Cerita Silat Online : Seruling Perak Sepasang Walet 4

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Sabtu, 17 Desember 2011

Di saat bersamaan terdengar pula suara dengusan dingin.
"Hmm! Dia belum mati, mengapa kau mau bunuh diri?"

Soat Cak tersentak segera mendongakkan kepala, dilihatnya
seorang wanita anggun berpakaian mewah berdiri di situ,
namun wajahnya kelihatan dingin sekali.
"Dia... dia belum mati?" tanya Soat Cak.
Wanita anggun berpakaian mewah mengangguk perlahan.
"Dia pernah makan buah Ginseng Daging dan Pil Api Ribuan
Tahun. Karena khasiat kedua benda mustika itu melindungi
nadi di jantungnya, maka dia tidak mati." Dia menatap Ciok
Giok Yin. "Di dalam bajunya terdapat sebuah botol kecil berisi
obat cairan Giok Ju. Beri dia beberapa tetes, kemudian
salurkan hawa murnimu ke dalam tubuhnya! Dia pasti sembuh!
Tapi...."
"Tapi kenapa Cianpwee?"
"Mungkin kepandaiannya... akan punah."
"Asal dia bisa hidup, tidak memiliki kepandaian pun tidak apaapa."
Soat Cak merogoh ke dalam baju Ciok Giok Yin untuk
mengeluarkan sebuah botol kecil. Kemudian dibukanya tutup
botol itu dan dituangnya beberapa tetes isinya ke dalam mulut
Ciok Giok Yin.
"Cukup!" kata wanita anggun berpakaian mewah.
Namun Soat Cak melihat cairan Giok Ju itu masih berada di
dalam mulut Ciok Giok Yin belum tertelan.
"Cianpwee, dia tidak bisa menelan. Bagaimana?" tanyanya
dengan wajah murung.
Wanita anggun berpakaian mewah balik bertanya.
"Kalian berdua punya hubungan apa?"
"Ibuku menjodohanku padanya."

"Kalau begitu, kalian berdua adalah calon suami istri?"
"Ya."
"Bagus! Kau boleh menggunakan mulutmu, mengerahkan
hawa murni meniup obat itu agar masuk ke dalam
tenggorokannya, lalu salurkan hawa murnimu ke dalam
tubuhnya!"
Walau mereka berdua adalah calon suami istri, namun Soat
Cak merupakan gadis yang suci murni dan polos. Bagaimana
mungkin dia dapat melakukan itu? Maka tidak mengherankan
kalau dia berdiri tertegun di tempat. Wanita anggun berpakaian
mewah tampak tidak sabaran.
"Kau tidak menghendakinya hidup? Kalian berdua adalah
calon suami istri, mengapa kau tidak mau berbuat seperti yang
kukatakan?"
Soat Cak berpikir sejenak, kemudian melakukan apa yang
dikatakan wanita anggun berpakaian mewah obat Giok Ju
masuk ke tenggorokan Ciok Giok Yin. Setelah itu Soat Cak
cepat-cepat menempelkan telapak tangannya di Tantian Ciok
Giok Yin sekaligus mengerahkan hawa murninya, disalur ke
dalam tubuh Ciok Giok Yin. Meskipun Soat Cak akan kehilangan
banyak hawa murni, tapi demi menyelamatkan 'Kanda Ciok'-
nya, dia sama sekali tidak mempedulikan itu. Berselang
beberapa saat Ciok Giok Yin mengeluarkan suara rintihan dan
nafasnya mulai berjalan. Bukan main girangnya Soat Cak,
sehingga dia terus menambah hawa murninya ke dalam tubuh
Ciok Giok Yin. Lewat beberapa saat, perlahan-lahan Ciok Giok
Yin membuka matanya.
"Apakah aku sedang mimpi?" gumamnya.
Usai bergumam, dia segera bangun duduk.
Sedangkan sekujur badan Soat Cak telah basah kuyup oleh
keringat. Begitu melihat Ciok Giok Yin bangun duduk, cepatcepat
dia menarik kembali telapak tangannya setelah bertanya.

"Kanda Ciok, kau sudah hidup lagi? Ini bukan mimpi kan?"
Ciok Giok Yin menatap Soat Cak, sambil balik bertanya.
"Kau yang menyelamatkanku?"
Soat Cak mengangguk.
"Ya. Tapi cianpwee itu yang memberi petunjuk padaku
bagaimana cara menyelamatkanmu."
Ciok Giok Yin segera mendekati wanita anggun berpakaian
mewah lalu memberi hormat seraya berkata.
"Sekian kali cianpwee menolongku, aku sungguh berterima
kasih sekali!"
"Seharusnya kau berterimakasih pada istrimu itu."
Ciok Giok Yin segera menoleh memandang Soat Cak,
kemudian berkata dengan penuh penyesalan.
"Adik Cak, aku... aku memang bersalah terhadapmu."
"Kanda Ciok, aku adalah calon istrimu. Asal kau selamat, aku
sudah merasa girang sekali. Kau jangan berkata begitu."
Mendadak Ciok Giok Yin mengucurkan air mata dan berkata
dengan suara gemetar.
"Adik Cak, tidak seharusnya kau menyelamatkanku."
Soat Cak tertegun.
"Kanda Ciok, kau...."
Wajah Ciok Giok Yin tampak berduka sekali.
"Ilmu silatku telah punah semua, apa artinya aku hidup?"
katanya dengan nada tak bergairah hidup.

"Kanda Ciok, kau jangan putus asa. Perlahan-lahan ilmu
silatmu akan pulih seperti sedia kala."
Di saat bersamaan tampak sosok bayangan hitam melayang
turun, ternyata adalah Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai, kepala
pelindung perkumpulan Sang Yen Hwee. Dia tertawa seraya
berkata dengan lantang.
"Bocah, sungguh besar nyawamu!"
Selangkah demi selangkah dia mendekati Ciok Giok Yin.
Sekonyong-konyong wanita anggun berpakaian mewah
melesat ke hadapannya lalu berkata dengan dingin sekali.
"Li Mong Pai, hari ini kau pasti mati!"
Li Mong Pai yang masih tersenyum-senyum langsung
bertanya,
"Siapa kau?"
"Kau tidak usah tahu!"
"Kalau begitu, kau ingin melindungi bocah itu?"
"Tidak salah!"
"Menurut lohu, lebih baik kau kembali ke tempat tinggalmu,
dilayani para pelayan saja! Buat apa berkecimpung di dunia
persialatan, yang akan merendahkan keanggunanmu?"
Karena wanita anggun itu berpakaian mewah, maka Siau Bin
Sanjin menyindirnya demikian.
"Kau memang cari mampus!" bentak wanita anggun
berpakaian mewah.
Dia langsung bergerak cepat menyerang Siau Bin Sanjin.

Melihat serangan itu Siau Bin Sanjin tertawa gelak.
"Bagus...!" serunya.
Namun tak disangka kemudian terdengar suara jeritan dan
tampak Siau Bin Sanjin terpental beberapa depa. Wanita
anggun berpakaian mewah mendengus dingin.
"Hmm! Sungguh tak berguna! Kukira berkepandaian tinggi!
Hari ini kuampuni nyawamu! Tapi kelak kalau kita bertemu lagi
jangan harap aku akan mengampuni nyawamu lagi!"
Sambil meringis Siau Bin Sanjin bangkit berdiri perlahanlahan.
Dia melototi wanita anggun berpakaian mewah itu lalu
pergi dengan tertatih-tatih. Dia amat terkenal dalam rimba
persilatan, jarang menemukan tandingan. Namun tak disangka
sama sekali wanita anggun berpakaian wanita itu belum
menyerangnya dengan satu jurus pun sudah membuatnya
terluka parah, itu sungguh di luar dugaan! Setelah Siau Bin
Sanjin-Li Mong Pai pergi, wanita anggun berpakaian mewah
menoleh memandang Ciok Giok Yin lalu berkata.
"Kini jalan satu-satunya bagimu, adalah harus pergi mencari
Sa Pian Sih (Si Burung Murai) Gouw Ling. Mungkin dia punya
cara memulihkan kepandaianmu."
"Gouw Ling?" tanya Ciok Giok Yin dan Soat Cak hampir
serentak.
"Ng!"
"Di mana tempat tinggalnya?"
"Dengar-dengar dia telah ditaklukkan oleh perkumpulan Sang
Yen Hwee."
"Haaaah...?" seru Ciok Giok Yin tak tertahan,
"Cepat ke sana! Lebih baik kalian menyamar saya," kata
wanita anggun berpakaian mewah.

Usai berkata, wanita anggun berpakaian mewah langsung
melesat pergi. Sedangkan Ciok Giok Yin dan Soat Cak saling
memandang. Kemudian Ciok Giok Yin mengeluarkan dua botol
kecil dari dalam bajunya, pemberian Tek Cang Sin Kay. Mereka
berdua mulai merias wajah dan berganti pakaian. Setelah itu
kedua muda-mudi itu berubah menjadi suami istri berusia
pertengahan. Mereka saling memandang dan tertawa seketika,
lalu pergi dengan bergandengan tangan.
Sementara Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai terus berjalan dengan
sempoyongan. Berselang sesaat, mendadak dia merasa seluruh
jalan darahnya amat dingin dan peredaran darahnya juga
kacau. Itu membuatnya terkejut sekali. Pengetahuannya amat
luas, tahu wanita anggun itu telah menggunakan semacam
ilmu, menutupi beberapa jalan darahnya. Kalau tidak segera
diobati, nyawanya pasti melayang.
Karena itu dia segera duduk bersila, menghimpun hawa
murninya untuk menembus jalan darahnya yang tertutup.
Siapa duga, begitu dia menghimpun hawa murni, bagian bawah
tubuhnya tak dapat bergerak sama sekali. Dia gugup dan
panik, kemudian berkata dalam hati. 'Habislah! Sayang kini aku
sudah tidak bisa jalan. Kalau bisa..." Tiba-tiba terdengar suara
langkah dan setelah itu terdengar pula suara percakapan.
"Istriku, coba jalan cepat dikit! Kalau tidak, kita tidak dapat
makan siang. Bukankah akan membuat orang membuang
biaya?"
Terdengar suara sahutan wanita.
"Suamiku, apa boleh buat! Bagaimana mungkin seorang
wanita berjalan cepat?"
"Istriku, biar kupapah kau."
Terdengar suara langkah yang amat berat, pertanda mereka
bukan kaum rimba persilatan.
Hati Siau Bin Sanjin tergerak, kemudian dia berkata dalam
hati. 'Aku harus memanggil mereka ke mari'

Terdengar suara lelaki berseru kaget.
"Eh? Isteriku, bagaimana ada orang sakit di sini?"
Terdengar suara sahutan wanita.
"Peduli amat! Kita sudah tidak kuat jalan, mengapa harus
mempedulikan orang lain?"
"Tapi... kita tidak boleh melihat orang hampir mati tidak
menolongnya."
"Suamiku, kalau begitu pergilah kau melihatnya!"
Terdengar suara langkah semakin mendekat.
Siau Bin Sanjin segera membuka matanya. Dilihatnya seorang
lelaki berusia pertengahan, dandanannya seperti orang desa
dan tampak agak kebodoh-bodohan. Lelaki desa itu
memandang Siau Bin Sanjin kemudian bertanya,
"Lo siangseng, bagaimana rasamu?"
Siau Bin San Jin-Li Mong Pai terus mengerutkan kening.
"Penyakit lohu kambuh mendadak, tidak bisa jalan.
Bersediakah toako memapahku? Aku pasti berterimakasih
padamu."
Lelaki desa itu menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku harus memapah istriku, jadi harus bagaimana?"
"Lohu mohon toako sudi membantuku!"
Saat ini muncul seorang wanita desa. Begitu melihat keadaan
orang tua itu, dia segera berkata,
"Suamiku, orang tua ini patut dikasihani. Papahlah dia!
Menolong orang adalah perbuatan terpuji."

"Lalu bagaimana denganmu?" tanya lelaki desa.
"Aku akan jalan sendiri."
Lelaki desa itu mengangguk, kemudian membangunkan Siau
Bin Sanjin-Li Mong Pai, setelah itu memapahnya. Setelah
tengah hari, barulah mereka tiba di depan sebuah kuil tua.
Suami istri orang desa itu memandang kuil tua, ternyata di
atas pintu kuil itu terdapat beberapa huruf, yakin Kuil Ling Si.
Suami istri orang desa itu terheran-heran, karena walaupun
kuil itu di kelilingi gunung, yang tidak terletak di atas tebing,
mengapa disebut Kuil Tebing Liar? Dewa apa yang
bersemayam di dalam kuil ini?
Mendadak Siau Bin Sanjin-Lin Mong Pai berkata, "Sudah
sampai."
Dia bertepuk tangan satu kali, lalu tampak seorang anggota
perkumpulan Sang Yen Hwee berjalan dari dalam kuil itu.
Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai cepat-cepat memberi isyarat
kepada orang itu dan berkata,
"Cepat bawa toako dan toaso ini ke dalam untuk beristirahat!"
Anggota perkumpulan Sang Yen Hwee tersebut menatap
suami istri desa itu sejenak kemudian berkata, "Mari ikut aku!"
"Bagaimana dengan lo siangseng ini?" tanya lelaki desa.
"Kau tidak usah turut campur lagi."
Suami istri desa saling memandang, setelah itu barulah
mengikuti orang-orang itu ke dalam kuil, bahkan sampai di
bagian belakang. Tak terduga sama sekali, di bagian belakang
kuil itu terdapat tiga kamar yang amat bersih dan teratur.
Anggota perkumpulan Sang Yen Hwee itu, mempersilakan
suami istri desa masuk ke dalam kamar.

"Kalian berdua boleh beristirahat di kamar ini."
Usai berkata, dia langsung membalikkan badannya lalu
berjalan pergi. Setelah anggota perkumpulan Sang Yen Hwee
itu pergi, barulah wanita itu berkata,
"Kanda Ciok, keadaan di kamar ini agak ganjil."
Ternyata suami istri desa itu, adalah penyamaran Ciok Giok
Yin dan Soat Cak.
Ciok Giok Yin manggut-manggut.
"Adik Cak, kau harus hati-hati!"
Soat Cak tersenyum lembut.
"Kanda Ciok, aku pasti berhati-hati."
"Adik Cak, semua ini karena aku...."
Ciok Giok Yin tidak melanjutkan ucapannya. Walau
kepandaiannya telah punah, namun pendengarannya masih
cukup tajam. Dia tahu ada orang sedang berjalan menuju
kamar itu. Memang benar ada orang muncul, yakin anggota
perkumpulan Sang Yen Hwee tadi. Dia membawa beberapa
macam hidangan, yang kemudian ditaruhnya di atas meja, dan
setelah itu dia pun pergi. Ciok Giok Yin dan Soat Cak tidak
berlaku sungkan lagi. Mereka langsung menyantap hidangan
itu dengan lahapnya. Tak seberapa lama kemudian, anggota
perkumpulan Sang Yen Hwee itu muncul lagi, ternyata untuk
mengambil piring itu.
"Tuan, kami mau pergi," kata Ciok Giok Yin.
"Kepala pelindung ingin mengucapkan terimakasih pada
kalian berdua, bagaimana mungkin kalian boleh pergi."
"Ada urusan, kami harus pergi ke rumah famili."
"Tiada perintah dari kepala pelindung, aku tidak bisa

membiarkan kalian pergi, maaf!"
Kemudian dia pergi dengan membawa piring mangkok itu.
Ciok Giok Yin dan Soat Cak saling memandang, kemudian
tersenyum. Setelah itu mereka berdua duduk berdampingan,
persis seperti suami istri. Tanpa terasa saat itu hari mulai sore.
Mendadak di halaman depan kuil tua itu sepertinya ada suara
orang, namun sudah tidak terdengar lagi. Sementara Soat Cak
tetap bersandar pada Ciok Giok Yin. Gadis itu tahu bahwa
kepandaian Ciok Giok Yin telah punah, maka tidak mendengar
suara itu.
"Kanda Ciok, di halaman depan sepertinya ada orang datang,"
katanya lembut sambil menatapnya.
Ciok Giok Yin manggut-manggut.
"Kemungkinan besar yang datang itu adalah Sai Pian Sih."
"Kanda Ciok, kita harus bagaimana?" tanya Soat Cak.
"Adik Cak, pikiranku sedang kacau, kau saja yang berpikir."
Soat Cak yang lemah lembut itu, segera duduk untuk berpikir,
sehingga tampak keningnya berkerut-kerut. Gadis itu adalah
calon istri yang baik, penuh pengertian dan mau berpikir demi
memecahkan persoalan calon suaminya. Sedangkan Ciok Giok
Yin terus menatapnya, kemudian memegang bahunya sambil
tersenyum mesra. Soat Cak mendongakkan kepala.
"Kanda Ciok, aku sudah teringat."
Kelihatannya Ciok Giok Yin tidak mendengar apa yang
dikatakan Soat Cak.
"Adik Cak, senyumanmu amat manis sekali! Sungguh
beruntung aku!" katanya tak tertahan.
Ciok Giok Yin langsung memeluknya erat-erat. Setelah itu,
bibirnya mendekati bibir Soat Cak dan mereka saling mencium

dengan mesra. Saat ini dalam hati mereka berdua
mengeluarkan suara desahan. Di saat mereka berdua
tenggelam dalam kemesraan, mendadak terdengar suara
langkah ringan di luar kamar. Ciok Giok Yin dan Soat Cak
cepat-cepat melepaskan ciuman masing-masing, lalu saling
memberi isyarat.
"Suamiku, kelihatannya hari ini kita tidak bisa pergi," kata
Soat Cak.
"Istriku, biar bagaimana pun kita harus pergi. Nanti kalau ada
orang ke mari, kita titip salam padanya untuk berterimakasih
pada orang tua itu."
"Suamiku, hari ini kita pasti tidak bisa sampai di rumah famili
itu. Bagaimana baiknya?"
"Apa boleh buat. Kita harus melakukan perjalanan malam."
"Kau seorang lelaki, tentunya tidak masalah. Namun aku
seorang wanita, bagaimana mungkin aku bisa melakukan
perjalanan malam? Mungkin aku akan terpeleset jatuh."
Seusai Soat Cak berkata, tampak seorang masuk ke kamar
itu, membawa beberapa macam hidangan, yang kemudian
ditaruhnya di atas meja.
"Silakan makan malam!" kata orang itu.
Ciok Giok Yin berpura-pura terkejut.
"Sungguh merepotkan kalian! Aku... aku merasa tidak enak
dalam hati," katanya.
"Hm! Sungguh beruntung kalian berdua orang desa bisa ke
mari dan dilayani secara baik!" dengus anggota perkumpulan
Sang Yen Hwee itu lalu pergi.
"Tuan, tolong beritahukan pada lo sianseng itu, kami mau
pergi!" seru Ciok Giok Yin.

Angota perkumpulan Sang Yen Hwee itu menyahut sambil
melotot.
"Lo sianseng sedang sibuk, kalian beristrahat saja!"
Usai menyahut, dia langsung pergi, tanpa menghiraukan
mereka lagi.
"Adik Cak, mari kita makan!" kata Ciok Giok Yin sambil
menatap gadis itu. Kemudian mereka berdua mulai makan.
Seusai Ciok Giok Yin dan Soat Cak makan, anggota
perkumpulan Sang Yen Hwee itu membuka pintu kamar, lalu
masuk untuk mengambil piring mangkok yang telah kosong.
Setelah anggota perkumpulan Sang Yen Hwee itu pergi, Soat
Cak berkata dengan suara rendah.
"Kanda Ciok, aku kira San Pian Sih sudah ke mari."
"Bagaimana kau mengira itu?"
"Tadi aku mendengar suara Siaun Bin Sanjin, sepertinya
sedang menghimpun hawa murninya. Pasti Sai Pian Sih
membantu mengobatinya. Ya, kan?"
"Lalu kita harus bagaimana?"
"Aku sudah memikirkan suatu akal."
"Kenapa kau tidak bilang dari tadi? Aku terus berpikir hingga
tujuh keliling lho!"
"Tadi sebelum makan aku mau bilang, tapi kau...."
"Kenapa aku?"
"Kau menutupi bibirku...."
Soat Cak tidak melanjutkan ucapannya. Dia tampak tersipu
dengan wajah kemerah-merahan. Ciok Giok Yin tertawa seraya

berkata,
"Itu pertanda cintaku bagaikan air, lembut seperti kapas," dia
menatap Soat Cak.
"Adik Cak, kau punya akal apa?" tanyanya.
Soat Cak berbisik-bisik di telinga Ciok Giok Yin, lalu bertanya.
"Kanda Ciok, bagaimana menurutmu?"
"Bagus."
"Cuma agak... merendahkan dirimu."
Ciok Giok Yin menggenggam tangan Soat Cak dengan lembut,
lalu menghela nafas panjang seraya berkata,
"Adik Cak, kau ikut aku berkelana sehingga membuatmu
menderita, hatiku merasa tidak tenang, maka kau jangan
mengatakan merendahkan diriku."
"Kanda Ciok, jangan berkata begitu. Asal kau gembira, aku
merasa puas. Karena kau adalah suami, aku adalah istri, maka
aku harus menurutmu dan menggembirakan hatimu."
Bukan main terharunya hati Ciok Giok Yin mendengar itu,
hingga matanya berkaca-kaca, kemudian air matanya pun
meleleh. Soat Cak segera mengeluarkan sapu tangan untuk
menghapus air mata Ciok Giok Yin yang meleleh itu.
"Kanda Ciok, mengapa kau menangis?" tanyanya.
"Adik Cak, kau sungguh baik dan setia!" sahut Ciok Giok Yin
lembut.
Soat Cak tersenyum lembut, lalu bersandar di dada Ciok Giok
Yin. Sedangkan Ciok Giok Yin menjulurkan tangannya,
membelai-belai rambut Soat Cak. Sementara hari sudah mulai
gelap. Anggota perkumpulan Sang Yen Hwee yang mengantar
makanan itu tidak pernah muncul lagi. Sunyi senyap di sekitar

tempat itu. Mendadak di dalam kamar tamu itu, terdengar
suara rintihan dan jeritan. Di saat bersamaan terdengar lagi
suara seorang wanita.
"Suamiku, penyakit lamamu kambuh, apa yang harus kita
lakukan?"
"Aduuuh! Sakit sekali!" terdengar suara lelaki itu.
"Suamiku, aku akan memijitmu."
"Percuma. Kau pun tahu itu."
"Kalau begitu apa yang harus kulakukan?"
"Aku tidak mau dengar perkataanmu, mau tinggal di sini."
"Di sini jauh dari desa, juga tiada penginapan. Harus ke mana
mencari tabib? Suamiku, kau tidak boleh tinggalkan aku. Oh!
Thian (Tuhan)!"
Justru di saat itulah tampak sosok bayangan menerobos ke
dalam kamar tamu itu. Soat Cak melirik. Sosok bayangan itu
ternyata adalah anggota perkumpulan Sang Yen Hwee yang
mengantar makanan tadi. Sepasang matanya melotot.
"Mengapa kalian merintih dan menjerit jerit?" bentaknya
dingin.
"Tuan, penyakit lama suamiku kambuh, kau bilang harus
bagaimana?" sahut Soat Cak sambil menangis tersedu-sedu.
Ketika anggota perkumpulan Sang Yen Hwee itu baru mau
membuka mulut, Soat Cak cepat-cepat mendahuluinya.
"Kami suami istri telah berbaik hati mengantar lo sianseng itu
ke mari, tapi Tuan justru tidak memperbolehkan kami pergi.
Kalau suamiku terjadi sesuatu, aku pun tidak mau hidup lagi."
"Diam! Sebenarnya dia sakit apa?" bentak anggota
perkumpulan Sang Yen Hwee itu.

"Sakit perut. Setiap kali kambuh, pasti dia setengah mati.
Tuan, berbaik hatilah pada kami, tolong carikan seorang tabib!"
"Mampus pun tidak jadi masalah!" sahut anggota
perkumpulan Sang Yen Hwee itu.
Soat Cak berkata dengan air mata bercucuran. Sungguh
pandai gadis itu bersandiwara!
"Tuan sungguh tak punya hati nurani! Apabila dia mati, aku
akan jadi janda, lebih baik aku ikut mati saja."
"Kau boleh menikah lagi dengan lelaki lain."
Soat Cak terus menangis.
"Aku sudah ada umur, menikah dengan lelaki mana? Aku
mohon pada Tuan, berbaik hatilah pada kami, tolong carikan
seorang tabib! Selamanya kami tidak akan melupakan budi
baik Tuan."
Mendadak Ciok Giok Yin menjerit-jerit kesakitan.
"Aduuh! Aku... aku mau buang air besar!"
Terdengar suara kentut yang cukup nyaring.
Tuuut! Praaat! Preeet!
Ciok Giok Yin cepat-cepat merosotkan celananya.
Seketika bau yang amat menusuk hidung memenuhi kamar
itu. Anggota perkumpulan Sang Yen Hwee itu cepat-cepat
menutup hidungnya dan segera melesat ke luar.
"Sial dangkalan! Dasar binatang, buang air besar di sini!"
cacinya.
Sedangkan Ciok Giok Yin terus menjerit-jerit.

"Suamiku, bagaimana nih?" tanya Soat Cak.
Mereka berdua, justru saling menatap. Sesungguhnya hati
mereka berdua amat cemas, sebab tidak tahu Sai Pian Sih ke
mari tidak. Seandainya Sai Pian Sih tidak ke mari, bukankah
sia-sia rencana atau siasat mereka? Tak seberapa lama
kemudian terdengar suara langkah menuju kamar tersebut.
Soat Cak mendengar suara langkah itu dan segera memberi
isyarat kepada Ciok Giok Yin. Seketika juga Ciok Giok Yin
menjerit lebih keras, bahkan merintih-rintih tak henti-hentinya.
Terdengar pula suara kentut dan suara buang air besar. Itu
membuat kamar tersebut menjadi bau sekali. Sementara suara
langkah itu telah sampai di depan pintu kamar. Terlihat
anggota perkumpulan Sang Yen Hwee itu ingin melangkah ke
dalam tapi langsung mundur kembali, karena tidak tahan akan
bau busuk. Sepasang matanya melotot, dia mencaci maki di
luar pintu.
"Sialan! Dasar binatang! Kamar ini dibikin hingga sedemikian
bau! Kalau aku naik darah, satu kali pukul kalian berdua pasti
mampus!" Dia menoleh ke belakang. "Kau ke dalam, periksa
dia!"
Kemudian terdengar suara langkah yang agak berat, masuk
ke kamar itu. Soat Cak mencuri pandang. Dilihatnya seorang
tua berwajah pucat pias, sepasang matanya suram, berjalan
perlahan-lahan ke dalam. Kening orang tua itu berkerut-kerut,
kelihatannya agak tidak tahan akan bau busuk. Namun dia
tetap bertahan, berjalan mendekati ranjang. Dia menatap Ciok
Giok Yin, kemudian bertanya pada Soat Cak.
"Nyonya, suamimu sakit apa?"
Soat Cak berpura-pura sedih.
"Penyakit lamanya kambuh," sahutnya.
Ketika menyahut, Soat Cak sengaja meninggikan suaranya.
Sesudah itu dia berkata lagi dengan suara rendah.

"Mohon tanya, apakah lo cianpwee adalah Sai Pian Sih-Gouw
Ling?"
Orang tua itu tampak tertegun. Dia langsung memandang
Soat Cak. Sepasang mata Soat Cak tampak bersinar terang. Itu
membuat orang tua tersebut tersadar, bahwa dirinya sedang
berhadapan dengan kaum persilatan.
"Tidak salah," sahutnya dengan hati berdebar-debar.
Seketika Ciok Giok Yin berhenti menjerit. Namun baru mau
membuka mulut, Soat Cak yang cerdas itu, cepat-cepat
menekan bahunya.
"Suamiku, kau harus bertahan! Tabib tua ini pasti dapat
menyembuhkan penyakitmu!" katanya lantang.
Ciok Giok Yin tahu akan maksud Soat Cak. Maka dia mulai
menjerit-jerit lagi seraya memandang Sai Pian Sih-Gouw Liang.
Soat Cak menghadap orang tua itu.
"Lo cianpwee dikuasai perkumpulan Sang Yen Hwee?"
tanyanya dengan suara rendah.
Sai Pian Sih-Gouw Ling manggut-manggut.
"Kami mendapat petunjuk dari seorang tokoh, maka kemari
minta pertolongan to cianpwee sudi memulihkan
kepandaiannya!" kata Soat Cak lagi.
Usai berkata, Soat Cak menunjuk Ciok Giok Yin.
Di saat bersamaan anggota perkumpulan Sang Yen Hwee
yang menunggu di luar itu bertanya.
"Bagaimana?"
Sai Pian Sih-Gouw Ling yang sudah berpengalaman dalam
rimba persilatan itu seketika menyahut,

"Penyakitnya amat parah, membutuhkan waktu untuk
memeriksanya."
Suara langkah di luar, yang kadang-kadang dekat dan
kadang-kadang jauh, sepertinya mondar-mandir. Tidak
diragukan lagi, mereka pasti sedang mengawasi di luar.
Sementara Soat Cak bertanya lagi dengan suara rendah.
"Apakah kepandaian to cianpwee juga telah punah?"
Soat Cak bertanya demikian, karena melihat sepasang
matanya amat suram, pertanda orang tua itu telah punah
kepandaiannya. Sai Pian Sih-Gouw Ling mengangguk.
"Kepandaian lohu, telah dipunahkan oleh mereka."
Mendengar itu, hati Soat Cak menjadi tenggelam, dan
kemudian dia membatin 'Kalau di luar cuma satu orang, pasti
dapat menerjang keluar. Tapi kalau banyak, pasti sulit dan
membahayakan.' Akan tetapi Soat Cak sudah membulatkan
hati dan nekat. Sebelah tangannya mengempit Ciok Giok Yin
dan yang sebelah lagi mengempit Sai Pian Sih-Gouw Ling, lalu
menerjang ke luar. Namun mendadak muncul seorang tua di
hadapannya. Begitu melihat orang tua itu, seketika juga sukma
Soat Cak terbang entah ke mana.
Jilid 18
Siapa yang muncul di halaman depan itu? Ternyata Siau Bin
Sanjin-Li Mong Pai. Dia tertawa gelak seraya berkata,
"Biasanya lohu amat cermat, justru malah dapat dikelabui!"
Bukan main gugup dan paniknya Soat Cak, sebab kedua
tangannya mengempit Ciok Giok Yin dan Sai Pian Sih-Gouw
Ling, tentunya tidak bisa bergebrak. Dalam keadaan mendesak
itu dia membentak,

"Maling tua! Lihat serangan!"
Mendadak dari dalam mulutnya meluncur keluar sebuah
benda kecil. Benda itu gemerlapan di bawah sinar rembulan
dan luncurannya cepat laksana kilat. Meskipun Siau Bin Sanjin-
Li Mong Pai berkepandaian tinggi dan berpengalaman luas,
namun tidak tahu senjata apa yang meluncur keluar dari mulut
wanita desa itu. Badannya langsung bergerak, ternyata telah
mencelat ke belakang kira-kira enam langkah. Kesempatan ini
tidak disia-siakan oleh Soat Cak, secepatnya mencelat ke atas
melewati tembok kuil. Namun Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai
bergerak jauh lebih cepat. Tampak bayangannya berkelebat,
tahu-tahu sudah berada di hadapan Soat Cak. Dia tertawa
terkekeh-kekeh.
"Kalau masih bisa lobos? Cepat lepaskan orang itu!" sepasang
matanya menyorot bengis. "Ilmu rias kalian cukup hebat,
hampir saja aku tertipu!"
Selangkah demi selangkah dia maju mendekati Soat Cak.
Gadis itu sudah putus asa, mundur selangkah-selangkah.
Seandainya dia cuma mengepit satu orang, berdasarkan
kepandaiannya, tidak sulit baginya untuk kabur. Tapi kini
kedua belah tangannya mengempit dua orang, maka
membuatnya tidak bisa bergerak sama sekali. Kedua orang
tersebut tidak ada yang bisa dilepaskannya. Mendadak Soat
Cak tampak gemetar, ternyata pahanya terkena benda yang
meluncur dari kuku jari tangan Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai.
Dia maju lagi dan mengangkat sebelah tangannya, siap
melancarkan pukulan. Kelihatannya Soat Cak akan terhantam,
tapi mendadak terdengar suara orang tertawa gelak dan
berkata,
"Li Mong Pai! Kau berlaku sewenang-wenang lagi di tempat
ini!"
Tampak sesosok bayangan melayang turun secepat kilat,
langsung menyerang Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai. Siapa orang
itu? Tidak lain adalah si Bongkok Arak.

"Bocah perempuan, cepat bawa mereka pergi!" serunya.
Soat Cak segera melesat pergi. Akan tetapi tak disangka
terasa ada serangkum angin pukulan dari arah samping. Soat
Cak menengok, ternyata adalah anggota perkumpulan Sang
Yen Hwee yang mengantar makanan itu. Soat Cak cepat-cepat
membuka mulutnya, menyemburkan butiran-butiran air ludah,
lalu menatap orang itu.
"Karena kau yang mengantar makanan untuk kami, maka
kuampuni nyawamu!"
Anggota perkumpulan Sang Yen Hwee itu menutup mukanya
dengan sepasang tangannya sambil menyurut
mundur. Sedangkan Soat Cak tidak membuang-buang waktu,
langsung melesat pergi. Tak lama dia sudah mencapai jarak
beberapa mil. Ketika sampai di sebuah rimba yang lebat dia
menaruh Ciok Giok Yin dan Sai Pian Sih-Gouw Ling. Wajah Sai
Pian Sih-Gouw Ling kehijau-hijauan dan nafasnya sudah lemah
sekali.
"Lo cianpwee? Lo cianpwee!" seru Ciok Giok Yin
memanggilnya.
Beberapa saat kemudian barulah Sai Pian Sih-Gouw Ling
membuka matanya.
"Kalian berdua mati-matian menolongku, entah apa maksud
kalian?" tanyanya dengan lemah.
"Lo cianpwee, aku terpukul hingga luka parah, bahkan
kepandaianku juga punah. Mohon lo cianpwee sudi memulihkan
kepandaianku!" sahut Ciok Giok Yin.
"Lohu sudah tidak mampu lagi."
Bukan main terkejutnya Ciok Giok Yin dan Soat Cak.
"Apakah lo cianpwee tidak sudi?" tanyanya hampir serak.

"Tadi lohu terkena sebutir Cap Tok Tan (Pil Sepuluh Racun).
Kini racun itu telah menyerang jantungku. Maka lohu tiada
waktu untuk memulihkan kepandaianmu."
"Lo cianpwee ahli dalam hal pengobatan, juga tidak dapat
memunahkan racun itu?" tanya Ciok Giok Yin.
Sai Pian Sih-Gouw Ling menghela nafas panjang.
"Tiada obat penawarnya sama sekali. Pil racun itu mengikuti
aliran darah menerjang ke dalam. Kalau pun punya obat yang
dapat menghidupkan orang, tidak akan bisa memunahkan
racun itu." Mendadak sepasang matanya bersinar terang.
"Kalau kau ingin pulih kepandaianmu, harus pergi mencari
Thian Lui Sian Seng (Tuan Geledek Langit)."
"Thian Lui Sianseng?"
"Ya."
"Beliau berada di mana?" tanya Ciok Giok Yin dan Soat Cak
dengan serentak.
"Sebelum lohu ditangkap oleh perkumpulan Sang Yen Hwee,
lohu pernah dengar, dia tinggal di Gunung Thian San. Kau
boleh ke sana, mohon Kim Kong Tan (Pil Arahat) padanya,
sebab pil itu dapat memulihkan kepandaiannya."
"Terimakasih atas petunjuk lo cianpwee,", kata Ciok Giok Yin.
Mereka berdua memandang wajah orang tua itu semakin
menghijau dan nafasnya juga bertambah lemah, namun tidak
dapat berbuat apa-apa. Mendadak Sai Pian Sih-Gouw Ling
bertanya dengan suara lemah,
"Kalian berdua merias wajah?"
"Ya."
"Ke Gunung Thian San mencari Thian Lui Sian-seng, harus
dengan wajah asli, jangan merias wajah. Sifat Thian Lui

Sianseng bagaikan geledek. Kalian harus tahu itu!"
Ciok Giok Yin manggut-manggut.
"Kanda Ciok, lebih baik kembali pada wajah asli saja," kata
Soat Cak.
Ciok Giok Yin segera mengeluarkan obat penghapus. Setelah
itu, mereka berdua segera menghapus wajah masing-masing.
Maka kini sudah tampak wajah asli mereka. Sedangkan Sai
Pian Sih-Gouw Ling memejamkan matanya beristirahat, namun
nafasnya sudah lemah sekali. Ciok Giok Yin menatapnya. Tanpa
terasa air matanya telah meleleh membasahi pipi. Soat Cak
yang berdiri di sampingnya, ketika melihat keadaan Sai Pian
Sih-Gouw Ling sudah sekarat, hatinya berduka
sekali. Mendadak Sai Pian Sih-Gouw Ling membuka matanya
perlahan-lahan, menatap Ciok Giok Yin sekilas. Bibirnya
bergerak-gerak, namun tak mampu mengeluarkan suara. Ciok
Giok Yin tidak tahu dia ingin berkata apa, maka langsung
berkata,
"Lo cianpwee mau pesan apa? Pesan saja! Aku pasti
melaksanakannya."
"Kami berdua pasti memenuhi pesan lo cianpwee," sambung
Soat Cak.
Tiba-tiba wajah Sai Pian Sih-Gouw Ling tampak kemerahmerahan,
bahkan juga bersemangat. Melihat itu, Ciok Giok Yin
tahu, itu merupakan saat terakhir bagi Sai Pian Sih-Gouw Ling.
Sai Pian Sih-Gouw Ling membuka mulut, berkata lemah sekali.
"Saudara Kecil, siapa namamu?"
"Ciok Giok Yin."
Sai Pian Sih-Gouw Ling menatap wajahnya lagi.
"Saudara Kecil, kau mirip seseorang," katanya perlahanlahan.
Hati Ciok Giok Yin tergerak.

"Lo cianpwee, aku mirip siapa?"
"Dia bukan marga Ciok."
Suaranya amat lemah, tidak terdengar jelas. Soat Cak yang
cerdas itu tahu, Ciok Giok Yin bertanya begitu pasti ada
sebabnya, maka dia segera bertanya.
"Orang tua itu bermarga apa?"
Wajah Sai Pian Sih-Gouw Ling sudah berubah pucat pias.
Bibirnya bergerak berkata lirih hampir tak kedengaran.
"Marganya... marganya...."
Perlahan-lahan mulut Sai Pian Sih-Gouw Ling menutup rapat,
ternyata nafasnya sudah putus. Ciok Giok Yin ingin tahu sedikit
asal-usulnya, cepat-cepat menggoyang-goyangkan bahunya
seraya berseru,
"Lo cianpwee bilang apa? Lo cianpwee bilang apa?"
Karena Sai Pian Sih-Gouw Ling diam saja, barulah Ciok Giok
Yin tahu bahwa orang tua itu telah meninggal. Tak terbendung
lagi, seketika juga air matanya bercucuran.
"Aku tidak membunuhnya, namun dia meninggal justru
karena aku," gumamnya. Sesungguhnya apabila kepandaian
Ciok Giok Yin tidak punah, tentunya Sai Pian Sih-Gouw Ling
juga tidak akan mati. Sedangkan Soat Cak juga mengucurkan
air mata. Gadis yang polos itu baru pertama kali melihat orang
mati, maka hatinya amat duka sekali. Mereka berdua berdiri
diam dengan air mata berderai-derai.
"Adik Cak, orang mati harus dikubur. Mari kita kuburkan
mayatnya!"
Soat Cak menghapus air matanya sambil mengangguk.
"Ya."

Mereka berdua menggali sebuah lubang, setelah itu
mengubur mayat Sai Pian Sih-Gouw Ling di lubang itu. Setelah
beres, matahari pun sudah merayap ke atas dari ufuk timur.
"Adik Cak, sekarang aku harus berangkat ke Gunung Thian
San," kata Ciok Giok Yin.
Tanpa berpikir lagi Soat Cak langsung menyahut, "Kita
berangkat bersama."
Ciok Giok Yin memandangnya.
"Perjalanan ke Gunung Thian San amat jauh, lagi pula penuh
bahaya. Karena itu aku ingin berangkat seorang diri.
Sedangkan kau berangkat ke Gunung Kee Jiau San markas
partai Thay Kek Bun, Setelah aku berhasil menemukan Thian
Lui Sianseng dan kepandaianku pulih, aku pasti pergi ke sana
menengokmu."
Soat Cak tampak gugup.
"Kanda Ciok, kepandaianmu telah punah. Aku sama sekali
tidak tega melihatmu melakukan perjalanan seorang diri. Lebih
baik aku mendampingimu ke Gunung Thian San. Ayo
berangkat!"
Gadis itu tidak menunggu Ciok Giok Yin berkata, segera
memegang lengannya lalu berangkat menuju ke Gunung Thian
San. Ciok Giok Yin sudah tidak bisa omong apa-apa, cuma
menurut saja. Berhubung kepandaiannya telah punah, dia tidak
bisa menggunakan ilmu ginkang. Ketika melihat Ciok Giok Yin
begitu susah berjalan, hati Soat Cak terasa amat sedih,
sehingga matanya tampak berkaca-kaca. Di saat melakukan
perjalanan, Soat Cak melihat ada orang menunggang kuda,
namun tidak tahu kuda itu dari mana. Dia memandang Ciok
Giok Yin seraya bertanya.
"Kanda Ciok, kita harus cari seekor kuda, jadi Kanda Ciok
tidak usah berjalan kaki."
Ciok Giok Yin tersenyum getir.

"Adik Cak, kuda itu harus dibeli."
"Beli?"
"Ng!"
"Kanda Ciok, kalau begitu kita harus membeli seekor kuda."
Ciok Giok Yin menggeleng-gelengkan kepala.
"Adik Cak, uangku tidak cukup untuk membeli seekor kuda.
Lagi pula dalam perjalanan, kita masih perlu makan dan
menginap, itu perlu pakai uang...."
Soat Cak tersenyum.
"Kanda Ciok, aku punya."
"Mana boleh pakai uangmu?"
"Kanda Ciok, aku adalah calon istrimu. Mengapa Kanda Ciok
masih berkata begitu? Ayo, kita ke kota membeli seekor kuda!"
Ciok Giok Yin mengangguk. Mereka berdua terus melakukan
perjalanan, tak lama sudah sampai di sebuah kota kecil. Di
kota kecil itu Ciok Giok Yin dan Soat Cak membeli seekor kuda,
juga makanan kering untuk bekal di perjalanan. Mereka berdua
menunggang kuda, langsung menuju arah barat. Dalam
perjalanan ini mereka berdua menempuh jalan kecil yang sepi
untuk menghindari musuh. Soat Cak amat memperhatikan Ciok
Giok Yin, membuat Ciok Giok Yin terharu dan berterimakasih
padanya. Sudah barang tentu cinta kasih mereka pun tumbuh
lebih mendalam. Ciok Giok Yin tahu akan tubuhnya yang tidak
seperti orang biasa, maka selalu mengendalikan diri, agar tidak
terjadi hal yang tak diinginkan. Di samping itu Ciok Giok Yin
juga memberitahukan pada Soat Cak mengenai dirinya, yang
mana tanpa sengaja telah makan Pil Api Ribuan tahun dan
juga....
Soat Cak tahu bahwa Ciok Giok Yin sudah mempunyai

tunangan, namun dia sama sekali tidak merasa cemburu,
sebaliknya malah bertambah gembira, karena masih ada gadis
lain mendampingi Ciok Giok Yin, jadi sama-sama tidak akan
kesepian. Hari ini mereka berdua telah tiba di Gunung Thian
San. Tapi gunung itu amat luas, lagi pula puncaknya menjulang
tinggi dan tertutup salju. Ingin mencari seseorang di gunung
itu bukanlah merupakan hal yang gampang. Kuda yang mereka
tunggangi, berjalan perlahan- lahan. Soat Cak sama sekali
tidak merasa lelah, tapi justru membuat Ciok Giok Yin amat
menderita, lantaran udara di gunung itu dingin sekali. Tak
seberapa lama kemudian kuda itu sudah tidak sanggup
mendaki lagi, maka terpaksa ditinggal begitu saja, sehingga
mereka berdua harus berjalan kaki menuju puncak.
Kini pakaian Ciok Giok Yin sudah tidak karuan, tersobek sana
sini. Sedangkan telapak tangannya sudah berdarah, sebab
ketika mendaki dia harus memegang batu-batu yang tajam.
Akan tetapi demi pulihnya ilmu kepandaiannya, dia berkertak
gigi dan menahan rasa sakit serta dingin, terus
mendaki. Hingga beberapa hari lamanya, jangankan berjumpa
orang, melihat burung pun tidak pernah. Ketika melihat
keadaan Ciok Giok Yin yang mengenaskan, bukan main
dukanya hati Soat Cak.
"Kanda Ciok, lebih baik kita beristirahat sejenak," katanya
dengan lembut.
Ciok Giok Yin menengadahkan kepala, ternyata hari sudah
senja. Saat ini angin berhembus menderu-deru. Suara deruan
itu kedengaran amat menyeramkan, bahkan terasa amat dingin
menusuk tulang.
"Adik Cak, kau ikut aku menderita...," katanya perlahan.
Soat Cak segera memutuskan perkataannya.
"Kanda Ciok, asal aku bisa berada di sisimu, mengalami
penderitaan apa pun aku tetap merasa gembira. Kanda Ciok, di
sana ada sebuah goa kecil. Mari kupapah kau ke sana Kita
bermalam di situ, esok kita cari lagi."

Ciok Giok Yin memandang ke arah yang ditunjuk Soat Cak, di
sana memang terdapat sebuah goa kecil. Dia mengangguk,
maka Soat Cak segera memapahnya ke dalam goa kecil itu.
Mereka duduk berhadapan. Soat Cak mengeluarkan sedikit
makanan kering, kemudian mereka berdua makan bersama.
"Adik Cak, Gunung ini amat luas. Sebetulnya Thian Lui
Sianseng berada di mana? Kita mencarinya secara membabi
buta, mungkin seumur hidup tidak akan dapat
menemukannya," kata Ciok Giok Yin.
"Kanda Ciok, bersabarlah sedikit! Asal Thian Lui Sianseng
tinggal di gunung ini, aku percaya pasti dapat
menemukannya."
Ciok Giok Yin manggut-manggut lalu memeluknya erat-erat.
Sebelah tangannya terus membelai rambut gadis itu, dengan
penuh cinta kasih dan kemesraan. Soat Cak yang berada dalam
pelukan Ciok Giok Yin merasa hangat dan nyaman. Kehangatan
dan kenyamanan ini tidak pernah diperolehnya dari ibunya.
Karena cinta kasih ibunya merupakan cinta kasih seorang ibu
terhadap anak, sedangkan cinta kasih yang diberikan Ciok Giok
Yin kepadanya adalah cinta kasih suami istri. Soat Cak
memejamkan matanya, menikmati cinta kasih tersebut.
Sementara malam pun sudah tiba. Di sekitar tempat itu gelap
gulita, tidak tampak apa pun. Mereka berdua tetap berpelukpelukan.
Mendadak sepasang mata Soat Cak terbelalak lebar,
kelihatannya dia sedang mendengar suatu suara. Suara yang
didengarnya ternyata adalah suara lonceng. Soat Cak segera
duduk.
"Kanda Ciok, kau mendengar suara?"
"Suara lonceng?"
"Ya."
"Tempat yang amat dingin dan tiada jejak manusia justru ada

kuil, bukankah aneh sekali?"
"Kanda Ciok, kita bertanya pada mereka, pasti dapat
menemukan Thian Lui Sianseng."
Di malam nan sunyi itu suara percakapan mereka bergema
keluar cukup jauh. Karena amat girang, maka tidak
mengherankan suara percakapan mereka menjadi begitu
kencang. Mendadak terdengar suara desiran. Tampak sesosok
bayangan bagaikan roh, muncul di hadapan goa kecil itu. Soat
Cak langsung bangkit berdiri, menghadang di depan Ciok Giok
Yin. Gadis itu memandang ke luar, ternyata yang muncul itu
adalah seorang hweesio tua. Sepasang matanya memancarkan
sinar tajam, menatap Soat Cak dan Ciok Giok Yin.
"Ada urusan apa kalian berdua ke mari?" tanyanya dengan
dingin.
"Taysu, kami ingin mencari seseorang," sahut Soat Cak.
"Cari siapa?"
"Thian Lui Sianseng."
"Thian Lui Sianseng?"
"Ya."
"Ada urusan apa mau cari dia?"
Saat ini Ciok Giok Yin sudah bangkit berdiri.
"Aku ingin memohon sesuatu pada beliau, mohon Taysu
memberi petunjuk!" sahut Ciok Giok Yin.
Air muka hweeshio tua tampak tenggelam.
"Belum pernah dengar ada Thian Lui Sianseng tinggal di
Gunung Thian San. Cepatlah kalian pergi, jangan mengantar
nyawa di tempat ini." katanya.

"Apakah ada bahaya?" tanya Ciok Giok Yin.
"Gunung Thian San diselimuti salju, lagi pula banyak binatang
buas. Orang yang kalian cari itu sama sekali tidak tinggal di
sini, maka alangkah baiknya kalian cepat-cepat meninggalkan
tempat ini."
"Bolehkah kami tahu gelar Taysu?"
"Gelarku Sih Ceng."
"Taysu berada di sini, tidak takut terhadap binatang buas?"
sela Soat Cak.
Si Ceng Taysu tidak menyangka gadis itu akan bertanya
demikian, sehingga membuatnya tertegun.
"Lolap (Aku Hweeshio Tua) punya cara melawan binatang
buas."
"Bagaimana cara Taysu melawan binatang buas. Bolehkah
Taysu memberitahukan? Sebab biar bagaimana pun kami harus
menemukan Thian Lui Sian- seng," kata Soat Cak.
Di saat bersamaan mendadak terdengar suara siulan panjang
di dalam lembah. Suara siulan itu bagaikan pekikan sang naga,
amat nyaring dan bergema menembus angkasa. Seketika
sepasang mata Sih Ceng Taysu berputar, lalu dia berkata,
"Kalau kalian tidak mau mendengar nasehat lohap, terserah
kalian mau pergi mencari!"
Badannya bergerak, langsung melesat menuruni gunung.
"Tunggu Taysu!" seru Soat Cak gugup.
Begitu mendengar seruan gadis itu Sih Ceng Taysu langsung
berhenti.
"Ada urusan apa?" tanyanya.

"Taysu tinggal di sini, tentunya tahu Thian Lui Siangseng
berada di mana. Mohon Taysu sudi memberitahukan,
selamanya kami tidak akan melupakan budi kebaikan Taysu!"
sahut Soat Cak dengan nada bermohon.
"Sebetulnya ada urusan apa kalian mencari dia?"
"Aku ingin mohon sebutir pil Kim Kong Tan," sahut Ciok Giok
Yin.
"Kim Kong Tan?"
"Ya."
"Untuk apa pil Kim Kong Tan itu?"
Ciok Giok Yin diam. Soat Cak memandangnya sambil berkata
dengan lembut.
"Kanda Ciok, katakan!"
Ciok Giok Yin mengangguk lalu menutur tentang dirinya dan
bagaimana kepandaiannya punah. Setelah itu dia pun
menambahkan.
"Mohon petunjuk Taysu!"
"Lebih bagus kepandaian itu punah. Mengapa harus
dipulihkan lagi?" kata Sih Ceng Taysu dingin.
Mendengar itu, gusarlah Ciok Giok Yin.
"Dasar keledai gundul, sama sekali tidak tahu aturan!"
bentaknya.
Justru sungguh mengherankan. Sih Ceng Taysu tidak marah
dicaci demikian. Sebaliknya dia malah tertawa gelak lalu
berkata,
"Lohap tahu pun tidak akan memberitahukan pada kalian! Ha
ha ha!"

Dia langsung melesat ke arah lembah itu. Di saat bersamaan
terdengar lagi suara siulan di dalam lembah itu, pertanda ada
seorang tokoh berkepandaian amat tinggi di dalam lembah
tersebut. Lantaran Sih Ceng Taysu berkata begitu, membuat
kegusaran Ciok Giok Yin memuncak dan dia langsung mencaci.
"Keledai gundul, suatu hari nanti aku pasti melubangi
kepalamu yang gundul itu!"
"Dia adalah orang yang telah menyucikan din, namun hatinya
begitu kejam, sampai hati tidak memberitahu kita," kata Soat
Cak.
Dia pun tampak gusar. Ingin rasanya menyusul hweeshio tua
itu untuk memberi pelajaran padanya. Namun dia tidak berani
meninggalkan Ciok Giok Yin, khawatir Ciok Giok Yin akan
terjadi sesuatu. Sementara Ciok Giok Yin masih terus mencaci
Sih Ceng Taysu. Mendadak suara bentakan sengit dari dalam
lembah.
"Bocah, kalian cari Thian Lui Sianseng, apakah kalian kenal
dia?"
"Beliau adalah kakek dari ibuku!" sahut Soat Cak.
"Tapi dia tidak kenal kalian!" kata orang yang ada di dalam
lembah.
"Kenal tidak kenal tidak jadi masalah, yang penting kami
memperoleh sebutir Pil Kim Kong Tan, agar Kanda Ciok pulih
kepandaiannya!" seru Soat Cak.
Terdengar suara seruan di dalam lembah.
"Itu omong kosong! Cepatlah kalian enyah! Ha ha ha!"
Bukan main gusarnya Ciok Giok Yin!
"Apakah gunung ini milikmu? Aku tidak mau pergi, kalian bisa
berbuat apa terhadap diriku?" sahutnya.

"Bocah, kau memang cari mati!"
Terdengar suara itu semakin dekat. Tampak sosok bayangan
berkelebat bagaikan roh masuk ke dalam goa, sekaligus
menyambar Ciok Giok Yin dan dibawa pergi. Dapat
dibayangkan betapa terkejutnya Soat Cak!
"Lepaskan dia!" bentaknya nyaring lalu melesat ke dalam
lembah.
Ketika sampai di dalam lembah dia melihat tiga buah gubuk.
Di samping salah satu gubuk itu terdapat sebuah telaga kecil,
yang airnya agak kehitam-hitaman. Karena amat
mencemaskan Ciok Giok Yin, Soat Cak langsung menerobos ke
dalam gubuk itu. Tampak Sih Ceng Taysu sedang duduk bersila
di sebuah ranjang. Saking gusarnya Soat Cak langsung
membentak.
"Keledai gundul, cepat kembalikan Kanda Ciok-ku!"
Dia langsung menyerang Sih Ceng Taysu. Hweeshio tua itu
tersenyum dan mendadak ujung jubahnya bergerak. Seketika
Soat Cak merasa ada serangkum angin keras menerjang ke
arah Cian Mo Hiatnya. Gadis itu ingin berkelit, tapi sudah
terlambat, karena jalan darahnya itu telah tertotok, sehingga
membuat sekujur badannya tak dapat bergerak.
"Bocah perempuan, kau tenang-tenanglah sebentar di sini!"
kata Sih Ceng Taysu dingin, kemudian melesat ke luar.
Gugup, panik dan gusar membaur dalam hati Soat Cak. Tapi
dia sama sekali tidak bisa bergerak, membuatnya amat cemas,
karena tidak tahu Ciok Giok Yin berada di mana. Kalau terjatuh
ke tangan musuh, nyawanya pasti melayang. Soat Cak cepatcepat
menghimpun hawa murninya untuk menembus jalan
darahnya yang tertotok. Sementara Ciok Giok Yin yang dibawa
pergi ternyata sudah dibawa sampai di pinggir telaga. Orang itu
melempar Ciok Giok Yin ke bawah, kemudian menamparnya
dua kali.

Plak! Plak!
"Bocah, sungguh besar nyalimu! Berani datang di Gunung
Thian san!" bentaknya.
Usai membentak, orang itu memukul dan menendang Ciok
Giok Yin, sehingga badannya terguling-guling di tanah. Di saat
berhenti, barulah Ciok Giok Yin melihat jelas orang itu ternyata
adalah seorang tua. Ciok Giok Yin ingin membuka mulut
mencacinya, tapi orang tua itu sudah menendangnya lagi,
maka Ciok Giok Yin tidak sempat mencacinya. Perbuatan orang
tua itu membuat Ciok Giok Yin yakin dia adalah seorang tokoh
dari golongan hitam. Sayang sekali Ciok Giok Yin belum
menemukan Thian Lui Sianseng. Seandainya dia telah bertemu
Thian Lui Sianseng dan kepandaiannya bisa pulih, dia pasti
akan membunuh orang tua itu. Memang sadis juga orang tua
itu. Dia terus menerus menendang dan memukul Ciok Giok Yin.
Mendadak orang tua itu menyambar Ciok Giok Yin dan
membentak.
"Bocah, kau harus minum beberapa teguk air telaga dingin
itu, agar kau tahu diri, tidak berkeliaran di tempat ini!"
Plum!
Ternyata orang tua itu telah melempar Ciok Giok Yin ke dalam
telaga dingin itu. Sedangkan dia duduk di pinggir telaga,
kelihatannya santai sekali, bahkan menggoyang-goyangkan
sebelah kakinya. Walau Ciok Giok Yin dipukul dan ditendang,
tapi dia tidak pingsan. Ketika badannya tenggelam ke dalam
telaga dingin itu, dia cepat-cepat menahan nafas, lalu timbul ke
atas. Namun tak disangka ketika Ciok Giok Yin timbul, orang
tua itu menggunakan ilmu Sih Khong Ciap Yu (Ilmu Menyambut
Jarak Jauh), maka Ciok Giok Yin jatuh di pinggir telaga.
"Bocah, nyawamu sungguh panjang!" bentak orang tua itu.
Usai membentak dia pun mengayunkan tangannya.
Plak! Plak!

Ternyata dia menampar Ciok Giok Yin. Saat ini kegusaran
Ciok Giok Yin sungguh-sungguh memuncak.
"Orang tua sialan! Aku tidak bermusuhan denganmu,
mengapa..." cacinya.
"Agar kau tahu kelihayanku!" sergah orang tua itu.
Di saat bersamaan mendadak terdengar suara bentakan
nyaring.
"Tua bangka, kau berani!"
Ternyata yang membentak itu adalah Soat Cak. Dia melesat
cepat ke tempat itu. Badannya masih berada di udara,
sekonyong-konyong terdengar suara pujian pada sang Buddha.
"Omitohud! Bocah perempuan! Hebat juga kau dapat
membebaskan totokanku!"
Tampak sebuah tasbih meluncur ke arah Soat Cak dan
kemudian berkelebatan mengurungnya. Siapa hweeshio itu,
tidak lain adalah Sih Ceng Taysu. Walau kepandaian Soat Cak
cukup tinggi, namun tetap tidak dapat menandingi hweeshio
tua itu. Oleh karena itu dia terdesak ke belakang. Kelihatannya
hweeshio tua dan orang tua itu mempunyai maksud
memisahkan Soat Cak dengan Ciok Giok Yin. Sebab hweeshio
tua itu terus mendesak Soat Cak, sedangkan orang tua itu
terus menyiksa Ciok Giok Yin yang telah punah kepandaiannya.
Dia menampar Ciok Giok Yin kemudian menendang lagi
hingga terpental ke dalam telaga. Kali ini Ciok Giok Yin
merasakan dinginnya air telaga itu sampai menusuk ke dalam
tulang. Kesadaran Ciok Giok Yin masih jernih, maka dia dapat
timbul lagi di permukaan telaga lalu berenang ke tepi. Namun
tak disangka orang tua itu telah menduga akan hal tersebut.
Dia telah menunggu di tempat yang akan dituju oleh Ciok Giok
Yin.
"Bocah, kau harus tenggelam ke dasar telaga dingin ini!"
bentaknya sambil mendorongkan sepasang telapak tangannya

ke arah Ciok Giok Yin.
Angin yang ditimbulkan oleh dorongan sepasang telapak
tangan orang tua itu amat dahsyat, berhasil menekan tubuh
Ciok Giok Yin hingga tenggelam. Begitu berturut-turut
beberapa kali, sehingga membuat Ciok Giok Yin tidak dapat
mencapai pinggir telaga. Saat ini Ciok Giok Yin sama sekali
tidak menyadari satu hal, yakni dia mampu meloncat ke atas
permukaan telaga hingga satu depa. Dalam hatinya hanya
terdapat dendam terhadap orang tua itu. Akan tetapi dia tidak
bisa naik ke atas. Lagi pula dia pun tidak tahan terhadap
dinginnya air telaga. Oleh sebab itu tanpa sadar dia
mengerahkan hawa murni di Tantiannya.
Buuuyar!
Ternyata dia telah mencelat ke atas tiga depa. Namun setelah
badan Ciok Giok Yin berada di udara, orang tua itu sudah tidak
tampak lagi. Ciok Giok Yin segera melesat ke tepi telaga.
Setelah sampai di tepi telaga dia tercengang. Ternyata rasa
sakit di sekujur badannya telah hilang, bahkan sebaliknya
kepandaiannya malah telah pulih kembali. Dapat
dibayangakan, betapa girang hatinya! Orang tua itu
menampar, memukul dan menendangnya, tujuannya adalah
memulihkan kepandaiannya. Pantas ketika terpukul, sekujur
badannya terasa panas. Di saat itulah dia teringat sesuatu dan
langsung berseru tak tertahan.
"Thian Lui lo cianpwee! Thian Lui lo cianpwee... !"
Ketika dia baru mau melesat perti, mendadak terdengar suara
yang amat menderu di belakangnya.
"Tunggu, Saudara!"
Ciok Giok Yin segera membalikkan badannya. Tampak berdiri
seorang gadis berusia tujuh belasan. Di belakang gadis itu, di
permukaan telaga terapung selembar daun teratai yang amat
lebar. Kelihatannya gadis itu tidak berniat jahat, lagi pula
parasnya cukup cantik. Ciok Giok Yin segera menjura.

"Mohon tanya, Nona ada petunjuk apa?"
Gadis itu menatap Ciok Giok Yin sejenak.
"Siapa nama Saudara?"
"Namaku Ciok Giok Yin."
"Nyonya kami mengundang Saudara ke rumah."
"Nyonya?"
"Ya."
"Siapa nyonya itu?"
"Saudara ke sana pasti tahu."
Ciok Giok Yin tertegun, karena dia baru pertama kali ini
datang di Gunung Thian San, bagaimana mungkin ada orang
mengenalnya? Sungguh aneh sekali! Namun Ciok Giok Yin
teringat kepada Soat Cak, maka dia berkata,
"Aku harus memberi tahu temanku dulu, setelah itu barulah
pergi bersama Nona."
"Tidak perlu memberi tahu dia, sebab cuma pergi sebentar
saja."
Ciok Giok Yin mengerutkan kening.
"Aku khawatir dia akan jatuh ke tangan penjahat."
"Legakan hatimu, itu tidak akan terjadi."
Berhenti sejenak, kemudian gadis itu melanjutkan.
"Silakan, Saudara!"

Jari tangan gadis itu menunjuk daun teratai lebar yang
terapung di permukaan telaga. Ciok Giok Yin tidak langsung
melesat ke sana, melainkan wajahnya kelihatan serba salah.
Gadis itu menatapnya.
"Apakah Saudara bercuriga aku berbohong?"
Usai berkata, gadis itu melesat ke atas daun teratai tersebut.
Seketika Ciok Giok Yin berpikir. Nyawaku boleh dikatakan
terpungut kembali dan kini kepandaianku telah pulih. Kalaupun
telaga naga atau goa macan, aku harus menerjang ke sana!
Di saat Ciok Giok Yin sedang berpikir, gadis itu berkata,
"Silakan, Saudara!"
Ciok Giok Yin mengeraskan hati, lalu melesat ke atas daun
teratai tersebut. Begitu sepasang kaki Ciok Giok Yin baru
menginjaknya, daun teratai tersebut mulai bergerak ke tengah
telaga. Hati Ciok Giok Yin tersentak, gadis itu masih begitu
muda, namun ginkangnya sudah sedemikian tinggi. Sungguh
mengagumkan! Ketika Ciok Giok Yin berpikir demikian,
mendadak daun teratai itu mulai tenggelam.
Ciok Giok Yin terkejut.
"Nona..." katanya.
Gadis itu sudah tahu apa yang akan diucapkan Ciok Giok Yin.
Dia langsung senyum seraya berkata.
"Jangan takut, Saudara. Aku keluar masuk memang
menggunakan daun teratai ini. Di dalam ada pintu rahasia,
juga terdapat Pik Sui Cu (Mutiara Penangkal Air), jadi pakaian
kita tidak akan basah."
Ciok Giok Yin cepat-cepat menengok ke sekelilingnya, tampak
air telaga terbelah jadi dua. Melihat kejadian itu, wajah Ciok
Giok Yin menjadi kemerah-merahan. Gadis itu tertawa geli.

"Hi hi! Kau takut ya?"
Hati Ciok Giok Yin menjadi kesal mendengar itu.
"Aku berkelana dalam rimba persilatan, masih belum tahu apa
yang disebut takut. Sebetulnya siapa nyonya itu?"
"Sabar! Sebentar lagi Saudara akan mengetahuinya."
Sementara daun teratai itu terus merosot ke bawah. Namun
walau sudah belasan depa, belum mencapai dasar telaga.
Mendadak di depan mata Ciok Giok Yin tampak terang
benderang. Sebuah goa muncul di hadapannya. Sungguh
mengherankan! Kira-kira dua depa di depan goa itu sama
sekali tidak tampak air setetes pun. Gadis itu langsung
meloncat, sudah sampai di depan pintu goa. Sedangkan Ciok
Giok Yin mendongakkan kepala. Dia melihat di atas pintu goa
terukir beberapa huruf 'Coat Ceng Tong Thian (Goa Langit
Tanpa Perasaan)'. Setelah membaca keempat huruf itu, dia
meloncat ke depan pintu goa lalu bertanya kepada gadis itu
dengan suara rendah.
"Nona, mengapa di sini tidak ada air?"
"Di dinding goa terdapat Mutiara Penangkal Air, maka di
dalam goa tidak ada air. Silakan masuk!"
Ciok Giok Yin mengikuti gadis itu ke dalam goa. Lorong goa
itu amat panjang. Setiap berapa langkah pasti terdapat sebutir
mutiara yang memancarkan cahaya, sehingga lorong goa itu
menjadi agak terang. Tentunya membuat Ciok Giok Yin
terheran-heran. Di kolong langit ini memang banyak hal aneh.
Mimpipun tak dapat menduga, bahwa di dasar telaga dingin ini
terdapat sebuah goa. Penghuni goa ini pasti seorang tokoh tua
yang tidak tertarik akan duniawi. Di saat Ciok Giok Yin sedang
berpikir, gadis itu berkata dengan suara rendah.
"Tunggu sebentar ya, aku ke dalam melapor!"
Usai berkata, dia langsung berjalan ke dalam. Ciok Giok Yin

berjalan ke dalam menuju ruang batu. Sampai di dalam, dia
melihat seorang wanita berusia lima puluhan duduk di atas
ranjang batu, sedangkan gadis yang membawa Ciok Giok Yin
berdiri di sampingnya. Sepasang mata wanita itu amat tajam,
sepertinya akan menembus ke dalam hati orang. Sekujur
badan Ciok Giok Yin menjadi merinding, tidak berani beradu
pandang dengannya. Setelah berada di hadapan wanita itu,
Ciok Giok Yin memberi hormat seraya berkata,
"Boanpwee (Aku Yang Rendah) Ciok Giok Yin memberi hormat
pada lo cianpwee!"
"Kau bernama Ciok Giok Yin?" tanya wanita itu dengan dingin.
"Ya."
"Bagaimana kau bisa datang di telaga dingin Gunung Thian
San ini?"
"Aku ke mari mencari seorang lo cianpwee."
"Siapa? Bolehkah aku tahu?"
"Thian Lui Sianseng."
"Thian Lui Sianseng?"
"Ya."
"Ada urusan apa kau mencarinya?"
Ciok Giok Yin tahu bahwa wanita itu tidak berniat jahat
terhadapnya, maka dia menyahut dengan jujur.
"Karena kepandaianku masih rendah, sehingga terluka parah
di tangan seorang gadis yang memakai kain penutup muka,
membuat kepandaianku punah. Seorang cianpwee memberi
petunjuk padaku, harus ke mari mencari Thian Lui Sianseng."
"Kau sudah menemukannya?" tanya wanita itu.

"Belum."
"Bagaimana cara kepandaianmu bisa pulih kembali?"
Ciok Giok Yin tidak tahu orang tua tadi, karena itu dia
menutur tentang kejadian tersebut. Setelah mendengar
penuturan Ciok Giok Yin wanita yang duduk di atas ranjang
batu, mendengus dingin.
"Hmmm! Tak disangka setan tua itu masih punya
kehebatan!"Dia memandang Ciok Giok Yin. "Dia sudah
memberimu pil Kim Kong Tan?"
"Belum," sahut Ciok Giok Yin dengan tertegun.
"Untuk apa setan tua itu menyimpan pil Kim Kong Tan?"
Mendadak hati Ciok Giok Yin tergerak, kemudian dia berkata
dalam hati, 'Wanita ini menyebut Thian Lui Sianseng setan tua.
Apakah mereka berdua telah lama kenal?' Karena itu dia
bertanya.
"Mohon tanya siapa cianpwee?"
Sepasang mata wanita yang duduk di atas ranjang batu itu
langsung menyorot dingin dan kemudian dia balik bertanya,
"Kau melihat empat huruf yang terukir di atas pintu goa?"
Ciok Giok Yin terbelalak.
"Coat Ceng Hujin?" serunya tak tertahan.
"Ya."
Seketika Ciok Giok Yin berseru lagi.
"Hah? Kalau begitu, cianpwee...!"
"Maksudmu aku belum mati?" kata Coat Ceng Hujin.

Ciok Giok Yin tertegun tidak berani menyahut.
"Jangan takut, kau dengar dari siapa?" tanya Coat Ceng Hujin
lagi.
Di saat bersamaan Ciok Giok Yin teringat akan penuturan
Khouw Pei Ing, serta Soat Cak yang dijodohkan padanya. Oleh
karena itu dia langsung menutur tentang itu, kemudian
menambahkan,
"Cianpwee, kini Adik Cak masih berada di tepi telaga."
"Kalau begitu dia adalah cucuku."
"Ya."
Ciok Giok Yin cepat-cepat melanjutkan.
"Dia berada di sana, apakah dalam bahaya?"
"Legalah hatimu, setan tua itu adalah Thian Lui Sianseng yang
kau cari itu."
Ciok Giok Yin terbelalak.
"Jadi orang tua itu benar Thian Lui Sianseng?"
"Tidak salah."
"Kalau begitu aku tidak mau menemui orang tua itu lagi."
"Mengapa?"
"Orang tua itu... telah menyiksaku, sehingga aku pun
mencacinya."
"Itu tidak jadi masalah, sifatnya memang begitu." Coat Ceng
Hujin berpikir sejenak. "Tahukah kau apa sebabnya aku
memanggilmu ke mari?"
"Tidak tahu."

Coat Ceng Hujin berkata dengan dingin.
"Urusanku masa lalu tentunya kau sudah dengar dari ibunya
Soat Cak. Itu menghancurkan diriku atau bukan, aku sendiri
pun tidak dapat membedakannya. Biarlah kaum rimba
persilatan yang menilainya."
Mendadak terlintas suatu hal dalam benak Ciok Giok Yin,
maka dia segera bertanya.
"Lo cianpwee, bolehkah lo cianpwee menjelaskan tentang
urusan masa lalu itu?"
"Urusan itu telah berlalu, untuk apa diungkit kembali? Aku
terpukul jatuh ke dalam telaga dingin ini oleh tiga tokoh
persilatan yang berhati kerdil. Kemudian aku hidup menyendiri
dua puluh tahun di sini. Namun hatiku masih amat penasaran
terhadap ketiga tokoh persilatan itu."
"Siapa ketiga tokoh persilatan itu?"
"Yang pertama adalah Mok Pak Tiau (Rajawali Gurun Utara).
Dia adalah hweeshio tua yang di atas itu."
"Hah? Ternyata dia!" seru Ciok Giok Yin tak tertahan.
"Dia berada di telaga itu sesungguhnya sedang mengawasiku,
apakah aku sudah mati atau belum. Justru tak disangka setan
tua itu malah jadi kawannya."
"Bagaimana sikap Mok Pak Tiau terhadap orang?"
"Dari segi luarnya kelihatan memang welas asih, namun
hatinya licik dan banyak akal busuknya. Dia manusia rendah."
"Mohon tanya, bagaimana Thian Lui lo cianpwee bisa menjadi
kawan baiknya?"
"Kini dia adalah Sib Ceng Taysu, menutupi wajah aslinya yang
dulu."

"Dia berada di atas sana, mengapa lo cianpwee tidak mau
membasminya demi keselamatan dunia persilatan?"
"Kaum rimba persilatan semuanya tahu aku telah tenggelam
ke dalam telaga dingin. Lagi pula sepasang kakiku telah
lumpuh, tidak leluasa berjalan, maka aku bersabar hingga saat
ini. Kini kau sudah ke mari, maka aku ingin mohon
bantuanmu."
"Mohon bantuanku?"
"Ya. Namun aku tidak memakaimu secara cuma-cuma."
"Bantuan apa yang dapat kuberikan, lo cianpwee katakan
saja!"
"Sekarang jangan bicarakan soal ini, terlebih dahulu kau
kuwarisi Coat Ceng Ciang (Ilmu Pukulan Tanpa Cinta)."
"Coat Ceng Ciang?"
Coat Ceng Hujin mengangguk.
"Benar. Sekarang perhatikan!"
Mendadak badan Coat Ceng Hujin mengapung ke atas dengan
posisi tidak berubah. Tampak telapak tangannya berkelebat ke
sana ke mari, namun tidak mengeluarkan suara. Ketika
menyaksikan ilmu pukulan itu Ciok Giok Yin berpikir, ilmu
pukulan itu tidak menimbulkan suara maupun angin pukulan,
bagaimana mungkin dapat melukai orang? Lagi pula dalam
keadaan posisi duduk. Kelihatannya Coat Ceng Hujin tahu akan
apa yang dipikirkan Ciok Giok Yin.
"Cobalah kau berlatih sebentar!"
Walau Ciok Giok Yin tidak begitu yakin akan ilmu pukulan
tersebut, namun dia tidak berani membantah. Tak disangka
begitu dia mulai berlatih, ternyata ilmu pukulan itu amat luar
biasa. Meskipun cuma satu jurus, tapi banyak mengandung

perubahan yang tak dapat diduga sama sekali.
Coat Geng Hujin manggut-manggut kemudian berkata,
"Kau harus membunuh ketiga orang itu dengan ilmu pukulan
ini."
Hati Ciok Giok Yin tersentak.
"Membunuh tiga orang?"
"Tidak salah."
"Siapa ketiga orang itu?"
"Orang yang pertama adalah hweeshio tua yang di atas itu."
Ketika mendengar itu, Ciok Giok Yin termundur selangkah dan
membatin. 'Walau dulu orang itu amat licik dan berakal busuk,
tapi kini dia telah menyucikan diri bergelar Sih Ceng Taysu.
Buddha bersabda, 'Letakkan golok pembunuh dan segeralah
menjadi Buddha.' Lalu apakah aku harus turun tangan
terhadap murid Sang Buddha?'
Karena melihat Ciok Giok Yin diam, maka Coat Ceng Hujin
segera bertanya,
"Kau tidak bersedia?"
"Kini dia telah menyucikan diri menjadi hweeshio," sahut Ciok
Giok Yin.
Coat Ceng Hujin mendengus dingin.
"Hmm! Aku beritahukan, dia berada di sini selain
mengawasiku, juga mempunyai suatu tujuan.
Ciok Giok Yin tercengang.
"Masih ada tujuan lain?"

"Betul."
"Apa tujuannya?"
"Dia ingin memiliki kitab Hong Lui Ngo Im Keng."
"Hong Lui Ngo Im Keng?"
"Ya."
"Lo cianpwee, Hong Lui Im Keng ada di tangan Adik Cak."
Coat Ceng Hujin terbelalak dan langsung bertanya,
"Kini berada di tangan Anak Cak?"
"Ya."
"Kalau begitu, kau harus segera keluar, jangan sampai kitab
itu direbut hweeshio keparat itu!"
Ketika Ciok Giok Yin baru mau pergi, mendadak Coat Ceng
Hujin memanggilnya.
Ciok Giok Yin berhenti, maka Coat Ceng Hujin lalu berkata,
"Dua orang lagi adalah Pek Hap Hui Su dari Siauw Lim Si, tapi
sudah dikeluarkan dari pintu perguruan Siauw Lim Si. Yang
satu lagi adalah Tong Hai Kui Mo (Setan Iblis Laut Timur). Dia
menatap Ciok Giok Yin. "Kau harus mewakiliku membasmi
ketiga orang itu dengan ilmu pukulan Coat Ceng Ciang."
Ciok Giok Yin mengangguk.
"Ya."
Namun dia berkata dalam hati. 'Seandainya ketiga orang itu
sudah bertobat, apakah tetap harus kubunuh?' Karena itu Ciok
Giok Yin bertanya,
"Bolehkah aku mengajukan sebuah pertanyaan?"

"Pertanyaan apa?"
"Seandainya ketiga orang itu sudah bertobat, lalu aku harus
bagaimana?"
Coat Ceng Hujin tertegun, karena tidak menyangka Ciok Giok
Yin akan mengajukan pertanyaan seperti itu.
"Sifat manusia sulit diubah, itu tidak akan salah. Kalau
memang mereka sudah bertobat, terserah kau saja," katanya
kemudian.
"Terimakasih, lo cianpwee."
Coat Ceng Hujin menengok gadis yang berdiri di sampingnya.
"Antar dia keluar!"
"Ya."
Gadis itu segera mengantar Ciok Giok Yin meninggalkan goa
tersebut, tetap melalui daun teratai itu meluncur ke atas.
Setelah sampai di permukaan telaga gadis itu berkata,
"Saudara Ciok, silakan ke darat, aku tidak mengantar lagi."
"Terimakasih, Nona!" ucap Ciok Giok Yin sambil memandang
gadis itu. Kemudian dia melesat ke tepi. Ketika dia
membalikkan badannya, gadis itu sudah tidak
kelihatan. Beberapa saat kemudian, ketika Ciok Giok Yin mau
mencari Soat Cak, mendadak terdengar suara desiran ujung
baju. Ciok Giok Yin bergerak cepat membalikkan badannya,
tampak orang tua itu berdiri di situ. Sepasang matanya
menyorot tajam menatap wajah Ciok Giok Yin, bahkan tak
berkedip sama sekali.
"Bocah, kau ke mana?" tanya orang tua itu dingin.
Ciok Giok Yin balik bertanya.

"Apakah lo cianpwee adalah Thian Lui Sian-seng?"
"Tidak salah."
"Terimakasih atas kebaikan lo cianpwee telah memulihkan
kepandaianku."
"Jangan omong kosong! Tadi kau ke mana?"
"Aku pergi menemui Coat Ceng Lo cianpwee...."
Mendadak Thian Lui Sianseng bergerak cepat laksana kilat,
mencengkeram lengan Ciok Giok Yin.
"Kau bilang apa?" bentaknya.
Ciok Giok Yin yang tidak menduga bahwa Thian Lui Sianseng
akan mencengkeramnya, maka dia tidak sempat berkelit.
Begitu lengannya tercengkeram, sekujur badannya menjadi
ngilu tak dapat bergerak. Bukan main gusarnya Ciok Giok Yin!
"Thian Lui lo cianpwee, kini aku sudah berada di tanganmu!
Kalau lo cianpwee mau membunuhku, silakan! Tapi kalau lo
cianpwee menginginkan aku menjawab, jangan harap!"
Thian Lui Sianseng tersadar, bahwa tindakannya memang
kelewat batas. Maka dia segera melepaskan tangannya dan
mundur tiga langkah.
"Katakan!" desaknya.
"Tadi aku pergi menemui Coat Ceng lo cianpwee."
"Dia berada di mana?"
"Di dasar telaga dingin itu."
"Benarkah itu?"
"Aku tidak perlu bohong, tapi... apakah lo cianpwee pernah
salah paham terhadapnya?"

Mendadak Thian Lui Sianseng tertawa gelak. Suara tawanya
bergema ke mana-mana. Beberapa saat kemudian dia berkata,
"Lohu menyesal dua puluh tahun lebih, karena telah salah
paham terhadapnya, kini memang sudah waktunya." Dia
merogohkan tangan ke dalam sakunya untuk mengeluarkan
sebuah botol kecil. "Bocah, pil Kim Kong Tan!" serunya.
Thian Lui Sianseng melempar pil tersebut ke arah Ciok Giok
Yin. Di saat bersamaan, mendadak tampak sosok bayangan
melesat ke sana laksana kilat. Ketika Ciok Giok Yin baru
menjulurkan tangannya mau menerima pil itu, bayangan
tersebut mendahului bahkan langsung menelannya.
Setelah itu terdengar suara tawa terkekeh
"Terimakasih, sobat lama!"
Thian Lui Sianseng dan Ciok Giok Yin memandang orang itu,
ternyata adalah Sih Ceng Taysu. Bayangkan betapa gusarnya
Thian Lui Sianseng!
"Sih Ceng, lohu cuma punya sebutir, kau..." bentaknya
dengan suara dalam.
Saat ini wajah Sih Ceng Taysu tampak bengis dan jahat.
Mendadak Ciok Giok Yin menggeserkan badannya mendekati
Sih Ceng Taysu lalu membentak sengit.
"Maling tua, kau memang sungguh jahat! Hari ini aku akan
mewakili Coat Ceng Hujin lo cianpwee membasmimu!"
Sembari berkata Ciok Giok Yin menyerang Sih Ceng Taysu
dengan ilmu pukulan Coat Ceng Ciang. Terdengar suara jeritan.
Mulut Sih Ceng Taysu menyemburkan darah segar. Dia
langsung melesat pergi lalu hilang di tikungan sebuah batu
besar. Ciok Giok Yin ingin mengejar, namun Thian Lui Sianseng
berseru,
"Siapa dia?"

"Apakah lo cianpwee tidak kenal?" sahut Ciok Giok Yin.
"Lohu cuma tahu dia dipanggil Sih Ceng Taysu."
"Dia adalah salah seorang dari tiga pengeroyok Coat Ceng lo
cianpwee, hingga terpukul jatuh ke dalam telaga dingin. Mok
Pak Tiau adalah dirinya."
"Hah? dia... dia adalah Mok Pak Tiau?" seru Thian Lui
Sianseng.
Ciok Giok Yin mengangguk.
"Ya."
"Kau dengar dari siapa?"
"Coat Ceng lo cianpwee."
"Dua puluh tahun lohu tertipu olehnya."
Mendadak Ciok Giok Yin teringat pada Soat Cak.
"Thian Lui lo cianpwee, di mana gadis yang bersamaku itu?"
Air muka Thian Lui Sianseng langsung berubah.
"Celaka!"
Ketika Thian Lui Sianseng baru mau pergi mengejar Sih Ceng
Taysu, mendadak terdengar suara seruan dari tengah-tengah
telaga. Thian Lui Sianseng dan Ciok Giok Yin menoleh, tampak
dua gadis berdiri di atas daun teratai. Salah satu gadis itu
adalah Soat Cak. Bukan main girangnya Ciok Giok Yin! seketika
itu juga hatinya menjadi lega. Soat Cak berkata dengan nada
duka.
"Kanda Ciok, untung tadi kakak ini menyelamatkanku? Kalau
tidak, mungkin aku akan dibawa pergi oleh keledai gundul itu.
Sementara ini aku akan tinggal di sini untuk belajar kungfu

pada nenekku. Kanda Ciok, jaga diri baik-baik, aku pasti
mencarimu kelak!"
Usai gadis itu berkata, daun teratai mulai merosot ke bawah.
Tiba-tiba Thian Lui Sianseng menengadahkan kepalanya
memandang langit seraya berseru dengan penuh kedukaan.
"Sudahlah! Sudahlah! Lohu mana masih punya muka
menemuinya?"
Usai berkata, dia meloncat ke dalam telaga dingin itu. Di saat
bersamaan kedua gadis yang berdiri di atas daun teratai sudah
tidak kelihatan lagi. Sedangkan Ciok Giok Yin ingin mencegah
perbuatan Thian Lui Sianseng, tapi sudah terlambat. Ciok Giok
Yin sama sekali tidak menduga bahwa Thian Lui Sianseng akan
mengambil jalan pendek, membunuh diri meloncat ke dalam
telaga dingin itu. Dia menghela nafas panjang. Kini hatinya
terasa agak hampa, sebab Soat Cak tinggal di tempat Coat
Ceng Hujin maka dalam perjalanan nanti dia akan kehilangan
pendamping, itu membuat hatinya terasa agak duka. Beberapa
saat dia berdiri termangu-mangu, setelah itu barulah berjalan
perlahan meninggalkan tempat itu.
Kini bertambah satu beban lagi di atas bahunya, yakni harus
mewakili Coat Ceng Hujin membasmi tiga orang, Salah seorang
di antaranya adalah Sih Ceng Taysu. Ternyata dia belum
bertobat. Sedangkan dua orang lagi, mungkin juga belum
bertobat. Ketika Ciok Giok Yin baru berjalan beberapa langkah,
mendadak terdengar suara seruan nyaring.
"Kanda Ciok, tunggu sebentar!"
Ciok Giok Yin cepat-cepat membalikkan badannya. Tampak
sosok bayangan langsing melayang turun di hadapannya, lalu
mendekap di dadanya. Ciok Giok Yin segera memeluknya
seraya berkata dengan lembut,
"Adik Cak, kau tidak mau tinggal di sini?"
Soat Cak menyahut sedih.

"Kanda Ciok, sementara ini aku memang harus tinggal di sini.
Kau harus baik-baik menjaga diri. Setelah melewati beberapa
waktu, aku akan mohon pada nenekku agar melepaskanku
untuk kembali ke sisimu."
Ciok Giok Yin membelai rambut gadis itu dengan penuh kasih
sayang.
"Adik Cak, kau juga harus baik-baik menjaga diri!"
"Aku tahu."
"Baiklah. Kau harus kembali ke sana."
"Kanda Ciok, nenekku menyuruhku menyampaikan satu
masalah, harus dilaksanakan."
"Urusan apa?"
"Cari kembali kitab Hong Lui Ngo Im Keng!"
Tertegun Ciok Giok Yin, menatap Soat Cak terbelalak.
"Eh? Bukankah kitab Hong Lui Ngo Im Keng ada padamu?"
"Telah hilang," sahut Soat Cak dengan wajah muram.
"Kok bisa hilang?"
Soat Cak tidak segera menyahut, sebab khawatir akan
membuat hati Ciok Giok Yin berduka. Ciok Giok Yin merasa
heran mengapa Soat Cak diam tidak mau memberitahukan.
"Adik Cak, beritahukanlah!"
Soat Cak menundukkan kepala, kemudian menutur tentang
kejadian itu dan menambahkan,
"Kanda Ciok, kalau kau berhasil mencari kitab Hong Lui Ngo
Im Keng, kakek dan nenek pasti bisa rujuk kembali. Kalau

tidak, nenek tidak akan memperdulikan kakek."
Ciok Giok Yin manggut-manggut. Hatinya amat terharu akan
kesetiaan Soat Cak padanya. Kemudian dia membelai gadis itu
sambil berkata dengan lembut.
"Adik Cak, aku telah membuatmu menderita," Ciok Giok Yin
menatapnya lembut. "Adik Cak, tadi Thian Lui lo cianpwee
terjun ke dalam telaga dingin, apakah tidak terjadi sesuatu
atas dirinya?"
"Sudah diselamatkan oleh nenek, namun sementara ini
mereka berdua belum berjumpa. Maka Kanda Ciok harus
berhasil mencari kitab itu, barulah mereka berdua akan
bertemu dan rujuk kembali."
Ciok Giok Yin manggut-manggut.
"Oooooh!"
Kemudian dia mendekati Soat Cak. Namun ketika baru ingin
menciumnya, mendadak terdengar suara seruan nyaring.
"Kakak Cak, kita sudah harus kembali!"
Soat Cak mengangguk.
"Ya."
Kemudian dia menatap Ciok Giok Yin dengan mata berkacakaca,
namun penuh diliputi cinta kasih yang amat dalam.
"Kanda Ciok, jaga dirimu baik-baik..." katanya dengan suara
rendah.
Soat Cak langsung melesat pergi dan tak lama sudah berada
di atas daun teratai. Dalam waktu sekejap kedua gadis itu
sudah tidak kelihatan. Ciok Giok Yin termangu-mangu
memandang permukaan telaga dingin itu. Berselang beberapa
saat barulah dia pergi dengan perasaan hampa. Ketika datang
di Gunung Thian San dia membawa perasaan perih dalam hati,

karena kepandaiannya telah punah. Berhasil dipulihkan atau
tidak, itu masih merupakan tanda tanya besar. Akan tetapi
hatinya masih terhibur karena Soat Cak berada di sampingnya.
Kini walau kepandaiannya telah pulih, tapi Coat Ceng Hujin
justru menahan Soat Cak tinggal di dalam dasar telaga dingin,
sehingga membuatnya merasa merana dan kesepian. Ciok Giok
Yin terus melesat dengan pikiran kacau. Namun dia telah
mengambil keputusan menuju ke Gunung Liok Pan San,
mencari Thian Thong Lojin untuk memecahkan rahasia kain
potongan itu. Sesudah itu dia harus berusaha mencari Seruling
Perak agar berhasil menguasai ilmu silat tertinggi, demi
membasmi murid murtad suhunya dan membasmi para
penjahat rimba persilatan. Pikiran ini membuatnya melesat
lebih cepat menuju Gunung Liok Pan San. Walaupun harus
melewati batu-batu curam, namun dia tetap melesat cepat,
karena ginkangnya memang sudah cukup tinggi.
Berselang beberapa saat, ketika dia sedang melesat di sebuah
puncak, mendadak dia melihat sosok bayangan yang diselimuti
kabut hijau. Ciok Giok Yin segera berhenti lalu memperhatikan
bayangan itu, ternyata adalah seorang wanita. Karena wanita
itu diselimuti kabut hijau, maka Ciok Giok Yin tidak dapat
melihat jelas wajahnya. Menyaksikan itu sekujur badan Ciok
Giok Yin menjadi merinding. Di tempat yang amat sepi ini
bagaimana mungkin ada wanita yang duduk diselimuti kabut
hijau? Kemungkinan besar adalah siluman penguasa gunung
itu. Dia ingin meninggalkan tempat itu perlahan-lahan, namun
mendadak bayangan itu menghela nafas panjang dan
kemudian berkata, seakan bergumam.
"Hua, sungguhkah kau tidak datang?" Dia menghela napas
panjang lagi, "Langit dan bumi takkan tua dan berubah, namun
cinta, budi dan dendam sulit dilarang."
Mendengar itu hati Ciok Giok Yin tersentak. Kemudian dia
berkata dalam hati. 'Wanita itu pasti bukan siluman penguasa
gunung ini. Mungkin dia telah berhasil melatih semacam ilmu
silat tingkat tinggi, maka sekujur badannya mengeluarkan
kabut hijau, dan kelihatannya dia sedang menunggu
seseorang."

Di saat Ciok Giok Yin sedang berkata dalam hati, wanita
tersebut sepertinya telah mengetahui akan kehadiran Ciok Giok
Yin. Badannya bergerak sedikit, kemudian bertanya pada Ciok
Giok Yin dengan dingin sekali.
"Mau apa kau ke mari?"
"Kebetulan aku lewat di sini, tanpa sengaja telah mengganggu
lo cianpwee, mohon lo cianpwee sudi memaafkanku!" sahut
Ciok Giok Yin.
"Kau juga kaum rimba persilatan?"
"Aku baru berkecimpung di rimba persilatan, namaku tidak
terkenal."
"Itu berarti kau memang kaum rimba persilatan. Aku ingin
bertanya padamu tentang seseorang!"
"Siapa?"
"Pernahkah kau mendengar Bu Tek Thay Cu (Pangeran Tanpa
Tanding) Siangkoan Hua?"
Ciok Giok Yin tertegun.
"Aku tidak pernah mendengarnya," sahutnya lalu berpikir
sejenak. "Kalau cianpwee membutuhkan tenagaku untuk
mencarinya, aku pasti melaksanakannya. Bagaimana menurut
cianpwee?"
Lama sekali barulah wanita itu menyahut.
"Tidak usah. Aku yakin cepat atau lambat dia pasti ke mari."
Usai menyahut, mendadak wanita yang diselimuti kabut hijau
melesat pergi, dan dalam sekejap sudah tidak kelihatan
bayangannya. Ciok Giok Yin terbelalak, kemudian berkata
dalam hati, 'Bukan main cepatnya gerakkan wanita itu!' Dia
maju beberapa langkah lalu memandang ke arah wanita itu

menghilang. Sekujur badannya menjadi bergemetaran,
ternyata di situ merupakan jurang yang amat dalam. Kalau
ginkang wanita itu belum mencapai tingkat tertinggi, tentunya
tidak berani melesat ke bawah jurang itu. Ciok Giok Yin
menggeleng-gelengkan kepala sambil bergumam.
"Sungguh di luar orang masih ada orang, di luar langit masih
ada langit!"
Dia mengela nafas panjang, setelah itu barulah melesat pergi.
Ketika baru melesat dua puluh depa, mendadak terdengar
suara percakapan. Dia tercengang dan langsung berhenti serta
pasang kuping mendengar dengan seksama. Terdengar suara
yang amat lirih, namun kemudian tidak terdengar lagi. Itu
membuat Ciok Giok Yin ragu, mungkin salah dengar, pada hal
cuma suara desiran angin. Ketika dia baru mau pergi, tiba-tiba
suara lirih itu terdengar lagi, tapi kali ini terdengar agak jelas.
"Kakak Yin, beberapa waktu ini kau ke mana?"
Ciok Giok Yin tertegun, karena mengenal suara itu. Kemudian
bertanya dalam hati, 'Siapa dia?' Di saat bersamaan terdengar
pula suara lelaki.
"Berkelana ke mana-mana."
"Kakak Yin, aku sungguh bersalah padamu," kata wanita itu.
"Maksudmu?"
"Tempo hari setelah aku mencuri peta si Kauw Hap Liok Touw,
aku pergi secara diam-diam, aku... sungguh bersalah! Tapi aku
melakukan itu karena terpaksa."
Mendengar sampai di sini, barulah Ciok Giok Yin ingat.
Ternyata wanita itu adalah murid Bu Lim Sam Siu, yang
diperintahkan untuk mencari petanya, tidak lain adalah Cen
Siauw Yun. Seketika juga amarah Ciok Giok Yin meluap, baru
mau.... Tapi setelah berpikir sejenak, dia batal keluar karena
ingin tahu siapa orang yang dipanggil Kakak Yin itu. Terdengar
lagi suara lelaki itu,

"Adik Yun, urusan itu telah berlalu, jangan diungkit kembali."
"Tidak, kau harus dengar dulu perkataanku," kata Cen Siauw
Yun.
"Baik, katakanlah!"
"Ketika itu aku memang ingin pergi begitu saja, namun
merasa tidak tega. Maka aku cepat-cepat meninggalkan tulisan
di kertas itu, agar kau berangkat duluan. Apakah kau
memperoleh itu?"
"Memperoleh apa?"
"Benda pusaka di dalam Goa Cian Hud Tong."
"Sama sekali tidak."
Cen Siauw Yun berseru kaget.
"Hah? Sungguh?"
"Untuk apa aku membohongimu?"
"Kalau begitu, mengapa suhuku mengambil kembali
kepandaianku?"
"Bagaimana mengambil kembali kepandaianmu?"
"Suhuku Bu Lim Sam Siu, ketika pulang wajah mereka
tampak gusar sekali. Mereka mencaciku telah berkhianat
karena memberitahu kau secara diamdiam, maka benda
pusaka yang di dalam Goa Cian Hud Tong itu telah kau
peroleh."
Cen Siauw Yun berhenti sejenak, kemudian melanjutkan,
"Karena itu ketiga suhuku langsung memusnahkan
kepandaianku. Seandainya aku tidak bertemu seorang lo
cianpwee, tentu kepandaianku tidak akan pulih kembali."

"Bu Lim Sam Siu begitu kejam?" kata lelaki itu.
"Karena tidak memperoleh benda pusaka yang mereka
inginkan, maka jadi amat gusar."
Hening sejenak, kemudian Cen Siauw Yun bertanya,
"Kakak Yin, sungguhkah kau belum memperolehnya?"
"Sungguh!"
"Mengapa begitu banyak orang mengatakan, bahwa kau yang
memperolehnya?"
"Yah! Mereka cuma menyebarkan isyu saja."
Ketika Ciok Giok Yin mendengar sampai di situ, barulah
teringat olehnya orang itu yang menyamar dirinya. Dapat
dibayangkan betapa gusarnya Ciok Giok Yin! Di saat dia baru
mau.....
Justru mendadak dia mendengar lelaki itu berkata, "Adik yun,
langit dan bumi menjadi saksi kita! Setelah kita seranjang,
barulah...."
Cen Siauw Yun segera memutuskan perkataannya.
"Kakak Yin, aku...."
Belum juga Cen Siauw Yun usai berkata, Ciok Giok Yin sudah
membentak sengit.
"Sungguh tak tahu malu kalian, aku Ciok Giok Yin berada di
sini!"
Suara bentakannya belum lenyap, terdengar suara jeritan
yang menyayat hati, kedengarannya seperti merosot ke bawah.
Di saat bersamaan tampak sosok bayangan mencelat ke atas
bagaikan kilat. Setelah diperhatikan, ternyata wajahnya mirip

sekali dengan Ciok Giok Yin, seperti pinang dibelah dua atau
saudara kembar.
Bagaimana Ciok Giok Yin akan membiarkannya kabur? Dia
mendorongkan sepasangan telapak tangannya ke depan seraya
membentak.
"Berhenti!"
Dorongan telapak tangan Ciok Giok Yin menimbulkan angin
yang amat kuat, bahkan mengandung hawa panas. Orang itu
terpaksa berhenti lalu berdiri tegak di hadapan Ciok Giok
Yin. Jarak mereka cuma dua depa. Ciok Giok Yin maju dua
langkah sambil berkata dengan dingin sekali.
"Maling jahat! Kau menyamar diriku dan melakukan
kejahatan di mana-mana! Tempo hari kau dapat melarikan diri,
hari ini kau jangan harap dapat kabur dalam keadaan selamat!"
Ciok Giok Yin palsu tertawa terkekeh-kekeh.
"Bocah! Siapa mati di tangan siapa masih belum tahu!"
Ciok Giok Yin maju dua langkah lagi.
"Mengapa kau menyamar sebagai diriku?" bentaknya sambil
mencelat ke atas, kelihatannya ingin menyerang orang itu.
"Tentu ada sebabnya!" sahut orang itu sambil mencelat ke
belakang.
Mendengar itu Ciok Giok Yin batal menyerangnya.
"Katakan!" bentaknya.
"Aku tidak mau mengatakan! Kau mau apa?"
"Lihat kau mau mengatakan atau tidak?"
Sembari berkata badan Ciok Giok Yin sudah maju, sekaligus
menyerangnya dengan ilmu pukulan Soan Hong Ciang. Pukulan

tersebut membuat orang itu termundur-mundur, namun
akhirnya berhasil mengelak serangan yang bertubi-tubi itu.
Orang itu tertawa dingin lalu berkata,
"Bocah haram! Hari ini aku pun tidak akan melepaskanmu!
Asal kau sudah mati, aku pun kembali pada wajah asliku!"
Mendadak dia melancarkan pukulan dahsyat ke arah Ciok
Giok Yin. Amarah Ciok Giok Yin sudah memuncak. Dia
berkertak gigi seraya membentak seperti guntur.
"Hari ini aku akan membuatmu kembali pada wajah aslimu!"
Ciok Giok Yin mengeluarkan jurus pertama ilmu pukulan Hong
Lui Sam Ciang. Akan tetapi tak disangka gerakan orang itu
amat gesit, bagaikan roh halus. Dia berhasil berkelit
menghindari pukulan yang dilancarkan Ciok Giok
Yin. Sedangkan Ciok Giok Yin sama sekali tidak menduga
bahwa gerakan orang itu begitu aneh. Mendadak tampak
telapak tangan Ciok Giok Yin berkelebat cepat, ternyata dia
telah mengeluarkan ilmu pukulan Coat Ceng Ciang. Terdengar
suara jeritan.
"Aaaakh !"
Krek! Krek! Krek!
Ternyata tulang rusak orang itu telah patah, badannya
terpental beberapa depa. Ciok Giok Yin melesat ke arahnya,
sepasang matanya tampak membara. Orang itu roboh
tertelentang. Ciok Giok Yin mengangkat sebelah kakinya lalu
dihentakkan di dada orang itu.
"Sebetulnya siapa kau?" bentaknya sengit.
Wajah orang itu kini kelihatan amat menyeramkan, sebab
penuh noda darah. Bahkan mulutnya masih mengeluarkan
darah. Dia dalam keadaan pingsan. Ciok Giok Yin menatapnya
dengan bengis. Berselang sesaat orang itu mulai siuman.
Sepasang matanya tampak suram.

"Aku sudah jatuh ke tanganmu. Kau mau membunuhku
silakan!"
"Mau tidak mau kau harus bilang, mengapa kau menyamar
sebagai diriku? Mengapa?" bentak Ciok Giok Yin.
Ciok Giok Yin mengerahkan tangan untuk menginjak dada
orang itu. Orang itu menjerit kemudian pingsan lagi. Beberapa
saat kemudian barulah dia siuman.
"Ciok Giok Yin, jangan harap aku mau buka mulut. Kalau kau
mau membunuhku silakan! Tapi kalau hari ini kau
membunuhku, tidak sampai tiga bulan kau pun tak akan
selamat!"
Usai berkata, dia memejamkan matanya dan mulutnya
ditutup rapat-rapat. Bukan main gusarnya Ciok Giok Yin! Dia
mengerahkan tenaga untuk menginjak dada orang itu lagi.
Seketika terdengar suara jeritan. Mulut orang itu
menyemburkan darah segar dan badannya kelonjotan sejenak,
lalu diam. Ternyata nafasnya telah berhenti. Ciok Giok Yin
belum merasa puas. Dia mengayunkan kakinya menendang
mayat orang itu ke dalam jurang. Dia teringat pada Cen Siauw
Yun, maka segera melesat ke belakang batu besar. Di sana dia
melihat selembar kain yang bernoda sedikit darah. Itu
membuktikan bahwa laki-laki itu telah mengadakan hubungan
intim dengan Cen Siauw Yun. Namun setelah tadi terdengar
suara jeritannya, gadis itu tidak kelihatan lagi.
Mungkinkah orang itu mendengar suara bentakan Ciok Giok
Yin, lalu menendang Cen Siauw Yun ke dalam jurang? Ciok
Giok Yin memandang ke dasar jurang, tapi tidak tampak apa
pun. Maka dia membalikkan badannya lalu melesat pergi. Saat
ini hati Ciok Giok Yin terasa lega, karena telah membasmi
orang yang menyamar dirinya. Akan tetapi dia sama sekali
tidak tahu siapa orang itu dan mengapa menyamar dirinya.
Apakah di antara mereka berdua terdapat dendam kesumat,
sehingga orang itu menyamar sebagai Ciok Giok Yin untuk
melakukan kejahatan, demi merusak namanya? Sesungguhnya

apa maksud tujuan orang itu? Ciok Giok Yin terus berpikir,
namun sama sekali tidak menemukan jawabannya. Di saat dia
terus berpikir, tanpa terasa sudah tiba di sebuah tebing.
Setelah menikung di tebing itu, ternyata dirinya berada di
mulut sebuah lembah. Ciok Giok Yin terbelalak, karena tadi dia
melihat wanita yang diselimuti kabut hijau melayang turun ke
lembah tersebut. Ketika dia baru ingin meninggalkan lembah
itu, mendadak tampak lima sosok bayangan melesat ke
arahnya lalu mengepung Ciok Giok Yin. Setelah melihat tegas,
seketika juga sekujur badan Ciok Giok Yin menjadi dingin dan
tanpa sadar dia menyurut mundur beberapa langkah.
Jilid 19
Ternyata yang muncul itu adalah Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai
dan empat orang lainnya adalah Si Peng Khek. Ciok Giok Yin
tahu jelas bagaimana kepandaian mereka. Untuk melawan Si
Peng Khek saja tidak sanggup, apalagi ditambah Siau Bin
Sanjin-Li Mong Pai. Setelah mundur beberapa langkah, Ciok
Giok Yin mengeraskan hatinya lalu berdiri tegak sambil
menatap mereka berlima. Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai tertawa
gelak seraya berkata.
"Di mana-mana manusia pasti akan bertemu, tak disangka
kita bertemu kembali di sini!"
Walau dalam hati Ciok Giok Yin ada rasa gentar, namun di
wajahnya tetap tampak gagah, sepasang matanya bersinar
terang.
"Setelah bertemu di sini, lalu mau apa?" sahutnya.
Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai tertawa terkekeh.
"Terlebih dahulu aku mengucapkan terimakasih padamu,
karena tempo hari kau memapahku sampai ke kuil Yeh Ling Si.
Kebaikan itu masih belum kubalas." Dia memandang Ciok Giok
Yin. "Tak kusangka ilmu rias wajahmu itu, cukup hebat!"

"Maling tua, hari itu kalau aku tidak melihatmu terluka parah,
aku pasti tidak melepaskanmu!" bentak Ciok Giok Yin.
Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai tertawa gelak.
"Aku pun tahu, kalau waktu itu kepandaianmu tidak punah,
tentu aku tidak dapat melepaskan diri, dan hari ini kita pasti
tidak bertemu di sini."
Ciok Giok Yin diam, tapi wajahnya tampak bengis sekali.
"Bocah, kau harus tahu diri, cepat keluarkan!" kata Siau Bin
Sanjin-Li Mong Pai.
"Keluar apa?" tanya Ciok Giok Yin tertegun.
"Kau jangan berpura-pura!"
"Maling Tua, bicara harus ada ujung pangkalnya, jelaskanlah!"
"Benda dari Ciu Kiong!"
"Ciu Kiong?"
"Tidak salah!"
"Benda apa itu?"
"Pokoknya serahkan benda itu, aku akan mengampuni
nyawamu, jadi kau masih bisa balas dendam kelak!"
"Sekarang juga aku akan menuntut balas dendamnya!"
"Bocah, kau boleh coba!"
Sepasang mata Ciok Giok Yin membara, pertanda hawa
amarah sudah memuncak. Dia berkertak gigi seraya
membentak.
"Tua bangka, sambut seranganku!"

Laksana kilat Ciok Giok Yin melancarkan ilmu pukulan Hong
Lui Sam Ciang. Akan tetapi Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai dan Si
Peng Khek tertawa dingin dan mendengus.
"Hmmm!"
Di saat bersamaan, mereka telah menghindari serangan Ciok
Giok Yin. Setelah menghindar, Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai juga
menjulurkan tangannya untuk menyambar baju Ciok Giok Yin.
Ciok Giok Yin menyimpan kitab Cu Cian dan potongan kain di
dalam bajunya, maka bagaimana mungkin dia membiarkan
Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai menyambar bajunya? Maka dia
langsung mencelat ke belakang, mengelak sambaran tangan
Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai. Justru di saat ini Si Peng Khek
berempat telah mendorongkan telapak tangan masing-masing
ke arah Ciok Giok Yin. Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya
tenaga dorongan itu! Bahkan juga amat dingin sekali, sulit
dilawan. Ciok Giok Yin terhuyung-huyung ke belakang
beberapa langkah dengan badan menggigil kedinginan.
Sedangkan Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai tidak menyia-nyiakan
kesempatan itu. Dia langsung menjulurkan tangannya untuk
mencengkeram lengan Ciok Giok Yin lalu tertawa gelak. Suara
tawanya amat keras, menusuk telinga dan amat tak sedap
didengar. Di saat bersamaan dia pun membentak.
"Bocah, kau:..."
Di saat lengannya hampir tercengkeram, mendadak badan
Ciok Giok Yin terpental ke atas. Ternyata dia sudah terkena
angin pukulan yang dilancarkan Si Peng Khek.
"Habislah!" serunya memilukan.
Badannya melayang bagaikan layang-layang putus ke dalam
jurang yang amat gelap. Di saat bersamaan terdengar suara
seruan di tempat jauh.
"Adik! Adik!"

Tampak sosok bayangan merah melayang turun di tempat itu.
Siapa bayangan merah itu? Tidak lain adalah Heng Thian Ceng.
Dengan sepasang mata berapi-api wanita itu membentak
bagaikan guntur.
"Kalian para penjahat, bayar nyawa adikku!"
Sembari membentak, dia pun menyerang Si Peng
Khek. Mendadak Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai membentak.
"Berhenti!"
Si Peng Khek segera berkelit, sedangkan Heng Thian Ceng
masih dalam posisi menyerang. Sepasang matanya melotot,
sehingga wajahnya yang amat buruk itu tampak
menyeramkan.
"Heng Thian Ceng, apa hubunganmu dengan dia?" tanya Siau
Bin Sanjin-Li Mong Pai.
"Dia adalah adikku, maling tua! Cepat bayar nyawa adikku!"
sahut Heng Thian Ceng. Sambil melancarkan sebuah pukulan
ke arah Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai.
Perlu diketahui, dalam jiwa Heng Thian Ceng, Ciok Giok Yin
merupakan orang yang tak boleh hilang. Kini Ciok Giok Yin
terpukul jatuh ke dalam jurang oleh para anggota perkumpulan
Sang Yen Hwee, bagaimana mungkin masih bisa hidup? Karena
itu, Heng Thian Ceng menyerang Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai
dengan sepenuh tenaga dan tampak nekat sekali.
Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai tertawa dingin.
"Heng Thian Ceng, orang lain takut kau, tapi lohu justru
tidak!"
Usai berkata, dia pun menangkis pukulan Heng Thian Ceng.
Perlu diketahui, Heng Thian Ceng merupakan wanita iblis
dunia persilatan yang amat terkenal. Mengenai kepandaiannya,
sudah pasti amat tinggi dan luar biasa. Setelah menangkis

serangan itu, Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai terpaksa menyurut
mundur karena Heng Thian Ceng menyerangnya dengan
bertubi-tubi dan amat dahsyat. Sesungguhnya kepandain Heng
Thian Ceng masih lebih rendah setengah tingkat dari Siau Bin
Sanjin-Li Mong Pai. Namun saat ini Heng Thian Ceng sudah
nekat sehingga membuat Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai terdesak
mundur. Si Peng Khek yang menyaksikan itu segera maju
dengan serentak.
"Hei! Nenek peot buruk, kau harus mati bersama bocah itu!"
bentak Hian Peng Khek.
Si Peng Khek langsung menyerangnya. Walau Heng Thian
Ceng berkepandaian tinggi, namun tetap tidak sanggup
melawan mereka. Kini pakaiannya sudah berlumuran darah.
Akan tetapi dia tetap berkertak gigi melawan mereka, sebab
hatinya amat sakit melihat Ciok Giok Yin terpukul jatuh ke
dalam jurang. Mendadak terdengar suara jeritan. Ternyata
Heng Thian Ceng terpukul jatuh di tanah.
"Uaaakh!"
Darah segar tersembur dari mulutnya, namun cepat sekali dia
telah meloncat bangun. Selama ini Heng Thian Ceng jarang
bertemu lawan yang setimpal. Tapi kini keadaannya justru
amat mengenaskan. Karena itu bagaimana dia tidak gusar?
"Aku akan mengadu nyawa dengan kalian!" bentaknya
dengan suara gemetar sambil mencelat ke depan.
Saat ini keadaannya sudah menyerupai hantu penasaran.
Rambutnya awut-awutan, mulutnya berdarah dan pakaiannya
juga sudah berlumuran darah. Kelihatannya Heng Thian Ceng
akan binasa di tangan Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai dan Si Peng
Khek. Namun mendadak terdengar suara siulan nyaring
menembus angkasa lalu tampak sesosok bayangan melayang
turun di tempat itu. Siapa orang yang baru muncul itu?
Ternyata si Bongkok Arak. Begitu melihat orang tua bongkok
itu, Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai dan Si Peng Khek segera
bersiul kemudian melesat pergi.

"Bayar nyawa adikku!" bentak Heng Thian Ceng.
Ketika dia baru mau melesat pergi mengejar mereka, si
Bongkok Arak langsung mencegahnya.
"Khui Fang Fang, kau bilang apa?" tanyanya dengan suara
dalam.
Sepasang mata Heng Thian Ceng memerah.
"Aku bilang apa pun ada hubungan apa denganmu? Cepat
minggir! Aku tidak bisa melepaskan mereka!"
Wanita itu segera mendorongkan sepasang telapak tangannya
ke depan. Si Bongkok Arak mengibaskan tangannya, membuat
Heng Thian Ceng terdorong ke belakang tiga langkah.
Sedangkan si Bongkok Arak tetap menghadang di hadapannya.
"Khui Fang Fang, kau jelaskan dulu baru pergi!" katanya
dingin.
Heng Thian Ceng tahu bahwa dirinya bukan tandingan si
Bongkok Arak, maka berdiri diam di tempat.
"Uaaakh!"
Tiba-tiba mulut Heng Thian Ceng menyemburkan darah segar
lagi.
"Kau terluka?" tanya si Bongkok Arak.
"Tidak salah."
"Sebetulnya apa gerangan yang terjadi?"
"Ciok Giok Yin terpukul jatuh ke dalam jurang oleh mereka."
"Hah? Sungguh?" seru si Bongkok Arak terkejut.
"Buat apa aku membohongimu?"

"Kau jalan bersamanya?"
"Tidak."
"Bagaimana kau tahu?"
"Aku menyaksikannya."
Si Bongkok Arak menghela nafas panjang lalu berkata dengan
nada sedih.
"Habislah! Itu jurang maut! Kalau pun tidak mati, juga sulit
keluar dari situ. Kelihatannya...." Dia menatap Heng Thian
Ceng. "Khui Fang Fang, kini dia telah mati. Seharusnya kau
tidak usah merindukannya lagi."
"Itu adalah urusanku!"
"Jadi kau mau apa?"
"Aku akan menuntut balas dendamnya, biar aku mati
bersamanya!"
Mendengar itu, sekujur badan si Bongkok Arak menjadi
merinding. Orang tua bongkok itu tidak menyangka bahwa
Heng Thian Ceng begitu mencintai Ciok Giok Yin. Akhirnya dia
bergumam perlahan.
"Jodoh yang terlarang!"
"Kau bilang apa?" tanya Heng Thian Ceng.
"Khui Fang Fang, tahukah kau dia keturunan siapa?"
"Keturunan siapa?"
"Keturunan...." Si Bongkok Arak menggeleng-gelengkan
kepala. "Dia sudah mati, percuma kukatakan."
Usai berkata begitu, si Bongkok Arak langsung melesat pergi.
Sedangkan Heng Thian Ceng berjalan ke pinggir jurang itu

sambil menangis terisak-isak. Sampai di pinggir jurang, dia
memandang ke dalam. Air matanya tampak berderai-derai.
Beberapa saat dia memandang ke dalam jurang, kemudian
bergumam.
"Adik, kakak pasti membalas dendammu itu!"
Usai bergumam, dia lalu duduk di pinggir jurang dan
memejamkan matanya untuk beristirahat sejenak. Tak terasa
dua hari sudah berlalu, namun Heng Thian Ceng masih duduk
di pinggir jurang itu. Kadang-kadang dia memandang ke
bawah, berharap dapat melihat sesuatu di bawah jurang itu.
Namun jurang itu amat dalam, sehingga dia tidak dapat
melihat jelas.
Kadang-kadang dia pun pasang kuping, mendengarkan
dengan seksama, tapi juga tidak mendengar suara apa pun.
Akhirnya Heng Thian Ceng betul-betul putus asa. Dia
memandang satu kali lagi ke bawah, barulah melesat pergi.
Ketika Heng Thian Ceng baru melesat pergi, dari balik batu
besar muncul seseorang, ternyata si Bongkok Arak. Orang tua
bongkok itu minum beberapa teguk araknya lalu mendekati
pinggir jurang. Dia memusatkan penglihatannya ke bawah
jurang, namun juga tidak dapat melihat jelas ke bawah. Orang
tua bongkok itu biasanya di hadapan orang lain selalu berlaku
konyol dan seperti linglung. Tapi mengenai mati hidupnya Ciok
Giok Yin, kelihatannya amat penting baginya. Dia berharap
akan terjadi suatu kemujizatan atas diri Ciok Giok Yin. Karena
itu tanpa sadar mulutnya bergumam.
"Tampang Siauw Kun tidak kelihatan pendek umur.
Seandainya Siauw Kun masih punya harapan hidup, bagaimana
cara memisahkannya dengan Khui Fang Fang?" Dia
menggeleng-gelengkan kepala. "Sulit! Sulit! Sulit! Kecuali...."
Si Bongkok Arak berhenti bergumam. Keningnya tampak
berkerut-kerut, seakan sedang memikirkan sesuatu. Akhirnya
menghela nafas panjang seraya berkata.
"Yah! Bagaimana nanti saja!"

Usai berkata begitu, dia langsung melesat pergi. Namun
perasaan dalam hatinya amat tercekam. Karena 'Siauw Kun'
terpukul jatuh ke dalam jurang, boleh dikatakan tidak akan
selamat, kecuali terjadi suatu kemujizatan. Kalau tidak, jangan
harap bisa hidup. Sejak si Bongkok Arak pergi suasana di
pinggir jurang itu berubah menjadi sunyi. Kejadian tiga hari
yang lalu meninggalkan sebuah sejarah di puncak gunung
tersebut. Tapi sejarah itu hanya diketahui beberapa orang saja.
Terutama bagi Heng Thian Ceng sejarah itu terukir dalam
ingatannya.
Padahal dia mendengar kabar dari dunia persilatan, bahwa
Ciok Giok Yin dilukai seorang gadis misterius sehingga
kepandaiannya punah. Kemudian mendengar lagi kabar, bahwa
Ciok Giok Yin menuju ke arah barat. Karena itu, tanpa
menghiraukan apa pun dia terus mengejar ke arah
barat. Dalam perjalanan dia mendengar suara bentakan orang,
maka segera menuju ke arah suara bentakan itu. Justru tidak
terpikirkan, Ciok Giok Yin terpukul jatuh ke dalam jurang oleh
Siau Bin Sanjin dan Si Peng Khek. Betapa duka hatinya!
Hatinya boleh dikatakan remuk menyaksikan kejadian tersebut.
Kini dia telah meninggalkan tempat itu dengan membawa duka
yang amat dalam.
Wanita iblis itu selamanya tidak pernah menaruh cinta
terhadap siapa pun. Namun terhadap Ciok Giok Yin justru
menaruh cinta murninya. Kini hatinya telah hampa, tidak
memperoleh apa pun. Di saat seperti itulah seorang wanita
memang harus dikasihani. Akan tetapi sepasang tangan Heng
Thian Ceng berlumuran darah. Entah sudah berapa banyak
orang yang mati di tangannya. Maka tidak ada orang yang
menaruh kasihan dan simpati padanya. Sementara sang waktu
terus berlalu. Sedangkan di dunia persilatan timbul lagi suatu
badai. Timbulnya badai itu tidak lain adalah karena perbuatan
Heng Thian Ceng. Dia seperti sudah gila, membunuh orang
baik golongan putih maupun golongan hitam. Entah berapa
banyak orang yang mati di tangannya, terutama para anggota
perkumpulan Sang Yen Hwee.
Bagaimana Ciok Giok Yin yang terpukul jatuh ke dalam

jurang? Apakah dia masih hidup? Semula ketika jatuh, dia
masih dalam keadaan sadar dan membuka matanya lebarlebar,
berharap dapat meraih sesuatu agar nyawanya bisa
selamat. Tapi tak disangka dinding jurang itu amat licin. Lagi
pula jaraknya beberapa depa, sehingga tangannya tak dapat
meraihnya. Itu membuatnya putus asa.
"Habislah nyawaku!" katanya sambil menghela nafas panjang.
Dia memejamkan sepasang matanya, menunggu ajal datang
menjemputnya. Berselang beberapa saat, mendadak sekujur
badannya terasa sakit sekali, akhirnya dia pingsan. Sejak Ciok
Giok Yin berkecimpung di dunia persilatan, memang tidak
pernah merasa tenang dan aman, boleh dikatakan selalu
mengalami mara bahaya dan bergumul dengan maut serta
kematian. Dari mulut si Bongkok Arak menyebutnya 'Siauw
Kun' (Tuan Muda). Dapat dibayangkan asal-usulnya amat luar
biasa. Karena itu apabila dia tidak memikul tugasnya kelak.
Kehidupan manusia di dunia memang demikian. Kalau
manusia mampu menerima segala penderitaan maupun
percobaan, barulah akan membuat dirinya bertambah tabah
dan menambah pengalamannya dalam kehidupannya. Suatu
penderitaan maupun percobaan justru merupakan hikmah
dalam kehidupan manusia. Sementara Ciok Giok Yin yang telah
pingsan itu entah berapa lama kemudian mulai siuman
perlahan-lahan. Dia merasa dirinya melayang-layang
sepertinya berada di dalam sebuah perahu. Namun dia juga
merasa seperti berada di keluarga Tong ketika masih kecil,
bersama Bwee Han Ping memanjat ke atas pohon, terayunayun
terhembus angin. Ciok Giok Yin mulai berpikir, merasa
bukan itu. Namun sesungguhnya dirinya berada di mana? Dia
betul-betul bingung.
Berselang beberapa saat, mendadak dia teringat akan suatu
kejadian, yakni dirinya terpukul jatuh ke bawah jurang oleh
Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai dan Si Peng Khek. Hatinya
tersentak setelah teringat akan kejadian tersebut. Kemudian
dia berkata dalam hati. 'Iya! Aku sudah mati, karena rohku
melayang-layang tiada tempat untuk berteduh.' Kemudian dia
berpikir lagi, semua budi dan dendam juga telah berakhir

sampai di sini. Semua kenangan masa lalu maupun kejadian
yang menimpa dirinya terus bermunculan di pelupuk matanya.
Akan tetapi ada satu hal yang membuatnya amat berduka,
yaitu walau sudah mati, tapi justru masih belum tahu
sebetulnya dia keturunan siapa. Kalau begitu, tetap tidak bisa
mencari kedua orang tuanya. Dia menghela nafas panjang, lalu
membuka matanya perlahan-lahan. Sungguh di luar dugaan,
ternyata dirinya terbaring di atas sebuah batu. Dia merasa
heran, kemudian membalikkan badannya ingin bangun. Akan
tetapi mendadak dia merasa seluruh tulangnya seperti telah
remuk.
"Aduuuh! Sakit sekali!" jeritnya.
Di saat bersamaan, sekonyong-konyong terdengar suara yang
telah dikenalnya.
"Kau sudah siuman?"
Ciok Giok Yin segera membuka matanya lebar-lebar.
Dilihatnya sosok bayangan wanita diselimuti kabut hijau. Itu
membuatnya merinding.
"Bukankah aku sudah mati?"
"Kau tidak mati," sahut bayangan itu.
"Hah? Aku belum mati?" seru Ciok Giok Yin tak tertahan.
"Ya."
"Tempat apa ini?"
"Jurang Maut."
"Jurang Maut?"
"Ya."
"Lo cianpwee yang menyelamatkanku?"

"Tidak dapat dikatakan aku menyelamatkanmu, melainkan
kau yang memang belum seharusnya mati." Ucapan bayangan
itu berhenti sejenak. "Kaum rimba persilatan yang tahu Jurang
Maut ini dapat dihitung dengan jari, juga tiada seorang pun
yang dapat keluar masuk jurang ini." Mendengar itu Ciok Giok
Yin menghela nafas panjang.
"Kalau begitu, tidak seharusnya lo cianpwee
menyelamatkanku." katanya.
"Maksudmu?"
"Kalau aku tidak dapat keluar dari jurang ini, berarti seumur
hidup akan hidup di sini, jadi tiada artinya sama sekali."
"Apa maksud ucapanmu itu?"
"Maksudku... masih banyak urusan yang harus kuselesaikan."
"Tentang ini kau tidak usah cemas, aku punya akal agar kau
dapat keluar dari tempat ini."
"Punya akal?"
"Ya. Sekarang kau tidak usah banyak berpikir, karena
badanmu belum pulih. Baik-baiklah beristirahat, tentunya
punya jalan untuk keluar."
Usai berkata, bayangan itu berkelebat dan dalam sekejap
sudah hilang. Ciok Giok Yin tetap berbaring di atas batu. Dia
menengok ke sana ke mari, ternyata dirinya berada di dalam
sebuah ruang batu. Kemudian dia memejamkan mata, mulai
menghimpun hawa murninya. Kira-kira setengah hari, rasa
sakit di badannya mulai berkurang. Ketika dia membuka mata,
justru melihat sosok bayangan kehijau-hijauan berdiri di
depannya. Begitu melihat Ciok Giok Yin membuka mata, dia
segera berkata.
"Mungkin kau sudah lapar, makanlah! Setelah itu himpun lagi
hawa murnimu!"

Ciok Giok Yin bangun duduk lalu berkata.
"Lo cianpwee, entah harus bagaimana aku membalas budi
pertolongan lo cianpwee?"
"Jangan berkata demikian, mungkin nanti aku membutuhkan
tanganmu untuk melakukan sesuatu." Ucapan bayangan itu
berhenti sejenak. "Kau makanlah dulu! Setelah kondisi
badanmu pulih, barulah kita berbicara lagi," lanjutnya.
Dalam waktu sekejap, bayangan kehijau-hijauan itu sudah
hilang. Ciok Giok Yin melihat ke arah meja, tampak sepiring
nasi dan sepiring daging rusa. Dia memang telah merasa lapar,
maka segera turun lalu menyantap makanan itu dengan
lahapnya. Usai makan, dia kembali ke atas batu dan mulai
menghimpun hawa murninya. Tiga hari berturut-turut,
bayangan kehijau-hijauan itu mengantar makanan untuk Ciok
Giok Yin. Setelah lewat tiga hari kondisi badannya telah pulih.
Dia mulai menghimpun hawa murninya lagi. Ketika membuka
mata, tampak bayangan kehijauhijauan itu sudah berada di
tempat itu. Entah sejak kapan dia datang? Ciok Giok Yin cepatcepat
turun. Ketika dia baru mau berlutut, mendadak merasa di
hadapannya ada selapis tembok yang tak kelihatan menahan
dirinya, sehingga membuatnya tidak bisa berlutut. Di saat
bersamaan bayangan kehijau-hijauan itu berkata.
"Siauhiap tidak usah memberi hormat. Silakan duduk dan
mari kita bercakap-cakap!"
Ciok Giok Yin tahu bahwa wanita itu mengerahkan semacam
ilmu yang amat luar biasa dan itu membuatnya kagum bukan
main.
"Budi pertolongan lo cianpwee tidak akan kulupakan selamalamanya,"
katanya dengan hormat.
Bayangan kehijau-hijauan itu duduk di kursi batu.
"Siapa suhu siauhiap?" tanyanya.

"Beliau bernama Cu Wei To!"
"Julukannya adalah Sang Ting It Koay?"
"Ya. Lo cianpwee kenal suhuku?"
"Aku pernah dengar."
"Mohon tanya gelar lo cianpwee."
"Aku tidak mau tersiar di dunia persilatan, maka alangkah
baiknya tidak kuberitahukan. Setelah kau meninggalkan
tempat ini, janganlah kau ceritakan tentang keadaan tempat
ini, agar tidak menarik perhatian golongan hitam."
"Aku pasti tidak akan menceritakannya."
"Siapa namamu?" tanya bayangan kehijau-hijauan itu.
"Aku bernama Ciok Giok Yin."
"Ketika aku berada di atas melihatmu, membuatku teringat
akan seseorang."
"Siapa?"
"Yakin yang telah kukatakan padamu, Bu Tek Thay Cu-
Siangkoan Hua."
"Siangkoan Hua?"
"Ya."
"Sesungguhnya siapa dia?"
"Dia adalah Sin Kiong Te Kun (Majikan Istana Dewa).
Kepandaiannya amat tinggi, boleh dikatakan tiada tanding di
dunia persilatan. Dia berhati lurus dan amat baik terhadap
siapa pun."

"Dia berada di mana sekarang?"
"Istana Dewa berada di mana, aku pun tidak begitu jelas."
Ciok Giok Yin berkata dalam hati, 'Ketika berada di atas
tebing, dia bergumam memanggil nama Siangkoan Hua. Pasti
mereka punya hubungan istimewa!'
Terdengar bayangan kehijau-hijauan itu berkata lagi.
"Sekarang aku akan menurunkan dua macam ilmu padamu,
agar kau dapat keluar masuk jurang ini. Tapi kedua macam
ilmu itu, tidak boleh digunakan untuk menghadapi musuh, kau
harus ingat!"
"Ya, aku tidak akan menggunakan kedua macam ilmu itu
untuk menghadapi musuh," sahut Ciok Giok Yin.
"Bagus! Mari kita keluar!"
Usai berkata, tampak bayangan kehijau-hijauan itu berkelebat
ke luar. Ciok Giok Yin segera mengikutinya dari belakang.
Begitu sampai di luar, dia nyaris berseru kaget. Ternyata di
atas kelihatan seperti mulut sumur, tingginya mungkin
mencapai ribuan kaki. Kalau tidak bertemu wanita itu, tidak
mati pun sulit baginya untuk keluar. Kecuali punya sepasang
sayap seperti burung, barulah bisa terbang ke atas. Kalau
tidak, jangan harap bisa keluar dari tempat tersebut.
Bayangan kehijau-hijauan itu berdiri di hadapan Ciok Giok
Yin.
"Kedua macam ilmu itu disebut Hui Keng Pou (Ilmu Langkah
Terbang). Perhatikanlah!"
Tampak bayangan kehijau-hijauan itu berkelebatan,
mempertunjukkan Hui Keng Pou tersebut. Ciok Giok Yin
terbelalak, karena ilmu tersebut amat aneh dan luar biasa,
penuh gerakan-gerakan tak terduga. Walau Ciok Giok Yin amat
cerdas, namun untuk menguasai ilmu Hui Keng Pou itu harus
membutuhkan waktu tiga hari.

"Bagus, kau telah berhasil!" kata bayangan kehijau-hijauan
itu.
Ciok Giok Yin segera bertanya,
"Apakah lo cianpwee masih ada petunjuk lain?" tanya Ciok
Giok Yin.
Bayangan kehijau-hijauan itu berpikir sejenak, setelah itu
barulah menyahut.
"Kitab Cu Cian yang berada di dalam bajumu, kuharap
ditinggalkan di sini!"
Hati Ciok Giok Yin tersentak.
"Mengapa?" tanyanya tak tertahan.
"Kau tidak usah khawatir. Aku pikir berdasarkan
kepandaianmu sekarang, kemungkinan besar kau tidak
sanggup menjaga kitab itu. Aku harap setelah kau berhasil
memperoleh Seruling Perak, datanglah ke mari belajar ilmu itu,
dan aku pun ada sedikit urusan membutuhkan bantuanmu.
Apakah kau bersedia membantuku?"
Mendengar itu Ciok Giok Yin segera merogohkan tangan ke
dalam bajunya. Kitab Cu Cian tersebut masih berada di dalam
bajunya. Dia berkata dalam hati, 'Apakah dia juga ingin belajar
ilmu Gin Tie Cu Cian (Seruling Perak Kitab Cu Cian)?'
Mendadak bayangan kehijau-hijauan itu berkata.
"Kau tidak usah banyak curiga. Aku hanya menghendakimu
ke mari satu kali lagi, sebab aku punya sedikit urusan
membutuhkan bantuanmu. Tapi itu pun setelah kau menguasai
ilmu tinggi, barulah dapat menyelesaikannya. Kalau tidak, akan
menimbulkan musibah dalam rimba persilatan."
Setelah mendengar apa yang dikatakan bayangan kehijauhijauan
itu, wajah Ciok Giok Yin memerah seketika.

Dia segera mengeluarkan kitab Cu Cian itu seraya berkata.
"Kalau begitu, mohon lo cianpwee baik-baik menyimpan kitab
ini! Setelah aku berhasil memperoleh Seruling Perak, pasti
segera kemari."
Bayangan kehijau-hijauan itu menerima kitab tersebut seraya
berkata.
"Semoga kau berhasil!"
Tampak bayangan itu berkelebat, sudah masuk ke dalam
ruang batu. Ciok Giok Yin bersiul panjang, kemudian tampak
badannya mencelat ke atas. Ternyata dia telah menggunakan
ilmu Hui Keng Pou.
Ilmu Hui Keng Pou tersebut terdiri dari dua gerakan, yaitu
gerakan Terbang dan gerakan Mendepak. Setelah badannya
mencelat belasan depa, lalu kakinya mendepak dinding batu,
seketika badannya meluncur ke atas seperti terbang dan
cepatnya laksana kilat. Tak seberapa lama kemudian dia sudah
sampai di atas tebing. Tanpa membuang waktu, dia langsung
melesat pergi. Saat ini pakaian Ciok Giok Yin sudah tersobek
sana sini, boleh dikatakan menyerupai seorang pengemis. Akan
tetapi wajahnya tetap tampan dan cerah.
Sementara sang surya pun sudah mulai tenggelam ke ufuk
barat. Sedangkan Ciok Giok Yin telah memasuki sebuah kota
kecil. Dia menundukkan kepalanya memandang pakaiannya,
memang sudah tidak karuan. Karena itu, dia membeli satu stel
pakaian. Setelah berganti pakaian, dia langsung berubah
seperti putra hartawan. Ciok Giok Yin bermalam di penginapan,
keesokan paginya baru berangkat ke Gunung Liok Pan San.
Kini dia harus cepat-cepat mencari Thian Thong Lojin, untuk
mengungkap rahasia potongan kain itu. Apabila tidak berhasil
menemukan Seruling Perak, selama-lamanya dia tidak akan
berhasil menuntut balas semua dendam itu. Gunung Liok Pan
San begitu luas. Harus ke mana dia mencari Lembah Tiang
Cing Kok? Dia amat menyesal mengapa hari itu tidak bertanya

jelas pada si Bongkok Arak, jadi tidak usah membuang waktu
mencari ke sana ke mari.
Namun dia yakin pasti berhasil mencari Thian Thong Lojin,
seperti halnya ketika ke Gunung Thian Sang mencari Thian Lui
Sianseng, maka dia tidak merasa gugup sama sekali. Di saat
dia sedang melesat, mendadak terdengar suara dari balik
sebuah batu besar. Dia segera melesat ke atas batu besar itu
lalu melongok ke bawah. Seketika berkobarlah hawa
amarahnya. Ternyata di bawah terdapat enam anggota
perkumpulan Sang Yen Hwee sedang duduk-duduk di tanah. Di
hadapan mereka tergeletak seorang gadis dengan posisi
telentang. Gadis itu tak berpakaian sama sekali. Sepasang
payudaranya menonjol ke atas, itu sungguh merangsang
sekali. Sepasang mata gadis itu terpejam, kelihatannya seperti
tidur pulas. Siapa yang melihat pasti tahu kalau gadis itu
terkena obat bius.
Ciok Giok Yin tahu apa yang akan dilakukan anggota-anggota
perkumpulan Sang Yen Hwee itu. Sudah barang tentu
membuat amarahnya semakin memuncak. Di saat dia baru
mau meloncat turun, mendadak hatinya berkata 'Mengapa aku
tidak mencuri dengar apa yang akan dikatakan mereka?'
Karena itu dia batal meloncat turun, segera tengkurap di atas
batu besar itu. Untung gadis tersebut, masih belum mereka
nodai. Keenam anggota perkumpulan Sang Yen Hwee itu terus
menatap sepasang payudara itu dengan tak berkedip,
kemudian menatap ke bagian bawah tersebut. Tampak pula
mereka menelan air liur, sepertinya ingin segera merangkak ke
atas tubuh yang indah dan mulus itu. Setelah itu mereka saling
memandang lalu menatap ke arah gadis itu lagi.
Mendadak salah seorang dari mereka berkata.
"Kita tidak boleh membuang-buang waktu."
"Kalau begitu, harus bagaimana?" tanya yang lain.
Anggota perkumpulan Sang Yen Hwee yang bicara duluan itu
menyahut.

"Aku akan mengemukakan satu usul."
"Usul apa?"
"Undi."
"Undi?"
"Ng!"
"Caranya?"
"Seperti cara yang sering kita pakai, orang pertama yang
menang, berarti dia berhak duluan. Sisa lima diundi lagi, yang
menang berarti giliran kedua. Nah, dengan cara demikian, kita
tidak akan berebut."
"Cara ini memang tepat, tapi kalau dia dibawa pulang,
jangan-jangan akan terjadi kerepotan."
"Kerepotan apa?"
"Kalau atasan memeriksa, ternyata gadis ini sudah tidak utuh,
bukanlah...."
"Kita menculik gadis ini, yang penting dipersembahkan
kepada tua bangka itu! Siapa yang akan memeriksa barang itu
utuh atau tidak? Ya, kan?"
"Apakah gadis itu tidak akan bicara?"
"Kau memang bodoh. Dia sudah merasakan kenikmatan
bagaimana mungkin akan bicara tentang itu? Bukanlah
selanjutnya kita akan tinggal di dalam kuburan?"
"Kalau begitu, mari mulai kita undi!"
Mereka berenam mulai mengadakan suatu pengundian.
Akhirnya salah seorang menjadi pemenang. Akan tetapi
seorang di antara mereka kelihatan tidak senang.

"Cara undian ini tidak adil. Kalian jangan lupa! Aku adalah
pemimpin kalian berlima. Kalau aku tidak diberi kesempatan
duluan.... Hm!"
Yang menang itu diam saja, kelihatannya memang merasa
segan terhadap pemimpinnya itu. Kemudian mereka berlima
mulai mengundi lagi, sedangkan pemimpin itu akan
memperkosa gadis itu duluan. Yang lain sudah usai mengundi,
maka pemimpin itu berkata.
"Sekarang sudah beres, maka aku yang duluan! Setelah itu
barulah giliran kalian."
Dia segera menanggalkan pakaian, lalu bagaikan macan
kelaparan menerkam ke arah gadis itu. Di saat bersamaan
terdengar suara bentakan mengguntur.
"Kau memang cari mampus!"
Tampak sesosok bayangan meluncur ke bawah bukan main
cepatnya. Seketika terdengar suara jeritan yang menyayat
hati. Tampak sesosok tubuh terpental beberapa depa,
kemudian jatuh tak bangun lagi. Yang lain langsung
memandang orang yang baru muncul itu dan seketika mereka
berseru kaget.
"Kau!"
Ternyata orang yang baru muncul itu adalah Ciok Giok Yin.
"Tidak salah, memang aku!" sahut Ciok Giok Yin.
Kegusaran Ciok Giok Yin memang sudah memuncak. Maka dia
langsung menyerang para anggota perkumpulan Sang Yen
Hwee itu dengan pukulan Hong Lui Sam Ciang jurus
pertama. Bukan main dahsyatnya serangan itu, menimbulkan
angin yang menderu-deru. Terdengar suara jeritan yang
menyayat hati. Tahu-tahu enam anggota perkumpulan Sang
Yen Hwee itu telah tergeletak di tanah menjadi mayat. Keenam
anggota perkumpulan Sang Yen Hwee itu belum sempat
melampiaskan nafsu birahi mereka, namun sudah binasa di

tangan Ciok Giok Yin. Ini sungguh tak terduga sama sekali.
Setelah membinasakan keenam orang itu, Ciok Giok Yin
malah berdiri tertegun. Karena gadis itu telanjang bulat, tidak
tahu harus berbuat apa. Tiba-tiba Ciok Giok Yin teringat
sesuatu, maka segera menggeledah baju mereka mencari obat
penawar. Namun tidak menemukan obat penawar sama sekali.
Itu membuatnya termangu-mangu di tempat, sungguh tidak
tahu apa yang harus dilakukan. Tentunya tidak boleh
membiarkan gadis itu terus telentang di tanah dalam keadaan
telanjang bulat, harus segera menolongnya. Akan tetapi Ciok
Giok Yin justru tidak tahu, gadis itu terkena obat bius jenis apa,
lalu bagaimana membuatnya siuman. Lama sekali Ciok Giok Yin
berpikir, akhirnya manggut-manggut seraya berkata.
"Hanya mencari Thian Thong Lojin."
Karena itu dia segera membungkus tubuh telanjang itu
dengan pakaian gadis itu sendiri, setelah itu digendongnya
untuk dibawa pergi. Ketika melanjutkan perjalanan, hidungnya
mencium aroma tubuh gadis yang amat harum. Itu membuat
pikirannya menerawang. Mendadak dia tersentak sadar dan
mengingatkan dirinya sendiri. Ciok Giok Yin, sedemikian tipis
tenaga ketenangan. Kalau kau terus seperti itu masa depanmu
amat bahaya sekali. Setelah tersentak sadar dan mengingatkan
dirinya sendiri, pikiran Ciok Giok Yin sudah tidak menerawang
lagi. Namun dalam gendongannya adalah seorang gadis cantik,
maka tidak mengherankan kalau hatinya tetap berdebar-debar.
Tanpa sadar dia menundukkan kepala memandang wajah
gadis itu. Memang cantik dan bibirnya juga seperti sedang
menyunggingkan senyuman. Itu membuat Ciok Giok Yin
menjadi kehilangan kesadarannya. Namun seketika dia baru
mau menciumnya, mendadak terdengar suara dengusan
dingin.
"Hm!"
Betapa terkejutnya Ciok Giok Yin! Dia segera menengok ke
sekelilingnya, tapi tidak tampak seorang pun. Dengusan dingin
itu justru membuatnya tersadar, tidak berani memandang

wajah gadis itu lagi, langsung mengerahkan ginkangnya
melesat ke dalam sebuah lembah. Setelah melesat ke dalam
lembah, justru melihat dinding batu di sisi kiri dan kanan,
warnanya kehijauhijauan. Hati Ciok Giok Yin tergerak dan
membatin. 'Jangan-jangan ini adalah lembah Tiang Cing Kok!'
Tak seberapa lama kemudian di depan matanya tampak
sebidang tanah yang berlumut hijau.
"Lembah Tiang Cing Kok!" serunya tak tertahan.
Dia langsung melesat ke tanah yang berlumut hijau itu. Dia
berjalan di situ sambil memandang ke depan. Terlihat pula
rumput hijau yang pendek-pendek, dan beberapa tumpuk batu
sebesar-besar kepalan. Dia tidak begitu memperhatikan semua
itu, melainkan terus berjalan ke dalam tumpukan batu itu. Tak
disangka ketika kakinya baru menginjak ke dalam, dia merasa
terkurung di dalam puncak-puncak gunung yang amat tinggi.
Keadaan di tempat itu menjadi seperti di dalam jurang maut.
Di saat bersamaan, dia segera mencelat ke atas, ke arah
tebing sebelah kiri. Di saat merosot turun dia terbelalak,
ternyata di situ terdapat pohon-pohon besar. Dahan pohon
bergerak-gerak terhembus angin, menimbulkan suara.
"Kreeek! Kreeeek...."
Suara itu kedengaran amat menyeramkan sehingga membuat
sekujur badan Ciok Giok Yin menjadi merinding. Di saat
bersamaan dia pun melihat banyak bayangan seperti roh halus
bergentayangan di situ, menyebabkan matanya menjadi
berkunang-kunang. Ciok Giok Yin bersiul nyaring. Seketika
bayangan-bayangan roh halus itu sirna entah ke mana. Namun
saat ini Ciok Giok Yin justru berada di dalam rimba yang
dipenuhi pohon-pohon besar yang tak terhitung jumlahnya. Dia
tahu bahwa kini dirinya berada di dalam sebuah formasi aneh,
percuma kalau menerobos ke sana ke mari. Oleh karena itu dia
sendiri diam di tempat, kemudian berseru nyaring.
"Kalau tempat ini adalah Lembah Tiang Cing Kok, pasti adalah
tempat tinggal Thiang Thong lo cianpwee! Aku Ciok Giok Yin ke

mari mohon bertemu!"
Suara seruannya berkumandang ke mana-mana, tapi tidak
terdengar sahutan sama sekali. Mendadak Ciok Giok Yin
berseru lagi.
"Kalau lo cianpwee tidak ingin menemuiku, tidak jadi
masalah! Tapi di tengah jalan aku menyelamatkan seorang
gadis dari tangan para penjahat! Kini masih dalam keadaan
pingsan, kelihatannya seperti terkena semacam obat bius,
mohon lo cianpwee sudi menolongnya!"
Seusai Ciok Giok Yin berseru, sekonyong-konyong terdengar
suara desiran angin. Di saat bersamaan dia pun merasa
sepasang tangannya menjadi ringan, ternyata gadis yang
digendongnya telah hilang. Ciok Giok Yin tersentak, dan
langsung membentak.
"Kalau punya kepandaian cepat perlihatkan...."
Belum juga Ciok Giok Yin usai membentak, sudah merasa
serangkum angin pukulan menerjang ke arahnya. Ciok Giok Yin
mencelat ke belakang secara reflek, lalu memandang ke depan.
Tampak sepasang matanya terbelalak, tenyata pemandangan
tadi telah sirna. Di hadapannya berdiri seorang tua yang
rambut, jenggot dan sepasang alisnya putih bagaikan salju.
Tangannya menjinjing gadis itu, matanya menatap Ciok Giok
Yin dengan tajam.
"Bocah, siapa kau?" bentaknya dengan dingin.
Begitu menyaksikan sikap orang tua berambut putih yang
amat kasar itu, timbullah keangkuhan Ciok Giok Yin.
"Siapa kau?" sahut Ciok Giok Yin dengan dingin pula.
Seketika sepasang mata orang tua berambut putih menyorot
lebih tajam.
"Lohu bertanya padamu!" bentaknya lagi.

Ciok Giok Yin telah lupa akan tujuannya ke tempat ini,
sehingga bersikap lebih angkuh.
"Mengapa aku harus menjawab pertanyaanmu?"
Orang tua berambut putih mendengus.
"Hm! Bocah, aku akan kembali baru menghajarmu!"
Usai berkata, orang tua itu melesat pergi.
Ciok Giok Yin segera membentak.
"Berhenti!"
Akan tetapi, orang tua itu telah tidak kelihatan. Ciok Giok Yin
memang bersifat keras dan angkuh. Seharusnya dia tidak boleh
berlaku demikian kasar terhadap orang tua itu. Narnun dia
justru tidak dapat memastikan orang tua itu Thiang Thong
Lojin atau bukan, maka mengambil keputusan untuk bertarung
dengannya. Oleh karena itu dia tetap berdiri di tempat,
menunggu datangnya kembali orang tua berambut putih.
Berselang beberapa saat kemudian, terdengar suara siulan
yang amat nyaring, lalu tampak sesosok bayangan berkelebat.
Dalam sekejap bayangan itu sudah berada kira-kira satu depa
di hadapan Ciok Giok Yin. Siapa bayangan itu? Tidak lain
adalah orang tua berambut putih.
"Bocah, dari mana kau membawa gadis itu kemari?"
bentaknya sambil menatap Ciok Giok Yin dengan tajam.
"Apa hubunganmu dengan dia?" Ciok Giok Yin balik bertanya.
"Dia adalah putriku!"
"Mohon tanya lo cianpwee adalah Thiang Thong Lojin?"
"Tidak salah!"
"Aku Ciok Giok Yin."

"Aku tidak bertanya namamu, yang kutanyakan adalah dari
mana kau membawa putriku ke mari? Bagaimana dia tidak
berpakaian sama sekali? Kalau kau tidak menjelaskan, jangan
harap dapat meninggalkan tempat ini!"
Ciok Giok Yin tidak menyangka Thiang Thong Lojin bersikap
begitu kasar, bahkan berprasangka buruk pula terhadapnya.
Namun demi membersihkan dirinya, dia menekan hawa
gusarnya.
"Putri lo cianpwee ditangkap oleh beberapa anggota
perkumpulan Sang Yen Hwee..." sahutnya.
"Perkumpulan Sang Yen Hwee?" tanya Thiang Thong Lojin tak
tertahan.
"Tidak salah, dengarlah dulu!"
Ciok Giok Yin segera menutur tentang kejadian itu.
"Ketika para penjahat itu ingin menodai putri lo cianpwee,
kebetulan aku melewati tempat itu, kemudian kubunuh mereka
berenam. Tapi putri lo cianpwee masih dalam keadaan tak
sadarkan diri. Sedangkan aku tidak tahu dia terkena obat bius
jenis apa, maka aku membawanya ke mari. Salahkah aku
menyelamatkannya?"
"Siapa bilang kau salah? Sekarang kau harus bagaimana
membereskannya?" bentak Thiang Thong Lojin.
Perkataan Thiang Thong Lojin yang tiada ujung pangkalnya
itu membuat Ciok Giok Yin tertegun.
"Aku?"
"Tentu kau!"
"Ada urusan apa dengan diriku?"
"Bocah, kau masih berani berpura-pura di hadapan lohu?"

Ciok Giok Yin betul-betul kewalahan menghadapi Thiang
Thong Lojin yang bicara tak pakai aturan itu.
"Harap lo cianpwee memberi penjelasan!" sahutnya dingin.
"Aku bertanya lagi, dalam hal hubungan apa lelaki boleh
melihat tubuh seorang gadis?"
"Sulit dikatakan. Gadis kecil ketika mandi, sudah barang tentu
kedua orang tuanya akan melihat...."
Belum usai Ciok Giok Yin berkata, wajah Thiang Thong Lojin
sudah tampak gusar.
"Aku tidak bertanya tentang hubungan orang tua dengan
anak!" bentaknya sengit.
Ciok Giok Yin tertegun. Dia memang kurang pengalaman,
maka tidak tahu akan maksud Thiang Thong Lojin.
"Kalau begitu, apakah hubungan suami isteri?"
Thiang Thong Lojin mengangguk
"Itu baru betul!" Dia tampak berpikir sejenak. "Putriku
bernama Tung Yun, sekarang kujodohkan denganmu. Kau mau
bilang apa lagi?"
Ciok Giok Yin terbelalak. Sambil menyurut mundur tiga
langkah dia menyahut dengan perlahan-lahan.
"Ini... ini mana boleh?"
"Mengapa?"
"Aku menyelamatkannya, tidak bermaksud menerima imbalan
apa pun."
"Kau telah melihat tubuhnya!"

"Aku melihat tubuhnya, itu belum tentu harus
memperisterinya."
"Kau tidak mau, kau harus mau!"
Mendengar itu, gusarlah Ciok Giok Yin.
"Mana ada perjodohan yang dipaksa?" katanya lantang.
Thiang Thong Lojin maju tiga langkah seraya membentak.
"Kau berani menolak?"
Ciok Giok Yin tidak menyangka akan terjadi hal tersebut,
maka dia menyahut lantang.
"Tidak mau!"
"Bocah, sungguh besar nyalimu!" Thiang Thong Lojin maju
selangkah lagi. "Lohu bertanya padamu, siapa berani menjamin
bahwa bukan kau yang melakukan itu? Hm! Kau sengaja
menangkapnya, lalu membawanya ke mari seakan menaruh
budi padaku?"
Ciok Giok Yin tertegun dituduh berbuat seperti itu.
"Lo cianpwee...." Sesungguhnya Ciok Giok Yin ingin
mencacinya, namun batal melontarkannya.
"Bagaimana lo cianpwee sedemikian tidak pakai aturan?
Apakah lo cianpwee telah pikun?" lanjutnya.
Sepasang mata Thiang Thong Lojin menyorot tajam.
"Lohu akan memaksamu harus mau..." bentaknya.
"Tidak mau! Tidak mau!" teriak Ciok Giok Yin sekeraskerasnya.
Wajah Thiang Thong Lojin berubah bengis.

"Kalau kau tidak mau, berarti aku tidak akan
mengampunimu!" katanya sepatah demi sepatah. Sambil
melancarkan serangan.
Ciok Giok Yin tersentak. Ketika dia baru mau menangkis,
mendadak terdengar suara seruan.
"Ayah, jangan!"
Thiang Thong Lojin langsung mundur sambil mendengus
dingin.
"Hmm! Anak Yun, kau jangan turut campur! Aku harus
menghajarnya!"
Usai berkata, Thiang Thong Lojin maju lagi. Tampak sesosok
bayangan melayang turun di tengah-tengah mereka, ternyata
adalah Tung Yun.
"Ayah jangan marah dulu, aku ingin bertanya padanya,"
katanya merdu.
Thiang Thong Lojin melototi Ciok Giok Yin, lalu menyurut
mundur beberapa langkah. Sedangkan Tung Yun maju ke
hadapan Ciok Giok Yin sambil berkata dengan lembut.
"Tuan telah menyelamatkan diriku, selamanya takkan
kulupakan budimu. Ayahku bersifat aneh, mohon jangan Tuan
simpan dalam hati. Kalau Tuan sudah tiada urusan lain, lebih
baik cepat-cepat meninggalkan tempat ini! Budi
pertolonganmu, aku pasti membalasnya kelak."
Gadis itu memang cantik sekali. Maka tidak mengherankan
kalau hati Ciok Giok Yin tergerak. Namun dia sudah punya
tunangan, mana boleh.... Karena itu dia berkata dengan suara
rendah pula.
"Nona Tung, aku sudah punya tunangan, maka tidak bisa
mengabulkan permintaan ayahmu. Aku mohon maaf, dan
harap Nona tidak menyalahkanku!"

Gadis cantik itu memandangnya.
"Aku tidak menyalahkanmu, lagi pula urusan ini tidak bisa
dipaksa. Cepatlah kau pergi agar ayahku tidak sampai
merepotkanmu lagi."
Dia bermaksud baik, tapi Ciok Giok Yin justru tidak bisa
segera pergi.
"Aku ada urusan ingin mohon bantuan ayahmu."
"Urusan apa?"
"Berhubungan dengan sepotong kain."
"Sepotong kain?"
"Ya."
"Ada apa potongan kain itu?"
"Karena potongan kain itu menyangkut asal-usulku."
Tung Yun, terbelalak menatap Ciok Giok Yin seraya bertanya.
"Ada urusan begitu?"
Ciok Giok Yin mengangguk.
"Ya."
Tung Yun berpikir sejenak.
"Berikan potongan kain itu padaku, aku akan bertanya pada
ayahku."
Ciok Giok Yin mengeluarkan potongan kain seraya berkata,
"Inilah potongan kain yang kumaksudkan."
Tung Yun menerima potongan kain tersebut lalu berbisik,

"Kau tunggu sebentar!"
Gadis itu membalikkan badannya lalu berjalan mendekati
ayahnya. Sepasang bola matanya berputar-putar sejenak,
kemudian dia berkata dengan lirih.
"Ayah telah mengambil keputusan itu, tidak boleh diganggu
gugat! Pokoknya dia harus memperisterimu!" bentak Thiang
Thong Lojin.
Air muka Tung Yun berubah, kemudian dia berkata dengan air
mata berlinang-linang.
"Ayah tidak takut akan ditertawakan kaum rimba persilatan?"
Thiang Thong Lojin tertegun,
"Apa yang harus ditertawakan?"
"Kaum rimba persilatan akan mengatakan Ayah memaksa
orang menikah denganku. Kalau begitu, apakah aku masih
punya muka menemui orang? Lebih baik aku mati saja."
Thiang Thong Lojin tampak tertegun lagi. Menyaksikan itu,
Tung Yun segera berkata lagi.
"Dia bermaksud baik, lagi pula dia telah menyelamatkan
diriku dari tangan para penjahat. Kalau tidak, apakah aku
masih bisa bertemu Ayah?"
Usai berkata, Tung Yun menangis terisak-isak.
Air mata wanita memang merupakan senjata yang amat
ampuh. Begitu Tung Yun menangis, hati Thiang Thong Lojin
pun menjadi lunak. Namun mendadak orang tua berambut
putih itu menghempas kakinya seraya berkata,
"Biar Ayah berpikir sebentar!"
Tung Yun khawatir kalau-kalau ayahnya akan berubah

pikiran, maka dia cepat-cepat berkata,
"Ayah, dia ke mari ingin mohon bantuan."
"Bantuan apa?"
"Dia memiliki sepotong kain, menyangkut asal-usulnya, maka
jauh-jauh dia ke mari menemui Ayah, agar mengungkap
rahasia kain potongan itu, mungkin...."
Thiang Thong Lojin memutuskan perkataan Tung Yun,
"Potongan kain apa?"
Tung Yun memperlihatkan potongan kain tersebut.
"Ini, Ayah!"
Thiang Thong Lojin menerima potongan kain itu, lalu
diperhatikannya dengan mata tak berkedip. Setelah itu tampak
keningnya berkerut-kerut sedang berpikir keras. Saat ini, dia
sudah tidak memikirkan urusan putrinya, karena perhatiannya
tercurah pada potongan kain itu. Kelihatannya dia amat
tertarik. Ciok Giok Yin yang melihat dari jauh hatinya berdebardebar
tegang. Tak diragukan lagi Thiang Thong Lojin juga
mengalami kesulitan memecahkan rahasia potongan kain itu.
Apabila orang tua berambut putih itu tidak dapat mengungkap
rahasia potongan kain tersebut, berarti selamanya tak dapat
diungkapkan. Beberapa saat kemudian mendadak Thiang
Thong Lojin melemparkan kain itu sambil membentak dengan
sengit.
"Mana lohu punya waktu mempedulikan urusanmu? Cepat
enyah!"
Ciok Giok Yin menyambut potongan kain itu sambil menyahut
dengan gusar.
"Kau cuma bernama kosong!"
Ciok Giok Yin ingin melesat pergi. Sekonyong-konyong Thiang

Thong Lojin mem- bentak bagaikan guntur.
"Berhenti!"
Ciok Giok Yin membalikkan badannya lalu bertanya dengan
dingin.
"Masih ada urusan apa?"
Thiang Thong Lojin tertawa gelak seraya berkata,
"Seandainya lohu bernama kosong, lihat siapa yang sanggup
mengungkapnya."
"Aku pasti dapat menemukan orang yang mampu
mengungkap rahasian potongan kain ini!" sahut Ciok Giok Yin.
Dia tidak mempedulikan Thiang Thong Lojin lagi, sebab
khawatir kalau-kalau orang tua berambut putih itu akan
mendesaknya menikah dengan Tung Yun. Maka dia segera
melesat pergi dengan wajah gusar.
Setelah Ciok Giok Yin melewati puncak gunung, mendadak
terdengar suara merdu di belakangnya.
"Tunggu sebentar, Tuan!"
Ciok Giok Yin segera berhenti sekaligus membalikkan
badannya. Tampak Tung Yun sedang melesat ke arahnya.
Ginkang gadis itu cukup tinggi, sehingga dalam sekejap sudah
berada di hadapan Ciok Giok Yin.
"Nona ada petunjuk apa?" tanya Ciok Giok Yin dingin.
Tung Yun menatapnya sejenak, kemudian berkata dengan
perlahan-lahan.
"Ayahku bersikap kasar padamu, aku sungguh merasa tidak
enak!"
"Itu tidak apa-apa. Nona ke mari hanya karena urusan itu?"

"Bukan."
"Lalu karena urusan apa?"
"Potongan kain itu."
Ciok Giok Yin tertegun.
"Memangnya kenapa potongan kain itu?"
"Kau harus memperoleh Bu Keng Sui (Air tanpa Akar)."
"Bu Keng Sui?"
"Ya."
"Apa yang disebut Bu Keng Sui?"
"Mungkin potongan kain itu harus direndam dalam Air Tanpa
Akar itu, barulah dapat diketahui rahasianya, sampai jumpa!"
Tung Yun segera melesat pergi.
"Terimakasih atas petunjuk Nona!" seru Ciok Giok Yin dengan
lantang. Usai berseru, dia justru berdiri termangu-mangu.
Tidak menyangka sama sekali, potongan kain tersebut
berhubungan pula dengan Air Tanpa Akar. Ini sungguh
merupakan hal aneh! Memang banyak hal aneh di dunia
persilatan, sulit untuk diduga. Ciok Giok Yin terus berpikir.
Asal-usulnya diketahui Tiong Ciu Sin Ie, mengapa tidak mau
memberitahukan dari dulu? Sebelum meninggal, kakek tua itu
cuma berpesan agar Ciok Giok Yin pergi ke gunung Cong Lam
San mencari Can Hai It Kiam. Namun Can Hai Kian justru
dibunuh oleh orang yang menyamar sebagai dirinya. Kemudian
muncul Cou Kiong, akhirnya Cou Kiong mati di tangan Siau Sin
Sanjin-Li Mong Pai, cuma meninggalkan potongan tersebut.
Sedangkan potongan kain itu harus direndam dengan Air
Tanpa Akar, lalu harus mencari ke mana Bu Keng Sui itu?

Kalau Bu Keng Sui itu kepunyaan orang lain, bagaimana
mungkin orang itu akan memberikannya? Ciok Giok Yin yakin
bahwa Bu Keng Sui merupakan benda pusaka, tidak gampang
memperolehnya. Lama sekali Ciok Giok Yin berpikir, akhirnya
dila membanting kakinya seraya berkata sengit.
"Bagaimana nanti saja!"
Kemudian dia melesat pergi Dalam perjalanan dia terus
berpikir mana yang harus dituju. Mendadak timbul suatu niat
dalam hatinya, ternyata dia ingin menuju Kuil Yeh Ling Si yang
pernah didatangi oleh Siau Bin Sanjin Li Mong Pai. Kini apa
salahnya pergi ke kuil itu melihat-lihat, lalu berangkat ke
Gunung Kee Jiau San tempat markas Thay Kek Bun untuk
menengok Seh Yong Yong, tunangannya. Biar bagaimanapun
harus mencari suatu tempat untuk tempat tinggalnya, tidak
bisa selamanya menumpang di rumah orang. Seusai berpikir
demikian, barulah Ciok Giok Yin melesat pergi laksana kilat,
menuju Kuil Yeh Ling Si.
Hari sudah mulai gelap, namun kuil tersebut sudah berada di
depan. Suasana di sekitar kuil itu sunyi senyap, tidak terdengar
suara orang. Ciok Giok Yin khawatir kalau-kalau di depan kuil
terdapat anggota perkumpulan Sang Yen Hwee, maka dengan
waspada dia mengerahkan ginkangnya untuk meloncati tembok
lalu melesat ke dalam kuil itu. Dari ruang dalam hingga
beberapa kamar, sama sekali tidak menemukan seorangpun,
bahkan kelihatannya kuil itu tidak pernah dihuni orang.
Ciok Giok Yin mengerutkan kening berpikir, mungkin kuil ini
merupakan tempat pijakan sementara bagi Siau Bin Sanjin-Li
Mong Pai tempo hari. Setelah berpikir demikian, dia pun
ingin.... Mendadak terdengar suara yang amat lirih,
"Dengar-dengar waktu hari raya malam itu."
Suara lirih itu berasal dari ruangan depan. Ciok Giok Yin
segera melesat ke ruangan itu, namun sudah tidak terdengar
apa-apa lagi. Beberapa saat kemudian terdengar suara lirih itu
berkata,

"Kita di sini melakukan sesuatu yang menyenangkan tanpa
diketahui siapa pun, mengapa tidak boleh? Yang penting
jangan menyia-nyiakan kesempatan ini."
Terdengar suara bentakan nyaring, yaitu suara seorang gadis.
"Kalian semua memang kodok buduk yang ingin makan
daging angsa! Dasar tak tahu diri!"
Terdengar suara lelaki.
"Toaya hari ini memang ingin menikmati tubuhmu."
Ciok Giok Yin sudah mendengar jelas dari mana asal suara,
ternyata berada di bawah lantai. Apakah di bawah lantai
terdapat ruang rahasia?
Mendadak terdengar suara 'Plak!'
Kemudian terdengar pula suara jeritan, yang disusul oleh
suara rintihan. Jelas sama-sama terluka. Mendadak Ciok Giok
Yin melihat di dinding ruangan itu terdapat sebuah titik hitam
yang mencurigakan. Dia segera mendekati dinding itu
kemudian menekan titik hitam tersebut. Di saat bersamaan
terdengar suara 'Kreeeek'.
Ternyata bagian lantai di ruangan itu terbuka sedikit, namun
di dalam agak gelap. Ciok Giok Yin mengerahkan lwee kangnya
lalu melongok ke dalam. Sebelum dia melihat jelas, sekonyongkonyong
dari dalam melesat ke luar sosok bayangan, ternyata
seorang anggota perkumpulan Sang Yen Hwee, karena bajunya
bersulam sepasang burung walet. Ketika melihat Ciok Giok Yin,
anggota perkumpulan Sang Yen Hwee itu tampak tertegun.
"Bocah, siapa kau?" bentaknya.
"Ciok Giok Yin."
Anggota perkumpulan Sang Yen Hwee itu berseru tak
tertahan.

"Apa? Omong kosong!"
Rupanya dia telah mendengar tentang Ciok Giok Yin yang
terpukul ke dalam jurang maut. Di saat dia berseru kaget,
terlihat lagi dua anggota perkumpulan Sang Yen Hwee melesat
ke luar dari bawah lantai. Ciok Giok Yin amat mendendam
terhadap para anggota perkumpulan Sang Yen Hwee maka dia
langsung menyerang ketiga orang itu dengan totokan
mematikan. Terdengar suara jeritan, ketiga orang itu telah
tertotok, roboh tak bisa bangun lagi.
Setelah membinasakan ketiga orang itu, Ciok Giok Yin segera
meloncat ke dalam lantai yang terbuka itu. Ketika sepasang
kakinya menginjak dasar, mendadak terdengar suara rintihan
dari sebuah ruang batu dan tampak pula cahaya menyorot ke
luar. Ciok Giok Yin bergerak cepat melesat ke dalam ruang
batu itu dan terbelalak begitu masuk ke dalam. Ternyata di
lantai ruang batu itu tergeletak sosok mayat. Bajunya bersulam
sepasang burung walet telah berlumuran darah, bahkan kepala
mayat itu pun telah hancur. Tentunya mayat itu anggota
perkumpulan Sang Yen Hwee.
Di sudut ruang batu itu juga tergeletak seorang wanita
berpakaian hitam. Mulutnya mengeluarkan suara rintihan,
pertanda dia telah terluka parah. Dia tergeletak menghadap ke
dalam, maka Ciok Giok Yin tidak dapat melihat wajahnya. Ciok
Giok Yin mendekati wanita itu dan begitu melihat seketika juga
berseru kaget.
"Kau!"
Sungguh di luar dugaan, ternyata Ciok Giok Yin pernah
bertemu wanita berpakaian hitam ini di kuil Cak Ong Bio. Pada
waktu itu gadis tersebut juga dalam keadaan terluka. Tak
disangka wanita berpakaian hitam ini adalah anggota
perkumpulan Sang Yen Hwee juga. Ketika Ciok Giok Yin
berseru kaget, wanita berpakaian hitam itu terkejut oleh
seruannya dan segera memandang ke arah Ciok Giok Yin.
Sepasang matanya tampak suram.
"Kau..." serunya lemah.

Dia tidak tahu nama Ciok Giok Yin, karena ketika bertemu,
dia tidak menanyakan namanya. Ciok Giok Yin mendengus.
"Hm! Memang aku, tak terduga kan?"
Tiba-tiba wanita berpakaian hitam itu membuka mulut.
"Uaaakh!"
Darah segar menyembur ke luar dari mulutnya, setelah itu dia
berkata dengan lemah sekali.
"Bukankah kau adalah Ciok Giok Yin yang selalu menentang
perkumpulan Sang Yen Hwee kami?"
"Tidak salah!" sahut Ciok Giok Yin dengan dingin.
"Tahukah kau siapa aku?"
"Kau adalah wanita busuk yang tak tahu diri!"
Wanita berpakaian hitam tersenyum getir,
"Katamu memang benar, demikian diriku," dia menarik nafas
dalam. "Tetapi kuberitahukan, namaku Kiok San, tugasku di
perkumpulan Sang Yen Hwee adalah menjaga semacam barang
yang amat rahasia."
Hati Ciok Giok Yin tergerak,
"Barang apa itu?"
Kiok San tidak menyahut, melainkan berkata lain.
"Tak kusangka mereka begitu jahat, ingin menodai diriku.
Salah seorang itu telah kubinasakan, tapi orang itu telah
berhasil memutuskan nadi di jantungku." Dia berhenti sejenak
kemudian melanjutkan. "Setelah kejadian ini aku sudah tidak
bisa bernaung di bawah perkumpulan Sang Yen Hwee lagi." Dia
menatap Ciok Giok Yin. "Di kuil Cak Ong Bio, kau telah

menyelamatkan nyawaku."
"Pada waktu itu aku tidak tahu kau adalah anggota
perkumpulan Sang Yen Hwee," kata Ciok Giok Yin dingin.
"Kalau tahu?"
"Aku pasti akan menambah satu pukulan lagi untukmu."
"Sekarang masih belum terlambat."
"Terus terang, aku tidak akan mengampuni setiap anggota
perkumpulan Sang Yen Hwee."
Mendadak mulut Kiok San menyemburkan darah segar lagi,
setelah itu dia berkata lirih.
"Sekarang kau boleh turun tangan."
"Aku akan menunggu kau pulih dulu!" bentak Ciok Giok Yin.
Kemudian dia menatap Kiok San tajam. "Katakan, barang apa
yang kau jaga itu?"
Akan tetapi Kiok San tidak menyahut, melainkan
memejamkan matanya, kelihatannya seperti sudah mati.
Hati Ciok Giok Yin tersentak kemudian berkata dalam hati,
'Aku tidak boleh membiarkannya mati, harus tanya dia
menjaga barang apa.'
Ciok Giok Yin segera duduk lalu memegang tangan wanita
berpakaian hitam. Tangan wanita itu dirasakannya amat dingin,
namun di tenggorokannya masih terdapat sedikit nafas. Karena
itu dia segera menghimpun hawa murninya lalu disalurkan ke
dalam tubuh Kiok San. Berselang beberapa saat kemudian,
nafas Kiok San mulai lemah, sepasang matanya tetap tertutup
rapat. Ciok Giok Yin segera menyalurkan hawa murninya lagi
ke dalam tubuh Kiok San dan tak seberapa lama kemudian
sepasang mata Kiok San terbuka perlahan-lahan. Bibirnya
bergerak-gerak beberapa kali, akhirnya terlontar juga beberapa
kata.

"Mengapa... kau... membuatku... siuman...?"
Ciok Giok Yin tahu ajal Kiok San hampir tiba, maka dia
berkata lembut.
"Kau menjaga suatu barang penting perkumpulan Sang Yen
Hwee. Seandainya kau ingin berbuat baik terhadap dunia
persilatan dan meninggalkan nama harum, bukanlah lebih baik
kau serahkan barang itu padaku?" Tiba-tiba dia teringat
sesuatu, maka segera bertanya, "Sebetulnya ada apa waktu
hari raya di malam itu? Tadi aku mendengar pembicaraan
mereka."
Kiok San balik bertanya dengan suara lemah seakan
bergumam.
"Apakah... aku... harus... mengatakannya?"
"Kau harus mengatakannya padaku. Aku tahu pada dasarnya
kau berhati baik. Cuma kau terpengaruh sehingga terjerumus
ke dalam perkumpulan itu." Ciok Giok Yin menatapnya, "Demi
meninggalkan nama harummu, kau harus mengatakannya
padaku."
Kening Kiok San tampak berkerut-kerut, kelihatannya seperti
serba salah. Akan tetapi akhirnya dia berkata.
"Baik, kuberitahukan... padamu...."
Ciok Giok Yin segera memegang tangannya seraya berkata,
"Katakanlah!"
Mendadak tampak air mata Kiok San meleleh.
Ciok Giok Yin cepat-cepat menghapus air matanya, "Apakah
hari ini... tanggal..." tanya Kiok San tersendat-sendat.
"Hari ini tanggal dua bulan lima," sahut Ciok Giok Yin.

"Kalau... begitu... masih... ada... tiga... hari...."
"Maksudmu?"
"Di... di dalam... bajuku... terdapat... selembar... daftar...
nama... tolong... ambilkan...!"
Ciok Giok Yin segera merogohkan tangannya ke dalam baju
Kiok San untuk mengeluarkan selembar kertas.
Terdengar suara Kiok San semakin lemah.
"Tepatnya... tanggal lima... bulan lima... turun... tangan... di
tengah... malam... membunuh... para ketua... partai... agar...
mereka... menyerah... pada... perkumpulan... Sang... Yen...."
Bibir Kiok San sudah tidak bergerak, ternyata wanita
berpakaian hitam itu telah meninggal. Sedangkan Ciok Giok Yin
terkejut bukan main mendengar itu. Dia cepat-cepat
memaparkan kertas itu, ternyata di dalamnya tercantum nama
delapan partai besar dunia persilatan. Apabila perkumpulan
Sang Yen Hwee berhasil membunuh para ketua partai tersebut,
bukankah dunia persilatan akan dikuasai perkumpulan Sang
Yen Hwee? Kini cuma tinggal tiga hari, kalau hanya dirinya
sendiri yang pergi memberitahukan kepada para ketua partai
itu, tentunya akan terlambat. Karena itu dia tidak mau
membuang-buang waktu, segera melesat ke arah gunung Cong
Lam San. Mendadak ada tiga sosok bayangan melayang
turun....
Jilid 20
Tiga sosok bayangan itu ternyata Hui Pian-Cu Suang ketua
partai Cong Lam Pay bersama dua orang. Namun Ciok Giok Yin
tidak kenal kedua orang itu. Berdasarkan jubah yang dipakai
kedua orang itu, dapat dipastikan bahwa mereka juga dari
partai Cong Lam Pay. Kedua orang itu berperawakan sedang,
tapi sepasang matanya menyorot tajam sekali, pertanda

mereka berdua memiliki lwee kang yang amat tinggi. Ketika
Ciok Giok Yin baru mau membuka mulut, Hui Pian-Cu Suang
sudah berkata dingin.
"Ciok Giok Yin, tak disangka kita akan bertemu di sini. Hari ini
hutang piutang di antara kita harus diselesaikan!"
Ketika ketua partai Cong Lam Pay itu mau. melancarkan
pukulan, Ciok Giok Yin segera menggoyang-goyangkan
sepasang tangannya seraya berkata.
"Tunggu!"
"Kau masih ingin bilang apa?" bentak Hui Pian-Cu Suang.
"Kebetulan aku memang ingin ke tempat kalian."
Mendadak kedua orang itu mendengus dingin.
"Hmm! Bocah, kau masih ingin ke partai Cong Lam Pay?"
Ciok Giok Yin tidak menghiraukan kedua orang itu, melainkan
berkata serius pada Hui Pian-Cu Suang.
"Ketua, bolehkah aku bertanya?"
Hui Pian-Cu Suang melihat wajah Ciok Giok Yin begitu serius,
maka segera balik bertanya.
"Ada urusan apa?"
Ciok Giok Yin melirik kedua orang itu, setelah itu barulah
bertanya,
"Aku ingin bertanya, apakah kedua orang itu juga dari
partaimu?"
"Tidak salah," sahut Hui Pian. Cu Suang.
"Bolehkah aku tahu nama mereka?"

Ketika Ciok Giok Yin bertanya demikian, kedua orang itu
langsung saling memandang, bahkan hati mereka berdebardebar
tegang. Namun salah seorang itu tertawa gelak seraya
berkata.
"Bocah, apakah kau takut mati?"
"Aku bertanya pada ketua kalian, bukan bertanya pada
kalian!" bentak Ciok Giok Yin.
Hui Pian-Cu Suang tahu bahwa pertanyaan Ciok Giok Yin pasti
mengandung suatu maksud tertentu. Maka dia segera menegur
orang itu.
"Sute, kau jangan turut bicara!" kemudian dia memandang
Ciok Giok Yin. "Apa maksudmu menanyakan nama mereka?"
tanyanya.
"Maaf! Sementara ini belum bisa kuberitahukan tapi yang
jelas aku tidak berniat jahat."
Kedua orang itu mendengus dingin.
"Hmmm!"
Hui Pian-Cu Suang manggut-manggut seraya berkata,
"Baiklah! Kuberitahukan padamu, dia adalah To Lun dan yang
itu adalah Liok Siang Ho, mereka berdua adalah suteku."
Setelah itu dia segera mengerahkan lwee kangnya, siap
menghadapi kemungkinan adanya serangan. mendadak dari
Ciok Giok Yin. Setelah mendengar nama kedua orang itu, Ciok
Giok Yin cepat-cepat mengeluarkan kertas yang diperolehnya
dari Kiok San. Ternyata dalam kertas itu tercantum kedua
orang itu. Justru di saat bersamaan Liok Siang Ho membentak.
"Bocah haram! Kau jangan macam-macam, cepat ganti nyawa
Can Hai It Kiam suhengku!"
Usai membentak, Liok Siang Ho pun ingin menyerang Ciok

Giok Yin, namun mendadak Hui Pian-Cu Suang mengibaskan
tangan mencegahnya.
"Sabar sute, aku masih ingin menanyakan sesuatu padanya!"
Liok Siang Hok langsung berdiri diam di tempat, namun diamdiam
memberi isyarat kepada To Lun, lalu mereka berdua
menatap Ciok Giok Yin dengan mata tak berkedip. Tanpa sadar
mereka berdua pun melangkah mundur.
"Sekarang kau boleh memberitahukan maksudmu," kata Hui
Pian Cu Suang.
Ciok Giok Yin menyimpan kertas itu ke dalam bajunya sambil
menyahut.
"Aku masih ingin bertanya satu hal."
Hui Pian-Cu Suang kelihatan tidak sabaran. sebab dia adalah
ketua partai Cong Lam pay, namun seperti didikte oleh Ciok
Giok Yin, maka dia menyahut dengan nada kurang senang.
"Tanyalah!"
"Apa kedudukan kedua sutemu?"
"Pembantu pribadiku."
"Bagaimana kepandaian mereka berdua?"
Air muka Hui Pian-Cu Suang langsung berubah.
"Untuk apa kau menanyakan itu?" bentaknya.
"Tentunya aku punya alasan."
To Lun dan Liok Siang Ho tersenyum-senyum dan saling
memandang. Ternyata mereka berdua mengira Ciok Giok Yin
khawatir mereka akan maju bertiga, maka Ciok Giok Yin
mengajukan pertanyaan tersebut. Begitu pula Hui Pian Cu
Suang, dia pun berpikir demikian. Karena itu dia tertawa dingin

lalu menyahut.
"Legakanlah hatimu, kami tidak akan maju bertiga
mengeroyokmu."
"Itu bukan maksudku."
"Kalau begitu, apa maksudmu? Jelaskanlah!"
Ciok Giok Yin berkata dalam hati, kalau tidak bisa satu kali
pukul merobohkan kedua orang itu, akibatnya pasti fatal. Dia
memutar otaknya sejenak, kemudian berkata.
"Ketua Cu, sebelum membicarakan pokok urusan, masih ada
satu hal yang harus kukatakan."
"Mengenai hal apa?"
"Can Hai It Kiam lo cianpwee mati di tangan orang yang
menyamar diriku, orang itu telah kubunuh."
"Aku tidak bisa mempercayaimu."
"Anda boleh percaya boleh tidak, namun kuharap Anda sudi
menaruh ke belakang urusan ini. Sebab kini kita kembali pada
pokok pembicaraan."
Hui Pian-Cu Suang tidak tahu apa yang akan dibicarakan Ciok
Giok Yin.
"Kau boleh bicara."
"Aku harap Anda melihat suatu barang rahasia dulu."
Hui Pian-Cu Suang tertegun.
"Barang rahasia?"
"Ya."
"Barang rahasia apa?"

"Hanya Ketua Cu yang boleh melihat, kedua sutemu tidak
boleh."
Hati To Lun dan Liok Siang Ho tersentak.
"Bocah haram! Kau berani berbuat macam-macam? Aku akan
menghabisimu dulu!" bentak To Lun mendadak.
Ternyata orang itu sudah menyerang Ciok Giok Yin. Namun
Ciok Giok Yin tahu kini bukan saatnya bertarung dengan
mereka, maka secara reflek dia mengerahkan ilmu Hui Keng
Pou yang diperolehnya dari jurang maut. Tampak badannya
berkelebat menerobos ke luar dari serangan To Lun yang
bertubi-tubi. Bersamaan itu, Ciok Giok Yin pun berkata,
"Kalau Ketua Cu ingin lihat, harap Ketua Cu menyuruh kedua
orang itu mundur lima depa. Kalau tidak, aku mau pergi."
Semua orang pasti akan tertarik pada hal-hal aneh, begitu
pula Hui Pian Cu Suang. Walau usianya sudah cukup tua,
namun tidak terhindar dari sifat itu. Sebab itu dia segera
berseru,
"Sute, mundur!"
Akan tetapi, To Lun tahu bahwa Ciok Giok Yin muncul dari Kuil
Yeh Ling Si, maka ingin membunuhnya. Bukannya dia berhenti
atau mundur, sebaliknya malah lebih gencar menyerang Ciok
Giok Yin.
"Ciangbun suheng, jangan mempercayai omongan bocah ini,
kita harus membinasakannya!" serunya kepada Hui Pian-Cu
Suang.
Menyaksikan itu gusarlah Hui Pian-Cu Suang.
"Sute, kau berani tidak mendengar perkataanku?" bentaknya
mengguntur.
Begitu melihat Hui Pian-Cu Suang gusar, To Lun segera

mencelat ke tempat semula, kemudian memberi isyarat kepada
Liok Siang Ho.
"Kalian berdua, cepat mundur lima depa! Aku ingin melihat
sebetulnya barang rahasia apa itu," kata Hui Pian-Cu Suang.
"Ciangbun suheng, jangan menempuh bahaya! Bocah itu
amat kejam dan banyak akal busuknya. Bagaimana kalau kami
berdua yang melihat barang rahasia itu?" sahut To Lin atau
Liok Siang Ho serentak.
Mendengar itu, Hui Pian-Cu Suang tertegun.
To Lun segera berkata,
"Dia tidak punya barang rahasia apa pun. Aku yakin dia ingin
mencelakai Ciangbun suheng! Kalau tidak, mengapa dia
melarang kami berdua turut melihat?"
Saat ini Ciok Giok Yin berdiri tak begitu jauh, tentunya
mendengar jelas semua pembicaraan itu. Karena itu dia
tertawa gelak,
"Kalau Ketua Cu mendengar perkataan mereka, aku pun mau
pergi."
Ciok Giok Yin sudah siap melesat pergi, namun mendadak Hui
Pian-Cu Suang berseru,
"Tunggu!"
Setelah itu dia berkata kepada kedua sutenya.
"Kalian berdua mundurlah, tiada urusan dengan kalian."
To Lun dan Liok Siang Ho tidak berani membantah, segera
mundur lima depa. Akan tetapi diam-diam mereka berdua
sudah siap. Kalau benar adalah urusan yang mereka khawatir
itu, mereka berdua akan segera turun tangan membunuh Hui
Pian-Cu Suang, lalu kembali ke gunung Cong Lam San dan...
siapa yang berani membangkang perintahnya? Apabila tidak

dapat membunuh Hui Pian-Cu Suang, mereka berdua masih
punya waktu untuk melarikan diri. Mereka berdua terus
memperhatikan gerak-gerik Ciok Giok Yin dengan mata tak
berkedip. Namun Hui Pian-Cu Suang yang berdiri begitu dekat
dengan Ciok Giok Yin sudah mengerahkan lwee kangnya.
"Sekarang kau boleh perlihatkan," katanya.
Ciok Giok Yin menatapnya sejenak kemudian berkata,
"Ketua Cu, aku berniat baik. Kalau Ketua Cu menganggapku
sebagai musuh, lebih baik jangan melihat."
Mendengar itu, Hui Pian-Cu Suang merasa tidak enak,
"Baiklah! Aku mempercayaimu!"
Ciok Giok Yin manggut-manggut, tahu jelas Hui Pian-Cu
Suang saat ini sudah tidak menganggapnya sebagai musuh.
Dia segera mengeluarkan kertas tersebut dari dalam bajunya,
setelah itu berkata pada Hui Pian-Cu Suang menggunakan ilmu
Penyampai Suara.
"Silakan, Ketua Cu melihat! Kertas ini kuperoleh dari salah
seorang anggota perkumpulan Sang Yen Hwee."
Hui Pian-Cu Suang menerima kertas itu. Begitu membacanya
air mukanya langsung berubah menjadi hebat. Justru disaat
bersamaan, mendadak tampak dua sosok bayangan melesat
laksana kilat ke arah Hui Pian-Cu Suang. Salah satu
menyambar kertas tersebut, sedangkan yang satu lagi
melancarkan pukulan ke arah kepala Hui Pian-Cu Suang. Ketua
partai Cong Lam Pay berkepandaian tinggi, bagaimana
mungkin akan terhantam serangan mendadak itu? Dia
bergerak cepat memutar sebelah tangannya agar kertas itu
tidak tersambar, sekaligus membentak.
"Nyali kalian berdua sungguh besar, berani berontak!"
Dia memutarkan badannya sambil menyambut pukulan yang
dilancarkan To Lun.

Plak!
Terdengar suara benturan. Tampak badan To Lun terpental
hampir tiga depa. Namun ada serangan gelap di belakangnya.
"Ketua Cu, ada serangan dari belakang!" seru Ciok Giok Yin.
Saat ini To Lun sudah menerjang lagi. Kini Hui Pian-Cu Suang
dikeroyok kedua adik seperguruannya, membuat Ciok Giok Yin
tidak tinggal diam.
"Ketua Cu, aku akan membantu membasmi kedua murid
murtad partai Cong Lam Pay!"
Usai berseru Ciok Giok Yin sudah maju. Terdengar suara
seruan Hui Pian-Cu Suang.
"Mohon siauhiap jangan melepaskan mereka!"
Dia pun sudah balas menyerang To Lun. Terdengar suara
jeritan. Sedangkan Liok Siang Ho juga sudah terpental oleh
pukulan yang dilancarkan Ciok Giok Yin. Ternyata Ciok Giok Yin
menggunakan ilmu pukulan Hong Lui Sam Ciang. Liok Siang Ho
roboh tak bangun lagi, nyawanya telah melayang. To Lun cuma
terluka ringan. Menyaksikan kematian Liok Siang Ho, ciutlah
nyalinya dan segera melarikan diri. Mendadak tampak sesosok
bayangan menghadang di hadapannya, ternyata Ciok Giok Yin.
Itu membuat To Lun ketakutan dan cepat-cepat memutar
badannya lari ke tempat lain. Akan tetapi Ciok Giok Yin tetap
menghadang di depannya. Ciok Giok Yin tidak mau turun
tangan membunuhnya. Dia berharap Hui Pian-Cu Suang yang
menangkapnya. Sementara kegusaran Hui Pian-Cu Suang telah
memuncak. Dia terus membuntuti To Lun yang berlari ke sana
ke mari.
"Kau masih ingin melarikan diri?" bentaknya.
Terdengar Hui Pian-Cu Suang sudah mengeluarkan
senjatanya, yaitu sebuah cambuk panjang. To Lun menjerit dan

mulutnya menyemburkan darah segar. Sambaran cambuk itu
telah menghancurkan tulang betisnya, sehingga membuatnya
pingsan seketika. Kegusaran Hui Pian-Cu Suang belum reda.
Dia menggerakkan cambuknya ingin membunuh To Lun.
Namun Ciok Giok Yin segera mencegahnya.
"Ketua Cu, mohon tanya apakah mereka masih bersekongkol
dengan orang lain?"
"Aku tidak tahu," sahut Hui Pian-Cu Suang.
Setelah menyahut, ketua partai Cong Lam Payu itu
membentak sambil menuding To Lun yang telah roboh tak
berkutik.
"Kau betul-betul durhaka! Suhu begitu baik terhadap kalian,
tapi kalian malah berkhianat! Secara diam-diam bersekongkol
dengan perkumpulan Sang Yen Hwee! Ini sungguh...."
Saking gusarnya Hui Pian-Cu Suang tidak dapat melanjutkan
ucapannya. Sedangkan To Lun diam saja, ternyata masih
dalam keadaan pingsan. Hui Pian-Cu Suang mengangkat
sebelah kakinya lalu dihentakkan di dada To Lun. Seketika
terdengar suara jeritan.
"Aduuuh...!"
To Lun siuman perlahan-lahan, namun sepasang matanya
tampak suram.
"Katakan! Mengapa kau bergabung dengan perkumpulan
Sang Yen Hwee?" bentak Hui Pian-Cu Suang.
Mendadak To Lung tertawa gelak seperti orang gila lalu
menyahut,
"Cu Suang! Kini aku telah terjatuh ke tanganmu, mau bunuh
silakan! Untung nyawamu besar!"
Kemudian dia menoleh memandang Ciok Giok Yin.

"Bocah haram, kau telah merusak rencanaku! Sampai aku
mati pun tidak akan mengampunimu!" katanya penuh dendam.
Menyusul terdengar suara pekikan. Mulut To Lun
menyemburkan darah segar. Badannya bergerak sesaat, lalu
diam, ternyata nafasnya telah putus. Memang sungguh di luar
dugaan, To Lun membunuh diri dengan cara menggigit putus
lidahnya sendiri. Begitulah! Orang jahat pasti mendapat
ganjarannya. Menyaksikan itu Hui Pian-Cu Suang menghela
nafas panjang,
"Inilah ketidak mampuan lohu memimpin, sehingga
menyebabkan kedua sute itu salah langkah."
Usai berkata, tak terasa air matanya telah meleleh.
"Ketua Cu, keadaan sudah mendesak sekali, sedangkan masih
ada tujuh ketua partai yang dalam bahaya. Aku tidak bisa
memberitahu mereka satu persatu, maka mohon ketua Cu sudi
memberi petunjuk!"
Hui Pian-Cu Suang tersentak,
"Siauhiap, mari kita pergi!"
Mereka berdua melesat pergi. Arah yang mereka tuju adalah
gunung Cong Lam San. Karena memburu waktu, maka mereka
mengerahkan ginkang dengan sepenuh tenaga. Ketika hari
mulai pagi, mereka berdua sudah tiba di markas partai Cong
Lam Pay. Hui Pian-Cu Suang segera mengutus beberapa murid
handal untuk mengantar surat. Dia berpesan pada para murid
handalnya, surat itu harus sampai di tangan yang
bersangkutan sebelum tanggal lima bulan lima. Seusai Hui
Pian-Cu Suang membagi-bagikan surat kepada beberapa murid
handalnya, mendadak salah seorang murid tergopoh-gopoh
memasuki ruangan itu lalu melapor.
"Cing Yun Cu dari Gobi Pay mohon bertemu To Lun susiok!"
Mendengar itu air muka Hui Pian-Cu Suang langsung berubah.

"Ketua Cu, dia harus ditangkap," kata Ciok Giok Yin.
Ternyata nama Cing Yun Cu juga tercantum di dalam kertas
rahasia itu. Dia datang di Cong Lam Pay menemui To Lun,
tentunya punya suatu rencana. Oleh karena itu, Hui Pian-Cu
Suang manggut-manggut seraya berkata,
"Demi golongan putih, terpaksa aku harus berbuat begitu."
Kemudian dia berbisik-bisik pada muridnya itu. Muridnya itu
mengangguk, kemudian mengundurkan diri. Berselang
beberapa saat Hui Pian-Cu Suang berkata.
"Siasuhiap, mari kita keluar melihat-lihat!"
Ciok Giok Yin manggut-manggut. Mereka berdua berjalan
menuju ruangan depan. Tak lama kemudian terdengar suara
teriakan gusar.
"Aku ke mari mengunjungi kawan lama! Kalian berani
menjebakku ke dalam penjara batu ini?"
Bum! Bum!
Terdengar suara pintu dihantam pukulan, tidak lain adalah
perbuatan Cing Yun Cu. Sementara Hui Pian-Cu Suang dan
Ciok Giok Yin sudah sampai di ruang batu itu.
"Cing Yun Cu, aku yakin partaimu tidak pernah berbuat salah
terhadapmu, tapi kau justru berani bersekongkol dengan pihak
lain untuk mencelakai ketuamu itu...."
Cing Yun Cu segera memutuskan perkataan Hui Pian-Cu
Suang.
"Apa maksud perkataanmu itu?"
"Apakah kau tidak paham dalam hatimu?"

"Aku memang tidak paham!"
"Di saat lohu menyerahkanmu pada ketua kalian, kau pasti
akan paham!"
"Kentut! Kalau kalian berani berlaku demikian kasar
terhadapku, partaiku pasti akan membuat perhitungan
denganmu!"
Hui Pian-Cu Suang mendengus dingin.
"Hmm! Ini adalah urusanku dengan ketuamu, kau tidak perlu
banyak bicara!"
Mendadak Cing Yun Cu berkata dengan nada lunak.
"Ketua Cu, kau mengurungku di sini sebetulnya ada maksud
apa?"
"Sekarang aku tidak mau memberitahukan!"
"Bolehkah aku bermohon pada ketua Cu?"
"Kau mau bermohon apa?"
"Aku diperintah oleh ketua karena ada urusan di luar. Dalam
perjalanan ini aku pun mengunjungi beberapa kawan lama.
Kalau aku tidak pulang tepat waktunya, sudah pasti akan
dihukum. Apakah Ketua Cu merasa enak?"
"Tentang ini akan kubicarakan dengan ketuamu, kau tidak
perlu cemas," sahut Hui Pian-Cu Suang.
"Apakah ketua Cu tidak sudi menolongku?"
"Kalau lohu melepaskanmu, nyawa ketuamu pasti dalam
bahaya."
Sekonyong-konyong Cing Yun Cu mencaci maki.
"Tua bangka, aku tidak akan mengampunimu!"

Saat ini Ciok Giok Yin berkata hormat pada Hui Pian-Cu
Suang.
"Lo cianpwee, waktu sudah amat mendesak, aku harus segera
berangkat ke kuil Siauw Lim Si."
"Siasuhiap telah menyelamatkan dunia persilatan. Lohu
mewakili kaum segolongan mengucapkan terimakasih pada
siauhiap. Mengenai kesalahpahaman itu lohu pun mohon
maaf."
"Lo cianpwee jangan berkata begitu. Di mana letak
kesalahanku, aku mohon lo cianpwee sudi memaafkanku.
Sampai jumpa!"
Ciok Giok Yin menjura, lalu melesat pergi. Dalam perjalanan,
tak lupa Ciok Giok Yin menghitung hari, ternyata cuma tinggal
satu hari lagi. Kalau tidak bisa tiba dikuil Siauw Lim Si sebelum
tengah malam, Hian Yun Huisu ketua Siauw Lim Pay pasti akan
binasa! Oleh karena itu dia melakukan perjalanan malam tanpa
beristirahat sama sekali. Ciok Giok Yin khawatir akan ada
halangan di tengah jalan, maka dia menempuh perjalanan
melalui jalan-jalan kecil yang sepi.
Perlu diketahui, Ciok Giok Yin sama sekali tidak bermaksud
mengambil hati para ketua, melainkan ingin menyelamatkan
dunia persilatan dari mara bahaya tersebut. Meskipun para
ketua lain masih menaruh salah paham padanya, tapi dia tidak
mempedulikan itu, bahkan juga tidak pernah disimpan dalam
hati, sebab cuma merupakan salah paham belaka. Dalam
perjalanan menuju Kuil Siauw Lim Si, mendadak dia melihat
sebuah tandu yang digotong dua wanita berbadan kekar,
sedang meluncur. Begitu melibat tandu itu, tersentak pula.
Hati Ciok Giok Yin tersentak karena tahu bahwa tandu itu
adalah tandu Thian Thay Sian Ceng.
Sesungguhnya Ciok Giok Yin tidak takut padanya. Namun
agar tidak terjadi suatu hambatan, maka dia segera
bersembunyi di balik sebuah batu besar.

Akan tetap mendadak terdengar suara bentakan dingin dari
dalam tandu itu.
"Berhenti!"
Setelah itu, terdengar lagi suara bentakan.
"Bocah, kau masih ingin melarikan diri?"
Ucapan itu menimbulkan keangkuhan Ciok Giok Yin. Dia
segera muncul seraya menyahut,
"Kau mau apa?"
Tandu itu telah berhenti. Kedua wanita penggotongnya segera
berdiri di samping tandu tersebut. Sepasang mata mereka
menyorot tajam, menatap Ciok Giok Yin dengan tak berkedip.
Mendadak terdengar suara dari dalam tandu.
"Lo sin (Aku Yang Tua) merasa tak sedap memandangmu."
Ciok Giok Yin tertawa dingin.
"Aku tidak bermusuhan denganmu, mohon dijelaskan
perkataanmu itu!"
"Tidak perlu dijelaskan, pokoknya hari ini kau harus
meninggalkan nyawamu!"
"Silakan! Kau kira aku takut padamu?" bentak Ciok Giok Yin.
Sudah beberapa kali Ciok Giok Yin bertemu Thiang Thay Sian
Ceng, namun Thian Thay Sian Ceng tetap berada di dalam
tandu, maka Ciok Giok Yin tidak pernah menyaksikan
wajahnya.
"Kalau kau berani, keluarlah!" bentaknya lagi.
Terdengar suara dari dalam tandu,

"Lo sin tidak perlu keluar!"
Mendadak dari dalam tandu menerjang ke luar tenaga lunak
yang amat dahsyat.
"Kau memang tak tahu aturan!" bentak Ciok Giok Yin gusar.
Ciok Giok Yin menangkis serangan itu dengan jurus pertama
ilmu pukulan Hong Lui Sam Ciang. Dia ingin dengan jurus
tersebut menerbangkan tandu itu. Namun tak disangka....
Bum!
Terdengar suara benturan dahsyat dan seketika Ciok Giok Yin
terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah. Dia merasa
darahnya bergolak dan matanya berkunang-kunang.
Sedangkan tandu itu tidak bergeming sama sekali. Hati Ciok
Giok Yin tersentak. Tapi justru membuatnya penasaran.
"Sambut lagi sebuah pukulanku!" bentaknya.
Mendadak dia menerjang ke arah tandu sambil melancarkan
pukulan dengan jurus kedua dan ketiga ilmu pukulan Hong Lui
Sam Ciang. Akan tetapi tandu itu tetap tak bergeming. Angin
pukulan yang dilancarkan Ciok Giok Yin sepertinya tenggelam
ke dasar laut. Di saat bersamaan terdengar suara yang amat
dingin dari dalam tandu.
"Ciok Giok Yin, ilmu pukulan Hong Lui Sam Ciangmu masih
rendah sekali!"
Mendadak tandu itu melambung ke atas menimbulkan suara
menderu-deru lalu menerjang ke arah Ciok Giok Yin, bukan
main dahsyatnya.
Ciok Giok Yin terbelalak, 'Kungfu apa itu? Kok bisa membuat
tandu itu melambung ke atas?' tanyanya dalam hati. Sembari
bertanya dalam hati, Ciok Giok Yin pun bergerak cepat
mencelat ke belakang. Namun tandu itu seperti memiliki mata,
terus mengikutinya.

Itu membuat Ciok Giok Yin gugup, sehingga tanpa sadar
mengeluarkan ilmu Hui Keng Pou. Sungguh menakjubkan!
Tampak badannya berkelebat, tahu-tahu telah berhasil
menghindari serangan itu. Tandu itu merosot ke bawah. Di saat
bersamaan mendadak kedua wanita penggotong tandu
menggeram dan segera menerjang ke arah Ciok Giok Yin.
Dalam waktu bersamaan tandu itu melambung ke atas lagi
lalu meluncur ke arah Ciok Giok Yin. Jadi Ciok Giok Yin diserang
dari tiga jurusan.
Bum!
Terdengar seperti suara ledakan dahsyat. Badan Ciok Giok Yin
terpental tiga depa lalu roboh di tanah dengan mulut
menyembur darah segar. Kedua wanita penggotong tandu
langsung melesat ke arahnya. Kelihatannya Ciok Giok Yin
akan..., namun mendadak tampak bayangan sebuah benda
kecil meluncur ke tempat itu lalu menancap di tanah. Apakah
benda kecil itu? Ternyata sebuah panji kecil berwarna
merah. Thian Thay Sian Ceng yang duduk di dalam tandu
seketika berseru kaget.
"Pek Hoat Hujin!"
Sedangkan kedua wanita penggotong tandu, begitu
mendengar seruan Thian Thay Sian Ceng, langsung
menghentikan tangannya yang telah dijulurkan ke arah Ciok
Giok Yin, bahkan cepat-cepat melesat pergi. Ciok Giok Yin
bangun perlahan-lahan. Dia melihat wanita anggun berpakaian
mewah, yang pernah beberapa kali menyelamatkannya berdiri
di tempat itu. Sedangkan Thiang Thay Sian Ceng dan kedua
wanita penggotong tandu telah tidak kelihatan. Ciok Giok Yin
menghapus noda darah di bibirnya, kemudian memberi hormat
pada wanita anggun berpakaian mewah.
"Cianpwee telah menyelamatkan diriku lagi."
"Tidak dapat dikatakan menyelamatkanmu, melainkan cuma
kebetulan saja."

"Tapi... aku telah banyak berhutang budi pada cianpwee."
"Jangan disimpan dalam hati. Bagaimana rasamu sekarang?"
"Baik-baik saja."
"Nak, kau harus beristirahat sejenak."
Begitu mendengar wanita anggun berpakaian mewah
memangginya Nak, seketika air mata Ciok Giok Yin meleleh.
Wanita anggun berpakaian mewah tertegun ketika melihat
Ciok Giok Yin menangis.
"Nak, mengapa kau menangis?"
"Cianpwee, aku... amat terharu," sahut Ciok Giok Yin sambil
menyusut air matanya.
"Lho? Mengapa?"
"Sejak aku mengerti, kecuali Tiong Ciu Sin le, tiada orang lain
yang memanggilku...."
Wanita anggun berpakaian mewah maju selangkah, seraya
berkata.
"Nak, kelak pasti ada orang memanggilmu demikian, jangan
sedih!"
"Apakah cianpwee tahu tentang asal-usulku?"
"Aku tahu sedikit."
"Cianpwee tahu?"
"Ya "
"Bolehkah cianpwee memberitahukan padaku?"
"Tidak boleh."

"Mengapa?"
"Belum waktunya." Berhenti sejenak. "Tapi aku baru
mendengarnya," lanjutnya.
Seketika hati Ciok Giok Yin merasa terang.
"Bolehkah aku bertanya sedikit?"
"Boleh."
"Betulkah aku bermarga Ciok?"
"Margamu bukan Ciok."
"Jadi sebetulnya aku bermarga apa?"
"Aku sudah berjanji pada orang itu, tidak boleh
memberitahukan."
Ciok Giok Yin merasa kecewa sekali.
"Apakah aku punya hubungan dengan Hai Thian Tayhiap-Ciok
Khie Goan?"
"Hubungan yang erat sekali."
"Aku bukan keturunannya?"
"Bukan."
Wanita anggun berpakaian mewah menatapnya.
"Nak, sebelum waktunya, kau jangan banyak bertanya. Sebab
kalau pun tahu, tiada manfaatnya bagimu, bahkan malah akan
mencelakaimu. Namun cepat atau lambat kau akan
mengetahuinya."
Ciok Giok Yin teringat sesuatu, maka segera bertanya.

"Cianpwee, betulkah potongan kain yang kuperoleh itu
menyangkut asal-usulku?"
"Aku dengar, kau pernah pergi mencari Thiang Thong Lojin.
Betulkah?"
"Ya. "
"Dia dapat mengungkap rahasia potongan kain ltu?"
"Masih harus mencari Bu Keng Sui."
"Bu Keng Sui?"
"Ya. Tapi aku tidak tahu harus ke mana mencari Air Tanpa
Akar itu."
Wanita anggun berpakaian mewah itu menyahut.
"Harus perlahan-lahan mencari informasi, tidak usah terburuburu."
Ciok Giok Yin manggut-manggut. Wanita anggun berpakaian
mewah menatapnya sejenak kemudian bertanya.
"Kau mau kemana?"
"Aku mau ke Kuil Siauw Lim Si."
"Ada urusan apa kau ke sana?"
Ciok Giok Yin segera memberitahukan tentang urusan itu.
"Kalau begitu, cepatlah kau ke sana agar tidak terlambat!"
kata wanita itu.
Ciok Giok Yin memberi hormat. Ketika dia baru mau melesat
pergi, mendadak wanita itu berseru.
"Tunggu!"

"Cianpwee ada petunjuk?"
"Kau telah terluka, harus makan obat dulu."
Wanita anggun berpakaian mewah mengeluarkan sebutir pil
lalu diberikan pada Ciok Giok Yin seraya berkata.
"Makan obat ini baru pergi!"
Ciok Giok Yin segera menerima obat itu dengan mata
berkaca-kaca, "Cianpwee sedemikian menyayangiku, selamalamanya
takkan kulupakan," katanya terharu.
"Baik-baiklah menjaga diri!" pesan wanita anggun berpakaian
mewah.
Ciok Giok Yin menelan obat tersebut, lalu memandang wanita
anggun berpakaian mewah sejenak. Setelah itu barulah dia
melesat pergi laksana kilat. Wanita anggun berpakaian mewah
memandang punggungnya sambil menghela nafas dan
bergumam.
"Kasihan anak itu!"
Badannya bergerak, tahu-tahu sudah melesat pergi ke arah
yang ditempuh Ciok Giok Yin. Sementara Ciok Giok Yin terus
melakukan perjalanan. Ketika hari mulai gelap dia sudah tiba di
gunung Song San. Tanpa membuang waktu, dia terus melesat
ke puncak gunung itu menuju kuil Siauw Lim Si. Sebelum
tengah malam, Ciok Giok Yin sudah tiba di depan pintu kuil
tersebut. Karena waktu sudah amat mendesak, maka dia
langsung menerobos ke dalam. Mendadak muncul empat
hweeshio, masing-masing memegang sebatang toya
menghadang di hadapan Ciok Giok Yin.
"Sicu kecil, ada urusan apa kau ke mari?" bentak salah
seorang dari mereka.
"Aku ingin bertemu ketua kalian," sahut Ciok Giok Yin.
"Urusan apa"

"Mohon Taysu segera melapor!"
"Kini sudah malam, ketua kami sedang berunding sesuatu di
ruang pengawas!"
"Kalau kalian tidak bersedia melapor, aku akan menerjang ke
dalam."
Ciok Giok Yin sudah mau menerjang ke dalam, namun
keempat hweeshio itu segera membentak.
"Kau berani?"
"Mengapa tidak?"
Ciok Giok Yin menggunakan ilmu Hui Kong Pou. Dalam
sekejap dia sudah menerobos ke dalam.
"Berhenti!" bentak keempat hweeshio itu.
Mereka langsung menyerang Ciok Giok Yin dengan toya. Akan
tetapi di saat bersamaan mendadak terdengar suara yang
bertenaga di ruang besar.
"Siapa begitu berani membuat kegaduhan di kuil ini?"
Seorang hweeshio tua berjalan ke luar, langsung melancarkan
pukulan ke arah Ciok Giok Yin yang sedang menerjang ke
dalam. Bukan main dahsyatnya pukulan itu. Suaranya
menderu-deru dan penuh mengandung tenaga menerjang ke
arah Ciok Giok Yin. Ciok Giok Yin menggunakan ilmu Hui Kong
Pou untuk menghindar. Dalam waktu bersamaan dia pun
berkata,
"Aku harus menemui ketua kalian, sebab ada urusan rahasia
yang harus kusampaikan!"
Hweeshio tua itu menarik kembali serangannya. Kemudian dia
menatap Ciok Giok Yin tajam seraya bertanya,

"Mengapa tidak menunggu?"
"Waktu sudah amat mendesak!"
"Kau omong kosong! Aku tidak bisa membiarkanmu berlaku
semaunya di sini!"
Hweeshio tua itu melangkah maju. Ciok Giok Yin tidak mau
bertarung dengan hweeshio tua itu, maka cepat-cepat
menggunakan ilmu Hui Keng Pou melesat ke dalam melewati
sisi hweeshio itu. Justru di saat bersamaan, mendadak
terdengar suara lonceng, pertanda Siauw Lim Pay akan
menghadapi musuh. Seketika muncul para hweeshio dari
empat penjuru, yang kemudian mengurung Ciok Giok Yin,
bahkan melancarkan serangan. Ciok Giok Yin tetap
menggunakan ilmu Hui Keng Pou untuk menghindar. Terdengar
suara seruan kaget.
"Hah? Hui Keng Pou! Ternyata kau! Cepat bentuk formasi Lo
Han Tin!"
Ciok Giok Yin menengok ke arah suara seruan itu. Seketika
dia pun berseru tak tertahan.
"Tay Yap Huisu!"
"Tidak salah! Hutang piutang Kuil Cing Hong Si, sudah
waktunya diselesaikan!"
Saat ini terlihat lagi beberapa sosok bayangan muncul di
ruangan itu. Para hweeshio yang ada di tempat itu segera
menyingkir ke samping, lalu memberi hormat seraya berkata.
"Kami beri hormat pada ketua!"
Tampak seorang hweeshio tua berdiri di situ, sepasang
matanya menyorot tajam menatap Ciok Giok Yin. Tay Yap
Huisu segera membungkukkan badannya memberi hormat
seraya berkata.
"Mohon Ketua turunkan perintah menangkap bocah itu! Dia

adalah Ciok Giok Yin yang telah membunuh para hweeshio Kuil
Cing Hong Si. Lagi pula tadi dia menggunakan ilmu Hui Keng
Pou."
Sepasang mata Hian Yun Huisu semakin menyorot tajam,
"Dia menggunakan ilmu Hui Keng Pou?"
"Ya."
Hian Yun Huisu maju dua langkah sambil membentak.
"Sicu Kecil, kau mau bilang apa lagi?"
Legalah hati Ciok Giok Yin, karena Hian Yun Huisu tidak
kurang suatu apa pun.
"Aku melakukan perjalanan siang malam menuju kuil ini cuma
ingin memperlihatkan sesuatu pada Huisu."
Hian Yun Huisu tertegun.
"Sesuatu apa?"
Saat ini dua hweeshio berusia lima puluhan yang berdiri di
kanan kiri Hiang Yun Haisu merapatkan diri dengan ketua
Siauw Lim Pay itu.
Ciok Giok Yin berkata dalam hati. 'Mungkin kedua hweeshio
itu!'
Kemudian dia berkata, "Kalau ketua ingin melihat, harus
menyuruh kedua hweeshio itu minggir."
Kedua hweeshio itu langsung membentak.
"Bocah, apa maksudmu?"
"Barang yang akan kuperlihatkan tidak boleh dilihat oleh lebih
dari enam mata."

"Kau punya barang apa, boleh diperlihatkan padaku! Perlu
diketahui, kedua hweeshio ini adalah Hian Ceh dan Hian Hong
adik seperguruanku," kata Hian Yun Haisu.
Diam-diam Ciok Giok Yin berkata dalam hati, 'Dugaanku tidak
meleset.'
Ciok Giok Yin berkata serius.
"Kalau ketua tidak menyuruh mereka mundur, jangan harap
bisa melihat barang ini," katanya kemudian dengan sungguhsungguh.
Hian Yun Huisu terheran-heran, lalu mengibaskan tangannya
seraya berkata kepada kedua hweeshio itu.
"Kalian berdua mundurlah!"
Hian Ceh dan Hian Hong segera mundur satu depa lebih. Ciok
Giok Yin segera mengeluarkan kertas itu dari dalam bajunya.
Suasana di tempat itu seketika berubah menjadi hening.
Puluhan pasang mata menatap Ciok Giok Yin dengan penuh
rasa heran. Ciok Giok Yin melempar kertas itu ke arah Hian Yun
Huisu seraya berkata,
"Silakan Ketua melihat pasti mengetahuinya."
Hian Yun Huisu menyambut kertas itu lalu membaca isinya.
Seketika air mukanya berubah hebat, bahkan sepasang alisnya
yang putih itu bergerak turun naik. Di saat bersamaan
mendadak dari luar menerobos ke dalam seorang hweeshio
langsung berkata dengan tergopoh-gopoh.
"Lapor pada Ketua, di bawah gunung muncul dua puluh lebih
anggota perkumpulan Sang Yen Hwee yang berkepandaian
tinggi, kini sudah sampai di.... Belum juga hweeshio itu usai
melapor, mendadak Hian Ceh dan Hian Hong bersiul panjang
kemudian melesat laksana kilat ke arah Hian Yun
Huisu. Kejadian itu membuat para hweeshio menjadi
melongo. Sedangkan Hian Yun Huisu sudah membaca kertas
itu, maka pasti sudah siap-siap dari tadi, dia segera berseru.

"Cepat tangkap Hian Ceh dan Hian Hong!"
Sembari berseru dia berkelit menghindar serangan yang
dilancarkan kedua hweeshio itu. Seketika tampak belasan
hweeshio telah mengurung Hian Ceh dan Hian Hong.
Sedangkan Hian Yun Huisu langsung menyuruh belasan
hweeshio mengikuti Tay Yao Huisu untuk pergi menghadang
para anggota perkumpulan Sang Yen Hwee. Setelah itu Hian
Yun Huisu memegang tangan Ciok Giok Yin seraya berkata,
"Sicu kecil, mari kita keluar melihat-lihat!"
Sementara di luar sudah terdengar suara bentakan, jeritan
dan senjata berkelebat ke sana ke mari. Pertarungan matimatian
berlangsung di situ. Tampak pula dua puluh lebih mayat
tergeletak di tanah yaitu mayat-mayat hweeshio dan anggota
perkumpulan Sang Yen Hwee. Sampai di luar, Hian Yun Huisu
mengundang Ciok Giok Yin ke ruang tamu. Kemudian berkata
dengan penuh rasa haru.
"Sicu kecil jauh-jauh ke mari, aku amat berterima kasih."
"Membasmi golongan iblis, juga adalah bagian dariku," sahut
Ciok Giok Yin sambil memberi hormat.
Saat ini Tay Yap Huisu masuk ke dalam dan merangkapkan
sepasang tangannya di dada sambil berkata kepada Ciok Giok
Yin.
"Tempo hari terjadi kesalahpahaman, mohon Sicu Kecil sudi
memaafkanku!"
Ciok Giok Yin segera balas memberi hormat sambil berkata
dengan ramah.
"Taysu jangan berkata begitu, kelak aku masih mohon
petunjuk Taysu."
Kini kesalah pahaman diantara mereka telah jernih.

Mendadak tampak Liau Cing Taysu dan Thian It Ceng berjalan
ke dalam. Mereka menatap Ciok Giok Yin dengan tajam.
Terutama sepasang mata Thian It Ceng, penuh mengandung
dendam dan kebencian.
"Ketua, mohon penjelasan mengenai satu hal," kata Ciau Cing
Taysu.
"Hal apa?"
Ciok Giok Yin telah menyaksikan sikap kedua hweeshio tua
itu, tentunya bermaksud tidak baik terhadap dirinya.
"Mengenai kitab Ban Siang Po Kip. Sicu Kecil ini tadi
menggunakan ilmu Hui Keng Pou. Bukankah boleh bertanya
padanya?" sahut Liau Cing Taysu.
Hian Yun Huisu mengerutkan kening kemudian bertanya pada
Ciok Giok Yin.
"Mengenai ilmu Hui Keng Pou, Sicu Kecil belajar dari mana?"
"Maaf, tentang itu tidak dapat kuberitahukan," sahut Ciok
Giok Yin.
Hian Yun Huisu berkata.
"Sicu Kecil, Kuil kami menyimpan sebuah kitab Ban Siang Po
Kip, peninggalkan Tatmo Cousu, namun telah hilang tiga puluh
tahun yang lalu. Harap Sicu Kecil sudi menjelaskannya!"
Air muka Ciok Giok Yin langsung berubah.
"Apakah Ketua mencurigaiku telah mencuri kitab itu?"
"Sicu kecil telah menyelamatkan Kuil Siauw Lim Si. Dalam hal
ini kami amat berterimakasih sekali. Tapi mengenai ilmu Hui
Keng Pou, Sicu Kecil harus menjelaskannya..." sela Thian It
Ceng.
"Maksud tujuanku ke mari bukan ingin menaruh budi pada

Kuil Siauw Lim Si, sekarang aku mau mohon diri," kata Ciok
Giok Yin.
Dia segera melesat pergi, juga menggunakan ilmu Hui Keng
Pou. Hian Yun Huisu duduk diam di tempat, kelihatannya
memang sengaja membiarkan Liau Cing Taysu dan Thian Ceng
mendesak Ciok Giok Yin tentang kitab tersebut. Liau Cing
Taysu dan Thian It Ceng melesat ke luar kemudian
menghadang di depan Ciok Giok Yin.
"Sicu Kecil, lebih baik dijelaskan agar tidak terjadi kesalah
pahaman lagi." kalau Liau Cing Taysu dengan suara dalam.
"Tidak dapat kuberitahukan," sahut Ciok Giok Yin dingin.
"Sungguhkah kau tidak mau memberitahukan?"
"Sungguh!"
"Kalau begitu kami terpaksa bertindak kasar terhadapmu!"
"Bagaimana!"
"Menangkapmu di sini agar ada orang tampil ke mari!"
Ciok Giok Yin tertawa gelak.
"Siauw Lim Pay amat terkenal, tapi para hwee-shionya justru
tak tahu aturan!"
Mendadak Ciok Giok Yin menggunakan ilmu Hui Keng Pou
lagi. Tampak badannya berkelebat menerobos ke luar, tahutahu
sudah sampai di ruangan depan.
"Kau tidak bisa meloloskan diri!" kata Liau Cing Taysu.
Seketika terdengar lonceng berbunyi kemudian tampak
puluhan hweeshio mengepung Ciok Giok Yin. Akan tetapi ilmu
Hui Keng Pou memang amat luar biasa. Buktinya Ciok Giok Yin
masih berhasil menerobos ke luar dengan menggunakan ilmu
tersebut. Saat ini sudah ada seratus lebih hweeshio Siauw Lim

Si mengepung Ciok Giok Yin, tapi tetap tidak berhasil
menangkapnya. Kalau kejadian ini tersiar keluar, pasti nama
Siauw Lint Pay akan runtuh. Kelihatannya Ciok Giok Yin akan
berhasil menerobos ke luar dari pintu kuil Siauw Lim Si.
Mendadak tampak beberapa sosok bayangan berkelebat
menghadang di hadapannya. Salah seorang dari mereka adalah
hweeshio berusia lanjut. Rambutnya, alisnya dan jenggotnya
semuanya sudah putih, badannya agak kurus. Para hweeshio
yang ada di tempat itu segera memberi hormat seraya berkata,
"Kami memberi hormat pada Sucou Hud!"
Ternyata hweeshio berusia lanjut itu kedudukannya masih
tiga tingkat di atas Hian Yun Huisu, tidak lain adalah It He
Tianglo. Begitu melihat hweeshio berusia lanjut itu Ciok Giok
Yin tertegun. Sebab sepasang mata hweeshio berusia lanjut itu
menyorotkan sinar amat tajam. Itu membuat sekujur badan
Ciok Giok Yin jadi merinding.
"Sicu kecil, aku hweeshio tua sudah lama tidak mencampuri
urusan duniawi. Namun tadi ketua melapor bahwa Sicu Kecil
menggunakan ilmu Hui Keng Pou, itu adalah ilmu yang
tercantum di dalam kitab Ban Siang Po Kip. Kalau Sicu Kecil
memberitahukan, tentunya tiada urusan dengan Sicu Kecil."
"Aku sudah berjanji pada lo cianpwee itu, tidak akan
memberitahukan pada siapa pun, maka mohon Taysu
memaafkanku," sahut Ciok Giok Yin.
"Sicu Kecil tidak mau memberitahukan, terpaksa harus
ditahan di sini," kata It He Tianglo.
"Aku tidak percaya itu," sahut Ciok Giok Yin angkuh.
Ketika Ciok Giok Yin baru mau melesat pergi, sekonyongkonyong
merasa ada tenaga yang amat lembut menerjang ke
arahnya, tepat di tiga jalan darah pada bagian
dadanya. Seketika Ciok Giok Yin tak bisa bergerak, berdiri diam
di tempat. Di saat bersamaan tampak sosok bayangan
berkelebat ke tempat itu. Ternyata adalah Hian Yun Huisu,

ketua Siauw Lim Pay. Dia segera memberi hormat kepada It He
Tianglo seraya berkata.
"Teecu tak berguna, telah merepotkan Sucou."
"Kalian urusi itu!" kata It He Tianglo.
Usai menyahut, hweeshio berusia lanjut itu langsung melesat
pergi.
Ciok Giok Yin yang berdiri tak bergerak di tempat menatap
Hian Yun Huisu dengan penuh kebencian. Hian Yun Huisu
memandang Ciok Giok Yin seraya berkata,
"Sicu Kecil harus maklum, kuil kami kehilangan kitab Ban
Siang Po Kip, itu amat memalukan kuil kami. Dalam tiga puluh
tahun ini tiada jejaknya sama sekali. Kini Sicu Kecil
menggunakan ilmu Hui Keng Pou, tentunya kami harus
bertanya jelas, mohon Sicu Kecil jangan gusar!"
"Orang gagah harus menepati janji, aku tidak akan
memberitahukan!" sahut Ciok Giok Yin dingin.
"Kalau begitu Sicu Kecil tetap berkeras tidak mau
mengatakannya?"
"Tidak salah."
"Apa boleh buat kami terpaksa mengurungmu di penjara."
Bukan main terkejutnya Ciok Giok Yin! Kalau dikurung oleh
mereka, bukankah selamanya tidak bisa keluar? Oleh karena
itu dia segera berkata,
"Aku tidak melanggar peraturan Siauw Lim Pay. Aku ke mari
cuma ingin mengabarkan tentang rahasia itu. Seandainya aku
tidak ke mari, apa yang akan terjadi di Kuil Siauw Lim Si ini?"
Hian Yun Huisu tertegun. Beberapa saat kemudian baru
berkata,

"Aku memang merasa tidak enak dalam hati, namun itu
terpaksa. Walau Sicu Kecil dikurung di dalam penjara, namun
tetap diperlakukan secara baik, hanya tidak leluasa bergerak."
Kemudian dia berseru, "Di mana Tay Yap Huisu?"
"Ada di sini, menunggu perintah Ketua!" sahut Tay Yap Huisu.
"Bawa sicu kecil ini ke ruang batu yang di belakang gunung!"
kata Hian Yun Taysu.
Tay Yap Huisu mengangguk.
"Ya!"
Hwee-shio tua itu segera mendekati Ciok Giok Yin.
Justru di saat bersamaan, mendadak meluncur sebuah panji
kecil merah, yang kemudian menancap di lantai ruangan itu.
Begitu melihat panji kecil merah itu, para hwee-shio langsung
berseru kaget.
"Pek Hoat Hujin!"
Menyusul terdengar suara sahutan yang sebentar dekat
sebentar jauh.
"Tidak salah!"
Suara sahutan itu bukan main dinginnya. Hian Yun Huisu
segera berseru lantang,
"Pek Hoat cianpwee berkunjung kemari, mengapa tidak mau
memperlihatkan diri?"
Terdengar suara sahutan yang tetap dingin.
"Mengapa kalian mengurung anak itu?"
Hian Yun Huisu tertegun, kemudian menyahut.
"Karena tiga puluh tahun yang lalu kuil kami kehilangan

sebuah kitab Ban Siang Po Kip! Dari badan sicu kecil ini, kami
memperoleh sedikit jejak...."
Mendadak suara yang amat dingin itu memutuskan perkataan
Hian Yun Huisu.
"Apa hubungannya dengan anak itu?"
"Kami harus menyelidiki dari dirinya!"
"Sekarang aku menghendak kalian melepaskannya!"
"Ini...."
"Tidak ada ini dan itu! Cepat lepaskan dia!"
Hian Yun Huisu tahu jelas bahwa Pek Hoat Hujin amat
terkenal enam puluh tahun lampau, telah menggemparkan
dunia persilatan masa itu. Kalau dia sudah mencampuri suatu
urusan, apabila tidak dikabulkan mungkin Kuil Siauw Lim Si
akan hancur di tangannya. Akan tetapi bagaimana mungkin
Hian Yun Huisu rela melepaskan Ciok Giok Yin begitu saja?
Karena itu ketua Siauw Lim Pai itu berkata,
"Boleh melepaskannya, asal sicu kecil ini mempunyai alasan
kuat!"
"Dia sekarang tidak bisa mengatakannya. Lo Sin berani jamin,
kelak dia pasti akan memberi jawaban yang memuaskan
kalian!"
"Sungguh?"
"Perlukah lo sin membohongi kalian tingkatan rendah?"
Mendadak panji kecil merah yang menancap di lantai itu
meluncur ke luar laksana kilat. Para hweeshio yang berada di
situ diam-diam mengucurkan keringat dingin. Kini suasana di
tempat itu berubah menjadi hening sekali. Hian Yun Huisu
mengibaskan lengan jubahnya ke arah Ciok Giok Yin dan
seketika jalan darah Ciok Giok Yin yang tertotok itu menjadi

bebas. Ciok Giok Yin tertawa sedih.
"Suatu hari nanti aku pasti ke mari lagi untuk menjajal
kepandaian Siauw Lim Pay," katanya lalu melesat pergi.
Dia tidak menyangka bahwa kedatangannya di Kuil Siauw Lim
Si yang mengandung tujuan baik akan mendapatkan sambutan
seperti itu. Para hweeshio di kuil itu tidak balas budi, bahkan
ingin menahannya. Kalau Pek Hoat Hujin tidak menolongnya
secara diam-diam, saat ini dia pasti sudah dikurung di dalam
ruangan batu. Ciok Giok Yin tidak habis pikir, mengapa Pek
Hoat Hujin berulang kali menyelamatkannya? Siapa dia?
Apakah punya hubungan dengan Ciok Giok Yin? Kalau ada
hubungan, dari mana hubungan itu? Ciok Giok Yin terus
berpikir, namun tidak menemukan jawabannya.
Di dalam Kuil Siauw Lim Si dia tertotok oleh It He Tianglo. Itu
membuatnya amat gusar, tapi tidak dapat melampiaskannya.
Mendadak terdengar suara siulan yang amat nyaring.
Kemudian tampak lima sosok bayangan melesat ke
hadapannya. Setelah melihat jelas kelima orang itu, keringat
dinginnya mengucur. Ternyata mereka berlima adalah ketua
perkumpulan Sang Yen Hwee, Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai,
Setan Tinggi, Setan Pendek dan Setan Kurus. Kelima orang itu
langsung mengepung Ciok Giok Yin. Siauw Bin Sanjin-Li Mong
Pai tertawa gelak,
"Bocah, sungguh besar nyawamu!"
"Iblis tua, aku tidak akan mengampunimu!" sahut Ciok Giok
Yin dengan sengit.
Ketua perkumpulan Sang Yen Hwee yang memakai kain
penutup muka berkata dengan dingin,
"Bocah, kau dengan kami punya dendam yang amat dalam!
Kau pula yang telah merusak rencana kami! Kalau aku tidak
mengulitimu, hatiku tidak akan merasa puas!"
Kelihatannya ketua perkumpulan Sang Yen Hwee sudah mau
turun tangan, tapi Setan Pendek segera berseru.

"Tunggu, Ketua! Serahkan bocah itu pada kami, sebab kami
bertiga harus menuntut balas dendam saudara kami yang telah
mati itu!"
Usai berkata mereka bertiga segera maju. Ciok Giok Yin tahu
akan kelihayan ketiga orang itu, maka dia cepat-cepat
mengerahkan lwee kangnya. Ketiga orang itu sudah
menyerang, sedangkan Ciok Giok Yin menangkis dengan ilmu
pukulan Hong Lui Sam Ciang. Terdengar suara jeritan.
Ternyata Setan Tinggi telah terpental dua depa lalu roboh di
tanah. Setelah itu terdengar lagi suara jeritan dua kali.
Ternyata Setan Pendek dan Setan Kurus terpental juga. Siau
Bin Sanjin-Li Mong Pai tertawa terkekeh-kekeh kemudian
menerjang ke arah Ciok Giok Yin. Kelihatannya Ciok Giok Yin
akan terserang oleh Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai, tapi
mendadak terdengar suara bentakan mengguntur.
"Kau berani!"
Tampak bayangan meluncur ke tempat ini, kemudian secepat
kilat menyerang Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai. Demi
menyelamatkannya nyawanya Siau Bin Sanjin-Li Pai terpaksa
melepaskan Ciok Giok Yin lalu cepat-cepat berkelit. Setelah
melihat siapa yang baru muncul itu dia berseru tak tertahan.
"Bu Tok Sianseng!"
"Tidak salah!"
Ketua perkumpulan Sang Yen Hwee maju dua langkah sambil
membentak sengit.
"Bu Tok Sianseng, kau selalu menentang kami, sebetulnya
apa maksudmu?"
"Tidak bermaksud apa-apa dan juga tidak berniat menguasai
dunia persilatan, hanya saja aku tidak senang akan perbuatan
kalian!"
Usai berkata Bu Tok Sianeng mendekati Ciok Giok Yin sambil

melirik ke arah tiga setan yang sedang duduk bersemedi
mengobati luka masing-masing. Ketua perkumpulan Sang Yen
Hwee mendengus dingin.
"Hmm! Bu Tok Sianseng, hari ini kau harus meninggalkan
kitab Cu Cian itu di sini!"
"Bukan kitab Cu Cian, melainkan nyawa kalian!"
Ketua perkumpulan Sang Yen Hwee maju selangkah seraya
membentak.
"Kalau begitu, cobalah!"
Dia langsung menyerang dan dalam sekejap sudah
melancarkan tiga pukulan. Bu Tok Sianseng berkelit, setelah itu
berkata dingin.
"Ketua Sang Yen Hwee, kalau kau masih berani melancarkan
pukulan lagi, nyawamu pasti melayang!"
Ketua perkumpulan Sang Yen Hwee tersentak, lalu segera
berdiri diam di tempat. Karena dia tahu jelas bahwa Bu Tok
Sianseng ahli dalam hal racun, jangan-jangan dirinya telah
terkena racunnya. Oleh karena itu dia membentak dingin.
"Kau melakukan serangan gelap, apakah terhitung orang
gagah?"
"Terhadap kalian, apa salahnya aku melakukan serangan
gelap?" sahut Bu Tok Sianseng.
"Kau...."
"Bagaimana?"
Ketua perkumpulan Sang Yen Hwee membentak gusar.
"Jadi kau sudah meracuni kami?"
"Tidak salah!" Bu Tok Sianseng tertawa dingin. "Kalau kau

tidak percaya silakan melancarkan tiga pukulan lagi!"
lanjutnya.
"Sesungguhnya kau mau apa?" tanya Sian Bin Sanjin-Li Mong
Pai.
"Aku ingin bertanya pada kalian dulu!" sahut Bu Tok
Sianseng.
Ketua perkumpulan Sang Yen Hwee mengerutkan kening.
"Bertanya apa?"
"Kalian ingin hidup atau ingin mati?"
"Bagaimana kalau ingin hidup dan bagaimana ingin mati?"
"Kalau kalian ingin hidup harus segera enyah!"
"Kalau begitu...."
Ketua perkumpulan Sang Yen Hwee ingin bertanya,
sebetulnya meraka terkena racun apa dan apa obat
penawarnya. Namun pertanyaan tersebut ditelannya kembali,
tidak jadi dilontarkannya. Bu Tok Sianseng sudah tahu apa
yang ingin ditanyakan ketua perkumpulan Sang Yen Hwee
maka segera berkata seraya tertawa dingin.
"Aku pasti akan memberikan kalian obat penawar!"
"Cepat berikan!"
Bu Tok Sianseng tertawa dingin lagi.
"Kau kira setelah makan obat penawar, akan dapat
mengambil tindakan? He he! Kuberitahukan, sampai satu jam,
kalian tidak boleh mengerahkan lwee kang!"
Bu Tok Sianseng merogoh ke dalam bajunya, mengeluarkan
dua bungkus obat. Kemudian dilemparkannya obat itu ke arah
mereka berdua seraya berkata, "Satu orang satu bungkus!

Ketiga Setan itu telah terluka, maka mereka bertiga tidak
menghisap racun itu!" Dia membalikkan badannya sambil
menarik Ciok Giok Yin. "Mari kita pergi!" ajaknya.
Mereka berdua melesat pergi meninggalkan tempat itu.
Sedangkan ketua perkumpulan Sang Yen Hwee dan Siau Bin
Sanjin-Li Mong Pai berdua, saking gusar langsung membanting
kaki. Sementara Ciok Giok Yin terus melesat mengikuti Bu Tok
Sianseng. Kira-kira belasan mil kemudian barulah mereka
berdua berhenti.
"Kau sudah berhasil mencari Seruling Perak itu?" tanya Bu
Tok Sianseng.
"Belum."
"Di mana kitab Cu Cian?"
"Kau mau?"
"Aku tidak bermaksud demikian."
"Kitab Cu Cian itu telah kusimpan di tempat rahasia."
"Tidak akan hilang?"
"Tidak."
"Mudah-mudahan begitu!"
"Anda telah menolongku lagi, kelak aku pasti membalas budi
pertolonganmu."
"Tidak usah."
"Aku sudah banyak berhutang budi padamu."
"Aku melakukannya cuma menerima perintah dari seseorang,
maka tidak usah kau simpan dalam hati."

"Perintah dari seseorang?"
"Ya."
"Perintah dari siapa? Bolehkah Anda memberitahukan
padaku?"
"Sementara ini tidak boleh, kelak kau akan mengetahuinya."
Bu Tok Sianseng menatapnya sejenak. "Sampai jumpa!"
Dia langsung melesat pergi dan dalam sekejap sudah tidak
kelihatan bayangannya. Sedangkan Ciok Giok Yin berdiri
termangumangu di tempat. Dia tidak habis pikir, sebetulnya Bu
Tok Sianseng menerima perintah dari siapa? Itu sungguh
misterius sekali! Akhirnya Ciok Giok Yin menghela nafas
panjang. Mendadak terdengar suara siulan yang amat aneh.
Maka Ciok Giok Yin mendengarkan dengan penuh perhatian.
Suara siulan itu amat sedap didengar. Namun setelah sejenak
mendengarnya, pikiran Ciok Giok Yin menjadi menerawang. Dia
lupa dirinya berada di mana, bahkan di wajahnya tersirat
semacam keinginan. Dalam benaknya muncul bayangan wajah
Heng Thian Ceng yang amat cantik di balik kedok kulitnya.
Kemudian muncul pula wajah Seh Yong Yong, Cou Ing Ing dan
wajah-wajah gadis lainya.
Dia membutuhkan mereka. Kalau salah satu di antara mereka
muncul di depannya pasti akan diterkamnya demi memuaskan
hasratnya itu.... Di saat bersamaan tampak sosok bayangan
berkelebat ke arah Ciok Giok Yin, bagaikan sosok roh halus,
langsung menotok jalan darah Ek Hwe Hiat-nya. Begitu jalan
darahnya tertotok, Ciok Giok Yin tersentak sadar. Ternyata di
hadapannya berdiri seorang wanita, yang tidak lain adalah
Teng Kun Hiang dari perkumpulan Sang Yen Hwee. Ciok Giok
Yin ingin membentak, namun semacam hasrat mulai
menerjang dirinya lagi, sehingga mulutnya mengeluarkan suara
desahan.
"Emmmmh!"
Kemudian dia merasa dirinya dibawa terbang memasuki
sebuah goa.

Kesadaran Ciok Giok Yin telah hilang, tapi dia masih merasa
goa itu amat bersih. Teng Kun Hiang menaruhnya ke bawah
sambil tersenyum-senyum penuh hawa nafsu birahi. Setelah itu
dia mulai menanggalkan pakaiannya sendiri. Tampak tubuhnya
yang putih mulus dan sepasang payudaranya menonjol
montok. Dia berdiri di hadapan Ciok Giok Yin seakan
menantangnya. Terus menatap Ciok Giok Yin dengan penuh
hawa nafsu birahi, kemudian berkata perlahan-lahan.
"Ciok, pandanglah aku! Pandanglah aku!"
Usai berkata, Teng Kun Hiang menggoyang-goyangkan
pinggulnya untuk merangsang Ciok Giok Yin. Saat ini Ciok Giok
Yin memang telah kehilangan kesadarannya. Dia bangun dan
langsung melepaskan pakaiannya. Ketika dia memandang ke
arah Teng Kun Hiang, justru melihat Heng Thian Ceng berdiri di
hadapannya. Dia segera menubruk ke depan, kemudian
mulutnya mendesah-desah.
"Kakak! Kakak! Kakak...."
"Adik, kau mau?" sahut Teng Kun Hiang sambil tertawa genit.
Ciok Giok Yin telah kehilangan kesadarannya dan terbakar
oleh api birahi.
"Mau Kakak, aku mau."
Ciok Giok Yin memeluknya erat-erat. Namun baru mau
melakukan itu, mendadak terdengar suara siulan aneh dari
dalam goa. Bukan main terkejutnya Teng Kun Hiang! Dia
cepat-cepat mendorong Ciok Giok Yin, lalu menoleh ke
belakang. Setelah itu dia menyambar pakaiannya dan langsung
melesat pergi. Ciok Giok Yin yang telah kehilangan
kesadarannya, begitu melihat Teng Kun Hiang melesat pergi,
diapun ikut melesat pergi. Mendadak terdengar serangkum
angin menerjang jalan darah Ek Hwe Hiatnya yang tertotok.
Seketika jalan darahnya itu menjadi bebas sehingga hasratnya
pun hilang.

Ciok Giok Yin menengok ke sana ke mari. Mendadak dia
tersentak kaget karena kira-kira dua depa di sisinya berdiri
seorang aneh yang amat menyeramkan. Orang itu hanya
memiliki sebuah mata, tidak memiliki batang hidung dan
giginya tampak tidak karuan. Ciok Giok Yin mundur tiga
langkah lalu bertanya dengan suara gemetar.
"Kau manusia atau hantu?"
Orang aneh menyeramkan itu tertawa terkekeh-kekeh.
"He he he he!"
Suara tawanya juga amat menyeramkan, membuat sekujur
badan Ciok Giok Yin menjadi merinding.
"Sebetulnya kau manusia bukan?" bentak Ciok Giok Yin.
"Aku manusia."
"Mengapa kau tinggal di sini?"
Orang aneh menyeramkan itu tertegun.
"Eh? Mengapa tidak boleh? Apakah aku tinggal di sini
mengganggumu, maka kau merasa tidak senang?"
Wajah Ciok Giok Yin langsung memerah. Seketika dia teringat
akan keadaan dirinya, maka cepat-cepat menyambar
pakaiannya. Setelah mengenakan pakaiannya, barulah dia
bertanya.
"Kau yang menolongku?"
"Benar. Dia telah menotok jalan darah Ek Hwe Hiatmu."
"Terimakasih atas pertolonganmu, takkan kulupakan, sampai
jumpa!"
Ciok Giok Yin membalikkan badannya. Namun ketika dia mau
melesat pergi, tiba-tiba orang aneh menyeramkan itu

membentak.
"Tunggu!"
Ciok Giok Yin menoleh seraya bertanya.
"Ada petunjuk apa?"
"Aku mohon kau sudi mencari seseorang!"
"Mencari siapa?"
"Pek Koan Im."
"Pek Koan Im?"
"Ng!"
"Namanya?"
"Lo Keng."
"Setelah berhasil mencarinya lalu mau apa?"
"Alangkah baiknya kau tangkap dia, kemudian bawa dia
kemari! Kalau tidak, kau boleh ke mari memberitahukan, aku
akan pergi menangkapnya, karena aku amat merindukannya."
"Dia adalah wanita macam apa?"
"Ini tidak seharusnya kau tahu."
Ciok Giok Yin manggut-manggut.
"Baik, aku akan berusaha mencarinya."
Ciok Giok Yin baru mau melesat pergi. Namun orang aneh
menyeramkan itu berkata lagi.
"Tunggu sebentar!"

"Masih ada pesan lain?"
"Kita bertemu terhitung ada jodoh, maka aku tidak boleh
secara cuma-cuma memakai tanganmu. Aku hidup di dalam
goa ini dua puluh tahun lebih, justru berhasil membuat dua
butir obat Cih Kang Tan (Obat Penghimpun Tenaga). Obat itu
diramu dari sepuluh jenis rumput langka. Jika kaum rimba
persilatan memakan obat itu adalah menambah lwee kangnya
di atas latihan dua puluh tahun. Aku menghadiahkanmu sebutir
sebagai tanda imbalan jasamu!"
Usai berkata orang aneh menyeramkan itu mengeluarkan
sebutir obat Cih Kang Tan dari dalam bajunya, kemudian
diberikan kepada Ciok Giok Yin.
"Makan obat ini dulu baru pergi!"
Ciok Giok Yin menerima obat itu. Seketika dia mencium
aroma harum, membuat semangatnya bertambah. Namun dia
tidak berani segera menelan obat tersebut. Karena dalam
hatinya merasa sebal terhadap orang aneh menyeramkan itu.
Orang aneh menyeramkan itu sepertinya dapat membaca apa
yang dipikirkan Ciok Giok Yin.
"Setelah kau telah obat itu baru akan tahu. Kita tidak punya
dendam, bagaimana mungkin aku akan mencelakaimu?"
Ciok Giok Yin berpikir sejenak, kemudian membuka mulut
menelan obat tersebut.
"Sekarang kau boleh pergi, tapi aku harap dalam waktu
sebulan kau akan ke mari, sebab obat yang tersisa sebutir itu
tetap akan kuhadiahkan padamu."
Ciok Giok Yin mengangguk, lain melesat pergi. Orang aneh
menyeramkan itu berdiri di mulut goa, kemudian tertawa
terbahak-bahak. Sesungguhnya apa yang terkandung dalam
hatinya? Orang lain tidak akan mengetahuinya. Sementara Ciok
Giok Yin yang telah melesat ke luar dari goa, cepat-cepat
mencari tempat sepi untuk beristirahat. Dia mencoba
menghimpun hawa murninya. Bukan main girangnya, karena

lwee kangnya bertambah maju. Oleh karena itu, dia merasa
amat berterimakasih pada orang aneh menyeramkan itu.
Berselang sesaat, barulah Ciok Giok Yin meninggalkan tempat
itu. Ketika dia sedang melesat ke depan, mendadak tampak
sosok bayangan meluncur dari arah depan. Setelah ditegasi,
bayangan itu ternyata Sih Ceng hweeshio yang kabur dari
telaga dingin di Gunung Thian San. Ciok Giok Yin langsung
membentak.
"Iblis tua, berhenti!"
Sih Ceng hweeshio tertawa gelak.
"Bocah, kebetulan kita bertemu di sini. Aku memang sedang
mencarimu!"
Ciok Giok Yin maju selangkah demi selangkah sambil berkata
dengan dingin.
"Iblis tua, hari ini kau masih berharap dapat meloloskan diri?"
"Aku justru tidak berpikir begitu!"
"Kau mau bunuh diri atau aku harus turun tangan?"
"Kini aku belum ingin mati!"
Di saat bersamaan tampak dua sosok bayangan melesat ke
tempat itu. Begitu melihat kedua orang itu, Ciok Giok Yin pun
berseru kaget.
"Ih?"
Seketika wajahnya berubah dingin dan penuh diliputi hawa
membunuh. Kedua orang itu tidak lain adalah Mo Hwe Hud dan
Tong Eng Kang. Mo Hwe Hud tertawa terkekeh-kekeh.
"Bocah, nyawamu kok sedemikian panjang?"
Tiba-tiba Tong Eng Kang yang berdiri di sisi Mo Hwe Hud
menyela.

"Suhu, aku dengan bocah haram itu punya dendam yang
amat dalam, Suhu harus menghadangnya agar tidak melarikan
diri, biar aku yang menangkapnya!"
"Baik, aku memang tidak akan melepaskannya!"
Tong Eng Kang segera maju sambil melancarkan
pukulan. Ciok Giok Yin berkelit, kemudian balas menyerang.
"Tong Eng Kang, kau telah mencoreng muka leluhurmu! Hari
ini aku harus mewakili keluarga Tong untuk membasmi
keturunan durhaka!" bentaknya sengit.
Kini lwee kang Ciok Giok Yin telah bertambah, maka
serangannya sangat hebat. Dia menggunakan ilmu pukulan
Hong Lui Sam Ciang jurus ketiga, sehingga angin pukulannya
menjangkau sekitar lima depa. Terdengar suara jeritan yang
menyayat hati dan tampak darah muncrat ke manamana.
Ternyata yang terkena pukulan itu adalah Mo Hwe Hud.
Seluruh tulangnya hancur remuk dan nyawanya pun melayang
seketika. Setelah itu Ciok Giok Yin mencelat maju lagi. Dia
menggunakan ilmu pukulan Coat Ceng Ciang menyerang Sih
Ceng hweeshio. Dia ingin menghabisi nyawa hweeshio jahat itu
dulu, setelah itu barulah menghadapi Tong Eng Kang. Coat
Ceng Ciang merupakan ilmu andalan Coat Ceng Hujin, tentunya
amat dahsyat sekali. Terdengar suara jeritan. Namun Sih Ceng
hweeshio masih berhasil melesat pergi. Sayup-sayup terdengar
suaranya,
"Kalau kelak tidak membeset kulitmu, aku tidak mau jadi
orang!"
Ciok Giok Yin sama sekali tidak menyangka bahwa Sih Ceng
hweeshio masih dapat meloloskan diri. Ketika baru mau
mengejar mendadak dia melihat Tong Eng Kang membalikkan
badannya ingin kabur. Karena itu dia tidak mengejar Sih Ceng
hwee-shio, melainkan membentak sengit..
"Mau kabur ke mana?"

Ciok Giok Yin mengerahkan ginkangnya melesat ke hadapan
Tong Eng Kang, menghadangnya agar tidak kabur. Di saat
bersamaan dia pun menjulurkan tangannya mencengkeram
lengan Tong Eng Kang sambil membentak.
"Tong Eng Kang, dulu aku tidak punya dendam apa pun
denganmu, namun mengapa kau begitu kejam melempar diriku
ke dalam jurang? Itu masih tidak apa-apa, juga kau telah
mencoreng muka leluhurmu, bersama Mo Hwe Hud...."
Tong Eng Kang tidak dapat meloloskan diri, membuatnya
membungkam. Wajahnya sudah pucat pias dan sekujur
badannya menggigil seperti kedinginan. Sedangkan amarah
Ciok Giok Yin memang telah memuncak. Tanpa banyak bicara
lagi, dia mengangkat sebelah tangannya siap untuk menghabisi
nyawa Tong Eng Kang. Akan tetapi mendadak sesosok
bayangan langsing melesat ke tempat itu dan terdengar pula
suaranya.
"Kau tidak boleh!"
Jilid 21
Begitu mendengar suara seruan itu, Ciok Giok Yin segera
mendongakkan kepalanya. Ternyata yang melesat ke tempat
itu adalah Tong Wen Wen, sehingga membuatnya berseru tak
tertahan.
"Kakak Wen!"
Tong Wen Wen berdiri kira-kira dua depa.
"Lepaskan dia!" katanya dengan wajah dingin.
"Tidak bisa!" sahut Ciok Giok Yin.
Ketika melihat wajah Ciok Giok Yin penuh hawa membunuh,
sekujur badan Tong Wen Wen merinding. Dia tahu bahwa
kakaknya amat kejam terhadap Ciok Giok Yin, tentunya Ciok

Giok Yin tidak akan melepaskannya. Namun keluarga Tong
cuma tinggal satu keturunan anak lelaki. Kalau Ciok Giok Yin
turun tangan membunuhnya, bukankah keluarga Tong akan
putus turunan? Karena itu Tong Wen Wen berkata memohon.
"Adik Yin, aku mohon kau sudi mengampuninya!"
Sepasang mata Ciok Giok Yin menyorot penuh dendam.
"Kakak Wen, aku tidak bisa mengampuninya!"
"Mengapa?"
"Dia...."
Ciok Giok Yin tidak melanjutkan ucapannya, karena merasa
tidak enak menceritakan tentang perbuatan Tong Eng Kang
dengan Mo Hwe Hud. Saat ini wajah Tong Eng Kang tampak
kemerah-merahan. Dia masih ada rasa malu, sebab apabila
Ciok Giok Yin menceritakannya pada Tong Wen Wen, tentunya
amat memalukan keluarga Tong. Sedangkan Tong Wen Wen
bertanya mendesak.
"Kenapa dia?"
"Kakak Wen, aku cuma bisa bilang tidak boleh
melepaskannya."
"Adik Yin, aku mohon kau sudi memandang mukaku
melepaskannya! Sebab keluarga Tong cuma tinggal dia satusatunya
anak lelaki. Apakah kau tega melihat keluarga Tong
putus turunan?"
Ciok Giok Yin menatap Tong Wen Wen dengan mata tak
berkedip. Kelihatannya seperti sedang berpikir. Menyaksikan
itu Tong Wen Wen segera berkata lagi.
"Lepaskan dia, leluhur keluarga Tong pasti berterimakasih
padamu!"
Beberapa saat kemudian Ciok Giok Yin berkata.

"Aku boleh melepaskannya, tapi harus ada syarat."
"Syarat?"
"Ng!"
"Adik Yin, katakanlah!"
"Dia harus merubah sifat buruknya, kalau tidak, kelak kalau
bertemu aku tidak akan mengampuninya."
Tong Wen Wen memandang Tong Eng Kang.
"Kakak, keluarga Tong tinggal kau dan aku, harap kau jadi
orang baik-baik, jangan seperti almarhum yang cuma menuruti
sifat kemauannya."
Tong Eng Kang menundukkan kepala, sama sekali tidak
berani bersuara. Mendadak Ciok Giok Yin bertanya kepada
Tong Wen Wen.
"Kakak Wen, kau bilang Paman Tong kenapa?"
"Sudah meninggal."
Seketika Tong Eng Kang melesat pergi, namun wajahnya
penuh diliputi dendam kebencian. Di saat bersamaan Tong Wen
Wen juga melesat pergi ke arah yang berlawanan, kemudian
menghilang di balik sebuah batu besar.
"Kakak Wen! Kak Wen!" seru Ciok Giok Yin. Dia segera
mengejar gadis itu karena harus menjernihkan
kesalahpahaman tempo hari.
Ciok Giok Yin yakin bahwa Tong Wen Wen pasti amat
membencinya, sebab mengira yang mempermainkannya
adalah orang yang menyamar dirinya. Oleh karena itu dia
mengerahkan ginkangnya mengejar Tong Wen Wen. Akan
tetapi gadis itu sudah tidak kelihatan. Itu membuatnya
terheran-heran, karena Ciok Giok Yin tahu jelas mengenai

kepandaiannya. Tapi baru berpisah beberapa bulan, ginkang
gadis itu sudah begitu tinggi, tentunya mengalami suatu
kemukjizatan. Namun dia tidak boleh membiarkan Tong Wen
Wen terns salah paham terhadap dirinya. Sebab itu Ciok Giok
Yin terus mengejar seraya berseru.
"Kakak Wen, aku ingin bicara padamu!"
Ciok Giok Yin berseru lagi, lantaran tidak mendengar sahutan.
"Kakak Wen, kau berada di mana?"
Suara Ciok Giok Yin bergema sampai ke mana-mana, tapi dia
tetap tidak mendengar suara sahutan Tong Wen Wen. Ciok
Giok Yin tidak putus asa. Dia terus berseru-seru dengan
mengerahkan lwee kangnya. Mendadak tampak sesosok
bayangan melesat ke arahnya. Sepasang mata Ciok Giok Yin
amat tajam, maka langsung melihat jelas siapa orang itu.
Ternyata orang itu adalah Lok Ceh, ketua baru partai Thay Kek
Bun.
"Nona Lok!" seru Ciok Giok Yin tak tertahan.
"Kakak Yin!" sahut Lok Ceh bernada sedih. Gadis itu langsung
mendekap di dada Ciok Giok Yin, dan isak tangisnya pun
meledak seketika.
"Adik Ceh, mengapa kau tidak berada di markas Thay Kek
Bun?" tanya Ciok Giok Yin ringan sambil membelai rambut
gadis itu.
Lok Ceh tidak menyahut, melainkan terus menangis dengan
air mata berderai-derai.
Ciok Giok Yin bertanya lagi dengan lembut.
"Adik Ceh, katakan padaku apa gerangan yang terjadi?" tanya
Ciok Giok Yin lagi dengan lembut.
"Kakak Yin, aku bersalah padamu," sahut Lok Ceh terisakisak.

"Mengapa?"
"Thay Kek Bun bersama tiga puluh orang lebih, semuanya
mati tak tersisa."
Betapa terkejutnya Ciok Giok Yin mendengar itu.
"Perbuatan siapa itu?"
Lok Ceh termenung sejenak, lalu menutur.
"Tiga hari yang lalu ketika tengah malam, mendadak muncul
seseorang berpakaian abu-abu, memakai kain putih penutup
muka. Kepandaiannya sungguh amat tinggi sekali! Cuma
beberapa saat para anggota Thay Kek Bun telah dibunuh
semua, hanya aku sendiri yang berhasil meloloskan diri."
Usai menutur gadis itu menangis lagi. Bukan main terkejutnya
Ciok Giok Yin mendengar itu!
"Orang itu berasal dari perguruan mana?"
"Tidak jelas."
Tiba-tiba Ciok Giok Yin teringat sesuatu.
"Beberapa waktu lalu ada seorang gadis bernama Seh Yong
Yong menuju tempatmu. Sekarang dia berada di mana?"
Lok Ceh tertegun.
"Tidak ada."
"Tidak ada?"
"Sejak kau meninggalkan tempat kami tiada seorang pun
pernah ke sana."
Mendengar itu sekujur badan Ciok Giok Yin menjadi lemas,

bahkan matanya berkunang-kunang dan merasa dirinya
tenggelam entah ke mana. Akhirnya dia bergumam.
"Dia pergi ke mana? Bok Tiong Jin, apakah kau telah
mencelakainya?"
Usai bergumam dia berkertak gigi penuh kegusaran. Ternyata
dia mencurigai Bok Tiong Jin. Lok Ceh tidak mengerti akan
gumaman Ciok Giok Yin, maka dia bertanya.
"Apa? Bok Tiong Jin?"
"Ya."
"Apa maksudmu? Aku tidak mengerti."
Ciok Giok Yin menutur dengan sengit.
"Karena merasa tidak leluasa diikutinya, lagi pula aku
khawatir akan terjadi sesuatu atas dirinya, maka kusuruh dia
pergi ke tempatmu. Tapi kebetulan muncul Bok Tiong Jin dan
dia bersedia mengantarnya...."
Kemudian Ciok Giok Yin menutur jelas tentang itu, juga
mengenai Bok Tiong Jin. Setelah itu dia menambahkan.
"Aku tidak akan melepaskan Bok Tiong Jin itu!"
"Aku percaya orang itu berpura-pura," kata Lok Ceh.
"Benar."
"Kau tidak pernah melihatnya?"
"Memang tidak pernah."
"Kalau begitu kepandaian orang itu pasti tinggi sekali."
"Tidak salah. Dia adalah wanita juga, mengapa tega
mencelakai seorang gadis?"

Mendadak sesosok bayangan putih melayang turun di tempat
itu.
"Saudara Ciok, ada sosok roh halus menyebut dirinya Bok
Tiong Jin. Dia menyerahkan seorang nona padaku. Sebetulnya
dia ingin mengantarnya ke Thay Kek Bun, namun ada urusan
lain, maka dia menyerahkan nona itu padaku. Kini nona itu
berada di tempat yang aman."
Siapa yang baru muncul itu? Tidak lain adalah Ku Tian.
Pemuda itu memang tampan, dibandingkan dengan Ciok Giok
Yin, masing-masing memiliki kelebihan. Begitu mendengar itu
timbullah rasa asem di dalam hati Ciok Giok Yin, sebab Seh
Yong Yong amat cantik, dan Ku Tian amat tampan, Kalau
mereka berdua berkumpul, tentunya akan menimbulkan rasa
cinta. Akan tetapi Ku Tian pernah menaruh budi padanya,
karena itu walau Ciok Giok Yin merasa cemburu, tetap berlaku
hormat pada Ku Tian.
"Terimakasih atas kebaikan Saudara Ku, takkan kulupakan
selamanya."
Tertegun Ku Tian,
"Mengapa Saudara Ciok berkata demikian?"
Ciok Giok Yin tersenyum getir.
"Tidak ada apa-apa. Karena Seh Yong Yong melakukan
perjalanan seorang diri, memang harus ada orang menjaganya,
maka aku berterimakasih padamu." Dia memandang Lok Ceh.
"Nona Lok ingin ke mana?"
"Aku ingin ke tempat suhuku."
Ciok Giok Yin menjura pada mereka berdua seraya berkata.
"Sampai jumpa!"
Kemudian dia melesat pergi laksana kilat dan dalam sekejap
sudah hilang dari pandangan mereka berdua. Lok Ceh menatap

Ku Tian sejenak, lalu pergi mencari suhunya. Sedangkan wajah
Ku Tian tampak berseri. Kemudian dia melesat ke arah yang
ditempuh Ciok Giok Yin. Sementara Ciok Giok Yin yang ingin ke
Gunung Kee Jiau San markas Thay Kek Bun menengok Seh
Yong Yong, kini Thay Kek Bun telah musnah, sedangkan Seh
Yong Yong sudah ada orang yang menjaganya, lalu ada urusan
apa lagi dengan dirinya? Ciok Giok Yin terus berpikir. Kemudian
timbul suatu ganjalan di dalam hatinya.
Karena Ku Tian terhadap Seh Yong Yong, tentunya ada pikiran
yang bukan-bukan! Kalau tidak, bagaimana mungkin di saat
Ciok Giok Yin ingin pergi menengok Seh Yong Yong, justru
muncul Ku Tian. Jangan-jangan mereka berdua.... Mendadak
Ciok Giok Yin membanting kaki seraya berkata sengit.
"Dasar lelaki dan wanita anjing!"
Sekonyong-konyong terdengar suara sahutan di belakangnya.
"Siau Kun bilang apa?"
Ciok Giok Yin cepat-cepat membalikkan badannya. Ternyata
yang menyahut itu adalah si Bongkok Arak.
Ciok Giok Yin segera memberi hormat seraya berkata.
"Lo cianpwee...."
Si Bongkok Arak cepat-cepat memutuskan perkataannya.
"Sian Kun, jangan memanggilku demikian!"
"Sebelum jelas hubungan di antara kita berdua, aku tetap
akan memanggil demikian."
Si Bongkok Arak mengerutkan kening.
"Kalau sementara, justru akan membuatku bertambah serba
salah."
"Apabila lo cianpwee tidak mau merasa serba salah, alangkah

baiknya memberitahukan asal-usulku."
"Sementara ini belum waktunya."
"Kira-kira kapan baru tiba waktunya?"
"Tidak lama lagi." Kemudian si Bongkok Arak mengalihkan
pembicaraan. "Siau Kun, bagaimana hasilnya kau pergi mencari
Thian Thong Lojin?"
"Katanya harus memperoleh Bu Keng Sui."
"Bu Keng Sui?"
"Ya."
Si Bongkok Arak bergumam.
"Bu Keng Sui! Bu Keng Sui!"
Seketika dia kelihatan seperti disulitkan oleh Air Tanpa Akar
tersebut. Memang merupakan suatu nama aneh, membuat
orang sulit menerkanya. Karena semua air berasal dari dalam
bumi, boleh dikatakan berakar atau bersumber. Bagaimana
mungkin tidak berakar atau bersumber? Mendadak si Bongkok
Arak mendongakkan kepala.
"Siau Kun, aku akan menemanimu ke 'Lembah Tiang Ciang
Kok."
"Lembah Tiang Ciang Kok?"
"Ng!"
"Untuk apa ke sana lagi?"
"Kita harus bertanya tentang Bu Keng Sui, ke mana
mencarinya?"
Ciok Giok Yin menggelengkan kepala.

"Tidak."
Si Bongkok Arak tahu jelas akan sifat Ciok Giok Yin, maka dia
manggut-manggut.
"Siau Kun, kau harus bermohon dengan cara sopan dan
ramah!"
"Aku tahu itu."
Ciok Giok Yin memberi hormat, lalu melesat pergi menuju
Gunung Liok Pan San. Demi mengungkap rahasia tentang Bu
Keng Sui, dia harus ke Lembah Tiang Ciang Kok lagi. Karena itu
dia melakukan perjalanan siang malam. Mendadak dalam
perjalanan Ciok Giok Yin teringat akan suatu hal. Yakni pesan
dari Bun It Coan sebelum mati, harus berangkat ke Liok Bun
menuntut balas dendam Bun It Coan. Akan tetapi selama ini
Ciok Giok Yin sama sekali tidak memenuhi pesan saudara
angkatnya itu. Bun It Coan yang berada di alam baka, pasti
mencacinya sebagai adik angkat yang tidak menepati janji.
Teringat akan hal tersebut, tanpa sadar air matanya meleleh.
Seketika dia berhenti, kemudian mempertimbangkan hal
tersebut. Tiba-tiba dia menghempas kakinya seraya berkata.
"Aku harus memenuhi pesanannya, urusan sendiri ditunda
dulu."
Setelah mengambil keputusan tersebut Ciok Giok Yin
langsung melesat ke arah Gunung Lu Liang San. Dia masih
ingat akan apa yang dikatakan si Bongkok Arak, bahwa Liok
Bun berada di Lembah Sia Hui Kok di Gunung Lu Liang San. Di
puncak gunung seberang akan terlihat sebuah batu besar....
Ciok Giok Yin berjalan menuju Gunung Lu Liang San dengan
hati-hati. Karena itu dalam perjalanan dia tidak menemui halhal
yang tak diinginkan. Pada hari ketiga, ketika hari mulai
senja Ciok Giok Yin sudah memasuki Gunung Lu Liang San. Di
sana banyak batu curam, namun Ciok Giok Yin mengerahkan
ginkang melewatinya. Saat ini sudah musim panas, tapi
Gunung Lu Liang San, masih terasa sejuk.

Setiap kali tiba di sebuah puncak, dia pasti memandang ke
seberang. Hari itu juga dia tiba di sebuah puncak yang amat
tinggi. Dia memandang ke seberang dan seketika hatinya
terasa terang. Ternyata di seberang sana terdapat sebuah
lembah dan tampak awan yang berwarna-warni membubung
ke atas. Berhubung dia pernah makan Ginseng Daging dan Pil
Api Ribuan Tahun, maka sepasang matanya amat tajam, dapat
melihat jelas apa yang terdapat di balik awan yang warna
warni itu. Memang benar ada sebuah batu besar berdiri tegar di
sana. Karena itu Ciok Giok Yin segera melesat ke seberang
sana. Dari puncak gunung ke lembah itu kelihatannya dekat,
namun ketika Ciok Giok Yin melesat ke sana, justru
membutuhkan waktu yang cukup lama barulah tiba di depan
batu besar itu.
Batu besar itu beratnya hampir mencapai ribuan kati. Namun
Ciok Giok Yin yakin dapat menggeserkannya. Oleh karena itu
dia pasang kuda-kuda sambil mengerahkan lwee kangnya,
kemudian sepasang telapak tangannya mendorong batu besar
itu. Ternyata batu besar itu tergeser, lalu tampak sebuah pintu
kecil di baliknya. Ciok Giok Yin tidak membuang waktu, segera
melesat ke dalam. Di saat bersamaan pintu besar itu tertutup
kembali. Setelah berada di dalam, dia segera mengeluarkan
cincin giok pemberian Bun It Coan, lalu dipakainya di jari
kelingkingnya. Dia memandang ke depan, dan seketika hatinya
tersentak. Ternyata dia melihat cahaya kehijau-hijauan.
Akan tetapi dia percaya bahwa Bun It Coan tidak akan
mencelakai dirinya. Maka dia memberanikan diri mengayunkan
kakinya melangkah ke depan. Dia tidak berani menggunakan
ginkang, melainkan berjalan selangkah demi selangkah dengan
hati-hati sekali. Ternyata dia khawatir di tempat itu, terdapat
perangkap yang membahayakan dirinya. Ciok Giok Yin terus
berjalan. Sedangkan cahaya kehijau-hijauan itu tampak
semakin jelas. Dia memandang dengan penuh perhatian, justru
tidak tahu dari mana asalnya cahaya kehijau-hijauan itu. Di
saat dia sedang berjalan, mendadak berseru kaget.
"Hah?"
Seketika sekujur badannya mengucurkan keringat dingin,

bahkan hatinya berdebar-debar tegang. Dia cepat-cepat
menghentikan langkahnya. Ternyata dalam lorong itu terdapat
tumpukan tulang-belulang putih, kelihatannya lorong itu tidak
pernah dilalui orang. Itu membuat Ciok Giok Yin tidak berani
melangkah maju dan hatinya terus deg-degan. Memang dalam
keadaan seperti itu orang yang bernyali besarpun akan merasa
takut dan seram. Ciok Giok Yin berdiri diam di tempat, sama
sekali tidak berani melangkah maju.
Tiba-tiba tanpa sadar dia memandang cincin giok itu
memancarkan cahaya lembut, mengelilingi seluruh
badannya. Ciok Giok Yin bertanya dalam hati, 'Apakah cincin
giok pemberian kakak angkatku ini khususnya untuk melewati
lorong bercahaya kehijau-hijauan ini?' Kemudian tanpa sadar
kakinya mulai melangkah maju lagi dan hatinya bebas dari
perasaan apa pun. Namun ketika dia melihat tumpukantumpukan
tulang-belulang putih, sekujur badannya merinding
lagi. Sudah barang tentu langkahnya terhenti lagi. Namun
kemudian dia mengeraskan hati dan berkata,
"Demi memenuhi pesan kakak angkat, aku memang harus
menempuh bahaya. Kalau pun aku harus mati, tidak jadi
masalah."
Setelah berkata demikian, timbullah keberaniannya lalu
melangkah maju tanpa merasa takut sedikitpun. Mendadak
terdengar suara jeritan menyayat hati tiga kali di belakangnya.
Ciok Giok Yin, segera menoleh ke belakang. Tampak tiga
sosok bayangan, yang lain adalah Bu Lim Sam Siu. Ketiga
orang itu telah roboh dan dalam sekejap sudah berubah
menjadi tiga sosok tengkorak. Betapa terkejutnya Ciok Giok
Yin. Seketika keringat dinginnya pun mengucur. 'Sungguh
bahaya!' katanya dalam hati. Kini barulah dia tahu akan
kegunaan cincin giok di jari kelingkingnya. Di saat itu pula
timbullah rasa iba terhadap Bu Lim Sam Siau. Sebab mereka
bertiga tidak pernah melakukan kejahatan di dunia persilatan,
hanya saja hati mereka bertiga amat tamak. Dengan siasat
busuk mereka mencuri peta Si Kauw Hap Liok Tounya.
Kini mereka bertiga binasa di dalam Liok Bun secara
mengenaskan, justru Ciok Giok Yin sama sekali tidak tahu,

bagaimana mereka bertiga bisa menguntitnya sampai di
tempat itu. Dia pun tidak habis pikir apa sesungguhnya cahaya
kehijau-hijauan itu? Bagaimana hegitu lihai? Apabila dia tidak
memiliki cincin giok tersebut, bukankah saat ini dirinya juga
telah berubah menjadi tulang belulang putih? Ciok Giok Yin
memandang Bu Lim Sam Siu yang telah berubah menjadi
tengkorak, tanpa sadar air matanya meleleh. Dalam hatinya
berpikir, setelah berhasil mencari Seruling Perak dan berhasil
menuntut balas semua dendam kesumat, dia ingin mencari
suatu tempat sepi yang indah untuk hidup tenang dan damai
selama-lamanya di tempat tersebut.
Cukup lama Ciok Giok Yin berdiri termangu-mangu, kemudian
menghapus air matanya dan menghela nafas panjang. Setelah
itu dia melangkah maju ke depan lagi. Tak seberapa lama
setelah dia melewati cahaya kehijau-hijauan, tampak sebuah
batu bertulisan 'Tok Coa Kang' (Selokan Ular Berbisa). Begitu
membaca tulisan itu, bulu kuduk Ciok Giok Yin pada bangun
semua. Ternyata di belakang batu itu terdapat sebuah selokan
luasnya tiga depaan, bahkan amat dalam. Di dalamnya berisi
entah berapa banyak ular berbisa, yang semuanya
mendongakkan kepala sambil menjulurkan lidah dan mendesis
mengeluarkan uap berbisa. Ular-ular berbisa itu merayap ke
hadapan Ciok Giok Yin, namun mendadak merayap mundur.
Kelihatannya ular-ular berbisa itu takut akan cahaya hijau yang
terpancar dari cincin giok itu.
Akan tetapi di belakangnya justru merangkak maju
kalajengking berbisa. Tentunya amat mengejutkan Ciok Giok
Yin. Tapi dia yakin dapat meloncat ke seberang. Namun di balik
batu itu terdapat tulisan lain berbunyi 'Apabila ular berbisa
menyingkir, orang berani meloncat ke seberang, pasti mati
keracunan. Sungguh sayang sekali!' Tulisan tersebut
menyebabkan Ciok Giok Yin tidak berani meloncat ke seberang.
Berselang sesaat dia mengeraskan hati berjalan melalui
selokan itu. Justru tak terduga sama sekali semua ular berbisa
yang berada di dalam selokan itu cepat-cepat menyingkir ke
samping sehingga terdapat sebuah jalan di tengahtengah.
Ciok Giok Yin menarik nafas lega. Akhirnya dia berhasil
melewati selokan tersebut dan terlihat cahaya hijau di

depan. Di dalam lorong itu pun terdapat tumpukan-tumpukan
tulang belulang, pertanda memang ada orang telah melewati
selokan itu, tapi tidak berhasil. Saat ini Ciok Giok Yin berkata
dalam hati, 'Kalau Liok Bun adalah tempat yang lurus,
mengapa harus mengatur semua ini?'
Setelah berpikir demikian Ciok Giok Yin ingin kembali. Akan
tetapi dia teringat akan pesan Bun It Coan dan teringat akan
ceritanya yang terjerumus ke dalam perkumpulan Sang Yen
Hwee serta dicelakai istrinya. Hal itu membuat Ciok Giok Yin
membatalkan niatnya, sebab tidak diragukan lagi saudara
angkatnya itu pasti orang baik. Oleh karena itu Ciok Giok Yin
terus melangkah maju.
Mendadak dia melihat sebuah batu lagi yang ada tulisannya
'Toan Hun Kio' (Jembatan Pemutus Sukma). Tampak sebuah
jembatan yang panjangnya hampir sepuluh depa melintas di
tempat yang amat dalam. Dari tempat yang amat dalam itu
menyorot pula, cahaya hijau. Sesungguhnya yang di sebut
jembatan itu cuma merupakan seutas tali hingga ke seberang.
Menyaksikan itu Ciok Giok Yin tertegun. Beberapa saat
kemudian barulah dia mengambil keputusan untuk melewati
jembatan tali itu. Dengan hati-hati sekali Ciok Giok Yin berjalan
di atas jembatan tali tersebut, akhirnya dia berhasil
melewatinya. Sampai di seberang, dia melihat sebuah batu lagi
yang terdapat tulisan 'Cang Po Sek' (Ruang Penyimpan
Pusaka). Di sisi batu itu memang terdapat sebuah ruang batu
yang sepasang daun pintunya terbuka lebar. Ciok Giok Yin
melongkok ke dalam. Tampak cahaya bergemerlapan. Ternyata
cahaya itu terpancar dari benda-benda yang terbuat dari emas
dan mutiara yang tak terhitung banyaknya. Ciok Giok Yin
terbelalak dan berkata dalam hati, 'Sungguh kaya raya bendabenda
berharga itu.'
Ciok Giok Yin memandang ke depan, terlihat cahaya hijau di
sana, namun tidak jelas itu lorong atau sebuah ruangan. Dia
terus melangkah maju, mendadak cahaya hijau itu amat
menyilaukan matanya, sehingga membuatnya tidak dapat
membedakan arah timur, berat, utara dan selatan. Akan tidak
dia merasa dirinya berada di tempat yang tidak begitu luas dan

berputar-putar di situ. Ciok Giok Yin mencoba melangkah lagi,
namun tetap berputar-putar di tempat itu. Justru di saat
bersamaan mendadak terdengar suara sapaan yang amat
dingin.
"Siapa kau?"
Itu adalah suara wanita, tapi tidak kelihatan orangnya. Ciok
Giok Yin tertegun bertanya dalam hati. 'Bagaimana ada wanita
di sini?' Walau tertegun tapi dia tetap menyahut.
"Aku bernama Ciok Giok Yin."
"Ciok Giok Yin?"
"Ya."
"Bagaimana kau memperoleh Cui In Hoan (Cincin Giok),
benda kepercayaan Liok Bun?"
Mendengar itu Ciok Giok Yin menjadi tertegun lagi. Dia tidak
menyangka bahwa cincin giok pemberian Bun It Coan
merupakan benda kepercayaan Liok Bun yang dinamai Cui In
Hoan. Namun kedatangannya memang ingin ke rumah kakak
angkatnya itu. Karena itu dia tidak boleh berlaku kasar
terhadap siapa pun yang berada di situ.
"Cincin giok ini pemberian dari kakak angkatku."
Terdengar suara gemetar.
"Kakak angkat?"
"Ng!"
"Siapa kakak angkatmu itu?"
"Bun It Coan."
"Bun It Coan?"

"Dia berada di mana sekarang? Bagaimana dia memberimu
cincin giok itu padamu?"
Terlintas dalam benak Ciok Giok Yin akan pesan Bun It Coan,
jangan memberitahukan tentang kematiannya pada ayahnya.
Karena Ciok Giok Yin diam saja, maka terdengar lagi suara
yang amat dingin itu.
"Mengapa kau tidak bicara?"
Ciok Giok Yin khawatir wanita itu akan mencurigainya, maka
dia segera menyahut,
"Hubunganku dengan kakak angkat amat dalam. Karena ada
urusan penting ke Kwan Gwa (Luar Perbatasan), maka dia
memberiku cincin giok, agar aku ke mari bermohon pada
ayahnya menurunkan ilmu silat tinggi untuk menjaga diri."
"Sungguhkah perkataanmu itu?"
"Sungguh!" kemudian Ciok Giok Yin bertanya. "Mohon tanya
kau adalah...."
Terdengar suara sahutan dingin.
"Bu Eng Jin (Orang Tanpa Bayangan)."
Mendengar itu seketika juga Ciok Giok Yin merinding. Tanpa
Bayangan bukankah berarti roh halus? Sebetulnya tempat apa
ini? Di saat dia sedang berpikir, mendadak merasa adanya
tenaga yang amat dahsyat menerjang dirinya dari empat
penjuru. Bukan main terkejutnya Ciok Giok Yin! Ketika dia baru
mau membuka mulut, tak disangka dia malah roboh pingsan
tak sadarkan diri. Entah berapa lama kemudian barulah Ciok
Giok. Yin siuman perlahan-lahan. Dia segera bangun, lalu
menghimpun hawa murninya. Ternyata dia tidak menderita
luka apa pun. Sesungguhnya apa gerangan yang telah terjadi?
Dia betul-betul tidak habis pikir.
Ciok Giok Yin menengok ke sana ke mari, ternyata dirinya
berada di dalam sebuah ruang batu. Dia menundukkan kepala
memandang jari kelingkingnya, cincin giok masih melingkar di

situ. Di ruang batu itu terdapat beberapa perabotan yang
tersusun amat rapi. Ciok Giok Yin terbatuk beberapa kali, ingin
tahu apakah ada orang menyahut? Sekonyong-konyong
terdengar suara parau tapi lirih di telinganya.
"Kau bernama Ciok Giok Yin'?"
"Ya."
"Kau dan Bun It Coan adalah kakak adik angkat?"
Itu adalah suara orang tua. Tapi Ciok Giok Yin tidak dapat
membedakan itu suara lelaki atau suara wanita, sebab tidak
kelihatan orangnya. Ciok Giok Yin segera menyahut.
"Ya, Paman!"
Dia menduga orang yang berbicara itu adalah ayah kakak
angkatnya, maka memanggilnya paman.
"Aku sudah tahu tujuanmu ke mari."
"Mohon petunjuk Paman."
Hening sejenak, tidak terdengar suara apa pun. Beberapa
saat kemudian barulah terdengar lagi orang itu berkata,.
"Ilmu silat aliran kami tidak pernah diturunkan kepada orang
luar."
Mendengar itu hati Ciok Giok Yin menjadi dingin. Namun
kemudian terdengar lagi orang itu melanjutkan ucapannya.
"Tapi, kau dan Bun It Coan adalah kakak adik angkat, maka
dikecualikan."
Bukan main leganya hati Ciok Giok Yin!
"Terimakasih, Paman!"
Seusai mengucapkan terimakasih, Ciok Giok Yin pun

melanjutkan.
"Bolehkah Paman memperlihatkan diri agar aku bisa memberi
hormat pada Paman?"
Terdengar helaan nafas panjang, berkata.
"Nak, aku terima ketulusan hatimu. Jangankan kau, sejak
kakak angkatmu itu mengerti urusan, juga tidak pernah
bertemu aku."
Ciok Giok Yin berseru kaget tak tertahan.
"Hah? Kalau begitu Paman..." seru Ciok Giok Yin kaget.
"Nak, jangan berprasangka yang bukan-bukan! Kau sudah
lapar, makanlah dulu barulah bicara lagi!"
Suara itu berhenti dan suasana pun berubah menjadi hening.
Ciok Giok Yin menoleh. Entah sejak kapan di atas meja sudah
tersedia semangkok nasi putih dan beberapa macam hidangan.
Dia tidak melihat orang masuk, tahu-tahu sudah ada makanan
di atas meja. Saat ini hati Ciok Giok Yin amat berduka dan dia
kecewa pada dirinya sendiri, karena kepandaiannya belum
dapat menyamai kepandaian orang lain. Buktinya ada orang
masuk ke dalam ruang batu itu, tapi dia sama sekali tidak
mengetahuinya. Itu pertanda kepandaiannya masih rendah.
Kalau orang itu adalah musuhnya, bukankah saat ini dia sudah
tergeletak menjadi mayat? Mendadak terdengar suara yang
amat dingin.
"Cepat makan, jangan memikirkan yang bukan-bukan!"
Ciok Giok Yin merasa merinding ketika mendengar suara itu.
Sebab suara itu adalah suara wanita.
"Kau...."
Ciok Giok Yin tidak melanjutkan ucapannya sebab tidak tahu
harus bertanya apa. Terdengar lagi suara dingin itu.

"Jangan banyak bertanya!"
Ciok Giok Yin mengenali suara itu, tidak lain adalah suara Bu
Eng Jin, namun kali ini agak lembut dan penuh
perhatian. Karena itu Ciok Giok Yin segera bertanya,
"Kau yang mengantar makanan ke mari?"
"Ng!"
"Kalau begitu kau berada di mana sekarang?"
"Berada di sampingmu."
Ciok Giok Yin cepat-cepat menengok ke sekelilingnya, tapi
tidak tampak bayangan orang. Sudah barang tentu membuat
bulu kuduknya berdiri dan keringat merembes ke luar dari
keningnya. Terdengar suara Bu Eng Jin lagi.
"Cepatlah makan, jangan banyak bertanya!"
Setelah berpikir sejenak, Ciok Giok Yin mendekati meja itu
lalu duduk dan mulailah bersantap bagaikan harimau
kelaparan. Tak seberapa lama, nasi dan semua hidangan itu
telah habis disantapnya. Justru di saat bersamaan terdengar
suara parau di telinganya.
"Nak, geserlah kursi di bawah jendela itu, pindahlah kau ke
ruang lain untuk belajar ilmu silat!"
Ciok Giok Yin cepat-cepat mendekati kursi itu kemudian
memutarnya. Seketika terdengar suara 'Kreeek'. Dinding batu
sebelah kiri terbuka. Ciok Giok Yin segera masuk. Kemudian
dinding batu itu tertutup kembali seperti semula. Ruang batu
itu kosong melompong, tidak terdapat perabotan apa pun.
Akan tetapi pada dinding ruang batu itu terdapat lukisan orang
dalam posisi duduk, berdiri, jongkok dan lain sebagainya.
Ciok Giok Yin memperhatikan semua lukisan itu. Ternyata di
bawah lukisan-lukisan tersebut terdapat tulisan. Mendadak

suara parau itu mendengung lagi di telinganya.
"Itu Kanyen Sin Kang. Ikutilah gaya orang dalam lukisan itu
dan turutilah penjelasan di bawahnya! Kau boleh mulai
berlatih!"
Ciok Giok Yin amat berterimakasih dan merasa terharu.
"Paman..."
Suara parau itu sudah memutuskan perkataannya.
"Baik-baiklah berlatih!"
"Ya. Paman."
Ciok Giok Yin mulai belajar dengan sungguh-sungguh tanpa
mengenal waktu. Kapan saja dia merasa lapar, selalu ada
makanan di sampingnya. Padahal selama ini dia sama sekali
tidak melihat ada orang masuk. Namun karena sudah biasa,
maka dia tidak merasa heran lagi. Sebab dia tahu bahwa yang
mengantar makanan itu adalah Bu Eng Jin. Mengenai buang air
kecil dan air besar, tentunya dia mendapat petunjuk dari Bu
Eng Jin. Sementara sang waktu terus berlalu. Namun Ciok Giok
Yin tidak tahu sudah berapa hari dirinya berada di dalam ruang
batu itu. Ilmu Kan Yen Sin Kang yang dipelajarinya telah
dikuasai dengan baik. Hari ini ketika Ciok Giok Yin sedang
berlatih, tiba-tiba terdengar lagi suara parau itu di telinganya.
"Nak, sudah cukup. Kalau titik hitam di dinding sebelah kanan
itu ditekan, maka kau bisa keluar."
Ciok Giok Yin segera menengok ke arah dinding sebelah
kanan. Di sana memang terdapat sebuah titik hitam. Dia
mendekati dinding itu lalu menekan titik hitam tersebut.
Kreek!
Dinding itu terbuka. Ciok Giok Yin cepat-cepat melangkah
keluar. Di saat bersamaan terdengar lagi suara parau itu.

"Nak, aku ingin bertanya padamu."
"Silakan, Paman!"
"Ketika kau ke mari, aku melihat wajahmu seperti terkena
racun."
"Terkena racun?"
"Apakah kau pernah makan semacam obat?"
Ciok Giok Yin berpikir sejenak. Kemudian terlintas satu hal
dalam pikirannya, yaitu obat pemberian orang aneh
menyeramkan.
"Pernah," sahutnya.
"Obat apa itu?"
"Aku bertemu seorang aneh menyeramkan, dia memberikan
sebutir obat Cih Kang Tan padaku."
"Kau makan obat itu?"
"Ya."
"Bagaimana rasanya waktu itu?"
"Aku merasa lwee kangku bertambah tinggi."
"Itu sebabnya."
"Maksud Paman?"
"Obat apa pun yang dapat memperdalam lwee kang, kalau
sudah tiba saatnya akan membuat semua aliran darah menjadi
terbalik dan mati secara mengenaskan."
Bukan main terkejutnya Ciok Giok Yin mendengar itu! Dia
cepat-cepat berkata,

"Paman, aku masih memikul dendam perguruan, apakah
Paman...."
Sebelum Ciok Giok Yin usai berkata, suara parau itu telah
memutuskan perkataannya.
"Racun yang mengendap di dalam tubuhmu itu telah lenyap
oleh cahaya hijau alami yang kau lewati itu. Kau tidak usah
cemas lagi. Sekarang kau boleh pergi."
Menyusul terdengar suara Bu Eng Jin.
"Aku akan mengantarmu ke luar."
"Tidak berani merepotkanmu." Ciok Giok Yin diam sejenak.
"Bolehkah kau memperlihatkan dirimu sebentar?"
Beberapa saat kemudian barulah terdengar suara sahutan.
"Baiklah."
Tampak sesosok bayangan langsing muncul di hadapan Ciok
Giok Yin. Ternyata adalah seorang gadis yang amat cantik
bagaikan bidadari.
"Nona...!" seru Ciok Giok Yin tak tertahan.
Bu Eng Jin tersenyum-senyum. Bukan main manisnya
senyuman itu, membuat Ciok Giok Yin terkesima dan terpukau.
"Aku antar kau ke luar sekarang," kata gadis itu.
Mendadak Ciok Giok Yin merasa pusing, tahu-tahu sudah tak
sadarkan diri. Ketika siuman, Ciok Giok Yin sudah berada di
lorong terdepan di mana terdapat cahaya hijau. Terdengar
suara Bu Eng Jin.
"Di mana kakakku sekarang?"
Ciok Giok Yin tertegun.

"Siapa?"
"Bun It Coan."
"Dia adalah kakakmu?"
"Ya."
Ciok Giok Yin tidak berani memberitahukan hal sebenarnya.
"Aku tidak begitu jelas," sahutnya berdusta.
"Apakah dia dalam bahaya?"
"Tidak."
Seusai menyahut Ciok Giok Yin merasa amat berduka dalam
hati, sebab dia telah membohongi mereka berdua ayah dan
anak. Mendadak Bu Eng Jin bergumam.
"Mudah-mudahan begitu!"
Usai bergumam, gadis itu berkata.
"Kau pergilah!"
"Nona, bolehkan aku bertanya?"
Ternyata Ciok Giok Yin ingin tahu sedikit tentang Liok Bun,
dan mengapa Bun It Coan meninggalkan Liok Bun. Akan tetapi
walau dia bertanya berulang kali, tetap tiada sahutan. Itu
membuktikan bahwa Bu Eng Jin sudah meninggalkan tempat
itu. Ciok Giok Yin berdiri termangu-mangu. Berselang sesaat
barulah dia melangkah pergi meninggalkan tempat itu. Ketika
melewati tulang belulang Bu Lim Sam Siu, Ciok Giok Yin
berhenti lalu memberi hormat. Setelah itu barulah dia
melangkah ke depan lagi. Tak lama kemudian dia sudah berada
di mulut lorong yang disumbat dengan batu besar. Dia
menggeser batu besar itu sekaligus melesat ke luar. Di saat
bersamaan batu besar itu pun tertutup kembali.

Sedangkan Ciok Giok Yin terus melesat pergi. Ketika dia
menikung di sebuah tebing mendadak melihat beberapa sosok
mayat tergeletak di tanah. Di pungung mayat-mayat itu
tertancap sebuah panji kecil bergambar seekor naga putih. Ciok
Giok Yin mengerutkan kening. Perkumpulan apa pula itu?
Tanyanya dalam hati. Dia memperhatikan semua mayat itu
tiada satupun yang dikenalnya. Setelah berdiri termangumangu
sejenak, barulah Ciok Giok Yin melesat pergi. Kini
tujuannya adalah Tiang Cing Kok di Gunung Liok Pan San. Dia
ingin menemui Thian Thong Lojin lagi untuk menanyakan ke
mana dia harus mencari Bu Keng Sui.
Setelah meninggalkan Gunung Lu Liang San, dia mengambil
arah barat. Mendadak tampak beberapa sosok bayangan
melesat ke arahnya. Ciok Giok Yin segera berhenti. Ternyata
yang melesat itu adalah Sin Ciang-Yo Sian, Kang Sun Fang
ketua partai Heng San Pay dan beberapa orang lainnya. Mereka
berbareng menghadang di depan Ciok Giok Yin. Kang Sun Fang
menjura pada Ciok Giok Yin sambil berkata.
"Siauhiap telah menyelamatkan para ketua delapan partai
besar, termasuk lohu sendiri. Di sini kami mengucapkan
terimakasih pada siauhiap."
Ciok Giok Yin melihat mereka tidak berniat buruk, maka
segera balas memberi hormat seraya menyahut.
"Cianpwee jangan berkata begitu! Mohon tanya mengapa Li
Mong Pai dan lainnya berada di sini?"
Sepasang bola mata Sin Ciang-Yo Sian berputar sejenak,
kemudian dia menyahut dengan suara dalam.
"Ciok siauhiap, kami ingin tahu tentang tiga orang."
"Siapa ketiga orang itu?"
"Kau pasti kenal."
"Silakan katakan!"

"Bu Lim Sam Siu."
"Bu Lim Sam Siu?"
Hati Ciok Giok Yin tersentak hingga berdebar-debar dan
seketika wajahnya berubah menjadi murung. Namun apakah
dia harus memberitahukan tentang kematian Bu Lim Sam Siu
atau tidak, masih belum ada keputusan. Sebab dia belum tahu
jelas, maksud tujuan kedatangan mereka. Sedangkan Sin
Ciang-Yo Sian menyahut,
"Tidak salah."
"Bagaimana Bu Lim Sam Siu?"
"Kau tahu jejak mereka bertiga."
Ciok Giok Yin tertegun.
"Bagaimana aku tahu jejak mereka bertiga?"
"Harap kau bersedia mengatakannya!"
Ciok Giok Yin mulai gusar.
"Apa maksud Anda?"
"Sederhana saja. Kami sedang mencari Bu Lim Sam Siu."
"Kalian mencari Bu Lim Sam Siu adalah urusan kalian, tiada
hubungannya dengan diriku! Maaf, aku mau pergi!"
Ketika Ciok Giok Yin baru mau melesat pergi, mendadak
belasan orang itu membentak dengan serentak.
"Berhenti!"
Di saat bersamaan merekapun mendorong Ciok Giok Yin
dengan lwee kang, otomatis membuatnya terdorong ke
belakang selangkah. Tentunya Ciok Giok Yin amat murka.

"Kalian ingin mengeroyokku?" katanya dengan dingin.
Sin Ciang-Yo Sian maju selangkah seraya menyahut.
"Tiada maksud demikian."
Ciok Giok Yin menatap Kang Sun Fang, lalu menatap Sin
Ciang-Yo Sian seraya membentak.
"Kalian tidak usah menyembunyikan ekor, mau bicara apa
bicaralah!"
"Tetap pertanyaan tadi, jejak Bu Lim Sam Siu!"
"Tidak dapat kukatakan!"
"Kau tidak mau mengatakannya?"
"Betul!"
Mendadak Kang Sun Fang, ketua Heng San Pay maju tiga
langkah seraya berkata dengan rasa tidak enak.
"Ciok Siauhiap, agar tidak menimbulkan kerepotan, lebih baik
katakanlah!"
"Sesungguhnya ada apa gerangan dengan kalian?"
"Tiga bulan yang lalu mereka bertiga menguntitmu ke arah
utara. Selanjutnya mereka tidak tampak lagi. Mungkin Ciok
siauhiap tahu jejak mereka."
"Tidak salah!"
Sin Ciang-Yo Sian segera bertanya.
"Berada di mana mereka sekarang?"
"Maaf! Tidak dapat kukatakan!"
"Kau yang mencelakai mereka bertiga?"

Ciok Giok Yin mendengus dingin.
"Hmmm! Melainkan kau!"
Saat ini wajah Ciok Giok Yin sudah penuh diliputi hawa
membunuh.
"Bocah, hari ini kau harus meninggalkan nyawamu!" bentak
Sin Ciang-Yo Sian.
Dia langsung menyerang. Ciok Giok Yin berkelit sambil
membentak.
"Kalian ingin bertarung?"
"Terpaksa harus!"
Seketika terasa angin pukulan menerjang ke arah Ciok Giok
Yin, namun Kang Sun Fang justru tidak turun tangan. Ciok Giok
Yin sungguh-sungguh murka,
"Kalian semua tergolong orang gagah, tapi malah tidak tahu
aturan!" bentaknya sengit.
Dia langsung melancarkan ilmu pukulan Hong Lui Sam Ciang
jurus pertama. Terdengar suara jeritan dan tampak seseorang
terpental tiga langkah jauhnya lalu roboh. Untung Ciok Giok Yin
tidak mengerahkan tenaga sepenuhnya, maka orang itu tidak
binasa. Setelah melancarkan pukulan itu, Ciok Giok Yin pun
berseru.
"Sampai jumpa!"
Tampak badannya berkelebat beberapa kali, tahu-tahu sudah
tidak kelihatan lagi bayangannya. Di saat Ciok Giok Yin melesat
pergi, dia pun berpikir. Mengapa Bu Lim Sam Siu
menguntitnya? Apakah mereka semua saling memberi kabar
secara diam-diam? Ciok Giok Yin tidak menemukan
jawabannya, membuat hatinya seperti terganjal sesuatu.
Sebetulnya dia boleh memberitahukan, namun itu

menyangkut rahasia Liok Bun. Lagi pula nada pembicaraan Sin
Ciang-Yo Sian amat menekannya, sehingga menimbulkan
kemurkaannya. Oleh karena itu dia boleh bersalah terhadap
mereka, tapi tidak boleh mengatakannya. Ciok Giok Yin terus
melesat pergi. Mendadak dilihatnya delapan anggota
perkumpulan Sang Yen Hwee sedang menggotong sebuah peti
mati. Seketika darahnya langsung naik.
"Berhenti!" bentaknya gusar.
Ciok Giok Yin lalu menghadang di hadapan mereka.
Para anggota perkumpulan Sang Yen Hwee itu langsung
berseru kaget.
"Ciok Giok Yin!"
Mereka segera menaruh peti mati itu, kemudian menatap
Ciok Giok Yin dengan penuh kebencian. Ciok Giok Yin tertawa
dingin.
"Tidak salah!" sahutnya lalu bertanya, "Peti mati siapa itu?"
"Peduli amat kau peti mati siapa itu?" sahut salah seorang
anggota perkumpulan Sang Yen Hwee.
"Aku harus bertanya!"
"Kau mau cari mampus?"
Usai berkata mereka berdelapan berpencar mengepung Ciok
Giok Yin, bahkan kelihatan siap menyerangnya.
"Kalian katakan tidak?" bentak Ciok Giok Yin lagi.
"Tidak!"
Bukan main gusarnya Ciok Giok Yin! Dia langsung maju
sambil mencengkeram orang yang berbicara itu. Menyaksikan
itu yang lain segera membentak sambil melancarkan pukulan
ke arah Ciok Giok Yin. Ciok Giok Yin menangkis. Seketika

terdengar suara jeritan dan tampak dua orang roboh binasa. Di
saat bersamaan terdengar suara dengusan dingin di belakang
Ciok Giok Yin.
"Hmmm! Sungguh kejam kau!"
Ciok Giok Yin membalikkan badannya. Tampak seorang
wanita memakai pakaian berkabung berdiri sejauh dua depa,
sepasang matanya yang indah mengandung
kebencian. Mendadak salah seorang anggota perkumpulan
Sang Yen Hwee membungkukkan badannya seraya berkata.
"Nona, bocah itu...."
"Aku tahu," potong wanita itu. Kemudian dia menatap Ciok
Giok Yin. "Mengapa kau menghadang kami?"
"Aku ingin tahu siapa yang di dalam peti mati!" sahut Ciok
Giok Yin dingin.
"Tidak ada urusan denganmu!"
"Aku cuma ingin tahu!"
"Kalau aku tidak mau beritahukan?"
"Jangan harap bisa meninggalkan tempat ini!"
Wajah wanita berpakaian berkabung langsung berubah
menjadi dingin.
"Aku ingin mencoba berapa tinggi kepandaianmu, berani
menentang perkumpulan Sang Yen Hwee!"
Ketika wanita berpakaian berkabung baru ingin melancarkan
serangan, mendadak tampak sesosok bayangan hitam
melayang turun dan langsung berseru.
"Nona, biar lohu saja!"
Mendengar seruan itu, wanita berpakaian berkabung segera

mundur. Sedangkan Ciok Giok Yin menoleh memandang
bayangan hitam itu, ternyata adalah seorang lelaki berusia lima
puluhan, bajunya bersulam sepasang burung walet
putih. Setelah memperhatikan orang tua itu. Ciok Giok Yin
teringat siapa orang tua tersebut, tidak lain adalah orang yang
membawa pergi mayat Bun It Coan. Bersamaan itu dia pun
sudah dapat menduga identitas wanita berpakaian
berkabung. Seketika hawa amarahnya bergejolak di rongga
dadanya, kemudian dia membentak wanita berpakaian
berkabung.
"Siapa kau?"
"Kuberitahukan agar kau tidak mati penasaran. Aku adalah
putri angkat ketua perkumpulan Sang Yen Hwee, bernama Lan
Lan!" sahut wanita berpakaian berkabung dingin.
Ternyata Lan Lan dan Hui Hui adalah putri angkat ketua
perkumpulan Sang Yen Hwee. Wajah Ciok Giok Yin langsung
menyiratkan hawa membunuh.
"Tak kusangka kita akan bertemu di sini. Aku akan menuntut
balas kakak angkatku itu!" katanya sambil tertawa getir.
Dengan sepasang mata berapi-api dia berjalan maju
selangkah demi selangkah. Dia sudah mengerahkan tenaga
sakti Kan Yen Sin Kang yang diperolehnya dari Liok Bun, ingin
membunuh wanita jalang itu. Menyaksikan itu sekujur badan
Lan Lan menjadi merinding, sehingga tanpa sadar dia mundur
selangkah.
"Kau bilang apa?" tanyanya.
Justru di saat bersamaan orang tua berpakaian hitam yang
baru muncul itu segera berdiri di samping Lan Lan. Ciok Giok
Yin berhenti lalu menyahut sengit.
"Wanita jalang, aku mau membunuhmu!"
"Berdasarkan apa?"

"Kau telah mencelakai kakak angkatku!"
"Siapa kakak angkatmu itu?"
"Bun It Coan!"
"Bun it Coan?"
Air muka Lan Lan langsung berubah, kemudian dia tertawa
sedih dan air mata berderai-derai. Kemudian dia bertanya
dengan suara gemetar.
"Ciok Giok Yin, kau boleh turun tangan!"
Mendengar itu Ciok Giok Yin malah menjadi tertegun di
tempat.
"Nona, kau..." kata orang tua berpakaian hitam dengan
kepala tertunduk.
"Kau tidak usah pedulikan ini, harus tetap melaksanakan
rencana semula," kata Lan Lan dengan mata terpejam.
Mendadak dalam benak Ciok Giok Yin terlintas suatu pikiran,
apakah dia sedang menggunakan siasat menyiksa diri, karena
tahu dirinya tidak dapat melawanku? Setelah berpikir demikian,
dia langsung membentak.
"Aku tidak akan melepaskanmu!"
Ciok Giok Yin melangkah maju lagi sambil mengerahkan lwee
kangnya, sehingga jarak mereka berdua semakin dekat. Akan
tetapi Lan Lan tetap berdiri di tempat, sama sekali tidak
bergeming. Itu membuat Ciok Giok Yin berhenti. Biar
bagaimana pun dia tidak akan turun tangan terhadap wanita
yang tidak mau melawan. Sebab kalau tersiar di dunia
persilatan, namanya pasti rusak dan kakak angkatnya juga
tidak akan merasa senang di alam baka. Oleh karena itu dia
menuding Lan Lan seraya membentak.
"Kalau kau tidak menyerang, jangan menyalahkanku!"

Mendadak orang tua berpakaian hitam yang berdiri di samping
Lan Lan bertanya dengan suara dalam.
"Kau mau balas dendam?"
"Tidak salah!"
"Kau tahu siapa yang di dalam peti mati?"
"Siapa?"
"Dia adalah musuh besar Bun It Coan kakak angkatmu itu!"
"Hah?" seru Ciok Giok Yin tak tertahan. Setelah itu dia
termundur-mundur tiga langkah.
Justru di saat bersamaan Lan Lan menangis tersedu-sedu,
lalu melesat pergi laksana kilat. Dalam waktu sekejap gadis itu
sudah tidak kelihatan bayangannya. Ciok Giok Yin ingin
melesat pergi mengejarnya, tapi orang tua berpakaian hitam
itu segera menghadang, di hadapannya
"Tunggu!" katanya.
"Ada apa?" tanya Ciok Giok Yin dingin.
"Kuberitahukan, Nona kami sudah meninggalkan perkumpulan
Sang Yen Hwee secara diam-diam karena tidak puas akan
perbuatan ayah angkatnya. Begitu pula lohu, sudah
meninggalkan perkumpulan itu."
"Benarkah begitu?"
"Tidak salah."
"Apa maksudmu tadi mengatakan di dalam peti mati adalah
musuh besar kakak angkatku?"
"Tentunya kau telah menyaksikan wajah nona kami, karena
ada Khong Khong Hu (Wisma Kosong)...."

"Khong Khong Hu?" tanya Ciok Giok Yin tak tertahan.
Ternyata Ciok Giok Yin pernah mendengar 'Khong Khong Hu'
dari Fang Jauw Cang. Namun sudah setengah tahun lebih tidak
mendengar orang lain mengatakan. Tak terduga sekarang
mendengar dari mulut orang tua berpakaian hitam. Orang tua
berpakaian hitam melanjutkan.
"Khong Khong Hu dan perkumpulan Sang Yen Hwee punya
hubungan erat, bahkan juga saling memberi informasi secara
diam-diam. Majikan Khong Khong Hu punya dua putra, yang
sulung kau pernah bertemu setengah tahun yang lalu, pemuda
itu bernama Sun Bu...."
"Hah? Ternyata dia?" seru Ciok Giok Yin kaget.
"Kenapa dia?"
"Sun Bu amat tertarik pada paras nona yang cantik itu, sudah
barang tentu menaruh cemburu pada kakak angkatmu. Maka
dia menggunakan berbagai macam rencana busuk untuk
mencelakainya. Nona tahu itu, maka ingin membasmi Sun Bu,
tapi tidak tahu harus bagaimana membasminya. Kebetulan Sun
Bun suka minum arak dan hidangan lezat. Karena itu timbul
suatu ide dalam benak nona, maka menyiapkan arak dan
beberapa macam hidangan di dalam kamarnya. Karena setiap
kali Sun Bu pergi mencarinya, pasti makan minum di dalam
kamar nona...."
Orang tua berpakaian hitam menghela nafas panjang,
kemudian melanjutkan penuturannya.
"Tak disangka hari itu Sun Bu tidak pergi mencari nona,
sebaliknya malah kakak angkatmu yang pulang dan langsung
makan dan minum. Ketika merasa adanya gelagat tidak beres
kakak angkatmu langsung kabur dan kebetulan bertemu
denganmu."
Orang tua berpakaian hitam menggeleng-gelengkan kepala,
setelah itu melanjutkan lagi penuturannya.

"Betapa hancurnya hati nona, karena telah meracuni
suaminya sendiri! Ketika itu dia ingin membunuh diri, namun
untung lohu berhasil menasihatinya, agar menuntut balas
dendam suaminya."
Setelah mendengar penuturan itu , barulah Ciok Giok Yin
paham, kemudian bertanya.
"Apakah nonamu yang membunuh Sun Bu?"
"Yang ada di dalam peti mati adalah Sun Bu."
"Lalu kalian mau ke mana sekarang?"
"Mengantar jenazah Sun Bu ke Khong Khong Hu secara diamdiam
agar hubungan Khong Khong Hu dan Sang Yen Hwee
terpecah belah."
Mendadak tampak air muka orang tua berpakaian hitam itu
berubah.
"Celaka!" serunya.
"Ada apa?" tanya Ciok Giok Yin.
"Nona kami entah ke mana?"
Orang tua berpakaian hitam langsung membantu yang lain
menggotong peti mati itu, lalu melesat pergi. Ciok Giok Yin
merasa menyesal, mengapa tidak membuka peti mati itu untuk
memeriksanya? Siapa tahu mereka menipunya? Namun setelah
berpikir sejenak, dia masih ingat akan kesedihan Lan Lan, tidak
mungkin dibuat-buat. Beberapa saat dia berpikir, akhirnya
mengambil keputusan untuk menyelidikinya kelak. Di saat dia
baru mau melesat pergi, mendadak sesosok bayangan melesat
laksana kilat ke hadapannya. Seketika Ciok Giok Yin
mengerahkan lwee kangnya, siap menghadapi segala
kemungkinan. Ternyata orang itu berdandan seperti sastrawan,
yang mana pernah bertaruh dengannya di perkumpulan Pah
Ong Cuang.

"Kau..." seru Ciok Giok Yin kaget.
Ternyata dia tidak tahu nama sastrawan itu maka cuma
memanggilnya 'Kau' saja. Sastrawan berusia pertengahan itu
juga sudah melihat jelas Ciok Giok Yin.
"Akhirnya aku berhasil mencarimu," katanya.
"Mencariku?"
"Ya."
"Ada urusan apa Anda mencariku?"
Sastrawan berusia pertengahan itu menatap Ciok Giok Yin
dengan tajam kemudian berkata,
"Kau telah membuat kekacauan, kini semakin besar!"
Ciok Giok Yin terbelalak.
"Aku telah membuat kekacauan?" tanya Ciok Giok Yin
terbelalak.
"Tidak salah."
"Harap Anda menjelaskannya! "
"Kau sudah lupa?"
Ciok Giok Yin sungguh tidak tahu maksud tujuan orang itu.
Dia segera berkata.
"Aku dan Anda cuma bertemu satu kali di perkumpulan Pah
Ong Cuang, aku percaya...."
"Justru adalah urusan Pah Ong Cuang!" sela sastrawan
berusia pertengahan.
Ciok Giok Yin mendengus dingin.

"Hmm! Gara-gara perbedaan satu huruf. Aku memang
menyesali itu! Lalu apa maksud Anda? Lebih baik Anda
jelaskan!"
"Terkalah siapa aku!"
"Aku tidak perlu tahu."
Walau Ciok Giok Yin berkata begitu, namun sastrawan berusia
pertengahan itu tetap memberitahukan.
"Aku adalah pamannya Yu Ling Ling, namaku Yu Tong Keng."
Dia menatap Ciok Giok Yin. "Mengapa kau tidak ke rumah
keluarga Yu?" lanjutnya.
"Aku tiada keperluan untuk ke sana!"
"Kau ingin lepas tangan?"
"Karena Nona Yu bukan gadis yang kucari."
"Sekarang kau harus ke sana!"
"Itukah alasan Anda mencariku?"
"Gara-gara kau menyelamatkan Ling Ling, membuat tiga
puluh enam orangnya dibunuh oleh Pah Ong Cuang, kini tinggal
Ling Ling seorang diri."
Setelah mendengar itu, air muka Ciok Giok Yin langsung
berubah menjadi hebat dan dia segera bertanya,
"Betulkah kejadian itu?"
"Buat apa aku membohongimu!"
Terbunuhnya tiga puluh enam keluarga Yu, secara tidak
langsung memang akibat dari ulah Ciok Giok Yin. Sebab kalau
Ciok Giok Yin tidak melakukan hal itu, tentunya keluarga Yu
tidak akan dibantai oleh Pah Ong Cuang. Terdengar sastrawan
berusia pertengahan itu berkata lagi.

"Biar bagaimana pun kau harus pergi ke rumah keluarga Yu,
karena tiada seorang pun yang dapat menghibur Ling Ling,
maka kau harus ke sana menghiburnya.
Sekujur badan Ciok Giok Yin gemetar dan sepasang matanya
membara. Dia kelihatan amat gusar.
"Di mana rumah keluarga Yu?" tanyanya sambil berkertak
gigi.
Yo Tong Keng memberitahukan, setelah itu menambahkan.
"Ciok siauhiap, kau harus memberesi urusan itu, sebab kini
Ling Ling sudah yatim piatu, tinggal sebatang kara, harap kau
bisa baik-baik memperlakukannya!"
Apa yang dikatakan Yo Tong Keng itu sudah tidak masuk ke
dalam. telinga Ciok Giok Yin, sebab dia sudah melesat ke arah
rumah keluarga Yu. Sejak berhasil menguasai ilmu Kan Yen Sin
Kang, kepandaian Ciok Giok Yin menjadi maju pesat. Maka
begitu mengerahkan ginkang, cepatnya bukan main! Sudah
barang tentu membuat semua orang yang sedang terbelalak
karena cuma melihat bayangan berkelebat lalu
hilang. Perjalanan sepanjang delapan puluh mil itu cuma
ditempuhnya hampir dua jam. Kini rumah keluarga Yu sudah
berada di depan matanya. Hati Ciok Giok Yin terus meledak
sebab dari jauh dia sudah mendengar suara tangisan seorang
gadis. Mungkin saking lamanya menangis, sehingga suara
tangis itu kedengaran serak dan lemah. Hati Ciok Giok Yin
berdebar-debar dan langkah kakinya menjadi lamban.
Dia sama sekali tidak tahu, harus bagaimana menghibur gadis
itu. Juga tidak tahu harus bagaimana memperlakukannya, dan
mengurusinya dikemudian hari. Tangis yang memilukan itu
sungguh membuat hati Ciok Giok Yin bagaikan tersayatsayat.
Lagi pula masih tampak mayat-mayat bergelimpangan di
mana-mana, begitu pula noda darah. Memang pemandangan
itu sungguh memilukan hati! Tampak sosok tubuh langsing
merangkul sesosok mayat sambil menangis sedih. Ciok Giok
Yin mendekatinya seraya berkata,

"Nona Yu, jagalah kesehatanmu!"
Yu Ling Ling mendongakkan kepala. Ketika melihat Ciok Giok
Yin, dia langsung membentak sengit.
"Gara-gara kau! Cepat enyah! Cepat!"
Suara bentakan itu membuat Ciok Giok Yin termundur
beberapa langkah. Setelah itu dia manggut-manggut sambil
berkata.
"Memang gara-gara aku tapi aku akan menuntut balas demi
keluarga Yu yang berjumlah tiga puluh enam orang, bahkan
harus berlipat ganda. Harap Nona baik-baik menjaga diri!"
Usai berkata Ciok Giok Yin langsung melesat ke arah
perkumpulan Pah Ong Cuang. Dalam hatinya cuma terdapat
dendam. Saat ini kalau ada orang melihat wajahnya, pasti akan
merasa seram dan bulu kuduknya pun berdiri. Sementara
rembulan mulai bersinar remang-remang. Sedangkan di
tempat-tempat tertentu mulai kelihatan menakutkan. Sesosok
bayangan melesat laksana kilat ke perkumpulan Pah Ong
Cuang. Siapa orang itu? Tidak lain adalah Ciok Giok Yin.
Kemunculannya di perkumpulan tersebut membawa dendam
yang amat dalam.
Begitu tiba di pintu masuk Pah Ong Cuang, Ciok Giok Yin
langsung menghantam pintu itu.
Blam!
Pintu itu hancur berkeping-keping. Di saat bersamaan
muncullah belasan penjaga yang bertampang seram. Akan
tetapi seketika terdengar suara jeritan yang menyayat hati dan
darah muncrat ke mana-mana. Mayat pun mulai bergelimpang
di tanah. Ciok Giok Yin menerobos masuk ke dalam. Sepasang
matanya masih membara dan wajahnya tampak kehijauhijauan.
Dia langsung mencaci maki dengan suara lantang.
"Tua bangka, kau membunuh keluarga Yu berjumlah tiga

puluh enam orang! Hutang darah bayar darah, hutang nyawa
bayar nyawa! Malam ini aku akan membuat perhitungan
denganmu, bahkan kau harus membayar berlipat kali!"
Sementara para penjaga perkumpulan Pah Ong Cuang mulai
bermunculan dan terdengar pula suara bentakan.
"Tangkap bocah haram itu!"
Namun di saat bersamaan terdengar suara jeritan yang
menyayat hati. Ternyata Ciok Giok Yin sudah turun tangan
membunuh mereka dengan pukulan-pukulan yang amat
dahsyat. Mendadak terdengar suara bentakan mengguntur.
"Siapa berani cari gara-gara di perkumpulan Pah Ong Cuang?"
Tampak sosok bayangan tinggi besar melesat ke luar dari
dalam rumah yang megah itu. Siapa orang itu? Ternyata
adalah majikan Pah Ong Cuang. Begitu melihat orang itu, Ciok
Giok Yin langsung berkertak gigi.
"Tua bangka, ganti nyawa keluarga Yu yang berjumlah tiga
puluh enam orang, tapi harus berlipat ganda!" bentaknya
sengit.
Dia maju selangkah demi selangkah. Sedangkan majikan Pah
Ong Cuang sudah menyaksikan mayat-mayat bergelimpangan
di tanah itu. Maka tidak heran kegusarannya menjadi
memuncak. Dia mendengus dingin lalu berkata.
"Bocah, kau merebut menantuku! Hari ini kau harus
mampus!"
Ketika majikannya baru mau menyerang, mendadak Ciok
Giok Yin menerjang ke arahnya. Ternyata dia telah
mengerahkan ilmu Kan Yen Sin Kang. Tampak telapak
tangannya berkelebat dan terdengar suara jeritan yang
mendirikan bulu kuduk.
"Aaaakh!"

Majikan Pah Ong Cuang yang mau melancarkan serangan,
sebaliknya malah terserang. Seluruh tulangnya remuk dan
dagingnya pun hancur tidak karuan, kemudian roboh binasa
seketika. Ciok Giok Yin tertawa seperti orang gila Kemudian dia
melancarkan pukulan lagi ke arah para anak buah majikan Pah
Ong Cuang. Terdengar lagi suara jeritan di sana-sini. Walau
Ciok Giok Yin telah membunuh majikan Pah Ong Cuang dan
dua puluh orang lebih, namun belum merasa puas. Dia ingin
membunuh seluruh penghuni perkumpulan itu. Terdengar lagi
suara jeritan. Setelah itu suasana di perkumpulan Pah Ong
Cuang mulai hening. Namun tercium bau anyir yang amat
menusuk hidung.
Di dalam perkumpulan Pah Ong Cuang sudah tergeletak
empat puluh dua sosok mayat, yang semuanya binasa di
tangan Ciok Giok Yin. Sesungguhnya dia bukan seorang
pembunuh berdarah dingin. Dia melakukan pembantaian
lantaran terpaksa, sebab urusan berawal dari dirinya yang
merebut mempelai wanita. Seandainya dia tidak salah dengar
satu huruf, tentunya tidak akan terjadi pertistiwa berdarah ini.
Apakah ini merupakan suatu pembalasan? Memang sulit
dikatakan. Lagi pula orang-orang perkumpulan Pah Ong Cuang
selalu menindas penduduk setempat. Walau para penduduk
setempat amat gusar, tapi tidak berani berbuat apa-apa.
Kini perkumpulan Pah Ong Cuang telah musnah. Sudah
barang tentu para penduduk setempat bersorak girang dan
merasa bersyukur. Sementara Ciok Giok Yin masih berdiri di
dalam perkumpulan Pah Ong Cuang. Dia tertawa gelak lalu
bergumam.
"Nona Yu, aku telah menuntut balas dendam keluarga
kalian...."
Mendadak terdengar suara yang amat dingin di belakangnya.
"Sungguh keji hatimu!"
Bukan main terkejutnya Ciok Giok Yin, sebab ada orang
berada di belakangnya, namun dia tidak tahu sama sekali. Ciok
Giok Yin segera membalikkan badannya. Kira-kira dua depa

berdiri seorang berpakaian abu-abu, dan memakai kain
penutup muka warna putih. Tentunya orang itu tidak dapat
dilihat wajahnya, tapi tampak sepasang matanya menyorot
tajam sekali. Tiba-tiba Ciok Giok Yin teringat akan peristiwa
pembantaian di partai Thay Kek Bun. Dia masih ingat akan
penuturan Lok Ceh, bahwa mereka dibunuh oleh orang
berpakaian abu-abu dan memakai kain penutup muka warna
putih. Bukankah orang yang berdiri di hadapannya berdandan
demikian? Oleh karena itu Ciok Giok Yin membentak.
"Bagaimana?"
"Aku bilang hatimu amat keji!" sahut orang berpakaian abuabu
memakai kain putih penutup muka dengan dingin sekali.
"Kau peduli itu?"
"Aku memang ingin coba mempedulikannya!"
"Sebutkan namamu!" bentak Ciok Giok Yin sengit.
Ternyata Ciok Giok Yin ingin tahu identitas orang itu melalui
namanya, namun orang berpakaian abu-abu itu mendengus
dingin.
"Hmm! Kau pantas mengetahui namaku?"
Wajah Ciok Giok Yin langsung berubah.
"Lihat aku pantas atau tidak?" bentaknya.
Ketika Ciok Giok Yin baru mau melancarkan serangan,
sekonyong-konyong orang berpakaian abu-abu berseru dingin.
"Tunggu!"
"Kau mau tinggalkan pesan apa?" tanya Ciok Giok Yin sengit.
"Yang harus tinggalkan pesan adalah kau, bukan aku!"
Ciok Giok Yin tertawa dingin.

"Aku memang menghendakimu tahu rasa!"
"Punya kepandaian sebutkanlah namamu"
"Tentu saja boleh! aku adalah Hek Hong Sucia (Duta Angin
Hitam)!"
"Hek Hong Sucia?"
"Tidak salah!"
"Kau dari aliran mana?"
"Tentang itu kau tidak perlu tahu!" Berhenti sejenak,
kemudian orang berpakaian abu-abu itu melanjutkan.
"Mengapa kau membantai mereka?"
"Tentunya aku punya alasan!"
"Katakan!"
"Aku tidak mau mengatakan!"
"Kau berani tidak mengatakan?"
Ketika berkata, Hek Hong Sucia mengeluarkan sebatang panji
hitam kecil bergambar seekor naga putih. Begitu melihat panji
hitam kecil itu, Ciok Giok Yin teringat ketika baru meninggalkan
Liok Bun. Di suatu tempat dia melihat beberapa sosok mayat
yang punggungnya tertancap panji hitam tersebut. Tidak ragu
lagi, pelaku itu pasti sehaluan dengan orang yang di
hadapannya. Akan tetapi panji hitam yang tertancap di
punggung mayat dibuat dari besi biasa. Sedangkan panji hitam
kecil yang di tangan orang ini tampak bergemerlapan tertimpa
sinar rembulan, berarti berbeda dengan panji hitam kecil lain.
Setelah menyaksikan panji hitam kecil yang di tangan Hek
Hong Sucia, kegusaran Ciok Giok Yin langsung memuncak.
"Apakah mayat-mayat di luar Gunung Lu Liang San adalah

hasil perbuatanmu?"
"Tidak salah!"
"Ada dendam apa kau dengan mereka, sehingga kau
membunuh mereka?"
"Kau tidak perlu menanyakan itu, cepat katakan urusanmu!"
"Tidak akan kukatakan!"
"Sungguhkah kau tidak mau mengatakan?"
"Sungguh!"
"Baik!"
Heng Hong Sucia segera bergerak bagaikan roh halus,
menyerang dada Ciok Giok Yin dengan panji hitam kecil
itu. Ciok Giok Yin cepat-cepat mengerahkan tenaga sakti Kan
Yen Sin Kang untuk melindungi sekujur badannya, sekaligus
mengeluarkan ilmu pukulan Hong Lui Sam Ciang. Tampak
badan Hek Hong Sucia berkelebat. Dia berhasil menghindari
serangan Ciok Giok Yin, tapi ujung panji hitam kecil itu tetap
mengarah di dada Ciok Giok Yin. Bukan main terkejutnya Ciok
Giok Yin! Dia bergerak cepat mencelat ke belakang.
"Roboh!" bentak Hek Hong Sucia.
Kelihatannya Ciok Giok Yin akan terhantam serangan itu,
namun mendadak seorang wanita berambut putih terurai
menutup mukanya, meluncur laksana kilat ke tempat itu.
Jilid 22
Begitu melihat kemunculan wanita berambut putih, Hek Hong
Sucia langsung berseru tak tertahan.

"Haah?"
Dia langsung mundur lalu melesat pergi dan dalam sekejap
sudah tidak kelihatan bayangannya. Betapa cepatnya gerakan
Hek Hong Sucia sungguh mengejutkan! Hati Ciok Giok Yin
masih berdebar-debar tidak karuan. Dia tidak menyangka
kepandaian orang berpakaian abu-abu itu sedemikian tinggi.
Walau Ciok Giok Yin telah menguasai ilmu Kan Yen Sin Kang,
tapi bukan lawannya. Sebenarnya siapa Hek Hong Sucia itu dan
berasal dari aliran mana? Ciok Giok Yin tidak habis pikir. Dia
menyeka keringat yang merembes dari keningnya, setelah itu
barulah memandang wanita berambut putih. Karena kekagetan
yang dialaminya tadi belum hilang, maka ketika melihat wanita
berambut putih, dia langsung termundur tiga langkah. Ternyata
Ciok Giok Yin tidak melihat wajahnya. Yang dilihatnya cuma
rambutnya yang putih terurai sampai di bawah lutut.
Di larut malam, muncul orang yang begitu aneh, tentunya
membuat Ciok Giok Yin merasa agak takut. Lagi pula di
sekitarnya bergelimpang mayat-mayat yang
mengerikan. Wajah orang itu tertutup oleh rambutnya yang
putih, maka Ciok Giok Yin tidak melihat jelas wajahnya. Cantik
atau buruk, tua atau masih muda, lawan atau kawan, Ciok Giok
Yin sama sekali tidak tahu. Yang jelas kemunculannya telah
membuat Hek Hong Sucia kabur terbirit-birit.
"Anda adalah manusia atau hantu?" tanya Ciok Giok Yin
sambil memberi hormat.
"Manusia dan hantu apa bedanya?" sahut wanita berambut
putih panjang dengan lembut.
Mendengar itu, keberanian Ciok Giok Yin mulai timbul.
"Mahon tanya apa maksud ucapan itu?" tanyanya.
"Dunia persilatan masa kini amat banyak hantu, setan dan
iblis. Padahal mereka adalah manusia. Lalu apa bedanya
dengan hantu, setan dan iblis?" wanita berambut putih panjang
diam sejenak. "Apa kesalahan mereka sehingga kau bantai?"

lanjutnya.
"Tentu ada sebabnya," sahut Ciok Giok Yin.
Diam-diam Ciok Giok Yin merasa cemas. Kalau wanita
berambut putih ini punya hubungan dengan perkumpulan Pah
Ong Cuang, bukankah dirinya akan celaka?
"Katakan!" bentak wanita berambut putih panjang.
Suara bentakan itu membuat sekujur badan Ciok Giok Yin
merinding. Diam-diam dia mengerahkan ilmu Kan Yen Sin Kang
untuk melindungi diri. Setelah itu barulah dia berkata.
"Mereka membunuh tiga puluh enam orang keluarga Yu."
"Mengapa?"
"Mereka memaksa putri keluarga Yu untuk menikah."
"Cuma itu sebabnya?"
Hati Ciok Giok Yin tersentak dan membatin, 'Biar kuceritakan,
lihat wanita aneh ini mau berbuat apa terhadap diriku?' Oleh
karena itu dia menceritakan tentang semua itu.
Setelah mendengar cerita itu, wanita berambut putih panjang
berkata.
"Kejadian itu adalah gara-gara dirimu!"
"Ya. "
"Mengapa kau begitu ceroboh?"
Wajah Ciok Giok Yin memerah, lalu dia menundukkan kepala
seraya menyahut.
"Aku memang ceroboh. Huruf Yu kudengar seperti Ie. Karena
itu menimbulkan malapetaka besar. Aku menyesal, tapi sudah
terlambat."

"Itu sebagai pelajaran bagimu. Lain kali kau harus hati-hati,
jangan berlaku ceroboh lagi." Wanita berambut putih panjang
itu diam sejenak. "Tapi orang-orang perkumpulan Pah Ong
Cuang memang amat jahat, dan selalu menindas penduduk di
sini. Kau memusnahkan perkumpulan Pah Ong Cuang ini
tentunya tidak keterlaluan."
Ciok Giok Yin tidak berkata apa-apa, hanya berdiri diam di
tempat. Apa yang dikatakan wanita berambut putih panjang itu
membuktikan dia tidak berniat jahat. Mendadak Ciok Giok Yin
teringat akan seseorang. Maka, tanpa sadar dia berseru tak
tertahan.
"Pek Hoat Hujin!"
"Ya!"
Ciok Giok Yin segera maju tiga langkah dan memberi hormat
seraya berkata.
"Lo cianpwee menyelamatkan diriku lagi, selama-lamanya
takkan kulupakan."
"Tidak usah disimpan dalam hati."
"Boanpwee (Aku Yang Rendah)...."
"Aku ingin bertanya satu hal padamu," sela Pek Hoat Hujin.
"Silakan, lo cianpwee!"
"Aku dengar kau memperoleh sepotong kain, benarkah itu?"
Ciok Giok Yin tertegun, namun tidak akan berdusta terhadap
orang yang telah menyelamatkannya.
"Benar," jawabnya jujur.
"Apa yang tercantum dikain potongan itu?"

"Boanpwee sudah mohon pada Thian Thong Lojin untuk
mengungkapkan rahasia tersebut."
"Apa katanya?"
"Masih membutuhkan Bu Keng Sui."
"Bu Keng Sui?"
"Ya"
"Itu sangat mudah diperoleh."
"Maksud lo cianpwee?"
"Bu Keng Sui tentunya air hujan!"
Ciok Giok Yin terbelalak. Bagaimana dia tidak berpikir sampai
di situ? Air Tanpa Akar bukankah air hujan?
Pek Hoat Hujin berkata lagi.
"Di waktu hujan turun, taruhlah potongan kain itu di bawah
hujan, pasti kau akan tahu rahasianya."
Bukan main girangnya Ciok Giok Yin!
"Terimakasih atas petunjuk to cianpwee!" ucapnya.
"Kau harus baik-baik membawa diri!"
Tampak badan Pek Hoat Hujin berkelebat, tahu-tahu sudah
hilang dari pandangan Ciok Giok Yin. Kini Ciok Giok Yin masih
harus datang di rumah keluarga Yu sebab harus mengatur Yu
Ling Ling. Tapi timbul pula kesulitan Ciok Giok Yin, sebab tahu
bisa atau tidak menerima gadis itu. Jawaban dalam hatinya
adalah 'Tidak Bisa' karena timbulnya kejadian itu lantaran salah
paham, lagi pula dia sudah punya tunangan dan juga masih
ada Cou Ing Ing.... Setelah berpikir sejenak barulah Ciok Giok
Yin melesat ke rumah keluarga Yu.

Tak lama kemudian dia sudah berada di depan rumah
tersebut. Akan tetapi tidak tampak bayangan Yu Ling Ling,
sedangkan mayat-mayat masih bergelimpangan di sana. Hati
Ciok Giok Yin tersentak, sehingga berdebar-debar tidak karuan.
Apakah gadis itu telah bunuh diri? Ciok Giok Yin bertanya
dalam hati, lalu memeriksa mayatmayat itu, namun tidak
melihat Yu Ling Ling. Barulah hatinya lega, kemudian dia
melesat pergi meninggalkan rumah itu. Ciok Giok Yin
menengadahkan kepala memandang langit, namun tidak
tampak awan hitam. Ternyata dia mengharap turun hujan,
agar bisa mengungkap rahasia potongan kain itu. Akan tetapi
justru tiada awan hitam, pertanda belum waktunya hujan.
Mendadak telinganya menangkap suara tangis. Hatinya
tergerak, kemudian dia melesat ke arah suara tangisan itu.
Di dalam sebuah rimba terdengar suara yang amat dingin.
"Apakah toaya tidak setimpal denganmu?"
Terdengar suara bentakan yang mengandung isak tangis.
"Orang jahat! Aku tidak akan mengampunimu!"
Terdengar lagi suara tawa terkekeh, lalu berkata, "Tapi
sementara ini aku belum bisa membawamu, sampai jumpa!"
Ciok Giok Yin telah mendengar pembicaraan itu segera
membentak.
"Berhenti!"
Dia melesat ke tempat itu dan kemudian melihat sosok
bayangan yang dikenalnya.
"Bu Tok Sianseng! Ternyata kau seorang penjahat cabul!"
serunya tak tertahan.
Tanpa menoleh, Bu Tok Sianseng mengibaskan tangannya.
Seketika tampak butiran-butiran hitam meluncur ke arah Ciok
Giok Yin.

Serrr! Serrr!
Ciok Giok Yin tahu jelas Bu Tok Sianseng mahir tentang racun,
maka dia bergerak cepat memukul jatuh senjata-senjata
rahasia itu. Di saat bersamaan Bu Tok Sianseng sudah tidak
kelihatan bayangannya. Ciok Giok Yin tabu dirinya tidak akan
berhasil mengejar Bu Tok Sianseng, maka segera mendekati
gadis yang duduk di bawah pohon. Gadis itu masih menangis
tersedu-sedu.
"Nona!" panggil Ciok Giok Yin.
Gadis itu mendongakkan kepala. Tampak air matanya masih
berderai-derai.
"Kau...."
"Aku kenal Bu Tok Sianseng."
"Dia adalah Bu Tok Sianseng?"
Gadis itu berhenti menangis, menatap Ciok Giok Yin dengan
penuh rasa heran. Ciok Giok Yin manggut-manggut.
"Ya!"
"Namanya bukan Bu Tok Sianseng."
Ciok Giok Yin tertegun.
"Kau tahu namanya?"
"Dia bernama Ho Tiong Kan?"
"Ho Tiong Kan?"
"Ya."
Ciok Giok Yin kebingungan. Dia percaya akan penglihatannya.
Tadi dia melihat jelas, bagaimana mungkin berubah menjadi Ho
Tiong Kan? Beberapa saat Ciok Giok Yin berpikir, setelah itu

baru mengerti. Kemudian dia manggut-manggut seraya
berkata,
"Mungkin dia sengaja mengganti namanya."
"Kau tahu nama Bu Tok Sianseng?" tanya gadis itu.
Ciok Giok Yin menggeleng kepala.
"Aku tidak begitu jelas."
"Aku juga pernah mendengar tentang Bu Tok Sianseng, tapi
bukan dia."
Ciok Giok Yin mengerutkan kening, kemudian bertanya.
"Mohon tanya, bagaimana Nona bisa berada di tempat ini?"
Gadis itu mulai menangis terisak-isak lagi. Kemudian dia
menutur tentang kejadian yang menimpa dirinya. Ternyata
gadis itu bernama Kiang Cui Loan. Tanpa sengaja dia
berkenalan dengan Ho Tiong Kan, lalu mereka berdua
melakukan hubungan gelap. Setelah melewati hari-hari yang
indah penuh kemesraan, akhirnya Kiang Cui Loan hamil. Akan
tetapi, Ho Tiong Kan justru tidak kelihatan batang hidungnya.
Dua bulan kemudian dia meninggalkan rumah secara diamdiam
untuk mencari Ho Tiong Kan. Beberapa bulan lamanya
Kiang Cu Loan berkelana dalam rimba persilatan mencari Ho
Tiong Kan, namun tiada hasilnya. Sedangkan perut Kiang Cu
Loan kian hari kian bertambah besar. Dia tahu bahwa dirinya
sudah tidak bisa lagi pulang ke rumah. Maka pada siang hari
dia tinggal di dalam goa, pada malam hari keluar untuk
mencari makanan, sekaligus mencari informasi tentang Ho
Tiong Kan. Justru sungguh di luar dugaan, dia bertemu Ho
Tiong Kan di tempat itu, tapi lelaki itu tetap meninggalkannya.
Seusai mendengar penuturan itu, gusarlah Ciok Giok Yin.
"Nona, aku tidak peduli dia Bu Tok Sianseng atau bukan,
kelak kalau bertemu aku pasti bertanya padanya. Kalau
memang dia, aku pasti membawanya ke mari agar berkumpul

dengan Nona. Kalau tidak, aku pasti membunuhnya!" Ciok Giok
Yin menatapnya. "Sekarang Nona mau ke mana?"
Kiang Cu Loan menunjuk ke arah sebuah puncak gunung, dan
menyahut.
"Aku tinggal di lembah itu. Di situ terdapat sebuah goa,"
sahut Kiang Cu Loan sambil menunjuk ke arah sebuah puncak.
Ciok Giok Yin manggut-manggut.
"Baik, Nona boleh kembali, aku akan membantumu mencari
Ho Tiong Kan."
Usai berkata, Ciok Giok Yin melesat pergi. Pikirannya agak
kacau, sebab dia yakin orang itu adalah Bu Tok Sianseng.
Apakah dia bernama Ho Tiong Kan? Akan tetapi entah sudah
berapa kali Bu Tok sianseng menyelamatkan dirinya.
Berdasarkan itu seharusnya Ciok Giok Yin menasehatinya agar
dia mau bertanggung jawab terhadap Kiang Cu
Loan. Seandainya Bu Tok sianseng tidak menuruti nasihatnya,
apakah Ciok Giok Yin harus membunuhnya? Ciok Giok Yin terus
berpikir, tapi tidak tahu keputusan apa yang harus
diambil. Disaat dia sedang melesat, mendadak tampak awan
hitam mulai menyelimut langit dan angin pun mulai berhembus
kencang. Bukan main girangnya hati Ciok Giok Yin, sebab tidak
lama lagi pasti akan turun hujan. Memang ini yang
diharapkannya.
Dia harus mencari sebuah goa untuk berteduh, lalu
mengungkap rahasia potongan kain itu. Ketika melewati
sebuah kota kecil, dia membeli sebuah baskom dan sedikit
makanan kering. Setelah itu dia segera melesat ke dalam
sebuah lembah. Di saat bersamaan hujan pun mulai turun
dengan deras. Dia melihat sebuah batu curam yang cekung ke
dalam. Dia cepat-cepat masuk ke cekungan batu itu lalu
menaruh baskom di luar untuk menampung air
hujan. Berselang beberapa saat hujan sudah mulai reda dan
matahari mulai bersinar. Ciok Giok Yin mengambil baskom
yang berisi air hujan dan segera mengeluarkan potongan kain
itu. Kemudian direndamnya ke dalam air hujan yang ada di

dalam baskom. Perasaannya amat tegang hingga sekujur
badannya gemetar.
Potongan kain tersebut menyangkut asal-usulnya, bahkan
juga menyangkut jejak Seruling Perak. Oleh karena itu dia
terus menatap potongan kain itu dengan mata tak berkedip.
Sungguh mengherankan! Ternyata potongan kain itu tidak
basah meskipun direndam dalam air. Itu membuat Ciok Giok
Yin sedikit curiga. Namun sepasang matanya tidak tergeser
dari potongan kain tersebut. Biar bagaimana pun harus tahu
jelas tentang rahasia potongan kain ini. Pikirnya. Di saat
bersamaan terdengar suara desiran angin yang amat lirih dan
tampak sosok bayangan orang berkelebat lalu hilang. Ciok Giok
Yin cepat-cepat meraihkan tangannya ke dalam baskom, tapi
ternyata baskom itu telah kosong.
Dapat dibayangkan betapa terkejutnya Ciok Giok Yin. Dia
langsung mencelat ke atas, tapi tiada seorang pun berada di
tempat itu. Dia bersiul nyaring sekaligus mengerahkan
ginkangnya untuk mengejar. Sekonyong-konyong tampak
sosok bayangan merah melesat ke arahnya dari arah depan
dan terdengar seruannya yang merdu.
"Adik, kau terlepas dari bahaya?"
Ternyata orang yang melesat ke arah Ciok Giok Yin itu adalah
Heng Thian Ceng. Kebetulan saat ini hati Ciok Giok Yin sedang
tercekam rasa duka, maka dia bertanya dengan dingin.
"Kau melihat orang melesat pergi?"
Heng Thian Ceng yang berdiri di hadapan Ciok Giok Yin balik
bertanya.
"Siapa orang itu?"
"Lho? Bagaimana itu?"
"Kau sama sekali tidak melihat?"
"Adik, apakah ada urusan yang penting sekali?"

Sepasang mata Ciok Giok Yin berapi-api.
"Potongan kain itu telah hilang," sahutnya samba berkertak
gigi.
Hati Heng Thian Ceng tersentak, kemudian dia bertanya.
"Siapa yang berkepandaian begitu tinggi mengambil potongan
kain itu?"
Ciok Giok Yin tidak menyahut, karena air matanya sudah
berderai-derai. Hatinya amat berduka lantaran potongan kain
itu telah hilang. Sedangkan potongan kain itu menyangkut
asal-usulnya dan jejak Seruling Perak. Heng Thian Ceng segera
mendekati Ciok Giok Yin, kemudian memegang bahunya seraya
berkata.
"Adik, kau jangan terlampau berduka. Biar kakak
menemanimu mencari orang itu."
Ciok Giok Yin menghela nafas pajang, kemudian bertanya.
"Kakak, selama ini kau baik-baik saja?"
Heng Thian Ceng menghapus air matanya sambil menyahut
dengan suara rendah.
"Adik, Kakak nyaris tidak mau hidup."
Ciok Giok Yin tertegun mendengar itu.
"Mengapa Kakak berkata begitu?"
Heng Thian Ceng menyahut dengan suara bergemetar.
"Adik, kau terpukul jatuh ke dalam jurang....." sahut Heng
Thian Ceng dengan suara gemetar.
"Hah? Kakak melihat kejadian itu?" seru Ciok Giok Yin kaget.

"Ya."
"Bagaimana Kakak bisa sampai di tempat itu?"
"Kakak ingat kepandaianmu telah punah, bahkan kau harus
menuju ke Gunung Thian San. Kalau bertemu panjahat di
tengah jalan, tentunya kau akan celaka. Maka aku terus
mengikutimu dari belakang. Tak disangka kepandaianmu telah
pulih. Di saat kau terpukul jatuh ke jurang, aku pun tiba di
tempat itu...."
"Hah? Kakak pernah berseru memanggilku?" seru Ciok Giok
Yin tak terhatan.
Heng Thian Ceng manggut-manggut seraya berkata.
"Aku berada di atas tebing itu tiga hari tiga malam."
Mendengar itu bukan main terharunya hati Ciok Giok Yin. Dia
langsung memeluk Heng Thian Ceng erat-erat seraya
memanggilnya dengan suara rendah.
"Kakak! Kakak!"
Mereka berdua saling berpelukan, sepertinya ingin
menyatukan diri. Walau Heng Thian Ceng mamakai kedok kulit,
namun bibirnya yang indah kemerah-merahan membuat hati
Ciok Giok Yin deg-degan. Heng Thian Ceng memejamkan
matanya, kelihatannya sedang menunggu. Wanita iblis yang
telah menggemparkan dunia persilatan itu kini di hadapan Ciok
Giok Yin justru telah berubah menjadi jinak sekali.
Nafasnya terus mendesah, menunggu dan menunggu.
Sedangkan Ciok Giok Yin adalah pemuda berdarah hangat. Dia
menundukkan kepala, lalu bibirnya mulai menyentuh bibir
Heng Thian Ceng, akhirnya bibir mereka melekat menjadi satu.
Terdengar pula suara 'Cup! Cup! Cup!'
Mereka berdua tenggelam dalam mimpi yang amat indah,
bahkan terus saling mencium dan sepasang payudara Heng

Thian Ceng ditempelkan pada dada Ciok Giok Yin. Itu membuat
Ciok Giok Yin merasa nyaman sekali, sehingga tanpa sadar dia
menjulurkan tangannya mengusap-ngusap benda lunak
itu. Seketika Ciok Giok Yin telah lupa segala-galanya. Dalam
benaknya hanya terdapat bayangan Heng Thian Ceng. Mungkin
saking tak tahan, akhirnya Ciok Giok Yin membawa Heng Thian
Ceng ke batu curam yang melengkung ke dalam itu. Ciok Giok
Yin menaruh Heng Thian Ceng ke bawah, kemudian
melepaskan pakaiannya. Namun disaat Ciok Giok Yin baru
mau...... mendadak Heng Thian Ceng menarik pakaiannya dan
berkata dengan suara gemetar.
"Adik, kau......"
"Kakak, aku mau."
"Adik, apakah kau sudah lupa akan tubuhmu itu?"
Ucapan Heng Thian Ceng bagaikan air dingin menyiram diri
Ciok Giok Yin, membuat sekujur badan Ciok Giok Yin merinding
seketika. Dia bangkit berdiri lalu tanpa sadar mundur
beberapa langkah dan wajahnya tampak kemerah-merahan.
Menyaksikan sikap Ciok Giok Yin itu Heng Thian Ceng segera
mendekatinya lalu memegang tangannya seraya bertanya.
"Adik, kau berduka?"
"Kakak, aku bukan manusia. Aku bukan manusia," sahut Ciok
Giok Yin dengan rasa malu.
Heng Thian Ceng cepat-cepat menghiburnya.
"Adik, kau jangan berkata begitu. Kau membutuhkan, Kakak
pun membutuhkan, namun tubuhmu tidak seperti biasa, maka
kakak tidak bisa melayanimu."
"Aku memang harus mampus!"
"Adik, cari akal kelak!"
Usai berkata, Heng Thian Ceng mengecup kening Ciok Giok

Yin dengan penuh kelembutan. Itu membuat hati Ciok Giok Yin
menjadi tenang.
"Adik, sungguhkah kau menyukaiku?" tanya Heng Thian Ceng
dengan suara rendah.
"Sungguh!"
"Apakah kelak kau akan melupakanku?"
"Tentu tidak, asal Kakak jangan melupakanku."
"Bagaimana kalau ada orang berusaha menghalangi
hubungan kita?"
Ciok Giok Yin tertegun. Seketika dia teringat pada si Bongkok
Arak dan Pengemis Tua Te Hang Kay. Kedua orang itu
kelihatannya tahu jelas akan identitas Heng Thian Ceng, maka
melarangnya bergaul dengan Heng Thian Ceng. Heng Thian
Ceng terns menatapnya, kemudian mengusap kening Ciok Giok
Yin dengan lembut.
"Ini adalah urusanku, tiada hubungannya dengan orang lain,"
kata Ciok Giok Yin.
Heng Thian Ceng menghela nafas panjang, kemudian berkata
perlahan-lahan.
"Adik, mungkin mereka punya alasan tertentu. Namun kalau
ada orang menghalangi demi kau aku akan bersabar. Begitu
mereka pergi, kita pasti berkumpul kembali. Ciok Giok Yin
menatap wajah Heng Thian Ceng yang memakai kedok kulit.
"Kakak, kau......"
"Kenapa aku?"
"Bolehkah kau melepaskan kedok kulitmu itu?"
"Di hadapanmu boleh, namun meninggalkan tempat ini harus
kupakai lagi."

Usai berkata Heng Thian Ceng segera melepaskan kedok
kulitnya. Seketika mata Ciok Giok Yin berbinar-binar. Ini kedua
kalinya Ciok Giok Yin menyaksikan wajah asli Heng Thian Ceng.
Kecantikannya membuat Ciok Giok Yin rela mati demi dirinya,
bahkan juga bersedia melakukan apa saja demi dirinya. Ciok
Giok Yin terus menatap Heng Thian Ceng. Mendadak dalam
benaknya muncul sesosok bayangan. Oleh karena itu Ciok Giok
Yin terus menatap Heng Thian Ceng dengan mata tak berkedip.
"Adik, cantikkah aku?" tanya Heng Thian Ceng lirih.
"Kakak, kau sungguh cantik!"
"Sungguhkah?"
Ciok Giok Yin mengangguk.
"Coba katakan bagaimana kecantikanku?"
"Kakak, kecantikan Kakak memang sulit dilukiskan maupun
diuraikan dengan kata-kata. Aku pun teringat akan sebuah
pepatah 'Kecantikan merupakan suatu santapan' kini aku telah
memahami pepatah itu."
"Adik, Kakak tak menyangka kau begitu jahat."
Ciok Giok Yin tertawa, kemudian memeluk Heng Thian Ceng
erat-erat seraya berbisik.
"Aku memang jahat. Aku memang jahat."
Heng Thian Ceng yang berada dalam pelukan Ciok Giok Yin,
kelihatannya amat jinak sekali, bahkan juga tampak seperti
kembali ke masa remajanya, menikmati cinta kasih. Mendadak
Heng Thian Ceng meronta perlahan-lahan dari pelukan Ciok
Giok Yin dan berkata.
"Adik, ada satu hal ingin kutanyakan padamu."
"Bagaimana pandanganmu terhadap usia seseorang?"

"Usia?"
"Ya."
"Apa maksud Kakak?"
"Misalnya seorang wanita berusia lebih besar dari lelaki,
namun mereka berdua berkumpul bersama, apakah kau akan
menyalahkan mereka?"
Ciok Giok Yin pernah mendengar dari si Bongkok Arak, bahwa
usia Heng Thian Ceng boleh jadi ibunya. Maka dia tahu akan
maksud pertanyaan itu dan segera menyahut tanpa berpikir
lagi.
"Kakak, menurut pandanganku, asal kedua belah pihak saling
mencinta, tentunya usia tidak menjadi masalah."
Heng Thian Ceng manggut-manggut.
"Benar, aku mempercayaimu."
Mendadak Ciok Giok Yin teringat sesuatu dan langsung
bertanya.
"Kakak, sebetulnya siapa suhu Kakak?"
Heng Thian Ceng tidak menyangka kalau Ciok Giok Yin akan
mengajukan pertanyaan tersebut, maka membuatnya tertegun.
"Adik, kelak kau akan tahu." Dia diam sejenak. "Adik,
potongan kain itu telah hilang, mari segera kita cari!"
Usai berkata, Heng Thian Ceng memakai lagi kedok kulitnya.
Apa yang dikatakan Heng Thian Ceng barusan membuat Ciok
Giok Yin tersentak sadar. Wajahnya langsung berubah,
kemudian dia berkata sengit.
"Kakak, mari kita kejar orang itu!"

Dia menarik tangan Heng Thian Ceng, lalu melesat ke luar
dari lembah itu. Potongan kain itu harus ditemukan kembali,
sebab menyangkut aal-usulnya dan jejak Seruling Perak. Di
saat sedang melesat laksana kilat, Heng Thian Ceng bertanya.
"Adik, bagaimana lwee kangmu dapat maju pesat?"
"Aku telah ke Liok Bun."
"Hah? Liok Bun?"
"Ya."
"Bagaimana kau bisa masuk?"
Ciok Giok Yin segera menuturkan tentang pertemuannya
dengan Bu It Coan. Heng Thian Ceng manggut-manggut seraya
berkata.
"Liok Bun di dunia persilatan boleh dikatakan cuma
merupakan kabar burung saja. Tak disangka kau begitu
beruntung bisa masuk ke dalam, kelihatannya asal-usulmu
amat luar biasa." Dia menatap Ciok Giok Yin. "Adik, biar
bagaimana pun kau tidak boleh melupakan Kakak!"
"Tentu tidak."
"Aku tidak ingin memilikimu, hanya berharap memperoleh
sedikit cinta kasihmu, aku sudah merasa puas sekali."
Usai berkata, Heng Thian Ceng menatapnya lembut.
"Kakak, aku akan menyerahkan semua cinta kasihku
padamu," kata Ciok Giok Yin.
"Itu tidak bisa."
"Mengapa?"
"Sebab tubuhmu harus dilayani beberapa wanita."

Ciok Giok Yin tidak menyangka Heng Thian Ceng begitu
berpengertian.
"Kakak! Kakak!" panggilnya dengan rasa terharu.
Di saat bersamaan, mendadak tampak tiga sosok bayangan
melayang turun di tempat mereka. Ciok Giok Yin dan Heng
Thian Ceng langsung menoleh. Ternyata tiga orang itu adalah
si Bongkok Arak, Te Heng Kay dan Cou Ing Ing. Cou Ing Ing
melihat mereka saling menggenggam tangan, wajahnya
langsung berubah menjadi dingin, bahkan mendengus dingin
pula.
"Hmm!"
Setelah itu dia membuang muka. Sedangkan sepasang mata
si Bongkok Arak menyorot tajam menatap Heng Thian Ceng.
"Khui Fang Fang, apa maksudmu terus bersamanya?"
tanyanya dengan suara dalam.
"Karena aku suka dia," sahut Heng Thian Ceng dingin.
Cou Ing Ing segera menoleh.
"Lebih baik mengaca dulu!" katanya sinis.
Heng Thian Ceng tidak marah, sebaliknya malah tertawa
cekikkan.
"Tidak mengaca juga tidak akan kalah dibanding gadis yang
mana pun!"
Arti perkataannya bahwa wajahnya tidak akan kalah
dibandingkan dengan wajah Cou Ing Ing. Tentunya membuat
Cou Ing Ing gusar bukan main. Badannya bergerak sedikit mau
melancarkan serangan, namun mendadak si Bongkok Arak
menjulurkan lengannya seraya berkata.
"Tungguh, Nona!" kemudian dia memandang Heng Thian
Ceng. "Khui Fang Fang! Aku suruh kau segera

meninggalkannya!" bentaknya.
"Tetap kukatakan seperti tempo hari, tidak!" sahut Heng
Thian Ceng ketus.
Si Bongkok Arak, Te Hang Kay dan Cou Ing Ing langsung
mendengus dingin.
"Hmm !"
Wajah mereka bertiga tampak bengis sekali, kelihatannya
ingin menghabisi nyawa wanita itu.
"Kau sungguh?" bentak si Bongkok Arak lagi.
"Apakah kau berhak mengekang kebebasanku?"
"Ini bukan mengekang kebebasanmu, melainkan kau tidak
boleh bersamanya!"
"Mengapa tidak?"
"Tentu ada alasannya!"
"Kau boleh katakan, aku sudah siap dengar! Kalau alasanmu
itu tetap, aku segera meninggalkannya!"
"Sekarang belum bisa kukatakan."
Heng Thian Ceng tersenyum menghina.
"Kau pasti tidak dapat mengatakan alasan itu!"
"Khui Fang Fang, ini peringatan terakhir kali! Kalau kau masih
berani mengatakan tidak mau meninggalkannya, aku akan
segera menghabisimu!"
Usai berkata, si Bongkok Arak mulai melangkah maju.
Sedangkan Te Hang Kay juga sudah mengerahkan lwee
kangnya, siap menghantam Heng Thian Ceng. Situasi itu
sungguh membuat Ciok Giok Yin serba salah. Sebab Heng

Thian Ceng adalah wanita yang disukainya, juga telah
menyelamatkannya berulang kali. Begitu pula si Bongkok Arak,
entah sudah berapa kali menyelamatkannya, bahkan
menyebutnya 'Siau Kun'. Terdengar Heng Thian Ceng
membentak.
"Tidak!"
Mendadak si Bongkok Arak menggeram.
"Akan kuhabisi kau!"
Orang tua bongkok itu langsung melancakan pukulan ke arah
Heng Thian Ceng. Ciok Giok Yin tahu jelas bagaimana
kepandaian si Bongkok Arak. Kalau pun ditambah satu Heng
Thian Ceng lagi, tetap bukan lawannya. Oleh karena itu dia
terpaksa melesat ke tengah-tengah seraya berseru.
"Berhenti!"
Si Bongkok Arak khawatir akan mencelakai Siau Kunnya,
maka segera menarik kembali serangannya seraya berkata.
"Siau Kun, sungguhkah kau menyukainya?"
Saat ini Ciok Giok Yin memang sedang dalam keadaan gusar,
maka begitu ditanya langsung menjawab tanpa berpikir lagi.
"Tidak salah, aku memang menyukainya!"
Heng Thian Ceng tertawa cekikikan lalu berkata,
"Adik, sementara ini kita berpisah dulu. Sampai jumpa!"
Tampak bayangan merah berkelebat dalam sekejap sudah
tidak kelihatan bayangannya. Di saat bersamaan wajah Cou
Ing Ing sudah berubah menjadi kehijau-hijauan saking
gusarnya. Dia mendengus dingin 'Hmm' lalu melesat
pergi. Kedua wanita itu pergi di saat hampir bersamaan. Yang
satu pergi dengan penuh kegembiraan menunggu di depan
sana. Sedangkan yang satu lagi justru pergi dengan membawa

rasa duka. Kaum wanita memang peka dalam hal cinta. Heng
Thian Ceng mencintai Ciok Giok Yin, begitu pula Cou Ing Ing.
Lagi pula Cou Ing Ing adalah teman sejak kecil.
Walau ayahnya mati bunuh diri terdesak oleh Ciok Giok Yin,
namun Cou Ing Ing telah melancaran tiga pukulan terhadap
Ciok Giok Yin, maka dendam kebenciannya telah sirna, yang
tinggal adalah cinta kasih. Kini gadis itu telah pergi dengan
membawa kegusaran dan kekecewaan. Seketika si Bongkok
Arak menghela nafas panjang, lalu berkata perlahan-lahan.
"Siau Kun, biar bagaimana pun kau tidak boleh bersamanya."
"Dia merupakan segumpal api, tidak dapat disentuh. Kelak
akan menjadi penyesalan," sambung Te Heng Kay.
Sekonyong-konyong si Bongkok Arak memberi isyarat pada
Te Hang Kay, kemudian menepuk keningnya sendiri seraya
berkata.
"Siau Kun, aku akan rnenutur sebuah cerita singkat."
Ciok Giok Yin tertegun.
"Sebuah cerita?"
"Ya."
"Silakan!" Kemudian Ciok Giok Yin menatap si Bongkok Arak.
"Apakah ada hubungannya dengan Heng Thian Ceng?"
"Urusan lain."
"Urusan apa?"
Si Bongkok Arak berdehem, kemudian mulai menutur.
"Dua ratus tahun yang lampau, dunia persilatan amat tenang
dan damai, tiada badai apa pun melanda. Setiap pintu
perguruan memperdalam ilmu silat perguruan masing-masing,
agar dapat mengangkat nama di dunia persilatan. Pada waktu

itu muncul seseorang yang menyebut dirinya Thian Huang It
Siu (Orang Dari Langit). Dia bertanding dengan semua
perguruan, akhirnya diakui sebagai Jago Nomor Wahid Di
Kolong Langit......" Si Bongkok Arak berhenti ketika menutur
sampai di situ.
"Setelah itu, bagaimana dia?" tanya Ciok Giok Yin.
"Walau Thian Huang It Sui telah diakui sebagai jago nomor
wahid di kolong langit, namun belum merasa puas, karena
masih ada satu orang belum bertanding dengannya......"
"Siapa orang itu?"
"Tatmo Cousu, pendiri partai Siauw Lim Pay."
"Mereka berdua bertanding?"
"Bertanding."
"Bagaimana akhirnya?"
"Mereka berdua bertanding di puncak Sin Li Hong Gunung
Mud San selama tujuh hari tujuh malam, akhirnya seri dan
saling mengagumi. Sudah barang tentu mereka berdua
menjadi kawan baik. Setelah itu mereka berdua menulis
sebuah kitab yang dinamai Thay Ek Khie Su, tercantum ilmu
silat kedua orang itu."
"Siapa yang memperoleh kitab itu?"
"Siapapun tidak akan percaya. Berdasarkan kepandaian kedua
orang itu, justru kitab itu masih di curi orang secara diamdiam."
"Dicuri orang?"
"Ya."
"Kalau begitu kepandaian orang itu pasti di atas kedua orang
tersebut?"

"Nyatanya tidak begitu."
"Maksud lo cianpwee?"
"Konon kitab itu dicuri oleh seorang Pencuri Sakti, namun
kemudian diketahui kaum rimba persilatan, sehingga Pencuri
Sakti itu dikepung. Saking gugup dan panik, dia langsung
terjun ke dalam sebuah telaga. Sejak itulah tiada kabar
beritanya lagi."
"Apakah setelah itu tiada seorang pun yang tahu?"
"Ada."
"Siapa?"
"Kiu Sia Cih Cun. Dia yang memperoleh kitab tersebut. Diamdiam
dia berhasil menguasai semua ilmu silat yang tercantum
di dalam kitab itu, kemudian mendirikan sebuah Sin Kiong
(Istana Dewa)......"
"Sin Kiong?" seru Ciok Giok Yin tak tertahan.
"Ya.
"Di mana Sin Kiong itu?"
Si Bongkok Arak tampak tertegun, kemudian balik bertanya.
"Sian Kun pernah mendengar tentang Sin Kiong?"
"Tidak salah."
"Dengar dari mana?"
Ciok Giok Yin teringat akan janji pada orang yang
memberitahukannya, tidak boleh membocorkannya. Maka dia
menyahut,
"Aku telah berjanji pada orang itu, tidak boleh

membocorkannya."
"Orang itu bilang apa padamu?"
"Dia cuma bilang Sin Kiong Te Kun Bu Tek Thay Cu-Siangkoan
Hua, berkepandaian amat luar biasa, tiada seorang pun yang
dapat menandinginya."
Si Bongkok Arak manggut-manggut.
"Itu memang tidak salah. Orang itu bilang apa lagi?"
Ciok Giok Yin menggelengkan kepala.
"Tidak bilang apa-apa lagi."
Si Bongkok Arak minum beberapa teguk araknya, lalu
melanjutkan penuturannya.
"Kiu Sia Cih Cun entah ke mana, kedudukan sebagai majikan
Sin Kiong jatuh ke tangan Siangkoan Hua. Selama itu Sin Kiong
dalam rimba persilatan tidak mengganggu orang lain juga tidak
mau diganggu. Akan tetapi tak disangka Siangkoan Hua dan
istrinya yang hidup tenang di dalam Istana Dewa mendadak
mati terbunuh, bahkan anak mereka yang berusia dua tahun
juga hilang tanpa meninggalkan jejak."
"Dicelakai penjahat?" tanya Ciok Giok Yin
"Tidak salah."
"Siapa penjahat itu?"
"Chiu Tiong Thau."
"Chiu Tiong Thau?"
Seketika sepasang mata Ciok Giok Yin berapi-api, bahkan dia
berkertak gigi. Ternyata dia teringat akan suhunya yang hidup
menderita di Lembah Ular Beracun selama belasan tahun, juga
karena perbuatan Chiu Tiong Thau, murid murtad suhunya.

Selama ini dia terus mencari orang tersebut, namun sama
sekali tidak berhasil menemukan jejaknya.
"Memang penjahat itu," sahut si Bongkok Arak.
Kini wajah Ciok Giok Yin telah diliputi hawa membunuh.
"Bagaimana Chiu Tiong Thau bisa berada di dalam Istana
Dewa?" tanyanya.
"Dia bergabung dengan Istana Dewa, tujuannya adalah
menyelidiki kitab Thay Ek Khie Su. Namun kitab tersebut
disimpan oleh Sun Ciangbun Te Kun, maka istri Te Kun pun
tidak tahu......"
Si Bongkok Arak meneguk kembali araknya. Kemudian
melanjutkan penuturannya.
"Tapi Chiu Tiong Thau memang pandai mengambil hati Te
Kun, sehingga Te Kun bersedia mengajarnya beberapa macam
ilmu silat tinggi. Dia memang jahat sekali. Secara diam-diam
dia meracuni Te Kun dan istrinya."
"Apakah anak Te Kun itu juga dicelakai Chiu Tong Thau?"
"Tidak."
"Tidak?"
"Karena Te Kun dan istrinya sedang menyelami inti ilmu silat
kitab Thay Ek Khie Su, maka anak mereka dititipkan pada Hai
Thian Tayhiap suami istri......"
"Bukankah Hai Thian Tayhiap tidak bisa punya anak?"
"Benar. Karena ketika sedang berlatih, tanpa sengaja Hai
Thian Tayhiap melukai bagian bawah tubuhnya, maka tidak
bisa punya anak. Sebab itu mereka suami istri memperlakukan
anak Te Kun bagaikan anak Te Kun bagaikan anak sendiri......"
"Berada di mana orang tersebut?"

Si Bongkok Arak dan Te Hang Kay sama-sama
memandangnya sejenak, setelah itu si Bongkok Arak
menggeleng-gelengkan kepala seraya berkata,
"Tidak begitu jelas."
"Setelah Chiu Tiong Thau meracuni Te Kun dan istrinya,
bukankah dia boleh mengangkat dirinya sebagai Te Kun
mengurusi Istana Dewa?"
Mendadak wajah si Bongkok Arak berubah menjadi penuh
emosi.
"Dia tidak berbuat begitu. Tapi entah dari mana dia
mengundang begitu banyak kaum golongan hitam. Dalam
waktu satu malam para anggota Istana Dewa dibantai habis.
Namun ada beberapa diantara mereka berhasil meloloskan diri.
Dia lalu menyalakan api membakar musnah Sin Kiong itu!"
Ciok Giok Yin berkertak gigi.
"Kalau aku tidak membunuh penjahat itu, aku bersumpah
tidak mau jadi orang!"
Si Bongkok Arak melanjutkan penuturannya.
"Kejadian itu justru diketahui oleh Sang Ting It Koay. Tapi tak
disangka Chiu Tiong Thau tidak memperdulikan suhunya itu.
Bahkan dia menghasut para pendekar mengeroyoknya, hingga
terluka parah di puncak Gunung Muh San. Bahkan dia pun
mencelakai Hai Thian Tayhiap suami istri."
Mendengar itu Ciok Giok Yin menengadahkan kepalanya
sambil berseru lantang.
"Suhu harus memberi petunjuk pada murid, agar murid
berhasil mencari Chiu Tiong Thau dan membasminya!"
Kemudian dia menatap si Bongkok Arak dan Te Hang Kay.
"Apakah lo cianpwee berdua pernah mendengar penjahat itu
ada di mana?"

Si Bongkok Arak menggelengkan kepala.
"Tiada jejaknya."
Mendadak pengemis Tua Te Hang Kay menyela.
"Hai Thian Tayhiap-Ciok Khie Goan mati di puncak Gunung
Muh San, tapi…...."
Dia tidak melanjutkan ucapannya, lalu melirik si Bongkok
Arak sejenak. Ciok Giok Yin tidak memperhatikannya, maka
segera bertanya.
"Bagaimana?"
"Nyonya Ciok tidak mati."
"Tidak mati?"
"Ya."
"Dia berada di mana sekarang?"
"Ini juga merupakan suatu teka-teki. Sebab selama belasan
tahun ini, dia sama sekali tidak pernah muncul."
"Bagaimana lo cianpwee tahu dia tidak mati?"
"Aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri ketika dia
jatuh ke dalam jurang. Aku segera turun ke bawah jurang,
namun tidak menemukan mayatnya, pertanda dia tidak mati."
Ciok Giok Yin tidak paham akan satu hal, maka segera
bertanya,
"Ada hubungan apa Chiu Tiong Thau dengan Hai Thian
Tayhiap-Ciok Khie Goan? Mengapa Chiu Tiong Thau
mencelakainya?"
Te Hang Kay menyahut.

"Nyonya Ciok Khie Goan adalah pendekar wanita yang amat
cantik, julukannya adalah Cah Hoa Siancu, bernama Cen Soat
Ngo. Sebelum Chiu Tiong Thau bergabung dengan Istana
Dewa, dia sudah jatuh hati pada Cen Soat Ngo, namun tahu
kepandaiannya masih rendah, maka tidak berani berbuat apaapa.
Setelah belajar dari Sang Ting It Koay, dan kemudian
ditambah beberapa macam ilmu silat dari Istana Dewa, barulah
dia turun tangan."
Ciok Giok Yin menghela nafas panjang.
"Apabila tidak menemukan anak itu, maka kelak tidak dapat
menyerahkan Seruling Perak dan kitab Cu Cian Padanya."
"Siau Kun sendiri harus berhasil menguasai ilmu silat tinggi.
Mengenai anak itu akan dibicarakan kelak."
"Tapi aku tidak berhak memiliki barang pusaka itu."
"Kau tidak perlu memperdulikan itu."
"Aku harus tahu diri."
"Sian Kun harus belajar, kaum rimba persilatan tidak berani
bilang apa-apa terhadap Siau Kun."
Mendadak Ciok Giok Yin merasa heran akan sebutan 'Sian
Kun' terhadap dirinya. Maka dia segera berkata, "Mengapa lo
cianpwee selalu memanggilku Siau Kun? Bolehkah lo cianpwee
menjelaskannya?"
"Tidak lama lagi kau akan mengetahuinya."
"Masih membutuhkan waktu berapa lama?"
"Tidak lama lagi." Si Bongkok Arak menatap Ciok Giok Yin.
"Siau Kun, bagaimana mengenai rahasia potongan kain itu?"
Wajah Ciok Giok Yin langsung barubah menjadi murung.

"Telah dicuri orang," sahutnya.
"Dicuri?"
"Ya."
"Siapa pencurinya?"
Ciok Giok Yin segera menutur tentang hilangnya potongan
kain itu. Si Bongkok Arak dan Te Hang Kay berkata serentak,
"Siau Kun, kita harus segera menyelidikinya. Biar bagaimana
pun potongan kain itu tidak boleh hilang, karena menyangkut
jejak Seruling Perak."
Air muka mereka berdua tampak tegang sekali.
"Harus cari ke mana?"
Memang dia sama sekali tidak melihat orang yang mencuri
potongan kain tersebut, lalu harus ke mana mencarinya?
"Sekarang kita harus berpencar mencari, ayo!" kata si
Bongkok Arak.
Dia memberi isyarat pada Te Hang Kay, lalu bersama-sama
melesat pergi. Di saat melesat Ciok Giok Yin teringat kembali
akan cerita si Bongkok Arak dan Te Hang Kay. Setelah berpikir
secara cermat, Ciok Giok Yin berkesimpulan bahwa mereka
berdua menyimpan suatu rahasia. Sebab setiap kali berkata
hingga pada pokoknya, mereka berdua pasti bilang tidak tahu.
Bukankah itu amat mengherankan sekali? Lagi pula mengapa
mereka berdua menuturkan cerita itu padanya? Apakah Sin
Kiong Te Kun Su Tek Thay Cu-Siangkoan Hua punya hubungan
dengan dirinya? Mendadak sebutan 'Siau Kun'? Tidak
meragukan lagi mereka berdua itu pasti orang Istana Dewa
yang berhasil meloloskan diri, kini sedang mencari Chiu Tiong
Thau penjahat itu.
Ketika teringat akan penuturan tentang Ciok Khie Goan suami

isteri, Ciok Giok Yin menghela nafas panjang sambil
menggeleng-gelengkan kepala. Setelah itu dia berpikir
lagi. Ciok Khie Goan suami isteri yang merawat anak itu.
Seharusnya anak tersebut berada di sisi mereka. Namun Te
Hang Kay justru mengatakan tidak melihatnya. Dulu ketika
Tiong Ciu Sin Ie menyelamatkan Ciok Giok Yin, juga di sebuah
lembah di gunung Muh San. Mungkinkah Ciok Khie Goan suami
isteri menyembunyikan dirinya di lembah itu? Kalau begitu
dirinya adalah keturunan Siangkoan Hua?
Seandainya demikian, Chiu Tiong Thau memang merupakan
musuh besar perguruan juga adalah musuh besar keluarganya.
Betapa dalamnya dendam itu! Berpikir sampai di situ, sepasang
mata Ciok Giok Yin tampak berapi-api. Rasanya ingin sekali
cepat-cepat membunuh Chiu Tiong Thau, barulah bisa reda
dendamnya itu. Mendadak terdengar suara bentakan gusar dan
menyusul suara 'Plak'. Ciok Giok Yin segera melesat ke arah
suara itu, lalu bersembunyi di balik sebuah batu besar.
Tampak seorang wanita berusia pertengahan, parasnya masih
tampak cantik, membuktikan ketika masih muda, dia pasti
cantik sekali. Di hadapannya berdiri seorang aneh. Begitu
melihat orang aneh itu, hawa amarah Ciok Giok Yin langsung
memuncak. Ternyata orang aneh itu yang memberinya obat
Cin Kang Ten. Tak disangka kini dia berada di sini menghadang
wanita berusia pertengahan tersebut. Ciok Giok Yin sudah mau
menyerang orang aneh itu, namun mendadak dibatalkannya.
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Silat Online : Seruling Perak Sepasang Walet 4 dan anda bisa menemukan artikel Cerita Silat Online : Seruling Perak Sepasang Walet 4 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cerita-silat-online-seruling-perak_8445.html?m=0,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Silat Online : Seruling Perak Sepasang Walet 4 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Silat Online : Seruling Perak Sepasang Walet 4 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Silat Online : Seruling Perak Sepasang Walet 4 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cerita-silat-online-seruling-perak_8445.html?m=0. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar