Si KangKung Pendekar LUgu 3 [Soh Sim Kiam]

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 09 September 2011

Terpaksa Tik Hun mengkerut tubuh dan berguling pula. Tapi karena tulang kaki patah, gerak-gerik tidak leluasa, achirnya tulang betis kena tertimpuk pula oleh batu itu, "krak", kembali tulang betis pecah tertimpuk batu, saking kesakitan sampai Tik Hun menjerit.
Sudah tentu Cui Sing sangat girang, lagi2 ia angkat sepotong batu hendak menimpuk pula.
Tik Hun insaf dirinya sudah merupakan makanan empuk bagi orang, kalau be-runtun2 kena ditimpuk beberapa kali lagi, pasti tamatlah riwayatnya. Dalam kehilangan akalnya, mendadak iapun sambar sepotong batu dan balas menggertak: "Budak setan, kau berani menimpuk batu pula, biar kukepruk mampus kau dahulu!"
Meski kaki Tik Hun patah, tapi tenaga tangannya masih kuat, ketika Cui Sing benar2 menimpuknya lagi, dengan kelabakan ia mengegos lagi sambil berguling, lalu kontan balas menyambitkan batu yang disambarnya tadi.
Lekas2 Cui Sing melompat kesamping, tapi batu itupun menyerempet lewat disisi telinga membuatnya kaget. Ia tidak berani main timpuk batu lagi, tapi segera ia jemput sebatang ranting kayu, dengan gerakan "Sun-cui-tui-ciu" (mendorong perahu menurut arus) ia terus tusuk pundak Tik Hun.
Ilmu pedang keturunan keluarga Cui memang sangat hebat, meski senjata yang digunakan hanya sebatang kayu, tapi cara menusuknya sangat cepat, sekalipun Tik Hun dalam keadaan sehat walafiat juga bukan tandingannya, apalagi sekarang. Maka begitu tusukan itu tiba, sedapat mungkin ia miringkan pundak untuk menghindar. Namun mendadak Cui Sing ganti tipu serangan, dengan "Oh-liong-tam-jiau" (naga hitam menjulur cakar), "plok", dengan tepat ujung kayu kena "cakar" dikening Tik Hun.
Pabila senjata yang dipakai Cui Sing adalah pedang benar2, maka jiwa Tik Hun
pasti sudah melayang. Namun demikian, biarpun cuma sebatang kayu saja toh juga sudah membikin Tik Hun kesakitan setengah mati hingga mata ber-kunang2.
"Sepanjang jalan kau Hwesio jahanam ini telah menyiksa nonamu, kini dapatkah kau menyiksa aku lagi? Katanya kau hendak memotong lidahku, hayolah, mengapa tidak coba2 potong?" demikian damperat Cui Sing.
Habis itu, kembali ia angkat ranting kayu itu menghantam dan menyabat keatas kepala, pundak dan pinggang Tik Hun, setiap kali kena dihajar, kontan tubuh Tik Hun bertambah babak belur,
"Hayolah, mengapa kau tidak minta tolong Cosuyamu? Hm, biarlah kuhajar mampus dulu kau Hwesio jahat ini!" begitulah sambil memaki Cui Sing terus menghujani Tik Hun dengan hajaran ranting kayu itu.
Karena takdapat melawan, terpaksa Tik Hun hanya tutupi kepala dan mukanya dengan kedua tangan. Namun begitu tangan dan lengannya menjadi ikut babak-belur juga hingga darah berceceran. Saking sakitnya Tik Hun menjadi nekat. Mendadak ia pegang ranting kayu orang waktu Cui Sing menyabatnya lagi, lalu dibetot se-kuat2nya. Kalau Cui Sing tidak lepas tangan, bukan mustahil ia akan dipeluk oleh Tik Hun. Terpaksa ia lepas tangan, dan mendadak Tik Hun lantas balas menyabatkan ranting kayu itu.
Cui Sing terkejut dan cepat2 melompat mundur. Kemudian ia jemput sebatang kayu yang lain dan maju pula hendak melabrak Tik Hun.
Dalam bahaya mendadak timbul suatu akal Tik Hun, tiba2 teringat suatu akal bajingan olehnya, ia berteriak: "Jangan maju lagi! Selangkah kau berani maju, segera aku membuka celana! ~ Dan sambil berteriak, kedua tangannya lantas me-raba2 pinggang dengan lagak hendak membuka celana.
Keruan Cui Sing kaget, lekas2 ia berpaling kearah lain dengan muka merah jengah. Pikirnya: "Segala kejahatan juga dapat dilakukan Hwesio jahat ini, bukan mustahil dia akan menggunakan kelakuan rendah ini untuk menghina diriku."
"Hayolah, lekas kau melangkah kesana, lebih jauh lebih baik!" segera Tik Hun ber-teriak2 pula.
Hati Cui Sing berdebaran, ia tidak berani membangkang, benar-benar ia melangkah maju kesana.
Tik Hun sangat girang karena akal bajingannya berhasil menakutkan sigadis. Segera ia menggembor lagi: "Nah, sudahlah, aku sudah copot celanaku sekarang, jika kau masih ingin menghajar aku, silakan datang kemari!"
Keruan Cui Sing bertambah kaget.
Masakan pantas seorang gadis disuruh hajar orang telanjang. Tanpa pikir lagi ia terus melompat kesana, jangankan mendekat, sekalipun menoleh juga tidak berani. Ia menyingkir jauh2 kebalik gundukan salju sana.
Padahal Tik Hun sebenarnya tidak melepas celana segala. Apa yang dikatakan itu hanya untuk menggertak saja. Pikir punya pikir ia menjadi geli sendiri dan gegetun pula akan nasibnya yang apes. Hajaran yang kenyang dirasakan tadi paling sedikit ada 50 kali banyaknya dan antero badannya hampir2 rata penuh babak-belur, tulang betis yang pecah ditimpuk batu itu, lebih2 kesakitan pula. Pikirnya: "Coba kalau aku tidak gunakan akal bajingan, mungkin saat ini riwayatku sudah tamat. Ha, aku Tik Hun adalah seorang laki2 sejati, tapi sekarang telah berlaku serendah dan sekotor ini, biarpun jiwaku ini selamat, cara bagaimana aku harus berhadapan dengan orang kelak?"
Waktu ia memperhatikan suasana ditebing karang sana, ia lihat pertarungan Hiat-to Loco dan Lau Seng-hong masih berlangsung dengan sengit.
Puncak karang yang dipakai gelanggang pertarungan itu menonjol keluar dari sebuah dinding tebing yang terjal. Tingginya dari tanah paling sedikit ada ratusan meter tingginya. Diatas karang yang luasnya cuma beberapa meter itu penuh tertimbun salju, asal salah seorang terpeleset sedikit saja hingga tergelincir jatuh kebawah, biarpun setinggi langit ilmu silatnya juga akan terbanting hancur lebur.
Dipandang dari bawah, Tik Hun merasa perawakan kedua orang itupun banyak lebih kecil daripada tubuh mereka yang sebenarnya. Lengan baju kedua orang itu tampak berkibaran hingga mirip dua dewa sedang me-layang2 ditengah awang2, sungguh indah pemandangan itu. Meski Tik Hun tidak terlalu jelas menyaksikan jalannya pertarungan mereka, tapi dapat diduga setiap jurusnya pasti menyangkut mati atau hidup masing2.
Dalam pada itu tiba2 terdengar Cui Sing ber-teriak2 pula dibalik gundukan salju sana: "Ayah, ayah! Lekas kemari!"
Setelah berteriak beberapa kali, mendadak dari arah timur-laut ada suara seorang tua menjawabnya: "Apakah Cui-titli disitu? Ayahmu mengalami sedikit cidera, sebentar lagipun akan menyusul tiba!"
Dari suara itu Cui Sing dapat mengenali orang itu adalah Hoa Tiat-kan, yaitu tokoh kedua daripada empat kakek "Lok-hoa-liu-cui". Dengan girang segera ia berseru menanya: "Apakah Hoa-pepek disitu? Dimanakah ayah? Bagaimana lukanya?"
"Wah, celaka, sekali ini benar2 celaka!" demikian diam2 Tik Hun mengeluh. "Dia kedatangan bala bantuan, tamatlah riwayatku tentu!"
Dan hanya sekejap saja sikakek she Hoa itu sudah berlari sampai ditempat Cui Sing, terdengar katanya: "Tadi mendadak sepotong batu yang jatuh dari atas pncak gunung telah menindih keatas kepala Liok-pepek, karena ayahmu hendak menyelamatkan Liok-pepek, ia telah hantam batu itu. Tapi karena batu itu terlalu besar dan berat, maka tangan ayahmu mengalami sedikit cidera, tapi tiada berhalangan apa2."
"Eh, Hoa-pepek, ada seorang Hwesio jahat disana, lekas .......lekas Hoa-pepek pergi kesana dan membunuhnya, tapi dia .....dia telah buka......" begitulah Cui Sing menjadi malu untuk menjelaskan Tik Hun telah membuka celananya.
"Baiklah, akan kubunuh dia, dimana tempatnya?" terdengar Hoa Tiat-kan menyahut.
Cui Sing lantas menunjukkan tempat beradanya Tik Hun, tapi kuatir kalau mendadak melihat pemuda itu dalam keadaan telanjang, sambil jarinya menuding kebelakang, kakinya berbalik melangkah kesana.
Dan selagi Hoa Tiat-kan mendekati Tik Hun untuk membunuhnya, tiba2 terdengar suara nyaring "tring-ting-ting-ting" empat kali, suara nyaring beradunya senjata dari atas tebing curam itu. Waktu ia menengadah, ia melihat golok dan pedang Hiat-to Loco dan Lau Seng-hong saling bertahan menjadi satu, kedua orang sedikitpun tidak bergerak se-olah2 sudah mati beku oleh dinginnya salju.
Kiranya ilmu golok dan ilmu pedang kedua orang itu ada keunggulannya sendiri2, saking seru pertempuran itu, sampai achirnya terpaksa kedua orang mesti mengadu Lwekang dengan mati-matian.
Sudah tentu Hoa Tiat-kan tahu cara mengadu Lwekang begitu adalah cara yang paling bahaya. Sekali sudah terjadi kalah dan menang, yang kalah tentu akan terluka parah bila tidak mati.
Tiba2 tergerak pikirannya: "Hiat-to Ok-ceng itu sedemikian tangkas dan ganasnya, belum tentu Lau-hiante dapat menjatuhkan dia. Dalam keadaan demikian bila aku tidak lantas mengeroyoknya, mau menunggu kapan lagi?"
Meski kedudukan dan nama baiknya di Bu-lim sangat tinggi, sebenarnya ia tidak sudi mendapat nama jelek karena main keroyok. Tapi kejadian para kesatria Tionggoan menguber dua paderi Hiat-to-bun itu sudah menggemparkan antero dunia persilatan, jikalau sekarang ia dapat membunuh Hiat-to-ceng itu dengan tangan sendiri, nama harumnya tentu cukup untuk menutupi nama jeleknya karena telah main keroyok.
Karena pikiran itu, mendadak ia putar tubuh dan berlari kebalik tebing curam itu. Dengan demikian selamatlah jiwa Tik Hun.
Sebaliknya Cui Sing menjadi heran dan kuatir. "Hai, Hoa-pepek, apa yang hendak kau lakukan?" serunya. Dan begitu tercetus pertanyaannya itu, segera iapun tahu sendiri akan jawabannya.
Ia lihat secara diam2 Hoa Tiat-kan sedang merayap keatas tebing yang terjal itu. Tangan jago she Hoa itu memegang sebatang tumbak pendek dari baja murni, sekali ujung tumbak digunakan menutul didinding karang, segera tubuhnya melompat keatas dua-tiga meter tingginya. Waktu tubuh menurun, tumbak pendek itu lantas menutul dinding karang lagi untuk menahan, lalu mencelat naik keatas lagi. Cara manjatnya itu jauh lebih cepat daripada Hiat-to-ceng dan Lau Seng-hong tadi.
Dipihak lain demi mendengar tindakan orang sudah makin menjauh, dirinya tidak jadi akan dibunuhnya, maka legalah hati Tik Hun.
Tapi rasa lega itu hanya terjadi sekejap saja, sebab lantas dilihatnya juga Hoa Tiat-kan sedang melompat dan merayap keatas karang yang terjal itu. Sudah tentu ia menjadi kuatir. Harapan satu2nya baginya sekarang yalah semoga sebelum Hoa Tiat-kan mencapai puncak karang itu, lebih dulu dapatlah Hiat-to-ceng membunuh Lau Seng-hong, habis itu dapat segera bertempur melawan Hoa Tiat-kan. Kalau tidak, bila nanti dikeroyok oleh Hoa Tiat-kan berdua, pasti paderi tua itu akan dirobohkan.
Tapi kemudian lantas terpikir pula olehnya: "Lau Seng-hong dan Hoa Tiat-kan itu adalah kesatria yang berbudi luhur, sedangkan Hiat-to-ceng itu sudah terang gamblang adalah seorang yang maha jahat, namun aku malah mengharapkan orang jahat membunuh orang baik. Ai, Tik Hun, wahai, Tik Hun, ternyata sudah sedemikian bejatnya moralmu! ~ Begitulah disamping kuatir bagi keselamatan sendiri, ia mencela pula dirinya sendiri, perasaannya menjadi kusut sekali. Dan pada saat itulah dilihatnya Hoa Tiat-kan sudah melompat naik keatas karang itu.
Tatkala itu Hiat-to-ceng sedang mengadu tenaga dalam dengan mati2an kepada Lau Seng-hong, secara ber-gelombang2 tenaga dalamnya sedang dikerahkan bagaikan ombak yang men-dampar2 hebatnya. Sebaliknya Lau Seng-hong adalah tokoh terkemuka dari Thay-kek-bun, selama hidupnya yang dilatih yalah cara menggunakan kelunakan untuk melawan kekerasan. Maka walaupun tenaga dalam Hiat-to-ceng terus membanjir, namun dengan tenang iapun gunakan tenaga dalamnya yang lunak itu untuk mematahkan setiap desakan lawan. Lebih dulu ia bertahan, habis itu akan terus balas menyerang bila musuh sudah lelah.
Dengan demikian, biarpun tenaga dalam Hiat-to Loco sangat kuat, titik serangannya yang diarah juga ber-ubah2, namun sesudah saling ngotot sekian lamanya, tetap ia takdapat meng-apa2kan Lau Seng-hong. Dengan memusatkan semangat dalam mengadu Lwekang itu, kedua orang itu sudah melupakan apa yang terjadi disekitarnya. Maklum, kalah-menang dalam keadaan demikian tergantung sedetik saja, siapa lengah sedikit, seketika akan memberi kesempatan kepada lawan untuk melancarkan tenaga dalamnya lebih kuat.
Waktu Hoa Tiat-kan melompat keatas karang itu, kedua orang itu tiada satupun yang tahu. Ia lihat Hiat-to-ceng dan Lau Seng-hong masih senjata mengadu senjata dan tangan mendempel tangan, diatas kepala mereka mengepulkan hawa, pertanda tenaga dalam mereka sudah penuh dikerahkan. Diam2 Hoa Tiat-kan memuji juga ketangkasan kedua orang itu.
Dengan diam2 ia menggermet kebelakang Hiat-to Loco, ia angkat tumbak bajanya yang pendek itu, ia himpun segenap tenaga kelengan yang memegang senjata itu, sekali sinar tumbak berkelebat, dengan cepat dan keras ia terus menusuk kepunggung Hiat-to Loco.
Pada waktu Hoa Tiat-kan mulai mengangkat tumbaknya tadi, sinar tumbak yang kemilauan telah menimbulkan cahaya repleksi pada tanah salju yang putih bersih itu hingga menyilaukan Tik Hun. Ia terkejut dan cepat berteriak sepenuh tenaganya: "Awas, dibelakang ada orang!"
Mendengar jeritan yang mengguncangkan kalbu itu, mendadak Hiat-to Loco tersadar, tiba2 ia merasa serangkum angin tajam telah menyambar dari belakang. Padahal saat itu ia sedang mengadu tenaga dalam dengan Lau Seng-hong, untuk berkelit atau mengganti tempat terang sangat sulit, jangankan hendak menarik senjata untuk menangkis serangan dari belakang itu.
Tapi paderi tua itu dapat berpikir cepat: "Daripada mati konyol, lebih baik aku mati terbanting saja. Aku tidak boleh mati ditangan musuh!"
Karena pikiran itu, mendadak ia mendakan tubuh dan melesat kesamping, ia sengaja terjun kebawah jurang.
Dalam pada itu tusukan tumbak Hoa Tiat-kan itu sudah bertekad harus membinasakan Hiat-to-ceng itu. Maka tusukan itu luar biasa kerasnya dan tak tertahankan lagi. Siapa tahu mendadak ada perubahan yang tak terduga oleh siapapun juga. Pada detik menentukan itu mendadak Hiat-to-ceng terjun kebawah jurang. Maka terdengarlah "crat" sekali, ujung tumbak menancap ditubuh kawan sendiri, yaitu diatas dada Lau Seng-hong. Begitu kuat tusukan itu hingga ujung tumbak menembus dari dada kepunggung. Sudah tentu kejadian itupun se-kali2 tidak tersangka oleh Lau Seng-hong hingga iapun tidak sempat menghindar.
Dalam pada itu Hiat-to Loco yang menerjun kedalam jurang itu semakin dekat dengan tanah. Se-konyong2 ia menggertak sekali sambil ayun goloknya membacok kebawah. Dasar jiwanya mungkin belum ditakdirkan mampus, bacokan itu tepat mengenai batu karang yang menonjol hingga lelatu api bercipratan dan daya turunnya menjadi tertahan sedikit. Menyusul sebelah tangannya terus memukul pula kebawah, "brak", salju bertebaran kena tenaga pukulannya itu, sejenak kemudian Hiat-to Loco dapat pula menancapkan kakinya ketanah dengan enteng dan tak kurang sesuatu apapun.
"Ehm, cucu murid yang baik, untunglah engkau telah menjerit hingga jiwa kakek gurumu ini tertolong!" demikian ia mengangguk kepada Tik Hun sebagai tanda pujian.
"Rasakan golokku!" tiba2 seorang membentak dibelakangnya.
Dengan ilmu "Thing-hong-pian-gi" atau mendengarkan suara membedakan arah senjata, dengan cepat dan tanpa balik tubuh paderi itu terus putar golok kebelakang untuk menangkis. "Trang", dua golok saling bentur dengan keras. Kontan Hiat-to Loco merasakan dadanya sesak, hampir2 golok terlepas dari cekalan. Keruan kejutnya tak terkatakan.
Waktu ia menoleh, ia lihat penyerang itu adalah seorang kakek yang bertubuh tegap kekar, berjenggot panjang dan sudah putih semua. Tangan memegang sebatang "Kui-thau-to", yaitu golok tebal yang berujung dalam bentuk kepala setan. Sikapnya sangat gagah.

Hanya sekali gebrak itu saja, maka Hiat-to Loco menjadi jeri. Sama sekali tak tersangka olehnya bahwa tenaga dalamnya sudah banyak terbuang ketika mengadu Lwekang dengan Lau Seng-hong tadi, ditambah lagi menerjun dari atas, ia mesti menggunakan tenaga pukulannya untuk menahan daya turunnya tubuh hingga tidak terbanting mati. Coba kalau orang lain, andaikata tidak terbanting mampus, paling sedikit juga akan tangan patah atau remuk isi perutnya dan terluka parah.
Ia coba menjalankan tenaga murninya, ia merasa didalam perut agak sakit, tenaga susah dikerahkan.
"Liok-toako, paderi cabul itu telah membunuh Lau-hiante, kalau kita tidak mencingcang dia hingga menjadi baso, sungguh tak terlampias dendam kita," demikian tiba2 seorang berseru dari sisi kiri sana.
Pembicara itu bukan lain daripada Hoa Tiat-kan. Sesudah dia salah membunuh kawan sendiri, yaitu imam tua Lau Seng-hong, sudah tentu ia sangat berduka dan murka pula kepada musuh yang licik itu. Secepat terbang iapun memburu kebawah jurang dengan maksud hendak mengadu jiwa dengan Hiat-to Loco. Kebetulan saat itu Liok Thian-ju, yaitu sikakek pertama dari "Lam-su-lo", juga telah menyusul tiba. Maka kedudukan Hiat-to Loco kembali terjepit lagi dari dua jurusan.
Mau-tak-mau Hiat-to Loco menjadi kuatir juga. Ia insaf tenaga dalam sendiri sudah terkuras sebagian besar, melawan seorang Liok Thian-ju saja belum tentu menang, apalagi kini ditambah Hoa Tiat-kan yang tampak sudah mendekat dengan mata membara se-akan2 hendak menelannya mentah2. Kalau sebentar sampai terlibat lagi dalam keroyokan mereka, pasti jiwanya akan melayang. Ia pikir tenaga dalam sendiri sudah lemas, untuk laripun tentu susah, jalan satu2nya sekarang yalah menggunakan Cui Sing sebagai sandera agar musuh tidak berani terlalu mendesak padanya. Dan sesudah awak sendiri dapat mengaso barang sejam dua jam, tentu akan kuat untuk bertempur lagi.
Keputusan itu ditetapkannya dalam sekilas pikir saja, dalam pada itu dilihatnya golok tebal Liok Thian-ju sudah terangkat dan hendak membacok pula. Cepat Hiat-to Loco mendakan tubuh, be-runtun2 ia menyerang tiga kali kebagian bawah musuh.
Perawakan Liok Thian-ju tinggi besar, terpaksa ia mesti mengayun goloknya untuk menangkis kebawah. Padahal serangan2 Hiat-to-ceng itu cuma pancingan belaka. Tapi juga bukan sembarangan serangan kosong, sebab kalau sedikit salah tangkisan Liok Thian-ju itu, pasti jiwanya akan segera melayang. Namun tangkisan2 itu ternyata sangat rapat hingga tiada lubang kesempatan bagi Hiat-to-ceng untuk menyerang lebih jauh.
Mendadak paderi tua itu mendesak maju selangkah, tapi baru setengah jalan, tahu2 ia menarik diri dan melompat kebelakang malah. Dengan cara "Seng-tang-kek-se" (bersuara ketimur, tapi menyerang kebarat), barulah Hiat-to-ceng dapat melepaskan diri dari kurungan sinar golok Liok Thian-ju yang lihay itu.
Dan sekali sudah melompat mundur, hanya beberapa kali naik turun saja ia sudah sampai disamping Tik Hun. Ketika Cui Sing tak kelihatan, segera ia menanya: "Dimanakah anak dara itu?"
"Disana!" sahut Tik Hun sambil menuding.
Keruan Hiat-to loco menjadi gusar. "Kenapa kau tak tawan dia dan membiarkan dia lari?" damperatnya dengan beringas.
"Aku......... aku tak kuat........ tak kuat menangkapnya," sahut Tik Hun gelagapan.
Hiat-to Loco semakin murka, dasarnya memang seorang yang kejam, pada saat menentukan bagi mati-hidupnya itu ia menjadi lebih buas lagi. Sekali kakinya bergerak, terus saja ia tendang kepinggang Tik Hun. Pemuda itu menjerit tertahan dan badannya mencelat dan terguling kedepan.
Tempat dimana mereka berada itu memangnya jurang yang dikelilingi puncak2 gunung yang tinggi, siapa duga dibawah jurang masih ada jurang lagi. Dan karena tergulingnya Tik Hun itu, tubuhnya terus tergelincir kebawah jurang yang lebih dalam itu.
Ketika mendengar suara Tik Hun tadi, segera Cui Sing menoleh. Demi dilihatnya Tik Hun sedang terjerumus kebawah jurang, dalam kagetnya dilihatnya Hiat-to Loco lagi memburu kearahnya pula. Dan pada saat itu juga tiba2 dari samping kanan sana ada suara seruan orang: "Sing-ji! Sing-ji!"
Itulah suara ayahnya, Cui Tay. Keruan Cui Sing sangat girang, segera iapun balas berteriak: "Ayah!"
Sungguh sayang perbuatan Cui Sing ini. Padahal waktu itu jaraknya dengan sang ayah terlalu jauh, sebaliknya jaraknya dengan Hiat-to Loco lebih dekat, selisih jarak kedua pihak itu ada beberapa meter jauhnya. Pabila Cui Sing tidak berteriak misalnya, sekali melihat ayahnya muncul, segera ia berlari kearahnya, dengan demikian jaraknya dengan sang ayah akan menjadi lebih dekat daripada jaraknya dengan Hiat-to Loco. Tapi karena teriakannya itu, nasib hidupnya menjadi banyak perubahannya.
Begitulah saking girangnya ia berteriak ayah, seketika ia menjadi lupa Hiat-to Loco juga sedang memburu kearahnya.

Dalam pada itu lingkaran kepungan Cui Tay, Liok Thian-ju dan Hoa Tiat-kan dari tiga jurusan juga semakin sempit, tampaknya dalam waktu singkat Hiat-to Loco pasti akan tergencet. Tapi kalau lebih dulu Cui sing kena ditangkap oleh paderi tua itu, kedudukan masing2 tentu akan berubah, dengan mempunyai sandera tawanannya itu, tentu sipaderi akan dapat angin lagi.
Karena itu cepat Cui Tay lantas ber-teriak2 juga: "Sing-ji, lekas kemari, lekas!"
Maka tersadarlah Cui Sing, cepat ia berlari kedepan bagaikan orang keselurupan.
Diam2 Hiat-to Loco gegetun, cepat ia sambar secomot salju, ia kepal menjadi sepotong batu salju terus disambitkan lebih dulu kearah Cui Tay, menyusul sepotong lagi ia timpuk "Leng-tay-hiat" dipunggung Cui Sing. Tanpa ampun lagi gadis itu roboh tak berkutik lagi. Sedangkan lari Hiat-to Loco tidak pernah berhenti, begitu mendekat, terus saja ia pegang gadis itu. Hampir berbareng dengan itu, terdengarlah suara angin menyambar dari samping, ujung tumbak Hoa Tiat-kan sudah menusuk tiba.
Jago she Hoa itu sudah terlalu gemas karena paderi tua itu telah mengakibatkan dia menusuk mati saudara angkat sendiri, yaitu Lau Seng-hong, maka ia menjadi kalap tanpa menghiraukan mati hidupnya Cui Sing yang tertawan musuh itu, tapi begitu tiba terus saja ia menusuk dengan tumbak.
Cepat Hiat-to-ceng menangkis, "trang", tahu2 goloknya mendal kembali. Kiranya tumbak Hoa Tiat-kan itupun bukan sembarangan tumbak, tapi adalah buatan baja murni hingga tak terkutung oleh sembarangan golok atau pedang mestika.
Dengan memaki segera Hiat-to Loco melangkah mundur sambil menggondol Cui Sing. Tapi dari sana tampak Liok Thian-ju telah membacoknya juga dengan Kui-thau-to. Oleh karena terkepung, untuk mundur lagi tentu juga akan terjerumus kejurang.
Tetapi sekilas Hiat-to-ceng melihat Tik Hun yang didepaknya kedalam jurang tadi bukannya terbanting mampus, tapi pemuda itu sedang berduduk dibawah situ sambil menengadah menyaksikan pertarungan mereka. Tergerak pikiran Hiat-to-ceng: "Ternyata timbunan salju dibawah jurang itu sangat tebal, makanya bocah itu tidak terbanting mati." ~ Tanpa pikir lagi iapun menerjun kebawah sambil merangkul Cui Sing.
Ditengah jeritan Cui Sing yang ketakutan, kedua orang itu sudah terjerumus kebawah jurang. Tinggi jurang itu ada ratusan meter tapi timbunan salju ada berpuluh meter tebalnya. Salju yang bawah sudah membeku, tapi lapisan atas salju masih cerna dan empuk laksana kasur, maka kedua orang itu sedikitpun tidak terluka apa2.
Cepat Hiat-to Loco terus merangkak bangun dari gundukan salju, ia sudah pilih tempat yang baik dan berdiri diatas sebuah batu karang dimulut jurang itu sambil menghunus golok. Ia ter-bahak2 dan berseru: "Hayolah, kalau berani, turun kemarilah dan kita boleh bertempur lagi!"
Kebetulan batu karang itu sangat strategis tempatnya. Kalau Cui Tay dan lain2 melompat turun, tubuh mereka pasti akan melayang lewat batu karang itu. Dalam keadaan begitu cukup Hiat-to-ceng ayun goloknya sekali dan kontan tubuh sipenerjun itu pasti akan terkutung menjadi dua.
Dengan susah payah Liok Thian-ju berempat achirnya dapat menyusul Hiat-to Loco, tapi sesudah kecandak, seorang saudara angkat mereka menjadi korban, sekarang paderi jahat itu lolos lagi. Keruan mereka menjadi gemas dan geregetan. Lebih2 Cui Tay yang puterinya masih berada dibawah cengkeram tangan paderi iblis itu, sedang Hoa Tiat-kan juga salah membunuh saudara angkat sendiri, mereka berdua inilah paling pedih hatinya. Segera mereka bertiga bisik2 untuk berunding cara bagaimana harus membunuh musuh.
Liok Thian-ju itu berjuluk "Jin-gi Liok Toa-to" atau sigolok besar she Liok yang berbudi luhur. Sedangkan Hoa Tiat-kan bergelar "Cong-peng-bu-tik" atau situmbak baja tanpa tandingan, Tiong-peng-jiang adalah nama tumbaknya itu.
Cui Tay sendiri berjuluk "Leng-goat-kiam", sipedang bulan purnama. Ditambah lagi imam tua Lau Seng-hong, mereka disebut "Lok-hoa-liu-cui". Apa yang disebut "Lok-hoa-liu-cui" sebenarnya adalah "Liok-hoa-lau-cui", yaitu diambil dari suara she mereka.
Bicara tentang ilmu silat belum pasti Liok Thian-ju yang paling tinggi, namun pertama karena usianya paling tua, kedua, hubungannya dengan kawan Kangouw sangat luas, maka namanya adalah urutan pertama dalam "Lam su-lo" atau empat kakek dari selatan.
"Tolong! Tolong! Lepaskan aku, Hwesio jahanam!" demikian Cui Sing ber-teriak2 dengan ketakutan sebab mengira dirinya hendak dipaksa secara tidak senonoh oleh Tik Hun yang mengempitnya dan menyeretnya kedalam gua dengan mengesot.

Watak Liok Thian-ju paling keras, dia paling benci kepada perbuatan rendah dan memalukan, apalagi mengenai perbuatan melanggar kehormatan kaum wanita segala. Kini melihat tingkah pola Hiat-to Loco yang mentang2 diatas batu karang se-akan2 dunia ini aku punya, sedangkan tubuh Cui Sing lemas lunglai menyandar badan Tik Hun. Ia tidak tahu bahwa Hiat-to gadis itu telah tertutuk dan takbisa berkutik, sebaliknya ia sangka jiwa Cui Sing itupun rendah, tak kuat mempertahankan imannya, berada dibawah cengkeraman paderi2 cabul itu ternyata tidak melawan sedikitpun. Saking gemasnya ia terus jemput beberapa potong batu dan ditimpukan kebawah.
Dasar tenaganya memang besar, dari atas menimpuk kebawah pula, keruan hujan batu itu sangat hebat. Maka terdengarlah suara gemuruh disana-sini, lembah pegunungan sekeliling situpun menggemakan suara kumandang yang memekak telinga.
Dibawah hujan batu dengan salju berhamburan, cepat Hiat-to Loco mendakan tubuh dan menyeret Tik Hun dan Cui Sing bersembunyi kebalik sebuah batu karang yang besar. Sementara ini ia sudah lolos dari bahaya, rasa gusarnya kepada Tik Hun tadi menjadi reda juga, maka ia tidak ingin "cucu murid" itu mati tertimpuk batu.
Habis itu, ia sendiri kembali meloncat keatas batu karang, ia tuding Liok Thian-ju bertiga dan mencaci-maki. Bila ditimpuk dengan batu, ia lantas berkelit atau menyampok dengan goloknya.
Dalam pada itu Tik Hun dan Cui Sing yang diseret Hiat-to Loco dan disembunyikan dibalik batu karang itu, setelah rasa takut mereka agak tenang, ketika mereka melihat sekitar situ, ternyata dinding dibelakang batu karang itu mendekuk masuk kedalam hingga berwujut sebuah gua yang besar. Karena tertahan oleh batu karang itu, maka salju yang tertimbun didalam gua itu sangat tipis hingga merupakan sebuah tempat meneduh yang sangat bagus.
Oleh karena dari atas masih dihujani batu oleh Liok Thian-ju, Tik Hun kuatir ada batu nyasar hingga melukai Cui Sing, segera ia rangkul sigadis dan menyeretnya lebih jauh kedalam gua.
Keruan Cui Sing ketakutan, ia men-jerit2: "Jangan sentuh aku, lepaskan aku!"
"Ha-hahaha!" Hiat-to Loco ter-bahak2. "Cucu murid yang baik. Cosuya sendiri lagi mati2an menghadapi musuh diluar sini, kau sendiri malah mendahului senang2 didalam situ! Hahaha, kurang-ajar!"
Sungguh dada Cui Tay bertiga hampir2 meledak saking gusarnya mendengar ocehan itu.
Sebaliknya Cui Sing juga menyangka Tik Hun hendak berbuat tidak senonoh secara paksa padanya, keruan ia bertambah takut. Tapi demi kemudian melihat pakaian "Hwesio" itu dalam keadaan rajin, meski bukan pakaian baru, tapi terpakai dengan betul ditubuhnya, barulah sekarang ia tahu orang mengancam hendak melepas celana tadi sebenarnya cuma untuk menipu saja. Mukanya menjadi merah teringat kejadian tadi, segera ia mendamperat: "Hwesio jahat penipu, hayo, lekas menyingkir kesana!"
Memangnya Tik Hun tiada punya maksud jahat, sebaliknya bermaksud baik menyelamatkan gadis itu, maka segera ia berjalan menyingkir. Dalam keadaan tulang paha patah dan tulang betis pecah, hakikatnya takbisa dikatakan "berjalan" lagi, paling2 hanya dapat disebut "mengesot".
Begitulah kedua pihak saling bertahan dengan ngotot, tiga diatas dan satu dibawah, tanpa terasa fajar sudah menyingsing, hari sudah terang tanah. Pelahan2 tenaga Hiat-to Loco juga sudah pulih kembali. Sedangkan hatinya tiada hentinya merancang rencana: "Cara bagaimana aku harus menghadapi mereka? Cara bagaimana supaya aku dapat menyelamatkan diri?"
Padahal ketiga lawan didepan mata itu ilmu silat setiap orangnya adalah sepadan dengan dia, jangankan hendak menangkan mereka, untuk lolos dari kejaran merekapun maha sulit. Bahkan asal dirinya meninggalkan batu karang itu hingga kehilangan tempat penjagaan yang menguntungkan, seketika juga musuh pasti akan memburu turun dan akan dikerubut lagi.
Oleh karena tiada jalan lain, terpaksa ia terus menunggui batu karang itu. Tapi ia sengaja ber-jingkrak2 dan me-nari2 dengan macam2 lagak dan aksi yang di-buat2 untuk menggoda dan mengejek musuh sekadar untuk menghibur diri pula.
Melihat tingkah-pola musuh yang memualkan itu, semakin ditonton semakin menggemaskan, tiba2 Liok Thian-ju mendapat satu akal. Bisiknya segera kepada Cui Tay: "Cui-hiante, coba engkau berjalan kearah timur pura2 hendak merosot kebawah. Dan Hoa-hiante, engkau pura2 hendak menyerang dari sebelah barat untuk memancing Hwesio jahat itu, aku sendiri menjadi ada kesempatan untuk menerjang kebawah."
"Akal bagus," sahut Cui Tay. "Bila musuh tidak pusingkan kita, segera kita menerjang kebawah sungguh2."
Habis berkata, ia saling memberi tanda dengan Hoa Tiat-kan, lalu berlari kejurusannya masing2.
Berpuluh meter disekitar situ adalah dinding karang yang curam, kalau ingin meluncur salju kebawah jurang harus memutar jauh kesana untuk kemudian melingkar kembali.
Rupanya akal itu telah membingungkan Hiat-toceng juga. Demi melihat kedua lawan memencarkan diri kedua jurusan, terang orang bermaksud memutar jalan untuk mendekati tempatnya. Cara bagaimana harus merintanginya, seketika ia menjadi mati kutu. Pikirnya: "Wah, celaka! Jika mereka benar2 memutar kemari, meski makan tempo agak lama, tapi achirnya tentu akan tercapai maksud mereka. Dalam keadaan demikian, kalau aku tidak menggeloyor pergi mau tunggu kapan lagi? Mereka bermaksud memutar jalan untuk menyerang, aku lantas memutar juga untuk angkat langkah seribu."
Ia lihat Liok Thian-ju sedang menyaksikan kepergian kedua kawannya, diam2 Hiat-to Loco lantas memberosot kebawah batu karang dan merat kearah barat-laut tanpa memberitahukan Tik Hun.
Ketika mendadak tidak mendengar suara ocehan Hiat-to-ceng lagi, segera Liok Thian-ju melongok kebawah, tapi tahu2 paderi tersebut sudah menghilang. Ia lihat diatas tanah salju itu ada segaris bekas tapak kaki yang menuju kearah barat. Ia pikir bila paderi jahanam itu sampai lolos, maka runtuhlah nama baik jago silat Tionggoan. Segera ia ber-teriak2: "Hoa-hiante, Cui-hiante, lekas kembali. Ok-ceng (hweshio jahat) itu telah merat!"
Mendengar seruan itu, segera Cui Tay dan Hoa Tiat-kan berlari kembali. Dalam pada itu tanpa pikir lagi Liok Thian-ju terus terjun kebawah jurang menirukan cara musuh tadi, seketika iapun menghilang, ambles kedalam lautan salju.
Diwaktu menerjun Liok Thian-ju sudah tutup napasnya. Ia merasa badannya terus ambles kebawah, menyusul kakinya lantas menyentuh tempat keras, yaitu lapisan salju yang sudah beku. Segera ia tutul kakinya sekuatnya hingga badannya mumbul keatas. Pengalaman demikian juga telah dialami Tik Hun dan Hiat-to Loco tadi, sesudah kepala menongol keluar, lalu mereka merangkak naik.
Diluar dugaan, baru saja kepala Thian-ju hendak menongol, se-konyong2 dadanya terasa kesakitan, nyata ia sudah kena sergapan musuh. Oleh karena kepala belum berada diluar salju, dengan sendirinya ia takdapat menjerit. Tapi kontan secepat kilat iapun balas membabat dengan goloknya.
Rupanya serangan balasan yang teramat cepat itupun diluar perhitungan musuh hingga terasa juga kena sasarannya. Namun menyusul musuh yang bersembunyi dibawah salju itu lantas menyerang pula.
Waktu Cui Tay dan Hoa Tiat-kan kembali diatas puncak karang tadi, mereka menyaksikan timbunan salju dibawah jurang itu bergolak dengan hebat, tapi tiada menampak bayangan seorangpun. Hanya sekejap saja dari dalam salju tampak merembes keluar air darah
"Celaka, Liok-toako telah bertempur dengan Ok-ceng itu dibawah salju!" seru Cui Tay dengan kuatir.
"Ya, benar! Sekali ini Ok-ceng itu harus kita binasakan!" sahut Hoa Tiat-kan.
Mengapa mendadak Hiat-to Loco bisa berada dibawah salju dan bertempur dengan Liok Thian-ju? Kiranya tadi waktu mendengar seruan Thian-ju kepada kedua kawannya, paderi itu menaksir segera lawan itupun akan menerjun kebawah untuk mengejarnya. Tiba2 ia mendapat satu akal, cepat ia putar balik dan menyusup kedalam salju disekitar batu karang itu.
Terhadap jago silat yang lihay dengan pengalaman luas seperti Liok Thian-ju itu, hendak melakukan penyergapan padanya boleh dikata adalah tidak mungkin berhasil. Tapi kini ia menerjun kedalam salju dari tempat yang tinggi, pengalaman itu selama hidupnya belum pernah ada, dengan sendirinya yang ia pikirkan yalah cara bagaimana harus menahan napas dan mengerahkan tenaga selama ambles kedalam salju serta timbul kembali keatas. Apalagi dengan terang diketahui Hiat-to-ceng sudah merat, sudah tentu mimpipun tak tersangka bahwa didalam salju ada sembunyi seorang musuh. Dari itulah baru kepala Liok Thian-ju hendak menongol kepermukaan salju, tahu2 dadanya sudah kena serangan golok Hiat-to-ceng.
Tapi betapapun Liok Thian-ju adalah kepala dari "Lam-su-lo", terhitung jago kelas wahid diantara jago silat Tionggoan. Meski dadanya sudah terluka, menyusul iapun dapat balas melukai musuh. Ia tahu gerak-gerik Hiat-to-ceng itu laksana hantu cepatnya, ia tidak boleh meleng barang sekejappun, kalau mesti menunggu kepala menongol keatas salju lalu balas menyerang, tentu serangan musuh yang lain segera akan tiba pula lebih dulu.
Benar juga baru Hiat-to Loco hendak menyerang pula, tak terduga serangan balasan Liok Thian-ju sudah dilontarkan dengan cepat luar biasa hingga iapun terluka. Sekuat tenaga ia menangkis tiga kali serangan Kui-thau-to lawan sambil melangkah mundur. Diluar dugaan mendadak kakinya menginjak tempat kosong, salju dimana kakinya berpijak itu tidak beku hingga badannya terjeblos kebawah lagi.
Dalam pada itu serangan Thian-ju masih terus dilancarkan tanpa memberi kesempatan bernapas bagi lawan, tiga kali serangan disusul tiga kali serangan lain lagi. Ia tahu musuh pasti akan terdesak mundur, maka iapun merangsak maju. Tak terduga mendadak kakinya merasa "blong", tubuhnya lantas anjlok kebawah.
Hiat-to Loco dan Liok Thian-ju adalah jago2 silat kelas atas pada jaman itu, meski terjerumus dalam keadaan yang benar-benar maha sulit itu, namun pikiran mereka sama sekali tidak kacau. Mereka sama2 tidak dapat memandang dan mendengar, tapi mereka mempunyai pendapat yang serupa, begitu kaki menginjak tanah, segera masing2 memainkan ilmu golok sendiri dengan kencang. Tatkala itu tebal salju diatas kepala mereka ada belasan meter tingginya, kecuali musuh dapat dibinasakan, kalau tidak, siapapun tiada berani menongol dulu keatas, sebab bila timbul maksud hendak menyelamatkan diri, tentu akan segera dibacok mati oleh lawan……….
Sementara itu Tik Hun menjadi heran karena mendadak diluar gua menjadi sunyi, padahal baru saja Hiat-to Loco masih mencak2 dan mengoceh. Waktu ia melongok keluar ternyata Hiat-to Loco sudah tidak kelihatan lagi, sebaliknya salju disekitar batu karang tadi tampak bergolak dengan hebat bagai ombak samudera. Keruan ia ter-heran2.
Setelah menyaksikan sejenak, achirnya tahulah dia bahwa dibawah salju itu ada orang sedang bertempur. Waktu ia mendongak, ia lihat Cui Tay dan Hoa Tiat-kan berdiri ditepi karang dan sedang memperhatikan keadaan didasar jurang, sikap mereka tampaknya sangat tegang. Maka dapatlah Tik Hun menduga yang bertempur dibawah salju itu pasti adalah Hiat-to Loco melawan sikakek berjenggot, yaitu Liok Thian-ju. Ia lihat Cui Tay dan Hoa Tiat-kan bernapsu sekali hendak membantu tapi agak bingung karena tidak tahu cara bagaimana harus turun tangan.
"Hoa-jiko, biarlah aku terjun kebawah," demikian Cui Tay berkata kepada Hoa Tiat-kan.
"Jangan," cepat Tiat-kan mencegah. "Jika engkau juga terjun kedalam salju, lantas cara bagaimana kau akan membantu? Didalam salju dengan sendirinya tidak kelihatan apa2, jangan2 tragedi tadi akan terulang hingga Liok-toako akan salah dicelakai engkau." ~ Nyata karena tumbaknya tadi salah membinasakan saudara angkatnya sendiri, maka rasa duka dan sesalnya tak terkatakan hebatnya.
Ciu Tay pikir peringatan itu memang beanr, jika dirinya juga terjun kedalam salju selain senjatanya memotong dan menyabat serabutan, masakah dapat membedakan siapa kawan dan siapa lawan? Kemungkinan Hiat-to-ceng atau Liok Thian-ju akan dibunuh olehnya adalah sama besarnya, sebaliknya kemungkinan dirinya akan terbinasa dibawah senjata mereka juga tidak berkurang kesempatannya.
Akan tetapi bila tidak turun tangan membantu, hal inipun sangat keterlaluan. Sudah terang dipihak sendiri ada dua jago yang menganggur, tapi sedikitpun takdapat berbuat apa2. Sungguh mereka menjadi tak sabar hingga mirip semut ditengah wajan panas, mereka hanya kelabakan sendiri tanpa berdaya sedikitpun.
Apabila nekat menerjun kebawah, namun didasar jurang itu salju masih bergolak dengan hebat, siapa tahu terjun itu takkan menindih diatas kepala Liok Thian-ju.
Syukurlah tidak seberapa lama, pergolakan salju itu lambat-laun mulai reda, Cui Tay dan Hoa Tiat-kan yang diatas tebing serta Tik Hun dan Cui Sing yang berada didalam gua jadi makin kuatir, sebab tidak tahu bagaimana hasil pertarungan dibawah salju itu. Maka dengan penuh perhatian dan menahan napas mereka menantikan gerangan siapa yang muncul dari bawah salju?
Benar juga, selang sejenak, gumpalan salju disuatu tempat itu tampak tersundul keatas, makin lama makin tinggi hingga achirnya satu kepala menausia kelihatan menongol. Tapi diatas kepala itu penuh salju, maka seketika susah dibedakan apakah kepala gundul Hweshio atau kepala yang berambut?
Makin lama makin tinggi kepala yang menyundul salju itu. Achirnya dapatlah kelihatan dengan jelas diatas kepala itu penuh tumbuh rambut putih. Nyata itulah kepalanya Liok Thian-ju.
Saking girangnya Cui Sing terus bersorak sekali.

Sebaliknya Tik Hun menjadi gusar. "Sorak2 apa?" damperatnya.
"Sorak apa? Sorak karena kakek-gurumu itu sudah mampus, tahu? Dan jiwamu sebentar tentu juga akan tamat!" sahut Cui Sing dengan sengit.
Tidak usah diberitahu juga Tik Hun mengarti akan hal itu. Selama ini setiap hari ia berkumpul dengan Hiat-to-ceng, seperti kata pribahasa "dekat merah akan menjadi merah, dekat hitam menjadi hitam", maka tanpa merasa Tik Hun ketularan sedikit watak kasar seperti paderi Tibet itu. Apalagi dilihatnya Liok Thian-ju mendapat kemenangan, akibatnya ia sendiri pasti juga akan celaka ditangan ketiga kakek itu nanti. Dalam kuatirnya ia menjadi aseran, maka bentaknya segera: "Jika kau berani cerewet lagi, segera kubunuh kau lebih dulu."
Cui Sing menjadi takut dan tidak berani buka suara lagi. Ia masih tertutuk oleh Hiat-to-ceng tadi dan takbisa berkutik. Meski Tik Hun patah kakinya, tapi kalau mau bunuh dia boleh dikata tidaklah susah.
Dalam pada itu sesudah kepala menongol dipermukaan salju, napas Liok Thian-ju tampak megap2 sambil me-ronta2 sekuatnya dengan hendak merayap keluar dari dalam salju.
"Liok-heng kami akan membantu kau!" seru Cui Tay dan Hoa Tiat-kan bersama. Berbareng mereka lantas terjun kedalam salju itu, menyusul terus meloncat keatas pula dan menyingkir kesamping batu karang tadi.
Dan pada saat itulah tiba2 nampak Liok Thian-ju ambles pula kedalam salju, tahu2 kepalanya sudah menghilang lagi kebawah seperti kakinya mendadak ditarik sekuatnya oleh orang. Dan sesudah ambles kebawah, lalu tidak muncul lagi. Sedangkan Hiat-to-ceng sama sekali tidak kelihatan batang-hidungnya.
Cui Tay dan Hoa Tiat-kan saling pandang dengan penuh pertanyaan. Mereka menyaksikan menghilangnya Liok Thian-ju kedalam salju itu cepatnya luar biasa, tampaknya seperti tak berkuasa karena ditarik orang dari bawah, mereka menduga besar kemungkinan sang Toako itu sudah kena disergap oleh Hiat-to-ceng.
"Pluk", mendadak sebuah kepala menongol pula dari bawah salju. Waktu diperhatikan, kepala itu gundul, kiranya adalah Hiat-to Loco. Paderi itu mengakah tawa sekali, lalu menghilang lagi kebawah salju.
"Paderi keparat!" maki Cui Tay.
Dan baru ia hunus pedangnya hendak menubruk maju, se-konyong2 dari dalam salju mencelat keluar pula sebuah kepala.
Tapi kepala itu melulu kepala belaka, kepala yang sudah berpisah dengan badannya. Kepala itu berjenggot, itulah kepalanya Liok Thian-ju.
Buah kepala itu terbang keudara setinggi beberapa meter, kemudian jatuh kebawah dan ambles menghilang kedalam salju.
Menyaksikan pemandangan yang seram dan aneh itu, saking ketakutan sampai Cui Sing hampir2 semaput. Pikirnya mau menjerit, tapi tenggorokan se-akan2 tersumbat dan takdapat bersuara.
Cui Tay juga sangat pedih dan gusar pula, teriaknya keras2: "Wahai, Liok-toako! Engkau telah berkorban bagiku, biarlah Siaute membalaskan sakit hatimu."
Tapi sebelum ia melangkah, cepat Hoa Tiat-kan mencegahnya: "Nanti dulu! Paderi setan itu bersembunyi didalam salju, dia terang, kita gelap, kalau kita menerjang secara serampangan, jangan2 akan masuk perangkapnya lagi.
Benar juga pikir Cui Tay, maka ia menahan bergolaknya perasaan sedapat mungkin dan menanya: "Habis, apa tindakan kita sekarang?"
"Kita tunggu saja disini," ujar Tiat-kan. "Paderi itu dapat tahan berapa lama berada didalam salju? Achirnya tentu dia akan muncul keatas. Tatkala mana kita lantas mengerubutinya, betapapun kita harus membedah dadanya dan mengkorek hatinya untuk sesajen kedua saudara kita."
Terpaksa Cui Tay menuruti saran sang kawan. Dengan air mata ber-linang2 ia bersabar sedapat mungkin dan menahan pedihnya perasaan. Namun dua kawan karib selama berpuluh tahun itu kini terbinasa begitu mengenaskan, betapapun ia tetap sangat berduka.

Mendadak dari bawah salju yang bergolak itu menongol keluar sebuah kepala manusia yang berjenggot. Nyata itulah Liok Thian-ju. Napas jago tua itu tampak ter-engah2, rupanya saking tidak tahan dikocok didalam salju oleh Hiat-to Loco, maka terpaksa ia mesti menongol kepermukaan salju untuk ganti napas.

Dengan mengincar tempat dimana kepala Hiat-to-ceng menongol tadi, pelahan2 Cui Tay dan Hoa Tiat-kan melompat dari batu karang satu kebatu yang lain, tanpa merasa mereka semakin mendekat dengan gua tempat sembunyi Tik Hun dan Cui Sing.

Ber-ulang2 Cui Sing melirik Tik Hun, diam2 ia ambil keputusan bila sang ayah sudah dekat segera ia akan berteriak minta tolong. Tapi kalau terlalu buru2 teriaknya hingga jarak sang ayah terlalu jauh, tentu dirinya akan dibunuh dulu oleh "Hweshio cabul" itu sebelum tertolong ayahnya.

Dari sikap sigadis yang tidak tenteram serta sinar matanya yang berkerlingan, Tik Hun sudah lantas tahu juga maksudnya. Tiba2 ia sengaja bikin napasnya ter-engah2 seperti orang yang kepayahan, pelahan2 ia mengesot kemulut gua seperti hendak mengambil salju untuk dimakan sekadar menghilangkan rasa dahaga.

Dengan sendirinya Cui Sing tidak curiga, yang diperhatikan ialah ayahnya. Se-konyong2 Tik Hun menahan badannya dengan tangan kiri, sekali enjot, mendadak tubuhnya melompat bangun, dengan cepat sekali lengan kanannya terus menyikap dari belakang hingga leher Cui Sing terjepit.

Keruan Cui Sing kaget, segera ia hendak berteriak, tapi sudah telat. Ia merasa lengan Tik Hun itu sekeras besi hingga lehernya kesakitan dan bernapaspun susah. Memangnya badannya tertutuk dan takbisa berkutik, ditambah lagi leher tercekik, sebentar lagi pasti jiwanya melayang. Tapi tiba2 terdengar Tik Hun membisikinya: "Asal kau berjanji takkan bersuara, aku lantas tak jadi mencekik mampus kau." ~ Habis itu, sedikit ia kendurkan lengannya agar Cui Sing dapat bernapas sedikit. Tapi lengannya yang kasar dan kuat itu tetap menyilang dileher sigadis yang putih halus itu.

Sudah tentu Cui Sing gemas tidak kepalang, tapi apa daya? Hanya dalam hati ia mencuci maki habis2an.
Diluar sana Cui Tay dan Hoa Tiat-kan sedang mendekam diatas sebuah batu karang, mereka ter-heran2 karena tiada melihat sesuatu gerak-gerik lagi dari bawah salju. Mereka tidak tahu permainan apa yang sedang dilakukan Hiat-to-ceng yang sekian lamanya terpendam didasar salju itu.
Sudah tentu mereka tidak tahu bahwa sejak kecil Hiat-to Loco hidup ditanah bersalju sebagai Tibet itu, maka tentang ciri2 chas dari salju itu cukup dipahaminya. Waktu jatuh ketengah salju tadi, segera ia menggunakan goloknya untuk mengkorek sebuah liang, ia tepuk2 pinggir liang itu dengan tangan hingga keras, dan liang salju itu lantas tersimpan sedikit hawa. Dalam hal ilmu silat sejati, sebenarnya kepandaian Hiat-to-ceng dengan Liok Thian-ju adalah sepadan. Tapi sebelumnya paderi itu sudah lama menempur Lau Seng-hong, tenaga murninya sudah banyak terbuang, maka ia menjadi kalah kuat daripada Liok Thian-ju. Tapi berkat simpanan hawa dilubang salju itu, setiap kali kalau ia merasa payah dan napas sesak, segera ia melongok kelubang salju itu untuk menghirup hawa segar.
Dengan sendirinya Liok Thian-ju tidak paham rahasia salju itu. Ia terus main hantam-kromo dengan mati2an. Dengan demikian biarpun dia sanggup menahan napas dengan lama juga takbisa menangkan Hiat-to-ceng yang sering2 dapat mengganti napas. Teori ini sama seperti dua orang berkelahi didalam air, yang satu sering2 mumbul kepermukaan air untuk mengganti napas, sebaliknya yang lain terus silam didasar air, dengan sendirinya mudah ditentukan siapa akan unggul dan siapa asor.
Pada achirnya, oleh karena Liok Thian-ju sudah tidak tahan lagi, terpaksa ia mesti menempuh bahaya dan menongol kepermukaan salju untuk bernapas. Dan karena itu badan bagian bawah lantas kena dibacok tiga kali oleh Hiat-to-ceng hingga tewas didasar salju.
Begitulah Cui Tay dan Hoa Tiat-kan masih terus menunggu, tapi sudah lebih satu jam, tetap tidak nampak bayangan Hiat-to-ceng. "Besar kemungkinan Ok-ceng itu terluka parah dan terbinasa juga didasar salju," ujar Cui Tay.
"Kukira memang begitulah," sahut Tiat-kan. "Betapa hebat kepandaian Liok-toako, masakah ia begitu gampang dibunuh musuh tanpa melukai musuh lebih dulu? Apalagi tadi paderi iblis itu sudah bertempur sekian lamanya melawan Lau-hiante, mestinya ia bukan lagi tandingan Liok-toako."
"Ya, pasti dia menggunakan tipu keji hingga Liok-toako masuk perangkapnya," kata Cui Tay. Berkata sampai disini ia tidak tahan lagi rasa duka dan murkanya. Teriaknya segera: "Biar kuturun kebawah sana untuk melihatnya."
"Baiklah, tapi hendaklah hati2, aku akan mengawasi kau disini," sahut Tiat-kan
Cui Tay terkesiap, katanya didalam hati: "Aneh, sebagai seorang ksatria sejati mengapa kau tidak menyatakan hendak pergi bersama?"
Namun saat itu ia sudah bertekad hendak menemukan mayat Hiat-to-ceng, lalu akan dicincangnya hingga hancur luluh untuk melampiaskan dendamnya. Paling baik kalau napas paderi jahat itu belum lagi putus, dengan demikian ia dapat menyiksanya se-puas2nya sebelum paderi itu dibunuhnya.
Begitulah segera ia menghunus pedangnya, ia menarik napas panjang2 sekali, dengan Ginkangnya yang tinggi ia terus meluncur kesana, tapi baru meluncur beberapa meter jauhnya, mendadak "pluk", dari bawah salju disebelahnya meloncar keluar seorang yang bukan lain adalah Hiat-to Loco, tapi bertangan kosong, goloknya entah kemana perginya.
Begitu muncul diatas salju, segera paderi itu melayang kesamping hingga beberapa meter jauhnya sambil ber-teriak2: "Seorang laki2 sejati harus mengutamakan keadilan. Kau bersenjata dan aku bertangan kosong, cara bagaimana kita harus berkelahi?"
Dan belum lagi Cui Tay menjawab, dikejauhan sana Hoa Tiat-kan sudah menyahut: "Untuk membunuh paderi jahat ini masakah perlu bicara tentang keadilan apa segala?"
Habis berkata, ia terus memburu maju juga untuk menggencet musuh.
Cui Tay menaksir golok merah paderi itu tentu sudah hilang ditengah salju waktu menempur Liok-toako tadi, untuk mencari kembali tentu tidak mudah. Ia menjadi lega demi nampak musuh tak bersenjata, ia yakin sekarang pasti akan menang, yang harus dijaga sekarang yalah paderi itu sekali2 jangan sampai lolos lagi untuk kemudian menyusup pula kedalam salju. Segera serunya: "Hai, Hweshio jahanam, dimanakah puteriku? Asal kau katakan terus terang, segera akan kubunuh kau dengan sekali tabas, supaya kau takkan merasakan siksaan lebih jauh."

"Tempat sembunyi anak dara itu sangat sulit untuk kau ketemukan, asal kau berikan jalan lari padaku, segera akan kukatakan padamu," ujar Hiat-to Loco sambil terus berlari, kuatir kalau disusul oleh Cui Tay.
Diam2 Cui Tay pikir: "Biarlah kutipu dia agar mengaku lebih dulu." ~ Maka ia lantas berkata: "Disekitar sini juga melulu tebing curam belaka, meski kau diberi jalan juga tak bisa pergi?"
"Itulah gampang," sahut Hiat-to-ceng. "Bila engkau memberi jalan hidup padaku, segera kita dapat berunding untuk mencari akal bersama. Bila kau bunuh aku, tetap kau akan susah keluar dari jurang kurung ini. Maka lebih baik kita menjadi kawan saja dan aku akan berdaya menolong kalian keluar dari lembah ini?"
"Huh, paderi jahat seperti kau ini masakah dapat dipercaya?" damperat Hoa Tiat-kan dengan gusar. "Hayo, lekas kau berlutut dan menyerah, cara bagaimana kau akan diadili tergantung kami, kau barani banyak cerewet?" ~ Sembari berkata ia terus mendesak main dekat.
"Jika begitu maafkan aku takdapat menemani kalian lagi," seru Hiat-to-ceng. Segera ia angkat kaki dan berlari kearah timur laut sana.
"Lari kemana, Hweshio jahanam!" damperat Cui Tay sambil mengudak.
Tapi lari Hiat-to Loco semakin kencang. Ketika sampai dipojok sana, karena terhalang oleh tebing yang tinggi, mendadak ia putar kembali dan menyelinap lewat disamping Cui Tay. Kontan pedang Cui Tay menabas sekali, namun selisih satu-dua senti dari sasarannya hingga tidak kena. Kembali Hiat-to-ceng itu berlari ketempat tadi.
Melihat itu, diam2 Cui Tay membatin: "Jika terus udak2an ditengah jurang ini, susah juga untuk menangkap jahanam yang punya Ginkang lihay itu. Pula Sing-ji entah disembunyikan dimana?" ~ Karena gopohnya itu, ia mengudak terlebih kencang lagi.
Se-konyong2 terdengar Hiat-to-ceng menjerit sekali, kakinya lemas dan orangnya terus jatuh tengkurap kedepan, kedua tangannya tampak men-cakar2 salju seperti ingin merangkak bangun, tapi terang sekali tenaganya sudah habis, sesduah merangkak dua kali, lalu terbanting pula dan tak sanggup bangun lagi.
Tentu saja Cui Tay tidak sia2kan kesempatan bagus itu, secepat terbang ia memburu maju terus menikam dengan pedangnya. Karena dia ingin menyiksa paderi itu lebih dulu sebelum membinasakannya, maka tusukannya itu diarahkan kebagian bokong, asal paderi itu takbisa lari lagi, kemudian akan disiksa untuk ditanya tempat sembunyi Cui Sing.
Tak terduga, baru pedangnya diangkat, se-konyong2 kakinya merasa "blong", injak tempat kosong, berbareng tubuhnya terus kejeblos kebawah.
Dalam pada itu Tik Hun dan Cui Sing juga sedang mengikuti kejadian diluar gua itu dengan perasaan yang ber-beda2, yang satu kuatir dan yang lain senang. Siapa tahu mendadak Cui Tay menghilang dari tanah salju itu. Menyusul mana lantas terdengar pula suara jeritan yang mengerikan dibawah tanah itulah suaranya Cui Tay yang sangat ketakutan se-olah2 ketemukan sesuatu yang mengerikan.
Keruan kejadian itu membuat Cui Sing terperanjat tak terhingga, begitu pula Tik Hun pun ter-heran2. Ia tidak ingin Hiat-to-ceng pada saat itu terbunuh, sebab hal mana berarti dia sendiripun akan terbinasa. Tapi iapun tidak ingin Cui Tay dan kawannya menjadi korban, sebab ia tahu jago2 tua itu adalah tokoh-tokoh "Hiap-gi" (kaum kesatria) yang terpuja di Tionggoan, yaitu sealiran dengan Ting Tian. Maka demi mendengar jeritan Cui Tay itu, sama sekali tiada rasa syukur atau gembira pada hatinya.
Sementara itu Hiat-to-ceng tampak sudah melompat bangun lagi dengan cepat dan gesit sekali, suatu bukti bahwa kelakuannya tadi hanya pura2 belaka. Dan begitu melompat bangun, begitu kakinya menganjlok, tahu2 tubuhnya lantas menghilang kedalam salju. Ketika sejenak lagi ia muncul kembali keatas, tangannya tampak mengempit sesosok badan manusia yang bermandikan darah. Siapa lagi manusia berdarah itu kalau bukan Cui Tay yang kedua kakinya tampak kutung sebatas lutut.
Melihat keadaan sang ayah yang mengerikan itu, Cui Sing ber-teriak2 sambil menangis: "Ayah, ayah! O, ayah!"
Tik Hun merasa tidak tega juga, dalam kejut dan ngerinya, ia menjadi lupa mencekik leher sigadis lagi, bahkan ia melepas tangan dan menghiburnya malah: "Nona Cui, ayahmu belum meninggal, janganlah menangis!"

Ketika tangan Hiat-to Loco bergerak, tahu2 selarik sinar merah berkemilauan, ternyata golok merah itu sudah kembali berada ditangannya lagi.
Kiranya tadi ia sembunyi dibawah salju hingga sekian lamanya, diam2 ia telah menggali sebuah lubang jebakan, ia taruh goloknya yang tajam itu melintang dimulut lubang dengan mata golok menghadap keatas. Lalu ia menyusup keluar dengan pura2 kehilangan senjata. Ketika musuh mengejar, ia lantas memancingnya ketempat lubang perangkap itu.
Biarpun Cui Tay tergolong tokoh Kangouw yang ulung, namun jebakan dibawah salju itu sekali2 tak terduga olehnya hingga achirnya dia terjebak. Ketika ia kejeblos kebawah maka kontan kedua kakinya tertabas kutung oleh golok yang sangat tajam itu.
Begitulah dengan tipu muslihatnya itu, ber-runtun2 Hiat-to Loco telah membinasakan dua lawan dan meluka-parahkan satu. Sisa Hoa Tiat-kan seorang sudah tentu tak dipandang berat olehnya. Ia lemparkan tubuh Cui Tay ketanah salju, lalu angkat goloknya mendesak maju kehadapan Hoa Tiat-kan sambil berteriak: "Hayolah, jika kau berani, marilah kita bertempur tiga ratus jurus lagi!"
Melihat Cui Tay ter-guling2 ditanah salju karena kedua kakinya sudah buntung, pemandangan ngeri itu benar2 telah memecahkan nyalinya, mana ia berani bertempur lagi? Sambil memegang tumbaknya yang pendek itu ia mengkeret mundur kebelakang. Tumbak itu tampak gemetar, suatu tanda betapa takutnya Hoa Tiat-kan.
Mendadak Hiat-to Loco mengertak sekali sambil mendesak maju dua langkah. Dengan kaget Hoa Tiat-kan melompat mundur dua langkah, saking gemetarnya hingga tangannya terasa lemas, tumbaknya jatuh ketanah, cepat ia jemput kembali dan main mundur pula.
Padahal Hiat-to Loco sesudah ber-turut2 menempur tiga jago kelas wahid, keadaannya juga sudah payah, tenaga habis dan badan lemas. Kalau benar2 Hoa Tiat-kan bergebrak dengan dia, tak mungkin dia mampu menang. Apalagi kepandaian Hoa Tiat-kan sesungguhnya juga tidak dibawah Hiat-to-ceng, jikalau dia mempunyai rasa senasib dan setanggungan dengan para kawan, dengan penuh semangat menerjang maju, pasti paderi Tibet itu akan mati dibawah tumbaknya.
Sayangnya sesudah Hoa Tiat-kan salah membunuh kawan sendiri, yaitu imam tua Lau Seng-hong, pikirannya menjadi kacau dan semangat lesu, apalagi dilihatnya kedua kawan yang lain juga jatuh menjadi korban. Liok Thian-ju terpenggal kepalanya dan kedua kaki Cui Tay terkutung. Kesemuanya itu benar2 telah bikin pecah nyalinya, semangat tempurnya boleh dikata sudah lenyap sama sekali.
Dengan sendirinya Hiat-to Loco sangat senang melihat Hoa Tiat-kan sangat ketakutan. Segera katanya: "Tipu akalku seluruhnya ada 72 macam, harini hanya tiga macam tipu yang kugunakan dan tiga kawanmu sudah menjadi korban, masih sisa lagi 69 macam tipu akalku, kesemuanya itu akan kulaksanakan atas dirimu."
Sebagai seorang tokoh Bu-lim yang terkemuka, pengalaman Hoa Tiat-kan sudah tentu sangat luas, gertakan Hiat-to-ceng itu sebenarnya tidak mempan baginya. Tapi kini ia sudah pecah nyalinya, setiap gerak dan setiap kata Hiat-to-ceng penuh membawa rasa seram dan ngeri baginya. Ketika mendengar paderi itu menyatakan masih ada 69 macam tipu keji yang akan dilaksanakan atas dirinya, segera telinganya meng-ngiang2 dengan kata2 "69 tipu keji", dan karena itu tangannya semakin bergemetar.
Padahal waktu itu Hiat-to Loco juga sudah payah benar2, kalau dapat ia ingin bisa lantas merebah ditanah salju itu untuk tidur se-puas2nya. Tapi ia insaf saat itu iapun sedang menghadapi suatu pertarungan mati2an yang menentukan, dahsyatnya hakikatnya tidak kalah serunya daripada pertempurannya melawan Lau Seng-hong dan Liok Thian-ju. Maka celakalah dia, sekali jago she Hoa itu menyerang pasti orang akan segera tahu keadaannya yang payah itu, dan untuk selanjutnya pasti dia akan mati dibawah tumbak musuh itu. Oleh karena itu, sekuat mungkin ia kerahkan semangatnya sambil memainkan golok yang dipegangnya itu dengan lagak seorang yang masih tangkas.
Dan ketika melihat Hoa Tiat-kan cuma main undur2 saja dan tidak mau lari, diam2 dia men-desak2 didalam hati: "Hayolah lari! Hayolah lari! Keparat, kenapa kau tidak lari!"
Tapi waktu itu ternyata keberanian melarikan diripun sudah tidak dimiliki lagi oleh Hoa Tiat-kan.
Di sebelah sana Cui Tay yang sudah buntung kedua kakinya itu masih menggeletak di tanah salju dalam keadaan senen-kemis. Ia menjadi lebih2 cemas demi menyaksikan begitu rupa ketakutannya Hoa Tiat-kan.
Meski dalam keadaan terluka parah, namun Cui Tay masih dapat melihat jelas bahwa tenaga Hiat-to-ceng itu sebenarnya sudah habis seperti pelita yang kehabisan minyak, asal sang kawan berani maju melabraknya, sekali gebrak pasti dapat membinasakan musuh jahanam itu. Maka sekuat tenaga ia coba menteriakinya: "Hoa-jiko, hayolah maju labrak dia, tenaga paderi jahat itu sudah ludes, terlalu mudah bagimu untuk membunuhnya………."
Hiat-to Loco terperanjat mendengar seruan Cui Tay itu. Pikirnya: "Tua bangka ini benar2 lihay, mungkin aku bisa celaka."
Tapi ia sengaja busungkan dada dan mendesak maju malah sambil berkata kepada Hoa Tiat-kan: "Ya, ya, memang benar! Tenagaku sudah habis, hayolah kita pergi keatas tebing sana untuk bertempur 300 jurus lagi! Hayolah, siapa yang tidak berani anggaplah dia anak haram cucu kura2."
Pada saat itulah mendadak dari gua terdengar suara Cui Sing sedang berteriak: "Ayah, ayah!"
Tiba2 pikiran Hiat-to-ceng tergerak: "Jika saat ini aku membunuh Cui Tay, tentu akan menimbulkan curiga Hoa Tiat-kan akan kebenaran seruan kawannya itu. Biarlah kuseret keluar anak dara itu untuk memencarkan perhatian Cui Tay. Kalau melulu melawan orang she Hoa itu saja tentu akan jauh lebih mudah."
Karena itu, ia sengaja mengejek Hoa Tiat-kan lagi: "Hayo, kau berani tidak, marilah kita bertempur lagi 300 jurus!"
Namun Hoa Tiat-kan telah menjawabnya dengan geleng kepala.
"Lawanlah dia, lawanlah dia! Apakah kau tidak ingin membalas sakit hati Liok-toako dan Lau-samko?" seru Cui Tay pula.
"Hahahaha! Hayo lawanlah, lawanlah!" Hiat-to Loco ter-bahak2 lagi. "Aku justeru sedang menunggu untuk melaksanakan 69 macam tipuku yang kejam atas dirimu! Hayolah maju!" ~ Dan ketika dilihatnya Hoa Tiat-kan malah mengkeret mundur, segera iapun putar tubuh dan masuk kedalam gua, ia jambak rambut Cui Sing dan menyeretnya keluar.
Ia tahu ilmu silat Hoa Tiat-kan sangat lihay, jalan satu2nya sekarang harus menggunakan segala cara siksaan kejam atas diri Cui Tay dan puterinya itu agar lawan tangguh itu selalu dalam keadaan ketakutan hingga tidak berani berkutik. Maka segera ia menyeret Cui Sing kehadapan Cui Tay, bentaknya: "Nah, kau bilang tenagaku sudah habis, baiklah sekarang akan kupertontonkan padamu apakah tenagaku sudah habis atau belum?"
Habis berkata, "bret", mendadak ia tarik sekuatnya hingga lengan baju kanan Cui Sing terobek sebagian besar, maka tertampaklah lengan sigadis yang putih halus laksana salju itu.
Keruan Cui Sing menjerit ketakutan, tapi karena jalan darahnya tertutuk, hanya mulut yang bisa bersuara untuk melawan sama sekali tak bisa.
Dalam pada itu Tik Hun juga sudah ikut merayap keluar dari gua, ketika menyaksikan adegan mengerikan itu, ia menjadi tak tega, terus saja ia berteriak: "Jang ..……. jangan kau menghina nona itu!"
"Hahahaha!" Hiat-to Loco ter-bahak2 malah: "Jangan kuatir, cucu-muridku yang baik, pasti Cosuya takkan mencelakai nyawanya."
Habis itu, ia putar tubuh sedikit, sekali goloknya berkelebat, tahu2 bahu kiri Cui Tay telah dipapasnya sebagian, lalu tanyanya: "Nah, katakanlah, tenagaku sudah habis atau belum?"
Keruan darah segar seketika muncrat keluar dari bahu Cui Tay, sebaliknya Hoa Tiat-kan dan Cui Sing berbareng menjerit kaget.
Dan ketika Hiat-to Loco membetot sekali pula, kembali baju Cui Sing terobek sebagian lagi. Kemudian katanya kepada Cui Tay: "Asal kau panggil Cosuyaya tiga kali kepadaku, segera puterimu akan kuampuni. Nah, kau mau panggil tidak?"
"Cuh", mendadak Ciu Tay meludahi paderi itu sepenuh tenaga. Tapi sedikit mengegos, dapatlah Hiat-to-ceng menghindar, dan karena gerakannya itu, tanpa kuasa tubuhnya menjadi sempoyongan, kepala pening dan mata ber-kunang2, hampir2 ia roboh terjungkal. Keadaan itu dapat dilihat dengan jelas oleh Cui Tay, terus saja ia ber-teriak2: "Hoa-jiko, hayolah lekas turun tangan, lekas serang dia!"
Tentang keadaan Hiat-to-ceng yang sempoyongan itu dengan sendirinya juga dilihat oleh Hoa Tiat-kan. Tapi ia justeru berpikir: "Jangan2 paderi jahat itu cuma pura2 saja untuk memancing aku. Ok-ceng itu banyak tipu muslihatnya, betapapun aku harus waspada."

Dan sesudah tenangkan diri, kembali Hiat-to-ceng membacok pula dengan goloknya hingga lengan kanan Cui Tay tergurat suatu luka dalam. "Kau mau panggil Cosuyaya padaku atau tidak?" demikian bentaknya pula.
Saking kesakitan, hampir2 Cui Tay kelengar. Tapi ia sangat perwira, matipun ia tidak sudi takluk. Kembali ia memaki: "Hwesio bangsat, biar mati orang she Cui tidak nanti menyerah padamu! Lekas kau bunuh aku saja!"
"Huh, enak?" jengek Hiat-to-ceng. "Aku justeru hendak menyayat lenganmu, aku akan potong dagingmu selapis demi selapis. Tapi asal kau panggil Cosuyaya tiga kali dan minta ampun padaku, jiwamu lantas kuampuni."
"Cuh", kembali Cui Tay meludahi musuh, damperatnya: "Jangan kau mimpi disiang bolong, Hwesio durjana!"
Hiat-to-ceng tahu watak situa itu sangat bandel, sekalipun mencacah badannya hingga hancur luluh juga tidak mungkin membuatnya takluk. Maka katanya segera: "Baiklah, aku akan kerjakan puterimu ini, coba nanti kau akan memanggil Cosuyaya padaku tidak?"
Habis berkata, kembali tangannya menarik, "bret", lagi2 sebagian baju Cui Sing kena disobeknya. Kali ini adalah sebagian gaunnya.
Sudah tentu Cui Tay sangat murka. Sebagai seorang kesatria sejati, biarpun musuh menghujani bacokan atas badannya juga takkan menaklukannya. Tapi paderi jahat itu sengaja menghina puterinya didepan orang banyak, perbuatan ini benar2 tak bisa dibiarkan olehnya. Tapi apa daya, kakinya sudah buntung, bahkan jiwa sendiri juga tergantung ditangan musuh. Melihat gelagatnya, terang paderi jahat itu hendak melucuti pakaian Cui Sing sepotong demi sepotong hingga telanjang bulat, bahkan bukan mustahil akan diperlakukan secara tidak senonoh pula dihadapannya dan dihadapan Hoa Tiat-kan.
Maka terdengar Hiat-to-ceng berkata pula dengan tertawa iblis. "Segera orang she Hoa ini akan tekuk lutut dan minta ampun padaku, segera aku akan melepaskan dia, biar dia menyiarkan kejadian ini kekalangan Kangouw bahwa puterimu telanjang bulat dihadapanmu. Hahahah! Bagus, bagus! Hoa Tiat-kan, kau akan berlutut minta ampun? Ya, ya boleh, boleh, tentu aku akan mengampuni jiwamu!"
Mendengar ocehan itu, semangat tempur Hoa Tiat-kan lebih2 buyar lagi. Memangnya maksud tujuannya tiada lain yalah mencari hidup. Meski berlutut minta ampun adalah perbuatan yang memalukan, tapi toh jauh lebih enak daripada badan di-sayat2 oleh golok musuh. Sama sekali tak terlintas pikirannya akan bertempur pula dengan sepenuh tenaga, hal mana sebenarnya tidak susah baginya untuk membunuh musuh, tapi yang terbayang olehnya sekarang yalah Hiat-to-ceng dihadapannya itu terlalu seram, terlalu menakutkan. Ia dengar Hiat-to-ceng sedang berkata pula: "Kau jangan kuatir, jangan takut, asal kau sudah berlutut dan minta ampun, pasti jiwamu takkan kuganggu."
Ucapan yang membesarkan hati itu bagi pendengaran Hoa Tiat-kan rasanya sangat enak dan sedap.
Sudah tentu kesempatan baik itu tak di-sia2kan Hiat-to-ceng melihat air muka Hoa Tiat-kan mengunjuk rasa terhibur, segera ia tinggalkan Cui Sing dan mendekati Tiat-kan dengan golok terhunus, katanya: "Bagus, bagus! Kau hendak berlutut dan minta ampun, nah, buanglah tumbakmu dulu. Ya, ya, aku pasti takkan mengganggu jiwamu, nah, nah, taruhlah tumbakmu ketanah, nah, begitulah!"
Begitulah nada suara Hiat-to-ceng itu sangat lemah lembut dan menimbulkan daya pengaruh yang takdapat dilawan. Benar juga, sekali cekalan Hoa Tiat-kan kendur, tumbaknya lantas terlempar ketanah salju. Dan sekali senjatanya sudah terlepas dari tangan, dengan hati bulat ia benar2 sudah takluk pada musuh.
Dengan wajah tersenyum simpul Hiat-to-ceng berkata: "Bagus, bagus! Engkau sangat penurut, aku sangat suka padamu. Eh, tumbakmu itu boleh juga, coba kulihat! Kau mundur dulu kesana tiga tindak, nah, nah, begitulah, ya mundur lagi tiga tindak!"
Begitulah seperti orang yang sudah kehilangan sukma, Hoa Tiat-kan hanya menurut belaka apa yang dikehendaki musuh.
Maka pelahan2 Hiat-to Loco menjemput tumbak yang ditinggalkan Hoa Tiat-kan itu. Sambil memegangi tumbak pendek itu, ia merasa tenaga murninya setitik demi setitik juga sedang menghilang lagi, beruntun ia coba kerahkan tenaganya dua kali, tapi hasilnya nihil, tenaga murni itu takdapat dihimpun kembali lagi. Diam2 ia terkejut: "Jadi sesudah bertempur melawan tiga jago tangguh tadi, tenagaku sudah habis terkuras benar2, untuk dapat memulihkan tenagaku ini mungkin perlu mengaso setengah atau satu bulan lamanya." ~ Dari itu, meski ia sudah memegang sejata Hoa Tiat-kan, tapi ia masih kuatir bila lawan itu mendadak tabahkan diri dan menyerangnya, sekali gontok saja pasti dirinya akan dirobohkan.
Sementara itu ketika Cui Tay melihat Hiat-to-ceng lagi berusaha menaklukkan Hoa Tiat-kan, segera ia membisiki sang puteri: "Sing-ji, lekaslah kau bunuh aku saja!"
"Ay …….ayah! Aku ……. Aku tak dapat!" sahut Cui Sing dengan ter-guguk2.
Tiba2 Cui Tay melirik sekejap pada Tik Hun, lalu katanya: "Siausuhu, sudilah kau berbuat bajik, lekas kau membunuh aku saja!"
Tik Hun tahu maksud jago tua itu, daripada hidup tersiksa dan dihina, lebih baik lekas2 terbinasa saja.
Sesungguhnya Tik Hun memang tidak tega dan sangat ingin membantu tamatkan riwayat Cui Tay. Tapi bila dirinya turun tangan, hal mana pasti akan menimbulkan kemurkaan Hiat-to Loco. Padahal ia sudah saksikan dengan mata kepala sendiri betapa akan buas dan kejamnya paderi Tibet itu. Makanya iapun tidak berani sembarangan membikin marah padanya.
"Sing-ji, boleh kau mohonlah belas kasihan Siausuhu ini agar suka lekasan membunuh aku saja, kalau terlambat sebentar lagi tentu akan kasip." Pinta Cui Tay kepada puterinya.
Tapi pikiran Cui Sing sedang kusut dan bingung, sahutnya: "Ayah, engkau tak boleh meninggal, engkau tak boleh meninggal!"
"Dalam keadaan demikian, aku lebih baik mati daripada hidup, masakah kau tidak melihat penderitaanku ini?" kata Cui Tay dengan gusar.
Dan baru sekarang Cui Sing tersadar, sahutnya: "Ya, benar! Ayah, biarlah ku mati bersama engkau!"
"Siausuhu," segera Cui Tay meminta lagi kepada Tik Hun, "mohon belas kasihanmu, sudilah lekas membunuh aku. Suruh aku takluk dan minta ampun pada paderi tua bangka itu, masakah orang she Cui ini sudi buka mulut? Pula aku takdapat menyaksikan puteriku dihina olehnya!"
Meski selama ini Tik Hun menyelamatkan diri dengan membonceng Hiat-to Loco serta bermusuhan dengan para jago silat dari Tionggoan, namun hati kecilnya sebenarnya tidak suka kepada paderi jahat itu. Dasar jiwanya memang luhur dan bersemangat kesatria, kini mendadak timbul juga jiwa kepahlawanannya, dengan suara tertahan segera ia terima baik permintaan Cui Tay. "Baiklah, akan kubunuh kau, meski nanti akan diamuk oleh paderi tua juga aku tidak peduli lagi!"
Cui Tay bergirang, memangnya ia seorang yang banyak tipu akalnya, meski dalam keadaan terluka parah, namun ia masih bisa mengatur siasat, bisiknya kepada Tik Hun: "Aku akan pura2 memaki kau dengan suara keras, lalu sekali kemplang boleh kau binasakan aku, paderi tua bangka itu pasti tidak mencurigai kau lagi!" ~ Dan tanpa menunggu jawaban Tik Hun, terus saja ia memaki kalang kabut: "Hwesio cabul kecil, Hwesio keparat! Jika kau tidak mau sadar dan tetap meniru perbuatan Hwesio tua bangka yang terkutuk itu, kelak kau psti akan mendapatkan ganjaran yang setimpal. Bila hati nuranimu masih baik, seharusnya lekas2 kau tinggalkan Hiat-to-bun! Hwesio cabul kecil, kau anak jadah, cucu kura2!"
Diantara caci-maki itu dapat didengar Tik Hun bahwa ada bagian2 yang menasihatkan dirinya agar menuju kejalan yang baik. Diam2 ia merasa berterima kasih, segera ia angkat sepotong kayu, tapi toh tidak tega dikemplangkan begitu saja.
Keruan Cui Tay menjadi gopoh, dengan tak sabar ia memaki lebih keji lagi.
Disebelah sana tertampak Hoa Tiat-kan sudah tak berdaya, mendadak kakinya lemas terus bertekuk lutut dan menyembah kepada Hiat-to Loco.
Dengan ter-bahak2 Hiat-to Loco tidak sia2kan kesempatan bagus itu, sekali tutuk "Leng-tay-hiat" dipunggung Hoa Tiat-kan yang sedang menyembah itu kena ditutuknya. Dan karena tutukan itu adalah sisa antero tenaganya yang masih tinggal setitik itu, maka habis itu, iapun lemas benar2. Hoa Tiat-kan tertutuk roboh, Hiat-to-ceng sendiri juga lemas lunglai sampai dengkulnya hampir tak kuat menahan sang tubuh.
Melihat Hoa Tiat-kan bertekuk lutut, hati Cui Tay menjadi pedih, kawan itu sudah takluk pada musuh, kalau dirinya mati pula, maka tiada seorangpun yang dapat melindungi sang puteri lagi, diam2 ia sesalkan nasib puterinya yang buruk itu. Mendadak ia membentak; "Hwesio cilik keparat! Mengapa kau tidak berani hantam aku?"
Tik Hun sendiri juga menyaksikan Hoa Tiat-kan menyerah tanpa syarat kepada Hiat-to-ceng, ia pikir sejenak lagi paderi tua itu pasti akan putar balik, maka dengan mengkertak gigi, terus saja ia ayun alu kayu tadi keatas kepala Cui Tay.
"Prak", kontan batok kepala pendekar besar itu pecah dan binasa seketika.
"Ayah!" Cui Sing menjerit sekali, lalu iapun jatuh pingsan.
Hiat-to Loco juga mendengar suara caci-maki Cui Tay tadi, maka ia sangka Tik Hun tidak tahan makian itu, maka telah membunuh jago tua itu. Ia pikir sekarang toh Hoa Tiat-kan sudah takbisa berkutik, mati-hidupnya Cui Tay sudah tidak menjadi soal lagi baginya. Dan karena rasa lega dan saking gembiranya; terus saja ia ter-bahak2 keras.
Namun ia lantas merasa suara tertawa sendiri itu tidak beres, suara itu cuma "hoh-hoh-hoh" belaka, suara parau yang lemah, suara itu lebih tepat dikatakan merintih daripada disebut tertawa.
Ia coba berjalan dengan sempoyongan, tapi hanya dua-tiga langkah saja, tiba2 terasa pinggang pegal linu, achirnya ia terjatuh mendoprok lagi ketanah salju.
Melihat kejadian begitu, baru sekarang Hoa Tiat-kan sangat menyesal: "Ya, apa yang dikatakan Cui-hiante memang tidak salah, paderi jahat itu ternyata benar sudah kehabisan tenaga. Tahu begitu, tadi kuhantam sekali tentu dapat membinasakan dia, tapi mengapa aku menjadi begini pengecut serta berlutut dan minta ampun padanya?" ~ Sungguh ia menjadi malu tak terhingga mengingat nama baiknya sebagai seorang pendekar besar yang tersohor selama berpuluh tahun, kini ternyata mandah bertekuk lutut menyerah pada musuh, noda dan hina perbuatannya ini betapapun susah dihapus lagi. Kini ia sudah tertutuk, untuk bisa bergerak lagi harus tunggu 12 jam kemudian.
Sebagai seorang Kangouw ulung, ia tahu selama Hiat-to-ceng masih berlagak perkasa, jiwanya mungkin masih dapat diselamatkan, tapi kini kelemahan Hiat-to-ceng sudah ketahuan, terhadap padanya tentu juga tiada kenal ampun lagi. Sebab kalau masih bicara tentang ampun segala, bila 12 jam kemudian hingga dirinya dapat bergerak, mustahil takkan balas turun tangan kepada paderi itu.
Dan benar juga, segera terdengar Hiat-to-ceng berkata kepada Tik Hun: "Cucu murid yang baik, hayolah lekas kau kemplang mampus orang itu. Orang itu teramat licik dan keji, jangan dibiarkan hidup."
"Bukankah kau sudah berjanji akan mengampuni jiwaku, mengapa kau ingkar janji?" seru Hoa Tiat-kan. Sudah terang diketahui protesnya itu takkan berguna, tapi sebelum ajal ia pantang mati, sedapat mungkin ia ingin hidup.
"Hm, paderi keluaran Hiat-to-bun kami masakah bicara tentang kepercayaan apa segala?" jengek Hiat-to Loco dengan tertawa iblis. "Kau tekuk lutut dan minta ampun padaku adalah karena kau telah tertipu olehku. Haha, hahaha! Nah, cucu-murid yang baik, lekas sekali kemplang mampuskan dia saja. Kalau dibiarkan hidup, akibatnya sangat berbahaya bagi kita."
Sesungguhnya Hat-to-ceng juga sangat jeri kepada Hoa Tiat-kan, ia tahu tutukan yang dilakukannya tadi karena kurang kuat tenaganya, belum tentu tutukan itu dapat mengenai tempat yang paling dalam, bukan mustahil setiap saat akan dapat ditembus oleh tenaga dalam Hoa Tiat-kan, tatkala itu keadaan akan berbalik menjadi dirinya yang merupakan makanan empuk bagi jago she Hoa itu.
Namun Tik Hun tidak tahu kalau tenaga dalam Hiat-to Loco sudah kering benar2,, ia sangka sesudah sekian lamanya mengalahkan lawan2 tangguh, maka paderi tua itu perlu mengaso sebentar. Diam2 ia pikir: "Sebabnya aku membunuh Cui-tayhiap tadi adalah karena aku ingin membantu dia terhindar dari siksaan lebih jauh. Sedangkan Hoa-tayhiap itu toh tidak kurang apa2, mengapa aku mesti membunuh dia?"
Karena pikiran itu, ia lantas berkata: "Cosuya, dia toh sudah menyerah dan tertutuk olehmu, kukira boleh mengampuni jiwanya saja!"
"Benar! Benar ucapan Siausuhu itu!" seru Hoa Tiat-kan segera. "Memang tepat perkataan Siausuhu, aku sudah ditaklukan kalian, sedikitpun tiada maksud melawan lagi, mengapa kalian akan membunuh aku pula?"
Tatkala itu Cui Sing mulai siuman sambil menangis dan me-rintih2 nama sang ayah. Ketika mendengar permintaan ampun Hoa Tiat-kan secara tidak kenal malu itu, sungguh bencinya setengah mati, kontan ia memaki: "Hoa-pepek, engkau sendiri terhitung satu jago kelas satu yang gilang-gemilang di Tionggoan, mengapa engkau begitu rendah dan tanpa malu2 minta ampun kepada musuh? Se-mata2 engkau melihat ayahku tersiksa, tapi kau ………. kau malah …………" ~ Sampai disini ia tidak sanggup meneruskan lagi karena tangisnya yang teramat pilu.
"Tapi………..tapi ilmu silat kedua Toasuhu itu terlalu tinggi, kita tak mampu menangkan mereka, maka lebih …………. lebih baik kita menyerah saja dan ikut pada mereka, kita akan tunduk pada perintah mereka," demikian kata Hoa Tiat-kan dengan tidak malu2 lagi.
Hiat-to-ceng pikir makin lama menunggu makin berbahaya baginya. Tapi celaka, sedikitpun ia tidak bertenaga. Maksudnya hendak berdiri juga tidak sanggup lagi. Maka katanya pula: "Anak baik, turutlah pada Cosuya, lekaslah bunuh manusia rendah itu!"
Akan tetapi sambil memegangi alu yang telah digunakan mengemplang Cui Tay tadi, Tik Hun hanya bergemetar saja dengan ragu2.
Ketika Cui Sing menoleh dan melihat kepala sang ayah pecah penuh darah, tewasnya sangat mengenaskan, teringat betapa kasih sayang sang ayah kepadanya dimasa hisupnya, sungguh hancurlah hatinya dan hampir2 kelengar lagi.
Tentang Cui Tay minta pertolongan pada Tik Hun agar suka membunuhnya, hal itu telah didengar juga oleh Cui Sing. Tapi saking dukanya sekarang ia tidak dapat membedakan salah atau benar lagi, yang diketahui olehnya adalah kepala sang ayah yang pecah itu lantaran dikemplang oleh Tik Hun. Rasa duka dan murkanya tak tertahan lagi, se-konyong2 satu arus hawa panas menerjang naik dari bagian perut.
Seorang jago silat yang Lwekangnya sudah terlatih sempurna, biasanya memang mampu mengunakan hawa murni sendiri untuk membuka Hiat-to yang tertutuk. Tapi untuk mencapai tingkatan yang hebat itu bukanlah suatu cara yang mudah. Sedangkan Hoa Tiat-kan saja takbisa, apalagi Cui Sing?
Tapi setiap orang dalam saat menghadapi mara bahaya, pada waktu mengalami suatu pergolakan perasaan yang luar biasa, maka sering2 akan dapat timbul suatu kemampuam yang tak terduga, kemampuan yang dapat melakukan sesuatu yang biasanya sangat sulit dilaksanakan. Yaitu misalnya waktu terjadi kebakaran, tanpa merasa seorang dapat mengangkat benda berat yang biasanya tidak kuat diangkatnya atau melompat tempat tinggi yang biasanya tidak mungkin dilampauinya.
Dan begitulah kira2 keadaan Cui Sing pada saat itu. Oleh karena bergolaknya sang perasaan, Hiat-to yang tertutuk itu mendadak lancar kembali oleh tenaga yang timbul mendadak dari pusarnya itu. Enatah darimana datangnya tenaga lagi, se-konyong2 ia melompat bangun, ia rampas kayu yang dipegang Tik Hun terus menghantam dan menyabat serabutan kearah pemuda itu.
Meski Tik Hun sudah berkelit kesana dan mengegos kesini, tapi mukanya, kepalanya, telinga dan pundaknya toh be-runtun2 kena digebuk hingga belasan kali dan sakitnya tidak kepalang. Sembari tangannya dipakai menangkis, mulutnya sibuk berteriak pula: "Hei, hei! Mengapa kau memukul padaku? Ayahmu sendiri yang suruh aku membunuhnya!"
Cui Sing terkesiap mendengar seruan itu. Benar juga pikirnya, memang tadi ia sendiri juga mendengar ayahnya sendiri yang meminta pemuda itu suka membunuhnya. Dan sesudah tertegun sejenak, seketika ia lemas seperti balon gembos. Ia terkulai disamping Tik Hun dan menangis ter-gerung2.
Mendengar ucapan Tik Hun yang mengatakan Cui Tay yang minta pemuda itu membunuhnya, sekilas pikir saja segera Hiat-to Loco paham duduknya perkara, keruan ia sangat gusar: "Bocah ini berani membangkang pada perguruan dan malah membantu musuh, benar2 murid durhaka yang kudu dibasmi."
Dalam gusarnya segera ia bermaksud menyambar goloknya untuk membunuh Tik Hun. Tapi sedikit tangannya bergerak, segera teringat tenaga sendiri terlalu lemah, keselamatan sendiri sebenarnya sangat berbahaya.
Namun Hiat-to-ceng itu memang seorang manusia licin, sedikitpun ia tidak perlihatkan rasa gusarnya itu, bahkan dengan tersenyum ia berkata: "Eh, cucu murid yang baik, kau harus mengawasi anak dara itu dan jangan membiarkan dia main gila. Dia sudah menjadi milikmu, bagaimana kau akan perlakukan dia, Cosuya terserah kepadamu."
Tapi disebelah sana Hoa Tiat-kan telah mengetahui ketidak beresan itu, segera ia berseru: "Cui-titli, kemarilah sini, aku ingin bicara padamu."
Ia tahu waktu itu Hiat-to Loco sudah tak bertenaga sedikitpun dan tidak menguatirkan lagi. Tik Hun kakinya patah, diantara mereka berempat sebaliknya Cui Sing sekarang terhitung paling kuat, maka ia ingin membisiki gadis itu agar segera menggunakan kesempatan bagus itu untuk membunuh kedua paderi.
Tak terduga Cui Sing sudah terlalu benci kepada jiwanya yang rendah dan tidak kenal malu itu, ia pikir kalau kau tidak takluk pada musuh, tentu jiwa ayahku takkan melayang. Maka pangilan Hoa Tiat-kan itu sama sekali tak digubris olehnya.
"Cui-titli," demikian Tiat-kan berseru pula, "Jikalau kau ingin melepaskan diri dari kesulitan, sekarang adalah saat yang paling baik. Kemarilah kau, akan kukatakan padamu."
Hiat-to Loco menjadi gusar, damperatnya: "Tutup bacotmu! Kau berani cerewet lagi, segera kupenggal kepalamu!"
Betapapun Hoa Tiat-kan ternyata tidak berani kepada paderi Tibet itu, maka ia tidak berani bersuara lagi, hanya ber-ulang2 ia main mata kepada Cui Sing.
Cui Sing menjadi sebal dan mual terhadap kelakuan manusia rendah itu, damperatnya dengan gusar: "Ada soal apa, katakan saja, mengapa mesti main kasak-kusuk segala?"
Gemas rasa Hoa Tiat-kan terhadap sigadis yang tidak menurut itu. Pikirnya: "Tampaknya paderi tua itu sedang mengerahkan tenaga dalamnya. Sedikit tenaganya pulih kembali, asal kuat mengangkat goloknya, pasti aku yang akan dibunuh paling dulu. Waktu sudah mendesak, terpaksa aku harus lekas beberkan rahasianya." ~ Maka cepat ia berseru: "Cui-titli, coba lihat Hwesio tua itu, setelah pertarungan sengit tadi, tenaganya sudah terkuras habis, sejak tadi ia mendoprok ditanah dan tidak kuat berdiri lagi."
Cui Sing coba melirik sipaderi tua, benar juga dilihatnya paderi itu menggeletak diatas salju, keadaannya sangat payah. Teringat kepada sakit hati sang ayah, seketika ia menjadi kalap, tanpa pikir lagi apakah perkataan Hoa Tiat-kan itu benar atau tidak, terus saja ia angkat batang kayu dan menghantam kearah Hiat-to ceng.
Namun Hiat-to Loco itiu benar2 manusia yang licin, ketika mendengar Hoa Tiat-kan ber-ulang2 memanggil Cui Sing, diam2 iapun tahu maksud musuh itu, dalam kuatirnya iapun peras otak mencari bagaimana harus menghadapi sigadis bila sebentar lagi datang menyerang padanya. Sedapat mungkin ia menarik napas panjang dua kali, tapi perutnya terasa kosong blong tanpa tenaga sedikitpun, bahkan bertambah lemah daripada tadi. Seketika ia menjadi tak berdaya dan sementara itu batang kayu Cui Sing sudah melayang keatas kepalanya.
Oleh karena saking duka atas kematian ayahnya, maka serangan Cui Sing itu hakikatnya sekenanya belaka tanpa sesuatu gerak tipu. Biasanya senjata kemahirannya adalah pedang, sebenarnya ia tidak paham ilmu pentung. Sebab itulah sekali ia menggebuk, segera tertampak banyak lubang kelemahannya. Kesempatan itu segera dipergunakan Hiat-to Loco dengan baik, sedikit ia miringkan tubuh, diam2 ia julurkan tumbak Hoa Tiat-kan yang dipegangnya dengan miring keatas.
Cuma keadaannya terlalu lemah, untuk angkat ujung tumbak keatas sesungguhnya tidak kuat baginya. Maka yang dapat diacungkan miring keatas itu adalah garan tumbak, ia incar "Toa-pau-hiat" dibawah ketiak Cui Sing.
Saking pilunya perasaan, sudah tentu Cui Sing tidak menduga akan akal licik orang, sekali hantam, tepat sekali pentungnya mengenai muka Hiat-to-ceng hingga bonyok dan keluar darahnya. Tapi pada saat yang sama pula ketiaknya terasa kesemutan, kaki-tangannya menjadi lemas, badannya tergeliat dan achirnya roboh terguling disamping Hiat-to-ceng.
Meski mukanya kena dihanjut sekali oleh pentung sigadis hingga sangat kesakitan, namun Hiat-to Loco juga melihat tipu dayanya telah berhasil, Cui Sing telah membenturkan "Toa-pau-hiat" diketiak sendiri keujung tumbak yang dipasangnya, jadi Hiat-to sendiri ditutuk sigadis sendiri. Saking senangnya Hiat-to Loco ter-bahak2 dan berkata: "Nah, bangsat tua she Hoa, kau bilang tenagaku sudah habis, kenapa dengan gampang saja aku dapat merobohkan dia?"
Bahwasanya Cui Sing tersodok sendiri jalan darahnya oleh ujung tumbak yang sengaja dipasangi Hiat-to Loco, karena ter-aling2 badan sigadis, maka apa yang terjadi itu tak dilihat oleh Hoa Tiat-kan dan Tik Hun, maka mereka menjadi kaget dan percaya penuh bahwa gadis itu telah ditutuk roboh oleh Hiat-to Loco.

Ketika didekati Hiat-to Loco, saking ketakutannya Hoa Tiat-kan terus bertekuk lutut dan menyembah kepada paderi jahat itu serta minta ampun.
Keruan yang paling kaget dan takut adalah Hoa Tiat-kan, dengan tidak kenal malu2 lagi ia memuji setinggi langit: "Ya, ya, memang ilmu sakti Locianpwe sudah tiada taranya, dengan sendirinya manusia biasa seperti diriku yang berpandangan picik ini tidak kenal akan ilmu sakti Locianpwe. Betapa hebat tenaga dalam Locianpwe itu boleh dikata tiada bandingannya dijagat ini, bahkan mungkin tidak pernah ada dari jaman dulu hingga sekarang."
Begitulah tiada habis2nya dia memuji Hiat-to Loco. Dari suaranya yang gemetar itu, terang hatinya ketakutan setengah mati.
Padahal bisanya Hiat-to Loco merobohkan Cui Sing itu hanya dilakukan secara untung2an saja. Sesudah berhasil, diam2 ia sangat bersyukur dirinya sudah bebas dari ancaman maut. Tapi jalan darah Cui Sing yang tersodok itu hanya terkena tenaga luaran dari sesuatu benda keras, jadi bukan ditutuk dengan tenaga dalam yang dapat menyusup hingga titik Hiat-to yang paling mendalam. Setelah lewat beberapa lamanya Hiat-to yang tersodok itu akan lancar kembali. Dan bila hal mana terjadi, tidak mungkin tutukan secara kebetulan itu dapat terulang, tak usah disangsikan lagi jiwanya pasti akan melayang ditangan sigadis.
Sebab itulah, Hiat-to-ceng berusaha sedapat mungkin didalam waktu singkat itu harus memulihkan sedikit tenaga, pada sebelum Cui Sing dapat bergerak, ia sendiri sudah harus dapat berdiri.
Maka dengan diam2 Hiat-to-ceng melakukan semadi walaupun dengan cara yang tidak sewajarnya, yaitu dengan mendoprok. Habis, untuk duduk bersila saja ia tidak mampu.
Tempat menggeletak Cui Sing itu jaraknya cuma satu-dua meter disebelah Hiat-to-ceng. Semula ia sangat kuatir entah perlakuan apa lagi yang hendak dilaksanakan atas dirinya oleh paderi jahat itu. Tapi sesudah sekian lamanya sedikitpun tiada sesuatu gerak-gerik dari paderi itu, barulah hatinya merasa lega.
Ditanah bersalju saat itu menjadi menggeletak empat orang dengan perasaan2 yang ber-beda2.
Tik Hun antero tubuhnya, dari kepala, pundak, tangan, sampai kaki, semuanya babak belur dan sakit tak terkatakan, dengan mengkertak gigi ia bertahan sedapat mungkin supaya tidak merintih, suruh dia memeras otak terang tidak sempat lagi.
Hiat-to-ceng cukup tahu tenaga dalam sendiri sudah kering, jangankan hendak memulihkan dua-tiga bagian tenaga itu, sekalipun untuk berjalan saja paling sedikit diperlukan waktu dua-tiga jam lagi. Sedangkan keadaan Hoa Tiat-kan juga tidak lebih baik, ia tertutuk dan paling sedikit harus esok paginya baru bisa bergerak dengan sendirinya.
Jadi bahaya yang terbesar tetap terletak pada diri Cui Sing. Siapa duga gadis itu sudah terlalu duka dan murka hingga semangatnya lesu dan tenaga letih, ia menggeletak sekian lamanya dan achirnya terpulas malah.
Tentu saja Hiat-to Loco bergirang, pikirnya: "Paling baik kau terus tertidur hingga beberapa jam lamanya, maka aku tidak perlu kuatir apa2 lagi."
Hal mana rupanya juga diketahui oleh Hoa Tiat-kan, ia sadar mati hidup sendiri sangat tergantung kepada Cui Sing yang diharapkan bisa bergerak lebih dulu daripada sipaderi tua. Tapi demi nampak gadis itu menjadi pulas, ia terperanjat, cepat ia berseru: "Hai, Cui-titli, jangan sekali2 kau tidur, sekali kau pulas, segera kau akan dibunuh oleh kedua paderi cabul itu!"
Namun Cui Sing benar2 sudah terlalu letih, hanya terdengar mulutnya mengigau beberapa kali, lalu menggeros sebagai babi mati.
Dengan kuatir Hoa Tiat-kan ber-teriak2 lebih keras: "Cui-titli, wah celaka! Lekas mendusin, kau hendak dibunuh oleh Ok-ceng itu!" ~ Namun sigadis tetap tak bergeming.
Diam2 Hiat-to-ceng menjadi gusar: "Kurang ajar! Gembar-gembornya ini benar2 membahayakan!" ~ Maka katanya segera kepada Tik Hun: "Cucu murid yang pintar, coba majulah kau dan sekali bacok mampuskan tua bangka itu !"
"Tapi orang itu sudah takluk, bolehlah ampuni jiwanya," ujar Tik Hun.
"Mana dia mau takluk?" kata Hiat-to Loco. "Bukankah kau mendengar dia sedang ber-teriak2 dengan maksud membikin celaka kita."
"Siausuhu," tiba2 Hoa Tiat-kan menyela, "kakek-gurumu itu sangat kejam, sementara ini dia sudah kehabisan tenaga murni, ia tidak dapat bergerak sedikitpun, makanya kau disuruh membunuh aku. Tapi sebentar kalau tenaga dalamnya sudah pulih, karena marah pada pembangkanganmu tadi, tentu kau akan dibunuhnya lebih dulu. Maka ada lebih baik sekarang juga engkau mendahului turun tangan bunuhlah dia."
"Tidak, ia bukan kakek-guruku," sahut Tik Hun sambil menggeleng. "Cuma dia ada budi padaku, dia telah menyelamatkan jiwaku, mana boleh aku membalas air susu dengan air tuba dan membunuhnya?"
"O, jadi dia bukan kakek-gurumu?" Hoa Tiat-kan menegas. "Itulah lebih2 baik lagi, lekas kau bunuh dia, sedetikpun jangan ayal. Paderi2 dari Hiat-to-bun terkenal maha kejam, jiwamu sendiri kau sayangkan atau tidak?"
Tik Hun menjadi ragu2, ia tahu apa yang dikatakan Hoa Tiat-kan itu bukan tak beralasan, tapi kalau suruh dia membunuh Hiat-to Loco, perbuatan itu betapa ia tidak sanggup. Namun Hoa Tiat-kan masih terus mendesaknya tanpa berhenti, sampai achirnya Tik Hun menjadi tidak sabar, bentaknya: "Tutup mulutmu, jika kau cerewet lagi, segera aku mampuskan kau dahulu!"
Melihat gelagat tidak menguntungkan, Tiat-kan tidak berani membacot lagi, yang dia harap adalah semoga Cui Sing lekas2 mendusin.
Selang tak lama, saking tak sabar, kembali ia ber-teriak2: "Cui-titli, lekas bangun, lihatlah ayahmu telah hidup kembali!"
Teriakannya ini ternyata sangat manjur, dalam tidurnya layap2 Cui Sing mendengar suara orang menyebut ayahnya telah hidup kembali. Saking girangnya seketika ia mendusin sambil berseru: "Ayah, ayah!"
Cepat Hoa Tiat-kan menanggapi: "Cui-titli, Hiat-to dibagian mana kau ditutuknya tadi? Cobalah katakan, paderi jahat itu sudah kehabisan tenaga, tutukannya tentu juga tidak keras, biarlah kuajarkan satu cara menarik napas untuk melancarkan Hiat-to yang tertutuk itu."
Ketika ketiakku terasa kesemutan tadi, aku lantas takbisa berkutik lagi." Kata Cui Sing.
"Ha, itulah Toa-pau-hiat yang tertutuk, gampang jika begitu lekas ia tarik napas panjang2, lalu pusatkan keperut dan pelahan2 menggunakan hawa itu untuk menggempur Toa-pau-hiat dibagian ketiak itu, setelah kau dapat bergerak segera sakit hati ayahmu dapat kau balas," demikian Hoa Tiat-kan mengajarkan.
Cui Sing mengangguk dan mengiakan. Meski dia masih sangat benci pada Hoa Tiat-kan yang rendah itu, namun apapun juga dia adalah kawan dan bukan lawan, sedangkan ajarannya itupun memang menguntungkan dirinya, maka ia lantas menurut petunjuk itu, ia menarik napas panjang2 dan dikerahkan kebagian perut ……….
Diam2 Hiat-to-ceng juga mengikuti gerak-gerik sigadis itu. Ketika dilihatnya Cui Sing menurut petunjuk Hoa Tiat-kan, diam2 ia mengeluh dan gelisah: "Anak dara itu sudah dapat mengangguk, hakikatnya ia tidak perlu menarik napas dan menghimpun hawa didalam perut segala, tapi sebentar lagi juga jalan darahnya akan lancar kembali dan dapat bergerak segera."
Karena itu ia sendiripun lantas pusatkan pikiran, ia berharap bisa mengumpulkan sedikit tenaga untuk kemudian dipupuk lebih kuat, maka terhadap gerak-gerik Cui Sing apakah sudah dapat berjalan atau tidak sama sekali tak dipikirkan lagi.
Mengenai ilmu mengerahkan hawa murni untuk menggempur Hiat-to yang tertutuk, ilmu maha gaib itu Hoa Tiat-kan sendiri tidak becus, jangankan Cui Sing. Tapi jalan darahnya yang tertutuk itu hakikatnya sangat enteng, sesudah darah berjalan lancar, otomatis tutukan itu menjadi buyar dengan sendirinya. Maka tidak antara lama, pundaknya tampak sudah dapat bergerak.
"Bagus, Cui-titli," seru Hoa Tiat-kan dengan girang. "Teruskanlah cara petunjukku itu, sebentar lagi pasti engkau sudah bisa berjalan. Tindakan pertama hendaklah kau jemput golok merah itu, engkau harus menurut kata2ku dan jangan membangkang, bila tidak, sakit hati ayahmu tentu tak terbalas!"
Cui Sing mengangguk, ia merasa anggota badannya sudah tidak kaku lagi, ia coba tarik napas panjang2 sekali dan pelahan2 dapatlah berduduk.
"Bagus, bagus! Cui-titli, setiap gerak-gerikmu harus kau turut pesanku, jangan kau salah bertindak, sebab didalam tindakanmu ini nanti terletak kunci utama apakah engkau akan dapat membalas sakit hati atau tidak," demikian seru Tiat-kan pula. "Nah, tindakan pertama sekarang jemputlah golok merah melengkung itu."
Cui Sing menurut, pelahan2 ia mendekati Hiat-to Loco dan menjemput golok milik paderi itu.
Melihat tindakan sigadis itu, Tik Hun tahu tindakan selanjutnya tentu goloknya akan membacok hingga kepala Hiat-to-ceng terpenggal. Tapi paderi tua itu ternyata adem-ayem saja, kedua matanya seperti terpejam dan seperti melek, terhadap bahaya yang sedang mengancam itu ternyata tidak digubrisnya.
Kiranya waktu itu Hiat-to Loco merasa tenaga pada kaki dan tangannya mulai tumbuh, asal tahan lagi setengah jam, meski belum kuat benar, tapi untuk berjalan tentu dapat. Dan justeru pada saat genting itulah Cui Sing sudah mendahului menyambar goloknya. Walaupun dalam keadaan tak bergerak, tapi pertarungan batinnya sebenarnya tidak kalah seru daripada pertempurannya melawan Lau Seng-hong dan Liok Thian-ju tadi.
Dalam pada itu tampaknya Cui Sing sudah akan segera menyerang padanya, diam2 Hiat-to-ceng menghimpun setitik tenaga yang sangat lemah dari seluruh tubuhnya itu kelengan kanan.
Diluar dugaan terdengar Hoa Tiat-kan berseru: "Dan tindakan kedua, bunuhkah lebih dulu Hwesio muda itu. Lekas, lebih cepat lebih baik, bunuh dulu Hwesio muda itu."
Seruan itu benar2 tak tersangka oleh Cui Sing, Hiat-to-ceng dan Tik Hun sendiri. Dan karena melihat sigadis masih tertegun, segera Tiat-kan berteriak lagi: "Hayolah lekas! Hwesio tua itu tak bisa bergerak, maka lebih penting bunuhlah Hwesio muda itu dahulu. Jika kau membunuh paderi tua dulu, tentu sipaderi muda akan mengadu jiwa dengan kau!"
Benar juga pikir Cui Sing, segera ia menghunus goloknya kedepan Tik Hun. Tapi mendadak ia menjadi ragu2. "Dia pernah membantu ayahku dengan membunuhnya sehingga terhindar dari siksaan dan hinaan sipaderi tua yang jahat itu. Apakah sekarang aku harus membunuhnya atau tidak?"
Rasa ragu2 itu hanya timbul sekilas lintas, sebab ia lantas ambil keputusan harus membunuhnya. Dan sekali angkat goloknya, terus saja ia membacok keleher Tik Hun.
Cepat pemuda itu berguling menyingkir, ketika bacokan kedua kalinya tiba pula, kembali Tik Hun menggelundung pergi lagi. Menyusul ia lantas sambar sebatang kayu dan dibuat menangkis. Namun beruntun Cui Sing menabas dan memotong hingga batang kayu itu terpapas dua bagian.
Ketika untuk sekali lagi Cui Sing hendak membacok, se-konyong2 pergelangan tangannya terasa kencang, golok merah itu tahu2 telah dirampas oleh seorang dari belakang.
Yang merebut golok itu tak-lain-tak-bukan adalah Hiat-to Loco. Oleh karena tenaganya baru tumbuh setitik dan terbatas, sebaliknya keadaan mendesak ia harus bertindak, maka ia tidak boleh meleset bertindak, dengan mengincar jitu benar2, sekali rebut segera golok pusakanya kena dirampas kembali. Dan begitu memegang senjata, tanpa pikir lagi ia terus membacok kepunggung Cui Sing.
Kejadian yang luar biasa cepat dan mendadak itu membikin Cui Sing terkesiap bingung hingga tidak sempat menghindar serangan Hiat-to-ceng itu.
Kebetulan Tik Hun berada disebelah situ, melihat sipaderi tua hendak mengganas lagi, segera ia berteriak: "Hai, jangan membunuh orang lagi!" ~ Berbareng ia terus menubruk maju sekuatnya meski dengan setengah mengesot, batang kayu ditangannya terus dipakai mengetok kepergelangan tangan sipaderi tua.
Jika dalam keadaan biasa, tidak nanti tangan Hiat-to-ceng kena diketok. Tapi kini tenaganya hanya setitik saja, mungkin tiada satu bagian daripada tenaganya semula. Maka cekalannya menjadi kendur dan golok jatuh ketanah. Berbareng kedua orang lantas berebut menjemput golok itu.
Karena badan Tik Hun mengesot ditanah, tangannya dapat menjamah dulu garan golok itu, tapi segera lehernya terasa kencang dan napas sesak, tahu2 Hiat-to-ceng telah mencekiknya.
Untuk tidak mati tercekik, terpaksa Tik Hun melepaskan golok itu dan menggunakan tangannya untuk membentang cekikan Hiat-to-ceng. Namun paderi tua itu sudah bertekad sekali ini pemuda itu harus dicekik mampus mumpung tenaga sendiri masih ada setitik, kalau tidak dirinya sendiri nanti yang akan dibunuh olehnya.
Sudah tentu ia tidak tahu bahwa sebenarnya tiada maksud Tik Hun hendak membunuhnya, soalnya tadi pemuda itu tidak tega kalau Cui Sing terbinasa lagi dibawah golok sipaderi, maka tanpa pikir terus turun tangan menolong.

Begitulah Tik Hun merasa napasnya semakin sesak dan dada se-akan2 meledak. Ia coba tarik2 tangan sipaderi yang mencekiknya itu, tapi tidak berhasil. Mendadak ia menjadi nekat dan balas mencekik leher Hiat-to-ceng dengan mati2an. Maka terjadilah pergumulan hebat.
Hiat-to-ceng insaf setitik tenaganya itu sangat terbatas, mati-hidupnya hanya tergantung pada seujung rambut saja. Sekali Hwesio cilik itu sudah timbul maksud hianatnya, menurut undang2 Hiat-to-bun, pengkhianat harus dibasmi dulu baru kemudian membunuh musuh luar. Maklum, musuh luar gampang dihadapi, sebaliknya musuh dalam, kaum penghianat, lebih susah dijaga. Pula ia menduga sebelum esok pagi Hoa Tiat-kan takkan dapat bergerak, sedangkan ilmu silat Cui Sing sangat cetek, mudah dihadapi. Maka usahanya sekarang melulu dicurahkan untuk mencekik mati Tik Hun. Semakin lama semakin kencang cekikannya.
Ketika napas Tik Hun takbisa lancar lagi, mukanya menjadi merah padam, tangannya mulai lemas dan tak kuat balas mencekik, pelahan2 tangannya mengendur, dalam benak sekilas: "Matilah aku, matilah aku!"
Waktu melihat kedua paderi itu saling bergumul ditanah salju, Cui Sing juga tahu duduknya perkara disebabkan Tik Hun hendak menolong jiwanya. Tapi ia merasa kedua paderi jahat itu saling membunuh, kenapa aku tidak membiarkan mereka kepayahan dahulu atau mungkin keduanya nanti akan gugur bersama.
Tapi sesudah mengikuti pergumulan itu sebentar, lambat laun tertampak tangan Tik Hun mulai lemas dan tidak kuat balas menyerang lagi. Mau-tak-mau Cui Sing menjadi kuatir, sebab kalau paderi muda itu terbunuh, tentu menjadi giliran dirinya yang akan dibunuh lagi oleh paderi tua itu.
"Cui-titli," tiba2 Hoa Tiat-kan berseru pula, "saat inilah kesempatan paling bagus untuk turun tangan! Hayolah, lekas jemput kembali golok itu."
Cui Sing menurut, golok merah itu dijemputnya lagi.
"Nah, sekarang bunuhlah kedua paderi jahat itu, lebih cepat lebih baik," seru Tiat-kan pula.
Dengan menghunus golok Cui Sing melangkah maju dengan maksud membunuh Hiat-to Loco dulu. Tapi demi melihat kedua orang masih bergumul menjadi satu, padahal golok itu tajamnya tidak kepalang, sekali tabas, bukan mustahil ke-dua2nya akan mati semua.
Ia pikir Tik Hun tadi telah menyelamatkan jiwanya sendiri biarpun Hwesio muda itu jahat toh terhitung pula tuan penolongnya, mana boleh ia membalas susu dengan tuba? Tapi kalau mesti menanti lubang baik untuk melulu bunuh Hiat-to Loco seorang, ia merasa tangan sendiri juga sangat lemas, sedikitpun ia tidak yakin serangannya nanti akan dapat mengenai sasarannya dengan tepat.
Tengah Cui Sing merasa ragu2 dan serba susah, tiba2 Hoa Tiat-kan mendesaknya pula: "Cui-titli, hayolah lekas turun tangan, apa yang kau tunggu lagi? Jangan kau lewatkan kesempatan bagus ini, untuk membalas sakit hati ayahmu, inilah saatnya!"
"Tapi …….. tapi mereka berdua bergumul menjadi satu dan …… dan tak terpisahkan," ujar Cui Sing.
"Geblek kau, bukankah aku suruh kau membunuh mereka berdua?" omel Tiat-kan dengan gusar. Sebagai seorang tokoh terkemuka, ia adalah ketua dari Tiat-jiang-bun di Kang-say, sudah biasa ia memerintah dirumah dan apa yang dikatakan tiada yang berani membangkang, maka ia menjadi jengkel waktu Cui Sing tidak lantas turut perintahnya.
Nyata ia lupa dirinya sendiri dalam keadaan tak berkutik, sedang Cui Sing sebenarnya juga sudah benci dan pandang hina padanya. Keruan ucapannya yang kasar itu sangat menusuk perasaan Cui Sing dan membuatnya naik darah.
"Ya, ya, aku anak geblek, dan kau kesatria yang gagah," demikian kontan sigadis balas mendamperat. "Tapi mengapa kau sendiri tadi tidak berani bertempur mati2an dengan dia? Jika kau mampu, hayolah kau sendiri membunuh mereka saja. Hm, pengecut."
Dasar Hoa Tiat-kan juga sangat licik, ia dapat melihat gelagat dan menuruti arah angin, lekas2 ia menyambut dengan tersenyum: "Ya, ya, memang Hoa-pepek yang salah, harap Cui-titli jangan marah. Nah, pergilah membunuh kedua paderi jahat itu untuk membalas sakit hati ayahmu. Penjahat besar sebagai Hiat-to-ceng itu dapat mati ditanganmu, kelak dunia Kangouw pasti akan sangat kagum kepada seorang Cui-lihiap yang perkasa dan berbakti pula."
Tapi semakin cerewet ia mengumpak, semakin membikin Cui Sing merasa mual dan benci. Ia melototi manusia hina itu sekali, lalu melangkah maju, ia incar punggung Hiat-to Loco dan bermaksud menyayatnya dua-tiga kali dengan golok agar paderi tua itu terluka dan mengalirkan darah, sebaliknya Tik Hun tidak terluka apa2.
Namun disamping bergumul dengan Tik Hun, senantiasa Hiat-to Loco juga memperhatikan gerak-gerik Cui Sing. Ketika melihat gadis itu mendesak maju dengan golok terhunus, segera iapun dapat menaksir maksudnya, sebelum orang bertindak, ia sudah mendahului menegur dengan suara tertahan: "Baiklah, boleh kau potong punggungku dengan perlahan, tapi hati2, jangan sampai Hwesio cilik ini ikut terluka."
Cui Sing kaget. Sudah banyak ia merasakan siksaan Hiat-to-ceng itu, memangnya ia sangat jeri padanya, maka demi mendengar maksudnya kena ditebak, ia menjadi ragu2. Dan karena sedikit tertegun itu, ia urung menyerang pula. Padahal Hiat-to Loco hanya main gertak belaka.
Dalam pada itu Tik Hun yang dicekik Hiat-to Loco itu semakin payah keadaannya. Ia merasa dadanya se-akan2 melembung karena takdapat mengeluarkan napas. Segera hawa yang terhimpun didalam paru2 itu menerjang keatas, tapi karena jalan napas ditenggorokan tercekik dan buntu, hawa itu lantas membalik kebawah.
Begitulah hawa dada itu lantas mengamuk dengan menerjang kesini dan menumbuk kesana untuk mencari jalan keluar, tapi tetap buntu. Dalam keadaan begitu, bila orang biasa, achirnya tentu akan pingsan dan mati sesak napas. Tapi Tik Hun justeru tidak mau pingsan, sebaliknya ia merasakan penderitaan yang tak terkatakan pada seluruh tubuhnya, yang terkilas dalam pikirannya yalah: "Matilah aku! Matilah aku!"
Se-konyong2 Tik Hun merasa perutnya sangat kesakitan, hawa didalam itu makin lama semakin melembung dan bertambah panas, jadi mirip uap panas yang takbisa keluar dari dalam kuali, perut serasa akan meledak. Pada saat lain, tiba2 "Hwe-im-hiat" pada bagian bawah perut se-akan2 tertembus suatu lubang oleh hawa panas itu, ia merasa hawa panas itu mengalir sedikit demi sedikit menuju ke "Tiang-kian-hiat" dibagian bokong, rasanya sangat nyaman sekali badannya sekarang.
Sebenarnya kedua Hiat-to didalam tubuhnya itu satu sama lain tiada berhubungan, tapi karena hawa panas yang bergolak didalam tubuhnya menghadapi jalan buntu, secara tak disengaja hawa itu menerjang kian kemari dan achirnya telah menembuskan jalan darahnya antara urat nadi Im-meh dan Tok-meh itu.
Dan sekali hawa dalam itu masuk ke "Tiang-kiang-hiat", terus saja hawa itu menyusur naik melalui tulang punggung, yaitu melalui titik2 hawa yang tercakup dalam lingkungan Tok-meh hingga achirnya mencapai "Pek-hwe-hiat" dibagian ubun2 kepala.
Biasanya biarpun dilatih secara giat dan rajin selama berpuluh tahun oleh seorang ahli Lwekang yang paling pandai juga belum tentu dapat menembus urat2 nadi Im-meh dan Tok-meh. Tapi Tik Hun sejak mendapat ajaran intisari Lwekang maha hebat dari "Sin-ciau-keng" ketika sama2 berada didalam penjara dengan Ting Tian dulu, kendati Lwekang itu sangat bagus, untuk melatihnya dengan baik juga tidak gampang, maka sampai kapan Tik Hun baru dapat meyakinkan ilmu Lwekang itu sesungguhnya juga masih merupakan suatu tanda tanya, apalagi bakat pembawaan pemuda itu bukan tergolong pilihan, pula tiada petunjuk lagi dari Ting Tian.
Siapa duga disaat jiwanya tergantung pada ujung rambut ditengah jurang bersalju itu, se-konyong2 jalan darah kedua urat nadi Im-meh dan Tok-meh yang penting itu dapat ditembusnya.
Begitulah maka ia menjadi segar merasakan hawa dalam itu menerjang ke "Pek-hwe-hiat" diatas kepala. Hawa nyaman itu kemudian menurun kebagian jidat, hidung, bibir hingga sampai di "Seng-ciang-hiat" dibawah bibir.
"Seng-ciang-hiat" itu sudah termasuk urat nadi "Im-meh" yang meliputi Hiat-to disebelah depan tubuh manusia. Maka dari situ hawa segar itu terus mengalir melalui Liat-coan-hiat, Thian-tut-hiat, Soan-ki-hiat dan lain2 hingga achirnya sampai "Hwe-im-hiat" lagi.
Jadi hawa segar itu telah memutar satu kali diantara titik2 Hiat-to ditubuh Tik Hun hingga seketika rasa sesak tadi hilang sama sekali, bahkan kini merasa nikmat dan segar luar biasa.
Untuk pertama kali jalannya hawa murni itu agak sulit, tapi sekali sudah lancar, untuk kedua dan ketiga kalinya menjadi sangat gampang dan cepat jalannya, maka hanya dalam waktu singkat saja be-runtun2 hawa murni itu sudah berputar sampai belasan kali.
Sebenarnya setiap jenis ilmu Lwekang juga mempunyai cara2 menembus urat nadi Im-meh dan Tok-meh itu, namun manfaatnya sesudah berhasil melatihnya satu sama lain ber-beda2. Mirip seperti orang yang melatih Gwakang, daya pukulan atau tendangan masing2 mempunyai kekuatannya sendiri2.
Sedangkan Lwekang dari "Sin-ciau-keng" itu adalah semacam ilmu paling gaib dalam ilmu silat. Sudah cukup lama Tik Hun meyakinkan Sin-ciau-kang, yaitu sejak dia mengeram didalam penjara, jadi dasarnya sebenarnya sudah terpupuk kuat. Maka sekali dia sudah lancar menjalankan hawa murni itu, setiap kali hawa itu memutar titik2 Hiat-to dalam tubuhnya, setiap kali bertambah pula tenaga dalamnya. Ia merasa anggota badannya sekarang se-akan2 penuh tenaga, semangat me-nyala2, bahkan setiap ujung rambut juga se-akan2 penuh mengandung tenaga.
Dengan sendirinya hal mana tak diketahui oleh siapapun juga, Hiat-to Loco tidak menduga bahwa orang yang sedang dicekiknya itu sudah terjadi perubahan yang maha besar. Maka ia tidak perhatikan keadaan Tik Hun, sebaliknya sambil mencekik, yang dia perhatikan adalah golok yang dihunus oleh Cui Sing itu.
Dalam pada itu tenaga murni didalam tubuh Tik Hun makin lama bertumbuh makin kuat, mendadak sebelah kakinya mendepak, "bluk", tepat sekali perut Hiat-to Loco kena ditendang. Tenaga tendangan itu ternyata tidak alang kepalang kuatnya, tanpa ampun lagi tubuh paderi tua itu mencelat dan me-layang2 keudara.
Keruan Cui Sing dan Hoa Tiat-kan menjerit kaget berbareng, mereka tidak tahu apakah yang terjadi sebenarnya? Yang sudah terang yalah tubuh Hiat-to-ceng mencelat dan berjungkir-balik diudara, habis itu lantas menancap kedalam salju dengan kaki diatas. Begitu keras jatuhnya itu hingga badan paderi tua itu ambles semua kedalam salju, hanya sepasang kakinya yang menongol dipermukaan salju, dan malahan sudah takbisa bergerak lagi sedikitpun.
Cui Sing dan Hoa Tiat-kan sampai terkesima menyaksikan itu. Begitu pula Tik Hun juga tidak percaya kepada matanya sendiri, ia lebih2 tidak percaya pada saat sudah dekat ajalnya itu mendadak sekali depak bisa membikin Hiat-to Loco mencelat keudara?
Namun iapun tidak mau banyak pikir lagi, segera ia melompat bangun, tapi baru ia berdiri, mendadak kakinya kesakitan, ia menjerit sekali dan jatuh lagi. Nyata ia lupa bahwa sebelah kakinya sudah patah.
Tapi sekarang tenaga dalamnya sudah sangat kuat, gerak perubahannya dengan sendirinya sangat cepat, begitu jatuh, segera tangan kanan dipakai menahan, lalu meloncat bangun lagi dan berdiri dengan sebelah kaki.
Waktu ia pandang Hiat-to Loco, paderi tua itu tampak masih menancap didalam salju dengan kaki diatas tanpa bergerak sedikitpun. Girang dan kejut Tik Hun, ia kucak2 mata sendiri, ia ragu2 akan dirinya bukan dialam mimpi? Namun sesudah ia tegaskan, memang benar2 Hiat-to Loco itu menancap secara terjungkir didalam salju.
Waktu Tik Hun melompat bangun tadi, karena kuatir dirinya diserang, maka Cui Sing telah menggeser mundur sambil siapkan golok didepan dada untuk menjaga segala kemungkinan. Tapi ia melihat Tik Hun bersikap kebingungan sambil meng-garuk2 kepala sendiri yang gundul itu, agaknya kejadian didepan matanya itu telah membuatnya ter-heran2.
Pada saat itulah tiba2 terdengar Hoat Tiat-kan berseru: "Wah ilmu sakti Siausuhu ini benar2 tiada tandingannya dijagat ini, sekali depak paderi tua itu sudah terbunuh olehnya, tenaga tendangannya itu bukan mustahil ada ribuan kati kerasnya. Tindakan Siausuhu itu benar2 bijaksana dan tanpa pandang bulu. Manusia jahat dan kejam sebagai Hiat-to-ceng itu memang setiap orang pantas membunuhnya."
"Huh," jengek Cui Sing saking tidak tahan mendengar ocehan yang tidak kenal malu itu. "Masih kau berani mengaco-belo segala, apakah kau tidak kuatir orang merasa mual? Pengecut!"
"Ah, kau tahu apa?" balas Hoa Tiat-kan. "Dalam keadaan bahaya Siausuhu itu berhasil meyakinkan ilmu saktinya, badannya sekarang sudah memiliki tenaga dalam yang maha kuat, bahkan diwaktu paderi tua itu masih hidup juga kalah kuat daripadanya. Itulah tanda orang baik tentu mempunyai rejeki besar. Selamat bahagialah, Siausuhu!"
Nyata, biarpun Hoa Tiat-kan itu seorang rendah jiwanya, tapi pandangannya memang sangat tajam. Sekali melihat air muka Tik Hun bercahaya dan penuh semangat, dibandingkan keadaan pemuda itu tadi, perbedaannya boleh dikata seperti langit dan bumi. Maka ia dapat menduga pasti pada saat menentukan tadi mendadak pemuda itu telah berhasil meyakinkan semacam Lwekang yang maha lihay, dari tenaga tendangannya kepada Hiat-to Loco yang luar biasa kerasnya itu, ia menaksir sekalipun dirinya dalam keadaan bebas dan sehat juga tiada separoh dari kekuatan tendangan itu.
Dan Tik Hun sendiri ternyata masih bingung, ia tanya dengan ter-gagap2: "Kau …… kau bilang aku ……. aku telah menendang mati dia?"
"Ya, ya, itulah tidak usah disangsikan lagi," sahut Hoa Tiat-kan. "Jikalau Siausuhu tidak percaya, boleh coba kau tabas dulu kedua kakinya, lalu menariknya keluar dari salju untuk diperiksa. Dan nanti tentu Siausuhu akan percaya pada omonganku."
Dasar dia memang licin, maka setiap tipu yang dia rencanakan selalu sangat keji. Ia suruh Tik Hun tabas dulu kedua kaki Hiat-to Loco, tujuannya kalau2 dugaannya meleset dan paderi tua itu masih hidup, namun toh takbisa berkutik lagi karena kakinya sudah terkutung.
Namun Tik Hu tidak mau turut sarannya itu, ia pandang Cui Sing hingga gadis itu mundur ketakutan sebab mengira pemuda itu hendak merebut goloknya.
Tik Hun menggoyang kepala dan katanya: "Jangan takut, aku takkan bikin susah padamu. Tadi engkau tidak membunuh aku bersama Hwesio tua itu, terimalah kasihku ini."
Cui Sing hanya mendengus sekali dan tidak menjawab.
"Cui-titli, salah kau kalau begitu," timbrung Hoa Tiat-kan tiba2. "Siausuhu dengan jujur mengucapkan terima kasih padamu, seharusnya kaupun balas terima kasih padanya. Tadi sewaktu paderi tua yang jahat itu membacok kepunggungmu, bila Siausuhu ini tidak 'lin-hiang-sik-giok' dan menolong padamu, saat ini jiwamu tentu melayang."
Mendengar ucapan "Lin-hiang-sik-giok" (kasih wangi dan sayang pada giok, kiasan kesukaan orang kepada kaum wanita) itu, Tik Hun dan Cui Sing mendelik bersama kepada manusia rendah itu.
Padahal biarpun Cui Sing terhitung satu gadis jelita, tapi maksud Tik Hun menolongnya tadi hanya timbul secara spontan karena tidak ingin melihat orang baik2 dibunuh sipaderi jahat. Tapi dengan ucapan Hoa Tiat-kan itu menjadi se-akan2 maksud tujuannya menolong itu tidak sehat.
Sebaliknya Cui Sing memang sangsi dan sirik kepada Tik Hun, maka ucapan Hoa Tiat-kan itu jadi menambah rasa bencinya kepada pemuda itu. Ia merasa kedua orang itu sama2 jahat dan rendah. Sekilas dilihatnya jenazah sang ayah, terus saja ia berlari mendekati dan mendekap diatas mayat itu sembari menangis ter-gerung2.
"Siausuhu, siapakah gelaranmu yang mulia?" demikian Hoa Tiat-kan menanya dengan cengar-cengir.
Tik Hun menjadi mual dibuatnya. Sahutnya ketus: "Aku bukan Hwesio, maka jangan panggil2 Suhu padaku. Aku memakai jubah paderi adalah terpaksa karena harus menyamar untuk menyelamatkan diri."
"Aha, bagus jika begitu," seru Hoa Tiat-kan. "Kiranya Siausuhu, eh salah, tolol benar aku ini! Eh, numpang tanya siapakah nama yang mulia dari Tayhiap?"
Meski sedang menangis, tapi tanya-jawab kedua orang itu samar2 juga didengar oleh Cui Sing. Demi mendengar Tik Hun menyatakan dirinya bukan Hwesio ia menjadi heran dan sangsi.
Maka terdengar Tik Hun telah menjawab: "Aku she Tik, aku hanya seorang 'Bu-beng-siauw-cut' (prajurit tak bernama alias keroco), seorang cacat yang beruntung lolos dari cengkeraman elmaut, masakah kau sebut Tayhiap segala?"
"Bagus, bagus!" demikian Hoa Tiat-kan masih mengumpak setinggi langit. "Begitu tangkasnya Tik-tayhiap, dengan Cui-titli yang jelita itu benar2 merupakan suatu pasangan yang cocok. Pak comblang juga tidak perlu dicari lagi, aku inilah sudah siap sedia. Hahaha, bagus, bagus, kiranya Tik-tayhiap memangnya bukan Cut-keh-lang (kaum paderi), maka cukup menunggu tumbuhnya rambut lalu salin pakaian, dengan demikian jadilah engkau seorang biasa, hakikatnya tidak perlu pakai upacara kembali kemasyarakat ramai apa segala."
Rupanya Hoa Tiat-kan yakin benar2 Tik Hun pasti paderi dari Hiat-to-bun, tapi karena kesemsem pada kecantikan Cui Sing, maka sengaja tidak mau mengaku asal-usulnya.
Lapat2 Cui Sing juga mempunyai pikiran seperti itu, maka ia bertambah kuatir demi mendengar perkataan Hoa Tiat-kan itu. Ia berbangkit dan siapkan goloknya, pabila gerak-gerik Tik Hun mengunjuk kekurangajaran, segera ia akan melabraknya dengan mati2an. Namun Tik Hun hanya geleng2 kepala dan menyahut dengan kurang senang: "Rupanya mulutmu perlu dikosek supaya lebih bersih. Mengapa selalu bicara tentang hal2 kotor itu? Jikalau kita dapat keluar jurang ini dengan selamat, selamanya aku tidak sudi melihat cecongormu lagi dan selamanya takkan melihat muka nona Cui pula."
Hoa Tiat-kan melengak karena tidak jelas kemana perkataan Tik Hun itu hendak menuju. Tapi sesudah memikir sejenak, segera ia sadar, katanya: "Aha, tahulah aku, tahulah aku!"
"Kau tahu apa?" damperat Tik Hun dengan melotot.
Maka berbisiklah Tiat-kan dengan lagak seorang detektip: "Ya, ya, tahulah aku. Tentu didalam kuil Tik-tayhiap masih ada sicantik yang menjadi pilihanmu dan nona Cui ini tidak dapat kau bawa pulang untuk menjadi suami-isteri abadi. Jika demikian, haha, boleh juga jadilah suami-isteri sambilan barang beberapa hari, apa halangannya sih?"
Biarpun bisik2, namun Cui Sing dapat mendengarnya juga. Keruan gusarnya tidak kepalang, terus saja ia memburu maju, 'plak-plok, plak-plok', kontan ia persen kedua pipi manusia rendah itu dengan empat kali gamparan.
Dengan acuh-tak-acuh Tik Hun mengikuti kejadian itu se-akan2 segala itu sama sekali tiada sangkut-paut dengan dirinya…..
Begitulah sejam demi sejam telah lalu dan Hiat-to Loco tetap terjungkir menancap didalam salju tanpa bergerak. Meski batin ketiga orang yang berada ditengah jurang itu masing2 mempunyai pikirannya sendiri2, tapi rasa sangsi terhadap Hiat-to-ceng itu lambat-laun sudah banyak berkurang. Namun begitu, beberapa kali Cui Sing bermaksud menabas kedua kaki paderi jahat itu toh tetap tak berani melakukannya.
Sesudah mengalami peristiwa hebat itu, Cui Sing menjadi lapar sekali. Ia melihat restan daging kuda panggang tadi masih terserak disitu. Kini ayahnya sudah tewas, jiwa dan kesucian sendiri juga masih terancam, dengan sendirinya tak terpikir lagi olehnya apakah daging kuda itu berasal dari kuda kesayangannya atau bukan? Segera ia mengeluarkan ketikan api, ia menyalakan kayu kering yang berada disitu dan mulai memanggang daging kuda lagi.
Hoa Tiat-kan sendiri belum bisa berkutik, maka tanpa bosan2 ia masih terus mengumpak dan menjilat. Tapi Tik Hun tidak ambil pusing lagi padanya, ia rebah ditanah salju itu untuk memulihkan semangat. Sedang Cui Sing ter-mangu2 memandang api unggun yang me-nyala2 itu dengan air mata bercucuran. Air matanya menetes kesalju hingga salju mencair, tapi pelahan2 air salju itu lantas membeku lagi.
Setelah urat nadi Im-meh dan Tok-meh ditubuh Tik Hun mulai terhubung, semangatnya terasa menyala2, satu arus hangat terasa mengalir mulai dari dada sampai kepunggung dan dari punggung kembali kedada secara ber-ulang2 dan terus mengalir tanpa berhenti.
Setiap kali hawa hangat itu memutar satu kali, setiap bagian tubuh lantas merasa penuh tenaga, meski kaki yang patah dan tempat2 bekas kena digebuk Cui Sing masih kesakitan, tapi dengan timbulnya tenaga dalam itu, rasa sakit itu menjadi mudah ditahan.
Kuatir keadaan yang aneh dan ajaib sekali itu mungkin akan segera hilang, maka Tik Hun tidak berani bergerak, ia merebah dan membiarkan hawa dalam itu mengalir kian kemari diantara urat2 nadi Im-meh dan Tok-meh itu.
Begitulah mereka bertiga tiada seorangpun yang membuka suara. Sesudah lebih dua jam, Cui Sing yang per-tama2 berbangkit, ia jemput golok merah dari dalam salju dan coba mendekati Hiat-to-ceng yang selama itu masih tetap terjungkir menancap didalam salju tanpa bergerak sedikitpun. Dengan beranikan hati, segera ia membacok kaki kiri paderi itu, "crat", kontan sebelah kaki paderi itu tertabas kutung.
Tapi aneh bin heran, kaki kutung itu ternyata tidak berdarah. Waktu ditegaskan, kiranya darah didalam tubuh Hiat-to Loco itu sudah membeku, ternyata paderi durjana itu sudah sejak tadi tak bernyawa lagi.
Cui Sing bergirang dan bersedih pula. Segera ia angkat goloknya dan membacok serabutan ketubuh paderi jahat itu. Pikirnya: "Paderi durjana tua ini sudah mampus, tinggal paderi jahat yang muda itu entah cara bagaimana akan menyiksa aku? Ayah sudah meninggal, sungguh akupun tidak ingin hidup lagi. Asal sedikit aku akan diperlakukan dengan jahat, segera aku akan membunuh diri dengan golok ini."
Bahwasanya manusia itu betapapun tetap ingin hidup daripada mati, maka begitu pula halnya dengan Cui Sing. Padahal jika dia benar2 hendak membunuh diri, saat itu adalah kesempatan yang paling bagus. Tapi sebelum tiba saat yang paling achir, dengan sendirinya ia tidak mau mati begitu saja.
Disebelah sana meski badan Hoa Tiat-kan tak dapat bergeruk, tapi segala apa dapat dilihatnya dengan jelas. Namun iapun tidak jelas cara bagaimana Tik Hun telah membinasakan Hiat-to-ceng itu, ia sangka mungkin tenaga murni paderi Tibet itu sudah terkuras habis, keadaannya sudah payah, maka sekenanya Tik Hun menghantam dan telah membinasakan dia.
Diam2 iapun bergirang, pikirnya: "Hwesio jahat kecil ini meski bengis, tapi sangat gampang untuk dihadapi. Sebentar juga aku sudah dapat bergerak, sekali tonjok saja tentu akan kutamatkan riwayatnya."
Dan sesudah hampir satu jam pula, Tik Hun merasa hawa hangat yang mengalir didalam tubuhnya itu masih terus berputar tanpa hilang. Ia coba menjalankan ilmu mengatur tenaga dalam dari Lwekang "Sin-ciau-keng" ajaran Ting Tian dahulu, maka timbullah sesuatu yang diluar dugaan. Hawa dalam yang tadinya susah dikuasai itu kini ternyata dapat dikendalikan sesuka hatinya, kemana ia ingin mengalirkan hawa murni itu, segera dapat dilaksanakannya dengan baik.
Keruan TIk Hun sangat girang segera ia jemput sebatang kayu untuk dipakai tongkat penyanggah ketiak dan mendekai Hiat-to-ceng secara ber-ingsut2. Ia melihat mayat paderi itu masih terjungkir ambles didalam salju, kedua kakinya sudah hancur luluh dibacok oleh Cui Sing tadi, terang sekali paderi itu memang sudah mati. Ia pikir kejahatan paderi itu sudah melampaui takaran dan pantas mendapatkan ganjaran setimpal itu. Tapi sesungguhnya juga paderi jahat itu pernah menolongnya pula.
Sebagai seorang yang jujur dan kenal budi, Tik Hun lantas seret mayat Hiat-to-ceng dan ditaruh baik2 ditanah salju, ia menguruknya dengan gundukan salju sekadar sebagai tanda kuburan paderi jahat itu.
Melihat perbuatan Tik Hun itu, timbul juga rasa ingin meniru Cui Sing. Iapun mengubur jenazah sang ayah dengan cara seperti Tik Hun itu. Sebenarnya ia bermaksud mengubur juga jenazahnya Lau Seng-hong dan Liok Thian-ju. Tapi yang seorang itu mati diatas puncak karang sana dan yang lain terpendam didasar salju, terpaksa ia batalkan niatannya itu.
Tik Hun merasa lapar, ia ambil dua potong daging kuda panggang dan dimakan.
"Siausuhu, aku sangat kelaparan, tolong kau suapi aku sepotong daging kuda itu," pinta Hoa Tiat-kan tiba2.
Tapi Tik Hun hanya menjengek sekali, ia benci pada martabat orang she Hoa yang rendah itu, maka tak menggubrisnya.
Namun Hoa Tiat-kan masih terus memohon tanpa berhenti. Karena tidak tega, selagi Tik Hun hendak jejalkan sepotong daging kuda kemulutnya agar manusia pengecut itu tidak cerewet terus, tiba2 Cui Sing mencegahnya: "Daging ini berasal dari kudaku, jangan berikan pada manusia tak kenal malu itu."
Tik Hun mengangguk tanda setuju, sebagai gantinya ia melotot sekali pada Hoat Tiat-kan.
Tapi Hoa Tiat-kan tidak putus asa, ia memohon pula: "Siausuhu...................."
"Sudah kukatakan tadi bahwa aku bukan Hwesio, kenapa kau masih memanggil secara ngawur?" bentak Tik Hun dengan mendongkol.
"Eh, ya, memang tolol benar aku ini," cepat Hoa Tiat-kan merendah diri. "Wah, tadi sekali hantam Tik-tayhiap telah binasakan Hiat-to-ok-ceng itu, kelak namamu pasti akan tersohor diseluruh jagat. Pabila aku sudah keluar dari lembah ini, pekerjaanku yang pertama yalah menyiarkan keperkasaan Tik-tayhiap ini, bahwa Tik-tayhiap telah berusaha menolong nona Cui tanpa menghiraukan keselamatan sendiri dan achirnya dapat mampuskan Hiat-to-ok-ceng, sungguh kejadian ini merupakan berita paling penting didunia persilatan."
"Aku adalah seorang bekas perantaian yang tak terhormat, siapa yang mau percaya pada obrolanmu? Lebih baik tutup mulutmu saja," jengek Tik Hun.
"Jangan kuatir, Tik-tayhiap," masih Hoa Tiat-kan mengoceh. "Berdasarkan sedikit namaku dikalangan Kangouw, apa yang kukatakan pasti akan dipercaya oleh siapapun juga. Eh, Tik-tay-hiap, kasihlah sepotong dagingmu itu."
Tik Hun menjadi sebal direcoki terus, bentaknya: "Sudah kukatakan tidak kasih, ya tetap tidak kasih. Kelak boleh kau siarkan pada orang Kangouw tentang nama jelekku, emangnya aku ini orang apa? Masakah ada harganya dibuat cerita?" ~ Sampai disini, ia menjadi terkenang pada kisah derita yang telah dialaminya dengan macam2 hinaan dan siksaan secara penasaran itu. Saking gusar dan dongkolnya hampir2 ia tak tahan lagi.
Padahal sebenarnya Hoa Tiat-kan tidak sungguh2 ingin makan daging kuda, biarpun lapar juga, tapi kelaparan sehari dua hari baginya sudah tentu bukan soal. Ia kuatir Tik Hun itu "mewariskan" sifat jahat Hiat-to Loco dan mendadak mengamuk serta membunuhnya, dari itu ia pura2 minta daging kuda sebagai siasat, ia pikir Tik Hun tidak sudi memberi daging yang diminta, tentu dalam hati akan timbul rasa gegetun, dan pikiran membunuh itu dengan sendirinya pula akan menjadi tawar dan achirnya lenyap.
Melihat cuaca mulai gelap, angin meniup dengan keras, segera Tik Hun berkata pada Cui Sing: "Nona, boleh kau mengaso didalam gua itu!"
Cui Sing menjadi kuatir, ia sangka pemuda itu bermaksud jahat lagi, maka bukannya menurut, sebaliknya ia mundur ketakutan, ia siapkan golok didepan dada dan membentak: "Kau paderi jahat ini, asal kau berani mendekati aku selangkah, segera nonamu ini akan membunuh diri."
Tik Hun melengak, cepat sahutnya: "Hei, jangan nona salah paham, sekali2 aku tiada punya maksud jahat!"
"Huh, kau Hwesio cilik ini bermuka manusia, tapi hatinya binatang," damperat Cui Sing mendadak. "Tertawamu itu berbisa, jauh lebih jahat dan licik daripada Hwesio tua jahanam itu. Huh, jangan harap aku dapat kau tipu."
"Tik Hun tidak ingin banyak berdebat lagi, pikirnya: "Besok pagi begitu terang tanah segera aku akan mencari jalan keluar untuk meninggalkan lembah ini. Apakah dia Cui-kohnio dan Hoa-tayhiap apa segala, selama hidupku ini aku takkan melihat cecongor mereka lagi." ~ Maka tanpa bicara ia lantas menyingkir jauh2 kesana, ia merebah dan bersandar disuatu batu padas dan tidur.
Sebaliknya Cui Sing telah pandang Tik Hun sebagai seorang paderi cabul tulen, semakin jauh ia menyingkir, semakin keji dan culas pula muslihatnya, bukan mustahil nanti tengah malam mendadak dirinya akan disergap olehnya.
Karena itu, Cui Sing tidak berani masuk kedalam gua itu, ia kuatir kalau tengah malam digerayangi Tik Hun, kan bisa celaka? Maka dengan hati tidak aman iapun duduk bersandar sebuah batu, matanya makin lama makin sepat, kantuk sekali rasanya, tapi selalu ia memperingatkan dirinya sendiri: "Awas, jangan tidur! Jangan tidur! Jika tidur, kau akan digerayangi paderi jahat itu!"
Tapi setelah mengalami kejadian2 selama beberapa hari ini, sesungguhnya ia sudah sangat lelah, lahir maupun batin. Walaupun ia bertahan sedapat mungkin agar tidak terpulas, tapi lama kelamaan, tanpa merasa iapun tertidur achirnya.
Dan tidurnya itu nyenyak benar2 hingga esok paginya. Ia merasa sinar sang surya gilang gemilang, ia terjaga bangun. Cepat ia melompat bangun sambil sambar golok merah yang semula terletak disampingnya. Tapi tangannya memegang tempat kosong, keruan ia tambah gugup. Waktu ditegaskan, kiranya Hiat-to itu masih baik2 berada disitu, cuma sedikit jauh dari tempatnya tadi. Rupanya dalam tidurnya tanpa merasa ia membalik tubuh dan menggeser tempat. Ia jemput kembali senjata tajam itu, waktu ia pandang kedepan, ia melihat Tik Hun sedang jalan berincang-incut keluar lembah sana dengan kakinya yang pincang. Ia menjadi girang, ia pikir "Hwesio" jahat itu tentu bermaksud pergi dari lembah bersalju itu.
Memang benar juga Tik Hun ingin mencari jalan keluar dari lembah itu. Tapi sudah beberapa kali ia mencari jalan kejurusan timur dan ujung timur laut sana, namun semuanya jalan buntu. Arah barat, utara dan selatan juga dilingkungi tebing karang yang curam, terang juga jalan buntu. Ia lihat jurusan tenggara mungkin ada harapan, tapi disitu salju bertimbun ber-puluh2 meter tingginya, sebelum hawa panas dan salju cair, terang tak mungkin bisa keluar, apalagi sekarang ia adalah seorang pincang, kakinya patah.
Setelah mencari jalan kian kemari selama setengah hari, achirnya ia putar balik dengan hasil nihil dan badan letih. Dengan ter-mangu2 ia memandangi puncak gunung diatas sana, air mukanya muram durja.
"Bagaimana, Tik-tayhiap?" tanya Hoa Tiat-kan tiba2.
Tik Hun menggeleng kepala, sahutnya: "Percuma, jalan buntu semua!"
Diam2 Hoa Tiat-kan memikir: "Kakimu patah, dengan sendirinya susah untuk keluar dari lembah kurung ini. Tapi aku Hoa Tiat-kan masakah sudi dikeram terus disini? Sampai sore hari nanti, asal jalan darahku sudah lancar, segera aku akan angkat langkah seribu." ~ Hati berpikir begitu, tapi lahirnya ia pura2 tidak terjadi apa2, katanya malah: "Kalian jangan kuatir, nanti bila jalan darahku sudah lancar, pasti aku akan dapat menyelamatkan kalian dari sini."
Melihat selama itu Tik Hun tidak mengganggu padanya, mau-tak-mau rasa takut dan kuatir Cui Sing menjadi berkurang. Tapi sedikitpun ia tidak lengah, ia masih tetap was-was. Selalu ia menjauhi pemuda itu dan sepatah-katapun tidak mau bicara padanya.
Memangnya Tik Hun juga tidak sudi minta gadis itu memahami apa yang sebenarnya, yang dia harap adalah selekas mungkin dapat meninggalkan lembah maut itu. Tapi sekitar lembah terkurung salju tebal dan tinggi, ia menjadi sedih cara bagaimanakah untuk dapat keluar dari situ?
Setelah lewat lohor kira2 jam dua sore, mendadak Hoa Tiat-kan bergelak tertawa, katanya: "Cui-titli, daging kudamu itu Hoa-pepek akan pinjam beberapa kati, sesudah makan dan keluar dari lembah ini, tentu akan kubayar kembali."
Dan belum lagi Cui Sing menjawab, se-konyong2 Hoa Tiat-kan sudah melompat bangun dan mendekati tempat daging kuda panggang itu. Terus saja ia sambar sepotong daging dan dimakan dengan lahapnya. Nyata jangka waktu tertutuk jalan darahnya itu sudah berachir dan telah terbuka dengan sendirinya.
Cui Sing tahu percuma juga hendak merintangi, terpaksa ia tidak gubris padanya.
Sebaliknya demi Hiat-to sudah lancar kembali, sikap Hoa Tiat-kan menjadi berubah aneh. Ia pikir Hiat-to-ceng sudah mati, sekarang, biarpun Tik Hun dan Cui Sing bersatu mengeroyoknya juga pasti bukan tandingan dirinya. Dan cara bagaimana dirinya akan perlakukan kedua muda-mudi itu boleh dikatakan tiada mungkin mereka bisa melawan. Tapi tiada gunanya juga tinggal dilembah bersalju itu terlalu lama, paling penting sekarang harus mencari jalan keluar dahulu.
Ia gunakan Ginkang untuk memeriksa sekitar lembah itu, ia melihat salju longsor yang luar biasa ini telah menutup rapat lembah gunung itu. Jalan keluar satu-satunya dari lembah itupun tertimbun salju berpuluh meter tingginya.
Ada juga akalnya, yaitu dengan cara menggangsir, menerobos dinding salju itu. Tapi ya kalau tebal salju itu cuma beberapa atau belasan meter saja, sebaliknya kalau be-ratus2 meter, apakah dia mampu menggangsir sejauh itu? Apalagi sesudah berada dibawah salju, arah jurusannya menjadi susah dibedakan, bukan mustahil sebelum berhasil menembus tanah salju itu lebih dulu orangnya sudah mati kaku didalam situ.
Sedangkan waktu itu baru permulaan bulan sebelas, kalau mesti menunggu sampai musim panas tahun depan, sedikitnya harus menunggu lima bulan lagi. Padahal seluruh lembah pegunungan itu hanya salju belaka, selama lima bulan itu harus makan apa untuk bisa terus hidup?
Begitulah Hoa Tiat-kan memutar kembali sampai diluar gua batu itu, air mukanya tampak muram dan berkerut. Sesudah duduk termenung sejenak, ia sambar sepotong daging kuda panggang dan dimakan, selesai makan daging kuda itu, barulah ia berkata dengan pelahan: "Untuk bisa keluar harus tunggu sampai hari Toan-ngo-ce (perayaan Pek-cun) tahun depan."
Waktu itu Tik Hun berada disebelah kiri dan Cui Sing berada disisi kanan, jarak mereka dengan Hoa Tiat-kan kira2 belasan meter jauhnya. Meski apa yang digerundel Hoa Tiat-kan itu sangat pelahan, tapi bagi pendengaran kedua muda-mudi itu se-olah2 bunyi geledek kerasnya. Tanpa merasa kedua orang sama2 memandang kearah bangkai kuda yang terletak disamping api unggun itu, hati mereka sama2 memikir: "Apakah dapat bertahan sampai Toan-ngo-ce tahun depan?"
Meski kuda tunggangan Cui Sing itu gemuk lagi besar, tapi dimakan tiga orang, tidak sampai sebulan, achirnya habis juga daging kuda itu.
Lewat 7-8 hari pula, bahkan kepala kuda, kaki dan jerohan kuda juga termakan ludes.
Selama itu, Hoa Tiat-kan, Tik Hun dan Cui Sing sama2 tidak mengajak bicara, terkadang sinar mata masing2 suka kebentrok, tapi segera saling melengos.
Sesudah sekian lamanya, rasa sirik dan curiga Cui Sing kepada Tik Hun sudah banyak berkurang. Achirnya ia berani tidur didalam gua.
Akan tetapi dengan habisnya daging kuda, timbul pula semacam rasa waswas kepada pemuda itu. Bukan kuatir pemuda itu akan berbuat hal2 yang tidak senonoh atas dirinya, tapi takut kalau2 dirinya akan.......... dimakan oleh "Hwesio" jahat itu.
Sampai bilan ke-12, hawa dilembah kurung itu semakin dingin, angin men-deru2 sepanjang malam. Biarpun Tik Hun sudah berhasil meyakinkan "Sin-ciau-kang", tenaga dalamnya bertambah penuh, tapi bajunya tipis dan compang-camping, ditengah tanah bersalju sedingin itu, mau-tak-mau ia tersiksa juga.
Melihat orang kedinginan, tapi toh tidak pernah melangkah masuk kedalam gua untuk menolak hawa dingin, mau-tak-mau Cui Sing merasa lega juga. Ia merasa paderi jahat itu memang "jahat", tapi cukup sopan.
Selama lebih sebulan itu, luka diatas tubuh Tik Hun sudah sembuh seluruhnya, kaki yang patah juga sudah tersambung kembali dan telah bisa berjalan seperti biasa. Tenaga dalamnya makin hari juga makin tambah kuat. Sebaliknya hawa juga makin dingin, tapi toh tidak begitu dirasakan olehnya.
Habisnya daging kuda sungguh merupakan suatu persoalan yang maha pelik. Sebenarnya beberapa hari terachir itu sedapat mungkin Tik Hun telah mengurangi makannya, boleh dikata asal sekadar mengisi perut saja. Tapi apa yang dia hemat segera disapu habis oleh Hoa Tiat-kan yang tidak kenal sungkan2 itu.
Menyaksikan itu, diam2 Cui Sing membatin: "Hm, seorang pendekar besar yang tersohor di Tionggoan, disaat menghadapi kesulitan ternyata kalah daripada seorang paderi cabul cilik dari Hiat-to-bun!"
Begitulah Cui Sing masih tetap pandang Tik Hun sebagai "paderi cabul". Padahal saat itu rambut Tik Hun sudah tumbuh kembali, dengan sendirinya bukan kepala gundul lagi. Sedangkan dikatakan cabul juga tidak betul, selama itu toh tiada sesuatu perbuatannya yang membuktikan dia "cabul"?
Tengah malam itu, tiba2 Cui Sing terjaga dari tidurnya, ia mendengar Tik Hun sedang membentak: "Jenazah Cui-tayhiap itu tidak boleh kau kutik2!"
Lalu terdengar Hoa Tiat-kan menjawab dengan dingin: "Hm, lewat beberapa hari lagi, jangankan orang mati, bahkan orang hidup juga akan kumakan. Sekarang aku makan orang mati dulu, supaya kau bisa hidup lebih lama beberapa hari lagi!"
"Kita lebih baik makan rumput atau akar pohon, tapi sekali2 tidak boleh makan daging manusia!" sahut Tik Hun.
"Enyah kau!" bentak Hoa Tiat-kan mendadak.
Tanpa pikir lagi segera Cui Sing berlari keluar gua, ia melihat disamping kuburan sang ayah yang berada disana itu berdiri dua orang yang sedang bercekcok, yaitu Tik Hun dan Hoa Tiat-kan.
Segera Cui Sing ber-teriak2 sambil memburu kesana: "Jangan mengutik-ngutik ayahku!"
Dan sesudah dekat, Cui Sing melihat salju yang tadinya menguruk diatas jenazah sang ayah itu telah dibongkar, bahkan tangan kiri Hoa Tiat-kan sudah memegangi jenazah sang ayah.
Selagi Cui Sing hendak berteriak pula, tiba2 Tik Hun sudah membentak pada Hoa Tiat-kan: "Taruh kembali!"
"Baiklah, taruh kembali ya taruh kembali!" sahut Hoa Tiat-kan. Habis berkata, benar juga ia lantas letakan mayatnya Cui Tay.
Melihat itu, Cui Sing rada lega, bentaknya: "Hoa Tiat-kan, kau sesungguhnya bukanlah manusia!"
Tapi belum habis ia memaki, se-konyong2 sinar tajam berkelebat, tahu2 Hoa Tiat-kan melolos keluar sebatang tumbak pendek dari bajunya, sekali bergerak, secepat kilat ia tusuk kedada Tik Hun.
Serangan itu teramat cepat, biarpun Lwekang Tik Hun sekarang sudah sangat tinggi, tapi ilmu silatnya hanya biasa saja, tidak lebih cuma sedikit ilmu pukulan dan permainan pedang yang pernah diperolehnya dari Jik Tiang-hoat, dengan sendiri ia tidak mampu melawan serangan kilat diluar dugaan dari Hoa Tiat-kan yang tergolong tokoh kelas satu itu.
Ketika Tik Hun insaf apa yang terjadi, sementara itu ujung tumbak musuh sudah sampai didadanya. Keruan Cui Sing ikut kaget dan menjerit dengan kuatir.
Dengan berhasilnya serangan kilat secara mendadak itu, Hoa Tiat-kan yakin tumbaknya pasti akan menembus dada lawan dan seketika lawan itu akan terbinasa. Siapa duga, begitu ujung tumbaknya mencapai dada Tik Hun, tiba2 seperti terhalang oleh sesuatu dan takbisa masuk.
Karena tusukan dan dorongan tumbak itu, Tik Hun terperosot jatuh dan duduk, tapi tangan kirinya sempat diangkat dan menghantam ke-kuat2nya kebatang tumbak lawan. "Krak", tahu2 garan tumbak terhantam patah menjadi dua, bahkan tenaga pukulan itu sedemikian kerasnya hingga Hoa Tiat-kan ikut terpental dan jatuh terjengkang.
Keruan kejut Hoa Tiat-kan tak terkatakan, sungguh tak terduga olehnya bahwa ilmu silat Hwesio cilik itu ternyata sedemikian aneh dan sakti, bahkan tidak dibawah Hwesio tua yang sudah mati itu. Cepat ia menggelundung pergi hingga beberapa kali, lalu melompat bangun dan lari jauh2 kesana.
Ia tidak tahu bahwa tusukan tumbak itu tidak menembus badan Tik Hun, tapi saking kerasnya sodokan itu hingga dada Tik Hun terasa sesak dan napas se-akan2 berhenti. Kontan iapun jatuh pingsan.........
*********
Sang dewi malam sudah menghias ditengah cakrawala yang luas, dua ekor elang besar tampak ber-putar2 diangkasa karena melihat sesosok tubuh menggeletak ditanah salju, yaitu Tik Hun.
Melihat Tik Hun menggeletak dan tak berkutik lagi, Cui Sing menyangka pemuda itu sudah ditusuk mampus oleh tumbak Hoa Tiat-kan itu, ia menjadi girang "Siau-ok-ceng" (paderi jahat kecil) yang ditakuti itu achirnya telah mati, selanjutnya ia tidak perlu takut diganggu orang lagi. Tapi segera terpikir pula olehnya: "Hoa Tiat-kan bermaksud makan daging jenazah ayahku, syukur Siau-ok-ceng itu yang telah merintangi sepenuh tenaga, tapi ia berbalik terbunuh oleh Hoa Tiat-kan. Padahal dia toh tidak perlu merintangi perbuatan Hoa Tiat-kan itu. Apa barangkali dia sengaja hendak menipu supaya aku percaya padanya, tapi kemudian aku akan di..... hm, tidak nanti aku dapat tertipu. Akan tetapi sesudah dia mati, pabila jahanam Hoa Tiat-kan itu hendak mengganggu jenazah ayah lagi, lantas bagaimana? Ai, sebaiknya Siau-ok-ceng itu jangan mati dulu."
Begitulah pertentangan pikiran Cui Sing pada saat itu, sebentar ia bersyukur Siau-ok-ceng atau sipaderi jahat kecil yang ditakuti itu telah mati, tapi lain saat ia berharap Tik Hun jangan mati agar dirinya mempunyai sandaran untuk melawan Hoa Tiat-kan.
Sambil memegangi golok merah, achirnya ia mendekati Tik Hun, ia melihat pemuda itu menggeletak terlentang dan tidak bergerak sedikitpun, daging mukanya tampak ber-kerut2 pelahan, nyata orangnya belum mati.
Cui Sing menjadi girang, cepat ia berjongkok untuk memeriksa napas Tik Hun. Tapi waktu tangannya menjulur sampai didepan hidung Tik Hun, ia merasa dua rangkum hawa panas dari lubang hidung itu menyembur ketangannya. Ia terkejut dan cepat menarik tangan.
Semula ia menyangka napas Tik Hun tentu kempas-kempis andaikan orangnya belum mati, siapa duga napas yang keluar-masuk dihidung "Siau-ok-ceng" itu ternyata begitu keras lagi panas.
Sebab apakah Tik Hun tidak mempan ditusuk tumbak? Kiranya Tik Hun mengenakan "Oh-jan-kah" pemberian Ting Tian dahulu, maka tumbak Hoa Tiat-kan itu tidak dapat menembus tubuhnya. Namun sebagai salah satu tokoh "Lam-su-lo" yang tersohor, ilmu silatnya dan tenaga dalamnya Hoa Tiat-kan dengan sendirinya luar biasa, meski tusukannya tidak mempan atas Tik Hun, tapi tusukan itu tepat menyodok didada pemuda itu hingga seketika Tik Hun lantas kelengar saking tak tahan. Untung sekarang ia sudah berhasil meyakinkan "Sin-ciau-kang" hingga jiwanya tidak sampai melayang oleh tusukan tumbak itu.
Begitulah Cui Sing baru tahu bahwa pemuda itu cuma pingsan saja, ia merasa rikuh bila sebentar pemuda itu siuman kembali dan melihat dia berdiri disitu. Dan selagi ia hendak menjauhi Tik Hun, baru ia menoleh, ia melihat Hoa Tiat-kan juga berdiri tidak jauh dari situ dan sedang memperhatikan gerak-gerik mereka.
Hendaklah diketahui bahwa Hoa Tiat-kan juga tidak kurang kagetnya ketika tumbaknya tidak mempan mengenai sasarannya, bahkan ia sendiri sampai terpental. Tapi demi dilihatnya Tik Hun menggeletak tak bangun lagi, dengan sendirinya cepat2 ia ingin mengetahui pemuda itu sudah mati atau masih hidup.
Selang sebentar, ketika dilihatnya Tik Hun tetap tidak bergerak, ia menduga kalau tidak mati tentu pemuda itupun terluka parah. Maka tanpa takut2 lagi segera ia mendekati Tik Hun.
Keruan yang ketakutan adalah Cui Sing, cepat ia membentak: "Pergi kau, pergi!"
"Kenapa aku mesti pergi?" sahut Hoa Tiat-kan dengan menyeringai. "Orang hidup tentu lebih lezat daripada orang mati. Kita sembelih dia dan memakannya bersama, bukankah sama2 baiknya?" ~Sembari berkata, ia terus melangkah maju.
Cui Sing menjadi sibuk, sekuatnya ia meng-guncang2 Tik Hun sambil berteriak: "Bangunlah lekas, dia telah datang, dia telah datang!"
Dan demi nampak Hoa Tiat-kan sudah angkat sebelah tangannya hendak menghantam ketubuh Tik Hun, tanpa pikir lagi Cui Sing putar goloknya, dengan jurus "Kim-ciam-toh-jiat" (jarum emas penolong maut), segera ia menusuk dulu keulu hati Hoa Tiat-kan.
Senjata Hoa Tiat-kan, yaitu tumbak pendek, sudah dipatahkan oleh hantaman Tik Hun tadi, kini ia hanya bertangan kosong, walaupun kepandaian Cui Sing tak dipandang sebelah mata olehnya, tapi gadis itu bersenjatakan golok merah yang maha tajam itu, terpaksa ia tidak berani ayal, segera ia mengeluarkan kepandaian "Khong-jiu-jip-peh-yim" atau merebut senjata lawan dengan bertangan kosong. Ia pusatkan perhatian untuk menempur Cui Sing dengan tujuan merebut dulu senjata yang lihay itu.
Dalam pingsannya itu, lapat2 Tik Hun mendengar teriakan Cui Sing tadi yang menyuruhnya bangun, sesaat itu ia masih samar2 belum sadar dan tidak tahu apa maksud gadis itu. Tapi menyusul ia lantas dengar suara bentakan2. Waktu ia membuka mata, dibawah sinar bulan ia melihat Cui Sing sedang putar goloknya menempur Hoa Tiat-kan dengan sengit.
Meski gadis itu bersenjata, tapi pertama ia tidak biasa memakai golok, kedua, ilmu silatnya selisih terlalu jauh dibanding Hoa Tiat-kan, maka kelihatan gadis itu sudah payah dan terdesak mundur terus, sampai achirnya, yang diharapkan gadis itu adalah goloknya tidak dirampas musuh, sedangkan untuk balas menyerang sudah tidak mampu lagi.
Dan setiap beberapa jurus, selalu Cui Sing menoleh dan berteriak pada Tik Hun: "Lekas bangun, dia hendak membunuh kau, lekas bangun!"
Mendengar itu, hati Tik Hun terkesiap, pikirnya: "Wah, hampir saja aku mati! Jadi tadi dia telah menyelamatkan jiwaku. Bila dia tidak merintangi Hoa Tiat-kan, tentu aku sudah dibunuh oleh Hoa Tiat-kan."
Dalam pada itu dilihatnya Cui Sing sedang terdesak dan terancam bahaya, tanpa pikir lagi Tik Hun lantas melompat bangun, kontan ia menghantam sekali kearah Hoa Tiat-kan.
Ketika Hoa Tiat-kan memapak pukulan itu dengan telapak tangannya, "plak", dua arus tenaga pukulan saling beradu, "bluk", tahu2 kedua orang sama2 tergentak jatuh duduk.
Kiranya tenaga dalam Tik Hun sudah sangat kuat, sebaliknya ilmu pukulan Hoa Tiat-kan lebih lihay, maka gebrakan itu menjadi sama kuatnya.
Ilmu silat Hoa Tiat-kan lebih tinggi, gerak perubahannya menjadi lebih cepat. Begitu ia jatuh terpental, cepat ia melompat bangun lagi dan pukulan kedua segera dilontarkan pula. Tik Hun belum sempat berdiri kembali, terpaksa ia sambut pukulan itu dengan berduduk.
Diluar dugaan, dalam keadaan berduduk itu tenaga Tik Hun ternyata tidak berkurang sedikitpun, maka "blang", kembali kedua pukulan saling bentur, Tik Hun terpental hingga berjumpalitan sekali, sebaliknya Hoa Tiat-kan juga ter-huyung2 dan hampir2 terjungkal lagi, darah dirongga dadanya juga bergolak hebat dan hampir2 muntah darah.
Diam2 ia terkejut: "Tenaga dalam Siau-ok-ceng ini ternyata sedemikian hebatnya!"
Tapi sesudah dua kali gebrak itu Hoa Tiat-kan tahu ilmu pukulan Tik Hun itu hanya biasa saja dan tak berarti, maka tanpa takut2 lagi kembali ia menerjang maju dari samping, pukulan ketiga segera dilontarkan pula.
Terpaksa Tik Hun menyambut pula serangan itu. Tapi sekali ini ia kecele, ternyata Hoa Tiat-kan sangat licik, pukulan ketiga ini tidak dihantamkan dengan keras, tapi bergerak naik-turun dan menyambar lewat didepan muka Tik Hun, dengan sendirinya pukulan sambutan Tik Hun memapak angin, menyusul mana tahu2 "plak", dadanya telah kena digenjot sekali oleh Hoa Tiat-kan.
Untung Tik Hun memakai baju Oh-jan-kah hingga tidak terluka apa2, tapi toh tidak tahan juga oleh tenaga pukulan yang hebat itu, maka baru saja ia berdiri, kembali ia jatuh terduduk pula.
Sekali pukulannya mengenai sasaran, Hoa Tiat-kan mendapat hati, pukulan lain segera disusulkan lagi. Sebenarnya Hoa Tiat-kan disegani orang Bu-lim karena ilmu tumbaknya yang lihay, tapi dalam hal ilmu pukulan toh dia juga sangat hebat, kini ia telah mainkan "Gak-keh-san-jiu", ilmu pukulan warisan Gak Hui, kedua tangannya menyambar kian kemari, maka terdengarlah "plak-plok" ber-ulang2, Tik Hun kenyang digampar dan dihantam.
Beberapa kali Tik Hun ingin balas menghantam juga, tapi setiap kali ia balas menyerang, selalu dapat dihindarkan Hoa Tiat-kan dengan mudah. Ya maklum, selisih ilmu silat mereka sesungguhnya terlalu jauh, Tik Hun hanya menang Lwekang saja sekarang, dalam hal ilmu silat dan taktik pukulan sama sekali ia tak berdaya.
Sampai achirnya, sesudah kenyang dihajar tanpa mampu membalas apa2, terpaksa Tik Hun cuma dapat melindungi muka dan kepalanya dengan kedua tangan, sedang bagian badan membiarkan dihanjut musuh, sekali2 ia juga berdiri, tapi segera "knock-out" lagi kena pukulan Hoa Tiat-kan.
Saat itu Hoa Tiat-kan sudah bertekad harus mampuskan pemuda itu agar tidak menimbulkan bahaya dibelakang hari, maka ia masih terus menghajar dengan kejam tanpa kenal ampun. Ber-ulang2 Tik Hun sudah muntah darah tiga kali, gerak-geriknya juga sudah susah.
Dalam keadaan begitu, Cui Sing takbisa tinggal diam lagi, semula ia tidak berani sembarangan menyela dalam pertarungan kedua orang itu, kini melihat Tik Hun melulu terima digebuk belaka dan terancam bahaya, tanpa pikir lagi ia ayun goloknya terus membacok kepunggung Hoa Tiat-kan.
Cepat Hoa Tiat-kan mengegos kesamping, berbareng tangannya meraup kebelakang untuk merebut senjata sigadis. Namun kesempatan itu segera digunakan Tik Hun untuk menghantam sekuatnya, seketika Hoa Tiat-kan terkurung ditengah pukulan pemuda itu.
Karena takbisa berkelit lagi, terpaksa Hoa Tiat-kan memapak pukulan Tik Hun itu dengan pukulan juga. "Plak", seketika Hoa Tiat-kan kepala pusing dan mata ber-kunang2, sebagian tubuhnya serasa kaku. Nyata kalau bicara mengadu tenaga dalam, pasti Hoa Tiat-kan bukan tandingan Tik Hun sekarang.
"Lekas lari, lekas lari!" demikian Cui Sing lantas berseru sambil menarik Tik Hun untuk berlari kedalam gua. Dengan cepat mereka mengangkat beberapa potong batu besar untuk ditumpuk dimulut gua, dengan golok terhunus Cui Sing berjaga disitu.
Mulut gua itu agak sempit, meski beberapa potong batu besar itu tidak dapat menutup rapat mulut gua itu, tapi untuk bisa masuk kesitu terpaksa Hoa Tiat-kan harus membongkar dulu batu2 itu. Dan bila ia berani menjamah batu2 itu, segera Cui Sing akan menabas tangannya dengan golok.
Selang sejenak, diluar gua ternyata tenang2 saja.
"Siau......... bagaimana keadaan lukamu?" tanya Cui Sing tiba2. Sebenarnya ia hendak memanggil "Siau-ok-ceng" kepada Tik Hun seperti biasanya, tapi kini mereka sudah menjadi kawan dan bukan lawan lagi, ia merasa rikuh dan urung memanggil poyokan yang tidak sedap didengar itu.
"Tidak berbahaya," demikian Tik Hun telah menyahut.
Tiba2 terdengar Hoa Tiat-kan sedang bergelak ketawa diluar gua dan berteriak: "Ha-hahaha! Dua ekor binatang cilik itu main sembunyi2 didalam gua, apakah sedang berbuat sesuatu yang tidak boleh dilihat orang?"
Keruan wajah Cui Sing merah padam, dalam hati ia menjadi rada takut juga. Ia telah pandang Tik Hun sebagai "In-ceng" (paderi cabul) yang tidak baik kelakuannya, kini dirinya malah berada bersama didalam gua, bukankah sangat berbahaya? Karena itu, tanpa merasa ia menggeser kesamping, ia merasa lebih jauh jaraknya dengan "paderi cabul" itu tentu akan lebih aman.
Dalam pada itu terdengar Hoa Tiat-kan sedang mengoceh lagi diluar: "Hahaha, sepasang anjing laki2 dan perempuan itu enak2 bersembunyi disitu, ya? Tapi aku menjadi kedinginan diluar sini! Hahaha! Biarlah kumakan daging panggang saja!"
Cui Sing kaget, keluhnya didalam hati: "Wah celaka! Dia hendak makan daging ayahku! Apa dayaku sekarang?"
Sebaliknya darah Tik Hun juga sedang bergolak. Selama beberapa tahun ini ia telah kenyang dihina dan dianiaya orang, kini mendengar ocehan Hoa Tiat-kan yang menjijikan itu, keruan ia tidak bisa tahan lagi.
Mendadak ia mendorong tumpukan batu yang menutupi mulut gua itu dan menerjang keluar bagaikan banteng ketaton, kedua tangannya menghantam ber-ulang2, sekuatnya ia serang Hoa Tiat-kan secara kalap.
Tapi dengan gampang Hoa Tiat-kan dapat menghindarkan beberapa kali serangan Tik Hun itu, menyusul tangan kirinya berputar sebagai pancingan, sebaliknya tangan kanan tahu2 menghantam dari belakang, menghantam dari arah yang sama sekali tak terduga oleh Tik Hun. "Bluk", tanpa ampun lagi punggung Tik Hun kena digebuk sekali dengan keras.
Kontan Tik Hun muntah darah lagi, kepala terasa pusing dan mata se-akan2 lamur, ia melihat Hoa Tiat-kan dihadapannya itu seperti telah berubah menjadi Ban Cin-san, Ban Ka, Leng Dwe-su, Po-siang dan orang2 jahat lain yang pernah menghina dan menganiaya dirinya itu. Mendadak ia pentang kedua tangan dan menyeruduk maju, tahu2 Hoa Tiat-kan didekapnya dengan kencang sekali.
Dengan gugup Hoa Tiat-kan lantas menjotos hingga tepat mengenai batang hidung Tik Hun, "crot", kontan keras hidung pemuda itu bocor dan keluar kecapnya.
Namun Tik Hun sudah tidak merasa sakit lagi, ia mendekap se-kencang2nya, makin lama makin kencang.
Napas Hoa Tiat-kan menjadi sesak karena pinggangnya didekap sedemikian kuatnya oleh lawan yang kalap itu, mau-tak-mau ia rada kuatir juga. Malahan pada saat itu juga tertampak Cui Sing sedang memburu maju dengan golok terhunus.
Keruan Hoa Tiat-kan ketakutan, tanpa pikir lagi kedua tinjunya menghantam perut Tik Hun sekuatnya. Karena kesakitan, lengan Tik Hun menjadi lemas, pelukannya menjadi kendur. Kesempatan itu segera digunakan Hoa Tiat-kan untuk meronta dan melepaskan diri, ia menjadi kapok dan tidak berani bertempur pula dengan orang kalap, beberapa kali lompatan cepat, ia meninggalkan Tik Hun hingga belasan meter jauhnya, disitulah baru ia berhenti dengan napas megap2.
Melihat Tik Hun ter-huyung2 dengan muka penuh darah, ada maksud Cui Sing hendak memayang pemuda itu, tapi toh agak takut juga kalau2 mendadak "Siau-ok-ceng" itu mengamuk. Maka dengan rasa waswas ia melangkah maju.
"Jangan mendekati aku!" se-konyong2 Tik Hun membentak. "Aku adalah Siau-ok-ceng, adalah paderi cabul, jangan kau mendekati aku, agar aku tidak menodai nama baik puteri seorang pendekar besar sebagai kau ini! Lekas enyah! Enyahlah!"
Melihat sikap Tik Hun yang beringas dengan sinar matanya yang buas itu, Cui Sing menjadi ketakutan dan melangkah mundur.
Dengan napas ter-sengal2 Tik Hun terus berjalan kearah Hoa Tiat-kan dengan sempoyongan, serunya: "Kalian manusia2 durjana ini! Ban Cin-san dan Ban Ka, kalian tidak berhasil membunuh aku, tidak dapat mematikan aku. Hayolah maju, marilah maju! Tikoan Tayjin, Tihu Tayjin, kalian hanya pintar menindas yang lemah dan merampas hak rakyat jelata, hayolah, jika berani, majulah, hayolah kita bertempur mati2an.........."
"Wah, orang ini sudah gila!" demikian Hoat Tiat-kan membatin.
Maka ia melompat pergi lebih jauh lagi dan tidak berani mendekati Tik Hun.
Tik Hun masih ber-teriak sambil mendongak: "Kalian manusia2 jahat semua! Hayolah boleh kalian maju semua padaku, aku Tik Hun tidak gentar! Kalian telah penjarakan aku, telah memotong jari tanganku, telah merebut Sumoayku, telah menginjak patah kakiku, tapi, semuanya itu aku tidak takut, hayolah maju, biarpun aku dicincang hancur luluh juga aku tidak gentar!"
Mendengar teriakan dan gemboran Tik Hun itu, diantara rasa takutnya, mau-tak-mau timbul juga rasa kasihannya Cui Sing. Terutama demi mendengar seruan pemuda itu tentang: "telah merebut Sumoayku, telah menginjak patah kakiku", hati Cui Sing semakin terguncang, pikirnya: "Kiranya batin Siau-ok-ceng ini penuh siksa derita, sedangkan tulang kakinya itu justeru aku yang mengkeprak kudaku untuk menginjaknya hingga patah."
Begitulah Tik Hun masih ber-teriak2 terus hingga suaranya menjadi serak, achirnya ia terjungkal roboh ditanah salju dan tidak bergerak lagi.
Sudah tentu Hoa Tiat-kan tidak berani mendekati, begitu pula Cui Sing juga tidak berani mendekat.....
*********
Melihat sesosok tubuh manusia yang menggeletak ditanah tanpa bergerak itu, elang yang terbang mengitar diangkasa itu mengira Tik Hun sudah mati. Se-konyong2 seekor elang itu menyambar kebawah dan mematuk jidat Tik Hun.

Saat itu Tik Hun masih dalam keadaan tak sadar, karena patukan elang itu, seketika ia siuman kembali.
Melihat badan mangsanya bergerak, elang itu menjadi ketakutan dan cepat terbang keatas.
Tik Hun menjadi gusar, bentaknya: "Kau binatang inipun berani padaku?" ~ Terus saja sebelah tangannya dipukulkan.
Tenaga pukulan Tik Hun ini sangat lihay, jarak elang itu sudah ada tiga-empat meter dari dia, tapi kena tenaga pukulan itu, seketika bulu sayapnya rontok bertebaran, bahkan elang itu terus jatuh kebawah.
Cepat Tik Hun sambar binatang itu, dengan ketawa ter-bahak2, segera ia gigit perut elang itu. Sudah tentu binatang itu kerupukan dan me-ronta2 berusaha melepaskan diri. Namun Tik Hun sudah kadung gemas, ia pencet elang itu se-keras2nya, ia merasa darah elang yang asin2 amis menetes terus kedalam mulutnya hingga dia mirip diberi tambah darah.
Sebentar kemudian, setelah kenyang menghirup darah elang, ia abat-abitkan binatang yang sudah tak bernyawa itu tinggi2 sambil berseru: "Nah, apa abamu sekarang? Hm, kau ingin makan aku? Tapi aku sudah makan kau lebih dulu!"
Melihat cara bagaimana Tik Hun ganyang mentah2 elang yang ditangkapnya itu, Hoa Tiat-kan dan Cui Sing sampai ternganga kesima. Hoa Tiat-kan menjadi takut sigila itu sebentar akan mengamuk dan menerjang kearahnya, jalan paling selamat rasanya menghindar pergi saja sejauh mungkin. Maka cepat ia mengitar keujung timur lembah itu, ia pikir cara sigila itu menangkap elang sangat praktis juga, maka ia lantas menirukan, ia merebah ditanah, ia pura2 mati untuk menantikan sambaran elang.
Memang ada juga elang yang tertipu olehnya dan menerjun kebawah hendak memaruhnya, tapi ketika Hoa Tiat-kan menghantam, hasilnya ternyata nihil, elang itu tidak kena dihantam. Kiranya tenaga dalamnya selisih terlalu jauh dibandingkan Tik Hun sekarang, benar ilmu pukulannya sangat bagus, tapi cara berkelit elang itupun sangat gesit dan cepat, andaikan kena tenaga pukulannya juga tidak jatuh kebawah, paling2 berkaok kesakitan terus terbang keangkasa lagi.
Sementara itu setelah Tik Hun hirup darah elang, namun saking parahnya kena dihajar Hoa Tiat-kan tadi, achirnya ia jatuh pingsan pula.
Ketika mendusin, sementara itu hari sudah terang tanah. Ia merasa kelaparan, segera ia ambil elang mati yang berada disampingnya itu terus digeragoti. Tapi sekali menggeragot, ia tidak merasakan amisnya daging mentah lagi, sebaliknya daging elang itu terasa sangat lezat dan gurih. Waktu ia perhatikan daging elang itu, ia menjadi melongo.
Kiranya elang itu sekarang sudah bukan elang kemarin lagi, bulu elang itu kini sudah terbubut bersih, bahkan sudah terpanggang mateng. Padahal masih jelas teringat olehnya elang itu cuma dihisap darahnya saja, lalu ia terpulas. Lantas siapakah gerangannya yang memanggang elang itu? Jika bukan Cui Sing, masakah mungkin adalah sijahanam Hoa Tiat-kan? Tapi ia yakin pasti sigadis itulah yang melakukannya.
Sesudah ber-teriak2 seperti orang gila semalam, rasa sumpak dan kesalnya Tik Hun sudah banyak terlampias. Kini sesudah sadar, ia merasa dadanya lega, semangat penuh. Waktu ia memandang kedalam gua, ia melihat Cui Sing masih tidur sambil mendekap diatas batu.
Pikirnya: "Gadis itupun sudah kelaparan selama beberapa hari, sesudah panggang elang ini, semuanya ia berikan padaku tanpa mengambil sedikitpun bagi dirinya sendiri, betapapun hal ini harus dipuji. Tapi, hm, ia anggap dirinya adalah puteri seorang pendekar besar dan pandang rendah padaku, sebaliknya aku juga pandang hina padamu? Apanya sih yang kuharapkan darimu?"
Tapi selang tak lama, kembali terpikir pula olehnya: "Namun dia telah memanggangkan elang bagiku, suatu tanda dia toh tidak terlalu memandang rendah padaku. Maka tidak pantas jika dia dibiarkan mati kelaparan."
Kira dua jam kemudian, kembali ia berhasil mendapatkan empat ekor elang dengan tenaga pukulannya. Sementara itu Cui Sing sudah mendusin, maka ia melemparkan dua ekor elang hasil buruannya itu kepada gadis itu.
Tapi Cui Sing lantas mendekatinya dan mengambil sekalian kedua ekor elang yang lain, ia sembelih semua elang itu serta dipanggang pula. Lalu tanpa bicara apa2 kedua ekor elang panggang yang sudah masak itu dikembalikan kepada Tik Hun.

Dilembah pegunungan itu ternyata banyak juga burung elang, tapi binatang2 itu justeru sangat tolol. Biarpun banyak kawannya telah menjadi korban pukulan Tik Hun dan dijadikan isi perut, tapi burung2 itu masih terus-menerus menghantarkan diri sendiri untuk dijadikan makanan.
Dalam pada itu tenaga dalam Tik Hun juga semakin tambah kuat, dengan sendirinya tenaga pukulannya juga makin hebat. Sampai achirnya, ia tidak perlu pura2 mati untuk memancing elang lagi, tapi asal ada burung yang menghinggap dipohon atau terbang lewat disampingnya, sekali dia hantam, tentu dapatlah ditangkapnya.
Dengan cepat sang waktu telah lalu tanpa terasa, sementara itu bulan ke-12 sudah habis. Cuaca sudah banyak berubah, salju yang turun dilembah pegunungan itu kini sudah sangat jarang, siang-malam hanya tiupan angin yang masih merasuk tulang dinginnya. Kecuali kalau mencari kayu bakar dan memanggang burung, selalu Cui Sing bernaung didalam gua. Selama itu Tik Hun tidak pernah mengajak bicara padanya dan tidak pernah masuk selangkahpun kedalam gua.
Suatu malam, salju turun terus-menerus dengan bertebaran. Esok paginya waktu Tik Hun mendusin, ia merasa badannya hangat2 nyaman, waktu ia membuka mata, ia melihat tubuh sendiri tertutup oleh sesuatu benda yang coklat ke-hitam2an. Ia terkejut dan cepat memegangnya, tapi ia menjadi heran ketika diketahui barang itu adalah sepotong baju yang aneh.
Baju itu seluruhnya terbuat dari bulu burung, hampir sebagian besar adalah bulu elang. Panjang baju itu sebatas lutut hingga lebih tepat dikatakan mantel. Baju buatan dari bulu itu entah memerlukan betapa banyak, mungkin berpuluh ribu helai bulu burung.
Sambil memegangi baju bulu burung itu, mendadak wajahnya menjadi merah, ia tahu pasti baju itu adalah buah tangan Cui Sing. Untuk membuat baju itu, terang tidak sedikit jerih-payah yang telah dicurahkan sigadis. Apalagi dilembah pegunungan itu tiada peralatan menjahit seperti gunting, jarum, benang dan sebagainya, entah cara bagaimana gadis itu telah menyelesaikan baju bulu burung itu.
Waktu Tik Hun coba memeriksa baju itu, ia melihat pada pangkal tulang setiap helai bulu itu terdapat sebuah lubang kecil, tentu lubang itu ditusuk dengan tusuk-konde Cui Sing, lalu lubang itu ditembus dengan benang sutera warna kuning, terang benang itu diloloskan dari baju sutera kuning yang dipakai Cui Sing sendiri. Diam2 Tik Hun heran, pekerjaan yang sukar dan rumit itu mengapa justeru sangat disukai oleh kaum wanita?
Tiba2 terkenang olehnya apa yang terjadi pada beberapa tahun yang lalu ditempat tinggal Ban Cin-san dikota Heng-ciu dahulu. Pada malam itu, ia telah dikerubut oleh delapan murid orang she Ban itu, ia dihajar mereka hingga babak-belur, mata biru dan hidung bocor, bahkan sehelai baju baru yang sangat disayanginya itu juga menjadi korban dan te-robek2. Syukur waktu itu Jik-sumoay yang telah menambal dan menjahitkan baju baru yang sobek itu.
Tanpa merasa terbayang olehnya keadaan pada waktu itu: Jik Hong menggelendot disampingnya untuk menambal bajunya. Rambut sigadis yang panjang itu meng-gosok2 pipinya hingga menimbulkan rasa geli, malahan ia mengendus bau harum anak perawan yang selama hidup baru pertama kali itu dialaminya, dengan perasaan terguncang ia telah memanggil: "Sumoay!" ~ Lalu Jik Hong telah menyahut: "Sssst, jangan bersuara, jangan2 kau akan dipitenah menjadi maling!"
Terpikir sampai disini, tenggorokan Tik Hun serasa tersumbat sesuatu, air matanya ber-linang2 dikelopak matanya hingga segala apa yang berada didepannya menjadi samar2 kelihatannya. Pikirnya: "Benar juga. Kemudian aku telah dipitenah orang sebagai maling. Apa barangkali karena aku telah bersuara waktu Sumoay menambal bajuku seperti apa yang dikatakan Sumoay itu?"
Tapi sesudah mengalami godokan dan gemblengan segala penderitaan selama beberapa tahun ini, ia sudah tidak percaya lagi kepada segala kiasan yang chayal itu. Pikirnya: "Hehe, bila orang memang bermaksud bikin celaka padaku, biarpun aku tidak bersuara atau gagu sekalipun juga tetap akan dicelekai mereka. Tatkala itu Sumoay benar2 sangat baik padaku, tapi wanita didunia ini semuanya memang takbisa dipercaya, habis manis sepah dibuang. Ketika melihat keluarga Ban yang kaya-raya itu, sijahanam Ban Ka itu muda lagi lebih ganteng daripadaku, mata Sumoay menjadi silau dan balik pikiran. Yang paling tidak pantas yalah aku telah ditipu agar sembunyi digudang kayu, tapi diam2 ia memberitahukan pada suaminya untuk menangkap aku. Hahaha! Haha-hahahaha!"
Begitulah mendadak ia ter-bahak2 seperti orang gila. Sambil memegangi baju bulu itu ia menuju kedepan gua, ia lempar baju itu ketanah dan menginjaknya beberapa kali dengan berteriak: "Aku adalah paderi cabul dan Hwesio jahat, mana aku ada harganya memakai baju buatan puteri terhormat ini?" ~ dan sekali ia depak, baju bulu itu ditendangnya kedalam gua. Lalu ia putar tubuh dan tinggal pergi dengan ter-bahak2.
Dengan susah payah dan memakan tempo lebih sebulan barulah Cui Sing selesai membuatkan baju bulu itu. Ia pikir "Siau-ok-ceng" telah berjasa menyelamatkan jenazah ayah, tapi sedikitpun jasa itu tidak di-tonjol2kan padanya. Selama ini hidupnya juga tergantung dari daging burung buruan "Siau-ok-ceng" itu. Sebaliknya tingkah-laku "Siau-ok-ceng" itu ternyata cukup "sopan", biarpun menderita kedinginan diluar gua toh tidak pernah melangkah kedalam gua setindakpun, maka sudah sepantasnya baju bulu yang kubikin ini kuhadiahkan dia sekadar membalas kebaikannya selama ini.
Siapa duga maksud baiknya telah dibahas dengan jelek, baju bulu itu di-injak2 dan terus disepak kembali kedalam gua, bahkan dicaci maki dan dihina. Saking gusarnya, terus saja Cui Sing jemput kembali baju bulu itu dan di-betot2 dan di-puntir2, dan saking terguncang perasaannya, air matanya lantas bercucuran.
Sama sekali tak tersangka olehnya bahwa diwaktu Tik Hun berputar pergi sambil terbahak2 tadi, baju didadanya itu juga sudah basah lepek oleh tetesan air mata..........
*********
Menjelang lohor, kembali Tik Hun berhasil memburu empat ekor burung, seperti biasa, ia taruh hasil buruan itu di depan gua. Maka Cui Sing lantas menyembelih burung2 itu pula dan dipanggang, lalu membagi separoh pada Tik Hun seperti biasa.
Kedua orang sama sekali tidak bicara, bahkan sinar mata masing2 juga tidak berani kebentrok. Keduanya duduk ditempat masing2 dari jarak agak jauh, mereka makan daging burung panggang bagian sendiri2.
Tiba2 dari arah timur laut sana terdengar suara tindakan orang. Waktu mereka memandang kearah suara itu, tertampaklah Hoa Tiat-kan sedang mendatangi dengan cengar-cengir. Kedua tangan manusia hina itu bersenjata semua, tangan yang satu membawa golok Kui-thau-to dan tangan lain sebatang pedang.
Seketika Tik Hun dan Cui Sing sama melonjak bangun, cepat Cui Sing berlari masuk kedalam gua, waktu keluar lagi tangannya sudah memegangi golok merah tinggalan Hiat-to Loco itu. Setelah ragu2 sejenak, tiba2 ia lemparkan golok itu kearah Tik Hun sambil berseru: "Sambutlah ini!"
Dengan sendirinya Tik Hun tangkap golok yang dilemparkan padanya itu. Ia terkesiap: "Mengapa ia dapat mempercayai aku dan menyerahkan golok mestika pelindung jiwanya ini padaku? Ehm, tentu maksudnya agar supaya aku menyabung jiwa baginya, yaitu dengan membantu dia melawan Hoa Tiat-kan. Hm, hm, aku toch bukan budakmu?!"
Dan pada saat itulah dengan langkah lebar Hoa Tiat-kan sudah mendekat. Segera orang she Hoa itu bergelak ketawa dan berkata: "Kionghi! Kionghi!"
"Kionghi apa?" semprot Tik Hun dengan melotot.
"Kionghi pada kalian berdua yang telah jadi suami-isteri," sahut Hoa Tiat-kan. "Habis, golok mestika pembela diri sepenting itu juga sudah diberikan padamu, apalagi barang2 lain yang dimiliki gadis itu, tentu saja tanpa tawar2 lagi dipersembahkan padamu. Betul tidak? Haha-haha!"
"Jahanam," damperat Tik Hun dengan gusar, "percuma kau mengaku sebagai pendekar besar dari Tionggoan, nyatanya adalah manusia rendah dan kotor!"
"Soal rendah dan kotor, rasanya orang dari Hiat-to-bun kalian takkan kalah daripada diriku," ujar Hoa Tiat-kan dengan cengar-cengir.
Sambil bicara iapun melangkah maju lebih dekat. Tiba2 ia mengendus se-keras2nya dengan hidung hingga mengingatkan orang pada anjing waktu mengendus sesuatu, lalu katanya: "Ehmmm, alangkah wanginya, alangkah sedapnya! Bau apakah ini? Eh, kiranya burung panggang! Berikan seekor padaku, ya?"
Jika dia meminta secara baik2, mungkin tanpa banyak bicara akan diberi oleh Tik Hun. Tapi kini pemuda itu sudah kadung geram terhadap sikap orang she Hoa yang menjijikkan itu, dengan sendirinya ia tidak sudi memberi makan padanya. Segera jawabnya: "Ilmu silatmu jauh lebih tinggi dariku, kau toh dapat mencari burung sendiri."
"Aku justeru lagi malas mengeluarkan tenaga," sahut Tiat-kan dengan menyengir.
Tengah mereka bicara, sementara itu Cui Sing sudah berada dibelakang Tik Hun, mendadak ia berseru kaget: "He, Lau-pepek, Liok-pepek!"
Kiranya ia telah melihat jelas senjata2 yang dibawa Hoa Tiat-kan itu tak-lain-tak-bukan adalah pedangnya Lau Seng-hong dan Kui-thau-to milik Liok Thian-ju. Pula waktu angin meniup hingga ujung baju Hoa Tiat-kan tersingkap, jelas Cui Sing melihat didalam baju Hoa Tiat-kan sendiri itu terangkap pula bajunya Liok Thian-ju dan jubahnya Lau Seng-hong.
"Ada apa?" sahut Hoa Tiat-kan dengan menarik muka.
"Jadi kau................. kau telah........... telah makan mereka?" seru Cui Sing pula dengan suara gemetar.
Ia menduga Hoa Tiat-kan tentu sudah mendapatkan jenazah kedua paman angkat itu dan besar kemungkinan sudah dijadikan isi perut manusia binatang she Hoa itu.
"Makan atau tidak, peduli apa dengan kau?" sahut Tiat-kan acuh-tak-acuh.
"Lau-pepek dan Liok-pepek mereka kan sau.................... saudara angkatmu?" seru Cui Sing tergagap2.
Namun Hoa Tiat-kan tidak gubris padanya lagi, sebaliknya ia berpaling dan berkata pada Tik Hun: "Hwesio cilik, selama ini aku tidak mengutik-ngutik jenazah bapak mertuamu, itu berarti aku cukup menghargai kau. Tapi Hwesio tua itu telah kau bunuh sendiri, kini aku hendak menggunakannya, tentunya kau tiada perlu banyak bicara, bukan?"
Tik Hun menjadi gusar, sahutnya: "Dilembah ini cukup banyak elang dan burung yang dapat kau jadikan sebagai makanan, mengapa kau.................. kau begini kejam dan mesti makan daging manusia?"
Padahal kalau Hoa Tiat-kan mampu memburu burung, dengan sendirinya iapun tidak tega makan daging saudara angkat sendiri yang sudah mati itu. Ia sudah berusaha sebisa mungkin untuk menangkap burung sebagai makanan, semula dapat juga ditangkapnya satu-dua ekor, tapi kemudian burung2 itupun menjadi kapok dan tidak mau masuk perangkapnya lagi. Sedangkan Hoa Tiat-kan tidak memiliki tenaga pukulan sehebat Tik Hun yang sudah berhasil meyakinkan tenaga dalam Sin-ciau-kang yang hebat itu, dengan sendirinya ia tidak mampu menghantam burung terbang dari jarak jauh seperti Tik Hun itu.
Kini ia membawa senjata golok dan pedang, ia sudah bertekad akan menempur Tik Hun dan Cui Sing, ia pikir kedua orang itu harus dibunuh semua, dengan demikian, ditambah lagi dengan mayat Cui Tay dan Hiat-to Loco yang terpendam dibawah salju itu tentu akan merupakan rangsum simpanan baginya untuk bertahan sampai musim panas yang akan datang, lalu dapatlah ia keluar dari lembah maut itu sesudah salju mencair.
Begitulah Hoa Tiat-kan menjadi ngiler demi mengendus bau daging burung panggang yang lezat itu. Se-konyong2 ia angkat Kui-thau-to terus membacok kearah Tik Hun sambil membentak.
Cepat Tik Hun ayun golok merah yang diterimanya dari Cui Sing itu untuk menangkis. "Trang", Kui-thau-to yang dipakai Hoa Tiat-kan itu sampai mendal kembali, tapi tidak patah.
Kiranya Kui-thau-to itupun merupakan sebuah senjata pusaka, walaupun tidak setajam Hiat-to yang digunakan Tik Hun itu, tapi badan golok itu cukup tebal, maka golok merah itu tidak dapat menabas kutung padanya.
Tempo hari waktu Liok Thian-ju menggunakan golok tebal itu untuk menempur Hiat-to Loco, pernah juga Kui-thau-to itu tergempil beberapa tempat ketika mesti beradu dengan golok merah itu, maka kini setelah saling bentur lagi, paling2 Kui-thau-to itu bertambah suatu gempilan baru saja.
Meski Hoa Tiat-kan tidak terlalu mahir menggunakan golok, tapi sebagai seorang tokoh persilatan, segala macam ilmu silat tentu diketahuinya, dengan dasar ilmu silat yang dimiliki, betapapun Tik Hun tidak sanggup melawan permainan goloknya itu. Maka hanya beberapa jurus saja Tik Hun sudah terdesak mundur.
Sebaliknya Hoa Tiat-kan ternyata tidak mendesak lebih jauh, tiba2 ia berjongkok dan menjemput sepotong burung panggang sisa makanan Tik Hun tadi terus digeragotinya dengan lahap, lalu pujinya tak habis2: "Ehm, lezat benar burung panggang ini, sungguh lezat sekali!"
Tik Hun menoleh dan saling pandang sekejap dengan Cui Sing. Kedua orang sama2 merasa ngeri. Mereka insaf kedatangan Hoa Tiat-kan sekali ini dengan senjata lengkap, terang keadaannya tidak seperti tempo hari lagi yang bertempur dengan tangan kosong.

Waktu bergebrak dengan tangan kosong, jika Tik Hun kena digebuk umpamanya, paling2 ia cuma muntah darah dan terluka dalam, untuk membinasakannya dengan pukulan atau tendangan sudah tentu tidak mudah.
Tapi sekarang Tiat-kan bersenjata, bahkan dua senjata sekaligus, yaitu golok dan pedang, maka keadaan menjadi berbeda jauh, sebab, sedikit Tik Hun meleng saja, seketika jiwanya bisa melayang.
Malahan tempo hari Tik Hun berkat bantuan Cui Sing yang meminjamkan golok merah itu padanya hingga dia masih sanggup bertahan sebisanya, tapi kini senjata Hoa Tiat-kan lebih banyak, dengan sendirinya Tik Hun tidak mungkin dapat melawannya.
Begitulah, selesai makan setengah ekor burung panggang restan Tik Hun tadi, selera Hoa Tiat-kan ternyata belum terpenuhi, ketika dilihatnya didekat gua sana masih ada seekor lagi, segera ia mendekati dan dimakan pula.
Habis melalap burung panggang itu, Hoa Tiat-kan meng-usap2 mulutnya yang berlepotan minyak itu, lalu katanya: "Ehm, sangat lezat, kepandaian sikoki yang memanggang burung ini harus diberi piala."
Kemudian dengan ke-malas2an ia memutar tubuh. Mendadak ia melompat maju, tanpa bicara lagi goloknya membacok pula kearah Tik Hun.
Serangan itu dilakukan dengan sangat cepat dan diluar dugaan, karena tidak menyangka sama sekali, hampir2 kepala Tik Hun terbelah menjadi dua, untung ia cukup sigap, cepat ia menangkis dengan golok merah.
Syukurlah Tiat-kan agak jeri pada tenaga dalam Tik Hun yang kuat, bila kedua senjata saling bentur, tentu lengannya terasa linu pegal, maka lebih baik ia menghindari beradunya kedua senjata. Segera ia miringkan goloknya kearah lain, menyusul ia membabat dan membacok pula secara ber-tubi2.
Keruan Tik Hun kewalahan dan kelabakan. "Cret", tanpa ampun lagi lengan kiri kena tergurat oleh Kui-thau-to musuh hingga berwujut suatu luka panjang.
"Sudahlah, jangan bertempur lagi! Hoa-pepek, jangan bertempur lagi, aku akan membagi daging burung padamu!" demikian Cui Sing ber-teriak2 dengan kuatir.
Tapi Hoa Tiat-kan sedang mendapat angin, mana dia mau berhenti. Ia melihat ilmu silat Tik Hun paling2 cuma tergolong kelas tiga dalam dunia persilatan, kalau kesempatan baik ini tidak membunuhnya, kelak tentu akan menimbulkan bahaya besar. Dari itu, bukannya ia berhenti seperti seruan Cui Sing itu, sebaliknya ia menyerang lebih kencang, bahkan mulutnya ikut menggoda: "He, Cui-titli, kau sayang pada Siauw-ok-ceng ini ya? Apa kau sudah lupa pada Piaukomu yang pernah berpacaran dengan kau itu?"
Sambil berkata, cepat goloknya menyerang pula tiga kali beruntun hingga pundak kanan Tik Hun kembali terbacok sekali. Untung tempat bacokan itu terlindung oleh Oh-jan-kah yang dipakainya, kalau tidak, tentu sebelah bahunya sudah tertabas kutung.
"Hoa-pepek, sudahlah, jangan bertempur lagi!" demikian Cui Sing ber-teriak2 pula.
Tapi Tik Hun menjadi gusar, bentaknya: "Apa yang kau gembar-gemborkan? Kalau aku takbisa menangkan dia, biarlah aku dibunuh olehnya!"
Dalam murkanya, terus saja ia membacok dan menabas serabutan. Tiba2 golok yang dipegang tangan kanan itu dipindahkannya ketangan kiri, menyusul tangan kanan itu terus menampar hingga pipi Hoa Tiat-kan kena ditempeleng sekali dengan keras.
Sudah tentu mimpipun Hoa Tiat-kan tidak menyangka pemuda yang ilmu silatnya rendah tak berarti itu masih mempunyai jurus "simpanan" yang bagus itu, ia menjadi tidak sempat menghindar dan kena digampar mentah2.
Sebaliknya Tik Hun melengak juga oleh hasil pukulannya itu, pikirnya: "Ha, inilah 'Ni-kong-sik' (gaya menempeleng) ajaran pengemis tua tempo dulu itu!"
Dan sekali ingat, be-runtun2 ia lantas mengeluarkan jurus2 lain ajaran sipengemis tua waktu ia bertamu dirumah Ban Cin-san dahulu. Kembali ia memainkan "Ji-koh-sik" (gaya menusuk pundak) dan "Gi-kiam-sik" (gaya mementalkan pedang).
Keruan Hoa Tiat-kan kaget, ia ber-kaok2: "He, Soh-sim-kiam-hoat! Soh-sim-kiam-hoat!"

Kembali Tik Hun melengak oleh teriakan Hoa Tiat-kan itu. Teringat olehnya tempo dulu waktu ia bertempur melawan Ban Ka dan kawan2nya dirumah keluarga Ban itu, ia telah mainkan ketiga jurus ajaran sipengemis tua untuk menghajar Ban Ka dan ketujuh saudara perguruannya, tatkala itu Ban Cin-san juga menyatakan jurus2 serangan itu adalah "Soh-sim-kiam-hoat". Tapi hal mana dianggapnya omong kosong dan ocehan Ban Cin-san belaka. Namun sekarang Hoa Tiat-kan juga menyatakan jurus2 serangannya itu adalah Soh-sim-kiam-hoat.
Sebagai seorang tokoh terkemuka didunia persilatan Tionggoan, pengalaman dan pengetahuan Hoa Tiat-kan sudah tentu sangat luas, masakah iapun sembarangan mengoceh? Begitulah Tik Hun menjadi ragu2 apakah ketiga jurus ajaran pengemis tua itu jangan2 memang benar adalah Soh-sim-kiam-hoat?
Ber-ulang2 Tik Hun memainkan ketiga jurus itu pula, ia gunakan golok sebagai gantinya pedang. Tapi ilmu silat Hoa Tiat-kan sudah tentu takdapat disamakan dengan Ban Ka dan kawan2nya itu. Ketiga jurus serangan itu sudah tentu tidak dapat diulangi atas diri Hoa Tiat-kan dan tidak manjur.
Waktu Tik Hun hendak mengulangi jurus "Gi-kiam-sik", dengan golok merah ia mencungkit Kui-thau-to yang dipegang Hoa Tiat-kan itu, namun Hoa Tiat-kan sudah siap sebelumnya, mendadak sebelah kakinya melayang hingga urat nadi tangan Tik Hun tepat kena tertendang.
Keruan cekalan Tik Hun menjadi kendur, golok merah terlepas dari tangan. Bahkan Hoa Tiat-kan terus menambahi pula dengan jurus "Sun-cui-tui-ciu" (mendorong perahu menurut arus), golok dan pedang yang dipegang kedua tangannya berbareng menusuk kedada Tik Hun sekaligus "Crat-cret", tanpa ampun lagi dada Tik Hun terkena tusukan golok dan pedang Hoa Tiat-kan itu, tapi ujung kedua senjata itu lantas tertahan semua oleh Oh-jan-kah hingga tidak dapat menembus.
Saat itu Cui Sing juga sudah siap sedia disamping dengan sepotong batu, ia menunggu bila Tik Hun terancam bahaya, segera ia akan maju membantu. Kini melihat Hoa Tiat-kan telah menyerang dengan golok dan pedang sekaligus, tanpa pikir lagi ia angkat batunya terus mengepruk kebelakang kepala Hoa Tiat-kan.
Dari pengalaman yang sudah lalu dimana tumbak Hoa Tiat-kan tidak mempan menembus dada Tik Hun, memangnya Hoa Tiat-kan sudah ter-heran2 dan tidak habis mengarti apa sebabnya? Ia menduga didalam baju pemuda itu mungkin terdapat sesuatu benda keras sebangsa tameng, dan ujung tumbaknya tepat menusuk diatas benda keras itu, makanya tidak mempan. Tapi sekali ini ia menusuk dengan golok dan pedang berbareng, rasanya tidak mungkin begitu kebetulan pula akan mengenai benda keras itu. Siapa duga hal yang tak diharapkan itu justeru berulang pula. Dan tengah ia tertegun bingung itu, tiba2 Tik Hun sudah balas menghantamnya sekali, bahkan dari belakang Cui Sing mengepruknya pula dengan batu.
Tanpa pikir lagi segera ia berkelit, lalu melompat pergi hingga jauh sambil berseru: "Ada setan! Ada setan!" ~ Ia menjadi mengkirik sendiri demi terpikir olehnya mungkin arwah Liok-toako dan Lau-hiante yang penasaran itu hendak menuntut balas padanya karena ia telah makan mayat mereka. Tanpa terasa keringat dingin membasahi tubuhnya.
Dalam pada itu kelonggaran itu lantas digunakan oleh Tik Hun dan Cui Sing untuk lari kedalam gua, lalu menyumbat pula mulut gua dengan batu2 besar.
Kemudian terdengarlah Hoa Tiat-kan telah ber-kaok2 diluar gua: "Hai keluarlah anak kura2, apakah kalian mampu sembunyi selama hidup didalam gua? Dapatkan kalian menangkap burung didalam gua? Haha-hahaha!"
Meski Hoa Tiat-kan bergelak ketawa dan mengejek dengan congkak, tapi sebenarnya hatinya juga sangat takut, maka tidak berani sembarangan membongkar mayat Cui Tay lagi untuk dimakan.
Mendengar ejekan Hoa Tiat-kan itu, mau-tak-mau Tik Hun saling pandang sekejap dengan Cui Sing. Pikir mereka: "Benar juga apa yang dikatakan keparat itu. Selama sembunyi digua, apa yang harus kami makan? Tapi kalau keluar tentu akan dibunuh olehnya, lantas apa daya sekarang?"
Padahal kalau benar2 Hoa Tiat-kan hendak menyerbu kedalam gua, betapapun Tik Hun berdua tidak mampu merintanginya. Cuma sesudah dua kali Tik Hun tidak mempan ditusuk olehnya, Tiat-kan menjadi jeri dan menyangka benar2 ada arwah halus yang diam2 lagi mempermainkannya, maka ia tidak berani sembarangan bertindak lagi.
Sesudah berjaga sekian lamanya dipintu gua dan Hoa Tiat-kan tidak menyerbu, barulah Tik Hun dan Cui Sing agak lega. Waktu Tik Hun periksa luka lengan kiri, ia melihat darah masih mengucur terus.
Segera Cui Sing sobek sepotong kain bajunya untuk membalut luka pemuda itu.
Ketika Tik Hun mengeluarkan bungkusan abu tulang Ting Tian, tanpa sengaja dari bajunya itu ikut terjatuh sejilid buku kecil. Itulah "Hiat-to-keng" (kitab golok berdarah) yang diperolehnya dari Po-siang dahulu.
Meski pertarungan Tik Hun melawan Hoa Tiat-kan tadi memakan waktu singkat saja, tenaga yang dikeluarkannya juga tidak banyak, tapi semangatnya ternyata masih tegang sekali. Kini sesudah mengaso, barulah ia merasa sangat lelah.
Teringat olehnya tempo dulu waktu pertama kalinya membaca Hiat-to-keng itu, pernah ia bertingkah menurutkan gambar yang terlukis didalam kitab, lalu semangatnya lantas pulih dan tenaga bertambah. Segera ia membalik2 halaman kitab itu pula dengan tujuan akan menirukan gaya yang terlukis didalam kitab itu untuk memulihkan semangat agar sebentar dapat dipakai menghadapi musuh kuat yang masih mengintai diluar gua itu.
Ketika ia membuka halaman pertama kitab itu, ia melihat gambar yang terlukis disitu adalah bentuk manusia yang berjungkir balik, kepala menahan ditanah, kaki terangkat keatas, sikap kedua tangannya juga sangat aneh. Tanpa pikir lagi segera Tik Hun menirukan gambar itu, iapun menjungkir dengan kepala bawah dan kaki diatas.
Melihat pemuda itu mendadak bertingkah aneh. Cui Sing menyangka penyakit gila orang telah angot lagi. Diam2 ia mengeluh, diluar gua ada musuh, didalam gua ada orang gila pula, bagaimana dirinya harus bertindak? Dalam kuatirnya, kembali ia mewek2 ingin menangis.
Dalam pada itu Tik Hun masih terus berlatih, tidak sampai setengah jam, antero tubuhnya terasa panas bagai dibakar. Tapi nikmat sekali rasanya.
Melihat Tik Hun melatih ilmu dengan berdiri menjungkir, Cui Sing menjadi heran dan kaget terutama sesudah mengetahui yang ditiru Tik Hun adalah gambar didalam kitab Hiat-to-keng yang melukiskan seorang laki2 telanjang, jangan2 nanti pemuda itu juga akan menirukannya dengan telanjang …..
Kemudian ia coba membalik halaman berikutnya, ia melihat gambar ini melukiskan seorang laki2 telanjang tengkurap ditanah, hanya tangan kirinya yang menahan ditanah, sedangkan kedua kakinya membalik keatas dan menggantol dibagian leher sendiri.
Gaya menurut gambar itu sebenarnya sangat susah dilakukan. Tapi sejak Tik Hun berhasil meyakinkan Sin-ciau-kang, ia merasa antero tubuh dan segenap bagian badannya dapat digerakan dengan bebas, bagaimana keinginannya tentu dapat dilakukannya, sedikitpun tidak susah2. Maka ia lantas berlatih pula menurut petunjuk gambar dalam kitab itu, hawa dalam tubuh lantas ikut berjalan juga kian kemari antara urat-nadi satu keurat nadi yang lain sesuai dengan garis2 merah dan hijau yang terdapat dalam gambar.
Kiranya "Hiat-to-keng" itu memuat ichtisar komplit dari ilmu Lwekang dan Gwakang ajaran Hiat-to-bun. Setiap gambar yang terlukis pada tiap2 halaman itu biasanya harus dilatih selama setahun atau setengah tahun baru dapat jadi.
Tapi sekarang Tik Hun sudah lancarkan hubungan antara urat nadi Tok-meh dan Im-meh, ia mempunyai alas dasar Sin-ciau-kang yang tiada bandingannya dalam hal tenaga dalam. Maka ilmu yang betapapun sulitnya baginya boleh dikata tiada artinya lagi, dengan mudah tentu akan dapat dilatihnya dengan sempurna.
Ibaratkan seorang belajar membaca, semula memang sulit mengapalkan setiap huruf, tapi bila antero huruf "Kamus besar" telah dibaca dan diapalkannya dengan baik, dengan sendirinya tiada sesuatu istilahpun yang sulit baginya untuk dipahaminya.
Begitulah Tik Hun terus berlatih sejurus demi sejurus, makin melatih makin bersamangat.
Semula Cui Sing sangat kuatir, sebab mengira penyakit gila pemuda itu kumat lagi, tapi kemudian demi mengetahui pemuda itu sedang melatih ilmu menurut gambar dalam kitab, barulah hilang rasa kuatir dan takutnya.
Bahkan ketika melihat gaya latihan Tik Hun yang aneh dan lucu itu, Cui Sing menjadi geli dan heran pula. Pikirnya: "Masakah didunia ini ada orang melatih ilmu secara begini?"
Achirnya Cui Sing menjadi kepingin tahu juga, ia coba mendekati kitab yang terletak ditanah itu dan melongoknya, tapi sekali pandang saja ia menjadi merah jengah, hatinya ber-debar2. Kiranya gambar yang terlihat didalam kitab itu melukiskan seorang laki2 yang telanjang bulat. Keruan ia malu dan takut pula, pikirnya: "Jika cara begini Siau-ok-ceng itu berlatih terus menerus menurut gambar, jangan2 sampai achirnya nanti ia juga akan menanggalkan pakaiannya hingga telanjang bulat seperti gambar? Wah, kan celaka kalau begitu!"
Syukurlah adegan yang dikuatirkan Cui Sing itu sebegitu jauh tidak muncul. Sesudah melatih Lwekang itu sebentar, ketika Tik Hun membalik halaman lain dari kitab itu, ia melihat gambarnya sekarang melukiskan laki2 itu memegangi sebatang golok melengkung sedang membacok miring dan menabas kesamping.
Girang Tik Hun tidak kepalang, tak tertahan lagi ia berseru: "Hei, inilah Hiat-to-to-hoat (ilmu permainan golok berdarah)!"
Segera ia menuju kedepan gua, ia menjemput sebatang ranting kayu sisa kayu bakar yang dipakai panggang burung itu. Ia menurutkan gaya gambar dalam kitab dan menirukan untuk melatih ilmu golok itu.
Ilmu golok permainan Hiat-to itu benar2 sangat aneh juga, setiap jurus selalu membacok dari arah yang tidak mungkin terpikir menurut akal sehat.
Hanya tiga jurus saja Tik Hun berlatih dan segera ia paham duduknya perkara. Kiranya setiap ilmu permainan golok itu adalah perubahan dari gaya aneh menurut gambar dihalaman depan tadi. Gambar dihalaman depan itu ada yang berjungkir balik, ada yang miring, ada yang menjulur kaki menggantol dileher, ada yang membalik tangan kebelakang untuk menjewer telinga sendiri dan macam2 gaya yang aneh dan lucu. Dan ilmu permainan Hiat-to itu juga mencakup gaya2 serangan yang aneh dan susah dibayangkan orang itu.
Segera Tik Hun pilih empat jurus ilmu permainan golok itu dan melatihnya bolak-balik sampai beberapa kali, ia pikir harus cepat2 mengapalkan beberapa puluh jurus agar beberapa hari lagi dapat dipakai modal pertempuran mati2an dengan manusia she Hoa itu.
Tak terduga olehnya bahwa setengah haripun Hoa Tiat-kan tidak memberi kelonggaran padanya. Baru Tik Hun tekun mempelajari jurus kelima, tiba2 Hoa Tiat-kan sudah berseru diluar gua: "Hai, Hwesio cilik, kau mau makan hati bapak-mertuamu atau tidak? Tentu sangat lezat rasanya!"
Keruan Cui Sing terkejut. Tanpa pikir lagi ia dorong batu penutup gua terus menyerobot keluar. Ia melihat Hoa Tiat-kan sedang menggali kuburan sang ayah dengan Kui-thau-to, bukan mustahil sekejap lagi mayat sang ayah pasti akan dibongkar olehnya.
"Hoa-pepek, apakah kau ti........ tidak ingat pada kebaikan sesama sau........ saudara angkat lagi?" demikian Cui Sing ber-teriak2 dengan kuatir sembari menerjang maju.
Memangnya tujuan Hoa Tiat-kan justeru ingin memancing Cui Sing keluar lebih dulu, lalu ia akan robohkan gadis itu, kemudian barulah Tik Hun akan dibereskan olehnya agar gadis itu tidak mengganggu maksudnya. Maka demi melihat Cui Sing menyerbu kearahnya, ia pura2 tidak tahu dan tetap asyik menggali. Setelah Cui Sing mendekat dan hendak menghantam punggung, saat itulah Hoa Tiat-kan lantas membaliki tangannya, secepat kilat ia pegang sigadis.
Menyusul sebelah tangan Cui Sing yang lain menghantam pula, tapi sedikit Hoat Tiat-kan miringkan tubuh, ia membiarkan bahunya kena digenjot sigadis, pada saat hampir berbareng itu tiba2 Cui Sing juga menjerit tertahan, ternyata pinggangnya telah kena ditutuk Hoa Tiat-kan hingga jatuh tersungkur dan tak terkutik lagi.
Selesai merobohkan Cui Sing, sementara itu Tik Hun tertampak sedang menerjang pula kearahnya sambil membawa ranting kayu.
Hoa Tiat-kan ter-bahak2, katanya: "Hahaha! Apa barangkali kau sudah bosan hidup? Masakan akan melawan aku dengan sebatang kayu? Baiklah, kau adalah paderi jahat dari Hiat-to-bun, aku akan menggunakan golok mestika dari Hiat-to-bun kalian ini untuk menghantar kau pulang keachirat!"
Habis berkata, mendadak ia lolos golok merah dari pinggang, ia simpan kembali Kui-thau-to, menyusul goloknya lantas membacok tiga kali kearah Tik Hun.
Hiat-to itu sangat tipis lagi enteng, waktu membacok lantas mengeluarkan suara mendesing yang nyaring. Diam2 Hoa Tiat-kan memuji golok mestika yang bagus itu.
Melihat serangan musuh yang cepat dan hebat itu, Tik Hun menjadi ngeri hingga cara berkelitnya menjadi kelabakan pula. Tapi ia menjadi nekat juga, pikirnya: "Biarlah aku gugur bersama dengan kau!" ~ Dan sekali ia balas menyerang, mendadak ia ayun ranting kayu yang dipegangnya itu dan menyabet dari belakang "plok", tahu2 tengkuk Hoa Tiat-kan tepat kena digebuk sekali olehnya.
Tipu serangan ini benar2 aneh dan bagus sekali, pabila senjata yang dipakai Tik Hun itu bukan sebatang kayu, tapi adalah sebatang golok atau pedang, maka tidak perlu disangsikan lagi pasti kepala Hoa Tiat-kan sudah berpisah dengan tuannya.
Padahal ilmu silat Hoa Tiat-kan tidak lebih rendah daripada Hiat-to Loco, andaikan Hiat-to Loco hidup kembali juga tidak mampu membunuhnya dengan sejurus saja. Soalnya tadi Hoa Tiat-kan terlalu memandang enteng pada Tik Hun yang dianggapnya cuma sebangsa keroco yang tiada artinya, dari itu ia telah kena batunya.
Ia tertegun sejenak, lalu bermaksud ayun goloknya untuk membacok pula. Namun batang kayu Tik Hun itu sudah menyabet dan menghantam secara membadai kearahnya. "Plok", kembali Hoa Tiat-kan kena digebuk lagi, sekali ini kena dibatok kepala belakang.
Keruan hampir2 Hoa Tiat-kan kelengar, untung ia masih dapat bertahan walaupun dengan kepala pusing tujuh keliling. Ia ber-teriak2: "Ada setan! Ada setan!" ~ Tanpa merasa ia menoleh kebelakang, saking ketakutan sampai tangannya menjadi lemas, cekalannya menjadi kendur, golok merah yang dipegang itu jatuh ketanah, tanpa memikir untuk menjemput kembali senjata itu terus saja ia lari pergi dengan ter-birit2.
Kiranya setelah Hoa Tiat-kan memakan mayat kedua saudara angkat sendiri, betapapun perasaannya tidak tenteram dan menyesal, senantiasa ia kuatir kalau arwah halus Liok Thian-ju dan Lau Seng-hong menggoda padanya.
Tadi waktu Tik Hun tidak mempan ditusuk olehnya, memangnya ia sudah sangsi jangan2 ada arwah halus yang telah membantu musuh itu, kini Tik Hun hanya melawannya dengan sebatang kayu, sudah terang gamblang lawan itu berdiri didepannya, pula Cui Sing sudah ditutuk roboh olehnya, tapi tahu2 tengkuk dan batok kepala belakang be-runtun2 telah kena dihanjut oleh sesuatu benda keras. Padahal dilembah itu selain mereka bertiga sudah tiada manusia lain lagi. Lalu mengapa ada yang mampu menyerangnya dari belakang tanpa kelihatan wujutnya, habis kalau bukan setan iblis lantas apa? Dan begitulah ia menjadi ketakutan setengah mati dan lari sipat-kuping.
Sebaliknya Tik Hun meski berhasil menggebuk Hoa Tiat-kan dua kali, tapi musuh toh tidak terluka apa2, mengapa mendadak orang she Hoa itu lari pergi dengan ketakutan? Sungguh hal inipun diluar dugaannya dan membingungkan dia.
Segera Tik Hun menjemput Hiat-to yang ditinggalkan Hoa Tiat-kan itu, ia melihat Cui Sing masih menggeletak ditanah takbisa berkutik, tanyanya: "Kenapa kau? Apa tertutuk oleh keparat itu?"
"Ya," sahut Cui Sing.
"Sayang aku tidak paham ilmu Tiam-hiat dan cara membukanya, maka takbisa menolong kau," ujar Tik Hun.
"Asal pinggang dan pahaku di..........." sebenarnya Cui Sing hendak memberitahukan Tik Hun tempat jalan darah yang harus dipijat untuk melancarkannya kembali, lalu ia akan dapat bergerak lagi. Tapi demi berkata tentang pinggang dan paha, ia lantas ingat jangan2 "Siau-ok-ceng" itu akan kumat penyakit buasnya dan mendadak memperlakukan dirinya secara tidak senonoh dikala dirinya takbisa bergerak, wah, kan bisa celaka?
Ketika mendadak melihat sinar mata sigadis mengunjuk rasa ketakutan dan bicara setengah2, Tik Hun menjadi heran, pikirnya: "Hoa Tiat-kan toh sudah lari, apa yang kau takuti lagi?" ~ Tapi setelah dipikir pula, segera iapun mengarti dirinya sendirilah justeru yang ditakuti gadis itu. Sesaat itu ia menjadi gusar, teriaknya mendadak: "Jadi kau takut aku akan menodai kau? Hm, hm, biarlah sejak kini aku takkan melihat tampangmu lagi!" ~ Saking gusarnya ia lantas mengamuk, ia menendang dan menyepak tanah salju hingga bunga salju berhamburan bagai hujan.
Ia kembali kedalam gua, sesudah mengambil kitab Hiat-to-keng, dengan langkah lebar ia tinggal pergi dan tidak memandang lagi pada Cui Sing, bahkan melirikpun tidak.
Diam2 Cui Sing merasa malu sendiri, pikirnya: " Jangan2 aku yang suka curiga tak keruan dan telah salah sangka padanya?"
Begitulah Cui Sing menggeletak tak berkutik disitu. Selang lebih satu jam, mendadak seekor elang menyambar kebawah dan mematuk kemukanya. Keruan Cui Sing menjerit kaget. Se-konyong2 tertampak sinar merah berkelebat, golok merah itu tahu2 menyambar tiba dari samping sana hingga elang itu terpapas menjadi dua dan jatuh dipinggir Cui Sing.
Meski Tik Hun sangat gusar karena dirinya dicurigai gadis itu, tapi ia juga kuatir Hoa Tiat-kan akan datang kembali untuk membikin celaka mereka, maka ia tidak pergi jauh, tapi menjaga disekitar situ sambil meneruskan pelajaran ilmu golok menurut kitab pusaka Hiat-to-keng itu. Ia tidak menyangka sekali menimpukan golok merah itu, kontan elang itu tertabas menjadi dua belah, bahkan golok itu tidak terhalang oleh elang dan masih terus melayang kedepan hingga sejauh belasan meter baru jatuh ketanah. Dengan demikian Tik Hun telah berhasil pula meyakinkan satu jurus "Liu-sing-keng-thian" atau bintang kemukus melayang diudara.
Mendadak Cui Sing ber-teriak2: "Tik-toako, Tik-toako! Ya, aku mengaku salah sudah, seribu kali aku minta maaf padamu!"
Tapi Tik Hun berlagak tuli saja dan tidak gubris. Maka Cui Sing ber-teriak2 lagi: "Tik-toako, sudilah kau memaafkan kesemberoanku. Sesudah ayahku meninggal, aku menjadi sebatangkara, cara berpikirku menjadi agak kurang sehat, harap engkau jangan marah lagi padaku, ya?"
Namun Tik Hun masih tidak gubris padanya. Tapi pelahan2 rasa gusarnya menjadi lenyap juga.
Dengan menggeletak ditanah, sampai besok paginya jalan darah Cui Sing baru lancar kembali dengan sendirinya dan dapat bergerak pula. Ia tahu meski Tik Hun sepatah-katapun tidak bicara, tapi sepanjang malam toh senantiasa menjaga disitu tanpa tidur, sungguh rasa terima kasihnya tak terhingga. Maka begitu badannya bisa bergerak, segera ia pergi memanggang elang lagi, ia membagi separoh kepada Tik Hun.
Tapi ketika dia sudah mendekat, Tik Hun sengaja pejamkan mata untuk mentaati sesumbarnya sendiri bahwa selanjutnya ia tidak mau melihat tampang gadis itu lagi. Cui Sing juga tidak bicara padanya, ia taruh elang panggang itu didepan Tik Hun, lalu menyingkir pergi.
Maksud Tik Hun akan menunggu sesudah gadis itu pergi agak jauh barulah ia akan membuka mata. Diluar dugaan, mendadak didengarnya Cui Sing menjerit kaget sekali, menyusul gadis itu mengaduh pula dan terguling ketanah.
Tik Hun terperanjat, cepat ia melompat bangun dan memburu ketempat Cui Sing. Tapi tahu2 gadis itu telah berbangkit dengan tertawa, katanya: "Aku cuma menipu kau saja. Kau menyatakan selanjutnya takkan melihat aku, tapi sekarang kau sudah melihat lagi, bukan? Maka pernyataanmu itu sekarang sudah batal!"
Tik Hun tidak menjawab, dengan mendongkol ia melotot sekali pada gadis itu. Pikirnya: "Wanita didunia ini memang licik semua. Kecuali nona Leng kekasih Ting-toako itu, selebihnya suka menipu orang saja. Sejak kini tidak nanti aku dapat kau tipu lagi."
Sebaliknya Cui Sing masih mengikik tawa, katanya: "Tik-toako, buru2 kau hendak menolong aku, bukan? Terima kasih, ya!"
Kembali Tik Hun melototi sigadis sekali, lalu memutar tubuh dan menyingkir........
Sementara itu rupanya Hoa Tiat-kan sudah ketakutan pada setan iblis, maka ia tidak berani mengacau lagi ketempat gua. Terpaksa ia mencari kulit pohon dan akar rumput sekadar mengisi perut agar tidak mati kelaparan. Sudah tentu penghidupan begitu sangat menderita baginya.
Dalam pada itu setiap hari Tik Hun asyik melatih sejurus-dua ilmu permainan golok, baik tenaga dalam, maupun tenaga luar, setiap hari ia mencapai kemajuan yang menonjol.
**********
Sang tempo silih berganti dengan cepat, tanpa merasa musim dingin sudah lalu dan musim semi telah tiba. Hawa udara lambat-laun mulai menghangat, salju tidak turun lagi, sebaliknya timbunan salju mulai susut, yaitu mulai cair.
Selama itu Tik Hun sudah lengkap mempelajari Lwekang dan ilmu golok yang terlukis didalam Hiat-to-keng itu. Kepandaiannya kini sudah mencakup dua aliran Cing dan Sia yang paling tinggi, meski pengalamannya cetek dan kurang pengetahuan, sedang diantara sari ilmu2 silat aliran Cing dan Sia itupun belum ada pembauran yang sempurna, tapi kalau melulu bicara tentang ilmu silat sejati, saat itu jangankan cuma Hoa Tiat-kan, bahkan kepandaian Tik Hun sekarangpun sudah lebih tinggi daripada Ting Tian dulu. Hal ini adalah berkat Sin-ciau-kang yang telah berhasil diyakinkan dengan baik serta terhubungnya urat2 nadi Tok-meh dan Im-meh.

Selama itu, bila Cui Sing mengajak bicara padanya, selalu Tik Hun berlagak gagu tanpa menjawab sepatahpun. Kecuali waktu makan, terpaksa mereka berkumpul sebentar, habis itu, selalu Tik Hun menjauhi Cui Sing lagi dan tekun melatih diri.
Pada benaknya cuma ada tiga harapan: Bila sudah keluar dari lebih salju ini, tugas pertama yalah mencari Suhu ketempat kediaman lama di Heng-ciu; Kedua, mengubur abu tulang Ting-toako bersama nona Leng sebagaimana ia sendiri telah janji pada Ting Tian dahulu dan ketiga yalah menuntut balas.
Maka sangat dia harapkan agar salju dilembah itu dapat mencair selekas mungkin.
Ia melihat air salju sudah meluber sebagai air kali dan mengalir terus keluar lembah, salju yang menutupi jalan keluar lembah itu makin hari makin susut. Ia tidak tahu masih kurang berapa hari lagi baru akan tiba hari Toan-ngo-ce, yang terang, hari keluarnya dari lembah itu sudah tidak terlalu lama lagi.
Satu petang, ia menerima dua ekor burung panggang dari Cui Sing, selagi ia hendak putar tubuh dan menyingkir, tiba2 gadis itu berkata: "Tik-toako, lewat beberapa hari lagi kita sudah dapat keluar dari lembah ini, bukan?"
"Ehm," sahut Tik Hun tak acuh.
"Terima kasih padamu yang telah menjaga keselamatanku selama ini, tanpa perlindunganmu, tentu sudah lama aku dibunuh oleh jahanam Hoa Tiat-kan itu."
"Tidak apa2," sahut Tik Hun sambil menggeleng. Lalu ia bertindak pergi.
Tapi baru beberapa langkah, tiba2 didengarnya suara sesenggukan dibelakang, waktu menoleh, ia melihat Cui Sing mendekap diatas sebuah batu dan sedang menangis.
Ia menjadi heran: "Sudah hampir bisa pulang, seharusnya merasa senang, mengapa malah menangis? Sungguh perasaan wanita memang aneh dan susah diraba."
Malam itu, setelah melatih sebentar, Tik Hun merebah diatas batu besar yang biasanya dipakai sebagai balai2.
Jarak batu itu tidak jauh dari gua untuk menjaga kalau2 tengah malam mereka disergap Hoa Tiat-kan. Tapi selama masa terachir ini Hoa Tiat-kan ternyata tidak muncul lagi. Ia menduga takkan terjadi apa2 lagi, maka tidurnya menjadi sangat nyenyak.
Tengah Tik Hun terpulas, tiba2 dari jauh samar2 seperti ada suara tindakan orang.
Lwekang Tik Hun sekarang sudah sangat tinggi, mata-telinganya juga sangat tajam, meski suara tindakan orang itu masih sangat jauh, tapi sudah membuatnya terjaga bangun. Cepat Tik Hun berduduk dan mendengarkan dengan cermat, ia merasa jumlah orang yang datang itu cukup banyak, paling sedikit ada 50-60 orang dan sedang menuju kearah lembah ini.
Ia terkejut dan heran: "Mengapa mereka mampu masuk kelembah salju ini?"
Ia tidak tahu bahwa ditengah lembah yang dikelilingi puncak2 gunung yang tinggi itu, cuaca disitu menjadi lebih dingin dan berbeda daripada diluar lembah sana. Timbunan salju diluar lembah sudah mulai lumer, tapi salju didalam lembah belum apa2 dan paling sedikit harus 13 hari atau setengah bulan lagi baru mencair.
Segera terpikir pula oleh Tik Hun: "Orang2 itu pasti adalah jago2 silat Tionggoan yang dahulu ikut meng-uber2 itu, kini Hiat-to Loco sudah mati, segala permusuhan tentu akan berachir juga. Dan, ya, Piaukonya nona Cui tentu juga ikut datang untuk membawanya pulang, itulah paling baik. Tapi mereka telah anggap aku sebagai paderi cabul dari Hiat-to-bun, untuk memberi penjelasan rasanya tidaklah mudah, maka lebih baik aku tidak bertemu dengan mereka, biarkan nona Cui dibawa mereka pergi mereka, lalu aku sendiri baru meninggalkan tempat ini."
Segera ia mengitar kesamping gua sana dan mengumpet dibelakang sepotong batu karang, ia ingin tahu macam apakah orang2 yang datang itu.
Suara tindakan orang banyak itu makin lama makin dekat. Tiba2 pandangan mata terbeliak, ternyata rombongan orang2 itu sudah muncul dari balik bukit sana. Tangan mereka membawa obor semua.
Jumlah seluruhnya memang betul kurang lebih 50 orang, semuanya membawa obor dengan tangan kiri dan tangan kanan bersenjata.
Orang yang mengepalai didepan itu tampak berjenggot putih, tangannya tidak membawa obor, sebaliknya bersenjata semua, tangan yang satu membawa golok dan tangan yang lain memegang pedang. Siapa lagi dia kalau bukan Hoa Tiat-kan adanya.
Semula Tik Hun agak heran mengapa Hoa Tiat-kan bisa berada bersama dengan orang2 sebanyak itu. Tapi segera ia menjadi sadar: "Ah, orang2 itu adalah pengejar2 dari Ouw-pak dan Su-cwan yang pernah ikut meng-uber2 kami dahulu itu dan Hoa Tiat-kan adalah satu diantara pemimpin mereka, dengan sendirinya mereka lantas menggabungkan diri ketika saling bertemu kembali. Tapi entah hasutan apa saja yang telah Hoa Tiat-kan katakan kepada mereka itu?"
Sementara itu rombongan Hoa Tiat-kan sudah masuk kedalam gua. Segera ia merayap maju lebih dekat, ia bertiarap di-semak2 rumput yang saljunya masih belum cair agar tak dipergoki pendatang2 itu. Meski jaraknya dengan rombongan Hoa Tiat-kan itu masih cukup jauh; tapi dengan kemajuan Lwekang yang dicapainya dengan pesat selama ini, kini mata-telinganya sudah sangat tajam, apa yang dipercakapkan orang2 didalam gua itu dapat didengarnya dengan jelas. Maka terdengar suara seorang yang kasar serak sedang berkata: "Hiat-to Loco itu terbinasa ditangan Hoa-heng sendiri, sungguh jasa ini harus dipuji dan dikagumi. Selanjutnya Hoa-heng adalah pemimpin dunia persilatan kita di Tionggoan, kami siap sedia dibawah pimpinan Hoa-heng."
"Sungguh sayang Liok-tayhiap, Lau-totiang dan Cui-tayhiap bertiga telah mengalami nasib malang, hal ini benar2 sangat menyedihkan," kata seorang lain.
"Meski Ok-ceng tua itu sudah mampus, tapi Ok-ceng cilik itu masih hidup, kita harus segera mencarinya, membabat rumput harus sampai ke-akar2nya, agar kelak tidak menimbulkan bencana pula, betul tidak menurut pendapatmu, Hoa-tayhiap?" demikian sambung seorang lagi.
"Benar," sahut Hoa Tiat-kan. "Siau-ok-ceng itu tinggi juga ilmu silatnya yang jahat, keganasannya tidak dibawah gurunya yang sudah mampus itu bahkan jauh melebihinya. Tadi demi melihat kedatangan kita, tentu cepat2 dia berusaha hendak meloloskan diri. Marilah saudara2, janganlah kenal lelah kita harus mencari dan binasakan pula Siau-ok-ceng itu."
Diam2 Tik Hun terkesiap mendengar hasutan Hoa Tiat-kan itu, pikirnya: "Orang she Hoa ini benar2 manusia keji, untung tadi aku tidak sembarangan unjukkan diri, kalau tidak, pasti aku akan dikerubut dan susahlah untuk melawan mereka yang berjumlah sangat banyak itu."
Dalam pada itu tiba2 terdengar suara seorang wanita telah menjawab" "Dia …… dia bukan Siau-ok-ceng, tapi adalah seorang laki2 sejati, Hoa Tiat-kan sendirilah seorang yang maha jahat."
Itulah suaranya Cui Sing. Sungguh hati Tik Hun sangat terhibur, untuk pertama kalinya inilah ia mendengar gadis itu menyatakan: "Dia bukan Siau-ok-ceng, tapi dia adalah seorang laki2 sejati," ~ Sungguh tak tersangka olehnya bahwa gadis yang selama ini bersikap takut dan dingin padanya ini, meski paling achir ini tidak lagi mengunjuk sikap benci padanya, tapi berani terang2an membela kebaikannya dihadapan orang banyak, sungguh hal ini tak diduganya sama sekali. Saking terharunya sampai air mata meleleh, pelahan2 ia menggumam sendiri: "Dia mengatakan aku adalah laki2 sejati!"
Setelah Cui Sing bicara tadi, keadaan didalam gua menjadi sepi, agaknya orang2 itu sedang saling pandang dengan bingung.
Tik Hun coba mengintip, dibawah sinar obor yang terang Tik Hun melihat air muka orang2 itu penuh mengunjuk sikap jijik dan hina.
Selang sejenak, lalu suara seorang tua berbicara lagi: "Cui-titli, aku adalah sobat lama ayahmu, mau-tidak-mau aku harus mengatai kau, Siau-ok-ceng itu telah membunuh ayahmu, tapi kau ……."
"Tidak, tidak ……." Seru Cui Sing tak lancar.
"Apa kau maksudkan ayahmu tidak dibunuh oleh Siau-ok-ceng itu?" orang tua itu menyela. "Jika demikian, lalu ayahmu dibunuh oleh siapa?"
"Dia ……. dia…….." demikian Cui Sing ingin menjelaskan, tapi susah rasanya untuk mengucapkan.
"Menurut cerita Hoa-tayhiap, katanya dalam pertempuran sengit dahulu ayahmu telah kehabisan tenaga hingga tertawan musuh, kemudian Siau-ok-ceng itu telah membunuhnya dengan mengepruk kepalanya dengan sepotong kayu, betul tidak?" tanya orang tua tadi.
"Betul, tapi …… tapi ……" sahut Cui Sing.
"Tapi apa lagi?" potong orang tua itu.

"Ayahku sendiri yang mohon dia suka membunuhnya!" sahut Cui Sing.
Maka ramailah seketika suara gelak tertawa didalam gua. Ditengah suara ketawa itu terseling pula kata2 yang mengejek seperti: "Mohon dirinya dibunuh?" Hahahaha! Dusta ini benar2 terlalu menggelikan!" ~ "O, jadi Cui-tayhiap itu sudah bosan hidup, makanya minta calon menantunya itu membinasakan dia saja!" ~ "Calon menantu apa? Bahkan sebelum Cui-tayhiap meninggal, Siau-ok-ceng itu katanya sudah mengadakan hubungan dengan nona cilik ini, hahahaha!"
Malahan diantara suara tertawa dan ejekan itu, banyak pula suara orang yang memaki kalang kabut kealamat Cui Sing yang dianggapnya perawan hina, gadis cabul dan macam-macam lagi. Orang itu adalah golongan orang Kangouw yang kasar, keruan segala kata2 kotor tidak segan2 mereka ucapkan.
Kiranya sesudah mendengar hasutan Hoa Tiat-kan, orang2 itu telah dicekoki dengan cerita yang dikarang Hoa Tiat-kan sendiri, maka mereka telah yakin bahwa Cui Sing sudah menyerahkan diri kepada Tik Hun, kini mereka bertambah gemas melihat gadis itu malahan membela sang "gendak", dari itu segala caci-maki itu lantas dihamburkan kepada Cui Sing.
Keruan muka Cui Sing merah padam, mendadak ia berteriak: "Diam! Kalian sem ……. sembarangan memaki orang? Apa kalian tidak kenal malu?"
"Hahahaha!" kembali pecah gelak tertawa orang banyak dengan macam2 ejekan: "Eh, kami tidak kenal malu? Dan cara kau main pat-pat-gulipat dengan Siau-ok-ceng didalam gua itu tanpa memikirkan sakit hati orang tua, apakah ini yang dikatakan kenal malu?" "Maknya!" mendadak suara seorang yang kasar memaki. "Jauh2 Loco ikut menguber kemari tanpa mengenal capek, maksudnya ingin menolong perempuan jalang seperti kau ini. Siapa duga kau sendiri sedemikian hina-dina tak punya malu, ini, biar kumampuskan kau dulu dengan golokku!"
"He, jangan, jangan!" cepat orang lain mencegahnya. "Tio-heng jangan semberono!"
"Sabar, sabar dulu, saudara!" demikian suara orang tua pertama tadi berbicara lagi. "Usia nona Cui masih terlalu muda dan kurang pengalaman. Cui-tayhiap telah mengalami nasib jelek hingga tertinggal nona Cui yang sebatangkara, maka janganlah saudara2 membikin susah padanya. Kukita selanjutnya dibawah asuhan Hoa-tayhiap, tentu nona Cui akan dapat dididik menuju kejalan yang benar dan itu berarti saudara2 sekalian ikut berbuat kebaikan bagi sesamanya. Tentang peristiwa dilembah pegunungan ini tidak perlu kita siarkan kedunia Kangouw demi nama baik Cui-tayhiap. Dimasa hidupnya Cui-tayhiap terkenal berbudi dan pengasih, kalau tidak, masakah saudara2 sudi ikut menguber kemari dari jauh guna menolong puterinya? Maka menurut pendapatku, marilah kita lekas mencari Siau-ok-ceng itu, kita tangkap dia dan menyembelihnya dihadapan kuburan Cui-tayhiap guna membalas sakit hati beliau."
Agaknya orang tua yang bicara itu berkedudukan cukup tinggi dan disegani yang lain2, maka lantas terdengar suara dukungan dari beberapa orang diantaranya. Kata mereka: "Benar, beanr! Apa yang dikatakan Thio-locianpwe itu cukup beralasan. Marilah kita lekas mencari Siau-ok-ceng itu, kita ringkus dia dan mencincangnya hingga hancur luluh!"
Ditengah berisik suara orang banyak yang berlainan pendapat itu, Cui Sing mendadak menangis ter-gerung2.
Pada saat itulah kira2 dari jauh terdengar suara seruan seorang: "Piauwmoay! Piauwmoay dimana kau berada? Piauwmoay! Cui-piauwmoay!"
Itulah suara Ong Siau-hong.
Mendengar suara sang Piauko yang sedang mencarinya, dalam keadaan sebatang kara dan ditengah sindir-ejek orang banyak itu, mendadak telah datang seorang yang sangat dirindukan itu, keruan Cui Sing kegirangan. Segera ia berhenti menangis dan berlari memapak keluar gua.
"Ai, Ong Siau-hong yang sedang tenggelam dilautan asmara itu bila mengetahui apa yang diperbuat kekasihnya disini, entah bagaimana hatinya akan terluka!" demikian lantas ada yang memberi komentar.
Segera siorang tua tadi berkata: "Jangan ribut dulu, saudara2, dengarkanlah usulku! ~ Hoa-tayhiap, pemuda she Ong itu sangat kesemsem kepada nona Cui ini, sebenarnya dia sudah dua hari lebih dulu mencari kemari tanpa menghiraukan salju yang masih belum cair. Mungkin ditengah jalan dia mendapat cidera apa2 atau kesasar, maka datangnya disini malah tertinggal dibelakang kami. Begini, saudara2 berbuatlah sedikit kebaikan, pemuda itu sedemikian kesemsemnya kepada nona Cui, maka kejadian tentang nona Cui dengan Siau-ok-ceng itu hendaklah jangan dikatakan pada Ong-siauhiap."
"Ya, setuju!" segera beberapa diantaranya yang berhati baik menyatakan akur. "Setiap orang dapat berbuat kesalahan, dan kita harus memberi kesempatan padanya untuk memperbaiki, apalagi dalam keadaan seperti nona Cui itu sebenarnya juga sangat terpaksa, kalau tidak, masakah seorang gadis baik2 sudi main gila dengan seorang Hweshio kejam yang tak keruan macamnya itu?"
Tapi ada juga yang menanggapi: "Sungguh sial Ong Siau-hong itu, seorang pemuda gagah ganteng mesti mencintai seorang gadis yang sebenarnya hina-dina, benar2 celaka. Hahaha!"
Begitulah tengah mereka bicara, sementara itu suara teriakan Ong Siau-hong tadi kedengaran makin menjauh malah, agaknya dia tidak tahu letak gua itu, dimana kawan2nya berada, maka telah membiluk kejurusan lain.
Cepat Cui Sing berlari kedepan dan berseru: "Piauko, Piauko! Aku berada disini, aku berada disini!"
Sungguh girang Ong Siau-hong melebihi orang putus lotere 25 juta ketika mendadak mendengar suara jawaban sang Piauwmoay.
"Piauwmoay, benar2 kau? Piauwmoay! Dimana kau? Piauwmoay!" serunya pula.
"Aku berada disini, Piauko!" sahut Cui Sing.
Maka tertampaklah dari arah timur-laut sana ada suatu orang sedang mendatangi secepat terbang. Sambil berlari orang itupun ber-teriak2: "Piaumoay! Piauwmoay!"
Mendadak orang itu yang tiada lain adalah Ong Siau-hong ~ terpeleset hingga jatuh terbanting. Rupanya saking girang demi mendengar suara Cui Sing tadi, Siau-hong menjadi lupa daratan dan berlari terlalu napsu, maka sebelah kakinya telah kejeblos kedalam satu lubang hingga dia terjungkal. Tapi begitu jatuh, segera ia melompat bangun untuk kemudian lantas berlari pula.
Melihat sang Piauko tiba2 jatuh, Cui Sing berteriak kaget dan kuatir, cepat iapun berlari memapak kedepan. Makin lama makin mendekat jarak kedua muda-mudi itu, sampai achirnya keduanya lantas saling berpelukan dengan terharu.
Sudah lama nama mereka terkenal sebagai "Leng-kiam-siang-hiap", sepasang pendekar muda yang tersohor, sejak kecil mereka berkumpul dan dibesarkan bersama, sudah tentu mereka menjadi girang tak terhingga dapat bertemu kembali sesudah mengalami marabahaya yang penuh gemblengan itu.
Dari jauh Tik Hun dapat menyaksikan juga pelukan mesra antara Cui Sing dan Ong Siau-hong itu. Aneh juga, entah mengapa timbul juga semacam perasaannya yang rada cemburu.
Sebenarnya selamanya Tik Hun takkan melupakan Jik Hong, meski dia sudah tinggal selama setengah tahun dilembah bersalju ini bersama Cui Sing dan selama itu tidak pernah timbul sesuatu perasaaan antara pria dan wanita. Cuma sesudah tinggal bersama sekian lamanya dan kini mesti berpisah, mau-tak-mau lantas timbul semacam rasa berat.
Pikirnya kemudian: "Ya, biarlah dia ikut pulang bersama Piauwkonya, itulah jalan paling baik, semoga 'Leng-kiam-siang-hiap' mereka hidup bahagia sampai hari tua."
Mendadak didengarnya suara tangisan Ong Siau-hong, mungkin berduka ketika Cui Sing memberitahu tentang meninggalnya Cui Tay.
Selang tak lama, tertampaklah Cui Sing putar balik ketempat gua sambil bergadengan tangan dengan Ong Siau-hong. Dengan suara sesenggukan pemuda itu sedang berkata: "Sejak kecil aku dibesarkan Kuku, sungguh aku sangat berduka atas wafatnya, terutama bila teringat kebaikan Kuku yang selama ini menganggap aku sebagai putera sendiri".
Mendengar sang Piauko menyinggung sang ayah, Cui Sing menjadi ikut sedih dan mencucurkan air mata pula.
"Piauwmoay," kata Siau-hong dengan suara pelahan, "selanjutnya kita berdua tidak boleh berpisah lagi, janganlah kau berduka, selama hidup ini aku pasti akan menjaga dirimu se-baik2nya."
Sejak kecil Cui Sing memang sudah sangat mencintai sang Piauko, lebih2 sesudah berpisah sekian lamanya, sesungguhnya siang-malam ia sangat merindukan pemuda pujaannya itu. Kini mendengar janji sang Piauko pula, keruan alangkah bahagia rasa hatinya. Begitulah mereka berjalan berendeng kearah gua. Tapi setelah dekat, tiba2 Cui Sing berhenti dan berkata: "Piauko, marilah sekarang juga kita pergi saja dari sini, aku tidak ingin melihat orang2 itu."
"Sebab apa?" tanya Siau-hong dengan heran. "Para paman dan kawan2 yang ikut mencari kemari itu dengan tekad bulat bertujuan menyelamatkan dirimu, dengan tak kenal payah mereka rela menderita selama setengah tahun diluar lembah sana, sungguh rasa setia kawan mereka itu harus dipuji dan dikagumi, masakah kau tidak mengucapkan terima kasih apa2 dan lantas tinggal pergi begini saja?"
"Aku …….. aku sudah berterima kasih kepada mereka," ujar Cui Sing dengan menunduk.
"Mereka ber-sama2 datang kesini dari tempat jauh, kalau sekarang kitapun pulang secara be-ramai2, bukankah cara ini lebih baik?" kata Siau-hong. Pula jenazah Kuku harus diboyong kembali ketanah leluhur, andaikan dibiarkan bersemayam untuk selamanya disini juga kita mesti minta persetujuan dulu dari para Locianpwe yang ikut hadir itu. Dan bagaimanakah dengan Liok-pepek, Lau-totiang dan Hoa-pepek?"
"Marilah kita pergi dulu, nanti akan kujelaskan padamu." Ajak Cui Sing. "Hoa-pepek adalah manusia jahanam, jangan kau suka percaya kepada obrolannya yang ngaco!"
Biasanya Ong Siau-hong tidak suka membangkang segala keinginan sang Piauwmoay, maka demi sigadis berkeras ajak pergi, sebenarnya Siauw-hong sudah menyerah dan bermaksud menuruti keinginan Cui Sing. Tapi sebelum dia menjawab, tiba2 dimulut gua sana seorang telah menegur padanya: "Ong-hiantit, baru sekarang kau tiba? Marilah kesini!"
Itulah suara Hoa Tiat-kan. Maka cepat Siau-hong menjawab: "Baik, Hoa-pepek!"
Keruan Cui Sing menjadi kuatir, dengan membanting kaki ia berkata: "Jadi kau tidak mau turut lagi pada omonganku?"
Sejenak Siau-hong menjadi ragu2. Tapi segera terpikir olehnya: "Hoa-pepek adalah angkatan tua dari Bu-lim, perintah orang tua mana boleh dibangkang? Apalagi para kawan yang telah bantu mencarikan Piauwmoay tanpa kenal lelah itu masih belum ditemui barang sekejap lantas kutinggal pergi tanpa pamit, hal ini sesungguhnya tidak pantas. Piauwmoay masih bersifat kanak2, asal sebentar lagi aku menimangnya dan minta maaf padanya, tentu dia takkan marah padaku." ~ Maka tangan Cui Sing lantas digandengnya dan menuju kegua.
Cui Sing tahu apa yang akan dibicarakan Hoa Tiat-kan nanti tentu takkan menguntungkan dirinya, tapi lantas terpikir olehnya: "Aku suci bersih dan tidak berdosa, biarpun mereka akan mempitenah dan menyangka jelek padaku, kenapa aku mesti takut?" ~ Maka iapun tidak membantah lagi dan ikut Ong Siau-hong menuju kegua, cuma wajahnya menjadi pucat pasi.
Setiba didepan gua, berkatalah Hoa Tiat-kan. "Ong-hiantit, kebetulan kau sudah datang, Hiat-to-ok-ceng sudah kubunuh, tinggal seorang Siau-ok-ceng yang berhasil lolos, marilah kita harus menangkapnya lagi untuk dibinasakan. Siau-ok-ceng itu adalah pembunuh Kukumu."
"Sret", mendadak Siau-hong lolos pedangnya, sambil berteriak gusar. Sejak kecil ia dipelihara Cui Tay, budi kebaikan pendekar besar itu dirasakannya bagaikan orang tua sendiri, kini mendengar pembunuhnya belum tertangkap, keruan ia menjadi murka dan bertekad akan mencarinya. Dan begitu melolos pedang, segera ia berpaling kearah Cui Sing untuk melihat bagaimana sikap sang Piauwmoay.
Dibawah sinar obor yang terang, terlihatlah air muka sang Piauwmoay yang sudah setengah tahun berpisah itu dalam keadaan pucat pasi, hati Siau-hong menjadi sedih dan kasihan. Tapi dilihatnya pula gadis itu sedang menggeleng kepala pelahan atas tindakannya melolos pedang itu.
Cepat Siau-hong menanya: "Kenapa, Piauwmoay?"
"Ayahku bukan dibunuh oleh …….. oleh orang itu," kata Cui Sing.
Mendengar ucapan ini, seketika orang2 yang sudah berkerumun itu menjadi gusar. Kata mereka didalam hati. "Sungguh perempuan rendah! Kami telah ikut berkorban bagimu, bahkan demi nama baikmu dimasa hidup yang akan datang dan demi kehormatan Cui-tayhiap kami sengaja menutupi perbuatanmu yang tidak kenal malu dengan Siau-ok-ceng itu, tapi sampai sekarang kau masih membela paderi jahat ini, sungguh dosamu ini tak berampun!"
Dilain pihak Ong Siau-hong menjadi heran demi melihat wajah semua orang mengunjuk rasa gusar. Dasarnya dia memang seorang pemuda cerdik dan pintar, segera terpikir olehnya mengapa Cui Sing tadi tidak mau bertemu dengan orang2 ini dan sekarang orang2 inipun bersikap memusuhi sang Piauwmoay, pasti dibalik kesemuanya ini terdapat rahasia apa2.
Segera Siau-hong berkata: "Piaumoay, marilah kita menurut maksud Hoa-pepek, lebih dulu kita tangkap Siau-ok-ceng itu untuk mencacahnya hingga hancur lebur untuk menyembayangi arwah Kuku. Dan jika masih ada urusan lain lagi, biarlah kita kesampingkan untuk sementara ini."
"Dia …… dia bukan Siau-ok-ceng," kata Cui Sing pula.
Siau-hong melengak dan bingung. Dan ketika dilihatnya pula sikap semua orang mengunjuk jijik dan menghina pada sang Piauwmoay, kembali ia terkesiap, lapat2 ia merasa ada sesuatu yang tidak beres didalamnya. Tapi ia tidak ingin lantas mengusut rahasia apa yang disembunyikan itu, segera katanya pula dengan suara keras. "Para paman, para saudara dan sobat2 baik, marilah sekali lagi mohon kalian suka mencurahkan sedikit tenaga untuk menyelesaikan urusan ini. Habis Siau-ok-ceng itu tertangkap, satu-persatu pasti aku orang she Ong akan menghaturkan terima kasih atas budi kebaikan kalian." ~ Habis berkata, lebih dulu ia lantas membungkuk untuk memberi hormat.
"Ya, marilah kita mencari Siau-ok-ceng itu, kita harus bergerak secepatnya agar paderi jahanam itu tidak keburu melarikan diri lebih dulu!" seru semua orang be-ramai2. Berbareng mereka lantas menerjang keluar gua dengan ber-bondong2.
Maka hanya dalam sekejap saja didalam gua itu menjadi sepi tertinggal Cui Sing dan Ong Siau-hong berdua. Entah siapa yang membuang obornya didepan gua, sinar api obor yang sebentar terang sebentar gelap itu membikin suasana didalam gua itu jadi seram.
Wajah "Leng-kiam-siang-hiap" juga sebentar terang sebentar gelap, kedua muda-mudi berhadapan sambil tangan bergandeng tangan, banyak sekali isi hati masing2, tapi entah cara bagaimana mereka harus mulai bicara.
Diam2 Tik Hun membantin: "Kedua saudara misan telah bertemu kembali sesudah terpisah sekian lamanya, tentu banyak kata-kata mesra yang ingin mereka utarakan, kalau aku ikut mendengarkan disini rasanya tidaklah pantas."
Dan selagi Tik Hun bermaksud merayap pergi, tiba2 didengarnya suara tindakan dan dua orang sedang menuju ketempat sembunyinya itu. Terdengar seorang diantaranya sedang berkata: "Coba kau mencari kearah sana, aku akan mencari dari sebelah sini, sesudah satu keliling, nanti kita bertemu kembali disini."
"Baik," sahut seorang lain "Eh, disekitar sini banyak bekas tapak kaki, mungkin Siau-ok-ceng itu bersembunyi disekitar sini, kita harus hati2 mencarinya!"
"He, Lau Song," tiba2 orang yang pertama berkata pula dengan menahan suara: "Nona Cui itu cantik molek, selama setengah tahun ini, sungguh rejeki Siau-ok-ceng itu bukan main besarnya setiap hari dilayani seorang gadis jelita seperti nona Cui!"
"Hahaha! Memang benar!" demikian sahut kawannya dengan ter-bahak2. "Pantas orang she Ong itu tidak pikirkan hal itu dan rela menerima 'barang bekas'. Habis susah sih mencari gadis secantik itu."
Begitulah kedua orang itu sambil berkelakar dan ter-bahak2 lalu terpencar untuk mencari "Siau-ok-ceng" alias Tik Hun.
Rupanya mereka tidak tahu bahwa Ong Siau-hong dan Cui Sing masih berada didalam gua, mereka mengira bahwa muda-mudi itu tentu sudah ikut keluar gua untuk mencari musuh, maka cara bicara mereka menjadi tidak tedeng aling2 hingga pembicaraan yang tidak sedap itu dapat didengar semua oleh Siau-hong dan Cui Sing.
Sudah tentu Tik Hun ikut mendengar semua pembicaraan kedua orang tadi, diam2 ia merasa pedih bagi kedua muda-mudi yang dijadikan bulan2an itu, pikirnya: "Hoa Tiat-kan itu benar2 maha jahanam, dia sengaja mengarang cerita2 kotor yang tidak benar itu untuk merusak nama baik nona Cui, apa paedahnya sih baginya?"
Ketika ia mengintip lagi kedalam gua, ia melihat Cui Sing sedang mundur2 kebelakang dengan wajah pucat dan badan gemetar, katanya dengan suara ter-putus2: "Piau …… Piauko, jangan kau percaya pada ……pada omongan mereka yang ngaco-belo!"
Siau-hong tidak menjawab, tapi mukanya tampak ber-kerut2 menahan perasaan. Terang ucapan kedua orang tadi se-akan2 ular berbisa yang telah memagut lubuk hatinya. Selama setengah tahun ini dia menanti diluar lembah bersalju itu, siang-malam selalu terpikir juga olehnya: "Piauwmoay berada dicengkeram kedua paderi cabul itu, rasanya sulitlah baginya untuk mempertahankan kesucian badannya. Asal jiwanya tidak terganggu, rasaku sudah puas dan berterima kasih kepada langit dan bumi."
Akan tetapi tiada manusiapun yang mempunyai batas rasa puas. Jika dulu ia berpikir begitu, adalah sekarang sesudah bertemu kembali dengan Cui Sing, ia berharap pula agar gadis itu dapat menjaga diri tetap dalam keadaan suci bersih. Dan demi mendengar percakapan kedua orang tadi, diam2 ia memikir: "setiap orang Kangouw sudah mengetahui peristiwa ini, sebagai seorang laki2 sejati, aku Ong Siau-hong masakah terima dibuat tertawaan orang?"
Tapi demi nampak keadaan Cui Sing yang harus dikasihani itu, kembali hatinya lemas lagi, ia menghela napas sambil menggeleng kepala, katanya kemudian: "Sudahlah, mari kita pergi, Piauwmoay!"
"Tapi kau percaya tidak kepada ucapan orang2 itu?" tanya Cui Sing.
"Kata2 iseng orang luar yang tak keruan itu buat apa mesti digubris?" sahut Siau-hong.
"Tapi, kau percaya tidak?" Cui Sing menegas pula sembari gigit bibir sendiri.
Siau-hong ter-mangu2 sejenak, kemudian ia menyahut: "Baiklah, aku takkan percaya!"
"Tapi didalam hati kau masih ragu2, bukan? Kau percaya penuh omongan mereka, bukan?" kata Cui Sing. Dan sesudah merandek sejenak, kemudian sambungnya pula. "Sudahlah, selanjutnya kau tidak perlu bertemu dengan aku lagi, anggaplah aku sudah mati didalam lembah bersalju ini."
"Ai, Piauwmoay, kenapa kau berkata demikian," sahut Siau-hong.
Sungguh pedih sekali rasa hati Cui Sing, air matanya lantas bercucuran. Yang dipikirnya sekarang hanya selekasnya dapat meninggalkan lembah salju itu dan meninggalkan orang banyak, ia ingin menyingkir kesuatu tempat yang tak dikenalnya, suatu tempat yang jauh dari manusia. Segera ia angkat kaki dan berlari keluar gua, tapi baru ia melangkah keluar gua, tanpa merasa ia menoleh kepojok dalam gua itu.
Selama setengah tahun ini dipojok gua itu dia berteduh siang dan malam, meski tiada suatu alat perabot apa2, tapi dasarnya gadis itu memang rajin dan suka akan kebersihan, maka banyak juga barang kerajinan tangan yang telah dibuatnya dari bulu burung seperti tikar, kasur dan sebagainya. Kini mendekati detik akan berpisah dengan barang2 yang berdampingan selama setengah tahun dengan dirinya itu, betapapun ia merasa berat juga.
Tiba2 terlihat olehnya mantel bulu yang pernah dihadiahkannya kepada Tik Hun dahulu itu. Hatinya tergerak segera dan teringat kepada pemuda itu: "Orang itu bergembar-gembor katanya dia adalah paderi cabul dan bertekad akan membunuhnya. Pabila dia diketemukan mereka, dalam keadaan satu lawan musuh sebanyak itu, apakah dia sanggup menyelamatkan diri?"
Tanpa merasa ia putar balik ketempat tidurnya itu, ia ambil mantel bulu itu dan dipandangnya dengan ter-mangu2 hingga sekian lamanya.
Melihat baju bulu itu terletak ditempat Ciu Sing, sedangkan baju itu tampak cukup longgar dan besar, bentuknya adalah mantel orang laki2, mau-tak-mau Siau-hong menjadi curiga. Segera ia menanya: "Baju apakah itu?"
"Baju bulu yang kubuat sendiri," sahut Cui Sing.
"Apakah untuk kau pakai sendiri?" Siau-hong menegas.
Hampir2 Cui Sing ketelanjur menjawab bukan, tapi segera ia merasa tidak tepat jawaban itu, ia menjadi ragu2 hingga tidak menyahut.
"Bentuknya seperti baju lelaki?" tanya Siau-hong pula, suaranya bertambah kaku, suatu tanda hatinya dirangsang rasa gusar.
Cui Sing mengangguk tanpa menjawab.
"Kau yang bikin untuk dia?" tanya Siau-hong lagi.
Kembali Cui Sing mengangguk.
Siau-hong mengambil baju bulu itu dan memeriksanya sejenak, lalu katanya: "Ehm, bagus sekali buatanmu ini."
"Piauko," tiba2 Cui Sing membuka suara, "janganlah kau memikir yang tidak2, dia dan aku tiada ……. tiada ………." ~ ia tidak melanjutkan ucapannya demi melihat sorot mata Siau-hong mengunjuk sesuatu sikap yang aneh.
Mendadak Siau-hong membanting baju bulu itu ketempat tidur Cui Sing sambil berkata dengan nada mengejek: "Hm, bajunya mengapa berada ditempat tidurmu?"
Seketika Cui Sing merasa hampa, sungguh tak tersangka olehnya sang Piauko yang biasanya menyanjung puja padanya itu kini mendadak bisa berubah begitu kasar dan menjemukan. Dalam dongkolnya iapun tidak sudi banyak memberi penjelasan lagi, pikirnya: "Ya, sudahlah, jika kau bercuriga dan menuduh aku berbuat serong, bolehlah kau bercuriga dan menuduh sesukamu, buat apa aku mesti memohon belas kasihanmu untuk memahami penasaranku?"
Dari tempat sembunyinya Tik Hun dapat mengikuti keadaan didalam gua itu dengan jelas, ia melihat Cui Sing menanggung penasaran karena disangka menyeleweng dari garis2 kesusilaan, air muka gadis itu tampak sangat cemas dan sedih, diam2 Tik Hun ikut merasa tidak enak, pikirnya: "Aku Tik Hun sudah biasa didakwa dan dipitenah orang secara se-mena2, bagiku hal2 itu tidak menjadi soal. Tapi nona Cui, seorang lemah lembut yang tak berdosa, mana boleh dia dibiarkan menanggung tuduhan yang tak benar itu?"
Berpikir begitu, jiwa kesatria Tik Hun seketika terbangkit, meski dia cukup tahu dirinya sedang dicari ber-puluh2 jago silat Tionggoan diluar gua sana, kalau kepergok mereka, pasti jiwanya tak mungkin diampuni. Tapi ia tidak dapat berpikir panjang lagi, sekali lompat segera ia menyusup kedalam gua lagi dan berseru: "Ong Siau-hong, salah besar apa yang telah kau pikir itu!"
Cui Sing dan Siau-hong terkejut semua ketika mendadak nampak seorang menerobos kedalam gua. Kini Tik Hun tidak gundul lagi seperti dulu, rambutnya sudah panyang kembali, sesudah memperhatikan sejenak barulah Ong Siau-hong dapat mengenalnya. Cepat ia lolos pedangnya, tangan lain lantas dorong mundur Cui Sing, dengan pedang siap melintang didepan dada, sedapat mungkin ia tenangkan diri untuk menghadapi musuh.
"Kedatanganku ini bukan untuk mengajak berkelahi padamu," kata Tik Hun. "Aku ingin mengatakan padamu, nona Cui adalah seorang gadis yang suci bersih, seorang perawan 'ting-ting', jika kau memperisterikan dia, sungguh rejekimu tak terperikan besarnya. Maka jangan kau sembarangan berprasangka atas dirinya."
Sungguh sama sekali Cui Sing tidak menyangka bahwa didalam saat demikian itu mendadak Tik Hun bisa tampil kemuka tanpa mengenal bahaya yang akan mengancam padanya, hanya demi untuk membuktikan kebersihan Cui Sing yang dituduh secara kotor oleh orang banyak itu. Sungguh rasa terima kasih Cui Sing tak terhingga dan berkuatir pula, maka segera katanya: "Lekas ……. lekas kau pergi saja dari sini, semua orang ingin membunuh kau, disini terlalu bahaya bagimu."
"Aku tahu, tapi aku harus menjelaskan urusan ini kepada Ong-siauhiap, percayalah padaku, nona Cui adalah seorang gadis suci bersih, jangan ……. jangan kau sembarangan mempitenah dia."
Dasarnya Tik Hun memang tidak pandai bicara, biarpun sesuatu urusan biasa saja juga susah berbicara secara terang, apalagi urusan sekarang ini adalah sesuatu yang rumit dan penting hingga apa yang dikatakan itu ternyata belum melenyapkan rasa curiganya Ong Siau-hong.
Sudahlah, lekas kau pergi saja! Terima kasih atas maksud baikmu, biarlah kubalas padamu dijelmaan hidup yang akan datang," demikian kata Cui Sing dengan terharu. "Nah, lekaslah kau pergi dari sini, mereka ingin membunuh kau …….."
Mendengar ucapan Cui Sing yang penuh memperhatikan keselamatan "Siau-ok-ceng" itu, rasa cemburu Siau-hong menjadi ber-kobar2. Bentaknya mendadak: "Rasakan pedangku!" ~ Berbareng itu pedangnya terus menusuk kedada Tik Hun.
Meski serangan itu dilakukan dengan sangat cepat dan teramat lihay, tapi Tik Hun sekarang sudah bukan Tik Hun dulu lagi. Kini Tik Hun telah memiliki ilmu2 silat kelas wahid "Sin-ciau-kang" dan "Hiat-to-bun" sekaligus, dengan kedua macam ilmu sakti dari dua aliran yang berbeda itu, biarpun sekarang Ting Tian dan Hiat-to Loco hidup kembali juga belum tentu mampu menandinginya.
Ketika melihat serangan Ong Siau-hong tiba, sedikit Tik Hun mengegos saja dapatlah ia menghindarkan tusukan itu. Katanya: "Aku tidak ingin bergebrak dengan kau. Tapi aku mengharap engkau suka mengambil nona Cui sebagai isteri, janganlah bercuriga sedikitpun atas kesuciannya, dia …. dia adalah seorang nona yang baik."
Diwaktu Tik Hun bicara, susul-menyusul Ong Siau-hong sudah melancarkan serangan2 pula secara gencar. Tapi seperti tidak terjadi apa2 saja Tik Hun dapat berkelit kian kemari dengan mudah. Diam2 Tik Hun heran: "Aneh, ilmu silat orang ini dahulu sangat bagus, mengapa selama setengah tahun ini dia tiada kemajuan, sebaliknya mundur malah?"
Rupanya ia salah sangka, bukanlah ilmu pedang Ong Siau-hong tiada kemajuan, tapi dia sendirilah yang selama ini ilmu silatnya telah maju pesat. Padahal Ong Siau-hong cuma tergolong jago kelas dua atau tiga dikalangan Bu-lim, sebaliknya Tik Hun sekarang sudah memiliki dua macam ilmu silat dari dua aliran Cing dan Sia yang hebat, kecuali pengalaman kurang dan praktek menghadapi musuh masih harus ditambah, tapi dalam hal ilmu silat sejati kini dia boleh dikata sudah tergolong kelas tertinggi yang jarang ada tandingannya.
Maka sia2 saja Ong Siau-hong menyerang ber-ulang2, setiap tusukannya selalu dapat dihindarkan Tik Hun seperti tiada terjadi apa2 saja. Keruan Siau-hong bertambah murka, ia menyerang makin gencar dan cepat.
"Ong-siauhiap," kata Tik Hun, "asal kau berjanji takkan mencurigai nona Cui dan aku segera akan pergi dari sini. Kawan2mu itu akan membunuh diriku, aku tidak boleh tinggal terlalu lama disini." ~ Sembari bicara, tetap ia menghindarkan serangan2 Siau-hong dengan seenaknya saja.
Dalam murkanya, permainan Kiam-hoat Ong Siau-hong semakin lama semakin cepat. Dalam hal Ginkang Tik Hun memang belum mencapai tingkatan yang sempurna, maka lambat-laun ia menjadi kewalahan juga menghadapi serangan pedang yang terlalu gencar itu. Mendadak ia incar batang pedang lawan, sekali jarinya menyentil, "trang", kontan Ong Siau-hong merasa genggamannya kesakitan, pegangannya menjadi kendur, pedang terlepas dari tangan dan jatuh ketanah.
Segera Siau-hong bermaksud menjemput kembali senjatanya itu, diluar dugaan Tik Hun terus melangkah maju dan mendorong pundaknya. Dorongan itu sebenarnya tidak keras, tak terduga Siau-hong tak sanggup lagi bertahan ia terdorong jatuh hingga terguling2 kebelakang, "bluk", tubuhnya tertumbuk di dinding gua dengan keras.
Dasar hati Cui Sing memang bajik, apalagi sejak kecil sudah bergaul dengan baik dengan sang Piauko, kini melihat Siau-hong terjungkal sedemikian berat, lekas2 ia memburu maju untuk membangunkannya.
Sebaliknya Tik Hun menjadi melongo dan terpatung ditempatnya, sungguh bukan maksudnya hendak mendorong jatuh Ong Siau-hong, sebenarnya ia cuma bertujuan mencegah agar pemuda itu tidak jemput kembali pedangnya, siapa duga begitu Ong Siau-hong terbentur oleh tenaganya, kontan saja terpental begitu berat seperti anak kecil bertabrakan dengan manusia raksasa.
"Ma …… maaf, aku tidak sengaja!" kata Tik Hun kemudian sambil melangkah maju.
Sementara itu Cui Sing sedang menarik lengan kanan Siau-hong sambil bertanya: "Piauko, tidak apa2, bukan?"
Gusar dan cemburu Ong Siau-hong tak tertahankan lagi, ia anggap Cui Sing telah condong kepihak Tik Hun, sesudah dirinya dihajar kini sengaja hendak menyindir padanya. Maka tanpa menjawab terus saja tangan kirinya menampar, "plok", tepat pipi Cui Sing kena digampar sekali. "Enyahlah!" bentak Siau-hong.
Keruan Cui Sing terkejut, sungguh tak tersangka olehnya bahwa sang Piauko yang biasanya ramah-tamah dan suka merendah padanya itu kini bisa memukul padanya. Seketika Cui Sing menjadi ter-longong2 malah sambil me-raba2 pipi yang digampar itu.
Sebaliknya Tik Hun menjadi gusar, bentaknya: "Tanpa sebab apa2, mengapa kau memukul orang?"
Pada saat itulah dari luar gua lantas terdengar suara orang ber-lari2 mendatangi dan beberapa diantaranya lantas ber-teriak2: "He, didalam gua ada suara orang bertengkar, lekas periksa kedalam situ, jangan2 Siau-ok-ceng itu bersembunyi didalam gua?"
Cepat Cui Sing berkata kepada Tik Hun: "Lekas kau pergi saja, aku … sangat berterima kasih kepada maksud baikmu."
Untuk sejenak Tik Hun memandang Cui Sing, lalu pandang Ong Siau-hong pula, kemudian jawabnya: "Baiklah, aku akan pergi saja!" ~ segera ia putar tubuh dan bertindak keluar gua.
Se-konyong2 Ong Siau-hong terus ber-teriak2" "Siau-ok-ceng itu berada disini! Paderi cabul itu berada disini! Lekas cegat pintu gua, jangan sampai dia lolos!"
"Piauko," seru Cui Sing dengan kuatir, "caramu ini bukankah akan bikin susah pada orang baik?"

Tapi bukannya berhenti, sebaliknya Ong Siau-hong berteriak lebih keras lagi: "Lekas cegat pintu gua, lekas! Siau-ok-ceng akan lari!"
Mendengar suara itu, segera beberapa orang diluar gua sana terus memburu maju untuk menghadang dimulut gua agar Tik Hun tidak dapat lolos.
Dan begitu melihat Tik Hun sedang mendatangi dengan langkah lebar, salah seorang pencegat itu lantas menggertak: "Hendak lari kemana!" ~ berbareng goloknya terus membacok keatas kepala Tik Hun.
Namun sedikit Tik Hun mengegos, luputlah serangan itu, bahkan ketika Tik Hun tolak kedada orang itu terus didorong pergi, kontan orang itu terpental keluar hingga tiga orang kawannya yang berdiri dibelakangnya ikut terseruduk, sekaligus empat orang itu terjungkal bersama dengan kepala dan muka benjut karena saling bentur.
Dan ditengah bentakan dan makian orang2 itulah dengan cepat Tik Hun lantas menerobos keluar gua.
Rupanya suara ribut2 itu telah didengar juga oleh jago2 Tionggoan yang lain hingga be-ramai2 mereka memburu datang dari berbagai jurusan. Namun Tik Hun sudah melarikan diri cukup jauh. Segera ada tujuh-delapan jago kelas tinggi menguber kearahnya. Tapi Tik Hun tidak ingin bertempur dengan mereka, ia pilih termpat semak2 rumput yang lebat untuk bersembunyi, ditengah malam buta, jejaknya takbisa diketemukan lagi oleh pengejar2 itu.
Karena mengira Tik Hun telah lari keluar lembah salju itu, ber-bondong2 para jago Tionggoan itu lantas ikut mengejar keluar lembah. Dari tempat sembunyinya Tik Hun dapat menyaksikan kepergian orang2 itu, ia melihat Ong Siau-hong dan Cui Sing berjalan paling belakang, meski jarak kedua muda-mudi itu terpisah agak jauh, tapi arah yang mereka tuju adalah sama, makin jauh hingga achirnya bayangan merekapun lenyap dibalik bukit.
Hanya sebentar saja lembah salju yang tadinya riuh ramai oleh berisik manusia itu kini telah berubah menjadi sunyi senyap.
Para jago Tionggoan itu sudah pergi semua, Hoa Tiat-kan juga tiada lagi, Cui Sing pun sudah berangkat, hanya tinggal Tik Hun seorang diri. Ia coba mendongak, sampai elang pemakan bangkai yang biasanya suka ber-putar2 diangkasa itupun sekarang tak tertampak lagi.
Suasana benar-benar hening sepi, sekarang Tik Hun benar-benar merasakan keadaan yang sebatangkara …………............
***********
Tik Hun tinggal pula setengah bulan dilembah salju itu. Lwekang dan To-hoat yang diperolehnya dari "Hiat-to-keng" itu telah dilatihnya hingga masak dan sempurna betul, rasanya sudah tak mungkin akan lupa, lalu ia membakar "Hiat-to-keng" itu, ia taburkan abu kitab pusaka Hiat-to-bun itu diatas kuburan Hiat-to Loco.
"Sudah saatnya kini aku harus berangkat!" demikian pikirnya. "Ehm, baju bulu burung ini tidak perlu kubawa, biarlah kalau segala urusan sudah kubereskan, segera aku akan kembali kelembah bersalju yang selamanya tiada ditinggali manusia ini, selama hidupku biarlah kulewatkan disini. Hati manusia dijagat ini terlalu kejam dan culas, aku tidak sanggup menghadapinya!"
Begitulah Tik Hun lantas meninggalkan lembah itu dan menuju kearah timur.
Tujuannya yang pertama yalah pulang kekampung halaman sang guru ~ Jik Tiang-hoat ~ yang berada di Ouwlam itu. Ia ingin tahu bagaimana keadaan orang tua yang sudah berpisah sekian lamanya itu. Sejak kecil Tik Hun sudah yatim-piatu, ia dibesarkan oleh gurunya itu, maka melulu sang guru itulah merupakan pamili satu2nya didunia ini. Walaupun perasaannya kepada Suhunya sekarang sudah jauh berbeda daripada waktu dahulu, tapi ia harus mencari tahu dan menyelidikinya hingga jelas.
Dari wilayah Tibet menuju ke Ouwlam harus melalui Sucwan. Tik Hun pikir bila ditengah jalan kepergok pula dengan jago2 Tionggoan itu, tentu tak terhindar dari suatu pertarungan sengit, padahal dirinya dengan mereka toh tiada punya permusuhan dan sakit hati apa2, kenapa mesti terjadi pula pertarungan yang tidak bermanfaat itu? Adapun sebab-musabab daripada apa yang terjadi dahulu hakikatnya cuma salah paham belaka, yaitu gara2 ia mebubut rambutnya sendiri hingga pelontos, lalu disangka sebagai Siau-ok-ceng dari Hiat-to-bun yang jahat itu.
Karena itulah, untuk menghindari kesulitan2 ditengah jalan, ia lantas menyamar sedikit, ia gosok muka sendiri dengan hangus kuali hingga kelihatan kotor dan hitam mirip seorang pengemis dekil, lalu melanjutkan perjalanan ketimur. Benar juga ditengah jalan terkadang bertemu dengan jago2 yang pernah ikut menguber dirinya itu, tapi mereka tiada yang dapat mengenalnya, bahkan tidak memperhatikannya.
Kira2 lebih 20 hari, achirnya sampailah Tik Hun dikampung halamannya, yaitu di Moa-keh-po dipropinsi Ouwlam barat.
Tatkala itu hawa udara sudah sangat panas, ia melihat tanaman sawah-ladang menghijau permai. Semakin dekat dengan kampung halamannya, semakin banyak perasaan2 yang berkecamuk dalam benaknya, pelahan2 mukanya terasa panas, debaran hatinya juga makin keras.
Ia terus menyusuri jalan pegunungan yang sudah biasa dilaluinya diwaktu muda dahulu, achirnya tibalah dia dirumah tinggalnya yang lama. Ketika ia memandang, mau-tak-mau ia menjadi kaget, hampir2 ia tidak percaya pada matanya sendiri.
Ternyata ditepi kali dibawah pohon Liu yang rindang, dimana dulu berdiri tiga petak rumah kecil gurunya itu kini telah berubah menjadi sebuah gedung yang megah, gedung itu berdinding putih dan bergenting hitam mengkilap. Gedung itu sedikitnya tiga kali lebih besar daripada rumah2 kecil semula itu. Kalau dipandang lebih cermat, bangunan gedung itu walaupun tidak terlalu indah, bahkan seperti dibangun secara ter-gesa2, tapi kemegahannya sudah bolehlah.
Sungguh kejut dan girang sekali Tik Hun, ia coba memeriksa sekeliling situ, ia memang tidak salah lagi, itulah kampung halamannya dimana ia telah dibesarkan. Pikirnya: "Sungguh sangat hebat, rupanya Suhu telah menjadi orang kaya mendadak, makanya pulang kampung dan bangun gedung."
Saking girangnya, tanpa pikir lagi Tik Hun terus berteriak: "Suhu!"
Tapi baru memanggil sekali, segera ia tutup mulut pula. Pikirnya: "Keadaanku yang mirip pengemis ini mungkin akan membikin Suhu kurang senang, biarlah aku tidak bersuara dulu untuk melihat gelagat saja."
Tengah ia memikir, tertampaklah dari dalam gedung itu muncul seorang, dengan melirik orang itu mengamat-amati Tik Hun, sikapnya penuh menghina dan memandang jijik. Tegurnya kemudian: "Kau mau apa?"
Tik Hun melihat orang itu memakai kopiah miring, badannya kotor penuh debu pasir, sangat tidak sesuai dengan gedung yang megah itu. Dari sikapnya yang garang itu, Tik Hun menduga orang mungkin adalah mandor tukang batu dan sebagainya. Maka jawabnya: "Tolong tanya, Pak Mandor, apakah Jik-suhu ada dirumah?"
"Jik-suhu atau Jak-suhu apa? Entah, tidak kenal!" sahut orang itu sambil melirik.
Keruan Tik Hun melengak, tanyanya pula: "Bukankah tuan rumah disini she Jik?"
"Untuk apa kau tanya tuan rumah segala?" demikian orang itu berbalik menanya. "Apa kau ingin minta sedekah padanya? Kalau mau mengemis saja kau tidak perlu cari tahu siapa tuan rumah segala. Sekali kukatakan tidak ada ya tetap tidak ada. Hayo, pengemis bau, lekas enyah, lekas!"
Jauh2 Tik Hun sengaja datang buat mencari Suhu yang sudah berpisah sekian lamanya itu, sudah tentu ia tidak rela pergi begitu saja hanya mendapat jawaban yang tidak memuaskan itu. Maka ia berkata pula: "Kedatanganku bukan untuk minta2, aku ingin mencari keterangan padamu, dahulu yang tinggal disini adalah orang she Jik, entah sekarang beliau apakah masih tinggal disini atau tidak!"
"Dasar pengemis yang cerewet, sudah kukatakan Tauke disini bukan orang she Jik atau she Jok segala, hayolah lekas pergi kelain tempat saja!" sahut orang itu dengan menjengek.
Tengah mereka bicara, sementara itu keluar lagi seorang dari dalam gedung itu. Orang ini memakai kopiah tile, pakaiannya bersih dan rajin, dandanannya mirip seorang Koan-keh (pengurus rumah tangga) keluarga hartawan. Dengan lenggang kangkung Koan-keh itu berjalan keluar, segera ia menegur dengan tertawa: "He, Lau Peng, kau bergembar-gembor lagi ribut mutut dengan siapa?"
"Itu dia, pengemis dekil seperti itu sejak tadi cerewet saja disini, kalau mau minta sedekah mestinya bicara terus terang saja, tapi dia mencari tahu siapa nama Tauke kita segala," demikian simandor yang dipanggil Lau Peng itu menjawab.
Mendengar keterangan itu, air muka Koan-keh itu rada berubah, ia mengamat-amati Tik Hun sejenak, lalu berkata: "Eh, sobat, ada apakah kau mencari tahu nama Tauke disini?"

Jika Tik Hun beberapa tahun yang lalu tentu akan terus terang menjawab maksud tujuannya. Akan tetapi lain-dulu-lain-sekarang, Tik Hun sekarang sudah bertambah cerdik, sudah kenyang pahit getir yang dialaminya didunia Kangouw, kepalsuan manusia umumnya sudah cukup dikenalnya. Kini melihat si Koan-keh itu bertanya dengan sorot mata yang penuh sangsi dan curiga, diam2 Tik Hun membatin: "Biarlah jangan kukatakan terus terang, aku harus mencari keterangan lebih jauh dengan sabar, bukan mustahil dibalik urusan ini ada sesuatu yang ganjil."
Karena pikiran itu, maka ia menjawab: "Ah, tiada apa2, aku ingin tahu she Tauke disini, perlunya agar aku dapat berseru memanggilnya agar sudi memberi sedekah padaku. Ap....... apakah engkau ini adalah Tauke sendiri?"
Begitulah Tik Hun sengaja berlagak pilon dan pura2 bodoh supaya tidak menimbulkan curiga orang.
Benar juga Koan-keh itu lantas ter-bahak2. Meski ia merasa Tik Hun itu terlalu tolol, tapi ia disangka sebagai Taukenya, mau-tak-mau ia merasa senang juga hingga timbul rasa sukanya kepada sibocah tolol itu. Segera katanya: "Aku bukan Tauke disini. He, bocah tolol, mengapa kau sangka aku sebagai Tauke?"
"Habis, engkau........ engkau sangat gagah dan berwibawa, engkau mempunyai potongan Tauke besar," sahut Tik Hun sengaja mengumpak.
Keruan Koan-keh itu bertambah senang, katanya dengan tertawa: "Bocah tolol, jika kelak aku Lau Ko benar2 menjadi Tauke, pasti aku akan memberi persen padamu. He, anak tolol, kulihat badanmu kekar dan tenagamu kuat, mengapa tidak cari kerja yang benar, tapi malah menjadi pengemis."
"Habis tiada yang suka memberi pekerjaan padaku," sahut Tik Hun. "Eh, Tauke, sukalah kau memberi sedekah sesuap nasi padaku?"
Koan-keh itu ter-pingkal2 saking geli, mendadak ia gablok pundak simandor Peng tadi dan berkata: "Coba kau dengar, ber-ulang2 ia memanggil aku sebagai Tauke. Kalau aku tidak memberi persen sesuap nasi juga tidak pantas rasanya. Lau Peng, bolehlah kau suruh dia ikut gali tanah dan memikul, berikan upah sekedar padanya."
"Baiklah, apa yang kau orang tua kehendaki tentu kulaksanakan," sahut simandor she Peng itu.
Dari logat bicara mereka itu Tik Hun dapat mengenali mandor she Peng itu adalah penduduk setempat, sebaliknya Koan-keh she Ko itu berlogat orang utara. Tapi ia pura2 tidak tahu, dengan penuh hormat ia berkata: "Terima kasih, Tauke besar dan Tauke kecil!"
"Kurangajar, sembarangan omong!" maki simandor Peng dengan tertawa.
Sedang si Koan-keh she Ko itu semakin ter-pingkal2. "Hahaha, aku dipanggil sebagai Tauke besar dan kau adalah Tauke kecil, bukankah......... bukankah kau disangka sebagai puteraku?" katanya dengan ter-engah2.
Mandor Peng geli2 dongkol, segera ia jewer telinga Tik Hun, katanya dengan tertawa: "Sudahlah, masuk kesana! Makan dulu yang kenyang, nanti malam mulai melembur."
Tanpa membangkang sedikit Tik Hun ikut masuk kedalam gedung itu, dalam hati ia merasa heran: "Aneh, mengapa kerja lembur diwaktu malam?"
Sesudah masuk kedalam dan menyusur suatu serambi samping, tiba2 Tik Hun terkejut, hampir2 ia tidak percaya pada matanya sendiri.
Ternyata ditengah gedung itu sedang digali suatu lubang yang sangat dalam dan lebar, begitu lebar lubang itu hingga pinggir lubang itu hampir mepet dengan dinding disekelilingnya, hanya tertinggal satu jalan yang sempit untuk orang berlalu. Didalam lubang tanah itu tertampak penuh menggeletak alat2 gali sebangsa pacul, sekop, keranjang, pikulan dan sebagainya. Terang bahwa lubang itu belum selesai digali dan masih dikerjakan. Kalau melihat gedung semegah itu dari luar, sungguh siapapun tiada yang menyangka bahwa didalam rumah terdapat suatu lubang galian yang begitu besar.
"He, bocah tolol, apa yang kau lihat disini dilarang kau ceritakan pada orang luar, tahu?" kata simandor Peng tiba2.
"Ya, ya! Aku tahu," demikian sahut Tik Hun cepat. "Tentu disini Hongsui-nya sangat bagus, tuan rumah ingin mengubur disini, maka orang luar tidak boleh mengetahuinya."
"Benar, ha, sitolol ternyata pintar juga," demikian kata simandor. "Marilah ikut aku kebelakang untuk makan."

Sesudah makan se-kenyang2nya didapur, simandor suruh Tik Hun mengaso dan menunggu diserambi belakang itu dan dipesan jangan sembarangan keluyuran. Tik Hun mengiakan perintah itu, tapi didalam hati ia semakin curiga.
Ia melihat didalam rumah itu tiada sesuatu perabotan yang baik, segala perlengkapan sangat sederhana, bahkan dapur itu tiada dibuat tungku permanen, tapi cuma sebuah tungku darurat yang ditumpuk dengan batu bata saja dan diatas tungku darurat itu tertaruh sebuah kuali besi. Meja kursi yang ada juga sangat kasar, sama sekali tidak sesuai dengan gedung yang megah itu.
Waktu magrib, didapur umum itu penuh ber-jubel2 orang, semuanya adalah orang desa setempat yang masih muda dan kuat. Be-ramai2 mereka asyik makan-minum dengan gembira. Tanpa sungkan2 Tik Hun ikut makan bersama orang banyak itu, ia bicara dengan logat daerah setempat yang tulen, dengan sendirinya si Koan-keh she Ko dan mandor Peng tidak menaruh curiga apa2, mereka menyangka Tik Hun adalah satu pemuda gelandangan setempat yang tidak punya pekerjaan apa2.
Selesai makan, mandor Peng lantas membawa orang2 itu keruangan tengah yang terdapat lubang galian itu, segera ia mengucapkan kata permbukaan: "Saudara2 sekalian, hendaklah kalian menggali sepenuh tenaga, mudah2an malam ini ada rejeki, pabila ada yang berhasil menggali sesuatu benda, baik berupa buku, kertas, maupun sebangsa mangkok-piring dan sebagainya, tentu kalian akan mendapat hadiah yang pantas."
Maka be-ramai2 para kuli itu telah mengiakan, segera terdengarlah suara riuh dari bekerjanya pacul dan sekop yang menggali tanah.
"Huh, sudah menggali selama dua bulan, tapi ada benda mestika apa yang diketemukan? Benar2 orang yang menyuruh kita ini sudah gila harta dan lupa daratan," demikian seorang penggali yang tidak jauh disebelah Tik Hun itu mendadak menggerutu sendiri.
Sudah tentu Tik Hun tertarik oleh gerundelan kuli kampung itu. "Mestika apakah yang hendak mereka gali? Masakah disini terdapat sesuatu harta apa segala?" demikian pikirnya.
Ia menunggu simandor agak meleng, segera ia menggeser kedekat kuli yang mengomel tadi, dengan suara tertahan ia menanya: "Toacek, sebenarnya mereka ingin mencari benda mestika apakah?"
"O, benda mestika yang mereka cari ini benar2 sangat berharga," sahut orang itu dengan suara berbisik. "Katanya Tauke disini mahir ilmu gaib. Ia bukan orang daerah sini, tapi berasal dari lain tempat. Dari jauh katanya ia melihat ditempat penggalian ini ada cahaya mestika yang menyorong kelangit, ia tahu ditempat ini terdapat benda mestika, maka tanah ini telah dibelinya, agaknya kuatir kalau rahasianya bocor, maka lebih dulu gedung ini telah dibangun, lalu mengumpulkan orang, siang hari kami disuruh tidur dan malam hari disuruh kerja."
"O, kiranya begitu. Apakah Toacek tahu benda mestika apa yang dia cari?" tanya Tik Hun pula.
"Sudah tentu aku tahu," sahut kuli itu dengan lagak sok tahu. "Menurut simandor, katanya yang dicari adalah sebuah 'Cip-po-bun' (baskom wasiat). Jika kau masukan satu mata uang kedalam baskom itu, maka lewat semalam, besok paginya mata uang itu akan berubah menjadi satu baskom penuh. Kalau dimasuki satu tahil emas, besoknya akan berubah menjadi satu baskom emas, pendek kata segala macam barang yang kau masukan kedalam baskom, maka dalam semalam saja barang sedikit ini akan melahirkan barang banyak. Wah, bukankah itu suatu benda mestika ajaib?"
"Wah, benar2 mestika ajaib!" puji Tik Hun sambil tiada ber-henti2 mulutnya ber-kecek2.
Lalu orang itu mengoceh pula: "Mandor sengaja memesan kita agar cara kita memacul harus pelahan2, tidak boleh keras2, sebab kalau sampai baskom wasiat itu menjadi rusak kena pacul, wah, bisa runyam! Kata pak Mandor, bila baskom wasiat itu sudah dapat diketemukan, kita masing2 akan diberi pinjam pakai satu malam, apa yang kau ingin masukan didalam baskom itu boleh kau lakukan mana suka. Nah, anak tolol, mulai sekarang boleh kau coba2 rencanakan, barang apakah yang akan kau masukan didalam Cip-po-bun itu."
Tik Hun pura2 memikir sejenak, lalu menjawab: "Aku sering kelaparan, perutku selalu berkeroncongan, maka aku akan taruh sebutir beras didalam baskom itu dan besok paginya, wah, sudah menjadi satu baskom penuh beras putih, bagus bukan?"
"Hahaha! Memang bagus! Haha!" demikian orang itu menjadi lupa daratan dan bergelak tertawa.
Keruan simandor lantas menoleh demi mendengar ada suara tertawa orang, lantas ia membentak: "Hus, jangan banyak omong doang! Hayo, lekas kerja! Lekas gali!"
Orang itu menjadi ketakutan dan cepat bekerja pula dengan giat.
Diam2 Tik Hun membatin: "Masakah didunia ini terdapat Cip-po-bun apa segala? Emangnya seperti cerita Aladin dalam 1001 malam saja? Ah, majikan rumah ini pasti bukan seorang tolol, dibalik kesemuanya ini pasti ada sesuatu tipu muslihat, tapi ia sengaja mengarang cerita tentang baskom wasiat segala untuk menipu orang."
Maka sejenak kemudian, dengan suara tertahan kembali ia menanya orang tadi: "Siapakah nama Tauke disini? Engkau tadi mengatakan dia bukan orang daerah sini?"
"Itu dia, bukankah si Tauke sudah berada disitu?" sahut orang itu.
Waktu Tik Hun memandang kearah yang dimaksudkan, ia melihat dari ruangan belakang sana telah muncul satu orang, perawakannya tinggi kurus, kedua matanya bersinar tajam, pakaiannya sangat perlente, usianya kira2 setengah abad.
Hanya sekejap saja Tik Hun memandang orang itu, tapi kontan jantungnya ber-debar2, cepat ia berpaling dan tidak berani memandang pula. Didalam hati tiada hentinya ia bertanya2: "Orang ini sudah pernah kukenal, ya, sudah pernah kukenal. Dimanakah itu? Siapakah dia?"
Begitulah ia merasa muka si Tauke sudah dikenalnya, cuma seketika tak teringat dimanakah dulu telah melihatnya.
Dalam pada itu si Tauke sudah mulai berkata: "Malam ini harap kalian menggali lebih dalam lagi satu-dua meter, tidak peduli apakah diketemukan potongan kertas, remukan batu atau pecahan kayu, satu bendapun tidak boleh dianggap sepele, harus diperlihatkan padaku."
Mendengar suara si Tauke, Tik Hun terkesiap, segera ia sadar: "Ya, ingatlah aku sekarang. Kiranya dia!"
Kiranya Tauke pemilik gedung megah itu tak-lain-tak-bukan adalah sipengemis tua yang pernah mengajarkan tiga jurus ilmu pedang kepada Tik Hun ketika berada dirumah Ban Cin-san di Heng-ciu dahulu itu.
Tatkala mana bajunya rombeng, rambutnya kusut-masai, sekujur badannya kotor dekil, seratus prosen adalah dandanan pengemis.
Tapi kini telah berubah menjadi seorang hartawan, hampir semuanya telah berganti bulu, pantas saja Tik Hun takbisa lantas mengenalnya, dan sesudah mendengar suaranya barulah Tik Hun ingat siapa gerangannya.
Dan begitu mengenali si Tauke, sebenarnya Tik Hun bermaksud lantas melompat keluar dari lubang galian untuk menyapanya. Tapi penderitaan dan pengalaman selama beberapa tahun ini telah menggembleng Tik Hun menjadi seorang pemuda yang bisa berpikir dan dapat bertindak hati2 dalam segala hal. Pikirnya: "Paman pengemis tua ini pernah berbudi padaku. Dahulu jika aku tak ditolong olehnya, mungkin aku sudah terbinasa ditangan bandit terkenal dari Thay-heng-san yang bernama Lu Thong itu. Kemudian ia telah mengajarkan tiga jurus Kiam-hoat lagi padaku hingga aku dapat menghajar anak murid Ban-supek. Kini kalau dipikir, sebenarnya ketiga jurus ilmu pedang yang dia ajarkan padaku itu toh sepele saja, tiada sesuatu yang luar biasa, tapi pada waktu itu telah menghindarkan diriku dari hinaan dan penganiayaan orang. Kini dapat berjumpa pula dengan dia, aku harus menyatakan terima kasihku selayaknya. Akan tetapi tempat ini adalah bekas kediaman Suhuku, mengapa dia menggali tanah disini? Dan untuk apa dia membangun gedung sebesar ini untuk menutupi pandangan orang luar? Dahulu dia adalah seorang pengemis, seorang kere, kenapa sekarang bisa kaya mendadak?"
Begitulah diam2 Tik Hun me-nimang2 dan ambil keputusan akan diam saja dulu untuk melihat gelagat. Pikirnya pula: "Aku utang budi padanya, untuk mengucapkan terima kasih adalah soal gampang. Tapi mengapa dia tidak kuatir Suhuku akan pulang kesini? Jangan2 .......... jangan2 Suhu sudah meninggal?"
Sejak kecil ia sudah ikut dan dibesarkan Jik Tiang-hoat, perasaannya kepada guru itu adalah mirip orang tua sendiri, kini demi terpikir gurunya mungkin sudah mati, seketika ia menjadi sedih.
Tiba2 dipojok sana terdengar suara gemerinting sekali, pacul kuli penggali itu entah kena memacul sesuatu benda keras apa. Tapi demi mendengar suara nyaring itu, segera si Tauke melompat turun kedalam lubang galian itu, cepat ia jemput sepotong benda.
Serentak kuli2 penggali itu berhenti kerja semua dan memandang kearah benda yang dipegang si Tauke. Maka tertampaklah Tauke lagi memegang sebuah....... paku, bolak-balik Tauke memeriksa paku itu dengan wajah agak kecewa. Achirnya ia lemparkan paku itu kepinggir lubang galian dan memerintah: "Hayo mulai lagi, lekas gali terus!"
Tik Hun kerja keras semalam suntuk bersama para kuli kampung, selama itu si Tauke terus mengikuti kemajuan galian itu. Setelah fajar menyingsing dan tiada diketemukan sesuatu apa, barulah si Tauke memerintahkan istirahat.
Sebagaian besar kuli2 kampung itu adalah penduduk sekitar situ, mereka pulang kerumah masing2. Tapi ada sebagian yang bertempat tinggal agak jauh, mereka lantas merebah dan tidur diserambi samping rumah gedung itu.
Tik Hun juga ikut tidur diserambi samping itu. Sampai sore harinya barulah mereka bangun tidur untuk makan.
Badan Tik Hun terlalu kotor, orang lain tidak suka berdekatan dengan dia, diwaktu tidur maupun makan, selalu orang2 itu menjauhi Tik Hun. Tapi hal ini malah kebetulan bagi Tik Hun, risiko dirinya akan dikenali orang menjadi lebih sedikit.
Selesai makan, dalam isengnya Tik Hun lantas jalan2 kesuatu pedusunan kecil tidak jauh dari gedung besar itu untuk mencari tahu apakah sang guru pernah pulang kampung atau tidak. Ditengah jalan diketemukan juga beberapa teman memain diwaktu kecil, kini teman2 itu sudah tinggi besar dan asyik bercocok-tanam disawah-ladang.
Ia tidak ingin dirinya diketahui orang, maka ia tidak menyapa teman lama itu, tapi sengaja mencari satu anak tanggung untuk ditanya tentang keadaan rumah gedung itu. Menurut keterangan bocah tanggung itu, katanya gedung itu dibangun pada musim rontok tahun yang lalu, pemiliknya sangat kaya dan datang kesini buat mencari Cip-po-bun, namun sudah sekian lamanya benda mestika yang dicari itu masih belum ketemu. Sembari berkata bocah itu sambil ketawa2, suatu tanda dongeng tentang Cip-po-bun atau baskom wasiat itu telah menjadi bahan obrolan iseng penduduk setempat.
Ketika ditanya tentang rumah2 petak yang dulu, anak tanggung itu mengatakan sudah lama rumah2 kecil itu tidak ditinggali orang dan selamanya juga tidak pernah ditengok yang empunya. Maka waktu gedung besar itu dibangun, dengan sendirinya rumah2 petak itu dibongkar.
Tik Hun mengucapkan terima kasih dan tinggalkan anak tanggung itu, hatinya menjadi masgul dan penuh curiga pula. Sungguh ia tidak tahu sebenarnya apakah maksud tujuan tindak-tanduk sipengemis tua yang penuh rahasia itu.
Ia berjalan menyusur gili2 sawah dan ladang, ketika melewati sepetak ladang sayur, ia melihat tanaman ladang itu menghijau lebat, subur sekali tertanam sayur Khong-sim-jay.
"Khong-sim-jay! Khong-sim-jay!" ~ tiba2 benak Tik Hun bergema suara panggilan yang nyaring merdu dan nakal itu.
"Khong-sim-jay" adalah sayur yang sangat umum didaerah Ouwlam barat situ, sesuai dengan namanya, maka sayur itu kopong tengahnya tak bersumbu. Dari itu Sumoaynya Tik Hun, yaitu Jik Hong, telah memberi nama poyokan itu kepada Tik Hun sebagai olok2 bahwa pemuda itu berotak kopong, takbisa berpikir, polos dan jujur, takbisa ber-belit2.
Sejak Tik Hun meninggalkan kampung halaman itu, selama itu dia mengeram didalam penjara di Hengciu, kemudian di-uber2 musuh dan achirnya terkurung ditengah lembah bersalju. Dan baru harini dia dapat melihat Khong-sim-jay pula.
Tik Hun ter-mangu2 sejenak memandangi sayur yang bersejarah itu. Ia berjongkok dan memetik setangkai, lalu pelahan2 melanjutkan perjalanan kebarat.
Disebelah barat adalah pegunungan sunyi yang tandus penuh batu karang, pepohonan susah tumbuh disitu. Ditengah bukit tandus itu terdapat sebuah gua yang tidak pernah didatangi manusia kecuali Tik Hun dan Jik Hong yang dulu sering memain kesitu.
Karena terkenang pada masa lalu yang menggembirakan itu, tanpa merasa Tik Hun berjalan terus kearah gua. Sesudah melintasi tiga bukit lain dan menerobos dua terowongan besar, achirnya sampailah dia digua yang terpencil dan sunyi senyap itu.
Didepan gua itu ternyata sudah penuh tumbuh rumput alang2, hingga mulut gua tertutup rapat. Hati Tik Hun menjadi berduka terkenang teman main diwaktu kecil yang dicintainya itu kini telah berada dipangkuan orang lain. Ia coba menerobos kedalam gua itu, ia melihat barang2 yang terdapat digua itu masih tetap seperti dulu waktu ditinggal pergi bersama Jik Hong, sedikitpun tidak pernah dijamah atau pindah tempat. Barang2 seperti bandring yang dahulu sering digunakannya untuk menangkap burung, boneka tanah yang dibuat Jik Hong, alat perangkap kelinci, seruling milik Jik Hong diwaktu angon sapi. Semuanya itu masih terletak baik2 diatas meja batu didalam gua.
Disebelah sana terdapat pula sebuah keranjang kecil. Dulu Jik Hong sering datang kegua ini dengan membawa keranjang jinjing yang berisi bahan2 dan alat menjahit. Tertampak gunting didalam keranjang itu sudah berkarat, Tik Hun coba ambil sejilid buku pola menyulam yang sudah kuning dari keranjang itu. Ia mem-balik2 halaman buku itu dan ter-kenanglah dimasa dahulu bila dia bersama Jik Hong 'pik-nik' kegua ini, sering ia mengayam keranjang disitu dan Jik Hong lantas menyulam, terkadang sigadis menyulam bunga atau burung2an diatas kain tebal guna bahan sepatunya.
Ter-menung2 Tik Hun mengenangkan kejadian dimasa lampau: ketika satu pasang kupu2 besar warna hitam terbang kian kemari didepan gua, selalu sepasang kupu2 itu terbang berjajaran keatas dan kebawah bagaikan sepasang kekasih yang sedang bercumbu. Saat itu Jik Hong telah ber-teriak2: "Nio San-pek, Cio Eng-tay! Nio San-pek, Cio Eng-tay!"
Kiranya penduduk didaerah Ouwlam barat itu menamakan kupu2 besar warna hitam itu sebagai Nio San-pek dan Cio Eng-tay, yaitu sepasang kekasih yang saling cinta-mencintai dan sehidup-semati dalam cerita roman klasik yang terkenal.
Waktu itu Tik Hun sedang mengayam sepatu rumput, pasangan kupu2 itu telah terbang diatas kepalanya. Mendadak Tik Hun meneplok dengan sepatu rumputnya hingga seekor kupu2 diantaranya tergablok mati. Melihat itu, Jik Hong menjerit kaget dan menegur dengan marah: "Ken........ kenapa kau membunuhnya?"
Tik Hun menjadi gugup karena sigadis mendadak marah, cepat sahutnya: "Karena kau suka kupu2, maka aku hendak menangkapnya untukmu."
Kupu yang diteplok mati itu jatuh ditanah, sedang kupu yang lain masih terus terbang mengitar diatas kawannya yang sudah tak berkutik itu. Maka Jik Hong berkata: "Lihatlah, bukankah kau berdosa? Mereka adalah pasangan suami-isteri yang rukun, tapi sekarang kau telah membunuh satu diantaranya."
Dan barulah Tik Hun merasa menyesal, sahutnya: "Ai, memang aku bersalah."
Kemudian Jik Hong telah menirukan bentuk kupu2 yang mati itu dan dibuatnya sebuah pola atau patrun untuk disulam diatas sepatunya sendiri. Waktu tahun baru, kembali ia menyulam sebuah dompet kain dengan lukisan kupu2 yang sama untuk Tik Hun. Dompet kain itu selalu tersimpan didalam baju pemuda itu dan baru hilang ketika dia dimasukan penjara di Hengciu.
Patrun itu masih terselip didalam buku pola itu. Ia mengambil patrun kupu2 itu, telinganya sayup2 seperti mendengar suara Jik Hong: "Lihatlah, bukankah kau berdosa? Mereka adalah pasangan suami-isteri yang rukun, tapi sekarang kau telah membunuh satu diantaranya."
Tik Hun ter-menung2 agak lama, ketika ia membalik2 pula halaman buku pola itu, tiba2 didengarnya dari jauh ada suara berkeletakan batu paling bentur, terang itulah suara tindakan orang yang sedang mendatangi. Diam2 Tik Hun heran, pikirnya: "Jarang ada manusia yang datang dibukit tandus ini, jangan2 adalah sebangsa binatang buas?"
Segera ia masukan buku pola itu kedalam bajunya, saat lain tiba2 didengarnya ada suara orang sedang berkata: "Sekitar tempat ini sunyi senyap dan bukit karang belaka, tidak mungkin terdapat disini."
"Semakin sepi semakin besar kemungkinanan orang menyimpan harta mestika disini," demikian suara seorang tua menjawab. "Maka kita harus mencarinya dengan cermat."
"Ha, mengapa ada orang mencari harta mestika lagi ketempat ini?" pikir Tik Hun. Cepat ia menyelinap keluar gua, ia bersembunyi dibalik satu pohon besar.
Tidak lama kemudian lantas terdengar ada suara orang bertindak kearah gua. Dari suaranya dapat diduga sedikitnya adalah 7-8 orang.
Waktu Tik Hun mengintip dari belakang pohon, ia melihat seorang yang jalan paling depan berpakaian perlente dan berdandan secara ber-lebih2an, mukanya seperti sudah dikenal Tik Hun. Menyusul seorang dibelakangnya membawa cangkul, orang kedua ini berbadan tegap gagah, mukanya cakap. Begitu melihat orang kedua ini, seketika darah Tik Hun tersirap, sungguh kalau bisa ia ingin lantas menerjang maju untuk menghajarnya, bahkan sekali cekik ia ingin mampuskan orang itu.
Kiranya orang kedua itu tak-lain-tak-bukan adalah musuh besarnya yang telah membikin sengsara padanya, orang yang telah merebut Sumoaynya yang cantik serta menjebloskan Tik Hun kedalam penjara, yaitu si Ban Ka adanya.
Sedang orang pertama yang lebih muda tadi ternyata adalah Sim Sia, anak murid Ban Cin-san yang buncitan.
Dan dibelakang Ban Ka dan Sim Sia, lalu muncul pula anak murid Ban Cin-san yang lain, yaitu Loh Kun, Sun Kin, Bok Heng, Go Him dan Pang Tan.
Murid Ban Cin-san seluruhnya ada delapan orang, tapi murid kedua, yaitu Ciu Kin, dahulu telah dibunuh oleh Tik Hun didalam taman bobrok dikota Hengciu waktu dia bersama Ting Tian di-uber2 oleh Ciu Kin dan kawan2nya. Maka kini murid Ban Cin-san hanya tinggal tujuh orang saja.
Sudah tentu Tik Hun sangat heran: "Hendak mencari harta mestika apakah orang2 ini?"
Pada lain saat tiba2 terdengar Sim Sia berseru: "Suhu, Suhu! Disini ada sebuah gua!"
"O, ya?" sahut suara orang tua tadi. Nadanya penuh rasa girang.
Menyusul lantas muncul seorang yang tinggi besar, itulah dia Ngo-in-jiu Ban Cin-san adanya.
Sudah beberapa tahun tak bertemu, Tik Hun melihat semangat orang tua itu masih segar dan kuat, sedikitpun tidak terlihat tanda2 loyo sebagaimana lazimnya orang tua.
Hanya beberapa langkah lebar saja Ban Cin-san sudah masuk kedalam gua. Menyusul lantas terdengar suara2 orang banyak: "He, disini pernah ditinggali orang!" ~ "Debu kotorannya begini banyak, sudah lama tidak didatangi orang." ~ "Tidak, tidak! Lihatlah ini, disini terdapat tapak kaki baru." ~ "Ya, disini juga ada bekas jari tangan!" ~ "Benar, pasti Gian-susiok telah............. telah mendahului menggondol Soh-sim-kiam-boh itu."
Terkejut dan geli pula Tik Hun mendengar pembicaraan orang2 itu. Pikirnya: "Apa barang yang hendak mereka cari adalah Soh-sim-kiam-boh? Mengapa sudah sekian lamanya mereka masih terus mencari? Menurut Suhu, katanya beliau mempunyai seorang Suheng kedua yang bernama Gian Tat-peng, tapi Gian-supek itu sudah lama menghilang tanpa ada kabar beritanya, mungkin sudah lama orangnya meninggal dunia, mengapa sekarang dapat muncul lagi untuk berebut Soh-sim-kiam-boh apa segala? Sudah terang bekas tapak kaki dan tangan itu adalah tinggalanku barusan, tapi mereka menerka secara ngawur, sungguh lucu!"
Begitulah maka terdengar Ban Cin-san sedang berkata: "Diam, diam! Jangan ribut! Coba carilah sekitar sini dengan tenang."
Lalu ada yang mengomel: "Jika Gian-susiok sudah mendahului datang kesini, mustahil barangnya tak digondol lari lebih dulu."
"Jik Tiang-hoat itu benar2 seorang yang licin dan pintar mengatur, ia sembunyikan Kiam-boh (kitab pelajaran pedang) itu disini, tentu saja orang lain sudah mencarinya," ujar yang lain.
"Sudah tentu ia sangat licin dan pandai mengatur, kalau tidak masakah dia berjuluk 'Tiat-soh-heng-kang'?" demikian kata seorang lagi.
Begitulah sambil bicara mereka terus mengobrak-abrik gua itu. Memangnya didalam gua tidak terdapat benda apa2, maka sesudah dibongkar-bangkir orang2 itu, tetap tiada sesuatu yang mereka ketemukan. Menyusul lantas terdengar suara gemerantang yang nyaring, itulah suara cangkul. Tapi gua itu adalah batu karang, dengan sendirinya cangkul itu tidak mempan menggalinya.
"Sudahlah, disini tiada terdapat apa2, marilah kita keluar, coba kita rundingkan lagi diluar sana," kata Ban Cin-san kemudian.
Be-ramai2 ketujuh anak muridnya lantas ikut sang Suhu keluar gua, mereka mengambil tempat ditepi suatu sungai kecil, disanalah mereka berduduk diatas batu karang yang banyak terserak disitu.
Tik Hun kuatir dipergoki mereka, maka tidak berani mendekat.
Sedangkan suara percakapan kedelapan orang itu sangat lirih, maka apa yang dirundingkan mereka itu takbisa didengar Tik Hun.
Tidak lama kemudian, selesai berunding, kedelapan orang itu tampak berbangkit semua dan berangkat pergi.
Diam2 Tik Hun memikir pula: "Katanya mereka ingin mencari Soh-sim-kiam-boh apa segala, tapi belum lagi ketemu sudah lantas curiga telah dicuri lebih dulu oleh Gian-supek. Sedangkan bekas tempat tinggal Suhu telah dirombak pula menjadi suatu gedung megah, katanya sipengemis tua itu ingin mencari Cip-po-bun apa segala............. Ah, benar, tahulah aku!"
Begitulah se-konyong2 terkilas sesuatu pikiran pada benaknya, mendadak ia sadar akan duduknya perkara: "Terang sipengemis tua itu bukan bertujuan mencari Cip-po-bun segala, tapi iapun ingin mencari Soh-sim-kiam-boh. Ia yakin kitab pusaka itu berada ditangan Suhuku, maka sengaja mencari kemari, dan agar tidak menimbulkan rasa curiga orang lain, lebih dulu ia membangun gedung besar itu, kemudian menggali pekarangan didalam rumah itu untuk mencarinya, dan agar tidak membikin geger chalayak ramai, ia sengaja menyiapkan berita dongengan katanya ingin mencari Cip-po-bun, sudah tentu alasan itu cuma buat membohongi orang kampung yang bodoh saja."
Lalu terpikir pula olehnya: "Tempo dulu waktu Ban-supek mengadakan perayaan hari ulang tahun di Hengciu, pengemis tua itu siang-malam selalu mengincar disekitar kediaman Ban-supek, suatu tanda dia mempunyai sesuatu maksud tujuan. Ya, sesudah tidak menemukan Soh-sim-kiam-boh yang dicari itu, masakah rombongan Ban Cin-san takkan mendatangi rumah gedung itu untuk menyelidiki lebih jauh? Mungkin kedatangan mereka kesini sudah lama, maka gedung itu sudah pernah mereka datangi. Namun urusan ini terang belum selesai, biarlah aku menanti dirumah gedung itu saja untuk menonton keramaian. Ya, dibalik semua kejadian ini pasti ada sesuatu rahasia lain."
"Tapi kemanakah perginya Suhu selama ini?" demikian pikirnya pula. "Bekas tempat tinggalnya telah dibongkar-bangkir orang sedemikian rupa, masakah beliau sama sekali tidak tahu? Apa benar beliau tidak pernah pulang kemari? Lalu bagaimana dengan Jik-sumoay? Ya, mungkin dia masih tinggal di Hengciu dan sedang menikmati kebahagiaan sebagai nyonya muda keluarga Ban yang kaya-raya. Sudah tentu orang2 keluarga Ban itu tidak memberitahukan pada Sumoay bahwa bekas tempat tinggalnya itu akan diobrak-abrik. Dan apakah yang sedang dikerjakan Sumoay saat ini?......"
*******
Mendadak terdengar suara "blang" yang keras, pintu depan telah didobrak orang hingga terpentang, serempak anak-murid Ban Cin-san terus menyerbu kedalam dan mengepung Gian Tat-peng di-tengah2.
Malamnya, kembali didalam rumah gedung itu terang-benderang dengan cahaya lilin, belasan kuli kampung asyik mengayun cangkul mereka untuk menggali tanah.
Tik Hun juga berada diantara kuli2 penggali itu, ia tidak terlalu giat, tapi juga tidak malas, dengan demikian ia mengharap tidak menarik perhatian orang lain. Apalagi rambutnya kusut-masai, jenggot dan kumisnya tak tercukur hingga hampir seluruh mukanya tertutup oleh berewoknya yang tak terawat itu, ditambah lagi debu tanah yang berlepotan dimukanya, keruan muka aslinya menjadi lebih susah dikenali.
Malam ini penggali2 itu menitik-beratkan pojok utara dari lubang tanah itu, sedang sipengemis tua sedang berjalan mondar-mandir ditepi lubang galian itu sambil menggendong tangan. Sudah tentu sekarang ia bukan lagi seorang pengemis yang dekil dan mesum, tapi adalah seorang Tauke besar yang hidup mewah, bajunya buatan dari bahan sutera satin, pada jari manis kiri memakai sebuah cincin permata jamrud, ikat pinggangnya juga terikal sepotong batu kemala yang susah dinilai harganya.
Se-konyong2 Tik Hun mendengar diluar gedung itu ada suara orang merayap datang, dari kanan-kiri dan muka-belakang, semua jurusan ada suara merayap orang. Jarak pendatang2 itu masih sangat jauh, agaknya sipengemis tua masih belum mengetahui sedikitpun.
Tik Hun coba miringkan tubuh untuk melirik sipengemis itu, tapi sang Tauke ternyata tenang2 saja seperti tidak merasakan apa2. Sementara itu Tik Hun mendengar suara tindakan orang2 dari berbagai jurusan itu sudah makin mendekat. Satu, dua, tiga........ enam, tujuh, delapan, ya, benarlah itu Ban Cin-san beserta ketujuh anak muridnya. Tapi sipengemis tua ternyata masih tidak mengetahui.
Sungguh heran Tik Hun, baginya kedatangan rombongan Ban Cin-san itu dapat didengarnya dengan jelas, bahkan dapat dihitung jumlahnya. Tapi mengapa pengemis tua itu seperti orang tuli saja tanpa mendengar apa2?
Lima tahun yang lampau, Tik Hun kagum dan memuja pengemis tua itu bagaikan malaikat dewata. Pengemis itu hanya mengajarkan tiga jurus ilmu pedang kepada Tik Hun dan pemuda itu sudah sanggup menghajar Ban-bun-pat-te-cu atau delapan murid keluarga Ban, hingga pontang-panting, sedikitpun kedelapan lawan itu tak mampu melawan. "Tapi kini, mengapa kepandaian pengemis tua ini telah berubah sejelek ini dan mundur malah? Jangan2 Tauke ini bukan pengemis tua yang dahulu itu? Barangkali aku salah mengenali dia? Tapi, tidak, tidak mungkin, tidak mungkin aku salah lihat!" demikian Tik Hun bertanya-jawab sendiri.
Anda sedang membaca artikel tentang Si KangKung Pendekar LUgu 3 [Soh Sim Kiam] dan anda bisa menemukan artikel Si KangKung Pendekar LUgu 3 [Soh Sim Kiam] ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/si-kangkung-pendekar-lugu-3-soh-sim.html?m=0,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Si KangKung Pendekar LUgu 3 [Soh Sim Kiam] ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Si KangKung Pendekar LUgu 3 [Soh Sim Kiam] sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Si KangKung Pendekar LUgu 3 [Soh Sim Kiam] with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/si-kangkung-pendekar-lugu-3-soh-sim.html?m=0. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar