Cerita Silat Online : Seruling Perak Sepasang Walet 2

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Sabtu, 17 Desember 2011

"Nak, tahukah kau tentang asal-usulmu?"
Ciok Giok Yin menggelengkan kepala.
"Tidak tahu."
"Kelak kau harus pergi ke gunung Cong Lam San mencari Can
Hai It Kiam. Dia akan menyerahkan sepucuk surat padamu.
Setelah membaca surat itu, kau akan tahu sendiri."
"Dia akan menyerahkan padaku?"

"Kau harus bilang, Tiong Ciu Sin Ie yang suruhmu ke sana."
Sepasang biji mata Tiong Ciu Sin Ie berputar.
"Nak, nyawamu cuma tinggal enam hari." lanjutnya.
"Anak Yin sudah tahu itu."
Tiong Ciu Sin Ie mengerutkan kening.
"Kau tahu penyakitmu itu?" katanya heran.
Ciok Giok Yin mengangguk.
"Tahu."
"Bagus! Ilmu pengobatanku ada yang menerusinya."
Tiong Ciu Sin Ie mengeluarkan sebuah pipa perak yang amat
kecil, kemudian juga mengeluarkan dua batang jarum dan obat
koyok.
"Tancapkan pada saluran darahmu!"
Terkejut sekali Ciok Giok Yin mendengar itu, sebab dia mahir
ilmu pengobatan, berkata dengan suara bergetar.
"Kakek Tua, tidak boleh! Anak Yin tidak bisa...."
Wajah Tiong Ciu Sin Ie berubah dingin.
"Cepat tancapkan, tentunya kau punya alasan!" bentaknya
sengit.
Akan tetapi, Ciok Giok Yin tidak melakukan itu, karena dia
tahu Tiong Ciu Sin Ie akan menyalurkan darahnya, kalau
begitu, bukankah nyawa kakek tua itu akan melayang? Tiong
Ciu Sin Ie menatap Ciok Giok Yin dengan gusar, kemudian
mendadak menarik tangannya, sekaligus menancapkan pipa
kecil itu di lengannya. Setelah itu, sebelah ujung pipa kecil itu
juga ditancapkan pada lengannya sendiri.

"Apabila kau sudah merasa agak pusing, boleh mencabut pipa
kecil itu!" pesannya.
Jilid 05
Cara menyalurkan darah ini tidak boleh dibuat main-main,
sebab kalau kurang hati-hati, mereka berdua pasti celaka,
bahkan mungkin akan mati. Akan tetapi, di saat bersamaan,
terdengar suara siulan yang menyeramkan bergema
menembus angkasa, dan tak seberapa lama kemudian, tampak
sosok bayangan melayang turun di depan goa itu. Orang itu
tertawa seram,
"Bocah jahanam, kau sungguh berani membohongiku Tui
Beng Thian Cun! Aku akan mencincang kalian berdua!"
bentaknya.
Sepasang matanya menyorot bengis ke dalam goa, kemudian
dia berjalan ke dalam selangkah demi selangkah. Kini maut
mulai mendekati Tiong Ciu Sin Ie dan Ciok Giok Yin. Saat ini
sepasang mata Tiong Ciu Sin Ie berputar.
"Nak, kau cuma beristirahat saja! Segalanya ada aku,"
katanya rendah. Ciok Giok Yin tidak bisa bergerak dan
bersuara, namun hatinya amat berduka sekali. Sementara Tui
Beng Thian Cun tertawa seram lagi.
"Kalian berdua pasti mati!" katanya dengan suara parau.
Kini jarak mereka cuma satu depa lebih, sedangkan Tui Beng
Thian Cun sudah mengangkat sebelah tangannya.
"Kau bisa menyembuhkan satu orang, aku justru bisa
membunuhmu!"
Di saat Tui Beng Thian Cun baru mau melancarkan pukulan,
mendadak Tiong Ciu Sin Ie membentak keras.

"Iblis! Terimaalh pukulanku!"
Ternyata Tiong Ciu Sin Ie melancarkan sebuah pukulan ke
arah Tui Beng Thian Cun.
Plak!
Tui Beng Thian Cun sama sekali tidak menyangka, bahwa
dalam keadaan seperti itu Tiong Ciu Sin Ie masih mampu
melancarkan pukulan yang begitu dahsyat, otomatis
membuatnya termundur dua langkah. Sedangkan Tiong Ciu Sin
Ie juga mengucurkan keringat dingin, sebab kedua ujung pipa
kecil itu nyaris tercabut.
Tui Beng Thian Cun tertawa seram, dan mulai melangkah
maju, namun ketika dia baru mengangkat sebelah tangannya,
mendadak serangkum angin yang amat kuat dan tajam,
menerjang ke arah punggungnya. Apabila dia melancarkan
pukulannya ke arah Tiong Ciu Sin Ie, tentu dia juga akan
binasa oleh terjangan angin serangan itu. Demi
menyelamatkan nyawanya sendiri, maka dia terpaksa harus
berkelit ke samping, sehingga batal melancarkan pukulan
itu. Tui Beng Thian Cun membalikkan badannya, sepasang
matanya menyorot bengis menatap ke luar, namun tidak
tampak seorang pun di sana.
"Kalau punya kepandaian, cepat muncullah!"
Namun tiada tersahut. Di luar hanya terdengar suara desiran
angin. Karena itu, dia segera rnenghadap ke arah Tiong Ciu Sin
Ie, siap melancarkan pukulan. Namun ketika dia mengangkat
sebelah tangannya, mendadak terasa lagi ada serangkum angin
menerjang ke arah punggungnya. Bukan main terkejutnya Tui
Beng Thian Cun! Dia langsung melesat ke luar. Namun di luar
goa, dia tetap tidak melihat siapapun di sana. Tentunya saja
dia amat gusar, sehingga wajahnya yang seram itu bertambah
menyeramkan.
"Dasar kunyuk tak tahu diri!"
Mendadak tampak sosok bayangan merah melayang turun di

hadapan Tui Beng Thian Cun, dan terdengar pula suara
bentakan kasar.
"Dasar anjing kurap buta!"
Begitu melihat bayangan merah, seketika Tui Beng Thian Cun
berseru kaget.
"Heng Thian Ceng!"
"Tidak salah!"
"Kau berani turut campur urusanku?"
"Memang itu maksudku!"
"Siluman wanita, kau ingin cari daun muda?"
Ucapan itu sungguh menggusarkan Heng Thian Ceng,
sehingga wajahnya yang buruk itu bertambah buruk.
"Kau cari mati!" bentaknya.
Heng Tian Ceng melancarkan tiga pukulan. Bukan main
cepatnya! Tui Beng Thian Cun menangkis sekaligus balas
menyerang, maka terjadilah pertarungan yang amat seru dan
sengit. Mereka berdua merupakan tokoh dunia persilatan yang
berkepandaian amat tinggi. Angin pukulan mereka membuat
saju beterbangan bagaikan terhembus angin topan. Sementara
itu di dalam goa, wajah Tiong Ciu Sin Ie tampak semakin
kuning, nafasnya memburu dan kesadarannya mulai
kabur. Sedangkan wajah Ciok Giok Yin, makin lama makin
memerah.
Mendadak Ciok Giok Yin merasa pusing. Dia tahu bahwa
penyaluran darah itu telah cukup, maka cepat-cepat mencabut
pipa kecil itu, sekaligus menempelkan koyok pada bekas
tancapan pipa di lengannya. Namun ujung pipa kecil itu justru
masih mengucurkan darah. Hati Ciok Giok Yin tersentak. Dia
cepat-cepat mencabut ujung pipa yang menancap di lengan
Tiong Ciu Sin Ie, lalu menempelkan koyok pada bekas itu. Di

saat bersamaan, Tiong Ciu Sin Ie roboh. Seketika CiokGiok Yin
menangis meraung-raung, terus memanggil Tiong Ciu Sin Ie.
"Kakek Tua! Kakek Tua..." Suaranya amat memilukan.
Beberapa saat kemudian Tiong Ciu Sin Ie membuka matanya,
namun tampak suram sekali. Perlahan-lahan kakek tua itu
mengangkat sebelah tangannya, lalu membelainya sambil
tersenyum.
"Nak, tidak sia-sia aku membesarkanmu, akhirnya kau akan
berhasil menguasai ilmu silat tinggi keluarga Ciok kalian..."
"Kakek Tua, kenapa keluarga Ciok?" tanya Ciok Giok Yin
terisak-isak.
"Setelah kau berjumpa Can Hai It Kiam, pasti tahu!"
"Bolehkah Kakek Tua memberitahukan padaku?"
"Tidak boleh."
"Mengapa?"
"Tiada manfaatnya bagimu, sebaliknya malah akan
mencelakai dirimu. Kau... kau..."
Bibir Tiong Ciu Sin Ie mulai kaku. Menyaksikan itu, Ciok Giok
Yin sudah tahu apa yang akan terjadi. Maka dia langsung
menangis dengan air mata bercucuran.
"Kakek Tua! Kakek Tua tidak boleh pergi...."
Mendadak wajah Tiong Ciu Sin Ie tampak bercahaya,
pertanda ajalnya telah tiba.
"Nak, aku telah menyalurkan kecerdasanku melalui darahku
padamu. Kini kau memiliki dua kecerdasan, maka gampang
sekali bagimu belajar kungfu apapun."
Ketika Ciok Giok Yin ingin membuka mulut, Tiong Ciu Sin Ie

menggelengkan kepala agar dia diam.
"Kini aku cuma bisa memberitahukamu satu urusan,"
lanjutnya.
"Urusan apa?"
"Carilah Seruling Perak!"
"Seruling Perak?"
"Biar bagaimanapun, benda itu harus kau peroleh."
Untuk keempat kalinya Ciok Giok Yin mendengar tentang
Seruling Perak. Tentunya Seruling Perak tersebut bukan
merupakan benda biasa.
Karena hatinya terlampu berduka, maka Ciok Giok Yin lupa
bertanya, harus diserahkan kepada siapa kalau sudah
memperoleh Seruling Perak itu. Seandainya dia bertanya
demikian, tentu akan tahu asal usulnya. Tubuh Tiong Ciu Sin Ie
menggigil sebentar.
"Nak, di dalam bajuku terdapat beberapa obat, keluarkanlah!"
Dengan air mata bercucuran, Ciok Giok Yin mengeluarkan
obat-obat tersebut dari dalam baju Tiong Ciu Sin Ie.
"Semua itu merupakan obat mujarab, kau harus baik-baik
menyimpannya, agar dapat menolong orang lain. Terutama
obat Giok Ju (Susu Perak), itu merupakan obat yang paling
mujarab, kau harus simpan baik-baik!" kata kakek tua itu.
Ciok Giok Yin mengangguk, lalu memasukkan semua obat itu
ke dalam bajunya. Dia tahu bahwa Tiong Ciu Sin Ie sudah tiada
harapan lagi.
"Di daalm saku baju dalamku, terdapat secarik kertas. Pada
kertas ini tercantum Hong Lui Sam Ciang (Tiga Jurus Ilmu
Pukulan Angin Geledek), anggaplah hadiah dari kakek!" kata
kakek tua itu. Suaranya bertambah lemah.

"Hong Lui Sam Ciang?"
"Tidak salah, cepatlah kau ambil!"
Ciok Giok Yin menurut, dan segera merogoh ke dalam saku
baju dalam Tiong Ciu Sin Ie, mengeluarkan secarik kertas
kumal.
Di kertas kumal itu memang tercantum ketiga jurus ilmu
pukulan tersebut. Dia terus membaca karena hatinya amat
tertarik. Mendadak terdegar suara Tiong Ciu Sin Ie.
"Nak, kertas kumal itu kuperoleh dari orang yang tak kukenal.
Aku menyembuhkan lukanya, lalu dia menghadiahkan kertas
kumal itu padaku. Aku pernah mencoba mempelajarinya,
namun tidak berhasil, maka kusimpan baik-baik hingga saat
ini. Kau pernah makan buah Ginseng Daging, mungkin kau
akan berhasil menguasai Hong Lui Sam Ciang itu." Nafasnya
semakin memburu, maka dia beristirahat sejenak.
"Nak, Hong Lui Sam Ciang amat lihay dan dahsyat. Cobalah
kau berlatih sekarang, siapa tahu berguna bagimu!" lanjurnya.
Saat ini, luka dalam yang diderita Ciok Giok Yin telah sembuh,
begitu pula luka di bahunya. Bahkan lwee kangnya telah
bertambah tinggi. Itu karena dia memperoleh darah dari Tiong
Ciu Sin Ie, maka membuat lwee kangnya bertambah
tinggi. Ciok Giok Yin menurut, lalu bangkit berdiri dan mulai
berlatih Hong Lui Sam Ciang itu.
Jurus pertama Terbang!
Jurus kedua Terjang!
Jurus ketiga Menggelegar!
Kini kecerdasan Ciok Giok Yin melebihi orang biasa, namun
masih sulit baginya menyelami ketiga jurus itu. Sementara
Tiong Ciu Sin Ie memandang Ciok Giok Yin dengan penuh
harapan. Itu membuat hati Ciok Giok Yin tersentak, karena itu,
dia mulai berlatih jurus pertama. Begitu mulai berlatih, dia
merasa lwee kangnya terus mengalir. Demi menghibur Tiong
Ciu Sin Ie, Ciok Giok Yin mengeraskan hatinya. Mendadak

badannya mencelat ke atas lalu tampak bayangan berkelebatan
dan terdengar suara menderu-deru bagaikan suara angin
geledek.
Bum!
Daar!
Dinding goa itu hancur berantakan, sehingga menimbulkan
debu beterbangan. Selanjutnya Ciok Giok Yin mulai berlatih
jurus kedua. Itu membuat darahnya seakan terbalik dan
matanya menjadi berkunang-kunang. Di saat itulah mendadak
Tiong Ciu Sin Ie tertawa terbahak-bahak, namun suara
tawanya makin lama makin lemah, kemudian berkata terputusputus.
"Nak... aku... aku... sudah... lega...."
Bibinya masih bergerak, tapi sudah tidak mengeluarkan suara
lagi. Akhirnya bibirnya tidak bergerak sama sekali, ternyata
nafasnya telah putus. Tiong Ciu Sin Ie yang hidupnya cuma
mengobati orang, akhirnya justru harus mati begitu
mengenaskan. Namun dia merasa puas, karena terakhir masih
dapat menolong Ciok Giok Yin. Ciok Giok Yin Iangsung
menangis meraung-raung, dan tak lama air matanya mulai
berubah menjadi kemerah-merahan. untuk kedua kalinya dia
menangis hingga mengeluarkan air mata darah. Sesungguhnya
Tiong Ciu Sin Ie masih ingin menyaksikan jurus kedua yang
dilatih Ciok Giok Yin, tapi kondisi badannya sudah tak
mengijinkannya. Meskipun begitu, dia tetap merasa puas
karena Ciok Giok Yin telah menguasai jurus pertama.
"Kakek Tua! Kakek Tua...."
Ciok Giok Yin terus menangis sambil meratap memanggil
Tiong Ciu Sin Ie. Akan tetapi, Tiong Ciu Sin Ie sudah tidak
mendengar lagi, karena dia sudah meninggal. Di saat
bersamaan, mendadak terdengar suara desiran angin, dan
berkelebat sosok bayangan wanita ke dalam goa. Wanita itu
berambut panjang, namun wajahnya sangat buruk. Siapa

wanita berambut panjang buruk rupa itu? Tidak lain adalah Yap
Ti Hui. Berselang sesaat, barulah dia berkata dengan dingin.
"Kalaupun kau menangis hingga mati tetap tiada gunanya!
Kini musuh besar berada di depan mata, lebih baik kau cepatcepat
menguburnya, kemudian membalas dendamnya!"
Ciok Giok Yin langsung berhenti menangis.
"Terima kasih atas petunjuk Nona," katanya.
Ciok Giok Yin segera menggali sebuah lubang, lalu mengubur
mayat Tiong Ciu Sin Ie. Setelah itu dia bersujud di hadapan
kuburan itu dengan air mata bercucuran.
"Kakek Tua, Anak Yin pasti membalas dendammu."
Sepasang mata Ciok Giok Yin membara. Tiba-tiba dia bersiul
panjang, kemudian melesat ke luar. Sedangkan Yap Ti Hui
sudah tidak kelihatan. Namun dia melihat Heng Thian Ceng dan
Tui Beng Thian Cun berada di tempat puluhan depa. Kedua
orang itu berdiri berhadapan dengan tangan dijulurkan ke
depan. Ciok Giok Yin tahu, mereka berdua sedang mengadu
lwee kang. Cara bertarung seperti itu, sungguh amat bahaya
sekali. Sebab siapa yang mengendurkan lwee kangnya, pasti
akan mati seketika. Ciok Giok Yin memang telah berjumpa
Heng Thian Ceng beberapa kali, tapi dia tidak menghendaki
Heng Thian Ceng yang membunuh Tui Beng Thaln Cun. Biar
bagaimanapun, Tui Beng Thian Cun harus mati di tangannya,
agar Tiong Ciu Sin Ie dapat tenang di alam baka. Oleh karena
itu, dia menggeram sambil melesat ke tempat itu. Tanpa
menghiraukan Heng Thian Ceng dia akan menerjang ke arah
Tui Beng Thian Cun.
"Iblis Tua! Serahkan nyawamu!" bentaknya.
Ciok Giok Yin menyerang Tui Beng Thian Cun dengan ilmu
pukulan Soan Hong Ciang. Sementara Tui Beng Thian Cun
masih mengadu lwee kang dengan Heng Thian Ceng. Apabila
ditambah Ciok Giok Yin, bukankah.... Akan tetapi, Tui Beng
Thian Cun yang sudah berpengalaman, masih sempat berkelit

ke samping.
"Song Hong Ciang!" serunya.
"Tidak salah! Ternyata matamu belum buta!"
Kehadiran Ciok Giok Yin yang mendadak, membuat Tui Beng
Thian Cun dan Heng Thian Ceng berhenti mengadu lwee kang.
Wajah Tui Beng Thian Cun penuh diliputi hawa membunuh.
"Apa hubunganmu dengan Sang Ting It Koay?" bentaknya.
"Beliau adalah suhuku!"
"Bagus! Lohu akan menghabisimu!"
Dia langsung menerjang ke depan. Tentunya Tui Beng Thian
Cun punya dendam terhadap Sang Ting It Koay. Kalau tidak,
bagaimana mungkin iblis tua itu melancarkan pukulan yang
begitu dahsyat terhadap Ciok Giok Yin? Serangkum angin
pukulan yang amat dahsyat menerjang ke arah Ciok Giok Yin.
Di saat bersamaan, terdengar pual suara bentakan.
"Berhenti!"
Ternyata Heng Thian Ceng yang membentak. Dengan wajah
penuh kegusaran dia menatap Ciok Giok Yin.
"Bocah! Kau mau cari mampus?"
Bentakan itu membuat sifat aneh Ciok Giok Yin timbul.
"Apa maksud lo cianpwee?" sahutnya dingin.
"Kau tidak tahu peraturan rimba persilatan?"
"Peraturan apa?"
"Aku sedang bertarung dengannya, ada hubungan apa
denganmu?"

"Aku harus menuntut balas dendam Tiong Ciu Sin Ie, apakah
aku tidak boleh turun tangan?"
"Kau mau menuntut balas juga harus beritahukan!"
"Mengapa?"
"Kau tahu kok masih bertanya?"
Ciok Giok Yin kebingungan, sama sekali tidak tahu akan
maksud Heng Thian Ceng. Begitu pula Tui Beng Thian Cun,
maka dia berdiri termangu-mangu sambil menatap Heng Thian
Ceng. Namun dalam hatinya, justru berharap mereka berdua
bertarung. Tentunya yang akan memperoleh keuntungan
adalah dirinya. Maka tidak mengherankan kalau hatinya terasa
girang. Sedangkan Heng Thian Ceng membentak algi.
"Bocah, aku sedang bertarung dengan iblis tua itu, tapi secara
mendadak kau turut campur! Bukankah iblis tua itu akan
mengatakan kita berdua mengeroyoknya?" Dia berhenti
sejenak, namun sepasang mataya menyorot bengis sekali.
"Kalau begitu, menangpun akan menanggung rasa malu!
Cepatlah kau enyah dari sini!" lanjutnya.
Kini musuh besar berada di depan mata, bagaimana mungkin
Ciok Giok Yin membiarkan Heng Thian Ceng turun tangan
terhadap musuh besarnya itu? Dia segera memberi hormat
pada Heng Thian Ceng seraya berkata angkuh.
"Harap lo cianpwee mundur dulu! Biar aku seorang diri
menghadapi iblis tua itu."
Hong Thian Ceng tertegun.
Dia boleh dikatakan seorang wanita iblis yang membunuh
orang tanpa mengedipkan mata. Selama ini belum pernah
mendengar perkataan orang, dan juga belum pernah ada orang
berbicara demikian padanya. Akan tetapi, sejak melihat Ciok
Giok Yin, justru membuatnya tidak tahu harus

bagaimana. Karena itu, setelah tertegun sejeak, dia manggukmangguk
sambil melangkah ke belakang. Bukan main kesalnya
Tui Beng Thian Cun! Sebab perhitungannya telah keliru, lagi
pual dia tidak menyangka Heng Thaln Ceng akan menurut
perkataan Ciok Giok Yin, itu sungguh diluar dugaan! Namun,
diapun berlega hati, karena tidak usah bertarung dengan Heng
Thian Ceng.
Sedangkan Ciok Giok Yin masih begitu muda. Seandainya
berkepandaian tinggi, juga tidak akan menyamai
kepandaiannya. Yakni, hanya dengan satu pukulan, pemuda itu
pasti tergeletak tak bernyawa. Setelah itu, barulah menghadapi
Heng Thian Ceng. Demikian pikir Tui Beng Thian Cun. Karena
itu, dia tertawa terkekeh-kekeh sambil menatap Ciok Giok
Yin. Sementara wajah Ciok Giok Yin sudah diliputi hawa
membunuh, sepasang matanya menyorot tajam penuh
dendam.
"Iblis Tua, serahkan nyawamu!" bentaknya.
Ciok Giok Yin langsung bergerak. Angin pukulannya menderuderu
menerjang ke arah Ciok Giok Yin. Dia harus membalas
dendam Tiong Ciu Sin Ie, dan kegusaran otomatis membuat
pukulannya bertambah dahsyat. Tui Beng Thian Cun berkelit
dan dalam waktu sekejap, dia sudah balas menyerang dengan
tiga pukulan. Bukan main dahsyatnya ketiga pukulannya!
Pesilat tinggi manapun tidak akan mampu menyambut ketiga
pukulan itu.
Namun Ciok Giok Yin telah menerima saluran hawa murni dari
Phing Phiauw Khek, dan menerima darah dari Tiong Ciu Sin Ie.
Maka membuat lwee kangnya bertambah tinggi dan
kecerdasannya berlipat ganda. Karena itu, dia berhasil
mengelak ketiga pukulan yang dilancarkan Tui Beng Thian
Cun. Setelah itu, dia menyerang dengan dahsyat sekali,
bahkan hawa pukulan semakin panas, sehingga membuat salju
yang ada di sekitarnya langsung mencair.
Dapat dibayangkan, betapa terkejutnya Tui Beng Thian Cun,
dan timbul pula rasa gentarnya. Dia sama sekali tidak
menyangka, Ciok Giok Yin yang belum berusia dua puluh justru

memiliki lwee kang dan kungfu yang begitu tinggi. Mulailah Tui
Beng Thian Cun bertarung dengan hati-hati sekali, tidak berani
meremehkan Ciok Giok Yin lagi.
Ciok Giok Yin yang ingin membalas dendam Tiong Ciu Sin Ie,
semakin dahsyat melancarkan seranganserangannya.
Mendadak pukulan yang dilancarkannya berubah
seketika. Badannya mencelat ke atas dan tampak bayangannya
berkelebatan, begitu pula pukulannya, menderu-deru tak hentihentinya.
Ternyata dia mengeluarkan jurus pertama Terbang
dari ilmu pukulan Hong Lui Sam Ciang. Terdengar suara jeritan
yang menyayat hati. Tampak badan Tui Beng Thian Cun
terpental ke atas, kemudian meluncur ke dalam rimba. Setelah
mengeluarkan jurus itu, Ciok Giok Yin merasa hawa darahnya
bergolak. Ketika melihat Tui Beng Thian Cun kabur, dia
langsung membentak.
"Iblis tua, mau kabur ke mana?"
Badannya bergerak melesat ke dalam rimba mengejar Tui
Beng Thian Cun. Akan tetapi, mendadak dua rangkum angin
yang amat kuat menerjang ke arahnya, dan di saat bersamaan,
terdengar pula suara yang amat dingin.
"Bocah, kali ini kau pasti mampus!"
Ciok Giok Yin segera berkelit, sekaligus membalikkan
badannya. Ternyata Tong Cu perkumpulan Sang Yen Hwee dan
Ciu Kah.
Begitu melihat kedua orang itu, sepasang mata Ciok Giok Yin
langsung membara, dan berkertak gigi hingga berbunyi
gemeletuk.
Tong Cu perkumpulan Sang Yen Hwee menyorot bengis dan
dingin, tertawa terkekeh-kekeh seraya berkata.
"Ciok Giok Yin, sebelum kau mati, kuberitahukan dulu bahwa
aku adalah Tok Tiong Tong Cu dari perkumpulan Sang Yen
Hwee, agar kau dapat melapor pada raja akhirat!"
Usai berkata, Tok Tiong Cu maju beberapa langkah. Namun,
Ciu Kah segera menjura seraya berkata.

"Tong Cu, biar aku yang membereskan bocah ini!"
Tok Tiong Tong Cu mengangguk, lalu menggeser ke samping.
Ciu Kah segera maju ke hadapan Ciok Giok Yin.
"Ciok Giok Yin, cepat serahkan Seruling Perak, aku akan
bermohon pada Tong Cu agar mengampuni nyawamu!"
bentaknya.
Ciok Giok Yin amat mendendam pada Sang Yen Hwee. Maka
ketika mendengar bentakan Ciu Kah itu, kegusarannya makin
memuncak.
"Siapa akan mengampuni nyawa anjingmu itu?" bentaknya.
Dia langsung menyerang Ciu Kah dengan sengit. Ciu Kah
mendengus.
"Hmm! Cari mati!"
Dia juga melancarkan sebuah pukulan.
Plak!
Terdengar suara benturan pukulan, masing-masing terpental
ke belakang satu langkah. Kemudian kedua-duanya maju lagi,
maka terjadi pertarungan yang amat seru. Ciok Giok Yin yang
amat dendam pada Sang Yen Hwee, mendadak mengeluarkan
jurus pertama ‘Terbang’ dari ilmu pukulan Hong Lui Sam Ciang.
Terdengar suara jeritan, dan darah pun tampak
muncrat. Ternyata kepala Ciu Kah telah hancur, dan nyawanya
pun melayang.
Ciok Giok Yin tertegun. Dia tidak menyangka jurus itu begitu
dahsyat. Lalu bagaimana kedahsyatan jurus kedua dan jurus
ketiga? Tentunya jauh lebih dahsyat dari jurus pertama itu. Di
saat Ciok Giok Yin tertegun, tiba-tiba di depan dan di
belakangnya terdengar suara seruan kaget.

"Hong Lui Sam Ciang!"
Tampak bayangan Heng Thian Ceng berkelebat ke hadapan
Ciok Giok Yin. Wajahnya yang buruk kelihatan amat
menakutkan.
"Kau murid Kui Mo (Setan Iblis)?" bentaknya.
"Ada hubungan apa kau dengan Kui Mo?" sambung Tok Tiong
Tong Cu. Seketika suasana di tempat itu berubah menjadi
tenang mencekam. Kelihatannya apabila Ciok Giok Yin salah
menjawab, Heng Thian Ceng dan Tok Tiong Tong Cu pasti akan
menghadapinya. Namun tiba-tiba hati Ciok Giok Yin tergerak.
"Mohon lo cianpwee bersabar sebentar, aku pasti
memberitahukan!" sahut Ciok Giok Yin.
"Bocah! Kau jangan macam-macam!" bentak Heng Thian
Ceng.
"Lo cianpwee harap berlega hati, aku tidak akan macammacam!"
Heng Thian Ceng mendengus.
"Hmm! Bagaimana kau berani macam-macam terhadapku?"
Dia mundur beberapa langkah, lalu berdiri di situ.
"Kau dan Kui Mo ada hubungan apa?" bentak Tok Tiong Tong
Cu.
"Hubungan akan amat dalam."
"Katakan!"
"Kalau aku tidak mau mengatakannya, kau berani berbuat
apa?"
Tok Tiong Tong Cu mendengus dingin.

"Hm! aku akan membuatmu mampus!"
"Mampukah kau?"
Ciok Giok Yin telah membunuh Ciu Kah dengan jurus pertama
itu, maka kini dia bertambah percaya diri. Apabila dia
mengeluarkan jurus kedua dan jurus ketiga, Tok Tiong Tong Cu
pasti mati! Dia amat membenci Tok Tiong Tong Cu, karena
orang itu pernah memanahnya hingga membuat nyawanya
nyaris melayang. Kalau tidak secara kebetulan bertemu Tiong
Ciu Sin Ie, mungkin dia tiada harapan untuk hidup
terus. Sementara kegusaran Tok Tiong Tong Cu sudah
memuncak.
"Dalam tiga jurus, aku akan suruh kau mampus secara
mengenaskan!" katanya sepatah demi sepatah. Dia langsung
menyerang Ciok Ciok Yin.
Ciok Giok Yin pernah merasakan kelihayan pukulan Tok Tiong
Tong Cu, maka cepat-cepat berkelit. Akan tetapi, walau dia
bergerak cepat, pihak lawan bergerak lebih cepat. Ketika dia
berkelit, Tong Cu itu melancarkan beberapa pukulan dahsyat
lagi ke arahnya. Justru di saat bersamaan, Ciok Giok Yin
mengeluarkan jurus pertama Terbang dari ilmu pukulan Hong
Lui Sam Ciang. Tok Tiong Tong Cu tahu akan kelihayan ilmu
pukulan itu, maka dia tidak berani menyambutnya, melainkan
berkelit. Tapi angin pukulan itu masih berhasil menyambar ular
kecil yang melingkar di lengannya. Bukan main terkejutnya Tok
Tiong Tong Cu, sehingga membuatnya mengucurkan keringat
dingin. Mendadak Tok Tiong Tong Cu bersiul pendek. Ular kecil
itu, langsung meluncur. Ciok Giok Yin yang belum
berpengalaman, sama sekali tidak menyangka Tok Tiong Tong
Cu akan menyerangnya dengan ular kecil. Dia ingin berkelit,
tapi terlambat, karena ular kecil itu telah berhasil menggigit
pahanya.
Seketika dia merasa separuh badannya kesemutan, akhirnya
roboh di tanah. Tok Tiong Tong Cu tertawa terkekeh-kekeh. Dia
mengangkat sebelah tangannya siap menghantam Ciok Giok
Yin.
Namun mendadak terdengar suara bentakan gusar.

"Kau berani?"
Ternyata Heng Thian Ceng telah melancarkan sebuah pukulan
ke arah Tok Tiong Tong Cu, sedangkan sebelah tangan lagi
melancarkan sebuah pukulan ke arah ular kecil yang menggigit
paha Ciok Giok Yin.
Plak!
Terdengar suara benturan, dan seketika itu juga tampak Heng
Thian Ceng terhuyung-huyung ke belakang. Sedangkan tangan
Tok Tiong Tong Cu tetap di arahkan pada Ciok Giok Yin,
kelihatannya Ciok Giok Yin akan mati di bawah tangan Tok
Tiong Tong Cu, namun mendadak terdengar suara cacian yang
amat dingin.
"Jadah! Sialan! Jahanam! Siapa yang sedang berkelahi?"
Dalam waktu bersamaan, muncul pula seseorang berpakaian
compang-camping tidak karuan, ternyata seorang tua bongkok
yang amat aneh. Di punggung orang tua itu bergantung sebuah
guci arak yang amat besar, namun gerakannya amat cepat
sekali, tahu-tahu sudah sampai di tempat itu. Tidak terlihat
orang tua bongkok itu turun tangan, tapi terdengar Tok Tiong
Tong Cu menjerit dan terhuyung-huyung ke belakang beberapa
langkah.
Bukan main gusarnya Tok Tiong Tong Cu!
"Siapa kau?" bentaknya.
Orang tua bongkok menoleh memandang Heng Thian Ceng.
"Dia berkata pada siapa?" katanya dengan mata setengah
terpejam.
"Kau!" sahut Heng Thian Ceng.
"Berkata padaku?"
"Tidak salah!"

Orang tua bongok itu seperti baru terdengar, lalu berpaling
memandang Tok Tiong Tong Cu.
"Kau bertanya siapa aku?"
Tok Tiong Tong Cu adalah pesilat tinggi di perkumpulan Sang
Yen Hwee, namun tidak dapat melihat jelas bagaimana cara
orang tua bongkok turun tangan terhadap dirinya, itu
membuatnya amat gusar sekali.
"Tidak salah!" sahutnya dengan dingin.
"Tapi aku tidak mau memberitahukan padamu!"
"Kalau begitu, aku akan mencabut nyawamu!"
Sepasang mata orang tua bongkok berkedip-kedip.
"Kau telah mengagetkan mimpi indahku, aku masih belum
membuat perhitungan denganmu, sebaliknya kau malah ingin
mencabut nyawa tuaku ini! Baik, aku akan menghajarmu!"
Entah bagaimana cara namun tua bongkok itu bergerak,
tahu-tahu sudah terdengar suara.
Plak! Plak!
Ternyata pipi Tok Tiong Tong Cu telah ditampar dua kali,
membuatnya berkunang-kunang, bahkan mulutnya
menyemburkan darah segar. Sedangkan orang tua bongkok
tetap berdiri di tempat semula.
"Hari ini aku orang tua tidak mau membunuh orang, cepatlah
kau enyah!" katanya.
Sepasang mata Tok Tiong Tong Cu menyorot bengis dan
penuh dendam.
"Sampai jumpa!" ucapnya.

Kemudian dia bersiul pendek, dan ular kecil itu langsung
meluncur ke arah lengannya. Setelah itu, barulah Tok Tiong
Tong Cu melesat pergi. Orang tua bongkok sama sekali tidak
menghiraukannya, melainkan mendekati Ciok Giok Yin yang
duduk di tanah, kemudian mengambil guci arak di
punggungnya, sekaligus meneguk beberapa kali.
"Kruk! Kruk! Kruk...."
Setelah itu, dia memandang Ciok Giok Yin, seketika
mengeluarkan suara 'Ih' dan berkata.
"Kau seperti...." Dia menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak
mungkin." lanjutnya.
Orang tua bongkok menatap Ciok Giok Yin sejenak, lalu
membalikkan badannya dan berjalan pergi. Sebetulnya Heng
Thian Ceng ingin menghadangnya, tapi begitu melihat wajah
Ciok Giok Yin sudah berubah menjadi kuning, dia segera
mendekati pemuda itu seraya berkata.
"Bocah, kau telah digigit .oleh ular emas, maka harus cepatcepat
diobati."
Tentunya Ciok Giok Yin tahu bahwa ular emas itu amat
beracun. Akan tetapi bagaimana. mungkin dalam waktu singkat
dia bisa memperoleh bahan obat? Sebab dia hanya membawa
obat Ciak Kim Tan, sama sekali tidak membawa obat pemunah
racun. Namun apabila dalam waktu singkat tidak memperoleh
bahan-bahan obat tersebut, maka Ciok Giok Yin pasti mati
keracunan.
"Lo cianpwee, sekarang aku tidak bisa bergerak," kata Ciok
Giok Yin.
"Maksudmu?" - •
"Kalau badanku bergerak, racun akan lebih cepat menjalar ke
jantung, dan berarti tiada obat lagi."
"Lalu harus bagaimana?"

"Harus... harus...."
Ciok Giok Yin berkata terputus-putus, membuat Heng Thian
Ceng menjadi gusar sekali.
"Harus bagaimana? Cepat katakan!" bentaknya.
"Kalau lo cianpwee sudi membantu, tolong kempit diriku!
Dalam waktu satu jam harus berhasil mencari bahan obat
pemunah racun!" sahut Ciok Giok Yin.
Tanpa banyak berpikir, Heng Thian Ceng langsung
mengangguk.
"Baiklah."
Ketika Heng Thian Ceng baru ingin mengempit badan Ciok
Giok Yin, tiba-tiba berkelebat sosok bayangan putih ke tempat
itu dan, terdengar pula suara yang amat dingin.
"Tunggu!"
Ciok Giok Yin dan Heng Thian Ceng mendongakkan kepala.
Ternyata pendatang itu adalah Yap Ti Hui.
"Nona ada pesan apa?" tanya Ciok Giok Yin.
"Di mana peta Si Kauw Hap Liok Touwmu itu?"
"Nona ingin memiliki peta itu?"
"Memang ada maksud demikian!"
Ciok Giok Yin merogoh ke dalam bajunya untuk mengeluarkan
peta tersebut.
"Kuberikan padamu!" katanya sambil menyodorkan peta itu
kepada Yap Ti Hui. Sesungguhnya Ciok Giok Yin tidak
bermaksud memberikan peta tersebut pada Yap Ti Hui, sebab
peta itu pemberian Ho Siu Kouw. Lalu mengapa dia

menyodorkan peta itu? Ternyata dia akan menggunakan Sam
Yang Hui Kang menghancurkan peta itu di saat Yap Ti Hui
mengambilnya.
Akan tetapi Yap Ti Hui malah tertegun, sama sekali tidak
menjulurkan tangannya mengambil peta tersebut.
"Kau simpan saja! Padahal aku cuma ingin mencobamu,
sampai jumpa!" katanya lalu melesat pergi.
Sedangkan Heng Thian Ceng memandang Ciok Giok Yin
dengan heran.
"Bocah, kau kenal dia?" katanya dengan suara rendah.
"Pernah berjumpa dua kali."
"Kenapa dia tidak mau mengambil peta itu?"
"Entahlah. Aku tidak jelas."
Tiba-tiba wajah Heng Thian Ceng yang buruk itu tampak
aneh, sepertinya tersadar akan satu hal.
"Bocah, aku ingin bertanya padamu tentang sesuatu."
"Silakan, locianpwe!"
"Pernahkah kau mencintai seorang anak gadis?"
Wajah Ciok Giok Yin tampak kemerah-merahan.
"Ti... tidak pernah," sahutnya tersendat-sendat.
"Tidak benar!"
Ciok Giok Yin tercengang.
"Maksud lo cianpwee?" katanya sambil menatap Heng Thian
Ceng.

"Aku lihat gadis buruk rupa itu di wajahnya tidak tampak
perasaan apapun. Mungkin karena wajahnya telah dirias.
Tapi... dari sepasang matanya terlihat ada sedikit api
cemburu."
Saat ini maut sedang mengancam diri Ciok Giok Yin, maka
mana dia punya waktu untuk membicarakan hal tersebut?
"Lo cianpwee, tentang ini kita bicarakan kelak saja. Boleh
kan?"
Heng Thian Ceng tampak tersentak.
"Ah! Aku justru telah melupakan urusan penting."
Mendadak terdengar suara yang amat dingin di belakang
mereka.
"Dalam waktu satu jam, apakah kalian akan berhasil
menemukan bahan obat itu?"
Heng Thian Ceng ingin membalikkan badannya, tetapi
terdengar lagi suara yang amat dingin di belakangnya.
"Harap kau jangan membalikkan badan! Kalau tidak, begitu
tanganku bergerak, nyawamu pasti melayang!"
Bukan main terkejutnya Heng Thian Ceng, sebab terasa
sebuah tangan menekan jalan darah Leng Tay Hiatnya.
Sementara Ciok Giok Yin sudah tergeletak di tanah,
sepertinya telah ditotok jalan darahnya hingga pingsan.
Hal itu amat memalukan, sebab Heng Thian Ceng
berkecimpung di dunia persilatan sudah puluhan tahun, entah
sudah beberapa banyak orang yang dibunuhnya. Namun kali
ini, ada orang mendekatinya, dia justru tidak tahu sama sekali.
Dapat dibayangkan, betapa gusar dan penasarannya.
"Siapa kau?" katanya.

"Kau tidak perlu tahu!"
"Sebetulnya apa maksudmu berbuat begitu?"
"Hanya bermaksud baik, memberitahukan pada kalian bahwa
dalam jarak lima puluh mil tidak ada bahan obat untuk
memunahkan racun ular emas itu! Maka apabila ingin
memunahkan racun ular emas itu, hanya merupakan mimpi
belaka! Lagi pula dalam waktu satu jam kau tidak akan mampu
melesat sejauh lima puluh mil!"
"Kau terus nyerocos, bukankah secara tidak langsung telah
menyita waktu kami?" bentak Heng Thian Ceng.
"Tiada maksud demikian'!"
"Lalu kau mau apa?"
"Aku bisa memunahkan racun ular emas itu!"
"Tanpa pamrih atau punya maksud tertentu?"
Terdengar suara tawa cekikikan yang amat merdu dan sedap
di dengar, kemudian terdengar suara yang dingin.
"Kau berhati sempit, tidak tahu maksud baik orang!"
"Tapi, aku tidak percaya kata-katamu!"
"Bagaimana agar kau percaya?"
"Kalau kau bersedia memunahkan racun itu, tentunya dapat
dimulai dari sekarang! Kenapa kau harus bertindak
bersembunyi-sembunyi seakan takut terlihat orang?"
"Tentunya aku punya alasan."
"Apa alasanmu?"
"Tak dapat kukatakan!"

Suasana hening sejenak. Berselang sesaat, terdengar lagi
suara yang dingin.
"Dia terkena racun ular emas, aku pasti menyembuhkannya!"
Mendadak Heng Thian Ceng merasa punggungnya ringan. Dia
cepat-cepat membalikkan badannya. Dilihatnya sosok
bayangan mengempit Ciok Giok Yin melesat pergi laksana kilat
memasuki rimba, dan sekejap sudah hilang dari pandangan
Heng Thian Ceng.
"Mau lari kemana!" bentak Heng Thian Ceng.
Dia juga melesat ke dalam rimba mengejar bayangan itu,
namun bayangan itu sudah tidak kelihatan, itu membuat Heng
Thian Ceng penasaran sekali. Perlu diketahui, Heng Thian Ceng
malang melintang di dunia persilatan sudah puluhan tahun dan
amat ditakuti golongan putih maupun golongan hitam. Namun
kali ini dia betul-betul dipermalukan orang, sebab dia sama
sekali tidak dapat melihat wajah orang itu, bahkan orang itu
berhasil membawa pergi Ciok Giok Yin di depan hidungnya. Itu
sungguh membuatnya merasa malu! Saking kesal dan
penasarannya dia menghempaskan kakinya sehingga tanah
menjadi berlubang.
Wajahnya yang buruk saat ini tampak bertambah
buruk. Berselang sesaat, barulah dia melesat pergi. Sementara
itu, entah berapa lama kemudian, barulah Ciok Giok Yin siuman
dari pingsannya. Terdengar suara yang amat dingin di
belakangnya.
"Kini racun ular emas itu telah punah."
Ciok Giok Yin terbelalak ketika mendengar ucapan itu.
"Telah punah?"
"Tidak salah."
"Siapa kau?"

"Bok Tiong Jin (Orang Dalam Kuburan)."
Seketika Ciok Giok Yin merinding, dan hatinya berdebar-debar
tegang. Dia menengok ke kiri ke kanan. Akan tetapi karena
keadaan di tempat itu gelap gulita, pandangannya cuma
terbatas dalam satu depa.
Ketika dia ingin bangkit, mendadak terdengar suara yang
amat dingin.
"Duduk!"
Bukan main terkujurnya Ciok Giok Yin! Bulu kuduknya bangun
dan keringat dinginnya mengucur.
"Apakah aku sudah mati?"
"Kau tidak mati."
"Kalau begitu, bagaimana aku berada di dalam kuburan?"
"Ini malam hari, saatnya roh-roh berkeliaran. Aku melihat kau
tergigit oleh ular emas, maka aku menolongmu."
Seketika Ciok Giok Yin teringat akan Heng Thian Ceng. Di saat
mereka berdua sedang membicarakan bahan obat tiba-tiba dia
merasa pusing lalu pingsan.
Tidak disangka dia telah dibawa pergi oleh roh. Itu
membuatnya merinding.
"Aku berterima kasih atas pertolonganmu, yang telah
menyelamatkan nyawaku. Sekali lagi kuucapkan terima kasih."
Akan tetapi, terdengar sahutan dingin.
"Tidak usah berterima kasih."
"Kau punya suatu permintaan?"

Hening sejenak. Berselang sesaat, terdengar helaan nafas
panjang.
"Aaah! Aku ingin hatimu."
"Apa? Hati?"
Dapat dibayangkan, betapa terkejutnya Ciok Giok Yin. Bahkan
dia merasa takut dan seram, sebab roh wanita itu
menghendaki hatinya. Coba pikir, kalau hati orang dicukil ke
luar, apakah masih bisa hidup? Kalau begitu, roh wanita itu
suka makan hati orang....
Terdengar suara yang amat dingin itu.
"Kau berikan tidak?"
"Ini... itu... ini...."
"Apa ini dan itu?"
"Kalau begitu, kau menyelamatkan dengan maksud tertentu?"
"Betul."
"Maksudmu menginginkan hatiku?"
"Tidak salah dugaanmu."
Menghadapi maut, Ciok Giok Yin malah menjadi tenang.
"Kalau kau menginginkan hatiku, mengapa tidak kau ambil
ketika aku dalam keadaan pingsan?" tanya dengan dingin.
Terdengar sahutan dingin.
"Sebab aku menghendakimu menyerahkan padaku secara
rela."
Sekali timbul suatu pikiran dalam benak Ciok Giok Yin.

"Bolehkah kau perlihatkan dirimu?"
"Tidak bisa."
"Mengapa?"
"Karena kau orang hidup."
"Kalau hatiku dikeluarkan, bukankah akan sama sepertimu?
Tentunya sudah tidak terdapat perbedaan antara orang dengan
hantu lagi. Karena itu, sebelum aku mati, ingin berkenalan
denganmu."
"Tidak usah."
"Kalau begitu, kau betul-betul menginginkan hatiku?"
"Siapa bergurau denganmu?"
Ciok Giok Yin menghela napas panjang.
"Baiklah. Silakan ambil sendiri."
Dia memejamkan matanya, namun air matanya sudah
meleleh.
Ternyata dia teringat akan asal-usulnya yang belum jelas,
dendam gurunya dan lain sebagainya. Kalau kini harus mati,
bukankah segala-galanya ikut berakhir?
"Kau tidak rela?"
"Aku tidak bilang tidak rela."
"Kalau kau rela, mengapa kau menangis?"
"Ini adalah urusanku, sekarang kau boleh ambil hatiku."
"Sudah kubilang tadi, harus kau yang serahkan padaku."
"Aku tidak dapat melakukannya."

"Apa?"
"Kau jangan salah paham. Kalau aku mengambil hatiku
sendiri, pasti nyawaku akan hilang. Bagaimana mungkin aku
bisa menyerahkan hatiku? Maka kau yang harus mengambil
sendiri."
"Kau tidak usah memusingkan itu. Asal kau bersedia
membedah dadamu, aku bisa ambil sendiri. Tapi... harus kau
berikan dengan rela."
Ciok Giok Yin berkertak gigi.
"Baiklah! Kalau begitu, harap kau bersiap-siap!"
Ciok Giok Yin menggunakan kedua jarinya, menusuk ke arah
dadanya sendiri. Namun ketika kedua jarinya hampir
menyentuh dadanya, tiba-tiba tangannya terasa semutan,
sehingga tak kuat diangkat. Di saat bersamaan, terdengar
helaan nafas panjang.
"Aaah! Sungguhkah kau ingin berikan padaku?"
"Kau menyelamatkan nyawaku, aku serahkan hatiku padamu.
Itu berarti di antara kita sudah tiada hutang piutang lagi."
"Terus terang, hati yang kuinginkan itu, tiada bentuknya
sama sekali."
"Aku tidak mengerti."
"Aku adalah roh, seandainya hatimu kauserahkan padaku,
aku pun tidak dapat menjaganya."
Ciok Giok Yin menarik nafas dalam-dalam.
"Kalau begitu, harus bagaimana?"
"Apabila kau bersungguh-sungguh, selamanya memberikan
hatimu padaku Bok Tiong Jin, itu sudah cukup."

"Ohya, bolehkah aku melihatmu?"
"Boleh, tapi sekarang belum waktunya."
"Kapan waktunya?"
"Sulit dikatakan."
"Kalau sekarang kau tidak perlihatkan dirimu, bagaimana
kalau kelak aku bertemu denganmu? Bukankah aku akan sulit.
"Tentang ini akan kuberitahukan padamu. Dia berhenti
sejenak. "Sekarang..... kau boleh pergi!" lanjutnya.
"Terima kasih!"
Ciok Giok Yin bangkit berdiri. Namun ketika baru mau
melangkah, mendadak Bok Tiong Jin berkata dengan dingin.
"Berhenti!"
Sesungguhnya Ciok Giok Yin ingin cepat-cepat meninggalkan
tempat yang amat menyeramkan ini, tapi ketika Bok Tiong Jin
menyuruhkan berhenti, dia pun langsung berhenti. Dia tahu
Bok Tiong Jin berada di belakangnya, tapi dia tidak berani
membalikkan badannya. Ternyata ketika Ciok Giok Yin masih
kecil, kakek tua berjenggot putih pernah bercerita padanya,
bahwa hantu wanita amat menyeramkan, berambut panjang,
lidahnya panjang terjulur keluar dan sepasang matanya
melotot. Karena itu, dia tidak berani menoleh ke
belakang. Teringat akan cerita itu, bulu kuduknya menjadi
bangun. Memang menggelikan, dia berkepandaian tinggi,
namun masih merasa takut terhadap hantu wanita.
"Kau harus ingat, hatimu telah diserahkan padaku!" kata Bok
Tiong Jin.
"Aku... aku... tidak akan lupa," sahut Ciok Jin dengan suara
agak gemetar.

Di saat bersamaan, dia melihat sosok bayangan berambut
putih berkelebat, tapi dalam sekejap sudah menghilang.
"Hantu wanita!" serunya tanpa sadar sambil melesat ke luar.
Setelah itu dia memandang ke depan, ternyata di hadapannya
terdapat sebuah kuburan.
Bukan main takutnya Ciok Giok Yin. Dia segera melesat pergi
laksana terbang. Berselang beberapa saat kemudian, barulah
berhenti. Dia menoleh ke belakang, lalu menarik nafas lega
karena dia telah meninggalkan tempat yang
menyeramkan. Kini dia berjalan agak santai, justru mendadak
jauh di depan terdengar suara rintihan. Ciok Giok Yin
tersentak. Bersamaan itu, terngiang pula di telinganya suara
yang tak dapat dilupakannya.
"Anak Yin, belajar ilmu pengobatan, harus didasari sikap
gemar menolong. Meskipun orang jahat, kalau memerlukan
pertolongan, harus kau tolong. Kalau kau berpegang teguh
pada dasar itu, citra ilmu pengobatan tidak akan rusak."
Ini adalah pesan dari Tiong Ciu Sin Ie. Teringat akan pesan
tersebut, maka Ciok Giok Yin segera melesat ke arah suara
rintihan itu. Dalam sekejap dia sudah sampai di tempat suara
rintihan itu. Dilihatnya seorang pemuda tergeletak di bawah
pohon dengan tubuh berlumuran darah. Pemuda itu amat
tampan, namun wajahnya pucat pias lantaran terluka dalam
yang amat parah. Nafasnya sudah lemah, namun masih
mengeluarkan suara rintihan.
Ciok Giok Yin membungkukkan badannya untuk memeriksa
bagian dada pemuda itu, lalu memanggilnya.
"Saudara! Saudara!"
Walau sudah memanggil dua kali. Namun pemuda itu tetap
tidak membuka matanya. Ciok Giok Yin cepat-cepat memeriksa
nadinya. Setelah itu dia menggeleng-gelengkan kepala.
"Jantungnya telah hancur, dewapun sulit menolongnya,"
gumamnya. Ciok Giok Yin menatapnya dengan iba, sambil

berkata dalam hati. 'Aku memang tidak sanggup
menyelamatkan nyawanya, namun paling tidak aku harus
membuatnya siuman, agar tahu asal-usulnya. Kalau tidak, dia
pasti mati penasaran.' Karena itu, Ciok Giok Yin terus
memanggil pemuda tersebut.
"Saudara! Saudara!"
Beberapa saat kemudian pemuda itu membuka sepasang
matanya, namun sudah suram sekali. Bibirnya bergerak seakan
ingin mengatakan sesuatu, namun ia segera mencegahnya.
"Kau harus menghimpun hawa murni sejenak, setelah itu
barulah bicara!"
Ciok Giok Yin menatapnya, kemudian melanjutkan.
"Aku mengerti sedikit ilmu pengobatan, akan berusaha
mengobatimu."
Ciok Giok Yin adalah penerus ilmu pengobatan Tiong Ciu Sin
Ie, tentu tahu bagaimana menghadapi orang sakit yang sudah
sekarat. Maka, dia menghibur pemuda itu agar bisa
tenang. Akan tetapi, pemuda itu malah tersenyum getir.
"Te..., terima kasih... atas maksud baikmu, jantungku...
telah... hancur... tiada obatnya lagi..." katanya sangat lemah.
"Aku akan mencobanya."
Pemuda itu tersenyum getir lagi.
"Nama Anda?"
"Namaku Ciok Giok Yin."
"Kaukah orangnya yang telah menggemparkan rimba
persilatan belum lama ini, bersama Heng Thian Ceng
memperoleh Seruling Perak itu?"
"Aku memang Ciok Giok Yin. Namun mengenai kabar berita

tentang diriku dan Heng Thian Ceng telah memperoleh Seruling
Perak, sesungguhnya itu tidak benar. Aku dan Heng Thian Ceng
sama sekali tidak pernah melihat Seruling Perak tersebut."
Pemuda itu manggut-manggut.
"Aku percaya."
"Ohya, siapa nama Saudara?"
Pemuda itu menarik nafasnya dalam-dalam.
"Namaku But It Coan, tahun ini berusia dua puluh lima."
"Saudara Bun, perlukah bantuanku?"
Bun It Coan berpikir sejenak.
"Aku lebih besar, harus memanggilmu adik."
"Kakak Bun, kau ingin mengatakan apa, katakan saja!"
Bun It Coan menghela nafas panjang. Beberapa saat
kemudian barulah dia berkata perlahan-lahan.
"Tiga tahun yang lalu, aku mulai berkelana di dunia
persilatan. Karena kurang berpengalaman, maka aku
bergabung dengan perkumpulan Sang Yen Hwee. Setelah aku
tahu latar belakang perkumpulan itu, aku ingin melepaskan
diri, tapi sudah terlambat."
"Maksudmu?"
"Ketua perkumpulan Sang Yen Hwee punya anak perempuan
kembar, yang tua bernama Lan Lan dan adiknya bernama Hui
Hui. Lan Lan menikah denganku, sedangkan Hui Hui belum
menikah. Lan Lan bersifat jalang dan amat licik...."
Bun It Coan batuk-batuk beberapa kali, setelah itu baru
lanjutkan penuturannya.

"Dia melihatku selalu menentang ayahnya, dan tahu bahwa
aku berniat kabur. Maka dia menaruh racun pada makanan.
Karena kurang waspada, aku menyantap makanan tersebut.
Ketika aku tahu, racun telah menjalar ke jantungku. Meskipun
begitu, aku tetap mencari tabib terkenal untuk mengobatiku.
Karena itu, aku melarikan diri. Tapi aku dikejar oleh seorang
yang memakai kain penutup muka, dan aku terkena
pukulannya. Kalau ginkangku tidak tinggi, mungkin aku sulit
kabur."
Mendengar itu, sepasang mata Ciok Giok Yin langsung
membara, berkertak gigi seraya berkata.
"Kakak Bun, aku bersumpah akan menuntut balas
dendammu! Ohya, siapa nama ketua perkumpulan Sang Yen
Hwee?"
"Adik..." Bun It Coan menggeleng-gelengkan kepala. "Aku
sungguh tak berguna! Dalam tiga tahun itu, aku tidak pernah
melihat ketua perkumpulan itu, bahkan tidak tahu mereka
bermarga apa."
"Apakah Lan Lan tidak pernah memberitahukan padamu?"
"Wanita jalang itu, hatinya amat jahat. Bagaimana mungkin
dia akan memberitahukan padaku? Yang baik hati adalah Hui
Hui. Entah sudah berapa kali dia menyuruhku pergi, tapi dia
takut, maka tidak berani banyak bicara padaku." Bun It Coan
menatap Ciok Giok Yin dengan mata suram. "Adik, kau... kau
harus menuntut balas dendamku!" lanjutnya dengan perlahanlahan.
Ciok Giok Yin berkertak gigi.
"Legakanlah hatimu, aku pasti tidak akan melepaskan semua
orang perkumpulan Sang Yen Hwee, aku pasti membasmi
mereka semua!" katanya berjanji.
Bun It Coan tersenyum tenang.
"Sebelum aku mati, bisa mendapatkan seorang teman sejati,

aku... aku pasti mati dengan mata terpejam...."
Usai berkata begitu, Bun It Coan memejamkan matanya. Ciok
Giok Yin mulai menangis sedih.
"Toako! Toako!" teriaknya memanggil Bun It Coan.
Bun It Coan membuka matanya perlahan-lahan.
"Adik, tolong ambilkan cincinku di dalam baju."
Ciok Giok Yin mengangguk dengan air mata bercucuran, lalu
merogoh ke dalam baju Bun It Coan, mengeluarkan sebuah
cincin.
"Toako, cincin ini?"
Bun It Coan manggut-manggut, kemudian menatap cincin
yang gemerlapan itu.
Tak lama, air matanya pun meleleh.
"Adik, simpanlah baik-baik cincin ini! Bawalah cincin ini ke
Liok Bun (Pintu Hijau), temui ayahku dan mohon padanya
ajarkan kungfu tinggi padamu, agar kau dapat menuntut balas
dendamku!"
"Toako, aku pasti ke sana memberitahukan pada orang
tuamu."
Bun It Coan menggelengkan kepala.
"Adik, ayahku pernah mengalami pukulan batin yang amat
berat. Kau... kau jangan... memberitahukan..." katanya
terputus-putus kemudian berhenti di tengah kalimat.
Sepasang matanya mendelik, ternyata nafasnya telah putus.
Seketika Ciok Giok Yin menjerit.
"Toako! Toako...."

Kemudian dia menangis sedih. Sejak Ciok Giok Yin
menjejakkan kakinya di dunia persilatan, tidak pernah
mempunyai teman yang sehati. Kini tanpa sengaja dia bertemu
Bun It Coan, tapi baru berkata beberapa patah, Bun It Coan
sudah mati. Berselang beberapa saat, Ciok Giok Yin berhenti
menangis. Dia menghapus air matanya, lalu bangkit perlahanlahan.
"Toako, kau tenanglah! Aku pasti membalas dendammu..."
gumamnya sambil berkerak gigi. Mendadak terdengar suara
yang amat dingin.
"Kau punya kepandaian itu?"
Ciok Giok Yin cepat-cepat membalikkan badannya.
Dilihatnya seorang pemuda bertampang licik terus
menatapnya dengan tajam, tapi Ciok Giok Yin tidak tahu siapa
pemuda itu.
"Siapa kau?" katanya.
"Kalau aku sebut namaku, mungkin nyalimu akan pecah.
Lebih baik tidak kuberitahukan, agar kau mati penasaran!"
sahut pemuda itu dengan angkuh. Usai menyahut, tangan
kanan pemuda itu menunjuk mayat Bun It Coan, sedangkan
tangan kirinya melancarkan sebuah pukulan ke arah dada Ciok
Giok Yin. Agin pukulannya menderu-deru. Hati Ciok Giok Yin
tersentak.
"Apakah kematian toakoku ada hubungan denganmu?"
bentaknya sambil berkelit.
Pemuda itu mendengus dingin.
"Hmm! Kepandaianmu cukup lumayan!"
Dia maju dua langkah, wajahnya penuh hawa membunuh,
lalu menyerang Ciok Giok Yin dengan dahsyat. Ciok Giok Yin
berkertak gigi, lalu menangkis sekaligus balas

menyerang. Akan tetapi, Ciok Giok Yin terdesak muncur, dan
agak kewalahan menghadapi pemuda itu. Kalau begini, tidak
sampai tiga jurus, Ciok Giok Yin pasti mati oleh seranganserangan
yang dilcarkan pemuda itu. Mendadak terdengar
suara bentakan.
"Berhennti!"
Tampak sosok bayangan hitam melayang turun, langsung
menyambar mayat Bun It Coan. Begitu melihat kemunculan
orang itu, pemuda bertampang licik langsung melesat pergi.
"Mau lari ke mana?" bentak orang berpakaian hitam. Dia
langsung melesat mengejar pemuda itu. Kedua sosok
bayangan itu, dalam sekejap sudah melesat puluhan
depa. Kejadian yang mendadak itu sungguh membingungkan
Ciok Giok Yin, sehingga membuatnya termangu-mangu. Namun
tiba-tiba dia teringat akan mayat Bun It Coan yang dibawa
pergi oleh orang berpakaian hitam, maka seketika hatinya
tersentak.
"Celaka!" serunya.
Dia ingin mengejar, tapi kedua bayangan itu sudah tidak
kelihatan lagi. Ciok Giok Yin sama sekali tidak menyangka,
akan muncul seseorang menyambar mayat Bun It Coan. Dia
belum sempat mengubur mayat itu, pasti akan membuat Bun
It Coan amat penasaran di alam baka. Dia meninggalkan
tempat itu dengan wajah sedih. Dalam perjalanan, dia terus
memikirkan langkah-langkah selanjutnya. Mendadak Ciok Giok
Yin melihat sesosok mayat orang tua terbujur di bawah pohon.
Dia mendekati mayat itu dan memperhatikannya dengan
seksama. Mayat orang tua itu tiada noda darah, namun
wajahnya tampak kehijau-hijauan, pertanda orang tua itu mati
keracunana.
Begitu melihat mayat orang tua itu, Ciok Giok Yin teringat
akan mayat Bun It Coan yang dibawa pergi oleh orang
berpakaian hitam. Dia berkata dalam hati. 'Orang berpakaian
hitam membawa pergi mayat toako, apakah juga akan dibuang
di tempat sepi seperti mayat orang tua ini?' Di saat Ciok Giok

Yin sedang berkata dalam hati, mendadak merasa ada
serangkum angin pukulan mengarah punggungnya, dan dalam
waktu bersamaan terdengar pula bentakan sengit.
"Bayar nyawa ayahku!"
Suara bentakan itu diiringi dengan tangisan yang penuh duka
dan dendam. Ciok Giok Yin cepat-cepat berkelit, sekaligus
membalikkan badannya. Tampak seorang gadis yang amat
cantik berdiri di situ, namun kedua pipinya telah basah oleh air
mata. Sekonyong konyong gadis itu menyerang Ciok Giok Yin
dengan sengit dan bertubi-tubi.
"Bayar nyawa ayahku!" bentaknya penuh kebencian.
Serangan-serangan itu membuat Ciok Giok Yin naik darah.
"Berhenti!" bentaknya mengguntur.
Akan tetapi, gadis itu tetap menyerangnya, bahkan
serangannya bertambah sengit dan dahsyat. Ciok Giok Yin
terpaksa terus mundur, kemudian mengerahkan enam bagian
lwee kangnya, sekaligus mendorong ke depan seraya
membentak.
"Kalau kau masih tidak berhenti...!"
Bukan main dahsyatnya tenaga dorongan Ciok Giok Yin,
membuat gadis itu terdorong ke belakang beberapa langkah,
mulutnya menyembutkan darah segar, badannya sempoyongan
dan roboh terjeremab jatuh. Namun sepasang mata gadis itu
terus menatap Ciok Giok Yin dengan penuh dendam dan
kebencian.
"Kalau aku tidak bisa membunuhmu tidak mau jadi orang
lagi!"
Ciok Giok Yin maju dua langkah dengan sepasang matanya
menyorot dingin.
"Dia ada hubungan apa denganmu?"

"Ayahku!"
"Tahukah kau bagaimana kematiannya?"
"Bangsat! Ayahku punya dendam apa denganmu? Mengapa
kau turun tangan jahat padanya? Hari ini aku harus
membunuhmu, lalu mencincangmu!"
Dia langsung berguling ke arah mayat itu, ingin memeluknya
sambil menangis.... Akan tetapi mendadak terdengar suara
bentakan yang memekakkan telinga.
"Nona, tidak boleh!"
"Ternyata yang membentak itu adalah Ciok Giok Yin, yang
dikira oleh gadis itu sebagai pembunuh ayahnya. Ciok Giok Yin
bergerak cepat mencengkeram lengan gadis itu, kemudian
berkata.
"Nona, ayahmu mati keracunan. Kalau kau menyentuh
pakaiannya, akibatnya sulit dibayangkan."
Ketika Ciok Giok Yin mencengkeram lengannya justru
membuat hati gadis itu berdebar-debar. Akan tetapi, begitu
teringat akan kematian ayahnya, dan mengira Ciok Giok Yin
akan berbuat tidak senonoh terhadap dirinya, dia langsung
melancarkan pukulan ke dada Ciok Giok Yin.
Duuuk!
"Aaaakh...!"
Ciok Giok Yin menjerit, dan mulutnya langsung
menyemburkan darah segar. Tangannya yang mencengkeram
lengan gadis itu terlepas, dan dia terhuyung-huyung ke
belakang dua langkah. Setelah melukai Ciok Giok Yin, gadis itu
ingin menubruk mayat ayahnya. Namun sekonyong-konyong
terdengar suara seruan.
"Nona, jangan!"

Muncul seorang berpakaian hijau dengan kepala tertutup.
Orang itu langsung menarik lengan gadis tersebut ke belakang.
"Benar perkataan saudara kecil itu, mayat ini tidak boleh
disentuh!" katanya.
"Bagaimana kau tahu itu?" tanya gadis itu dengan sedih.
"Dari wajah mayat itu dapat diketahui."
"Kau yang meracuni ayahku?" bentak gadis itu.
"Bukan aku dan bukan saudara kecil itu, yang meracuninya,"
sahut orang berpakaian hijau dengan suara dalam.
"Siapa?"
"Aku tidak melihatnya, namun harap Nona tenang! Coba
ingat, apakah kalian ayah dan anak pernah bertemu orang
yang mencurigakan?"
Orang berpakaian hijau itu melepaskan tangannya dan
kemudian berdiri diam. Sedangkan gadis itu menatap mayat
ayahnya dengan air mata bercucuran.
"Tadi aku ada sedikit urusan, maka membiarkan ayahku jalan
duluan. tak disangka sampai disini, aku melihatnya berdiri di
situ, sama sekali tidak melihat orang lain," katanya terisakisak.
Usai berkata, gadis itu menunjuk Ciok Giok Yin. Sepasang
matanya yang indah bening, menyorotkan sinar yang penuh
kebencian. Sementara Ciok Giok Yin yang terkena pukulannya,
pasti hatinya amat gusar. Namun begitu teringat ayah gadis itu
mati diracuni orang, seketika lenyaplah kegusarannya.
"Nona telah salah paham padaku. Aku baru sampai di sini,
Nona muncul," katanya sambil maju selangkah. Gadis itu
melotot.

"Kalau begitu, kau berdiri di situ mengatakan apa?"
"Aku mengatakan apa, tidak perlu kuberitahukan padamu."
"Kau pasti pembunuh ayahku!"
"Nona tidak boleh menuduh orang secara sembarangan," sela
orang berpakaian hijau.
"Nona tidak boleh memfitnah orang,"
Ciok Giok Yin memandang orang itu.
"Mohon tanya siapa nama Anda?"
Orang itu tampak tertegun, karena tidak menyangka Ciok
Giok Yin akan menanyakan namanya.
"Sudah sekian tahun aku tidak pernah ingat lagi namaku
sendiri, harap dimaklumi!" sahutnya.
Ciok Giok Yin mengerutkan kening.
"Seseorang pasti punya nama. Kelak kalau berjumpa lagi, aku
harus bagaimana memanggilmu? Lebih baik Anda jangan
bersikap sedemikian misterius."
Orang itu tertawa gelak.
"Masuk akal apa yang kau katakan. Kita kebetulan berjumpa
di sini. Kelak mungkin juga kita akan berjumpa kembali di
suatu tempat, maka kau boleh panggil aku Lu Jin (Orang
Jalanan)."
Ciok Giok Yin terbelalak.
"Saudara kecil, bolehkah aku tahu namamu?" tanya Lu Jin.
"Ciok Giok Yin."
"Ciok Giok Yin?"

"Ng!"
Seketika sepasang mata Lu Jin menyorot bersinar-sinar. Dia
menatap Ciok Giok Yin dari atas ke bawah, kemudian tertawa
gelak.
"Wajah Saudara kecil cerah dan tampan, masa depan pasti
cemerlang! Ohya, bolehkah aku tahu nama suhumu?"
"Suhuku adalah Sang Ting It Koay, namun aku tidak tahu
nama beliau," sahut Ciok Giok Yin dengan jujur. Badan Lu Jin
tampak tergetar.
"Suhumu adalah tokoh aneh. Dengar-dengar empat belas
tahun yang lampau, dia meningal di puncak gunung Muh San.
Sedangkan usiamu belum begitu besar, bagaimana bisa
berguru padanya?"
Mendengar itu, sepasang mata Ciok Giok Yin menyorot dingin.
"Tapi suhuku belum mati..." Dia menutur tentang kejadian
itu. "Aku bersumpah akan membalaskan dendam suhuku!"
tambahnya.
Tanpa sadar Lu Jin mundur selangkah.
"Aku dengar Saudara Kecil telah membunuh Khiam Sin
Hweshio, ketua Kuil Put Toan Si, benarkah itu?"
"Tidak salah."
"Setelah itu, kaupun pergi ke Hong Yun Cuang mencari Tui
Hong Sin Cian-Cu Ling Yun. Ya, kan?"
Mendengar itu, timbullah kecurigaan dalam hati Ciok Giok Yin.
"Kok Anda tahu begitu jelas?" katanya.
"Tentang itu telah tersebar luas di dunia persilatan, aku cuma
mendengar dari orang," sahut Lu Jin.

Ciok Giok Yin manggut-manggut.
"Ooooh!"
Lu Jin tidak berkata apa-apa lagi.
"Saudara kecil, sampai jumpa!" katanya sambil menjura.
Badannya bergerak melesat, tahu-tahu sudah masuk ke
dalam rimba. Bukan main cepatnya gerakan Lu Jin! Ciok Giok
Yin merasa kagum melihatnya. Ciok Giok Yin membalikkan
badannya memandang gadis itu, yang kebetulan juga sedang
memandangnya. Ciok Giok Yin tidak menghiraukannya. Namun
ketika dia baru mau pergi, mendadak sesosok bayangan
menghadang di hadapannya, ternyata gadis itu.
"Tunggu sebentar!" katanya.
"Apa maksud Nona?"
Gadis itu mendengus dingin.
"Lelaki jantan harus gagah! Setelah menyaksikan kejadian
yang mengenaskan ini, kau malah mau pergi! Bukankah kau
amat tidak berperasaan?"
"Nona mau menyuruhku berbuat apa?"
"Bantu aku mengubur mayat ayahku! Oh ya, namaku Cen
Siauw Yun. Tadi aku sembarangan menyalahkanmu, mohon
jangan disimpan dalam hati!"
Ciok Giok Yin berpikir sejenak, kemudian mengangguk.
"Baiklah!"
Ciok Giok Yin segera menggali sebuah lubang. Sesudah itu,
dia menggunakan dua batang dahan pohon mengangkat mayat
itu ke dalam lubang.

Tak lama, setelah selesai mayat itu dikuburkan, barulah Ciok
Giok Yin bertanya.
"Nona mau ke mana?"
Saat itu Cen Siauw Yun sudah berhenti menangis. Namun
ketika Ciok Giok Yin bertanya, gadis itu mulai menangis lagi.
"Ayahku telah dibunuh penjahat, kini tinggal aku seorang diri,
entah mau ke mana?" sahutnya terisak-isak. Cen Siauw Yun
terus menangis sedih.
Ciok Giok Yin menatapnya dengan iba, lalu berkata.
"Tentunya Nona punya suatu tujuan, ya kan?" tanya Ciok
Giok Yin sambil menatapnya dengan iba.
"Aku harus ke mana?" sahut Cen Siauw Yun seperti bertanya.
"Apakah kau tidak punya sanak famili?"
"Aku dan ayahku tinggal di desa, jarang berhubungan dengan
orang, suruh aku ke mana?"
Cen Siauw Yun mulai menangis lagi. Kali ini dia menjatuhkan
diri berlutut di hadapan kuburan ayahnya. Ciok Giok Yin tidak
tahu harus berbuat apa, sedangkan suara tangisan Cen Siauw
Yun semakin sedih memilukan. Sudah barang tentu membuat
Ciok Giok Yin berpikir. 'Bagaimana baiknya nih? Diriku juga
sebatang kara dan tiada tempat berteduh. Lalu aku harus
mengantarnya ke mana?' Yang satu terus menangis sedih
dengan air mata berderai-derai, sedangkan yang satu malah
berdiri termangu-mangu. Bukan main kacaunya hati Ciok Giok
Yin! Dia maju ke hadapan Cen Siauw Yun lalu menariknya
bangun.
"Tiada gunanya Nona terus menangis. Sekarang hari sudah
mulai gelap, lebih baik kita mencari penginapan dulu. Setelah
itu, barulah memikirkan jalan keluarnya."
Cen Siauw Yun menghapus air matanya.

"Seharusnya kau memikirkan jalan keluar untukku," katanya
terisak-isak. Ciok Giok Yin memang berhati luhur. Mendengar
itu dia langsung manggut-manggut.
"Akan kupikirkan nanti."
Dia langsung menarik Cen Siauw Yun meninggalkan tempat
itu. Namun gadis itu masih menoleh melihat kuburan ayahnya.
Kelihatannya dia merasa enggan meninggalkan tempat
itu. Saat ini hari sudah gelap. Salju dan angin dingin menderuderu
mendirikar bulu roma. Cen Siauw Yun merasa agak takut,
sudah barang tentu dia berjalan melekat di badan Ciok Giok
Yin. Sedangkan Ciok Giok Yin mengira gadis itu merasa dingin,
maka langsung merangkulnya erat-erat.
"Nona takut dingin?" katanya dengan suara ringan.
Cen Siauw Yun mengangguk.
"Ng!"
Mendadak terdengar suara burung gagak yang menyeramkan,
mengejutkan Cen Siauw Yun, sehingga langkahnya terhenti
dan gadis itu segera mendekap di dada Ciok Giok Yin.
"Ka... kakak Yin, aku... aku takut sekali," katanya dengan
suara gemetar.
"Takut apa!"
"Kau tidak mendengar suara tadi?"
Ciok Giok Yin tertawa.
"Itu suara burung gagak, apa yang kau takutkan?"
Dia tertawa lagi, menepuk bahu Cen Siauw Yun.
"Legakan hatimu, ada aku!"

Di saat bersamaan, mendadak terdengar suara yang amat
dingin.
"Berdasarkan kepandaianmu dapat menjaga
keselamatannya?"
Begitu mendengar suara itu, sekujur badan Ciok Giok Yin
menjadi merinding.
"Bok Tiong Jin (Orang Dalam Kuburan)!" serunya kaget.
"Tidak salah!"
Sekonyong-konyong angin berhembus kencang,
menerbangkan salju-salju yang di sekitarnya. Di saat
bersamaan, tampak bayangan-bayangan hantu bergerakgerak.
Namun setelah ditegasi, ternyata bayangan-bayangan
pohon, dahan dan ranting pohon bergerakgerak terhembus
angin. Di saat ini Cen Siauw Yun mendongakkan kepala, lalu
menengok ke sekeliling. Sedangkan keringat dingin Ciok Giok
Yin sudah mengucur.
"Bok Tiong Jin, aku sering menerima budi pertolonganmu.
Suatu hari nanti, aku pasti akan membangun kuburanmu,"
katanya dengan suara gemetar.
Terdengar suara sahutan yang amat dingin.
"Terima kasih!"
Suara itu berhenti sejenak, setelah itu terdengar lagi.
"Jangan lupa akan janjimu!"
"Aku tidak akan lupa."
"Kalau kau lupa, aku akan membunuhmu, lalu mayatmu akan
kubuang di hutan, biar disantap binatang buas!"
Mendengar itu, Ciok Giok Yin menjadi merinding.
"Legakan hatimu, aku tidak akan lupa!"

"Bagus begitu!"
Seketika suasana di tempat itu kembali menjadi hening. Cen
Siauw Yun menatap Ciok Giok Yin dengan heran.
"Kakak Yin, kau sedang bicara dengan siapa?" katanya
dengan suara rendah.
Ketika melontarkan 'Kakak Yin' wajah Cen Siauw Yun tampak
kemerah-merahan. Ciok Giok Yin tidak memperhatikan hal itu.
"Aku sedang berbicara dengan Bok Tiong Jin," sahutnya.
"Bok Tiong Jin?"
"Ng!"
"Apakah Bok Tiong Jin itu roh?"
"Mungkin ya."
"Kau pernah melihatnya?"
"Tidak."
"Aku tidak percaya orang itu sudah mati, rohnya akan
gentayangan. Itu cuma ingin menakuti orang saja."
Mendadak salju-salju di sekitarnya beterbangan, dan dalam
waktu bersamaan terdengar suara 'Serr! Serrr!' Cen Siauw Yun
cepat-cepat mencelat ke atas, kelihatannya ingin melancarkan
pukulan. Namun dia mengeluarkan suara 'Hah' lalu melayang
turun. Wajahnya diliputi rasa takut, sepasang matanya melirik
ke sana ke mari ingin melihat apakah di sekitarnya terdapat
orang atau tidak. Akan tetapi, selain salju yang masih
beterbangan, tidak tampak apa pun. Kini barulah hatinya mulai
berdebar-debar tegang, dan dia langsung bersandar di badan
Ciok Giok Yin. Tiba-tiba telinga Cen Siauw Yun menangkap
suara amat lirih.

"Harap kau jangan memikirkan yang bukan-bukan, aku akan
mengawasimu!"
Walaupun suara itu amat lirih, namun Cen Siauw Yun dapat
mendengarnya dengan jelas sekali, sepertinya suara itu amat
dekat.
Cen Siauw Yun segera menyebarkan pandangannya kian
kemari, tapi tidak melihat apa pun. Itu membuatnya merinding,
dan tidak berani memastikan roh itu asli atau palsu.
"Nona merasakan apa?" tanya Ciok Giok Yin dengan suara
ringan. Cen Siauw Yun menggelengkan kepala.
"Tidak."
Jelas dia tercekam oleh rasa takut, namun tidak mau berterus
terang. Ciok Giok Yin tidak mau mengungkap itu, cuma
merangkul pinggangnya erat-erat, lalu melesat pergi
meninggalkan tempat itu, agar tidak terus diikuti Bok Tiong
Jin. Berlangsung beberapa saat, mereka berdua tiba di sebuah
kota kecil, Ciok Giok Yin dan Cen Siauw Yun berjalan perlahan
memasuki kota kecil itu. Mereka langsung menuju sebuah
penginapan, dan memesan dua buah kamar. Setelah itu,
mereka makan malam di penginapan tersebut.
Kini mereka berdua duduk di dalam sebuah kamar sambil
mengobrol. Mendadak Cen Siauw Yun menangis, kemudian
mendekap di dada Ciok Giok Yin. Badan gadis itu bergerakgerak,
kelihatannya hatinya amat sedih sekali. Jelas dia
teringat akan ayahnya yang sudah tiada. Ciok Giok Yin segera
menghiburnya.
"Nona, kau tidak boleh terus menangis. Ayahmu sudah tiada,
tiada gunanya kau terus menangis. Jaga kesehatanmu dan cari
jalan menuntut balas dendam ayahmu, itu baru benar."
"Semalam ayahku masih baik-baik, tapi malam ini sudah
tiada. Bagaimana aku tidak sedih?"
Cen Siauw Yun menangis lagi dengan air mata berderai-derai.

Sebelah tangannya menggenggam baju Ciok Giok Yin eraterat.
Ciok Giok Yin menarik nafas dalam-dalam, sambil berkata
dalam hati. 'Biarlah dia terus menangis, agar mengeluarkan
semua kesedihan dalam hatinya.' Beberapa saat kemudian Cen
Siauw Yun berhenti menangis. Dia mendongakkan kepala
memandangg Ciok Giok Yin seraya tersenyum. Ciok Giok Yin
mengira pikiran gadis itu telah terbuka, maka dia merasa
girang. Di tengah malam, berhadapan dengan gadis cantik,
tentunya pikiran akan menerawang. Akan tetapi, cepat sekali
pikiran Ciok Giok Yin kembali tenang, bahkan menegur dirinya
sendiri. 'Semua dendam masih belum terbalas,
bagaimana sedemikian tidak tahu diri, memikirkan yang bukanbukan?
Sungguh tak pantas!'
"Nona, sudah larut malam! Harap kembali ke kamar
beristirahat, esok pagi harus melanjutkan perjalanan!" katanya
kepada Cen Siauw Yun. Cen Siauw Yun mengangguk, lalu
berjalan ke luar meninggalkan kamar Ciok Giok Yin. Setelah
Cen Siauw Yun kembali ke kamarnya, Ciok Giok Yin duduk
menghimpun hawa murninya. Mendadak terdengar suara 'Serr'
yang amat halus. Ciok Giok Yin cepat-cepat membuka
matanya. Dilihatnya sebuah bola kecil putih melucur ke
arahnya. Dia segera menjulurkan tangannya untuk menyambut
bola kecil itu, yang teryata segumpal kertas. Ciok Giok Yin
cepat-cepat membuka gumpalan kertas itu lalu membacanya.
Seketika wajahnya berubah menjadi hebat.
Jilid 06
Ternyata tulisan itu berbunyi demikian. Mohon maaf, aku
harus menceritakan hal yang sebenarnya. Orang tua yang mati
itu, sesungguhnya bukan ayahku dan aku tidak saling
mengenal. Aku amat berterima kasih atas bantuanmu.
Sesungguhnya aku mendapat perintah untuk mencuri peta Si
Kauw Hap Liok Touw yang ada di dalam bajumu. Namun amat
sulit bagiku untuk turun tangan mencuri peta itu. Kebetulan
aku melihat mayat orang tua itu, maka aku memanfaatkan
kesempatan itu untuk mengelabuhimu. Aku langsung menangis
meraung-raung, dan kemudian memukulmu. Akhirnya aku
berhasil memperoleh peta Si Kauw Hap Liok Touw

itu. Kumohon kau jangan membenciku, sebab aku melakukan
itu karena terpaksa. Aku tahu, meskipun kau menyimpan peta
pusaka itu, namun tidak tahu benda pusaka itu tersimpan di
mana. Biar kuberitahukan, agar kau dapat memperolehnya
selekasnya. Esok subuh kau harus segera berangkat ke Gunung
anya San. Di sana terdapat Goa Cian Hud Tong (Goa Seribu
Buddha). Cari benda pusaka itu, jangan sampai terlambat!
Asal kau berhasil memperoleh benda pusaka itu, peta Si Kauw
Hap Liok Touw pun sudah tiada gunanya. Harap kau jaga diri
baik-baik! Dari Cen Siauw Yun. Usai membaca, Ciok Giok Yin
merogoh ke dalam bajunya, memang benar peta tersebut telah
hilang. Namun cincin pemberian But It Coan masih ada. Ciok
Giok Yin berkertak gigi.
“Kelak kalau bertemu, aku pasti tidak akan melepaskanmu!”
katanya dengan penuh kegusaran. Saking gusarnya dia
mengerahkan Sam Yang Hui Kang menghancurkan kertas
tersebut, sehingga kertas itu menjadi hangus, kemudian
hancur bagaikan daun kering. Dia tahu Cen Siauw Yun sudah
pergi jauh, tidak mungkin akan berhasil mengejarnya
lagi. Ketika dia baru mau duduk kembali, tiba-tiba hatinya
tergerak. Ternyata dia teringtat akan kata-kata di dalam kertas
itu ‘Gunung anya San, Goa Cian Hud Tong’. Dia harus
berangkat subuh untuk mencari benda pusaka itu. Cen Siauw
Yun berpesan demikian, mengapa tidak ke sanam melihatlihat?
Pikir Ciok Giok Yin. Apabila dia berhasil memperoleh
benda puska itu, berarti dia tidak akan menyia-nyiakan maksud
baik Ho Siu Kouw. Kelak kalau berjumpa, harus berterima kasih
padanya. Begitu teringat pada Ho Siu Kouw, hatinya menjadi
kebat-kebit, karena tidak tahu bagaimana keadaannya. Apakah
dia telah berhasil memutuskan rantai yang membelenggu
dirinya? Sembari berpikir, tanpa sadar dia pun bergumam
perlahan.
“Kakak Siu, cepat atau lambat aku pasti ke Goa Toan Teng
Tong mencarimu.”
Di saat bersamanan, jendela berdiri sosok bayangan putih,
menyambitkan ke dalam segulung kertas kecil. Namun dalam
sekejap bayangan putih itu telah lenyap. Bukan main

terkejutnya Ciok Giok Yin ketika melihat ada suatu benda
meluncur ke arahnya! Tanpa banyak anya lagi dia langsung
menyambut gulungan kertas itu sekaligus melesat ke luar
melalui jendela, namun tidak melihat apa pun. Dia sama sekali
tidak menyangka, bahwa di dalam kota kecil ini terdapat begitu
banyak pesilat tinggi.
Padahal gingkang yang dimilikinya sudah tinggi sekali, namun
orang yang menyembitkan kertas itu ginkangnya jauh lebih
tinggi darinya. Dia berdiri di atas rumah, lalu membuka kertas
itu, namun di dalamnya tidak terdapat huruf apapun. Karena
merasa dipermainkan, dia langsung mencaci.
“Kalau kau punya kepandaian, cepat perlihatkan dirimu! Kau
jangan seperti kura-kura menyembunyikan kepala, itu bukan
orang gagah!”
Namun tiada suara sahutan, hanya terdengar suara
desirannya.
Ciok Giok Yin meloncat turun, lalu kembali ke kamarnya. Dia
melempar setael perak ke atas meja. Ketika dia baru mau….
Ternyata di atas meja terdapat secarik kertas. Padahal di saat
melesat ke luar, dia sama sekali tidak melihat kertas itu. Ciok
Giok Yin cepat-cepat memperhatikan kertas yang di atas meja.
Ternyata pada kertas itu terdapat tulisan berbunyi
demikian. Kakak Siumu telah berhasil melepaskan diri. Kalau
berjodoh dia pasti akan mencarimu. Namun, kalian pernah
bertemu beberapa kali, hanya kau tidak mengenalinya. Pada
surat itu tiada nama penulisnya. Yang jelas dia memancing
Ciok Giok Yin keluar, kemudian masuk ke dalam. Ciok Giok Yin
masih memegang kertas itu, tapi dia tidak ingat kapan bertemu
Ho Siu Kouw.
Lagi pula dia tidak tahu siapa sesungguhnya penulis surat itu.
Namun sepertinya penulis surat itu tahu jelas akan urusan
Ciok Giok Yin. Kalau begitu berarti dia sudah kenal, dengan
Ciok Giok Yin. Tapi mengapa orang itu justru bertindak
sedemikian misterius? Ciok Giok Yin terus berpikir. Tiba-tiba
dia teringat akan si penulis surat. Itu membuat matanya
terbelalak lebar, dan muncul sosok bayangan di depan
matanya, apakah Cen Siauw Yun adalah kakak Siu? Tapi

kemudian Ciok Giok Yin menggeleng-gelengkan kepala, tidak
setuju akan kesimpulannya. Sebab Cen Siauw Yun menerima
perintah untuk mencuri peta Si Kauw Hap Liok Touw,
bagaimana mungkin dia kakak Siu? Itu tidak masuk akal sama
sekali. Akan Tetapi, dia justru tidak ingat lagi akan orang
lain. Dia terus berpikir, lalu teringat akan Yap Ti Hui. Itu
membuatnya nyaris tertawa geli.
“Bagaimana mungkin dia dibandingkan dengan kakak Siu?”
gumamnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian
dia berpikir lagi, namun tetap tidak menemukan
jawabnya. Ciok Giok Yin menyambar kertas itu, kemudian
melesat pergi melalui jendela, langsung menuju gunung anya
San di tengah malam.
Agar tiada halangan dalam perjalanan, dia menempuh jalan
kecil yang sepi. Namun Gunung anya San amat luas,
bagaimana mencari Goa Cian Hud Tong? Sebetulnya dimana
letak goa itu?
Di gunung yang begitu luas, mencari sebuah goa dalam waktu
sehari sungguh tidak gampang! Kelihatannya Cen Siauw Yun
berniat mempermainkan Ciok Giok Yin. Kalau gadis itu
bermaksud baik, mengapa tidak menjelaskan letak goa
itu? Apabila mencari secara membabibuta, bukankah…. Di saat
Ciok Giok Yin sedang berpikir, mendadak tampak beberapa
sosok bayangan berkelebat di puncak seberang memasuki
sebuah lembah. Seketika hati Ciok Giok Yin tergerak, dan
cepat-cepat melesat ke sana.
Di saat dia melesat ke tempat itu, juga melihat tiga kaum
rimba persilatan menuju tampat yang sama. Oleh karena itu,
dia berkata dalam hati. ‘Harus percaya goa itu ada, tidak boleh
tidak percaya!
Maka dia segera mengerahkan ginkang, mengikuti para kaum
rimba persilatan itu. Orang-orang itu tampak berebut untuk
tiba duluan. Mereka terdiri dari padri, pendeta taoisme, lelaki,
wanita, tua dan muda. Mata mereka kelihatan serakah, seakan
ingin memilki suatu benda.

Sekonyong-konyong terlihat lagi beberapa orang, ternyata
orang-orang perkumpulan Sang Yen Hwee. Karena memilki
ilmu ginkang yang amat tinggi, tampak badan mereka
berkelebatan. Sementara Ciok Giok Yin harus melesat cepat, di
samping itu, dia pun harus terus mengamati
mereka. Mendadak terdengar dua kali jeritan yang menyayat
hati bergema menembus angkasa, membuat orang
merinding. Ciok Giok Yin memandang ke sana. Ternyata orangorang
perkumpulan Sang Yen Hwee sedang membunuh
beberapa orang. Menyaksikan kejadian itu timbullah
kegusarannya. Dia memang amat membenci orang-orang
perkumpulan Sang Yen Hwee. Namun di saat dia baru mau
melesat ke sana, tiba-tiba terdengar suara seruan di depan
sana.
“Goa Cian Hud Tong!”
“Goa Cian Hud Tong!”
Seketika tampak begitu banyak bayangan melesat ke sana.
Orang-orang perkumpulan Sang Yen Hwee juga cepat-cepat
melesat ke tempat itu. Ketika mendengar suara seruan itu, hati
Ciok Giok Yin menjadi tegang. Tanpa banyak berpikir lagi, dia
langsung melesat ke sana. Akan tetapi, justru tiada tempat
baginya untuk menaruh kakinya. Apa boleh buat! Dia tidak
memikirkan peraturan apa pun lagi, menginjak bahu seseorang
lalu melesat lagi. Dengan cara demikian, akhirnya dia sampai
juga di tempat itu. Kini dia melihat begitu banyak orang
berebut untuk memasuki sebuah goa. Karena mereka semua
ingin lebih dulu masuk, maka terjadilah pertarungan matimatian.
Terdengar suara bentakan-bentakan keras, jeritan
menyayat hati, serta tampak berkelebatan cahaya padang,
golok dan senjata lainnya.
Mereka bertarung mati-matian hanya demi satu tujuan, yaitu
ingin memperoleh benda pusaka yang tersimpan di dalam goa
Cian Hud Tong itu. Oleh karena itu, mereka saling membunuh
tanpa memberi ampun pada pihak lain. Tentunya yang
berkepandaian rendah mati duluan, yang menang langsung
menerjang ke dalam goa. Tapi, muncul pula orang lain
menghadang, dan terjadilah lagi pertarungan. Karena itu,

banyak mayat bergelimpangan di depan goa, sedangkan
pertarungan masih terus berlangsung. Suara jeritan, bentakan
dan suara rintihan membaur menjadi satu. Justru karena itu
tiada seorang pun yang mundur, juga tiada seorang pun yang
berhasil memasuki goa tersebut. Sementara mereka masih
terus bertarung, mendadak terdengar suara bentakan
mengguntur.
“Saat ini siapa pun tidak boleh memasuki goa ini! Kita
bertanding di sini, siapa yang menang boleh masuk!”
“Masuk hitungan tidak perkataanmu itu?” sahut seseorang.
“Kenapa tidak?”
“Baik, mari kita bertarung!”
Kedua orang itu mulai bertarung mati-matian. Terdengar
suara pukulan beradu.
Plak!
Blam!
Tempat itu benar-benar menjadi tempat pembantaian. Entah
berapa banyak mayat bergelimpangan di tempat itu. Darah
berceceran, tampak pula mayat yang tiada kepala. Tangan dan
kakipun berserakan di manamana. Sungguh merupakan
pemandangan yang amat mengenaskan dan mengerikan! Saat
ini Ciok Giok Yin telah tiba di tempat itu. Akan Tetapi, dia tidak
berniat ikut membaurkan diri untuk ikut bertarung. Dia
mengerahkan ginkang melesat melewati orang-orang yang
sedang bertarung. Kalau dikatakan, memang sulit dipercaya.
Sebab semakin banyak kaum rimba persilatan berada di
tempat itu, apakah tiada seorang pun yang dapat menyamai
limu ginkangnya?
Tentu ada! Boleh dikatakan banyak sekali! Hanya saja
tergantung dari keberuntungan masing-masing. Bisa
memperoleh benda pusaka itu atau tidak, memang tergantung
dari jodoh. Kini Ciok Giok Yin sudah berada di mulut goa,

namun tiada berani langsung menerobos ke dalam. Justru di
saat bersamaan, terdengar suara seruan yang gemuruh.
“Sudah masuk ke dalam seorang bocah!”
“Cepat bunuh dia!”
“Dia berani memanfaatkan kesempatan di saat kita sedang
bertanding, menerobos ke dalam goa!”
“Bunuh dia!”
Orang-orang yang sedang bertarung juga langsung berhenti,
dan serentak menerjang menuju goa. Bukan main! Sebab
mereka seling menginjak lantaran ingin cepat-cepat memasuki
goa. Sudah barang tentu timbul pertarungan lagi di mulut doa.
Cahaya pedang, golok dan senjata lainnya berkelebatan dan
mulai terdengar suara bentakan dan jeritan lagi…. Sementara
Ciok Giok Yin yang telah sampai di dalam goa, melihat begitu
banyak gambar Budhha. Semua gambar Buddha terukir di
dinding goa, kelihatannya seperti hidup. Pada gambar Buddha
itu terdapat tulisan ‘Sembilan’ dan tulisan ‘Enam’ Ciok Giok Yin
berdiri sambil berpikir. Saat ini sudah tampak belasan orang
sampai di dalam, dan mereka juga sedang memperhatikan
gambar-gambar Buddha. Mendadak salah seorang menerjang
kearah sebuah gambar Buddha.
Orang yang berdiri di belakang juga mengikutinya, begitu
pula yang lain, termasuk beberapa padri dan pendeta
To. Sebetulnya para padri dan pendeta To, telah menyucikan
diri, tidak boleh terpengaruh oleh urusan duniawi. Akan tetapi
benda pusaka itu memang luar biasa, dapat membuat mereka
lupa daratan, bahkan juga melupakan ajaran-ajaran Buddha
dan Taosme. Kini di dalam Goa Cian Hud Tong telah dipenuhi
kaum rimba persilatan, namun benda pusaka yang tercantum
di dalam peta Si Kauw Hap Liok Touw, sesungguhnya berada di
mana? Ciok Giok Yin terus berpikir, kalau begitu terus,
mungkin benda pusaka tersebut akan jatuh ke tangan
mereka. Tiba-tiba dia teringat akan tulisan ‘Sembilan’ dan
‘Enam’ itu mengandung makna apa? Mendadak telinga Ciok
Giok Yin menangkap suara yang amat lirih.

“Kau memang bodoh. Kalau peta pusaka itu hilang,
menimbulkan begitu banyak kaum rimba persilatan
berdatangan kemari! Peta pusaka telah hilang, hanya dapat
mencari benda pusaka lain, namun harus menaruh peta pusaka
di atas tanah, barulah akan berhasil menemukannya!”
Ciok Giok Yin tersentak, lalu menengok ke sana ke mari,
namun tidak melihat orang yang berkata lirih. Ketika dia
tertegun, suara lirih itu terdengar lagi.
“Cepat hitung dari gambar Buddha yang paling besar di
tengah itu…”
Suara itu amat lirih, namun kedengaran jelas memberi
petunjuk.
Ciok Giok Yin tidak mencari tahu siapa orang itu, langsung
mengikuti petunjuknya. Di saat semua orang sedang lengah,
dia cepat-cepat menekan sebuah gambar Buddha yang di
hadapannya, kemudian nenekan lagi gambar Buddha yang lain
sesuai petunjuk dari suara lirih. Setelah itu, dia kembali ke
gambar Buddha yang paling besar. Tiada seorang pun
memperhatikan perbuatannya. Sebab mereka bertarung matimatian,
sedangkan di luar juga sudah terdengar suara Heng
Thian Ceng. Bukan main terkejutnya Ciok Giok Yin! Kalau
wanita iblis itu turun tangan merebut, entah harus bagaimana
baiknya? Dia tidak mau berpikir tentang itu lagi. Jari tangannya
bergerak menekan huruf ‘Sembilan’ yang tertera pada bagian
dada gambar Buddha yang paling besar.
Serrrt!
Perut gambar Buddha itu terbuka, ternyata di dalamnya
terdapat sebuah botol giok. Akan tetapi, perbuatannya itu
terlihat oleh tiga orang, yaitu Bu Lim Sam Siu, yang pernah
menyebabkannya jatuh ke dalam jurang. Ketika Ciok Giok Yin
menjulurkan tangannya, tiba-tiba terasa ada anya pukulan
menerjang ke arahnya. Apa boleh buat! Ciok Giok Yin terpaksa
menggeser sedikit lalu membalikkan badannya. Ternyata Bu
Lim Sam Siu sudah berdiri di belakangnya.

Begitu melihat kehadiran ketiga orang itu, mata Ciok Giok Yin
langsung membara. Siangkoan Yun San tertawa terkekeh.
“Bocah, nyawamu sungguh besar!”
Pada saat bersamaan tampak begitu banyak orang menerjang
ke arahnya.
“Nah, di situ!” seru salah seorang dari mereka. Mendadak
telinga Ciok Giok Yin mendengar suara yang amat lirih.
“Dasar bodoh! Cepat ambil dan kabur!”
Di saat bersamaan, dia melihat orang-orang yang menerjang
ke arahnya, di antaranya ada yang menjerit dan beberapa
orang terpental ke belakang dengan mulut menyemburkan
darah segar.
Sedangkan Bu Lim Sam Siu terhuyung-huyung ke belakang
beberapa langkah dengan wajah pucat pias. Kesempatan itu
dipergunakan Ciok Giok Yin untuk menyabar botol giok
tersebut, sekaligus dimasukkan ke dalam bajunya. Akan tetapi,
tiba-tiba terdengar suara-suara bentakan.
“Cepat keluarkan!”
“Bocah, kau tidak dapat meninggalkan goa ini!”
Sepasang mata Ciok Giok Yin langsung menyorot dingin. Dia
mendorongkan sepasang tangannya ke depan penuh
mengandung hawa panas. Seketika terdengar suara seruan
kaget dan bentakan yang susul-menyusul.
“Soan Hong Ciang!”
“Dia murid Sang Ting It Koay, jangan dibiarkan lolos!”
“Bunuh dia!”
“Cincang dia!”
“Pokoknya dia harus mampus!”

Menyaksikan keadaan di depan mata, mau tidak mau Ciok
Giok Yin mengucurkan keringat dingin. Namun dia tidak mau
membuang benda tersebut. Oleh karena itu, dia melancarkan
dua pukulan ke depan dengan sepenuh tenaga. Terdengar
suara menderu-deru, bahkan terasa amat panas. Siapa yang
tidak menyayangi nyawa? Maka orang-orang yang ada di depan
langsung menggeser badannya ke samping. Sudah barang
tentu terbuka sebuah jalan untuk Ciok Giok Yin. Di saat itulah
terdengar lagi suara yang amat lirih.
“Bloon! Cepat terjang ke luar aku akan membantumu!”
Ciok Giok Yin sudah tidak mau mempedulikan siapa yang
berkata lirih, langsung menerjang ke luar sambil melancarkan
pukulan Soan Hong Ciang. Tak lama dia telah berhasil
menerjang ke luar. Sampai di luar goa, tampak sosok
bayangan merah berkelebatan dan terdengar suara jeritan
yang menyayat hati. Selain itu tampak pula seorang yang
memakai kain penutup muka, yaitu Lu Jin, yang pernah
berjumpa dengan Ciok Giok Yin sedang berpikir, terdengar lagi
suara lirih itu.
“Dasar bloon! Ayo, cepat pergi!”
Sudah beberapa kali dikatai ‘Bodoh’ dan ‘Bloon’ itu
menimbulkan sifat anehnya yang bertular Sang Ting It Koay.
Maka, kali ini dia sama sekali tidak mau pergi, malah
menerjang kearah orang-orang itu. Akan tetapi, orang-orang
itu melancarkan pukulan ke arahnya meskipun Ciok Giok Yin
berkepandaian tinggi, namun diserang sedemikian banyak
orang, tentu membuatnya kewalahan. Dia terdesak mundur
beberapa langkah dan nafasnya terasa sesak,.
“Uaaaakh…!”
Darah segar tersembur dari mulutnya, dan badannya
bergoyang-goyang seakan mau roboh. Seketika terdengar
suara-suara bentakan.
“Jangan biarkan bocah itu kabur!”

“Cepat ambil benda pusaka itu!”
“Cepat bunuh dia!”
“Dia yang membunuh Khiam Sim Hweshio!”
“Dia juga telah membunuh seorang anggota perkumpulan San
Yen Hwee! Perkumpulan San Yen Hwee harus membunuhnya!”
Mendengar bentakan-bentakan itu, hati Ciok Giok Yin merasa
dingin. Akan tetapi, dia sudah ketularan sifat anehnya Sang
Ting It Koay. Dia tidak berniat melarikan diri, malah sepasang
matanya menyorot penuh dendam kebencian. Darahnya mulai
begolak, ternyata dia sudah siap mengeluarkan ilmu Hong Lui
Sam Ciang, yaitu jurus pertama Terbang! Namun dia telah
terluka parah, maka sebelulm melancarkan pukulan itu, dia
merasa matanya berkunang-kunang, akhirnya roboh. Melihat
Ciok Giok Yin roboh, Heng Thian Ceng langsung mengeras dan
sekaligus menerjang ke arahnya. Tapi jaraknya agak jauh,
lagipula begitu banyak orang menghadapnya, sehingga
membuatnya tidak dapat mendekat Ciok Giok Yin.
Sementara begitu Ciok Giok Yin roboh, orang-orangpun
menerjang ke arahnya dengan tujuan yang sama, yaitu ingin
merebut benda pusaka. Justru di saat bersamaan, tampak
sosok bayangan putih dan sosok bayangan hitam melayang
turun. Bayangan hitam lebih cepat dan langsung menyambar
Ciok Giok Yin, lalu melesat pergi laksana kilat. Sosok bayangan
putih, langsung mengejar bayangan hitam yang membawa
pergi Ciok Giok Yin. Bagi yang penglihatannya tajam, pasti
melihat bayangan hitam itu adalah seorang tua bongkok, di
punggungnya bergantung sebuah guci besar. Sedangkan
bayangan putih itu, adalah seorang wanita berambut panjang,
namun wajahnya amat buruk. Siapa kedua orang itu? Tiada
seorang pun tahu. Apakah mereka berdua sehaluan, juga tiada
seorang pun berani memastikannya. Heng Thian Ceng dan Lu
Jin begitu melihat Ciok Giok Yin dibawa pergi, mereka berdua
pun langsung mengejar. Menyusul adalah Bu Lim Sam Siu yang
berhati licik. Mereka bertiga juga menerjang ke tempat itu.

Setahun yang lalu, mereka bertiga terus berpikir ingin
memiliki peta si Kauw Hap Liok Touw, maka terpikir oleh
mereka suatu ide, yaitu menerima seorang murid wanita yang
cantik jelita. Mereka bertiga tahu Ciok Giok Yin belum mati,
maka terus mencari jejaknya, lalu menyuruh murid wanita
yang bernama Cen Siauw Yun mendekati Ciok Giok Yin untuk
mencuri peta pusaka Si Kauw Hap Liok Touw itu. Semula Cen
Siauw Yun amat tertarik, sebab apabila berhasil mencuri peta
pusaka itu, pasti ketiga gurunya akan menurunkan ilmu silat
yang tertera di dalam peta pusaka tersebut. Karena itu, dia
berupaya dengan bersungguh hati agar memperoleh peta
pusaka itu. Setelah tahu akan jejak Ciok Giok Yin, Cen Siauw
Yun memikirkan suatu cara untuk mendekatinya. Memang
kebetulan sekali, dia melihat Ciok Giok Yin mendekati mayat
orang tua itu. Akan tetapi ketika melihat Ciok Giok Yin begitu
tampan dan gagah, bayangan pemuda itu langsung terukir di
dalam hatinya.
Maka setelah berhasil mencuri peta pusaka tersebut, Cen
Siauw Yun meninggalkan pesan agar Ciok Giok Yin segera
berangkat kegunung anya San. Mengenai ini, sudah diceritakan
pada bagian atas. Sementara itu, orang tua bongkok yang
mengempit Ciok Giok Yin terus melesat pergi laksana
kilat. Berselang beberapa saat, barulah melambankan
langkahnya. Sampai di tempat sepi, dia menaruh Ciok Giok Yin
ke bawah. Orang tua bongkok itu duduk di samping Ciok Giok
Yin. Sepasang matanya terus menatap Ciok Giok Yin lekatlekat,
dan kadang-kadang meneguk arak. Sembali menatap
dan minum, orang tua bongkok itu pun bergumam.
“Ini hal yang tak mungkin.” Dia meneguk lagi, “Mengapa aku
orang tua harus banyak berpikir? Peduli amat dengan dia!” Dia
bangkit berdiri, lalu menggeleng-geleng kepala.
“Bocah, hitung-hitung aku lagi sial!” lanjutnya.
Mendadak orang tua bongkok itu melesat pergi, dan sekejap
sudah tidak kelihatan bayangannya. Di saat bersamaan, Ciok
Giok Yin siuman. Dia membuka matanya perlahan-lahan, lalu
duduk dan menengok ke sana kemari.

“Ih! Tempat apa ini?” gumamnya.
Dia masih ingat, ketika berada di luar goa Cian Hud Tong, dia
ingin melancarkan ilmu pukulan Hong Lui Sam Ciang jurus
pertama Terbang. Namun mendadak merasa matanya
berkunang-kunang dan gelap, akhirnya tak tahu apa-apa. Kini
dirinya berada di tempat ini, tentunya ada yang
menyelamatkannya. Siapa yang menyelamatkannya? Mengapa
setelah menyelamatkannya, penolong itu malah tidak
kelihatan? Bukankan sungguh aneh sekali?
Tiba-tiba dia teringat akan orang yang membantunya secara
diam-diam, apakah dia yang membawanya kemari? Akan
tetapi, siapa orang itu? Bagaimana orang itu begitu tahu jelas
tentang peta pusaka Si Kauw Hap Liok Touw? Lagipula
kelihatan orang itu tahu jelas tentang benda pusaka yang
berada di dalam goa Cian Hud Tong, mengapa dia tidak
mengambilnya duluan? Di dunia persilatan, masih cukup
banyak orang baik, seperti halnya dengan Heng Thian Ceng.
Padahal dia dicap sebagai wanita iblis yang sepasang
tangannya berlumuran darah, karena banyak membunuh
orang. Namun sungguh di luar dugaan, dia malah mau
membantu Ciok Giok Yin, itu betul-betul di luar dugaan sama
sekali.
Akan tetapi, ketika berada di luar goa Ciang Hud Tong, jarak
Heng Thian Ceng dengan dirinya cukup jauh, tentunya tidak
mungkin dia yang membawanya kemari. Lagipula kalau dia,
tentunya tidak akan pergi begitu saja. Mendadak wajah Ciok
Giok Yin tampak berubah, ternyata dia teringat akan satu hal,
apakah dia telah membawa pergi benda pusaka itu? Ciok Giok
Yin segera merogoh ke dalam bajunya, dan seketika dia
berlega hati. Ternyata botol giok kecil itu masih berada di
dalam bajunya. Kenapa itu, dia menyesali dirinya sendiri
karena terlampau banyak bercuriga, dan diapun merasa tidak
pantas mencaci orang yang memanggilnya ‘Si Bodoh’ atau ‘Si
Bloon’, sebab orang tersebut pun telah membantunya. Setelah
berpikir bolak-balik, Ciok Giok Yin berkesimpulan bahwa bukan
Heng Thian Ceng yang berkata lirih menggunakan ilmu Coan
Im Jip Kip (Ilmu Mengirim Suara Jarak Jauh)? Lelaki atau
wanita dia sama sekali tidak tahu.

Kalau ingin membantu, mengapa harus dengan cara
bersembunyi-sembunyi? Ciok Giok Yin tidak habis anya, juga
tidak menemukan jawabannya. Karena itu, dia tidak mau
berpikir lagi, lalu duduk memejamkan mata untuk
beristirahat. Padahal sesungguhnya, Ciok Giok Yin tidak
menderita luka parah, melainkan waktu itu dia terlampau
emosi, dan ingin mengerahkan lwee kang sepenuhnya untuk
melancarkan jurus pertama Hong Lui Sam Ciang, sehingga
membuat aliran darah dan hawa murninya bergolak, maka
membuatnya pingsan. Setelah beristirahat beberapa saat,
diapun sudah pulih seperti semula. Dia bangkit berdiri, ternyata
hari sudah gelap.
Saat ini dia sudah tampak segar, harus mencari penginapan
untuk bermalam. Oleh karena itu, dia langsung melesat
pergi. Tak seberapa lama, dia melihat lampu gemerlapan,
ternyata jauh di depan terdapat sebuah desa kecil. Dia segera
berjalan ke sana, memasuki desa kecil tersebut. Namun samua
rumah di desa itu telah tertutup rapat. Ciok Giok Yin menengok
kesana kemari, kebetulan melihat seorang nenek tua sedang
merapatkan pintu rumahnya. Ciok Giok Yin cepat-cepat
menyapa nenek tua itu dan memberi hormat.
“Nenek Tua, aku sedang melakukan perjalanan. Karena hari
sudah malam, bolehkan aku bermalam di sini?”
Nenek tua langsung memperhatikan Ciok Giok Yin dari atas ke
bawah.
“Di rumahku tiada kamar, lebih baik kau ke tempat lain.”
Usai menyahut, nenek tua langsung menutup pintu
rumahnya.
Namun Ciok Giok Yin segera menjulurkan tangannya untuk
mencegah.
“Nenek Tua, rumah orang lain sudah tutup pintu semua, tidak
baik aku mengetuk pintu mereka. Esok pagi aku akan bangun
pagi dan melanjutkan perjalanan, mohon Nenek Tua sudi
menerimaku bermalam di sini!”

Nenek tua mengerutkan kening.
“Kami orang desa amat miskin, tidak ada makanan untukmu.
Kelihatannya kau juga orang desa, tentunya tahu tentang ini.”
Ciok Giok Yin tertawa dalam hati, sebab nenek tua
mengiranya orang desa, tentunya tidak mampu memberi
sedikit imbalan padanya. Dia tersenyum, kemudian
mengeluarkan dua tael perak.
“Nenek Tua, dua tael perak ini untuk biayaku bermalam di
sini.”
Ketika melihat uang perak, nenek tua langsung terbelalak
dengan mulut ternganga lebar.
“Nak, tidak usah begitu banyak, masuklah!”
Dia menjulurkan tangganya mengambil uang perak itu,
sedangkan Ciok Giok Yin melangkah ke dalam. Di bawah
cahaya lampu yang remang-remang, tampak rumah itu tidak
karuan. Keadaan itu membuat Ciok Giok Yin teringat akan
pengalamannya setahun yang lalu. Setiap hari Cuma minum
susu bumi, tidak pernah menikmati makanan lain. Oleh karena
itu, dia merasa iba pada nenek tua. Dia mengeluarkan dua tael
perak lagi dan dibagikan kepada nenek tua. Tentu saya nenek
tua itu terbelalak, tidak berani mengambil uang perak itu.
Lagipula dia tidak menyangka Ciok Giok Yin begitu royal. Ciok
Giok Yin tersenyum.
“Nenek Tua, ambillah!”
Dengan tangan gemetar nenek tua mengambil uang perak itu.
“Nak, duduklah, aku akan menanak nasi dulu!”
“Nenek Tua, cukup berikan aku air minum. Aku membawa
makanan kering!”
Nenek tua cepat-cepat mengambil air minum.

“Nak, kau tidur saja di kamar anakku yang tak berguna itu!”
Kemudian nenek tua membawa Ciok Giok Yin ke dalam.
Setelah Ciok Giok Yin masuk ke kamar itu, barulah nenek tua
pergi. Ciok Giok Yin mengeluarkan makanan kering yang
didbawanya. Setelah makan dan minun, dia naik ke tempat
tidur, namun setelah dia baru mau duduk bersemadi, tiba-tiba
teringat akan benda pusaka yang disambilnya dari Goa Cian
Hud Tong. Dia langsung mengeluarkan botol giok kecil itu dari
dalam bajunya rela berkorban nyawa demi benda pusaka
tersebut?
Dia membuka tutup botol giok kecil itu, dan seketika tercium
aroma yang amat harus sekali. Hati Ciok Giok Yin bergerak dan
terheran-heran. Dia menuang botol giok kecil itu dan
tertuanglah sebutir pil dan segulung kertas kecil, tidak terdapat
benda lain.
Ternyata pit itu dibuat dari lilin. Ciok Giok Yin memecahkan
lilin itu, ternyata di dalamnya terdapat sebutir obat yang
gemerlapan bagaikan mutiara. Ciok Giok Yin segera membuka
gulungan kertas itu dan dibacanya. Pada kertas itu tertera
beberapa huruf yang berbunyi ‘Pil Api Ribuan Tahun’ Bukan
main girangnya Ciok Giok Yin, sehingga nyaris tertawa
terbahak-bahak, Pit itu diperhatikan sejenak, lalu
ditelannya. Begitu Ciok Giok Yin menelan pil tersebut
tenggorokannya terasa nyaman sekali. Dia tahu siapa yang
makan pit itu. Lwee kangnya pasti bertambah tinggi. Karena
itu, dia cepat-cepat duduk bersemedi menghimpun hawa
murninya. Berselang beberapa saat, dia merasa sekujur
badannya amat panas, sehingga keningnya mengucurkan
keringat.
Dia cepat-cepat menghimpun hawa murninya untuk
mendorong hawa panas itu ke dalam aliran darahnya. Tak
seberapa lama kemudian, rasa panas itu mulai sirna. Dia
membuka matanya. Badannya terasa segar dan nyaman,
bahkan merasa jalan darah Lang Tay Hiatnya bercahayacahaya.
Bukan main girangnya Ciok Giok Yin, karena ada
tanda-tanda lwee kangnya sudah bertambah tinggi. Kini dia

membaca lagi tulisan di kertas itu. Ternyata di balik kertas itu
masih terdapat beberapa baris kelimat berbunyi demikian. Pil
Api Ribuan Tahun ini berasal dari seekor kura-kura api ribuan
tahun yang hidup di sumber susu bumi. Setiap hari kura-kura
itu Cuma minum susu bumi.
Setiap seratus tahun kura-kura itu muncul satu kali, pada
waktu tertentu untuk mengisap energi matahari, lalu kembali
ke sumber susu bumi. Pil Api Ribuan Tahun ini, dibuat dari
mutiara kura-kura api. Sebelum memperoleh ikan mas dari
telaga dingin, lebih baik disimpan, agar dapat dimakan
bersama ikan mas dari telaga dingin. Apalagi tidak dimakan
bersama ikan mas dari telaga dingin, maka orang yang makan
pil tersebut akan mati terserang hawa panas. Seandainya tidak
mati, juga akan merusak hawa Yang yang dimiliki lelaki….
Membaca sampai di situ, Ciok Giok Yin langsung mengucurkan
keringat dingin, sebab dia mengerti ilmu pengobatan, maka
tahu apa akibatnya kalau hawa Yang lelaki rusak, itu berarti
tidak dapat berhubungan intim dengan kaum wanita. Apabila
dapat, juga akan menghisap hawa Im wanita hingga wanita itu
mati.
Kalau begitu, gadis mana yang akan menikah dengannya?
Keringat dingin terus merembes ke luar dari keningnya.
Kemudian dia membaca lagi. …..Setelah makan pil ini harus
mencari kitab Im Yang Ceng Koy (kitab Penjelasan Im Yang),
barulah dapat melaksanakan hubungan suami isteri, dan tidak
cukup satu dua wanita. Ingat, ingat baik-baik! Di bawah tertulis
nama Ciak Hui Sianjin. Usai membaca, pakaian Ciok Giok Yin
basah oleh keringat. Ternyata tadi dia belum membaca habis
semua tulisan yang terdapat di kertas itu, langsung menelan Pil
Api Ribuan Tahun itu, maka jadi begini. Saking menyesalnya
Ciok Giok Yin berkertak gigi, kemudian menghela nafas
panjang.
“Bagaimana baiknya? Bagaimana baiknya?” gumamnya.
Dia tidak dapat seumur hidup tidak menikah, sebab dia harus
punya isteri, namun juga tidak boleh mencelakai anak gadis
orang.

Mendadak dia teringat akan kitab Im Yang Ceng Koy, tapi
harus ke mana mencari kitab tersebut? Lagi pula kitab tersebut
dapat akan dipelajari oleh kaum golongan hitam, sedangkan
kaum golongan putihan, tentu tidak akan menyimpan kitab
itu. Semakin berpikir, hatinya menjadi semakin kacau.
Akhirnya dia turun dari tempat tidur, lalu berjalan mondarmandir
di dalam kamar itu.
“Bagaimana mungkin diriku akan dicelakai oleh Pil Api Ribuan
Tahun ini? Sungguh tak masuk akal!” gumamnya.
Seandainya Ciok Giok Yin tidak pernah berlatih Sam Yang Hui
Kang, dan juga tidak pernah berlatih di dalam sumur Susu
Bumi serta di atas Batu Api, mungkin saat ini dia sudah
membujur menjadi mayat. Ternyata di dalam tubuhnya sudah
terdapat hawa panas yang berasal dari Sam Yang Hui Kang,
Sumur Susu Bumi dan Batu Api, maka tubuhnya masih dapat
menahan hawa panas dari Pil Api Ribuan Tahun tersebut. Akan
tetapi, dia sama sekali tidak tahu akan hal itu maka tidak
mengherankan kalau hatinya menjadi kacau dan
berduka. Berselang sesaat, kelihatannya hatinya bertambah
kacau. Akhirnya dia memasukkan botol giok kecil dan kertas itu
ke dalam bajunya. Tiba-tiba dia mendengar suara desiran di
luar rumah sepertinya suara desiran pakaian yang terhembus.
Hatinya tersentak dan dia langsung mendengarkan suara itu
dengan penuh perhatian sambil mengerutkan kening. Dia sama
sekali tidak menyangka, bahwa di desa kecil ini akan muncul
pesilat tinggi. Tak seberapa lama kemudian terdengar suara
seruan kasar di luar rumah.
“Buka pintu! Buka pintu! Buka pintu!”
Terdengar suara seruan itu tiga kali, dan itu menimbulkan
rasa kesal dalam hati Ciok Giok Yin. Apabila mereka ternyata
orang jahat, aku pasti membunuh mereka untuk melampiaskan
kekesalan dalam hatiku! Kata Ciok Giok Yin dalam
hatinya. Berselang beberapa saat, terdengar suara nenek tua.
“Nak, mengapa kau pulang larut malam? Sebetulnya kau
pergi ke mana setiap hari? Tidak pedulikan soal makan ibu….!

Kemudian terdengar suara pintu dibuka, yang disusul oleh
suara kasar.
“Kau memang harus mati kelaparan!”
Mendengar kata-kata itu wajah Ciok Giok Yin langsung
berubah menjadi dingin. Tak disengaja ada anak begitu kurang
ajar dan tak berbakti kepada orang tua.
“Nak, jangan berisik!” kata nenek tua.
“Lho? Kenapa? Memang aku tidak boleh bicara? Apakah kau
sudah begitu tua masih punya lelaki simpanan? Biar kulihat
siapa dia!”
“Binatang! Kau berani bicara sembarangan!”
“Kalau begitu, kenapa?”
“Tadi ada seorang pemuda anya kemari untuk bermalam, dia
tidur di dalam kamarmu, jangan membuatnya terbangun!” kata
nenek tua.
“Pemuda?”
“Ng!”
“Bagaimana rupanya?”
“Pakaiannya sederhana, kelihatannya seperti pemuda desa,
namun amat tampan sekali. Dia bermalam di sini, tadi dia
memberi ibu lima tael perak, lihatlah!”
Mendadak lelaki itu merendahkan suaranya.
“Aku lihat sebentar.”
Lelaki itu menerobos ke dalam, Ciok Giok Yin langsung
meloncat ke tempat tidur, lalu berbaring. Dia ingin melihat
siapa lelaki itu, dan mempunyai maksud apa. Pintu kamar itu

terdorong perlahan-lahan, kemudian tampak seorang lelaki
berwajah kasar melangkah ke dalam, dan langsung mendekat
tampak tidur. Ciok Giok Yin yang pura-pura tidur itu
mengerutkan kening, ternyata dia tahu lelaki itu memiliki ilmu
ginkang yang cukup lumayan.
Dia tetap tidak bergerak terus berbaring di tempat tidur. Tibatiba
sepasang mata lelaki itu menyorot aneh, dan dia langsung
menerjang kearah Ciok Giok Yin.
“Bocah! Ternyata kau berada di sini! Cepat serahkan benda
pusaka yang kau ambil dari Goa Cian Hud Tong!” bentaknya.
Gerakan lelaki itu cukup cepat. Namun Ciok Giok Yin cepatcepat
membalikkan badannya sambil mencelat ke atas,
sekaligus menjulurkannya mencengkeram lengan lelaki itu.
“Siapa kau?” bentaknya.
Sekujur badan lelaki itu terasa semutan, sama sekali tidak
mampu bergerak lagi.
Karena lelaki itu diam saja, maka Ciok Giok Yin mengerahkan
tangannya seraya membentak.
“Cepat katakan!”
Bukan main sakitnya lengan lelaki itu! Keringat dinginnya
mulai merembes ke luar dari keningnya dan dia menjerit-jerit.
“Aduh! Aduuuh…!”
Saat ini nenek tua telah mendengar suara anaknya, maka
segera menghambur ke kamar itu.
Begitu melihat keadaan di dalam kamar, bukan main
terkejutnya nenek itu..
“Kenapa? Cepat lepaskan tanganmu!” serunya gugup.

Nenek tua sama sekali tidak menyangka, bahwa pemuda
tampan itu mempunyai kemampuan begitu hebat, dapat
menundukkan anaknya, maka tidak mengherankan kalau
nenek tua tampak begitu gugup dan kaget.
Lelaki itu berkertak gigi menahan sakit.
“Tidak ada urusanmu….”
Tidak menunggu dia usai berkata, Ciok Giok Yin sudah
menambah tenaganya hingga enam bagian.
Setelah itu, barulah melepaskan tangannya. Lelaki itu
langsung roboh dengan wajah pucat pias.
Ketika melihat anaknya roboh tak berkutik di lantai nenek tua
berteriak histeris. Namun ketika dia mau mendekati anaknya
Ciok Giok Yin bergerak cepat menarik tangannya.
“Nenek Tua, tidak usah cemas! Tidak lama lagi dia akan
siuman.”
Berselang beberapa saat, lelaki itu membuka matanya
perlahan-lahan, lalu berlutut di hadapan Ciok Giok Yin.
“Namaku Kwee Liok!”
Ciok Giok Yin menatapnya gusar.
“Dari mana kau tahu tentang urusan Goa Cian Hud Tong?”
bentaknya.
Kwee Liok mengusap lengannya yang masih terasa sakit, lalu
menyahut.
“Aku dengar dari orang-orang Uah Hoa Po (Wisma Harimau).”
“Uah Hoa Po?’
“Ya!”

“Dimana wisma itu?’
Ternyata di dalam kitab tipis peninggalan Sang Ting It Koay
juga mencantum nama wisma tersebut.
Majikan Uah Hoa Po adalah Hui Pian (Cambuk Terbang) Ma
Khie Ou. Dia termasuk salah satu Kang Ouw Pat Kiat yang
sedang dicari Ciok Giok Yin. Kini dia mendengar dari mulut
Kwee Liok berpikir sejenak, kemudian baru menyahut.
“Dari sini seratus mil kearah barat, “
Ciok Giok Yin membentak lagi.
“Dari tingkah lakumu, sudah dapat dipastikan kau seorang
penjahat! Kalau aku tidak memandang muka ibumu, kau sudah
kubunuh! Mulai sekarang kau harus baik-baik, dan berbakti
pada ibumu! Kalau tidak, kelak bertemu berarti tamat
riwayatmu!”
Kwee Liok manggut-manggut.
“Ya! Ya! Ya….”
Mendadak badan Ciok Giok Yin bergerak, tahu-tahu dia telah
melesat pergi meninggalkan rumah itu. Nenek tua dan Kwee
Liok terbelalak, dan lelaki itu merasa bersyukur karena Ciok
Giok Yin tidak turun tangan jahat padanya Sementara Ciok
Giok Yin terus melesat, bagaikan panah terlepas dari
busur. Hati Ciok Giok Yin, terasa amat duka dan tersiksa
karena dia telah menelan Pil Api Ribuan Tahun. Yang
membuatnya menyesal lantaran tidak membaca kertas itu
terlebih dahulu. Berselang sesaat Ciok Giok Yin menghentikan
langkahnya berdiri di atas sebuat batu besar dan menengok ke
sana kemari.
Tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring di tempat
jauh. Ciok Giok Yin dapat memastikan, suara bentakan itu
berjarak kira-kira beberapa mil. Hatinya sedang kacau.
Sebetulnya dia tidak mau mencampuri urusan orang lain.
Namun timbul rasa heran dalam hatinya, sehingga tak kuasa

menahan sepasang kakinya yang ingin melangkah ke tempat
itu. Karena itulah, dia langsung melesat ke sana. Tak seberapa
lama, dia telah tiba di tempat itu. Tampak enam orang tosu
tua, sedang mengeroyok seorang gadis. Mereka bertarung
dengan seru sekali. Pakaian gadis itu, sudah berlumuran
darah. Kelihatannya keenam tosu tua itu ingin membunuh
gadis tersebut.
Mereka berenam menggunakan pedang, mengeluarkan jurusjurus
pedang yang mematikan. Gadis itu berkepandaian cukup
tinggi, namun dikeroyok begitu banyak orang, membuatnya
kewalahan juga, pukulan-pukulan yang dilancarkannya mulai
tidak karuan. Sekonyong-konyong gadis itu menjerit, mulutnya
menyembur darah segar, dan badanya sempoyongan.
Menyusul ialah seorang tosu tua melancarkan sebuah pukulan
kearah gadis itu, membuat gadis itu terpental beberapa depa
lalu roboh di tanah. Lima tosu lainnya langsung menyerangnya
dengan pedang, kelihatannya gadis itu akan mati di ujung
pedang mereka.
Mendadak terdengar suara bentakan mengguntur.
“Kalian tosu-tosu bau, berani berbuat sewenang-wenang!”
Ternyata yang membentak itu adalah Ciok Giok Yin. Dia amat
gusar melihat keenam tosu itu mengeroyok seorang gadis,
bahkan ingin membunuhnya. Kemunculan Ciok Giok Yin yang
tak terduga itu, amat mengejutkan keenam tosu itu.
“Siapa kau?” bentak mereka dengan serentak.
“Ciok Giok Yin!”
Mendadak Ciok Giok Yin melancarkan beberapa pukulan
kearah mereka. Ternyata dia amat gusar terhadap keenam
tosu tersebut.
Keenam tosu itu langsung menangkis, lalu balas menyerang
dengan pedang. Kegusaran Ciok Giok Yin mulai memuncak,
maka dia melancarkan pukulan dengan sekuat tenaga. Salah
seorang tosu menjerit dan langsung roboh tak berkutik. Di saat
bersamaan, Ciok Giok Yin terkejut karena melihat gadis itu

masih mengeluarkan darah. Dia langsung melancarkan
beberapa pukulan dahsyat, untuk mendesak mundur mereka.
Kemudian dia melesat kearah gadis tersebut. Wajahnya
memang cantik, namun karena telah terluka, maka tampak
pucat pias. Nafasnya sudah lemah sekali, kelihatannya sedang
sekarat.
Karena itu, Ciok Giok Yin segera mencari tempat sepi, untuk
mengobati luka gadis itu. Mendadak dia melihat sebuah papan
di hadapannya. Pada papan itu terdapat tulisan berbunyi ‘siapa
masuk pasti mati!’ Tempat apa ini? Mengapa terdapat tulisan
yang amat tak masuk akal di situ? Ciok Giok Yin berpikir sambil
mendengus dingin. “Hm! Aku justru ingin masuk, ingin tahu
mati atau tidak!”
Sifat aneh Sang Ting It Koay memang telah menular pada
dirinya. Dia mengempit gadis itu dengan sepasang mata
menyorot tajam, kemudian berjalan ke dalam. Baru berjalan
beberapa langkah, mendadak terdengar suara bentakan di
depan.
“Bocah! Kalau kau berani maju lagi, pasti mati tanpa
kuburan!”
Ciok Giok Yin tidak menghiraukan bentakan itu, melainkan
terus melangkah maju. Di saat bersamaan, terasa serangan
bagaikan gelombang laut menerjang kearah dirinya. Ciok Giok
Yin segera berkelit sambil membentak keras.
“Tunggu!”
Dia memandang ke depan, tampak seorang tua berambut
putih menghadang di sana. Di sisi orang tua itu berdiri seorang
pemuda berusia tujuh belasan, sepasang matanya menyorot
penuh kegusaran. Orang tua itu berkata dengan suara dalam.
“Kau melihat tulisan di papan itu?” kata orang tua itu dengan
suara dalam.
“Lihat!”

“Kalau sudah lihat, mengapa kau masuk masuk?”
“Tidak salah!”
“Tahukah kau tempat apa ini?”
“Tempat apa ini?”
“Ini tempat Bwee Cuang (Perkampungan Bwee) yang
tersembunyi!”
“Apakah Bwee Cuang ini terlarang untuk orang luar?’
“Betul!” Sepasang mata orang tua itu menyorot bengis. “Kau
harus segera mundur! Mengingat usiamu masih muda, aku
mengampuni nyawamu!” bentaknya keras.
“Kau melihat orang akan mati, tidak mau tolong sama sekali?’
sahut Ciok Giok Yin gusar.
“Aku tidak peduli kalian akan mati atau tidak!”
“Adikku terluka oleh para penjahat, aku harus segera
mengobatinya! Maka aku memberanikan diri memasuki daerah
ini, Cuma bermohon berteduh beberapa saat!”
“Sesaat pun tidak boleh!” kata orang tua itu ketus.
Kegusaran Ciok Giok Yin memuncak, akan wajahnya berubah
dingin.
“Aku sudah memutuskan itu!”
“Aku akan menyuruhmu mampus!”
“Tidak begitu gampang!”
Ciok Giok Yin yang mengempit gadis itu, mulai mengayunkan
kakinya. Akan tetapi, orang tua itu sudah menyerang dengan
sebuah pukulan. Ciok Giok Yin berkelit, sambil berkata
membentak.

“Mohon katakan siapa Anda!”
“Pak Hoat (Si Rambut Putih) Ong Tan Hiatt!” sahut orang tua
itu kemudian membentak keras. “Bocah, kalau kau mampu
menyambut sebuah pukulan, aku akan mengizinkanmu tinggal
setengah hari di sini!”
Dia langsung melancarkan sebuah pukulan kearah Ciok Giok
Yin. Sedangkan Ciok Giok Yin mengeraskan hatinya, sekaligus
mengerahkan hawa murninya untuk melindungi badannya.
“Bum!”
Ciok Giok Yin betul-betul menyambut pukulan yang
dilancarkan orang tua itu.
Tampak badannya terhuyung-huyung delapan langkah,
kemudian kembali berdiri tegak.
“Uaaaakh!”
Namun dia memuntahkan darah segar.
“Perkataanmu tadi masuk hitungan tidak?” bentaknya.
“Tentu! Setengah hari kemudian, kalian harus meninggalkan
tempat ini! Kalau tidak, lohu pasti membunuh kalian berdua!”
sahut Ong Tan Hian.
Orang tua berambut putih itu menoleh memandang pemuda
yang berdiri di sisinya.
“Bawa dia ke dalam!”
Setelah berkata, Pek Hoat-Ong Tan Hian langsung melesat ke
dalam.
Sedangkan pemuda berbaju hijau itu langsung membawa

Ciok Giok Yin yang mengempit gadis itu ke dalam. Tak
seberapa lama, tampak sebidang taman yang penuh dengan
bunga Bwee. Bukan main harumnya tempat itu!
Setelah melewati taman bunga Bwee, terlihat pula beberapa
rumah gubuk.
Sementara pemuda berbaju hijau itu tetap tidak bersuara.
Begitu pula Ciok Giok Yin, Cuma mengikuti pemuda berbaju
hijau ke dalam salah sebuah gubuk.
Ciok Giok Yin menaruh gadis itu ke atas ranjang, kemudian
mengeluarkan sebutir pil Giok Ju, dan dimasukkan ke
mulutnya.
Setelah itu, dia pun memoleskan obat Ciak Kim Tan pada
luka-luka bekas pedang di badan gadis itu, lalu menotok
beberapa jalan darahnya.
Berselang beberasa saat, wajah gadis itu mulai tampak
kemerah-merahan, dan nafasnya pun mulai normal.
Ciok Giok Yin tahu, bahwa gadis itu sudah mulai siuman.
“Nona, aku akan membantumu dengan lwee kang,” katanya
dengan suara ringan.
Dia duduk di belakang gadis itu, kemudian sepasang telapak
tangannya ditempelkan pada punggung gadis tersebut. Setelah
itu dia mulai menyalurkan lwee kang untuk mengobati luka
yang diderita gadis tersebut.
Sedangkan gadis itupun mulai menghimpun hawa murninya.
Berselang beberapa saat, Ciok Giok Yin berkata.
“Nona boleh turun menghimpun hawa murni, agar lukamu
cepat sembuh!”
Mendadak terdengar suara percakapan di luar gubuk.

“Dia telah melukai tiga orang Go Bi Pay, bagaimana aku
melepaskannya? Lagipula dia membawa pergi gadis busuk
perkumpulan Sang Yen Hwee itu!”
“Tidak dapat. Aku telah mengabulkannya tinggal di sini
setengah hari.”
Itu adalah suara Pek Hoat-Ong Tan Hian.
Menyusul terdengar suara yang bernada gusar.
“Apakah kau tidak tahu aturan sama sekali?”
“Lalu kau mau apa?”
“Perkumpulan Sang Yen Hwee ingin menguasai rimba
persilatan. Sedangkan gadis busuk itu adalah perintis
perkumpulan Sang Yen Hwee, menyelidiki, kesana kemari, lagi
pula pemuda itupun bukan orang baik!”
Hening sejenak, setelah itu terdengar lagi suara orang itu
melanjutkan. “Kau menyembunyikan orang perkumpulan Sang
Yen Hwee, pasti mereka tidak akan melepaskanmu!”
“Jangan banyak bicara di sini! Kalau kalian masih tidak mau
pergi, lohu akan mencabut nyawa kalian!”
Suasana di luar gubuk itu berubah menjadi hening sekali.
Rupanya orang-orang itu telah pergi.
Sedangkan Ciok Giok Yin menoleh, memandang gadis itu
dengan bengis dan wajahnyapun penuh diliputi hawa
membunuh.
Mendadak suara Tiong Ciu Sin Ie mengiang lagi di telinganya.
“Nak, ilmu pengobatan tidak membedakan orang jahat maupun
orang baik. Menolong orang adalah perbuatan bajik. Lain
urusan dengan masalah dendam, jangan dicampur adukkan….”
Walau suara itu masih mengiang di telinganya, namun orang
yang berkata itu telah tiada.

Saat ini, kegusaran Ciok Giok Yin menjadi reda.
Kebetulan gadis itu mulai membuka matanya, lalu segera
meloncat turun dari ranjang, dam memberi hormat kepada
Ciok Giok Yin.
“Terimakasih atas pertolongan Anda!” ucapnya.
Ciok Giok Yin amat membenci orang-orang perkumpulan Sang
Yen Hwee, baik lelaki maupun wanita, maka dia Cuma
mendengus dingin.
“Hmm!”
Setelah itu, dia berkata.
“Nona, aku menolong karena ingin mengobatimu! Kelak kita
berjumpa kembali, aku tidak akan mengampuni kalian orangorang
perkumpulan Sang Yen Hwee!”
Usai berkata, Ciok Giok Yin lalu melesat keluar.
Gadis itu tertegun. Kemudian dia jug melesat ke luar
mengejarnya, namun Ciok Giok Yin telah melesat jauh.
Ternyata ginkang gadis itu juga tidak lemah, dia terus
melesat mengejar Ciok Giok Yin, dan tak seberapa lama
kemudian jarak mereka hanya sepuluh depaan.
Mendadak gadis itu membentak.
“Berhenti!”
Suara bentakan gadis itu seakan memiliki suatu kekuatan,
membuat Ciok Giok Yin langsung berhenti, tapi tidak
membalikkan badannya.
“Ada urusan apa?” katanya dengan dingin.
Gadis itu melangkah maju sambil menyahut.

“Memang tidak salah aku orang dari perkumpulan Sang Yen
Hwee, tapi aku tidak ada permusuhan apa-apa denganmu!
Kenapa kau bersikap demikian terhadap seorang anak gadis?
Apakah itu termasuk perbuatan orang gagah?”
“Aku punya dendam dengan perkumpulan Sang Yen Hwee!”
kata Ciok Giok Yin dengan sengit.
Usai berkata, barulah Ciok Giok Yin membalikkan badannya.
Seketika hatinya berdebar-debar tidak karuan, ternyata gadis
itu amat cantik sekali.
“Tapi aku tidak punya dendam denganmu!” bentak gadis itu.
“Benar!”
“Kalau begitu, mengapa sikapmu sedemikian kasar
terhadapku?”
Ciok Giok Yin terdiam.
Padahal sesungguhnya tidak semua orang perkumpulan Sang
Yen Hwee itu jahat. Lagipula dia memang tidak punya dendam
dengan gadis tersebut. Lalu mengapa harus bersikap
sedemikian kasar terhadapnya? Ini sungguh tidak pantas!
Tiba-tiba gadis itu mengucurkan air mata, dan berkata
perlahan-lahan.
“Tuan, kau punya dendam dengan perkumpulan Sang Yen
Hwee, itu adalah urusanmu. Namun kau menyelamatkan
nyawaku, itu merupakan budi yang amat besar. Bolehkah kau
memberitahukan namamu?”
Akan tetapi, mendadak tampak sesosok bayangan merah
berkelebat lalu menghilang.
Air muka gadis itu langsung berubah, dan dia segera melesat
ke dalam rimba, Ciok Giok Yin tertegun.

Dia tidak habis anya, mengapa gadis itu melesat pergi
mendadak? Apakah dia melihat sesuatu di sana?
Tiba-tiba Ciok Giok Yin teringat sesuatu.
“Apakah dia?” serunya tanpa sadar.
Ketika dia baru mau melesat ke sana, sekonyong-konyong
tampak sosok bayangan putih, yang disusul oleh suara
bentakan.
“Siapa?”
Ciok Giok Yin membelalakkan matanyaa. Sosok bayangan
putih itu ternyata Yap Ti Hui.
Wajahnya yang buruk itu tampak dingin sekali, terus menatap
Ciok Giok Yin dengan tanpa perasaan. Ciok Giok Yin segera
menjura.
“Terimakasih Nona telah menolongku beberapa kali,” ucapnya.
“Gadis itu cantik sekali, siapa dia?” anya Yap Ti Hui.
Pernyataan itu membuat Ciok Giok Yin menjadi serba salah
dan merasa jengah.
“Dia… dia adalah orang dari perkumpulan Sang Yen Hwee,”
sahutnya gagap.
Yap Ti Hui tertawa terkekeh.
“Gadis yang begitu cantik, dengan perkataannya, tentunya
kau akan tertarik bergabung dengan perkumpulan Sang Yen
Hwee, tak disangka kau akan punya tulang punggung itu!”
“Harap Nona bicara sopan sedikit!”
“Apakah salah perkataanku?”
Ciok Giok Yin mulai gusar.

“Sungguh keterlaluan!” sahutnya dingin.
Yap Ti Hui tertawa cekikikan lagi.
“Mengapa harus gusar? Kalau kesehatanmu terganggu, tiada
yang akan merawatmu lho! Menurutku, kau memang serasi
dengan dia! Sungguh merupakan pasangan yang ideal! Peduli
amat dengan permusuhan itu, lebih baik kalian….
Yan Ti Hui tidak melanjutkan ucapannya. Dia menatap Ciok
Giok Yin sambil tertawa cekikikan lagi.
Itu membuat sepasang mata Ciok Giok Yin menjadi membara.
“Kedatangan Nona Cuma untuk mengejek diriku?” bentaknya.
“Tidak bermaksud begitu, Cuma….”
“Cuma apa?”
“Kau sudah memperoleh benda pusaka dari Goa Cian Hud
Tong itu?”
“Tidak salah!”
Sepasang bola mata Yap Ti Hui berputar.
“Serahkan padaku!”
“Apa yang diserahkan?”
“Benda pusaka itu!”
Ternyata kemunculan Yap Ti Hui hanya demi benda pusaka
tersebut, oleh karena itu, Ciok Giok Yin tertawa dingin.
“Benda pusaka itu memang ada di tanganku! Kalau Nona
punya kepandaian, silakan ambil!”

“Kau kira aku tidak mampu?”
“Aku tidak bilang begitu!”
Yap Ti Hui mendengus.
“Hmm!” dia menatap Ciok Giok Yin. “Kini aku ada sedikit
urusan penting, lain hari aku pasti kemari mengambilnya!”
Badan Yap Ti Hui bergerak, dia sudah melesat beberapa depa,
lalu masuk ke dalam rimba.
Ciok Giok Yin menggeleng-geleng kan kepala. Ketika dia baru
mau melesat pergi, mendadak terdengar suara yang amat
dingin di belakangnya.
“Tunggu!”
Begitu mendengar suara tersebut, merindinglah sekujur
badan Ciok Giok Yin.
“Bok Tiong Jin (Orang Dalam Kuburan)!” serunya tanpa sadar.
“Betul.”
“Mohon anya ada petunjuk apa?”
Ternyata hingga kini, Ciok Giok Yin tetap menganggap Orang
Dalam Kuburan adalah sesosok arwah.
Walau dia tahu Bok Tiong Jin berada di belakangnya, namun
dia sama sekali tidak berani menoleh ke belakang.
Sebab dia telah dihantui oleh cerita kakek tua berjenggot
putih, bahwa hantu wanita amat menyeramkan. Rambut
panjang, kukunya panjang dan lidahnya pun panjang berdarah.
Maka, dia tidak berani menoleh ke belakang untuk melihat
hantu wanita tersebut.
“Aku Cuma mengingatkan janjimu,” kata Bok Tiong Jin.

“Aku tidak akan lupa.”
“Syukurlah begitu! Namun hatimu sudah mulai menerawang.”
“Maksudmu?”
“Kau berjumpa satu, menyukai satu.”
“Siapa?”
“Gadis berbaju hijau yang kau tolong itu.”
Ciok Giok Yin memang terkesan baik terhadap gadis tersebut,
walaupun dia orang dari perkumpulan Sang Yen Hwee, karena
dia terhadap Ciok Giok Yin, sama sekali tidak berniat jahat.
Akan tetapi, mendadak Ciok Giok Yin teringat pada Bun It
Coan yang dicelakai oleh ketua perkumpulan Sang Yen Hwee,
bernama Lan-Lan. Seketika itu juga hatinya tersentak.
“Aku punya dendam terhadap perkumpulan Sang Yen Hwee.
Meskipun gadis itu secantik bidadari, tetap tidak dapat
menggerakkan hatiku. Aku berjumpa satu, pasti membunuh
satu. Berjumpa dua, pasti membunuh dua.”
“Sungguh enak didengar!”
“Pasti kubuktikan kelak!”
“Urusan kelak tidak dapat dipastikan sekarang, namun yang
jelas, aku pasti mengambil hatimu itu kelak.”
Seketika Ciok Giok Yin merinding.
“Sungguhkah kau ingin mencabut nyawaku?”
“Aku memang bermaksud demikian.”
“Saat ini masih bermaksud demikian.”

“Saat ini masih banyak urusan yang harus kuselesaikan.
Setelah semua urusan beres, kalau kau menghendakiku
menemanimu di alam baka, aku pasti tidak akan menyayangi
nyawaku ini. Tentunya aku akan ke kuburan itu untuk
menyerahkan nyawaku padamu.”
“Tahukah kau di mana kuburanku?”
“Tempat kau memusnahkan racun ular emas itu.”
“Jangan ingkar janji!”
“Tentu.”
Terdengar desiran anya, lalu suasana tempat di tempat itu
berubah menjadi hening. Kini Ciok Giok Yin baru berani
membalikkan badannya perlahan-lahan. Ternyata Bok Tiong Jin
telah pergi, tidak tampak seorangpun di tempat itu. Kini dia
bertambah yakin, bahwa Bok Tiong Jin itu adalah arwah, sebab
desiran anya tadi telah membuktikan itu. Bagaimana mungkin
Ciok Giok Yin berani lama-lama di tempat itu? Dia langsung
melesat pergi. Tak seberapa lama, dia sudah sampai di sebuah
kota kecil.
Karena sudah mendekati tahun baru imlek, maka tidak
mengherankan kalau kota itu ramai sekali, penuh sesak dengan
orang berbelanja untuk merayakan tahun baru Imlek. Agar
tidak mengagetkan orang, Ciok Giok Yin berjalan perlahanlahan
memasuki kota itu. Tanpa sengaja dia melihat
pakaiannya sudah lusuh. Seketika dia berpikir. Mengapa aku
tidak membeli satu stel pakaian baru? Karena itu, dia masuk ke
sebuah dapat pakaian, membeli satu stel pakaian baru warna
biru laut dan sebuah topi bulu. Setelah mengenakan pakaian
baru dan memakai topi baru, kini dia tidak mirip pemuda desa
lagi, melainkan menyerupai seorang sastrawan muda yang
amat tampan.
Sudah barang tentu dia amat menarik perhatian para gadis
kota itu. Mereka mengerlingnya sambil tersenyum-senyum.
Bahkan di antara gadis-gadis itu ada juga yang berani
mengedipkan matanya kearah Ciok Giok Yin, namun Ciok Giok

Yin Cuma mengangkat bahunya. Ciok Giok Yin memasuki
sebuah rumah makan, kebetulan dia melihat seorang tua
bersama seorang gadis sedang memasuki rumah makan itu
juga. Kelihatannya mereka berdua adalah tamu yang sedang
dalam perjalanan. Gadis berbaju ungu itu melirik Ciok Giok Yin,
dan wajahnya langsung tampak kemerah-merahan. Beberapa
langkah kemudian, gadis berbaju ungu itu melirik Ciok Giok Yin
lagi, air mukanya agak serius, namun Cuma sekilas. Orang tua
itu Cuma membeli seguci arak, lalu meninggalkan rumah
makan tersebut. Gadis berbaju ungu terpaksa segera
mengikutinya pergi namun sempat melirik lagi kearah Ciok
Giok Yin. Apa yang sedang dipikirkan gadis berbaju ungu itu,
tiada seorangpun tahu, kecuali dirinya sendiri.
Sedangkan Ciok Giok Yin tahu bahwa gadis berbaju ungu itu
memperhatikannya. Memang harus diakui, gadis itu sungguh
cantik dan tampak kalem dan alim Dari sikap dan gerak
geriknya, Ciok Giok Yin tahu bahwa gadis berbaju ungu itu
berkepandaian tinggi, begitu pula lwee kangnya. Secara tidak
langsung, wajah gadis berbaju ungu itu telah terukir dalam hati
Ciok Giok Yin. Namun mereka berdua Cuma kebetulan
bertemu, maka terkesan baik juga tiada artinya. Ciok Giok Yin
menarik nafas dalam-dalam, kemudian duduk sekaligus
memesan beberapa macam hidangan. Seusai makan dan
membayar makanan pesanannya barulah Ciok Giok Yin berkata
dalam hati. ‘Suhu, tenanglah hatimu! Murid akan pergi
membunuh musuh suhu itu. Mereka harus membayar dengan
nyawa!”
Setelah berkata dalam hati, sepasang matanya memancarkan
sinar yang berapi-api. Mendadak tampak dua sosok bayangan
melesat cepat dari arah depan, Ciok Giok Yin menyingkir ke
samping, agar kedua orang itu lewat. Akan tetapi, kedua orang
itu malah berhenti di hadapan Ciok Giok Yin dengan nafas
tersengal-sengal. Mereka bedua terus menatap Ciok Giok Yin
dengan mata tak berkedip.
Kedua orang itu masih muda dan cukup tampan. Namun wajah
mereka berdua tampak agak gugup.
Itu membuat Ciok Giok Yin agak tercengang.
“Mohon tanya pada Anda berdua, ada urusan apa?” katanya

sambil menjura.
“Maaf, bolehkan kami tahu nama Anda?” salah seorang dari
mereka balik bertanya.
“Namaku Ciok Giok Yin.”
“Ciok Giok Yin?”
“Ya.”
“Bagus sekali!”
“Maksud Anda?”
Pemuda itu maju dua langkah.
“Kami dengar Anda berkepandaian tinggi sekali, Cuma
seorang diri, Anda menyerbu ke kuil Put Toa Si, sehingga amat
mengejutkan Kang Ouw Pat Kiat. Aku amat kagum sekali dan
ingin berkenalan.”
Mendengar ucapan pemuda itu, wajah Ciok Giok Yin pun jadi
agak kemerah-merahan. “Saudara terlampau memuji. Aku
belum tahu nama Saudara berdua”
“Namaku Khouw Yun Yong,” sahut pemuda itu lalu
menunjukkan pemuda yang berdiri di sampingnya. “Dia adik
angkatku bernama Feng Jauw Cang.”
Selama ini, Ciok Giok Yin tidak pernah bergaul dengan
pemuda seusia mereka. Ketika berkelana dalam rimba
persilatan, dia berjumpa Bun It Coan, dan mereka berdua
menjadi teman. Akan tetapi, baru berbicara sejenak, Bun It
Coan sudah mati, membuat Ciok Giok Yin amat sedih. Kini dia
berjumpa dua pemuda yang cukup tampan, maka hatinya amat
girang.
“Ooooh, ternyata saudara Khouw dan saudara Fang.” Dia
memandang kedua pemuda itu. “Mengapa kalian begitu
terburu-buru melakukan perjalanan?”

Khouw Yun Yong menghela nafas panjang.
“Aaaaah! Saudara Ciok, tadi kami berdua berjumpa tiga
penjahat. Mereka bertiga menghadang kami dan melontarkan
kata-kata kasar…” wajah pemuda itu tampak kemerahmerahan.
“Lalu bagaimana?” anya Ciok Giok Yin.
Khouw Yun Yong menggeleng-gelengkan kepala.
“Sulit kukatakan.”
“Tidak jadi masalah.”
Khouw Yun Yong manggut-manggut.
“Ketika penjahat itu kelihatannya ingin menghina kami.
Mereka bertiga langsung menyerang kami dengan maksud
menangkap kami berdua….”
Mendengar penuturan Ciok Giok Yin amat gusar.
“Sungguh keterlaluan ketiga penjahat itu, kemudian
bagaimana?”
Khouw Yun Yong melirik Feng Jauw Cang sejenak, setelah itu
baru menyahut perlahan.
“Tentunya kami berdua tidak rela dihina. Maka kamipun
menangkis serangan-serangan mereka bertiga. Namun
kepandaian ketiga penjahat itu amat tinggi….”
“Apakah kalian berdua berhasil menghajar ketika penjahat
itu?”
“Bagimana segampang itu? Kelihatannya mereka bertiga tidak
tega melukai kami. Rupanya mereka hanya ingin membuat
kami kelelahan, lalu menangkap kami.”

Ciok Giok Yin mengerutkan kening, bertanya.
“Setelah itu, bagaimana?”
“Kami cepat-cepat melarikan diri, tak disangka bertemu
Saudara Ciok di sini.”
Ciok Giok Yin memang berhati ksatria. Lagi pula dia amat
membenci para penjahat. Maka mendengar itu, dia langsung
berkata.
“Saudara Khouw, mari kita ke sana! Aku akan membasmi
mereka, agar tidak mencelakai orang lagi.”
Pang Juaw Cang yang diam itu, terus mengerutkan kening.
Namun sepasang matanya yang bening, juga terus menyapu
kearah Ciok Giok Yin.
“Baik, kita perlahan-lahan,” sahut Khouw Yun Yong.
Mendadak jari tangannya bergerak cepat, menotok jalan
darah Ciok Giok Yin. Meskipun Ciok Giok Yin berkepandaian
tinggi, namun sama sekali tidak siap, dia tidak menduga
pemuda itu akan menyerangnya. Maka dia tidak dapat berkelit,
dan seketika roboh pingsan. Khouw Yun Yong tertawa, dan
cepat-cepat menahan badan Ciok Giok Yin agar tidak roboh ke
tanah. Setelah itu dia memandang Fang Jauw Gang seraya
berkata.
“Ikat dia, bawa pulang!”
Fang Jauw Cang tetap tidak bersuara, hanya segera mengikat
Ciok Giok Yin lalu mengempitnya.
Mereka berdua melesat, dan sekejap sudah hilang dari tempat
itu.
Entah berapa lama kemudian, Ciok Giok Yin siuman perlahanlahan.
Dia membuka matanya, ternyata dirinya berada di
sebuah kamar batu, yang amat gelap. Namun kini lwee
kangnya sudah tinggi, maka sepasang matanya dapat melihat
di tempat gelap.

Sekeliling kamar baru itu tidak terdapat pintu, maka tidak
salah lagi, kamar itu adalah sebuah penjara. Bukan main
gusarnya Ciok Giok Yin. Dia membalikkan badannya, Namun
tidak dapat bergerak sama sekali. Ternyata tangan dan kakinya
telah terikat.
Dia tertawa dingin, lalu berkata dalam hati. ‘Hanya dengan
seutas tali, dapat mengikatku?’ Dia mulai mengerahkan lwee
kangnya untuk memutuskan tali yang mengikat tangan dan
kakinya. Siapa sangka sekujur badannya tak bertenaga sama
sekali, seperti orang yang tidak pernah belajar kungfu. Itu
amat mengejutkan. Lebih terkejut lagi, ternyata dia tidak
berpakaian sama sekali, alias telanjang bulat.
Selain itu, dia pun merasa ada hawa yang amat panas pada
bagian Tantiannya, terus menerjang ke bawah. Dia
mengerutkan kening, ternyata sedang berpikir. ‘Sebetulnya
siapa Khouw Yun Yong dan Fang Jauw Cang?’ Mengapa kedua
orang itu menangkapnya? Ciok Giok Yin tidak pernah berjumpa
dengan mereka, tentunya di antara mereka tidak terdapat
permusuhan apa-apa. Namun mengapa mereka
menangkapnya? Dia terus berpikir, akhirnya berkertak
gigi. Padahal ketika berjumpa dengan mereka berdua, dengan
setulus hati dia ingin bersahabat dengan mereka berdua, tapi
tak disangka mereka berdua malah berhati iblis.
Dia mencoba menghimpun hawa murninya, tapi tetap seperti
tadi, hawa murninya tak dapat dihimpun sama
sekali. Sementara hawa panas di Tantiannya masih terus
menerjang ke bawah. Mendadak air mukanya berubah hebat,
ternyata dia teringat akan sesuatu, ‘celaka’ serunya dalam
hati. Dia teringat akan perkataan Khouw Yun Yong, bahwa ada
tiga penjahat ingin menghina mereka berdua. Apakah mereka
berdua justru yang ingin menghina dirinya? Di sini kata
menghina berarti memperkosa, maka Ciok Giok Yin tidak
berani memikirkan itu. Seandainya dirinya ternoda, selanjutnya
bagaimana menjejakkan kaki lagi di dunia persilatan? Dapat
dibayangkan, betapa gusarnya Ciok Giok Yin!
Seketika ingin rasanya mencincang kedua pemuda itu, untuk
melampiaskan kegusarannya. Namun kini dia telah terjatuh ke
tangan orang. Kecuali terjadi suatu kemujizatan, kalau tidak,

dirinya pasti ternoda. Setelah rasa emosinya berlalu, barulah
dan teringat akan beban-beban yang dibahunya, tiada satu
bebanpun yang diselesaikannya. Kematian Tiong Ciu Sin Ie,
dan kematian Cak Hun Ciu…. Juga mengenai asal-usulnya….
semua itu terbayang di depan matanya. Akhirnya hatinya
terasa berduka sekali, sehingga air matanya mulai
meleleh. Dalam keadaan seperti itu, Ciok Giok Yin Cuma
pasrah. Sementara sang waktu terus berlalu, sedangkan di
dalam kamar batu itu, sama sekali tidak terdengar suara apa
pun. Sebetulnya tempat apa ini? Dan siapa sesungguhnya
Khouw Yun Yong dan Fang Jauw Cang itu?
Di saat Ciok Giok Yin tercekam rasa duka, mendadak
terdengar suara ‘serrr’. Tampak sesosok bayangan berkelebat
ke dalam. Ciok Giok Yin yang bermata tajam, begitu melihat
sudah tahu orang itu adalah Fang Jauw Cang. Ketika Ciok Giok
Yin baru mau membuka mulut mencacinya, Fang Jauw Cang
justru memberi isyarat agar Ciok Giok Yin tidak bersuara.
Disaat bersamaan, wajahnya juga kelihatan tegang sekali.
“Harap jangan bersuara!” katanya dengan suara rendah.
Ciok Giok Yin tidak tahu akan maksud kemunculannya, maka
menatapnya dengan mata membara.
“Bagaimana rasamu?” tanya Fang Jauw Cang.
Ciok Giok Yin berkertak gigi, menekan kegusarannya yang
bergolak di rongga dada.
“Aku…,” sahutnya dingin.
Pang Jauw Cang cepat-cepat menutup mulut Ciok Giok Yin.
“Jangan keras-keras!”katanya.
Wajahnya tetap tampak tegang, dia menoleh ke balakang.
Dilihatnya diselangkangan Ciok Giok Yin, sesuatu yang cukup
panjang mendongak-dongakkan kepala, bagaikan seekor ular
yang sedang mencari mangsanya!

Melihat itu, wajah Fang Jauw Cang langsung berubah menjadi
merah, kemudian mengarah ke tempat lain, dan hatinya terus
berdebar-debar tidak karuan.
Dia tahu apa yang telah terjadi, maka dia cepat-cepat
mengeluarkan sebutir pil warna merah.
“Cepat makan obat ini!” katanya lirih.
Dia menaruh obat itu ke mulut Ciok Giok Yin, namun Ciok
Giok Yin tidak tahu dia berniat jahat atau baik, maka dia
menutup mulutnya rapat-rapat. Apa boleh buat! Fang Jauw
Cang terpaksa membuka mulutnya, lalu memasukkan obat
itu. Setelah itu dia berkata dengan suara rendah.
“Cepat himpun hawa murnimu! Jangan salah paham, aku
kemari untuk menyelamatkanmu!”
Wajah Fang Jauw Cang tampak serius dan bersungguhsungguh.
Kini obat itu telah berada di mulut Ciok Giok Yin, namun dia
masih ragu untuk menelannya. Setelah berpikir sejenak,
akhirnya ditelannya juga obat itu. Setelah menelan obat itu,
rasa panas di Tantiannya hilang seketika. Sedangkan Fang
Jauw Cang cepat-cepat melepaskan tali yang mengikat kaki
dan tangan Ciok Giok Yin, kemudian melempar sebuah
buntalan ke hadapannya seraya berkata.
“Ini pakaianmu, cepat pakai!”
Di saat bersamaan, mendadak terdengar suara melangkah di
luar.
Jilid 07
Seketika wajah Fang Jauw Cang berubah menjadi pucat pias
dan dia langsung meloncat ke sisi pintu, siap melancarkan
pukulan. Sedangkan Ciok Giok Yin cepat-cepat mengenakan
pakaian. Kini dia yakin Fang Jauw Cang memang ingin

menyelamatkannya, hanya saja sepasang matanya yang
bening sering melirik kearah selangkangannya, itu
membuatnya merasa tidak enak. Akan tetapi, suara langkah di
luar itu makin lama makin jauh. Setelah itu barulah Ciok Giok
Yin berkata dengan suara rendah.
“Terima kasih Saudara Fang telah menyelamatkanku. Budi
baikmu takkan kulupakan selama-lamanya.”
Akan tetapi, sepasang bola mata Fang Jauw Cang malah
berputar, kemudian dia berkata ringan.
“Kini bukan saatnya berbicara, cepat pergi!”
Wajahnya masih tampak tegang sekali. Usai berkata,
tangannya menekan dinding batu, dan seketika dinding batu itu
terbuka sedikit. Fang Jauw Cang melongok ke luar, ternyata di
luar tidak tampak seorangpun. Maka dia segera melambaikan
tangannya kearah Ciok Giok Yin agar keluar. Ciok Giok Yin
cepat-cepat mengikutinya dari belakang. Sambil berjalan, Ciok
Giok Yin menengok ke kiri anya kanan. Dilihatnya banyak
kamar batu dan terdengar pula banyak suara, tapi tidak
terdengar jelas suaranya.
Dia mendongakkan kepala melihat, hanya tampak batu,
pertanda tempat itu adalah sebuah goa. Ciok Giok Yin terus
mengikuti Fang Jauw Cang melewati lorong yang berlikuliku.
Mendadak terdengar suara geraman di kamar batu
sebelah kiri. Ciok Giok Yin terperangah, sehingga langkahnya
terhenti. Fang Jauw Cang segera menariknya.
“Jangan lihat, harus segera meninggalkan tempat ini!”
bisiknya.
Namun Ciok Giok Yin tidak bergerak, malah memandang
kamar batu itu melalui jendela. Seketika dia terbelalak,
kemudian matanya berapi-api, ternyata di dalam kamar batu
itu terdapat empat pemuda tampan dalam keadaan bugil
dengan tangan dan kaki terikat. Menyaksikan itu, timbullah
kegusaran Ciok Giok Yin. Dia mengangkat sebelah tangannya
siap…. Akan tetapi, Fang Jauw Cang cepat-cepat menarik

lengannya, seraya berkata dengan nada memohon.
“Kau tidak boleh turun tangan, sebab kalau menimbulkan
suara, sulit bagimu meninggalkan tempat ini.”
Usai berkata, Fang Jauw Cang Iangsung menariknya pergi.
Ketika mereka berdua melewati sebuah pintu samping,
mendadak terdengar suara bentakan.
“Siapa?”
Seketika wajah Fang Jauw Cang berubah dan dia segera
menarik Ciok Giok Yin ke samping, lalu memberatkan
langkahnya seraya menyahut.
“Aku!”
“Mau apa kau kemari?” anya seseorang dari dalam.
Ciok Giok Yin mengenali suara itu, tidak lain adalah suara
Kouw Yun Yong. Seketika mata Ciok Giok Yin membara,
kelihatannya dia sudah siap….
Gerak-geriknya itu tidak terlepas dari mata Fang Jauw Cang,
maka Fang Jauw Cang langsung memberi isyarat agar Ciok
Giok Yin tidak bergerak sembarangan. Namun Ciok Giok Yin
berbisik tersendat-sendat.
“Aku… aku….”
“Kenapa kau?”
“Tidak ada apa-apa.”
Mendadak terdengar suara Khouw Yun Yong.
“Apakah kau sudah gatal? Tapi kau masih belum waktunya.
Kelak aku akan memberitahukan pada ayah, pilih yang terbaik
untukmu.”
Fang Jauw Cang menghela nafas panjang, lalu menarik Ciok

Giok Yin pergi. Akan tetapi, ketika Ciok Giok Yin baru berjalan
beberapa langkah, mendadak terdengar suara aneh di kamar
batu sebelah kanan. Itu adalah suara rintihan kenikmatan
lelaki, tentunya membuat Ciok Giok Yin terheran-heran. Dia
tidak mempedulikan isyarat Fang Jauw Cang, melainkan malah
mendekati jendela kamar batu itu. Setelah itu, dia mengintip
ke dalam melalui cela-cela jendela tersebut. Seketika wajahnya
menjadi memerah, bahkan hatinya pun berdebar-debar tidak
karuan. Ternyata di dalam kamar batu itu, terdapat sebuah
ranjang besar. Di atas ranjang besar itu tampak berbaring
seorang wanita dalam keadaan telanjang bulat. Di atas tubuh
wanita itu, terdapat seorang pemuda yang berotot kuat, juga
dalam keadaan telanjang bulat, sedang berayun-ayun
mengadakan hubungan intim dengan wanita itu. Akan teapi,
berselang sesaat, wanita itu mendorong pemudah berotot itu
ke samping.
Saat ini di sini ranjang besar itu, masih berdiri enam pemuda
tampan, diantaranya Khouw Yun Yong. Salah seorang pemuda
mendekati ranjang besar itu, seraya berkata dengan suara
ringan.
“Suhu….”
Sebelum pemuda itu usai berkata, wanita itu sudah
mengerlingnya seraya berkata.
“Kuberikan padamu.”
Pemuda yang berotot tadi turun dari ranjang. Pemuda tampan
lain segera memasukkan sebutir pil ke dalam mulut pemuda
berotot itu lalu berjalan pergi melalui pintu samping. Wanita itu
tersenyum, kemudian berseru merdu.
“Kemarilah? “
Tampak seorang pemuda tampan langsung meloncat ke atas
ranjang bagaikan macam kelaparan. Pemuda tampan itu
segera memeluknya erat-erat. Ketika dia sudah siap melakukan
itu, kelima pemuda termasuk Khouw Yun Yong, tampak
memerah wajah mereka dan tubuh mereka pun agak

gemetar. Mereka terus menelan ludah. Rupanya terangsang
oleh pemandangan itu, membuat nafsu birahi mereka
bangkit. Sementara Ciok Giok Yin sudah siap menerjang ke
dalam, namun Fang Jauw Cang langsung menariknya
pergi. Karena mereka terburu-buru, mereka menimbulkan
suara. Mendadak terdengar suara bentakan.
“Siapa?”
Tiada sahutan. Suasana ditempat itu menjadi hening. Tampak
sosok bayangan melesat ke luar mengejar. Fang Jauw Cang
mana berani menyahut? Dia terus menarik Ciok Giok Yin berlari
secepat-cepatnya. Terdengar suara langkah di belakang
mereka, kemudian terdengar suara bentakan keras.
“Berhenti!”
“Kalau tidak berhenti, kalian akan segera mati!”
“Ih! Fang Jauw Cang!”
“Kau sungguh berani, makan di dalam merusak di dalam
pula!”
“Kau harus tahu kelihayan orang-orang Ban Hoa Tong (Goa
Selaksa Bunga)!”
Akan tetapi, berselang beberapa saat kedua orang itu telah
melesat keluar dari Ban Hoa Tong.
Wajah Fang Jauw Cang sudah pucat pias.
“Saudara Ciok, kau harus cepat-cepat kabur!” katanya.
“Bagaimana Saudara Fang?”
“Aku….”
Wajah Fang Jauw Cang tampak muram, dan sekujur
badannya gemetar.

“Mari kita kabur bersama!” ajak Ciok Giok Yin.
Fang Jauw Cang membanting kaki saking gugupnya.
“Jangan pedulikan aku, kau cepat kabur! Kalau terlambat,
pasti celaka!”
“Tidak!”
“Kau tidak tahu kelihayan Ban Hoa Tongcu (Majikan Goa
Selaksa Bunga), kau lekas kabur saja!”
Akan tetapi, sudah tampak beberapa bayangan berkelebat
kearah mereka.
“Kabur? Mau kabur ke mana?” bentak salah seorang dari
mereka.
Seketika tampak tujuh delapan pemuda muncul di situ,
termasuk Khouw Yun Yong. Mereka telah mengepung Ciok Giok
Yin dan Fang Jauw Cang. Saat ini ditempat itu telah diliputi
hawa membunuh! Fang Jauw Cang merapatkan badannya pada
Ciok Giok Yin. Sekujur badannya terus bergemetar seperti
kedinginan.
Khouw Yun Yong menatap Fang Jauw Cang dengan mata
berapi-api.
“Kau sungguh berani melepaskan tawanan! Dengan susah
payah aku menangkapnya, namun kau malah melepaskannya!
Tahukah kau peraturan di sini?” bentaknya gusar.
“Aku… aku… suheng!” sebut Fang Jauw Cong dengan gemetar
dan terputus-putus. Khouw Yun Yong maju melangkah.
“Bagus kau tahu! Kuperintahkan kau cepat tangkap dia, agar
hukumanmu dapat diringankan!”
Fang Jauw Cang termundur dua langkah.
“Aku… aku…” katanya gagap.

“Kau berani membangkang perintahku? Mau cari mati?”
bentak Khouw Yun Hang gusar. Mendadak sepasang tangannya
bergerak, menyerang kearah Fang Jauw Cang.
“Dasar tak tahu malu, kau barani!” bentak Ciok Giok Yin
mengguntur. Dia amat membenci Khouw Yun Yong, maka
mengerahkan delapan bagian lwee kangnya untuk menyerang
Khouw Yun Yong. Tentunya dapat dibayangkan, betapa
dahsyatnya pukulan yang dilancarkannya itu. Pukulan itu
menimbulkan suara menderu-deru bagaikan topan. Ternyata
Ciok Giok Yin menggunakan ilmu pukulan Soan Hong Ciang.
Sang Ti It Koay terkenal karena ilmu pukulan tersebut, namun
dia sendiri belum berhasil melatih ilmu pukulan itu seperti
keberhasilan yang dicapai Ciok Giok Yin. Kalau Sang Ting It
Koay masih hidup dan menyaksikan hasil yang diperoleh Ciok
Giok Yin, pasti merasa bangga sekali! Namun masih ada satu
orang yang telah berhasil menguasai ilmu pukulan Soan Hong
Ciang hingga tingkat yang amat tinggi, tidak lain adalah Chiu
Tiong Thau, murid murtad Sang Ting It Koay! Demi menuntut
balas dendamnya, justru tanpa sengaja Sang Ting It Koay telah
menyelamatkan Ciok Giok Yin.
Ketika Ciok Giok Yin melancarkan pukulan itu, Khouw Yun
Yong sudah tahu akan kehebatan ilmu pukulan tersebut, maka
cepat-cepat berkelit. Di saat bersamaan, pemuda-pemuda lain
sudah menerjang kearah Fang Jauw Cang. Demi
menyelamatkan Ciok Giok Yin, Fang Jauw Cang terpaksa harus
bertarung dengan saudara-saudara seperguruannya. Dia
berharap, sebelum mati dapat melihat Ciok Giok Yin pergi
dengan selamat. Itu merupakan harapan satusatunya.
Sementara kegusaran Ciok Giok Yin telah memuncak,
bagaimana mungkin melepaskan Khouw Yun Yong begitu
saja? Oleh karena itu, dia menggunakan ilmu pukulan Hong Lui
Sam Ciang, mengeluarkan jurus pertama Terbang. Tampak
badan Ciok Giok Yin mencelat ke atas, kemudian berputar dan
sepasang telapak tangannya berkelebatan. Terdengar suara
gemuruh, mengarah pada Khow Yun Yong.
Seketika terdengar suara jeritan yang menyayat hati, dan
tampak darah segar muncrat ke mana-mana. Ternyata Khouw
Yun Yong sudah tergeletak binasa di lantai. Kali ini Ciok Giok

Yin menggunakan jurus tersebut, merasa lwee kangnya
bergolak, tapi tidak merasa aliran darahnya mengalir
terbalik. Dia paham itu karena Pil Api Ribuan Tahun, telah
menambah lwee kangnya.
Setelah berhasil membunuh Khouw Yun Yong, semangat Ciok
Giok Yin menjadi bangkit. Dia menengok kearah Fang Jauw
Cang, kelihatannya sudah mulai kewalahan menghadapi
mereka, bahkan mulutnya sudah mengeluarkan darah.
Itu pertanda dia telah terluka dalam. Dia berusaha matimatian
menyelamatkan Ciok Giok Yin, namun kini justru telah
terluka parah. Menyaksikan itu, Ciok Giok Yin menggeram.
“Yang tidak takut mati boleh maju!”
Tampak sepasang tangannya bergerak, dan seketika
terdengar suara menderu-deru. Ketujuh pemuda yang tadinya
mengeroyok Fang Jauw Cang, kini berbalik mengeroyok Ciok
Giok Yin.
Serangan yang mereka lancarkan sangat dahsyat, sehingga
Ciok Giok Yin terdesak ke belakang dua langkah dan matanya
terasa berkunang-kunang. Di saat bersamaan, Fang Jauw Cang
juga memuntahkan darah segar karena terpukul oleh seorang
pemuda. Badannya sempoyongan nyaris roboh. Bukan main
terkejutnya Ciok Giok Yin! Dia ingin menolongnya tapi
terhadang oleh pemuda-pemuda itu maka dia jadi
gugup. Kelihatannya Fang Jauw Cang akan binasa di tangan
pemuda itu. Namun mendadak tampak sosok bayangan
meluncur turun. Seketika terdengar pula suara
jeritan. Ternyata pemuda yang ingin membunuh Fang Jauw
Cang itu telah roboh berlumuran darah, dan tak dapat bangun
lagu. Begitu melihat orang yang baru muncul itu, bukan main
girangnya Ciok Giok Yin!
“Lo cianpwee!” serunya.
Siapa yang baru muncul itu? Ternyata Heng Thian Ceng.
“Bocah temanmu telah terluka parah, cepat bawa dia pergi!”
kata Hen Tian Cang. Usai berkata Heng Thian Ceng pun
menyerang pemuda-pemuda itu. Ciok Giok Yin segera

mendekat Fang Jauw Gang, dan menggenggam tangannya
seraya berkata.
“Saudara Fang merasa….”
Ucapan Ciok Giok Yin terputus karena tiba-tiba Fang Jauw
Cang memuntahkan darah segar dan kemudian pingsan. Ciok
Giok Yin langsung mengempitnya ingin membawa pergi. Akan
tetapi mendadak terdengar suara tawa terkekeh-kekeh. Suara
tawa itu sepertinya mengandung suatu kekuatan, membuat
hati Ciok Giok Yin tergetar-getar. Tanpa sadar dia melesat ke
tempat suara tawa itu.
“Bocah, kau masih belum membawa pergi temanmu yang
terluka itu? Mau tunggu kapan?” bentak Hang Thian Ceng.
Suara bentakan Heng Thian Ceng menyadarkan Ciok Giok Yin.
“Bagaimana lo cianpwee?”
“Aku akan menghadang mereka, cepat pergi! Kalau
terlambat, sulit meloloskan diri!”
Sementara suara tawa itu masih terdengar terkekeh-kekeh
tak henti-hentinya. Heng Thian Ceng langsung mengeluarkan
suara siulan panjang. Ciok Giok Yin melihat wajahnya agak luar
biasa, mana berani ayal lagi? Dia langsung menyambar Fang
Jauw Cang sekaligus membawanya pergi. Suara tawa terkekehkekeh
itu mulai tak kedengaran, namun Ciok Giok Yin sama
sekali tidak berani melambankan langkahnya. Dia terns
melesat laksana kilat.
Tak terasa keringat dinginnya mulai mengucur. Tampak
sesosok bayangan merah berkelebat, ternyata Heng Thian
Ceng sudah menyusulnya.
“Bocah, kau sungguh berani! Bagaimana kau cari gara-gara
dengan Ban Hoa Tongcu? Apakah kau sudah bosan hidup?”
katanya.
“Aku tidak pernah cari gara-gara dengannya,” sahut Ciok Giok

Yin. Dia segera menutur tentang kejadian itu. Barulah Heng
Thing Ceng mengerti.
“Coba kau lihat bocah yang kau kempit itu, bagaimana
keadaannya?”
Kini mereka sudah memasuki sebuah rimba. Ciok Giok Yin
menggeleng-geleng kepala.
“Demi menyelamatkanku, dia sama sekali tidak memikirkan
nyawanya sendiri. Dia bertarung dengan saudara-saudara
seperguruannya. Meskipun jantungnya belum anya, namun
luka dalamnya amat parah. Apa yang harus kulakukan?”
“Bukankah kau telah mewarisi ilmu pengobatan Tiong Ciu Sin
Ie? Apakah kau tidak mampu mengobatinya?”
Ciok Giok Yin menyahut dengan wajah murung.
“Aku memang menyimpan obat Giok Ju, namun Cuma dapat
menahan luka dalam agar tidak bertambah parah. Kalau ingin
mengobatinya, harus cari tempat yang sepi, menggunakan
lwee kang untuk mengobatinya. Tapi… orang yang
mengobatinya, dalam waktu setengah tahun, tidak boleh
bergebrak dengan siapa pun.”
Heng Thian Ceng menundukkan kepala, sambil berpikir,
berselang sesaat dia berkata.
“Dapat tertolong.”
“Mohon petunjuk lo cianpwee!”
“Agar temanmu ini cepat sembuh, harus pergi ke Bu Ceng
Kok (Lembah Tanpa Perasaan), untuk memohon sebutir pil Sui
Seng Tan (Pil Penyambung Hidup), Cuma ini jalan satusatunya,
tiada jalan lain lagi.”
“Bu Ceng Kok?”
“Ng!”

Ciok Giok Yin terperangah, seab selama ini dia tidak pernah
mendengar tentang Bu Ceng Kok.
“Di mana lembah itu?”
“Kau mau ke sana?”
“Tentu.”
“Tahukah kau peraturan di lembah itu apabila ingin memohon
sebutir pil Sui Seng Tan?”
“Peraturan?”
“Tidak salah.”
“Peraturan apa?”
“Bagi siapapun yang ingin memohon sebutir pil tersebut,
harus menyerahkan diri padanya selama-lamanya. Lagi pula
harus setulus hati.” Sahut Heng Thian Ceng dengan diam. Dia
menatap Ciok Giok Yin. “Setelah menyerahkan diri pada Kokcu
(Majikan Lembah), dia pula akan mengatur dirimu.”
“Apakah masih diperbolehkah berkecimpung di dunia
persilatan?”
“Tentang itu, aku tidak tahu sama sekali.”
Ciok Giok Yin mengerutkan kening.
“Lo cianpwee aku ingin ke sana melihat-lihat.”
Heng Thian Ceng tampak tercengang.
“Kau tidak punya cara lain untuk mengobatinya?”
“Tidak.”
Heng Thian Ceng berpikir sejenak.

“Mari berangkat!” katanya kemudian.
Heng Thian Ceng melesat pergi. Ciok Giok Yin cepat-cepat
mengempit Fang Jauw Cang, lalu melesat pergi mengikuti Heng
Thian Ceng. Dalam perjalanan, Ciok Giok Yin terus berpikir.
Apabila Bu Ceng Kokcu melarangnya berkecimpung di dunia
persilatan lagi, lalu bagaimana dengan semua urusannya?
Bukankah akan kandas begitu? Oleh karena itu, dia masih
belum mengambil keputusan untuk berangkat ke Bu Ceng
Kok. Akan tetapi apabila tidak berangkat ke sana, tentunya
tidak dapat menyembuhkan luka Fang Jauw Cang. Seandainya
dia yang mengobati Fang Jauw Cang dengan menggunakan
lwee kang, sudah jelas dia harus beristirahat setengah tahun.
Selain itu, dia pun tidak boleh bertarung dengan siapapun
kalau memaksa diri bertarung, akan membuatnya cacat
seumur hidup, bahkan kemungkinan besar akan merenggut
nyawanya. Oleh karena itu, setelah berpikir berulang kali,
akhirnya dia mengambil keputusan terus berangkat ke Bu Ceng
Kok untuk bermohon sebutir pil Sui Seng Tan. Asal Bu Ceng
Kokcu memperbolehkannya berkecimpung di dunia persilatan
setengah tahun, dia pasti menyelesaikan semua urusannya
dalam waktu tertentu itu, barulah kembali ke lembah Bu Ceng
Kok untuk menyerahkan diri. Fang Jauw Cang adalah
penolongnya. Dia sama sekali tidak mementingkan nyawanya
sendiri, bahkan rela berkorban demi Ciok Giok Yin. Apabila dia
tidak berupaya menyelamatkannya, apakah dia masih terhitung
orang gagah?
Karena itu, Ciok Giok Yin harus berupaya menyelamatkannya,
meskipun harus mengorbankan dirinya sendiri. Lagi pula dia
telah mengambil keputusan untuk berkawan selama-lamanya
dengan Fang Jauw Cang. Entah berapa lama kemudian,
mendadak Heng Thian Ceng menghentikan langkahnya.
“Sudah sampai,” katanya sambil memandang Ciok Giok Yin.
Ciok Giok Yin memandang ke depan. Tampak puncak gunung
menjulang tinggi ke langit menembus awan.

“Sungguh indah puncak gunung itu!” serunya tanpa sadar.
Kemudian dia menoleh memandang Heng Thian Ceng.
“Lo cianpwee, Bu Ceng Kok terletak di mana?”
“Lembah itu,” sahut Heng Thian Ceng sambil menunjuk
kearah kiri.
Ciok Giok Yin memandang ke tempat yang ditunjuk Heng
Thian Ceng, tempat itu amat gelap, membuat orang merasa
seram. Dia menaruh Fang Jauw Cang di atas sebuah batu,
kemudian berkata pada Heng Thian Ceng.
“Lo cianpwee, tolong jaga dia sebentar, aku mau ke sana!”
Ketika Ciok Giok Yin baru melesat, Heng Thian Ceng segera
menjulurkan tangannya.
“Tunggu!”
“Ada petunjuk apa, lo cianpwee?”
“Sekarang kau ke sana. Seandainya mereka menjodohkanmu,
lalu bagaimana tanggung jawabmu terhadap Cak Hun Ciu?”
Ciok Giok Yin tersentak ketika mendengar ucapan Heng Thian
Ceng itu. Sebelum mati, Cak Hun Ciu memang telah
menjodohkan putrinya yang bernama Li Ling Ling pada Ciok
Giok Yin. Namun kini demi kawan baiknya, mau tidak mau dia
harus mengeraskan hati memasuki lembah itu. Kini setelah
Heng Thian Ceng mengajukan pertanyaan tersebut, justru
membuat Ciok Giok Yin tertegun.
“Sementara ini aku belum dapat memikirkan itu,” sahutnya.
“Jangan lupa! Masih ada Nona Ho yang di Goa Toan Teng.
Harus bagaimana kau mengurusinya?” tanya Heng Thian Ceng
lagi. Ciok Giok Yin termangu-mangu, kemudian memandang

Heng Thian Ceng seraya bertanya.
“Lo cianpwee, urusan sudah begini, aku harus bagaimana?”
Heng Thian Ceng mengerutkan kening.
“Bocah, kau di sini saja, biar aku yang pergi melihat-lihat.”
“Itu mana boleh?”
“Kenapa tidak boleh?”
“Aku tidak boleh membiarkan lo cianpwee ke Lembah Bu
Ceng Kok, sebab Fang Jauw Cang adalah temanku.”
Heng Thian Ceng mengibaskan tangannya.
“Usiaku sudah tua, tidak mungkin mereka akan mencari
seorang tua anya.”
“Lagi pula, berdasarkan sedikit mukaku, mereka masih harus
memberi sedikit pengertian.”
Usai berkata, tanpa menunggu persetujuan Ciok Giok Yin,
Heng Thian Ceng langsung melesat kearah lembah itu. Ciok
Giok Yin terpaksa berdiri di sisi batu besar itu, menjaga Fang
Jauw Cang. Dia memperhatikan wajah Fang Jauw Cang,
tampak begitu halus, Cuma pucat pias lantaran terluka
parah. Ciok Giok Yin berkata dalam hati. ‘Dia mirip sekali
seperti anak gadis.’
Mendadak Ciok Giok Yin menegur dirinya sendiri dalam hati.
‘Ciok Giok Yin! Kau sungguh keterlaluan! Dia telah
menyelamatkan dirimu, malah kau memikirkan yang bukan
atas dirinya!’ Dia segera memandang ke tempat lain.
Sekonyong-konyong sesosok bayangan merah melayang
turun di hadapannya, ternyata Heng Thian Ceng. Ciok Giok Yin
mengira Heng Thing Ceng telah berhasil memperoleh sebutir pil
Sui Beng Tan, maka cepat-cepat menyapanya.
“Lo cianpwee kok sedemikian cepat?”

Heng Thaing Ceng menghela nafas panjang, menggelenggeleng
kepala seraya menyahut.
“Tidak jadi!”
“Apa yang tidak jadi?”
“Ternyata lembah Bu Ceng Kok melarang kaum wanita
memohon obat, walau aku sudah mendebat dengan mereka,
namun mereka tetap melarangku masuk. Apa boleh buat,
terpaksa kau yang ke sana.”
“Kalau begitu, lo cianpwee tolong jaga dia.”
Ciok Giok Yin segera melesat ke lambah itu.
Ketika dia baru mau masuk, tiba-tiba terasa ada desiran anya
yang amat kuat menahan dirinya. Dan disaat bersamaan
terdengar suara yang amat dingin.
“Siapa kau? Besar sekali nyalinya mengacau di sini!”
Ciok Giok Yin berkelit ke samping. Dia tahu diri. Karena saat
ini dia ada perlu memohon pada Bu Ceng Kokcu, maka tidak
berani bertindak gegabah. Dia mendongakkan kepala, tampak
seorang lelaki berusia pertengahan. Menghadang di depannya
dengan wajah dingin. Ciok Giok Yin segera memberi hormat.
“Aku bernama Ciok Giok Yin. Tujuanku kemari untuk
memohon sebutir pil Sui Beng Tan.”
“Kau tahu peraturan di sini?”
“Tahu.°
“Silakan masuk!”
Lelaki itu menyingkir ke samping. Ciok Giok Yin berjalan ke
dalam. Berselang beberapa saat, tampak sederet rumah
bersandar pada tebing gunung. Salah satu di antara rumahKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
rumah itu amat besar dan megah. Sedangkan orang-orang
yang berlalu lalang di dalam lembah itu, semuanya kelihatan
tak berperasaan, dan kelihatan seperti banyak urusan
mengganjel dalam hati. Ciok Giok Yin berjalan menuju rumah
besar itu, dan langsung masuk ke ruang depan, akan tetapi
muncul enam lelaki berusia pertengahan menghadangnya.
“Siapa kau?” anya selang seorang di antara mereka.
“Ciok Giok Yin.”
“Ada urusan apa kau dong kemari?’
“Ingin memohon sebutir pil Sui Beng Tan.”
“Harap tunggu!”
Lelaki itu masuk ke dalam, namun sesaat kemudian telah
keluar lagi.
“Kokcu menunggumu di dalam, silakan masuk!” kata lelaki
itu.
Ciok Giok Yin melangkah ke dalam, ternyata Bu Cing Koksu
berada di situ di kursi, wajahnya dingin sekali. Namun
sepasang matanya bersinar tajam, menatap Ciok Giok Yin
dengan penuh perhatian.
“Kau ingin memohon sebutir pil Sui Beng tan?” anya orang
tua kecil kurus itu.
Ciok Giok Yin mengangguk.
“Ya.”
“Tahukah kau peraturan di lembah ini?”
“Tahu.”
“Bagus!”

“Mohon tanya pada Kokcu, selanjutnya apakah aku boleh
keluar?” tanya Ciok Giok Cu.
“Tidak boleh.”
“Apakah seumur hidup aku harus tinggal di dalam lembah
ini?”
“Itu rahasia lembah ini, sebelum kau resmi menyerahkan diri,
rahasia itu tidak dapat diberitahukan.”
“Aku ingin tahu sedikit.”
“Tidak dapat diberitahukan.”
Seandainya benar Bu Ceng Kokcu melarangnya meninggalkan
lembah Bu Ceng Kok, bukankah seumur hidupnya akan habis di
dalam lembah ini? Berselang sesaat, Ciok Giok Yin berkata.
“Aku dengar, orang yang kemari memohon obat, harus
menuruti perkataan Kokcu, juga Kokcu akan menjodohkan
orang tersebut. Apakah benar urusan ini?”
“Tidak salah.”
“Aku akan menuruti semua perkataan Kokcu, hanya
bermohon Kokcu sudi memberiku waktu setengah tahun, agar
aku dapat menyelesaikan semua urusanku. Setelah itu, aku
akan kembali ke sini.”
Orang tua kecil kurus itu menyahut dengan wajah tak
berperasaan.
“Selama ini tiada kecuali.”
Berhenti sejenak, lalu melanjutkan.
“Kau terlampau cerewet, kalau kau merasa kesulitan, , lebih
baik pergi saja.”
Usai berkata, orang tua kecil kurus itu bangkit berdiri,

kelihatannya ingin meninggalkan ruang itu.
Sudah barang tentu amat mencemaskan Ciok Giok Yin.
“Harap Kokcu tunggu sebentar!” serunya.
Bu Ceng Kokcu tetap berdiri.
“Katakan!”
“Aku mohon sedikit petunjuk.”
“Tentang apa?”
“Untuk apa Kokcu memiliki pil Sui Beng Tan?”
“Menolong orang.”
“Kalau memang untuk menolong orang, mengapa orang yang
memohon obat itu harus menyerahkan diri pada Kokcu?”
“Ini sudah merupakan peraturan di sini.”
“Siapa yang membuat peraturan itu?’
“Lohu.”
Ciok Giok Yin tertawa gelak,
“Aku ikut Tiong Ciu Sin Ie….”
Mendadak Bu Ceng Kokcu memotong cepat.
“Tiong Ciu Sin Ie?” sergah Bu Cing Koksu.
“Ng”
“Apa hubunganmu dengan Tiong Ciu Sin Ie?”

Wajah Bu Ceng Kokcu tampak aneh, begitu pula sepasang
matanya, menyorot sinar aneh pula. Sedangkan Ciok Giok Yin
tidak tahu, antara Tiong Ciu Sin Ie dan Bu Ceng Kokcu terdapat
budi atau dendam. Namun tadi sudah mengatakan begitu,
tentunya tidak dapat ditarik kembali. Oleh karena itu, dia
menyahut lantang.
“Sejak kecil aku ikut beliau, juga belajar ilmu pengobatan….”
“Kau telah mewarisi ilmu pengobatannya, kenapa tak mampu
mengobati orang?” sergah Bu Ceng Kokcu lagi.
“Tentu mampu.”
“Kalau begitu, mengapa kau kemari minta pil Sui Beng Tan?”
“Aku dengar pil tersebut amat mujarab.”
“Baik, kuhadiahkan sebutir pil Sui Beng Tan padamu.” Kata
Bu Ceng Kokcu.
Kemudian dia memandang orang yang berdiri di ruangan itu
seraya berkata.
“Ambilkan sebutir pil Beng Tan!”
Perubahan yang mendadak itu, sungguh membuat Ciok Giok
Yin tertegun dan tidak habis anya. Sebetulnya Bu Ceng Kokcu
dan Tiong Ciu Sin Ie punya hubungan apa. Bu Ceng Kokcu
kembali duduk. Suasana di ruangan itu berubah menjadi
hening.
“Maaf! Bolehkah aku tahu ada hubungan apa Kokcu dengan
Tiong Ciu Sin Ie?”
“Dulu dia pernah menyelamatkan nyawaku, maka kini aku
menghadiahkan sebutir pil Sui Beng Tan padamu, hitunghitung
aku membalas budinya.” Sahut Bu Cing Kokcu.
“Selain Tiong Ciu Sin Ie, apakah masih ada orang lain yang
boleh minta obat tanpa syarat?” anya Ciok Giok Yin lagi.

“Kau terlampau banyak bertanyak.”
Sementara orang yang masuk ke dalam tadi sudah kembali
lagi.
“Berikan padanya, antar tamu!” kata Bu Ceng Kokcu.
Tampak badan Bu Ceng Kokcu berkelebat, kemudian
menghilang di pintu samping. Ciok Giok Yin menerima pil
tersebut, kemudian tanpa banyak bicara lagi dia melesat pergi.
Dalam waktu sekejap dia sudah meninggalkan Lembah Bu
Ceng Kok. Akan tetapi, sungguh di luar dugaan! Tidak tampak
Heng Thian Ceng dan Fang Jauw Cang berada di tempat itu,
dan sama sekali tidak meninggalkan jejak. Bukan main
terkejutnya Ciok Giok Yin, dia bertanya dalam hati. ‘Apakah
telah terjadi sesuatu atas diri mereka?’ Mendadak terdengar
suara bentakan keras menembus angkasa. Ciok Giok Yin
mengenali suara bentakan itu, tidak lain adalah suara bentakan
Heng Thian Ceng.
Dia langsung melesat ka arah suara bentakan itu, dan dalam
sekejap sudah tiba di tempat itu. Tampak Heng Thian Ceng
mengempit Fang Jauw Cang, sedang bertarung dengan tujuh
pemuda. Terdengar ketujuh pemuda itu membentak.
“Turunkan dia!”
“Kalau kau tidak turunkan dia, jangan harap dapat pergi dari
sini!”
Heng Thian Ceng tertawa dingin.
Mendadak dia melancarkan beberapa pukulan, namun Cuma
membuat mereka mundur satu langkah. Setelah itu, mereka
mulai mengepung Heng Thian Ceng.” Sebenarnya, tidak sulit
bagi Heng Thian Ceng untuk meloloskan diri. Sedangkan bagi
ketujuh pemuda, untuk merebut Fang Jauw Cang dari
tangannya, juga tidak gampang. Menyaksikan itu, Ciok Giok Yin
langsung berseru.

“Lo cianpwee tidak usah gugup!”
Dia menerjang kearah pemuda-pemuda itu, namun mendadak
Heng Thian Ceng melempar Fang Jauw Cang ke arahnya seraya
berseru.
“Sambut!”
Ciok Giok Yin bergerak cepat menyambut Fang Jauw Cang,
lalu melesat jauh dari tempat itu. Setelah itu, dia memasukkan
pil Sui Bang Tan ke dalam mulut Fang Jauw Cang. Jari
tangannya juga bergerak menotok beberapa jalan darahnya,
agar Fang Jauw Cang cepat pulih. Saat ini Heng Thian Ceng
sudah dapat bergerak leluasa. Tampak sepasang tangannya
berkelebatan seketika terdengar suara jeritan dan tampak dua
pemuda roboh tak berkutik.
Di saat berasamaan terdengar suara tawa terkekeh-kekeh.
Begitu mendengar suara tawa itu, air muka Heng Thian Ceng
langsung berubah. Dia segera menoleh memandang Ciok Giok
Yin, kebetulan Fang Jauw Cang sudah bangkit berdiri.
“Kalian berdua cepat pergi!” kata Heng Thian Ceng.
Ciok Giok Yin tidak mengerti.
“Lo cianpwee….”
“Jangan banyak bicara, cepat pergi!”
Sekonyong konyong terdengar suara orang bertanya.
“Mau pergi ke mana?”
Ciok Giok Yin membalikkan badannya. Dilihatnya empat orang
dari perkumpulan Sang Yen Hwee, rata-rata berusia lima
puluhan. Wajah mereka seperti mayat.
“Kau adalah Ciok Giok Yin?” tanya salah seorang dari mereka
sambil tertawa dingin.
“Tidak salah.”

“Ketua kami mengundangmu!”
“Ada urasan apa ketua kalian mengundangku?”
“Sampai di sana, kau akan mengetahuinya.”
“Saat ini aku tidak punya waktu, lain hari aku pasti ke sana.”
Sembari berkata, Ciok Giok Yin menarik Fang Jauh Cang.
Namun ketika baru mau meninggalkan tempat itu, keempat
orang dari perkumpulan Sang Yen Hwee mendengus dingin.
“Hmmm! Kau mau ke mana?”
Mereka berempat mendorongkan tangan masing-masing ke
depan. Seketika terdengar suara menderu-deru. Bukan main
gusarnya Ciok Giok Yin!
"Kalian ingin memaksaku?" bentaknya.
"Kalau kau tidak bersedia ikut kami, terpaksa dengan cara
demikian!"
"Cari mati!"
Ciok Giok Yin juga mendorong sepasang tangan ke depan.
Keempat orang itu langsung melancarkan pukulan serentak,
seketika terasa hawa yang amat dingin. Mendadak Heng Thian
Ceng berseru kaget.
"Cepat mundur, Si Peng Khek (Empat Orang Es)!"
Ciok Giok Yin tersentak, dan cepat-cepat mencelat ke
belakang sekaligus menarik Fang Jauw Cang. Saat ini kening
keempat orang itu mengeluarkan selapis kabut putih yang
amat dingin. Menyaksikan itu, sekujur tubuh Ciok Giok Yin
menjadi merinding. Dia sama sekali tidak tahu, kungfu apa
itu. Sepasang mata Si Peng Khek melotot, persis seperti mayat
hidup, kemudian mereka berempat maju selangkah demi

selangkah. Sekonyong-konyong Si Peng Khek membentak,
kemudian melancarkan pukulan serentak ke arah Ciok Giok
Yin. Namun di saat bersamaan, tampak sosok bayangan
meluncur ke arah mereka sekaligus menyambar Ciok Giok Yin
dan dibawanya melesat pergi.
"Lepaskan dia!" bentak Si Peng Khek.
"Dia buronan Perkumpulan Sang Yen Hwee!"
Bukan main cepatnya gerakan orang itu. Ternyata dia juga
sempat menyambar Fang Jauw Cang. Berselang beberapa saat,
barulah dia berhenti dan menaruh mereka ke bawah. Dia
segera memberi hormat.
"Terimakasih atas pertolongan lo cianpwee!" ucapnya.
Orang tua bongkok meneguk arak, lalu menyahut.
"Kelihatannya kita memang berjodoh, sudah tiga kali aku
menolongmu."
Ciok Giok Yin tersenyum.
"Tiga kali?"
"Tidak salah."
"Kalau begitu, aku berhutang budi pertolongan tiga kali pada
lo cianpwee"
Orang tua bongkok itu tertawa gelak, meneguk arak lagi
seraya berkata.
"Itu tidak usah disimpan dalam hati. Aku menolongmu
lantaran punya sebab lho!"
"Sebab apa?"
"Kau mirip seseorang."

"Siapa?"
Orang tua bongkok menggeleng-gelengkan kepala.
"Tidak usah dibicarakan, perlahan-lahan aku mencarinya."
Tiba-tiba Ciok Giok Yin teringat sesuatu.
"Oh ya! Bolehkah aku tahu nama lo cianpwee?"
"Kau ingin tahu namaku?"
"Ya."
"Tidak usah."
Badan orang tua bongkok bergerak, tahu-tahu sudah melesat
pergi dan sudah tidak kelihatan lagi bayangannya. Fang Jauw
Cang terbelalak menyaksikan itu.
"Ka..., kakak Yin, kau tidak kenal dia?"
"Tidak kenal."
"Dia bilang sudah tiga kali menolongmu."
"Aku cuma ingat dua kali dia menolongku, namun dia bilang
tiga kali, aku tidak ingat yang satu kali itu."
Mendadak Ciok Giok Yin teringat sesuatu.
"Adik, sesungguhnya Ban Hoa Tong itu tempat apa?"
Mendengar pertanyaan tersebut, wajah Fang Jauw Cang
langsung berubah menjadi kemerah-merahan.
"Ban Hoa Tong di dunia persilatan, merupakan tempat yang
misterius pernahkah kau dengar di dunia persilatan terdapat
Bun (Pintu), Tong (Goa), Kok (Lembah) dan Hu (Rumah)?"
"Bun Tong Kok Hu?"

"Ng!"
"Aku tidak pernah dengar."
"Bung Tong Kok Hu merupakan empat tempat yang amat
misterius...."
Ciok Giok Yin menatap Fang Jauw Cang dengan mata
terbelalak.
Memang benar, sejak Ciok Giok Yin berkelana di dunia
persilatan, belum pernah mendengar tentang keempat tempat
tersebut, maka dia terheran-heran.
Fang Jauw Cang melanjutkan.
"Bun adalah Liok Bun (Pintu Hijau)...."
"Liok Bun?"
"Ng! Kau pernah mendengar tentang Liok bun itu?"
Ciok Giok Yin mengangguk.
"Ya, tapi aku tidak tahu berada di mana Liok Bun itu."
Fang Jauw Cang menggeleng kepala.
"Akupun tidak begitu jelas, karena mereka tidak berhubungan
dengan dunia persilatan, maka tiada seorangpun tahu itu."
Mendengar itu, harapan Ciok Giok Yin pun jadi kandas.
Ternyata Bun It Coan menyuruhnya pergi ke Liok Bun,
memperlihatkan sebuah cincin pemberiannya kepada ayahnya
dan mohon agar diajarkan semacam ilmu silat, jadi bisa
membalas dendam Bun It Coan. Namun tidak tahu berada di
mana Liok Bun tersebut.
"Adik, lanjutkan ceritamu!" katanya setelah termenung

sejenak.
Fang Jauw Cang melanjutkan.
"Yang lain adalah Ban Hoa Tong, Bu Ceng Kok dan Khong-
Khong Hu...."
"Hah? Tadi aku baru keluar dari Bu Ceng Kok." Air muka Fang
Jauw Cang berubah.
"Kau ke sana?"
"Ng!"
"Kakak Yin, bagaimana kau ke sana?"
"Mohon pil Sui Beng Tan...."
Ciok Giok Yin menutur tentang semua itu. Saking terharunya
sehingga air mata Fang Jauw Cang meleleh.
"Kakak Yin, kau... kau..." katanya terputus-putus.
Fang Jauw Cang ingin mengatakan sesuatu, namun tak
mampu mencetuskannya.
"Adik, demi menyelamatkanku, kau telah banyak berkorban.
Apakah aku tidak boleh berkorban sedikit untukmu? Lagi pula
kini Bu Ceng Kokcu tidak menahan diriku di sana." Dia menatap
Fang Jauw Cang. "Adik, mengenai Ban Hoa Tong, kau belum
menceritakan padaku," lanjutnya.
Fang Jauw Cang mendongakkan kepala, memandang Ciok
Giok Yin dengan air mata bercucuran.
Ciok Giok Yin menatapnya.
"Adik, kau sungguh cantik!" katanya tanpa sadar.
Hati Fang Jauw Cang tersentak, sehingga tanpa sadar kakinya
menyurut mundur satu langkah.

"Kau... kau..." katanya terputus-putus.
"Maaf! Aku keterlepasan omong!"
Barulah Fang Jauw Cang berlega hati, kemudian tertawa.
"Ban Hoa Tongcu mempelajari semacam ilmu silat aneh.
Setiap tahun pasti menyuruh kaum pemuda, untuk melatih
ilmu silatnya itu."
"Oh! Betulkah urusan itu?" tanya Ciok Giok Yin.
"Betul."
"Oh ya! Mengapa Adik mati-matian menyelamatkanku?"
"Karena aku melihat obat Ciak Kim Tan di dalam bajumu."
"Obat Ciak Kim Tan?"
"Ng!"
"Karena itu, kau mati-matian menyelamatkanku?"
"Dulu ketika ayahku berkelana di dunia persilatan, pernah
menerima budi pertolongan Tiong Ciu Sin Ie, maka ayahku
berpesan, apabila kelak aku berjumpa orang yang memiliki
obat Ciak Kim Tan, aku harus membalas budi."
Ciok Giok Yin manggut-manggut.
"Ooooo! "
"Ketika aku melihat obat Ciak Kim Tan di dalam bajumu, aku
yakin kau bukan Tiong Ciu Sin Ie, mungkin penerusnya. Karena
itu, aku berusaha menolongmu."
Kini Ciok Giok Yin baru mengerti, maka dia manggut-manggut
lagi. Mendadak air muka Fang Jauw Cang agak berubah.

"Kakak Yin, sekarang aku harus cepat-cepat pulang."
"Pulang?"
"Aku khawatir Ban Hoa Tongcu akan mencederai ayahku,
maka aku harus cepat-cepat pulang, membawa ayahku
bersembunyi, agar ayahku tidak dicelakainya."
"Kalau begitu kau harus segera pulang, jangan membuang
waktu lagi!"
"Kakak Yin, setelah memberi tahu pada ayahku, aku akan
segera mencarimu. Boleh kan?"
"Lebih baik kau menemani ayahmu! Banyak bahaya di dunia
persilatan, kalau kurang hati-hati, nyawa akan melayang.
Kalau aku sempat, aku pasti pergi mencarimu."
"Tidak, setelah kuberitahu tentu ayahku akan pergi
bersembunyi. Lalu kau harus ke mana cari aku? Kakak Yin, lain
kali kita jangan berpisah lagi ya?"
"Aku memang berharap demikian, tapi...."
"Kenapa?"
"Aku tidak punya tempat tinggal tetap, lagipula banyak
musuh, itu akan menyusahkanmu."
"Aku tidak takut. Asal aku berasamamu, aku tidak akan takut
apa pun. Tempat mana kau pergi, aku pun bisa pergi."
Bukan main girangnya Ciok Giok Yin punya teman seperti itu!
Saking terharunya dia menggenggam tangan Fang Jauw Cang
erat-erat.
"Adik, sungguh girang hatiku punya teman kau!"
"Kakak Yin...."
"Adik, kau boleh pergi sekarang."

Seketika mata Fang Jauw Cang berkaca-kaca, kelihatannya
dia merasa amat berat meninggalkan Ciok Giok Yin.
"Kakak Yin, sampai jumpa!"
Fang Jauw Cang melesat pergi. Sedangkan Ciok Giok Yin
masih berdiri termangu-mangu di tempat. Akan tetapi, hatinya
amat girang dan senang. Sebab kini dia sudah punya teman
yang sehat dan sejati. Itulah yang amat menggirangkan
hatinya. Berselang sesaat, barulah Ciok Giok Yin melesat
pergi. Tak seberapa lama, tampak sosok bayangan melesat
dari arah berlawanan bagaikan kilat. Ciok Giok Yin cepat-cepat
menyingkir ke samping, agar orang itu lewat duluan. Akan
tetapi oleh yang muncul dari arah berlawanan itu, malah
berhenti di hadapan Ciok Giok Yin.
Mereka berdua saling memandang, kemudian sama-sama
mengeluarkan suara 'Ih'. Ternyata orang itu adalah Lu Jin
(Orang Jalanan) yang memakai kain penutup muka. Lu Jin
tertawa.
"Saudara Kecil, kuucapkan selamat padamu." katanya.
Ciok Giok Yin tertegun.
"Mengapa Anda mengucapkan selamat padaku? Memangnya
ada apa?"
"Kau telah memperoleh benda pusaka yang dari Goa Cian Hud
Tong. Bukankah aku harus mengucapkan selamat padamu?"
Ciok Giok Yin menghela nafas panjang sambil menggelenggelengkan
kepala.
"Tidak usah dibicarakan."
"Apakah Saudara Kecil khawatir aku akan merebutnya?"
"Aku tidak bermaksud demikian."

"Lalu kenapa?"
Ciok Giok Yin menceritakan tentang Pil Api Ribuan Tahun dan
lain sebagainya, namun tidak memberitahukan tentang secarik
kertas lain. Ternyata dia juga memperoleh secarik kertas yang
didalamnya tertera ilmu silat. Dia khawatir Lu Jin akan merebut
kertas tersebut. Lu Jin tampak terkejut.
"Kalau begitu, tubuh Saudara Kecil berbeda dengan orang
biasa."
"Ya."
"Saudara Kecil, bagaimana kelak kau menikah?" tanya Lu Jin
setelah berpikir sejenak. Wajah Ciok Giok Yin memerah.
"Apa boleh buat. Aku terpaksa tidak menikah," sahutnya
perlahan.
Lu Jin tertawa gelak.
"Itu tidak mungkin, tentunya ada jalan keluarnya."
"Aku mengerti ilmu pengorbanan, justru telah berpikir
tentang itu, namun tiada jalan keluarnya sama sekali."
"Menurutku, pasti ada jalan keluarnya."
"Memang ada, tapi sulit dilaksanan."
"Apa?"
Sesungguhnya Ciok Giok Yin merasa enggan
memberitahukan, namun akhirnya memberitahukan juga
dengan wajah kemerah-merahan.
"Wanita harus memahami Im Yang Ceng Koy."
"Im Yang Ceng Koy?"
"Ya."

Lu Jin diam.
"Saudara kecil, tentang itu aku akan carikan untukmu,"
katanya setelah berpikir sejenak.
"Kau bisa mendapatkannya?"
"Aku yakin bisa."
"Tapi, aku...."
"Tidak usah tapi, kita berjumpa sudah seperti kawan lama.
Antara orang dengan orang, selain saling memperalat, sudah
pasti saling membantu dan saling menolong. Lagi pula aku
ingin membantumu dengan setulus hati."
Ciok Giok Yin segera memberi hormat seraya berkata.
"Terima kasih, Saudara." kemudian menatapnya. "Kau
mengatakan kita kawan lama. Apakah masih tidak
memperbolehkan aku melihat wajahmu?" lanjutnya.
Lu Jin tampak tertegun. Beberapa saat kemudian dia tertawa
terbahak-bahak.
"Orang berkawan berdasarkan hati, bukan berdasarkan wajah
'kan? Masa kini kebanyakan orang berwajah palsu, maka lebih
baik aku memakai kain penutup muka, agar orang tidak tahu
aku jahat atau baik."
Sepasang mata Lu Jin menyorot tajam.
"Saudara kecil, kini aku memang punya kesulitan, kelak kalau
ada kesempatan kau pasti bisa melihat wajahku, aku minta
maaf untuk sekarang." tambahnya.
Ciok Giok Yin tidak mengerti akan maksud ucapannya.
"Saudara jangan berkata begitu."

Di saat bersamaan, mendadak terdengar suara-suara
bentakan berkumandang menembus angkasa.
Lu Jin mengerutkan kening.
"Saudara kecil, mari kita ke sana melihat-lihat."
Ciok Giok Yin mengangguk, lalu mereka berdua melesat ke
sana.
Dalam sekejap mereka berdua sudah tiba di tempat itu,
kemudian bersembunyi di balik sebuah pohon sambil
mengintip. Tampak pula lima orang, namun Lu Jin dan Ciok
Giok Yin tidak kenal kelima orang itu. Delapan orang itu sedang
menatap sebuah bungkusan yang tergeletak di tanah. Bentuk
bungkusan itu mirip sebuah kitab. Mendadak salah seorang tua
dari perkumpulan Sang Yen Hwee, tertawa terkekeh seraya
berkata kepada kelima orang itu.
"Barang ada di situ, kalau kalian punya kepandaian boleh
ambil."
Salah seorang berbadan kurus tinggi maju dua langkah sambil
menatap bungkusan itu lalu membentak.
"Benda pusaka rimba persilatan! Orang berhati luhur boleh
memilikinya!"
Orang kurus tinggi itu membungkukkan badannya. Namun
ketika baru mau mengambil bungkusan tersebut, sekonyongkonyong
orang tua perkumpulan Sang Yen Hwee tadi langsung
melancarkan pukulan ke arahnya. Orang itu berkelit ke
samping, dan gagal mengambil bungkusan tersebut. Ciok Giok
Yin memandang Lu Jin, sedangkan Lu Jin sedang menatap
bungkusan itu dengan penuh perhatian, sepertinya tahu apa
isinya. Di saat bersamaan, orang kurus tinggi yang gagal
mengambil bungkusan tadi membentak.
"Kitab Cu Cian ini bukan milik perkumpulan Sang Yen Hwee!
Siapa yang melihat pasti punya bagian!"
"Kalau kau masih merasa penasaran, silakan ambil!" sahut

orang tua dari perkumpulan Sang Yen Hwee itu dengan dingin.
Tiba-tiba seorang berusia pertengahan ingin memungut
bungkusan itu, namun salah seorang tua dari perkumpulan
Sang Yen Hwee langsung melancarkan pukulan ke arahnya.
Orang berusia pertengahan itu tidak berkelit, melainkan
melancarkan pukulan pula.
Blam...!
"Aduuuuh!"
Orang berusia pertengahan itu terhuyung-huyung ke belakang
lima langkah. Badannya sempoyongan dan mulutnya
menyembur darah segar, kemudian roboh. Bukan main
gusarnya keempat temannya. Mereka menatap orang-orang
perkumpulan Sang Yen Hwee dengan penuh dendam. Akan
tetapi, tiada seorang pun berani mencoba lagi mengambil
bungkusan tersebut. Ciok Giok Yin yang bersembunyi di balik
pohon, kini sudah tahu apa isi bungkusan itu, ternyata Cu Cian
yang diimpi-impikannya selama ini. Justru tidak disangka Cu
Cian tersebut berada di situ. Oleh karena itu, mendadak dia
bersiul panjang, kemudian melesat ke tempat itu, sekaligus
menyambar bungkusan itu, dan berhasil.
Ciok Giok Yin masih ingat akan pesan suhunya. 'Kau harus
memperoleh Seruling Perak dan Cu Cian, belajar ilmu kungfu
yang paling tinggi di kolong langit...! Kini dia telah memperoleh
Cu Cian itu. Sementara delapan orang termasuk yang terluka
itu, terbelalak akan kemunculan Ciok Giok Yin namun kemudian
mereka tampak gusar sekali. Mereka melotot dan siap
menerjang ke arah Ciok Giok Yin. Akan tetapi, mendadak
terdengar suara bentakan nyaring.
"Berhenti!"
Semua orang menoleh, tampak sosok bayangan hijau
berkelebat ke tempat itu, bukan masin cepatnya! Ternyata
seorang gadis berbaju hijau.

"Cepat mundur sepuluh depa, Sang Dewi mau datang!"
Ketujuh orang itu langsung mundur sejauh sepuluh depa, dan
wajah mereka tampak agak pucat. Namun Ciok Giok Yin masih
tetap berdiri di tempatnya, suara bentakan gadis baju hijau itu
dianggapnya sebagai angin lalu. Ternyata dia ingin melihat,
sebetulnya siapa yang dipanggil sang dewi, yang
kewibawaannya dapat memundurkan ketiga orang tua dari
perkumpulan Sang Yen Hwee. Sementara sepasang mata gadis
berbaju hijau itu sudah melotot, karena melihat Ciok Giok Yin
tidak bergeming sama sekali.
"Kau tuli ya?" bentaknya.
Ciok Giok Yin membalikkan badannya perlahan-lahan, lalu
menyahut dengan dingin sekali.
"Kau yang tuli."
Usai menyahut dingin, Ciok Giok Yin juga melotot. Bukan
main gusarnya gadis berbaju hijau itu! Dia tidak menyangka
ada orang begitu berani, mendengar nama Sang Dewi, justru
tidak merasa takut sama sekali. Gadis berbaju hijau itu mau
menerjang ke arah Ciok Giok Yin. Namun begitu melihat Ciok
Giok Yin yang amat tampan itu, sepasang matanya terbeliak
dan hatinya juga berdebar-debar. Dia berkata dalam hati,
'Sungguh tampan pemuda ini!'
Karena itu, kegusarannya tidak dapat dilampiaskan, dan
kemudian dia berkata dengan lembut.
"Sang Dewi akan segera tiba, cepat taruhlah kitab Cu Cian
itu, lalu mundur sepuluh depa!"
"Mengapa aku harus mundur?" sahut Ciok Giok Yin angkuh.
"Kau tidak takut mati?"
Ciok Giok Yin mendengus dingin.
"Hm! Aku belum pernah merasakannya!"

Gadis berbaju hijau berusaha menekan kegusarannya.
"Mengapa kau begitu keras kepala?"
"Sifatku memang demikian."
Air muka gadis berbaju hijau itu langsung berubah. Di saat
bersamaan tampak sebuah tandu yang amat indah, digotong
dua wanita meluncur ke tempat itu. Gadis baju hijau itu segera
memberi hormat ke arah tandu.
"Selamat datang, suhu!"
"Kau sudah mengusir mereka semua?" Terdengar pertanyaan
yang amat halus dari dalam tandu. Gadis baju berhijau itu
segera membalikkan badannya, kemudian berkata lantang.
"Perintah dari sang Dewi, kalian semua harus meninggalkan
tempat ini!"
Ketika orang tua dari perkumpulan Sang Yen Hwee, menyahut
dengan suara parau.
"Kami mengalah pada sang Dewi!"
Usai menyahut, mereka bertiga segera melesat
pergi. Sedangkan yang lain, menatap Ciok Giok Yin dengan
penuh dendam, lalu bersama orang yang terluka tadi mereka
berjalan pergi. Ketika melihat mereka sudah pergi, Ciok Giok
Yin juga tidak mau lama-lama di situ. Ketika dia mau beranjak
pergi, tiba-tiba terdengar suara dari dalam tandu.
"Adik kecil, kau jangan pergi dulu!"
"Ada apa?" sahut Ciok Giok Yin dengan gusar.
Saat ini Lu Jin yang masih bersembunyi di balik pohon, diamdiam
mengucurkan keringat dingin untuk Ciok Giok Yin.
Sebetulnya dia tidak menghendaki Ciok Giok Yin memunculkan
diri, namun saat itu telah terlambat. Terdengar lagi suara yang
amat halus dari dalam tandu.

"Siapa namamu?"
"Ciok Giok Yin!"
"Siapa suhumu?"
"Tidak dapat kuberitahukan!"
Terdengar suara tawa di dalam tandu, lalu berkata.
"Kau boleh bersikap dingin dan angkuh, namun di dunia
persilatan, tiada seorang pun berani bersikap demikian kurang
ajar terhadapku."
"Siapa kau?" bentak Ciok Giok Yin.
"Thian Thay Siang Ceng (Sang Dewi Dari Thian Thay)."
"Thian Thay Siang Ceng?"
Sementara gadis berbaju hijau sudah mengucurkan keringat
dingin. Kelihatannya gadis itu amat memperhatikan Ciok Giok
Yin. Diam-diam dia memberi isyarat kepada Ciok Giok Yin agar
bicara lebih sopan, tapi Ciok Giok Yin justru tidak
memperdulikannya. Tiba-tiba nada suara Thian Thay Sian Ceng
berubah menjadi dingin.
"Tidak salah! Kau pernah mendengarnya?"
Ciok Giok Yin tertawa dingin.
"Sayang sekali!"
"Apa yang disayangkan?"
"Aku sama sekali tidak pernah mendengar gelar besarmu itu!"
"Hari ini aku akan suruh kau ingat!"
"Aku pasti ingat! Maaf, aku mohon pamit!"

Terdengar suara tawa nyaring di dalam tandu, lalu
membentak.
"Ciok Giok Yin, kau masih ingin pergi?"
"Apakah kau ingin menahanku?"
Usia bertanya dan ketika baru mau melesat pergi, tiba-tiba
terasa serangkum tenaga yang amat lunak menerjang ke
arahnya dari dalam tandu indah itu. Tenaga lunak itu membut
Ciok Giok Yin tidak dapat melesat pergi.
"Kau tidak bisa pergi!" terdengar lagi suara bentakan dari
dalam tandu.
Bukan main gusarnya Ciok Giok Yin! Dia tidak tahu mengapa
Thian Thay Sian Ceng berlaku seperti itu padanya.
"Kalau kau punya kepandaian harap keluar!" bentaknya.
Ciok Giok Yin sudah siap menggunakan ilmu pukulan Hong Lui
Sam Ciang untuk menghadapi Thian Thay Sian Ceng. Namun
Thian Thay Sian Ceng justru tertawa nyaring lalu berkata.
"Dalam dunia persilatan masa ini, tiada seorang pun sebelum
mati dapat melihat wajahku. Maka sebelum kau mati, juga
akan seperti mereka!"
"Aku punya permusuhan apa denganmu?"
"Tentu ada!"
"Permusuhan apa?"
"Kau tidak usah tahu, yang jelas kau harus bersiap-siap untuk
menghadapi maut!"
Seketika terasa ada serangkum angin yang amat dahsyat
menerjang dari dalam tandu. Di saat bersamaan telinga Ciok
Giok Yin mendengar suara yang amat lirih.

"Cepat tiarap, hentikan pernafasan pura-pura mati!"
Hati Ciok Giok Yin tersentak. Dia melihat bibir gadis berbaju
hijau itu bergerak-gerak. Jelas dia yang berkata lirih. Dia pasti
punya alasan tertentu. Mengapa tidak mencoba menuruti
petunjuknya? Ciok Giok Yin lalu pura-pura menjerit dan
merobohkan diri. Kelihatannya dia persis seperti terserang oleh
angin pukulan itu.
"Anak Yun, ambil bungkusan yang di tangannya!" kata Thian
Thay Sian Seng.
Gadis berbaju hijau menurut, lalu mengambil bungkusan itu,
dan langsung dilempar ke dalam tandu. Berselang sesaat
bungkusan itu terlemparkan ke luar dari dalam tandu, dan
terdengar pula suara Thian Thay Sian Ceng.
"Barang palsu, mari kita pergi!"
Tampak tandu indah itu meluncur meninggalkan tampat itu.
Sedangkan gadis baju hijau masih sempat menoleh ke
belakang memandang Ciok Giok Yin yang tergeletak di
tanah. Apa yang dikatakan Thian Thay Sian Ceng tadi, Ciok
Giok Yin mendengar dengan jelas, bahwa Cu Cian itu palsu,
sehingga membuatnya termangu-mangu. Tiba-tiba tampak
sosok bayangan melesat ke luar dari balik pohon, yaitu Lu
Jin. Sedangkan Ciok Giok Yin juga bangkit berdiri.
"Adik Kecil, kau tidak apa-apa?" tanya Lu Jin sambil
menatapnya.
"Tidak apa-apa."
Lu Jin tampak tertegun.
"Sungguh merupakan hal aneh!" gumamnya.
"Saudara, sebetulnya siapa Thian Thay Sian Ceng itu?" tanya
Ciok Giok Yin.

"Thian Thay Sian Ceng di dunia persilatan, boleh dikatakan
merupakan seekor naga sakti yang tampak kepala tidak
tampak ekornya. Memang tidak salah apa yang dikatakannya
tadi, tiada seorang pun di dunia persilatan, sebelum mati dapat
melihat wajahnya," sahut Lu Jin. "Adik Kecil punya perselisihan
apa dengannya?"
Ciok Giok Yin menggelengkan kepala.
"Aku sama sekali tidak pernah mendengar julukannya itu, dari
mana munculnya perselisihan kami?"
"Kalau begitu, mengapa tidak turun tangan terhadapmu?"
"Entahlah."
"Setahuku, tidak ada sama sekali orang bisa lolos dari tangan
Thian Thay Sian Ceng. Bagaimana Adik Kecil tidak terjadi suatu
apapun?"
Ciok Giok Yin segera menutur tentang apa yang dikatakan
gadis berbaju hijau tadi. Lu Jin manggut-manggut.
"Oooo! Pantas kalau begitu!"
Ciok Giok Yin membungkukkan badannya memungut
bungkusan itu, lalu dibukanya. Ternyata bungkusan itu berisi
sebuah kitab biasa, tidak terdapat tulisan apa pun. Saking
gusarnya dia langsung membuang kitab tersebut. Mendadak
Ciok Giok Yin teringat sesuatu.
"Ohya! Aku ingin bertanya tentang seseorang." Katanya
kepada Lu Jin.
"Siapa?"
"Tiat Yu Kie Su (Satria Baju Besi)."
"Tiat Yu Kie Su?"
"Ng!"

"Dia seorang pendekar yang tiada tempat tinggal tetap.
Sudah beberapa tahun dia tidak pernah muncul di dunia
persilatan, mungkin sudah meninggal! Mengapa Adik Kecil
menanyakannya?"
Wajah Ciok Giok Yin berubah menjadi dingin dan penuh
diliputi bahwa membunuh.
"Membalas dendam."
"Membalas dendam?"
"Ng!"
"Usia Adik Kecil masih muda, bagaimana mungkin punya
dendam dengannya?"
Ciok Giok Yin berkertak gigi.
"Suhuku Sang Thian Thay Sian Ceng dikeroyok Kang Ouw Pat
Kiat, menyebabkannya hidup tidak mati pun tidak, amat
menderita di lembah...."
Ciok Giok Yin menutur tentang apa yang dialami Sang Ting It
Koay, setelah itu melanjutkan.
"Karena itu, aku harus membunuh orang itu."
Lu Jin berkata.
"Sudah beberapa tahun aku tidak melihat orang tersebut, aku
kira dia telah meninggal."
"Kalau begitu, aku harus mencari kuburannya." kata Ciok
Giok Yin dengan dingin.
"Adik Kecil, orang mati habis hutang. Kini suhumu sudah
berada di alam baka, tentunya dapat memanfaatkan mereka.
Lagi pula...."

Ciok Giok Yin menatapnya dingin sekali.
"Masih ada perkataan apa, katakan saja!"
Sepasang mata Lu Jin berputar sejenak.
"Aku lebih tua darimu, juga pernah berkecimpung di dunia
persilatan. Tentunya aku pernah mendengar tentang Kang Ouw
Pat Kiat. Ternyata mereka digosok oleh orang yang tak
bertanggung jawab. Namun sudah terlambat, karena nasi telah
menjadi bubur.
"Tidak begitu sederhana."
"Adik Kecil, kau dengar dulu! Setelah Kang Ouw Pat Kiat tahu
mereka digosok oleh orang itu, merekapun segera pergi
mencarinya, namun orang itu sudah hilang entah ke mana."
"Siapa orang itu?"
"Chiu Tiong Thau."
"Chiu Tiong Thau?"
"Ng!"
"Bagaimana kepandaian orang itu?"
"Amat tinggi sekali, boleh dikatakan sudah mencapai pada
tingkat kesempurnaan."
"Bagaimana kelakuannya terhadap orang?" tanya Ciok Giok
Yin serius.
"Orang itu banyak akal busuk, kejam dan berhati licik," sahut
Lu Jin.
Ciok Giok Yin tidak berani mengungkap tentang hubungannya
dengan Chiu Tiong Thau. Namun diam-diam sudah mengambil
suatu keputusan, setelah berhasil menguasai ilmu silat tinggi,
dia akan membasmi orang tersebut demi membersihkan nama

baik perguruannya.
Setelah mengambil keputusan tersebut, Ciok Giok Yin lalu
memberi hormat pada Lu Jin seraya berkata.
"Saudara, banyak-banyak terimakasih atas bantuanmu.
Sampai jumpa!"
Ciok Giok Yin membalikkan badannya, langsung melesat perti.
Dia terus berpikir, apakah perkataan Lu Jin dapat dipercaya?
Mengapa dia berusaha membersihkan nama Kang Ouw Pat
Kiat?
Apakah Lu Jin adalah teman baik Kang Ouw Pat Kiat? Ini
memang mungkin, sebab Lu Jin pernah berkecimpung di dunia
persilatan, tentunya pernah berhubungan dengan orang-orang
tersebut. Akan tetapi tidak semestinya mendengarkan
perkataannya. Seandainya Kang Ouw Pat Kiat terhasut orang,
mengapa kemudian Sang Ting It Koay tidak mengetahuinya?
Pokoknya harus membunuh Kang Ouw Pat Kiat itu, agar Sang
Ting It Koay dapat tenang di alam baka! Karena berpikir
demikian, maka Ciok Giok Yin langsung berangkat ke Uah Hou
Po. Dia memutuskan malam itu harus tiba di tempat tersebut.
Karena itu, dia terus melesat tanpa berhenti sama
sekali. Berselang beberapa saat, hari sudah malam. Samarsamar
dia melihat sebuah bukit, yang bentuknya amat aneh,
persis seperti seekor harimau sedang mendekam. Tidak salah
lagi, Uah Hou Po pasti berada di bukit itu Ciok Giok Yin
mempercepat langkahnya, tak lama dia sudah sampai di depan
sebuah gapura. Pada gapura itu terdapat beberapa huruf, yaitu
'Uah Hou Po'
Namun sungguh mengherankan, sebab saat ini sudah malam,
tapi pintu gapura itu masih terbuka. Suasana di dalam amat
sunyi dan cukup menyeramkan. Akan tetapi hati Ciok Giok Yin
sedang diliputi dendam, maka tidak merasa seram maupun
takut, langsung melangkah ke dalam. Dia harus mencari Hui
Pian-Ma Khie Ou membuat perhitungan. Namun sampai di
dalam, keadaan tetap sunyi, tidak tampak apapun dan tidak
terdengar suara apa-apa. Gelap gulita, suasana di tempat itu
seperti di kuburan, menyeramkan dan amat mencekam. Itu

membuat Ciok Giok Yin bercuriga, bagaimana halaman yang
begitu luas, tidak tampak seorang pun menjaga di situ?
Bukankah aneh sekali?
Dia sengaja memberatkan langkahnya, sehingga
menimbulkan suara 'Sert! Sert! Sert!' Itu agar ada orang
muncul. Kalau ada orang muncul pasti tidak sulit untuk mencari
Hui Pian-Ma Khie Ou. Akan tetapi jangankan suara orang, suara
hewan pun tidak kedengaran. Setelah melewati halaman itu,
tampak sebuah rumah yang amat besar. Ciok Giok Yin
mendekati rumah itu, juga amat mengherankan. Ternyata
pintu rumah itu terbuka lebar. Terlihat sebuah ruangan besar,
namun gelap gulita. Ciok Giok Yin memperhatikan ruangan itu,
tidak terlihat seorang pun di sana. Maka dia berjalan ke dalam.
Dia menengok ke sana kemari, tetapi tidak melihat seorang
pun. Akhirnya dia berjalan ke dalam melalui koridor samping.
Sungguh panjang koridor itu, menembus sampai ke halaman
belakang.
Ciok Giok Yin tidak percaya kalau dirinya tidak akan
menjumpai seseorang. Dia berjalan sambil memperhatikan
tempat yang dilaluinya. Tempat itu tidak tampak
berantakan. Dia sungguh tidak mengerti, mengapa rumah
besar ini amat sepi? Apakah mereka sudah pindah semua?
Katanya dalam hati. Dia terus berjalan ke dalam, namun rumah
itu tetap sunyi, tak terdengar suara apapun, juga tidak terlihat
apa-apa. Ciok Giok Yin berkertak gigi, sambil membalikkan
badannya untuk kembali ke ruang depan. kemudian dia
berjalan mondar-mandir di ruangan itu. Justru tanpa sengaja
kakinya menendang sesuatu, membuat badannya
sempoyongan nyaris terjatuh. Dia langsung menundukkan
kepalanya, seketika merinding sekujur badannya. Badannya
berkelebat, sudah berada di pintu.
Dia melihat lagi ke lantai di mana tadi tanpa sengaja
menendang sesuatu. Tanpa sadar dia berseru kaget dan bulu
kuduknya pada bangun. Ternyata di lantai itu penuh dengan
mayat yang tak utuh, tampak amat mengenaskan. Walau Ciok
Giok Yin bernyali besar, namun hatinya tetap berdebar tegang,
dan keringat dinginnya pun mengucur. Apa gerangan yang
telah terjadi di sini? Siapa yang turun tangan sekejam

ini? Ternyata mayat-mayat yang tak utuh itu, terdiri dari lelaki,
wanita, tua, muda dan anak kecil, semuanya berjumlah seratus
lebih. Selain mayat, juga terdapat bangkai ayam, anjing dan
kucing, bertumpuk di lantai itu.
Ketika masuk, Ciok Giok Yin tidak memperhatikan lantai di
ruang depan tersebut, lagi pula keadaan amat gelap. Karena
tidak melihat seorang pun di dalam, maka setelah kembali ke
ruang depan, dia justru berjalan mondari-mandir di situ,
sehingga tanpa sengaja menendang mayat. Pantas di rumah
sebesar itu, tidak terdengar suara maupun tampak
seseorang. Selama Ciok Giok Yin berkelana di dunia persilatan,
baru kali ini melihat keadaan seperti itu. Ciok Giok Yin berdiri
termangu-mangu dekat pintu, sambil memperhatikan tempat
itu. Dia berharap dapat menemukan suatu jejak. Akan tidak,
selain mayat dan bangkai hewan, tidak tampak sesuatu yang
mencurigakan. Itu berarti pembunuh itu bukan demi harta,
melainkan demi menuntut balas.
Itu membuat Ciok Giok Yin merasa merinding. Perlu
diketahui, Ciok Giok Yin sama sekali tidak berhati jahat,
sebaliknya malah boleh dikatakan berhati bijak. Dia ingin
membunuh Hui Pian-Ma Khie Ou, hanya demi menuntut balas
dendam Sang Ting It Koay. Sebab dia telah menyaksikan
bagaimana penderitaannya di dalam lembah itu. Kini
menyaksikan pemandangan yang begitu mengenaskan,
timbullah rasa dukanya.
"Aku harus...," gumamnya perlahan-lahan.
Mendadak terdengar suara yang amat dingin di belakangnya.
"Sungguh kejam hatimu!"
Ciok Giok Yin tersentak, dan langsung membalikkan
badannya. Begitu melihat tanpa sadar dia berseru kaget.
Jilid 08
Ternyata orang yang berdiri di situ adalah Lu Jin, sepasang

matanya menyorot dingin. Sebelum Ciok Giok Yin membuka
mulut, dia sudah berkata lagi.
"Adik Kecil, caramu ini apakah tidak melanggar
prikemanusiaan?"
Ciok Giok Yin tahu Lu Jin itu telah salah paham padanya.
"Saudara telah salah paham padaku."
"Salah paham? Maksudmu?"
"Aku sampai di sini, keadaan sudah begini."
"Kalau begitu, siapa yang berbuat sedemikian kejam?"
"Aku justru sedang menyelidikinya." Ciok Giok Yin diam
sejenak, kemudian melanjutkan. "Saudara sudah lama
berkecimpung di dunia persilatan, tentunya tahu Hui Pian-Ma
Khie Ou pernah bermusuhan dengan siapa. Coba pikir siapa
musuh-musuhnya?"
Lu Jin mengerutkan kening seraya berpikir. Setelah itu dia
mendongakkan kepala.
"lni sulit sekali dikatakan," katanya.
Mendadak terdengar suara tawa yang amat dingin. Kemudian
tampak sosok bayangan melayang turun di tempat itu. Orang
itu mengenakan jubah warna merah, sedangkan baju dalamnya
berwarna hitam, dan memakai kain pengikat kepala warna
merah pula. Dandanannya seperti orang perkumpulan Sang
Yen Hwee.
Dia menatap Ciok Giok Yin dan Lu Jin.
"Kalian berdua merasa heran?" katanya dengan dingin sekali.
"Siapa kau?" bentak Ciok Giok Yin.
"Kau tidak berderajat mengetahui namaku!"

"Mayat-mayat ini semua adalah perbuatanmu?"
"Tidak salah!"
"Apakah tujuanmu membunuh mereka semua? Hatimu begitu
kejam, bahkan hewan pun tidak diberi hidup!"
Orang berjubah merah tertawa terkekeh.
"Anak jahanam! Pernahkah kau dengar membabat rumput
harus mencabut akarnya?" Dia maju dua langkah, matanya
menyorot tajam bagaikan dua bilah belati. "Kalian berdua ingin
menuntut balas dendam mereka?"
Lu Jin menyahut dengan suara dalam.
"Apa maksud Anda membunuh mereka semua?" tanya Lu Jin
dengan suara dalam.
"Aku senang."
Mendengar itu, gusarlah Lu Jin.
"Inikah alasanmu?" bentaknya.
"Kau menghendaki alasan apa?"
"Apakah Anda memikirkan akibatnya?"
"Apa akibatnya?"
"Kaum rimba persilatan akan bersatu menuntut balas dendam
mereka."
Orang berjubah merah tertawa terkekeh-kekeh.
"Anda termasuk salah satu di antaranya?"
"Tidak salah."
"Kalau begitu, kau akan seperti mereka, terbujur jadi mayat!"

Orang berjubah merah langsung menyerang Lu Jin dengan
sebuah totokan yang mematikan. Caranya turun tangan, amat
cepat sehingga sulit diikuti dengan pandangan mata.
"Hmm!" dengus Lu Jin.
Dia berkelit, namun dadanya tersambar oleh angin totokan
itu, membuat dadanya terasa sakit. Hati Ciok Giok Yin
tersentak menyaksikan itu. Dia tidak menyangka gerakan
orang itu begitu cepat. Oleh karena itu, dia pun langsung
melancarkan sebuah pukulan ke arah orang berjubah
merah. Seketika terdengar suara menderu-deru, dan terasa
hawa yang amat panas. Orang berjubah merah tertawa
terkekeh.
"Soan Hong Ciang!"
"Tidak salah!"
"Ilmu andalan Sang Ting It Koay!"
Kemudian orang berjubah merah itu berkata dingin.
"Ciok Giok Yin, kau pasti mati!"
Ciok Giok Yin mengerutkan kening.
"Sebetulnya siapa kau?"
"Sudah kukatakan tadi, kau tidak berderajat tahu! Tapi
sebelum kau mati, agar kau mengerti, masih ada satu orang
yang harus diperkenalkan padamu!"
Dia maju selangkah, sekaligus melancarkan sebuah pukulan
dahsyat. Ciok Giok Yin yang dalam keadaan gusar, juga
melancarkan pukuian dengan sekuat tenaga. Tampak orang
berjubah merah berkelebat, menyusul terdengar suara
benturan yang amat memekakkan telinga.
Bummm!

Ternyata pukulan mereka saling beradu. Badan Ciok Giok Yin
agak sempoyongan. Di saat bersamaan, dia pun merasa ada
serangkum tenaga lunak menerjang ke arahnya, membuatnya
tak dapat mengerahkan hawa murninya. Bukan main
terkejutnya Ciok Giok Yin! Tiba-tiba teringat seseorang yang
memiliki tenaga tersebut.
"Kau... adalah Tok Tiong Tong Cu?" serunya.
"Bocah jahanam! Dugaanmu meleset! Tok Tiong Tong Cu
menghendaki nyawamu, aku pun sama, ingin mencabut
nyawamu! Tapi legakanlah hatimu, untuk saat ini aku masih
membiarkan kau bernafas!"
Orang berjubah merah melancarkan pukulan lagi ke arah Ciok
Giok Yin. Ciok Giok Yin ingin berkelit, namun terlambat. Justru
disaat bersamaan Lu Jin membentak keras.
"Kau berani!"
Dia langsung menerjang ke arah orang berjubah merah. Akan
tetapi kelihatannya orang berjubah merah sudah menduga
akan hal tersebut, maka langsung mengibaskan tangan kirinya
ke arah Lu Jin.
"Aaaakh...!" jerit Ciok Giok Yin.
Dia terpental dua depa dan mulutnya menyembur darah
segar, lalu roboh di tanah.
Sedangkan Lu Jin yang terkena kibasan itu juga terpental,
kemudian roboh gedebuk di tanah.
Ciok Giok Yin tidak pingsan. Dia cepat-cepat bangun,
sepasang matanya berapi-api menatap orang berjubah merah
lalu maju dengan badan sempoyongan. Dia telah mengerahkan

lwee kangnya, siap mengadu nyawa dengan orang itu. Akan
tetapi, orang berjubah merah memang berkepandaian tinggi
sekali. Dia tidak berkelit, melainkan malah maju selangkah
sambil menjulurkan tanganya mencengkeram bahu Ciok Giok
Yin.
Apabila bahu Ciok Giok Yin tercengkeram, pasti akan remuk
seketika. Justru di saat bersamaan Ciok Giok Yin telah berhasil
mengerahkan lwee kangnya. Dia langsung menghantam lengan
orang berjubah merah. Orang berjubah merah bergerak cepat
menarik kembali tangannya sekaligus melancarkan sebuah
pukulan.
Blam!
"Aaaakh...!" jerit Ciok Giok Yin.
Mulutnya menyembur darah segar, kemudian roboh pingsan
di tanah.
Buuuk!
Saat ini Lu Jin telah bangkit berdiri. Dia menggeram sambil
menyerang orang berjubah merah. Namun orang berjubah
merah melancarkan pukulan ke arahnya. Lu Jin cepat-cepat
berkelit. Kalau terlambat, dia pasti celaka! Orang berjubah
merah tertawa terkekeh, lalu maju ke hadapan Ciok Giok Yin
ingin menyambaruya. Tapi pada saat bersamaan, mendadak
muncul seorang sastrawan berusia dua puluh limaan, wajahnya
pucat kekuning-kuningan, seperti berpenyakitan. Akan tetapi,
gerakan sastrawan itu amat cepat sekali.
"Kau berani menyentuhnya!" suaranya lantang.
Sastrawan itu langsung menyerang orang berjubah merah
dengan sebuah totokan, mengarah jalan darah
tawanya. Apabila jalan darah tersebut tertotok, maka orang
yang tertotok itu akan terus tertawa, hingga nafasnya
putus. Apa boleh buat, orang berjubah merah terpaksa
berkelit. Sepasang matanya menyorot bengis ke arah
sastrawan itu.

"Sebutkan namamu!" bentaknya.
"Bu Tok Siangseng (Tuan Yang Tak Beracun)!" sahut
sastrawan.
Orang berjubah merah menyurut mundur selangkah.
"Bu Tok Siangseng?" serunya tanpa sadar.
"Ng! Siapa kau?"
"Kau tidak berderajat tahu!"
Bu Tok Sianseng tertawa dingin.
"Lihat saja berderajat atau tidak!" bentaknya.
Mendadak dia menjulurkan sepasang tangannya yang
berwarna hitam, langsung mencengkeram ke arah orang
berjubah merah. Kelihatannya orang berjubah merah agak
takut terhadap sepasang tangan sastrawan, maka cepat-cepat
mencelat ke belakang. Di saat bersamaan, dia pun
melancarkan sebuah pukulan aneh. Bu Tok Sianseng berkelit
ringan, seketika juga bertanya.
"Kau orang dari perkumpulan Sang Yen Hwee?"
Orang berjubah merah tampak tertegun, kemudian tertawa
terkekeh.
"Tidak salah!" sahutnya.
"Apa keddukanmu dalam perkumpulan Sang Yen Hwee?"
"Hwee Cang (Ketua perkumpulan)!"
"Sang Yen Hwee?"
"Tidak salah! Kini kau sudah tahu kan?" Bu Tok Siangseng
tertawa gelak.

"Sudah lama aku ingin menjumpaimu, tak disangka bertemu
di sini!"
Kedua orang itu mulai bergerak. Tampak bayangan mereka
berkelebatan bagaikan kilat. Ternyata mereka berdua sudah
bertarung dengan seru sekali. Akan tetapi, Sang Yen Hwee
tidak berani beradu angin pukulan dengan Bu Tok
Sianseng. Sedangkan Bu Tok Sianseng juga kelihatan agak
takut terhadap pukulan aneh yang dilancarkan Sang Yen Hwee
itu. Mereka berdua terus bertarung, dan kelihatannya masih
seimbang. Sementara Lu Jin sudah mendekati Ciok Giok Yin.
Wajah Ciok Giok Yin yang tampan itu tampak kekuningkuningan,
nafas juga lemah, pertanda dia telah terluka dalam
yang amat parah. Karena itu, Lu Jin sudah tidak tertarik akan
pertarungan yang sedang berlangsung seru itu. Dia langsung
menyambar Ciok Giok Yin dan dibawanya pergi.
Sampai di dalam sebuah rimba, barulah Lu Jin menaruh Ciok
Giok Yin ke bawah. Dia mengeluarkan sebuah botol kecil dari
dalam bajunya dan menuang sebutir pil warna hitam, lalu
dimasukkan ke mulut Ciok Biok Yin Setelah itu, dia mengurut
beberapa jalan darahnya. Berselang beberapa saat, barulah
Ciok Giok Yin siuman perlahan-lahan. Dia melihat keringat
sebesar kacang hijau merembes ke luar dari kening Lu Jin.
Ternyata Lu Jin masih mengurut jalan darahnya. Ciok Giok Yin
amat terharu.
"Terimakasih, Saudara," ucapnya.
Setelah mendengar suara Ciok Giok Yin, barulah Lu Jin
berhenti mengurut. Dia menghapus keringat di keningnya
seraya berkata.
"Bagaimana rasamu sekarang, Saudara Kecil?"
"Cukup beristirahat sejenak, aku akan pulih kembali."
Usai berkata, Ciok Giok Yin segera duduk bersila dan
memejam mata sambil menghimpun hawa murninya. Lu Jin
berdiri di sampingnya, menjaganya dengan penuh
perhatian. Berselang beberapa saat, Ciok Giok Yin bangkit

berdiri lalu menjura pada Lu Jin.
"Atas pertolongan Saudara, aku... amat berterimakasih
sekali." katanya.
"Aku cuma membawamu ke mari, yang menolong kita berdua
justru orang lain," sahut Lu Jin. Ciok Giok Yin
tertegun. Ternyata disaat kemunculan Bu Tok Sianseng, dia
teleh pingsan, maka tidak tahu akan kehadrian sastrawan
tersebut. Oleh karena itu dia bertanya.
"Siapa?"
"Bu Tok Sianseng."
"Bu Tok Sianseng?"
"Ng!"
"Siapa Bu Tok Sianseng itu?"
"Aku tidak pernah mendengar sebelumnya.
"Siapa orang berjubah merah itu?"
"Sang Yen Hwee."
Ciok Giok Yin terperanjat.
"Hah? Dia berkertak gigi. "Aku bersumpah pasti akan
membasmi perkumpulan Sang Yen Hwee!"
Lu Jin diam saja.
"Sekarang Saudara mau ke mana?" tanya Ciok Giok Yin.
"Melaksanakan janjiku pada Adik Kecil. Sekarang juga aku
akan pergi mencari."
"Terimakasih, kelak aku pasti membalas budi kebaikan
Saudara."

"Tidak usah. Sampai jumpa."
Lu Jin melesat pergi, dan sekejap sudah tidak kelihatan
bayangannya, Suasana di dalam rimba itu sunyi sepi. yang
terdengar hanya suara hembusan angin. Saat ini, hari sudah
mulai pagi. Hembusan angin pagi yang amat dingin itu, terasa
menusuk tulang. Ciok Giok Yin berdiri termangu-mangu.
Ternyata dia sedang berpikir, apa yang harus dikerjakan
selanjutnya. Tiba-tiba dia teringat akan pesan Tiong Ciu Sin Ie
sebelum mati, bahwa dirinya harus pergi ke Gunung Cong Lam
San menemui Can Hai It Kiam untuk mengambil sepucuk surat.
Mengapa tidak berangkat ke sana?
Asal berhasil menemui Can Hai It Kiam, tentunya dia akan
mengetahui asal-usulnya. Sejak dia dilahirkan sama sekali
tidak tahu siapa ayah dan ibunya. Karena berpikir demikian,
mendadak wajahnya berubah gusar dan sepasang matanya
berapi-api. Ternyata dia teringat ketika berusia tujuh delapan
tahun, ikut Tiong Ciu Sin Ie tinggal di perkumpulan Cou Keh
Cuang. Lantaran kurang hati-hati, dia memecahkan sebuah
teko giok milik Cou Yun Liong majikan perkumpulan keluarga
Cou, sehingga digebuk oleh Cou Yun Liong, bahkan juga
dicacinya 'Anak Sundal!' Ketika itu, Tiong Ciu Sin Ie sedang ke
luar. Sejak itu, kalau Tiong Ciu Sin Ie keluar, Cou Yun Liong
pasti memukulnya dan mengancamnya tidak boleh mengadu
pada Tiong Ciu Sin Ie.
Dan sejak itu pula, keluarga Cou semuanya memanggilnya
'Anak Sundal'. Untung Tiong Ciu Sin Ie tahu gelagat yang tidak
baik itu, langsung membawanya pergi. Teringat akan kejadian
itu, api kegusarannya pun memuncak. Oleh karena itu dia
mengambil keputusan untuk ke perkumpulan keluarga Cou,
untuk menghina Cou Yun Liong, agar rasa dongkolnya dalam
hati terlampiaskan.
Badan Ciok Giok Yin bergerak, dia sudah melesat ke luar dari
rimba itu.
Akan tetapi, tiba-tiba dia berhenti. Di mana letak
perkumpulan keluarga Cou? Ternyata dia sudah tidak ingat
lagi. Lalu harus ke mana mencari Cou Keh Cuang itu? Akhirnya

dia mengambil keputusan untuk menunda kepergiannya
itu. Tiba-tiba dia mendengar suara desiran baju di
belakangnya. Dia tersentak dan langsung membalikkan
badannya sambil mengerahkan lwee kangnya, siap menghadapi
segala kemungkinan. Setelah membalikkan badannya, dia
terbelalak. Ternyata di situ berdiri kurang lebih enam belas
orang, di antaranya terdapat padri dan tosu, semuanya
menatap Ciok Giok Yin dengan penuh kebencian.
Seorang padri berusia lima puluhan maju ke depan, lalu
merangkapkan sepasang tangannya di dada seraya menyebut.
"Omitohud! Apakah sicu adalah Ciok Giok Yin?" Ciok Giok Yin
tertegun.
"Benar. Taysu ada petunjuk apa?"
Sepasang mata hweshio itu menyorot tajam.
"Aku adalah Thian It Ceng dari Kuil Siauw Lim Si."
"Sudah lama aku mendengar nama besar Taysu."
Thian It Ceng maju selangkah lagi.
"Aku memberanikan diri, mengundang sicu ke kuil Siauw Lim
Si."
Ciok Giok Yin tercengang, sebab dia tidak punya hubungan
apa-apa dengan Siauw Lim Si, mengapa Thian It Ceng
mengundangnya ke sana?
"Ada urusan apa Taysu mengundangku ke Kuil Siauw Lim Si?"
"Sicu harus mengerti dalam hati."
Ciok Giok Yin tampak tidak senang.
"Aku tidak mengerti, mohon Taysu menjelaskan!"
Mendadak seorang tosu membentak.

"Taysu, untuk apa banyak bicara dengannya?"
Tosu itu kelihatan sudah mau turun tangan terhadap Ciok
Giok Yin. Tapi Thian It Ceng segera mengibaskan lengan
jubahnya.
"Sabar, tosu!"
Thian It Ceng memandang Ciok Giok Yin, kemudian berkata
perlahan-lahan.
"Tentunya sicu masih ingat, sicu pernah melukai tiga orang
Gobi Pay, demi menyelamatkan seorang gadis, lalu gadis itu
sicu bawa ke perkumpulan Bwee Cuang."
"Tidak salah," sahut Ciok Giok Yin dengan dingin.
"Sicu punya hubungan apa dengan gadis itu?"
"Taysu adalah orang yang telah menyucikan diri, kalau bicara
harus dipikirkan dulu. Berkelana di dunia persilatan menolong
seorang gadis, apakah harus punya hubungan?"
Thian It Ceng tidak menyangka Ciok Giok Yin bermulut begitu
tajam, maka membuat air mukanya berubah.
"Tahukah sicu siapa gadis itu?"
"Tidak tahu. Aku cuma tahu dia adalah seorang gadis yang
dihina orang."
"Dia adalah murid perkumpulan Sang Yen Hwee," kata Thian
It Ceng.
"Murid perkumpulan Sang Yen Hwee?"
"Tidak salah."
"Bagaimana Taysu tahu tentang itu?"
"Aku dengar perkumpulan Sang Yen Hwee ingin menguasai

dunia persilatan, maka menyuruh para murid terjun ke dunia
persilatan, untuk menyelidiki semua partai besar, agar dapat
memusnahkan semua partai besar tersebut."
"Benarkah urusan itu?"
"Sedikitpun tidak salah." Sepasang mata Thian It Ceng
menyorot tajam lagi. "Aku tahu akan sifat sicu yang lembut.
Demi membersihkan namamu, maka kuundang sicu ke Kuil
Siauw Lim Si, sekaligus bertanggung jawab atas ketiga orang
Gobi Pay yang telah mati itu."
Ternyata Thian It Ceng demi kematian tiga orang Gobi Pay
itu, sedangkan Ciok Giok Yin yang telah ketularan sifat aneh
Sang Ting It Koay, merasa tersinggung.
"Kalau begitu, Taysu juga menganggap diriku murid
perkumpulan Sang Yen Hwee?" katanya dengan suara dalam.
"Tidak bisa tidak berpikir demikian."
Ciok Giok Yin tertawa gelak.
"Taysu juga tahu aku bermusuhan dengan perkumpulan Sang
Yen Hwee?"
"Itu urusan sicu, yang jelas demi membersihkan nama sicu,
maka sicu harus ikut aku ke Kuil Siauw Lim Si. Aku berani
menjamin keselamatan sicu."
Sesungguhnya di saat ini delapan partai besar di dunia
persilatan telah mengakui Siauw Lim Pay sebagai Bu Lim Beng
Cu (Ketua Rimba Persilatan). Maka mengenai urusan besar
maupun kecil, pihak Siauw Lim Pay yang akan
membereskannya. Berhubung Ciok Giok Yin membunuh tiga
tosu Gobi Pay, menyelamatkan gadis itu, sehingga
menimbulkan kecurigaan delapan partai besar.
Lagi pula Ciok Giok Yin juga membunuh Khiam Sian Hweshio,
ketua Kuil Put Toan Si. Meskipun Ciok Giok Yin telah
menyatakan, itu adalah demi menuntut balas dendam Sang
Ting It Koay, namun kaum rimba persilatan tetap menganggap

asal-usul Ciok Giok Yin tidak jelas, maka mereka tetap
bercuriga. Oleh karena itu, setiap partai besar mengutus
beberapa murid handalnya ke Siauw LIm Si untuk berunding.
Akhirnya Siauw Lim Pay memutuskan mengundang Ciok Giok
Yin ke Kuil Siauw Lim Si untuk di sidang. Sementara Ciok Giok
Yin tertawa dingin.
"Kalau aku bilang tidak, Taysu mau bagaimana?"
"Tentu tidak boleh membiarkannya."
"Maksud Taysu?"
"Terpaksa menggunakan kekerasan untuk memaksa sicu ke
Kuil Siauw Lim Si!"
"Kalau begitu, kalian ingin bertarung?"
"Itu apa boleh buat."
Mendadak wajah Ciok Giok Yin menyeratkan hawa
membunuh.
"Kuberitahukan! Kini aku masih ada urusan penting yang
harus kuselesaikan, maka aku tidak bisa ikut ke Kuil Siauw Lim
Si. Kelak kalau urusanku telah beres, aku pasti berkunjung ke
sana." Dia menjura pada mereka. "Sampai jumpa...!"
Sebelum Ciok Giok Yin usai berkata, sudah terdengar suara
bentakan yang mengguntur.
"Kau ingin kabur?"
Tampak bayangan-bayangan berkelebat, tahu-tahu Ciok Giok
Yin sudah terkepung. Betapa gusarnya Ciok Giok Yin!
"Kalian ingin bergebrak? Sebetulnya aku tidak takut urusan!"
bentaknya.
"Harap sicu pikir baik-baik," kata Thian It Ceng.

"Pikir saja sendiri!"
"Sicu berkeras tidak mau ikut ke Kuil Siauw Lim Si?"
"Benar!"
Thian It Ceng mengerutkan kening.
"Omitohud! Apa boleh buat, aku terpaksa berlaku kasar!"
Mendadak dia mengibaskan lengan jubahnya. Seketika terasa
tenaga yang amat kuat dan lunak menerjang ke arah Ciok Giok
Yin.
"Bagus!" seru Ciok Giok Yin.
Dia mendorongkan sepasang telapak tangannya ke depan,
dan seketika terasa hawa yang amat panas menerjang ke arah
Thian It eng. Ternyata Thian It Ceng tahu kelihaian pukulan itu.
Maka dia cepat-cepat berkelit. Mendadak terdengar suara
bentakan keras.
"Bayar nyawa suteku!"
Seorang tosu tua sudah menyerang Ciok Giok Yin.
Ternyata tosu tua itu adalah murid Gobi Pay. Dia melancarkan
pukulan yang amat dahsyat, ingin membunuh Ciok Giok Yin
dengan satu pukulan. Saat ini, walau Ciok Giok Yin memiliki
kesabaran, namun tidak dapat bersabar lagi. Dia bergeretak
gigi, kemudian berkata dingin.
"Kalian yang mendesak, jangan menyalahkan aku bertindak
kasar!"
Tiba-tiba badannya mencelat ke atas, ternyata Ciok Giok Yin
telah mengeluarkan ilmu pukulan Hong Lui Sam Ciang, jurus
pertama Terbang. Telapak tangannya berkelebatan dan
seketika terdengar suara jeritan. Tampak sosok bayangan
terpental beberapa depa, dan ketika roboh kepalanya
membentur sebuah batu besar, sehingga pecah dan otaknya

berhamburan. Di saat bersamaan terdengar seseorang berseru
kaget.
"Hong Lui Sam Ciang!"
"Tidak boleh melepaskan bocah itu, dia pasti murid Kui Mo!"
"Maju!"
Mereka semua menerjang ke arah Ciok Giok Yin, termasuk
Thian It Ceng dari Kuil Siauw Lim Si. Kini suasana di tempat itu
berubah tegang. Sedangkan Ciok Giok Yin terus melancarkan
jurus pertama itu. Terndengar suara jeritan yang tak hentihentinya.
Saat ini sudah bertambah tiga sosok mayat. Ciok
Giok Yin amat membenci mereka, sebab mereka sudah
menyucikan diri, namun sama sekali tidak membicarakan
peraturan, bertindak semuanya. Sudah pasti membuatnya
amat gusar hingga tak terkendali. Mendadak Thian It Ceng
mencelat ke luar. Menyusul tampak seorang hweshio terpental
ke luar juga. Mereka berdua berbisik-bisik, kemudian hweshio
itu melesat pergi. Akan tetapi, betapa tajamnya mata Ciok Giok
Yin! Dia tertawa gelak seraya berseru.
"Kalian mau cari bantuan?"
Kebencian Ciok Giok Yin telah memuncak, maka turun tangan
tanpa memberi ampun. Untung dia belum berhasil menguasai
jurus kedua dan ketiga. Kalau dia sudah menguasai jurus-jurus
tersebut, mungkin mereka semua sudah tergeletak menjadi
mayat. Terdengar lagi suara jeritan. Bertambah lagi dua sosok
mayat di tanah. Akan tetapi, meskipun dia berkepandaian
tinggi, namun menghadapi penyerangan yang begitu banyak,
lama kelamaan membuatnya kewalahan juga, mata- nya mulai
berkunang-kunang. Sedangkan para penyerang sudah tahu
akan kelihayan Hong Lui Sam Ciang, maka mereka bertarung
dengan jarak jauh. Ciok Giok Yin kurang berpengalaman. Dia
terus menyerang dengan sekuat tenaga, sudah barang tentu
membuatnya cepat lelah. Sekonyong-konyong terdengar suara
bentakan keras.
"Berhenti!"

Tampak sosok bayangan melayang turun di tempat. Ternyata
seorang tua jenggot dan bewoknya amat panjang. Semua
orang langsung mundur. Thian It Ceng maju selangkah lalu
memberi hormat.
"Maaf! Tidak tabu kedatangan Ciak sicu, mohon dimaafkan!"
Orang tua berjenggot dan berbewok panjang itu balas
memberi hormat, kemudian berkata.
"Taysu dan lainnya mengeroyok saudara kecil ini, bolehkah
menjelaskan sebab musababnya?"
Thian It Ceng memandang Ciok Giok Yin sejenak.
"Aku mengundang sicu kecil itu ke Kuil Siauw Lim Si, namun
sicu kecil itu tidak mau, sebaliknya malah turun tangan jahat."
Orang tua berjenggot dan berbewok panjang itu memandang
Ciok Giok Yin dengan penuh perhatian, sama sekali tidak
mempedulikan Thian It Ceng.
"Saudara kecil, mereka adalah orang-orang yang menyucikan
diri, tapi justru memfitnahmu, aku merasa itu tidak adil."
Ciok Giok Yin merasa terharu dan seketika terkesan baik
terhadap orang tua itu.
"Bolehkah aku tahu gelar lo cianpwee?"
Orang tua itu mendekati Ciok Giok Yin.
"Kawan-kawan dunia persilatan memberi gelar Cang Hu Khek
(orang Berbewok Panjang) padaku, namaku Ciak Kun. Aku
akan memberesi urusan ini. Kebetulan rumahku tak jauh dari
sini. Bagaimana Saudara Kecil mampir ke rumahku sebentar?"
"Aku masih ada urusan penting, lain hari...."
Sebelum Ciok Giok Yin usai berkata, Ciak Kun sudah tertawa

gelak.
"Biar bagaimanapun, aku harap Saudara Kecil sudi mampir ke
rumahku untuk minum teh. Setelah itu, barulah Saudara Kecil
melanjutkan perjalanan."
Cang Hu Khek memandang semua orang-orang itu.
"Urusan kalian semua selesai sampai di sini. Mengenai
kesalah pahaman Saudara Kecil ini, akan kupertanggungjawabkan
pada ketua kalian."
Dia langsung menarik Ciok Giok Yin meninggalkan tempat itu.
Ciok Giok Yin memang sudah terkesan baik terhadap Cang Hu
Khek, maka dia menurut. Tak seberapa lama, mereka berdua
sudah sampai di rumah Cang Hu Khek-Ciak Kun, kemudian
orang tua itu mengajak Ciok Giok Yin masuk. Setelah duduk,
orang tua itu langsung menyuruh para pelayan menyajikan
arak wangi. Mereka berdua minum sambil bercakap-cakap.
Ciok Giok Yin memberitahukan tentang kesalah pahaman
partai-partai besar itu terhadap dirinya. Ceng Hu Khek-Ciak
Kun menghela nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan
kepala.
"Di dunia persilatan memang sering terjadi kesalah pahaman.
Saudara Kecil tidak usah cemas, cepat atau lambat aku akan
menjernihkan kesalah pahaman itu."
"Terimakasih, lo cianpwee!"
Berselang sesaat, para pelayan juga sudah menyajikan
beberapa macam hidangan. Mereka berdua mulai makan
sambil melanjutkan percakapannya. Akan tetapi.... Ucapan
Ciok Giok Yin terhenti karena mendadak kepalanya terasa
pusing sekali.
"Celaka!" serunya.
Ciok Giok Yin roboh, namun masih sempat mendengar Cang
Hu Khek-Ciak Kun berkata. "Akhirnya kau terjebak...."

Selanjutnya dia sudah tidak mendengar apa-apa lagi, ternyata
dia sudah pingsan. Entah berapa lama kemudian, barulah dia
siuman.
Matanya terbuka perlahan-lahan. Dia menengok ke sana ke
mari, namun tidak tampak apa pun, sebab tempat itu amat
gelap. Dia merasa dirinya terikat di sebuah balok kayu.
Teringat dirinya terpedaya oleh Cang Hu Khek-Ciak Kun,
seketika kegusaranya bergolak di rongga dadanya.. Dia
mengerahkan lwee kangnya, tapi malah merasa tali yang
mengikatnya bertambah kencang. Dapat dibayangkan,
bagaimana kegusarannya di saat ini! Dia berkerak gigi seraya
berkata sengit.
"Dasar tua bangka! Aku pasti akan memusnahkan rumah ini!"
Mendadak terdengar suara sahutan di luar.
"Lebih baik kau menunggu dengan diam! Kalau tidak, kau
akan tahu rasa!"
Ciok Giok Yin langsung membentak.
"Aku tidak bermusuhan denganmu, mengapa kalian
menggunakan cara yang amat rendah ini menjebakku?"
Hening di luar, tidak terdengar suara apa pun. Kegusaran
Ciok Giok Yin sungguh memuncak, sehingga rambutnya nyaris
berdiri semua. Sementara sang waktu terus berlalu. Di tempat
itu amat gelap, tidak dapat membedakan siang atau
malam. Sekonyong-konyong terdengar suara yang amat
ringan, dan tak lama tampak sesosok bayangan berkelebat ke
dalam. Akan tetapi, setelah ditegasi, justru tidak tampak apa
pun. Itu membuat Ciok Giok Yin merinding. Mendadak dia
merasa ada hembusan angin yang amat dingin ke arah
lehernya, membuat bulu kuduknya pada bangun semua,
sehingga tanpa sadar dia berseru.
"Hantu!"
Menyusul terdengar suara yang amat lirih.

"Kau takut hantu?"
Sesunggunya Ciok Giok Yin memang merasa takut, namun dia
menyahut.
"Tidak takut!"
"Kau jangan sok berani, aku justru hantu."
"Sebetulnya siapa kau?"
"Bok Tiong Jin."
Seketika Ciok Giok Yin mengeluarkan 'Hah' Setelah itu dia
bertanya.
"Kau... Bok Tiong Jin?"
"Tidak salah."
"Mau apa kau kemari?"
"Menolongmu."
Hati Ciok Giok Yin menjadi kebat-kebit tidak karuan. Ternyata
Bok Tiong Jin memang merupakan hantu wanita yang selalu
mengikutinya. Jelas hantu wanita itu menghendaki
hatinya. Terdengar Bok Tiong Jin berkata.
"Setelah kulepaskan tali yang mengikat dirimu, kau harus
segera meninggakan tempat ini, tidak boleh menengok ke
belakang!"
Ciok Giok Yin tercengang.
"Mengapa?" katanya.
"Kau harus tahu, wajah hantu amat menakutkan. Kau berani
melihat wajah hantu?"
Ciok Giok Yin terdiam. Tiba-tiba dia merasa tangan dan

kakinya menjadi renggang. Ternyata tali yang mengikat dirinya
telah terlepas. Dia segera bangkit berdiri, lalu maju tiga
langkah, namun mendadak berhenti. Ternyata hatinya tergerak
dan membatin, 'Aku justru ingin melihat wajah hantu itu'. Dia
segera membalikkan badannya, tapi seketika dia menjerit.
"Aduuuh!"
Ternyata dia melihat sosok hantu wanita yang amat
menyeramkan. Rambutnya panjang terurai ke bawah, lidahnya
panjang merah sampai di dada dan sepasang biji matanya
melotot ke luar. Pantas tadi dia berseru, kini sekujur badannya
pun menjadi merinding. Sepasang kakinya jadi lemas, tak
sanggup melarikan diri dari tempat itu. Justru di saat
bersamaan terdengar suara langkah menuju tempat
tersebut. Bok Tiong Jin segera mengibaskan rambutnya. Bukan
main! Ternyata ujung rambut itu berhasil menotok jalan
darahnya membuat Ciok Giok Yin pingsan seketika. Di saat
siuman, dia sudah berada di bawah pohon besar.
Dia cepat-cepat meloncat bangun. Namun mendadak
terdengar suara di belakangnya.
"Aku pikir perutmu pasti sudah lapar. Di sampingmu ada dua
ekor ayam bakar, makanlah!"
Memang tercium aroma ayam bakar yang amat
harum. Sedangkan yang berbicara itu, tidak lain Bok Tiong
Jin. Kini Ciok Giok Yin tidak berani membalikkan badannya lagi,
cuma berkata.
"Terima kasih!"
Tapi dia tidak berani menjulurkan tangannya mengambil
ayam bakar itu, sebab dia pikir, hantu dapat membuat
makanan apa pun dari kotoran hewan. Jangan-jangan kedua
ekor ayam bakar itu dibuat dari kotoran hewan pula. Karena
itu, dia tidak berani makan. Bok Tiong Jin sepertinya tahu akan
apa yang dipikirkan Ciok Giok Yin, maka berkata dengan
dingin.
"Kau boleh coba dulu."

Ciok Giok Yin memang sudah lapar sekali. Dia menjulurkan
sebelah tangannya meraba, benar ayam bakar yang masih
terasa hangat. Ciok Giok Yin, mencoba satu gigitan, ternyata
cukup gurih dan lezat. Mulailah dia makan dengan lahap.
Dalam sekejap kedua ekor ayam bakar telah habis
dimakannya. Dia mengusap perutnya yang telah merasa
kenyang, lalu berkata perlahan.
"Terimakasih atas pemberian ayam bakar itu!"
Bok Tiong Jin menyahut dingin.
"Tidak usah berterima kasih. Ingat, hatimu telah menjadi
milikku!"
Seketika Ciok Giok Yin merinding.
"Aku tahu itu, kapan Nona mau ambil, aku pasti tidak
menyayangi hatiku." katanya dengan suara agak gemetar.
"Bagus!"
Hening sejenak, kemudian Bok Tiong Jin berkata lagi.
"Kau memperoleh apa di dalam Goa Cian Hud Tong itu?"
"Sebuah botol giok kecil!"
"Apa isinya?"
"Tiada harganya untuk dibicarakan."
"Maksudmu?"
Ciok Giok Yin cuma menghela nafas panjang sambil
menggeleng-gelengkan kepala, tidak menyahut sama sekali.
"Katakan, tidak usah ragu!" desak Bok Tiong Jin.
Terpaksa Ciok Giok Yin memberitahukan.

"Terdapat secarik kertas yang di dalamnya tertera semacam
ilmu silat tinggi. Kalau tidak salah, ilmu Jari!"
"Ilmu jari apa?"
"Ilmu Jari Darah."
"Ilmu Jari Darah?"
Bok Tiong Jin tampak tercengang.
"Kau sudah mempelajari Ilmu Jari Darah itu?"
"Telah kuhafal, namun tidak pernah kupraktekkan."
Bok Tiong Jin diam. Suasana jadi hening. Ciok Giok Yin
mengira Bok Tiong Jin telah pergi, maka langsung menarik
nafas lega. Dia mencoba membalikkan badannya, justru di saat
bersamaan terdengar lagi suara Bok Tiong Jin bertanya.
"Masih terdapat benda apa di dalam botol giok kecil itu?"
Ciok Giok Yin langsung diam, tidak berani membalikkan
badannya.
"Sebutir pil Api Ribuan Tahun," sahutnya.
"Pil Api Ribuan Tahun?"
"Ng!"
"Kau tahu pil itu dibuat dari apa?"
"Dibuat dari mutiara kura-kura api yang berusia ribun tahun."
"Kau sudah makan?"
"Ya."
"Kalau begitu, lwee kangmu pasti bertambah tinggi. Ya, kan?"

"Tidak salah, namun... tubuhku menjadi berbeda dengan
orang biasa."
"Maksudmu?"
Ciok Giok Yin menghela nafas panjang.
"Yaah! Kurang leluasa kuberitahukan."
Beberapa saat kemudian berulah Bok Tiong Jin berkata.
"Katakan, tidak usah merasa kurang leluasa!"
Karena didesak, Ciok Giok Yin terpaksa memberitahukan
tentang apa yang tertulis di kertas itu. Terdengar suara Bok
Tiong Jin yang agak gemetar.
"Apakah tiada jalan keluarnya?"
"Aku mengerti ilmu pengobatan, namun tak terpikirkan suatu
cara untuk memecahkan masalah itu."
"Kalau begitu, kau akan hidup tanpa menikah?"
"Apa boleh buat!"
"Apakah kau mengerti, tidak punya keturunan sama juga
seperti anak yang tak berbakti?"
"Tentunya aku tahu."
"Kalau tahu, kau harus mencari jalan keluarnya. Setahuku,
ada beberapa anak gadis yang amat baik padamu. Kau tidak
boleh mengecewakan mereka."
"Kau cuma mentertawakanku. Aku tidak punya tempat tinggal
yang tetap, dan keadaanku amat miskin, bagaimana mungkin
ada anak gadis baik padaku? Kalaupun ada, itu hanya
kebetulan bertemu saja."

"Menurutmu, seandainya ada wanita yang paham tentang Im
Yang Ceng Koy, juga tidak bisa dilakukan oleh satu dua wanita!
Ya, kan?"
"Ya."
"Kitab Im Yang Ceng Koy hanya dimiliki golongan hitam,
sedangkan golongan putih tidak mungkin menyimpan kitab itu.
Lalu harus ke mana mencari kitab itu?"
"Lihat bagaimana nanti. Kalau tidak, seumur hidup aku tidak
akan punya istri."
"Apakah itu suara hatimu?"
"Tentu."
"Kalau memang begitu, kelak pasti ada satu orang
menemanimu selama-lamanya."
"Siapa?"
Tiada sahutan. Berselang beberapa saat juga tidak terdengar
sahutan. Perlahan-lahann Ciok Giok Yin membalikkan
badannya. Ternyata Bok Tiong Jin sudah tidak kelihatan.
Seketika sekujur badan Ciok Giok Yin menjadi merinding. Di
tengah malam itu, Ciok Giok Yin tidak berani lama-lama di
tempat itu harus segera pergi. Akan tetapi, mendadak
terdengar suara tangisan yang amat memilukan. Suara
tangisan itu terbawa angin hingga terdengar sampai di tempat
itu. Suara tangisan yang amat sedih, pilu dan...
Ciok Giok Yin tersentak, lalu bertanya dalam hati. 'Apakah itu
juga suara tangisan arwah?' Sebetulnya Ciok Giok Yin tidak
mempedulikan suara tangisan itu. Namun dia merasa heran,
sehingga sepasang kakinya membawa dirinya ke tempat suara
tangisan tersebut. Tak seberapa lama dia sampai di tempat itu.
Tampak seorang wanita berpakaian hitam berlutut di hadapan
sebuah kuburan yang masih baru, terus menerus menangis
dengan sedih sekali. Ciok Giok Yin mendekatinya namun wanita
itu kelihatannya tidak tahu akan kehadiran Ciok Giok Yin.

Dia masih terus menangis dengan sedih sehingga air matanya
jatuh berderai-derai. Tempat ini merupakan hutan belantara
yang amat sunyi. Malam semakin larut. Kuburan baru! Di
tambah suara tangisan yang amat memilukan, sehingga
membuat suasana di tempat itu tambah menyeramkan. Tibatiba
wanita itu bangkit berdiri, namun tetap di hadapan
kuburan baru itu. Dia sama sekali tidak menghiraukan Ciok
Giok Yin yang berada di sisinya, sepertinya tidak melihatnya.
"Kanda Mok, aku menunggumu hingga dua puluh tahun, tidak
tahunya cuma menemukan kuburanmu ini. Lalu apa artinya
aku hidup?" gumamnya.
Usai bergumam, wanita itu mulai menangis lagi. Sementara
Ciok Giok Yin cuma melihat wanita itu berambut panjang,
namun tidak melihat jelas bagaimana parasnya. Suara
tangisannya yang memilukan itu, membuat hati Ciok Giok Yin
ikut berduka. Mendadak sepasang mata Ciok Giok Yin
terbelalak, ternyata dia melihat pada batu nisan di depan
kuburan itu, terdapat tulisan 'Makam Tiat Yu Kie Su (Satria
Baju Besi) Mok Ho'
Begitu melihat tulisan itu, seketika juga mata Ciok Giok Yin
berapi-api, dia maju selangkah sambil berkertak gigi.
"Kok bisa begitu kebetulan, kuburan baru..." gumamnya.
Wanita baju hitam itu segera menoleh, dan suara
tangisannyapun berhenti. Wajahnya tertutup oleh rambutnya
yang panjang, tapi sepasang matanya menyorot tajam.
"Kau bilang apa barusan?" katanya dengan dingin sekali.
"Aku bilang amat aneh, kuburan baru," sahut Ciok Giok Yin
yang dengan dingin pula.
"Kau anggap dia belum mati?"
"Dugaanku memang begitu."

"Siapa kau?"
"Ciok Giok Yin."
"Kau punya dendam dengannya?"
"Boleh dikatakan demikian. Kau?"
Wanita berbaju hitam memandang kuburan baru itu,
kemudian berkata dengan sengit.
"Aku justru tidak terpikirkan, mungkin kau menghindariku!
Kalaupun kau sudah mati, aku juga harus membawa tulang
belulangmu!"
Mendadak dia melancarkan sebuah pukulan ke arah kuburan
baru itu.
Bum!
Ketika wanita berbaju hitam itu mau melancarkan pukulan
lagi, Ciok Giok Yin menjulurkan tangannya mencegah,
"Kau dan dia punya dendam?" katanya.
"Kau tidak sudah tahu, cepat mundur!" bentak wanita itu
dengan gusar.
Dia terus melancarkan pukulan dahsyat ke arah kuburan baru
itu, sehingga kuburan baru itu jadi berlubang. Ciok Giok Yin
dan wanita berbaju hitam itu memandang ke dalam, tidak
tampak apa pun di dalam lubang itu. Tidak salah lagi, kuburan
baru itu hanya untuk mengelabuhi orang. Kalau begitu, Tiat Yu
Kie Su-Mok Ho pati masih hidup. Lalu mengapa dia membuat
kuburan itu? Memang sulit untuk diterka. Ciok Giok Yin berkata
dalam hati. 'Apakah dia ingin mengelabuiku? Ini memang
mungkin sekali!'
Di saat Ciok Giok Yin sedang berkata dalam hati, wanita
berbaju hitam itu berkata.
"Dia belum mati, aku harus mencarinya." Tanpa

memperdulikan Ciok Giok Yin, wanita itu langsung pergi.
Namun Ciok Giok Yin segera melesat ke hadapannya.
"Aku tanya, Tiat Yu Kie Su berada di mana?" katanya.
"Kau memang banyak bertanya! Kalau aku tahu tempat
tinggalnya, buat apa aku masih harus mencarinya?" sahut
wanita berbaju hitam itu dengan gusar. Dia mantap Ciok Giok
Yin. "Namun aku yakin akan berhasil mencarinya. Kalau kau
bernyali, tiga bulan kemudian, kau boleh datang di tebing Mong
Hu An (Tebing Memandang Suami) di Gunung Cong Lam San,
aku akan mewakilinya menyelesaikan urusan kalian."
lanjutnya.
Ciok Giok Yin tidak tahu wanita berbaju hitam itu punya
hubungan apa dengan Tiat Yu Kie Su-Mok Ho.
"Baik, tiga bulan kemudian aku pasti ke sana."
Wanita berbaju hitam itu langsung melesat pergi. Ciok Giok
Yin terbelalak, sebab ginkang wanita itu amat tinggi. Ciok Giok
Yin menatap kuburan kosong itu, kemudian dengan sengit
membanting kakinya, lalu melesat pergi. Kini tujuannya ke
Gunung Cong Lan San menemui Can Hai It Kiam untuk
mengambil sepucuk surat, agar tahu asal-usulnya. Dalam
perjalanan menuju Gunun Cong Lan Sam, dia pun teringat
akan kertas yang diperolehnya dari dalam Goa Cian Hud Tong
yang di dalamnya tertera ilmu Jari Darah. Oleh karena itu, dia
mulai melatihnya. Dia pun ingat tulisan yang di dalam kertas,
bahwa apabila berhasil menguasai ilmu Jari Darah dengan
sempurna, maka dapat menembus batu, bahkan dapat melukai
orang dalam jarak seratus langkah, namun tidak boleh
membunuh orang.
Teringat akan itu, diam-diam Ciok Giok Yin bergirang dalam
hati. Sebab apabila berhasil, dia pun akan membasmi para
murid perkumpulan Sang Yen Hwee, berikut ketuanya. Setelah
itu dia akan berusaha mencari Chiu Tiong Thau, murid murtad
gurunya. Dia akan mengorek keluar jantung hatinya untuk
menyembahyangi gurunya. Ciok Giok Yin terus berlatih sambil

melakukan perjalanan. Kebetulan dia melihat sebuah pohon
besar. Seketika juga dia menggerakkan dua jarinya ke arah
pohon besar itu.
Tampak cahaya merah dari kedua jarinya meluncur ke arah
pohon itu, dan di saat bersamaan, terdengar pula suara '
Srerrrrt' .
Pohon itu telah tumbang. Bukan main dahsyatnya ilmu Jari
Darah itu! Padahal Ciok Giok Yin baru mulai berlatih, namun
hasilnya sudah begitu luar biasa. Seandainya badan orang
terserang ilmu Jari Darah, bukankah akan berlubang?
Keberhasilan itu membuat Ciok Giok Yin girang bukan main.
Dia langsung melesat pergi laksana kilat. Mendadak samarsamar
dia melihat sebuah perkumpulan di depan.
Pemandangan di perkumpulan itu, membuatnya seperti
kenal. Tapi kapan dia pernah ke mari, sama sekali tidak
ingat. Karena itu, dia mendekati perkumpulan tersebut. Setelah
dekat, sepasang matanya langsung berapi-api. Ternyata di
pintu gerbang perkumpulan terdapat tulisan 'Perkumpulan
Keluarga Cou' Seketika dia teringat akan perlakuan Cou Yun
Liong terhadap dirinya. Sungguh kebetulan dia tiba di
perkumpulan tersebut. Di saat Ciok Giok Yin baru mau
melangkah memasuki pintu gerbang itu, tiba-tiba muncul
empat penjaga lalu menghadangnya. Salah seorang dari
mereka ketika melihat Ciok Giok Yin, langsung terbelalak.
"Saudara Kecil, kau adalah..." serunya. Kelihatannya penjaga
itu merasa kesal, namun lupa namanya, maka tidak
melanjutkan ucapannya. Sebaliknya Ciok Giok Yin masih ingat
penjaga itu, sebab penjaga itu juga pernah mencacinya sebagai
anak sundal, bahkan pernah memukulnya. Pada waktu itu, Ciok
Giok Yin masih kecil, cuma berani menangis seorang diri, tanpa
berani mengadu pada Tiong Ciu Sin Ie. Saat ini begitu dia
melihat penjaga itu, matanya langsung membara.
"A Piau, kau sudah tidak kenal aku lagi?" katanya dengan
dingin.
Ternyata panjaga yang berwajah kasar itu bernama An Piau.
Dia tampak tertegun, melainkan malah tertawa.

"Saudara Kecil, maaf! Entah kita pernah bertemu di mana?"
An Piau memandang sepasang mata Ciok Giok Yin, seketika
merasa merinding dan tanpa sadar menyurut mundur satu
langkah.
Diam-diam dia berkata dalam hati. 'Sungguh tajam dan dingin
sepasang mata bocah ini!' Ciok Giok Yin mendengus dingin.
"Hm! Anak sundal yang sepuluh tahun lampau itu, kemari
mengunjungi majikan kalian. Tentunya kau tidak akan lupa
kan?"
An Piau langsung berseru kaget.
"Ciok Giok Yin?"
"Tidak salah. Tentunya kau tidak menduga aku akan ke mari,
bukan?"
Seketika An Piau tersenyum licik.
"Sungguh tak terduga kau akan ke mari, cepat...."
Ketika melihat senyum licik itu, Ciok Giok Yin merasa muak
dan gusar. Dia segera mencengkeram lengan An Piau seraya
berkata dingin.
"An Piau, sepuluh tahun yang lampu, aku nyaris mati di
tanganmu! Hari ini kau masih mau bilang apa?"
Mendadak An Piau menjerit-jerit kesakitan, wajahnya berubah
pucat pias dan keringatnya pun mengucur deras membasahi
pakaiannya. Berselang sesaat, barulah Ciok Giok Yin
mengendurkan tangannya.
"An Piau! Enak rasanya?" katanya dengan dingin.
Setelah itu, dia pun membentak gusar.
"Sepuluh tahun yang lampau, ketika kau memukulku, apakah

kau tidak berpikir, badanku tahan atau tidak?"
Usai membentak, Ciok Giok Yin mengerahkan tiga bagian
tenaganya. Terdengar suara 'Kraaak'. Ternyata lengah An Piau
sudah patah.
"Aaaaakh...!" jeritnya.
Ciok Giok Yin mendengus dingin.
"Hm! Dasar tak berguna!"
Setelah itu, dia merogoh ke dalam bajunya, mengambil tiga
butir obat Ciak Kim Tan, lalu diberikan kepada penjaga lain.
"Suruh dia makan obat ini, beberapa hari kemudian pasti
sembuh!" katanya.
Di saat bersamaan, mendadak terdengar suara bentakan
keras dari dalam.
"Siapa berani ke mari cari gara-gara?"
Suara bentakan itu belum lenyap, sudah muncul seorang tua
berusia enam puluhan, wajahnya pun agak bengis. Sepasang
matanya menyorot tajam, terus menatap Ciok Giok Yin dari
atas ke bawah. Kemudian sepasang biji matanya berputar.
"Ternyata kau anak sundal!" katanya dengan suara parau.
Begitu melihat orang tua itu, kegusaran Ciok Giok Yin
memuncak, lebih-lebih ketika mendengar cacian itu. Dia
langsung maju dua langkah seraya membentak.
"Cou Yun Liong! Hari ini kau akan membuat mulutmu tidak
bisa mencaci lagi!"
"Anak sundal! Sungguh bagus kedatanganmu!" sahut Cou Yun
Liong dengan dingin. Mendadak sesosok bayangan melayang
turun di hadapan Cou Yun Liong.

"Harap Cuangcu mundur dulu!" katanya.
Ciok Giok Yin memandang orang yang baru muncul itu.
Darahnya langsung mendidih dan sepasang matanya berapi-api
penuh dendam. Siapa orang yang baru muncul itu? Ternyata
Tui Beng Thian Cun.
"Tui Beng Thian Cun!" bentak Ciok Giok Yin mengguntur.
"Betul! Kau akan bunuh diri atau aku harus turun tangan?"
Ciok Giok Yin memang sudah membenci Tui Beng Thian Cun
hingga ke dalam tulang sumsum, sebab Tiong Ciu Sin Ie mati
di tangannya. Hari itu Tui Beng Thian Cun berhasil meloloskan
diri, tak disangka hari ini justru bertemu di sini. Oleh karena
itu, Ciok Giok Yin langsung membentak.
"Iblis Tua! Serahkan nyawamu!"
Sembari membentak, Ciok Giok Yin juga melancarkan sebuah
pukulan ke arah Tui Beng Thian Cun. Tui Beng Thian Cun
cepat-cepat berkelit, sekaligus mencengkeram lengan Ciok
Giok Yin. Akan tetapi, mendadak Ciok Giok Yin mencelat ke
atas. Ternyata dia akan menggunakan Hong Lui Sam
Ciang. Tampak telapak tangannya berkelebatan, kemudian
terdengar suara menderu-deru. Itu adalah jurus pertama
Terbang dari Hong Lui Sam Ciang yang amat dahsyat dan
lihay. Tui Beng Thian Cun sudah tahu akan kelihayan jurus
tersebut. Maka dia tidak berani menangkis, melainkan
berusaha berkelit. Walau berhasil berkelit, sekujur badannya
telah mengucurkan keringat dingin.
Di saat Tui Beng Thian Cun berhasil mengelakkan jurus itu,
Ciok Giok Yin melancarkan jurus kedua dari Hong Lui Sam
Ciang. Tempo hari Ciok Giok Yin tidak berani mengeluarkan
jurus itu karena lwee kangnya belum mencapai ketingkat
seperti sekarang. Setelah makan pil Api Ribuan Tahun, lwee
kangnya bertambah tinggi, maka sudah tidak jadi masalah
mengeluarkan jurus kedua itu. Seketika terdengar suara jeritan
yang menyayat hati. Dan tampak pula darah segar muncrat ke
mana-mana. Ternyata kepala Tui Beng Thian Cun telah pecah

dan nyawanya melayang seketika. Dia seorang tokoh dari
golongan hitam yang amat terkenal, justru mati secara
mengenaskan di tangan Ciok Giok Yin. Setelah berhasil
membunuh Tui Beng Thian Cun, Ciok Giok Yin berkata dengan
suara terisak-isak. "Kakek Tua, tenanglah! Anak Yin telah
berhasil menuntut balas dendammu."
Justru Ciok Giok Yin sama sekali tidak tahu, bahwa disaat
bersamaan Cou Yun Liong sudah berada di belakangnya,
mengangkat sebelah tangannya siap menyerang. Namun
mendadak terdengar suara seruan kaget yang amat nyaring.
"Ayah!"
Suara seruan itu membuat Ciok Giok Yin tersentak, barulah
dia tahu Cou Yun Liong berada di belakangnya siap
menyerang. Kalau bukan karena seruan itu, mungkin kini Ciok
Giok Yin sudah binasa di tangan Cou Yun Liong. Itu membuat
Ciok Giok Yin bertambah dendam pada Cou Yun Liong.
"Cou Tongcu! Kau pernah mencaciku sebagai anak sundal,
bahkan juga pernah memukul dan menyiksaku! Tapi aku masih
memandang muka almarhum Tiong Ciu Sin Ie, maka aku
mengampuni nyawamu!" katanya dengan sengit.
Kemudian dia menatap Cou Yun Liong dengan penuh
kebencian.
"Tapi aku tidak bisa dengan cara begini mengampunimu.
Terlebih dahulu aku harus menamparmu dua kali, lalu kau pun
harus berlutut di hadapanku sambil menganggukkan kepala
tiga kali," tambahnya dengan perlahan-lahan.
Usai dia berkata, terdengar suara Plak! Plak! Ternyata Ciok
Giok Yin telah menampar pipi Cou Yun Liong dua
kali. Bersamaan itu, tampak sesosok bayangan langsung
melesat ke sana seraya berseru.
"Kakak Yin! Kakak Yin! Kau tidak boleh menghina ayahku!"
Ciok Giok Yin menoleh. Ternyata bayangan itu adalah Cou Ing

Ing, putri Cou Yun Liong. Seketika Ciok Giok Yin pun teringat
akan kejadian sepuluh tahun yang lampau, sesudah dicaci dan
dipukuli oleh Cou Yon Liong, Ciok Giok Yin segera bersembunyi
di dalam kamar sambil menangis sedih. Justru Cou Ing Ing
yang menariknya ke luar, ke halaman belakang dan terusmenerus
menghiburnya. Usia Cou Ing Ing lebih muda dua
bulan dari Ciok Giok Yin, namun gadis itu lebih mengerti urusan
dibandingkan dengan Ciok Giok Yin.
Apabila Ciok Giok Yin tidak berhenti menangis, kadangkadang
Cou Ing Ing berdandan seperti pengantin untuk
menghiburnya, agar dia melupakan rasa duka dalam
hatinya. Mereka berdua boleh dikatakan teman dari kecil,
bahkan sudah saling mengerti dan Cou Ing Ing pun berbagi
rasa derita dengannya. Cou Ing Ing juga pernah berkata pada
Ciok Giok Yin, bahwa kelak setelah besar, mereka harus
bersama selama-lamanya. Perkataan tersebut masih terngiangngiang
di dalam telinga Ciok Giok Yin.
Oleh karena itu, begitu melihat Cou Ing Ing, Ciok Giok Yin
menjadi terbelalak, sebab kini gadis itu sudah besar dan amat
cantik, namun menatapnya dengan wajah muram. Dia terus
berdiri di samping Cou Yun Liong. Sepasang matanya yang
indah itu menatapnya dengan tak berkedip. Di dalam hati gadis
itu, entah merasa girang atau cemas? Karena yang seorang
adalah ayahnya, yang harus dibelanya agar tidak dihina oleh
Ciok Giok Yin. Sedangkan yang satu lagi, justru adalah
temannya dari kecil. Walau telah berpisah sepuluh tahun,
namun dalam hati gadis itu telah terukir dalam sekali
bayangannya, bahkan masih ingat akan semua kenangan masa
lalunya.
Dia mencintai ayahnya juga mencintai Ciok Giok Yin, maka
harus berdiri di pihak mana, justru membuatnya serba
salah. Dia terus menatap Ciok Giok Yin dengan mata sayu dan
berharap mereka berdua akan berdamai. Akan tetapi, bisakah
begitu? Dia tidak yakin. Kini suasana di tempat itu berubah
menjadi hening dan tegang mencekam. Sedangkan Cou Yun
Liong yang ditampar dua kali oleh Ciok Giok Yin sama sekali
tidak dapat melihat jelas bagaimana cara Ciok Giok Yin turun
tangan.

Di dunia persilatan, Cou Yun Liong cukup terkenal dan
berkedudukan tinggi. Namun kini dia dipermalukan di depan
para pelayannya, maka mukanya mau ditaruh ke mana dan
bagaimana jadi orang di kemudian hari? Perlahan-lahan
sepasang matanya menyorot tajam berapi-api. Setelah itu,
terdengar suara bentakannya yang mengguntur.
"Bocah sialan! Hari ini ada kau tiada aku, ada aku tiada kau!"
Dia langsung menerjang ke arah Ciok Giok Yin. Cacian itu
membuat kegusaran Ciok Giok Yin menjadi semakin
memuncak.
Karena sejak kecil dia tidak tahu siapa kedua orang tuanya.
Kini orang lain mencacinya sebagai 'Anak Sundal' atau 'Anak
Sialan' itu juga mencungkil boroknya. Maka, tidak heran kalau
dia merasa sakit hati dan sepasang matanya langsung
membara.
Sedangkan Cou Yun Liong telah menerjang ke arahnya. Maka
Ciok Giok Yin segera mengerahkan lwee kangnya. Namun
ketika dia mau melancarkan pukulannya mendadak Cou Ing
Ing berseru.
"Kakak Yin, jangan!"
Hati Ciok Giok Yin tersentak mendengar seruan itu, dan
kemudian menurunkan tangannya. Di saat bersamaan, pukulan
yang dilancarkan Cou Yun Liong mendekati dada Ciok Giok Yin.
Bum!
Tampak Ciok Giok Yin terhuyung-huyung ke belakang delapan
langkah dan seketika merasa seluruh jalan darahnya terbalik.
"Uakkkkh...!"
Darah segar menyembur ke luar dari mulutnya. Sedangkan
Cou Yun Liong maju lagi.
"Anak Sundal, hari ini lohu akan menghabisimu!" bentaknya
sengit. Tangannya bergerak, lalu telapak tangannya

berkelebat.
Pukulan tadi telah membuat Ciok Giok Yin bertambah gusar.
Saat ini sepasang matanya memerah dan wajahnya dingin
penuh diliputi hawa membunuh.
"Cou Yun Liong, serahkan nyawamu!" bentaknya sambil
berkertak gigi.
Ciok Giok Yin mengerahkan lwee kangnya. Namun di saat dia
baru mau melancarkan pukulan ke arah Cou Yun Liong. Tibatiba
terdengar lagi suara seruan Cou Ing Ing yang pilu.
"Kakak Yin, mohon pandang mukaku...!"
Saat ini kegusaran Ciok Giok Yin sungguh memuncak, maka
mana mungkin mendengar suara seruan itu? Terdengar suara
benturan dahsyat memekakkan telinga.
Bummmm!
Cou Yun Liong terpental satu depa lebih. Sedangkan Ciok Giok
Yin termundur selangkah. Namun kemudian Ciok Giok Yin maju
ke hadapan Cou Yun Liong yang tergeletak di lantai, dan
menginjak dadanya seraya membentak sengit.
"Cou Yun Liong, tentunya kau tak terpikirkan akan kejadian
hari ini!"
Sembari membentak, dia pun mengerahkan tenaganya.
"Aduuuuh!" Cou Yun Liong menjerit dan mulutnya
menyemburkan darah segar. Di saat bersamaan Cou Ing Ing
juga berseru sengit.
"Kakak Yin, sungguh kejam hatimu! Dia adalah ayahku!"
Air mata gadis itu bercucuran. Dia menjongkokkan badannya
untuk memandang ayahnya, lalu memandang Ciok Giok Yin
dengan sayu. Sesungguhnya Ciok Giok Yin bukan orang yang
tak berperasaan, sebaliknya dia justru amat
berperasaan. Ketika melihat gadis itu memandangnya dengan

sayu, dia cepat-cepat menarik kembali kakinya. Namun begitu
dia kembali menatap Cou Yun Liong kegusarannya memuncak
lagi.
"Cou Yun Liong! Kalau kau cepat bangun dan berlutut di
hadapanku, aku akan mengampuni nyawamu!"
Cou Yun Liong memandang Ciok Giok Yin, kemudian menarik
nafas panjang seraya berkata.
"Yah! Sudahlah! Sudahlah!"
Dia mengangkat sebelah tangannya, dan seketika terdengar
suara 'Plak!
Kepala Cou Yun Liong pecah dan darah bercampur otaknya
berhamburan. Ternyata dia bunuh diri dengan cara memukul
jalan darah Thian Ling Kaynya sendiri. Kejadian itu membuat
Ciok Giok Yin tertegun. Cou Ing Ing langsung memeluk Cou
Yun Liong erat-erat sambil menangis sedih.
"Ayah! Ayah! Aku pasti menuntut balas kematianmu!"
Sesungguhnya Ciok Giok Yin cuma ingin menghina Cou Yun
Liong, sama sekali tidak berniat membunuhnya. Namun tidak
diduga Cou Yun Liong malah bunuh diri. Oleh karena itu, dia
terus berdiri termangu-mangu. Berselang beberapa saat,
barulah dia berkata dengan ringan.
"Adik Ing, itu... itu dilakukannya karena...."
Mendadak Cou Ing Ing bangkit berdiri dan sepasang matanya
berapi-api.
"Ciok Giok Yin, cepatlah kau enyah! Cepaaat!" bentaknya
penuh kebencian. Ciok Giok Yin memanggilnya perlahan.
"Adik Ing...."
"Siapa Adik Ingmu? Ayo! Cepat enyah!"

"Adik...."
Cou Ing Ing membentak dengan mata membara.
"Ciok Giok Yin, aku tahu diriku bukan tandinganmu! Tapi kau
harus ingat, kini kau punya seorang musuh besar! Cepat atau
lambat aku pasti membunuhmu!"
"Ayahmu bunuh diri, aku...," sahut Ciok Giok Yin dengan
sedih.
"Kau yang mendesaknya!"
"Aku...."
"Tidak usah desak terus aku! Cepatlah kau enyah!"
Ciok Giok Yin tahu tak dapat menjernihkan kesalahan
pahaman itu, akhirnya dia berkata.
"Harap Nona jaga diri baik-baik, aku mohon diri!"
Usai berkata, Ciok Giok Yin membalikkan badannya lalu
berjalan pergi perlahan-lahan. Cou Ing Ing yang masih
menatapnya, berkata dengan sengit.
"Kapan kita berjumpa kembali, saat itulah kau harus
membayar nyawa ayahku!"
Kemudian terdengar suara tangisan yang
memilukan. Sedangkan hati Ciok Giok Yin pun remuk. Diamdiam
dia mencaci dirinya sendiri. 'Ciok Giok Yin, hatimu
sungguh sempit! Tidak seharusnya kau bertindak begitu! Walau
Cou Yun Liong tidak baik terhadapmu, namun tidak seharusnya
kau melupakan budi kebaikannya yang pernah menampung
dirimu di rumahnya! Cou Yun Liong memang sering menghina
dan memukulmu, tapi itu cuma merupakan urusan kecil yang
tak berarti! Kenapa kau malah menuntut balas padanya?
Bukankah tindakan itu amat keterlaluan? Bukan perbuatan
seorang gagah!'

Ciok Giok Yin menghela nafas panjang sambil menggelenggelengkan
kepala dan berkata lagi dalam hati. 'Ciok Giok Yin!
Kau salah! Kau salah!' Dia berjalan pergi dengan kepala
tertunduk. Langkahnya ke dengaran begitu berat. Sedangkan
hatinya amat menderita sekali. Akan tetapi urusan itu telah
terjadi, menyesal pun sudah tiada gunanya. Kini, dia malah
punya seorang musuh besar, selanjutnya hatinya juga akan
dihantui oleh dosa.
Dia merasa wajahnya dingin. Ternyata air matanya telah
mengucur dengan deras. Air mata yang mengandung rasa
penyesalan.
"Adik Ing! Adik Ing! Kau harus memaafkanku. Ayahmu bukan
dibunuh olehku," gumamnya.
Ciok Giok Yin terus berjalan dengan kepala tertunduk. Dia
tidak tahu harus pergi ke mana dan tidak tahu sang waktu
terus berlalu.
Ternyata malam sudah semakin larut. Sekonyong-konyong dia
melihat sebuah tandu kecil meluncur laksana terbang ke dalam
rimba dan terdengar suara isak tangis di dalam tandu itu.
Seorang lelaki berwajah seperti macan mengikuti di belakang
tandu itu dan dalam sekejap tandu tersebut sudah hilang
ditelan rimba. Tergerak hati Ciok Giok Yin menyaksikan itu. Dia
segera melesat ke dalam rimba untuk menguntit tandu
tersebut. Akan tetapi, ketika dia sampai di dalam rimba, tidak
menemukan tandu tersebut.
Itu membuatnya bercuriga dan berkata dalam hati. 'Tidak
salah di dalam tandu kecil itu adalah seorang gadis. Kalau dia
ingin menikah mengapa harus menangis? Apakah terdapat
suatu rahasia pada dirinya?' Karena itu, dia ingin
menyelidikinya agar jelas.
Kejadian di rumah Cou Yun Liong langsung dibuang jauh-jauh
dulu, kelak baru dijelaskan pada Cou Ing Ing. Ciok Giok Yin
segera melesat, kemudian berhenti dengan kening berkerutkerut.
Ternyata tampak cahaya lampu yang berkerlap-kerlip di depan
sana dan terdengar suara orang. Dia tertegun. Apakah benar
ada pesta pernikahan di sana? Akan tetapi setelah

diperhatikannya dengan seksama, ternyata itu bukan sebuah
rumah, melankan sebuah kuil.
Bagaimana mungkin? Di dalam kuil, kalau bukan para
hweshio, pasti para biarawati. Bagaimana mungkin ada pesta
pernikahan di sana? Timbul kecurigaannya. Dia langsung
mengerahkan ginkang untuk mencelat ke atas sebuah pohon di
hadapan kuil itu. Ciok Giok Yin mengintip dari pohon. Dilihatnya
di atas pintu kuil terdapat sebuah papan bertuliskan 'Kuil Tay
San Si'. Pintu kuil itu terbuka. Tampak beberapa orang berjalan
mondar-mandir di dalam. Karena jaraknya amat jauh, maka
dia tidak dapat melihat jelas siapa mereka.
Ciok Giok Yin ingin meloncat ke atap kuil, tapi dia melihat
sebuah pohon besar dekat tembok kuil itu. Kalau berada di
pohon itu, pasti dapat melihat jelas segala apa yang ada di
dalam kuil. Ciok Giok Yin bergirang dalam hati. Dia
mengerahkan ginkang untuk melesat ke arah pohon besar itu.
Tanpa mengeluarkan sedikit suara pun dia berbasil mencapai
dahan pohon tersebut, lalu memandang ke dalam kuil. Di
dalam kuil terdapat tiga hweshio sedang menyalakan dua deret
lilin, sehingga ruangan kuil itu menjadi terang benderang. Dia
tidak tahu untuk apa tiga hweshio itu menyalakan lilin, cuma
terus memperhatikan.
Berselang sesaat, muncul seorang hweshio berusia lima
puluhan, sepasang matanya menyorot bengis. Hweshio itu
menengok ke kiri dan ke kanan, kemudian bertanya.
"Sudah menyalakan semua lilin yang berjumlah enam puluh
empat buah?"
Salah seorang hweshio langsung memberi hormat seraya
menyahut.
"Sudah."
Hweshio gemuk itu manggut-manggut.
"Kalian boleh mundur."
Ketiga hweshio itu langsung berjalan ke dalam. Hweshio

gemuk itu duduk di tengah-tengah ruangan, kemudian
sepasang matanya menatap kedua baris lilin itu. Mendadak
hweshio gemuk itu membuka mulutnya lebar-lebar, lalu
menyedot. Api lilin itu bergerak ke arah mulut hweshio gemuk
itu. Sungguh menakjubkan, ujung-ujung api itu tersedot ke
dalam mulutnya!
Hweshio gemuk itu menutup mulutnya, api-api lilin itu
kembali normal seperti semula. Hweshio gemuk itu
melakukannya berulang kali, membuat Ciok Giok Yin yang
bersembunyi di atas pohon tersentak kaget, namun dia tidak
tahu hweshio gemuk itu sedang berlatih ilmu kungfu
apa. Berselang beberapa saat, hweshio gemuk itu sudah
berkeringatan dan nafasnya agak memburu.
Di saat bersamaan, tampak sosok bayangan berkelebat dan
dalam sekejap sudah berada di sisi hweshio gemuk
itu. Hweshio gemuk itu tertawa lalu berkata.
"Bocah, apakah kau sudah tidak bisa bersabar?"
"Suhu, ilmu Mo Hwe Kang (Ilmu Api Iblis) ini, Suhu harus
ajarkan padaku."
Hweshio gemuk itu tertawa gelak.
"Demi melayanimu, maka aku harus melatih lwee kang ini.
Maka apa gunanya kau mempelajarinya?"
Bayangan itu langsung mendekap di dada hweshio gemuk.
"Tidak, pokoknya aku harus belajar. Siapa tahu ada gunanya
kelak," katanya.
"Suhu harus ajarkan padaku."
"Baiklah. Kau ke belakang menungguku, aku berlatih sebentar
lagi, baru ke belakang." Hweshio gemuk itu membelainya.
"Bocah, kau sama sekali tidak rugi." Dia mencium kening orang
itu. "Pasti kuberikan padamu, pergilah! Jangan membuang
waktu!"

Orang itu bangkit berdiri, kemudian berjalan ke dalam. Ketika
orang itu bangkit berdiri, Ciok Giok Yin melihatnya dengan
jelas. Hampir saja dia membentak gusar. Untung dia masih
dapat menahan diri, sehingga tidak jadi membentak. Siapa
orang itu? Tidak lain adalah Tong Eng Kang yang nyaris
membunuhnya.
Ciok Giok Yin juga tidak menyangka bahwa Tong Eng Kang
begitu tak tahu malu. Kelihatannya guru dan murid sering
melakukan hubungan homo seks. Rasanya Ciok Giok Yin ingin
turun tangan membunuh Tong Eng Kang, namun kini masih
belum saatnya, maka harus bersabar. Berselang sesaat,
hweshio gemuk itu bangkit berdiri.
Sungguh di luar dugaan, sebab kini hweshio gemuk itu
tampak bersemangat dan segar. Sepasang matanya
menyorotkan sinar aneh, dan mulutnya menyunggingkan
senyuman. Hweshio gemuk itu membalikkan badannya lalu
berjalan ke dalam. Ciok Giok Yin juga tidak berlaku ayal,
langsung melesat ke atap kuil, kemudian memandang ke dalam
ruangan itu melalui jendela. Pemandangan yang amat tak
sedap tampak di ruangan dalam itu. Ternyata mereka berdua
melakukan perbuatan yang tak senonoh. Tong Eng Kang
mendekap di dada hweshio gemuk itu dalam keadaan telanjang
bulat. Hweshio gemuk itu pun tidak berpakaian. Ketika mereka
berdua baru mau mulai....
Jilid 09
Sejak kecil Ciok Giok Yin belajar ilmu sastrawan, tata krama
dan lain sebagainya. Dia tidak menyangka kalau Tong Eng
Kang akan melakukan perbuatan yang amat memalukan
seperti itu. Mendadak timbullah kegusarannya.
"Tong Eng Kang, sungguh bagus perbuatanmu!" bentaknya
sengit lalu melayang turun. Di saat bersamaan, lampu di dalam
ruangan itu padam. Terdengar hweshio gemuk itu membentak.
"Siapa yang begitu bernyali berani cari gara-gara denganku?"

"Huuuh!"
Hweshio gemuk itu melesat ke luar melalui jendela. Dia
melayang turun lalu berdiri di tempat dalam keadaan telanjang
bulat. Bersamaan itu, terdengar suara dari dalam.
"Suhu, anak sialan itu adalah musuhku, jangan dilepaskan!"
Akan tetapi begitu hweshio gemuk itu berada di hadapan Ciok
Giok Yin, seketika tubuhnya tampak agak tergetar. Karena dia
melihat Ciok Giok Yin jauh lebih tampan dari Tong Eng Kang.
Tidak heran hweshio gemuk itu menjadi tertegun. Sedangkan
sepasang mata Ciok Giok Yin sudah merah membara. Dia
sudah mengambil keputusan untuk membasmi hweshio gemuk
itu, yang telah mencemarkan ajaran Buddha. Setelah itu, dia
akan menangkap Tong Eng Kang untuk menuntut balas
dendamnya.
Oleh karena itu, dia maju selangkah demi selangkah. Diamdiam
dia pun mengerahkan lwee kangnya, siap membunuh
hweshio gemuk itu dengan satu pukulan. Hweshio gemuk itu
tidak tahu bahwa maut telah mengancam dirinya. Maka, dia
malah tertawa-tawa.
"Sicu kecil, kalau kau menuruti kemauanku, aku akan
membuatmu hidup senang. Kau mau apa, pasti kukabulkan,"
katanya.
"Aku menginginkan nyawamu," sahut Ciok Giok Yin dengan
dingin.
"Bagus! Pasti kuserahkan nyawaku padamu!" kata hweshio
gemuk itu lalu menubruk ke arah Ciok Giok Yin.
Ciok Giok Yin berkertak gigi seraya membentak, "Roboh kau!"
Dia langsung menyerang hweshio gemuk itu dengan
menggunakan tujuh bagian lwee kangnya. Terdengar suara
menderu-deru dan terasa pula hawa yang amat panas. Bukan
main terkejutnya hweshio gemuk itu! Dia segera berkelit,

namun masih tersambar angin pukulan itu, membuat nafasnya
menjadi sesak. Kini sekujur badan hweshio gemuk itu agak
gemetar, sebab dia tahu bahwa dirinya sedang menghadapi
lawan yang tangguh. Di saat bersamaan, terdengar suara dari
dalam.
"Suhu, kau harus berhasil menangkapnya, agar aku dapat
menghukumnya!"
"Kau memang tak tahu malu, sudah tiada kesempatan
bagimu!" bentak Ciok Giok Yin.
Kemudian, dia menyerang hweshio gemuk itu lagi. Hweshio
gemuk itu tahu akan kelihayan Ciok Giok Yin maka dia cepatcepat
berkelit.
"Bocah, sambutlah!" bentaknya.
Mendadak dia membuka mulutnnya, dan seketika tersembur
ke luar uap putih ke arah Ciok Giok Yin. Ciok Giok Yin tidak
tahu akan kelihayan uap putih itu, langsung mendorongkan
sepasang tangannya ke depan.
Plak!
Uap putih itu buyar. Ciok Giok Yin merasakan adanya hawa
panas menjalar ke atas dari lengannya, namun dia tidak
memperhatikannya. Tiba-tiba hweshio gemuk itu tertawa
gelak-gelak.
"Bocah, kau suah terkena Mo Hwe Tok (Racun Api lblis)! Kalau
kau tidak menuruti kehendakku dalam waktu enam puluh hari
kau pasti mati hangus! Ha ha ha...!"
Ciok Giok Yin tidak menyangka bahwa uap putih yang
disemburkan hweshio gemuk itu adalah Racun Api Iblis. Walau
dia memiliki Sam Yang Hui Kang, namun tidak dapat
memunahkan racun tersebut. Tetapi dia juga tidak percaya
bahwa Racun Api Iblis begitu lihay. Karena dia tidak merasakan
apa-apa, cuma merasa ada hawa panas mengalir ke atas
bahunya. Saat ini, kegusaran Ciok Giok Yin semakin

memuncak.
"Keledai gundul, kau harus mati!" bentaknya. Dengan mata
membara dia melangkah maju perlahan-lahan. Sebetulnya
siapa hweshio gemuk itu? Ternyata adalah Mo Hwe Hud
(Buddha Api Iblis). Dia merupakan iblis yang amat terkenal di
dunia persilatan.
Dulu dia pernah dikeroyok oleh kaum rimba persilatan.
Namun ilmu sifatnya amat tinggi, maka dia berhasil meloloskan
diri, sehingga puluhan tahun lamanya dia tidak pernah muncul
di dunia persilatan. Oleh karena itu, kaum rimba persilatan
mengiranya telah mati. Justru tiada seorang pun tahu bahwa
dia berada di tempat ini. Ketika melihat Ciok Giok Yin maju
selangkah demi selangkah, terkejut juga hati Mo Hwe Hud,
tanpa sadar dia mundur dua langkah.
"Bocah, kalau aku mati, tiada yang mengobatimu," katanya
dingin sambil tersenyum.
"Sambut pukulanku!" bentak Ciok Giok Yin.
Mendadak telapak tangannya berkelebat. Ternyata dia telah
mengeluarkan jurus pertama dari ilmu pukulan Hong Lui Sam
Ciang. Terdengar suara jeritan, menyusul terdengar Mo Hwe
Hud berkata sengit.
"Bocah, akan kubalas kau kelak!"
Mo Hwe Hud memang hebat. Dia berhasil lolos dari ilmu
pukulan Hong Lui Sam Ciang. Dalam keadaan telanjang bulat
dia melesat ke atap kuil, kemudian tampak bayangannya
berkelebat lalu lenyap dari padangan Ciok Giok Yin. Ciok Giok
Yin cepat-cepat melesat ke atap kuil seraya berseru.
"Mau kabur ke mana?"
Namun ketika dia berada di atap kuil, Mo Hwe Hud sudah
tidak kelihatan bayangannya. Seketika Ciok Giok Yin teringat
pada Tong Eng Kang, maka segera meloncat turun. Dia tidak
akan melepaskannya, sebab Tong Eng Kang adalah musuh

besarnya, lagi pula begitu tak tahu malu. Kalau orang itu
dibiarkan hidup, pasti akan mencelakai orang lain. Ciok Giok
Yin langsung melesat ke dalam ruangan itu. Akan tetapi Tong
Eng Kang sudah tidak kelihatan batang hidungnya. Ternyata
ketika melihat Mo Hwe Hud kabur, dia pun cepat-cepat
melarikan diri. Tiba-tiba terdengar suara di tempat jauh.
"Apakah kau adalah Kakak Yin? Cepat ke mari tolong aku!"
Ciok Giok Yin terentak, lalu segera melesat ke arah datangnya
suara itu. Suara tersebut amat dikenalnya, tidak lain adalah
suara Fang Jauw Ceng, yang belum lama ini berpisah
dengannya. Ciok Giok Yin memasuki sebuah kamar, melihat
Fang Jauw Cang terbujur di tempat tidur. Ciok Giok Yin cepatcepat
mendekatinya seraya memanggilnya.
"Adik...."
Air mata Fang Jauw Cang bercucuran.
"Kakak Yin, cepat bebaskan jalan darah di pinggulku!"
katanya gemetar.
Ciok Giok Yin segera membebaskan jalan darah di pinggang
Fang Jauw Cang.
"Adik, bagaimana kau bisa terjatuh ke tangan mereka?"
Fang Jauw Cang bangkit berdiri. Sesungguhnya dia ingin
langsung mendekap di dada Ciok Giok Yin, namun mendadak
timbul rasa keraguannya. Maka dia berdiri diam di hadapan
Ciok Giok Yin.
"Kakak Yin, aku sudah pulang memberitahukan pada ayah. Di
saat itu juga ayah langsung pergi bersembunyi ke rumah
kawannya," katanya dengan air mata bercucuran.
"Mengapa kau tidak ikut ayahmu?"
Fang Jauw Cang menatapnya dengan air mata berderai-derai.
"Aku... aku..." sahutnya terputus-putus.

"Kenapa kau, Adik?"
"Aku ingin bersama Kakak Yin berkelana di dunia persilatan,"
Fang Jauw Cang terisak-isaak. "Tak disangka ketika semalam
berada di penginapan, aku mencium bau aneh, lalu tak
sadarkan diri. Setelah siuman, aku mendapatkan diriku berada
di dalam sebuah tandu."
"Jadi mereka yang membawamu ke mari?"
Fang Jauw Cang mengangguk.
"Ya. Kalau Kakak Yin tidak segera muncul, entah apa yang
akan terjadi atas diriku?"
Sepasang mata Ciok Giok Yin menyorot tajam.
"Aku terlampau ceroboh, sehingga mereka berhasil
meloloskan diri."
"Kakak Yin, siapa mereka itu?"
"Yang muda adalah musuh besarku. Setahun yang lalu aku
nyaris mati di tangannya. Sedangkan hweshio gemuk itu
adalah ketua kuil ini, dia adalah Mo Hwe Hud."
Bukan main terkejutnya Fang Jauw Cang!
"Mo Hwe Hud?"
"Ng!"
"Bagaimana mereka?"
Ciok Giok Yin menggeleng-gelengkan kepala.
"Mereka berdua sama-sama tak tahu malu," sahutnya dengan
sengit.
"Maksud Kakak Yin...."

"Yang satu hobi homo, yang satu lagi senang melayaninya."
Mendengar itu, wajah Fang Jauw Cang langsung memerah
dan hatinya berdebar-debar. 'Untung mereka belum tahu jelas
diriku!' Katanya dalam hati. Mendadak dia menggenggam
tangan Ciok Giok Yin erat-erat lalu berkata.
"Tadi sepertinya aku dengar ada orang bilang kau terkena
racun. Benarkah itu?"
Hati Ciok Giok Yin terharu atas perhatian Fang Jauw Cang
yang begitu besar terhadap dirinya, maka dia pun balas
menggenggam tangannya lalu menyahut.
"Kita harus mencari sebentar, apakah ada obat
pemuhannya?"
Ciok Giok Yin tidak menjelaskan, langsung menarik Fang Jauw
Cang ke ruang ketua kuil. Akan tetapi mereka berdua sudah
menggeledah seluruh kuil itu, namun tidak menemukan obat
penawar racun. Selain itu, juga tidak menemukan hweshio lain
di dalam kuil itu. Betul-betul di luar dugaan Ciok Giok Yin,
sebab kamar-kamar yang ada di situ semuanya dalam keadaan
kosong.
Fang Jauw Cang tampak gugup.
"Kakak Yin, sungguhkah kau terkena racun?" Ciok Giok Yin
mengerutkan kening.
"Aku memang terkena racun Hwe Mo Kang. Saat itu aku cuma
merasa ada hawa panas mengalir ke atas bahuku. Tapi... tidak
merasakan lain."
Seketika air mata Fang Jauw Cang mulai bercucuran lagi,
kemudian dia berkata dengan suara agak gemetar.
"Kakak Yin, aku pernah dengar bahwa Mo Hwe Hud telah
banyak melakukan kejahatan di dunia persilatan dan ilmu Mo
Hwe Kangnya amat lihay. Bagaimana baiknya?"

"Akan kupikirkan perlahan-lahan."
"Kita justru tidak bisa menunggu."
"Apa boleh buat. Karena sudah terlanjur terjadi dicemaskan
juga tiada gunanya. Kalau tiada obat penawarnya, paling juga
pasrah."
Mendadak Fang Jauw Cang berkata,
"Ada satu orang bisa memunahkan racun itu."
"Siapa?"
"Seng Ciu Suseng (Sastrawan Brtangan Mujizat) Seh Ing."
"Seng Ciu Suseng-Seh Ing?"
"Ya."
Ciok Giok Yin berkertak gigi.
"Adik, kau kenal orang itu?" katanya dengan suara dalam.
Ketika melihat sikap Ciok Giok Yin, Fang Jauw Cang menjadi
merinding, dan tanpa sadar kakinya menyurut mundur dua
langkah.
"Kakak Yin, kau..." katanya terputus.
"Apakah kau kenal dia?" tanya Ciok Giok Yin dengan dingin.
Dengan menggelengkan kepala lalu menyahut.
"Aku cuma dengar dari ayahku, bahwa dia dapat
menyembuhkan berbagai macam racun dan penyakit aneh
Kalau bisa bertemu dia, racun Mo Hwe Kang pasti dapat
dipunahkan."
Ciok Giok Yin menggenggam tangan Fang Jauw Cang eraterat
seraya bertanya dengan serius.

"Kau tahu di mana tempat tinggalnya?"
Kini Fang Jauw Cang yang terheran-heran.
"Aku tidak begitu jelas, namun kita bisa mencari informasi
tentang dirinya," dia menatap Ciok Giok Yin. "Kakak Yin, kau
kenal dia?"
Ciok Giok Yin mengerutkan kening. Ternyata dia teringat akan
kitab cacatan peninggalan suhunya, di dalamnya tercantum
nama Seng Ciu Suseng, salah seorang Kang Ouw Pat Kiat. Ilmu
silatnya tidak begitu tinggi, namun mahir dalam hal racun,
sepasang kaki suhunya justru diracuninya. Berselang sesaat,
Ciok Giok Yin berkata, "Tidak kenal, namun aku harus mencari
orang itu.
"Kau punya dendam dengannya?"
"Boleh dikatakan demikian."
"Kalau begitu...."
Ciok Giok Yin segera mengalihkan pembicaraan.
"Adik, di dunia persilatan banyak bahayanya, lebih baik kau
kembali ke tempat ayahmu. Mengenai Seng Ciu Suseng, aku
pasti dapat mencarinya," katanya.
Fang Jauw Cang menggelengkan kepala.
"Tidak, aku harus ikut kau."
Sesungguhnya Ciok Giok Yin bukan tidak mau melakukan
perjalanan bersama Fang Jauw Cang. Namun mengingat
musuhnya di mana-mana, setiap hari bergumul dengan
bahaya, kalau dirinya terjadi sesuatu, tentu Fang Jauw Cang
juga akan ikut celaka. Oleh karena itu dia berkata, "Adik
terimakasih atas petunjukmu. Tapi biar bagaimanapun kau
harus kembali ke tempat ayahmu. Kalau aku masih punya
nyawa pasti ke sana menengokmu."

Mendengar itu, air mata Fang Jauw Cang mulai mengucur
lagi.
"Kau tidak suka bersamaku?" katanya dengan perlahan.
"Bukan itu. Adik masih punya ayah, maka tidak boleh
membuat ayahmu cemas. Kau harus kembali ke sana
mengurusi ayahmu, barulah merupakan anak yang berbakti."
"Ayahku masih sehat segar...."
"Tidak, aku tidak setuju akan tindakanmu ini."
Kini Fang Jauw Cang sudah yakin bahwa Ciok Giok Yin amat
menyayanginya dan penuh perhatian pula. Sesungguhnya dia
ingin menutur tentang dirinya, namun justru sulit untuk
membuka mulut.
Dia amat membenci topi yang dipakainya. Dua kali dia
bertemu Ciok Giok Yin, tapi tidak melepaskan topi itu.
Seandainya topi itu dilepaskan.... Dia tidak mau berpikir lagi,
langsung berkata.
"Kakak Yin, aku punya satu permintaan."
"Katakanlah, Dik!"
"Kini aku mendengar perkataanmu, namun dua bulan
kemudian, tidak perduli kau berhasil mencari Seng Ciu Suseng
atau tidak, kita harus bertemu di tempat ini. Apabila kau tidak
mengabulkan, aku tidak mau menuruti perkataanmu."
Menurut Mo Hwe Hud, racun Mo Hwe Kang akan mengganas
dua bulan kemudian, membuatnya mati hangus. Ini baik juga,
sebab kalau tidak bias memunahkan racun tersebut, dia akan
menitip beberapa pesan pada Fang Jauw Gang.
Oleh karena itu, Ciok Giok Yin manggut-manggut sekarang
dan berkata.
"Baik, begini saja!"

"Tetapi janji!"
"Tentu!"
Air mata Fang Jauw Cang mulai berlinang-linang lagi. Dia
terus memandang Ciok Giok Yin. Hening seketika. Berselang
sesaat, Ciok Giok Yin berkata.
"Adik, jaga dirimu baik-baik dan sampaikan salamku pada
ayahmu!"
Usai berkata, Ciok Giok Yin melesat pergi. Dalam perjalanan,
Ciok Giok Yin terus berpikir, kalau dia tidak berhasil mencari
Seng Ciu Suseng, dirinya pasti akan mati keracunan. Akan
tetapi, Seng Ciu Suseng justru musuh besar suhunya.
Seadainya bertemu, bagaimana mungkin dirinya dapat
menekan hawa amarahnya? Dan juga bagaimana mungkin
Seng Ciu Suseng akan memunahkan racun Mo Hwe Kang yang
mengidap di dalam tubuhnya? Apabila benar Seng Ciu Suseng
yang memunahkan racun tersebut, lalu bagaimana turun
tangan membunuhnya? Berselang beberapa saat mendadak
sepasang mata Ciok Giok Yin menyorot dingin dan dia
bergumam dengan perlahan-lahan.
"Ciok Giok Yin, kau tidak boleh cuma memikirkan diri sendiri.
Setahun lalu kalau suhu tidak menyelamatkanmu, apakah hari
ini kau masih hidup? Demi membalas budi suhu, kau harus
singkirkan urusanmu sendiri, agar dapat menuntut balas
dendam suhu. Seandainya mati keracunan, tidak jadi masalah."
Tiba-tiba dia teringat sesuatu yang amat penting, yaitu
sebelum mati, dia harus perbi mencari Can Hai It Kiam untuk
mengambil sepucuk surat agar jelas asal-usulnya, jadi tidak
akan mati penasaran karena tidak tahu asal-usulnya. Teringat
akan hal tersebut, dia langsung berangkat ke Gunung Cong
Lam Sam.
Dalam perjalan ini, dia melihat sebuah rimba. Di saat baru
mau memasuki rimba itu, dia melihat empat orang berpakaian
hitam sedang duduk di situ. Baju hitam mereka bersulam
sepasang burung walet. Itu pertanda mereka adalah anggota

perkumpulan Sang Yen Hwee. Mulut mereka menyemburkan
uap putih menutupi wajah, sehingga Ciok Giok Yin tidak dapat
melihat jelas wajah mereka. Ketika Ciok Giok Yin tahu bahwa
mereka adalah orang-orang dari perkumpulan Sang Yen Hwee,
darahnya rasanya langsung bergolak. Dia menerogos ke dalam
seraya membentak, "Tidak membasmi kalian...."
Belum usai membentak, dia sudah berada di hadapan
keempat orang itu. Mendadak dia merasa ada hawa yang amat
dingin, dan itu membuatnya sulit untuk melangkah maju. Di
saat itulah terdengar suara yang bernada sangat dingin.
"Bocah, kami yakin kau akan ke mari!"
Sementara uap putih itu telah buyar, maka wajah mereka
berempat tampak dengan jelas. Begitu melihat wajah keempat
orang itu Ciok Giok Yin langsung berseru,
"Si Peng Khek (Empat Manusia Es)!"
Salah seorang dari Si Peng Khek tertawa terkekeh-kekeh lalu
menyahut,
"Tidak salah!"
Seketika hati Ciok Giok Yin terasa dingin, karena dia tahu
kepandaian keempat orang itu amat tinggi. Hari itu di luar
lembah Bu Ceng Kok, kalau dia tidak ditolong oleh orang tua
bongkok, mungkin.... Namun sifat Ciok Giok Yin memang
angkuh. Dia tidak merasa gentar, tapi sebaliknya malah timbul
keberaniannya.
"Kalian berempat bisa bergaul dengan para penjahat untuk
mencelakai kaum rimba persilatan, maka hari ini kalian harus
mampus!" bentaknya sengit.
Salah seorang dari Si Peng Khek menyahut dingin.
"Bocah, hari ini adalah hari kematianmu!"
Keempat orang itu segera bangkit berdiri lalu mengepung

Ciok Giok Yin agar tidak bisa melarikan diri. Ciok Giok Yin
menyurt mundur tiga langkah. Salah seorang dari Si Peng Khek
tertawa dingin lalu berkata.
"Bocah, kau takut?"
Ucapan tersebut membangkitkan kegusaran Ciok Giok Yin.
"Aku akan membunuh kalian berempat!" bentaknya.
Kemudian dia menyerang keempat orang itu dengan
sengit. Bukan main dahsyatnya serangan yang dilancarkan Ciok
Giok Yin. Di saat bersamaan, Si Peng Khek bersiul aneh
sekaligus mendorongkan tangannya ke arah Ciok Giok
Yin. Tidak terdengar suara apa pun, namun sekujur badan Ciok
Giok Yin menjadi amat dingin dan terdorong ke belakang lima
langkah. Di saat dia baru mau melancarkan pukulan Hong Lui
Sam Ciang, mendadak terdengar suara siulan panjang,
menyusul tampak sesosok bayangan merah melayang turun di
tempat itu. Ciok Giok Yin langsung berseru,
"Lo cianpwee!"
Ternyata yang datang itu Heng Thian Ceng. Ketika
menyaksikan keadaan di tempat itu kening Heng Thian Ceng
tampak berkerut-kerut. Heng Thian Ceng tahu Si Peng Khek
berkepandaian amat tinggi dan merupakan lawan tangguh.
Namun dia sendiri adalah wanita iblis yang membunuh orang
tanpa mengedipkan mata. Dia tidak menghiraukan Ciok Giok
Yin, hanya berkata dengan dingin pada Si Peng Khek.
"Kalian berempat manusia es, juga berani malang melintang?"
Si Peng Khek sudah melihat siapa yang muncul itu. Mereka
berempat tertawa terkekeh-kekeh, kemudian salah seorang
diantaranya mengejek.
"Parasmu yang tidak karuan itu juga ingin cari daun muda?
Kami akan suruh kau mati bersamanya!"
Kemudian Si Peng Khek maju dengan serentak. Heng Thian

Ceng menggeram.
"Cari mati!"
Sepasang tangannya bergerak dengan cepat menyerang
mereka.
Sedangkan Ciok Giok Yin juga tidak tinggal diam, langsung
menyerang Si Peng Khek dengan jurus pertama Hong Lui Sam
Ciang. Tampak telapak tangannya berkelebat ke arah Si Peng
Khek. Akan tetapi, kepandaian Si Peng Khek memang amat
tinggi sekali. Mereka bergerak cepat laksana kilat mengelak
serangan itu.
Mulut mereka berempat pun mengeluarkan suara 'Huh! Huh!
Huh!' membuat Heng Thian Ceng dan Ciok Giok Yin menggigil
seperti kedinginan. Mendadak Heng Thian Ceng mencelat ke
belakang sambil berkata pada Ciok Giok Yin.
"Bocah, maafkan aku tiada kemampuan membantumu."
Heng Thian Ceng melesat pergi dan dalam sekejap sudah
tidak kelihatan bayangannya. Ciok Giok Yin sama sekali tidak
menyangka kalau Heng Thian Ceng akan meninggalkannya.
Kini tinggal dia seorang diri, kelihatannya sulit untuk lolos dari
tangan Si Peng Khek. Akan tetapi dia sama sekali tidak
mundur. Dia berkertak gigi sambil mengerahkan lwee kangnya,
siap menyerang dengan jurus kedua Hong Lui Sam Ciang. Di
saat bersamaan badan Si Peng Khek bergerak dan mulut
mereka terus mengeluarkan suara 'Huh! Huh....' Suara itu
semakin tinggi, membuat Ciok Giok Yin merasa dingin sekali.
Dia ingin mengerahkan Sam Yang Hui Kang, namun tidak bisa,
karena sekujur badannya sudah kedinginan hingga
kaku. Kelihatannya Ciok Giok Yin akan celaka di tangan Si Peng
Khek, namun mendadak tampak sebuah benda kecil meluncur
turun, bukan main cepatnya!
Cess!
Ternyata sebuah panji kecil warna merah, menancap di
tanah. Panji merah itu bergambar sekepal rambut
panjang. Begitu melihat panji merah itu wajah Si Peng Khek
langsung berubah dan cepat-cepat menyurut mundur.

"Pek Hoat Hujin!" seru Si Peng Khek.
Keempat orang itu melototi Ciok Giok Yin, lalu membalikkan
badan meninggalkan tempat itu. Di saat bersamaan, tampak
sesosok bayangan merah berkelebat ke luar dari rimba,
ternyata adalah Heng Thian Ceng.
"Cepat kabur!" serunya gugup.
Kemudian, Heng Thian Ceng mencabut panji merah kecil itu
dan menarik Ciok Giok Yin untuk diajak melesat pergi. Sikap
dan tindakan Heng Thian Ceng itu sungguh mencengangkan
Ciok Giok Yin, namun dia tetap mengikutinya melesat
pergi. Berselang sesaat, barulah mereka memperlambat
langkahnya.
"Lo cianpwee, mengapa sedemikian gugup?" tanya Ciok Giok
Yin dengan heran. Heng Thian Ceng menyahut,
"Si Peng Khek dari perkumpulan Sang Yen Hwee merupakan
tokoh yang amat terkenal dan sulit dilawan. Panji kecilku ini
cuma dapat menakutinya sejenak, tidak bisa mengelabuinya
terlalu lama, mungkin...."
Mendadak terdengar suara siualn yang amat nyaring di
tempat jauh, Heng Thian Ceng langsung menarik Ciok Giok Yin
untuk diajak bersembunyi di semak-semak. Tak lama suara
siulan itu makin lama makin mendekat, setelah itu kedengaran
menjauh. Barulah Heng Thian Ceng menarik nafas lega.
"Selanjutnya kalau kau berjumpa dengan mereka berempat,
harus lebih berhati-hati!" katanya kepada Ciok Giok Yin.
Ciok Giok Yin menatap panji kecil yang berada di tangan Heng
Thian Ceng.
"Terimakasih atas pertolongan lo cianpwee. Panji kecil ini..."
katanya.
Heng Thian Ceng menyahut,

"Enam puluh tahun yang lampau, Pek Hoat Hujin amat
ditakuti golongan hitam mau pun golongan putih. Asal panji
kecil merah ini muncul, berarti jejaknya dan tiada seorang pun
kaum persilatan yang tidak kabur." Dia menarik nafas panjang.
"Namun kini dia masih hidup atau sudah mati, tiada seorang
pun tahu. Puluhan tahun ini, tidak ada seorang pun melihat
wajahnya."
"Kalau begitu, mengapa kaum rimba persilatan begitu takut
padanya?"
"Memang begitu, karena namanya telah menciutkan nyali
kaum rimba persilatan, maka begitu panji merah kecil ini
muncul, siapa pun pasti melarikan diri."
"Kalau begitu, dari mana lo cianpwee memperoleh panji
merah kecil ini?"
Wajah Heng Thian Ceng tampak kemerah-merahan.
"Kubuat sendiri, agar dapat dipergunakan apabila perlu."
Ciok Giok Yin teringat bahwa belum lama ini panji merah kecil
itu muncul beberapa kali, justru di saat dia dalam keadaan
bahaya. Maka, dia segera bertanya,
"Belum lama ini aku melihat beberapa kali panji merah kecil
ini, apakah juga...."
Sebelum Ciok Giok Yin usai berkata, Heng Thian Ceng sudah
memotongnya.
"Tentang itu aku pun merasa curiga, mungkinkah Pek Hoat
Hujin masih hidup? Kalau tidak, pasti muridnya. Namun, aku
sama sekali tidak pernah mendengar tentang itu."
"Bagaimana Pek Hoat Hujin terhadap orang?" tanya Ciok Giok
Yin.
"Sulit sekali dikatakan, dan juga tidak bisa diperbincangkan."

Heng Thian Ceng memandang Ciok Giok Yin. "Bocah, kau
datang dari mana?"
Ciok Giok Yin menutur tentang apa yang terjadi, setelah itu
menambahkan.
"Lo cianpwee, aku terkena racun Mo Hwe Tok."
"Mo Hwe Tok?"
"Ng!"
"Kau harus cepat-cepat mengobati."
"Aku tahu, tapi... Mo Hwe Hud telah melarikan diri, maka
tiada obat penawarnya."
Heng Thian Ceng mengerutkan kening, lama sekali dia
berpikir.
Mendadak sepasang matanya menyorot tajam dan dia
berkata.
"Kalau begitu, kita harus pergi mencari Pek Jau Lojin."
"Pek Jau Lojin?"
"Tidak salah."
"Dia punya obat penawar racun Mo Hwe Tok?"
"Selama ini Pek Jau Lojin selalu mengumpulkan berbagai
macam rmput obat. Dengar-dengar dia juga punya Toan Teng
Cau (Rumput Pemutus Usus). Rumput obat itu bukan cuma
dapat memunahkan berbagai macam racun, bahkan setelah
makan rumput obat itu, selanjutnya akan kebal terhadap
berbagai macam racun."
Mendengar itu, sepasang mata Ciok Giok Yin langsung
bersinar-sinar.
"Di mana tempat tinggal Pek Jau Lojin?"

"Dia tinggal di Hian Peng Hong (Puncak Es) di Gunung Soat
San."
"Aku ingin ke sana mencarinya."
"Kau ingin minta obat penawar racun itu?"
"Ng!"
"Sifat Pek Jau Lojin amat aneh. Bagaimana mungkin begitu
gampang dia memberikan obat penawar racun itu padamu?"
"Biar bagaimanapun aku harus berangkat ke sana."
Ciok Giok Yin memang telah membulatkan hatinya untuk
memperoleh rumput obat Toan Teng Cau. Dia tidak mau
menunggu mati tanpa berusaha, sebab masih banyak urusan
yang harus diselesaikan. Oleh karena itu, dia memberi hormat
pada Heng Thian Ceng seraya berkata,
"Terimakasih atas petunjuk lo cianpwee."
Ciok Giok Yin membalikkan badannya, tetapi ketika baru mau
melesar pergi mendadak Heng Thian Ceng berseru.
"Tunggu!"
"Apakah lo cianpwee tidak ada urusan lain?" katanya sambil
menatap wajah itu.
"Jangan cerewet, mari berangkat!"
Begitu menandaskan, badan Heng Thian Ceng pun bergerak,
ternyata dia sudah melesat pegi. Ciok Giok Yin tidak berani
berlaku ayal, langsung melesat mengikutinya dari belakang.
Mereka berdua memiliki ilmu ginkang yang amat tinggi, maka
tidak mengherankan kalau cuma tampak, bayangan mereka
berkelebat laksana kilat. Pada hari ketiga, ketika hari mulai
sore, mereka berdua sudah tiba di puncak Gunung Soat
San. Bukan main indahnya puncak gunung itu! Sejauh mata

memandang, puncak gunung tersebut sepertinya dibikin dari
kaca. Wajah Heng Thian Ceng kelihatan serius. Dia membawa
Ciok Giok Yin melesat di puncak gunung itu. Tempat tersebut
amat bahaya. Maka meskipun mereka berdua memiliki ilmu
ginkang tingkat tinggi, namun tidak berani berlaku ceroboh.
Hian Peng Hong (Puncak Es) sungguh merupakan tempat
yang amat dingin! Kalau mereka berdua tidak memiliki lwee
kang yang tinggi, mungkin sudah mati kedinginan. Di tempat
tersebut tidak tampak rerumputan maupun pepohonan, yang
tampak hanya es yang gemerlapan. Heng Thian Ceng melihat
ke sana ke mari, kemudian berkata,
"Makhluk tua itu entah tinggal di mana?"
Ciok Giok Yin terbelalak.
"Lo cianpwee juga tidak tahu tempat tinggalnya?"
"Kalau dia masih hidup, jangan khawatir tidak dapat
mencarinya."
Mendadak Heng Thian Ceng menghentikan langkahnya.
"Bocah! Kau harus ingat! Menghadapi orang yang bersifat
aneh, kau harus sabar! Jangan bersikap bengis atau angkuh,
yang penting harus memperoleh obat itu," katanya dengan
serius.
Ciok Giok Yin tidak menyangka bahwa Heng Thian Ceng
berpikir sepanjang begitu. Padahal Heng Thian Ceng sendiri
juga tergolong orang yang bengis, angkuh dan kejam pula. Dia
berpesan seperti itu kepada Ciok Giok Yin, pertanda amat
memperhatikannya. Oleh karena itu, Ciok Giok Yin manggutmanggut.
"Ya. Terimkasih atas petunjuk lo cianpwee."
Mereka berdua mulai melesat, kemudian turun ke
bawah. Tiba-tiba terdengar suara seruan di tempat yang tinggi.

"Hati-hati!"
Suara seruan itu belum sirna, sudah terdengar suara hiruk
pikuk dan puncak Gunung Soat San itu pun tergoncanggoncang.
Buuummm! Blammm...!
Tampak lapisan es di puncak gunung itu beterbangan,
ternyata terjadi longsor. Ciok Giok Yin langsung berseru.
"Lo cianpwee...!"
Namun bagaimana kerasnya suara Ciok Giok Yin, tidak dapat
menindih suara gemuruh itu, maka suara seruannya tidak
terdengar sama sekali. Ciok Giok Yin tidak berhasil mengelak.
Tiba-tiba kepalanya terasa sakit terhantam sesuatu, lalu
pingsan tak sadarkan diri. Entah berapa lama kemudian,
barulah dia siuman perlahan-lahan. Dia membuka matanya,
ternyata dirinya berada di dalam sebuah lembah. Dia teringat
akan kejadian longsor tadi dan seketika sekujur badannya
menjadi merinding. Nyawanya boleh dikatakan dipungut
kembali, tidak terduga dia masih bisa hidup.
Ciok Giok Yin segera duduk bersila menghimpun hawa
murninya. Setelah tidak merasa ada sesuatu dalam tubuhnya
barulah dia berlega hati. Dia tahu mengapa dirinya pingsan,
tidak lain karena kepalanya terhantam oleh bongkahan es. Dia
segera bangkit berdiri dan berseru sekeras-kerasnya.
"Lo cianpwee! Lo cianpwee...!"
Cuma terdengar suaranya yang berkumandang, tidak
terdengar suara sahutan sama sekali. Betapa sedihnya hati
Ciok Giok Yin.
"Lo cianpwee, aku yang mencelakaimu, bagaimana hatiku
bisa tenang?" gumamnya dengan mata berkaca-kaca. Usai
bergumam, dia mengambil keputusan untuk mencari mayat
Heng Thian Ceng, setelah itu baru mencari Pek Jau Lojin untuk
minta rumput Toan Teng Cau. Sementara hari sudah mulai
gelap, namun matanya yang tajam itu dapat melihat dengan

jelas dalam jarak sepuluh depa. Akan tetapi dinginnya malam
itu terasa menusuk ke dalam tulang. Meskipun dia memiliki
lwee kang tinggi, namun tidak berhasil mengusir rasa dingin di
dalam tubuhnya.
Di saat dia baru mau meninggalkan lembah itu, mendadak
melihat sebuah goa di dinding tebing. Dia memandang ke
dalam goa tersebut. Di dalamnya sunyi senyap, sepertinya goa
alam yang tiada penghuninya. Sebetulnya dia tidak ingin
memasuki goa itu. Tapi karena merasa heran dan tertarik,
akhirnya dia masuk juga.
Baru beberapa langkah, dia berjalan di dalam goa itu, tiba-tiba
terdengar suara bentakan yang amat dingin.
"Berhenti!"
Ciok Giok Yin tersentak dan langsung berhenti sambil
menengok ke sana ke mari mencari orang yang membentak
itu. Akan tetapi, di dalam goa itu tidak tampak seorang
pun. Berselang sesaat, terdengar lagi suara dingin itu.
"Kau harus segera mundur! Kalau tidak, aku tidak akan
berlaku sungkan-sungkan terhadapmu!"
Begitu mendengar suara itu, timbullah sifat angkuh Ciok Giok
Yin.
"Kau mau apa?" sahutnya dengan dingin pula.
"Membunuhmu!"
Ciok Giok Yin mendengus dingin.
"Hmm! Mengapa kau ingin membunuhku?"
"Pokoknya kau tidak boleh masuk!"
Ciok Giok Yin tertawa gelak, lalu bertanya.
"Siapa kau?"

"Pek Jau Lojin!"
"Apa? Pek Jau Lojin?"
"Tidak salah! Cepatlah kau enyah!"
"Aku justru sedang mencarimu!"
"Cari aku?"
"Ng!"
"Ada urusan apa?"
Ciok Giok Yin menyahut memanasi hati Pek Jau Lojin.
"Aku ke mari ingin menemuimu sebab kudengar kau bersifat
baik! Namun sekarang kelihatannya kau tidak seperti apa yang
dikatakan orang. Kau merupakan mahluk aneh yang bersifat
kasar, maka sia-sialah perjalanan ini!"
Mendadak terdengar suara desiran angin. Tampak sesosok
bayangan berkelebat, tahu-tahu sudah berada di hadapan Ciok
Giok Yin. Ciok Giok Yin langsung memandang ke depan.
Dilihatnya seorang tua berambut putih berdiri di hadapannya.
Sepasang matanya menyorot tajam, terus menatap Ciok Giok
Yin.
"Bocah! Masih ada seorang wanita, ke mana dia?"
Ciok Giok Yin tertegun.
"Kau melihatnya?"
"Tentu."
"Kawanku itu mungkin telah mati terhantam longsoran es,
namun aku belum menemukan mayatnya.
Pek Jau Lojin menatapnya dengan mata tak berkedip
kemudian bertanya,

"Sebetulnya mau apa kalian ke mari?"
"Mau minta rumput Toan Teng Cau!" jawab Ciok Giok Yin.
Pek Jau Lojin tertawa dingin lalu bertanya.
"Toang Teng Cau?"
"Ng!"
"Tahukah kau lohu punya peraturan?"
"Peraturan apa?"
"Kalau kau kuat menerima tiga pukulan lohu, maka kau akan
mendapatkan rumput itu secara cuma-cuma!"
"Kalau aku tidak kuat menerima tiga pukulan itu?"
"Kau pasti mati di tempat ini!"
Ciok Giok Yin manggut-manggut.
"Baik kalau begitu."
Sepasang mata Pek Jau Lojin menyorot tajam dan kemudian
dia membentak.
"Bocah, di luar goa saja!"
"Mengapa?"
"Lohu tidak menghendakimu mati di dalam goa!"
Pek Jau Lojin langsung melesat ke luar. Bukan main cepatnya
gerakan orang tua itu! Ciok Giok Yin juga melesat ke luar
mengikuti di belakangnya. Sampai di luar, hatinya agak
berdebar-debar tegang. Dia ke mari demi memperoleh rumput
Toan Teng Cau, untuk menyelamatkan nyawanya,
maka... Mendadak Pek Jau Lojin membentak keras.

"Terimalah pukulanku!"
Pek Jau Lojin telah melancarkan sebuah pukulan ke arah Ciok
Giok Yin. Pukulan itu dahsyat sekali sehingga menimbulkan
suara menderu-deru.
Ciok Giok Yin mengerahkan lwee kangnya lalu berkertak gigi
sambil menerima pukulan tersebut.
Bum!
Badan Ciok Giok Yin terpental ke atas lalu jatuh gedebuk dan
mulutnya menyemburkan darah segar. Akan tetapi rasa ingin
hidup mendukung semangatnya sehingga membuatnya bangkit
perlahan-lahan. Sepasang matanya menatap Pek Jau Lojin
dengan penuh kebencian lalu dia maju ke hadapan Pek Jau
Lojin dengan langkah sempoyongan. Pek Jau Lojin sudah siap
melancarkan pukulan kedua, tapi tiba-tiba terdengar suara
keras.
"Bocah, jangan!"
Tampak sosok bayangan merah melayang turun. Ciok Giok
Yin memandang bayangan merah itu, ternyata Heng Thian
Ceng.
"Lo cianpwee, harap mundur!" katanya segera.
Saat ini Pek Jau Lojin sudah menurunkan tangannya,
menatap mereka berdua dengan dingin sekali. Sedangkan
Heng Thian Ceng melototinya, kemudian bertanya.
"Kau adalah Pek Jau Lojin?"
"Tidak salah, siapa kau?"
"Heng Thian Ceng."
"Mau apa kau ke mari?"

"Aku ingin bertanya satu hal padamu."
"Tanyalah!"
"Kau memiliki rumput Toan Teng Cau, lalu untuk apa
disimpan?"
"Mengobati penyakit."
Heng Thian Ceng tertawa dingin lalu berkata.
"Kalau untuk mengobati penyakit, bocah ini justru terkena
racun Mo Hwe Tok. Dia jauh-jauh datang ke mari demi mencari
rumput Toan Teng Cau, mengapa kau malah turun tangan
jahat terhadapnya?"
"Ini adalah peraturanku!"
"Kalau dia tidak mampu menerima tiga pukulanmu, bukankah
dia akan mati penasaran di sini?"
"Dia... mati tiada hubungan apa-apa denganku!"
Kata-kata Pek Jau Lojin itu membuat kegusaran wanita iblis
itu memuncak.
"Tua bangka, tak kusangka kau sedemikian tak berperasaan!"
bentaknya.
Usai dia membentak, ketika baru mau turun tangan
sekonyong-konyong teringat akan pesannya pada Ciok Giok
Yin, harus sabar menghadapi Pek Jau Lojin, lalu mengapa
dirinya sendiri tidak bisa bersabar? Oleh karena itu,
kegusarannya langsung mereda. Setelah itu dia berkata
dengan lembut.
"Kau sudah tua, mengapa harus keras kepala? Maaf, aku
memberanikan diri menasehatimu. Lebih baik kau berikan Toan
Teng Cau itu pada bocah ini!"
"Enak saja kau bicara!"

Ucapan Pek Jau Lojin itu menimbulkan kegusaran Heng Thian
Ceng. Kini dia betul-betul tidak dapat bersabar lagi. Saat ini
Ciok Giok Yin telah usai beristirahat. Dia mau ke hadapan Heng
Thian Ceng seraya berkata.
"Harap lo cianpwee mundur! Aku yakin dapat menerima
pukulannya."
Sebelumnya Heng Thian Ceng tidak pernah merasa sayang
terhadap siapa pun. Namun kini begitu melihat wajah Ciok Giok
Yin masih pucat pasi, timbullah rasa sayang dan simpati
padanya.
Heng Thian Ceng menoleh memandang Pek Jau Lojin lalu
bertanya dengan lantang.
"Bagaimana kalau aku mewakilinya menerima tiga
pukulanmu?"
Pek Jau Lojin balik bertanya.
"Sesungguhnya siapa yang menghendaki rumput Toan Teng
Cau? Kau atau dia?"
"Aku," sahut Ciok Giok Yin cepat.
"Kalau begitu, kau masih harus menerima dua pukulanku!"
Ciok Giok Yin sama sekali tidak memperdulikan Heng Thian
Ceng, langsung maju ke hadapan Pek Jau Lojin dan berdiri
dengan sikap gagah. Menyaksikan sikap Ciok Giok Yin, Heng
Thian Ceng merasa kagum sekali. Sedangkan Pek Jau Lojin
menatap Ciok Giok Yin dengan bengis, kemudian membentak
keras.
"Terimalah pukulanku?"
Bum!
Kali ini Ciok Giok Yin terpental hampir dua depa, kemudian
jatuh gedebuk telentang di tanah. Heng Thian Ceng cepatKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
cepat menghampirinya. Namun ketika dia baru mau
memapahnya Ciok Giok Yin sudah bangkit berdiri. Mulutnya
mengeluarkan darah segar. Wajahnya yang tampan itu, kini
sudah berubah menjadi tak sedap dipandang, menyerupai
wajah setan iblis bengis. Dia tidak memperdulikan Heng Thian
Ceng, melangkah maju dengan badan sempoyongan. Sepasang
matanya terus menatap Pek Jau Lojin dengan bengis dan
penuh kebencian. Mendadak dia berkata sepatah demi sepatah.
"Masih ada satu pukulan!"
Pek Jau Lojin betul-betul tidak berperasaan sama sekali.
Sepasang matanya menyorot dingin, dia kemudian
membentak.
"Aku menghendakimu mati!"
Dia langsung melancarkan pukulan terakhir yang paling
dahsyat, menimbulkan suara gemuruh seperti kejadian longsor
tadi. Terdengar suara jeritan. Kemudian semburan darah
segar!
Tampak badan Ciok Giok Yin terpental ke atas, lalu jatuh ke
bawah hampir tiga depa. Sepasang mata Heng Thian Ceng
tampak membara saking gusarnya. Ketika dia baru mau turun
tangan terhadap Pek Jau Lojin, Ciok Giok Yin bangkit berdiri,
namun tak lama roboh lagi. Pek Jau Lojin diam saja, lalu
melesat ke dalam goa.
Sedangkan Heng Thian Ceng cepat-cepat mendekati Ciok Giok
Yin lalu memeriksa detak jantungnya. Ternyata Ciok Giok Yin
menderita luka dalam yang amat parah. Mengetahui keadaan
Ciok Giok Yin bukan main gusarnya Heng Thian Ceng. Dia
mengambil keputusan untuk membunuh Pek Jau Lojin. Namun
ketika dia mau melesat ke dalam goa, tampak sosok bayangan
berkelebat ke luar dari dalam goa, terdengar suara bentakan.
"Ambil, cepatlah kalian meninggalkan tempat ini!"
Terlihat suatu benda putih meluncur ke arah Heng Thian
Ceng, lalu bayangan itu melesat kembali ke dalam goa. Heng
Thian Ceng menjulurkan tangannya menyambut benda putih

itu, sekaligus dilihatnya. Ternyata benda putih itu adalah buah
yang menyerupai bola kaca, gemerlapan di tangan Heng Thian
Ceng. Heng Thian Ceng terbelalak. Dia tahu bahwa itu adalah
buah Toan Teng Ko.
Maka tanpa ayal lagi, dia langsung mengempit Ciok Giok Yin
dan melesat ke luar meninggalkan lembah itu.
Sedangkan Ciok Giok Yin telah pingsan. Sepasang matanya
terpejam rapat, kelihatannya seperti sudah mati. Dalam
perjalanan Heng Thian Ceng berkata dalam hati. 'Urusan yang
paling penting sekarang harus membiarkannya beristirahat
agar kondisi badannya pulih.' Heng Thian Ceng menengok ke
sana ke mari mencari goa, akan tetapi sepajang jalan yang
dilaluinya hanya tampak salju dan es, tiada suatu tempat yang
dapat di pergunakan untuk beristirahat.
Lagi pula ketika berada di tempat itu, nyali Heng Thian Ceng
telah ciut lantaran kejadian longsor tadi. Oleh karena itu dia
sama sekali tidak berani menghentikan langkahnya. Berselang
beberapa saat kemudian, tampak sebuah goa alam. Heng Thian
Ceng membawa Ciok Giok Yin memasuki goa itu. Kebetulan di
saat itu Ciok Giok Yin siuman perlahan-lahan.
"Budi kebaikan lo cianpwee, aku...," katanya perlahan-lahan.
Heng Thian Ceng langsung menyergapnya.
"Bocah, cepat makan buah Toan Teng Ko ini dan himpun
hawa murnimu, jangan membicarakan soal budi kebaikan di
saat ini!"
Heng Thian Ceng menyodorkan buah itu ke hadapannya. Ciok
Giok Yin tertegun. Ternyata ketika Pek Jau Lojin masuk ke
dalam goa mengambil buah Toan Teng Ko, dia sudah pingsan,
maka tidak tahu akan hal tersebut. Ketika melihat buah
tersebut berada di tangan Heng Thian Ceng, dia pun terbelalak
seraya berseru.
"Buah Toan Teng Ko?"
"Lo cianpwee yang...."

Heng Thian Ceng langsung memotong perkataannya.
"Kau kok cerewet amat? Pek Jau Lojin yang mengambil buah
ini. Cepat makan!"
Ciok Giok Yin mengambil buah tersebut lalu dimakannya.
Kemudian dia memandang Heng Thiar Ceng dengan penuh rasa
terimakasih. Setelah itu dia duduk bersila menghimpun hawa
murninya. Berselang beberapa saat kemudian, mendadak Ciok
Giok Yin roboh. Heng Thian Ceng yang menjaganya, ketika
melihatnya roboh, bukan main terkejutnya. Dia segera
memeriksa detak jantung Ciok Giok Yin. Sungguh di luar
dugaan, detak jantungnya makin lemah. Bahkan kedua tangan
dan kakinya juga amat dingin sekali.
Justru di saat bersamaan, terdengar suara siulan panjang
beberapa kali di tempat jauh yang makin lama makin dekat,
lalu menjauh lagi. Heng Thian Ceng berkertak gigi. Dia tidak
menyangka Pek Jau Lojin akan menipunya. Namun dia sudah
mengambil keputusan dalam hati, apabila Ciok Giok Yin mati,
maka dia pun akan membunuh Pek Jau Lojin. Sementara Ciok
Giok Yin tetap dalam keadaan pingsan, tiada tanda-tanda dia
akan siuman. Heng Thian Ceng mengerutkan kening dan terus
memandang Ciok Giok Yin dengan penuh keheranan, kemudian
duduk di sampingnya.
Berselang beberapa saat, tampak uap putih keluar dari
sekujur badan Ciok Giok Yin, dan itu membuat Heng Thian
Ceng bertambah heran. Beberapa saat setelah itu, uap putih
tersebut mulai buyar. Mendadak Ciok Giok Yin bangkit berdiri
dan langsung memberi hormat kepada Heng Thian Ceng.
"Lo cianpwee, kini aku berhutang budi lagi pada lo cianpwee,"
katanya.
"Budi apa? Tadi kau kelihatan seperti mati," sahut Heng Thian
Ceng.
"Lo cianpwee, buah Toan Teng Ko bukan buah biasa. Setelah
makan buah itu, aku merasa ada aliran panas menerjang ke

arah bagian hatiku. Sungguh tak tertahankan, mohon lo
cianpwee sudi memaafkanku!"
"Bocah, mengapa tadi badanmu mengeluarkan uap putih?"
"Ketika aku siuman, langsung mengerahkan Sam Yang Hui
Kang untuk menekan hawa panas itu."
Mendadak Heng Thian Ceng menjulurkan jari tangannya
mencengkeram Ciok Giok Yin dan sepasang matanya menyorot
bengis.
"Bocah, kau harus berkata sejujurnya!" katanya dengan suara
dalam. Karena urat nadi Ciok Giok Yin tercengkeram, maka
separuh badannya terasa semutan. Dia sama sekali tidak
mengerti mengapa Heng Thian Ceng berbuat demikian
terhadap dirinya.
"Untuk apa aku bohong?" sahutnya sengit.
"Aku harus bertanya satu hal padamu!"
"Tanyalah!"
"Dari mana kau peroleh ilmu pukulan Hong Lui Sam Ciang
itu?"
Sambil menahan rasa sakit Ciok Giok Yin menyahut dingin.
"Karena lo cianpwee bertanya dengan cara demikian, aku
tidak akan memberitahukan!"
"Kau menghendakiku bertanya dengan cara bagaimana?"
Seketika sifat angkuh Ciok Giok Yin timbul.
"Walau lo cianpwee sering menolongku, dan aku pun bersedia
mati di tangan lo cianpwee, tapi aku tidak akan
memberitahukan, kecuali...."
"Kecuali apa?"

"Kecuali memberitahukan hubungan lo cianpwee dengan ilmu
pukulan Hong Lui Sam Ciang itu!"
Sepasang mata Heng Thian Ceng melotot, lama sekali barulah
dia melepaskan tangannya.
"Kau mau memberitahukan atau tidak, terserah! Aku tidak
akan bertanya lagi!"
Usai berkata, Heng Thian Ceng membalikkan badannya.
Namun ketika dia baru mau melesat pergi, Ciok Giok Yin yang
merasa berhutang budi padanya, langsung memanggilnya.
"Lo cianpwee, harap tunggu sebentar!"
"Ada urusan apa?"
"Aku akan memberitahukan pada lo cianpwee. Hong Lui Sam
Ciang itu diberikan dari Tiong Ciu Sin Ie. Beliau pernah
mengobati seseorang, maka orang itu menghadiahkan
padanya."
Heng Thian Ceng mengeluarkan suara 'Oh'. Setelah itu
berkata,
"Hadiah dari orang yang diobatinya?"
"Ng!"
"Apakah dia bilang siapa orang itu?"
"Tidak."
Heng Thian Ceng menggeleng-gelengkan kepala lalu
bergumam perlahan.
"Apakah dia?"
"Siapa?" tanya Ciok Giok Yin.
Heng Thian Ceng mengerutkan kening.

"Sudahlah! Tidak usah dibicarakan!"
Justru pada waktu bersamaan terdengar beberapa kali suara
siulan. Mereka berdua langsung melesat ke luar, ke arah suara
siulan itu. Wajah Heng Thian Ceng tampak serius.
"Di tempat ini akan terjadi urusan apa?"
"Sulit dikatakan."
Ketika mereka berdua sampai di bawah tebing, dari atas
meluncur turun benda hitam.
Duuuk!
Benda itu jatuh di hadapan mereka berdua, ternyata sesosok
mayat. Di saat bersamaan, terdengar pula suara 'Plak! Plak' di
atas tebing, disusul oleh suara bentakan. Tidak salah lagi, di
atas tebing itu telah terjadi pertarungan sengit.
"Lo cianpwee, mari kita ke atas melihat-lihat!" ajak Ciok Giok
Yin. Heng Thian Ceng mengangguk, kemudian mereka berdua
melesat ke atas. Tiba-tiba Heng Thian Ceng menarik lengan
baju Ciok Giok Yin seraya berkata dengan serius.
"Bocah, sampai di atas kita jangan perlihatkan diri dulu!"
Ciok Giok Yin mengangguk, mereka berdua terus melesat ke
atas tebing. Tak lama kemudian mereka sampai di atas tebing
lalu bersembunyi di belakang sebuah batu besar sambil
mengintip. Tampak dua orang sedang bertarung mati-matian
dan begitu banyak kaum rimba persilatan berdiri di sana. Di
antara kaum rimba persilatan itu tampak pula ketua Sang Yen
Hwee dan orang-orangnya. Sementara kedua orang yang
sedang bertarung itu mendadak mundur dua langkah. Salah
seorang tua berwajah bengis tertawa dingin kemudian berkata
sepatah demi sepatah.
"Kitab Cu Cian memang berada di tanganku dan siapa punya
kepandaian boleh ambil!"

Orang tua yang satu lagi menggeram lalu menerjang ke arah
orang tua berwajah bengis itu.
Akan tetapi mendadak ketua Sang Yen Hwee membentak
keras, lalu melesat ke arah orang tua berwajah bengis
sekaligus menangkis serangannya.
Bum!
Terdengar suara benturan dahsyat dan menyusul suara
jeritan yang menyayat hati. Orang tua berwajah bengis itu
telah binasa. Kepalanya pecah sehingga darah dan otaknya
berhamburan ke mana-mana. Ketua Sang Yen Hwee maju
mendekati mayat itu. Di saat bersamaan orang tua yang tadi
bertarung itu pun langsung melesat ke arah mayat tersebut,
malah lebih cepat dari ketua Sang Yen Hwee dan segera
menggeledah mayat itu.
"Kau berani!" bentak ketua Sang Yen Hwee. Dia langsung
melancarkan sebuah pukulan ke arah kepada orang tua
itu. Orang tua itu berkelit, kemudian balas menyerang. Ketika
ketua Sang Yen Hwee baru mau menangkis sekonyongkonyong
tampak sosok bayangan melesat ke sana cepatnya
laksana kilat dan langsung menjulurkan tangannya. Tahu-tahu
sebuah bungkusan merah telah berpindah ke tangannya. Dia
tertawa nyaring lalu berkata.
"Maaf! Aku mohon diri!"
"Bangsat Bu Tok, kau sungguh licik, cepat turun kembali!"
bentak ketua Sang Yen Hwee mengguntur.
Namun terdengar suara seruan nyaring.
"Kalau tidak takut racun boleh kejar!"
Kaum rimba persilatan yang ada di tempat itu langsung
berhambur mengejar. Akan tetapi terdengar beberapa kali
jeritan, ternyata empat orang di antara mereka telah
roboh. Ketua Sang Yen Hwee tersentak dan tidak berani

mengejar orang membawa pergi bungkusan merah
itu. Sementara Ciok Giok Yin yang bersembunyi di belakang
batu besar, begitu melihat kitab Cu Cian diambil orang,
langsung muncul seraya membentak.
"Cepat taruh kitab Cu Cian itu!"
Kemudian dia melesat cepat mengejar Bu Tok
Sianseng. Sementara ketua perkumpulan Sang Yen Hwee yang
berdiri termangu-mangu, ketika melihat kemunculan Ciok Giok
Yin, walau mukanya ditutupi kain, namun masih tampak
sepasang matanya menyorot penuh kebencian. Badannya
bergerak laksana kilat menghadang di hadapan Ciok Giok Yin.
"Bocah, hari ini kau harus mampus!" bentaknya sambil
melancarkan pukulan. Di saat bersamaan, mendadak tampak
sebuah tandu kecil yang digotong dua wanita meluncur cepat
ke tempat itu. Gadis berbaju hijau yang mengiring tandu kecil
itu, begitu sampai di tempat tersebut segera berseru lantang.
"Sian Ceng perintahkan kalian berhenti!"
Ketua perkumpulan Sang Yen Hwee langsung mundur, tapi
sepasang matanya terus menatap tandu kecil itu. Terdengar
suara yang amat nyaring dari dalam tandu kecil itu.
"Apakah ketua perkumpulan Sang Yen Hwee punya dendam
dengannya?"
"Tidak salah," sahut ketua perkumpulan Sang Yen Hwee. "Apa
maksud Sian Ceng?"
Ternyata yang baru muncul itu adalah Thian Thay Siang Ceng.
Terdengar suara sahutannya dad dalam tandu kecil.
"Kau menghendaki dia hidup atau mati?"
"Hidup! Sian Ceng dan dia...."
Thian Thay Sian Ceng memotong perkataan ketua
perkumpulan Sang Yen Hwee berkata.

"Juga ada dendam," sergah Thian Thay Sian Ceng.
Berselang sesaat Thian Thay Sian Ceng melanjutkan
ucapannya.
"Kalau begitu, kita turun tangan bersama. Siapa yang lebih
dulu berhasil menangkapnya, berarti miliknya."
Dapat dibayangkan betapa gusarnya Ciok Giok Yin yang
berdiri di tengah-tengah mereka. Tidak menyangka kedua
orang itu sama sekali tidak memandangnya sebelah
mata. Mendadak terasa dua rangkum aning yang amat kuat
menerjang ke arahnya. Serangkum dari dalam tandu kecil,
serangkum lagi dari ketua perkumpulan Sang Yen Hwee. Ciok
Giok Yin menggeram, kemudian berkata dengan dingin sekali.
"Aku akan mengadu nyawa dengan kalian!"
Mendadak dia mencelat ke atas. Kedua rangkum angin
pukulan itu terasa berdesir melewati ujung kakinya. Thian Thay
Sian Ceng dan ketua perkumpulan Sang Yen Hwee sama-sama
tertawa dingin dan berkata.
"Ciok Giok Yin, kau pasti mampus!"
Terasa lagi dua rangkum angin pukulan yang amat dahsyat
menerjang ke arah Ciok Giok Yin. Badan Ciok Giok Yin masih
berada di udara. Dia terpaksa menarik nafasnya dalam-dalam
mengerahkan lwee kangnya, maka badannya melambung ke
atas hampir satu depa. Namun di saat bersamaan, ketua
perkumpulan Sang Yen Hwee telah menyerangnya dengan
tenaga lunak.
Sementara Ciok Giok Yin sudah tidak bertenaga untuk
melambungkan badannya ke atas, maka merosotlah dia ke
bawah.
Di saat badannya merosot ke bawah, dua rangkum tenaga
yang amat dahsyat menyerangnya lagi. Ciok Giok Yin sudah
tidak mampu mengerahkan lwee kangnya dan juga tidak
mampu berkelit. Terdengar suara jeritan.

"Aaaakh... !"
Mulutnya menyembur darah segar.
Duuuk!
Dia jatuh gedebuk di tanah.
Gadis berbaju hijau menjerit kaget tanpa sadar 'Haaah! Ketika
dia baru mau melesat ke arah Ciok Giok Yin dari dalam tandu
kecil itu terdengar bentakan dingin.
"Tunggu, Anak Ceh!"
Gadis berbaju hijau langsung berdiri diam di tempat. Sekujur
badannya gemetar, wajahnya pucat pias dan matanya terus
melirik Ciok Giok Yin yang tergeletak di tanah. Di saat itulah
ketua perkumpulan Sang Yen Hwee menerjang ke arah Ciok
Giok Yin.
Tapi sungguh diluar dugaan, ada serangkum angin yang tak
menimbulkan suara menghalangi ketua perkumpulan Sang Yen
Hwee, sehingga membuatnya tidak bisa maju. Terdengar suara
Thian Thay Sian Ceng.
"Ketua perkumpulan Sang Yen Hwee, kini pikiranku berubah."
"Maksud Sian Ceng?"
"Pukul dia sampai mati! Kalau kau menghendaki mayatnya,
boleh bawa pergi!"
Sepasang biji mata ketua perkumpulan Sang Yen Hwee
berputar sejenak, dia lalu berkata.
"Menurut Sian Ceng, kita harus turun tangan bersama?"
"Betul."
Namun sekonyong-konyong terdengar suara bentakan yang
mengguntur.

"Dasar sepasang iblis tak tahu malu!"
Tampak sosok bayangan merah meluncur ke tempat itu,
sepasang tangannya bagaikan sayap burung, siap menangkis
serangan-serangan yang akan dilancarkan Thian Thay Sian
Ceng dan ketua perkumpulan Sang Yen Hwee. Kaum rimba
persilatan yang berada di tempat itu berseru serentak.
"Heng Thian Ceng!"
Akan tetapi Thian Thay Sian Ceng dan ketua perkumpulan
Sang Yen Hwee sudah melancarkan pukulan. Meskipun Heng
Thian Ceng berkepandaian amat tinggi, namun sulit juga
baginya melawan kedua pukulan tersebut.
Bum!
Terdengar suara benturan dahsyat memekakkan telinga
kemudian tampak badan Heng Thian Ceng terpental ke luar
dari tebing. Wanita iblis yang sering membunuh orang itu
kemungkinan besar nyawanya akan melayang. Sedangkan Ciok
Giok Yin masih tergeletak di tanah tak bergerak. Darah segar
masih mengalir ke luar dari mulutnya. Sementara setelah
membuat Heng Thian Ceng terpental, Thian Thay Sian Ceng
dan ketua perkumpulan Sang Yen Hwee melancarkan pukulan
lagi ke arah Ciok Giok Yin. Kelihatannya Ciok Giok Yin akan....
Mendadak terdengar suara,
"Huuuuuh!"
Sebatang panji merah kecil tertancap di tanah, menyusul
terdengar pula suara yang amat dingin.
"Semuanya harus enyah!"
Thian Thay Sian Ceng yang duduk di dalam tandu kecil,
tentunya tidak kelihatan bagaimana air mukanya. Yang jelas
dia cepat-cepat menarik kembali pukulannya sekaligus berseru
kaget.

"Pek Hoat Hujin!"
Kemudian terdengar suara seruan kaget lain.
"Pek Hoat Hujin!"
Seketika suasana di tempat itu menjadi kacau. Ternyata
kaum rimba persilatan yang ada di tempat itu saling
mendahului kabur, dan dalam sekejap mereka sudah tidak
kelihatan. Sedangkan Thian Thay Sian Ceng dan gadis berbaju
hijau juga meninggalkan tempat itu. Tapi gadis berbaju hijau
masih sempat melirik Ciok Giok Yin dengan iba. Kini di tempat
itu cuma tinggal Ciok Giok Yin.
Tampak seorang wanita berpakaian merah melayang-layang
dengan kaki tidak menyentuh tanah mendekatinya. Setelah
berada di hadapan Ciok Giok Yin, dia menundukkan kepala
memperhatikannya, lalu menyambar sekaligus membawanya
pergi dan dalam sekejap sudah tidak kelihatan
bayangannya. Siapa dia? Tiada seorang pun yang tahu.
Sementara itu Ciok Giok Yin sudah mulai siuman perlahanlahan
dan badannya bergerak sedikit. Mendadak terdengar
suara in di belakangnya.
"Cepat himpun hawa murnimu mengikuti hawa murniku!"
Kini Ciok Giok Yin baru merasa ada hawa hangat menerobos
ke dalam tubuhnya melalui jalan darah Beng Bun Hiatnya. Dia
tidak berani ayal lagi, langsung menghimpun hawa murninya,
menyatu dengan hawa hangat itu, kemudian dialihkan ke
seluruh tubuhnya.
Berselang beberapa saat kemudian, badannya sudah terasa
pulih.
Ketika dia baru mau bangkit berdiri, tiba-tiba melihat sesosok
bayangan berkelebat ke hadapannya. Dia mendongakkan
kepala. Di lihatnya seorang wanita anggun berpakaian
menawan, berusia tiga puluhan dan wajahnya amat cantik
sekali. Namun, sepasang mata wanita itu menyorot amat
tajam, membuat Ciok Giok Yin merasa merinding dan berkata
dalam hati. Sungguh tinggi lwee kangnya, siapa dia?' Ciok Giok
Yin segera bangkit berdiri lalu memberi hormat pada wanita

itu.
"Terimakasih atas pertolongan cianpweet," ucapannya.
"Kau bernama Ciok Giok Yin?" tanya wanita itu.
"Ya."
"Berapa usiamu?"
"Delapan belas."
Wanita anggun berpakaian mewah itu diam sejenak,
kemudian berkata,
"Aku ingin menanyakan seseorang padamu, entah kau kenal
atau tidak?"
Ciok Giok Yin tertegun dan langsung bertanya.
"Siapa?"
"Hai Thian Tayhiap Ciok Khie Goan."
Ciok Giok Yin tercengang karena sudah beberapa orang
menyinggung nama tersebut, bahkan juga berpesan apabila
memperoleh Seruling Perak, harus diserahkan kepada
keturunannya.
"Aku memang pernah mendengar nama itu, tapi tidak kenal,"
jawabnya dengan jujur.
"Kau punya hubungan dengan Ciok Khie Goan?"
"Aku tidak pernah mendengar tentang itu."
"Siapa kedua orang tuamu?"
Wajah Ciok Giok Yin kemerah-merahan, dan dia tak mampu
menjawab. Air muka wanita anggun berpakaian mewah itu
berubah dingin.

"Kau tidak memberitahukan?" katanya.
"Jangan salah paham, cianpwee," sahut Ciok Giok Yin dengan
suara rendah.
"Maksudmu?"
"Aku tidak tahu siapa kedua orang tuaku, juga tidak tahu
nama mereka."
Wanita anggun berpakaian mewah mengerutkan kening.
"Kau sama sekali tidak tahu nama kedua orang tuamu?"
katanya heran.
"Ya."
"Kalau begitu, siapa yang membesarkanmu?"
"Tiong Ciu Sin Ie."
"Tiong Ciu Sin Ie?"
"Ng!"
"Di mana dia sekarang?"
\
Ditanya demikian, mata Ciok Giok Yin langsung bersimbah air.
"Beliau telah meninggal."
Wanita anggun berpakaian mewah itu mengerutkan kening,
sama sekali tidak bersuara. Akan tetapi sepasang matanya
yang tajam itu terus-menerus memandang wajah Ciok Giok
Yin. Kemudian dia menggeleng-gelengkan kepala, tapi tetap
tidak bersura. Sikapnya itu membuat Ciok Giok Yin menjadi
terheran-heran.
"Bolehkah aku tahu nama cianpwee?" katanya.

Wanita anggun berpakain mewah itu menyahut,
"Tidak perlu," dia memandang Ciok Giok Yin.
"Sampai jumpa."
Kemudian melesat pergi. Suaranya belum sirna, namun
orangnya sudah tidak kelihatan lagi. Ciok Giok Yin terbelalak
menyaksikan ilmu ginkang wanita anggun berpakain mewah
itu. Sebab ilmu ginkangnya amat tinggi, mungkin tiada duanya
di dunia persilatan. Sebetulnya siapa dia? Mengapa dia
bertanya pada Ciok Giok Yin, ada hubungan apa dengan Hai
Thian Tayhiap Ciok Khie Goan?
Ciok Giok Yin terus berpikir, namun tidak menemukan
jawabannya. Memang sayang sekali, tadi Ciok Giok Yin tidak
memberitahukan bahwa Tiong Ciu Sin Ie membawanya dari
sebuah lembah di Gunung Muh San. Kalau tadi dia
memberitahukan, mungkin asal-usulnya akan terungkap. Tibatiba
Ciok Giok Yin teringat akan Heng Thian Ceng, bagaimana
dia tidak kelihatan? Oleh karena itu, Ciok Giok Yin segera
melesat ke atas tebing itu, namun sudah tidak tampak seorang
pun di sana.
Dia pikir, kemungkinan besar Heng Thian Ceng telah
meninggalkan tempat tersebut. Ciok Giok Yin lalu mengerahkan
ginkang, melesat pergi melalui jalan gunung yang berliku-liku.
Kini dia telah membulatkan hatinya pergi ke Gunung Cong
Lam San. Dia harus mencari Can Hai It Kiam untuk mengambil
sepucuk surat agar asal-usulnya terungkap. Setelah itu,
barulah dia pergi mencari Bu Tok Siangseng untuk merebut
kitab Cu Cian, agar dapat mempelajari kungfu tinggi, lalu
membersihkan nama perguruan. Karena itu, Ciok Giok Yin ingin
selekasnya tiba di Gunung Cong Lam San.
Di saat dia sedang melesat, mendadak tampak sesosok
bayangan melesat dari arah depan, kelihatannya agak
sempoyongan.
Tak lama bayangan itu sudah mendekat.

"Lu Jin'." seru Ciok Giok Yin.
Orang itu ternyata Lu Jin, yang pernah berjanji akan mencari
kitab Im Yang Cing Koy untuknya. Akan tetapi di balik kain
penutup muka Lu Jin terlihat darah mengalir ke luar. Badan Lu
Jin sempoyongan, akhirnya condong ke arah Ciok Giok Yin.
Ciok Giok Yin cepat-cepat menahan badannya agar tidak
roboh, kemudian menaruhnya ke bawah seraya berkata.
"Saudara, aku adalah Ciok Giok Yin."
Ciok Giok Yin segera memeriksa denyut nadinya, ternyata
sudah lemah sekali. Kelihatanya orang itu sudah sulit ditolong.
Oleh karena itu Ciok Giok Yin bergerak cepat menotok
beberapa jalan darahnya. Beberapa saat kemudian barulah Lu
Jin siuman. Sepasang matanya terbuka perlahan-lahan, lalu dia
berkta dengan lemah sekali.
"Adik Kecil, akhirnya... aku... aku bertemu kau juga...."
Ciok Giok Yin telah beberapa kali menerima budi pertolongan
Lu Jin, maka telah menganggapnya sebagai saudara sendiri.
Begitu menyaksikan keadaan Lu Jin yang sudah sekarat, air
matanya langsung bercucuran.
"Toako, siapa yang melukaimu? Aku pasti menuntut balas
dendammu," katanya.
Lu Jin tidak menyahut, hanya mengeluarkan sebuah kitab
tipis dari dalam bajunya.
"Adik Kecil, ini... ini adalah... kitab... Im... Yang... Cin...
Koy..., harap... disimpan... baik- baik...."
Ciok Giok Yin terperanjat.
"Hah? Im Yang Cin Koy?"
Lu Jin menaruh kitab tipis itu ke tangan Ciok Giok Yin seraya

berkata,
"Jangan putuskan perkataanku, biar aku bicara...."Dia
menarik nafas dalam-dalam.
"Ban Hoa Tong Cu memetik hawa Yang demi menambah hawa
Im. Dia sudah banyak mencelakai kaum muda. Aku... aku
berupaya memasuki goanya... mencuri kitab ini... tapi... aku...
justru... terluka... di tangannya. Dia... dia menggunakan...
ilmu... Siau Mo Kang (Ilmu Iblis Tertawa)..., untung aku...
bertemu... kau... di sini...."
Ciok Giok Yin terus mendengarkan dengan air mata berlinanglinang.
"Adik kecil, tolong... tolong lepaskan... kain... penutup...
mukaku...," tambah Lu Jin.
Ciok Giok Yin menurut, lalu segera melepaskan kain penutup
muka Lu Jin. Dia tertegun. Tak disangka Lu Jin begitu tampan.
Usianya sekitar empat puluhan. Namun lantaran terluka dalam,
maka wajahnya menjadi kekuning-kuningan. Lu Jin
memandang Ciok Giok Yin dengan mata suram dan berkata
dengan perlahan-lahan,
"Adik kecil, kuberitahukan satu kali lagi, mengenai urusan
Kang Ouw Pat Kiat dengan suhumu sungguh merupakan suatu
kesalah-pahaman. Sebetulnya musuh besarmu adalah Chiu
Tiong Thau. Kini ajalku sudah tiba. Sesungguhnya aku adalah
Tiat Yu Kie Su-Mok Ho yang sedang kau cari...."
Ciok Giok Yin terbelalak.
"Hah? Kau adalah Mok Ho?"
Ini sungguh merupakan pukulan berat baginya!
Sebab Lu Jin boleh dikatakan tuan penolongnya, juga
sahabatnya. Lalu harus bagaimana baiknya? Tanpa
memperdulikan air muka Ciok Giok Yin yang berubah menjadi
tak menentu, Lu Jin berkata lagi.

"Kelak... kau akan menemukan jawabannya. Bukan... aku
ingin... melepaskan tanggung jawab itu, melainkan memang
benar... merupakan... hasutan... Chiu... Tiong... Thau...."
Ciok Giok Yin menarik nafas panjang. Dia merasa iba
terhadap Lu Jin yang sedang dalam keadaan sekarat.
"Toako, aku mempercayaimu."
Wajah Lu Jin tampak berseri.
"Kini... tenanglah... hatiku... Adik Kecil..., aku... aku ingin...
menitip... satu... urusan... padamu...."
"Toako, katakanlah, aku pasti melaksanakannya!"
"Tolong... cari... Cu... Sian... Ling..., beritahukan...
padanya... selamanya... aku... rindu...," kata Lu Jin semakin
melemah.
Berkata sampai di situ, mulutnya lalu tertutup rapat,
kemudian kepalanya miring ke bawah, dan nafasnya putus.
"Toako, aku telah salah paham padamu, urusanmu itu pasti
kulaksanakan," kata Ciok Giok Yin dengan air mata berlinanglinang.
Sesudah menangis sejenak, barulah Ciok Giok Yin
mengubur mayat Lu Jin. Dia berdiri di hadapan makam itu,
berkata dengan suara bergemetar.
"Toako, aku pasti mencari Ban Hoa Tong Cu untuk menuntut
balas dendammu!"
Usai berkata, Ciok Giok Yin lalu melesat pergi. Mengenai
urusan Kang Ouw Pat Kiat dengan Sang Ting It Koay, tentunya
tidak salah dengan apa yang dikatakan Tiat Yu Kie Su. Sebab
orang yang hampir mati, sudah pasti tidak akan berbohong.
Oleh karena itu, musuh besar Sang Ting It Koay, justru
adalah Chiu Tiong Thau. Maka Ciok Giok Yin mengambil
keputusan, harus menghabisi nyawa orang tersebut. Kalau

tidak, hatinya tidak akan merasa puas. Akan tetapi kini Chiu
Tiong Thau berada di mana? Dan juga ilmu silatnya tinggi
hingga tingkat bagaimana?
Oleh karena itu Ciok Giok Yin harus mencari jejaknya
perlahan-lahan, hingga berhasil membunuhnya. Ciok Giok Yin
melakukan perjalanan sambil berpikir. Agar tidak terjadi suatu
hambatan, maka dia mengambil jalan kecil. Apabila ingin
menuntut balas dendam suhunya, dia harus berhasil mencari
kitab Cu Cian. Kini Ciok Giok Yin sudah tahu bahwa kitab itu
berada di tangan Bu Tok Sinseng. tapi dia tidak tahu harus ke
mana mencari Seruling Perak. Semua urusan tersebut masih
terganjal dalam hatinya.
Beberapa hari kemudian, Ciok Giok Yin telah tiba di Gunung
Cong Lam San. Karena dia yakin bahwa Cong Lam Pay berada
di gunung itu, maka dia langsung melesat ke atas. Mendadak
dia merasa adanya angin pukulan dari atas. Di saat bersamaan,
terdengar pula suara bentakan.
"Harap berhenti!"
Ciok Giok Yin berhenti lalu memandang ke depan dan seketika
timbul sifat angkuhnya.
Jilid 10
Ternyata di hadapannya berdiri lima orang, menatapnya
dengan penuh kegusaran.
"Aku ingin bertemu Can Hai It Kian!" kata Ciok Giok Yin
dengan lantang.
"Can Hai It Kiam?"
"Tidak salah!"

Terdengar suara tawa getir, kemudian salah seorang berseru.
"Sebutkan nama!"
"Ciok Giok Yin!"
Air muka kelima orang itu langsung berubah. Mereka menatap
Ciok Giok Yin dengan penuh dendam kebencian, lalu
membentak dengan serentak.
"Bocah jahanam! Can Hai It Kiam dan kau ada dendam apa?
Mengapa kau turun tangan jahat terhadapnya? Kau sudah pergi
kok masih berani balik ke mari?"
Kelima orang itu bersiul panjang, lalu menyerang Ciok Giok
Yin dari atas ke bawah. Di saat bersamaan, Ciok Giok Yin justru
ingin melesat ke atas. Begitu melihat situasi itu, dan juga
mendengar perkataan mereka, bahwa Can Hai It Kian telah
dicelakai orang, Ciok Giok Yin menjadi tertegun dan tidak habis
pikir. Akan tetapi dia sudah tidak bisa banyak berpikir lagi,
sebab kelima orang itu telah menyerangnya dengan
dahsyat. Ciok Giok Yin gusar bukan main. Dia meloncat ke
belakang dua depa seraya membentak.
"Berhenti!"
"Bocah jahanam, kau harus mampus!"
Kelima orang itu menyerang lagi. Ciok Giok Yin bertambah
gusar. Dia berkertak gigi seraya membentak lagi.
"Aku bukan takut pada kalian, melainkan kalian harus
menjelaskan!"
Ciok Giok Yin terpaksa meloncat ke belakang lagi.
"Tiada yang perlu dijelaskan!" sahut salah seorang dari
mereka.
Ciok Giok Yin tidak ingin bentrok dengan pihak Cong Lam Pay,
maka dia berkelit dan menekan hawa kegusarannya.

"Bagaimana keadaan Can Hai It Kiam?" katanya.
"Kau masih pura-pura?"
"Pura-pura apa?"
Ciok Giok Yin terbelalak.
"Hah? Apa? Aku?"
"Siapa lagi kalau bukan kau?"
"Kapan aku memasuki tempat kalian?"
"Semalam!"
Kelima orang itu mulai menyerang lagi. Kemudian salah
seorang berkata.
"Bocah jahanam, setelah membunuh orang masih
meninggalkan nama, masih tidak mau mengaku?"
Dari tadi mereka berlima terus memakinya 'Bocah Jahanam',
itu membuat kegusarannya semakin memuncak. Dia tertawa
dingin seraya berkata,
"Kalian begitu tak tahu aturan, aku akan...."
Mendadak Ciok Giok Yin sudah melancarkan jurus pertama
limu pukulan Hong Lui Sam Ciang. Seketika terdengar suara
jeritan.
"Aaaakh... !"
Tampak seorang roboh, kepalanya pecah. Di saat bersamaan,
terdengar suara siulan beberapa kali. Tak lama kemudian, di
tempat itu sudah bertambah dua puluh orang yang terdiri dari
padri dan pendeta To. Di antara orang-orang itu, tampak pula
Thian It Ceng dari Siauw Lim Pay. Thian It Ceng mengibaskan
lengan jubahnya sambil mulutnya menyebut kemuliaan sang

Buddha.
"Omitohud! Harap sicu berhenti!"
Keempat orang itu langsung mundur. Thian It Ceng menatap
Ciok Giok Yin dengan dingin, lalu maju selangkah demi
selangkah seraya berkata,
"Sicu kecil, kau masih mau berkata apa lagi?"
Sepasang mata Ciok Giok Yin yang tajam menyapu mereka
semua lalu menyahut dengan dingin.
"Mengapa aku tidak boleh bicara?"
"Sicu itu bersalah apa terhadapmu?" Thian It Ceng balik
bertanya sambil menujuk mayat itu.
"Tanyakan saja pada mereka," sahut Ciok Giok Yin dengan
ketus.
"Can Hai It Kiam punya dendam apa denganmu?"
"Aku ke mari justru ingin mencari Can Hai It Kiam."
"Punya dendam?"
"Tidak."
"Kalau tiada dendam, mengapa kau turun tangan jahat
padanya?"
"Ini bagaimana ceritanya, mohon Taysu menjelaskannya!"
"Can Hai It Kiam terbunuh oleh pedangmu, apa maksudmu
membunuhnya?"
Ciok Giok Yin betul-betul kebingungan, sebab dirinya dituduh
sebagai pembunuh Can Hai It Kiam, lantaran pembunuh itu
meninggalkan namanya di situ.

"Taysu juga menganggapku yang membunuhnya?" katanya.
"Kalau bukan kau, lalu siapa?"
Ciok Giok Yin tertawa gelak, lalu menyahut,
"Aku ke mari justru ingin menemui Can Hai It Kiam lo
cianpwee untuk mengambil sepucuk surat. Tapi kelima
pendekar Cong Lam Pay ini tidak bertanya secara jelas,
langsung menyerangku. Taysu adalah orang yang menyucikan
diri, apakah juga tidak mau pakai aturan?"
Salah seorang tua yang berdiri di samping Thian It Ceng
segera bertanya,
"Mengambil sepucuk surat?"
"Ya."
"Surat apa?"
"Tidak dapat kuberitahukan!"
Orang tua itu mendengus dingin.
"Hmm! Kau mau cari alasan belaka!"
"Siapa Anda?"
"Lohu adalah Hui Pian (Cambuk Terbang) Cu Suang, ketua
Cong Lam Pay!"
Dia menatap Ciok Giok Yin dengan dingin, kemudian
membentak.
"Lebih baik kau serahkan nyawamu!"
Ciok Giok Yin mengerutkan kening.
"Kalau begitu, ketua Cu juga menganggapku yang membunuh
Can Hai It Kiam?"

"Kalau bukan kau, apakah lohu?"
Mendadak Thian It Ceng berkata,
"Sicu kecil, dengarkan nasihatku! Kalau kau ingin
membersihkan diri, alangkah baiknya ikut aku ke Cong Lam
Pay agar urusan ini menjadi jelas!"
"Kalau aku bilang tidak?"
"Itu berarti kau tidak bisa meninggalkan tempat ini."
Bukan main gusarnya Ciok Giok Yin!
"Taysu memunculkan diri di dunia persilatan. Mengandal pada
Siauw Lim Pay sebagai Bu Lim Beng Cu kau bisa perintahkan
semua kaum rimba persilatan, namun terhadapku tidak!" Dia
berhenti sejenak. "Kini Can Hai It Kiam telah mati. Aku yakin
surat itu pasti ada di badannya. Maka aku ingin melihat
mayatnya. Apakah Ketua Cu mengijinkan?"
Ucapan Ciok Giok Yin yang pertama itu ditujukan kepada
Thian It Ceng, namun bernada ketus dan sinis. Walau usia
Thian It Ceng sudah agak tua, dan dia merupakan padri tinggi
Siauw Lim Pay, tapi hatinya masih belum terlepas dari
duniawi. Ketika mendengar ucapan Ciok Giok Yin itu, wajahnya
langsung berubah menjadi kehijau-hijauan saking gusarnya. Di
saat padri itu ingin membuka mulut, ketua Cong Lam Pay
segera memberi isyarat padanya, lalu berkata pada Ciok Giok
Yin.
"Bagaimana kalau di badannya tidak terdapat surat itu?"
Ciok Giok Yin tertegun sebab dia tidak menyangka kalau
Ketua Cu akan bertanya seperti itu.
"Aku tidak akan bohong," sahutnya kemudian.
Mendadak Cu Suang tertawa sedih lalu berkata dengan
lantang.

"Jangankan Can Hai It Kiam sudah masuk peti mati, kalau
pun belum, aku tetap tidak memperbolehkanmu memeriksa
mayatnya! Hari ini kau harus menyerahkan nyawamu!"
Usai berkata, ketika ketua Cu baru mau melancarkan
pukulan, tiba-tiba dari samping muncul dua orang tua berusia
lima puluhan bersenjata pedang. mereka berdua memberi
hormat. pada Cu Suang seraya berkata,
"Harap Ketua sabar, biar kami berdua yang menangkapnya!"
Kedua orang itu amat terkenal di dunia persilatan. Julukan
mereka adalah Cong Lam Sang Kiam (Sepasang Pedang Cong
Lam).
Cu Suang manggut-manggut seraya berpesan, "Sute berdua
harus berhati-hati!"
Cong Lam Sang Kiam mengangguk, kemudian maju ke
hadapan Ciok Giok Yin sambil menghunus pedang masingmasing.
Trang! Trang!
Kedua orang itu tertawa sinis, kemudian menyerang Ciok Giok
Yin.
Ketika Ciok Giok Yin melihat situasi, dalam hati sudah tahu
bahwa sulit bagi dirinya untuk berbiara baik-baik?
Di saat Ciok Giok Yin sudah siap menyambut seranganserangan
mereka, Cong Lam Sang Kiam meloncat ke belakang
seraya berkata dengan serentak, "Keluarkan senjatamu!"
"Aku tidak punya senjata!" sahut Ciok Giok Yin dengan dingin.
"Kau sungguh bermulut besar! Baik, sambutlah seranganku!"
Kedua orang itu lalu maju serentak. Yang satu menyerang
bagian atas badan Ciok Giok Yin, sedangkan yang satu lagi

menyerang bagian bawah. Serangan gabungan mereka berdua,
memang amat lihay dan dahsyat, bahkan menimbulkan suara
'Ser Ser!' Saat ini Ciok Giok Yin betul-betul sudah tidak bisa
bersabar lagi.
"Kalian terlalu mendesak orang!" bentaknya keras.
Dia mengeluarkan jurus pertama ilmu pukulan Hong Lui Sam
Ciang. Tampak sepasang telapak tangannya berkelebat,
mengeluarkan hawa yang amat panas. Mendadak terdengar
suara seruan kaum rimba persilatan yang berada di tempat itu.
"Hong Lui Sam Ciang!"
"Bocah itu tidak boleh dilepaskan!"
Mereka langsung menyerang Ciok Giok Yin.
Ciok Giok Yin dikeroyok belasan orang, yang terdiri dari padri,
tosu dan kaum rimba persilatan biasa. Tampak berbagai
macam senjata tajam berkelebatan. Meskipun Ciok Giok Yin
berkepandaian tinggi, namun tetap sulit baginya untuk
melawan sekian banyak pesilat tangguh itu. Punggungnya telah
terhantam beberapa pukulan, membuat matanya berkunangkunang
dan darahnya bergolak tidak karuan. Kelihatannya Ciok
Giok Yin akan segera roboh. Sekonyong--konyong tampak
sosok bayangan berkelebat ke tempat itu, bukan main
cepatnya.
Menyusul terdengar suara jeritan dan tampak darah muncrat
ke mana-mana. Di saat bersamaan, Ciok Giok Yin juga
menjerit. Ternyata kakinya telah terluka oleh pedang Cong Lam
Sang Kiam sehingga darahnya langsung mengucur. Bersamaan
itu, punggungnya juga terhantam pukulan dahsyat. Seketika
matanya menjadi gelap, dia lalu roboh pingsan. Di saat itulah
sosok bayangan tersebut menyambaruya, kemudian melesat
pergi laksana kilat. Entah berapa lama kemudian barulah Ciok
Giok Yin siuman perlahan-lahan. Dia membuka sepasang
matanya, tampak seorang tua bongkok duduk di sampingnya.
Orang tua bongkok itu sedang meneguk arak, terdengar suara

'Kruk! Kruk! Kruk!' Ciok Giok Yin segera menghimpun hawa
murninya. Ternyata dia tidak merasa apa-apa, hanya merasa
agak sakit di kakinya. Dia cepat-cepat bangkit berdiri, lalu
memberi hormat pada orang tua bongkok itu seraya berkata,
"Terimakasih atas pertolongan lo cianpwee yang telah
menyelamatkan nyawaku."
Orang tua bongkok berhenti meneguk arak, kemudian
memandang Ciok Giok Yin seraya bertanya,
"Siapa namamu?"
"Ciok Giok Yin."
"Ciok Giok Yin?"
"Ya."
"Ciok Giok Yin, dulu aku pernah kenal seorang bermarga
Ciok." Gumam orang tua.
"Siapa?"
"Ciok...." Orang tua bongkok itu menggeleng-gelengkan
kepala. "Kau tidak akan mengenalnya." Sepasang matanya
menyorot tajam. "Tapi orang itu mirip kau."
"Kalau lo cianpwee tidak mau beritahukan, aku pun tidak
akan bertanya. Entah sudah berapa kali lo cianpwee
menyelamatkan nyawaku. Bolehkah aku tahu nama lo
cianpwee?"
Orang tua bongkok itu menggeleng-gelengkan kepala, lalu
berkata,
"Boleh jadi kita memang berjodoh. Mengenai pertolonganku
tidak perlu kau simpan dalam hati. Tentang namaku, sudah
lama kulupakan. Sampai jumpa!"
Mendadak dia melesat pergi, dan dalam sekejap sudah tidak

kelihatan bayangannya. Dapat dibayangkan, betapa cepat
geraknnya. Ciok Giok Yin tertegun dan termangu-mangu di
tempat. Tak terduga di dunia persilatan terdapat orang yang
begitu aneh. Percakapannya belum usai, sudah melesat pergi,
bahkan juga tidak mau memberitahukan namanya. Tiba-tiba
kakinya terasa sakit, membuatnya teringat akan luka di
kakinya. Kemudian dia berkertak gigi seraya berkata dengan
sengit.
"Cepat atau lambat aku pasti ke Gunung Cong Lam San lagi!"
Ciok Giok Yin lalu menelan sebutir pil Ciak Kim Tan, setelah
itu, dia duduk menghimpun hawa murninya. Berselang
beberapa saat keadaanya sudah pulih kernbali. Tiba-tiba
terdengar suara desiran baju di sampingnya. Ciok Giok Yin
segera menengok ke samping. Tampak Sou Bin Koay Siu-Sang
Ceh Cing bersama tiga orang aneh yang menyerupai mayat
berada di sampingnya, Ciok Giok Yin pernah bertemu mereka
di Goa Toan Teng Tong.
Sou Bin Kay Siu-Sang Ceh Cing tertawa licik lalu selangkah
demi selangkah mendekati Ciok Giok Yin. Akan tetapi
mendadak dia menjerit dan roboh tak berkutik di tanah. Begitu
pula ketiga orang aneh yang menyerupai mayat, menjerit dan
roboh seketika.
Ciok Giok Yin tersentak dan langsung memeriksa keempat
mayat itu. Ternyata bagian belakang kepala mereka tertancap
ranting pohon yang amat pendek. Itu membuktikan si
penyerang berkepandaian tinggi.
"Orang pandai dari mana, mohon perlihatkan diri...."
Ucapan Ciok Giok Yin terputus karena tiba-tiba sebuah benda
hitam meluncur ke arahnya. Dalam waktu bersamaan
terdengar pula seruan yang amat dingin,
"Sambut!"
Ciok Giok Yin menjulurkan tanganya menyambut benda
tersebut sambil memandang ke arah datangnya suara seruan,
namun tidak tampak siapa pun di sana. Hati Ciok Giok Yin

menjadi berdebar-debar. Di dunia persilatan terdapat orang
yang berkepandaian begitu tinggi. Kepandaiannya sendiri
sungguh masih ketinggalan jauh. Dia menundukkan kepala,
ternyata benda yang di tangannya berupa sebuah bungkusan.
Di dalam bungkusan itu terdapat baju panjang dan celana
panjang, bahkan juga terdapat secarik kertas berisi tulisan
'Satu Stel Pakaian, Pertanda Ketulusan Hati' Gaya tulisan itu,
sudah jelas tulisan seorang wanita. Namun Ciok Giok Yin tidak
dapat menerka siapa wanita itu. Apa maksud wanita itu
mengirim satu stel pakaian? Sungguh sulit dimengerti. Ciok
Giok Yin terus mengingat-ingat semua wanita yang dikenalnya,
namun semua wanita yang dikenalnya tiada satu pun yang
berkepandaian begitu tinggi. Kalau begitu, siapa wanita itu?
Lama sekali Ciok Giok Yin berpikir, kemudian menggelenggelengkan
kepala. Ketika dia mau membungkus pakaian itu,
hatinya tergerak, 'Pakaianku sudah sobek tidak karuan, lebih
baik kupakai pakaian baru ini' Dia segera melepaskan
pakaiannya, lalu memakai pakaian yang baru itu. Sungguh pas
pakaian itu di badannya! Dia tidak mau banyak berpikir lagi,
langsung melesat pergi. Beberapa saat setelah melakukan
perjalan, mendadak terdengar suara perkelahian.
Plak! duuuk!
Ciok Giok Yin cepat-cepat melesat ke arah suara itu. Tak lama
suara perkelahian itu terdengar semakin jelas. Terlihat seorang
berbadan langsing sedang bertarung dengan seorang pesilat
berusia tiga puluhan. Tampak pula sekitar dua puluh orang
berdiri di sana.
Pesilat itu menggunakan sebuah cambuk panjang. Cambuk itu
meliuk-liuk bagaikan seekor naga ke arah lawannya yang
ternyata seorang gadis. Kelihatannya pesilat itu sedang
mempermainkan lawannya.
Sedangkan wanita muda berpakaian biru itu menggunakan
sebatang pedang panjang, mati-matian menangkis seranganserangan
yang dilancarkan pesilat tersebut. Mendadak pesilat
itu tertawa gelak, lalu berkata,

"Nona, Han Cu Ya (Tuan Majikan) tertarik padamu! Apakah
kau masih bisa meloloskan diri? Lebih baik kau ikut ke atas
gunung, kau pasti akan hidup senang selamanya di sana!"
Ketika mendengar ucapan itu, kegusaran wanita muda itu
menjadi semakin memuncak, sehingga permainan pedangnya
menjadi kacau balau. Ciok Giok Yin yang bersembunyi di balik
sebuah pohon terus memperhatikannya. Dari bentuk tubuh
gadis itu, sepertinya Ciok Giok Yin pernah
mengenalnya. Namun wanita muda itu tidak menolehkan
wajahnya, lagi pula rambutnya telah terurai menutupi
wajahnya, maka Ciok Giok Yin tidak dapat melihat jelas wajah
wanita muda itu. Mendadak wanita muda itu membentak
sengit.
"Aku akan mengadu nyawa denganmu!"
Suara itu amat dikenal Ciok Giok Yin.
"Apakah dia?" serunya pelan.
Kebetulan wanita muda itu mengelak serangan cambuk
lawan, maka wajahnya menghadap ke arah Ciok Giok
Yin. Tentunya Ciok Giok Yin melihat jelas wajah wanita itu,
ternyata adalah Tong Wen Wen, putri keluarga Tong Keh
Cuang. Bagaimana dia berada di tempat ini? Walau Ciok Giok
Yin tidak begitu terkesan baik terhadap Tong Wen Wen, namun
tidak terkesan buruk padanya. Lagi pula dia masih ingat akan
kebaikan Tong Wen Wen, yang pernah menghadiahkan
sebatang tusuk rambut padanya.
Akan tetapi tusuk rambut itu kini tidak lagi di tanganya,
karena telah direbut orang. Begitu melihat Tong Wen Wen,
giranglah hati Ciok Giok Yin.
"Kakak Wen jangan takut!" serunya dengan lantang sambil
melesat ke luar dari persembunyiannya. Akan tetapi di saat
bersamaan tampak bayangan orang berkelebatan ke
arahnya. Bersamaan itu terdengar pula suara bentakan.
"Bocah jahanam, kau cari mampus!"

Mereka langsung menyerang Ciok Giok Yin dengan berbagai
macam senjata tajam. Ciok Giok Yin tertawa dingin lalu berkata
lantang.
"Baik, aku akan mengantar kalian ke akhirat!"
Kegusarannya yang timbul ketika di Gunung Cong Lam San
justru dilampiaskannya di tempat ini. Dia langsung
menggunakan ilmu pukulan Hong Lui Sam Ciang menghadapi
para penyerangnya. Terdengar suara menderu-deru dahsyat,
yang disertai hawa yang amat panas. Seketika terdengar suara
jeritan yang menyayat hati dan darah pun muncrat bagaikan
hujan gerimis. Ternyata empat orang dari mereka telah
tergeletak di tanah menjadi mayat. Sementara mata Tong Wen
Wen melirik, begitu dia melihat Ciok Giok Yin, hatinya langsung
berbunga-bunga.
"Adik Yin...!" serunya dengan girang.
Sudah barang tentu perhatiannya menjadi pecah, sehingga
lengan kirinya tersambar cambuk lawan.
"Aduuuh!"
Dia menjerit dan terhuyung-huyung ke belakang beberapa
langkah. Bukan main sakitnya lengan kiri gadis itu! Bahkan
darahnya pun mengucur deras sehingga membuat wajahnya
berubah menjadi pucat pias. Sedangkan pesilat itu sama sekali
tidak memperdulikan para anak buahnya yang telah kehilangan
nyawa. Dia tertawa gelak, lalu maju ke hadapan Tong Wen
Wen sambil menjulurkan tangannya. Kelihatannya Tong Wen
Wen akan tertangkap. Akan tetapi di saat bersamaan,
terdengar bentakan Ciok Giok Yin yang menggguntur.
"Kau berani!"
Ciok Giok Yin langsung melesat ke sana, sekaligus
menggerakkan sepasang tangannya. Pesilat muda itu
mendengus dingin.

"Hmmm!"
Namun mendadak badannya terpental dua depa, dan
mulutnya menyemburkan darah segar. Tapi dia masih mampu
bangkit berdiri, kemudian melarikan diri ke atas gunung. Para
anak buahnya melihat dia kabur, mereka pun berebutan
melarikan diri dengan ketakutan. Ciok Giok Yin tidak mengejar
mereka, melainkan mendekati Tong Wen Wen lalu
memapahnya bangun.
"Kakak Wen, bagaimana lukamu?" katanya.
Wajah Tong Wen Wen yang pucat pias itu berusaha
tersenyum, lalu menyahut dengan suara yang agak gemetar.
"Aku tidak apa-apa."
Ciok Giok Yin tahu bahwa Tong Wen Wen sedang menahan
sakit, maka dia segera berkata.
"Kakak Wen, biar kuperiksa lukamu."
Tong Wen Wen adalah seorang gadis, maka perkataan Ciok
Giok Yin itu membuat wajahnya menjadi kemerahmerahan.
Ciok Giok Yin tidak memikirkan apa-apa, langsung
menyingkap lengan baju Tong Wen Wen. Lengan gadis itu putih
mulus, membuat hati Ciok Giok Yin berdebar-debar tidak
karuan. Tiba-tiba Ciok Giok Yin ingat harus segera memeriksa
luka itu, maka pikirannya tidak jadi menerawang. Karena itu,
dia cepat-cepat memusatkan pikirannya untuk memeriksa luka
di lengan Tong Wen Wen. Ternyata lengan gadis itu telah sobek
tersambar cambuk dan darah segarnya masih mengalir.
Ciok Giok Yin cepat-cepat mengambil sebutir pil Ciak Kim Tan
lalu dimasukkan ke mulut Ton Wen Wen. Setelah itu, dia pun
menghancurkan dua butir pil yang sama, lalu dioleskan pada
luka di lengan Tong Wen Wen. Seketika darahpun berhenti
mengalir, bahkan rasa sakit juga berangsur-angsur
hilang. Tong Wen Wen langsung mendekap di dada Ciok Giok
Yin dan berkata dengan terharu.

"Adik Yin, kalau kau tidak muncul tepat pada waktunya, entah
bagaimana akibatnya?" Dia memandang Ciok Giok Yin. "Adik
Yin, lengan bajuku telah sobek, bagaimana melanjutkan
perjalanan? Tolong buka bungkusanku, aku ingin berganti
pakaian!"
Karena lengannya belum sembuh, maka dia merasa kurang
leluasa mengambil bungkusan itu. Kebetulan bungkusan itu
bergantung di bagian dadanya, membuat Ciok Giok Yin merasa
serba salah dan hatinya pun berdebar-debar. Dia tidak berani
menjulurkan tangannya mengambil bungkusan itu, hanya
termangu-mangu.
"Cepatlah! Hari sudah mulai gelap, kita harus segera mencari
penginapan," kata Tong Wen Wen. Ciok Giok Yin tersentak
sadar, kemudian mencaci dirinya sendiri dalam hati. 'Dia boleh
dikatakan sebagai kakakmu, bagaimana kau memikirkan yang
bukan-bukan? Kelak bagaimana kau berkecimpung di dunia
persilatan?'
Dia cepat-cepat menjulurkan tanganya mengambil bungkusan
itu, sekaligus dibukanya. Tapi biar bagaimanapun, hatinya
tetap berdebar-debar tidak karuan.
"Kakak Wen, sebetulnya apa gerangan yang terjadi?"
katanya.
Lantaran mereka berdua begitu dekat, maka aroma tubuh
gadis itu menusuk hidung Ciok Giok Yin, membuat Ciok Giok
Yin lupa diri. Karena itu, dia terus menatap wajah Tong Wen
Wen. Gadis itu meliriknya, lalu bertanya dengan lembut.
"Adik Yin, kenapa kau?"
Hati Ciok Giok Yin tersentak ketika mendengar suara Tong
Wen Wen. Di saat bersamaan, dia pun teringat akan dirinya
sendiri, yang telah makan Pil Api Ribuan Tahun, tidak boleh
mencelakai orang lain dan dirinya sendiri. Seketika keringat
dingin langsung mengucur. Maka dia cepat-cepat mengalihkan
pandangannya ke arah lain. Sedangkan hati Tong Wen Wen
juga berdebar-debar. Bagaimana tidak? Sebab Ciok Giok Yin

merupakan pemuda yang amat tampan, lagi pula mereka
berdua telah berteman sejak kecil. Maka bagaimana hatinya
tidak berbunga-bunga dan berdebar-debar!
Namun biar bagaimanapun, dia adalah seorang gadis perawan
yang tahu akan tata krama dan tahu menjaga jarak antara
wanita dengan lelaki. Ketika menyaksikan sikap Ciok Giok Yin,
hatinya menjadi tergetar-getar.
"Adik Yin, apakah kau kurang sehat?" katanya perlahanlahan.
Ciok Giok Yin cepat-cepat menyurut mundur dua langkah, lalu
menggeleng kepala.
"Tidak apa-apa," sahutnya.
"Kalau begitu...."
"Jangan khawatir! Cepatlah ganti pakaian!"
Tong Wen Wen mengambil pakaian itu dan segera berjalan ke
balik sebuah pohon besar. Tak lama dia sudah usai berganti
pakaian. Dia berjalan keluar dari balik pohon besar itu lalu
berkata kepada Ciok Giok Yin dengan suara rendah.
"Adik Yin, semua telah berlalu, apakah kau masih
mendendam pada kakakku?"
Seketika wajah Ciok Giok Yin berubah menjadi dingin, lalu dia
berkertak gigi.
"Kakak Wen, tentunya kau tahu kejadian waktu itu. Kalau
bukannya di dalam lembah itu terdapat salju tebal, mungkin
aku sudah mati karena remuk seluruh tulangku."
Tong Wen Wen menghela nafas panjang.
"Aku tahu itu, namun aku mohon padamu memaafkannya."
"Dia…."

Sesungguhnya Ciok Giok Yin ingin memberitahukan apa yang
dilihatnya di dalam Kuil Thay San Si, tapi merasa tidak enak,
sebab Tong Wen Wen adalah seorang gadis, lagi pula Tong
Wen Wen adalah kakaknya, maka bagaimana mungkin
memberitahukan padanya? Oleh karena itu, dia batal
memberitahukan pada Tong Wen Wen.
"Kenapa dia?" tanya Tong Wen Wen. Ciok Giok Yin tidak
menjawab pertanyaannya.
"Kakak Wen, bagaimana kau berkelana di dunia persilatan?
Dunia persilatan penuh bahaya lho!"
Tong Wen Wen menghela nafas panjang, dan matanya mulai
bersimbah air,
"Kini Tong Keh Cuang sudah menjadi sarang iblis," katanya
dengan gemetar. Ciok Giok Yin mencengkeram lengan Tong
Wen Wen sambil bertanya.
"Bagaimana bisa jadi begitu?"
Tanpa sadar dia mengerahkan tenaganya, sehingga membuat
Tong Wen Wen meringis kesakitan.
Namun Ciok Giok Yin tidak memperhatikannya malah
menggoyang-goyangkan lengannya seraya berkata, "Kakak
Wen, beritahukanlah padaku!"
Sambil menahan sakit, Tong Wen Wen menyahut, "Adik Yin,
lenganku... terasa sakit."
Ciok Giok Yin cepat-cepat melepaskan tangannya.
"Maaf, Kakak Wen, aku... aku tidak sengaja menyakitimu,"
katanya gugup.
Tong Wen Wen menghela nafas panjang lagi, kemudian
berkata,

"Malam itu, setelah aku meninggalkan rumah kami, Tong Keh
Cuang kedatangan beberapa orang yang memakai kain
penutup muka. Mereka membunuh orang dan membakar.
Dalam waktu satu malam, Tong Keh Cuang telah musnah
dilalap api."
"Bagaimana Kakak Ping?" tanya Ciok Giok Yin.
"Kakakku bilang, ketika dia pulang Bwee Han Ping sudah
hilang."
Mata Ciok Giok Yin menyorot dingin.
"Dia bohong." katanya sengit.
"Tidak, Bwee Han Ping memang hilang. Kakakku tidak
bohong."
Ciok Giok Yin melirik Tong Wen Wen, kemudian bergumam.
"Mudah-mudahan dia tidak terjadi apa-apa!"
Mendengar itu, Tong Wen Wen tampak agak cemburu,
sehingga tanpa sadar air matanya telah meleleh. Diam-diam
Tong Wen Wen membenci dirinya sendiri. Ketika Ciok Giok Yin
berada di rumahnya, lantaran Tong Eng Kang membencinya,
maka melarang Tong Wen Wen bermain dengannya. Lagi pula
kakaknya itu sering menghasut yang bukan-bukan di depan
ayahnya, menyebabkan Ciok Giok Yin sering dicaci dan dipukul
oleh ayahnya. Ketika itu mengapa dia tidak berani
membelanya? Semakin dipikirkan, hati Tong Wen Wen semakin
berduka, akhirnya menangis terisak-isak.
Senjata wanita satu-satunya, memang air mata. Begitu Tong
Wen Wen menangis, Ciok Giok Yin merasa tidak tega
melihatnya.
"Kakak Wen, bagaimana Paman Tong...."
Pertanyaan Ciok Giok Yin terhenti karena, tiba-tiba Tong Wen
Wen mendekap di dadanya dan tangisnya pun semakin
menjadi.

Beberapa saat kemudian gadis itu baru berkata, "Malam itu
juga ayahku dibunuh, cuma aku dan kakakku berhasil
meloloskan diri."
"Kau tahu siapa yang melakukan itu?"
"Selama ini aku terus menyelidiki, namun tiada hasilnya."
Ciok Giok Yin teringat sesuatu dan langsung bertanya,
"Bagaimana kau bertarung dengan pesilat muda itu?"
Tong Wen Wen menyahut dengan air mata berlinang-linang.
"Sesungguhnya aku sedang mencarimu, namun tidak ketemu.
Beberapa hari yang lalu aku dengar, kau pergi ke arah barat,
maka aku segera menyusul. Tidak disangka ketika sampai di
sini, aku bertemu para penjahat itu. Mereka melontarkan
perkataan yang kurang ajar...."
Tong Wen Wen berhenti menutur, dan air matanya mengucur
lebih deras. Tidak usah gadis itu memberitahukan, Ciok Giok
Yin sudah tahu apa yang terjadi. Seorang gadis berkelana di
dunia persilatan, tentu akan bertemu penjahat, yang ingin
berbuat kurang ajar terhadapnya. Untung Tong Wen Wen
memiliki kepandaian yang cukup tinggi, maka masih dapat
menjaga diri. Kalau tidak, mungkin dirinya sudah.... Sementara
itu hari sudah mulai gelap.
"Kakak Wen, mari kita ke kota cari penginapan!" ajak Ciok
Giok Yin. Tong Wen Wen mengangguk. Ciok Giok Yin menarik
tangannya, lalu melesat pergi. Tidak seberapa lama kemudian
mereka berdua sudah tiba di sebuah kota kecil. Mereka
memasuki sebuah penginapan lalu memesan dua buah
kamar. Setelah itu mereka juga makan di dalam penginapan
itu. Mereka berhadapan sambil menuturkan pengalaman
masing-masing. Ketika mendengarkan semua kejadian yang
menimpa Ciok Giok Yin, Tong Wen Wen amat terkejut, tapi
juga merasa girang.

"Adik Yin, apakah kau membenciku?" tanya Tong Wen Wen.
Ciok Giok Yin menatapnya lekat-lekat, kemudian menyahut
sambil tersenyum-senyum.
"Kakak Wen, bagaimana mungkin aku membencimu? Justru
aku harus mengucapkan terimakasih padamu."
Tong Wen Wen tersenyum manis, kemudian berkata dengan
lembut,
"Adik Yin, aku... aku selalu merasa bersalah padamu."
Ciok Giok Yin menggenggam tangannya erat-erat sambil
berkata,
"Kakak Wen...."
"Adik Yin, dengarkan dulu perkataanku!" sela Tong Wen Wen.
Gadis itu menutur tentang Tong Eng Kang yang selalu
memfitnah Ciok Giok Yin, setelah itu menambahkan.
"Adik Yin, pada waktu itu aku kurang berani membelamu. Aku
sungguh tidak bisa melakukan itu!"
Kegusaran Ciok Giok Yin langsung memuncak.
"Aku bersumpah harus membunuhnya!" katanya sengit.
Tong Wen Wen balas menggenggam tangannya erat-erat dan
berkata dengan perlahan-lahan.
"Adik Yin, pandanglah mukaku, maafkan dia...."
Mendadak Ciok Giok Yin meniup padam lampu yang ada di
atas meja. Badannya bergerak, ternyata sudah melesat ke luar
melalui jendela. Sampai di atap rumah, dia menengok ke sana
ke man, tapi tidak melihat apa pun. Tong Wen Wen sudah
menyusulnya.

"Ada orang?" katanya.
"Tadi sekilas aku melihat seperti ada sosok bayangan
berkelebat di luar jendela."
"Kalau ada orang, bagaimana mungkin sedemikian cepat
hilang?"
"Ini sulit dikatakan."
Mereka berdua meloncat turun kembali ke dalam penginapan.
Kini Ciok Giok Yin sudah tahu bagaimana perasaan dan isi hati
Tong Wen Wen. Maka begitu berada di dalam kamar, mereka
berdua langsung saling memandang. Di antara mereka berdua
tidak mau memecahkan suasana yang romantis itu. Wajah
mereka tampak berseri dan bibir mereka menyunggingkan
senyuman yang penuh diliputi cinta kasih.
Ciok Giok Yin sepertinya ingin..., namun di telinganya
mengiang suara bisikan.
"Badanmu tidak seperti orang biasa."
Itu membuatnya tersentak sadar, lalu berkata dengan ringan.
"Kakak Wen, kau harus segera beristirahat, sebab esok pagi
kita masih harus melakukan perjalanan."
Perkataannya juga membuat Tong Wen Wen tersentak sadar.
"Adik Yin, kau juga harus beristirahat," sahutnya perlahan.
Tong Wen Wen bangkit berdiri, menatap Ciok Giok Yin dengan
penuh rasa cinta. Setelah itu, barulah pergi ke kamarnya. Ciok
Giok Yin mengantarnya sampai di dalam kamarnya, kemudian
baru kembali ke kamar sendiri. Dia duduk di atas ranjang,
mulai menghimpun hawa murninya. Ini dilakukannya setiap
malam, bahkan juga sering melatih Hiat Ci Kang (Tenaga Jari
Darah).

Sang waktu terus berlalu. Tak terasa sudah larut malam,
sedangkan Ciok Giok Yin masih tetap duduk bersila di atas
ranjang. Sementara Tong Wen Wen yang sudah berada di
dalam kamarnya merasa amat lelah. Dia langsung berbaring di
ranjang sambil memikirkan Ciok Giok Yin. Bibirnya
menyunggingkan senyuman manis karena saking
gembiranya. Mulai sekarang dan selanjutnya dia akan selalu
berada di samping adik Yinnya, berkelana di dunia persilatan
mencari jejak musuh besarnya sekaligus mencari jejek Bwee
Han Ping. Itu merupakan urusan yang tidak gampang, namun
amat menyenangkan lantaran bersama Ciok Giok Yin.
Dia terus berpikir, sepertinya dirinya dan Ciok Giok Yin berada
di sebidang padang rumput. Dia merasa lelah, langsung
menjatuhkan diri di padang rumput itu. Ciok Giok Yin juga
berada di sampingnya. Mereka berdua memandang gumpalan
awan putih yang berterbangan terhembus angin. Tampak pula
ribuan bintang bergemerlapan di langit. Mendadak dia merasa
tangan Ciok Giok Yin mulai meraba-raba badannya. Mula-mula
rambutnya, kemudian merosot ke bawah meraba bagian
dadanya.
Bukan main gelinya! Akan tetapi justru merasa nikmat sekali.
Pertama kali dia merasakan itu, membuatnya merasa girang,
dan khawatir Ciok Giok Yin akan menarik kembali tangannya.
Perlahan-lahan jari tangan Ciok Giok Yin terus meraba ke sana
ke mari, kemudian meraba tempat terlarangnya, yaitu bagian
yang paling berharga bagi kaum wanita. Tentunya membuat
sekujur badan Tong Wen Wen gemetar, sebab merasa amat
nikmat sekali.
Dia ingin mencegah tangan Ciak Giok Yin yang usil itu, namun
merasa tak bertenaga. Tong Wen Wen merasa malu, namun
mulutnya mulai berdesah.
"Adik Yin, kau...."
Dia membuka matanya perlahan-lahan. Ternyata memang
Ciok Giok Yin berdiri di sampingnya, menatapnya sambil
tersenyum-senyum. Gadis itu merasa malu.
"Adik Yin...," panggilnya dengan suara rendah.

Sedangkan Ciok Giok Yin sama sekali tidak bersuara, cuma
tersenyum-senyum saja. Kemudian dia menjulurkan
tangannya, membuka pakaian Tong Wen Wen. Sepasang
payudara yang indah montok, mulai menampakkan diri, bukan
main mulusnya! Ciok Giok Yin menelan air liur dan cepat-cepat
melepaskan celana Tong Wen Wen. Sesungguhnya Tong Wen
Wen ingin menolak, tapi setelah berpikir sejenak, dia merasa
sama saja. Sebab cepat atau lambat, mereka berdua akan
menjadi suami istri. Karena itu, dia memejamkan matanya
menunggu... Terdengar suara 'Serrr'
Ternyata Ciok Giok Yin menanggalkan pakaiannya. Mendadak
Ciok Giok Yin meloncat ke atas ranjang. Namun ketika dia baru
menerkam tubuh gadis itu, sekonyong-konyong terdengar
suara bentakan sengit.
"Dasar sepasang anjing yang tak tahu malu!"
Kemudian tampak sesosok bayangan berkelebat memasuki
kamar itu. Itu sungguh mengejutkan Ciok Giok Yin! Dia
langsung menyambar pakaiannya, bergerak cepat laksana kilat
melesat pergi melalui jedela. Sosok bayangan itu langsung
melesat ke luar mengejarnya. Tong Wen Wen yang masih
terbaring di ranjang segera menarik selimut menutupi
badannya. Namun dia merasa heran, dan bertanya dalam hati.
'Siapa orang itu? Kok suaranya amat kukenali?' Segumpal api
yang penuh hawa nafsu langsung sirna seketika.
Dia cepat-cepat berpakaian, lalu duduk di pinggir ranjang
menunggu Ciok Giok Yin pulang. Tiba-tia teringat olehnya,
orang itu mengejar Ciok Giok Yin, mungkin mereka berdua
sudah bertarung di pinggir kota. Oleh karena itu dia bangkit
berdiri. Namun ketika dia baru mau melesat pergi, mendadak
dari atap rumah melayang turun seseorang, yang ternyata Ciok
Giok Yin.
Ketika Tong Wen Wen baru mau membuka mulut, Ciok Giok
Yin justru sudah maju, bahkan juga mengayunkan tangan
menamparnya.
Plak! Plak!

Mata Tong Wen Wen langsung berkunang-kunang dan kedua
belah pipinya membengkak merah.
"Kau tak tahu malu!" bentak Ciok Giok Yin sengit.
Sepasang matanya berapi-api menatap Tong Wen Wen, lalu
dia membentak lagi, "Tak kuduga kau juga sedemikian tak tahu
malu!"
Tong Wen Wen berdiri tertegun di tempat. Berselang sesaat,
dia mendadak tertawa sedih lalu berkata sengit.
"Ciok Giok Yin, kau... kau... kau adalah...." Nada bicaranya
berubah sedih, kemudian dia tak mampu melanjutkan.
"Tong Wen Wen! Nama baik keluarga Tong kalian telah
tercemar oleh kalian kakak beradik!" bentak Ciok Giok Yin
dingin. Usai membentak, mendadak dia melesat pergi tanpa
pamit. Perubahan yang mendadak ini sungguh membuat Tong
Wen Wen tidak habis pikir. Namun kemudian wajahnya
berubah menjadi penuh dendam kebencian, lalu dia bergumam
dengan perlahn-lahan.
"Ciok Giok Yin, kau telah menghina diriku! Kalau kau tidak
mati di tanganku, aku tidak mau jadi orang lagi! Kau... kau
adalah binatang!"
Kini hatinya telah remuk, sehingga air matanya
bercucuran. Dia berdiri tertegun. Beberapa saat kemudian
barulah dia melesat pergi melalui atap rumah. Keributan
mereka berdua telah membangunkan para tamu, tapi mereka
tidak berani keluar, hanya mengintip melalui celah
jendela. Setelah melihat kedua orang itu pergi, para tamu
menggeleng-gelengkan kepala, dan kembali ke tempat tidur
masing-masing: Sedangkan pemilik penginapan itu terusmenerus
mengomel. Ternyata Ciok Giok Yin dan Tong Wen
Wen belum membayar sewa kamar. Bagaimana Ciok Giok Yin
bisa muncul di kamar Tong Wen Wen? Ternyata setelah melatih
ilmu Jari Darah, dia teringat pada Tong Wen Wen, entah sudah
tidur atau belum? Karena itu dia langsung mengerahkan lwee
kangnya, mendengarkan dengan penuh perhatian. Terdengar

seperti suara rintihan dan desahan nafas. Semula dia mengira
suara dengkur Tong Wen Wen. Dia tersenyum, dan ketika baru
mau membaringkan dirinya, justru terdengar suara Tong Wen
Wen memanggilnya. Walaupun suara itu amat lirih, namun
terdengar amat jelas dalam telinga Ciok Giok Yin.
Tapi suara Sas Sus itu juga tidak berhenti, otomatis membuat
Ciok Giok Yin menjadi bercuriga. Dia langsung turun, membuka
daun pintu kamarnya perlahan-lahan, kemudian mendekati
kamar Tong Wen Wen dan mengintip ke dalam melalui
jendela. Begitu mengintip kegusarannya langsung
memuncak. Dia segera mendobrak daun jendela dan
menerjang ke dalam. Sedangkan orang yang berada di atas
ranjang juga bergerak cepat laksana kilat menyambar
pakaiannya, sekaligus melesat pergi. Ciok Giok Yin ingin tahu
siapa orang itu, maka mengejarnya. Akan tetapi orang itu
memiliki ilmu ginkang yang amat tinggi, sehingga Ciok Giok Yin
tidak dapat menyusulnya, bahkan kemudian kehilangan
jejaknya.
Dengan penuh kegusaran. Ciok Giok Yin kembali ke
penginapan.
Ketika dia tiba di penginapan kebetulan melihat Tong Wen
Wen sudah berkemas, siap meninggalkan penginapan itu.
Ternyata hal itu menimbulkan kesalah-pahaman di antara
mereka berdua. Ciok Giok Yin mengira bahwa Tong Wen Wen
akan pergi di saat dia tidak ada, lantara merasa tidak enak
terhadapnya. Mereka berdua adalah teman sejak kecil. Lagi
pula sebelum Tong Wen Wen kembali ke kamarnya, mereka
berdua sudah berbicara dari hati ke hati. Karena itu, Ciok Giok
Yin mengambil keputusan, selanjutnya dia harus melindungi
Tong Wen Wen, sebab gadis itu sudah tiada tempat tinggal dan
yatim piatu pula.
Maka tidak mengherankan kalau ketika menyaksikan
pemandangan itu, kegusaran Ciok Giok Yin memuncak tak
terkendalikan, sehingga mencaci dan menamparnya. Setelah
itu dia langsung melesat pergi. Kegusarannya telah menutupi
kesadarannya. Dia terus berpikir bahwa Tong Wen Wen
sungguh merupakan gadis yang tak tahu malu, sama sekali
tidak berpikir hal-hal yang mencurigakan. Mendadak Ciok Giok

Yin tertawa seperti orang gila. Dia ingin cepat-cepat
meninggalkan Tong Wen Wen yang dianggapnya tak tahu
malu. Dia terus melesat pergi. Angin malam menerpa
wajahnya, sehingga membuatnya agak tenang. Tiba-tiba dia
berhenti lalu menarik nafas dalam-dalam seraya bergumam.
"Sejak meninggalkan suhu, hingga saat ini masih belum
menyelesaikan satu urusan pun. Mengapa aku harus
memusingkan gadis yang tak tahu malu itu?"
Seusai bergumam, hatinya terasa agak lega. Dia
menengadahkan kepala memandang ke langit, ternyata sudah
subuh. Saat ini hatinya sudah bertambah tenang. Dia
menunggu datangnya pagi untuk berangkat ke Kuil Thay San
Si, melihat Fang Jauw Cang sudah berada di tempat itu atau
belum. Meskipun belum sampai waktu yang dijanjikan, tapi dia
berharap Fang Jauw Cang sudah berada di Kuil itu. Ketika dia
baru mau duduk, mendadak hatinya terasa tersentak.
"Celaka!" serunya.
Sekujur badannya langsung berkeringat dingin dan seketika
itu juga dia melesat ke dalam kota menuju penginapan itu. Di
saat melesat menuju penginapan itu, mata Ciok Giok Yin
bersimbah air dan mulutnya terus bergumam.
"Aku telah salah paham terhadap Kakak Wen, aku telah salah
paham terhadapnya...."
Ternyata Ciok Giok Yin ingat, dia mendengar suara Tong Wen
Wen memanggil 'Adik Yin'
Itu membuatnya teringat akan kejadian di Gunung Cong Lam
San, ada orang berwajah menyerupainya membunuh Can Hai It
Kiam. Apakah benar ada seseorang yang menyamar sebagai
dirinya? Siapakah orang itu? Kalau begitu orang yang ingin
berbuat yang bukan-bukan terhadap Tong Wen Wen, bukankah
orang yang menyamar sebagai dirinya? Kalau tidak, bagaimana
mungkin Tong Wen Wen memanggil orang itu 'Adik Yin?'
Bukan main menyesalnya Ciok Giok Yin! Mengapa ketika itu

dirinya tidak memikirkan tentang itu, tapi malah mencaci dan
menampar Tong Wen Wen? Kesalah pahaman itu sungguh
besar sekali! Dia mengambil keputusan harus berlutut di
hadapan Tong Wen Wen untuk menyatakan maaf padanya. Tak
lama kemudian dia sudah tiba di penginapan itu. Dengan hati
tercekam rasa bersalah, dia berjalan ke kamar itu perlahanlahan.
Akan tetapi kamar itu telah kosong, tidak tampak Tong
Wen Wen di sana.
Oleh karena itu, dia langsung berlari ke luar seraya berseruseru,
"Kakak Wen! Kakak Wen...!"
Dia terus belari sambil berseru-seru.
"Kakak Wen! Kau telah ditipu orang, itu bukan aku...!"
Suaranya mulai serak dan bernada sedih. Mendadak tampak
seseorang berdiri di balik sebuah batu besar. Mendengar suara
seruan Ciok Giok Yin itu, orang tersebut mengerutkan kening,
lalu bertanya dalam hati. 'Kalau bukan Adik Yin, lalu siapa
orang itu?' Tiba-tiba dia teringat akan cerita Ciok Giok Yin
tentang kejadian di Gunung Cong Lam San. Apakah benar ada
orang menyamar sebagai dirinya? Itu sungguh
menakutkan! Bukankah orang itu akan menimbulkan banyak
musuh bagi Ciok Giok Yin, bahkan nama Ciok Giok Yin pun
akan menjadi rusak karenanya?
Siapa orang itu? Ternyata Tong Wen Wen. Dia berkata dalam
hati. 'Kini aku sudah tahu tentang itu, seharusnya aku
membantunya memecahkan persoalan tersebut.' Namun dia
merupakan gadis lemah, lagi pula kepandaiannya belum begitu
tinggi. Lalu bagaimana cara untuk membantu Ciok Giok Yin?
Gadis itu ingin memunculkan diri lalu memeluk Ciok Giok Yin
sambil menangis tersedu-sedu. Akan tetapi, dia justru merasa
malu akan kejadian itu. Maka dia menahan diri untuk tetap
diam di balik batu besar itu. Sementara suara seruan Ciok Giok
Yin semakin menjauh, akhirnya tak terdengar sama sekali.
Barulah Tong Wen Wen melesat pergi ke arah yang
berlawanan dengan arah yang dituju Ciok Giok Yin. Sedangkan
Ciok Giok Yin masih terus berseru dan tak henti-hentinya

berlari. Tak lama kemudian sampai di tempat yang banyak
batu curam, tentunya amat berbahaya sekali.
"Kakak Wen! Kakak Wen...!"
Ciok Giok Yin masih terus berseru. Mendadak dia melihat
sosok bayangan hijau berkelebat. Hatinya tergerak dan dia
segera berseru lagi.
"Kakak Wen! Kakak Wen!"
Ciok Giok Yin menduga, mungkin Tong Wen Wen telah
berganti pakaian warna hijau, dia tidak mau menyahut, karena
amat marah padanya. Karena itu, dia langsung mengerahkan
ginkang mengejarnya. Berselang sesaat, dia melihat sebuah
goa yang amat besar di hadapannya. Ciok Giok Yin merasa
girang dan kemudian berkata dalam hati. 'Asal kau
bersembunyi di dalam goa itu, tentu tidak sulit bagiku
mencarimu.' Dia mendongakkan kepala. Ternyata di dinding
goa itu terdapat tulisan 'Mie Tong' (Goa Sesat).
"Peduli amat goa apa!" katanya.
Dia berjalan memasuki goa tersebut. Tampak dua sosok
bayangan mengikutinya dari belakang. Dua sosok bayangan itu
adalah Thian It Ceng dari Siauw Lim Pay dan Hwa Yang Totiang
dari Gobi Pay. Ternyata kedua orang tersebut sejak tadi terus
mengikuti Ciok Giok Yin. Mereka berdua ingin tahu apa yang
akan dilakukan Ciok Giok Yin, setelah itu barulah
mengumpulkan para kaum rimba persilatan untuk
menangkapnya. Bagaimana Thian It Ceng dan Hwa Yang
Totiang bisa mengutit Ciok Giok Yin? Ternyata ketika mereka
berdua sedang beristirahat di bawah sebuah pohon besar,
mendengar suara seruannya yang terus menerus memanggil
'Kakak Wen'
Karena itu mereka berdua segera menguntitnya. Begitu
melihat Ciok Giok Yin memasuki goa tersebut, mereka berdua
pun tidak ketinggalan, langsung mengikutinya dari
belakang. Mengenai kepandaian Thian It Ceng dan Hwa Yang
Totiang, boleh dikatakan amat tinggi, lagi pula mereka tokoh

penting di Siauw Lim Pay dan di Gobi Pay, ilmu kepandaiannya
hanya sedikit di bawah ketua masing-masing. Karena itu,
apabila ada suatu urusan di dunia persilatan, cukup mereka
yang berdua tampil. Sementara Ciok Giok Yin yang telah
memasuki goa, terus melesat ke dalam.
Lorong goa itu amat panjang, kira-kira empat puluh
depa. Setelah Ciok Giok Yin melewati sebuah tikungan terakhir,
tampak tiga jalan di hadapannya. Ciok Giok Yin tidak tahu
harus menempuh jalan mana. Dia berdiri termangu-mangu,
sesaat kemudian barulah meneruskan langkahnya menempuh
jalan yang di tengah. "Kakak Wen! Kakak Wen...!"
serunya. Suara seruannya bergema di dalam goa. Dia terus
berjalan, dan tiba-tiba melihat sosok bayangan hijau
berkelebat lalu menghilang. Dia tidak menghiraukan apa pun,
langsung menerjang ke arah bayangan itu. Akan tetapi sampai
di sana tidak melihat apa pun.
Dalam waktu bersamaan tampak asap putih ke luar dari
empat penjuru. Saking tebalnya asap putih itu, membuat Ciok
Giok Yin tidak dapat melihat apa-apa. Tentu saja dia menyedot
asap putih itu. Hatinya tersentak karena asap putih itu berbau
aneh. Kemudian dia berseru dalam hati 'Asap beracun!' Dia
gugup sebab amat mencemaskan Tong Wen Wen.
"Kakak Wen, cepat keluar! Goa ini tidak beres!" serunya
lantang.
Meskipun dia pernah makan buah Toan Teng Ko sehingga
kebal terhadap racun apa pun, namun dia tetap menahan
nafasnya, kemudian berjalan ke depan. Sementara asap putih
beracun itu terus menerobos ke luar dari empat penjuru,
kelihatannya tiada habisnya. Sejak memasuki goa itu, Ciok
Giok Yin tidak melihat seorang pun. Setelah berjalan belasan
langkah, dia berseru lagi, "Kakak Wen! Apakah kau tidak
bersedia memaafkanku?" Walau dia berseru berulang kali,
namun tetap tiada sahutan. Ciok Giok Yin putus asa, sebaliknya
malah mengambil keputusan, biar bagaimanapun harus
mencari Tong Wen Wen sampai ketemu.
Dia sangat mengkhawatirkan Tong Wen Wen sebab sungguh

berbahaya seorang gadis berkecimpung di dunia
persilatan. Buktinya kejadian semalam. Bukankah kejadian itu
amat membahayakan diri Tong Wen Wen?
Oleh karena itu hati Ciok Giok Yin semakin gugup dan cemas.
Dia ingin mencari suatu tempat yang aman mencari Tong Wen
Wen. Dia yakin di dalam goa tersebut pasti ada penghuninya,
sebab kalau tidak, bagaimana mungkin ada asap putih
beracun?
Jangan-jangan penghuni goa itu, telah.... Ciok Giok Yin tidak
berani memikirkan itu, melainkan berseru lantang.
"Aku memasuki goa ini mencari seorang kakak, sama sekali
tidak berniat jahat! Kalau Anda melihat kakakku, mohon beri
petunjuk! Kalau tidak, aku pun bukan orang yang takut
urusan!"
Seusai Ciok Giok Yin berseru lantang, terdengar pula suara
dengusan dingin.
"Hmmm!"
Hati Ciok Giok Yin tersentak. Kini dia bertambah yakin bahwa
di dalam goa ini ada orang lain, yang berniat tidak
baik. Sementara asap putih beracun itu semakin tebal,
sehingga Ciok Giok Yin tidak dapat melihat jalan di dalam goa
itu. Walau mata Ciok Giok Yin amat tajam, namun tetap tidak
bisa menembus asap putih beracun itu, kecuali dia telah
mencapai tingkat Thian Gan Thong (Mata Tembus
Langit). Mendadak dia mendengar suara dengusan dingin di
sampingnya. Karena itu dia bergerak cepat membalikkan
badannya. Dilihatnya sesosok bayangan hijau, mencelat ke
belakang. Ciok Giok Yin tidak berlaku ayal lagi, langsung
bergerak cepat menyambar ke depan. Dia tidak melihat jelas
wajah orang itu. Namun dalam hatinya yakin bahwa orang itu
adalah Tong Wen Wen. Maka dia langsung berseru.
"Kakak Wen, aku telah bersalah padamu...!" Terdengar suara
sahutan lemah,
"Cepat papah aku... meninggalkan goa ini!"

Suara itu membuat Ciok Giok Yin merasa ada sesuatu gelagat
tidak baik. Maka, dia langsung menegasi orang tersebut.
"Hah? Kau?" serunya kaget.
Ternyata gadis berbaju biru yang tempo hari ditolongnya
ketika dikeroyok oleh enam orang tosu Gobi Pay, namun malah
menimbulkan kerepotan bagi dirinya. Ciok Giok Yin merasa
serba salah, harus memapahnya ke luar ataukah.... Namun
nafas gadis itu tampak memburu, pertanda menderita luka
dalam yang amat parah. Ciok Giok Yin berdiri termangumangu.
Gadis baju hijau itu, kelihatannya seperti tahu akan
apa yang sedang dipikirkan Ciok Giok Yin.
"Memang aku. Kita tidak leluasa berbicara di tempat ini.
Cepat papah aku ke luar! Di sana kita berbicara," katanya
dengan lemah.
Dia berhenti sejenak, kemudian melanjutkan, "Kau tidak takut
asap putih beracun?"
"Ya."
"Bagus! Aku sudah menelan obat penawar racun, maka bisa
bertahan sesaat. Mari kita cepat pergi!"
Ciok Giok Yin melihat gadis itu amat gugup dan panik, maka
segera memapahnya ke luar. Akan tetapi gadis itu kelihatan
sudah tidak kuat berjalan.
"Aku... aku... sudah... tidak... tahan...," katanya tersendatsenndat.
"Lalu bagaimana?"
"Mumpung... aku... aku masih punya nafas, aku... akan
memberi... petunjuk agar kau... bisa keluar..... Kalau tidak...
seumur hidup... kau... tidak... akan... bisa... keluar...."
Hati Ciok Giok Yin tergetar. Kemudian tanpa peduli lagi

tentang tata krama antara lelaki dengan wanita, dia langsung
memeluk gadis itu erat-erat. Gadis itu terharu.
"Cepat membelok kiri..." katanya.
Ciok Giok Yin cepat-cepat membelok ke kiri, mengikuti
petunjuk gadis itu. Akan tetapi baru berjalan beberapa
langkah, mendadak terdengar suara yang amat memekakkan
telinga.
Blam!
Ternyata sebuah pintu besi telah menghalangi mereka
berdua.
Bukan main terkejutnya gadis itu! Dia cepat-cepat menarik
nafas dalam-dalam lalu berkata, "Cepat ambil jalan tengah...."
Ciok Giok Yin bergerak cepat menerjang ke tengah. Namun
jalan itu amat sempit, maka dia terpaksa menggendong gadis
itu. Setelah berjalan kira-kira dua tiga depa, mendadak
terdengar lagi suara yang sama.
Blam!
Sebuah pintu besi menutupi jalan itu. Ciok Giok Yin yang
menggendong gadis itu, merasakan jantung gadis itu berdetak
lebih cepat, pertanda gadis itu amat tegang.
"Aku ketakutan setengah mati. Kalau terlambat, kita berdua
pasti tertutup di dalam," kata gadis itu perlahan. Gadis itu
mulai memberi petunjuk pada Ciok Giok Yin, harus menikung di
mana dan membelok ke mana. Namun nafas gadis itu semakin
lemah, dan sudah barang itu suaranya juga menjadi lemah.
Maka Ciok Giok Yin harus menempelkan telinganya ke bibir
gadis itu. Berselang sesaat, asap putih beracun itu mulai
menipis. Di saat bersamaan, tampak sesosok bayangan duduk
di hadapan mereka.
Setelah mendekati bayangan itu, Ciok Giok Yin berseru tak
tertahan.

"Thian It Ceng!"
Hweshio Siauw Lim Si itu duduk bersila tak bergerak,
kelihatan seperti sebuah patung. Ciok Giok Yin merasa serba
salah. Sebab dia sedang menggendong gadis itu, yang dalam
keadaan luka parah, sudah pasti tidak dapat menolong hweshio
tua itu. Ciok Giok Yin berpikir keras, akhirnya dia mengambil
keputusan, setelah membawa gadis itu ke luar, barulah
kembali ke sana untuk menolong hweshio tua tersebut. Oleh
karena itu, dia mempercepat langkahnya. Setelah menikung
beberapa kali, terlihat seorang tosu tua duduk di depan,
sedang menghimpun hawa murninya untuk menolak
racun. Tosu tua itu adalah Hwa Yang Totiang. Ciok Giok Yin
tidak habis pikir, mengapa kedua orang itu terkurung di dalam
goa tersebut? Ketika itu dia pun teringat akan dirinya sendiri,
kalau tidak makan buah Toan Teng Ko, tentu dirinya juga akan
sama seperti mereka.
Maka Ciok Giok Yin mempercepat langkahnya lagi, agar bisa
segera meninggalkan goa itu. Tiba-tiba gadis berbaju hijau itu
menarik nafas panjang, seperti balon yang
dikempiskan. Terdengar suara nafasnya yang amat lemah. Hati
Ciok Giok Yin tersentak dan kemudian dia membatin.
'Sebetulnya siapa gadis ini? Bagaimana dia bisa bergabung
dengan perkumpulan Sang Yen Hwee? Apakah dia adalah istri
Bun It Coan? Kalau benar dia, aku akan mencincangnya untuk
menuntut balas dendam saudara angkatku!'
Namun kemudian dia berpikir lagi, tidak masuk akal
dugaannya itu. Sebab wajah gadis itu sangat anggun, tidak
seperti wanita jalang.
Mendadak Ciok Giok Yin teringat akan sesuatu. "Apakah dia
adalah Hui Hui?"
Kini Ciok Giok Yin yakin bahwa gadis berbaju hijau itu adalah
Hui Hui. Akan tetapi itu pun tidak masuk akal. Sebab kalau
benar gadis berbaju hijau itu adalah Hui Hui, bagaimana dia ke
tempat ini? Ini adalah Goa Sesat, mengapa dia ke mari? Ciok
Giok Yin terus berpikir, tapi sama sekali tidak menemukan
jawabannya. Kecuali gadis berbaju hijau ini siuman, barulah
bisa mengungkap teka teki ini. Karena itu, Ciok Giok Yin segera

melesat ke luar.
Kini mereka sudah berada di luar Goa Sesat. Ciok Giok Yin
menundukkan kepala memandang gadis itu. Tampak sepasang
matanya tertutup rapat, wajah agak kehijau-hijuan, pertanda
dia menderita luka dalam yang amat parah. Ketika Ciok Giok
Yin mau membawa gadis berbaju hijau itu ke suatu tempat sepi
untuk mengobatinya, mendadak terdengar suara tawa dingin di
belakangnya. Ciok Giok Yin menolehkan kepalanya ke
belakang. Ternyata Bu Lim Sam Siu telah berdiri di
belakangnya. Kemudian tiga orang itu mengepungnya dan
salah seorang dari mereka berkata, "Tak disangka kita akan
bertemu di sini!"
Sepasang mata Ciok Giok Yin langsung merah membara dan
dia membentak sengit.
"Ternyata kalian bertiga! Aku akan mengadu nyawa dengan
kalian!"
Namun dia masih menggendong gadis berbaju hijau itu,
membuatnya tidak bisa turun tangan menyerang Bu Lim Sam
Siu.
Karena itu, dia segera menaruh gadis itu ke bawah. Ternyata
dia teringat akan pesan Tiong Ciu Sin Ie. 'Terhadap seseorang
yang terluka parah, baik dia wanita maupun lelaki, musuh atau
kawan dan dalam situasi apa pun, kau harus bertanggung
jawab sebagai seorang tabib! Mengobatinya sekaligus
melindunginya agar dia bisa lekas pulih!' Namun keadaan saat
ini amat mendesak, mau tidak mau Ciok Giok Yin harus
menaruh gadis itu ke bawah.
Sementara Bu Lim Sam Siu tertawa licik. Kemudian dengan
mata menyorot bengis mereka bertiga melangkah
maju. Mendadak Sangkoan Yun San tertawa dingin dan
kemudian berkata sepatah demi sepatah,
"Bocah, kalau saat ini kau mampus, justru tidak akan
kesepian lho!"

Menyusul Cu Cing Khuang dan Kwee Sih Cun juga tertawa
dingin.
"He he he he...!"
Sungguh menyeramkan suara tawa mereka bertiga! Siapa
yang mendengar suara tawa itu pasti akan merinding. Ciok
Giok Yin tahu, kalau tiada gadis berbaju hijau itu, dia seorang
diri menghadapi Bu Lim Sam Siu, walau tidak bisa menang,
namun juga tidak akan kalah. Akan tetapi kini dia justru ada
halangan, sebab dia harus melindungi gadis
tersebut. Sedangkan Bu Lim Sam Siu amat membenci Ciok
Giok Yin. Itu dikarenakan mereka bertiga memperoleh peta Si
Kauw Hap Liok Tou palsu di Goa Toan Teng Tong. Kemudian
mereka bertiga mendengar khabar tentang kemuncuan Ciok
Giok Yin di dunia persilatan, maka segera menerima seorang
murid wanita yang cantik manis, untuk memikat Ciok Giok Yin
agar bisa mencuri peta tersebut.
Namun tak disangka, begitu bertemu Ciok Giok Yin, murid
wanita mereka yang bernama Ceng Siauw Yun itu, malah
tertarik hatinya. Seandainya Ciok Giok Yin merupakan pemuda
yang buruk rupa, pasti mereka bertiga akan memperoleh peta
tersebut dengan gampang sekali. Cen Siauw Yun memang
berhasil mencuri peta itu, namun gadis itu justru menyuruh
Ciok Giok Yin pergi ke Goa Cian Hud Tong duluan, untuk
mengambil benda pusaka di dalam goa tersebut. Ternyata tidak
mengecewakan gadis itu, sebab akhirnya Ciok Giok Yin
memperoleh benda pusaka yang dimaksud.
Tentunya membuat Bu Lim Sam Siu amat gusar, maka
mereka bertiga memusnahkan ilmu silat Cen Siauw
Yun. Untung setelah itu Cen Siauw Yun menemukan sesuatu.
Tentang itu akan diceritakan nanti. Saking bencinya Bu Lim
Sam Siu terhadap Ciok Giok Yin, maka ketika melihatnya,
mereka bertiga berniat membunuhnya. Karena itu, seusai
tertawa dingin, mereka bertiga langsung menyerang Ciok Giok
Yin secara serentak. Ciok Giok Yin tidak menangkis, melainkan
berkelit. Namun di saat Ciok Giok Yin berkelit, Sangkoan Yun
San justru mendekati gadis berbaju hijau yang masih dalam

keadaan pingsan. Ternyata Sangkoan Yun San ingin turun
tangan jahat terhadap gadis tersebut.
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Silat Online : Seruling Perak Sepasang Walet 2 dan anda bisa menemukan artikel Cerita Silat Online : Seruling Perak Sepasang Walet 2 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cerita-silat-online-seruling-perak_17.html?m=0,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Silat Online : Seruling Perak Sepasang Walet 2 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Silat Online : Seruling Perak Sepasang Walet 2 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Silat Online : Seruling Perak Sepasang Walet 2 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cerita-silat-online-seruling-perak_17.html?m=0. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar