Cerita Silat Lama : BuTong It Kiam 3

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Kamis, 22 Desember 2011

Cerita Silat Lama : BuTong It Kiam 3

"Anak Leng, hatimu kelewat baik, di kemudian hari hidupmu pasti
bahagia. Siapa tahu juga segala peristiwa pembunuhan yang
kukatakan tadi, belum tentu akan kau jumpai sepanjang hidup.”
"Moga-moga saja begitu,” Lan Sui-leng menghembuskan napas
lega.
"Cuma,” Seebun-hujin menambahkan, "kaupun harus baik-baik
berlatih silat agar bisa digunakan bilamana perlu. Aah betul, bicara
soal ilmu silat, rasanya aku belum pernah melihat kau berlatih
kembali ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat mu?"
"Beberapa jurus yang kupahami adalah hasil pelajaran dari
adikku, sama sekali tidak berguna bila digunakan dalam
pertarungan, karena itu aku tidak melatihnya.”
"Ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat merupakan kumpulan dari inti
sari ilmu silat aliran Bu-tong, ada baiknya juga bila kau mengerti
satu dua. Sudah hampir tiga bulan lamanya kau berlatih kungfu


disini dan besok akan pergi. Sebelum kau turun gunung, aku ingin
mengajarkan sebuah jurus yang terakhir untukmu.”
Diambilnya sebatang pedang dari tangan putrinya, kemudian
serunya, "Perhatikan baik-baik!"
Seebun-hujin segera memainkan sebuah jurus pedang, jurus
pedang yang membuat Lan Sui-leng tertegun, keheranan dan berdiri
melongo.
Ternyata jurus pedang itu tidak lain adalah jurus Pek-hok-liangci,
salah satu jurus andalan dari Thay-kek-kiam-hoat, bahkan
perempuan tua itu dapat memainkannya persis seperti permainan
Bouw It-yu, hanya saja "hasrat pedang" yang terkandung jauh lebih
matang dan kuat ketimbang Bouw It-yu.
Pertama-tama Seebun-hujin menggunakan gerakan normal untuk
memainkan jurus itu, kemudian mengulang sekali lagi dengan
gerakan yang diperlambat, yang mana membuat Lan Sui-leng dapat
mengikuti jauh lebih jelas.
Sambil berseru tertahan Lan Sui-leng segera bergumam, "Gibo,
ternyata kaupun mengerti ilmu pedang aliran Bu-tong?"
Seebun-hujin hanya tersenyum tanpa menjawab.
Seebun Yan yang berada di sampingnya segera menimpali,
"Bukankah ibuku sudah berkenalan dengan Bouw Ciong-long sejak
tiga puluh tahunan berselang. Apa anehnya bila dia pernah melihat
Bouw Ciong-long memainkan jurus pedang Bu-tong-pay?"
Seebun-hujin sama sekali tidak menyangkal, tampaknya dia
setuju dengan perkataan putrinya itu.
Lan Sui-leng benar-benar merasa amat kagum, pikirnya,
"Keluarga mereka betul-betul amat cerdas, Tonghong Toako
mempunyai kemampuan mengingat apa yang pernah dilihat,
sementara gibo mampu memainkan jurus pedang yang pernah
dilihatnya tiga puluh tahun berselang dengan begitu bagus!"
Tanpa terasa satu kecurigaan pun timbul, tanpa sadar ujarnya,


"Gibo, aku pernah melihat Tonghong Toako menggunakan juga
jurus itu, kenapa gerakannya beda jauh dengan gerakanmu?"
"Kau sangka jurus Bangau putih pentang sayap yang dia miliki
adalah hasil ajaranku?"
Sebenarnya Lan Sui-leng sangat berharap apa yang
dipertanyakan merupakan sebuah kenyataan, dengan begitu dia
dapat menyangkal tuduhan Bouw It-yu yang mengatakan kalau
Tonghong Liang mencuri belajar dari adiknya.
Maka begitu selesai mendengar sanggahan dari Seebun-hujin, dia
jadi amat kecewa.
Kembali Seebun-hujin berkata, "Akupun tidak tahu darimana dia
mempelajarinya, tapi kalau kuanalisa dari perkataanmu di hari
pertama tiba disini, rasanya jurus yang dia gunakan jauh lebih hebat
ketimbang Bouw It-yu, bukan begitu?"
"Benar,” sahut Seebun Yan cepat, "dengan jurus serangan itulah
Piauko berhasil mengalahkan Bouw It-yu. Aku masih ingat, saat
itupun aku pernah berkata kepadamu, tapi kau tidak percaya, kau
bilang Bouw It-yu pasti sengaja mengalah kepada Piauko.”
"Anak Leng, dapatkah kau memperagakan ulang jurus Bangau
putih pentang sayap yang digunakan Tonghong Liang waktu itu?"
"Aku tidak dapat menirukan semua perubahan gerakan yang dia
lakukan, yang aku pahami hanya garis besarnya saja.”
Selesai mendengar penuturannya itu Seebun-hujin nampak
sedikit sangsi, katanya kemudian.”
"Emm, rasanya sudah diselipi daya cipta dia sendiri. Tapi aku
rasa belum tentu lebih hebat daripada jurus yang digunakan Bouw
It-yu.”
Tiba-tiba Seebun Yan teringat kalau jurus yang digunakan ibunya
sekarang berasal dari Bouw Ciong-long, ini berarti sama persis
dengan jurus yang digunakan Bouw It-yu, itu berarti dia tidak boleh
memandang terlalu rendah atas kemampuan Bouw It-yu dalam ilmu


pedangnya, maka segera ujarnya, "Ibu, mungkin saja latihan Bouw
It-yu belum mencapai tingkat kesempurnaan sehingga dia berhasil
dikalahkan Piauko.”
"Dalam permainan jurus tadi, dalam bagian bagian yang rawan
telah kububuhi dengan sedikit perubahan, anak Leng, sekarang
perhatikan penjelasanku dengan seksama.”
Bukan saja dia menguraikan setiap perubahan dalam ilmu
pedang itu dengan teliti, bahkan dijelaskan juga bagaimana
menggunakan jurus itu disertai tenaga dalam aliran Bu-tong.
Kemudian atas dasar kemampuan yang dimiliki Lan Sui-leng
sekarang, dia pun memberikan petunjuk yang tepat untuk
memperbaiki kesalahan yang dimilikinya.
Setelah mengajarkan beberapa saat, mendadak Seebun-hujin
bertanya lagi, "Anak Leng, sesudah berkunjung ke kuil Siau-lim,
apakah kau masih akan kembali ke gunung Bu-tong?"
"Aku tidak tahu, setelah bertemu adikku mungkin aku baru
mengambil keputusan.”
"Aku dengar pihak Bu-tong-pay akan menyelenggarakan upacara
penguburan bagi Bu-siang Cinjin, waktu sudah ditetapkan, kalau
tidak salah akan diselenggarakan pada bulan 8 tanggal dua puluh
tujuh.”
Sewaktu Lan Sui-leng meninggalkan gunung Bu-tong, hari
penguburan untuk Bu-siang Cinjin belum lagi ditentukan, dia jadi
sedikit keheranan, tanyanya, "Gibo, darimana kau bisa tahu?"
"Pihak Bu-tong-pay telah mengirimkan selebaran ke seluruh
partai dalam dunia persilatan, hampir setiap orang di kolong langit
telah mendengarnya.”
Biarpun sudah dijawab namun Lan Sui-leng tetap merasa sangsi
dan tidak habis mengerti, pikirnya, "Selebaran itu tidak pernah
dikirim kemari, sedang orang luar yang berkunjung pun selain Liok
Ki-seng, dalam beberapa bulan terakhir tidak seorang pun yang
datang berkunjung, lalu siapa yang memberitahukan hal ini kepada


gibo?"
Belum habis ingatan tersebut melintas, Seebun-hujin telah
mengalihkan pokok pembicaraan, sehingga diapun merasa tidak
leluasa untuk bertanya lebih lanjut.
Terdengar Seebun-hujin berkata lagi, “Masih ada lima puluh
harian, masih sempat bila kau hendak pulang ke rumah. Adikmu
adalah cucu murid kesayangan Bu-siang Cinjin, jadi menurut
dugaanku seharusnya dia pun ikut pulang?"
"Masalahnya tidak jelas apakah adikku masih berada di kuil Siaulim
atau mungkin sudah pergi ke tempat lain. Menurut apa yang
kuketahui, dia turun gunung karena mendapat perintah dari
Sucouw, tapi aku tidak tahu selain menitahkan dia pergi menjumpai
hwesio-hwesio di kuil Siau-lim, apakah Sucouw masih perintahkan
dia untuk melaksanakan tugas lain?"
"Sekalipun tidak berhasil menjumpai adikmu, tentu nya kau tetap
akan pulang ke Bu-tong bukan?" desak Seebun-hujin, jelas diapun
berharap Lan Sui-leng bisa pulang ke gunung Bu-tong.
"Ibu," sela Seebun Yan tiba-tiba, "menurutku, lebih baik adik
Leng tidak usah kembali ke gunung Bu-tong, aku merasa berat hati
untuk berpisah dengannya.”
"Anak bodoh!" seru Seebun-hujin sambil tertawa, "memangnya
dia tidak bakalan balik lagi? Lagipula orang tuanya tinggal di gunung
Bu-tong, paling tidak seharusnya dia harus pulang untuk tengok
keluarga.”
Walaupun dalam hati kecilnya Lan Sui-leng tidak berharap
adiknya kembali ke Bu-tong, namun setelah menyinggung tentang
dirinya, mau tidak mau tergerak juga hatinya sesudah mendengar
ucapan Seebun-hujin.
Benar juga. Dia sudah tiga bulanan meninggalkan rumah, tentu
saja dia tidak bisa membendung rasa rindunya dengan ayah dan
ibunya.
Maka seraya mengangguk sahutnya, "Terima kasih banyak atas


perhatian gibo, aku akan pulang juga ke rumah.”
"Bagus, kalau begitu tolong bantu aku lakukan satu pekerjaan.”
"Silahkan gibo memberi perintah, khawatirnya dengan
kemampuanku yang cetek, aku tidak sanggup melakukan pekerjaan
apa-apa untuk gibo?"
Seebun-hujin tertawa.
"Kalau tahu kau tidak sanggup, tentu saja tidak bakal kusuruh
kau untuk melakukannya.”
Bicara sampai disitu diapun berpaling, kepada putrinya ia
berpesan, "Cincin yang kuberikan kepadamu sebagai tanda
pengenal tidak perlu kau serahkan kepada Hwee-ko Thaysu, cukup
diperlihatkan saja.”
"Ibu, putrimu tidak bakal sebodoh itu,” sahut Seebun Yan sambil
tertawa, "tentu saja aku tahu kalau cincin ini hanya sebagai tanda
bukti kalau aku adalah putrimu, mana mungkin akan kuberikan
cincin yang begini berharga kepada seorang hwesio juru masak?"
Kembali Seebun-hujin tersenyum.
"Aku menyuruhmu minta balik bukan karena cincin itu sangat
berharga, melainkan karena benda itu harus kau serahkan kepada
adikmu.”
"Buat apa diberikan kepadaku?" tanya Lan Sui-leng tercengang.
"Tentu saja sebagai tanda pengenal.”
"Gibo minta aku bertemu dengan siapa?"
"Bertemu Ciangbunjin kalian yang baru.”
Kontan Lan Sui-leng tertawa. "Padahal aku sedang berpikir,
sekembali ke gunung Bu-tong nanti perlukah aku melapor kepada
Ciangbunjin? Menurut aturan, seharusnya aku memberi laporan
pada ketua, mengingat posisiku hanya sebagai murid tidak resmi,
kemungkinan besar tidak berhak bertemu Ciangbunjin. Tapi dengan
adanya perintah dari gibo, aku bisa mohon bertemu secara resmi.”


"Tapi kau jangan menyebut namaku lebih dulu, pesan yang
kuserahkan kepadamu baru disampaikan setelah berjumpa
dengannya.”
"Aku mengerti.”
"Kau bisa beritahu kepadanya, selama beberapa bulan terakhir
kau berada disini bahkan sudah mengakui aku sebagai ibu
angkatmu, setelah melihat cincin ini, dia pasti tidak akan mencurigai
perkataanmu. Ehmm, bila dia bertanya apa saja yang kau lakukan
selama berada ditempatku ini, kau boleh tunjukkan jurus Bangau
putih pentang sayap yang kuajarkan kepadamu itu di hadapannya.”
"Kemudian?" tanya Lan Sui-leng yang menduga masih ada kata
kata yang belum selesai disampaikan.
"Kemudian sampaikan pesanku kepadanya. Pertama, sampaikan
selamat karena dia menjadi Ciangbunjin baru dari Bu-tong-pay. Ke
dua, katakan kepadanya aku ingin berjumpa dengan putranya. Dia
baru saja menjabat sebagai Ciangbunjin, jadi aku tidak berani minta
dia yang menemani putranya berkunjung kemari, katakan saja
suruh Bouw It-yu datang bersamamu.”
Merah selembar wajah Lan Sui-leng, katanya, "Aku ingin pulang
selama beberapa hari, belum tentu bisa datang kemari bersama
Siau-susiok.”
"Ibu,” kata Seebun Yan pula sambil tertawa, "kelihatannya kau
terburu-buru ingin melihat menantu angkat sampai tidak bisa
menahan diri. Adikku, ibu telah mencarikan pasangan ideal
untukmu, jangan kau lewatkan kesempatan baik ini.”
Darimana dia bisa tahu kalau tujuan ibunya ingin berjumpa Bouw
It-yu bukan lantaran Lan Sui-leng saja.
Sambil tersenyum Seebun-hujin menyahut, "Anak Yan, coba lihat
adikmu sudah tersipu-sipu, lebih baik gurauanmu berhenti sampai
disini saja. Tapi bicara sejujurnya, sebagai seorang jago yang
berkelana dalam dunia persilatan, anak Leng jangan kelewat
mentabukan hubungan antara laki-laki dengan wanita. Bila kau ingin


tinggal selama beberapa hari di rumah demi ayah ibumu, tentu saja
akupun tidak akan memaksa. Tapi kalau hanya karena ingin
menghindar, tidak ingin melakukan perjalanan bersama siau susiok,
aku rasa tidak perlulah kau bertindak begitu.”
"Apakah gibo masih ada perintah lain?" tanya Lan Sui-leng
kemudian, sementara dalam hatinya berpikir, "Kalau didengar dari
nada pembicaraan ibu angkat, tampaknya yang paling dia harapkan
adalah bertemu siau susiok, sementara kapan aku akan balik
kemari, rasanya bukan urusan yang dia pentingkan.”
Sementara dia masih termenung, Seebun-hujin telah berkata lagi,
"Besok kalian boleh segera berangkat, jadi sekarang pergilah
beristirahat dulu. Aku sudah tidak ada pesan lain lagi yang hendak
disampaikan kepada kalian, aaah, benar, hanya soal cincin itu saja
yang penting, kalian harus menyimpannya dengan hati-hati, jangan
sampai terjatuh atau hilang.”
"Ibu, kau tidak usah khawatir, aku tidak akan menghilangkan
barang mestika mu.”
"Kenapa? Kau mentertawakan aku kelewat tegang? Perlu kau
ketahui, yang menjadi barang mestika ku bukan cincin itu.”
"Aku tahu, karena cincin ini akan dua kali digunakan sebagai
tanda pengenal.”
Walaupun jawaban dari Seebun Yan santai, namun timbul juga
perasaan keheranan di hati kecilnya, seingatnya, belum pernah
ibunya begitu cerewet menyampaikan pesannya, tapi demi cincin
itu, dia sudah berulang kali mengulang pesan wanti-wantinya.
Kendatipun ibunya berusaha tenang namun jelas tidak dapat
menutupi perasaan tegang di hatinya, begitu tegangnya dia sampai
dirinya yang menjadi putrinya pun dapat merasakan.
Tentu saja dia tidak bakal tahu kalau cincin itu mempunyai
riwayat yang luar biasa, jadi bukan lantaran pada tiga puluh tahun
berselang ibunya pernah mengenakan cincin itu, maka ke dua orang
sahabatnya.... Hwee-ko hwesio dan Bouw Ciong-long mengenali
cincin tersebut, hingga benda itu bisa dipakai sebagai tanda


pengenal.
Sepeninggal putrinya, tanpa terasa Seebun-hujin terbayang
kembali dirinya saat berusia setara putrinya dulu, untuk sesaat dia
duduk termangu-mangu.
Lama.... diabaru menghela napas sambil berpikir, "Entah
bagaimana reaksi Bouw Ciong-long ketika melihat cincin itu?"
Waktu berlangsung begitu cepat, dia pun membayangkan
kembali kisahnya pada tiga puluh tahun berselang.
Tiga puluh tahun yang lalu, Bouw Ciong-long lah yang telah
menghadiahkan cincin itu kepadanya.
Waktu itu mereka sudah saling mencintai, kedua belah pihak
menyangka pihak lawanlah yang bakal menjadi pendampingnya
sepanjang masa.
Tapi di kediaman Bouw Ciong-long sedang berlangsung
persiapan lamaran, orang tuanya tertarik untuk meminta Piaumoy
nya menjadi menantu mereka.
Akan tetapi pihak keluarga sang wanita tidak begitu menyukai
Bouw Ciong-long, mereka menganggap meski latar belakang
keluarga Bouw Ciong-long amat termashur, namun dia kelewat
mogor, senang "menggait bunga menyentuh pohon liu" di tempat
luaran, dalam hal 'nama baik' mereka merasa kurang serasi.
Saat itu dia tinggal di rumah famili di kota Hang-ciu, kebetulan
Bouw Ciong-long pun sedang berpesiar di kota Hang-ciu, boleh
dikata hampir setiap dua tiga hari sekali mereka pasti bersua muka.
Tapi sayang tiada perjamuan yang tidak berakhir, bagaimana pun
cinta nya mereka berdua, pada akhirnya tiba juga saat dimana
mereka harus berpisah.
Tidak jelas apakah keluarganya sudah mendengar ulahnya itu,
berulang kali ayahnya mengirim surat minta dia untuk pulang,
bahkan akhirnya memberi batas waktu untuknya agar segera
kembali. Bila sampai lewat batas waktunya belum juga kembali,


ayahnya tidak mau mengakuinya sebagai anak lagi.
Cincin inilah yang diberikan Bouw Ciong-long menjelang dia
pulang ke rumah.
Pada umumnya cincin digunakan sebagai tanda untuk
pertunangan, tapi sayang cincin yang diberikan Bouw Ciong-long
bukanlah cincin pertunangan.
"Cinta harus teguh dan keras melebihi emas, harus lebih bersinar
daripada batu permata!" inilah kata-kata yang disampaikan Bouw
Ciong-long ketika mengenakan cincin itu dijari tangannya. Cincin itu
memang terbuat dari batu mestika yang kekerasannya melebihi
emas.
"Perduli perubahan apa pun yang bakal terjadi kelak, cintaku
kepadamu masih tetap seperti cincin batu mestika ini, selamanya
tidak pernah aus, selamanya tidak pernah pudar. Tunggulah
kedatanganku dengan sabar, walaupun sekarang aku belum
meminangmu, tapi sekembaliku nanti aku akan menikahi dirimu,”
demikian Bouw Ciong-long berpesan.
Diapun mempercayai perkataan Bouw Ciong-long, dia merasa
pernikahan diantara mereka hanya masalah waktu. Karena itu tanpa
ragu dikenakannya cincin pemberian itu.
Siapa tahu kepergian Bouw Ciong-long tidak pernah kembali lagi,
walaupun sinar yang terpancar dari cincin itu tidak pernah
memudar, namun kisah percintaan mereka waktu itu seakan sudah
di segel, sudah pupus sebelum mekar.
Bouw Ciong-long tidak pernah muncul untuk meminang, tapi
orang pertama yang meminangnya bukanlah orang yang
belakangan menjadi suaminya. Dia adalah pemuda lain, pemuda
inilah yang di kemudian hari menjadi Hwee-ko hwesio.
Hwee-ko adalah sahabat karib Bouw Ciong-long, sama seperti
Bouw Ciong-long, dia pun jatuh hati kepadanya.
Terhadap pinangan yang diajukan Hwee-ko, dia tidak pernah
mengucapkan sepatah katapun, yang dia lakukan hanya


mengangkat jari tangannya dan memperlihatkan cincin itu.
Dia tidak tahu apakah lantaran putus cinta hingga akhirnya
Hwee-ko menjadi pendeta, tapi beberapa patah kata yang
diucapkan Hwee-ko menjelang perginya tidak pernah dia lupakan
hingga detik ini.
"Aku tidak mempunyai batu mestika untuk diberikan kepadamu,
tapi perasaan cintaku kepadamu tidak pernah akan berubah untuk
selamanya, terlepas dengan siapa pun kau bakal menikah. Aku
sama sekali tidak berharap mendapatkan apa-apa darimu, tapi aku
dapat memberikan benda yang jauh lebih berharga daripada batu
mestika untuk dirimu, yakni nyawaku, bila kau memerlukan,
ambillah setiap saat!"
Peristiwa yang terjadi tiga puluh tahun berselang satu per satu
melintas dalam benaknya. Dari semua kejadian itu sebenarnya siapa
yang salah? Cinta siapa yang lebih tulus? Seebun-hujin tidak tahu,
karena dia pun merasa kebingungan.
Ooo)*(ooO
BAB IX
Hidup kosong tanpa hambatan
Menyadari ajaran lepas dari beban.
Dia benar-benar tidak habis mengerti, manusia tinggi hati
semacam Hwee-ko ternyata bisa hidup mengasingkan diri, bahkan
kabur ke kuil Siau-lim untuk menjadi seorang hwesio juru masak.
"Bila semuanya itu gara-gara aku, diriku benar benar telah
membuat sebuah dosa baru.”
"Waktu berlalu sungguh amat cepat, dalam sekejap tiga puluh
tahun telah lewat, kalau waktu itu dia bersedia terjun ke lautan api
demi cinta, tapi kini ia sudah meninggalkan kehidupan duniawi dan


menjadi pendeta, mungkinkah cincin itu masih dapat menariknya
kembali ke kehidupan duniawi?"
Jawabannya sudah pasti, dia yakin sekalipun Hwee-ko sudah
melepaskan diri dari kehidupan duniawi, namun setelah melihat
cincin itu, dia masih tetap akan melaksanakan janjinya.
"Aaai, padahal tidak seharusnya aku pergi mengganggu
ketenangan hidupnya lagi, tapi selain dia, siapa lagi yang dapat
membantuku?"
Hwee-ko adalah sahabat karib yang paling banyak mengetahui
masalahnya setengah abad berselang, merupakan pula sahabatnya
yang paling dipercaya. Terhadap sahabat karibnya ini dia menaruh
perasaan menyesal yang sangat mendalam.
Waktu tiga puluh tahun berlalu bagai sambaran petir, kembali dia
tenggelam dalam kenangan masa silam, tanpa terasa terlihat
secerca cahaya mulai muncul di ufuk timur, pertanda fajar mulai
menyingsing.
Keesokan harinya pagi-pagi sekali Seebun Yan dan Lan Sui-leng
sudah turun gunung, Seebun-hujin baru berpaling kembali setelah
menghantar bayangan punggung mereka hingga lenyap dari
pandangan, diam-diam dia membesut air mata yang sudah
ditahannya semenjak tadi, karena tidak ingin ketahuan putrinya.
Kedua orang gadis itupun menempuh perjalanan dengan
perasaan sangat berat, namun kalau dibandingkan maka perasaan
Seebun Yan jauh lebih baikan, sebab dia hanya mengkhawatirkan
nasib Piauko nya yang terjebak dalam Toan-hun-kok, namun dia
percaya teman ibunya pasti dapat membantu usahanya.
Pikiran dan perasaan Lan Sui-leng jauh lebih rumit, tentu saja dia
gembira karena mendapat kesempat an untuk mencari adiknya, tapi
diapun merasa takut untuk bertemu Tonghong Liang maupun Bouw
It-yu. Dia merasa kedua orang itu sama sama tidak bisa
membebaskan tali simpul mati yang membelenggu hatinya.
Mereka masih menunggang dua ekor kuda hasil rampasan dari


anak buah Han Siang tempo hari, kini kemampuan Lan Sui-leng
menunggang kuda sudah hampir setara dengan kemampuan
Seebun Yan.
Setelah menempuh perjalanan tujuh, delapan hari lamanya,
udara pun terasa mulai hangat, sementara orang yang berlalu lalang
di jalan raya pun semakin banyak.
Hari itu, ketika mereka sedang berjalan menelusuri jalanan bukit,
mendadak terdengar suara bentrokan senjata yang amat nyaring
bergema dari balik hutan, mereka langsung tahu kalau di tengah
hutan sedang berlangsung pertempuran sengit.
"Eeei, siapa mereka? Dari aliran manakah orang orang itu?
Tampaknya pertarungan sedang berlangsung amat seru! Ehmm,
kelihatannya ada dua orang sedang mengerubuti satu orang,
percaya tidak dengan dugaanku? Bagaimana kalau kita tengok ke
sana?"
Tentu saja pengalaman Seebun Yan dalam hal ini jauh lebih
matang daripada Lan Sui-leng, saat ini dia tidak tahan untuk
mempamerkan kebolehannya.
"Kita sendiri sedang mengemban tugas, buat apa musti
mencampuri urusan orang?" sahut Lan Sui-leng.
Belum selesai dia berkata, suara umpatan dan makian di balik
pertarungan pun terdengar semakin jelas.
"Aku tidak lebih hanya seorang hwesio pemikul air dari kuil Siaulim-
si, belum pernah berhubungan dengan rekan-rekan dunia
persilatan, apalagi membuat permusuhan atau perselisihan dengan
kalian. Sudah pasti kalian sudah salah melihat orang!" terdengar
seseorang berseru dengan nada gugup dan panik.
Segera terdengar seseorang menyahut sambil tertawa dingin,
"Kami tidak bakal salah orang, kaupun tidak usah menggunakan
nama besar kuil Siau-lim-si untuk menakut-nakuti kami. Jangankan
kau belum termasuk hwesio resmi dari kuil Siau-lim, biarpun kau
sudah menjadi pendeta asli dari Siau-lim-pay pun kami tidak


bakalan takut denganmu!"
Seseorang yang lain ikut berseru sambil tertawa terbahak bahak,
"Ternyata kepandaian silat dari kuil Siau-lim tidak terlampau hebat,
bila kau mampus di tengah hutan, biar punya asal usul lebih
hebatpun tidak ada gunanya, sebab tidak bakal ada yang
menuntutkan balas untuk-mu, hahaha.... lebih baik terima nasib
saja!"
Pendeta dari Siau-lim itu segera berteriak keras, "Kalau mau
menagih hutang, tagih saja kepada yang berhutang. Kenapa kalian
harus membunuhku? Boleh aku tahu alasannya?"
"Maaf!" jawab kedua orang itu hampir bersamaan waktu, "kami
hanya menjalankan perintah untuk membunuhmu. Kau memang
sudah ditakdirkan menjadi setan penasaran, jadi tidak usah
menyalahkan kami!"
Menyusul kemudian terdengar jeritan lengking yang menusuk
pendengaran, tampaknya ada seseorang telah menderita luka.
Ketika mendengar orang yang sedang dikerubut adalah pendeta
dari kuil Siau-lim, Lan Sui-leng sudah merasa hatinya amat terkejut,
apalagi setelah mendengar suara jeritan orang terluka, perasaan
hatinya semakin terkesiap.
Sebaliknya Seebun Yan justru berlagak seolah tidak ambil perduli,
ujarnya sambil tertawa, "Coba kau dengar, kelihatannya yang
terluka adalah pendeta dari Siau-lim, bagaimana kalau kita campuri
urusan ini?"
Lan Sui-leng tidak menjawab, dia langsung mencemplak kudanya
dan lari masuk ke dalam hutan.
Benar saja, seperti apa yang dikatakan Seebun Yan tadi, terlihat
ada dua orang lelaki sedang mengerubuti seorang pendeta.
Dua orang lelaki itu, yang satu menggunakan tongkat yang
terbuat dari besi sementara yang lain menyerang dengan
mengandalkan kepalan kosong.


Lelaki yang menggunakan tongkat besi itu masih agak
mendingan, jagoan yang menggunakan kepalan tangan kosong itu
justru nampak lihay sekali, sepasang kepalannya menari kian
kemari, sebentar menghantam, sebentar menyodok, sebentar
mencengkeram, hampir setiap gerakan yang dilancarkan semuanya
tertuju ke bagian mematikan di tubuh pendeta Siau-lim itu.
Sementara pendeta dari Siau-lim itu dengan mengandalkan
toyanya melakukan perlawanan dengan sepenuh tenaga, tampak
angin serangan menderu-deru, pasir dan batu beterbangan
memenuhi angkasa, kekuatannya sungguh mengerikan.
Namun berhubung dia harus melawan dua orang, posisinya jadi
sangat tidak menguntungkan, dengan toyanya dia dapat saja
menghadapi tongkat lawan, namun menghadapi gempuran orang
bertangan kosong yang bertubi-tubi itu dia nampak kewalahan,
toyanya yang panjang tidak mampu membendung pukulan jarak
dekat, posisinya sangat berbahaya.
Dengan perasaan terkejut Lan Sui-leng segera berseru tertahan,
"Bukankah ilmu yang digunakan orang itu adalah Ki-na-jiu-hoat dari
Toan-hun-kok?"
Kehadiran mereka tepat pada waktunya, begitu Seebun Yan
turun tangan, ke dua orang laki-laki itu langsung kabur terbirit-birit.
Namun kuda tunggangannya malah sempat terluka oleh sambitan
pisau terbang yang dilancarkan pihak lawan hingga tidak dapat
dipergunakan lagi.
Dalam keadaan begini Seebun Yan maupun Lan Sui-leng tidak
sempat lagi melakukan pengejaran, hwesio dari Siau-lim itu sudah
tergeletak ditanah dalam keadaan kritis, karena menolong orang
lebih penting, terpaksa mereka biarkan kedua orang itu melarikan
diri.
Seebun Yan yang berpengalaman lebih matang kontan berkerut
kening setelah menyaksikan keadaan luka yang di derita pendeta
Siau-lim itu. Dia tahu jiwa orang ini tidak tertolong lagi, yang
diharapkan sekarang hanyalah pendeta itu dapat hidup lebih lama,


secepat kilat dia menotok jalan darah di seputar mulut lukanya.
Totokan itu merupakan totokan untuk menghentikan
pendarahan, dapat membuat darah yang mengalir keluar agak
berhenti hingga kematian tidak datang lebih cepat.
Untuk sesaat Lan Sui-leng tidak tahu apa yang harus diperbuat,
dia hanya bisa mengawasinya dengan pandangan bodoh. Namun
pandangan matanya, mimik mukanya, hampir semuanya
menampilkan sikap yang jauh lebih perhatian daripada Seebun Yan
atas nasib hwesio Siau-lim itu.
Hwesio Siau-lim itupun memperlihatkan sikap yang sangat aneh,
ujarnya tiba-tiba, "Nona, matamu sangat indah. Aaaai.... mungkin
tidak begini kebetulan, kebetulan mereka pun dua orang nona yang
masih sangat muda!"
Berada dalam saat yang kritis, ternyata dia masih punya minat
untuk menikmati keindahan mata Lan Sui-leng.
Namun yang paling menarik perhatian Seebun Yan adalah
perkataannya yang terakhir, buru-buru dia bertanya, "Kejadian apa
yang menurutmu kebetulan?"
"Aku mendapat titipan dari seseorang untuk pergi ke suatu
tempat yang sangat jauh, pergi mengirim surat untuk dua orang
nona yang sangat muda.”
"Pergi ke mana?"
"Ke puncak bukit Nyainqentanglha, diatas puncak terdapat
sebuah lembah yang dinamakan lembah seratus bunga (Pek-hoakok)!"
Ternyata tempat yang dimaksud tidak lain adalah tempat tinggal
Seebun Yan.
Kejut bercampur girang buru-buru Seebun Yan bertanya, "Siapa
nama kedua orang nona itu?"
"Yang seorang bernama Lan Sui-leng, yang seorang lagi bernama
Seebun Yan!"


Ketika hwesio itu menyebut nama mereka, kedua orang gadis itu
kontan menjerit tertahan, "Akulah Lan Sui-leng!"
"Akulah Seebun Yan!"
Tampaknya pendeta itu kegirangan setengah mati, kondisinya
pun jauh lebih segar, gumamnya, "Sungguh tidak nyana di dunia
inipun terdapat kejadian yang begini kebetulan!"
"Siapa yang menitipkan surat kepada kalian? Mana suratnya?"
buru-buru Seebun Yan bertanya lagi.
Dia sangka orang yang menitip surat adalah Piaukonya,
Tonghong Liang.
Siapa tahu pendeta itu segera menjawab, "Suhuku yang suruh
aku menyampaikan pesan, dia pun hanya menyampaikan pesan
orang lain lagi!"
"Lalu Sangjin dari manakah gurumu itu?"
Sangjin adalah istilah panggilan hormat untuk seorang pendeta,
atau dengan perkataan lain, dari sekian banyak hwesio dalam kuil
Siau-lim, hanya sang ketua serta beberapa orang tianglo dari ruang
Tat-mo-wan yang pantas disebut begitu.
Tapi bagi Seebun Yan, panggilan itu sama sekali tidak bermakna
khusus, dia anggap hanya sebagai sebutan kehormatan saja.
"Aku tidak lebih hanya seorang hwesio tukang pikul air di kuil
Siau-lim, mana pantas menjadi muridnya Sangjin? Kedudukan
guruku dalam kuil hampir sederajat dengan diriku, dia adalah
seorang hwesio juru masak.”
"Aaah, hwesio juru masak!" teriak Lan Sui-leng, "apakah gurumu
bergelar Hwee-ko?"
"Betul, guruku adalah Hwee-ko, darimana nona bisa tahu?"
"Gurumu adalah seorang tokoh berilmu tinggi, mungkin saja
kawanan hwesio gentong nasi dari kuil Siau-lim-si tidak
mengenalnya, tapi sudah lama kami tahu nama besarnya.”


Ketika mendengar kalau kedua orang nona itu sudah sejak lama
tahu akan nama besar gurunya, pendeta itu selain terperanjat
bercampur keheranan, dia merasa gembira juga, serunya, "Ohh,
ternyata guruku benar-benar mempunyai riwayat yang amat luar
biasa? Padahal aku pun belum diangkat menjadi murid resminya, di
hari hari biasa di saat senggang dia sering mengajarkan beberapa
jurus ilmu silat kepadaku, aaai, sayang aku belajar tidak rajin....”
Seebun Yan merasa tidak sabar mendengarkan gerutu dan
penyesalannya itu, segera tukasnya, "Kedua orang itupun
merupakan jago-jago yang punya nama dalam dunia persilatan,
sudah terbilang tidak gampang bagimu untuk melawan mereka
berdua tanpa menemui ajal. Tapi sayang kita tidak ada waktu lagi
untuk berbicara banyak, tolong sampaikan saja sebetulnya apa yang
terjadi dan apa pesan yang kau bawa?"
Sambil berkata dia menempelkan telapak tangan kanannya diatas
punggung hwesio itu dan menyalurkan tenaga dalamnya. Meskipun
tenaga dalam yang dimiliki gadis itu belum termasuk 'sempurna',
namun sudah lebih dari cukup untuk memperpanjang umur pendeta
dari Siau-lim itu.
Untuk sesaat tampaknya pendeta itu jadi bingung sendiri, tidak
tahu pembicaraan harus dimulai dari mana, dia malah balik
bertanya, "Nona, sebenarnya apa yang paling kau ingin ketahui?"
"Bukankah tadi kau bilang sedang menjalankan perintah dari
gurumu untuk menyampaikan berita kepada kami? Siapa orang
yang minta tolong kepada gurumu untuk menyampaikan berita ini?"
"Aku tidak tahu apakah pesan itu dari seorang pemuda atau
bukan, yang jelas setelah suhu bertemu dengan pemuda itu dan
sesaat sebelum meninggalkan kuil Siau-lim, dia sampaikan pesan
tersebut kepadaku.”
"Apakah pemuda itu berusia dua puluh tahunan, bermarga
Tonghong dan bernama Liang?" desak Seebun Yan.
"Aku tidak tahu siapa namanya, tapi kalau dilihat usianya, paling
dia baru berumur lima, enam belas tahunan.”


"Aaah, sudah pasti dia adalah adikku,” seru Lan Sui-leng cepat,
"apakah hari itu hanya dia seorang yang masuk ke kuil Siau-lim?"
"Seorang temannya menunggu diluar, tapi aku sendiripun baru
mendengar cerita ini beberapa hari kemudian, konon oleh karena
dia adalah murid Bu-tong-pay maka ketua Tat-mo-wan datang
sendiri untuk mengajaknya berbicara, kemudian baru mengijinkan
pemuda itu masuk. Mengenai apa sebabnya teman dia tidak
diijinkan ikut masuk, aku sendiripun tidak tahu.”
Seebun Yan menghembuskan napas lega, katanya kemudian,
"Kalau begitu sang pemuda itu pastilah adik Sui-leng, sedang
temannya itu bisa jadi adalah Piauko ku.”
Tapi dia tidak ada waktu untuk bertanya lebih jauh, tukasnya
kemudian, "Baiklah, sekarang tolong sampaikan pesan apa yang
diucapkan orang itu kepada gurumu kemudian minta disampaikan
kepada kami berdua?"
"Nona adalah....”biarpun sudah mendengar mereka berdua
menyebutkan namanya, namun berhubung kesadarannya sudah
makin menurun, tidak banyak yang bisa diingatnya lagi, karena
khawatir salah maka sengaja dia mengulang kembali
pertanyaannya.
"Aku adalah Seebun Yan!”
“Pesan yang harus diberitahukan kepadamu adalah Piauko mu
akan pergi ke tempat lain karena masih ada urusan penting, dia
tidak tahu sampai kapan baru pulang, jadi minta kau tidak usah
menunggunya lagi. Seandainya kau menaruh telur angsa dalam satu
keranjang pun dia tidak akan menyalahkan dirimu.”
"Masih ada pesan lain?" tanya Seebun Yan dengan kening
berkerut.
"Ada. Piauko mu bilang, kau harus baik-baik melayani tamu,
seandainya sang tamu ingin pergi, kaupun tidak boleh
menahannya!"
Sambil tertawa getir Seebun Yan segera berkata, "Adik Leng,


ternyata Piauko sangat mengkhawatirkan dirimu, dia khawatir aku
menganiaya dirimu!"
"Pesan itu toh bukan Tonghong Liang langsung
menyampaikannya kepada Hwee-ko Thaysu, siapa tahu adikku
hanya titip pesan palsu?"
"Tapi kalau bukan Piauko telah memberitahukan hal itu kepada
adikmu, darimana adikmu bisa tahu.”
Lan Sui-leng manggut-manggut, pikirnya, "Ditinjau dari kejadian
ini, nampaknya hubungan persahabatan antara adik Keng dengan
Tonghong Toako memang sangat akrab. Tidak heran kalau siau
susiok menaruh kecurigaan kepadanya.”
Di samping girang, diam-diam diapun merasa takut.
Terdengar pendeta itu berkata lagi, "Nona Lan, pesan yang harus
kusampaikan kepadamu nampaknya berasal dari adikmu.”
"Apa yang dia katakan?”
“Adikmu bilang, kau tidak usah takut, kalau bisa segera pulang
ke rumah. Dia bilang dia sangat berterima kasih karena ayah ibu
amat menyayanginya, dia minta kau sampaikan salam kepada
mereka berdua, kemungkinan besar dia baru bisa pulang di saat dia
sudah boleh pulang.”
"Eeei.... kenapa ucapan adikmu terhadap orang tua sendiri
menyampaikan pesan begitu sungkan?" seru Seebun Yan.
Lan Sui-leng pun merasakan hatinya gelisah bercampur tidak
tenang, pikirnya, "Jangan-jangan adik sudah mengetahui rahasia
asal usulnya?"
Sambil berpaling tanyanya lagi kepada pendeta itu, "Apakah dia
tidak bilang mau pergi ke mana?"
"Sewaktu adikmu berbicara dengan Hwee-ko suhu, aku tidak
hadir disana, jadi akupun tidak tahu apakah dia mengatakan hal itu
atau tidak. Tapi dalam pesan yang disampaikan suhu, beliau tidak
mengatakannya.”


"Jadi mereka bersama-sama meninggalkan kuil Siau-lim?" tanya
Lan Sui-leng lebih jauh.
"Tidak. Kurang lebih setengah jam setelah adikmu pergi, suhuku
baru ikut pergi. Sebab walaupun dia adalah hwesio tidak resmi,
namun sebelum meninggalkan kuil Siau-lim, dia wajib memberi
laporan dulu kepada toa-hwesioyang mengurusi dapur.”
"Lantas bagaimana dengan kau sendiri?" tanya Seebun Yan,
"apakah kau meninggalkan kuil Siau-lim bersama-sama gurumu?"
"Tidak juga. Sebab.... sebab.... sewaktu aku mengajukan ijin cuti,
ada seorang hwesio yang mengurusi peraturan kuil memanggilku
dan menginterogasi diriku.... jadi.... jadi....”
Sewaktu berbicara sampai disitu, napasnya sudah tersengkalsengkal
dan nyaris terputus. Seebun Yan yang cerdas segera
menduga kalau perkataan selanjutnya adalah "jadi panjang untuk
diceritakan" atau perkataan sebangsanya.
Kontan saja gadis itu habis kesabarannya, cepat dia menukas,
"Apakah pemuda yang menunggu diluar pintu kuil berangkat
bersama mereka?"
"Aku.... aku.... darimana aku bisa tahu.”
"Tidak mendengar orang lain bercerita?"
"Aku tidak terpikir untuk menanyakan soal ini. Aku tidak tahu.”
Berita yang paling ingin diketahui Seebun Yan adalah berita
tentang Piauko nya, mendengar jawaban tersebut diapun berkata,
"Terima kasih banyak kau telah memberitahukan banyak persoalan
kepadaku, aku tidak ada pertanyaan lagi.”
Bicara sampai disitu, tangannya yang menempel dipunggung
pendeta itupun segera dilepas.
Begitu dia menarik kembali tangannya, hwesio itu langsung tidak
kuat menahan diri, paras mukanya berubah jadi putih keabu-abuan.
Buru-buru Lan Sui-leng bertanya, "Siapa namamu? Apakah ada


keinginan yang minta kami untuk lakukan untukmu?"
"Aku adalah seorang anak yatim piatu, tiada ayah tiada ibu, tiada
nama marga tiada nama, mau pergi atau datang tiada beban. Bila
kalian teringat akan diriku, sebut saja aku sebagai hwesio pemikul
air.”
"Kau telah melaksanakan tugas kemanusiaanmu secara
maksimal, selama hidup budi kebaikanmu tidak akan kami lupakan!"
bisik Lan Sui-leng dengan air mata bercucuran.
Tampaknya hwesio itu sudah berada dalam keadaan 'sesaat
sebelum ajal', sahutnya sambil tersenyum, "Sebetulnya aku hanya
seorang manusia biasa, tapi sekarang, paling tidak orang persilatan
sudah tahu kalau ada hwesio pemikul air seperti aku. Aku.... biar
mati pun akan mati dengan meram.”
Bicara sampai disitu, sambil tersenyum dia menghembuskan
napasnya yang penghabisan.
Dengan air mata bercucuran Lan Sui-leng memberi hormat
berulang kali kepada jenasah hwesio itu. Sementara Seebun Yan
hanya berdiri termangu-mangu, sama sekali tidak ikut memberi
hormat.
Melihat itu Lan Sui-leng merasa sedikit tidak puas, tegurnya,
"Enci Yan, apa yang sedang kau pikirkan?"
"Aku sedang berpikir, seandainya aku sendiri yang sedang
menghadapi sakral maut, mungkinkah sikapku bisa begitu bebas
tanpa beban seperti dia? Aaai, jangankan menghadapi sakral maut,
kehilangan seke-ranjang telur angsa pun membuat aku amat
tertekan dan berat hati. Kitab Buddha mengatakan: hanya dengan
memutuskan belenggu kau akan membuktikan kebenar-an.
Tampaknya aku memang tidak berbakat menjadi pengikut Buddha.”
Lan Sui-leng tidak paham pikiran apa yang sedang menyentuh
gadis itu, ujarnya, "Aku tidak mengerti ajaran Buddha, sedang
hwesio inipun hanya bertugas memikul air dalam kuil Siau-lim,
belum tentu dia pernah membaca kitab Buddha, namun sepak


terjang serta perbuatannya tidak malu disebut perbuatan seorang
hwesio agung. Menurut pendapatku, asal seseorang dapat bertindak
jujur, berhati welas dan berbuat mulia, tanpa menjadi seorang
pendeta pun dia dapat memiliki sifat Buddha.”
"Siancay, siancay,” Seebun Yan segera merangkap tangannya di
depan dada sambil tertawa, "perkataanmu sungguh mengandung
makna yang sangat mendalam. Aku jadi teringat dengan perkataan
seorang pendeta agung, setiap orang sesungguhnya memiliki sifat
Buddha, masalahnya setelah kau tiba di dunia yang penuh
gemerlapan ini, dapatkah dirimu terbebas dari angkara murka dan
sifat kemaruk, karena sifat-sifat itulah yang akan menjadi debu dan
kotoran yang menutupi hatimu yang suci. Hanya sayangnya teori
gampang dimengerti, kalau disuruh melaksanakan itu baru susah.”
"Gara-gara ingin menyampaikan pesan kepada kita lah hwesio ini
menemui ajalnya, kita tidak bisa sekedar bicara soal teori dan ajaran
Buddha, paling tidak lakukanlah satu tindakan nyata, dengan begitu
perasaan kita baru ikut tenang.”
"Apa yang hendak kau lakukan?"
"Membawa pulang abunya dan serahkan kepada gurunya.”
"Apakah kau tidak mendengar perkataannya tadi? Gurunya sudah
pergi meninggalkan kuil Siau-lim, ke mana kita harus mencari?"
Seolah baru tersadar, Lan Sui-leng segera berkata, "Lantas
bagaimana baiknya? Sebenarnya ibu angkat minta kita pergi ke kuil
Siau-lim untuk mencari Hwee-ko Thaysu, siapa tahu Hwee-ko
adalah gurunya, masih perlukah kita mengunjungi kuil Siau-lim
untuk mencari tahu kabar beritanya?"
"Kepada muridnya saja Hwee-ko hwesio tidak menjelaskan ke
mana dia akan pergi, mana mungkin akan mengatakan kepada
orang lain?
"Dalam kuil Siau-lim, dia tidak lebih hanya seorang hwesio juru
masak, tidak mungkin orang lain akan memperhatikan dirinya.
Menurut pendapatku, lebih baik kita mencari berita di Toan-hun-kok.


Bukan-kah Liok Ki-seng mengatakan kalau Piauko berada di Toanhun-
kok? Ketika mengunjungi kuil Siau-lim tempo hari, adikmu pun
pergi bersama Piauko ku, siapa tahu saat ini mereka sudah
berkunjung semua ke Toan-hun-kok.”
"Kalau mereka semua telah mengunjungi Toan-hun-kok, kenapa
pihak Toan-hun-kok mengutus lagi orang-orangnya untuk
membunuh murid Hwee-ko Thaysu?"
"Aku sendiripun tidak begitu jelas liku-liku di balik semuanya ini,
tapi satu hal yang pasti, apapun latar belakang sesungguhnya dari
peristiwa ini, semuanya mempunyai hubungan yang erat dengan
Toan-hun-kok, bukan begitu?"
Lan Sui-leng tidak punya pendapat lain, sesaat kemudian dia
baru manggut-manggut.
"Benar juga perkataan cici.”
“Kini kita tidak punya Hwee-ko sebagai pelindung, itu berarti
perjalanan kita ke Toan-hun-kok kali ini bakal berbahaya sekali.
Adikku, bila kau enggan menyerempet bahaya ini, akupun tidak
akan memaksamu.”
Sebenarnya saat itu Seebun Yan lah yang memaksa Lan Sui-leng
untuk diajak pulang, tapi setelah berkumpul selama beberapa bulan,
apalagi sikap Seebun Yan terhadapnya benar-benar akrab bagaikan
saudara sendiri, kendatipun dalam banyak hal dia kurang setuju
dengan cara berpikirnya, namun diapun tidak ingin membuatnya
kecewa, katanya kemudian, "Kita berdua adalah saudara angkat,
kalau hanya bisa menikmati bersama di kala senang dan tidak mau
menghadapi bersama di saat susah, terhitung saudara angkat
macam apakah itu? Lagipula kepandaian silat yang kumiliki adalah
ajaran ibu angkat. Terlepas apakah adikku pergi ke Toan-hun-kok
bersama Tonghong Toako atau tidak, aku tetap akan
mendampingimu!"
Melihat usahanya 'memanasi hati lawan’ membuahkan hasil,
Seebun Yan segera tertawa, katanya, "Sungguh tidak kusangka
kejadian ini begitu kebetulan, ternyata orang yang sedang dicari


adikmu di kuil Siau-lim adalah Hwee-ko hwesio. Dan kebetulan juga
di saat Hwee-ko hwesio mengutus muridnya untuk menyampaikan
pesan, secara kebetulan bertemu pula dengan kita.”
Lan Sui-leng tidak berkata apa-apa, pikirannya masih diliputi
kebimbangan. Dia memang sudah tahu kalau Hwee-ko Thaysu
adalah sobat lama Seebun-hujin. Tapi apa pula hubungan hwesio
juru masak ini dengan adiknya? Mengapa adiknya pergi mencarinya?
Betul, dia dapat menduga kalau hal ini disebabkan perintah dari
Bu-siang Cinjin, tapi bukankah Bu-siang Cinjin sudah tahu kalau
umurnya bakal berakhir, mengapa bukannya dia menahan cucu
murid kesayangannya agar mendampingi dia disaat saat terakhir,
sebalik nya dia justru melanggar kebiasaan dengan mengirim cucu
muridnya mengunjungi kuil Siau-lim untuk mencari seorang hwesio
juru masak, bukankah kejadian ini aneh sekali?
Satu-satunya penjelasan yang masuk diakal adalah antara Hweeko
hwesio dengan adiknya pasti mempunyai keterkaitan atau
hubungan khusus, tapi dari-mana pula Bu-siang Cinjin bisa
mengetahuinya?
Pelbagai teka teki seketika membuatnya bingung dan tidak habis
mengerti, akhirnya diapun berpikir, "Mungkin urusan ini baru bisa
menjadi jelas setelah aku bertemu adik nanti.”
Tentu saja Lan Sui-leng pun tidak tahu kalau adiknya meski telah
bertemu Hwee-ko, namun pelbagai pertanyaan dan teka teki yang
menyelimuti benaknya pun tidak bisa terungkap satu per satu.
Hari itu, setelah berpisah dengan Bu-si tojin, dia melanjutkan
perjalanannya menuju ke bukit Siong-san.
Gunung Siong-san merupakan sebutan gabungan untuk gunung
Thay-si-san dan Sau-si-san, kedua bukit itu berdiri saling
berhadapan dan dipisahkan oleh wilayah seluas belasan li. Di bawah
puncak Ngo-ji-hong di sebelah utara bukit Sau-si-san itulah kuil
Siau-lim di dirikan.
Nama besar kuil Siau-lim sudah termashur hingga melewati


wilayah Ho-lam, bukan hanya orang dewasa saja yang tahu, bahkan
kaum wanita dan anak-anak pun mengetahuinya.
Tidak heran kalau Lan Giok-keng begitu mudah memperoleh
petunjuk arah, akhirnya hari itu tibalah dia di gunung Siong-san.
Sejak pagi sekali dia sudah mendaki gunung, di saat fajar baru
menyingsing dia sudah berada di depan kuil Siau-lim.
Tampak pagoda batu tersebar bagaikan hutan, di tengah hutan
pagoda itulah kuil Siau-lim didirikan.
Kecuali hutan pagoda, disana pun banyak tumbuh pohon cemara.
Sepanjang hidup belum pernah Lan Giok-keng menyaksikan pohon
dengan batang yang begitu besar, tidak tahan dia mengawasi
pepohonan itu beberapa kejap.
Sementara dia masih berdiri termangu, entah sedari kapan tibatiba
muncul seseorang di sampingnya. Orang itu adalah seorang
lelaki berewok yang berusia tiga puluh tahunan.
"Hey bocah, mau apa kau kemari?" terdengar lelaki berewok itu
menegur.
"Aku mau berkunjung ke kuil Siau-lim.”
“Kalau datang kemari, tentu saja kau akan berkunjung ke kuil
Siau-lim. Maksudku mau apa kau ke kuil Siau-lim?"
Tentu saja Lan Giok-keng enggan memberi-tahukan maksud
kedatangannya kepada seorang asing, tapi menduga kalau orang itu
mungkin berasal dari Siau-lim dan bila tidak dijawab mungkin malah
runyam keadaannya, maka diapun menyahut, "Aku ingin
menyambangi seorang hwesio.”
“Banyak sekali hwesio Siau-lim-si yang kukenal, siapa nama
orang yang ingin kau jumpai?"
"Yang ingin kucari adalah seorang hwesio juru masak. Kau tidak
mungkin mengenalinya.”
Lelaki berewok itu kontan mendengus.


"Hmm, hwesio jum masak? Hwee-ko bukan?" jengeknya.
"Jadi kau kenal dengan dia?" tanya Lan Giok-keng terperanjat.
"Aku saja tidak pantas menjumpai dia, atas dasar apa kau ingin
bertemu dengan dia?"
"Atas dasar apa?" tentu saja Lan Giok-keng tidak ingin berterus
terang.
"Aku pun tahu kalau tidak pantas bertemu dengan nya, tapi ada
titipan dari orang yang harus disampaikan, jadi apa salahnya untuk
dicoba,” katanya.
"Siapa orang itu?" ternyata lelaki berewok itu berusaha mencari
tahu hingga ke dasar dasarnya.
"Siapa pula dirimu? Atas dasar apa aku harus memberitahu
kepadamu?" tidak tahan Lan Giok-keng balik menegur.
Lelaki berewok itu tertawa dingin.
"Kalau ingin mencoba, cobalah dengan diriku lebih dulu!"
jengeknya.
Belum sempat Lan Giok-keng memahami maksudnya, tiba-tiba
orang itu sudah melancarkan sebuah cengkeraman ke tubuh Lan
Giok-keng.
Untung saja Lan Giok-keng berhasil berkelit dengan cepat,
bentaknya gusar, "Kenapa kau ingin melukai aku?”
“Bukankah kau bertanya atas dasar apa aku bertanya?"Jengek
lelaki berewok itu lagi, "dasar ilmu Ki-na-jiu inilah aku mau
bertanya! Sekarang coba dulu kehebatanku, kalau mampu
mengalahkan aku, kau baru boleh mencoba untuk bertemu dengan
hwesio juru masak itu!"
Sementara berbicara, gerak serangannya sama sekali tidak
melambat, dalam waktu singkat dia telah melancarkan tiga jurus
serangan secepat kilat bahkan jurus demi jurus dilancarkan semakin
hebat, pada jurus terakhir dia bahkan mengancam tulang pi-pa-kut


di bahu lawan.
Tentu saja Lan Giok-keng tidak akan membiarkan lawan
memunahkan ilmu silatnya, sekuat tenaga dia memberi perlawanan.
"Blaaamm....!" tiba-tiba sepasang tangan mereka saling
membentur, tubuh Lan Giok-keng mundur sejauh dua langkah
sementara tubuh lelaki itu hanya sedikit terguncang.
Sambil mendengus kembali lelaki itu mengejek, "Hmm, ternyata
kau si bocah cilik keras juga tubuhnya, tapi sayang masih belum
pantas untuk menginjak dalam kuil Siau-lim.”
Sepasang tangannya berputar makin kencang, serangan yang
dilepaskan juga makin gencar dan ketat.
Selama ini Lan Giok-keng hanya mengerti ilmu pedang, dalam
ilmu tangan kosong boleh dibilang sama sekali tidak menguasai, tapi
di bawah serangan lawan yang begitu ketat, nyaris tidak ada waktu
lagi baginya untuk mencabut pedang. Tapi semisal ada peluang
mencabut pedangpun dia tidak ingin menggunakan pedang untuk
menghadapi lawan yang sama sekali tidak bersenjata.
Siapa tahu biar pun lelaki berewok itu hanya berkata ingin
"menjajal" ilmu silatnya, namun semua jurus serangan yang
digunakan justru sangat ganas, buas dan telengas. Apabila sampai
tercengkeram, bisa jadi tulang dan ototnya bakal putus atau remuk.
Akhirnya Lan Giok-keng tak kuasa lagi membendung serangan
lawan, "Breeet!" pakaiannya tersambar hingga robek sebagian.
Dalam gugup dan kagetnya cepat dia mengubah jurus pedang
Thay-kek-kiam-hoat ke dalam permainan tangan kosong, dengan
jums Ya-be-hun-cong (Kuda liar membelah bulu) dia langsung babat
bahu kiri orang itu.
Ketika melancarkan serangan itu, Lan Giok-keng sama sekali
tidak berharap jurus itu bisa mengalahkan lawan, dia hanya
berharap bisa membendung datangnya ancaman musuh yang
begitu mematikan.


Siapa tahu baru saja jurus itu dilancarkan, terdengar orang itu
menjerit keras, tubuhnya seakan tidak sanggup lagi berdiri tegak,
setelah mundur sempoyong-an tiba-tiba dia roboh terjungkal
kemudian menggelinding jatuh ke bawah tebing.
Perlu diketahui, tebing itu curam sekali, ketika Lan Giok-keng
berhasil menenangkan hatinya yang kaget dan lari ke tepi tebing,
dia sudah tidak melihat orang itu lagi.
Dinding tebing tegak lurus bagai mata pisau, sedang dasar
jurang amat dalam tidak nampak dasar. Diam-diam Lan Giok-keng
bergidik, pikirnya, "Aneh, padahal pukulanku tadi rasanya tidak
mengenai badannya, kenapa dia bisa terpeleset jatuh ke dalam
jurang? Moga-moga saja dia tidak sampai kehilangan nyawa garagara
kejadian ini, kalau tidak dosa ku bakal sangat besar.”
Tapi ketika membayangkan kembali jurus Tay-ki-na-jiu-hoat nya
yang begitu ganas dan telengas, seandainya dia bukan "terpeleset"
hingga jatuh ke jurang, bisa dipastikan dirinya kalau bukan mati
pasti terluka parah. Hal ini membuathatinya kembali bimbang. Tapi
benarkah dia 'terpeleset'?
Sejak dilahirkan dari rahim ibunya, Lan Giok-keng hanya pernah
satu kali bertanding pedang melawan Tonghong Liang, itupun hanya
berlatih jurus, hingga boleh dibilang dia sama sekali tidak memiliki
pengalaman dalam menghadapi musuh.
Sekalipun begitu, sedikit banyak dia masih sedikit tahu diri atas
kecetekan ilmu silat yang dimilikinya, dia sadar kungfu yang dimiliki
orang itu sangat tinggi, mustahil bisa dikalahkan hanya
mengandalkan sebuah jurus Ya-be-hun-cong saja.
Tapi kalau bukan lantaran keheranan jurus serangannya, lalu
mengapa seorang jago silat yang berilmu begitu tangguh bisa jatuh
terpeleset tanpa sebab yang jelas?
Matahari yang berwarna merah darah telah muncul dari balik
lautan mega, pemandangan di sekeliling hutan kini dapat terlihat
sangat jelas, tapi jangan lagi bayangan tubuh orang itu, seekor
burung yang sedang terbang pun tidak terlihat.


Dengan perasaan bingung dan tidak habis mengerti terpaksa Lan
Giok-keng melanjutkan kembali perjalanannya, belum tiba di depan
pintu kuil Siau-lim, lagi-lagi dia bertemu seorang pendeta berwajah
hitam.
Begitu bersua muka, pendeta berwajah hitam itu langsung
menegur, Lan Giok-keng jadi tidak senang hati, apalagi pendeta itu
menganggap dia sebagai seorang bocah yang harus didampingi
orang dewasa, sahutnya, "Orang tua ku berada seribu li dari sini,
aku kemari seorang diri.”
"Ooh, kalau begitu mungkin aku telah salah dengar. Kau seorang
bocah, jauh-jauh dari ribuan li datang kemari, apa tujuanmu?"
Rupanya dia adalah pendeta yang mendapat tugas untuk
menjaga pintu gerbang, tadi secara lamat-lamat dia mendengar ada
orang sedang berkelahi dalam hutan, karena itu cepat-cepat dia lari
keluar untuk menengok keadaan.
Dengan kening berkerut pendeta bermuka hitam itu segera
berkata, "Ooh, jadi kau ingin belajar silat. Sudah tergila-gila dengan
ilmu silat? Kami para hwesio dari kuil Siau-lim, pertama tidak bakal
sembarangan terima murid, ke dua tidak ada banyak waktu luang
untuk mengajarkan ilmu silat kepada orang lain.”
Kejadian semacam ini memang sering terjadi di kuil Siau-lim, jadi
peristiwa itu bukan sesuatu yang aneh.
"Pertama, kedatanganku bukan untuk berguru, kedua akupun
tidak ingin mencari orang untuk minta petunjuk, aku ada urusan
penting ingin bertemu dengan seorang Thaysu dari kuil anda.”
"Thaysu dari mana yang ingin kau jumpai? Dari ruang Tat-mowan
atau dari ruang Lo-han-tong?"
Jelas sekali di balik nada pembicaraan itu terselip nada sindiran
yang tajam.
"Thaysu itu bergelar Hwee-ko,” jawab Lan Giok-keng dengan
wajah serius.


"Hwee-ko?" gumam pendeta berwajah hitam itu tercengang,
"rasanya di dalam kuil Siau-lim tidak ada seorang hwesio yang
bernama Hwee-ko!"
"Siapa yang sedang mencari Hwee-ko?" tiba-tiba seorang
pendeta berwajah kuning bertanya.
"Engkoh cilik ini.”
"Aneh, Hwee-ko sudah tiga puluh tahun berdiam disini, belum
pernah sekalipun ada yang datang mencari nya, kenapa hari ini
beruntun ada begitu banyak orang yang datang mencarinya. Engkoh
cilik, beruntung sekali kau bertemu aku.”
"Jadi benar-benar ada hwesio yang bernama Hwee-ko dan sudah
tiga puluh tahun tinggal disini?" kata pendeta berwajah hitam itu
semakin keheranan.
"Sejujurnya, aku sendiripun baru hari ini tahu kalau ada orang
bernama itu. Cuma apakah orang itu adalah orang yang sedang
dicari engkoh cilik ini, aku perlu menanyai lagi. Hey, apa pekerjaaan
Hwee-ko Thaysu yang kau cari itu dalam kuil Siau-lim?"
"Aku rasa tidak mungkin dia menjabat kedudukan di ruang Tatmo-
wan atau Lo-han-tong. Setahuku, dia adalah seorang hwesio
juru masak di kuil ini.”
"Apa? Hwesio juru masak?" pendeta berwajah hitam itu tertegun.
Pendeta berwajah kuning itu ikut tertawa, katanya, “Jangan kau
pandang enteng hwesio juru masak itu, lagaknya mah besar sekali,
kurang lebih dua jam berselang ada seseorang datang mencarinya,
dia mohon kepadaku untuk sampaikan kabar kepadanya, Hwee-ko
sama sekali tidak bertanya siapakah orang itu, dia langsung minta
aku untuk mengusirnya pergi.”
Ternyata pendeta berwajah kuning itu adalah petugas yang
menjaga pintu gerbang separuh malam kemarin, fajar baru saja
menyingsing, orang itu sudah munculkan diri.
Saat itu dialah yang sedang bertugas meronda, sedang pendeta


berwajah hitam belum muncul menggantikan posisinya, (biasanya
petugas jaga terdiri dari dua orang, dan kedua orang itu akan
diganti regu lain pada jam jam tertentu).
Pendeta berwajah hitam itu segera tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... tidak aneh bila aku tidak tahu, ternyata dia hanya
seorang hwesio juru masak.”
Perlu diketahui jumlah anggota hwesio yang berdiam di kuil Siaulim
termasuk semua karyawan terdiri hampir seribu orang, tentu
saja pendeta berwajah hitam itu tidak bakalan menaruh perhatian
dengan seorang hwesio juru masak.
"Kalau hanya seorang hwesio juru masak, lalu apa lucunya?"
tegur Lan Giok-keng.
"Engkoh cilik, kau salah paham. Kami sama sekali tidak berniat
memandang rendah seorang hwesio juru masak. Hanya baru kali ini
kudengar ada orang memanggil hwesio juru masak sebagai Thaysu.
Benar-benar aneh tapi nyata.”
Berbicara sampai disitu tidak tahan lagi dia tertawa terbahakbahak.
"Hmm, sedikitpun tidak lucu,” dengus Lan Giok-keng, "Sucouwku
pun menyebut Hwee-ko sebagai Thaysu.”
"Kau berasal dari perguruan mana? Siapa Sucouw mu?" tanya
pendeta berwajah kuning itu kemudian.
"Aku berasal dari Bu-tong-pay, Sucouw ku adalah Bu-siang
Cinjin!"
Dua orang pendeta itu nampak sangat terperanjat, serunya
hampir serentak, "Bu-siang Cinjin? Kau maksudkan Ciangbunjin dari
Bu-tong-pay?"
"Yang menjadi Ciangbunjin sekarang sudah bukan dia orang tua.”
Kedua orang pendeta itu baru teringat kalau belum lama
berselang Bu-siang Cinjin telah meninggal dunia. Bahkan beritanya


pun baru diterima pihak Siau-lim-si dua hari berselang.
Pendeta berwajah hitam itu segera bertanya lagi, "Benarkah Busiang
Cinjin yang suruh kau datang mencari Hwee-ko?"
"Buat apa aku membohongi kalian?"
"Hari apa dia suruh kau turun gunung.”
Setelah Lan Giok-keng menyebutkan harinya, pendeta berwajah
hitam itu segera menghitung sebentar, lalu katanya, "Berarti sehari
sebelum Bu-siang Cinjin meninggal dunia?"
"Benar, aku pun baru mendapat berita tentang wafatnya Sucouw
sewaktu ada di tengah jalan.”
Kontan pendeta berwajah hitam itu tertawa dingin, katanya,
"Sebelum ajalnya tiba, sudah pasti ada banyak urusan yang harus
dia sampaikan, mana mungkin masih ada waktu luang dengan minta
kau datang menjumpai seorang hwesio juru masak di kuil Siau-lim?"
"Mau percaya atau tidak terserah dirimu. Kalau bukan diberitahu
Sucouw, aku masih ada di gunung Bu-tong dan darimana bisa tahu
kalau dalam kuil Siau-lim terdapat seorang hwesio juru masak yang
bernama Hwee-ko?"
Sambil tertawa dingin pendeta berwajah kuning itu berkata pula,
"Tahukah kau couwsu pendiri Bu-tong-pay kalian Thio Sam-hong
dulunya pun melarikan diri dari kuil Siau-lim? Selama dua ratus
tahun terakhir belum pernah ada murid agama To dari Bu-tong-pay
yang berani mendatangi kuil Siau-lim, dari antara murid preman pun
hanya Bouw Tok-it seorang yang pernah datang kemari.”
"Aku tahu.”
"Kalau dibilang Bu-siang Cinjin suruh kau datang menyambangi
Hong-tiang kami, mungkin saja aku masih dapat mempercayainya
beberapa bagian, hmm! Hmm! Dia suruh kau datang menyambangi
seorang hwesio juru masak?"
"Lantas apa yang kau inginkan supaya percaya?"


"Yang sudah mah tidak bisa diminta jadi saksi, jadi lebih baik
dibuktikan lewat ilmu silat saja,” kata pendeta berwajah hitam itu.
"Ooh, jadi maksudmu ingin menjajal apakah aku mengerti ilmu
silat aliran Bu-tong?"
"Benar, bukan saja akan kucoba apakah kau mengerti atau tidak,
bahkan kau harus sanggup mena-han sepuluh jurus seranganku,
dengan begitu aku baru percaya kalau kau benar-benar adalah cucu
murid Bu-siang Cinjin!"
"Boleh saja. Tapi tidak perlu dibatasi sepuluh jurus, mau seratus
jurus pun tidak masalah!"
"Bagus sekali, besar amat lagak bocah cilik ini!" teriak pendeta
berwajah hitam itu gusar, "tapi sebelum bertarung aku perlu
beritahukan dulu, dalam serangan nanti aku tidak bakal berbelas
kasihan, jadi kalau sampai terluka, jangan salahkan aku bertindak
kejam.”
"Begitu juga sebaliknya,” ujar Lan Giok-keng, "bila aku sampai
melukaimu, harap kaupun jangan menyalah kan.”
Tidak terlukiskan rasa gusar pendeta berwajah hitam itu, saking
jengkelnya sepasang mata sampai melotot besar, bentaknya,
"Bocah latah, cabut pedangmu!"
Pendeta berwajah kuning itu adalah suhengnya, tahu kalau dia
temperamen tinggi, khawatir serangannya nanti sampai melukai
seorang pemuda bau kencur sehingga bukan saja akan dihukum
Hong-tiang, bahkan kalau sampai tersiar keluar bakal merugikan
nama baik Siau-lim-pay, maka buru-buru serunya, "Sute, jangan kau
layani seorang pemuda yang tidak tahu diri, lebih baik biar aku saja
yang temani dia bertarung dua jurus.”
Dia adalah salah satu diantara delapan belas murid dari ruang
Lo-han-tong, karena tidak ingin membuang waktu, begitu turun
tangan segera menggunakan Siau-ki-na-jiu-hoat untuk
mencengkeram lawan nya.
Siau-ki-na-jiu jauh lebih lihay bila dibandingkan Toa-ki-na-jiu


yang digunakan lelaki berewok tadi.
"Breeet!" terdengar suara kain disambar robek, tahu-tahu ujung
baju Lan Giok-keng sudah tersambar hingga robek.
Diam-diam Lan Giok-keng mengulang rumus pedang yang
dipelajarinya, "Thay-kek memutar bundar, tanpa putus tanda jedah,
hasrat ada di pedang, menyerang sambung menyambung. Biar dia
berat bagai tindihan bukit Thay-san, anggap saja angin lembut yang
menerpa wajah.”
Tanpa berkedip sekali pun secara beruntun pedangnya sudah
melancarkan tiga lingkaran bunga pedang.
Untuk sesaat pendeta berwajah kuning itu gagal menemukan titik
kelemahan, tentu saja jari tangannya tidak berani menerobos masuk
ke tengah lingkaran pedang itu.
Pendeta berwajah hitam itu segera berteriak, "Suheng, mungkin
ada orang lain yang secara diam-diam memberi petunjuk
dibelakangnya, bisa jadi mereka berniat akan mempermalukan Siaulim-
pay. Lebih baik tidak usah berbelas kasihan lagi.”
Kesempurnaan ilmu pedang yang dimiliki Lan Giok-keng jauh di
luar dugaan pendeta berwajah kuning itu, tergerak hatinya setelah
mendengar perkataan sute nya itu, segera pikirnya, "Biarpun sute
adalah seorang lelaki berangasan, namun perkataannya itu masuk
diakal juga. Bocah ini paling baru berusia lima, enam belas tahunan,
tapi ilmu pedangnya sudah begitu hebat, jangan-jangan dia
memang benar-benar cucu murid Bu-siang Cinjin, ini berarti para
tosu tua hidung kerbau sengaja mengutus dia untuk datang
menyelidiki kungfu pihak Siau-limpay. Dia tidak lebih hanya seorang
bocah ingusan, mungkin kawanan tosu tua itu menganggap kami
tidak akan berani mengusik jiwanya. Tapi seandainya ada anggota
kami disini yang sampai menderita kekalahan, sejak sekarang Siaulim-
pay sudah tidak bisa angkat kepala lagi. Pamornya bakal berada
di bawah Bu-tong-pay.”
Begitu timbul perasaan curiga, seketika itu juga pendeta
berwajah kuning itu turun tangan tidak kenal ampun. Sekalipun


tidak sampai akan merenggut nyawa Lan Giok-keng, namun dia
merasa perlu untuk menghajar Lan Giok-keng sampai cacat.
Sambil meraung keras tubuhnya menerjang ke muka, dengan
pukulan tangan dia singkirkan lingkaran pedang dari Lan Giok-keng.
Cepat bocah itu melejit ke samping, dengan jurus Kim-ciam-toksian
(jarum emas merajut) ujung pedangnya mengancam urat nadi
pergelangan tangan pendeta bermuka kuning itu. Perubahan
tersebut dilakukan sangat hebat dan sama sekali di luar dugaan
pendeta berwajah kuning itu.
Dia tidak tahu kalau gerakan ini merupakan daya cipta Lan Giokkeng
dengan dasar ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat, gerutunya di
dalam hati, "Aneh, kelihatannya bocah ini pandai juga menggunakan
ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat, tapi rasanya juga tidak serupa....”
Bicara soal pengalaman maupun ilmu silat, kemampuannya
masih berada diatas Lan Giok-keng, sekalipun dia tidak bisa meraba
latar belakang musuhnya, namun tidak sampai dipecundangi.
Segera sepasang tangannya yang merangkap di depan dada
direntangkan ke kiri dan kanan, kembali dia gunakan sebuah
pukulan yang disertai tenaga dalam sempurna.
Lan Giok-keng segera melompat ke samping untuk menghindar,
lamat-lamat dia merasa kepalannya linu dan kaku.
"Aduuh mak," teriak Lan Giok-keng, "besar amat tenaga mu!"
Merah padam selembar wajah pendeta berwajah kuning itu, dia
merasa pipinya bagaikan dibakar. Serunya diam diam, "Sungguh
memalukan!"
Kemudian pikirnya lebih jauh, "Namaku berada dalam deretan
Cap-pwee Lohan, tapi dalam jurus serangan tidak mampu
mengungguli seorang bocah, untung tidak ada orang luar disini,
kalau tidak kejadian ini benar-benar akan menjadi bahan tertawaan
orang lain.”
Dalam pada itu pendeta berwajah hitam itupun diam-diam


merasa tercengang setelah melihat Lan Giok-keng sanggup
menahan gempuran Toa-lek-kim-kong-ciang dari suhengnya, segera
ujarnya, "Sudah lama kudengar orang berkata bahwa ilmu yang
paling diandalkan Bu-tong-pay adalah ilmu meminjam tenaga, kau si
bocah monyet mengakunya saja sebagai cucu murid Bu-siang Cinjin,
masa ilmu sebangsa inipun tidak paham? Hehehe.... tampaknya kau
memang orang gadungan yang mengaku saja!"
Padahal siapa bilang Lan Giok-keng tidak mengerti teori tentang
menggunakan kelembutan mengatasi kekerasan? Sejak berusia lima
tahun dia sudah mulai belajar silat, dalam jangka waktu sebelas
tahun entah berapa banyak ilmu meminjam tenaga yang telah
dipelajarinya.
Akan tetapi biarpun teori mudah dipahami, gerakan tangan tidak
susah dipelajari, justru yang sulit adalah cara penggunaannya
dimana dibutuhkan pikiran yang benar-benar tenang, kalau tidak, di
saat sedang menghadapi musuh dengan begitu banyak perubahan,
selisih waktu sedikit saja bisa menghasilkan akibat yang sangat
berbeda.
Di samping itu bila selisih tenaga dalamnya kelewat jauh, sehebat
apapun sistim yang digunakan, belum tentu bisa menghasilkan
akibat yang kelewat maksimal.
Sudah barang tentu pendeta berwajah hitam itu pun memahami
akan teori ini, hanya saja dia memang sengaja mengatakannya.
Pertama untuk membantu suhengnya menghadapi ejekan, ke dua
diapun sudah melihat kalau suhengnya berniat melukai pemuda itu,
karenanya dia sengaja menyangkal kalau dia bukan murid Bu-tongpay,
jadi seandainya di kemudian hari terjadi masalah dan
keonaran, dia lebih gampang mencari alasan untuk menyangkal.
Tapi perkataan itu justru menyadarkan pula Lan Giok-keng.
Selama setengah bulan terakhir, Lan Giok-keng memang sudah
banyak memahami Sim-hoat tenaga dalam yang diberikan Sucouw
kepadanya, hanya saja selama ini dia belum mendapat kesempatan
untuk mencobanya dan dia kekurangan pengalaman.


Dalam waktu singkat teori Sim-hoat tenaga dalam pun mengalir
di dalam bnaknya, "Dari ada menjadi tiada, dibalik tiada tumbuh
ada. Pikiran tidak ternoda godaan, mengalir bagai air di sungai.
Mengurai keganasan Kim-kong, empat tahil mengubah seribu kati!"
Begitu teori dibacakan, seketika pikiran bocah itupun terbuka.
Tiba-tiba pendeta berwajah kuning itu melancarkan kembali
sebuah bacokan maut, cepat Lan Giok-keng menggetarkan
senjatanya dan menyongsong dengan gagang pedang, begitu dia
mencukil perlahan....
"Kraaakk!" sebatang dahan pohon sebesar lengan bocah yang
tumbuh tiga jengkal di hadapannya telah terhajar patah oleh tenaga
pukulan pendeta berwajah kuning itu.
Lan Giok-keng sendiri meski dapat menggiring tenaga pukulan
lawan hingga berubah arah dan mematahkan dahan pohon, tidak
urung dia sendiri pun mundur satu, dua langkah dengan
sempoyongan sebelum akhirnya bisa berdiri tegak. Hal ini
disebabkan dia hanya berhasil memunahkan delapan bagian kekuatan
lawannya.
Kontan saja paras muka sang pendeta yang semula berwarna
kuning, berubah jadi merah padam lantaran jengah.
Perlu diketahui, dalam meminjam tenaga memukul tenaga meski
tidak boleh terjadi benturan secara keras melawan keras, namun
andaikata barusan Lan Giok-keng menggiringnya dengan memakai
ujung pedang, sekalipun tidak sampai membuat pendeta berwajah
kuning itu terkurung lengannya, dapat dipastikan dia akan
menderita luka luar yang cukup parah.
Entah dikarenakan rasa curiganya yang menimbul kan pikiran
kacau, sewaktu dia mematahkan batang pohon tadi, lamat-lamat
pendeta berwajah kuning itu seakan mendengar ada seseorang
sedang tertawa dingin.
Suara itu mengalun diangkasa, seolah ada seolah tidak ada, sulit
baginya untuk membedakan apakah suara itu suara dahan yang


bergoyang? Atau suara daun yang berguguran? Atau bahkan hanya
suara hembusan angin? Tapi dia merasa seolah mendengar suara
itu, entah khayalan entah kenyataan, namun hal ini segera
menimbulkan teka teki dalam hatinya.
Untuk menyelamatkan kehilangan muka, sambil tertawa dingin
dia segera berseru, "Bocah keparat, biar kutunjukkan ilmu tangan
kosongku untuk merampas senjata mu, jangan kau sangka aku
hanya bisa mengalahkan dirimu dengan tenaga dalam saja hingga
menuduhku yang besar menganiaya yang kecil.”
Sembari membentak ke lima jari tangannya bagaikan sebuah
kaitan langsung mencakar Lan Giok-keng.
Walaupun menyerang namun pendeta itu sama sekali tidak
merangsek maju, bahkan tubuhnya selalu menjaga jarak dengan
ujung pedang Lan Giok-keng sejauh tiga, lima inci.
Tujuan tangan kosong merampas senjata adalah merampas
senjata yang sedang digunakan pihak lawan, kalau tidak terjadi
sentuhan, bagaimana mungkin dia bisa mencapai sasaran?
Ternyata kepandaian silat yang digunakan saat ini adalah Liongjiau-
jiu (tangan cakar naga), salah satu ilmu silat di antara tujuh
puluh dua macam kepandaian andalan Siau-lim-si.
Serangannya dilancarkan cepat bagaikan kilat, dalam setiap
jurusnya serangan tipuan dan serangan nyata saling mendukung,
perubahan yang diciptakan tidak terhingga.
Dia selalu mengincar keteledoran pihak lawan, begitu muncul
kesempatan maka serangan tipuan segera berubah jadi ancaman
nyata, yang diancam pun jalan darah kematian di tubuh bocah itu.
Namun di saat tidak ada peluang yang bisa digunakan, tenaga
pukulannya seolah melayang kian kemari sehingga sulit bagi lawan
untuk mengeluarkan lagi ilmu meminjam tenaga.
Kalau dibilang tidak menggunakan tenaga dalam sama sekali,
jelas pendeta itu sedang berbohong, sebab ilmu yang digunakan
sekarang adalah ilmu pukulan bintang langit kecil (Siau-thian-sengTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/

ciam) yang bersifat lembut dan negatip, dalam setiap serangannya
sama sekali tidak menimbulkan angin pukulan.
Cuma saja, ilmu Liong-jiau-jiu memang benar benar tidak
memperagakan tenaga dalam.
Bagi Lan Giok-keng sendiri, sebetulnya ilmu pedang Thay-kekkiam-
hoat yang dipelajarinya sama sekali tidak kalah dengan ilmu
Liong-jiau-jiu lawan, hanya bedanya, pendeta berwajah kuning itu
sudah hampir dua puluh tahun lamanya melatih ilmu cakar naganya,
sedang Lan Giok-keng baru belakangan belajar ilmu pedang Thaykek-
kiam-hoat, meski daya ingatnya cukup tinggi bahkan sudah
memiliki 'daya cipta', namun bagaimanapun juga dia masih kalah
jauh dibandingkan lawannya.
Begitu pendeta berwajah kuning itu merubah taktik pertarungan
dengan mulai bertarung bergerilya, sering berubah posisi dan
melakukan ancaman yang bertubi-tubi, daya tekanan terhadap Lan
Giok-keng pun kian lama kian bertambah menghebat, lambat laun
permainan pedang Lan Giok-keng pun terbelenggu hingga sama
sekali tidak dapat dikembangkan lagi.
Pendeta berwajah hitam yang menonton jalannya pertarungan
mulai berseri karena gembira, berulang kali dia bersorak sorai
memberi dukungan semangat kepada kakak seperguruannya.
"Bagus, bagus sekali!"
Sayangnya, setiap kali rekannya berteriak 'bagus sekali', kering
pendeta berwajah kuning itu makin berkerut kencang, mimik
wajahnya pun makin lama semakin tidak sedap dipandang.
Lan Giok-keng sama sekali tidak menghitung berapa jurus telah
dilalui, namun dia sendiri telah menghitungnya secara diam diam,
kini seratus jurus sudah lewat.
Tadi, dia sempat sesumbar dengan mengatakan dalam sepuluh
jurus pasti berhasil meringkus Lan Giok-keng, tapi sekarang jumlah
jurusnya sudah berlipat sepuluh kali, bukankah tempik sorak dari
sute nya sekarang sama artinya sedang mengejek dan mencemooh


dirinya? Kendatipun sejujurnya pendeta berwajah hitam itu sama
sekali tidak bermaksud begitu.
Sambil menggertak gigi diam-diam pendeta berwajah kuning itu
berpikir, "Kalau tidak kutangkap bocah keparat ini, akan kutaruh
dimana wajah ku?"
Kobaran api amarah seketika membangkitkan napsu membunuh
dalam hati kecilnya, jurus-jurus pamungkas pun mulai digunakan,
sekarang dia sudah tidak ambil perduli lagi apakah serangannya
akan mengancam keselamatan jiwa Lan Giok-keng atau tidak.
Dia sertakan ilmu pukulan Siau-thian-seng-ciang ke dalam cakar
naga nya, sebentar menyodok sebentar menarik, dia gunakan
tenaga dalamnya untuk membetot tubuh Lan Giok-keng seolah
terhisap dalam pusaran air yang kuat, biarpun tidak sampai roboh,
langkah kaki bocah itu mulai sempoyongan hingga tanpa terasa
posisi tubuhnya mulai miring ke samping.
Dengan cepat pendeta berwajah kuning itu melancarkan
serangkaian jurus kilat, semua serangannya aneh dan sakti, dalam
keadaan limbung meski Lan Giok-keng berusaha berkelit ke arah
mana pun, tubuhnya selalu terkurung dalam pengaruh pukulan
lawan.
Dalam keadaan seperti ini, seandainya dia gagal untuk
menghindar niscaya tulang pi-pa-kut nya akan hancur kena
cengkeraman musuh, sebaliknya bila cara menghindarnya tepat,
paling tidak pedangnya bakal berhasil dirampas lawan.
Dalam keadaan yang kritis itulah tiba-tiba Lan Giok-keng seolah
mendengar ada orang berbisik di sisi telinganya, "Pek-hok-liang-ci,
Hian-nio-hua-sa!"
Tanpa berpikir panjang lagi Lan Giok-keng segera mengeluarkan
dua jurus serangan itu.
Untuk menggunakan jurus bangau putih pentang sayap,
tubuhnya harus melejit ke udara, karena itulah di saat langkahnya
sempoyongan, dia segera menggunakan kesempatan itu untuk


melambung.
Tapi untuk menggunakan jurus burung belibis mengayuh pasir,
dia harus membalikkan tangan berputar setengah lingkaran busur
ke arah kanan, padahal pendeta berwajah kuning itu sedang
menyerang dari arah depan sedang badannya dalam posisi
melambung, bila jurus itu digunakan, bukankah pertahanannya jadi
terbuka dan memberi peluang kepada lawan untuk menerobos
masuk?
Tapi Lan Giok-keng sama sekali tidak berpikir sampai ke situ,
sebab dia sudah mengenali suara bisikan itu berasal dari seseorang,
seseorang yang paling dipercayainya.
"Breeeet!" jubah pendeta berwajah kuning itu segera tersambar
hingga robek sepanjang tujuh inci lebih, begitu nyaris pedang itu
menyambar lewat hingga dada pun dapat merasakan hawa pedang
yang menggidikkan itu.
Tidak terlukiskan rasa terkejut yang mencekam hatinya,
tergopoh-gopoh dia melompat mundur sejauh beberapa depa lebih.
Ternyata sebelum memberi petunjuk, orang itu sudah
memperhitungkan dengan tepat langkah berikut yang akan
dilakukan pendeta berwajah kuning itu.
Ternyata dugaannya memang tidak meleset, dalam waktu
singkat dia telah menggeser posisinya dengan menyelinap ke
belakang Lan Giok-keng sambil melancarkan serangan.
Akibatnya, gerakan itu sama halnya dengan menghantar diri
menyongsong jurus Burung belibis mengayuh pasir yang sedang
digunakan Lan Giok-keng.
Yang lebih hebat lagi adalah orang itupun telah
memperhitungkan kalau Lan Giok-keng setelah menggunakan jurus
Bangau putih pentangkan sayap masih memiliki kekuatan yang
cukup untuk merobek jubah lawannya dengan jurus burung hitam
mendayung pasir yang akan dilakukan, bahkan kekuatan tersebut
tidak sampai melukai jiwa lawan.


Begitu melihat jubah saudara seperguruannya tersambar robek,
dalam gugup dan paniknya pendeta berwajah hitam itu tidak ambil
perduli lagi apakah suhengnya terluka atau tidak, dengan sifat
temperamen nya dan berangasan segera bentaknya nyaring,
"Bajingan cilik, jangan kau lukai suhengku!"
Senjata sekopnya langsung dihantamkan ke sepasang kaki Lan
Giok-keng.
Senjata sekop adalah jenis senjata berat, lagipula ilmu yang
dilatih pendeta bermuka hitam itu adalah ilmu gwa-kang, tidak
heran kalau kekuatan sepasang lengannya mencapai ribuan kati
beratnya.
Bukan saja dia sudah menyerang tiga bagian tubuh Lan Giokkeng,
bahkan serangan sekopnya sama sekali tidak kenal ampun.
Dalam menghadapi ancaman yang datang, Lan Giok-keng benarbenar
terjerumus dalam posisi ter-desak, dalam keadaan begini,
seandainya dia berhasil mempertahankan nyawanya pun,
kemungkinan besar sepasang kakinya akan berpisah dengan badan.
Tentu saja Lan Giok-keng enggan jadi cacat, "walaupun kekuatan
lawan berat bagai bukit Thay-san, hadapilah bagai hembusan angin
sejuk", serta merta diapun menggunakan ilmu Si-liang-po-jian-keng
"kekuatan empat kati menangkis tindihan ribuan kati" untuk
menghadapi datangnya ancaman.
Tenaga dalam yang dimiliki pendeta bermuka hitam ini jauh di
bawah kemampuan suhengnya, ketika Lan Giok-keng menggunakan
ilmu Si-liang-po-jian-keng untuk menghadapi pendeta berwajah
kuning tadi, hasil yang diperoleh tidak seberapa besar. Sebaliknya
ketika digunakan untuk menghadapi pendeta berwajah hitam ini,
hasilnya benar-benar luar biasa.
Ilmu Si-liang-po-jian-keng memang tidak takut menghadapi
kekuatan musuh yang besar, makin besar kekuatan musuh maka
daya pental yang dihasilkan pun semakin besar.
"Blaaammmm!" terdengar suara benturan dahsyat yang


memekikkan telinga berkumandang di angkasa, mendadak senjata
sekop pendeta berwajah hitam itu melenceng ke arah lain, begitu
dahsyat getaran yang terjadi, bukan saja dia tidak sanggup lagi
memegang senjatanya hingga terlepas dari genggaman, bahkan
pergelangan tangannya terasa sakitnya bukan kepalang.
Gempuran dahsyat itu dilancarkan dengan kecepatan bagaikan
sambaran kilat, namun hanya dalam waktu singkat menang kalah
sudah ketahuan hasilnya.
Dengan termangu Lan Giok-keng memandang sekejap sekeliling
arena, dia menjumpai ke dua orang pendeta itu berdiri lesu
bagaikan ayam jago yang kalah bertarung, wajahnya kelihatan sedih
sekali.
Tiba-tiba Lan Giok-keng merasakan pandangan matanya jadi
terang, kedua orang pendeta itupun serentak mendongakkan
kepalanya. Ternyata ditengah arena telah bertambah dengan
beberapa orang.
"Tonghong Toako, ternyata memang kau!" Lan Giok-keng segera
berseru tertahan.
Dalam pandangan matanya, dia hanya memperhatikan Tonghong
Liang seorang dan sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap
dua orang lain yang muncul pada saat yang bersamaan.
Ke dua orang itu adalah hwesio tua berusia enam puluh tahunan,
bahkan mereka adalah hwesio tua dengan kedudukan yang luar
biasa.
Yang pertama adalah Pun-bu Thaysu, ketua ruang Tat-mo-wan
dari kuil Siau-lim, sedangkan orang ke dua adalah Tong-sian
Sangjin, Hongtiang kuil Siau-lim-si.
Mimpipun ke dua orang pendeta penjaga pintu itu tidak
menyangka kalau ketua partai bakal muncul sendiri ke luar pintu,
bahkan diiringi ketua ruang Tat-mo.
Dengan wajah dingin bagai salju Pun-bu Thaysu segera menegur,
"Wan-thong, kau sebagai anggota ruang Lohan mengapa berani


bertindak sebelum tahu persoalan? Apalagi menggunakan ilmu sakti
perguruan kita untuk menghadapi Siau-sicu yang belum lagi
dewasa?"
Pendeta berwajah kuning itu segera menyahut, "Tecu tahu salah,
tapi harap ketua maklum, siau Sicu inilah yang berbohong lebih
dulu, dia mengaku sebagai murid Bu-tong-pay bahkan sengaja
provokasi untuk mencari gara-gara. Sudah pasti di belakangnya ada
dalang lain yang memberi perintah, itulah sebabnya tecu berniat
melacak dulu identitasnya.”
"Tutup mulut!" bentak Pun-bu Thaysu makin gusar, "bukankah
Siau-sicu itu sudah mengutarakan dengan jelas maksud
kedatangannya? Kau sendiri yang mengada-ada dan berpikir yang
bukan-bukan, ayoh cepat minta maaf kepada Siau-sicu itu!"
Pendeta berwajah kuning itu semakin terkesiap, bisiknya agak
tergagap, "Jadi.... jadi Siau.... Siau-sicu ini benar-benar murid Butong?"
Begitu melihat Hong-tiang partai Siau-lim dan ketua Tat-mo-wan
bersikap begitu hormat terhadap Lan Giok-keng, sebutan "bocah
keparat kecil" pun tidak berani diutarakan.
Terdengar Pun-bu Thaysu berkata lagi, "Atas dasar apa kau
mencurigai dia bukan murid Bu-tong-pay?"
"Ilmu pedangnya memang agak mirip ilmu Thay-kek-kiam-hoat
dari Bu-tong-pay, namun dalam kenyataan sama sekali berbeda.
Jadi menurut pandangan tecu, kemungkinan besar dia bukan ahli
waris dari Thio Sam-hong?"
Pun-bu Thaysu tidak langsung menanggapi perkata annya, dia
berpaling dulu ke arah ketua Siau-lim, kemudian ujarnya, "Suheng,
kau jauh lebih memahami tentang ilmu pedang pelbagai aliran
ketimbang aku, entah bagaimana menurut pandanganmu? Apakah
aku salah lihat?"
"Betul,” sahut Tong-sian Sangjin, "ilmu pedang yang digunakan
Siau-sicu ini meski sedikit berbeda dengan ilmu pedang Thay-kekTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/

kiam-hoat yang beredar saat ini, tapi semua ilmu pedang kalau
hanya mengutamakan gerakan, sudah pasti kemampuannya akan
merosot drastis. Berbeda dengan Thay-kek-kiam-hoat yang
digunakan siau Sicu ini, kemampuannya boleh dibilang sudah
mencapai tingkatan luar biasa!"
"Perkataan suheng sangat sesuai dengan jalan pikiranku,”
dengan wajah berseri sahut Pun-bu Thaysu, "Siau-sicu, bila
dugaanku tidak keliru, ilmu pedangmu pasti warisan langsung dari
Bu-siang Cinjin bukan?"
Sebagaimana diketahui, Lan Giok-keng belajar ilmu pedang dari
ayah angkatnya, tapi kiam-boh berasal dari warisan Sucouw nya.
Sekalipun ayah angkatnya mengajarkan jurus pedang yang keliru,
namun ilmu pedang yang berhasil dia pahami dari Kiam-boh justru
merupakan ilmu pedang yang asli.
Namun 'pemahaman’ yang berhasil dia peroleh, sedikit banyak
lantaran petunjuk dari Tonghong Liang, bahkan dilakukan pula dari
perbaikan yang selalu dia lakukan terhadap jurus pedang ajaran
ayah angkatnya, jadi sedikit banyak ayah angkatnya ikut punya
pahala dalam hal ini.
Dia tidak tahu bagaimana harus menjawab, setelah sangsi
beberapa saat akhirnya dia berkata begini, "Boleh dibilang
demikian!"
Jawaban yang samar samar ini kontan membuat Pun-bu Thaysu
berkerut kening, pikirnya, "Jangan-jangan masih ada masalah lain?"
Namun dia tidak ingin melacak lebih jauh, apalagi terhadap anak
murid perguruan lain.
Tong-sian Sangjin menghela napas panjang, katanya, "Tidak
heran kalau belakangan nama besar Bu-tong-pay bisa melampui
nama Siau-lim, terlepas yang lain, orang orang berbakat dalam Butong
ternyata memang jauh lebih hebat daripada Siau-lim-pay.
Hanya seorang cucu murid dari Bu-siang Cinjin pun sudah mampu
menandingi murid kepala dari ruang Lo-han-tong kita!"


"Tecu tidak becus, semoga Hong-tiang sudi memaafkan!" dengan
ketakutan buru-buru pendeta berwajah kuning itu berseru.
"Siau-lim, Bu-tong dulunya berasal dari serumah, jadi
kekalahanmu di tangan cucu murid Bu-siang Cinjin bukan terhitung
sangat memalukan. Aku hanya merasa sedikit menyesal, bukan
lantaran menyalahkan kemampuan mu yang tidak becus. Yang ingin
kukatakan, tindakanmu benar-benar telah salah aturan, bersikap
kurang sopan kepada siau Sicu, sekalipun yang menang dirimu pun
kau tetap harus minta maaf kepadanya.”
Pendeta berwajah kuning itu berdiri tersipu sipu, malunya bukan
kepalang. Masih mending kalau dia yang menang dan minta maaf,
sekarang bukan saja sudah keok ditangan musuh, harus minta maaf
lagi.
Tentu saja dia tidak berani membangkang perintah sang ketua,
terpaksa sambil menahan rasa malu dia minta maaf kepada Lan
Giok-keng, katanya, "Siau Sicu, maafkan siauceng punya mata tidak
berbiji hingga tidak mengenalimu sebagai murid hebat dari Bu-tong,
mohon maaf yang sebesar besarnya.”
Buru-buru Lan Giok-keng balas memberi hormat, sahutnya,
"Tidak berani, tidak berani, padahal....”
Belum selesai dia berkata, sudah ada orang lain yang
mewakilinya berbicara.
Pendeta berwajah hitam itu paling tidak sabaran, dia merasa
sangat tidak puas setelah mendengar ketuanya memuji Lan Giokkeng
bahkan memandang rendah kemampuan suheng sendiri, maka
begitu mendengar Lan Giok-keng mengatakan 'tidak berani', dia
langsung menyerobot sambil berseru, "Huuh, siau Sicu itu tidak
sampai kalah karena sudah mendapat petunjuk orang lain. Kalau
tidak, mana mungkin dia bisa mengungguli Wan-thong suheng?"
"Benar,” Lan Giok-keng segera membenarkan, "sebetulnya aku
memang bukan tandingan hwesio itu.”
"Wan-yap,” kata Pun-bu Thaysu tiba tiba, "tahukah kau apa


sebabnya latihan ilmu silatmu selalu tidak bisa peroleh kemajuan?
Ini dikarenakan pikiranmu tidak dapat kosong, coba bayangkan
sendiri, semisal tadi kau sedang bertarung melawan siau Sicu itu,
apakah kau mampu peroleh kemenangan hanya dikarenakan aku
memberimu petunjuk dari samping arena?"
Pendeta berwajah hitam itupun tahu kalau tadi dia dikalahkan
Lan Giok-keng dalam satu gebrakan karena dia sudah termakan
ilmu lembek melawan keras yang di miliki lawan, diapun sadar kalau
tenaga dalam nya amat cetek, yang dimiliki hanya tenaga gwakang
saja. Jadi sekalipun mendapat petunjuk dari guru hebat pun tidak
nanti dia bisa mengalahkan musuhnya.
Biar begitu, dia tetap merasa tidak puas, ujarnya, "Kuakui
kepandaianku memang tidak mampu mengalahkan siau Sicu itu,
tapi pengakuan dari siau Sicu inipun tidak bisa dipercaya seratus
persen.”
"Apa yang kukatakan adalah kata sejujurnya,” ujar Lan Giok-keng
cepat, "dalam hal mana toa hwesio tetap merasa tidak percaya?"
"Kau mengatakan sedang mendapat perintah dari Sucouw mu
Bu-siang Cinjin untuk mencari seorang hwesio juru masak di kuil
kami.”
"Benar!"
"Bu-siang Cinjin hanya memerintahkan kau seorang diri?"
"Benar!"
Pendeta berwajah hitam itu mendesak lebih jauh, ujarnya lagi,
"Kau sama sekali tidak mengajak serta saudara seperguruanmu
yang lain?"
Lan Giok-keng segera berkerut kening, pikirnya, "Ribet amat
hwesio yang satu ini,” namun dia menjawab juga, "Sucouw hanya
mengutus aku seorang, tentu saja tidak di sertai rekan perguruan
lainnya.”
Sambil tertawa dingin pendeta bermuka hitam itu menuding ke


arah Tonghong Liang, serunya, "Lalu siapakah orang itu? Kau berani
mengatakan kalau dia bukan anggota perguruan Bu-tong?"
Sebagaimana diketahui, Tonghong Liang dapat memberi
petunjuk ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat kepada Lan Giok-keng,
tentu saja dia menyangka Tonghong Liang adalah anggota
perguruan Bu-tong.
"Dia adalah saudara angkatku, tapi bukan berasal dari Bu-tongpay!"
Wan-thong tampak terkejut, ditatapnya Tonghong Liang dengan
mata melotot kemudian ujarnya, "Petunjuk ilmu pedang yang kau
berikan kepada siau Sicu tadi sangat dahsyat, masa kau bukan
anggota Bu-tong-pay?"
Tonghong Liang mendengus dingin.
"Hmm, biarpun nama besar Bu-tong-pay hampir sejajar dengan
nama Siau-lim-pay namun aku masih tidak berminat menjadi murid
Bu-tong-pay!"
Jawaban tersebut kontan saja menimbulkan kecurigaan Pun-bu
Thaysu, selanya, "Maaf bila mata lolap melamur, boleh tahu Sicu
berasal dari perguruan mana?"
"Aku sendiripun tidak tahu diriku berasal dari perguruan mana.”
Jawaban itu tidak berhasil berkelit, walaupun Sucouwnya Hian
Tin-cu berasal dari Kun-lun-pay namun ilmu pedangnya boleh
dibilang sudah membentuk aliran sendiri, kemudian ketika tiba pada
jaman gurunya, Siang Thian-beng, dia semakin banyak
membaurkan ilmu pedang dari aliran lain ke dalam ilmu pedangnya
hingga tercipta ilmu pedang Hui-eng-hwee-sian-kiam-hoat yang
membawa dia memperoleh julukan sebagai Kiam-sin, si rasul
pedang.
Tentu saja Pun-bu Thaysu tidak mengetahui akan hal ini, sambil
mendengus pikirnya, "Sekalipun kau enggan mengatakannya,
memang aku tidak punya cara untuk mengetahuinya?"


Sementara itu dari dalam kuil kembali bermunculan beberapa
orang pendeta yang mendengar kabar itu, tapi begitu melihat ketua
mereka hadir di arena, serentak mereka hanya berdiri di samping
dengan tenang, siapa pun tidak berani banyak bicara.
"Lolap tidak berminat mencari tahu asal usul Sicu,” kembali Punbu
Thaysu berkata, "tapi apa maksud kedatangan Sicu kemari?
Harap kau katakan yang jelas.”
Makin lama nada bicaranya semakin keras.
"Kedatanganku sama seperti adik angkatku, ingin menyambangi
seorang pendeta agung,” ujar Tonghong Liang.
"Jangan kau sebut dulu siapa nama pendeta itu, sebelumnya
lebih baik kujelaskan dulu peraturan yang berlaku dalam kuil Siaulim.
"Kami Siau-lim-pay sama sekali tidak melarang kunjungan tamu,
namun bila orang itu berniat menjajal kepandaian silat dari Siau-limpay
maka dia harus melakukan pertandingan terlebih dulu kemudian
baru dipastikan apakah dia pantas untuk memasuki kuil kami atau
tidak.”
Maksud dari perkataan ini jelas sekali, jika tidak memenuhi
persyaratan maka jangan harap bisa melangkah masuk ke dalam
pintu gerbang kuil Siau-lim, otomatis jangan berharap bisa bertemu
dengan orang yang cari.
"Ilmu silat dari partai anda sudah tersohor di seantero jagad dan
dikagumi setiap orang,” kata Tonghong Liang, "aku rasa tanpa
dicobapun aku sudah tahu kalau kepandaian silat kalian sangat
tangguh. Aku rasa peraturan ini tidak cocok untukku.”
"Kami tidak butuh bantahan atau penjelasan dari situ, yang kami
tunggu sekarang adalah tindakan Sicu.
"Tadi, secara diam-diam Sicu telah membantu adik angkatmu
untuk meraih kemenangan, tindakanmu itu sama artinya sedang
menjajal kepandaian silat kami. Mencoba ilmu silat memang bukan
sesuatu yang luar biasa, jadi bila Sicu tetap ingin melangkah masuk


ke dalam kuil, lebih baik jangan ditampik lagi peraturan yang kami
terapkan.”
Tonghong Liang segera tertawa.
"Thaysu adalah ketua ruang Tat-mo, mana berani kujajal
kemampuan Thaysu?"
Pendeta berwajah hitam itu segera mendengus. Selanya, "Hmm,
apakah kau tidak merasa kelewat memandang tinggi statusmu?
Darimana kau bisa tahu kalau ketua ruang Tat-mo kami yang bakal
bertarung melawan mu?"
"Cayhe tidak berani punya keinginan tersebut, namun kalau
dibatasi saling menutul saja, bagaimana kalau persilahkan Toahweesio
yang memberi petunjuk beberapa jurus?"
Pendeta berwajah hitam itu adalah panglima yang kalah perang
ditangan Lan Giok-keng ternyata dia cukup terbuka, sahutnya
sambil mendengus, "Hmm, sudah jelas kau tahu kalau aku bukan
tandinganmu, masih ingin memilih buah yang paling lembek untuk
dimakan? Aku tidak bakalan termakan oleh tipu muslihatmu!"
Pendeta berwajah kuning yang bergelar Wan-thong itu cepat
berkata pula, "Tadi Siauceng sudah merasakan kehebatanmu
tentang ilmu pedang, kalau boleh harap Sicu memberi petunjuk lagi
dalam ilmu silat yang lain, siauceng pasti akan merasa tersanjung.”
Rupanya dia menganggap dalam pertarungannya melawan Lan
Giok-keng tadi, dialah yang seharusnya menang, tapi gara-gara
Tonghong Liang memberi petunjuk kepada Lan Giok-keng, akhirnya
dialah yang menderita kekalahan, dia merasa kekalahan itu tidak
seharusnya diperoleh, oleh sebab itu kali ini dia tantang Tonghong
Liang untuk berduel, agar semua rasa kesalnya bisa terlampiaskan.
Sebelum Tonghong Liang memberi pernyataan apapun, Pun-bu
Thaysu telah berkata lebih dulu, "Wan-thong, kau sudah melupakan
peringatan apa yang kukatakan tadi?"
Dengan perasaan terkejut buru-buru Wan-thong menyahut,
"Tecu dilarang bertindak sebelum tahu permasalahannya.”


"Benar sekali. Siau-lim dan Bu-tong berasal dari sumber yang
sama, bila kau sedang menjajal ilmu dengan murid Bu-tong maka
bukan menang kalah yang diutamakan, lagipula kau sudah
bertanding satu kali, bila kau tetap harus maju lagi untuk bertanding
dengan orang luar, apa tidak khawatir akan ditertawakan orang
kalau Siau-lim-pay kita memang sudah tidak punya orang lagi!"
Maksud perkataan itu adalah dia ingin memisahkan cara
menghadapi Lan Giok-keng dan Tonghong Liang, oleh karena Lan
Giok-keng berasal dari Bu-tong yang masih terhitung 'satu aliran'
dengan siau-lim, maka dia dianggap orang sendiri. Sebaliknya
menganggap Tonghong Liang sebagai 'orang luar'.
Mendengar perkataan itu, rasa ingin menang di hati kecil
Tonghong Liang pun segera terangsang, pikirnya, "Baru saja ketua
ruang Tat-mo dari Siau-lim-si memperingatkan muridnya agar
jangan mengurusi soal menang kalah, padahal bukankah dia
sendiripun masih bernapsu dengan urusan menang kalah? Hmm,
asal bukan ketua Siau-lim atau tianglo dari ruang Tat-mo yang turun
tangan sendiri, biarpun murid siau-lim sangat banyak, rasanya sulit
untuk menemukan jagoan yang mampu mengalahkan diriku.”
Berpikir begitu, diapun berkata, “Kalau toh dalam partai kalian
berlaku peraturan seperti ini, kalau begitu cayhe mohon Hong-tiang
dan ketua Tat-mo mau memilihkan seorang muridmu untuk
memberi petunjuk kepadaku.”
"Biarpun orang berbakat dalam kuil Siau-lim tidak banyak
jumlahnya, namun tidak usah dipilih dengan seksama,” kata Pun-bu
Thaysu, kemudian sambil menggapai, teriaknya, "Wan-seng, kemari
kau!"
Salah satu diantara para hwesio yang baru keluar dari kuil dan
berdiri tenang disisi arena segera berjalan keluar dari rombongan,
dia adalah seorang hwesio kurus kering.
"Tecu Wan-seng menanti perintah dari ketua.”
"Sicu ini berkata kalau dia sendiripun tidak tahu ilmu silatnya
berasal dari aliran mana, kini aku minta kau untuk menjajal


kepandaian silatnya, butuh berapa jurus untuk mengetahui asal usul
perguruan orang ini?"
Wan-seng menengok Tonghong Liang sekejap, kemudian
sahutnya, "Sepuluh jurus!"
"Apakah Sicu bersedia untuk bertanding mengikuti peraturan
yang berlaku disini?" tanya Pun-bu Thaysu.
Tonghong Liang tersenyum.
"Sebagai tamu, tentu saja aku harus menuruti kemauan tuan
rumah, silahkan Thaysu memberi petunjuk.”
"Dengan sepuluh jurus sebagai batasan, jika dalam sepuluh jurus
dia tidak mampu menunjukkan asal usul perguruanmu, anggaplah
dia yang kalah dan kau yang menang.”
"Hahahaha.... bukankah aku yang diuntungkan?" seru Tonghong
Liang sambil tertawa tergelak. Wan-seng mendengus dingin.
"Kelewat awal untuk berkata begitu,” ujarnya, "kau sangka
dengan bertarung menurut aturan, maka kau pasti dapat
menangkan pertarungan kali ini?"
"Aku tidak bermaksud begitu, hanya saja aku jadi orang inginnya
semua bertindak adil. Kalau toh dalam pertandingan ini kalian telah
memberi sedikit keuntungan bagiku, maka dalam mencoba pengetahuanmu
nanti, aku pun boleh mengalah satu langkah untukmu.”
"Kau terlalu percaya diri,” sela Pun-bu sambil tersenyum, "bisa
bertanya, dengan cara apa kau hendak mengalah satu langkah?"
"Bila dalam sepuluh jurus nanti, siapa pun murid Siau-lim yang
berhasil mengetahui asal usul ilmu silatku, anggap saja kalian yang
menang. Jadi tidak terbatas pada Wan-seng Thaysu seorang.”
"Bagus, kalau begitu kita tentukan demikian saja. Jika kau
menang, pintu gerbang Siau-lim-si akan terbuka lebar untuk kau
masuki, sebaliknya bila kau kalah, maaf, kami tidak akan
mengijinkan kau untuk melangkah masuk ke dalam kuil kami.”


Sambil melepaskan hudtim yang disisipkan di belakang
punggung, ujar Wan-seng kemudian, "Apa yang ingin dibicarakan
kedua belah pihak telah disampaikan secara jelas, sekarang silahkan
Sicu melancarkan serangan!"
Tidak terlihat dia mengambil posisi, hwesio itu hanya berdiri
dengan begitu saja di hadapan Tonghong Liang biar begitu ternyata
hwesio itu berdiri begitu kokoh bagaikan sebuah bukit karang.
Tercekat perasaan Tonghong Liang sehabis melihat hal ini,
pikirnya, "Aku tidak boleh pandang enteng hwesio ini!”
“Maaf!" seru Tonghong Liang sambil mencabut pedangnya.
Tiba-tiba semua orang merasakan pandangan matanya menjadi
silau, sekilas cahaya putih bagai kilat yang membelah bumi telah
menerobos ke muka, kedahsyatannya sungguh mengerikan.
Diiringi kemudian terdengar suara senjata membelah angin,
begitu nyaring suaranya membuat kendang telinga mendengung
keras, Tonghong Liang telah melancarkan jurus serangannya yang
pertama!
Lan Giok-keng yang menyaksikan kejadian itu jadi terperanjat,
pikirnya, "Ternyata Tonghong Toako selain mengerti ilmu Thay-kekkiam-
hoat, permainan Lian-huan-toh-beng-kiam-hoat nya pun jauh
lebih hebat ketimbang aku.”
Pendeta berwajah kuning yang berdiri di samping Pun-bu Thaysu
segera berkata, "Gerakan ini mirip sekali dengan jurus Lui-tian-ciauhong
(guntur halilintar bergantian menggempur) dari ilmu pedang
Bu-tong-pay.”
Sama seperti Lan Giok-keng, diapun merasa terkejut bercampur
sangsi, walaupun artinya sama namun cara bertanya kedua orang
itu berbeda.
"Betul,” jawab Pun-bu Thaysu sambil tersenyum, "kekuatannya
memang mirip sekali dengan jurus Guntur halilintar bergantian
menggempur, namun daya penghancurnya masih jauh di atas jurus
serangan dari Bu-tong-pay.”


Begitu mendengar penjelasan itu, Wan-thong si pendeta
berwajah kuning itu segera menjadi paham, jurus yang digunakan
Tonghong Liang sepintas memang mirip jurus Lui-tian-ciau-hong
dari Bu-tong-pay, pada-hal kemampuannya mengendalikan pedang
justru jauh berbeda, dan jelas bukan berasal dari aliran Bu-tongpay.
Baru selesai perkataan itu diucapkan, jurus pertama dari Wanseng
telah dilancarkan.
Sungguh aneh, ketika dia kebutkan senjata hudtim nya dengan
santai, cahaya putih yang semula mengancam tubuhnya seketika
terkungkus di tengah arena. Bukan saja jurus Lui-tian-ciau-hong
yang maha dahsyat itu tidak mampu dikembangkan bahkan
kedahsyatannya seolah mengalami hambatan.
Begitu melancarkan serangan, gempuran lawan seketika
tertahan, hal ini membuat Wan-seng kembali berpikir, "Biarpun dia
ingin membingungkan aku dengan menggunakan jurus pedang
aliran lain, tidak sulit untuk mengalahkan dirinya, tapi yang paling
penting sekarang adalah memaksa dia untuk menggunakan jurus
pedang perguruan sendiri.”
Berpikir begitu, seketika dia lancarkan serangan balasan yang
ganas dan mematikan.
Tampaknya Tonghong Liang dapat membaca suara hatinya,
dalam sekejap mata ke dua orang itu nyaris pada saat yang
bersamaan berganti jurus.
Wan-seng mengebaskan hudtimnya, seluruh bulu kebutannya
berdiri kaku bagaikan beribu batang jarum baja, semuanya
diarahkan untuk menusuk jalan darah mematikan ditubuh Tonghong
Liang.
Biasanya kalau menotok dengan jari tangan, paling banyak hanya
satu jalan darah yang bisa ditotok, tapi bila menusuk dengan bulu
hudtim, nyaris hampir seluruh jalan darah penting di tubuh
Tonghong Liang sudah berada dalam lingkaran ancamannya.


Kepandaian menusuk jalan darah semacam ini belum pernah
dijumpai Lan Giok-keng dalam hidupnya, diam diam dia
bermandikan keringat dingin karena ikut menguatirkan keselamatan
Tonghong Liang.
Namun perubahan jurus ke dua yang dilancarkan Tonghong
Liang lebih membuatnya tercengang dan di luar dugaan. Menurut
aturan, ilmu pedang Lian-huan-toh-beng-kiam-hoat harus digunakan
secara berantai dan bersambungan. Setelah jurus pertama Lui-tianciau-
hong yang merupakan jurus keras, jurus berikut meski tidak
segarang pertama, namun makna jurus seharusnya merupakan
kelanjutan dari jurus sebelumnya.
Siapa tahu perubahan jurus yang dilakukan Tonghong Liang
sama sekali di luar dugaan. Bagaikan ribuan kuda yang sedang
berlari kencang, tiba-tiba serentak menghentikan langkahnya.
Tiba-tiba cahaya pedang menghilang, ujung pedang bergetar
pelan, kekuatan pedang pun berkedip dan memancar tiada
beraturan.
Sekalipun nampak kacau, namun dalam pandangan seorang ahli
seluruh tubuhnya saat ini sudah terlindung di bawah penjagaan
yang sangat ketat, pada hakekatnya sama sekali tidak ditemukan
titik kelemahan apa pun.
Menyaksikan hal ini tanpa terasa Hong-tiang Siau-lim-si, Tongsian
Sangjin ikut manggut-manggut memuji, "Ilmu pedang Thaykek-
kiam-hoat yang diciptakan Thio Sam-hong ternyata memang
luar biasa hebatnya, sayang kita semua terlambat lahir dua ratus
tahun hingga tidak punya rejeki untuk menyaksikan permainan
jurusnya.”
"Akan tetapi permainan Thay-khek-kiam-hoat yang dilakukan
Sicu inipun sama seperti yang kau katakan, sudah mencapai
tingkatan yang luar biasa,” sahut Pun-bu Thaysu pula.
"Tepat sekali perkataanmu, ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat
yang dimiliki Sicu ini mungkin saja belum bisa menandingi Thiocinjin
dimasa lampau, tapi kalau kita bicara dari jurus tersebut,


boleh dibilang kemampuan menyerangnya telah mencapai tingkatan
bagaikan geledek dan pertahanannya rapat bagai air samudra.”
Kalau dua orang jagoan paling hebat dari Siau-lim-si pun sudah
memberikan pujiannya, tentu saja rasa kagum Lan Giok-keng jauh
melebihi mereka.
Ternyata jurus kedua yang digunakan Tonghong Liang adalah
jurus Ji-hong-sip dari Thay-kek-kiam-hoat, seolah bertahan namun
tidak bertahan, seolah menyerang namun tidak menyerang.
Lan Giok-keng cukup tahu bahwa gerakan itu mengandung dua
tujuan yang berlawanan, tanpa terasa dia berpikir, "Dia memang
luar biasa sekali, mungkin hanya Sucouw seorang yang bisa
melakukan perubahan sesuai dengan keinginan....”
Oleh karena Lan Giok-keng belum pernah menyaksikan ilmu
pedang dari Bouw Ciong-long, maka dia tidak bisa memberikan
komentarnya.
Padahal waktu itu, Tonghong Liang sendiri pun sedang berpikir,
"Sungguh memalukan! Jangan lagi menandingi Thio-cinjin di masa
lampau, kemampuan Bouw Ciong-long pun sepuluh kali lipat lebih
hebat daripada kepandaian-ku sekarang.”
Setelah melalui dua jurus pertarungan, kedua belah pihak samasama
merasa terperanjat dan tidak berani lagi memandang enteng
pihak lawan.
Sewaktu pertama kali berjumpa Wan-seng, dia sangka hwesio ini
berasal dari angkatan 'Wan' yang berarti satu angkatan dengan
pendeta berwajah kuning itu, itu berarti kepandaian silatnya tidak
bakalan kelewat tinggi, tapi sekarang dia bara tahu kalau dugaan itu
keliru besar.
Ternyata walaupun Wan-seng dan Wan-thong sama sama
merupakan anggota ruang Lo-han-tong, namun dalam deretan
delapan belas Lohan, posisi Wan-thong adalah orang ke tiga belas,
sementara Wan-seng menempati urutan ke dua.
Kalau termasuk para tianglo dari ruang Tat-mo dihitung semua,


maka dia merupakan salah satu jago paling tangguh diantara
sepuluh jago tangguh lainnya dari Siau-lim-pay.
Selain hebat, diapun masih memiliki satu kelebihan, kelebihan
mana tidak akan tertandingi oleh tianglo mana pun dari ruang Tatmo,
yakni pengetahu-annya tentang aliran silat pelbagai perguruan
jauh lebih banyak dari siapa pun, tidak seperti para tianglo lain dari
ruang Tat-mo yang kebanyakan hanya mempelajari ilmu silat aliran
sendiri.
Tonghong Liang sendiri walaupun amat cerdas, namun ciptaan
barunya dalam ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat belum mampu
membuat setiap jurus serangannya mencapai tingkatan luar biasa,
apalagi disanapun hadir dua orang pendeta sakti yang ikut
menonton jalannya pertarungan.
Dia sadar bilamana pertarungan semacam ini berlangsung lebih
jauh, maka pada akhirnya aliran ilmu silat perguruannya pasti akan
ketahuan juga.
Tonghong Liang menyadari hal ini ketika pertarungan sudah
memasuki jurus ke tujuh, tiba-tiba gerak serangannya berubah,
tubuh pedang berubah jadi gerakan busur, secara bersamaan ujung
pedangnya mengancam lima buah tempat sekaligus.
Pendeta bermuka hitam itu langsung berseru tertahan, katanya,
"Jurus pedang apakah ini? Rasanya seperti pernah dikenal?"
Wan-seng kontan mendengus dingin.
"Goblok! Masa kungfu perguruan sendiripun tidak dikenal?"
dampratnya.
"Ooh, ternyata baru saja dia menggunakan jurus Ki-na-jiu!" seru
Wan-thong seolah baru sadar.
Ternyata Tonghong Liang telah melebur ilmu Ki-na-jiu-hoat dari
Siau-lim-pay ke dalam ilmu pedangnya.
Mendengar itu Tonghong Liang tertawa terbahak-bahak.
"Ketika palsu jadi asli, asli jadi palsu, kalau palsu bisa


mengacaukan asli, kenapa tidak kugunakan yang palsu?"
Mimpi pun Wan-seng tidak menyangka kalau pihak lawan bisa
mempergunakan jurus sakti dari perguruannya, dia jadi tertegun,
serangan dahsyat yang dilancarkan pun seketika berhasil
dipunahkan Tonghong Liang.
Namun kemampuan Wan-seng dalam meyakini ilmu Ki-liong-jiu
sudah mencapai tingkatan yang luar biasa, jurus serangan dari
Tonghong Liang tadi hanya sempat mengecoh pandangan matanya
dalam waktu singkat, setelah tertegun segera serunya sambil
tertawa dingin, "Segera akan kusuruh kau mengetahui apa yang
disebut asli dan apa yang disebut palsu.”
Senjata hudtimnya digetarkan, beribu lembar bulu segera
mengurung seluruh batok kepala Tonghong Liang.
Jurus serangan dari Wan-seng inipun diciptakan dari ilmu Liongjiau-
jiu, setelah melalui pengerahan tenaga murninya, hampir
seluruh bulu senjata hudtimnya berubah seakan sebuah jari tangan
yang bisa mencengkeram musuh dari berbagai sudut. Begitu
hebatnya perubahan ini membuat Pun-bu Thaysu sendiri pun ikut
berseru memuji.
Tidak mampu membendung datangnya ancaman, Tonghong
Liang mundur satu langkah, pedangnya perlahan-lahan membentuk
gerakan melingkar, biarpun gerakannya sangat lamban, namun
beribu lembar bulu senjata hudtim dari Wan-seng seketika
terbendung di luar lingkaran pedangnya.
Tidak perlu bantuan dari sang Hong-tiang serta ketua ruang Tatmo
pun Wan-seng sudah tahu kalau jurus serangan yang digunakan
lawan adalah jurus Thay-si-mi-kiam-hoat dari aliran Thian-san-pay,
Ho Thian-tok Ciangbunjin pendiri dari Thian-san-pay adalah sahabat
karib partai Siau-lim, dia pernah menggunakan posisinya sebagai
angkatan muda, bertanding melawan ilmu warisan Ho Thian-tok ini.
Ilmu pedang Thay-si-mi-kiam-hoat (Ilmu pedang bukit Si-mi)
mengambil makna dari filsafat yang berbunyi "dalam biji bunga
tersimpan bukit Si-mi", merupakan sebuah ilmu pedang yang paling


handal untuk menghadapi ilmu pengendalian pedang, apabila ilmu
silat yang dimiliki kedua belah selisih tidak terlalu banyak, maka bila
pihak yang lemah menggunakan jurus pedang ini, dia akan segera
merebut posisi di atas angin dan tidak terkalahkan.
Wan-seng pernah menjajal ilmu warisan Ho Thian-tok ini, dia
segera menyadari kalau jurus yang digunakan Tonghong Liang mirip
sekali dengan gerakan jurus ilmu pedang Thay-si-mi-kiam-hoat,
hanya saja tenaga dalam yang digunakan untuk mengendalikan
pedang bukan merupakan Sim-hoat tenaga dalam aliran Thian-sanpay.
Sambil tertawa dingin dia berseru, "Hmm, kalau palsu tetap
palsu, mana mungkin mengaku jadi asli!"
Tiba-tiba dia putar balik senjata hudtim nya, dengan gagang
senjata dipakai sebagai senjata poan-koan-pit, dia sodok jalan darah
Sian-ki-hiat di dada Tonghong Liang.
Walaupun hanya sebuah jalan darah yang ditotok, namun daya
pengaruhnya justru jauh lebih kuat ketimbang ancaman bulu hudtim
yang mengancam seluruh jalan darah ditubuhnya.
Kelihatannya Tonghong Liang sedikit keteteran dan sulit untuk
melakukan penangkisan, tiba-tiba tubuhnya bergerak cepat, dengan
menggunakan sebuah jurus ilmu pedang yang halus dan lembut dia
bergerak kian kemari, gerakannya seperti orang sedang menari,
indah dan sangat menarik.
Begitu Tonghong Liang menggunakan jurus itu, paras muka
Wan-seng yang semula kaku tanpa perasaan tiba-tiba terselip suatu
perubahan yang sangat aneh, tampak tubuhnya ikut bergerak,
senjata hudtimnya bergeser ke samping, dia seolah merasa takut
untuk menghadapi jurus serangan dari Tonghong Liang ini hingga
tidak berani mendesak lebih jauh.
Pun-bu Thaysu yang ikut menyaksikan jalannya pertarungan pun
ikut berseru tertahan.
Tentu saja jurus yang digunakan Tonghong Liang ini dilakukan


sangat bagus, namun seruan tertahan dari Pun-bu Thaysu bukanlah
disebabkan karena kehebat-annya.
Ternyata di saat Tonghong Liang didesak lawan hingga keteteran
dan tidak mampu menangkis, tanpa sadar dia telah menggunakan
ilmu pedang dari aliran Kun-lun-pay.
Sucouwnya, Hian Tin-cu memang berasal dari Kun-lun-pay
sementara ilmu pedang aliran Kun-lun yang dipelajari Tonghong
Liang pun berasal langsung dari gurunya, sudah pasti sewaktu
dipergunakan, kehebatannya berbeda jauh dengan ilmu pedang
aliran lain.
"Tidak kusangka ilmu pedang aliran Kun-lun yang digunakan Sicu
inipun sangat hebat,” puji Pun-bu Thaysu.
"Bukan hebat,” sela Tong-sian Sangjin.
"Kalau bukan hebat lantas apa?" tanya Pun-bu Thaysu agak
tertegun.
"Palsu bukan aslipun bukan, aku juga tidak tahu harus berkata
apa. Kalau dibilang hebat, lebih cocok kalau dibilang lain daripada
yang lain. Tapi kalau dibilang lain daripada yang lain pun tidak tepat
sama sekali, sebab dia masih tersisip warna lain. Mungkin Sik Lengcu
sendiripun belum tentu bisa mainkan jurus Seng-hay-hu-cha
(rakit terapung di laut bintang) ini sehebat dia.”
Ternyata jurus Seng-hay-hu-cha ini sudah mengalami
perkembangan baru setelah jatuh ke tangan Siang Thian-beng, guru
Tonghong Liang, dia telah mencampur kan inti sari dari ilmu pedang
aliran Go-bi serta Cing-shia-pay ke dalam ilmu pedang aliran Kunlun-
pay nya sehingga jurus Seng-hay-hu-cha ini berubah jadi lebih
gesit, lebih sakti dan luar biasa.
Oleh sebab itulah walaupun 'kerangka' nya tetap berbau Kun-lunpay,
namun isinya sama sekali berbeda.
Itulah dimaksud Tong-sian Sangjin sebagai lain daripada yang
lain dan masih tersisip warna lain.


Tercekat hati Tonghong Liang mendengar perkataan itu, pikirnya,
"Ternyata tidak malu dia menjadi Hong-tiang Siau-lim-pay,
ketajaman matanya memang luar biasa!"
Berhubung sejak dimulai dari gurunya, mereka sudah berdiri
sebagai satu perguruan yang tersendiri, maka biarpun kerangka dari
jurus itu tetap sebagai ilmu pedang Kun-lun-pay, namun dia tidak
bisa dikatakan sebagai murid Kun-lun-pay.
Kemampuan silat yang dimiliki pendeta bermuka hitam itu sangat
biasa, dia tidak mengerti arti ucapan ketuanya, dalam hati segera
pikirnya, "Kalau Ciangbunjin Kun-lun-pay saja tidak mampu
menggunakan jurus ini, sudah pasti keparat itupun bukan anggota
Kun-lun-pay. Celaka, dia sudah menggunakan delapan jurus namun
suheng masih juga belum berhasil mengetahui asal perguruannya!"
Belum habis ingatan itu melintas, tiba-tiba dia saksikan wajah
suhengnya berubah jadi cerah.
"Ketika palsu dilakukan seakan asli, asli pun jadi palsu, namun
biar asli atau palsu semua pasti ada sumbernya!" gumam Wan-seng
dengan suara keras.
Tiba-tiba dia membentak nyaring, bulu kebutan yang semula
mengumpul mendadak jadi buyar, perubahan yang terjadi pun aneh
sekali, cahaya pedang Tonghong Liang seakan terguyur air raksa,
seketika tersapu hingga buyar ke empat penjuru. Bahkan lamat
lamat ujung kebutan Wan-seng seakan mempunyai daya perekat
yang sangat kuat, yang membetot pedangnya untuk lepas dari
genggaman.
Dengan hati terkejut Tonghong Liang berpikir, "Tidak heran kalau
Siau-lim-pay dapat memimpin dunia persilatan dan nama besarnya
tetap kuat, ternyata kemampuan mereka memang bukan nama
kosong belaka. Kalau seorang murid dari ruang Lohan saja sudah
memiliki kepandaian silat diatas para tianglo dari Bu-tong-pay, entah
bagaimana bila Tong-sian Sangjin dibandingkan Bouw Ciong-long?"
Begitu teringat akan Bouw Ciong-long, tanpa disadari Tonghong
Liang menggunakan jurus Bangau putih pentang sayap dari ilmu


pedang Thay-kek-kiam-hoat.
Jurus ini merupakan jurus pedang yang paling sering dilatih
bersama Lan Giok keng merupakan juga jurus yang paling sering
digunakan, otomatis dari sekian banyak jurus Thay-kek-kiam-hoat,
jurus inilah yang paling dia kuasai.
Di bawah tekanan Wan-seng yang begitu gencar, dia merasa
hanya menggunakan jurus ini saja dia dapat membendung
datangnya ancaman lawan.
Tubuhnya melambung ke udara lalu berputar satu lingkaran,
bagaikan seekor burung elang, dia menerobos ke bawah sambil
melancarkan tebasan.
Bangau putih adalah unggas jinak, sifatnya amat lembut, tapi
dalam melancarkan serangan ini, dia seperti seekor burung elang
yang menyerang secara ganas, keampuhannya jauh di atas
kehebatan jurus Bangau putih pentang sayap itu sendiri.
Bagi Lan Giok-keng, jurus ini pula yang paling berkenan baginya,
tapi sekarang dia benar-benar dibuat terbelalak dengan mulut
melongo. Sewaktu Tonghong Liang berlatih bersamanya dulu, belum
pernah dia menggunakan jurus tersebut sedemikian hebatnya.
Sebetulnya bulu hudtim di tangan Wan-seng terbuat dari serat
emas yang sangat tangguh dan kuat, terdengar serentetan bunyi
benturan nyaring yang berdentingan di angkasa, Tonghong Liang
dengan gerakan Burung belibis berjumpalitan, langsung mundur
sejauh belasan depa dari posisi semula, kini bajunya telah
bertambah dengan puluhan buah lubang kecil seperti sarang tawon.
Sebaliknya bulu hudtim milik Wan-seng pun putus puluhan
lembar lebih dan tersebar mengikuti hembusan angin.
"Celaka!" pikir Wan-yap diam-diam, "sudah masuk jurus ke
sembilan!"
Dalam gebrakan terakhir, kedua belah pihak berada dalam posisi
seimbang, baik Tonghong Liang maupun Wan-seng sama-sama
mundur beberapa lang-kah ke belakang.


Kini Tonghong Liang berdiri mengawasi lawan dengan paras
serius, tangannya menempel ketat pada gagang pedangnya.
Dengan suara hambar Wan-seng berkata, "Aku rasa jurusmu
yang terakhir tidak perlu digunakan lagi.”
Wan-yap tercengang, dia tidak habis mengerti mengapa
suhengnya berkata begitu!
Terdengar Pun-bu Thaysu tertawa terbahak-bahak, kemudian
berkata dengan lantang, "Tidak heran kalau ilmu pedang yang Sicu
miliki begitu dahsyat, ternyata kau adalah murid Kiam-seng si rasul
pedang!"
Ternyata di dalam menggunakan jurus 'Pek-hok-liang-ci’ tadi,
secara tidak sadar dia telah menyisipkan ilmu pedang elang terbang
Hui-eng-hwee-sian-kiam-hoat dari perguruannya.
Dan asal usulnya langsung terdeteksi oleh Pun-bu Thaysu!
Dengan perasaan terperanjat Wan-thong segera berseru, "Dua
puluh tahun berselang, ada seorang bernama Siang Thian-beng
yang datang ke daratan Tionggoan dari pinggir perbatasan, dia
pernah bertarung pedang melawan Pa-san-kiam-kek Kok Thiat-ceng
yang kala itu disebut dewa pedang, konon pertandingan itu
berlangsung selama tiga hari dengan akhir seri. Semenjak peristiwa
itulah Siang Thian-beng disebut orang sebagai Rasul pedang, tapi
dia hanya muncul sebentar kemudian jejaknya lenyap kembali. Jadi
yang dimaksud ketua tianglo sebagai Rasul pedang adalah orang
itu?" Pun-bu manggut-manggut.
"Tepat sekali, dikolong langit hanya terdapat seorang Rasul
pedang, dialah orangnya. Tapi apa yang kau dengar tentang kabar
cerita itu tidak lengkap dan tidak benar, sebab sewaktu terjadi
pertarungan di puncak gunung Pa-san, tidak seorangpun yang ikut
menonton. Menurut cerita Thiat Ceng kepadaku, konon dia kalah
satu jurus. Jadi cerita tentang pertarungan selama tiga hari
sebetulnya hanya merupakan pujian orang saja.”
Diam-diam Wan-thong menyeka keringat dingin, pikirnya, "Masih


untung suheng yang maju menggantikan diriku, coba aku yang
maju, mungkin tidak bakal bisa menahan tiga jurus serangannya.”
Saat inipun Lan Giok-keng seolah baru mendusin dari mimpi,
cepat dia menghampiri Tonghong Liang sambil berseru, "Waah,
ternyata jurus Pek-hok-liang-ci bisa menghasilkan perubahan
sedemikian dahsyat, kenapa selama ini aku tidak pernah berpikir ke
situ?"
Tonghong Liang tertawa getir.
"Bunga gugur dan berlalu terbawa air, semuanya biar timbul
alami, tidak usah dipaksakan. Perubahan yang kulakukan dalam
jurus ini kelewat dipaksakan dan tidak alami, itulah sebabnya gagal
mencapai hasil yang maksimal. Aku yakin keberhasilanmu
dikemudian hari pasti jauh diatasku, jadi tidak usah belajar dariku.”
"Terima kasih banyak atas petunjuk Toako,” kata Lan Giok-keng,
setelah berhenti sejenak, kembali ujarnya, "Delapan jurus ilmu
pedangmu yang lain juga memberikan manfaat yang sangat besar
bagiku. Apakah kalut? Apakah murni? Mungkin akupun tidak bisa
menentukan satu garis yang pasti, namun dalam penggunaan
rasanya memang harus sehati!"
Pun-bu yang mendengar perkataan itu segera tergerak hatinya.
"Suheng, apa yang dia katakan memang sangat tepat,” katanya.
"Siancay, siancay,” Tong-sian Sangjin segera merangkap
tangannya di depan dada, "bila siau Sicu bisa mempunyai ingatan
seperti itu, boleh dibilang dunia persilatan bakal bertambah lagi
dengan seorang calon tokoh sakti. Cukup memandang dari
pandangan tersebut, walau Siau-sicu bukan cucu murid Bu-siang
Cinjin pun, lolap tetap akan mempersilahkan Siau sicu untuk masuk
ke dalam kuil kami."
Dengan mata melotot besar Wan-seng mengawasi wajah
Tonghong Liang, kemudian menegur, "Di saat Bu-siang Cinjin belum
meninggal, ada seorang pemuda naik ke Bu-tong untuk menantang
berduel, apakah pemuda itu adalah kau?"


"Memang aku. Tapi kehadiranku sama sekali tidak ada sangkut
pautnya dengan kepergian Bu-siang Cinjin ke langit barat.”
"Ooh, aku tahu. Aku hanya mengagumi keberani-an serta ilmu
silatmu, sama sekali tidak punya maksud lain.”
Sekali lagi Tonghong Liang tertawa getir.
"Semestinya akulah yang mengucapkan kata-kata itu kepadamu.
Ketika bertanding pedang di gunung Bu-tong tempo hari, akulah
yang menderita kalah, dan kali ini, lagi-lagi aku berhasil kau
kalahkan.”
"Keliru,” potong Wan-seng, "susiok ku yang berhasil
memecahkan rahasia identitasmu, bila ingin bicara soal kalah
menang, kau pun hanya dikalahkan oleh susiok ku. Sebaliknya kalau
bicara soal bertanding ilmu, andai diteruskan lagi, akulah yang bakal
menderita kekalahan.”
"Terima kasih atas pujianmu,” kembali Tonghong Liang tertawa
getir, "tapi dalam kenyataan, akulah yang kalah dalam pertandingan
ini.”
"Tonghong Toako,” sela Lan Giok-keng tiba-tiba, "Kepala tianglo
ruang Tat-mo yang mengalahkan diri-mu, jadi meski kalah pun kau
tetap harus bangga.”
Pun-bu Thaysu tersenyum, ujarnya pula, "Tonghong Sicu, dalam
pertandingan yang berlangsung kali ini, pihakku lah yang mengambil
keuntungan darimu. Cuma syarat pertarungan toh sudah disetujui
kedua belah pihak dan sama sekali tidak menyalahi aturan Siau-lim,
jadi kami hanya bisa minta maaf saja kepadamu. Tapi ngomong
ngomong, siapa yang ingin kau jumpai?"
"Seorang hwesio juru masak yang bernama Hwee-ko.”
"Ooh, ternyata kaupun sedang mencari Thaysu itu?" seru Lan
Giok-keng agak tertegun.
Wan-thong ikut merasa tercengang, ujarnya, “Entah nasib apa
yang sedang menimpa Hwee-ko hari ini, selamanya belum pernah


kujumpai ada orang datang mencarinya, tapi hari ini sekaligus sudah
muncul tiga orang yang datang mencarinya.”
Tong-sian Sangjin menggelengkan kepalanya berulang kali,
katanya, "Kalau begitu permintaanmu tidak dapat kami kabulkan.”
Dari nada pembicaraan itu bisa disimpulkan, andaikata orang
yang ingin dijumpai Tonghong Liang adalah hwesio lain, maka dia
pasti akan mengijinkan.
Tapi mengapa dia tidak memberi ijin karena hendak bertemu
Hwee-ko? Ketua dari Siau-lim-pay ini sama sekali tidak memberi
penjelasan.
Namun perkataan seorang ketua dari Siau-lim memang sangat
berbobot, lagipula Tonghong Liang pun gagal menembusi ujian yang
dilakukan pihak Siau-lim-si, dalam keadaan begini diapun merasa
tidak leluasa untuk banyak bicara.
Sesudah berpikir sejenak, Tonghong Liang pun berkata, "Karena
peraturan yang telah ditetapkan pihak Siau-lim tidak mungkin bisa
kulanggar, maka akupun tidak akan memaksakan kehendak, Cuma
ada satu hal aku merasa tidak jelas, boleh minta petunjukmu?"
"Katakan saja!" sahut Pun-bu Thaysu.
"Diantara kawanan jago Tionggoan, hanya Pa-san-kiam-kek Kok
loCianpwee seorang yang pernah menyaksikan ilmu pedang guruku,
dalam memainkan jurus Pek-hok-liang-ci tadi aku memang sudah
membaurkan ilmu pedang perguruanku ke dalam ilmu pedang Butong-
kiam-hoat, tapi bagaimana mungkin kau bisa mengenalinya
hanya dalam sekilas pandang saja?"
"Tentu saja, karena gurumu pernah berkunjung ke kuil Siau-lim.”
Perasaan kaget dan tercengang yang mencekam perasaan Wanthong
jauh lebih hebat ketimbang Tonghong Liang, serunya
tertahan, "Rasul pedang pernah berkunjung ke kuil kami?"
Sedang dihati kecilnya dia berpikir, "Kenapa aku bisa tidak tahu?"
"Ketika dia datang berkunjung, kau masih belum menjadi


pendeta di kuil ini. Waktu itu Siang Thian-beng masih belum
menyandang gelar Rasul pedang, dia memohon untuk bertanding
ilmu melawan Tong-sian suheng saat itu akulah yang telah mewakili
suheng untuk bertanding melawannya, kalau dibicarakan sungguh
memalukan, saat itu aku hanya mampu bertarung seimbang. Dia
tahu kepandaian silat yang di miliki Tong-sian suheng jauh diatas
kemampuanku, maka tanpa mengucapkan sepatah katapun dia
menjura dalam-dalam di luar pintu kuil kemudian pergi
meninggalkan tempat ini. Tonghong Sicu, waktu itupun gurumu
tidak pernah melangkah masuk ke dalam kuil Siau-lim, maka
terhadap dirimu pun kami tidak bisa melanggar peraturan.”
Mendengar penjelasan tersebut, Tonghong Liang pun berpikir,
"Ternyata begitu, tidak heran kalau suhu selalu berpesan agar aku
tidak mengatakan kalau diriku adalah muridnya, khusus di depan
para pendeta dari kuil Siau-lim.”
Ketika Pun-bu Thaysu sudah selesai bicara, Tong-sian Sangjin
pun berkata kepada Lan Giok-keng, "Siau-sicu, bukankah kau ingin
bertemu Hwee-ko? Mari ikut aku masuk ke dalam.”
"Bolehkah aku berbicara beberapa patah kata dulu dengan
Tonghong Toako?" pinta Lan Giok-keng.
"Tentu saja boleh. Aku akan menunggumu di depan pintu kuil.”
Pun-bu Thaysu sekalian pun segera berbalik menuju ke pintu
gerbang kuil siau-lim-si dan menunggu disana.
Sambil tertawa getir ujar Tonghong Liang, “Saudara cilik,
sekarang kau sudah tahu kalau aku pernah naik ke Bu-tong untuk
menantang berduel, apakah kau masih baik kepadaku?"
"Toako, bila aku tidak salah menduga, bukankah orang yang
secara diam-diam membantuku tadi adalah dirimu?"
"Dugaanmu tepat sekali. Selama ini aku memang selalu
menguntaimu. Tahukah kau bahwa aku ingin memperalat dirimu?"
"Aku tidak perduli apapun tujuanmu, yang pasti kau pernah
selamatkan jiwaku, sejak berkenalan denganmu, banyak kebaikan


berhasil kuperoleh dari dirimu. Betul kau pernah naik ke Bu-tong
dan menantang berduel, tapi pertama tidak ada yang terluka, kedua
persoalan inipun sudah diselesaikan oleh Ciangbunjin partai kami.
Semuanya ini Bu-si tojin yang beritahu kepadaku. Aku memang
tidak tahu bagaimana pandang an rekan-rekan lain dari Bu-tong-pay
terhadap dirimu. Tapi bagiku pribadi, aku tidak akan menganggap
dirimu sebagai musuh.”
"Terima kasih banyak.”
"Kalau toh kaupun ingin bertemu Hwee-ko Thaysu, bolehkah aku
mewakilimu untuk menyampaikannya?"
Tonghong Liang segera melepaskan sebuah cincin, katanya, "Kau
hanya perlu perlihatkan cincin ini kepadanya.”
“Jadi Hwee-ko Thaysu sudah mengetahui tentang dirimu?"
"Ketika Hwee-ko datang ke biara Siau-lim untuk menjadi
pendeta, waktu itu aku belum lahir, darimana bisa tahu?"
"Lantas kalau dia bertanya tentang asal usul cincin ini?
Bagaimana aku harus menjawab?"
"Kau cukup mengatakan kalau pemilik cincin itu kini sedang
menuju Toan-hun-kok.”
"Toan-hun-kok? Tempat manakah itu?"
"Hwee-ko Thaysu pasti tahu. Tuh, ketua Siau-lim-si dan ketua
tianglo sudah menunggumu, cepatan ke sana.”
Ketika sang ketua menyambut sendiri kedatangan seorang siau
Sicu yang belum dewasa memasuki kuil, begitu para pendeta dalam
biara mendengar kabar tersebut, hampir semuanya merasa
tercengang bercampur tidak habis mengerti.
Ketua yang membidangi bagian dapur dalam biara itu
mempunyai kedudukan yang tidak terlalu tinggi, namun dialah yang
mengurusi semua hwesio yang bekerja sebagai juru masak,
memikul air dan kerja serabutan lainnya, Hwee-ko selama ini berada
di bawah pengawasannya. Begitu mendapat kabar, dia langsung


menyambut sendiri kedatangan sang Hongtiang.
Dengan kening berkerut Tong-sian Sangjin berkata, "Aku datang
hanya disebabkan urusan pribadi, bukan kemari untuk melakukan
pengontrolan, jadi kalian tidak perlu banyak adat.”
Ketua bagian dapur bernama Liau-huan, usianya hampir setara
dengan Wan-seng, tapi angkatannya setingkat di bawah dirinya,
walaupun sang Hong-tiang telah berpesan begitu, dia tetap maju
dan menyembah dengan penuh hormat, kemudian baru katanya,
"Baik, silahkan Hong-tiang memberi perintah.”
"Bukankah Hwee-ko adalah salah satu bawahanmu? Apakah dia
berada disini?"
"Benar, dia bekerja disini sebagai juru masak.”
"Siau-sicu ini ingin sekali pergi menjumpainya....”
Belum habis ketua biara Siau-lim ini menyelesaikan
perkataannya, Lan Giok-keng sudah bangkit berdiri seraya berkata,
"Tidak berani, boanpwee mendapat perintah dari Sucouw perguruan
kami, khusus datang untuk menyambangi Thaysu itu.”
Liau-huan terkesiap, pikirnya, "Ternyata dia benar-benar seorang
tokoh sakti, untung di hari hari biasa sikapku terhadap Hwee-ko
cukup baik.”
Maka sahutnya, "Silahkan Hong-tiang dan Siau-sicu menunggu
sebentar, aku akan segera memangil Hwee-ko keluar.”
"Jangan begitu, kau seharusnya membawa aku untuk pergi
menyambanginya!"
Liau-huan semakin terkejut.
"Hong-tiang, kau....” pada hakekatnya kata "menyambangi" tidak
berani dia ucapkan.
Tong-sian Sangjin kembali tersenyum.
"Sekarang aku datang menjumpainya bukan sebagai seorang
Hong-tiang, aku sedang menemani seorang tamu agung dari biara


kita untuk menyambanginya. Dia adalah tuan rumah sementara aku
adalah tamu, sesuai peraturan kau harus mengabarkan dahulu
kehadiran kami, mengerti?"
"Baii.... baik....” jawab Liau-huan tergagap, "tapi....”
"Tapi kenapa? Apakah dia belum selesai bekerja?”
“Bukan, saat ini dia sedang beristirahat di kamarnya.”
Ternyata Hwee-ko punya kebiasaan tidur siang, di antara para
pendeta yang bekerja di urusan dapur, usia dialah yang paling tua,
apalagi mengidap pula sakit batuk hingga selama ini Liau-huan
memperlakukan dia dengan baik sekali. Selain menitahkan seorang
hwesio pemikul air untuk tinggal bersama dalam kamarnya, seusai
santap siang diapun diijinkan tidur siang selama dua jam, Liau-huan
selama ini tidak pernah melarang perbuatannya itu.
"Lalu apa lagi yang kau tunggu?" tanya Tong-sian Sangjin.
Terpaksa Liau-huan mengajak mereka menuju ke depan kamar
tidur Hwee-ko, belum tiba didekat pintu, sudah terdengar suara
dengkuran Hwee-ko yang sangat keras.
Sekarang Tong-sian Sangjin baru tahu kalau Hwee-ko benarbenar
sedang tidur siang, sementara dia masih ragu apakah perlu
membangunkan dia, Liau-huan telah mengetuk pintu.
"Hong-tiang,” Lan Giok-keng segera berkata, "silahkan kembali.
Toa-hweesio, tolong kau jangan membangunkan dia, aku bisa
menunggunya diluar pintu hingga dia mendusin.”
Tapi ketukan pintu Liau-huan telah membangunkan Hwee-ko dari
tidurnya.
"Dasar bocah pikun, memang kau tidak tahu kalau aku sedang
tidur siang? Jangan mengganggu tidurku!"
Rupanya sudah menjadi kebiasaan Hwee-ko untuk menyebut
hwesio pemikul air yang tinggal sekamar bersamanya itu sebagai
'bocah pikun'.


Dengan tersipu-sipu cepat Liau-huan berseru, "Hwee-ko, coba
sedikitlah lebih sadar, dengarkan perkataanku. Orang yang datang
mencarimu adalah Hong-tiang dari biara kita, kenapa kau belum
juga membukakan pintu?"
Hwee-ko mendehem dulu beberapa kali, kemudian baru
menyahut, "Bukankah kau pernah mengijinkan aku untuk tidur siang
pada jam begini. Pekerjaanku telah selesai kukerjakan, Hong-tiang
pun tidak bisa mengurusi aku lagi. Maaf, tolong sampaikan kepada
Hong-tiang, dalam waktu waktu sekarang aku tidak bisa menyambut
kedatangannya.”
Merah padam selembar wajah Liau-huan, untuk sesaat dia tidak
tahu bagaimana harus berbuat.
Sementara dia masih bingung, sambil tersenyum Tong-sian
Sangjin telah berkata, "Hwee-ko, rupanya kau sedang tidur siang,
aku tidak akan mengganggumu. Tapi ada seorang tamu yang telah
berada disini, dia adalah cucu murid Bu-siang Cinjin, Ciangbunjin tua
dari Bu-tong-pay, dia mendapat perintah dari Bu-siang Cinjin untuk
datang menyam-bangimu, sang tamu sudah jauh-jauh datang
kemari, kau....”
"Kalau memang khusus datang untuk menyambangiku, kurang
sopan rasanya bila aku tidak terima tamu,” tukas Hwee-ko segera,
"hanya saja, aku hanya bisa bertemu dengan tamu yang ingin
berjumpa dengan aku.”
"Tentu saja,” sahut Tong-sian Sangjin, "aku hanya menemani
sang tamu untuk datang mencarimu, sama sekali tidak berniat ikut
menemaninya di dalam."
Kemudian sambil berpaling, katanya lagi, “Liau-huan, disini sudah
tidak ada urusanmu."
Dengan tersipu-sipu Liau-huan ikut mengintil di belakangnya,
setiba di luar, kembali Tong-sian Sangjin berbisik, "Sebelum Hweeko
menghantar tamunya, siapa pun di larang datang
mengganggunya.”


Mendapat perintah tersebut, Liau-huan mengiakan berulang kali,
maka sepeninggal Hongtiang, dia langsung berjaga-jaga sendiri di
depan pintu masuk.
Ketika Lan Giok-keng berjalan masuk ke dalam kamar, dia jumpai
seorang pendeta tua yang kurus kering sedang duduk kemalasmalasan
di atas ranjang sambil mencari kutu.
Begitu melihat kemunculan bocah itu, sang pendeta segera
berkata, "Sudah hampir tiga puluh tahun lamanya aku datang ke
biara Siau-lim, kau adalah tamu pertama yang datang mencariku.
Tahukah kau, karena menghormati Bu-siang Cinjin maka aku
bersedia menjumpaimu?"
"Terima kasih Thaysu bersedia menjumpaiku,” sambil berkata,
Lan Giok-keng segera memberi hormat.
"Aku toh bukan pouwsat, buat apa kau menyembahku?" tukas
Hwee-ko segera, "uhukk, uhukkk.... aku paling benci melihat anak
muda bergaya seperti kakek tua, ayoh cepat bangun!"
Tiba-tiba dia menjulurkan tangannya untuk membangunkan Lan
Giok-keng, namun gerakan tangannya justru mirip sekali dengan
sebuah jurus ancaman Hun-keng-ciok-kut-jiu-hoat (ilmu pembelah
otot penggeser tulang) yang mampu membuat Lan Giok-keng cacat
total.
Menghadapi datangnya ancaman itu Lan Giok-keng sangat
terperanjat, tanpa berpikir panjang dia tolak tangannya ke depan
dengan menggunakan sebuah jurus Thay-kek-tui-jiu, tubuh bagian
atas ditegakkan, sementara tangannya membuat gerak melingkar
sambil mendayung untuk memunahkan tenaga ancaman lawan.
Selama beberapa hari belakang, seluruh pikiran dan
konsentrasinya hanya tertuju untuk mempelajari ilmu pedang Thaykek-
kiam-hoat, karena itu jurus tolakan yang dia lakukan pun tanpa
disadari telah disisipi daya cipta dari hasil pencerahannya.
Terdengar Hwee-ko berseru tertahan, tampaknya dia dibuat
kaget bercampur tercengang. Lengannya kembali berputar satu


lingkaran lalu sambil menyang-gah ujung sikut Lan Giok-keng,
perlahan-lahan dia membangunkan bocah itu, katanya, "Berapa
usiamu tahun ini?"
Seketika itu juga Lan Giok-keng merasakan tenaga dalamnya
seolah kerbau tanah liat yang kecebur dalam laut, lenyap dengan
begitu saja, rasa kaget dan tercengangnya jauh melebihi Hwee-ko.
Namun ada satu hal dia merasa yakin, pihak lawan hanya berniat
menjajal ilmunya dan sama sekali tidak berniatjahat.
Setelah berhasil menenangkan diri, sahutnya, "Enam belas
tahun.”
"Apakah Bu-siang Cinjin sendiri yang mengajarkan tenaga dalam
kepadamu?"
"Benar,” sementara di hati kecilnya bocah itu berpikir, "Dia hanya
menggerakkan tangannya begitu perlahan tapi segera dapat
menyebutkan sumber tenaga dalamku, ketajaman matanya sungguh
luar biasa, mungkin kemampuannya masih setingkat diatas Pun-bu
Thaysu, ketua ruang Tat-mo dari biara Siau-lim.”
Dalam pada itu Hwee-ko telah berkata lagi, "Tidak heranlah kalau
begitu. Tapi aku lihat ilmu pedangmu sedikit agak aneh dan
istimewa, Totiang mana yang telah mengajarkan ilmu tersebut
kepadamu?"
"Tecu belajar sendiri dari Kiam-boh yang diwariskan Sucouw
kepada tecu, apakah ada yang keliru?"
"Bakat aneh, bakat luar biasa,” Hwee-ko menghela napas
panjang, "keberhasilanmu kelak mungkin akan jauh diatas Sucouw
mu. Sudah hampir tiga puluh tahun lamanya aku tidak pernah
bertemu Sucouw mu, apakah dia orang tua dalam keadaan baikbaik?"
Rupanya selama berada di biara Siau-lim, tugasnya setiap hari
hanya membuat api dan memasak, terhadap kabar berita diluaran
boleh dikata nyaris terputus.


"Sucouw telah meninggal dunia!" jawab Lan Giok-keng sedih.
"Bodhi bukanlah pohon, cermin kebenaran bukanlah mimbar,
mati atau hidup sesungguhnya hanya ilusi. Bagaimanapun, dia
orang tua adalah orang yang paling kuhormati, kepergiannya tetap
mendatangkan perasaan menyesal di hatiku. Apalagi ternyata dia
orang tua masih teringat dengan aku seorang angkatan belakangan
yang tidak becus. Kapan dia kembali ke langit barat?"
"Di saat aku turun gunung. Aku mendapat perintah dari dia orang
tua untuk datang menyambangi Thaysu.”
"Thaysu apa? Aku hanya seorang hwesio juru masak. Sucouw mu
begitu menghargai aku, akupun tidak boleh menganggap dirimu
sebagai orang luar, aku pikir Sucouw mu pasti bukan hanya
menyuruh kau untuk datang menengok bukan? Masih ada pesan
apa lagi? Cepat kau katakan.”
"Sucouw menyuruhku mencari seseorang yang bernama Jit-sengkiam-
kek, tapi tidak mengetahui kabar beritanya, maka dari itu aku
kemari untuk mohon petunjuk dari Cianpwee.”
Setelah mendengar perkataan itu, sampai lama sekali Hwee-ko
tidak berbicara.
Kembali Lan Giok-keng merasa ragu bercampur tidak habis
mengerti, pikirnya, "Kalau tahu katakan saja tahu, kalau tidak tahu
katakan tidak tahu, apa sulitnya?"
Tiba-tiba terdengar Hwee-ko bertanya, "Apakah Hui-bun Toheng
masih berada di gunung Bu-tong? Apakah dia pun dalam keadaan
baik-baik?"
Lan Giok-keng tidak habis mengerti mengapa dia ajukan
pertanyaan seperti itu, untuk sesaat dia jadi tertegun.
"Hui-bun tojin? Rasanya tidak seorang pun di gunung Bu-tong
yang bernama Hui-bun Tojin!"
"Mana mungkin?" Hwee-ko segera berkerut kening, "dia naik ke
Bu-tong jauh sebelum aku jadi pendeta di biara Siau-lim, masa kau


sama sekali tidak tahu?"
"Dari sekian tianglo yang ada dalam partai kami, terkecuali Bukek
Totiang yang sudah lama meninggal, setahu ku hanya tinggal
tiga orang. Dua orang tianglo lainnya adalah Bu-liang dan Bu-si.
Rasanya tidak ada tianglo yang memakai urutan 'Hui'....”
"Dia bukan seorang tianglo di partai Bu-tong, konon selama ini
dia selalu melayani Bu-siang Cinjin.”
"Oooh.... rupanya tojin bisu tuli yang kau maksudkan,” seolah
baru tersadar, Lan Giok-keng segera berseru.
"Semenjak kapan dia berubah jadi bisu tuli?" Hwee-ko balik
bertanya dengan wajah tertegun.
"Aku sendiripun tidak tahu, menurut cerita beberapa orang
tianglo, kelihatannya sebelum sampai di gunung Bu-tong, dia sudah
bisu dan tuli.”
Hwee-ko menghela napas panjang.
"Mengerti aku sekarang. Rupanya dia ingin menjadi seorang tojin
bisu tuli, sama seperti aku ingin menjadi hwesio juru masak dalam
biara Siau-lim.”
Dalam hati Lan Giok-keng berpikir, "Ternyata nama asli tojin bisu
tuli adalah Hui-bun, mungkin lantaran ada rahasia yang sulit
dibicarakan maka sengaja dia mengaburkan identitas sendiri dan
bergabung dengan Bu-tong. Tapi kalau didengar dari nada
pembicaraan Hwee-ko Thaysu, jangan-jangan bisu tuli nya pun
hanya pura-pura?"
Walau berpikir begitu, dia tetap merasa tidak jelas, maka kembali
tanyanya, "Apakah tojin bisu tuli ada sangkut pautnya dengan jago
pedang tujuh bintang?"
"Dia adalah sahabat karib Jit-seng-kiam-kek, tapi kemudian
lantaran sedikit kesalah pahaman, kedua belah pihak jadi ribut dan
saling bermusuhan. Bu-siang Cinjin sama sekali tidak tahu kalau aku
kenal Jit-seng-kiam-kek, sudah pasti dialah yang memberitahukan


kepada Bu-siang Cinjin. Aaah.... benar, aku ingin bertanya
kepadamu, apakah tojin bisu tuli bersikap baik kepada-mu?"
"Di atas gunung Bu-tong, kecuali orang tuaku, orang ketiga yang
amat menyayangi aku adalah Sucouw ku kemudian orang ke empat
adalah dia.”
Sebenarnya dia ingin mengatakan kalau orang ke tiga yang
menyayanginya adalah ayah angkatnya Put-ji, tapi berhubung tekateki
seputar pelajaran ilmu pedang palsunya masih mencekam
pikiran dan perasaannya, maka terakhir diapun putuskan untuk
menghapus nama ayah angkatnya dari dalam catatan otaknya.
"Mengapa kau ingin mencari Jit-seng-kiam-kek?" kembali Hweeko
bertanya.
"Sucouw yang minta aku pergi mencarinya, aku sendiripun tidak
tahu karena apa?"
"Lantas tahukah kau manusia seperti apakah Jit-seng-kiam-kek
itu?"
"Aku sama sekali tidak tahu siapakah dia dan siapa pula
namanya. Bahkan persoalan mengenai dirinya pun aku sama sekali
tidak tahu.”
"Dia dari marga Kwik bernama Tang-lay tiga puluh tahun
berselang termashur sebagai Ciang-ciu-kiam-kek. Berhubung dia
memiliki sebuah ilmu pedang yang aneh, dimana dalam setiap
jurusnya terdapat tujuh buah titik pedang, barangsiapa terkena
sebuah tusukannya maka di tubuh sang korban akan muncul tujuh
buah mulut luka, maka diapun disebut orang sebagai Jit-seng-kiamkek,
si Jago pedang tujuh bintang. Sejak dua puluhan tahun
berselang dia berangkat ke wilayah Liauw-tong dan tidak pernah
kembali lagi. Ada orang bilang dia sudah meninggal, tapi ada juga
yang mengata kan dia sudah berganti nama dan mengundurkan diri
dari dunia persilatan. Tegasnya sejak saat itu tiada orang lagi yang
mengetahui kabar beritanya. Lama-kelamaan, seorang jago pedang
kenamaan pun lambat-laun dilupakan orang.”


"Kalau dia adalah seorang jago pedang yang sudah lenyap sejak
dua puluh tahun berselang, mengapa Sucouw minta aku untuk
mencarinya?" tanya Lan Giok-keng keheranan.
Hwee-ko sendiripun merasa keheranan, dia seolah sedang
bergumam seorang diri, "Antara Bu-siang Cinjin dengan kwik Tanglay
selama ini tidak pernah ada hubungan atau saling kontak, jadi
mustahil kalau terdapat perselisihan di antara mereka, ini berarti dia
bukan lantaran urusan pribadinya, saat Kwik Tang-lay lenyap dari
pered aran....”
Bicara sampai disini sorot matanya dialihkan ke wajah Lan Giokkeng,
seolah-olah sedang bertanya kepadanya, "Saat itu kau belum
lahir di dunia ini, mengapa Bu-siang Cinjin minta kau untuk pergi
mencarinya?"
Justru Lan Giok-keng berharap orang lain bisa membantunya
untuk menjawab pertanyaan ini, kalau dia sendiri yang ditanya,
mana mungkin bisa dijawab?
Ruang kamar yang ditempati Hwee-ko selalu kelihatan redup
walaupun berada di siang hari, kini sorot matanya sedang
mengawasi wajah Lan Giok-keng tanpa berkedip, seolah-olah baru
saja menemukan sesuatu, mendadak dia membuka jendela sambil
berseru, "Berdirilah di depan jendela, jangan bergerak, menghadap
ke arahku. Nah betul, begitu saja, jangan bergerak.”
Lan Giok-keng bingung setengah mati, namun dia menurut saja
dan melakukan apa yang diperintahkan. Terdengar Hwee-ko
kembali bergumam, "Benar-benar mirip, benar-benar mirip....”
Mendadak dia bertanya, "Apa hubunganmu dengan Keng Kingsi?"
Lan Giok-keng melengak.
"Baru pertama kali ini kudengar nama tersebut,” sahutnya.
"Hah? Jadi kau tidak bermarga Keng?"
"Mengapa kau bertanya begitu kepadaku? Aku dari marga Lan!"


Sudah untuk kedua kalinya orang mengira dia berasal dari marga
Keng, orang pertama adalah si Lebah hijau Siang Ngo-nio.
Hwee-ko tidak menjawab pertanyaan itu, malah balik bertanya,
"Apa kerja ayahmu?"
"Ayahku bernama Lan Kau-san, semasa muda bekerja sebagai
pemburu, tapi sekrang menanam sayuran di gunung Bu-tong.”
"Kalau begitu tidak benar.”
"Kenapa tidak benar?"
Hwee-ko masih saja tidak menjawab, tanyanya lebih jauh, "Kau
tidak mengenali Keng King-si? Lantas tahukah kau tentang Ji-ouw
Tayhiap Ho Ki-bu yang cukup tersohor namanya di partai Bu-tong?"
"Tahu. Kalau dirunutkan kembali seharusnya aku memanggil dia
sebagai Sucouw. Hanya saja aku belum pernah berjumpa dengan
Sucouw ku yang berasal dari kaum preman ini.”
"Apa maksudmu?"
"Sebelum guruku menjadi seorang pendeta, dia pernah menjadi
muridnya.”
"Kalau begitu gurumu baru menjadi murid Bu-siang Cinjin
sesudah Ho Tayhiap meninggal dunia?"
"Benar!" kembali timbul kecurigaan dalam hati Lan Giok-keng,
namun untuk sesaat dia tidak tahu apakah pantas menanyakan hal
tersebut kepada Hwee-ko Thaysu yang baru dikenalnya.
Paras muka Hwee-ko sendiripun menunjukkan perubahan yang
sangat aneh, dengan napas memburu tanyanya, "Siapa nama
gurumu?"
"Dia bergelar Put-ji!"
"Yang ingin kutanyakan adalah nama premannya.”
"Kalau tidak salah dia bernama Ko Ceng-kim!"
"Tidak salah lagi. Ehmmm, tidak benar!"


Kenapa sebentar mengatakan tidak salah tapi sebentar lagi
berubah jadi tidak benar? Lan Giok-keng makin tidak habis
mengerti. Namun dia masih juga tidak menanyakan hal tersebut.
Dalam pada itu Hwee-ko telah berkata lagi, "Coba kau pikirkan
lagi dengan seksama, benar-kah gurumu tidak pernah menyinggung
tentang nama orang yang bernama Keng King-si itu....?"
"Benar-benar tidak pernah.”
"Waah, kalau begitu rada aneh.”
"Kenapa?"
"Karena antara gurumu dengan Keng King-si sebetulnya saudara
seperguruan.”
"Haaaah?!" Lan Giok-keng hanya bisa berseru tertahan, untuk
sesaat dia tidak tahu apa yang harus diucapkan. Pikirannya terasa
amat kalut, perasaannya kacau dan gundah. Namun dari balik
kegundahan dia seolah-olah melihat secerca cahaya terang dari
balik ruangan yang gelap.
Bukan untuk pertama kali ini saja dia mendengar nama 'Keng
King-si'. Betul gurunya memang tidak pernah menyinggung nama
tersebut, tapi sebelum disebut Hwee-ko, masih ada seseorang lagi
yang pernah menyinggung soal itu.
Di hari dia jalan bersama Tonghong Liang waktu itu, dia pun
pernah bersua Bu-si tojin, setelah Bu-si tojin berhasil memukul
mundur Tonghong Liang, diapun sempat membicarakan hal ini.
Tapi waktu itu Bu-si tojin hanya menyinggung tentang beberapa
kasus pembunuhan yang menimpa beberapa orang anggota Bu-tong
kemudian sekalian menyinggung tentang nama Keng King-si, sebab
dalam pandangan Bu-si tojin, Keng King-si bukanlah seseorang yang
mempunyai peran penting.
Tapi berbeda sekali bagi Lan Giok-keng, terutama sekali waktu
Siang Ngo-nio mengatakan dirinya seharus nya bermarga Keng.
Sejak saat itu secara lamat-lamat dia merasa kalau antara dirinya


dengan 'Keng King-si' besar kemungkinan terjalin suatu 'hubungan'
yang luar biasa.
Begitu melihat paras muka bocah itu pucat pias, Hwee-ko segera
menegur, "Kenapa kau?"
"Masih ada satu persoalan lagi, apakah aku boleh bertanya
kepadamu?”
“Katakan saja.”
"Thaysu, ketika menengok aku tadi kau langsung berseru: benarbenar
mirip sekali. Apakah maksudmu aku mirip sekali dengan
seseorang yang kau kenal?"
"Benar.”
Diapun seolah membayangkan kembali kejadian masa silam,
lewat beberapa saat kemudian baru melanjutkan, "Sebelum masuk
biara jadi pendeta, aku sempat mampir ke rumah Ho Ki-bu. Waktu
itu Keng King-si pun baru berusia enam belas tahun, tampangnya
waktu itu persis seperti wajahmu sekarang. Cuma bedanya dia lebih
lincah dan gampang mendatangkan simpatik.”
Lan Giok-keng tertawa paksa, katanya, "Padahal aku sendiripun
sangat nakal, hanya saja tidak berani berulah sebab berada di
hadapan Cianpwee.”
"Aku tidak bermaksud mengatakan kalau kau tidak simpatik,
maksudku, bila kau sedikit lebih lincah maka dirimu akan peris sama
seperti Keng King-si.”
"Apakah Ho Ki-bu hanya mempunyai dua orang murid?"
"Dia masih mempunyai seorang anak perempuan, usia putrinya
hampir sebaya dengan Keng King-si. Tapi aku dengar sejak kecil
putrinya sudah dijodohkan dengan murid pertamanya, Ko Ceng-kim.
Yang disebut Ko Ceng-kim tidak lain adalah gurumu sekarang.”
"Kenapa?"
"Biarpun usia Ko Ceng-kim jauh lebih tua, tapi sejak kecil dia


sudah dipelihara Ho Ki-bu hingga selama ini Ho Ki-bu
menganggapnya sebagai putra sendiri, oleh karena itulah meski Ho
Ki-bu pun amat menyukai Keng King-si, namun hubungannya
dengan murid pertama jauh lebih dekat dan akrab.”
"Konon Ho Ki-bu mati dibunuh orang?"
"Benar, peristiwa itu merupakan salah satu kasus pembunuhan
yang penuh diliputi misteri.”
"Bagaimana dengan nasib putrinya?"
"Aku kurang begitu jelas, tapi konon dia pun mengalami nasib
tragis sama seperti yang dialami Keng King-si.”
"Aaah!" sekali lagi Lan Giok-keng berseru ter-tahan, "tidak heran
kalau guruku sepanjang tahun tidak pernah nampak gembira,
ternyata dia menyimpan sebuah peristiwa yang begitu tragis dan
menyedihkan.”
Hwee-ko menghela napas panjang. "Benar, aku dengar
sebetulnya Ho Ki-bu sudah berencana akan menyelenggarakan
perkawinan mereka, tidak disangka terjadilah peristiwa yang sama
sekali tidak terduga itu.”
"Guruku adalah seorang anak yatim piatu, bagaimana pula
dengan Keng susiok? Apakah dia mempunyai sanak saudara?"
"Setahuku, ke dua orang tuanya sudah lama meninggal. Ketika
tertimpa bencana tahun itu, dia belum pernah menikah atau
berkeluarga.”
Dia memang tidak sengaja bermaksud menge-labuhi kenyataan
itu, ketika Keng King-si kabur bersama Ho Giok-yan waktu itu,
memang jarang ada yang tahu tentang rahasia ini.
Diam-diam Lan Giok-keng menghembuskan napas lega, pikirnya,
"Kalau begitu selama ini aku hanya menduga yang bukan-bukan.
Apa anehnya kemiripan wajah seseorang yang dengan orang lain?
Bisa jadi gihu tidak menyinggung masalah ini denganku karena dia
tidak mau teringat lagi dengan peristiwa pedih di masa lampau. Tapi


kenapa dia pun tidak pernah menyinggung tentang nona Ho yang
mempunyai ikatan perkawinan dengannya?"
Kemiripan Lan Giok-keng dengan Keng King-si dengan cepat
menimbulkan kecurigaan Hwee-ko. Sekalipun Ho Ki-bu telah
berusaha merahasiakan aib keluarganya sedemikian rupa hingga
orang lain tidak tahu tentang kejadian putrinya yang kabur dengan
pemuda lain, namun serapat rapatnya rahasia itu disimpan, tidak
urung akhirnya bocor juga keluar.
Hwee-ko bahkan pernah mendengar cerita sejelasnya mengenai
kejadian di keluarga Ho, bahkan apa yang dia ketahui jauh lebih
banyak ketimbang orang lain. Dia tahu kalau Keng King-si bersama
seorang gadis pernah pergi ke wilayah Liauw-tong.
Hanya saja orang yang pernah bertemu Keng King-si di Liau-tong
hanya mengenali Keng King-si seorang dan tidak tahu kalau wanita
yang jalan bersamanya adalah Ho Giok-yan.
Padahal waktu itu Hwee-ko sedang berusaha melacak kabar
berita tentang sahabat karibnya, Jit-seng-kiam-kek, tentu saja
masalah kemunculan Keng King-si di wilayah Liauw-tong sama
sekali tidak dimasukkan ke dalam hati.
Tapi kini, setelah Lan Giok-keng mendapat perintah dari Bu-siang
Cinjin untuk menyambanginya, kemudian diapun menjumpai kalau
wajah Lan Giok-keng mirip sekali dengan Keng King-si, hal ini mau
tidak mau membuatnya jadi teringat kembali akan peristiwa itu.
Dia memang tidak percaya penuh dengan "isu" yang beredar,
namun mungkinkah bocah ini adalah putra yang dilahirkan
perempuan yang tidak diketahui namanya itu dengan Keng King-si
sewaktu ada di Liauw-tong?
"Tapi mengapa pemuda ini dari marga Lan? Bahkan katanya
kedua orang tuanya masih hidup? Menurut dugaanku.... ehmmm,
bisa jadi isu itu hanya ngaco belo saja.”
Hwee-ko merasa tidak leluasa untuk mengemukakan
kecurigaannya itu kepada Lan Giok-keng, maka ujarnya, "Aku hanya


mendapat kabar angin tentang kematian Keng King-si, bagaimana
keadaan yang sesungguhnya, aku sendiripun tidak jelas. Tapi hal ini
tidak terlalu penting, sebab Keng King-si hanya seorang murid
preman yang tidak ada hubungan serius dengan perguruan Bu-tongpay.
Karena kemiripan wajahmu dengan dia itulah maka timbul rasa
ingin tahuku hingga mengajukan pertanyaan tadi. Mari kita kembali
berbicara tentang pokok masalah. Ehmm, apakah kau tahu apa
sebabnya Bu-siang Cinjin ingin kau menemukan Jit-seng-kiam-kek?"
"Sucouw tidak menjelaskan, siapa tahu urusan ini jadi lebih jelas
setelah bertemu Jit-seng-kiam-kek nanti?"
Sementara di hati kecilnya dia berpikir, "Kalau memang tahu
kabar berita Jit-seng-kiam-kek, katakan saja terus terang, bukankah
urusan jadi beres? Buat apa kau musti menyelidiki alasannya....?"
Tapi kalau dilihat dari sikap Hwee-ko, tampaknya dia memandang
serius soal 'alasan', kali ini dia tidak berbicara, seolah sedang
berpikir dengan serius.
Tiba-tiba Lan Giok-keng teringat akan satu hal, tanyanya,
"Bukankah Jit-seng-kiam-kek lenyap saat berada di wilayah Liauwtong?"
"Benar, peristiwa itu sudah terjadi pada tiga puluh tahunan
berselang.”
"Padahal tahun ini guruku pun baru saja pergi ke Liauw-tong
bulan berselang dia baru kembali.”
"Karena urusan apa gurumu pergi ke sana?"
"Aku tidak tahu. Aku hanya tahu dia pergi ke sana karena
mendapat perintah dari Sucouw.”
Mendadak Hwee-ko seperti menyadari akan sesuatu, segera
serunya, "Aaah, kalau begitu betul sudah!"
Kembali sebuah kata "betul", hanya kali ini Lan Giok-keng seperti
mengerti apa arti kata 'benar' yang diucapkan Hwee-ko.
"Maksud Cianpwee, Suhuku mendapat perintah untuk pergi ke


Liauw-tong karena hendak melacak teka teki seputar kasus
pembunuhan itu?"
"Betul. Aku berpendapat begitu. Sebab Bu-kek Totiang maupun
Ji-ouw Tayhiap Ho Ki-bu yang mati terbunuh merupakan jago-jago
tangguh dari Bu-tong-pay, bila kasus pembunuhan dilakukan para
jago dari daratan Tionggoan, tidak mungkin setelah dilakukan
penyelidikan hampir enam belas tahun lamanya, hingga kini belum
juga ditemukan titik terang. Wilayah Liauw-tong merupakan daerah
kekuasaan etnik Jurchens (Nizhen), sejak Nurhaci Khan menguasahi
suku Jurchens, tiada hentinya dia berusaha menyerbu wilayah
Tionggoan. Oleh sebab itu besar kemungkinan para pembunuhnya
datang dari daerah Liauw-tong. Kwik Tang-lay sendiripun lenyap di
wilayah Liauw-tong, jika dia masih hidup dikolong langit maka orang
inilah yang paling menguasai keadaan disana. Kemungkinan besar
tujuan Bu-siang Cinjin mengutus gurumu berangkat ke sana adalah
untuk menemukan jejak pendekar pedang itu, paling tidak mungkin
mencari tahu kabar berita tentang dirinya.”
"Lantas apakah orang yang bernama Jit-seng-kiam-kek ini masih
hidup di kolong langit?"
"Semisal dia sudah meninggal, aku rasa pasti ada orang yang
memberitahukan kepadaku.”
Maksud dari perkataan itu sangat jelas, tentu saja pendekar
pedang tujuh bintang masih hidup.
Sementara Lan Giok-keng merasa kegirangan, terdengar Hweeko
berkata lebih jauh, "Cuma saja aku khawatir diriku akan
membuat kau kecewa, terutama tentang petunjuk itu.”
"Apakah Cianpwee mempunyai masalah yang sulit untuk
diutarakan?" tanya Lan Giok-keng tertegun.
"Bukan kesulitan untuk berkata, tapi memang tidak tahu apa
yang musti diucapkan.”
Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Selama hampir
dua puluh tahun, pekerjaan yang kulakukan setiap hari hanya


membuat api dan menanak nasi, belum pernah sejengkal pun
meninggalkan pintu biara. Boleh dibilang hubunganku dengan dunia
luar sudah terputus. Oleh sebab itu, walaupun aku percaya Jit-sengkiam-
kek masih hidup di dunia ini, namun aku tidak tahu dimanakah
dia berada.”
Lan Giok-keng jadi sangat kecewa, ujarnya, "Boanpwee sedang
melaksanakan pesan terakhir Sucouw, jadi, selama Jit-seng-kiamkek
masih hidup di dunia ini, boanpwee tetap akan berusaha untuk
mencarinya sampai ketemu. Apakah Cianpwee masih mempunyai
cara lain?"
Hwee-ko tertawa getir.
"Aku tidak yakin dapat menemukan jejak Jit-seng-kiam-kek, tapi
bila dikolong langit terdapat seseorang yang dapat menemukan
dirinya, mungkin orang itu hanya aku seorang.”
"Kalau begitu, asal Cianpwee bersedia mengajak tecu untuk
mencari Jit-seng-kiam-kek, biarpun tidak yakin berhasil, paling tidak
kesempatan ini pasti jauh lebih besar daripada tecu mencarinya
secara ngawur!"
Hwee-ko tidak menjawab, dia seperti sedang memikirkan
sesuatu.
Lan Giok-keng sangat tidak puas dengan sikapnya itu, dia bangkit
berdiri dan serunya, "Tecu tahu kalau permintaanku memang sedikit
kelewat batas, bila Cianpwee memang ada kesulitan, biarlah tecu
mohon diri lebih dahulu!"
"Tunggu sebentar!"
"Apakah Cianpwee masih ada petunjuk?" tanya Lan Giok-keng
sambil berhenti.
"Aku pernah memperoleh budi kebaikan dari Sucouw mu Busiang
Cinjin, bila di dunia ini ada orang yang bisa memaksaku
meninggalkan biara Siau-lim, mungkin orang itu hanya Bu-siang
Cinjin seorang.”


"Terima kasih Thaysu,” Lan Giok-keng jadi kegirangan.
"Kau tunggulah sebentar,” kemudian sambil membuka pintu
kamar ujarnya, "Liau-huan suhu, harap datang kemari sebentar.”
Liau-huan adalah hwesio yang mengurusi urusan dapur, saat itu
sedang berjaga di depan pintu gerbang sambil melarang siapa pun
memasuki ruangan itu. Biarpun suara panggilan Hwee-ko amat
perlahan, ternyata panggilan itu terdengar juga olehnya.
Liau-huan segera berjalan masuk, wajahnya penuh senyuman,
kepada hwesio juru masak yang seharusnya merupakan anak
buahnya itu dia berkata dengan hormat, "Apakah tamu akan pamit?
Ada urusan apa untukku?"
"Aku dan Siau-sicu ini akan meninggalkan biara, tolong
sampaikan kabar ini kepada Hong-tiang.”
Liau-huan terperanjat.
"Kau akan meninggalkan biara? Mau pergi satu dua hari
ataukah....”
"Mungkin tidak akan kembali lagi.”
Begitu ucapan tersebut diutarakan, paras muka Liau-huan segera
berubah menjadi terkejut bercampur keheranan.
Setelah tertegun beberapa saat, ujarnya, "Hwee-ko, kau benarbenar
orang hebat tapi pandai menyembunyikan diri. Kalau bukan
kedatangan siau Sicu pada hari ini, aku masih belum tahu kalau kau
mempunyai asal usul yang luar biasa. Bila di hari-hari yang lalu aku
kurang bersikap baik, mohon sudi dimaafkan.”
"Mana, mana, selama banyak tahun aku merasa berterima kasih
sekali karena perhatianmu, maafkan kalau aku tidak sempat untuk
membalasnya.”
"Hwee-ko, urusan masa silam tidak perlu dibicarakan lagi. Tapi
setelah kejadian hari ini, dapat kulihat kalau Hong-tiang menaruh
hormat kepadamu, mengapa tiba-tiba kau akan pergi?"


"Pergi adalah pergi, datang adalah datang. Dari mana aku
datang, kesana aku pergi. Datang adalah pergi, pergi pun bukan
berarti pergi. Tolong laporkan kepada Hong-tiang,” ujar Hwee-ko
hambar.
Liau-huan tertawa getir.
"Aku tidak mengerti perkataanmu itu. Tapi kalau toh niat pergimu
sudah bulat, terpaksa aku harus melaporkan hal ini kepada Hongtiang.”
Setelah Liau-huan meninggalkan tempat itu, tidak tahan Lan
Giok-keng bertanya, "Apakah kepergian kita mencari Jit-seng-kiamkek
bakal menyerempet bahaya yang sangat besar?"
"Aku tidak tahu. Tapi menurut kebiasaan, tidak mungkin ada
banyak orang yang bisa mengenaliku lagi, karena sudah dua-tiga
puluhan tahun lamanya aku tidak pernah meninggalkan biara Siaulim.
Kesulitan, hadangan memang tidak bisa terhindar, tapi kalau
dibilang ada bahaya yang terlalu besar mah tidak mungkin.”
"Setelah kita berhasil menemukan Jit-seng-kiam-kek, apakah
Cianpwee akan balik lagi ke biara Siau-lim?"
Hwee-ko tertawa getir.
"Kini rahasiaku sudah terbongkar, bahkan Liauw-huan pun
memandang lain kepadaku. Padahal kedatang anku ke biara Siaulim
adalah untuk mencari ketenangan hidup, selewat kejadian hari
ini, mungkinkah aku bisa hidup tenang lagi disini?"
Lan Giok-keng merasa tidak enak hati, buru-buru katanya,
"Kesemuanya ini gara-gara boanpwee, kedatangan ku telah
mengacaukan ketenangan hidup Cianpwee.”
"Tidak ada urusannya dengan dirimu, semua peristiwa hanya
bersumber dari jodoh. Dosaku belum bersih, biar kau tidak
datangpun tidak mungkin aku akan hidup sepanjang masa sebagai
juru masak dalam biara Siau-lim.”
Sudah sekian lama mereka berdua berbincang, namun belum


juga tampak Liau-huan balik kemali.
Tiba-tiba Lan Giok-keng teringat dengan pesan dari Tonghong
Liang, sebetulnya urusan ini baru akan disampaikan kepada Hweeko
setelah meninggalkan biara Siau-lim, namun mumpung saat ini
ada waktu senggang, maka diapun menyampaikan hal itu
kepadanya.
Agak tertegun Hwee-ko bertanya, "Jadi seorang temanmu ingin
bertemu aku juga?'
"Betul. Namun berhubung menurut peraturan biara Siau-lim dia
harus dijajal dulu ilmu silatnya, maka sewaktu dikalahkan Wan-seng
Thaysu, dia pun tidak bisa ikut masuk ke dalam.”
"Siapa nama temanmu itu?"
"Dia dari marga Tonghong bernama Liang.”
"Ooh, dia bermarga Tonghong?"
Lan Giok-keng ambil keluar cincin itu dan diserahkan kepadanya,
lalu ujarnya lagi, "Dia minta kepadaku untuk membawa benda ini
sebagai tanda pengenal, menurutnya, asal kau melihat cincin ini,
segera akan diketahui asal usulnya.”
Setelah menyaksikan cincin itu, paras muka Hwee-ko kelihatan
sedikit agak aneh, sahutnya setelah menghela napas, "Betul, di
kolong langit hanya ada dua macam cincin seperti ini. Pemiliknya
kalau bukan Seebun berarti pastilah Tonghong. Aku pernah berjanji
kepada mereka berdua, melihat cincin itu sama seperti bertemu
sahabat lama, apa pun yang diminta pembawa cincin itu, biar harus
terjun ke kuali minyak atau naik ke bukit golok, aku pasti akan
melakukannya. Baiklah, sekarang katakan, apa permintaannya?"
"Dia tidak mengatakannya.”
"Ooh, dia ingin mengatakannya secara langsung kepadaku?
Lantas, apakah dia menunggu aku di pintu biara?"
"Kelihatannya dia sudah pergi.”


"Sudah pergi?" Hwee-ko berkerut kening, "pergi tanpa
mengucapkan sepatah katapun?"
"Dia hanya minta aku untuk menyampaikan kepada Cianpwee,
dia telah pergi ke Toan-hun-kok.”
"Pergi ke Toan-hun-kok? Apakah dia mempunyai perselisihan
dengan Toan-hun Kokcu Han Siang? Aaai, kalau memang begitu,
aku jadi agak sulit.”
Lan Giok-keng tidak mengetahui tokoh seperti apakah pemilik
Lembah pemutus sukma Han Siang, apalagi meskipun dia saling
menyebut saudara dengan Tonghong Liang, namun pada
hakekatnya pengetahuan dia tentang asal usul saudara angkatnya
itu sangat terbatas, tentu saja bocah ini tidak sanggup memberi
penjelasan apa-apa.
Tiba-tiba Hwee-ko tertawa getir, ujarnya lagi, "Apakah aku akan
berhasil keluar dari pintu gerbang biara Siau-lim masih merupakan
tanda tanya besar, baiklah, kita bicarakan lagi persoalan ini setelah
berada diluar nanti.”
Pada saat itulah muncul seorang hweesio.
Begitu mendengar suara langkah manusia, Lan Giok-keng
mengira Liau-huan telah kembali, begitu dilihat, ternyata dia adalah
seorang hwesio setengah umum yang belum pernah dijumpai
sebelumnya.
Hwesio setengah umur itupun tidak ambil perduli apakah disana
ada orang luar atau tidak, begitu masuk dia langsung berseru
kepada Hwee-ko dengan nada gelisah, "Suhu, benarkah kau akan
meninggalkan biara Siau-lim?"
"Benar, rasanya hubungan jodoh kita guru dan murid harus
berakhir hari ini. Tapi aku bisa mohonkan kepada Hong-tiang untuk
mencarikan suhu lain untukmu. Kau bisa menjadi murid Siau-lim
secara resmi, tidak perlu seperti sekarang, harus menjadi murid
tidak resmi seorang hwesio juru masak!"
"Aku tidak ingin menjadi murid biara Siau-lim, akupun tidak sudi


menjadi murid orang lain. Suhu, bolehkah kau mengajak aku pergi?"
"Tidak bisa. Ada jodoh kita berkumpul, jodoh berakhir kita
berpisah. Apakah kau pernah menjumpai perjamuan yang tidak
pernah berakhir di kolong langit?"
Kini hwesio tersebut baru memperhatikan Lan Giok-keng yang
berdiri di samping, kembali tanyanya, "Suhu, aku dengar kau akan
pergi bersama Siau-sicu itu, benarkah demikian? Siau-sicu, aku tidak
tahu kau mencari guruku untuk menemanimu pergi ke mana, tapi
bersediakah kau membantu aku untuk memohon kepada suhu, agar
mengijinkan aku turut serta? Aku bernama Liau-wan, hanya seorang
hwesio pemikul air di biara Siau-lim. Selama beberapa tahun
terakhir, aku tinggal sekamar dengan suhu, boleh dibilang siang
malam kami tidak pernah berpisah.”
Lan Giok-keng sadar bahwa permintaannya mustahil bisa
dikabulkan, sebab bila membiarkan dia turut serta dalam perjalanan
ini, sama artinya dengan ikut menyeret dia terlibat dalam pusaran
keruwetan dunia persilatan.
Begitu berat hati Liau-wan berpisah dengan gurunya membuat
Lan Giok-keng yang menyaksikan hal itu ikut merasa terharu.
Dasar bocah ini encer otaknya, cepat dia berkata, “Aku adalah
orang luar, tidak sepantasnya ku-campuri urusan antara kalian guru
dan murid, tapi hatiku merasa sesak, ada ganjalan yang membuatku
tidak leluasa, bolehkah kuutarakan ganjalan itu?"
"Aku memang sedang mencari orang untuk merun dingkan
persoalan ini, katakan saja.”
"Kalau Cianpwee sendiripun dapat merasa kalau tetap tinggal di
biara ini maka kehidupannya di kemudian hari mungkin tidak bisa
tenang kembali, lantas jika muridmu tetap tinggal dalam biara,
bukankah diapun tidak bisa terhindar dari pelbagai kesulitan?"
Tiba-tiba Hwee-ko seperti tersadar kembali, katanya, "Aaah,
setelah mengurung diri hampir dua-tiga puluh tahun lamanya, aku
betul-betul dibikin sedikit pikun. Kemampuan menganalisa persoalan


ternyata masih kalah jauh ketimbang dirimu. Perkataanmu tepat
sekali, karena aku sudah menjadi murid Buddha, memang tidak
seharusnya menjadi lelaki bebas lagi.”
Bicara sampai disitu dia segera berpaling dan ujarnya kepada
Liau-wan, "Baiklah, aku akan mohonkan ijin dan minta Liau-huan
mengabulkan permintaanmu untuk meninggalkan biara ini. Kau
berbeda dengan aku, asal Liau-huan dan para pengurus ruang
disiplin mengabulkan, rasanya tidak akan ada peraturan macammacam
lagi untuk menghadang dan menyusahkan dirimu.”
"Berarti suhu mau mengajak aku pergi bersama?" seri Liau-wan
kegirangan.
"Bukan berangkat bersama, kita harus berpisah.”
"Suhu, apa maksud perkataanmu, aku tidak mengerti.”
Seakan ada yang dipikirkan, tiba-tiba Hwee-ko berkata, "Liauwan,
maukah kau melakukan sebuah pekerjaan untukku?"
"Suhu, silahkan kau memberi perintah.”
"Aku ingin kau menyampaikan sebuah pesan untuk seseorang,
orang itu berdiam di sebuah tempat yang jauh sekali.”
"Siapa? Dimana?"
"Orang yang minta kau menyampaikan berita itu bernama
Tonghong Liang, sedang tempat yang harus kau datangi adalah
bukit Nyainqentanglha yang berada jauh di wilayah Hwee, di atas
puncak bukit itu terdapat sebuah puncak wanita suci, dalam puncak
wanita suci terdapat sebuah lembah yang bernama Pek-hoa-kok,
dalam lembah hidup satu keluarga dari marga Seebun.”
Lan Giok-keng yang mendengar perkataan itu jadi keheranan,
pikirnya, "Dia belum berjumpa dengan Tonghong Toako, kenapa
mengatakan kalau Toako yang suruh dia menyampaikan berita?"
"Aku belum pernah melakukan perjalanan jauh,” ujar Liau-wan,
"akupun tidak tahu harus lewat mana untuk mencapai tempat itu,
tapi aku percaya pasti akan berhasil menemukan keluarga yang


dimaksud.”
"Akupun percaya kalau kau memiliki kemampuan itu. Ehmm,
coba aku pikir sebentar, siapakah penerima berita itu? Apakah
bibinya? Atau.... ehmm, lebih baik Piaumoy nya saja. Betul, kalau
begitu sampaikan berita dari Tonghong Liang ini untuk adik
misannya, Seebun Yan!"
"Apa isi berita itu?"
Kembali Hwee-ko berpikir sejenak, dia tidak langsung menjawab.
Lan Giok-keng yang menyaksikan kejadian itu segera berpikir,
jangan-jangan karena ada dia disana maka pendeta itu sungkan
untuk mengatakannya?
Belum lagi melakukan sesuatu, Hwee-ko telah mendongakkan
kepala sambil berkata lagi, "Tonghong Liang adalah pemuda yang
datang bersama Sicu ini, coba kau keluar sebentar, lihatlah apakah
dia sudah pergi? Kalau sudah, kau segera balik kemari, akan
kukatakan beritanya.”
"Kalau dia belum pergi?" tanya Liau-wan.
"Buat apa tanya lagi, tentu saja biar dia sendiri yang beritahu
kepadamu.”
"Benar, ternyata tecu memang bodoh.”
Begitu Liau-wan berlalu, Lan Giok-keng seperti teringat akan
sesuatu, tidak tahan tanyanya, "Darimana Cianpwee bisa tahu kalau
Tonghong Liang mempunyai seorang adik misan?"
"Walaupun aku belum pernah bertemu dengan Tonghong Liang
maupun Seebun Yan, namun ayah mereka adalah sahabat karibku,
aaai.... kejadian inipun sudah berlangsung dua, tiga puluh tahun
berselang.”
Bicara sampai disini, kembali dia terbatuk-batuk.
Menunggu sampai dia selesai batuk, Lan Giok-keng baru
bertanya lagi, "Siapakah paman Tonghong Liang?"


Tiba tiba sikap Hwee-ko berubah agak aneh, ditatapnya Lan
Giok-keng tajam tajam kemudian menegur, "Mengapa kau ingin
tahu siapa pamannya?”
“Tadi Tonghong Liang sempat mengatakan sesuatu kepadaku,
dia bilang ciriku berada dirumah adik misannya. Tapi berhubung
Hong-tiang biara Siaulim sudah menungguku untuk dihantar
menjumpai Cianpwee, maka dia tidak sempat menjelaskan lebih
terperinci.”
"Oooh, rupanya dikarenakan anak gadisnya maka kau
menanyakan bapaknya?"
"Apa salahnya begitu,” pikir Lan Giok-keng, tapi ingatan lain
segera melintas, "eeei, rasanya sedikit tidak beres, kenapa
Tonghong Toako tidak mengatakan berada di rumah pamannya, tapi
bilang berada di rumah adik misannya?"
Belum habis ingatan itu melintas, terdengar Hwee-ko telah
berkata lagi, "Paman Tonghong Liang sudah lama meninggal dunia.
Mungkin saja Piaumoynya mempunyai tabiat nona besar, senang
marah tidak menentu, namun watak aslinya tidak terhitung jahat.
Selama cicimu berada disana, kau tidak perlu khawatir.”
Lan Giok-keng semakin keheranan, pikirnya, "Kalau toh bersua
muka pun belum pernah, darimana kau bisa tahu tentang wataknya
dengan begitu jelas?"
Tentu saja dia tidak berani mencurigai Hwee-ko hanya bicara
'mengawur', namun kenyataan tersebut memang cukup
membuatnya bingung dan tidak habis mengerti.
Darimana dia bisa tahu kalau semasa masih muda dulu, ibu
Seebun Yan pernah menjadi "kekasih dalam impian" bagi Hwee-ko,
dia pernah menderita sakit asmara gara-gara perempuan itu,
bahkan demi dia pula dia mencukur rambut menjadi hwesio.
Pemahamannya tentang tabiat Seebun-hujin boleh dibilang tiara
duanya di dunia ini, termasuk pemahaman nya terhadap suami
perempuan itu.


Seebun Yan adalah putri tunggal mereka, kendati pun Hwee-ko
belum pernah menjumpainya, namun dia dapat membayangkan,
watak putrinya paling tidak akan mirip sekali dengan tabiat ibunya di
masa lampau.
Terdengar Hwee-ko berkata lebih lanjut, "Kalau memang enci mu
berada di rumah adik misan Tonghong Liang, ttitiplah pesan juga
kepada Liau-wan agar disampaikan kepadanya.”
Dalam hati Lan Giok-keng tertawa getir, pikirnya, "Asal usulku
sendiripun masih belum jelas, pesan apa pula yang harus
kusampaikan kepada cici?"
Setelah berpikir sejenak, dia pun berkata, "Kalau toh enciku
tinggal di rumah adik misan Tonghong Liang, tentu saja perasaan
hatiku jadi lega. Sebenarnya tiada persoalan penting yang ingin
kusampaikan kepadanya. Tapi aku pun tidak tahu sampai kapan
baru bisa pulang kembali, kalau begitu minta tolong kepadanya agar
menyampaikan salam untuk kedua orang tuaku, minta mereka tidak
usah mengkhawatirkan diriku lagi.”
Beberapa saat sudah lewat, Liau-huan yang pergi memberi
laporan kepada Hong-tiang belum juga kembali, namun murid tidak
resmi Hwee-ko, Liau-wan justru telah muncul kembali.
Mimik mukanya nampak sedikit agak aneh, begitu masuk dia
segera berkata, "Tonghong Liang telah pergi, tapi muncul kejadian
lain yang justru kelihatan sangat aneh. Bahkan aku lihat persoalan
ini ada sangkut pautnya dengan kau orang tua.”
“Masalah apa?"
"Mereka berhasil menemukan sesosok mayat di dasar jeram di
luar hutan pagoda, kalau dilihat dari luka memar yang tertinggal,
tampaknya orang itu terpeleset jatuh.”
"Manusia macam apakah itu?"
"Seorang lelaki berewok yang kelihatannya datang dari luar
daerah!"


"Kalau memang ada yang terpeleset jatuh, lantas apa
hubungannya dengan aku?"
"Mereka bilang, pagi ini orang tersebut pernah mendatangi biara,
bahkan minta ijin untuk bertemu dengan kau orang tua.”
"Omintohud,” bisik Hwee-ko, "masa dia mengambil langkah
pendek hanya gara-gara aku menolak bertemu?"
Di hati kecilnya Lan Giok-keng tahu kalau lelaki berewok itu tidak
lain adalah orang yang dijumpainya sewaktu berada di hutan
pagoda tadi, orang itu sempat bertarung melawannya dan terkena
bokongan Tonghong Liang hingga jatuh menggelinding ke bawah
tebing.
Mendengar berita kematiannya, diam-diam dia merasa amat
menyesal, namun bocah inipun tidak ingin membuat masalah lain
gara-gara peristiwa tersebut.
Kembali Liau-wan melanjutkan ucapannya, "Tampaknya yang
mereka maksudkan ada hubungan dengan suhu bukan hanya
lantaran peristiwa ini saja.”
"Lantas masih ada masalah apa lagi?"
"Dari saku orang itu ditemukan sepucuk surat, surat itu ditujukan
kepada kau orang tua, mereka telah menyerahkan surat itu kepada
tecu.”
Sambil berkata dia mengeluarkan sepucuk surat dari sakunya.
Begitu dilihat, Hwee-ko langsung mengernyitkan alis matanya,
ternyata nama yang tercantum di depan sampul adalah nama
premannya sebelum menjadi pendeta, bahkan gaya tulisannya
sangat dia kenal.
Lan Giok-keng tidak mengerti apa sebabnya dia berkerut kening,
tapi dapat diduga isi surat menyangkut sesuatu rahasia yang sangat
besar.
Karenanya begitu Hwee-ko membuka sampul surat itu, dia
langsung menyingkir ke samping sambil berkata, "Toa hweesio yang


tadi belum juga kembali, biar aku tengok sejenak keluar.”
"Bagus juga,” jawab Hwee-ko acuh tidak acuh.
Di luar kamar tidur para pendeta terdapat sebuah halaman kecil,
dengan santai Lan Giok-keng berjalan keluar, meskipun mimik
mukanya tetap tenang namun perasaan hatinya bergejolak keras,
banyak teka teki telah memenuhi benaknya namun tidak satupun
berhasil dia cerna.
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki memecahkan keheningan,
ketika Lan Giok-keng mendongakkan kepalanya, terlihat Liau-huan
telah muncul kembali sambil bertanya, "Siau-sicu, mengapa kau
berada disini seorang diri, mana Hwee-ko?"
"Dia sedang berbincang-bincang dengan muridnya di dalam
kamar, karena merasa tidak ada pekerjaan, aku keluar sebentar
mencari angin.”
Dengan wajah berat dan serius kembali Liau-huan berkata,
"Kepergian Hwee-ko kali ini meninggalkan biara, apakah lantaran
permintaan dari Siau-sicu?”
“Kalau benar lantas kenapa?"
"Pinceng tidak berani bertanya lantaran apa Siau-sicu
mengundangnya pergi, tapi kalau bukan masalah yang kelewat
mendesak dan mengharuskan Hwee-ko pergi, lebih baik biarkan
saja dia tetap tinggal disini.”
"Apakah Hong-tiang kalian tidak mengijinkannya?" tanya Lan
Giok-keng semakin kebingungan.
"Bukannya tidak mengijinkan....” bicara sampai disini tiba-tiba
Liau-huan membungkam, tampaknya dia tidak ingin berterus terang.
Sementara itu dari dalam ruangan sudah ter-dengar suara
teriakan dari Hwee-ko, "Jodoh Hwee-ko dengan Buddha telah
berakhir, kejadian ini tidak ada sangkut pautnya dengan Siau-sicu
itu. Silahkan sampaikan fatwa dari Hong-tiang.”
Biarpun terhalang halaman dan sederet kamar tidur para


pendeta, suara ucapan itu kedengaran amat jelas, seakan sedang
berbicara disisi telinga mereka.
Liau-huan menghela napas panjang.
"Kalau kuda sudah mulai birahi, mau dikekang pun rasanya sulit
ditahan lagi, baiklah, kalau begitu silah kan saja pergi dari sini.”
Baru selesai perkataan itu diucapkan, Hwee-ko dan Liau-wan
sudah berjalan keluar.
Kembali Liau-huan berkata, "Kata Hong-tiang, dia akan
mengantar keberangkatanmu, bersama ketua tianglo ruang Tat-mo
dan ketua ruang Lo-han, mereka semua sudah menanti kedatangan
mu di ruang Toa-hiong-po-tian.”
"Aah, benar-benar merepotkan mereka,” ucap Hwee-ko sambil
tertawa getir, "baiklah, aku segera akan berpamitan dengan
mereka.”
Lan Giok-keng semakin keheranan, pikirnya, "Bukankah Hongtiang
mau mengantar sendiri keberangkatannya, kejadian ini
merupakan sesuatu yang bergengsi, kenapa dia justru tampak
murung dan sedih?"
Terdengar Hwee-ko berkata lagi, "Liau-wan ingin turut serta
pergi ke luar, harap kau mengijinkan.”
"Kalau Liau-wan ingin pergi, hal ini tidak akan kelewat
merepotkan, nanti akan kusampaikan kepada pihak ruang disiplin.”
Hwee-ko manggut-manggut, katanya kemudian, "Liau-wan, jika
selesai menyampaikan pesan itu, sementara waktu kau bisa tinggal
di rumah orang itu, aku akan mencarimu disana. Tentu saja bila aku
berhasil meninggalkan pintu biara.”
"Bagus sekali,” sahut Liau-wan kegirangan, "suhu, kau pasti
berhasil keluar dari pintu biara.”
Lan Giok-keng makin keheranan, pikirnya, "Bukankah Hong-tiang
telah bersedia mengantar kepergiannya, kenapa dia tidak bisa
keluar dari pintu biara?"


Untung saja teka teki ini tidak perlu kelewat lama mengendon
dalam enaknya, karena tidak lama kemudian dia telah memperoleh
jawabannya.
Ketika tiba di ruang Toa-hiong-po-tian bersama Hwee-ko, dia
menyaksikan ketua Siau-lim-pay Tong-sian Sangjin, ketua ruang
Tat-mo Pun-bu Thaysu telah menunggu kedatangan mereka disana,
selain mereka berdua terdapat lagi seorang hwesio setengah umur
yang belum pernah dijumpai sebelumnya, tapi dia bisa menduga
kalau orang itu adalah ketua ruang Lo-han seperti yang dikatakan
Liau-huan tadi.
Menanti Hwee-ko memperkenalkan mereka satu per satu,
terbukti kalau dugaannya tidak salah, ternyata hwesio setengah
umur itu adalah ketua ruang Lo-han dengan gelar Wan-tin.
"Hwee-ko,” terdengar Tong-sian Sangjin menegur, "aku dengar
kau akan meninggalkan biara?"
"Benar, memohon kemurahan hati Hong-tiang.”
Yang dimaksud "kemurahan hati" bagi para murid agama Buddha
adalah mohon kepada pihak lawan untuk "memperingan hukuman"
nya, tapi Lan Giok-keng lagi-lagi dibuat melengak.
"Baiklah,” sahut Pun-bu Thaysu, "sekarang kami akan mengantar
kepergianmu, asal dapat kau lewati ke tiga pintu gunung, langit nan
luas dapat kau terbangi sesuka hatimu.”
"Tecu tidak akan melupakan semua ajaran yang pernah tecu
terima selama berada dalam biara!"
"Itu urusan pribadimu,” tukas Pun-bu Thaysu cepat, "asal hari ini
kau dapat tinggalkan pintu biara Siau-lim, selanjutnya pihak Siau-lim
tidak akan mengurusi sepak terjangmu lagi.”
Sekali lagi Lan Giok-keng merasa terperanjat, serunya tertahan,
"Ternyata yang kalian maksud mengantar kepergi-annya adalah
ingin bertanding ilmu silat dengannya?" Tong-sian Sangjin
tersenyum.


"Bukan bertanding, kami hanya khawatir dia keluar dari sini
dengan membawa serta kepandaian silat dari biara Siau-lim maka
harus menjajal kemampuannya dulu. Peraturan ini merupakan
peraturan yang sudah berlaku turun temurun, jadi bukan dilakukan
khusus untuk menghadang dirinya.”
Dalam hati Lan Giok-keng kembali berpikir, "Apa pun yang kau
katakan, yang jelas dia harus berhasil mengalahkan para jago dari
Siau-lim-pay sebelum dapat meninggalkan biara, kalau bukan
bertanding ilmu silat lantas apa namanya?"
Tentu saja Lan Giok-keng tidak paham, cara mengantar yang
dilakukan pihak Siau-lim jauh berbeda dengan pertandingan ilmu
silat pada umumnya.
Kalau bertanding ilmu tujuannya hanya untuk menentukan siapa
kuat siapa lemah, maka cara 'mengantar' yang dilakukan pihak Siaulim
adalah untuk memeriksa apakah Hwee-ko telah mencuri ilmu
silat ajaran biara Siau-lim atau tidak.
Jika dasar ilmu silat yang dimiliki Hwee-ko sangat terbatas,
sementara sebagian besar ilmu silat yang dia gunakan saat ini
berasal dari biara Siau-lim, maka begitu dicoba oleh para jago lihay,
dia pasti akan terdesak hingga terpaksa mengeluarkan ilmu silat
curiannya, karena kalau tidak maka jiwanya akan terancam bahaya.
Sementara itu Pun-bu Thaysu telah berkata, "Wan-tin, silahkan
kau menghantar keberangkatan Hwee-ko.”
"Tecu terima perintah,” sahut Wan-tin, "Hwee-ko suheng,
silahkan maju. Semoga kau dapat meninggalkan gedung Toa-hiongpo-
tian ini.”
Ternyata pintu gerbang gedung Toa-hiong-po-tian merupakan
pintu gerbang pertama. Saat itu Wan-tin telah berdiri didepan pintu,
sementara Pun-bu Thaysu menyingkir ke samping, sedang Tongsian
Sangjin tetap tinggal ditempat menemani Lan Giok-keng
menonton jalannya pertarungan.
"Silahkan suheng memberi petunjuk,” kata Hwee-ko sambil


merangkap tangannya memberi hormat.
"Tidak usah sungkan, berbicara soal tingkatan seharusnya kau
masih berada diatasku. Tapi dalam kejadian hari ini, aku hanya
menjalankan peraturan yang telah ditetapkan couwsu, jadi maaf
kalau tidak bisa bersungkan-sungkan lagi. Kau harus mengeluarkan
segenap kemampuan yang kau miliki, kalau tidak itu kesalahanmu
sendiri.”
Bicara sampai disitu, dia langsung membabatkan sebuah pukulan
dahsyat.
Pukulan ini dibacokkan dengan tangan diangkat tinggi tinggi,
sama sekali tidak ada kembangan jurus tidak ada gerakan aneh,
sekalipun hanya dibacokkan langsung dari atas ke bawah, namun
deruan angin serangan yang dilancarkan seketika membuat
kendang telinga Lan Giok-keng merasa mendengung nyaring,
kehebatannya betul-betul ibarat membelah batu membuka gunung.
Dengan perasaan terkesiap pikir Lan Giok-keng, “Wan-seng yang
bertarung melawan Tonghong Toako tadi tidak lebih hanya seorang
murid dari ruang Lohan, tapi keampuhannya nyaris membuat
Tonghong Toako menderita kekalahan. Padahal Wan-tin adalah
orang yang menduduki kursi utama di antara Cap-pwee Lohan, bisa
dibayangkan betapa dahsyatnya orang ini. Jangan-jangan Hwee-ko
Thaysu tidak sanggup menandinginya....”
Ketika secara diam-diam melirik sekejap ke arah Tong-sian
Sangjin, dia menyaksikan pendeta ini sedang manggut-manggut
sambil tersenyum, agaknya dia sedang memuji kehebatan jurus dari
Wan-tin.
Ternyata jurus serangan yang barusan digunakan Wan-tin adalah
salah satu dari tujuh puluh dua ilmu sakti biara Siau-lim, ilmu toya
Kim-kong-co yang telah dilebur ke dalam ilmu pukulan.
Toya Kim-kong merupakan senjata yang berat, sementara Wantin
hanya bertangan kosong, namun gerakannya seolah olah dia
sedang membawa sebuah toya yang sangat berat. Meski orang lain
tidak melihatnya, namun ketika melakukan bacokan, dia justru


seolah olah sedang menghantam dengan menggunakan seba-tang
tongkat baja.
Tentu saja kedahsyatannya jauh lebih mengerikan ketimbang
sewaktu dia menyerang dengan memakai toya sungguhan.
Diantara Cap-pwe-lohan dari biara Siau-lim, Wan-seng yang
menempati urutan ke dua memiliki ilmu silat yang paling beragam,
dia paling banyak mengerti dan menguasai ilmu silat aliran lain. Tapi
untuk ilmu silat dari aliran Siau-lim sendiri maka apa yang dipelajari
Wan-tin merupakan yang paling banyak, dari tujuh puluh dua
macam ilmu dia sudah belajar tiga puluh tiga macam diantaranya,
sekalipun 'belajar' bukan berarti 'menguasai', namun
kemampuannya dalam ilmu-ilmu tersebut pun sudah mencapai tujuh
bagian, jadi dalam biara Siau-lim, tiada orang kedua yang mampu
menandinginya.
Dari sisa ilmu yang belum pernah dipelajari, dia pun mempunyai
pengetahuan dasar atau paling tidak pernah mengerti akan rahasia
serta kuncinya, hal ini membuat siapa pun yang menggunakan ilmu
ajaran perguruannya, dia pasti mengetahui dengan jelas.
Justru karena itulah Pun-bu Thaysu menempatkan dirinya untuk
menjaga pintu gerbang pertama, membiar kan dia yang "menguji"
apakah Hwee-ko pernah mencuri belajar ilmu silat biara Siau-lim
atau tidak.
Namun pukulan yang dilancarkan Hwee-ko sangat sederhana, dia
memukul sejajar dada dan sama sekali tidak disertai perubahan,
gayanya kaku, seperti seseorang yang baru belajar memukul. Ilmu
pukulan yang digunakan pun merupakan ilmu pukulan Su-peng-kun
yang umum digunakan dalam dunia persilatan.
Ilmu pukulan Su-peng-kun adalah sebuah ilmu pukulan yang
sederhana, tidak termasuk ilmu pukulan dari keluarga mana pun
atau perguruan mana pun, biasanya ilmu ini diajarkan kepada para
pemula untuk memupuk dasar, yang diutamakan adalah keseimbangan
untuk menghadapi serangan empat penjuru, karena itulah
ilmu pukulan ini disebut Su-peng-kun atau ilmu pukulan empat


datar.
Biarpun sederhana dan umum, namun sebuah jurus Su-peng-kun
yang begitu sederhana tanpa keanehan itu justu berhasil
memunahkan daya pengaruh pukulan toya baja yang dilancarkan
Wan-tin.
Begitu melihat pihak lawan mengeluarkan ilmu pukulan Su-pengkun,
Wan-tin segera mengerti maksud hatinya, dalam hati diapun
berpikir, "Dia sengaja menggunakan ilmu pukulan yang paling
sederhana dan umum untuk memunahkan seranganku, jelas dia
tidak berniat membiarkan aku dapat mengetahui asal usul
perguruannya. Tapi sudah banyak tahun aku pelajari pelbagai ilmu
sakti dari biara Siau-lim, kalau sampai untuk menandingi ilmu
pukulan Su-peng-kun pun tidak mampu, kelihatan sekali kalau aku
sama sekali tidak becus.”
Bagaimana pun dia adalah ketua dari delapan belas Lohan,
sedikit banyak rasa ingin menang masih berkecamuk dalam hatinya,
maka dengan gerakan Kua-hau-teng-san (menunggang harimau
mendaki gunung) sepasang kepalannya saling berhadapan
membentuk satu bunga lingkaran lalu dengan jurus Ui-eng-lok-ka
(Burung nuri hinggap ditiang) dari Sin-hua-siau-lim dia melancarkan
sebuah serangan.
Sin-huan-siau-lim merupakan jenis ilmu pukulan yang paling
dalam perubahannya diantara tiga belas jenis ilmu pukulan lainnya
dalam Siau-lim, lingkaran yang dilakukan tangan kirinya seketika
mengurung seluruh tubuh Hwee-ko, sementara kepalan kanannya
dengan membuat gerakan busur dilontarkan ke muka.
Jika pukulan ini sampai bersarang telak, niscaya tulang rusuk
Hwee-ko akan patah beberapa kerat.
Diam-diam Lan Giok-keng bermandikan keringat dingin, hampir
saja dia menjerit tertahan saking kagetnya, masih untung dia tidak
sampai berteriak karena saat itulah terdengar Hwee-ko berbatuk
dua kali, sepasang kepalannya kiri dan kanan mulai menghantam ke
depan, jurus yang digunakan pun masih dari ilmu pukulan Su-pengTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/

kun-hoat yang disebut Yo-yu-kay-kiong (kiri kanan membentang
gendawa).
Kembali daya penghancur pukulan Wan-tin terbendung oleh
bentangan kepalan lawan ini, banyak jurus rumit yang ampuh jadi
susah dikembangkan lagi.
Begitulah, ilmu Sin-hua-siau-lim yang tangguh dan ganas, sekali
lagi berhasil dipunahkan secara mudah dan gampang.
Tong-sian Sangjin kembali berseru memuji, "Memang tidak
gampang untuk mencapai tingkatan berat, lambat dan luas. Hweeko,
kau memang sudah mendekati. Aaaai, hanya sayang.... hanya
sayang....”
Sayang apa? Dia tidak melanjutkan, malah kali ini dia memuji ke
arah Wan-tin, "Kungfu hebat!"
Ternyata Wan-tin telah berganti gerak serangan, kali ini dia
mengancam dengan ilmu jari.
Terlihat ke dua jari tangannya bagaikan sebatang tombak
menusuk ke depan, langkahnya sempoyongan bagaikan lelaki
mabok, tusukan dan totokan dilancarkan tidak beraturan, namun
kecepatan dan kehebatannya bagaikan angin puyuh hujan badai.
Lan Giok-keng sangat keheranan, pikirnya, "Ilmu totok jalan
darah macam apakah ini? Kepandaian silat apa pula yang dia
gunakan?"
Ternyata ilmu yang digunakan Wan-tin bukanlah ilmu jari,
melainkan salah satu diantara beberapa ilmu tingkat tinggi dari biara
Siau-lim, ilmu pedang Tat-mo-kiam.
Wan-tin dengan jari tangan menggantikan pedang, tenaganya
menembusi hingga ke ujung jari, setiap menotok, menusuk atau
membabat, hampir semuanya disertai desingan angin tajam.
Lan Giok-keng bersembunyi di sudut ruangan sambil mengikuti
jalannya pertarungan, biarpun tidak melihat ada cahaya pedang
namun dia dapat merasakan hawa pedang yang sedang menyambar


dalam gedung Toa-hiong-poo-tian.
Hwee-ko terbatuk berulang kali, dia seperti tidak kuat menahan
datangnya ancaman, tubuhnya mundur sejauh satu jengkal lebih.
Mendadak terlihat selapis awan gelap menyeli-muti seluruh
tubuhnya, ternyata dia telah melepaskan jubah Ihasa berwarna
hitamnya dan diputar sebagai tameng.
Perlu diketahui, ilmu silat yang dimiliki mereka berdua boleh
dibilang hampir seimbang, oleh sebab itu setelah Wan-tin
mengeluarkan ilmu pedang Tat-mo-sin-kiam yang terhitung ilmu
sakti dari biara Siau-lim, tidak mungkin lagi baginya untuk
memunahkan datangnya ancaman dengan memakai jurus serangan
biasa.
Di antara ayunan jubah lhasa terasa desingan angin kuat
menyelimuti selumh ruangan, Lan Giok-keng yang bersembunyi di
sudut ruangan segera merasakan napasnya jadi sesak dan kurang
leluasa.
Mendadak terdengar Tong-sian Sangjin berbisik, "Barang siapa
keras kepala, dia akan terperosok di bawah angin. Kalau tujuannya
untuk mencari tahu sumber, buat apa memburu rasa ingin
menang!"
Waktu itu sebetulnya tanpa disadari rasa ingin menang di hati
Wan-tin telah menguasai benaknya, itulah sebabnya dia merangsek
terus dengan sepenuh tenaga.
Namun sesudah mendengar ucapan dari sang ketua, perasaan
hatinya jadi terkesiap, segera pikirnya, "Aaah benar juga, kalau
keadaan diteruskan dengan cara begini, aku tidak bakalan bisa
memperoleh hasil yang diinginkan, daripada tiada hasil mendingan
kalau bisa diperoleh jawaban.”
Ternyata walaupun dia sudah mengubah dengan beberapa
macam ilmu sakti biara Siau-lim, namun tidak pernah berhasil
memperoleh jawaban atas asal usul ilmu silat Hwee-ko, hanya satu
yang diketahuinya dengan pasti yakni ilmu silat yang dimiliki HweeTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/

ko memang setingkat di atas kemampuannya.
Hwee-ko menjumpai di atas jubah lhasa kunonya telah muncul
tujuh delapan buah lubang kecil yang tersebar dimana-mana, sambil
menggulung kembali jubah itu, ujarnya, "Ilmu pedang yang suheng
miliki benar-benar luar biasa, kagum, kagum!"
Ternyata lubang lubang kecil itu ditembusi oleh kekuatan jari
tangan Wan-tin, besar kecilnya sama persis seperti lubang bekas
tusukan ujung pedang.
"Mau ilmu pukulan, ilmu telapak tangan ataupun ilmu pedang,
selama ada 'ilmu' maka dia akan berada di bawah angin, mana
mungkin bisa menandingi sistim mu yang tidak terikat, bergerak
tanpa aturan?" ujar Wan-tin, "Hwee-ko suheng, kau sama sekali
tidak menggunakan ilmu dari perguruan kami, hal ini sudah sangat
memberi muka kepadaku, maaf kalau tidak akan mengantar lebih
jauh lagi, silahkan!"
Semua yang dikatakan bukanlah kata-kata sungkan, namun
masih mengandung arti lain, dia seperti menerangkan kalau Hweeko
sama sekali tidak mencuri ilmu silat dari Siau-lim-pay, dan hal itu
merupakan tujuannya melakukan pengujian.
Namun 'jawaban' yang diperoleh hanya sebatas pada jurus
serangan saja, sedang mengenai tenaga dalam, apakah Hwee-ko
pernah mempelajari Sim-hoat tenaga dalam aliran Siau-lim-pay atau
tidak, dia belum bisa memperoleh kepastian.
Mendadak Tong-sian Sangjin mengangkat tangan kanannya
sambil meraih ke tengah udara, tahu-tahu jubah lhasa yang berada
di tangan Hwee-ko telah berpindah ke tangannya.
Inilah ilmu Ki-liong-jiu-hoat (ilmu menangkap naga), salah satu
ilmu sakti dari biara Siau-lim.
Lan Giok-keng merasa terkagum-kagum menyaksi kan hal itu,
untuk sesaat dia sampai berdiri terbelalak dengan mulut melongo.
Wan-tin terlebih kaget lagi, pikirnya, "Rupanya aku sudah
terjangkit penyakit rakus terhadap kepandaian sakti perguruan kita,


padahal asal salah satu saja bisa dilatih sesempurna apa yang
dilakukan Hong-tiang, kemampuan itu sudah cukup bagiku untuk
memanfaatkannya sepanjang masa. Aaai, untuk bisa mencapai
tingkat kesempurnaan semacam itu, entah berapa lama aku baru
dapat mencapainya?"
Setelah menerima kembali jubah lhasanya, dengan lantang Tongsian
Sangjin berkata, "Setelah melepaskan jubah lhasa, kau telah
kem-bali pada asal mulamu, Hwee-ko, kau sudah boleh pergi.”
"Terima kasih atas petunjuk Hong-tiang, terima kasih juga
kepada Wan-tin suheng yang telah mengantar kepergianku,” ucap
Hwee-ko.
Selesai berkata, diapun segera beranjak keluar dari gedung Toahiong-
po-tian.
Tong-sian Sangjin maupun Wan-tin tidak ikut bergeser dari posisi
semula, sementara Lan Giok-keng segera mengikuti di samping
Hwee-ko meninggalkan pintu biara.
"Kionghi Cianpwee, kau telah berhasil melampuai pintu pertama,”
bisiknya lirih, "apakah di depan sana masih ada orang lain yang
akan mengantar kepergianmu lagi?"
Teka teki itu segera terjawab.
Tidak lama setelah meninggalkan ruang gedung Toa-hiong-potian
menuju ke arah puncak Ngo-ji-hong, tibalah mereka di sebuah
tempat yang bernama Pi-lu-kek, tempat ini merupakan salah satu
tempat pesiar yang tersohor dalam biara Siau-lim, dalam gedung
tersebut terdapat lukisan yang menggambarkan lima ratus orang
Lohan, konon merupakan hasil karya Go Too-cu, seorang pelukis
kenamaan dari ahala Tong.
Setelah melewati gedung Pi-lu-kek terdapat sebuah pintu
gunung, di bawah pintu terdapat sebuah dinding batu yang berkilat
bagai cermin, dinding batu ini jauh lebih tersohor, konon merupakan
batu dinding yang digunakan Tat-mo couwsu ketika menghadap
dinding selama sembilan tahun.


Karena itulah dinding batu itu disebut Bin-pit-sik (Menghadap
batu dinding). Konon di atas dinding batu itu secara lamat-lamat
masih dapat dilihat bayangan wajah Tat-mo couwsu, kendatipun
kejadiannya telah berlangsung hampir seribu tahun lebih.
Sepanjang perjalanan Hwee-ko tiada hentinya mengisahkan
cerita tentang dinding Tat mo itu, baru saja mereka mempercepat
langkahnya untuk menyaksikan bayangan yang konon masih
tertinggal di atas dinding, tiba-tiba terlihat di bawah dinding
terdapat dua buah kasur semedi, salah satu diantaranya ditempati
seorang pendeta tua.
Dengan perasaan ingin tahu Lan Giok-keng pun berpikir, "Kenapa
hweesio tua ini bukannya duduk bersemedi di dalam kamarnya,
malahan duduk di tempat ini, masa dia sedang menirukan laku
Tatmo Couwsu? Tapi kalau dia bukan berasal dari posisi yang tinggi,
rasanya tidak nanti berani duduk menghadap dinding di tempat ini.”
Lamat-lamat Lan Giok-keng pun merasa kalau bayangan
punggung orang itu seperti amat dikenalnya.
Sementara dia masih berpikir, pendeta itu sudah membalikkan
tubuhnya, kali ini dia tidak lagi menghadap ke dinding melainkan
menghadap ke arah mereka.
Ternyata orang ini tidak lain adalah ketua Tianglo dari ruang Tatmo,
Pun-bu Thaysu.
Terdengar Pun-bu Thaysu berkata, "Aku mendapat perintah dari
Hong-tiang untuk mengantar kepergianmu, sudah cukup lama aku
menanti kedatanganmu disini. Bila ingin turun gunung, kau harus
duduk sebentar di bantal semedi itu.”
"Tecu tidak berani!" seru Hwee-ko tercekat.
"Bodhi sebenarnya tidak berpohon, cermin sebenar nya tidak
berkaki. Sudah begitu lama kau hidup dalam lingkungan Buddha,
mengapa harus bersikukuh dengan wajah manusia, wajahku? Tatmo
Couwsu bisa, kau bisa juga aku, mengertikah?"
Sebagaimana diketahui, ajaran Buddha mengutamakan


kehidupan setara diantara umat manusia, empat penjuru adalah
kosong, tapi kali ini Hwee-ko tidak berani duduk bersanding dengan
ketua ruang Tat-mo, hal ini dikarenakan dalam pikirannya masih
tersisip perasaan, perasaan menghormat orang lain, perasaan
rendah diri. Oleh karena itu dia berada di posisi bawah angin.
"Terima kasih atas petunjuk ketua,” kata Hwee-ko perlahan.
"Duduk bersemedi merupakan pelajaran dasar umat Buddha,
biarpun kau tidak berada dalam biara, kaupun bukan anggota
perguruan Buddha, maka sebelum pergi meninggalkan tempat ini,
aku perlu menguji kemampuanmu duduk bersemedi. Asal kau bisa
duduk diatas kasur itu dengan tenang, terlepas betapa banyaknya
liku-liku perjalanan di dunia, kau pun bisa berjalan dengan tenang.”
Seakan memahami akan sesuatu, Hwee-ko segera merangkap
tangannya di depan dada seraya berkata, "Kasur semedi bukan
dibawa oleh couwsu, dimana pun tiada kasur semedi. Bila tidak
duduk di kasur itu, darimana datangnya kebebasan?"
Sambil berkata dia segera duduk diatas kasur tersebut.
Pun-bu Thaysu mengeluarkan seuntai tasbeh, biji tasbeh terdiri
dari seratus delapan butir yang dirangkai menjadi satu dengan
seutas benang, bila ditarik lurus, panjangnya menjadi tujuh depa
(kurang lebih 2 meter).
Pun-bu Thaysu menekuk tasbeh itu menjadi sebuah lingkaran
yang terbagi jadi atas dan bawah, dia minta Hwee-ko memegang
ujung yang satu sambil berkata, "Dapatkah kau membaca doa?"
"Tecu tidak dapat membaca doa.”
"Baiklah, kalau begitu kau baca satu kali O-mi-to-hud sambil
menarik sebutir biji tasbeh, begitu juga dengan aku. Ketika semua
biji tasbehmu sudah beralih ke atas sementara biji tasbeh ku beralih
ke bawah, maka pelajaran dianggap selesai.”
Kedua orang itu sama-sama duduk bersila diatas kasur semedi,
muka berhadapan dengan muka, mata saling berpejam namun jari
tangannya bergerak tanpa berhenti.


Tidak lama kemudian Hwee-ko telah memindahkan sebutir biji
tasbeh ke arah atas, sedang Pun-bu menggerakkan sebutir biji
tasbeh ke arah bawah, gerakan yang dilakukan mereka berdua
sama-sama cepatnya.
Lan Giok-keng yang menyaksikan kejadian itu jadi tertegun dan
kebingungan, pikirnya, "Masa mereka benar-benar sedang
bertanding membaca doa sambil duduk bersemedi?"
Belum habis ingatan itu melintas, tampak biji tasbeh di ujung
yang dipegang Hwee-ko kelihatan bergetar sangat keras.
Sementara tasbeh dan tali yang dipegang Pun-bu Thaysu sama
sekali tidak bergerak.
"Ooh, ternyata mereka sedang bertanding tenaga dalam,” pikir
Lan Giok-keng seolah-olah baru sadar.
Tidak salah lagi, mereka memang sedang bertanding tenaga
dalam, rupanya disebabkan Wan-tin gagal mencari tahu asal usul
Sim-hoat tenaga dalam yang dipelajari Hwee-ko, maka terpaksa dia
harus turun tangan sendiri.
Lan Giok-keng segera dapat menyaksikan perbedaan di antara
kedua orang itu, Hwee-ko berada di pihak yang tersiksa.
Rupanya Pun-bu telah menggunakan ilmu Li-uh-coan-kang untuk
menekan lawannya, Hwee-ko segera merasakan tenaga dalam
lawan bagaikan gulungan ombak samudra menerpa dirinya berulang
kali, membuat dirinya nyaris tidak sanggup berpegangan kencang.
Dilanjutkan kemudian pengaturan tenaga murninya terhambat,
napas pun terasa mulai sesak dan tidak nyaman.
Diam-diam Hwee-ko mengeluh, pikirnya, “Ternyata ketua dari
ruang Tat-mo memang luar biasa hebatnya, ehmm, dia begitu
mendesakku habis habisan, kelihatannya dia merasa keberatan
membiarkan aku pergi meninggalkan biara Siau-lim.”
Waktu itu adalah saat para pendeta dalam biara Siau-lim untuk
melakukan sembahyang siang, suara genta bergema bertalu-talu,


namun Pun-bu Thaysu tetap duduk tenang seolah dia sudah berada
dalam keadaan konsentrasi penuh, terhadap keadaan di
sekelilingnya bukan saja tidak melihat bahkan sama sekali tidak
mendengar.
Satu ingatan cepat melintas dalam benak Hwee-ko, pikirnya lagi,
"Pendeta Buddha tidak pernah berbohong, tadi Pun-bu Thaysu
bilang hendak mengujiku duduk bersemedi, kenapa aku hanya
berpikir soal tenaga dalam saja?
Apalagi Hong-tiang pun pernah bilang, bukan masalah menang
kala tapi masalah kau dapat mengendalikan diri atau tidak, aku
haras berusaha dulu untuk pengendalian diri!"
Sim-hoat tenaga dalam tingkat atas memang ada hubungannya
dengan masalah ajaran Buddha. Maka begitu semua ingatan
dibuang dari benaknya, begitu pikiran dan perasaan menjadi bersih
tanpa gangguan maka kekuatan tenaga dalam yang terpancar
keluar pun dengan sendirinya bertambah kuat dan hebat.
Kalau dibicarakan sungguh aneh, tadi walaupun dia sudah
mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya untuk menahan
serangan Pun-bu Thaysu, namun usahanya keteteran bahkan nyaris
tidak tahan, tapi begitu sekarang dia buang jauh jauh ingatan untuk
mencari menang, sebaliknya seluruh tubuh malah terasa lebih
enteng, tekanan yang berat pun seketika jauh berkurang.
Walaupun biji tasbeh masih bergetar tiada hentinya, namun
dalam perasaannya sekarang bagaikan hembusan angin musim sepi
di atas permukaan telaga, pikiran dan perasaannya yang semula
bergolak, lambat laun jadi tenang kembali.
Lama-kelamaan tanpa terasa dia seolah sudah lupa kalau dirinya
sedang bertanding tenaga dalam melawan Pun-bu Thaysu.
Hembusan angin musim sepi diatas permukaan telaga bukan
sebatas perasaan saja, bahkan kini seolah berubah jadi sebucih
pemandangan semu dihadapan mukanya.
Dia seolah balik kembali ke masa tiga puluh tahun berselang,


berada di tepi telaga See-ouw, mengejar kekasih hatinya.
Hey, suara apa itu? Dia sedang bersenandung lirih, "Impian
sukma tiada ikatan, melangkahi pohon Liu melalui jembatan.”
Bahkan diapun mulai bernyanyi lirih.”
"Mabuk dimalam ini hingga kapan baru mendusin, berada di tepi
pohon Liu, memandang sisa rembulan.”
Aaai, semuanya bukan, Bouw Ciong-long yang berjalan mendekat
sambil meniup seruling, lalu dia lepaskan cincinnya dan dikenakan di
jari tangannya.
Aaah, tidak benar, kenapa Bouw Ciong-long bisa berubah jadi
orang lain, berubah jadi sahabat karibnya Seebun Mu?
Untuk mencapai tingkatan "tenang" tanpa gangguan pikiran apa
pun memang teramat sulit, Hwee-ko bisa saja melupakan dunia
nyata dan menuju ke alam kosong, namun alam kosong bukanlah
sama sekali kosong, sebab dia belum dapat melupakan perasaan
cintanya di masa silam.
Maka iblis cinta pun mulai merasuk ke dalam pikirannya.
Dalam menyaksikan pelbagai khayalan, dia sebagai orang yang
menjalaninya sama sekali tidak menyadari akan hal itu, namun Lan
Giok-keng yang menonton jalannya pertarungan jadi tercengang,
kaget dan tidak habis mengerti, dia tidak paham mengapa pendeta
itu seperti sebentar girang sebentar murung, sebentar jengkel
sebentar gusar.
Dalam pada itu Pun-bu Thaysu pun sedang berpikir, "Tenaga
dalamnya memang merupakan tenaga dalam aliran lurus, hanya
sayang keteguhan hatinya masih kurang. Tapi tujuanku kali ini
mengujinya hanya terbatas ingin tahu apakah dia mencuri belajar
Sim-hoat tenaga dalam partai kami atau tidak, dan kini aku telah
memperoleh hasilnya, buat apa mesti dilanjutkan lagi hingga
menyebabkan dia Cau-hwee-jip-mo?"
Ternyata Sim-hoat tenaga dalam yang dimiliki Hwee-ko ada


sedikit ketersambungan dengan Sim-hoat tenaga dalam aliran biara
Siau-lim, namun itupun hanya sebatas 'ketersambungan', bila
berbicara soal ke d alam dan kehebatan ilmu maka apa yang
dipelajari masih setingkat di bawah ilmu silat aliran Siau-lim.
Ketika Pun-bu menggeser biji tasbeh yang terakhir, Hwee-ko
merasa dihadapan matanya seolah melihat kekasih hatinya sedang
membuang cincin yang diberikan Bouw Ciong-long itu ke atas tanah,
bantingan itu seakan menimbulkan suara. Dengan cepat dia
tersadar kembali dari alam khayalan, dan saat itu pula kebetulan dia
mendengar Lan Giok-keng sedang berteriak keras, "Hwee-ko
Thaysu, kenapa kau tidak menggerakkan biji tasbehmu?"
Dengan cepat dia menggerakkan biji tasbeh yang terakhir, saat
itulah Pun-bu Thaysu mengayunkan tangan, untaian biji tasbeh itu
segera melambung ke udara, dalam waktu singkat ke seratus
delapan biji tasbeh itu hancur lebur berubah jadi bubuk dan
beterbangan di angkasa.
Dengan suara nyaring Pun-bu Thaysu pun berseru, "Tersebar di
alam bebas, tiada rintangan tiada halangan. Mampu duduk di bantal
semedi, mampu keluar dari pintu gunung. Hwee-ko, pergilah!"
Pada saat yang bersamaan kedua orang itu bersama-sama turun
dari bantal semedi.
"Terima kasih atas kemurahan Thaysu,” Hwee-ko segera
merangkap tangannya di depan dada.
"Itulah nasib keberuntunganmu, pergilah sendiri, aku tidak akan
mengantar lagi.”
Lan Giok-keng mengikuti disisi Hwee-ko berjalan keluar dari pintu
gunung ke dua, segera serunya, "Kionghi Thaysu, lagi-lagi kau
berhasil lolos dari sebuah rintangan.”
"Tapi di depan masih ada sebuah rintangan lagi,” ucap Hwee-ko
sambil tertawa getir.
"Tidak ada orang dalam biara Siau-lim yang memiliki ilmu silat
jauh lebih tinggi daripada ketua ruang Tat-mo, kalau rintangan


itupun dapat kau lalui, apa pula yang kau takuti?"
"Tadi ketua tianglo memang berniat melepaskan aku. Yang paling
sulit dipelajari dari biara Siau-lim bukanlah ilmu silat.”
"Lantas apa?" batin Lan Giok-keng, namun ketika melihat Hweeko
meneruskan perjalanan dengan mulut membungkam, diapun
merasa tidak leluasa untuk banyak bertanya.
Setelah melewati ruang Pi-lu-kek, tibalah mereka di gedung Jianhud-
tian (Ruang seribu Buddha), dalam gedung ini terdapat
seribuan lebih patung Buddha hasil pahatan pendeta pendeta di
masa lampau, setiap patung mempunyai gaya yang berbeda.
Semasa masih berada di gunung Bu-tong dulu, Lan Giok-keng
sudah pernah mendengar orang bercerita tentang hal ini, namun
saat ini dia tidak punya cukup waktu untuk memasuki gedung dan
melakukan pemujaan.
Kini mereka berjalan melalui sebuah jalan yang berlapiskan batu
hijau, yang membuat Lan Giok-keng tercekat hatinya adalah
tersisanya bekas-bekas lekukan di sepanjang lantai batu itu.
Bekas bekas lekukan itu adalah bekas yang tertinggal ketika para
hwesio biara melakukan latihan kungfu di pelataran itu.
Kalau tadi Lan Giok-keng masih mencoba menghibur Hwee-ko,
maka kini timbul pula rasa khawatir dalam hati kecilnya, pikirnya,
"Jagoan yang menjaga pintu pertama adalah Wan-tin hweesio,
pemimpin Cap-pwee Lohan, kemudian jagoan yang menjaga pintu
ke dua adalah Pun-bu Thaysu, ketua tianglo ruang Tat-mo. Kira-kira
tokoh maha sakti dari mana yang akan berjaga jaga di pintu ke tiga
ini?"
Perjalanan dilanjutkan dengan perasaan berat bercampur
gundah, tanpa terasa akhirnya tibalah mereka di depan pintu
gunung yang terakhir.
Ternyata orang yang menjaga pintu gunung itu tak lain adalah
Tong-sian Sangjin, hongtiang biara Siau-lim.


Begitu bersua Tong-sian Sangjin segera berkata, "Hwee-ko,
tahukah kau aku bukan datang untuk mengantar kepergianmu?'
"Tecu mengerti.”
Lan Giok-keng kembali tidak habis mengerti, pikirnya, "Tadi dia
telah berkata sendiri kalau ada tiga orang yang akan menghantar
kepergian Hwee-ko, dia pun berkata Hwee-ko harus berhasil
melewati tiga pintu gunung sebelum dapat meninggalkan biara Siaulim,
dan sekarang dia sendirilah yang berdiri di depan pintu terakhir,
tapi mengapa dibilang kedatangannya bukan untuk mengantar
kepergian Thaysu?"
Belum habis ingatan tersebut melintas, terdengar Tong-sian
Sangjin telah berkata lagi, "Hwee-ko, sejak kedatanganmu di biara
kami dua puluh tahun berselang, belum pernah aku bertanya
kepadamu darimana kau berasal?"
"Tecu datang dari tempat tecu datang.”
"Kini kau hendak ke mana?"
"Ke mana aku harus pergi.”
"Apa yang kau lihat sewaktu datang?"
"Melihat gunung adalah gunung, melihat biara adalah biara.”
"Kemudian?"
"Melihat gunung bukan gunung, melihat biara bukan biara.”
"Sekarang?"
"Melihat gunung tetap gunung, melihat biara tetap biara.”
"Benarkah gunung ini adalah gunung semula? Benarkah biara ini
biara semula?"
"Kalau dikatakan benar adalah benar, kalau dikatakan tidak benar
adalah tidak benar.”
"Kalau memang ada itu tiada, tiada itu ada, kenapa pula kau
harus tinggalkan tempat ini?"


"Datang bukanlah datang, pergi bukanlah pergi, biar tubuh
berada dalam dunia persilatan, hati masih tetap berada di Siau-lim.”
Maksud dari perkataan ini adalah, sewaktu dia datang pertama
kali dulu, karena belum mendengar ajaran Buddha maka yang
datang adalah kerangka tubuh saja, itulah sebabnya dia
mengatakan datang bukanlah datang. Dan kini dia telah
memperoleh gemblengan dan ajaran Buddha, telah meninggalkan
kehidupan prema, atau dengan perkataan lain telah menjadi murid
Buddha, maka dia katakan pergi bukanlah pergi.
Lan Giok-keng tidak paham dengan ajaran Buddha, namun
lamat-lamat dia dapat memahami apa yang dimaksud. Kalau
memang datang bukanlah datang, pergi bukanlah pergi, maka
kehadiran Tong-sian Sangjin pun bisa dibilang bukan untuk
mengantar kepergiannya.
"Jawaban yang bagus,” ujar Tong-sian Sangjin, "tapi aku telah
mendengar laporan Liau-huan yang mewakilimu, katanya kau belum
putus jodohmu dengan keduniawian.”
"Benar. Jodoh tecu dengan keduniawian memang belum putus,
semua dosa dan karma sulit dihilangkan.”
"Dunia itu kosong, dunia itu tiada benda, semua kehidupan
berada di langit barat. Lalu darimana datangnya dosa, darimana
perginya karma. Baik, aku ingin bertanya lagi, apa yang dimaksud
jodoh keduniawian?"
Tanpa terasa butiran keringat jatuh bercucuran membasahi jidat
Hwee-ko.
"Harap Hongtiang sudi memberi petunjuk.”
"Baiklah, akan kubacakan kitab Hua-gan-keng sebagai berikut,
"Materi dikenal oleh hati, napsu timbul karena materi, penyatuan
napsu dan hati akan menimbulkan khayalan dan angkara murka.
Napsu berasal dari luar, tiada sifat tersimpan di hati, bila tiada
pemahaman, bagaimana bisa mandiri.”
Berbicara sampai disitu kembali dia menambahkan, "Boddhi


hanya berada dalam hati, buat apa susah payah mencari diluar?
Asal kau bersedia melatih diri, langit barat berada di depan mata!
Carilah dari dalam tubuh Buddha, bukan mencari di luar sana\"
"Ajaran Hong-tiang akan tecu ingat selalu.”
“Baiklah, kalau begitu pergilah ke mana kau akan pergi.”
Lan Giok-keng sama sekali tidak menyangka kalau pintu gunung
yang terakhir dapat mereka lalui dengan begitu 'mudah'. Tanpa
banyak bicara dia segera mengikuti Hwee-ko berjalan keluar dari
pintu gerbang itu, sementara pikiran dan perasaannya terasa
kosong dan tidak menentu.
Ooo)*(ooO
BAB X
Khayalan duniawi sulit dilanjut
Terombang-ambing tanpa pendamping.
Tua muda berdua dengan cepat berjalan meninggalkan biara
Siau-lim. Di luar pintu terlihat cahaya matahari bersinar terang,
sambil mendongakkan kepalanya Hwee-ko menarik napas panjang,
perlahan dia mulai membesut butiran keringat yang membasahi
jidatnya.
Tidak tahan Lan Giok-keng segera bertanya, "Cianpwee, aku
merasa bingung dan tidak habis mengerti dengan tanya jawab yang
kau lakukan dengan Hong-tiang, tapi aku lihat pertarungan ini justru
lebih sengit, lebih membuang energi daripada sewaktu bertarung
melawan Wan-tin?"
"Bukan hanya begitu, pertarungan tenaga dalamku melawan
Pun-bu thaysu bukan hanya sengsara dan membuang banyak
energi,” ditatapnya wajah Lan Giok-keng sekejap kemudian
terusnya, "tahukah kau, sebagai seorang hwesio apa yang harus dia


pahami?"
"Membaca kitab suci?"
"Boleh dibilang begitu,” Hwee-ko tertawa, "namun yang paling
penting adalah pemahamannya terhadap ajaran Buddha, bukan
hapal dengan doa. Barusan Hongtiang sedang menguji seberapa
banyak pemahamanku, bila jawabanku tidak tepat maka menurut
peraturan yang berlaku dalam biara, paling tidak aku harus kembali
dan belajar membaca kitab lagi selama tiga tahun.”
"Ooh, ternyata begitu,” Lan Giok-keng tertawa, "tapi sewaktu
kudengar tanya jawab yang berlangsung antara kau dengan Hongtiang,
rasanya semua jawaban berada diantara dapat dipahami dan
tidak. Asal dia berniat membiarkan kau tinggalkan biara, meski
jawabanmu keliru pun akan dia anggap sebagai benar. Maaf, ini
hanya perasaanku dan bicara tanpa maksud apa-apa, harap kau
jangan marah.”
Hwee-ko segera tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... perkataanmu memang tidak salah, aku pun berasa
kalau Hong-tiang memang berniat membiarkan aku pergi
meninggalkan biara Siau-lim.”
Selesai tertawa, tiba-tiba dia menghela napas lagi, ujarnya lebih
jauh, "Sayang keterikatanku dengan duniawi belum bisa diputus,
sehingga tidak punya jodoh untuk mempelajari ajaran Buddha dari
Hong-tiang.”
"Semakin kau terbeban oleh masalah keterkaitan-mu dengan
duniawi, bukankah semakin berat tekanan batin yang kau alami?"
Mula-mula Hwee-ko agak tertegun, kemudian sambil tertawa
terbahak-bahak katanya, "Luar biasa, luar biasa. Tampaknya kau
memang punya jodoh dengan ajaran Buddha, hanya sepatah kata
yang kau katakan sudah membuat kesadaranku makin terkuak. Apa
yang kau katakan memang benar, yang penting adalah
ketenteraman hati, jangan urusi lagi apakah keterkaitan dengan
duniawi bisa dilepas atau tidak. Mari kita segera berangkat!"


Setelah menempuh perjalanan beberapa saat, mereka pun
melewati hutan pagoda. Tampak di bawah lembah bukit ada orang
sedang menggali liang kubur lalu memasukkan sesosok mayat yang
terbungkus tikar ke dalam liang itu.
Lan Giok-keng tahu, jenasah yang dikubur itu adalah mayat lelaki
berewok yang sempat bertarung melawannya, timbul rasa sedih
dihatinya, tidak tahan akhirnya dia berlutut dan menyembah
beberapa kali.
"Kau kenal dengan orang ini?" tanya Hwee-ko.
"Setengah hari berselang, aku sempat bertarung melawannya.
Walaupun bukan aku yang membunuhnya, namun dia mati lantaran
aku.”
Secara singkat diapun menceritakan bagaimana Tonghong Liang
membantunya secara diam-diam hingga mengakibatkan lelaki
berewok itu terpeleset dan mati di bawah jurang.
"Orang ini adalah anak buah Han Siang dari Toan-hun-kok, dia
pasti sudah seringkali melakukan tindak kejahatan. Namun
Tonghong Liang membunuh dengan cara beginipun terhitung
kelewat kejam, aku kuatir lagi lagi karma buruk telah dibuatnya.”
"Siapa sih Han Siang dari Toan-hun-kok itu?"
"Seorang pentolan perampok yang selalu menerima upeti. Dua
puluh tahun berselang, untuk menghindari pengejaran musuh
besarnya, dia hidup mengasingkan dalam lembah itu. Di kemudian
hari apakah dia sempat muncul lagi dalam dunia persilatan atau
tidak, aku sendiri kurang begitu tahu.”
Sedikit terhibur juga perasaan Lan Giok-keng setelah tahu kalau
lelaki berewok yang dibunuh Tonghong Liang adalah anak buah
seorang pentolan perampok, kembali tanyanya, "Tadi taysu
mengatakan kalau Tonghong Liang membuat karma buruk lagi, apa
maksud perkataan ini?"
"Karena generasi atas Tonghong Liang pernah mempunyai ikatan
dendam kesumat dengan Han Siang. Kendatipun Han Siang


memang bukan orang lurus, namun dalam kasus yang terjadi di
masa lalu masih belum jelas keterlibatannya. Kini, Tonghong Liang
bukannya mengurangi karma generasi tuanya, dia sendiri justru
menambah ruwetnya masalah ini, bukan-kah sama artinya dia telah
membuat karma jelek?"
"Yang kau maksudkan sebagai generasi diatasnya apakah ayah
Tonghong Liang?"
"Termasuk juga pamannya. Dulu, pamannya juga termasuk
pentolan perampok yang lebih hebat lagi, berhubung Han Siang
enggan menuruti perintahnya maka dia telah mencelakai Han Siang
hingga sangat mengenaskan keadaannya.”
"Rasanya Thaysu pernah berkata kalau paman Tonghong Liang
adalah sahabat karibmu juga?" tanya Lan Giok-keng sedikit agak
ragu.
"Mana orang baik, mana orang jahat, terkadang tidak gampang
untuk dipisahkan. Yang jadi pentolan bajingan belum tentu orang
jahat, sahabatku pun belum tentu orang baik!"
Berbicara sampai disini, dia seolah terkenang kembali kejadian di
masa lampau, kembali ujarnya, "Kini aku sudah terjun kembali ke
dalam dunia persilatan, jadi tidak ada salahnya kalau aku singgung
kembali peristiwa yang kualami sebelum menjadi pendeta dulu....
Pernakah kau mendengar tentang Siau Ngo-gi (lima setia kawan
kecil) yang cukup tersohor namanya pada tiga puluh tahun
berselang?"
"Belum pernah mendengar.”
"Sesudah lewat tiga puluh tahun, yang mati pun sudah mati,
yang menghilangpun sudah menghilang, bahkan yang sudah jadi
pendeta pun ada. Tidak heran kalau orang lain sudah mulai
melupakannya.”
"Jadi Siau Ngo-gi adalah....”
"Lotoa adalah Jit-seng-kiam-kek Kwik Tang-lay, loji adalah Tojin
bisu tuli yang selama ini meladeni Sucouwmu Bu-siang Cinjin, nama


premannya adalah Ong Hwee-bun. Walaupun dia berada di urutan
kedua namun usianya paling tua, tersohor paling awal dan
mengundurkan diri dari dunia persilatan pun paling awal. Disaat
nama besar lima setia kawan begitu tersohor di kolong langit, dia
sudah menjadi pendeta di gunung Bu-tong.
"Itulah sebabnya banyak orang tidak menganggap dia sebagai
salah satu anggota Siau Ngo-gi tapi memasukkan orang lain ke
dalam kelompok tersebut. Biarpun begitu, hubungannya dengan ke
empat orang rekan lainnya terjalin sangat baik. Walaupun ada
sekian waktu tak tahu kabar beritanya, mereka masih tetap
menganggapnya sebagai saudara. Sebaliknya orang lain yang
kemudian dianggap salah satu anggota Siau Ngo-gi justru
mempunyai hubungan yang kurang harmonis dengan ke empat
orang lainnya, sekalipun tidak pernah menampik kehadirannya
namun tidak seorang pun yang mau mengakui dia sebagai loji.
"Tentu saja julukan Siau Ngo-gi adalah pemberian orang dunia
persilatan, apa pun yang ingin dikatakan orang lain, kami tidak bisa
memaksakan kehendak.”
Mendengar sampai disini, Lan Giok-keng segera berpikir, "Itu
berarti dia adalah salah satu diantara anggota Siau Ngo-gi, kalau
tidak, mana mungkin dia bisa mengetahui kejadian ini dengan
begitu jelas.”
Betul saja, terdengar Hwee-ko berkata lebih jauh, “Ke tiga orang
lainnya, yang ke satu adalah Tonghong Siau, ayah Tonghong Liang,
orang kedua adalah Seebun Mu, paman Tonghong Liang, kemudian
orang ke tiga adalah aku. Seebun Mu adalah keluarga perampok,
Cuma waktu itu kami semua belum tahu latar belakang keluarganya.
Kami berlima datang dari utara selatan timur barat, dari propinsi
yang beda, dari perguruan yang tidak sama, selisih usia cukup
banyak, diantaranya ada perampok, ada pendekar, ada pula tokoh
diantara lurus dan sesat, tapi berhubung kesukaan kami sama, jiwa
kami sama dan lagi bertemu dalam dunia persilatan, maka
terjalinlah tali persahabatan yang sangat erat.”
"Pendekarnya adalah jago pedang tujuh bintang Kwik Tang-lay,


perampoknya adalah Seebun Mu, lantas siapakah tokoh yang antara
lurus dan sesat?"
"Dia adalah Tonghong Siau, ayah Tonghong Liang. Sepak
terjangnya memang sesuka hati, gembira marah tidak menentu,
sejak kecil sudah tersohor karena watak aneh dan eksentriknya.
Walau begitu dia tidak kehilangan sebagai manusia yang
berperasaan, itulah sebabnya kami cukup akrab dengan dirinya.”
Berbicara sampai disitu, dia seolah teringat akan suatu kejadian,
tiba-tiba ujarnya lagi sambil menggeleng, "Biarpun sejak kecil
Tonghong Liang sudah kehilangan ayah, namun wataknya tidak
jauh berbeda dengan tabiat ayahnya.”
"Bukankah kau mengatakan tidak pernah bertemu Tonghong
Liang? Darimana bisa mengetahui tabiatnya?"
"Sewaktu dia menyerahkan sepucuk surat kepadaku tadi, coba
terka apa yang dia tulis?"
"Bukan surat dari lelaki berewok itu?"
"Bukan, surat dari Tonghong Liang. Karena dia kuatir para
hwesio dari biara Siau-lim enggan menyampaikan surat itu
kepadaku, maka sengaja dia letakkan surat itu disaku mayat tadi.
Orang itu pernah mencariku pagi tadi, meski mereka tidak
membiarkan dia masuk, tapi orangnya toh sudah meninggal, jadi
surat itu pasti akan disampaikan ke tanganku.”
Lan Giok-keng hanya membungkam tanpa menjawab, sedang
dalam hati kecilnya berpikir, "Tonghong toako telah membunuh
orang itu, bahkan manfaatkan dia untuk mengirim surat. Akal
liciknya betul-betul menakutkan, Cuma sikapnya terhadapku
terhitung sangat baik.”
"Dalam surat itu dia hanya menyinggung masalah pribadi,
tampaknya dia sudah menduga kalau aku bakal mewakilinya untuk
menyampaikan kabar ke rumah, maka dalam surat itu dia tulis
sepatah kata untuk adik misannya, kata-kata itu sangat aneh, dia
minta adik misannya jangan meletakkan telur angsa dalam sebuah


keranjang. Ehmm, kelihatannya dibalik ucapan tersebut
mengandung arti lain, tapi lebih susah diterjemahkan daripada
ucapan hongtiang tadi.”
Begitu mendengar kalau isinya hanya 'urusan pribadi', Lan Giokkeng
pun merasa tidak leluasa untuk menyela, maka tanyanya
kemudian, "Tadi kau mengatakan setelah Hwe-bun menghilang dari
dunia persilatan, ada orang memasukkan seseorang lagi ke dalam
kelompok Siau Ngo-gi, siapakah orang yang dimaksud?"
"Berbicara dari usia, orang ini paling muda, berbicara soal
kungfu, dia paling hebat. Dia sama seperti lotoa kami Kwik Tanglay,
berasal dari keluarga persilatan, diapun seorang pendekar
pedang. Tapi latar belakang keluarganya lebih tersohor dan nama
besarnya lebih mentereng.”
Setengah percaya setengah tidak Lan Giok-keng sehabis
mendengar ucapan itu, pikirnya, "Ternyata di kolong langit terdapat
seorang tokoh sehebat ini, kalau didengar nada pembicaraannya,
kenapa dia seperti merasa malu dijadikan satu kelompok dengan
orang ini?"
"Kau tidak percaya ada tokoh semacam ini? Dia malah berasal
dari Bu-tong-pay,” ucap Hwee-ko sambil tertawa.
"Dari Bu-tong-pay?"
"Bahkan statusnya sama seperti kau.”
"Aku bukan berasal dari keluarga persilatan!" seru Lan Giok-keng,
mendadak dia seperti menyadari sesuatu, "maksudmu, diapun
berasal dari murid preman Bu-tong-pay?"
"Benar, dia adalah murid preman dari Bu-tong-pay, orang
menyebutnya Tiong-ciu Thayhiap Bouw Ciong-long.”
"Aaah, sekarang Bouw-thayhiap sudah menjadi Ciangbunjin baru
partai Bu-tong kami!" seru Lan Giok-keng dengan perasaan
terperanjat.
"Beberapa hari berselang aku telah mendengar kabar ini dari


cerita orang. Aaai, terkadang di dunia ini memang bisa terjadi hal
hal yang sama sekali diluar dugaan dan kejadian ini boleh dibilang
salah satu diantaranya. Loji kami Hwee-bun telah menjadi tojin bisu
tuli yang kerjanya hanya melayani keperluan Ciangbunjin,
sementara majikan barunya sekarang tidak lain adalah Bouw Cionglong
yang dimasa lalu pernah saling menyebut saudara dengan
dirinya. Moga-moga saja Bouw Ciong-long bisa memahami
kesulitannya dengan tidak menyingkap rahasia identitasnya.”
Setelah merasa terperanjat, Lan Giok-keng mencoba untuk
berpikir sejenak, dia merasa apa yang dikatakan Hwee-ko thaysu
memang tidak salah, meskipun usia Bouw Ciong-long baru lima
puluh tahunan, berbicara soal tingkatan status maka dia masih satu
angkatan dengan Sucouwnya, Bu-siang Cinjin, padahal leluhurnya
dimasa lalu pun pernah menjadi satu-satunya ketua preman di Butong-
pay, selama dua ratus tahun terakhir, keluarga Bouw selalu
tersohor dalam dunia persilatan sebagai keluarga persilatan.
Tapi justru karena itu, hal mana menimbulkan pula kecurigaan
lain, "Jika dilihat dari posisinya, status dia seharusnya masih berada
jauh diatas Siau Ngo-gi, tapi mengapa dia harus mencari tenar
dengan bergabung dalam kelompok ini?"
Perlu diketahui, biarpun tadi Hwee-ko tidak membocorkannya,
namun dari pembicaraanya tadi telah diketahui kalau Bouw Cionglong
bisa dimasukkan jadi salah satu anggota Siau Ngo-gi
dikarenakan setelah lenyapnya Kwik Tang-lay maka Bouw Cionglong
berinisiatip melakukan hubungan dengan mereka.
Tampaknya Hwee-ko dapat menebak jalan pikirannya, sambil
tertawa getir ujarnya, "Aku sendiripun tidak habis mengerti
mengapa dia ingin masuk sekelompok dengan kami, bukannya kami
tidak sudi duduk satu kelompok dengannya, sejujurnya kami merasa
tidak mampu mengangkat diri setinggi itu. Kalau orang lain
memasukkan dia ke dalam kelompok Siau Ngo-gi, hal ini
sesungguhnya membuat kami jadi tersanjung dan ikut kecipratan
ketenarannya.”
Berhubung orang yang dibicarakan Hwee-ko adalah Ciangbun


Susiok-couw nya, Lan Giok-keng merasa tidak leluasa untuk banyak
bicara, terpaksa dia hanya menyimpan semua kecurigaannya
didalam hati.
Padahal Hwee-ko mengetahui alasannya, hanya saja dia enggan
mengatakannya kepada Lan Giok-keng.
Menyingkap kembali tabir memorinya, dia merasa waktu berlalu
begitu cepat, dalam waktu singkat dua puluhan tahun sudah lewat.
Waktu itu, diantara lima setia kawan ada dua diantaranya telah
berkeluarga, mereka adalah Tiong-ciu kiam-kek Kwin Tang-lay serta
Tonghong Siau yang tinggal di kota Hang-ciu.
Kwik hujin adalah seorang wanita type ibu rumah tangga yang
saleh, walaupun perempuan semacam ini pantas dikagumi namun
dalam pandangan sementara orang, dia hanyalah seorang wanita
biasa.
Waktu berkumpul Kwik Tang-lay dengan rekan rekannya
berlangsung sangat pendek, tidak lama kemudian dia lenyap tidak
berbekas, menyusul kemudian istrinya pun ikut pergi.
Istri Tonghong Siau adalah seorang wanita cantik yang
termashur dalam dunia persilatan, dia bernama In Li-cu.
Walaupun In Li-cu amat cantik, namun dia kalah cantik bila
dibandingkan dengan adiknya, In Beng-cu. Semua orang berkata
kalau In Beng-cu lah sesungguhnya merupakan sebutir Beng-cu
(mutiara) yang benar benar bersinar terang.
Ketika Hwee-ko berkenalan dengan In Beng-cu, gadis itu tinggal
di rumah kakak iparnya.
Bouw Ciong-long sudah lama berkenalan dengan Tonghong Siau,
mula-mula hubungan mereka hanya sekedar kenal, setelah In Bengcu
tinggal di rumah kakak iparnya, hubungannya dengan Tonghong
Siau baru berkembang jadi sangat akrab.
Kedatangan Bouw Ciong-long di kota Hang-ciu jauh sebelum
kedatangan Hwee-ko, adapun perkenalan Hwee-ko dan dua orang


lainnya dari Siau Ngo-gi yakni Ong Hwe-bun dan Seebun Mu dengan
Bouw Ciong-long terjadi karena peranan Tonghong Siau (waktu itu
Kwik Tang-lay sudah lenyap), pada saat itu pula Bouw Ciong-long
menyatakan keinginannya untuk mempererat hubungan
persahabatan dengan mereka.
Tabir kenangan kembali semakin terkuak, tanpa terasa Hwee-ko
seolah-oleh melihat bayangan tubuh In Beng-cu, tampak pula In
Beng-cu dengan Bouw Ciong-long sedang berjalan santai di
sepanjang tanggul, dia seperti mendengar pula suara tertawa In
Beng-cu yang bercampur dengan suara seruling yang dimainkan
Bouw Ciong-long.
Tiba-tiba suaranya kembali berubah, suara tertawa cekikikan In
Beng-cu berubah jadi permintaan maaf kepadanya, "Maaf, kau
datang terlambat, tolong maafkan kalau kami tidak menunggumu
lagi!"
Sedang suara seruling dari Bouw Ciong-long pun telah berubah
menjadi gelak tertawa penuh kebanggaan.
Kini semua permasalahan telah jadi jelas, tujuan Bouw Cionglong
'bersahabat' dengan mereka ternyata hanya bertujuan
mendapatkan hati In Beng-cu.
Kekasih hati Bouw Ciong-long ternyata merupakan kekasih
hatinya juga, dalam keadaan begitu dia hanya bisa tertawa getir
sambil berpikir, "Benar, aku memang datang terlambat!"
Tapi perubahan yang terjadi kemudian sungguh jauh di luar
dugaannya, In Beng-cu tidak jadi menikah dengan Bouw Ciong-long,
melainkan menikah dengan seseorang yang kedatangannya jauh
lebih 'terlambat'
daripada dirinya.... orang yang menempati urutan ke empat
dalam kelompok lima sekawan, Seebun Mu.
Dia tidak tahan lagi ingin tertawa, entah kenapa, dia justru lebih
rela menyaksikan In Beng-cu menjadi janda seorang perampok
daripada membiarkan dia menjadi nyonya Ciangbunjin Bu-tong-pay.


Tentu saja dia tidak sampai tertawa karena Lan Giok-keng telah
menyadarkan kembali dari lamunannya.
"Hwee-ko Thaysu, kau.... mengapa kau tidak berbicara?'
Seakan baru mendusin dari impian, setelah berhasil
menenangkan diri, jawabnya, "Tidak apa apa, aku sedang
berpikir....”
Sementara pembicaraan sedang berlangsung, mereka telah tiba
di sebuah persimpangan jalan, satu mengarah ke timur dan yang
lain mengarah ke utara.
Hwee-ko thaysu pun menghentikan perjalanannya sambil
berkata, "Aku sedang berpikir, ke arah mana aku harus pergi?"
"Walaupun ke dua jalan ini menuju ke arah yang beda, tapi
bukanlah jalan yang menuju ke arah yang berlawanan,” sahut Lan
Giok-keng cepat.
Kecerdasan otak bocah ini memang jauh melampaui usianya,
secara lamat-lamat dia sudah dapat menebak kesulitan yang sedang
dihadapi pendeta itu.
"Perkataanmu memang tepat sekali, yang ada sesungguhnya
hanya mana yang lebih duluan, mana yang belakangan'
Lan Giok-keng merasa kurang leluasa untuk mengemukakan
pendapatnya, terpaksa dia berlagak mengerti sambil mendengarkan
pendeta itu berbicara lebih lanjut.
"Tonghong Liang memberitahu kepadaku kalau dia sedang
menuju Toan-hun-kok. Walaupun tiada permintaan apa-apa yang
dia ajukan, namun antara Kokcu Toan-hun-kok, Han Siang dengan
generasi dia sebelumnya pernah terjalin sengketa dan perselisihan
yang dalam, bagaimana pun aku harus menguatirkan keselamatan
jiwanya.
"Sucouwmu, Bu-siang Cinjin adalah Cianpwee yang paling
kuhormati dan kagumi, dia minta aku membantumu mencarikan
Kwik Tang-lay yang bukan lain adalah Toako ku sebelum aku


menjadi pendeta, tapi ayah Tonghong Liang pun merupakan
sahabat karibku juga....”
Tiba tiba Lan Giok-keng menukas perkataannya, “Jalan mana
yang mengarah ke Toan-hun-kok?”
“Jalan disebelah timur.”
Sebetulnya Lan Giok-keng berjalan mengikuti di belakangnya,
tapi sekarang dia berjalan lebih duluan dengan memilih arah timur.
"Kau pandai memecahkan kesulitan orang, bagus sekali, namun
kuanjurkan kepadamu lebih baik dipikir sampai matang terlebih dulu
sebelum melangkah.”
"Aku telah memikirkannya dengan sangat jelas, beberapa kasus
pembunuhan itu sudah enam belas tahun lamanya dilacak dan
diselidiki pihak Bu-tong-pay, namun hingga kini belum juga
ditemukan titik terang, jadi apa salahnya bila masalah itu
dikesampingkan sesaat?"
Sementara itu di hati kecilnya dia berpikir, "Teka-teki seputar
asal-usulku pun sejak lahir hingga sekarang masih menjadi sebuah
tanda tanya besar, aaai.... daripada tahu mungkin lebih baik bila
tidak tahu.”
"Kau masih belum memahami maksudku,” sela Hwee-ko.
"Silahkan Cianpwee memberi petunjuk.”
“Untuk menuju ke Toan-hun-kok, kalau mau dibilang
perjalanannya sangat jauh, tempat itu memang jauh, kalau mau
dibilang dekat, sebenarnya memang dekat. Kalau mengikuti
kecepatan kaki kita sekarang, paling banter tujuh hari lagi sudah
akan tiba di tempat tujuan, hanya saja....”
"Hanya saja kenapa?"
"Pernahkah kau berpikir, seandainya aku pun terjebak dalam
lembah pemutus sukma, berarti tidak ada orang lagi yang bisa
memberi petunjuk kepadamu untuk menemukan Kwik Tang-lay?"


"Urusan ada yang penting ada yang tidak, kini keselamatan
Tonghong toako sedang terancam, sudah seharusnya kita pergi
membantunya terlebih dulu.”
Hwee-ko thaysu menghela napas panjang katanya, "Aaai, tidak
disangka biar usiamu masih muda, namun kau jauh lebih mengerti
persoalan daripada sementara orang dewasa.”
Lan Giok-keng tidak paham siapa yang dimaksud sebagai
'sementara orang dewasa', namun dia dapat melihat kalau ucapan
tersebut diutarakan atas dasar suara hatinya.
"Biarpun Tonghong toako belum pernah angkat saudara
denganku, tapi kebaikan yang telah dia berikan kepadaku tidak
bakal kulupakan untuk selamanya. Terserah apapun yang akan
dikatakan orang lain, aku tetap akan menganggapnya sebagai
Toako ku. Cianpwee, kalau kau pun bersedia menempuh bahaya
demi keselamatannya, kenapa aku harus memikirkan kepentinganku
sendiri?"
"Kalau begitu kau bersikeras ingin ikut aku menuju lembah
pemutus sukma?"
Tiba tiba satu ingatan melintas dalam benak Lan Giok-keng,
jangan-jangan pertikaian antara mereka dengan lembah pemutus
sukma tidak ingin dicampuri oleh dirinya, maka segera ujarnya, "Bila
locianpwee merasa tidak leluasa untuk mengajak serta aku, silahkan
kau tunjukkan satu tempat tertentu dengan batasan waktu selama
tiga bulan, biar aku menantimu disana.”
Hwee-ko tidak langsung menjawab, dia berpikir sejenak setelah
itu baru berkata, "Hubunganmu dengan Tonghong Liang terhitung
sangat akrab, cici mu pun berada di rumah Seebun-hujin, rasanya
tidak masalah kuajak serta kau mengunjungi Toan-hun-kok.”
Perhitungan Hwee-ko ternyata sangat tepat, setelah berjalan
selama tujuh hari, betul saja mereka telah tiba di Toan-hun-kok.
Hanya saja, biarpun perhitungannya tepat, ada satu hal yang
membuatnya tidak habis mengerti.


Mengapa Tonghong Liang tidak menunggu kedatangannya di
tengah jalan?
Betul, Tonghong Liang memang tidak memohon kepadanya
untuk melakukan sesuatu, tapi dia telah mengutus orang dengan
membawa cincin mendiang ayahnya sebagai tanda pengenal, jelas
ini bermakna minta bantuan. Seharusnya Tonghong Liang pun bisa
menduga, asal dia dapat meninggalkan biara Siau-lim, sudah pasti
akan muncul pula di lembah pemutus sukma.
Tonghong Liang tidak lebih hanya berangkat dua jam lebih awal,
mengapa ia tidak menunggunya ditengah jalan?
Karena tidak diperoleh jawaban, terpaksa Hwee-ko mengurainya
begini, "Tonghong Siau adalah tokoh diantara sesat dan lurus,
tabiatnya aneh dan sering sukar diduga. Watak Tonghong Liang
mirip sekali dengan bapaknya, mana mungkin aku bisa mengurai
tindak tanduknya dengan nalar pada umumnya?"
Ternyata manusia yang bernama Han Siang jauh di luar dugaan
Lan Giok-keng.
Dia adalah pentolan perampok, tempat tinggalnya pun disebut
lembah pemutus sukma, dalam bayangan Lan Giok-keng, dia
pastilah seseorang dengan wajah bengis dan buas.
Siapa tahu Han Siang mempunyai wajah yang sangat bersih
dengan tiga jenggot panjang yang terawat rapi, modelnya tidak
beda jauh dengan seorang siucay tua.
Lembah pemutus sukma pun bukan tanah perbukitan yang
gersang, aneka bunga dan tumbuhan memenuhi seluruh lembah,
ternyata tempat itu begitu subur bagaikan nirwana.
Waktu itu Han Siang sedang menjamu mereka di tengah kebun
bunga.
Di tengah kebun aneka bunga tumbuh mekar, ada gardu, ada
bangunan loteng, ada pula gunung-gunung-an dan kolam teratai,
keindahannya bak sebuah lukisan hidup.


Meja perjamuan disiapkan di tepi kolam teratai dengan dikelilingi
gunung-gunungan yang terbuat dari batuTayli.
Setelah mempersilahkan tamunya mengambil duduk, sambil
tertawa terbahak-bahak ujar Han Siang, "Maafkan Thaysu bila aku
akan bicara terus terang, sungguh tidak kusangka kau bisa kabur ke
biara Siau-lim untuk menjadi seorang hwesio juru masak. Masih
teringat pada pertemuan kita yang terakhir kalinya, kalau tidak salah
diselenggarakan di luar loteng rumah makan dekat telaga See-ouw,
waktu itu kita beberapa orang bertaruh minum arak melawanmu,
siapa tahu biar kami bergabungpun ternyata tidak sanggup
menangkan dirimu. Aaai, tanpa terasa tiga puluh tahun sudah
lewat.”
"Benarkah begitu? Aah, kalau bukan kau yang bercerita lagi,
mungkin akupun sudah melupakannya. Aku sendiripun tidak
menyangka kalau kau bisa menjadi pemilik lembah pemutus
sukma!"
Han Siang tertawa.
"Hwee-ko Thaysu, walaupun kau sudah menjadi pendeta, namun
dalam pandanganku kau masih tetap Si Sam-hiap yang gagah dan
berjiwa besar!"
Kini Lan Giok-keng baru tahu kalau marga Hwee-ko sebelum jadi
pendeta adalah marga Si.
"Atas dasar apa kau berkata begitu?" tanya Hwee-ko.
Dengan senyum tidak senyum sahut Han Siang, "Kalau bukan
demi sahabat, aku rasa tidak mungkin Thaysu akan mendatangi
lembahku yang terpencil ini. Boleh tahu saudara cilik ini adalah....”
"Dia bernama Lan Giok-keng, saudara angkat Tonghong Liang.”
"Lebih bagus lagi kalau Lan-siauhiap pun ikut datang. Silahkan
duduk, tidak usah sungkan-sungkan.”
"Han tua, pandai benar kau menikmati hidup, tempat
kediamanmu ini boleh dibilang ibarat nirwana, masa kau bilang


lembah gersang yang terpencil?"
Kembali Han Siang tertawa getir.
"Aku dipaksa untuk bersembunyi disini menjadi cucu kura-kura
yang tidak berani memperlihatkan kepala, kalau bukan Seebun Mu
ingin membunuh istriku kemudian membunuhku, mana mungkin aku
rela mengundurkan diri dari dunia persilatan.”
"Seebun Mu sudah mati banyak tahun, masa kau masih ingin
balas dendam terhadap orang mati? Aku si hwesio hanya tahu
membebaskan orang dari dosa dan karma, tidak ingin terlibat lagi
dalam urusan dendam sakit hati yang ada dalam dunia persilatan.”
"Aku justru ingin minta tolong Thaysu untuk membebaskan diriku
dari bencana kemusnahan. Hanya saja, mau tidak mau memang
harus terlibat dalam pertikaian dunia persilatan. Sebetulnya aku
ingin mengandalkan masalah ini kepada Tonghong Liang, tapi kini
hanya Thaysu seorang yang bisa menolongku.”
"Karena kau telah menyinggung soal Tonghong Liang, aku ingin
bertanya lebih dulu, benarkah Tonghong Liang pernah mendatangi
tempat ini?"
"Benar,” Han Siang manggut manggut, kemudian sambil tertawa
lanjutnya, "Thaysu, sekalipun kau tidak bilang, aku pun tahu kalau
kedatanganmu kali ini demi Tonghong Liang.”
"Sekarang dimana Tonghong Liang berada?"
"Masih berada ditempatku, sama sekali tidak kuganggu seujung
rambut pun, hanya saja....”
"Hanya saja kau telah mengurungnya bukan?"
"Harap thaysu maklum, ilmu silat yang dimiliki Tonghong Liang
masih diatas kemampuanku, kalau toh pembicaraan tidak
menyambung, aku harus gunakan segala cara untuk melindungi diri
sendiri. Pepatah kuno pun berkata: Menangkap harimau gampang,
melepaskan macan susah.”
"Persoalan apa yang membuat pembicaraan kalian tidak


nyambung?"
"Padahal sederhana sekali, aku hanya mohon kepadanya untuk
membantuku berbicara beberapa patah kata dihadapan Seebunhujin,
agar kawanan saudaraku bisa mencari sesuap nasi, Seebunhujin
adalah bibinya, setahuku, keponakannya ini bisa jadi segera
akan berubah menjadi 'setengah putra'nya, apa yang dia katakan,
Seebun-hujin sudah pasti akan menurutinya.”
"Aku memang mengetahui hubungan antara Tonghong Liang
dengan Seebun-hujin. Hanya saja, bukankah kau telah berkata,
sudah sejak lama mengundurkan diri dari dunia persilatan?"
"Harap Thaysu maklum. Aku mundur dari dunia persilatan karena
dipaksa. Bagiku, bisa saja hidup terus dalam lembah gersang ini,
tapi para saudaraku toh butuh makan, butuh sesuap nasi. Terus
terang saja, semenjak kematian Seebun Mu, saudara saudaraku itu
sudah berusaha lagi dengan pekerjaaan lama mereka. Tapi kini ada
orang enggan melepaskan kami, apa daya, kalau bukan aku yang
tampil mewakili mereka, siapa lagi yang bakal tampil?"
"Siapa yang kau maksudkan dengan orang-orang itu?"
"Hmm, sialan,” pikir Han Siang dalam hati, "sudah tahu masih
berlagak tanya.”
Namun diluaran segera sahutnya, "Biarpun Seebun Mu telah
mati, namun sekawan-an pembantu utamanya yang dulu masih
hidup.”
"Siapa pemimpin kawanan itu?"
"Seseorang yang bernama Liok Ki-seng, masih ingat dengan
orang ini?"
"Apakah Liok Ki-seng yang punya julukan Siucay dari alam
baka?"
"Betul. Liok Ki-seng hanya bisa disebut sebagai kunsunya
kawanan tersebut, dia tidak bisa dikatakan sebagai pentolannya.
Dalam pandangan kelompok orang orang itu, pemimpin mereka


masih tetap Seebun Mu.”
"Tapi Seebun Mu toh sudah mati.”
"Oleh sebab itulah dewasa ini hanya Seebun-hujin seorang yang
mereka turuti perkataannya.”
Hwee-ko thaysu segera berpikir, "Bila aku yang berbicara,
mungkin saja In Beng-cu akan memberi muka untukku. Cuma, apa
yang ku-dengar sekarang hanya merupakan penjelasan sepihak,
mungkinkah dibalik kesemuanya itu masih ada persoalan lain?"
Belum habis ingatan itu melintas, terdengar Han Siang telah
berkata lagi, "Thaysu, kau dan Seebun Mu adalah saudara angkat,
asal mau membantu kami, jelas bantuanmu akan jauh lebih
bermanfaat daripada bantuan Tonghong Liang.”
Hwee-ko termenung sejenak, kemudian bertanya, "Bolehkah aku
berjumpa dulu dengan Tonghong Liang?"
Han Siang segera tertawa tergelak.
"Di kalangan hek-to memang berlaku peraturan semacam ini,
kalau toh Thaysu baru merasa tenteram setelah bertemu Tonghong
Liang, tentu saja kami akan memenuhi keinginanmu.”
Waktu itu malam sudah menjelang tiba, lampu lampion tampak
tergantung diseputar kolam teratai dan pepohonan disekeliling
gunung gunungan, begitu banyaknya lentera yang terpasang
membuat suasana di sekeliling sana tampak terang benderang.
Setelah meneguk dua cawan arak, kembali Han Siang berkata,
"Thaysu adalah seorang yang berjiwa terbuka, apalagi taruhan
minum yang kita selenggarakan dulu rasanya belum memuaskan
Thaysu, untuk perjumpaan kembali kita hari ini, biar aku orang she
Han menghormati dulu Thaysu dengan secawan arak.”
"Lebih baik kita minum setelah bertemu Tonghong Liang nanti.”
"Cawan ini merupakan cawan penghormatanku, nanti kita baru
minum lagi sepuasnya.”


Hwee-ko jadi teringat kalau kedatangannya kali ini adalah ingin
minta kembali sandera dari tangan Han Siang, bila tidak minum
araknya, hal ini menandakan kalau dia tidak percaya. Karena itu
sahutnya, "Baik, akan kuteguk habis cawan arak ini.”
"Betul, masih ada lagi Lan-siauhiap, silahkan Lan-siauhiap pun
menghabiskan secawan.”
"Dia masih kecil, tidak pandai minum,” tukas Hwee-ko cepat,
"bila Han-Kokcu tetap ingin menjalankan peraturan dunia persilatan,
biar cawan arak itu aku yang mewakilinya.”
Rupanya Hwee-ko kuatir kalau Han Siang telah mencampuri arak
itu dengan racun, dengan mengandalkan tenaga dalam yang
dilatihnya secara tekun hampir dua puluhan tahun lamanya dalam
biara Siau-lim, dia yakin ke dua cawan arak racun itu tidak bakal
sampai mematikannya, oleh sebab itu dengan gaya sama sekali
tidak curiga, dia pun menghabiskan cawan arak bagian Lan Giokkeng.
Setelah arak mengalir masuk ke dalam perut, dia tidak
merasakan sesuatu yang aneh. Hwee-ko pun berpikir, "Ternyata
arak yang dia tuang adalah arak jempolan, keharumannya sungguh
luar biasa.”
Berpikir begitu, diapun berseru, "Arak telah kuteguk, kenapa
Han-Kokcu belum juga mempersilahkan Tonghong Liang keluar?"
"Tonghong Liang sudah datang.”
"Dimana?" tanya Hwee-ko tertegun.
Han Siang segera tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... jauh di ujung langit, dekat di depan mata, silahkan
Thaysu periksa!"
Baru selesai perkataan itu diucapkan, Hwee-ko pun baru saja
bangkit berdiri, terdengar....”Blummm!"
seorang anak buah Han Siang telah melepaskan sebatang panah
berapi.


Anak panah itu dibidikkan ke arah gunung-gunungan dan
memancarkan cahaya api berwarna kebiru-biruan.
Sebetulnya diatas gunung gunungan itu tidak terdapat gua, tapi
sekarang, tiba-tiba saja dinding gunung-gunungan itu merekah lalu
muncullah mulut gua.
Tonghong Liang tampak berdiri di depan mulut gua itu!
"Tonghong Toako!" terkejut bercampur girang Lan Giok-keng
segera berteriak.
Pada saat yang bersamaan Tonghong Liang berteriak pula,
"Hwee-ko Thaysu, mereka tidak bakal berani membunuhku, kau
jangan termakan tipu muslihatnya!"
Belum selesai dia berkata, "Blaaam!" pintu gua yang merekah
telah menutup kembali, gumpalan cahaya api berwarna kebirubiruan
itupun seketika padam.
"Hey, apa yang kau lakukan terhadap Tonghong Toako?" teriak
Lan Giok-keng.
"Bukankah kau telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri,
Tonghong Toako mu selamat tanpa kekurangan sesuatu apa pun.”
"Mengapa kau tidak membebaskannya!"
"Engkoh cilik,” ujar Han Siang sambil tertawa tergelak,
"kelihatannya kau masih belum seberapa paham dengan peraturan
yang berlaku di kalangan hitam.”
"Dia memang tidak paham, tapi aku paham. Ajukan syaratmu
sekarang!"
"Thaysu, aku orang she Han selalu menyukai transaksi yang adil,
dalam kasus ini akulah sang korban, tapi aku tidak bakal menuntut
ganti rugi nyawa dari siapa pun.”
Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali dia melanjutkan,
"Oleh karena itu aku yakin semua prasyarat yang kuajukan adalah
syarat yang adil dan masuk akal, tapi bila kau kuatir tertipu atau


terperangkap, lebih baik tidak usah kita bicarakan lagi.”
Hwee-ko segera berpikir, "Seandainya permintaan dia hanya
ingin aku mintakan pengertian dari In Beng-cu dan semua yang
mereka katakan tadi memang kata-kata yang jujur, aku rasa
permintaan semacam ini tidak kelewat batas.”
Maka diapun berkata, "Semasa suaminya masih hidup, Seebunhujin
tidak pernah mau mencampuri urusan suaminya. Tapi bila
dengan sepatah katanya, Liok Ki-seng sekalian benar-benar mau
mengakhiri pertarungan, aku rasa dia pasti akan berbicara.”
"Yang kami harapkan bukan hanya sepatah kata itu saja,
melainkan menginginkan dia bicara akan dua hal.”
"Lalu perkataan apa lagi yang kalian inginkan?"
"Minta dia menyerahkan semua kekuasaan yang diperoleh dari
suaminya dulu di hadapan Liok Ki-seng sekalian.”
"Maaf, aku tidak memahami maksud perkataanmu itu, toh
orangnya sudah mati, kekuasaan apa lagi yang kalian harapkan?"
"Dulu, Liok Ki-seng dan kelompoknya merupakan gabungan dari
sembilan belas markas Liok-lim caycu di wilayah air dan daratan,
untuk menyatakan kesetiaan mereka terhadap Seebun Mu, orangorang
itu secara bersama sama telah menyerahkan sebuah lencana
emas yang berukirkan nama dari sembilan belas keluarga Liok-lim
sebagai pernyataan kepatuhan mereka ter-hadap Seebun Mu yang
telah diangkat menjadi Liok-lim Bengcu. Lencana emas itu bisa
diserahkan oleh Bengcu kepada siapa pun untuk menyampaikan
perintah, kemunculan lencana emas sama seperti kehadiran Bengcu
pribadi. Waktu itu sama sekali tidak disertai keterangan kalau sang
Bengcu meninggal maka pengaruh lencana emas ikut lenyap. Oleh
karena itulah meski orangnya telah mati namun kekuasaannya
masih tetap utuh.”
Kini Hwee-ko sedikit rada mengerti, ujarnya kemudian, "Jadi
menurut perkataanmu, karena Seebun-hujin memegang lencana
emas itu maka dia pun bisa menjadi Liok-lim Bengcu?"


"Betul, seandainya dia serahkan lencana emas itu kepada
putrinya, biarpun putrinya masih seorang budak ingusan, dia sama
saja dapat menjadi seorang Liok-lim Bengcu, atau paling tidak bisa
menjadi Cong-caycu dari sembilan belas keluarga.”
"Tapi menurut apa yang kuketahui, mereka ibu dan anak sudah
lama hidup mengasingkan diri diluar perbatasan, di sebuah gunung
yang terpencil dan jauh dari keramaian dunia, sudah pasti mereka
tidak bakalan mau menjadi Liok-lim Bengcu.”
"Mau atau tidak, itu urusan mereka,” tukas Han Siang, "tapi
dalam kenyataan, lencana emas itu masih berada ditangan Seebunhujin.”
"Han-Kokcu,” kata Hwee-ko kemudian dengan suara hambar,
"ternyata perhitungan siepoa mu memang luar biasa, kalau sampai
begitu keadaannya, bukan saja Liok Ki-seng dan kawan-kawannya
tidak akan menyusahkan dirimu lagi, malah sebaliknya mereka bakal
menjadi anak buahmu.”
"Hmm!" Han Siang mendengus dingin, "bukan berarti aku berniat
merebut kekuasaan ini, tapi paling tidak berilah keadilan untukku.
Anak istriku telah mati di tangan Seebun Mu, jelas aku harus
membalas dendam sakit hati ini, anak buahku selama banyak tahun
pun hidup tertekan dan sengsara, masa tidak pantas untuk memberi
sedikit ganti rugi bagi mereka semua?"
Untuk sesaat Hwee-ko thaysu hanya termenung tanpa bicara,
pikirnya, 'Bicara sejujurnya, perbuatan Seebun Mu yang
mengakibatkan keluarganya berantakan memang merupakan
tindakan yang sedikit kelewatan, sewajarnya bila Beng-cu
menebuskan dosa dan kesalahan suaminya dimasa itu. Namun Han
Siang pun bukan orang baik-baik, jika membiarkan dia jadi Liok-lim
Bengcu, sudah jelas kedudukan tersebut akan semakin membuatnya
malang melintang dengan segala kejahatan dan kebusukan.
Lagipula sewaktu dia berkhianat terhadap Seebun Mu tempo hari,
bukankah dia pun berniat menghabisi nyawa Seebun Mu dan
keluarganya?'


Belum sempat dia mengucapkan sesuatu, kembali Han Siang
telah berkata, "Thaysu, bukankah kau berkata akan datang
membebaskan semua dosa dan karma buruk? Kini keputusan
berada pada ucapanmu.”
"Aku harus berbicara dulu dengan Seebun-hujin sebelum
menyinggung masalah lain.”
"Itulah sebabnya aku mohon agar Thaysu bersedia
menyampaikan permintaan mereka itu kepada Seebun-hujin!
Thaysu, bila kau anggap prasyarat yang kukemukan masuk akal dan
cengli, silahkan ucapkan janjimu, kami percaya kau pasti tak akan
mengecewakan harapan kami semua!"
Perkataan dari Han Siang ini memang sangat diplomatis, posisi
yang dihadapi Hwee-ko sekarang ibarat orang yang sudah didesak
hingga berada di sudut dinding, tidak mungkin bisa berkelit lagi,
bagaimana pun harus mengemukakan sikapnya.
Sebetulnya Han Siang hanya minta tolong kepadanya untuk
menyampaikan perkataan, apakah nantinya dia akan sampaikan
kepada Seebun-hujin atau tidak, sebetulnya tidak ada yang bakal
tahu. Soal apakah Seebun-hujin bersedia menyerahkan lencana
emas itu atau tidak pun merupakan urusan Seebun-hujin, sama
sekali tidak ada sangkut paut dengan dirinya.
Semisal gagal, itupun dia hanya kehilangan muka karena katakatanya
tidak berpengaruh. Bila berganti orang lain, bisa saja dia
pura-pura menyanggupi permintaan Han Siang dan berusaha
membebaskan Tonghong Liang terlebih dulu.
Namun Hwee-ko bukanlah manusia seperti itu, sejak tiga puluh
tahun berselang dia sudah merupakan seorang pendekar yang
punya nama besar, apalagi sekarang pun sudah menjadi murid
Buddha, bagaimana mungkin dia mau berbohong?
Lagipula dia ingin mencari dahulu apakah prasyarat yang
diajukan Han Siang cukup masuk diakal atau tidak, kemudian baru
membantu orang itu untuk berbicara dengan Seebun-hujin.


Hwee-ko merasakan hatinya sangat kalut, sementara dia masih
ragu, mendadak pandangan matanya terasa jadi gelap, tahu-tahu
kepalanya merasa pening dan pandangan matanya berkunangkunang,
perubahan ini kontan membuat hatinya terperanjat.
Walaupun pandangan matanya jadi gelap, tapi pikiran dan
hatinya tiba-tiba jadi terang.
Dalam pada itu Han Siang sedang mengawasinya dengan
pandangan tajam, tegurnya dingin, "Hwee-ko Thaysu,
sebetulnya....”
Belum selesai dia berkata, mendadak Hwee-ko melompat
bangun, sambil menuding bentaknya, "Han Siang, berani amat kau
gunakan cara najis yang memalukan semacam ini untuk
menghadapiku!"
Segulung pancaran air tiba-tiba menyembur keluar dari ujung
jarinya, pancaran cairan itu menyebarkan bau wanginya arak yang
sangat kental.
Ternyata Hwee-ko telah menggunakan tenaga dalam tingkat
tingginya untuk memaksa keluar dua cawan arak yang diteguknya
tadi melalui ujung jarinya dalam bentuk panah arak.
Han Siang tidak sempat bangkit berdiri, bangkunya langsung
didorong ke belakang, sementara ujung bajunya dikebaskan untuk
menangkis.
Butiran arak segera memancar ke empat penjuru, "Aduuuuh!"
terdengar jerian ngeri bergema memecahkan keheningan, mata
seorang anak buah Han Siang yang kebetulan berdiri di samping
sana terhajar telak hingga buta.
Ujung baju Han Siang sendiripun telah bertambah dengan lubang
lubang kecil yang tidak terhitung jumlahnya, bentuk lubang itu
persis seperti sarang lebah. Biar begitu, dia sempat menggulung
poci arak yang berada diatas meja itu kemudian berikut bangkunya
telah melompat mundur sejauh satu tombak lebih.
"Tunggu sebentar!" bentak Han Siang nyaring, dengan tangan


kiri memegang poci, tangan kanannya melakukan bacokan, dia
babat poci arak itu hingga terbelah menjadi dua bagian.
Sambil mengangkat belahan poci arak itu dan diarahkan ke
depan, teriaknya,
"Hwee-ko Thaysu, coba kau perhatikan dengan jelas. Dalam poci
arak ini sama sekali tidak ada alat rahasia. Arak yang tersimpan pun
sama. Padahal aku meneguk arak itu jauh lebih banyak ketimbang
kau!"
Sebenarnya Hwee-ko curiga kalau dia telah mencampuri arak itu
dengan racun, tapi sekarang dia mulai meragukan kecurigaannya
itu, jangan-jangan dia telah salah menduga. Pikirnya, 'Kemampuan
Han Siang melepaskan racun belum termasuk nomor wahid, bila dia
benar-benar mengguna- kan racun, masa aku tidak dapat
merasakannya? Tapi aneh, mengapa sekarang.... '
Belum habis dia berpikir, perasaan pusing dan berkunang kembali
muncul secara tiba-tiba.
Hwee-ko mencoba mengatur pernapasan, dia merasa peredaran
hawa murninya sudah menjumpai hambatan, maka setelah berhasil
mengendalikan diri ujarnya, "Baik, anggap aku telah salah
menuduhmu, silahkan duduk kembali ke tempat semula, mari kita
berbicara lagi.”
"Pembicaraan antar teman berdasarkan saling percaya, bila
Thaysu memang menaruh curiga, lebih baik pembicaraan hari ini
kita hentikan sampai disini saja.”
Hwee-ko tidak habis mengerti mengapa dirinya bisa keracunan,
tapi sudah jelas terlihat kalau pihak lawan sedang menjalankan
siasat menunda pasukan.
Sekuat tenaga dia berusaha mengendalikan diri, tidak
membiarkan Han Siang menemukan perubahan mimik mukanya,
dengan hambar ujarnya, "Baik, sementara waktu tidak usah kita
bicarakan, hanya saja....”
Mendadak sambil membentak dia menerkam ke depan, serunya,


"Hanya saja, kau harus menghantarkan aku dan Tonghong Liang
meninggalkan tempat ini!"
Han Siang tidak sempat menghindarkan diri, terpaksa dia balas
mencengkeram tubuh Hwee-ko.
Sebetulnya dia pun mempelajari ilmu cakar elang Toa-lek-engjiau-
kang, siapa tahu ketika cakar kedua belah pihak saling
membentur, terjadi suara benturan yang keras diikuti kulit tubuhnya
serasa disayat dengan golok, tahu-tahu lengan kanan Han Siang
telah muncul sebuah mulut luka yang merekah besar, darah
bercucuran tiada hentinya.
"Thaysu!" teriak Han Siang dengan napas tersengkal,
"kecurigaanmu kelewat besar, sebenarnya aku hendak menghantar
keluar Tonghong Liang tapi paling tidak kau harus memberi
kesempatan kepadaku untuk berbicara!"
Begitu menggunakan tenaga dalamnya, Hwee-ko segera
merasakan peredaran tenaga dalam dadanya jadi kalut, seolah olah
seluruh badannya akan terlepas saja, bahkan kondisi badan pun
kian bertambah menyusut. Cepat dia berpaling ke arah Lan Giokkeng
sambil berpikir, "Bocah ini tidak meneguk arak, rasanya dia
tidak bakalan keracunan.”
Namun dalam kondisi seperti ini, dia tidak dapat memperingatkan
Lan Giok-keng, minta dia segera melarikan diri.
Ooo)*(ooO
Belum lenyap ingatan itu, terlihat kepala Lan Giok-keng tiba-tiba
terkulai lemas, dia seperti tidak dapat duduk dengan tegak lagi,
tubuh berikut bangkunya roboh terjungkal ke tanah.
Hwee-ko terkesiap, baru saja hendak menerjang maju, anak
buah Han Siang sudah keburu meluruk maju ke depan, Hwee-ko
segera mengerahkan sisa kekuatannya untuk memukul, menendang
dan merobohkan beberapa orang lagi, tapi sayang pandangan
matanya jadi kabur, yang terlihat kini hanya bayangan hitam yang
kabur, kekuatan badannya semakin melemah, dalam waktu singkat


dia berhasil merobohkan beberapa orang itu.
Untung saja kawanan anak buah Han Siang keder dibuatnya oleh
kejadian ini, untuk sesaat mereka tidak berani lagi untuk maju ke
depan.
Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita berseru sambil tertawa
cekikikan, "Hwee-ko, sungguh hebat kepandaianmu, sayang sedikit
terlambat ketika kau sadar mulai keracunan.”
Di hadapannya muncul seorang wanita cantik setengah umur,
biarpun pandangan matanya sudah mulai kabur, namun dia masih
cukup mengenali siapakah wanita itu, bahkan biar sudah terbakar
jadi abu pun dia tetap dapat mengenali.
"Siang Ngo-nio, ternyata kau yang telah meracuni kami!" bentak
Hwee-ko nyaring, suara bentakan itu penuh dengan hawa amarah,
tapi kedengaran mulai gemetar.
Siang Ngo-nio tampak sangat bangga, katanya lagi sambil
tertawa terkekeh, "Sekarang tentunya kau sudah tahu bukan kalau
tuduhanmu terhadap Han tua salah besar? Hehehehe....
kalau bukan lo-nio turun tangan sendiri, mana mungkin tokoh
hebat semacam kau bisa masuk perangkap!"
"Tidak memalukan bila lolap dipecundangi manusia macam kau,
tapi ada satu hal aku kurang jelas, mohon diberi petunjuk,” ujar
Hwee-ko tiba-tiba.
Suara tertawa Siang Ngo-nio makin keras.
"Terima kasih banyak atas pujian Thaysu, kenapa persoalan apa
yang ingin kau ketahui?"
"Dalam arak tiada racun, aku ingin tahu dengan cara apa kau
mempercudang diriku?"
Ketika seseorang merasa telah melakukan sebuah 'hasil karya
yang membanggakan', yang paling dia takuti adalah bila orang lain
tidak mengetahui secara jelas.


Pertanyaan dari Hwee-ko ini ibarat sedang menggaruk bagian
tubuhnya yang paling gatal, kontan saja Siang Ngo-nio tertawa
terkekeh.
"Hahahaha.... bila tidak kuberitahu tahu, mungkin sampai
mampus pun kau akan jadi setan pikun. Meracuni orang sama
dengan ilmu silat, semuanya terdiri dari beberapa tingkatan, kau
sangka hanya lewat arak dan hidangan saja racun baru bisa
disebar? Kau salah besar, terus terang saja, semenjak pertama kali
kau melangkah ke tempat ini, tubuhmu sudah mulai keracunan.”
"Aku jadi semakin tidak habis mengerti, bukankah waktu itu kau
belum datang, bagaimana mungkin bisa menyebar racun?
Kemudian, sejak kapan kau menyebar racun? Mengapa aku sama
sekali tidak merasa?"
Siang Ngo-nio tertawa lebar.
"Siapa suruh kau kurang hati-hati, pernahkah kau
memperhatikan sesuatu, ketika baru datang tadi, langit belum
gelap, tapi mengapa di empat penjuru gardu ini sudah disulut lilin?"
Seolah baru mendusin dari impian, Hwee-ko segera berseru,
"Jadi racun itu berasal dari ke empat batang lilin itu?"
"Betul, lilin itu terbuat dari tujuh macam bahan pemabok, yang
hebat adalah setelah bahan-bahan itu tercampur, sama sekali tidak
menyebarkan bau harum apa pun, itulah sebabnya kehadiran racun
ini sama sekali tidak bisa dirasakan oleh jagoan tangguh macam
dirimu.”
Setelah berhenti sejenak, kembali terusnya, "Racun ini bekerja
sangat lambat, satu menit lebih lama lilin itu menyala, satu menit
lebih dalam kau keracunan. Pada mulanya kau tidak bakalan berasa,
tapi disaat kau mulai merasakan hal ini, maka keadaan sudah
terlambat, sehebat apa pun tenaga dalam yang kau miliki, jangan
harap bisa mengusir pengaruh racun tersebut. Hebatnya tenaga
dalam seseorang hanya bisa menunda saatmu jatuh tidak sadarkan
diri, tapi sayangnya semakin kau gunakan tenaga dalam untuk
melawan, racun akan semakin dalam menyusup dalam tubuhmu.


Kalau tidak percaya, cobalah sekarang, coba lihat apakah kau masih
bisa mengerahkan tenaga murnimu.”
Hwee-ko sengaja 'minta petunjuk' darinya, tujuan yang utama
adalah berusaha untuk mengulur waktu, dia berharap bisa
menggunakan waktu yang sesaat untuk mengusir pengaruh racun
dari tubuhnya.
Tapi sekarang dia tidak perlu mencoba lagi, sebab sudah tahu
kalau apa yang dikatakan Siang Ngo-nio memang tidak bohong, kini
lambungnya terasa kosong melompong, bukan saja tidak dapat
menggiring hawa murninya berkumpul di Tan-tian, sebaliknya dia
merasa makin lama tubuhnya semakin 'terurai' dan terlumat dalam
udara.
"Lebih baik beristirahatlah dengan tenang,” kata Siang Ngo-nio
sambil tertawa, "mengingat hubungan kita selama banyak tahun,
tidak nanti aku akan mencabut nyawamu. Yang kuinginkan hanya
bocah itu. Han tua, aku telah membantumu, jadi bocah she Lan itu
bisa kau serahkan kepadaku bukan!"
"Buat apa aku minta bocah itu? Cuma khawatirnya ada yang
merasa keberatan.”
"Siapa?"
"Tonghong Liang!"
Kontan Siang Ngo-nio tertawa dingin.
"Hmm, dia sangka masih berhak untuk ikut bicara disini?"
jengeknya.
Tiba tiba dia teringat kalau Tonghong Liang sudah terjatuh ke
tangan Han Siang, lantas buat apa dia harus mengucapkan
perkataan seperti itu? Begitu ingatan tadi melintas, segera katanya,
"Baik, sekarang aku akan membawa dulu bocah itu, daripada nanti
aku musti berebut lagi dengan orang lain.
Eeei, tidak benar....”
Sebetulnya Lan Giok-keng berbaring diatas meja dalam keadaan


tudak sadarkan diri, tapi sekarang, secara tiba tiba dia melompat
bangun, kemudian....” blukk, bluuuk! Dua orang anak buah Han
Siang yang sedang mengawasinya dari samping tahu-tahu sudah
roboh tertelentang diatas tanah.
Ternyata walaupun dalam arak yang disuguhkan Han Siang tidak
dicampuri racun, namun setelah meneguk arak lalu menghisap hawa
racun yang tersebar dari lilin yang terbakar, daya kerja racun
menyebar semakin cepat.
Itulah sebabnya ketika Hwee-ko merasa kalau dirinya sudah
keracunan, Lan Giok-keng sendiri baru saja mulai merasa agak
pening, namun sama sekali belum sadarkan diri.
Alasan lain mengapa racun dalam tubuhnya bekerja jauh lebih
lambat dari Hwee-ko adalah, meski dalam hal tenaga dalam dia
masih kalah jauh dibandingkan Hwee-ko, namun Sim-hoat tenaga
dalam yang dipelajarinya adalah tenaga dalam murni yang dipelajari
langsung dari Bu-siang Cinjin, tenaga dalamnya lebih menang dalam
hal 'kemurnian', maka di saat dia berlagak mabok dengan
memperlemah napasnya, otomatis daya kerja racun pun jadi
semakin melambat.
Begitu cepat dia bertindak, mendadak Lan Giok-keng telah
mencabut keluar pedangnya dan melancarkan sebuah tusukan ke
tubuh Siang Ngo-nio.
Tentu saja Siang Ngo-nio tidak memandang sebelah mata pun
terhadap datangnya ancaman, sambil mengebaskan ujung bajunya
dia berkata sambil tertawa lembut, "Aku hanya berniat baik
kepadamu, buat apa....”
Belum habis berkataan itu diucapkan, "Breeet!' tahu-tahu ujung
bajunya sudah terpapas oleh sambaran pedang Lan Giok-keng yang
cepat bagaikan sambaran kilat dan robek sebagian.
Sekarang Siang Ngo-nio baru terkejut, dia tidak habis mengerti,
baru berpisah satu bulan kenapa ilmu pedang Lan Giok-keng dapat
mengalami kemajuan sedemikian cepatnya?


Darimana dia bisa tahu kalau dalam sebulan belakangan, bukan
saja dia telah mendapat petunjuk dari Tonghong Liang bahkan
selama berada dalam biara Siau-lim, secara beruntun dia telah
menyaksikan pertarungan antara Tonghong Liang dengan Wan-seng
dan Wan tin, lalu menyaksikan pula pertarungan Hwee-ko melawan
Pun-bu thaysu, ketua tianglo dari ruang Tat-mo, sekalipun
pertarungan mereka bukan pertan-dingan pedang, namun dengan
pemahaman yang diperoleh sepanjang pertarungan itu berlangsung,
kepesatan ilmu silat yang diperoleh Lan Giok-keng saat ini boleh
dibilang jauh diatas kemampuannya dulu.
Begitu menyaksikan Lan Giok-keng dapat menggunakan ilmu
pedang sedemikian hebatnya, Hwee-ko merasa kegirangan
setengah mati, namun dibalik rasa gembira, diam-diam dia pun
berpekik, "Sayang!" pikirnya, "Kepintaran bocah ini memang lain
daripada yang lain, hanya sayang dia masih kekurangan
pengalaman, coba kalau dia menunggu sebentar lagi, sampai wanita
siluman itu berjalan mendekatinya baru melancarkan serangan,
besar harapan perempuan itu tidak bisa meloloskan diri lagi.”
Dengan perasaan kaget bercampur ragu Siang Ngo-nio melompat
mundur ke belakang, kemudian menyelinap ke balik penyekat
ruangan.
Dalam pada itu Hwee-ko merasakan kepalanya makin lama makin
bertambah pening, buru-buru teriaknya, "Mau menangkap bajingan,
bekuk pentolannya lebih dulu.”
Dalam Toan-hun-kok, Han Siang adalah tuan rumah, kalau bisa
membekuk Han Siang tentu saja manfaatnya jauh lebih besar
ketimbang membekuk Siang Ngo-nio. Selain itu kungfu yang dimiliki
Han Siang masih sedikit di bawah Siang Ngo-nio, itu berarti
kesempatan untuk berhasil jauh lebih besar.
Hwee-ko bisa berpikir ke situ, begitu pula dengan Lan Giok-keng.
Dengan cepat dia mengambil keputusan dan langsung menerkam ke
arah Han Siang.
Melihat datangnya ancaman, Han Siang dengan jurus Wan-kiongTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/

si-tiau (Menarik gendawa memanah rajawali) segera mengancam
jalan darah Sam-yo-hiat di tekukan lengan Lan Giok-keng, cepat
bocah itu membalik pedangnya balas membacok.
"Serangan bagus!" bentak Han Siang.
Sambil menekuk lutut dan memutar arah, Dia menggunakan ilmu
Ki-na-jiu-hoat balas mengancam lengan lawan.
Saat itu jurus serangan Lan Giok-keng sudah terlanjur digunakan
hingga puncak, tampaknya susah baginya untuk meloloskan diri dari
cengkeraman tersebut.
Hal ini bukan disebabkan ilmu silat Han Siang jauh lebih baik dari
Siang Ngo-nio, melainkan karena dia sudah melihat kerugian yang
diderita perempuan itu maka jauh sebelumnya sudah membuat
persiapan.
•mi.... -> " * '
Bagaimana pun, yang menonton dari samping arena dapat
melihat situasi jauh lebih jelas, disaat dia sangka bakal peroleh
kemenangan itulah tiba-tiba terdengar Siang Ngo-nio berteriak
keras, "Kokcu, hati-hati!"
Belum habis dia berkata, mata pedang Lan Giok-keng yang
sesungguhnya sudah berada pada posisi tidak mungkin membalik
itulah tiba-tiba memercikkan bunga pedang, kemudian dari arah
yang sama sekali tidak diduga Han Siang mendadak menusuk
masuk.
Dalam gugupnya cepat-cepat Han Siang menekuk pinggang
sambil membuang tubuhnya nyaris menempel diatas tanah, meski
cukup cepat dia berkelit hingga bagian tubuhnya yang mematikan
berhasil terlindungi, tidak urung ujung pedang Lan Giok-keng
sempat menusuk juga tubuhnya.
Han Siang merasakan tengkuknya tersambar angin dingin,
dengan perasaan bergidik pekiknya dalam hati, “Mampus aku kali
ini!"


Diluar dugaan, ternyata dia tidak merasakan kesakitan. Ternyata
babatan pedang dari Lan Giok-keng itu hanya menyambar lewat
nyaris menempel diatas bahunya, akibat babatan tersebut hanya
selapis kulit tubuhnya saja yang tersayat.
Sementara itu Lan Giok-keng sendiripun diam diam menarik
napas dingin, pikirnya, "Coba kalau aku menggunakan tenaganya
dua bagian lebih besar, dia pasti terluka parah. Aaai, sungguh tidak
nyana kemampuanku demikian tidak becus!"
Bagaikan keledai malas yang menggelinding, Han Siang
menyingkir sejauh beberapa tombak dari arena pertarungan.
"Kokcu, jangan gugup,” terdengar Siang Ngo-nio berseru sambil
tertawa, "bocah itu sudah kehabisan tenaga.”
Ketika Han Siang bangkit berdiri, betul saja, dia jumpai Lan Giokkeng
hanya berdiri di tempat semula dan sama sekali tidak
mengejarnya. Namun sayang keadaannya sekarang sudah ibarat
burung yang kaget oleh panah, mana mungkin berani maju
kembali?
Dalam pada itu Siang Ngo-nio telah muncul kembali dari balik
sekatan, dengan lembut ujarnya, "Anak Keng, aku tidak bakal
mencelakaimu, asal mau memanggil ibu angkat kepadaku, bukan
saja aku akan segera menolongmu bahkan akan kuberikan juga
obat pemunahnya.”
Waktu itu Lan Giok-keng merasakan otaknya seperti mau
meledak, beratnya bukan kepalang. Namun meski sudah ingin tidur,
dia masih berusaha untuk mempertahankan diri, umpatnya, "Kau....
kau siluman perempuan.... bunuhlah aku, tidak nanti aku akan....”
Belum selesai bicara tiba-tiba terdengar suara benda berat yang
jatuh ke tanah, ternyata Hwee-ko Thaysu bagaikan sebatang balok
kayu sudah roboh terjungkal ke tanah.
Ternyata setelah menyaksikan racun yang berada dalam tubuh
Lan Giok-keng mulai bekerja, harapan pun pupus sudah, hawa
murni yang masih tersisa dalam Tan-tian pun otomatis membuyar,


hal ini membuat kesadarannya tidak dapat dipertahankan lagi.
"Hwee.... Hwee-ko Thaysu....” teriak Lan Giok-keng dengan suara
parau. Sayang dia tidak dapat mendengar suara teriakan sendiri, dia
sudah tidak mampu berteriak lagi.
Namun lamat-lamat dia seperti mendengar suara helaan napas
Siang Ngo-nio disusul ucapannya, " Aaaai.... dasar bocah yang tidak
tahu diri....!"
Mendadak pandangan matanya jadi gelap, dia pun roboh tidak
sadarkan diri.
"Han Kokcu,” sambil tertawa ujar Siang Ngo-nio, "kali ini mereka
benar-benar sudah pingsan, bukan pura-pura lagi, kau tidak usah
kuatir.”
Keadaan Han Siang sungguh mengenaskan, selain malu dia pun
merasa sangat kehilangan muka, sambil tertawa paksa katanya,
"Bocah ini selain pintar, nyalinya sangat besar. Terus terang saja
bukan hanya Ngo-nio saja yang menyukainya, meski aku sempat
tersayat oleh pedangnya, jujur saja, aku tetap tidak tega untuk
melukainya.”
Siang Ngo-nio mendengus.
"Sudah, tidak usah bicara yang bukan-bukan lagi, mari kita
kembali ke pokok persoalan. Aku telah membantu usahamu, lantas
apa balasanmu untukku?"
Sebenarnya dia menunggu tindakan Han Siang yang secara
otomatis menyerahkan Lan Giok-keng kepadanya, siapa tahu orang
itu hanya membungkam saja.
Diam-diam Siang Ngo-nio jadi jengkel, pikirnya, "Sudah jelas kau
tahu kalau aku menyukai bocah ini, tapi masih sengaja berlagak
pilon! Hmmm, paling tidak kau harusnya bilang begini,” kalau kau
begitu menyukainya, ambillah.”
Belum lagi ingatan itu melintas, tiba-tiba terdengar seseorang
berkata, "Jangan lupa masih ada aku!"


Bersamaan dengan bergemanya perkataan itu, dari balik sekat
ruang telah berjalan keluar seseorang, ternyata dia tidak lain adalah
Tonghong Liang.
Rupanya di dalam gua di balik gunung-gunungan itu terdapat
sebuah lorong bawah tanah yang langsung menembus ke ruangan
Huan-cui-kek ini.
"Ngo-nio, tidak nyana tanganmu begitu panjang hingga bisa
menjamah ke tempat ini. Mengagumkan, sungguh mengagumkan!"
sindir Tonghong Liang.
"Hmm, memangnya aku masih punya nilai untuk dikagumi?"
balas Siang Ngo-nio ketus.
"Bukan saja aku kagum karena tanganmu yang begitu panjang,
terlebih kagum lagi karena siasatmu yang begitu licik dan keji. Hey,
dengan cara apa pula kau bisa membiarkan si tua Tong memberi ijin
kepada-mu untuk keluyuran?"
Sewaktu berjumpa ditengah jalan tempo hari, Siang Ngo-nio
telah menderita kekalahan di tangan Tonghong Liang, bahkan
menderita kekalahan yang amat mengenaskan, sedikit banyak dia
merasa jeri juga menghadapi orang ini. Cepat sahutnya, "Kau tidak
usah mencampuri urusanku. Hmm, aku hanya ingin tanya, mau apa
kau datang kemari?"
"Sama seperti kau, datang kemari untuk menanyakan balas jasa
dari Han-Kokcu,” sahut Tonghong Liang sambil tersenyum.
"Tonghong Liang, hari ini aku tidak ingin membuat perhitungan
denganmu, tapi kau pun jangan mencoba mencampuri urusanku.
Tahukah kau, aku adalah sahabat karib gurumu, seandainya gurumu
berada disini pun, dia pasti akan memberi muka kepadaku.”
Kembali Tonghong Liang tertawa.
"Ke satu, sahabat lamamu kelewat banyak, aku tidak berminat
untuk mengetahuinya. Ke dua, aku tidak pernah mencampuri urusan
lama guruku. Ke tiga, sejak terjun ke dalam dunia persilatan, guruku
tidak pernah lagi mencampuri urusan pribadiku.”


Siang Ngo-nio benar-benar dibuat menangis tidak bisa tertawa
pun tidak mampu, hampir saja dia tidak tahan untuk melukainya
dengan racun, tapi setelah mendapat pelajaran tempo hari, dia
semakin sadar akan kehebatan ilmu silat Tonghong Liang, bahkan
sudah jauh mengungguli gurunya di masa lampau, maka dia tidak
berani bertindak gegabah. Sembari berpaling ke arah Han Siang,
ujarnya sambil tertawa dingin, "Han-Kokcu, permainan sandiwara
mu dengan Tonghong Liang benar-benar sangat hebat, bahkan aku
sendiripun nyaris terkelabuhi. Hehehe.... apakah sekarang kalian
akan bekerja sama lagi untuk menghadapi ku?"
Han Siang tertawa getir.
"Ucapan Ngo-nio terlampau serius, kalian berdua sama-sama
telah membantuku, mana mungkin aku akan pilih kasih?"
"Bantuan apa yang telah dia berikan kepadamu?" tanya Siang
Ngo-nio cepat.
"Tanpa dia, Hwee-ko Thaysu yang sudah menjadi pendeta di
biara Siau-lim ini mana mungkin bakal muncul di Toan-hun-kok?"
Kembali Siang Ngo-nio tertawa dingin.
"Aku tahu, dalam hal menipu orang, aku memang tidak sanggup
menandingi Tonghong Liang, tapi kalau hanya berhasil membohongi
pendeta itu hingga muncul disini, memangnya dia bakal
membantumu menyelesaikan cita-cita?"
"Benar, seandainya tiada bantuan dari Ngo-nio, kami pun tidak
mampu menghadapi hweesio itu. Maka dari itulah aku menaruh rasa
berterima kasih yang sama terhadap kalian berdua. Tolong kalian
sudi memandang wajahku dengan tidak melakukan benturan
sendiri, semua persoalan mari kita rundingkan secara baik-baik. Bila
kalian sudah memperoleh pemahaman, aku akan melaksanakan apa
pun keputusan itu. Tolong jangan menyusahkan diriku.”
"Baik, kalau memang hweesio itu datang karena tertipu olehnya,
kutinggalkan hwesio itu untuknya, sementara aku menginginkan
bocah she Lan itu.”


"Tidak,” tukas Tonghong Liang cepat, "hwesio itu untukmu, aku
minta Lan Giok-keng saja.”
"Kurangajar, aku toh seorang wanita, buat apa mendapatkan
seorang hweesio?"
"Hahahaha.... siapa tahu kau ingin mencicipinya.”
"Dasar sialan, mulut anjing memang tidak bakal muncul gading.
Lo-nio tidak sudi ribut denganmu. Tapi jangan kau sangka lo-nio
bisa dipermainkan sesuka hatimu!"
"Siapa yang sedang mempermainkan dirimu? Kalau kau tidak
maui hwesio, itu mah urusanmu sendiri. Lan Giok-keng adalah adik
angkatku, tidak nanti akan kuserahkan kepadamu.”
"Han-Kokcu, bagaimana menurut kau?" teriak Siang Ngo-nio
kemudian.
Han Siang angkat ke dua belah tangannya sambil menggeleng.
"Terus terang, aku tidak ingin menyalahi kalian berdua, namun
aku pun tidak ingin membantu pihak mana pun.”
"Han-Kokcu, jadi kau sangka aku tidak mampu mengalahkan
Tonghong Liang?"
"Lebih baik kalian berdua jangan sampai saling bertempur!"
"Han-Kokcu,” kembali Siang Ngo-nio berkata ketus, "kalau
memang kau enggan membantuku, lebih baik biarkan aku mati
disini saja!"
Sembari berkata dia sudah mencabut sebatang jarum beracun
dan mengarahkan ujung jarum yang tajam ke atas tenggorokan
sendiri.
"Ngo-nio, jangan!" teriak Han Siang.
"Apa salahnya biarkan aku mati? Bukankah lebih baik untukmu?
Hmm, biar kau enggan membantuku, ada orang pasti akan
membantuku!"


Tentu saja Han Siang mengerti siapa yang dimaksud "ada orang"
itu, pikirnya, "Tidak jelas ancamannya untuk bunuh diri itu
sungguhan atau hanya gertak sambal. Tapi seandainya dia benarbenar
mati di dalam Lembah pemutus sukma, kekasih gelapnya,
Tong ji-sianseng pasti akan datang kemari untuk membuat
keonaran.”
Sebagaimana diketahui, keluarga Tong dari wilayah Su-chuan
mempunyai julukan sebagai "keluarga senjata rahasia nomor wahid
dikolong langit". 'Tong ji-sianseng' Tong Tiong-san adalah anggota
keluarga Tong dari Su-chuan, kakaknya Tong Pak-san sudah
meninggal, itu berarti dewasa ini dialah orang dengan kedudukan
paling tinggi dalam keluarga Tong.
Jangan lagi Han Siang tidak bernyali untuk mengusiknya, bahkan
para Ciangbunjin dari pelbagai partai besar pun rata-rata menaruh
perasaan jeri terhadapnya.
Mimpi pun Han Siang tidak menyangka kalau Siang Ngo-nio bakal
membuat ulah, saking kagetnya dia sampai gugup dan panik tidak
karuan.
Tonghong Liang masih berdiri dengan mimik santai, hanya
ujarnya dengan nada hambar, "Ngo-nio, kau ingin merampas Lan
Giok-keng? Apakah tidak kuatir orang Bu-tong-pay akan mencarimu
untuk membuat perhitungan?"
Dengan berlagak serius sahut Siang Ngo-nio cepat, "Mati saja
tidak takut, apa lagi yang musti kutakuti?"
"Hahahaha.... betul, orang mati memang tidak perlu ditakuti, tapi
kalau ada orang tahu kalau kau bukan orang mati?" sindir Tonghong
Liang sambil tertawa terkekeh.
"Apa maksud perkataanmu itu?" seru Siang Ngo-nio, diam-diam
dia terperanjat.
"Aku tidak percaya kalau kau tidak mengerti, berani mendatangi
Toan-hun-kok bukankah lantaran kau sangka orang lain telah
menganggapmu mati? Orang yang sudah mati ditambah sedikit obat


perubah wajah, kau pun bisa berkeliaran dalam dunia persilatan
semau hati sendiri.”
Siang Ngo-nio tidak mengira rahasianya bakal dibongkar
Tonghong Liang, untuk sesaat dia berdiri termangu, berdiri tertegun
saking kagetnya.
Kembali Tonghong Liang tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... Ngo-nio, lebih baik tidak usah berlagak sok mati
lagi, mari kita bicarakan jual beli ini dengan lebih serius.”
Kemudian sambil berpaling ke arah Han Siang, ujarnya lebih
jauh, "Han-Kokcu, untuk sementara waktu kuserahkan hwesio tua
dan adik angkatku kepadamu, harap kau merawat mereka dengan
sebaik-baiknya, biar aku berunding dulu dengan Ngo-nio. Terlepas
apakah transaksi ini berhasil atau tidak, akupun tidak bakal
menyusahkan dirimu.”
Ibarat pucuk dicinta ulam tiba, cepat-cepat Han Siang berseru,
"Memang paling baik begitu.”
Segera dia perintahkan orang untuk menggotong pergi Hwee-ko
thaysu dan Lan Giok-keng, sementara dia sendiri ikut meninggalkan
ruang Huan-cui-kek dengan membiarkan Siang Ngo-nio dan
Tonghong Liang tetap berada ditempat.
Sepeninggal Han Siang, dengan perasaan ragu penuh curiga
Siang Ngo-nio baru bertanya kepada Tonghong Liang, "Sebetulnya
isu apa yang telah kau dengar sepanjang jalan?"
"Tidak ada, aku hanya berjumpa Bouw It-yu di tengah jalan.”
"Lantas kenapa?"
"Juga tidak apa-apa, aku hanya tahu kalau kau pun pernah
bersua pula dengan Bouw It-yu.”
"Apa saja yang telah dia katakan kepadamu?" kembali Siang
Ngo-nio bertanya, sementara di hati kecilnya berpikir, 'Bouw It-yu
adalah musuh bebuyutan Tonghong Liang, seharusnya tidak
mungkin dia akan beritahukan rahasiaku kepada Tonghong Liang'


Tampaknya Tonghong Liang dapat membaca jalan pikirannya,
segera ujarnya lagi, "Pokoknya kau tidak usah tahu siapa yang
memberitahukan kepadaku, pokoknya aku tahu kalau kau ingin
menggunakan siasat berlagak mati untuk mengelabuhi seluruh
dunia.”
Siang Ngo-nio adalah jago silat kawakan, betapa pun rasa takut
mencekam perasaan hatinya, perasaan tersebut tidak sampai
diperlihatkan keluar. Katanya ketus, "Monyet kecil, apa lagi yang
kau ketahui?"
Tonghong Liang tertawa terkekeh.
"Ngo-nio, aku dengar kau dengan Bouw Ciong-long, Ciangbunjin
baru dari Bu-tong-pay pun punya hubungan khusus, benarkah itu?"
"Bocah busuk, jangan ngaco belo....”
Belum selesai umpatan itu, Tonghong Liang telah menarik
kembali senyumannya dan berkata serius, "Ngo-nio, kau bukan
perempuan baik, akupun bukan lelaki budiman, mari kita bicara
blak-blakan, kalau tidak jual beli ini tidak perlu dibicarakan lebih
lanjut.”
Siang Ngo-nio terkesiap, sahutnya kemudian, "Baik, katakan lebih
lanjut.”
Kembali Tonghong Liang bersikap santai, ujarnya sambil tertawa,
"Ngo-nio, kau tidak kuatir orang orang Bu-tong-pay mencarimu
untuk menuntut balas karena selain telah berlagak mati dan
mengira Bu-si Tojin sekalian pasti dapat dikelabuhi, mungkin hal ini
dikarenakan Bouw Ciong-long pernah jadi kekasih gelapmu bukan?
Benar! Menurut kebiasaan, dia seharusnya teringat dengan
hubungan cinta kalian di masa lalu, tapi aku rasa kau harus
mewaspadainya juga!"
Makin didengar Siang Ngo-nio merasa semakin terkesiap,
pikirnya, Entah berapa banyak lagi yang dia ketahui?'
Dengan berlagak tidak acuh katanya, "Bocah busuk, kalau ada


perkataan cepat sampaikan, kalau ada kentut cepat lepaskan, kau
tidak usah menebak-nebak perasaan hati lonio.”
Kelihatannya Tonghong Liang lagi-lagi berhasil membaca suara
hatinya, setelah tertawa terbahak-bahak katanya, "Hahahaha.... apa
yang kuketahui tentang persoalanmu mungkin jauh diluar
perhitunganmu, aku pun tahu tentang kematian yang menimpa Bukek
tianglo dari Bu-tong-pay, walaupun bukan kau yang turun
tangan namun kasus pembunuhan ini ada hubungannya denganmu.
Aku bahkan tahu kalau kau lah pembunuh utama yang telah
menghabisi nyawa Ji-ouw thayhiap Ho Ki-bu!"
Biarpun Siang Ngo-nio berusaha menenangkan hati, tidak urung
berubah juga paras mukanya sesudah mendengar perkataan itu,
ujarnya getir, "Kalau kau tahu lantas kenapa? Bila aku takut dengan
gertakan orang, dari dulu sudah mati ketakutan, mana mungkin bisa
hidup hingga hari ini?"
"Ngo-nio, kau salah paham,” Tonghong Liang tertawa, "jika aku
berniat jahat kepadamu, tidak bakalan kuajak kau berunding soal
jual beli ini, aku tidak berniat menggertakmu, hanya ikut
mengkhawatirkan keselamat anmu.”
"Terima kasih banyak. Aku jadi ingin tahu dengan cara apa kau
ikut mengkhawatirkan aku?"
"Kedua kasus pembunuhan ini merupakan kejadian yang paling
memalukan bagi Bu-tong-pay, bila orang lain sampai tahu akan
keterlibatanmu, aku yakin Bouw Ciong-long sendiripun tidak bakal
bisa melindungimu. Itupun seandainya Bouw Ciong-long masih
teringat dengan hubungan cinta kalian dimasa silam, tapi bila demi
memperkokoh posisinya sebagai Ciangbunjin baru, siapa tahu dia
bakal mengorbankan dirimu.”
Sesungguhnya Siang Ngo-nio sendiri pun merupakan seorang
wanita berhati keji dan telengas, begitu mendengar ucapan
tersebut, dalam hati kecilnya dia segera mengakui kalau ucapan ini
ada benarnya juga.
"Bouw Ciong-long baru saja menjabat sebagai Ciangbunjin, dia


pasti akan berusaha melakukan jasa besar bagi partai Bu-tong,
dengan begitu posisi dan kekuasaannya baru semakin kokoh.”
Membayangkan sampai disitu, tanpa terasa Siang Ngo-nio
merasa amat bergidik, ujarnya kemudian, "Apakah kau punya cara
untuk mengajariku menghadapi Bouw Ciong-long?"
"Kata 'mengajari' tidak berani kuterima, kemampuanku pun tidak
bisa digunakan untuk menghadapi Bouw Ciong-long. Tapi kalau
ingin membuat Bouw Ciong-long segan kepadamu, itu mah tidak
susah.”
"Aku siap mendengarkan pendapatmu yang hebat.”
“Jangan dikatakan yang hebat, yang paling lemah pun aku tidak
punya!"
Siang Ngo-nio tertegun.
Belum sempat dia mengucapkan sesuatu, terdengar Tonghong
Liang telah berkata lebih jauh, "Kau harus tahu, untuk bisa
membuat Bouw Ciong-long segan kepadamu, kita tidak bisa hanya
mengandalkan pembicaraan saja. Tapi mengapa aku harus
mengatakannya kepadamu?"
"Ooh, rupanya kau hendak menggunakan hal ini untuk
melakukan barter denganku, aku musti lihat dulu apa yang kau
minta dan seberapa besar keuntungan yang akan kuperoleh?"
"Dalam jual beli ini sudah pasti kau berada dipihak yang di
untungkan. Asal kau bersedia menyerah kan Lan Giok-keng
kepadaku, bagimu ibarat sekali tepuk mendapat dua.”
Dapat membuat Bouw Ciong-long segan kepadanya telah
dikatakan Tonghong Liang sedari tadi, maka Siang Ngo-nio pun
bertanya, "Lalu apa pula yang ku peroleh lainnya?"
Tonghong Liang tidak langsung menjawab, dengan senyum tidak
senyum ujarnya, "Tahun ini Tong Ji-sianseng telah mencapai usia
tujuh puluh tahun an, masa hidupnya di dunia inipun tidak bakal
berapa lama lagi. Sekalipun tidak sampai mati, yang pasti dia akan


semakin tua. Aku yakin kau pasti mempunyai cara untuk
menundukkan dirinya bukan?"
"Apa maksudmu menyangkut pautkan persoalan ini dengan dia
orang tua?"
"Tidak ada maksud apa-apa, aku hanya ingin mengatakan bahwa
kehidupanmu dikemudian hari sudah pasti tidak perlu kuatir
kekangan dan peng-awasan dari Tong ji-sianseng lagi.”
"Hmm, sebelumnya pun aku tidak usah takut dikekang dan
diawasi dia,” dengus Siang Ngo-nio sambil tertawa dingin.
"Hahahaha.... bagus, kalau begitu aku boleh menyinggung
masalah pokoknya sekarang,” kata Tonghong Liang sambil tertawa,
"kita singkirkan masalah si tua bangka itu, aku ingin bertanya, bila
kau bisa mempunyai seorang gendak, kira-kira yang kau pilih Bouw
Ciong-long atau Ko Ceng-kim?"
"Cisss, kentut apa yang sedang kau hembuskan?"
"Sudahlah, tidak perlu berlagak pilon,” kembali Tonghong Liang
tertawa, "Ko Ceng-kim, murid pertama Ho Ki-bu dimasa lampau
tidak lain adalah Put-ji Tojin, tianglo yang baru diangkat di partai
Bu-tong, bukankah kalian pernah menjalin hubungan rahasia?"
Akhirnya sikap Siang Ngo-nio melunak, tanyanya, "Sebenarnya
apa yang ingin kau sampaikan?"
"Kalau bicara soal kedudukan, jelas Bouw Ciong-long lebih tinggi,
tapi bicara soal usia, Ko Ceng-kim jauh lebih muda. Aku rasa
mereka berdua sama-sama berat untuk ditinggalkan bukan? Tapi
kira-kira dari mereka berdua, siapa yang bersikap lebih baik
terhadapmu?"
Siang Ngo-nio hanya membungkam tanpa menjawab, sementara
dalam hati berpikir, "Rasanya ke dua orang itu sama saja. Samasama
tidak setia, tidak sayang, tidak menaruh perhatian lagi
kepadaku. Sudah sejak lama Bouw Ciong-long tidak berani
menyentuhku lagi, Ko Ceng-kim pun sudah enam belas tahun
menghindari aku.”


Tonghong Liang kembali melirik Siang Ngo-nio beberapa kejap,
lalu dengan senyum tidak senyum ujarnya, "Aku tidak tahu
bagaimana Ko Ceng-kim bersikap kepadamu, tapi menurut
pandanganku, bila kau ingin berhubungan mesra lagi dengan Bouw
Ciong-long, jelas hal ini lebih susah lagi untuk mencapainya!"
Merah padam selembar wajah Siang Ngo-nio lantaran jengah,
umpatnya, "Siapa bilang aku ingin bermesraan lagi dengan Bouw
Ciong-long? Kau sangka lantaran dia sudah jadi Ciangbunjin, maka
aku berniat menggaetnya lagi? Hmmm, sebejadnya lo-nio, tidak
bakal sampai sebejad itu!"
Tonghong Liang tertawa tergelak.
"Memang paling bagus bila kau lepaskan ingatanmu terhadap
Bouw Ciong-long. Berarti jual beli kita pun bisa dilanjutkan
pembicaraannya. Eeei.... Kenapa kau tidak bertanya, mengapa aku
begitu yakin kalau Bouw Ciong-long tidak bakal menerima cinta
kasihmu lagi?"
"Hmm, sejak awal aku memang tidak punya rencana untuk
berbuat begitu.”
"Kau tidak ingin mengetahui alasannya?"
Bersambung....
Ooo)*(ooO
JILID KE EMPAT
Lanjutan BAB X
Selama ini Siang Ngo-nio selalu percaya diri karena dia yakin
memiliki daya pikat untuk meluluhkan hati lelaki, tapi sekarang dia
sudah setengah umur, sedikit banyak muncul juga perasaan rendah
diri, tidak percaya diri. Sisi lain dari tidak percaya diri adalah gengsi,
karena alasan itu pula dia enggan menanyakan alasannya secara


detil.
Tidak berani bertanya bukan berarti dia tidak ingin tahu, karena
Tonghong Liang sudah berkata begitu maka dia pun berlagak
seolah-olah kehabisan daya dan berkata, "Baiklah, kalau begitu aku
ingin bertanya, mengapa dia bersikap begitu?"
"Hal ini disebabkan dia menyukai perempuan lain!"
Berlagak seolah tidak acuh kembali Siang Ngo-nio bertanya,
"Selama ini hubungannya dengan istri dia selalu rukun dan saling
menyayangi, tidak usah kau bilangpun aku sudah tahu, sayang
bininya telah meninggal.”
"Perempuan itu bukan istrinya. Jauh sebelum dia menikahi
istrinya sudah kenal akrab dengan perempuan itu, bahkan sempat
pacaran dengannya.”
"Mengapa dia tidak menikah dengan perempuan itu?"
"Waah, kalau soal itu mah aku kurang jelas, mungkin tidak
direstui orang tuanya. Tapi yang kuketahui, hingga sekarang rasa
cintanya terhadap perempuan itu belum pernah padam.”
"Siapa perempuan itu?" rasa cemburu mulai membakar perasaan
Siang Ngo-nio.
"Perempuan ini adalah seorang perempuan yang luar biasa.”
"Sebenarnya siapakah dia?"
"Kau tidak perlu tahu siapakah dia, tapi aku dapat
memberitahukan satu hal lagi kepadamu, bukan saja dia
mempunyai hubungan cinta dengan perempuan itu bahkan malah
mempunyai seorang keturunan!"
"Sungguh?" seru Siang Ngo-nio terperanjat.
"Jangankan kau tidak tahu, dikolong langit saat ini mungkin
hanya aku seorang yang mengetahui rahasia mereka! Bila rahasia
ini sampai terkuak atau terbongkar, dapat dipastikan akan terjadi
kehebohan yang luar biasa di dunia persilatan, dan yang terkena


imbasnya sudah pasti bukan hanya Bouw Ciong-long seorang!"
Sekarang Siang Ngo-nio baru paham, ujarnya kemudian, "Jadi
kau ingin menggunakan rahasia ini untuk barter denganku?"
"Benar. Dengan memegang rahasia ini sama artinya kau telah
membawa selembar Hu pelindung badan. Tidak perlu takut lagi dia
akan berbuat sesuatu kepadamu.”
Diam diam Siang Ngo-nio berpikir, "Benar juga, bila Bouw Cionglong
takut kubeber kan rahasia ini ke dunia luar, sekalipun dia tahu
kalau aku pun tersangkut dengan ke dua kasus pembunuhan itu,
tahu juga kalau aku sedang pura-pura mati, yakin dia tidak akan
berani membawaku balik ke gunung Bu-tong untuk di interogasi.”
Melihat perubahan mimik mukanya, Tonghong Liang segera
mendesak, '"Ngo-nio, sudah jelas dalam transaksi ini kau berada di
pihak yang diuntungkan, kenapa musti ragu ragu?"
"Tidak benar!" tiba-tiba Siang Ngo-nio berteriak. "Apanya yang
tidak benar?"
"Pertama, darimana aku tahu kalau ucapanmu jujur atau tidak,
buktinya siapa nama perempuan itu pun kau enggan
memberitahukan kepadaku! Kedua, kalau toh benar, memangnya
Bouw Ciong-long tidak tahu cara membunuh orang untuk
membungkam mulut saksi?"
"Kesatu, kau bersedia untuk bertransaksi denganku, tentu saja
akan kuberitahukan hal yang lebih banyak lagi, bahkan akan
kuserahkan sebuah tanda pengenal sebagai tanda bukti. Kedua, jika
dia tahu kalau dengan membunuhmu pun tidak mungkin bisa
membungkam mulutmu, sudah pasti dia tidak akan berani
membunuh! Dengan kecerdasan otakmu, masa cara yang begini
sederhana pun tidak terpikirkan?"
"Benar juga,” kembali Siang Ngo-nio berpikir, "aku bisa saja
beritahu kepadanya kalau sudah kusiapkan surat wasiat yang
disembunyikan di rumah keluarga Tong, bila aku sampai mati maka
semua rahasianya akan terungkap.”


Terdengar Tonghong Liang berkata lebih lanjut, “Yang kau
katakan hanya ke dua, padahal yang ingin kukatakan masih ada ke
tiga nya. Ke tiga, dengan benda yang kuberikan kepadamu itu,
begitu dilihat dia segera akan tahu kalau kau sudah mempersiapkan
langkah akhir, kujamin dia tidak bakalan berani membunuhmu!"
"Benda apakah itu? Masa mempunyai daya pengaruh sehebat
itu?"
"Asal kau setujui jual beli ini, tentu saja akan kuserahkan benda
itu kepadamu.”
Kembali Siang Ngo-nio termenung sambil berpikir beberapa saat,
tiba-tiba dia menggeleng.
"Apa lagi yang kau khawatirkan?" tanya Tonghong Liang.
"Aku masih belum tahu benda apa yang akan kau serahkan
kepadaku, lagipula aku merasa berat hati untuk menyerahkan Lan
Giok-keng kepadamu.”
Kontan saja Tonghong Liang tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... kalau begitu lebih baik aku bicara blak-blakan saja
denganmu! Kau bukannya merasa berat hati untuk menyerahkan
Lan Giok-keng kepadaku, yang benar kau ingin menggunakan bocah
itu sebagai sandera.
Ko Ceng-kim adalah ayah angkatnya, bila kau telah menjadi ibu
angkatnya, sudah pasti Ko Ceng-kim tidak bakalan tidak menuruti
kemauanmu, tapi coba kau bayangkan, Bouw Ciong-long sudah
menjadi Ciang-bunjin Bu-tong-pay, sekalipun Ko Ceng-kim masih
menaruh hati kepadamu, memangnya dia masih berani melakukan
langkah-langkah salah! Rasa takutnya terhadap Bouw Ciong-long
jauh melebihi rasa takutnya terhadap dirimu, sekalipun kau berhasil
mendapatkannya sebagai anak angkat, hal ini tidak bakal membantu
banyak! Tapi sebaliknya, bila kau dapat mengenda likan Bouw
Ciong-long, justru dia malah bisa membantu dirimu, agar kaupun
mendapatkan juga Ko Ceng-kim.”
Akhirnya sambil menggertak gigi ujar Siang Ngo-nio, "Baik, akan


kupertaruhkan! Kuserahkan bocah ini kepadamu, serahkan juga
benda yang akan kau berikan kepadaku!"
Tonghong Liang segera mengeluarkan sebuah cincin dan
diserahkan ke tangan Siang Ngo-nio.
Setelah menerimanya sengaja Siang Ngo-nio berkata, "Bahannya
mah lumayan juga, tapi aku tidak melihat sesuatu yang sangat
istimewa.”
"Kau jangan pandang enteng cincin itu, asal kau kenakannya di
jari tangan, kujamin Bouw Ciong-long tidak bakalan berani
mencelakai dirimu.”
"Oooh, berarti cincin ini mempunyai asal usul yang luar biasa.”
"Bouw Ciong-long pernah menghadiahkan sebuah cincin kepada
kekasih hatinya sebagai tanda tunangan, cincin itu mirip sekali
dengan cincin tersebut.”
"Sekalipun mirip sekali, toh tetap barang palsu.”
“Asal kau bisa membuat dia tahu kalau rahasianya telah kau
ketahui, asli atau palsu sama sekali tidak ada bedanya.”
Seketika itu juga Siang Ngo-nio merasa masgul, dia merasa
kuatir namun takut juga kehilangan, akhirnya dengan setengah
percaya setengah tidak katanya, "Yang aku ketahui hanya secuwil,
mana mungkin bisa meyakinkan dia?"
"Bila seseorang tidak ingin rahasianya ketahuan orang lain, sudah
pasti dia sendiripun tidak ingin mengungkitnya kembali. Apalagi
hubunganmu dengan dirinya pun terjalin luar biasa, meski dihati
kecilnya mungkin masih ada keraguan, tidak nanti dia akan
menginterogasi mu, paling banter dia hanya bertanya: darimana kau
dapatkan cincin itu?"
"Lalu bagaimana aku harus menjawab?"
"Tidak perlu dijawab, cukup diingat saja dua bait syair ini.”
"Aku harus membacakan syair?"


"Mudah diingat, dengarkan baik-baik.
Apa daya bunga berguguran, serasa kenal walet terbang
kembali.”
Siang Ngo-nio ikut membaca syair itu berulang kali, kemudian
ujarnya, "Apakah kedua bait syair itu ada asal usulnya?"
"Apa yang kau tanyakan sudah kelewat banyak! Bila masih tak
percaya, lebih baik kita batalkan saja jual beli ini!"
Siang Ngo-nio segera berpikir, "Bila kubatalkan transaksi ini,
dengan kepandaian yang kumiliki pun rasanya tidak mungkin bisa
merebut kembali Lan Giok-keng dari tangannya.”
Berpikir sampai disitu, terpaksa dia menjawab, “Baiklah, kali ini
aku akan mempercayaimu. Bila Lernyata kau menipu, akupun dapat
membeberkan semua rahasiamu. Aku pikir, kau pun tidak ingin
orang lain tahu bila Lan Giok-keng sudah terjatuh ke tangan-mu
bukan!"
Tonghong Liang tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... setali tiga uang, sekarang kau boleh pergi dari sini,
semoga semua harapanmu terkabulkan.”
Siang Ngo-nio tertawa, katanya pula, "Dari tangan Lan Giokkeng,
kau pun bakal mendapatkan ilmu pedang Bu-tong-pay,
manfaat yang diperoleh tidak kecil juga. Baik, setali tiga uang,
akupun mengucapkan semoga harapanmu terkabul.”
Bayangan tubuh Siang Ngo-nio sudah lenyap dari pandangan
mata, namun sorot mata Tonghong Liang masih diarahkan ke
tempat kejauhan.
Sambil berdiri termenung, gumamnya, "Apa daya bunga
berguguran, serasa kenal walet terbang kembali....”
Kemudian pikirnya kembali, “Apa daya bunga berguguran, aku
belum merasakan bagaimana rasanya keadaan seperti ini, aku pun
tidak ingin mengalami, serasa kenal walet terbang kembali....”


Sementara dia masih termenung, tampak Han Siang telah
berjalan keluar dari lorong bawah tanah, sambil tersenyum
tanyanya, "Perempuan beracun itu sudah pergi?”
"Kau tidak usah kuatir, masing-masing sudah peroleh
keuntungan, transaksi pun telah berjalan lancar, dia tidak bakal
datang mencari gara-gara lagi.”
Tiba-tiba Han Siang berkata, "Aku benar-benar tidak habis
mengerti, mengapa kau bersedia membantu aku....”
Bicara sampai disini dia segera berhenti sejenak sambil
mengamati perubahan muka Tonghong Liang.
Pemuda itu segera tersenyum, ujarnya, "Aku rasa semua
pembicaraanku dengan Siang Ngo-nio tadi telah kau dengar semua
bukan? Karena itu kini kau sudah mengerti!"
"Maaf, aku sama sekali tidak bermaksud mencuri dengar
pembicaraan kalian. Tapi ada satu hal aku tidak habis mengerti,
bukankah Lan Giok-keng adalah adik angkatmu? Kalau hanya ingin
bertukar ilmu silat dengannya, aku rasa tidak perlu memakai cara
semacam ini bukan?"
Tonghong Liang jadi terbungkam dan tidak sanggup menjawab.
Dengan berlagak sok pintar kembali Han Siang melanjutkan,
"Siau-lim, Bu-tong memang bersumber dari satu, kau kuatir dia
tertahan di biara Siau-lim untuk belajar ilmu hingga tidak bisa keluar
lagi, ataukah karena kuatir orang-orang Bu-tong-pay mengetahui
hal ini hingga melarang Lan Giok-keng berhubungan denganmu?"
"Kau senang menduga macam apa, anggap saja begitu, maaf
aku tidak bisa menjelaskan,” kata Tonghong Liang dengan wajah
senyum tidak senyum.
"Terlepas karena alasan apa pun, yang pasti kau telah
membantuku. Untuk pertolongan ini, sudah sepantasnya aku musti
berterima kasih kepadamu. Tapi balasan seperti apa yang kau
inginkan?"


"Sejak awal toh aku sudah bilang, tidak perlu balasan darimu.”
"Saudara Tonghong, ilmu silatmu hebat, masih muda dan punya
kemampuan, Liok Ki-seng sekalian pun merupakan bekas anak buah
pamanmu dimasa lampau, bila kau bersedia jadi Liok-lim Bengcu,
aku orang she Han dengan rela dan suka hati akan mendukungmu!"
Tonghong Liang kontan tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... menurutmu aku bisa bertampang seorang Liok-lim
Bengcu? Lagipula aku pun tidak punya waktu jadi pentolan bandit!
Hehehe.... terima kasih kau telah mengingatkan, ada satu hal aku
belum berhasil membantumu, tapi kau tidak usah kuatir, cepat atau
lambat lencana emas itu pasti akan kuserahkan kepadamu. Tapi kau
tidak boleh mendesakku!"
Walaupun dihati kecilnya merasa sangat girang, di luaran Han
Siang berpura-pura kaget dan gugup, cepat serunya, "Tonghong
Siauhiap, kau jangan salah paham, aku bukannya sengaja
menyinggung urusan ini dengan maksud mendesakmu. Aku benarbenar
berterima kasih kepadamu, berterima kasih dengan setulus
hati....”
Cepat Tonghong Liang mengulapkan tangannya menukas
perkataannya yang belum selesai, ujarnya, "Aku sudah tahu,
maksud baikmu biar kuterima dalam hati. Sekarang aku hanya
minta kepadamu untuk melakukan satu pekerjaan.”
"Silahkan diperintahkan.”
"Laksanakan segala sesuatunya sesuai dengan rencana yang
telah kuatur, perlakukan Hwee-ko Thaysu dan adik angkatku secara
baik-baik. Sekarang coba kau tengok, apakah mereka telah sadar?"
"Siauhiap tidak usah kuatir, aku pasti akan merawat adik
angkatmu sesuai dengan keuntungan yang bakal diperoleh.”
Sewaktu mengucapkan perkataan itu, sekulum senyuman licik
segera tersungging di ujung bibirnya.
Mengawasi bayangan punggungnya masuk ke lorong bawah


tanah, tanpa terasa timbul perasaan menyesal di hati kecil
Tonghong Liang, pikirnya, 'Adik Keng, sebetulnya aku tidak ingin
menipumu lebih jauh, tapi sekarang keadaan mendesak, aku benarbenar
apa boleh buat. Siapa suruh ilmu pedang Bu-tong-pay begitu
hebat hingga membuatku tergila-gila, siapa suruh aku tidak mampu
melawan godaan ini? Aaai, bagaimana pun toh dia telah mencurigai
aku, sama seperti seorang hwesio makan daging, sekali berdosa,
dua kali pun tetap berdosa, jadi mencuri satu jurus atau sepuluh
jurus sebetulnya memang tidak ada bedanya!'
Ternyata dia adalah seseorang yang gila ilmu silat, selama
berlatih bersama selama tujuh hari dengan Lan Giok-keng, dia telah
berhasil mempelajari beberapa jurus ilmu pedang bocah itu.
Sekalipun begitu, dia merasa beberapa jurus ilmu pedang yang
dipelajarinya itu seakan belum berhasil dipahami benar-benar,
semakin dia mempelajari rahasia ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat,
dia semakin merasa kalau ilmu tersebut tidak terkirakan dalamnya.
Seperti orang yang sudah keranjingan sesuatu, begitu mulai
kecanduan, sulitlah baginya untuk melepaskan diri lagi.
Akan tetapi perangkap yang diaturnya saat ini bukan seratus
persen dikarenakan dia ingin mencuri belajar ilmu pedang dari Lan
Giok-keng.
Rembulan telah muncul diangkasa, memandang bunga di bawah
sinar rembulan selalu menimbulkan keindahan yang luar biasa.
Semasa masih berada dalam lembah seratus bunga, Seebun Yan
paling senang mengajaknya menik-mati bunga di bawah sinar
rembulan.
Walaupun kebun bunga yang berada dihadapannya sekarang
adalah kebun bunga yang ditata dengan tenaga manusia, namun
kebun alami di Pek-hoa-kok terasa jauh lebih menawan.
Aaai, dia merasa bersalah bukan terhadap Lan Giok-keng seorang
saja!
Sambil menghela napas pikirnya, 'Bibi, kau jangan salahkan aku


yang telah membeberkan rahasiamu, kalau tidak begitu, tidak nanti
aku mampu menghadapi Bouw Ciong-long. Aku telah bersumpah
dihadapan suhu, harus berhasil mengalahkan jago paling lihay dari
Bu-tong-pay, kalau melawan dengan tenaga tidak berhasil, apa
salahnya aku kalahkan mereka dengan akal?'
Ternyata semua rencana yang dia susun selama ini, termasuk
meminjam tangan Siang Ngo-nio untuk menghadapi Bouw Cionglong,
merupakan bagian dari rencana besarnya untuk menghadapi
Bu-tong-pay, dia ingin mewujudkan harapan tiga generasi
perguruannya untuk menjatuhkan kehebatan pihak Bu-tong.
Kemudian dia mencoba menghibur diri, Aku rasa cinta bibi
terhadap Bouw Ciong-long belum pupus, entah bagaimana perasaan
paman di alam baka? Apalagi Bouw Ciong-long lah yang menyalahi
bibi lebih dahulu. Bibi, apa yang kulakukan selama inipun antara lain
untuk membalaskan sakit hatimu!'
Tapi bagaimana penjelasannya terhadap Seebun Yan?
Sambil tertawa getir terpaksa pikirnya, 'Piaumoy, kau pun jangan
salahkan aku, bukan-kah pernah aku katakan, telur angsa tak boleh
ditaruh dalam satu keranjang!'
Entah berapa lama sudah lewat, Lan Giok-keng seolah mendapat
mimpi buruk, dia tersadar dari mimpinya.
Pandangan matanya terasa sangat gelap, dia tahu saat ini dirinya
sedang terkurung dalam sebuah ruang gelap.
Setelah berhasil menenangkan diri, lamat lamat ia seperti
mendengar suara seseorang sedang bernapas. "Siapa disitu?"
Saat i tulah terdengar orang itu berkata pula, “Anak Keng, kau
telah sadar.”
"Hwee-ko Thaysu, rupanya kau,” seru Lan Giok-keng kegirangan,
"bagaimana keadaan Tonghong toako?”
“Aku tidak tahu, akupun baru tersadar."
Lambat laun pandangan mata Lan Giok-keng dapat


menyesuaikan diri dengan keadaan disana, ternyata ruangan itu
tidak gelap sama sekali, walaupun ke empat dinding batu itu tidak
berjendela, namun dari sela-sela dinding masih tampak cahaya
lemah yang menyusup masuk.
Setelah berusaha konsentrasi, kini dia dapat melihat kalau Hweeko
sedang duduk bersila.
Dengan suara keras diapun berteriak, "Dasar bandit busuk,
mengapa kalian mengurungku disini!"
"Tidak ada gunanya,” cegah Hwee-ko sambil terbatuk, "mau
teriak sampai serak suaramu pun jangan harap mereka akan
perdulikan dirimu.”
Siapa tahu baru selesai perkataan itu diucapkan, mendadak dari
atas dinding batu terbuka sebuah lubang kecil, kemudian ada orang
mendorong masuk sebuah kotak persegi panjang, ketika Lan Giokkeng
membuka penutup kotak itu, ternyata isinya adalah nasi,
hidangan serta sepoci arak yang tamnpak masih panas.
Kontan saja Lan Giok-keng mengumpat, "Aku bukan tawananmu,
tidak sudi makan nasi penjara!"
Orang yang berada diluar segera menyahut sambil tertawa,
"Sauya ini susah amat diladeni, ayam goreng yang wangi, nasi putih
yang harum masih dianggap makanan penjara? Aku mendapat
perintah dari Kokcu untuk secara khusus menghantar kemari, mau
makan mau tidak, terserah!"
Mungkin lubang kecil itu segera ditutup kembali oleh orang yang
berada diluar, suasana dalam ruang penjara kembali dicekam dalam
kegelapan.
"Sudah, jangan marah,” Hwee-ko Thaysu segera menghibur,
"kalau kau enggan makan, tubuhmu pasti semakin lemah.”
Lan Giok-keng memang merasa agak lapar, maka ujarnya,
"Kokcu bajingan ini licik dan banyak akal, apalagi dibantu
perempuan siluman itu, darimana kita tahu kalau hidangan yang
mereka hantar tidak dicampuri racun?"


"Bagaimana pun juga, kita sudah terkena racun dari siluman
wanita itu, jadi semisal keracunan lagi, paling banter keadaannya
tidak jauh berbeda dengan keadaan kita sekarang, tidak sanggup
mengeluarkan tenaga. Aku tidak yakin akan mengalami keadaan
lebih tragis.”
Saat itu Lan Giok-keng sudah tidak segusar tadi, begitu dipikir
apa yang dikatakan Hwee-ko benar juga, maka dia pun manggutmanggut.
Semisal pihak lawan berniat mencelakainya, memang
mereka tidak perlu meracuni lagi kini.
"Menurut pendapatku,” ujar Hwee-ko Thaysu kemudian,
"Seebun-hujin pasti akan berusaha untuk menyelamatkan Tonghong
Liang, jadi buat kita bukannya tiada harapan untuk lolos dari
kurungan. Tapi bila kau enggan mengisi perut, kuatirnya tidak bisa
menunggu hingga saat itu.”
"Betul juga perkataan Thaysu,” sahut Lan Giok-keng cepat.
Maka bersama Hwee-ko Thaysu, dia sikat semua hidangan yang
tersedia hingga ludas, sementara sepoci arak itu dinikmati pendeta
tersebut seorang diri.
Ketika selesai menghabiskan sepoci arak dan membuang jauh
jauh poci arak tersebut, sambil tertawa tergelak ujar Hwee-ko
Thaysu, "Seandainya tiap hari ada sepoci arak wangi untukku, biar
aku si hweesio harus duduk sampai mati disini pun tidak ada
salahnya juga....”
Lan Giok-keng tidak bisa menirukan sikap rekannya yang begitu
tenang tenteram, ketika perut sudah kenyang dan tenaganya
tumbuh kembali, dia mulai menggerakkan anggota tubuhnya untuk
melemaskan diri, kemudian dihampirinya dinding ruangan dan mulai
diraba.
Ternyata dinding itu tidak rata dan seakan terbuat dari batu
cadas alam, dia mencoba meminjam cahaya matahari yang
menyusup masuk lewat cerah untuk memeriksa bagian atas
ruangan, ternyata atap bangunan itupun tidak rata.


"Tampaknya ruang penjara yang dipakai untuk menyekap kita
adalah sebuah gua batu,” ujar Lan Giok-keng kemudian.
"Sudah, tidak usah banyak berpikir, sekalipun bukan dibangun
dari gua batu pun mustahil bagi kita untuk singkirkan batu besar
yang menyumbat pintu masuk itu.”
Lan Giok-keng terbungkam dalam seribu basa, pikirnya, 'Kalau
Seebun-hujin tidak muncul, atau semisal dia sudah datang namun
tidak tahu kalau aku dan Hwee-ko Thaysu terkurung disini, sampai
kapan kami baru bisa loloskan diri? Aaai, tampaknya satu-satunya
harapan tinggal Tonghong Toako, semoga saja dia bisa
menyelamatkan kami berdua'
Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali dia berpikir, 'Hweeko
Thaysu sudah berusia enam puluh tahun lebih, sementara aku
baru enam belas tahun. Buat dia mah tak masalah, masa aku harus
menghabiskan sisa hidupku dalam neraka yang gelap gulita ini?'
Saking jengkelnya dia hantam dinding batu itu keras keras.
"Blaaammm....!" pukulan itu menyebabkan kepalannya sakit
bukan kepalang. Nyaris dia mengucurkan air mata saking saki tnya.
"Aaai, akulah yang membuat kau turut menderita,” ujar Hwee-ko
dengan nada minta maaf.
"Aku sendiri yang ingin ikut, masa Thaysu yang disalahkan?"
sahut Lan Giok-keng, "aku hanya kesal, entah sampai kapan baru
bisa lolos dari kurungan ini.”
"Kalau toh sudah berada disini, buat apa musti dirisaukan,” kata
Hwee-ko Thaysu sambil kembali duduk bersila, "kekayaan,
kemuliaan bagai awan di angkasa, kesengsaraan, musibah bagai
impian. Ada tampak ibarat tidak ada muka, tidak perlu risau tidak
perlu murung.”
Di balik ucapan tadi terselip kata-kata rahasia yang pernah
diucapkan Sucouwnya, Lan Giok-keng seketika merasakan hatinya
tergerak, pikirnya, 'Dalam Sim-hoat tenaga dalam yang diajarkan
Sucouw, tampaknya ada pengungkapan tentang segala sesuatu


yang berkembang sewajarnya, bukankah ungkapan tersebut seperti
dua patah kata itu? Ehmm, seperti biar bukit Thaysan menindih
kepala, kuanggap bagai angin berlalu. Tidak terpengaruh oleh
musuh, kekuatan musuh justru dapat kugunakan. Betul, inilah kunci
dari ilmu dengan tenaga dua tahil menepis beban seribu kati. Masih
ada yang lain? Thay-kek berputar dengan garis bulat, tiada putus
tiada berhenti, niat ada di ujung pedang, bergerak saling
bersambungan. Aaai....
ternyata Kiam-koat dan Sim-hoat yang diajarkan Sucouw sangat
dalam dan luas artinya, sayang Tonghong toako tidak ada di
sampingku, hingga tidak ada yang ikut memberi petunjuk atas
beberapa bagian yang tidak kupahami'
Dari ucapan Hwee-ko Thaysu, dia mulai membayangkan Simhoat
tenaga dalam ajaran Sucouw nya, tentu saja Hwee-ko sendiri
tidak mengetahui akan hal itu, tapi bersamaan waktu tiba-tiba
hatinya tergerak, dia seperti teringat akan sesuatu yang belum
pernah terpikir kan sebelumnya, cepat dia bertanya, "Adik Keng,
apakah tadi pukulanmu yang menghantam di atas bebatuan?
Apakah tenaga murni mu sudah pulih kembali?"
"Masih selisih sangat jauh,” sahut Lan Giok-keng sambil tertawa
getir, "sebelum turun dari gunung Bu-tong, biarpun ilmu pukulan
lembek belum berhasil aku kuasai, namun kekuatanku sudah cukup
untuk memukul hancur bebatuan, tapi hari ini, aaai....”
Bicara sampai disitu iapun terbungkam, sebab gara-gara pukulan
tadi, kepalannya malah terasa begitu sakit tulangnya bagaikan mau
retak saja, tidak tahan diapun menghela napas.
"Bagaimana mungkin bisa kau membandingkan keadaan dihari
biasa,” kata Hwee-ko Thaysu, "kini kau sudah keracunan, coba
kalau kepalanku yang saling berbentur dengan bebatuan cadas itu,
mungkin tulang belulangku saat ini sudah retak dan hancur.”
"Mungkin saja hal ini disebabkan racun yang masuk ke dalam
tubuh Thaysu jauh lebih dalam.”
"Aku rasa bukan hanya itu alasannya, biarpun aku memang


keracunan hebat, tapi tenaga dalamku telah kulatih hampir empat
puluh tahun lamanya.”
Seperti ada yang dipikirkan, beberapa saat kemudian dia baru
melanjutkan sambil menghela napas, "Yang paling penting dalam
berlatih tenaga dalam adalah Sim-hoat, sudah puluhan tahun aku
berlatih tenaga dalam namun tidak pernah menyelami Sim-hoat
tingkat atas, karena itu meski tenaga dalamku jauh lebih sempurna
ketimbang kekuatanmu, namun begitu dipunahkan orang dengan
obat-obatan, maka kondisi ku akan lebih susah untuk memulihkan
kembali kekuatan ketimbang dirimu. Eehmm, sayang aku sudah dua
puluh tahunan menjadi hweesio dalam biara Siau-lim, namun kini
harus pergi dengan tangan hampa. Tahu bakal terjadi peristiwa
seperti hari ini, aku seharusnya minta petunjuk Sim-hoat tenaga
dalam dari Tong-sian Hong-tiang.”
"Padahal, aku sendiripun belum lama baru mendapat warisan
Sim-hoat tenaga dalam dari sucouw.”
Hwee-ko kembali menghela napas.
"Aaai, hal ini semakin terungkap bahwa Sim-hoat tenaga dalam
aliran Bu-tong-pay memang tidak terukur hebatnya. Bu-tong
bersumber dari Siau-lim, Thio-cinjin menciptakan Sim-hoat tenaga
dalam berdasarkan ilmu dari Siau-lim, tapi aku rasa kehebatannya
saat ini mungkin masih setingkat lebih hebat daripada Sim-hoat
tenaga dalam aliran Siau-lim.”
Tergerak pikiran Lan Giok-keng sesudah mendengar perkataan
itu, pikirnya, 'Hwee-ko Thaysu memiliki tenaga dalam yang
sempurna, asal dia bersedia melatih Sim-hoat tenaga dalam warisan
Sucouw, siapa tahu ilmu tersebut dapat membantunya lebih cepat
pulih seperti sedia kala. Tapi bila aku bicara terus terang, belum
tentu dia bersedia menerima tawaranku'
Maka segera ujarnya, "Hwee-ko Thaysu, dasar ilmu silatku
sangat cetek, apakah kau bersedia membantuku?"
"Bantuan apa?"


"Kalau dibicarakan sesungguhnya sangat memalukan, Sucouw
pernah mewariskan Sim-hoat tenaga dalam kepadaku, tapi sayang
tidak ada yang membantuku memberi penjelasan, selama dua bulan
terakhir aku sudah mencoba merabanya, sayang otakku kelewat
dodol hingga susah memahaminya dengan baik. Mau kah kau
memberi sedikit petunjuk kepadaku?"
"Kalau kau pun menganggap daya pencerahanmu jelek, siapa
lagi didunia ini yang memiliki daya pencerah an bagus. Tapi
memang harus diakui, teori Sim-hoat tenaga dalam memang sulit
dan dalam sekali artinya, biarpun kau pintar, selama dasar ilmumu
masih cetek memang tidak mudah untuk memperoleh pencerahan
dengan baik.”
Sambil berkata, dalam hati dia berpikir, 'Bocah ini mempunyai
daya pencerahan yang tinggi, bila aku dapat membantunya melatih
Sim-hoat tenaga dalam, sekalipun belum tentu bisa lolos dari
kurungan, mungkin kondisinya akan jauh lebih baik'
Dalam pada itu Lan Giok-keng telah berkata lagi, "Thaysu, aku
segera akan membaca isi Sim-hoat tenaga dalam itu, mohon kau
sudi memberi petunjuk.”
"Tidak masalah bila kau ingin membacanya, tapi harus diingat,
Sim-hoat tenaga dalam tidak boleh diajarkan kepada orang lain,
sekalipun orang itu punya hubungan yang paling akrab pun!"
"Aku tahu. Tapi aku butuh bimbingan dari Thaysu, atau janganjangan....”
Hwee-ko Thaysu tertawa tergelak, tukasnya, “Hahahaha....
karena ingin menghindari kecurigaan, kau kuatir aku tidak berani
mendengarkan Sim-hoat tenaga dalam dari perguruanmu? Kau
salah paham, aku tidak bermaksud begitu.”
"Benar, terkadang untuk menghindari pembicaraan masyarakat,
seseorang harus berusaha menghindar atau berkelit. Tapi Thaysu
adalah seorang pendeta suci, aku rasa kau tidak perlu bersikukuh
dengan pendapat semacam itu bukan.”


Kembali Hwee-ko tertawa.
"Tidak nyana kau si monyet kecil pun mengerti memberi topi
tinggi kepada orang lain. Tapi masalah ini tidak ada sangkut
pautnya dengan pandangan orang. Terus terang saja aku beritahu,
sekalipun aku bermaksud jahat, ingin menggunakan kesempatan ini
untuk mencuri belajar tenaga dalam perguruanmu, belum tentu
usaha ini akan membawa hasil, mengertikah kau?"
Lan Giok-keng merasa setengah paham setengah tidak, dia tidak
berani menanggapi.
"Aku lihat kau masih benar-benar tidak paham,” kembali Hweeko
Thaysu berkata, "aku ingin bertanya, lebih gampang menulis
diselembar kertas yang masih kosong atau menulis di selembar
kertas yang sudah dipenuhi tulisan?"
Kali ini Lan Giok-keng benar-benar paham, sahutnya sambil
tertawa, "Kalau lembaran kertas itu sudah dipenuhi tulisan, mana
mungkin kita bisa menulis lagi?"
"Aku sudah empat puluh tahunan berlatih tenaga dalam, bila
ingin berganti belajar tenaga dalam aliran lain, pertama-tama aku
harus melupakan dulu semua yang pernah kupelajari, kemudian
baru bisa belajar lagi dari awal, sama seperti selembar kertas yang
sudah dipenuhi huruf, kita harus membersihkannya dulu sebelum
bisa ditulisi kembali. Mungkin berlatih empat puluh tahun lagi pun
belum tentu akan berhasil, hahaha.... umurku mah tidak bakal
melewati seratus tahun.”
Sebenarnya Lan Giok-keng bermaksud membantu Hwee-ko
mempercepat pemulihan tenaga dalamnya, tapi sekarang dia baru
sadar kalau niat baiknya tidak mungkin bisa dilakukan. Akibatnya dia
jadi merasa tidak enak hati.
"Kau pernah mendengar perkataan yang mengatakan: Pagi
mendengar pelajaran, biar malam hari mati pun tidak siasia?"
"Kalau tidak salah, itu ucapan dari Khong Hu-cu?"
"Terlepas siapa pun yang mengatakan, maknanya tetap sama


saja. Biarpun aku tidak bisa mempelajari tenaga dalam
perguruanmu lagi, namun bisa mendengar Sim-hoat tenaga dalam
tingkat tinggi, perasaanku tetap akan gembira karena bisa
"mendengar pelajaran" baru.”
Siau-lim dan Bu-tong memang berasal dari sumber yang sama,
sekalipun selama banyak tahun berada di biara Siau-lim, Hwee-ko
belum pernah mempelajari tenaga dalam aliran Siau-lim, namun
sedikit banyak dia berhasil juga menyerap banyak rahasia dari ilmu
tersebut. Dengan sendirinya ke dalaman ilmu nya kini sudah jauh
melebihi kemampuan Lan Giok-keng.
Ketika bocah itu menanyakan setiap kesulitan yang dihadapinya
sewaktu mempelajari Sim-hoat tenaga dalamnya, satu per satu
Hwee-ko menjelaskan sambil memberi petunjuk.
Terkadang dia tidak bisa memberi jawaban seketika, setelah
berpikir semalaman, pada hari ke dua dia selalu berhasil
memberikan jawaban yang memuaskan untuk bocah itu.
Hidup dalam penjara gelap memang susah mengetahui jumlah
hari, namun makanan yang dikirim dari luar tetap berjalan sesuai
waktu. Pagi, siang, malam tiga kali hidangan selalu tiba tepat waktu.
Dari jumlah pengiriman inilah mereka memperkirakan beberapa hari
sudah lewat.
Di saat Lan Giok-keng mulai berlatih Sim-hoat tenaga dalam,
pada tiga kali pertama, kemajuan yang diperoleh sangat pesat,
dalam perkiraan tiga hari, kekuatan tenaga dalamnya telah pulih
dua bagian, tapi kemudian kemajuan yang dicapai semakin
melambat, pada hari ke tujuh, tenaga dalam yang berhasil pulih
baru mencapai dua bagian lebih, tiga bagian pun belum tercapai
penuh.
Sebab terjadinya keadaan tersebut memang tidak sulit ditebak,
hal ini dikarenakan dalam hidangan yang dihantar untuk mereka
telah dicampuri dengan sesuatu bubuk pelemas tulang. Kadar yang
dicampurkan kurang lebih bisa memunahkan bertambahnya tenaga
dalam yang berhasil dilatih Lan Giok-keng setiap harinya.


Sementara bagi Hwee-ko yang tenaga dalamnya sejak awal telah
punah, tercampurnya bahan pelemas tulang didalam hidangan sama
sekali tidak menimbulkan pengaruh apa pun.
Namun ada satu hal membuat Hwee-ko tidak habis mengerti, bila
tindakan Lan Giok-keng yang sedang berlatih tenaga dalam telah
diketahui Han Siang dan Siang Ngo-nio (dia sangka perempuan itu
masih berada disana), mengapa mereka tidak menambah kadar
bubuk pelemas tulang, agar usahanya mengalami kegagalan total?
Tapi tetap membiarkan bocah itu memperoleh sedikit kemajuan?
Walaupun alasannya tidak diketahui jelas, berhubung setiap hari
tetap diperoleh kemajuan, maka Lan Giok-keng pun berlatih lebih
jauh.
Ada satu hal lagi yang diluar dugaan mereka semua, yakni
pedang milik Lan Giok-keng ternyata tidak ikut dirampas.
Oleh sebab itu semasa berlatih tenaga dalam, Lan Giok-keng pun
mulai berlatih kembali ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat.
Dalam berlatih ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat, Hwee-ko tidak
mampu memberikan petunjuknya lagi.
Namun pendeta itu adalah seorang jago berilmu tinggi, sekalipun
dia tidak dapat memberikan petunjuk yang bermanfaat dalam ilmu
pedang, tapi dapat diketahui olehnya bahwa ilmu pedang Thay-kekkiam-
hoat mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Sim-hoat
tenaga dalam, ilmu pedang itu harus di dukung tenaga dalam dan
sewaktu berlatih pedang, harus berlatih juga tenaga dalam.
Hari ini, ketika Lan Giok-keng sedang berlatih jurus ke enam
hingga jurus ke delapan ilmu pedangnya, dia jumpai kesulitan.
Dengan mengandakan kemampu-an pencerahannya yang tinggi,
berulang kali dia melakukan perbaikan atas jurus pedang yang
pernah dipelajarinya dari ayah angkatnya, namun perbaikan yang
berulang kali masih juga tidak mendatangkan kepuasan.
Beberapa kali dia berusaha mengulang ke empat bait Kiam-koat
yang dimilikinya, "Thay-kek berputar dengan garis bulat, tiada putus


tiada berhenti, niat ada di ujung pedang, bergerak saling
bersambungan.”
Saking seriusnya dia berpikir hingga hidangan yang dikirimkan
hari itu lupa disantap.
Hwee-ko Thaysu ikut mengulang ke empat bait kiam-koat
tersebut, tiba-tiba ujarnya, "Menurut pendapatku, Kiam-koat dan
Sim-hoat perguruanmu ada saling keterkaitan, sayang teori Thaykek-
kiam-hoat kelewat dalam, sulit bagiku untuk memberi pendapat
ataupun gambaran, kalau tidak, asal ilmu pedangmu berhasil dilatih,
otomatis tenaga dalammu akan semakin lancar pula.”
Ternyata semakin dalam dia pelajari Sim-hoat tenaga dalam itu,
semakin banyak penemuan-penemuan baru yang diperoleh, rahasia
yang semakin dalam pun bermunculan.
Pada tahap pertama, Hwee-ko masih bisa bertindak sebagai guru
Lan Giok-keng, namun mencapai tahapan kedua, dia mulai merasa
berat dan pusing.
'Aaai, sayang tidak ada Tonghong toako.... ' pikir Lan Giok-keng.
Baru saja ingatan itu melintas, terdengar Hwee-ko sedang
bergumam pula sambil menghela napas, "Sayang mereka tidak
mengurung Tonghong Liang satu ruangan dengan kita.”
Mendengar itu Lan Giok-keng melengak, serunya tanpa sadar,
"Darimana kau tahu kalau Tonghong toako pun mengerti ilmu
pedang Thay-kek-kiam-hoat!" Hwee-ko ikut tertegun, cepat
tanyanya,
"Kalau begitu kau pernah mendapat petunjuk ilmu pedang dari
Tonghong Liang?"
"Benar. Dia pernah berlatih ilmu pedang bersamaku selama tujuh
hari, banyak manfaat yang kuperoleh waktu itu. Sayang selama
tujuh hari, aku hanya mampu memahami tujuh, delapan jurus.”
"Apakah waktu itu kau belum kenal dengan Tonghong Liang?"
"Benar, sampai saat berpisahan kami baru saling


memperkenalkan diri.”
"Aaai, kau kelewat gampang mempercayai orang lain.”
"Padahal jauh sebelum berjumpa aku, dia sudah pernah
menyaksikan ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat. Dia pernah naik ke
gunung Bu-tong dan bertanding pedang melawan guruku, kemudian
diapun pernah bertarung tiga jurus melawan Bu-beng Cinjin, Ciangbunjin
yang sekarang. Hanya waktu itu aku sudah turun dari
gunung Bu-tong hingga tidak berkesempatan menyaksikan
pertarungan ini.”
Dia kuatir Hwe-ko menuduh dia telah mengajarkan ilmu pedang
perguruannya kepada orang luar, maka segera memberikan
penjelasan.
"Tonghong Toako luar biasa pintarnya, belum pernah kujumpai
orang lain sepintar dia,” kata Lan Giok-keng lagi.
"Ucapanmu memang benar, meski aku belum pernah bertemu,
aku pun tahu kalau dia sangat cerdas.”
Dia tidak menjawab pertanyaan dari Lan Giok-keng, tapi bocah
itu menyangka Hwee-ko sudah tahu masalah Tonghong Liang yang
membuat keonaran di bukit Bu-tong sewaktu masih berada di biara
Siau-lim.
Dia pun merasa karena dirinya sudah angkat saudara dengan
Tonghong Liang, maka bukan satu kejadian yang aneh bila
Tonghong Liang memberi petunjuk ilmu pedang kepadanya.
Padahal darimana dia tahu kalau Hwee-ko bisa menebak
Tonghong Liang mengerti ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat dari
'sumber' yang lain, dan sumber tersebut berasal dari Seebun-hujin,
perempuan yang pernah membuatnya tergila-gila. Hanya saja saat
ini dia enggan menjelaskannya kepada Lan Giok-keng.
Sementara kedua orang itu masih dicekam oleh pemikiran
masing-masing, mendadak terdengar Han Siang berkata dari luar
ruangan, "Huuh, apa anehnya dengan Thay-kek-kiam-hoat? Kau
sangka hanya Tonghong Liang seorang yang bisa memberi petunjuk


kepadamu?"
"Baiklah,” sahut Lan Giok-keng sambil tertawa dingin, "kalau
begitu tolong Han Kokcu masuk kemari untuk memberi petunjuk
beberapa jurus kepadaku!"
Biarpun tenaga dalamnya belum pulih tiga bagian, namun dia
yakin masih sanggup mengalahkan Han Siang, paling tidak dengan
andalkan ilmu pedangnya, dia bisa memaksakan musuh terluka
bersama dirinya.
"Paling banter juga mampus, apa salahnya kalau akupun berhasil
menyarangkan sebuah tusukan ke tubuhnya,” demikian bocah itu
berpikir.
Han Siang segera tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha.... kalau hanya untuk memberi petunjuk kepada seorang
bocah ingusan macam kau, buat apa aku musti turun tangan
sendiri? Seorang anak buah ku pun sudah cukup untuk memberi
petunjuk kepadamu!"
Di tengah gelak tertawa Han Siang, tiba-tiba dari bagian atap
penjara itu terbuka sebuah lubang, kemudian terlihat seseorang
melompat turun ke bawah.
Sebagaimana dugaan mereka semula, ternyata penjara ini
berasal dari sebuah gua alam yang dirubah menjadi ruang tahanan.
Di atas gua itu telah dilengkapi dengan sebuah alat rahasia yang
dapat membuka dua buah batu raksasa dalam ukuran yang
dikehendaki, begitu tubuh seseorang melompat turun, pintu gua itu
segera menutup kembali.
Sewaktu pintu gua terbuka tadi, suasana di dalam ruang penjara
itu tampak jauh lebih terang, dapat dilihat pula kalau usia orang itu
tidak terlalu tua, dia mengenakan baju serba hitam dengan wajah
tertutup selembar kain hitam (Gb 11).
Dengan suara nyaring Lan Giok-keng menghardik, "Kau siapa?
Mengapa tidak berani bertemu aku dengan wajah aslimu?"


Orang itu sama sekali tidak bersuara, dia hanya perlahan-lahan
mencabut keluar pedangnya.
Terdengar Han Siang berteriak lagi dari luar gua, "Kau tidak usah
perduli siapakah dia, asal dapat memenangkan satu jurus saja dari
orang itu, aku segera akan membebaskan kalian berdua.”
"Baik, kau sendiri yang bilang. Ayoh mulai lancarkan
seranganmu!"
Manusia berkerudung itu menutulkan ujung pedangnya dua kali,
maksudnya sangat jelas, membiarkan dia turun tangan lebih dahulu.
Lan Giok-keng bukanlah pemuda yang tidak tahu diri, melihat
manusia berkerudung itu menunjukkan sikap seorang jagoan, dia
tidak berani pandang enteng. Sahutnya kemudian, "Baik, kalau kau
minta aku yang menyerang dulu, baiklah, aku segera akan
perlihatkan kejelekanku.”
Ujung pedangnya berputar membentuk satu lingkaran busur,
jurus pertama yang digunakan adalah jurus pembukaan dari Thaykek-
kiam.
Biarpun hanya jurus pembukaan, namun lingkar-an busur yang
terbentuk persis sama seperti teori yang berbunyi, "Thay-kek
berputar dengan garis bulat, tiada putus tiada berhenti.”
Kembali Lan Giok-keng berpikir, 'Aku tidak heran meski ilmu
silatmu jauh lebih tinggi, ingin kulihat dengan cara apa kau memberi
petunjuk atas Thay-kek-kiam-hoat ku'
Belum habis dia berpikir, orang itu sudah melakukan gerakan
balasan, diapun membuat satu lingkaran busur hanya arahnya yang
berlawanan, secara gampang tanpa membuang sedikit tenaga pun
dia punahkan jurus pembukaan dari bocah itu.
Lan Giok-keng sangat terperanjat, pikirnya, 'Ternyata orang ini
benar-benar mengerti ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat!'
Dari jurus pembukaan, dengan cepat dia merobah jadi jurus Ji-gisiang-
seng (dua kutub saling menghidupi), Su-siang-sun-huan


(empat unsur saling berputar), Lak-hap-kun-tong (enam unsur
bercampur baur), Pat-kwa-sun-huan (delapan unsur saling
berputar)....
Jurus demi jurus dia mainkan saling berhubungan dan benarbenar
melaksanakan apa yang dikatakan" niat ada diujung pedang,
bergerak saling bersambungan.”
Orang itu sungguh hebat, jurus dipatahkan dengan jurus,
gerakan dipecahkan dengan gerakan, sebentar tangannya membuat
lingkaran besar, sebentar lingkaran kecil, kemudian lingkaran lurus
dan lingkaran berlawanan, semua gerak lingkaran pedang yang
diciptakan selalu berhasil menggulung lingkaran pedang dari Lan
Giok-keng dan memunahkannya.
Bocah itu tidak tahu apa nama jurus jurus serangan yang
digunakan orang itu, namun dia sadar bahwa semua gerakan yang
dilakukan orang itu sesuai dengan teori yang berlaku dalam ilmu
pedang Thay-kek-kiam-hoat.
Atau dengan perkataan lain, semua jurus pedang yang dilakukan
orang itu secara sembarangan, justru lebih mencapai tingkatan
tanpa wujud tapi menimbulkan kesaktian.
Ooo)*(ooO
BAB XI
Belajar ilmu sakti dalam penjara,
Manusia berkerudung menciptakan jurus baru.
Lan Giok-keng semakin curiga, pikirnya, 'Heran, siapakah orang
ini? Tampaknya ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat yang dia mainkan
jauh lebih hebat dari Tonghong toako'
Mendadak dia menyadari akan sesuatu, dia merasa perawakan
orang ini mirip sekali dengan Tonghong Liang.


Hanya saja, tentu dia tidak menaruh curiga kalau manusia
berkerudung itu adalah penyamaran dari Tonghong Liang.
Dia keluarkan ke delapan jurus pedang yang pernah diperoleh
atas petunjuk dari Tonghong Liang itu, tapi satu per satu berhasil
dipecahkan manusia berkerudung itu secara mudah, caranya
memecahkan jurus itupun sama persis seperti cara yang pernah
digunakan Tonghong Liang.
Namun hingga detik itu Lan Giok-keng masih tetap tidak
menaruh curiga. Sebab anggapannya teori pedang itu sama saja,
kalau terjadi persamaan hal itu lumrah, kalau ada beda pun hal ini
lantaran pencerahan yang diperoleh setiap orang berbeda, bila
memahami teori pedang dari sudut pandang yang berbeda, sudah
pasti daya cipta yang terbentuk pun tidak sama.
Tanpa terasa Lan Giok-keng telah menggunakan hingga jurus ke
enam, jurus tersebut bernama Sam-coan-hoat-lun (tiga putaran
roda hukum), secara beruntun dia ciptakan tiga lingkaran pedang
dimana daya pengaruhnya gelombang yang satu lebih hebat dari
gelombang sebelumnya.
Tatkala Lan Giok-keng memutar sampai lingkaran pedang ke tiga,
tampaknya manusia berkerudung itu sengaja melakukan satu titik
kelemahan, mendadak lingkaran pedangnya menyusut kecil dan
membiarkan lingkaran pedang Lan Giok-keng menguasainya,
dengan semakin mengecilnya lingkaran pedang, tenaga gempuran
yang tercipta pun bertambah kuat.
Dengan jurus Cho-ci-lian-huan (mencabut dan memunah
berantai) dia puntir pedang Lan Giok-keng hingga nyaris terlepas
dari genggaman. Bahkan sewaktu sepasang pedang saling
membenturpun kembali pedang bocah itu nyaris terlepas.
Ketika manusia berkerudung itu gagal memelintir lepas pedang
ditangan Lan Giok-keng, tampaknya diapun merasa agak
tercengang hingga tanpa terasa berseru tertahan.
Hwee-ko yang menonton jalannya pertarungan sambil duduk
bersila tiba-tiba nyelutuk, "Menganiaya orang yang tIDak cukup


tenaga dalamnya, terhitung jagoan macam apa kau?"
Padahal Lan Giok-keng sendiripun sadar, sesungguhnya pihak
lawan hanya menggunakan sedikit tenaga dalamnya. Coba kalau
tadi pihak lawan mengeluarkan sepenuh kekuatan, baru bertemu
satu gebrakan saja mungkin pedangnya sudah berhasil dirontokkan
ke tanah.
Manusia berkerudung itu tidak membantah ataupun berdebat, dia
hanya mendengus.
Dalam pada itu Lan Giok-keng telah mengeluarkan jurus ke
tujuhnya, jurus ini bernama Tin-to-im-yang (memutar balikkan Im
dan yang), dalam satu jurus tersembunyi beberapa macam
perubahan.
Manusia berkerudung itu segera membentuk satu lingkaran
pedang untuk mengurungnya....”Plaaak!"
sepasang pedang saling membentur, kali ini pedang yang berada
dalam genggaman Lan Giok-keng tergetar hingga terjatuh ke tanah.
Yang membuat Lan Giok-keng terperanjat bukan lantaran
pedangnya yang terlepas, melainkan disaat terjadi benturan tadi,
dia segera mengetahui kalau pihak lawan hanya menggunakan
sebilah pedang kayu.
Sudah jelas tujuan pihak lawan adalah untuk menghindari agar
tidak sampai mencederai Lan Giok-keng, oleh sebab itu dia tidak
menggunakan senjata beneran.
Siapa sangka rasa kaget Lan Giok-keng sama sekali tidak di
bawah rasa kaget pihak lawan atas kemajuan yang telah dicapainya.
Ternyata sejak Lan Giok-keng berpisah dengan Tonghong Liang,
jurus serangan tersebut selain berhasil dipahami dengan daya
kemampuan sendiri, diapun berhasil menciptakan perubahan baru.
"Sungguh memalukan!" diam-diam manusia berkerudung
ituberpekik dalam hati, pikirnya lebih jauh, 'Ternyata
kemampuannya untuk mendalami ilmu jauh diatas kemampuanku,
aku saja tidak menyangka akan perubahan tersebut, bicara


sejujurnya, aku masih belum mampu menangkan dia dalam hal ilmu
pedang Thay-kek-kiam-hoat'
Ternyata dia pun sudah sangat hapal dengan jurus Tin-to-imyang
yang digunakan Lan Giok-keng itu, bahkan nyaris di luar
kepala. Dalam perkiraannya semula, dia sangka tanpa terjadi
benturan dengan pedang lawan pun, asal menggunakan kekuatan
hawa pedang untuk menggiring, niscaya senjata di tangan bocah itu
akan terlepas.
Siapa sangka secara tiba-tiba Lan Giok-keng melakukan sebuah
perubahan baru, akhirnya bentrokan senjata pun tidak terhindarkan.
Walau begitu, caranya menggunakan tenaga dalam masih
terhitung sangat pas, kekuatannya boleh dibilang hampir setara
dengan kekuatan yang dipakai Lan Giok-keng saat itu.
Coba kalau dia memakai tenaganya sedikit kelewatan, niscaya
Lan Giok-keng sudah terluka sejak tadi.
Untuk beberapa saat kedua orang itu hanya bisa saling
berhadapan dengan termangu.
Tiba-tiba terdengar Han Siang yang berada diatas gua berseru
sambil tertawa terbahak-bahak, "Bocah cilik, kau sudah takluk
bukan?"
Tergerak pikiran Lan Giok-keng, bantahnya, "Jurus Thay-kekkiam-
hoat ku paling baru dipakai tujuh jurus, apalagi pada jurus
yang terakhir, paling banter aku hanya kalah setengah jurus saja.”
"Apa maksud perkataanmu itu?"
"Masa kau tidak paham? Kalau tidak paham tanya saja ke dia!"
ejek Lan Giok-keng sambil tertawa, "eeeh, benar juga. Bukankah
kau bilang dia hanya anak buah-mu, masa kau yang jadi atasan
malah tidak paham?"
Semenjak masuk ke dalam ruang penjara itu, manusia
berkerudung tadi sama sekali tidak bersuara, kini dia sudah didesak
Lan Giok-keng hingga mau tidak mau harus berbicara (semisal dia


benar benar anak buah Han Siang).
Tapi orang itu tetap membungkam dalam seribu bahasa, tidak
mengakui, pun tidak menyangkal.
Tampaknya Han Siang cukup mampu mengendali kan emosinya,
sambil tertawa tergelak katanya, "Tidak masalah bila kau tidak puas,
besok dia akan datang lagi. Aku rasa hari ini sampai disini saja
dulu!"
Sepeninggal manusia berkerudung itu, Lan Giok-keng berkata
kepada Hwee-ko, "Sungguh aneh, kenapa dalam Lembah pemutus
sukma bisa terdapat tokoh silat yang mengerti ilmu pedang Thaykek-
kiam-hoat? Aku rasa dia pasti bukan anak buah Han Siang.”
Hwee-ko Thaysu seperti sedang memikirkan sesuatu, sampai
lama kemudian dia baru membuka matanya seraya menyahut,
"Akupun merasa agak aneh.”
"Hwee-ko Thaysu, pengetahuanmu sangat luas, apakah sudah
kau ketahui asal usul orang itu?"
"Aku tidak paham rahasia dari ilmu Thay-kek-kiam-hoat, akupun
tidak bisa menebak asal usulnya. Hanya satu hal yang kuketahui,
kelihatannya dia tidak bermaksud jahat kepadamu.”
"Benar, sebenarnya dia dapat melukaiku, tapi yang dia gunakan
hanya sebilah pedang kayu.”
Hwee-ko manggut-manggut membenarkan.
"Kalau memang begitu, tidak ada salahnya bila kau minta
petunjuknya.”
"Ada satu hal yang tidak kupahami, mengapa Han Siang harus
mencari orang semacam ini untuk mengajak ku bertanding
pedang?"
"Apakah kau menaruh curiga kalau tujuan orang ini adalah ingin
mencuri belajar ilmu pedangmu?"
"Tapi Thay-kek-kiam-hoat yang dia miliki masih jauh lebih hebat


daripada kepandaianku.”
Hwee-ko Thaysu termenung sesaat, tiba-tiba dia bertanya,
"Menurut kau, bagaimana ilmu pedangnya bila dibandingkan
Tonghong Liang?"
"Rasanya dia masih sedikit lebih hebat daripada Tonghong
Liang.”
"Itu berarti kaupun bisa memperoleh manfaat darinya ketika
sedang berlangsung pertandingan pedang?"
"Aku rasa begitu. Tentu saja bila dia bersungguh hati ingin
memberi petunjuk kepadaku.”
"Kalau toh banyak manfaat yang bisa kau peroleh, kenapa musti
membuang energi hanya untuk menduga duga, bagaimana pun,
suatu hari nanti semua persoalan akan menjadi terang dengan
sendirinya.”
Seusai berkata dia segera duduk bersila dan mengatur
pernapasan.
Hari ke dua, manusia berkerudung itu benar-benar telah muncul
kembali.
Kali ini, sewaktu Lan Giok-keng bertarung sampai menggunakan
jurus Tin-to-im-yang, pedangnya tidak lagi sampai saling
membentur dengan pedang kayu manusia berkerudung itu. Namun
ketika orang berkerudung itu mengubah gerak serangannya dengan
melepaskan satu tusukan kilat lewat tengah lingkaran pedang Lan
Giok-keng, tusukan tersebut dengan telak menotok urat nadi bocah
itu.
"Traaang....” pedang dalam genggaman Lan Giok-keng pun
rontok ke atas tanah.
Jurus pamungkas yang paling diandalkan Lan Giok-keng
sebenarnya adalah jurus Pek-hok-liang-ci, sejak berpisah dengan
Tonghong Liang, dalam gerakan jurus ini kembali dia berhasil
menyelami tiga macam perubahan yang dipenuhi dengan daya


cipta, sebetulnya dia ingin menggunakan jurus itu untuk melihat
bagaimana cara manusia berkerudung itu memecahkannya.
Tapi dalam keadaan dan situasi seperti ini, tiba tiba timbul
pemikiran lain, karena itu rencana semula pun segera diurungkan.
Dengan sorot matanya yang tajam manusia berkerudung itu
mengawasi lawannya tanpa berkedip, kelihatannya dia belum
berniat akan meninggalkan tempat itu.
Tiba-tiba Lan Giok-keng merasa sorot mata itu seakan 'pernah
dikenalnya, tapi dengan cepat dia tertawa sendiri, pikirnya, 'Aku
memang pikun dan berpikir yang bukan-bukan, mana mungkin dia
adalah orang yang ingin kujumpai?'
Dipungutnya kembali pedang mestika miliknya, kemudian ujarnya
lagi, "Ilmu pedangmu jauh lebih hebat dari kemampuanku, tapi
menurut Han Siang, kau dapat memberi petunjuk kepadaku, apakah
kau bersedia memberi petunjuk?"
Manusia berkerudung itu hanya membungkam tanpa menjawab.
"Baik, kalau begitu tolong beri petunjuk kepadaku!" seru Lan
Giok-keng.
Dengan jurus Seng-hay-hu-cha (rakit terapung di laut bintang)
dia lancarkan sebuah serangan, jurus ini memang belum pernah dia
gunakan untuk bertarung melawan Tonghong Liang.
Sebagaimana diketahui, dia pelajari jurus serangan ini dari ayah
angkatnya, Put-ji tootiang. Apa yang diajarkan kepadanya boleh
dibilang sudah jauh keluar dari jalur ilmu Thay-kek-kiam-hoat yang
sesungguhnya, jurus yang gerakannya mirip sama sekali tidak
mengandung makna apa-apa. Tidak heran kalau manusia
berkerudung itu dengan begitu gampang berhasil mematahkan
ancamannya.
Baru bergebrak, tahu-tahu pedangnya sudah terlepas dari
cekalan.
Manusia berkerudung itu menanti sampai Lan Giok-keng


memungut kembali pedangnya, lalu dengan menirukan gayanya,
diapun mainkan jurus Seng-hay-hu-cha (rakit terapung di laut
bintang) tersebut, ternyata cara yang digunakan persis sama.
Lan Giok-keng agak tertegun, cepat dia tersadar kembali,
pikirnya, 'Ternyata dia sedang mengajarkan kepadaku bagaimana
cara memperbaiki kesalahan!'
Berpikir sampai ke situ, dia pun segera menggunakan jurus
pemecahan yang dilakukan manusia berkerudung itu untuk
menghadapinya.
Ternyata dugaannya tidak salah, ketika mencapai titik yang
paling kritis, tiba-tiba manusia berkerudung itu mengubah gerakan
pedangnya, dengan menyentilkan tiga buah lingkaran pedang,
lingkaran satu berkaitan dengan lingkaran berikut, secara gampang
sekali dia berhasil memaksa Lan Giok-keng melepaskan senjatanya.
Begitulah, saling menyerang saling bertahan berlangsung amat
seru, berulang kali bocah itu mengubah dan memperbaiki
gerakannya sehingga dia merasa cukup puas.
Sampai cahaya lemah yang masuk ke dalam ruang penjara
lenyap tidak berbekas, manusia berkerudung itu baru pergi dari
sana.
Tidak lama dia pergi, hidangan malam telah dihantar masuk ke
dalam ruang penjara. Sekarang Lan Giok-keng baru tahu, ternyata
untuk memperbaiki satu jurus serangan aja, dia telah menghabiskan
waktu setengah harian.
Lan Giok-keng mencoba untuk membayangkan kembali pelbagai
perubahan yang baru dipelajarinya, pikir punya pikir, diapun hanya
menggerakkan sumpitnya saja sambil melakukan pelbagai gerakan,
akibatnya makan pun jadi lupa.
"Bagaimana?" tanya Hwee-ko Thaysu kemudian.
"Banyak manfaat yang kuperoleh.”
Hwee-ko Thaysu tertawa.


"Walaupun aku tidak ingin mempelajari Thay-kek-kiam-hoat,
namun dengan menonton dari samping arena pun banyak manfaat
yang berhasil kuperoleh. Biar begitu, kau tidak perlu sampai lupa
makan lupa tidur, toh besok pagi dia pasti akan datang lagi.”
Sambil berkata dia segera gunakan sumpitnya untuk menahan
gerakan sumpit Lan Giok-keng yang sedang melakukan pelbagai
gerakan.
Waktu itu seluruh perhatian Lan Giok-keng masih terpusat pada
ilmu pedangnya, tanpa sadar muncul reaksi alam dari dalam
tubuhnya dengan melakukan satu gerakan lingkaran, dengan cepat
dia berhasil merebut sumpit yang berada di tangan Hwee-ko
Thaysu.
"Kionghi, kionghi,” seru Hwee-ko Thaysu sambil tertawa,
"rupanya kau berhasil menciptakan perubahan baru. Nah sekarang
boleh mulai bersantap bukan.”
Keesokan harinya manusia berkerudung itu muncul lebih awal,
baru selesai mereka sarapan, dia sudah datang.
Hari ini Lan Giok-keng masih berlatih jurus yang kemarin, ketika
dia menggunakan perubahan hasil pencerahannya semalam,
terdengar manusia berkerudung itu berseru tertahan, kali ini dia
hanya mampu 'memunahkan' jurus serangan bocah itu dan tidak
berhasil merebut pedang dari tangannya.
Manusia berkerudung itupun manggut-manggut, pertanda dia
anggap jurus ini telah berhasil dilatihnya.
Menyusul kemudian dia mulai berlatih jurus ke dua, Sam-huantau-
gwee (Tiga gelang membelenggu rembulan). Perubahan dari
jurus ini jauh lebih ruwit daripada jurus Seng-hay-hu-cha, hingga
saat makan malam Lan Giok-keng masih belum berhasil memahami
rahasia di balik gerakan itu. Tanpa hasil manusia berkerudung hitam
itu pun mengundurkan diri.
Hari ke tiga terjadi hujan. Tiada cahaya yang menembusi celahcelah
ruang batu, yang terdengar dalam ruang penjara hanya suara


hujan yang memekak telinga.
Mula-mula Lan Giok-keng kuatir manusia berkerudung itu tidak
muncul, ternyata dia tetap munculkan diri disana.
Dalam kegelapan dia tidak mampu melihat perubahan dari
gerakan pedang lawan, setiap kali manusia berkerudung itu
melepaskan tusukan, segera terdengarlah suara desingan tajam.
Tiba tiba Lan Giok-keng tersadar, dengan perasaan girang segera
serunya, "Ooh, rupanya pada saat bersamaan kau mengajari aku
ilmu pedang, kaupun mengajari aku cara membedakan suara
senjata?"
Manusia berkerudung itu tidak menjawab, dia sudah mulai
melancarkan serangan dan melanjutkan latihannya menggunakan
jurus Sam-huan-tou-gwee.
Terhadap gerakan jurus ini boleh dibilang Lan Giok-keng sudah
hapal di luar kepala, begitu mendengar dari suara angin, dia segera
tahu perubahan macam apakah yang dilakukan lawan dalam
gerakan pedang ini.
Akhirnya menjelang makan malam, dia berhasil juga menguasahi
jurus pedang itu.
Sejak hari itu, baik hari terang tanah maupun saat hujan deras,
manusia berkerudung itu selalu muncul tepat waktu. Sampai
akhirnya kemampuan Lan Giok-keng memahami gerakan pedangnya
pun semakin bertambah cepat.
Kurang lebih satu bulan kemudian, seluruh rangkaian ilmu
pedang Thay-kek-kiam-hoat nyaris telah selesai dijelaskan oleh
manusia berkerudung itu.
Hari itu selesai bersantap malam, dengan penuh rasa girang Lan
Giok-keng berkata kepada Hwee-ko Thaysu, "Dari rangkaian ilmu
pedang Thay-kek-kiam-hoat, tinggal jurus Pek-hok-liang-ci saja
yang belum mendapat pencerahan darinya.”
"Kalau tidak salah, bukankah jurus Pek-hok-liang-ci berada pada


urutan sepuluh jurus pertama. Kenapa hingga sekarang kau masih
belum minta petunjuk darinya?"
"Aku menganggap jurus ini merupakan sebuah jurus pamungkas
bagiku, baik Bu-si Tojin maupun Tonghong Toako mereka semua
pernah memberi petunjuk. Semenjak berpisah dengan Tonghong
Toako tempo hari, aku pun berhasil menyelami lagi beberapa
rahasia dalam gerakan jurus ini, itulah sebabnya aku berpikir akan
minta petunjuknya pada urutan paling belakang.”
"Aku si hweesio tua tidak begitu mengerti ilmu pedang Thay-kekkiam-
hoat,” ujar Hwee-ko Thaysu perlahan, "tapi setelah
menyaksikan latihan kalian selama beberapa hari, sedikit banyak
akupun berhasil menarik sebuah kesimpulan.”
"Maaf aku kurang begitu paham dengan perkataan mu itu,
apakah Thaysu bersedia menjelaskan lebih terperinci?"
"Menurut pendapatku, kecerdasanmu sama sekali tidak berada di
bawah kepintaran manusia berkerudung, dia memang telah
memberi petunjuk kepadamu, namun kaupun telah memberi
petunjuk juga kepadanya!"
Lan Giok-keng melengak.
"Bukankah dia yang telah membantu aku merubah semua
kesalahan yang ada? Kenapa kau mengatakan aku telah memberi
petunjuk kepadanya?"
Hwee-ko Thaysu tertawa.
"Pernah dengar perkataan yang mengatakan: pengajar dan
pelajar sama-sama tumbuh? Artinya dia membantumu memperbaiki
kesalahan, sementara dia sendiripun memperoleh pencerahan yang
lebih mendalam atas jurus serangan itu.”
"Tapi toh tidak bisa dibilang aku telah memberi petunjuk
kepadanya.”
"Sesungguhnya memang tidak bisa dibilang siapa memberi
petunjuk kepada siapa, yang benar kedua belah pihak saling


memanfaatkan. Gerakan yang kau gunakan belum tentu sudah dia
pahami sebelumnya, hanya bedanya dasar ilmu silatnya jauh lebih
tinggi ketimbang dirimu, jadi dia dapat menemukan titik
kelemahanmu. Oleh sebab itu menurut aku, meski manfaat yang
kau terima tidak sedikit dari petunjuknya, namun manfaat yang dia
peroleh justru jauh lebih besar lagi!"
Lan Giok-keng terbungkam tanpa bicara, sementara dalam hati
berpikir, 'Eeei, rasanya perkataan ini sangat kukenal. Aaaah, betul,
Tonghong toako pun pernah mengucapkan kata yang sama
kepadaku'
Hwee-ko Thaysu tidak berbicara lagi, dia menundukkan kepala
seakan-akan sedang memikirkan sesuatu. Lewat beberapa saat
kemudian dia baru mendongakkan kepala sambil bertanya, "Selama
satu bulan ini, bagaimana dengan pemulihan tenaga dalam mu?"
"Pemulihan berjalan sangat lambat, rasanya belum mencapai tiga
bagian.”
"Itu mah tidak terhitung lambat.”
“Bagaimana dengan Thaysu?"
"Aku....” tiba-tiba "Plaaak!" sumpit yang berada di tangannya
terjatuh ke tanah, "Aku sudah tua, sudah tidak berguna lagi,” Hweeko
Thaysu menghela napas panjang, suaranya kedengaran agak
gemetar.
Lan Giok-keng terkesiap pikirnya, 'Aneh, kenapa sampai
memegang sumpit pun tidak sanggup?'
Cepat dipungutnya sumpit itu lalu bertanya, "Hwee-ko Thaysu,
apakah kau sakit?"
"Benar, tubuhku sedikit kurang sehat, mungkin tidak sampai
sakit. Cuma dadaku sesak, tidak ingin makan.”
"Han Kokcu!" dengan suara keras Lan Giok-keng segera
berteriak.
"Tidak perlu mengusik mereka,” cegah Hwee-ko, "lagipula meski


aku benar-benar sakitpun belum tentu mereka akan bersungguh
hati mengobati sakitku. Kau tidak perlu kuatir, biar aku beristirahat
sejenak, mungkin saja selewat malam ini akan sehat kembali. Sana,
berlatihlah lagi dengan lebih rajin, coba kau asah jurus Pek-hokliang-
ci itu.”
Siapa tahu selewatnya malam itu, kondisi tubuh Hwee-ko Thaysu
semakin bertambah parah.
Walaupun suasana dalam ruang penjara itu remang-remang,
namun berdasarkan indra rasa dan indra pendengaran, bisa
diketahui juga kalau kondisi sakit yang diderita Hwee-ko Thaysu
bertambah parah bahkan nyaris sudah mendekati keadaan yang
amat kritis.
Sarapan telah dikirim masuk ke ruang sel, namun Hwee-ko
Thaysu sama sekali tidak bernapsu untuk makan, bahkan minum air
pun enggan.
Hwee-ko Thaysu melarangnya minta bantuan kepada Han Siang,
sedang dia sendiripun hanya seorang pemuda yang sama sekali
tidak mengerti ilmu pertabiban, bahkan pengalaman untuk
menghadapi keadaan seperti inipun tidak punya.
Di saat dia sedang kebingungan setengah mati, manusia
berkerudung itu muncul lagi tepat waktu.
Manusia berkerudung itu tampak sangat keheranan ketika
melihat pemuda itu sama sekali tidak bergerak walau dia sudah
mencabut pedang kayunya, sambil menuding ke empat penjuru
dengan ujung pedang kayunya dia seolah sedang bertanya, "Kenapa
kau?"
Tutulan pedangnya itu sebetulnya merupakan juga sebuah jurus
pedang yang sangat hebat, hanya saja saat itu Lan Giok-keng sama
sekali tidak berminat untuk memikirkannya.
Dengan pikiran dan perasaan gundah Lan Giok-keng bangkit
berdiri, katanya, "Hari ini hwesio tua sedang sakit, aku sama sekali
tidak berminat untuk berlatih pedang denganmu.”


Manusia berkerudung itu tampak agak tertegun, tiba-tiba dia
menghampiri Hwee-ko Thaysu, membangunkan tubuhnya lalu
membuka paksa mulutnya.
"Hey, mau apa kau?" tegur Lan Giok-keng terperanjat.
Manusia berkerudung itu mendorongnya ke belakang, lalu
membuka lebar lebar mulut Hwee-ko Thaysu, setelah itu dia
memasukkan sebuah benda sebesar ibu jari ke dalam mulutnya,
sayang dalam kegelapan susah untuk melihat jelas benda apakah
itu.
Dalam hati kembali Lan Giok-keng berpikir, 'Tampaknya dia tidak
bermaksud jahat, siapa tahu tindakan tersebut memang sedang
mengobati penyakit Hwee-ko Thaysu?'
Padahal sekalipun manusia berkerudung itu punya maksud
jahatpun, Lan Giok-keng tidak mampu berbuat apa-apa. Tenaga
dalamnya sekarang baru pulih tiga bagian, masih selisih jauh bila
dibandingkan ilmu silat manusia berkerudung itu.
Ternyata dugaannya tidak salah, tampak dia tempelkan sepasang
telapak tangannya di punggung Hwee-ko Thaysu, sementara
pendeta itu sudah duduk kembali dalam posisi bersila.
Tidak sampai setengah hio kemudian terlihat asap putih mulai
mengepul keluar dari ubun-ubun Hwee-ko Thaysu, dalam keadaan
begini biarpun Lan Giok-keng bukan seorang jagoan
berpengalaman, namun dengan dasar tenaga dalam yang
dimilikinya sekarang, dia pun tahu kalau manusia berkerudung itu
sedang menyalurkan tenaga dalamnya ke tubuh pendeta itu dan
berusaha memperlancar peredaran darahnya.
Tidak lama kemudian asap putih yang muncul dari ubun-ubun
Hwee-ko Thaysu berubah makin tawar, saat itulah manusia
berkerudung itu baru melepaskan tangannya dan beranjak pergi
dari ruang penjara.
"Bagaimana keadaan si hweesio tua?" tanya Lan Giok-keng
kemudian.


Manusia berkerudung itu hanya menuding dengan pedang
kayunya, maksudnya, “Lihat saja sendiri.”
Lalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun dia berlalu, pintu
penjara pun segera menutup kembali.
Hwee-ko Thaysu masih duduk bersila sambil mengatur
pernapasan, Lan Giok-keng tidak berani mengusiknya, ketika
didengar suara dengusan napasnya sudah mulai bertambah halus,
tahulah dia kaiau kondisi tubuhnya sudah lebih bertambah baik.
Tiba-tiba terdengar orang yang setiap hari datang menghantar
makanan itu berseru dari luar, "Toaya itu suruh aku beritahu
kepadamu kalau kondisi rekanmu lambat laun akan bertambah baik,
minta kau tidak usah kuatir.”
Lan Giok-keng merasa sangat lega, namun tidak tahan dia
berseru juga, "Dia toh bukan bisu, kenapa bukan dia sendiri yang
berbicara denganku?"
Tiada jawaban dari luar.
Mendadak terdengar Hwee-ko Thaysu berkata, “Kalau dia
bersedia mengajakmu bicara, buat apa dia musti muncul sambil
mengenakan kain kerudung muka.”
Mendengar pendeta itu sudah berbicara dengan suara nyaring,
Lan Giok-keng jadi kegirangan, serunya, "Thaysu, rupanya kau
sudah mendusin, apakah kondisi mu sudah lebih baikan?"
"Sudah jauh lebih baik. Setelah orang itu menyalur kan hawa
murninya ke tubuhku, bukan saja telah membantuku mengusir pergi
penyakit itu bahkan tenaga dalamku sudah pulih saru bagian.”
"Bagus sekali kalau begitu. Thaysu, jadi kau sudah mengetahui
asal usulnya?"
"Atas dasar apa kau berkata begitu?"
"Kalau didengar dari perkataanmu tadi, tampaknya....”
"Dugaanmu keliru. Aku hanya tahu kalau dia enggan membiarkan


kita tahu siapakah dirinya.”
"Kalau begitu, menurut kau bisa jadi dia adalah orang yang kita
kenal? Kalau tidak, kenapa dia harus memakai kerudung hitam dan
berlagak membisu?"
"Biar orang yang dikenal pun bukan sesuatu yang aneh, sewaktu
aku si hweesio tua masih sering berkelana dalam dunia persilatan
masih muda dulu, entah berapa banyak orang yang pernah kukenal?
Selama mereka bermaksud baik kepadamu, tidak ada niat jahat,
perduli amat musti menebak siapa gerangan dirinya.”
Perasaan ragu dan curiga masih menyelimuti hati Lan Giok-keng,
namun dia tidak mengucapkan sepatah kata pun.
"Kau masih ingin membongkar rahasia identitasnya?" tanya
Hwee-ko Thaysu tiba-tiba.
"Biarpun aku berkeinginan untuk berbuat begitu, rasanya tidak
punya kemampuan untuk melaksanakannya,” jawab Lan Giok-keng.
Mendadak dia seperti teringat akan sesuatu, katanya lagi, "Thaysu,
apakah kau merasa lapar? Sudah sejak kemarin malam hingga saat
ini kau tidak makan apa pun. Bagaimana kalau kusuruh mereka
siapkan bubur untukmu?"
"Tidak perlu merepotkan mereka, lagipula akupun tidak ingin
makan bubur bikinan mereka." Kemudian sambil tertawa lanjutnya,
"Barusan aku telah makan sebatang jinsom paling baik, masa masih
lapar?"
"Aaah, ternyata benda yang dicekokkan ke dalam mulutnya oleh
manusia berkerudung itu adalah sebatang jinsom!" seru Lan Giokkeng
seolah baru sadar.
"Betul. Sebagian orang mengira jinsom yang berasal dari gunung
Tiang-pek-san merupakan kwalitas nomor satu, padahal mereka
tidak tahu kalau gunung Thian-san di wilayah Hwee serta dalam
gunung Nyainqentanglha menghasilkan jinsom paling baik. Kalau
diperbandingkan maka jinsom hasil kedua tempat ini masih jauh di
atas kwalitas jinsom dari gunung Tiang-pek-san. Kelihatannya


jinsom yang kumakan tadi berasal dari gunung Nyainqentanglha.”
Mendengar perkataan itu Lan Giok-keng tertegun.
"Eeei, kalau tidak salah, bukankah kau pernah bilang kalau bibi
Tonghong Liang tinggal di gunung Nyainqentanglha?"
"Huss, kau jangan sembarangan menduga, kau sangka jinsom itu
di peroleh Tonghong Liang dari tangan bibinya?"
"Biarpun aku mempunyai kecurigaan ke sana pun, tidak bakalan
kucurigai Tonghong Toako. Sewaktu kita tiba disitu hari itu,
bukankah dengan mata kepala sendiri kita saksikan dia terkurung
dalam gua? Mana berani Han Siang membebaskannya sebelum
memunahkan ilmu silat yang dimiliki?"
Hwee-ko Thaysu tidak berbicara lagi, dia seolah terbungkam.
Tiba-tiba muncul satu pikiran aneh dihati Lan Giok-keng, pikirnya,
'Sudah pasti bukan perbuatan Tonghong toako, semisal memang
dia, pelbagai persoalan pelik yang susah dicerna akan semakin
gampang diurai. Hwee-ko Thaysu adalah sobat karib ayahnya
semasa masih hidup, jadi sudah sewajarnya bila dia menggantikan
peran ayahnya untuk mengobati penyakit yang dideritanya'
Pada saat itulah terdengar Hwee-ko Thaysu berkata, "Apa yang
kau katakan memang suatu kejadian yang lumrah. Tentu saja
akupun tidak berharap terjadi peristiwa yang diluar kebiasaan.”
Ternyata sakitnya Hwee-ko Thaysu bukanlah sakit benaran,
walaupun sejak keracunan, hawa murninya memang tidak sanggup
dihimpun kembali.
Dia memang sengaja tidak makan dua hari dan membiarkan
kondisi tubuhnya jadi sangat lemah, tujuannya tidak lain adalah
untuk menyelidiki manusia berkerudung itu, mencoba mencari tahu
apakah dia memang seseorang yang dicurigai.
Alhasil dia membuktikan kalau dugaannya memang benar, sebab
hawa murni yang disalurkan manusia berkerudung itu ke dalam
tubuhnya merupakan tenaga dalam aliran tunggal yang hanya


dimiliki perguruan seorang sahabat karibnya.
Lan Giok-keng dapat mendengar maksud lain dibalik perkataan
Hwee-ko Thaysu, dia tertegun tapi tidak berani bertanya lebih jauh.
Mendadak terdengar Hwee-ko Thaysu berkata lagi, “Hari ini kau
tidak dapat berlatih pedang melawan manusia berkerudung itu,
coba kau mainkan jurus Pekhok-liang-ci yang sengaja kau
tinggalkan itu dihadapan-ku.”
Lan Giok-keng tahu, pendeta itu pasti mempunyai tujuan dengan
ucapannya, maka diapun segera memainkan jurus Pek-hok-liang-ci
itu dihadapan Hwee-ko Thaysu.
Baru selesai memainkan satu kali, Hwee-ko Thaysu segera
memintanya untuk mengulang lagi untuk ke dua kalinya, ke tiga
kalinya.
Setelah menyaksikan permainan jurus itu sampai tiga kali,
pendeta itu baru berkata, "Aku tidak paham Thay-kek-kiam-hoat,
dalam hal jurus aku pun tidak bisa memberi petunjuk apa-apa. Tapi
aku yakin teori ilmu silat sesungguhnya tidak jauh berbeda. Aku
lihat dalam permainan jurus itu, gerakanmu kelewat enteng dan
kurang stabil, mungkin jika dirubah lebih berat dan kasar,
keadaannya jauh lebih baik.”
Lan Giok-keng pun tahu kalau tingkat paling tinggi dari ilmu silat
adalah "berat, bebal dan besar", buru-buru dia memohon petunjuk.
Sewaktu Hwee-ko Thaysu menguraikan teori pedang sesuai
dengan pandangannya, benar saja, Lan Giok-keng kembali
mendapatkah pencerahan baru atas jurus serangan tersebut.
Kembali Hwee-ko Thaysu berkata, “Ilmu silat Bu-tong maupun
Siau-lim bersumber satu, dari pihak Siau-lim-pay terdapat pula
sejenis ilmu pedang yang disebut Tat-mo-kiam-hoat, kendatipun
jauh berbeda bila dibandingkan Thay-kek-kiam-hoat, namun teori,
pengertian serta dasarnya tidak jauh berbeda. Aku memang belum
pernah mempelajari Tatmo-kiam-hoat, namun pernah melihatnya.
Coba dengarkan uraianku tentang teori ilmu pedang yang


kuketahui.”
Selesai mendengar uraian tersebut, kembali Lan Giok-keng
berhasil memperoleh manfaat yang lebih besar.
Malam itu Lan Giok-keng nyaris tidak bisa tidur saking
gembiranya, sampai dalam mimpi pun dia masih memikirkan
pencerahan yang diperoleh dalam jurus ini.
Ketika mendusin keesokan harinya, dia merasa ruangan penjara
terlihat jauh lebih cerah daripada biasanya, ternyata matahari sudah
jauh di angkasa.
Ketika membuka matanya, Lan Giok-keng menjumpai Hwee-ko
Thaysu sedang minum arak, dia baru sadar kalau bangun terlambat,
sarapan pun sudah dihantar masuk.
Sambil tertawa Hwee-ko Thaysu pun berkata, "Kelihatannya
mereka seperti tahu kalau aku bakal ingin minum arak setelah
sembuh dari sakit, dalam sarapan yang dikirim pagi ini, mereka
sertakan juga sepoci arak yang sangat harum. Ingin mencicipinya?"
Tentu saja Lan Giok-keng sama sekali tidak berminat untuk
menemaninya minum arak, sahutnya, "Hari ini aku ingin menjajal
jurus Burung bangau pentang sayap itu. Nanti di saat makan malam
saja, kutemani kau minum secawan.”
Setelah menyelesaikan sarapannya secara tergesa-gesa, dia pun
segera mempraktekkan kembali jurus Pek-hok-liang-ci itu.
Hwee-ko Thaysu segera memuji, “Tampaknya kau berhasil
mendapat pencerahan baru? Biarpun aku tidak paham Thay-kekkiam-
hoat, tapi bisa kurasakan kalau gerakanmu sekarang jauh lebih
hebat ketimbang kemarin.”
Lan Giok-keng tidak menjawab, dia malah berseru tertahan,
seolah menemukan sesuatu yang aneh.
"Kenapa kau?" tegur Hwee-ko Thaysu segera.
"Sstt.... kekuatan tenaga dalamku sudah pulih setengah,” bisik
Lan Giok-keng lirih.


"Waaah, sungguh pesat kemajuan yang berhasil kau capai, satu
peristiwa yang menggembirakan.”
"Justru karena itu aku baru merasa keheranan. Kalau tidak salah
menghitung, kita sudah hampir sebulan lamanya terkurung disini.
Padahal kemarin pun tenaga dalamku baru pulih tiga bagian.”
Berbicara sampai disitu, satu ingatan kembali melintas lewat.
"Kini tenaga dalamku sudah pulih separuh, bila kulancarkan
serangan diluar dugaan hingga berhasil mengalahkan manusia
berkerudung itu, bukankah kami berdua segera akan lolos dari
sekapan?"
Dia yakin dengan kekuatan tenaga dalam sebesar lima bagian,
Han Siang sudah bukan tandingannya lagi.
Tapi bila teringat kembali manfaat yang diperolehnya dari
manusia berkerudung itu, patutkah dia membalas budi orang
dengan menyanderanya, bahkan dalam keadaan terpaksa harus
membunuhnya?
Kelihatannya Hwee-ko Thaysu dapat membaca jalan
pemikirannya, sambil tersenyum ujarnya, "Kau sangka manusia
berkerudung itu tidak tahu kalau tenaga dalammu telah pulih lima
bagian? Menurut ku pikiran tersebut salah besar!"
"Maksud thaysu....”
"Menurut dugaanku, lambatnya pemulihan tenaga dalammu
dimasa lalu dikarenakan Han Siang telah mencampurkan bubuk
pelemas tulang dalam makanan yang kita santap setiap harinya.
Komposisi bubuk itu sudah diperhitungkan dengan matang hingga
membiarkan setiap harinya tenaga dalammu hanya pulih sedikit,
sedang sisanya habis dipakai untuk melawan pengaruh racun. Tapi
sejak kemarin keadaan itu sudah mulai terjadi perubahan baru.”
"Jadi maksud thaysu, sejak kemarin, makanan yang dikirim
masuk sudah tidak dicampuri bubuk pelemas tulang lagi?" tanya Lan
Giok-keng seolah baru sadar.


"Betul, termasuk hidangan sarapan yang baru saja kita makan.
Bukan saja tidak ada campuran racunnya, bahkan arak itu
merupakan arak obat berkwalitas tinggi. Nampaknya manusia
berkerudung itu kuatir kondisi tubuhku melemah setelah sembuh
dari sakit, maka sengaja dia persembahkan untukku.”
Ternyata tenaga dalam yang dimiliki Hwee-ko Thaysu pun sudah
pulih satu dua bagian, hanya saja berita ini tidak disampaikan
kepada bocah itu.
Lan Giok-keng jadi tertawa geli, ujarnya, "Hahahaha.... sudah
seharusnya bisa kuduga kalau kesemuanya itu merupakan
perbuatan dari manusia berkerudung itu. Pulihnya tenaga dalamku
adalah hasil pemberiannya, bagaimana mungkin aku bisa
mengelabuhi dirinya.”
Tiba-tiba Hwee-ko Thaysu berkata lagi, “Sekarang tenaga
dalammu sudah pulih separuh bagian, jelas kejadian ini tidak
mungkin bisa mengelabuhinya. Cuma dia belum tahu kalau kau
sengaja menyimpan satu jurus dan perubahan dari jurus itu sama
sekali di luar dugaannya.”
Lan Giok-keng dapat mendengar kalau dibalik perkataan itu
mengandung maksud lain, tanyanya, "Kalau memang begitu lantas
kenapa?"
"Dia berani memulihkan separuh tenaga dalammu tidak lain
disebabkan dua hal. Ke satu, dia yakin tenaga dalamnya masih jauh
mengungguli dirimu, meski kau berhasil pulih pun bila bertarung
beneran, kau masih bukan tandingannya. Ke dua, dia tahu kalau
kau sudah menaruh rasa simpatik kepadanya, karenanya dia pun
tidak kuatir setelah tenaga dalammu pulih kembali, kau akan
melukainya.”
"Sejujurnya, aku memang tidak punya ingatan untuk
melukainya.”
"Padahal kau hanya bisa membunuhnya, tidak mungkin bisa
melukainya. Kau paham dengan teori ini? Sebab bila kau hanya bisa


melukainya, dengan tenaga dalam yang jauh diatas kemampuanmu,
dia bisa segera membunuhmu. Sebaliknya bila kau gunakan jurus
Pek-hok-liang-ci itu dan diluar dugaannya berhasil menusuk mati
dia, biar dia memiliki tenaga dalam yang lebih hebat dari
kemampuanmu pun, dia sama saja tidak bisa balas menyerangmu.”
"Sebagai seorang lelaki sejati, mana boleh aku membalas air susu
dengan air tuba, melukai saja enggan apalagi membunuhnuya.”
"Kalau begitu kau hanya ingin menangkan satu jurus darinya?"
Lan Giok-keng terbungkam tanpa menjawab, setengah harian
kemudian ujarnya sambil tertawa getir.
"Aku rasa bukan kejadian yang gampang untuk mengungguli
dirinya?"
Ternyata tujuan dia yang paling utama bukanlah ingin
menangkan satu jurus dari manusia berkerudung itu, melainkan
ingin membongkar kedok penyamarannya.
"Dalam hal jurus pedang, aku memang tidak bisa memberi
petunjuk apa-apa kepadamu, namun aku bisa menceritakan sebuah
cerita. Sudah pernah membaca ajaran Cuang-cu?"
Bu-tong-pay adalah aliran agama To, aliran To sangat
mempercayai dan menyembah ajaran Cuang-cu, Lan Giok-keng
segera menyahut, "Aku pernah melihat Sucoue membacakan ajaran
Cuang-cu, tapi aku sama sekali tidak mengerti. Sebetulnya ada
rencana untuk meminta petunjuk dari Sucouw dua hari kemudian.
Aaai....”
Dia tidak melanjutkan perkataannya, sebab Sucouw nya sudah
meninggal dunia. Tapi dia tidak habis mengerti, kenapa secara tibatiba
Hwee-ko Thaysu menyinggung tentang ajaran Cuang-cu.
Terdengar Hwee-ko Thaysu berkata, “Dalam ajaran Cuang-cu
terdapat sebuah cerita yang mengisahkan kehebatan dari seorang
pemahat batu yang tinggal di ibu kota negeri Chu. Waktu itu diibu
kota negeri Chu hidup seseorang, suatu hari ujung hidungnya
ternoda setitik lumpur sebesar lalat, orang itupun pergi mencari


tukang pahat itu dan minta kepadanya untuk menghilangkan noda
tersebut. Sang pemahat pun mengambil kampak besar lalu
ditebaskan berulang kali ke depan. Bagi penonton yang
menyaksikan dari samping, semua orang menyangka bacokan kapak
itu bakal menebas batang hidungnya, siapa tahu noda lumpur itu
bukan saja berhasil ditebas hingga bersih, hidung orang itupun
sama sekali tidak terluka.”
"Waah, benar-benar kepandaian sakti yang luar biasa,” puji Lan
Giok-keng sambil menghela napas, "padahal kapak lebih berat dari
pedang, untuk melatih tingkatan sehebat itu dengan pedangpun
sudah amat susah, mungkin kemampuannya sudah tiada tandingan
di kolong langit.”
"Betul. Dengan kampak membersihkan noda lumpur diujung
hidung, jelas jauh lebih susah dari menggunakan pedang, tapi
maknanya masih saling berhubungan.”
"Silahkan thaysu memberi petunjuk.”
"Kapak itu benda berat, untuk membersihkan noda lumpur
diujung hidung dibutuhkan kelincahan serta tenaga yang paling
enteng. Ini menunjukkan kalau berat dan bebal bisa disatu padukan
dengan ringan dan lincah. Jadi kuncinya mengangkat berat bagaikan
menjinjing ringan.”
Lan Giok-keng bagaikan seorang murid cerdas yang mendapat
bimbingan dari gurunya, dalam posisi seperti paham seperti tidak,
dia resapi perkataan "angkat berat bagai menjinjing ringan" itu.
Kembali Hwee-ko Thaysu berkata, “Di dalam ajaran Cuang-cu
masih ada lagi sebuah cerita tentang seorang koki menjagal sapi,
tulisan itu sangat bagus, coba kubacakan untukmu: sang koki
menjagal sapi untuk kaisar Liang Hui-ong, tempat yang disentuh
adalah bahu yang tidak bisa disandari, tanah yang tidak bisa diinjak,
ketika golok menusuk, tidak akan menimbulkan suara yang
sumbang. Kaisar Liang Hui-ong berseru, "wah, begitu hebat ilmu
menjagal sapimu?" Sambil meletakkan kembali pisaunya sang koki
menjawab, "Yang kusukai adalah tehnik diatas rata-rata. Ketika aku


mulai menjagal sapi, yang kulihat semuanya sapi; begitu banyak
sampai tiga tahun kemudian pun tidak bisa melihat sapi yang utuh
lagi. Kini aku tidak melihat sapi dengan mata lagi, tapi dengan
perasaan.... konsentrasi harus terpusat, gerakan harus lambat,
waktu menggerakkan pisau harus ringan, dan.... sapi itu akan
terbelah bagaikan membelah lumpur ditanah....”
Lan Giok-keng mendengarkan uraian itu dengan terkagumkagum,
dia seolah-olah dibuat mabok oleh ungkapan ini.
Kembali Hwee-ko Thaysu bertanya, "Tahukah kau, dimana titik
penting dari uraian itu?"
"Apakah melihat sapi dengan perasaan?"
"Benar, yang dilihat sang koki adalah celah paling kosong dan
paling gampang dari seekor sapi, oleh sebab itu lihatlah sapi sebagai
bukan sapi, gunakan perasaanmu untuk melihat, karena isi itu
kosong dan kosong itu isi!"
Lan Giok-keng membayangkan Sim-hoat yang diberikan Sucouw
nya menyebut pula bahwa belajar silat tidak perlu bersikukuh
dengan gerakan, tapi dipahami dengan perasaan.... pikirnya
kemudian, 'Bukankah ajaran koki penjagal sapi sama persis dengan
ajaran dari perguruan?'
Terdengar Hwee-ko Thaysu berkata lagi, "Yang paling penting
lagi adalah hindari yang nyata serang yang kosong. Sang koki
mengungkapnya dengan mengatakan dia sudah sembilan belas
tahun menggunakan pisau itu untuk menjagal sapi, tapi pisau yang
digunakan masih setajam waktu masih baru dulu, tahukah kau
ajaran apa yang termakna dibaliknya?"
"Harap thaysu memberi petunjuk.”
"Karena dia menghindari bagian tubuh sapi yang
menghubungkan otot dengan tulang belulang. Dalam ajaran Cuang
Cu dikatakan, "Tusukan pisaumu ke dalam celah kosong antara
tulang dengan otot, karena menurut anatomi tubuh sapi, bagian
sambungan otot dengan tulang adalah bagian yang susah ditusuk


dengan pisau, apalagi menusuk tulang keras. Oleh sebab itu
walaupun pisau sudah digunakan selama sembilan belas tahun,
ketajamannya masih seperti baru. Walau begitu, setiap kali bertemu
bagian pertemuan antara otot dan tulang, aku selalu bertindak hatihati
dengan tingkatkan kewaspadaan, pusatkan pandangan ke satu
titik, gerakan semakin melambat, ketika menggerakkan pisau pun
sangat ringan. Lalu daging pun terurai dari tulang dan.... berserakan
diatas tanah. Dengan bangga kupandang empat penjuru, dengan
hati-hati kugosok pisauku dan menyimpannya kembali.”
Lan Giok-keng berdiri termangu, gumamnya, "Tusuklah bagian
yang kosong, aaaah, ternyata begitu. Aaaai, entah sampai kapan
aku baru bisa mencapai taraf setinggi itu?"
"Setelah mendengar perkataan mu itu, aku tahu bahwa banyak
sudah pencerahan yang berhasil kau serap hari ini.”
Baru berbicara sampai disitu, tiba-tiba terlihat pintu gua terbuka
dengan perlahan kemudian tampak manusia berkerudung itu
melompat masuk ke dalam.
Lan Giok-keng segera berkata, "Terima kasih banyak atas
petunjukmu selama beberapa hari ini hingga keseluruhan ilmu
pedang Thay-kek-kiam-hoat ku berhasil dilatih hingga sempurna.
Hari ini aku ingin mencoba lagi permainan pedangku, tapi bukan
jurus demi jurus, bukan pula secara berurutan, bagaimana kalau
anggap saja pertarunganku denganmu memakai keseluruhan jurus
pedang itu?"
Begitu mendengar perkataan "menyeluruh", berkilat sepasang
mata manusia berkerudung itu, dia seolah timbul pertanyaan,
namun akhirnya tetap tidak menjawab, dia hanya manggutmanggut.
Maka Lan Giok-keng pun mulai melancarkan serangan dari jurus
pembukaan, Ji-gi-siang-seng (dua unsur saling menumbuhkan), Susiu-
yan-hua (empat unsur saling mendukung), Lak-hap-kun-tong
(enam unsur bersatu padu), Pat-kwa-sun-huan (delapan unsur
saling berputar). Hampir semua jurus dilancarkan susul menyusul,


kekuatan yang terpancar pun bagaikan gulungan ombang di sungai
Tiang-kang yang saling menyusul.
"Bagus!" pekik manusia berkerudung itu didalam hati,
"kecerdasan dan bakat alam bocah ini benar-benar luar biasa, tidak
disangka dia bisa menyerang bagaikan gulungan ombak yang
bersambungan.
"Aku paling banter hanya bisa mengembangkan satu gerakan
menjadi gerakan lain, tapi dia, baru mendengar satu sudah dapat
menciptakan sepuluh.
Aaai.... tak heran kalau banyak orang mengagumi kecerdasan
seseorang yang berbakat alam.
"Suhu sering memuji kecerdasanku, selama ini akupun selalu
mengira bakat silatku luar biasa, siapa sangka bila dibandingkan dia,
aku ketinggalan jauh sekali. Kini aku masih bisa mengungguli dia,
tapi tiga tahun kemudian, belum tentu aku masih sanggup melawan
dirinya!"
Sementara itu Lan Giok-keng sendiripun diam diam merasa amat
kagum, dia tidak menyangka manusia berkerudung itu masih
mampu memecahkan setiap jurus serangan yang dilancarkan,
bahkan seolah tanpa menggunakan banyak tenaga, dalam waktu
singkat ke tujuh jurus serangannya dapat dipunahkan dengan
begitu saja.
'Kelihatannya jurus Pek-hok-liang-ci ku juga belum tentu bisa
merobohkan dia' demikian dia berpikir.
Tentu saja dia tidak menyangka kalau gerakan yang nampak
sangat enteng dan sederhana itu justru telah menghabiskan begitu
banyak tenaga manusia berkerudung itu, bahkan memaksa dia
harus mengerahkan segenap kemampuan yang dimilikinya.
Begitulah, dalam kondisi sama-sama mengagumi pihak lawan,
kedua orang itu bertarung lagi puluhan jurus. Mendadak terdengar
suara seruan tertahan.
Ternyata ketika Lan Giok-keng mengeluarkan jurus Sam-coanTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/

hoat-lun (Tiga putaran roda hukum), dia mulai memperlihatkan
perubahan yang sama sekali tidak diduga manusia berkerudung itu.
Dalam melakukan serangan dengan jurus sam-coan-hoat-lun,
seharusnya secara beruntun dia ciptakan tiga lingkaran pedang, tapi
sekarang bocah itu justru menciptakan sembilan buah lingkaran
pedang yang saling terkait bahkan semua gerakan tidak menentu
arahnya. Hal ini memaksanya jadi gelagapan, jurus pemecah yang
sudah dipersiapkan pun jadi kacau balau.
Namun reaksi yang kemudian dilakukan manusia berkerudung
itupun jauh diluar dugaan Lan Giok-keng.
Kalau tempo hari dia melakukan gerakan serong dengan
kecepatan tinggi untuk memaksa Lan Giok-keng melepaskan
pedangnya, maka untuk memecahkan jurus Sam-coan-hoat-lun kali
ini dia justru mengikuti semua gerakan pedang lawan, pedang
kayunya seringan selembar kertas seolah "menempel" diatas pedang
Lan Giok-keng.
Dengan begitu, meski dia tidak berhasil memaksa Lan Giok-keng
kehilangan pedangnya, namun bocah itupun tidak sanggup
memainkan kehebatan dari jurus serangan tersebut.
Karena sama-sama tidak mampu merobohkan lawan, terpaksa
sekali lagi dilakukan perubahan jurus.
Perubahan yang diciptakan Lan Giok-keng dalam jurus barunya
banyak tidak terhilangkan, namun manusia berkerudung itu
menghadapi setiap perubahan dengan cepat, bahkan satu per satu
berhasil dipunahkan. Perubahan yang mereka lakukan sama-sama
berdasarkan teori pedang dan masing-masing memiliki kelebihan
sendiri.
Namun diantara sekian banyak jurus, ada beberapa jurus
diantaranya harus dipunahkan manusia berkerudung itu dengan
mengandalkan tenaga dalamnya, tanpa bantuan tenaga dalam
niscaya dia akan menderita kerugian dalam perubahan jurus itu.
Namun oleh karena dia sangat memahami kekuatan tenaga


dalam yang dimiliki Lan Giok-keng, maka perhitungannya dalam
penggunakan kekuatan pun sangat akurat, demikian tepatnya
hingga Lan Giok-keng sendiripun tidak menyadari kalau dia sedang
bermain curang.
Tanpa terasa seluruh rangkaian jurus ilmu pedang Thay-kekkiam-
hoat telah selesai dimainkan Lan Giok-keng, kini dia
mengulang lagi dengan jurus pembukaan.
Manusia berkerudung itu mulai mengernyitkan dahi, kelihatannya
dia tidak sependapat dengan niat Lan Giok-keng yang ingin
mengulang lagi dari awal, namun diapun tidak dapat
mengemukakan keberatannya itu.
Ternyata hingga sekarang dia masih berharap Lan Giok-keng
mengeluarkan jurus Pek-hok-liang-ci.
Baru saja dia berkerut kening, tiba-tiba permainan pedang Lan
Giok-keng kembali telah berubah, akhirnya jurus Pek-hok-liang-ci
yang ditunggu-tunggu manusia berkerudung itu digunakan juga!
Begitu jurus Pek-hok-liang-ci digunakan, biarpun manusia
berkerudung itu menguasahi Thay-kek-kiam-hoat pun tidak urung
hatinya bergetar juga, pandangan matanya serasa berkunang.
Kalau dalam permainan jurus Sam-coan-hoat-lun tadi, yang
muncul tidak lebih hanya penambahan perubahan baru, maka jurus
serangan kali ini benar benar merupakan ciptaan baru yang telah
melewati lingkaran batas yang ada, walaupun merupakan ciptaan
baru namun sama sekali tidak bertentangan dengan teori pedang.
Jurus Pek-hok-liang-ci yang asli adalah serangan yang dilakukan
dengan tubuh melambung dan babatan pedang serong ke samping.
Walaupun luas lingkaran tidak ditentukan namun biasanya hanya
berada dalam ruang lingkup seluas satu tombak (3,3 m).
Sementara jurus Pek-hok-liang-ci yang digunakan Lan Giok-keng
saat ini jauh berbeda, begitu mata pedang digetarkan langsung dia
tarik kembali hingga ruang lingkup yang diciptakan lingkaran busur
tidak ter-lampau melebar, sementara dalam perjalanan pemTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/

bentukan lingkaran busur itu terasa hawa pedang yang
mengembang bagaikan gulungan ombak, hal ini membuat pihak
lawan tidak bisa menduga seberapa lebar jari-jari luas yang akan
dikembangkan hawa pedang itu.
Andaikata jurus serangan ini terlihat oleh para murid Bu-tong
yang berpegang teguh pada peraturan, mereka pasti akan
melontarkan pelbagai kritikan, menganggap jurus itu merupakan
ciptaan yang berdiri sendiri, sama sekali tidak bisa dianggap sebagai
bagian dari ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat.
Tapi manusia berkerudung itu sangat menguasai ilmu pedang
Thay-kek-kiam-hoat, kini boleh dibilang dia sudah memperoleh
warisan langsung dari Bu-siang Cinjin, baginya, dia sangat
memahami maksud ciptaan dari Lan Giok-keng ini.
Yang diburu bocah itu sekarang sudah bukan ciptaan baru lagi,
kini dia sedang mengejar keadaan dimana jurus pedangnya bisa
maha sakti, karena di dalam jurus inilah sudah terkandung seluruh
inti sari dari Thay-kek-kiam-hoat.
Mata pedang yang begitu menggetarkan lingkaran busur lalu
ditarik kembali melambangkan gerakan Bangau putih setelah
mengebaskan sayapnya, "getaran gelombang" melambangkan
getaran yang ditimbulkan karena gerakan sayap, kesemuanya ini
sangat mencocoki dengan teori pedang yang berbunyi "Thay-kek
berputar bulat, bergerak tanpa putus.”
Bagaimanapun manusia berkerudung itupun merupakan seorang
jagoan pedang yang lihay, begitu pandangan matanya terasa kabur,
cepat dia menggetarkan pedang kayu nya dan segera menciptakan
jurus baru pula untuk mematahkan ancaman lawan.
Keadaan saat itu persis seperti dua jago catur yang sedang
berhadapan, semakin hebat musuh yang dihadapi, biasanya setelah
melalui pemikiran yang matang akan diciptakan pula jurus baru,
bahkan seringkali merupakan langkah baru yang mematikan.
Gerak serangan yang dilakukan manusia berkerudung sekarang
boleh dibilang sama sekali bukan jurus mana pun dari Thay-kekTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/

kiam-hoat, bahkan dalam perguruan mana pun tidak pernah ada
jurus serangan semacam ini.
Namun gerakan pedang itu sudah jelas mengandung inti sari dari
ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat. Dia telah mengambil inti sari dari
ke tiga belas jurus Thay-kek-kiam-hoat yang dihimpun menjadi satu
gerakan jurus baru, jurus ciptaan baru yang belum sempat diberi
nama. Bahkan bukan hanya inti sari Thay-kek-kiam-hoat saja yang
sudah dilebur ke dalam jurus barunya ini. Sebagaimana diketahui,
dia sudah pernah mempelajari ilmu pedang dari pelbagai aliran,
Thay-kek-kiam-hoat merupakan ilmu pedang yang belum lama
dipelajari, meski saat ini boleh dibilang telah mencapai tingkat
sempurna, bagaimanapun masih terhitung tingkat pemula.
Yang menjadi dasar ilmu pedangnya selama ini adalah ilmu
pedang Elang terbang, Hui-eng-hui-sian-kiam-hoat, karena itulah di
dalam jurus ciptaan barunya kali ini, tanpa disadari dia telah
meleburkan pula inti sari ilmu pedang hui-eng-hui-sian-kiam-hoat ke
dalamnya.
Lan Giok-keng tidak memahami rahasia dibalik kesemuanya itu.
Dia hanya merasakan jurus serangan ini sangat kuat dan sama
sekali tiada titik kelemahan.
Kalau tiada titik kelemahan yang bisa dijumpai, bagaimana
mungkin bisa ditemukan kesempatan untuk meraih kemenangan?
Jurus ini merupakan jurus serangan terakhirnya, dia seolah sudah
berada diujung jalan, jalan dihadapannya telah disumbat mati orang
lain.
Tapi.... benarkah sudah tidak ada jalan lain?
Mendadak satu ingatan melintas dalam benaknya....
”mengangkat berat bagai menjinjing ringan", "dalam pandangan
tiada sapi utuh".
Begitu ingatan tadi menembusi otaknya, satu dunia baru pun
segera tercipta dalam benaknya.
Sebagaimana diketahui dalam ciptaan jurus barunya, manusia


berkerudung itu telah sertakan intisari dari dua rangkai ilmu pedang,
yang pertama adalah Thay-kek-kiam-hoat sedang yang lain adalah
Hui-eng-hui-sian-kiam-hoat yang telah dilatihnya sejak kecil. Satu
lembut satu keras, dua sifat yang berlawanan. Namun setelah
dipoles dan dilebur manusia berkerudung itu, penggunaan lembek
maupun keras ternyata bisa bersanding sejajar dan membentuk satu
kekuatan yang luar biasa.
Separutnya jurus itu disebut jurus ciptaan ter-bagus, terindah
yang pernah diciptakan selama ini, tapi sesuatu benda yang baru
memang tidak mungkin bisa sempurna sejak awal, persoalanya
adalah apakah kau bisa menemukan bagian mana yang belum
sempurna itu.
Lan Giok-keng segera membayangkan kembali kisah sang koki
menjagal sapi.
"Tusukan pisaumu ke dalam celah kosong antara tulang dengan
otot, karena menurut anatomi tubuh sapi, bagian sambungan otot
dengan tulang adalah bagian yang susah ditusuk dengan pisau,
apalagi menusuk tulang keras."
Sekarang dia sudah melihat "celah kosong" yang muncul di tubuh
lawan, dan....”Sreeeet!" sebuah tusukan kilat langsung dilontarkan!
Mimpi pun manusia berkerudung itu tidak menyangka kalau jurus
Pek-hok-liang-ci dari Lan Giok-keng masih memiliki perubahan yang
sangat mendadak dan tidak terduga.
Padahal seluruh konsentrasinya waktu itu sudah dicurahkan pada
pemecahan jurus itu, ibarat anak panah yang sudah dipentang, mau
tidak mau harus dilepaskan juga. Semua keraguan dan kesangsian
seketika dibuangnya jauh jauh.
Tadinya dia hanya menggunakan tenaga dalam sebesar tiga
bagian untuk menghadapi Lan Giok-keng, kekuatan sebesar tiga
bagiannya setara dengan kekuatan lima bagian dari bocah itu,
karenanya siapa pun yang menangkan jurus itu, tidak bakalan
sampai melukai pihak lawan.


Tapi kini dia seolah sudah melupakan pantangan itu, dalam jurus
serangannya kali ini dia telah sertakan tenaga dalamnya sebesar
tujuh, delapan bagian.
Dalam ilmu pedang, mungkin saja dia tidak mampu memecahkan
jurus serangan dari Lan Giok-keng ini, namun dalam hal tenaga
dalam, dia masih jauh melampaui kemampuan bocah itu. Akibatnya
kemungkinan besar ke dua belah pihak akan terluka parah, tapi
mungkin juga hanya Lan Giok-keng yang menderita luka parah.
Pada saat itulah tiba-tiba dia seolah mendengar ada seseorang
sedang berteriak memanggil, “Piauko,Piauko!"
Oleh karena ruang penjara itu di bangun dalam gua batu, suara
yang harus menembusi celah batu yang berlapis-lapis membuat
nada suaranya sama sekali berubah, kedengarannya seperti sayupsayup,
terkadang keras kadang lemah, kadang jauh terkadang
dekat.
Waktu itu seluruh konsentrasi Lan Giok-keng sudah terpusat jadi
satu, bahkan ujung pedang lawan pun seolah sudah lenyap dari
pandangan matanya. Kini dia sudah berada dalam kondiri "bukan
melihat dengan mata, tapi melihat dengan perasaan!". Persis seperti
teori Cuang-cu tentang sang koki yang menjagal sapi.
Bila seseorang telah berada dalam kondisi seperti ini, tentu saja
terhadap keadaan disekelilingnya dia ibarat memandang tapi tidak
melihat, mendengar tapi tidak masuk.
Suara panggilan itu masih mengalun tidak menentu, bahkan
Hwee-ko Thaysu yang sedang duduk bersemedi pun tidak bisa
membedakan apakah suara manusia atau suara angin.
Akan tetapi biarpun nada suara itu sudah berubah, namun
manusia berkerudung itu masih bisa membedakan suara dari
siapakah itu.
Sebab suara bisa berubah namun perasaan yang terselip dibalik
suara itu sama sekali tidak berubah.
Itulah suara dari Seebun Yan! Panggilan "Piauko" dari Seebun


Yan sudah berpuluh ribu kali didengarnya.
Mimpi pun dia tidak menyangka kalau Seebun Yan bakal muncul
di tempat itu.
Dia tidak ingin Lan Giok-keng mengetahui identitas diri yang
sebenarnya, bila Seebun Yan sampai muncul disitu, bukankah
rahasia jati dirinya akan segera terbongkar?
Begitu mendengar suara panggilan itu, tanpa sadar dia pun agak
tertegun.
Justru karena itu pula tenaga dalam sebesar tujuh bagian yang
sudah siap dilontarkan pun tanpa disadari menjadi kendor kembali.
"Sreeet!" secepat sambaran kilat ujung pedang Lan Giok-keng
telah menyambar kain kerudung di wajah manusia berkerudung itu
hingga terlepas.
Tenaga yang disertakan dalam sabetan pedang itupun digunakan
sangat tepat, dia hanya mencongkel lepas kain kerudung hitamnya
tanpa meninggalkan bekas sayatan diatas wajah lawan.
Bila dibandingkan si tukang pahat yang bisa menggunakan kapak
besar untuk membersihkan noda lumpur di ujung hidung orang,
tentu saja yang dilakukan Lan Giok-keng saat ini belum terhitung
seberapa, namun bagi pribadi dirinya, jelas ilmu pedang yang
diyakini telah mencapai sebuah taraf baru.
Hanya saja dia tidak meniru gaya sang koki selesai menjagal
sapi, "Dengan bangga kupandang empat penjuru, dengan hati-hati
kugosok pisauku dan menyimpannya kembali", sebab dia telah
melihat dengan jelas wajah asli orang itu, ternyata dia adalah
seseorang yang sama sekali tidak diduganya.
Manusia berkerudung itu bukan lain, dia adalah Tonghong Liang.
Hasil ini sebetulnya sudah berada dalam dugaan Hwee-ko
Thaysu, namun sama sekali diluar dugaan Lan Giok-keng.
Dalam waktu singkat dia pun sama seperti Tonghong Liang,
berdiri termangu-mangu!


Seebun Yan menyusup masuk ke dalam Toan-hun-kok dengan
menyaru sebagai salah satu bandit wanita yang sangat terkenal di
kalangan hitam dengan julukan Si Ular hijau Ting Lak-nio.
Siang Ngo-nio punya julukan sebagai si lebah hijau sedang Ting
Lak-nio bergelar Si Ular hijau, sering kali orang persilatan salah
menyangka mereka sebagai saudara angkat, padahal tidak demikian
keadaannya.
Kepandaian silat yang dimiliki Si Ular hijau masih kalah jauh
dibandingkan Si Lebah hijau, namun dia menang dalam soal usia,
dia pun beberapa kali pernah mendatangi Lembah pemutus sukma
dengan harapan bisa menggaet Kokcu Han Siang.
Tapi Han Siang waktu itu sudah berhasil mendapatkan Si Lebah
hijau Siang Ngo-nio, tentu saja dia tidak berani menggaet
perempuan ini lagi.
Ketika pertama kali menginjakkan kakinya di rumah keluarga
Han, mereka harus melaporkan identitasnya, maka Seebun Yan pun
menyaru menjadi Ting Lak-nio, sedang Lan Sui-leng menyaru
sebagai dayangnya, bukan saja dengan mulus berhasil memasuki
Lembah pemutus sukma, bahkan dengan sergapan tidak terduga
mereka pun berhasil menguasai Han Siang.
Sambil mencengkeram tulang Pi-pa-kutnya, Seebun Yan
menempelkan pedang pendek diatas punggungnya, lalu menghardik
keras, "Apa yang telah kau perbuat dengan kakak misanku? Kalau
aku sampai tidak dapat bertemu dengannya, segera akan kucabut
nyawamu!"
"Siapa Piauko mu?"
"Tonghong Liang!"
Begitu tahu orang yang dicari adalah Tonghong Liang, Han Siang
merasa sangat lega, katanya, "Ooh, ternyata kau adalah putri
Seebun Mu dengan nama Yan bukan?"
"Aku tidak punya waktu untuk berkenalan dengan mu, cepat
bebaskan Piauko ku!"


Han Siang tertawa.
"Aku adalah sahabat karib Piauko mu, mana mungkin menyekap
dirinya? Ayoh, ikuti aku!"
"Baik, cepat sebagai petunjuk jalan, aku melarang anak buahmu
untuk mengikutinya!"
Seebun Yan merasa kuatir terhadap dirinya, begitu pula dengan
Han Siang, dia pun menaruh perasaan was was terhadap gadis itu.
Benar, hubungannya dengan Tonghong Liang hingga dewasa ini
masih boleh dibilang sebagai rekan sekomplotan. Tonghong Liang
hendak menggunakan dia untuk mengatur Lan Giok-keng, sedang
diapun ingin menggunakan Tonghong Liang untuk membantunya
naik menjadi Liok-lim Bengcu.
Namun bagaimanapun juga Tonghong Liang adalah kakak misan
Seebun Yan, sedang Seebun Yan adalah putri dari musuh besarnya.
Sekalipun musuh besarnya telah lama meninggal, namun dendam
kesumat ini belum pernah terselesaikan.
"Begitu Tonghong Liang bertemu dengannya, mungkin dia bakal
menuruti perkataan gadis ini. Tapi bila aku tidak membiarkan dia
bertemu Tonghong Liang, bisa jadi nyawaku tidak bisa
diselamatkan!"
Dengan perasaan gundah dan kehabisan daya akhirnya Han
Siang mengajak Seebun Yan dan Lan Sui-leng menuju ke tempat
dimana Lan Giok-keng sedang disekap.
"Mana Piauko ku?" melihat dia menghentikan langkahnya,
Seebun Yan segera bertanya. "Berada di bawah.”
Seebun Yan segera pasang telinga, betul saja, lamat lamat dia
mendengar ada suara manusia di bawah sana, dengan penuh
kecurigaan pikirnya, 'Kelihatannya bukan hanya dia seorang yang
berada di bawah sana, bahkan kalau didengar suaranya seperti
suara orang bertempur'
Berpikir begitu dia pun menegur, "Apakah ruangan di bawah


sana adalah penjara?"
"Benar, penjara yang dibangun di perut bukit.”
"Lantas mengapa kau mengatakan tidak pernah mengurung
Piauko ku dalam penjara?" teriak Seebun Yan gusar.
Jari tangannya segera mencengkeram lebih kuat, membuat
tulang pi-pa-kut itu mengeluarkan suara gemerutuk keras, saking
sakitnya Han Siang sampai bermandikan peluh dingin.
"Nona, perkataanku belum selesai!" jerit Han Siang, "Tonghong
Liang sama sekali tidak dikurung dalam penjara, dia sendiri yang
masuk ke dalam penjara untuk bertarung pedang melawan
seseorang!"
"Bertanding pedang dengan seorang narapidana?" tanya Seebun
Yan keheranan.
"Benar. Saban hari Piauko mu selalu mendatangi penjara untuk
bertanding pedang. Kini pertarungannya belum selesai, malah
kedengarannya sudah mencapai saat yang paling penting. Nona
Seebun, bagaimana kalau kau menunggu sejenak?"
"Dia bertanding dengan siapa?"
"Rasanya seorang bocah muda yang bernama Lan Giok-keng.”
"Jadi Lan Giok-keng pun tersekap disini?" seru Seebun Yan
terperanjat.
"Benar, Piauko mu yang sengaja mengatur siasat dan menipunya
datang kemari.”
"Aku tidak percaya!" teriak Lan Sui-leng setelah tertegun sejenak,
"apa pun yang kau katakan, aku tidak percaya kalau Tonghong
Toako bakal membohongi adikku!"
Sekarang Han Siang baru tahu kalau gadis yang datang bersama
Seebun Yan tudak lain adalah kakak Lan Giok-keng, rasa kagetnya
semakin menjadi.
"Aku tidak mau menunggu lagi!" bentak Seebun Yan gusar, "ayoh


cepat buka pintu penjara itu!"
Di bawah ancaman dan paksaannya terpaksa Han Siang
menekan tombol rahasia dan membuka batu penutup penjara itu,
kini semua suara pembicaraan dari bawah kedengaran semakin
jelas.
"Piauko! Piauko!" teriak Seebun Yan.
Sekalipun tidak percaya dengan apa yang di dengar, tidak urung
Lan Sui-leng ikut berteriak juga, "Adik, adik!"
Ooo)*(ooO
Begitu pedang Lan Giok-keng berhasil mencongkel lepas kain
kerudung hitam milik Tonghong Liang, sontak dia berdiri tertegun,
berdiri seperti orang bodoh.
Dalam keadaan begini, teriakan dari Lan Sui-leng sama sekali
tidak terdengar olehnya.
Tonghong Liang benar-benar sangat malu, semisal disana ada
lubang, dia pasti sudah menerobos masuk ke dalamnya. Namun,
walaupun di tanah tidak ada lubang, diatas kepalanya masih ada
pintu lubang.
Sebenarnya setiap hari pada saat dan waktu yang telah
ditentukan, dia perintahkan orang diluar untuk membukakan pintu
gua, sekarang, walaupun saat yang dijanjikan belum tiba, namun
berhubung Han Siang telah membukakan pintu gua, tentu saja dia
enggan berdiam diri lagi dalam gua itu.
Menggunakan kesempatan ketika kesadaran Lan Giok-keng
belum pulih, Tonghong Liang segera menggunakan ilmu
meringankan tubuhnya untuk menerjang keluar dari tempat itu.
Kini tenaga dalam yang dimiliki Lan Giok-keng sudah pulih tujuh,
delapan bagian, dengan kemampuan yang dimilikinya sekarang,
diapun bisa menggunakan ilmu meringankan tubuhnya untuk
melakukan pengejaran.
Tapi pada saat itulah dia mulai mendengar suara teriakan dari


Lan Sui-leng, “Adik, adik!"
Hanya didalam waktu yang relatip singkat, dia harus menghadapi
dua kejadian yang mimpi pun tidak pernah dibayangkan
sebelumnya, benarkah semuanya ini merupakan kenyataan? Atau
hanya dalam impian? Pikirannya sangat kalut, sedemikian kalut
hingga nyaris jatuh dan hancur berantakan.
Begitu Tonghong Liang terbang keluar dari gua, tiga orang yang
berada diluar serentak berteriak keras, "Piauko, Piauko, kau.... kau
tidak apa-apa bukan?"
Seebun Yan segera melepaskan cengkeramannya atas Han Siang
dan menyusul di belakang kakak misannya.
"Tonghong Siauhiap, kau harus menjelaskan kejadian yang
sebenarnya!" teriak Han Siang pula sambil diam-diam melakukan
persiapan, kini dia sudah punya ingatan untuk "menyelamatkan diri
sendiri" hingga tidak berani lagi melakukan tindakan gegabah.
"Tonghong Toako, adikku, dia.... dia.... apakah....”
perasaan Lan Sui-leng diliputi kebingungan dan kepanikan hingga
perkataan yang diucapkan pun sampai tergagap.
Waktu itu Tonghong Liang benar-benar merasa sangat malu,
dalam keadaan begini mana mungkin dia bisa memberikan
jawabannya? Apalagi harus menjelaskan keadaan yang
sesungguhnya? Bagaimana mungkin dia bisa buka mulut?
Begitu berhasil menghindari tubrukan adik misannya, cepat dia
kabur menjauh sembari berseru, "Adikmu berada di bawah sana!"
Dia hanya bisa menjawab pertanyaan dari Lan Sui-leng. Karena
dia merasa telah berbuat salah terhadap Lan Giok-keng, karena itu
tidak sepantasnya untuk membohongi Lan Sui-leng pula.
"Tonghong Siauhiap,” kembali Han Siang berteriak keras, "mana
boleh kau pergi dengan begitu saja?"
"Maaf Han-kokcu, aku tidak bisa membantumu lagi!" seru
Tonghong Liang sambil kabur, "tahukah kau, sebetulnya bibi hendak


membunuhmu, sekarang aku tidak ingin membunuhmu, tapi tidak
bisa juga membantumu, lebih baik kau mengurusi diri sendiri!"
Han Siang merasakan hatinya bergetar keras, dia tidak berani
bicara lagi.
Begitu Seebun Yan bertemu kakak misannya, urusan apa pun dia
tidak ambil perduli. Sambil buru-buru mengejar, teriaknya, "Piauko,
tunggu aku, tunggu aku sebentar!"
Tinggal Lan Sui-leng seorang yang waktu itu masih berdiri
kebingungan hingga mirip dengan sebuah patung kayu.
Tonghong Liang adalah orang yang dihormati, mimpipun dia
tidak menduga kalau adiknya bisa tertipu gara-gara rencana busuk
dari Tonghong Liang, bahkan dia tidak segan berkomplot dengan
Han Siang, mengatur perangkap hingga memaksa adiknya jadi
tawanan.
Sementara dia masih kebingungan, mendadak terasa desingan
angin tajam berhembus lewat, tahu-tahu Han Siang telah
mencengkeram bahunya.
Ilmu Ki-na-jiu-hoat yang dimiliki Han Siang memang merupakan
ilmu hebat untuk pertarungan jarak dekat, apalagi ketika digunakan
untuk menghadapi seorang nona kecil yang sama sekali tidak siap.
Dia tahu Lan Sui-leng adalah kakak Lan Giok-keng, oleh sebab itu
gadis cilik itu harus dibekuknya sebagai sandera.
Karena menangkap sandera ada gunanya, tentu saja diapun tidak
berani mencengkeram remuk tulang Pi-pa-kut di tubuh Lan Sui-leng.
Dia sangat yakin dengan kemampuan ilmu Ki-na-jiu-hoat
miliknya, asal Lan Sui-leng sampai terjatuh ke tangannya, tidak
nanti gadis itu dapat meloloskan diri lagi.
Untung saja dia tidak melancarkan serangan mematikan, dan
perubahan yang terjadi kemudian jauh di luar dugaannya.
Ilmu silat yang dimiliki Lan Sui-leng meski masih jauh ketinggalan
bila dibandingkan adiknya, tapi selama beberapa bulan terakhir,


sama seperti adiknya, dia telah menjumpai banyak pengalaman
aneh, kemampuannya sekarang sudah berbeda jauh dengan
kemampuannya dulu.
Sesaat dia merendahkan bahunya, sebelum ke lima jari tangan
Han Siang berhasil mencengkeram tubuhnya, gadis itu sudah
meloloskan diri dari ancaman.
Han Siang tidak ingin membiarkan korbannya kabur, dengan
jurus Kwa-hau-teng-san (menunggang harimau mendaki bukit) dia
maju selangkah, kaki kirinya menyapu sepasang kaki lawan,
sementara telapak tangan kirinya berubah jadi ilmu cengkeraman,
langsung mengancam jalan darah I-khi-hiat dipinggang-lawannya.
Cepat Lan Sui-leng mengubah ilmu pedang Thay-kek-kiamhoatnya
jadi ilmu pukulan, mengikuti datangnya ancaman lawan, dia
membetot tangan musuh ke samping.
Inilah jurus meminjam tenaga untuk memukul balik, dia gunakan
tenaga lawan untuk menggiringnya menyambar ke arah lain. Coba
kalau gerakan ini dilakukan dengan sempurna, dapat dipastikan
tubuh lawan akan jatuh tertelentang.
Tapi sayang dalam gugup dan panik, dia seolah lupa dengan
kondisi tempat di sekitarnya.
Batu besar yang digunakan untuk menutup mulut gua saat itu
sudah bergeser ke samping, adapun tempat dimana dia berdiri
merupakan sisi mulut gua itu, di bawahnya adalah penjara bawah
tanah yang digunakan untuk menyekap adiknya.
Tatkala tangannya membetot ke samping, dia hanya berhasil
memunahkan setengah dari tenaga Han Siang, namun dia
sendiripun berhasil digerakkan juga oleh Han Siang.
Akibatnya pada saat yang bersamaan mereka berdua sama-sama
terjatuh ke dalam penjara bawah tanah.
Ketika Lan Sui-leng terjatuh ke bawah, saat itulah Lan Giok-keng
baru saja mendengar suara teriakan kakaknya, belum sempat
berbuat sesuatu, dia sudah melihat gadis itu terjatuh di


hadapannya.
Dalam keadan begini tanpa berpikir panjang lagi buru-buru dia
menyambut tubuh kakaknya.
Lan Sui-leng terjatuh dari tempat ketinggian, bisa dibayangkan
betapa besarnya kekuatan terjunnya, begitu menyambar tubuh
gadis itu, dengan cepat Lan Giok-keng berputar dua kali di tempat
sebelum akhirnya bisa berdiri tegak.
Lain halnya dengan Han Siang, dia adalah jago kawakan dari
dunia persilatan, selagi masih berada di tengah udara, dengan
gerakan burung manyar membalikkan badan, dia bersalto berulang
kali untuk mengurangi daya luncurnya.
Begitu ujung kakinya mencapai tanah, dia langsung berlarian
maju sejauh beberapa langkah, sekalipun dia jatuh belakangan
namun lebih cepat menguasahi tubuhnya daripada Lan Giok-keng.
Begitu berhasil menguasai diri, dengan cepat dia menemukan
kalau dirinya sedang berdiri di samping Hwee-ko Thaysu.
Waktu itu Hwee-ko Thaysu masih duduk bersila di atas lantai,
tenang bagaikan seorang pendeta yang sedang samadi.
Reaksi Han Siang cukup cepat, pertama karena dia sadar tidak
sanggup menghadapi kerubutan Lan Giok-keng dengan kakaknya,
kedua dia anggap Hwee-ko Thaysu sudah kehilangan tenaga dalam
hingga lebih gampang untuk dikuasahi. Maka begitu melihat
pendeta itu berada dihadapannya, dengan cepat dia gunakan ilmu
Hau-jiau-ki-na (ilmu cengkeram kuku harimau) untuk
mencengkeram tubuhnya kuat-kuat.
Begitu tersadar dari rasa kagetnya, Lan Sui-leng segera berteriak
keras, "Cepat hadapi bajingan tua itu!"
Lan Giok-keng menurunkan kakaknya sembari berpaling, begitu
melihat Han Siang menggunakan Hwee-ko Thaysu sebagai sandera,
dia segera menggetarkan pedangnya sambil membentak, "Cepat
bebaskan Hwee-ko Thaysu, kalau tidak akan kuhadiahkan sebuah
lubang tusukan di dadamu!"


Han Siang tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... bagus sekali, kalau memang bernyali, ayoh cepat
hadiahkan tusukanmu itu! Hehehehe.... sehebat apapun ilmu
pedangmu, mungkin kau musti menghadiahkan sebuah lubang
tusukan dulu di tubuh hweesio tua itu sebelum dapat melukai aku!"
Lan Giok-keng benar-benar sangat gusar, saking gemasnya dia
sampai menggertak giginya kuat-kuat. Sambil menggetarkan ujung
pedangnya, dalam waktu singkat dia telah memikirkan tujuh,
delapan macam cara untuk menjebol tubuh lawannya, namun pada
akhirnya dia tetap tidak berani menggunakan nyawa Hwee-ko
Thaysu sebagai taruhan.
Belum habis ingatan tersebut melintas, tiba-tiba terdengar suara
gemuruh yang sangat keras bergema memecahkan keheningan,
ternyata batu besar di atas gua telah tertutup kembali. Suasana
dalam ruang penjara pun pulih dalam kegelapan.
Perubahan yang terjadi sangat tiba-tiba itu tidak ditanggapi
kelewat serius bagi Lan Giok-keng, dalam anggapannya, orang di
luar sana tidak tahu akan kejadian yang sedang berlangsung di
dalam penjara, karena melihat Tonghong Liang telah pergi, maka
mereka menutup kembali mulut penjara itu.
Di masa lalu, setiap kali Tonghong Liang selesai bertanding
pedang melawannya, keadaan selalu berlangsung begitu. Di saat dia
akan melompat turun, batu dimulut penjara akan terbuka kemudian
menutup kembali, kemudian pada saat yang telah ditentukan, batu
itu akan menggeser kembali, di saat dia telah melompat keluar
maka batu pun akan menyumbat lagi.
Dua kali terbuka dua kali tertutup, hampir setiap hari terjadi hal
yang sama.
Namun bagi Han Siang, perubahan ini berlangsung sangat tibatiba
dan sama sekali diluar dugaannya, perubahan yang cukup
membuat perasaan hatinya bergetar keras.
Pertama, dia bisa masuk ke dalam penjara yang digubah dari gua


batu itu karena berada di bawah ancaman Seebun Yan, saat itu
cukup banyak anak buahnya yang hadir ditempat kejadian, saat ini
kejadian telah berlangsung cukup lama, berita itupun pasti sudah
tersebar luas kemana-mana, lalu siapa yang berani menutup pintu
gua itu sebelum dia meninggalkan tempat itu?
Kedua, batu raksasa penyumbat pintu gua itu beratnya mencapai
ribuan kati, tidak mungkin batu itu bisa digeser dengan tenaga
manusia, selama inipun dia melakukannya dengan bantuan alat
rahasia. Padahal hanya dia dan wakil Kokcu saja yang mengetahui
rahasia alat itu. Kecuali mereka berdua, biarpun seluruh anak
buahnya bersatu padu mendorong batu tersebut pun, tidak mungkin
mulut gua bisa tersumbat dalam waktu secepat itu.
Karenanya hanya ada satu kesimpulan, salah seorang
pembantunya, atau bahkan mungkin kedua orang wakilnya telah
manfaatkan kesempatan itu untuk melakukan pemberontakan.
Sementara hatinya masih dicekam kegugupan dan kekalutan,
tiba-tiba perutnya terasa kaku, perasaan kaku itu dengan cepat
menjalar sampai dimana-mana, lalu ke empat anggota tubuhnya
ikut menjadi kaku dan mati rasa.
Dalam terperanjatnya, buru-buru dia cengkeram tulang Pi-pa-kut
di tubuh Hwee-ko Thaysu, sayang waktu itu seluruh tenaga yang
dimilikinya hilang lenyap tidak berbekas.
Ketika ruang penjara tiba-tiba berubah jadi gelap gulita, dengan
perasaan kaget Lan Sui-leng segera berteriak, "Adik!"
"Jangan takut, aku berada disini,” sahut Lan Giok-keng.
Sambil mendekati adiknya kembali Lan Sui-leng bertanya,
"Apakah kau dapat melihat Hwee-ko Thaysu?"
"Benar, aku dapat melihatnya.”
Perlu diketahui, biarpun mulut gua telah tersumbat batu raksasa,
namun masih ada celah yang kemasukan cahaya, jadi sama sekali
bukan gelap seratus persen. Hampir setiap hari dia bertanding
pedang melawan Tonghong Liang dalam situasi seperti ini, sepasang


matanya telah terbiasa dengan suasana "kegelapan" semacam ini.
Berbeda dengan Lan Sui-leng, dia masih belum dapat
menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di sekelilingnya,
justru karena dia tidak dapat melihat Hwee-ko Thaysu maka gadis
ini belum tahu apakah pendeta itu sudah dicelakai Han Siang atau
tidak, itulah sebabnya dia mengajukan pertanyaan itu.
Lan Giok-keng memang bocah yang sangat cerdas, diapun
segera teringat kalau keadaan Han Siang tidak jauh berbeda dengan
kakaknya, ketika dari tempat terang benderang tiba-tiba terperosok
ke dalam kegelapan, maka betapapun hebatnya kungfu yang
dimiliki, sebelum matanya dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungan di sekelilingnya, tidak mungkin dia bisa melihat jelas
keadaan disitu. Atau dengan perkataan lain, dalam hal penglihatan,
kini dia memperoleh keuntungan besar.
Sambil menempelkan tubuhnya diatas dinding, perlahan-lahan
dia menggeser tubuhnya tanpa menimbulkan sedikit suara pun. Dia
bersiap melancarkan serangan tiba-tiba untuk membunuh Han
Siang.
Kini selisih jaraknya dengan Han Siang hanya sekitar tiga tombak,
walaupun tubuhnya bergeser sangat lambat, namun tidak selang
beberapa saat kemudian jangkauan pedangnya sudah cukup untuk
menusuk tubuh Han Siang.
Tapi disaat dia siap melakukan tindakan itulah tiba-tiba terdengar
Hwee-ko Thaysu berkata, "Giok-keng, Han-kokcu hanya mengajakku
bergurau, kau jangan menganggapnya serius!"
Lan Giok-keng melengak, ketika diperhatikan tampak Hwee-ko
Thaysu sudah bangkit berdiri, begitu berdiri diapun menepuk bahu
Han Siang sambil berkata, "Sobat lama, terima kasih kau bersedia
datang ke penjara untuk menjengukku, sudah terlalu lama aku
duduk disini, baiklah, kasur itu kuberikan untuk kau tempati.”
Oleh karena selama dua hari terakhir makanan yang dikirim sama
sekali tidak dicampuri bubuk pelemas tulang, saat ini tenaga dalam
yang dimiliki Hwee-ko Thaysu telah pulih tiga bagian. Andaikata


harus bertarung melawan Han Siang pun belum tentu pemilik
lembah pemutus nyawa ini sanggup menghadapinya. Saat itu jalan
darah Ih-khi-hiat di tubuhnya justru sudah ditotok oleh pendeta itu.
Tepukan yang barusan dilakukan kendatipun telah membebaskan
Han Siang dari pengaruh totokan, namun dalam kondisi seperti ini,
mana berani dia berkutik lagi? Tanpa sadar dia pun duduk diatas
kasur itu dan tidak bersuara lagi.
Kejut bercampur girang Lan Giok-keng segera bertanya, "Hweeko
Thaysu, apa yang sebenarnya telah terjadi?"
"Bukankah telah kukatakan, Han-kokcu hanya mengajak aku
bergurau.”
Lan Sui-leng maju menghampiri, tanyanya dengan penuh rasa
kuatir, "Hwee-ko Thaysu, kau benar-benar tidak bermasalah?"
"Bila kau tidak percaya, lihatlah sendiri!" sahut Hwee-ko Thaysu
sambil tertawa.
Setelah berdiri tegak, diapun mulai memukul sambil menendang,
jurus yang dimainkan adalah ilmu pukulan Lohan-kun dari Siau-limpay.
Lo-han-kun merupakan ilmu ilmu pukulan wajib yang harus
dipelajari setiap anggota Siau-lim, karena ilmu pukulan itu bisa
dipakai untuk melancarkan peredaran darah dan menyehatkan
rubuh.
Hwee-ko Thaysu tidak bermaksud mencuri belajar ilmu silat aliran
biara Siau-lim, tapi ilmu pukulan itu wajib dipelajari setiap hweesio
yang hidup dalam biara. Dia sebagai seorang hwesio juru masak
yang kedudukannya paling rendah dalam biasa, lagipula ketua
bagian dapur Liau-huan hweesio tidak tahu kalau dia punya asal
usul hebat, secara khusus mewariskan ilmu pukulan itu kepadanya,
tujuannya tidak lain agar dia bisa tetap sehat dan segar.
Sudah hampir sebulan lamanya dia terkurung dalam ruang
penjara itu, untuk melancarkan peredaran darah dan menyegarkan
tubuh maka diapun meninggalkan ilmu silat perguruan sendiri


dengan berlatih Lo-han-kun dari biara Siau-lim terlebih dulu.
Jangan disangka ilmu pukulan itu hanya sebuah ilmu sederhana,
begitu dimainkan pendeta itu segera terasalah deruan angin pukulan
yang memekikkan telinga, begitu hebatnya sampai Lan Giok-keng
termangu-mangu dibuatnya.
"Ternyata ilmu pukulan paling dasar dari biara Siau-lim pun
mengandung begitu banyak teori ilmu silat, rasanya tidak jauh
berbeda bila dibandingkan ilmu pedang Lian-huan-toh-beng-kiamhoat
dari partai Bu-tong kami.”
Sementara Lan Giok-keng menghela napas karena kagum, Han
Siang jauh lebih kaget lagi, dia tidak mengira pendeta itu begitu
tangguh.
Ketika memainkan sampai jurus yang terakhir, Hwee-ko Thaysu
melontarkan kepalannya menghajar dinding batu, membuat
bebatuan pun hancur berserakan.
Han Siang amat ketakutan, dengan jantung berdebar pikirnya,
'Ternyata tenaga dalam yang dimiliki hwesio tua ini luar biasa
hebatnya, sampai bubuk pelumat tulang pun tidak mampu berbuat
banyak, bisa jadi dia telah berlatih hingga ke taraf otot kawat tulang
baja. Rupanya selama sebulanan ini dia hanya berlagak kehilangan
ilmu silat! Aaai, aku masih menyangka dia paling gampang
ditangkap, semisal dia ingin membunuhku tadi, pasti bisa
dilakukannya segampang membalikkan telapak tangan!'
Han Siang mana tahu kalau kesemuanya ini bukan dikarenakan
Hwee-ko Thaysu berhasil melatih tubuhnya hingga mencapai
tingkatan otot kawat tulang baja, sebaliknya karena Liangsim
Tonghong Liang tersentuh, dia sangka Hwee-ko Thaysu benar-benar
jatuh sakit sehingga dalam dua hari terakhir tidak mencampuri
hidangan mereka dengan racun.
Sambil menarik kembali jurus serangannya ujar Hwee-ko Thaysu,
"Bagaimana? Kalian percaya bukan kalau aku tidak apa-apa?"
"Hwee-ko Thaysu!" seru Lan Sui-leng, "ternyata kungfu mu


sangat hebat. Tapi apa pun yang kau katakan, aku tidak percaya
kalau Han-kokcu adalah orang baik.”
"Aku memang tidak mengatakan kalau dia orang baik, tapi tiada
manusia yang sempurna di dunia ini, siapa berani mengatakan kalau
dirimu sepanjang hidup tidak pernah melakukan kejahatan?"
"Meski begitu, toh harus dibedakan. Misalnya kalau ada orang
ingin mencelakai sanak keluargaku, tentu saja aku tidak boleh
mengampuninya lagi.”
"Nona Lan, apa maksud perkataanmu itu?" tanya Hwee-ko
Thaysu agak tertegun.
"Hwee-ko Thaysu, bukankah dalam biara Siau-lim kau
mempunyai seorang murid yang menjadi hwesio tukang pikul air?"
"Benar. Dia bernama Liau-wan, seorang murid tidak resmiku.
Bukankah telah kukirim dia untuk menyampaikan kabar dari
Tonghong Liang untuk Seebun Yan. Oooh, juga pesan dari
adikmu....”
"Betul,” tukas Lan Giok-keng cepat, "tadi aku tidak sempat
memberitahukan kepadamu, akupun pernah titip pesan kepadanya.
Jadi kalian telah bertemunya?"
"Dia tidak datang ke Pek-hoa-kok, tapi berjumpa kami di tengah
jalan.”
"Bagaimana keadaannya?"
"Dia sudah mati dicelakai orang! Sewaktu bertemu kami berdua,
dia sedang dikerubuti dua orang, salah satu diantaranya
menggunakan ilmu Ki-na-jiu-hoat dari Han-kokcu. Sayang
kedatangan kami terlambat selangkah, meski terluka parah kedua
orang bajingan itu sempat melarikan diri, sedang Liau-wan terluka
sangat parah, dia hanya sempat menyampaikan pesan saja dan
belum sempat berpesan apa-apa, dia.... dia telah meninggal dunia!"
Han Siang menundukkan kepalanya makin rendah, katanya,
"Orang itu adalah keponakanku bernama Han Seng, luka yang


dideritanya pun tidak enteng, kini sudah menjadi orang cacat.”
"Sudah sepantasnya kalau orang jahat macam dia jadi cacat
seumur hidup!" seru Lan Sui-leng, "aku ingin tanya, kenapa kau
utus orang untuk membunuh murid Hwee-ko Thaysu?"
"Aku sama sekali tak tahu kalau dia adalah murid Hwee-ko
Thaysu, yang kuketahui dia adalah kurir pembawa berita.
"Han Seng hanya mendapat perintah dariku untuk melarang
siapa pun berangkat ke Pek-hoa-kok untuk menyampaikan berita.
Sebab kami sedang bermusuhan dengan kelompok yang dipimpin
Liok Ki-seng, kawanan jago itu adalah bekas anak buah suami
Seebun-hujin dari Pek-hoa-kok semasa masih hidup dulu, oleh
karenanya kami harus meningkatkan kewaspadaan dan sementara
waktu menghentikan semua berita yang akan masuk ke Pek-hoakok.
Tapi aku tidak menyangka bakal.... Han Seng, dia.... ternyata
dia....”
Lan Giok-keng sendiripun menaruh kesan baik terhadap Liauwan,
serunya dengan jengkel, "Kau tidak menyangka? Hmmm! Kau
anggap perkataanmu itu bisa membohongi siapa? Bukankah
kesemuanya ini disebabkan karena kau ingin menjadi Liok-lim
Bengcu? Sudah jelas kaulah yang perintahkan keponakanmu untuk
melakukan kejahatan, masih berani menyangkal dan berkelit?"
"Mau disangka atau tidak menyangka, yang pasti murid Hwee-ko
Thaysu telah mati karena ulahmu,” ujar Lan Sui-leng pula, "buat apa
kau masih menyangkal? Hmmm, disangka dengan alasan yang
macam-macam maka dia orang tua akan mengampuni nyawamu.”
Sejak awal Han Siang memang tidak percaya kalau Hwee-ko
Thaysu bakal mengampuni kesalahannya, maka sahutnya lantang,
"Betul, Hwee-ko Thaysu! Apapun yang akan kukatakan, kematian
muridmu memang tidak bisa terlepas dari sangkut paut diriku. Mau
dibunuh, mau dicincang, terserah keputusanmu!"
Hubungan Hwee-ko Thaysu dengan Liau-wan selama ini ibarat
ayah dan anak, begitu mendengar kabar duka ini, meski dia telah
berusaha mengendalikan gejolak emosi pun tidak urung basah juga


sepasang matanya karena air mata.
Lan Giok-keng pun menaruh kesan baik dengan Liau-wan,
membayangkan bagaimana hwesio yang jujur dan setia itu tewas
secara mengenaskan gara-gara menyampaikan beritanya, kemudian
membayangkan pula penderitaan yang dialaminya hampir sebulan
lebih dalam penjara, tanpa terasa sama seperti kakaknya, dia mulai
meraba gagang pedangnya sambil melotot gusar ke arah lawan.
Waktu itu sepasang mata Han Siang sudah mulai dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan gelap disekelilingnya,
menghadapi sorot mata gusar dari Lan Sui-leng kakak beradik,
bergidik juga hatinya di samping dia pun merasa jengkel bercampur
gusar.
Tiba tiba ujarnya sambil tertawa mengenaskan, "Gara gara
keponakanku membunuh orang, kalian datang membuat
perhitungan denganku, sementara keluargaku mati dibunuh orang,
kepada siapa aku harus membuat perhitungan?"
"Siapa yang telah membunuh keluargamu? Kau....”
Sebetulnya Lan Sui-leng ingin bilang, “siapa yang membunuh
keluargamu, bikinlah perhitungan dengan orang itu", tapi sebelum
dia menyelesaikan perkataannya, dengan dingin Han Siang telah
menukas, "Nona Lan, buat apa kau berlagak pilon?"
Lan Sui-leng melengak, serunya, "Aku tidak pernah kenal
dengamu, darimana bisa tahu urusan keluargamu?"
"Bukankah kau menyebut saudara dengan Seebun Yan?"
"Kalau benar lantas kenapa?"
"Orang yang membunuh istri dan anakku adalah ayahnya,
Seebun Mu. Seluruh anggota keluargaku tewas ditangannya, hanya
tersisa seorang keponakanku itu saja.”
"Seebun Mu sudah lama mati!"
"Apakah dengan kematiannya maka semua dendam kesumat
dianggap selesai? Dia sudah mampus, tapi toh masih punya seorang


anak perempuan.”
"Seebun Yan sama sekali tidak tahu akan persoalan ini.”
"Darimana kau tahu kalau dia tidak mengetahui persoalan ini?"
"Masa kau akan membuat perhitungan dengan dirinya? Dia tidak
pernah membunuh anggota keluargamu!"
"Murid Hwee-ko Thaysu pun bukan mati di tanganku!"
"Mana boleh kau bandingkan dengan cara begitu?”
“Di dalam pandanganku tidak ada perbedaan yang kelewat besar,
penyebab kematian memang berbeda, tapi semua orang
mempunyai orang terdekatnya yang mati terbunuh.”
Lan Giok-keng tertawa dingin.
"Hmmm, bicara pulang pergi, intinya kau hanya ingin Hwee-ko
Thaysu mengampuni jiwamu,” jengeknya.
"Kau keliru besar. Kalau persoalannya pun sudah kupahami, buat
apa lagi minta ampun kepada Hwee-ko Thaysu?"
Lan Sui-leng sedikit tercengang, dengan perasaan tidak habis
mengerti katanya, "Tadi kau masih berusaha menyangkal dengan
alasan yang berbelit, kenapa secara tiba-tiba sudah merasa
paham?"
"Tahukah kau apa yang kupahami?”
“Katakan!"
"Yang kupahami adalah hukum rimba, siapa kuat dia menang,
siapa lemah dia tersingkirkan. Kepandaian silatku kalah jauh dari
Seebun Mu, selain mempunyai banyak teman, ilmu silatnya pun jauh
diatas kemampuanku. Karena itu bukan saja semasa hidupnya dulu
aku tidak bisa membalas dendam, setelah matipun sulit bagiku
untuk menyudahi perselisihan ini. Tapi Hwee-ko Thaysu bila ingin
membunuhku, hal ini bisa dia lakukan segampang membalikkan
tangan. Kalau toh di dunia ini berlaku hukum rimba, jangan lagi aku
tidak pakai aturan, tahu aturanpun hanya bisa mandah dia bunuh.”


"Sebuah pemahaman yang ngawur dan tanpa dasar!" umpat Lan
Giok-keng, "tidak bakal Hwee-ko Thaysu termakan oleh siasat
busukmu itu.”
Tiba-tiba Hwee-ko Thaysu merangkap tangannya di depan dada
sambil berkata, "Tubuh akan berubah pada saat yang telah
ditentukan, segala sesuatunya berjalan cepat bagaikan cahaya kilat,
bagai curahan air, untuk apa kau pikirkan selalu.
"Mati dan hidup akan selalu berputar, tiada awal tiada akhir,
jangan kau pikirkan, karena semuanya kosong!"
Mendengar perkataan itu Lan Giok-keng tertegun, tanyanya
tanpa sadar, "Hwee-ko Thaysu, jadi kau tidak akan membalaskan
dendam atas kematian muridmu?"
"Kau membunuh orang, orang membunuhmu, dendam sakit hati
silih berganti, sampai kapan semuanya akan berhenti? Ajaran
Buddha mengutamakan cinta kasih, selamatkan umat manusia dari
segala dosa. Sekalipun aku bukan hidup dalam biara, namun
perasaan hatiku tetap berada dalam ajaran Buddha.”
Han Siang nyaris tidak percaya dengan pendengar an sendiri,
tanpa terasa teriaknya, "Barusan saja aku ingin melukaimu, apakah
kau tidak mempermasalahkan kejadian itu?"
"Hudcouw mengiris daging sendiri untuk memberi makan burung
elang, bukankah tujuannya adalah menyelamatkan semua
kehidupan di dunia ini? Tentu saja latihanku belum bisa mencapai
ke taraf seperti itu, tapi niat dan pikiranku sudah tertuju ke sana.”
Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya, “Dendam
kesumat, saling membunuh, balas dendam merupakan peristiwa
yang sukar dihindari dalam dunia persilatan. Aku tidak berani
mengatakan siapa benar siapa salah dalam perselisihanmu dengan
Seebun Mu, tapi tindakan Seebun Mu yang telah membasmi habis
seluruh anggota keluargamu jelas merupakan satu perbuatan yang
kelewat batas. Aku dan Seebun Mu adalah sahabat karib, karena
aku tidak berusaha menghalangi perbuatannya dimasa lalu, jelas
akupun turut berdosa dalam hal ini. Han-kokcu, bersediakah kau


memandang diatas wajahku dengan menyelesaikan semua dendam
kesumat itu sampai disini saja?"
Han Siang kegirangan setengah mati, serunya, "Hwee-ko Thaysu,
terima kasih banyak kemuliaan hatimu, selembar nyawa ku pun
hasil pemberian darimu, mana mungkin aku tidak akan mentaati
perintahmu? Justru yang aku kuatirkan adalah aku bersedia
menyelesaikan masalah ini, belum tentu Seebun-hujin bersedia
mengakhirinya.”
"Aku akan berusaha membujuk Seebun-hujin. Namun masalah
Liok Ki-seng dan komplotannya bersedia menuruti perkataan
Seebun-hujin atau tidak, aku tidak berani menjamin seratus persen.”
Han Siang jadi kegirangan setengah mati.
"Asal Seebun-hujin tidak lagi memberi perlindungan kepada
mereka, aku masih mampu untuk menghadapi orang orang itu!"
Dari ucapan tersebut Hwee-ko Thaysu segera dapat mengambil
kesimpulan kalau ambisi Han Siang belum padam, dalam kenyataan
dia belum bersedia lepas tangan dengan begitu saja. Namun diapun
tidak berkata apa-apa lagi.
"Han-kokcu,” ujar Lan Giok-keng dingin, "Hwee-ko Thaysu telah
mengampuni jiwamu, sekarang tentunya kau bisa segera membuka
pintu penjara dan membiarkan kami pergi bukan?"
Kini sepasang mata Han Siang pun lambat laun sudah terbiasa
dengan kegelapan, setelah merasa gembira tadi, kembali ujarnya
sambil tertawa getir, "Hwee-ko Thaysu, padahal kau hendak
membunuhku atau tidak, sama saja!"
"Apa maksud Kokcu berkata begitu?"
"Biarpun kau tidak membunuhku pun, nyawaku sulit untuk
dipertahankan. Semisal aku mati pun tidak masalah, tapi akibatnya
kalian pun jadi ikutan terseret.”
"Kenapa bisa begitu?"
"Kita hanya bisa keluar dari gua ini bila memanjat lewat mulut


gua diatas sana, sekarang batu raksasa itu telah menyumbat
kembali, tidak sembarangan orang dapat menggesernya!"
"Kenapa Tonghong Liang bisa masuk keluar semau sendiri?"
tanya Lan Giok-keng.
"Itu dikarenakan akulah yang menggerakkan alat rahasia dari
luar.”
"Masa kau tidak bisa menyuruh orang diluar untuk membukakan
pintu?" seru Lan Giok-keng sambil tertawa.
Han Siang segera tertawa getir.
"Tadi akulah yang membuka pintu gua itu, tapi segera
menyumbat nya kembali, padahal penyumbatan itu bukan berasal
dari perintahku. Mengertikah kau sekarang?"
Hwee-ko Thaysu memang sudah menduga sampai ke situ, segera
katanya, "Han-kokcu, maksudmu ada anak buahmu yang telah
berkhianat?"
"Mungkin orang itu adalah orang yang paling kupercaya!" sahut
Han Siang sambil menghela napas.
Baru saja berkata sampai disitu, betul saja, dari luar gua sana
terdengar suara keributan.
Mula-mula terdengar ada orang membentak nyaring, "Dilarang
menuju ke sana!"
Menyusul kemudian terdengar suara ribut dan caci maki dari dua
kelompok manusia.
"Kenapa kami tidak boleh ke sana?"
"Pan-kokcu bakal memberi penjelasan kepada kalian, harap
jangan gelisah dan bertindak gegabah, segera kalian akan tahu.”
"Han-kokcu belum lagi mati, darimana datangnya Pan-kokcu?"
"Kita semua adalah sesama saudara, kenapa harus saling ribut?
Tapi kalau ada yang enggan memberi muka kepadaku, hahaha....


jangan salahkan kalau aku pun tidak akan sungkan sungkan
kepadanya!"
Suara orang itu nyaring bagai suara genta, ketika bicara sampai
disitu tiba-tiba hardiknya, "Barang siapa berani melewati pembatas
batu itu, panah sampai mampus!"
Begitu ancaman diucapkan, suasana yang semula ribut pun
seketika jadi tenang kembali.
"Siapakah orang itu?" tanya Lan Giok-keng kemudian.
Han Siang tertawa getir.
"Dia adalah wakil Kokcu ku bernama Pan Toa-cau, tampaknya dia
berencana hendak merebut kekuasaanku, tapi untung saja masih
ada kelompok lain yang membantuku....”
Belum habis dia berkata, terdengar seseorang telah berseru
sambil tertawa dingin, "Bagus, Pan Toa-cau, kalau berani bunuhlah
aku!"
"Orang ini adalah wakilku yang lain,” cepat Han Siang
menjelaskan, "dia bernama Be It-tong. Aduh.... celaka!"
Dia tempelkan telinganya di atas dinding batu, terdengar suara
desingan anak panah bergema membelah angkasa, lalu terdengar
Be It-tong berteriak, "Melukai orang dengan panah gelap, terhitung
manusia....”
Belum selesai perkataan itu diucapkan, tiba-tiba suaranya
terhenti dan suasana pun berubah jadi sunyi kembali.
Tidak terlukiskan rasa kaget Han Siang, mungkinkah Pan Toa-cau
dengan komplotannya benar-benar bertindak brutal dengan
memanah mati Be It-tong dan konco-konconya?
Tiba-tiba terdengar Pan Toa-cau berkata lagi dengan nada
dingin, "Pentang mata mu lebar-lebar, apakah kau ter-luka? Hmmm,
sejak awal sudah kukatakan, barang siapa berani melewati
pembatas batu itu, panah sampai mampus. Hmmm, kalau benarbenar
sampai terpanah pun jangan salahkan kalau aku melepaskan


panah gelap!"
Ternyata dua orang anak buah Be It-tong berusaha ikut melewati
pagar pembatas batu itu, namun anak panah segera menyambar
lewat dari sisi tengkuknya, membuat mereka jadi kaget, ketakutan
dan buru-buru mundur kembali.
Saat itu Be It-tong sudah melewati pagar pem-batas, ketika
berpaling dan melihat kedua orang kepercayaannya tidak terluka,
dia pun merasa lega.
Kembali Pan Toa-cau berkata, "Lo-sam, harap kau kendalikan
anak buahmu, kali ini, memandang kita berdua masih tetap
bersaudara, aku masih berlaku sungkan, tapi kalau sampai berani
melanggar lagi, jangan salahkan kalau aku bertindak tegas!"
"Mengapa kau berani melawan atasan sendiri dengan mengurung
Han-kokcu dalam penjara bawah tanah?" tegur Be It-tong.
"Losam, kau jangan marah dulu, tahukah kau Tonghong Liang
telah pergi?"
"Apa sangkut pautnya kepergian dia dengan Toan-hun-kok?"
"Sebenarnya Tonghong Liang telah menyanggupi permintaan
Kokcu untuk membantunya, tapi dengan kepergiannya, apa lagi
yang bisa diharapkan Kokcu?"
"Memang lebih baik bila mendapat bala bantuan dari luar, namun
tidak mendapat bantuan dari luar pun bukan berarti kita tidak berdiri
sendiri. Menurut pendapatku, dengan hilangnya bantuan dari luar,
kita semua seharusnya lebih bersatu padu untuk menghadapi setiap
persoalan bersama-sama. Kenapa gara gara kepergian Tonghong
Liang, kau malah timbul niat untuk memberontak?"
Setelah melihat situasi tidak menguntungkan pihaknya, nada
bicara Be It-tong jauh lebih melunak, dia berharap bisa membujuk
Pan Toa-cau agar mengurungkan niatnya memberontak.
"Sayang ambisi Lotoa bukan hanya ingin menancapkan kaki saja
dalam rimba hijau,” kata Pan Toa-cau.


"Semisal kau kurang setuju dengan rencana Lotoa, toh kita bisa
duduk bersama sambil merundingkan kembali persoalan ini!"
"Hmm, kau bukannya tidak tahu bagaimana watak Lotoa,
tampilannya saja nampak halus dan lembut, padahal dia tidak
pernah mau mendengar masukan dari orang lain. Hanya saja,
sekarang akupun tidak ingin berdebat lagi denganmu mengenai
pandanganku yang berbeda dengan Lotoa. Aku hanya ingin
memberitahukan satu hal kepadamu, diantara dua orang gadis yang
datang barusan, salah satu diantaranya adalah putri Seebun Mu!"
"Aku sudah tahu akan hal ini. Lantas kenapa?"
"Hal ini menunjukkan kalau rencana Kokcu semula yang ingin
menggunakan jasa Tonghong Liang untuk mencari penyelesaian
damai dengan Seebun-hujin sudah tidak mungkin terlaksana lagi!"
"Seebun-hujin pun belum tentu mampu menyapu rata Toan-hunkok
kita!" tukas Be It-tong.
Pan Toa-cau tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha,.... Losam, di hari biasa kau selalu hati- hati dan
berbobot kalau bicara, kenapa perkataan-mu hari ini kehilangan
nalar sehat. Untuk menghadapi Liok Ki-seng dan gerombolannya
saja kita sudah kewalahan dan tidak sanggup menghadapi, kau
sangka dengan kekuatan yang kita miliki masih mampu menghadapi
musuh tangguh lain?"
Biarpun Be It-tong telah berusaha mengendalikan diri, akhirnya
habis sudah kesabarannya, dengan suara keras teriaknya,
"Bagaimana pun juga, kau tidak seharusnya mencelakai Kokcu
sendiri!"
"Bukan aku yang mendorongnya, Kokcu sendiri yang terjatuh ke
dalam penjara batu itu. Losam, kau jangan terburu napsu,
bagaimana kalau dengarkan lagi pendapatku?"
"Oooh, pendapat apa lagi yang hendak kau sampaikan?"
"Berbicara soal kekuatan, kita tidak akan mampu melawan


kekuatan Liok Ki-seng dan komplotannya, apa salahnya bila kita
berbagi daerah kekuasaan saja dengan mereka dan biarkan dia
menjadi Liok-lim bengcu wilayah utara....”
Be It-tong segera mendengus, tukasnya, "Lantas siapa yang akan
menjadi Liok-lim Bengcu wilayah selatan?"
Kembali Pan Toa-cau tertawa tergelak.
"Mau kau atau aku sama saja, yang penting bukan Lotoa yang
memangku jabatan tersebut! Dendam kesumatnya dengan keluarga
Seebun sudah terlanjur mendalam, bila dia yang menjadi Bengcu,
sudah pasti Liok Ki-seng dan komplotannya tidak bakal setuju!"
Be It-tong segera tertawa dingin, sindirnya, "Oooh, ternyata
sejak awal kau telah berunding dengan Liok Ki-seng? Hmmm,
hmmm, apakah kau ingin menggunakan kesempatan baik pada hari
ini untuk melenyapkan Lotoa?"
"Hey, jangan kau bayangkan aku begitu kejam dan berhati buas,
jelek-jelek begini aku masih mempunyai hubungan persaudaraan
hampir dua, tiga puluh tahun dengannya, tidak mungkin aku
gunakan kesempatan ini dengan mendorongnya masuk penjara.”
"Lalu kenapa kau melarangku membebaskan dirinya keluar dari
sana?"
"Masalah ini adalah masalah tersendiri, bila kau membebaskan
dirinya, Liok Ki-seng dan komplotannya tidak bakalan melepaskan
kita semua!"
"Kalau begitu kau akan membiarkan dia mati di dalam penjara?
Hmmm, bukankah sama saja artinya!"
"Aku pun tidak akan membiarkan dia mati sendiri. Bukan aku
yang tidak mau, tapi orang lain tidak akan membiarkan dia hidup.”
"Maksudmu masih ada orang lain yang hendak membunuhnya?
Siapakah mereka?"
"Orang-orang yang semula terkurung dalam penjara.”


Kontan saja Be It-tong tertawa dingin, katanya, "Tenaga dalam
yang dimiliki hwesio tua dari biara siau-lim itu sudah punah,
sementara Lan Giok-keng si bocah cilik itu, hmmm, kau sangka dia
sanggup membunuh Lotoa kita?"
"Hampir setiap hari dia berlatih pedang dengan Tonghong Liang,
sedikit banyak Tonghong Liang pasti akan menyisakan dua, tiga
bagian tenaga dalam untuknya bukan? Siapa tahu saat ini Lotoa
sudah mati dibunuh bocah itu. Karenanya kuanjurkan lebih baik kau
sedikit hemat tenaga. Kalau ingin membuka pintu gua pun lebih baik
menunggu beberapa hari lagi.”
"Kenapa?"
"Kita tunggu saja sampai bocah itu kelaparan setengah mati, bila
matanya sudah berkunang dan kepalanya pening, kita akan
membekuknya dengan lebih gampang. Kalau tidak, bila sekarang
juga kau membuka pintu gua secara sembarangan, andai bocah itu
sampai kabur, hmmm, bukan saja kau tidak dapat membalaskan
dendam bagi Lotoa, malah sebaliknya akan terluka oleh pedang Lan
Giok-keng!"
Be It-tong semakin naik pitam, teriaknya, "Bila kau pandang
rendah diriku, aku masih bisa menerimanya, tapi kau berani
memandang rendah kemampuan Lotoa? Jangan lagi tenaga dalam
bocah itu baru pulih dua, tiga bagian, biar sudah pulih semua pun
belum tentu Lotoa bakal kalah ditangannya. Jika dia berani turun
tangan, Lotoa pasti akan membunuhnya lebih dulu.
"Aku rasa belum tentu begitu! Kau tidak hadir sewaktu Lan Giokkeng
datang hari itu, kau pun belum pernah menyaksikan ilmu
pedangnya, tapi aku pernah melihatnya. Oleh sebab itu aku tidak
setuju dengan tindakanmu yang mengambil resiko, apalagi
melepaskan harimau kecil keluar kerangkeng dalam keadaan
begini!"
Be It-tong benar-benar amat gelisah, segera bentaknya, "Jadi
berbicara pulang pergi, kau tetap berniat mengulur waktu dengan
membiarkan Lotoa mati terkurung di dalam penjara! Hmmm,


sekalipun benar seperti yang kau katakan, Lotoa tidak mampu
menandingi bocah kecil itu, sudah seharusnya kita lebih cepat
masuk ke dalam gua untuk membantunya!"
"Losam, aku tidak bisa membiarkan saudara saudara kita
mengalami kerugian gara-gara keputusan-mu, bila kau bersikeras
dengan kehendakmu, jangan salahkan kalau aku tidak akan
mengingat lagi hubungan persaudaraan di masa lalu.”
Berubah paras muka Be It-tong.
"Kalau sampai Lotoa pun berani kau celakai, sudah kuduga, kau
pun tidak akan membiarkan aku hidup terus!"
Han Siang yang berada dipenjara bawah tanah hanya bisa
mendengar suara bentrokan senjata yang lamat-lamat
berkumandang datang, ujarnya kemudian dengan sedih,
"Seandainya Be It-tong tidak terburu napsu, mungkin dia masih bisa
bertahan dua, tiga ratus gebrakan, tapi begitu terdorong napsu,
mungkin sebelum seratus gebrakan pun selembar nyawanya sudah
bakal hilang di tangan Pan Toa-cau.”
"Bila Be It-tong sampai mati, bukankah tidak ada orang lagi yang
akan melepaskan dirimu?" tanya Lan Giok-keng.
Han Siang tertawa getir.
"Benar, kecuali aku yang mengetahui cara menggerakkan tombol
rahasia itu, hanya Pan dan Be berdua saja yang tahu.”
"Kenapa kau tidak ajarkan saja cara membuka alat rahasia itu
kepada Lan Giok-keng?" tiba tiba Hwee-ko Thaysu berkata.
"Tentu saja boleh. Tapi alat rahasia itu baru bisa dibuka bila kita
berada diluar sana.”
Sementara dalam hatinya berpikir, "Bila bocah ini bisa keluar,
berarti akupun bisa keluar. Apa gunanya bicara tidak bermakna
seperti itu?"
Siapa tahu belum habis ingatan itu melintas lewat, terdengar
Hwee-ko Thaysu telah berkata lagi, "Orang lain mungkin susah


untuk keluar, tapi Lan Giok-keng punya harapan untuk keluar dari
sini. Maksudku, biar dia seorang yang keluar terlebih dahulu,
kemudian menggunakan cara yang kau ajarkan untuk membuka
penyumbat mulut gua itu.”
"Tapi aku tidak mempunyai kemampuan untuk menggeser batu
besar penyumbat gua itu!" seru Lan Giok-keng terperanjat.
"Apa kunci utama ilmu silat aliran Bu-tong-pay kalian?" tanya
Hwee-ko Thaysu.
"Dengan tenang mengatasi gerak, bertindak belakangan
mencapai sasaran duluan.”
"Selain itu?"
"Meminjam tenaga memukul tenaga, dengan tenaga empat tahil
menggeser beban seribu kati.”
"Nah itulah dia, berapa besar kekuatan yang kau miliki? Seratus
kati tentunya ada bukan?"
"Seharusnya ada,” jawab Lan Giok-keng seolah baru menyadari
akan hal itu.
"Kalau kekuatan empat tahil pun bisa menggeser beban seribu
kati, coba hitunglah seratus kati itu beberapa kali lipat dari empat
tahil?"
"Menurut teori ilmu silat perguruanku memang berkata begitu,
Cuma, ke satu, aku masih jauh dari tingkatan sehebat itu, ke dua,
batu besar yang menyumbat gua itu adalah benda mati, tidak bisa
meminjam kekuatan dari situ, lagipula akupun tidak mempunyai
tempat untuk berpijak.”
"Menurut penilaianku, pertama, kemampuan ilmu silatmu sudah
mencapai tingkatan dimana kau sendiripun tidak menduga, dengan
kemampuan yang kau miliki sekarang, mungkin saja masih belum
mampu untuk menyingkirkan batu penyumbat gua itu, tapi bukan
berarti tidak bisa menggesernya sedikit dari posisi semula. Ke dua,
batu raksasa itu bukan batu alam yang sejak jaman dulu sudah


berada disana, melainkan dipindahkan orang dari tempat lain,
dengan perkataan lain batu itu tidak berhubungan langsung dengan
mulut gua diatas. Inilah yang dikatakan ajaran Cuang-cu sebagai
"tempat luang". Meski tidak bisa meminjam kekuatannya, kau toh
bisa manfaatkan tempat luang itu untuk menggesernya ke
samping!"
Bagaikan orang kebingungan yang tiba-tiba memperoleh
petunjuk, pikiran Lan Giok-keng langsung menjadi cerah kembali,
ujarnya, "Pagi tadi, sewaktu bertanding pedang melawan Tonghong
toako, aku telah menggunakan teori "sang koki menjagal sapi"
untuk memecahkan jurus Pek-hok-liang-ci dari Tonghong toako. Aku
tidak tahu apakah teori yang sama dapat pula digunakan untuk
menggeser batu raksasa diatas mulut gua.”
"Ajaran ilmu silat adalah penggabungan dari pelbagai sumber
dan teori, aku tidak tahu apakah sewaktu Thio Cinjin menciptakan
Thay-kek-kun, dia mendapat pencerahan dari ajaran Cuang-cu, tapi
Sim-hoat tenaga dalam perguruanmu sangat sesuai dengan ajaran
dari Chuang-cu, dengan bakat dan kecerdasan yang kau miliki,
rasanya tidak sulit untuk memahami teori itu.”
Ucapan tersebut segera membangkitkan kembali pengharapan
dalam hati Han Siang, katanya pula, "Betul sekali, berhasil atau
tidak, apa salahnya untuk dicoba? Bila kau hanya kuatir karena tidak
punya tempa t berpijak, aku dapat membantu usahamu itu.”
Sambil berkata tubuhnya melambung ke udara, ilmu Tay-engjiau-
lek kebanggaannya segera digunakan, dengan ke lima jarinya
yang kuat bagaikan kaitan dia cengkeram dinding batu dan
menciptakan sebuah lekukan di atas dinding keras itu, lekukan yang
persis digunakan untuk tempat berpijak.
Demikianlah dia mengulang hal tersebut sebanyak tiga kali,
dalam waktu singkat dia telah menciptakan tiga buah tempat
pijakan untuk bocah itu.
Lan Giok-keng kegirangan, serunya, "Han-kokcu, terima kasih
banyak untuk bantuanmu. Aku segera akan mencobanya.”


"Kini harapan hidupku sudah kusandarkan padamu, buat apa kau
malah berterima kasih? Tapi tunggu sebentar, biar kuajarkan dulu
cara untuk membuka tombol rahasia itu.”
Ternyata caranya tidak terlampau rumit, hanya saja karena area
tempat alat rahasia itu disembunyikan terlalu luas sehingga untuk
sesaat sulit baginya untuk menerangkan hingga jelas.
Dalam keadaan begini, terpaksa dia hanya bisa membiarkan Lan
Giok-keng bertindak lebih dulu kemudian baru beradu nasib.
Lan Giok-keng menaiki tempat berpijak paling bawah, lalu
dengan tangan menempel diatas dinding dia mulai merayap naik
keatas menggunakan jurus Sun-jiu-tui-cho (Mengayun tangan
mendorong sampan).
"Aku selalu bertindak hati-hati dengan tingkatkan kewaspadaan,
pusatkan pandangan ke satu titik, gerakan semakin melambat,
ketika menggerakkan pisau pun sangat ringan.”
Dia segera memusatkan seluruh kekuatannya dengan
mengalihkan konsentrasi ke arah celah yang terdapat diantara batu
cadas itu. Lalu dengan menggunakan Sim-hoat perguruannya
"tenaga empat tahil menyingkirkan ribuan kati" dia dorong ringan
batu itu ke samping, benar saja batu raksasa itu segera bergeser
sedikit.
Celah itu tidak terlalu besar, orang dewasa sudah pasti tidak bisa
melewatinya, tapi untuk perawakan tubuh bocah seperti Lan Giokkeng,
dengan paksakan diri dia masih bisa menerobos keluar.
Jika dilihat sepintas lalu, kemampuannya menggeser batu cadas
itu seakan tidak menggunakan tenaga yang terlampau besar,
padahal sudah merupakan puncak ilmu silat yang bisa dicapainya
dewasa ini.
Han Siang pun terhitung seorang ahli ilmu silat, sekarang dia
baru mengerti apa maksud Hwee-ko Thaysu dengan mengatakan
hanya Lan Giok-keng seorang yang bisa menerobos keluar.
Waktu itu anak buah Pan Toa-cau sudah tersebar memenuhi


tanah perbukitan, namun berhubung Pan Toa-cau sudah
memperingatkan sejak awal, maka siapa pun tidak ada yang berani
mendekati pembatas batu.
Pan Toa-cau sedang bertarung sengit melawan Be It-tong,
padahal jarak dari pembatas batu hingga mulut gua berkisar lebih
kurang satu li, ini berarti lingkaran di dalam jarak tersebut kosong
tidak ada penghuninya.
Ketika Lan Giok-keng menerobos keluar dari dalam gua, dia sama
sekali tidak mendapat halangan apapun. Namun dalam keadaan
terburu-buru dia tidak berhasil menemukan letak tombol rahasia
seperti yang dikatakan Han Siang tadi.
Be It-tong berdiri membelakangi pembatas batu dan menghadap
ke arah gua, dialah yang pertama tama menyaksikan kemunculan
Lan Giok-keng.
Dia hanya tertegun sejenak kemudian segera tersadar kembali.
Dia dapat menebak maksud Lan Giok-keng, pikirnya, 'Perduli bocah
ini musuh atau teman, lebih baik biar kupertaruhkan pada dirinya'
Cepat dia mengambil keputusan dan segera teriaknya, "Berjalan
ke arah Jian berputar ke posisi Sun, tujuh langkah melintang,
jongkok, jejakkan kaki....”
Pan Toa-cau yang mendengar teriakan itu kontan membentak
keras, "Permainan setan apa yang sedang kau lakukan?"
Saat itulah terdengar anak buahnya ramai-ramai berteriak keras,
"Hey, ada anak kecil menerobos keluar dari bawah!"
"Aduh, dia adalah bocah she-Lan itu!"
"Kalau bocah itu bisa menerobos keluar, berarti Kokcu sudah
mati dibunuh olehnya.”
Kembali Poan Toa-cau membentak nyaring, "Kenapa kalian masih
berdiri mematung disana, cepat lepaskan anak panah, bidik bocah
itu sampai mampus!"
Lan Giok-keng sama sekali tidak ambil perduli dengan hujan


panah yang tertuju ke arahnya, mengikuti langkah yang diajarkan
Be It-tong, dia segera bergerak menuju arah Jian lalu berputar ke
posisi Sun dan bergeser tujuh langkah ke samping.
Be It-tong sudah tahu posisi bocah itu setelah keluar dari gua
kemudian baru memberikan komandonya, boleh dibilang
petunjuknya sesuai dengan keadaan dilarang, hasilnya sudah pasti
jauh lebih manjur ketimbang petunjuk Han Siang ketika masih
dalam gua.
Cepat dia bergeser tujuh langkah, jongkok dan menjejakkan
kakinya....”Traaang! Ternyata dia menendang sebuah lempengan
baja, tombol rahasia pun segera ditemukan.
Kembali terdengar Be It-tong berteriak: "Dengarkan, di sisi atas
papan besi sebelah kiri terdapat....”
Belum selesai dia berteriak, selapis kulit lengan kirinya sudah
tersayat robek oleh senjata kaitan dari Poan Toa-cau.
Lan Giok-keng mempunyai perawakan tubuh yang kurus kecil,
sambil berbaring ditanah, dia gunakan batu cadas sebagai
penghadangnya untuk menjalankan tombol rahasia.
Terdengar suara dentingan nyaring yang memekik kan telinga,
hujan panah yang dibidikkan ke arahnya sebagian besar menghajar
diatas batu besar sementara sebagian kecil rontok di tengah jalan
karena kekuatan yang tidak memadahi. Hanya beberapa batang
saja sempat mencapai tubuh Lan Giok-keng, namun dengan sebuah
ayunan pedang, dia berhasil merontokkannya secara mudah.
"Losam!" bentak Poan Toa-cau, "kau sangka aku benar-benar
tidak berani membunuhmu!"
Sepasang senjata kaitannya ditegakkan lalu ditarik, dia telah
mengeluarkan jurus pamungkas terkeji dan terkejam untuk
menghadapi saudaranya.
Ilmu silat yang dimiliki Be It-tong pada dasarnya memang masih
berada di bawah kemampuannya, di tambah lagi sekarang dia
sudah kehabisan tenaga, bagaimana mungkin dia bisa membendung


serangan ganas yang begitu hebat?
Tampak darah segar berhamburan kemana-mana, lambung Be
It-tong tersayat sepasang senjata kaitan itu hingga robek sepanjang
tujuh, delapan inci, seketika itu juga dia roboh tidak sadarkan diri.
Tapi pada saat itu pula terdengar suara gemericit, pintu gua
sudah terbuka lebar.
Sambil meraung keras Han Siang melompat keluar dari dalam
penjara. Sejak awal dia sudah membuat persiapan, ketika hujan
panah diarahkan ke tubuhnya, dengan sepasang tangan dia sambar
panah-panah itu.
Sebagaimana diketahui, ilmu yang dia yakini adalah ilmu cakar
elang, ketika batang panah tersentuh tangannya, panah-panah itu
seketika patah jadi dua bagian. Caranya menghadapi ujung panah
pun sangat lincah dan cekatan.
Sebagian besar anak buah Poan Toa-cau selama ini mengira
Kokcu mereka tidak mungkin bisa lolos lagi dari penjara, karena itu
mereka baru berani ikut Poan Toa-cau untuk memberontak, ketika
secara tiba-tiba melihat pemimpin mereka telah tampil lagi di
hadapan mereka, sembilan dari sepuluh orang diantaranya seketika
berdiri terbelalak dan tidak berani melepaskan panah lagi.
Dengan suara nyaring Han Siang pun membentak.”
"Aku tahu kalian semua sudah ditipu Poan toa-cau, untuk
peristiwa ini aku tidak ingin mengusutnya lebih jauh. Asal kalian
bersedia tunduk kepadaku, kalian semua masih merupakan
saudaraku. Yang enggan mengikuti aku lagi, tidak masalah, kalian
boleh segera mengambil sangu dan tinggalkan tempat ini.”
Begitu ucapan tersebut diutarkan, sebagian besar pemberontak
serentak menyatakan sumpah setianya kepada Kokcu mereka.
Buru-buru Poan toa-cau ikut berseru, "Lotoa, kesemuanya ini
hanya salah paham. Kusangka kau sudah dibunuh bocah she Lan
itu....”


Han Siang mendengus dingin, tukasnya, "Orang yang ingin
mencelakai aku bukan orang lain. Semua pembicaraanmu tadi sudah
kudengar sangat jelas, jadi tidak perlu kau ulangi lagi.”
Dia membiarkan Poan toa-cau berdiri melongo di sisi arena,
dihampirinya Be It-tong yang terluka parah, sambil memeluknya
kembali dia berkata, "Saudaraku, semuanya salahku, salah aku
datang terlambat.”
Cepat dia mengambil obat luka dan membubuhkan sendiri obat
itu di seputar luka Be It-tong, tapi mulut luka masih mengeluarkan
darah segar, hingga untuk ke tiga kalinya dia bubuhkan obat luka,
darah segar baru berhenti memancar.
Han Siang segera perintahkan orang untuk menggotong pergi Be
It-tong, kemudian baru berpaling sambil ujarnya dingin, "Poan Toacau,
apa lagi yang hendak kau katakan?"
"Lotoa, aku merasa bersalah kepadamu, kau tidak usah turun
tangan, biar aku menyelesaikan diriku sendiri.”
"Bagus, punya nyali untuk bunuh diri, kau memang tidak malu
disebut seorang Hohan, apakah kau masih ada pesan terakhir?"
"Aku hanya berharap Lotoa mau mengingat hubungan
persaudaraan kita hampir puluhan tahun lamanya, setelah
meninggal nanti, tolong dirikan batu nisan dengan tulisan Toan-hunkok
Hu-kokcu Poan Toa-cau, tolong jangan anggap aku sebagai
penghianat.”
Dia berbicara dengan nada yang begitu tulus dan bersungguhsungguh.
Tampaknya Han Siang terharu dibuatnya, dia mengangguk.
"Baik, aku kabulkan permintaanmu, berangkatlah dengan hati
tenang.”
"Terima kasih atas pemberian lotoa, siaute mohon pamit!" sambil
berkata dia menjatuhkan diri berlutut dan menyembah berulang
kali.


Semua orang menyangka pada detik-detik terakhir ini, dia
berharap Han Siang mau berubah pikiran dengan mengampuni
selembar jiwanya.
Siapa tahu menyembah adalah kamuflase baginya untuk
melancarkan serangan bokongan.
Pada saat dia berlutut itulah tiba-tiba dari balik bajunya
menyambar keluar tiga batang panah pendek.
Selama hidup Poan Toa-cau belum pernah menggunakan senjata
rahasia, selama puluhan tahun berkumpul dengannya Han Siang
tidak pernah tahu dia menggunakan panah dari sakunya.
Ke tiga batang panah saku itu sama sekali berbeda bila
dibandingkan hujan panah itu, serangan kali ini benar-benar
merupakan serangan bokongan.
Pepatah mengatakan: serangan tombak secara terang-terangan
gampang dihindari, serangan panah gelap susah dihadapi. Apalagi
serangan itu dilancarkan Poan Toa-cau pada detik terakhir
menjelang ajalnya, saat terakhir ketika dia berbicara dengan penuh
penyesalan. Kendatipun Han Siang memiliki ilmu Toa-lek-eng-jiaukang
yang hebat pun sulit rasanya untuk terhindar dari kematian.
Pada detik yang amat kritis itulah terlihat cahaya putih berkelebat
lewat lalu....”Triiing, triiiing, triiiiing!
Diiringi dentingan nyaring, ke tiga batang panah pendek itu
sudah terpapas kutung dan rontok ke tanah.
Ternyata Lan Giok-keng telah menggunakan ilmu pedang kilatnya
untuk menyelamatkan jiwa Han Siang.
Begitu ke enam potongan panah itu menempel di atas
rerumputan, kontan rerumputan hijau itu berubah jadi kuning, jelas
panah panah gelap itu mengandung racun yang sangat jahat.
Menyaksikan serangannya gagal total, Poan toa-cau tertawa
getir, diambilnya sepotong kurungan panah lalu ujarnya, "Padahal
kita semua setali tiga uang, hanya nasib-ku tidak sebagus nasibmu!"


"Bruuuk!" dia hujamkan kutungan panah itu ke atas dada sendiri,
dalam sekejap mata paras mukanya berubah jadi kelabu, darah
kental mengucur dari tujuh lubang inderanya, tanpa menimbulkan
suara dia roboh dan mati keracunan.
Han Siang seakan baru terpental keluar dari pintu neraka, bulu
kuduknya pada bangun berdiri. Setelah berhasil mengendalikan rasa
kagetnya dia baru berkata, "Lan Siauhiap, terima kasih banyak kau
telah selamatkan jiwaku, aku.... aku benar-benar menyesal, tapi
bukan dikarenakan aku ingin mencelakaimu, bencana dan musibah
yang kau alami sekarang bukan atas ide ku, dalangnya adalah
Tonghong Liang. Apakah kau ingin mengetahui kejadian yang
sebenarnya?"
"Aku tidak mau mendengarnya!" seru Lan Giok-keng dengan
emosi yang bergejolak, "akupun tidak ingin terlibat dalam pertikaian
kalian. Aku hanya melakukan pekerjaan yang seharusnya ku
lakukan, kau tidak perlu menaruh perasaan menyesal, juga tidak
perlu berterima kasih.”
Dalam pada itu Hwee-ko Thaysu dan Lan Sui-leng telah keluar
dari mulut gua.
"Han-kokcu,” Hwee-ko Thaysu segera berkata, "Lolap sudah
hampir sebulan lamanya mengganggumu, sekarang sudah
seharusnya mohon pamit!"
Han Siang sangat rikuh, sahutnya, "Thaysu, aku jadi malu sendiri
apalagi kau tidak mempermasalahkan kesalahanku waktu lalu.
Sebetulnya aku ingin menahan mu beberapa hari lagi, biar kutebus
semua kesalahanku.”
"Banyaklah berbuat kebajikan untuk menebus kesalahanmu itu.
Tidak perlu melayani aku sihwesio dengan arak dan daging. Rejeki
atau bencana datang karena ulah manusia. Han-kokcu, baik-baiklah
menjaga diri.”
"Nona Lan, aku pun minta maaf kepadamu.”
"Tidak perlu minta maaf, aku hanya ingin mencari kabar tentang


seseorang.”
Sebelum Han Siang menjawab, Lan Giok-keng segera menyela
lebih dulu, "Ciri, asal dapat lolos dari bahaya, itu sudah lebih dari
cukup, tidak perlu banyak urusan lagi.”
Lan Giok-keng tertegun, serunya, "Kenapa kau mengatakan aku
banyak urusan? Tahukah kau, orang ini berniat mencelakaimu!
Adikku, tahukah di dalam dunia persilatan terdapat seorang wanita
siluman yang disebut orang sebagai Si Lebah hijau Siang Ngo-nio?"
Pada mulanya Lan Giok-keng menyangka orang yang dimaksud
kakaknya adalah Tonghong Liang, setelah tahu kalau Siang Ngo-nio
yang dimaksud, perasaan hatinya menjadi tidak setegang tadi lagi,
ujarnya, "Jadi kaupun pernah bertemu dengan siluman wanita itu,
darimana bisa tahu kalau dia berniat mencelakaiku?"
"Panjang untuk diceritakan, nanti saja akan kuberitahukan secara
perlahan. Han-kokcu, aku dengar siluman wanita itu berada disini,
benarkah begitu?"
Sambil tertawa Lan Giok-keng menyela, "Kau hanya mendengar,
sedang aku malah pernah bertarung melawannya disini. Tentu saja
benar. Aaah iya, Han-kokcu, aku pun ingin bertanya....”
"Tidak usah kau tanyakan pun aku akan memberitahukan
kepadamu, Siang Ngo-nio telah pergi. Pada saat kau bertarung
melawan dia itulah, di saat kau tidak sadarkan diri, dia pun pergi
dari sini.”
"Bukankah dia bermaksud menangkap aku? Kenapa setelah
berhasil mendapatkan aku, dia malah pergi secepat itu?"
"Soal ini.... soal ini....”
"Han-kokcu, apakah kau merasa kesulitan untuk berbicara?
Hmmm, begitu masih bilang mau membalas budi adikku, ternyata
kau malah berusaha melindungi musuh besarnya.”
Kan Siang tertawa getir, sahutnya, "Karena kau sudah
menegurku, terpaksa aku harus bicara terus terang. Kehadiran


Siang Ngo-nio adalah atas undangan Tonghong Liang, tapi
Tonghong Liang pula yang mengusirnya pergi. Tampaknya dia
punya rahasia yang berada dalam genggaman Tonghong Liang
hingga tidak berani membangkang perkataannya. Lan Siauhiap,
berhubung kau sudah berpesan duluan, melarang aku
menyinggung....”
"Betul,” tukas Lan Giok-keng dengan suara tidak jelas, "aku tidak
senang mendengar orang lain membicarakan kejelekan Tonghong
Liang.... eei, cici. Kenapa kau?"
"Tidak apa-apa,” jawab Lan Sui-leng dengan wajah pucat pasi,
"kalau memang siluman perempuan itu tidak ada disini, mari kita
pergi saja.”
Sementara Lan Giok-keng masih kebingungan, terdengar Hweeko
Thaysu telah berbisik, "Yang itu adalah sebuah gara-gara, yang
inipun sebuah gara-gara, cepat tinggalkan tempat gara-gara, tidak
usah menanyakan masalah gara-gara....”
Lan Giok-keng segera tersadar kembali, sahutnya, "Thaysu,
perkataanmu memang benar. Mari kita segera pergi.”
Sesudah meninggalkan Toan-hun-kok, tiba-tiba Lan Sui-leng
berkata, "Akupun tidak percaya kalau Tonghong Liang adalah orang
jahat.”
"Bukankah kau berkenalan dengannya belum terlalu lama?" tanya
Lan Giok-keng tertegun.
Lan Sui-leng menggeleng.
"Sejak kau pergi, sudah banyak terjadi peristiwa besar, aku jadi
tidak tahu harus berbicara dari mana.”
"Baiklah, kalau begitu biar aku yang bercerita lebih dulu,” secara
ringkas bocah itupun menceritakan semua pengalamannya kepada
cicinya.
Lambat laun paras muka Lan Sui-leng berubah jadi lebih baik,
katanya, "Kalau begitu, kendatipun Tonghong Liang pernah


membuat kau tertipu namun diapun pernah memberikan kebaikan
kepadamu bukan?"
"Betul, kalau dia tidak mengajakku berlatih pedang, mana
mungkin aku bisa memperoleh kemajuan seperti hari ini?"
"Tapi ada orang bilang dia sedang mencuri belajar ilmu pedang
Thay-kek-kiam-hoat mu.”
"Pada dasarnya dia sudah mengerti ilmu pedang Thay-kek-kiamhoat.
Sekalipun yang dipelajari berbeda, paling banter hanya bisa
dibilang kita saling bertukar pikiran.”
"Tapi yang paling ditakuti adalah omongan orang, lebih baik
dikemudian hari kau tidak usah berhubungan lagi dengannya!"
"Yang ditakuti omongan orang?"
"Masa kau belum tahu kalau dia adalah musuh perguruan kita?
Pada saat kau turun gunung, dia telah mendatangi gunung Bu-tong
dan menantang berduel, malah gurumu telah menderita kekalahan
di tangannya.”
"Bu-si Tojin telah menceritakan kejadian ini kepadaku. Tapi aku
ingin tahu yang dimaksud "omongan orang" itu orang yang mana?
Anggota Bu-tong-pay mana yang begitu hebat beritanya hingga
tahu kalau aku pernah berhubungan dengannya?"
Lan Sui-leng termenung tanpa bicara, agaknya diapun sedang
memikirkan satu persoalan yang sangat berat.
"Eeei cici,” tegur Lan Giok-keng, "kau jadi orang selalu terbuka
dan bicara blak-blakan, kenapa sekarang nampak ragu untuk
bicaraa? Apakah terhadap adik sendiri pun ada masalah yang tidak
boleh disampaikan?"
"Baik, kalau begitu aku beritahu. Ketika turun gunung mencari
kau tempo hari, di tengah jalan aku telah bertemu Siau-susiok.”
"Siau-susiok yang mana?" Lan Giok-keng tertegun.
"Siapa lagi kalau bukan Bouw It-yu yang menghantar Put-coat


supek pulang ke gunung, kini ayahnya sudah menjadi Ciangbunjin
kita, karena itu aku memanggilnya Siau-susiok. Aku sendiripun tidak
tahu darimana dia bisa tahu kalau kau ada bersama Tonghong
Liang, Cuma, kaupun tidak perlu mengusutnya lebih jauh.”
Biar masih muda, Lan Giok-keng pintarnya luar biasa, dia pandai
melihat perubahan wajah orang, dari perubahan mimik muka cicinya
dia segera tahu kalau ada suatu rahasia yang sulit diucapkan, maka
katanya, "Dengan kedudukannya sekarang, dia memang seharusnya
memberi peringatan kepadaku. Tapi kalian tidak usah kuatir,
selewat hari ini, biarpun aku masih ingin berhubungan terus dengan
Tonghong Liang pun, aku rasa dia pasti akan berusaha untuk
menghindari aku.”
Membayangkan kembali keadaan Tonghong Liang sewaktu
tergopoh gopoh meninggalkan tempat kejadian, tanpa terasa Lan
Sui-leng menunduk sedih.
"Cici, sekarang tiba giliranmu untuk bercerita,” kata Lan Giokkeng.
Lan Sui-leng tertawa getir.
"Aku pun tidak tahu harus mulai berbicara dari mana!"
"Kalau begitu berceritalah mulai kau turun gunung mencari aku.”
Lan Sui-leng berpikir sejenak, kemudian ujarnya sambil tertawa,
"Sebenarnya terdapat tiga alasan, tapi salah satu alasan yang paling
penting sekarang justru telah berubah jadi tidak penting.”
"Kenapa bisa begitu?" tanya Lan Giok-keng tercengang.
"Aku rasa sekarang kaupun sudah tahu, ilmu pedang Thay-kekkiam-
hoat yang diajarkan ayah angkat mu itu padahal sama sekali
tidak berguna.”
"Oooh, rupanya kau hendak memberitahukan soal ini. Apakah
Put-hui Suthay yang berhasil mengetahuinya?"
"Betul. Aku justru takut bila kau masih belum mengetahuinya,
bila sampai bertemu musuh tangguh dan kau gunakan ilmu pedang


ajaran ayah angkatmu, bukankah keadaanmu bakal celaka. Tapi
sekarang kau berhasil melatih ilmu pedangmu jauh diatas
kemampu-an ayah angkatmu. Tentu saja aku tidak perlu
menguatirkannya lagi. Sejujurnya, bukan ilmu pedangmu yang
kukuatirkan, aku justru lebih menguatirkan ayah angkatmu....”
Lan Giok-keng merasa sangat gundah, katanya sembari
menggelengkan kepalanya, "Semenjak lahir, Gihu nyaris selalu
bersikap sangat baik kepadaku. Aku tidak tahu apa sebabnya dia
tidak mengajarkan ilmu pedang yang murni, tapi aku tidak ingin
menduga atau mencuriga dirinya.”
"Aku sendiripun tidak percaya kalau ayah angkatmu berniat
mencelakaimu, tapi dalam peristiwa ini, jangan lagi aku, siapa pun
tidak habis mengerti dibuatnya,” kata Lan Sui-leng.
Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali lanjutnya, "Tadi kau
pernah bercerita, telah bertemu Si Lebah hijau Siang Ngo-nio
ditengah jalan, berarti kau sudah dapat menduga bukan apa
alasanku ke dua ingin cepat cepat menemukan dirimu.”
"Ingin beritahu kalau Si Lebah hijau Siang Ngo-nio bermaksud
mencelakai aku?"
"Hari kedua setelah kau turun gunung, siluman wanita itu telah
datang menyatroni ke rumah kita, mengancam ayah, ingin
merampas dirimu. Kemudian secara kebetulan aku pulang ditemani
guru, karena itulah dia berhasil di usir lari....”
Di hati kecilnya kembali Lan Giok-keng berpikir, "Siluman wanita
ini berulang kali ingin aku memanggilnya ayah angkat, aku rasa
masalahnya bukan sesederhana itu, tidak mungkin dia hanya berniat
mencelakai aku.”
Tapi pikir punya pikir dia tetap merasa tidak habis mengerti,
tanyanya kemudian, "Hwee-ko Thaysu, tahukah kau akan asal usul
si Lebah hijau Siang Ngo-nio?"
"Tentu saja aku tahu. Tapi, aku rasa lebih baik lagi bila kau tidak
mengetahuinya.”


"Kenapa?"
"Sebab dibelakangnya terdapat sebuah tulang punggung yang
maha dahsyat, selain itu dia pun mempunyai hubungan khusus
dengan banyak tokoh terkenal dalam dunia persilatan.”
"Ooh, kau kuatir aku akan mencari gara-gara dengannya?"
"Bukan begitu. Aku rasa sejak saat ini dia tidak bakalan datang
merecokimu lagi, selama dia tidak datang merecokimu, lebih baik
kaupun tidak usah merecoki dirinya.”
Lan Giok-keng dapat merasakan kalau ucapan Hwee-ko Thaysu
bermaksud lain, tampaknya tulang punggung di belakang Siang
Ngo-nio justru hanya masalah kedua, sedang masalah utama yang
harus diperhatikan adalah tokoh-tokoh terkenal persilatan yang
punya hubungan khusus dengan perempuan itu.
Satu ingatan segera melintas dalam benaknya, pikirnya,
'Mungkinkah ada tokoh Bu-tong-pay yang terlibat dalam kelompok
yang dimaksud?'
Berpikir sampai disitu, dia pun merasa kurang leluasa untuk
bertanya lebih jauh.
Dalam pada itu Lan Sui-leng telah berkata lagi, “Tanpa harus
kukatakan pun aku rasa kau pasti mengetahui alasanku yang ke
tiga. Adik, ayah dan ibu paling menyayangimu, atas kepergianmu
secara tiba tiba, mereka berdua merasa amat kuatir dan rindu.
Banyak kecurigaan dan rasa bingung berkecamuk dalam benak
mereka berdua. Adik, aku masih ingat suatu kali kau pernah
menyinggung masalah isu santer yang beredar diluaran, aku minta
kau berterus terang kepadaku, benarkah kepergianmu
meninggalkan rumah kali ini ada sangkut pautnya dengan isu santer
yang pernah beredar diluaran?"
Yang dimaksudkan isu santer itu tidak lain adalah teka-teki
seputar asal-usul Lan Giok-keng.
Pertanyaan itu langsung menyentuh luka perih yang selama ini
Lan Giok-keng sembunyikan dalam hati kecilnya, hingga sekarang


dia sendiripun masih melacak dan meraba dibalik kabut kegelapan,
apakah harus dia katakan kepada cicinya?
Setelah termenung sesaat, diapun berkata, "Aku turun gunung
karena mendapat perintah dari Sucouw, cici, tolong sampaikan
kepada ayah dan ibu, minta mereka jangan berpikir yang bukanbukan
lagi.”
"Sucouw suruh kau melakukan apa?" timbul perasaan ingin tahu
dihati kecil Lan Sui-leng, "ehmm, kalau boleh dikatakan, katakanlah,
tapi kalau tidak boleh dikatakan, aku tidak memaksamu untuk
menjawab.”
"Sucouw perintahkan aku untuk mencari seorang tokoh dunia
persilatan yang sedang hidup mengasingkan diri, jadi tidak bakalan
menghadapi ancaman bahaya apapun, hanya saja aku memang
tidak tahu sampai kapan baru bisa pulang ke rumah. Pulanglah dan
beritahu ayah dan ibu, minta mereka tidak usah kuatir. Aaah benar,
cici, kau masih belum menceritakan kisah pengalamanmu, bukankah
tadi kau datang bersama nona Seebun? Aku dengar dia pun
sepertinya memang-gil Tonghong Liang sebagai Piauko, benar
bukan? Bagaimana ceritanya sampai kau bisa jalan bersamanya?"
"Selama beberapa bulan ini, akupun sudah mengalami banyak
kejadian yang diluar dugaan,” secara ringkas dia pun menceritakan
semua pengalamannya kepada Lan Giok-keng.
Selesai mendengar penuturan itu, dengan perasa-an terperanjat
seru Lan Giok-keng, "Jadi ibunya Seebun Yan juga pandai ilmu
pedang Thay-kek-kiam-hoat?"
"Aku tidak tahu apakah ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat yang
dipelajarinya bersumber dari Bu-tong-pay, tapi rasanya terdapat
perbedaan yang sangat besar dengan ilmu pedang Thay-kek-kiamhoat
yang kau pelajari.”
"Ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat yang kupelajari berasal dari
hasil gubahan Bu-si Tojin, jadi tidak bisa dianggap ilmu pedang yang
murni.”


"Aku sendiri meski belum pernah diajari ilmu pedang Thay-kekkiam-
hoat dari guruku, tapi seringkali kulihat dia berlatih diri.
Rasanya ilmu pedang guruku pun jauh berbeda dengan ilmu pedang
Thay-kek-kiam-hoat yang digunakan ibu angkatku. Eeei....”
Melihat paras mukanya tiba-tiba berubah aneh, dengan nada
tercengang Lan Giok-keng segera bertanya, "Cici, apa yang telah
kau ingat? Kenapa tidak kau lanjutkan perkataanmu?"
"Tiba-tiba saja aku teringat akan sesuatu, ada seseorang memiliki
ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat yang mirip sekali dengan ilmu
pedang yang dipelajari ibu angkatku.”
"Siapa?"
"Bouw It-yu!"
Lan Giok-keng tidak habis mengerti, dia tidak paham apa
sebabnya gadis itu dibuat terperanjat oleh hasil penemuannya, baru
saja akan ditanyakan kepada cicinya, suatu peristiwa diluar dugaan
telah memotong niatnya itu.
Saat itu mereka semua telah berjalan keluar dari Toan-hun-kok,
tapi selagi masih menelusuri jalan perbukitan, tiba-tiba dari atas
gunung terlihat ada sekelompok manusia sedang bergerak
mendekat.
Sebagai pemimpinnya adalah seorang siucay tua, begitu
mendekat, orang itu segera menyapa sambil menggoyangkan kipas
lipatnya, "Hwee-ko Thaysu, kita sudah berpisah selama tiga puluhan
tahun lebih, kau orang tua tentu tidak menyangka bakal bertemu
aku lagi bukan? Yang ini tentunya nona Lan bukan? Masih ingat
denganku? Kita pernah bersua dalam Pek-hoa-kok yang didiami
Seebun-hujin?"
Ternyata orang ini tidak lain adalah Im-kian-siucay, Si Pelajar dari
alam baka yang pernah dua kali mengunjungi lembah seratus
bunga. Liok Ki-seng!
"Sudah kuduga, cepat atau lambat pasti akan berjumpamu. Aku
malah sedikit tercengang ketika di saat harus bertemu, ternyata aku


tidak menjumpaimu,” sahut Hwee-ko Thaysu.
Berputar sepasang biji mata Liok Ki-seng, seakan sudah
memahami maksudnya, dia pun berkata, "Ooh, berarti Han Siang
pernah mengadu kepada Thaysu bahwa selama ini aku selalu
menganiaya dan menekannya!"
"Dia tidak pernah mengucapkan kata-kata jelek tentang dirimu,
Cuma dia beritahu kepadaku kalau Toan-hun-kok nya selalu berada
di bawah pengawasan-mu.”
"Oleh karena Tonghong Siauya disekam dalam Toan-hun-kok
nya, terpaksa aku harus melakukan tindakan ini,” Liok Ki-seng
menerangkan.
Maksud dari perkataan itu sangat jelas, andaikata mereka tidak
kuatir akan mengancam keselamatan jiwa Tonghong Liang, sejak
awal Toan-hun-kok telah mereka serbu.
"Tonghong Liang sama sekali tidak pernah di sekap dalam Toanhun-
kok,” Hwee-ko Thaysu menjelaskan.
"Kalau bukan disekap, mengapa dia mengendon hampir dua
bulan lamanya di dalam Toan-hun-kok?"
"Bukankah dia sudah keluar dari lembah? Masa tidak lewat
ditempat ini? Kau tidak bertanya kepadanya?"
"Sejak satu jam berselang dia sudah pergi melewati tempat ini,
tapi dia berlarian sangat cepat, sama sekali tidak memperdulikan
kami.”

ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa Cerita Silat Lama : BuTong It Kiam 3, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru Cerita Silat Lama : BuTong It Kiam 3,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru Cerita Silat Lama : BuTong It Kiam 3
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Silat Lama : BuTong It Kiam 3 dan anda bisa menemukan artikel Cerita Silat Lama : BuTong It Kiam 3 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cerita-silat-lama-butong-it-kiam-3.html?m=0,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Silat Lama : BuTong It Kiam 3 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Silat Lama : BuTong It Kiam 3 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Silat Lama : BuTong It Kiam 3 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cerita-silat-lama-butong-it-kiam-3.html?m=0. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar