TONGKAT RANTAI KUMALA 1

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Senin, 05 September 2011

Tongkat Rantai Kumala - SerulingKumala
Tongkat Rantai Kumala (Kim Lan Pay)
Terjemahan : Oh Chung Sin

Jilid 01
Tongkat Rantai Kumala (Kim Lan Phay)
MALAM gelap telah membuat batu aneh yang berupa
kepala manusia di puncaknya gunung Kie-ling di daerah
Bong-san berobah seram tampaknya seolah-olah setan

penunggu disitu yang selalu siap mau menerkam
mangsanya.
Mendadak terdengar siulan panjang seperti orang yang
meminta pertolongan telah memecahkan kesunyian, dari
sela-sela pegunungan terlihat seorang Tosu imam sedang
lari ke arahnya puncak gunung Kie-ling dengan kecepatan
yang luar biasa.
Tosu yang bermuka kurus dan pucat ini begitu sampai di
atas puncaknya gunung Kie-ling sudah segera
mengeluarkan Rantai Kumala hitamnya dan menotol mata
kirinya batu aneh berkepala manusia tadi sambil berkata.
“Cie Gak dari Cee-thian-koan digunung Hoa-san datang
untuk menemui Bong-san Supek.”
Setelah berulang kali ia meneriakinya masih tidak
mendapat jawaban juga, sambil menghela napas ia berdiri
menjublek.
Saat itu kupingnya mendadak telah mendengar tertawa
dingin dari beberapa orang, dengan cepat ia membalikkan
kepalanya dan dilihatnya di belakang dirinya ada berdiri
enam orang sutenya (adik seperguruan).
“Sute!" ia berseru memanggil.
Jawabannya ...?
Segera ia merasakan adanya sambaran angin dingin yang
mengarah dirinya, enam orang tadi dengan berbareng
menyerang padanya.
Mereka telah mencar menjadi dua rombongan dengan
beringas mereka mengawasi kepadanya. Ia tidak berdaya
dan menggigil karena gusarnya. Mukanya dari pucat pasi
telah berobah menjadi biru, sambil mengangkat tinggi
Tongkat Rantai Kumalanya, ia membentak.

“Biarpun kalian tidak mengakui aku sebagai ketua partai
lagi, tapi terhadap Tongkat Rantai Kumala yang menjadi
pusaka partai kita ini apa kalian masih tidak menaruh
hormat juga?”
Baru saja ia selesai mengucapkan kata-katanya atau
suatu gelombang angin pukulan telah mendaparnya, tangan
kanannya telah tergetar dan tongkat Rantai Kumalanya
terlepas dari cekalannya.
Enam orang yang mengurungnya itu tiba-tiba menjadi
kaget dan tidak meneruskan serangannya karena dari atas
batu aneh berkepala manusia tadi telah lompat turun
seorang tinggi besar yang telah menutup seluruh mukanya
dengan kerudung kain hitam dan sudah mendahului mereka
merampas Tongkat Rantai Kumalanya yang mengandung
rahasia.
Tongkat Rantai Kumala yang terdiri dari tujuh untai
kumala hitam yang disambung-sambung menjadi satu itu
adalah tongkat pusakanya Hoa-san-pay yang telah
menyimpan semua kepandaian ilmu silat partainya.
Tongkat ini turun temurun terjatuh ke dalam tangannya
ketua partai mereka dan akhirnya sampailah ke dalam
tangannya Cie-Gak sebagai ketuanya yang baru.
Tapi baru saja ia menjabat ketua partainya, karena
kepandaiannya yang kurang sempurna, sehingga terjadi
perpecahan dalam partai, dan menyebabkan ia dikejar-kejar
oleh enam orang sutenya hingga akhirnya ia lari ke atas
gunung Kie-ling yang menyeramkan ini.
Sesaat kemudian hanya terdengar ketawa dinginnya
seorang tinggi besar tadi dan lenyaplah tongkat pusaka Hoasan-
pay yang mengandung rahasia itu.

Kejadian yang tak diduga ini telah membuat enam orang
yang tadi mengejar-ngejarnya menjadi melenggak, dengan
hampir berbareng mereka membentak dan meninggalkan
Cie Gak yang tidak berdaya untuk mengejar orang tinggi
besar tadi turun dari puncak gunung Kie-ling.
Sekarang hanya ketinggalan Cie Gak si ketua Hoa-sanpay
yang menyandarkan dirinya di bawah batu aneh
berkepala manusia, dengan lesu ia menghela nafas dan
berkata sendirian, “Nama harumnya Hoa-san-pay habislah
di bawah tanganku yang tidak berguna ... ”
Lalu perlahan-lahan menujukan langkahnya ke ujung
tebing.
Tapi baru saja ia berjalan beberapa tindak atau di
belakangnya sudah ada orang yang mendatangi ke arahnya
lagi, dengan cepat ia membalikan mukanya dan terlihat
olehnya seorang tua pendek dengan rambutnya yang awutawutan
sedang memandang ke arahnya. Begitu melihat
siapa orang tua pendek ini, ia sudah segera memberikan
hormatnya dan berkata, “ Kiauw supek kau telah datang
terlambat hingga Tongkat Rantai Kumala sudah dirampas
orang.”
Si orang tua pendek menjadi kaget, mendadak ia lompat
maju kedepan mencekal pergelangan Cie Gak, sambil
menggoyang-goyangkannya ia sudah membentak kepada
ketua Hoa-san-pay yang seperti sudah tidak bertenaga ini.
“Bagaimana Tongkat Rantai Kumala dapat dirampas?
Lekas ceritakan jalannya kejadian.”
Cie Gak dengan air mata bercucuran telah menceritakan
bagaimana kejadian yang baru saja dialaminya.

Orang tua pendek tadi mendadak melepaskan
cekalannya karena Cie Gak sudah berontak meloloskan
dirinya dan berkata dengan suara berduka, “Karena ini, Cie
Gak mana ada muka untuk berkecimpung di dunia Kangouw
lagi?”
Lalu ia melesat setinggi tiga tombak dan menerjunkan
dirinya ke dalam jurang yang curam, dari puncaknya
gunung Kie-ling yang masih diliputi oleh kegelapan itu.
Ketua partai Hoa-san turunan yang ke-dua puluh lima
dengan cara ini telah menamatkan riwayatnya sendiri dan
telah menjadi buah tutur orang-orang selama tiga tahun
lamanya.
I. SUMUR KEMATIAN
WAKTU telah menjelang pagi, bunyi lonceng yang
dipukul tidak henti-hentinya telah menggema di Kui-inchung,
perkampungan Kui-in di bawah puncak gunung Kieling
di daerah Bong-san.
Kemudian ribuan burung dara putih mulai menerjang
awan dan terbang pergi seolah-olah mau menutupi Kui-inchung
dari bunyi lonceng yang dibunjikan demikian pagi
itu.
Inilah lonceng “Dara Putih”, yang ditabuh sambil
melepaskan ribuan burung dara putih sebagai tanda Kui-imchung
dilanda bahaya.
Lebih dari tiga ribu tamu yang menginap di Kui-in-chung
sudah menjadi tidak mengerti mendengar dipukulnya
lonceng “Dara Putih” tidak henti-hentinya. Soal apakah
yang telah menggetarkan Kui-in-chung.
Para tamu yang tersebar luas di sekitar perkampungan itu
sudah mulai pada keluar dari masing-masing tempat
menginapnya dan menuju ke suatu tempat berkumpul yang

dinamai “Ruangan-persahabatan”. Sebentar saja seluruh
ruangan-persahabatan ini sudah
penuh dengan bermacam-macam orang, tidak perduli
Tosu atau Hweshio, orang gemuk atau kurus, berpakaian
tani, atau nelayan dan sampai pengemisnya juga tidak ada
satu yang berani membuka suaranya. Dari wajah mereka
telah terlihat akan kebingungannya, mereka sedang
menanti-nanti kedatangannya pemilik Kui-in-chung si
“orang dermawan” Lee Thian Kauw.
Tidak lama, lonceng dipukul lagi kedua kalinya, tampak
dua belas anak penjaga pintu dengan pakaian yang seragam
memasuki ruangan-persahabatan dan berbaris membuka
jalan dengan tindakan yang rapih sekali. Setelah dua belas
anak penjaga pintu tadi masuk disusul lagi dengan delapan
pengawal rumah yang mendahului dan berdiri di depannya
dua belas anak penjaga pintu tadi.
Para tamunya Kui-in-chung tahu sesudahnya mereka
tentu muncul lagi empat pengurus kampungnya dan yang
terakhir baru masuk si Orang dermawan Lee Thian Kauw
yang menjadi majikan mereka.
Tapi setelah ditunggu-tunggunya sekian lama masih
belum muncul juga Kim, Phang, Lauw, dan Kui yang
bertugas empat pengurus kampung. Diantara tiga ribu tamu
disitu sudah ada yang mulai menduga-duga, di ruangan
persahabatan itu sudah mulai terdengar mendengungnya
suara kasak kusuknya mereka.
Dan pada waktu inilah lonceng telah dipukul untuk
ketiga kalinya, ini kali suara lonceng ada sedikit berbeda, ia
tidak dipukul sekeras tadi, tapi terlebih lama menggemanya
di angkasa. Bunyinya seolah-olah pada ada mengandung
kesedihan, hingga para tamu rata-rata melongo karenanya.

Suasana di dalam ruangan persahabatan telah menjadi
berubah seperti dirundung malang, muka mereka pucat,
perasaaan mereka tegang. Dalam hati mereka semua
berpikir,
“Apa sumur kematian mulai meminta korbannya lagi?”
“Katanya empat orang sudah menjadi korbannya lagi?
“Siapa?”
Sewaktu mereka sedang repot memikirkan, mendadak
terdengar satu suara yang memecah keramaian.
“Cungcu telah tiba.”
Para tetamu pada mengunjuk hormatnya.
Terlihat seorang bermuka putih dengan badannya yang
tinggi besar tegap sedang berjalan dengan gagahnya. Di
belakangnya orang ini terdapat seorang anak laki-laki yang
mengikutinya, usianya kira-kira empat belas tahun.
Sebagaimana biasanya, para tetamu sudah mulai dengan
pekikan nyaringnya lagi, tetapi mendadak orang tadi sudah
mengulapkan tangannya mencegah perbuatan mereka
sekalian. Setelah mana ia menoleh ke belakang dan
menggapai ke arah ke empat orang pengikutnya.
Ke empat orang termaksud lantas datang menghampiri
delapan pengawal rumah, di tangannya membawa peti
merah yang kemudian diletakkan di hadapan mereka.
Para tetamu menjadi semakin heran lagi.
“Mengapa Kim, Phang, Lauw, Kui, keempat pengurus
kampung disini masih belum kelihatan datang juga?”
Demikian dalam hati mereka bertanya-tanya.
Orang berbadan besar tadi matanya menyapu ke arah
para tamu lainnya, dengan mencoba tertawa ia berkata.

“Aku yang rendah disini menghaturkan maaf sedalamdalamnya,
karena telah mentelantarkan para tamu sehingga
menunggu sekian lamanya.”
Tiga ribu tamu dengan hampir serentak menjawab.
“Mana bisa kami sesali? Kami sudah cukup
berterimakasih pada Chungeu yang telah memelihara
kami.”
Setelah berkata para tamu sudah pada mengunjuk
hormatnya kepada Chungeu dari Kui-in-chung itu.
Pada waktu ini diantara tamu-tamu tadi telah terdengar
suaranya seorang yang tertawa terbahak-bahak.
“Kui-in-chung dari daerah Bong-san telah terkenal lama,
tidak tahunya hanya ini saja yang dipertunjukkan? Aku si
tua pendek tidak dapat melihatnya lagi sampai disini saja
aku mohon berlalu.”
Semua orang segera menujukan pandangan matanya ke
arah suara tadi dari dilihatnya seorang tua pendek dengan
rambutnya yang awut-awutan sudah mulai mau
meninggalkan Ruangan-persahabatan dengan mulut masih
mendumel terus.
Di dalam ruangan itu juga ada enam pasang mata kejam
yang sedang melihatnya secara sembunyi, tapi dalam hati
mereka diam-diam pada mengeluh.
“Celaka, jika ia juga turut datang ke sini ... ”
Si Orang dermawan Lee Thian Kauw tidak nyangka
sama sekali si orang tua pendek itu bisa berkata demikian,
mula-mula memang membuat ia gusar, cepat sudah dapat
menunjukan senyumannya lagi dengan suara yang nyaring
ia berkata.

“Inilah memang kesalahanku yang rendah, harap
saudara suka menahan dulu langkah yang diambil secara
terburu-buru.”
Orang tua pendek tadi mendengar kata-kata ini lantas
menghentikan langkahnya dan tertawa.
“Nama besarnya Lee Thian Kauw memang tidak
percuma, aku si tua pendek sesungguhnya merasa sangat
kagum. Tapi, Lee Thian Kauw, mengapa kau memukul
lonceng tanda kesedihan dalam perkampunganmu?”
Lee Thian Kauw anggukkan kepalanya, dengan
sungguh-sungguh ia berkata.
“Lonceng itu hanya dipukul untuk mengumpulkan
orang-orang dari perkampungan kami bila dilanda bahaya
... ”
Sampai disini ia telah menghentikan katanya sejenak,
kemudian dengan bercucuran air mata meneruskan lagi
ceritanya, “Para saudara yang datang dari jauh mungkin
tahu bahwa Sumur kematian di Pekarangan terlarang sudah
mulai meminta korbannya lagi. Hanya waktu semalaman
saja. Kim, Phang, Lauw, Kui yang menjadi pengurus
kampung kami yang sudah terkenal akan kepandaiannya
telah terbinasa semua.”
Ruangan persahabatan sudah menjadi sepi karena tidak
ada yang bicara, tiga ribu muka sudah menjadi berubah
mendengar ceritanya.
Terlihat Lee Thian Kauw sudah mengulapkan tangannya
lagi memanggil empat pengiringnya yang membawa peti
merah tadi. Mereka sudah maju dan membuka tutupnya
peti. Kini telah terbentang di hadapannya tiga ribu tamu
tadi satu pemandangan yang mengerikan sekali, empat

kepala manusia sudah tidak dapat dikenalinya lagi adalah
isinya peti merah tadi.
Tapi herannya si orang tua pendek tadi yang melihat ini
malah menjadi tertawa.
“Lee Thian Kauw, janganlah kau menjual obat disini,
apa hanya dengan empat kepala orang kau sudah dapat
membikin sudah urusan sampai disini?"
Kata-kata ini telah mengagetkan lagi semua orang,
semua masih tidak mengerti akan maksud sebenarnya katakatanya
ini. Waktu itu salah satu orang yang tidak dapat
menahan sabarnya sudah bertanya.
“Mendengar kata-katamu ini, apa kau telah mengetahui
urusan ini? Dan beranilah masuk ke dalam sumur
kematian?”
Orang tua pendek itu mendelikan matanya, dengan
nyaring ia menjawab.
“Apa? Kau berani menghina aku? Pernahkah aku takut
kepada sesuatu?”
Melihat kegalakannya orang tua pendek ini, si penanya
tadi lantas robah sikapnya, ia coba membaiki.
“Aku harus memuji kepada kau si orang tua yang masih
mempunyai keberanian.”
Orang tua pendek itu lalu tertawa bergelak-gelak, sambil
memandang ke arahnya anak kecil yang berdiri
disebelahnya Lee Thian Kauw ia memuji didalam hati.
“Anak ini dengan bakatnya yang sedemikian bagus, jika
bisa mendapat didikannya orang ternama tidak sukar untuk
menjadikan ia sebagai bintangnya dunia Kang-ouw.”
Pada parasnya Lee Thian Kauw yang kaku tidak terlihat
perobahan apa juga, hanya matanya tampak bersinar tajam.

Orang tua pendek itu seperti telah tergerak hatinya, ia
balas memandangnya, dua pasang sinar mata kebentrok
menjadi satu dan mengalihkan lagi pandangannya. Masingmasing
telah mengerti sendiri siapa yang menjadi
lawannya.
Orang tua pendek itu menganggukkan kepalanya, diamdiam
dalam hatinya berkata.
”Dengan persahabatan mengundang tamu? Hanya
membaca buku pengetahuan sebagai ilmu? Chung-cu dari
Kui-in-chung ini kiranya mempunyai ilmu kepandaian silat
yang sukar diukur. Hm, hm, ... Apa bisa jadi ia adanya?”
Memikir sampai disini dengan tidak terasa sudah
mengeluarkan senyuman ewanya, tapi untuk menutupi
kecurigaan orang ia sudah tertawa.
Lee Thian Kauw sudah mengerutkan alisnya dan
menanya.
“Dapatkah aku mengetahui siapa nama besar saudara?
Dan jika aku tidak salah saudara tentu mempunyai nama
terkenal juga dikalangan Kang-ouw. Tahukah saudara,
sumur kematian di Pekarangan terlarang dalam Kui-inchung
ini telah lama terkenal? Setiap tahun tentu ia akan
meminta korbannya dengan mengambil salah satu kepala
orang dari perkumpulan kami yang ditaruh dipinggiran
sumur, sedari dahulu belum pernah kami melihat putusan
tubuhnya dari sikorban yang entah lenyap kemana. Dan
kepada siapa saja yang berani memasukinya tidak ada
satupun yang dapat terhindar dari bahaya ... ”
Lee Thian Kauw dapat bercerita dengan sedemikian
lancarnya dan telah mendapat perhatian yang sepenuhnya
dari para tamunya. Hanya si orang tua pendek saja yang
menyengir menunjukan giginya, sambil bertepuk tangan ia
berkata.

“Ha, apa betul demikian terjadinya? Inilah satu
peristiwa yang mengherankan sekali.”
Lee Thian Kauw mukanya merengut.
“Biarpun betul ada orang yang beruntung dapat naik
kembali ke atas sumur, tapi tidak dapat memeperthanakan
nafasnya sampai tiga langkah dan jatuh menggeletak untuk
tidak dapat bangun lagi.”
Berkata sampai disini ia berdehem untuk membetulkan
suaranya, kemudian dengan menurunkan nadanya dan
perlahan-lahan meneruskan ceritanya.
“Tidak disangka kali ini ada giliran empat pengurus
kampung kami yang kepandaiannya bukannya
sembarangan yang menjadi korban! Mereka sudah lama
bekerja untuk kepentinganku dan akhirnya harus menerima
kematiannya yang sangat penasaran ini. Bagaimana aku
tidak menjadi bersedih karenanya?"
Lalu dengan meninggikan suaranya secara tiba-tiba ia
telah mengeluarkan pengumumannya.
“Kepada siapa saja yang berani masuk ke dalam sumur
kematian dan menganggap mempunyai kepandaian yang
dapat melebihi Kim, Phang, Lauw, Kui empat pengurus
kampung kami, dipersilahkan masuk untuk melihatnya.”
Orang tua pendek tadi setelah mendengar sampai disini
sudah mulai mengerti, dalam hati berpikir.
“Hm, kau sengaya menakut-nakuti orang dengan cerita
isapan jempolmu saja, Apa kau kira dapat menahan orang
untuk memasukinya? Sumur kematian didalam Pekarangan
terlarang itu tentu ada rahasianya, mengapa aku tidak
mencoba masuk untuk
memeriksanya?"

Setelah ia berpikir sebentar lalu majukan langkahnya.
“Jika ceritanya Chung-cu tadi betul semua, aku si tua
pendek sudah mulai menjadi takut juga ... ” katanya sambil
nyengir.
Kata-katanya yang terakhir ini telah membuat semua
orang tertawa, air mukanya Lee Thian Kauw yang tadinya
kaku sudah berubah lunak. Tapi baru saja ia mau membuka
mulutnya atau si tua pendek yang cerewet ini sudah menarinarikan
kedua tangannya dan berteriak.
“Tapi aku si tua pendek masih ada satu cara untuk
memaksa orang berani memasukinya.”
Suara berisiknya orang-orang tadi sudah dapat ditahan
olehnya, hanya orang yang paling tidak sabaran tadi sudah
menanya lagi.
“Dengan cara apa saudara dapat memaksa orang tuasuk
ke dalamnya? Lekas katakan kepada kami yang ingin cepatcepat
mengetahuinya.”
Lee Thian Kauw membuka lebar sepasang matanya,
sinar matanya yang tajam menatap pada si tua pendek tadi.
Tapi ia tidak menunjukkan kemarahannya karena mukanya
tetap dapat dipeliharan kekakuannya.
Waktu itu si orang tua pendek dengan tingkah laku yang
dibuat-buat sudah berdehem-dehem sampai beberapa kali.
Ada beberapa orang yang tidak sabaran sudah mulai
meneriakinya.
“Mengapa kau masih tidak lekas-lekas bicara?"
Orang tua pendek itu sudah memainkan dua pundaknya.
“Gampang saja untuk mengatakannya tapi aku harus
mendapatkan persetujuan Chung-cu dari Kui-in-chung
dahulu.”

Ada beberapa orang sudah menalangi berkata.
“Siapa kata Chungeu tidak ingin cepat-cepat
membongkar rahasianya sumur kematiannya? Asal saja kau
tidak meminta yang bukan-bukan, Chung-cu tentu dapat
menyetujuinya.”
Orang tua pendek tadi sudah menegaskan.
“Lee Thian Kauw betulkah kata-katanya saudara ini?”
Lee Thian Kauw memanggutkan kepalanya dengan
curiga dipandangnya orang tua pendek yang aneh ini.
“Hanya hadiah besar yang dapat memaksa orang
mengadu jiwa.“
Terdengar orang tua pendek tadi berkata.
Semua orang menjadi mengeluh mendengar katakatanya
ini, tapi si tua pendek sudah merobah lagu
suaranya dengan keras berkata.
“Lee Thian Kauw, orang mengatakan kau memiliki
tongkat yang pernah menggetarkan dunia, jika dengan
menggunakan tongkat Rantai Kumala ini sebagai
pancingannya dan dicemplungkan ke dalam sumur sebagai
hadiah kepada siapa yang berani memasukinya, aku
percaya masih ada orang yang berani mengadu jiwa.”
Mukanya Lee Thian Kauw sudah menjadi berobah,
hatinya juga menjadi tergetar mendengar kata-katanya
orang tua pendek yang mencurigakan ini.
Diantara sedemikian banyak tamunya juga sudah ada
enam orang yang menyorotkan matanya sinar kebencian ke
arah Chungeu yang mengaku tidak berilmu silat ini.
Tapi sebentar saja Lee Thian Kauw sudah menenangkan
lagi hatinya dengan tertawa ia membantah kata-katanya siorang
tua.

“Dari mana saudara dapat mengetahuinya? jangan kata
aku Lee Thian Kauw tidak mempunyai barang ini,
sampaipun namanya tongkat Rantai Kumala juga masih
belum pernah kudengarnya.”
Orang tua pendek itu mengawasi padanya, dan tertawa
tergelak-gelak.
"Siapa yang tidak tahu bahwa Tongkat Rantai Kumala
yang menjadi pusakanya Hoa-san-pay telah terjatuh ke
dalam tangannya Cie Gak, ketua Hoa-san-pay turunan yang
ke dua puluh lima. Pada, tiga tahun yang lalu karena
keadaan terdesak oleh enam sutenya, diatas puncak gunung
Kie-ling di daerah Bong-san ini tongkatnya telah dirampas
oleh seorang tinggi besar yang tertutup seluruh mukanya
dengan kain. Lee Thian kauw, apa kau masih mungkir tidak
mengetahuinya?”
“Kui-in chung selalu siap untuk menerima tamu, naga
dan harimau siapa yang tahu? Itu orang aneh yang menutup
seluruh mukanya memang mungkin sekali datang dari
perkampungan kami tapi jika main sembarang menuduh
aku yang melakukannya, apa tidak takut ditertawakan
orang dunia?”
Dengan tenangnya Lee Thian Kauw masih dapat
tertawa. lalu dengan menghadapi para tamunya berkata
dengan suara nyaring.
“Diantara tamuku yang telah lama, siapakah yang
pernah melihat aku Lee Thian Kauw mempunyai Tongkat
Rantai Kumala?”
Si orang tua pendek tertawa dingin, diwajahnya sudah
terlihat kegusarannya.
“Lee Thian Kauw. ada tidaknya hanya kau seorang saja
yang mengetahuinya. Tapi semua orang mengetahui bahwa

kau masih mempunyai itu daun “Leng-ci merah” yang telah
berumur lebih dari seribu tahun jika dengan daun ini
sebagai gantinya pancingan juga tidak mungkin tidak ada
orang yang mau memasukinya.”
Si orang tua pendek tetap masih memaksanya, juga
hatinya Lee Thian Kauw menjadi mengeluh, dengan tidak
merubah arah pandangannya ia memanggutkan kepalanya.
“Ini memang satu soal yang tidak dapat dipungkiri tapi
siapakah orangnya yang berani mencoba memasukinya?”
Si orang tua pendek membuka mulutnya yang lebar.
“Daun “Leng-ci merah” dapat menghidupkan kembali
orang yang baru-mati hanya memakan seiris saja sudah
cukup untuk menambah panjang umur manusia, maka
didalam dunia Kang-ouw sudah terang orang ingin
melihatnya. Rahasia sumur kematian di pekarangan
terlarang dari perkampungan Kui-in-chung juga tidak
mungkin dapat menahan daya penariknya daun “Leng ci
merah tadi.”
Lee Thian Kauw tertawa dingin.
“Daun Leng-ci merah” yang tidak dapat dinilai
harganya mana dapat gampang dimasukan ke dalam sumur
kematian? Jika tidak ada orang yang berani mengambilnya
bukanlah sayang?”
Si orang tua pendek berkata lagi.
“Lee Thian Kauw, tidak usah kau menguatirkanya.
Setelah kau memasukkan itu daun ke dalam sumur
kematian dan dalam tiga hari tidak ada yang berani
memasukinya, aku si tua pendek biarpun bakal tidak
bernyawa juga tetap akan memasukinya.”

Saat itu tiba, seorang Tosu perantau sudah memajukan
dirinya dan berkata.
“Jika betul Chung-cu mau memasukan daun, “Leng-ci
merah” ke dalamnya, pinto sudah bersedia untuk
mencobanya.”
Dilihatnya Tosu itu berumur empat puluh tahun lebih,
dua pelipisnya agak melesak menandakan dalamnya ia
punya latihan lweekang. Dengan muka penuh kesedihan ia
menegaskan kata-katanya.
“Pinto sebagai seorang perantau yang tidak mempunyai
rumah tangga ingin mencobanya.”
Tidak disangka itu anak kecil yang sedari tadi berdiri
disampingnya Lee Thian Kauw sudah tertawa dan berrkata
kepada ayahnya.
“Ayah bukan pernah mengatakan bahwa orang yang
mempunyai pelipis semakin dekok ke dalam berarti
semakin tinggi pula kepandaiannya? Bagaimanakah dengan
Tosu ini yang tentunya mempunyai kepandaian tinggi
juga?”
Lee Thian Kauw menjadi kaget, ia membentak.
“A Tie tidak boleh sembarangan bicara. Kau anak kecil
tahu apa?”
Tapi si orang tua pendek sudah dapat mendengarnya
dengan tertawa ia berkata.
“Betul, betul. Siapa yang mampunyai pelipis dekok ke
dalam berarti semakin tinggi pula kepandaiannya, Lee
Thian Kauw, apa ini anakmu yang bernama Lie Tie itu?
Tajam sekali pandangan matanya.”
Lee Thian Kauw masih tetap membawa sikap kakunya.

“Kata-katanya anakku yang kurang ajar mana dapat
dipercaya? Kami tidak dapat menerima pujianmu. Lakas
pulang ketempat ibumu, katakan sebentar ayah juga segera
datang ke sana.”
Lee Tie menunjukan perasaan tidak puasnya. tapi ia
mendengar perintah ayahnya dan meninggalkan ruangan
persahabatan yang penuh sesak dengan para tamu ayahnya.
Setelah menunggu sampai berlalunya sang anak, Lee
Thian Kauw berkata.
“Apa Totiang percaya dapat menempuh bahaya dengan
selamat? Disini ada menyangkut akan mati hidupnya jiwa,
harap Totiang dapat memikir untuk kedua kalinya.”
Si Tosu pengembara menjawab.
“Pinto Jin Cun Bee sebagai murid pertama dari Oey-san
Sam-ceng-koan karena harus mencari obat untuk
menyembuhkan penyakitnya guru kami yang tercinta
sangat memerlukan sekali daun “Leng-ci merah” ini, maka
dengan memberanikan diri ingin mencoba untuk
mendapatkannya.”
Lee Thian Kauw yang mendengar penuturannya sudah
mengkerutkan keningnya, tapi kemudian ia menjadi
tertawa.
“Mengapa Totiang tidak cepat mengatakanya. demi
kepentingan orang, aku Lee Thian Kauw sudah rela untuk
mempersembahkannya.”
Tiga ribu tamunya yang mendengar kata-katanya ini
sudah beramai-ramai bertepuk tangan memuji tindakan
bijaksananya. Hanya si Tosu pengembara Jin Cun Bee saja
yang masih terdiam, setelah menunggu sampai suara tepuk
tangan tadi sudah menjadi sirap semua baru ia berkata.

“Jin Cun Bee sangat berterimakasih kepada Chungeu
yang sedemikian baik hatinya, tapi semua murid Sam-tiengkoan
tidak dapat menerima pemberian percuma. Harap
Chung-cu dapat menjalankan rencana semula dan Pinto
bersedia untuk menerjun ke dalam sumur kematian sebagai
orang pertama.”
Diantara elahan napasnya tiga ribu tamu perkampungan
Kui-in-chung, si orang tua pendek tadi sudah
memperdengarkan lagi kata-katanya.
“Suatu peraturan yang harus dipuji dari Sam-ceng-koan.
Jin Cun Bee, legakanlah hatimu, jika betul terjadi suatu apa
di dalam sumur kematian, aku si tua Pendek akan berusaha
mendapatkan daun “Leng-ci merah” untuk dibawa Samceng-
koan di Oey-san diserahkan kepada gurumu.”
Jin Cun Bee yang mendengar kata-katanya sudah
menjura ke arahnya.
“Jin Cun Bee jika masih mempunyai peruntungan bagus
dan tidak mati didalam sumur kematian tentu berusaha
untuk membalas kebaikan hatinya Locianpwee yang belum
dikenalnya.”
Lalu ia menjatuhkan dirinya untuk berlutut di
hadapannya si tua pendek yang aneh itu
Si tua pendek menjadi kaget, dengan cepat ia sudah
melompat maju untuk memimpin bangun Tosu pengembara
yang harus mendapat pujian itu.
“Tidak percuma Jin Cun Bee menjadi murid Sam-cergkoan,
aku Kiauw Kiu Kong paling tidak suka dengan segala
macam adat peradatan, lekaslah kau berdiri seperti biasa
lagi.”
Jin Cun Bee yang mendengar disebutnya nama Kiauw
Kiu Kong sudah bertambah hormatnya.

“Ow, kiranya Locianpwe Kiauw Kiu Kong, harap
maafkankan Jin Cun Bee yang tidak mempunyai mata.”
Lee Thian Kauw yang mendengar si tua pendek sudah
memperkenalkan namanya juga sudah maju untuk memberi
hormatnya.
“Hanya Kiauw Kiu Kong yang mempunyai kebesaran
hati seperti ini. sedari tadi aku Lee Thian Kauw juga sudah
dapat menerkanya, hanya saja karena aku tidak mempunyai
hubungan dengan dunia Kang-ouw, aku tidak berani
sembarangan menyebutnya.”
Kiauw Kiu Kong tertawa terbahak-bahak.
”Ada apa kegunaannya Kiauw Kiu Kong yang hanya
mendapat nama?" katanya.
“Apa tidak sama juga menjadi tamu makannya Kui-inchung
saja? Lee Thian Kauw, janganlah kau berkata-kata
saja, lekaslah masukan itu daun “Leng-ci merah” ke dalam
sumur kematian yang menjadi kebanggaanmu."
Lee Tliian Kauw sudah kehabisan akal. Sampai beberapa
kali ia mengucapkannya, kemudian ia sudah mengulapkan
tangannya ke arah semua tamunya dan berkata.
“Para tamu Kui-in-chung yang budiman dipersilahkan
menunggu di Pekarangan terlarang.”
Kemudian dengan tidak.berkata-kata lagi, ia sudah
mendahului untuk mengundurkan dirinya masuk ke dalam
ruangan.
Tiga ribu tamunya Kui-in-chung bersorak dan
membubarkan dirinya meninggalkan ruangan persahabatan,
mereka sudah saling mendahului menuju ke tempat
Pekarangan-terlarang dimana terdapat sumur kematian dari

Kui-in-chung yang sudah terkenal keangkerannya
Saat itu Kiauw Kiu Kong sudah menarik tangannya Jin
Cun Bee dan berkata dengan perlahan.
”Mari kita melihat itu sumur kematian yang penuh
dengan rahasia.”
Dua orang sudah lari meninggalkan Ruanganpersahabatan
dan mendahului para tamu tadi menuju ke
tempat Pekarangan-terlarang.
Setelah mengitari setengah perkampungan Kui-in-chung,
di hadapan mereka telah tertampak tembok yang
menghadang di hadapan mereka, pohon-pohon yang
merambat telah penuh mengitari tembok tua ini. Di sekitar
tembok sudah seperti tidak ada pintu masuknya saja, semua
orang berkumpul mengitarinya.
Kiauw Kiu Kong dan Jin Cun Bee yang mendahului
mereka melihat ke sana mendapat kenyataan bukannya
tidak ada pintunya, hanya saja karena pintu itu terlalu kecil
membuat orang hampir tidak dapat melihatnya karena
hampir tertutup dengan pepohonan merambat tadi.
Kiauw Kiu Kong yang melihat bangunan pekarangan ini
sudah enjot tubuhnya dan berdiri diatasny tembok tadi,
terbentang di depan matanya hanya satu pekarangan yang
kosong dikitari oleh tembok besar tadi, Cuma di tengahtengah
tembok ada terlihat satu sumur tua menyendiri, dua
pohon tua yang telah hampir berkumpul menjadi satu ada
melintang diatasnya.
Waktu itu sudah ada ratusan orang yang masuk ke situ
dan berdiri dari kejauhan untuk menonton saja.
Orang yang melatih dirinya memang mempunyai
pendengaran yang lebih tajam dari orang biasa, maka

Kiauw Kiu Kong sedari melompat ke atas tembok tadi
lapat-lapat telah mendengar adanya satu suara suling yang
membawa lagu kesedihan dan membuat orang yang
mendengarnya sudah tidak tahan untuk tidak mengucurkan
air mata. Di barengi juga dengan tiupannya angin yang
membawa bau amis tersebar kemana-mana.
Kiauw Kiu Kong sudah menjadi tidak tahan sambil
memencet hidungnya ia berkata.
“Aduh amisnya Lee thian kauw, hampir saja kau
berhasil untuk membatalkan perjanjian kita.”
Lalu ia menutulkan lagi kakinya dan kini sudah berada
dipinggirannya sumur kematian yang terkenal angker itu, ia
melongok ke dalamnya dan tiba-tiba berkaok-kaok.
“Aduh dalamnya, jika aku telah masuk bagaimana
dapat Keluar lagi.”
Saat itu si Tosu pengembara Jin Cun Bee juga sudah
berada disampingnya dan menanya.
“Locianpwe, apa suara tiupan suling itu dari sumur ini
datangnya?”
Kiauw Kiu Kong memanggutkan kepalanya, tiba-tiba
seperti ingat akan sesuatu dengan suara perlahan ia berkata.
“Aku telah dibuat teringat lagi akan dirinya dua orang
ternama dari dunia Kang-ouw, pada sepuluh tahun yang
lalu sewaktu aku lewat digunung Thian-san, dari kejauhan
sudah terlihat olehku dua orang ternama ini dan satu
diantaranya juga sedang meniup suling memperdengarkan
lagunya yang seperti ini.
“Locianpwe apa tahu asal usulnya dua orang ternama
itu?”
Kiauw Kiu Kong menggelengkan kepalanya.

“Hanya dalam sekejapan mata saja aku telah kehilangan
jejak mereka. Aku menjadi heran dan menyusul mereka,
kecuali angin yang meniup-niup mana ada orang disana?”
Yin Cim Bee dengan heran berkata.
“Dengan kepandaian locianpwee yang terkenal masih
tidak dapat melihat arah tujuannya juga, betul-betul gunung
Thian-san masih mempunyai dua orang ternama ... ”
Yin Cun Bee sudah tidak meneruskan kata-katanya
karena saat itu terlihat olehnya Kiauw Kiu Kong sudah
membungkukkan badannya, dengan mengarahkan
mulutnya dalam sumur kematian telah memekik panjang
sekali.
Pekikkannya ini telah terkenal dengan nama “raungan
singa”, suaranya melebihi lonceng dan genta menggaung
kemana-mana. Hanya terdengar suara panjang ini masuk ke
dalam sumur dan tidak kembali lagi. Kiauw Kiu Kong dan
Jin Cun Bee sudah menjadi saling pandang karena
herannya. Terlihat Kiauw Kiu Kong meleletkan lidahnya
dan berkata.
“Aaaa ... apa sumur ini tidak ada dasarnya?”
Jin Cun Bee yang sudah siap untuk memasukinya
menjadi ragu-ragu juga, pikirnya.
“Bagaimana jika betul tidak ada dasarnya?”
Kiauw Kiu Kong memandang Jin Cun Bee sebentar,
mendadak dalam sumur suara tadi telah berbalik keluar
lagi.
Kiauw Kiu Kong tertawa berkakakan, Jin Cun Bee juga
menunjukan muka girang, hanya ribuan orang yang berdiri
ditempat kejauhan saja yang menjadi terheran-heran, entah
ada makluk apa didalamnya?

Tidak lama kemudian dua belas anak penjaga pintu dan
delapan pengawal rumah sudah beruntun muncul disana.
dan sebentar kemudian terlihat Lee Thian Kauw juga
dengan membawa sebuah kotak besi kecil sudah berjalan
menghampirinya.
Setelah sampai di hadapannya Kiauw Kiu Kong dan Jin
Cun Bee, ia sudah segera membuka kotak kecil tadi dengan
perlahan-lahan sekali. Sebentar saja semacam bau harum
sudah mulai tersebar luas sehingga beberapa orang yang
terdekat juga dapat mencium baunya, dalam kotak itu
tampak semacam tumbuhan kecil yang mempunyai daun
merah darah dan akar putih berupa manusia kecil.
Kiauw Kiu Kong dan Jin Cun Bee membelalakkan
kedua pasang mata mereka yang kecil memandang ke
arahnya daun “Leng-ci merah-yang mempunyai khasiat
mujijat. Lee Thian Kauw dengan perlahan-lahan menutup
lagi kotaknya dan tertawa.
“Dua saudara sudah melihatnya dengan mata sendiri
barang ini tidak palsu adanya, aku Lee Thian Kauw sudah
segera akan memasukannya ke dalam sumur kematian yang
penuh bahaya ini.”
Dengan perlahan-lahan ia maju mendekati sumur angker
itu dan siap untuk melemparkan peti kecilnya yang berisi
daun “Leng-ci merah”.
Tapi tiba-tiba saat itu terdengar suaranya anak kecil yang
berkata.
“Ayah, tunggu dahulu untuk melemparkannya.”
Kiauw Kiu Kong memalingkan mukanya dan dilihatnya
Lee Tie sedang berlari-larian mendatangi dengan kecepatan
yang luar biasa dan tindakan enteng sekali, ternyata anak

ini telah mempunyai dasar kepandaian yang lebih sempurna
dari apa yang telah diduga.
Hanya sebentaran saja Lee Tie sudah berada di
depannya dan berkata.
“Ibu memesan kepada ayah bahwa ia ingin sekali
melihat wajahnya dua orang yang mati memasuki sumur
kematian kita.”
Lee Thian Kauw mengkerutkan alisnya.
“Mengapa tadi ia tidak berkata?”
Lee Tie tidak memperdulikan pertanyaannya sang ayah
dan berpaling ke arahnya Kiauw Kiu Kong, sambil tertawa
berkata.
“Orang yang sependek kau ini apa mempunyai
kepandaian juga untuk masuk dalam sumur? Ibu pernah
mengatakan kepadaku bahwa kini hanya tinggal dua orang
saja didunia Kang-ouw yang dapat memasukinya, dan
mungkin sekali mereka juga akan terluka.”
Kiauw Kiu Kong yang mendengar kata-kata ini sudah
menjadi melongo, tapi Lee Thian Kauw yang
mendengarnya sudah menjadi marah dan membentak.
“A Tie, kau berani mengacau disini? Lekas kembali dan
cegah agar jangan sampai ibu datang kemari.”
Mukanya Lee Tie sudah menjadi pucat, dengan sekali
melesat saja ia sudah berada dua puluh lima tombak dari
tempat mereka. Tosu dari Oey-san Jin Cun Bee yang
melihatnya menjadi heran, ia tidak menyangka anak kecil
ini sudah mempunyai ilmu megentengi tubuh yang
demikian tinggi.
Kiauw Kiu Kong tertawa panjang dengan setengah
memuji ia berkata.

“Lee Thian Kauw, bagus sekali kepandaiannya ilmu
mengentengi tubuh dari anakmu itu.”
Lee Thian Kauw coba bersenyum.
“Anak anjingku yang kurang ajar ini bisanya lari-larian
saja diantara tamu-tamu Kui-in-chung, kecuali itu tidak ada
kepandaian lainnya lagi.”
Lalu dengan menghadapi Jin Cun Bee ia berkata.
”Silahkan Totiang segera bersiap-siap.”
Sambil mencemplungkan kotak kecil yang berisi daun
“Leng-iyi merah” ia berkata nyaring.
“Aku Lee Thian Kauw sudah bersedia mengorbankan
pusaka turunan yang dapat membuka rahasianya sumur
kematian yang selalu dianggap keramat ini. Para tamu Kiuin-
chung yang budiman diharap kalian dapat menjadi saksi
tentang kejadian ini."
Demikianlah benda pusaka turunannya yang daun
“Leng-ci merah” ini telah melayang turun ke dalam sumur
keramatnya bersama-sama dengan kata-katanya tadi.
Jin Cun Bee sambil membetulkan pakaiannya sudah
segera mencabut keluar belati kecilnya dan menjura ke
arahnya Kiauw Kiu Kong.
“Locianpwee, aku sampai disini saja mengambil selamat
perpisahan.”
Kiauw Kiu Kong dengan sungguh-sungguh berkata.
”Tetapkan hatimu.”
Jin Cun Bee menengadah sebentar, sambil menunjukkan
ketabahan hatinya ia sudah berada dipinggirannya sumur
kematian. Ia melongok kebawah sebentar, kemudian terjun
dengan kedua kakinya lebih dahulu sebelah tangannya tetap

masih memegang kencang-kencang belati kecilnya dan
tangan kirinya sudah dipejarkan merupakan gaetan.
Tiga ribu tamu Kui-in-chung memuji ketabahannya
sambil tepuk tangan riuh sekali.
Kiauw Kiu Kong melihati bagaimana Jin Cun Bee
menerjunkan dirinya ke dalam sumur yang penuh rahasia
ini, ia melongok ke dalam sumur dan dilihatnya Jin Cun
Bee sedang meluncur turun kebawah dangan kecepatan
yang luar biasa, sebentar saja ia sudah lenyap diantara
kegelapan.
Pada hari biasa sang waktu dapat lewat dalam sekejapan
mata saja, tapi kali ini terasa bukan main lambatuya.
Ribuan tamu Kui-in-chung dipinggiran tembok pada
menyenderkan dirinya, dua belas anak penjaga pintu dan
delapan pengawal rumah berdiri laksana patung, Lee Thian
Kauw sebagai Chungeu dari Kui-in-chung sedang
membalikkan kedua tangannya, si tua pendek Kauw Kiu
Kong masih tetap mangarahkan pandangannya ke dalam
sumur rahasia.
Perkampungan Kui-in-chung telah dirundung kesepian,
di langit yang terang kadang masih terlihat beberapa
gumpalan awan yang sedang terbang melewati puncak
gunung Kie-ling di daerah Bong-san.
Demikian telah berjalan lebih dari satu jam. semua orang
yang berada diatas sumur sudah mulai terlihat
kegelisahannya, malah sudah ada beberapa orang yang
mengeluarkan suara keluhan.
Satu jam lagi telah berlalu, keadaan didalam sumur
masih tetap menguatirkan, Lee Thian Kauw sudah mulai
mengalihkan padangannya ke arahnya Kiauw Kiu Kong.
”Saudara Kiauw ... ” Panggilnya dengan suara perlahan.

Ia sudah tidak meneruskan lagi kata-katanya karena
terlihat Kiauw Kiu Kong sedang menumplek perhatiannya
ke dalam sumur.
“Tutup mulutmu!" terdengar ia membentak.
Terlihat ia mengangkat kepalanya memandang ke
arahnya Lee Thian Kauw dengan bengis dan mengeluarkan
beberapa kali suara tertawa dingin dari hidungnya.
Dipandangnya muka Lee Thian Kauw yang menjadi
matang biru, hatinya menjadi tergerak. Tapi tiba-tiba dari
dalam sumur telah terdengar satu suara pekikan yang
panjang, dilongoknya lagi ke dalam dan terlihat olehnya
satu sinar putih berklebat-kelebat digoyangkan dan
kemudian mulai naik keatas.
Kiauw Kiu Kong tahu bahwa Jin Cun Bee sudah sampai
di bawah dasarnya sumur dan mulai naik lagi ke arahnya
Lee Thian Kauw.
“Lee Thian Kauw, apa betul hanya dua orang saja yang
dapat masuk ke dalam sumur kematianmu ini?”
Mukanya Lee Thian Kauw sudah berobah menjadi
menyeramkan dan dengan lagu suara yang tidak enak untuk
didengar ia berkata.
“Ia akan tergolong orang kelas satu jika betul dapat naik
kembali dari sumur kematian di Pekarangan-terlarang.”
Kiauw Kiu Kong tidak membantahnya dan hanya
tertawa saja untuk menenangkan hatinnya. Hanya terlihat
bayangan orang berkelebat diatas sumur, Jin Cun Bee
dengan sebelah tangan memegang pisau belati dan sebelah
memegang kotak besi kecil yang telah dilemparkan masuk
ke dalam sumur kematian tadi, dengan muka penuh
kegusaran berdiri di pinggiran sumur. Sepasang matanya
yang beringas tidak mau meninggalkan mukanya Lee Thian

Kauw yang sudah menjadi pucat, dengan menjujukan pisau
belatinya ia berkata ke arahnya Lee Thian Kauw.
“Chung-cu, Kau ... ”
Siapa tahu baru saja mengucapkan kata “kau” ini atau
sudah menjerit keras memuntahkan darah segar, badannya
sudah terpelanting ke dalam sumur kembali dengan masih
mencekal itu kotak, dan “Leng-ci merah tadi.
Perobahan yang mendadak ini berada diluar dugaan
semua orang, termasuk Kiauw Kiu Kong yang sedang
kegirangan juga, dengan cepat ia ini mengulurkan
tangannya untuk memberikan pertolongannya, tapi hanya
angin kosong yang dapat dipegangnya.
Ia menjadi berdiri menjublek sambil mernbelalakan
sepasang matanya seperti setengah gila.
Tiga ribu tamunya Kui-in-chung pada menundukkan
kepala menyatakan turut berduka cita. Tapi Kiauw Kiu
Kong yang telah menjadi kalap sudah membentak keras dan
menyerang ke arahnya Lee Thian Kauw yang sedang
berdiri tersenyum mengejek.
“Lee Thian Kauw, permusuhan apakah diantara kau
dengannya? “ Bentaknya si orang tua pandek itu.
Lee Thian Kauw melompat sedikit menghindarkan
serangannya, sambil kerutkan alisnya ia berkata.
”Apakah maksud yang sebenarnya dari saudara Kauw
ini? Jin Cun Bee karena luka-lukanya telah terjatuh lagi ke
dalam sumur kematian yang tidak dapat dipandang gegabah
ini, ada hubungan apakah dengan Lee Thian Kauw yang
tidak tahu menahunya? Apa lagi sebelumnya telah ada
perjanjian diantara kita ... ”

Kata-katanya Lee Thian Kauw tidak habis dikatakan
karena Kiauw Kiu Kong sudah tertawa berkakakan, yang
menyedihkan sehingga menyebabkan siapa yang
mendengarnya sampai bergidik karenanya. Tiga ribu tamu
Kui-in-chung telah mengira si tua pendek ini hanya tertawa
gila karena saking sedihnya saja. Saat itu Lee Thian Kauw
juga sudah tidak seperti biasanya berlaku ramah tamah lagi,
terlihat mukanya sudah penuh dengan ejekan yang
menghina dan beberapa kali mengeluarkan suara hm, hm,
dari hidungnya yang mancung.
Kiauw Kiu Kong setelah tertawa sekian lamanya. telah
dapat menenangkan lagi dirinya, dengan tegas ia berkata.
“Biarlah. tulang tuaku ini juga akan segera kupendam
disini.”
Dengan sekali menutulkan kakinya ia sudah lompat lagi
ke pinggiran sumur kematian, dilongoknya sebentar dan
loncatlah ia masuk ke dalam sumur yang penuh dengan
bahaya ini.
Waktu telah menjelang siang hari, sinar matahari yang
terang benderang menyinari ratusan burung dara putih yang
tidak terbang, ada beberapa ekor diantaranya malah masih
ada yang hinggap di pohon diatas sumur kematian, tapi
tidak lama kemudian mereka juga telah terbang pergi lagi.
Diluar sumur kematian tertampak kesunyiannya duniawi.
Tapi didalam sumur kematian, Kiauw Kiu Kong, orang
yang paling ditakuti oleh kawanan kurcaci, sedang
mengalami kejadian mengerikan hati dan mulai membuka
tabirnya rahasia sumur kematian dari Kui-in-chung ini.
Di sekitar Ruangan-terlarang telah penuh dengan tiga
ribu tamunya Kui-in-chung beserta dengan Chung-cunya,
Lee Thian Kauw ini. Sambil menahan napas mereka
mengarahkan pandangan mereka ke tempat sumur

kematian untuk menunggu munculnya Kiauw Kiu Kong
kembali.
Satu jam lamanya mereka menanti, diatas sumur
kematian terlihat bayangan Kiauw Kiu Kong yang
mengempit mayatnya Jin Cun Bee dan kotak besi kecil yang
berisi daun “Leng-ci merah” sambil menancapkan sebelah
kakinya dipinggiran sumur. Wajahnya sudah berubah
menjadi lain sekali, dengan sorot mata yang berapi, ia
memandang kepada Lee Thian Kauw tanpa berkesip
samasekali.
Ia telah berhasil dengan membawa kemenangannya
kembali, tapi semua orang tuasih menguatirkan
keselamatannya. Mereka takut akan terjadinya kembali
peristiwa yang seperti Jin Cun Bee telah alami mereka telah
turut mengucurkan keringat dingin demi keselamatannya si
orang tua pendek yang berani ini.
Kiauw Kiu Kong memandang sekian lamanya ke arah
Lee Thian Kauw dan terdengar geramannya yang
menyayatkan hati.
“Lee Thian Kauw, “
Betul saja baru saja ia menyebut namanya Lee Thian
Kauw badannya sudah mulai bergoyang-goyang mau jatuh
ke dalam sumur lagi. Mukanya Kiauw Kiu Kong sudah
menjadi pucat, tapi biar bagaimana pun juga ia sebagai
seorang tokoh rimba persilatan yang terkemuka tidak
mudah dibikin celaka. Dengan menutul ujung kakinya ia
sudah dapat melompat tinggi, sebelah tangannya
diputarkan dan suatu angin pukulan telah mengarah
ketempatnya Lee Thian Kauw berdiri. kemudian seperti
seekor kera besar saja ia sudah merambat naik keatas pohon
dan sekejapan saja ia telah menginjakan kakinya diatas

tembok ruangan terlarang, sekali enjot tubuh lagi lenyaplah.
Kiauw Kiu Kong dari pandangan mata mereka ini.
II. PECAHAN KUMALA.
SEDARI Kiauw Kiu Kong masuk ke dalam sumur
kematian dan melarikan diri, nama Ruangan-terlarang dari
Kui-in-chung sudah tersebar luas kemana-mana.Tapi yang
membikin orang tidak habis mengerti jalan sedari itu waktu
Lee Thian Kiauw tidak pernah memunculkan dirinya lagi.
Belum juga para tamunya mengerti sebabnya atau tiga hari
kemudian datang lagi satu pengumuman yang mengatakan
Kui-in-chung sudah tidak menerima tamu lagi. Tiga ribu
tamu sudah menjadi simpang siur dengan bermacammacam
pendapat mereka yang tidak sama, dengan terpaksa
mereka sudah siap sedia dengan buntalannya dan tidak
sampai tujuh hari sepilah Kui-in-chung karena mereka
sudah pada bubaran.
Pada hari kedelapan, di bawahnya sinar bintang
diatasnya puncak gunung Kie-ling dari daerah Bong-san,
pada suatu pojok dari perkampungan Kui-in-chung yang
sepi terdapat bangunan yang tersendiri. Setelah kentongan
malam dipukul sampai dua kali, terdengar satu suara
wanita yang halus berkata.
“A Tie, lagi berbuat apa lagi kau disitu? waktunya tidur
lagi.”
Dalam kamar telah terdengar jawabannya Lee Tie.
“Aku masih belum mau tidur, ingin sekali aku
menemukan ayah lagi untuk mengetahui mengapa beberapa
hari ini ia tidak terlihat datang kemari?”
”Janganlah kau pergi ke sana." Suara wanita itu
terdengar mengela napas dan berkata sendiri.

“Ayahmu memang begitu, awaslah dengan hatinya yang
busuk sekali.”
“Aku tahu, tapi aku tidak takut. Telah tujuh hari ia
mengurung dirinya di dalam kamar batunya, entah apa
yang sedang diperbuatnya?”
“A Tie, jangan kau pergi ke sana.”
“Tidak. Aku akan pergi ke sana hanya melihatnya saja.”
“Tapi janganlah kau berkata suatu apa dengannya.”
“Legakan hati ibu, jangan kuatir.”
Terlihat satu bayangan kecil sudah melesat dari
bangunan tadi keatas ganteng pekarangan yang sudah
segera lenyap ditelan kegelapan.
Tapi Lee Tie bukannya menuju ke arahnya ruangan batu
ayahnya. Dengan sekali loncat ia sudah meninggalkau
genteng tadi ke arah jalan kecil dengan tidak menerbitkan
suara sama sekali. Ternyata bocah ini telah mempunyai
kepandaian ilmu mengentengi tubuh yang sempurna sekali.
memandang ke arah depannya sejenak dan sebentar lagi
tibalah ia di depannya tembok Ruangan-terlarang ayahnya.
Dari kejauhan sudah terlihat olehnya dua penjaga Ruanganterlarang
yang berdiri disana.
“Bagaimana aku dapat melewati mereka? Jika secara
terang masuk dari pintu yang dijaga tentu dapat
mengakibatkan bocornya rahasia." demikian pikirnya.
Tapi hatinya menjadi tergerak juga setelah melihat salah
satu dari tembok itu yang berjarak tidak jauh darinya.
dengan meminjam kegelapan malam sebagai alingan ia
sudah enjot tubunnya melayang melalui tembok tadi masuk
ke dalam Ruangan-terlarang yang penuh rahasia ini.

Samar-samar terlihat olehnya dipinggiran sumur
kematian telah menanti bayangannya seseorang, dengan
perlahan sekali ia menujukan langkahnya ke sana dan
memberi tanda dengan tangannya mengatakan bahwa
diluar masih ada dua orang penjaga. Setelah berjalan dekat
baru ia membuka mulutnya.
“Kakek pendek, sebagaimana yang dijanjikan aku telah
datang kemari, maka katakanlah rahasia apa yang ada
dalam diriku?”
Ternyata yang telah menantinya dipinggiran sumur
kematian tadi adalah Kiauw Kiu Kong yang tempo hari
telah melarikan diri. ia seperti tidak mendengar katakatanya
Lee Tie ini dan duduk disana dengan memandang
ke langit.
“Kakek pendek. rahasia apakah yang berada didalam
diriku?" Lee Tie mengulangi pertanyaannya.
Kiauw Kiu Kong membalikan mukanya. terlihat
ketegangan hatinya. Dengan sungguh-sungguh ia bertanya.
”Sekarang ayahmu sedang berada dimana?"
“Didalam ruangan batu entah sedang mengerjakan apa."
Jawab Lee Tie.
Kiauw Kiu Kong mengangguk-anggukan kepalanya.
Dengan suara pasti ia berkata.
“Ayahmu tidak berada didalam ruangan batu. kau
belum pernah melihatnya lagi?”
Lee Tie menjadi kaget dan tidak percaya dengan katakatanya
orang tua pendek ini.
“Dengan bukti apa kau berani mengatakan demikian?"
tanyanya.

“tidak percaya? Kau ingin mendapatkan bukti? Kau
harus menjawab dulu segala pertanyaanku.”
Lee Tie bercekat, dengan marah ia berkata.
“Aku sudah tidak percaya kepadamu dan juga tak mau
menjawab pertanyaanmu karena ternyata kau hanyalah
seorang penipu belaka. Sampai disini saja pertemuan kita,
aku tidak ada tempo.”
Betul saja ia sudah membalikan badannya dan menuju
ke arah tembok Ruangan-terlarang lagi, dengan tidak
menolehkan kepalanya lagi ia sudah mau pergi.
Tapi tiba-tiba kupingnya telah mendengar kata-katanya si
pendek.
“Aii, seorang bocah yang harus dikasihani, karena tidak
tahu dirinya sebetulnya siapa.”
Hatinya Lee Tie menjadi tergetar dan menanya kepada
diri sendiri.
”Ia mengatakan bocah yang tidak mengetahui diri
sendiri? Apa aku yang dimaksudkan olehnya?". Biarpun ia
tidak percaya, tapi membalikkan kepalanya juga dan
menanya.
“Siapa yang tidak mengetahui dirinya sendiri?"
Kiauw Kiu Kong membelalakan matanya palingkan
mukanya ke arah lain, seolah-olah ia tidak mendengarkan
pertanyaannya Lee Tie.
Lee Tie menjadi penasaran dengan mengeraskan
suaranya ia menanya lagi.
“Siapa yang tidak mengetahui dirinya sendiri?"
Terdengar Kiauw Kiu Kong tertawa dirigin.

“Jika kau sudah tidak percaya, untuk apa menanyakan
kepadaku lagi?”
Lee Tie mengkretek giginya.
“Baiklah. Aku percaya kepadamu dan akan menjawab
pertanyaanmu.”
Kiauw Kiu Kong tertawa, sambil menarik tangannya Lee
Tie diajak duduk dipinggiran sumur kematian yang tadinya
menyeramkan itu.
“Kau duduklah untuk mendengar penuturanku dulu,
sebenarnya aku juga tidak bermaksud jahat kepadamu. Jika
kau ingin masih mendapatkan bukti juga tidak sukar
bagimu, tapi aku juga mempunyai kesukaranku sendiri
maka telah menarikmu sampai kesini.”
“Aku tidak menyalahkan kepadamu, mulailah dengan
pertanyaan-pertanyaanmu itu.”
Kiauw Kiu Kong angguk-anggukkan kepalanya.
“Apa kau tidak pernah melihat ayahmu lag?
Aaa.,bukan. Ia bukannya ayahmu sendiri, ia tetap sebagai
Lee Thian Kauw. Apa ia mempunyai satu Tongkat Rantai
Kumala?”
Lee Tie menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Aku belum pernah melihatnya.” jawabnya.
Jawaban ini seperti berada diluar dugaannya Kiauw Kiu
Kong, ia merandek sebentar dan menanyanya lagi.
“Apa Lee Thian Kauw pernah memberi pelajaran silat
kepadamu?”
Lee Tie memanggutkan kepalanya.
“Berapa macam kepandaiankah yang masih dapat kau
ingat coba kau perlihatkan kepadaku.”

Lee Tie membelalakan kedua matanya yang kecil,
dengan lagunya yang lucu menjawab.
“Semua kepandaian masih kuingat benar, ilmu pukulan
tangan, ilmu pedang, ilmu golok dan ilmu mengentengi
tubuh, tapi hanya ilmu mengatur jalan pernapasan yang
sudah pasti menjadi pelajaran setiap hari, pernah juga ibuku
yang mewakili ... ”
Kiauw Kiu Kong yang sudah tidak mau mendengarkan
ocehannya sudah memotong.
“Cukup ... cukup bukan ini yang kumaksudkan, Aku
hanya mau mengetanui dalam belakangan ini pelajaran apa
yang telah diberikan kepadamu?”
Lee Tie menatap wajahnya si tua pendek dan seperti
baru tersadar ia menanya.
“Apa itu tiga jurus yang menjadi satu?" Kauw Kiu Kong
sampai berjingkrak kegirangan.
”Betul-betul, Apa kau telah dapat mempelajrinya semua.
Bukankah semuanya berjumlah tukuh rangkaian?”
Lee Tie dengan heran menanya.
“Mengapa kau juga dapat mengetahuinya?”
Kiauw Kiu Kong mengarahkan pandangannya arah
langit yang gelap seperti sedang mengenangkan sesuatu.
sampai dua kali Lee Tie mengulangi pertanyaannya baru
dapat menarik kembali ingatannya. Setelah memandangnya
sebentar baru Kiauw Kiu Kong berkata.
“Kepandaian ini hanya terdapat didalam itu tongkat
Rantai Kumala yang menjadi barang pusakanya Hoasanpay.
Biarpun hanya terdiri dari tujuh rangakaian saja. tapi
jika betul-betul digunakannya bukanlah suatu soal yang

gampang untuk digunakannya. Bagaiamana dengan
perasaanmu yang telah dapat mempalayarinya?”
Lee Tie memanggut-manggutkan kepalanya, tapi
kemudian ia menggeleng-gelengkan lagi kepalanya Dengan
girang ia berkata.
“Memang susah tapi tidak begitu susah karena aku telah
dapat mempelajarinya semua.”
Kiauw Kiu Kong yang mendengari perkataannya anak
ini sudah menjadi heran dan tidak percaya.
“Mana kau dapat membual di hadapanku?"
Lee Tie yang tadinya menyangka si tua pendek ini
memuji akan kepintarannya, tidak disangka hanya kata-kata
ini yang dikeluarkannya. Maka dengan muka cemberut ia
berkata.
“Siapa yang kesudian membual kepadamu?"
Kiauw Kiu Kong tertawa dan coba membaikinya.
“Apa kau dapat memperlihatkan di depanku?"
Lee Tie tiba-tiba lompat berdiri dari tempatnya, ia
menggerakan sepasang tangannya yang kecil disilangkan
didada. Terlihat tangan kanannya menggaet tapi tangan kiri
memukul dan dengan berdiri dengan sebelah kaki kirinya ia
juga telah mengunakan sebelah kakinya lagi menyepak
dada orang. Sekali gebrak tiga jurus dalam waktu yang
bersamaan.
Kauw Kiu Kong menjadi kaget.
“Bocah, tidak kusangka kau mempunyai latihan yang
setinggi ini.”
-oo0dw0ooTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
Jilid 02
IA LOMPAT kesamping kiri untuk menghindarkan
tendangan kaki kecil.
Tapi tidak disangka belum juga ia dapat menaruh
kakinya lagi atau terlihat Lee Tie sudah meneruskankan
gerakannya lagi, dengan gerakan “Melihat kaki ia sudah
meneruskan sepakannya tadi menjadi gaetan kaki, dua
tangannya ditarik kembali dan menubruk ke arah kaki.
Kiauw Kiu Kong berseru memuji.
“Dua gerakan yang manis sekali.”
Secara tiba-tiba Lee Tie sudah menarik kembali
serangannya tadi, sambil lompat mundur ia berteriak.
”Celaka.”
Dengan kecepatan yang luar biasa ia sudah segera
lompat naik keatas pohon dan menyelipkan dirinya diantara
semak-semak daun yang tinggi. Kiauw Kiu menjadi heran,
tapi tidak lama ia juga telah lihat bahaya dan lompat naik
menyusulnya untuk menyembunjikan diri.
Ternyata gerakan-gerakan mereka tadi telah dapat
menimbulkan suara desiran angin pukulan yang membuat
dedaunan kering berterbangan ke sana sini, dua orang
penjaga yang mendengarnya sudah segera naik keatas
tembok Pekarangan-terlarang dan menanya.
“Siapa?”
Mereka tidak berani gegabah memasuki ke dalam tempat
yang menyeramkan ini, setelah berdiri diatas tembok
dengan tidak dapat melihat suatu apa sudah loncat turun
lagi untuk memberikan laporannya kepada Cung tuyu
mereka.

Kiauw Kiu Kong dan Lee Tie yang mengumpat diri
tentu saja tidak mau menyahuti pertanyaan mereka, setelah
menunggu sampai dua penjaga tadi turun pergi, baru
dengan suara perlahan Kiauw Kiu Kong membisikinya.
“Sudah waktunya kau kembali, jika kau masih percaya
boleh kau menanyakan kepada ibumu sendiri yang dapat
mengeluarkan bukti-buktinya. Dan jangan lupa besok
malam datang lagi kemari.”
Lalu ia menggerakkan badannya, dan lenyaplah si tua
pendek Kiauw Kiu Kong dari pandangan matanya Lee Tie.
Lee Tie menunggu sampai mendapat kepastian tentang
kepergiannya dua penjaga tadi baru berani turun dari atas
pohon. Waktu itu telah hampir menjelang pagi, langit
sudah menjadi gelap sekali. Lee Tie dengan menyusuri jalan
balik sudah membelokan arah tujuannya ketempat
Ruangan-batu ayahnya. Terlihat dua penjaga sedang
menghadang dipintu masuknya, tapi ia tidak menjadi takut
lagi, dengan membusungkan dadanya ia bertindak maju
menghampiri.
Dua penjaga yang melihat kedatangannya majikan muda
ini sudah segera menyapa.
“Mengapa Kong-cu sepagi ini sudah datang kemari?”
Lee Tie dengan tertawa menjawab.
“Ibu yang menyuruh aku untuk datang kemari.”
“Tapi Chungeu telah memberikan perintahnya bahwa
dalam beberapa hari ini, jika dengan tidak seizinnya, kami
orang tidak boleh mengganggu ketenangannya.”
“Apa termasuk aku juga?”
“Siapa juga tidak boleh mengganggunya.“

Lee Tie mana mau percaya ia yang sudah biasa
dimanjakan oleh ayahnya dengan tidak memperdulikan
halangannya lagi sudah maju mendekatinya. Dua penjaga
yang melihat tidak mungkin mereka menahan Kong-cu
yang manja ini sudah mulai dengan ratapannya.
“Harap Kong-cu dapat menimbang akan kesukaran
kami, ayahmu memang betul demikian memberi
perintahnya, bahkan ia juga ada mengatakan ... ”
Lee Tie sudah menjadi tidak sabaran, dengan
mendorong badannya salah satu penjaga itu ia sudah siap
untuk membuka pintunya.
“Tapi aku masih mau masuk juga,” katanya dengan
aseran sekali.
Penjaga yang satu lagi sudah tidak dapat menahan
sabarnya dan membentak.
“Kong-cu, jangan memaksa memasukinya, karena
ayahmu pernah berkata bahwa kami diberikan hak
kekuasaan penuh untuk membunuh siapa saja yang berani
memasukinya.”
Lee Tie sudah menjadi mendongkol.
“Siapa yang berani membunuh aku?" bentaknya.
Biarpun Lee Tie hanya berumur empat belas tahun, tapi
sebagai majikan mudanya Kui-in-chung tentu saja
mempunyai sifat pembawaannya sendiri, dengan keren ia
memperlototkan kedua matanya memandang ke arah dua
penjaga tadi.
Dua penjaga itu tidak berdaya, dengan menghela napas
mereka sudah segera ngeloyor pergi untuk membikin
laporannya.

Lee Tie yang melihat kepergiannya dua orang tadi sudah
ngedumel sendiri.
“Baru kau orang saja mana berani membunuhku?”
Ia sudah mulai menyentuh daun pintu dan mulai dengan
teriakannya.
“Ayah, buka pintu, A Tie datang untuk menengokmu.”
Tidak ada jawaban sama sekali. Lee Tie sudah mulai
memeriakinya lagi sampai beberapa kali, setelah sekian
lama masih tidak mendapat jawaban juga ia menjadi heran
dan mendorong daun pintu dengan perlahan-lahan.
Ternyata pintu tidak terkunci karena sekali dorong saja
sudah menjadi terbuka.
Ruangan didalam kamar batu ini ada gelap sekali karena
tidak dipasang penerangannya, tapi Lee Tie yang sudah
apal dengan keadaan didalam, karena sering datang kemari,
dengan cepat sudah dapat mencari pelita yang segera
dinyalahkan olehnya.
Semua perabotan terletak sebagaimana biasa dan tidak
ada perobahan sama sekali, ranjang batu yang berada
disebelah kiri dari ruangan ini masih teratur rapi dengan
bantal gulingnya hanya saja debu tebal telah tertimbun
melapisinya. Lee Tie yang cerdik sudah menjadi heran,
pikirnya.
“Kiranya ayah telah lama meninggalkan kamar batunya,
tapi mengapa ia tidak mernberitahu kepada ibu sehingga
kita tidak dapat mengetahuinya? Entah kemana
kepergiannya yang sangat dirahasiakan ini?”
Tiba-tiba matanya yang tajam sudah dapat melihat diatas
telah berserakan potongan kertas, dengan cepat
dipungutnya selembar dan dibaca.

“Kui-in-chung bubar, harapan buyar."
Hanya tulisan ini yang terlihat olehnya ia masih dapat
mengenali akan tulisan ayahnya. Dipungutnya lagi
selembar yang lain dan ternyata juga tulisan yang seperti
tadi juga. Setelah sampai beberapa lembar tulisan masih
tidak berubah juga ia meniadi heran dan tidak mengerti
mengapa ayahnya hanya menulis beberapa kata ini saja?
Diperhatikannya lagi keadaan sekitar ruangan kosong ini
dan terlihat olehnya disudut didekat pintu terdipat pecahan
benda hitam yang mengkilat.
Entah barang apa yang sebagus ini? Mengapa ayah tidak
sayang untuk memecahkannya?
Demikian pikirnya, lalu dipungutnya benda tadi yang
ternyata berupa pecahan batu kumala yang terdapat
gaetannya, di bawah gaetan ini terdapat lobang kecil yang
telah membuat batu kumala hitam ini kosong ditengahnya.
Pikirannya telah teringat akan kata-katanya Kiauw Kiu
Kong yang pernah menanyakan kepadanya tentang
Tongkat Rantai Kumala yang menjadi barang pusakanya
Hoa-san-pay. Dipungutnya pecahan-pecahan kumala hitam
yang berupa seperti bambu ini dan disambungnya menurut
besarnya gaetan-gaetan yang ada dan betul saja
berbentuklah satu tongkat yang terdiri dari batu kumala
hitam.
“Mengapa Tongkat Rantai Kumala ini dapat berada
disini?”
Sewaktu diperhatikannya ternyata didalamnya kumala
hitam ini terdapat tulisan-tulisan yang kecil sekali.
Dipungutnya salah satu dan sewaktu dibaca ternyata disini
terdapat satu hurup ying berbunyi “Tiang”. Ia menjadi
heran melihat tulisan ini diukir di tempat yang cekung dari
kumala tadi. Siapakah pengukirnya yang sedemikian

pandainya sehingga dapat menulis huruf yang yang sekecil
itu didalam kumala hitam yang tadinya tidak dapat dibuka?
Ia betul-betul menjadi tidak mengerti, dipungutnya lagi
pecah-pecahan kumala hitam tadi. ternyata semuanya
beryumlah tujuh huruf, Sembilan, tiang, batu, beterbangan,
melewati puncak, gunung.”
Biarpun ia tidak mengerti apa artinya ini “Sembilan,
tiang, batu, beterbangan, melewati puncak, gunung.” tapi ia
sebagai seorang anak yang pintar sudah baik mencatatnya
didalam hati. Lalu ia melemparkan kembali pecahanpecahannya
batu kumala hitam tadi ketempat asalnya, baru
ia memadamkan api dan berbalik untuk meninggalkan
kamar batu ayahnya yang penuh rahasia ini.
Tapi baru saja ia membalikan kepalanya atau terlihat
olehnya Lee Thian Kauw dengan pandangan sinar mata
yang berapi-api, entah sudah berapa lama berdiri di
belakangnya tadi.
Lee Tie yang melihat perubahan wajah coba
menenangkan hatinya dan berseru.
“Ayah ... ”
Lee Thian Kauw dengan sikap yang adem sekali
menanya.
“Siapa yang telah menyuruh kau datang kemari?”
Lee Tie yang kini telah berhadap-hadapan dengan sang
ayah sudah dapat melihat diseluruh baju ayahnya telah
berlepotan dengan darah yang menyiarkan bau amis.
Didalam hatinya ia berkata.
“Mengapa dibaju ayah yang biasanya bersih boleh
kecipratan demikian banyaknya darah?”

Tapi mulutnya dengan sikap yang hati-hati menjawab:
”Ibu yang menyuruh menengoki ayah.”
Lee Thian Kauw tertawa dngin.
“Setelah kau tahu ayah tidak berada didalam, mengapa
masih tidak mau lekas-lekas keluar lagi?”
“A Tie telah melihat itu kertas yang berantakan diatas
meja dan pecahan batu kumala yang ayah telah buang,
karena bagusnya A Tie telah mempermainkannya sekian
lama dan mendapatkan ... ” ia sebenarnya sudah mau
mengatakan telah mendapatkan huruf-huruf yang ia tidak
mengerti didalam pecahan-pecahan kumala tadi atau
terlihat Lee Thian Kauw dengan tubuh yang gemetaran
sudah memotong perkataannya.
“Mendapatkan apa? Apa kautelah dapat melihat bentuk
aslinya?”
Lee Tie melihat keadaan tidak munguntungkan baginya.
Begitu mendengar pertanyaannya sang ayah yang berbeda
dari hari-hari biasanya, sudah tahu bahwa sang ayah tidak
senang dengan perbuatannya yang telah memasuki kamar
batunya ini dengan tidak seijinnya, yang terpenting ayahnya
tidak ingin rahasianya tongkat Rantai Kumala itu dapat
diketahui olehnya. Maka sudah tentu saja ia tidak berani
mengakuinya.
“Tidak. A Tie tidak mengetahui sama sekali.”
Di mukanya Lee Thian Kauw yang galak telah terkilas
sedikit senyuman.
“Apa yang telah kau dapatkan disini?”
Lee Tie sudah tidak berani meneruskan kata-katanya,
dengan cepat ia menjawab.

“A Tie takut akan ketajamannya itu pecahan kumala,
maka sudah membatalkan menyentuhnya dan menaruh
ketempat asalnya lagi."
Lee Thian Kauw angguk.anggukkan kepalanya.
“A Tie baik-baik kau perhatikan! Selanjutnya, jika tidak
ada panggilanku janganlah kau sembarangan memasuki
kamar batu ini. Jika aku ada keperluan denganmu, tentu
aku dapat menyuruh orang memanggilmu.”
Baru sekarang Lee Tee hatinya merasa lega. Setelah
memberikan hormatnya kepada sang ayah, dengan tidak
berani menoleh kebelakang lagi ia sudah meninggalkan
kamar itu.
Ia berjalan baru saja belasan tindak, tiba-tiba ia sudah
membalikan kepalanya dan menanya.
“Ayah, jika ibu ada urusan lagi siapa yang diharuskan
memanggil ayah?”
Ia sengaja menanya begini menandakan bahwa diantara
mereka tidak ada ganjelan suatu apa. Betul saja Lee Thian
Kauw yang mendengarnya sudah menjadi tertawa.
“Kau ini setan kecil memang banyak akalnya. Jika ada
urusan tentu saja aku bisa datang ke sana."
Lee Tie juga membalas tertawa. dengan menggunakan
ilmu mengetengi tubuh ia sudah langsung pulang keatas
loteng ibunya. Kejadian yang dialaminya pada hari itu ada
sangat janggal sekali, ia tidak segera pulang kembali ke
dalam kamarnya, tapi langsung mendorong pintu kamar
ibunya sambil berkata.
“Bu, A Tie ada sedikit urusan yang mau dikatakan
kepada ibu.”
Tapi apa yang diketemukan di dalam?

Hanya kamar kosong. Entah ibunya sudah pergi
kemana?
Lee Tie menjadi bengong. satu perasaan yang aneh telah
timbul dalam ingatannya, hatinya berdebaran keras dan
hampir saja ia menangis kerenanya.
III. BUNGA TERATAI DARI THIAN-SAN.
LEE TIE memperhatikan keatas meja dan disana ada
terletak sebuah sepatu kecil yang terbuat dari kain, dan di
bawahnya sepatu kecil ini terdapat sepotong kertas yang
berbunyi,
“Diberikan kepada anakku Lee Tie. Dari ibumu “Bunga
teratai” dari Thian-san.”
Matanya Lee Tie menjadi berkunang-kunang seperti
kepalanya terkena pukulan benda keras. Ia tidak
mempunyai waktu untuk memikirkan artinya sepatu kecil
lagi, yang sudah segera dimasukkan ke dalam kantong
bajunya, lari keluar untuk mencari ibunya.
Degan sekali loncat Lee Tie sudah berada diatas dan
berteriak dengan sekeras tenaganya.
"Buuuuuu ... kau berada dimana?”
Setelah berkali-kali ia berteriak masih tetap tidak ada
jawabannya juga, dengan sekenanya saja ia sudah lari
menuju keluar Kui-in-chung. Teriakan-teriakannya Lee Tie
telah mengagetkan para penjaga, mereka sudah pada maju
untuk menanyakannya tapi Lee Tie tidak
memperdulikannya dan tetap lari saja. hanya dalam
sekejapan mata ia sudah meninggalkan Kui-in-chung.
Tiba-tiba matanya Lee Tie sudah menjadi bersinar
terang, karena diantara sela-sela gunung dilihatnya satu
bayangan putih yang sedang memanjat ke sana. Dengan

menambah kecepatannya ia sudah mengarahkan tujuannya
ke sana..
Sebentar saja ia sudah sampai dimana bayangan tadi
berada, tapi si bayangan putih tadi juga tidak tinggal diam
saja, kini ia sudah tidak berada ditempatnya. Lee Tie lari
maju lagi kedepan dan betul saja dilihatnya di depannya
kini telah tertampak samar-samar bayangan putih tadi.
Dengan keras ia berteriak.
“Buuuuu ... ”
Ia menambah kecepatannya lari menghampirinya,
Bayangan putih yang di depan begitu mendengar
teriakahnya Lee Tie sudah membalikan kepalanya dan betul
saja ia ada ibunya Lee Tie. Ia menahan langkahnya dan
berhenti menunggui anaknya. Sebentar saja Lee Tie sudah
sampai dan menjatuhkan dirinya didalam pelukannya sang
ibu sambil menangis menggerung-gerung.
Mendadak Lee Tie merasa tubuhnya sang ibu menjadi
tergetar. ia juga telah terpental mundur sampai beberapa
tindak. Dilihatnya sang ibu dengan air mata yang
bercucuran sedang memandang ke arahnya.
“Ibu, kau mengapa?" Lee Tie menanya.
Sang ibu memandangnya sebentar, sambil menyusut air
matanya ia berkata dengan suara tawar.
"Ibumu mempunyai kesukaran yang sukar dikatakan
mengapa kau masih memaksanya juga?”
Kata-katanya ini telah memastikan akan kepergiannya.
Lee Tie menjadi menangis lagi.
“Mengapa ibu tidak mau mengajakkan juga?” tanyanya
penasaran.
Sang ibu melesat meninggalkannya sambil berkata.

“Mengapa aku harus membawa-bawamu juga? Kau
mempunyai masa depan yang gilang gemilang. baik-baiklah
kau mempergunakannya.”
“Buuu ... " Lee Tie dengan memilukan memanggilnya
lagi, tapi sang ibu sudah melenyapkan dirinya di daerah
Bong-san dengan meninggalkan Lee Tie yang masih
menangis sendiri.
Sang waktu berjalan terus.
Angin gunung meresap ke dalam tubuhnya Lee Tie dan
membuat menggigil kedinginan. Tiba-tiba ia menolehkan
kepalanya karena di belakangnya kini telah berdiri enam
Tosu yang bersikap dingin.
“Kau orang ingin apa?" Bentak Lee Tie kepada mereka.
Enam Tosu itu hanya memandangnya saja, salah satu
yang menjadi kepala sudah memberikan perintahnya.
“Cit-tee boleh geledah tubuhnya.”
Salah satu dari mereka yang bertubuh kurus sudah
memajukan dirinya menghampiri Lee Tie menjalankan
perintahnya.
Lee Tie biarpun masih kecil umurnya, tapi mempunyai
nyali yang cukup besar untuk menghadapi Tosu yang tidak
dikenal ini. Begitu melihat gerakannya Tosu kurus ini yang
tidak menguntungkan dirinya sudah segera siap untuk
menghadapinya.
Terlihat si Tosu kurus sudah menggerakkan tangan
untuk mencekal jalan darahnya Lee Tie, lima tosu lainnya
juga sudah mengambil sikap mengurung dan menjaga jalan
larinya Lee Tie.
Lee Tie yang melihat Tosu kurus ini biarpun mempunyai
gerakan yang cukup cepat tapi tipu silatnya biasa saja sudah

menjadi tenang dan membiarkannya bergerak terlebih
dahulu. Kemudian dengan melompat kesamping ia
menghindarkan serangannya dengan tidak balas
menyerang.
Si Tosu kurus berdehem sekali dan menyerang lagi dari
sebelah kiri, terlihat tangan kanannya mendahului tangan
yang sebelah kiri dan ingin mencengkram lagi.
Hatinya Lee Tie menjadi tergerak, “Oow, kiranya kau
orang dari Hoa-san-pay?"
Begitu berkata ia sudah mulai dengan serangan
balasannya. Dengan menggunakan tipu silat tangan kanan
“Mencekal rembulan” dan tangan kiri “Menunjuk bintang”
badannya terputar ke arah belakang dan membentak keras.
“Lihat, kepandaiannya Hoa-san-pay sendiri!”
Serangannya dirobah menjadi Tangan setan dan angin
puyuh, jari tangan kirinya berputar-putar di atas kepala
orang.
Si Tosu kurus sudah tidak dapat menyingkir ke kiri atau
ke kanan, jalan satu-satunya ialah hanya mundur menjauhi
sang lawan. Tapi saat itu Lee tIe-yang sudah dapat merebut
posisi telah mendahului meluncur kedepan dan memukul
tepat diatas dada orang.
Lee Tie yang telah menjadi naik darah sudah tidak
berhenti sampai disini saja, begitu melihat gerakan
berbareng dari lima Tosu lainnya, ia sudah mendahului
menotok jalan darahnya si Tosu kurus tadi, kemudian
dengan sekali jambret ia sudah berhasil mengangkat tubuh
orang. Sambil diacungkan ke arah mereka ia berteriak
keras.
“Apa kau orang sudah tidak memperdulikan jiwanya
lagi?”

Lima Tosu itu menjadi kaget dan marah, tapi kekagetan
mereka tidak sampai disini karena mendadak telah
terdengar suaranya Lee Thian Kauw yang dingin.
“A Tie, kemari!”
Lee Tie sudah segera melemparkan tubuhnya si Tosu
kurus tadi ke arah lima kawannya dan menghampiri
ayahnya.
Terlihat sang ayah sedang berdiri di belakangnya batu
besar, dari jauh tidak terlihat air mukanya yang
mengandung kemarahan.
“Ayah ... “ Panggil Lee Tie dengan suara sedikit
gemetaran.
“Apa kerjamu sehingga sampai datang kemari?”
”Ibu telah lari. Maka aku mengejarnya sampai datang
kemari,” Jawab Lee Tie dengan suara yang hati-hati.
Terlihat Lee Thian Kauw memejamkan matanya, ia
menggigit bibirnya dan terlihat kedua pipinya yang
bergerak-gerak.
Lee Tie hampir tidak berani berkata-kata, perasaan
sedihnya telah timbul dengan tiba-tiba, air matanya sudah
tidak dapat ditahan lagi dan bercucuran sambil terisak-isak
ia menanya.
“Ayah ... ayah mengapa sampai memaksa ibu
meninggalkan kita?”
Lee Thian Kauw membuka kembali matanya dan
membentak.
“Apa yang kau tangisi? Mengapa kau juga tidak turut
sekalian pergi dari sini?”

Lee Tie kemekmek. Hawa dingin dari tangan ayahnya
menyambar ke arahnya, hingga ia membuka lebar-lebar
sepasang matanya yang kecil memandang kepada sang ayah
yang seperti telah berubah ini.
Mukanya Lee Thian Kauw telah berobah menjadi
beringas, tapi begitu membentur pandangan matanya Lie
Tie yang masih tidak mengerti suatu apa seperti terkena
alirannya stroom saja telah menggetarkan hatinya.
“Lekas kau balik kembali!" katanya pelahan, sambil
menarik pulang tangannya.
Lalu ia membalikan badannya dan mendahului
meninggalkan anaknya. Lee Tie seperti telah dipengaruhi
oleh kata-kata tadi sudah balik kembali ke dalam Kui-inchung
dan langsung masuk ke dalam kamarnya.
Dasar masih anak-anak begitu membaringkan tubuhnya,
sebentar lagi tertidurlah ia dengan tidak ingat suatu apa
pula.
Pada esok harinya sampai siang sekali baru Lee Tie
terbangun. Sinar matahari telah lama masuk ke dalam
kamarnya dan menyinari puncak guuang Kie-ling.
Bayangan yang menyeramkan semalam telah mulai
menerjangnya. Ia lantas lompat bangun dari tidurnya. Tibatiba
ia merasa suatu benda didalam tangannya kiranya itu
ada sebelah sepatu kecil peninggalan ibunya. ‘Bukankah
benda itu ada dalam kantongnya?’ Demikian pikirnya.
Ia merogoh ke dalam kantong dan betul saja sudah tidak
ada, Lee Tie menjadi heran, ia menggerutu sendirian.
“Siapakah yang telah mengeluarkannya? Atau semalam
ada orang yang telah masuk mengembalikanya? Tapi
siapakah orangnya?"

Dibolak baliknya sepatu kain ini dan sepotong kertas
kecil terdiatuh dari dalamnya, dipungutnya kembali kertas
kecil ini yang ternyata ada tulisannya yang berbunyi.
“Simpanlah baik-baik sepatuh kecil yang dapat
menandakan asal-usulmu sendiri dan janganlah
menyinggung-nyinggung soal ini kepada Lee Thian Kauw
yang mungkin dapat membunuh dirimu sendiri.”
Di bawah kiri tertulis.
“Bunga teratai dari Thian-san.”
Berulang kali Lee Tie menyebut kata tiga ini.
“Bunga teratai dari Thian-san ... Bunga teratai dari
Thian-san.“
Baru sekarang ia tahu akan nama julukan ibunya sendiri,
tapi mengapa ia mendapat nama ini? Apa ibu bukan orang
Kui-in-chung? Atau ia pernah mengembara ke daerah
Thian-san dan mendapat julukan ini? Betulkah ayah mau
membunuhku juga? Tapi aku lari kemana?" tanyanya pada
diri sendiri.
Inilah bukannya kata-kata yang bergurau kepadanya
karena ia masih dapat mengenali akan tulisan ibunya. Dari
ragu-ragu ia sudah menjadi takut dan teringatlah akan
tangan dingin sang ayah yang semalam telah
menyentuhnya, “Betulkah ayah mau membunuhku juga?
Tapi mengapa?" pertanyaan-pertanyaan ini tidak menemui
jawaban. Saat itu kata-katanya Kiauw Kiu Kong telah
berkumandang kembali.
“Lee Thian Kauw tidak berada didalam kamar batu
karena ia memang bukan ayahmu.”
“Braaaaakk,” kepalannya Lee tie sudah memukul meja.

“Siapa yang percaya kepada kata-kata ini? Ayah mana
yang dapat membunuh anaknya sendiri?" ia telah ngedumel
sendiri.
“Siuuuuuuuut,” Lee Tie telah lomoat melesat
meninggalkan kamarnya sendiri, ia berlari-larian di daerah
Bong-san dengan tidak mempunyai arah tujuan sama sekali.
Tujuannya ia ingin menyendiri untuk menenangkan hatinya
yang kalut. Ia masih sukar untuk mengambil keputusannya
sendiri, tinggal atau lari dari Kui-in-chung?
Biarpun Lee Tie bukannya seorang anak yang takut mati,
tapi keadaan yang sekarang sedang dihadapinya memang
tidak mudah untuk diatasi.
Sewaktu Lee Tie dalam keadaan serba salah ini
mendadak dari arah depannya ada mendatangi seorang
kakek kurus yang memakai jubah putih, alis putih, jenggot
putih dan rambut putih.
Hatinya Lee Tie sudah menjadi tergerak, sambil
mengulapkan tangan kecilnya ia mulai meneriaki.
“Hei, Kakek putih, bolehkah aku menanyakan sesuatu
kepadamu?”
Si Kakek putih menghentikan langkahnya, dengan sekali
lompat Lee Tie sudah berada di depan mukanya, “Kakek
putih; jika ibu menyuruh lari dan ayah menyuruh mati,
jalan yang manakah yang harus kuambil?”
Si Kakek putih yang mendengar pertanyaan tidak ada
juntrungannya ini sudah tentu tidak mengerti. Sambil
membuka kedua matanya yang tersimpan didalam alis
putihnya ia memandang sekian lama pada Lee Tie, baru
menjawab sambil menggoyang-goyangkan kepala putihnya.
“Hiduppun mati, matipun mati.”

Lalu ia membalikan arahnya dan berjalan pergi.
Lee Tie sudah lari mengikutinya Iagi, sambil menariknarik
baju putihnya ia menanya lagi.
“Kakek putih jangan lari, kau harus memberi jalan dulu
kepadaku yang sedang mengalami soal sulit ini.”
Kakek putih menghentikan lagi langkahnya, dengan
tertawa ia berkata.
“Yang menyuruh toh ayah ibumu sendiri? Jalan apa
yang kudapat katakan?”
Lee Tie dengan sungguh-sungguh berkata.
“Bagaimana jika kukasihkan kepada kakek putih saja
yang menentukannya?“
Si Kakek putih menjadi marah.
“Kau ini bocah memang tidak tahu diri, Mati hidupmu
bukannya aku yang menguasai mana dapat kau meminta
kepadaku untuk menentukannya.”
Lalu dengan tidak menoleh-noleh lagi ia menerus
perjalanannya ke arah pegunungan di daerah Bong-san itu.
Lee Tie melihat bayangan putih si Kakek lenyap
dibaliknya gunung dan menghela napas panjang.
Ia tersadar dengan kata-katanya si Kakek putih yang
mengatakan “Mati hidupmu bukannya aku menguasai."
Mati hidupnya seseorang memangnya seseorang saja yang
dapat mengusai, maka ia sudah dapat mengambil
keputusannya.
“Aku akan tetap tinggal disini dan sebentar malam akan
kutemui lagi si Kakek pendek didalam Pekarangan terlarang
untuk menanyakan kepadanya.”

Setelah dapat mengambil kepastiannya, hatinya menjadi
lega dan tidak bersusah lagi.
Menjelang tibanya sang malam, setelah menunggu
sampai dipukulnya kentongan pertama, Lee Tie sudah
mengarahkan langkahnya lagi ke tempatnya itu sumur
kematian di dalam pekarangan terlarang ayahnya. Saat itu
Kiauw Kiu Kong masih belum tiba, ia duduk numprah di
bawah temboknya sumur kematian yang tadinya sangat
angker membangunkan bulu roma. Setelah sekian lama ia
menunggu dan tidak melihat kedatangannya Kiauw Kiu
Kong, hatinya menjadi tidak sabaran juga. Baru saja ia mau
berjalan pergi atau tiba-tiba kupingnya telah mendapat
dengar suara tiupan seruling yang menyedihkan sekali,
hatinya yang tabah sudah dbikin tergetar juga karenanya.
Suara seruling ini ternyata keluar dari sumur kematian
yang berada di sebelahnya.
Ia memperhatikannya suara seruling yang sedih ini.
Diam-diam ia merasa heran juga, mengapa keluarnya justru
dari sumur yang sering meminta korban ini? Apakah setan
penasaran yang meniupnya?
Tapi Lee Tie tidak percaya dengan dongeng-dongengan
setan, ia menjadi termenung-menung memikirkannya.
Tiba-tiba ia dbikin kaget lagi dengan suara tertawa
berkakakannya seseorang, suara ini ada demikian, miripnya
dengan suaranya Kiauw Kiu Kong yang telah ia kenali.
Tapi sewaktu dipikir kembali. seperti tidak masuk diakal
sama sekali, Kiauw Kiu Kong selalu menyelundup
masuknya ke dalam Kui-in-chung, mana gampang ia
tertawa berkakakan seperti ini?
Suara tertawa berkakan itu datangnya bukan Dari arah
sumur kematian dan terdengar tidak lama karena seperti

orangnya berjalan pergi dan kemudian tidak terdengar sama
sekali.
Lee tie menjadi penasaran dan tidak mau meninggalkan
sumur kematian yang penuh dengan keanehan ini, sebentar
saja dua jam lagi telah dilewati.
Waktu itu tiba-tiba ia telah dibikin kaget oleh satu suara
serak yang datangnya dari arah belakangnya.
“Lee Tie, lekas datang kemari." Ia dengan cepat
membalikan mukanya, tapi tidak terlihat bayangan orang
disana. Dengan memberanikan diri ia bertanya.
“Kau siapa?”
“Aku si tua pendek, lekas kau datang kemari!" Lee Tie
segera enjot tubuhnya melesat ke sana dan betul saja
dibaliknya batu terlihat seorang pendek yang sedang duduk
numprah.
“Kakek pendek, mengapa baru sekarang kau datang
kemari?”
Ia menanya seraya menghampiri ke dekatnya Kiu Kong.
Tiba-tiba ia telah menjerit kaget dan lompat kebelakang
lagi.
“Kau bukan dia. Kau siapa? Setan atau manusia?”
“Lee Tie, apa kau menjadi heran kerena darah
dimukaku? Lekas kemari dan jangan takut lagi. Aku terluka
parah karena terkena pukulannya orang, maka tidak dapat
bergerak menghilangkan darah ini." Lee Tie yang
mendengar kata-katanya yang diucapkan dengan susah
payah ini memang mirip sekali dengan Kiauw Kiu Kong,
lalu datang menghampiri dengan penuh perhatian ia
menanya.

“Kakek pendek, siapakah orangnya yang telah
memukulmu?”
Kiu Kong memaksakan dirinya untuk tertawa.
“Kecuali Lee Thian Kauw sudah tidak ada orang yang
dapat melukaiku dengan semudah ini."
Lee Tie menjadi heran.
“Apa? Ayahku yang telah memukulmu?”
Kiauw Kiu Kong memanggutkan kepalanya.
“Aku Kiauw Kiu Kong baru ini kali terjatuh dengan
menyedihkan sekali.”
Lalu dengan sungguh-sungguh ia berkata lagi.
“Lee Tie, kau harus percaya kepadaku bahwa Lee Thian
Kauw itu adalah seorang iblis, seorang iblis yang berjubah
manusia. Semua Tosu yang berada di dalam Sam-cengkoan
digunung Oey-san telah habis terbunuh olehnya dan
perhitungan ini dengan sendirinya telah terjatuh ke atas
pundakku.”
Lee Tie tertegun, kemudian seperti menjadi kalap ia
berteriak.
“Tidak ... Tidak ... Kau bohong ... Kau bohong ... Aku
akan segera pergi untuk menanyakan sendiri kepadanya.”
Kiauw Kiu Kong menghela napas.
“Kau juga akan segera terbunuh di bawah tangannya.”
Lee Tie menjadi bergidik.
“Apa?" tanyanya.
“Kau hanya mencari mati saja jika sekarang datang
kepadanya.”

“Mengapa?”
“Kau datanglah kemari dulu agar aku dapat perlahanlahan
menuturkan kejadiannya kepadamu.”
Lee Tie menjadi ragu-ragu juga dan termenung
ditempatnya. Kiauw Kiu Kong Yang melihat keraguraguannya
sudah lantas mulai dengan penuturannya.
“Sedari waktu itu aku mengantarkan mayatnya si Tosu
pengembara Jin Cun Bee ke Sam-ceng-koan di gunung
Oeysan. Lee Thian Kauw sudah menjadi takut dan curiga
kepadaku yang dapat membongkar rahasianya didalam
sumur kematiannya, maka ia segera pergi meninggalkan
Kui-in-chung dan menyusul ke tempat Sam-ceng-koan dan
membunuhi bersih semua Tosu yang berada disana. Ia
masih belum puas sampai disini saja, dengan mengikuti
jejakku ia ingin membunuh aku juga.”
Lee Tie yang mendengar sampai disini sudah segera
ingat akan bajunya sang ayah yang kecipratan darah, maka
dengan kurang lancar ia menanya.
“Rahasia apakah yang ada didalam sumur kematian ini?
Apa gara-gara ini juga yang telah memaksa ibuku
meninggalkannya?”
“Apa? Ibumu telah meninggalkannya?"
Lee Tie memanggutkan kepalanya.
Kiauw Kiu Kong menghela napas, mulutnya kemakkemik
seperti berkata pada dirinya sendiri.
“Sudah seharusnya si Bunga teratai dari Thiansan
meninggalkannya.”
Tapi kemudian dengan mengarahkan pandangan
ketempat Lee Tie ia menanya.

“Dan mengapa kau juga tidak turut kepadanya?
Sesudahnya ibumu meninggalkan Kui-in-chung, kini
giliranmulah yang menjadi sasarannya.”
Lee Tie yang mendengar kata-katanya Kiauw Kiu Kong
ini sama dengan apa yang ibunya katakan sudah menjadi
bergidik juga, tapi dengan mencoba menenangkan hatinya
ia berkata.
“Kakek pendek, aku masih tidak mengerti akan maksud
kata-katamu!”
Kiauw Kiu Kong sampai lupa akan luka parahnya,
dengan menyekal tangannya Lee Tie ia berkata.
“Aku telah mengatakan bahwa Lee Thian Kauw itu
bukan ayahmu kalau mau tahu siapa ayahmu, orang yang
meniup seruling didalam sumur ini adalah ayahmu yang
asli.”
Kemudian dengan menurunkan nada suaranya ia
berkata.
“Tapi sayang ia sudah tidak berkaki lagi sehingga tidak
dapat mengeluarkan ilmu kepandaiannya.”
Sepasang matanya Lee Tie sudah dibuka dengan lebarlebar;
sambil berontak dari cekalannya Kiauw Kiu Kong ia
berjingkrak.
“Apa?”
Karena gerakannya Lee Tie yang terlalu besar ini telah
menimbulkan getaran hebat sekali, hingga
menggoncangkan luka dalamnya Kiauw Kiu Kong lagi
dengan memuntahkan darah segar ia memejamkan
matanya untuk mengatur kembali penapasannya.
Lee Tie menjadi tidak enak hati melihat keadaan Kiauw
Kiu Kong.

“Kakek pendek," katanya, “aku sangat berterima kasih
kepadamu, tapi sekarang sudah waktunya untuk aku pergi.”
Baru saja ia mau menggerakan badannya atau Kiauw
Kiu Kong sudah membuka kedua matahya dan berkata.
“Tunggu dulu.”
Sambil mengeluarkan semacam benda tembaga yang
segera diserahkan kepada Lee Tie ia berkata.
“Inilah tanda kepercayaanku yang telah banyak orang
kenalinya baik-baiklah kau menyimpannya. Jika kita samasama
terhindar dari bahaya, sepuluh hari kemudian kita
dapat berjumpa didalam kota Lok-yang.”
Lee Tie sudah segera mengucapkan terima kasihnya dan
ingin menemui ayahnya tapi mendadak ia ingat akan
sesuatu dan berkata.
“Kakek pendek apa kau tahu akan artinya “Sembilan
tiang batu beterbangan melewati puncak gunung?”
Kiauw Kiu Kong melengak, tapi tidak lama kemudian ia
meneruskan kata-katanya Lee Tie.
“Butiran air sungai berkumpul menyaingi awan biru.”
Kata-katanya Kiauw Kiu Kong ini malah
membingungkan Lee Tie saja. Maka Kiauw Kiu Kong
sudah segera memberikan penyelasannya.
”Inilah kata-kata yang diucapkan sewaktu melantik ketua
baru Hoa-san-pay. Dan hanya ketua Hoasan-pay saja yang
boleh mengetahuinya."
Lee Tie yang mempunyai reaksi tajam sudah dapat
menangkap kesalahannya kata-kata ini dan menanya.

“Kakek pendek telah membohong kepadaku, Jika katakata
ini hanya diketahui oleh ketua partai saja mengapa kau
juga dapat mengetahuinya?”
Kiauw Kiu Kong tersenyum puas.
”Betul. Memang tidak seharusnya aku dapat mengetahui
kata-kata ini, tapi ketua Hoa-san-pay yang ke-dua puluh
lima Cie Gak telah memesan kepadaku untuk mencari
calon gantinya dan telah mengatakan kepadaku.”
Lee Tie yang mendengar kata-kata ini sudah menjadi
kaget, dengan membalikan badannya ia sudah segera
melarikan dirinya.
Tapi Kiuw kui Kong sudah lantas meneriakinya.
“Lee tie kau balik kembali, jika ku tidak mau
menghormati lagi kepadaku, pergilah ... pergilah ke tempat
mana yang kau sukai.”
Biarpun Lee Tie masih berumur kecil, tapi pikirannya
telah dapat melebihi orang dewasa, maka segera ia balik
kembali dan menjura ke arahnya.
“Kakek pendek, aku tahu akan maksud baikmu tapi kau
terlalu memandang tinggi kepadaku.”
Kiuw kui kong tertawa, “Aku tidak salah melihat orang
... ”
Lalu dengan sungguh ia berkata, “ Lee Tie mulai hari ini
kau telah diangkat menjadi ketua partai Hoa-san-pay yang
ke 26. tentang upacara penobatan boleh diundurkan pada
lain hari ... “
Tapi kata-katanya Kiauw Kiu Kong telah terputus
karena saat itu secara tiba-tiba telah terdengar suara tetawa
dinginnya dari beberapa orang.

Kiauw Kiu Kong sudah tahu siapa mereka ini, maka ia
tidak menjadi kaget karenanya, dengan tertawa dingin ia
berkata kepada mereka.
“Kalian ini enam orang durhaka apa masih tidak
mengenal mundur juga? Jika aku Kiauw-kui-kong tidak
mati disini, hm, hm aku mau lihat apa kau orang satu
persatu dapat meloloskan diri dari sembilan hukumannya
Hoa-san-pay?”
Lalu dengan memalingkan mukanya ke arah Lee Tie ia
berkata, “ Lee Tie baik-baiklah bawa dirimu sendiri.”
Dengan menggunakan semua kekuatan yang masih ada
Kiauw Kiu Kong telah mementalkan dirinya melewati
tembok pekarangan terlarang untuk mengejar mereka.
Enam orang yang berada di luar melihat kegalakkannya
Kiauw Kiu Kong masih ada sudah berpencaran melarikan
dirinya.
Kui-in-chung telah kembali menjadi gelap sebagaimana
asalnya. Lee Tie memandang ke arahnya langit gelap dan
termenung di sana.
Tiba-tiba sinar merah mencorong tinggi di tengahtengahnya
Kui-in-chung, lelatu api berterbangan dengan
nyata sekali.
Lee Tie menjadi kaget, dengan beberapa kali loncatan
saja ia telah berhasil samapai di sana, ternyata ruangan
persahabatan telah dimakan api. Ia segera tersadar akan
bahaya apa yang sedang menimpa Kui-in-chung, dengan
membuka mulut kecilnya ia berteriak-teriak memanggil
orang-orangnya.
Tapi waktu itu panah berapi telah terlihat disana sini.
sebentar saja Kui-in-chung sudah penuh dengan api yang
leloncatan menari-nari. Yang mengherankan ialah

meskipun api telah menjalar sampai sedemikian luasnya,
tapi masih juga tidak terdengar suara berisiknya orang yang
menolong api.
Lee Tie terbelalak matanya dengan tidak dapat berbuat
suatu apa, sebentar lagi Kui-in-chung yang megah ini akan
termusnah oleh lautan api. Tapi kemudian ia menjadi
tersadar dan berteriak-teriak lagi.
“Api ... api ... ”
Dengan menggunakan ilmu mengentengi tubuhnya ia
telah berlari-larian menuju ketempat kamar batu ayahnya.
Tapi semakin ia lari hatinya menjadi semakin heran,
sebegitu jauh belum pernah ia menemukan salah satu
orangnya, teriakan-teriakannya hanya berkumandang
seorang diri saja.
Mendadak kakinya telah menyentuh sesuatu hampir saja
membuat ia terjungkal karenanya, ia menengokkan
kepalanya dengan serta merta berteriak kaget..
“Aaaaaaaa ... ”
Ia menjadi ternganga melihat benda yang nyangkut
kakinya tadi yang ternyata tidak lain adalah tubuhnya salah
satu penjaga ayahnya. Ia menjadi tersadar dan mengerti
mengapa tidak ada orang-orang yang menolong
memadamkan api, diperiksanya lagi keadaan di sekitar situ
dan betul saja disana sini terlihat menggeletak
bergelimpangan mayat-mayatnya para penjaganya,
termasuk juga itu delapan pengawal rumah dua belas anak
penjaga pintu yang berkepandaian tinggi. Didalam Kui-inchung
kini hanya tinggal Lee Tie seorang diri tapi
perbuatan siapakah yang seganas ini? Jika menurut
penuturannya Kiauw Kiu Kong yang mengatakan bahwa
ayahnya pernah pergi kegunung Oey-san dan membasini
bersih Tosu disana, itu ada benar, dengan sendirinya Lee

Tie sudah dapat menduga akan perbuatannya Lee Thian
Kauw.
Lee Tie sudah merasa bimbang, dua kakinya mulai
gemetaran, mulutnya dengan terengah-engah menyebut.
“Aku tidak jadi menemuinya ... aku tidak jadi
menemuinya ... ”
Tapi kemudian hati murninya berkata.
“Sekalipun aku mempunyai seorang ayah sebagai iblis,
tapi harus menemuinya juga. Aku harus menemuinya untuk
penghabisan kalinya. Apa bedanya mati atau hidup?
Biarpun mati juga harus mati dengan terang.“
Betul juga Lee Tie sudah memajukan lagi langkahlangkahnya
mendorong pintu kamar batu ayahnya, dengan
mudah ia sudah dapat mendorong pintu ini karena memang
tidak terkunci. Lampu pelita tidak dinyalakan, keadaan
didalam ruangan ada sangat gelap sekali.
“Ayah, A Tie datang melihatmu lagi.”
Tidak ada jawaban dari dalam kamar yang masih gelap
gelita ini. Lee Tie menjadi heran dan memikir.
“Apa ia tidak berada di dalam kamar lagi?”
Seperti patung hidup saja ia berdiri terpaku, betapapun
besarnya perasaan herannya namun diwajahnya sudah
tidak terlihat rasa takutnya lagi, dipandangnya ruangan
yang gelap ini.
Mendadak badannya menjadi tergetar, dilihatnya di
sebelah kiri depannya terdapat dua sinar aneh yang
mencorong ke arahnya. Diperhatikan lagi dua sinar aneh
ini, ternyata di dalam keadaan remang-remang itu terpeta
merupakan dua biji mata manusia, dari sinar pandangan
mata ini ia juga seperti melihat wajah ayahnya yang

menyeramkan sekali, inilah satu wajah yang belum pernah
dilihatnya.
Wajah Lee Tie seketika lantas berubah, dengan tidak
terasa ia bertindak mundur, tapi tiba-tiba terdengar suara
tertawa dingin yang menyeramkan dari orang yang berada
di depannya yang memang Lee thian Kauw adanya.
“Kau datang lagi?”
Seluruh tubuh Lee Tie menjadi dingin semua, ia tidak
tahu harus bagaimana menjawab pertanyaan ayahnya ini.
Dalam keadaan ragu-ragu ini, tangan kirinya terasa sakit
karena tercekal oleh satu cengkraman yang kuat.
IY. SI “PUTIH KURUS” DARI BONGSAN
LEE TIE dengan terhuyung-huyung maju kedepan,
terasa badannya sudah menjadi ringan sekali dan melayang
membentur tembok batu.
Kepalanya terasa sudah menjadi pening, dengan
memaksakan membuka kedua matanya ia memandang ke
arahnya Lee thian kauw yang kini sedang berhadaphadapan
muka dengannya dalam yarak yang dekat sekali.
Ia menahan getaran hatinya dan memanggil dengan
suara yang pedih sekali.
“Ayah ... ”
“Hm ... ” Hanya suara ini yang telah dikeluarkan dari
hidung sebagai jawabannya Lee thian kauw yang telah
berubah menjadi kejam. Sepasang sinar mata setannya tetap
memandang orang yang akan dijadikan mangsanya itu.
Lee tie sudah merasa tidak leluasa jika dipandangnya
terus-terusan seperti ini, maka ia mulai memecahkan
kesunyian dan menanya, “ Menagapa ayah memandangku
secara ini?”

“Apa kau takut?” Lee thian kauw berbalik menanya.
Lee tie malah menjadi bertambah tabah, “Apa yang
harus kutakuti? Biarpun umpama betul kau bukannya
ayahku, tapi aku juga tidak perlu merasa takut.”
Ia sudah menjadi sangat sedih dan menangis.
Tapi tiba-tiba Lee thian kauw sudah membentaknya.
“Jangan menangis, siapa yang mengatakan semua ini
kepadamu? Jika kau tahu aku bukannya ayahmu, mengapa
masih mau datang juga?”
Lee tie menyusut air matanya, sambil coba
menenangkan dirinya ia menjawab, “ Jika betul kau
bukannya ayahku, siapakah kau sebenarnya?”
Lee thian kauw bertindak ke samping setindak, mukanya
mulai menjadi tenang kembali dan menanya, “Kau
menyangka siapa sebenarnya aku ini?”
Lee Tie memutar-mutarkan bola matanya dan berpikir
sebentar, lalu menanya.
“Apa bisa jadi kau sendiri yang telah membakar Kui-inchung?
Apa mungkin kau juga yang telah membunuhi
semua orang-orang yang berada disini?”
Lee Thian Kauw tidak menyangka Lee Tie dapat
menanyakan soal ini, tapi seraya memanggutkan kepalanya
ia tertawa, “Boleh juga demikian kau menganggapnya."
Tiba-tiba Lee Tie dengan keren membentaknya.
“Kau ini iblis yang berupa manusia, tidak mungkin aku
mempunyai ayah seperti kau ini.”
Wajahnya Lee Thian Kauw lantas berobah menjadi
kejam lagi, dengan beringas ditatapnya anak yang tabah ini.

Lee Tie mundur setindak menjauhkan diri dilihatnya Lee
Thian Kauw masih tetap tidak bergerak memandang ke
arahnya. Hatinya sudah menjadi tergerak dan mundur
setindak lagi. Begitu merasakan badannya telah menempel
pada tembok batu, dengan mengempos tenaganya ia telah
mencelat keluar dari kamar batu itu.
Begitu tahu dirinya telah dapat keluar dari kamar batu
yang penuh bahaya itu, dengan tidak ayal lagi lantas
meluncur pergi.
Tapi baru saja ia merasa lega atau kupingnya telah dapat
mendengar bentakannya Lee Thian kauw yang telah lewat
mendahului.
“Kau masih mau lari kemana lagi?”
Lee Tie lantas mengeluh dan menjatuhkan dirinya.
Sebentar saja ia sudah diseret ke dalam kamar batu tadi.
Saat itu ia malah sudah merasa tidak takut lagi dan
mengeluarkan bentakannya.
“Akan kau apakan aku disini?”
“Apa kau masih belum mengetahui?”
Lee Tie sudah lompat bangun berdiri.
“Apa kau juga mau membunuhku disini?" tanyanya.
Lee Thian Kauw diam-diam memuji akan ketabahan
anak muda ini, tapi justru karena inilah yang telah
memaksa ia menurunkan tangan jahatnya kepada Lee Tie.
”Membunuh disini? Siapa yang telah mengatakan
kepadamu?" tanyanya seram.
”Kemarin ketika aku masuk kesini juga telah megetahui
akan maksud busukmu ini.” jawab Lee Tie gagah.
Lee Thian Kauw tertawa berkakakan, katanya.

“Jika betul-betul aku mau mengambil jiwamu, sudah
sedari siang-siang kau tidak dapat bernapas lagi. Harta
benda Kui-in-chung yang tidak terhitung banyaknya telah
berada di dalam kamar batu ini, aku masih mengharap
kepadamu untuk dapat mewarisinya."
Tapi Lee Tie yang sudah menjadi demikian benci
kepadanya malah meludah.
“Cis, siapa yang sudi akan harta benda haram.”
Tiba-tiba ia ingat akan katanya Kiauw Kiu Kong, ia
berteriak keras. “Jika betul kau telah membunuh ayahku
sendiri. kaulah yang akan menjadi musuhku nomor satu
disini.”
Lee Thian Kauw tertawa tergelak-gelak, terdengar
geramannya yang galak, “ Lee Tie kau sendirilah yang
mencari mati, dan jangan menyesalkan aku Lee Thian
Kauw yang telah menjadi lupa diri.”
Telapak tangannya dibuka mengarah dadanya si anak
muda, satu serangan hawa dingin mulai dilancarkan.
Tapi Lee Tie mana mau menerima mati dengan
demikian mudahnya? Dengan melesatkan kakinya ia sudah
dapat menghindarkan serangan maut ini.
Lee Thian Kauw Teratawa berkakakan lagi, “ Lee Tie
percuma saja kau menghindarkan diri, karena akhirnya
tetap kau akan mati juga dengan ilmuku “Hawa asli dari
luar dunia ini”.
Ia mengangkat pula tangannya, siap untuk menyerang
dengan hawa dinginnya lagi, tapi tiba-tiba dari luar pintu
mencelat masuk satu bayangan putih yang segera
mengeluarkan suara jengekannya, “ Hmm ... ! tentu saja
kau sebagai salah satu dari si “sepasang orang aneh dari
Thian-san” boleh saja mengatakan bahwa “hawa asli dari

luar dunia” ini bisa membikin orang tuati, tapi tidak
seharusnya digunakan untuk menghadapai bocah kecil ini.”
Lee Thian Kauw terkejut. Terpaksa ia menarik kembali
telapak tangannya.
Lee Tie segera mengenali orang yang datang adalah si
Kakek tua yang serba putih tadi, maka mulutnya lantas
berteriak memanggil, “Kakek putih ... ”
Tapi kata-kata ini telah terputus karena Lee Thian Kauw
sudah mengeluarkan bentakannya.
“Aku Lee Thian Kauw belum pernah mengganggu
urusanmu “Setan Putih Kurus”, sedari dulu Kui-in-chung
belum pernah melanggar wilayahmu batu kepala manusia,
mengapa hari ini dengan secara tiba-tiba kau berani
mengacau?”
Tapi orang tua kurus yang serba putih ini tidak
memperdulikan tegurannya, sambil membungkukkan
badannya ia menanya kepada Lee Tie dengan suara yang
perlahan sekali,
“Bocah apa kau masih kenal ke padaku?”
Lee Tie menganggukkan kepalanya.
“Kenal, kaulah orang yang kutemui di daerah Bongsan
tadi.”
“Bagus,” orang tua serba putih itu memuji seraya
menarik tangnnya Lee Tie diajak keluar dari kamar batu
itu.
Tapi tiba-tiba satu bayangan berkelebat dan Lee Thian
Kauw sudah menghadang dengan tertawa dingin, “Hm,
Hm ... apa kau “Setan Putih Kurus” dari Bongsan mengira
dapat gampang-gampang meninggalkan tempatku ini?”

Si orang tua serba putih menjadi marah, “Kui-in-chung
dan batu kepala mnausia tidak pernah bentrok, mengapa
kau menghalang-halangi?”
Lee Thian Kauw tertawa dingin.
“Apa kau kira aku Lee Thian Kauw takut kepada
ilmumu “Hawa murni dari dasar dunia”.
Si orang tua serba putih masih tetap tidak mau
meladeninya, tangannya yang mencekal Lee Tie tadi sudah
dikibaskan hingga membuat si anak muda berjumpalitan
pergi, si kakek berkata ke arahnya, “Bocah tolol, lekaslah
kau pergi dari sini.”
Lee Tie yang terpental jauh membalikkan kepalanya dan
dilihtanya si kakek putih sudah terkurung oleh seranganserangannya
Lee Thian Kauw yang dasyat sekali, ia sudah
menjadi kaget sekali dan meneriakinya, “Kakek Putih awas
dengan kaki kiri yang mendahului kaki kanan, menyingkir
dari si kiri membiarkan si kanan.”
Kakek Putih betul-betul sudah menurut kata-katanya Lee
Tie tadi, ia selalu menyerang ke arah sebelah kanannya Lee
Thian Kauw yang memang dalam keadaan kosong.
Sebentar-saja Lee Thian Kauw sudah berbalik berada
dipihak yang terserang.
Tapi si Putih begitu berhasil dengan desakannya
bukannya terus menyerang lagi malah berlompat mundur
dan membentak kepada Lee Tie.
“Apa kau mau menunggu kematianmu disini?”
Saat itu Lee Thian Kauw yang diberi kesempatan sudah
maju lagi, ia sudah merobah ilmu silatnya dengan ilmu
silatnya Hoa-san-pay yang diberi nama “pukulan
menaklukkan langit” dan ia mengeluarkan tiga pukulannya

yang terakhir yang bernama menjambak langit” menanya
dan “menerobos langit”.
Kakeh Putih sudah menjadi kelabakan lagi menghadapi
perubahan serangan Lee Thian Kauw, dengan
menggunakan kegesitan tubuhnya ia hanya dapat lompat ke
sana sini menghindarkan serangan-serangan yang datang
bertubi-tubi.
Hatinya Lee Tie telah tergerak, jika ia tetap tinggal disitu
saja, sukarlah untuk Kakek putih menyingkirkan diri. Maka
ia sudah berteriak kepadanya.
“Kakek Putih, aku akan jalan duluan." Dengan
menggunakan ilmu mengentengi tubuhnya sudah
meninggalkan dua orang yang sedang enak berantam itu.
Baru saja ia berjalan tidak lama, dilihatnya disana telah
tersedia seekor kuda merah komplit dengan pelananya,
dengan tidak memperdulikan kuda itu kepunyaannya siapa
lagi ia sudah cemplak dan dikaburkan ke arah Utara.
Kuda merah ini dapat berlari dengan cepat sekali.
sebentar saja Kui-in-Chung sudah dapat ditinggalkan jauh
di belakang dan tidak terlihat sama sekali. Kini ia sudah
berada diluar daerah Bong-san yang tidak mudah untuk
dikejar oleh Lee Thian Kauw.
Lee Tie tiba-tiba telah teringat akan kata-katanya Kiauw
Kiu Kong yang telah menjanjikan padanya untuk bertemu
lagi didalam kota Lok-yang.
Sedari kecil belum pernah ia meninggalkan Kui-in
chung. Biarpun sering mendengar disebutnya nama kota
ini, tapi tentang letak dan jalan yang menuju ke sana masih
belum diketahuinya sama sekali.
Waktu saat itu lewat jam lima pagi, hawa udara segar,
Tadi karena harus menguatirkan pengejarannya, Lee Thian

Kauw, ia sampai melupakan diri dan membiarkan sang
kuda lari dengan semaunya sendiri, tapi sekarang sewaktu
dipikirnya lagi, kedatangan kuda merah ini ada sangat
mencurigakan sekali.
Kui-in-chung yang boleh dikatakan sudah menjadi satu
perkampungan mati, hampir tidak terdapat makluk hidup
lagi disitu. Dari manakah datangnya kuda merah yang
sebagus ini?
Setelah larikan kudanya sebentar lagi, waktupun telah
menjadi pagi. Di depan dari kejauhan sudah mulai terlihat
bayangannya sebuah kota. Hatinya Lee Tie sudah menjadi
gembira sekali.
“Inikah kota Lok-yang?” ia menanya pada dirinya
sendiri.
Hatinya berdebaran keras, pada waktu itu terlihat dari
arah depannya debu yang mengepul naik, tiga ekor kuda
yang berwarna kuning, hitam dan putih dilarikan berendeng
mendatangi ke arahnya.
Sebentar saja tiga ekor kuda itu telah tiba di hadapannya,
matanya Lee Tie menjadi bersinar kagum melihat tiga
penunggangnya juga mengenakan pakaian yang
mempunyai warna sama dengan masing-masing kudanya.
Umur mereka rata-rata tidak berbeda jauh dengannya,
hanya saja karena mereka ada menyoren pedang yang telah
membuat lebih keren dilihatnya.
Lee Tie segera menyingkir kesamping untuk memberi
lewat pada mereka. ia tidak suka kepada mereka yang
berlaku sedikit angkuh-angkuhan.
Tapi memang urusan sukar untuk dihindarkan begitu
saja, penunggang kuda kuning, hitam dan putih ini begitu
sampai didepannya lantas menahan kuda mereka, terlihat si

pemuda baju hitam yang pertama membuka mulutnya.
“Hei, kau datang dari mana?”
Lee Tie menjadi heran, jawabnya. “Kota apakah ini?
Apakah mengharuskan orang yang mendatanginya kudu
melaporkan asal usulnya dahulu?”
Sikapnya Lee Tie yang agak ketolol-tololan ini membuat
si pemuda berbaju putih tertawa.
“Aku yang melihat ia tidak menyoren pedang sudah
tahu bahwa pertanyaannya saudara Yie tadi ada percuma
saja.”
Si pemuda berbaju kuning malah lebih menghina lagi.
“Lihat saja tingkah lakunya, biarpun ia juga
mengenakan pakaian yang terbuat dari sutera, tapi biar
bagaimana juga masih tidak dapat meninggalkan sifat
dusunnya.”
Tiga pemuda itu sudah sama-sama tertawa dan
meninggalkannya. Lee Tie meski merasa terhina tapi ia
hanya diam saja tidak meladeninya.
Lee Tie turun dari kudanya dan membiarkan ia makan
rumput.
Baru saja tiga penunggang kuda yang bersikap jumawa
tadi berlalu meninggalkannya, dari arah datangnya mereka
tadi telah mendatangi lagi lain orang.
Hampir saja Lee Tie tidak tahan untuk menahan
tertawanya melihat kedatangannya orang yang belakangan
ini.
Umurnya orang yang baru datang ini mendekati
setengah abad, tapi masih memakai pakaiannya seorang
pelajar yang sudah penuh dengan kotoran minyak yang
tidak dicuci-cuci. Dipinggangnya orang ini juga tersoren

sebilah pedang, tapi pedang ini merupakan pedang tumpul
yang tidak ada ujung tajamnya.
Bahkan tidak disarungi juga olehnya, sehingga terlihatlah
dengan nyata seperti pentung karatan saja.
Binatang tunggangannya juga istimewa, karena ia
memilih kalde pendek yang mempunyai kaki pincang
sebelah, dengan keteklak-ketekluk terpincang-pincang kalde
itu lari.
Si pelajar tua begitu sampai di hadapannya Lee Tie
sudah dapat melihat sikapnya si anak muda yang hendak
mentertawainya, tapi ia tidak menjadi marah karenanya
bahkan tertawa terbahak-bahak dan berkata. “Si setan
‘“Putih Kurus”’ dari Batu Kepala Manusia memang tidak
percuma mempunyai mata, tepat sekali jika pilihannya
telah terjatuh ke atas dirimu. Apa itu Lok-yang Kong-cu,
Kim-leng Kong-cu atau Kang-lam Kong-cu? Siapa diantara
mereka yang dapat menyaingimu!”
Lee Tie menjadi heran dan tidak mengerti dengan katakatanya
ini, baru saja ia mau menanya atau telah keburu
didahului olehnya. “Apa si Setan dari Bong-san itu masih
baik-baik saja Kepandaiannya “Hawa murni dari dasar
dunia” apa juga telah diturunkan kepadamu?”
Lee Tie sudah dapat menduga bahwa orang yang disebut
“Setan dari Bong-san” atau “Setan Putih Kurus” dari Batu
kepala Manusia” itu tentu si kakek kurus yang serba putih,
maka dengan cara yang hormat ia menjawabnya ,”Kakek
Putih masih sehat sebagaimana biasa tapi ia tidak pernah
memberikan sesuatu kepandaian apa-apa.”
Si pelajar tua seperti tidak percaya, terdengar
teriakannya.

“Apa? Ia tidak pernah menurunkan kepandaiannya
kepadamu? Dengan cara bagaimana kau dapat
mengalahkan semua Kong-cu disini?”
Lee Tie lebih-lebih menjadi heran lagi.
“Mengapa harus mengalahkan semua Kong-cu disini?”
Tidak henti-hentinya si pelajar tua ini menggelenggelengkan
kepalanya. “Ooooooo ... Ia bukannya datang
untuk mengikuti pertandingan Tong-tu-san-chung diluar
kota Lok-yang. Ia bukannya ahli warisnya si Setan putih ...
Tapi mengapa ia dapat menaiki kudanya merah “Darah
buntut dua? ... Heran ... heran ... ”
Lebih lucu lagi keadaannya si pelajar tua ini yang sedang
mengoceh sendirian dengan masih tetap menggelenggelengkan
kepalanya.
-oo0dw0oo-
Jilid 03
LEE TIE menjadi heran dan menanya.
”Kau mengatakan kuda merah ini adalah kepunyaan
Kakek Putih?”
Matanya si pelajar tua mendadak memancarkan
sinarnya, tapi tidak lama lagi ia sudah menariknya kembali
dan bertanya. “Apa kau masih tidak mengetahuinya? Inilah
satu yang sangat mengherankan sekali, katakanlah padaku
dengan cara bagaimana kau mendapatkan kuda merah ini?”
Lee Tie dengan terus terang sudah menceritakan
pengalamannya.
Si pelajar tua sudah menggaruk-garuk kepalanya.

“Celaka, ... celaka ... Si “Setan Putih Kurus” paling suka
menarik keuntungannya sendiri, mengapa ia dapat
menolongmu dengan percuma?" Baru saja ia berkata
sampai disini, dari kejauhan tiba-tiba terdengar satu suara
pekikan yang melengking tinggi dan nyaring sekali. Kuda
merah yang mendengar suara ini sudah berdiri kupingnya
dan berjingkrak mau pergi. Si pelajar tua yang melihatnya
sudah segera merosot turun meninggalkan kalde
pincangnya dan tahu-tahu sudah berada di belakangnya si
kuda merah.
“Kau boleh pergi dan katakana kepada Si “Setan Putih
Kurus” bahwa aku si “Pelajar Pedang Tumpul” tidak dapat
membiarkan ia mengakali seorang bocah yang tidak
mengerti suatu apa.” Lalu ia menepok pantatnya kuda yang
segera memekik dan terbang pergi.
Lee Tie tidak tahu harus berbuat bagaimana? Sedari
kedatangannya pelajar tua lucu yang mengaku bernama si
“Pelajar Pedang Tumpul” ini, hatinya telah menjadi
sedemikian gembiranya dan lupa akan segala-galanya. Tapi
begitu melihat kepergiannya si kuda merah, pikirannya
sudah mulai tersadar lagi dan berkata didalam hati.
"Celaka, kuda merah ini memang disengaja ditaruh disana
dan memancing diriku untuk menaikinya. Tapi entah siapa
orangnya? Mengapa ia mau menganiaya diriku? Aku harus
hati-hati dan jangan sampai terpedaya.”
Waktu itu kuda merah yang tadi telah terbang pergi
mendadak balik lagi, dan diatasnya bercokol orang tua
kurus dengan rambut, jenggot dan baju putih seluruhnya.
Hatinya Lee Tie sudah menjadi tersadar, pikirnya.
“Oh, kiranya Kakek Putih lagi yang telah menolongku.”

Tapi si “Putih Kurus” sambil mengedipkan sebelah
matanya ia sudah berkata. “Lekas ikut kepadaku untuk
meninggalkan tempat ini.”
Sambil menarik tangannya Lee Tie ia sudah segera
terbang meninggalkan tempat itu. Tidak berapa lama
berdua sudah sampai di bawahnya satu pekarangan yang
bertembok tinggi dengan diikuti oleh si kuda merah tadi. Si
“Putin Kurus” sudah melepaskan cekalannya. seraya
memandang mukanya Lee Tie sebentar ia kata.
“Tidak percuma Lee Thian Kauw sebagai salah satu dari
“Sepasang orang aneh dari Thian-san”, aku si “Putih
Kurus” betul-betul harus takluk padanya, aku telah terluka
di bawah tangannya." Lee Tie sudah segera menghaturkan
terima kasih.
“Aku sangat berterima kasih kepadamu yang telah
menolong jiwaku, sebab kalau tidak, lenyaplah nyawaku
didalam Kui-in-chung di tangan ayahku sendiri."
Si “Putih Kurus” memanggutkan kepalanya.
“Betul. Betul. Untunglah jika kau telah mengetahui. Jika
bukannya si tua pendek yang sampai berkali-kali memintaminta
tolong kepadaku, aku juga tidak berani membentur
Lee Thian Kauw yang tanggguh itu.”
Lee Tie mulai menjadi jelas dan berkata pada diri sendiri.
“Ternyata si kakek pendek yang selalu memperhatikan
diriku.”
Tapi si “Putih Kurus” sudah membelalakkan matanya,
katanya.
“Tentu saja gara-garanya si tua pendek itu, jika
bukannya ia yang mengatakan kau memiliki kepandian
rahasianya Hoa-san-pay, mana aku dapat mengetahuinya?”

“Sudahlah jangan banyak bicara lagi, lekaslah kau
pertunjukan kepandaianmu itu dan bereskan perhitungan
dagang kita ini,”
Lee Tie jadi melongo dan tidak dapat berkata suatu apa,
ia sampai lupa harus berbuat bagaimana.
Mukanya si “Putih Kurus” sudah mulai berobah.
“Apa? Apa kau telah menyesal. Menunggangi kuda
“Merah darah buntut dua”ku? Apa kau masih belum
menanya kepada orang bagaimana sifatnya si “Putih
Kurus” dari Batu Kepala Manusia di daerah Bong-san? Apa
kau kira pemberian sedekahku gampang-gampang diberikan
kepada orang? Lekaslah menurut perintahku dan
pertontonkan kepandaianmu.”
Telinganya Lee Tie telah penuh dengan suara
dengungannya si “Putih Kurus” dari Batu Kepala manusia
di daerah Bong-san ini, tidak disangka orang yang
disangkanya serba putih ini dapat mempunyai hati yang
tidak putih. Pantas saja si “Pelajar Pedang Tumpul” tadi
mengatakan kepadanya bahwa si “Putih Kurus” ini paling
suka menarik keuntungan.
Begitu mengingat akan si “Pelajar Pedang Tumpul” yang
jenaka. kepalanya sudah menjadi celingukan mencarinya.
Dalam hatinya berkata “Eh, kemanakah orangnya tadi?
Mengapa aku sudah kehilangan jejaknya?”
Maka ia sudah mulai mengerti mengapa si “Pelajar
Pedang Tumpul” selalu menyebutnya dengan “Setan
Kurus”, dengan tidak terasa mulutnya sudah berkata.
“Pantas kau selalu disebut orang “Si “Setan Putih Kurus”.”
Si “Putih Kurus” sudah menjadi berjingkrak.
“Apa? Kau juga berani menyebut Setan” terhadap aku?”

Lee Tie membusungkan dadanya. “Kau tidak salah jika
mendapat julukan “Si “Setan Putih Kurus”, tidak mau aku
mempertontonkan kepandaianku di hadapannya setan yang
seperti kau ini.”
Si “Putih Kurus” menjadi marah.
“Bagus, kau bocah kurang ajar. Dengan susah payah
aku bertempur sampai menderita luka yang tidak ringan
dengan Lee Thian Kauw dan berhasil merebut jiwa
anjingmu dari tangan elmaut, sekarang sesudah lolos dari
mara bahaya sudah lupa kepada budinya aku si “Putih
Kurus” dan berani membantah kemauanku.”
Lee Tie terpaksa memasrahkan nasibnya kepada “Putih
Kurus” yang memang betul pernah menolong dari mara
bahaya dengan mengandung maksud tertentu ini.
Si “Pulih Kurus” bertambah-tambah marah lagi melihat
tidak mendapat jawaban yang memuaskan dari anak muda
yang tidak mengenal mati ini. Maka dengan keras ia
membentak lagi. “Bocah, baik-baiklah dengar dulu katakataku
ini, karena kaulah baru aku terkena pukulan “Hawa
asli dari luar dunia”nya Lee Thian Kauw, maka kini baikbaiklah
menerima pukulan “Hawa murni dari dasar dunia”
ini.”
Dan betul saja ia “Putih Kurus” sudah mengerahkan
tangannya memukul ke arahnya bocah yang boleh dikata
masih ingusan. ia percaya dengan sekali pukul saja
lenyaplah nyawanya anak yang dianggapnya bandel ini.
Si “Putih Kurus” dari Batu Kepala Manusia di daerah
Bong-san sudah terkenal dengan sifatnya yang temaha dan
suka menggaruk keuntungannya sendiri ia mempunyai
tenaga dan kepandaian yang hampir sama dengan si orang
tua pendek Kiauw Kiu Kong dan ilmu pukulan “Hawa
murni dari dasar dunia” inilah yang selalu disohorkannya.

Lee Tie telah merasakan hawa panas Yang datang
menggencet dadanya dan membuat ia hampir tidak dapat
bernapas karenanya.
Tapi ia masih tidak merasa takut dan mengeluarkan
tangan kecilnya bersedia untuk menyambutnya juga.
Si “Putih Kurus” tertawa dingin, rambut dan jenggot
putihnya berkibar-kibaran karena ia sudah menambah lagi
kekuatannya. Sebentar lagi saja tamatlah riwayatnya Lee
Tie yang baru saja lolos dari bahaya kematian didalam
rumahnya.
Tapi secara tiba-tiba satu desiran angin yang keras telah
menyelak diantara mereka dan menarik keluar dari daerah
bahaya. Kemudian terdengar satu suara “Duk” yang keras
dan tembok tinggi yang ada di belakangnya Lee Tie tadi
telan pecah berantakan dan ambruk.
Entah dari mana munculnya si “Pelajar Pedang Tumpul”
yang sudah segera lompat ke sana dan menyerang ke
arahnya si “Putih Kurus” yang jahat itu.
Si “Putih Kurus” berteriak-teriak dan mundur beberapa
tindak, dengan tangan menunjuk ke arahnya si “Pelajar
Pedang Tumpul” ia mulai dengan makiannya.
“Dari manakah munculnya pelajar jorok ini selalu
mengacau urusan saja?”
Si “Pelajar Pedang Tumpul” dengan tidak kalah
marahnya berkata. “Setan Putih Kurus”, kau ada sangat
keterlaluan, sampaipun anak kecil juga masih tidak luput
dari ketamakanmu.”
Setelah si “Putih Kurus” membetulkan jalan napas
dengan mengeluarkan suara dari hidung ia berkata.

.Aku si “Putih Kurus” selalu bertindak dengan secara
adil, akulah yang telah menolong jiwanya bocah ini dan
tentu aku jugalah yang boleh mencabutnya kembali.”
“Pelajar Pedang Tumpul” majukan langkahnya dua
tindak dan berkata “Setan Putih Kurus”, terus terang saja
dengan maksud apakah kau telah menolong jiwanya?”
Si “Putih Kurus” seperti menjadi lesu, dengan gusar
dipandangnya sejenak pelajar tua yang menjadi palang
pintunya. Kemudian dengan tidak berkata-kata lagi ia
sudah segera menghampiri kuda merahnya.
Si “Pelajar Pedang Tumpul” tahu bahwa Si “Setan Putih
Kurus” ini banyak akalnya, dengan tidak berkesip ia
memandang terus padanya dan dilihatnya Lee Tie yang
masih berdiri dikejauhan tidak kurang suatu apa hatinya
baru merasa lega dan berjalan untuk menghampirinya.
Tapi tidak disangka baru saja ia membalikan kepalanya,
si “Putih. Kurus” telah menggunakan kelengahannya orang
sudah berbalik menyerang ke arahnya.
Si “Pelajar Pedang Tumpul” yang melihat datangnya
bahaya bukannya memapaki atau menyingkiri dari
serangan gelap itu, malah menjatuhkan diri dengan
serangan tadi. Hingga tubuhnya lantas melayang-layang
mengikuti arah sambaran angin sampai sejauh sepuluh
tombak.
Setelah berdiri mengambil posisi ia segera mengeluarkan
pedang tumpulnya yang telah lama terkenal dikalangan
Kangouw.
Si “Putih Kurus” juga tidak mau kalah merek, entah
kapan dan dari mana ia juga sudah mengeluarkan pedang
kurusnya, Senjata yang lemas, karena kelemasannya pedang

ini dapat dilibat dipinggang”. Dengan membuat satu
lingkaran pedang di udara si “Putih Kurus” sudah berkata.
“Apa kau kira dengan mengandal namanya pedang
Tumpul saja dapat merajai dunia?”
Si “Pelajar Pedang Tumpul” tidak menjawab, kaki
kanannya disertai keluar menjujukan pedangnya.
Rambut, alis dan jenggotnya si “Putih Kurus” sudah
menjadi berdiri semua.
“Kau terlalu menghina." katanya sangat gusar.
Tenaga dalamnya lalu disalurkan masuk ke dalam
pedangnya, dengan sekali tusuk ia telah mengarah tiga
tempat dari dada musuhnya. Kemudian memutarkan
badannya sampai satu putaran dan menusuk lagi ke tiga
jurusan.
Si “Pelajar Pedang Tumpul” tertawa berkakakan, hanya
menjaga diri saja dan masih tidak balas nyerang, pedangnya
yang seperti pentungan tidak lepas mengikuti putaran
badannya. Kemudian dengan menggunakan kesempatan
sewaktu berada tidak jauh di tempatnya Lee Tie berdiri ia
berkata kepadanya. “Kepandaiannya “Hawa murni dari
dasar dunia” si setan dari Bong-san ini telah terkenal
kelihayannya, bocah, mengapa kau tidak lekas-lekas
memperhatikan gerakan-gerakannya?”
Lee Tie yang mendengar segera tersadar dan tidak lama
kemudian terdengar teriakan-teriakannya si “Pelajar Pedang
Tumpul” menyebut.
“Lihat kaki kiri ... lihat arah tujuannya ... perhatikan
gerakan pedangnya ... yang kiri ... kakinya yang diangkat
keatas ... ”

Lee Tie dengan tidak terasa sampai menari-nari memuji:
"Bagus sekali.”
Tapi si “Putih Kurus” menjadi panas hati, dengan
rambut berdiri ia berteriak marah. Berhenti ... Berhenti ...
Latihan dua puluh tahunku mana dapat gampang-gampang
diberikan kepada bocah jahat ini? Berhenti ... Aku tidak
mau meneruskan pertempuran ini lagi."
Si “Pelajar Pedang Tumpul” tertawa berkakakan,
bukannya ia berhenti malah berbalik menyerang dan
memaksa si “Putih Kurus” ini harus tetap melayaninya. “
Ha ha, ha, ha Hatinya setan kok masih dapat sakit juga, tapi
aku masih dapat memaksa kau meneruskannya.”
Lalu terdengar lagi teriakan-teriakannya.
“Perhatikan kaki kiri yang mundur menghindarkan diri
... kaki kanan yang menyingkir mengikuti ... pedang
kurusnya ditekuk kembali.
Si “Putih Kurus” sampai menjadi gemeteran karena
mendongkolnya. “Kau terlalu sekali.”
Kemudian ia mendesak dengan pedang lemas berikut
tubuhnya juga dan memaksa si “Pelajar Pedang Tumpul”
lompat melayang ke atas tembok besar tadi. Dengan badan
masih gemetaran karena marahnya ia berkata.
“Aku telah dirugikan oleh kau orang, aku menderita
kerugian yang terbesar.”
Sambil menunjuk ke arahnya si “Pelajar Pedang
Tumpul” ia menambahkan. “Pelajar tua jorok, kau
sendirilah yang mencari permusuhan diantara kita. Awaslah
dengan hari pembalasanku nanti.”
Si “Pelajar Pedang Tumpul” tertawa.

“Setan Kurus”. kau membenci kepadaku hari ini karena
aku telah menggagalkan rencana busukmu, ditambah lagi
beberapa orang yang sepertimu ini entah bagaimana nanti
jadinya dunia? Tapi bagaimana pun kau masih lebih baik
dari pada mereka, jika mau mendengarkan kata-kataku dan
merobah kelakuanmu, dalam tiga bulan saja kutanggung
kau bisa dapatkan keuntungan yang lebih besar lagi."
Hati serakahnya si “Putih Kurus” begitu mendengar
kata-kata mendapatkan keuntungan yang "lebih-besar lagi”
sudah menjadi tergerak. Tapi setelah dipikir lagi ia
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Aku tidak percaya. Siapa mau percaya kepada pelajar
jorok seperti kau ini?"
Si “Pelajar Pedang Tumpul” tertawa.
“Percaya atau tidak terserah kepadamu sendiri. Tapi tiga
tahun kemudian, dalam pertandingan pedang yang akan
diadakan di Cong-lam-san nanti. apa kau dapat
mengetahui. ”Pedang nomor satu akan terjatuh dalam
tangannya siapa?”
Sekalipun si “Putih Kurus” ini sikapnya seplah-olah
menunjukan rasa yang tidak percaya, tapi sebenarnya juga
mencurahkan semua perhatiannya mendengarkan orang
bicara.
Selelah selesai si “Pelajar Pedang tumpul bicara cepatcepat
ia berkata.
“Siapa yang tidak tahu bahwa sejak si “Ahli Pedang
Siauw To Ciat” dari pulau Go-tong meninggal dunia, telah
meninggalkan petunjuk sari permainan ilmu pedangnya
kepada sang isteri yang bernama Go-tong Sin-kho. Siapa
yang memiliki buku “Petunjuk sari permainan ilmu

pedang” tersebut, itulah orangnya yang akan mendapatkan,
julukan ahli “Pedang nomor satu.”
Si “Pelajar Pedang Tumpul” anggukkan kepalanya.
“Matanya ”Setan putih kurus” memang tidak dapat
dicela. Tapi apa kau tahu bahwa Go-tong Sin-kho telah
mendirikan panggung pertandingan di Tong-tu-san-chung
diluar kota Lok-yang ini?”
“Putih Kurus” mempelototkan matanya.
“Siapakah yang tidak mengetahui hal ini? Hanya
permainan kecil Go-tong Sin.kho yang tidak dapat
dipandang mata.”
“Hm, enak saja kau pentang bacot. Siapa yang tidak
tahu bahwa namanya saja mengadu pedang, tapi maksud
yang sebenarnya iyalah sedang mencari calon untuk anak
perempuan tunggalnya. Ada hubungan apa denganku yang
tidak kepingin dipungut mantu?”
Si “Pelajar Pedang Tumpul” sampai tertawa pingkalpingkal.
“Setan Kurus” memang hanya memikirkan urusannya
sendiri saja, orang yang manakah dapat disamakan dengan
kau? Kecuali anak perempuan satu-satunya ini, Go-tong
Sin-kho tidak mempunyai anak lainnya lagi. Dengan
sendirinya itu buku “Petunjuk sari permainan ilmu pedang”
tentu akan terjatuh ke dalam tangannya si calon mantu.”
Si “Putih Kurus” menundukan kepalanya, dengan lesu ia
berkata.
“Baiklah. Untuk sementara aku percaya kepadamu, tapi
apakah artinya kata-katamu yang mengatakan Dalam tiga
bulan saja dapat memberikan keuntungan lebih besar itu?”

Si “Pelajar Pedang Tumpul” memandang ke arahnya
sebentar, lalu membuka mulutnya yang mengandung penuh
arti.
“Soal ini begini ... ”
Tapi kemudian ia menggeleng-gelengkan kepalanya,
dengan perlahan-lahan berkata. “Sebenarnya kau orang ini
sukar untuk dipercaya, lebih baik aku tidak mengatakan
saja."
Mukanya si “Putih Kurus” menjadi berobah marah ia
berkata. “Pelajar jorok, apa kau masih menganggap aku
sebagai seorang anak kecil saja?”
Badannya terbang turun lagi dari tembok tadi memukul
ke arahnya si “Pelajar Pedang Tumpul”.
Si “Pelajar Pedang Tumpul” lompat berkelit, sambil
menyeret tangannya Lee Tie ia berkata. “Setan putih, aku
tidak membohong kepadamu tapi sekarang perutku sudah
menagih arak lagi, lain kali saja aku beritahukan
kepadamu.”
Lalu dengan mengajak Lee Tie ia meninggalkannya dan
menuju ke arahnya kota Lok-yang yang masih sepi.
Si “Putih Kurus” menjadi tertegun, ia duduk disana
sambil bersila.
Tapi tidak lama lagi secara tiba-tiba lompat berdiri
sambil menepok kepalanya berkata: “Si “Pelajar jorok
memang tidak salah sama sekali, si bocah jika dapat
mempelajari ilmu Pedang-tumpulnya, ditambah dengan
ilmu ”Hawa murni dari dasar dunia” kepunyaanku, dengan
kepandaiannya Hoa-san-pay didapatinya dari dalam
Tongkat Rantai Kumala memang tidak sukar untuk
menjadikan dia seorang yang berilmu tinggi. Jangan kata
baru beberapa Kong-cu yang berkumpul disini tidak dapat

mengalahkan dirinya, biarpun orang yang terpandai di
zaman ini juga masih belum tentu dapat gampang
menundukannya.”
Ia berkata-kata dengan sebelah kakinya sudah berada
ditempat injakan kuda merahnya. Tapi kemudian ia
mengeleng-gelengkan kepalanya.
“Percuma ... Percuma ... ”Petunjuk sari permainan ilmu
pedang” hanya satu buku saja, diantara aku “Si “Putih
Kurus” dan kau pelajar jorok siapakah yang harus
mendapatkannya? Apa diantara demikian banyaknya Kongcu
yang menghadiri pertandingan di Tong-tu-san-chung ini
tidak ada satu yang dapat menandinginya.
Terdengar ia mengeluarkan suara tertawa dingin lalu
dengan sekali lompat ia sudah berada diatas kuda merahnya
dan lalu mengaburkan kudanya lenyap dari pemandangan.
Y KONG-CU TAMPAN BERBAJU HIJAU
KITA menyusul si “Pelajar Pedang Tumpul”. mengajak
Lee Tie, setelah melewati dua tikungan jalan mereka sudah
sampai disatu pohon besar rindang daunnya. Setelah
mengikat kalde pincang dengan tidak sabaran lagi ia sudah
segera mengeluarkan tempat araknya dan ditenggaknya
sampai beberapa kali.
Setelah puas meminumnya, baru dengan menghela nafas
lega ia menyimpan kembali tempat araknya dan menanya
kepada Lee Tie.
“Bocah, apa kau mempunyai guru?”
Lee Tie biarpun baru ini kali ketemu pelajar tua ini,
hatinya merasa suka kepadanya. Maka dengann lucu ia
menjawab pertanyaannya.
“Bocah tidak mempunyai guru, tapi ... ”

Si “Pelajar Pedang Tumpul” tertawa keras, sambil
menyeret tangan Lee Tie ia berkata.
“Kebetulan ... kebetulan ... Aku si “Pelajar Pedang
Tumpul” juga tidak mempunyai
murid bagaimana jika kau ... ”
Sebelum si “Pelajar Pedang Tumpul” dapat
melampiaskan perkataannya, Lee Tie sudah berontak
pegangannya dan berkata dengan suara yang keras. “Atas
maksud baik dan pertolongannya locian pwee yang baru
saja diberikan, Lee Tie sampai disini saja menghaturkan
terima kasihnya, Boanpwe telah dapat tugas untuk
menjabat ketua partai yang ke 26 dari Hoa-san-pay. maka
tentang-urusan menjadi murid, boanpwe masih belum dapat
menerima.
Si “Pelajar Pedang Tumpul” menjadi melongo setelah
dapat mengerti akan duduknya perkara ia sudah menjadi
tertawa lagi. “Kau si bocah memang pandai sekali membuat
cerita yang bukan-bukan. Ketua Hoa-san-pay yang ke-dua
puluh lima Cie Gak telah mati lama, kapankah kau telah
menemuinya dan mengangkat kau sebagai ketua barunya?
Di depannya aku “Pelajar Pedang Tumpul” percuma kau
mengarang cerita yang tidak masuk diakal.
“Pelajar Pedang Tumpul” sudah salah duga mengira
Lee Tie hanya mengarang cerita untuk dijadikan alasan
untuk menolak keinginannya yang mau mengangkat dirinya
sebagai muridnya. Maka setelah kebohongannya dapat
terbongkar, bukankah ia masih ada harapan untuk
menerima murid yang mempunyai bakat bagus ini? Saking
girangnya ia sampai tertawa dan lupa akan segala apa.
Tiba-tiba ia telah menjadi kaget karena mendengar
sendiata rahasia yang datangnya dengan kecepatan luar
biasa. Tapi tidak percuma si “Pelajar Pedang Tumpul”

mendapatkan namanya, dengan sekali jepit saja, diantara
jempol dan telunjuk kanannya sudah bertambah dengan
semacam barang tembaga.
Kiranya Lee Tie yang menyambit dengan tembaga tadi.
Waktu itu Lee Tie sudah menjadi marah dan berkata
“Siapa yang mau membohong kepadamu? tentu kau dapat
mengenali akan pemiliknya benda ditanganmu itu, bukan?”
Si “Pelajar Pedang Tumpul” periksa benda tembaga tadi
dan berjingkrak tertawa. “Ha, ha, ha, ... Kukira siapa?
Tidak tahunya si tua pendek juga ada mempunyai
pandangan mata yang sama.”
Tapi kemudian dengan sikap yang sungguh-sungguh
berkata ,”Si tua pendek Kiauw Kiu Kong seperti si “Putih
Kurus” tadi, meski ada mempunyai hubungan dengan Hoasan-
pay, tapi masih belum terhitung orang-orangnya Hoasan-
pay.”
Lee Tie berkata.
“Kakek pendek telah mendapat pesenan dari ketua
partai lama Cie Gak untuk menolong mencarikan
gantinya.”
Si “Pelajar Pedang Tumpul” menyambungi. “Maka ia
telah menjatuhkan pilihannya keatas dirimu? Baik. Si tua
pendek, kali ini kembali kau dapat mendahuluiku.”
Setelah dapat menenangkan lagi hatinya ia berkata:
“Baiklah. Jika betul kau telah menjadi Ketua yang ke dua
puluh enam dari Hoa-san-pay, sudah cukup jika memanggil
“Susiok” saja kepadaku ini.”
Dengan lesu dibukanya tali ikatannya kalde pincangnya,
setelah menaikinya, sambil melemparkan benda
tembaganya Kiauw Kiu Kong tadi ia berkata. “Baik-baiklah

kau menjalankan tugasmu dan sampai disini saja pertemuan
kita ini.”
Dengan mengikuti irama keteklak-keteklok kuda
pincangnya ia meninggalkan tempat itu.
Waktu telah menjelang siang hari, Lee Tie yang telah
mengalami berkali kali peristiwa tadi menjadi lelah sekali.
Biarpun hatinya masih was-was jika mengingat pertemuanpertemuan
dengan si “Putih Kurus” dan “Pelajar Pedang
Tumpul” tadi, tapi karena sudah tidak tahan saking
lelahnya, baru saja ia menyenderkan diri di bawahnya
pohon besar tadi, tertidurlah ia disana.
Baru saja ia mau mengimpi atau layap-layap terdengar
beberapa suara yang diucapkan dengan berbareng. “Teecu
berenam disini memberi hormatnya kepada Ketua partai
yang ke dua puluh enam.”
Lee Tie menjadi kaget dan terbangun, dilihatnya enam
Tosu yang pernah dilihatnya tampak berdiri di hadapannya
membuat setengah lingkaran. Biarpun mereka
“Menghormat” kepada Ketua barunya ini, tapi paras
mereka yang pucat-pucat tidak terlihat Hormatnya ini apa
lagi yang berdiri di paling pinggir kiri yang bertubuh kurus
sekali, karena pernah mengalami kerugiannya di bawah
tangannya ketua barunya yang masih kecil ini sudah
mengeluarkan sorot mata kebenciannya.
Dalam keadaan yang segenting ini, Lee Tie sudah dapat
tahu akan bahaya yang mengancam dirinya, ia tidak
berdaya untuk menghadapi mereka semua. Meski
demikian, ia sudah mengerahkan tenaga dalamnya untuk
siap siaga, dengan tenang ia menanya: “Enam Totiang
mengapa datang kemari? Kesukaran apakah yang sedang
dialami?”

Enam pasang sorot mata yang penuh kedengkian
memandang ke arahnya, salah satu diantara mereka yang
berdiri ditengah dengan adem berkata. “Hoa Ceng beserta
lima sute hanya ingin menunjuk baktinya dan sekalian
meminta sedikit petunjuk tentang tujuh rangkaian ilmu
simpanan Hoa-san-pay yang tersimpan didalam Tongkat
Rantai Kumala.”
Sudah sedari tadi Lee Tie mengetahui akan maksudnya
ini, maka dengan tertawa ia berkata.
“Tujuh rangkaian ilmu simpanan Hoa-san-pay hanya
tersedia bagi ketua partai saja, bagaimana enam Totiang
dapat meminta dengan paksa?"
Hoa Ceng mewakili lima sutenya bicara.
“Kami telah meminta kepada Ketua partai secara
bijaksana. Dapatkah Ketua partai tidak meluluskannya?”
Lee Tie sudah merasa sebal kepada enam tosu ini.
alisnya berdiri menandakan kemarahannya.
“Ketua partai. Ketua partai. Dalam pandangan mata
kalian apa masih ada Ketua partai? Ilmu simpanan tetap
sebagai ilmu simpanan, lekaslah orang enyah dari sini.”
Hoa Ceng tidak menyangka Lee Tie berani marah
kepada meraka, dalam hati kecilnya juga memuji akan
keberaniannya. Diam-diam ia berkata didalam hati.
Bocah ini mempunyai kepandaian yang cukup tinggi,
ditambah keberanian yang dimlikinya, sukar untuk
menaklukinya dikemudian hari, lebih baik dibikin beres saja
disini.”
Waktu itu si Tosu kurus sudah tidak dapat menahan
kemarahannya.

"Bocah yang sudah berada didalam kurungan kami
masih berani berlaku galak juga?" ia menjengeki.
Tapi Tosu yang berada disebelahnya yang mempunyai
daun telinga lebih besar dari para saudara seperguruannya
sudah menyelak.
"Ketua partai jangan main marah saja, jika dihitung
menurut tingkatannya, kau harus menyebut 'Susiok' kepada
kami."
"Aku tidak mempunyai Susiok brengsek" jawab Lee Tie
gagah.
Tapi tiba-tiba ia teringat akan kata-katanya Kiauw Kiu
Kong yang pernah membentak mereka, maka ia sudah
menanya.
"Numpang tanya kepada enam Totiang, apakah yang di
artikan dengan 'Hukuman didepan sembilan Tiang batu?"
Mukanya enam Tosu tadi telah berobah seketika, dalam
sekejapan mata saja mereka telah ambil sikap waspada
seperti menghadapi musuh tangguhnya.
Ternyata yang disebut 'Hukuman didepan Tiang batu'
adalah hukuman yang terberat bagi Hoa-san-pay hanya
orang yang mempunyai kesalahan terbesar saja baru dapat
di hukum disitu. Mereka telah salah duga bahwa Lee Tie
telah mengetahui perbuatan mereka yang telah mengejarngejar
Ketua partai lama mereka Cie Gak yang akhirnya
bunuh diri karena gara-gara mereka. Menyangka kesitu dan
menganggap Lee Tie tentu mempunyai kepandaian yang
cukup tinggi untuk dapat menangkap mereka kembali, tentu
saja sikap mereka menjadi tegang karenanya.
Lee Tie cukup tahu bahwa kepandaiannya masih tidak
dapat untuk menandingi enam Tosu dihadapannya ini, jika
sudah kebentrok sukarlah untuk melarikan dirinya. Hanya

Satu jalan baginya, ialah mengulur waktu dan mencari
kesempatan yang bagus untuk melarikan diri. Maka dengan
berdehem ia berkata.
"Mesti betul aku telah berada didalam kurungannya kau
orang, tapi dapatkah kalian menangkan aku?”
Mulutnya berkata demikian dan menggerakkan
tangannya dengan seenaknya saja. Lee Tie telah
pertunjukkan beberapa gerakannya Hoa-san-pay yang
ternama.
Enam Tosu yang melihat gerakan-gerakan menjadi
tertegun, dengan sendirinya mereka turut menggerakgerakan
tangan mereka untuk mengikutinya.
Pada saat itu dibaliknya pohon besar yang disenderi Lee
Tie tadi telah muncul seorang Kong-cu berwajah cakap
sekali, umurnya diantara lima belas sampai enam belas
dengan bajunya yang menyolok mata karena mengenakan
warna hijau terang yang jarang dipakai oleh kanm pria.
Kupingnya Lee Tie yang tajam dengan cepat sudah
dapat mendengar datangnya Kong-cu baju hijau ini, segera
membalikan kepalanya dan menjadi kesima karena belum
pernah ia melihat adanya pemuda yang secakap ini.
Dengan tidak terasa ia telah menghentikan gerakan
tangannya.
Saat itu Kong-cu cakap tadi sudah maju kehadapannya
Lee Tie dan menggoyang-goyangkan tangannya lalu
menyelak mendahului Lee Tie berkata kepada enam Tosu.
"Para Totiang yang telah mempunyai umur cukup tinggi
mengapa sampai hati mengerubuti saudara kecil ini?"
Hoa Ceng sebagai kepalanya enam Tosu tadi mana mau
meladeni pemuda ini, ia diam saja tidak menjawab

pertanyaannya. Tapi si Tosu kurus yang berangasan sudah
maju dan membentak.
"Dari mana lagi datangnya bocah ini? Lekas minggir dan
jangan menghalang-halangi maksud kami."
Pukulannya telah mendahului kata-katanya mengarah
batok kepalanya si Kong-cu cakap.
Lee Tie menjadi kaget dan heran atas kedatangannya
Kong-cu baju hijau yang tidak dikenalnya ini, kekagetannya
sudah menjadi bertambah sewaktu melihat Kong-cu itu
menghadapi bahaya, maka dengan cepat ia sudah melesat
kesamping mendahului hendak menangkis serangannya si
Tosu kurus.
Tapi tidak disangka-sangka Kong-cu baju hijau tadi
hanya tertawa dingin saja melihat serangannya si Tosu
kurus, seolah-olah tidak dipandang mata olehnya. Tangan
kirinya dikibaskan dengan tangan kanannya memapaki
pukulannya si Tosu kurus.
Dua telapak tangan lalu saling bentur menjadi satu, tapi
tidak terdengar suara beradunya kedua telapak tangan tadi.
Kong-cu baju hijau masih tertawa ditempatnya, si Tosu
kurus sudah menjadi pucat, biarpun ia masih tetap berdiri
juga, tapi ternyata telah terluka dalamnya.
Baru Lee Tie tahu bahwa pemuda baju hijau ini
me.npmyai kepandaian yang lihay. Dengan sikapnya yang
membela tadi, Lee Tie telah menjadi suka kepadanya.
Lima orang Tosu Hoa-san lainnya yang melihat kejadian
ini sudah menjadi bengong. Hoa Ceng maju dan menanya.
"Citte kau kenapa?"'

Waktu itu empat Tosu lainnya sudah menjadi marah dan
maju mengurung musuh barunya. Tapi Kongea tadi hanya
menggoda dengan tertawa.
“Dengan secara baik-baik aku menanya," katanya, “tapi
kau orang tidak mau menjawabnya. Melihat sikap kau
orang ini apa mau turut merasakan juga seperti kawan
kalian tadi?”
Si Tosu kuping lebar menanya.
"Hei, bocah, siapakah sebenarnya gurumu.”
Ternyata ia takut juga kepada Kong-cu muda ini, dengan
umurnya yang sekecil ini ia sudah mempunyai kepandaian
yang tinggi. Entah bagaimana pula dengan gurunya? Maka
ia menanyakan dahulu asal usulnya baru berani bertindak
untuk menghadapinya.
Kong-cu berbaju hijan tertawa. Di kedna belah pipinya
terlihat sepasang sujennya yang menggiurkan. Dengan
seenaknya ia berkata.
"Jika kau orang ada niatan untuk menyerang, silahkan
saja dan boleh segera mulai. Mengapa harus menanyakan
guruku dahulu? Terus terang saja kukatakan kepadmu
bahwa aku tidak mempunyai guru. Tidak percaya?"
Para Tosu masih terdiam ditempatnya, maka Kong-cu
tadi cepat menarik tangannya Lee Tie dan meninggalkan
mereka. Dengan perlahan ia berkata.
"Tidak disangka para Tosu ini bernyali kecil semua baru
digertak saja sudah tidak ada yang berani majukan dirinya.
Tapi baru saja berjalan beberapa tindak atau terdengar
salah satu Tosu mengeluarkan bentakannya.
"Bocah, kau terimalah ini!'

Dengan sebat Kong-cu tadi sudah membalikkan
badannya dan terlihat ditangannya sudah berhasil menjepit
satu senjata rahasia. Sebelum Lee Tie sempat
memeriksanya atau Kong-cu tadi sudah lompat melesat dan
berbareng dengan terdengarnya satu jeritan keras, Tosu
yang melepas senjata rahasia tadi telah roboh dengan
memuntahkan darah segar.
Hatinya Lee Tie sudah menjadi berdebaran juga tapi si
Kong-cu seperti tak pernah terjadi suatu apa sudah berjalan
lagi kearahnya.
Begitu melihat perobahan pada mukanya Lee Tie,
dengan tertawa ia menanya.
"Saudara bernama siapa? Apakah saudara merasa heran
oleh kejadian barusan?”
Lee Tie yang melihat ia sudah dua kali melukai orang
lantas menunjukan rasa tidak puasnya, maka dengan segan
ia berkata.
“Kepandaiannya Kong-cu memang mengagumkan
sekali, aku tetap akan memujinya. Tapi enam Tosu dari
Hoa-san yang tidak mempunyai permusuhan Suatu apa
dengan Kong-cu mengapa harus menerima pukulan yang
seberat demikian?"
Si Kong-cu masih tertawa.
"Maka aku menanyakan kepadamu, apakah heran
melihatnya? Inipun baru yang paling ringan saja."
Lee Tie menjadi heran mendengar katanya yang terakhir
ini. Dengan tidak terasa ia menegasi.
"Masih ada yang lebih berat lagi?”

Kong-cu baru hijau menunjukkan lagi sepasang
sujennya, ditatapnya sebentar paras mukanya Lee Tie yang
sedang marah ini, sambil menghela napas ia berkata.
"Apa kau marah karenanya? Kau boleh percaya
kepadaku, bahwa selanjutnya tidak sembarangan aku
menurunkan tangan berat, terhadap orang yang tidak terlalu
jahat.”
Mendengar ini, wajah tidak senang dari Lee Tie terhapus
dan kembali seperti biasa. Si Kong-cu yang sudah dapat
melihat perobahan muka orang sudah mengulangi
pertanyaannya lagi.
"Bolehkah kau memberitahukan kepadaku tentang she
dan namamu?"
Lee Tie menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak tahu !"
Sedari ia tahu bahwa Lee Thian Kauw bukan ayah yang
sebenarnya, memang betul ia telah merasa tidak
mempunyai nama lagi, maka ia menjawabnya dengan kata
'Tidak tahu' ini.
Si Kong-cu baju hijau juga tidak menjadi marah
mendapat jawaban yang tidak semestinya ini. ia menyangka
Lee Tie masih marah kepadanya gara-gara pukulannya
yang terlalu berat tadi, hinggi tidak mau memberitahukan
namanya sendiri.
Saat itu, enam Tosu yang mengetahui dengan
mengandalkan kepandaian mereka saja tidak mungkin
dapat menandingi dua pemuda yang gagah itu sudah
meninggalkan tempat tadi dengan membimbing dua
diantaranya yang telah terluka.
Lee Tie menunggn sampai mereka sudah pergi semua
dan lenyap dari pandangan, baru menoleh lagi kearahnya
Kong-cu baju hijau tadi. Dilihatnya pemuda yang tidak

dikenalnya ini masih memandangnya terus sambil
menunjukan sepasang sujennya, maka dengan tidak terasa
Lee Tie sudah menundukan kepalanya.
Tapi Kong-cu baju hijau tidak pemaluan seperti Lee Tie
seraya menarik tangannya ia menanya. “Kulihat jiwanya
seperti ditutupi kemurungan, jika kau masih memandang
mata kepadaku, bolehkah sekiranya kau memberi tahukan
sebab-sebabnya?"
Diwajahnya Kongea ini telah terlihat ketulusan hatinya.
Lee Tie yang tadinya tidak puas karena kelakuan kejamnya,
setelah mendengar kata-kata yang mengunjukan perhatian
ini sudah lenyap perasaan tidak senangnya. ia hampir
menceritakan pengalaman getirnya, hanya sifat angkuhnya
yang telah memaksa ia tidak berlaku demikian. Maka
dengan lesu ia berkata.
"Terima kasih atas perhatian saudara, tapi aku tidak
mengalami Suatu apa.”
Si Kong-cu masih tidak percaya dan mendesaknya.
"Kau jangan mencoba membohong dihadapanku, dari
pandangan muka saja aku telah dapat meagetahuinya.”
Lee Tie telah dibuat terharu karena perhatiannya, tibatiba
ia mencekal tangannya si Kong-cu yang tidak
dikenalnya ini terasa satu tangan yang halus sekali,
mengapa hatinya menjadi tergetar menyentuh tangannya
Kong-cu ini. Dengan termenung dipandangnya lagi si
Kong-cu, kecakapannya pemuda ini hampir membuat ia
tidak percaya. Dalam hatinya menanya.
"Betulkah didalam dunia terdapat seorang pemuda yang
cakap ini?”
Si Kong-cu yang melihat Lee Tie juga mulai
memandangnya menjadi tertawa.

"Dimanakah rumah saudara? Bolehkah aku datang
kesana?”
Matanya Lee Tie menjadi merah karena pertanyaan ini.
Kui-in-chung telah termusna dimakan api dan ia sendiri
juga sedang terlunta-lunta karenannya. Dengan secara tibatiba
Lee Tie telah melepaskan cekelannya dan lagi
meninggalkannya.
Si Kong-cu baju hijau menjadi kaget, dengan cepat
memburu dan menanya.
"Apa aku barusan telah membuat kesalahan lagi?”
Lee Tie yang sedang menahan perasaan hatinya yang
sedang bergelumbang, tidak menjawab pertanyaannya dan
terus berjalan lagi.
Si Kong-cu baju hijau menjadi gugup sambil menarik
tangannya ia menanya lagi.
"Hei. dimana lagi kesalahanku ini?"
Lee Tie masih tetap tidak menjawab pertanyaannya. Si
Kong-cu yang memang mempunyai adat aseran sudah
menjadi marah juga dan berkata.
' Bagaimana sih kau ini? Jika menurut adat lamaku
sudah kupukul sedari tadi.”
Kegusarannya Lee Tie telah dibangunkan lagi,
karenanya. Terdengar bentakannya yang ketus.
"Kau ini memang orang terlalu kejam."
Tangannya juga sudah dikibaskan kebelakang, ingin
menggulingkan tubuhnya Kong-cu kejam yang entah
mengapa terus-terusan mengikutinya saja.
Seperti licinnya seekor lindung saja tangannya si Kongcu
yang halus tadi telah terlepas sama sekali tapi ia tidak

terus menyingkirkan diri, dibiarkannya saja tangannya Lee
Tie yang diteruskan hendak memukul ke arah dadanya.
Lee Tie menjadi kaget, sambil menarik lagi tangannya
tadi ia menanya.
"'Mengapa kan tidak menyingkirkan diri?'"
Kong-cu baju hijau sambil ketawa menunjukkan
sepasang sujennya lagi berkata.
"'Aku tidak mau memapaki tanganmu karena takut
dikatakan kejam lagi.”
Lee Tie tertegun sambil menghela napas ia barkata
sendiri.
"Kota Lok-yang ... kota Lok-yang ... Ko-ta Lok-yang
memang banyak Kong-cunya yang aneh sekali .. Aku
menjadi tidak kepingin memasukinya lagi."
Lalu membalikkan lagi badannya, dengan membelakangi
kota ia berlari balik kembali.
Si Kong-cu baju hijau dengan tidak berkata apa-apa juga
sudah mengikuti jejaknya lagi. Waktu itu kemarahannya
Lee Tie telah lenyap sama sekali dan membiarkan saja
Kong-cu aneh ini mengikuti dirinya.
Sang waktu mengunjuk telah lewat tengah hari, matahari
panas tetap menyinari tubuh mereka. Dua orang sudah
mulai mandi keringat, si Kong-cu aneh dengan perlahanlahan
membentur lengannya sang kawan dan berkata.
"Mungkin kau juga telah lapar, tunggu sajalah kau disini
agar aku dapat menyiapkan makanan untukmu.”
Lee Tie tidak menyetujui atau membantah perkataannya,
ia masih tetap melanjutkan perjalanannya. Tapi baru saja ia
bertindak beberapa langkah sudah kehilangan suara kakinya
sang Kong-cu. Ia meajadi heran juga dan berkata sendiri.

"Kecepatan luar biasa sekali, entah dari manakah
datangnya Kong-cu ini?'
Karena ia memikir begini dengan sendiri telah
mengendorkan langkahnya dan berhenti.
Betul saja tidak lama kemudian, Kong-cu tadi dengan
tangan penuh tengtengan sedang lari-larian lagi kearahnya,
sebentar saja ia telah sampai lagi dan berkata.
"Mari kita boleh memakannya sambil berjalan."
Tangannya dengan sebat telah mengeluarkan bak pauw
yang tidak berisi yang segera disodorkan kedepan mukanya
Lee Tie. Lee Tie yang memang sedang kelaparan dengan
tidak malu-malu lagi telah menyambutnya dan segera
dimakan, dengan setengah ngedumel ia berkata.
"Kau memang aneh sekali?"
Si Kong-cu hanya membalasnya dengan tertawa, tapi
kemudian dengan perlahan ia menanya.
"Kemanakah sekarang kita pergi?'
Lee Tie menggeleng-gelengkan kapalanya.
"Kita mau pergi kemana? Aku sendiripun tidak
mengetahuinya."
Si Kong-cu baju hijau juga telah menjumput bakpauw
tadi yang dijejalkan kedalam mulutnya yang kecil, tapi
begitu ingat akan kata-katanya Lee Tie yang lucu tadi
hampir keselak karenanya sembari menjebikan bibirnya ia
berkata.
"Kau boleh mengatakan aku sebagai orang aneh, tapi
kau sendirilah yang lebih aneh lagi."
Lee Tie dibuat hampir tertawa oleh ucapan yang Jenaka
itu, tapi ia tidak dapat tertawa karena mulutnya penuh

dengan bakpauw. Dengan menambah kecepatannya ia telah
mendahului Kong-cu aneh ini berjalan di muka.
Si Kong-cu baju hijau masih tetap merendenganya
berjalan bersama-sama. sebentar berkata dan sebentar
ketawa, tampak bukan main rasa puas dan gembira hatinya.
Tapi Lee Tie masih membungkam dalam seribu bahasa,
ia telah teringat lagi akan kampung halamannya yang telah
termusna, teringat akan rahasia sumur kematian yang masi
belum terbuka. Kiauw Kin Kong pernah mengatakan
kepadanya bahwa sumur ini mempunyai hnbungan erat
dengan dirinya, mengapa ia tidak mau pergi kesana untuk
melihatnya?
Semakin dipikir semakin cepat lagi jalannya hanya pada
saat itu mereka sedang berjalan dijalan raya dan takut
menggegerkan orang-orang biasa, maka tidak berani
menggunakan ilmu mengetengi tubuh mereka.
Dua jam kemudian matahari mulai condong kearah
barat, orang-orang yang berjalan dijalan raya juga sudah
mulai mengurang, dari jauh sudah mulai terlihat
reruntuhannya Kui-in-chung.
Lee Tie. yang dapat melihat kembali tempat bekas ia
bermain, sudah menjadi sedih lagi. air mataaya dengan
tidak tensa telah meleleh keluar. Tapi ia tidak ingin dapat
dilihat oleh si Kong-cu yang memparhatikannya ini, dengan
sekali loncat ia mendahului terbang maju melintasi.
Tapi si Kong-cu baju hijau yang tajam pandangannya
sudah dapat melihat kejadian ini ia enjot dirinya menyusul
dan memegang lima jari kirinya Lee Tie, terasa olehnya
hawa dingin yang keluar dari telapakan tangan Lee Tie da n
tergetarlah hatinya. Maka dengan kaget ia menanya.

"Mengapa tangan saudara dapat sedingin ini dan tidak
sewajarnya? Apa didepan terdapat bahaya yang
menyebabkan ketegangan?"
Lee Tie mengibaskan pegangan orang, dengan tidak
memperdulikannya sama sekali ia malah menambah
kecepatan kakinya lari kemuka.
Si Kong-cu menjadi mengeluh juga dalam hatinya
berkata.
"Orang ini mempunyai adat keras sekali.
Dengan tidak berkata-kata ia juga mengikutinya terus,
Sebentar saja langit pun sudah mulai menghitam dan orang
begitu memasuki daerah Kui-in-chung sudah langsung
menuju ketempatnya sumur kematian didaerah Pekarangan
terlarang. Tapi baru dua orang ini loncat naik keatas
reruntuhan tembok atau tiba-tiba si Kong-cu aneh telah
mengeluarkan suara tertahannya.
"Eeeeeee!"
Lee Tie sudah merandek dan memandang kearahnya
sipemuda baju hijau. Si Kong-cu yang melihat
pandangannya Lee Tie tidak mengandung kemarahan lalu
berkata.
"Aku seperti melihat adanya bayangan orang yang lewat
disana."'
Lalu ia mengunjuk dengan telunjuknya ke arah yang
berada di Barat-daya. Dengan mengikuti arah yang
ditunjuk. Lee Tie mengarahkan pandangan matanya dan
tidak terlihat suatu apa olehnya. Maka ia lalu menanya.
"Orang yang bagaimana?"
"Seorang pendek, seorang yang mempunyai tubuh badan
pendek.”

Lee Tie sudah segera dapat menyangka akan datangnya
Kiauw Kiu Kong lagi, maka ia segera memburu kearah
sana dan betul dari kejauhan sudah terlihat bayangan yang
pendek lenyap diujung-ujung sana. Dengan menghela napas
ia berkata.
"Kakek pendek, aku datang terlambat."
Si Kong-cu juga sudah mengikuti lagi dan menimbrungi.
"Gerakannya orang ini sangat cepat sekali jika
dibandingkan dengan ibuku mungkin ... "
Ia menghentikan kata-katanya, sepasang matanya tidak
lepas dari arah mukanya pemuda kukuh yang diikutinya ini.
Lee Tie meski, mendengar kata-katanya tadi, tapi ia tidak
menanyakan sambungannya, dengan sekali loncat ia sudah
berada di atas tembok Pekarangan terlarang lagi dan loncat
masuk kedalamnya kemudian ia duduk termenung diatas
sumur kematian.
Si Kong-cu tetap masih mengikutinya dan duduk
berendeng disebelahnya, sekian lama berdua duduk disana
dengan tidak berkata apa-apa.
Rembulan mulai memancarkan sinar kuningnya,
perlahah-lahan muncul dari sela-selanya gunung Kie-ling
yang terkenal didaerah Bong-san ini.
Akhirnya si Kong-cu juga yang mulai menanya.
"Tempat apakah yang sekarang saudara kunjungi ini?
Apa tujuanmu telah berakhir sampai disini?”
Lee Tie yang selang terbenam dalam kenangan lamanya
yang hanya memanggutkan kepalanya saja dan tetap tidak
berkata-kata.
Si Kong-cu seperti tidak percaya dan mulai menegasnya
lagi.

"Mengapa kau harus datang kemari? Apakah namanya
tempatnya ini?"
Lee Tie dengan acuh tak acuh menjawab.
"Sumur kematian dari Kui-in chung.”
Kong-cu baju hijau menjadi kaget.
"Telah lama aku mendengar namanya Sumur kematian
dari Kui-in-chung yang menyeramkan, mengapa kau dapat
datang kemari?" tanyanya heran.
Lee Tie dengan masih memandang kosong kedepan
menjawab.
"Inilah rumahku sendiri.”
Hati Kong-cu baju hijan tadi menjadi tergetar, tapi
kemudian engah juga.
"Ooooo, kiranya kau adalah Kong-cu dari Kui-in-chung
ini.”
Lee Tie menggoyang-goyangkan kepalanya dengan ketus
ia menjawab.
"Aku tidak tahu, Janganlah kau menyebut-nyebutnya
lagi soal ini.”
Tiba-tiba ia lompat bangun dari tempat duduknya dan
berdiri dengan sungguh-sungguh ia berkata.
"Aku akau segera masuk kedalam Sumur-kematian ini.
Ada satu hal yang akan kuminta pertolonganmu, yalah jika
setelah lewat jam tiga aku masih tidak dapat keluar juga.
sepuluh hari kemudian kau boleh balik kembali kedalam
kota Lok-yang dan mencari seorang tua pendek yang
bernama Kiauw Kin Kong untuk memberi tahu
keadaannya. Dapatkah kau melulusi permintaanku ini?"'

Si Kong-cu sampai dibuat terlongong-longong
karenanya, sekian lamanya ia memandangnya dengan tidak
menjawab permintaannnya.
"Dapatkah kau meluluskan permintaanku ini?" Lee Tie
mendesak.
Kong-cu baju hijau menggeleng-gelengkan kepalanya
dan herkata.
'"Aku seadiri belum tahu kau mau berbuat apa?"
Lee Tie sudah mau mengatakan duduk soalnya, tapi
dalam tempo pendek mana dapat memberikan penjelasan
yang terang padanya? Maka berdua terdiam lagi disana.
Bulan purnama sedang memainkan kepalanya diantara
gumpalan awan, sebentar menonjolkan dirinya seperti
menggoda.
Tiba-tiba Lee Tie dan si Kong-cu sudah dapat dengar
adanya suara tindakan kaki di luar tembok Pekarangan
terlarang ini. mereka jadi saling pandang disana. Rasa
takutnya Lee Tie sudah dapat dibangunkan kembali dan
berkata.
"Apa ia masih berada disini?' Dengan cepat ia sudah
menarik tangannya si Kong-cu yang mau berjalan pergi
untuk melihatnya sembari menggeleng-gelengkan kepalanya
ia mencegah pemuda itu bicara.
Didengarinya lagi suara tindakan kaki yang seperti
biasanya Lee Thian Kauw berjalan bolak balik ini, maka
dengan menempelkan mulutnya di kuping orang Lee Tie
berkata.
"Jangan sampai kau mengeluarkan suara atau habislah
nyawa kita berdua disini. Mari ikut kepadaku kesini.”

Dengan perlahan-lahan ia menarik si Kong-cu yang
halus untuk diajak mengumpat di atas pohon yang berdaun
rindang diatas sumur kematian.
Setelah sampai diatas pohon baru Kong-cu baju hijau ini
berani menanya.
"Mengapa kau demikian takut kepadanja? Siapakah ia?”
Lee Tie dengan setengah berbisik berkata.
"Lee Thian Kauw si iblis yang memakai jubah Chungeu
Kui-in-chung." Si Kong-cu menjadi heran.
"Orang mengatakan bahwa. Chungeu dari Kui-in-chung
paling suka menerima tamu dan paling ramah tamah.
Mengapa kau menamakan iblis kepadanya?"
Lee Tie hanya menggengam erat tangannya si Kong-cu
dan tidak menyahut, karena saat itu dari dalam sumur
kematian terdengar lagi suara tiupan seruling yang
menyayat hati.
Baru saja si Kong-cu mau menanyakan lagi atau terlihat
bayangan tinggi besar berkelebat, ditempatnya kapan
datangnya kesitu.
Lee Tie mengeraskan genggamannya sampai dua kali, si
Kong-cu sudah mengerti dan memanggutkan kepalanya.
Orang yang baru datang ini betul saja Lee Thian Kauw
adanya, setelah bolak balik dua kali didepan sumurkematiannya
tadi lalu berdiri melihat kedalam sumur yang
penuh rahasia ini.
YI. SUHENG DAN SUTE DARI PERGURUAN
THIAN-SAN
SUARA tiupan suling yang menyayat hati masih tidak
henti-hentinya keluar dari lobang sumur kematian tadi.

Lee Thian Kauw setelah bolak balik dua kali sudah
mengeluarkan suara tertawa dinginnya, dipandangnya
lobang sumur ini lagi dan tertawa panjang sehingga sampai
lama sekali.
Satu suara tertawa yang dapat mendebarkan hati, hawa
napasnya Lee Tie dan si Kong-cu tadi telah dibikin bergolak
karenanya, dengan cepat mereka berusaha
menenangkannya lagi dan mengosongkan pikiran mereka.
Saat itu Lee Thian Kauw sudah menghentikan suara
tertawanya dengan menghadapi sumur ia berkata,
"Sahengku Bee Cio Cie. kau telah meniup seruling hitammu
lebih dari empat belas tahun bukannya masa yang pendek,
mengapa kau masih tidak mau menyerah kalah juga?"
Terdengar lagi suara tertawanya Lee Thian Kauw yang
nampaknya merasa puas. Suara tiupan seruling dari dalam
sumur kematian telah merobah lagunya dari ratapan hati
menjadi tiupan angin yang menerjang langit tinggi. Waktu
itu sang bulan juga telah ditelan oleh tebalnya awan hitam,
angin puyuh menderu-deru menyambuti pekikan seruling
yang bernada tinggi tadi sebagai jawaban kemarahannya si
peniup seruling, di dalam sumur kematian ini.
Hatinya Lee Tie menjadi bergidik juga mendengarnya,
keringat dingin mulai membasahi sekujur badannya.
Lee Thian Kauw sudah tertawa lagi.
'Satu julukan yang indah si Capung Kumala dari Thiansan.
Bee Tin Cee. Sedari dahulu sudah kukatakan
kepadamu bahwa janganlah mempelajari segala macam
permainan musik yang tidak ada gunanya, sehingga
akhirnya harus mengalah kepada kepandaianku sampai istri
sendiripun tak dapat menjaganya lagi, hingga terjatuh
kedalam tanganku.

Bulu tengkuknya Lee Tie sampai berdiri semua
mendengar kata-katanya Lee Thian Kauw ini.
Tapi sampai disini Lee Thian Kauw sudah tak
meneruskan lagi kata-katanya tadi, sampai berkali-kali ia
mondar mandir dipinggiran sumur kematian ini dan duduk
diatasnya.
Suara seruling dari tinggi perlahan-lahan menurun
kembali kemudian berhenti sama sekali. Lee Tie dan Kongcu
baju hijau tadi dengan tangan siling genggam sedang
berusaha untuk menahan tekanan hati mereka.
Tak lama kemudian Lee Thian Kauw sudah berkata lagi,
nadanya telah berolah menjadi tenang kembali karena ini
kali di ucapkan dengan suara yang mengandung kesedihan
rasa hatinya.
"Bee Suheng, urusan dulu-dulu sudah tidak dapat ditarik
kembali. Dengan tidak dapat menguasai perasaan hatiku,
aku telah merebut istrimu si 'Bungsu teratai dari Thian-san
karena kecantikannya. Maka kau si 'Capung Kumala dari
Thian-san" sampai harus kehilangan sepasang kaki dan
mengeram didalam Sumur kematian yang tidak ada sinar
matahari dan aku sendiri si "Garuda ganas dari Thian-san"
juga harus merobah diriku menjadi satu iblis yang tidak
dapat diampuni lagi ... "
Lee Tie sudah tidak dapat menahan sabarnya lagi, sudah
beberapa kali ia mau lompat turun untuk menghampiri, tapi
masih untung keburu dicegah oleh si Kong-cu yang selain
membisiki.
"Sabar saudaraku. Kau harus dapat menyabarkan diri.”
Terdengar Lee Thian Kauw sudah mengucapkan katakatanya
lagi.

“Bee Suheng, terus terang saja kukatakan kepadamu,
'Capung kumala dari Thian-san' sudah tidak ada lagi,
'Bunga teratai' dari Thian-san juga telah melarikan diri, aku
si Garuda ganas dari Thian-san, juga telah menjadi iblis
yang tidak dapat diampuni ... "
Secara tiba-tiba suaranya sudah menjadi tidak tenang lagi
dan terdengar terusannya.
Tapi sibiis juga mempunyai tingkah laku keiblisannya
sendiri, Bee Cin Cie. Janganlah kau terus-terusan meniup
serulingmu yang tidak berguna itu, aku hanya dapat meniup
lagunya 'Seorang jago Thian-san' yang tidak ternama,
karena salah menerima kedua muridnya, tapi tidak dapat
meniup lagu tingkah lakuku yang telah merobah dirinya
menjadi iblis ini. Aku telah lupa kepada manusia, telah
lama aku tidak mau mengenalnya. Kedatangaku pada
malam ini hanya mau mengatakan kepadamu bahwa aku
pun akan segera meninggalkan tempat ini. Sebelum berlalu
aku juga harus memberitahu dulu padamu bahwa anakmu
A Tie masih dapat berjalan seperti biasa karena aku tidak
tega untuk membunuhnya dan sampai disini perpisahan
kita."
Suara seruling didalam sumur kematian memekik
sebentar dan kemudian lenyap sama sekali.
Lee Tie sudah dapat memastikan bahwa Lee Thian
Kauw inilah yang menganiaya ayahnya dan mengusir
ibunya, sebelum Lee Thian Kauw dapat bertindak pergi ia
sudah lompat turun kehadapannya diikuti oleh si Kong-cu
sebagai bayangannya.
-oo0dw0ooTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
Jilid 04
"LEE THIAN Kauw, kau mau lari kemana?" Lee Tie
membentak.
"Lee Thian Kauw memandangnya sebentar dan
mengeluarkan bentakannya.
"Kau? Apa kau sudah tidak takut mati!"
Lee Tie malah memajukan lagi tindakannya dan
membentak.
"Lee Thian Kauw, malam ini aku akan meminta
keadilannya disini juga.”
Dengan tidak memperdulikan dirinya lagi Lee Tie sudah
menyeruduk kearah musuh besarnya ini.
Yang paling repot yalah si Kong-cu baju hijau, begitu
melihat tubuhnya sang lawan bergerak, ia sudah tahu akan
celaka. Untuk memberikan pertolongannya sudah tidak
keburu, maka dengan menggigit bibirnya ia juga sudah
majukan dirinya, dua tangannya disodorkan kemuka
mengeluarkan serangannya.
Lee Thian Kauw tertawa dingin, dengan sekali
mengibaskan lengan bajunya ia sudah dapat mementalkan
dua anak muda ini. Dengan suara keras ia membentak
kepada mereka.
"Bocah yang tidak tahu diri, sepuluh jiwa kecilmu juga
tidak nanti dapat lolos dari tangan kematianku juga. Inilah
untuk ketiga kalinya aku memberi ampun kepadamu dan
juga untuk penghabisan kalinya."
Kong-cu baju hijau sudah mendahului menyelak diantara
mereka dan terdengar teriakannya.
"Saudaraku mundur, biar aku yang menghadapinya!"

"Sret,” tangan kanannya sudah mengeluarkan pedang
lemasnya dan tangan kiri sudah segera merogoh kedalam
sakunya mengeluarkan semacam senjata rahasia berduri
yang mempunyai delapan muka.
Lee Thian Kauw hanya tertawa dingin saja melihatnya.
Kong-cu baju hijau mengibaskan pedang lemasnya,
dengan membuat beberapa lingkaran kecil ia sudah
menyerang kearah mukanya Lee Thian Kauw.
Si Iblis menjadi kaget juga melihat ilmu permainan
pedang yang sebagus ini, dengan tidak terasa ia sampai
mengeluarkan pujiannya.
'Ilmu pedang yang sangat bagus. Dengan hanya
menundukkan kepalanya saja ia sudah berhasil
menghindari serangan berbahaya ini. Beberapa lingkaran
pedang lagi sudah berada didepannya karena Kong-cu baju
hijau sudah meneruskan permainan pedangnya membuat
tembok yang sukar dilihat dengan mata.
Tapi tidak percuma Lee Thian Kauw sebagai salah satu
dari dua jago Thian-san yang bernama dengan hanya hawa
telapak tangannya saja sudah cukup untuk melayani si
Kong-cu muda.
Tiba-tiba suara seruling dari dalam sumur kematian
sudah terdengar lagi. tapi tidak lama karena dibarengi oleh
bentakannya.
"Lee Thian Kauw apa kau sudah mulai lagi dengan
pembunuhanmu disini? Jika dugaanku tidak salah, tentu A
Tie, sedang berada diatas, tadi bukankah kau telah
mengatakan tidak akan membunuh dirinya?" '
Lee Thian Kauw sudah segera meninggalkan si Kong-cu
baju hijau dengan sekali loncat ia sudah berada diatasnya
sumur kematian lagi dan berkata.

"Bee Suheng, akhirnya kau toh berkata juga kepadaku.
Anakmu dengan selamat masih berada disini. Inilah untuk
ketiga kalinya kau dapat mengampuni dirinya dan juga
untuk penghabisan kalinya.
Suara dari sumur berkata lagi.
“Aku bukannya Bee Cin Cee, karena tidak mungkin Bee
Cin Cee mau bicara denganmu lagi.
Lee Thian Kauw menjadi heran, tapi tidak lama lagi ia
sudah tertawa berkakakan.
"Janganlah membohongi diri sendiri. Kau bukannya Bee
Suheng? Di dalam sumur apa masih terdapat orang kedua?"
Menggunakan kesempatan ini Lee Thian Kauw bicara
dengan orang yang berada didalam sumur, Lee Tie sudah
segera menghampiri Si Kong-cu dan menanya.
"Kau tidak kenapa-napa?"
Kong-cu baju hijau menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sungguh lihay." katanya. "Jika saja ia menambah lagi
kekuatannya bisa mati konyol aku olehnya.”
Lalu seperti teringat akan sesuatu ia sudah berkata lagi.
"Sudah sampai waktunya untuk aku kembali. Dan
bagaimana dengan kau disini?"
Lee Tie dengan sedih menjawab.
“Aku masih belum mau pergi karena orang yang
meniup seruling itu adalah ayahku sendiri yang belum
pernah kubertemu muka."
"Aku sudah tahu sekarang." Kong-cu baju hijau berkata
lagi, “kau tentunya she Bee, bukan? Jika pada suatu waktu
kau ingin menemuiku, datanglah ke Tong-tu-san-chung di
luar kota Lok-yang."

Matanya Bee Tie menjadi bersinar terang selanjutnya
shenya 'Lee' dibuang. Ia pernah mendengar disebutnya
nama Tong-tu-san-chung ini' di antara pembicaranya si
'Pelajar Pedang Tumpul" dengan si 'Putih Kurus' yang
serakah itu, dan ia juga tahu bahwa Go-tong Sin-kholah
yang tinggal disitu, tapi ia sudah tidak keburu menanya
kepadanya pernah apa kawan barunya ini dengan Go-tong
Sin-kho karena pada saat itu si Kong-cu sudah lompat
keatas tembok pekarangan-terlarang.
Kong-cu tadi begitu menaiki tembok tinggi sudah
membalikkan lagi badannya, sambil melemparkan senjata
rahasia berduri bermuka delapan kearahnya Lee Tie ia
berkata.
"Simpalah baik-baik senjata rahasia ini."
Setelah ditanggapi dan dilihatnya. Lee Tie telah
kehalingan jejaknya Kong-cu aneh tadi.
Lee Thian Kauw masib tetap melongok kedalam sumur
dan menanya.
"Siapa pula kau ini jika bukannya Bee Cin Cee?”
Suara dari sumur menjawab.
"Tidak perlu kau menanyakan aku siapa, cukuplah sudah
jika kau tahu bukannya Bee Cin Cee saja. aku telah
mewakilinya bicara untuk mengajak kau bertanding lagi
dengannya dipuncak. gunung Hoa-san. Apa kau dapat
menerimanya?"
Lee Thian Kauw tertawa lagi.
"Bee Cin Cee telah kehilangan dua kakinya untuk keluar
dari sumur tua ini saja sudah bukannya soal yang gampang
baginya, apa lagi disuruh naik keatas puncak gunung Hoasan.
Ha. ha. Ha. ... "

Suara dari sumur dengan keren berkata.
"Aku hanya menanyakan kepadamu beranikah kan
melayani?"
Lee Thian Kauw setelah berpikir sejenak, menjawab.
"Baiklah. Tapi kau harus mengatakan dulu siapa
sebenarnya kau ini?"
"Ketua partai yang ke dua-puluh lima dari Hoa-san-pay,
Cie Gak.”
Jawaban ini diluar dugaannya Lee Thian Kauw, ia
tertegun sejenak dan kemudian dengan gusar berkata.
"Kau bagaimana dapat masuk kedalam? Bukankah kau
telah lama meninggal dunia. membuang diri dari atas
puncaknya gunung Kie-ling.”
"Lee Thian Kauw, kau jangan ngelantur kemana-mana.
Bagaimana dengan perjanjian diatas puncak gunung Hoasan?
Dapatkah kau terima?" tanya si suara dalam sumur.
Lec Thian Kauw tertawa dingin.
“Cee Gak, katakanlah kepada Bee Cin Cee bahwa aku
siap untuk datang kesana dan melayaninya.”
Lalu ia membalikkan mukanya memandang Bee Tie lagi
dan berkata.
'"Eh, mengapa kau masih belum mau lari? Beruntung
sekali bagi si baju hijau yang ini hari dan disini ia menemui
aku."
Bee Tie sudah dapat menenangkan lagi hatinya.
"Lee Thian Kauw." Katanya, “Hari ini betul aku masih
belum dapat menandingi kekuatan, tapi pada suatu hari
awaslah dengan pembalasanku."

Lee Thian Kauw meski masih tertawa di wajahnya, tapi
dalam hatinya tidak enak juga. Dipandangnya mukanya
Bee Tie yang cakap karena, dalam hatinya berkata.
"Biar bagaimana ia tetap merupakan bibit bencana
bagiku.”
Diwajahnya masih tetap tersungging senyumnya.
"Apa kau benci kepadaku?" tanyanya. “Tentu saja karena
akulah orangnya yang telah menyemplungkan ayahmu
kedalam sumur kematian ini. Bagaimana jika kau juga turut
kesana melihatnya?”
Dengan sekali jambak sudah dapat mencekek batang
lehernya Lee Tie yang masih tidak berdaya untuk
melawannya.
Lee Thian Kauw jika kau menurunkan tangan jahatnya,
sebenarnya dengan sekali juga telah dapat mengambil
jiwanya sang mangsa. Tapi entah mengapa ia tidak dapat
berbuat demikian kepadanya. Dengan perlahan-lahan ia
sudah mengangkat kedua kakinya Lee Tie yang berjingkrak
menenteng-nenteng diatasnya sumur-kematian.
Lee Thian Kauw seperti sedang menenteng anak ayam
saja mengangkat tubuhnya Lee Tie yang kecil dan sudah
siap untuk di lemparkan kedalam sumur pembuangannya
lagi, tapi sebetulnya dengan perlahan sekali ia berkata.
"Dengan mengingat perhubungan kita yang telah lama,
sudah tiga kali aku mengampuni jiwa anjingmu.
Dengarkanlah dengan baik-baik. Hawa asliku dari luar
dunia" telah terlatih sempurna dan sudah tidak ada orang
lagi yang dapat menandinginya. Jika kau masih ingin
mencoba membalas dendam juga berarti mencari mati
saja.”

Ia tidak mau menggunakan tangannya sendiri untuk
membunuh mati. Tetapi ia mau melemparkannya ke dalam
sumur supaya mati. Hanya saja masih ada kemungkinan
Lee Tie hidup jika tidak jatuh mati di dalam sumur maka ia
berkata demikian agar Lee Tie jangan menuntut balas
kepadanya dan menandakan bahwa ia seperti masih tidak
ada niatan untuk membunuhnya.
Lee Tie cakup tahu bahwa nyawanya ibarat telur diujung
tanduk, ia menjadi mengeluh juga.
"Celaka."
Ia mencoba menggunakan tenaganya, tapi karena Lee
Thian Kauw sudah menekan jalan darah tidurnya, begitu ia
bergerak sedikit saja sudah terasakan olehnya dunia seperti
berputaran mengelilinginya.
Lee Thian Kauw sudah merasa sang korban berontak, ia
lalu tertawa dingin.
"Jika kau berusaha untuk berontak di bawah tanganku
berarti kau mencari sengsara saja. Mudah saja jika aku mau
membunuhmu. mana dapat kau hidup sampai sekarang ini?
lebih baik kau diam-diam saja menyerah.”
Dengan tidak memperdulikan rasa sakitnya Bee Tie
berkata dengan gemes.
"Jika aku masih bernyawa, tetap akan kumencari mu
juga."
Kata-kata ini diucapkan dengan menahan kesakitan yang
luar biasa kedua matanya menjadi melotot besar, giginya
mengeretek sampai berbunyi, kepalanya diremes-remes
menahan sakit.
Tiba-tiba tangannya merasa disakunya benda yang
menusuk, pikirannya telah teringat kembali akan benda

pemberiannya si Kong-cu baju hijan yang merupakan
senjata rahasia berduri bermuka delapan, duri-duri inilah
yang telah menusuk.
Terdengar lagi suaranya Lee Thian Kauw yang
menjemukan.
"Bukankah sekarang kau sudah dapat menemukanku
disini?"
Bee Tie dengan menahan rasa sakitnya telah menyumput
benda berduri tadi, dalam hatinya berkata.
"Jika ia masih tidak melepaskan cekalannya, bagaimana
aku dapat lolos dari tangannya?"
Lee Thian Kauw sudah mengangkat tinggi-tingi
tubuhnya siap untuk dilepaskan dan akan jatuhlah
tubuhnya Bee Tie yang kecil. Itu waktu biarpun Bee Tie
mempunyai nyali yang besar juga percuma saja untuk
menahan kecepatan turunnya sang tubuh yang akan segera
tertumbuk remuk dengan dasar sumur ini yang tentu tidak
ada airnya lagi.
Lee Tie sudah menjadi nekad, keinginan mencari jalan
hidup telah menguasainya, dengan menggunakan
kesempatan sewaktu tubuhnya diangkat tinggi-tinggi,
dimana tangannya Lee Thian Kauw rada sedikit kendor, ia
menekukkan lututnya melupakan sakitnya dan segera
disepakan kearah musuhnya yang jahat itu dengan semua
kekuatan yang ada.
Lee Thian Kauw tidak menyangka, dua kaki kecilnya
Lee Tie dengan telak telah mengenai perutnya, saking
sakitnya sampai lupa dengan cekalannya dan terlepaslah
Bee Tie keseberang sumur kematian.
Lee Tie yang melayang kedepan bukannya segera lari
meninggalkan Lee Thian Kauw, tapi ia membalikan

tangaunya dan senjata rahasia yang penuh dengan duri itu
telah dilontarkan kearah musuh besarnya.
Hanya terdengar jeritannya Lee Thian Kauw dengan
tidak mengetahui kena atau tidaknya lontarannya tadi Bee
Tie sudah segera melarikan dirinya loncat keatas tembok
pekarangan terlarang yang pada rusak.
Dilihatnya Ku- in-chung yang telah termusnah termakan
api sudah hampir rata dengan tanah, maka jika ia lari
kemana saja sudah pasti terlihat oleh Lee Thian Kauw yang
tidak mungkin melepaskan dirinya. Bee Tie yang
mempunyai otak encer bukannya lari lagi malah
menjatuhkan dirinya dibawah tembok pekarangan
terlarang, dan mengumpat disitu.
Betul saja satu bayangan tinggi besar telah menyusul
lewat diatas kepalanya dan sebentar saja sudah lari jauh
sekali didepannya.
Ia harus kembali lagi kedalam pekarangan terlarang pada
waktu sebelum Lee Thian Kauw engah, maka ia lidak
berani lama-lama diam disitu dan segera lompat masuk lagi
berlari larian menuju kesumur kematian dan naik lagi
keatas pohon yang lebat tadi.
Baru sekarang Bee Tie dapat menghela napas lega.
Dilihatnya ditempat kejauhan bayangannya Lee Thian
Kauw yang sedang ubek-ubekan mencari jejak dirinya dan
kemudian lenyap diantara kegelapan.
Tapi waktu itu hatinya Bee Tie malah menjadi
berdebaran lagi. Jika Lee Thian Kauw mencarinya sekian
lama dan tidak mendapatkannya, bagaiman jika ia balik
kembali lagi mencarinya disini? Ia kini merasakan juga akan
ketidak amanan ditempat persembunyiannya.

Pada waktu itu tiba-tiba dari tembok Pekarangan
terlarang loncat masuk lagi seorang, Bee Tie menjadi kaget
dan sndah menyangka akan dirinya Lee Thian Kauw. Tapi
setelah ditegasi bayangan ini ia sudah menjadi kegirangan
sekali karena tidak lain dari pada sikakek pendeknya Kiauw
Kiu Kong yang paling disukai.
Terlihat Kiauw Kiu Kong dengan sebelah tangan
menenteng rantang makanan sedang celingukan melihat
kesana sini dan langsung menuju kearahnya sumur
kematian.
Bee Tie dengan mengeraskan sedikit suaranya berkata
kearahnya.
"Kakek pendek, kebetulan sekali kedatanganmu ini."
Segera ia loncat turun dari tempat mengumpatnya dan
menghampiri Kiauw Kiu Kong yang sedang berdiri
tertegun.
Setelah dapat tahu orang yang muncul itu Bee Tie
adanya, Kiauw Kiu Kong bukannya menyambut
kedatangannya malah menjadi marah, tegurnya.
"Mengapa kau berani datang kemari lagi? Mengapa kau
tak baik-baik diam didalam kota Lok-yang menunggu
kedatanganku?"
Bee Tie hampir menangis mendengar sesorah yang
nyerocos ini, dalam waktu singkat mana dapat ia cepatcepat
menceritakan kesedihannya ia berkata.
“Kakek pendek jangan menyalahkan dulu, lain kali saja
akan kuberikan penjelasannya. Sebentar lagi Lee Thian
Kauw mungkin balik kembali kesini yang penting kita harus
mencari tempat sembunyi dulu."
“Betnl?" Kata Kiauw Kiu Kong kaget.

Bee Tie memanggutkan kepalanya. “Betul. Baru saja ia
telah kuhantam dengan senjata rahasia.”
Kiauw Kiu Kong setelah berpikir sebentar lalu berkata.
"Malam ini akan kuajak kau untuk menemui dua orang?
Apa kau bersedia?"
Bee Tie yang mendengar sudah tahu akan siapa adanya
dua orang ini, maka dengan sedikit gemeteran ia menanya,
“Apa dua orang itu ayahku Bee Cin Cee dan ketua Hoasan-
pay yang ke dua puluh lima Cie Gak?”
Matanya Kiauw Kiu Kong bersianar terang, ia memuji
akan kepintarannya calon ketua pilihannya ini, dengan
tidak berkata apa-apa ia hanya memanggutkan kepalanya.
Secara tiba-tiba Bee Tie sudah segera menjatuhkan
dirinya dan berlutut di hadapannya Kiauw Kiu Kong dan
berkata, “Kakek Kiauw, kaulah orang yang selalu
menolong diriku, disini aku Bee Tie mengunjuk hormatnya
sebagai pernyataan terimakasihku yang tidak terhingga.”
Kiauw Kiu Kong malah dibuat kelabakan karena
kelakuannya ini, ia hanya dapat berkaok-kaok keheranan,
“Kau mengapa? Kau mengapa? Lekas bangun dan berkata
seperti biasa saja.”
Bee Tie sambil mengucurkan air mata dengan perasaan
syukur menyoja sampai empat kali baru bangkit dari
berlututnya. Tiba-tiba mereka dibikin kaget karena sudah
terdengar tindakan kaki dan makiannya Lee Thian Kauw
yang berada di luar tembok pekarangan terlarang.
Kiauw Kiu Kong dengan tidak terasa sampai menyebut,
“Celaka!”

Dengan sekali loncatan saja ia sudah dapat menyamber
tubuhnya Bee Tie dan segera mencemplungkan dirinya ke
dalam sumur yang berada di depannya itu.
Pandangan matanya Bee Tie mendadak menjadi gelap,
badannya juga sudah tidak menyentuh tanah dan melayang
dengan kecepatan yang tidak terhingga. Ia merasa berkuatir
juga, bagaimana Kiauw Kiu Kong dapat menahan jatuhnya
badan mereka?
Tapi Bee Tie ingat pernah lihat bagaiamana Kiauw Kiu
Kong sampai dua kali lompat turun ke dalam sumur ini,
bahkan yang kedua kalinya ia harus membopong mayatnya
si tosu pengembara Jin Cun Bee dengan tidak mendapat
luka suatu apa, barulah hatinya menjadi tenang juga.
Saat itu Bee Tie telah merasakan bau amis yang sangat
hebat, tubuhnya tetap turun dengan kecepatannya. Tiba-tiba
ia merasa tergerak sedikit dan tubuhnya dapat berhenti di
udara, denga heran ia menanya.
“Kita sekarang berada di mana?”
Tubuh mereka sudah mulai turun lagi ke bawah dengan
tertawa Kiauw Kiu Kong menjawab pertanyaannya, “Kita
berada di tengah-tengahnya sumur ini.”
Bee Tie menjadi kaget, bagaimanakah Kiauw Kiu Kong
dapat menahan tubuhnya? Maka ia sudah menanya lagi,
“Kakek pendek, dengan cara apakah kau dapat menahan
diri kita?"
Kiauw Kiu Kong tertawa.
“Sebentar lagi setelah kau menjadi biasa dengan
kegelapan dan melihat dengan jelas tentu dapat
mengetahuinya."

Bee Tie membuka kedua matanya lebar-lebar dan betul
saja setelah lewat sekian lamanya setelah ia dapat
membiasakan dirinya ditempat kegelapan, dilihatnya
tangan kanannya Kiauw Kiu Kong digerak-gerakan. Dan
didalam cekalannya terlihat sebatang bambu kecil yang di
tancepkan ke pinggiran sumur. Begitu bambu kecil ini
ditusukkan masuk tentu saja badan mereka jadi tertahan
dari meluncurnya ke dasar sumur.
Tapi dalam hal ini jika tidak mempunyai latihan tenaga
dalam yang sempurna juga percuma saja menggunakan
caranya itu, karena orang yang menggunakan tongkat
bambu ini harus mempunyai emposan tenaga baru dapat
menahannya atau ia akan terjungkal jika kurang teguh
kekuatannya.
Tenaganya Kiauw Kiu Kong sudah cukup sempurna dan
Bee Tie juga telah mengetahuinya. Tapi kemarin ini ia telah
menderita luka yang tidak ringan, mengapa dapat sembuh
demikian cepatnya? Baru saja ia mau menanya atau keburu
Kiauw Kiu Kong membuka mulutnya, “Si Setan Kurus”
dari Bong-san setelah dapat menolongmu dari tangannya
Lee Thian Kauw apa telah dapat menemui mu lagi?”
Bee Tie memanggutkan kepalanya, “Jika bukan adanya
paman “Pelajar Pedang Tumpul” yang datang menolongi,
mungkin aku sudah terbunuh di tangannya.”
Kiauw Kiu Kong dengan gemas berkata, “Aku juga
sudah tahu akan sifatnya, tapi dalam keadaan terdesak aku
terpaksa minta tolong juga padanya. Pada tiga tahun yang
lalu aku percaya ia juga berada di dalam goa batu kepala
manusianya dan mendiamkan saja Cie Gak sedang dikejarkejar
oleh enam sute durhakanya yang berakhir dengan
terampasnya Tongkat Rantai Kumala oleh Lee Thian Kauw
dan Cie Gak lompat bunuh diri dari puncaknya gunung Kie
Ling.”

“Tapi paman Cei Gak sekarang sudah berada di sini?”
“Entah mengapa ia tidak sampai mati, aku masih belum
menanyakan padanya.”
“Dan bagaimanakah kakek dapat demikian cepatnya
menyembuhkan luka-luka dalamnya?”
Kiauw Kiu Kong menghela nafas.
“Masih untung dengan datangnya Si Setan Kurus dari
Bongsan itu.”
“Ia juga masih mempunyai hati yang baik?”
Kiauw Kiu Kong tertawa dingin, “Jika bukannya dengan
ilmu simpanan Hoa-san-pay yang berada di dalam tongkat
Rantai Kumala sebagai pancingannya, mana ia dapat
gampang-gampang memberikan pertolongannya?”
“Lantaran itu juga maka ia baru menolongku dari
tangan jahatnya Lee Thian Kauw?”
“Apa kau masih menyangka ia dapat sembarangan
menolong orang percuma?”
Bee Tie menjadi terdiam kemudian dengan gemas ia
berkata, “Terhadap orang yang seperti ia ini, sampai
matipun tidak nanti kau mau mempertontonkan
kepandaian simpanan dari tongkat Rantai Kumala.”
Kiauw Kiu Kong sampai tertawa mendengarnya, ia telah
menarik pulang lagi tenaganya dan turun ke bawah sumur
yang berbau amis ini.
Begitu semakin dekat dengan dasar sumur hatinya Bee
Tie sudah menjadi semakin berdebaran saja. Kiauw Kiu
Kong yang menggendongnya juga telah merasakan hal ini
dan menanya, “Kau mengapa? Sebentar lagi kau juga dapat
menemui ayahmu itu, mengapa malah menjadi takut
karenannya?”

Bee Tie belum lagi menjawab pertanyaannya atau telah
terasakan tubuhnya tergentak karena telah sampai pada
dasarnya sumur yang menyeramkan ini.
Dari samping kirinya terlihat ada sinar yang menyinari
masuk dan terlihat olehnya tulang belulang manusia yang
berserakan di sekitarnya, bahkan masih ada yang belum
menjadi tulang semua yang menyiarkan bau amisnya.
Dengan tidak terasa Bee Tie sampai bergidik melihatnya.
Kiauw Kiu Kong sambil menyerahkan tentengan
bawaannya kepadanya sudah berkata sambil tertawa,
“dengan mengikuti arah sinar terang ini kau boleh segera
pergi ke sana untuk menemui ayahmu. Dan bawalah
makanan ini pada mereka.”
Bee Tie dengan heran menanya, “Kau sendiri hendak ke
mana?”
Terlihat Kiauw Kiu Kong menggeleng-gelengkan
kepalanya, “aku tidak masuk terus lagi, katakana saja
kepada ayahmu dan Cei Gak bahwa aku telah
meninggalkannya.”
Lalu sambil mengeluarkan pisau belati kecil yang segera
diserahkan ke dalam tangannya Bee Tie, berkata, “ Inilah
barang tanda matanya si tosu pengembara dari Oey San
yang bernama Jin Cun Bee, mungkin kau dapat
menggunakannya, simpanlah baik-baik karena aku akan
segera meninggalkannya.”
Dengan mendongakkan kepalanya Kiauw Kiu Kong
sudah lompat naik lagi ke atas dengan kecepatan yang tidak
kalah dengan turunnya. Sebeantar saja ia sudah berada
lebih dari sepuluh tombak jauhnya.

Bee Tie dengan serak berkata, “Kakek Kiauw, awas
dengan bokongannya Lee Thian kiauw yang mungkin
masih ada disana.”
Baru sekarang Bee Tie membalikkan lagi kepalanya dan
dilihatnya sinar terang tadi ternyata keluar dari satu
terowongan entah menuju kemana.
Bee Tie dengan memberanikan dirinya telah maju
menuruti arahnya terowongan ini.
Tapi tidak disangka baru saja ia berjalan belasan tindak
atau dari dalam terwongan sudah dengar satu bentakannya
orang, “Siapa?”
Bee Tie dengan suara terharu menjawabnya, “ aku Bee
Tie yang mau menemui ayah.”
Hampir saja Bee Tie mengucurkan air matanya
menyaksikan keadaan yang mengharukan disitu.
Dari dalam terdengar lagi satu suara lain yang tidak
kalah terharunya.
“bagaimana caranya kau turun?” Bee Tie dengan
menahan rasa sedihnya menjawab.
“Kiauw Kiu Kong yang telah membawaku ... ”
Tapi suara dari dalam terowongan tadi sudah menjadi
marah dan bentaknya, ”kembali lagi ... kembali lagi ... apa
kau tidak bisa turun sendiri?”
Bee Tie yang mendengar bentakan ayahnya ini sudah
tidak dapat menahan lagi bendungan air matanya, tapi ia
sebagai seorang anak yang berbakti dengan mengeluarkan
pisau belati pemberian Kiauw Kiu Kong tadi sudah
membalikan lagi langkahnya menuju ke tempat mulut
sumur dan berkata.

“baik, ayah boleh tunggu saja disini, tidak lama A Tie
juga akan balik lagi.”
Baru saja ia mau melompat naik lagi atau suara yang
pertama tadi terdengar sudah berkata lagi. ”tidak usah naik
lagi, aku dan ayahmu sudah datang padamu.”
Bee Tie berpaling kebelakang dan menjadi menjerit
kesima.
“Ohhh ... ”
Dimulut terowongan dilihatnya satu makhluk, mirip
makhluk jadi-jadian, badannya tak besar, kepalanya dua
buah dan tiada berlengan.
Makhluk tersebut bergerak mendatangi ke arah tempat
Bee Tie berdiri.
Sambil memegang gagang pisau belatinya keras Bee Tie
membentak.
“Hai! Kau ini manusia apa jejadian? Berhenti jangan
kau maju setindak lagi saja! ... ”
”Apa? Jejadian? Siapa jejadian? Kurang ajar! Bocah tidak
tahu diri!" demikian terdengar suara bentakan dari
mulutnya makhluk aneh itu, kepala yang sebelah kirilah
yang tadi berseru.
Bee Tie merasa agak lega juga hatinya, suara itu adalah
suara manusia, bukan seperti apa yang ia duga semula,
sama sekali bukanlah jejadian sumur yang sedang
menungkuli tempat kediamannya. Tetapi walaupun
demikian, belum berani Ia menyimpan pisau belatinya,
malah digenggamnya lebih keras. lalu berjalan maju
menghampiri makhluk aneh untuk melihat lebih jelas.
Ternyata-makhluk yang ia duga makhluk jejadian itu,
sebenarnya adalah manusia biasa, tetapi bukan hanya

seorang, melainkan ada dua orang yang dua-duanya sudah
kehilangan semua kakinya sampai batas paha. Dengan
sebelah tangan mereka bergandengan, kelihatan dari jauh
seperti satu orang dengan dua kepala. Malah dengan
sebelah tangan lainnya mereka gunakan sebagai kaki lebihlebih
mirip mereka itu seperti makhluk jejadian dengan dua
kepala, badan besar dan tidak berlengan.
Tetapi, Bee Tie sendiri sudah menerka pasti bahwa
kedua orang tersebut, yang pertama pasti adalah ayahnya
sendiri. Bee Cin Tiee, dan yang lainnya, ialah ketua Hoasan-
pay generasi kedua puluh lima Cie Gak, Yang pernah
mencoba bunuh diri dengan cara terjunkan diri dari atas
puncaknya gunung Kie Ling.
Di belakangnya perkampungan Kui-in-chung. Tetapi
entah dengan cara bagaimana pula ia sekarang sudah
berada didalam Sumur Kematian, malah. Seolah-olah
menjadi satu dengan ayahnya Bee Tie membentuk makhluk
lain.
Matanya Bee Tie sudah mengembeng dengan air mata.
Walaupun ia belum dapat membedakan siapa diantara
kedua orang yang bergandengan tangan itu adalah ayahnya,
karena sejak masih kanak-kanak sampai pada saat ini ia
belum pernah melihat wajah aslinya Sang ayah, maka
pertemuan ini adalah pertemuan mereka yang pertama
antara ayah dan anak yang telah lama berpisahan.
Maka itu begitu Bee Tie melihat keadaan ayahnya yang
demikian mengenaskan, tanpa merasa ia lantas menangis
menggerung-gerung macam anak kecil. Tetapi pikirannya
masih terang. Ia masih ingat kata-katanya si orang tuapendek
semua, ia masih ingat bagaimana ayahnya dalam
kesedihan sering menyatakan kesedihan hatinya dalam
tiupan seruling. Maka itu, pada pikirannya kalau saja ia
dapat melihat seruling, seruling yang merupakan harta

peninggalan satu-satunya dari ayahnya, dapatlah ia
memastikan siapa ayahnya yaitu tentunya orang yang
memegang seruling ditangannya.
Tetapi dalam keadaan demikian itu, dimana dua orang
seolah-olah menjadi satu itu, dengan sebelah tangan mereka
yang saling bergandengan dan sebelah tangan lainnya
digunakan sebagai kaki, sudah tentu saja tidak ada
kelebihan tangan yang dapat dipakai untuk menggenggam
seruling atau barang-barang lainnya lagi.
Tetapi, ia masih merasa penasaran. Ia hendak mencari
kalau-kalau disalah satu diantara mereka, didalam
pakaiannya ada apa-apa yang mencurigakan, atau yang
menonjol keluar, tetapi ternyata usahanya itu tetap sia-sia
belaka. Ia lebih bersedih. Air matanya sudah bercucuran
bagai hujan tumpah dari langit.
“Jangan menangis! Kalau kau mau menangis kau tidak
boleh bersama kita disini. Kau boleh segera naik keatas.
Disana kau boleh menangis sepuas-puasnya,” demikianlah
suatu suara bentakan keras terdengar masuk dalam
telinganya Bee Tie.
Selanjutnya, salah seorang diantara dua orang yang
tadinya bergandengan tangan itu, kini melepaskan
cekalannya pada kawannya, kemudian dengan dua
tangannya menekan ketanah, badannya tahu-tahu sudah
masuk ke dalam terowongan tadi lagi, lenyap dari
pandangan mata Bee Tie, si anak muda.
Bee Tie sedapat mungkin hendak mencoba menahan
tangisnya. Ia merasa kagum sekali ketika menyaksikan
perbuatan orang tanpa kaki itu, yang ternyata masih dapat
bergerak demikian cepatnya. Biar orang berilmu cukup
tinggi sekalipun, orang yang masih lengkap semua anggota

badannya, rasanya tidak dapat bergerak secepat orang tanpa
kaki itu.
Setelah orang tanpa kaki yang seorang itu masuk
meninggalkan mereka, disitu hanya tertinggal Bee Tie dan
orang tanpa kaki yang lainnya. Dengan nada suara penuh
rasa kasih sayang, orang tanpa kaki yang satu ini berkata
pada Bee Tie.
“Ayahmu tidak suka anaknya menangis. Ia gusar tadi
karena kau menangis. ia selalu mengharap anaknya bisa
menjadi orang yang pandai orang yang gagah berani, dan
bukannya orang sebangsa manusia cengeng. Maka itu,
janganlah kau menangis di hadapannya. Kau juga harus
dapat menyelami segala kesukaran hatinya. Mari! Marilah
kita susul padanya. Tentu ayahmu sekarang pergi ke dalam.
Dia berada di dalam goa sana itu. Mari! Ikuti aku saja."
Setelah berkata sampai disitu, dengan mengajak Bee Tie
yang mengikuti terus di belakangnya, ia berjalan masuk ke
dalam jalan lorong yang berada didasar Sumur Kematian,
didalam terowongan.
Maka tahulah Bee Tie kini, siapa ayahnya dan siapa pula
orang yang sedang berjalan sama-sama dengan dia masuk
ke dalam ini. Dia pastilah itu ketua Hoa-san-pay generasi
kedua puluh lima, yang pernah membunuh diri dengan
jalan terjunkan diri dari puncak gunung Kie-ling di belakang
perkampungan Kui-in-chung. Dengan tidak berkata-kata ia
terus mengikuti orang bercacat itu masuk ke dalam
terowongan.
Jalan lorong dalam terowongan itu, sangat dalam sekali.
Makin jauh masuk ke dalam, makin menurun jalannya.
Mereka berdua berjalan menyusuri lorong itu, semakin
lama semakin gelap juga nenurun. Hawa udara disebelah
dalam agak lembah.

Entah berapa lama mereka telah berjalan itu, mendadak
Bee Tie dapat melihat disebelah depannya, sebuah tempat
yang kemasukan cahaya matahari. Mereka berdua sekarang
sudah sampai di ujung lain dari terowongan Sumur
Kematian itu, Sekarang mereka seolah-olah sudah berada
ditempat diluar Sumur Kematian. Ditempat itu sinar
matahari dapat masuk, tempatnya terbuka.
Sesampainya ditempat yang terang itu, Bee Tie
mendongakkan kepala. Ia lihat diatasnya ada lubang yang
terbuka lebar. Dari lubang itulah matahari menyorot
masuk. Ia tahu juga, bahwa sekarang ini ia sedang berada
diujung lain dari jalan lorong dalam terowongan itu.
Di sekitar lubang disebalah atas, ia melihat ada tiga
puncak gunung yang tinggi-tinggi, terbingnyapun curamcuram.
Disebelah bawah, ditempat ia berdiri, merupakan
sebuah tempat atau ruangan yang luas. Tidak jauh di
depannya tumbuh rumput dengan sangat teratur, rapihnya
seolah-olah sebuah barisan tin yang kecil bentuknya.
Disitu, bukan hanya rumput saja tumbuh teratur yang
terdapat tetapi disamping itu juga masih ada lagi banyak
goresan-goresan berupa gambar-gambar di mana-mana,
sampai-sampai diatas batu-batu cadas agak kesebelah
atasannya juga coretan itu masih terdapat. Agaknya
goresan-goresan itu mempunyai arti tersendiri, tetapi tidak
dapat dimengerti oleh Bee Tie yang melihat dengan mata
tak berkesip.
Disuatu pojokan, ayahnya Bee Tie, Bee Cin Cee sedang
duduk sambil mengawasi Bee Tie, anaknya dengan sorot
mata tajam.
Melihat ayahnya, Bee Tie segera lompat dari mulutnya
goa, terus menghampiri ayahnya yang sedang duduk
menantikan padanya sejak tadi. Gerakan yang diperlihatkan

itu demikian gesit dan lincahnya, begitu ringan sehingga
begitu sampai ditanah, kakinya Sama sekali tidak
menerbitkan suara apa."
Bee Cin Cee dan Cie Gak, dua orang tua tak berrkaki
yang menyaksikan perbuatannya Bee Tie, keduanya hanya
saling pandang, dalam hati mereka diam-diam sudah
memuji ketangkasannya anak muda ini.
Baru saja Bee Tie hendak menjalankan peradatan di
hadapan ayahnya, tiba-tiba sang ayah itu berseru sambil
menuding dengan serulingnya kesuatu tempat, yaitu lubang
atau mulut goa itu. Ia berkata keras. “Cepat! Lompat lagi
kau ke sana!"
Bee Tie memandang muka ayahnya sejenak, kemudian
lompat lagi kemulut goa tempat ia keluar tadi. Bee Cin Cee
dan Cie-Gak yang menyaksikannya, sambil menganggukanggukan
kepala menyatakan kekaguman mereka, sudah
segera saling pandang lagi.
Bee Tie tadi, sesampainya sang kaki dimulut goa, terus
ditotol kembali dan melayanglah badannya balik kehadapan
ayah serta bekas ketua Hoa-san-pay Cie Gak. Sesampainya
ia di hadapan ayahnya, ia segera menjalankan
peradatannya, berlutut di depan ayahnya sambil anggukanggukkan
kepala.
Tempat, yang mereka injak saat ini, ternyata adalah
sebuah lembah, yaitu lembah dari pegunungan Kie ling
yang berdekatan dengan perkampungan Kui-in chung.
Pada tiga tahun berselang. ketika Cie Gak terjun dari atas
puncak gunung Kie-ling, secara kebetulan sekali jatuhnya
ke dalam lembah ini, sehingga kemudian dapat ditolong
oleh ayahnya Bee Tie, Bee Cin Cee. Rupanya memang
belum sampai waktunya Cie Gak harus binasa. Kecuali
kedua kakinya yang hilang karena terbentur sebuah batu

cadas yang tajam, bagian lain ditubuhnya sama sekali tidak
terganggu, maka itulah sampai sekarang ia masih hidup.
Dengan bantuannya Bee Cin Cee, akhirnya kakinya dapat
disembuhkan dari luka-lukanya, dan orangnya juga tidak
sampai binasa. Sejak dari waktu itulah terus menetap
didalam lembah itu, kemudian menjadi temannya Bee Cin
Cee yang sudah lama tidak bertemu dengan manusia
sesamanya.
Sampai pada hari itu, telah dua belas tahun lamanya Bee
Cin Cee tinggal didalam lembah atau Sumur itu, adapun
selama itu hidupnya bergantung dari nasib isterinya.
Selama sang isteri masih hidup dan masih tinggal di Kuiin-
chung, ia juga akan terus hidup, ia juga terus
mendapatkan makanannya dari isterinya itu yang selalu
saja melemparkan apa-apa kebutuhannya ke dalam sumur
kematian itu. Dendaman sakit hati selama dua belas tahun
itu, tidak bisa ia lupakan barang sesaat. Ia terus
memperdalam ilmunya memperbanyak latihannya. Setelah
Cie Gak masuk juga kesitu, sebagai temannya, juga mereka
akhirnya berhasil menciptakan suatu ilmu baru, ilmu
“Sumur kematian”.
Demikianlah, sejak saat itu Bee Tie terus tinggal bersama
mereka didalam Sumur Kematian atau didalam lembah dan
disitu pulalah ia mendapatkan pelajaran ilmu kepandaian
ciptaan penghuni Sumur Kematian tersebut.
Lewat lagi dua bulan kemudian. Bee Tie sudah dapat
memahami seluruh pelajarannya berikut prakteknya sekali.
Disamping itu, ia juga mendapat pelajaran ilmu pengobatan
dan ilmu menabuh alat-alat musik dan yang paling
terutama adalah ilmu meniup seruling. Semuanya itu
didapatkan dari ayahnya, juga dari Cie Gak.

Selama dua bulan itu, Bee Tie yang memperhatikan
benar-benar bagaimana cara ayahnya bersama-sama dengan
Cie Gak berjalan dengan menggunakan tangan mereka
sebagai kaki baru, perasaan herannya bukan main. Sungguh
suatu permainan akrobat yang menarik sekali. Walaupun
mereka ke dua-duanya sama sekali tidak mempunyai kaki
lagi, tetapi asalkan mereka mau saja, tidak sukar rasanya
untuk keluar dari dalam Sumur Kematian. Tidaklah sukar
rasanya pekerjaan itu baginya, melihat kepandaian yang
mereka berdua miliki. Tetapi herannya, mengapa mereka
agaknya senang tinggal terus didalamnya? Mengapa
agaknya mereka itu mau menjadi penghuni tetap dari
sumur kematian?
Pada suatu hari, sewaktu Bee Tie sedang berada berdua
saja dengan Cie Gak, ketua Hoa-san-pay ia
bermaksudahendak mendapatkan keterangan lebih jelas
dari padanya tentang apa yang selalu dipikirkannya maka
itu ia bertanya.
“Cie Siokhu bersama ayah rasanya tidak sukar mau
keluar dari dalam sumur celaka ini. Kenapa Cie Siokhu
tidak mau coba-coba saja? Kenapa ayah juga tidak mau
keluar dari sini?"
Cie Gak, ketika mendengar pertanyaan Bee Tie begitu,
wajahnya berubah seketika. Dengan suara keren ia berkata.
“Sekali-kali jangan kau ulangi lagi pertanyaanmu ini di
hadapan ayahmu maupun di hadapanku, kalau ayahmu
mendengar ini, ia pasti akan marah lagi padamu."
Bee Tie merasa heran. ”Kenapa demikian?" segera ia
bertanya.
“Apa kau mau kami pertotonkan cara jalan kami di
depan orang banyak?"

“Apa Siokhu sudah bosan dengan keramaian dunia?"
demikian Bee Tie bertanya lagi. Agaknya ia masih belum
dapat menangkap apa maksud arti kata-katanya Cie Gak
tadi.
Mendengar orang bertanya yang bukan-bukan, Cie Gak
merasa agak marah. maka ia lalu membentak dengan suara
keras.
“Jangan banyak tanya! Kau baik-baik belajar dulu
semua pelajaranmu. Jangan kau omong-omong soal itu lagi
dengan aku."
Mengetahui orang sudah marah, Bee Tie menjadi agak
keder juga. Tetapi ketika ia ingat lagi Cie Gak dulu pernah
menceritakan padanya tentang perjanjian hendak mengadu
kepandaian di puncak gunung Hoa-san antara ayahnya
dengan Lee Thian Kauw, maka ia merasa semakin tidak
mengerti. Itu pulalah sebabnya mengapa ia terus bertanya,
bertanya lagi.
“Siokhu, katanya ayah dan Lee Thian Kauw berdua
pernah mengaadakan perjanjian bersama hendak
melakukan pertandingan diatas gunung Hoa-san, Apa
waktu itu ayah juga tidak mau keluar dari dalam Sumur
ini?"
Cie Gak agak bercekat hatinya. Dengan perasaan agak
ragu-ragu ia menjawab.
“Nanti, satu tahun kemudian, aku tidak tahu bagaimana
perkembangannya lagi. Pada waktu itulah kau boleh pergi
menanyakan sendiri soal itu padanya.”
Bee Tie masih tidak mengerti. Segala persoalan agaknya
akan tetap menjadi teka-teki baginya. Ia lalu memutuskan
untuk menanti, setahun kemudian, akan menanyakan
sendiri hal itu lagi kepada ayahnya Bee Cin Cee, sang ayah,

kecuali memberikan pelajaran macam-macam ilmu
kepandaian kepada anaknya. Waktu senggangnya tidak
pernah digunakan untuk bercakap-cakap dengan anaknya,
ia hanya melewatkan waktunya itu untuk duduk bersemedi.
Pernah beberapa kali Bee Tie hendak membuka mulut
menanyakan hal itu, tetapi akhirnya selalu saja mesti batal,
karena melihat begitu berwibawanya sang ayah. Suatu
malam, sebagaimana biasanya, Bee Tie keluar dari dalam
Sumur Kematian untuk mencari bahan makanan dan
keperluan mereka lain-lainnya. Kala itu, bulan dan bintangbintang
tampak memancarkan sinarnya yang kemilau, putih
memerak, menghias angkasa lepas. Keluar dari mulut
Sumur Kematian, Bee Tie terus berjalan meninggalkan
perkampungan Kui-in-chung dan langsng menuju ke dalam
kota Lok-yang, kota yang tidak memberi kesan baik
terhadapnya.
Ia berjalan sambil tundukkan kepala. Belum lama ia
berjalan, tiba-tiba jauh di belakangnya terdengar derap kaki
kuda. Ia merasa heran. Ia berkata seorang diri seperti orang
mendumel.
“Jalan ini bukannya jalan raya. Disekelilingnya juga
tidak ada rumah-rumah. Dari mana itu suara derap kaki
kuda? Siapakah gerangan penunggangnya?"
Terdorong oleh rasa ingin tahu, ia segera menyingkir
menyembunjikan diri ketempat yang sukar diketahui orang.
Ia mengintai dengan mata terbuka lebar-lebar.
Tidak antara lama, seekor kuda berlari dengan sangat
cepatnya mendatangi, yang pada perkiraannya akan lewat
agak dekat dengan tempat persembunyiannya.
Kuda itu, tidak begitu asing lagi baginya. Suatu kuda
berbulu merah dengan ekornya yang dua buah adalah kuda

tunggangannya si orang kurus, si “Putih Kurus”, yang tidak
ia sukai kelakuannya.
Melihat orang ini, dalam hati Bee Tie berpikir, “Aku kira
siapa! Tidak tahunya, hmmm! “Setan Kurus Serakah!"
Tetapi ia merasa heran juga, mengapa orang kurus ini
datang kekota Lok-yang.
Dalam hati lagi-lagi ia berkata-kata seorang diri.
“Sudah begini malam mau kemana dia? Baik aku kuntit
saja padanya. Aku mau lihat apa kerjanya disana.”
Ketika ia memikir sampai disitu, kuda berbulu merah
berekor dua itu sudah lewat didekatnya.
Si “Putih Kurus” duduk diatas kudanya dengan
tingkahnya yang memualkan. Lama sudah Bee Tie
menguntit dari tempat agak kejauhan sambil
memperhatikan terus semua gerak geriknya orang kurus itu,
dan betul saja seperti apa yang ia duga semula, orang
“Putih Kurus” itu terus membedal kudanya masuk ke
dalam kota Lok-yang. Tetapi anehnya, belum masuk dalam
kota Lok-yang, arah kudanya dibelokkan secara tiba-tiba,
terus menuju kesalah sebuah rurnah yang agakya sudah
lama tidak terurus.
Rumah itu sudah tua keadaannya, temboknya agak
tinggi.
Bee Tie merasa lebih heran lagi. Dalam hati ia berpikir.
“Dia mau apa datang kerumah tua itu?"
Tepat pada saat itu, dari dalam kota Lok-yang masuk
mendatangi seorang muda yang juga sedang berlari-larian,
kemudian masuk ke dalam rumah tua itu.
Setelah ditegasi, Bee Tie sudah segera mengenali, bahwa
orang itu adalah salah seorang dari tiga penunggang kuda

yang pernah ia jumpai di tengah jalan belum lama
berselang. Anak muda ini, mengenakan pakaian warna
hitam. Entah kemana perginya dua kawannya yang lain,
yang mengenakan pakaian masing-masing warna kuning
dan merah? Mereka bertiga itu dikenal sebagai tiga orang
Kong-cu, dan yang ini adalah Kim-leng Kong-cu yang
bernama Jie Teng. Dengan tidak merasa ragu-ragu
sedikitpun Kong-cu baju hitam ini terus melangkah masuk
ke dalam rumah tua yang sebelumnya sudah masuk lebih
dulu si orang kurus, Si “Putih Kurus”.
Kini agaknya Bee Tie sudah mengerti sebagian.
Rupanya si Kong-cu baju hitam ini telah berjanji dengan
si orang kurus untuk mereka malam itu bertemu didalam
rumah tua yang kurang rawatannya itu.
Tetapi entah mereka akan merundingkan soal apa
ditempat demikian jeleknya itu?
Karena merasa sangat ingin sekali Bee Tie mengetahui
apa yang akan mereka bicarakan, maka dengan cepat
menyusul mereka, terus kedepan pekarangan rumah itu.
Dari jauh ia sudah dapat mendengar suarannya si orang
kurus yang berkata, agaknya sedang berkata dengan si
Kong-cu baju hitam itu. Suaranya walaupun sangat
perlahan, tetapi masih cukup terang untuk dapat masuk
dalam telinganya Bee Tie yang sudah terlatih baik.
“Kau tahukah bahwa ilmu “Hawa murni dari dasar
dunia” ini telah memakan waktu setengah abad lamanya
baru bisa aku yakini betul-betul? Kalau tinggal mempelajari
saja ilmu yang sudah ada, tentu tidak sampai begitu lama
aku sudah paham betul. Tapi, kala itu aku sendirilah yang
menciptakannya. Waktu sebegitu rasanya sudah cukup
membuat aku bangga bisa berhasil gemilang. Kalau kau

bisa meyakini ilmuku ini, sebagian saja, pasti semua Kongcu
tidak akan yang bisa merebut kemenangan dari kau."
Bicara sampai disitu, ia lalu tertawa bangga.
Tidak lama kemudian, terdengarlah suaranya orang lain,
yang tentu tidak lain tidak bukan dari suaranya si Kong-cu
baju hitam itu sendiri, yang berkata, “Kalau betul aku bisa
menangkan mereka dalam pertandingan pedang di Tong-tusan-
chung nanti, tentu itu semua adalah atas jasanya
Cianpwee seorang. Aku akan sangat berterima kasih sekali
pada Cianpwee."
Bee Tie yang mendengarkan semua percakapan mereka,
merasa heran sekali, ia sampai merandek dan lalu
memasang telinganya baik-baik. Dalam hati ia berpikir.
“Kenapa Kong-cu baju hitam itu juga kenal padanya?
Ah! Celaka!"
Ia tidak berani datang terlalu dekat. Sambil sembunyikan
diri ia hendak mencuri dengar pembicaraan mereka
selanjutnya.
Tidak antara lama, kedengaran lagi suaranya si orang
kurus yang berkata: “Biarpun baru dua bulan, tetapi berkat
ketekunan dan kesungguhan, sekarang ini kau sudah
memiliki dari separuhnya ilmu kepandaianku. Kalau cuma
untuk mengalahkan semua Kong-cu-Kong-cu itu, rasanya
tidak sampai perlu menggunakan tenaga terlalu banyak.
Pasti kau akan dapatkan kemenangan gemilang! ... Nanti,
kalau kau sudah dapatkan kitab pelajaran “Sari permainan
ilmu Pedang itu, jikalau waktu itu kau masih ingat sedikit
budiku itu, cukup kau pinjamkan padaku untuk sementara
waktu, untuk aku lihat-lihat."
Bee Tie yang mendengarnya, dalam hati memaki-maki
tidak habis-habisnya.

"Dasar “Setan Kurus”! Setan temaha! Orang rakus!
Serakah! “Pinjam”, dalam istilahmu itu sama saja artinya
dengan “Minta”. Memang! Orang serakah, tetap serakah!"
Karena kedua orang itu bicara sambil berjalan, jarak
antara mereka dengan Bee Tie makin lama menjadi makin
dekat. Untunglah masih ada dinding sebagai penghalang,
sehingga tidaklah Bee Tie merasa kuatir untuk terus
mendengarkan. Dari sedikit lobang didinding tua itu, Bee
Tie mengintai ke dalam.
DI seberang sana si orang kururs sedang manyandarkan
badannya di dinding. Kong-cu baju hitam itu sendiri, saat
itu sedang membetulkan ikat pinggangnya, agaknya ia akan
segera mulai dengan latihannya. Wajahnya si orang kurus
yang tadinya pucat seperti kertas, kini menunjukkan roman
berseri-seri.
Tetapi dengan cepat wajahnya berubah pula. Sambil
kerutkan alis ia menanya;
“Jie Teng, aku mau tanya kau. Apa kau tahu beberapa
hari belakangan ini didalam kota Lok-yang berkali-kali
terjadi peristiwa berdarah. Dan lagi yang mati mesti selalu
adalah Kong-cu-Kong-cu yang berniat hendak turut dalam
pertandingan adu pedang di Tong-tu-san-chung nanti itu?
Kong-cu dari Kam-lam, Oh Kong-cu Jie-gie-kiam dan
Kong-cu dari Coan tiong Liok, Kong-cu Sam-cay-kiam, dan
beberapa orang Kong-cu lain berturut-turut kedapatan mati
di dalam kota Lok-yang. Mereka terkena serangan ilmu
tenaga dalam yang sudah sangat sempurna. Sekarang ini,
dalam kota Lok-yang macam-macam cerita burung telah
membuat semua Kong-cu lainnya merasa kebat kebit
hatinya, mereka ketakutan setengah mati ... Aku juga
merasa kuatir atas keselamatan dirimu.”

Bee Tie yang terus mencuri dengar pembicaraan mereka,
mendengar itu menjadi kaget bukan main. Dalam hati ia
berkata.
“Apa betul ada kejadian serupa itu di dalam kota Lokyang
ini? Orang yang menyingkirkan jiwanya semua Kongcu
yang hendak turut dalam pertandingan adu pedang di
Tong-tu-san-chung itu, tentunya punya maksud tidak baik,
Tapi apa gunanya orang itu berbuat begitu? Sungguh kejam
perbuatannya!"
Setelah si Kong-cu baju hitam Jie Teng selesai dengan
pekerjaannya, ia lalu bicara lagi dengan si orang kurus,
katanya.
“Locianpwee, legakanlah hatimu. Aku di Kim-leng
sudah cukup mendapatkan nama. Meski betul orang itu
benar-benar bisa membunuh Kam-lam, Coang Tiong dan
lain-lain Kong-cu tapi belum tentu dia bisa membunuh mati
Kim-leng Kong-cu."
Si orang kurus menggeleng-gelengkan kepalanya, ia
berkata pula.
“Bukannya aku tidak percayakan kepandaianmu,
tentunya kau juga tahu, lebih baik kalau kau berlaku lebih
hati-hati dan lebih baik-baik jaga dirimu. Apa kau tidak
bersedia ikut aku terus? Disampingmu ada aku, kau tidak
usah kuatirkan apa-apa lagi. Kau percayalah aku."
Kim-leng Kong-cu Jie Teng, si baju-hitam yang
mendengar itu, merasa terkejut. Setelah berpikir sejurus ia
tiba-tiba bertanya.
“Dimanakah Locianpwee tinggal? Kalau aku ikut
Locianpwee, apa nanti aku tidak akan ketinggalan dalam
pertandingan adu pedang yang waktunya sudah dekat
sampai itu?"

Si orang kurus tertawa berkakakan. Setelah puas ketawa,
ia lalu berkata lagi.
“Jangan kuatir, jangan kuatir. Rumahku tidak jauh dari
sini. Kau tidak perlu begitu kuatir! Tidak sampai waktunya
kita nanti tentu sudah berada di Tong-tu-san-chung. Kau
percayalah ucapanku."
Kim-leng Kong-cu Jie Teng bungkem. Terpaksa ia harus
melulusi permintaan orang.
Demikianlah, pembicaraan mereka berdua berakhir
sampai disini, si Kong-cu baju hitam sudah menyediakan
diri untuk dirinya dilindungi orang kurus itu.
Ia mulai mengangkat pedangnya, mulai dengan
latihannya. Sinar pedangnya berkeredepan menyilaukan
mata. Ia memainkan jurus-jurus pertama dalam ilmunya
“Hawa murni dari dasar dunia.”, apa yang ia dapat
pelajarkan dari orang kurus, si “Putih Kurus”.
Dalam jurus-jurus pertamanya ini saja, tubuhnya Jie
Teng sudah seolah-olah seperti terkurung dalam sinarnya
pedang. Daya pertahanannya demikian kuat mungkin sukar
untuk lawan memecahkan benteng pertahanannya itu.
Bee Tie diluar terus memperhatikan dengan seksama,
dalam hati diam-diam ia memberi pujiannnya, “Sungguh
suatu permainan ilmu pedang yang sangat bagus."
Sedang asyiknya Bee Tie memperhatikan serangan
maupan cara-cara mempertahankan diri; yang tergabung
dalam ilmu permainan pedangnya Kimleng Kongchu, tibatiba
satu tangan hangat menyekal pergelangan tangannya.
Bukan kepalang terkejutnya ia, hampir saja ia menjerit
kalau saja tidak ada lain kejadian, yaitu datangnya satu
suara halus perlahan yang masuk dalam telinganya. Suara
halus itu mengatakan. “Jangan kaget! Ini aku.”

Bee Tie cepat-cepat menoleh. Dilihatnya disampingnya
sudah berdiri si “Pelajar Pedang Tumpul”, berdiri sambil
tersenyum-senyum. Setelah melepaskan cekalannya, ia lalu
berkata.
“Kami ingatkan baik-baik! Dengan kecerdasanmu kau
ingatlah setiap gerakannya. Kau ikutilah terus latihannya.
Ilmu itu akan banyak sekali faedahnya bagimu dikemudian
hari."
Bee Tie hanya menganggukkan kepalanya saja.
Mulutnya didekatkan ketelinga orang dengan suara berbisik
ia menanya: “Paman, kenapa kau datang kemari juga? Apa
maksudmu datang kemari?"
Si “Pelajar Pedang Tumpul” memandang Bee Tie sejurus
lamanya, kemudian sambil goyang-goyangkan tangannya ia
berkata; suaranya juga perlahan sekali: “Jangan banyak
tanya! Lekas kau ikuti terus permainan ilmu pedangnya
Kong-cu itu."
Bee Tie tidak berani membantah. Cepat-cepat ia
mengintai lagi kesebelah dalam, memperhatikan secara
sungguh-sungguh setiap gerakan pedang dari pelajaran
Hawa murni dari dasar dunia yang sedang dimainkan oleh
Kong-cu dari Kim-leng itu.
Bee Tie yang mendapat banyak petunjuk-petunjuk dari
ayahnya maupun dari Cie Gak, yang kedua-duanya sudah
mempunyai pengalaman dan pandangan yang luas, pernah
juga mendengar ceritanya mereka tentang, “Hawa murni
dari dasarnya dunia” itu, maka baru saja Jie Teng melatih
lagi untuk ketiga kalinya, Bee Tie sudah memahami semua.
Ia lalu berbisik di telingannya si “Pelajar Pedang Tumpul”,
ia berkata: “Aku sudah memahami semua. Mari kita pergi."

Siapa sangka, si Pelajar pedang tumpul yang turut
mengintai tadi, kini sedang berdiri menjublek. Atas
pertanyaan orang ia hanya diam saja, tidak menjawab.
Bee Tie yang melihat sikapnya, merasa heran, lalu ia
melongok lagi ke dalam, tetapi disana tidak ada apanya
yang lebih istimewa, juga tidak ada yang aneh.
Baru saja ia mau menarik diri, tiba-tiba si “Pelajar
Pedang Tumpul” berkata padanya.
“Lihatlah ditembok di depan kita itu. Hmmm! Orang
mana yang nyalinya begitu besar? Berani juga dia mengintai
Si Setan Kurus?"
Bee Tie mengikuti arah pandangnya si “Pelajar Pedang
Tumpul”.
Disebelah depan diatas dinding tua, ada bayangan
manusia yang sedang berdiri.
Kiranya, di belakang tembok sebelah muka, juga ada
orang yang sedang mencuri lihat permainan pedang si
Kong-cu dari Kim-leng itu.
Bee Tie tergerak hatinya. Dengan suara perlahan ia
berkata pada sahabatuya, si orang tua.
“Paman, siapa orang di depan itu? Apa mungkin dia
pembunuhnya Kong-cu-Kong-cu itu? Katanya didalam kota
Lok-Yang sering terjadi peristiwa berdarah. Apakah dia ... ”
“Ya, Mungkin memang dia orangnya. Sejak tadi aku
telah menguntit padanya sampai kemari. Kalau betul dia
yang membunuhnnya, kita harus berusaha untuk
menyingkirkannya dari dalam dunia ini supaya jangan
sampai orang yang tidak bersalah menjadi korbannya lagi.”

Si “Pelajar Pedang Tumpul” lalu mengambil sebuah batu
kecil dari dalam pekarangan rumah tua itu lalu berkata pada
Bee Tie.
“Bersiap-siaplah! Kita akan segera meninggalkan tempat
ini."
Lalu dengan mengerahkan seluruh kekuatan Tenaga
dalamnya si “Pelajar Pedang Tumpul” melemparkan batu
dalam genggamannya ketembok seberang.
Suara benda beradu keras lalu terdengar amat nyaring.
Si “Putih Kurus” yang memang cerdik luar biasa
mengetahui bahwa diluar ada orang berkepandaian tinggi
yang mencuri lihat permainan ilmu pedangnya, maka
dengan sekali gerakkan pundaknya, tahu-tahu orangnya
sudah melesat kemuka, lalu menyerang ke tempat didinding
bekas terkena lemparan batu dari Si “Pelajar Pedang
Tumpul”.
-oo0dw0oo-
Jilid 05
Suatu bayangan hitam yang melihat mula-mula ada batu
menyambar ke arahnya, lalu kemudian melihat lagi
gerakannya si “Putih Kurus”, segera melesat tinggi untuk
menghindarkan serangan tangannya si “Putih Kurus” yang
datangnya amat cepat.
Si “Pelajar Pedang Tumpul” yang menyaksikan kejadian
tersebut terkejut juga dibuatnya. Begitu gesit gerakan
bayangan hitam itu, sebentar kemudian agaknya si “Putih
Kurus” akan sudah tertinggal jauh. Maka sambil menarik
lengan bajunya Bee Tie, berkata, “Kepandaiannya orang itu
tidak berada disebelah bawahnya Si Setan Kurus. Lekas

lari!” Dengan mendahului Bee Tie ia sudah meninggalkan
tempat persembunyian mereka ditembok dinding gedung
tua tersebut.
Bayangan hitam tersebut mengetahui bahwa tempat
persembunyiannya sudah diketahui orang, dengan lantas
badannya sudah melesat tinggi keatas, mulut juga tidak
berhenti-hentinya berteriak matanya terus ditujukan ke arah
tempat persembunyiannya si “Pelajar Pedang Tumpul” dan
Bee Tie.
“Loji! Kenapa tidak cepat-cepat kerja? Kalau tidak
malam ini, mau tunggu kapan lagi?”
Si “Putih Kurus” yang sedang lari mengejar bayangan
hitam tadi, mendengar teriakannya, menghentikan
langkahnya mengejar, lalu dengan cepat membalikkan
badan dan segera kembali ke dalam rumah tua dimana Jie
Teng ditinggal seorang diri, karena ia sangat kuatirkan
keselamatan Kong-cu tersebut tidak dapat dijamin.
“Celaka! Aku kena tipu mereka, Jie Teng sendiri mana
mampu melawan mereka?"
Sesampainya didalam, langsung ia mencari Kimleng
Kong-cu dan setelah dilihatnya, segera juga ia
menghampirinya, yang ternyata masih tetap berdiri
menjublek ditempatnya tadi. Setelah diperhatikan lebih
seksama, juga tidak ada apa-apa yang mencurigakan, maka
ia hanya dapat berdiri termangu-mangu ditempatnya,
wajahnya merah padam, matanya terus menatap wajahnya
si Kong-cu hitam itu. Setelah menghela nafas panjang,
akhirnya ia berkata, seolah-olah mengatakan pada-diri
sendiri.
“Bajingan! Sungguh bajingan ulung kau! Hmmm! Aku
betul-betul sekarang kena tipumu. Kau akali aku mentahmentah
tunggulah pembalasanku!"

Saat itu, Bee Tie dan si Pelajar pedang tumpul yang
sudah jauh meninggalkan gedung tua itu, Terus lari,
gerakannya dipercepat. Setelah lari lagi sekian lama dan
yakin tidak ada orang yang mengejar barulah mereka berani
memperlambat gerakan mereka.
Tidak jauh didepan mereka, ada sebuah benteng kota, itu
adalah tembok kota Lok-yang yang dengan sangat
megahnya. Ternyata mereka tadi telah lari memutari kota
Lok-yang, tadi disebelah belakang, sekarang sampai
kesebelah depannya.
Mereka lalu baristirahat sebentar di bawah sebuah pohon
besar tidak jauh dari tembok kota tersebut.
Tidak lama mereka berhenti, tiba-tiba terlihat tembok
kota tersebut melayang turun sesosok bayangan mauusia
yang berperawakan tinggi besar, tidak antara lama ada lagi
empat orang lain mengikuti di belakangnya, agaknya
mereka itu sedang mengejar orang di depannya itu.
Si “Pelajar Pedang Tumpul” terkejut. Dengan suara
perlahan ia berkata.
“Kejadian-kejadian semalaman ini memang aneh! Kau
tunggu aku sebentar disini, aku mau melihat apa yang akan
mereka kerjakan."
Dalam tempo sekejapan saja si “Pelajar Pedang Tumpul”
sudah menghilang dari depan matanya.
Bee Tie yang ditinggalkan seorang diri lama kelamaan
akhirnya merasa kesal juga, ia merasa kesepian.
Dengan tidak terasa ia menghela nafas panjang, lalu
secara iseng-iseng ia berjalan-jalan di sekitar tempat itu.
Belum lama ia berjalan, tiba-tiba dari sebelah depannya
terdengar suara orang bicara.

“Bocah, kau Kong-cu dari mana? Siapa itu orang yang
barusan sama-sama jalan dengan kau?”
Lalu dari tempat yang ditumbuhi alang-alang tinggi,
seorang berpengawakan tinggi besar yang mukanya ditutupi
kerudung kain hitam. Dengan langkah perlahan-lahan ia
bertindak mendekati. Bee Tie yang tajam ingatannya,
mengetahui pasti lagu-lagu dan suaranya, bahwa orang
itulah yang mencuri lihat permainan pedangnya Kim-leng
Kong-cu didalam gedung tua dipinggiran kota Lok-yang
sebelah belakang. Dia juga telah menduga orang inilah
pembunuhnya para Kong-cu yang ingin turut mengikuti
pertandingan adu pedang Tong-tu-san-chung nanti.
Orang sekejam itu, dimatanya sama sekali tidak
dipandangnya. Maka dengan suara dingin angkuh ia
menanya.
“Hai! kau siapa? Dengan hak apa kau mau tahu segala
urusan orang?"
Orang berkerudung hitam itu ketawa dingin. Lalu ia
menghunus pedangnya dan menyerang mengarah mukanya
Bee Tie.
Tangannya bergerak, mulutnya tidak mau tinggal diam,
Ia berseru keras.
“Apa kau juga salah satu Kong-cu yang mau ikut dalam
pertandingan adu pedang di Tong-tu-san-chung nanti?
Lekas jawab!"
Bee Tie melesat tinggi menghindarkan serangan hebat
tersebut. Ditengah udara badannya di lekuk membentuk
setengah lingkaran dan terus menukik turun ke tanah
kembali. Dari atas ia balas menyerang dengan tipu-serangan
yang tidak kalah hebatunya.

“Hmmm! Kepandaianmu boleh juga. Lebih tinggi
sedikit dari kepandian Kang-lam dan Coan tiong Kong-cu.
Kau lebih-lebih tidak boleh dikasih hidup terus dalam dunia
ini. Sambutilah!"
Selama orang berkerudung hitam itu bercakap-cakap,
tangannya tidak tinggal diam, terus dikerjakan menyerang
bertubi-tubi ke arahnya Bee Tie.
Bee Tie itu kecil orangnya, tetapi nyalinya sangat besar.
Mendapat serangan hebat, lagi-lagi ia melesat tinggi keatas.
Ketika badannya melayang turun lagi kebawah, tangannya
menuruti arah pedang lawan, menotok jalan darah
dipundaknya orang itu.
Orang berkerudung itu sama sekali tidak pernah
menyangka serangannya Bee Tie yang masih muda itu bisa
berubah-ubah demikian cepatnya, belum sempat ia menarik
kembali pedangnya, tahu-tahu pundak kanannya dirasakan
kesemutan. Masih untung ia sudah bergerak cepat. Kalau
tidak, tidak ampun lagi ia akan jatuh rubuh tertotok. Ia
hanya merasakan sakit sedikit, tempat yang kena serangan
totokannya anak muda itu ternyata agak meleset sedikit dari
yang dituju olehnya, sehingga tidak sampai membahajakan
apa-apa.
“Jahanam! Kalau begitu, betul-betul Kam-lam dan Coan
tiong Kong-cu berdua kau yang bunuh! Lihat seranganku!"
Tetapi, belum lagi sempat serangannya dikeluarkan,
orang berkerudung hitam itu sudah mendahului menyerang
lagi dengan pedangnya. Sudah begitu, belum puas rasanya
kalah hanya menggunakan pedangnya saja, tangan kirinya
juga lantas dikasih beraksi, dari situ lantas keluar sambaran
angin yang luar biasa hebatuya.
Bee Tie yang insyaf bahaya sudah mengancam dirinya
cepat-cepat menyingkirkan diri jauh-jauh dari lawannya.

Tetapi, orang berkerudung hitam Itu agaknya tidak mau
melepaskan dirinya lagi, seperti bayangan saja terus
mengikuti di belakangnya dan lagi-lagi sudah mengirim
serangan-serangan yang mematikan.
Mendapat desakan rapat demikian rupa, Bee Tie lalu
ambil keputusan hendak berlaku nekad.
Ia lalu mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya
yang baru saja selesai dilatih didalam Sumur Kematian
untuk menyambuti serangan sang lawan yang hebat.
Dua kekuatan tenaga dalam yang amat dasyat lantas
beradu. Orang berkerudung hitam itu ternyata tidak kuat
menahan serangannya si pemuda yang dahsyat, tubuhnya
terpental kebelakang beberapa tombak, setelah badannya
sempoyongan beberapa saat baru dapat berdiri tegak lagi.
Bee Tie sendiri, juga sudah terkena gores pedangnya
musuh yang tangguh itu. Darah mengalir keluar dari lukalukanya
yang tidak boleh dikatakan ringan.
Saat itu orang berkerudung hitam itu menatap wajahnya
si pemuda. Tidak lama kemudian ia sudah dapat mengatur
kembali jalan pernafasan seperti sediakala.
Lalu dengan wajah beringas ia menanya.
“Bocah! Dari mana kau dapatkan kepandaianmu?!”
Pedangnya kembali diluruskan, bersiap-siap menyerang
musuh mudanya lagi.
Bertepatan pada saat itu, satu gumpalan hitam dengan
gerakannya yang cepat datang menghampiri mereka.
Ternyata itu adalah bayangannya si “Pelajar Pedang
Tumpul” yang tengah mendatangi dengan cepatnya.
Gerakan orang berkerudung itu ternyata gesit sekali.
Begitu melihat datangnya kawan lihay lawannya dengan

sekali goyangkan pundak, cepat-cepat ia sudah kabur dari
situ.
Sesampainya si “Pelajar Pedang Tumpul” dihadapannya
Bee Tie, segera ia berkata:
“Kau boleh kembali dulu. Aku belum berhasil usahaku.
Aku akan menyelidiki sampai jelas sekali.”
Setelah berkata demikian, segera juga ia putar tubuhnya,
meninggalkan Bee Tie lagi seorang diri. Ia sekarang hendak
mengejar orang berkerudung hitam yang kabur tadi. Bee Tie
mengawasi berlalunya si “Pelajar Pedang Tumpul” sampai
tidak dapat dilihatnya lagi, lalu setelah menjublek sekian
lama, baru ia ingat lagi luka-luka dibadannya sendiri.
Dengan cepat ia lalu merobek sedikit lengan bajunya untuk
membebat luka dilengannya yang masih mengeluarkan
darah.
Ia dongakkan kepalanya melihat waktu hampir jam tiga
menjelang pagi. Pada waktu demikian itu, dimana ia bisa
mendapatkan barang makanan? Maka apa boleh buat ia
lantas kembali lagi kedalam perkampungan Kui-in-chung,
terus menuju ke daerah terlarang dan lalu masuk kedalam
Sumur Kematian. Ia segera mendapatkan ayahnya Bee Cin
Cee dan ketua Hoa-san-pay Cie Gak berdua yang telah
menunggu-nunggunya sekian lama dengan perasaan kuatir.
Mereka terkejut sekali melihat Bee Tie datang dengan
membawa luka ditangan. Mereka hendak menanya, tetapi
sudah didahului anak muda itu, yang melihat perubahan
muka mereka, lantas mengetahui rasa kekuatiran mereka
berdua. Ia segera menceritakan semua kejadian yang
barusan ia alami. Bagaimana ia sudah mencuri lihat ilmu
kepandaian si “Putih Kurus” dan bagaimana pula ketika ia
mendengar kabar tentang kematiannya banyak Kong-cu
didalam kota Lok-yang dan bagaimana akhirnya mendapat
luka dilengannya itu.

Cie Gak memasang telinga baik-baik mendengarkan
semua penuturan si anak muda, hatinya tertarik setelah
mendengar habis, ia lalu ketawa bergelak kemudian
berkata.
“Bee Tie, tindakan yang kau ambil itu sama sekali tidak
salah, Tetapi kau jangan sampai sekali-kali menelad
perbuatan dan tingkah lakunya si Putih itu, si orang paling
serakah!”
Bee Cin Cee yang dapat melihat perubah wajahnya Cie
Gak yang agaknya seperti hendak terjun lagi dalam dunia
rimba persilatan, lantas tertawa hambar dan berkata.
“Saudara Cie, apa kau sudah lupa janji kita dulu?”
Mendengar kata-kata itu. Cie Gak merasa seolah-olah
disambar geledek, seketika itu menjadi lesu wajahnya.
Bee Tie yang menyaksikan perubahan wajah Cie Gak
dan tingkah laku kedua orang tua itu, ia merasa heran di
hati, maka itu ia lantas menanya, “Ayah, sebetulnya ayah
dan paman Cie pernah berjanji apa? Bolehkah anak tahu
sedikit?”
Bee Cin Cee, sang ayah. coba ketawa dan menjawab:
“Ini bukan urusanmu. Anak kecil tidak usah banyak
tanya.”
Bee Tie yang tahu ayahnya tidak marah, timbul
keberaniannya. Ia lalu menanya lagi:
“Kenapa ayah mau tetap tinggal dalam sumur ini?
Ayah, anak pikir didalam Sumur Kematian ini tidak ada
apa-apanya yang harus diberati. Sebenarnya ayah masih
menunggu apa lagi?”
Mendengar pertanyaan anaknya, seketika itu berubah
wajahnya sang ayah.

Cie Gak yang sudah mengetahui benar tabiatnya orang
tua senasibnya itu, tahu juga bahwa sang kawan itu sedang
marah, maka cepat-cepat ia mendahului berkata:
“A Tie, kau jangan bertanya-tanya lagi soal itu.”
Bee Tie yang keras kepala, bukannya lantas diam
mendengar kata-kata orang, malah sudah berkata pula:
“Aku harus tanyakan ini pada ayah. Aku wajib bertanya
pada ayahku sendiri. Kenapa tidak boleh?”
Karena sangat terharunya, hampir-hampir saja ia
mengucurkan air mata lagi.
Sambil mengeluarkan sepatu peninggalan ibunya, ia
berkata lagi: “Ayah dan paman tidak tahu kesengsaraan
hidupku. “Ibu cuma bisa meninggalkan sepatu kecil tidak
sempat mengatakan apa-apa lagi ketika meninggalkan aku.
Sekarang, setelah dengan susah payah aku berhasil juga
dapatkan ayah disini, apa aku harus biarkan terus ayah
terkurung dalam sumur yang tidak ada penyinarannya ini?
Apa aku bisa melihat ayah hidup tersiksa ditempat ini? Apa
aku ...?”
Sampai disini, air matanya deras tak tertahan sudah
mengalir keluar bagai hujan gerimis. Dengan air mata
berlinang-linang ia mengawasi wajah ayahnya.
Bee Cin Cee yang tadi marah sekali, perlahan-lahan
mulai hilang rasa amarahnya, setelah tenang benar-benar ia
lalu menarik lengan sang anak dan memeluknya erat-erat.
Bee Tie merasakan badan ayahnya gemetaran, ia tahu
tentu ada apa-apanya yang tidak wajar, tetapi ia
membiarkan saja dirinya terus dipeluk demikian oleh
ayahnya.
Akhirnya Bee Cin Cee juga yang lebih dulu membuka
percakapan, katanya:

“Ya betul, Aku memang tidak boleh salahkan kau anak.
Tapi kau juga hendaknya jangan terlalu salahkan ibumu.
Belum tentu ibumu itu mempunyai kesulitan sendiri, seperti
juga halnya aku juga ada kesukaranku sendiri. Sekarang,
kau selesaikan pelajaranmu yang kami berikan, setelah kau
sempurnakan kepandaianmu, ayah juga tentunya akan
menceritakan lagi, apa saja yang kau ingin tahu. Anak, apa
kau setuju usul ayahmu ini?”
Tanpa dipikir lagi Bee Tie sudah berkata lagi, ”Apa sih
sebetulnya kesulitan ayah itu? Bolehkah ayah beritahukan
pada anak? ... Anak juga tahu, ayah pernah berjanji hendak
mengadakan pertandingan ilmu kepandaian dengan Lee
Thian kauw di gunung Hoasan. Apa perjanjian itu mau
ayah pungkiri? Apa ayah tidak mau keluar juga waktu itu
dari sini?”
Bee Cin Cee sama sekali tidak pernah menduga kalau
anaknya tahu semua urusannya, bahkan begitu jelas,
mukanya mendadak menjadi tegang lagi. Tetapi hanya
sebentaran saja terlintas perubahan itu, tidak lama
kemudian sudah pulih kembali seperti biasa. Ia lalu
menghela napas panjang. Ketika Cie Gak lagi-lagi melihat
perubahan wajah kawannya, ia terkejut juga, maka cepatcepat
ia menanya, “Saudara Bee, kau sedang pikirkan apa?”
Setelah itu, ia lalu menoleh mengawasi si anak muda Bee
Tie, kemudian katanya: “Bee Tie. kau kemarilah.”
Bee Tie jalan menghampiri ketua Hoa-san-pay generasi
kedua puluh lima Cie Gak. saat itu terdengar lagi suaranya
Cie Gak berkata: “Aku mau tanya kau, apa Kiauw Supek
tidak pernah mengatakan apa-apa kepadamu?”
“Kiauw Supek? Siapa itu Kiauw Supek?”
“Ya. Kiauw Supek itu, adalah itu kakek pendek yang
telah menyuruh kau datang kemari.”

Sekarang Bee Tie agaknya sudah mulai mengerti apa
yang sedang dipikir oleh orang tua itu, tentu penukaran
jabatan ketua Hoa-san-pay itu yang akan dirundingkan,
maka dengan angguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Ya,
pernah. Kiauw Supek memang pernah mengatakan soal
penyerahan ketua Hoa-san-pay kepadaku. Ia memilih aku
menjalankan tugas berat itu.”
“Ia menyerahkan kepadamu jabatan itu anak?”
demikiann Bee Cin Cee, sang ayah menanya anaknya,
agaknya hendak mendapatkan penegasan.
Cie Gak yang mendengar pertanyaan itu lantas tergelakgelak.
Ia mengawasi Bee Tie, si anak muda, kemudian
berkata lagi padanya.
“Kalau bukan sekarang kau jalankan peradatan
pengangkatan guru dihadapanku, tunggu kapan lagi?”
Bee Tie segera sadar, ia segera jatuhkan diri menjalankan
peradatan dihadapan “guru baru” itu, Cie Gak berkata pula
dengan suara sungguh-sungguh. “Mulai hari ini kau adalah
ketua Hoa-san-pay dua puluh enam secara resmi.”
Bee Cin Cee yang mendengarnya, lantas berseru keraskeras:
“Saudara Cie, kau kandung maksud apa lagi.”
Cie Gak mengawasi Bee Cin Cee sambil bersenyum. Ia
lalu berkata:
“Aku pasti bisa mengatasi semuanya. Saudara Bee,
legakanlah hatimu.
Kemudian, dengan suara keren berkata pada murid
barunya:

“Kau istirahatlah dulu. Segala urusan boleh kita
bicarakan belakangan. Nanti semua kita rundingkan lagi
perlahan perlahan-lahan.”
Mulanya Bee Tie hendak menampik, tetapi akhirnya
setelah berpikir bulak balik, diterima juga tugas beratnya
itu. Ia lalu pamitan dan pergi meninggalkan Cie Gak dan
ayahnya berdua. Malam itu ia tidak dapat tidur pulas. ia
terbangun. Ia terus menerus memikirkan apa yang
menyelubungi diri sang ayah serta gurunya itu, mengapa
mereka tidak mau keluar dari sumur celaka itu.
Sang waktu berlalu dengan amat cepat. Dalam tidurnya,
tiba-tiba, Bee Tie dikejutkan dengan suara seruling ayahnya
yang ditiup dengan nada yang sangat mengenaskan. Cepatcepat
ia lompat bangun lalu dengan berindap-indap ia
menghampiri ayahnya dan segera duduk disampingnya.
Tetapi karena rasa letih yang tak terhingga, sebentar
kemudian ia sudah tertidur lagi, badannya bersandar didada
ayahnya. Tanpa disadari Bee Cin Cee telah mengucurkan
air mata. Dengan wajah berlinang-linang air mata, ia
menatap wajah anaknya. Ia juga tahu mengapa ia tertidur
secepat itu. Demikianlah, Bee Tie yang telah berdiam
didalam sumur Kematian itu selama dua puluh hari, telah
mewarisi seluruh kepandaian ayah serta gurunya, yang
selain menurunkan kepandaian masing-masing, juga
mewariskan kepandaian yang mereka ciptakan sendiri.
Pagi-pagi sekali ketika Bee Tie terbangun dari tidurnya
sudah mendengar suara tertawa ayahnya serta gurunya
yang agaknya sedang bergembira. Begitu Cie Gak
mengetahui Bee Tie berjalan menghampiri mereka, suara
tertawanya menjadi keras. Ia tertawa terbahak-bahak. “A
Tie, kebetulan kau datang. Lekas kau pergi cari dua guci
arak dan makanan yang enak-enak. Hari ini kita akan
mengadakan pesta semeriah-meriahnya.”

Bee Tie menjadi heran, maka ia bertanya.
“Untuk merayakan apa?”
“Tolol tentu saja untuk merajakan hari gemilangmu.
Kau telah berhasil meyakinkan seluruh ilmu kepandaian
dari sumur ciptaan kami sendiri, itu ilmu kepandaian dari
sumur Kematian, apa kau rasa itu tidak seharusnya? ha, ha,
ha.“
Bee Cin Cee juga lantas menyambungi tertawanya Cie
Gak. Tetapi sebentar saja ia sudah berhenti tertawa, lalu
berkata pada anaknya: “Anak, lekaslah! Kau turutlah
perintah gurumu!”
Walaupun dalam hatinya Bee Tie merasa keheranan,
tetapi akhirnya ia pergi juga.
Baru saja ia keluar dari lubang Sumur Kematian, ada
seorang Kong-cu, Kong-cu baju hijau sedang berdiri
menanti didekat mulut Sumur itu. Sambil memegang
tangannya Bee Tie ia berkata.
“Saudara Bee, akhirnya kau keluar juga. Sudah
beberapa kali aku kemari, tidak pernah aku lihat kau
muncul. Untung sekarang kau keluar. Hai! Kenapa kau tak
mau cari aku dirumah saja?”
Bee Tie yang mendengarkan si Kong-cu baju hijau itu,
yang katanya sudah pernah beberapa kali datang
kepinggiran sumur khusus untuk menunggu keluarnya ia
dari dalam, dalam hatinya merasa sangat heran. Kong-cu
itu sebenarnya mempunyai urusan apa yang perlu
disampaikan padanya? Tetapi karena ia sendiri sudah
dibikin pusing oleh kelakuan ayah serta gurunya, yang
dianggapnya tidak wajar, sama sekali ia tidak mau
perdulikan lagi kedatangannya Kong-cu itu. Maka ia segera
bertanya dengan suara yang tawar hambar.

“Apa maksudmu datang kemari?”
Si Kong-cu baju Hijau yang mendapat perlakuan
demikian rupa dari orang yang sudah lama ditunggutunggunya.
dalam hati merasa kurang senang, maka dengan
pandangan mata penuh rasa penyesalan ia berkata.
“Tidak aku sangka kau bisa bersikap begini rupa
didepanku.”
Lalu dengan sekali mengebas tangan, orangnya sudah
berlalu meninggalkan Bee Tie jauh-jauh. Sewaktu dirinya
melayang ditengah udara, ia berkata pula dengan sangat
gemas:
“Sebetulnya salahku sendiri. Punya mata tidak bisa
melihat, sekarang aku salah lihat orang. Mau apa lagi?”
Bee Tie agak merasa menyesal atas perlakuannya
terhadap si Kong-cu, maka ia segera lari menyusul sambil
berteriak:
“Sahabat, jangan terlalu menuruti hawa napsu dulu.
Kau kembalilah. Aku masih ada banyak kata-kata yang
hendak kutanyakan padamu. Hai sahabat, kenapa begitu
besar ambekmu?”
Tetapi si Kong-cu baju hijau sudah tidak mau
menghiraukan lagi padanya dan terus berjalan
meninggalkan Bee Tie.
Bee Tie meski merasa bersalah dan menyesal. tetapi
karena sifatnya angkuh, melihat si Kong-cu baju hijau tidak
mau meladeni padanya, ia juga tidak mau mengejarnya lagi
dan lalu membelokkan arahnya, pergi kedalam kota Lokyang.
Dengan cepat ia membeli segala rupa barang keperluan
yang dipesan oleh guru dan ayahnya. tidak lupa juga

araknya yang dua poci itu. Setelah dianggap cukup
semuanya, ia segera balik kembali masuk kedalam Sumur
Kematian.
Hari itu. Cie Gak dan Bee Cin Cee memang sudah
bermaksud mau mabuk-mabukan. Arak yang dibeli oleh
Bee Tie dengan cepat sudah mereka tenggak habis. Muka
mereka sudah merah padam.
Bee Tie yang menyaksikan mereka berdua sudah mabok
demikian rupa, makin merasa kuatir, maka dengan
menahan rasa ngantuknya ia terus menjagai disebelah
mereka.
Tetapi biar bagaimana kuatnya, Bee Tie tetap Bee Tie.
Bee Tie mash merupakan satu anak kecil, Tidak lama
kemudian ia sudah tertidur diluar kemauannya.
Entah sudah berapa lama ia tertidur, tiba-tiba ia bangun.
Dengan cepat ia menoleh ke tempat dimana ayah dan
gurunya tadi tidur. Kagetnya kini menjadi-jadi. Ia tidak
dapat melihat bayangan ayah maupun suhunya. satu firasat
tidak baik mulai menyerang dirinya. Ia segera membuka
mulutnya dan berkaok memanggil:
“Ayah! ... Ayaaah! ... Suhu! ... Suhuuu! “
“Hai! Kenapa kau berteriak-teriak begitu? Lekas kemari!
Mari sini ! Aku ada banyak perkataan yang mau aku
bicarakan dengan kau!”
Suara itu datangnya dari suatu tempat dibelakang
dirinya. Dengan cepat ia membalikkan badan. Ternyata
gurunya itu entah sejak kapan sudah duduk diam disitu
dengan mata terus menerus memandang kearahnya, sedang
tangannya tidak henti-hentinya menggapai-gapai
memanggil padanya. Disampingnya, duduk ayahnya, Bee

Cin Cee yang juga sedang memandang terus wajahnya anak
muda itu.
“Suhu ada perintah apa yang murid harus lakukan?”
demikian Bee Tie segera menanya gurunya.
Bee Cin Cee memandang Cie Gak sejurus lamanya, dan
orang yang dipandang segera membalas dengan anggukkan
kepala.
“A Tie,” demikian kata sang guru, ”aku mau tanya kau.
Apa kau sudah tahu sekarang ini kau sudah mewarisi
semua kepandaian dari golongan Hoa-san-pay kita?”
Bee Tie menganggukkan kepalanya.
Mulutnya Cie Gak berkemak kemik, bicara dengan suara
sangat perlahan:
“Sembilan tiang batu beterbangan melewati puncak
gunung.”
“Butiran air sungai berkumpul menyaingi awan biru.”
demikian Bee Tie segera melanjutkan kata-kata gurunya.
“Hei! Dari mana kau dapatkan kata-kata lanjutannya
itu?” tanya sang suhu keheranan.
“Dari tujuh kepingan batu kumala yang terpecah-pecah
oleh si Lee Thian Kauw!”
“Apa kau tahu asal usulnya pecahan kumala itu?”
“Tentu saja, itu Tongkat Rantai Kumala.”
“Ya, betul!”
Cie Gak lalu menoleh, sekarang ia memandang Bee Cin
Cee, ayahnya Bee Tie dan berkata padanya:
“Ya, saudara Bee, didunia ini sebetulnya tidak kurang
keadilan. Ilmu kepandaian Kiu-teng Sin-kang yang ada

dalam Tongkat Rantai Kumala sudah ia dapatkan. Apa lagi
yang harus aku pikirkan? Untuk menjadikan bocah ini jago
dunia rasanya tidak susah lagi. Betul tidak?”
Setelah itu kembali ia mengawasi Bee Tie, dan berkata
pula padanya:
“A Tie, dua baris kata-kata tadi itu adalah kuncinya
untuk siapa saja yang ingin mendapatkan kitab pelajaran
Kiu-teng Sin-keng, harta pusakanya Hoa-san-pay. Kau
carilah itu sendiri.”
Bicari sampai disitu, Cie Gak sudah tidak dapat
menahan rasa girangnya, ia tertawa berbahak-bahak.
Tetapi belum lama ia tertawa itu. tiba-tiba diatas sumur
terdengar suara seseorang yang menyambungi ketawanya.
Wajahnya Cie Gak berubah seketika. Sambil menghela
napas ia berkata:
“Itu tentu suaranya si Setan yang paling serakah. Katakata
kuncinya untuk mengambil kitab palajarau Kui-teng
Si-keng itu sudah di dengar semua olehnya. Kalau mau
menyaingi dia sukar rasanya Ah! Tiga tahun yang lalu,
kalau bukannya dia yang terus mengganggu kami didalam,
sekarang ini aku tidak mungkin jadi begini.”
Ia berhenti sejenak, kemudian melanjutkan lagi katakatanya.
Suaranya makin keras:
“A Tie! Sekarang ini, soal jatuh bangunnya Hoa-san-pay
kuserahkan dalam tanganmu! Baik-baik kau jaga diri.”
Lagi-lagi Bee Tie anggukkan kepala.
Mendadak Cie Gak tertawa lagi, suaranya
menyeramkan. Lalu sambil menengadahkan mukanya ke
atas ia berkata lagi:

“Murid Hoa-san-pay Cie Gak sudah menunaikan tugas
baktinya. Tapi sayang tenaganya kurang, dia merasa tidak
ada muka lagi menemui orang. Dia juga yang menyebabkan
Tongkat Rantai Kumala sampai jatuh dalam tangan orang
lain, maka dia sudah bersedia ... ”
Bee Tie yang mendengarkan terus, merasa ada apa-apa
yang tidak wajar, maka ia lantas menjerit keras. orangnya
juga turut lompat melesat menghampiri sang guru. “Suhu ...
Suhu ... Kau ... ”
Ketua Hoa-san-pay turunan kedua puluh lima tertawa
hambar. Ia berkata pula:
“A Tie, baik-baikIah kau jaga diri.“
Berbareng dengan habisnya perkataannya itu, tangan
kanannya sudah menghajar batok kepalanya sendiri.
Sekali terdengar suara nyaring dari barang pecah,
kepalanya Cie Gak tidak tahan menyambuti gempuran
tangannya sendiri yang sangat hebat, seketika itu juga
hancur berantakan, darah menyembur ke luar seperti air
mancur. Bee Tie menjerit, menangis dan meraung-raung.
“Suhu! ... Suhu! ... suhu! ...” ratapnya terus.
Tetapi Bee Cin Cee yang menyaksikannya. hanya
tertawa dingin saja, tingkah lakunya menjadi aneh. Ia lalu
berkata pada anaknya:
“He! Apa yang kau tangisi? Dengan menghabiskan
nyawa sendiri, gurumu tidak berbuat salah. Sekarang semua
tugas beratnya sudah diserahkan atas pundakmu. Kau harus
pikul itu sekuat tenaga. Lanjutkanlah terus usahanya.
Wujudkanlah cita-citanya. Sekarang kau diam!”
Bee Tie memesut kering air matanya dan
menganggukkan kepala.

Bee Cin Cee, sang ayah bersenyum puas dan
melanjutkan kata-katanya lagi:
“Tempo hari, bukankah kau pernah tanyakan kenapa
aku tidak mau keluar dari dalam sumur ini? Begini. Itu
sebabnya karena aku pernah berjanji dengan Lee Thian
Kauw tidak akan mencari ia diluar sumur tetapi ia sendiri
juga tidak boleh masuk kedalam mencari setori. Begitu juga
dengan suhumu, dia ini dan aku sudah berjanji sehidup
semati dalam sumur celaka ini. Maka itu juga aku tidak
mau keluar dari dalam sumur ini sampai hari akhirku.”
Bee Tie mulai menangis lagi. Ia mencoba terus hendak
merobah pendiriannya sang ayah.
“Apa ayah tidak mau ketemukan ibu dulu?” demikian
tanyanya,suaranya memilukan hati.
Perlahan-lahan Bee Cin Cee memasukkan tangannya
kedalam saku bajunya, dari dalamnya ia mengeluarkan
sesuatu benda kecil yang lantas diserahkan kepada anaknya
sambil berkata: “Katakanlah pada ibumu, aku akan pergi
lebih dulu. Ini, ini adalah pasangan sepatu kecilmu yang
kau simpan satunya lagi itu.”
Bee Tie tidak dapat menangkap apa maksudnya katakata
sang ayah. Ia terus menangis, dan terus menangis
walaupun tangannya sudah menerima sepatu pemberian
ayahnya.
Setelah menyerahkan sepatu kecil, pasangan sepatu
pemberian ibunya Bee Tie ketika ia hendak meninggalkan
Kui-in-chung, kemudian Bee Cin Cee melanjutkan pula
kata-katanya:
“A Tie, kau jangan bisanya menangis melulu. Sekarang
kau harus ingat dan catat dalam hatimu betul-betul! Lee
Thian Kauw itu adalah orang yang telah menyebabkan kau

terlantar sampai begini. Ingatlah terus selama hidupmu!
Sekarang kau pergilah dari sini. Lekas!”
Bee Tie lantas menangis menggerung-gerung macam
anak kecil. Ia tidak mengetahui kalau ayahnya secara diamdiam
sudah, mengeluarkan pisaunya dan juga sudah
menempelkan pisau itu pada dadanya. Agaknya ia akan
segera menamatkan jiwanya sendiri! Sudah dua belas tahun
lamanya ia hidup terus bersengsara didalam Sumur
Kematian. Sudah dua belas tahun lamanya ia menghadapi
godaan lahir maupun bathin. Sekarang, setelah dapat
melihat anaknya serta mengetahui bagaimana kepandaian
anaknya, apa salahnya kalau ia membunuh diri
menamatkan riwayatnya sendiri?
“Kau masih tidak mau tinggalkan tempat ini? Apa kau
mau lihat aku mati didepanmu sekali?” terdengar lagi
bentakannya Bee Cin Cee, si orang tua, suaranya
menyeramkan sekali.
Walaupun Bee Cin Cee membentak-bentak dihadapan
anaknya, tetapi dengan penuh kasih sayang tangannya yang
satu mengusap-usap kepalanya sang anak, sedangkan
tangan lainnya dipakai untuk menyodorkan seruling
hitamnya, sebuahseruling yang membawa riwayat.
Betul-betul Bee Tie merasa seperti kehilangan pegangan.
Apa yang dapat diperbuatnya?
Mendadak ia jatuhkan diri, berlutut dihadapan sang ayah
sambil terus menerus membentur-benturkan kepalanya
ditanah. Darah sudah mengalir keluar dari jidatnya tetapi
anak muda ini masih terus berbuat apa yang dipikirkan.
Melihat keadaan sang anak, pisau yang sudah berada
dalam genggamannya dan sudah menempel dada itu
akhirnya terlepas jatuh ditanah, air matanya turun deras

membasahi rambut anaknya yang masih tetap berlutut
sambil membenturkan kepalanya.
Tiba-tiba sang ayah menubruk anaknya dan merangkul
anaknya erat-erat. Pakaian bagian dadanya berlepotan
darah sang anak tidak dihiraukan. Ia terus merangkul dan
memeluk tubuh anaknya sambil menangis.
Lama dua orang berpeluk-pelukan dengan air mata
berlinang-linang. Mereka tidak berkata-kata.
Demikianlah, akhirnya suatu drama yang akan
menyedihkan telah terhindar dan kini perlahan-lahan
mereka telah melupakan diri sendiri ...
VIII. PERTANDNGAN ILMU PEDANG DI TONGTU
SAN-CHUNG.
KUIL Pek-bee-sie diluar kota Lok-yang sudah lama
terkenal karena kemegahahnya.
Suatu hari, sebelum sinar matahari muncul menyinari
bumi, ketika pukulan genta memperdengarkan suaranya,
delapan ratus orang padri sedang repot-repotnya membaca
doa, terlihatlah seorang anak muda yang sedang berjalan
meninggalkan kuil tersebut.
Anak muda itu tidak lain tidak bukan adalah Bee Tie,
yang akhirnya dapat juga membujuk ayahnya supaya
jangan mencari jalan pendek dan demikianlah mereka telah
keluar dari dalam Sumur Kematian dan meminjam kuil
Pek-bee-sie sebagai tempat menetap sementara.
Karena sangat lamanya baju sutera yang dikenakan oleh
anak muda ini, maka walaupun mahal harganya, tetapi
karena banyak tambalannya, menyebabkan orang-orang
tidak ada seorang juga yang tahu bahwa anak muda ini
sesungguhnya adalah bekas Kong-cu dari Kui-in-chung di
gunung Bong-san yang sudah tersohor namanya.

Dengan membawa seruling ditangan, seruling pemberian
ayahnya, ia keluar dari dalam kuil Pek-bee-sie dan
mulutnya menggumam sendiri.
“Ayah, anak akan pergi menyelesaikan satu urusan
dulu. Semoga dewa kebahagiaan selalu melindungi ayah.”
Demikianlah, Bee Tie, yang kini telah menjadi ketua
Hoa-san-pay yang resmi, dengan sendirinya mempunyai
banyak urusan yang harus dikerjakan. Ia harus dapat
mencari enam orang tosu penghianat partainya. Ia harus
dapat mencari dimana letaknya kitab Kiu-teng Sin-keng,
dan lain-lainnya lagi.
Setelah dapat tempat tinggal sementara untuk
memernahkan ayahnya, dua hari kemudian ia lalu pergi
meninggalkan sang ayah hendak menyelesaikan persoalanpokok
yang terus menjadi buah pikirannya.
Ditengah perjalanannya, tiba-tiba ia ingat si Kong-cu
hijau, kenalan barunya, dan ingat juga pada hari
pertandingan pedang yang akan segera dibuka didalam
Tong-tu San-chung, maka arah yang ditujunya kini, adalah
tempat tersebut.
Berjalan lagi tidak lama, ia sudah hampir sampai di
Tong-su San-chung. Dari jauh ia sudah dapat melihat ada
empat orang penjaga pintu didepan sebuah gedung besar,
dan ini adalah itu tempat yang dijadikan pusat perhatiannya
tiap jago pedang muda yang akan mengangkat nama.
Sedang enak-enaknya ia berjalan sambil memandang
lurus kemuka tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara derapnya
kaki-kaki kuda yang banyak sekali. Ia cepat-cepat menoleh
kebelakang. Segera pula dilihatnya ada delapan penunggang
kuda, kuda putih seluruhnya. sedang mengiring seorang
Kong-cu beralis tebal yang menunggang kuda kuning

sendiri. Kong-cu alis tebal ini tentunya juga mau ikut dalam
pertandingan adu pedang.
“Kenapa orang-orangnya besar-besar semuanya?”
demikian dalam hati Bee Tie berpikir dengan diliputi
perasaan keheran-heranan.
Si Kong-cu alis tebal juga sudah segera melihat anak
muda dengan pakaiannya yang kurang pantas, tetapi lantas
ia buang muka sambil keluarkan suara tertawa menghina.
Tidak demikian halnya dengan si orang tua tinggi besar
yang ada disebelah kanannya. Begitu kebentrok dengan
sinar matanya Bee Tie, ia segera mengetahui bagaimana
kepandaiannya si anak muda. Ternyata pandangan
matanya sangat tajam. Ia tidak menduga keliru. Memang
benar anak muda yang berpakaian sederhana itu adalah
seorang jago muda yang berkepandaian sangat tinggi.
Agaknya orang tua itu tidak dapat lagi menahan untuk
tidak mengeluarkan seruan kagetnya.
“Ehh!”, dan ia terus memperhatikan si pemuda, Tetapi
Bee Tie sendiri, sama sekali tidak mau ambil pusing siapa
mereka, langkahnya dipercepat dan langsung menghampiri
salah satu dari empat penjaga pintu tersebut. Ia segera
menanya padanya:
“Numpang tanya, apa disini ada seorang Kong-cu yang
mengenakan baju hijau? Tolonglah kau panggil dia keluar
untuk menemui aku.”
Si penjaga yang melihat Bee Tie hanya seorang diri saja
tanpa pengiring, juga pakaiannya tidak begitu sempurna,
sama sekali tidak memandang mata padanya. Maka dengan
seenaknya saja ia menjawab.
“Kong-cu mana itu yang kaucari? Pada waktu ini,
hampir semua Kong-cu sudah berkumpul disini. Juga tidak

sedikit dari antara mereka itu yang mengenakan pakaian
warna hijau. Siapa sebenarya yang kau maksud itu?”
Baru saja Bee Tie hendak memberikan penjelasannya,
Kong-cu alis tebal beserta para pengiringnya itu juga sudah
sampai ditempat itu.
Salah seorang tua tinggi besar perigiringnya si Kong-cu
itu lalu maju menghampiri seorang penjaga dan
mengucapkan beberapa-patah kata kepadanya.
Si penjaga yang mendengarnya, lantas berkaok kedalam
dengan suaranya yang nyaring keras.
“Tiang-pek Kong-cu dari Thian-kian-chung tiba!”
Suara seruan “Tiang-pek Kong-cu dari Thian-kianchung”
itu terus menggema diudara sekian lamanya, lalu
dari dalam gedung terdengar suara orang menyambuti suara
itu dengan seruannya yang sama.
“Tiang-pek Kong-cu dari Thian-kian-chung tiba!”
Suara seruan itu terus sambung menyambung
terdengarnya, sampai masuk jauh kedalam gedung.
Mendengar itu, Bee Tie juga lantas membatalkan niatnya
hendak menceritakan tentang pertemuannya dengan si
Kong-cu baju hijau yang baru dikenalnya. Lalu dengan
perasan tidak puas dia berkata pada penjaga itu.
“Aku juga mau ikut dalam pertandingan adu pedang
disini. Kenapa kau tidak ijinkan aku masuk kedalam?”
Penjaga itu tertawa keras-keras. dengan sikapnya yang
sangat mengejek ia bertanya:
“Kau Kong-cu dari mana sih!”
“Bong-san Kong-cu dari Kui-in-chung!” jawab Bee Tie
tanpa pikir panjang-panjang lagi.

Empat penjaga pintu yang mendengar disebutnya nama
Bong-san Kong-cu dari Kui-in-chung, lantas pada
melengak. Setelah ditegasi, ternyata salah seorang dari
antara mereka memang juga pernah pergi ke Kui-in-chung
dulu, lantas sudah mengenal pemuda itu. Karena sangat
terkejutnya, seketika itu ia berseru.
“Oh! Betul kau Bong-san Kong-cu. Mengapa Kong-cu
bisa jadi begini?”
Bee Tie mengetahui bahwa tentu penjaga ini pernah juga
datang kerumahnya di Kui-in-chung dulu, maka sambil
bersenyum segan ia berkata.
“Nah! Sekarang tentu kalian perbolehkan aku masuk,
bukan? Tapi untuk aku kalian tidak perlu berteriak-teriak
seperti tadi.”
“Itu mana boleh? Disini sudah aturannya begitu.“
demikian kata si penjaga lekas sambil menggelenggelengkan
kepalanya. Ia lalu mementang bacotnya dan
berteriak lagi.
“Bong-san Kong-cu dari Kui-in-chung tiba!”
Begitu juga seperti tadi, suara yang sama setelah
berkumandang agak lama, lalu terdengar berturut-turut
seruan yang serupa sampai masuk jauh kedalam.
Dengan tindakan lebar Bee Tie lalu masuk kedalam,
berjalan mengikuti rombongan Kong-cu beralis tebal Tiangpek
Kong-cu.
Setelah melewati lagi sebuah lorong yang terdiri dari
batu putih melulu yang cukup panjang, lalu sampailah anak
muda ini didalam sebuah ruangan peranti bertanding.
Disitu sudah berkumpul banyak orang, lebih dari empat
ratus pasang mata terus ditujukan kearah depan pintu

masuk. mereka ingin sekali melihat bagaimana rupanya si
Kong-cu dari Kiu-in-chung yang telah lama mereka segani.
Tetapi Bee Tie tidak mau menarik perhatian mereka, ia
terus berjalan sambil tundukkan kepala. Setelah sampai
didalam. ia terus menyelinap masuk kedalam deretan
bangku-bangku yang masih ada yang kosongnya, disalah
satu kursi ia duduk tenang-tenang.
Sebentar kemudian ruangan didalam gedung itu telah
berubah sunyi senyap. Semua mata masih ditujukan
kedepan pintu masuk. Semua orang tuasih menantinantikan
kedatangannya Bong-san Kong-cu dari Kui-inchung.
Lama sekali, yang ditunggu-tunggu tidak-kunjung
muncul, tiada orang lain lagi yang masuk.
“Hmm ... Bongsan Kong-cu dari Kui-in chung. Sungguh
besar kepala dia! Begini lama ia masih belum mau masuk
juga? Tunggu apa dia diluar?” demikian Bee Tie mendengar
salah seorang berkata, orang yang tepat duduk disebelahnya
berkata pada kawannya.
Ternyata, sewaktu Bee Tie, si Kong-cu dari kui-in-chung
tadi masuk, tidak ada seorangpun juga yang menyangka
kalau seorang anak muda yang mengenakan pakaian yang
kurang pantas yang mereka lihat masuk dan berjalan
dibelakangnya rombongan Tiang-pek-Kong-cu, sebenarnya
adalah itu orang yang mereka nanti-nantikan sekian
lamanya itu. Dialah Bong-san Kong-cu dari Kui-in-chung
yang mereka segani.
Bee Tie yang menyaksikan tiagkah laku mereka dalam
hati merasa geli, tetapi sebentar kemudian ia sudah tidak
pusingkan mereka lagi. Yang ia ingin ketemukan ialah si
Kong-cu baju hijau. Dia lantas mendongakkan kepala
memandang keatas panggung tinggi, tempat yang khusus

disediakan untuk para Kong-cu mengadu ilmu pedang
mereka, yang tidak lama lagi akan segera dimulai.
Jauh disebelah depan, ia melihat dua orang perempuan
yang sedang duduk beraling dibalik tirai sutera merah.
Dibelakangnya dua wanita itu, dilihatnya empat wanita lain
yang berdiri.
Bee Tie lantas mengambil kesimpulan bahwa dua orang
wanita yang duduk itu masing-masing adalah Go-tong Sinkho
dan anaknya, dan empat orang wanita yang berdiri itu
tentunya adalah empat orang pelayan mereka, ibu dan
anak.
Tidak lama Bee Tie memandang kearah tirai sutera. lalu
meneruskan arah pandangnya ke kanan dan ke kiri.
Dalam gedung diperkampungan Tong-su San-chung saat
itu ternyata sudah penuh sesak dibanjiri orang-orang dari
perbagai tempat yang sengaja berkunjung kesitu dari
tempat-tempat jauh maupun dekat untuk menyaksikan
pertandingan pedang atau turut bertanding sendiri. Para
Kong-cu datang dengan pakaian serba mewah dan indah.
Kebanyakan diantara mereka itu membawa pengiringnya
masing-masing. Semua pengiringnya juga mengenakan
pakaian yang cukup mentereng. Mereka ini juga memiliki
ilmu kepandaian cukup tinggi. hanya Bee Tie saja yang
belum mengenali mereka masing-masing.
Tiba-tiba matanya Bee Tie, Kong-cu dari Kui-in-tihung
terbelalak. Disalah satu sudut dalam ruangan itu. Disebelah
Timur laut gedung, dilihatnya seorang yang tidak asing lagi
baginya, si Putih Kurus yang sedang bercokol dengan
aksinya.
“Hmm! Bagus! Kau juga ada disini,” demikian pikirnya
dalam hati, alisnya dikerutkan, giginya mengertak.

Ketika matanya celingukan lagi ke sana kemari lebihlebih
kaget ia. Disebelahnya, entah sejak kapan, tahu-tahu
sudah duduk seorang tanpa ia sendiri mengetahui
kedatangannya. Ia lalu menoleh kebelakang. Kagetnya kini
makin menjadi-jadi. Orang yang ada dibelakangnya itu
ternyata tidak lain tidak bukan dari pada si orang tua tinggi
besar sendiri. salah seorang dari empat pengikutnya si
Kong-cu beralis tebal. Tiang-pek Kong-cu. Meskipun orang
tua tinggi besar itu duduk dibelakangnya dan tenang-tenang
saja tampaknya, tetapi dalam hatinya Bee Tie sudah agak
bercekat. Ia heran, mengapa orang tua tinggi besar ini
hanya duduk seorang diri saja. Kemana si Kong-cu alis
tebal?
Ia lalu memandang lurus kedepan. Disebelah sana, ia
dapat melihat tegas si Kong-cu alis tebal itu yang sedang
duduk ditempat yang agak dekat dengan panggung
pertandiigan. Mengapa pengikutnya bisa berada didekatnya
Bee Tie, jauh dari majikan mudanya sendiri?“
Dalam hati Bee Tie sudah timbul rasa curiganya. Tetapi
ia tidak takut segala apa. Ia juga tidak takuti padanya dan
masih duduk tenang-tenang saja di tempatnya.
Tidak antara lama didalam gedung itu berturut-turut
mendatangi Kiu-hoa Kong-cu, Lam-hay Kong-cu, Lu-tong
Kong-cu dan terakhir Oey-san Kong-cu. Diantara mereka
itu semua, hanya Lu-tong Kong-cu seorang yang
berpakaian sangat sederhana dan sikapnya juga tidak
angkuh. Melihat Kong-cu ini, diam-diam Bee Tie
menganggukkan kepala dan berkata dalam hati.
“Kong-cu ini seolah-olah sebutir mutiara yang
terpendam, ada orangnya tidak dapat dilihat. Orang seperti
dia inilah yang banyak mempunyai harapan besar dalam
hidupnya.”

Lu-tong Kong-cu itu sendiri, yang senantiasa
memperhatikan Bee Tie dari jauh, sudah mengerti
bagaimana perangainya anak muda ini. Kebetulan saat itu
Bee Tie sedang mengawasi padanya. Dua pasang mata
bentrok. Senyum yang manis menghias bibirnya Lu-tong
Kong-cu, ia juga lalu menganggukkan kepala yang segera
dibalas oleh Bee Tie sambil bersenyum. Ketika Bee Tie
hendak berpaling kebelakang, orang tinggi besar yang
tadinya ada dibelakangnya, saat itu ternyata sudah berada
disebelahnya tepat. Bukan main terkejutnya ia. Entah sejak
kapan orang tua ini pindah kesebelahnya. Saat itu, orang
tua tinggi besar itu juga sedang memandang kearah Lu-tong
Kong-cu. Tiba-tiba Bee Tie melihat ia bangun berdiri, lalu
dengan jalan perlahan-lahan pergi mendekati Tiang-Pek
Kong-cu dan berbisik-bisik dengan Kong-cu ini, setelah itu
ia lalu balik kembali ketempatnya, di sebelah Bee Tie.
Menyaksikan semua tingkah lakunya orang tua tinggi besar
ini, hatinya Bee Tie sudah semakin curiga. Tetapi ia masih
berlagak tidak mengerti, berpura-pura tidak tahu menahu
dengan mereka. Ia hanya ingin menantikan perkembangan
selanjutnya.
Sementara itu, alat tetabuhan sudah mulai dipukul gent
yar, suara tepuk tangan riuh sudah mulai terdengan
berkumandang didalam ruangan pertandingan. Berbareng
dengan itu, tirai sutera merah juga mulai terangkat
perlahan-lahan. Dibalik tirai kini tampaklah dengan tegas
wajahnya Go-tong Sin-kho serta anaknya, Siauw Beng Eng.
Bee Tie hampir saja terlompat dari tempat duduknya tatkala
dapat melihat wajah mereka. Dalam hati diam-diam ia
berpikir.
“Eh! Dalam dunia ini tidak tahunya masih ada
perempuan secantik itu ... Sungguh cantik!”

Semua yang hadir dalam ruangan pertandingan itu, juga
tidak ada seorang yang tidak memuji kecantikannya yang
sangat menyolok dari dua wanita yang tadi duduk dibalik
tirai, terutama lagi yang lebih muda, anaknya bukan main
cantiknya. Suara kasak kusuk sebentar saja sudah riuh
teidengar disana sini.
Dua wanita yang duduk dibelakang tirai sutera itu,
memang sungguh cantik. Mereka itu adalah Go-tong Sinkho
bersama puterinya, Siauw Beng Eng.
Go-tong Sin-ko yang pandai merawat diri, walaupun
usianya sudah mendekati setengah abad. tetapi orang
melihat seperti baru berumur dua puluhan tahun saja.
Sedangkan Siauw Beng Eng, yang kini baru berusia lima
belas tahun, cantiknya melebihi bidadari.
Bee Tie yang melihat parasnya Siauw Beng Eng yang
seperti sudah tersedot semangatnya, pandangan matanya
sudah tidak bergerak lagi, terpaku ditempatnya si nona.
Hatinya memukul keras, entah bagaimana perasaannya saat
itu. Diam-diam dalam hatinya ia berpikir.
“Rasanya aku seperti pernah tertemu wajah cantik ini.
Tapi kapan dan dimana? Yang terang, aku pasti sudah
pernah bertemu dengan dia. Tapi dimana, ya?”
“Dengan susah payah akhirnya berulah ia dapat
menarik kembali pandangnya dari muka si nona cantik. Ia
berpikir sejenak. Tiba-tiba ia ingat kembali maksud
sebenarnya, hendak mencari si Kong-cu baju hijau, yang
sampai sekarang masih belum dapat dilihatnya, maka ia
lalu mencari-cari kembali kemana-mana.
Dalam herannya ia berpikir.
“Kenapa sampai sekarang aku tidak bisa melihatnya?
Barangkali ia tidak datang kesini. Kalau datang. kenapa

tidak bisa ku-lihat padanya, sedang aku sudah dari pagi-pagi
duduk disini.”
Bee Tie mengangkat kepalanya lagi, memandang
wajahnya Siauw Beng Eng kembali. Tetapi sebentar
kemudian sudah dialihkan lagi arah pandangnya, mencaricari
orang yang sedang dipikirinya.
Saat itu hari menjelang tengah hari Go-tong Sin-kho
perlahan-lahan berdiri, lalu sambil tertawa manis
menggiurkan ia memandang tempat sekitarnya, kemudian
berkata:
“Atas kunjungan para hadirin sekalian yang terhormat,
disini atas nama Tong-tu San-chung aku menghaturkan
selamat datang kepada saudara-saudara sekalian. Terima
kasih atas perhatian para hadirin yang sudi berkunjung
ketempatku yang sempit ini, baik untuk mereka yang mau
mengikuti pertandingan sendiri, maupun untuk mereka
yang hanya ingin menyaksikan keramaian saja. Tentang
pertandingan adu pedang yang sekarang akan dibuka ini,
sebenarnya adalah atas kemauannya mendiang ayahnya
anakku ini.” tangannya menunjuk kearah Siauw Beng Eng,
terus melanjutkan. “Beliau mengandung maksud tersendiri,
dan tentu para hadirin sekalian telah mengetahui maksud
ayahnya ini, maka tidaklah perlu disini aku sebut-sebutkan
lagi. Sekarang pertandingan akan segera dimulai. Tapi,
untuk menjaga ketenangan supaya tetap terjamin dan untuk
menghindarkan segala bahaya, hendaklah para Kong-cu
sekalian suka memberi sedikit kelonggaran pada lawannya
masing-masing. Sampai disini aku membuka pertandingan
ini, dengan resmi pertandingan dibuka. Silahkan!”
Sedikit kata-kata pembukaan ini telah disambut meriah
oleh para hadirin disitu, suara tepuk tangan riuh terdengar
disana-sini.

Go-tong Sin-kho sendiri lalu duduk kembaii di
tempatnya, senyumnya selalu menghias bibirnya,
kecantikannya bertambah-tambah. Hening sesaat.
Tidak ada Kong-cu yang berani maju dalam babak
pertama ini.
Lama sekali. Tiba-tiba terdengar suara tambur berbunyi
sebagai tanda pertandingan boleh dimulai. Seorang Kongcu
muka hitam lantas naik ke panggung.
“Biarlah Hiang Hui Kang-tang yang maju lebih dulu
membuka pertandingan dalam babak pertama ini,”
demkian terdengar suaranya yang nyaring keras, menantang
musuhnya.
Kemudian perlahan-lahan pedangnya diloloskan dari
sarungnya. Semua orang yang menyaksikannya tidak ada
yang tidak kaget. Pedang itu bukan pedang sembarangan.
Panjangnya lebih panjang dari pada pedang-pedang
umumnya, tebalnyapun jauh lebih tebal beberapa kali lipat
dari pada pedang biasa. Beratnya sedikitnya juga lebih dari
tiga puluh kati. Pada umumnya, dalam permainan pedang,
keringanan dan kelincahan tubuhlah yang diutamakan,
maka pedangnya juga dibuat tidak terlalu tebal untuk
mempermudah gerakan tubuh dan lebih leluasa. Tetapi
Kotigcu muka hitam itu agaknya mempunyai kelebihan
banyak tenaga, sehingga pedangnya sengaja dibuat setebal
dan sepanjang itu, yang dengan sendirinya juga tentu berat
luar biasa, tetapi toch tetap lincah ia dalam permainan
pedangnya, yang sudah lantas dipertunjukkan begitu ia
sampai diatas panggung tadi.
Beberapa orang dari para Kong-cu yang hadir di situ
yang melihat kesombongan si Kong-cu muka hitam, sudah
pada panas hatinya. Demikianlah, sebentar kemudian
keluarlah seseorang Kong-cu dari tempat duduknya dan

lantas lompat naik keatas panggung hendak mencoba
melayani si Kong-cu muka hitam itu.
Tetapi memang sesungguhnyalah luar biasa hebatuya
kepandaian si Kong-cu muka hitam dalam ilmu permainan
pedangnya, dalam dua kali gebrakan saja Kong-cu itu sudah
digulingkan dibawah ujung pedangnya yang berat.
Soh-cow Kong-cu, demikian nama Kong-cu yang,
pertama kali berani maju kedepan dan dengan cepat sudah
dikalahkan itu, dengan muka muram lalu balik kembali
ketempat duduknya. Sedangkan si Kang-tang Kong-cu
sendiri masih tetap berdiri di atas, agaknya puas ia dengan
hasil kemenangannya yang pertama. ia tertawa terbahakbahak,
lalu mulai menantang lagi.
“Siapa berani maju lagi? Hayo cepat sedikit! Aku sudah
tidak sabaran!”
Diantara sekian banyak Kong-cu-Kong-cu yang hadir di
situ, maju lagi seorang Kong-cu yang langsung naik keatas
panggung. Badannya Kong-cu ini gemuk. Tetapi ketika ia
melayang naik keatas panggung, kelincahannya tidak kalah
dari pada si Kong-cu yang duluan maju tadi,
kegemukannya tidak menghambat pergerakannya.
Begitu bertemu muka, mereka langsung sudah bergebrak.
Tetapi, seperti juga halnya dengan si“ Kong-cu tadi, Kongcu
gemuk ini juga sebentaran saja sudah dikalahkan oleh
Kang-tang Kong-cu dengan pedang beratnya.
Saat itu dibawah panggung seorang tua kurus yang
tampaknya seperti berpenyakitan kelihatan menggapaikan
tangannya memangil Kang-tang Kong-cu yang masih terus
menantang lawan-lawannya. Orang tua kurus itu tidak
hanya menggapaikan tangannya saja tetapi juga berteriak
berseru padanya:

“Kong-cu,kau istirahatlah! Nanti setelah mengaso
sebentar kau boleh melanjutkan lagi kalau kau mau!”
Kang-tang Kong-cu menganggukkan kepalanya dan
sudah hendak turun kebawah panggung. Tetapi tiba-tiba
ada lagi seorang Kong-cu berbaju putih yang naik keatas
panggung sambil berkata:
“Saudara Hiang, sunguh tinggi kepandaian saudara.
Aku, Lauw Ciu dari Pek-lian-chung mau coba-coba
bermain-main beberapa jurus dengan kau.”
Begitu sampai diatas panggung Kong-cu baju putih Lauw
Ciu itu sudah lantas menyerang dengan menggunakan tipu
“Perahu laju”, salah satu tipu silat pedangnya yang paling
dibanggakan selama hidupnya.
Kang-tang Kong-cu tertawa. Dengan mengikuti gerakan
pedang sang lawan ia juga meniru menggunakan tipu
serangan yang sama dari si Kong-cu baju putih itu. Bee Tie
yang menyaksikannya, diam-diam merasa kagum. Tanpa
merasa ia telah menggeleng-gelengkan kepala. Dalam
hatinya ia berkata.
“Yah! Sungguh hebat kepandaianmu ... Cuma
sayangnya. kau masih belum kenal berapa tingginya langit
dan bagaimana tebalnya bumi.”
-oo0dw0oo-
Jilid 06
PEK-LIAN Kong-cu membalikkan pedangnya, menusuk
kearah iga lawannya. Tetapi Kang-tang Kong-cu memang
benar-benar lihay. Kepandaiannya luar biasa. Sebelum
lawannya dapat berbuat apa-apa, ia sudah bergerak

mendahului dengan menggunakan gerakan yang sama dari
lawannya, memapaki pedang lawan.
“Trang”. Dua belah pedang beradu keras, lelatu api
muncrat ketengah udara! Pedangnya Pek-lian Kong-cu yang
memangnya kalah berat dan ia sendiri kalah tenaga dari
lawannya, maka terlepaslah pedangnya dari cekalannya,
terpental jauh-jauh.
Pek-lian Kong-cu dengan wajah merah padam menahan
rasa malunya, lantas bergerak mengundurkan diri. Tetapi
Kang-tang Kong-cu sendiri agaknya sudah dibikin lupa
daratan sama sekali karena kemenangannya yang gilang
gemilang, ia lantas menjadi congkak sombong sekali.
Dengan tingkah laku menjemukan ia menantang lagi.
"Kalau Pek-lian Kong-cu ada disini. tentu Kim-leng
Kong-cu juga tidak mau ketinggalan. Hai sahabat, kemana
kawan karibmu itu?"
Orang tua kurus yang tampaknya seperti berpenyakitan
dibawah panggung lagi-lagi memanggil Kang-tang Kong-cu
dengan suara keras.
"Hiang Hui. Kau kemari dulu ... Apa kau sudah gila?"
Tetapi Kang-tang Kong-cu yang benar-benar sudah
seperti lupa daratan, sambil tertawa terbahak-bahak ia
menyahut.
"Jie Sianseng. tunggu sebentar lagi. Kalau aku bisa
mengalahkan Kim-leng Kong-cu. niscaya tidak percuma
kita datang kemari, barulah aku akan berhenti."
Bee Tie lalu mengalihkan pandangan matanya
mengawasi si Putih Kurus dan Kim-leng Kong-cu. Disana
dilihatnya Kim-leng Kong-cu sedang meronta-ronta hendak
membebaskan dirinya dari cekalan si “Putih Kurus” yang
terus menahan si Kong-cu keluar.

Dasar si Kang-tang Kong-cu sudah betul-betu1 gila
nama. Bukannya dia lekas turun beristirahat dulu sebentar,
malah ia berteriak-teriak lebih keras lagi.
"Hai! Mana dia Kim-leng Kong-cu itu? Kau dimana
sembunyi Kong-cu?”
Si orang tua yang dipanggil Jie Sianseng, oleh Kang-tang
Kong-cu itu kembali berseru.
"Ya. Tunggu sebentar. Kalau aku sudah menggulingkan
Kim-leng Kong-cu yang begitu kenamaan kebawah
panggung baru puas hatiku dan aku akan segera turun.”
Si Jie Sianseng. dengan sekali mengebaskan tangan
bajunya yang gerombongan sudah membalikkan badanya
dan segera hendak berlalu, tetapi ia masih tetap hendak
membujuk turun Kang-tang Kong-cu.
"Hiang Hui kau turunlah. Apa kau mau bikin aku
suhumu, menyesal untuk selama lamanya? Turunlah."
Tetapi setelah ditunggu-tunggu sekian lama si Kong-cu
bandel itu tidak mau menyahut juga. dengan perasaan
mendongkol orang tua itu berkata pula.
"Kau tidak mau turun juga? Mulai sekarang, kau bukan
muridku lagi! Kau berbuatlah sesukamu.”
Setelah berkata begitu, lalu kakinya menotol tanah
seperti asap mengepul tahu-tahu orangnya sudah
menghilang.
Kang-tang Kong-cu terkejut. Tetapi baru saja ia mau
turun meninggalkan panggung mengejar gurunya, tiba-tiba
Kim-leng Kong-cu Jie Ceng yang telah berhasil melepaskan
diri dari cekalannya si “Putih Kurus” dan sudah terus
lompat naik keatas panggung tahu-tahu sudah ada didepan
matanya.

"Disini aku Kim-leng Kong-cu Jie Ceng mau belajar
kenal dengan kepandaian saudara yang sangat, tinggi. Hai!
Kau mau kemana? Kenapa mau lari? Kau takut? Ini aku
Kim-leng Kong-cu Jie Ceng?”
Dengan apa boleh buat Kang-tang Kong-cu tidak jadi
berlalu, dan juga karena gurunya telah berlalu
meninggalkannya, maka ia dapat bertindak lebih leluasa. Ia
tidak mau memusingkan gurunya itu lagi. Dengan sikap
sangat jumawa ia lalu menjawab pertanyaan lawannya
dengan suara keras.
"Tidak mau kemana-mana. Apa betul kau Kim-leng
Kong-cu? Lekas keluarkan pedangmu yang seperti cacing
itu.”
Kemudian dengan tidak berkata lebih dulu ia membuka
serangan dengan pedang beratnya mengarah bagian
terpenting dibadanya lawannya.
Kim-leng Kong-cu yang memang sejak tadi sudah sangat
gusar dalam kegusarannya yang sudah melampaui batas ia
lantas mengeluarkan jurus-jurus pertama dari ilmu pelajaran
Si “Putih Kurus”. Dengan beruntun beberapa kali semua
tipu-tipu dalam jurus pertamanya sudah dikeluarkan habis.
Ia sudah mulai mengeluarkan tipu-tipu dalam jurus
selanjutnya.
Para penonton sudah dibikin kebat-kebit hatinya
menyaksikan pertandingan yang sangat seru antara Kimleng
Kong-cu dan Kang-tang Kong-cu itu. Mereka itu hanya
dapat melihat sinar pedang yang memutih perak berkelebat
cepat mengurung tubuhnya si Kang-tang Kong-cu, tak lama
kemudian kepalanya Kang-tang Kong-cu Hiang Hiu yang
congkak sombong itu terpisah dari badannya, terus
bergelindingan diatas panggung, tetapi badannya yang
masih belum sampai roboh dipanggung sudah disamber dan

dibawa kabur oleh satu bayangan orang yang bergerak
sangat cepat ternyata orang itu adalah orang tua yang
tampaknya seperti berpenyakitan itu sendiri, gurunya Kangtang
Kong-cu yang dipanggil Jie-sian-seng.
Sambil berpekik keras si Jie Sianseng lalu berlalu
meninggalkan panggung dan orang banyak dengan
memondong terus jenazah tak berkepala dari muridnya
yang kepala batu dan tidak mau menurut perintahnya itu,
sebentar kemudian orang tua itu sudah menghilang dari
pandangan mata orang banyak.
Kesudahan pertandingan yang sangat cepat itu sama
sekali ada di luar dugaan para penontonnya sekalian sampai
Bee Tie sendiri tidak menyangkanya bisa berakhir demikian
cepat pertandingan itu. Dulu, ada juga beberapa orang yang
pernah melihat dan menyaksikan sendiri bagaimana
kepandaiannya Kim-leng Kong-cu Jie Ceng ini tetapi sama
sekali mereka tidak pernah menyangka Kong-cu ini sudah
dapat memiliki suatu ilmu kepandaian lain yang sangat
tinggi. Mungkin hanya Bee Tie seorang saja disitu yang
mengetahui latar belakangnya diperolehnya kepandaian
tinggi oleh Kim-leng Kong-cu itu.
Bee Tie memandang wajahnya Go-tong Sin-kho lagi,
kini tidak terlihat perubahan romannya sama sekali, wanita
cantik itu masih tetap duduk tenang-tenang saja
ditempatnya. Tetapi kini disebelahnya Go-tong Sin-kho
sudah tidak terlihat bayangannya Siauw Beng Eng lagi,
entah kemana dan sejak kapan ia pergi!
Bee Tie lalu celingukan mercari ke sana kemari, tidak
juga kelihatan si nona cantik jelita. Ia merasa heran.
Mengapa nona itu tidak mau menyaksikan sampai selesai
semua pertandingan dalam babak pertama ini?

Tiba-tiba ia meihat si Kong-cu alis tebal. Tiang-pek
Kong-cu berjalan perlahan mendekati panggung, lalu
mengenjot tubuhnya, naik ke-atas panggung dengan
gayanya yang sangat indah.
Bee Tie lalu mencari para pengiring Tiang-pek Kong-cu
itu. Salah seorang dari antaranya, entah sejak kapan tahutahu
sudah berada di sebelahnya Lu-tong Kong-cu.
Bee Tie menengok mengawasi orang tua tinggi besar
yang duduk disampingnya. Ternyata ia masih tetap tenangtenang
saja, duduk ditempatnya sambil mengangkat kaki.
Saat ini, diatas panggung lantas terdengar suaranya
Tiang-pek Kong-cu yang berkata keras.
"Saudara Jie, ilmu pedang Goat-lie-kiam-mu sudah lama
terkenal. Tidak nyana hari ini saudara bisa membuka mata
kami. mempertunjukan permainan ilmu pedang macam lain
yang sangat bagus. Sungguh bagus, ilmu pedang yang
belum pernah kulihat sebelumnya. Atas kemajuan saudara
dalam menuntut ilmu, aku rasanya disini perlu
mengucapkan selamat!"
"Ah! Saudara terlalu memuji aku. mana aku berani
terima?" demikian Kim-leng Kong-cu coba merendahkan
diri.
“Tapi biarlah! Yang sudah biar tinggal sudah. Aku
rasanya tidak sampai bisa dikalahkan dengan ilmu yang
sungguh hebat itu." Tiang-pek Kong-cu mulai dengan katakata
ejekannya.
Sekali terdengar suara “Sreet” yang panjang sekali,
pedang pusakanya Tiang-pek Kong-cu sudah keluar dari
serangkanya.
Semua orang yang datang kedalam Tong-to Saa chung
kebanyakan adalah jago jago pedang semuanya. Maka

begitu melihat sinarnya pedang Kong-cu itu saja, mereka
lantas mengenali bahwa pedang pusaka yang tajamnya luar
biasa. Seketika itu juga ramailah mereka kasak kusuk
mengutarakan pendapatnya masing masing.
Tetapi, Kim-leng Kong-cu, tidak keder melihat pedang
lawannya yang baru ini begitu tajam, sambil membentak
keras ia menyerang terlebih dnlu.
Tiang-pek Kong-cu. lawannya, melihat itu hanya ganda
dengan ketawa dingin. Ia berkelit menghindarkan serangan
lawan, lalu membalas menyerang dengan menggunakan
pedang pusakanya. Walaupun ia bergerak ke belakang dari
lawannya, tetapi karena sangat cepatnya ia bergerak, malah
ia lebih dulu yang berhasil menyarang dada lawannya.
Kim-leng Kong-cu terkejut. Kalau ia teruskan
serangannya, tentu dadanya akan tertikam lebih dulu. Maka
itu, sambil menarik pulang pedangnya, ia menyingkirkan
diri dari serangan lawan yang sangat hebat.
Karena dalam peraturan pertandingan tidak dilarang
orang menggunakan pedang pusakanya, maka Kim-leng
Kong-cu yang sudah tahu pedang lawan ini adalah pedang
pusaka, juga tidak bisa berbuat lain dari pada melanjutkan
pertandingan dan melayani sedapat mungkin lawanya.
Tiang-pek Kong-cu itu.
Sebentar saja barulah sudah keadaan dalam gelanggang
pertandingan. Kim-leng, Kong-cu mempunyai ilmu pedang
yang sangat bagus tetapi Tiang-pek Kong-cu juga seakanakan
sudah mengetahui setiap gerakan lawanya, selalu
dapat mendahului lawan bergerak.
Bee Tie yang menyaksikan pertandingan itu dari
samping, hatinya merasa tertarik karena dilihatnya
kepandaian Tiang-pek Kong-cu juga istimewa, maka

dengan tidak terasa ia terus memperhatikan setiap gerakan
Kong-cu itu yang lalu diingatnya baik-baik dalam otaknya.
Pertandingan antara mereka itu kelih.tan berimbang
sama gesit, sama cepat dan sama kuat, sebentar saja tiga
puluh jurus sudah di lalui.
Tiba-tiba Tiang-pek Kong-cu menggeram, hatinya
merasa sangat penasaran, ia lalu mendesak lawannya
dengan serangan-serangannya yang sangat cepat dan
gencar.
Sebentar saja badannya Kim-leng Kong-cu sudah seperti
terkurung sinar pedang dari Tiang-pek Kong-cu.
Melihat ini Bee Tie terkejut. Peristiwa seperti tadi
mungkin akan terulang kembali Ia terus memperhatikan
lebih seksama.
Si “Putih Kurus” dari Bong-san juga kelihatan seperti
berdiri tak bisa duduk tak tentram. Ia sibuk sendiri. Baru
saja si Kurus ini mau bangkit berdiri, tiba-tiba ada dua
orang tinggi besar menghalangi tindakannya.
Bee Tie yang saat itu juga sedang menengok kearah si
“Putih Kurus”, terkejut melihat dua orang tinggi besar itu.
Mereka itu dikenalnya sebagai pengiring si Kong-cu alis
tebal Tiang-pek Kong-cu. Lebih-lebih lagi terkejutnya ia,
karena orang tinggi besar disampingnya saat itu juga
mengancamnya, berkata dengan suara berat.
"Diam! Jangan bergerak! Aku mau lihat kau bisa berbuat
apa.”
Mendengar suaranya, Bee Tie lalu ingat kembali
suaranya Si orang berkerudung kain hitam yang bersamasama
dengan dia turut mencuri lihat permainan ilmu
pedangnya si “Putih Kurus” sewaktu Kim-leng Kong-cu

melatihnya didalam sebuah gedung tua diperbatasan kota
Lok-yang dulu, maka dalam hati diam-diam ia memaki.
“Hmm! Kalau begitu kau duduk disini dari tadi khusus
menjagai aku! Persetan! Kalau Kong-cumu tidak melukai
Kim-leng Kong-cu masih tidak apa, Tapi kalau ..., Hmm!
Hmm! ... ”
Ia lalu memejamkan matanya memikirkan cara
bagaimana nanti menghadapi Tiang-pek Kong-cu,
bagaimana caranya memecahkan ilmu permainan
pedangnya. Dalam waktu sekejapan saja ia sudah berhasil
mendapatkan jalan pemecahannya maka lalu ia membuka
matanya kembali. Bukan main terkejutnya ia karena ia saat
itu Kimleng Kong-cu Jie Ceng dilihatnya sudah tak berdaya
sama sekali, sedangkan si Putih Kuras yang juga masih
berusaha melepaskan diri dari rintangannya dua orang
tinggi besar pengiringnya Tiang-pek Kong-cu, ternyata
masih belum berhasil juga.
Baru saja Bee Tie hendak berdiri, tiba-tiba tangan si
orang tua tinggi besar yang duduk disampingnya tahu-tahu
sudah menempel di belakang gegernya. Dilihat sekelebatan,
dua orang ini terlihat seperti dua sahabat-sahabat lama yang
baru bertemu setelah sekian lama berpisahan tangan orang
tinggi besar itu menempel rapat benar dibadannya Bee Tie.
Tangannya mengancam, mulutnya juga tidak tinggal diam.
Ia berkata.
"Jangan bergerak! Sedikit bergerak berarti mati ! Apa kau
sangka kau bisa berontak melawan aku? Jangan harap!"
Tahulah Bee Tie kini bahwa dirinya sudah terjatuh
dalam tangan kekuasaan orang, maka gusarnya bukan
main.
Baru saja ia mau berusaha melepaskan diri dari
cengkeraman tangan orang tinggi besar itu, tiba-tiba datang

seorang Kong-cu berbaju hijau, itu Kong-cu yang memang
sedang dicari-cari oleh Bee Tie, berjalan menghampiri
sambil tersenyum, wajahnya berseri-seri.
Bee Tie berseru kegirangan melihat, kawannya yang
sedari tadi dicari-carinya, kini ternyata begitu mudah
didapatkan.
“Halo kawan, kau datang juga?" katanya dengan
membuka percakapan.
“Dari tadi aku cari-cari kau didalam gedung ini. tapi
tidak nyana kau bisa datang sendiri. Kau kemana tadi? Apa
kau sudah tidak marah lagi dengan aku? Hai! Bagaimana
sahabat?”
Si Kong-cu baju hijau mengerlingkan matanya
memandang orang tinggi besar itu.
"Siapa kata aku marah padamu?" demikian katanya
Kong-cu baju hijau itu membalas pertanyaan orang.
Saat itu dirasakan tangan si orang tua tinggi besar yang
menempel digegernya sudah semakin diperkeras, Bee Tie
tidak dapat menahan rasa sakitnya, ia meringis menahan
sedapat mungkin, bicaranya batal.
Tetapi si Kong-cu baju hijau yang masih menyangka
orang tinggi besar itu adalah salah seorang sahabat barunya
Bee Tie, melihat orang begitu rapat berdirinya, lalu berkata.
"Ooo ... Kau dapat kawan baru lagi, sahabat? Kenapa
tidak kau perkenalkan padaku. Siapa dia?"
Baru saja Bee Tie mau menyahut, orang tua tinggi besar
itu sudah menalangi ia bicara.
"Ya, Kami adalah sahabat-sahabat lama."
Bee Tie mengeluarkan suara di hidung ketika ia
mendengar, ia berani bicara begitu, tapi si orang tua sudah

menggoreskan lagi tekanannya membuat Bee Tie meringis
lagi.
Kong-cu baju hijau yang mempunyai sepasang mata
lihay memandang kearah kawannya sebentar dan dilihatnya
itu tangan orang yang sedemikian rapatnya, hatinya sudah
mulai menjadi marah.
Saat itu si “Putih Kurus” yang memang lihay sudah
berhasil meloloskan diri dari kepungannya itu dua orang
tua, Bee Tie yang melihatnya sudah berkata kepada orang
yang berada disampingnya.
"Kau lihat ... “ Tangannya sambil merunjuk kearah sana.
Orang tua itu ketika melihat kearah yang ditunjuk Bee
Tie sudah menjadi kaget. dengan segera melepaskan
tangannya yang menempel dibadan orang dan siap untuk
pergi membantui kawan-kawannya.
Bee Tie yang sudah sedemikian bencinya orang itu mana
mau melepaskannya dengan begitu saja, dengan sebal ia
sudah mencabut seruling warisan ayahnya dan menotok
jalan darah orang itu cepat sekali.
Dengan tidak ampun lagi orang tua itu sudah jatuh
terduduk lagi.
Gerakan yang cepat ini sudah dapat dilihat oleh si Kongcu
baju hijau yang berada dikadapaannya sambil tertawa ia
berkata.
"Tidak kusangka kepandaiannya saudara Bee Tie telah
maju sedemikian pesatnya.”
Karena melihat nyawanya Kim-leng Kong-cu sangat
terancam, dengan meninggalkan sang kawan Bee Tie sudah
lompat keatas panggung dan membentak.
"Berhenti.”

Kim-leng Kong-cu Jie Ceng yang memang sudah
terdesak segera lompat menyingkir dari lawannya dan
berhenti tidak menyerang lagi. Tapi Tiang-pek Kong-cu
yang bermaksudahendak membunuh musuh tangguhnya ini
sengaja seperti yang tidak mendengar dan meneruskan
tusukannya.
Semua orang yang melihat kelicikannya sudah pada
berteriak. Bee Tie dapat bergerak sebat, ia menyelak dan
serulingnya di kasih bekerja mengetok pergelangan tangan
orang untuk menahan tusukannya pedang.
Tangannya Tiang-pek Kong-cu tergetar hampir saja tak
dapat mencekal pedangnya lagi.
"Kau siapa?” bentaknya marah. “Jika hendak mengadu
pedang, seharusnya menunggu sampai selesainya
pertandingan ini !"
Bee Tie sangat jemu pada Kong-cu licik ini, ia
menjawab.
"Dengan mengandalkan tajamnya pedang mustika apa
kau tidak merasa malu memperoleh kemenangan? Apa lagi
saudara Jie ini sudah kalah, mengapa kau masih hendak
membunuhnya juga ?"
Para penonton sudah mulai kasak kusuk lagi.
"Siapakah pemuda yang berani ini?"
Diatas panggung terdengar geramannya Tiang-pek Kongcu
yang menjadi panas hati.
"Apa kau kira aku takut padamu?"
Pedang pusakanya diangkat lagi untuk menyerang
kearahnya pemuda yang dianggapnya pengacau.
Bee Tie lantas naik darah. Entah bagaimana ia bergerak,
cukup dengan sekali tendang saja membuat Tiang-pek

Kong-cu menggelinding pergi dan langsung pergi jatuh ke
bawah panggung.
Semua orang lantas menjadi ribut lagi, siapa juga tidak
ada yang melihat dengan gerakan apa Bee Tie menjatuhkan
Tiang-pek Kong-cu yang tangguh.
Diatas panggung terlihat Bee Tie sudah menggapekan
tangannya kearah Kim-leng Kong-cu dan berkata.
"Kau tadi masih belum kalah betul, mari sekarang
melawan aku lagi.”
Kim-leng Kong-cu menjadi ragu-ragu jika mengingat
akan ketangguhannya anak muda ini. Belum lagi ia dapat
berbuat suatu apa tiba-tiba dibawah panggung sudah
terdengar teriakannya si “Putih Kurus” yang pernah
memberi pelajaran padanya.
"Lee Tie, kemarilah kau.”
Bee Tie dengan mempelototkan matanya sudah
membentak.
"Aku she Bee, bukannya Lee. Apa kau ingin bertanding
dengan aku juga? Aku tidak takut untuk kau si Setan putih.”
Semua orang yang mendengar disebutnya nama”Lee
Tie” ini. lantas menjadi gempar lagi.
"Oooo ... kiranya dia Bong-san Kong-cu dari Kui-in
chung.”
Bee Tie diatas panggung yang mendengar sudah
memberikan bantahannya.
"Aku bukannya Bong-san Kong-cu dari Kui-in-chung
lagi, aku adalah ketua Hoa-san pay yang kedua pulah enam
Bee-Tie."

Setelah berkata ia memindang kepada orang yang berada
disekitarnya dan terjatuh pandangannya diatas dirinya itu
Lu-tong Kong-cu. Mukanya mendadak bersinar terang dan
berkata kepadanya tertawa.
"Kau bagaimana? Apa kau tidak ingin mengadu pedang
denganku?"
Bee Tie sudah ada niatan untuk memberikan gelaran
juara Tong-tu san-chun ini kepadanya, maka ia sengaja
mengajak bertanding dengannya.
Lu-tong Kong-cu baru saja mau berdiri satu bayangan
hijau sudah berkelebat lewat dihadapannya dan langsung
naik keatas panggung. Ternyata si Kong-cu baju hijau
sudah mendahuluinya naik keatas dan berkata kepada Bee
Tie.
"Saudara Bee aku ingin meminta sedikit pelajaran
darimu."
Setelah berkata ia memandang ke arahnya Go-tong Siukbo
sebentar, terlibat Go-tong Sin-kho memanggutkan
kepalanya sembari tertawa.
Si Kong-cu baju hijau sudah segera mencabut
pedangnya. Begitu melihat kearahnya Bee Tie yang hanya
memegang seruling hitamnya ia lantas mengkerutkan
keningnya.
Tapi pada waktu itu tiba-tiba terdengar satu suara orang
tertawa berkakakan. Bee Tie melihat ke sana dan ia menjadi
gembira karena yang datang ini tidak lain adalah si "Pelajar
pedang tumpul” yang baik hatinya. Sambil tertawa ia
berkata.
“Siokhu Pedang Tumpul, apa kau dapat meminjamkan
pedang tumpulmu itu kepadaku?"

Dengan masih tertawa si Penlajar tua sudah akan
menyerahkan pedang tumpulnya yang diminta.
Tapi Go-tong Sin-kho mendadak tertawa dan berkata.
"Saudara Pedang Tumpul, tidak usah kau menyerahkan
pedangmu Kepadanya. Pertandingan ilmu pedang didalam
Tong-in-san-chung ini tetah selesai sampai disini saja.
Kepandaiannya Bee Tie berada diatasnya semua Kong-cu
lainnya, dan esok hari ia boleh ikut kepadaku untuk pulang
kepulau Go-tong saja "
Sungguh aneh Kong-cu baju hijau yang mendengar
keterangan itu sebaliknya ini. Tapi yang membikin ia lebih
kaget lagi ialah itu kata-katanya Go-tong Sin-kho yang
susah dimengerti, apa maksudnya. Maka dengan suara
keras ia berkata.
“Aku Bee Tie tidak mau dijadikan babah mantunya
keluarga Siauw, dan juga tidak mau ikut kepulau Go-tong
yang jauh itu. Go-tong Sia-kho yang mendengar katakatanya
Bee Tie ini sudah berubah parasnya menjadi pucat.
Dengan sekali menggoyangkan kedua pundaknya ia sudah
lompat kehadapannya Bee Tie dan memandangnya dengan
teliti sekali.
Bee Tie yang dipandangnya demikian sudah menjadi
kikuk, tapi yang membikin ia lebih heran lagi. iayalah
cekalannya si Kong-cu baju hijau sudah menjadi gemetaran
seperti lakunya seorang yang ketakutan saja.
Bee Tie yang tidak mengetahui akan keadaan si Kong-cu
sudah membalikan kepalanya dan berkata kepadannya.
"Apa yang kau takuti? Kita tidak perlu menjadi takut
untuk menghadapi kejadian ini.”
Go-tong Sin-kho yang mendengar kata-katanya Bee Tie
tadi dengan secara langsung lantas menanya kepadanya.

"Jika kau tidak mau ikut kepada kita untuk pulang
kepulau Go-tong mengapa kau tadi berani naik keatas
panggung ini.”
“Karena harus menolong jiwa orang, aku sampai
melupakan diriku sendiri.”
"Jadi kau bersifat main-main saja !"
“Boleh dikata juga begitu,” jawab Bee Tie tertawa.
Matanya Go-tong Sin-kho mulai menjadi beringas. Bee
Tie yang melihat perobahan mukanya sudah mengerti akan
bahaya, dengan melepaskan cekalannya si Kong-cu baju
hijau ia sudah mulai siap siaga untuk menghadapi segala
kemungkinan.
Si “Pelajar Pedang Tumpnl” yang melihat Bee Tie
berada didalam bahaya juga sudah memajukan dirinya
untuk siap memberikan bantuannya.
Dalam saat yang segenting ini, tiba-tiba terdengar suara
tertawanya si “Putih Kurus” tadi.
"Go-tong Sin-kho, lebih baik kau menyerah kalah sajalah
kepadanya.”
Empat orang tua tinggi besar yang selalu mengikuti
Tiang-pek Kong-cu juga tidak mau ketinggalan untuk
membakar panas hati orang, salah satu dari mereka sudah
berkata.
Tidak disangka Go-tong Sin-kho yang ternama bolehnya
jatuh namanya begitu saja.”
Kata-kata merek ini seperti dua kipas saja yang
mengipasi hatinya Go-tong Sin kho yang sedang panas.
Si Kong-cu baju hijau yang berdiri disebelahnya Bee Tie
tiba-tiba menjerit seperti gila.

“Bee Tie aku benci sekali padamu.”
Kaki dan tangannya sudah berjingkrakan seperti mau
memukul kearahnya. Bee Tie sudah menjadi kaget dan
tidak mengerti akan sikap kawannya yang telah berubah
dalam seketika ini. Dengan cepat ia telah mengulurkan
kedua tangannya untuk menyekal dua tangan orang yang
sudah seperti setengah gila ini.
"Kau mengapa benci kepadaku? Kesalahan apa yang
telah menyebabkan kau berlaku seperti ini," Dengan sabar
Bee Tie berkata kepada kawannya itu.
Go-tong Sin-kho yang sudah tidak dapat menahan
kesabarannya sudah mulai menyerang dengan angin
pukulannya yang hebat kepada si anak muda, Bee Tie
dengan terpaksa harus melepaskan cekalannnya pada
tangan kawannya dan lompat nyamping tiga tindak.
Go-tong Sin-kho sambil menarik tangannya si Kong-cu
baju hijau sudah membentak lagi kearahnya Bee Tie.
"Apa betul kau tidak mau ikut pergi dari sini?"
Belum juga Bee Tie dapat menjauhi atau tiba-tiba
terdengar suara tindak yang cepat sesekali sedang
mendatangi. Seorang tinggi besar dengan menyelak sana
dan sini tahu-tahu sudah berada diatas pangung.
Bee Tie dan si “Pelajar Pedang Tumpul” yang
membelakangi orang baru datang ini sudah tentu tidak
dapat melihat bagaimana wajahnya orang ini Go-tonng Sin
kho biarpun dapat melihatnya dengan jelas sekali tapi
karena tidak mengenalnya juga tidak mau ambil perduli.
Hanya si Kong-cu baju hiiau yang lantas menjerit kaget atas
kedatangannya orang itu.
"Lee Thian Kauw." Demikian teriaknya si Kong-cu baju
hijau dengan ketakutan sekali.

IX. JARING ASMARANYA LEE THIAN KAUW
BEE Tie yang mendengar disebutnya nama “Lee Thian
Kauw” sudah menjadi tergetar hatinya, ia membalikan
tubuhnya dengan tiba-tiba dan tidak mau memperdulikan
Go-tong Sin kho lagi. Sambil menghadapi Lee Thian Kauw
ia sudah membentak keras. "Bagus, Lee Thian Kauw. kau
akhirnya datang kesini juga, kebetulan sekali karena aku
sudah tidak susah susah mencarimu lagi.
Lee Thian Kauw tertawa terbahak bahak. “Tidak
disangka disini kita dapat bertemu lagi." ia menyindir.
Lalu dengan tidak memperdulikan Bee Tie lagi ia sudah
menghadapi Go-tong Sin-kho dan berkata.
"Lee Thian Kauw dari Kui-in-chung datang untuk turut
menyaksikan wajah cantiknya Sin-kho yang tersohor.
Tapi si Kong-cu baju hijau yang berada dibelakangnya
Go-tong Sin-kho sudah meneriakinya.
"Ibu, aku sudah mengatakan padamu dan janganlah
dapat terpedya oleh perkataan manisnya.
Bee Tie yang mendengar si Kong-cu baju hijau
membasahakan Ibu, kepada Go-tong Sin-kho seolah-olah
disambar petir, tidak disangka bahwa sang kawan ini dapat
mengelabui matanya sedemikian lamanya. "Kalau begitu
dia perempuan.” dalam hatinya berkata.
Dilain pihak Go-tong Sin-kho berdua dengan Lee Thian
Kauw sudah berpandangan sekian lama, Go-tong Sin-kho
meski tidak tertawa, tapi juga tidak marah kepadanya,
sedang Lee Thian Kauw masih tertawa saja.
Bee Tie mengeluarkan suara dari hidung. Baru saja ia
mau berkata atau sudah terdengar Go-tong Sin-kho
membuka mulutnya. "Kiranya chung-cu dari Kui-in-chung

yang datang kemari? Pernah juga ada yang mengatakan
padaku bahwa kedatanganmu ini tidak mempunyai maksud
baik kepadaku apa betul?”
Si Kong-cu baju hijau Siauw Beng Eng sudah turut
menyambung kata-kata ibunya. "Betul. Ibu jangan percaya
padanya, sifat kejamnya sukar untuk diduga.”
Go-tong Sin-kho mengerlingkan matanya dan menanya
kepada Lee Thian Kauw.
"Lee chungcu, apa betul kata-katanya itu?"
Lee Thian Kauw mesem senyumannya seperti tidak ada
habis-habisnya saja. Dengan lagu suara yang dapat
memikat wanita ia berbalik menanya?"
"Apa Sin-kho percaya akan kata-katanya?"
Lalu ia mulai menghampiri Bee Tie lagi, dari dalam
sakunya ia mengeluarkan itu senjata rahasia yang tempo
hari ditimpukkan oleh Bee Tie menghantam mukanya,
segera disodorkan kehadapan mukanya Bee Tie dan berkata
dengan suara halus.
"Anak, kau lupa mengambil kembali senjata rahasiamu
ini."
Bee Tie menjadi melongo, ia menatap wajahnya Lee
Thian Kauw dan segera dapat lihat di pipi kirinya ada tanda
bekas luka. ia tidak berani menyambuti, lalu mundur tiga
tindak.
"Lee Thian Kauw, siapa yang menjadi anakmu?"
bentaknya.
"Kebencianmu sampai sedemikian hebatuya apa kau
telah lupa kepadaku yang selalu telah mengampuni
dirimu?"

Bee Tie dengan menggoyang-goyangkan serulingnya
berkata. "Lee Thian Kauw aku sudah benci sekali padamu.”
Ia lain mengeluarkan kepandaiannya ilmu silat dari
“Sumur kematian”. Kaki kirinya bertindak ke kiri selangkah
dan mengangkat kaki kanannya tiga langkah, tangannya
yang memegang seruling sudah disodorkan menotok jalan
darahnya Lee Thian Kauw.
Lee Thian Kauw tertawa berkakakan. Ia memajukan
langkahnya dua tindak, lengan bajanya dikibaskan untuk
menggulung seruling orang.
Tapi ia tidak menyangka bahwa kepandaiannya Bee Tie
sudah bukan kepandaiannya pada waktu yang lampau.
Pada saat tangannya Lee Thian Kauw belum dapat ditarik
kembali sudah terdengar teriakannya Bee Tie yang nyaring
sekali.
“Kena!”
Jalan darah dibokongnya sudah terasa terkena
totokannya seruling Bee Tie, masih untung Lee Thian
Kauw mempunyai kepandaian yang luar biasa dengan
menyedot sedikit hawa. ia sudah dapat menarik diri
serangan orang. Tapi walaupun demikian tidak urung ia
juga merasakan sakit pada bagian jalan darah yang terkena
totokan tadi. Cepat-cepat Lee Thian Kauw membalikkan
diri, dengan muka pucat dipandangnya anak muda
dihadapannya.
Lee Thian Kauw bisa menyesuaikan diri, perobahan
mukanya tadi hanya sebentar saja, kemudian ia tertawa lagi
dan bersenyum kearahnya Bee Tie sambil berkata.
"Pesat sekali majunya kepandaianmu, aku sampai tidak
menyangkanya sama sekali.”

Semua penonton dengan mata tidak berkesiap
memandang kearah mereka berdua, siapa juga tidak
mengerti apa yang dilakukan oleh mereka yang seperti main
tonil saja.
Ada juga beberapa tamu yang pernah mengenal Lee
Thian Kauw sudah menjadi heran sekali. Siapa yang tidak
heran melihat Cung-cu Kui-in-chung yang tidak
berkepandaian ini dalam sekejapan mata saja sudah
menjadi satu jago yang kuat sekali, Bee Tie yang tahu akan
kelihayan Lee Thian Kauw, tidak begitu heran melihat
serangannya yang berhasil tapi masih tidak dapat
menjatuhkan Lee Thian Kauw. Dengan perlahan-lahan ia
memajukan dirinya lagi.
Tapi. Lee Thian Kauw rupanya tidak mau
menghadapinya ini hari. dengan menjauhi dirinya Bee Tie
ia sudah lompat kehadapannya Go-tong Sin-kho dan
berkata dengan suara yang merayu hati.
“Apa kau masih tidak mengerti akan maksudahatiku
ini?"
Sikapnya Go-tong Sin-kho tiba-tiba telah berubah
menjadi keren dan berkata dengan singkat.
"Tidak mengerti.”
Tapi walaupun ia berkata begitu, pandangan matanya
memandang Lee Thian Kauw dengan penuh arti.
Lee Thian Kauw sebagai seorang akhli mana tidak
mengetahui kalau tipu Ha, ha, hi, hi-nya yang pertama
telah berhasil bagus, maka ia lantas tertawa berkakakan
ditempatnya tadi.
Muka Go-tong Sin-kho tiba-tiba telah berubah, terdengar
ia menggeram dan membentak.

"Lee Thian Kauw, kau berani menghina aku disini?"
Berkata sampai disini, badannya Go-tong Sin-kho seperti
menggigil, matanya juga sudah agak merah (mau mewek?
Kok).
Siauw Beng Eng yang menyaksikan perobahan ibunja
sudah meneriakinya.
“Bu, kau mengapa?"
Go-tong Sin-kho coba menenangkan hatinya, dengan
adem menjawab.
“Tidak apa-apa.”
Si Pelajar pedang tumpul, jnsa sudah membuang sikap
jenakanya, dengan sunguh-sungguh menanya kearahnya
Bee Tie.
“Bagaimanakah kejadiannya?"
Bee Tie yang tidak memandang mata kepada mereka
sudah menjebikan bibirnya dan berkata, "Hanya jaringan
asmaranya Lee Thian Kauw saja.”
Go-tong Sin-kho yang mendengar kata-kata Bee Tie
sudah menjadi marah, sambil memandang kearahnya Lee
Thian Kauw dengan suara keras ia berkata.
"Lee cungcu, apa kau tidak dapal mewakiliku mengajar
adat kepada bocah yang kurang ajar ini !"
Tertawanya Lee Thian Kauw masih belum habis semua,
begitu mendapat sambutan hawa dari si janda jelita,
tangannya kelihatan semakin tengik matanya memandang
kearahnya Bee Tie sendiri.
Ketegangan telah terlihat dari kelakuannya Bee Tie, ia
mundur tiga tindak dan melintangkan seruling ayahnya
diatas dada.

"Lee Thian Kauw kau mau berbuat apa?" bentaknya.
Senyuman iblis Lee Thian Kauw sudah mulai kentara,
dengan tidak memperdulikan kata-katanaya Bee Tie tadi ia
menoleh kearahnya si “Putih Kurus” dan menanya
“Setan tua dari Bong-san, apa kau masih mau
menolongi bocah yang belum tahu tingginya langit ini."
Si “Putih Kurus” berdehem sekali dan tertawa.
"Bocah yang tak mengenal budi, siapa yang keinginan
menolongi.” Jawabnya.
Si “Pelajar Pedang Tumpul” yang melihat keadaan tak
menguntungkan sudah mulai memajukan dirinya dan
membentak kearah mereka.
"Kalian mau berbuat apa padanya?"
Lee Thian Kauw tertawa panjang, dengan memandang
kearahnya si “Pelajar Pedang Tumpul” ia berkata, "Apa kau
bersedia menalangi dirinya?"
"Kau siapa?"
Lee Thian Kauw tertawa berkakakan.
"Apa kau masih belum pernah mendengar namanya.
Sepasang orang aneh dari Thian-san?”
Pandangan matanya si ”Pelajar pedang tumpul” yang
kebentrok dengan sinar tajamnya Lee Thian Kauw sudah
menjedi tergetar juga, apalagi setelah mendengar disebutnya
nama Sepasang orang aneh dari Thian-san hatinya semakin
kaget. Tahulah ia sekarang bahwa tidak mungkin baginya
dapat menandingi jago ternama ini. dengan tertawa lebar ia
coba menenangkan diri.
Terdengar suara Bee Tie lagi.

"Terima kasih atas perhatiannya lo-cianpwe yang telah
mencapaikan diri. tapi Lee Thian Kauw ini mempunyai
permusuhan yang dalam sekali dengan diriku, maka disini
boan-pwee sudah siap untuk mengadu jiwa dengannya,
harap locianpwce hanya turut menyaksikan saja."
Lalu dengan sikap yang berani ia menghampiri Lee
Thian Kauw.
Lee Thian Kauw, setelah terkena totokannya seruling
Bee Tie tadi, pandangannya terhadap anak muda ini sudah
menjadi lain sekali. Ia heran melihat kemajuan Bee Tie
yang pesat sekali, maka ia tak berani gegabah lagi, dengan
sikap setengah tertawa setengah waspada ia berdiri saja
ditempatnya tadi.
Seluruh ruangan pertandingan ini sudah mejadi tenang
sekali. Semua orang sudah menyaksikan akan
kepandaiannya Bee Tie saja, tapi banyak orang juga yang
sudah pernah mendengar namanya. “Sepasang orang aneh
dari Thian-san yang kesohor, siapa juga tidak berani
sembarangan memastikan siapa lebih unggul di antara
mereka berdua.
Bee Tie mulai bertindak maju lagi. ia tegang karena tahu
akan kepandaian musuh besarnya ini.
Baru saja Bee Tie bertindak dua langkah lagi atau sudah
terdengar bentakannya Lee Thian Kauw.
"Apa betul kau sudah tidak takut mati?”
Bee Tie tidak mau memperdulikan ancamannya sang
musuh besar ini, hanya terlihat bayangan kecil berkelebat
seruling hitam membuat setengah lingkaran dan mengarah
bebokong orang lagi.

Lee Thian Kauw mengeluarkan geramannya, hur, hur,
dan pukulan tangan kosongnya telah dikeluarkan mengarah
bayangan yang datang kearahnya.
Bee Tie mana membiarkan badannya terkena pukulau
musuh besarnya ini. seruling digentak kebawah menutul
tanah dan melesatlah ke udara tubuhnya yang kecil.
Lee Thian Knuw mengibas-ngibaskan lengan bajunya,
berlompatan kesini dan ramailah pertarungan diantara dua
lengan baju dan seruling hitamnya Bee Tie.
Semua penonton sampai pada menahan napasnya
ratusan mata dipentang selebar-lebarnya memandang
mereka berdua. Inilah pertempuran yang sukar untuk tidak
meminta jiwa, karena lengih sedikit saja salah satu dari
mereka tentu akan ada yang terluka."
Mendadak Lee Thian Kauw membentak keras, terlihat
Bee Tie terpental mundur lebih dari lima tindak dengan
muka pucat sudah terjatuh diatas panggung pertandingan.
Walapun demikian, Lee Thian Kauw juga tidak dapat
menarik banyak keuntungan darinya, terlihat ia mulai
batuk-batuk dan memuntahkan darah segar. Sewaktu
ditegasi ternyata baju didepan dadanya terlihat tiga
bolongan bekas totokan serulingnya si cabe rawit.
Si “Pelajar Pedang Tumpul”, yang melihat Bee Tie telah
terluka sudah menghunus pedang tumpulnya, dengan sekali
lompat saja ia sudah berada di dampingnya si anak muda
untuk melindungi keselamatannya.
Go-tong Sin-kho waktu itu sudah menghampiri dengan
tertawa ia berkata.
"Saudara Pedang Tumpul, apa kau sudah bersedia untuk
menjadi pembelanya."

Si Pedang Tumpu1 tertawa dingin.
“Sin-kho memang mempunyai hati yang melebihi jarum
tajamnya. Dengan nama besarnya keluarga Siauw Yung
ternama, kau apa tidak malu telah menyuruh Thian Kauw
membunuh seorang anak kecil yang masih belum tahu
suatu apa?”
Go-tong Sin-kho tidak dapat menjawab jengekannya si
Pedang Tumpul yang mempunyai lidah tidak tumpul ini. Ia
memandang kearahnya para tetamu yang juga tidak puas
dengan tindakannya tadi. Terlihat diantara mereka tidak
sedikit yang sudah mempelototkan mata mereka kearahnya
dengan perasaan tidak enak perlahan-lahan ia mulai
mengundurkan dirinya lagi.
Keadaan disaat itu memang menguntungkan dirinya Bee
Tie baru saja si pedang Tumpul mau mengangkat tubuhnya
Bee Tie untuk dibawa pergi atau terdengar teriakanrya si
Putih Kurus yang serakah dan jahat.
"Hei, tunggu sebentar, perhitunganmu dengan aku harus
dibikin beres terlebih dahulu.”
Dengan tidak memberi kesempatan untuk lawannya
membantah lagi, si “Putih Kurus” sudah mengirim
pukulannya sampai dua kali.
Si “Pelajar Pedang Tumpul” mengangkat Padang
tumpulnya dan diputar demikian rupa yang segera
disodorkan kearah lawan busuknya. Dengan marah ia
mengeluarkan bentakannya.
"Setan kuras, permusuhan apa yang mengganjal
diantaramu dengan anak muda ini.”
Tentu saja si Pedang Tumpul tidak tahu bahwa itu
‘Pepatah sebagai kunci pengambilan kitab Kiu-teng-sinkang’
yang tersimpan di dalam Tongkat Rantai Kumala

telah dapat didengar oleh si “Putih Kurus”. Demi
kepentingannya sendiri tentu saja ia mesti membunuh Bee
Tie, ialah orang satu-satunya yang bakal menjadi
saingannya dalam pengambilan kitab yang berharga itu.
Apa lagi tadi setelah menyaksikan sendiri bagaimana ia
bertempur dengan Lee Thian Kauw, dengan kepandaian
barunya ternyata sudah dapat menandingi Lee Thian Kauw
yang ternama, bagaimana ia tidak menjadi iri hati dan takut
dikemudian hari?"
Si “Putih Kurus” sambil tertawa terkekeh-kekeh
mengbindarkan serangannya si Pedang Tumpul, dan
lompat ke belakang orang untuk memukul dengan tangan
kosong.
Selihay-lihaynya a si Pedang Tumpul, mana ia dapat
menandingi si “Putih Kurus” dari goa Batu Kepala
Manusia digunung Bong-san ini? Sebentar saja ia sudah
mulai mandi keringat karena harus lelompatan ke sana sini
menghindari serangan musuhnya yang Iihay.
Terlihat semua orang sudah menjadi tegang lagi, mereka
bukannya menguatirkan Si pedang tumpul yang sudah
terkurung oleh pukulannya si Putih Kurus tadi, tapi waktu
itu Lee Thian Kauw yang mempunyai latihan sempurna
sebentar saja telah dapat menyembuhkan luka-luka
dalamnya, tampak dengan perlahan-lahan sudah
menghampiri Bee Tie, yang masih belum kuat untuk
bangun berdiri.
Semua orang merasa sudah menjadi sesak napas menikiri
nasibnya si pemuda.
Tiba-tiba terlihat sinar hijau berkelebat tahu-tahu Siauw
Beng Eng sudah menyelak disana dan membentak arahnya
Lee Thian Kauw.

"Kau ini pengacau dunia, jika berani kau mengganggu
selembar rambutnya, aku akan segera mengadu jiwa disini!"
Pertama-tama Lee Thian Kauw sudah dibikin melengak
juga, tapi setelah berpikir sebentar ia sudah tertawa lagi
seperti biasa. Dengan sikap yang sangat menghormat sekali
ia sudah berkata kearahnya Go-tong Sin-kho yang menjadi
ibunya si gadis nakal ini.
"Lee Thian Kauw sudah menurut perintahnya Sin-kho
tadi, tapi mengapa Sin-kho juga menyuruh dia menghalangi
tindakanku? Apa Sin-kho bukannya sedang bercanda saja?"
Saking gemasnya Go-tong Sin-kho sudah menjadi
geregetan sekali, dengan suara galak ia membentak anak
gadisnya.
“Beng Eng, lekas kau kemari.”
Siauw Beng Eng dengan muka yang minta dikasihani
sudah menalangi Bee Tie memohon pengampunannya.
“Bu, biarpun Bong-san Kong-cu tidak mau mengikuti
kita pulang kepulau Go-tong, tapi untuk kesalahannya ini
apa tidak terlalu berat jika mendapat hukuman mati?"
Go-tong Sin-kho tidak bergerak dari tempatnya sudah
membentak lagi!
"Beng Eng, ini semua bukannya urusanmu. Lekas kau
kembali kemari.”
Tapi Siauw Beng Eng masih tetap membandel dan diam
saja disamping pujaannya yang terluka.
Go-tong Sin-kho menjadi bertambah marah perlahanlahan
ia maju menghampiri Siauw Beng Eng yang lebih
tahu akan sifat ibunya sudah menjadi gemetaran
ditempatnya. dalam keadaan yang segenting ini tiba-tiba

ujung bajunya seperti ada yang ditarik dengan perlahan
sekali.
Ia menundukan kepalanya dan dilihatnya Bee Tie masih
terduduk ditempatnya tadi tapi mukanya sudah tak seperti
tadi, Siauw Beng Eng sudah mengerti dan menubruk ke
arah ibunya dengan lagak kolokan sekali.
"Bu. anakmu tidak akan berani lagi."
Go-tong Sin-kho perlahan-lahan menyingkirkan tubuh
anaknya, dengan suara dingin berkata.
“Hampir saja aku akan membunuhmu juga bersamasama
dengan dia."
Siauw Beng Eng menjadi bergidik mendengar akan katakata
ibunya ini. Tidak lama sudah terdengar suaranya Gotong
Sin-kho yang berkata searahnya Lee Thian Kauw.
“Lee cungcu jangan salah mengerti, bilakah aku berani
mempermainkan dirimu.”
Lee Thian Kauw menengadah kelangit dan berkata
dengan suara yang keras.
“Bee suheng bukannya sutemu tidak dapat memelihara
baik-baik anakmu, tapi dia sendirilah yang mancari mati
disini.
Begitu perkataannya ini tertutup, badannya sudah
melesat tinggi, seperti burung rajawali besar yang mau
menerkam mangsanya saja ia telah menubruk kearahnya
Bee Tie.
Si Pedang tumpul biarpun sedang dalam keadaan
terdesak oleh pukulan-pukulannya si “Putih Kurus”, tapi
sedari tadi Ia tidak dapat melupakan keadaannya Bee Tie
yang memang cukup berbahaya. Begitu melihat tangan
elmaut sudah mengancam si pemuda ia sudah melupakan

bahaya yang mengancam dirinya dan melemparkan pedang
tumpulnya ke sana.
Karena pecahnya perhatian inilah, dengan tidak ampun
lagi pakaiannya si Putih Kurus dengan tepat telah mengenai
sasarannya.
“Duk, Duk, si Pedang Tumpul sampai terhuyunghuyung
mundur.
Lee Thian Kauw tidak menyangka kepada si Pedang
Tumpul, yang untuk membela dirinya sendiri saja sudah
susah, masih dapat memberikan pertolongannya. Maka
begitu pedang datang menyambar kearahnya hampir saja ia
tertusuk, untung saja ia mempunyai latihan mata yang
cukup sempurna, dengan melepaskan mangsanya ia sudah
menyingkir dari lemparan pedang tumpul.
Begitu Lee Thiau Kauw sudah berdiri tegak lagi ia sudah
siap untuk menerkam lagi korbannya, tiba-tiba sudah
terdengar teriakannya Lu-Tong Kong-cu yang sudah tidak
dapat menyabarkan diri.
“Tahan."
Lee Thian Kauw sudah menjadi penasaran, siapakah
orangnya yang masih mempunyai nyali sebesar itu? Ia
menengokan kepalanya untuk melihat dimana suara Lutong
Kong-cu tadi berada.
Tapi dalam yaktu secepat ini, terlihat Bee Tie sudah
mementalkan dirinya lagi, dengan kesebatan yang luar biasa
ia sudah menggunakan seruling hitamnya menyabet musuh
besarnya.
Lee Thian Kauw lantas menjerit, ketika ditegasi ternyata
benar luka dimukannya sudah mencucurkan darah lagi
karena terkena goresannya seruling hitam musuh ciliknya.

Bee Tie yang sudah menjadi seperti seekor macan kecil
yang kalap tidak berhenti sampai disini saja seperti
datangnya angin puyuh saja ia sudah menubruk kearahnya
si Putih Kurus yang sedang kegarangan menang bertempur.
Sebentar saja si Putih Kuius menjadi gelagapan
menghindari serangan-seranganya Bee Tie yang aneh-aneh.
Dibawah pancung Kim-leng Kong-cu yang melihat
gurunya dicecer oleh serangan pemuda galak ini sudah
lompat naik ke atas untuk memberikan bantuan tenaganya.
Bee Tie tertawa dingin, ia mengempos tenaganya dan
beruntun sampai tiga kali menyerang dengan seruling
hitamnya.
Si “Putih Kurus” mundur-mundur, dan mundur lagi. Bee
Tie memindahkan seruling hitamnya ketangan kiri, Buk.
pukulannya dengan tepat telah dapat menempel diatas dada
orang.
Hampir saja si Putih Kurus jatuh terjengkang jika tidak
lekas lekas melompat ke kiri.
Bee Tie tidak berhenti sampai disini, dengan seruling
yang berada ditangan kiri tidak henti-hentinya ia mendesak
lagi.
Si “Putih Kurus” berteriak-teriak kalang kabutan
menghindari serangan ini dan tidak henti-hentinya main
mundur lagi. (Jadi kaya undur undur dong? Kor)
Sekarang ia telah masuk kedalam perangkapnya Bee Tie,
ternyata dibelakangnya ada si Pedang Tumpul yang sudah
lama menanti, jika saja si pelajar mau menambah
pukulannya dari belakangnya, tertu tamatlah riwayatnya
orang serakah dan sekeker ini.

Kejadian diluar dugaan sudah terjadi, bukan saja si
pelajar tua tidak memberikan pukulan tambahannya, malah
mengangsurkan tangannya mengangkat tubuhnya si setan
kurus yang segera disingkirkan kesampingnya dan berkata.
“Setan Kurus”, sudahlah menyerah kalah saja."
Lalu pelajar tua yang budiman ini dengan menahan rasa
sakitnya juga sudah menghadang didepannya Kim-leng
Kong-cu Jie Ceng yang datang mau membantui gurunya,
berkata.
"Kau masih bukan tandingannya, lekaslah bawa gurumu
ini meninggalkan tempat ini."
Si “Putih Kurus” sebagai orang yang kawakan mana
mau mengerti dapat dikalahkan oleh bocah yang masih
ingusan ini? Dengan kalap ia sudah menubruk lagi
kearahnya Bee Tie.
Si cabe rawit lompat menyingkir dari tubrukannya orang
kalap ini dan memberikan peringatannya.
“Setan Kurus”, aku Bee Tie masih ingat kepadamu yang
telah memberikan pertolongannya padaku pada tiga bulan
yang lalu. Maka aku tidak mau terlalu mendesak
kepadamu."
Di sana terlihat Lee Thian Kauw seperti sudah pulih lagi
tenaganya dan siap untuk menerkam mangsanya lagi.
Bee Tie yang melihat sudah menjadi tegang lagi, ia
mengeraskan cekalan seruling hitamnya siap untuk
menanti.
Si Pedang Tumpul juga telah menggunakan kesempatan
mereka sedang kalut tadi telah mengambil pedang
tumpulnya kembali, ia melangkah maju dua tindak lagi dan
berteriak kearahnya si Putih Kurus yang bandel.

“Setan Kurus” lekaslah ajak muridmu untuk
meninggalkan tempat ini.”
Si “Putih Kurus” mempelototkan matanya dan sukar
untuk begitu saja mau turun dari panggung pertandingan
ini.
Si Pedang Tumpul yang tahu akan kesukaran orang
sudah tertawa berkakakan.
“Setan Kurus, jika kau mau mengadu kekuatan carilah
tempat yang lebih leluasa dari panggung ini, tiga hari
kemudian bagaimana jika aku berkunjung kepuncak Kieting,
untuk mengadu kekuatan kita disana?"
Inilah siasat pintarnya si pelajar tua, ia sengaja berkata
begini agar si “Putih Kurus” punya alasan kuat untuk
mengundurkan dirinya. Maka betul saja terlihat si “Putih
Kurus” dengan membelalakan putih matanya berkata.
"Baiklah. Tiga hari kemudian aku akan siap
menunggumu disana."
Dengan mengajak muridnya ia sudah untuk
meninggalkan Tong-tu san-chung atau tiba-tiba Go-tong
Sin-kho yang telah lama tidak bicara sudah meneriaki
mereka.
“Jie Kong-cu, tunggu sebentar." Kim-leng Kong-cu Jie
Ceng melengak, ia menolehkan kepalanya menatap dengan
pandangan mata tidak mengerti.
Go-tong Sin-kho tertawa terhadapnya.
“Kong-cu telah datang ketempat Tong-tu-san-chung sini,
tentu mempunyai niatan untuk mengikuti kita pulang
kembali ke pulau Go-tong. Tunggulah sebentar biar aku
dapat memikirkan persoalan ini.”

Harapannya Jie Ceng sudah timbul kembali, para Kongcu
lainnya yang mendengar kata-kata inipun masih hilang
harapan dan semua memandang kearahnya Go-tong Sinkho.
Go-tong Sin-kho tak perdulikan mereka, seperti sengaja
sudah mengerlingkan matanya kearah Lee Thian Kauw.
Si orang she Lee yang sedang berjalan menghampiri Bee
Tie mendengar kata-katanya tadi sudah berpaling, ia
melihat kerlingan si janda jelita, tapi tidak mengerti dan
menanya.
"Kata-kata Sin-kho barusan mempunyai arti apa?"
"Aku hanya mau mengajak mereka kepulan Go-tong
untuk meniliknya."
Siauw Beng Eng yang mendengar kata-kata ibunya ini
sudah menjadi berjingkrak dan menanya.
"Apa betul kata-kata ibu ini?"
Go-tong Sin-kho dengan perlahan membisiki kuping
anaknya.
"lbumn sudah bersusah payah mendirikan panggung
pertandingan ini untuk mencarikan babah mantu yang
dapat dipenujui, tidak disangka bocah angkuh itu tidak
memandang mata kepada kita. apa kita dapat pulang
dengan percuma? Kau tenangkan sajalah hati mu, aku
mempunyai rencanaku sendiri.”
Siauw Beng Eng sudah menjadi menggigil seperti
kedinginan dengan membanting-banting kaki ia menyesali
akan tindakan ibunya yang sembrono itu.
"Bu, jika kau betul berbuat begitu, aku tidak akan
kembali ke pulau Go-tong lagi.”
“Diam." sang ibu membentak puterinya.

Siauw Beng Eng dengan tidak berkata-kata lagi sudah
enjot badannya melesat dan lenyap diantara orang banjak
yang datang ke dalam Tong-tu-san-chung itu.
Ketika Go-tong Sin-kho engah akan perbuatan anak
gadisnya ini, ia sudah menjadi tidak berdaya lagi karena
sudah kehilangan jejaknya sama sekali. Semua
kemarahannya sudah segera ditumplekan keatas dirinya Bee
Tie, dengan perlahan-lahan dihampirinya anak muda yang
dianggap menjadi gara-garanya.
Bee Tie kaget, dengan tidak terasa ia sampai mundur dua
kali, tapi kemudian ia sudah maju lagi dan mengeluarkan
bentakannya sebagai penguat hati.
"Kau ini setan cantik, apa kau kira aku takut padamu?"
Ia memalangkan serulingnya siap untuk menantikan
segala seranganya, tiba-tiba si Pedang Tumpul sudah
menyelak diantara mereka dan tertawa.
"Biar aku saja yang menerima pelajaran darinya.”
Lee Thian Kauw juga tidak mau tinggal diam. ia lompat
ke sana, memberikan pukulannya dan mengeluarkan
bentakannya.
"Minggir."
Pukulan tangan kosong ini jika dilihat dengan
sekelebatan saja memang tidak ada artinya. si “Pedang
Tumpul” tertawa, pedang tumpulnya digeser ketangan kiri
dan menyambati tenaga pukulan tadi.
Dasar nasibnya lagi apes, si pelajar tua yang lukanya
baru saja sembuh tadi. begitu membentur pukulannya Lee
Thian Kauw yang istimewa, kontan ia telah memuntahkan
darah segar lagi. Walaupun demikian ia masih ingat akan
keadaannya Bee Tie yang berbahaya dan meneriakinya.

-oo0dw0oo-
Jilid 07
BEE Tie lekas kau lari dari sini." Bee Tie bukannya lari
menjatuhkan dirinya untuk memberikan pertolongan
kepadanya.
Terlihat Go-tong Sin-kho dengan sekali bergerak juga
telah menyerang kearahnya Bee Tie.
Tidak percuma Go-tong Sin-kho sebagai istrinya sebagai
akhli pedang ternama, orang tidak melihat bagaimana ia
menggerakan tubuhnya atau tiba-tiba pedang sudah terlihat
ditangannya dan mengurung tubuhnya Bee Tie yang kecil.
Bee Tie belum pernah melihat ilmu pedang yang
semacam ini. walaupun demikian ia masih tidak takut
karena mengandalkan ke pandaian “Sumur kematian” yang
baru dapat dipelajarinya, dengan memapaki serangan
pedang ia juga mulai menggerakan seruling hitamnya.
Go-tong Sin-kho yang sedari tadi memperhatikan gerakgerik
kepandaiannya Bee Tie sudah dapat menyangka Bee
Tie akan menggunakan ilmu ini, pedangnya diturunkan
sedikit, kemudian digoreskan naik lagi.
Terdengar sekali jeritannya Bee Tie, lengan kirinya telah
terkena goresan pedangnya Go-tong Sin-kho tadi, darah
mengucur tidak henti-hentinya dari lukanya.
Biarpun demikian, Go-tong Sin-kho yang tidak
menyangka akan kegesitannya Bee Tie perhiasan diatas
tusuk kondenya juga telah terbabat terbang oleh seruling
hitamnya pemuda gagah itu.

Saat itu dari jauh terlihat satu bayangan kecil yang
berlari-larian mendatangi, sebentar saja orang itu sudah
sampai dan berkata.
“Bee Tie, kau sebagai ketua partai Hoa-san-pay mana
boleh sembarangan turun tangan sendiri.”
Bee Tie menjadi girang karena mendengar suaranya
orang ini, Kiauw Kiu Kong yang telah datang. Dengan
menahan rasa sakit diatas pundaknya ia sudah segera
membopong tubuhnya si Pedang Tumpul yang segera
dilemparkan kearahnya Kiauw Kiu Kong dan berkata.
"Kakek pendek, kebetulan sekali kedatanganmu ini.
Lekas bawa paman Pedang Tumpul yang terluka
meninggalkan tempat ini, sebentar lagi Bee Tie akan
menyusul setelah menyelesaikan urusan disini."
Kiauw Kiu Kong segera menyambut tubuhnya si Pedang
Tumpul yang terluka, matanya memandang kearahnya Gotong
Sin-kho dan Lee Thian Kauw sebentar, lalu dengan
menutulkan kakinya ia sudah lompat dari situ beserta
dengan si Pedang Tumpul yang terluka.
Bee Tie setelah melihatnya lenyapnya mereka berdua,
seperti telah bebas dari tugasnya tetih mengeluarkan napas
lega. Sambil menghadapi Go-tong Sin-kho dan Lee Thiau
Kauw berdua ia berkata.
"Kalian ini sepasang setan lelaki dan perempuan, aku
Bee Tie tentu tidak dapat melupakan budi kalian berdua,
tunggu sajalah akan pembalasanku nanti.”
Lalu dengan melewati diatas kepalanya para penonton,
Bee Tie sudah terbang meninggalkan panggung
pertandingan ilmu pedang yang sudah dibikin kacau oleh
kedatangannya itu.

Lee Thian Kauw yang telah mempunyai rencana sendiri
membiarkan saja Bee Tie meloloskan diri, ia sudah boleh
merasa puas karena Go-tong Sin-kho seperti tidak akan
membiarkan ia merasa kesepian lagi.
Sebentar saja Bee Tie sudah dapat keluar dari Tong-tusan
chung dengan leluasa, tapi begitu ia memandang
kemuka dilihatnya empat pengikutnya Liang-Pek Kong-cu
sudah lama menantinya disitu! Bee Tie sudah menjadi
marah, terlihat seruling hitam berkelebat dengan kecepatan
yang luar biasa, beruntun terdengar empat kali jeritannya
mereka dan empat belah mata mereka telah mengeluarkan
darah semua terkena totokannya seruling hitamnya Bee Tie.
Dengan tidak memperdulikan mereka lagi Bee Tie sudah
menyusul kearah lenyapnya Kiauw Kiu Kong dan si
“Pelajar pedang tumpul, tadi.
X. JIE SIANSENG YANG KECIL KURUS DAN
LESU
SEBENTAR saja Bee Tie telah tiba di atas jembatan kota
Lok-yang.
Saat itu matahari telah condong ke Barat. Awan merah
sebentar berubah menjadi kuning keemas-emasan seolaholah
hendak merubah menjadi sorganya dunia. Siapa yang
tidak akan tertarik hatinya menikmati alam indah dihari
senja ditepi sungai dari atas jembatan ini?
Diatas jembatan inilah Bee Tie menghentikan gerakan
kakinya, ia agaknya hendak menikmati khayalannya diatas
jembatan tersebut.
Puncak gunung Kie-ling yang menjulang tinggi tampak
samar-samar.
Tiba-tiba Bee Tie berkemak-kemik sendiri, hatinya
tergerak. Ia berkata-kata dengan suara sangat perlahan.”

"SEMBILAN TIANG BATU, BETERBANGAN
MELEWATI PUNCAK GUNUNG ... ”
BUTIRAN AIR SUNGAI BERKUMPUL
ME.WAINGI AWAN RIBU.
Setelah ia mengucapkan lagi kata-kata sebagai kunci
untuk mengambil kitab Kiu teng Sinkan yang ia dapatkan
dari dalam tongkat Rantai Kumala yang telah terpatahpatah
sampai dua kali, lalu timbullah pertanyaan dalam hati
kecilnya.
“Apa arti dua baris kata-kata itu sebetulnya?"
Melihat pemandausan alam yang sekarang terbentang
luas didepan matanya, Bee Tie tiba-tiba merasakan seperti
ada sesuatu dari alam situ yang agaknya ada sangkut paut
dengan dua berisan kata-kata termaksud, tetapi apa
hubungannya, ia sendiri juga masih belum tahu. Ia masih
terlalu muda untuk mengatasi segala-galanya. Ia tetap
berdiri sambil mengerjakan otaknya. Pusing juga ia
memikirkan kata-kata yang tidak dimengerti olehnya itu. Ia
tadinya sudah hendak meninggalkan jembatan ini. tiba-tiba
dari jauh terlihat seorang tua kecil, kurus dan lesu tengah
mendatangi kearah jembatan tempat ia sedang berdiri.
Orang tua itu kurus sekali, lagi pula sangat lesu
kelihatannya, sehingga tampaknya sepintas lalu sebagai
orang berpenyakitan.
Ketika Bee Tie menegasi dengan lebih teliti kiranya
orang tua lesu itu adalah orang yang dipanggil Jie Sianseng,
agaknya orang tua ini sedang kesal memikirkan nasib murid
bandelnya, Kang-tang-Kong-cu Hian Hui yang sebetulnya
gagah perkasa. Tetapi karena sang murid ini tidak mau
mendengar kata-kata gurunya, demikianlah, si Kong-cu
gagah yang bersenjatakan pedang berat, sang murid itu,
setelah dapat mengalahkan sepuluh orang Kong-cu lebih

akhli-akhlinya telah kehilangan kepalanya diatas panggung
pertandingan didalam perkampungan Tong-tu-san-chung.
Melihat sikapnya Jie Sianseng yang harus dikasihani itu,
lantas timbul rasa simpatinya Bee Tie. Ia lalu berjalan
menghampiri orang tua itu, lalu menjura dihadapannya
sambil berkata.
“Aku yang rendah di sini datang memberi hormat
dihadapannya Jie Sianseng. Orang tua itu agaknya kaget
melihat tahu-tahu didepannya sudah ada orang tanpa ia
mengetahui kapan dan dari mana datangnya orang ini,
malah ketika ditegasi ternyata adalah seorang anak muda,
yang agaknya baru masuk dalam masyarakat dunia
Kangouw sudah lebih-lebih rasa terkejutnya. Tetapi
berbareng juga ia lantas mengenali bahwa anak muda ini
adalah satu Kong-cu yang pernah datang keperkampungan
Tong-tu-san-chung, maka ia lantas berkata.
"Oh Kiranya Bong-san Kong-cu,” katanya sambil
membalas hormat anak muda ini. “Aku Jie Sianseng
merasa bangga sekali dapat bertemu lagi dengan Kong-cu."
Bee Tie Terkejut. Diam-diam dalam hati ia berpikir.
Kenapa Jie Sianseng itu lantas bisa mengenal aku? Padahal
baru pertama kali ini aku berhadapan muka dengan orang
tua ini. Dan mana ia tahu aku adalah Bong-san Kong-cu?"
Ia memikir itu, tetapi tidak berani tidak menjawab
pertanyaan orang.
“Aknpun tentu merasa lebih girang bisa bertemu dengan
Jie Sianseng." jawabnya segera.
"Dan kau sekarang mau pergi kemana?"
"Aku yang rendah hendak pergi menyusul Kiauw Kong-
Kong si kakek pendek dan paman Pedang Tumpul."

"Hmmm. Memang, memang! Si tua pendek dan si
Pedang Tnmpul berdua memang paling suka pada orangorang
yang jujur dan berbakat. Tentu mereka juga
perlakukan Kong-cu sangat baik bukan?”
Bee Tie mengangguk. Dalam hatinya tiba-tiba timbul
rasa ingin tahu tentang asal usulnya orang tua
dihadapannya ini, yang tentunya bukan orang yang tidak
mempunyai nama sama sekali didalam dunia Kang-ouw.
Maka ia lantas bertanya, mula mula dengan pengujiannya.
"Dan bagaimana pandangan Jie Sianseng terhadap si
“Putih Kurus” itu?"
Si Jie Sianseng lantas tertawa bergelak-gelak. Ia juga
segera menyahut.
"Hmmmm, Si setan serakah itu? Itu orang yang tidak
mau mati-mati? Awas Kong-cu, kau hati-hatilah kalau kau
mendapat kebaikan darinya. Ia selamanya tidak pernah
memberi secara percuma. Apa yang ia berikan kepada
orang, tentu ada saja yang diperintahnya sebagai bayaran.
Maka hati hatilah Kong-cu terhadap orang semacam itu.
Bee Tie lebih terkejut lagi. Ternyata Si Jie Sianseng ini
banyak sekali pengalamannya. Ia mengetahui segalagalanya.
Maka sambil memuji mengacungkan jari
jempolnya ia berkata lagi.
“Jie Sianseng sendiri tentu juga tidak kalah
kenamaannya dari mereka itu bukan?"
Si Jie Sianseng tidak mengaku, tetapi juga tidak mau
membantah. Ia hanya mengganda tertawa pertanyaan
pemuda itu. mereka terus bicara ke sana kemari sambil
berjalan.
Sebentar saja tanpa terasa oleh mereka, pintu kota Lokyang
sudah dilalui. Didalam kota ini mereka lalu memilih

salah satu rumah makan yang banyak terdapat disitu,
kemudian berdua mereka mulai makan minum sepuaspuasnya.
Setelah makan minum lagi sekian lama, tiba-tiba Bee Tie
menanya.
“Jie sianseng aku mau minta keterangan tentang dirinya
dua orang. Apa barangkali Jie sianseng kenal dengan
mereka.“
Lalu tanpa menunggu jawaban si Jie Sianseng. Bee Tie
lantas melanjutkan pertanyaannya.
"Apa. Jie Sianseng mengetahui riwayatnya Lee Thian
Kauw dari Kui-in-chung.
“Lee Thian Kauw? Muridnya orang pandai dari Thiansan
yang tidak punya guna itu?” Jawabnya.
Setelah berkata, ia lalu menenggak araknya sampai
kering.
"Dan ,siapa satu lagi yang hendak kau tanya?"
"Kau sendiri. Jie Sianseng, kau sendiri siapa?"
Si Jie Sianseng bangun berdiri, ia sambil mengebasngebaskan
lengan bajunya, lalu tertawa terbahak-bahak.
Tapi begitu suara tertawanya berhenti, ia lantas menotolkan
kakinya dan terus lompat melesat, keluar melalui jendela
yang terbuka lebar-lebar, sebentar saja orang tua ini sudah
lenyap dari pandangan mata Bee Tie!
Bee Tie terperanjat. Ia lantas berdiri memanggil-manggil,
tetapi yang dipanggil tidak menyahut. Ia berdiri bangun
sesaat kemudian menyelesaikan rekening makanan dan
minuman yang dipesannya, lalu segera ia meninggalkan
rumah makan itu dan melanjutkan pula perjalanannya, ia

hendak mencari Kiauw Kiu Kong dan si “Pelajar Pedang
Tumpul”.
Sekeluarnya ia dari pintu. Selatan, tanpa terasa ia telah
melawati jembatan kota Lokyang tadi itu kembali, dari sini
ia terus berjalan masuk kedalam perkampungan Tong-tusan-
chung.
Agak jauh disebelah depannya ia melihat ada satu
bayangan kecil berkelebet. Ia lantas membentak.
"Hai! Kau siapa?"
"Aku!" jawab bayangan itu, suaranya halus merdu.
Sewaktu ditegsi. ternyata orang itu adalah Siauw Beng
Eng, putrinya Go-tong Sin-kho, maka dengan tidak terasa ia
sudah berseru.
"Ah ..., Kau disini? Kau mau apa?"
Siauw Beng Eng agaknya sedang dalam keadaan
terdesak. Begitu melihat Bee Tie, ia lantas berkata pada
anak muda ini, napasnya sengal sengal, katanya.
"Engko Bee, akhirnya aku ketemukan kau juga disini.
Lekas ikuti aku!”
Bee Tie lantas mengiknti nona ini, dengan suara
perlahan ia menanya.
"Adik Siauw, ada urusan apa sebetulnya. Sampai kau
berlaku begitu tidak tenang?"
"Mari! Lekas!" mari kita sana sama singkirkan dirinya
orang she Lee itu dari dunia ini?” Jawabnya si nona buruburu.
"Lee Thian Kauw? Sekarang dimana dia?”
“Ikut aku saja. Nanti kau tahu sendiri, cepat.” Tidak
lama kemudian mereka telah sampai didepan pintu gedung

besar dalam kampung Tongcu San-chung. rumahnya Siauw
Beng Eng. Disitu masih terlihat ada beberapa ekor kuda
yang ditambat.
Bee Tie merasa heran, maka ia lalu menanya si nona.
"Apa Kong-cu-Kong-cu didalam masih belum bubar
semua?"
"Sudah. Tapi. ibuku yang sudah memilih lima orang
diantaranya, lantas hendak mengajak mereka pulang
kepulau Go-tong.”
“Oooooo ... begitu?"
Bee Tie lalu menahan suaranya dan berhenti seketika.
Siauw Beng Eng menjadi heran dan menanya.
"Hai! Kerapa kau berhenti disitu? Cepatlah sedikit!"
"Tadi kau katakan kita mau singkirkan Lee Thian Kauw.
Apa cuma dengan mengandalkan tenaga kita berdua saja?
Kau harus tahu, orang she Lee itu adalah jago nomor satu
waktu ini. Meski betul tadi aku beruntung bisa melukai
dirinya, tapi itu cuma karena aku menggunakan tipu daya
... Jangankan baru tenaga kita berdua, sekalipun ditambah
lagi sampai dua kali jumlah kita, rasanya masih belum
cukup untuk mengambil jiwa anjingnya."
Mukanya Siauw Beng Eng yang cantik telah berubah
secara tiba-tiba. Dengan suara keras ia berkata.
“Engko Bee, apa kau tahu Lee Thian Kauw itu pun mau
ikut ibuku pulang kepulau Go-tong? Tapi ibuku tidak
langsung menyetujui. Lebih dulu ibu menjanjikan padanya
untuk bertanding dulu dengan ilmu pedang ayahku ibu
harus bisa dikalahkan olehnya, baru katanya mau
mengajaknya. Aku kuatir ibuku nanti bisa menangkan
orang itu, maka aku pikir sebelum orang she Lee itu

berhasil, kita singkirkan dulu jiwanya dengan kekuatan kita
berdua. Tidak nyana kau takut ini takut itu. Kalau tadinya
aku tahu kau tidak suka membantu aku. aku juga tidak
sampai membawa kau kemari ... Kalau kau tidak suka aku
juga tidak mau memaksa ... kau pergilah.” Ia lalu berjalan
meninggalkan Bee Tie seorang diri.
Melihat ini, cepat-cepat Bee Tie mengejar nona ini
sambil memanggil manggil.
”Adik Siauw! Adik Siauw! Kau salah paham maksudku.
Kau tentunya tahu sendiri aku mempunyai permusuhan
sangat dalam dengan orang she Lee itu, malah sudah aku
anggap dia itu sebagai musuh buyutanku. Mana bisa aku
tidak mau membantu kau? Tapi kau harus tahu, kalau kita
teruskan usaha kita hendak menyingkirkan orang jahat itu,
aku kuatir kau nanti mengalami nasib serupa aku ..”
Siauw Beng Eng merasa terharu mendengar kata-katanya
anak muda ini. Ia lantas berkata pula.
"Ah! Kalau betul-betul si orang she Lee itu jadi ikut
ibuku, lebih baik untuk seumurku aku tidak kembali lagi
kepulau Go-tong. Aku juga tidak sudi ditemani olehnya.
Saat itu Bee Tie sudah sampai disisinya nona cantik
mania ini. Ia lantas menepok bahunya si nona dengan
perlahan sambil berkata menghibur sang kawan.
”Adik Siauw. kau harus percayakan penuh apa yang ada
pada ibumu. Semua ibu rasanya tidak ada yang tidak
memperhatikan kepentingan anaknya. Ia telah tahu juga
kalau kau tidak sudi ditemani oleh orang she Lee itu?"
Si nona menganggukkan kepalanya.
"Nah! itulah. Belum tentu ibumu mau mengijinkan Lee
Thian Kauw ikut kepulau Go-tong nanti.”

Siauw Beng Eng lalu lompat melesat, jauh tinggi
kedepan, terus naik keatas tembok gedung. Tiba-tiba lompat
kembali.
Bee Tie baru saja hendak menaikan kepadanya, tapi
nona ini sudah mendahului dengan isyarat tangannya,
mencegah sang kawan ini bicara. Dan si pemuda ini
memang cerdas cepat mengerti maksud orang. Ia tidak
berani bicara lagi. Lalu sambil berjalan berendap-endap
Siauw Beng Eng menuju keujung tembok disebelah kiri
gedung tersebut, lalu menempelkan telinganya diatas
tembok.
Bee Tie juga lantas menelad perbuatan sang kawan. Ia
turut memasang kuping.
Dibalik tembok terdengar suara wanita berkata.
“Lee Thian Kauw, apa kau kira urusan antara kita bisa
dibereskan begitu gampang seperti apa yang kau sangka?
Hmmm!”
Siauw Beng Eng yang mendengarkan, tahu itu adalah
suara ibunya sendiri, maka ia terus mendengarkan dengan
hati berdebar-debar. Ia tidak tahu mengapa Sang ibu itu
terhadap orang she Lee itu bisa begitu baik bicaranya,
suaranya halus merdu, tidak seperti biasa-biasanya
Lantas setelah Go-tong Sin-kho berkata terdengar suara
orang laki-laki, tentu dia adalah Lee Thian Kauw sendiri
yang menjawab sambil sebentar-sebentar perdengarkan
suara tertawa.
Meski dunia bukan punya kita, tapi segala urusan
didalamnya ada ditangan kita Hong Wie (demikian nama
ibunya Siauw Beng Eng), apa kau tidak percaya pada
tenaga gabungan kita berdua? Apa kau masih sangsikan aku
Go-tong Sin-kho Han Hiang Wie tidak marah mendengar

disebutnya nama aslinya secara langsung. Ia malah balas
tertawa sambil berkata.
"Dengan kepandaian yang kau miliki dan kau sendiri
adalah salah satu dari Sepasang orang aneh dari Thian-san,
tentu saja aku percaya penuh. Tapi kenapa hari ini kau
sudah dua kali gagal dengan kerjaanmu yang begitu
gampang? Pertama itu bocah she Bee sudah berhasil
meloloskan diri. Dan yang kedua kau mimpi lagi mau ikut
kami pulang kepulau Go-tong. Itu mana mungkin.”
Lee Thian Kauw masih tetap tertawa-tawa.
"Hong Wie, kau dengar dulu keteranganku,“ katanya.
“Yang pertama, itu bocah Lee Tie pasti tidak akan lolos lagi
dari tangan mautku. Kedua, impianku juga tidak akan tidak
bisa tercapai. Kita besok pasti bisa pergi kepulau Go-tong
dan aku tidak mungkin tidak bisa ikut dengan kau?"
Bee Tie yang sejak tadi mendengarkan semua
pembicaraan antara mereka itu. diam-diam dalam hati
merasa geli sendiri, apa lagi ketika mendengar ucapan yang
mengenai dirinya, maka dalam hati ia berkata-kata sendiri.
“Lee Thian Kauw, kau sungguh jumawa. Apa kau kira
aku Bee Tie tidak punya kepandaian apa-apa? Apa kau
sangka aku bisa gampang-gampang dihina orang tuacam
kau ini? Hmm! Hmm.”
Saat itu Siauw Beng Eng sudah mendapat sebuah pohon
yang tinggi dan lebar daunnya, maka ia lekas lekas naik
keatasnya. Bee Tie juga segera menelad perbuatan
kawannya ini, cepat cepat mengejarnya dan naik keatas
pohon tersebut.
Sesampainya Bee Tie diatas pohon, segera ia membisik
dekat telinga nona itu katanya.
"Rupanya mereka akan segera mulai bertanding.”

Liauw Beng Eng menganggukan kepala. Tangannya
menunjuk kebawah sebelah dalam gedung tanpa berkatakata.
Mengikuti arah yang sudah ditunjuk oleh nona itu, Bee
Tie sigera dapat melihat gerakannya Go-tong Sin-kho yang
sedang berdiri berhadapan dengan Lee Thian Kauw
ditempat sejarak sepuluh tombak lebih jauhnya dari ia dan
si nona sembunyikan.
"Jarak antara tempat sembunyi kita dengan mereka lebih
jauh. Bagaimana nanti kita bisa menyerang si Lee Thian
Kauw itu. Apa tidak lebih baik kita ke sana lebih dekat
mereka supaya lebih leluasa kita turun tangan nanti?" bisik
Bee Tie lagi ditelinga sang kawan.
"Biarlah, Rasanya sudah tidak bisa kita ke sana. Kalau
kita bergerak, sedikit suara saja sudah pasti dapat diketahui
oleh mereka. Biarlah kita tunggu kesempatan baik saja.”
Saat itu terdengar pula Go-tong Sin-kho berkata sambil
tertawa.
"Lee Thian Kauw kau jangan terlalu pandang rendah
diriku. Jangan kau sangka aku ini bisa sembarang kau
hinakan begitu rupa. Biar bagaimana aku masih ingat anak
perempuanku satu-satunya itu. bagaimana perasaannya
nanti ... Ah! cepat-cepatlah kau keluar dari sini! Aku tidak
suka kau ikut kami pulang kepulauku.”
"Hong Wie, kau juga hendaknya jangan pungkiri janjimu
sendiri. Aku akan segera menyerang. Sebentar setelah ada
keputusan siapa unggnl siapa asor. kita boleh bicara lagi.
kau berjaga-jagalah.”
Setelah berkata begitu, dengan sebat Lee Thian Kauw
sudah menghunus pedangnya yang lalu dipakai menyerang
ia mengarah bagian dada orang, tetapi belum lagi mengenai

sasarannya, sudah hampir menempel di kulit dada wanita
tersebut, serangannya sudah di tarik kembali.
Go-tong Sin-kho menurunkan pedangnya agak sedikit
kebawah. lalu menggentaknya kembeli keras-keras. hingga
seketika pedang itu mengeluarkan bunyi mengaung yang
nyaring, lama tidak berhenti, sampai masuk ke dalam
telinga muda mudi yang sedang mencuri lihat merasakan
telinga mereka ketulian.
Lee Thian Kauw tidak menyingkir dari serangan
pedangnya wanita cantik itu. ia tahu si cantik ini tidak akan
melukai dirinya, maka ia sendiri lantas menyerang seperti
yang pertama.
Kini Go-tong Sin-kho tidak diam saja ia berkelit
kesamping, lalu dari samping lompat menubruk lagi
kemudian dengan membalikkan pedangnya ia mengarah
bagian iga ditubuh lawannya tanpa melihat lebih dulu.
Lee Thian Kauw memuji dalam hati. Lawannya tanpa
melihat lagi telah bisa membuat arah tujuan pedangnya
dengan sangat tepat pada sasarannya. Entah bagaimana lagi
tingginya ilmu pedang keluarga Siauw Yung sudah
termasyur? Atas datangnya serangan ia membungkukan
badannya sedikit, dadanya ambles kebelakang
menghindarkan serangan ujung pedang menuju iganya.
Go-tong Sin-kho dengan cepat menarik pulang
senjatanya, ia lalu mengayun tubuhnya melesat kebelakang
tubuh lawannya melalui kepala orang she Lee itu.
Bee Tie yang menyaksikan setiap gerakan wanita cantik
itu, dalam hati diam-diam ia memuji.
“Ilmu pedang yang sangat bagus,” katanya tanpa terasa,
untung suaranya perlahan.

Tetapi dilain pihak Siauw Beng Eng sudah seperti orang
menangis wajahnya dengan suara gemetaran ia berkata.
"Ibuku belum lagi menggunakan sepenuh
kepandaiannya. Sebetulnya gerakan tadi itu biasanya ibu
gunakan kalau hendak menyerang musuh tangguh. Biar
bagaimana musuh itu tidak luput dari seranganserangannya
ke arah embun-embunan orang she Lee itu.”
"Oooo ... ” seru Bee Tie, suaranya agak tertahan. Jadi
kalau begitu ibumu sendiri sengaja mengalah.
Siauw Beng Eng menutup rapat mulutnya. Ia tidak
menjawab pertanyaan kawannya.
Didalam gelanggang pertempuan atau lebih tepat lagi
kalau dikatakan tempat latihan dalam satu perguruan,
terlihat Lee Thian Kauw sudah memamerkan seluruh
kepandaian simpanannya dan sudah mulai mengurung di
sekitar badan langsingnya Go-tong Sin-kho.
Bee Tie menoleh kebelakang, melihat Siauw Beng Eng
sudah mulai mandi air mata. Ia jadi turut bersedih. Dengar
suara sesenggukkan si nona berkata pula.
"Ibu sekarang sudah tidak menggunakan ilmu
kepandaian keluarga Siauw lagi. Ah, ibu. Kau kenapa bisa
jadi begitu?”
"Adik Siauw, janganlah selalu kau turuti getaran hatimu.
Tenanglah. Jagalah baik-baik kesehatanmu sendiri. Kau
tidak boleh terlalu bersedih," demikian Bee Tie coba
menghibur hati nona cantik itu.
Siauw Beng Eng tundukan kepala, ia lalu melayang
turun, kemudian dengan tindakan perlahan ia berjalan
menuju ketempat orang sedang bertanding.

Bee Tie menjadi sibuk sendiri. Cepat-cepat ia menyusul
turun, ia sibuk tidak karuan karena saat itu Siauw Beng Eng
dengan terang-terangan hendak langsung menghampiri Lee
Thian Kauw. Diam-diam dalam hati ia berkata-kata sendiri.
Kalau kita kepergok oleh mereka, bukannya percuma saja
siasat yang kita atur tadi?
Maka ia lalu memeringati si nona.
"Adik Siauw, kau sabar sedikit apa tidak bisa?" katanya
perlahan.
Tetapi yang ditegur seolah-olah tidak mendengar
ucapannya itu. sama sekali tidak menjawab ia terus berjalan
kemuka.
Saat itu Lee Thian Kauw sudah berkata lagi dengan
suara sombong.
"Hong Wie, lebih baik kau menyerah saja. Mari besok
kita sama-sama pergi. Apa kau kurang puas dengan lima
orang Kong-cu pilihanmu? Berhentilah, mari kita dudukduduk
didalam. Sekarang kau masih bukan tandinganku.
Tiga tahun kemudian, meski dunia bukan kita punya, tapi
rasanya untuk kita berdua malang melintang tidak ada yang
bisa melarang kita lagi. Berbantah Go-tong Sin-kho tidak
menghentikan gerakannya, tetapi juga tidak menyerang
sungguh.
Begitu pula halnya dengan Lee Thian Kauw orang yang
pengawakannya tinggi besar ini tidak berhenti sampai disitu
gerakan-gerakan mereka sama-sama perlahan, seolah olah
mereka itu bukan sedang bertanding mengadu kekuatan
atau kemahiran dalam ilmu pedang, melainkan seperti dua
saudara seperguruan yang sedang berlatih ilmu silat."
Saat itu terdengar pula suaranya Lee Thian Kauw
menanya.

"Bagaimana? Apa kau tidak mau menghentikan
gerakannya?"
"Apa dengan ucapanmu tadi nama busukku nanti tidak
akan tersebar kemana-mana, Lee Thian Kauw tertawa
dingin. Ia berkata pula.
"Nama busuk ...? Nama busuk .?” Pada saat itu nanti,
siapa yang berani membusukkan nama kita? Apa kau kira
mereka akan berani mengganggu kita berdua? Apa kau
masih belum yakin kita nanti akan berhasil gilang gemilang?
Sudahlah Hong Wie. kau tahanlah seranganmu.
Meski dimulut ia menyuruh menahan serangan, tetapi ia
sendiri tidak mau berhenti dengan gerakan-gerakannya.
Bee Tie yang mendengarkan terus pembicaraan mereka,
tanpa merasa menjadi bergidik juga.
Disana, Go-tong Sin-kho dan Lee Thiait Kauw mana
lagi boleh dikatakan mengadu ilmu pedang. Mereka
tampaknya seperti pengantin baru yang sedang melatih
ilmu, mata mereka lirik sini memain ke sana. asyik sekali
rupanya mereka.
Bee Tie yang menyaksikan terus, tambah lama tambah
merasa sebal dan rasa gusarnya sudah menjadi-jadi.
Tiba-tiba terlihat satu bayangan hijau berkelebat.
Matanya Bee Tie dirasakan berkunang-kunang. Karena
sedikit lalai, tangan Siauw Beng Eng yang sedang
dicekalnya terlepas, dan nona ini terus melesat ke arah
mereka yang sedang main-main. Untuk menyandaknya,
sudah tidak keburu. Ia tidak berdaya.
Maka sambil mengempos semangatnya, pemuda ini
lantas terbang melayang menuysul kawannya, seruling
hitam masih tetap tergenggam di tangan.

"Siapa?" demikian terdengar suara bentakannya Lee
Thian Kauw. Tangannya yang sebesar kipas lantas
dikerjakan, memukul kearah bayangan hijau yang sedang
menubruk dirinya.
Siauw Beng Eng. demikian bayangan hijau itu, tidak
dapat menahan datangnya serangan dahsyat dari tangannya
orang she Lee itu. Tubuh kecil langsingnya lantas terbang
melayang-layang terkena serangan Lee Thian Kauw untuk
kemudian jatuh ketanah tanpa dapat bangun kembali. Ia
sudah pingsan.
Go-tong Sin-kho sangat terperanjat begitu lekas ia
mengenali siapa orang yang terkena serangan si orang she
Lee. Itulah puterinya sendiri!
Maka sambil menjerit berat ia lantas terbang menubruk
puteri kesayangannya itu.
Lee Thian Kauw sendiri. begitu mengetahui siapa yang
terkena pukulannya, menjadi kaget juga, tanpa terasa ia
menjerit tertahan. Ia sama sekali tidak menyangka hari itu
ia akan melukai bakal anak tirinya. Seketika ia berdiri
termangu-mangu bagai orang yang sudah lupa segalagalanya.
Ini sungguh merupakan suatu kesempatan yang sangat
baik bagi Bee Tie. Seruling hitamnya lantas diputarputarkan
beberapa kali, mengurung seluruh jalan darah
terpenting ditubuhnya Lee Thian Kauw.
Lee Thian Kauw yang sudah kelepasan tangan melukai
calon anaknya, seperti sudah hilang semua ingatannya,
sama sekali tidak tahu bahaya datang mengancam jiwanya.
Ia tidak mampu menahan serangan Bee Tie yang paling
hebat. Sewaktu ia engah datangnya bahaya, waktunya
sudah kasep. Meski ia sudah bergerak cepat menyingkirkan
diri. namun tak urung dirinya telah kena totokan seruling

hitamnya anak muda itu. Dengan sangat tepat tiga jalan
darah ditubuhnya sudah kena tertotok. Badannya orang she
Lee ini sampai terhuyung-huyung mundur lima kaki
jauhnya dan keadaannya sangat mengenaskan.
Melihat ini, Bee Tie kembali merangkak. Seruling hitam
dipindahkan ketangan kiri. lalu Bluk! dadanya sang musuh
sudah dihajar tangan kanannya.
Bee Tie sudah sangat girang. Pikirnya, hari ini Lee Thian
Kauw pasti akan roboh dalam tangannya sendiri.
Tidak nyana, sambil keluarkan suara seruan melengking
tinggi, badannya Lee Thian Kauw yang tinggi besar
melompat berdiri dan pergi menghindarkan serangan maut
yang sedang ditujukan ketubuhnya oleh si anak muda Bee
Tie.
Bee Tie mengerti, meski Lee Thian Kauw sudah terluka,
tetapi rasanya masih belum mampu untuk ia dapat hasil
kemenangan dari jago Thian-san itu. maka kalau ia masih
tetap tidak mau lari menyingkirkan diri cepat-cepat, tentu
kerugian akan diderita oleh pihaknya rendiri.
Maka tanpa pikir panjang lagi ia lalu lompat tinggi
sambil membalikan tubuh, lalu berdiri disampingnya Gotong
Sin-kho, Seruling hitamnya sudah dikerjakan lagi,
mengarah bagian pundak wanita itu mulutnya membentak.
"Kau! Perempuan macam apa kau? Tidak tahu malu.
Apa kau masih punya muka menemui putrimu? Kau
kepinggir!"
Dengan didahului satu sambaran angin kuat serulingnya
telah menyerang lurus mengarah satu jalan darah
ditubuhnya Go-tong Sin-kho. Wanita ini tidak menyangka
sama sekali. Tadinya ia sedang membungkuk dan
memeriksa luka ditubuh putrinya. Begitu mendengar ada

suara angin berkesiur. ia lantas mengerti ada orang sedang
membokong. Sebelah tangannya lantas menekan tanah dan
tubuhnya. melesat pergi dari depan putrinya.
Bee Tie tidak membuang buang tempo lagi. Ia terus
memondong tubun Siauw Beng Eng dan lantas melayang
pergi, Sebentar kemudian ia sudah berada kembali diatas
tembok tempat ia dan nona dalam pondongannya sekarang
mengumpat tadi.
Tadi baru saja ia mau lompat turun, tiba-tiba ia
mendengar suara tertawanya Lee Thian Kauw yang amat
nyaring.
Ternyata dibawah tembok tempat Bee Tie berdiri, sudah
berdiri rapih lima orang Kong-cu, semua adalah Kong-cu-
Kong-cu pilihannya Go-tong Sin-kho. Agaknya mereka
sudah lama menanti disitu, wajahnya sudah tak sabaran
tampaknya.
Go-tong Sin-kho sendiri menggunakan kesempatan selagi
Bee Tie merandek, lantas mengayun diri menerjang kearah
anak muda ini sambil tertawa dingin ia berkata.
“Bocah she Bee, paling selamat kau letakkanlah tubuh
anakku disitu. Dengan cara itu baru aku nanti tak akan
menyusahkan dirimu lagi.
Bee Tie menyingkir.
"Ngaco belo !" bentaknya cepat. “Nona Siauw sendiri
tidak sudi akui kau ibunya, mana ia mau punya ibu macam
kau? Hmm. Hm. Apa kau masih punya muka mau minta
dua lagi dari aku si orang she Bee ini? Hmm. Jangan harap!
Kau jangan mimpi.”
Badannya Go-tong Sin-kho menjadi gemetaran seketika
mendengar kata-kata si anak muda.

"Bee Tie, apa arti ucapanmu tadi?”
"Kau! Perempuan hina tidak tahu malu. apa kau kira
bisa mengelabui puterimn sendiri? Paling baik lekaslekaslah
kau enyah dari sini. Dan cepat-cepatlah kau
kembali kepulan Go-tong-mu bersamu suami barumu itu,"
kata pemuda ini. “Tentang nona Siauw ini. biar sampai
harus terlunta-lunta sekali pun, tidak nanti mau kenal kau
lagi! Kau mau bikin apa? Hayo pergi ,”
Go-tong Sin-kho gusar bukan main. Bagai orang
kemasukan setan ia lalu mengamuk, menyerang secara
membabi buta.
“Bocah. Aku mati ambil jiwa anjingmu.”
Mulutnya berkata, pedangnya juga sudah lantas
dikerjakan.
Bee Tie tidak berdaya menghadapi wanita lihay ini. Ia
segera lompat turun menyingkirkan diri dari serangan Gotong
Sin-kho yang sudah kalap.
Tiba-tiba tubuhnya Siauw Beng Eng menggeliat dalam
pelukannya Bee Tie. Dengan suara perlahan terdengar nona
ini berkata.
"Engko Bee, lekas kau gunakan pedangku."
Bee Tie telah dapat disadarkan juga. Lekas-lekas ia
menyimpan seruling pemberian ayahnya dan menghunus
keluar pedangnya si nona yang tersoren dipinggangnya
yang langsing.
Go-tong Sin-kho menyerang. Bergeraknya tubuh disertai
menggunakan suara pedang. Ia melakukan serangan secara
sungguh sungguh mengeluarkan tipu-tipu simpanan
keluarga Siauw Yung mematikan.

Bee Tie mesti sudah dapat memahami segala macam
tipu-tipu atau lengkapnya setiap gerakan ilmu pedang dari
berbagai macam golongan, meski tidak takut menghadapi
wanita cantik itu, terapi oleh karena Go-tong Sin-kho
sewaktu menghadapi Lee Thian Kauw tadi tidak
memperlihatkan serangan-serangan yang dilancarkan
seperti terhadap dirinya sekarang, maka ia masih belum
dapat memahami, juga tidak bisa memecahkan dengan
segera. Apalagi sekarang ia sedang memondong si nona
yang sedang terluka. maka sebentar saja sudah kena
terdesak dan kerepotan sendiri.
Seruling!
Dalam keadaan sangat genting itu, tiba-tiba Siauw Beng
Eng berkata.
“Ular berkeliaran! Burung beterbangan! ...
Orang bermabukan! Setan bergentayangan! ...
Meskipun suaranya perlahan sekali, tetapi cukup dapat
didengar jelas, sampaikan Go-tong Sin-kho sendiri dapat
menangkapnya.
Bee Tie bagai orang baru tersadar dari tidurnya, sambil
menepuk batok kepalanya ia berkata.
“Terima kasih, adik Siauw."
Sambil berkata, kakinya yang sebelah kanan digeser
mundur satu langkah, ia berhasil menghindarkan ujung
pedang Go-tong Sin-kho secara mudah sekali.
Lalu, tiba-tiba ia mengangkat pedangnya dan membuat
gerakan setengah lingkaran di tengah udara, ini
bermaksudahendak meloloskan diri secara paksa dari
lingkungan sinar pedang Go-tong Sin-kho.

Go-tong Sin-kko yang mendengar puterinya mengisiki
ilmu pedangnya kepada orang luar, bukan main rasa
gusarnya. Maka ia lantas membentak dengan suara amat
keras.
"Anak keparat. Bagus betul kelakuanmu? Kau bukannya
menolong ibumu sendiri malah sebaliknya kau membantu
musuh. Awas kau!"
Bee Tie yang sudah dapat mengambil kedudukan sangat
baik, dari pihak diserang sekarang berbalik menjadi pihak
penyerang, ia tidak mau menyia-nyiakan lebih cepat
sehingga tampaknya bagai seekor naga kecil sedang
berloncatan, badan pedang sudah hendak melilit tubuhnya
Go-tong Sin-kho yang sedang gusar.
Kala itu di atas tembok sudah berdiri lima orang Kongcu
pilihan, mereka itu adalah, Lutong dan Kim-leng Kongcu
berdua di sayap kanan. Tiang-pek Kong-cu ditengahtengah
dan dua Kong-cu lainnya adalah Tho-hoa dan Lamyang
Kong-cu dibagian kiri.
Sambil menghunus pedang masing masing kelima orang
Kong-cu tersebut seolah-olah merupakan satu pagar
manusia, menjaga jalan lolosnya Bee Tie yang
bermaksudahendak keluar dari dalam pekarangan Tong-tusan-
chung.
Diantara lima orang Kong-cu yang memiliki rasa
perikemanusiaan yang wajar dan tidak menaruh hati dengki
atau dendam terhadap pemuda yang sedang terkurung
disitu. Empat orang Kong-cu yang lain adalah sebaliknya
sangat iri hati terhadap pemuda lawan mereka itu yang
sejak tadi terus memondong tubuhnya si nona cantik, maka
setiap waktu mereka sudah siap hendak membunuhnya.
Terutama sekali adalah Tiang-pek Kong-cu yang berdiri
ditengah-tengah antara mereka. Ia adalah orang yang paling

membenci Bee Tie, kalau ia hendak menelan bukti-bukti
sang musuh, karena keempat orang gurunya, semua telah
dibikin hilang masing-masing satu matanya oleh anak muda
itu, tentu saja rasa dendamnya luar biasa hebatuya. Ia ini
dengan mata beringas sejak tadi terus mengawasi lawannya
agaknya ia sudah tidak sabaran.
Bee Tie mengeluh melihat jaring yang dipasang
untuknya itu. Meski sekiranya ia dapat berhasil
merubuhkan Go-tong Sin-kho atau setidak-tidaknya dapat
meloloskan diri dari hadapan wanita cantik ini, tetapi
agaknya tidak dapat ia meloloskan diri dari kepungan lima
Kong-cu itu bersama Lee Thian Kauw sendiri.
Begitu ia mengingat namanya Lee Thian Kauw segera ia
ingin melihat orangnya. Apa lacur, orang yang ditakuti
masih belum tampak, sebaliknya yang terlihat adalah empat
orang tinggi besar, guru gurunya Tiang-Pek Kong-cu tengah
memandang padanya terus dengan mata sebelah tanpa
berkesiap. Tidak jauh ia mengisar pandangan matanya
dilihatnya Lee Thian Kauw yang saat itu telah selesai
menyatakan pernapasannya juga tengah memandang
kearahnya dengan sorot mata buas.
“Bocah," bentaknya. Apa dalam ke adaan sekarang ini
kau masih memikir hendak meloloskan diri lagi?"
Bee Tie tidak menggubris ucapan Lee Thian Kauw, ia
berpaling mengawasi Go-tong Sin-kho. lalu sambil
keluarkan suara dihidung ia berkata.
"Hmm. Anaknya sendiri tidak mau akui ibunya apalagi
... Hmm. Hmm.”
“Tutup mulut!” Bentak Lee Thian Kauw, suaranya amat
keras bagai bunyi geledek menggelegar.

Seiring, dengan ucapannya, orangnya juga turut maju,
diikuti oleh empat gurunya Tiang-pek Kong-cu.
Mereka ambil posisi mengurung.
"Apa kau masih tidak mau menyerah!” bentak Lee Thian
Kauw lagi.
Bee Tie tanpa memperdulikan musuh-nusuhnya yang
tengah mengurung dirinya, saat itu lalu menundukan
kepala, dengan suara perlahan ia menanya Siauw Beng Eng
dalam pelukannya.
"Adik Siauw keadaan sudah jadi begini. Rasanya ini
masih lebih sukar dari pada naik ke langit. Buat aku sendiri
tidak nanti aku merasa menyesal mati disini. Tapi kau, adik
Siauw, bagaimana dengan kau yang masih terluka sekarang
ini?”
Siauw Beng Eng menggerakan mulutnya yang mungil.
Dengan suara perlahan ia menyahut.
"Engko Bee, tinggalkan aku disini! Biarlah, biarkan aku
disini. Aku sangat berterima kasih atas budimu ini. Kau
tinggalkanlah aku ... Dan. Meski aku tahu ibuku tidak nanti
kerembet-rembet hanya karena urusanku ... ”
“Adik Siauw." dengan cepat Bee Tie memotong. Bukan
maksudku begitu. Kalau kiranya ibumu tidak suka
mengampuni kau, mengapa aku tinggalkan kau disini?
Tentu lebih baik kita adu jiwa dengan mereka. Betul tidak?”
“Jangan engko Bee. kau jangan begitu nekad. Taruhlah
aku disini. Aku rasa, dengan kepandaian yang kau miliki
sekarang pasti kau bisa lolos dari sini. Biarkanlah aku.
Cepat!"
Bee Tie menjadi terharu. Dengan suara pilu ia berkala.

"Adik Siauw, mesti aku tahu cuma ada satu jalan buat
kita tempuh, tapi tidak boleh tidak kita harus punya
kepercayaan pada diri sendiri. Biar kita mesti mati. tapi kita
harus tetap mempertahankan harga diri kita. Adik Siauw,
sekarang aku mau tanya lagi padamu. Kau mau ikut aku
atau kembali lagi pada ibumu!”
Siauw Beng Eng dengan suara sedih mengharukan
berkata.
"Engko Bee, jangan kau sebut-sebut ibu lagi padaku, Aku
sudah tidak punya ibu.”
Semua orang yang berada disekitar tempat itu cukup
mendengar terang kata-kata yang mengharukan hati yang
keluar dari dalam mulutnya nona cantik itu. Tidak
terkecuali dengan Go-tong Sin-kho, wanita cantik ini sudah
lantas pucat pasi wajahnya, ia tidak mampu mengucapkan
kata-kata apapun juga. Ia hanya berdiri menjublek, berdiri
bagai patung tak bergerak.
Di lain pihak, Bee Tie sudah terbangun kembali
semangatnya. Dengan suara keras ia membentak.
“Sekarang kalian boleh maju semua!"
Tetapi tidak ada orang yang bergerak. Dalam keadaan
demikian, tidak ada yang berani mendahului bergerak.
Melihat keadaan mereka itu, diam-diam Bee Tie bersiap
siap hendak meninggalkan tempat itu.
Ketika ia lewat disampingnya Go-tong Sin kho, tiba-tiba
Siauw Beng Eng dalam pondongaunya menjerit keras.
“Hong Wie! Kau racun dunia! Bunuhlah aku. Aku tidak
sudi melihat muka ibuku seperti kau! Sampai mati rasa
benciku tidak akan hapus! Kalau kau tidak mau bunuh aku,
nanti setelah aku keluar, jangan sesalkan pembalasanku!"

Bee Tie yang mendengar itu, sangat terkejut. Sebenarnya
ia hendak menutup mulutnya si nona, tetapi tersurung oleh
rasa ingin tahu. ia terus mendengarkan semua kata-kata
caciannya si nona sampai habis. Ahirnya ia menghiburi hati
Siauw Beng Eng.
..Adik Siauw janganlah kau terlalu bersedih. Lukamu
tidak enteng, hati hatilah kau sedikit. Jangan kau turuti
bisikan hatimu. Kau tenanglah ... ”
Masih banyak yang mau diucapkan, tapi tiba-tiba
tubuhnya Siauw Beng Eng yang kecil lingsing sudah
berontak dari pelukannya. Dari mulutnya darah segar lantas
menyembur keluar, tapi ia masih terus berusaha melepas
diri dari dalam pondongannya Bee Tie.
Go-tong Sin-kho yang mengawasinya, tidak berani
memandang lebih lama. Ia lalu menutupi mukanya sambil
menjerit keras keras.
"Lee Thian Kauw. Sudah puaskahkan sekarang? Apa
tidak cukup kau permainkan kami?!"
Setelah berkata sambil melemparkan pedangnya ketanah,
janda cantik itu lantas lompat naik keatas tembok
pekarangan, ia bermaksudahendak berlalu meninggalkan
Tong-tu San-cung.
Tiba-tiba terlihat dua sosok bayangan dari luar tembok
yang lompat masuk sambil menyerang berbareng kearahnya
Go-tong Sin-kho, memaksa janda cantik ini turun kembali.
Dibarengi oleh suara tertawanya yang nyaring,
munculah disitu si “Pelajar Pedang Tumpul”. Dengan suara
keras ia berseru.
"Sin-kho. Kau jangan lari dulu! Tidak hormat rasanya,
begitu tamu datang, tuan rumah sudah lantas mau pergi
keluar.”

Melihar orang baru datang ini. dalam hati diam-diam
Bee Tie mengucapkan syukur.
"Dia datang ... Aku ketolongan ... Hah! Syuknrlah.”
demikian pikirnya.
Tetapi, biar bagaimana pun juga. ia masih tetap merasa
heran. Mengapa luka-lukanya si pelajar tua itu bisa sembuh
dalam waktu yang demikian cepat?
Baru saja Bee Tie merasa kegirangan, tiba-tiba ia melihat
Lee Thian Kauw mengangkat ibu jari tangan kanannya.
Melihat itu, hatinya terkejut. Tanpa terasa ia sudah
berteriak.
"Awas! Dia membokongi? Seorang lagi yang berdiri
disebelah si Pelajar Pedang Tumpul, yang "selalu
memperhatikan gerak-geriknya Lee Thian Kauw, melihat
gerakan orang she Lee ini lantas menyilangkan tangannya
dari dalamnya lalu keluar angin pukulan kuat menyerang
Lee Thian Kauw. Sambit tertawa ia juga berkata
"Orang she Lee! Apakan mau bikin satu Sumur kematian
lagi disini? Aku Kiauw Kiu Kong yang pernah mengalami
kebaikan hatimu, kini hendak minta pengajaranmu.”
Lee Thian Kauw keluarkan suara dihidung. Ia kini
berdiri berhadap-hadapan dengan Kiauw Kiu Kong. si
orang tua pendek.
Go-tong Sin-kho yang mendengar perkataan-perkataan
Siauw Beng Eng yang menusuk hati, yang katanya tidak
mau mengenal ia lagi sebagai ibunya, perih rasa hatinya.
Walau pun demikian, hubungan erat antara ibu dan anak
sukar diputuskan begtu saja. Maka ia sengaja hendak
meninggalkan Tong-tu San-chung supaya putrinya ini
bersama Bee Tie bisa meloloskan diri. Tidak nyana tiba-tiba
muncul dua orang aneh ini, si Pedang Tumpul dan si Kakek

Pendek yang memaksanya balik kembali kedalam. Karena
ini, gusarnya sudah menjadi jadi. Ia yang terus mengalami
desakan desakan yang tidak habis habisnya begitu
mendapat desakan yang terlalu hebat, tidak dapat menahan
sabarnya lagi, maka ia lalu mengeluarkan perintahnya.
“Para Kong-cu, dengar perintah! Orang-orang yang
mengacau didalam gedung ini jangan sampai ada yang satu
bisa lolos. Bereskan mereka semua.”
Menggunakan kesempatan selagi wanita ini bicara, Bee
Tie lalu menghampiri si Pedang Tumpul dan berkata
padanya dengan suara sangat perlahan.
“Ular berkeliaran. Burung berterbangan. Orang
bermabukan. Setan bergentayangan.”
Go-tong Sin-kho lalu mengambil kembali pedangnya
yang dilemparkan ditanah tadi, kemudian sambil menuding
dengan pedangnya ia membentak Bee Tie.
”Bocah she Bee! Apa kau kata tadi? ... Anak-anak.
Tangkap bocah kurang ajar ini lebih dulu."
Tiang-pek Kong-cu yang paling membenci Bee Tie,
begitu mendapat perintah, lantas mendahului kawankawannya
yang lain, maju kedepan sambil berkata.
"Bee Tie! Kau ganti dulu empat mata guru-guriku! ...
!Kalian-kalian, maju semua!"
Mendengar terakan ini, dari empat Kong-cu kawannya,
sudah ada tiga orang lagi maju sanbil menghunus
senjatanya masing-masing, dengan bersenjatakan pedang
semuanya, mereka lalu maju mengepung Bee Tie ditengahtengah.
Hanya Lu-tong Kong-cu seorang yang masih tetap
berdiri di tempatnya dengan tegak.

Lee Thian Kauw yang menyaksikan perbuatannya lantas
menjadi marah. Ia lalu membentak keras.
"Hai! Bocah Lu-tong! Apa kau tidak dengar perintah!
lekas maju."
Berbareng pada saaat itu, ia juga lantas menggerakkan
tangannya menyingkirkan serangan tangan Kiauw Kiu
Kong yang sedang maju menghantamnya.
Kiauw Kiu Kong tidak berani mengadu kekerasan
dengan kekerasan. Ia sudah cukup tahu kelihayannya orang
she Lee ini, maka ia hanya menyingkirkan diri dari
serangan orang lihay itu. Ia terus mencari-cari adanya
kesempatan baik untuk tangan terhadap jago Thian-san ini
Empat gurunya Tiang-pek Kong-cu, agaknya sudah tidak
bisa tinggal diam terlalu lama. Serentak mereka mengurung
Bee Tie, Go-tong Sin-kho sendiri lantas memapak si Pedang
Tumpul yang pada anggapannya adalah biang keladinya
dari kekacauan tersebut.
Keadaan dalam Tong-tu San-chun kembali kalut. Lebih
dari sepuluh orang sedang melakukan pertempuran hebat?
Semua orang-orang disitu sudah bergerak kecuali Lu-tong
Kong-cu seorang yang masih tetap berdiri tanpa bergerak,
hanya matanya saja yang bermain. Ia selalu memperhatikan
sekitar medan pertempuran. Terutama ketika ia melihat Bee
Tie yang sedang terkurung oleh tujuh orang musuhnya,
dianggapnya perbuatan itu sangat keterlaluan sekali.
Kecuali Lu-tong Kong-cu sendiri, masih ada seorang
lagi, yang terus memperhatikan jalannya pertempuran dari
atas payon rumah yang tidak berjauhan letaknya dari
medan pertempuran. Orang ini adalah Jie Sianseng yang
sangat dicurigai oleh Bee Tie, bahwa orang tua kurus
macam orang berpenyakitan itu tentu mempunyai asal usul
tersendiri yang masih merupakan rahasia besar!

Orang tua kurus macam orang berpenyakitan itu
memperhatikan terus setiap gerakannya Bee Tie. Diamdiam
dalam hati ia memuji.
“Bakat bagus! Buat melihat bocah ini rasanya tidak sulit.
Tetapi Jie Sianseng menjadi sangat terkejut karena saat
itu ia melihat Kiauw Kiu Kong dan si Pedang Tumpul
sudah terdesak mundur masing-masing oleh Lee Thian
Kauw dan Go-tong Sin-kho. Melihat keadaan mereka ini,
Jie Sianseng sudah bersiap siap hendak turun tangan
membusuk. “Tidak nyana aku Jie Sianseng hari ini akan
terlibat dalam urusan bocah ini ...” demikian dalam hatinya
berkata, ia lalu menghela napas dalam dalam.
Tetapi sesaat sebelum Jie Sianseng turun tangan
membantu. Lu-tong Kong-cu tiba-tiba sudah lompat
mendahului sambil perdengarkan suara tertawa mengejek.
Ia berkata.
"Ilmu pedang keluarga Siauw Yung kesohor tidak
tahunya cuma sebegitu saja. Hmm! Aku Lu-tong Kong-cu
Jie Ceng Kun aku merasa sangat kecewa dan percuma
menbuang-buang waktuku melulu untuk pulang kepulau
Go-tong."
Go-tong Sin-kho menjedi murka. Ia melancarkan Juras
jurus serangannya dengan terlebih gencar lagi. Tidak lama
kemudian terdengar suara jeritan si Pedang Tumpul.
Ternyata pundaknya telah tertusuk tembus oleh pedangnya
si janda cantik dari jago pedang she Siauw almarhum.
Go-tong Sin-kho menekan sebelah kakinya dan
mencabut keluar pedang yang menancap dipundak si
Pelajar tua. Darah segar lantas mengalir keluar dari bekas
luka tusukan pedang tadi.

Si Pedang tumpul yang telah berkali-kali mendapat luka,
merasa tidak dapat bertahan lebih lama, maka dengan
sebelah tangan menekan lukanya, tangan lainnya
menyerang Go-tong Sin-kho dan kakinya tidak tinggal diam
lantas lompat tinggi untuk terus kabur dari situ.
"Sungguh hebat permainan ilmu pedang keluarga Siauw!
Ah sekarang baru merasa dibikin melek mataku. Sampai
lain kali. Aku si Pedang Tumpul mau jalan lebih dulu.”
Sesaat Kemudian, lenyaplah si Pelajar Pedang Tumbul
yang baik hati dan suka menolong sesamanya itu.
Go-tong Sin-kho lalu menoleh, memandang Lu-tong
Kong-cu dengan wajah beringas.
"Hmm! Sungguh berani kau! Berani kau mencaci aku?"
katanya dengan geregetan.
Setelah berkata, tanpa membuang-buang waktu lagi ia
lantas menggerakkan lagi pedangnya yang baru saja minta
korban menusuk kearahnya Lu-tong Kong-cu Ie Ceng Kun.
Ie Ceng Kun tidak merasa gentar. Ia cepat menyampok
pedang lawan dengan pedangnya sendiri.
Dua senjata saling bentur hingga mengeluarkan lelatu
seperti kembang api.
Go-tong Sin-kho merasakan tangannya kesemutan. Ia
terperanjat. Ternyata ilmu kepandaian pedang dan tenaga
dalamnya Lu-tong Kong-cu yang sedang dihadapinya ini
jauh tinggi dari empat Kong-cu pilihannya yang lain.
Tetapi, dilain pihak. Ie Ceng Kun lebih-lebih kagetnya.
Karena begitu dua pedang beradu, telapak tangannya
dirasakan pedas linu, hampir saja ia tidak dapat menyekal
pedangnya lagi.

Jie Sianseng yang menyaksikan kehebatannya si Kong-cu
dari Lu-tong, diam-diam dalam hati memuji.
“Ah! Ada lagi satu bakat bagus. Kepandaiannya cukup
tinggi. Bagus!"
Dari gebrakan pertama ia sudah tahu kalau hanya untuk
melayani Go-tong Sin-kho dalam puluhan saja rasanya
masih mampu Lu-tong Kong-cu menghadapinya, tapi tak
demikian halnya dengan Kiauw Kiu Kong Si kakek pendek
agaknya sudah tak dapat bertahan lagi dalam sepuluh jurus
berikutnya, maka dengan segera ia melayang turun dan
pedangnya bareng dikerjakan menyerang Lee Thian Kauw
untuk menolong Kiauw Kiu Kong
Lee Thian Kauw lantas berteriak teriak melihat
datangnya orang baru.
Jie Sianseng terus mendesak orang She Lee itu dengan
tipu tipu pukulan yang istimewa dari golonganya sendiri.
Lee Thian Kauw yang diserang bertubi tubi ahirnya
merasa kewalahan juga, tapi dari serangan serangan itu
lama kelamaan ia dapat ingat juga seperti pernah melihat
tipu tipu lawanya itu.
Demikianlah, setelah berpikir sejurus lamanya, tanpa
terasa ia berseru.
“Hai! Apa kau orang dari Oey-san-pay?"
Jie Sianseng yang mengetahui orang she Lee itu dalam
waktu sekejapan saja sudah dapat mengenali gerakan ilmu
pedangnya, seketika itu wajahnya berubah pucat. Cepat
cepat ia berkata.
“Hmm! Ternyata kau kenal juga permainanku?
Bagaimana? Apa kau cukup puas ...? Eh! Kapankau
bertemu dengan orang Oey-san-pay kami?"

Kiauw Kiu Kong yang mendengarkan pembicaraan
antara kedua orang tersebut agak tergetar juga hatinya. Ia
lantas maju lagi dengan maksudahendak mengerubuti Lee
Thian Kauw.
Lee Thian Kauw agak gelisah hatinya. Ia lantas
meneriaki kekasihnya.
“Hong Wie, tinggalkan bocah keparat itu. Jangan kau
takut dia nanti bisa kabur. Pasti dia tak akan lolos dari
tangan kita ... Lebih baikkan tahan dulu setan tua yang
pendek buntek ini. Aku sendiri mau membereskan sisanya
orang Oey-san-pay."
Kiauw Kiu Kong gusar. Ia lantas membentak dengan
suara keras.
"Lee Thian Kauw! Orang-orang Oey-san-pay punya
ganjelan apa dengan kau?" Kenapa kau begitu ganas
membasmi orang-orangnya."
Jie Sianseng, mendengar perkataannya Lee Thian Kauw
dan kata-katanya Kiaw Kiu Kong agaknya sudah mulai
mengerti, inilah dia orangnya yang membasmi partainya.
Maka ia lantas mengeluarkan teriakan keras.
“Lee Thian Kauw! Jadi kaulah orangnya yang
membunuh-bunuhi orang-orang Oey-san-pay kami! Hmm!
Kau manusia kejam! Aku harus adu jiwa dengan kau!”
-oo0dw0oo-
Jilid 08
LU-TONG Kong-cu yang ditinggal begitu saja oleh Gotong
Sin-kho mana mau mengerti? Dengan cepat ia lantas
memburu. Tetapi ketika ia melihat keadaannya Bee Tie ia

merasa kuatir juga, maka ia lalu menghampiri anak muda
ini untuk memberikan bantuannya.
Dengan adanya bantuan Lu-tong Kong-cu sebentar saja
lalu terdengar suara jeritan beruntun dari mulutnya Hoayyang
Kong-cu dan Tho-hoa Kong-cu yang kedua-duanya
terkena sasaran pedangnya Bee Tie.
Empat orang tua picak itu juga satu demi satu ikhirnya
dapat dirobohkan oleh Bee Tie bersama Lu-tong Kong-cu.
Setelah keadaan tidak terlalu mendesak. Bee Tie lalu
menyerahkan Siauw Beng Eng yang sudah terluka parah
dan tidak sadarkan diri kepada Lu-tong Kong-cu Ie Ceng
Kun. “Saudara, tolonglah kau bawa dia ini ke kuil Pek beesie
diluar kota Lok-yang dan aku akan segera menyusul.
Lekaslah sedikit,” katanya ketika ia menyerahkan Siauw
Beng Eng kepada Kong-cu dari Lu-tong itu.
Ie Ceng Kun yang mendengar itu menjadi tertegun, ia
lantas menanya.
“Saudara Bee, kau sendiri disini mau tunggu apa? Mari
kita berangkat sama-sama."
“Lekaslah kau pergi dulu. Tentang aku, biarlah aku
masih dapat melawan mereka. Nanti setelah sampai disana
tentu akan kuceritakan kepadamu semua apa yang kau
ingin ketahui.”
Ie Ceng Kun yang melihat keadaan sudah mendesak
demikian rupa, tanpa berkata-kata lagi ia lalu ambil oper
tubuhnya nona cantik itu. kemudian pergi meninggalkan
perkampungan Tong-cu San-chung dan orang-orang yang
sedang bertempur sengit didalamnya.
Setelah tak ada beban lagi, barulah Bee Tie merata
hatinya lega. Tetapi, untuk dapat membinasakan Lee Thian
Kauw serta Go-tong Sin-kho. rasanya bukanlah pekerjaan

mudah. Maka setelah menyerang Go-tong Sin-kho beberapa
jurus, ia lantas meneriaki kawan-kawannya yang lain.
"Kakek Pendek, Jie Sianseng mari kita tinggalkan
mereka!”
Disebelah sana, Jie Sianseng berbalik sudah mulai
terdesak oleh serangan-serangan Lee Thian Kauw yang
mematikan, maka Bee Tie segera maju ketempat mereka
bertempur dan membantu orang tua ini sambil berteriak
kearahnya.
"Jie Sianseng. lekas kita tinggalkan mereka!"
Setelah berkata, ia lalu menyerang Lee Thian Kauw
secara hebat dan lantas pergi lebih dahulu meninggalkan
Tong-tu San-chung. Perbuatannya itu segera diikuti oleh
Kiauw Kio Kong dan Jie Sianseng.
Go-tong Sin-kho yang masih memikirkan keselamatan
pnterinya, tidak mau terlalu mendesak lawan-lawannya ini,
maka ia hanya berdiri diam saja ketika ketiga orang
lawannya kabur.
Lee Thian Kauw yang melihat Go-tong Sin-kho diam
bagai terpaku dan tidak mau mengejar terus, maka lantas
berhenti bergerak. Ia lalu menghampiri Kekasihnya ini
tanpa berkata-kata.
Bee Tie, si kakek pendek Kiauw Kiu Kong serta Jie
Sianseng bertiga meski tidak ada yang mengejarnya namun
masih terus lari secepat-cepatnya.
Tiba-tiba Go-tong Sin-kho menangis menggerung-gerung
sambil berteriak teriak.
“Orang, she Lee! Kau yang bikin aku sampai begini!
Kaulah yang mencelakakan aku!”

“Oh ... Kau ... kau ... Kaulah yang membikin kami ibu
dan anak berpisah ... Ah!"
Sambil berteriak-teriak pedangnya juga digerakkan
menyerang Lee Thian Kauw secara bertubi-tubi.
Untunglah jago Thian-san ini mempunyai mata yang
cukup celi, begitu melihat pundak sang isteri bergerak, ia
lantas berkelit, dan selanjutnya ketika dicecer dengan
serangan yang berturut-turut, ia lompat sana melesat kemari
menghindarkan serangan si janda. Tetapi sambil berlarilarian
ia juga berusaha membujuki wanita yang sudah
seperti orang kalap itu, katanya.
"Hong Wie, kenapa kau salahkan aku terus terusan? Kau
tenangkan dulu pikiranmu. Pikirlah apa aku betul-betul
bersalah?"
"Apa? Hmm? Siapa lagi kalau bukan karena kau!
Manusia busuk!"
Lee Thian Kauw tidak dapat berkata-kata lagi. Ia
bungkem seribu bahasa!
"Orang she Lee! Aku peringatkan sekali lagi padamu!
Jangan kau harap nanti kau bisa ikut aku pulang kepulauku.
Sekali lagi kukatakan padamu aku tidak suka kau ikut.”
Lee Thian Kauw tidak marah, ia memainkan bola
matanya. Lalu sambil tertawa acuh tak acuh ia berkata.
"Hong Wie, kau jangan marah marah dulu. Aku juga
tahu kau tentunya sangat menyinta anak gadismu itu ..
Kau tenanglah. Aku berani jamin keselamatannya dan aku
akan berusaha mengembalikan dia kedalam pelukanmu.
Kau percayalah ucapanku. Sabarlah.
Go-tong Sin-kho dengan Wajah merah padam berkata
pula.

"Antara kita sudah tidak ada hubungan lagi! Kau mau
bikin apa uruslah sendiri! Tidak ada sangkut pautnya
dengan aku. kau boleh pergi kemana kau suka! Kau boleh
turuti kemauanmu sendiri. Jangan bawa-bawa aku lagi.
Pergi, Pergi!"
Selelah itu, Go-tong Sin kho lalu menyimpan kembali
pedangnya, kemudian tanpa menoleh kebelakang lagi ia
terus meninggalkan Lee Thian Kauw sendirian.
Melihat tingkahnya dan mendengar kata-katanya. Lee
Thian Kauw agaknya juga sudah tidak dapat menahan
sabar lagi. Maka dengan memperlihatkan wajah aslinya ia
lalu menghadang dan berkata dengan suara agak keras.
"Han Hong Wie! Aku begitu baik perlakukan kau. Tapi
begitukah periakuanmu terhadapku?"
Mendengar itu, Go-tong Sin-kho yang sudah agak reda
amarahnya, mulai gusar lagi. Ia lalu menghunus pedangnya
kembali, kemudian dengan tidak kalah keras suaranya ia
membentak.
"Minggir! Kalaukau tidak turut kata-kataku, jangan kau
sesalkan aku, yang nanti tidak akan berlaku sungkansungkan
lagi terhadap kau! Akan kubunuh kau disini.
Pergi.”
Tetapi, heran bin ajaib, kegusarannya Lee Thian Kauw
mendadak lenyap seketika, hilang seperti gumpalan awan
hitam tersapu bersih oleh sinarnya mata hari siang. Sambil
perlihatkan senyumannya yang dibuat-buat ia berkata.
"Hong Wie jangan kau bergurau lagi dengan aku. Tadi
aku sudah katakan kepadamu, aku tanggung anakmu itu
akan kembali dalam pangkuanmu. Kau dengarlah! Besok,
tetapi seperti rencana semula, kita bersama sama naik
keatas kapal berpura-pura hendak kepulau Go-tong. Lalu

malamnya, kita kembali lagi kedarat secara sembunyisembunyi
dan kita cari dimana tempat anak emasmu itu
disembunyikan. Dengan cara ini aku yakin kau berhasil
mendapatkan dia kembali. Bagaimana? Apa cukup jelas?
Go-tong Sin-kho bungkam.
Lee Thian Kauw dengan gerakannya yang amat sebel
lantas mencekal lengan kekasihnya ini dan kini Go-tong
Sin-kho tidak berontak lagi. Melihat usahanya berhasil, Lee
Thian Kauw lalu menyarungkan pedang Go-tong Sin-kho
kembali kedalam serangkanya yang tergantung dipinggang
sang kekasih yang kecil langsing. Kemudian ia mengusapusap
tangannya Go-tong Sin-kho yang halus licin, wajahnya
ramai dengan senyuman, menenatap wajah kekasihnya
yang masih agak cemberut. Perlahan-lahan, dengan
kepandaiannya memikat hati kekasih wanita akhirnya ia
telah berhasil membuat janda cantik ini berseri-seri kembali.
Mari sekarang kita tengok perjalanannya Bee Tie dan Jie
Sianseng bertiga dengan Kiauw Kiu Kong si kakek pendek,
yang setelah ia melarikan diri dan mengetahui tidak ada
orang yang mengejar, sampai janta barulah mereka berani
mengendurkan langkahnya.
Saat itu Kiauw Kiu Kong lalu membuka mulut memulai
bicara.
"Bee Tie. sebagai seorang ketua partai besar, mana boleh
kau kemana-mana sendirian? Apalagi untuk menempuh
bahaya mana boleh kau tidak berteman? Kalau tadi sampai
terjadi sesuatu apa atas dirimu, bukankah akan cuma-cuma
saja pengharapan kami orang-orang tua?”
Bee Tie mendengar itu hanya menganggukkan kepala
saja ia mengakui keadaannnya.

Kiauw Kin Kong lalu menengok kearahnya Jie Sianseng
sambil menanya.
"Jie Sianseng. entah ada hubungan apa antara kau
dengan Sam Ceng Totiang?"
“Sam Ceng Siansu adalah suhuku almarhum.”
Kiauw Kiu Kong angguk-anggukkan kepala.
Jie Sianseng lalu membuka matanya lebar-lebar.
Agaknya ia sedang menahan rasa gusarnya.
"Apa betul Lee Thian Kauw itu yang membunuh-bunuhi
orang-orang partai kami Oey-san pay?" tanyanya kepada si
orang tua pendek.
Bee Tie mendahului si kakek pendek menjawab
pertanyaan itu, katanya dengan suara keras.
"Siapa lagi kalau bukan dia! Aku dengan mata kepala
sendiri melihat dia satu waktu pulang kedalam kamar
batunya dengan badan berlepotan darah. Sudah pasti dia
baru pulang dari gunung Oey san. Jie Sianseng tentang ini
tidak perlu sangsi-sangsi lagi. Aku sebagai saksi utama."
Mukanya Jie Sianseng pucat pasi seketika. Sambil
menjura menghadap kearah gunung Oey-san pay ia berkata.
“Disini dengan saudara Kiauw dan Bee sebagai saksi
aku Ie Hoa Cie bersumpah akan membunuh si jahanam Lee
Thian Kauw untuk membalaskan dendam sakit hati suhu
almarhum dan para saudara golongan Oey-san-pay kami
yang dibinasakan olehnya.”
Setelah itu ia lalu berkata pada Bee Tie.
“Engko kecil bukannya aku mau mengumpak-umpak
orang, tapi dengan sejujurnya aku katakan didalam dunia
dewasa ini. tidak ada bakat sebagus kau ini. Kau berlatih

terus baik-baik supaya cepat berhasil. Aku Ie Hoa Cie
sekarang mau minta diri. Sampai bertemu dilain waktu."
Setelah memberi hormat kepada Kiauw Kiu Kong dan
Bee Tie berdua, lenyapnya Jie Sianseng Ie Hoa Cie dari
hadapan mereka.
Jie Sianseng telah pergi jauh. Saat itu Bee Tie tiba-tiba
teringat kembali halnya si “Pelajar Pedang Tumpul” yang
Sedang menderita luka parah, maka ia lalu berkata pada
Kiauw Kiu Kong.
"Kakek pendek, mari kita cari paman Pedang Tumpul.
Bagaimana boleh kita biarkan ia sedang terluka parah!”
Kiauw Kiu Kong mendengar itu, setelah berpikir sejenak
lalu berkata.
Tentang itu, kita atur begini saja. Kita sekarang
berpisahan. Soal si Pedang Tumpul kau serahkan padaku.
Kau sendiri boleh cari Lu-tong Kong-cu dengan kekasihmu
itu?
Bee Tie yang mendengar usul itu, segera menyetujui dan
segera ia berangkat, maksudnya hendak pergi ke kuil Pekbee-
sie untuk menyusul Lu-tong Kong-cu dan Siauw Beng
Eng.
Belum berjalan seberapa jauh, tiba-tiba di tengah jalan
terlihat rebah terlentang tubuhnya seseorang, agaknya orang
itu sudah tidak bernapas, lekas-lekas Bee Tie menghampiri
orang tersebut. Bukan main terkejutnya ia karena orang itu
bukan lain dari pada si Pedang Tumpul sendiri, itu orang
yang telah berkali-kali membantu dan menolong ia dalam
berbagai kesukaran.
Disitu, ditengah-tengah jalan besar, si Pedang Tumpul
rubuh mengeletak dengan badan mandi darah. Pada

pundaknya yang terluka masih terus mengalir keluar darah,
begitu pun dan sudut bibirnya.
Bee Tie yang melihat itu merasa heran sekali ia cepat
cepat membungkuk hendak meneliti dengan lebih seksama.
“Hei! Aneh betul. Kenapa dari mulutnya juga bisa
keluar darah? Sedang tadi ketika bertempur, ia terluka
dipundaknya, tentu juga mesti pundak yang mengeluarkan
darah, tapi, sekarang kenapa bisa keluar darah dari mulut?
Ini kerjaan siapa lagi.”
Ia cepat-cepat memeriksa urat nadinya. Ternyata masih
berdenyut, meskipun sangat perlahan. Hatinya agak girang
juga, karena harapan untuk menolong jiwa orang tua ini
masih ada. Ia segera memberikan bantuannya dengan
menyalurkan tenaga murninya ketubuh si korban.
Tidak lana kemudian, si Pedang Tumpul sudah siuman
kembali. Tiba-tiba ia berterik-teriak tidak karuan.
“Setan Putih! Beranikau bersekongkol dengan
penghianat-penghianat Hoa-san-pay? Ini! Kau terimalah
sekali lagi seranganku!”
Dan pelajar tua itu benar benar memukul, tetapi bukan si
Setan Putih yang diserang adalah Bee Tee yang dijadikan
sasaran. Anak muda ini terkejut, ia segera mengegos
menghindarkan serangan tersebut.
Saat itu terdengar pula olehannya orang tua itu.
“Arak! Tambah araknya lagi. Hai Setan Putih! Tunggu
dulu! Kau jangan lari dulu ... ”
"Paman sadar. Disini tidak ada si Putih Kurus. Aku Bee
Tie." kata Bee Tie dengan suara halus.
“Disini cuma ada aku, Bee Tie.” ulangnya.
”Kau? Apa betul kau. Bee Tie?”

"Ya, betul. Aku Bee Tie, bukan si Putih Kurus.
Berbareng pada saat itu di tempat agak kejauhan samar
samar terdengar suara beradunya senjata. Bee Tie yang
mempunyai pendengaran sangat tajam, mendengar juga
suara itu.
“Lekas ... Lekas! ... ” demikian si Pelajar Pedang
Tumpul mencoba berkata dengan susah payah.
"Cepatan kau pergi ke sana. Disana kekasihmu sudah
direbut si setan putih. Biarpun ada Lu-tong Kong-cu yang
masih terus mengejar dia, tapi aku sangsikan ... Cepat!
Cepat sedikit!"
Bee Tie mendengar itu sangat terkejut, tetapi ia merasa
ragu ragu, apa harus mengejar atau mesti menolong jiwa
orang lebih dulu.
"Tapi ... tapi ... kau paman ... kau rasakan badanmu
sekarang bagaimana? Apa sudah baikan?"
“Jangan pikirkan aku! Aku tidak bisa mati disini. Lekas!
Cepat kau susul si setan putih disana.”
Bee Tie yang melihat si Pelajar Pedang Tumpul masih
tidak dapat bergerak, mana dapat bergerak, mana dapat
hatinya tenang? Mana mau ia meninggalkan si Pelajar tua
begitu saja! Maka ia segera memondong tubuhnya si pelajar
tua itu dibawa masuk kedalam sebuah rimba lebat terdapat
ditepinya jalanan itu, lalu diletakkau didalam semak-semak
yang lebat supaya tidak bisa dicari oleh musuh dan supaya
orang tua ini dapat beristirahat dengan teuang tanpa ada
orang yang berani mengganggu.
Setelah selesai mempernahkan dirinya si “Pelajar Pedang
Tumpul” yang masih terluka, barulah Bee Tie berani
meninggalkan pergi, cepat cepat ia menuju kearah dari
mana datangnya suara beradunya senjata tadi.

Tidak lama ia berlari, didepan tampak Lu-tong Kong-cu
Ie Ceng Kun sedang dikerubuti oleh enam tosu penghianat
dari Hoa-san-pay.
Ketika Bee Tie datang lebih dekat, ia sangat terkejut.
Dilihatnya Lu-tong Kong-cu ini sudah keripuhan sekali
melayani enam orang tosu itu.
Bee Tie yang memangnya mau menolong orang tanpa
berkata-kata lagi lalu menghunus pedang Siauw Beng Eng
yang masih ada dalam tangannya, lantas nrenyerbu masuk
ketengah-tengah kalangan pertempuran.
Sebentar terdengar suara jeritan-jeritan ngeri, enam tosu
penghianat itu saling susul rubuh menggeletak ditanah.
Terlepaslah Ie Ceng Kun dari kepungan mereka.
Lu-tong Kong-cu sangat girang mengetahui datangnya
bantuan dan melihat adanya Bee Tie sendiri maka cepatcepat
ia menyambut.
“Saudara Bee. Nona Siauw dibawa lari ke sana. Cepat
cepat kita kejar,” katanya sambil menunjuk kedepan.
Bee Tie melihat ketempat yang ditunjuk dan betul saja
jauh disana samar-samar terlihat satu bayangan putih
seperti sedang menggendong orang, lari dengan cepat
menuju ke atas puncak gunung Kie-ling
“Tentu itu si Putih Kurus yang membawa kabur dia
kedalam batunya yang berkepala manusia." menggerutu
Bee Tie.
Lalu tanpa menghiraukan mati hidupnya enam tosu
(imam) penghianat yang saat itu sudah rubuh
bergelimpangan ditanah semuanya, ia lantas menarik
tangannya Ie Ceng Kun sambil berkata.
"Mari kita kejar!"

Maka dua Kong-cu muda ini lantas mengejar kearah
mana bayangan putih tadi melarikan diri.
XI. SIAPAKAH LU-TONG KONG-CU
IE CENG KUN.
PUNCAK gunung Kie-ling sebentar saja sudah tampak
didepan mata. Dua Kong-cu berlari-lari mendekati puncak
gunung tersebut.
Betul saja, tak antara lama dua Kong-cu muda ini dapat
menyandak bayangan putih yang sedang mereka kejar itu
yang bukan lain adalah si Putih Kurus sendiri, itu orang
yang serakah dan temaha.
Jauh jauh Bee Tie sudah berteriak-teriak.
"Hai! Setan Putih! Berhenti ... ! Lepaskan nona Siauw!
Kalau kau tidak turut, jangan salahkan kalau aku Bee Tie
tidak mau perdulikan orang tua lagi! Aku tak mau kenal
kau lagi!
Si Putih Kurus tak mau menghentikan langkahnya, ia
malah kabur lebih cepat sambil tertawa terbahak-bahak ia
berkata.
"Hm! Enak saja. Kecuali kalau kau mau menyerahkan
itu kitab Kiu teng Cin-keng padaku, lain orang tidak bisa
menyuruh aku melepaskan dia ini. Juga jangan kau harap
seumurmu nanti bisa menemui dia lagi."
"Ngaco !" seru Bee Tie. Langkahnya lantas dipercepat.
Sebertar saja si Putih Kurus sudah melewati satu
tikungan lagi.
Ie Ceng Kun dan Bee Tie yang mengejar orang kurus ini
sesaat kemudian sampai juga ditikungan itu. Tetapi sewaktu
mereka sampai disitu, bukan main terkejutnya ke dua

pemuda itu, karena mereka sudah kehilangan jejaknya si
Putih Kurus yang membawa kabur Siauw Beng Eng.
Mereka celingukan ke sana kemari. Terlihatlah sebuah
batu aneh yang berbeutuk kepala manusia.
"Hmm! Hmm! ... “ terdengar dua kali suara jengekan si
Putih Kurus secara tiba-tiba.
Bee Tie yang tajam pendengarannya, tahu bahwa suara
nu keluarnya dari dalam batu aneh berbentuk kepala
manusia itu, maka ia segera mengajak Ie Ceng Kun menuju
kesitu.
Pada saat itu tiba-tiba dari atas batu aneh macam kepala
manusia itu melesat, keluar puluhan jarum jarum kecil.
Bee Tie sambil membentak keras, dengan menggunakan
pedang kepunyaan Siauw Beng Eng yang masih tergenggam
dalam tangannya! menyampok jatuh semua jarum-jarum
tersebut. Kemarahannya sudah menjadi jadi, ia lalu
mengajak Ie Ceng Kun, lebih dulu ia sendiri yang lompat
kebawahnya batu aneh tersebut. Mereka berdua berputarputaran
disitu sekian lama tetapi biar bagaimana telitinya
sudah mereka mencari namun masih tidak juga dapat
menemukan tempat yang digunakan oleh si Putih Kurus
sehajat jalan masuknya disekitar batu aneh macam kepala
manusia tersebut.
Bee Tie sudah hilang sabar. Ia lalu mengenjot tubuhnya,
naik keatas.
“Kepala, dan baju aneh itu, tetapi juga usahanya sia-sia
belaka, ia tidak bisa mendapatkan suatu apa yang kiranya
mencurigakan. Ia merasa heran, dalam hatinya diam-diam
berpikir. Eh! Kemaua Si Setan Kurus itu? Dan dari sebelah
mana dia masuk kedalam tadi? Aneh, bagaimana dia bisa
hilang.

Ie Ceng Kun yang melihat urusan sudah menjadi
demikian rupa, lalu menarik napas dalam-dalam kemudian
berkata.
"Saudara Bee. maafkan aku yang telah mengakibatkan
terjadinya semua kejadian ini.”
Bee Tie mengawasi sahabat barunya ini sesaat, lalu
berkata.
"saudara janganlahkan bersusah hati. Ini bukan melulu
kesalahanmu, aku juga turut bersalah. Mereka itu memang
telah lama merencanakan penculikan ini. Mana kita dapat
menjaga sesuatu sedang kita telah masih belum bersiapsiap?
Lagi pula tadi karena terganggu oleh pertempuran kita
tidak bisa jalan bersama-sama satu orang dua tangan mana
bisa melawan begitu banyak orang-orang. Tapi kalau kita
ingat lagi Si Setan Kurus itu yang sudah kenamaan yang
meski sudah menyerang kau, tetapi kau bisa terus bertahan,
itu apa tidak cukup membuat kita puas? Kau tidak usah
kuatir, dia adalah puterinya Go-tong Sin-kho. Eh, ya. Siapa
nama saudara yang mulia?"
"Namaku Ie Ceng Kun, aku adalah anak ketiga dari
ayahku yang bernama Ie Tong Sen. Apa saudara Bee
pernah dengar nama ayah?"
Bee Tie belum lama berkecimpung dilaut dunia
Kangouw, terhadap nama-nama jago baru maupun lama
belum pernah ia dengar, begitu juga nama Ie Tong Sen dai
Ie Ceng Kun ayah dan anak tidak pernah didengarnya.
Maka ia lantas menggeleng-gelengkan kepalanya atas
pertanyaan sang kawan.
"Aku sebagai satu anak dusun, yang belum pernah
berkelana belum tahu nama Ie Locianpwe. Tapi dengan
melihat kepandaian saudara Ie saja sudah bisa dipastikan
tentu Ie Locianpwe sendiri punya nama besar sekali dalam

kalangan Kangouw, numpang tanya, apa kedudukan ayah
saudara dalam dunia rimba persilatan.”
“Ah kenapa saudara Bee Tie terlalu merendah! Ayahku
Ie Tong Sen tidak ada apa apanya yang bisa diagungkan.
Ayah cuma seorang pengemis sekalipun jadi ketua juga
tetap namanya pengemis. Orang orang dunia Kang ouw
menjuluki ayah. Naga Jari Sembilan. Begitu juga Toako
dan Jieko keduanya sama dengan aku adalah orang-orang
partai pengemis Jieko menjabat pengurus Kay-pang Jabatan
Toako sama dengan. Jieko cuma kalau Toako berkuasa di
daerah Utara. Jieko disebelah Selatan."
Bee Tie yang mendengar keterangan tersebut diam-diam
dalam hatinya berkata.
“Oh! Tidak tahunya keluarga Ie itu adalah keturunan
keluarganya si pengemis. Pantas kalau dia ini tidak begitu
aksi dengan pakaian yang mewah-mewah seperti lain-lain
Kong-cu.”
Ie Ceng Kun setelah berkata tadi, lalu membuka baju
luarnya. Kiranya, ia sejak lama sudah mengenakan pakaian
rangkap dua. Setelah baju luar dibuka tampaknya pakaian
yang dikenakan disebelah dalam, yaitu pakaian yang penuh
tambal seperti dipakai oleh kaum pengemis pada umumnya,
tapi yang lebih aneh, baju itu disebelah kanan dan kiri tidak
sama. Dibagian kanan tampak mesum serta kotak-kotak
sedang disebelah kiri bersih sekali walau pun masih banyak
sekali tambalannya.
Bee Tie yang menyaksikannya, lantas tertawa sambil
betkata.
"Dengan berpakaian begini macam, saudara sendiri
tentunya menjadi pengurus cabang Utara merangkap
pengurus bagian Selatan.”

Ie Ceng Kun tidak menjawab segera, ia mengambil tanah
yang lalu dipoleskan diatas mukanya, baru kemudian
menjawab.
"Saudara Bee, kau salah tebak. Jabatan cuma sebagai
pengemis pengembara saja yang mendapat tugas meneliti
kelakuan setiap anak murid golongan pengemis kami. Siapa
yang berkelakuan baik dan kurang baik, aku tahu, adalah
kewajibanku untuk menyingkirkan mereka itu dari
golongan Kaypang kami.”
"Kalau begitu kekuasaan saudara Ie jauh lebih tinggi
diatasnya jabatan Toako serta Jiekomu. Apa tidak cukup
besar?"
"Ah! Saudara Bee sendiri, sebagai salah satu ketua partai
besar, dimana semua anak murid Hoa-san-pay tunduk
dibawah perintah saudara, apa itu tidak lebih besar lagi?"
sanjung Ie Ceng Kun sambil bersenyum-seuyum.
“Saudara Ie kenapa begitu pandang tinggi diriku? Mana
aku berani terima pujaan ini?”
Agaknya Lu-tong Kong-cu Ie Ceng Kun ingat sesuatu
maka lalu, ia berkata. ”Saudara Bee harap sandar tunggu
disini sebentar, aku akan pergi dulu dan juga cepat akan
kembali."
"Saudara Ie mau pergi kemana?" tanya Bee Tie keheranheranan.
"Adalah karena kelalaianku nona Siauw terculik. Juga si
setan putih sudah mengurung rapat dirinya. Kalau aku
memang tidak bisa mencari jalan masuknya. apa mesti kita
tunggu terus secara ini? Aku hendak pergi kekota Lok-yang
dulu sebentar untuk mengundang kawan kawan dari Kaypang.
Aku akan suruh mereka nanti paksa si setan putih itu

keluar dati tempat sembunyinya. Biarlah saudara Bee
tunggu disini saja."
Bee Tie terkejut. Cepat-cepat ia geleng-gelengkan
kepalanya.
"Aku rasa lebih baik jangan kita ganggu sekalian saudara
dari Kay-pang. Nona Siauw sebagai putri tunggalnya Gotong
Sin-kho aku rasa tidak akan mendapat gangguan si
Setan Putih itu ... Dan yang paling penting, aku ingin
rahasia Kiu-teng Cin keng supaya tidak sampai tersiar
diluaran karena kalau sampai teruwar susahlah aku nanti."
“Ya, benar. Kata-kata saudara Bee betul juga. Ah!
Sudahlah.”
Siapa nyana, pada waktu itu dua bayangan tampak
berkelebat cepat. Bee Tie yang melihatnya diam-diam
mengeluh dalam hati Ucapan Kiu-teng Cin-keng sudah
keluar dari mulutnya, kemungkinan besar sekali kata-kata
itu terdengar oleh dua orang tersebut. Maka sambil menarik
tangan Ie Ceng Kun ia berkata.
“Mari kita kejar!"
Bee Tie tahu bahwa ucapan Kiu teng Cin-keng yang
keluar dari mulutnya tadi kalau sampai tersiar didunia luar
celakalah dunia Kang ouw nanti. Pasti orang-orangnya
akan berebutan nanti. Maka dengan dikawani oleh Ie Ceng
Kun ia lalu terus mengejar kedua orang tersebut dengan
sekuat tenaga.
Akan tetapi, karena terlambat mengejar, juga karena
kepandaian lari cepatnya dua orang tersebut sudah sangat
sempurna, maka sebentar saja orang itu sudah hilang dari
depan mata mereka.
Setelah mencari-cari berputaran di sekitar tempat
tersebut tanpa hasil, akhirnya dengan apa boleh buat Bee

Tie mengajak Ie Ceng Kun kembali kedalam kota Lokyang.
Ie Ceng Kun agaknya ingat sesuatu, ia lantas menanya,
"Saudara Bee, bagaimana kalau kita kembali dulu
keperkampungan Tong-su Sau-chung untuk mengabarkan
kepada Go-tong Sin-kho tentang diculiknya puteri
tunggalnya ini?"
Bee Tie berpikir, sejurus lamanya ia berpendapat bahwa
cara atau usul itu sebenarnya terlalu memalukan maka ia
tidak menyetujui usulnya Ie Ceng Kun.
Pengemis Pengembara itu sangat menjunjung tinggi
pribadi sahabat barunya! Begitu mengetahui sang kawan
tidak menyetujui usulnya, ia juga tidak menyatakan apa-apa
lagi dan begitulah mereka kembali memasuki kota Lokyang.
Didalam perjalanan menuju kekota Lok-yang, mendadak
terdengar dua kali suara Huru hara yang aneh sekali.
Ie Ceng Kun terkejut sebab ia mengenali suara itu adalah
pernyataan minta bantuan dari anak murid golongan Kaypang
sedang berada dalam berbahaya, maka ia segera
mempercepat larinya mengejar kearah dari mana datangnya
suara sambil memanggil Bee Tie.
“Saudara Bee, apa kau mau ikut aku? Aku akan
menengok kawanku yang sedang dalam keadaan bahaya.
Suara itu tadi adalah suara permintaan tolong kawan kawan
dari golongan pengemis kami. Aku perlu cepat. Maafkan
aku.”
Bee Tie segera menganggukkan kepala sebagai
pernyataan setuju ikut serta dengan sang kawan, ia juga
lantas menyusul sahabat barunya itu.

Dua orang muda tersebut lalu menambah kecepatan lari
mereka terus masuk kedalam sebuah rimba lebar mengikuti
arah dari mana datangnya suara areh tadi. Sebentar saja
mereka sudah masuk jauh kedalam. Kemudian tidak jauh
didepan mereka tampak dua tubuh manusia menggeletak.
Ketika ditegasi ternyata itu adalah orang berpakaian
compang camping dan agaknya sudah lama
menghembuskan napasnya yang penghabisan. Ie Ceng Kun
segera menghampiri dan dilihatnya dua mayat tersebut
kulitnya sudah pada matang biru dan bengkak-bengkak
semuanya. Sungguh menyeramkan.
Bee Tie yang menyaksikan itu tanpa sadar mengeluarkan
jeritan tertahan, ia bergidik kakinya mundur lagi beberapa
langkah kebelakang, lalu dengan suara keheran-heranan ia
mennya.
"Saudara Ie, mereka itu kenapa bisa begitu?"
Ie Ceng Kun dengan napas tersengal-sengal menjawab.
"Mereka kedua-duanya terkena serangan beracun dari
Kim-coa Tong ciang (ilmu pukulan ular emas beracun dari
golongan Kim-coa-bun, yang menjadi mus uh lama
golongan Kay pang kami. Tapi perkumpulan ini dalam
duapuluh tahun belakangan ini tidak pernah terdengar lagi
kabar ceritanya. Heran. Kenapa hari ini mendadak mereka
bisa ada disitu dan tahu-tahu menbunuh-bunuhi orang
pengemis kami? Apa sih maksud sebetulnya."
Ie Ceng Kun berdiri menjublek dengan sikap tegang.
Bee Tie yang masih belum tahu bagaimana lihaynya
orang-orang dari Kim-coa-bun. Melihat kawannya bersikap
setegang itu, seolah olah turut merasakan keseraman orangorang
dari golongan itu yang tentunya sangat ganas dan
telengas dalam menggunakan racunnya itu. tanpa terasa

buluromanya telah berdiri. Tapi tak lama kemudian
pikirannya sudah pulih kembali, ia berkata.
"Saudara Ie, dua saudara ini terkena racunnya masih
belum lama. Tentu pembunuhnya masih ada didekat-dekat
disini, mari kita lekas kejar lagi. Kita cari mereka lebih dulu
baru nanti kita periksa lagi.”
Tapi, lagi-lagi mereka dibikin terkejut, suara empat huruhara
kembali terdengar dari tempat yang tidak berjauhan
dari tempat mereka berdiri.
Ie Ceng Kun yang kembali mendengar suara permintaan
tolong itu kali ini sudah berubah wajahnya. Rupanya ia
sudah segera mengeuali suara itu siapa yang sedang berada
dalam bahaya, maka tingkah lakunyapun tak tenang. ia
cepat-cepat melompat meninggalkan tempat itu dengan
diikuti oleh Bee Tie.
"Celaka! Itu suara Yu Suhengku. Ia tentu dalam keadaan
sangat bahaya! Mari kita lekas ke sana. Siapa yang berani
mengganggu Yu Suheng ?”
Ia berkata sambil menggerakkan kakinya, lari menuju
ketempat dari mana datangnya suara tadi.
Bee Tie juga lantas menelad perbuatau kawan-kawannya
berlari-lari dibelakang sang kawan.
Sewaktu mereka sampai ditempat itu terdengar suara
seseorang yang tengah merintih rintih menahan sakit.
Ie Ceng Kun segera menghentikan larinya lalu
memanggil-manggil.
"Yu Suheng. Yu Sulteng ... ! Kau dimana?"
Sebentar mereka celingukan, tampak sesosok tubuh
menggeletak ditanah. Segera mereka menghampiri tubuh
itu.

Ternyata orang di panggil Yu Suheng itu mengenakan
pakaian yang sama dengan apa yang dipakai oleh Ie Ceng
Kun, maka tahulah ia sekarang, bahwa she Yu itu tentu
juga sama jabatannya dengan sahabat barunya ini, Lu-tong
Kong-cu Ie Ceng Kun yaitu sebagai pengemis pengembara.
Mukanya orang she Yu itu sudah mulai matang biru.
agaknya racun sudah menjalar luas keseluruh tubuhnya.
Bee Tie yang menyaksikan, dengan tidak terasa telah
menarik napas panjang.
"Kim-coa Tok-ciang sungguh keji," katanya.
Ie Ceng Kun sudah memanggil-manggil lagi sampai
beberapa kali, namun ia masih tidak berani membalikkan
tubuh yang menggeletak itu, karena tentunya juga sudah
beracun seluruhnya.
Selang tidak beberapa lama orang yang di panggil! Yu
Suheng itu agaknya sudah dapat mendengar namanya
dipanggil orang, cepat membalikkan badan, lalu dengan
suara terputus-putus ia berkata.
“Dia .. dia ... Kim-coa ... Sin-lie ... ”
Bicara sampai disitu, ia sudah lidak dapat melanjutkan
kata-katanya lagi, tamatlah riwayatnya.
Ie Ceng Kun yang menyaksikan ini lantas menangis, ia
lalu memanggil manggil lagi nama suhengnya itu dengan
suara menyedihkan sekali.
"Suheng ... Suheng ... Ah! Suheng Sutemu inilah yang
bersalah. Karena Sutee kau sampai mengalami nasib begini,
Oh! Kenapa aku mengajak kau ... cunna untuk kau
menonton keramaian di Tong-tu-san-chung ...? Ah! Tidak
nyana kau sampai menemui ajalmu disini. Bagaimana nanti

aku ada muka pulang menemui ayah! Oh. suheng. suheng!
Kenapa begini malang nasib mu?"
Lalu dengan menoleh kearahnya Bee Tie ia meneruskan
berkata.
“Saudara Bee musuh besar golongan Kaypay kami Kimcoa-
bun telah muncul kembali. Aku harus segera kembali
kedaerah Lu-tong untuk memberi laporan mengenai hal ini
kepada ayah. Kim-coa Siaa lie itu sifatnya kejam telengas.
Aku rasa kecuali ayah sendiri Yang lain bukan
tandingannya perempuan jahat itu."
Bee Tie angguk anggukkan kepala.
Ie Ceng Kun melanjutkan pula kata-katanya.
"Aku merasa sangat bersimpati terhadap saudara," sesaat
ia barhenti, lalu meneruskan. “Setelah perpisahan kita kali
ini, masih ada dua urusan yang belum bisa kubereskan
sendiri. Sudikah kiranya kalau saudara Bee membuat
sedikit tempomu tolong wakili aku membereskan urusanku
ini."
Sambil angguk-anggukan kepala Bee Tie berkata.
“Saudara Ie, legakanlah hatimu. Aku bersedia
membereskan semua urusanmu. Kau katakanlah segera.”
Ie Ceng Kun agaknya merasa puas dengan jawaban
kawan ini, maka ia sambil menunjuk mayat suhengnya
berkata pula.
“Setelah aku pergi sukakah kau tolong kuburkan jenasah
Yu Yu Suheng ini?"
Kembali Bee Tie menganggukan kepala.
"Tapi hendaklah saudara Bee jangan sampai menyentuh
tubuhnya, karena seluruh tubuhnya sekarang sudah beracun
... Dan yang kedua tolonglah saudara kalau bisa lebih cepat,

memberitahukan kepada sekalian saudara Kay-pang kami
yang berada di dekat dekat kota ini supaya mereka bisa
menyingkirkan diri jauh jauh dan Kim-coa Sin-Lei agar
jangan sampai mereka nanti tersiksa seperti yang sudah
sudah. Lalu tolonglah saudara katakan juga pada mereka
supaya mereka ikuti terus dirinya Kim-coa Sin-lie dari jauh
dan kalau bisa suruh mereka beri laporan kepada pemimpin
mereka disini."
Sehabis berkata, Ie Ceng Kun lalu mengeluarkan sesuatu
benda dari dalam sakunya dan kemudian berkata pula.
“Ini, adalah tanda perintah tertinggi dari perkumpulan
kami. Namanya “Kiu-cie Leng-pie. Siapa saja yang melihat
benda ini, baik yang di Utara maupun disebelah Selatan,
asal semua adalah orang-orang Kay-pang kami, pasti akan
tunduk terhadap perintah yang di berikan oleh
pembawanya. Tidak nanti mereka berani membantah
perintah pembawa Kin cie Leng-pie. Sekarang benda ini
aku percayakan kepada saudara pakai bilamana perlu.
Begini saja kita tetapkan, aku harus cepat-cepat kembali ke
Lu-tong untuk memberi laporan mengenai peristiwa yang
terjadi disini. Sampai bertemu pula dilain waktu.”
Sebentar saja lenyaplah si pengemis pengembara Ie Ceng
Kun dari hadapan Bee Tie.
Setelah mengawasi Kong-cu ini berlalu sampai jauh,
barulah Bee Tie mulai bekerja, menanam jenasahnya orang
yang dipinggil Yu Suheng oleh kawannya Lu-tong Kong-cu
itu. baru setelah itu lalu metgubur pula dua orang pengemis
lain yang telah diketemukan mati sebelum ada tanda
permintaan tolong dari Yu Suheng.
Setelah selesai dengan pekerjaannya cepat-cepat ia
berlalu dari dalam rimba itu. Ia terkenang pada si Pelajar
Pedang Tumpul yang saat itu entah bagaimana nasibnya,

maka ia segera mempercepat langkahnya dengan
maksudahendak mencari pelajar tua tersebut karena ia
merasa sangat berhutang budi kepada orang tua ini yang
terus-terusan membelanya dalam segala hal juga yang
selamanya menolong dirinya setiap saat ketika sedang
berada dalam keadaan sangat bahaya.
Begituan kakinya terus bergerak, lari secepatnya
ketempat dimana ia pernah meletakan tubuh si pelajar tua
tersebut. Tidak lama, sampailah ia disitu. Tetapi,
sewaktunya Bee Tie sampai disitu, ia dibikin kesima. Ia
telah kehilangan jejaknya si orang tua. Ternyata si Pelajar
Pedang Tumpul telah hilang tanpa bekas.
Dalam keadaan bingungnya itu, tiba-tiba dari tempat
yang agak jauh terlihat beberapa layar yang sedang dibawa
laju oleh angin, diatasnya terlihat bendera yang bertulisan.
TONG TU SAK CHUNG dengan huruf emas yang besar
besar. Melihat ini, Bee Tie menjadi bingung sendiri dan
dalam hati diam-diam berpikir.
“Go-ting Sin-kho betul betul keterlaluan. Anaknya
sendiri begitu saja ditinggalkan. Apa sama sekali tidak ada
perasaan dalam hatinya terhadap anak gadisnya?"
Melihat bendera yang bertuliskan Tong-tu San-chung itu,
ia terus ingat Go-tong Sin-kho dan mengingat janda ini,
membuat pikirannya melayang-layang ke arahnya Lee
Thian Kauw. Kalau ada Go-tong Sin-kho diperahu itu, pasti
Lee Thian Kauw tidak akan tidak turut dengan dia, Tentu
juga orang she Lee ini berada didalam perahu itu.
Mengingat sampai disini, ia lalu cepat-cepat mengejar
mendekati perahu perahu tersebut sambil berteriak-teriak
sepanjang jalan.

“Lee Thian Kauw! Bangsat Lee Thian Kauw. Jangan
lupakan perjanjian kita nanti digunung Hoan san tahun
depan!"
Demikian ia berterink-ieriak beberapa kali namun tetap
tidak ada orang yang menyahut, perahu sudah berlayar
jauh.
Saat itu Bee Tie merasakan perutnya keroncongan minta
diisi, maka cepat-cepat ia lalu berbalik kembali kedalam
kota Lok-yang maksudnya tentu hendak menangsal
perutnya yang sudah sangat lapar.
Sesampainya Bee Tie disana, sambil menahan rasa
laparnya ia berpikir.
Ah! Apa lebih baik aku bereskan dulu urusannya Ie Ceng
Kun, soal mengisi perut bisa belakangan.
Karena memikir begini, maka ia lantas mencari-cari
pengemis disepanjang jalan yang dilaluinya, ia hendak
membuktikan kebenarannya tanda perintah Kiu cie LengpIe-
yang di serahkan padanya oleh Ie Ceng Kun.
Ia sudah berputar-pntaran sekian lama di dalam kota,
namun tidak dapat juga menemukan salah satu diantara
orang-orang golongan Kay-pang itu, maka ia merasa sangat
heran.
Dalam penasarannya, ia terus berjalan tanpa arah.
Akhirnya sampailah pemuda ini di perbatasan kota. dari
depannya mendadak terlihat mendatangi serombongan
pengemis yang berjumlah lebih kurang tiga puluh orang.
Yang berjalan paling depan adalah seorang pengemis yang
berperawakan tinggi besar. Rupanya orang ini adalah yang
menjadi pemimpin rombongan pengemis tersebut.
“Hmm. Tidak heran kalau dari setadi aku tidak bisa
ketemukan mereka. Tidak tahunya mereka semua sedang

berkumpul disini. Eh! Tapi apa yang dikerjakannya disini?"
demikian pikir Bee Tie dalam hatinya, ia merasa sangat
heran.
Rombongan pengemis itu berdiri didepan sebuah rumah
makan bertingkat. Dengan suara ramai mereka berteriakteriak.
Bee Tie yang sedianya begitu bertemu dengan salah
seorang pengemis menguji tanda perintah tertinggi Kiu-cie
Leng pie, melihat itu. tersurung oleh rasa ingin tahu lantas
urung menuruti kata hatinya. Ia ingin sekali mengetahui
apa yang akan diperbuat oleh mereka, maka lantas
menghampiri mereka sampai dekat benar, lalu berjalan
mengikuti dibarisan paling belakang.
Karena pemuda ini mengenakan pakaian compang
camping tidak karuan karena sangat lamanya dipakai tanpa
ganti ganti, maka dengan mengikutinya ia dibelakang
rombongan pengemis itu, tidak ada orang yang menyangka
bahwa dia ini sebetulnya adalah seorang Kong-cu yang
kenamaan mereka semua hanya menganggap bahwa
pemuda ini masih termasuk salah satu dari antara mereka,
kaum pengemis.
Saat itu pengemis yang berpengawakan tinggi besar yang
berjalan paling depan tadi lantas berteriak.
"Hoan Hu Cie dari Kay-pang ingin minta sedikit
pengajaran dari Kim-coa-bun yang tersohor.”
Dengan diucapkannya perkataan ini. ketiga puluh orang
dalam rombongan pengemis tersebut pada memperhatikan
sikap tegang. Mereka agaknya sedang berjaga-jaga hendak
menghadapi segala kemungkinan.
Bee Tie memandang lurus kedepan melalui kepalakepala
orang. Disana, didalam rumah makan bertingkat

tersebut, tidak dilihat barang seorang pun juga. Pengurus
rumah makannya sendiri tidak kelihatan batang hidungnya.
Maka ia merasa heran, diam-diam dalam hati ia perpikir.
Jangan-jangan si pengurus rumah makan sendiri karena
ketakutan sekali lantas bersembunyi atau melarikan diri.
Kalau tidak ada tuan rumah, tentu yang lain tidak berani
masuk. Tapi mengapa mereka ini terus berteriak-teriak?
Sedeng ia berpikir ini, tiba-tiba terlihat seorang pelayan
rumah makan yang berjalan keluar sambil menanya.
"Kalian bangsa pengemis ini mau minta apa dari kami?”
Dari dalam rombongan pengemis itu, tidak ada suara
menjawab.
SI pelayan yang melihat mereka tidak mau menjawab,
lantas menjadi marah, maka ia lalu membentak dengan
suara keras, sikapnya sombong sekali.
”Hm ! Apa kalian tuli semua? Apa tidak kalian dengar
pertanyaan Toaya-mu ini? Sekarang kuulangi selali lagi.
Apa kalian ingin disini? Kami tidak punya apa-apa. Tuan
rumah juga sedang pergi. Kalian cari di tempat lain saja?
Pergi dari sini. Lekas?"
Sambil berkata, tangannya juga dikerjakan, ia
bermaksudahendak mendorong beberapa orang pengemis
yang berada dibarisan paling depan.
Tetapi sebelum ia dapat berbuat suatu apa. dengan tidak
terlihat bagaimana cara bergeraknya, tahu-tahu orang yang
mengaku dirinya bernama Hoan Hu Cie itu sudah
membanting tubuh dirinya pelayan yang sombong itu.
Si pelayan dengan susah payah akhirnya dapat bangun
kembali. Tapi begitu bangun ia lantas memaki lagi.

“Kalian perampok! Apa kalian mau rampok rumah
makan kami? Rampok.”
Sambil berteriak teriak ia berlari-larian seperti anak kecil,
masuk kedalam untuk tidak keluar lagi.
Kembali Hoan Hu Cie berteriak.
"Hoan Hu Cie sekalian disini sudah siap menantikan
gebukan kalian orang-orang Kim-coa-bun! Apa kalian tidak
mau keluar?"
Setelah Bee Tie tahu apa maksud rombongan pengemis
ini demikian sungguh-sungguh mencari orang-orang Kimcoa-
bun, hatinya sudah tergerak dan memikirkan kembali
pesanannya Ie Ceng Kain yang minta padanya untuk
menggunakan Kiu cie Leng-pie supaya dengan itu ia
berusaha mencegah bentrokan yang mungkin akan terjadi
antara dua musuh-musuh lama, Kim-coa-bun dengan Kaypang.
Baru saja ia hendak mengeluarkau tanda perintahnya,
tiba-tiba matanya yang tajam dapat melihat sesuatu yang
tidak beres, maka ia lantas berseru.
"Celaka..! Semua menyingkir!"
Berbareng ketika suara seruannya keluar dan mulut
badannya sudah melesat jauh kedepan kesiuran angin
dingin lewat disisi telinganya. Saat itu terdengar beberapa
kali suara jeritan ngeri sepuluh orang dalam rombongan
pengemis sambil menutup muka masing-masing, badannya
rubuh berkelejetan di tanah. Tidak selang berapa lama, kulit
muka tangan sampai kaki mareka sudah berubah biru tua
dan bengkak-bengkak begitupun suara rintihan tidak putus
putusnya terdengar. Sungguh suatu pemandangan yang
sangat mengerikan !

Hoan Hu CIe-yang tidak terkena serangan menggelap
tadi, lantas berteriak-teriak lagi, "Kawan-kawan! Musuh
kita menggunakan jarum beracun. Lekas menyingkir.”
Pengemis pengemis 1ain yang tidak terkena sasaran
jarum beracun, lantas berpencaran dan mundur serabutan.
Sebentar saja dipekarangan depan rumah makan tersebut
sudah sepi, hanya ada orang-orang yang terkena racun
masih merintih-rintih akan tetapi sudah tidak dapat kabur
melarikan diri lagi. Yang lain, yang tidak apa, lantas kabur
tanpa memilih arah, Hoan Hu Cie sendiri setelah
memimpin rombongan mundur lalu sudah maju pula
sambil berteriak teriak.”
"Budak hina! Kalian turun kalau berani! Aku Hoan Hu
Cie sendiri masih cukup untuk menghajar kalian. Lekas
menggelinding keluar."
Jawaban, tidak ada.
Hoan Hu Cie rupanya sudah kalap, ia terus naik keatas
tangga loteng rumah makan dan hendak berteriak iagi.
"Budak hi ... ”
Tapi belum habis keluar semua ucapannya mendadak
tubuhnya yang tinggi besar terjungkal dari atas tangga
loteng yang tinggi, terus jatuh ketanah dan tidak berkutik
lagi, mati seketika.
Didepan pintu loteng rumah makan saat itu muncul
seorang wanita muda diiringi oleh dua anak perempuan
kecil yang gerakannya gesit-gesit. Wanita inilah yang tadi
melepaskan senjata-senjata beracunnya.
Setelah membunuh Hoan Hu Cie, tanpa memperdulikan
orang-orang lain ia lantas kembali lagi kedalam dan duduk
ditempatnya dengan sikap tenang luar biasa, seolah-olah
tidak pernah ada kejadian apa.

Bee Tie melihat terbunuhnya Hoan Hu Cie dengan mata
kepala sendiri, tak dapat menahan rasa gusarnya, maka ia
lantas lompat ke atas loteng rumah makan tersebut.
Anak kecil yang berdiri disebelah kanan wanita muda
itu, saat itu terlihat sedang mengayunkan tangannya, lalu
dengan disertai berkelebatuya sinar kuning keemasan tahutahu
beberapa jarum menyambar muka dan badannya anak
muda yang sedang menghampiri mereka.
Bee Tie mengegos sedikit dari serangan jarum beracun
anak kecil itu, lalu melanjutkan pula langkah kakinya,
berjalan maju dengan setindak demi setindak. Tapi
mendadak ia berjungkir balik. Dengan kepala di bawah dan
kaki diatas, dengan menggunakan tangan sebagai kaki ia
terus maju mendekati mereka.
Wanita muda itu yang menyaksikan keindahan
gerakannya si pemuda, tidak tahan untuk tidak memuji.
"Satu gerakan indah. Hei, bocah! Apa kau juga dari
golongan pengemis?"
Tapi Bee Tie yang sedang marah, tidak menjawab,
malah membentk wanita jahat itu.
"Apa orang yang dipanggil Kim-coa Sin-lie itu kau ini?
Eh! Wanita begini cantik tidak tahunya hatinya kejam! Ada
permusuhan apa antara kalian dengan saudara saudara
pengemis itu sampai begitu tega kau bunuh bunuhi mereka
dengan senjata racunmu yang kecil itu? Lekas jawab
penanyaanku !"
Tapi wanita muda itu hanya ganda tertawa saja,
kemudian berkata.
“Eh. bocah, kenapa marah padaku? Dari mana kau tahu
nama julukanku itu? Mari kemari. Mari kita minum samaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
sama. Aku akan menjamu kau sampai kenyang. Mari,
jangan malu-malu.”
Ia berkata itu sambil tertawa-tawa dan lantas
menyediakan tempat duduk untuk Bee Tie dan sengaja ia
menaruh kursinya tepat di sampingnya.
Meski tidak kelihatan wanita itu menggerakkan
tangannya, tapi Bee Tie merasakan ada suatu sambaran
angin pukulan yang kuat mengarah jalan darah dibadannya.
Ia terkejut lalu lompat keatas sambil mengirim satu
serangan tangan kearahnya wanita jahat itu. Bee Tie karena
sangat marahnya, sudah mengeluarkan sampai delapan
bagian dari kekuatan tenaganya, hingga piring mangkuk,
dan lain-lain barang yang berada diatas meja pada
berantakan semua terkena angin pukulan yang hebat.
Si wanita muda berkelit menghindarkan diri dari
serangannya si pemuda itu. lalu dengan lagu suara yang
merdu sekali ia menanya.
“Siapakah nama saudara kecil? Kau sudah tahu aku
disebut Kim-coa Sin-lie. tapi kenapa kau masih beraniberani
melawan aku? Sungguh besar nyalimu!"
Bee Tie tertawa dingin.
"Tidak perduli kau Kim-coa apa Gin-coa, kalau aku
tidak ada urusan lainnya lagi, aku Bee Tie pasti akan
memberi hukuman yang setimpal dengan perbuatanmu."
Yang di maksud dengan Kim-coa adalah Ular emas dancoa
berarti ular perak.
Bee Tie yang sudah memikir hendak segera
mengeluarkan tanda perintah Kiu cie Leng-pie untuk
diperlihatkan kepada sisanya rombongan pengemis itu yang
tidak binasa, sewaktu hendak membalikkan badannya tibaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
tiba terdengar suaranya Kim-coa Sin-lIe-yang merdu
menggiurkan.
"Yoy! Berlagu benar adik kecil ini. Seumurku belum
pernah aku ketemu dengan orang yang berani berlaku
begitu kurang adat didepanku. Adik kecil, kan tunggu
dulu.”
Sambil menengok dua anak perempuan kecil yang
mengempit dikanan kirinya, ia berkata lagi.
"Kim Hoa. Kim Eng, apa kalian sanggup menahan
bocah itu?”
Dua anak perempuan kecil yang dipanggil Kim-Hoa dan
Kim Eng itu setelah menganggukkan kepala lantas bergerak
kedua-duanya dengan cepat sudah berada didepannya Bee
Tie. Mereka hendak mencoba menahan anak muda itu.
Dari belakang masih terdengar suaranya Kim-coa Sin-lie
dan berkata.
"Adik keci1, hati-hatilah kau jaga ke dua murid nakalku
itu.”
Kim Hoa dan Kim Eng dengan gerak badan yang gesit
dan lincah sudah lantas menyerang dari kiri dan kanan,
mengarah bagian bawah diselangkangan orang. Mereka
dengan menggunakan senjata berupa alat tulis Tionghoa
yang bentuknya masih lebih kecil lagi, menyerang gencar
pemuda lawannya itu.
Bee Tie menjadi sengit juga karena dihalang-halangi
majunya oleh dua bocah itu, maka dengan tidak mengenal
kasihan lagi ia lantas menggunakan ilmu kepandaian yang
di dapat dari dalam Sumur Kematian, mendesak terus dua
murid Kim-coa Sin-lie tersebut.

Sekali lagi kesiuran angin dingin lewat di pinggir
badannya Bee Tie. Tahu tahu Kim-coa Sin-lie sudah berada
didepan anak muda ini dan dengan keheran-heranan ia
menanya.
"Hei, bocah! Ada hubungan apa antara kau dengan Hoasan-
pay?"
Kim Hoa-san Kim Eng agaknya tidak berani melayani
anak muda tangguh ini. maka dengan menggunakan
kesempatan selagi Bee Tie bicara dengan gurunya, mereka
lantas mundur berbareng dan sembunyi dibelakang badan
gurunya?
Bee Tie menjadi heran, karena kepandaiannya dari
Sumur Kematian buah ciptaan guru dan ayahnya yang ia
keluarkan tadi, meski benar sebagian besar terdiri dari tiputipu
ilmu silat Hoa-san-pay, akan tetapi mengapa Kim-coa
Sin-lie segera dapat mengenalnya?
Memikir demikian ia lantas balik menanya.
”Kau sendiri pernah apa dengan partai kami? Aku
adalah ketua kedua puluh enam dari Hoa-san-pay. Lalu kau
mau apa?”
Mendengar jawaban itu Kim-coa Sin-lie lantas tertawa
berkakakan. Ia juga segera berkata.
"Apa cuma kau sendiri yang tahu asal usulnya Hoa-sanpay?
Apa sangkamu aku tidak tahu Tongkat Rantai Kumala
itu adalah pusaka keturunannya Hoa-san-pay? Malah aku
inilah sendiri yang dulu pernah mengantarkan tongkat
pusaka kalian itu kekelenteng Cee thian-koan digunung
Hoa-san."
Bee Tie agaknya percaya sedikit keterangan wanita muda
itu, ia sambil tertawa dingin berkata.

"Tongkat Rantai Kumala memang benar adalah benda
pusakanya partai kami. Ada hubungan apa itu dengan kau?
Perlu apa kau mesti antar ketempat kami?"
"Percuma saja kau menjadi ketua partaimu. Apa kau
tidak tahu hubungan diantara Hoa-san-pay kau dengan
Kim-coa-bun kami?"
Setelah berkata, Kim-coa Sin-lie lalu menggerakkan
tangannya. Ia maju setindak dan memukul beruntun sampai
tiga kali berturut nurut. Serangannya ini dilancarkan
dengan cepat sekali.
Bee Tie merasa kaget terheran heran karena mengenali
ilmu pukulan simpanan Hoa-san-pay yang dinamakan Samyang
Ciang-hoat telah digunakan oleh wanita jahat itu,
maka dengan suara keras ia membentak, “Hai! Kau dapat
curi dari mana kepandaian simpanan Hoa-san pay kami
Itu? Hayo. Lebih baik bau mengaku terus terang saja."
Kim-coa Sin-lie tertawa mengejek sambil berkata.
"Hmm apa kau kira ilmu silat Hoa-san-pay mampu
menundukan dunia? Apa kau kira cuma orang Hoa-san-pay
saja yang, bisa mainkan ilmu itu?"
"Meski belum mampu menguasai dunia, tapi sudah
cukup untuk mengganyang orang semacam kau ini !”
Kim-coa Sin-lie tertawa cekikan dan lantas berkata pula.
"Adik kecil, kau masih terlalu muda, untuk keluarkan
kata-kata semacam itu. Kalau kau mau coba ilmu silat
golongan Kim-coa-bun kami, nih! kau sambutlah!"
Berbareng dengan dikeluarkannya ucapan itu, tangannya
Kim-coa Sin-lIe-yang putih mulus tirus menjulur
menyerang dada anak muda dihadapannya dengan
gerakannya yang cepat bagai kilat.

Bee Tie terkejut. Tangan wanita muda itu yang tadinya
putih bagai salju mengapa mendadak saja bisa berubah
menjadi merah membara, maka cepat cepat ia
menggulingkan badannya ditanah untuk menghindarkan
serangan lawan yang sangat dahsyat itu.
Suara menggeleger yang lantas terdengar amat nyaring.
Tempat bekas Bee Tie berdiri tadi sudah berlubang besar
terkena gempuran tangan Kim-coa Sin-lIe-yang dinamakan
Kim-coa Tok-ciang itu.
Kim-coa Sin-lie kembali tertawa manis.
"Adik kecil cepat sungguh gerakanmu tadi."
Bee Tie mengeluh Ia sama sekali tak pernah menyangka
bahwa seorang wanita yang selalu menyungging senyuman
dihadapannya ini ternyata mempunyai hati busuk dan
kelakuan yang jahat luar biasa. Ia tahu kalau lawannya ini
tentu tidak mau berhenti sampai disitu saja, maka sambil
terus bergilingan ditanah ia mencabut keluar seruling
hitamnya yang segera ia pergunakan sebagai senjata,
menangkis setiap serangan yang dilancarkan oleh wanita
jahat dihadapannya ini.
-oo0dw0oo-
JILID 09
BETUL saja Kim-coa Sin-lie setelah berkata kembali
telah mengayun tangannya mengirim serangan bertubi-tubi,
beruntun beberapa kali.
Bee Tie yang tahu lihaynya racun lawan, tak mau
membentur tangannya dengan tangan wanita jahat itu. Ia
terus menggunakan seruling ditangannya, dan lebih banyak
ia terus menyingkirkan diri dari serangan pukulan telapak

tangan lawan itu. Meskipun demikian, tidak urung ia mandi
keringat juga setelah bertarung sekian lama.
Kim-coa Sin-lie kembali tertawa sambil berkata.
"Bocah, kepandaianmu boleh juga, heh! Dalam dunia ini
baru kau seorang yang bisa menghindarkan delapan kali
serangan pukulanku yang menggunakan ilmu Kim-coa Tokciang.
Sungguh berharga kau untuk menjadi tandinganku
nanti.”
Bee Tie tahu bahwa dengan kepandaian yang dimilikinya
sekarang, masih belum mampu untuk dapat merobohkan
Kim-coa Sin-lie dalam beberapa jurus saja, maka ia lalu
mengambil keputusan untuk melarikan diri saja. Tapi ketika
matanya dapat melihat Kim Hoa dan Kim Eng, itu dua
anak perempuan kecil yang masih terus menggenggam
bumbung kecilnya dan masih tetap tidak mau melepaskan
pandangan mata mereka kearahnya, maka dalam hati diamdiam
Bee Tie berpikir. Apa boleh jadi dua bocah ini yang
tadi melepaskan jarum-jarum beracunnya menyerang
kawanan pengemis itu.
Memikir demikian, maka ia lari menyingkir dari Kimcoa
Sin-lie dan tahu-tahu sudah berada didekat dua murid
wanitanya, dengan kecepatan bagai kilat Bee Tie lantas
menggunakan suling hitamnya, menotok jalan darah kedua
anak kecil itu.
Sepandai-pandainya Kim Hoa dan Kim Eng masih
belum mampu juga mereka menghindarkan diri dari
serangannya Bee Tie, lebih lebih yang dilakukan dari jarak
dekat, maka tanpa ampun lagi tersungkurlah mereka
keduanya ditanah.
Kim-coa Sin-lie sendiri tidak pernah menyangka kalau
Bee Tie yang keripuhan demikian rupa dalam menghalapi
serangan-serangan yang dilancarkan olehnya, ternyata

masih mampu melakukan serangan balasan, malah yang
diserang adalah dua muridnya, maka bukan main gusarnya
ketika itu, tidaklah dapat dibayangkan.
Tapi tidak percuma ia sebagai wanita yang suka berhias
diri, meski rasa gusarnya telah memuncak, namun suara
tertawanya, masih tetap tidak ketinggalan menyertai tiap
tindakannya. Kini ia tertawa dengan suara yang terlebih
keras tertawa terbahak-bahak.
Bee Tie berjalan perlahan-lahan mengun durkan diri
sampai kedekat pinggiran jendela. Tapi sesampainya ia
disitu, Kim-coa Sin-lie dilihatnya masih tidak melakukan
gerakan apa apa, wanita ini masih tetap berdiri sambil
bersenyum-stnyum.
Bee Tie yang melihatnya merasa heran, diam-diam
dalam batinya berpikir. Kenapa dia masih belum mau turun
tangan juga? Apa yang sedang dipikirkan olehnya."
Sesungguhnya Bee Tie masih belum tahu bahwa semakin
lama persiapannya Kim-coa Sin-lie, semakin hebat pula
serangan yang akan dikeluarkannya nanti. Ia hanya
memikir bahwa sama sekali ia tidak boleh berlaku lengah
terhadap lawan tangguhnya ini, maka itu ia selalu waspada
untuk menghadapi segala kemungkinan lawan menyerang
secara tiba-tiba.
Betul saja dugaannya, tidak antara lama mendadak Kimcoa
Sin-lie menggerakkan tangannya. Dibarengi oleh
meluncurnya tiga sinar kuning ke emasan. tiga batang
jarum emas sudah menyambar kearah tubuhnya.
Mengetahui ini, Bee Tie bukannya mundur bahkan
sebaliknya ia lalu maju menghampiri wanita muda itu,
hingga jarum-jarum itu lewat diatasan kepalanya. Setelah
tiga jarum emas tersebut dapat dihindarkan, ia lalu lagi lagi

menotol tanah dan lompat melesat keluar melalui lubang
jendela terus melayang turun kebawah loteng.
Sesungguhnya gerakan Bee Tie ini sudah sangat
sempurna. Hanya dengan sekali gerakan yang manis saja
tubuhnya sudah melayang layang turun kebawah, turun
sampai diseberang jalan! Ia lantas menarik napas lega dan
“Selamat” pikirnya, maka itu ia berani menengok
kebelakangannya. Tapi justru karena perbuatannya ini,
membuat hatinya mencelos dan merasa tidak berdaya lagi
memikirkan apa-apa.
Ratusan jarum beracun seperti belalang terbang sedang
meluncur turun banyak sekali mengurung seluruh jalan
disetiap penjuru, depan, belakang, di kedua samping badan
malah yang paling terbanyak adalah jarum jarum beracun
yang menyerang langsung ke tubuhnya! Pendek kata, tidak
ada jalan lagi untuk ia meloloskan diri! Kecepatan
meluncurnya jarum-jarum tersebut pun hebat sekali.
Sungguh tidak mudah bagi sembarangan orang
mengegosnya.
Bee Tie mengeluh. Ia lantas memejamkan kedua
matanya hendak menerima nasib, karena pikirnya percuma
saja menghindarkan diri dari serangan Kim-coa Sin-lIe-yang
sangat hebat tersebut, jalan lolos sudah tidak ada.
Dalam keadaan yang sangat genting itu, mendadak dari
jauh terlihat sebuah joli yang sedang diGo-tong mendatangi
dengan kecepatan luar biasa dan sebentar kemudian iringan
joli ini sudah sampai di depan umah makan tempat
kejadian. Saat itu tiba-tiba lerlihat tenda tersingkap, dari
dalamnya meluncur keluar satu angin pukulan yang amat
keras, terus memukul jatuh semua jarum jarum beracunnya
Kim-coa Sin-lie.

Dipihaknya Bee Tie, anak muda ini yang sedang menanti
nantikan ajalnya sekian lama, masih tidak merasakan
adanya gerakan apa apa maka bukan main herannya. Ia
lantas membuka mataaya. Tidak terlihat apa-apa. Yang
tertampak hanya puluhan jarum beracun berserakan di
tanah tidak jauh di depan dirinya.
Saut itu joli sudah berjalan jauh sekali. Samar-samar
terlihat empat orang yang berjalan dibagian paling belakang
joli tersebut dan rasanya orang-orang tersebut adalah itu
orang-orang tinggi besar empat gurunya Tiang-pek Kong-cu
yang telah dibutakan masing masing satu matanya oleh Bee
Tie di dalam gedung di perkampungan Tong-tu San-cung
belum lama berselang.
Ia menghela napas lagi memikirkan kejadian
menyeramkan yang barusan dialaminya.
Tiba-tiba tampak satu bayangan manusia berkelebat,
ternyata itu adalah bayangannya Kim-coa Sin-lIe-yang oleh
karena dihalang-halanginya serangan jarum beracunnya
yang dianggapnya sudah pasti akan membawa hasil itu oleh
orang yang berada didalam joli. maka ia lantas
menumplekkan segala kegusarannya atas diri orang dalam
joli tersebut. Demikianlah dengan cepat ia lantas lompat
menyusul.
Bee Tie terkejut. Tapi kesempatan ini tidak mau disiasiakan
lagi olehnya. Cepat cepat ia mencari seorang
pengemis, maksudnya hendak segera menyelesaikan tugas
yang diberikan kepadanya oleh Lu-tong Kong-cu alias
pengemis pengembara Ie Ceng Kun.
Begitu bertemu dengan orang yang dicari ia segera
menanya.
"Eh sahabat, siapa yang menjadi pemimpin didalam kota
Lok-yang ini?"

Orang yang ditanya tidak menjawab, ia hanya
memandang Bee Tie dengan sorot mata menyatakan rasa
keheran-heranan dalam hatinya.
Melihat ini, dengan cepat Bee Tie lalu mengeluarkan Kiu
cie Leng-pie dari dalam sakunya yang lalu diacungkan
tinggi-tinggi.
"Hei! Apa kau tak kenal benda ini?" tanyanya.
Si pengemis tersebut, begitu lekas mengetahui benda
tersebut adalah tanda perintah tertinggi dari golongannya
sendiri, lantas jatuhkan diri berlutut menganggukanggukkan
kepala beberapa kali. lalu dengan suara
gemetaran ia menjawab.
"Kenal, kenal. Tapi Hoan Hu Cie pemimpin kami baru
saja dibinasakan orang.”
Bee Tie dengan tidak banyak rewel lagi lantas
mengeluarkan perintahnya.
"Lekas beritahukan semua saudara-saudara Kay-pang
yang berada di dalam kota ini supaya bersama kau sendiri
menyingkirkan diri dari orang-orangnya Kim-coa-bun.
Suruhlah beberapa orang yang boleh diandalkan pergi
menyelidiki segala sepak terjangnya Kim-coa Sin-lie itu.
Kemudian kalau berhasil, lekas suruh laporkan kemarkas
besar. Mengerti? Eh Tunggu duln. Kecuali itu, joli yang
barusan lewat itu sangat mencurigakan, usahakan juga
sampai tahu siapa orang yang ada didalamnya dan cepat
laporkan kepadaku sendiri lekas jalankan perintah!”
Si pengemis setelah minta diri segera menjalankan
perintah yang diberikan kepadanya.
Bee Tie juga sudah segera bekeliling kota maksudnya
hendak mencari Kiauw Kiu Kong si Pelajar Pedang
Tumpul dan Jie Sianseng, bertiga tapi sudah sekian

lamanya ia telah mencari, masih juga tidak berhasil
mendapatkan salah satu saja diantara ketiganya. Maka ia
lanias memilih salah satu rumah makan yang kiranya baik
untuk ia menangsal perut yang sejak tadi sudah minta diisi.
Begitulah ia mendapatkan sebuah rumah makan bertingkat,
ia langsung naik keatas loteng dan memilih tempat dekat
jendela dan baru kemudian memesan barang hidangannya.
Sudah sekian lama ia makan sambil menantikan
pengemis tadi, tapi orang yang ditunggu tidak munculmuncul
juga!
Akhirnya, setelah di tunggu lagi sebentar, tiba-tiba
dibawah loteng tampak seorang pengemis mendatangi
dengan larinya yang amat pesat. Cepat-cepat Bee Tie lalu
membikin perhitungan barang makanannya, setelah
membayar, ia lantas turun dari atas loteng dan
meninggalkan rumah makan tersebut.
Pengemis itu melihat Bee Tie begitu keluar sudah lantas
meninggalkannya padanya lebih dulu tanpa menegur, ia
sudah tahu maksud orang. Maka ia juga lantas pergi
menyusulnya, baru setelah sampai dekat sekali dengan anak
muda ini ia lalu membuka suara berkata dengan suara
sangat perlahan.
"Lok-yang Kay-pang. Teecu Khan Yung disini hendak
memberi laporan kepada Bee Kong-cu. Perintah Kong-cu
sudah kami jalankan dengan baik, Kim-coa Sin-lie masih
terus mengikuti iringan joli yang mencurigakan itu, terus
menuju keluar kota sebelah Barat. Orang yang berada
didalam joli itu agaknya adalah seseorang yang mempunyai
derajatnya tinggi di dalam partai mereka Tiang-pek-pay,
tapi Khang Yung yang tidak berguna ini sampai sekarang
masih belum tahu nama dan apa kekuasaannya, untuk ini
Khang Yung atas kelalaiannya sendiri bersedia menerima
hukuman dari Bee Tie Kong-cu.

Bee Tie sambil berjalan terus menganggukkan kepala.
Dalam hati diam-diam ia berpikir, hebat orang-orang partai
pengemis ini mencari kabarnya. Sampai nama dan asal
usulku dia tahu juga. Tapi ... siapa itu orang yang dikatakan
mempunyai derajat tinggi dalam Tiang-pek-pay?”
Lalu dengan suara perlahan pula ia berkata "Ah! itu tidak
jadi soal. Asal kau sudah tahu orang itu dari Tiang-pek saja
sudah cukup bagiku ... ,. Pengemis pengembara Ie Ceng
Kun sedang pergi ke Lu-tong untuk memberi laporan pada
ayahnya mengenai kejadian hari ini. Tentu tidak lama lagi
ketua kalian juga akan tiba disini. Aku hendak pergi dulu.
Tolong kau sampaikan kepada Ie Ceng Kun katakan saja
kalau aku sudah berjalan lebih dulu kegunung Hoa-san
untuk membereskan urusan sendiri."
"Terima kasih. Kang Yung tentu akan menjalankan
segala perintah apa yang Bee Kong-cu berikan padaku ...
Tapi dalam beberapa hari menurut laporan saudara saudara
Kay pang kami yang baru datang dari luar kota. katanya
disepanjang jalan yang menuju keatas gunung Hoa-san
sudah banyak sekali orang-orang dari berbagai partai dan
golongan. maka harap saja Bee Kong-cu suka berhati-hati
menghadapi mereka.”
"Oh begitu. Kebetulan sekali. Aku sangat gembira kalau
Hoa-san-pay betul-betul mendapat kunjungan para tetua
dari berbagai partai maupun golongan." Jawab Bee Tie
cepat.
Bee Tie setelah memberi beberapa pesanan lagi yang
perlu-perlu, lalu pergi meninggalkan kota Lok-yang.
Sekeluarnya Bee Tie dari kota Lok-yang puncak gunung
Kieling yang menjulang tinggi tampak berdiri dengan
megahnya disebelah depan. Ia yang masih memikirkan
keselamatan Siauw Beng Eng, 1antas mengambil keputusan

akan pergi keatas gunung tersebut lebih dulu untuk melihat
keadaan. Begitulah ia terus mendaki gunung sampai
puncaknya.
Sewaktu Bee Tie menginjakkan kakinya diatas puncak
guuung Kie-ling Ini. dari depan batu aneh macam kepala
minusia, kandangnya si “Putih Kurus” itu, pada bagian
matanya lalu terlihat tembus keluar satu sinar terang. Ia
merasa heran, maka ia segera mengintai melalui lobang
mata tersebut.
Ternyata didalam batu aneh itu ada satu ruangan besar
Sekali dengan ditengah tengahnya terletak sebuah meja,
yang juga terbuat daripada batu. Diatas meja batu terdapat
sebuah lampu pelita yang masih berkelik kelik
memancarkan Cahayanya. Dengan meminjam penerangan
sinar lampu tersebut Bee Tie dapat melihat didalam situ ada
dua pintu baru yang tertutup rapat rapat. Kecuali apa yang
dapat dilihatnya ini, sudah tidak ada apa apa lainnya yang
lebih menarik perhatiannya.
Bee Tie mengeluh. Ia menggerutu seorang diri.
Tidak nyana dalam batu ini bisa dibuat ruangan yang
begitu besar. Si setan putih tentu sedang sembunyi dibalik
pintu itu. Dilihat keadaannya, agaknya jalanan kedalam ini
seperti terus menembus kejalan gunung sebelah sana ...
Meski aku bisa masuk kedalam batu macam kepala orang
ini. belum tentu aku bisa mendapatkan dimana tempat
sembunyi si Setan Putih itu, malah jangan jangan aku
sendiri yang nanti terkurung didalamnya dan tentu
urusanku sendiri juga tidak akan beres beres.
Biar bagaimanapun Bee Tie coba memikir, akhir
akhirnya ia kebentur jalan buntu. Akhirnya dari tenang ia
menjadi gusar. Ia lantas mengerahkan tenaga dalamnya dan

lantas menyerang kearah lampu pelita disebelah dalam
ruangan batu itu.
Lampu peiita berhasil tertiup padam. Ruangan didalam
batu aneh itu telah berubah menjadi gelap gulita.
Bee Tie yang kuatirkan dari lubang “mata” nanti keluar
senjata rahasia secara mendadak cepat cepat ia lompat
menyingkir sambil menunggu reaksinya sekian lama. Tidak
ada gerakan apa apa dari sebelah dalam.
Rupanya lama kelamaan Bee Tie sudah tidak dapat
menahan sabarnya pula, ia lantas maju mendekati tagi
sambil membentak.
"Setan Putih! Kalau kau tidak mau keluarkan nona
Siauw awaslah. Nanti kubakar hancur gunung mu ini!"
Didalam batu aneh saat itu terdengar suara berkeresekan
seperti suara bata beradu dengan dinding dari orang yang
bergerak menjauh, tapi setelah itu tidak terdengar apa apa
lagi. tidak ada yang memperdulikan ancaman Bee Tie.
Anak muda ini lalu mengeluarkan seruling hitamnya
yang segera di ketok-ketokkan diatas "kepala" batu aneh itu
dan lalu membentak pula.
”Setan putih! Apa kau kira aku tidak bisa bakar habis
sarangmu ini? Kau lihatlah kalau aku sudah hitung sampai
angka sepuluh dan kau tidak menjawab, jangan kau
sesalkan aku Bee Tie nanti akan berlaku tidak pandang
mata lagi kepadamu.”
Setelah itu, Bee Tie betul-betul sudah mulai dengan
hitungannya.
"Satu ... dua ... tiga ... ”
Tidak ada reaksi apa-apa dari dalam. Bee Tie
melanjutkan menghitung.

"Empat ... lima ... enam ... tujuh ... ”
Masih belum ada suara yang bisa kedengaran.
"Delapan ... sembilan ... ”
“Eh! Apa kau benar-benar menantang?" tanya Bee Tie
sengit.
Tadi ia dengan sengaja lambat-lambat menghitung, dan
akhirnya, sampai disebutnya angka yang tinggal satusatunya
sebelum yang terakhir, didalam masih tidak
terdengar ada gerakan suatu apa. Ia lalu membentak, tapi
juga tidak digubris. Ia sengaja tidak menyebutkan angka
sepuluh ia terus menantikan adanya suara dari dalam. Tapi
tetap hening.
"Hai Setan putih! Kubakar segera sarangmu ini ... ”
bentaknya pula.
Mendadak terdengar suara halus memotong
pembicaraan Bee Tie selanjutnya.
“Hei! Kau ini siapa? Kenapa datang-datang kau lantas
marah-marah begitu rupa. Aku tidak ladeni kau sudah
bagus. Apa kau belum mau angkat kaki dari sini?"
Bee Tie terkejut. Dengan suara ia balas menanya.
"Kau sendiri siapa? Ada hubungan apa antara kau
dengan si setan putih itu? Hai! Lekas kau suruh si setan
putih menggelinding keluar! Aku minta nona Siauw dari
dia. Kalau tidak hmmm! Hmmm! Apa kau kira aku Bee Tie
mau sudah begini saja? Jangan harap.”
Suara halus itu terdengar pula, Sambil terawa merdu
kembali ia berkata!
"Aku tidak pernah melihat si setan putih apa si setan
hitam segala, nona Siauw Yung kau sebut tadi juga tidak

ada disini. lebih baik kau cari saja dilain tempat. Barangkali
kau salah alamat.”
Setelah berkata demikian, ia berhenti sejenak. Lalu
seperti bicra pada diri sendiri kembali suara itu berkata,
suaranya amat perlahan, tapi cukup terang masuk dalam
telinga Bee Tie.
“Aneh, sungguh heran! Hari ini orang-orang itu betulbetul
mengherankan sekali. Kenapa begitu banyak orang
yang mencari si setan putih disini? Kenapa rumahku ini
melulu dijadikan sasaran amukan mereka.”
Bee Tie agak tergerak hatinya.
"Apa? Kenapa begitu banyak orang mencari si setan
putih,” katanya mengulangi ucapan orang dengan suara
halus merdunya di dalam batu aneh itu, suaranya juga
perlahan.
Lalu dengan suara keras ia menanya pula.
“Bagimana macamnya orang-orang yang, pernah datang
duluan kemari yang juga mencari si setan putih itu."
Suara halus, yang pasti suara wanita, dari dalam batu
aneh itu segera terdengar menjawab.
"Seorang tua pendek, pendek sekali, seorang pelajar tua
yang terluka pundaknya, aku sendiri ... eeh! ... dan akhirnya
... kau. Apa itu masih kurang cukup banyak?"
Bee Tie yang mendengarkan sudah tentu segera
mengetahui siapa-siapa yang datang duluan itu. Tapi ketika
ia dengar wanita itu juga mau mencari si setan putih, dia
pun merasa heran. Untuk apa dan keperluan apa ia mencari
si “Putih Kurus”? Karena pikirannya ini, maka ia lalu
bertanya lagi.

Kalau didengar dari lagu suaramu kau juga tentu bukan
Kong-cu si setan putih itu. Lalu sebenarnya kau ini siapa?
Kenapakau bisa masuk kedalam kamar batu yang ini?”
Suara wanita dari dalam batu aneh itu terdengar pula
yang agaknya tidak sabaran, membentak keluar.
"Kau bocah! Kenapa begitu usilan mau tahu segala
urusan orang? Tidak perlu kau tanya tanya begitu melilit.
Disini sekarang sudah tidak ada urusanmu. Lekas kau
menyingkir! Bereskan urusanmu sendiri!"
“Tidak bisa! Aku harus tahu dulu kau siapa?"
“Bawel! Siapa aku ini, tidak perlu kau tahu sekarang.
Lain waktu pasti kau akan mengerti sendiri siapa aku dan
apa maksudku. Sekarang kau lekas pergi."
Bee Tie merasa gusar. Tapi kalau ia mengingat bahwa
tidak akan ada gunanya berdiam lama-lama menungkuli
orang yang tidak bisa dilihat didalam kamar batu aneh itu,
sedang si Pedang Tumpul yang selang terluka dan Kiauw
Kiu Kong berdua entah sudah pergi kemana, mungkin juga
sudah mendahuluinya maka tanpa mengatakan apa-apa ia
lalu menggerakkan kakinya meninggilkan gunung Kie ling
hendak melanjutkan perjalanannya keatas gunung Hoa-san.
Begitulah, semalaman suntuk Bee Tie berlari larian
menuju kegunung Hoa-san. Selama dalam perjalanan,
pikirannya terus dikerjakan. Kepergiannya si Putih Kurus
tentu ada hubungannya dengan urusannya sendiri. Tidak
salah kalau Khang Yung, si pengemis yang pernah
mengatakan padanya bahwa diatas gunung Hoa-san banyak
kedatangan orang orang dari berbagai macam golongan.
Kalau ia memikir demikian lantas ia mempercepat
langkahnya langsung menuju keatas gunung Hoa-san.

Petang hari pada hari keduanya Bee Tie sudah memasuki
kota Leng-po. Ia beristirahat sebentar dalam kota ini dan
disini juga ia mengisi tempat mngsum keringnya untuk
bekal dua hari perjalanannya. Dan pada malam itu juga ia
lalu melanjutkan perjalanannya.
Keesokan harinya pada hari ketiga, pagi-pagi sekali Bee
Tie sudah sampai diperbatasan kota Lu-ting-koan.
Jalan-jalan diluar kota ini masih sepi tidak ada orang
yang lalu lalang.
Sesampainya Bee Tie dibawah benteng kota tersebut
yang pintu gerbangnya masih tertutup rapat, kedua
penjaganya juga agaknya sedang mengantuk sekali,
memejamkan matanya ditempat jaganya masing-masing. Ia
tidak mau mengusik mereka, maka ia lalu mengambil jalan
mutar sedikit, lalu berhenti untuk berarti apa-apa baginya.
Ia lalu menggunakan ilmu Bangau menerobos langit,
dengan badan agak diluruskannya sudah naik keatas
benteng kota.
Sesampainya ia di atas, dilihatnya ada seorang pengemis
yang sedang tertawa tawa sambil menatap wajahnya.
Kiranya, ketika tadi Bee Tie sedang berdiri dibawah
tembok kota, pengemis itu sedang duduk diatas tersebut,
yang begitu melihat Bee Tie melesat keatas ia sendiri
dengan memperlihatkan gerakannya yang indah luar biasa
sudah meninggalkan, melayang turun kebawah lain bagian.
Bee Tie yang melihatnya sampai dibikin kesima. Ia
berdiri menjublek diatas tembok kota itu untuk sesaat
lamanya. Tiba-tiba satu perasaan yang ingin menang sendiri
timbul dalam hatinya. Ditambah lagi karena tersurung oleh
rasa ingin tahu, maka ia juga lantas lompat turun kebawah
tembok benteng dilain bagian, terus mengejar pengemis itu.

Begitulah dua orang tersebut lari berkejar kejaran. Bee
Tie yang telah mengerahkan seluruh kepandaian lari
pesatnya, namun setelah sekian lama berkejar kejaran
ternyata masih belum mampu ia menyandak pengemis
didepannya itu yang membuat hatinya panas ialah, tiap kali
ia mengejar sangat pesat, pengemis itu lari lebih cepat tetapi
mana kala ia mengendurkan langkahnya seolah-olah
mempunyai mata yang tumbuh dibelakang kepalanya,
pengemis itu pun turut berlari perlahan.
Bee Tie mengejar lebih cepat. Dan orang itu pun
melayang lebih jauh. Mereka terus berlarian di sepanjang
jalan didalam kota Lu-tiang-koan tersebut akhirnya
sampailah mereka diluar kota ini. Dari sini pegunungan
Hoa-san tampak terbentang terang dihadapan mata. Dan
sebentar kemudian mereka yang berlarianpun sudah
memasuki daerah pegunungan.
Bee Tie menjadi sibuk juga karena masih tidak dapat
menyusul orang tadi. maka ia lalu menambah lagi
kecepatan larinya, tapi selewatnya dua tikungan berikutnya,
betul-betul ia sudah kehilangan jejak si pengemis yang
dikejar-kejarnya itu.
Bee Tie mulai mengendurkan larinya dan menarik napas.
"Apa yang harus kulakukan sekarang?” tegurnya pada
diri sendiri.
Memikirkan kejadian yang barusan ia alami berkejarkejaran
dengan orang yang belum di kenalnya, dengan tidak
ada gunanya sama sekali membuat ia seperti orang miring,
ketawa ketawa sendiri, ia segera berhenti dan mendongak
mengawasi angkasa yang kini sudah agak terang
keadaannya. Melihat itu, ia menjadi tertawa sendiri, ia telah
berlari larian sepanjang hari, tentu akan merasa lelah juga.
Apalagi mengingat bahwa keesokan harinya ia akan

mengunjungi ke lenteng Cee tian-koan digunung Hoa-san
untuk pertama kalinya, yang entah bagaimana pula
perlakuan mereka nanti disitu. Kalau tidak menggunakan
waktu istirahat saat itu. mau tunggu kapan lagi untuk ia
dapat mengaso secukupnya.
Beginilah dengan adanya pikiran denikian, Bee Tie
lantas mencari suatu tempat yang agak sepi untuk
bersemedi sekalian beristirahat.
Sebentar saja pikirannya terasa sudah mulai jernih
kembali. Tindakan kaki orang, kalau baru sejarak seratus
kaki saja jauhnya, masih dapat terdengar jelas olehnya.
Justru pada waktu itulah ia mendengar suara tindakan
kaki dua orang dari jauh yang tengah mendatangi tempat ia
bersemedi. Terdengar pula salah satu diantaranya, yang
ternyata adalah suara seorang wanita berkata.
"Giok moay, lebih baik kita lekas-lekas kembali saja
Encie marah marah kalau tahu perbuatan kita sekarang ini."
Orang yang dipanggil Giok-moay tadi terdengar suara
tertawanya
"Jing-cie, apa kau takut pulang sendiri?" tanyanya setelah
merasa puas tertawa!
Wanita yang pertama yang dipanggil "Jing-cie”, saat itu
kedengaran pula suaranya menghela napas. Ia juga lalu
berkata pula.
"Bukan begitu kau tentu sudah tahu sendiri sifatnya encie
kita yang gampang marah marah, apalagi sekarang ini
kepandaian kita masih kalah jauh daripadanya, bagaimana
nanti kalau dia marah pada kita dan memukul kita? Apa
kita bisa melawan dia ...? Giok-moay, sebaiknya kau ikut
aku kembali saja. pulang, sama-sama. Marilah."

Bee Tie yang mendengarkan mereka dari jarak jauh, lagilagi
merasa heran karena yang datang sekarang, lagi-lagi
wanita. Dari mana datangnya sebegitu banyak kaum hawa
digunung Hoa-san ini? Kalau didengar dari lagu
pembicaraan mereka berdua, terang rumah mereka tidak
janh dari sini. Apa mungkin disekitar gunung Hoa-san ini
sudah didirikan perkampangan baru?"
Ia lalu mengarahkan pandangan matanya ketempat dari
mana datangnya suatu percakapan tadi, dan segera dapat
dilihatnya dua orang wanita muda yang mengenakan
pakaian serba putih kedu-duanya, mereka itu sedang
berjalan mendatangi dengan tindakan kaki Sangat perlahan.
Cepat-cepat ia bersembunyi untuk mendengarkan lagi
pembicaraan mereka lebih lanjut.
XII. HOA-AAN CEE-THIAN KOAN.
BARU saja Bee Tie selesai memernahkan dirinya,
mendadak dilihatnya sesosok tubuh manusia berkelebat
cepat tidak jauh disebelah depan dari tempat
persembunyiannya, juga dekat dengan tempat mereka,
kedua wanita muda tadi berjalan. Orang baru ini lantas
berkata kepada mereka dengan suara nyaring, "Eh, kalian
datang dari mana? Apa kalian cuma berdua saja? Apa
kalian tidak takut nanti ada binatang liar yang sering lewat
di tempat semacam ini menggangu kalian?"
Dua wanita muda itu agaknya merasa terkejut. Mereka
sagera menyingkirkan diri dari depannya orang yang baru
datang ini.
Bee Tie melihatnya lantas sudah seperti terbakar hatinya,
matanya berapi-api merah membara.
Kiranya, orang yang baru datang ini bukan lain daripada
Lee Thian Kauw sendiri, musuh besar ayahnya juga musuh
dirinya sendiri.

Kembali dua bayangan tampak berkelebat mereka ini
juga mendatangi ketempat tersebut Begitu sampai, salah
seorang diantara mereka lantas membentak kepada Lee
Thian Kauw.
"Lee Thian Kauw! Kau ada pikiran busuk apa lagi? Kau
mau bikin apa terhadap nona-nona ini?"
Dan kedua orang yang datang paling belakangan ini
ternyata adalah Go-tong Sin-kho dan Siauw Beng Eng.
Bee Tie yang sedianya hendak keluar urung
memperlihatkan diri.
Lee Thian Kauw juga mengawasi janda cantik itu sambil
membelalakkan matanya, lalu balas membentak.
“Hong Wie! Apa maksudmu dengan kata-kata itu? Baru
saja aku dengan susah payah bisa merebut kembali puteri
tunggalmu itu dari tangannya si “Putih Kurus”, kenapa
sekarang kau sudah mau cari gara gara lagi? Apa kau kira
aku gampang-gampang saja mau kau bentak-bentak? “
Go-tong Sin-kho keluarkan suara dihidung. Ia segera
berkata lagi.
"Hm! Dua nona ini lagi jalan sendiri dan tentu perlu
dengan urusannya sendiri. Apa hubungannya antara Kau
dengan mereka? Dasar buaya tua! Ayoh lekas kembali ke
pulau Go-tong.
Lee Thian Kauw tertawa berkakakan, Rupanya ia juga
tidak mau kalah tarik urat.
"Go-tong Sin-kho yang sudah kenamaan ini tidak
tahunya cuma sebegini saja tersohornya. Apa tidak tahu
kau sudah begitu tua masih mempunyai perasaan yang
bukan bukan? ... Eh! Kepulau Go-tong pasti kita pergi. Tapi
kau janganlah terlalu cepat cemburu dulu. Apa kau sudah

lupakan itu ilmu simpanan Hoa-san-pay yang disebut Kiuteng
Cin-keng itu? Mari kita kerja dulu! Urusan pulang
nanti belakangan kita bicarakan lagi.
Itu dua, orang wanita muda baju putih menggunakan
kesempatan selagi mereka itu bicara enak-enaknya, lantas
lompat dan menyingkir sebentar saja mereka sudah lari jauh
dari tempat itu.
Lee Thian Kauw baru saja menggerakkan sedikit
pundaknya dengan maksudahendak mengejar dua wanita
muda itu, tiba-tiba telah di hadang oleh Go-tong Sin-kho
yang besar cemburunya.
Janda cantik ini dengan suara keras memberi peringatan
padanya.
"Lee Thian Kauw, awas! Aku tidak suka orang laki-laki
yang batinnya bercabang dua! Kalau kau pergi menyusul
mereka lebih baik aku pulang sendiri saja kepulu Go-tong."
Lee Thian Kauw lantas memperlihatkan sikap macam
orang habis daya, dengan lagi suara yang lemah lembut ia
berkata.
"Hong Tie, bukan itu maksudku. Dua perempuan tadi
kenapa bisa ada disini. Apa itu bukan aneh sekali? Apalagi
mengingat ilmu mengentengi tubuh mereka itu begitu
sempurra, apa kau tidak ingin tahu asal usul mereka.
Siapa yang punya waktu begitu banyak buat usilan!
Uturan kau sendiri masih belum beres apa apa lalu kau mau
urus-urusan orang lain dulu?"
Sebentar saja lenyaplah dua wanita muda baju putih tadi
dari pandangan mata mereka. Bee Tiepun memperhatikan
mereka sampai menghilang dikejauhan.

Lee Thian Kauw dengan terpaksa dan apa boleh buat,
hanya mengawasi saja berlalunya mereka sambil unjukkan
sikap nyengir kudanya. Lalu sambil mengulurkan tangan
kanannya ia menggandeng lengan Go-tong Sin-kho dengan
laku seperti orang sangat menyayang sekali. Tidak iama
setelah itu tangannya yang lainpun lantas diulurkan hendak
menuntun Siauw Beng Eng, anak tirinya.
Akan tetapi, Siauw Beng Eng rupanya segan bersentuhan
tangan dengan orang she Lee itu, nona ini cepat-cepat lari
menyingkir dari cekalan orang tinggi besar ini. matanya
dipelototkan.
Bee Tie terus menyaksikan semua adegan dari tempat
sembunyinya, ia sudah lantas dapat mengambil kesimpulan
bahwa Siauw Beng Eng berlaku begitu tanpa mengeluarkan
sepatahpun kata-kata makian, tentu karena urat gagunya
sudah tertotok, hingga nona ini hanya dapat menyingkir
saja tanpa memaki orang “cabul* baginya ini.
Dalam hatinya diam-diam Bee Tie berpikir.
“Aku harus berusaha dan mesti bisa berdaya menolong
cepat adik Siauw dari cengkeraman orang tidak tahu malu
itu. Sayang kepandaianku tidak cukup tinggi, tapi biarlah.
Aku mau pakai lain daya. Masakan mereka selamanya
tidak akan mencar? Yang paling baik, dari sekarang ini aku
harus menguntit mereka kemana saja mereka pergi. Sambil
berjalan aku mau cari kesempatan baik. Pasti ada sesaat
mereka lengah.
Lee Thian Kauw melihat Siauw Beng Eng masih belum
mau tunduk, lantas membiarkan saja nora cantik ini, tapi
tangan kanannya masih tetap menggandeng lengan Go-tong
Sin-kho, mereka berdua lalu berjalan lebih dulu
meninggalkan Siauw Beng Eng sendiri.

Matahari fajar telah memancarkan cahayanya yang
terang menerang !
Dari tempat agak jauh tampak tiga puncak gunung Hoasan.
Bee Tie yang sedang berpikir pikir dipuncak mana nanti
ia bisa menemukan kelenteng Ciee Thian-koan mendadak
melihat tiga sinar kuning berkeredepan, menyambar tepat
kearah badan ketiga orang dalam rombongan Lee Thian
Kauw yang sedang enak-enaknya berjalan.
Bee Tie yang setiap saat memikirkan keselamatannya
Siauw Beng Eng, hampir saja menjerit dan hendak segera
memberikan peringatan padanya, tapi datang ia segera ingat
bahwa sekarang bukan saatnya ia harus turun tangan disini,
saat itu juga Lee Thian Kauw sudah mengebutkan tangan
bajunya yang lebar gerombongan. menyampok jauh tiga
benda dengan warna kuning emasnya tadi.
Tidak lama dari sebelah depan mereka terdengar suara
pujian yang amat nyaring.
"Kepandaian yang sungguh sempurna! Bagus sekali cara
kau menyambuti senjata rahasiaku."
Bee Tie yang mendengar suara itu adalah suaranya Kimcoa
Sin-lie. Maka semangatnya sudah terbangun kembali.
Dalam hati diam-diam ia berpikir.
“Biarlah mereka saling baku hantam sendiri, nanti aku
yang akan memungut hasilnya. Saat baik, saat baik!
Ia sangat mengharapkan dua jago itu bertempur seru
seketika.
Kim-coa Sin-lie kembali perdengarkan suara tertawanya
yang garing merdu.

”Sekarang sambutlah ini!" serunya tiba-tiba. Berbareng
pada saat itu, ratusan jarum beracun dengan sinarnya yang
berkeredepan meluncur turun seperti hujan ditumpahkan
dari langit, bertebaran luas ditengah udara, mengaung
diatas kepala Lee Thian Kauw.
Jago Thian-san lantas mengelurkan suara geramnya yang
hebat sambil memutar mutarkan kedua belah lengan
bajunya ia menyampok jatuh semua jarum jarum beracun
yang dilepaskan oleh Kim-coa Sin-lie.
“Sungguh lihay, sungguh indah! Baru sekarang aku bisa
ketemu lawan tangguh seperti kau ini." puji Kim-Coa Sinlie
kembali tapi. lagi lagi ia sudah menggerakkan tangannya
yang lantas terayun kembali senjata istimewanya.
Ketika itu, jarum jarum beracun yang barusan dilepaskan
telah dipukul jatuh semua, tapi Lee Thiau Kauw masih
tidak berhenti menyampok nyampok terus lompat sana lari
sini hingga batu dan poboh pohon kecil pada beterbangan
terkena sambaran angin yang keluar dari tangannya jago
ini, kemudian sambil mengejek ia berkata.
“Ouw" Kiranya kau! Apa cuma sebegitu saja
kepandaian Kim-coa Sin-lIe-yang kenamaan itu?"
Bee Tie yang menyaksikan dibuat kesima. Kini
dilihatnya dua ular emas kecil mungil sedang berputar
putarau mengelilingi dirinya Lee Thian Kauw yang lama
kelamaan kelihatan orang she Lee ini mulai tidak berdaya.
Gerakan ular ular kecil itu demikan lincahnya hingga
pukulan pukulan Lee Thian Kauw tidak pernah sekali
menyentuh tubuhnya.
Bee Tie bergidik kalau memikirkan kembali bagaimana
jikalau didalam kota Lok-yang tempo hari ketika ia
bertempur dengan Kim-coa Sin-lie dan nona ini melepaskan
ular emas kecil yang sangat berbisa ini? Lee Thian Kauw

sendiri, yang begitu lihay, masih tidak mampu melawannya
dan tidak berdaya menghadapinya. Api lagi ia yang
kepandaiannya masih belum sempurna betul. mana ia
mampu bertahan lama seperti saat ini orang she Lee ini bisa
bertahan?
Tiba-tiba terdengar suara teriakannya Lee Tian Kauw.
“Hong Wie, lekas pinjamkan aku pedangmu!"
Go-tong Sin-kho, yang menyaksikan juga semua
kejadian tersebut, seketika itu berubah wajahnya menjadi
pucat pasi, hingga lupa ini untuk turun tangan memberi
bantuan pada si “suami”. Maka begitu mendengar
teriakannya Lee Thian Kauw, baru ia tersadar dari
kelalaiannya. Cepat cepat ia meloloskan pedang segera
dilemparkan pada Lee Thian Kauw.
Lee Lhian Kauw dengan beruntun delapan kali
mengeluarkan serangan serangan pukulannya ketubuh dua
ular emas kecil yang masih tetap beterbangan itu, ia
bermaksudahendak memaksa ular ular itu menjauhkan diri
dan ia berhasil sementara. Ia lalu hendak menyambuti
pedang yang diberikan oleh Go-tong Sin-kho.
Tapi, tepat paja saat itu, tiba-tiba tampak lagi satu
bayangan garis panjang berkelebat cepat, pedang Go-tong
Sin-kho sudah tergulung pergi, tidak sampai kena
tertangkap oleh Lee Thian Kauw, Adapun kejadian
sebenarnya, Kim-coa Sin-lIe-yang melihat Go-tong Sin-kho
meloloskan pedang dari serangkanya, segera ia
mengeluarkan pecut panjangnya. Dan kemudian ketika Gotong
Sin-kho melemparkan pedang ini untuk dipinjamkan
kepada Lee Thian Kauw, berbarengan juga saatnya ia
memapaki pedang yang sedang meluncur ditengah jalan itu.
hingga akhirnya pindahlah pedang lawan dalam tangannya.

Belum pernah Lee Thian Kauw mendapat penghinaan
macam hari ini. maka rasa gusarnya sudah dapatlah kita
bayangkan sebelumnya. Seperti orang yang sudah kalap ia
memukul ke sana menyerang kemari sekenanya. Tapi oleh
karena perbuatannya ini pulalah maka ia tidak dapat
membikin sasarannya dengan tepat lagi dan sang ular
dengan seenaknya juga dapat lompat ke sana menyambar
kemari menyerang sekitar badannya Lee Thiar Kauw.
Go-tong Sin-kho yang melihat suaminya berada dalam
keadaan sangat berbahaya, lantas ia menubruk dan
menyerang Kim-coa Sin lIe-yang menjadi biang kekacauan,
ia menyerang secara membabi buta!
Kim-coa Sin-lIe-yang sedang tertawa cekikikan sampai
lupa bahwa disampingnya Lee Thian Kauw sudah pasti ada
Go-tong Sin-kho maka tanpa ampun lagi ketika diserang
secara mendadak dengan telak badannya terkena pukulan
serangan sang lawan sehingga terpentallah ia sampai sejauh
dua tumbak dari tempat berdiri dirinya tadi.
Dilain pihak, Go-tong Sin-kho yang sangat membenci
wanita lawannya ini, segera maju mendesak hendak
menyerang pula. Sedianya ia hendak menamatkan riwayat
hidupnya wanita tersebut yang pada anggapannya adalah
seorang wanita centil genit yang hendak mengganggu
suaminya, tapi belum lagi ia turun tangan dibawah kakinya
ada sepasang ular berbisa yang sedang pasang aksi sudah
akan segera menyerang dirinya, hampir saja ia menjadi
mangsanya ular itu. Untunglah pada saat segenting itu tibatiba
Lee Thlan Kauw memberikan pertolongannya, tepat
dapat menyerang dua ular tersebut, hingga ular-ular ini
terpaksa kena kepukul mnndur untuk sementara.
Go-tong Sin-kho sudah pucat pasti wajahnya. Cepat
cepat ia menarik diri, batal mengirim serangan mautnya
terhadap Kim-coa Sui lIe-yang sedang terluka.

Sewaktu ia sadar kembali dan membuka matanya
ternyata Kim-coa Sin-lie sudah tidak ada di depan matanya,
Wanita ini sudah kabur sipat kuping entah kemana.
Masih untung pedangnya tidak sampai kena terbawa
pergi, maka Go-tong Sin-kho lalu memungut kembali
senjatanya itu dan dengan pedangnya ini ia sudah berhasil
menabas kutung salah satu ular emas beracun itu.
Ular yang satunya lagi, begitu melihat gelagat tidak baik,
segera menggeleser pergi menyusul majikannya, lenyap
diantara rumput-rumput tinggi yang banyak terdapat di
sekitar tempat itu.
Go-tong Sin-kho lantas menghampiri Lee Thian Kauw
yang masih berdiri menjublek. Dengan suara yang
menyatakau kemesraannya ia menanya.
"Apa kau tidak kena gigitan ular jahat si genit itu?"
Lee Thian Kauw segera menjawab.
"Tidak. Aku tidak apa-apa, istriku yang manis ... Tapi ...
Tapi ... ”
"Tapi apa?”
“Hong-wie, anakmu lagi lagi kena di bawa kabur oleh si
bocah itu." Katanya sambil menghela napas panjang.
Go-tong Sin-kho yang mengira Kim-coa Sin-lIe-yang
berbuat, hatinya sangat cemas, kakinya terasa lemas.
Dengan gemetaran ia cepat cepat menanya.
"Siapa ...? Oh! ... Si ... Apa? ... Siapa bocah itu?"
"Bocah itu, ya bocah itu. Siapa lagi kalau bukan bocah
itu."
"Siapa sih sebetulnya. Bocah itu, yang kau maksudkan?
Lekaslah kau katakan namanya."

"Yah. Si bocah Bee Tie dengan sendirinya. Siapa lagi
kalau bukan dia? Hmn! Kalau lain kali dia ketemu aku
hmm? Hmm! Tidak nanti dia bisa lolos lagi dari tangan
kematianku. Dia pandang aku orang she Lee ini orang
tuacam apa yang boleh sembarang dibuat permainan?"
Lee Thian Kauw bicara itu sambil berjingkrak-jingkrak
macam cacing kena siraman air panas. Ia merasa gemes
sekali karena sudah mengalami kekalahan sampai dua kali
berturut-turut, dari Kim-coa Sin-lie dau Bee Tie.
Go-tong Sin-kho yang mendengar disebutnya nama Bee
Tie agak lega juga rasa hatinya, karena ia tahu betul tidak
mungkin Bee Tie akan mengganggu jiwa wanita puteri
tunggalnya, tidak demikian halnya kalau sang puteri sampai
kena tertangkap dan dibawa kabur oleh Kim-coa Sin-lIeyang
kejam dan telengas, entah apa jadinya nanti.
"Ah! Lagi lagi dia ... lagi lagi ... dia ... ” katanya dengan
suara perlahan sambil menghela napas panjang pendek.
Kemudian ia menengok kearah Lee Thian Kauw, sang
suami, dan padanya ia lalu menanya.
"Apa kau bisa tebak Eng Jie dibawa ke mana oleh bocah
she Bee itu?"
Lee Thian Kauw geleng-gelengkan kepala.
"Aku tidak tahu, mana aku tahu ... Bee Tie mengaku
dirinya sendiri ketua Hoa-san-pay yang kedua puluh enam.
Mungkin sekali ia sekarang sedang menuju kekelenteng
Ciee thian koan diatas gunung Hon-san. Tapi aku tahu
betul kelenteng Ciee-thian-koan telah dikuasai oteh tiga
orang Susioknya Cie Gak, maka meski Bee Tie betul pergi
kesitu, tidak mungkin ia tidak diusir oteh mereka.
Go-tong Sin-kho agaknya sudah tenang kembali
pikirannya, ia kemudian berkata.

“Mari cepatan kita susul mereka! Kalau betul betul
bocah she Bee itu naik ke atas gunung Hoa-san, apa tidak
lebih baik kita sekarang juga ke sana lebih dulu?"
Lee Thian Kauw memandang wajah kekasihnya
sebentar, lalu berdua mereka lantas meninggalkan tempat
berkesan itu. naik ke atas puncak gunung yang letaknya
ditengah-tengah dari tiga puncak, dipegunungan Hoa-san.
Sebentar saja lenyaplah bayangan mereka berdua
diantara jalan pegunungan yang sempit dan berliku-liku.
Ternyata. Bee Tie yang telah menggunakan kesempatan
selagi Lee Thian Kauw sedang terkurung oteh dua ular
emasnya Kim-coa Sin-lIe-yang lihay tadi. segera keluar dari
tempat sembunyinya, lalu sambil membelalakkan matanya,
ia menatap wajah Lee Thian Kauw lebih dulu, setelah itu ia
lantas mengangkat tubuhnya Siauw Beng Eng yang segera
dipondong pergi dari tempat pertempuran itu.
Dilain pihak, Siauw Beng Eng yang melihat
kedatangannya Bee Tie, merasa terlalu girang hatinya,
sampai ia melompat lompat ia masih belm bisa bicara, yang
dengan cepat telah dibuka totokan jalan darahnya oleh
pemuda kita.
Setatah mereka kabur jauh. Siauw Beng Eng baru berani
menceritakan semua pengalamannya.
Ternyata, sejak ia dibawa kabur oleh si Putih Kurus
orang tua kurus ini karena merasa agak takut akan terjadi
suatu apa atas dirinya si nona, bagaimana yang harus kita
mempertanggung jawabkanya kepada si Go-tong Sin-kho
segera ia mengobati luka luka dalamnya nona ini sehingga
sembuh betul. Dan pada hari berikutnya setelah nona Siauw
ini sembuh, bertemulah si “Putih Kurus” ini dengan itu
enam orang imam (tosu) durhaka yang telah menghianati
Cie Gak, suheng mereka sendiri, atau yang merangkap

gurunya Bee Tie, jelasnya mereka telah menghianati
perguruan sendiri, lalu mereka bersama-sama dengan si
“Putih Kurus” ini dengan masih tetap membawa-bawa
dirinya Siauw Beng Eng berangkat keatas gunung Hoa-san.
Akan tetapi, ketika mereka sedang bercakap cakap
dengan tiga tosu (imam) tertua digunung ini, tiba-tiba Lee
Thian Kauw dan Go-tong Siu kho datang dan akhirnya
setelah terjadi pertempuran sengit, berhasil juga Siauw Beng
Eng dibawa oleh ibu serta ayah tirinya ini yang terus
dibawa sampai ketempat kejadian barusan atau lebih tepat
lagi sampai kini ia dibawa oleh Bee Tie.
Bee Tie yang mendengarkan penuturannya Siauw Beng
Eng, sambil kerutkan kening ia berkata.
"Adik Siauw, dari mana lagi keluarnya itu tiga tosu tua
yang kau sebutkan tadi? Siapa-siapa adanya mereka bertiga
itu? Apa kau tahu asal usulnya masing-masing."
Siauw Beng Eng yang tahu bahwa anak muda
penolongnya ini mempunyai hubungan baik dengan Hoasan
pay, maka lantas ia memberi semua penjelasannya yang
ia tahu, katanya.
"Menurut pendapatku, tiga orang tuso tua itu sangat
sukar ditandinggi. Mungkin juga mereka itu yang telah
mengoyok oyok enam Suteenya, Cie Gak Cianpwee sampai
mereka berani berlaku kurang ajar terhadap suhengnya
sendiri, mengejar-ngejarnya terus sampai diatas puncak
gunung Kie-ling ... Maka, kalau kau mau pergi ke Ceethiau-
koan, hati hatilah terhadap mereka bertiga itu.
Bee Tie menjadi gemas juga mendengar keterangan nona
cantik ini. lalu dengan suara gemetar bahna gusarnya ia
berkata.

"Suhu telah melepas jabatan ketua partai dan secara
resmi diberikan kapadaku. Dengan hak apa mereka
membantah keputusan suhu dan berani juga memilih ketua
baru? Apa betul mereka tidak mau bahkan aku sebagai
ketua partai mereka?”
Waktu itu, hari masih pagi benar. Hawa daerah
pegunungan masih diselubungi kabut tebal.
Samar samar terlihat sembilan tiang yang menjulang
tinggi melebihi tingginya puncak gunung yang berada
didepannya.
Hatinya Bee Tie menjadi tergerak oleh kata-kata masa
peralihan jabatan ketua partai Hoa-san-pay.
Sembilan tiang batu beterbangan melewati puncak
pegunungan.
Butiran air sungai berkumpul menyaingi awan biru.
Diatas puncaknya tiga gunung yang ada di depannya kini
bukankah terlihat nyata tiang-tiang yang melebihi gunung
tingginya? Kalau dihitung jumlahnya tiang tiang tadi,
bukankah semuanya itu memang berjumlah sembilan buah?
Saat mana bayangan sembilan tiang batu tadi yang
kelihatan yang belum lama berselang berbaris dengan
rapihnya tampak sebagai suatu garis lurus, tapi kemudian
tiba-tiba garis lurus itu berubah menjadi bentuk empat
persegi, yang mencakup barisan rapih tiga kali tiga bentuk
segi empat ini telah berubah pula menjadi bentuk lingkaran
akan kemudian lingkaran ini berubah pula menjadikan
suatu gambaran kembang yang besar!
Bee Tie tergerak hatinya dan menanya kepada Siauw
Beng Eng.

“Apa tiga puncak gunung-gunung didepan kita itu
semua bernama gunung Hoa-san.
Siauw Ben Eng mengangguk-auggukkan kepala.
"Dan puncak yang disebelah kanan itu apa namanya.”
"Itu adalah puncak gunung Kiu teng hong dari
pegunungan Hoa-san yang kenamaan. Sebetulnya kau
sudah harus tahu nama satu-satunya dari ketiga puncak itu.
"Apa kau pernah pergi kepucaknya gunung Kiu-tenghong
itu?”
Ya. pernah. Ketika si “Putih Kurus” untuk pertama
kalinya naik keatas pegunungan Hoa-san itu, ia pernah
mengajak aku kesitu. Tapi kecuali sembilan tiang batu yang
bentuknya teratur rapih itu, yang lain tidak menarik
perhatianku.”
"Aaa ... ” seru Bee Tie, suaranya agak tertahan, ia segera
memandang lagi ke atas puncak yang dinamakan Kiu-tenghong
tadi.
Tiba-tiba matanya terasa seperti berkunang kunang,
ditempat jatuh diatas gunung tersebut dilihatnya seperti ada
bayangan joli yang sedang diGo-tong naik keatas puncak itu
dengan kecepatan luar biasa dan sebentar kemudian
bayangan itu sudah lenyap kembali ditelan kabut kabut pagi
yang tampak menebal di sekelilingnya.
Bee Tie yang melihat kejadian ganjil itu. lantas pergi
meninggalkan Siauw Beng Eng tanpa ia sendiri engah, ia
terus lari menuju ketempat dimana ia melihat bayangan joli
tadi.
Siauw Beng Eng yang melihat kelakuan Bee Tie menjadi
agak heran. Sambil mengejarnya juga ia bertanya dari
tempat yang agak jauh. ”Bukankah kau tadi katanya mau

pergi ke Cee-thian-koan? Cee-thian-koan itu terletak diatas
puncak gunung yang di tengah tengah. Kenapa sekarang
kau ambil jalan kanan yang menuju ke puncak gunung Kiuteng-
hong?"
Bee Tie agaknya tidak sempat menjawab pertanyaan
sang kawan, ia menambah kecepatan larinya, dengan terus
diikuti oleh Siauw Beng Eng dari sebelah belakang.
Sebentar saja mereka telah berjari-larian jauh dari tempat
tadi dan akhirnya samar samar Bee Tie dapat mendengar
suaranya air sungai yang mengerucuk, hatinya menjadi
lebih tertarik lagi.
Tidak lama mereka berlari lagi ke depan. Terlihat satu
sungai kecil yang mengalirkan airnya yang jernih bening.
Disini Bee Tie diam terlongong-longong. Agaknya kagum
melihat pemandangan disekitar tempat itu. Pemandangan
yang indah permai, air sungai yang mengalir jernih,
jembatan kuno yang indah bangunannya, dan lain lain yang
bisa membawa kesan bagi setiap pengunjung tempat itu.
tapi apa yang sedang dipikirkan oleh Bee Tie ternyata
bukanlah itu semua ia agaknya disini sedang merenungkan
sesuatu apa yang lebih ganjil dari pada semua
pemandangan indah disitu.
Siauw Beng Eng yang melihat kawannya ini sudah
seperti hilang ingatan lantas menanya lagi.
"Eh. engko Bee kau sedang pikirkan apa?”
Bee Tie seperti baru sadar dari lamunannya, sambil
tertawa segar ia balas menanya.
“Apa dari sana kau tidak lihat disini tadi ada satu joli
yang sedang diGo-tong naik dengan cepat. Aku tadi lihat
joli itu diGo-tong kemari. Aku pasti tidak salah lihat!
Sekarang kemana lagi larinya?”

"Apa? Joli? Aku tadi tidak lihat apa-apa. Siapa sih yang
mampu naik joli, apalagi mengGo-tongnya naik keatas
gunung Hoa-san yang sukar didaki itu? Apa kau tidak salah
lihat?”
"Tidak, sungguh !"
Bee Tie lalu memandang ketempat seputarnya, dengan
suara menyatakan ketidak percayaannya ia lalu berkata
pula.
“Apa mungkin joli itu tadi sudah meninggalkan puncak
Kiu-teng-hong ini? Adik Siauw, marilah kita pergi kesana
itu, ke tempat yang ada sembilan tiang batu besarnya itu.
dan dari sana baru nanti kita pergi ke Cee-thian-koan.
Rasanya itu masih belum terlambat. Apa kau setuju?"
"Itu sih tetserah padamu, kalau mau kau boleh pergi, aku
cuma bisa ikut kau saja?"
Begitulah, setelah melompati sungai kecil yang airnya
jernih sekali tadi, mereka lalu meneruskan perjalanannya
hendak mendaki puncak gunung Kiu-teng-hong.
Sesampainya mereka disana. betul saja terlihat itu
sembilan tiang batu yang besar besar kini tampak terpetanya
seperti menuruti gambar Patkwa.
Bee Tie yang pernah mendapat pelajaran dari apa yang
disebui Patkwa itu, dengan segera lompat keatas salah satu
tiang batu dari sembilan tiang batu disitu.
Tiba-tiba mata anak muda ini terbelalak.
Disitu, diatas tiang batu yang dinaikinya itu, samarsamar
dapat terlihat seperti ada beberapa tapak kaki. Ia lalu
menjerit keras. Segera juga ia meneriaki Siauw Beng Eng
tapi nona ini agaknya tidak mengerti apa maksud perbuatan
pemuda itu.

Kembali Bee Tie memanggil.
"Adik Siauw, coba tolong kau periksa apa diatas tiang
batu dekat tempatmu situ ada juga tanda-tanda tapak kaki
orang?"
Siauw Bang Eng yang mendengarnya, cepat cepat
lompat naik keatas tiang lainnya yang paling dekat dengan
dirinya.
Tidak lama ia memeriksa, akhirnya terdengar ia berseru.
“Ya, betul! Disini juga ada! Tapi sedikit samar-samar.”
Bee Tie mendengarnya menjadi kegirangan bukan main.
Rupanya ia telah mendapatkan sesuatu apa yang sangat
penting. Ia lalu melompat dari tiang yang satu ke tiang yang
lain dan seperti pada tiang yang pertama yang dinaikinya,
tiang kedua inipun serupa, ada tanda tapak kaki yang
tampak samar-samar. Ia berpikir sebentar kemudian berkata
sambil ketawa bekakakan.
"Hai! Ini tentu itu ilmu yang dinamakan Lu lim Kiekang.
Kenapa anak murid Hoa-san-pay sedari dulu tidak
ada yang tahu ini. Ah! Percuma saja kalau begitu mereka
menjadi anak murid Hoa-san-pay, mereka tidak pernah
menyelidiki barang barang peninggalan para leluhurnya.
Ia berhenti bicara sebentar kemudian berkata pula.
“Adik Siauw. coba kau perhatikan tapak kaki
ditempatmu itu.”
Lalu ia sendiri lebih dulu berjalan mengitari tiang batu
yang diinjaknya ia terus berjalan dengan mengikuti tapak
tapak kaki tadi. berjalan berputar putaran.
Siauw Beng Eng yang melihat kelakuan Bee Tie yang
hanya berputar-putaran saja diatas sebuah tiang batu, dalam
herannya segera ia menanya pemuda itu.

“Engkoh Bee, ada apa sih yang kau lihat lebih aneh
disitu?"
"Apa disitu kau tidak bisa lihat sendiri keajaibannya?
Perhatikanlah tapak-tapak kaki itu. Coba kau amat-amati
dengan teliti." sahut Bee Tie tanpa ia sendiri menghentikan
gerak kakinya, ia terus lari berputar-putaran. Gerakannya
kian lama kian bertambah kecepatannya, akhirnya ... Srr, Ia
telah melompat dari tiang batunya itu ketiang batu yang
lain dengan melompati dua tiang batu yang letaknya
ditengah-tengah antara kedua tiang bergantian tempatnya.
Tapi dari sinipun tidak lama kemudian ia sudah terbang
pergi lagi dan tahu tahu sudah ada diatas tiang disebelah
kanannya dan pada lain detik sudah berada diatas tiang
batu yang ada di sebelah kirinya.
Siauw Beng Eng yang melihat itu, cepat-cepat lompat
turun kembali. Ia terus memperhatikan kelakuan pemuda
itu, tambah dipikir, tambah bingung pikirannya. Lama
kelamaan ia sudah tidak bisa melihat lagi, bagaimana
caranya Bee Tie bergerak, tahu-tahu sudah berpindahpindah
dari atas tiang yang satu keatas tiang yang lain
dengan sangat cepatnya. Sebentar terlihatlah pemuda itu
menuju ketiang sebelah kiri, tapi tahu-tahu di lain saat
sudah berada ditiang sebelah kanan. Maka dengan perasaan
terheran-heran ingin mengetahui nona ini menanya.
-oo0dw0oo-
Jilid 10
”ENGKO Bee, apa yang sedang kau Lakukan disitu ... ”
Tapi, masih banyak perkataan yang sedianya hendak di
lontarkan sekalian, akhirnya terpaksa ditelannya kembali.
Mengapa?

Karena tiba-tiba ia melihat disetiap batang tiang batu
besar ada satu bayangan si pemuda. Terlihatnya seperti ada
sembilan orang yang bernama Bee Tie semuanya diatas
sembilan tiang batu itu. Ia lalu membuka lebar-lebar
matanya, ia mengamat-amati disetiap atas tiang batu itu,
tapi tetap ia tidak bisa membedakan mana Bee Tie yang
sebenarnya dan mana Bee Tie yang hanya merupakan
bayang-bayangnya saja. Bahkan, seringkali ia melihat
semua Bee Tie tiba-tiba lenyap dengan akhirnya seperti
cuma ada seorang Bee Tie, begitupun sebaliknya, dari satu
Bee Tie mendadak saja sudah memencarkan diri tahu-tuhu
menjadi dua Bee Tie diatas dua tiang batu. Ketika nona ini
menegasi dengan lebih seksama, dilihatnya ada tiga
bayangan Bee Tie yang berbareng melompat keatas dan
‘Ser’ Tiba-tiba ketiga bayangan itu lenyap tanpa bekas dan
tahu-tahu satu Bee Tie sudah hinggap disamping tubuhnya
nona ini, disini pemuda ini lalu menanya.
"Adik Siauw, apa sekarang kau sudah bisa lihat
keanehannya?"
"Ya ... ya ... ya ... Aku lihat ... !" jawab Siauw Beng Eng
sambil menganggukan kepala.
Bee Tie yang agaknya masih belum merasa puas dengan
latihannya yang hanya sekali lantas loncat naik lagi
kesebuah tiang batu hendak mengulang lagi pelajarannya.
Sebentar saja diatas sembilan tiang batu itu sudah terlihat
sembilan bayangan tubuh Bee Tie lagi. Bayangan itu kian
lama kian bertambah saja banyaknya, hingga akhirnya
membuat Siauw Beng Eng sama sekali tidak bisa
membedakan mana Bee Tie asli dan mana Bee Tie yang
hanya merupakan bayangannya saja.
Setelah cukup lama sang waktu berlalu, mendadak
tampaknya bayangan-bayangan itu seperti lompat berbareng

keatas, tiba-tiba semua bayangan itu lenyap tanpa bekas
seperti menerobos langit.
Siauw Beag Eng menengok mencari kemana mana, tidak
ada Bee Tie disekeliling tempat situ. Ia merasa penasaran
kembali ia menengok kebelakang. Ternyata entah sejak
kapan Bee Tie sudah ada di belakang dirinya, pemuda ini
sedang tersenyum senyum puas puas sekali agaknya ia
dengan hasil penemuannya yang gemilang.
Siauw Eeng Eng sebentar tampak seperti orang kesima,
tapi sedikit kemudian sudah wajar kembali wajahnya. Ia
lalu menatap wajahnya anak muda kita, begitu juga Bee Tie
sedang memandang pada nona ini. Dua pasang mata saling
beradu, tampak tegas perasaan gembiranya yang terpeta
diatas wajah masing-masing.
Lama mereka lama keadaan serupa itu, tampak
sekelebatan seperti dua sejoli yang sedang dialun gelombang
asmara.
Tiba-tiba pada satu saat, Bee Tie dengan air muka
berseri-seri menarik tangan si nona cantik sambil berkata.
"Adik Siauw, mari! Mari kita pergi kekelenteng Cie thian
koan sekarang juga."
Ciee thian koan, adalah kelenteng yang terdapat diatas
puncak gunung Ciee thian-hong diatas pegunungan Hoasan.
Ketempat inilah mereka hendak menuju.
Mendadak terdengar Siauw Beng Eng berkata, jari
tangannya menunjuk kesuatu tempat, katanya.
"Lihat! Apa itu yang tadi kau maksudkan?”
Bee Tie cepat menengok kearah yang ditunjuk, disitu,
samar samar terlihat ada sebuah Joli. joli itu sedang diGotong
pergi dari gunung Kiu-teng-hong dan sedang menuju

ke atas gunung keatas puncak gunung Kin teng hong yang
sedang mereka injak pada saat itu.
Kembali Bee Tie yang lebih dulu angkat kaki seperti
orang terbang ia mengejar kearah perginya Go-tongan joli
itu. dibelakangnya tetap diikuti oleh Siauw Beng Eng.
Muda mudi ini cepat cepat berlari keatas puncak gunung
Cee-Thian-hong, karena saat itu bayangan joli itu
terlihatnya sudah diatas jalan gunung digunung tersebut.!
Sesampainya mereka dibawah puncak gunung ini,
mereka dapat melihat dua orang, yaitu Lee Thian Kauw
dan Go-tong Sing-kho yang kedua-duanya ini juga memang
sedang mendaki puncak gunung, cee thian-hong. Maka
sambil menarik lengan bajunya Siauw Beng Eng, Bee Tie
menanya nona ini.
"Adik Siauw, apa betul kau sudah tidak akan pulang lagi
kepulau Go-tong?" cepat Siauw Beng Eng dengan suara
manja menjawab cepat.
“Engko Bee. asal aku bisa selalu berada dengan kau saja,
sudah cukup rasanya terhibur hatiku, kemana kau pergi,
aku akan ikuti kau. Go-tong Sin-kho itu bukan ibuku lagi.
Kau janganlah bicarakan tentang dia lagi.”
Bee Tie merasa jengah. Mukanya merah membara ketika
mendengar ucapan nona cantik dalam gandengannya ini. ia
lalu mengalihkan pembicaraan kelain soal.
“Mereka itu juga sekarang sedang pergi ke sana.
Mungkin Lee Thian Kauw nanti akan bertemu dengan
orang dalam joli yang sangat mencurigakan hatiku itu.
Mari, paling baik kita ikuti saja dibelakang mereka, kita
lihat nanti bagaimana perkembangan selanjutnya. Aku rasa
orang dalam joli itu bukan sembarang orang. Juga masih
belum tentu Lee Thian Kauw itu bisa melawan menang
orang itu."

Siauw Beng Eng hanya mengangguk anggukkan
kepalanya mendengarkan kata-kata dugaan pemuda pujaan
hatinya ini.
Sebentar kemudian muda mudi ini telah kehilangan
jejaknya Lee Thian Kauw dan Go-tong-Sin-kho, begitu pula
dengan joli yang diGo-tong naik itu, entah sudah sampai
dimana sekarang ini.
Mereka ini berjalan terus, hingga sampailah diatas
puncak gunung Cee Thian hong. Saat itu tiba tiba Siauw
Beng Eng berkata.
“Engko Bee, kita harus hati hati! Kita sudah masuk
dalam garis penjagaan mereka. Kalaukau kuatir mereka
lihat. lebih baik kita ambil jalan kecil saja, sedapat mungkin
kita hindarkan diri dari penjagaan mereka.”
Bee Tie tertawa menyergir.
"Aku adalah ketua partainya yang kedua-puluh enam."
katanya.
“Apa satu ketua harus masuk kedalam pusatnya sendiri
secara menggelap? Itu mana boleh?”
Siauw Eeng Eng menjadi sibuk juga mendengar alasan
pemuda ini, maka dengan cepat ia lalu memberi penjelasan
padanya.
“Engko Bee. bukan maksudku hendak melarang kau
masuk dalam daerah Hoa-san ini secara sembunyi
sembunyi, tapi meski betul kau telah diangkat secara resmi
menjadi ketua Hoa-san-pay oleh suhumu apakah mereka itu
kau sangka mau tunduk begitu saja padamu yang tidak
membawa bukti bukti yang dapat mereka percayai
sepenuhnya? Apalagi mengingat kepandaian tiga tosu tua
itu yang sukar dijajaki tingginya dan mereka itu juga yang
memegang kekuasaan disitu. Barangkali sukar rasanya

kalau kau masih mau tetap dengan pendirianmu, masuk
secara terangan ... Maka sebaiknya kita hindarkan saja
penjagaan mereka, kita masuk secara sembunyi sembunyi
dan kecuali dalam keadaan sangat terpaksa, lebih baik kita
hindarkan saja pertempuran dengan mereka."
Perkataan perkataan Siauw Beng Eng yang secara terang
terangan menunjukan sikap mengopennya terhadap Bee
Tie, membuat pemuda ini diam-diam merasa girang dalam
hati maka ia segera mengangguk anggukkan kepala tanda
setuju atas usul si nona.
Begitulah akhirnya setelah diambil keputusan tetap,
secara sembunyi sembunyi mereka terus menyelusup masuk
menghindari pos penjagaan dalam gunung itu, dengan jalan
agak berputar mereka maju terus menuju kekelenteng Cee
thiau koan.
Tapi baru saja mereka berjalan beberapa tindak, tiba-tiba
terdengar Siauw Beng Eng berseru kaget.
“Engko Bee. lihat.”
Bee Tie segera melihat ketempat yang ditunjuk oleh si
nona, tidak jauh didepan mereka tampak dua orang tosu
rebah bergelimpangan dan ternyata sudah tidak bernyawa
lagi dengan keadaan seluruh kulit tubuh matang biru dan
bengkak-bengkak.
"Lagi-lagi racunnya orang-orang Kim-coa-bun.” Kata
Bee Tie gemas.
“Orang-orang itu sudah sampai disini, maka kita harus
berlaku sangat hati-hati terhadap orang-orang beracun itu."
Siauw Ben Eng yang pernah melihat bagaimana cara Lee
Thian Kauw terkurung didalam lingkungan serangan dua
ular ular emasnya Kim-coa Sin-lie. agaknya merasa jeri juga
terhadap orang-orangnya Kim-coa-bun. Maka cepat cepat ia

memperhatikan keadaan sekitar tempat itu hendak mencari
kalau-kalau ada ular-ular beracun seperti dulu itu. tapi yang
dicari tiada tampak. Maka mereka terus melanjutkan
perjalanannya. Tidak lama kemudian, lagi-lagi tampak tiga
orang rubuh menggeletak, tidak jauh dari tempat tadi
mereka lihat dua tosu yang sudah menjadi mayat. Ketiga
orang ini pun, sama seperti keadaan dua orang tosu yang
pertama, kulit badannya sudah matang biru dan bengkakbengkak.
Ternyata mereka juga sudah mati. Tiga orang ini
berpengawakan bahwa orang-orang ini adalah gurugurunya
Tiang-pek Kong-cu yang sudah ia tusuk masingmasing
satu matanya. Tapi, apa yang membuat Bee Tie
tidak habis mengerti, mengapa ketiga orang tersebut
matinya justeru disini? Lagi pula jikalau penglihatannya
tidak salah, rasa-rasanya ia pernah melihat mereka ini yang
mengGo-tong joli yang mencurigakan hatinja itu. Tapi
mengapa orang dalam joli itu tidak mau monolong mereka
itu?"
Hatinya Bee Tie mulai ragu ragu dan pikirnya.
“Barangkali orang orangnya Kim-coa-bun yang terus
menguntit mereka dan membunuhnya disini. Tapi apa
sebabnya tempat ini yang dipilih.
Tiba-tiba dari atas puncak gunung Cee-Thian hong
tertengar suara genta di pukul berkali-kali dengan
gencarnya. Suaranya mengaung sampai berkumandang
lama ke mana mana, disekitar pegunungan Hoa-san, seolah
olah hendak menguasai seluruh angkasa. Dipukulnya genta
ini, adalah sebagai tanda bahaya dari Hoa-san-pay. Bee Tie
yang kuatirkan terganggunya keamanan pusat partainya,
lupa pada rencananya semula yang hendak masuk secara
sembunyi-sembunyi ia terus lari menerjang keatas tanpa
memilih jalan.

Mendadak terlihat dua sosok tubuh manusia berkelebat
cepat dan tahu tahu orangnya sudah menghadang
dihadapannya. Salah seorang di antaranya lantas
membentak ke arahnya.
"Boch dari mana kau berani-berani masuk kegunung
Hoa-san kita.”
Bee Tie dengan keren menjawab.
"Aku Bee Tie. Ketua partai kalian yang kedua puluh
enam.”
Dua orang itu yang ternyata adalah dua tosu, agaknya
terkejut sekali ketika mendengar disebutnya nama itu. Salah
satu dari antara mereka itu lantas melesat tinggi untuk
kemudian lenyap dari pandangan mata Bee Tie.
Yang lainnya lantas sudah menjatuhkan diri, bertekuk
lutut dihadapan Bee Tie sambil berkata dengan suara
menghormat.
"Tee-cu Ciang Kie menghaturkan selamat datang telah
mendapat kunjungan Ciang-bun-jin yang telah lama kami
nanti-nantikan."
Bee Tie sambil tertawa berkata.
"Bangun! Aku telah mendapat perintah dari ketua partai
kalian yang kedua-puluh lima untuk meneruskan
jabatannya disini. Harap Ciang Suheng suka memberi
sedikit petunjuk-petunjuk yang berharga."
Pada waktu itu Siauw Beng Eng juga telah sampai kesitu,
sambil berjingkrak-jingkrakkan ia berkata.
“Engku Bee. kenapa kau berlaku begitu ceroboh? Tadi
sudah kukatakan padamu supaya kau berhati hati terhadap
orang-orangmu sendiri yang belum tentu mau tunduk
padamu. Apa kau sudah tak mau dengar kata-kataku lagi?"

Bee Tie dengan sikap bersungguh-sungguh menjawab.
"Adik Siauw, dalam keadaan begini terpaksa aku tak
mau tinggal peluk tangan menonton segala kekacauan di
sini. Kalau dalam kelenteng Cee-thian-koan nanti sampai
terjadi suatu apa, bukankah aku yang menjadi ketuanya
yang akan merasa sangat malu terhadap mereka ini?"
Lalu ia tidak menggubris pula peringatan Siauw Beng
Eng, lantas mengikuti tosu yang mengaku bernama Ciang
Kie tadi, langsung menuju kelenteng Cee-thian-koan.
Tidak lama kemudian sampailah ia didepan kelenteng
yang dituju. Disini semua daun pintu sudah terpentang
lebar-lebar. Dari luar sudah terlihat ada tiga buah pintu
besar besar yang berderet-deret didalam kelenteng itu,
dimasing-masing pintu ada dua orang tosu penjaga dengan
sikapnya yang keren keren. Disebelah belakang sekali, agak
jauh dibelakang pintu terakhir tampak berkumpul banyak
orang yang semuanya mengenakan jubah imam. diantara
tiga orang tosu tua yang wajahnya merah, agaknya mereka
inilah yang mengepalai semua tosu yang berada disitu.
Diantara mereka itu, Bee Tiepun masih dapat melihat itu
enam orang tosu penghianat partainya.
Bee Tie menunggu sampai ditangannya Siauw Beng Eng
dan mengisiki ditelinganya si nona.
"Adik Siauw, kau jangan takut. Semua urusan di sini ada
aku yang bisa bereskan.”
Siauw Beng Eng tampak mengangguk-anggukan kepala.
Saat itu tosu yang mengaku bernama Ciang Kie tadi
sudah masuk kedalam pintu pertama dan kemudian lenyap
setelah masuk di pintu kedua.
Bee Tie orangnya memang cerdas. Begitu melihat dari
kedua tosu yang menghampirinya tadi agak acuh diluar

kelenteng, begitu melihat yang satu lantas melarikan diri
sedangkan yang lain, Ciang Kie dengan muka manis dan
laku sangat menghormati itu, ia sudah tahu bahwa orang ini
tentunya sedang sengaja main siasat ulur waktu. Kini ia
sudah berada didepan pintu masuk dikelenteng Ciee thian
koan. Dirasakannya pintu masuk kelenteng itu seperti
mulut harimau yang sewaktu-waktu dapat menerkam
mangsanya, mungkin bahaya besar akan dihadapinya. Tapi
pendiriannya anak muda kita tetap kukuh.
Meskipun ia tahu pasti akan menenpuh bahaya besar,
namun tetap ia mau menerjang mesuk juga, sedikit pun
tidak merasa keder.
Siauw Beng Eng juga telah dapat melihat keadaan yang
tidak wajar maka ia lalu berbisik-bisik ditelinganya si
pemuda.
"Aku rasa tidak gampang gampang kita bisa masuk dan
lalu keluar lagi dari sini."
Bee Tie menganggukkan kepala.
"Yah, aku tahu. Tapi meski lautan api dan hujan golok di
dalam akan menyerang kita, akan kuterjang kelenteng ini?“
jawabnya dengan suara mantap dan berapi-api.
Setelah berkata, ia lalu mengangkat sebelah kakinya dan
hendak mulai melangkah masuk ke dalam kelenteng
tersebut.
Dua penjaga pintu dipintu pertama berlaku seperti orang
tidak melihat ada orang lain masuk mereka mengantepi Bee
Tie berjalan masuk sampai dekat sekali dengan mereka.
Tapi sebegitu lekas pemuda kita ini sampai kedekat mereka,
serentak mereka menggerakkan senjata pedang mereka,
menyerang kembali, ke perut si anak muda sambil berkata
dengan suara perlahan.

"Harap Ciangbun jin suka memberi sedikit pelajaran
kepada kami berdua yang masih bodoh.”
"Ciangbun jin. (Ketua partai) adalah sebutan yang lazim
dipergunakan oleh setiap anak murid golongan Hoa-sanpay
dalam pembicaraan antara mereka dengan pemimpin
tertingginya.
Bee Tie yang melihat mereka berani berlaku kurang ajar
terhadapnya agaknya juga merasa gusar. Seruling hiiam
dengan cepat sudah tergenggam dalam tangannya. Dengan
segala istimewanya ini ia menotok jalan darah dibagian
lutut kedua penjaga tersebut.
Dua kali sinar jatuhnya barang berat lantas terdengar.
Ternyata dua penjaga pada pintu pertama dari kelenteng
Cee thian koan sudah dirubuhkan oleh Bee Tie. Mereka ini
jatuh dalam sikap berlutut di hadapan Bee Tie.
Bee Tie lantas mengajak Siauw Beng Eng terus berjalan
masuk kedalam pintu kedua.
Dipintu ini juga ada dua orang tosu penjaganya, kedua
duanya adalah orang-orang pertengahan umur.
Pemuda yang menuntun tangan seorang nona cantik,
setelah mengalami kejadian tidak enak barusan, dari jauhjauh
sudah berjaga-jaga lebih dulu terhadap serangan gelap
yang mungkin dilancarkan oleh dua tosu pertengahan umur
yang menjaga dipintu masuk dari pintu kedua itu.
Tidak nyana, setelah jauh masuk melalui pintu kedua ini.
masih tidak melihat adanya gerakan suatu apa. Dalam
herannya mendadak dibelakang dirinya terasa seperti ada
angin dingin menyambar kearahnya. Makin cepat cepat ia
membalikkan badan sambil menghindarkan serangan gelap
itu. dilihatnya itu dua tosu dengan pedang terhunus sedang
melakukan serangan ketempat bekas tadi ia berdiri dan

belum sempat ditarik pulang. Tapi, kelakuannya tidak
mirip-minpnya dengan kelakuan orang sedang bertempur
hebat. Bee Tie yang menyaksikannya, tahu bahwa dua tosu
pertengahan umur ini sengaja berlaku demikian umuk
memberi peringatan padanya maka diam-diam dalam
hatinya ia merasa bersukur, ia lantas menggerakkan seruling
hitamnya, melihat senjata dua lawannya dan seruling ini
seolah olah berputar putar di situ situ juga, sama sekali ia
tidak mau meneruskan serangannya dan tidak
bermaksudahendak menambah kekuatan tenaganya untuk
menjatuhkan dua tosu pertengahan umur itu, Tosu ini
mengetahui bahwa anak muda ini tiada bermaksudahendak
menjatuhkan mereka, maka mereka lalu menjatuhkan diri
sendiri, berlutut dibadapannya sambil berkata.
“Terima kasih atas pengunjukan Ciang-bun jin yang
berharga. Disini kami berdua menghaturkan selamat datang
atas kunjungan Ciangbun-jin ke kelenteng Cee thian-koan
ini.”
Bee Tie membalas hormat mereka, lalu tanpa berpaling
lagi meneruskan langkahnya, berjalan memasuki pintu
pintu Cee-thian koan yang penuh bahaya itu.
Sampailah ia kini pada pintu ketiga, yaitu pintu yang
teratur. Disini dilihatnya ada dua lagi tosu peujaga yang
sudah lanjut usianya, saat itu dua tosu tua inipun sedang
mengawasi padanya. Agaknya mereka merasa heran
mengapa Bee Tie dengan secara mudah sekali dapat
memasuki dua tempat penjagaan disitu yang mereka anggap
kuat. Diam-diam dalam hati mereka merasa kagum juga
atas ketangkasannya anak muda ini.
Tapi, sebentar setelah itu, seperti orang-orang yang tidak
ada hubungan satu sama lain, mereka lalu diam saja
menjaga dilemparnya tanpa memandang pemuda kita lagi.

Melihat dua orang tosu tua ini. diam-diam dalam hati
Bee Tie mengeluh. Pikirannya. Dua tosu tua itu rasa
rasanya tidak lebih muda usianya dari umur suhu sendiri.
Tentu mereka juga memiliki kepandaian yang tidak, boleh
dipandang rendah.
Maka dengan suara perlahan ia lalu berkata ditelinganya
Siauw Beng Eng.
"Adik Siauw, kau tunggulah aku disini. Biar nanti aku
bereskan dulu mereka itu, setelah itu baru nanti aku ajak
kau masuk terus sampai kedalam.”
Siauw Beng Eng tahu bahwa saat ini soal jatuh
bangunnya Hoa-san-pay ada ditangan Bee Tie, maka diamdiam
ia turut berdoa untuk keselamatannya anak muda
pujaannya ini. Ia pikir, jika anak muda ini setelah sampai
disini gagal, entah bagaimana pula kejadian-kejadiannya
dalam memperebutkan jabatan ketua baru Hoa-san-pay
yang masih terus goncang itu. maka ia lalu menganggukanggukkan
kepala dan lantas berdiri disuatu sudut hendak
menantikan perkembangan selanjutnya.
Bee Tie memandang sebentar wajahnya si nona, lalu ia
menghibur padanya.
"Adik Siauw. kau tidak usah kuatirkan diriku. Tidak
mungkin mereka ini bisa berbuat banyak terhadapku."
Siauw Beng Eng barsenyum manis, tapi dalam hati
merasa kebat kebit juga.
"Engko Bee, kau hati hatilah terhadap mereka itu."
pesannya.
Bee Tie menganggukkan kepala dan lalu bertindak
masuk lagi.

Sesampainya ia didepan pintu ketiga ini tosu tua
penjaganya lantas memberi hormat padanya seraya berkata.
"Teccu sekalian disini menyambut kedatangan Ciangbun-
jin."
Bee Tie yang melihat dua tosu tua ini berlaku sangat
hormat terhadapnya, tak pernah menaruh persangkaan
buruk dalam hatinya. Penjagaan dirinya dengan sendirinya
menjadi agak berkurang. Iapun lantas balas menghormat
pada mereka sambil berkata.
"Tidak usah, tidak usah ... Aku tak berani terima
penghormatan Supek sekalian ... ”
Baru saja ia mau bernapas lega, mendadak kedua
lengannya terasa kesemutan.
Ternyata tangannya telah kena tercekal oleh dua tosu tua
penjaga pintu ini. Dua tosu ini dengan kecepatan luar biasa
masing-masing mengulurkan tangannya dan
tercengkeramlah lengan si pemuda.
Seluruh tubuhnya Bee Tie terasa lemas seketika. Cepat ia
mengempos semangatnya, berusaha hendak melepaskan
diri dari cekalan dua tosu tua itu. Tapi hampir seluruh
kepandaian sumur Kematian telah dikeluarkan, masih tetap
Bee Tie tidak berhasil dengan usahanya melepaskan cekalan
pada tangannya yang tercekal oleh dua tosu yang ternyata
kuat itu.
Dari sebelah dalam, itu enam tosu durhaka yang melihat
Bee Tie telah berbasil masuk dalam perangkap yang mereka
atur. karena sangat gembiranya, lantas mereka bergerak
berbareng menghampiri si anak muda hendak
membinasakannya.
Dalam menghadapi mati hidupnya Bee Tie hanya dapat
menggertak gigi saja. Akhirnya dengan sekuat tenaga yang

ada padanya berhasil juga ia melepaskan diri dari cekalan
salah seorang dari dua tosu tua itu, tapi sebelah tangannya,
yang sebelah kiri masih belum bebas, masih tetap dalam
cekalanya tosu yang satunya lagi.
Kini kakinya dikerjakan, dengan cepat mengenai jalan
darah tosu yang memegang tangan kirinya, tapi meskipun
demikian, tosu tua ini masih tetap tidak mau melepaskan
cekalannya. Ia masih menggenggam tangan Bee Tie dengan
sekuat tenaganya.
Bee Tie yang melihat sebentar lagi dirinya akan
terkurung orang yang lebih banyak, agaknya sudah menjadi
nekad. Dengan menggunakan dua jeriji tangannya yang
sudah bebas ia menyerang lagi kearah mata tosu kuat itu.
Seketika itu juga lantas tangannya dirasakan kedua mata
si tosu itu sudah buta. Maka kesempatan ini lalu digunakan
sebaik-baiknya oleh si pemuda, sekali sontek lagi,
tangannya sudah terbebas semua.
Tepat pada saat itu, enam tosu durhaka telah datang
meluruk semuanya. Mereka serentak maju sambil
melakukan penyerangan berbareng.
Bee Tie dengan menggunakan pelajaran yang baru saja
didapatkan dari atas sembilan tiang batu diatas gunung Kiuteng-
hong. badannya tampak berkelebatan diantara keenam
orang tosu tadi, sebentar saja seperti tertampak ada puluhan
bahkan ratusan bayangan Bee Tie.
Karena sangat bencinya Bee Tie terhadap enam tosu ini,
maka tanpa mau memberi kelonggaran sedikitpun juga,
sebenter kemudian mereka ini sudah pada rubuh
bergelimpangan ditanah sebagai bangkai.
Setelah ia berhasil membereskan lelakon hidupnya itu
enam tosu busuk, tanpa memperdulikan yang lainnya lagi,

ia lantas melayang tiuggi melewati atasan kepala para tosu
yang berdiri diruang dalam, tepat kakinya berdiri didepan
tiga tosu tua yang berwajah merah, berbareng juga ia
membentak.
“Kalian bertiga adalah orang-orang tertua dari Hoa-sanpay
kita. Kenapa kalian membiarkan saja orang yang lebih
muda berbuat sewenang-wenang terhadap orang lain? Apa
kalian lupa pada hukumannya didepan sembilan tiang batu
itu?” Kata-kata yang terakhir ini membuat wajah ketiga tosu
tua berwajah merah ini menjadi pucat pasi seketika, tapi
sinar matanya masih buas, malah satu diantaranya lantas
bekata dengan suara nyaring.
"Bocah! Kau datang dari mana sampai bisa tahu semua
urusan kami orang-orang Hoa-san pay ?”
Bee Tie rupanya sudah menjadi sangat sengit, ia lantas
berseru.
“Hai orang-orang Hoa-san! Apa kalian berani tidak
pandang mata ketua kalian ini?"
Si tosu tua lantas maju selangkah sambil membentak.
"Tutup mulut! Kau berkali kali mengaku sebagai ketua
kami. Apakah muridnya Cie Gak? Mana bukti-buktinya?
Lain dari itu. aku tanya kau lagi. Dimana suhumu Cie Gak
itu sekarang ini?"
Bee Tie tiba-tiba berduka mendengar disebutnya nama
sang suhu. maka dengan suara sedih ia berkata.
"Suhu belum lama menutup mata ... ”
Tosu tua ini menggeram hebat dan lantas membentak
padanya.
"Bocah, kau ngaco belo! Jangan salahkan aku yang tidak
mau pandang orang lagi! berjaga-jagalah!"

Setelah berkata demikian, ia lalu berjalan maju lagi
setindak, hingga dekat sekali dengan Bee Tie.
Sebentar ia menggerakkan tangannya, secara tiba-tiba
telah menyerang si pemuda dengan hebat sekali.
Bee Tie menggoyangkan sedikit badannya, serangan itu
sudah berbasil dihindarkan dan tahu-tahu ia sudah hinggap
ditanah lagi.
Siapa juga tidak ada yang dapat melihat bagaimana cara
Bee Tie bergerak, tahu-tahu mereka lihat pemuda ini sudah
berdiri lagi dengan sikapnya yang gagah.
Si tosu yang tak berhasil dengan serangannya, wajahnya
berubah menjadi merah padam. Ia lantas menggerakkan
lagi kedua tangannya saling susul, beruntun beberapa kali ia
melancarkan serangan yang hebat.
Bee Tie menotol tanah, badannya melesat keatas lalu
dengan ujung serulingnya ia melakukan serangan balasan
dari atas. Yang di arah batok kepala tosu tua itu.
Kepandaiannya Bee Tie dapat dipelajarkan dari dalam
sumur Kematian dan telah berhasil dipelajari sampai
ketingkat yang paling sempurna. Sudah tentu tosu tua yang
berangasan ini tidak akan mungkin dapat menghindarkan
serangannya tersebut.
Mendadak pada saat itu terdengar suara satu tosu
membentak keras.
“Semua berhenti.” Tangannya pun sudah dikerjakan
menyerang Bee Tie yang badannya masih ditengah udara.
Bee Tie yang diserang secara demikian terpaksa menarik
kembali serangannya dan lantas berdiri di depan tosu
penyerang ini yang juga telah turun ketanah lagi. Sikap
pemuda ini tenang luar biasa.

Itu tosu berangasan yang mengetahui dirinya masih
bukan tandingan si bocah ini. maka lantas ia mundur
kembali mulutnya menanya dengan suara rerdah.
"Jie Suheng ada perintah apa?"
Tosu yang dipanggil “Jie Suheng. itu menggoyanggoyangkan
tangannya memberi isyarat agar sang sutenya
tidak bicara lagi dan menyuruhnya mundur kembali.
Setelah itu, barulah ia memandang si pemuda
dihadapannya sambil menanya.
"Apa kau yang bernama Bee Tie?” Tidak nyana dalam
usiamu yang begini muda kau sudah bisa mendapatkan
ilmu kepandaian yang sangat tinggi. Apa lantaran kau rasa
kepandaianmu tinggi lalu kau mau berkuasa disini dengan
memalsukan nama ketua kami?"
Bee Tie sambil dongakkan kepala menjawab.
"Apa? Apa kira aku orang tuacam itu? Aku ini
sesungguhnya adalah muridnya Cie Gak Suhu dan suhu
telah menyuruh aku menggantikan jabataannya. Kenapa
kau katakan aku memalsukan?”
Tosu yang dipanggil. Jie Suheng itu lantas tertawa.
"Baiklah. Kalau kau sungguh sungguh murid Hoa-sanpay.
kenapa tadi kau gunakan tipu silat dari lain cabang
persilatan?"
Bee Tie sesaat tidak dapat menjawab. Tapi kemudian ia
tertawa terbahak-bahak. Dengan kecepatan kilat ia lalu
mempertunjukkan tiga kali tipu serangan simpanan yang
hebat-hebat. Kemudian dengan suara keras ia bertanya.
"Apa kau kenal tiga rupa tipa serangan tadi?"
Tosu tua itu tak berani mengatakan tidak kenal, tetapi
juga tidak ada yang mau mengakui kebenarannya.

Bee Tie yang melihat itu, mendadak mementang lima
jari tangannya yang segera di kipratkan ketengah udara
sambil menanya.
“Apa kalian kenal ilmu kebutan ini?"
Tosu yang dipanggil “Jie-Snheng” tadi berdiri melengak.
Ia lalu menengok dua tosu tua lainnya, tapi tidak menjawab
pertanyaan si pemuda.
Kembali Bee Tie perdengarkan suara tertawanya.
"Partai kita mempunyai ilmu yang disebut Sam yang,
Ciang hoat (tiga ilmu pukulan keras) dan Tun-im Sip-pathud-
hoad (delapan belas jurus ilmu kebutan jari). Apa
kalian belum kenal dengan tipu tipu tadi?" terdengar ia
memberi penjelasan.
Tosu yang berada disebelah kiri, yang sejak tadi diam
saja, kini membuka mulut berkata.
"Jie Suheng, sam Suheng. bocah ini benar-benar telah
mendapat sari-sari pelajaran partai kita. Sutee harap kalian
tidak terlalu pandang rendah padanya.”
Tosu yang disebut “Sam Suheng” bertanya kepada Bee
Tie.
“Apa yang ditetapkan menjadi kata-kata pokok dalam
masa pergantian antara ketua tua dan ketua muda?"
"Sembilan tiang batu beterbangan melewati puncak
gunung dan butiran air sungai berkumpul menyaingi awan
biru." jawab Bee Tie dengan lancar.
Mendadakan diluar kelenteng Cee-thian-koan terdangar
suara tertawanya seseorang yang nyaring sekali. Kemudian
tampak tiga bayangan hitam berkelebat yang lalu melayang
turun dari atas puncak gunung Cee thian-hong. Dan itu joli

yang tadi berada diluar kelenteng Cee-taian-hong lenyap
tanpa bekas.
Bee Tie yang menyaksikan semua kejadian bukan main
terperanjatnya. Dengan cepat ia lalu berseru.
"Siapa diluar ... ! Ah, celaka! Kata-kata pokok masa
pergantian ketua kita sudah mereka dengar semua ... katakata
itu juga merupakan kunci untuk mengambil kitab Kiuteng
Cin-keng ... ”
Pada saat itu tampak satu bayangan lagi berkelebat cepat.
Dan orang ini bukan lain daripada Lee Thian Kauw sendiri.
Bee Tie kembali berseru.
"Adik Siauw! Kemari!"
Tapi ternyata teriakannya sudah tetlambat. Tampak Lee
Thian Kauw melayang cepat masuk kedalam untuk dilain
detik sudah keluar pula sambil memondong tubuhnya
Siauw Beng Eng yang terus dilarikan kabur.
Tiga tosu tua dari Hoa-san-pay tiba-tiba juga tertawa
semua. Mereka lantas bangkit berdiri dari tempat
duduknya.
Puluhan murid Hoa-san-pay yang berada di situ juga
telah memencarkan diri untuk mengurung dirinya Bee Tie
ditengah-tengah, sehingga tak ada kesempatan lagi bagi
pemuda ini yang hendak mengejar Lee Thian Kauw.
Dalam kekacauan saat ini Bee Tie dapat melihat satu
bayangan putih kembali berkelebat, dan orang ini tidak lain
tidak bukan daripada si “Putih Kurus”, si orang temaha dan
serakah.
Saat ini Setan Putih ini juga lantas pergi meninggalkan
kelenteng Cee-thian-koan.
XIII. KIU-TENG CIN KENG.

BEE TIE, yang melihat perubahan yang terjadi secara
tiba-tiba didalam kelenteng Cee-thian-koan, di mana mana
murid Hoa-san-pay telah memusuhi padanya dan ternyata
juga mereka itu telah lama merencanakan jebakannya,
bukan main rasa gusarnya. Dengan menuding tiga orang
imam tua di hadapannya ia membentak keras.
"Apa begini kelakuannya semua anak murid Hoa-sanpay?
Begitu berani kalian hinakan ketua partai kalian
sendiri?"
Salah seorang imam yang disebut “Jie-Su-heng”, yang
berdiri ditengah-tengah antara mereka bertiga, dengan nada
suara acuh tak acuh berkata.
"Mana anak murid Hoa-san-pay dan siapa orang-orang
luar?"
Tetapi si imam yang berdiri disebelahnya. yang dipanggil
"Sam-Snheng. agaknya sudah tidak sabaran lagi. Sambil
pelototkan matanya ia berkata.
"Untuk apa banyak omong dengan orang semacam ia?
Tangkap saja padanya, beres!"
Berpuluh puluh anak murid Hoa-san-pay terus bergerak
memperkecil lingkungan berdirinya Bee Tie, mereka
mengurungnya secara rapat sekali.
Bee Tie, dengan menunjukan arah pandangannya
kemuka, sambil menyekal keras seruling hitam
ditangannya, hanya memperhatikan setiap gerakan tiga
orang imam tua yang berada dihidapannya, samasekali
tidak memperdulikan imam-imam lain yang berdiri
dibelakang dan sampingnya, Tiga orang imam dari sebelah
simping dirinya memberanikan diri tampil kemuka. lalu
menyerang orang yang menemukan dirinya sendiri ketua
Hoa-san-pay itu.

Yang tersebut belakangan, seolah-olah tidak mengetahui
datangnya serangan tiga orang itu, masih tetap berdiri
tenang-tenang: ditempatnya. Ia memang sengaja hendak
membiarkan mereka menyerang. Sampai serangan tersebut
datang dekat benar, mendadak ia menggeram keras.
Lengannya juga tidak tinggal diam, menotok jalan darah
ditubuh mereka.
Sebentar ia berseru, “Kena," betul saja seperti apa
katanya, tiga orang imam tahu-tahu sudah rubuh ditanah
disertai suara jeritan mereka yang nyaring. Mereka rubuh
terkena serangan ilmu totokannya Bee Tie yang lihay.
Bee Tie yang telah dapat merubuhkan tiga orang imam
anak murid Hoa-san-pay itu, agak bercekat hatinya. Dalam
hati ia memikir. Apa tidak lebih baik aku berikan saja
sediktt rasa pada mereka ini supaya mereka merasa takluk
benar-benar terhadapku?"
Memikirkan demikian, dengan cepat ia lantas bertindak.
Alisnya tampak berdiri. Sambil perlihatkan paras muka
berseri-seri sebentar kemudian kelihatan tubuhnya yang
kecil berbelebatan. Tahu-tahu ada lima orang imam lagi
yang jatuh rubuh bergelimpangan ditanah. Bagaimana cara
ia bergerak tadi tidak ada yang tahu.
Tetapi ia masih belum mau berhenti sampai disini saja.
Lagi-lagi ia memperlihatkan ilmunya, kali ini ia
mengeluarkan kepandaiannya yang baru saja didapati dari
atas sembilan buah tihang batu diatas puncak gunung Kiuteng-
hong. Tubuhnya bergerak gerak kesana kemari bagai
kupu-kupu beterbangan diantara bunga-bunga. Sebentar
kemudian seperti tampak adanya berpuluh-puluh bayangan
Bee Tie yang berlompatan ke sana kemari. Kemana saja ia
bergerak, tentu ada satu imam dengan tubuh tertotok jalan
darahnya.

Dalam yaktu sekejap mata saja hampir sebagian besar
dari para imam itu sudah rubuh ditanah. Mereka terkena
totokan pada jalan darahnya oleh seruling hitamnya Bee
Tie.
Dengan caranya ini, Bee Tie telah membuat ketiga orang
imam tua yang berdiri di hadapannya tadi pada berubah
pucat wajahnya itu. Kalau tadi mereka itu masih bisa
berdiri terus, dan tak turun tangan sekarang agaknya
mereka tak bisa terus peluk tangan. Beginilah, mereka telah
maju serentak dan mengirim satu serangan dengan tenaga
gabungan mengepung Bee Tie.
Anak muda itu tertawa panjang, dalam sekejapan saja
bayangannya tadi yang begitu banyaknya tiba-tiba lenyap
seketika. Tiga orang imam tua itu semuanya merasakan
adanya angin kuat yang datang kearah mereka, saat itupun
mereka dengar juga bentakan si pemuda.
“Kena?"
Dua dari tiga orang imam tua tersebut telah terkena
serangannya si pemuda gagah. Tapi masih untung bagi
mereka, yang sudah mempunyai latihan yang cukup dalam,
sehingga tidaklah mengkuatirkan keadaan mereka. bahkan
sebentar kemudian totokannya sudah dapat mereka
bebaskan sendiri.
Pada saat itu, si Putih kurus juga telah maju dan
langsung menyerang Bee Tie itu anak muda gagah. Waktu
menyerang ia juga membentak.
“Bocah! Jangan harap kau bisa keluar lagi dari tempat
ini."
Sebelum suaranya si orang kurus selesai, tiba tiba masuk
dalam telinganya Bee Tie suara orang perempuan yang

masih asing baginya, asing juga bagi semna orang lain yang
berada disitu dengan suaranya yang halus ia berseru.
"Saudara Bee, hati hati dengan jarum beracunnya Kimcoa-
bun.”
Bee Tie sangat terkejut, ia juga melihat berkeredepnya
beberapa buah sinar terang yang bertaburan ketengah udara
mengarah pada imam dari Hoa-san-pay itu. Melihat
kejadian itu, ia berseru nyaring.
“Hai! Diantara golongan sendiri kalian mau saling
bunuh juga? Musuh kalian ada didepan mata, bukannya
kalian cepat-cepat bersatu?”
Mulutnya berkaok-kaok, kakinya tidak tinggal diam.
Dengan menggunakan ilmunya dari sumur kematian ia
dapat menghindarkan setiap serangan si orang kurus,
berbareng juga sudah memukul jatuh puluhan jarum
beracun yang datang meluruk kearahnya dengan
menggunakan seruling hitam yang diberikan oleh ayahnya.
Dengan mendengar beberapa kali suara jeritan dari
mulutnya imam-imam yang rubuh ditanah karena sudah
ditotok jalan darahnya tahulah ia bahwa diantaranya ada
beberapa orang yang sudah terkena serangan jarum beracun
Kim-coa-bun, maka dengan menggeram keras ia juga
membentak.
"Ada permusuhan apa antara kalian dengan partai kami
Hoa-san-pay?” Kenapa begitu kejam kalian turun tangan?"
Ia membentak orang-orangnya Kim-coa-bun. Tangannya
tak tinggal diam. Dengan beberapa kali gerakan ia
membuka kembali jalan darah yang tertotok pada tubuhnya
setiap imam yang tadi rubuh ditanah.
Walapun ia sudah berbuat demikian, masih saja diantara
mereka ada yang terus mendendam dihati terhadap

kelakuannya si anak muda. Begitulah selekas jalan darah
mereka terbuka dan bebas lagi, dengan cepat mereka
merangsang lagi maju kemuka menyerang si anak muda
Bee Tie. Beberapa yang lainnya, mengetahui kepandaian
anak muda itu demikian tingginya, hanya berdiri saja
dengan sorot mata gusar, menatap langsung wajah Bee Tie.
Tetapi Bee Tie hanya menyingkir saja dari setiap serangan
mereka. Ia berkelit ke sana kemari sambil mulutnya tidak
berhentinya berseru.
"Tangkap tiga orang tua itu! Merekalah yang menjadi
biang keladinya sampai terjadi huru hara ini."
Tetapi belum lagi ia bicara habis, suara wanita asing itu
kembali terdengar memberi peringatan padanya, katanya.
"Orangnya Kim-coa-bun masih belum pergi dari sini.
Banyak bicara dengan orang yang masih belum tunduk
seluruhnya padamu tidak ada gunanya !"
Bee Tie seolah-olah baru jaga dari tidurnya. Segera ia
lompat melesat ketempat dari mana meluncurnya jarumjarum
beracun tadi.
Ternyata orang-orang yang telah melepaskan senjata
rahasia berupa jarum beracun tadi adalah itu orang yang
dijuluki Kim-coa Sin-lie dan dua orang lain lagi masih
belum pernah dikenalnya, yang mengenakan pakaian serba
putih keduanya.
Dengan paras muka kejam menakutkan melihat
datangnya Bee Tie yang menerjang ke arah mereka, sambil
siapkan diri untuk kabur mereka menaburkan lagi jarum
jarum beracunnya.
Tetapi kali ini pekerjaan mereka ternyata sia-sia saja.
Dengan terlihatnya sekali berkelebat satu bayangan hitam,

hampir semua jarum jarum beracun tersampok jatuh
semuanya ketanah.
Ternyata bayangan orang yang muncul secara tiba-tiba
itu adalah bayangannya seorang gadis yang mengenakan
pakaian compang-camping macam pengemis tetapi
wajahnya cantik bersih. Dia pulalah yang telah dua kali
berseru memperingatkan padanya. Ia tidak berhenti sampai
disitu saja. Pedang yang tadi dipakai untuk menyampuk
jarum jarum beracun, terus disodorkan menikam kesalah
satu orang perempuan yang mengenakan baju serba pulih
itu, itu hambannya Kim-coa Sin-lie
Tidak ampun lagi salah seorang dari dua gadis baju putih
yang berwajah kejam menakutkan itu mati seketika
tertembus ujung pedangnya si gadis macam pengemis yang
lihay.
Bee Tie juga tidak mau dikatakan kalah sebat. Dengan
menggunakan seruling hitam pemberian ayahnya ia juga
menyerang gadis baju putih yang satunya lagi.
Suara jeritan ngeri terdengar, tubuhnya si gadis baju
putih satunya lagi jatuh ngusruk mencium tanah. Setelah
kakinya kelejetan sesaat ia hanya lantas tidak bisa bangun
lagi, karena ia telah pingsan.
Bee Tie yang sangat membenci sekali pada orangorangnya
Kim-coa-bun yang semuanya kejadian-kejadian
itu, lagi menggerakkan seruling hitam ditangannya hendak
cepat-cepat menamatkan lelakon hidupnya gadis kejam
yang sedang pingsan ini.
Baru tangannya bergerak, tiba-tiba terdengar satu suara
nyaring berseru.
"Saudara Bee, tahan !"

Bee Tie menahan serangannya yang sudah keluar
separuh, dengan cepat ia lalu menoleh kebelakang. Bukan
main terkejutnya ia ketika mengetahui siapa adanya orang
yang terus-terusan berseru memperingatinya itu. Ternyata ia
adalah seorang gadis pengemis itu, segera juga ia mengenali
bahwa ia adalah itu pengemis perempuan yang seakan-akan
menunggunya atas pintu kota Leng-po sebelum ia mendaki
gunung Hoa-san ini. Ia juga pernah mengejar-ngejarnya,
tapi masih tidak berhasil juga menyandaknya selelah
berkejar-kejaran cukup lama. Dari itu semua saja dapatlah
sudah ia menarik kesimpulan bagaimana tingginya ilmu
mengentengi tubuhnya gadis pengemis ini. yang sudah
tentu sudah mencapai ketaraf yang paling tinggi. Itu pulalah
sebabnya mengapa orang telah menguntit terus dirinya
sebegitu jauh, masih belum juga terasa olehnya.
Si gadis pengemis yang mengetahui dirinya dipandang
terus menerus begitu rupa, menjadi jengah sendiri. Tetapi
sebentar kemudian ia sudah dapat ketawa lagi dan berkata.
"Kim-coa-bun dengan golongan Kay-pang kami ada
dendaman sakit hati yang sangat dalam. Kim-coa-bun
adalah musuh buyutan partai Kay-pang kami. Tetapi
karena tempat sembunyi mereka sukar dicari, kami mencari
carinya tanpa hasil sampai sekian lamanya. Kini kebetulan
sekali aku menemui mereka. Atas bantuan saudara Bee tadi
yang telah dapat menotok dia ini." tangannya menunjuk
yang pingsan itu aku menyatakan terima kasihku, Harap
saudara Bee suka menyerahkan perempuan jahat ini untuk
kami adili dan kami tanyai keterangannya lebih dulu."
Bee Tie yang mengingat berapa banyak imam dari Hoasan-
pay yang dibikin rubuh karena serangannya jarum
beracun Kim-coa-bun, tahu bahwa jika mereka tidak
mendapatkan pertolongan segera, dalam tempo sekejapan
saja kulit di badan mereka akan menjadi bengkak matang

biru dan akan segera binasa. Memikir demikian tanpa terasa
ia memalingkan mukanya untuk melihat mereka yang
sedang terluka. Betul saja seperti apa yang dipikirkan, kulit
dibadan mereka itu kelihatan sudah mulai membengkak, ia
tahu juga bahwa sebentar lagi tentu mereka tidak akan
tahan lagi tiada ada satu obat juga yang dapat menolong,
sekalipun obat itu obat dewa, maka segera ia menyekal
pergelengan tangan si orang tawanan yang saat itu sudah
siuman, sambil menekan keras-keras tangannya ia berseru.
“Lekas keluarkan obat pemunahnya! Lekas!” Si gadis
pengemis juga membentak dengan suara keras.
“Hai! Dimana tempat kalian kawanan Kim-coa-bun
sembunyikan diri?”
Bee Tie mulutnya berteriak, tangannya tidak tinggal
diam, ia segera menggeledah satu orang. Sebentar ia
merogoh, tangannya keluar sudah menegang sebuah botol
kecil berisi obat berwarna putih didalamnya. Cepat ia
menoleh kearah tiga orang imam tua yang tadi telah
menarik penuh seluruh perhatiannya. Ternyata dua orang
diantaranya telah melarikan diri, sedangkan imam tua yang
tinggal satunya lagi itu, yang dipanggil Jie Suheng kelihatan
masih tetap berdiri di tempatnya dengan wajah murung, itu
orang kurus, si Putih Kurus, tentu juga telah kabur sipat
kuping.
Bee Tie tidak mau memperdulikan semua itu ia
melemparkan botol kecil hasil rampasannnya kepada itu
imam tua yang ditinggal seorang diri sambil berkata.
"Sambutlah! Cepat tolong semua orang-orangmu yang
kena racun jarum jahat mereka itu."
Si imam tua itu, yang dipanggil Jie Suheng menyambuti
botol berisi obat pemunah racun jarum beracun Kim-coaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
bun itu. Dengan lakunya yang sangat menghormat sekali ia
berkata.
"Giok Hie disini terima perintah Ciang-bun-jin.”
Bee Tie sama sekali tidak pernah menyangka bahwa itu
iosu tua yang bernama Giok Hie tojin, bisa berubah
kelakuannya demikian cepat, malah sangat menghormat
sekali padanya. Karena tercengangnya, sampai ia berdiri
melengak ditempatnya.
Giok Hie tojin kemudian menghadapi sekalian murid
Hoa-san-pay lainnya, lalu dengan nyaring ia berkata,
"Semua murid Hoa-san lekas beri hormat pada ketua kita
yang baru."
Suaranya Giok Hie Tojin berkumandang keras disekitar
lembah dibawah gunung Hoa-san, apalagi didekat
dekatnya.
Semua imam dari Hoa-san-pay yang mendengar perintah
tersebut, hampir semua lantas memberi hormat kepada
ketua muda mereka yang baru. Tetapi biarpun demikian,
masih ada juga beberapa orang yang tidak mau tunduk atas
perintah Giok Hie Tojin. Mereka membandel dan tetap
berdiam diri saja di tempatnya masing-masing."
Sewaktu dihitung ternyata jumlah mereka masih dapat
dihitung. Hanya empat orang saja yang tak dapat mau
menurut perintahnya Giok Hie Tojin. Salah seorang
diantaranya masih coba hendak membantah, katanya.
"Giok Hie Susiok, kenapa begitu berubah pendirian
Susiok? Apa Susiok takut terhadap itu bocah gembel yang
keparat? Kalau kedudukan ketua Hoa-san-pay kita sampai
terjatuh ditangannya, sukarlah nanti bagi kita untuk tancap
kaki lebih lama didunia Kang-ouw."

Giok Hie Tojin yang mendengar bantahan orang tersebut
marah bukan main. Ia segera menyerahkan bocah pada
seorang imam lain, lalu ia sendiri berjalan mendekati empat
orang tosu yang membandel itu.
Bee Tie yang mengetahui gelagat tidak baik, segera
berjalan maju hendak mencegah Giok Hie Tojin bertindak,
ia berseru.
“Tunggu!”
Akan tetapi. Giok Hie Tojin sambil tarik muka kecut,
berkata dengan suara rendah.
"Giok Hie sendiri rasanya masih mampu mengurus
segala hal yang terjadi didalam kelenteng kita ini. Semua
kata-kata dari kunci pengambilan kitab Kiu teng Cin-keng
yang menjadi pusakanya Hoa-san-pay, telah dicuri dengar
oleh orang luar. Sebaliknya kau pergi saja cepat-cepat ke
gunung Kiu-teng hong. Bereskanlah semuanya itu, lebih
cepat lebih baik."
Mendengar kata-kata Giok Hie Tojin tersebut, Bee Tie
merandek. Cepat-cepat bertanya, “Kenapa?”
Giok Hie Tojin berkata pula, suaranya lebih perlahan.
"Itu orang yang tadi tertawa didepan kelenteng kita,
adalah Hek-ie Sin-kun, ketua Tiang-pek-pay. Tentu
sekarang ia sedang menuju ke sana juga hendak mencuri
kitab tersebut dengan menuruti petunjuk dari kata-kata tadi
itu."
Setelah berpikir sebentar, Bee Tie seolah-olah mengoceh
seorang diri berkata.
"Apa betul kitab Kiu teng Cin-keng berada diatas puncak
puncak Kui-teng-hong? Tapi memang betul. Lebih baik aku
segera pergi ke sana untuk mencarinya."

Tapi tiba-tiba ia teringat lagi akan kata-katanya Kim-coa
Sin-lIe-yang mengatakan bahwa Tongkat Rantai Kumala
yang menjadi pusakanya Hoa-san-pay, adalah
pemberiannya nona kejam itu, maka ia dengan suara
keheranan ia menanya.
"Masih ada satu hal yang aku rasa masih kurang ngerti.
Betulkah itu Tongkat Rantai Kumala adalah pemberiannya
Kim-coa Sin-lie?"
Mukanya Giok Hie Tojin kelihatan semakin tegang. Ia
menelan ludah, sesaat lamanya ia tidak dapat berkata-kata.
Tiba-tiba tubuhnya bergerak tinggi, terus melesat
ketempat berdirinya itu empat orang imam yang masih
terus membandel. setelah menotok jalan darah mereka,
dengan kecepatan yang tidak kalah dari waktu perginya tadi
ia sudah kembali lagi kedepan ketua barunya dan berkata
padanya dengan suara yang perlahan sekali.
“Disini bukannya tempat kita bicara. Mari ikut aku
kedalam. Aku akan menceritakan padamu semua."
Lalu dengan mendahului ketua partainya yang baru.
Giok Hie Tojin sudah berjalan masuk kedalam ruangan
samping dari kelenteng Cee Thian koan.
Bee Tie juga segera mengikuti berjalan.
Dibelakangnya imam tua dari Hoa-san-pay itu. Waktu
mereka lewat disampingnya gadis pengemis itu, dengan
suara perlahan Bee Tie berkata.
"Harap nona suka tunggu dulu sebentar. Aku pergi tidak
lama dan segera kembali.” Sesampainya disebuah ruangan,
disebelah ruangan tadi, dilihatnya ruangab ini tidak kalah
besar dan luasnya dari ruangan tadi. Ditengah-tengah
ruangan tergantung sebuah lukisan dari seorang tosu. Sudah

tentu itu adalah gambar lukisan dari Su coa mereka sendiri
Hoa-san-pay.
Disekelilingnya terdapat jendela-jendela yang terpentang
lebar-lebar kedua duannya.
Bee Tie berjalan menghampiri salah satu jendela untuk
menghirup udara segar.
Melalui lubang jendela itu ia melihat sebuah gunung
dengan puncaknya yang menjulang tinggi, salah satu
puncak gunung dipegunungan Hoa-san.
Giok Hie Tojin juga menelati perbuatan ketua barunya
yang masih muda itu. berjalan menghampiri jendela
tersebut. Sambil menunjuk keatas puncak gunung tersebut
ia menanya."
"Apa Ciangbun jin sudah kenal nama puncak gunung
itu.”
Bee Tie hanya menggeleng-gelengkan kepala saja sebagai
jawabannya.
"Itu adalah puncak gunung ”Siok lie heng.”
Demikian Giok Hie menerangkan.
“Orang-orangnya Kim-coa-bun mendiami puncak
gunung itu sebagai tempat kediaman mereka itulah markas
mereka. Karena puncak gunung Siok lie hong dekat sekali
letaknya dari kelenteng Cee thian koan kita dan diantara
Hoa-san-pay kita dengan Kim-coa-bun ada ganjalan sakit
hati, maka sukarlah itu dikinoarkan. Ruangan ini adalah
tempat ke diamannya suhu It Han Siang jin, ketua partai
kita yang kedua puluh tiga. Tidak sembarang orang
diperbolehkan masuk kedalam sini ... “

Giok Hie Tojin agaknya seperti ingat sesuatu kejadian
yang menyeramkan, diatas dahinya keringat telah menitik
turun satu-satu.
Bee Tie yang menyaksikan kelakuannya imam tua
tersebut, bercekat juga hatinya, dengan suara perlahan ia
menanya.
"Kalau menurut tingkat derajat, aku harus menanggil
kau Susiok-cow. Giok Hie Siok-cow, kejadian apa
sebetulnya yang menimbulkan ganjelan sakit hati diantara
partai Hoa-san kita dengan orangnya Kim-coa-bun itu?”
Giok Hie Tojin memesut keringat yang telah membasahi
sekujur dahinya, lalu berkata.
"Suhu It Han Siangjin, diantara begitu banyak ketua
partai Hoa-san kita, boleh dibilang adalah seorang tokoh
terkemuka didalam dunia Kang-ouw, Hoa-san Kiu-teng
Sin-kang dewasa ini telah memancarkan cahayanya yang
gemilang, adalah hasil atau buah Ciptaan It Han Suhu
Orang-orang kuat dari partai-partai lain dalam dunia Kang
ouw yang pernah menyaksikan kepandaian suhu sendiri,
tidak ada satu yang tidak memujinya. Waktu itu, aku baru
saja memasuki pintu perguruan Hoa-san-pay kita. Mungkin
hanya akulah sendiri yang bisa menarik perhatian besar
para suhu, karena sejak itu aku seringkali diajak beliau pergi
kemana saja beliau pergi, boleh dikatakan saat aku sudah
mulai mengembara.
Bicara sampai disini, selanjutnya suara makin perlahan,
melanjutkan lagi ceritanya.
"Suatu pagi, selagi aku hendak mengucapkan selamat
pagi dan memberi hormat hormat pada beliau, ketika aku
berjalan memasuki ruangan ini. Aku tidak bisa menemukan
suhu seperti pada waktu sebelumnya. Baru saja aku mau
membalikan badan, mau keluar lagi dari dalam ruangan ini

tiba-tiba dari atas puncak gunung Siok-lie-hong itu aku
dengar suara siulan yang panjang sekali. Aku yang paling
sering mengikuti suhu, lantas mengenali bahwa suara siulan
tadi itu adalah suara siulannya suhu sendiri. Maka itu aku
cepat lari ke tempat dari mana datangnya suara suhu. Di
teagah perjalanan dari jauh, ketika aku meneliti, aku
melihat sesosok bayangan bayangan manusia dengan
larinya yang pesat terus naik keatas puncak gunung Siok-lie
hong itu. Tetapi dalam waktu sekejapan saja bayangan itu
sudah lenyap kembali diantara jalan gunung yang berliku
liku. Sedari waktu itulah sampai beberapa bulan lamanya,
aku tidak bisa menemui suhu disini. Lama-lama aku merasa
kuatir juga. aku lalu bermaksudahendak segera
memberitahukan semua kejadian ini pada Toa-Suheng-ku
Giok Thoan Su-hong. Tapi kalau aku ingat banwa diantara
Kim-coa-bun dan Hoa-san-pay kita sudah ditetapkan
bersama daerah perbatasannya, dengan batas sungai
mengalir di sana itu, aku lalu percuma saja kalau hal itu aku
beritahukan kepada Toa Suheng. Maka itu. kejadian itu
berjalan berbulau-bulan lamanya tanpa ada seorang juga
yang tahu kecuali aku. Tapi, tak kusangka tak kunyana,
setengah tahun kemudian dari waktu itu tahu-tahu tanpa
menerbitkan suara sedikitpun juga suhu sudah kembali,
langsung berjalan masuk ke dalam ruangan ini. Tapi hal ini
juga hanya aku yang tahu."
-oo0dw0oo-
Jilid 11
BICARA sampai disitu, Giok Hie tojin tiba-tiba
menghentikan penuturannya. Bee Tie dengan suara tidak
sabaran menanya.

"Setelah beliau kembali itu, lalu kemudian ada kejadian
apa lagi?"
Giok Hie Tojin berpaling, memandang sebuah tempat
tidur dibelakangnya, lalu berkata pula. Suaranya kali ini
sudah sangat perlahan sekali, perlahan sampai seakan akan
orang berbisik kedengarannya, katanya.
"Suhu tidak bernapas lagi, rebah terlentang ditempat
tidur itu,"
Jawaban ini sesungguhnya jauh diluar dugaannya Bee
Tie semula. Sampai terlompat ia karenanya.
Giok Hie Tojin setelah menghela napas panjang,
melanjutkan lagi penuturannya.
"Badannya tahu tahu, lama kelamaan jadi bengkak.
Didalam tangan tergenggam keras-keras Tongkat Rantai
Kumala."
Tanpa terasa Bee Tie lalu berseru.
"Ah! Kena racun jahatnya orang-orang Kim-coa-bun."
Giok Hie Tojin menganggukkan kepala seraya berkata.
“Ya, setelah Giok Cin Toa Suheng menjabat ketua
partai kita, ia sudah menyiapkan segala keperluan dengan
rencananya sekali untuk menuntut balas, ia sudah berlatih
sangat giat, tapi karena Hoa-san Kin-teng Sin-kang telah
lenjap dan kepandaian toa Suheng sendiri memang masih
belum begitu sempurna maka walaupun ia telah menahan
Sabar sampai tiga puluh tahun lamanya melulu untuk
menambah dan memperdalam ilmunya, tapi setelah Toa
Suheng pergi keatas Siok-lie-hong lantas tidak ada kabar
ceritanya. Untuk selamanya Toa Suheng tidak kembali,
sampaikan Tongkat Rantai Kumala kita juga turut lenyap.

Tongkat ini baru didapat kembali setelah Kim-coa Sin-lie
datang kemari mengantarkannya.”
Ia berherti sebentar, lalu melanjutkan pula bicaranya.
“Tidak nyana didalam partai kita telah terjadi
kekeruhan, pemberontakan mengakibatkan perang saudara
... Pada hematku, untuk mengharumkan pula namanya
Hoa-san-pay kita rasanya akan memakan waktu tidak
cukup dengan satu dua hari saja ... “
Bee Tie dengan alis mata berdiri berkata dengan suara
lantang.
"Sesudah aku mendapat tugas berat dari Hoa-san-pay,
sudah tentu aku akan berusaha membangun pula partai kita
yang sudah hampir runtuh ini."
Giok Hie gembira, itu nyata terlihat di wajahnya, ia juga
lantas berkata.
"Ciang-bun jin yang berusia masih begini muda dan
sudah mempunyai niatan begitu tinggi, sungguh patut
mendapat pujian dari siapa saja. Tapi harap Ciang-bun jin
suka berhati-hati terhadap Giok Ceng dan Giok Hian itu
dan dua orang pemberontak, kepandaian mereka cukup
tinggi.”
Bee Tie mengangguk-anggukkan kepala. Tapi ia ingat
perbuatan Giok Hian dan Giok Ceng yang bandel itu,
hatinya dirasakan panas membakar. Darah mudanya
bergolak.
"Atas perhatian Susiokcow Bee Tie disini menghaturkan
banyak terima kasih. Tapi Giok Ceng dan Giok Hian, itu
dua penghianat yang sudah memberi kesempatan pada
semua tosu Hoa-san-pay kita untuk memberontak padaku,
tentu tidak bisa selamanya mereka bisa berbuat sesukanya."

Dalam gusarnya ini Bee Tie berjalan meninggalkan
ruangan bersejarah hebat itu dan hendak kembali menemui
si wanita muda macam pengemis itu.
Sesampainya ia disitu, orang tawanannya tadi dilihatnya
sudah tidak bernapas lagi. Akan tetapi rupanya si wanita
pengemis masih belum merasa puas. Begitu dia melihat Bee
Tie muncul, ia lantas menimpahkan kegusarannya atas diri
pemuda ini, dengan mulutnya yang mungil ia berkata.
"Orang ini suugguh bandel! Sampai matinya ia masih
belum mau mengatakan tempat persembunyian kawankawannya,
maka terpaksa kubunuh padanya! Kau marah
padaku?"
"Biarlah. Ia tidak mau kata ya sudah. Aku sudah tahu
dimana tempat orang-orang Kim-coa-bun itu sembunyikan
diri, Apa nona ini seperguruan dengan saudara Ie Ceng
Kun?"
Mendengar Bee Tie menyebut nama Ie Ceng Kun ia
lantas teringat kembali halnya Yu Suheng yang terbunuh
oleh orang-orangnya Kim-coa-bun, maka dengan wajah
gemas dan air mata bercucurau ia berkata.
"Aku adalah saudara tuanya Ie Ceng Kun. Namaku Ie
Siauw Yu, Yu Suheng itu baru saudara seperguruanku.
Sayang ia sudah tiada ... apa kau yang mengubur
jenazahnya? Aku mengucapkan banyak terima kasih
padamu."
Bee Tie hanya menganggukkan kepala. Ia juga turut
berduka maka dengan suara rendah ia berkata.
"Tempat kediaman orang-orang Kim-coa-bun aku sudah
tahu, kau tidak usah kuatir tidak bisa menuntut balas
terhadap mereka. Tempat mereka itu tidak jauh dari sini."
Anda sedang membaca artikel tentang TONGKAT RANTAI KUMALA 1 dan anda bisa menemukan artikel TONGKAT RANTAI KUMALA 1 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/tongkat-rantai-kumala-1.html?m=0,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel TONGKAT RANTAI KUMALA 1 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link TONGKAT RANTAI KUMALA 1 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post TONGKAT RANTAI KUMALA 1 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/tongkat-rantai-kumala-1.html?m=0. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar