pemabok dari Siang Ngo-nio, dialah
yang berhasil mengusir siluman wanita itu dan menyelamatkan aku.
Padahal waktu itu dia tidak menghisap pil Bi-leng-wan, namun
bubuk pemabok seolah sama sekali tidak berpengaruh di tubuhnya.”
Lan Sui-leng benar-benar merasa tercengang, katanya, "Berapa
hari sebelum turun gunung, aku pernah berlatih pedang dengannya
di bawah tebing Tian-ki-hong, sewaktu aku melolohnya dengan satu
jurus tipuan, dia kalah ditanganku. Heran, baru berpisah selama
tujuh, delapan bulan, kenapa ilmu silatnya bisa meraih kemajuan
sedemikian pesatnya?"
"Aku dengar dia telah mewarisi ilmu pedang peninggalan Busiang
Cinjin, bisa jadi setelah turun gunung dia kembali memperoleh
pengalaman aneh.”
"Kalau soal ini, aku masih bisa menerimanya, tapi ada kejadian
lain yang membuat pikiranku tidak habis mengerti,” ujar Lan Suileng,
"antara siluman wanita Siang Ngo-nio dengan adikku boleh
dibilang sama sekali tidak punya hubungan apa apa, kenal pun
tidak, mengapa berulang kali dia mencari masalah dengannya?"
"Sebetulnya bukan terhitung masalah besar, tampaknya siluman
wanita itu hanya ingin mengangkat adikmu menjadi anak
angkatnya.”
"Betul. Justru persoalan inilah yang membuat aku tidak habis


mengerti. Pertama kali datang ke rumahku, dia berusaha menculik
dan melarikan adikku, padahal waktu itu adikku belum pernah turun
dari bukit Bu-tong. Anehnya, darimana dia bisa tahu tentang adikku,
lalu mengapa pula dia gunakan segala cara untuk memaksanya
menjadi anak angkatnya?"
Seebun Yan segera tertawa.
"Siang Ngo-nio paling suka dengan pemuda berwajah tampan,
siapa tahu dia sudah tertarik dengan adikmu,” katanya.
"Cisss, ngaco belo,” Lan Sui-leng menyumpah, "adikku baru
berusia enam, tujuh belas tahunan....”
"Apakah kau tidak merasa sepak terjang adikmu agak aneh?"
Pertanyaan ini dengan tepat mengenai rahasia hati Lan Sui-leng,
kontan saja gadis itu berdebar keras, serunya, "Aku justru ingin
bertanya kepadamu, apa alasannya dia pergi ke Liauw-tong?"
"Aku tidak tahu, aku hanya tahu kalau dia sempat mencari tahu
tentang jejak seseorang sewaktu berada di kota Uh-sah-tin.”
"Siapa?"
"Konon seorang murid preman dari Bu-tong-pay yang bernama
Keng King-si, kurang lebih dua puluh tahun berselang, orang itu
pernah pula tinggal di kota Uh-sah-tin.”
"Keng King-si? Aku sepertinya pernah mendengar orang
menyinggung tentang nama ini,” kata Lan Sui-leng.
"Aku dengar Keng King-si adalah murid dari mendiang Ji-ou
Thayhiap Ho Ki-bu.”
"Bukankah Ho Ki-bu adalah guru Put-ji Totiang ketika masih
preman dulu? Kalau begitu orang she-Keng itu pastilah saudara
seperguruan ayah angkat adikku. Tidak heran kalau dia bersikap
begitu baik kepada adikku. Tapi dalam hal mengajarkan ilmu
pedang, mengapa pula dia harus membohongi adikku?"
Berpikir sampai disini, tiba-tiba timbul satu ingatan aneh dalam


benaknya, "Mungkinkah adikku benar-benar adalah anak hubungan
gelap orang lain? Tidak heran kalau wajahnya sama sekali tidak
mirip dengan wajahku!"
Tapi dia segera merasa kalau ingatan semacam ini 'tidak
sepatutnya' muncul dalam benaknya, dia segera menegur diri
sendiri, "Aku pernah memaki adik agar tidak percaya atas perkataan
ngawur orang lain, kenapa sekarang aku malah punya pikiran
begini!"
"Hey, apa yang sedang kau pikirkan?" tiba-tiba Seebun Yan
menegur, "aku ingin mendengar pula kisahmu.”
"Aku hanya ingin mendengar kisah pengalamanku selama berada
di wilayah Liauw-tong, semua kejadian di sana terasa baru, aneh
dan menarik. Mengenai pengalamanku sendiri, aaai, tidak ada yang
bisa diceritakan, sejak berpisah denganmu, aku langsung pulang ke
gunung dan sepanjang perjalanan tidak pernah terjadi apa-apa.”
"Bagus. Kalau begitu aku akan mengisahkan lagi sebuah cerita
yang sangat menegangkan hati, ada seorang manusia
berkerudung....”
Belum habis dia berkata, mendadak terlihat Lan Sui-leng
menguap karena mengantuk.
Dalam hati Seebun Yan merasa tidak suka hati, tapi entah
mengapa, tiba-tiba diapun ikut menguap.
Gadis ini pernah punya pengalaman terkena bubuk pemabuk, dia
segera sadar akan ketidak beresan itu, namun tanpa terasa dia
kembali menghirup bubuk pemabuk.
"Cepat kerahkan tenaga dalam untuk melawan racun!" dia hanya
bisa berbisik lirih di sisi telinga Lan Sui-leng, karena kepalanya
terasa makin berat dan mulai terkurai, rasanya mengantuk sekali
dan ingin tidur.
Untung saja tenaga dalamnya cukup lumayan, begitu konsentrasi
dipusatkan ke Tan-tian, hawa murni pun kembali berputar satu
lingkaran di seluruh tubuh, lambat laun keadaannya menjadi sedikit


mendingan.
Yang dimaksud 'mendingan' adalah dia hanya bisa memaksakan
diri untuk membuka lebar matanya dan mengusir momok rasa
kantuk hingga tidak sampai roboh tidak sadarkan diri.
Namun seluruh tenaga yang dimilikinya telah lenyap, jangan lagi
berbicara, untuk menggerakkan jari tangan sendiri pun sudah tidak
sanggup.
Keadaan Lan Sui-leng tidak jauh berbeda, dia hanya bisa
membuka matanya dan sama sekali tidak mampu bergerak.
Diam-diam Seebun Yan merasa kagum, pikirnya, 'Padahal dia
hanya seorang murid yang belum lama bergabung dengan Bu-tongpay,
tapi kenyataannya dia sanggup mempertahankan diri!'
Tentu saja dia tidak tahu kalau majunya tenaga dalam yang
dimiliki Lan Sui-leng bukan hasil ajaran Put-hui Suthay melainkan
ilmu yang dipelajarinya dari Tonghong Liang.
Oleh karena pikirannya tidak banyak berusik oleh pelbagai
masalah, berbeda jauh dengan Seebun Yan yang sering terganggu
banyak urusan, karena itu meski baru berlatih setengah tahun,
namun keberhasilannya nyaris menyamai kemam puan Seebun Yan.
Biarpun mereka berdua tidak sampai jatuh semaput, namun
justru karena mereka masih memiliki kesadaran maka kedua orang
itu merasakan teror dan rasa takut yang selama hidup belum pernah
dialaminya.
Perlu diketahui, pada saat dan detik ini, mereka berdua sudah
tidak memiliki sedikit tenaga pun, semisal orang itu masuk ke dalam
kamar, maka mereka berdua hanya bisa menyerah dan menuruti
semua keinginannya, kalau hanya mati bukan masalah, justru yang
dikuatirkan adalah kejadian yang jauh lebih tersiksa daripada
kematian.
Bagaimana pun juga, yang akan muncul akhirnya muncul juga.
Mereka mulai mendengar suara pembicaraan di luar sana.


Orang pertama yang berbicara alah Lan Kau-san, ayah Lan Suileng.
"Ada urusan apa tengah malam begini tootiang datang kemari,
apakah.... apakah....” suara Lan Kau-san kedengaran penuh
dicekam rasa heran.
Begitu mendengar suara ayahnya, Lan Sui-leng merasa sedikit
lega. Karena ayahnya tidak keracunan maka pikirnya, 'Hanya
seorang tootiang yang kenal akrab dengan ayah, mungkinkah orang
itu adalah.... '
Belum lenyap pikiran itu, orang tersebut sudah mulai menjawab,
betul seperti yang dia duga, orang itu adalah Put-ji tootiang, ayah
angkat adiknya.
"Aku hanya ingin mengajukan satu pertanyaan, kau harus
menjawab sejujurnya. Apakah kau telah memberitahukan asal usul
anak Keng yang sebenarnya?"
Suara Put-ji Totiang kedengaran sedikit sumbang, seakan dia
sedang menderita sakit flu berat hingga hidungnya dipenuhi ingus.
Tapi Lan Sui-leng masih dapat mengenali suaranya.
"Ti.... tidak!" jawab Lan Kau-san dengan suara gemetar.
"Tidak? Kenapa dia bisa pergi ke Liauw-tong untuk mencari orang
tua kandungnya?"
Mendengar sampai disini, Lan Sui-leng merasakan hatinya
bergoncang keras. Ternyata dugaannya tidak salah, adiknya
memang punya asal-usul sendiri, dia bukan saudara kandungnya!
"Aku.... aku tidak tahu! Aku benar-benar tidak tahu!"
"Apa yang tidak kau ketahui? Tidak tahu akan persoalan ini, atau
tidak tahu dia anak siapa?"
"Dia sama sekali tidak beritahu kepadaku apa sebabnya turun
gunung, akupun tidak tahu ke mana dia telah pergi!"
Put-ji Tojin segera tertawa dingin.


"Kalau begitu kau sudah tahu anak siapakah dia?" dengusnya.
"Too.... tootiang mungkin lupa? Sewaktu kau serahkan anak itu
kepadaku, aku pernah dipesan untuk tidak bertanya asal-usul bocah
itu. Kau hanya mengatakan kalau dia adalah putra sahabat
karibmu.”
"Kalau aku tidak mengatakan, memangnya kau sendiri tidak
tahu? Aku ingin tanya. Berani kau mengata kan kalau kau sama
sekali tidak tahu siapa orang tua bocah itu?"
"Soal ini, soal ini....” Lan Kau-san adalah seseorang yang jujur,
dia tidak berani berbohong, akan tetapi dia pun tidak berani
berbicara terus terang.
Nada suara Put-ji Tojin makin lama semakin ketus dan dingin,
katanya lagi, "Tahukah kau siapa ayahnya? Tentunya kaupun tahu
bukan kalau akulah yang telah membunuh ayahnya!"
Andaikata Lan Sui-leng masih memiliki sedikit tenaga, dia pasti
akan melompat bangun saking kagetnya. Kini, biarpun tubuhnya
sama sekali tidak mampu bergerak, namun jantungnya seolah mau
melompat keluar dari rongga dadanya, dia merasa sangat
ketakutan.
"Aku tidak tahu, waktu itu sepanjang hari aku tidak berada di
rumah, aku tidak.... tidak....”
Kembali Put-ji Tojin menukas sambil tertawa dingin, “Tapi siapa
pun tahu kalau saat itu Keng King-si dan Ho Giok-yan pernah
muncul di bukit Boan-liong-san, kemudian jejak mereka berdua
hilang tidak berbekas. Hampir semua orang melihat kalau Ho
Giokyan melakukan perjalanan dengan perut buncit. Aku tidak
percaya kalau kau sedemikian gobloknya sampai menduga akan hal
inipun tidak bisa!"
"Aku.... aku memang.... memang tahu akan kejadian ini, tapi....
tapi.... aku sama sekali tidak menyangka kalau pembunuhnya
adalah dirimu!"
Apa yang diucapkan Lan Kau-san memang kata yang sejujurnya.


"Baiklah, aku percaya kalau ucapanmu jujur. Tapi sekarang aku
telah memberitahukan rahasia ini kepadamu!"
Wajahnya seakan dilapisi oleh bunga salju yang tebal, bukan saja
perkataannya dingin bagaikan es, mimik muka serta sikapnya juga
dingin dan kaku, membuat siapa pun bergidik.
Lan Kau-san bukan terhitung orang yang kelewat bodoh, buruburu
dia berkata, "Tootiang, apa yang barusan kau katakan? Aku
sepertinya tidak mendengar apa-apa....”
Ketika dilihatnya Put-ji Tojin tidak memberi tanggapan, cepat dia
menambahkan lagi, "Totiang, jangan kuatir, aku tidak bakal
membocorkan semua yang kau katakan malam ini kepada siapa
pun.”
Put-ji Tojin tertawa dingin, "Baru sekarang kau mengatakan hal
ini, hmmm! Tapi sayang aku tidak bisa mempercayaimu dengan
begitu saja!"
"Lantas apa yang hendak kau lakukan agar percaya?"
"Kecuali....”
Lan Sui-leng yang berbaring dalam kamarnya sambil mencuri
dengar pembicaraan itu dapat menangkap semua tanya jawab itu
dengan jelas, tapi dia tidak bisa melihat apa yang terjadi diluaran
sana.
Put-ji Tojin mengatakan 'kecuali", lalu "kecuali" apa yang
dimaksud?
Namun dia tidak perlu menebak terlalu jauh, karena jawabannya
segera ketahuan.
Tiba-tiba terdengar jeritan ngeri yang menyayat hati
berkumandang memecahkan keheningan, menyusul kemudian
terdengar suara langkah kaki ibunya dan menyusul keluar dari
belakang.
Agaknya waktu itu ibunya tertegun sesaat, sesudah hening
berapa waktu, tiba-tiba terdengar dia menjerit lengking, "Tootiang,


kau.... kau apakah suamiku....”
Mendadak jeritan lengking itu terputus di tengah jalan, diikuti
terdengar lagi jeritan ngeri yang memilukan hati.
Kemudian terdengar Put-ji Tojin berkata, “Enso, maafkan aku.
Hanya perbuatan semacam inilah yang bisa kulakukan. Karena
hanya orang mati yang tidak bisa membocorkan rahasia ini lagi!"
Tanpa menyaksikan dengan mata kepala sendiri pun Lan Sui-leng
sudah tahu apa yang telah terjadi, seketika itu juga dia tertegun
saking kagetnya. Sukmanya serasa meninggalkan raganya,
melayang keluar dari kamar tidur dan menyaksikan tubuh ayah
ibunya terkapar di tengah genangan darah.
Dia ingin menjerit namun tidak ada suara yang keluar, ingin
menangis namun tidak dapat mengeluarkan isak tangisnya. Apakah
dia sedang bermimpi? Aaai, moga-moga saja kesemuanya ini hanya
sebuah impian buruk.
Kembali terdengar suara langkah kaki manusia, Put-ji Tojin tidak
memasuki kamarnya tapi pergi meninggalkan rumah itu.
Sungguh aneh sekali, ternyata di saat seseorang merasakan
ketakutan yang telah mencapai puncaknya, dia malah seolah tidak
tahu lagi arti dari takut.
Kini benaknya seolah berubah jadi putih dan kosong, bahkan
jalan pikiran serta semua aktifitasnya ikut terhenti. Semuanya
tenang, semuanya terhenti. Seandainya ada sebatang jarum yang
terjatuh ke lantai pada saat ini, mungkin dia dapat mendengarnya
dengan sangat jelas.
Saat itulah dia mendengar suara perempuan yang dikenalnya
berkumandang dari luar rumah, “Semua telah dibereskan?"
Bukankah suara itu berasal dari Siang Ngo-nio? Walaupun
suaranya agak serak, namun dia masih dapat mengenalinya.
"Kenapa musti ditanyakan lagi, semua ini gara-gara kau hingga
terpaksa aku harus melakukan kekejam-an ini. Aaai, sejujurnya, Lan


Kau-san pernah membantu-ku, coba kalau bukan demi kau, tidak
nanti aku tega untuk menghabisi nyawanya!"
"Hmm, gara-gara demi aku?"
Kelihatannya Put-ji Tojin berbicara sambil berjalan, "Betul, aku
takut anak Keng mengetahui kejadian yang sebenarnya. Tapi coba
kalau bukan aku telah mengambil keputusan, akan selamanya
bersama mu....”
Kata selanjutnya sudah tidak terdengar lagi.
Berapa saat kemudian Seebun Yan baru berbisik, "Adik Leng,
sekarang bukan saatnya untuk bersedih hati, cepat tenangkan
pikiran dan cobalah mengatur pernapasan lagi. Hingga kini kita
belum terlepas dari kurungan!"
Rupanya tenaga dalam yang dimiliki Seebun Yan telah pulih satu,
dua bagian hingga dia memiliki kekuatan untuk berbisik.
Pikiran Lan Sui-leng kembali dibuat kacau oleh terjadinya
peristiwa yang sama sekali tidak terduga itu, kondisi tubuhnya
mundur kembali ke posisi semula, sama sekali tidak punya tenaga
hingga kekuatan untuk menggerakkan jari tangan pun tidak punya.
Entah berapa saat kembali lewat, tiba-tiba terdengar lagi suara
manusia.
Ternyata Lan Giok-keng telah kembali, (seharusnya sudah bukan
she-Lan lagi, tapi bermarga Keng, jadi selanjutnya dia bernama
Keng Giok-keng).
Oleh karena dalam benaknya dipenuhi pelbagai kecurigaan dan
tanda tanya, maka dia sengaja pulang ke rumah di malam hari.
Sewaktu lewat di kota Kim-leng, dia berhasil menjumpai Kwik Bu
bahkan menyingkap teka-teki yang menyelimuti asal-usulnya.
Setiap perkataan yang diucapkan Kwik Bu masih teringat dengan
sangat jelas. Dan kini, di saat dia sudah mendekati pintu rumah,
pemandangan saat itu satu per satu kembali melintas dalam
benaknya.


Dia mengunjungi rumah keluarga Kwik di tengah malam, oleh
karena status dan kedudukan Kwik Bu yang istimewa, begitu
melihat munculnya orang asing, tanpa memberi kesempatan
kepadanya untuk berbicara sudah berusaha untuk membekuknya.
Tapi pertarungan pun tidak sampai lewat tiga puluh gebrakan,
serta merta mereka berdua sama-sama menghentikan pertarungan.
Ujar Kwin Bu kemudian sambil menghela napas, "Aku dengar
ilmu pedang Bu-si Tojin merupakan yang paling hebat dalam Butong-
pay, sayang belum sempat kujumpainya. Kalau dilihat dari
usiamu, seharus nya kau hanya seorang Boanpwee. Tapi ilmu
pedangmu sudah berada jauh diatas kemampuanku. Aaaai, kalau
hanya seorang murid muda dari Bu-tong-pay pun tidak sanggup
kuhadapi, mana mungkin bisa bertarung melawan jagoannya. Aaai,
aku tahu siapakah dirimu.”
"Kau mengetahui siapakah aku, akupun mengetahui siapa dirimu,
meski aku belum pernah bertemu denganmu!" ujar Keng Giok-keng.
"Kau tahu siapakah aku?"
?"Aku tahu kau adalah putra Jit-seng-kiam-kek, mempunyai
nama manchu sebagai Huo Bu-tuo dan nama Han sebagai Kwik Bu.”
Seharusnya orang itu terperanjat karena identitasnya berhasil
tertebak, akan tetapi dia tidak kaget, seolah hal tersebut sudah
berada dalam dugaannya. Dia hanya bertanya, "Ada apa kau
mencari aku?"
Untuk sesaat Keng Giok-keng tidak tahu harus mulai ceritanya
dari mana.
Sambil tersenyum kembali Kwik Bu berkata, "Aku mempunyai
seorang sahabat she-Keng, sama seperti kau, murid Bu-tong-pay.
Hanya saja peristiwa itu sudah berlangsung pada delapan belas
tahun berselang.
Tahun ini usiamu belum genap delapan belas tahun bukan?"
Keng Giok-keng merasakan hatinya berdebar keras, dia balik


bertanya, "Benarkah begitu?"
"Sahabatku itu bernama Keng King-si, dia adalah murid kedua
dari Ji-ou Thayhiap Ho Ki-bu.
"Dua puluh tahun terselang, dia bersama Bouw Ciong-long
merupakan murid preman dari Bu-tong-pay. Hanya sayang nasibnya
tidak sebagus Bouw Ciong-long. Kini Bouw Ciong-long telah menjadi
Ciangbunjin baru perguruanmu, sementara Ho Ki-bu sudah mati
sejak delapan belas tahun berselang, bahkan kudengar dia mati
tidak jelas. Apakah kaupun mengetahui kejadian ini?"
"Tentu saja aku pernah mendengar orang mem bicarakan
tentang nama Ho Thayhiap dari perguruanku, tapi belum pernah
ada yang beritahu apa penyebab kematiannya. Dengan ucapanmu
ini, berarti kau sudah tahu....”
"Aku sendiripun tidak tahu. Aku hanya ingin membicarakan
masalah yang berkaitan dengan orang she-Keng itu.”
Dia memandang Keng Giok-keng sekejap, ketika dilihatnya bocah
itu memandang dengan mata mendelong, seperti orang
kebingungan, tanpa terasa kembali dia menghela napas, lanjutnya,
"Ho Ki-bu mempunyai dua orang murid dan seorang putri, anak
putrinya bernama Ho Giok-yan, Keng King-si berada diurutan kedua,
diatas dia masih ada seorang Suheng lagi dari marga Ko, sedang
dibawahnya adalah Giok-yan, Siau-sumoaynya. Pernah-kah kau
mendengar nama ke tiga orang ini?"
"Pernah,” jawab Keng Giok-keng setelah ragu sejenak, "tapi
itupun hanya terbatas pernah mendengar nama mereka.”
"Sejak kapan kau mulai mendengar tentang mereka?"
"Setelah aku turun gunung, baru setengah tahun berselang.”
"Kau bukan hanya tahu nama mereka saja bukan? Karena apa
kau mengajak Hwee-ko Thaysu berkunjung ke kota Uh-sah-tin?"
"Betul, aku mengetahui juga kalau Keng-kisu dan Ho Giok-yan
pernah berdiam hampir setahun lamanya di kota Uh-sah-tin. Tapi


hal ini kuketahui sesudah tiba di kota Uh-sah-tin. Sebelum itu aku
hanya tahu kalau mereka pernah datang ke luar perbatasan, tapi
tidak tahu pasti tempat yang dituju. Ada orang memberi petunjuk
kepadaku, suruh aku menemukan Jit-seng-kiam-kek, karena bila
dapat bertemu dengannya maka ada harapan bagiku untuk mencari
tahu kejadian tentang mereka di masa lalu. Tapi sayang aku tidak
punya kesempatan untuk bertemu dengan Jit-seng-kiam-kek, oleh
sebab itu....”
"Kemudian kau tahu kalau Jit-seng-kiam-kek adalah ayahku,
maka kaupun terpaksa datang mencari aku,” sambung Kwik Bu.
Bicara sampai disini dia berhenti sebentar, tertawa terbahakbahak,
kemudian baru melanjutkan, "Betul, kau telah menemukan
aku, telah menemukan orang yang benar. Aku mengetahui masalah
tentang Keng King-si, bahkan apa yang kuketahui jauh lebih banyak
daripada apa yang diketahui ayah angkatmu.
"Dia bersama sumoaynya tinggal di kota Uh-sah-tin dan berganti
nama, sehari-hari mereka hidup sebagai nelayan. Tidak seorangpun
yang mengetahui asal usulnya, kecuali aku. Mereka tidak punya
teman yang lain.”
"Tunggu sebentar,” dengan napas tersengkal Keng Giok-keng
bertanya, "kalau benar mereka adalah murid dari perguruan kaum
lurus, mengapa harus kabur ke luar perbatasan dan bersembunyi di
sebuah bandar nelayan yang terpencil?"
"Mereka kabur dari rumah, kawin lari. Oleh karena nona Ho
adalah putri tunggal Ji-ou Thayhiap, maka hampir semua orang di
daratan Tionggoan mengenalinya, karena itu mereka hanya bisa
kabur ke luar perbatasan dan menyembunyikan diri disana.”
Tampaknya Keng Giok-keng tidak menyangka akan menerima
jawaban seperti itu, setelah agak ter-tegun, dia menegaskannya,
"Kabur dari rumah?"
"Kau tidak mengerti apa yang dinamakan kabur dari rumah?" ujar
Kwik Bu sambil tersenyum, "biasanya perkawinan itu harus
mendapat restu dari orang tua, paling tidak ada mak comblangnya.


Yang dinamakan kabur dari rumah adalah kawin lari, mereka jadi
suami istri tapi tidak mendapat restu dari orang tua, karena itu
mereka kabur dari rumah, kawin lari dan menyembunyikan diri.”
"Aku bukannya tidak mengerti apa yang dinamakan kabur dari
rumah, aku hanya tidak mengerti kenapa mereka harus kabur dari
rumah? Kenapa harus kawin lari?"
"Karena sejak kecil ayahnya telah menjodohkan nona Ho kepada
Toa-suhengnya. Tapi gadis itu justru mencintai Ji-suhengnya.”
Diam-diam Keng Giok-keng menghembuskan napas lega,
bisiknya lirih, "Ooh, ternyata begitu!"
Rupanya di dasar hati kecilnya tersembunyi suatu perasaan takut
yang luar biasa. Dia takut Keng King-si kabur ke luar perbatasan
karena berkhianat dan sudah menjadi mata-mata bangsa Boan.
Tadi dia tidak berani menanyakan soal ini kepada Kwik Bu,
kendatipun dia tahu dengan jelas bahwa Kwik Bu adalah satusatunya
orang yang bisa mengungkap teka-teki asal-usulnya, dia
tidak berani bertanya karena khawatir hal tersebut menyangkut
suatu penghianatan bangsa.
Tapi kini, walaupun dia sudah merasa lega namun beban lain
kembali mengganjal hatinya.
"Bukankah Toa-suheng dari Keng King-si adalah ayah angkatku
sekarang?"
Terdengar Kwik Bu berkata lebih lanjut, "Waktu itu kedudukanku
adalah juragan yang membeli ikan disana, posisi yang ditempati Kim
Teng-hap sekarang. Di kota Uh-sah-tin hanya aku seorang yang
mengetahui asal-usul Keng King-si, dan hanya Keng King-si seorang
yang mengetahui identitasku yang sebenarnya, bahkan Ho Giok-yan
sendiripun tidak tahu. Oleh sebab itu meski aku berkenalan dengan
mereka berdua, namun sahabatku yang sesungguhnya hanya Keng
King-si seorang.”
"Sepasang suami istri itu tinggal di kota Uh-sah-tin hampir
setahun lamanya kemudian mudik. Tahukah kau mengapa mereka


berbuat begitu?" tiba tiba Kwik Bu bertanya.
Keng Giok-keng merasa sedikit keheranan, serunya, "Darimana
aku bisa tahu? Lebih baik kau saja yang memberitahukan masalah
ini kepadaku!"
"Karena Keng-hujin telah hamil dan tidak ada yang merawatnya,
dia ingin mudik dan melahirkan di desa kelahirannya. Selain itu, nasi
telah menjadi bubur, dia berharap perbuatannya di masa lalu dapat
dimaafkan oleh ayahnya. Aaai.... siapa tahu perpisahan itu
merupakan perpisahan untuk selamanya, aku tidak pernah bertemu
lagi dengan mereka.”
Keng Giok-keng merasakan jantungnya berdebar sangat keras,
buru-buru tanyanya, "Setelah dilahirkan, anak mereka itu seorang
pria atau seorang wanita?"
"Konon anak mereka lelaki!"
"Lelaki?" suara Keng Giok-keng kedengaran mulai gemetar.
"Cukup lama kunantikan kedatangannya di kotaraja, namun dia
tidak pernah muncul, karena itu aku mengutus orang untuk mencari
kabar tentang mereka berdua.
"Berita yang kudapat, pernah ada orang melihat sepasang mudamudi
menempuh perjalanan di tanah perbukitan Boan-liong-san,
kalau dilihat keadaannya, mereka adalah sepasang suami istri. Sang
wanita konon perutnya buncit, seperti orang hamil yang sudah
cukup bulan untuk melahirkan. Berdasarkan berita ini dapat
disimpulkan kalau sepasang suami istri muda itu tidak lain adalah
Keng King-si serta Ho Giok-yan.”
"Bagaimana selanjutnya?" buru-buru Keng Giok-keng bertanya,
tanpa terasa nada suaranya ikut berubah.
"Ho Giok-yan dan suaminya tidak pernah sampai ke rumah,
semenjak hari itu jejak mereka berdua hilang lenyap tidak berbekas.
Tapi untung juga dia tidak pulang ke rumah....”
"Kenapa?"


"Sebab di rumah orang tuanya sedang berlangsung satu kasus
pembunuhan yang amat tragis, ayahnya, Ji-ou Thayhiap Ho Ki-bu
ditemukan mati terbunuh secara mengenaskan!"
"Aaah....!" Keng Giok-keng menjerit tertahan, seluruh perasaan
hatinya serasa mengejang, untuk sesaat dia tidak mampu berkatakata.
Kwin Bu berkata lebih lanjut, "Peristiwa ini terjadi sehari sebelum
kedua orang itu hilang, dan setelah lenyapnya kedua orang itu,
tersiar lagi sebuah berita kecil, walaupun tidak ada orang yang
menaruh perhatian atas berita kecil itu, namun rasanya kau perlu
mengetahui juga akan hal ini.”
Keng Giok-keng merasakan hatinya berdebar keras, dia dapat
menduga apakah isi berita tersebut.
Betul saja, terdengar Kwik Bu berkata lebih jauh, "Di atas bukit
Boan-liong-san tinggal seorang pemburu dari marga Lan, tiba-tiba
saja keluarga mereka kedapatan memperoleh tambahan seorang
bayi lelaki. Bininya baru saja melahirkan seorang anak gadis pada
setengah bulan berselang, itu berarti bayi lelaki itu sudah pasti
bukan anak yang dia lahirkan, tapi tidak ada yang tahu darimana
datangnya bocah itu. Beberapa hari kemudian, keluarga pemburu
she-Lan itu sudah pindah rumah, tidak ada yang tahu mereka telah
pindah ke mana. Ehmm, yang diketahui hanyalah kalau bocah itu
masih hidup hingga sekarang, seharusnya dia telah genap berusia
enam belas tahun.”
"Bocah itu.... bocah itu....” teriak Keng Giok-keng dengan suara
parau. Saking sedih dan terharunya, dia tidak sanggup lagi
melanjutkan kata-katanya, air mata jatuh bercucuran membasahi
wajahnya.
"Apakah kau masih belum paham?" sepatah demi sepatah kata
Kwik Bu melanjutkan, "bocah itu tidak lain adalah kau! Ayah
kandungmu adalah Keng King-si, ibu kandungmu adalah Ho Giokyan!"
Biarpun jawaban ini sudah diduga Keng Giok-keng jauh


sebelumnya, namun setelah memperoleh bukti dari mulut Kwik Bu,
tidak urung air matanya berlinang semakin deras.
"Sekarang kau seharusnya sudah paham bukan, mengapa aku
harus melindungimu secara diam-diam?" ujar Kwin Bu lagi, "sejak
kau melangkahkan kakimu ke luar perbatasan, aku telah mendapat
laporan rahasia dari mata-mataku, menurut laporan yang kuperoleh,
katanya Hwee-ko Thaysu dari biara Siau-lim melakukan perjalanan
bersama seorang pemuda dan pemuda itu berwajah mirip sekali
dengan Keng King-si masa itu. Aku segera tahu siapakah dirimu.
Kau adalah putra temanku almarhum, tentu saja aku harus
melindungi keselamatan jiwamu dengan sepenuh tenaga.”
"Karena itulah kau menulis surat itu!" seru Keng Giok-keng
seolah baru mengerti.
"Surat yang mana?"
"Surat yang kau tujukan untuk Kim Teng-hap.”
“Oooh, rupanya kau pun mengetahui persoalan ini. Kalau begitu
kau pasti tahu bukan kalau surat yang kutulis itu sama sekali tidak
menaruh niat jahat terhadap mu?"
Isi surat itu memerintahkan Kim Teng-hap agar tidak
mempersulit Keng Giok-keng.
"Terima kasih banyak kau telah melindungiku secara diam-diam,”
kata anak muda itu kemudian.
"Aku tahu Kim Teng-hap tidak melakukan seperti apa yang
kuperintahkan,” kata Kwik Bu lagi, "bahkan secara diam-diam dia
berusaha mencelakaimu.”
"Sekalipun begitu, aku tetap menerima maksud baikmu. Tapi ada
satu hal yang tidak kupahami, sebetulnya apa kedudukanmu?"
"Menurut kau?"
Keng Giok-keng ragu-ragu, untuk sesaat dia tidak mampu
menjawab.


Sambil tertawa tergelak Kwik Bu berseru, "Kalau begitu biar aku
yang mewakilimu untuk menjawab. Kau tidak berani berbicara
karena selama ini kau menganggap aku adalah mata-mata bangsa
Boan.”
"Tidak!" Keng Giok-keng menggeleng, "jika kau adalah matamata
bangsa Boan, tidak mungkin kau akan melindungiku secara
diam-diam. Dalam pertarungan tadi, setelah lewat tiga puluh
gebrakan, tenagaku sudah tidak sanggup ditambah lagi, jika kau
curiga aku sudah tahu kalau kau adalah mata-mata bangsa Boan
dan dalam kenyataan kau memang pengkhianat bangsa, pada jurus
yang ke tiga puluh satu kau sudah dapat menusuk tujuh buah jalan
darahku. Tapi dalam kenyata-an, kau menarik pedang jauh lebih
awal ketimbang aku. Oleh sebab itu aku benar-benar tidak habis
mengerti....”
"Aku tidak pernah membocorkan statusku kepada siapa pun, tapi
terkecuali untuk dirimu,” kata Kwik Bu, "sesungguhnya
kedudukanku bukan hanya satu saja tapi ada tiga kedudukan yang
berbeda, kedudukan pertama adalah orang kepercayaan Nurhaci
Khan dari negeri Kim; kedudukanku yang ke dua adalah pejabat
tinggi Kerajaan Beng yang sedang mendapat tugas dari Nurhaci
Khan untuk menyusup ke kota Kim-leng.”
Keng Giok-keng yakin dan percaya kalau dia pasti bukan matamata
bangsa Boan, namun perasaan hatinya tidak urung tercekat
juga setelah mendengar jawaban itu, karena yang dimaksud
"menyusup" sudah jelas adalah perbuatan seorang mata-mata.
Buru-buru dia bertanya, "Lantas apa kedudukanmu yang ke
tiga?"
"Aku sendiripun tidak tahu harus berkata apa tentang
kedudukanku sekarang. Aku justru rela menjadi mata-matanya
bangsa Boan untuk menyusup ke kota Kim-leng karena hanya
dengan berbuat beginilah aku baru bisa memperoleh laporan yang
paling rahasia, aku jadi tahu orang-orang dari kerajaan Beng mana
yang secara diam-diam melakukan persekongkolan dengan bangsa
Boan.”


Kalau meminjam istilah jaman sekarang, posisinya saat ini adalah
'spion ganda".
"Tapi semua yang kulakukan ini bukan karena mendapat perintah
dari siapa pun,” kembali Kwik Bu melanjutkan, "dulu ayahku pernah
bertemu dan berbicara panjang lebar dengan Hin Teng-pi, menurut
Him Teng-pi untuk menanggulangi serangan yang datang dari luar,
maka pertama-tama yang harus dilakukan adalah membasmi kaum
penghianat, khususnya musuh dalam selimut. Atau lebih tegasnya
lagi, inilah tugas utama yang harus dilakukan oleh aku si mata-mata
gadungan dari bangsa Boan. Karena dengan berbuat beginilah kita
baru tahu siapa mata-mata bangsa Boan yang sesungguhnya.
Aaai.... alhasil....”
"Bagaimana hasilnya?"
"Bahkan aku sendiripun tidak menyangka kalau ada begitu
banyak orang kenamaan yang ternyata telah dibeli olehbangsa Boan
untuk menjadi pengkhianatbangsa!"
Tergerak pikiran Keng Giok-keng setelah mendengar perkataan
itu, tanpa terasa dia bertanya, "Jadi mereka yang telah menjadi
mata mata bangsa Boan kebanyakan adalah para pejabat tinggi
kerajaan?"
"Belum tentu begitu. Misalkan saja, menurut apa yang kuketahui
dari pihak militer selain ada panglima perang dari pasukan Yu-limkun
yang terlibat, ternyata ada juga orang persilatan yang menjadi
pengkhianat bangsa.... bahkan....”
Bicara sampai disini, tiba-tiba dia berhenti berbicara.
"Bahkan dalam Bu-tong-pay kami pun terdapat mata-mata
bukan?" sambung Keng Giok-keng cepat.
Bocah ini memang sangat cerdas, dari cara Kwik-bu berbicara,
dia sudah dapat menebak kalau ada masalah tertentu yang sama
sekali tidak disinggung olehnya. Tapi bagaimana pun juga dia masih
muda dan belum banyak pengalaman, masalah semacam ini
memang tidak sepatutnya dia tanyakan.


"Aku tidak berani memastikan,” ujar Kwik Bu kemudian, "kami
hanya mencurigai tapi belum bisa membuktikan.”
"Bagaimana dengan para mata-mata yang berhasil kau buktikan
secara nyata? Apakah rahasia mereka sempat kau bongkar....”
"Membongkarnya kepada siapa?" tanya Kwik Bu sambil tertawa
getir, "Him Teng-pi sudah tewas dibunuh pengkhianat bangsa. Mau
lapor ke pihak kerajaan? Padahal mereka yang telah berkhianat
rata-rata adalah pejabat tinggi yang memegang kekuasaan besar,
dengan posisi dan pangkatku yang begini kecil, bagaimana mungkin
bisa menggeser mereka? Lagipula begitu aku membocorkan rahasia
ini, dapat dipastikan peranku sebagai mata-mata ganda segera akan
terbongkar.”
"Lantas apa artinya kau melanjutkan peran ganda mu itu?"
"Tidak bisa dikatakan tidak ada artinya. Semisal aku bisa
mendapat tahu tokoh persilatan manakah yang telah menjadi matamata
bangsa Boan dan mengkhianati bangsa, kita bisa
menggerakkan para pendekar untuk membunuhnya.”
Keng Giok-keng merasakan darah panas menggelora dalam
rongga dadanya, setelah menanyakan masalah yang tidak
sepantasnya dia tanyakan, kini dia baru mulai berpikir masalah
tentang diri sendiri. Ujarnya, "Tadi kau mengatakan, selama ini
belum pernah membocorkan rahasiamu kepada siapa pun,
terkecuali kepadaku. Kenapa terkecuali kepadaku?"
"Sebab kemungkinan besar ayah ibumu mengalami nasib tragis
karena terseret oleh masalahku!"
"Siapa yang telah mencelakai mereka?" buru-buru Keng Giokkeng
mendesak.
"Aku hanya mendengar kabar tentang hilangnya mereka berdua,
kemudian selama banyak tahun tidak pernah bertemu lagi dengan
mereka, oleh karena itu....
oleh karena itu kuduga mereka lebih banyak celakanya daripada
selamat.”


Timbul secercah harapan di hati kecil Keng Giok-keng, katanya,
"Terlepas apakah orang tuaku sudah tertimpa bencana atau tidak,
aku harus melakukan penyelidikan hingga semuanya jelas, aku
harap.... aku harap....”
"Kunasehatkan padamu, lebih baik tidak usah diselidiki lebih jauh.
Sebab, sekalipun kau berhasil melacak kejadian yang sebenarnya,
mungkin.... mungkin mereka telah tertimpa nasib tragis, dan
semisalnya mereka memang menemui celaka, tidak usah
menyalahkan siapa pun, kalau ingin menyalahkan, salahkan diriku
saja!"
"Kenapa?"
"Masa kau masih tidak paham? Belum tentu pengkhianat yang
ingin mencelakainya. Bukankah pada awalnya kau pun mencurigai
aku sebagai mata-mata bangsa Boan? Keng King-si adalah sahabat
karibku, sementara para pendekar selain tidak mengetahui kejadian
ini, setelah tahu, apa tidak mungkin mereka pun mencurigai dirinya
sebagai mata-mata bangsa Boan juga?"
Keng Giok-keng merasakan hatinya bergolak keras, katanya,
"Kalau begitu aku semakin harus melakukan penyelidikan hingga
jelas, aku tidak boleh membiarkan nama ayahku tercemar! Empek
Kwik, kau pasti sudah mengetahui sesuatu, tolong beri tahukan
kepadaku!"
"Kau bersikeras ingin tahu?”
“Benar!" jawaban Keng Giok-keng tegas. Kwik Bu menghela
napas panjang, ujarnya kemudian, "Padahal aku sendiripun tidak
tahu apa-apa, bila kau bersikeras ingin tahu, mungkin harus
bertanya kepada seseorang....”
"Siapa?"
"Murid pertama dari Ho Ki-bu, Ko Ceng-kim! Pada malam ketika
Ho Ki-bu terbunuh, dia tidak berada di rumah keluarga Ho, baru hari
ke dua ada orang melihat dia pulang dari gunung Boan-liong-san!"
"Maksud.... maksudmu....”


"Aku tidak mengatakan kalau Ko Ceng-kim lah yang telah
membunuh Keng King-si serta Ho Giok-yan, tapi bila diperhitungkan
waktunya sejak sepasang suami istri itu lenyap setelah naik ke
gunung Boan-liong-san, seharusnya mereka telah saling bertemu
muka dengan Toa-suhengnya!"
"Apakah dia tahu kalau ayahku berkenalan denganmu di luar
perbatasan?"
"Aku tidak tahu apakah dia mengetahui akan hal ini, tapi ada
sepucuk surat dariku yang disembunyikan disakunya, menurut apa
yang kemudian kuketahui, surat itu sudah terjatuh ke tangan orang
lain.”
Siapakah "orang lain" itu? Walaupun tidak bisa dikatakan tidak
tersangkut secara langsung dalam peristiwa ini, namun bukan
berarti orang itu tidak ada hubungannya dengan kejadian ini.
Sebab kalau orang itu bukan Ko Ceng-kim, menurut apa yang
dilukiskan Kwik Bu, kemungkinan besar surat itu diperoleh setelah
menggeledah saku Keng King-si kemudian diserahkan kepada
"orang lain".
Aaai.... bukankah Ko Ceng-kim adalah ayah angkatnya, yang kini
sudah menjadi Put-ji Tojin, salah satu Tianglo dari Bu-tong-pay?
Keng Giok-keng sangat berharap kematian orang tuanya sama
sekali tidak ada sangkut pautnya dengan ayah angkatnya itu.
Oleh karena pelbagai kecurigaan dan tanda tanya menyelimuti
benaknya, maka dia sengaja pulang di saat malam telah tiba.
Walaupun dia pergi belum sampai satu tahun, sebuah jangka
waktu yang tidak terlalu lama, akan tetapi kepergiannya kali ini
merupakan kali pertama meninggalkan rumah, tidak heran kalau
perasaan gembira segera menyelimuti hatinya setelah kini tiba
kembali di rumah.
Aneh, kenapa tidak ada yang menyahut meski pintu telah diketuk
berulang kali?
"Ayah, ibu, aku telah kembali!"


Sewaktu memanggil "ayah" dan "Ibu" timbul perasaan aneh
dihati kecilnya, namun luapan perasaannya masih sama seperti
dulu.
Pepatah kuno mengatakan: budi dari ibu kandung tidak bisa
mengalahkan budi terhadap ibu yang memeliharanya, selama ini dia
dipelihara dan dibesarkan oleh Lan Kau-san suami istri, meskipun
sekarang dia sudah tahu kalau mereka bukan orang tua
kandungnya, namun dalam hati kecilnya dia tetap menaruh
perasaan terima kasih dan sayangnya kepada mereka.
Masih belum kedengaran suara jawaban.
"Jangan-jangan mereka tidak berada dirumah, atau terlelap tidur
sangat nyenyak, aaah....! atau jangan jangan mereka sakit?"
Dicekam rasa ragu, sangsi bercampur curiga, terpaksa dia
mendorong sendiri pintu rumah. Ternyata pintu hanya dirapatkan,
begitu didorong segera terbuka.
Begitu melangkah masuk ke dalam rumah, segera terenduslah
bau anyirnya darah!
Buru-buru Keng Giok-keng menyulut lentera yang ada dimeja,
tampak Lan Kau-san dan istrinya telah terkapar ditanah bersimbah
darah, dari mulut mereka terlihat darah masih meleleh keluar.
Untuk sesaat dia jadi tertegun, terperangah.
Kemudian sambil menghantam meja makan kuat kuat, teriaknya
kalap, "Ayah! Ibu! Kalian tidak boleh mati! Siapa pembunuhnya,
katakan kepadaku, katakan kepadaku.... siapa yang telah
membunuh kalian!"
Tentu saja tidak ada orang yang beritahu kepadanya, rasa sakit
karena kepalan yang menghantam meja, membuatnya tersadar dari
luapan emosi, tiba-tiba dia mendengar ada suara lirih sedang
memanggil namanya.
"Adik.... adik....!"
"Siau-Keng-cu, Siau-Keng-cu!"


Dengan langkah sigap dia masuk ke kamar tidur cicinya, disitu
dia temukan Lan Sui-leng sedang berbaring bersama Seebun Yan.
Dalam sekilas pandang Keng Giok-keng sudah tahu kalau mereka
berdua telah terkena racun bubuk pemabuk, tapi suara panggilan
"Siau-Keng-cu" dari Seebun Yan terdengar jauh lebih nyaring, ini
membuktikan kalau racun yang menyerang dirinya jauh lebih ringan.
Tapi dalam keadaan begini dia tidak sempat lagi bertanya
mengapa Seebun Yan bisa tidur dirumahnya, dengan suara keras
segera tanyanya, "Siapa pembunuhnya?"
Mulut Seebun Yan terkatup rapat, dia seperti ingin mengucapkan
sesuatu namun tidak mampu mengutarakannya keluar.
"Dia.... dia adalah....” seru Lan Sui-leng.
Suaranya sangat lirih bagai suara nyamuk, tapi sayang hanya
kata itu yang mampu diucapkan, karena dia sudah kehabisan
tenaga.
Akan tetapi Keng Giok-keng telah memperhatikan wajahnya,
wajah dengan rasa takut, ngeri dan horor yang telah mencapai pada
puncaknya.
Keng Giok-keng semakin gelisah, cepat dia menarik tubuh
encinya, menempelkan tangan di punggungnya dan menyalurkan
tenaga dalam ke tubuhnya.
"Apakah perbuatan siluman wanita Siang Ngo-nio?" tanyanya.
Dengan mengerahkan segenap sisa kekuatan yang dimiliki,
akhirnya Lan Sui-leng berseru, "Dia.... dia adalah.... adalah ayah
angkatmu!"
Keng Giok-keng bersuara nyaring tidak berani percaya dengan
pendengaran sendiri, bentaknya, "Kau.... apa kau bilang?"
"Walaupun aku tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri,
namun tidak bakalan salah mendengar, pembunuhnya memang tosu
bajingan Put-ji!" kata Lan Sui-leng lagi.


Keng Giok-keng ingin menangis namun ddak ada air mata yang
jatuh berlinang, sepasang matanya merah membara seperti
sembuaran api di mulut kawah.
Setelah tertegun cukup lama, tiba-tiba dia mengeluarkan dua
butir pil dan dijejalkan ke mulut mereka, kemudian tanpa
mengucapkan sepatah kata pun dia membalikkan tubuh dan lari
keluar rumah.
"Adik, kau....” jerit Lan Sui-leng.
"Aku tidak punya waktu untuk menunggu kalian, pembunuhan
atas orang tuaku lebih dalam dari samudra, aku harus bertanya
kepadanya hingga jelas, aku harus bertanya hingga jelas!"
Apa yang akan ditanyakan? Walaupun tidak dia jelaskan namun
Lan Sui-leng telah memahami maksud hatinya. Dia ingin bertanya,
mengapa Put-ji begitu sayang terhadap dirinya hingga melebihi
hubungan seorang ayah dan anak, tapi mencelakai orang tuanya?
Namun kata depan dan kata belakang yang diucapan Keng Giokkeng
justru bukan merupakan satu rangkaian kata, hal ini tidak
pernah terbayangkan Lan Sui-leng sebelumnya.
Pil yang diberikan Keng Giok-keng untuk mereka tidak lain adalah
dua butir Siau-huan-wan yang ditinggalkan Hwee-ko Thaysu
kepadanya, Siau-huan-wan merupakan obat mujarab dari biara
Siau-lim, khasiatnya adalah untuk memperkuat daya tahan tubuh,
sekalipun bukan obat pemunah bubuk mabuk dari keluarga Tong,
namun sangat bermanfaat untuk mengembalikan kondiri tubuh
mereka.
Tidak sampai seperminum teh kemudian mereka berdua telah
dapat duduk kembali, berbicara dan duduk seperti orang biasa.
"Adikmu benar benar patut dikasihani,” tiba-tiba Seebun Yan
berkata sambil menghela napas, "coba kalau berganti aku, mungkin
perasaan hatiku pun amat kalut dan terjadi pertentangan batin!"
Lan Sui-leng baru saja kehilangan sepasang orang tuanya,
perasaan benci dan dendam menyelimuti hatinya, dalam keadaan


begini tentu saja jalan pikirannya berbeda dengan jalan pikiran
Seebun Yan.
Dengan mata mendelik tanyanya, "Pertentangan batin apa? Masa
kau tidak mendengar, diapun mengatakan dendam orang tua
sedalam lautan? Sekalipun dia mempunyai orang tua lain, tapi dia
dibesarkan dirumahku, orang tuaku adalah orang tuanya juga!"
"Tapi diapun mengatakan kalau akan pergi bertanya hingga
jelas!" kata Seebun Yan.
"Maksudmu, dia menaruh curiga atas perkataanku?"
"Bukan hanya itu saja maksudnya.”
"Kalau begitu kau kuatir dia masih teringat hubungannya sebagai
guru dan murid, hubungan antara ayah angkat dengan anak,
sekalipun sudah tahu kalau ayah angkatnya adalah pembunuh yang
telah menghabisi nyawa orang tuanya, namun tetap tidak tega
untuk membalas dendam?"
"Dia bukannya tidak percaya, tapi tidak ingin percaya. Jelas
dalam hal ini terdapat perbedaan yang besar.”
"Lantas kenapa?"
"Oleh sebab itulah dia ingin menanyakan masalah ini hingga
jelas, moga-moga saja kesimpulan yang kau peroleh tidak akan
menjadi kenyataan.”
"Orang yang membunuh ayah ibuku adalah ayah angkatnya, hal
ini merupakan "kenyataan" yang kita dengar sendiri, memangnya
masih mungkin terdapat "kenyataan" lain?"
"Kau jangan lupa,” kata Seebun Yan cepat, "kita hanya
"mendengar", bukan "menyaksikan" dengan mata kepala sendiri!"
"Semua pembicaraan antara ayahku dengan tosu bajingan itu
kita ikuti dengan sangat jelas, apakah dalam hal ini kita perlu
melihat dengan mata kepala sendiri?"
"Benar, aku memang masih sedikit agak sangsi.”


"Apa lagi yang kau sangsikan?"
Seebun Yan tidak langsung menjawab pertanyaan itu, dia seakan
terjerumus dalam pemikiran yang sangat mendalam, setelah lewat
beberapa saat kemudian dia baru berkata lagi, "Tadi kau bertanya
kepadaku, apakah aku khawatir adikmu tidak tega untuk turun
tangan? Sekarang aku dapat menjawab pertanyaanmu itu, aku
bukan hanya khawatir, bahkan merasa sangsi. Sebab setelah
kubayangkan kembali semua peristiwa yang baru saja terjadi,
memang nyata sekali terdapat banyak bagian yang sukar
dimengerti!"
"Baik, coba kau sebutkan!"
Begitu mendengar perkataan dari Seebun Yan ini, seketika dia
pun dibuat tertegun.
Pada saat Seebun Yan sedang menunjukkan beberapa hal yang
membuatnya "sangsi" dan "curiga", waktu itu sang pembunuh Put-ji
Tojin sedang merasa amat masgul di dalam kamarnya.
Siang tadi, demi menghindari keributan dengan Siang Ngo-nio
dan dipaksa oleh keadaan, terpaksa dia berjanji akan bertemu
dengan perempuan itu pada malam nanti di kompleks pemakaman.
Kini bayangan rembulan telah condong ke langit barat, waktu
sudah menunjukkan kentongan ke tiga.
"Malam sudah begini larut, mengapa dia belum juga munculkan
diri? Mungkin kah dia tidak jadi datang?"
Sejujurnya dia sangat tidak ingin bertemu dengan Siang Ngo-nio,
tapi bila malam ini dia tidak datang, besar kemungkinan besok
malam akan datang juga, sekalipun besok malam, atau malam lusa
dia tidak datang juga, bibit musibah masih tetap ada!
"Aaaai, yang harus datang biarlah segera datang! Dengan begitu
urusan pun segera dapat terselesaikan!"
Pada saat pikirannya sedang kalut itulah, tiba-tiba terdengar
seseorang tertawa merdu sambil berseru, "Maaf, aku harus


membuatmu menunggu cukup lama!"
Tidak salah, yang akan datang akhirnya datang juga, Siang Ngonio
telah muncul dihadapannya!
"Ngo-nio, dengarkan aku....” seru Put-ji.
Dia ingin berusaha untuk terakhir kalinya untuk membujuk
perempuan itu agar pergi meninggalkan dirinya. Tapi bila dia tetap
bersikeras ingin merecokinya, maka satu-satunya jalan adalah
menggunakan segala cara untuk menyelesaikan masalah ini
secepatnya.
Tapi Siang Ngo-nio bukan saja tidak mau menuruti bujukannya,
bahkan dengan gelisah berseru, "Tidak bisa menunggu lagi, cepat
pergi, cepat pergi!"
"Kau pergilah sendiri!"
Tiba-tiba Siang Ngo-nio menunjukkan mimik muka yang sangat
aneh, seakan sangat mengkhawatirkan keselamatannya, tapi seperti
juga membawa nada ejekan dan sindiran, seolah mara bahaya
sedang mengancam jiwanya.
"Kau keliru besar, kali ini kau harus pergi dari sini!"
Put-ji Tojin ingin sekali mendorong perempuan itu, tapi ingatan
lain segera melintas, dia merasa belum waktunya untuk ribut
dengan perempuan ini, terpaksa sambil menahan sabar dia
bertanya, "Kenapa?"
"Kau benar benar amat tolol,” sengaja Siang Ngo-nio
menunjukkan senyum tidak senyum, "kita telah melakukan
perbuatan yang tidak sepatutnya kita lakukan, masa tidak mau
kabur?"
Put-ji Tojin salah mengartikan ucapan itu, sambil menarik muka
tegurnya, "Bicaralah yang benar!"
"Aku sedang bicara benar dan serius, tahukah kau, bocah muda
itu sudah kembali!"


"Bocah muda mana yang kau maksud?"
"Tentu saja bocah muda yang kau cintai, tapi juga paling kau
takuti. Bocah itu mempunyai dendam kesumat sedalam lautan
denganmu, coba bayangkan saja, kecuali dia tidak tahu duduk
persoalan yang sebenarnya, kalau tidak apakah tidak mungkin dia
menyusul kemari untuk mencari balas terhadapmu?"
Ucapan itu dengan telak menyinggung penyakit hati Put-ji,
persoalan inilah yang selama beberapa hari terakhir menghantui
pikiran dan perasaan hatinya.
Dia pernah berniat akan menyatakan penyesalannya di hadapan
anak angkatnya itu, mengaku semua perbuatannya secara terus
terang; dia pun pernah berpikir untuk memanfaatkan hubungan
perasaan anak angkat terhadapnya untuk mengarang sebuah cerita
bohong dan melanjutkan usahanya untuk mengelabuhi bocah itu.
Bahkan diapun pernah berpikir, bilamana keadaan terpaksa, dia
lebih suka mengorbankan orang lain dari pada dirinya terjerumus
dalam rasa malu karena namanya ternoda dan tercemar.
Untuk beberapa saat pikiran itu berada diatas angin, tapi
beberapa saat kemudian pikiran lain yang berada diatas angin,
hingga detik ini dia masih tetap ragu dan tidak berani mengambil
keputusan.
"Sebagai seorang lelaki, kau harus segera mengambil
keputusan,” ujar Siang Ngo-nio, "mumpung bocah itu belum tiba,
kalau sekarang tidak pergi, kau hendak menunggu sampai kapan
lagi?"
Put-ji Tojin masih tetap sangsi, tapi Siang Ngo-nio sempat
menariknya untuk kabur beberapa langkah meninggalkan tempat
itu.
Pada saat itulah mendadak terdengar suara seseorang
menghardik dengan nada gemetar, "Put-ji, kau masih ingin
melarikan diri?"
Biarpun suaranya agak gemetar, namun nadanya dingin dan kaku


sekali.
Satu lagi, yang harus datang akhirnya datang juga. Put-ji Tojin
merasakan hatinya tergoncang keras, tanpa sadar dia menghentikan
langkahnya.
Orang yang muncul persis dihadapannya saat ini tidak lain adalah
anak angkatnya, Keng Giok-keng!
"Keng-ji, kau....”
Dialah yang menyaksikan Keng Giok-keng lahir ke dunia ini,
aaai.... dari situlah panggilan "Keng-ji" berasal.
"Kau masih memanggil aku Keng-ji? Aku telah mengetahui segala
sesuatunya!" kata Keng Giok-keng sambil menggigit bibir.
Put-ji Tojin menghela napas panjang.
"Aku pun tahu, hari seperti ini akhirnya pasti akan tiba juga, tapi
tidak mengira datang dengan begitu cepat! Anak.... anak Keng....
apa yang ingin kau lakukan?"
"Jadi kaupun tahu kalau telah melakukan perbuatan yang sangat
memalukan?"
"Betul! Setelah kejadian ini, aku sempat merasa menyesal, akan
tetapi....”
"Jangan tapi-tapian!" bentak Keng Giok-keng, "aku hanya ingin
bertanya kepadamu, mengapa kau bunuh ayah ibuku?"
Pucat pias wajah Put-ji bagaikan mayat, katanya gemetar,
"Peristiwa itu terjadi pada delapan belas tahun berselang, aku tidak
tahu harus mulai bicara dari mana....”
Dia menyangka "ayah ibu" yang dimaksud Keng Giok-keng
adalah orang tua kandungnya, oleh sebab itu begitu buka suara dia
langsung menyinggung soal peristiwa pada "delapan belas tahun
berselang.”
Mana dia tahu kalau perkataan itu sama halnya telah mengakui
semua perbuatannya.


Setelah melakukan perjalanan ke Liauw-tong kali ini, Keng Giokkeng
berhasil mengumpulkan banyak data dan keterangan dari
pelbagai pihak tentang kejadian di masa lampau, dari semua
keterangan tersebut sudah timbul perasaan curiga di hati kecilnya.
Tapi sekarang, setelah mendengar sendiri pengakuan yang
langsung muncul dari mulut Put-ji, yang mana semakin
membuktikan kalau Put-ji lah sang pembunuh yang telah
mencelakai ayah ibu kandungnya, dia merasakan hatinya
bergoncang keras, begitu terpukul batinnya yang membuat dia jadi
sedih bercampur gusar.
"Hmm, kau tidak tahu harus berbicara dari mana? Apakah ingin
mengarang cerita bohong lagi untuk menipuku? Ingat, aku sudah
bukan bocah berusia tiga tahun, mau mengaku mau tidak, aku tetap
akan menuntut keadilan darimu!"
Sinar berapi-api serasa memancar keluar dari sepasang mata
Keng Giok-keng, nada ucapannya dingin, tajam dan tanpa perasaan.
Tiba-tiba Siang Ngo-nio menimbrung, "Ceng-kim, kalau kau tidak
tahu bagaimana harus berbicara, biar aku mewakilimu untuk
menjawab. Sederhana sekali, bila kau tidak bisa mengendalikan diri,
langit dan bumi akan memusnahkan dirimu!"
Put-ji Tojin menghela napas panjang.
"Benar,” sahutnya, "dalam peristiwa ini, aku memang terdorong
oleh perasaan egois, tapi dibalik ke semuanya ini terselip pula
banyak kesalahpahaman!"
Keng Giok-keng tidak kuasa menahan diri lagi, tiba-tiba
bentaknya nyaring, "Kau telah membunuh ayah dan ibu yang telah
memeliharaku selama ini, apakah kejadian inipun sebuah kesalahpahaman?"
Put-ji Tojin kelihatan sangat terkejut, jeritnya,
"Apa.... apa kau bilang?"
"Kau masih ingin menyangkal?" kembali Keng Giok-keng


membentak, "mengingat kau pernah memelihara dan membesarkan
aku, bunuhlah dirimu sendiri! Kalau tidak, jangan salahkan aku....”
Tangannya sudah mulai menggenggam gagang pedang.
Tiba-tiba Siang Ngo-nio mengayunkan tangannya, segenggam
jarum beracun segera dilontarkan ke depan, bentaknya, "Ceng-kim,
kejadian telah berkembang jadi begini, bila kau tidak
membunuhnya, dialah yang akan membunuhmu! Cepat turun
tangan membunuhnya!"
Sejak awal Keng Giok-keng sudah membuat persiapan, begitu
jarum Lebah hijau dari Siang Ngo-nio meluncur ke arahnya, dia
segera mengibaskan pedangnya menciptakan selapis cahaya yang
segera menghancur lumatkan jarum-jarum itu.
Sejak mencabut pedang, melambung sampai melancarkan
serangan semua dilakukan bersamaan waktu, jurus serangan yang
digunakan tidak lain adalah Pek-hok-liang-ci, jurus yang diajarkan
Put-ji.
Maksud tujuannya adalah ingin menunjukkan kepada ayah
angkatnya bahwa jurus Thay-kek-kiam-hoat yang dia ajarkan itu
sama sekali tidak berguna. Dia ingin melihat bagaimana reaksi dari
ayah angkatnya itu.
Dalam situasi yang amat kritis itu, Put-ji Tojin merasa kegirangan
setengah mati setelah menyaksikan bocah itu mengeluarkan jurus
serangan ajarannya.
"Untung aku telah menyiapkan hal ini untuk mengantisipasi hal
hal yang tidak diinginkan!" demikian dia berpikir (GB15).
Tanpa berpikir panjang lagi dia segera membalas dengan
menggunakan jurus Pek-hok-liang-ci yang asli.
Begitu dilancarkan, gerak pedangnya melambung di udara
bagaikan burung bangau sedang mementang sayap. Tapi sayang
gerakan yang dilakukan Keng Giok-keng terlampau melebar,
meskipun sangat indah dipandang namun bila digunakan dalam
pertarungan nyata, jelas terbuka sebuah titik kelemahan yang


sangat besar.
Dengan gerakan sangat cepat ujung pedang Put-ji menusuk
masuk ke dalam titik kelemahan dari Keng Giok-keng, asal dia
menusukkan pedangnya dengan sepenuh tenaga, maka ujung
pedang akan segera menghujam di atas dadanya.
Pada detik itulah Put-ji merasakan jantungnya berdebar keras,
pikirnya, 'Mana boleh kulukai bocah ini?'
Buru-buru dia menarik kembali berapa bagian tenaganya, ujung
pedangnya segera dicongkel perlahan, maksudnya ingin menotok
beberapa buah jalan darahnya agar bocah itu tidak mampu berkutik.
Siapa tahu biarpun jalan pikirannya bergerak cepat, gerakan
Keng Giok-keng jauh lebih cepat lagi.
Bocah itu berani menggunakan jurus palsu untuk menjebak ayah
angkatnya, tentu saja karena dia punya keyakinan untuk
menghadapi perubahan tersebut, begitu menyaksikan pedang Put-ji
telah menusuk masuk ke bagian tubuhnya yang terbuka, tentu saja
dia tidak berani ambil resiko, cepat jurus sesungguhnya dia
gunakan.
Saat itu kemampuan ilmu pedang Put-ji belum sempat mencapai
taraf pengendalian sesuai dengan jalan pikiran,
terdengar....”Traaaang!" tahu-tahu pedangnya sudah terpapas
kutung jadi dua bagian.
Tapi bersamaan waktu perasaan hati Keng Giok-keng pun sedikit
tergerak, timbul setitik keraguan di hatinya.
Sampai dimana kemampuan tenaga dalam yang dimiliki ayah
angkatnya, tentu saja dia tahu dengan pasti, sekalipun ilmu
pedangnya masih belum mampu melampaui kemampuannya,
namun mustahil senjatanya bisa dikutungi dengan begitu gampang.
"Jangan-jangan diapun berniat mengampuni jiwaku?"
Sayang di samping mereka masih hadir si Lebah hijau Siang Ngonio,
tentu saja perempuan itu tidak akan membiarkan dia bertindak


lebih jauh.
Bersamaan dengan dilepasnya tiga batang paku penembus
tulang, sepasang golok Wan-yo-to di tangan Siang Ngo-nio segera
membacok ke arahnya bertubi-tubi.
Sepasang golok yang digunakan Siang Ngo-nio itu satu panjang
satu pendek, biasanya sewaktu bertarung melawan orang, golok
panjangnya digunakan untuk melindungi tubuh sementara golok
pendeknya dipakai untuk menyerang musuh. Tapi kini, tanpa
menunggu teriakan dari Put-ji lagi, sepasang goloknya langsung
diayunkan ke depan melancarkan serangan.
Saat itu Keng Giok-keng telah berhasil memukul rontok dua
batang jarum penembus tulang, jarum ke tiga menyambar lewat
persis di atas bahunya, senjata rahasia itu berhasil dipunahkan
tenaganya oleh pancaran hawa murninya, karena itu meluncur dan
rontok di sisi tubuhnya.
Oleh karena, pertama, perasaan hatinya tidak tenang, ke dua
harus menghadapi pula senjata rahasia beracun dari Siang Ngo-nio,
hampir saja tubuhnya terbacok oleh golok pendek Siang Ngo-nio.
"Breeet!" terdengar suara kain yang tersambar robek, ujung
bajunya telah terbabat hingga robek sebagian.
Dengan cekatan Siang Ngo-nio menyelinap ke samping lalu
mundur ke sisi Put-ji Tojin, tiba-tiba dia menjejalkan sebuah benda
ke tangan toosu itu, kemudian teriaknya, "Kau tidak usah takut, asal
kita bekerja sama, bocah itu pasti dapat teratasi, namun kau tidak
boleh punya perasaan tidak tega!"
Ternyata benda yang dijejalkan ke tangan Put-ji Tojin itu tidak
lain adalah sebilah pedang lemas yang tergulung, rupanya jauh
sebelumnya perempuan ini telah menduga sampai disitu, karenanya
dia telah menyiapkan sebilah pedang pengganti untuk Put-ji Tojin.
Begitu mendengar teriakan dari Siang Ngo-nio itu, Keng Giokkeng
segera berpikir lagi, "Tidak benar, sekalipun dalam jurus


serangan tadi dia berniat mengampuni jiwaku, tapi bagaimana pun
juga dia telah mencelakai orang tuaku, telah membunuh mati ayah
dan ibu yang telah memelihara aku selama ini!"
Berpikir sampai di situ, permainan pedangnya segera dilancarkan
secepat petir, dalam waktu singkat dia telah melancarkan delapan
belas jurus serangan, pada mulanya tiga jurus pertama diarahkan ke
tubuh Put-ji Tojin, disusul kemudian tiga jurus berikut dia
menyerang ke arah Siang Ngo-nio, delapan belas jurus serangan
dirangkai menjadi tiga buah lingkaran berantai.
Dalam waktu yang teramat singkat, Put-ji Tojin maupun Siang
Ngo-nio masing-masing telah mendapat tiga kali serangan kalap.
Berhubung permainan pedangnya telah mencapai tingkat kecepatan
yang luar biasa, waktu jedah baginya seolah sama sekali tidak ada,
Put-ji Tojin maupun Siang Ngo-nio harus menghadapi serangan
demi serangan secara bertubi-tubi tanpa berhenti.
Di tengah pertempuran sengit, Keng Giok-keng dengan jurus
Tay-mo-ku-yan (asap tunggal di tengah gurun) pedangnya lurus
bagaikan tombak, ujung pedangnya langsung menusuk ke arah
tenggorokan Put-ji Tojin.
Sadar kalau serangan itu sulit dihindari lagi, Put-ji Tojin menghela
napas sambil bergumam, “Karma, karma!"
Dia pun memejamkan mata sambil menunggu saat datangnya
kemarian.
Tapi entah mengapa, dia hanya merasakan mata pedang yang
dingin bagaikan es itu seolah menyambar lewat persis dari atas kulit
lebernya, tiada rasa sakit, tiada darah yang mengalir, namun Put-ji
Tojin dengan bermandikan keringat dingin telah roboh terjungkal ke
belakang.
Dalam pada itu Keng Giok-keng sendiripun sedang menghela
napas sambil berpikir, "Dia adalah musuh besar pembunuh ayahku,
mengapa aku masih teringat akan budi kebaikannya?
Yaa sudahlah, lebih baik kubantai dulu perempuan siluman ini!"


Taktik pertarungan Keng Giok-keng segera berubah, dengan
tenaga sebesar tujuh bagian dia mulai melancarkan serangan ke
arah Siang Ngo-nio. Tidak selang beberapa gebrakan kemudian
perempuan itu sudah dibuat keteter hebat dan kalang kabut
dibuatnya.
Baru saja dia akan melancarkan serangan mematikan, tiba-tiba
jalan darah Huan-tiau-hiat pada lututnya terasa linu, ujung
pedangnya pun segera meleset ke samping.
Perubahan yang terjadi ini sangat mendadak dan sama sekali
tidak terduga oleh Keng Giok-keng sebelumnya.
Berdasarkan perasaan hatinya, benda yang menyentuh lututnya
adalah sejenis batu pasir yang amat lembut, tapi dia tidak tahu
apakah benda tersebut benar adalah batu pasir ataukah merupakan
sejenis senjata rahasia berbentuk pasir.
Disangkanya senjata rahasia ini dilepas Siang Ngo-nio di saat
jiwanya sedang terancam, segera pikirnya dengan terkesiap, 'Tidak
kusangka kemampuan siluman perempuan ini dalam melepaskan
senjata rahasia jauh diluar dugaan ku, tidak jelas dengan cara apa
dia melepaskan senjata rahasianya, ternyata bukan saja aku tidak
melihatnya, merasakan pun tidak.'
Siang Ngo-nio sendiri yang baru lolos dari kematian merasakan
hatinya tergerak, walaupun dia tidak merasa ada senjata rahasia
yang datang dari luar jendela, namun dari perubahan mimik muka
Keng Giokkeng, dia tahu pasti sudah terjadi sesuatu. Tiba-tiba
bentaknya, "Aku tahu kau sedang bersembunyi diluar! Hmm, kalau
memang tidak ingin berjumpa denganku, tidak usah pinjam golok
membunuh orang! Kau sangka dengan meminjam tangan bocah ini
membunuhku, maka semua rahasiamu bakal tersimpan rapi. Hmm,
terus terang saja kukatakan, sejak awal aku sudah....”
Dengan teriakan tersebut, baik Keng Giok-keng maupun Put-ji
Tojin segera menyangka "dia" yang dimaksud adalah Tong Jisianseng.
Keng Giok-keng segera berpikir, "Jangan-jangan si tua bangka


dari marga Tong benar-benar bersembunyi diluar? Tidak heran
kalau senjata rahasia yang dia lancarkan begitu lihay dan luar
biasa!"
Sebaliknya Put-ji Tojin setelah merasakan terkejut bercampur
girang, dia pun merasa curiga.
Kalau didengar dari nada pembicaraan Siang Ngo-nio, tidak
seharusnya dia bersikap sekasar itu terhadap Tong Ji-sianseng,
apalagi ucapannya tentang "pinjam golok membunuh orang", hal ini
semakin membuatnya tidak habis mengerti.
Apalagi rahasia yang dimaksud Siang Ngo-nio, bila ditujukan
untuk hubungan khususnya dengan Tong Ji-sianseng, maka
seharusnya "rahasia" yang dimaksud sudah bukan merupakan
sebuah rahasia lagi. Jagoan mana dalam dunia persilatan yang tidak
tahu kalau Siang Ngo-nio adalah kekasih simpanannya?
Lalu selain "rahasia" tersebut, mungkinkah Tong Ji-sianseng
masih mempunyai "rahasia" lain yang bisa dibuat bahan ancaman?
Tentu saja kecurigaan itu hanya terbatas pada pemikiran Put-ji
Tojin, bagi Keng Giok-keng sendiri, pikirannya tidak secermat dan
sedetil itu.
Karena kuatir Siang Ngo-nio memperoleh bala bantuan yang
tangguh, kuatir juga kemampuan Siang Ngo-nio dalam melepaskan
senjata rahasia benar-benar di luar dugaannya, begitu lewat rasa
kagetnya, dia semakin memperketat serangan yang dilancarkan,
jurus pedang yang digunakan pun semakin luar biasa.
Dia ingin memaksa Siang Ngo-nio keteter hebat sehingga tidak
berkesempatan melepaskan senjata rahasia, andaikata senjata
rahasia itu berasal dari luar pun, dia akan melakukan penjagaan
yang ketat hingga serangan itu tidak tembus dari lingkaran
pedangnya.
Di bawah serangan yang gencar dan dahsyat, posisi Siang Ngonio
semakin gawat, jangankan untuk meloloskan diri, kesempatan
untuk berbicara pun sudah tidak punya.


Suasana di luar sana masih tetap hening, sama sekali tidak
nampak sesuatu gerakan.
Kembali Put-ji Tojin berpikir, "Andaikata Tong Ji-sianseng berada
diluar, dia seharusnya sudah masuk kemari. Berarti ucapan Ngo-nio
yang ngawur dan ngaco belo itu tidak lebih hanya ingin menakutnakuti
anak Keng. Tapi gertak sambal semacam ini hanya bisa
dilakukan sekali dan tidak mungkin berulang. Aaai.... andaikata
Tong Tiong-san benar-benar telah datang, aku pun bisa luput dari
kematian.”
Perasaan putus asa seketika mencekam perasaan hatinya, timbul
sudah niatnya untuk pasrah.
Jalan pikiran Keng Giok-keng sama seperti apa yang dia pikirkan,
dia menduga Siang Ngo-nio hanya gertak sambal belaka, maka
sambil tertawa dingin sindirnya, "Siluman perempuan, kau sudah
banyak melakukan kejahatan, tidak ada orang yang bisa
menolongmu lagi!"
Tenaga dalamnya segera dihimpun ke ujung pedang, jurus
serangan dilancarkan secepat petir, kali ini dia lancarkan serangan
mematikan!
"Traaang....!" golok panjang pelindung tubuh Siang Ngo-nio telah
terpapas kutung jadi dua bagian. Ujung pedang Keng Giok-keng
yang tajam tahu-tahu sudah berada di depan dadanya.
Put-ji Tojin berseru kaget, tanpa memperdulikan keselamatan
sendiri dia getar pedang lemasnya hingga tegak lurus lalu secara
tiba-tiba menggulung ujung pedang Keng Giok-keng.
Keng Giok-keng mendengus dingin, dengan jurus Hun-hui-samuh
(barisan awan menari-nari) yang disertai tenaga dalam dia babat
pedang lemas di tangan Put-ji Tojin hingga patah jadi dua bagian.
Dimana pedang itu menyambar lewat, bahu kanan tosu itu segera
terbacok hingga muncul luka yang sangat dalam.
"Anak Keng,” dengan wajah pucat pias Put-ji menghardik, "bila
kau menginginkan nyawaku, segera akan kuserahkan, tapi


dengarkan dulu sepatah dua patah perkataanku!"
Keng Giok-keng membungkam tanpa bicara, walaupun pedang
itu masih terarah ke tubuhnya, namun ujung pedangnya telah
ditarik mundur dua inci dari tenggorokannya.
Kelihatannya Siang Ngo-nio tidak setakut tosu itu, bahkan secara
tiba-tiba dia tertawa terkekeh, ujarnya, "Ceng-kim, ternyata kau
memang baik kepadaku. Cukup berharga bagiku untuk mati
bersamamu. Baik, mari kita beradu nyawa dengan bocah keparat
ini!"
Begitu selesai bicara, tiba-tiba dia membusungkan dadanya,
pakaian luar yang dikenakan tiba-tiba terbuka lebar, kemudian
dengan gerakan yang paling cepat dia melepaskan tiga buah
kancing dari pakaian itu.
Ke tiga kancing itu berwarna tembaga, sekilas pandang dapat
dilihat kalau terbuat dari bahan logam. Namun Put-ji Tojin tahu
kalau kancing itu merupakan senjata rahasia yang amat dahsyat,
disebut Lui-hwee-tan (peluru api guntur). Di dalam kancing itu
tersimpan bahan peledak berkekuatan tinggi, andaikata ke tiga biji
kancing Lui-hwee-tan itu sampai meledak berbarengan, biarpun
memiliki ilmu silat yang lebih hebat pun tubuh bakal terpisah hingga
hancur berkeping keping.
Tapi saat ini Keng Giok-keng berdiri saling berhadapan dengan
mereka, andaikata peluru Lui-hwee-tan itu meledak, tentu saja
bukan Keng Giok-keng seorang yang tewas, tapi seperti yang
dikatakan Siang Ngo-nio tadi: mereka akan mati bersama!
Keng Giok-keng tidak mengetahui kalau senjata rahasia itu
merupakan senjata rahasia paling dahsyat dari keluarga Tong, dia
jadi bingung dan tidak habis mengerti ketika melihat perempuan itu
melepaskan pakaian luarnya, dengan gusar segera umpatnya,
"Perempuan siluman yang tidak tahu malu, kematian sudah didepan
mata pun masih ingin bermain busuk?"
Siang Ngo-nio tertawa dingin, baru saja dia akan melemparkan
peluru lui-hwee-tan itu, mendadak pergelangan tangannya terasa


mengencang, suatu perubahan yang sama sekali tidak terduga telah
terjadi.
Rupanya diluar dugaan Put-ji Tojin telah turun tangan, dengan
satu gerakan kilat tiba-tiba dia merebut ke tiga butir Lui-hwee-tan
itu dari genggamannya.
Saat itu seluruh konsentrasi Siang Ngo-nio hanya tertuju untuk
menghadapi lawan, mimpi pun dia tidak menyangka kalau
kekasihnya bakal menyergap dirinya.
Agak tertegun dia pun berteriak, "Hey, mau apa kau?"
Disangkanya karena terdesak oleh anak angkatnya, timbul rasa
benci dihati tosu itu hingga ingin meledakkan sendiri Keng Giokkeng.
Karena dianggapnya dengan cara apapun toh hasilnya mati juga,
maka perempuan itupun tidak melakukan tindakan lebih jauh.
Lagi-lagi satu kejadian di luar dugaan berlangsung di depan
mata, ternyata Put-ji Tojin tidak melemparkan peluru Lui-hwee-tan
itu, melainkan menyimpannya ke dalam saku.
Bahan peledak dari Lui-hwee-tan tersimpan dalam sebuah
kerangka yang terbuat dari logam, dibutuhkan tenaga benturan
yang kuat untuk membuat benda itu meledak, andaikata tidak
dilempar dengan kekuatan besar, maka benda tersebut baru akan
meledak jika ditekan dengan jari tangan. Kini semua benda tadi
sudah disimpan ke dalam saku, dengan sendirinya tidak mudah bagi
orang lain untuk meledakkannya.
Dengan perasaan heran bercampur sangsi kata Siang Ngo-nio,
"Kejadian telah berkembang jadi begini rupa, apakah kau masih
berat hati untuk mati?"
"Biar harus mati pun aku harus menanyakan persoalan ini hingga
jelas!" sahut Put-ji Tojin.
Hingga detik itu Keng Giok-keng masih belum sadar kalau baru
saja dia berjalan keluar dari pintu gerbang kematian. Dengan


pandangan bingung, tidak habis mengerti dia awasi kedua orang itu.
Terdengar Put-ji Tojin berkata lagi, "Benarkah ayah ibumu telah
meninggal? Mati keracunan atau mati terbunuh?"
Sekali lagi api amarah membara di hati Keng Giok-keng,
bentaknya gusar, "Kalian telah bersekongkol untuk melakukannya,
apakah masih menyangkal?"
"Oooh, kalau begitu mereka keracunan lebih dulu kemudian baru
dibunuh?"
Jari tangan Keng Giok-keng yang menggenggam pedang mulai
tampak gemetar, jelas terjadi pergolakan emosi dihatinya,
bentaknya gusar, "Seharusnya akulah yang mengajukan pertanyaan
ini kepada kalian!"
Sebagaimana diketahui, dia baru tiba di rumah setelah ayah dan
ibunya mati terbunuh, menyusul kemudian dia menjumpai encinya
serta Seebun Yan terkena bubuk pemabok, maka setelah Put-ji Tojin
mengajukan pertanyaan itu, dia mengira ayah ibunya keracunan
lebih dahulu kemudian baru mati terbunuh.
Put-ji Tojin sudah berhubungan dengan Lan Kau-san hampir dua
puluh tahun lamanya, tidak heran bila dia merasa tidak tega untuk
turun tangan sendiri, jadi sangat masuk diakal bila dia meracuni
dulu korbannya kemudian baru turun tangan menghabisi nyawanya.
Sebaliknya Put-ji Tojin yang mendengar perkataan itu,
disangkanya kejadian yang sebetulnya memang demikian. Dalam
waktu singkat paras mukanya yang semula putih keabu-abuan kini
dilapisi pula dengan warna hijau menyeramkan.
Kepada Siang Ngo-nio tiba-tiba bentaknya gusar, "Kau yang
membunuh Lan Kau-san suami istri!"
"Bukan aku,” Siang Ngo-nio segera menyangkal, "tapi akupun
tahu juga bukan perbuatanmu!"
"Lantas perbuatan siapa?"
"Aku tidak tahu!" sahut Siang Ngo-nio, padahal dalam hatinya dia


telah menduga seseorang, namun dia masih menyimpan secerca
harapan, karena itu tidak berani menyebutkan nama orang itu
secara terus terang.
"Tentu saja bukan aku,” seru Put-ji Tojin sambil tertawa dingin,
"tapi kau pun jangan harap bisa berkelit!"
Siang Ngo-nio melototkan sepasang matanya bulat bulat,
mendadak perasaan gusar menyelimuti wajahnya.
Tiba-tiba dia mendongakkan kepalanya tertawa terbahak-bahak,
teriaknya, "Ko Ceng-kim, kau ingin aku memikul tanggung jawab ini
seorang diri! Hahahaha.... Keng Giok-keng, dengarkan baik-baik,
aku akan mengakui semua kesalahanku. Apa yang kau katakan
benar, memang aku bekerja sama dengan gurumu yang telah
membunuh ayah dan ibumu!"
Perempuan ini menyangka Put-ji Tojin akan mengkhianatinya
agar bisa bertahan hidup, dalam gusar dan emosinya, dia pun
langsung menggigit Put-ji Tojin dan menyeretnya ke dalam kasus
pembunuhan ini.
"Perempuan racun, kau benar-benar keji!" umpat Put-ji Tojin
gusar, dia segera mengangkat kurungan pedangnya dan langsung
dihujamkan ke dada Siang Ngo-nio.
Perubahan yang terjadi sama sekali di luar dugaan Keng Giokkeng,
tapi perubahan yang kemudian menyusul semakin
membuatnya melengak.
Di saat yang kritis itulah tiba-tiba terdengar suara dentingan
nyaring bergema memecahkan keheningan, "Triiiing!" sebiji baru
tahu-tahu melesat masuk dari luar jendela dan merontokkan
kutungan pedang di tangan Put-ji Tojin.
Bersamaan dengan rontokkan kutungan pedang itu, sebutir batu
lain memadamkan api lentera dalam ruangan, seketika ruang kamar
itu berubah jadi gelap gulita, sedemikian gelap hingga sukar melihat
ke lima jari tangan sendiri.
Saat itu Keng Giok-keng telah membuat persiapan, buru-buru dia


tempelkan tubuhnya ke sudut dinding, pedangnya diputar untuk
melindungi tubuh. Asal senjata rahasia tidak ditujukan ke tubuhnya,
dia pun enggan ambil peduli atas keselamatan Put-ji Tojin serta
Siang Ngo-nio.
Di balik kegelapan malam, terdengar lagi suara desingan tajam
membelah bumi, terlihat seutas tali menyambar masuk dari luar
jendela, tiba-tiba tali itu menggulung tubuh Siang Ngo-nio kemudian
membetotnya keluar dari ruangan.
Semua perubahan yang terjadi diluar dugaan ini berlangsung
dalam waktu singkat, menanti mereka sadar akan apa yang telah
terjadi, suasana di luar sana sudah pulih dalam keheningan dan
tidak terdengar suara apa-apa lagi.
Keng Giok-keng dapat menduga kalau orang yang telah
selamatkan nyawa Siang Ngo-nio adalah Tong Tiong-san, dia
pernah merasakan kelihayan senjata rahasia dari Tong Ji-sianseng
ini, apalagi saat ini mereka berada dalam kegelapan, menimbang
untung rugi yang harus dihadapi, maka sementara waktu dia
memilih untuk berdiam diri dan membiarkan perempuan siluman itu
kabur.
Perlu diketahui, dalam pandangan bocah ini, sekeji kejinya Siang
Ngo-nio, perempuan itu tidak lebih hanya pembunuh pembantu,
sebagai dalang dari semua pembunuhan ini tetap adalah Put-ji
Tojin.
Dia mencoba untuk mengatur pernapasan, selang berapa saat
kemudian dari balik kegelapan baru terdengar suara Put-ji, "Anak
Keng, percayalah padaku, bukan aku yang membunuh ayah dan ibu
angkatmu!"
"Bagaimana dengan orang tua kandungku?" Keng Giok-keng balik
bertanya.
Put-ji Tojin menghela napas panjang.
"Benar, akulah yang membunuh ayah kandung-mu, meski ibu
kandungmu bukan mati ditanganku, namun diapun mad lantaran


aku. Selama banyak tahun belakang, hampir setiap hari setiap
malam aku merasa menyesal, menyesali perbuatanku yang telah
salah membunuh mereka berdua!"
"Salah membunuh?" jengek Keng Giok-keng sambil tertawa
dingin, "telah banyak tahun kau membohongi aku, sekarang tidak
perlu berbohong lagi dengan mengarang pelbagai cerita!"
"Aku tahu kau tidak bakal percaya lagi dengan diriku,” sahut Putji
Tojin pilu, "kesemuanya ini memang gara-gara rasa egoisku yang
menyebabkan aku melakukan kesalahan besar, oleh karena itu aku
tidak ingin memberi penjelasan apa pun, bukankah kau
menginginkan aku menghabisi diriku sendiri? Tadi aku memang
berpikir akan bunuh diri begitu berhasil menghabisi perempuan
jahat itu, sayang keinginanku tidak terkabulkan.”
"Aku pasti akan mencari perempuan siluman itu untuk membuat
perhitungan dengannya,” kata Keng Giok-keng dingin, "kini meski
dia telah pergi, bukankah masih ada kau!"
"Keng-ji, aku pasti akan mengabulkan permintaanmu,” janji Put-ji
Tojin pedih, "tapi sebelum mati, aku masih ada sebuah permintaan
lagi.”
"Katakan, asal dapat kulakukan.”
"Silahkan sulut lampu lentera, biar aku dapat mengamati
wajahmu sekali lagi!"
Keng Giok-keng menyangka dia masih ada tugas lain yang belum
sempat diselesaikan, sama sekali tidak disangka ternyata
"permintaan" nya hanya ingin melihat nya sekejap lagi.
Perasaan budi dan dendam seketika berkecamuk dalam dadanya,
membuat perasaan hatinya bergejolak keras, begitu emosinya
bocah ini hingga jari tangan pun ikut gemetar keras, sudah tiga kali
dia menggesekkan batu api sebelum lampu lentera itu dapat tersulut
kembali.
Dengan pandangan kosong Put-ji Tojin mengamati wajah bocah
itu, katanya kemudian dengan sedih, "Bagus, kini kau telah tumbuh


dewasa, ilmu silatmu sudah jauh diatas kemampuanku, kau tidak
butuh perawatan aku lagi. Anak Keng, terima kasih kau telah
mengabulkan permintaanku, ketika ibumu menyerahkan kau ke
tanganku, aku telah berjanji akan merawatmu baik-baik, dan kini
aku telah memenuhi pengharapannya, inilah saatku untuk
melepaskan beban ini.”
Setiap patah kata yang dia ucapkan nyaris disampaikan dengan
lelehan air mata, ketika menyelesai kan perkataan itu dia segera
mengangkat kutungan pedangnya dan perlahan-lahan dihujamkan
ke ulu hatinya.
Keng Giok-keng hanya berdiri di samping bagaikan patung kayu,
perasaan hatinya saat itu menggelora kencang.
Mati hidup Put-ji Tojin boleh dibilang tergantung keputusannya
saat itu, terhadap musuh besar pembunuh ayah kandungnya, tapi
sekaligus merupakan ayah angkat yang telah mendidik dan
memeliharanya selama ini, dia merasa bingung dan ragu untuk
mengambil keputusan, apakah dibiarkan tetap hidup? Ataukah
membiarkan dia bunuh diri di depan matanya?
Ooo)*(ooO
Siang Ngo-nio dililit dengan seutas tali panjang dan ditarik keluar,
sungguh besar kekuatan yang dimiliki orang itu, sambil memegang
ujung tali yang lain, dia menggantung perempuan itu dan
membawanya lari kencang.
Akhirnya Siang Ngo-nio tidak kuasa menahan diri lagi, teriaknya
keras keras, "Bouw Ciong-long, aku tahu pasti kau. Apakah belum
cukup kau menyiksa diriku? Cepat lepaskan aku!"
Sepanjang perjalanan dia belum sempat melihat raut wajah
orang itu, lalu atas dasar apa dia begitu yakin kalau orang itu adalah
Bouw Ciong-long?
Tentu saja ada alasannya!
Bouw It-yu pernah berjanji akan berusaha mengajaknya
menemui ayahnya, Bouw Ciong-long yang kini telah menjadi BuTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/

beng Cinjin, ketua Bu-tong-pay yang baru. Bouw Ciong-long adalah
bekas kekasihnya di masa lampau.
Tempat yang dijanjikan Bouw It-yu adalah hutan pohon Siong di
belakang rumah kediaman Lan Kau-san.
Waktu yang dijanjikan adalah pada kentongan ke tiga, sejak
kentongan ke dua dia sudah menanti kedatangannya di sana.
Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi dalam pertemuan ini,
pertama, Bouw It-yu muncul seorang diri sambil membawa berita
untuknya, atau kemungkinan kedua Bouw Ciong-long akan datang
sendiri untuk bertemu dengannya.
Siapa tahu yang dia jumpai justru satu peristiwa yang sama
sekali di luar dugaannya.
Dia telah mendengar suara dari Put-ji Tojin, meski hal ini bukan
sesuatu kejadian yang aneh, tapi yang lebih aneh lagi adalah dia
telah mendengar suara "diri sendiri".
Saat itu dia mendengar suara "sendiri" sedang bertanya kepada
Put-ji Tojin, "Apakah semua persoalan telah dibereskan?"
Terdengar suara Put-ji Tojin menyahut sambil menghela napas,
"Sebenarnya aku tidak ingin melakukan perbuatan ini, aaai,
semuanya gara-gara kau.”
Menyusul kemudian dia mendengar suara "sendiri" kembali
menyindir, "Hmm, gara-gara aku? Enak benar kau bicara
sembarangan. Memangnya kau tidak takut bocah itu kembali dan
mengetahui kejadian yang sebenarnya?"
Yang dia dengar saat itu adalah suara dua orang, tapi yang
terlihat keluar dari rumah Lan Kau-san hanya sesosok bayangan
hitam, orang itu berlari masuk ke dalam hutan pohon Siong.
Saking takutnya Siang Ngo-nio menahan napas sambil bertiarap
di tengah semak belukar, dia tidak berani berkutik walau sedikitpun.
Untung orang itu tidak menemukan tempat persembunyiannya,
dia hanya lewat dari jarak tidak jauh dari tempatnya bersembunyi


dan berlalu dari situ.
Orang itu sebentar menirukan logat Put-ji Tojin, sebentar lagi
menirukan logat dirinya, bahkan gaya bahasa serta nada suaranya
ditiru sangat persis, se akan kuatir kalau orang lain tidak tahu
bahwa "mereka" adalah Put-ji Tojin serta Siang Ngo-nio.
Orang itu berlagak seolah ada dua orang sedang bertanya jawab,
tidak lama kemudian suara itu tidak kedengaran lagi. Tentu saja
bayangan tubuhnya juga ikut lenyap.
Siang Ngo-nio bertiarap dibalik semak belukar tanpa berani
berkutik, tentu saja diapun tidak berani mengintip siapa gerangan
orang itu.
Namun meski tidak bisa dilihat dengan mata, dia dapat berpikir
dengan hati, dan begitu berpikir diapun segera tahu siapakah orang
itu.
Biarpun hanya beberapa kecap kata orang itu yang dia dengar,
namun segala sesuatunya dia sudah paham.
Orang yang punya janji dengannya adalah Bouw It-yu, berarti
orang itu kalau bukan Bouw It-yu pastilah ayahnya, Bouw Cionglong.
Tapi Bouw It-yu tidak memiliki ilmu meringankan tubuh sebagus
itu, diapun tidak bisa menirukan logat suara orang sebagus ini, jadi
perempuan ini yakin kalau orang tersebut pastilah Bouw Ciong-long.
"Sungguh tidak kusangka sepak terjang Bouw Ciong-long jauh
lebih keji daripada aku, dia beraninya menyamar sebagai Put-ji
untuk membunuh Lan Kau-san suami istri!"
Tapi mengapa Bouw Ciong-long harus berbuat begitu?
Dia adalah seorang jago kawakan dari dunia persilatan, bahkan
sudah terbiasa melakukan perbuatan jahat dan keji, dengan
kebiasaan sendiri dia berusaha menelusuri jalan pemikiran Bouw
Ciong-long dan mencari tahu apa yang menjadi dasar pemikirannya.
"Demi melepaskan diri dariku, demi menjaga nama baiknya,


ternyata dia tidak segan meminjam golok untuk membunuh orang!"
"Mungkin dia pun sudah tahu kalau antara aku dengan Put-ji
pernah terjalin hubungan gelap, siasatnya meminjam golok
membunuh orang boleh dibilang merupakan siasat sekali timpuk
mendapat dua ekor burung!"
'Setelah Lan Kau-san suami istri ditemukan tewas di tangan Put-ji
yang bersekongkol denganku, dia secara resmi dapat menghukum
mati kami berdua! Bukan hanya dia, bahkan setiap anggota Butong-
pay punya kewajiban untuk menghabisi nyawa kami!"
Kini tinggal satu persoalan yang belum dipahami olehnya,
mengapa Bouw Ciong-long harus menyamar jadi mereka berdua?
Hal itu dia lakukan untuk didengarkan siapa?
Dia tidak tahu kalau Lan Sui-leng dan Seebun Yan sedang tidur di
rumahnya, dengan berlagak sok pintar kembali pikirnya, 'Janganjangan
masih ada murid Bu-tong-pay yang sedang ronda malam di
seputar sana?'
Tapi anehnya, sampai bayangan itu lenyap tidak berbekas, dia
masih belum melihat ada orang lain memasuki rumah keluarga Lan.
Tentu saja dia tidak bisa menunggu lebih jauh.
Sebab terpikir olehnya, bila Bouw Ciong-long telah melaksanakan
siasat pinjam golok untuk membunuh orang, sementara diapun tahu
kalau dirinya bakal datang kesitu pada kentongan ke tiga. Maka saat
ini dia pasti telah balik ke istana Ci-siau-kiong untuk membuat
persilatan kemudian balik lagi ke sana.
Bila saat itu mereka bertemu, sudah pasti Bouw Ciong-long tidak
akan memberi kesempatan kepadanya untuk berbicara lagi, dia pasti
akan menggunakan cara tercepat untuk menghabisi nyawanya.
Kemudian baru pergi membunuh Put-ji Tojin.
Analisanya memang terhitung cukup cermat, Bouw Ciong-long
harus berlagak seolah tidak mengetahui kejadian ini, maka dia harus
kembali dulu ke istrana Ci-siau-kiong kemudian menitahkan murid
Bu-tong-pay yang telah dipersiapkan (kemungkinan besar adalah


Bouw It-yu) untuk melaporkan penemuan kasus berdarah di rumah
keluarga Lan kepadanya.
Setelah mendapat laporan itu, dia baru segera menyusul ke
tempat kejadian. Sudah barang tentu waktu pun telah di
perhitungkan dengan matang.
Kini kentongan ke dua sudah lewat, kentongan ke tiga segera
akan menjelang tiba, dia tidak bisa berdiam diri saja menunggu
dirinya ditangkap dan dibunuh, oleh sebab itu dengan mengambil
resiko dia segera berangkat mencari Put-ji Tojin.
Dia sadar, setelah terjadi peristiwa berdarah diatas gunung Butong,
kendatipun Tong Tiong-san masih bersedia menerimanya,
belum tentu dia sanggup menghadapi tekanan dari pihak Bu-tongpay,
lagipula dia pun merasa tidak punya muka lagi untuk kembali
ke dalam pelukannya.
Maka setelah berpikir pulang pergi, akhirnya dia memutuskan
daripada tidak memperoleh siapa pun, apa salahnya kalau mencoba
untuk merebut hati Ko Ceng-kim.
Satu hal yang sama sekali tidak terduga olehnya adalah baru saja
dia melangkah pergi, Keng Giok-keng telah melangkah masuk ke
rumahnya. Kemudian ketika dia baru tiba di kompleks pemakaman
dan baru saja akan mengajak Put-ji melarikan diri, lagi-lagi Keng
Giok-keng telah tiba disana.
Masih untung di saat jiwanya terancam bahaya maut, ternyata
Bouw Ciong-long telah turun tangan menyelamatkan jiwanya.
Selama ini dia selalu berpikir ke arah yang terjelek, ketika secara
tiba-tiba memperoleh kesempatan hidup, perempuan inipun tanpa
terasa mulai berpikiran positip, pikirnya, 'Ternyata perasaan cinta
Bouw Ciong-long terhadap diriku belum punah, sasarannya
meminjam golok membunuh orang ternyata hanya terbatas untuk
membunuh Put-ji seorang.'
Sambil menahan rasa pedih dan sakit karena kulit tubuhnya
terluka oleh onak disemak, tidak tahan teriaknya, "Bouw Ciong-long,


aku tahu pasti kau. Belum cukupkah kau menyiksa diriku? Cepat
lepaskan aku!"
Bouw Ciong-long sama sekali tidak menuruti perkataannya, dia
malah semakin diseret dengan kasarnya. Batu cadas diatas
permukaan tanah langsung saja mencabik-cabik kulit tubuhnya,
membuat perempuan itu semakin tersiksa dan kesakitan.
"Bouw Ciong-long, kau sungguh kejam! Lebih baik bunuhlah
aku!"
Bouw Ciong-long tetap tidak menjawab.
Karena mengumpatpun tidak manjur, akhirnya terpaksa dia mulai
merengek minta ampun, "Ciong-long, kau seharusnya tahu, yang
kucintai selama ini hanya kau seorang. Karena kau tidak mau lagi
denganku, maka aku berpura-pura baik dengan Ko Ceng-kim.
Sekarang kau telah meminjam tangan Keng Giok-keng untuk
membunuhnya, perasaan bencimu seharusnya telah mereda.
Kenapa musti menyiksa aku terus-menerus? Ampunilah diriku!"
Sementara pembicaraan berlangsung, orang itu telah menyeret
tubuhnya tiba di sebuah tanah datar dalam hutan pohon Siong.
Mendadak orang itu menghentikan langkahnya, berpaling dan
membebaskan tali yang membelenggu tubuh Siang Ngo-nio,
tegurnya dingin, "Perempuan rendah, coba lihat siapa aku?"
Ternyata orang yang sedang mengawasinya dengan mata
melotot itu bukan Bouw Ciong-long, melainkan Tong Tiong-san!
Dengan begitu semua analisa yang dilakukan olehnya selama ini
adalah salah besar!
Tapi hal inipun bukan kesalahannya, sebab dia tahu Tong Tiongsan
adalah seseorang yang tinggi gengsinya, bagaimanapun dia
tidak akan menyangka kalau Tong Tiong-san bisa menebalkan muka
untuk mengundinya sampai di gunung Bu-tong.
"Bagus sekali, yang kucintai selama ini hanya kau seorang! Tapi
sayang aku bukanlah Bouw Ciong-long yang kau dambakan selama


ini, tentunya kau merasa amat kecewa bukan?" ujar Tong Tiong-san
dengan suara dingin.
"Yang kucintai selama ini hanya kau seorang", perkataan ini
bukan saja diutarakan dengan lagak Siang Ngo-nio, bahkan suara,
dialek serta gayanya tidak jauh berbeda.
"Perempuan hina, apa lagi yang hendak kau katakan?" sambil
melepaskan tali yang membelenggu tubuhnya, Tong Tiong-san
membanting tubuh perempuan itu keras-keras.
Dalam keadaan begini, Siang Ngo-nio benar-benar mati kutunya,
bukan saja tidak dapat menjawab, berkutik pun tidak bisa. Akhirnya
diapun mengeluarkan senjata ampuhnya yang terakhir: air mata dan
teriakan manja.
Tiba-tiba dia menangis menjerit, sambil berguling ke samping
Tong Tiong-san, merangkul sepasang kakinya kuat-kuat, rengeknya,
"Loya, aku telah berbuat salah kepadamu, bunuhlah aku!"
Tong Tiong-san telah mengangkat tinggi telapak tangannya, dia
sudah siap menghajar ubun-ubunnya, namun di bawah sinar
rembulan, dia menyaksikan perempuan itu menangis dengan begitu
sedihnya, wajahnya yang cantik penuh berderai air mata, membuat
hatinya tiba-tiba terenyuh, mana tega dia melanjutkan pukulannya?
"Hmm, membunuhmu? Bukankah kalau mati malah keenakan
untuk kau perempuan sundal!"
Biarpun nada suaranya tetap keras dan penuh amarah, namun
Siang Ngo-nio telah mendengar kalau kesempatan hidupnya kembali
muncul.
"Loya, aku memang membuatmu gusar, biar mati seribu kalipun
tidak bisa menebus kesalahan ini. Loya, aku tahu salah, aku rela kau
jatuhi hukuman, mau membunuhku terserah, mau menyiksaku
setiap hari aku pun rela....”
Sambil memeluk sepasang kakinya, dia tempelkan wajahnya di
atas kaki orang itu.


Diam-diam Tong Tiong-san menghela napas panjang, dia segera
menarik bangun Siang Ngo-nio, dengan wajah tetap dingin ujarnya,
"Kau perempuan hina selalu bikin hatiku marah, tapi Bouw Cionglong
lebih memuakkan lagi! Hmm, sudah tahu kau adalah orangku,
masih beraninya mengajak kau berselingkuh. Kurangajar, aku tidak
akan melepaskan dia dengan begitu saja!"
"Loya....” seru Siang Ngo-nio sambil menangis tersedu, "aku
memang dirayu olehnya, tapi akupun punya kesalahan. Bila ingin
membunuh, bunuhlah aku saja, kau jangan menantang duel Bouw
Ciong-long!"
"Oooh, jadi kau sedang mintakan ampun?"
"Loya-cu, aku berbuat demikian demi dirimu! Aku tahu ilmu
silatmu jauh lebih hebat daripada Bouw Ciong-long, tapi saat ini kita
sedang berada di gunung Bu-tong! Bila aku telah membuatmu
gusar, biar matipun aku tidak akan menyesal, tapi bila gara-gara
urusanku hingga menyusahkan loya, aku.... biar aku mati seribu kali
lagi pun tidak akan bisa menebus dosa ini!"
Perhitungan sipoa perempuan ini memang sangat hebat, bila
Tong Tiong-san termakan oleh perkataannya hingga menantang
Bouw Ciong-long untuk berduel, inilah kejadian yang sangat dia
harapkan. Sebaliknya bila Tong Tiong-san tidak berani pergi, sudah
pasti dia akan berterima kasih atas "perhatian" nya.
Padahal Tong Tiong-san sendiripun sadar, dia tahu kalau ilmu
silat yang dimiliki Bouw Ciong-long masih jauh di atas
kemampuannya. Oleh sebab itu kendatipun dia marah dan benarbenar
ingin membalas dendam, hal tersebut tidak akan
dilakukannya dengan gegabah.
Perlahan-lahan dia mendongakkan kepalanya melihat posisi
rembulan, lalu tanyanya, "Jam berapa pertemuan mu dengan Bouw
It-yu?"
"Pada kentongan ke tiga,” sahut Siang Ngo-nio setelah tertegun
sejenak.


Kini rembulan persis diatas awang-awang, berarti kentongan ke
tiga telah menjelang.
Tong Tiong-san tertawa dingin, dia membalikkan tubuh dan
sekali lagi berjalan menuju hutan pohon Siong di belakang rumah
Lan Kau-san.
Senyuman yang tersungging diujung bibirnya amat dingin,
sepasang alis matanya berkenyit, sorot matanya dingin bagai es.
Begitu seram wajahnya membuat si Lebah hijau Siang Ngo-nio yang
sudah tersohor karena kekejamannya pun bergidik dibuatnya.
Mau apa dia berjalan balik ke rumah keluarga Lan? Bagaimana
keadaan rumah keluarga Lan saat itu?
Lan Sui-leng dan Seebun Yan sudah dapat bergerak, tenaga
dalam mereka perlahan-lahan pulih kembali.
Peristiwa yang barusan terjadi merupakan peristiwa yang paling
menggoncangkan hati Lan Sui-leng selama hidupnya, tapi setelah
mengalami goncang-an tersebut, dia pun tahu, saat ini dia butuh
ketenangan untuk memulihkan kembali kondisinya.
"Aaah, salah!" tiba-tiba Seebun Yan berbisik.
"Apa yang salah?"
"Kedua orang itu sama-sama tidak beres!”
“Bagaimana tidak beresnya?"
"Suara pertama tidak benar, suara dari Siang Ngo-nio kabur dan
tidak jelas, sementara suara dari Put-ji berat dan sengau, seperti
orang yang sedang sakit flu berat dan tersumbat hidungnya.”
"Suara Siang Ngo-nio berasal dari tempat kejauhan, tidak aneh
bila suaranya tidak jelas.”
"Lalu bagaimana dengan penjelasanmu tentang suara Put-ji yang
berubah?"
"Atau mungkin dia benar-benar sedang terserang flu?"


"Bagaimana keadaan cuaca hari ini?"
"Apa maksudmu menanyakan hal ini?" tanya Lan Sui-leng setelah
agak tertegun, "sejak pagi tadi langit sangat cerah, tentu saja tidak
bisa dikatakan cuaca jelek.”
"Tepat sekali, bukankah pagi tadi kau sempat berbincang dengan
Put-ji? Apakah waktu itu dia sudah terserang flu? Cuaca sama sekali
tidak berubah jadi buruk, lagipula dia adalah seorang yang berlatih
silat, mana mungkin secara tiba-tiba bisa terserang masuk angin?
Lan Sui-leng mulai curiga, tapi katanya kemudian, "Tidak
mungkin ayahku salah mengenali orang, apalagi semua
pembicaraan yang mereka lakukan cukup membuktikan identitas
dirinya!"
"Tidak bisa dijadikan bukti, ada satu titik kelemahan besar yang
mungkin tidak kau pikirkan?"
"Titik kelemahan? Titik kelemahan apa?"
"Coba bayangkan, seandainya mereka memang benar Put-ji dan
Siang Ngo-nio, mengapa kedua orang itu tidak sekalian menghabisi
nyawa kita berdua?"
"Benar, siluman wanita itu tersohor karena kekejaman dan
ketelengasannya, sedangkan Put-ji adalah tianglo dari Bu-tong-pay,
atau mungkin mereka menyangka kita berdua sudah jatuh tidak
sadarkan diri?"
"Bila orang itu benar-benar Put-ji, tujuannya melakukan
pembunuhan adalah untuk menghilangkan saksi, dia pasti akan
berusaha mencabut rumput hingga keakar-akarnya, buat apa mesti
tinggalkan bibit bencana untuk di kemudian hari? Hmm, orang yang
tampilannya sok lurus, biasanya kalau melakukan kejahatan, sepak
terjang mereka biasanya jauh lebih buas dan telengas! Kalau
terhadap ayah ibumu saja dia tega melakukan kekejian, mana
mungkin dia akan mengampuni jiwa mu?"
Api kegusaran kembali membara di hati Lan Sui-leng, hatinya
dipenuhi rasa duka dan marah, selain itu diapun merasa bimbang


dan diliputi tanda tanya.
"Mengapa dia berbuat begitu?" dengan perasaan ragu bisiknya.
"Justru karena dia ingin kita berdua mendengarkan pembicaraan
tersebut, agar kita tahu siapakah mereka!" Seebun Yan
menerangkan.
"Aku tetap tidak mengerti, kenapa....”
"Apa lagi yang tidak kau pahami? Setelah ada kau sebagai saksi,
siapa lagi yang berani curiga kalau Put-ji bukan sang pembunuh!"
"Oooh, jadi dia ingin melimpahkan kejahatan ini kepada orang
lain dengan menfitnah Put-ji Totiang!" seru Lan Sui-leng seakan
baru menyadari akan hal itu.
"Tepat sekali, akhirnya kau paham juga.”
Sekali lagi Lan Sui-leng menghela napas panjang.
"Aaaai.... kalau begitu aku telah salah menuduh Put-ji Totiang,”
katanya.
"Put-ji sendiripun bukan manusia baik, hanya saja dia tidak
sejahat seperti apa yang dilukiskan orang itu. Kau tidak salah
menuduh dirinya.”
"Sekalipun dia jahat, tapi tidak sepantasnya menerima fitnahan
yang demikian kejinya?"
"Jadi kau berniat mencegah adikmu pergi membunuhnya?"
"Orang tuaku sudah mati terbunuh, tentu saja aku tidak ingin
menyusahkan mereka yang tidak bersalah. Bila aku tidak berusaha
menghalanginya, mungkin sepanjang hidup adikku akan menyesal!"
"Apakah kau masih kuat untuk lari?" tanya Seebun Yan,
"sekalipun kuat, aku rasa saat ini sudah terlambat. Lagipula orang
itu masih mengawasi gerak-gerik kita secara diam-diam,
memangnya dia akan mengijinkan kau pergi memberi kabar?"
Tenaga dalam yang dimiliki Lan Sui-leng jauh lebih cetek


ketimbang Seebun Yan, kondisi tubuhnya saat ini masih lemah,
sekalipun dipaksakan, paling dia hanya sanggup berjalan perlahan.
Mendengar perkataan itu dia jadi putus asa bercampur duka,
serunya dengan penuh kebencian, "Siapakah orang itu? Dia benarbenar
amat keji.”
Belum habis dia berkata, tiba-tiba terdengar suara pintu kamar
didorong orang, kemudian terlihat seseorang menerjang masuk ke
dalam sambil berteriak, "Aku tahu siapakah dia!"
Begitu orang itu menerjang masuk ke ruang tidur Lan Sui-leng
dan menyelesaikan perkataannya, dia sudah roboh terjungkal ke
lantai.
Begitu Lan Sui-leng tahu siapa orang itu, kontan saja dia menjerit
kaget.
....
Tong Tiong-san menyeret tubuh Siang Ngo-nio menuju ke dalam
hutan di belakang rumah keluarga Lan, tiba-tiba dia menotok jalan
darah bisunya.
Kemudian jagoan dari keluarga Tong ini berjongkok sambil
bersandar di belakang sebatang pohon besar, dia menarik tubuh
Siang Ngo-nio dan didudukkan persis dihadapannya, seolah tubuh
perempuan itu dipakainya sebagai sebuah tameng.
Siang Ngo-nio ketakutan setengah mati, dengan jantung
berdebar keras pikirnya, 'Sialan benar tua bangka ini, entah apa
yang hendak dia lakukan terhadap diriku?'
Baru berpikir sampai kesitu, dia menyaksikan rembulan telah
berada di tengah angkasa, pertanda kentongan ke tiga telah tiba.
Saat itulah terlihat sesosok bayangan hitam mulai muncul di tengah
hutan.
Yang muncul adalah Bouw It-yu, dia memang datang tepat
waktu, tidak terlalu awal, tidak pula terlalu lambat.
Biarpun dia datang tepat waktu, namun perasaan hatinya sangat


kalut. Ada perasaan ngeri yang sama sekali tidak terduga, juga
terdapat rasa terkejut dan gembira yang tidak disangka.
Walau apa pun perasaan hatinya saat itu, paling tidak sebuah
beban berat berhasil disingkirkan. Biarpun ayahnya pernah
melakukan kesalahan, ternyata dia tidak sejahat bayangannya
semula.
Walaupun dia baru berusia dua puluhan tahun, namun perasaan
hati terhadap ayahnya sudah berapa kali terjadi perubahan.
Sewaktu masih kecil dulu, dia menganggap ayahnya merupakan
jelmaan dari seorang laki-laki sempurna, merupakan idola yang
selalu dipuja dan disanjung.
Kemudian dia tahu kalau ayahnya di tempat luar mempunyai
seorang "Perempuan liar", ibunya mulai tersiksa, mulai terabaikan,
kesepian, hidup menyendiri, sepanjang tahun selalu
menyembunyikan perasaan sedihnya di dalam hati, tidak pernah dia
menyalahkan ulah ayahnya dan terakhir dia mati karena sakit hati,
mati dalam keadaan mengenaskan.
Lambat laun dia pun mulai menemukan kalau moral dan watak
ayahnya tidak sesempurna apa yang semula dia bayangkan, bahkan
boleh dibilang tidak ubahnya seperti seorang kuncu gadungan,
maka dia pun semakin menganggap ayahnya sebagai orang jahat.
Oleh karena Siang Ngo-nio pernah mempunyai hubungan yang
tidak terlalu jelas dengan ayahnya, sementara Siang Ngo-nio nyaris
boleh dibilang tersangkut dalam berapa kasus berdarah yang
menimpa anggota perguruannya, dia bahkan pernah menaruh
curiga kalau ayahnyalah yang menjadi dalang di belakang layar
yang selama ini mendukung dan melindungi semua sepak terjang
Siang Ngo-nio. Sekalipun bukan dalang utama, paling tidak
tersangkut erat dengan kasus tersebut.
Ketika kali ini Siang Ngo-nio memohon agar bisa dipertemukan
dengan ayahnya, diapun pernah berusaha untuk berdiri diluar garis
sambil memikirkan kepentingan ayahnya, dia berpendapat, bila ingin
mempertahankan nama baik ayahnya sebagai Ciangbunjin Bu-tongTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/

pay, cara yang terbaik adalah berusaha merancang sebuah jebakan,
kemudian menghabisi nyawa Siang Ngo-nio.
Tapi hasil yang diperoleh sama sekali diluar dugaannya.
Betul, saat ayahnya mengetahui persoalan ini, pada mulanya
reaksi yang diberikan sangat aneh, paras mukanya berubah jadi
mendung dan cerah bergantian, ini menunjukkan perasaan gusar
dan tidak tenang yang mencekam hatinya.
Sambil menghancurkan cawan teh yang berada dalam
genggamannya, Bouw Ciong-long bertanya, "Percayakah kau
dengan perkataan siluman wanita itu?"
Serta merta dia pun menjawab, meski dalam hati berpendapat
lain, "Tentu saja aku tidak percaya, tapi ucapan siluman wanita itu
begitu tegas, dia bahkan mengatakan telah mempunyai bahan yang
kuat untuk menjerumuskan ayah, justru karena punya bukti, maka
dia tidak khawatir diancam. Aku tidak percaya dengannya, tapi aku
kuatir orang lain....”
Baru saja dia berbicara sampai disitu, "Kraaak!" lagi-lagi ayahnya
menghajar ujung cawan dengan "tangan golok"nya hingga gumpil
sebagian, teriaknya, "Kau tidak percaya, orang lain pun tidak akan
percaya!"
Dengan nada menyelidik diapun berkata lagi, "Bila ayah punya
keyakinan, lebih baik kita....”
Dia membuat gaya membacok dengan telapak tangannya.
Namun ketika melihat gerakan tangannya itu, sang ayah segera
gelengkan kepalanya berulang kali.
Selang beberapa saat kemudian, tiba-tiba ayahnya menghela
napas sambil berkata, "Aku ingin tahu, dalam pandanganmu, ayah
adalah seorang manusia macam apa?"
Dia ddak berani segera menjawab, maka ayahnya berkata lebih
lanjut, "Kau tidak perlu membohongi aku, aku telah bersalah kepada
ibumu, aku cukup tahu bagaimana pandanganmu. Tapi akupun


mempunyai kesulitan yang sukar diutarakan, selewat malam ini,
semua masalah pasti akan kuberitahukan kepadamu.”
Saat itu dia merasa jenuh, amat muak, tampiknya, "Aku tidak
ingin tahu.”
"Tapi masalah ini besar sekali pengaruhnya padamu, sekalipun
kau tidak ingin tahu, aku tetap harus memberitahukan kepadamu.
Hanya saja, malam ini kau harus bantu aku melakukan satu
pekerjaan.”
"Jadi ayah, telah mengambil keputusan akan....”
"Tidak,” ayahnya menukas, "aku sama sekali tidak berniat untuk
membunuhnya. Sekalipun dia pantas mati, namun bukan aku yang
berhak membunuhnya. Dalam persoalan ini, aku.... aku pun ikut
bersalah. Coba bantu aku dan lakukan.... asal begini.... dia pasti
dapat enyah dari sini.”
Secara panjang lebar ayahnya merincikan tugas serta
rencananya, bahkan menyerahkan sebuah benda kepadanya.
Sebetulnya setiap kali teringat akan hubungan cinta ayahnya
dengan Siang Ngo-nio, dia merasa muak dan ingin muntah, tapi kali
ini dia dipaksa oleh keadaan sehingga terpaksa harus mengajak
pulang perempuan itu ke atas gunung, untuk perbuatannya itu dia
selalu merasa tidak tenang.
Tapi sekarang, setelah dia harus mewakili ayahnya untuk pergi
menjumpai perempuan kekasih ayahnya itu, bukan saja dia tidak
merasa rikuh atau kikuk, sebaliknya dia justru merasakan hatinya
ringan dan lega.
Sebab sekarang boleh dikata dia benar-benar telah mengenali
ayahnya, ternyata sang ayah bukanlah "nabi" yang mengenakan
lingkaran cahaya diatas kepalanya, melainkan seorang manusia
yang mempunyai darah daging, seseorang yang bisa menyadari
kenyataan. Dalam hal ayahnya bersedia membantu Siang Ngo-nio
untuk melakukan persoalan inipun dia berpendapat bahwa tindakan
itu sangat cengli dan masuk diakal.


Begitu melangkah masuk ke dalam hutan dan bertemu dengan
Siang Ngo-nio, dengan perasaan tidak sabar diapun berseru, "Ngonio,
aku sampaikan sebuah berita gembira....”
Waktu itu jalan darah bisu Siang Ngo-nio telah tertotok hingga
tidak sanggup bicara, dengan hati berdebar pikirnya, 'Kabar gembira
apa? Apakah Bouw Ciong-long telah bersedia menerima aku? Tapi
mengapa ucapan semacam inipun hams diwakilkan putranya?'
Mengapa Siang Ngo-nio tidak bicara? Bouw It-yu mulai
merasakan gelagat yang sedikit tak beres.
Setelah agak tertegun diapun menghentikan ucapannya yang
baru mencapai separuh jalan.
Tapi baru saja dia berhenti bicara, terdengar Siang Ngo-nio telah
berseru dengan nada marah, "Monyet cilik, kenapa bapakmu tidak
ikut datang? Berita gembira apa yang hendak kau sampaikan?"
Suaranya kedengaran agak parau, tapi logat serta gaya bicaranya
persis sama seperti gaya bicara Siang Ngo-nio dihari-hari biasa.
Bouw It-yu segera tertawa terbahak, katanya, "Hahahaha....
Ngo-nio, sepintar begini kau pun masa tidak bisa menebak sendiri?
Baiklah, kalau begitu aku beritahu, ayah bilang, dia bersedia
memenuhi keinginanmu, dia.... dia....”
Belum selesai dia berkata, tiba-tiba terdengar "Siang Ngo-nio"
mendengus dingin, kemudian Bouw It-yu merasakan lututnya
menjadi kaku dan kesemutan, ternyata seutas tali telah menyambar
datang dan melilit pinggangnya.
Dalam keadaan seperti ini, betapapun hebatnya ilmu silat yang
dimiliki, sulit bagi Bouw It-yu untuk menghindarkan diri.
Tong Tiong-san benar-benar terbakar oleh api cemburu, begitu
berhasil melilit tubuh Bouw It-yu dan membetotnya, tanpa memberi
kesempatan lagi baginya untuk berbicara, cepat dia cekik dagu
pemuda itu, membuat dia harus membuka mulutnya lebar-lebar,
kemudian menjejalkan sebutir pil ke dalam mulutnya.


Bouw It-yu tidak dapat melihat wajahnya, dia diseret secara
kasar hingga tiba di depan rumah keluarga Lan, kemudian
dilemparkan masuk ke dalam.
"Aku tahu siapakah dia,” itulah ucapan Bouw It-yu begitu
tubuhnya terbanting ke atas lantai.
Tentu saja dia tak tahu kalau Lan Sui-leng dan Seebun Yan
sedang membicarakan siapa pembunuhnya, Lan Sui-leng sendiripun
tidak tahu apa yang diucapkan pemuda itu.
"Siapakah dia?" tanya Lan Sui-leng tanpa terasa.
"Aaah, Bouw toako, kenapa kau?" pada saat yang bersamaan
Seebun Yan berteriak pula.
Bouw It-yu segera merasakan kegembiraan yang sama sekali
tidak terduga, pikirnya, 'Ternyata adik Yan memang khawatirkan
diriku'
Meski begitu, dia menjawab pertanyaan Lan Sui-leng, "Dia adalah
Tong Tiong-san!"
Seebun Yan menjerit kaget, buru-buru dia peluk tubuh pemuda
itu dan bertanya dengan gemetar, "Toako, kau.... apakah kau sudah
terkena racun dari keluarga Tong?"
Tiba-tiba terdengar gelak tertawa yang amat menu suk telinga,
menyusul kemudian terdengar Tong Ji-sianseng, jago nomor wahid
dalam hal racun berkata, "Hey nona cilik dari keluarga Seebun,
jangan khawatir, Toakomu tidak bakalan mampus. Yang kucekokkan
ke mulutnya bukan obat racun, tapi pil dewa. Obat dewa yang dapat
membuat dia merasa senang dan bahagia bagaikan para dewa!
Hehehehe.... kau tidak percaya bukan? Baik, aku pun dapat
membuat mu merasakan juga bagaimana nikmatnya jadi dewa!"
"Tong Ji-sianseng!" teriak Bouw It-yu, "bila kau marah kepada
ayahku, cukup aku saja yang kau celakai, jangan kau ganggu lagi
nona Seebun!"
Mana mungkin Tong Tiong-san mau menuruti bujukannya?


"Braaak!" terdengar suara benturan keras, tahu tahu jendela
ruang tidur itu sudah terhajar oleh pukulannya hingga muncul
sebuah lubang besar.
Yang pertama-tama muncul adalah seutas tali panjang, dengan
kecepatan bagai sambaran petir, tali itu langsung melilit tubuh Lan
Sui-leng!
Waktu itu Seebun Yan masih memeluk tubuh Bouw It-yu, belum
sempat dia berteriak, menyusul, lagi lagi terjadi ledakan keras
bergema dalam ruangan, kali ini suara itu berasal dari ledakan
sebuah bulatan peluru, dalam waktu singkat seluruh ruangan itu
telah dipenuhi asap tebal.
Sambil tertawa dingin dengan nada yang menyeramkan ujar
Tong Tiong-san, "Bouw It-yu, ternyata kau cukup cekatan dan
pintar, selama ini akupun amat suka denganmu. Sayang siapa suruh
kau menjadi putra tunggal dari Bouw Ciong-long?
Hehehe.... ayah berhutang anak musti membayar, itu baru adil
namanya. Begitu juga anak perempuannya, sama-sama harus
bertanggung jawab!"
Perkataan yang pertama mudah sekali dipahami, tapi perkataan
yang terakhir sangat membingungkan, jangankan Bouw It-yu, Siang
Ngo-nio sendiripun membutuhkan waktu cukup lama sebelum dapat
mengartikannya.
Ooo)*(ooO
JILID KE ENAM
BAB XVI
Pedang sakti unjuk diri
Mencari pemecahan ilmu pedang berantai.
Kendatipun dia sudah terbiasa melakukan perbuatan keji dan


busuk, tapi kali ini, tidak urung bergidik juga dibuatnya.
"Lepaskan aku, lepaskan aku, selama hidup aku tidak pernah
kenal denganmu!" jerit Lan Sui-leng.
"Mungkin saja kau tidak kenal dengan aku, tapi aku kenal siapa
dirimu. Aku pun tahu kalau kau dan Keng Giok-keng meski bukan
saudara kembar, namun hubungan kalian tidak ubahnya seperti
saudara kembar.”
Sambil berkata, dia segera menotok jalan darah bisu di tubuh Lan
Sui-leng. Diikuti dia menotok bebas jalan darah bisu di tubuh Siang
Ngo-nio.
"Memandang di atas wajah Keng Giok-keng, kita tidak boleh
membiarkan gadis muda ini menderita, kau bopong dia!" perintah
Tong Tiong-san kemudian.
"Loya-cu, apakah kehadirannya tidak akan menam bah kerepotan
kita sendiri?" tanya Siang Ngo-nio.
"Benar, memang bakal menambah sedikit kerepotan, tapi
kerepotan yang sedikit itu justru memberi manfaat besar bagimu!
Asal kita bertemu bocah muda itu, semisal aku tidak bisa menjaga
keselamatanmu, paling tidak kaupun tidak perlu kuatir tusukan
pedang bocah itu bakal mencabut nyawamu.”
Padahal Siang Ngo-nio bukannya tidak mengerti akan maksud
hatinya, dia hanya ingin mendengar sendiri pengakuan langsung
dari mulutnya, dengan begitu perasaan hatinya baru lega.
"Aaah, ternyata dia masih tetap berusaha melindungi
keselamatanku!"
Timbul rasa ingin tahu dihati kecilnya, sekali lagi Siang Ngo-nio
bertanya, "Loya-cu, senjata rahasia apa yang barusan kau
gunakan?"
"Menurut kau senjata rahasia apakah itu?"
"Aku tidak tahu. Tapi dilihat bentuknya mirip sekali dengan
peluru Lui-hwee-tan.”


Tong Tiong-san kelihatan sangat bangga, sahutnya sambil
tertawa riang, "Padahal bukan senjata rahasia, melainkan obat
pencipta khayalan, pernah mendengar nama ini?"
"Apa yang disebut obat pencipta khayalan?"
"Obat pencipta khayalan bisa membuat kesadaran orang hilang
dan kabur, kemudian muncul khayalan karena terpengaruh oleh
sejenis obat. Bahan dasar dari obat ini bernama opium, banyak
tumbuh di sebuah negeri kecil yang bernama Nepal, negeri Nepal
berada di sebelah utara gunung Himalaya.
"Hehehehe.... tidak gampang untuk memperoleh bahan dasar itu.
Isi dari peluru itu sebenarnya hanya obat pencipta khayalan, aku
tidak lebih hanya menambahi dengan belerang, agar bahan itu bisa
terbakar kemudian meledak. Pil yang kucekokkan ke mulut Bouw Ityu
tadi tidak lain adalah obat pencipta mulut Bouw It-yu tadi tidak
lain adalah obat pencipta khayalan, bila obat itu langsung tertelan
maka khasiatnya akan jauh lebih besar.”
"Kalau begitu, setelah menelan pil tersebut, bukankah dia akan
kehilangan kesadaran serta dapat melakukan hal-hal yang diluar
susila?" tanya Siang Ngo-nio terperanjat.
Tong Tiong-san tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... tepat sekali, aku memang ingin membuat mereka
kehilangan kesadaran, bila seseorang sudah kehilangan kesadaran
kemudian terangsang napsu birahinya.... hahahaha.... perbuatan
apa pun bisa mereka lakukan!"
Bouw It-yu merasa seolah tubuhnya berendam di kolam air
panas, seluruh tubuh terasa lemas tidak bertenaga, semua syaraf,
semua otot di tubuhnya seakan kendor semua.
Tapi terasa ada segumpal hawa panas muncul dari Tan-tian dan
menyebar ke seluruh badan.
Waktu itu Seebun Yan masih memeluk tubuhnya erat-erat, tibatiba
dia berbisik dengan nada aneh, "Bouw-toako, semakin
kupandang wajahmu semakin terasa mukamu mirip sekali dengan


ibu, tidak heran kalau ibu begitu menyukaimu. Tahukah kau, dulu
ibu adalah wanita tercantik dalam dunia persilatan. Bouw-toako, kau
pun tampak ganteng sekali.”
Waktu itu Bouw It-yu masih memiliki berapa bagian kesadaran,
begitu mendengar gadis itu menying-gung dirinya mirip ibunya,
seketika dia seolah mendusin kembali, buru-buru dia dorong tubuh
gadis itu sambil bentaknya, "Nona Seebun, sadarlah!"
"Kau panggil aku apa? Bukankah kita sudah angkat saudara? Kau
adalah engkohku sayang dan aku adalah adikmu sayang.”
"Baik, kalau begitu kau harus menuruti perkataanku, cepat lari
keluar dan tinggalkan ruangan ini!"
Biarpun tenaga dalamnya jauh lebih sempurna, walaupun dia
jauh lebih sadar ketimbang Seebun Yan, namun saat itu Bouw It-yu
mulai merasa agak kabur pikirannya dan timbul pelbagai khayalan
yang mesum. Dia seakan tidak terpikirkan, kalau dia sendiripun
sudah tidak bertenaga untuk kabur, apa lagi Seebun Yan?
"Aku ingin kau menemaniku, kenapa harus mengusirku pergi dari
sini? Aaah, coba lihat.... ada begitu banyak bunga yang indah, ada
yang ungu, kuning, merah, coklat, hijau.... aaaah, ada pula yang
biru, ada begitu banyak aneka warna, indah.... sungguh indah!
Jangan- jangan kita telah tiba di istana para dewata?"
Tanpa terasa Bouw It-yu pentangkan matanya lebar-lebar,
teriaknya, "Aaaah, akupun telah melihatnya, sungguh takjub!"
Bagaimanapun dia masih tersisa sedikit kesadaran dalam
benaknya, tiba-tiba dia merasakan gelagat tidak beres, cepat dia
gigit lidah sendiri sambil berteriak, "Itu semua hanya khayalan,
hanya ilusi, cepat gigit lidahmu sendiri!"
"Gigit lidah sendiri? Sakit.... ogah!" bisik Seebun Yan manja, sorot
matanya mulai nampak liar dan jalang, "toako, bukankah kau
pernah bilang amat menyukai aku? Jangan kau permainkan diriku!"
"Aku bukannya sedang permainkan dirimu, dengarkan dulu
perkataanku....”


Tapi bagaimana caranya memberi penjelasan kepada gadis itu?
Begitu tertunda, pengaruh obat semakin menyebar luar diseluruh
tubuhnya, daya pengaruh yang ditimbulkan pun semakin bertambah
berat. Dalam keadaan begini, biarpun dasar tenaga dalamnya cukup
sempurna pun lambat laun dia mulai tidak kuasa mengendalikan
diri.
Seebun Yan semakin menempelkan tubuhnya, bisiknya lirih,
"Bagaimana sih rasanya lidah yang digigit? Toako, ciumlah aku,
coba gigitlah lidahku....”
"Omong kosong, cepat pergi!" hardik Bouw It-yu, sekuat tenaga
dia dorong tubuh gadis itu. Sayang sekujur tubuhnya lemas tidak
bertenaga, tentu saja dia tidak sanggup mendorong si nona dari sisi
tubuhnya.
Sambil menangis Seebun Yan berseru, "Tonghong-toako enggan
dekati aku, kaupun tidak mau mencium aku. Apakah wajahku
memang jelek dan buruk?"
Sekali lagi Bouw It-yu menggigit lidahnya kuat-kuat, kemudian
menghibur, "Jangan menangis, jangan menangis! Aku berjanji, pasti
akan menemukan kembali Tonghong Liang untukmu!"
"Aku tidak mau Tonghong Liang lagi, dia tidak mencintaiku
dengan sungguh hati, aku tahu, toako, sepanjang jalan kau
melindungiku, kaulah yang sesungguhnya amat menyayangiku, aku
tahu!"
"Jangan begitu, kau.... kau....”
Belum lagi kata "salah paham" sempat diucapkan, Seebun Yan
bagaikan burung kecil telah menubruk ke dalam pelukannya dan
bersandar pada dadanya.
Tiba-tiba Seebun Yan mulai menyanyi, mulai bersenandung
dengan suara yang merdu, "Terbang.... terbang.... terbang.... aku
terbang di antara awan.... oooh.... sungguh nyaman! Sungguh
nikmat!


Hei.... jangan simpan telur angsa dalam satu keranjang....
itulah yang dikatakan Tonghong Liang.... apakah kau paham!"
"Tidak, aku tidak mengerti.”
"Kau tidak mengerti, tapi aku mengerti. Aaai.... kenapa kau
pandang aku dengan sorot mata seperti itu? Apakah wajahku benarbenar
sangat jelek?"
Tiba-tiba dia menangis lagi.
Begitu menyaksikan gadis itu menangis dengan amat sedihnya,
runtuh sudah daya tahan Bouw It-yu, tanpa sadar dia balas
memeluk gadis itu sambil berbisik, "Jangan menangis, jangan
menangis! Wajahmu amat cantik, aku sayang padamu!"
"Kalau begitu ciumlah aku.... ciumlah aku.... asal kau mau
mencium, aku baru akan percaya! Baiklah, kau tidak mau
menciumku? Akulah yang akan mencium-mu!"
Tiba-tiba saja dia menyodorkan bibirnya yang mungil ke depan
dan mulai menciumi pipinya.
Bouw It-yu yang langsung menelan obat pencipta khayalan,
begitu bibir gadis itu menempel diatas bibirnya, kontan saja semua
daya tahannya ambrol, tidak kuasa dia balas menciumi bibir gadis
itu dengan penuh napsu.
Di saat yang amat kritis itulah tiba-tiba muncul seseorang yang
langsung masuk ke dalam kamar.
"Ploook.... ploook.... ploook....!" tamparan demi tamparan
mendarat diwajah ke dua orang itu, rupanya orang yang menampar
sepasang muda mudi itu tidak lain adalah Seebun-hujin.
"Kalian tidak boleh berbuat begitu!" bentak Seebun-hujin nyaring.
Seebun Yan membelalakkan sepasang matanya yang merah
membara, merah karena napsu birahi, tiba tiba umpatnya, "Dasar
perempuan siluman, diam-diam kau selingkuh dengan laki lain pun
aku tidak ambil perduli, apa urusannya aku bermesraan dengan


lelaki lain?"
Seebun-hujin tertegun, tapi segera bentaknya, "Anak Yan, kau
jangan ngaco belo, perhatikan baik-baik, siapa aku?"
Seebun Yan seakan tidak menggubris, kembali teriaknya,
"Terbang.... terbang.... terbang melayang.... aku terbang diantara
awan! Aku adalah bidadari, kau siluman wanita!"
Bagaimana pun Seebun-hujin adalah seorang tokoh silat kawakan
yang banyak pengalaman, dalam sekali pandang dia sudah tahu
kalau kedua orang muda mudi itu sudah dikerjai orang. Pikirnya,
'Untung saja mereka belum sampai melakukan perbuatan busuk.... '
Di atas meja tersedia sepoci air teh dingin, Seebun-hujin segera
meneguk satu tegukan kemudian menyemburkan air teh itu diatas
wajah putrinya, menyusul kemudian dia tekan jalan darah Thamtiong-
hiat di tengah dadanya. Kemudian dia melakukan hal yang
serupa terhadap Bouw It-yu.
Setelah itu dengan menggunakan Sim-hoat tenaga dalamnya dia
membantu mereka berdua memperlancar peredaran hawa murni,
tidak selang setengah batang hio kemudian, Bouw It-yu sudah
bermandikan keringat dingin, pancaran sinar matanya jauh lebih
lunak dan halus, bahkan terkandung rasa terima kasihnya yang luar
biasa.
Seebun-hujin tahu dia akal sehatnya telah pulih kembali, maka
dia menarik kembali telapak tangannya dari dada pemuda itu dan
membiarkan dia bersemedi sendiri.
Setelah tidak perlu pecahkan perhatian maka kini dengan
sepenuh tenaga dia mengobati putrinya, tidak lama kemudian
Seebun Yan merasakan sekujur tubuhnya terasa dingin, ternyata dia
lebih cepat tersadar kembali dari pengaruh obat.
Setelah memperoleh kembali akal sehatnya, dengan perasaan
terkejut Seebun Yan bertanya, "Ibu, apa yang sebenarnya telah
terjadi?"
"Justru aku yang ingin bertanya padamu, apa yang sebenarnya


telah terjadi?" Seebun-hujin balik bertanya.
Seebun Yan berusaha mengingat kembali semua yang telah
terjadi, tapi untuk sesaat dia seperti tidak dapat mengingatnya
kembali.
Melihat itu Seebun-hujin segera mengingatkan, "Tadi kau sempat
memaki seorang perempuan siluman, coba pikirkan lagi dengan
seksama, sebelum jatuh tidak sadarkan diri, apakah kalian telah
bertemu....”
"Aaah benar, aku teringat sekarang,” tiba-tiba Seebun Yan
seperti teringat akan sesuatu, "perempuan siluman itu adalah si
Lebah hijau Siang Ngo-nio, tapi aku tidak bertemu dengannya,
aaai.... apa yang sebenarnya telah terjadi? Aaah, ingat aku
sekarang, Bouw-toako yang membawanya sampai disini.”
"Aneh,” seru Seebun-hujin tercengang, "mana mungkin dia
membawa siluman wanita itu hanya untuk mencelakaimu dan
dirinya sendiri?"
"Hey, hey, Bouw-toako!" teriak Seebun Yan kemudian, "tadi aku
seperti mendengar kau berkata kepada siluman perempuan itu
bahwa ayahmu bersedia memenuhi keinginannya, aku tidak salah
dengar bukan?"
Ternyata dia hanya teringat setengah, sementara yang setengah
lagi adalah kejadian setelah Bouw It-yu melangkah masuk ke dalam
ruangan itu, tapi ingatannya masih tersamar.
Setelah mengatur pernapasan, Bouw It-yu merasakan akal
sehatnya telah pulih seperti sedia kala, dia membuka matanya
seraya menjawab, "Kau tidak salah dengar, tapi yang turun tangan
mencelakai kita berdua bukan dia.”
"Lantas siapa?" tanya Seebun-hujin dengan perasaan ragu
bercampur kaget.
"Dia adalah Tong Tiong-san. Dia paksa aku menelan sebutir pil,
sedangkan adik Yan telah menghirup asap dupa yang dihasilkan dari
ledakan pelurunya. Secara lamat-lamat aku seperti mendengar dia


menjelaskan kepada siluman perempuan itu bahwa dupa itu adalah
obat pencipta khayalan!"
Paras muka Seebun-hujin seketika berubah hebat!
"Kurangajar betul tua bangka sialan itu, berani amat dia
mencelakai aku!" umpat Seebun Yan gusar, "ibu, kau harus
membalaskan sakit hatiku ini.”
Seebun-hujin tertawa getir, ujarnya, "Kehebatan senjata rahasia
dari keluarga Tong tiada duanya dikolong langit. Bila kau telah
mengusiknya, berdoa saja semoga dia tidak datang mencari garagara
lagi, selama dia tidak mencarimu, keselamatan mu pasti tidak
akan terancam.”
"Aku sama sekali tidak pergi mengusiknya, dialah yang tanpa
sebab musabab tahu-tahu datang mengganggu kami. Ibu, tahukah
kau, orang tua adik Lan telah dia bunuh mati dan sekarang adik Lan
telah diculik olehnya, apakah kita akan melepaskan tua bangka itu
begitu saja....?"
"Adik Lan mu adalah murid Bu-tong-pay, jadi tidak perlu kita
yang harus tampil sendiri. Turuti saja nasehatku, mari ikut aku
pulang.”
"Ibu,” seru Seebun Yan tercengang, "bukankah kau ingin
menghadiri upacara penguburan Bu-siang Cinjin? Susah payah kita
telah sampai di Bu-tong, kenapa harus pulang?"
"Sekarang aku telah berubah pikiran.”
"Ibu, kau benar-benar takut menghadapi bajingan tua itu?" teriak
Seebun Yan makin gusar.
Seebun-hujin hanya tertawa getir tanpa menjawab. Padahal
meskipun dia memang jeri menghadapi kelihayan senjata rahasia
keluarga Tong, namun masih ada alasan penting lainnya, hanya saja
alasan tersebut sulit untuk diutarakan dengan begitu saja.
"Urusan balas dendam lebih baik dibicarakan di kemudian hari
saja,” tiba tiba Bouw It-yu menyela, "adik Yan, apakah kau ingin


tahu maksud dari perkataan itu?"
"Maksud perkataan yang mana?" Seebun Yan sudah tak teringat
lagi.
"Ucapan yang kusampaikan kepada Siang Ngo-nio.”
"Kau bilang ayahmu bersedia memenuhi keinginannya bukan?
Bukankah ucapan itu sudah amat jelas, tidak usah dijelaskan lagipun
aku sudah mengerti maksudnya. Hehehe.... sungguh tidak disangka
biarpun ayahmu bertampang pendeta, ternyata jiwanya tetap
seorang lelaki romantis, tidak disangka dengan siluman perempuan
itupun....”
"Anak perempuan bicara tanpa batasan, apa-apaan kau?" tegur
Seebun-hujin.
"Adik Yan, kau salah paham, bukan begitu maksudnya!" Bouw Ityu
menerangkan.
Seebun-hujin segera mengernyitkan alis matanya, tanpa sadar
dia telah menegur lebih dulu mendahului putrinya, "Lantas apa
maksudnya?"
"Maksud ayah, dia bersedia membantunya untuk membebaskan
dirinya dari belenggu, agar dia tanpa dibebani rasa takut dan
khawatir bisa menghindari Tong Ji-sianseng dan memperoleh
kembali kemerdekaannya, dengan begitu dia pun bisa bebas
mencari suami yang sesuai dengan keinginannya. Sebab inilah yang
sesungguhnya diinginkan Siang Ngo-nio.”
Seebun-hujin manggut-manggut.
"Biarpun nama busuk Siang Ngo-nio sudah tersohor seantero
jagad, namun separuh hidupnya boleh dibilang dilewatkan sebagai
barang mainan Tong Tiong-san, dia memang pantas dikasihani.
Hanya saja, mungkinkah Tong Tiong-san bersedia lepas tangan?"
"Ayah suruh aku menyerahkan kotak ini kepadanya, konon isi
kotak ini adalah rahasia yang bisa dipakai untuk mengendalikan
Tong Ji-sianseng. Ketika Tong Ji-sianseng mengetahui kalau


boroknya sudah terjatuh ke tangannya, enggan lepas tangan pun
terpaksa dia harus membebaskannya juga.”
"Menurut pandanganku, memang keinginan siluman wanita itu
sendiri untuk melakukan perbuatan hina, jadi sebenarnya tidak
berharga dikasihani ayahmu,” kata Seebun Yan.
"Aku sendiripun berpendapat begitu, maka....”
"Maka kenapa?"
"Maka aku tidak ingin menyerahkan kepadanya.”
"Bukankah sama artinya telah menyia-nyiakan pengharapan
ayahmu?" sindir Seebun-hujin dingin.
"Bagaimana pun dia toh sudah pergi bersama Tong Tiong-san,
sekalipun ingin kuserahkan juga tidak mungkin lagi.”
"Aku rasa dia tidak mirip orang yang dipaksa, memang dia sendiri
yang rela dan iklas kembali ke dalam pekikan bajingan tua itu,” ucap
Seebun Yan.
"Anak Yan, kau tidak boleh berkata begitu!" tegur Seebun-hujin.
Walaupun dia seakan sedang menegur putrinya, namun dalam
pandangan Bouw It-yu, dia dapat menangkap suara hati perempuan
itu yang sebenarnya.
Tiba tiba ujarnya, "Adik Yan, lebih baik kuberikan kotak ini
untukmu.”
"Buat apa aku mendapatkan barang itu?" sahut Seebun Yan,
mendadak seperti teringat sesuatu, katanya lagi sambil tertawa,
"jadi kau bermaksud agar aku memiliki barang mestika yang bisa
kupakai untuk menghadapi Tong Ji-sianseng.”
"Ayahku mengatakan kalau kotak itu berisikan rahasia yang
dapat mengendalikan Tong Tiong-san, aku rasa kegunaannya belum
tentu harus dilakukan oleh Siang Ngo-nio saja.”
Timbul perasaan ingin tahu dihati kecil Seebun Yan, segera
ujarnya, "Bukan lantaran aku takut menghadapi bajingan tua itu,


tapi apa salahnya kalau kita buka kotak itu dan coba kita periksa
sebenarnya rahasia apa yang tersimpan dalam kotak itu.”
Ketika kotak dibuka, ternyata isinya hanya selembar saputangan
berwarna kuning, diatas sapu tangan itu sama sekali tidak ada
tulisannya.
"Eeei, dimana rahasianya?" seru Seebun Yan.
Seebun-hujin mengambil saputangan itu dan diendusnya
sebentar, seakan menyadari akan sesuatu, ujarnya kemudian,
"Terlepas apakah saputangan ini menyimpan rahasia atau tidak, biar
sementara waktu aku saja yang menyimpannya.”
Ternyata walaupun dia tidak mengerti tentang obat-obatan,
namun pengetahuannya cukup lumayan juga. Dari bau obat yang
tertinggal pada saputangan itu, dia dapat memastikan kalau dibalik
saputangan itu pasti tersimpan tulisan, hanya saja karena tulisan itu
sudah disembunyikan dengan sejenis obat-obatan, maka harus
melalui suatu cara yang khusus (bisa direndam atau digarang diatas
api), tulisan itu baru dapat muncul dan terbaca.
"Anak Yu, kalau memang ayahmu sudah berniat baik untuk
membantu Siang Ngo-nio melepaskan diri dari lautan derita, sudah
seharusnya kita bantu dia untuk menyelesaikan keinginannya itu.
Hanya saja ayahmu sebagai seorang Ciangbunjin memang tidak
sepantasnya mengarungi dunia persilatan hanya bermaksud mencari
jejak Siang Ngo-nio, kalau begitu biar aku saja yang membantunya
memenuhi pengharap-an tersebut, karena sebagai sesama
perempuan, mungkin gerak-gerikku jauh lebih gampang,” kata
Seebun-hujin lebih lanjut.
Bicara sampai disitu, mendadak dengan senyum tidak senyum
dipandangnya Bouw It-yu sekejap, kemudian tambahnya, "Orang
bilang: yang tidak punya perasaan justru kaya akan perasaan!
Barusan anak Yan mengatakan ayahmu adalah seorang lelaki
romantis, aku rasa apa yang dia katakan memang benar.”
Bouw It-yu merasakan dadanya tersumbat oleh banyak


kecurigaan dan tanda tanya, tanpa terasa dia berpaling dan saling
bertatap muka dengan Seebun-hujin, dia seakan ingin mengatakan
sesuatu, namun tidak berani mengucapkannya keluar.
Seebun Yan sendiripun merasakan pipinya sedikit terasa panas
dan pedas, katanya kemudian, "Bouw-toako, apakah kau marah
lantaran ibu telah menamparmu tadi? Hal ini dilakukan karena....”
"Aku tahu, hal ini dilakukan agar kita semua tersadar kembali dari
pengaruh obat,” sahut Bouw It-yu.
"Lantas apa yang sedang kau pikirkan?"
"Tidak apa-apa, ibu angkat memang sangat baik kepadaku.”
"Jadi sekarang kau baru tahu?" kata Seebun Yan sambil tertawa,
"padahal sejak bertemu kau di tengah jalan dan kemudian
kuceritakan pertemuan ini kepada ibu, padahal waktu itu ibu belum
pernah bertemu kau, tapi dia sudah sangat menaruh perhatian
terhadap segala sesuatumu.”
Bicara sampai disitu, timbul kecurigaan dihati kecilnya, kembali
serunya, "Aaah, betul. Kenapa ibu bersikap sangat baik
terhadapnya?"
Dari nada pembicaraan Seebun-hujin tadi, Bouw It-yu pun dapat
merasakan kalau perempuan ini seolah menaruh semacam perasaan
yang istimewa terhadap ayahnya, tanpa terasa dia pun jadi teringat
kembali di saat perempuan itu menampar dirinya, Seebun-hujin
sempat berteriak, "Kalian tidak boleh berbuat begitu!"
Benar, saat ini dia sudah seratus persen sadar, diapun merasa
malu atas semua perbuatan yang telah dilakukan di saat
terpengaruh orang perangsang, dia memang tidak seharusnya
bermesraan seperti itu dengan Seebun Yan.
Tapi kata "tidak boleh" jelas sangat berbeda dengan kata
"Jangan", bagaimana pun juga, ucapan Seebun-hujin itu segera
menambah selapis kecurigaan yang lebih mendalam dihati kecilnya.
Seebun-hujin berusaha menghindari tatapan matanya, katanya,


"Anak Yu, kau jangan berpikir sembarangan, segera pulanglah dan
titip salamku untuk ayahmu.”
"Ibu, apakah sekarang juga kita akan pergi?" tanya Seebun Yan.
"Benar, coba lihat, hari hampir terang tanah.”
“Ibu angkat!" tiba tiba Bouw It-yu memanggil. "Ada apa?"
"Aku hanya ingin menanyakan sesuatu kepada-mu.”
Seebun-hujin merasakan hatinya tergoncang keras, namun dia
berusaha mengendalikan diri, dengan nada setenang mungkin
ucapnya, "Kalau begitu tanyalah!"
"Sebetulnya apa hubunganmu dengan aku?"
Sebenarnya Seebun-hujin sudah mendapat firasat pertanyaan
macam apa yang bakal diajukan, namun setelah mendengar dengan
mata telinga sendiri, tak urung gemetar juga sekujur tubuhnya,
paras mukanya berubah.
Bagi Seebun Yan, pertanyaan ini datangnya sangat mendadak
dan sulit baginya untuk mencerna, untuk sesaat, sama seperti
ibunya, dia ikut berdiri mematung.
Pada saat itulah, tiba-tiba mereka seperti mendengar ada suara
helaan napas seseorang dari luar ruangan.
"Siapa?" hardik Seebun-hujin dengan nada gemetar. Tahu-tahu
orang itu sudah muncul dihadapan mereka semua.
"Ayah!" teriak Bouw It-yu tidak tahan.
Dengan perasaan terkejut Seebun Yan ikut menjerit, "Jadi kau....
kau adalah Ciangbunjin Bu-tong-pay?"
Hanya Seebun-hujin seorang tetap berdiri mematung, tidak
sepatah kata pun yang diucapkan.
Sambil tertawa getir ujar Bouw Ciong-long perlahan, "Selama
berada dihadapan ibumu, aku bukanlah seorang Ciangbunjin, juga
bukan seorang Cinjin, aku hanya bisa tampil sebagai Bouw CiongTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/

long!"
Perkataan yang dia ucapkan tidak dipahami Seebun Yan, begitu
juga Bouw It-yu, hanya Seebun-hujin yang paham.
"Ciong-long, mau apa kau datang kemari?"
"Beng-cu,” Bouw Ciong-long menghela napas panjang, "urusan
toh telah berkembang jadi begini, rasanya kita tidak perlu
merahasiakannya lagi. Anak Yu, kemari kau!"
"Ayah, kau.... apa yang harus kulakukan?" tanya Bouw It-yu
tercengang, tiba-tiba perasaan ngeri dan takut yang aneh
mencekam hatinya, membuat nada suaranya ikut berubah pula.
"Aku minta kau datang menjumpai ibu kandungmu!" ujar Bouw
Ciong-long perlahan.
Bouw It-yu langsung tertegun, mendadak jeritnya, "Apa kau
bilang? Ibuku sudah lama meninggal!"
"Tidak, ibu kandungmu belum meninggal, dia....
dialah....”
"Aku tidak percaya, aku tidak percaya!" jerit Bouw It-yu,
bagaikan mabok arak, tubuhnya mulai gontai, langkah kakinya mulai
sempoyongan dan tidak mampu berdiri tegak (Gb 16).
Seebun-hujin tidak kuasa mengendalikan rasa pedih dihatinya,
cepat dia memayang pemuda itu sambil katanya,
"Anak Yu, kami tidak berbohong, aku.... aku memang bukan ibu
angkatmu, aku adalah ibu kandungmu!"
"Anak Yu,” kata Bouw Ciong-long pula, "maafkan aku.
Sebenarnya kau harus tahu rahasia ini sejak dulu. Tapi kau harus
percaya padaku, semua yang kukatakan adalah sebenarnya!"
Bouw It-yu tidak mau menatap ayahnya, dia tetap berteriak,
"Aku tidak mau mendengarnya, aku tidak mau mendengarnya!"
Padahal dalam hatinya dia sudah mempercayai kenyataan


tersebut, hanya saja dia tidak ingin mempercayainya dengan begitu
saja.
Perlu diketahui, semenjak dia tahu urusan, ibu tirinya selalu
dianggap sebagai ibu kandung sendiri, pada hakekatnya dia tidak
tahu kalau dirinya masih memiliki seorang ibu yang lain.
Yang dia butuhkan sebetulnya bukan kasih sayang seorang ibu,
sebaliknya adalah kasih sayang seorang ayah. Dia pernah merasa
tidak terima karena perlakuan ayahnya yang begitu dingin terhadap
ibunya, selama hidup diapun tidak dapat melupakan sorot mata
ibunya menjelang saat ajalnya tiba.
Tidak lama berselang, dia masih menganggap Seebun-hujin yang
berada dihadapannya sebagai musuh besar pembunuh ibunya,
bahkan nyaris hendak menghabisi nyawanya.
Tapi sekarang, dari pengakuan ayahnya dia baru tahu, ternyata
perempuan yang telah membuat "ibu"nya mati karena sedih
sesungguhnya adalah ibu kandung dia sendiri!
Kini, dia sudah tahu bahwasanya semua peristiwa itu merupakan
kenyataan yang tidak terbantahkan, namun dalam perasaan, dia
belum dapat menerimanya dengan begitu saja.
Seebun-hujin sendiripun merasakan kepedihan yang luar biasa,
untuk sesaat dia tidak tahu apa yang harus dikatakan, satu
gelombang belum reda, gelom-bang lain telah datang melanda.
Setelah tertegun berapa saat, tiba-tiba Seebun Yan berteriak
keras, "Ibu, apakah semuanya ini kenyataan?"
Nada suaranya dipenuhi rasa bimbang bercampur gusar,
suaranya berubah jauh lebih tidak sedap didengar daripada suara
Bouw It-yu.
Perlu diketahui, biarpun dia tidak mempunyai seorang ayah, tapi
sejak kecil dia sangat menyanjung kehadiran seorang ayah. Gadis
ini tidak rela membiarkan ayahnya memiliki seorang istri yang tidak
setia, dia tidak rela dirinya ditipu selama banyak tahun oleh ibunya.


"Anak Yan,” kata Seebun-hujin lagi, "aku memang telah
melakukan kesalahan. Tapi aku tidak pernah mempermalukan
ayahmu. Aku berhubungan lebih dulu dengan ayah anak Yu
sebelum kenal dengan ayahmu, dan dia mengetahui akan hal ini!"
"Aku tidak mau mendengar!" tiba-tiba sikap Seebun Yan sama
seperti sikap Bouw It-yu tadi, dia mulai berteriak keras, bahkan
sambil menutupi wajah sendiri kabur meninggalkan tempat itu.
"Anak Yan!" teriak Seebun-hujin, wajahnya pucat pias.
Baru saja dia berteriak, Bouw It-yu sudah ikut lari meninggalkan
tempat itu.
"Anak Yu,” seru Bouw Ciong-long, "semuanya ini merupakan
kesalahanku seorang, kalau ingin marah, marahlah kepadaku!"
Bagaimana pun juga usia Bouw It-yu jauh lebih dewasa, dia lebih
mengerti urusan, kendatipun pikiran dan perasaannya sangat kalut,
namun dia tidak seperti Seebun Yan, sama sekali tidak memberi
jawaban.
"Ayah, ibu.... berilah kesempatan kepadaku untuk berpikir lebih
tenang. Aku segera akan mencari adik Yan!"
Bouw Ciong-long menghembuskan napas lega, ujarnya kemudian
sambil tersenyum, "Beng-cu, coba dengar, dia sudah memanggil ibu
kepadamu.”
Tapi dalam pendengaran Seebun-hujin, panggilan "ibu" dari
Bouw It-yu diucapkan dengan nada terpaksa. Bahkan dia merasa
memikul beban tekanan batin yang jauh lebih banyak daripada
Bouw Ciong-long, sudah jelas putrinya tidak dapat memaklumi
kejadian itu.
Dengan lemas dia terduduk, katanya, "Aku tidak seharusnya
datang kemari!"
"Jangan berpikir begitu, mereka hanya sekedar emosi, setelah
beberapa saat, sikap mereka pasti akan berubah lebih baik.”
"Moga-moga saja begitu. Hanya saja, Cong-long, akupun harus


pergi dari sini.”
"Biarkan mereka kakak beradik bicara lebih lama, jangan kelewat
cepat mengusik ketenangan kedua orang itu.”
"Kalau begitu kau boleh balik dulu. Sebentar biar aku sendiri
yang mencari anak Yan. Aku tidak berencana menghadiri upacara
pemakaman dari Bu-siang Cinjin.”
"Beng-cu,” bisik Bouw Ciong-long, "berilah kesempatan bagiku
untuk memandang wajahmu lebih lama, aku telah mengecewakan
banyak orang, terlebih kepada dirimu. Beng-cu, aku sedang berpikir,
apakah masih ada kesempatan bagiku untuk membayar semua
kesalahanku di masa lalu....”
Seebun-hujin tertawa pedih, tukasnya, "Buat apa kau singgung
lagi masalah tersebut saat ini, kini kau sudah menjadi Ciangbunjin
Bu-tong-pay!"
"Tapi aku toh bisa tidak usah jadi Ciangbunjin!" pikir Bouw Cionglong
dalam hati.
Tapi berhubung persoalan ini menyangkut masa-lah yang lebih
besar, tentu saja keputusan semacam itu tidak bisa dia putuskan
seorang diri.
Dengan perasaan apa boleh buat ditatapnya lagi wajah kekasih
hatinya, dia hanya bisa menyimpan ucapan itu di dalam hati dan
tidak berani mengemukakan.
"Cong-long,” kembali Seebun-hujin berkata, "kau masih ada
tugas berat yang sedang menanti. Sewaktu masuk tadi, apakah kau
sudah melihat kalau Lan Kau-san suami istri telah tewas di depan
rumah sana?"
Seolah baru teringat kembali, Bouw Ciong-long segera bertanya,
"Tahukah kau, siapa yang telah membunuh mereka?"
"Semua perbuatan keji itu merupakan hasil karya Tong Tiongsan.
Tapi menurut cerita Yan-ji kepadaku tadi, tampaknya dia
sengaja mengatur rencana busuk dan berniat melimpahkan semua


dosa ini kepada Put-ji Tojin, ayah angkat Keng Giok-keng.”
Saat itu Bouw Ciong-long masih terpengaruh oleh gejolak
perasaan hatinya, dia bertambah kaget setelah mendengar
perkataan itu.
"Sewaktu datang tadi, apakah kau bertemu Keng Giok-keng?"
"Tidak, tapi aku tahu dia telah kembali, buat apa kau
menanyakan hal ini?"
"Ketika baru turun dari puncak Ci-siau-hong tadi, kulihat ada
sesosok bayangan hitam bergerak menuju ke kompleks
pemakaman, kelihatannya dia adalah Keng Giok-keng.”
Perlu diketahui, dia menyusul turun dari puncak Ci-siau-kiong
lantaran menguatirkan keselamatan putranya, oleh sebab itu meski
timbul kecurigaan saat itu, namun tidak sempat untuk melakukan
penyelidikan.
"Kompleks pemakaman?" seru Seebun-hujin dengan perasaan
terkejut.
"Benar, kompleks pemakaman yang disediakan untuk mengubur
jenasah Bu-siang Cinjin, selama berapa bulan terakhir Put-ji selalu
tinggal disana.”
"Kalau begitu sudah pasti dia. Aduh.... celaka! Rencana busuk
Tong Tiong-san benar-benar kelewat kejam, bocah itu.... bocah
itu....”
Tidak perlu dia menyelesaikan perkataannya, Bouw Ciong-long
sudah tahu kalau urusan ini sangat gawat.
Tampaknya Tong Tiong-san ingin menyaksikan Put-ji Tojin mati
dibunuh anak angkatnya sendiri, tindakannya ini merupakan
pelampiasan rasa gusarnya karena kekasih kesayangannya direbut
orang. Dengan berbuat demikian, bukankah dia akan jauh lebih
puas daripada turun tangan membunuhnya sendiri?
Sekalipun dia merasa berat hati untuk meninggalkan Seebunhujin,
mau tidak mau dia harus meninggalkan dirinya juga.


Terhadap Put-ji Tojin, boleh dibilang dia tidak menaruh kesan
baik, namun diapun tidak tega membiarkan dia mati konyol. Bukan
dikarenakan dia telah difitnah orang, di balik kesemuanya itu
terselip pula alasan lainnya.
Dengan kecepatan tinggi dia berangkat menuju kompleks
pemakaman, dia khawatir kedatangannya sedikit terlambat.
Put-ji Tojin mengangkat tinggi kurungan pedangnya kemudian
perlahan lahan dihujamkan ke ulu hati sendiri.
Dalam waktu sekejap Keng Giok-keng merasakan pikiran dan
perasaannya amat kalut.
Terhadap musuh besar pembunuh ayahnya, tapi bersamaan juga
sebagai ayah angkat yang telah melepaskan budi memelihara dan
mendidiknya hingga dewasa, dia tidak tahu haruskah membiarkan
dia hidup terus, ataukah membiarkan dia mati dihadapannya?
Pedang Put-ji toji telah menusuk masuk ke dalam ulu hatinya,
darah segar telah menyembur keluar dihadapannya.
Tiba-tiba Keng Giok-keng menubruk maju ke depan dan merebut
kutungan pedang dari tangan Put-ji.
Meski mulut luka tidak terlalu dalam, namun Put-ji telah roboh
diatas genangan darah. Dalam keadaan begini dia tidak mampu
berkata-kata, hanya sepasang matanya belum dipejamkan, bahkan
sedang membelalak lebar sambil mengawasi pemuda itu tanpa
berkedip.
Tiba-tiba terdengar suara yang lembut serasa melayang di udara
dan terkirim ke dalam telinganya, "Giok-keng, bukan dia yang
membunuh ayah ibu asuhmu!"
"Siapa yang sedang mengajak aku bicara?"
Jangan lagi pikirannya saat itu sedang kalut, sekali pun masih
dapat mempertahankan kesadaran otaknya pun dia tidak bakal
menyangka kalau Ciangbunjin nya telah datang sendiri ke sana,
bahkan sebelum melangkah masuk ke kompleks pemakanan, dia


sudah menyampaikan suara terlebih dulu.
Terhadap kematian yang menimpa Lan Kau-san suami istri, Put-ji
Tojin telah menyangkal kalau dia adalah pembunuhnya, tapi setelah
pernyataan itu disampaikan orang ini, mau tidak mau Keng Giokkeng
harus mempercayainya.
Orang itu muncul dengan kecepatan luar biasa, belum lagi
orangnya muncul, seruannya telah disampaikan lebih dulu melalui
ilmu menyampaikan suara, hal ini membuktikan betapa cemas dan
gelisahnya dia.
Oleh karena itulah Keng Giok-keng merasakan hatinya
bergoncang keras, segera pikirnya, 'Jangan-jangan aku memang
telah salah menuduh ayah angkat?'
Begitu ingatan tersebut melintas, perasaan benci dan dendamnya
terhadap Put-ji pun otomatis berkurang beberapa bagian.
Perlu diketahui, sejak lahir dari rahim ibunya, kedua orang
tuanya sudah mati, karena itu selama hidup belum pernah dia
bertemu dengan kedua orang tuanya itu.
Keinginannya untuk membalas dendam pun tidak lebih hanya
berdasarkan niatan dan kewajiban yang telah berlaku turuntemurun,
perasaan tersebut bercampur aduk dengan perasaan
tanggung jawabnya, sehingga niatan untuk membalas dendam
sesungguhnya tidak terlalu kuat.
Sejak dia lahir di dunia ini, hanya dua orang yang bersikap
sangat baik kepadanya, yang satu adalah ayah asuhnya Lan Kausan
dan yang lain adalah ayah angkat sekaligus gurunya Put-ji Tojin.
Perasaan kasih sayangnya terhadap dua orang ini merupakan
ikatan batin yang nyata, seakan ada sebuah tali yang tidak
berwujud telah merantai dan menyatukan mereka.
Dia sendiri mungkin belum pernah mengurai perasaan hati
sendiri secara detil, tapi alasan utama yang memaksa dia untuk
mendesak Put-ji melakukan bunuh diri bukanlah karena ingin
membalaskan sakit hati ayah ibu kandungnya, tapi lebih ditekankan


pada pembalasan dendam atas kematian Lan Kau-san berdua.
Masalah utama yang paling membuatnya sedih adalah karena dia
menyangka ayah angkatnya telah menghabisi nyawa orang tua
asuhnya.
Tapi sekarang, setelah mendengar seruan Bouw Ciong-long yang
secara tegas menandaskan kalau ayah angkatnya bukanlah sang
pembunuh, otomatis simpul mati terbesar yang membelenggu
perasaan hatinya selama inipun ikut teruraikan.
Dia merampas kurungan pedang ditangan Put-ji, kemudian
katanya sedih, "Benar, orang tuaku kandung telah mati, orang tua
asuhku juga telah mati, bagaimana pun juga aku tidak boleh
membiarkan ayah angkatku ikut mati!"
Sesungguhnya perkataan itu diucapkan untuk didengar dirinya
sendiri, tapi Put-ji yang terkapar diatas genangan darah dan belum
kehilangan kesadarannya, tentu saja dapat mendengar pula
perkataan itu.
Sekulum senyuman mulai menghiasi wajah Put-ji Tojin yang
pucat pasi, tapi sepasang matanya perlahan-lahan dipejamkan.
"Gihu, kau.... kau tidak boleh mati!" teriak Keng Giok-keng
terkejut.
Pada saat itulah terasa desiran angin berkelebat lewat
menggoyangkan cahaya lentera dalam ruangan, tahu-tahu
Ciangbunjin Bu-tong-pay telah muncul di hadapannya.
Terkejut bercampur girang Keng Giok-keng berseru,
"Ciangbunjin, rupanya kau!"
Bu-beng Cinjin (Bouw Ciong-long) tidak sempat menjawab,
secepat kilat dia totok beberapa buah jalan darah ditubuh Put-ji,
yang digunakan adalah ilmu menotok untuk menghentikan aliran
darah, seketika itu juga darah yang mengalir keluar dari mulut luka
terhenti.
"Untung luka yang dideritanya tidak terlampau berat, aku rasa


nyawanya masih dapat diselamatkan,” ujar Bu-beng Cinjin sambil
menghembuskan napas lega.
Keng Giok-keng ikut menghembuskan napas lega, namun tekateki
yang mencekam pikirannya sulit untuk diuraikan.
Tampaknya Bu-beng Cinjin dapat menebak jalan pikirannya, dia
segera berkata, "Kau tidak perlu tahu darimana aku bisa
mengetahui kejadian ini, aku hanya ingin bertanya, percayakah kau
dengan perkataanku?"
"Terima kasih atas teguran Ciangbun-Cinjin sehingga tecu tidak
melakukan kesalahan besar. Untuk menyesal pun tecu merasa tidak
sempat, mana berani mencurigai? Tapi sesungguhnya tecu pun
tidak punya nyali untuk memaksa Gihu bunuh diri, di balik
kesemuanya itu masih terdapat rahasia lain yang sulit untuk
diungkap....”
"Kalau memang sulit diungkap, lebih baik tidak usah kau
sampaikan kepadaku.”
"Apakah Ciangbun-Cinjin telah berkunjung ke rumah tecu?"
"Betul, aku pun sudah tahu kalau orang yang mencelakai ayah
dan ibu asuhmu adalah Tong Ji-sianseng dari Suchuan. Cici mu
sudah diculik olehnya.”
"Lagi-lagi ulah bangsat tua itu!" seru Keng Giok-keng terkejut
bercampur marah.
"Cepatlah pergi selamatkan cicimu, serahkan ayah angkatmu
kepadaku.”
Karena sudah terjadi peristiwa secara beruntun, tentu saja
terpaksa Keng Giok-keng menunda urusan tentang ayah angkatnya
sementara waktu, cepat dia pergi mengejar Tong Ji-sianseng.
Setelah menghentikan aliran darah ditubuh Put-ji, Bu-beng Cinjin
menyalurkan tenaga dalamnya ke tubuh pendeta itu. Tapi dia
segera merasakan timbulnya tenaga perlawanan di tubuh Put-ji
Tojin, hawa murni yang dia salurkan hanya digiring untuk berputar


di antara urat urat nadinya namun sama sekali tidak digiring masuk
ke Tan-tian.
Dengan adanya penolakan tersebut, usaha Bu-beng Cinjin pun
menjadi sia-sia belaka.
Tanpa terasa Bu-beng Cinjin mengernyitkan dahinya, perlu
diketahui, apabila pihak penderita telah muncul keinginannya untuk
mati, maka sekalipun Hoa-tuo hidup kembali pun tidak nanti dia bisa
selamatkan jiwanya lagi.
Perlahan-lahan Put-ji Tojin membuka matanya dan berkata,
"Tecu memang pantas mati, harap Ciangbunjin tidak usah
membuang tenaga lagi untuk menolong aku.”
"Apakah kau merasa bersalah karena telah salah membunuh
Keng King-si? Sudah lama aku mengetahui persoalan ini, bukan
maksudku kau tidak bersalah, tapi dalang dari semua pembunuhan
itu bukanlah kau.”
"Tidak bisa dikatakan semua peristiwa ini timbul karena salah
paham,” kata Put-ji Tojin sambil menghela napas, "ketika turun
tangan secara keji waktu itu, aku memang mempunyai kepentingan
pribadi.”
Kalau dibicarakan sungguh aneh sekali, sebetulnya dia tidak ingin
mati, tapi setelah memperoleh pengampunan dari Keng Giok-keng,
entah mengapa, dia justru merasa tidak punya muka lagi untuk
bertemu dengan putra angkatnya.
Dia sadar, kendatipun selembar nyawanya tetap dapat
dipertahankan, namun kondisinya ibarat seorang cacat, apalagi
sepanjang tahun dia harus memikul rasa bersalah dan menyesal,
lalu apa gunanya tetap hidup terus di dunia ini?
Sementara itu Bu-beng Cinjin berpikir, "Untuk mengobati
penyakit jiwa memang diperlukan santapan rohani, bila aku tidak
menggunakan obat yang paling keras, mungkin niatnya untuk tetap
hidup bakal lenyap untuk selamanya.”
Berpikir begitu, diapun menegur, "Hmm, kau hanya ingin


bertanggung jawab atas kematian Keng King-si dan istrinya? Apakah
kau lupa masih ada seseorang lain yang lebih penting, sebuah kasus
besar yang lebih penting?"
Put-ji Tojin tertegun seketika, dengan napas ter-sengkal bisiknya,
"Ciangbun Cinjin, kau.... maksudmu....”
Tiba-tiba wajah Put-ji yang pucat pias mulai mengejang keras,
katanya lagi agak tergagap, "Kau.... kau maksudkan guruku semasa
preman dulu?"
"Betul. Aku ingin tanya apa penyebab kematian guru premanmu
dulu, Ji-ou Thayhiap Ho Ki-bu?"
"Aku.... aku tidak tahu. Malam itu aku tidak berada dirumah.
Sekembali dari pergi,.suhu telah mati dibunuh orang.”
"Bagaimana keadaan matinya?"
"Sepertinya dihantam oleh tenaga pukulan aliran perguruan kita
sendiri.”
"Malam itu kau pergi ke mana?"
"Oleh karena Ciangbunjin telah menanyakan persoalan ini, tecu
akan menjawab sejujurnya. Sewaktu mendapat kabar kalau Keng
sute bakal pulang ke rumah, akupun pergi untuk mencari kabar.
Malam itu aku tinggal di rumah seorang famili keluarga Ho di kaki
gunung Boan-liong-san, hingga kini orang itu masih hidup, dia
bersedia menjadi saksi mataku.”
"Karena itu kau curiga pembunuhan itu dilakukan Keng King-si,
dan pada hari kedua kau mengajak si orang tua Ho Liang untuk naik
ke gunung Boan-licng-san dan melakukan penghadangan?"
"Waktu itu aku memang salah informasi dan kelewat percaya
dengan segala rumor, kusangka Keng King-si betul-betul telah
menjadi mata-mata bangsa Boan, ditambah lagi pada malam itu, di
saat aku sedang keluar rumah untuk mencari berita tentang dirinya,
ternyata sebelum aku tiba kembali di rumah, dia sudah berkunjung
dulu ke rumah kami dan melakukan pembunuhan.”


"Tapi, bukankah dia pulang dari luar perbatasan bersama-sama
Sumoymu? Sumoymu adalah putri tunggal gurumu!"
Maksud ucapan itu sangat jelas, dia sedang menuduh Put-ji tidak
punya otak, karena kecurigaan yang timbul dalam benaknya
sesungguhnya tidak masuk akal.
Semu merah muncul dari balik wajah Put-ji yang pucat, cepat
sahutnya, "Malam itu dia pernah meninggalkan Sumoy hampir dua
jam lamanya, hal ini pernah kuinterogasikan pada mereka, Sumoy
mengatakan hal itu kepadaku. Meskipun saat itu Sumoy telah
memberi penjelasan juga kepadaku, namun aku tetap tidak
percaya.”
"Dan sekarang?"
Paras muka Put-ji Tojin nampak semakin duka, sahutnya lirih,
"Tahun berselang aku telah berkunjung ke Liauw-tong, sedikit
banyak aku berhasil juga mendengar segala sesuatu yang
berhubungan dengan Keng-sute semasa hidup disana, tampaknya
aku memang telah salah menduganya.”
"Tapi kau belum pernah melakukan pembelaan atas watak dan
perangai Keng King-si dihadapan gurumu Bu-siang Cinjin, kenapa
kau selalu hanya mengatakan kalau kemungkinan besar kau telah
salah menuduhnya.”
"Benar, aku memang pantas mati, aku memang egois, aku hanya
memikirkan kepentingan sendiri,” kata Put-ji sambil memukul dada
sendiri berulang kali.
"Oleh karena kau sudah tahu menyesal, dalam hal ini aku tidak
akan melakukan pengusutan lagi. Tapi waktu itu kau selalu
bersikeras menuduh Keng King-si lah yang telah membunuh
gurunya, kecuali dikarenakan kau percaya dengan isu yang sengaja
dilontarkan mata-mata bangsa Boan, apakah masih ada alasan
lainnya?"
"Soal ini.... soal ini....”
Tampaknya dia sedang menduga-duga apa tujuan Ciangbunjin


yang sebenarnya, sehingga meski ingin menjawab namun dia pun
tidak berani mengatakannya.
Kembali Bu-beng Cinjin berkata, "Aku dengar sewaktu guru
premanmu dibunuh orang, dia sempat menjerit kaget sambil
berteriak.”
ternyata.... ternyata kau! Benarkah ada kejadian seperti ini?"
Put-ji Tojin membelalakkan matanya lebar-lebar, sorot matanya
dipenuhi rasa takut bercampur ngeri, beberapa saat kemudian dia
baru berkata, "Malam itu hanya Ho Liang seorang yang berada di
rumah, dia bilang perkataan yang diucapkan suhu didengarnya
dengan mata kepala sendiri, jadi akupun tidak tahu apakah benar
atau tidak!"
"Hanya sepatah kata?" desak Bu-beng Cinjin.
"Tegasnya hanya setengah patah kata. Guru hanya memaki:
Kau.... kau binatang.... hanya sampai separuh jalan, suhu telah
putus nyawa.”
Bu-beng Cinjin manggut-manggut, katanya kemudian, "Separuh
patah katamu jauh lebih banyak dari-pada apa yang kudengar dari
orang lain, tidak heran kalau orang lainpun jadi curiga.”
"Tidak heran" apa? Tampaknya memang tidak perlu Put-ji
melukis ular diberi kaki lagi. Biasanya kalau seorang guru silat
mengumpat "binatang", kalau bukan putranya yang dimaksud,
pastilah muridnya yang dituju.
Ji-ou Thayhiap Ho Ki-bu tidak berputra, jadi umpatannya
"binatang" kalau bukan ditujukan untuk muridnya lalu siapa lagi?
Padahal perkataan yang disampaikan Ho Liang bukan hanya
separuh kata itu saja, tapi Put-ji kuatir bila dia bicara makin banyak
maka kecurigaan orang terhadap dirinya bisa makin besar, maka dia
tidak berani bicara lebih jauh.
Dengan sorot tajam Bu-beng Cinjin mengawasi wajahnya,
kemudian bertanya, "Apakah gara-gara separuh kata itu maka kau


mencurigai adik seperguruanmu?"
"Menurut Ho Liang, dia sempat melihat bayangan punggung
orang itu, menurutnya orang itu mirip....
mirip Keng-sute.”
"Tapi kalau ditinjau dari pelbagai kenyataan yang berhasil kita
kumpulkan sekarang, dapat disimpulkan bahwa sembilan puluh
persen pembunuhnya bukan Sute mu!"
Keringat dingin mulai bercucuran membasahi punggung Put-ji
Tojin, dengan napas tersengkal bisiknya, "Ciangbunjin, jadi kau
mencurigai aku?"
Bu-beng Cinjin tidak menjawab, dengan sorot mata yang tajam
bagaikan mata golok ditatapnya wajah tosu itu tanpa berkedip.
"Bukan aku, sumpah bukan aku!" teriak Put-ji Tojin dengan suara
parau, "Ciangbun-Cinjin, kau....”
Tiba-tiba sorot mata Bu-beng Cinjin berubah, dengan suara yang
lebih lembut ka tanya, "Aku mempercayaimu!"
Put-ji menghembuskan napas lega, peluh dingin telah membasahi
seluruh pakaiannya, dia merasa seolah baru saja lolos dari lubang
jarum.
Terdengar Bu-beng Cinjin berkata lebih lanjut, "Tapi sayang
belum cukup hanya aku seorang yang mempercayaimu. Kau baru
bisa terlepas dari segala tuduhan setelah kasus pembunuhan ini terungkap.”
"Baik, aku tahu.”
"Oleh karena itu kau tidak boleh mati, kalau tidak, bila kau
sampai mati maka biar dicuci dengan air lautan pun, dosa mu
tidakbakalan terhapus!"
"Teguran Ciangbunjin sangat tepat, biar tecu harus jadi cacat
pun tetap akan hidup terus.”
Sekalipun kondisi tubuhnya bertambah lemah sehingga apa yang


seharusnya ingin disampaikan pun sudah tidak sanggup diucapkan,
malah dia telah memejamkan matanya, namun hawa murni yang
disalurkan Bu-beng Cinjin ke dalam tubuhnya segera mengalir
masuk ke dalam Tan-tian dengan lancar.
Setelah Bu-beng Cinjin melihat pendeta itu tertidur pulas, meski
perasaan hatinya sedikit agak lega, namun tidak urung dalam
hatinya dia tertawa getir juga.
Delapan belas tahun berselang, beberapa orang tokoh penting
dari Bu-tong-pay telah mati terbunuh secara beruntun, diantaranya
terdapat ketua para Tianglo Bu-kek Tojin, ada Ji-ou Thayhiap Ho Kibu,
ada pula Ting Hun-hok yang satu level dengan Ho Ki-bu.
Di antara ketiga korban pembunuhan itu, berbicara soal tingkat
kedudukan maka Bu-kek Tianglo yang paling tinggi, tapi kalau
berbicara dari tingkat kasus maka terbunuhnya Ho Ki-bu merupakan
kasus kunci yang paling penting.
Sebab dari pelbagai gejala dan bukti yang berhasil dikumpulkan
dapat ditarik kesimpulan bahwa Ho Ki-bu merupakan target utama
yang hendak dibunuh pihak lawan, sementara dua orang lainnya
hanya karena secara kebetulan bertemu dengan kejadian ini maka
otomatis mereka ikut tergulung dalam peristiwa berdarah itu.
Itu berarti asal kasus yang pertama dapat diuraikan, maka dua
kasus lainnya secara otomatis akan tersingkapjuga.
Yang pasti hanya orang luar biasa yang sanggup membokong
mati tiga orang jago lihay dari Bu-tong-pay, dan jelas peristiwa ini
merupakan kasus yang luar biasa.
Sesudah terjadinya beberapa kasus pembunuhan ini, secara
diam-diam Ciangbunjin Bu-tong-pay saat itu Bu-siang Cinjin pernah
menghubungi sute nya ini, yang saat itu masih merupakan seorang
murid preman, Bouw Ciong-long untuk bantu dia melakukan
penyelidikan.
Kini, setelah kejadian itu lewat delapan belas tahun lamanya,
Tiong-ciu Thayhiap Bouw Ciong-long pada waktu itu kini telah


menjadi ketua Bu-cong-pay yang baru dengan nama Bu-beng Cinjin,
namun dia masih tetap gagal untuk mengungkap siapa dalang
pembunuhan yang sebenarnya.
Tapi ada satu hal dia telah mengetahuinya, yakni ditemukannya
sebatang jarum Lebah hijau milik Siang Ngo-nio dalam kerangka
kepala si orang tua Ho Liang. Putranya Bouw It-yu yang melaporkan
penemuan ini kepadanya.
Bahkan jauh sebelum putranya melaporkan penemuan itu, dia
sudah curiga kalau Siang Ngo-nio tersangkut dalam kasus
pembunuhan ini.
Sebab dua patah kata pertama yang diucapkan Ho Ki-bu di saat
menemui ajalnya merupakan kata-kata yang pernah diungkap Siang
Ngo-nio ketika suatu kali dia sedang menikmati arak bersama
perempuan itu.
Waktu itu dia sempat bertanya kepada Siang Ngo-nio, tapi
perempuan itu segera berkata, "Kau sangka aku memiliki
kemampuan untuk membuat mati Ho Ki-bu serta Bu-kek Totiang?
Kalau memang sudah tahu kalau bukan aku, maka apa yang tidak
ingin kukatakan lebih baik tidak usah kau tanyakan lagi!"
Watak Siang Ngo-nio membuat dia kehabisan daya, lagipula dia
sendiripun mempunyai banyak hal yang membuatnya was-was,
terpaksa dia lepaskan Siang Ngo-nio dan berusaha melacak dari
jalur lain.
Kini dari mulut Put-ji dia berhasil mendapat tahu keadaan di saat
Ho Ki-bu terbunuh, bahkan apa yang diperoleh jauh lebih lengkap
dan terperinci, selama delapan belas tahun lamanya, untuk pertama
kalinya dia memperoleh sedikit gambaran tentang seluk beluk kasus
pembunuhan ini.
"Jangan-jangan pembunuhnya adalah Tong Ji-sianseng?" tapi
ingatan lain segera melintas, "Tong Ji-sianseng hanya bisa dikatakan
mengerti ilmu silat aliran Bu-tong, seharusnya dia membunuh Ho Kibu
dengan mengandalkan ilmu pukulan perguruannya.”


Setelah berpikir sekian lama, mendadak dia teringat lagi akan
seseorang, seseorang yang membuatnya amat terperanjat.
"Jangan-jangan orang itu adalah.... adalah....”
Dia tidak berani berpikir lebih lanjut. Andaikata bukan terpaksa,
dia tidak ingin ribut apalagi bermusuhan dengan orang itu.
Terpaksa dia pun memusatkan kembali perhatiannya pada Tong
Ji-sianseng.
Menurutnya, sekalipun Tong Ji-sianseng tidak tersangkut dengan
beberapa kasus pembunuhan itu, paling tidak dia bisa mencari
keterangan atau titik terang dari tubuhnya.
Karena antara dia dengan Siang Ngo-nio punya ikatan hubungan
yang luar biasa, rahasia yang diketahui Siang Ngo-nio sudah pasti
diketahui pula olehnya. Bahkan besar kemungkinan berita yang
dibocorkan Siang Ngo-nio setelah pesta arak waktu itupun berasal
dari mulutnya.
Di samping itu, bukankah belum lama berselang Tong Ji-sianseng
telah menjadi pembunuh yang telah mengeksekusi Lan Kau-san dan
istrinya?
Memang, Lan Kau-san dan istrinya hanya orang kecil yang sama
sekali tidak berbobot, namun bagaimana pun juga, lokasi
terbunuhnya mereka adalah diatas gunung Bu-tong, sebagai
Ciangbunjin Bu-tong-pay tentu saja dia tidak bisa berpangku tangan
membiarkan orang itu melakukan kejahatan semaunya kemudian
pergi dengan begitu saja.
Tapi.... bukan satu pekerjaan yang mudah untuk menghadapi
Tong Ji-sianseng, bahkan tidak dapat disangkal, peristiwa itu pasti
akan menyeret Siang Ngo-nio juga. Bila penanganannya sedikit saja
keliru, peristiwa ini bisa meletus menjadi berita paling memalukan
dalam dunia persilatan.
Lebih baik membiarkan Tong Ji-sianseng dan Siang Ngo-nio pergi
meninggalkan gunung Bu-tong, atau mumpung baru saja terjadi, dia
segera menghadang mereka dan menggusurnya ke atas gunung?


Bu-beng Cinjin merasa serba salah, menyaksikan Put-ji yang
terlelap tidur, dia hanya tertawa getir.
Mimpi pun dia tidak menyangka, tidak usah dia turun tangan
sendiripun waktu itu sudah ada seseorang menghadang jalan pergi
Tong Ji-sianseng.
Waktu itu Tong Tiong-san baru saja turun dari puncak Tian-kihong.
Siang Ngo-nio sambil membopong Lan Sui-leng berjalan di
depannya.
Bebatuan di puncak Tian-ki-hong hitam bagai baja, medannya
selain naik turun tidak menentu bahkan seluruh puncak berwarna
hitam pekat dan amat tandus.
Ada satu keuntungan bagi mereka dengan memilih di bawah
bukit ini, dalam sekilas pandang mereka dapat memeriksa apakah di
sekitar sana terdapat jebakan atau tidak.
Medan yang curam dan berbahaya sama sekali bukan jadi
halangan bagi mereka berdua.
Siang Ngo-nio sendiri karena dilindungi oleh Tong Tiong-san,
apalagi dia pun membawa Lan Sui-leng sebagai sandera, maka
perempuan itu tidak perlu merasa takut atau khawatir.
Di puncak Tian-ki-hong terdapat sebuah batu cadas, bentuknya
mirip seorang Tojin yang sedang berjongkok sambil mengawasi
tungku obat dihadapannya, batu berbentuk tungku obat itu
berwarna hitam kemerah-merahan.
Karena bentuknya yang unik, bebatuan itu dinama kan "Lo-kunlian-
wan" (Tosu tua memasak obat), merupakan salah satu tempat
wisata yang terkenal di gunung Bu-tong.
Ketika Siang Ngo-nio sedang berjalan melewati bawah kaki "lokun"
itu, dia berjalan santai dan sama sekali tidak berjaga-jaga,
tidak disangka tiba-tiba "lo-kun" itu bergerak dan hidup.
Seorang tosu berbaju hitam yang menyaru sebagai "Lo-Kun" tibatiba
melompat turun dari atas tebing dan langsung menerkam Siang


Ngo-nio.
Perempuan ini cukup cekatan, walaupun dalam kondisi tidak siap
namun dia segera dapat menebak niat tosu itu, tampaknya pihak
lawan berniat merebut sanderanya, Lan Sui-leng.
Buru-buru Siang Ngo-nio memutar tubuh sambil menyodorkan
tubuh Lan Sui-leng ke arah tosu tadi, ejeknya sambil tertawa dingin,
"Apakah kau menghendaki nyawa bocah perempuan ini?"
Siapa tahu tosu tersebut sama sekali tidak ambil perduli atas mati
hidup Lan Sui-leng, baru selesai perempuan itu mengancam, sebuah
pukulan keras dari tosu itu sudah dihantamkan ke tubuh Lan Suileng.
Dalam anggapan Siang Ngo-nio, tosu itu ingin merebut
sanderanya sebagai Hu pelindung diri, dia sama sekali tidak
menyangka jika "Hu pelindung diri" itu sekarang malah dipakai
lawan sebagai alat untuk menggempurnya.
Dalam waktu singkat dia merasakan dadanya seolah dihantam
dengan martil besar, belum sempat berpikir lebih jauh, sandera
yang berada di tangannya tahu-tahu telah berhasil direbut tosu
berbaju hitam itu!
Bukan saja sanderanya berhasil direbut, perempuan itupun
merasakan tubuhnya gontai bagaikan api lilin yang terhembus
angin, untung tidak sampai roboh terjengkang.
Perubahan yang terjadi sangat tiba-tiba ini bukan saja jauh
diluar-dugaan Siang Ngo-nio, Tong Ji-sianseng pun tidak pernah
menduga sebelumnya.
Bagaimana pun juga dia adalah seorang tokoh yang luas
pengalamannya dalam dunia persilatan, reaksi yang dilakukan
sangat cepat dan tepat. Sebelum tubuh Siang Ngo-nio roboh
terjengkang, dia telah melepaskan satu pukulan ke punggung
perempuan itu.
Siang Ngo-nio buru-buru mengendalikan diri, selang beberapa
saat kemudian perlahan-lahan dia baru roboh ke tanah. Biarpun


akhirnya perempuan itu roboh juga, namun Tong Ji-sianseng segera
menghembuskan napas lega, seolah baru saja terlepas dari beban
berat.
Ternyata ilmu pukulan yang digunakan tosu berbaju hitam itu
adalah ilmu Li-uh-coan-kang (mengirim tenaga dari balik benda)
yang merupakan ilmu pukulan tingkat tinggi, meskipun serangan itu
dihantamkan ke tubuh Lan Sui-leng, namun korban yang terkena
sasaran adalah Siang Ngo-nio.
Pukulan yang kemudian dilancarkan Tong Tiong-san bermaksud
untuk memunahkan tenaga pukulan yang dikirim lawan.
Pertarungan semacam ini sama artinya dengan meminjam tubuh
Siang Ngo-nio sebagai media untuk beradu tenaga dalam,
kendatipun tidak sampai mencabut nyawa perempuan itu, tidak
urung getaran dan guncangan tenaga dalam yang dipancarkan ke
dua orang jago lihay itu akhirnya membuat dia jatuh tidak sadarkan
diri.
Itupun masih beruntung karena pukulan dari Tong Tiong-san tiba
tepat waktunya, coba kalau bukan begitu, niscaya selembar jiwanya
akan melayang.
Kini, walaupun dia tidak sadarkan diri, namun tidak sampai
menderita luka dalam.
Reaksi yang dilakukan Tong Tiong-san benar-benar amat cepat,
disaat dia melepaskan pukulan ke tubuh Siang Ngo-nio tadi,
segenggam senjata rahasia telah disambitkan pula ke tubuh tosu
berbaju hitam itu.
Gerakan yang dilakukan kedua belah pihak sama-sama cepatnya,
mula pertama tosu berbaju hitam itu melempar dulu tubuh Lan Suileng
ke arah belakang, kemudian tangannya diayunkan, sebutir batu
cadas sebesar telur itik segera diremasnya jadi hancuran batu
kerikil, kemudian dengan gaya Thian-li-san-hoa (gadis langit
menebar bunga) dia tebar hancuran batu itu ke depan.
"Triiing.... traaangg....” suara dentingan nyaring bergema


berulang kali, sebagian besar senjata rahasia yang dilontarkan Tong
Tiong-san nyaris berhasil dijatuhkan, tinggal dua butir peluru yang
meluncur tidak beraturan berhasil menghindari hantaman batuan itu
dan langsung melesat ke hadapan tubuh tosu itu.
Cepat tosu itu mengebaskan ujung bajunya, ke dua butir peluru
itu seakan melekat diujung bajunya, untuk sesaat hanya berputar
tiada hentinya.
Mula pertama Tong Tiong-san nampak berseri karena girang, tapi
berapa saat kemudian paras mukanya berubah. Ternyata kedua
butir peluru itu telah berhenti berputar, sedikit saja menggetarkan
bajunya, tahu-tahu kedua biji peluru itu telah meluncur masuk ke
dalam saku tosu berbaju hitam itu.
Kalau peluru geledek Bi-lek-tan saja tidak mampu melukai tosu
itu, tentu saja senjata rahasia lain tidak akan menghasilkan apa-apa,
dalam keadaan begini terpaksa menang kalah harus ditentukan
dengan beradu ilmu silat.
Tosu berbaju hitam itu menggerakkan tangannya mendayung ke
samping membentuk satu lingkaran busur, dia menggiring tenaga
pukulan dari Tong Tiong-san melenceng ke samping.
Tampaknya Tong Tiong-san sudah menduga akan hal itu, tibatiba
gerak pukulannya berubah, dari sudut yang sama sekali tidak
terduga dia melakukan satu perubahan dan....”Plaaak!" sepasang
tangan pun saling beradu.
Tong Tiong-san merupakan tokoh yang sangat hebat dari
keluarga Tong selama seratus tahun terakhir, bukan saja senjata
rahasianya merupakan nomor wahid di kolong langit, tenaga dalam
yang dimiliki pun boleh dibilang sejajar dengan para jago mana pun.
Siapa sangka tenaga dalam yang dilontarkan keluar seolah
tergiring masuk ke dalam ruangan dengan pintu baja yang berlapislapis.
Sekalipun tidak sampai hilang lenyap begitu saja, namun
setiap kali berhasil melampaui selapis pintu, daya kekuatannya
serasa ikut hilang separuh bagian.


Kejut bercampur heran Tong Tiong-san segera berpikir, "Rasanya
tenaga dalam aliran Bu-tong-pay tidak seperti ini, tapi cara yang dia
gunakan justru merupakan tehnik lembek melawan keras dari Thaykek-
kun. Ehmmm, tidak betul, tenaga yang dia gunakan sama sekali
bukan tenaga lembek yang murni, jelas dia adalah tosu Bu-tong
yang menjadi pendeta di tengah jalan!"
Ternyata dibalik tenaga lembek yang digunakan tosu itu untuk
menempel dan melekat di seputar serangannya, lamat-lamat muncul
'sudut tonjolan", padahal inti dari tenaga dalam aliran Bu-tong-pay
mengutamakan "bulat dan berputar natural". Dengan kesempurnaan
tenaga dalam yang dimiliki tosu itu, tidak seharusnya terjadi sudut
tonjolan seperti ini.
Tiba-tiba Tong Tiong-san tersadar, segera teriaknya, "Aku tahu
siapakah kau, kau.... kau adalah....”
Tiba-tiba tosu berbaju hitam itu tertawa dingin kemudian menarik
kembali tenaga pukulannya.
Yang paling susah dipelajari seorang pesilat adalah menyerang
dan menarik kembali tenaganya sekehendak hati, khususnya disaat
sedang bertarung melawan musuhnya, menyerang maupun menarik
kembali tenaganya harus dilakukan tepat waktu, bahkan lebih susah
lagi ketika menarik kembali tenaganya secara mendadak.
Padahal waktu itu mereka berdua sedang bertarung sengit,
ditariknya kembali tenaga pukulan tosu berbaju hitam itu secara
mendadak, sesungguhnya mengandung resiko yang amat besar.
Jika tenaga lawan sedikit saja berkurang maka pihak lawan bisa
manfaatkan kesempatan itu untuk menyerang balik, dari lemah
berubah jadi kuat, dari kalah bisa berubah menjadi menang. Tapi
sebaliknya, cara inipun bisa digunakan untuk mundur tapi kemudian
maju lagi, melancarkan sergapan tanpa diduga.
Tapi berhubung pertama, Tong Tiong-san sudah tahu siapakah
tosu itu, kedua diapun tidak menyangka pihak lawan berani
membuyarkan tenaga serangannya dalam keadaan seperti ini,
kontan saja tubuhnya kehilangan keseimbangan hingga tidak ampun


dia maju terhuyung sejauh beberapa langkah.
Dalam keadaan seperti ini, asal tosu berbaju hitam itu menambah
sebuah pukulan lagi di punggungnya, niscaya dia akan mati atau
paling tidak terluka parah.
Buru-buru Tong Tiong-san mengendalikan keseimbangan
tubuhnya lalu berpaling agak tertegun. Ternyata tosu berbaju hitam
itu masih berdiri tidak bergerak di posisi semula.
Biarpun sekarang dia tahu kalau tosu berbaju hitam itu tidak
berniat melukainya, namun perasaan sangsi dan ragu masih
mencekam perasaan hatinya, untuk sesaat dia tidak tahu apa yang
harus dikatakan.
Terdengar tosu berbaju hitam itu berkata perlahan, "Kau tahu
siapakah aku, akupun tahu siapa dirimu. Apa yang kuketahui
tentang dirimu jauh lebih banyak daripada apa yang kau ketahui
tentang aku!"
Tentu saja yang dimaksud Tong Tiong-san tadi sebagai "Aku tahu
siapa kau" mengartikan kalau dia sudah tahu siapakah tosu berbaju
hitam itu.
Tapi "tahu" yang dimaksud tosu berbaju hitam itu jelas bukan
menunjukkan manusia melainkan masalah. Dan masalah yang
dimaksud, tentu saja bukan masalah biasa melainkan rahasia yang
tidak ingin diketahui orang lain.
Bagaimanapun Tong Tiong-san adalah seekor rase tua yang licik,
segera ujarnya, "Baik, kalau kau tidak bicara, akupun tidak akan
bicara!"
"Tidak, yang seharusnya disampaikan harus disampaikan, yang
tidak seharusnya diucapkan, tidak perlu diucapkan!"
"Soal itu aku mengerti, hanya saja mengenai bocah
perempuan....”
Sambil berkata Tong Tiong-san menengok sekejap ke arah Lan
Sui-leng yang tergeletak ditanah.


"Tidak usah kuatir, biar guntur membelah bumi pun dia tidak
bakal mendengar,” tukas tosu berbaju hitam itu cepat.
Kini Tong Tiong-san sudah berhasil menenangkan hatinya, tentu
saja diapun dapat melihat bahwa sewaktu tosu berbaju hitam itu
membanting Lan Sui-leng, bukan saja telah menggunakan tehnik
melempar yang hebat hingga membuat gadis itu sama sekali tidak
terbuka, bahkan telah menotok jalan darah tidurnya.
"Jadi kedatanganmu lantaran bocah perempuan ini?" tanya Tong
Tiong-san kemudian.
"Secara khusus aku datang kemari untuk menunggu
kedatanganmu, hanya saja bocah perempuan ini adalah cicinya
seorang sahabat kecilku, karena telah bertemu disini, anggap saja
aku sedang minta keringan-an tanganmu untuk membebaskannya.”
"Baik, bisa saja kuserahkan bocah perempuan ini kepadamu, tapi
kau pun tidak boleh menyusahkan aku!"
Perlu diketahui, diatas gunung Bu-tong saat ini hanya dua orang
yang benar-benar memiliki kemampu-an untuk mempersulit dirinya,
yang satu adalah Bu-beng Cinjin dan yang lain adalah tosu berbaju
hitam itu.
Oleh karena itu, asal tosu berbaju hitam itu bersedia mengijinkan
dia bersama Siang Ngo-nio turun gunung, maka diapun tidak
membutuhkan Lan Sui-leng lagi untuk dijadikan sandera.
"Tukar menukar kado memang sesuatu yang sangat
menyenangkan, tapi rasanya kau seperti lupa dengan sepatah kata
yang telah kuucapkan tadi.”
"Apa?"
"Kedatanganku kemari adalah khusus untuk menantikan dirimu!
Bila hanya dikarenakan bocah perempuan itu, masa aku musti
bersusah payah menanti kan kedatanganmu?"
"Jadi kau masih punya maksud lain?"
"Boleh dibilang aku ingin menawarkan sebuah transaksi.”


"Baik, katakan saja!"
"Jangan kuatir, aku tidak berniat menyusahkan dirimu, tapi itu
pun hanya terbatas tidak akan menyusahkan dirimu saja.”
Dengan ditambahnya ucapan tersebut, jelas artinya jadi jauh
berbeda.
Dengan perasaan terkejut Tong Tiong-san berseru:
"Maksudmu....”
"Asal kau turun gunung seorang diri, bukan saja aku tidak akan
menyusahkan dirimu bahkan akan membantumu. Namun Siang
Ngo-nio harus tetap tinggal disini! Kita semua adalah sahabat lama,
aku tidak akan membohongimu, aku hanya ingin meminjam Ngo-nio
untuk dipakai!"
Melotot besar sepasang mata Tong Tiong-san saking gusarnya,
dengan suara dalam tegurnya, "Bukankah kau mengatakan kita
adalah sahabat lama? Tahukah kau karena apa aku datang kemari?
Aku datang ke gunung Bu-tong justru karena dia. Masa kau ingin
pinjam untuk memakainya?"
"Pikiranmu jangan kotor duluan,” tukas tosu berbaju hitam itu
senyum tidak senyum, "aku hanya ingin meminjamnya untuk
menghadapi seseorang, bukan berniat meminjamnya untuk dipakai
dalam arti lain. Lagipula setelah selesai upacara penguburan Busiang
Cinjin, aku akan mengembalikan dia ke sisimu, kujamin tidak
bakal kekurangan seujung rambut pun.”
"Ternyata kau ingin menggunakan dia untuk mengancam Bouw
Ciong-long!" teriak Tong Tiong-san makin gusar.
"Asal kita sama-sama mengertikan sudah cukup, buat apa musti
disebut terang-terangan!" sela tosu itu dengan tidak suka hati.
Coba berganti orang lain, aneh jika Tong Tiong-san tidak
merobek tubuhnya jadi dua. Tapi tosu berbaju hitam itu merupakan
salah satu lawan tandingnya, biarpun hawa amarah memenuhi
seluruh dadanya, dia tidak ingin segera bermusuhan dengan orang
ini.


Terdengar tosu berbaju hitam itu berkata lebih lanjut, "Padahal
akupun berbuat begitu demi kebaikanmu sendiri. Coba bayangkan,
bila kita tidak bisa menaklukan Bouw Ciong-long, apa akibat yang
mungkin bisa terjadi terhadap dirimu? Kita bicarakan dulu soal
hutang piutang, kau sangka dia tidak tahu kalau orang yang
mencelakai Lan Kau-san suami istri belum lama berselang adalah
dirimu?"
"Memangnya dia akan membuat perhitungan denganku hanya
gara-gara seorang petani sayur? Apalagi ilmu silatku tidak selisih
jauh darinya meski sedikit masih berada dibawahnya!"
Tosu berbaju hitam itu tersenyum.
"Kau keliru besar, si petani sayur itu mempunyai seorang anak
angkat yang punya reputasi hebat. Tentunya kau mengerti bukan,
yang kumaksudkan adalah Keng Giok-keng!"
"Lantas kenapa?" teriak Tong Tiong-san gusar, "memangnya aku
harus takut menghadapi seorang bocah ingusan?"
"Benar, dewasa ini kungfunya masih belum dapat mengungguli
dirimu, namun tidak gampang juga bagimu bila ingin menangkan
dirinya.”
Sengaja dia berhenti sejenak, kemudian baru perlahan-lahan
melanjutkan, "Bila kau keberatan meminjamkan Ngo-nio kepadaku,
akupun tidak akan kelewat memaksa. Terpaksa aku pun akan
berpeluk tangan sambil berdiri di luar garis, biar Bouw Ciong-long
dan Keng Giok-keng merecoki dirimu.”
Tong Tiong-san adalah seekor rase tua yang licik, tentu saja dia
dapat menangkap kalau di balik perkataan itu masih terkandung
makna lain, dengan terperanjat serunya, "Apakah kau telah
mengundang mereka berdua untuk berkumpul di sini?"
"Buat apa aku musti mengundang? Bocah itu sudah tiba di bukit
Thay-cu-po.”
Bukit Thay-cu-po terletak hanya selisih satu tebing dengan
tempat dimana mereka berada, dengan hasil latihan semedinya


selama dua puluh tahun, tosu berbaju hitam itu mempunyai
pendengaran yang luar biasa, dia telah menangkap suara dengus
napas dari tebing seberang.
Sebagai seorang jago senjata rahasia kenamaan, tentu saja
pendengaran Tong Tiong-san tidak kalah jauh dari tosu berbaju
hitam itu, begitu pasang telinga, benar saja diapun segera
menangkap suara itu.
"Seorang lelaki sejati harus tegas dalam mengambil keputusan,”
kembali tosu berbaju hitam itu berkata, "apalagi dengan kerugian
kecil bisa meraih keuntungan yang lebih besar!"
Dengan paras muka dingin kaku dan tidak mengucapkan sepatah
kata pun, Tong Tiong-san segera berlalu dari sana.
Oleh karena puncak Tian-ki-hong merupakan jalanan menuju ke
bawah gunung, Keng Giok-keng pun memilih melalui tempat ini
melakukan pengejaran.
Belum lama tosu berbaju hitam itu menyembunyikan Siang Ngonio,
Keng Giok-keng telah tiba di tempat tersebut. Pemandangan
yang terlihat di depan mata membuatnya terkejut bercampur
gembira.
Dia mengejar musuh karena ingin menyelamatkan encinya yang
diculik, apakah pengejarannya berhasil menyusul musuh, dan
apakah setelah berhasil menyusul musuhnya dia mampu merebut
kembali cicinya, baginya hal itu merupakan sebuah tanda tanya
besar, dia sama sekali tidak yakin.
Sungguh tidak disangka baru tiba di Tian-ki-hong, di tempat
tersebut dia telah menemukan cicinya.
Tosu berbaju hitam yang "menjaga" disisi cicinya setelah lari
menyambut kedatangannya begitu melihat kemunculan bocah muda
itu.
Keng Giok-keng meski terkejut setelah melihat cicinya tergeletak
ditanah, namun setelah bertemu tosu berbaju hitam itu, seakan
bertemu sanak keluarga sendiri, dia tampak jauh lebih gembira lagi.


Tosu berbaju hitam itu hanya seorang, tapi tosu berbaju hitam
yang "dikenali" Keng Giok-keng berbeda jauh dengan tosu berbaju
hitam yang dikenali Tong Tiong-san.
Keng Giok-keng sama sekali tidak tahu kalau tosu berbaju hitam
ini dapat berbicara dan mendengar, dia hanya tahu kalau tosu
berbaju hitam itu pernah melayani Sucouwwnya selama puluhan
tahun dan dia adalah seorang Tojin bisu tuli.
Tojin bisu tuli boleh dibilang merupakan pembantu paling setia
dari Sucouwwnya, Bu-siang Cinjin, di samping itu diapun amat
sayang dirinya.
Dia sudah terbiasa berdialog dengan Tojin bisu tuli menggunakan
bahasa tangan, bahkan cukup melihat "gerakan bibir" lawan, diapun
dapat menebak "perkataan" apa yang sedang disampaikan.
"Apakah kau yang berhasil menghajar siluman wanita itu dan
menyelamatkan ciriku?" tanyanya dengan bahasa tangan.
Tojin bisu tuli menuding ke arah Lan Sui-leng, melakukan
gerakan menotok jalan darah lalu menuding ke arah diri sendiri dan
gelengkan kepalanya berulang kali.
Maksudnya, Lan Sui-leng tidak terluka, dia hanya tertotok jalan
darahnya, akan tetapi dia tidak mampu membebaskan pengaruh
totokan itu.
Keng Giok-keng merasa sedikit lega, dia segera maju
menghampiri dan melakukan pemeriksaan.
Ilmu totokan yang digunakan Tojin bisu tuli adalah ilmu totokan
berat, jangankan Keng Giok-keng memang tidak mengenali ilmu
totokannya, sekalipun mengerti, dengan tenaga dalamnya yang
minim belum cukup baginya untuk membebaskan.
Dia sangka ke semuanya itu hasil perbuatan Tong Tiong-san,
mimpi pun dia tidak mengira kalau orang yang telah menotok jalan
darah cirinya adalah si Tojin bisu tuli yang amat disayanginya.
Bila jalan darah terlalu lama tertotok, sekalipun pada akhirnya


bisa terbebaskan dengan sendirinya, namun hal ini akan
mendatangkan kerugian bagi tubuh. Oleh sebab itu meski dia masih
ada beberapa urusan ingin "ditanyakan" Tojin bisu tuli, dalam
keadaan begini dia tidak sempat lagi untuk berpikir lebih jauh.
Setelah menggendong tubuh cirinya, sekali lagi dia mendaki bukit
Tian-ki-hong dan berlarian menuju kompleks pekuburan Bu-siang
Cinjin.
Dia ingin minta bantuan Ciangbunjin nya untuk membebaskan
pengaruh totokan cirinya. Di samping itu diapun sangat
menguatirkan keselamatan ayah angkatnya.
Walaupun ayah angkatnya telah ditangani dan ditolong langsung
oleh Ciangbunjin sehingga nyawanya tidak perlu dikhawatirkan,
namun bagaimana pun juga dia tetap merasa tidak lega hati.
Ooo)*(ooO
Bu-beng Cinjin berdiri termangu sambil mengawasi Put-ji Tojin
yang telah tertidur nyenyak, pikirannya terombang-ambing tidak
menentu.
Dari mulut Put-ji Tojin, dia berhasil mengumpulkan banyak data
dan titik terang seputar kasus pembunuhan misterius yang menimpa
Ji-ou Thayhiap Ho Ki-bu pada delapan belas tahun berselang. Ketika
titik terang baru dicocokkan dengan bukti nyata yang telah diketahui
olehnya, lambat laun jalan pikirannya makin terang dan jelas.
Tapi justru karena itu, perasaan hatinya jadi tidak tenang. Sebab
perkembangan kasus ini kemungkinan besar akan merembet pada
seseorang yang sangat tidak ingin dijumpai.
Tanpa terasa dengan perasaan bergidik, berpikir, "Bila
kecurigaanku terbukti benar, kejadian ini betul-betul merupakan
sebuah lelucon yang tidak lucu. Jauh diujung langit, dekat di depan
mata, ternyata aku masih tidak tahu akan dirinya!"
Tentu saja "lelucon" ini bukan lelucon beneran, sebab orang ini
jauh lebih sukar dihadapi ketimbang Tong Ji-sianseng.


Dalam hati kecilnya masih ada satu teka-teki lagi yang belum
berhasil dia pecahkan, dia tidak ingin segera pergi mencari orang
itu, tapi ingin mencari Tong Ji-sianseng lebih dulu untuk mencari
tahu duduknya persoalan.
Akan tetapi dia pun tidak ingin mengusik Siang Ngo-nio lagi, dia
tahu dengan jelas, Siang Ngo-nio berada bersama Tong Ji-sianseng.
Sementara masih berdiri sangsi, mendadak terdengar suara
ujung baju tersampok angin berkuman-dang dari atas atap rumah.
Ternyata ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Ya-heng-jin (si
pejalan malam) itu cukup lihay.
Dia adalah seorang tokoh silat berilmu tinggi, dari gesekan ujung
baju yang tersampok angin dia dapat menebak aliran ilmu
meringankan tubuh yang digunakan lawan, sekalipun bukan berarti
seratus persen tepat, paling tidak selisihpun tidak banyak.
"Jangan-jangan Beng-cu balik lagi?" perasaan hatinya terasa
hangat, selain terkejut diapun merasa girang.
Belum habis ingatan itu melintas, orang itu sudah melayang
turun persis dihadapannya bagaikan selembar daun kering.
Diluar dugaan, yang datang bukan Seebun-hujin melainkan
Tonghong Liang.
Tampaknya Tonghong Liang jauh lebih terkejut lagi, setelah
tertegun sejenak serunya, "Bouw-Ciangbunjin, tidak kusangka akan
bertemu kau disini!"
"Aku pun tidak menyangka akan bertemu kau disini!" jawab Bubeng
Cinjin dingin, "tapi aku adalah Ciangbunjin Bu-tong-pay, jadi
aku tidak perlu memberi penjelasan kepadamu, kaulah yang harus
memberi penjelasan kepadaku!"
"Aku datang untuk mencari bibi dan Piaumoy aku tahu mereka
telah tiba di gunung Bu-tong.”
"Tempat ini adalah kompleks pemakaman yang disediakan untuk
mengubur jenasah Bu-siang-suheng, yang menjaga kompleks


pemakaman ini adalah Tianglo kami, Put-ji!"
"Aku tahu, tapi aku tidak beranggapan telah salah masuk.”
"Alasanmu?"
"Murid Put-ji Totiang, Keng Giok-keng adalah sahabatku, aku
ingin mencari dia terlebih dulu lalu baru minta bantuannya untuk
menemukan bibiku.”
"Masih untung kalau kau tidak menyinggung masalah lagi, karena
telah kau singgung, aku jadi ingin bertanya, kau selalu berusaha
mendekati dan berusaha berkenalan dengan Keng Giok-keng,
sebenarnya apa maksud tujuanmu yang sebenarnya?"
"Karena cocok satu sama lain, aku ingin bersahabat dengannya,
masa aku ingin mencelakai Keng Giok-keng?" ujar Tonghong Liang.
"Enak saja kalau bicara, memang disangka aku tidak tahu? Kau
memang tidak ingin mencelakainya tapi ingin membohonginya,
menipu ilmu pedang Bu-tong-kiam-hoatkami!"
"Aku menyangkal dengan keras, memang betul aku pernah saling
berdiskusi tentang ilmu pedang. Tapi bicara soal Bu-tong-kiam-hoat,
aku justru dapat belajar darimu, meski bukan kau ajarkan secara
langsung, boleh dibilang aku adalah murid angkatan ke tiga?"
Dingin membeku selembar wajah Bu-beng Cinjin, dengusnya,
"Jangan kau sangka dengan mengetahui sedikit rahasia pribadiku
maka kau dapat mengancam diriku. Sewaktu kau membuat
keonaran tempo hari, aku telah mengampunimu satu kali, hmmm!
Kali ini aku tidak bisa mengampunimu lagi!"
Dari sorot matanya, Tonghong Liang dapat menangkap hawa
napsu membunuh yang menggidikkan hati, tanpa terasa pikirannya
tergerak, "Kalau hanya disebabkan aku mencuri naik ke bukit Butong,
dengan memandang wajah bibi, tidak seharusnya dia turun
tangan keji kepadaku. Jangan-jangan apa yang dikatakan Han Siang
memang benar, dialah pembunuh yang dicurigai telah menghabisi
nyawa pamanku dan bibiku sendiripun sama sekali tidak tahu akan
hal ini.”


Perlahan-lahan Bu-beng Cinjin mengangkat tangannya, dia
berencana akan membuat keputusan lain bila pemuda itu minta
ampun.
Siapa tahu bukan saja Tonghong Liang tidak minta ampun,
sebaliknya berseru lantang, "Bouw Ciong-long, aku tahu cepat atau
lambat kau ingin membunuhku! Tempo hari hanya dikarenakan aku
menantang berduel secara terbuka, maka untuk menjaga reputasi,
kau sengaja mengampuniku. Sekarang kau telah menemukan alasan
yang tepat, kenapa belum juga turun tangan? Kau ingin menunggu
sampai kapan lagi?"
Begitu ditantang, Bu-beng Cinjin malah menurunkan kembali
tangannya dan berkata, "Atas dasar apa kau menuduh aku sejak
lama sudah ingin membunuhmu?"
Tonghong Liang tidak menjawab, sinar matanya dialihkan ke arah
Put-ji Tojin.
Bu-beng Cinjin sedikit agak ragu, ujarnya kemudian, "Ternyata
yang kau cari bukan muridnya, melainkan dia pribadi!"
"Kenapa? Kau takut?"
"Kau sangka aku yang telah membunuh gurunya yang pertama?
Hmm, kurangajar!"
"Ji-ou Thayhiap Ho Ki-bu angkat nama berbareng dengan kau,
meski ilmu silatnya bukan tandinganmu, tapi dia adalah seorang
pendekar sejati. Sementara kau selalu berusaha menjadi
Ciangbunjin Bu-tong-pay, tentu saja kau tidak akan membiarkan dia
jadi sainganmu.”
"Analisa ini berdasarkan dugaanmu sendiri atau mendengar dari
orang lain?"
"Kau ingin menipuku agar aku bicara terus terang? Hmm, aku
tidak bakalan termakan oleh tipuanmu. Hmm, kalau tidak ingin
orang lain tahu, kecuali kau tidak pernah melakukannya. Pernahkah
kau melakukan kasus pembunuhan itu, cepat atau lambat pasti ada
yang tahu.”


"Aku beritahu, Ho Ki-bu bukan mati di tanganku, mau percaya
atau tidak terserah kau. Tapi aku ingin bertanya, seandainya kasus
ini memang hasil perbuatanku, lalu apa sangkut pautnya dengan
dirimu? Mengapa kau yakin kalau sejak lama aku sudah ingin
membunuhmu?"
"Perbuatan busuk yang pernah kau lakukan mungkin bukan
hanya satu kasus itu saja bukan?" jengek Tonghong Liang hambar.
"Oooh, rumor apa lagi yang kau dengar tentang aku?"
Tonghong Liang tertawa dingin.
"Kalau tidak kuucapkan mungkin saja kau belum tentu berani
membunuhku, tapi bila kukatakan, memang nya nyawaku masih
bisa diselamatkan?"
"Kau keliru besar, mau bicara atau tidak hasilnya tetap sama
saja!"
"Kau tetap akan membunuhku?"
"Mungkin akan membunuhmu, mungkin juga tidak, pokonya aku
telah mengambil keputusan. Mau bicara boleh, tidak bicara pun
tidak mengapa, toh tidak bakal akan mengubah keputusanku! Hmm,
apakah kau sudah lama yakin bahwa aku pasti akan membunuhmu?"
Separuh kata pertama masih bernada imbang antara membunuh
dan tidak, tapi ucapan terakhir jelas terlihat kalau keinginannya
untuk membunuh sangat besar.
Menyaksikan sinar matanya yang buas, diam-diam Tonghong
Liang terkesiap, cepat dia mundur selangkah sambil ujarnya, "Benar,
justru karena sudah lama aku yakin kau hendak membunuhku,
maka sebelum naik ke gunung Bu-tong kali ini, aku telah menulis
semua rahasiaku pada sepucuk surat dan menyerahkan surat itu ke
tangan piaumoy. Bila aku mati, surat ini baru boleh dibuka. Kecuali
kaupun tega sekalian menghabisi nyawa Seebun Yan, kalau tidak
kunasehati lebih baik berpikir-lah tiga kali sebelum bertindak.”


Padahal hal ini hanya gertak sambal Tonghong Liang saja,
walaupun dia curiga Bouw Ciong-long lah yang telah membunuh
pamannya, bahkan bisa jadi kematian ayahnya pun terkait dengan
Bouw Ciong-long, tapi karena pertama dia tidak terlalu yakin, kedua
masalah ini menyangkut urusan yang lebih besar bahkan
menyangkut pula rahasia pribadi bibinya, maka dia tidak berani
memberitahukan hal ini kepada Seebun Yan.
Tapi sekarang, setelah dia melakukan pelacakan dan penyelidikan
dari berbagai pihak, meskipun kecurigaannya terhadap Bouw Cionglong
masih belum dapat dibuktikan, tapi paling tidak dia semakin
yakin akan dugaannya.
Dia dapat merasakan, Bouw Ciong-long bukan hanya sekedar
bicara, terhadap dirinya dia sudah menaruh napsu untuk
membunuh.
Sejak kecil dia sudah berkelana dalam dunia persilatan, telah
memupuk banyak pengalaman, perkataan orang yang dianggap
tidak bisa dipercaya, seringkali dalam "perasaan"nya dapat
dipercaya.
Bouw Ciong-long sama sekali tidak memiliki alasan yang kuat
untuk menghabisi nyawanya, kecuali apa yang dicurigai merupakan
kenyataan.
Sekarang dia hanya bisa berharap pada gertak sambalnya yang
terakhir.
Sekalipun Bouw Ciong-long terhitung seorang jago kawakan yang
berpengalaman, tidak urung paras mukanya berubah juga setelah
mendengar kalau dia telah menyerahkan "rahasia" tersebut ke
tangan Seebun Yan.
Tapi "ketidak wajaran" itupun hanya berlangsung sekejap, tidak
lama kemudian dia sudah pulih kembali seperti sedia kala, ujarnya
dingin, "Tonghong Liang, kali ini kau lagi-lagi membuat kesalahan!
Tahukah kau selama hidup aku paling tidak suka dipalak orang!"
Maksud dari perkataan itu, sebetulnya belum tentu aku ingin


membunuhmu, tapi sekarang mau tidak mau aku harus menghabisi
nyawamu.
Tentu saja Tonghong Liang memahami maksudnya bahkan telah
membuat persiapan. Tiba-tiba dia mundur berapa langkah. Mundur,
mencabut pedang, melancarkan serangan.... berapa gerakan itu
dilakukan hampir bersamaan.
Tapi Bu-beng Cinjin yang menyerang dengan tangan kosong,
meski menyerang belakangan namun malah tiba lebih dahulu,
dengan jari menggantikan pedang, tiba-tiba dia menotok alis mata
Tonghong Liang.
Di saat yang amat kritis tiba-tiba Tonghong Liang
menganggukkan kepala, mata pedang dengan membentuk garis
melingkar berbalik membabat pergelangan tangan lawan.
Inilah pertarungan adu nyawa, bila Bu-beng Cinjin menyerang
dengan sepenuh tenaga, mungkin dia masih dapat menghabisi
nyawanya, namun dengan kedudukan Bu-beng Cinjin saat ini, mana
mungkin dia bisa dilukai lawan dengan begitu saja?
Dalam waktu singkat puluhan jurus telah lewat, setiap totokan
yang dilancarkan Bu-beng Cinjin selalu disertai suara desingan angin
tajam, seolah seluruh angkasa telah dipenuhi hawa pedang yang
sedang menari.
Namun dalam pandangan Tonghong Liang, ujung jari Bu-beng
Cinjin ibarat mata pedang yang tajam, hampir semuanya ditujukan
ke bagian tubuhnya yang mematikan, bukan saja gerak
serangannya hebat, bahkan perubahannya sama sekali tidak
terduga.
Percuma saja dia menggunakan sebilah pedang mestika, bukan
saja tidak sanggup melancarkan serangan balasan, bahkan dia
dipaksa oleh tekanan dari Bu-beng Cinjin itu hingga hanya bisa
menangkis saja.
Namun dalam pandangan Bu-beng Cinjin, hal ini merupakan
sesuatu yang lain.


Tonghong Liang memang terperanjat, tapi rasa kaget Bu-beng
Cinjin jauh melebihi rasa kagetnya.
Ketika Tonghong Liang menantang berduel tempo hari, Bu-beng
Cinjin (waktu itu masih sebagai Tiong-ciu Thayhiap Bouw Cionglong)
hanya menggunakan tiga jurus sudah dapat menghajarnya
hingga kalah total, tapi sekarang sepuluh gebrakan sudah
terlampaui.
Rupanya setelah Tonghong Liang berulang kali berlatih pedang
dengan Keng Giok-keng, pemahamannya terhadap ilmu pedang
aliran Bu-tong-pay mesti tidak sedalam Keng Giok-keng, namun dia
telah memperoleh kemajuan yang amat pesat, dia dapat menyelami
arti daripada ilmu pedang dan bisa membuat pandangan tanpa jurus
seakan terdapat jurus yang sebenarnya.
Bu-beng Cinjin sendiripun mempakan seorang jago yang sangat
mendalami ilmu pedang, berbicara soal Thay-kek-kiam-hoat belum
tentu dia kalah dari Tonghong Liang, bahkan besar kemungkinan
satu tingkat diatasnya.
Setiap terlihat ada perubahan yang tidak terduga, dia selalu
berhasil menemukan cara untuk mengatasinya, walau begitu
kehebatan anak muda itu cukup membuatnya was-was, dalam
waktu singkat pelbagai ingatan melintas dalam benaknya, haruskah
membunuh dia? Atau jangan menghabisi nyawanya?
"Tidak sampai sepuluh tahun kemudian, kemungkinan besar ilmu
pedang yang dimiliki bocah ini sudah berada diatas kemampuanku,
bila aku tidak gunakan kesempatan ini untuk menghabisinya,
mungkin akan meninggalkan bibit bencana di kemudian hari!"
"Tidak, aku tidak boleh berbuat begitu! Sekalipun kesalah
pahaman sukar dihapus, aku tidak boleh membunuhnya hanya
karena khawatir dia bakal membalas dendam. Aku sebagai
Ciangbunjin Bu-tong-pay masa tidak punya kebijaksanaan
sedikitpun?"
Pikiran positip dan negatip saling bertentangan dalam benaknya,
tapi begitu teringat statusnya sebagai Ciangbunjin Bu-tong-pay,


perasaan hatinya kembali tercekat, pikirnya, 'Kenapa aku begitu
pikun, sampai melupakan beban dari suheng yang diserahkan ke
pundakku?'
Perlu diketahui, sejak generasi Hian Tin-cu, Sucouww dari
Tonghong Liang, mereka telah bertekad ingin merebut kemenangan
dari Bu-tong-pay, dia sebagai pewaris dari Bu-siang Cinjin, berarti
punya tanggung jawab untuk mempertahankan nama baik
perguruan agar tidak sampai runtuh di tangan orang.
"Tanggung jawabku sangat berat, sekalipun tidak kucabut
nyawanya, paling tidak harus kupunahkan ilmu silatnya!"
Tonghong Liang seperti dapat membaca jalan pikirannya,
sekulum senyuman dingin tersungging di ujung bibirnya.
Senyuman dingin ini seketika menimbulkan kembali perasaan
terhina di hati kecilnya, "Hmm, tanggung jawab apa? Kau hanya
julas karena ilmu pedangnya jauh lebih hebat darimu, kau hanya
takut nama besar jago pedang nomor satu direbut olehnya!"
Sementara dia masih ragu dan tidak bisa mengambil keputusan,
Keng Giok-keng sambil membopong kakaknya telah memasuki
kompleks pemakaman.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Keng Giok-keng tidak
terlampau bagus, apalagi harus membopong seseorang, langkah
kakinya terdengar jauh lebih berat.
Bu-beng Cinjin adalah seorang jagoan tangguh, sekalipun
konsentrasinya agak buyar, namun pendengar annya tetap tajam,
dia segera dapat menangkap suara itu.
Waktu itu Keng Giok-keng sendiripun secara lamat-lamat telah
mendengar 'suara aneh’ berkumandang dari balik kompleks
pemakaman.
"Siapa?" Bu-beng Cinjin segera menegur.
Begitu mendengar suara itu, dengan perasaan lega Keng Giokkeng
segera menjawab, "Ciangbun-Cinjin, aku!"


Bu-beng Cinjin segera mengebaskan ujung bajunya mendesak
mundur Tonghong Liang, katanya, "Kau cepat pergi dari sini, jangan
biarkan aku berjumpa lagi denganmu di atas gunung Bu-tong!"
Yang digunakan adalah ilmu menyampaikan suara, ucapan itu
langsung masuk ke dalam telinga Tonghong Liang, jangan lagi Keng
Giok-keng masih berada di luar kompleks, biarpun berdiri di
sampingnya pun tidak bakalan mendengar ucapan tersebut.
Tonghong Liang sendiripun tidak ingin bertemu Keng Giok-keng
dalam suasana seperti ini, meminjam tenaga gulungan itu cepat dia
menerobos keluar melalui jendela belakang, melompati dinding
tembok dan berlalu dari situ.
"Jangan berisik, Gihumu sedang tidur nyenyak, masuklah!"
Bu-beng Cinjin merasa agak tercengang ketika melihat dia
berjalan masuk sambil menggendong kakaknya.
"Secepat ini kau telah berhasil menyelamatkan cici mu?"
tanyanya keheranan.
"Supek bisu tuli yang berhasil merebutnya dari tangan siluman
wanita Lebah hijau Siang Ngo-nio,” jawab Keng Giok-keng.
"Supek bisu tuli?" kembali Bu-beng Cinjin merasa terperanjat.
"Benar, Tojin bisu tuli yang selama puluhan tahun pernah
melayani Sucouww almarhum semasa hidupnya.”
"Aku tahu. Tapi tidak kuketahui kalau ilmu silatnya begitu bagus
dan hebat.”
"Tampaknya cici telah tertotok jalan darahnya oleh bajingan tua
she-Tong itu, tecu gagal membebaskannya, harap Ciangbunjin mau
bermurah hati dan membantu membebaskan dari totokan.”
"Baik, baringkan dia disana, biar kucoba.”
Sesudah memeriksanya sekejap, sekilas perasaan tercengang
bercampur bimbang terlintas di wajahnya, menyusul dia mencoba
membebaskan pengaruh totokan itu dengan satu kebasan.


Tapi Lan Sui-leng sama sekali tidak memberikan reaksinya, ketika
dicoba berapa kali lagi tanpa hasil, perasaan tercengang semakin
kentara di raut muka pendeta itu.
"Dari mana kau tahu kalau Tong Tiong-san yang menotok jalan
darahnya?" kembali Bu-beng Cinjin bertanya.
"Dia kabur bersama perempuan siluman itu sementara ciriku
tertinggal dalam keadaan tertotok jalan darahnya, Supek bisu tuli
pun tidak sanggup membebaskannya, aku percaya pasti bukan
perbuatan siluman wanita itu, Ciangbun-Cinjin, menurut kau....”
"Tidak mirip ilmu menotok jalan dari keluarga Tong di Suchuan,
jalan darah cirimu yang tersembunyi telah ditotok seseorang dengan
ilmu totokan yang berat.”
"Jalan darah yang tersembunyi" terletak dibagian dalam isi perut,
Keng Giok-keng pernah mendengar soal ini dari Bu-siang Cinjin,
untuk bisa menotok jalan darah tersembunyi, seseorang harus
memiliki tenaga dalam tingkat tinggi, karena ilmu tersebut
merupakan sejenis ilmu menotok jalan darah yang paling susah
dipelajari.
Bagi Keng Giok-keng, dia hanya pernah mendengar namun sama
sekali tidak pernah mempelajarinya.
Mengetahui kenyataan tersebut, Keng Giok-keng semakin
terkesiap, ujarnya, "Mungkinkah siluman wanita itu telah mengajak
serta jagoan lihay lainnya? Ciangbun-Cinjin, ciciku....”
"Aku sendiripun tidak dapat menebak perbuatan siapakah ini.
Tapi kau tidak usah kuatir, totokan jalan darah tersembunyi ini tidak
akan menyulitkan aku, hanya saja aku membutuhkan waktu yang
sedikit lebih lama.”
Padahal dia sudah tahu siapakah yang telah menotok jalan darah
itu, hanya saja tidak ingin mengatakan kepada Keng Giok-keng.
Bu-beng Cinjin menempelkan telapak tangannya di atas jalan
darah Tay-wi-hiat di tulang belakang Lan Sui-leng, Tay-wi-hiat
merupakan salah satu kunci utama dari berkumpulnya nadi KengTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/

meh, dengan menyalurkan hawa murninya Bu-beng Cinjin berharap
dapat menembusi jalan darah tersembunyinya yang tertotok.
Tidak selang beberapa saat kemudian, butiran keringat mulai
bercucuran membasahi jidat Lan Sui-leng, lambat laun paras
mukanya berubah menjadi merah dan akhirnya gadis itu membuka
matanya.
Lan Sui-leng dapat melihat adiknya yang sedang berdiri
dihadapannya, menyusul kemudian melihat pula Ciangbun-Cinjin
serta Put-ji yang tertidur di atas ranjang.
"Kenapa aku bisa berada disini? Ini.... tempat ini....”
tanya Lan Sui-leng kebingungan.
"Aku yang membopongmu datang kemari,” sahut Keng Giokkeng,
"dan aku pula yang minta tolong Ciangbunjin untuk
membebaskan jalan darahmu. Kejadian yang sesungguhnya akan
kuceritakan di kemudian hari saja, sekarang cepatlah berterima
kasih kepada Ciangbun-Cinjin!"
"Lebih baik kita bicarakan dulu masalah yang lebih penting, coba
ceritakan bagaimana Tojin bisu tuli menolongmu,” tukas Bu-beng
Cinjin cepat.
Lan Sui-leng seperti orang kebingungan, untuk sesaat dia tidak
mampu menjawab pertanyaan itu.
"Tidak perlu terburu-buru, coba pikirkan lagi dengan seksama.”
"Aku bukannya tidak teringat, hanya merasa sedikit heran,” kata
Lan Sui-leng.
"Heran soal apa?"
"Waktu itu siluman wanita tersebut menggunakan aku sebagai
tameng, rasanya Supek bisu tuli melepaskan sebuah pukulan ke
tubuhku, tapi aku sama sekali tidak merasa kesakitan, kemudian
akupun tidak sadarkan diri.”
"Aaah, itu mah ilmu menyalurkan tenaga dari balik benda!" seru


Keng Giok-keng.
Dia tahu ilmu silat yang dimiliki Tojin bisu tuli sangat tinggi, akan
tetapi tidak mengira kalau kehebatan nya telah mencapai taraf
tersebut.
Baru berbicara beberapa patah kata, Lan Sui-leng sudah
merasakan napasnya tersengkal-sengkal.
"Apakah kau pernah berlatih ilmu mengatur pernapasan?" tanya
Bu-beng Cinjin kemudian.
Lan Sui-leng manggut-manggut.
"Kalau begitu aturlah pernapasanmu disini!" perintah Bu-beng
Cinjin, "lakukan semedimu satu putaran kecil, satu jam kemudian
tenaga dalam mu akan pulih kembali seperti sedia kala.”
Kemudian kepada Keng Giok-keng dia berkata, "Ayah angkatmu
sudah melewati masa bahaya, sekarang nyawanya tidak perlu
dikhawatirkan lagi. Hanya saja dia masih butuh orang untuk
menjaganya, kedatanganmu tepat waktu, kalau begitu tugas
menjaga kuserahkan kepadamu.”
Seusai berkata dia meninggalkan kompleks pemakaman dan
langsung berangkat menuju puncak Tian-ki-hong.
Di belakang batu Lo-kun-sik di puncak Tian-ki-hong terdapat
sebuah gua, batuan yang menutup mulut gua itu harus disingkirkan
lebih dulu untuk mengetahui keberadaan gua tadi. Hanya Tojin bisu
tuli seorang yang mengetahui keberadaan gua tadi, di dalam gua
inilah dia menyembunyikan Siang Ngo-nio.
Kini dia telah mempersiapkan segala sesuatunya secara rapi dan
sempurna, dengan sikap yang amat hormat Tojin bisu tuli itu berdiri
menanti di depan batu Lo-kun-sik.
Dia tahu, Bu-beng Cinjin pasti akan datang, tapi dia mulai
menunggu dengan perasaan sedikit gelisah.
Ternyata dugaannya tidak salah, akhirnya Bu-beng Cinjin muncul
juga di hadapannya.


"Jiko, kau benar-benar manusia hebat yang tidak mau tampilkan
diri, maafkan Siaute punya mata tidak berbiji, biarlah aku memberi
hormat sebagai pertanda minta maaf!" ujar Bu-beng Cinjin sambil
menjura.
"Tidak berani, aku hanya bisa menjadi jiko nya Tonghong Siau
serta Seebun Mu, kau adalah seorang Ciangbun-Cinjin, aku tidak
berani menerima panggilan-mu itu!" sahut Tojin bisu tuli sambil
balas menjura.
Disaat kedua orang itu sama-sama menjura, terlihat tubuh Bubeng
Cinjin sedikit tergoyang, sedangkan jubah pendeta berwarna
biru yang dikenakan Tojin bisu tuli terlihat bergelombang bagaikan
permukaan telaga yang terhembus angin.
Dalam pertarungan yang dilakukan secara diam-diam, terlihat
kalau tenaga dalam yang dimiliki Bu-beng Cinjin jauh lebih
sempurna, sedang tenaga dalam dari Tojin bisu tuli jauh lebih
telengas, boleh dibilang masing-masing pihak memiliki kelebihan
sendiri.
Tapi sekilas pandang, Bu-beng Cinjin nampak setingkat lebih
rendah dibandingkan lawannya.
"Aku tidak bisa membunuhmu, kaupun tidak mampu
membunuhku, apakah masih ingin dicoba lagi?" jengek Tojin bisu
tuli ketus.
"Siaute sama sekali tidak bermaksud begitu, harap jiko jangan
banyak curiga.”
"Ooh, kalau begitu maksudmu menjajal ilmu silatku hanya ingin
membuktikan identitasku yang sebenarnya?"
"Benar,” jawab Bu-beng Cinjin terus terang, "tapi kata menjajal
terlalu berat, aku tidak berani menerimanya. Ada satu hal lagi yang
belum kupahami, mohon jiko sudi memberi petunjuk.”
"Kedudukanku sekarang hanya seorang tosu tingkat rendah
dalam kuil, silahkan Ciangbunjin memberi perintah!" suara Tojin bisu
tuli tetap hambar.


"Dulu aku paling belakang bergabung dalam kelompok sehingga
tidak berjodoh untuk berkenalan dengan jiko, kalau memang jiko
menganggap diriku sebagai orang luar, Siaute pun tidak berani
kelewat memaksakan diri. Baik, kita tidak perlu ribut hanya
dikarenakan sebutan saja, karena usiamu lebih tua, baiklah aku
menyebutmu sebagai toheng saja. Hui-bun toheng, tolong tanya
apa maksud dan tujuanmu bersembunyi hampir tiga puluh tahun
lamanya di gunung Bu-tong dan berlagak bisu tuli?"
Ternyata Tojin bisu tuli adalah Loji dari kelompok Siau ngo-gi di
masa lampau, nama premannya adalah Ong Hui-bun.
Lotoa dari kelompok lima setiakawan ini adalah Jit-seng-kiam-kek
Kwik Tang-lay, Loji adalah dia, Losam adalah ayah Tonghong Liang,
Tonghong Siau, Losu adalah ayah Seebun Yan, Seebun Mu sedang
Lo-ngo adalah Hwee-ko Thaysu yang di kemudian hari hidup di
biara Siau-lim sebagai juru masak.
Diantara ke lima orang ini, meski Ong Hui-bun berada diurutan
ke dua, namun usianya yang paling tua. Dialah yang mula pertama
lenyap tidak berbekas.
Setelah lenyapnya orang ini, Bu-beng Cinjin (saat itu masih
bernama Bouw Ciong-long) baru berkenalan dengan ke empat orang
jagoan lainnya.
Terdengar Ong Hui-bun tertawa terbahak-bahak, "Hahahaha....
semenjak kedatanganku di Bu-tong puluhan tahun berselang, belum
pernah ada orang memanggilku dengan nama sebenarnya, terima
kasih Ciangbunjin telah menghadiahkan sebuah panggilan untukku.”
"Itupun tidak lebih hanya mengembalikan dirimu ke wajah aslimu
yang sebenarnya.”
Jelas perkataan itu mengandung arti ganda, Ong Hui-bun bukan
orang bodoh, tentu saja dia paham akan maksudnya.
"Langit, bumi dan seisinya selalu berubah tidak menentu, hanya
kenyataan di depan mata merupakan sebuah yang nyata, buat apa
mesti menanyakan asal mula?" jawaban dari Ong Hui-bun seperti


orang sedang bersenandung, padahal jawaban itu merupakan kata
yang langsung mematahkan ucapan dari Bu-beng Cinjin tadi.
"Kalau begitu kau tidak bersedia menjawab pertanyaanku ini?"
desak Bu-beng Cinjin.
"Pernah kah aku bertanya kepadamu, apa sebabnya ingin
menjadi Ciangbunjin dari Bu-tong-pay?"
"Baik, kalau begitu aku akan menanyakan persoalan di depan
mata, sudah puluhan tahun kau berlagak bisu tuli dan baru hari ini
memperlihatkan wajah aslimu. Aku rasa tindakanmu dengan
mengambil resiko terbongkarnya identitasmu bukan lantaran hanya
ingin menolong Lan Sui-leng bukan?"
"Betul, tujuannya adalah memancing kedatanganmu kemari.”
"Kini aku sudah datang! Katakan saja.”
"Bouw Ciong-long, aku minta kau melakukan satu hal!"
Dia tidak menghormatinya lagi dengan sebutan Ciangbun-Cinjin,
sebaliknya memanggil dengan nama preman, bahkan penggunaan
kata pun berubah dari "memohon" jadi "meminta", nada bicaranya
sangat kasar dan memaksakan kehendak.
"Itu mah tergantung soal apa yang kau maksudkan! " sahut Bubeng
Cinjin dingin.
"Tentu saja perbuatan yang harus kau lakukan!"
"Seharusnya atau tidak, akulah yang menentukan,” dengus Bubeng
Cinjin, "tidak ada salahnya kau katakan lebih dulu.”
"Lusa adalah hari penguburan Bu-siang Cinjin, sampai saatnya
pasti ada banyak ketua partai besar, atau wakil dari tokoh pelbagai
tempat akan ikut menghadiri upacara penguburan tersebut, bahkan
pihak kerajaan pun akan mengirimkan utusannya untuk
menyampaikan penobatan gelar, bukan begitu?”
“Betul.”
"Oleh karena itu sekarang kau masih belum berhak


menggunakan gelar "Cinjin" dan hanya bisa memanggilmu dengan
nama preman. Bahkan di kemudian haripun aku tetap akan
memanggilmu sebagai Bu-beng Tojin dan bukan Bu-beng Cinjin!"
Bergetar keras perasaan hati Bu-beng Cinjin sesudah mendengar
perkataan itu, serunya, "Maksudmu aku tidak pantas menjadi
Ciangbun-jin Bu-tong-pay?"
Ternyata diantara para tosu Bu-tong-pay, hanya Ciangbunjin
seorang yang berhak disebut Cinjin, gelar Cinjin adalah anugera
gelar yang diberikan pihak kerajaan, nama itu baru sah
dipergunakan setelah dilaku kan upacara secara resmi dari
perwakilan kerajaan.
"Aku tidak mengatakan kau berhak atau tidak,” kata Ong Huibun,
"mau berhak atau tidak, pokoknya kau tidak bisa menjabat
sebagai Ciangbunjin Bu-tong-pay!"
Berbicara sampai disini, dia sengaja mempertinggi suaranya dan
melanjutkan, "Bouw Ciong-long, dengarkan baik-baik, seusai
upacara penguburan jenasah Bu-siang Cinjin dan sebelum kau
menerima gelar kehormatan dari pihak Kerajaan, aku perintahkan
kepadamu untuk menyerahkan posisi Ciangbunjin kepada Bu-liang
Tianglo dan mengumumkannya di hadapan para enghiong di kolong
langit!"
"Kedudukan Ciangbunjin tidak dapat diserah terimakan secara
pribadi kepada siapa pun!"
"Aku tahu, sesaat sebelum meninggal dunia Bu-siang Cinjin telah
mewariskan kedudukan ini kepada-mu. Tapi selama upacara
peresmian belum dilakukan, kedudukan tersebut masih bisa dirubah.
Asal kau bicara pakai aturan, orang lain pasti akan memuji akan
kerendahan dan ketulusan hatimu. Bu-liang Tianglo adalah murid
Bu-tong-pay dengan usia paling tua, apakah kau tidak merasa
bahwa dia lebih berhak menjadi Ciangbunjin ketimbang kau?"
"Apa yang kau katakan sekarang, sejak dulu pernah kusampaikan
kepada Bu-siang suheng....”


"Aku tahu. Alasan Bu-siang Cinjin minta kau menerima
kedudukan itu lantaran usiamu masih muda dan lagi khawatir Buliang
Tianglo tidak mampu mengatasi pelbagai masalah. Padahal
meski usia Bu-liang sedikit tua, dia masih sanggup menghadapi
semua persoalan, hanya saja waktu itu dia enggan ribut
denganmu.”
"Apakah sekarang dia ingin menjadi Ciangbun-jin?" tanya Bubeng
Cinjin lagi.
"Kau jangan menilai orang dengan kepicikanmu sendiri, bukan
dia yang berniat tapi semuanya ini merupakan keinginanku, lagi pula
aku masih ada maksud lain!"
"Baik, akan kudengarkan penjelasanmu.”
“Bu-liang Tianglo pun hanya sementara jadi Ciangbunjin, karena
setelah beberapa waktu dia akan menyerahkan lagi kedudukan
Ciangbunjin ini kepada satu-satunya murid Bu-siang Cinjin, Put-ji
Tojin. Perkataan itupun akan dia sampaikan di hadapan para
enghiong disaat menerima kedudukan Ciangbunjin dari tanganmu.”
Atau dengan perkataan lain, tampilnya Bu-liang Totiang sebagai
Ciangbunjin tidak lebih hanya sebagai batu loncatan.
Begitu mendengar semua penjelasan tersebut, pikiran Bu-beng
Cinjin pun menjadi terang benderang, pikirnya, 'Ternyata
kesemuanya ini merupakan rencana yang telah disusun rapi olehnya
serta Bu-liang, aku rasa belum tentu Put-ji tersangkut dalam
rencana busuk ini. Tapi seandainya rencana busuk mereka berhasil,
Put-ji pun hanya bisa menjadi ketua boneka yang disetir dan diatur
mereka dari belakang layar'
Tampaknya Ong Hui-bun dapat membaca suara hatinya, diapun
berkata lebih lanjut, "Dengan mengatur seperti ini, sesungguhnya
kami pun sedang menjaga nama baik Bu-siang Cinjin. Put-ji adalah
satu-satunya muridnya, usia dia lebih muda dari dirimu, hanya saat
ini kemampuan dan kepandaiannya masih kurang matang. Karena
itulah butuh Bu-liang Tianglo untuk menduduki jabatan tersebut
selama berapa tahun. Terus terang saja aku katakan, Bouw CiongTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/

long, sebagai murid preman kini kau naik menjadi Ciangbunjin, hal
ini sudah sangat bertentangan dengan peraturan yang berlaku
turun-temurun, sekalipun keputusan ini merupakan keputusan dari
Bu-siang Cinjin yang melangggar kebiasaan. Bila kau bersedia
melakukan seperti apa yang kukatakan, mengundurkan diri dari
posisi ketua, bukan saja alasannya kuat bahkan bersamaan itu
semakin menunjukkan pula jiwa rendah hatimu!"
Bukan saja perkataan itu sangat memojokkan, bahkan sampai
"alasan" regenerasi pun telah dia persiapkan untuk Bu-beng Cinjin
secara baik dan rapi.
"Terima kasih banyak atas kebaikan hatimu yang telah
memikirkan semuanya secara rapi,” ujar Bu-beng Cinjin hambar,
"tapi bagaimana seandainya aku menampik?"
"Aku tidak akan memaksamu, tapi bila kau tidak bersedia, sampai
waktunya akan muncul seseorang yang mempunyai hubungan tidak
wajar dengan mu yang tampil di hadapan banyak orang secara tibatiba!"
"Siapa?" bentak Bu-beng Cinjin dengan perasaan tercekat.
"Kalau sudah tahu buat apa mesti pura-pura bertanya, siapa lagi,
tentu saja si Lebah hijau Siang Ngo-nio! Sampai saatnya dia akan
muncul di depan kuburan Bu-siang Cinjin dan kepada para tamu
yang ikut hadir dalam upacara penguburan ini dia akan
membeberkan hubungan kalian yang mesra dan hangat,
hehehehe....
seorang Ciangbunjin dari Bu-tong-pay ternyata punya hubungan
gelap dengan Siang Ngo-nio yang tersohor karena nama busuknya,
aku yakin kejadian tersebut pasti akan menjadi berita yang
menghebohkan dalam dunia persilatan!"
Bu-beng Cinjin tertawa dingin, jengeknya dengan angkuh,
"Selama hidup aku orang she-Bouw paling pantang diperas dan
dikompas orang, kau ingin membuka kedokku? Silahkan saja, aku
pun dapat membongkar kedokmu!"


Ong Hui-bun tertawa terbahak-bahak, "Hahaha.... kedok apa
yang akan kau ungkap?
Paling juga menuduh aku berlagak bisu tuli dan menyusup ke
dalam Bu-tong-pay? Setiap saat aku bisa mengarang berpuluh
macam alasan untuk menjelaskan persoalan ini. Mungkin aku akan
mengatakan sedang bersembunyi dari kejaran musuh, bisa juga
mengatakan karena kagum dengan Bu-siang Cinjin maka secara
sukarela datang melayaninya. Sekalipun kau tuduh tujuanku untuk
mencuri belajar ilmu silatpun, aku bisa memberikan bukti dan
jawaban yang membuatmu tidak berkutik.”
Dia sudah puluhan tahun melayani Bu-siang Cinjin, andaikata dia
beralasan ilmu silat Bu-tong-pay yang dipelajarinya berasal dari
ajaran Bu-siang Cinjin, orang lain memang tidak bisa mencurigai
dirinya lagi.
Sambil senyum tidak senyum kembali Ong Hui-bun melanjutkan,
"Hubungan gelapmu dengan si Lebah hijau Siang Ngo-nio mungkin
bukan hanya sekedar hubungan cinta biasa. Menurut apa yang
kutahu, dalam tengkorak kepala Ho Liang, pelayan tua dari keluarga
Ho ditemukan sebatang jarum lebah hijau milik Siang Ngo-nio.
Sebetulnya tulang tengkorak itu telah disembunyikan putramu, tapi
sayang tempat penyimpanannya dike-tahui seorang sahabatku, dan
sekarang sudah terjatuh ke tangan kami!"
Kini maksudnya sudah semakin jelas, bila Bu-beng enggan
bekerja sama, dia akan menuduhnya tersangkut dengan kasus
pembunuhan yang menimpa Ji-ou Thayhiap Ho Ki-bu.
Biarpun Bu-beng Cinjin sudah kenyang menghadapi masalah
dunia, tidak urung hatinya tercekat juga setelah mendengar
ancaman itu.
Kembali Ong Hui-bun berkata dengan suara dalam, "Seorang
lelaki sejati akan tegas mengambil kepu-tusan, bagaimana dengan
tawaran transaksi ini?"
"Kau belum menjelaskan apa tawaranmu dengan permintaan
tersebut.”


"Asal kau bersedia menuruti perkataanku, pada saat upacara
penguburan jenasah Bu-siang Cinjin menyerahkan posisi
Ciangbunjin, aku pun akan menuruti keinginanmu untuk
menghukum Siang Ngo-nio.”
Bu-beng Cinjin terbungkam dalam seribu basa, dia seakan
sedang mempertimbangkan usulan itu.
Ong Hui-bun melanjutkan kembali kata-katanya, "Mungkin perlu
kujelaskan lebih terperinci agar hatiku semakin tenteram. Bila kau
menghendaki dia hidup, secara diam-diam aku akan melepaskan
dirinya, tanggung orang lain tidak akan mengetahui rahasia kalian
berdua. Bila kau menginginkan kematiannya, aku pun bisa mewakili
mu untuk melakukan eksekusi. Bahkan aku pun bisa membuat Tong
Ji-sianseng tahu kalau akulah pelakunya, jadi jika dia ingin
membalas dendam, pembalasan tersebut tidak akan dialamatkan
pada dirimu.”
Bagi Bu-beng Cinjin, usulan tersebut memang memiliki daya tarik
yang besar, tampaknya dia mulai tertarik dan tergerak hatinya.
"Tidak sulit bila menginginkan aku menyerahkan kedudukan
Ciangbunjin, cuma aku masih ingin mengetahui satu hal lagi.”
"Baik, katakan saja, apa yang ingin kau ketahui?"
"Apakah kau yang membunuh Bu-kek Tianglo?"
Ong Hui-bun tidak menyangka kalau dia akan secara blak-blakan
mengajukan pertanyaan itu, untuk sesaat dia jadi tertegun.
"Atas dasar apa kau menduga begitu?"
"Bu-kek Tianglo, Ting Hun-hok, Ho Ki-bu semuanya tewas karena
terkena pukulan aliran Bu-tong-pay, sementara waktu kita
kesampingkan dulu Ting Hun-hok dan Ho Ki-bu, setahuku tenaga
dalam yang dimiliki Bu-kek Tianglo amat sempurna, bahkan dia
hanya sedikit di bawah kemampuan Ciangbunjin Bu-siang Cinjin.
Kecuali kau, masih ada siapa lagi yang bisa membunuhnya dengan
memakai ilmu silat perguruan?"


Senyum tidak senyum Ong Hui-bun tergelak.
"Hahahaha.... tampaknya kau seperti melupakan sesuatu hal!"
"Melupakan apa?"
"Sejak datang ke Bu-tong-san, aku selalu melayani Bu-siang
Cinjin, selama tiga puluhan tahun belum pernah turun gunung satu
kali pun!"
"Asalkan kau bisa mencari alasan yang tepat dan memperoleh ijin
dari Bu-siang Cinjin, biarpun meninggalkan gunung selama berapa
hari pun tidak mungkin akan menarik perhatian orang lain.”
"Betul, aku tidak lebih hanya seorang Tojin bisu tuli yang setiap
hari hanya bertugas membuat air teh, menyapu, bersih-bersih dan
lain sebagainya, berkurangnya aku memang tidak akan menarik
perhatian orang.
Tapi bila ucapan itu benar, bukankah sama artinya kau menuduh
aku bersekongkol dengan Bu-siang Cinjin?"
"Maksudku kau pernah menipu Bu-siang Cinjin!"
"Yang mati tidak bisa dimintai jadi saksi! Bila kau menuduhku
dengan cara begitu, aku pun bisa saja mengatakan kalau tuduhan
tersebut hanya khayalan mu pribadi!"
"Jadi kau telah mengakuinya?"
"Mengakui apa?"
"Mengakui kaulah pembunuh yang telah menghabisi nyawa Bukek
Tianglo, Ho Ki-bu serta Ting Hun-hok!"
"Kau sendiri yang mengatakan begitu, bukan aku!"
"Kalau bukan, kenapa kau tidak berani menyangkal secara
terang-terangan?"
"Kini permintaanmu jauh lebih banyak daripada permintaanku
kepadamu. Jadi kalau aku tidak senang menjawab pertanyaanmu,
aku tidak akan menjawab!"


Saking jengkel dan mendongkolnya Bu-beng Cinjin dibuat
menangis tidak bisa tertawapun tidak dapat, siapa pun dapat
membedakan mana yang berat dan mana yang ringan dari
menyerahkan kedudukan Ciangbunjin dengan menyimpan rahasia
pribadi. Seharusnya pertanyaan itu diajukan terbalik. Namun bagi
mereka yang bersangkutan, hal ini dipandang lain.
Sambil tertawa dingin Ong Hui-bun mengancam lagi, "Bouw
Ciong-long, bila kau tidak ingin rusak nama, lebih baik jangan
mencari gara-gara!"
Bu-beng Cinjin memutar otak berusaha mencari jalan keluar,
belum sempat menemukan sesuatu, mendadak dia mendengar ada
suara orang menjerit kaget dari kejauhan, bahkan suara itu mirip
sekali dengan suara putranya Bouw It-yu.
Sebetulnya Bu-beng Cinjin berniat menggunakan siasat mengulur
waktu, maka segera katanya, "Yang kau bicarakan adalah urusan
lusa, aku tidak perlu sekarang juga menjawab pertanyaan itu! Maaf,
aku masih ada urusan lain dan harus pergi dulu.”
Ong Hui-bun sama sekali tidak menghalangi kepergiannya, hanya
dengan ilmu menyampaikan suara dia berkata dingin, "Aku yakin
kau tidak akan berani membangkang, terus terang saja aku
beritahu, bila kau tidak menurut, mungkin nyawa putra mu tidak
terjamin keselamatannya!
Bouw It-yu melakukan pengejaran dengan ketat, ketika tiba di
gardu Ciu-meh-teng di puncak utara Tian-ki-hong, akhirnya dia
berhasil menyusul Seebun Yan.
"Benar-benar tidak kusangka kita adalah saudara seibu lain
ayah,” kata Bouw It-yu sambil tertawa paksa.
Seebun Yan tidak kuasa menahan sedihnya, dia merebahkan diri
dalam pelukan pemuda itu sambil menangis terisak.
"Tidak kusangka ibu membohongi aku, sekarang aku harus
percaya kepada siapa? Sungguh tidak ada artinya hidup sebagai
manusia!"


Dengan lembut Bouw It-yu membelai rambutnya, bujuknya, "Kau
jangan berpikiran begitu, tahukah kau, betapa gembira hatiku
karena mempunyai seorang adik cantik macam kau, apakah kau
tidak suka mempunyai seorang kakak seperti aku?"
"Aku tidak mengatakan kau tidak baik, tapi ayah-ku adalah orang
baik, ayahmu orang jahat! Dia tidak seharusnya merayu....”
"Persoalan ini tidak bisa dibahas dengan cara begitu,” tukas
Bouw It-yu sambil tertawa getir, "mereka berdua sudah sejak
lama....”
Melihat paras muka Seebun Yan tidak sedap dilihat, kata berikut
segera ditelannya kembali.
"Aku belum pernah bertemu ayahku, tapi aku tahu dia adalah
seorang Toa-enghiong. Akupun tidak tahu apa yang menyebabkan
kematiannya. Hmm, jangan jangan dia.... dia mati gara-gara
jengkel!"
"Adik Yan, itu semua hanya dugaanmu. Padahal ibuku juga mati
gara-gara.... gara-gara jengkel dengan ibu.... aaai, tapi apakah aku
bisa menyalahkan mereka?"
Tanpa terasa Seebun Yan dibuat tertegun, sambil membelalakkan
matanya dia berseru, "Apa itu ini, ibu jauh lebih menyayangi kau
dari pada aku, kenapa kau begitu tidak tahu diri dan masih
mengumpatnya sebagai perempuan jahat?"
Ternyata sejak kecil Bouw It-yu telah menganggap ibu asuhnya
sebagai ibu kandung, dia bisa mengetahui ibu kandungnya pun baru
merupakan kejadian belum lama berselang, oleh karena kebiasaan
itulah tanpa terasa dia telah menganggap ibu tirinya sebagai ibu
kandung.
Sewaktu mengatakan "ibuku pun mati gara-gara dijengkelkan
ibumu" tadi sebetulnya dia hanya bermaksud untuk membantah
tuduhan Seebun Yan yang menyalahkan ayahnya, sehingga untuk
sesaat dia tidak terpikirkan kalau ibunya tidak lain adalah ibu
Seebun Yan juga.


Bouw It-yu tertawa geli, sesaat kemudian dia baru berkata, "Aku
hanya bermaksud untuk menguraikan kemelut dalam hatimu. Kau
harus tahu bahwa nasib kita berdua itu sama. Aku memang salah
bicara, tapi kaupun seharusnya mengerti, tiada anak yang
membenci orang tua sendiri. Kalau bukan begitu, kaupun tidak akan
menegur aku dengan cara begitu.”
Tapi, Seebun Yan memang menggerutu karena tidak seharusnya
dia ditipu ibunya, tapi setelah Bouw It-yu menyinggung masalah ibu
tirinya, tanpa sadar diapun segera membelai kesalahan ibunya.
Maka begitu ditegur Bouw It-yu sekarang, dia pun tertawa geli
sendiri.
Beberapa saat kemudian dengan nada sedih kembali dia berkata,
"Perkataanmu memang tidak salah, semua perbuatan yang telah
dilakukan angkatan tua kita, mau baik atau salah, kita memang ikut
tersangkut dan terseret oleh problem tersebut, tapi siapa yang
harus kita salahkan?"
Begitu mendengar perkataan itu, Bouw It-yu tahu, kendatipun
dimulut dia mengatakan "tidak bisa menyalahkan siapa pun" namun
simpul mati dalam hatinya tetap belum dapat terurai.
Betul saja, terdengar Seebun Yan berkata lebih lanjut, "Tapi
sekarang aku sudah mengerti, ternyata banyak kejadian di dunia ini
semuanya palsu. Bahkan begitu pula dengan semua perkataan yang
pernah dikatakan sanak atau orang yang kau cintai. Aaai.... ternyata
menjadi manusia itu sama sekali tidak berarti.”
"Setiap orang tentu mempunyai masalah pribadi yang tidak
leluasa untuk disampaikan kepada pihak ke tiga, termasuk kepada
putra-putrinya sendiri. Ibu sebetulnya tidak membohongimu, dia
hanya berpendapat lebih baik kau tidak usah tahu daripada kau
mengetahui akan hal ini. Bagaimana pun juga, perasaan cintanya
kepadamu adalah cinta yang tulus dan murni!"
"Aku percaya. Tapi yang kumaksudkan bukan hanya terhadap ibu
saja.”
"Maksudmu Tonghong Liang?"


"Hmm, jangan kau singgung dia lagi!" tukas Seebun Yan sambil
cemberut.
"Menurut pendapatku, dia masih tetap menyukaimu.”
"Hmm, yang dia cintai itu Lan Sui-leng! Aku tahu, kedatangannya
ke gunung Bu-tong kali inipun dikarenakan Lan Sui-leng! Aku tidak
bakal pulang bersamanya, aku pun tidak perduli lagi dengannya!"
Bouw It-yu sendiripun tidak habis mengerti mengapa Tonghong
Liang harus mengambil resiko dengan naik lagi ke gunung Bu-tong,
tapi untuk menghibur adiknya, terpaksa dia berkata sambil tertawa,
"Kalau tidak pulang, memangnya dia mau tetap tinggal di gunung
Bu-tong? Sudahlah, jangan berpikir yang bukan-bukan, akan kucari
dirinya agar kau bisa bicara terus terang di hadapannya.”
"Mau ke mana kau mencarinya?"
"Coba lihat, siapa yang datang?"
Pada saat itulah Seebun Yan mendengar suara seseorang sedang
menghela napas.
Bagi Seebun Yan boleh dibilang pucuk dicinta ulam tiba, tanpa
perlu membuang banyak tenaga, dia berhasil juga menjumpai orang
yang dicari. Orang itu seolah baru muncul dari bawah tanah, tibatiba
saja sudah berdiri persis di hadapannya.
Perasaan hatinya saat ini sudah berbeda dengan perasaannya
ketika pertama kali naik gunung, dengan termangu dia awasi
Tonghong Liang, untuk sesaat dia tidak tahu apa yang harus
diucapkan.
Begitu pula dengan Tonghong Liang, dia hanya menghela napas
panjang tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Sambil mendengus Bouw It-yu segera menegur, "Tonghong
Liang, coba tidak melihat di atas wajah adikku, aku benar-benar
ingin memberi pelajaran yang setimpal kepadamu!"
"Adikmu?" tanya Tonghong Liang agak tertegun.


Walaupun sudah lama dia mencurigai akan hal ini, tidak urung
hatinya tergoncang juga setelah mendengar pengakuan langsung
dari Bouw It-yu, pikirnya, 'Ternyata kabar burung yang beredar
selama ini memang terbukti benar. Kini tinggal membuktikan apakah
kabar burung yang lain pun terbukti benar juga'
Merah jengah selembar wajah Seebun Yan, buru-buru serunya,
"Piauko, kau tahu, aku belum pernah berbohong atas semua
persoalan yang kuhadapi. Sesampai di rumah nanti, aku pasti akan
menjelaskan semuanya.”
"Pulang ke rumah?"
"Memangnya kau ingin tetap tinggal di gunung Bu-tong?" tanya
Bouw It-yu.
"Ucapanmu tepat sekali, sejak saat ini aku tidak bakal naik lagi ke
gunung Bu-tong. Pergi, tentu saja aku harus pergi, tetapi....”
"Kalau memang harus pergi, masih ada tetapi apa lagi?" sela
Bouw It-yu.
"Tidak usah dipaksa,” kata Seebun Yan, "aku tahu dia memang
enggan melakukan perjalanan bersamaku!"
Tonghong Liang tertawa getir.
"Padahal aku sendiripun tidak tahu harus pulang ke mana,”
ujarnya.
"Kau mungkin tidak tahu, tapi aku tahu. Kau ingin melakukan
perjalanan bersama Lan Sui-leng!" seru Seebun Yan keras, "kini
kedua orang tuanya telah meninggal, dia memang sedang butuh....”
"Kau keliru besar,” tukas Tonghong Liang cepat, "dia masih
mempunyai sanak dan tidak butuh perawat-anku. Aku pun naik ke
gunung Bu-tong bukan lantaran dia!"
"Bukankah kau amat menyukainya?"
Kembali Tonghong Liang tertawa getir.
"Kau memang selalu senang menduga-duga. Terus terang saja


aku katakan, bila aku mencintainya, hal ini justru akan mencelakai
dirinya.”
"Kenapa? Kenapa kalau menyukainya malah justru akan
mencelakainya?" Seebun Yan tidak mengerti, namun dia sudah
merasa sangat puas setelah mendengar jawaban dari Piaukonya itu.
Sebab dia dapat menyimpul kan kendatipun Piaukonya "menyukai"
Lan Sui-leng, dia pun tidak bakal pergi bersama gadis itu.
Kalau memang begitu, mengapa wajah Piaukonya menunjukkan
rasa sedih dan pedih yang mendalam?
Seebun Yan tidak ingin mencari tahu sebabnya, tapi tanpa terasa
timbul perasaan kasihan terhadap Piaukonya ini.
"Piauko,” ujarnya kemudian, "kehidupanmu diluar pasti kurang
bahagia, mari kita bersama-sama balik ke Pek-hoa-kok.”
Akhirnya Tonghong Liang menjawab juga, “Baiklah, pulang
kemana pun toh sama saja bagiku."
Baru saja Seebun Yan merasa gembira, siapa tahu baru saja
selesai Tonghong Liang berbicara, mendadak terdengar seseorang
berseru dengan nada dingin, “Tidak sama!"
Seorang lelaki berusia lima puluh tahunan, mengenakan jas
hujan berwarna hitam dan berwajah kaku tanpa perubahan mimik
muka, tiba-tiba muncul di hadapan mereka semua.
"Suhu!" teriak Tonghong Liang dengan perasaan terperanjat.
Seebun Yan tahu kalau kakak misannya mempunyai seorang
guru yang mempunyai julukan "Rasul pedang", namun dia belum
pernah menjumpainya.
Dasar watak seorang nona besar, begitu mendengar nada
ucapan orang itu seolah melarang muridnya pulang bersamanya,
sontak amarahnya meluap, dengan gusar teriaknya, "Apa
maksudmu mengatakan tidak sama?"
Lelaki itu sama sekali tidak menggubris, seolah-olah sama sekali
tidak mendengar perkataannya, sorot mata dan perhatiannyan


perlahan-lahan dialihkan dari wajah muridnya ke wajah Bouw It-yu.
Bouw It-yu tidak berani berayal, cepat dia menjura sambil
menyapa, "Apakah Cianpwee adalah Rasul pedang Siang Thianbeng?"
"Berbicara soal ilmu pedang, belum tentu aku bisa mengungguli
ayahmu. Julukan "Rasul pedang" tidak berani kuterima,” kata Siang
Thian-beng dingin, "namun aku percaya, tidak sampai sepuluh
tahun kemudian pasti akan muncul seseorang yang pantas disebut
Rasul pedang!"
Dia berpaling ke arah Tonghong Liang dan menambahkan,
"Apakah kau masih ingat, apa janjimu ketika mengangkat aku
sebagai gurumu?"
"Aku berjanji akan mengangkat nama besar suhu dan melatih diri
menjadi jago pedang nomor wahid di kolong langit!"
Kembali Siang Thian-beng mendengus.
"Lantas kenapa sebelum latihanmu berhasil, kau hendak
melepaskan usahamu di tengah jalan?"
Kini Bouw It-yu baru tahu, ternyata harapan "Rasul pedang"
untuk masa depan tidak lain adalah muridnya, Tonghong Liang.
"Dahulu aku adalah seekor anak harimau yang tidak tahu rasa
takut, tapi kini aku telah kehilangan rasa percaya diri,” sahut
Tonghong Liang cepat.
"Hanya gara-gara kalah satu kali di tangan Bouw Ciong-long?
Bukankah kondisimu jauh lebih baik daripada pertarungan semula?"
Kembali Tonghong Liang tertawa getir.
"Kali ini kekalahanmu bukan lebih mengenaskan, tapi kekalahan
ini membuatku semakin menyesal dan malu. Aku sadar bahwa
sesungguhnya diriku tidak berguna.”
Tentu saja Bouw It-yu mengerti apa yang dimaksud dengan
perkataan itu, pikirnya, Ternyata tujuannya mencuri belajar ilmu


pedang dari Keng Giok-keng memang bermaksud untuk menghadapi
ayahku. Untung dia masih tahu diri, tidak selatah dan sesumbar
gurunya'
Terdengar Siang Thian-beng mendengus gusar.
"Baru kalah dua kali sudah putus asa? Memalukan!" umpatnya.
"Bukan hanya dikarenakan aku kalah di tangan Bouw Cionglong,”
sahut Tonghong Liang perlahan, "tapi aku mengerti bahwa
bakatku tidak seberapa....”
Sebetulnya dia ingin mengatakan, sekalipun berhasil
mengungguli Bouw Ciong-long pun tetap tidak mungkin baginya
menjadi jago pedang nomor wahid di kolong langit. Sebab bakat
yang dimiliki Keng Giok-keng jauh di atas bakatnya, bila sama-sama
berlatih sepuluh tahun lagi, keberhasilan yang dicapai Keng Giokkeng
pasti jauh di atas kemampuannya.
Hanya saja "kesimpulan" tersebut merupakan analisa dia pribadi,
dia sadar gurunya tidak mungkin akan percaya. Karena itulah
sampai saat ini dia enggan mengemukakan keluar.
Siang Thian-beng adalah seseorang yang tidak sabaran, benar
saja dia segera menukas, "Ooh.... jadi kau keberatan untuk
meninggalkan gadis cilik ini? Hmm, benar-benar tidak becus! Hanya
dikarenakan seorang budak ingusan, kau rela melepaskan cita-cita
mu yang setinggi langit?"
Semenjak tadi Seebun Yan sudah ingin mengumbar hawa
amarahnya, kontan saja dia mengumpat, "Jangan disangka karena
kau adalah guru Piauko ku, maka aku tidak berani memakimu! Kalau
kau sendiripun tidak becus, mana mungkin bisa mendidik murid
yang hebat? Piauko, menurut aku, lebih baik kau tinggalkan saja
guru macam begitu. Suruh ibu mengajari mu, dia pasti dapat
mendidikmu jauh lebih baik ketimbang dia!"
Siang Thian-beng segera mengebaskan ujung bajunya sambil
membentak, "Jangan merecoki muridku terus, dia tidak bakalan
mengawinimu sebagai istrinya!"


Kebasan itu sungguh kuat, desingan angin tajam membuat tubuh
Seebun Yan mundur sejauh enam, tujuh langkah, nyaris dia jatuh
terjerembab.
Begitu mengebaskan bajunya, Siang Thian-beng segera menarik
tangan Tonghong Liang dan diajak berlalu dari situ.
Seebun Yan tidak terluka, tapi harga dirinya benar benar
tersinggung hebat. Sejak dilahirkan, belum pernah dia
"dipermalukan" seperti ini, tidak tahan lagi meledaklah isak
tangisnya.
Mana dia tahu, sebetulnya Siang Thian-beng tidak berniat
mempermalukan dirinya.
Ternyata dia ingin Tonghong Liang berlatih sejenis tenaga dalam
yang disebut Tongcu-kang (ilmu jejaka), ilmu tersebut tidak
mungkin dilatih oleh seorang lelaki yang pernah menikah.
Bila Tonghong Liang berhasil mempelajari ilmu jejaka, kemudian
dikombinasikan dengan ilmu pedangnya, maka ditambah bakatnya
yang bagus, tidak sulit baginya untuk mengorbit menjadi seorang
jagoan pedang yang tidak terkalahkan di kolong langit.
Baru saja Siang Thian-beng menarik Tonghong Liang untuk
beranjak pergi, Bouw It-yu telah menyusul tiba sembari
membentak, "Tonghong Liang, kau sudah bukan kanak-kanak,
seharusnya kau punya pendirianmu pribadi! Siang Thian-beng,
tempat ini adalah gunung Bu-tong, terlepas apa hubunganmu
dengan Tonghong Liang, hormatilah peraturan yang berlaku di
gunung Bu-tong!"
Siang Thian-beng mendengus dingin, tukasnya, "Kau mempunyai
peraturanmu, akupun mempunyai peraturanku! Siapa ambil perduli
dengan segala peraturan bau yang berlaku di perguruan Bu-tongpay?"
Bukan hanya membantah, bahkan dia mulai melancarkan
serangan.
Baru saja Bouw It-yu menyusul ke belakang tubuhnya, dia sudah


membalikkan tubuh sambil melancarkan sebuah cengkeraman.
Untung Bouw It-yu sudah membuat persiapan, sebuah tusukan
langsung diarahkan ke telapak tangan lawan.
Jurus serangan yang dia gunakan adalah Li-kwang-si-sik (Li
Kwang memanah batu) dari ilmu pedang Lian-huan-toh-beng-kiamhoat,
membungkuk pinggang, menggeser langkah, mencabut
pedang, melan carkan serangan, empat gerakan dilakukan dengan
waktu bersamaan, bukan hanya cepat bahkan amat ganas.
Bertarung dalam jarak yang sedemikian dekatnya, walaupun
Siang Thian-beng berhasil menghindari jurus pertamanya Li-Kwangsi-
sik, belum tentu dapat menghindari jurus ke duanya Pek-hongkoan-
jit (bianglala putih menembusi sang surya).
Jurus yang pertama dapat menembus jalan darah Lau-kiong-hiat
pada telapak tangannya, sementara jurus serangan kedua dapat
menembus tulang Pi-pa-kut pada bahu lawan.
Baik Lau-kiong-hiat maupun tulang Pi-pa-kut, asal tertusuk
tembus maka betapapun hebatnya ilmu silat yang dimiliki, tetap
akan punah dan cacat seumur hidup.
Siapa tahu jurus pukulan yang digunakan Siang Thian-beng
sangat aneh, jari tengah diluruskan ke depan bagaikan paruh
burung elang dan langsung menutul urat nadi di tubuh Bouw It-yu.
Waktu itu Bouw It-yu baru saja mengubah jurus serangan Likwang-
si-sik menjadi Pek-hong-koan-jit, tiba-tiba saja urat nadinya
terasa kesemutan, meski ujung pedangnya berhasil menyentuh
tubuh lawan namun sudah tidak ada kekuatan lagi untuk merobek
pakaian musuh, terlebih ingin "memanah batu" atau "menembusi
sang surya".
"Traaaang....” pedang yang berada dalam genggaman Bouw Ityu
terlepas dan jatuh ke tanah, menyusul kemudian tubuhnya
ditangkap Siang Thian-beng dan diangkat ke tengah udara.
"Suhu....” teriak Tonghong Liang terperanjat.


Belum selesai dia berkata, Siang Thian-beng telah memutar
tubuh pemuda itu bagai gangsingan lalu melemparnya ke depan.
"Apa yang kau cemaskan?" dengus Siang Thian-beng. Dia segera
merangsek ke depan dan menarik tangan Tonghong Liang.
Tampaknya tubuh Bouw It-yu segera akan terlempar jatuh dari
puncak Tian-ki-hong, tiba-tiba terlihat Seebun-hujin meluncur
datang dengan kecepat-an tinggi lalu melayang turun ke bawah.
Terkejut bercampur girang buru-buru Seebun Yan berteriak,
"Ibu, cepat.... cepat tolong....”
Waktu itu diapun ikut menyerbu maju ke depan, kendatipun
sadar kalau tindakannya sudah terlambat.
Ketika Seebun-hujin meminta Tonghong Liang pergi mencari
putrinya, secara diam-diam dia mengikuti dari belakang. Ketika
melihat tubuh Bouw It-yu terjun ke bawah, dia yakin bisa
menangkapnya tepat saat, maka segera serunya, "Tidak usah
khawatir....”
Siapa tahu meskipun tubuh Bouw It-yu dilempar ke arahnya
dengan kekuatan penuh, dalam perhitungannya tubuh pemuda itu
pasti akan dilemparkan ke hadapannya, siapa tahu tiba-tiba satu
kejadian diluar dugaan telah terjadi, tahu-tahu tubuh pemuda itu
terjatuh ke bawah di tengah jalan.
Hanya saja, kejadian yang di luar dugaan masih berada di
belakang.
Baru saja tubuh Bouw It-yu menyentuh tanah, mendadak tubuh
itu mental lagi ke udara.
Rupanya lemparan yang dilakukan Siang Thian-beng dilakukan
dengan sebuah tehnik khusus, walau pun sekilas pandang tubuh
yang terlempar itu nampak meluncur cepat dan kuat, namun begitu
menyentuh tanah, ternyata kekuatannya sama sekali hilang, tubuh
pemuda itu seolah diletakkan orang dengan perlahan.
Buru-buru Seebun Yan menyusul tiba, sambil membimbing Bouw


It-yu bangun tanyanya cemas, "Kau.... kau tidak apa-apa bukan?"
Bouw It-yu seperti patung batu, untuk sesaat dia hanya berdiri
bengong tanpa berkata-kata.
Seebun Yan mengira jalan darahnya tertotok, kembali teriaknya,
"Ibu, cepat kau kemari....”
Seebun-hujin tidak menanggapi teriakan itu, paras mukanya
dingin membeku, bukannya berjalan ke arah Bouw It-yu, dia malah
menuju ke arah Siang Thian-beng.
Seebun Yan kebingungan, baru akan berteriak lagi, terdengar
Bouw It-yu menghembuskan napas panjang sambil berkata, "Aku
tidak apa-apa!"
Ternyata barusan dia sedang membayangkan jurus pukulan yang
digunakan Siang Thian-beng, dia merasa pukulan itu seolah-olah
pernah dilihat sebelumnya.
Setelah dipikir sejenak, akhirnya dia teringat, rupanya jurus itu
bukan ilmu pukulan melainkan jurus ilmu pedang.
Ketika pertama kali naik ke gunung Bu-tong, Tonghong Liang
pernah menggunakan jurus pedang itu.
Jurus pedang itu bagaikan seekor burung elang yang terbang
berputar di angkasa, itulah salah satu jurus pamungkas dari Siang
Thian-beng yang disebut enam puluh empat jurus Hui-eng-hweesian-
kiam-hoat (ilmu pedang elang terbang berputar di angkasa).
Hanya saja kali ini Siang Thian-beng telah mengubah jurus
pedang itu jadi jurus pukulan, hal ini membuat perubahan yang
ditimbulkan semakin susah diduga.
Dalam hati Bouw It-yu kembali berpikir, "Tenaga keras yang
digunakan dalam ilmu pedang ini telah melebur hingga tingkatan
yang luar biasa, andaikata dia melebur pula tenaga lembek dari ilmu
pedang Thay-kek-kiam-hoat yang berhasil dicurinya hingga menyatu
dengan tenaga kerasnya, bukankah ilmu pedang yang dia miliki
menjadi lebih dahsyat? Saat itu, kemungkinan besar dia benar-benar


bisa menjagoi seluruh kolong langit.”
Berpikir sampai disini, timbul perasaan menyesal di hati kecilnya,
dia menyesal karena tidak seharusnya membebaskan Tonghong
Liang dengan begitu saja.
"Jangan biarkan dia membawa pergi Tonghong Liang!" seru
Bouw It-yu kemudian.
Seebun Yan tidak mengetahui kalau pemuda itu punya maksud
lain, segera teriaknya pula, "Ibu, dia memaksa mengajak pergi
Piauko, bahkan di abilang.... dia....”
"Semua pembicaraan kalian telah kudengar,” tukas Seebun-hujin
perlahan. Selesai berkata dia berjalan menuju ke hadapan Siang
Thian-beng.
"Aku tahu kau adalah gurunya Liang-ji, ilmu pedangmu hebat
juga, tapi untuk julukan Rasul pedang.... hmmm! Rasanya belum
pantas!"
"Hmm, kau tahu apa?" jengek Siang Thian-beng sinis.
"Aku memang tidak tahu apa-apa,” kata Seebun-hujin dingin,
"tapi ada satu hal yang kuketahui, perkataan putriku benar,
daripada kau yang mengajari ilmu silat kepada keponakanku,
mending aku sendiri yang mengajarinya.”
"Apakah kau ingin menantang aku untuk berduel ilmu pedang?"
tantang Siang Thian-beng.
"Benar, bila kau mampu menangkan aku, akan kuijinkan kau
membawa pergi Tonghong Liang.”
"Bibi....” teriak Tonghong Liang.
"Kau memilih bibimu atau gurumu?" tukas Seebun-hujin.
Tonghong Liang segera terbungkam, tidak berani menjawab.
"Bagus,” kembali Seebun-hujin berkata, "manusia she-Siang, biar
kusaksikan sampai dimana kehebatan ilmu pedang seorang Rasul
pedang. Silahkan!"


"Aku tidak sudi mencari keuntungan dari seorang perempuan!"
dengusSiang Thian-beng.
Seebun-hujin mendengus pula, dia patahkan sebatang ranting
pohon lalu katanya lagi dengan nada dingin, "Kau boleh saja
memandang rendah kaum wanita, tapi aku lebih memandang
rendah manusia latah bernama kosong macam dirimu!"
Ranting pohon itu langsung menusuk ke depan disertai desingan
angin tajam.
Dia menggunakan ranting pohon itu sebagai pengganti pedang,
begitu menggetarkan tangan secara beruntun dia lancarkan tiga
jurus serangan berantai mengancam jalan darah Hian-ki-hiat, Giokheng-
hiat serta Thian-jiak-hiat di dada lawan.
Siang Thian-beng miringkan tangan sambil membacok, jari
telunjuk dan jari tengahnya menjulur dan menyusut tiada hentinya
seperti hendak menotok jalan darah, padahal itulah ilmu pedang
tingkat tinggi yang hebat.
Di bawah sambaran angin pukulan yang dahsyat, ranting pohon
itu bergerak lincah dan ringan bagaikan ular perak di tengah ijuk,
biarpun tenaga pukulan dari Siang Thian-beng sangat kuat dan
ganas, ternyata tidak mampu mematahkan ranting pohonnya.
Begitulah, yang satu menggunakan ranting pohon sebagai
pedang, yang lain menggunakan tangan kosong sebagai pengganti
pedang, kedua belah pihak sama sama mengeluarkan segenap
kemampuan yang dimiliki untuk saling menjatuhkan.
Dalam waktu singkat lima puluh gebrakan sudah lewat,
mendadak Siang Thian-beng berpekik nyaring, tubuhnya
melambung ke udara, bagaikan elang lapar yang menerkam kelinci,
telapak tangannya secara ganas membabat ke bawah.
Cepat Seebun-hujin berputar bagaikan gangsing-an, ranting
pohonnya melepaskan puluhan lingkaran hawa pedang untuk
melindungi tubuh.
Terkejut bercampur ngeri mencekam perasaan hati Seebun Yan,


tapi dia pun dapat melihat kalau kedua belah pihak sama-sama
telah menggunakan jurus pamungkas untuk menghancurkan
musuhnya.
Mendadak tubuh kedua orang itu saling berpisah satu sama
lainnya.
"Sayang, sungguh sayang!" terdengar Bouw It-yu berteriak
keras.
Sejenak kemudian kembali dia memuji, "Ilmu pedang bagus!"
"Hmm, bocah dungu, apa yang kau pahami?" jengek Siang
Thian-beng sambil tertawa dingin, diiringi suara tertawanya yang
menyeramkan, kembali dia menerkam ke depan.
Seebun Yan tidak paham mengapa kakaknya berteriak "sayang",
tapi begitu mendengar dia memuji kehebatan ilmu pedang ibunya,
sedikit banyak lega juga hatinya.
Rupanya barusan Seebun-hujin telah menggunakan ilmu pedang
Thay-kek-kiam-hoat ajaran Bouw Ciong-long untuk memunahkan
serangan lawan, biarpun Siang Thian-beng menggunakan telapak
tangan sebagai pengganti pedang dan jurus serangan Hui-enghwee-
sian-kiam-hoat yang digunakan jauh lebih ganas ketimbang
menggunakan senjata, namun setiap gerak melingkar yang
diciptakan Seebun-hujin dengan ranting nya selalu berhasil
memunahkan satu bagian kekuatan lawan.
Pada lingkaran pedang yang terakhir, asal ranting itu berubah
dari gerakan melingkar jadi gerakan lurus maka Dia dapat segera
menusuk mata lawannya.
Tapi entah mengapa perubahan itu tidak diwujudkan bahkan
tubuh mereka berdua tiba-tiba saja berpisah.
Bouw It-yu sendiripun pernah mempelajari jurus pedang yang
dipergunakan Seebun-hujin, melihat itu segera pikirnya, 'Ternyata
jurus pedang ini bisa digunakan dengan demikian cepatnya! Tapi
apa sebabnya ibu tidak melakukan serangan mematikan?'


Bouw It-yu tidak tahu, rupanya guratan garis melingkar yang
terakhir diciptakan Seebun-hujin telah tergeser oleh pengaruh
tenaga pukulan lawan, sekalipun dia berhasil memunahkan
beberapa bagian tenaga tekanan musuh, akan tetapi pengaruh
kekuatan lawan membuat garis lingkaran yang terbentuk jadi lebih
melebar, dengan begitu jurus serangan pun dipaksa menjadi "tua"
sebelum saatnya.
Apabila dalam keadaan begini dia tetap melanjutkan ancamannya
untuk menusuk biji mata musuh, maka dadanya akan terbabat lebih
duluan oleh pedang tangan lawan.
Di tengah pertempuran sengkit, Seebun-hujin semakin
memperketat serangannya dengan menciptakan lingkaran pedang
yang lebih rapat, sementara pukulan Siang Thian-beng menyambar
kian kemari semakin ganas, tanpa meninggalkan permukaan tanah,
tubuhnya telah menerjang ke muka bagaikan seekor elang ganas.
Tampaknya kedua belah pihak sudah mempersiapkan diri untuk
melancarkan gempuran terakhir.
Tonghong Liang merasakan hatinya bergetar keras, tiba-tiba
teriaknya, "Kalian tidak usah bertarung lagi, suhu, aku pergi
bersamamu!"
Selesai berkata dia membalikkan tubuh dan segera beranjak
pergi dari situ.
Tapi pada saat itulah ranting pedang Seebun-hujin telah
menusuk ke tubuh Siang Thian-beng.
Terdengar serentetan suara ledakan yang keras, ranting pohon
itu patah jadi enam bagian.
Siang Thian-beng mendengus tertahan, tanpa mengucapkan
sepatah kata pun dia mengejar ke bawah bukit dan meninggalkan
arena pertarungan.
Dengan perasaan terkejut Seebun Yan menerjang ke depan,
teriaknya cemas, "Ibu, bagaimana keadaanmu?"


"Tidak masalah. Kerugian yang dia derita tidak lebih ringan dari
ku!" sahut Seebun-hujin.
Ternyata dalam jurus serangan yang terakhir, dia berhasil
menciptakan enam lubang tusukan kecil di pakaian yang dikenakan
Siang Thian-beng.
Masih beruntung teriakan dari Tonghong Liang berkumandang
lebih dahulu sehingga mempengaruh semangat tempur mereka
berdua, kalau tidak, bukan hanya ranting pohon itu saja yang
terpatah jadi enam bagian, mungkin tulang rusuk Seebun-hujin akan
ikut patah.
Sebaliknya bukan hanya pakaian Siang Thian-beng saja yang
berlubang, mungkin di atas tubuhnya telah bertambah dengan
enam lubang luka yang cukup parah.
Seebun Yan merasakan sebuah beban telah terbebas dari
hatinya, namun beban lain kembali mengganjal dalam benaknya.
"Ibu, Piauko telah dibawa pergi orang itu!" serunya.
Dari kejauhan lamat-lamat terdengar suara Siang Thian-beng
sedang berkata, "Boleh saja bila kau enggan pergi, siapa bilang kita
tidak boleh tetap tinggal di gunung Bu-tong?"
"Tidak suhu,” terdengar Tonghong Liang menyahut, "lebih baik
kita tinggalkan tempat ini!"
Ucapan mereka berdua berkumandang karena terbawa angin,
hanya Seebun-hujin seorang yang dapat mendengar dengan jelas,
Bouw It-yu hanya mendengar setengah jelas sementara Seebun Yan
sama sekali tidak mendengar apa-apa.
Seebun-hujin menghela napas panjang, ujarnya kemudian, "Anak
Yu, kelihatannya dia tidak ingin menyusahkan ayahmu. Anak Yan,
kalau dia ingin pergi bersama gurunya, biarkan saja dia pergi sesuka
hati!"
Bouw It-yu merasakan hatinya sangat kalut, dia awasi Seebunhujin
dengan wajah termangu.


"Anak Yu, maafkan aku,” kembali Seebun-hujin berkata lembut,
"aku tidak bisa berada bersamamu, aku harus pergi dari sini.
Ayahmu jauh lebih membutuhkan dirimu ketimbang aku, karena dia
harus menghadapi banyak persoalan yang susah dan pelik. Aku
tidak bisa membantu apa-apa, tampaknya aku hanya bisa berharap
padamu.”
Selesai berkata diapun menarik tangan putrinya dan berlalu dari
sana.
Ketika bayangan ibunya sudah tidak nampak, dia seolah-olah
masih mendengar suara helaan napasnya yang pedih.
Mendadak timbul perasaan menyesal di hati Bouw It-yu, tanpa
terasa teriaknya, "Ibu, aku telah salah menuduhmu. Ternyata
semua nya ini bukan kesalahanmu!"
Semenjak tahu kalau Seebun-hujin adalah ibu kandungnya,
belum pernah dia memanggilnya dengan sebutan "ibu". Baru
pertama kali ini dia memanggil ibunya dengan penuh hangat,
panggilan yang muncul dari lubuk hatinya, sayang Seebun-hujin
sudah tidak mendengar.
Sementara Bouw It-yu masih berdiri termangu, tiba-tiba
terdengar suara ayahnya berkata, "Anak Yu, tidak usah kelewat
sedih. Begitulah kehidupan manusia, terkadang harus berkumpul,
terkadang harus berpisah, kadang sedih, kadang gembira.
Semuanya itu tergantung pada jodoh.”
Tahu-tahu Bouw Ciong-long telah muncul di hadapannya.
"Ayah, rupanya sejak tadi kau sudah datang.”
"Benar, semua pembicaraan dengan ibumu telah kudengar. Anak
Yu, kau bersedia....”
"Ayah, seperti yang kau katakan, kumpul, pisah, sedih, gembira
semuanya tergantung apakah kau punya jodoh. Kau tidak usah
memohon kata maaf dari siapa pun, kedua orang ibuku sama-sama
baiknya, aku tidak akan dendam atau jengkel karena siapa pun.”


"Aku senang dapat mendengar perkataanmu itu,” ucap Bu-beng
Cinjin, "dimasa muda dulu, aku lebih kasar dan keras kepala
ketimbang dirimu. Aku lebih menuruti perasaanku. Tapi kau.... kau
jauh lebih tahu urusan daripada diriku dulu.”
"Tapi ibu menyangka aku dapat membantu usahamu, aku
merasa malu dan menyesal sekali.”
"Aku tahu, kau telah dibanting Siang Thian-beng, apalah artinya
kerugian semacam itu?"
"Ooh, ternyata sebelum ibu bertarung melawan orang itu, kau
sudah tiba disini, tapi mengapa....”
"Aku memang khusus kemari untuk melihat permainan
pedangnya, bila keadaan terdesak, tentu saja aku akan turun
tangan, tapi berhubung tidak ada keharusan begitu maka akupun
hanya menonton saja.”
"Lantas bagaimana pendapatmu tentang ilmu pedangnya?"
Bu-beng Cinjin termenung berapa saat, kemudian baru katanya,
"Ternyata diluar langit masih ada langit, diluar manusia masih ada
manusia. Ungkapan tersebut ternyata tepat sekali.”
"Memangnya ilmu pedang yang dimiliki Siang Thian-beng mampu
mengungguli dirimu?" tanya Bouw It-yu terperanjat.
"Sekarang memang masih belum mampu, tapi sukar dibilang di
kemudian hari. Yang kukatakan diluar manusia masih ada manusia
lain, manusia disini bukan dia.”
"Maksudmu Tonghong Liang sepuluh tahun kemudian?"
"Itupun belum tentu Tonghong Liang. Tapi bila Tonghong Liang
bersedia menuruti perkataan gurunya, pulang dan berlatih sepuluh
tahun lagi, kemampuan ilmu pedangnya memang mampu
mengungguli ke-pandaianku.”
"Benar, bila dia bisa menyarukan ilmu pedang Hui-eng-hweesian-
kiam-hoat dengan ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat,
kehebatannya memang menakutkan. Tapi sekalipun begitu, bukan


berarti dia mampu mengungguli ayah. Paling tidak dalam
kematangan ilmu pedang, dia belum bisa menandingi ayah.”
Bu-beng Cinjin tertawa getir.
"Selewat sepuluh tahun, kau sangka aku masih bisa
mempertahankan reputasiku sekarang?"
"Tapi Tonghong Liang adalah kakak misan adik Yan, belum tentu
dia mau menuruti perintah gurunya untuk bermusuhan dengan
ayah.”
"Gelar jago pedang nomor wahid dikolong langit merupakan
godaan yang sangat besar bagi siapa pun, apalagi, apa kau tidak
mendengar perkataan yang disampaikan Siang Thian-beng
kepadanya, sepanjang hidup dia tidak mau muridnya menikah.”
Tampaknya diapun tahu ilmu tenaga dalam macam apa yang
dilatih Siang Thian-beng, hanya saja kurang leluasa untuk
menjelaskan kepada putranya.
Kembali Bou w It-yu menghela napas, katanya, "Ibu mengira aku
dapat membantu usahamu, aku benar-benar merasa malu dan
menyesal.”
"Asal kau bersedia mendampingi ku, hal ini sudah merupakan
dukungan moral yang besar bagiku, akupun tidak ingin kau bisa
mengungguli Tonghong Liang pada sepuluh tahun mendatang. Kini
mungkin kau tidak paham, tapi dikemudian hari pasti mengerti,
padahal gelar jago pedang nomor wahid di kolong langit hanya bisa
diusahakan namun tidak bisa diharapkan!"
Bouw It-yu sendiripun seakan mengerti tapi seakan tidak paham,
sambil melompat bangun serunya, "Ayah, kau belum tua, jadi tidak
butuh sebuah tongkat penyangga, begitu juga dengan diriku,
akupun tidak ingin menjadi tongkat penyangga ayah!"
"Kau punya semangat, aku amat gembira,” ujar Bu-beng Cinjin
perlahan, "biarpun sepuluh tahun lagi Tonghong Liang berhasil
melatih ilmu pedangnya, dia tetap tidak akan mampu menjatuhkan
Bu-tong-pay kami, saat itu pasti ada orang yang bisa mengungguli


dirinya!"
"Maksudmu Keng Giok-keng?"
"Benar. Menurut pendapatku, tidak sampai sepuluh tahun, ilmu
pedangnya dapat mencapai nomor satu di kolong langit.”
"Apakah ilmu pedangnya dipelajari dari kiam-boh warisan Busiang
Cinjin?"
Bu-beng Cinjin segera berkerut kening, katanya, "Aku tidak
memahami maksudmu, untuk bisa melatih diri menjadi jago pedang
nomor wahid di kolong langit, selain dibutuhkan kesempatan,
diapun harus memiliki bakat alam yang hebat, hanya mengandalkan
berlatih ilmu pedang saja tidak cukup. Jadi kau tidak usah berupaya
untuk mendapatkan kiam-bohnya, atau memaksa dia menyerahkan
kitab rahasia tersebut.”
Merah padam selembar wajah Bouw It-yu, buru-buru katanya,
"Sejujurnya aku pernah mempunyai pikiran untuk berbuat begitu,
tapi kalau memang ayah tidak ingin ananda berbuat demikian, tentu
saja ananda akan mentaati perintahmu.”
Bu-beng Cinjin tidak langsung menjawab, dalam hati pikirnya,
'Padahal aku sendiripun pernah timbul niatan egois seperti itu,
jangan lagi kau.... '
Maka diapun berkata, "Baiklah, hari hampir terang tanah. Tamu
yang bakal datang hari ini pasti semakin banyak, cepatlah pulang
untuk beristirahat sejenak.”
"Baik, untung Siang Thian-beng sudah pergi, aku khawatir besok
dia akan muncul lagi di saat upacara penguburan dan membuat
kekacauan.”
Bu-beng Cinjin hanya bisa tertawa getir di hati, "Kau mana tahu,
musuhku yang sebenarnya bukanlah SiangThian-beng!"
Ooo)*(ooO


BAB XVII
Pertarungan dalam pertemuan,
Pedang dari Bu-tong tampil cemerlang.
Ketika balik ke Ci-siau-kiong, hari sudah mendekati terang tanah,
tahu kalau dalam keadaan begini mustahil bisa tidur nyenyak, Bubeng
Cinjin pun duduk bersemedi mengatur pernapasan.
Sim-hoat tenaga dalam yang dia pelajari adalah tenaga dalam
aliran lurus, di hari biasa asal dia duduk bersemedi berapa saat
maka segera akan memasuki keadaan lupa diri.
Tapi hari ini pikiran dan perasaannya sangat kalut, bukan saja
tidak dapat menenangkan diri, sebaliknya pelbagai khayalan
terlintas di dalam benaknya.
Dia merasa seakan berada diantara awan dan air, seolah berada
dalam sebuah perahu bersama In Beng-cu (Seebun-hujin).
Sebentar kemudian dia merasa seperti tertidur di balik kelambu
sutera berwarna hijau dan menyaksikan Siang Ngo-nio dengan baju
dalamnya berwarna merah berbaring di sisinya.
Tiba-tiba dia menyaksikan Seebun Mu yang berlumuran darah
serta Tong Ji-sianseng yang mencak- mencak kegusaran sedang
menerkam ke arahnya, sementara Siang Ngo-nio yang cantik dan
genit, tiba-tiba berubah jadi setan perempuan yang berwajah
menyeram kan....
Untung saja nyawanya tidak sampai putus, karena suara genta
pagi dari Tokoan menyadarkan dia dari lamunan, akhirnya dia dapat
lolos dari alam khayalan.
Setelah mencoba mengatur pernapasan berulang kali, akhirnya
perasaannyapun lambat laun menjadi tenang kembali.
Pembesar yang diutus pihak kerajaan untuk menyerahkan


anugerah gelar "Cinjin" kepada Ciangbunjin telah tiba digunung Butong.
Ketika mendapat laporan, Bouw Ciong-long segera keluar
menyambut.
Sambil melangkah maju ke depan, sapa Utusan kaisar itu,
"Saudara Bouw, masih kenali aku? Secara khusus aku telah
memohon kepada Baginda untuk melaksanakan tugas ini, sekalian
datang mengucapkan selamat kepadamu karena telah menjadi
Ciangbunjin Bu-tong-pay!"
"Ooh, rupanya saudara To, sungguh tidak disangka setelah
berpisah hampir sepuluh tahun, kita bertemu lagi disini. Konon di
kotaraja saudara To mendapat posisi yang makin lumayan, bahkan
telah menempati posisi wakil komandan pasukan Yu-lim-kun.
Seharusnya akulah yang musti menyampaikan selamat kepada
saudara To!"
Utusan kaisar itu tertawa terbahak bahak.
"Hahahaha.... saudara Bouw, kau masih sama santainya seperti
dulu, hanya saja sekarang kau sudah menjadi Ciangbunjin, jadi aku
musti mengubah sebutan. Tio Hu-si, cepat maju untuk bertemu
dengan Ciangbun-Cinjin.”
Wakil utusan Tio segera maju ke depan dan berkata, “Ciangbun-
Cinjin, walaupun antara kita berdua baru bertemu kali pertama,
namun belum lama berselang aku sempat bertemu dengan
kongcumu di kota Kim-leng.”
Ternyata utusan kaisar itu bernama To Jian-sik, dia adalah wakil
komandan pasukan Yu-lim-kun, sedang wakil utusan bernama Tio
Thay-khong, diapun seorang pambesar militer berpangkat tinggi
dalam pasukan Yu-lim-kun.
"Terima kasih banyak atas sambutan Tio-thayjin selama putraku
berada di Kim-leng,” sahut Bu-beng Cinjin, "hanya saja daya ingat
Tio-thayjin tampaknya sedikit kurang baik!"
"Persoalan mana yang dimaksud Ciangbun-Cinjin?" tanya Tio
Thay-khong.


"Lima tahun berselang, ketika pinto merayakan ulang tahunku
yang ke lima puluh, rasanya kau pernah mampir di rumahku.”
Tio Thay-khong segera tersenyum.
"Tidak kusangka ternyata Ciangbun-Cinjin bisa mengetahui
kejadian ini, sungguh membuat aku sangat terharu. Hanya saja
waktu itu aku hadir karena mengikuti rombongan hingga sejak awal
hingga akhir tidak peroleh kesempatan untuk berbincang dengan
Cinjin. Jadi rasanya belum bisa dihitung perkenalan secara resmi
bukan?"
Ternyata sewaktu Bu-beng Cinjin masih disebut Tiong-ciu
Thayhiap Bouw Ciong-long, berhubung pergaulannya yang sangat
luas, maka sewaktu diadakan perayaan untuk memperingati ulang
tahunnya yang ke lima puluh, sangat banyak tamu agung dari
pelbagai daerah yang menghadiri perayaan itu, saking banyaknya
tamu yang datang, walaupun para tamu mengenali dirinya, namun
belum tentu dia mengenali setiap tamu yang datang.
Saat itu Tio Thay-khong belum memangku jabatan dalam
pasukan Yu-lim-kun, dalam dunia persilatan pun dia tidak memiliki
nama besar, jadi Bouw Ciong-long memang tidak mengenali dirinya.
Tapi sejak Bouw It-yu kembali dari kota Kim-leng dan
menyinggung tentang Tio Thay-khong, lagipula sewaktu Tio Thaykhong
datang menyampaikan selamat, kebetulan Bouw It-yu pula
yang mewakili ayahnya meladeni tamunya itu, Tak heran bila Bouw
Ciong-long pun ikut mengetahui akan kejadian tersebut.
Bu-beng Cinjin adalah seorang tokoh silat yang tangguh, dari
sorot mata Tio Thay-khong yang tajam serta jalan darah Thay-yanghiat
dikeningnya yang menonjol, dia segera tahu kalau orang ini
adalah seorang jago yang hebat tenaga dalamnya.
"Heran,” diam-diam dia menegur diri sendiri, "mengapa waktu itu
aku tidak menaruh perhatian terhadap orang ini?"
Di samping itu timbul juga kecurigaan dalam hatinya, "Aku
dengan dia tidak saling mengenal, tiada pula hubungan apa pun,


kenapa waktu itu dia ikut hadir dalam perayaan ulang tahunku?
Kalau dibilang dia ingin menggunakan kesempatan ini untuk
berkenalan dengan orang kenamaan, kenapa pula dia hanya
berdiam diri tanpa banyak bicara?"
Ingatan lain segera muncul dalam hatinya, “Jangan-jangan
kedatangannya waktu itu pun mempunyai tujuan tertentu?"
Seorang utusan kaisar ternyata langsung menyambangi
Ciangbunjin di Ci-siau-kiong, hal ini menunjukkan rasa hormat pihak
kerajaan terhadap Bu-tong-pay, sekalipun begitu, itupun hanya
terbatas menjalankan tugas resmi saja.
Selesai berbincang-bincang, Bu-beng Cinjin menitahkan putranya
untuk mewakili dia menghantar tamu.
Keluar dari Ci-siau-kiong, tiba-tiba Tio Thay-khong berkata, "Aku
dengar kemarin kongcu berhasil membekuk seseorang yang
mencoba menyusup naik ke gunung Bu-tong?"
Peristiwa itu terjadi di depan Ci-siau-kiong dan dilihat banyak
orang, tentu saja Bouw It-yu tidak dapat merahasiakannya, maka
diapun menyahut, "Benar, memang ada kejadian ini. Tapi aku tidak
tahu siapakah orang itu.”
"Aku tahu siapakah orang itu. Dia bernama Lian Heng,
keponakan dari keluarga Lian yang tersohor karena Su-pit-tiam-patmeh
(empat pit menotok delapan nadi). Konon dia tewas karena
dibokong orang, apakah kongcu telah menyelidiki senjata rahasia
apa yang mencabut nyawanya?"
Bouw It-yu tahu kalau masalah inipun tidak dapat
mengelabuhinya, kembali sahutnya, "Ada orang curiga kalau dia
terkena jarum Lebah hijau dari Siang Ngo-nio, padahal bukan....”
"Darimana tahu kalau itu bukan?"
"Sebab korban yang terkena racun jarum Lebah hijau akan tewas
dengan tubuh berwarna hijau, sedang Lian Heng tewas dengan
wajah bersemu hitam.”


"Apakah berhasil mencabut keluar senjata rahasia dari dalam
tubuhnya?"
"Tidak. Paling hanya sebatang jarum beracun yang sangat
lembut. Tidak jelas bagian tubuh mana yang terkena sambitan. Bila
harus melakukan otopsi dengan membedah seluruh bagian
jenasahnya, aku rasa cara itu kelewat sadis dan menyeramkan.
Waktu itu hadir pula seorang ahli ilmu beracun, Swan Lo-sianseng,
dia pun berpendapat Lian Heng bukan terkena jarum Lebah hijau,
jadi kesimpulan ini diambil berdasarkan analisanya.”
"Yang kau maksudkan sebagai Lo-sianseng itu tentunya jagoan
nomor tiga soal ilmu beracun Swan Ji-cing bukan?"
Diantara "jago nomor tiga" dan "Ahli ilmu beracun" jelas
mempunyai perbedaan yang cukup besar.
Bouw It-yu terkesiap, tapi dia merasa tidak leluasa untuk meralat
perkataannya semula, terpaksa ujarnya, "Benar, apakah Tio-thayjin
berpendapat bahwa analisanya kurang tepat?"
Tio Thay-khong tidak menyangkal, beberapa saat kemudian
katanya, "Dimana jenasah Lian Heng? Apakah aku boleh
memeriksanya?"
"Telah dikubur. Tapi bila Tio-thayjin tetap ingin memeriksa,
itupun tidak sulit, jenasahnya dikubur di tebing bukit di depan sana,
liang kuburnya tidak terlalu dalam.”
Perlu diketahui, meskipun dia agak keberatan dan tidak ingin ada
orang membongkar kuburan Lian Heng untuk menyelidiki sebab
kematiannya. Namun dia pun merasa tidak kuasa untuk menampik
permintaan seorang utusan kaisar.
Tentu saja anggota Bu-tong-pay tidak akan mengubur jenasah
Lian Heng secara sembarangan, peti matinya tertanam di dalam
tanah yang gembur, maka dengan kekuatan Tio Thay-khong dan
Bouw It-yu, tidak lama kemudian peti mati itu sudah terangkat.
Setelah membuka penutup peti mati, seru Tio Thay-khong,
"Ternyata dugaanku tidak keliru, coba kau lihat!"


Tidak usah diingatkan pun Bouw It-yu sudah memperhatikan.
Tampak wajah Lian Heng dilapisi oleh warna hijau yang tebal,
meskipun warnanya tidak kelewat mencolok namun biarpun sudah
lewat sehari semalam. Warna hijau itu belum juga luntur, hal ini
menunjukkan kalau dia sudah keracunan hebat.
Dalam keadaan begini terpaksa Bouw It-yu berkata, "Kalau dilihat
dari gejalanya, bisa jadi dia memang terkena jarum Lebah hijau.
Tio-thayjin, darimana....
darimana kau bisa menduga ke situ?"
Tio Thay-khong tidak langsung menjawab pertanyaan itu,
sebaliknya malah berkata, "Dari sini bisa disimpulkan, bukan saja
Siang Ngo-nio pernah datang kemari, Tong-sianseng pun pernah
datangjuga!"
Biarpun Bouw It-yu tahu kalau apa yang dikatakan memang
kenyataan, namun mau tidak mau dia harus sengaja bertanya, "Atas
dasar apa Tio-thayjin bisa berpendapat begitu?"
"Hanya Tong Ji-sianseng yang memiliki bubuk obat yang bisa
dalam waktu singkat merubah warna kulit orang yang keracunan,
bahkan sewaktu menggunakan obat itu, tidak akan diketahui siapa
pun. Mungkin hanya dia seorang yang bisa berbuat demikian!"
Melihat paras mukanya berubah, tergerak hati Bouw It-yu,
sengaja ujarnya lagi, "Siapa pun tahu kalau Siang Ngo-nio adalah
kekasih simpanan Tong Ji-sianseng, seandainya dia berusaha
menutupi perbuatan siluman wanita itupun hal tersebut tidak aneh.”
"Aku kuatir bukan sesederhana untuk menutupi perbuatannya
saja!"
"Lantas menurut pendapat Tio-thayjin....”
"Membunuh untuk menghilangkan saksi!"
"Membunuh untuk menghilangkan saksi?" ulang Bouw It-yu
terperanjat.
"Kelihatannya baik Tong Ji-sianseng maupun Siang Ngo-nio


sama-sama tidak ingin membiarkan Lian Heng terjatuh ke tangan
kalian, sekalipun cara yang mereka gunakan berbeda, namun samasama
punya kekuatiran bila Lian Heng membocorkan rahasia
hubungannya dengan kedua orang itu.”
Hanya sayang dia tidak menjelaskan "rahasia" apa yang
diduganya, karena itu Bouw It-yu pun tidak berani banyak bertanya.
Sekembali ke istana Ci-siau, Bouw It-yu segera melaporkan
semua kejadian kepada ayahnya.
Selesai mendengar penuturan dari anaknya, Bu-beng Cinjin
bertanya, "Anak Yu, kau pernah datang di Liauw-tong, apakah tahu
kalau disana terdapat sebuah perkumpulan yang disebut orang Heksah-
pang (perkumpulan Hiu hitam)?"
"Konon Hek-sah-pang adalah sebuah organisasi kaum
penyelundup garam, dulunya mereka hidup di daerah Kanglam,
kemudian lantaran tidak bisa tancapkan kaki lagi di Kanglam maka
ketua mereka Lo Kang-hong kabur menuju Liauw-tong dan
membangun partainya lagi disana. Ayah, mengapa secara tiba-tiba
kau tanyakan soal Hek-sah-pang?"
"Lian Heng adalah tangan kanan Lo Kang-hong, coba bayangkan
saja bila tidak ada becking yang kuat, memangnya mereka mampu
mendirikan perkumpulan di wilayah Liauw-tong?"
"Maksudmu mereka punya hubungan yang erat dengan orangorang
bangsa Boan?"
"Dalam hal ini tidak perlu diragukan lagi, yang kucurigai mereka
telah memegang sesuatu rahasia besar dari Tong Ji-sianseng,
lantaran kuatir mereka membeberkan rahasia tersebut maka dia
turun tangan terlebih dulu untuk menghilangkan saksi.”
Mendengar itu Bouw It-yu sangat terperanjat, serunya, "Kalau
begitu, bukankah antara Tong Ji-sianseng, Siang Ngo-nio dan Lian
Heng terjalin hubungan khusus, bahkan kemungkinan besar mereka
adalah satu kelompok?"
Bu-beng Cinjin tidak membenarkan pun tidak menyangkal,


katanya tiba-tiba, "Sudah, aku hendak bersemedi sebentar, pergilah
ke kompleks pemakaman dan hiburlah Put-ji. Semalam dia terluka
cukup parah, sekalian bawa dua butir Kiu-thian-keng-giok-wan dan
berikan kepadanya.”
Bouw It-yu merasa ucapan ayahnya sedikit membias, tanpa
terasa timbul perasaan curiga di hatinya.
"Jangan-jangan ayah masih menyembunyikan sesuatu
kepadaku?" demikian dia berpikir.
Tapi di luaran dia segera mengiakan, disusul bertanya lagi,
"Apakah ayah masih ada perintah lain?"
"Sudah tidak ada lagi. Aaaah, benar, sewaktu keluar nanti,
sekalian suruh mereka memanggil Hian-tong untuk segera bertemu
aku.”
Hian-tong adalah seorang Tojin yang mengurusi urusan
kebersihan dalam kuil Cing-siu-koan.
Bouw It-yu tidak salah menduga, ayahnya memang
merahasiakan sesuatu darinya.
Sejak Tojin bisu tuli menampakkan jati diri aslinya, Bu-beng
Cinjin sudah tahu kalau manusia berkerudung yang dijumpai Bouw
It-yu sewaktu di Liauw-tong tidak lain adalah dirinya.
Tapi semalam Tong Ji-sianseng lagi-lagi memberi kisikan
kepadanya, lalu Tojin bisu tuli sebenarnya seorang sahabat ataukah
musuh?
Di samping itu ada satu hal lagi yang membuat Bu-beng Cinjin
tidak habis mengerti. Kenapa Tojin bisu tuli dapat meninggalkan Butong
selama satu bulanan tanpa diketahui siapa pun?
Ooo)*(ooO
Dalam ruang kamar dirumah yang didirikan dalam kompleks
pemakaman, kini hanya tersisa Keng Giok-keng serta ayah
angkatnya Put-ji Tojin.


Cicinya, Lan Sui-leng telah pulang rumah menjelang fajar tadi.
Put-ji seolah sedang bermimpi buruk, tiba-tiba Dia menjerit
keras, "Bukan aku.... bukan aku....”
Napasnya tersengkal dan memburu, otot hijau pada keningnya
pada merongkol semua.
Buru-buru Keng Giok-keng menempelkan telapak tangannya
pada jalan darah Hong-hu-hiat dan membantunya menyalurkan
tenaga dalam, tidak lama kemudian Put-ji tersadar dari tidurnya.
Begitu membuka mata dan melihat Keng Giok-keng duduk
disisinya, dia seakan lupa kalau pemuda itu menjaganya terus
selama ini, seakan sadar tidak sadar teriaknya, "Percayalah padaku,
kau harus percaya padaku, bukan aku, bukan aku, bukan aku!"
"Gihu, tentu saja aku percaya padamu,” jawab Keng Giok-keng
sambil menggelengkan kepalanya, "sejak semalam aku telah
percaya padamu. Cici pun telah berkata padaku, yang membunuh
ayah ibu asuhku adalah Tong Ji-sianseng, bukan kau!"
"Keng-ji, kau.... apa kau bilang?"
"Pembunuhnya bukan kau, aku sudah tahu!"
"Apa? Kau.... kau sudah tahu?"
Keng Giok-keng merasakan hatinya kecut bercampur sakit,
sahutnya, "Gihu, masa kau telah melupakan semua peristiwa yang
baru terjadi semalam? Betul, pada awalnya aku curiga kaulah
pembunuh ayah ibu asuhku, tapi kemudian semuanya telah menjadi
jelas.”
"Bukan peristiwa semalam yang kumaksudkan!"
"Aku tahu, kau telah salah membunuh ayahku,” ucap Keng Giokkeng
dengan pedih, "tapi kini akupun tidak menyalahkan kau.
Sudahlah, tidak usah diungkit lagi!"
"Yang kumaksud pun bukan persoalan ini!" kembali Put-ji
menggeleng.


Keng Giok-keng tertegun, tanyanya kemudian, "Lantas persoalan
apa yang kau maksudkan?"
Put-ji Tojin menghirup napas dalam dalam, kemudian sahutnya,
"Yang kumaksud adalah kasus pembunuhan atas kakek luarmu,
yaitu guruku sendiri, Ji-ou Thayhiap Ho Ki-bu!"
Keng Giok-keng tahu kasus pembunuhan ini merupakan sebuah
kasus yang maha besar, maka dia hanya berseru tertahan dan tidak
berani menyela.
"Dalam kasus pembunuhan ini, ternyata sampai Ciangbun-Cinjin
pun menaruh curiga kalau akulah pembunuhnya!" ujar Put-ji Tojin
lebih lanjut.
"Tidak, aku mengetahui maksud tujuan Ciangbun-Cinjin,” sela
Keng Giok-keng cepat, "dia kuatir kau mengambil jalan pendek,
sehingga mengingatkan kepadamu bahwa tanggung jawab
menyingkap siapakah pembunuh yang sebenarnya berada
dipundakmu!"
Semangat Put-ji nampak jauh lebih segar, diapun mengangguk.
"Aku tahu akan hal ini. Tapi terus terang saja, terhadap
Ciangbun-Cinjin pun aku tidak berani kelewat percaya. Aku hanya
bisa mempercayai dirimu seorang!"
"Baiklah, kalau begitu katakan saja kepadaku!"
"Ketika Ciangbun-Cinjin menanyakan kepadaku kejadian
sebenarnya waktu itu, ada satu hal sengaja aku rahasiakan.
Sesungguhnya ketika suhu terbunuh malam itu, aku pernah singgah
sebentar di rumah!"
"Aaaah!" Keng Giok-keng menjerit tertahan, "lantas Gihu, apa
yang kau saksikan? Aku tetap yakin bukan kau pembunuhnya!"
"Terima kasih banyak," sekulum senyuman akhirnya tersungging
di bibirnya.
Maka diapun mengisahkan semua yang dilihat dan di dengar
pada malam kejadian.


"Sewaktu aku pulang ke rumah, kebetulan saat itu sang
pembunuh sedang melarikan diri. Sesaat sebelum menemui ajalnya
suhu sempat mengumpat, “Binatang!" aku turut mendengar
umpatan itu dengan jelas sekali.”
Keng Giok-keng merasa hatinya tercekat, umpatan "binatang"
biasanya hanya digunakan seorang ayah yang sedang mengumpat
putranya, atau seorang guru sedang memaki muridnya!
Lantas siapakah pembunuh itu? Kalau bukan Gihu,
mungkinkah.... mungkinkah....
Tampaknya Put-ji Tojin seakan mengerti jalan pemikirannya,
ujarnya lagi, "Tidak heran kalau suhu memaki pembunuh itu sebagai
binatang, ternyata pembunuh yang melarikan diri itu memiliki raut
wajah yang pada hakekatnya mirip sekali dengan aku! Bahkan
bayangan punggungnya mirip sekali dengan ayahmu!"
Keng Giok-keng tertegun, lewat berapa saat kemudian dia baru
mendesah, "Aaah, ternyata ada kejadian seperti ini!"
Berbicara sampai disini, diatas wajah Put-ji kembali muncul
perasaan menderita dan tersiksa yang luar biasa, sambil memukul
dada sendiri serunya, "Aku memang pantas mati, suhu telah
memberi budi kebaikan yang tinggi bagai bukit kepadaku, tapi aku
tidak berani menampilkan diri untuk berduel melawan pembunuh
guruku. Waktu itu aku benar-benar ketakutan, saking takutnya
hingga bersembunyi di tempat kegelapan, jangan lagi melakukan
penyerangan, bernapas lebih keras pun tidak berani, aku kuatir
tempat persembunyianku ketahuan pembunuh itu.”
"Pembunuh itu memiliki ilmu silat yang jauh lebih hebat
ketimbang dirimu, seandainya kau tampilkan diri waktu itu, paling
juga menghantar selembar nyawa dengan percuma.”
"Aku bukan hanya takut mampus, akupun seorang siaujin yang
rendah dan tidak tahu malu. Dalam situasi yang demikian penting
dan kritis, aku hanya memikirkan keselamatan dan kepentingan
pribadi.”


Baru saja Keng Giok-keng hendak membujuknya agar tidak
kelewat menyalahkan diri sendiri, terdengar Put-ji Tojin telah
melanjutkan kata katanya, "Gerakan tubuh pembunuh itu sangat
cepat, dalam waktu singkat dia sudah kabur dengan melewati
dinding pekarangan, aku sempat mendengar suara langkah Ho
Liang yang berlari masuk ke dalam kamar tidur suhu, sebenarnya
saat itu seharusnya aku ikut masuk, tapi aku tidak berani
menampilkan diri karena khawatir suhu yang telah terluka parah
dan sekarat akan menganggap akulah sang pembunuh. Bisa jadi
kalau bertemu aku lagi, beliau akan mati karena jengkel dan marah.
Atau mungkin juga begitu bertemu dia akan langsung mencaci maki
diriku dan tidak memberi kesempatan untuk melakukan pembelaan.
Seandainya gara-gara itu beliau sampai mati, sudah jelas kecurigaan
itu akan ditimpakan atas namaku, sampai waktunya biar aku
mencebur ke dalam Huang-ho pun tidak bakalan bisa mencuci
bersih tuduhan itu.”
Kini Keng Giok-keng baru tahu apa sebabnya Put-ji sangat
menyesali perbuatannya dan memaki diri sendiri, dia berpendapat
ayah angkatnya memang kelewat egois, kelewat kecil nyalinya,
memang tidak sepatutnya dia bersikap begitu.
Setelah tertawa getir kembali Put-ji berkata, "Keng-ji, aku telah
menceritakan semua rahasia hatiku yang paling memalukan
kepadamu, seandainya lantaran ini kau akan membunuhku pun aku
akan mati dengan pasrah! Aku memang selalu cemburu dan iri
kepada ayahmu, khususnya setelah dia merebut sumoy dari
tanganku, rasa benciku kepadanya nyaris merasuk sampai tulang
sumsum. Waktu itu, mungkin saja karena pandangan negatipku
terhadapnya, aku memang mencurigai pembunuh suhu adalah
ayahmu, aku pun "berharap" pembunuh itu benar-benar adalah
ayahmu!"
Secara lamat-lamat Keng Giok-keng dapat merasakan "kata
bijaksana menjelang kematian seseorang", maka hiburnya
kemudian, "Peristiwa itupun sudah lewat banyak tahun, terlepas
apakah pikiranmu waktu itu salah atau benar, yang penting asal


mau mengakui kesalahan, hal ini sudah sangat baik. Seperti diriku,
sejak dilahirkan aku telah berhutang budi kepadamu, karenanya aku
tetap menganggap dirimu sebagai ayah angkatku, hanya saja....”
Put-ji Tojin segera menarik kembali senyuman yang menghiasi
bibirnya, buru-buru dia bertanya, “Hanya saja kenapa?"
"Hanya saja bila ingin mencurigai seseorang, paling tidak kau
harus mempunyai dasar pemikiran atau pertanda yang bisa
dibuktikan. Aku ingin tahu mengapa kau mencurigai ayahku.”
"Tidak kau tanyakan pun aku tetap akan beritahu kepadamu,
tahukah kau apa sebabnya malam itu aku sempat pulang ke
rumah?"
Sebelum Keng Giok-keng menjawab, dia telah menjelaskan lebih
jauh, "Karena baru saja aku mendapat sebuah kabar yang
mengatakan bahwa ayahmu telah menjadi mata-mata bangsa Boan
dan telah kembali dari luar perbatasan, bisa jadi besok sudah akan
tiba dirumah. Karena itulah aku buru-buru pulang ke rumah untuk
melaporkan kejadian ini kepada kakek luarmu.”
"Darimana kau dapatkan kabar itu?"
Paras muka Put-ji Tojin yang semula hijau pucat tiba-tiba
berubah jadi merah jengah, jelas dia merasa malu sekali. Tapi
akhirnya dia menjawab juga, "Siang Ngo-nio yang beritahu
kepadaku. Antara aku dengan dia memang terjalin hubungan yang
tidak seharusnya terjadi. Aku tahu perbuatannya tidak benar, tapi
akupun tahu kalau pergaulan perempuan itu sangat luas, beritanya
sangat tajam dan cepat, aku.... maka akupun mengambil sikap lebih
baik percaya atas kebenaran berita itu daripada tidak
mempercayainya. Aaah, tadi aku bercerita sampai mana?"
"Kau bercerita mendengar suara langkah Ho Liang yang berlari
masuk ke dalam kamar tidur kakek luarku.”
"Betul, pada saat itulah tiba-tiba Siang Ngo-nio muncul di
sampingku dan memberi tanda agar aku segera tinggalkan tempat
ini, maka aku pun seperti orang bodoh, mengikutinya pergi dari


sana.
"Ketika tiba di tempat yang sepi, dia berkata, untuk menghindari
kecurigaan orang maka cara yang terbaik adalah pulang ke rumah
pada esok hari, pulang sambil berlagak seolah sama sekali tidak
mengetahui akan kejadian ini. Bahkan dia beritahu lagi akan sebuah
berita terbaru, dia yakin ayahmu adalah murid durhaka yang telah
membunuh guru.”
"Berita terbaru apa lagi?"
"Dia mengatakan kalau ayahmu menyimpan sepucuk surat dari
Huo Bu-tuo. Huo Bu-tuo adalah pengawal pribadi Nurhaci Khan dari
bangsa Boan yang kini telah menyusup ke kotaraja dan berencana
untuk menjabat pangkat tinggi sehingga bisa menjadi matamatanya
bangsa Boan.
"Bila aku berhasil menggeledah surat itu dari saku ayahmu, maka
akan diperoleh tanda bukti atas semua kejahatannya.”
"Darimana Siang Ngo-nio bisa memperoleh kabar sejelas itu?"
tidak tahan Keng Giok-keng bertanya.
Kembali Put-ji menghela napas panjang.
"Saat itu aku hanya ingin menghabisi nyawa ayahmu, selain itu
diapun enggan menjelaskan sumber berita itu, maka aku pun tidak
mendesaknya lebih jauh!"
"Aku pernah bersua dengan Huo Bu-tuo,” kata Keng Giok-keng,
"kendatipun status dan kedudukannya sedikit agak rumit, namun dia
bukanlah mata-mata bangsa Boan. Hanya saja panjang sekali bila
harus diceritakan, di kemudian hari bila ada kesempatan akan
kuceritakan kepadamu. Gihu, aku ingin bertanya lagi, pernahkah
kau menaruh curiga bahwa Siang Ngo-nio adalah seorang matamata
bangsa Boan?"
"Selewat kejadian pada malam itu, aku mulai menaruh curiga,”
Put-ji Tojin melanjutkan, "keesokan harinya, aku bersama Ho Liang
berhasil bertemu dengan kedua orang tuamu di gunung Boan-liongsan.
Ehmm, aku harus memberitahukan satu hal kepadamu, aku


bukan bermaksud membantah atau mencari alasan, waktu aku
bertarung melawan ayahmu, betul ayahmu memang terluka di
ujung pedangku, padahal ilmu pedang yang dia miliki masih jauh
diatas kemampuan-ku, kematian yang menimpanya dikarenakan dia
sudah terkena jarum beracun dari Siang Ngo-nio!"
"Dalam hal ini sejak lama aku telah menduganya,” ucap Keng
Giok-keng sambil menggertak bibir.
Put-ji manggut-manggut, terusnya, "Surat itu tidak terjatuh ke
tanganku, meski aku memang pernah melihat dan membacanya.
Surat tadi ditemukan ibumu di dalam buntalan bajunya dan
diserahkan kepada ayahmu, kemudian setelah ayahmu meninggal,
entah mengapa surat itu hilang lenyap dengan begitu saja. Tapi
pada akhirnya aku berhasil membuktikan satu hal, ayahmu sudah
pasti bukan pembunuh yang menghabisi nyawa suhu!"
"Untunglah masalah ini sudah jelas!" bisik Keng Giok-keng sambil
menghembuskan napas lega.
"Sayang sekali yang jelas baru sedikit, masih banyak hal yang
tidak kupahami. Seingatku, belum pernah aku bermusuhan dengan
orang, aku tidak habis mengerti kenapa dia harus menyamar seperti
aku dan melimpahkan dosa ini kepadaku?"
"Aku rasa orang itu bukan berniat menfitnahmu, tapi ingin
mencelakai ayahku!"
"Maksudmu sejak awal orang itu sudah tahu kalau aku
mempunyai penyakit hati terhadap ayahmu sehing-ga dia sengaja
berbuat begini, agar aku mencurigai ayahmu lah yang melakukan
pembunuhan itu?"
Waktu itu Put-ji Tojin memang mempunyai perasaan curiga
seperti ini, karena itulah pada hari kedua dia "salah membunuh"
adik seperguruannya Keng King-si. Maka dia hanya membungkam
diri setelah mendengar ucapan itu.
Kembali Keng Giok-keng berkata, "Walaupun tidak sedikit orang
persilatan yang mengetahui ilmu menyaru muka, tapi yang paling


hebat dan sempurna penyamarannya adalah Tong Tiong-san si
bajingan tua itu serta Siang Ngo-nio yang telah memperoleh didikan
langsung darinya!"
"Kau mencurigai Siang Ngo-nio?"
"Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Siang Ngo-nio sangat
lihay, baru saja pembunuh itu lenyap dari pandangan, dengan cepat
dia telah muncul lagi di sampingmu, apa tidak mungkin dia balik lagi
setelah pergi?"
"Tapi orang itu bukan perempuan.”
"Bagi seseorang yang pandai ilmu menyaru muka, tidak susah
bagi seorang wanita untuk menyamar jadi lelaki, seandainya
penyamarannya sempurna pun bukan sesuatu yang aneh!"
"Tidak benar,” Put-ji tetap menggeleng.
"Kenapa tidak benar?"
"Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang itu sangat
istimewa, jauh berbeda dengan gerakan tubuh Siang Ngo-nio!"
Pengetahuan Keng Giok-keng tentang ilmu silat yang dimiliki
Siang Ngo-nio tentu saja tidak sepaham Put-ji Totiang, terpaksa dia
mempercayai ucapan itu.
Kembali Put-ji melanjutkan katanya, "Selama delapan belas tahun
terakhir aku selalu gagal menebak siapa gerangan orang itu, hingga
kemarin malam aku baru berhasil mendapatkan sebuah penemuan
baru, tapi hingga kini akupun belum berani mengungkap
identitasnya.”
"Gihu, apa yang berhasil kau temukan?" buru-buru Keng Giokkeng
bertanya.
"Semalam, sebelum kedatanganmu ada seseorang pernah
berkunjung kemari.”
"Siapa?"
"Tonghong Liang!"


Keng Giok-keng tertegun, berapa saat kemudian serunya, "Oooh,
ternyata Tonghong-toako pernah berkunjung kemari. Mengapa dia
tidak menunggu aku?"
"Waah, kalau soal itu mah aku kurang tahu. Saat itu dia sedang
bertarung melawan Ciangbunjin, mungkin mereka mengira aku
masih tidak sadarkan diri, padahal aku telah mendusin. Begitu
Tonghong Liang mendengar suara teriakanmu dari luar, dia segera
meloncat tembok dan kabur. Agaknya Ciangbunjin pun setuju untuk
melepaskan dia pergi, maka dia tambahi dengan sebuah pukulan,
pukulan itu merupakan tenaga untuk menghantarnya pergi lebih
cepat.”
"Tapi apa hubungannya antara kejadian ini dengan peristiwa
yang terjadi delapan belas tahun berselang? Apakah kau sangka....”
Tampaknya Put-ji Tojin sedang memikirkan sesuatu, tiba-tiba
ujarnya, "Dahulu, walaupun aku pernah bertarung dengan
Tonghong Liang, tapi belum pernah melihat dia memper gunakan
ilmu meringankan tubuhnya.”
"Kenapa dengan ilmu meringankan tubuhnya?"
"Gerakan tubuhnya sewaktu melompati pagar tembok persis
sama seperti gerakan tubuh sang pembunuh yang pernah
kusaksikan pada delapan belas tahun berselang!"
"Tonghong Liang adalah Piauko Seebun Yan, walaupun usianya
lebih tua dari Seebun Yan, namun paling banter juga baru mencapai
tiga puluh dua, tiga puluh tiga tahun, mana mungkin dia adalah
sang pembunuh?"
"Pemuda yang lahir di daerah utara kelihatan tinggi besar meski
usianya baru empat, lima belas tahunan. Waktu itu ayahmu juga
paling baru berusia dua puluh tahunan. Lagipula bukankah
perawakan tubuh Tonghong Liang sedikit agak mirip dengan
perawakan tubuhmu?"
Keng Giok-keng menggelengkan kepalanya berulang kali,
katanya, "Bagaimana pun juga aku tidak percaya seorang bocah


yang baru berusia empat, lima belas tahunan dapat melakukan
pembunuhan sekejam itu!"
"Akupun tidak berani memastikan kalau dialah pembunuhnya.
Tapi gerakan ilmu meringankan tubuhnya amat istimewa, sekalipun
sang pembunuh bukan dirinya, paling tidak pasti mempunyai
hubungan yang erat dengan dia.”
Biarpun Keng Giok-keng masih muda, namun jalan pikirannya
cukup cermat dan teliti, katanya, "Dengan perkataan lain, yang
dimaksud mem punyai hubungan yang erat itu bisa saja orang yang
pernah mewariskan ilmu silat kepadanya. Kalau bukan ayahnya,
berarti dia adalah gurunya....”
"Kecuali kedua orang itu masih ada seorang lagi,” tiba-tiba Put-ji
menyela.
Keng Giok-keng tertegun.
"Kau maksudkan bibinya, Seebun-hujin? Tidak benar, tidak
benar, pasti bukan dia!"
Put-ji tidak membantah, sebaliknya berkata lagi, "Bisa jadi
pembunuh itu adalah saudara seperguruannya, hanya sayang kita
semua belum mengetahui akan hal ini, anak Keng, kau.... kau....”
Tiba-tiba dia tidak mampu berbicara lagi.
"Gihu, kenapa kau?" teriak Keng Giok-keng. Tiba tiba dia
menjumpai darah segar menyembur keluar dari tenggorokannya.
Put-ji Tojin telah mati. Dia mati dibokong orang dan mati seketika
tanpa sempat meninggalkan pesan apa apa. Sekalipun tidak dapat
berbicara, sesaat sebelum meninggal jari tangannya sempat
dijulurkan keluar, menuding ke arah jendela.
"Betul,” pikir Keng Giok-keng, "aku harus balaskan dendam
kematian gihu!"
Tanpa berpikir panjang dia segera menerobos keluar melalui
jendela dan melakukan pengejaran.


Kompleks pemakaman itu dibangun di bawah tebing Ci-siauhong,
sewaktu menyusul keluar kompleks kuburan, terlihat sesosok
bayangan manusia sedang berlarian naik tebing. Jika dilihat dari
kemampuan ilmu meringankan tubuhnya, jelas kemampuan orang
itu masih diatasnya dan tidak mungkin berada dibawahnya.
Bayangan manusia itu berbelok di sebuah tebing, bukannya
berlari naik ke atas puncak Ci-siau-kiong sebaliknya malah berputar
menuju ke sebuah puncak bukit disisi Ci-siau-hong. Puncak gunung
itu belum pernah dijamah orang, keadaan medannya jauh lebih
berbahaya ketimbang Ci-siau-hong.
Keng Giok-keng tahu bahwa kemampuannya tidak mungkin bisa
menyusul orang itu, tapi dia bersikeras untuk tetap melakukan
pengejaran.
Entah karena kehendak Thian atau kehendak orang itu, tiba-tiba
terjadi satu peristiwa aneh.
Entah mengapa, tiba-tiba orang itu menghentikan larinya,
memasang telinga dan seakan sedang mendengarkan sesuatu.
Dia berdiri membelakangi Keng Giok-keng sehingga pemuda itu
tidak dapat melihat perubahan mimik mukanya, tampak dia
berkelebat cepat lalu tubuhnya lenyap di belakang sebuah batuan
cadas.
Di pandang dari kejauhan, batu raksasa itu seolah menyatu,
padahal merupakan dua batu yang berdiri sejajar, di antara dua
batu itu terdapat sebuah celah yang bisa digunakan untuk
menyembunyikan diri.
Biarpun Keng Giok-keng tidak dapat menyaksikan mimik
mukanya, tapi dari gerak-gerik orang itu dapat diduga bahwa dia
telah menemukan jejak musuh, karena itu sengaja
menyembunyikan diri di tempat kegelapan sambil menunggu
kesempatan untuk melan-carkan gempuran.
Keng Giok-keng merasa sedikit keheranan, pikirnya, 'Bila dia
merasa ada orang yang menguntilnya, dengan bersembunyi


semacam ini jelas tidak mungkin dia bisa mengelabuhi tatapan mata
orang yang menguntil di belakangnya. Mungkinkah masih ada orang
lain yang bersembunyi di sekitarnya, atau mungkin dia hanya di
permainkan perasaan sendiri?"
Namun dalam keadaan begini Keng Giok-keng tidak sempat lagi
untuk berpikir panjang, dia segera mengerahkan seluruh
kemampuan ilmu meringankan tubuhnya dan menerjang ke arah
tempat persembunyian orang itu.
Ketika jaraknya mencapai tiga puluhan langkah, tiba-tiba
terdengar orang itu membentak nyaring, “Kena!"
Segenggam hancuran batu ditimpuk ke depan.
Tapi anehnya, segenggam batu yang pertama dilemparkan ke
arah depan, di antara hujan batu yang kencang, tidak terlihat
sesosok bayangan manusia pun yang muncul, baru pada lemparan
ke dua, dia menyambit ke arah Keng Giok-keng yang sementara itu
telah menerjang tiba.
Keng Giok-keng memang sudah membuat persiapan, dengan
jurus "Hun-yong-hong-huan" (Awan berkumpul angin berputar),
gerakan pedangnya menciptakan lingkaran gelang yang rapat untuk
mementalkan semua hancuran batu itu.
"Triiing, traaang.... , triiiing, traaang....” bunyi dentingan
bagaikan permainan kecapi bergema memecahkan keheningan.
Kendatipun Keng Giok-keng berhasil menyapu runtuh bebatuan
yang terarah ke tubuhnya, tidak urung pergelangan tangannya
terasa linu dan kesemutan karena benturan itu.
Orang itu menghancurkan lebih dulu batu cadas menjadi
hancuran kerikil sebelum disambit ke arahnya, dari sini dapat
diketahui betapa sempurnanya tenaga dalam yang dimiliki orang itu.
Andaikata belakangan tenaga dalam yang dimiliki Keng Giok-keng
tidak mengalami kemajuan pesat, jangankan bertarung melawan
orang itu, cukup sambitan batu kerikil itupun mungkin sudah
membuat seluruh tubuhnya babak belur.


Mendadak orang itu sudah muncul tepat di hadapannya.
Di luar dugaan Keng Giok-keng, ternyata orang ini tidak lain
adalah manusia berkerudung yang pernah dijumpai di kota Uh-sahtin
tempo hari.
Tampaknya manusia berkerudung itupun agak tertegun setelah
mengetahui yang muncul adalah Keng Giok-keng, setelah
mendengus, bentaknya, "Kau si bocah muda, mau apa datang
kemari? Cari mampus? Cepat menggelinding pergi dari sini!"
Suaranya kering dan tajam, amat menusuk pendengaran.
Hawa amarah dalam dada Keng Giok-keng seketika meluap,
bentaknya, "Ketika berada di luar perbatasan, kau telah mencelakai
Hwee-ko Thaysu hingga kehilangan nyawa, sekarang kaupun telah
mencelakai pula ayah angkatku. Hmm! Meski harus pertaruhkan
nyawa, aku akan mengajakmu beradu jiwa!"
Di tengah makian, sebuah tusukan langsung dilontarkan ke
depan. Dibalik tusukan ini terselip jurus pamungkas, kedahsyatan
dan ketelengasannya benar-benar luar biasa.
Ternyata manusia berkerudung itu sama sekali tidak menghindar
atau berkelit, dia bahkan berusaha merebut pedang lawan.
Tiba-tiba Keng Giok-keng mengubah gerak serangannya sambil
membabat miring ke samping, dalam dugaannya paling tidak dia
akan berhasil memapas kutung ke dua jari tangannya.
Siapa sangka ilmu tangan kosong yang dimiliki orang itu sungguh
luar biasa, dalam waktu singkat dia telah merubah serangannya
menjadi ilmu menotok jalan darah, empat jari tangannya menekuk,
hanya jari tengahnya digunakan untuk menotok jalan darah Kwangoan-
hiat di tubuh anak muda itu.
Pertarungan antara jago lihay, seringkali selisihnya hanya
sedetik, begitu ke empat jari tangannya ditekuk, secara kebetulan
sekali dia sudah menghindari tebasan pedang lawan. Namun jari
tengahnya tetap melanjutkan ancaman menotok urat nadi Keng
Giok-keng.


Dalam situasi yang kritis, tiba-tiba Keng Giok-keng merendahkan
tubuhnya, ujung pedang dicongkel mengancam lambung lawan.
Semula manusia berkerudung itu menyangka jurus serangannya
sudah terlanjur tua, tidak nyana ternyata dia masih memiliki
kekuatan untuk berubah arah, dalam keadan seperti ini, bila
manusia berkerudung itu masih melanjutkan tekanannya, jelas
kedua belah pihak sama-sama akan terluka parah.
Terpaksa manusia berkerudung itu menarik dada dan
lambungnya ke belakang untuk menghindari dulu tusukan tersebut.
Pertarungan antara dua jago tangguh, selisihnya hanya dalam
hitungan detik, hanya selisih sedikit saja ujung pedang Keng Giokkeng
mengenai sasaran kosong, jangan lagi melukai tubuh lawan,
menyentuh pakaiannya pun tidak mampu.
Tapi oleh karena manusia berkerudung itu harus menarik perut
dan dadanya ke belakang, tubuhnya jadi menyusut berapa inci,
dengan sendirinya totokan ujung jarinya pun gagal menyentuh jalan
darah Keng Giok-keng.
Di tengah deruan angin pukulan bayangan pedang, mendadak
tubuh mereka berdua dari bergabung menjadi berpisah. Sekilas
pandang kedua belah pihak sama-sama tidak menderita kerugian,
tapi Keng Giok-keng merasakan urat nadinya lamat-lamat terasa
panas dan pedas.
Peru diketahui, tenaga dalam yang dimiliki manusia berkerudung
itu amat sempurna, sekalipun ujung jarinya tidak sampai mengenai
jalan darahnya, namun tenaga serangan yang terpancar sudah
cukup membuat pergelangan tangannya jadi linu dan kaku.
Keng Giok-keng menarik napas pajang, pedangnya kembali
berputar melancarkan serangkaian ancaman kilat. Bagaikan air
raksa yang tersebar di tanah, hampir setiap pori-pori yang ada
disusupi dengan cepat, namun tidak mengurangi kelincahan serta
keindahan gerakannya.
Apabila manusia berkerudung itu tidak dapat membunuhnya


dalam sekali pukulan, boleh dibilang dia benar-benar tidak akan
berani mendekati anak muda itu.
Sekalipun manusia berkerudung itu yakin kemenangan berada
dipihaknya, tidak urung tercekat juga perasaan hatinya.
"Baru berpisah berapa bulan, ternyata ilmu pedang yang dimiliki
bocah ini telah mencapai kemajuan yang amat pesat, bila sekarang
aku tidak membunuhnya, di kemudian hari pasti akan merupakan
bibit bencana! Aaai, tapi aku melihatnya tumbuh hingga dewasa,
apakah tega turun tangan keji kepadanya?"
Begitu sedikit dia pecah perhatian, terdengar "Sreeet....!" ujung
baju manusia berkerudung itu sudah tersambar ujung pedang
hingga robek sebagian.
Manusia berkerudung itu menggigitbibir, pikirnya, 'Bila aku
melayani terus pertarungan ini, takutnya masih ada musuh tangguh
lain yang sedang mengincar dari samping, sudah, sudahlah, kalau
tidak berjiwa besar memang bukan seorang Kuncu, kalau tidak keji
bukan lelaki sejati, terpaksa aku harus menghantar setan cilik ini
menghadap raja akhirat!'
Begitu napsu membunuhnya muncul, secepat kilat dia lepaskan
dua bacokan kilat lalu mundur tiga langkah.
Kali ini dia mengandalkan kesempurnaan tenaga dalamnya untuk
memaksa mundur lawan. Pukulan pukulan udara kosongnya sudah
lebih dari cukup untuk membendung serangan lawan, dia tinggal
menunggu hingga kekuatan lawan mulai lemah, maka dari jurus
tipuan diapun akan mengubah jadi jurus benaran dan mencabut
nyawanya.
Dalam waktu singkat Keng Giok-keng merasakan napasnya mulai
sesak tidak lancar. Mendadak dia teringat dengan Sim-hoat ajaran
Sucouwwnya, "Biarkan bukit Thay-san datang menindih, aku anggap
bagaikan hembusan angin sejuk!"
Kemudian dia teringat pula dengan ajaran "koki menjagal sapi"
yang dijelaskan artinya oleh Hwee-ko Thaysu sewaktu terkurung


dalam penjara batu lembah Toan-hun-kok.
Begitu teringat akan semua teori tersebut, Keng Giok-keng
segera memusatkan seluruh perhatiannya ke satu titik, dalam
tatapan matanya saat ini tinggal sepasang telapak tangan dari
manusia berkerudung itu.
Ilmu pedangnya mengalami pula kemajuan satu tingkat, dia
seakan bukan menggunakan tangan untuk memegang pedang tapi
menggunakan hatinya, mengikuti setiap perubahan dari lawan, dia
hadapi menuruti suara hati, menyerang lewat celah-celah yang
muncul dan berusaha mendahului lawannya.
Dengan begitu dia tidak perlu mengeluarkan lebih banyak tenaga
lagi untuk melancarkan serangannya, sementara tehnik
"pemborosan" tenaga yang dipakai manusia berkerudung itu pun
tidak memberikan manfaat lagi.
Biarpun tenaga dalam yang dimiliki manusia berkerudung itu
amat sempurna, namun dalam pertarungan seru ini, banyak tenaga
yang harus dihamburkan, dalam kondisi seperti ini bila pertarungan
dilanjutkan, menang kalah jadi sukar diramalkan.
Agaknya manusia berkerudung itu dapat melihat bahaya yang
mengancam, dia segera mengeluarkan jurus tangguh untuk segera
menyelesaikan pertarungan.
Semua pembahan terjadi dalam waktu singkat, sepasang
tangannya telah menciptakan rangkaian lingkaran demi lingkaran,
dari ilmu pukulan pun kini telah berubah jadi ilmu pedang.
Mimpi pun Keng Giok-keng tidak menyangka kalau manusia
berkerudung itu dapat menggunakan telapak tangannya sebagai
pengganti pedang untuk memainkan Thay-kek-kiam-hoat, bahkan
yang dia gunakan adalah jurus serangan yang khusus untuk
mematahkan jurus Pek-hong-koan-jit (bianglala putih menembus
sang surya) yang sedang dia pergunakan sekarang.
Dalam situasi kritis, Keng Giok-keng segera mengeluarkan jurus
pemecahan yang baru saja diperoleh dari pemahaman, tampak


ujung pedangnya bergetar keras, tiba-tiba muncul tujuh kuntum
bunga pedang, dari jurus Pek-hong-koan-jit tiba-tiba berubah jadi
jurus Jit-seng-pan-gwee (tujuh bintang mendam-pingi rembulan).
Dalam waktu singkat tujuh buah jalan darah kematian di tubuh
manusia berkerudung itu terserang secara berbarengan, andaikata
dia tetap bersikeras hendak merebut pedangnya, niscaya ada
berapa lubang tusukan yang akan muncul ditubuhnya.
Jurus serangan balasan yang dipergunakan Keng Giok-keng saat
ini boleh dibilang tercipta mengikuti keadaan, dan seharusnya telah
menembusi tingkat pemahaman ilmu pedang paling tinggi, siapa
sangka perubahan tersebut seolah-olah telah berada dalam
perhitungan manusia berkerudung itu.
Gerakan yang dilakukan kedua belah pihak sama sama cepat luar
biasa, nyaris pada saat bersamaan mereka berubah jurus.
Sepasang tangan manusia berkerudung itu mengguratkan garis
lingkaran yang berlapis, belum sampai lingkaran itu menyatu, dia
telah memutar tubuhnya ke arah lain.
Tidak butuh bantuan tangannya, dengan jurus Kim-can-to-ke
(tonggeret emas keluar dari kepompong) tahu-tahu dia telah
melepaskan jubah luarnya dan dilontarkan ke tengah udara. Jubah
itu langsung mengembang dan ibarat selapis awan gelap langsung
mengurung batok kepala Keng Giok-keng.
Cahaya pedang Keng Giok-keng berkelebat dan menari di
angkasa, diantara kilatan cahaya tajam, jubah luar milik manusia
berkerudung itu sudah tercabik cabik menjadi berkuntum kupu kupu
yang menyebar ke mana mana.
Tapi dalam sekejap itu juga, lantaran sinar mata Keng Giok-keng
tertutup oleh "awan gelap", maka dia pun tidak dapat melihat jelas
perubahan jurus serangan dari lawannya.
Manusia berkerudung itu segera manfaatkan kesempatan emas
itu dengan sebaik-baiknya, sebuah pukulan yang enteng langsung
dilontarkan ke tubuh Keng Giok-keng. Serangan itu tanpa suara


tanda pertanda, tahu-tahu meluruk tiba dengan kecepatan tinggi
bahkan disertai tenaga dalam yang luar biasa.
Tampaknya Keng Giok-keng segera akan terluka oleh serangan
maut itu....
Mendadak manusia berkerudung itu teringat kembali dengan
pemandangan di saat Keng Giok-keng masih kecil, terbayang
bagaimana dia main bersama bocah itu. Apalagi dalam
kehidupannya yang begitu panjang di atas gunung Bu-tong,
perasaan hatinya betul betul kesepian, kecuali Bu-siang Cinjin, boleh
dibilang hanya bocah ini yang paling akrab dengan dirinya.
"Aaaai, kenapa aku berbuat begini? Sekalipun tidak mengingat
budi kebaikan Bu-siang Cinjin selama ini kepadaku, akupun tidak
boleh menghancurkan kehidupannya!"
Serangan itu sebenarnya bisa menghajar Keng Giok-keng hingga
mampus atau paling tidak terluka parah, begitu ingatan tadi
melintas, dia segera menarik kembali tenaganya sebesar tujuh
bagian, maksudnya pukulan itu cukup menghajar Keng Giok-keng
hingga pingsan saja.
Siapa sangka kemajuan tenaga dalam yang dicapai Keng Giokkeng
jauh di luar dugaannya, terdengar bocah itu menjerit tertahan,
langkah kakinya gontai namun tidak sampai roboh terjungkal.
Pada saat itulah ujung pedang Keng Giok-keng memancarkan
cahaya kehijau hijauan dan tahu-tahu sudah menusuk ke hadapan
wajahnya.
Tapi pada detik terakhir untuk menentukan mati hidup ini,
ingatan Keng Giok-keng pun berputar cepat dan tidak mampu
mengambil keputusan.... dia tidak tahu haruskah membunuh
dirinya? Atau tidak membunuhnya?
Dia sudah pernah merasakan kelihayan manusia berkerudung itu.
Ketika manusia berkerudung itu mengampuni jiwanya tadi, dia
bukannya tidak tahu.
Sama keadaannya seperti ketika dia bertarung melawan manusia


berkerudung itu di kota Uh-sah-tih, saat itupun dia pernah
mengampuni jiwanya.
Itu berarti bukan hanya satu kali manusia berkerudung itu
mengampuni jiwanya, melainkan untuk kedua kalinya.
"Dia mempunyai dua kesempatan untuk membunuhku tapi tidak
dia lakukan, mana boleh kucabut nyawanya?"
"Tapi dendam kematian Gihu tidak boleh dibiarkan begitu saja,
apalagi masih di tambah nyawa Hwee-ko Thaysu, apakah mereka
harus kehilangan nyawa dengan sia-sia?"
Sementara ingatan itu masih melintas, Sreeet! Pedangnya telah
menyambar di wajah manusia berkerudung itu.
Hanya saja babatan pedangnya dilakukan ringan sekali, paling
hanya merobek kain kerudung mukanya dan sama sekali tidak
melukai kulit wajahnya.
"Hmm, akan kulihat siapakah....”
Belum habis pikiran itu melintas, Keng Giok-keng telah berdiri
terperangah.
Dia telah menyaksikan paras muka sesungguhnya dari manusia
berkerudung itu.
Mimpi pun dia tidak menyangka kalau manusia berkerudung itu
tidak lain adalah Tojin bisu tuli yang selama ini melayani Bu-siang
Cinjin (Gb 17).
Dia tidak mengira orang ini adalah orang yang nyaris setiap hari
bertemu dengannya selama belasan tahun terakhir.
Kini dia baru tahu kalau tubuh bongkok Tojin bisu tuli, mimik
muka bloon dan gerak-geriknya yang lamban hanya pura-pura saja.
Tapi kini, setelah kain kerudung muka Tojin bisu tuli tersingkap,
tiba-tiba saja gerak-gerik tosu itu balik kembali seperti sedia kala.
"Ternyata kau!" jerit Keng Giok-keng.


Tojin "bisu tuli" tertawa getir.
"Giok-keng, kau telah menyia-nyiakan kesempatan baik untuk
membunuhku, jangan salahkan bila aku akan melakukan kesalahan
terhadapmu!"
Begitu ucapan terakhir diutarakan, telapak tangannya telah
bergerak cepat.
Waktu itu Keng Giok-keng masih berdiri terperangah, rasa
bingung dan kalut menyelimuti benaknya, kontan saja pukulan itu
membuatnya roboh tidak sadarkan diri. Tidak jelas apakah dia
masih hidup atau telah mati.
Ooo)*(ooO
Prosesi pemakaman segera akan dimulai, para pelayat dengan
teratur telah memasuki kompleks pekuburan.
Peti mati Bu-siang Cinjin digotong oleh delapan orang kekar,
empat orang adalah murid pertama dari Bu-tong-pay, sementara
empat orang yang lain adalah sahabat karib Bu-siang Cinjin di saat
masih hidupnya dulu.
Komandan upacara tentu saja dipimpin langsung oleh
Ciangbunjin baru, Bu-beng Cinjin.
Tengah hari telah menjelang, sudah saatnya peti jenasah Busiang
Cinjin masuk liang kubur.
Bu-beng Cinjin pun segera membaca doa, "Bila kemampuan telah
terlupakan, bila napsu dan angkara murka telah terhapus, jagad
raya tiada wujud, semuanya kembali pada kehampaan, melepaskan
diri dari kulit kasar, kembali ke nirwana tanah ketenangan!"
Baru saja ke empat murid Bu-tong-pay peng-gotong peti mati itu
hendak menurunkan peti jenasah ke dalam liang kubur, tiba-tiba
terdengar seseorang berteriak keras, "Tunggu sebentar!"
Bersamaan dengan suara bentakan, terlihat seorang lelaki
berusia lima puluh tahunan, berbaju warna abu-abu telah
menghadang di depan peti mati.


Ooo)*(ooO
BAB XVIII
Mati hidup bagai impian
Budi dendam terselesaikan.
Ke empat murid Bu-tong-pay yang bertugas menggotong peti
mati adalah Put-po, Put-yi, Put-yu dan Put-kan. Mereka berempat
merupakan murid angkatan kedua partai Bu-tong dari angkatan
"Put" yang memiliki kepandaian silat paling menonjol, terutama Putpo
Tojin Put-po adalah murid pertama Bu-kek Tojin, ketua Tianglo
yang telah meninggal, selain ilmu pedangnya hebat, tenaga
dalamnya sempurna, kemampuannya sama sekali tidak kalah
dibandingkan kemampuan para susioknya dari angkatan "Bu".
Namun tenaga dorongan yang dipergunakan manusia berbaju
abu-abu itu untuk menahan peti mati tersebut sangat hebat, bukan
dilawan dengan kekerasan tapi justru meminjam tenaga lawan.
Sementara ke empat orang murid itu maju melangkah ke depan,
tahu-tahu peti mati itu sudah dia letakkan ke tanah.
Manusia berbaju abu-abu itu segera menjatuhkan diri berlutut,
sambil membenturkan keningnya di ujung peti mati, serunya diiringi
isak tangis yang sedih, "Cinjin, aku datang terlambat!"
Sebetulnya put-po hendak mengumbar amarahnya, tapi setelah
menyaksikan orang itu melakukan penghormatan besar, bahkan
penampilannya begitu sedih, tentu saja dia jadi tidak dapat menegur
dengan nada kasar.
Ke empat orang murid itu tidak tahu apa hubung-an manusia
berbaju abu-abu itu dengan Bu-siang Cinjin, untuk sesaat tidak
seorang pun berani bersuara.
Tapi pada saat itulah ada seorang "orang luar" justru menegur


dengan nada kasar, "Siang Thian-beng, apa maksudmu
menghalangi upacara penguburan? Kalau memang hebat, tunggu
saja setelah selesai penguburan, aku orang she-Kok pasti akan
menantangmu untuk berduel!"
Kalau dibilang dia adalah "orang luar", sesungguh nya dia bukan
"orang luar".
Ternyata orang yang barusan berbicara tidak lain adalah jagoan
pedang yang tersohor sebagai "Dewa pedang", orang menyebutnya
Pa-san-kiam-kek (jago pedang dari gunung Pa-san) Kok Thiat-ceng.
Dia adalah sahabat karib Bu-siang Cinjin semasa hidupnya, dan
tidak lain adalah salah satu diantara empat orang kenamaan yang
ikut menggotong peti jenasah Bu-siang Cinjin tadi.
Tampilnya Kok Thiat-ceng sambil memberi teguran sudah cukup
menarik perhatian semua hadirin, apalagi sesudah dia menyebutkan
nama manusia berbaju abu-abu itu, seketika itu juga suasana jadi
gempar.
Yang membuat orang-orang yang hadir terkesiap adalah nama
Siang Thian-beng yang belakangan sudah menjadi jago pedang
paling top di kolong langit.
Dia baru berusia empat puluh tahunan, begitu muncul dalam
dunia persilatan, dia langsung berhasil mengalahkan si dewa pedang
Kok Thiat-ceng sehingga merebut julukan sebagai Rasul pedang.
Tapi berhubung dia amat jarang berkelana di daratan Tionggoan,
maka tidak banyak kawanan jago yang hadir mengenalinya.
Tanpa melirik sekejap pun ke arah Kok Thiat-ceng, jengek Siang
Thian-beng hambar, "Bukankah kita sudah pernah bertanding?"
Kontan saja api amarah berkobar di rongga dada Kok Thiantceng,
teriaknya, "Itu kejadian sepuluh tahun berselang, sepuluh
tahun yang lalu secara beruntung kau berhasil mengungguli aku
satu jurus, kenapa? Tidak sudi bertanding pedang lagi denganku?"
"Aku tidak bermaksud begitu, oleh karena aku punya janji


terlebih dulu maka hari ini aku tidak bisa melayani tantanganmu
itu.”
"Ada janji? Janji dengan siapa?"
"Janji dengan Bu-siang Cinjin.”
Kembali Kok Thiat-ceng mendengus.
"Siang-sianseng, bukannya kau sedang bergurau?" tegurnya.
"Ciangbunjin dari Bu-tong-pay tentu tidak akan menganggap aku
sedang bergurau,” sahut Siang Thian-beng tenang.
Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya, “Tiga puluh tujuh
tahun berselang, aku pernah mengikuti guruku, Hian Tin-cu naik ke
gunung Bu-tong untuk minta pengajaran, saat itu usiaku masih
kecil, tapi Bu-siang Cinjin pernah berjanji kepadaku, bila aku
berhasil melatih ilmu silatku, terlepas kapan pun waktunya, aku
boleh mencarinya untuk beradu pedang. Janji itu tidak dibatasi
waktunya!"
"Janji memang tiada batasan waktu, sayang usia manusia ada
batasnya,” kata Bu-beng Cinjin, "seperti apa yang kau katakan tadi,
kau datang terlambat.”
"Benar,” kata Pun-bu Thaysu pula dari kerumunan para tamu,
"orang yang telah mati tidak bisa hidup kembali, Sicu, tentunya
tidak mungkin kau akan menarik Bu-siang Cinjin dari dalam peti
matinya untuk beradu pedang denganmu bukan!"
Pun-bu Thaysu adalah ketua ruang Tat-mo dari biara Siau-lim, di
antara kawanan tamu yang hadir, kedudukannya terhitung paling
terhormat.
Ketika dia mengucapkan kata guyon sembari mengelus jenggot
putih, tidak tahan banyak orang ikut tertawa tergelak.
Untung saja orang yang mati telah melewati usia delapan puluh,
menurut adat yang berlaku, kematian semacam ini dinamakan
"duka cita tertawa", jadi meski ada tamu yang tertawa pun tidak
dianggap melanggar tata kesopanan.


Put-bu Thaysu dengan statusnya sebagai ketua ruang Tat-mo
datang memberikan belasungkawanya atas kematian Bu-siang
Cinjin, semua orang sangka dengan tampilnya pendeta saleh ini
maka semua pergolakan segera akan mereda.
Siapa tahu Siang Thian-beng tetap ngotot dengan kehendaknya,
terdengar dia berseru, "Walaupun terlambat bukan terlambat
beneran, walau sudah mati bukan mati beneran!"
"Ooh, tampaknya Sicu sedang memberi petunjuk kepada loceng?
Sayang loceng bodoh dan tidak bisa memahami petunjuk itu,” kata
Pun-bu Thaysu cepat.
"Memberi petunjuk mah tidak berani, aku hanya mengatakan
kenyataan di depan mata.”
Meledak hawa amarah Put-po, hampir saja dia akan meradang,
serunya ketus, "Kenyataan apa yang kau maksud?"
"Boanpwee memang menyesal karena datang terlambat, namun
pewarisnya tidak pernah akan mati!"
"Hmm, maksudmu....” dengus Bu-beng Cinjin.
"Sebagai seorang boanpwee, aku memang menyesal karena
datang terlambat, karena keterlambat-anku membuat aku tidak
sempat minta pengajaran dari Bu-siang Cinjin. Tapi walaupun Cinjin
telah berpulang ke alam baka, kehebatan ilmu silatnya tidak
mungkin akan ikut dia berpulang ke nirwana. Menurut apa yang
kuketahui, Put-ji Tojin yang baru diangkat menjadi Tianglo baru
adalah satu-satunya murid didiknya!"
"Ooh. Jadi kau ingin beradu pedang melawan pewarisnya?" sela
Kok Thiat-cing.
"Orang kuno berkata, sekali berjanji sampai matipun tidak akan
mengingkari. Sekalipun orang sekarang tidak bisa dibandingkan
orang kuno, tapi dengan budi luhur serta kebijaksaan yang dimiliki
Bu-siang Cinjin, seandainya di bawah tanah dia tahu akan hal ini,
dapat dipastikan dia pun tidak ingin ahli warisnya mengingkari janji
yang pernah dibuatnya bukan?"


Umat persilatan memang mengutamakan janji, karena itu Put-bu
Thaysu tidak leluasa menimbrung setelah mendengar ucapan
tersebut.
Put-po Tojin benar-benar mendongkol, tidak tahan teriaknya,
"Tahun berselang, muridmu Tonghong Liang pernah mewakilimu
memenuhi janji! Kami bukannya takut menghadapimu, tapi jelas
kehadiranmu memang berniat mengacau!"
Senyum tidak senyum Siang Thian-beng terbahak-bahak,
katanya, "Ucapan Totiang keliru besar! Muridku rendah dua tingkat
bila dibandingkan Bu-siang Cinjin, selatah atau segila apa pun tidak
nanti akan kusuruh dia mewakili aku datang memenuhi janji. Bila
aku sampai berbuat begitu, bukankah tindakan ku ini berubah jadi
sikap tidak hormat terhadap Cinjin? Aku hanya suruh dia
menyampaikan kabar kepada Cinjin, sekalian perintahkan dia untuk
menjajal ilmu silat dari murid partai anda yang seangkatan dengan
dirinya. Menurut apa yang kuketahui, orang yang waktu itu memberi
pelajaran kepada muridku pun bukan Bu-siang Cinjin, darimana bisa
kau katakan kalau dia telah mewakili aku beradu pedang melawan
Bu-siang Cinjin?"
Tentu saja Siang Thian-beng tahu kalau orang yang turun tangan
"memberi pelajaran" kepada muridnya saat itu tidak lain adalah Bubeng
Cinjin yang berdiri dihadapannya.
Tapi dia sengaja tidak membongkarnya karena dari balik
perkataan itu sesungguhnya dia sedang menyindir Bu-beng Cinjin,
menyindir dia sebagai seorang senior menganiaya golongan muda
hingga merendahkan derajat sendiri.
Hari itu Put-po sendiripun mengalami kekalahan di tangan
Tonghong Liang, tanpa terasa merah jengah selembar wajahnya.
"Waktu itu muridmu datang dengan mengusung nama besarmu,”
katanya.
"Benarkah begitu? Aaah, muridku memang sedikit kelewatan.
Hanya saja, seandainya dia tidak berbuat begitu, mana mungkin
para tokoh Bu-tong-pay sudi memberi petunjuk kepadanya?"


Di balik ucapan itu terkandung makna lain, yang dimaksud para
‘tokoh’ disini jelas menunjukkan Put-po Tojin.
Kalau Put-po Tojin saja sudah dianggap menurunkan derajat
sendiri, apalagi Bu-beng Cinjin yang dua tingkat lebih senior.
Setelah berhenti sejenak, kembali dia melanjutkan, “Untuk
ketidak tahuan muridku, harap Cinjin jangan marah. Tujuan
kedatanganku hari ini tidak lebih hanya ingin menagih janji, karena
Bu-siang Cinjin telah meninggal maka satu satunya jalan adalah
minta ahli warisnya memberi petunjuk kepadaku. Tolong tanya
siapakah diantara kalian yang bernama Put-ji Totiang? Cayhe siap
menantikan petunjuk darinya!"
Terhadap sindiran orang itu Bu-beng Cinjin hanya menanggapi
dengan senyuman, namun terhadap tantangannya kepada Put-ji
Tojin, tentu saja dia tidak berani menanggapi dengan begitu saja.
Apalagi Put-ji telah tewas terkena sambitan jarum Lebah hijau yang
diperoleh Ong hui-bun, si tosu yang menyamar sebagai Tojin bisu
tuli dari tangan Siang Ngo-nio.
Dengan perasaan sangsi Bu-beng Cinjin berpikir, “Jangan-jangan
Siang Thian-beng telah bersekongkol dengan anggota Bu-tong-pay,
bila aku tidak sanggup mengundang Put-ji untuk tampil melayani
tantangan ini, maka mereka segera akan memfitnah diriku? Tapi
Ong hui-bun mempunyai permintaan kepadaku, mustahil dia mau
berhubungan dengan Siang Thian-beng hingga merusak rencana dia
sendiri.”
Berpikir begitu maka diapun mengalihkan sorot matanya ke
seputar arena, dia bermaksud menemukan Tojin bisu tuli dari
kerumunan orang banyak.
Sementara itu terdengar Put-po berkata, "Put-ji sute tidak
nampak hadir disini, walaupun pinto tidak berani mengatakan telah
memperoleh warisan dari mendiang Ciangbunjin, akan tetapi....”
Belum selesai dia berkata, Siang Thian-beng telah
memperlihatkan perasaan kaget bercampur tercengang, serunya
tertahan, "Hah? Bukankah Put-ji Totiang adalah satu-satunya ahli


waris Bu-siang Cinjin? Kenapa dia tidak nampak ikut hadir dalam
upacara pemakaman?"
Diam-diam Bu-beng Cinjin berpikir, "Sekarang masih belum
saatnya untuk menying-kap kejadian yang sebenarnya, akan kucoba
seberapa banyak yang dia ketahui.”
Maka diapun mengarang sebuah cerita bohong, katanya, "Oleh
karena kesedihan yang kelewat batas, sungguh tidak beruntung Putji
sedang jatuh sakit.”
"Aaah, sungguh tidak beruntung. Bu-beng Cinjin, kau adalah
penerus Ciangbunjin, kalau dibicarakan yang sebenarnya, janji dari
mendiang Ciangbunjin seharusnya menjadi tanggung jawabmu
untuk mewakilinya, padahal seusai upacara pemakaman, kaupun
harus menghadiri upacara penyerahan tanda gelar kehormat-an,
bagimu jelas waktunya sangat tidak sesuai. Tentu saja bila kau
bersedia memberi petunjuk, hal ini jauh lebih baik lagi, tapi bila
merasa kurang leluasa, kaupun bisa memilih salah satu diantara
murid-murid perguru-an anda untuk tampil mewakili Put-ji tootiang.”
Kemarin, Bu-beng Cinjin sudah pernah melihat kelihayan ilmu
silatnya, dalam hati diapun berpikir, "Ilmu pedangnya masih
setingkat lebih tinggi daripada Beng-ci, kendatipun kusuruh Bu-si
sute tampil ke arena pun belum tentu dia sanggup menandingi
kehebatannya, apalagi Put-po. Hmm, sampai akupun dia berani
tantang, jangan-jangan orang ini memang masih menyembunyikan
jurus pamungkas yang kemarin belum sempat diperlihatkan?"
Dalam pada itu Bu-si Tojin telah tampil ke depan sambil berkata,
"Siang-sianseng, biar pinto yang minta petunjuk beberapa jurus
seranganmu.”
Put-po yang berada di sampingnya cepat menyela, "Keinginan
sebenarnya dari Siang sianseng adalah ingin beradu pedang
melawan ahli waris mendiang Ciangbunjin, sekalipun aku bukan
murid langsung Bu-siang Cinjin, namun masih terhitung kakak
seperguruan Put-ji, aku rasa pertarungan ini lebih cocok aku yang
mewakili Put-ji.”


Perlu diketahui, walaupun usia Bu-si Tojin dan Put-ji hanya selisih
tidak seberapa, namun Bu-si Tojin berasal dari angkatan dengan Busiang
Cinjin.
Tampilnya Put-po dengan gagah berani sebetulnya tidak lebih
hanya ingin menyelaraskan tingkat keseniorannya dengan Siang
Thian-beng.
Melihat itu, kembali Bu-beng Cinjin berpikir, "Jika membiarkan
Put-po yang brtanding, jelas sudah dia pasti akan menderita
kekalahan. Tapi bila membiarkan Bu-si yang tampil, menang tidak
gagah apalagi jika sampai kalah, hal ini akan sangat memalukan."
Kemarin dia telah menyaksikan sendiri kehebatan ilmu pedang
yang dimiliki Siang Thian-beng, dia sadar, kecuali dirinya turun
tangan sendiri, tidak akan ada murid Bu-tong-pay yang sanggup
menandingi kehebat-an Siang Thian-beng.
Tapi sekarang dia sedang menghadapi kesibukan yang luar biasa,
seusai dilantik jadi Ciangbunjin dan sebelum diselenggaranya
upacara penobatan gelar dari kerajaan, dengan posisinya sekarang
mustahil baginya untuk turun tangan sendiri.
Sementara dia masih sangsi dan tidak dapat mengambil
keputusan, terdengar Siang Thian-beng berkata lagi sambil tertawa
tergelak, "Kalian berdua tidak perlu rebutan, lebih baik maju
bersama!"
"Siang Thian-beng,” kata Bu-si Tojin gusar, "kau anggap setelah
mendapat gelar Rasul pedang maka tiada orang lagi yang sanggup
mengalahkan dirimu?"
Pada saat itulah mendadak terdengar seseorang berkata, "Janji
yang ditinggal Sucouw sudah sepantasnya bila aku yang mewakili.
Susiok-couw, Toa-supek, harap kalian tidak usah berebut.”
Menyusul kemudian muncul seorang pemuda berwajah bersih,
usianya seputar tujuh, delapan belas tahuan.
Orang ini tidak lain adalah Keng Giok-keng. Ternyata meskipun
semalam dia telah dihajar Tojin bisu tuli hingga jatuh tidak sadarkan


diri, namun apa yang dilakukan Tojin bisu tuli hanya sebatas
membuatnya "tidak sadarkan diri" dan sama sekali tidak melukainya.
Sekalipun begitu, setelah melalui pertarungan yang amat seru,
walaupun tenaga murni Keng Giok-keng tidak sampai mengalami
"luka parah", "luka kecil" memang tidak dapat dihindarkan.
Melihat kemunculan Keng Giok-keng, Siang Thian-beng segera
menegur, "Engkoh cilik, berapa usiamu tahun ini?"
Jelas sekali, dia bertanya dengan nada sinis dan pandang enteng.
"Kau tidak usah mengurusi berapa usiaku tahun ini,” tukas Keng
Giok-keng angkuh, "yang seharusnya kau tanyakan adalah apakah
aku pantas menerima tantanganmu?"
"Bagus, kalau begitu aku balik bertanya, atas dasar apa kau
merasa berhak untuk mewakili Bu-siang Cinjin menerima
tantanganku ini?"
Bu-liang Tojin, ketua para Tianglo dari Bu-tong-pay yang berdiri
di sampingnya segera mewakili bocah itu untuk menjawab, "Dia
bernama Keng Giok-keng, salah seorang murid Put-ji. Biarpun
usianya masih muda, namun ilmu pedangnya diajar langsung oleh
mendiang Ciangbun-suheng.”
Dia dengan statusnya sebagai ketua Tianglo ternyata secara
khusus dan serius memperkenalkan seorang murid angkatan muda
dari perguruannya, hal ini menunjukkan kalau dia kuatir Siang
Thian-beng enggan menerima Keng Giok-keng sebagai lawan
tandingnya.
"Oooh, kalau begitu kau adalah satu-satunya ahli waris dari Busiang
Cinjin!" seru Siang Thian-beng.
"Rasanya sulit bagiku untuk menjawab pertanyaanmu itu,
memang benar, ilmu pedang yang kupelajari berasal dari Sucouw,
tapi hanya beberapa bagian yang berhasil kuserap, hal ini baru bisa
dijawab setelah aku beradu pedang denganmu nanti, biar penilaian
diberikan oleh beberapa orang Tianglo itu.”


Siang Thian-beng sendiripun pernah mendengar Tonghong Liang
memuji kehebatan ilmu pedangnya serta bakat alamnya yang luar
biasa, tapi setelah melihat kalau bocah itu hanya seorang pemuda
berusia tujuh, delapan belas tahunan, bagaimana mungkin dia
memasukkan dalam pandangan matanya.
Setelah mendengus katanya, "Sebetulnya janji ini adalah janjiku
dengan Bu-siang Cinjin, perduli kau adalah seorang kakek yang
telah berusia delapan puluh tahun atau bocah yang masih berusia
delapan belas tahun, bila kau merasa dapat mewakili Bu-siang Cinjin
untuk memenuhi janji ini, akupun dapat menganggap kau sebagai
wakil dari Bu-siang Cinjin. Cuma ingat, jangan kau anggap hal ini
sebagai mainan. Kau mengerti maksudku bukan?"
"Aku mengerti. Kau takut orang lain menuduhmu yang tua
menganiaya yang muda. Kalau begitu kita bicarakan dulu dimuka,
kau boleh menyerangku dengan sepenuh tenaga, sementara aku
pun tidak akan segan-segan melancarkan serangan telengas!"
"Bagus, punya semangat, kalau begitu ayoh majulah!"

ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru Cerita Silat TionGoan : BuTong It Kiam 5, cersil terbaru, Cerita Dewasa Cerita Silat TionGoan : BuTong It Kiam 5, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru Cerita Silat TionGoan : BuTong It Kiam 5,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru Cerita Silat TionGoan : BuTong It Kiam 5
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Silat TionGoan : BuTong It Kiam 5 dan anda bisa menemukan artikel Cerita Silat TionGoan : BuTong It Kiam 5 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cerita-silat-tiongoan-butong-it-kiam-5.html?m=0,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Silat TionGoan : BuTong It Kiam 5 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Silat TionGoan : BuTong It Kiam 5 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Silat TionGoan : BuTong It Kiam 5 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cerita-silat-tiongoan-butong-it-kiam-5.html?m=0. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar