Si KangKung Pendekar LUgu 5 [Soh Sim Kiam]

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 09 September 2011

Ber-ulang2 ia mundur lagi ke belakang, tapi mendadak kakinya terasa lemas, ia terbanting roboh terlentang. Ia melihat Go Him yang tegak kaku itu sudah berada didepannya, lengan kanan pelahan2 menjulur kebawah dan mulai meraba pipinya, tangan itu terasa dingin sebagai es.
Keruan semangat Ban Ka se-akan2 terbang ke-awang2 saking takutnya, hampir2 saja ia jatuh kelengar.
Se-konyong2 tubuh Go Him itupun ikut ambruk kedepan hingga menindih diatas badan Ban Ka untuk kemudian tidak bergerak lagi. Tapi dibelakang Go Him itu lantas bertambah seseorang.
Orang itu mendekati Jik Hong dan mengeluarkan kain sumbat mulutnya. Ketika ia pegang tali pengikat kaki dan tangan Jik Hong, sedikit ia remas, tali pengikat itu segera putus. Waktu ia putar tubuh lagi, tiba2 ia depak dua kali dipinggang Ban Ka hingga Hiat-to pemuda itu tertutuk.
Sesudah dapat bergerak, yang lebih dulu diperhatikan adalah puterinya, segera Jik Hong pondong Khong-sim-jay, lalu tanya dengan suara gemetar: "Siapakah…….siapakah In-kong (tuan penolong) yang telah menolong jiwa kami ini?"
Namun orang itu tidak menjawab, dibawah sinar bulan yang remang2 tertampak kedua tangannya membawa sebuah pola kupu2 hitam, itulah kupu2 kertas yang terselip didalam kitab "Tong-si-soan-cip" dan telah dijemput olehnya karena tadi telah ikut 'terbang' ketepi empang ketika kitab itu dibuat rebutan antara Ban Cin-san dan Ban Ka.
Sekilas pandang tiba2 Jik Hong melihat kelima yari kanan orang itu puntul terpotong, hatinya tergetar, tanpa merasa ia berteriak: "Tik-suko!"
Ya, memang tidak salah, orang itu memang Tik Hun adanya!.
Ketika mendadak mendengar seruan: "Tik-suko" itu, seketika dada Tik Hun berombak dan air mata ber-linang2, segera ia balas menyapa: "Sumoay, syukur kita dapat…………. dapat berjumpa pula, kita harus berterima kasih kepada Thian yang maha murah!".
Saat itu diri Jik Hong boleh diibaratkan sebuah sampan yang terombang-ambing ditengah samudera raya dan dibawah damparan gelombang ombak dan angin badai, tapi akhirnya dapatlah sampan itu meluncur masuk disebuah bandar dimana angin tenang dan ombak berdiam.
Terus saya Jik Hong menubruk kedalam pelukan Tik Hun sambil berseru: "O, Tik-suko, apakah…..apakah ini bukan dialam mimpi?"
"Bukan, bukan mimpi, tapi adalah kenyataan", sahut Tik Hun. "Selama dua hari ini, senantiasa aku berada disini untuk mengintai dan mengawasi. Segala tindak-tanduk kejahatan ayah-anak she Ban itu sudah kulihat semua. Tentang mayatnya Go Him, ha, memang sengaya kugunakan untuk me-nakut2i mereka".
"Ayah, ayah!" tiba2 Jik Hong berseru sambil ber-lari2 keliang dinding sana. Ia taruh Khong-sim-jay, lalu mengulur tangannya ke dalam liang itu untuk meraba, tapi tiada sesuatu yang didapatkannya.
Sedari tadi Tik Hun yuga menguatirkan keselamatan gurunya itu, maka cepat iapun menyalakan api untuk menerangi liang dinding itu. Tapi tertampak didalam lapisan dinding rahasia itu keadaan kosong melompong tiada terdapat sesuatu, yang ada cuma sedikit pasir dan potongan bata belaka, mana ada jenazahnya Jik Tiang-hoat?
Jik Hong masih tidak percaya, segera ia memeriksa lebih teliti lagi, tapi memang benar kosong liang di dalam lapisan dinding rahasia itu. Jangankan jenazah, sedangkan baju atau tulang belulang juga tidak diketemukan andaikan jenazah sang ayah sudah membusuk.
Ia terkejut, tapi bergirang pula, timbul sedikit harapannya: "Boleh jadi ayahku tidak terbunuh oleh mereka". ~ Maka ia lantas tegur suaminya: "Ban-long, sebenarnya…… sebenarnya bagaimana dengan ayahku?".
Ban Cin-san dan Ban Ka tidak tahu bahwa Jik Hong tidak menemukan mayat ayahnya, mereka mengira sesudah memeriksa lebih teliti di dalam liang dinding itu, akhirnya terdapat bekas jenazahnya Jik Tiang-hoat itu dan Jik Hong kini bermaksud membalas dendam pada mereka.
Maka dengan bersitegang, Ban Cin-san menjawab: "Seorang laki2 seyati berani berbuat berani bertanggung yawab, Jik Tiang-hoat memang aku yang membunuhnya, jika mau menuntut balas boleh kau tujukan kepadaku saya".
"Jadi, ayahku telah kau bunuh? Dan di…….dimanakah jenazahnya?" Jik Hong menegas.
"Apa? Jenazah di dalam……di dalam liang dinding itu bukan ayahmu?", kata Cin-san.
"Masakah disini ada orang mati?" Jik Hong menegas.
Seketika Ban Cin-san saling pandang dengan Ban Ka, muka mereka pucat, betapapun mereka tidak percaya, masakah di dunia ini ada mayat hidup sungguh?
Segera Tik Hun menyeret Ban Cin-san dan menjejalkan kepalanya kedalam liang dinding itu untuk melongok keadaan di dalam situ. Dan sudah tentu tiada sesuatu yang dapat dilihatnya.
"Masakah mungkin? Sudah……sudah terang…..", baru sekian Cin-san berkata, tiba2 ia berganti nada, katanya: "Ai, anak menantu yang baik, semuanya ini aku hanya…….. hanya membohongi kau saya. Biarpun kami kakak-beradik seperguruan tidak akur satu sama lain juga tidak mungkin aku turun tangan sekeji ini untuk membunuhnya, masakah kau percaya saya? Haha, hahaha!".
Biasanya Ban Cin-san sebenarnya sangat pintar berdusta dan yarang orang curiga kepada apa yang dia katakan, tapi kini dalam keadaan gugup dan bingung, cara bicaranya menjadi agak kaku dan gelagapan, mau tidak mau menimbulkan curiga orang lain. Kalau dia bungkam saja mungkin Jik Hong dan Tik Hun akan ragu2 dan mempunyai harapan kalau2 Jik Tiang-hoat memang betul masih hidup, tapi dengan ucapan Ban Cin-san yang di-buat2 itu, Jik Hong dan Tik Hun menjadi lebih yakin bahwa Jik Tiang-hoat sudah dibunuh oleh orang she Ban itu.
Begitulah segera Tik Hun pegang pundak Ban Cin-san, katanya: "Ban-supek, tentang kau telah membikin aku hidup derita merana selama ini, bolehlah takkan kupersoalkan padamu lagi. Sekarang aku hanya ingin tanya suatu hal padamu: Sebenarnya kau telah membunuh Suhuku atau tidak?"
Sembari bicara terus saya Tik Hun kerahkan Lweekang dari ilmu sakti 'Sin-ciau-kang' yang hebat, ber-angsur2 tenaga dalam itu menekan kedalam badan Ban Cin-san hingga sesaat itu Ban Cin-san merasa badannya seperti digodok di dalam anglo, bahkan darahnya juga terasa se-akan2 mendidih, saking tak tahan, akhirnya ia mengaku: "Ya, be…. benar! Memang akulah yang membunuh Jik Tiang-hoat!"
"Dan dimanakah jenazah guruku?" tanya Tik Hun pula. "Sebenarnya telah kau buang kemana jenazah beliau?"
"Aku………… aku telah memasukkan mayatnya kedalam liang sini, mungkin…….. mungkin benar2 ada mayat hidup lagi", sahut Cin-san.
Dengan benci Tik Hun pandang manusia durhaka itu, teringat olehnya derita sengsara dirinya selama beberapa tahun ini, semuanya gara2 perbuatan kedua orang ayah dan anak she Ban dihadapannya ini, dan kini Ban Cin-san mengaku pula telah membunuh Jik Tiang-hoat, keruan rasa gusar Tik Hun seperti api disiram minyak. Syukur pertemuannya kembali dengan Jik Hong ini telah membuat hatinya lebih suka daripada dukanya, kalau tidak, sekali gablok tentu ia sudah hancurkan kepala Ban Cin-san itu.
Tiba2 Tik Hun menggertak gigi dengan gemas, terus saya ia angkat tubuh Ban Cin-san dan dilemparkan 'blang', ia lempar orang she Ban itu kedalam liang dinding. Karena lubangnya agak sempit hingga beberapa potong bata ambrol tertumbuk oleh badan Ban Cin-san, habis itu barulah ia terguling masuk ke dalam liang dinding buatannya sendiri itu.
Dan selagi Jik Hong menyerit kaget, Tik Hun sudah lantas seret Ban Ka pula dan dijejalkan kedalam liang dinding, katanya: "Ini namanya ada ubi ada talas, ada benci kudu membalas! Mereka berdua telah membunuh suhu secara keji, maka kitapun memperlakukan mereka dengan cara yang sama".
Lalu ia gunakan bata yang terserak dilantai itu untuk merapatkan kembali dinding itu. Memangnya disitu sudah komplit tersedia peralatan tukang batu, maka hanya sebentar saya Tik Hun sudah selesai memasang tembok itu, bahkan ia kapur pula hingga putih bersih.
"Su….Suko", kata Jik Hong dengan suara ter-putus2, "akhirnya engkau telah dapat membalas sakit hati ayah. Dan tentang jenazah ini, bagaimana harus diselesaikan?" ~ dan mayat Go Him lantas dituding olehnya.
"Sudahlah, kita tinggal pergi saya, peduli apa dengan dia", kata Tik Hun.
Tapi Jik Hong berkata lagi: "Dan mereka berdua yang tertutup didalam dinding itu belum lagi mati, kalau ada orang datang menolong mereka…….".
"Orang lain darimana bisa tahu kalau di dalam dinding situ terdapat dua orang?" uyar Tik Hun. "Andaikata melihat dinding itu baru saya dipasang dan dikapur yuga tentu orang akan menduga tembok ini habis diperbaiki, tidak nanti orang menyangka dibalik dinding ada rahasianya. Apalagi kalau kita pindahkan mayat Go Him, orang lain lebih2 takkan mencurigai kamar baca ini".
Habis berkata, segera ia angkat mayatnya Go Him dan keluar kamar baca itu, katanya kepada Jik Hong: "Marilah kita pergi saja!".
Segera mereka melompat keluar dari pagar tembok taman keluarga Ban itu, Tik Hun lemparkan mayat Go Him ketanah, katanya: "Sumoay, kini sebaiknya kita harus pergi kemana?".
"Menurut pendapatmu, apakah ayahku benar2 telah dibunuh oleh mereka?", tanya Jik Hong.
"Ya, kuharap semoga Suhu masih hidup sehat walafiat," uyar Tik Hun. "Tapi menurut ucapan Ban Cin-san tadi agaknya kemungkinan itu sangat tipis".
"Aku harus kembali kerumah untuk mengambil sesuatu, harap kau menunggu aku di dalam Su-theng bobrok disana itu", kata Jik Hong.
"Biarlah aku mengawani kau", uyar Tik Hun.
"Tidak, jangan!", sahut Jik Hong. "Pabila kita dilihat orang tentu akan menimbulkan sangkaan jelek".
"Tapi lebih baik aku mengawani kau saya, Ban Cin-san masih mempunyai murid2 yang lain dan tiada seorangpun diantara mereka adalah manusia baik2," kata Tik Hun.
"Tidak, tidak apa, aku tidak takut pada mereka," kata Jik Hong. "Harap kau pondong Khong-sim-jay dan tunggu aku di sana".
Karena mengalami kejadian2 yang menakutkan tadi, sementara itu Khong-sim-jay sudah bobok nyenyak didalam pangkuan sang ibu.
Biasanya Tik Hun memang suka menuruti segala permintaan Jik Hong, maka kini iapun enggan membantah, terpaksa ia pondong sidara cilik Khong-sim-jay dari tangan Jik Hong. Kemudian sang Sumoay lantas melompat masuk lagi kerumah keluarga Ban itu, dan ia sendiri lantas menuju kerumah berhala yang ditunjuk itu, ia dorong pintunya yang sudah reyot itu dan masuk kedalam untuk menunggu datangnya Jik Hong.
Selang cukup lama, masih tidak kelihatan kembalinya sang Sumoay, Tik Hun mulai gopoh dan bermaksud menyusul kerumah Ban Cin-san. Tapi ia kuatir kalau nanti diomeli Jik Hong, maka ia menyadi bingung, ia pondong Khong-sim-jay dan beryalan mondar-mandir diserambi rumah berhala itu dengan rasa tak sabar.
Se-konyong2 didengarnya didalam ruangan rumah berhala itu ada suara kelotakan dua kali, suara orang mengerjakan sesuatu.
Cepat Tik Hun menyisir kepinggir dan berdiri disamping yendela dengan diam saya. Selang sebentar, terdengarlah pintu dalam sana dibuka, lalu muncul seseorang.
Mata Tik Hun cukup tajam meski ditengah malam gelap, ia dapat melihat jelas bahwa orang itu adalah seorang pengemis wanita yang berambut kusut masai dan berbayu compang-camping.
Semula Tik Hun agak was-was dan kuatir kedatangan musuh, tapi demi melihat orang adalah pengemis perempuan yang umum, iapun tidak menaruh perhatian lagi. Pikirnya: "Rumah berhala bobrok ini adalah tempat meneduh pengemis wanita ini, kedatanganku ini berarti telah mengganggu padanya. Ai, mengapa Jik-sumoay masih belum datang kembali?"
Dalam pada itu, mendadak Khong-sim-jay menjerit tangis dalam mimpinya sambil me-manggil2: "Ibu, ibu!".
Ketika mendadak mendengar suara lengking orang, semula pengemis wanita itu terperanjat hingga mengkeret ketakutan dipojok serambi sana sambil menangkup kepalanya sendiri.
Kuatir kalau Khong-sim-jay mendusin, pelahan2 Tik Hun menepuk bahu dara cilik itu menimang: "Anak manis, jangan menangis! Segera ibu akan datang, jangan menangis, anak manis!".
Sesudah mengetahui bahwa yang berteriak tadi adalah seorang dara cilik, pula melihat Tik Hun tiada bermaksud jahat padanya, maka pengemis wanita itu menjadi tabah, bahkan ia lantas membantu menimang Khong-sim-jay, katanya: "O, anak manis, anak pintar! Janganlah menangis, segera ibu akan kembali!".
Kemudian ia berkata pada Tik Hun dengan suara rendah: "Seorang dikala tidurnya memang sering melihat setan. Ada orang ditengah malam buta suka bangun untuk pasang tembok, o, jang…………jangan kau tanya…………jangan kau tanya padaku". ~ demikian ia takut2 pula dan me-nyisir2 hendak pergi.
Mendengar ucapan orang aneh itu, segera Tik Hun bertanya: "Apa yang kau katakan?".
"Ah, tidak………tidak apa2", kata pengemis wanita itu. "Loya telah mengusir aku, ia tidak sudi padaku lagi. Padahal, dahulu, diwaktu aku masih muda jelita, beliau sangat….sangat suka padaku. Kata orang: "Menjadi suami-isteri semalam akan cinta seratus malam, menyadi suami-isteri seratus malam, cinta kasih semakin mendalam". Maka……maka aku tidak putus asa, pada suatu hari tentu……..tentu Loya akan mencari padaku lagi. Ya, memang, menyadi suami-isteri semalam akan timbul cinta seratus malam, menjadi suami-isteri seratus malam, cinta kasih keduanya semakin mendalam………".
Mendengar sipengemis wanita itu ber-ulang2 menyebut 'menyadi suami-isteri semalam timbul cinta kasih seratus malam, menyadi suami-isteri seratus malam, cinta kasih keduanya akan makin mendalam', seketika hati Tik Hun tergetar, pikirnya mendadak: "Ai, jika begitu jangan2 cinta Hong-moay kepada suaminya juga takkan terputus begini saya?".
Karena perasaan itu, segera ia pondong Khong-sim-jay dan berlari keluar dari rumah berhala itu.
Sudah tentu sedikitpun tak terduga oleh Tik Hun bahwa pengemis wanita yang dekil itu tak lain tak bukan adalah Tho Ang atau si Mirah yang dahulu pernah mempitenahnya hingga membuatnya hidup merana itu.
Begitulah Tik Hun berlari kembali kerumah Ban Cin-san, segera ia melompat pagar tembok dan memburu kekamar baca Ban Cin-san.
Keruan keyut Tik Hun tak terkatakan, cepat ia menyalakan pelita diatas meya, dibawah sinar pelita itu dapat dilihatnya dengan yelas antero badan Jik Hong sudah mandi darah. Pada perutnya masih menancap sebilah belati.
Waktu Tik Hun periksa sekitar kamar itu, dilihatnya lantai berserakan potongan2 bata dan kapur pasir, dinding yang baru dipasang itu telah terbongkar pula hingga berlubang dan Ban Cin-san serta Ban Ka sudah tak kelihatan batang hidungnya, entah sudah menghilang kemana.
Sambil beryongkok Tik Hun berlutut disamping Jik Hong, seruanya: "Hong-moay! Hong-moay!". ~ tapi saking kagetnya hingga ia gemetar dan suaranya menyadi serak.

Ia coba meraba mukanya Jik Hong, ia merasa masih hangat, hidungnya juga masih bernapas pelahan sekali. Tik Hun tenangkan diri sedapat mungkin, lalu berseru pula: "Hong-moay!".
Pe-lahan2 tampak Jik Hong membuka mata, wajahnya sekilas menampilkan senyum getir, katanya lemah: "Su…..Suko, ma……maafkanlah aku!".
"Sudahlah, kau jangan bicara, aku……aku akan menolong kau", kata Tik Hun.
Segera ia letakkan Khong-sim-jay, dengan tangan kanan ia rangkul dan bangunkan tubuh Jik Hong, tangan kiri lantas memegang belati yang menancap diperut Jik Hong itu, ia bermaksud mencabut belati itu.
Tapi ketika ditegaskan pula, ia melihat belati itu menancap hampir seluruhnya didalam tubuh Jik Hong, kalau belati dicabut, bukan mustahil nyawa Jik Hong seketika juga akan melayang. Maka ia menjadi ragu2 dan tidak berani mencabut belati itu, dalam gugupnya ia menyadi bingung. Ber-ulang2 ia hanya bertanya: "Bagaimana baiknya ini? Siapa….. siapakah yang mencelakai kau?"
"Suko", kata Jik Hong dengan senyum pahit, "kata orang: menyadi suami-isteri semalam…… Ai, sudahlah, tak perlu dikatakan pula, harap…..harap kau maafkan aku, karena aku tidak……tidak tega, maka aku telah melepaskan suamiku, tapi dia…..dia……"
"Dia…..dia malah menusuk kau dengan belati ini, betul tidak?" Tik Hun menegas dengan mengertak gigi.
Jik Hong tersenyum getir dan memanggut.
Tik Hun pedih bagai di-sayat2 menyaksikan jiwa Jik Hong hanya tinggal dalam waktu singkat saja, tublesan belati Ban Ka itu sedemikian dalam dan lihay, terang yiwa sang Sumoay susah ditolong lagi. Dalam hati kecilnya Tik Hun merasa di-gigit2 oleh semacam rasa iri hati yang tak terhingga, diam2 ia menggerutu: "Ya, betapapun toh kau tetap cinta kepada………….kepada suamimu, dan……….dan kau lebih suka korbankan dirimu sendiri untuk menyelamatkan dia".
"Suko", demikian terdengar Jik Hong berkata pula, "beryanyilah padaku bahwa engkau akan menyaga baik2 pada Khong-sim-jay dan akan menganggapnya sebagai….. sebagai anakmu sendiri".
Tik Hun tidak menjawab, dengan wayah pedih ia hanya mengangguk. Kemudian dengan mengertak gigi ia bertanya: "Dan bangsat itu telah…………telah lari kemana?"
Namun sinar mata Jik Hong sudah membuyar, suaranya menyadi kacau mengigau, terdengar ia berkata dengan lemah: "Di dalam gua itu ada dua ekor kupu2 hitam, itu…… San-pek dan Eng-tay! Suko, lihatlah….lihatlah! Yang seekor itu adalah kau, dan yang seekor adalah diriku. Kita……kita akan terbang kian kemari dengan bebas dan selamanya tak terpisah. Kau setuju bukan?
Makin lama makin lemah suara Jik Hong dan makin lemas pula napasnya hingga akhirnya mengembuskan napasnya yang penghabisan.
Dengan air mata bercucuran Tik Hun mendekap diatas tubuh sang Sumoay, untuk sekian lamanya ia ter-menung2 disamping jenazah Jik Hong.
Akhirnya ia mengertak gigi, ia pondong Khong-sim-jay dan sebelah tangan lain mengempit jenazah Jik Hong, ia melompat keluar dari pagar tembok keluarga Ban itu. Sebenarnya ia bermaksud membakar habis rumah Ban Cin-san yang megah dan besar itu, tapi lantas terpikir olehnya: "Jika aku membakar habis rumah ini, tentu Ban-si-hucu (ayah dan anak she Ban) takkan pulang lagi kesini dan untuk mencarinya menyadi lebih susah. Kalau hendak membalas sakit hati Sumoay, rumah ini lebih baik dibiarkan begini saja".
Begitulah ia lantas berlari ketaman bobrok yang luas, dimana Ting Tian telah meninggal itu. Ia menggali sebuah liang dan mengubur Jik Hong disitu. Ia simpan baik2 belati yang menghabiskan jiwa Jik Hong itu, ia bertekad akan mencabut nyawa Ban-si-hucu dengan belati itu pula.
Saking berduka hingga air mata Tik Hun serasa sudah kering, sungguh ia menyesal sekali, ia memaki dirinya sendiri mengapa tadi tidak lantas membunuh saja Ban-si-hucu yang terkutuk itu, habis itu barulah dilemparkan kedalam liang dinding? Ya, mengapa begitu gegabah hingga kini terjadilah peristiwa yang menyesalkan selama hidup baginya?
Dalam pada itu Khong-sim-jay telah ber-teriak2 menangis mencari ibunda, suara tangis dan jerit dara cilik itu membuat pikiran Tik Hun semakin gundah. Ia bermaksud mengintai disekitar rumah Ban Cin-san itu untuk menunggu kembalinya mereka, tapi dengan suara tangis Khong-sim-jay, terang mereka akan kabur lebih jauh pula.

Maka ia pikir harus mengatur dulu diri dara cilik itu. Ia mendapatkan suatu keluarga petani diluar kota Heng-ciu, ia memberikan 20 tahil perak kepada wanita tani itu dan minta dia merawat Khong-sim-jay.
********
Sang tempo lewat dengan cepat, sudah sebulan lamanya siang-malam Tik Hun mengintai disekitar rumah Ban Cin-san itu. Tapi selama itu tidak nampak batang hidung Ban-si-hucu. Yang lebih aneh lagi, bahkan bayangan anak murid Ban Cin-san yang lain seperti Loh Kun, Pang Tan, Ciu Kin dan lain2 juga tidak kelihatan sama sekali.
Sebaliknya selama itu didalam kota Heng-ciu (atau dengan nama lain kota Kang-leng) telah berkumpul tidak sedikit orang2 Bu-lim dari berbagai golongan dan aliran dengan aneka ragamnya pula, tua-muda, laki-perempuan, sedikitnya ada be-ratus2 jumlahnya.
Pada suatu petang, disuatu rumah makan Tik Hun mendengar percakapan dua orang Kangouw yang menarik hati.
Kata yang seorang: "Kiranya Soh-sim-kiam-boh itu terdapat didalam kitab: 'Tong-si-soan-cip', dan empat huruf kunci utama dari rahasia Kiam-boh itu berbunyi 'Kang-leng-seng-lam', apakah kau sudah tahu?"
"Ya, sudah tentu tahu," sahut kawannya. "Selama beberap hari ini entah betapa banyak tokoh Bu-lim telah berdatangan di kota Kang-leng ini. Tapi selama ini masih tiada seorangpun yang tahu bagaimana lanyutan tulisan2 dibelakang keempat huruf itu".
"Ha, kalau menurut aku, peduli apa huruf dibelakang istana itu? Asalkan kita mencari saya di Kang-leng-seng-lam (selatan kota Kang-leng), kita tunggu di sana, bila melihat ada orang berhasil menemukan sesuatu harta karun apa, segera kita turun tangan merampasnya. Ini namanya maling ketemu perampok! Mereka malingnya, kita rampoknya. Hahahaha!".
"Benar", sahut yang lain, "Andaikan kita tak mampu merampas dari mereka, paling tidak kita juga dapat minta bagiannya. Ini sudah merupakan undang2 golongan kita yang tak tertulis".
"Hehe, kalau dibicarakan sungguh gila!" kata yang duluan tadi. "Apa kau tahu bahwa semua toko buku didalam kota selama beberapa hari ini telah ketomplok reyeki? Semua orang ingin mencari 'Tong-si-soan-cip'. Malahan pagi tadi, baru saya aku melangkah masuk ke toko buku, pegawai disitu sudah lantas menegur: Apakah tuan akan membeli 'Tong-si-soan-cip'? Kita itu baru saya kami datangkan lagi dari Han-kau, barangnya masih hangat2, kalau ingin beli hendaklah lekas, kalau tidak tentu sebentar akan kehabisan. Tentu saya aku heran, kutanya darimana dia tahu aku hendak mencari Tong-si-soan-cip. Dan tahukah kau apa katanya?"
"Entah, apa yang dia katakan?, sahut kawannya.
"Kurang ayar! Pegawai itu bilang: Harap tuan maklum, karena selama beberapa hari ini toko kami telah banyak kedatangan tuan2 yang gagah perkasa dengan bersenjata, sebelas dari sepuluh orang yang datang tentu yang dicari adalah Tong-si-soan-cip. Oleh karena itu, kita itu benar2 seperti pisang goreng larisnya, jika tuan juga ingin membeli silahkan lekas saja, harganya lima tahil perak setiap buku".
"Keparat, masakah ada kitab semahal itu?" maki kawannya tadi.
"Apakah kau tahu harga buku? Apakah kau pernah beli buku? Darimana kau tahu harga itu terlalu mahal?"
"Hahaha! Darimana aku tahu! Huruf segede telur juga aku tidak kenal satu bakul banyaknya, selama hidup inipun tidak pernah masuk toko buku, buat apa aku membeli buku? Selama hidup Ingsun hanya suka berjudi, kalau beli kartu sih berani, beli buku mah terima kasih. Hehehehe!".
Begitulah diam2 Tik Hun membatin: "Rupanya rahasia tentang Soh-sim-kiam-boh sudah tersebar hingga semua orang sudah tahu. Siapakah gerangan yang menyiarkan rahasia itu? Ah, tahulah aku, tentu Ban-si-hucu membicarakan rahasia itu dan telah didengar oleh Loh Kun dan lain-lain, ketika Ban Cin-san menguber mereka, anak muridnya lantas kabur dan dengan begitu berita tentang harta karun dalam Soh-sim-kiam-boh lantas tersiar".
Teringat kepada Soh-sim-kiam-boh, segera iapun teringat pada waktu ia meringkuk didalam penyara bersama Ting Tian dahulu, dimana yuga banyak orang2 Kang-ouw merecoki Ting Tian dengan tuyuan hendak memperoleh rahasia Soh-sim-kiam-boh, tapi satu persatu orang2 Kang-ouw itu telah dibinasakan oleh Ting Tian.

"Ai, kenapa aku menyadi lupa? Ting-toako telah pesan agar aku menguburkan abu tulangnya bersama jenazah Leng-siocia, maka tugas itu harus kulaksanakan dahulu", demikian ia lantas teringat kepada pesan tinggalan saudara angkat yang dicintainya itu.
Segera ia mulai menyelidiki dimana letak kuburannya Leng-siocia.
Sebagai puteri Tihu (bupati) dari kota Kang-leng, dengan sendirinya kuburan Leng-siocia itu mudah dicari. Tik Hun hanya mencari tahu kepada toko2 penyual peti mati yang besar dan tukang batu pembuat batu nisan yang terkenal didalam kota, maka dengan gampang ia sudah mendapat tahu letak tempat kuburan Leng-siocia itu. Tempat itu adalah diatas sebuah bukit kecil diluar pintu timur kota, jaraknya kira2 dua belas li.
Setelah membeli dua buah cangkul, segera Tik Hun keluar timur kota dan tidak terlalu susah kuburan Leng-siocia itu telah dapat diketemukan.
Ia lihat di atas batu nisan itu tertulis: "Kuburan puteri tercinta: Leng Siang-hoa". Sekitar kuburan itu tandus merata tiada sesuatu tanaman apa2, baik pohon maupun bunga2an. Padahal dimasa hidupnya Leng-siocia paling suka pada bunga, namun sesudah meninggal, satupun ayahnya tidak menanam bunga disekitar kuburannya itu.
"Hehe, puteri tercinta? Apa betul2 kau cinta pada puterimu ini?" demikian Tik Hun mengeyek Leng-tihu yang kejam itu. Dan bila teringat kepada Ting Tian dan Jik Hong, tak tertahan lagi air matanya bercucuran bak huyan.
Memangnya bayunya sudah pernah lepek oleh air mata tangisannya kepada Jik Hong tempo hari, sekarang didepan kuburan Leng-siocia telah bertambah dibasahi air mata yang baru.
Disekitar bukit itu tiada rumah penduduk, jauh terpencil pula dari jalan raya dan tiada orang berlalu disitu. Tapi tidaklah pantas menggali kuburan disiang hari. Maka terpaksa ia menunggu sesudah magrib barulah ia menggali. Setelah membongkar batu penutup liang kubur itu, maka tertampaklah peti matinya.
Sesudah mengalami derita sengsara selama beberapa tahun ini, sebenarnya Tik Hun bukan lagi seorang yang mudah berduka dan gampang mengalirkan air mata. Tetapi dibawah sinar bulan yang remang2 itu demi melihat peti mati itu, ia lantas teringat kepada kematian Ting-toako yang justeru akibat peti mati itu, yaitu kena racun yang dipoles diatasnya, mau tak mau Tik Hun berduka pula dan tak bisa mencucurkan air mata lagi.
Ia tahu Leng Dwe-su telah melumasi peti mati itu dengan racun 'Hud-co-kim-lian' yang maha jahat, meski sudah lewat sekian tahun lamanya, apalagi peti mati itu telah digotong dan dipendam disitu, besar kemungkinan racun diatasnya sudah dihapus lebih dulu. Namun begitu ia tetap was-was, ia tidak mau terima resiko untuk menyentuh tutup peti mati itu. Maka segera ia lolos Hiat-to (golok merah) milik Hiat-to Loco dahulu. Pe-lahan2 ia masukkan golok mestika itu kegaris tutup peti mati dan disayat keliling.
Golok mestika itu dapat memotong besi sebagai merayang sayur, maka dengan gampang sekali semua paku dan pantek peti mati itu telah disayat putus. Ketika ia cungkel dengan golok itu, segera tutup peti mati bergeser dan mencelat jatuh keluar liang kubur.

Se-konyong2 dilihatnya dibawah tutup peti mati itu dua buah tangan yang sudah berwujut tulang kering itu menegak ke atas, ketika tutup peti mati mencelat, kedua rangka tulang tangan itu lantas jatuh berantakan kedalam se-akan2 bisa bergerak sendiri.
Keruan Tik Hun terkejut biarpun nyalinya cukup tabah. Pikirnya: "Diwaktu jenazah Leng-siocia dimasukkan peti mati, mengapa kedua tangannya bisa terangkat keatas? Aneh, sungguh aneh?"
Ketika ia periksa isi peti mati itu, ia tidak melihat sebangsa bantal guling, mori belaco yang pada umumnya dipakai orang mati. Yang ada cuma pakaian tipis biasa dan serangka tulang-belulang.
Diam2 Tik Hun mendoa: "Ting-toako, Leng-siocia, diwaktu hidupnya kalian tak dapat menyadi suami isteri, sesudah meninggal cita2 kalian agar terkubur bersama kini telah tercapai. Jika arwah kalian mengetahui hal ini di alam baka, dapatlah kiranya kalian merasa puas hendaknya".
Lalu Tik Hun menanggalkan buntalan yang dibawanya, ia tebarkan abu yenazah Ting Tian diatas kerangka tulangnya Leng-siocia. Ia berlutut dan menyura empat kali dengan penuh hormat, lalu ia berdiri dan hendak mengangkat tutup peti mati untuk ditutup kembali seperti semula.
Dibawah sinar bulan yang remang2 itu, tiba2 dilihatnya di bagian dalam tutup peti mati itu samar2 seperti penuh tulisan. Waktu Tik Hun mendekati dan memperhatikannya, ia lihat tulisan2 itu mencang-menceng tak teratur, diantaranya tertulis: "Ting-long, biarlah kita menjadi suami isteri pada penjelmaan yang datang!".
Tik Hun terkesiap dan terduduk lemas ketanah. Beberapa huruf itu terang diukir dengan kuku jari. Sesudah dipikirnya sejenak, segera iapun paham duduknya perkara. Kiranya Leng-siocia itu sebenarnya belum meninggal waktu itu, tapi dia telah dipendam hidup2 oleh ayahnya sendiri dan dimasukkan kedalam peti mati secara paksa. Beberapa huruf itu terang diukirnya dengan kuku pada waktu ia belum meninggal. Sebab itulah, sampai saat matinya kedua tangannya masih terangkat keatas, yaitu karena dia lagi mengukir tulisan dibagian dalam tutup peti mati. Sungguh susah untuk dipercaya bahwa di dunia ini ternyata ada seorang ayah yang begitu kejam. Dengan segala tipu daya Leng Dwe-su telah berusaha mendapatkan Soh-sim-kiam-koat dari Ting Tian, tapi selama itu Ting-toakonya tidak mau tunduk, sedangkan Leng-siocia juga tidak mau mengingkari Ting-toako, dan karena sudah ditunggu dan tunggu lagi tetap tipu muslihat Leng Dwe-su tak berhasil, akhirnya ia menyadi gemas dan secara keji telah kubur puterinya sendiri dengan hidup2.
Ia coba meneliti tulisan2 diatas tutup peti itu, ia melihat dibawah pesan kepada Ting Tian tadi tertulis beberapa angka pula seperti: 4, 51, 33, 53, 18, 7, 34, 11, 28 dan banyak lagi.
Tik Hun menarik napas dingin, katanya didalam hati: "Ah, tahulah aku. Ternyata sampai detik terakhir Leng-siocia masih ingat cita2nya yang ingin berkubur bersama dengan Ting-toako. Leng-siocia pernah berjanji kepada siapapun asal dapat menguburkan dia bersama Ting Tian, maka ia akan memberitahukan rahasia Soh-sim-kiam-boh kepadanya. Ting-toako yuga pernah mengatakan kunci rahasia itu kepadaku, tapi belum lagi habis beliau sudah keburu meninggal. Sedangkan Kiam-boh yang diperoleh suhu dan terdapat kunci rahasianya yusteru telah di-robek2 oleh Ban-si-hucu, tadinya kukira rahasia itu sudah tiada orang yang tahu lagi di dunia ini dan untuk seterusnya akan lenyap, siapa tahu Leng-siocia telah mencatat secara lengkap disini".
Maka diam2 Tik Hun berdoa: "Leng-siocia, engkau benar2 seorang yang bisa pegang janji. Terima kasihlah atas maksud baikmu. Tetapi aku sendiri sekarangpun lagi putus asa, kalau bisa sungguh akupun ingin bisa menggali suatu liang kubur, lalu membunuh diri disini untuk menyusul kau dan Ting-toako. Cuma sampai sekarang sakit hatiku belum terbalas, aku harus membunuh dulu Ban-si-hucu serta ayahmu, habis itu barulah aku rela mati. Adapun tentang harta benda bagiku adalah mirip tanah dan sampah saja yang tiada artinya".
Segera ia angkat tutup peti mati dan hendak ditutupkannya kembali. Tapi se-konyong2 timbul suatu akalnya: "He, bukankah aku sedang sulit mencari Ban-si-hucu? Dan kalau sekarang aku menuliskan kunci rahasia tentang dimana letak penyimpanan harta karun itu, kutuliskan huruf2 itu ditempat yang menyolok, dapat dipastikan Ban-si-hucu pasti akan mendengar serta datang melihatnya. Ya, benar, aku harus menggunakan kunci rahasia Soh-sim-kiam-boh ini sebagai umpan untuk memancing kedatangan Ban-Cin-san dan Ban Ka. Walaupun Ban-si-hucu tentu akan curiga juga, namun betapapun yuga mereka pasti ingin mengetahui rahasia Soh-sim-kiam-boh, tentu mereka akan menempuh bahaya dan datang kemari".
Setelah ambil keputusan itu, ia taruh lagi tutup peti mati itu, ia apalkan dengan baik angka2 kunci Soh-sim-kiam-boh itu, bahkan ia ukir pula angka2 itu digagang cangkul dengan goloknya. Selesai mengukir, untuk selamatnya ia mencocokkan sekali pula, habis itu barulah ia tutup kembali peti mati itu serta menguruki lagi tanah pekuburan seperti semula.
"Cita2ku yang terpenting ini kini sudah terlaksana, tugasku kepada Leng-siocia dan Ting-toako sudah kupenuhi. Nanti bila aku sudah membalas sakit hati, tentu aku akan datang lagi kesini untuk menanami beberapa ratus pohon bunga seruni disini. Memang bunga seruni adalah bunga kesayangan Ting-toako dan Leng-siocia dimasa hidup mereka", demikian Tik Hun beryanyi pada diri sendiri.
Besok paginya, diatas dinding benteng selatan kota Kang-leng tepat di atas pintu gerbang yang menyolok mata jelas tertampak beberapa angka yang tercoret dengan kapur.
Huruf2 itu besar2 hingga dapat terlihat jelas dari jauh, angka2 itu antara lain dan didahului: 4, 51, 33, 53…………………..
Anehnya huruf2 itu tertulis di atas tembok yang tingginya belasan meter, mungkin diseluruh kota Kang-leng tak terdapat tangga sepanjang itu untuk mencapai dinding dan menulisnya, kecuali orang dikerek dari atas benteng dan orang itu menulis di dinding benteng itu dengan tergantung.

Jauh ditepi jalan raya yang menuyu ke pintu gerbang kota itu tampak ada seorang pengemis sedang sibuk mencari tuma dibajunya yang rombeng dan berbau sambil menjemur diri dibawah sinar matahari.
Orang itu adalah Tik Hun. Dan tulisan ditembok yang tinggi itu adalah perbuatannya.
Pintu gerbang selatan itu sangat ramai dengan orang yang berlalu lalang, apalagi diwaktu pagi, banyak bakul2 dan tukang2 sayur dari desa sama menuyu kepasar di dalam kota. Maka orang2 desa dan penduduk kota merasa heran yuga ketika melihat tulisan diatas tembok yang sangat tinggi itu, hanya dalam waktu singkat saya gemparlah seantero kota Kang-leng, baik dirumah makan, baik diwarung kopi dan maupun dipasar, semua orang geger membicarakan kejadian yang aneh itu, bahkan banyak yang ber-bondong2 datang kepintu gerbang untuk melihat tulisan itu.
Dan sudah tentu tulisan2 itu tiada yang luar biasa, kecuali letaknya yang sangat tinggi itu, tulisan2 itu pada hakekatnya tidak mengherankan dan menarik, maka banyak diantara penonton2 itu sesudah membaca sekadarnya, lalu menggerutu dan tinggal pergi.
Sebaliknya banyak yuga orang2 Kang-ouw dan tokoh2 Bu-lim yang tidak lantas tinggal pergi, mereka masing2 tampak membawa sejilid 'Tong-si-soan-cip', mereka mencatat semua angka2 yang tertulis didinding kota itu, lalu mengkerut kening memikirkan arti angka2 itu.
Tik Hun sendiri masih asyik memitas tuma yang diketemukannya dari bajunya, tapi perhatiannya tidak pernah meninggalkan orang2 Bu-lim yang datang kesitu itu.
Akhirnya dapatlah dilihat Sun Kin dan Sim Sia telah datang, kemudian Loh Kun tiba pula.
Tapi mereka tidak tahu urutan2 jurus permainan Soh-sim-kiam-hoat, pula tidak tahu syair mana yang menjadi indeks daripada jurus ilmu pedang itu. Maka sekalipun mereka masing2 juga membawa sejilid 'Tong-si-soan-cip', walaupun mereka dapat membaca angka2 yang tertulis didinding kota dan tahu pula bahwa keempat angka pertama itu adalah kunci rahasia didalam Soh-sim-kiam-boh itu, bahkan meski mereka sudah mendengar juga percakapan guru mereka dengan puteranya dikala memecahkan angka2 kunci itu, namun mereka tidak tahu setiap angka itu harus jatuh atau dicari di dalam syair yang mana.
Maklum, untuk bisa mengetahui syair mana yang dimaksudkan dari jurus2 Soh-sim-kiam-hoat itu didunia ini hanya Ban Cin-san, Gan Tiat-peng, dan Jik Tiang-hoat bertiga yang tahu.
Tertampak Loh Kun dan para sutenya itu sedang bicara, rupanya sedang saling tukar pikiran. Tapi sampai sekian lamanya tiada sesuatu kesimpulan yang dapat mereka tarik dari angka2 itu.
Karena jaraknya agak jauh, Tik Hun tidak dapat mendengar apa yang dipercakapkan mereka. Ia lihat sesudah Loh Kun dan lain2 berunding lagi sebentar, kemudian mereka masuk kembali keota. Selang tidak lama, tertampak Loh Kun bertiga keluar lagi, tapi kini sudah menyamar semua. Yang satu menyamar sebagai tukang rujak dengan memakai memikul suatu dasaran yang banyak terdapat ketimun, nanas, jeruk, dan sebagainya. Seorang lagi menyaru sebagai tukang sayur, pikulannya penuh terisi sayur2an dan seorang lain pula menyamar sebagai petani yang habis pulang dari menjual hasil taninya di kota.
Setiba diluar pintu kota, mereka lantas pura2 mengaso disitu, tapi yang mereka perhatikan adalah orang2 yang berlalu-lalang.
Tik Hun dapat meraba maksud tujuan mereka, tentu mereka ingin menunggu kedatangan Ban Cin-san. Mereka sendiri tak dapat memecahkan angka2 rahasia Soh-sim-kiam-boh itu, maka mereka hendak membonceng sang guru saja. Pabila Ban Cin-san berhasil menggali harta karun itu, biarpun mereka tak dapat mengangkangi, paling tidak juga akan kebagian rejeki.
Beberapa angka kunci pertama dari 'Soh-sim-kiam-boh' itu adalah: 4, 51, 33 dan 53. Angka2 itu mempunyai arti sebagai 'Kang-leng-seng-lam' atau selatan kota Kang-leng, hal ini sudah tersiar luas di kalangan orang Kang-ouw melalui mulutnya Bok Heng dan Sim Sia yang dapat mendengar dari guru mereka itu. Dan kini angka2 itupun jelas tertulis diatas dinding kota itu, bahkan dibelakangnya ber-turut2 masih banyak angka2 yang lain lagi, melihat itu, biarpun orang yang paling goblok juga akan dapat menduga bahwa angka2 itu pasti adalah rahasia didalam Soh-sim-kiam-boh yang dicari itu.
Begitulah maka orang2 yang datang kepintu selatan kota itu, makin siang makin banyak. Ada yang menyamar, ada yang blak2an menurut muka asli mereka.
Diam2 Tik Hun menghitung jumlahnya dan seluruhnya ada 78 orang. Selang tak lama lagi, ia lihat Bok Heng dan Pang Tan juga sudah datang. Bahkan diantara mereka entah sedang mempercekcokkan urusan apa, muka mereka tampak merah beringas, kaceknya mereka tidak sampai berkelahi. Tapi akhirnya mereka dapat sabar kembali dan duduk ditepi sungai yang mengelilingi benteng kota itu sambil merenungkan apa arti angka2 yang tertulis diatas dinding itu.
Sampai sore hari, masih tetap Ban-si-hucu tidak kelihatan batang hidungnya. Bahkan sampai dekat magrib, masih juga Ban Cin-san dan Ban Ka tidak nampak muncul. Banyak diantara orang2 itu kedengaran mencaci-maki dengan kata2 kotor.
Dan ketika hari sudah hampir gelap, tiba2 tertampak seorang yang berdandan sebagai guru sekolah telah datang dengan langkahnya mirip 'goyang sampan'. Guru sekolah itu membawa pensil dan secarik kertas pula. Setiba diluar pintu gerbang situ, ia lantas mencatat semua angka2 yang dapat dibacanya diatas dinding itu.
Ada seorang laki2 berewok dan bermuka bengis memangnya lagi mendongkol tak terlampiaskan lantaran sudah sekian lamanya menunggu dan masih tidak melihat munculnya Ban Cin-san, terus saja ia gunakan guru sekolah itu sebagai alat pelampias marahnya, segera ia bekuk guru sekolah itu sambil membentak: "Buat apa kau menurun angka2 itu?".
"E-eh, seorang laki2 sejati hanya boleh pakai mulut dan tidak boleh memakai tangan", demikian sahut guru sekolah itu sambil meringis karena tengkuknya dicengkeram laki2 kasar tadi.
"Persetan kau laki2 atau perempuan," bentak orang itu, "Nah, jawablah, buat apa kau mencatat angka2 itu?"
"Sudah tentu ada gunanya bagiku, orang lain mana bisa tahu," sahut guru sekolah itu.
"Keparat, makanya aku tanya!", teriak laki2 kasar itu dengan mendongkol, "Nah, kau mau mengaku tidak, kalau tidak, segera kutonjok kau. Nih!". ~ dan segera ia acungkan bogemnya ke depan hidung guru sekolah itu.
Rupanya guru sekolah itu menjadi takut, katanya dengan gemetar: "Ya, ya, kan….akan kukatakan. Aku cuma……cuma orang suruhan saja".
"Siapa yang suruh kau?", bentak orang itu.
"Seorang……seorang tua. Ya, kukatakan terus terang saya, orang yang menyuruh aku itu adalah tokoh terkemuka didalam kota ini, beliau yalah…………..yalah, eh, kalau kukatakan, yangan kau gemetar, lho! Beliau yalah…….yalah Ban Cin-san, Ban-loyacu!", demikian tutur guru sekolah itu.
Demi mendengar nama 'Ban Cin-san' disebut, seketika gemparlah semua orang. Tik Hun pun ikut bergirang, tapi diantara rasa girang itu lebih besar rasa dendam kesumat dan rasa dukanya.
Begitulah guru sekolah itu lantas digusur be-ramai2 oleh orang banyak kedalam kota, ia diharuskan menunyukkan dimana beradanya Ban Cin-san. Maka dalam sekejap saya ratusan orang telah pergi hingga jauh. Mereka ingin mencari Ban Cin-san untuk memaksanya memberitahu dimana tempat penyimpanan harta karun itu, mereka akan menggalinya untuk dibagi sama rata.
Sudah tentu laki2 berewok itu mendapat banyak puyian dari para petualang yang lain, mereka memujinya: "Saudara ini sungguh sangat cerdik, kami sama sekali tidak menduga Ban Cin-san bisa menyuruh orang untuk menurun angka2 rahasia ini. Coba kalau tiada kau saudara, biarpun kita menunggu tiga hari tiga malam suntuk disini juga akan sia2 belaka, sebaliknya kesempatan itu sudah digunakan oleh sikeparat Ban Cin-san untuk menggali harta karun itu".
Dengan sendirinya makin dipuji, makin berseri siorang berewok itu, katanya dengan bangga: "Memangnya sejak munculnya pelayar kecut ini aku sudah menduga pasti ada sesuatu yang tidak beres. Dan nyatanya memang benar!".
Dalam suasana remang2nya magrib itu, rombongan orang2 itu telah pergi hingga jauh, maka diluar pintu gerbang kota itu kembali sunyi-senyap. Mestinya Tik Hun bermaksud ikut diantara orang banyak itu, tapi ia menjadi ragu2, ia merasa Ban Cin-san yang licik dan licin itu tidak mungkin berlaku begitu goblok menyuruh seorang guru sekolah yang begitu gampang lantas ditangkap dan mengaku terus terang dimana ia berada. Bukan mustahil dibalik itu ada sesuatu tipu muslihatnya.
Karena itulah maka ia tidak yadi berbangkit untuk ikut diantara orang banyak itu. Dan selagi ia ragu2 apakah usahanya itu akan gagal begitu saja atau masih harus diteruskan lagi hingga besok, tiba2 dilihatnya ditepi sungai dekat pintu gerbang kota itu, berkelebat suatu bayangan orang. Dengan cepat bayangan orang itu terus lari kearah barat secepat terbang.
Pikiran Tik Hun tergerak, segera iapun melesat kedepan, diam2 ia menguntit dibelakang bayangan orang itu dengan Ginkang yang tinggi hingga tak diketahui siapapun yuga.
Ternyata Ginkang orang itupun sangat hebat, namun Tik Hun sekarang bukan lagi Tik Hun dulu, betapapun kepandaian orang itu masih selisih jauh kalau dibandingkan pemuda itu. Maka sama sekali orang itu tidak merasa bahwa ada seorang lain lagi sedang menguntit dibelakangnya.
Tik Hun terus menguntit hingga sampai didepan sebuah rumah kecil. Ia lihat orang itu masuk kedalam rumah. Segera Tik Hun menyisir maju, sampai disamping rumah, ia menjaga disitu jika orang itu keluar lagi. Tapi ternyata orang itu tidak keluar, sebaliknya didalam rumah lantas kelihatan sinar terang, orang itu telah menyalakan pelita.
Tik Hun terus menggeser keluar jendela, ia mengintip dari sela2 jendela, maka dapat dilihatnya bahwa orang tadi adalah seorang tua, Cuma berdirinya membelakangi jendela, maka mukanya tidak kelihatan. Orang itu berduduk menghadap meja, diatas meja terletak sejilid buku. Begitu memandang segera Tik Hun tahu buku itu adalah 'Tong-si-soan-cip'. Buku berisi pilihan syair yaman Tong itu dalam beberapa hari terakhir ini telah merupakan barang paling laris di dalam kota Kang-leng, maka tidak mengherankan jika orang tua itupun memiliki suatu jilid.
Dalam pada itu, terlihat orang tua itu lagi memegang sebatang pensil, lalu sedang menulis diatas sehelai kertas kuning, yang ditulis adalah empat huruf 'Kang-leng-seng-lam' atau selatan kota Kang-leng, kemudian terdengar dia menyebut sebuah yudul syair dan menyebut suatu angka, habis itu ia lantas mem-balik2 halaman kitab syair kuno itu mulai menghitung huruf2 dari syairnya. Terdengar ia menyebut: "Satu, dua, tiga, empat……….., sebelas, dua belas……… lima belas, enam belas, tujuh belas, delapan belas." ~sampai disini ia lantas menulis satu huruf diatas kertasnya.
Diam2 Tik Hun terkeyut melihat gerak-gerik orang tua itu, ia heran mengapa orang yuga paham Soh-sim-kiam-hoat? Kalau dilihat dari belakang, terang orang ini bukanlah Ban-Cin-san. Karena pakaian orang tua itu berwarna kelabu yang sangat umum, maka Tik Hun juga tidak dapat menyelami siapakah gerangan si kakek.
Begitulah terlihat orang tua itu mem-balik2 terus halaman kita 'Tong-si-soan-cip', lalu meng-hitung2 dan mencatat sampai akhirnya keseluruhannya ia telah menulis 28 huruf diatas kertas.
Ketika Tik Hun memperhatikan tulisan2 itu, syukur ia dapat membacanya. Ke-28 huruf itu maksudnya kira2 begini: "Diruangan belakang Se-cong-si diselatan kota, bersujudlah didepan patung Budha, panyatkanlah doa suci dan mohon Budha memberkahi agar dapat mencapai nirwana dengan selamat".
Setelah mencatat ke-28 huruf itu dan habis membacanya, orang tua itu menyadi gusar, mendadak ia banting pensilnya kemeja sambil mengguman sendiri: "Huh, masakah suruh orang bersujut kepada patung kayu yang tak berjiwa, katanya agar diberkahi keselamatan, dan ada pula tentang 'mencapai nirwana' apa segala. Hahaha, kurangajar, masakah dapat 'mencapai nirwana', bukankah itu berarti menyuruh orang menghadap raja akhirat alias mati saja".
Dari suara gerundel kakek itu, Tik Hun merasa suara orang seperti sudah dikenalnya. Tengah ia meng-ingat2, tiba2 orang itu miringkan mukanya. Cepat Tik Hun mendak kebawah jendela sambil membatin: "Ha, kiranya adalah Ji-supek Gian Tat-peng. Pantas dia paham jurus2 Soh-sim-kiam-hoat. Dan rahasia apakah didalam tulisan yang diperolehnya dari angka2 kunci rahasia itu? Bukankah cuma untuk mempermainkan orang belaka? ~ berpikir demikian mau tak mau ia menyadi geli: "Haha, jadi sudah sekian banyak pikiran dan tenaga yang dikeluarkan oleh orang banyak itu, mereka tidak segan2 membunuh guru, mencelakai sesama orang Bu-lim dan membinasakan kawan, tapi akhirnya yang diperoleh ternyata hanya suatu kalimat yang mempermainkan orang saja".
Begitulah Tik Hun tidak sampai ketawa, tapi didalam rumah Gian Tat-peng sudah ter-bahak2 dan berkata: "Hahahaha! Suruh aku menjura dan bersujud kepada patung, agar berdoa pada patung lempung atau kayu ini supaya memberkahi rejeki padaku? Hahaha, keparat, Locu disuruh menuyu nirwana! Padahal kami bertiga saudara seperguruan sampai melakoni membunuh guru, kemudian kami bertiga saling rebut dan saling gasak, ternyata yang diperebutkan melulu untuk 'mencapai nirwana'. Dan beberapa ratus kesatria Bu-lim yang berkumpul dikota Kang-leng dan saling berebut itu, yang dituju juga demi untuk 'mencapai nirwana'. Hahahahahaha!"
Suara tertawa Gian Tat-peng itu ternyata penuh rasa pilu, penuh rasa sesal, dan sembari tertawa seraya me-robek2 kertas yang dibuatnya menulis itu hingga hancur.
Mendadak, ia berdiri tegak tanpa bergerak, kedua matanya memandang keluar jendela dengan terkesima. Lalu terdengar ia mengguman sendiri: "Keadaan sudah terlanyur begini, tiada jeleknya juga kalau aku coba memeriksa Se-cong-si itu. Memang disebelah barat dari pintu selatan kota itu terdapat sebuah kelenteng kuno seperti apa yang dimaksudkan itu".
Segera ia padamkan pelita dan keluar dari rumah itu, dengan Ginkang yang tinggi ia lantas menuju kesebelah barat sana.
Tik Hun menyadi ragu2, pikirnya: "Apakah aku harus mencari Ban Cin-san saya atau menguntit Gian-supek? Ah, Ban-supek toh sudah dirubung oleh serombongan orang, maka aku lebih baik mengawasi tindak-tanduk Gian-supek saya".
Maka iapun cepat menyusul dibelakangnya Gian Tat-peng.
Tik Hun sendiri tidak tahu Se-cong-si yang dimaksudkan itu terletak dimana, tapi Gian Tat-peng sudah beberapa tahun mencari dan menjelayahi kota Kang-leng, segala tempat yang mencurigakan telah diselidikinya semua, maka keadaan sekitar kota baginya boleh dikata seperti rumah sendiri saja. Maka tidak terlalu lama, sampailah ia diluar kelenteng itu.
Gian Tat-peng memang seorang cerdik, ia tidak lantas masuk kelenteng itu, tapi ia celingukan kian kemari, lalu mendengarkan apakah didalam kelenteng ada sesuatu suara atau tidak, kemudian ia mengelilingi pula kelenteng itu, habis itu barulah ia mendorong pintu masuk kedalam.
Letak Se-cong-si itu sangat terpencil, disekitar itu sunyi-senyap, pula kelenteng itu tidak terawat, tiada Hwesio dan penghuni lain. Waktu Gian Tat-peng sampai diruangan tengah, segera ia menyalakan geretan api dan hendak menyulut lilin diatas meja sembahyang.
Se-konyong2 dibawah sinar api itu dilihatnya sumbu lilin itu masih basah2 dan diujung itu agak lumer. Hatinya tergerak, cepat ia coba memegang uyung lilin itu, benar juga terasa masih hangat dan lemas, terang tidak lama berselang baru saja ada orang menyalakan lilin itu. Ia menyadi curiga dan cepat memadamkan api. Dan selagi ia hendak melangkah keluar untuk memeriksa keadaan kelenteng itu. Tiba2 punggungnya terasa sakit sekali, sebilah belati telah menancap ditubuhnya, ia hanya sempat menjerit sekali terus roboh binasa.
Sementara itu Tik Hun juga sudah melintasi pagar tembok kelenteng dan sembunyi dibelakang pintu depan sana. Ia lihat sinar api menyala, lalu sirap lagi dan disusul yeritan ngeri Gian Tat-peng. Dalam kagetnya segera Tik Hun tahu Gian-supek sudah kena disergap musuh. Kejadian itu berlangsung terlalu cepat hingga dia sama sekali tidak sempat bertindak dan menolong. Maka iapun tidak jadi bergerak, tapi terus sembunyi disitu untuk melihat siapakah gerangan yang menyergap Gian Tat-peng disitu.
Di dalam keadaan gelap, maka terdengarlah suara seorang sedang tertawa dingin. Tik Hun merasa mengkirik oleh suara tawa orang yang menyeramkan itu, tapi ia merasa suara orang seperti sudah dikenalnya yuga.
Se-konyong2 sinar api berkelebat, orang itu telah menyalakan lilin hingga tubuh orang kelihatan jelas. Pelahan2 orang itupun berpaling kearah sini. Dan……..hampir saya Tik Hun menjerit: "Suhu".
Kiranya orang itu memang betul Jik Tiang-hoat adanya.
Maka tertampak Jik Tiang-hoat telah mendepak sekali mayatnya Gian Tat-peng, bahkan ia melolos pedang dan menusuk beberapa kali pula dipunggung orang yang sudah mati itu.
Melihat gurunya begitu keji dan keyam membunuh sesama saudara perguruan sendiri, maka yeritan "Suhu" yang hampir diteriakkan Tik Hun itu segera ia telan kembali mentah2.
Terdengar Jik Tiang-hoat sedang tertawa dingin pula, katanya: "Ji-suko, jadi kau yuga sudah dapat memecahkan rahasia didalam Soh-sim-kiam-boh, ya? Haha, Ji-suko, kata kalimat didalam Kiam-boh itu bahwa: "Budha akan memberkahi kau hingga mencapai nirwana, dan sekarang bukankah kau benar2 sudah menuyu nirwana? Bukankah Budha sudah memberkahi dan memberi rejeki padamu? Hahahahaha?".
Kemudian ia berpaling pula, ia pandang patung Budha yang berwayah senyum simpul itu, dengan penuh mendongkol ia mendamperat: "Kau patung celaka ini, kau telah permainkan aku selama ini dan membikin aku menderita sengsara, akhirnya cuma begini saya jadinya".
Dan segera ia melompat keatas altar patung itu dengan pedang terhunus, "trang-trang-trang", be-runtun2 ia membacok tiga kali diperut patung Budha yang gendut itu.
Pada umumnya sesuatu patung terbuat dari tanah liat atau ukiran dari kayu, paling2 ukiran dari batu. Tapi ketiga kali bacokannya itu ternyata menimbulkan suara nyaring suara benturan logam.

Untuk sejenak Jik Tiang-hoat tertegun, tapi ia segera membacok dua kali lagi, ia merasa tempat yang terkena pedang itu sangat keras. Segera ia ambil lilin untuk menerangi bekas bacokan diatas perut patung itu. Ia lihat dari guratan bekas bacokan itu mengeluarkan sinar kuning mengkilap. Ia terkesima seyenak. Ia coba mengkerik dengan kuku-jarinya ditempat bekas bacokan itu, ia lihat warna kuning mengkilap itu lebih nyata lagi, ternyata didalamnya adalah emas murni belaka.
Seketika Jik Tiang-hoat menjerit tertahan: "Ha, ini adalah patung emas raksasa, seluruhnya terbuat dari emas, emas murni seluruhnya!".
Patung Budha itu tingginya 4-5 meter, lengannya besar dan perutnya gendut, yauh lebih besar daripada patung raksasa umumnya. Dan bila patung ini seluruhnya terbuat dari emas murni, maka dapat ditaksir paling sedikit ada 40-50 ribu kati beratnya. Dan emas sebanyak itu kalau bukan harta-karun namanya harus disebut apa lagi?
Dan sesudah memikir sejenak, segera Jik Tiang-hoat mengitar pula kebelakang patung Budha itu, ia coba mengkerik pula dengan pedangnya, ia lihat dibagian pinggang patung itu seperti ada sesuatu pintu rahasia kecil. Ber-ulang2 ia mengkerik dan memotong pula hingga debu kotoran diatas patung itu tersapu bersih, bahkan bagian pinggang patung itupun tercacah beberapa goresan, sesudah itu barulah bagian itu tampak bersih dan kelihatan pintu rahasianya.
Segera Jik Tiang-hoat masukkan pedangnya ke-sela2 pintu rahasia itu, ia cungkil beberapa kali, tapi pintu rahasia itu teramat kencang hingga sedikitpun tidak bergeming, ia coba menyongkel lebih keras, tapi sedikit kurang hati2, 'pletak', pedangnya patah malah.
Namun ia tidak putus asa, dengan pedang patah itu ia mencungkil lagi sela2 pintu rahasia sisi lain. Dan sesudah berkutetan agak lama, lambat-laun pintu rahasia mulai longgar dan pelahan2 tercungkil keluar. Jik Tiang-hoat membuang pedangnya yang patah itu, segera ia pegang pintu rahasia itu dan pelahan2 ditarik hingga terbuka. Ketika ia menerangi dengan lilin, ia lihat didalam perut patung Budha itu penuh terisi emas-intan dan batu permata yang gemilapan menyilaukan mata. Melihat betapa besar perut patung itu, sungguh susah dinilai berapa banyak harta benda yang tersimpan didalam situ.
Saking kesima Jik Tiang-hoat menelan ludah sendiri beberapa kali. Segera ia bermaksud meraup beberapa biji batu permata didalam perut patung itu untuk diperiksa, tapi mendadak ia merasa altar patung itu pelahan2 berguncang sedikit.
Jik Tiang-hoat adalah seorang yang sangat cerdik dan waspada, segera ia tahu keadaan tidak beres, cepat ia meloncat turun dari altar patung itu. Tapi baru sebelah kakinya menginjak tanah, seketika perutnya terasa sakit, nyata ia telah kena disergap orang dan tertutuk. Tanpa ampun lagi ia roboh terguling dan takbisa berkutik.
Maka tertampaklah seorang menerobos keluar dari bawah altar, dengan tertawa hina orang itu berkata: "Jik-sute, kiranya kau belum mati dan akhirnya sampai disini. Lo-ji (sinomor dua, maksudnya Gian Tat-peng) yuga mencari kemari, tapi mengapa kalian tidak memikir bahwa Toa-suheng kalian juga pasti akan mencari kesini? Hahahaha!".
Orang itu ternyata bukan lain daripada Ban Cin-san. Secara diam2 ia sudah sembunyi didalam kelenteng sebelum kedua Sutenya datang.
Karena mendadak ketomplok reyeki hingga Jik Tiang-hoat yang biasanya sangat hati2 dan pandai berhitung itu menjadi lupa daratan dan sedikit lengah itu dia kena disergap oleh Ban Cin-san. Iapun cukup kenal kekejian sang Suheng itu, ia tahu tiada gunanya minta ampun segala, maka dengan gemas ia berkata: "Sudah pernah satu kali kau tak bisa membinasakan aku, tak tersangka akhirnya tetap mati juga ditanganmu".
Ban Cin-san senang sekali, katanya: "Memangnya aku lagi heran atas dirimu. Eh, Jik-sute, bukankah kau sudah mati kucekik, dan kumasukkan kedalam liang dinding berlapis itu, mengapa kau bisa hidup kembali?"
Namun Jik Tiang-hoat bungkam saya tidak menjawab, bahkan ia terus pejamkan mata sekalian dan tidak menggubris.
"Ha, kau tidak mau menerangkan, apakah dikira aku tidak tahu?", uyar Cin-san dengan tertawa dingin. "Tentu waktu itu kau pura2 mati dengan menahan napasmu. Dan sesudah kumasukkan kau kedalam dinding berlapis itu, lalu kau membobol tembok dan melarikan diri, sebelumnya kau merapatkan kembali dinding itu lebih dulu. Hehe, kau benar2 lihay dan licik, dengan mata kepalamu sendiri kau menyaksikan puterimu telah menjadi anak menantuku, tapi selama itu kau tetap tidak unjuk diri. Nah, ingin kutanya padamu, sebab apakah kau menghilang? Sebab apa?".
Se-konyong2 Jik Tiang-hoat meludahi sang Suheng dengan riaknya yang kental dan tidak menjawab. Namun Cin-san sempat berkelit, katanya dengan tertawa: "Lo-sam, bolehlah kau pilih sendiri, kau ingin mati dengan cepat dan enak atau ingin binasa pelahan2 dan menderita?"
Bila teringat betapa keji dan kejamnya Suhengnya itu, mau-tak-mau air muka Jik Tiang-hoat menampilkan rasa seram juga. Katanya kemudian: "Baiklah, biar kukatakan padamu. Sebabnya aku tidak pedulikan puteriku itu justeru karena aku ingin menyelidiki duduknya perkara. Dan kini dapat diketahui bahwa puteriku itulah yang telah mencuri Kiam-boh yang kusimpan itu, nah, katakanlah apakah puteriku itu anak yang baik atau bukan? Pendek kata, orang she Ban, boleh kau bereskan aku dengan cepat saja".
"Baik, akan kubereskan kau dengan cepat," kata Ban Cin-san dengan senyum iblis, "Menurut pantasnya, mestinya aku tidak mungkin memperlakukan kau semurah ini, tapi mengingat yelek2 kau adalah besanku, pula akupun tidak punya tempo terlalu banyak, aku masih harus menyelesaikan partai harta karun ini. Nah, baiklah Sute yang baik, kuhaturkan selamat jalan padamu". ~ habis berkata, terus saja ia ayun pedangnya hendak menusuk kedada Jik Tiang-hoat.
Tapi se-konyong2 suatu bayangan merah mendahului berkelebat, tahu2 buah kepala Ban Cin-san sendiri sudah terbang, menyusul tubuhnya yang tak berkepala itu kena didepak orang hingga roboh terguling.
Kiranya orang menyelamatkan jiwa Jik Tiang-hoat itu tak lain tak bukan adalah Tik Hun dengan golok merah secepat kilat ia telah tabas kepala Ban Cin-san.
Kemudian ia lantas membuka Hiat-to sang guru yang tertutuk itu dan menyapa: "Suhu, baik2kah engkau?"
Perubahan itu sunggu terlalu cepat jadinya hingga Jik Tiang-hoat ter-mangu2 sampai sekian lamanya. Dan kemudian barulah ia dapat mengenal Tik Hun, dengan suara ter-putus2 entah girang entah sedih ia berseru: "Ha, kiranya………kiranya kau, Hun-ji".
Tik Hun sudah berpisah sekian tahun dengan gurunya itu. Kini mendengar kembali panggilan 'Hun-ji' itu tak tertahan lagi rasa dukanya bergolak pula dalam hatinya. Sahutnya kemudian: "Ya, suhu, memang murid adanya!".
"Yadi, kau telah ikut menyaksikan semua kejadian barusan ini?" tanya Jik Tiang-hoat.
"Ya, sejak tadi murid sudah berada disini", sahut Tik Hun tanpa pikir. "Adapun Sumoay……………..Sumoay…..dia……dia telah………", ~tapi ia tidak sanggup meneruskan lagi, air mata lantas bercucuran.
Ternyata Jik Tiang-hoat sama sekali tidak tertarik oleh penuturan Tik Hun tentang puterinya itu, ia sedang memperhatikan mayat kedua Suhengnya yang menggeletak dilantai itu.
"Hun-ji", katanya kemudian, "untunglah kau telah menolong aku tepat waktunya, sungguh aku tidak tahu cara bagaimana harus berterima kasih padamu. Eh, Hun-ji, apakah itu?". ~demikian tiba2 ia menuding kebelakang Tik Hun.
Tanpa curiga apa2 Tik Hun lantas berpaling, tapi tiada sesuatu yang dilihatnya, dan selagi ia merasa heran, tiba2 punggung terasa agak sakit.
Namun Tik Hun kini sudah bukan Tik Hun dahulu lagi, betapa cepat dan tangkas reaksinya, sekali tangannya meraup ke belakang seketika pergelangan tangan musuh yang membokong itu kena dipegangnya. Cepat ia lantas berpaling kembali, ia lihat tangan penyerang itu memegang sebilah belati, siapa lagi dia kalau bukan Jik Tiang-hoat, gurunya sendiri.
Sesaat itu Tik Hun menyadi bingung, katanya: "Su…………Suhu, apakah kesalahan…… kesalahan Tecu hingga Suhu hendak………hendak membunuh aku?"
Baru sekarang Tik Hun ingat bahwa tusukan belati gurunya itu sebenarnya sudah tepat mengenai punggungnya, untung dia memakai Oh-jan-kah, dengan baju mestika yang tidak mempan senjata tajam itu, maka jiwanya sekali lagi telah lolos dari lubang jarum.

"Bagus, bagus!. Sekarang kau sudah menjadi jagoan, ya? Ilmu silatmu sudah hebat sekali hingga gurumu tak terpandang sebelah mata lagi olehmu!" demikian Jik Tiang-hoat mengejek dengan dendam. "Nah, lekaslah kau membunuh aku saja, lekas, mengapa tidak lekas membunuh aku?"
Tapi Tik Hun lantas melepaskan tangan sang guru, malah ia tetap tidak paham, sahutnya: "Mana murid berani membunuh suhu?".

"Huh, buat apa kau mesti pura2 dungu?", jengek Jik Tiang-hoat. "Kalau aku tidak dapat membunuh kau, maka akulah yang akan kau bunuh, kenapa mesti dibuat heran? Harta karunnya sudah jelas didepan matamu, patung Budha ini adalah emas murni tulen, didalam perutnya juga penuh terisi intan-permata yang tak ternilai. Nah, kenapa kau tidak lantas membunuh aku? Kenapa tidak lekas membunuh aku?".
Demikian ia ber-teriak2 suaranya penuh mengandung sifat angkara-murka dan penuh penyesalan. Suaranya itu hakikatnya bukan suara manusia lagi, tapi lebih mirip suara lengking serigala yang terluka, dan mendekati ajalnya.
Namun Tik Hun menggoyang kepala sambil mundur beberapa langkah, katanya: "Jadi sebabnya Suhu hendak membunuh aku adalah lantaran patung Budha raksasa buatan dari emas murni ini?"
Begitulah sekilas Tik Hun menjadi paham seluruhnya, demi harta benda Jik Tiang-hoat tidak segan2 mencelakai gurunya sendiri, tidak segan membunuh Suhengnya, bahkan mencurigai puterinya sendiri, dan sudah tentu membunuh seorang murid lebih2 bukan menyadi soal baginya.
Seketika dalam benak Tik Hun menggema kembali ucapan Ting Tian dahulu: "Gurumu beryuluk 'Tiat-soh-heng-kang', urusan apa yang tak mungkin diperbuatnya?"
Dan sesudah melangkah mundur dua tindak pula, Tik Hun berkata lagi: Suhu, aku tidak ingin membagi rejeki yang kau peroleh ini, boleh kau menyadi hartawan sendirian saja. Silahkan!".
Hampir2 Jik Tiang-hoat tidak percaya pada telinganya sendiri, sungguh ia tidak percaya bahwa didunia ini ada manusia yang tidak kemaruk kepada harta. Ia menduga sibocah Tik Hun pasti mempunyai tipu muslihat apa lagi. Maka dengan tidak sabar lagi ia lantas membentak: "Tik Hun, kau hendak main gila apa? Bukankah ini adalah suatu patung emas, didalam perut patung penuh terisi harta mestika, kenapa kau tidak mau? Apakah kau masih mempunyai tipu muslihat lain lagi?"
Tik Hun hanya goyang2 kepala saja dan selagi ia hendak tinggal pergi, tiba2 terdengar suara ramai orang banyak sedang mendatangi. Cepat ia melompat keatas rumah dan memandang keluar. Maka terlihatlah serombongan orang ada ratusan banyaknya dengan membawa obor sedang mendatangi dengan cepat. Terang itulah orang2 Kangouw dan tokoh2 Bu-lim yang berkumpul dikota Kang-leng selama hari2 terakhir ini.
Bahkan terdengar ada diantaranya sedang membentak dan memaki: "Ban Ka, keparat kau, lekas jalan, lekas! Setan kau!"
Sebenarnya Tik Hun berniat tinggal pergi, tapi demi mendengar nama 'Ban Ka' disebut, seketika ia urungkan maksudnya, ia masih harus membalas sakit hatinya Jik Hong.
Begitulah rombongan orang itu kemudian telah membanjir masuk kedalam kelenteng. Jelas terlihat oleh Tik Hun bahwa Ban Ka kena dipegang oleh beberapa laki2 kekar serta di-dorong2. Ia lihat hidung Ban Ka bocor, mulut keluar kecapnya dan mata matang-biru, terang habis kenyang dihajar orang2 itu, tapi badannya masih memakai baju sebagai guru sekolah.
Maka tahulah Tik Hun akan duduknya perkara. Jadi Ban Ka sengaja menyamar sebagai guru sekolah untuk memancing dan membilukkan perhatian orang2 Kangouw yang berkerumun diluar pintu gerbang selatan kota itu, dengan begitu agar Ban Cin-san sempat datang ke kelenteng bobrok ini untuk menggali harta karun.
Tapi karena dibawah pengusutan orang banyak, akhirnya tipu muslihat Ban-si-hucu itu terbongkar. Sesudah dihajar hingga babak belur, orang2 Kang-ouw itu mengancam jiwa Ban Ka pula kecuali kalau ia menunjukkan tempat rahasia penyimpanan harta karun dan akhirnya mereka sampai juga ke Se-cong-si.
Dalam pada itu, ketika mendengar suara orang banyak, segera Jik Tiang-hoat melompat keatas altar patung dengan maksud hendak menghilangkan bekas bacokan pedang diatas patung agar sinar emas tidak dilihat oleh orang2 itu. Namun sudah agak terlambat, beberapa orang diantaranya sudah keburu berlari masuk. Dan demi nampak perut patung Budha itu berwarna kuning kemilauan, terus saja mereka ber-teriak2 dan berlari kepatung itu, mereka membersihkan debu tanah diatas patung serta mem-bacok2 dan mengkerik pula dengan senyata mereka, maka dalam sekejap saja tubuh patung itu lantas bersih dan mengeluarkan cahaya emas yang gemilapan.
Menyusul ada orang melihat pula pintu rahasia dipunggung patung itu, segera ada orang membuka pintunya terus meraup segenggam batu permata terus dimasukkan kantong sendiri.
Melihat kawannya kebanjiran rejeki, sudah tentu yang lain tidak mau ketinggalan, segera orang kedua menggentak minggir orang pertama dan dia sendiri lantas mencedok dengan kedua tangannya hingga setangkup emas-berlian dikantongi olehnya.
Keruan orang ketiga menjadi merah matanya segera ia dorong pergi kawannya itu dan dia yuga menyerbu harta mestika itu. Bahkan ia lebih serakah lagi, be-runtun2 ia meraup dan mencomot dengan kedua tangannya secara bergiliran dan dimasukkan kedalam bajunya, dan sesudah kantong bajunya penuh segera ia gunakan uyung baju untuk mewadah batu permata itu.
Begitulah suasana seketika menyadi kacau dan gempar, orang2 itu saling berebut mengambil harta mestika itu, mereka ber-jejal2 dan desak-mendesak, yang tidak sempat mendesak maju kepintu rahasia patung untuk mengambil sendiri, segera mereka merebut milik kawan, kalau kawan melawan, segera digenjot………..
Se-konyong2 diluar kelenteng terdengar suara tiupan terompet, pintu kelenteng lantas terpentang, berpuluh perajurit tampak menyerbu masuk, sambil berteriak: "Tihu-tayjin tiba, siapapun dilarang bergerak, diam semua!".
Menyusul masuklah seorang dengan pakaian kebesaran dan bersikap angkuh, itulah dia Leng Dwe-su, Tihu dari kota Kang-leng, ayahnya Leng-siocia.
Tapi demi melihat harta mestika yang menyilaukan mata itu, para orang Kang-ouw sudah lupa daratan, jangankan cuma seorang Tihu, biarpun raja yang datang juga tidak mereka gubris lagi. Mereka masih tetap saling berebut dengan mati2an.
Maka seluruh ruangan kelenteng itu penuh terserak harta mestika yang kemilauan, ada mutiara mestika, ada emas-intan, ada batu permata, jamrud, merah delima, ada biru safir, ya, mungkin juga ada koh-i-noor………………..
Perajurit2 yang dibawa datang oleh Leng Dwe-su itu juga manusia, dan manusia mana yang tidak ngiler akan harta karun seperti itu? Keruan saya tanpa komando perajurit2 itu ikut berebut, bahkan perwiranya juga tidak mau ketinggalan.
Keadaan menyadi makin kacau, Jik Tiang-hoat lagi berebut harta mestika itu, Ban Ka juga lagi berebut, malahan tuan besar Leng Dwe-su akhirnya juga tak tahan oleh rangsangan harta karun yang memangnya telah dicari sekian lamanya itu. Ia kuatir kehabisan, segera iapun ikut berebut.
Tik Hun melihat diantara orang2 Kang-ouw yang berebut harta karun itu terdapat pula Ong Siau-hong dan Hoa Tiat-kan.
Dan sekali sudah saling berebut, dengan sendirinya saling hantam dan sekali saling hantam sudah tentu ada yang terluka dan terbinasa. Anehnya, dalam pertarungan sengit itu, akhirnya mendadak ada orang menubruk keatas patung Budha emas itu, patung itu dirangkul terus di-gigit2 seperti anjing gila. Ada yang menggunakan kepalanya untuk membentur patung dan ada yang meng-gosok2kan mukanya.
Tik Hun sangat heran, andaikan orang2 itu sudah buta pikiran oleh harta karun itu juga tidak perlu sampai gila sedemikian rupa.
Dan memang betul, orang2 itu memang sudah gila, mata mereka merah membelalak, mereka saling genjot, saling gigit dan betot. Mereka telah berubah seperti segerombol binatang buas atau anying gila.
Tiba2 Tik Hun paham duduknya perkara: "Ya, tentu diatas harta mestika itu telah dilumasi racun yang sangat lihay oleh raya yang menyimpannya dahulu".
Tik Hun tidak sudi menyaksikan lebih jauh kelakuan manusia gila yang memuakkan itu, segera ia tinggal pergi. Ia membawa Khong-sim-jay dengan menunggang kuda terus menuju jauh kearah barat sana. Ia hendak mencari suatu tempat yang sunyi untuk mendidik Khong-sim-jay agar kelak menjadi seorang manusia yang berguna, seorang manusia baru.
Akhirnya ia sampai dilembah salju diperbatasan Tibet dahulu itu. Saat itu lagi hujan salju dengan lebatnya, tapi ia dapat mencapai gua yang dahulu.
Se-konyong2 dari jauh dilihatnya didepan gua itu telah berdiri seorang gadis jelita. Itulah Cui Sing adanya!.
Dengan muka ber-seri2 Cui Sing berlari memapak sambil berseru: "Sudah sekian lamanya aku menunggumu Tik-toako! Aku yakin akhirnya engkau pasti akan kembali ke sini. Selama ini aku…… aku tidak pernah meninggalkan lembah ini!".

Sesudah kedua muda-mudi itu saling berhadapan, Tik Hun pegang erat2 kedua tangan Cui Sing sambil memandang Khong-sim-jay dalam pangkuannya itu dengan tersenyum.
Dan apa yang terjadi selanjutnya, tak perlu diceritakan juga, para pembaca akan tahu sendiri……………..

- TAMAT -
 







Anda sedang membaca artikel tentang Si KangKung Pendekar LUgu 5 [Soh Sim Kiam] dan anda bisa menemukan artikel Si KangKung Pendekar LUgu 5 [Soh Sim Kiam] ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/si-kangkung-pendekar-lugu-5-soh-sim.html?m=0,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Si KangKung Pendekar LUgu 5 [Soh Sim Kiam] ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Si KangKung Pendekar LUgu 5 [Soh Sim Kiam] sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Si KangKung Pendekar LUgu 5 [Soh Sim Kiam] with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/si-kangkung-pendekar-lugu-5-soh-sim.html?m=0. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...