Renjana Pendekar 1

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Senin, 12 September 2011

Renjana Pendekar
Karya Khulung
Diceritakan oleh : GAN KL
Jilid 1
Di suatu halaman rumah yang luas dan rindang, di bawah pohon sana seorang kakek
berjubah hijau tampak berdiri tenang dan santai, sambil berdekap tangan sedang menyaksikan
seorang pemuda di depannya lagi menulis. Pemuda itu duduk bersila di depan sebuah meja
pendek, pit (Pensil bulu) yang digunakan menulis itu sebesar lengan bayi, panjangnya kurang
lebih setengah meter. Sebesar itu alat tulisnya, tapi yang ditulis justeru huruf kecil yang
disebut gaya "Siau Kay". Saat itu dia baru habis menulis seluruh isi kitab Lam-hoa-keng.
Sampai huruf terakhir, sampai goresan pensil penghabisan, dia tetap menulis dengan tekun
dan sungguh-sungguh, gerak pensilnya juga tidak kacau sedikitpun.
Di tengah kerimbunan pohon terdengar suara tonggeret yang bising memecahkan kesunyian.
Perlahan-lahan anak muda itu menaruh pensilnya, mendadak ia menengadah, katanya dengan
tertawa terhadap orang tua tadi: "Pertemuan Hong-ti tidak dikesampingkan oleh setiap
Enghiong (Pahlawan, Ksatria) di dunia ini, masa ayah benar-benar tidak mau hadir ?"
"Setelah Lam-hoa-keng selesai kau tulis barulah kau bertanya, dalam hal kesabaran jelas kau
sudah ada kemajuan", ucap si kakek dengan tersenyum. "Tapi pertanyaanmu ini mestinya
tidak perlu kau ajukan, masa kau masih memandang penting sebutan "Enghiong" segala ?"
Pemuda itu mendongak, memandang sekejap pucuk pohon, lalu menunduk pula mengiakan
petuah sang ayah. Rupanya bukan tanpa sebab pemuda itu mendongak dan memandang pucuk
pohon. Terdengar suara kresekan daun pohon yang pelahan, mendadak sesosok bayangan
manusia melayang turun seringan burung hinggap di tanah.
Kiranya pendatang ini adalah seorang pendek kecil cekatan berbaju hitam, di balik
pakaiannya yang hitam ketat ringkas itu tampak otot daging yang kekar, sekujur badan penuh
2
sikap kewaspadaan, seolah-olah anak panah yang sudah siap pasang pada busurnya, sekali
tersentuh segera akan menjepret.
Namun kedua orang tua dan muda tadi tetap tenang-tenang saja, dengan tak acuh mereka
menandang sekejap tamu tak diundang ini, juga tanpa bicara dan tidak menegur, seakan-akan
si baju hitam memang sejak tadi sudah berdiri di situ.
Mendadak si baju hitam bergelak tertawa, serunya; "Sungguh hebat Gak-san-lojin Ji Hong-ho,
ternyata benar tetap tenang biarpun gunung Thaysan gugur di depannya, tak tersangka
Kongcu juga setenang ini, baru sekarang aku Hek-kap-cu (si merpati hitam) menyaksikan
kehebatannya" Sambil berbicara iapun memberi hormat, sikapnya tampak sangat kagum dan
sangat hormat.
"O. kiranya Hek-tayhiap dari ketujuh tokoh ahli Ginkang," ucap si kakek, Ji Hong ho, dengan
tertawa.
"Mestinya Cianpwe tahu, diantara Bu lim jit kim (tujuh unggas dunia persilatan), aku si Hekkap
ca inilah yang paling tidak becus." demikian kata si merpati hitam. "Aku tidak berani
menjadi bandit, juga tidak sanggup menjadi tukang kawal. Terpaksa kucari sesuap nasi
dengan kemampuan dan sifatku yang bisa menjaga rahasia untuk mengantarkan surat kepada
cianpwe.
Ji Hong-ho dengan gembira berkata: "Saudara Hek tidak mencari nafkah dengan cara yang
tidak jujur dan ini benar-benar kuhormati. Tapi aku menduga-duga, sahabat lama manakah
yang meminta saudara Hek untuk mengantarkan surat?"
Hek Kap-cu menjawab: "Kalau orang itu tidak mau mengungkapkan jati dirinya, aku
berkewajiban untuk menjaga kerahasiaan jati dirinya. Itu adalah kode etik pekerjaanku, aku
juga tahu bahwa cianpwe bisa memaksaku untuk mengungkapkan jati dirinya. Tapi aku juga
tahu bahwa surat ini mengandung suatu rahasia penting dari cianpwe". Sesudah mengucapkan
kata-kata tersebut, dia mengeluarkan sebuah surat dan memberikannya kepada Ji Hong-ho.
Ji Hong-ho ragu-ragu sejenak dan kemudian ia menyerahkan surat itu kembali kepada Hek
Kap-cu dan berkata: "Tolong, bisakah kau membuka dan membaca surat ini keras-keras
untukku?"
Hek Kap-cu berkata: "Tapi, isi surat ini mengandung rahasia cianpwe...."
Ji Hong-ho tersenyum: "Oleh karena itu, aku ingin anda membacakannya untukku karena aku
sama sekali tidak mempunyai rahasia. Aku tidak takut siapapun mengetahui isi surat ini".
Hek Kap-cu sangat terkesan dan sambil tersenyum: "Tidak ada rahasia sama sekali! Hanya
Cianpwe yang bisa mengucapkan kata-kata ini" Hek Kap-cu membuka sampul surat itu dan
menemukan lembaran lembaran suratnya. Lembaran-lembaran surat itu saling lengket satu
sama lain dan Hek kap-cu membasahi jari-jarinya dengan ludah dan memisahkan lembaranlembaran
suratnya. Dia mulai membaca surat itu keras-keras: "Yang terhormat saudara....”.
Tiba-tiba Hek Kap-cu jatuh dan kejang-kejang. Ji Hong-ho sangat terkejut dan segera
bergegas menolongnya. Sesudah memeriksa denyut nadinya, ia segera tahu bahwa Hek Kapcu
tidak akan bertahan lebih lama lagi, dengan suara keras ia bertanya: "Sesungguhnya siapa
yang menyuruh kau menyampaikan surat ini kesini ? Siapa? Lekas katakan!"
3
Mulut Hek-kap-ca terpentang, tapi tak dapat mengucapkan sepatah katapun, air mukanya dari
hijau berubah pucat, dari pucat berubah merah, dari merah lantas berubah menjadi hitam,
hanya sekejap saja air mukanya sudah berubah beberapa warna. Kulit daging mukanya juga
mendadak lenyap secara ajaib, seraut muka yang sesaat sebelumnya masih segar dan sehat,
kini mendadak berubah menjadi sebuah tengkorak yang hitam.
"Racun! Lihay amat racun ini !" seru pemuda tadi dengan melenggong.
Perlahan Ji Hong-ho berdiri, ucapnya sambil menghela napas sedih: "Sebenarnya akulah yang
hendak dicelakai dengan surat berbisa ini, tak tersangka dia yang menjadi korban. Meski
bukan aku yang membunuh dia, tapi jelas dia mati lantaran diriku ... "
Dilihatnya kulit daging sekujur badan Hek-kap- cu juga muali menyusut dan hilang dalam
waktu singkat, dari bagian bajunya menggelinding keluar beberapa potong biji emas.
Mungkin inilah imbalan bagi jasanya menyampaikan surat ini, tapi juga imbalan bagi
jiwanya.
Melihat beberapa potong emas itu, mendadak Ji Hong-ho malah menjemput kembali surat
tadi. Si pemuda terkesiap, serunya cepat: "He, akan diapakan, ayah?!"
Ji Hong-ho tampak sudah tenang kembali, katanya dengan perlahan: "Orang ini mati lantaran
diriku, betapapun harus kubalas budinya. Apalagi, begini keji cara orang yang hendak
membunuh diriku ini, kalau cara yang satu gagal, tentu dia nasih ada tipu-daya yang kedua.
Jika hal ini sampai terjadi maka hidupku tentu akan menyesal dan merasa berdosa, kan lebih
baik akupun mati agar hatiku bisa tenteram"
"Tapi ... tapi, ayah tidak ingin mencari tahu sesungguhnya siapa yang hendak mencelakai
engkau?. Selama hidup ayah tiada bermusuhan dengan siapapun, sungguh aneh, siapakah
gerangan ..."
Belum habis ucapan pemuda tadi, se konyong konyong terdengar suara "Blang" yang keras,
beberapa potong emas tadi mendadak meledak, semua benda seperti pot air, kertas tulis,
tatakan tinta dan sebagainya yang berada diatas meja pendek tadi sama tergetar dan jatuh ke
tanah.
Ji Hong-ho sendiri tetap berdiri ditempatnya tanpa bergerak, padahal sebenarnya dia sudah
melompat mundur beberapa meter jauhnya untuk kemudian lantas melayang balik ke tempat
semula. Sorot matanya yang semula tenang-tenang itu kini mengandung rasa marah, ucapnya
sambul mengepal tangannya: "Keji benar orang ini, ternyata di dalam lantakan emas juga
diberi obat peledak, bahkan sudah diperhitungkan saat meledaknya setelah Keh-kap-cu
menyerahkan surat padaku, jelas bukan cuma aku saja yang ingin dibunuhnya, malahan orang
yang menyampaikan surat inipun akan dibinasakan agar tutup mulut untuk selamanya."
Air muka pemuda tadi juga berubah, katanya dengan gemas: "Orang macam apakah yang
berhati keji dan juga perencana yang rapi ini?. Jika orang ini tidak ditumpas, bukankah dunia
persilatan akan ... "
"Sebenarnya hal inipun tak dapat menyalahkan dia." Ji Hong-ho memotong ucapan pemuda
itu dengan tersenyum pedih. "Jika secermat ini dia berusaha membunuh diriku, mungkin
karena pernah ku berbuat sesuatu kesalahan, makanya dia sedemikian benci padaku."
4
Air mata si pemuda tampak berlinang-linang di kelopak matanya, katanya dengan suara agak
gemetar: "Tapi engkau orang tua masakah pernah berbuat kesalahan? Engkau sedemikian
baik terhadap siapapun juga, tapi toh ada orang yang berusaha membunuhmu, dimanakah
letak keadilan dunia Kangouw ini ?!"
"Pwe-giok." ucap Ji Hong-ho dengan tenang "Jangan terburu napsu, jangan kau bilang dunia
Kangouw sudah tiada keadilan lagi. Hidup seseorang betapapun sukar terhindar dari berbuat
salah, akupun tidak terkecuali. Hanya saja ... hanya saja seketika aku tidak ingat kesalahan
apa yang pernah kulakukan. "
Pada saat itulah mendadak dikejauhan sana ada suara orang membentak: "Di mana Ji Hongho?...
Di mana ji Hong-ho?... "
Susul menusul suara bentakan itu dan makin lama makin mendekat, ditangah suara bentakan
itu terseling pula suara jeritan kaget dan takut serta caci maki, lalu ada suara pintu didobrak
dan jatuhnya benda berat, suara itu terus berkumandang, jelas para centeng keluarga Ji tidak
mampu merintangi masuknya penyatron.
"Orang macam apakah berani menerjang kemari?" kata si pemuda yang bernama Ji Pwe-giok
itu dengan rada terkesiap.
Tapi Ji Hong-ho tetap tenang-tenang saja, ucapnya dengan perlahan: "Sebenarnya mereka
tidak perlu merintangi pengunjung, apalagi tamunya sudah masuk rumah, buat apa kau repot
keluar menyambutnya... " mendadak ia berpaling kesana dan dengan tertawa: "Silakan kalian
masuk saja."
Benar juga, melalui pintu bundar taman sana lantas menerobos masuk lima orang lelaki kekar
berbaju sulam yang mentereng, semuanya tampak garang dengan wajah napsu membunuh,
tapi demi nampak ji hong-ho dan puteranya menyambut kedatangan mereka dengan tenangtanang
saja, mereka jadi melengak sendiri.
Lelaki kekar pertama yang berewok dan bergolok tebal bergalang sembilan lantas membentak
dengan bengas; "Ji-Hong-ho, keparat kau, akhirnya kutemukan juga kau!" Sambil meraung ia
ayun goloknya yang bergelang hingga berbunyi gemerincing itu, dengan kalap Ji Hong-ho
dibacoknya. Daun pepohonan sama tergetar bertebaran oleh guncangan angin bacokan golok
yang keras itu, tapi Ji Hong-ho tetap berdiri tenang tanpa bergerak seakan-akan sengaja
menantikan bacokan golok lawan. Tanpa mengangkat kepala, mendadak pemuda Ji Pwe-giok
menjentikkan jarinya pelahan, terdengar suara "crit" sekali, menyusul lantas berbunyi "Trang"
golok tebal si berewok sudah terjatuh ke tanah. Setengah badan lelaki berewok itu merasa
kaku kesemutan, telingapun mendengung karena suara gataran tadi, mukanya menjadi pucat,
ia pandang anak muda tadi dengan melenggong, tidak berani maju dan tidak berani mundur.
Perlahan lahan Ji Pwe giok mendekati orang itu, tapi mendadak Ji Hong-ho membentak
tertahan: "Jangan melukai orang, Pwe-giok!"
Karena itu, Ji Pwe-giok lantas berhenti dan tidak melangkah maju pula. Si berewok lantas
bergelak tertawa, teriaknya: "Betul, Ji Hong-ho suka menganggap dirinya seorang arif
bijaksana, selamanya tidak mau melukai orang. Tapi biarpun kau tidak mau melukai aku, aku
justeru ingin membinasakan kau. Bilamana kau berani mengganggu seujung rambutku, itu
berarti kau adalah manusia munafik yang sok jual nama kosong !"
5
Dia ternyata memutar balikkan persoalan dan menjadikan alasan tidak masuk diakal itu untuk
menyudutkan Ji Hong-ho, sungguh manusia yang tidak tahu malu dan berhati keji.
Namun Ji Hong-ho tetap tenang saja dan menghadapinya dengan tak acuh, ia malah
tersenyum dan berkata: "Jika demikian, jadi apapun juga kalian pasti akan mencabut
nyawaku?!"
"Ucapanmu memang tepat!" teriak si berewok sambil menyeringai. Mendadak ia jatuhkan diri
ke tanah dan terus menggelinding maju, tahu-tahu goloknya yang jatuh tadi sudah direbutnya
kembali, dengan golok terhunus ia lantas membentak: "Hayo saudaraku, tunggu kapan lagi!"
Di tengah bentakannya, serentak lima macam senjata, yaitu golok bergelang sembilan, pedang
pencabut nyawa, gaetan berkepala harimau, Boan-koan-pit dan tumbak berantai, terus
menyerang.
Pada saat itu juga mendadak terdengar seorang tertawa panjang dan berseru: "Haha, melulu
kalian inipun berani menyerang Ji-locianpwe !?"
Menyusul suara itu sesosok bayangan orang melayang turun dari puncak pohon dan
menerjang ke tengah hujan senjata tadi. Terdengar suara gemerantang, golok bergelang tadi
yang pertama tama mencelat dan menancap di batang pohon sana. Habis itu "krek", pedang
juga patah menjadi dua. Lalu Boan-koan-pit mabur ke udara, gaetan berbalik merobek perut
kawan sendiri yang berpedang tadi, sedangkan rantai tombak membelit leher orang yang main
gaetan, seketika orang itu roboh terguling.
Orang ini muncul mendadak, gerak tubuhnya juga sangat cepat, jurus serangannya bahkan
secepat kilat dan sukar ditahan. Keruan Ji Hong-ho dan Ji Pwe-giok melengak.
Baru sekarang mereka dapat melihat jelas pendatang ini adalah seorang pemuda cakap
bertubuh jangkung dan berbaju sutera ungu tipis, sinar matanya mencorong tajam, gagah
berwibawa, cuma mukanya pucat lesi, dingin kaku tanpa sesuatu tanda perasaan apapun
sehingga kelihatannya rada menyeramkan.
Dia terus menyembah kepada Ji Hong-ho, katanya dengan sangat hormat: "Di tengah
perjalanan hamba sudah mendengar berita maksud kelima orang ini akan membikin celaka
Cianpwe, maka kukuntit kemari. Setelah menyaksikan Cianpwe memperlakukan mereka
sedemikian baik, tapi mereka malah tidak tahu diri, terdorong oleh rasa penasaran sehingga
cara turun tangan hamba terlalu keras dan membinasakan mereka di kediaman Cianpwe,
untuk ini kumohon Cianpwe sudi memberi ampun."
Dia telah berjasa membantu Ji Hong-ho, tapi dia malah minta maaf dan mohon ampun.
Ji Hong-ho menghela napas dan berkata: "Apa yang anda lakukan ini adalah karena membela
diriku, permintaan ampun ini harap jangan disebut lagi. Tentang kelima orang ini ... Ai, aku
sendiri tidak tahu bilakah pernah bermusuhan dengan mereka sehingga sekarang jiwa mereka
harus melayang."
Setelah terdiam sejenak, ia tertawa sambil membangunkan pemuda baju ungu, katanya:
"Anda masih muda dan cakap, alangkah gembira ku bila anda ini putera seorang sahabatku."
6
Pemuda itu tetap tidak mau bangun, ia masih mendekam di atas tanah dan berkata: "Meski
Cianpwe tidak kenal hamba, tapi jiwa hamba sesungguhnya adalah hadiah Cianpwe. Terlalu
banyak kebajikan yang di sebar oleh Cianpwe, tentu Cianpwe sudah melupakan anak kecil
yang pernah mendapat perlindungan dahulu."
Ji Hong-ho menggandeng tangan pemuda itu dan tarik bangun, katanya dengan tertawa: "Tapi
anak itu sekarang sudah dewasa, bahkan telah menyelamatkan jiwaku, tampaknya Thian
memang maha adil... " sampai di sini, sekonyong-konyong ia menggentak tangannya sehingga
pemuda itu terlempar jauh kesana.
Ji Hong-ho sendiripun sempoyongan, katanya dengan suara gemetar: "Kau... kau siapa
sesungguhnya?"
Pemuda baju ungu sempat berjumpalitan di udara, lalu turun ke bawah dengan ringan,
mendadak ia menengadah dan terbahak bahak, katanya: "Ji-loji, telapak tanganmu sudah
terkena To-hon-bu-ceng-ciam (Jarum pencabut nyawa tanpa kenal ampun), biarpun malaikat
dewata juga tidak sanggup menyelamatkan kau, jangan harap lagi kau akan mengetahui siapa
diriku ini ..."
Dalam pada itu Ji Pwe-giok telah melompat ke samping ayahnya, dilihatnya kedua tangan
sang ayah sudah membengkak satu kali lebih besar hanya dalam sekejap itu warnanya hitam
pekat, panas seperti dibakar. Waktu ia pandang wajah orang tua ini, tubuhnya yang gemetar
sudah tidak kuat berdiri lagi, mulutnya terkancing rapat dan tidak mampu bicara.
Sedih dan gusar tidak kepalang hati Ji Pwe-giok, teriaknya dengan suara parau: "Sebenarnya
ada permusuhan apa antara kau dengan kami ? Mengapa kau turun tangan sekeji ini ?"
"Permusuhan? Haha, selamanya aku tidak ada permusuhan apapun dengan orang she Ji,"
jawab pemuda baju ungu dengan tertawa. "Tujuanku tiada lain hanya ingin mencabut nyawa
kalian saja."
Sambil bicara dan tertawa, air mukanya tetap dingin dan kaku tanpa emosi apapun.
Ji Pwe giok memandang jenazah sang ayah yang menggeletak di tanah itu, ucapnya pula
dengan menggertak gigi: "Jadi kau yang mengatur semua rencana keji ini ?"
"Betul." jawab pemuda baju ungu, Demi mencabut nyawa kalian ayah dan anak, yang
mengiringi kematian kalian sudah lebih daripada enam orang ini ..."
Mendadak ia bersiul, serentak dari luar pagar tembok melompat masuk likuran lelaki berbaju
hitam, semuanya bersenjata pedang atau golok, setiap orang tampak gesit dan tangkas,
tampaknya likuran orang ini adalah jago silat pilihan, semuanya memakai kedok muka dengan
sepotong kain sutera ungu, nyata mereka sengaja menyembunyikan muka aslinya.
"Orang she Ji." demikian si pemuda baju ungu tadi berseru pula dengan tertawa, "Kukira lebih
baik kau menyerah dan terima nasib saja. Yang kami takutkan adalah Kim-i-bun-ciang
(Pukulan lunak sutera emas) andalan Ji-loji yang tiada tandingannya di dunia ini, sekarang Jiloji
sudah mampus, lalu apa yang dapat kau lakukan?"
7
Sekilas pandang saja Ji Pwe-giok sudah mengetahui kawanan penyatron ini adalah jago-jago
kelas satu seluruhnya, hatinya tidak kepalang sedihnya, juga gusar tak terkatakan, dengan
sendirinya juga sangat terkejut.
Bilamana orang lain, mungkin sudah panik dan bingung, jika tidak patah semangat dan
ketakutan tentu menjadi nekat dan mengadu jiwa dengan musuh. Tapi Ji Pwe-giok memang
pemuda yang lain daripada yang lain, mendadak ia membalik badan bagian bajunya
diringkaskan pada pinggang lalu panggul tubuh sang ayah, menyusul pensil besar bergagang
besi yang dibuatnya menulis tadi diraihnya.
Dalam pada itu kawanan lelaki berbaju hitam tadi sudah mendesak maju. melihat pemuda she
Ji ini masih tetap berdiri di situ dengan tenang dan mantap, mau tak mau mereka jadi
melengak. Habis itu baru mereka mengangkat senjata dan menerjang maju.
Cahaya senjata bertaburan, berpuluh golok dan pedang menyerang serentak, ada yang
membacok, ada yang menusuk, ada yang menebas, semuanya ditujukan satu sasaran,
semuanya teratur sedikitpun tiada terdengar benturan senjata di antara teman sendiri.
Akan tetapi mendadak angin puyuh berjangkit, Jian-kin-thi-pit atau pencil besi seribu kati
senjata khas Ji pwe-giok, menyapu dengan keras, terdengar suara gemerantang nyaring, golok
dan pedang musuh sama bengkok dan patah, ada pula yang terlepas dari tangan.
Belasan orang tergetar mundur dengan bahu pegal dan tangan linu sehingga sukar diangkat
untuk seketika. Sungguh mimpipun mereka tidak menyangka pemuda yang kelihatannya
lemah lembut dan bermuka putih cakap ini ternyata memiliki tenaga sakti sebesar ini.
Namun orang-orang inipun bukan jago kelas kambing, meski terkejut mereka tidak menjadi
gentar, setelah belasan orang tergetar mundur segera belasan orang menerjang maju pula.
Cepat Jian-kian-pit Ji Pwe-giok berputar lagi.
Sekali ini tiada seorangpun yang berani keras lawan keras, mereka terus berputar dan mencari
peluang untuk menyerang. Seketika terdengar angin menderu-deru sehingga daun pohon sama
rontok berhamburan.
Likuran orang itu ternyata dapat bekerja sama dengan rapat, sebagian dari kanan dan sebagian
lagi dari kiri, sebagian mundur, bagian lain lantas ganti maju. Namun sebegitu jauh tiada
seorangpun yang mampu menembus lingkaran pertahanan Ji Pwe-giok.
Cuma, meski jian-kian-thi-pit andalannya ini sangat lihay, namun bobotnya terlalu berat dan
juga agak panjang, kurang lincah untuk digunakan seperti pedang biasa, tenaga yang harus
dikeluarkan juga lebih banyak. Maka setelah belasan jurus, dahi Ji Pwe-giok yang putih bersih
itu mulai dipenuhi butiran keringat.
"Bagus, beginilah caranya." seru si pemuda baju ungu tadi dengan tertawa. "Kuras dulu
tenaganya baru nanti bekuk dia. Kalau tikus sudah masuk kaleng, masakan dia mampu
kabur?"
Wajah yang kelihatan kaku dingin tanpa emosi itu jelas lantaran dia memakai topeng, tapi dari
suaranya dapat diduga usianya memang belum tua.
8
Meski Ji Pwe-giok sedang menghadapi kerubutan orang-orang itu, namun pandangannya
tidak pernah lalai memperhatikan pemuda yang keji ini, lebih-lebih Bu-ceng-ciam yang siap
digenggam pemuda itu.
Didengarnya pernapasan ayah yang berada digendongannya itu semakin lemah sehingga
akhirnya hampir tak terdengar lagi, sedangkan musuh tangguh di depan mata semakin
mendesak, bahkan jarum berbisa yang siap di tangannya itu kelihatannya segera akan
ditaburkan.
Hancur hati Pwe giok saking sedihnya, tenaga pun mulai habis, ia menjadi nekat, dia tahu bila
tidak segera berusaha meloloskan diri, mungkin selanjutnya tidak dapat lagi mengetahui asal
usul dan maksud tujuan sesungguhnya pihak musuh, keadaan memaksanya harus segera
keluar.
Karena itulah, mendadak ia meraung murka, Jian-kin-pit menyapu dengan gerakan "Hengsau-
jian-kun" atau menyapu ribuan prajurit, ujung pensil itu terus menjodoh ke dada seorang
lelaki yang berada disamping kanan.
Kejut orang itu tak terhingga, cepat ia menjatuhkan diri dan menggelinding ke sana, saking
kerasnya tikaman pensil Ji Pwe-giok itu hingga ujung pensil langsung menancap di tanah, tapi
dengan tenaga pantulan tikaman itu tubuh Ji Pwe-giok juga lantas melayang lewat di atas
kepala orang banyak, melewati pucuk pohon, laksana seekor burung raksasa ia terus terbang
keluar.
Bahwa Jian-kin-thi-pit itu masih mendatangkan daya guna sebagus itu, tentu saja tiada pernah
terpikirkan oleh orang-orang itu.
"Kejar!" segera si pemuda baju ungu berteriak. Sekali totol kakinya, secepat anak panah
terlepas dari busurnya iapun melayang keluar.
Namun dia agak ketinggalan, apalagi Ginkangnya memang juga selisih jauh dibandingkan Ji
Pwe giok. Lebih-lebih daya pantulan tikaman pensilnya itu. Ginkang Ji Pwe-giok tiada
ubahnya bertambah satu kali lipat.
Ketika pemuda baju ungu melayang keluar pagar tembok taman, di luar hanya tampak
pepohonan Yang-liu melambai pelahan tertiup angin, air sungai mengalir berkilau tertimpa
sang surya.
Seekor anjing kecil berlari ketakutan ke seberang jembatan sana dengan mencawat ekor.
Sebenarnya Ji Pwe-giok belum kabur pergi, dia justru bersembunyi di tengah-tengah semaksemak
rumput di bawah jembatan.
Karena menggendong ayahnya, sisa tenaga Pwe-giok tidak mengijinkan dia berlari lagi,
terpaksa ia menyerempet bahaya dan mengadu kecerdasan, ia gunakan jiwa sendiri untuk
bertaruh dengan pihak musuh.
Didengarnya pemuda baju ungu tadi sedang membentak perlahan: "Kejar, bagi empat jurusan,
lekas!"
9
Terdengar seorang berkata: "Jangan-jangan di bawah jembatan ..."
Tapi dengan gusar si pemuda baju ungu memotong: "orang she Ji bukanlah orang bodoh,
masakan dia menunggu kematian di bawah jembatan ?"
Menyusul lantas terdengar suara berkibarnya kain baju, satu persatu orang-orang itu melayang
lewat jembatan. "plung", anjing kecil tadi melengking terdepak jatuh ke sungai. Mungkin si
pemuda baju ungu tadi menggunakan anjing sialan itu sebagai pelampias marahnya.
Setelah riak air tenang kembali, suasana sekeliling lantas sunyi senyap pula, hati JI Pwe giok
juga merasa lega. Namun begitu ia tetap meringkuk di semak-semak itu dan tidak berani
bergerak.
Dia benar-benar pemuda yang sabar, ia tunggu sampai sekian lama, setelah yakin benar-benar
rombongan orang tadi tidak kembali lagi barulah ia melompat keluar, tapi ia tidak menuju ke
tempat lain, sebaliknya langsung berlari pulang ke rumahnya sendiri.
Kalau orang lain memperhitungkan dia pasti tidak berani pulang ke rumah, maka dia justeru
sengaja balik lagi ke situ.
Halaman rumah tetap sunyi senyap dengan pepohonan yang rimbun, seperti tidak pernah
terjadi apapun. Hanya ke enam sosok mayat itu yang mengingatkan dia pada kejadian sedih
tadi.
Pwe-giok langsung berlari masuk ke ruangan dalam, ia baringkan ayahnya di tempat tidur,
lalu dari almari dikeluarkannya sebotol, seluruhnya ia tuangkan ke mulutnya.
Obat mujarab ini adalah buatan khusus orang tua itu dan entah sudah berapa kali
menyelamatkan jiwa manusia, tapi sekarang ternyata tidak sanggup menyelamatkan jiwanya
sendiri. Baru sekarang Ji pwe-giok mengucurkan air mata.
Sinar sang surya menyorot masuk melalui jendela sana, wajah si orang tua kelihatan sudah
hitam, pada dadanya masih tersisa hembusan napasnya yang terakhir, dengan lamat-lamat ia
membuka matanya dan berkata dengan lemah "Apa... apa salahku?... kesalahan apa yang
kulakukan ?...."
Dengan tubuhnya Pwe-giok menghalangi sinar matahari yang menyilaukan pandangan orang
tua itu, ucapnya dengan air mata meleleh: "Ayah, engkau tidak pernah berbuat salah !"
Orang tua itu seperti mau tersenyum, namun senyumannya sudah sukar lagi menghias
mukanya yang mulai kaku, hanya ujung mulutnya saja berkerut sedikit, lalu katanya pula
dengan lemah, satu kata demi satu kata: "Aku tidak salah. Kau harus meniru aku, jangan lupa
mengalah, sabar, mengalah, sabar ..." makin lemah suaranya hingga akhirnya tak terdengar
lagi.
Pwe-giok berlutut lemah di depan pembaringan tanpa bergerak, air mata masih terus
bercucuran, sampai lama dan lama sekali air matanya belum lagi kering.
Sinar matahari sudah tad ada lagi, di dalam kamar mulai gelap gulita.
10
Di tengah kegelapan dan kesunyian itu, sekonyong-konyong terdengar suara langkah orang.
Langkah kaki orang ini sangat pelahan dan berat, setiap langkahnya seakan akan menginjak
remuk hati orang, suara tindakan ini berkumandang dari serambi samping sana dan akhirnya
sampai di depan pintu.
Pelahan-lahan pintu kamar terpentang, didorong orang. Pwe-giok masih tetap berlutut dalam
kegelapan tanpa bergerak.
Sesosok bayangan melangkah masuk ke dalam kamar, setindak demi setindak, seperti badan
halus, begitu lambat jalannya, padahal perawakannya kelihatan langsing kecil, tapi
langkahnya sedemikian beratnya seakan-akan menyeret benda beribu kati.
Akhirnya Pwe-giok berdiri.
Orang itu terkejut dan melompat mundur keluar kamar, lalu tegurnya: "Sia ... siapa kau ?"
Seyogyanya yang bertanya adalah Ji Pwe-giok, tapi dia malah bertanya lebih dulu, namun
Pwe-giok hanya memandangnya dengan tenang, samar-samar kelihatan pinggang orang yang
ramping dan rambutnya yang panjang terurai, jelas seorang perempuan.
Di luar dugaan, mendadak perempuan itu berteriak kalap: "Bangsat keparat, keji amat caramu,
berani kau ... tetap tinggal di sini?!". Segera ia mencabut pedangnya, sinar perak gemerdep, ia
menubruk maju sekaligus melancarkan tujuh kali tusukan.
Langkahnya tadi begitu berat, tapi sekarang gerak pedangnya sedemikian enteng dan gesit,
cepat dan ganas pula.
Terpaksa Pwe-giok berkelit kian kemari untuk menghindarkan tujuh kali serangan maut itu,
lalu ucapnya dengan suara tertahan: "Leng-hoa-kiam ?"
Perempuan tadi melengak, ia lantas menjengek: "Keparat, kaupun kenal kebesaran ilmu
pedang keluarga Lim? Kau ..."
"Aku Ji Pwe-giok!" kata anak muda itu dengan menghela napas dan menyurut mundur dua
tiga langkah pula.
Kembali perempuan tadi melenggong dan menarik pedangnya, akhirnya pedang jatuh ke
lantai, ucapnya dengan menunduk: "Ji... Ji-toako, apakah ... apakah paman..."
Sambil bicara sorot matanya mengikuti pandangan Pwe-giok ke arah tempat tidur, dan bicara
sampai di sini agaknya samar-samar ia dapat melihat siapa yang berbaring di situ, tanpa terasa
tubuhnya bergetar dan menggigil, akhirnya ia menjatuhkan diri ke lantai dan menangis: "O,
aku tidak percaya ... Sungguh tidak percaya..."
Pwe-giok tetap memandangnya dengan tenang. Setelah menangis si nona mulai serak barulah
ia berkata mendadak: "Sudahlah, kau sudah cukup menangis, sekarang bicaralah kau."
11
Tapi Pwe-giok masih tidak bersuara, menyalakan lampu sehingga kelihatan baju putih tanda
berkabung yang dipakai si nona. Baru sekarang hati Pwe-giok tergetar, serunya: "Paman
Lim... apakah paman Lim... "
"Ya, enam hari yang lalu ayahku telah dicelakai orang!" kata si nona dengan suara parau.
"Siap... siapa yang melakukannya sekeji itu ?" tanya Pwe-giok dengan muka pucat.
"En... entah, aku... aku tidak tahu..."
Mendadak si nona menoleh, di bawah cahaya lampu kelihatan wajahnya yang cantik dan juga
agak kurus dan lesu, matanya merah bendul karena terlalu banyak menangis, meski penuh
rasa sedih, tapi masih tetap terbelalak memandang Pwe-giok, sorot matanya menampilkan
keteguhan hatinya.
"Apakah kau heran?" tanyanya sambil melototi Pwe-giok. "Ayahku terbunuh, tapi aku tidak
tahu siapa pembunuhnya. Waktu itu aku sedang keluar, sepulangku di rumah, jenazah
ayahpun sudah dingin. Di rumahku sekarang tiada lagi terdapat seorang hidup"
Sungguh tak terbayangkan oleh Pwe-giok bahwa anak perempuan yang kelihatan lemah
lembut ini setelah mengalami peristiwa menyedihkan itu masih sanggup melakukan
perjalanan sejauh ini ke rumahnya sini dan sekarang masih dapat bicara dengan jelas.
Nyata di dalam tubuh yang lemah itu terdapat sebuah hati yang teguh dan lebih keras daripada
baja. Mau tak mau Pwe-giok menghela napas dan menunduk, ia tak tahu apa yang harus
diucapkannya.
Si nona lantas menyambung pula: "Apakah kau heran bahwa aku dapat menyatakan aku
sudah cukup menangis?. Sebab aku memang sudah kenyang menangis, aku tidak ingin
menangis lagi, sedikitnya sudah lima kali aku menangis sepanjang perjalanan"
"Lima kali ?" Pwe-giok menegas.
"Ya, lima kali." kata si nona, "Kecuali ayahmu dan ayahku, ada pula paman Ong dari Thayoh,
paman Sim dari Ih-hin-sia, paman Sebun dari Mo-san dan ..."
"Merekapun menjadi korban keganasan?" sela Pwe-giok sebelum selesai uraian si nona.
Nona itu tidak menjawab, hanya pandangannya beralih ke cahaya lampu.
"Paman Ong dari Thay-oh, si gunting emas, terkenal tiada tandingan selama hidupnya, Paman
Sim dari Ih-hin, si tombak perak berkuda putih, pada waktu mudanya pernah menyapu rata
seluruh Kanglam tanpa tandingan. Paman Sebun dari Mo-san terkenal dengan Lwekangnya
yang maha lihay masa merekapun dicelakai orang?"
"Dan bagaimana pula dengan Leng-hoa-sin-kiam dan Kim-si-sian-ciang?" tukas si nona
dengan beringas.
"Betul..." kata Pwe-giok dengan menunduk muram. "Jangan-jangan mereka terbunuh oleh
orang yang sama? Lalu siapakah gerangan orang ini? ..."
12
"Cuma, aku sendiri tidak melihat jenazah para paman itu." kata si nona dari keluarga Lim itu.
Mendadak Pwe-giok mengangkat kepala dan bertanya: "Kalau tidak melihat jenazahnya,
darimana kau tahu mereka sudah meninggal ?"
"Kosong melompong tiada terdapat seorangpun... rumah mereka sama sekali tidak kelihatan
sesosok mayat pun, tapi juga tidak nampak seorang hidup, rumah mereka seperti kuburan
belaka, kosong dan hening... Rumahmu dan rumahku juga demikian."
Pwe-giok terdiam sejenak, gumamnya kemudian: "Rumah?... kita tidak punya rumah lagi."
Si nona menatap Pwe-giok dengan sorot mata tajam, tanyanya mendadak: "Dan kau akan
pergi kemana dan apa yang akan kau lakukan?"
Pelahan Pwe-giok menjawab: "Jelas, semua ini adalah suatu intrik yang maha besar dan sulit
dipecahkan. Sekarang aku tak dapat menerkanya, tapi pada suatu hari pasti dapat kuselidiki
dengan baik.
"Apabila kau adalah kau adalah biang keladi dari intrik keji ini, tindakan apa yang akan kau
lakukan atas diriku?"
"babat rumput sampai akar-akarnya!" jawab si nona tegas.
"Betul, dan bagaimana jika kau menjadi aku ?"
"Lari... tapi lari kemana?"
"Dimana terasa aman, kesanalah ku pergi."
"Aman? ... Sedangkan siapa musuh kita saja tidak kita ketahui, seumpama dia berada di
sampingmu juga tidak kau ketahui, di seluruh dunia ini, dimana ada tempat aman bagimu?"
"Ada, ada suatu tempat"
"Mana?" tanya si nona.
"Hong-ti!" jawab Pwe-giok.
"Hong-ti?" si nona menegas.
"Padahal setiap tokoh Bu-lim saat ini akan pergi kesana..."
"Justeru lantaran para pahlawan akan pergi kesana, maka ku anggap disanalah tempat yang
paling aman. Betapapun besar nyali jahanam itu tentu juga tidak berani mengganas di sana."
Si nona mengangguk pelahan, ucapnya: "Bagus, dalam saat begini engkau masih dapat
berpikir secermat ini, ku yakin engkau tak nanti dicelakai musuh. Baiklah lekas engkau
berangkat."
13
"Dan kau?..."
"Kau tidak perlu mengurus diriku!" seru si nona mendadak, ia membalik tubuh dan
melangkah keluar.
Pwe-giok tidak merintanginya, ia hanya mengikuti di belakangnya dengan diam-diam,
sekeluarnya di pintu, mendadak kaki si nona menjadi lemas dan tubuh akan ambruk, namun
Pwe-giok keburu memapahnya dari belakang, katanya sambil menghela napas: "Terlalu
banyak penderitaanmu, kaupun terlalu lelah, lebih baik istirahatlah dulu."
Air mata kelihatan mengembeng pula di kelopak mata si nona, ia menggigit bibir, katanya:
"Untuk apa kau sengaja berlagak memperhatikan diriku, jauh-jauh ku datang kemari, tapi...
tapi namaku saja tidak kau tanyakan."
"Aku tidak perlu tanya." jawab Pwe-giok.
Nona itu meronta dan berdiri tegak sambil berseru: "Lepaskan aku... lepaskan... bila kau
menyentuh diriku lagi segera kubunuh kau."
Pwe-giok menghela napas pelahan, katanya: "Meski aku tidak pernah berjumpa dengan kau,
tapi mustahil aku tidak tahu namamu."
Nona itu tersenyum, tapi segera menunduk dan berkata dengan rawan: "Cuma sayang
pertemuan kita ini tidak tepat waktunya..."
Belum habis ucapannya, tiba-tiba terdengar suara langkah orang di luar, suara seorang tua
memanggil dengan pelahan: "Siauya... "
"Siapa itu?" tanya Pwe-giok sambil mengaling di depan si nona.
"Masa suara Ji tiong saja tidak Kongcu kenal lagi?" jawab suara itu.
Pwe-giok menghela napas lega, sebaliknya si nona mencengkeram bahunya dan bertanya:
"Siapa dia?"
"Budak tua yang ikut ayahku sejak kecil," tutur Pwe-giok.
"Tapi … tapi ketika ku masuk ke sini, tiada seorangpun yang kulihat."
Pwe-giok melengak, katanya kemudian: "Mungkin … mungkin dia bersembunyi."
Selagi bicara, tampak seorang tua berbaju hijau dan berambut uban sudah melangkah masuk,
dan setelah memberi hormat ia berkata: "Ong-loyacu dari Leng-cun sedang menunggu di
ruang tamu, beliau ingin bertemu dengan Siauya."
"Apakah Ong-jicek Ong Ih-lau?" tanya Pwe-giok dengan agak melengak.
"Selain beliau siapa lagi?" jawab si budak tua Ji-tiong. Belum lenyap suaranya, dengan
langkah lebar Pwe-giok lantas menuju keluar.
14
Dilihatnya jalan serambi yang berliku-liku sana entah sejak kapan sudah ada lampu yang
dinyalakan, suasana seperti biasa saja. Dengan heran Pwe-giok melangkah ke ruangan tamu,
ternyata di situ juga terang benderang.
Seorang berjubah ungu dan bermuka merah, alis tebal, jenggot panjang, duduk di kursi tamu,
jelas si pendekar Kang-lam yang termasyhur berbudi luhur Ong Ih-lau, Ong jiya.
Pwe-giok berlari maju dan menyembah, ucapnya dengan terguguk: "Jicek, engkau da…
datang terlambat."
"Ai, urusanmu dengan ayahmu, aku ikut tidak enak setelah mendengarnya," ujar Ong Ih-lau
dengan sedih.
"Sungguh malang, siautit……" baru berucap sampai di sini, mendadak Pwe-giok mengangkat
kepalanya dan bertanya dengan keheranan: "Eh. Jicek, da… darimana engkau mengetahui
secepat ini?"
Ong Ih-lau mengelus jenggotnya, dengan tersenyum ia menjawab: "Kan Ji-toako sendiri yang
bilang padaku." Keruan Pwe-giok melenggong, serunya:
"Ayahku? Beliau … Kapan… "
"Tadi dia berjalan keluar dengan marah-marah," demikian tutur Ong Ih-lau dengan tertawa,
"sampai kedatanganku juga tidak begitu dihiraukan. Meski aku tidak tahu apa yang diributkan
kalian ayah dan anak, tapi selama 40 tahun ini memang tidak pernah kulihat dia marah
sebesar ini. Terpaksa kuminta In-sahcekmu mengiringinya keluar berjalan-jalan agar kalian
ayah dan anak tidak ……"
Sampai melongo Pwe-giok mendengar penuturan itu, sampai di sini, ia tidak tahan lagi,
mendadak ia berseru. "Tapi... tapi ayahku tadi telah terbunuh!"
Air muka Ong Ih-lau tampak kurang senang, katanya sambil berkerut kening: "Anak muda
bertengkar dengan orang tua memang lazim terjadi, tapi janganlah engkau mengutuki ayahmu
sendiri."
"Tapi ……tapi ayah be……..benar-benar sudah……."
"Tutup mulut !" bentak Ong Ih-lau.
"Jenazah ayah saat ini terbaring di kamar tidurnya, jika paman tidak percaya, silahkan
memeriksanya sendiri," kata Pwe-giok dengan menggertak gigi.
"Baik, hayo ke sana!" dengan gusar Ong Ih-lau bangkit.
Dengan langkah cepat kedua orang lantas menuju ke belakang. Belum lagi sampai di sana,
dari jauh sudah kelihatan kamar tidur yang tadi gelap itu kini telah terang benderang oleh
nyala lampu.
15
Pwe-giok terus menerjang ke dalam kamar, dilihatnya selimut bantal di tempat tidur teratur
dengan rapi, sedikitpun tiada tanda-tanda pernah disentuh orang, sedangkan jenazah Ji Hongho
sudah tidak kelihatan lagi.
"Di mana jenazah ayahmu?!" tanya Ong Ih-lau dengan suara bengis. Gemetar tubuh Pwegiok,
mana dia sanggup bicara lagi. Mendadak ia membentak terus berlari ke halaman
belakang.
Di bawah cahaya lampu yang bergantungan di serambi sana, terlihat suasana di bawah pohon
yang rindang tadi. Jangankan ke enam mayat, bahkan daun yang rontok oleh getaran
pertarungan sengit tadipun entah sejak kapan sudah disapu bersih.
Jian-koa-pit masih berada di situ, di atas meja pendek itupun masih lengkap tersedia pot air,
tatakan tinta tulis, samar-samar kertas tulis yang berada di meja juga kelihatan adalah kertas
yang digunakannya untuk menulis Lam-hoa-keng tadi.
Kaki dan tangan Pwe-giok terasa dingin, halaman yang sunyi ini bagi pandangannya seolaholah
berubah menjadi neraka yang seram dan penuh misterius. Ong Ih-lau berdiri dengan
berdekap tangan, tanyanya kemudian: "Sekarang apa yang akan kau katakan lagi?"
Pwe-giok seperti orang linglung, jawabnya dengan bingung: "Aku…….aku."
Tiba-tiba dilihatnya ada bayangan orang bergerak di balik semak-semak sana, jelas itulah si
nona jelita tadi. Pwe-giok seperti menemukan bintang penolong, cepat ia memburu maju dan
memegang tangannya sambil berseru: "Tadi nona inipun menyaksikan… Dia adalah putri
Lim-loyacu Leng-hoa-sim-kiam, namanya Lim Tay-ih, dengan mata kepala sendiri iapun
menyaksikan jenazah ayahku."
Dengan sorot mata tajam Ong Ih-lau Tanya si nona dengan suara bengis: "Apa betul kau
melihatnya?"
"Aku…. Aku. Tadi…."
Belum lanjut ucapan si nona, mendadak empat orang muncul dari serambi sana sambil
menyapa dengan tertawa: "Wah, bilakah Ong-jiko datang kemari, sungguh sangat kebetulan."
Orang yang berjalan di depan berjubah sulam dan berkopiah tinggi, pedang panjang
bergantung di pinggangnya, meski rambut bagian pelipis sudah kelihatan putih, tapi sikapnya
masih tetap gagah, tiada tanda-tanda sudah tua.
Melihat ke empat orang ini, seketika Lim Tay-ih berhenti bicara dan tubuh gemetar, terutama
orang yang berjalan paling depan itu, melihat dia, sampai Ji Pwe-giok juga terkejut seperti
melihat setan, teriaknya:" Pa….. paman Lim, bukankah engkau sudah... sudah meninggal?"
Orang pertama ini memang betul Leng-hoa-sin-kiam Lim Soh-koan, ayah Lim Tay-ih,
seorang hartawan dan juga tokoh silat terkemuka di Sohciu. Ketiga orang lainnya adalah Ong
Kim-liong dari Thay oh, Sim Gin-jiang dari Ih-hia, Sebun Hong dari Mo-san, yaitu orangorang
yang dikatakan Lim Tay-ih sudah terbunuh tadi.
16
Belum lagi Lim Soh-koan menjawab teguran Pwe-giok, Sebun Hong lantas bergelak tertawa
dan berkata: "Huh, tiga tahun tidak bertemu, sekali bertemu kau lantas menyumpahi ayah
mertuamu. Ai, kelakarmu ini terasa agak keterlaluan."
Mendadak Pwe-giok membalik tubuh dan memandang Lim Tay-ih tajam-tajam, katanya:
"Kan, kau yang bilang begitu? Mengapa…..mengapa kau berdusta padaku?"
Tay-ih mengangkat kepalanya perlahan-lahan, sorot matanya tenang dan bening, jawabnya
lirih: "Aku yang bilang? Kapan dan apa yang kukatakan?"
Tubuh Pwe-giok bergetar hebat dan menyusul mundur beberapa tindak, dilihatnya kelima
tokoh Bu lim termasyhur itu sedang menatapnya dengan dingin, sorot mata mereka
mengandung rasa kejut, heran dan juga kasihan.
Si budak tua Ji Tiong entah sejak kapan juga sudah berdiri dengan setengah membungkuk
tubuh di samping sana, dengan mengiring tawa ia berkata: "Siauya, seyogyanya engkau
mengundang kelima Loyacu minum dulu ke ruang tamu."
Pwe-giok tidak menjawab, sebaliknya ia melompat ke sana dan mencengkeram pundak budak
tua tiu sambil berteriak: "Coba katakan! Ceritakan apa yang terjadi tadi."
Budak tua itu tampak melenggong, jawabnya: "Kejadian tadi? Kejadian apa?"
Keruan muka Pwe-giok tambah pucat.
"Kecuali kami berlima, apakah tadi ada kedatangan orang lain?" Tanya Ong Ih-lau.
Ji Tiong menggeleng: "Tidak ada, tiada orang lain lagi….."
Perlahan Pwe-giok melepaskan cengkeramannya dan menyurut mundur selangkah demi
selangkah, ucapnya dengan suara gemetar: "Meng …….mengapa kau mem…..memfitnah
diriku?"
Ji Tiong menghela napas panjang dan memandang Pwe-giok lekat-lekat, sorot matanya juga
memantulkan rasa kasihan, katanya kemudian: "Agaknya akhir-akhir ini Siauya terlalu berat
berlatih, mungkin engkau…."
"Mungkin aku sudah gila, begitu bukan? seru pwe-giok sambil menengadah dan tertawa
terbahak-bahak. "Kalian memandangi diriku dengan heran, karena kalian menganggap aku ini
sudah gila, begitu bukan? Kalian sama berharap aku gila, begitu bukan?"
"Ai, anak ini mungkin terlalu keras dikekang oleh ayahnya," ujar Lim Soh-koan dengan
gegetun.
"Hahaha! Memang betul, aku memang terkekang terlalu keras sehingga gila!" teriak Pwe-giok
sambil tertawa latah. Mendadak ia menghantam sehingga jendela di sebelah sana ambrol
terkena angin pukulannya.
Serentak Ong Ih-lau, Sim Gin-jiang dan Sebun Hong menubruk maju, secepat kilat mereka
memegangi bahu anak muda itu, sedang Lim Soh-koan lantas mengeluarkan sebuah botol
17
hitam kecil, katanya dengan suara halus: "Anak Giok, menurut lah padaku, minumlah obat ini
dan tidurlah baik-baik, besok tentu kau akan sehat kembali."
Segera ia membuka tutup botol terus dijejalkan ke mulut Pwe-giok, seketika tercium bau
harum semerbak dan memabukkan.
Tapi Pwe giok tutup mulut serapat-rapatnya, matipun tidak mau pentang mulut.
"Ai, mengapa kau berubah begini, Pwe-giok," kata Sim Gin jiang dengan gegetun. "Masa
ayah mertuamu sendiri sampai hati membikin susah padamu?"
Mendadak Pwe giok menggertak keras-keras, sekali kedua tangannya terpentang, kontan
tokoh-tokoh kelas tinggi seperti Sim Gian jiang dan Sebun Hong itupun tidak mampu
menahannya, ditengah suara bentaknya Pwe giok terus melayang ke atas, ujung kaki menutul
wuwungan, secepat burung terbang ia melayang lewat ke balik pepohonan sana.
"Lihai amat anak ini, biarpun waktu mudanya juga Ji Hong ho tidak sehebat ini !" ujar Sebun
hong.
"Cuma sayang, dia sudah gila, sungguh sayang...." Ong Ih lau menghela nafas menyesal. Lim
Tay ih terus menjatuhkan diri ditengah dan menangis sedih.
*****
Bintang berkelip memenuhi langit, malam sunyi dan dingin.
Sudah lebih tiga jam Ji Pwe giok berbaring di bawah pohon dan memandangi bintang yang
bertaburan di cakrawala, sama sekali tidak bergerak, sampai berkedip juga tidak. Bintang
berkelip yang memenuhi langit itu seakan-akan sedang mengejeknya:
"Kau sudah gila.......kau sudah gila........."
Malam tambah larut, bintang mulai jarang-jarang, ditengah tiupan angin malam yang sepoisepoi
itu terbawa suara tangisan orang yang memilukan, makin lama semakin dekat suara
tangis orang itu.
Akhirnya kelihatan lah seorang tua pendek kecil dengan jenggot yang sangat panjang hingga
hampir menyentuh tanah muncul dengan menangis. Setiba di bawah pohon sana, ia menangis
lagi sejenak, lalu mengumpulkan beberapa potong batu sebagai ganjal kaki, ikat pinggang
dilepaskan dan dilibatkan pada dahan pohon. Melihat gelagatnya kakek itu jelas hendak
gantung diri.
Pwe giok tidak tahan menyaksikan orang bunuh diri di depannya, cepat ia melompat kesana
dan mendorong si kakek.
Bukannya berterima kasih, orang tua itu malah duduk di atas tanah, kakinya memancalmancal
dan menangis seperti anak kecil, serunya:
18
"Untuk apa kau tolong diriku? Di dunia ini tiada orang yang lebih malang dari padaku,
hidupku sudah tiada artinya lagi. Ku mohon janganlah engkau merintangi kematianku, mati
rasanya akan lebih baik bagiku."
Pwe-giok menghela nafas, ucapnya dengan menyengir:
"Apa betul di dunia ini tiada orang terlebih malang daripadamu ?.... kau tahu dalam satu hari
saja aku kehilangan rumah, kehilangan orang tua, apa yang kukatakan terjadi sungguhsungguh,
tapi tiada seorangpun yang mau percaya padaku. Di dunia ini pun tiada seorang lagi
yang dapat kupercayai. Pendekar yang biasanya kuhargai dan kupuja, dalam sehari juga
mendadak berubah menjadi penuh intrik dan misterius, orang yang setiap hari berdekatan
denganku juga mendadak berubah tidak setia lagi padaku dan ingin membuat gila padaku,
ingin mencelakai jiwaku, bukankah diriku ini jauh lebih malang daripada dirimu ?"
Si kakek memandangnya dengan termangu-mangu hingga sekian lamanya, ucapnya kemudian
setengah berguman: "Jika demikian, kalau dibandingkan kau, rasanya aku masih jauh lebih
mujur. Kau memang lebih pantas mati daripadaku, biarlah ikat pinggang ini kupinjamkan
kepadamu." Ia terbahak-bahak, lalu melangkah pergi.
Dengan termangu-mangu Pwe-giok mengikuti bayangan si kakek yang menghilang di
kejauhan. Ia coba memasukkan leher sendiri ke jiratan tali pinggang, gumamnya: "Cara
demikian memang sangat mudah. setelah mati, segala kekesalan pun tak terasa pula, tapi
apakah benar aku ini orang yang paling pantas mati di dunia ini ?..." Mendadak iapun
tertawa, katanya: "Ya, anggaplah aku sudah pernah mati satu kali !"
Ia lepaskan jiratan itu dan melangkah pergi. Sepanjang jalan, apabila dia berlalu di kolam,
dimana banyak anak gadis sedang memetik lengkak, maka sering-sering ada gadis yang
melemparkan beberapa biji lengkak padanya. Pwe giok lantas menangkap lengkak itu dan
dimakan. Bila dia melalui hutan murbei, nona pemetik murbei juga sering melemparkan buah
itu kepadanya dan iapun menerimanya untuk dimakan. Kalau dia sudah lelah dalam
perjalanan, seadanya dia mencari rumput kering atau onggokan jerami untuk alas tidur. Bila
mendusin, seringkali ada anak gadis yang sedang memandanginya dengan tersenyum jengah
serta memberinya semangkuk telur rebus air gula. Bilamana diketahui ibu si anak gadis, sang
ibu lantas marah-marah dan mengusir Pwe-giok dengan gagang sapu. Tapi melihat wajah
anak muda itu, kadang-kadang sang ibu malah tambah memberinya beberapa potong bakpau
atau beberapa biji ketela rebus.
Perjalanan sejauh ini entah cara bagaimana dilaluinya, apa yang dipikirnya juga tidak berani
dibicarakan nya dengan orang lain, dalam batin ia hanya selalu ingat: "Sabar....mengalah..
sabar..." Itulah petuah mendiang ayahnya yang selalu mendengung-dengung dalam benaknya.
Dia seperti tidak perduli lagi apakah ada orang menguntit jejaknya, padahal sekarang tiada
orang yang mengenalnya lagi, siapapun pasti pangling. Pakaiannya memang sederhana,
ditambah lagi sekarang tubuhnya penuh debu kotoran, bajunya sudah robek di sana-sini,
keadaannya sekarang tiada banyak bedanya dengan kaum pengemis. Dia tidak cuci muka,
juga tidak sisir rambut. tapi keadaannya yang kelihatan linglung dan harus dikasihani justru
makin disukai oleh anak perempuan.
Tapi sekarang Pwe-giok sudah tidak perduli apakah orang suka atau jemu padanya, ia
meneruskan perjalanan menurut selera sendiri.
19
Akhirnya ia tiba di wilayah Holam, ditengah jalan orang yang berdandan sebagai busu atau
jago silat semakin banyak, semuanya bersemangat dan tergesa-gesa. Pertemuan pesilat yang
berlangsung setiap tujuh tahun sekali tentu saja sangat menarik perhatian setiap tokoh dunia
persilatan.
Selewatnya Siangcu, ditengah jalan bertambah ramai lagi. Bilamana ada tokoh ternama
berlalu di tepi jalan lantas ramai orang berbisik-bisik membicarakannya.
"Lihatlah, yang berjubah bunga ungu itulah Sin To Kongcu dari Hong-yang, golok yang
tergantung di pinggangnya itulah Giok Liong to yang dapat memotong emas seperti merajang
sayur."
"Dan Nona berbaju kuning itu, apakah kau kenal ?"
"Kenapa tidak ? kalau Kim Yan Cu (si walet emas) saja tidak kukenal, apa gunanya aku
berkecimpung di dunia kangouw ? ai, mereka benar-benar suatu pasangan yang setimpal,
yang lelaki ganteng yang perempuan cantik."
"He, itu dia Jian jiu kun (pukulan seribu tangan) Tio Tayhiap juga datang," demikian seru
seorang lagi. "Siaw lim pay sudah tujuh kali mengetuai pertemuan Hong-ti kedudukannya
dalam pemilihan tahun ini tentu tidak boleh berpindah kepada orang lain. Tio Tayhiap adalah
murid Siau lim pay dari keluarga preman, sudah tentu dia harus hadir."
Percakapan orang itu dapat didengar semua oleh Pwe giok, tapi dia tidak memandangnya,
dengan sendirinya orang lainpun tidak memperhatikan seorang jembel semacam dia.
Setiba di Hongciu, malam sudah larut. Dia tidak masuk ke kota, tapi berbaring seadanya di
emper sebuah hotel kecil di luar kota.
Malam semakin larut, orang lain sudah tidur semua. namun menghadapi pertemuan Hong Li
yang sudah dekat di depan mata, mana Pwe giok dapat tidur nyenyak, meski matanya terasa
sepat, tapi masih terbelalak dan melamun:
"Apakah Lim Soh koan, Ong Ih lau dan lain-lain juga akan hadir di Hong-ti? Sesungguhnya
apa yang hendak mereka lakukan ? mengapa mereka berkeras menyatakan ayahku belum
meninggal dunia ? apakah mungkin......"
Mendadak terdengar seorang berkata: "Ang lian hoa (bunga teratai merah), pek lian ngau (ubi
teratai kecil), sebatang gala bambu menjelajah dunia"
Entah sejak kapan, seorang pengemis muda kurus kecil dengan mata besar, tangan memegang
sebatang bambu, seang memandangnya dengan tertawa.
Pwe giok balas menyengir padanya, tapi tidak bicara. hakekatnya dia tidak tahu apa yang
harus dikatakan.
Pengemis muda berkedip-kedip, tegurnya kemudian dengan tertawa: "kau bukan anggota Kay
pang kami ?"
20
Pwe giok menggeleng sebagai tanda bukan.
"Jika kau bukan orang Kay pang, mengapa dandananmu mirip benar si tukang minta-minta,
tidurmu juga ditempat kaum pengemis," kata si jembel muda itu dengan tertawa.
"sungguh aneh, kalau kau menyaingi pekerjaan lain masih dapat dimengerti, jasa pekerjaan
mengemis juga ingin kau rebut?"
"O, maaf." jawab Pwe giok sambil menyengir berbangkit dan melangkah keluar emper rumah,
berdiri termangu-mangu di bawah langit yang penuh bertabur bintang.
Pengemis muda tadi memandangnya tanpa berkedip, ia merasa orang ini sangat menarik, ia
tutul bahu Pwe giok dengan ujung galanya dan bertanya pula: "Dari logat suaramu, agaknya
kau datang dari Kang-lam ?"
Secara singkat Pwe giok mengiakan.
"Siapa namamu ?" tanya pula pengemis muda itu.
Pwe giok menoleh dan memandangnya beberapa kejap, ia merasa sepasang mata yang besar
itu seperti kelihatan licin dan nakal, tapi mengandung maksud baik tanpa bermaksud jahat,
dengan tertawa ia lantas menjawab: "Namaku Ji Pwe giok."
"Aku Lian Ang ji (Lian si anak merah)." kata jembel muda dengan tertawa. "Soalnya baju
yang kupakai meski compang-camping, tapi selalu berwarna merah."
"O, kiranya Lian heng ( saudara Lian)," kata Pwe giok.
"Haha, boleh juga kau ini, ternyata sudi berbicara dengan si tukang minta nasi," ujar Lian Ang
ji dengan bergelak tertawa.
"Tapi aku sendiri ingin minta nasi saja tidak kuat", tukas Pwe giok sambil menyengir.
Tambah mencorong sinar mata Lian Ang ji, katanya perlahan: "Kulihat dasar ilmu silatmu
tidaklah lemah, kalau bukan anak murid keluarga persilatan tentu tak dapat terpupuk dasar
sekuat ini, tapi mengapa kau menyaru sedemikian rupa?"
Pwe giok terkejut, jawabnya : "Aku tidak menyamar, aku tidak mahir ilmu silat."
Seketika Lian ang ji menarik muka, jengeknya: "Kau berani mendustai aku?"
Mendadak gala bambunya bergerak, secepat kilat ia tutul Long si hiat di dada Ji Pwe giok,
hanya dalam sekejap saja ujung gala bambunya bergetar, hampir seluruh Hiat to penting di
tubuh Pwe giok terancam di bawah gala bambu.
Karena sedang tertimpa malang, Pwe giok merasa setiap orang di dunia ini bisa jadi adalah
utusan musuh yang tak kelihatan itu, maka cepat ia ia mendak ke bawah dan menyurut
mundur.
21
Tak tersangka Lian ang ji juga lantas menarik kembali galanya, ia tatap Pwe giok dengan
tajam dan menjengek pula: "Masih muda belia sudah suka berdusta, kalau sudah besar kan
lebih celaka !"
Pwe giok menunduk, katanya: "Sungguh ada... ada kesukaranku yang tak dapat kujelaskan."
"O, tidak dapat kau katakan padaku ?" tanya Lian ang ji.
"Jika kaupun mempunyai sesuatu rahasia, apakah mungkin kau katakan kepada orang yang
tak pernah kau kenal ?" Pwe giok balas bertanya
Lian ang ji memandangnya dengan melenggong, sejenak kemudian barulah ia berkata pula
dengan tertawa: "Tepat sekali pertanyaanmu, tampaknya kau lemah lembut, agaknya kau
tidak suka banyak bicara. Tak kusangka sekali bicara lantas begini tajam."
Dengan kemalas-malasan Lian ang ji merebahkan diri lantas berkata pula dengan kemalasmalasan:
"Cuma, perjalananmu ini mungkin akan sia-sia belaka, kau tak dapat hadir di
pertemuan Hong-ti nanti."
Kembali pwe giok terkejut, serunya: "He, dari… darimana kau tahu?......"
"Mataku ini adalah kaca penyorot siluman, siapapun juga asalkan kupandang tiga kejap, pasti
kutahu dia berasal dari apa," demikian jawab Lian ang-ji dengan tertawa.
Pwe-giok pandang mata orang dengan rasa kejut, heran dan juga kagum.
Lian Ang-ji lantas memandang ke langit dan berkata pula dengan tak acuh: "Pertemuan Hongti
bukanlah tontonan umum dan boleh dihadiri setiap orang, yang boleh hadir adalah anak
murid ke 13 Mui-pay (golongan dan aliran) yang menjadi sponsor pertemuan ini, orang luar
harus membawa kartu undangan. Dan kau?"
"Aku…..aku bukan anak murid ke 13 Mui-pay itu dan juga…. juga bukan tamu yang
diundang," jawab Pwe-giok dengan menunduk.
"Jika begitu, lebih baik sekarang juga kau pulang saja," kata Lian Ang-ji.
Pwe-giok terdiam sejenak. Tiba-tiba ia bertanya: "Apakah Kay-pang termasuk ke 13 Mui-pay
itu?"
"Sudah tentu," jawab Lian Ang-ji dengan tertawa. "Selama lebih 40 tahun ini, meski setiap
kali yang menjadi ketua perserikatan adalah Siau-lim-pay, tapi kalau Kay-pang kami tidak
memberi dukungan, mustahil kedudukan itu tidak sejak dulu-dulu direbut oleh Bu-tong-pay
atau Kun-lun-pay."
"Dan kalau aku dapat mencampurkan diri di tengah anggota kay-pang, kukira takkan
diketahui oleh orang lain…. " demikian Pwe-giok bergumam sendiri.
"Haha, enak benar perhitunganmu," ujar Lian Ang-ji sambil tertawa.
22
Mendadak Pwe-giok berlutut di depan jembel muda itu dan memohon: "Kuharap Lian-heng
sudilah memberi bantuan sekali ini saja. Tolonglah engkau bicarakan kepada Pangcu kalian,
asalkan Siaute dapat hadir di sana, urusan lain tidak perlu lagi dikuatirkan."
Lian Ang-ji memandangnya dengan tertawa, katanya: "Kenal saja baru sekarang, mengapa
harus kubantu kau?"
Pwe-giok melenggong, ucapnya kemudian: "Sebab…..sebab…. " ia menghela napas panjang
dan bangkit. Sesungguhnya ia memang tidak dapat menjelaskan sebab apa…
Terpaksa ia angkat kaki. Lian Ang-ji juga tidak memanggilnya kembali, dengan tertawa ia
memandangi kepergian Pwe-giok yang lesu dan menghilang dalam kegelapan, seperti halnya
menyaksikan seorang yang hampir terbenam dan akhirnya tenggelam ke dasar sungai.
Dalam kegelapan, entah sudah berapa lama dan berapa jauh Ji Pwe-giok berjalan. Di depan
masih tetap gelap gulita.
Sekonyong-konyong di depan ada gemerlapnya cahaya api, serombongan orang datang sambil
bertepuk tangan dan berdendang: "Ang-lian-hoa (bunga teratai merah) pujaan beta. Orang
jahat ketemu dia merangkak ketakutan, orang baik ketemu dia tepuk tangan memuji. Di
seluruh kolong langit ini hanya ada sekuntum Ang-lian-hoa."
Pwe-giok tidak ingin bertemu dengan siapa-siapa, maka ia membelok ke arah lain. Tak
terduga rombongan orang ini mendadak berkerumun maju dan mengitari di sekelilingnya.
Ada yang bergelak tertawa, ada yang bertepuk tangan. Di bawah cahaya obor kelihatan orangorang
ini sama berbaju compang-camping dan telanjang kaki, ada tua ada muda.
Pwe-giok tercengang, belum sempat bicara. Orang-orang itu lantas bersorak-sorak gembira
pula: "Ji Pwe-giok, orangnya cakap bagai kemala, tengah malam buta, kau mau ke mana?"
Berubah air muka Pwe-giok seketika, serunya: "He, bagaimana kalian kenal diriku?"
Seorang pengemis tua lantas tampil ke depan, ia memberi hormat dan berkata dengan
tersenyum: "Pangcu kami mendengar kedatangan Ji-kongcu, maka kami diperintahkan
menyambut…."
"Tapi aku sama sekali tidak kenal pangcu kalian," seru Pwe-giok bingung.
"Walaupun Kongcu tidak kenal Pangcu kami, tapi sudah lama Pangcu mendengar nama besar
kongcu, sebab itulah kami sengaja disuruh menunggu kedatangan Kongcu di sini, bahkan
kami disuruh mengantar sesuatu untuk Kongcu," demikian tutur pengemis tua itu dengan
tertawa.
Karena pengalaman kematian ayahnya yang mengenaskan itu, terhadap segala sesuatu
sekarang Pwe-giok selalu waspada, dengan mengepal tinju ia menjengek: "Baiklah, mana
barangnya."
"Harap Kongcu jangan salah paham," ucap si pengemis tua pula. Yang hendak kami
sampaikan ini bukanlah senjata tajam atau kepalan." Lalu ia mengeluarkan sepucuk surat
23
bersampul kuning dan dihaturkan dengan hormat: "Silahkan Kongcu memeriksanya dan
segera akan jelas isinya."
Tanpa terasa Pwe-giok menerima sampul surat itu, tapi sekilas teringat lagi "surat maut"
tempo hari itu, mendadak ia cengkeram leher baju si pengemis tua, ia sodorkan surat itu ke
depan sambil membentak dengan bengis: "Coba kau jilat dulu surat ini!"
Pengemis tua itu tidak melawan, ia pandang Pwe-giok sekejap dengan tersenyum, ucapnya:
"Cermat benar Kongcu ini."
Tanpa ragu ia benar-benar menjulurkan lidahnya dan menjilat sampul yang dipegang Pwegiok
itu, bahkan sehelai kartu di dalam sampul juga dijilatnya sekali, lalu berkata pula dengan
tertawa:
"Sekarang Kongcu tidak perlu sangsi lagi bukan?"
Pwe-giok berbalik merasa rikuh dan melepaskan cengkeramannya, waktu ia keluarkan kartu
di dalam sampul, yang tertulis ternyata berbunyi: "Mengundang dengan hormat atas kehadiran
anda di pertemuan Hong-ti."
Keruan Pwe-giok terkesiap, waktu ia berpaling, rombongan kaum jembel itu sudah pergi
semua, tertinggal onggokan obor saja yang masih gemerdep dalam kegelapan.
Memandangi api obor, Pwe-giok menjadi bingung pula. Siapakah gerangan Pangcu yang
dimaksudkan itu? Mengapa menyampaikan kartu undangan ini kepadanya?
Apa yang dialaminya selama beberapa hari ini kalau tidak lucu dan sukar dimengerti, tentulah
misterius dan menyeramkan di samping keji dan ganas, tapi setiap kejadian juga sangat aneh
dan sukar dibayangkan.
Entah berapa lama ia termenung sambil memegang kartu undangan itu. Tiba-tiba dalam
kegelapan ada suara tindakan orang lagi.
Pwe-giok bermaksud pergi saja, tapi mendadak ada orang membentaknya: "Berhenti!"
Diam-diam Pwe-giok merasa gegetun, ia tidak tahu apa yang akan terjadi lagi dan siapa pula
yang datang. Apa yang dialaminya selama beberapa hari ini tiada satupun yang dapat
menduga sebelumnya, orang yang ditemuinya juga tiada seorangpun yang dapat menerka asal
usul serta maksud tujuannya.
Karena itu ia menjadi malas untuk memikirkannya. Dilihatnya yang datang sekali ini ada
tujuh orang, dua diantaranya memakai jubah Tosu, seorang berbaju Hweshio, tiga lagi
berpakaian ketat ringkas, orang terakhir adalah perempuan, memakai mantel bersulam.
Meski dandanan ke tujuh orang ini tidak sama, tapi semuanya tangkas, semuanya masih muda
dan gagah, gerak-geriknya juga sangat gesit.
Seorang pemuda baju hitam ringkas berada paling depan, sinar matanya tajam mencorong, ia
melotot pada Pwe-giok dan membentak: "Apa yang sahabat lakukan dengan berdiri di sini?"
24
"Hm, masa orang berdiri di sini saja tidak boleh?" jengek Pwe-giok.
Alis pemuda itu berjengkit, si Hwesio yang berdiri di sebelahnya lantas menyela dengan
mengulum senyum: "Mungkin Sicu tidak tahu, lantaran pertemuan Hong-ti akan berlangsung
besok, kebanyakan tokoh dunia persilatan sama hadir di sini, dalam pada itu tentu sukar
terhindar kemasukan anasir-anasir jahat yang sengaja hendak mengacau. Maklum akan
kemungkinan ini, para Ciangbun dari ke-13 Mui-pay yang menyelenggarakan pertemuan ini
telah menugaskan pada anak muridnya untuk melakukan perondaan. Pinceng (Paderi miskin)
Siong-cui dari Siau-lim, beberapa Suheng, berasal dari Bu-tong, Kun-lun, Hoa-san, Tiam-joa,
Khong-tong, dan lain-lain"
Air muka Pwe-giok menjadi cerah, katanya: "Ah, kiranya kalian adalah murid terhormat dari
Jit-toa-kiam-pay (ke tujuh aliran ilmu pedang beras) ..."
Si pemuda baju hitam sejak tadi terus mengincar kartu undangan yang dipegang Pwe-giok,
mendadak ia bertanya: "Kartu undangan ini apakah milikmu ?"
Pwe-giok mengiakan.
Tak terduga, mendadak sinar pedang berkelebat, tahu-tahu ujung senjata orang sudah
mengancam di depan batok kepalanya.
Pemuda baju hitam ini memang tidak malu sebagai murid perguruan ternama, hanya sekejap
itu saja pedang sudah terlolos dan menyerang.
Karena tidak terduga-duga, sedapatnya Pwe-giok berusaha menghindar, walaupun berhasil,
hampir saja daun telinganya terpapas, keruan ia menjadi gusar dan mendamperat: "Kenapa
kau bertindak sekasar ini?. Apakah kau kira kartu undanganku ini palsu ?"
Pedang si baju hitam tampak gemerlapan dan mendesak maju pula, jengeknya: "Lihat
serangan!"
Gerak serangannya itu tampaknya tidak ada sangkut pautnya satu sama lain, tapi sejurus demi
sejurus terus dilancarkan, berturut turut Pwe-giok menghindarkan tujuh belas kali barulah
sempat berganti napas, teriaknya gusar: "He, apa-apaan ini ?"
Tiba-tiba si perempuan muda bermantel berucap dengan dingin: "Tanyai dulu baru bertindak
kan belum lagi terlambat."
Menurut juga pemuda berbaju hitam itu. segera ia menarik kembali pedangnya, tapi mata juga
melotot terlebih besar, bentaknya dengan bengis: "Baik, coba katakan, darimana kau peroleh
kartu undangan ini ?"
"Pemberian orang," jawab Pwe giok.
"Hehehe, kawan-kawan sudah dengar, katanya pemberian orang!" demikian pemuda baju
hitam itu terkekeh kekeh hina.
"Kenapa kau merasa heran ?" tanya Pwe giok. Siong-cui, si paderi Siau-lim-pay juga menarik
muka, katanya dengan pelahan: "Kartu undanganmu ini tidak palsu, cuma terlalu tulen
25
sehingga meragukan. Supaya Sicu maklum, dalam pertemuan Hong-ti ini, kartu undangan
yang disebar ada tujuh macam. Kartu warna kuning ini paling terhormat, kalau bukan ketua
sesuatu perguruan ternama, sedikitnya juga kaum Locianpwe yang disegani barulah mendapat
kartu undangan ini. Tapi juga ketua ke 13 Mui-pay penyelenggara saja yang dapat
mengirimkan kartu ini, sedangkan anda ..."
"Hehe, sedangkan anda tampaknya bukan orang yang mempunyai hubungan erat dengan
ketua ke-13 Mui-pay penyelenggara," Sambung si pemuda baju hitam dengan tertawa dingin.
"Jelas kartu undanganmu ini kalau bukannya kau curi tentu kau dapatkan dengan menipu."
Di tengah bentakannya, segera pedangnya menusuk pula. Sekali ini perempuan muda tadi
tidak mencegahnya, ke tujuh orang bahkan sudah berdiri dalam posisi mengepung sehingga
Pwe-giok terkurung di tengah.
Sungguh penasaran Pwe-giok tak terlampiaskan, tapi cara bagaimana dia dapat memberi
penjelasan? Si "Pangcu" sialan yang memberi kartu undangan ini bukankah malah sengaja
hendak membikin celaka padanya?
Serangan pedang si pemuda baju hitam tambah gencar, yang dimainkan adalah Hui hoa-kiamhoat
(ilmu pedang merontokkan bunga) dari Tiam jong-pay. Cepat, ganas, inilah keunggulan
Tiam jong-kian-hoat.
Ilmu pedang inipun paling sukar dihindarkan lantaran Pwe-giok tidak menangkis dan balas
menyerang, maka berulang-ulang ia harus menghadapi serangan berbahaya.
Si Perempuan muda tadi tampak berkerut kening, katanya: "Masa kau tidak menyerah saja,
apakah kau ingin ..."
Belum habis ucapannya, mendadak terdengar suara tertawa nyaring panjang bergema
melayang lewat di angkasa. Semua orang terkejut dan sama menengadah, tertampak sesosok
bayangan berkelebat lenyap dalam kegelapan, tapi ada sesuatu benda melayang-layang jatuh
ke bawah.
Sekali pedang si pemuda baju hitam mencungkit, benda itu tersunduk pada ujung pedangnya.
Waktu diperiksa, kiranya sekuntum bunga teratai merah.
"Ang-lian-hoat?" seru pemuda baju hitam dengan air muka pucat.
Mendadak Siong-oui Hwesio memberi hormat kepada Ji Pwe-giok, katanya dengan
tersenyum: "Kiranya sicu adalah sahabat baik Ang-lian-pangcu. Tecu tidak tahu sehingga
bersikap kurang hormat, harap anda suka memberi maaf."
Cepat si pemuda baju hitam menambahkan: "Ai, mengapa engk ... Cianpwe tidak omong
sejak tadi."
Pwe-giok sendiri melenggong sejenak, katanya kemudian: "Sesungguhnya akupun tidak kenal
pada Ang-lian-pangcu ini."
26
"Ai, jika cianpwe bilang begini, betapapun Wanpwe menjadi serba susah." kata pemuda baju
hitam dengan menunduk.
Pwe-giok hanya menyengir saja dan sukar memberi penjelasan.
Si perempuan muda tadi sedang menatapnya dengan sorot mata yang tajam, tiba-tiba ia
berkata dengan tertawa manis: "Tecu Ciong Cing dari Hoa-san. Apabila Kongcu sudi, boleh
silahkan istirahat dulu di tempat kami sana"
Segera si pemuda baju hitam mendukung usulnya: "Bagus sekali, besok pagi-pagi Tian-jongpay
kami pasti akan mengirim kereta kemari untuk menjemput anda untuk menghadiri
pertemuan besar."
Pwe-giok berpikir sejenak, akhirnya ia menjawab: "Ya, boleh juga"
Dengan demikian Ji Pwe-giok lantas diantar ke wisma tamu agung Hoa-san pay yang terang
benderang. Tapi siapakah gerangan Ang-lian-pangcu itu sebenarnya tetap tak diketahuinya.
Ging-pin koan atau wisma tamu agung sepanjang malam terang benderang, ruang tamu sangat
luas, tiada hiasan apapun kecuali tergantung potret yang besar. Pwe-giok mengamati potret itu
satu persatu, dilihatnya ke - 14 potret orang itu terdiri dari macam-macam jenis, ada Hwesio
ada Tosu, ada orang preman, ada perempuan dan ada pula pengemis, kedudukan dan usia
tidak sama, tapi semuanya tampak kereng, anggun dan berwibawa.
Ciong Cing masih mengiring disamping Pwe-giok, dengan tertawa ia menjelaskan: "Inilah
potret ke-14 tokoh Cianpwe dari ke-14 Mui-pay yang mensponsori pertemuan Hong-ti sejak
pertama kalinya. Hal ini terjadi 70 tahun yang lalu, ketika itu dunia persilatan kacau balau,
hampir tidak pernah aman dan tenteram. Tapi sejak ke-14 tokoh itu mengikat janji di Hong-ti,
dunia Kangouw lantas aman dan damai, maka jasa ke-14 tokoh besar ini boleh dikatakan tiada
taranya."
Pwe-giok entah mendengarkan tidak uraian Ciong Cing itu, dia hanya memandang termangumangu
salah sebuah potret di tengah itu, tokoh yang terlukis di potret itu adalah seorang tua
bermuka lonjong dan cerah dengan sikap yang tenang.
Dengan tertawa Ciong Cing lantas menyambung lagi ceritanya: "Mungkin kongcu merasa
heran potret di tengah ini bukan Haon-im Taysu dari siau-lim dan juga bukan Thi-koh Tojin
dari Butong. Hendaklah Kongcu maklum bahwa Ji-locianpwe inilah orang pertama yang
menyelenggarakan pertemuan Hong-ti ini, kedudukan Bu-kek-pay pimpinan Ji-locianpwe di
dunia Kangouw pada waktu itu sekali-kali tidak di bawah Siau lim-pay dan Bu-tong pay."
Jilid 2________
"Ya, kutahu." kata Pwe-giok pelahan sambil menghela napas.
"Tiga kali berturut turut Ji-locianpwe mengetuai perserikatan Hong-ti, meski kemudian beliau
mengundurkan diri, tapi setiap tindak dan ucapannya masih berbobot. Baru 30 tahun yang
lalu, ketika Ji-locianpwe menjabat ketua Bu kek pay, beliau baru sama sekali mengundurkan
diri dari urusan perserikatan, sebab itulah dalam kartu undangan sekarang hanya tercantum ke
13 Mui-pay saja."
27
Meski cara bercerita Ciong Ling yang cantik ini sangat menarik akan tetapi tetap Pwe-giok
tetap menunduk saja dengan wajah sedih.
Malam ini dia bergolek tak dapat tidur, sampai fajar sudah hampir menyingsing, baru saja dia
akan terpulas, tahu-tahu suara Ciong Ling sudah terdengar di luar pintu kamar: "Kongcu
sudah bangun belum? Nyo Kun-pi, Nyo-suheng dari Tiam jong-pay sudah datang menjemput
anda."
Cepat Pwe-giok bangun dan menyambut keluar, dilihatnya kerlingan mata si nona masih tetap
lembut, senyumnya tetap menggiurkan. Nyo Kun-pi dari Tiam-jong-pay itu kini tampak
memakai baju kuning di luar bajunya yang hitam ketat, sikapnya masih tetap sangat
menghormat seperti semalam.
"Kereta penyambutan mu kami sudah menunggu di luar, Ciangbun Cin-suheng kami juga
menantikan kedatangan anda di atas kereta." demikian Nyo Kun-pi bertutur sambil memberi
hormat.
Cepat Pwe-giok membalas hormat dan mengucapkan terima kasih.
Di wisma tamu agung itu sudah mulai ramai, banyak yang sedang latihan pagi, tapi Pwe-giok
tidak memusingkan mereka, langsung dia ikut Ciong Ling dan Nyo Kun-pi keluar.
Benar juga, di luar sebuah kereta besar dengan empat kuda penarik yang tinggi besar sudah
menunggu. Kereta itu sangat mewah dan longgar, di situ sudah berduduk sembilan orang.
Sekilas pandang Pwe-giok melihat diantara ke sembilan orang itu ada seorang pemuda
berbaju kembang ungu, ada pula seorang nona berbaju kuning dan membawa pedang.
Mungkin mereka inilah Sin-to-kongcu (Kongcu bergolok sakti) serta Kim-yang-cu (si walet
emas). Selain itu ada pula seorang lelaki kekar bermuka ungu dan berbaju mentereng, dua
orang Tosu yang berdandan serupa. Didekat jendela sebelah sana berdiri seorang pemuda
dengan baju sutera kuning dan berpedang sarung hijau sedang melongok keluar dan bicara
dengan seorang lelaki yang menuntun kuda.
Pwe-giok tak dapat melihat jelas sekaligus seluruh penumpang kereta itu, tapi iapun tidak
memandang lebih lanjut. Orang lain tidak menghiraukan dia, iapun tidak perdulikan orang
lain, dia tetap berduduk dan menunduk.
"Sampai bertemu di tengah rapat... " seru Ciong Ling sambil melambaikan tangannya kepada
Pwe-giok ketika kereta mulai berangkat.
Setelah pintu kereta ditutup dan kereta sudah mulai bergerak barulah pemuda baju kuning tadi
menarik kepalanya dan membalik tubuh, tanyanya dengan tertawa: "Yang manakah sahabat
Ang-lian-pangcu?"
Waktu Pwe-giok mengangkat kepalanya, sungguh kagetnya tidak kepalang. Dilihatnya sorot
mata pemuda baju kuning itu mencorong tajam meski mukanya putih pucat, jelas pemuda
inilah yang membunuh ayahnya, Ji Hong-ho, secara keji itu.
28
Karena mendengar Pwe-giok adalah sahabat Ang-lian-pangcu, semua orang lantas berubah
sikap dan sama memandang ke arah Pwe-giok, terlihat mata Pwe-giok melotot dan
memandang pemuda baju kuning dengan beringas.
Tapi pemuda baju kuning lantas berkata dengan tertawa hampa "Cayhe Cia Thian-pi dari
Tiam-jong, juga sahabat lama Ang-lian-pangcu, entah siapa nama anda yang terhormat?"
Mendadak Pwe-giok berteriak dengan suara parau: "Meski kau tidak... tidak kenal padaku,
tapi... tapi kukenal kau..." berbareng itu ia terus menubruk maju, kedua tinjunya menghantam
sekaligus, tidak kepalang dahsyat angin pukulannya sehingga para penumpang kereta sama
terkesiap.
Pemuda baju kuning Cia Thian-pi seperti terkejut juga, sekuatnya ia menghindarkan serangan
Pwe-giok itu, lalu membentak: "Apakah maksudmu ini ?"
Pwe-giok melancarkan pukulan pula sambil berkata dengan menggertak gigi: "Hari ini jangan
kau harap akan kabur? sudah lama kucari kau!"
Kejut dan dongkol pula Cia Thian-pi, untung ruangan kereta ini cukup longgar, dia sempat
berkelit kian kemari dengan lincah, setelah mengelak lagi beberapa kali pukulan, dengan
gusar ia membentak: "Selamanya kita belum kenal, mengapa kau..."
"Utang darah yang terjadi di luar kota Lengcu enam hari yang lalu sekarang harus kau bayar
dengan darahmu!" teriak Pwe-giok murka, tangan bergerak ke atas, tangan kiri terus
menonjok dengan jurus "Ciok-boh-thian-keng" atau batu hancur mengejutkan langit.
Karena sudah kepepet, terpaksa Cia Thian-pi menangkis serangan ini. "Blang", dua tangan
beradu dan menerbitkan suara kulit dipukul kayu, Cia Thian-pi tergetar mundur dan
menubruk pintu kereta.
Pwe-giok tidak memberi kelonggaran, secara berantai kedua kepalan menghantam pula.
"Berhenti!" mendadak beberapa orang membentak, tahu-tahu tiga batang pedang sudah
mengancam di punggung Pwe-giok, dua gaetan tajam menggantol bahunya, sebilah belati
yang mengkilap juga mengancam didada kirinya, ujung belati terasa sudah menyentuh kulit,
dalam keadaan demikian mana Pwe-giok berani bergerak pula.
Kereta itu masih terus dilarikan ke depan, wajah Cia Thian-pi bertambah pucat, dengan gusar
ia bertanya: "Apa katamu tadi? Di luar kota Lengcu apa? utang darah apa maksudmu?
sungguh aku tidak mengerti!"
"Kau pasti mengerti!" teriak Pwe-giok, mendadak ia menjatuhkan tubuhnya ke kiri,
menumbuk Tojin sebelah kiri yang bersenjata gaetan, menyusul tangan kanan menarik gaetan
Tojin itu dan ditangkiskan ke belakang sehingga kedua pedang yang mengancam
punggungnya tersampuk pergi, waktu pedang ketiga hendak menusuk, ia mendahului
menyikut perutnya sehingga orang itu menungging kesakitan.
Akan tetapi golok pendek atau belati yang mengancam dadanya tadi masih belum bergeser.
Rupanya belati inilah senjata andalan Sin-to Kongcu atau si Kongcu golok sakti, dengan sorot
29
mata setajam goloknya dia mengejek: "Ketangkasan anda memang harus dipuji, tapi ada
urusan apa, hendaklah dibicarakan dengan baik-baik sambil berduduk saja?"
Sedikit belatinya bergerak, baju dada Pwe-giok sudah terobek dan kulit dadanya seperti
tertusuk jarum, mau tak mau ia menurut dan berduduk kembali.
Orang yang disikut perutnya tadi masih menungging, saking sakitnya, dia belum sanggup
berdiri lagi.
Keruan semua orang terkesiap. Seorang pemuda yang tidak terkenal ternyata sanggup
mengadu pukulan dengan ketua Tiam-jong-pay yang tergolong tokoh terkemuka di kalangan
anak muda jaman ini, lalu merobohkan tokoh ternama "Yu-liong-kiam" Go To, walaupun
caranya rada jahil, namun cukup mengejutkan.
Lelaki kekar bermuka ungu sejak tadi hanya berduduk saja tanpa bergerak, mendadak ia
berkata dengan bengis: "Tampaknya ilmu silatmu tidak lemah, tapi mengapa tindakanmu
begini sembrono? Selamanya Cia-heng tidak kenal kau, mengapa kau menyerang orang
secara ngawur? Jangan-jangan kau salah mengenali orang?"
"Hm, biarpun dia menjadi abu juga ku kenal dia" ucap Pwe-giok dengan menggreget. "Eman
hari yang lalu, dengan mata kepalaku sendiri kusaksikan dia mencelakai ayahku dengan cara
yang licik dan keji..."
"Persetan kau!" teriak Cia Thian-pi dengan penasaran. "Dari Tiam-jong langsung ku datang
ke sini, jangankan tidak tahu menahu tentang ayahmu, hakekatnya tak pernah kulewatkan
wilayah kota Lengcu"
"Apakah Benar kau tidak ke sana?" Pwe-giok meraung murka.
"Untuk itu aku bersedia menjadi saksi," kata salah seorang Tojin berjubah jingga tadi.
"Apa gunanya kau menjadi saksi?" teriak Pwe-giok.
"Apa yang dikatakan Sian-he-ji-yu tidak pernah bohong!" jengek si Tojin.
Pwe-giok melengak, nama "Sian-he-ji-yu atau dua kawan dari Sian -he-nia, sudah pernah
didengarnya. Konon ilmu silat kedua orang bersaudara ini tidak terlalu tinggi, tapi terkenal
jujur dan setia kawan, apa yang diucapkan mereka jauh lebih dapat dipercaya daripada paku
yang kelihatan di dinding.
Walaupun begitu, masa mata Pwe-giok sendiri tidak dapat dipercaya dan malah harus
disangsikan?
"Apa yang dapat kau katakan lagi sekarang?" ujar Sin-to Kongcu.
Pwe-giok hanya menggertak gigi kencang-kencang dan tidak bicara pula.
Akhirnya si Yu-liong-kiam Go To dapat berduduk tegak, dengan suara penasaran ia lantas
berkata: "Sebelum pertemuan besar, orang ini sengaja datang mencari perkara kepada CiaRenjana
Pendekar > Karya Khulung > Diceritakan oleh : GAN KL > buyankaba.com 30
heng, dia pasti tidak bertindak sendiri, tentu masih ada dalangnya dengan muslihat tertentu,
kita jangan membebaskan dia."
Sejak tadi Kim-yan-cu hanya menonton saja tanpa bersuara, kini mendadak menjengek:
"Betul, kalau Go-tayhiap ingin membalas sakit hati karena disikut tadi, boleh kau bunuh dia
saja."
Muka Go To menjadi merah, ingin bermaksud bicara pula, tapi melihat pedang yang
tergantung di pinggang si nona dan Giok-liong-to yang terhunus di tangan Sin-to Kongcu,
akhirnya ia urung buka mulut.
Setelah berpikir sejenak, kemudian Cia Thian-pi berkata: "Lalu bagaimana baiknya kalau
menurut pendapat nona Kim?"
Tanpa memandang sekejap pun kepada Ji Pwe-giok, Kim-yan-cu berkata: "Kukira orang ini
kurang waras, lempar dia keluar saja dan habis perkara."
"Kuharap betul dugaan nona, lantas...."
Belum habis ucapan Cia Thian-pi, mendadak Sin-to Kongcu berseru: "Tidak, seumpama dia
dilepaskan, sebelumnya harus kita tanyai sejelasnya."
Kim-yan-cu mendengus dan melengos ke sana dengan mendongkol.
"Kupikir betul," segera Go To mendukung usul Sin-to Kongcu. "Melihat ilmu silatnya, dia
jelas bukan sembarang orang, hendaklah Kongcu..."
"Aku sudah mempunyai perhitungan sendiri, tidak perlu kau repot," jengek Sin-to Kongcu.
Pwe-giok tidak bicara apa-apa, sesungguhnya memang tidak ada yang perlu dibicarakannya.
Sementara itu kereta sudah berhenti, terdengar suara ramai di luar seperti pasar.
Dengan tertawa Cia Thian-pi berkata: "Karena terlalu sibuk, biarlah orang ini kuserahkan
kepada Suma-heng, tapi Ang-lian-pangcu...."
Belum lanjut ucapannya, tiba-tiba seorang berseru di luar: "Apakah Cia-tayhiap berada di
dalam kereta? Adakah seorang Ji-kongcu ikut datang menumpang kereta ini?"
Menyusul ia lantas melongok ke dalam kereta melalui jendela. Siapa lagi dia kalau bukan si
pengemis tua yang menyampaikan kartu undangan kepada Ji Pwe-giok itu.
Serentak Sian-he-ji-yu tertawa dan menyapa: "He, Bwe Su-bong, sekian tahun tidak
berjumpa, tampaknya kau terus sibuk setiap hari tanpa urusan."
"Tapi hari ini aku ada urusan," jawab si pengemis tua bernama Bwe Su-bong itu dengan
tertawa. "Pangcu kami menugaskan diriku menyambut tamu, selesai pekerjaanku nanti akan
kucari kalian untuk minum tiga ratus cawan."
31
Pengemis tua itu seperti tidak melihat golok di tangan Sin-to Kongcu yang masih mengancam
di dada Ji Pwe-giok, segera ia membuka pintu kereta dan menarik Pwe-giok keluar, berbareng
ia menyapa dengan tertawa: "Ji-kongcu, kau tahu, Mui-pay yang paling miskin di dunia
Kangouw ini adalah Kay pay kami, dan paling kaya adalah Tiam jong pay. Sungguh mujur
Kongcu dapat kemari dengan menumpang kereta semewah ini. Eh, Cia tayhiap, terima kasih
banyak-banyak, bilamana ada tempo, lain hari Pangcu kami akan mengundang engkau minum
arak."
Air muka Sin-to Kongcu tampak sangat buruk, entah menyengir entah meringis, dengan mata
terbelalak ia menyaksikan Bwe Su-bong menarik keluar Ji Pwe-giok tanpa berani bersuara
sepatah kata pun.
Dalam pada itu, Cia Thian-pi sedang menjawab: "Sampaikan salamku kepada Ang lian
Pangcu, katakan aku pasti akan datang bila diundang."
Di luar suasana hiruk pikuk, tapi pikiran Pwe-giok terlebih kusut.
Sudah jelas Cia Thian-pi ini adalah pemuda yang membunuh ayahnya, masa bisa keliru?
Tapi siapa pula gerangan Ang-lian Pangcu ini? Mengapa berulang-ulang menolongnya?
Didengarnya Bwe Su-bong sedang membisikinya: "Jangan melamun, coba berpalinglah ke
sana."
Tanpa terasa Pwe-giok menoleh, dilihatnya sepasang mata yang bening di dalam kereta tadi
sedang memandangnya dengan sorot mata yang mesra dan juga dingin.
Bwe Su-bong menepuk pundak Pwe-giok, katanya dengan tertawa pelahan: "Walet kecil ini
berduri, apalagi selalu dikintil oleh gentong cuka, cukup kau pandang sekejap saja, sekarang
lebih baik memandang keramaian di depan sana."
*****
Hong-ti adalah nama sebuah tempat yang sudah terkenal sejak jaman Cunciu, terletak di
selatan kota Hongciu di Propinsi Holam.
Tempat ini sejak dahulu sering menjadi tempat pertemuan orang-orang penting. Maka
pertemuan besar Hong-ti sekarang juga ingin memperlihatkan kebesarannya, nyatanya
suasananya sekarang memang tidak kurang semaraknya daripada jaman dulu.
Bangunan kuno Hong-ti kini sudah runtuh semua, keadaan tempat ini hanya berwujud tanah
lapang belaka seluas ratusan li.
Di lapangan seluas ratusan li ini sekarang kepala manusia berjubel-jubel sehingga sukar
dihitung berapa jumlahnya dan juga tidak jelas siapa mereka, tapi setiap orang yang hadir ini
jelas terhormat, kepala mereka sedikitnya bernilai ribuan tahil emas.
Semua orang sama mendongak memandangi 13 panji besar yang berkibar tertiup angin di atas
sebuah panggung raksasa seluas belasan meter persegi itu, asap tampak mengepul di atas
panggung laksana gumpalan awan.
32
Sambil menunjuk sehelai panji kuning dengan tertawa Bwe Su-bong berkata kepada Ji Pwegiok:
"Kuning adalah warna kebesaran, panji kuning ini hanya boleh digunakan Siau lim pay
yang mengetuai dunia persilatan ini. Agama To suka pada warna ungu, panji ungu itu adalah
tanda pengenal Bu tong pay, sedangkan panji dengan sulaman naga itu adalah tanda pengenal
Kun lun pay, angker benar tampaknya panji mereka...."
Pwe-giok melihat di antara panji-panji itu ada sehelai panji yang terbuat dari sepuluh jalur
kain yang berbeda warnanya, ia bertanya: "Panji ini mungkin adalah pengenal Pang kalian."
Bwe Su-bong mengiakan dengan tertawa, katanya: "Kay pang kami adalah kumpulan kaum
jembel, kami kumpulkan sisa kain panji orang lain, lalu kami sambung dan jahit menjadi
sebuah panji, satu peser pun tidak perlu keluar, praktis dan hemat."
"Entah berada di mana Ang-lian Pangcu kalian sekarang, Cayhe sangat ingin menemuinya,"
kata Pwe-giok.
"Di bawah setiap panji pengenal itu ada sebuah tenda, di situlah Pangcu kami beristirahat,"
tutur Bwe Su-bong. Segera mereka menyibak kerumunan orang banyak dan menyusur ke
depan, kebanyakan orang yang melihat Bwe Su-bong hampir semuanya memberi hormat dan
menyapa.
Diam-diam Pwe-giok membatin: "Selama ratusan tahun ini Kay pang tetap bertahan sebagai
Pang terbesar di dunia Kangouw, dengan sendirinya anak muridnya juga lain daripada
perguruan lain. Mengingat anggotanya berjumlah ratusan ribu, harus menjaga kehormatan
perkumpulan dan mempertahankan kedudukan, andaikata Ang-lian Pangcu ini bukan manusia
tiga kepala berenam tangan, paling sedikit dia harus memiliki kepandaian maha sakti.
Padahal, selamanya aku tidak pernah berkecimpung di dunia Kangouw, bilakah pernah
kukenal tokoh semacam ini, mengapa dia mengakui diriku sebagai sahabatnya?"
Makin dipikir makin bingung. Sementara itu sebuah tenda besar sudah kelihatan di depan. Di
antara satu dengan tenda lain berjarak puluhan meter dan dijaga oleh berpuluh muda-mudi
yang ronda kian kemari, sikap mereka gagah dan cekatan, dandanan tidak sama, bisa jadi
mereka adalah anak murid pilihan ke-13 Mui-Pay penyelenggara pertemuan Hong-ti ini.
Belum lagi mereka mendekati tenda itu, seorang Tosu muda berbaju ungu sudah
menyongsong kedatangan mereka, setelah mengamati Pwe-giok sekejap, Tosu itu memberi
hormat dan menyapa: "Baru sekarang Bwe locianpwe datang? Tuan ini...."
"Supaya To-heng maklum, saudara ini adalah tamu Pangcu kami, Ji-kongcu," jawab Bwe Subong
dengan tertawa. Lalu ia berpaling kepada Pwe-giok dan berkata: Kartu undangannya..."
Segera Pwe-giok memperlihatkan kartu undangannya, lalu Tosu itu menyurut mundur dan
memberi tanda: "Silahkan!"
Penjagaan ternyata sedemikian ketatnya, benar-benar satu langkah saja sukar dilalui. Baru
sekarang Pwe-giok merasa dirinya memang beruntung. Ia coba memandang ke belakang sana,
saat ini ksatria yang sedang longak-longok di sana dan tidak berdaya hadir di sidang
sedikitnya ada puluhan ribu orang.
33
Sementara itu, Bwe Su-bong telah berada di luar kemah, ia memberi hormat ke arah pintu
kemah sambil berseru: "Lapor Pangcu, Ji Kongcu sudah tiba."
Seorang di dalam kemah lantas berseru dengan tertawa: "Aha, mungkin dia sudah tidak sabar
menunggu lagi, lekas disilahkan masuk."
Pwe-giok memang benar tidak sabar lagi, sungguh ia ingin lekas-lekas melihat bagaimana
macamnya Ang-lian Pangcu yang misterius ini. Baru saja Bwe Su-bong menyingkap tenda
dan menyilakan, segera ia menerobos masuk dengan langkah lebar.
Dilihatnya di tengah kemah yang luas ini hanya terdapat sebuah meja rongsokan, dua bangku
panjang, sungguh sangat menyolok perbedaannya dengan kemah yang tampak mewah dari
luar ini.
Seorang kelihatan bersidekap di atas meja, entah sedang menulis atau kerja apa, dari belakang
hanya tampak rambutnya yang kusut dan tidak tahu bagaimana raut wajahnya.
Terpaksa Pwe-giok memberi hormat dari jauh: "Teecu Ji Pwe-giok menyampaikan sembah
hormat kepada Ang-lian Pangcu."
Baru sekarang orang itu menoleh, katanya dengan tertawa: "Apakah Ji-heng masih kenal
padaku?"
Tertampak tubuhnya yang kurus kecil dengan baju merah yang compang-camping, kedua
matanya justru bening dan mencorong terang seakan-akan sekali pandang saja dapat
menembus isi hatimu.
Pwe-giok melengak dan menyurut mundur, katanya dengan tergagap: "Jadi an...... anda inilah
Ang-lian Pangcu?"
"Bunga teratai merah, ubi teratai putih, dengan sebatang gala menjelajah dunia!" orang itu
tertawa dan berdendang pula.
Ang-lian Pangcu yang termashur ini ternyata bukan lain daripada Lian Ang-ji, si pengemis
muda yang cerdik dan jahil yang ditemui Pwe-giok di emper rumah kemarin malam itu.
Pwe-giok sampai melongo dan tak dapat bicara.
"Apakah kau heran?" tanya Ang-lian-hoa atau si bunga teratai merah dengan tertawa.
"Padahal, untuk menjadi Pangcu tidak mutlak harus seorang tua. Misalnya Ketua Tiam-jong
pay sekarang usianya juga belum ada 30, Ketua Pek-hoa-pang juga baru berumur likuran."
"Cayhe hanya heran, selama hidup Cayhe tidak kenal Pangcu, sebab apa Pangcu memberi
bantuan sebesar ini?" ujar Pwe-giok.
Ang-lian Pangcu terbahak-bahak, katanya: "Tidak ada sebab apa-apa, hanya karena merasa
cocok saja. Selanjutnya kau akan tahu sendiri bahwa di dunia Kangouw ini banyak sekali
orang yang berwatak aneh. Ada orang hendak membikin celaka padamu tanpa kau tahu apa
sebabnya, ada pula orang membantu kau secara membingungkan kau."
34
Tergerak hati Pwe-giok mendengar kata-kata yang penuh arti ini, ia menghela napas dan
menjawab: "Ya, betul......"
Mendadak Ang-lian Pangcu berhenti tertawa, sorot matanya menatap Pwe-giok tajam-tajam,
lalu menambahkan: "Apalagi, melihat gerak-gerikmu, soal kau dapat menghadiri pertemuan
Hong-ti atau tidak, tampaknya sangat besar sangkut-pautnya dengan dirimu."
"Ya, besar sekali sangkut-pautnya, menyangkut soal mati dan hidup!" jawab Pwe-giok dengan
pedih.
"Itu dia," kata Ang-lian Pangcu. "Maka kalau banyak orang yang tiada sangkut-pautnya dapat
menghadiri rapat besar ini, sebaliknya kau tidak dapat, bukankah hal ini sangat tidak adil?
Dan segala apa yang tidak adil di dunia ini, aku justru ingin ikut campur."
"Sungguh Cayhe sangat berterima kasih atas kebijaksanaan Pangcu," kata Pwe-giok dengan
tunduk kepala.
Mendadak Ang-lian Pangcu berkata pula dengan mengulum senyum: "Apalagi tidak lama lagi
kau akan menjadi Ciangbunjin (ketua) Bu-kek pay, tatkala mana sekalipun kami mengundang
kehadiranmu mungkin akan kau tolak."
Seketika Pwe-giok mendongak dan berseru: "Dari....... darimana kau tahu....."
Belum lanjut ucapannya, sekonyong-konyong terdengar suara "blang" yang keras, habis itu di
luar kemah terdengar suara tetabuhan dibunyikan, menyusul seseorang lantas berteriak:
"Pertemuan Hong-ti segera akan dimulai, dengan hormat para Ciangbunjin dipersilahkan
menempati tempatnya masing-masing."
Suara orang itu sangat keras dan lantang sehingga berkumandang sampai jauh.
Ang-lian Pangcu lantas menggandeng tangan Ji Pwe-giok dan keluar kemah, katanya dengan
tertawa: "Sudah menjadi kelaziman setiap orang yang menjadi Pangcu kaum jembel ini,
bukan saja harus ikut campur urusan orang lain, bahkan juga harus serba tahu. Mengenai cara
bagaimana aku mengetahui hal-hal sebanyak ini, kukira lain hari kau akan tahu sendiri."
*****
Dikelilingi ke-13 kemah besar itu, di tengahnya adalah sebuah panggung raksasa, di seputar
panggung sudah berkumpul para undangan, hampir semua inti ksatria di seluruh jagat telah
berkumpul di sini.
Di atas panggung terdapat sebuah tungku tembaga ribuan kati, asap tampak mengepul
bergulung-gulung dari tungku tembaga itu, di kedua samping tungku ada 13 buah kursi besar.
Saat itu ke-13 kursi sudah diduduki delapan atau sembilan orang, seorang Hwesio berjenggot
putih dan berkasa kuning berdiri di depan tungku, meski perawakannya kurus kering, tapi
sikapnya gagah dan kuat.
35
Di bawah panggung, di bagian depan, juga terdapat tiga baris kursi, yang duduk di situ ratarata
adalah tokoh-tokoh Bulim yang terhormat, tapi barisan kursi pertama masih kosong
semua, entah diperuntukkan siapa kursi baris depan ini.
Dengan suara pelahan Ang-lian Pangcu lantas berkata kepada Pwe-giok: "Aku harus naik
panggung untuk mulai bereaksi, silahkan kau cari suatu tempat duduk. Jika kau sungkansungkan,
tentu orang lain yang beruntung."
Pwe-giok mengiakan. Baru saja ia mendapatkan suatu tempat duduk, dilihatnya Ang-lian
Pangcu sudah membawa enam murid Kay-pang naik ke atas panggung diiringi dengan suara
tetabuhan, orang yang bersuara lantang tadi segera berseru: "Ang-lian Pangcu dari Kaypang!"
Suaranya berkumandang jauh, para hadirin sama mendongak, baru sekarang Pwe-giok
melihat jelas wajah si pembawa acara yang mukanya hitam seperti pantat kuali, matanya
sebesar gundu, perawakannya tinggi.
Betapa tinggi perawakannya dapat dibandingkan ketika Ang-lian Pangcu lewat di
sampingnya, ketua Kay-pang itu hanya setinggi pundaknya.
Namun pandangan semua orang justru terpusat kepada Ang-lian-hoa yang pendek kecil itu,
sekalipun si pembawa acara lebih tinggi satu meter lagi juga tidak diperhatikan orang.
Tanpa terasa Pwe-giok tertawa senang.
Mendadak seorang di sebelahnya berkata: "Kawanmu begitu keren, kau pun ikut gembira,
bukan?"
Suara itu kedengaran dingin dan angkuh, tapi nyaring merdu. Waktu Pwe-giok menoleh,
dilihatnya sepasang mata yang bersinar dingin tapi juga mesra itu.
Kiranya tanpa sengaja ia kebetulan berduduk di sebelah Kim-yan-cu. Terpaksa ia
menjawabnya dengan menyengir saja.
Belum lagi dia buka suara, mendadak Sin-to Kongcu berbangkit dan berkata kepada Kim-yancu:
"Adik Yan, marilah kita pindah tempat duduk saja,"
"Memangnya tempat ini kenapa?" jengek Kim-yan-cu.
"Tempat ini mendadak berbau busuk," kata Sin-to Kongcu.
"Kalau kau bilang bau busuk, boleh kau pindah sendiri saja, aku tetap duduk di sini," ujar
Kim-yan-cu.
Pwe-giok tidak tahan, segera ia berdiri dan bermaksud melabrak orang, tapi tangan Kim-yancu
yang halus sempat menariknya.
Melihat itu Sin-to Kongcu tambah gregetan, ia melototi Pwe-giok. Lalu berkata dengan
gemas: "Baik, aku akan pindah ...." mulut bicara begitu, tapi pantatnya tetap duduk di tempat
semula.
36
Diam-diam Pwe-giok tertawa geli, tapi juga serba runyam. Meski dia belum pernah
merasakan pahit getirnya "cinta", tapi sudah dapat dibayangkannya rasanya pasti manis juga
getir dan memusingkan kepala. Melihat sorot mata Kim-yan-cu yang dingin hangat itu, entah
mengapa, tiba-tiba ia jadi teringat kepada kerlingan mata Lim Tay-ih:
Kerlingan mata yang lembut dan juga keras, begitu bening sorot matanya, tapi entah mengapa
selalu mengandung perasaan rawan dan penuh misteri, seakan-akan rela menyerahkan
segalanya kepadanya, tapi entah sebab apa pula si nona tega menipunya dan mencelakainya
dengan menyangkal keterangan yang pernah dikatakan kepadanya itu.
Selagi dia melamun sendiri, mendadak terdengar si protokol berteriak pula: "Hay-hong Hujin,
Pangcu Pek hoa pang tiba!"
Pwe giok terkejut dan cepat menengadah, segera tercium bau harum menusuk hidung,
dilihatnya 12 gadis berbaju sutera dan berhias bunga mutiara di kepalanya menggotong
sebuah tandu penuh hiasan bunga beraneka warna muncul dari sebelah kiri. Bau harum bunga
semerbak itu tersiar jauh, biarpun orang yang berdiri paling belakang juga pasti dapat
menciumnya.
Di dalam tandu yang penuh bertumpukan bunga itu bersandar seorang perempuan cantik tiada
bandingannya dengan baju sutera tipis, pelahan-lahan ia turun dari tandunya dengan dipapah
oleh dua gadis cantik.
Baju suteranya yang tipis panjang itu melambai-lambai, tubuhnya meliuk lemas seperti tak
bertenaga, seakan-akan berjalan saja malas, dengan setengah bersandar pada kedua dayang
yang memapahnya itu, pelahan-lahan ia naik ke atas panggung.
Melihat pinggangnya yang ramping, hampir semua orang sama menahan napas, sampai agak
lama baru semua orang menyadari mereka belum melihat jelas wajah si jelita. Maklum,
gayanya saja sudah membuat sukma mereka melayang ke awang-awang sehingga mereka
lupa untuk melihat wajahnya.
Mendadak Kim-yan-cu menghela napas pelahan, ucapnya: " Sicantik dipapah lemas tak
bertenaga, ratusan bunga paling indah bunga Hay-hong .... Ai, nyonya Hay-hong-kun ini
memang benar-benar cantik tiada bandingannya."
Ucapannya ini dengan sendirinya ditujukan kepada Ji Pwe-giok, tapi anak muda itu sama
sekali tidak menggubrisnya, pandangannya masih terus berjelilatan kian kemari untuk
mencari, di antara ke 13 Ciangbunjin penyelenggara pertemuan ini sudah datang 12 orang.
tapi orang yang diharapkannya ternyata tiada seorangpun yang muncul.
Apakah jalan pikirannya yang keliru, jangan-jangan mereka memang tidak hadir.
Dalam pada itu di tengah kerumunan orang banyak sudah ramai orang berbisik-bisik: "He,
mengapa Hi-ciangbun dari Hay-lam-kiam-pay belum nampak hadir?"
"Perjalanan dari lautan selatan terlalu jauh, mungkin dia malas datang."
37
"Tidak mungkin, kemarin dulu kulihat dia minum arak di restoran Wat-pinlau di kota Khayhong,
malahan telah terjadi tontonan yang menarik di sana."
"Wah, apa betul? Tontonan menarik apa?"
"Kebetulan Kim-si-ngo-hou (lima harimau keluarga Kim) juga minum arak di restoran itu,
cuma lucu, mereka tergolong kawanan Kangouw, tapi Hi-tay ciangbun yang termasyhur itu
ternyata tidak mereka kenal dan terjadilah pertengkaran. Hui-hi-kiam benar-benar pedang
paling cepat di dunia, sekali sinar pedang berkelebat, tahu-tahu kelima Kim bersaudara lantas
...."
Mendadak ia berhenti bicara, suara berisik itupun sirap.
Rupanya mereka terkesiap ketika mendadak melihat seorang pendek gemuk berbaju hijau
dengan perut gendut telah muncul. Topi yang dipakainya sudah melorot hingga hampir
terjatuh, dada bajunya terbuka sehingga kelihatan simbar dadanya, pedang yang tergantung di
pinggangnya sangat panjang hingga menyeret tanah, ujung sarung pedang sudah pecah
tergosok-gosok, ujung pedang yang menongol dari lubang yang pecah itu kelihatan
mengkilap.
Meski dipandang orang sebanyak itu, tapi si gendut anggap tidak tahu saja, dia tetap berjalan
dengan sempoyongan menuju ke panggung. Dari jauh sana Pwe giok dapat mengendus bau
arak yang memenuhi tubuh si gendut.
Si protokol berkerut kening melihat kedatangan orang ini, namun tidak urung ia lantas
berteriak :
"Hi tayhiap, ciangbunjin Hay lam kiam pay tiba!"
Mendengar suara ini, ahli pedang dari ke 18 pulau di lautan selatan yang terkenal dengan
julukan "Hui hi gway kiam" atau pedang kilat ikan terbang ini, baru membetulkan topinya
yang miring itu, lalu naik ke atas panggung dan berseru sambil tertawa:
"Jangan-jangan kehadiranku ini agak terlambat, maaf-maaf !"
Ketua Siau lim si, yaitu si Hwesio kurus kering tadi, masih tetap berduduk tenang dan
memberi salam.
Seorang tosu berjubah hitam dengan mata tajam seperti elang dan bertulang pipi menonjol
lantas mendengus:
"Hmm, lambat sih tidak, biarpun Hi heng minum lebih banyak juga takkan terlambat."
Hui hi kiam berkedip-kedip, ucapnya dengan tertawa :
"Minum arak adalah suatu kenikmatan, orang yang tidak biasa minum mana tahu
kenikmatannya, Khong tong pay kalian pantang minum arak, apa yang dapat kukatakan
dengan kalian ?"
Mendadak tosu jubah hitam itu berbangkit, teriaknya dengan bengis:
38
"Pertemuan Hong yi ini sekali-kali tidak boleh memberi kelonggaran kepada manusiamanusia
pemabukan dan gila perempuan ini !"
Dengan kemalas-malasan Hui hi kiam khek Hi soan berduduk di kursinya dan tidak
menggubris lagi kepada si tosu.
Thian in taysu dari Siau lim pay lantas berkata dengan tersenyum:
"Coat ceng toheng hendaklah jangan marah dulu...."
"Orang ini menyepelekan pertemuan besar ini hanya karena minum arak, jika tidak diberi
hukuman setimpal, cara bagaimana kita dapat menegakkan disiplin ?" teriak Coat ceng cu, si
tosu tadi dengan gusar.
Thian in taysu berpaling memandang Jut tun Totiang dari Bu tong pay. terpaksa tosu yang
alim ini berdiri dan angkat bicara:
"Hi tayhiap memang bersalah, tapi...."
Mendadak Ang lian pangcu bergelak tertawa dan menyeletuk:
"Apakah para hadirin mengira kelambatan Hi tayhiap ini benar-benar lantaran minum arak
dan lupa daratan ?!"
Dengan tersenyum Jut Tun Totiang menjawab:
"Silahkan Ang Lian pangcu memberi keterangan, pemberitaan Kay pang dengan sendirinya
jauh lebih cepat daripada orang lain."
Segera Ang lian hoa berseru :
"Semalam Hi tayhiap berhasil memancing "Hun Lin Jit hong" (tujuh kumbang hutan bedak)
ke Tong Wah siang dan sekaligus membunuh mereka, Hi tayhiap telah menyelamatkan sanak
keluarga perempuan yang ikut menghadiri pertemuan ini dari kemungkinan diganggu oleh
kawanan kumbang itu, untuk mana aku Ang Lian hoa lebih dahulu mengucapkan terima
kasih."
Keterangan ini membuat semua orang sama melengak.
Hun Lin jit hong adalah kawanan penjahat yang suka mengganggu kaum wanita, kalau
sampai mereka berhasil menyusup ke tengah-tengah rapat besar ini tanpa ketahuan, apabila
ada anggota keluarga peserta yang tercemar kehormatannya, maka para ketua penyelenggara
tentu akan kehilangan muka. Apalagi Siau lim pay sebagai ketua perserikatan ini, tanggung
jawabnya lebih-lebih sukar terelakkan. Mau tak mau Thian in taysu terkesiap juga setelah
mendapat keterangan Ang lian pangcu.
Tapi Hi soan hanya tersenyum tak acuh, katanya:
39
"Cepat amat berita yang diterima Ang lian pangcu. Padahal urusan sekecil ini untuk apa
disebut-sebut ?"
"Mana boleh dikatakan urusan kecil." kata Thian in taysu dengan prihatin.
"Melulu jasa ini Hi tayhiap sudah pantas menjabat kedudukan bengcu (ketua perserikatan) ini,
bila perlu Siau lim pay bersedia mengundurkan diri."
Kata-kata ini kalau diucapkan orang lain mungkin akan dianggap basa-basi saja, tapi ucapan
yang keluar dari ketua Siau lim pay tentu saja lain bobotnya. seketika para hadirin sama
melenggong.
Segera Hi soan menjawab dengan tegas:
"Jika Ang lian pangcu sudah tahu peristiwa ini, andaikan aku tidak turun tangan pasti juga
Ang lian pangcu akan membereskan secara diam-diam, maka cayhe sama sekali tidak berani
mengaku berjasa."
"Wah, jika begitu kan berarti kedudukan bengcu harus diserahkan kepada Kay-pang ?" cepat
Ang Lian hoa menanggapi.
"Haha, kalau si tukang minta-minta menjadi Bulim bengcu, apakah bukan lelucon yang tidak
lucu ? Budi luhur Thian in taysu cukup diketahui siapapun juga, maka kedudukan bengcu
tahun ini kukira tetap dijabat taysu saja."
Thian in menghela nafas, katanya:
"Akhir-akhir ini sudah kurasakan keloyoanku, ku tahu tidak sanggup memikul tugas berat ini
lagi, maka sudah lama ada maksudku mengundurkan diri, andaikan tidak terjadi peristiwa Hi
tayhiap ini, soal ini tetap akan kukemukakan kepada sidang."
Biasanya kalau Siau lim pay mencalonkan diri, maka Mui pay lain tidak berani berebut lagi
dengan dia. Tapi sekarang Thian in taysu ingin mengundurkan diri secara sukarela, seketika
Jut tun totiang dari butong, Coat ceng cu dari Khong tong, Cia Thian pi dari Tiam jong, Liu
Siok cin dari Hoa san pay, tokoh-tokoh ini menjadi besar harapannya untuk menjadi ketua.
Lin Siok cin tokoh wanita Hoa san pay yang cantik segera mendahului berseru dengan suara
yang nyaring:
"Bu tong pay sudah sama-sama kita kenal kemampuannya, jika Thian in taysu ada maksud
mengundurkan diri, Hoa san pay kami tidak sungkan-sungkan untuk mencalonkan Jut tuh
toheng untuk menggantikannya."
"Hm, tidak sungkan-sungkan," jengek Coat ceng cu "Sayang aku tidak mempunyai adik
perempuan yang menjabat sebagai ketua perguruan ternama dan tidak sungkan-sungkan untuk
mencalonkan kakaknya sendiri."
Kiranya Liu Siok cin ini adalah adik kandung Jut tun totiang. Kakak beradik ini masingmasing
mengetuai suatu perguruan ternama, sebenarnya biasanya suka dipuji oleh orangorang
persilatan, tapi sayang sekarang dijadikan bahan cemoohan Coat ceng cu.
40
Seketika alis Liu Siok cin menjengkit marah, tapi Jut tun totiang hanya tersenyum saja dan
berkata:
"Jika demikian, biarlah aku mencalonkan Coat ceng toheng saja untuk menjadi bengcu."
Mendadak Cia Thian pi berteriak:
"Jika orang lain menjadi ketua, cayhe pasti setuju, kalau Khong tong pay yang menjadi ketua,
731 anggota Tiam Jong pay kami yang pertama-tama tidak tunduk."
Meski Tiam jong pay jauh berada di perbatasan propinsi Hualam, tapi akhir-akhir ini
anggotanya bertambah banyak dan pengaruhnya besar, kekuatannya cukup mengimbangi Bu
tong pay, dengan sendiri apa yang diucapkan ketuanya juga berbobot maka perkataan Cia
Thian pi serentak mendapatkan sorak-sorai di bawah panggung.
Dengan mendongkol Coat ceng cu menjawab: "Kalau begitu, jadi kedudukan ketua sekali ini
harus kubereskan dulu dengan anda, begitu?"
"Bagus, memang sudah lama aku ingin belajar kenal dengan Coat-ceng kiam Khong-tong
pay," kata Cia Thian-pi sambil meraba pedangnya.
Mendadak seorang tua berjubah sulam, berjenggot dan rambut ubanan, wajahnya penuh kudis
berbangkit dan berteriak: "Atas nama 36 pangkalan laut pimpinanku, aku Auyang Liong
mencalonkan Cia tayhiap dari Tiam-jong pay sebagai Bengcu, tentang Coat-ceng Totiang,
kami…"
Belum habis ucapannya, seorang kakek botak di sebelahnya dengan wajah merah seperti anak
muda, mendadak bergelak tertawa terhadap kakek tegap yang berbicara itu, lalu ia pun
berseru: "Tiam-jong pay jauh terletak di perbatasan selatan sana, apabila Cia tayhiap menjadi
Bengcu, maka Auyang Pangcu akan tambah berpengaruh dan meraja-lela di pangkalannya
sendiri."
"Hm, apa maksudmu?" teriak Auyang Liong dengan gusar. "Orang lain takut kepada senjata
rahasia berbisa keluarga Tong kalian dari Sujwan, orang she Auyang ini tidak nanti gentar."
"O, apakah kau ingin mencobanya?" tanya si kakek botak dengan tertawa. Baru tangannya
bergerak, tahu-tahu Auyang Liong sudah melompat mundur.
"Hahaha, besar amat nyali Auyang Pangcu?" ejek kakek dengan tertawa.
Melihat suasana menjadi kacau, Thian-in Taysu tampak sedih, segera ia membuka suara.
"Cara bertengkar kalian ini, bukankah bertentangan dengan maksudku yang sebenarnya?"
Dia berbicara dengan tenang, suaranya perlahan dan tertahan, tapi sekata demi sekata tetap
berkumandang hingga jauh.
Mau tak mau, semua orang lantas diam. Mendadak seorang lelaki tinggi besar dengan muka
hitam serupa si pembaca acara tadi tampil ke depan dan mendekati tungku tembaga, ia
berjongkok sambil meludahi telapak tangannya, tungku yang beribu kati itu lantas
diangkatnya tinggi-tinggi ke atas.
41
Serentak terdengarlah suara sorakan ramai, tanpa terasa Pwe-giok juga berseru memuji akan
tenaga orang.
Segera Kim-yan-cu menanggapi pujian itu. "Orang ini adalah tokoh utama dunia persilatan di
Kwan-gwa, orang menyebutnya "Bu-tek-thi-pah-ong" (Si raja maha kuat tanpa tandingan),
kedua tangannya memang memiliki tenaga yang sukar diukur. Cuma sayang, meski anggota
badannya berkembang melebihi orang lain, tapi otaknya terlalu sederhana."
Pwe giok tetap tidak menghiraukan si walet, dilihatnya Thi pah ong yang mengangkat tungku
raksasa itu berjalan satu keliling di atas panggung lalu menaruh kembali tungku itu ditempat
semula. Ternyata mukanya tidak merah dan napasnya tidak tersenggal, lalu ia berseru :
"Barang siapa sanggup mengangkat tungku ini dan berjalan tiga langkah saja, maka aku akan
mengakui dia sebagai bengcu."
Meski yang berduduk di atas panggung ialah ketua dari berbagai aliran ternama, tapi tenaga
sakti pembawaan demikian memang sukar tertandingi. Seketika suasana menjadi hening dan
tiada yang bersuara.
Selagi Thi pah ong memandang ke sini dan mengerling kesana dengan bangga, tiba-tiba Hay
hong hujin dari Pek hoa pang, mendekatinya dengan langkah lemah gemulai, dengan
kerlingan mata genit ia berkata dengan tertawa:
"Hari ini dapat menyaksikan tenaga sakti Thi pah ong di sini, sungguh aku kagum tak
terhingga."
Tidak menjadi soal jika Hay Hong hujin tidak ketawa, sekali ketawa, maka tidak cuma
orangnya saja yang tertawa, bahkan alisnya, matanya, sampai bunga yang menghiasi
sanggulnya seakan-akan juga tertawa semua.
Biarpun Thi pah ong adalah seorang lelaki kasar, melihat tertawa yang menggiurkan dan
merontokkan sukma ini, mau tak mau ia terkesima lupa daratan, sejenak kemudian barulah ia
berdehem-dehem, lalu berkata: "Terima-kasih atas pujian Hujin."
Hay hong Hujin menengadah memandang wajah Thi pah ong, katanya pula dengan suara
halus : "Tenagamu yang maha sakti ini apakah benar timbul dari kedua tanganmu ini ?"
Dipandang dari jauh saja orang sudah mabuk oleh kecantikannya, apalagi sekarang dia berdiri
di depan Thi pah ong, bau harum tersiar mengikuti suaranya, bau harum yang mirip Lan hoa
(bunga anggrek) tapi bukan lan hoa, rasanya biarpun harum segala bunga di dunia ini
berhimpun menjadi satu masih kalah harumnya daripada bau hay hong hujin ini.
Keruan Thi pah ong menjadi lemas, berdiri saja hampir tidak sanggup, ia mengangguk dan
menjawab : "Ya, timbul dari kedua tanganku ini."
"Apakah boleh ku pegang ?" pinta Hay hong hujin dengan lembut.
Muka Thi pah ong menjadi merah. katanya dengan gelagapan : "Hu… Hujin..."
42
Tapi tangan Hay-hong Hujin yang mulus itu sudah mulai merabai tangan Thi-pah-ong yang
kuat seperti besi itu, Thi-pah-ong terkesima seperti orang hilang ingatan, ia diam saja dan
tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.
Mendadak terdengar Ang-lian-hoa membentak, "Awas Thi-heng..."
Thi-pah-ong terkejut, seketika terasa jari Hay-hong Hujin berubah sekeras baja, tahu2
setengah badannya terasa kaku.
Terdengar suara tertawa nyaring Hay-hong Hujin, tubuh Thi-pah-ong yang gede seperti
kerbau itu telah diangkatnya.
Seorang lelaki sebesar itu diangkat begitu saja oleh seorang perempuan cantik yang
tampaknya lemah tak bertenaga, pemandangan ini sungguh sangat berkesan dan sukar untuk
dilupakan oleh siapapun yang melihatnya.
Semua orang menjadi tertegun dan tidak tahu apakah harus bersorak atau mesti tertawa, yang
jelas tertawa tidak, bersorak juga tidak, menjadi bingung sendiri.
Perlahan-lahan Hay-hong Hujin menurunkan Thi-pah-ong ke tempatnya tadi, dibetulkannya
baju orang yang kusut serta membenarkan rambutnya, lalu berkata dengan suara lembut,
"Sungguh lelaki yang hebat, bilamana Bengcu harus dijabat oleh orang yang bertubuh paling
besar dan berat, maka aku pasti mencalonkan kau."
Habis berkata dengan tersenyum manis dan langkah gemulai ia kembali ke tempat duduknya.
Meski tangannya sudah dapat bergerak, tapi terpaksa Thi-pah-ong menyaksikan si jelita
melangkah pergi tanpa dapat berkutik.
Dilihatnya Hui-hi-kiam-khek telah menyongsong Hay-hong Hujin dan menyapanya dengan
tertawa, "Bunga yang menghiasi sanggul Hujin ini sungguh sangat indah, bolehkah pinjamkan
padaku sebentar?"
Hay-hong Hujin ber-kedip2, ucapnya dengan tertawa, "Apabila Hi tocu kurus sedikit, tanpa
syarat tentu akan kuberikan bunga ini..."
Belum lanjut ucapannya, se-konyong2 sinar pedang berkelebat, angin tajam menyambar lewat
di samping telinganya, tahu2 sekuntum bunga segar yang menghias sanggul Hay-hong Hujin
itu telah dicungkil oleh ujung pedang Hi Soan. Cara bagaimana dia melolos pedang dan cara
bagaimana turun tangannya, ternyata tiada seorangpun yang tahu.
Hay-hong Hujin menyurut mundur dua tiga langkah dengan wajah berubah pucat.
Ang-lian-hoa lantas bergelak tertawa dan berseru, "Kalau bunga Hay-hong Hujin itu sudah
diberikan kepada Hi-heng, sebagai gantinya boleh pakai saja bunga terataiku ini!" Di tengah
gelak tertawanya tertampak bayangan berkelebat.
Waktu semua orang memandang Hay-hong Hujin, ternyata di sanggulnya sekarang sudah
bertambah sekuntum bunga teratai merah.
43
Ginkang yang diperlihatkan Ang-lian-hoa ini sungguh luar biasa, biarpun Kun-lun-pay yang
terkenal dengan ginkangnya juga merasa kalah.
Seketika muka Hay-hong Hujin menjadi pucat, kedua tangannya berselubungkan lengan
bajunya yang longgar, katanya dengan senyum genit, "Dua lelaki besar merecoki seorang
perempuan lemah, apa kalian tidak malu?"
Meski dia tersenyum manis dan berucap dengan lembut, tapi setiap orang tahu Pek-hoa-pang
masih ada ilmu sakti simpanan yang disebut "Sam-sat jiu" atau tebaran tiga maut, yaitu
berupa bunga, hujan, dan kabut. Saat ini ketiga macam senjata rahasia itu sudah siap di dalam
lengan bajunya dan setiap saat dapat dihamburkannya.
Meski lahirnya Hi Soan dan Ang-lian-hoa masih bergelak tertawa, tapi diam2 mereka sama
siap siaga.
"Siau-hun-hoat" atau bunga pencabut sukma, "Sit-kun-uh" atau hujan penyusut tulang dan
"Thian-hiang bu" atau kabut harum semerbak, tiga macam senjata rahasia maut Pek-hoa-pang
ini bila dihamburkan, selama ini belum pernah ada orang yang sanggup lolos dengan selamat.
Sebaliknya semua orang juga tahu kecepatan pedang kilat Hui-hi-kiam-khek, sekali bergerak
hampir tidak pernah meleset.
Dalam keadaan tegang itu, semua orang sama menahan nafas.
Syukurlah Thian-in Taysu lantas menghadang di depan Hay-hong Hujin, katanya sambil
menghormat, "Beribu macam ilmu silat berasal dari sumber yang sama, sedangkan kalian
masing2 memiliki keunggulan dan kelemahan sendiri2, andaikan benar2 saling gebrak kalah
menang pasti sukar ditentukan, yang jelas kalian pasti akan ditertawakan dulu oleh setiap
ksatria di dunia ini."
Semua orang menjadi bungkam dan merasa malu.
Jut-tun Totiang lantas berkata, "Lalu bagaimana menurut pendapat Taysu?"
"Bicara tentang ilmu silat, jelas kalian mempunyai keistimewaannya masing2, dalam hal
nama, kalianpun pimpinan suatu golongan terkemuka," demikian kata Thian-in Taysu. "Maka
untuk kedudukan Bengcu ini, akan lebih baik..."
"Kedudukan Bengcu ini akan lebih baik diserahkan saja kepada Bu-kek-pay kami!" mendadak
seseorang menanggapi dengan bergelak tertawa.
Serentak semua orang berpaling ke sana, tertampak belasan orang muncul dari sebelah kanan,
tampaknya sangat lambat jalannya, tapi baru lenyap ucapan tadi, rombongan mereka pun
sudah berada di depan panggung.
Tentu saja semua orang sama melengak. Tubuh Ji Pwe-giok juga lantas bergemetar,
gumamnya: "Ini dia baru....... baru datang......"
Belasan orang itu terbagi menjadi dua baris, jubah yang mereka pakai berwarna hijau
seluruhnya, semuanya berjenggot, usianya rata-rata sudah di atas setengah abad.
44
Meski wajah belasan orang ini tidak luar biasa, namun sudah cukup membuat para ksatria
terkesiap. Sebab, tiada satu pun di antara belasan orang ini bukan tokoh kelas wahid, andaikan
ada yang belum pernah melihat muka mereka, paling sedikit juga pernah mendengar nama
kebesaran mereka.
Pada baris pertama dua orang di kanan dan kiri masing-masing adalah Leng-hoa-kiam Lim
soh-koan, satu di antara kesepuluh ahli pedang jaman ini, yang lain ialah Kanglam tayhiap
Ong Ih-lau. Di belakang mereka mengikuti Sim Cin-jiang si tumbak perak dari Ih-hian, Sebun
Hong dari Mo-san dan raja bajak Thay-oh Kim Liong-ong.
Pendek kata, belasan orang ini meski bukan sesuatu ketua perguruan ternama seperti ke-13
Mui-pay, tapi nama mereka sama sekali tidak di bawah ke-13 ketua mui-pay besar yang
berada di atas panggung ini.
Kursi baris terdepan yang berada di bawah panggung itu justeru disediakan bagi rombongan
ini, tapi mereka malah langsung naik ke atas panggung. Maka cepat Thian-in Taysu
menyongsong mereka dan menyapa: " Kalian datang dari jauh, disilahkan mengikuti upacara
ini di bawah panggung."
"Kedatangan kami ini bukan cuma sebagai peninjau saja," dengan suara lantang Lim Sohkoan
lantas berkata.
Thian-in rada melengak, ia tetap bersikap hormat, katanya dengan tersenyum: "Bilakah kalian
masuk menjadi anggota Bu-kek-pay? Ah, janganlah kalian bergurau!"
"Waktu kami masuk perguruan, tidak sempat mengundang Taysu untuk ikut menyaksikan
upacaranya, untuk ini mohon dimaafkan," kata Lim Soh-koan.
"Ah, tidak soal," ujar Thian-in. "Tapi Ji Ciangkun kalian......"
Mendadak di belakang sana seorang menanggapi dengan tertawa: "Sudah sekian tahun tidak
bertemu, baik-baikkah Taysu selama ini?!"
Cepat Thian-in Taysu berpaling, dilihatnya seorang tua dengan baju longgar dan berwajah
lonjong, sikapnya tenang dan sabar seperti dewa, siapa lagi dia kalau bukan ketua Bu-kekpay,
Ji Hong-ho adanya.
Ternyata di depan mata orang banyak, secara diam-diam ia telah naik ke atas panggung,
sampai-sampai Coat-ceng-cu yang berdiri paling belakang sana juga tidak mengetahuinya.
Mau tak mau Thian-in Taysu melengak, cepat ia memberi hormat dan menyapa: "Ji-heng
laksana dewa yang hidup di surga-loka, tak tersangka hari ini benar-benar menginjak pula
dunia ramai. Ini benar-benar sangat beruntung bagi dunia Kangouw, pertemuan ini dihadiri Jiheng,
tak sesuatu lagi yang perlu kukuatirkan."
Di balik ucapannya ini seolah-olah hendak mengatakan bahwa jabatan ketua Perserikatan
Hong-ti ini jelas tak dapat dijabat orang lain terkecuali Hong-ho Lojin atau si kakek Hong-ho.
Padahal Hong-ho Lojin memang juga tokoh yang paling dihormati dan menjadi pujaan setiap
peserta rapat ini.
45
Meski Coat-ceng-cu dan lain-lain tetap merasa berat untuk menarik diri dari pencalonan
jabatan ketua itu, tapi melihat Bu-kek-pay kini telah didukung oleh berbagai tokoh terkemuka
golongan lain, mau tidak mau mereka tidak berani banyak omong lagi.
Segera Jut-tun Totiang mendahului buka suara: "Apabila Hong-ho Toheng sudi memegang
pimpinan pula, sudah tentu anak murid Bu-tong akan merasa sangat beruntung."
"Anak murid Khong tong juga sudah lama mengagumi kepribadian Hong-ho Lojin," seru
Coat-ceng-cu.
Auyang Liong juga berteriak: "Mendiang guruku juga sering menyatakan bahwa Ji locianpwe
adalah seorang paling bijaksana, tak tersangka hari ini dapat kutemui di sini. Bilamana Ji
locianpwe sudi memimpin perserikatan ini, para kawan yang hidup di atas air pimpinanku
dengan ini menyatakan akan tunduk di bawah perintah."
Suara Hay-hong Hujin yang nyaring juga berseru: "Ji-ciangbun luhur budi dan bijaksana tentu
bukanlah manusia yang suka menganiaya anak perempuan. Pek-hoa Pang kami memang tidak
tunduk kepada siapa pun juga terkecuali kepada Ji cianpwe."
Sampai di sini, melihat gelagatnya jelas jabatan ketua sudah diputuskan dengan suara bulat.
Semua orang, baik di atas maupun di bawah panggung sama bertepuk tangan dan bersorak
gembira. Hanya Ang-lian-hoa saja yang tidak memberi reaksi apa-apa, dengan pandangan
heran dan sangsi ia terus mengawasi sikap Ji Pwe-giok.
Dalam pada itu, terdengar Hong-ho Lojin sedang berkata dengan tersenyum: "Sebenarnya
Losiu (orang tua lapuk) sudah terbiasa hidup malas dan tiada maksud apa pun, tapi
lantaran....."
Mendengar suara ini, Pwe-giok tidak tahan lagi, mendadak ia melompat ke atas, seperti orang
gila saja dia menerjang ke atas panggung sambil berteriak dengan suara parau: "Orang ini
bukan ayahku! Dia palsu!"
Seketika senyap suara sorak-sorai tadi, semua orang sama melenggong kaget.
"Pwe-giok, apa kau sudah gila?" bentak Lim Soh-koan dengan gusar.
Berbareng Sebun Hong dan Kim Liong-ong menubruk maju, akan tetapi mereka lantas
diseruduk Pwe-giok hingga tergetar mundur.
Dengan kalap Pwe-giok menerjang ke depan "Hong-ho Lojin" dan membentak:
"Sesungguhnya siapa kau? Berani kau memalsukan ayahku?!"
Di tengah bentakannya ia terus menjotos, akan tetapi semacam tenaga lunak dan sukar ditahan
telah membuat tubuhnya terpental. Karena itu, Ong Ih-lau dan lain-lain lantas memburu maju
dan membekuknya.
Dengan suara berat Thian-in Taysu berkata: "Orang muda mana boleh berlaku sekasar dan
tidak sopan begini, ada persoalan apa hendaklah dibicarakan secara baik-baik saja."
46
"Kau anak murid siapa?" Jut-tun Totiang lantas bertanya.
"Tecu Ji Pwe-giok," seru Pwe-giok dengan menggertak gigi dan air mata bercucuran.
Sorot mata Thian-in Taysu beralih ke arah Ji Hong-ho, tanyanya: "Apakah benar dia
putramu?"
Ji Hong-ho tersenyum pedih, katanya sambil mengangguk: "Anak ini.... Ai, dia ....." sampai di
sini dia lantas menghela napas panjang dan tidak melanjutkan.
Jut-tun Totiang lantas membentak Pwe-giok: "Mengapa kau berani berbuat kasar begini
terhadap orang tua?"
Kedua lengan Pwe-giok terasa kaku dan tak dapat berkutik lagi, dengan suara parau ia
berteriak: "Dia bukan ayahku! Ayah sudah meninggal, di sampingku beliau meninggal!"
Thian-in dan Jut-tun saling pandang sekejap dengan air muka berubah.
Oh Ih-lau lantas menyela: "Anak ini benar-benar sudah gila, masa ngaco-belo tidak keruan."
"Ya, dia memang gila," tiba-tiba Cia Thian-pi menukas. "Pagi tadi dia datang menumpang
keretaku, tapi dia menuduh aku membunuh ayahnya. Padahal jejakku selama beberapa hari
terakhir ini tentu diketahui oleh kalian, syukur sekarang Ji Locianpwe berada di sini, kalau
tidak....... wah!"
Meski dalam hati orang banyak timbul rasa curiga, tapi setelah mendengar keterangan ketua
Tiam-jong pay ini, mereka pun sama menggeleng dan menghela nafas gegetun.
Apakah ucapan tokoh-tokoh angkatan tua yang terhormat dan disegani ini lebih dapat
dipercaya atau harus percaya kepada penuturan seorang pemuda yang tampaknya kurang
waras ini? Tanpa dijawab pun kiranya sudah jelas.
Hancur luluh perasaan Pwe-giok melihat air muka para hadirin yang merasa tidak senang
terhadap tindakannya itu, air matanya berderai bagaikan hujan. Musibah yang dideritanya dan
fitnah yang diterimanya apakah sejak kini akan tenggelam ke dasar lautan dan tak dapat
dibongkar lagi?
Lim Soh-hoan memandang sekeliling, dengan sendirinya ia pun dapat melihat sikap orang
banyak yang menguntungkan pihaknya, dengan suara bengis ia lantas membentak: "Berani
kepada atasan dan mengacau di sidang khidmat ini, durhaka kepada orang tua dan menuduh
secara ngawur, dosanya ini harus dihukum mati dan sukar diampuni. Orang she Lim terpaksa
harus mengenyampingkan hubungan keluarga dan melaksanakan keadilan bagi dunia
Kangouw."
Jika ayah mertuanya saja sudah begitu bicaranya, orang luar mana ada yang berani ikut
campur lagi.
Segera Lim Soh-koan melolos pedangnya terus menusuk.
"Nanti dulu!" mendadak seseorang membentak.
47
Tahu-tahu tangan Lim Soh-koan yang memegang pedang dicengkeram orang seperti terjepit
tanggam, sehingga badannya terasa kaku dan tak bisa berkutik.
"Ang-lian Pangcu, masa kau mem... membela anak durhaka ini?" teriak Lim Soh-koan.
Yang mencengkeram tangannya memang betul Ang-lian-hoa, ia tidak perdulikan ucapan
orang, tangan yang lain menepuk pundak Pwe-giok, katanya dengan tertawa: "Memang agak
keterlaluan kelakar ini, tapi rasanya sudah cukuplah sekarang!"
Ucapan ketua Kay pang ini membikin beribu-ribu orang, baik di atas maupun di bawah
panggung, semuanya sama tercengang.
"Kel.... kelakar apa maksudmu?" tanya Lim-soh-koan dengan terkesiap.
Ang-lian-hoa bergelak tertawa, katanya: "Setiap kali sidang pertemuan Hong-ti berlangsung,
suasana selalu terasa sangat tegang, karena itulah Siaute lantas mencari akal ini agar dapat
sekedar mengendurkan urat syaraf para hadirin."
Thian-in saling pandang dengan Jut-tun Totiang, sedangkan Ong Ih-lau, Lim Soh-koan dan
konco-konconya sama melenggong seperti patung.
Sekali tepuk Ang-lian-hoa membuka hiat-to Pwe-giok yang tertutuk, lalu katanya pula:
"Sekarang kita mengakhiri kelakar ini dan bolehlah kau bicara dengan sejujurnya."
Pwe-giok menunduk dan mengiakan, mendadak ia lantas menengadah dan tertawa, ia terus
menyembah kepada Ji Hong-ho dan berseru: "Anak terlalu kurang ajar, mohon ayah sudi
memberi ampun."
Wajah Ji Hong-ho tampak kurang senang, katanya sambil terbatuk-batuk: "Kau.... hk, hk....
kau terlalu.... terlalu..... hk, hk....."
"Nah sudahlah, ayahmu sudah memberi ampun padamu, lekas kau bangun!" seru Ang-lianhoa.
Sampai di sini, ada sementara orang sudah mulai tertawa, mereka merasa "kelakar" ini
sungguh sangat menarik. Sebaliknya Lim-soh-koan, Ong Ih-lau dan lain-lain sama menyengir
bingung mimpi pun mereka tidak menduga akan terjadi perubahan begini.
Cia Thian-pi menghela nafas lega, ucapnya dengan tertawa: "Memang seharusnya sudah
kuduga ini adalah kelakar yang disutradarai Ang-heng."
Ang-lian-hoa berkedip-kedip dan menjawab dengan tertawa: "Memang, seharusnya sudah
tadi-tadi kau duga, mustahil di dunia ini ada manusia sembrono begini, masa menuduh kau
membunuh ayahnya tanpa berdasar?"
Cia Thian-pi terbahak-bahak, agaknya makin dipikir terasa semakin lucu.
"Kelakar ini tidak ditujukan kepada orang lain, tapi justeru tertuju kepada Ji locianpwe yang
bijaksana dan baik hati, tidak nanti beliau marah hanya karena sedikit urusan ini."
48
"Hk, hk,.... anak ini...... hk, hk,......" selain batuk-batuk saja, memangnya apa yang dapat
dikatakan Ji Hong-ho?
Segera Ang-lian-hoa membangunkan Pwe-giok dan berkata: "Gara-gara berkelakar, kau yang
terpaksa harus berlutut dan minta ampun, harap aku dimaafkan."
"Nanti dulu," mendadak Lim Soh-koan membentak.
"Apakah kaupun ingin dia menyembah dan minta ampun padamu seperti perbuatannya
terhadap ayahnya?" tanya Ang-lian-hoa.
"Sidang Hong-ti ini masa kau anggap tempat berkelakar seperti anak kecil begini?" seru Lim
Soh-koan dengan bengis. "Perbuatan yang tidak sopan dan tidak masuk akal begini apakah
cukup dengan menyembah dan minta ampun saja?"
"Habis, mau apalagi kalau menurut pendapat anda?" tanya Ang-lian-hoa.
"Melulu kesalahan mempermainkan orang tua sudah harus dihukum dengan memunahkan
ilmu silatnya dan dipecat dari perguruan," bentak Lim Soh-koan.
Ang-lian-hoa tersenyum dan bertanya: "Apakah anda ketua sidang pertemuan ini?"
"Bu....... bukan," jawab Lim Soh-koan.
"Apakah anda ayah Ji Pwe-giok?" tanya Ang-lian-hoa pula.
"Bukan," jawab Lim Soh-koan dengan muka merah.
Mendadak Ang-lian-hoa menarik muka, katanya: "Kalau begitu, lantas anda ini orang macam
apa? Dengan hak apa kau bicara di atas panggung ini?"
Sorot mata Ang-lian-hoa mendadak berubah tajam sehingga Lim Soh-koan tidak berani
menatapnya, ia menunduk dan tidak berani bicara lagi.
Ang-lian-hoa lantas memberi hormat kepada segenap hadirin, lalu berkata: "Kelakar ini sama
sekali adalah karena doronganku, jika para hadirin merasa Siaute bersalah, kalau harus
dipukul, Siaute terima dipukul, kalau mesti dihukum, Siaute juga rela dihukum."
Kay-pang adalah organisasi Kangouw terbesar selama 80 tahun, anggotanya beratus ribu
bahkan jutaan banyaknya dan tersebar di seluruh negeri, usia Ang-lian-hoa masih sangat
muda, tapi kepribadiannya, kecerdasan dan tinggi ilmu silatnya dipuji oleh setiap orang
kangouw. Sekarang dia bicara blak-blakan begitu, siapa yang berani bermusuhan dengan dia
dengan menyatakan dia harus dipukul atau dihukum.
Apalagi persoalannya tidak menyangkut kepentingan sendiri, kebanyakan di antaranya lebih
suka tidak ikut campur. Hanya Hui-hi-kiam-khek saja, sambil meraba pedangnya ia berkata
dengan tertawa: "Menurut pendapatku, Ang-lian-pangcu justru telah menghibur kita di tengah
ketegangan ini, bukannya dihukum seharusnya dia harus mendapat pahala, maka aku
mengusulkan dia harus disuguh tiga cawan arak!"
49
Thian-in Taysu termenung sejenak, katanya kemudian: "Kukira urusan ini serahkan saja
kepada keputusan Hong-ho Lojin!"
Ji Hong-ho berdiam cukup lama, belum lagi bicara, tiba-tiba suara seorang tajam melengking
terdengar di bawah panggung sana: "Sebuas-buasnya harimau juga tidak makan anaknya
sendiri, kukira persoalan ini pasti tidak diusut lebih lanjut oleh Ji Locianpwe!"
Air muka Ji Hong-ho tampak berubah demi mendengar suara itu, segera ia pun berkata
dengan tertawa getir: "Jika Ang-lian Pangcu sudah bicara bagi anak ini, biarlah kuberi ampun
padanya sekali ini."
Serentak terdengarlah suara sorak-sorai di bawah panggung. Pada kesempatan itu Ang-lianhoa
lantas mendekati Bwe Su-bong dan membisikinya: "Lekas pergi mencari tahu, siapa
orang yang bicara tadi?"
Diam-diam Bwe Su-bong lantas melayang turun melalui belakang panggung. Sedang Anglian-
hoa berlagak seperti tidak terjadi apa-apa, ia maju pula ke depan panggung dan memberi
hormat kepada segenap hadirin sambil mengucapkan terima kasih. Lalu ia tepuk-tepuk
pundak Pwe-giok dan berkata: "Nah, untuk apalagi kau berdiri di sini? Pergilah ganti pakaian
dan sediakan arak, tunggulah kedatangan ayahmu nanti."
Pwe-giok memandangnya sekejap, entah betapa rasa terima kasihnya yang terkandung dalam
sorot matanya ini. Lalu, ia pun memberi hormat kepada para hadirin dan berlari meninggalkan
panggung.
Terpaksa Lim Soh-koan, Ong Ih-lau dan lain-lain hanya memandangi kepergian anak muda
itu dengan melongo, bagaimana perasaan mereka sukar untuk diketahui orang lain.
Tiba-tiba Sin-to Kongcu mengomel: "Sialan!"
Kim-yan-cu lantas menjengek: "Huh, orang sekarang resminya adalah putera Bu-lim Bengcu,
betapa pun kedudukannya sudah jauh lebih terhormat daripadamu, kukira janganlah kau cobacoba
merecoki dia."
Tidak kepalang gemas Sin-to Kongcu, ia hanya melotot dan menggertak gigi, tapi tak sanggup
bicara lagi.
*****
Setelah turun dari panggung, tanpa berpaling Ji Pwe-giok terus berlari meninggalkan
perkemahan sidang, di luar hanya lautan manusia belaka, ia menyelinap ke tengah kerumunan
orang banyak. Orang banyak yang di depan melihat kedatangannya sama memberi jalan
padanya, tapi orang yang di belakang hakekatnya tidak tahu siapa dia sehingga dia mandi
keringat tergencet di sana-sini.
Dengan susah payah tampaknya dia sudah hampir menyelinap keluar dari berjubelnya lautan
manusia, sekonyong-konyong ia merasa pinggangnya seperti tertutuk oleh sesuatu benda
keras, segera ia mendoyongkan tubuh ke depan dengan sekuatnya, tentu saja orang lain tidak
50
tahan oleh gentakan tenaganya yang kuat ini, belasan orang sama tertumbuk jatuh tunggang
langgang.
Pada saat yang sama itulah ia dengar di belakang seperti ada suara orang yang menjerit
tertahan, begitu bersuara lantas berhenti, mirip orang yang baru menjerit dan segera mulutnya
didekap.
Ia pun tidak ingin mencari tahu apa yang terjadi, cepat ia menyelinap keluar dari kerumunan
orang banyak dan berlari ke depan. Tapi lari kemana? Sungguh kusut pikirannya, mana dia
tahu ke mana akan dituju nya?
Setelah tertiup angin barulah ia merasa belakang tubuhnya silir-silir perih, seperti ada cairan
mengalir, ia mengira air keringat, tapi ketika dirabanya dengan tangan dan memandangnya,
ternyata tangannya penuh berlepotan darah segar.
Baru sekarang ia menyadari bilamana tadi dia tidak bertindak cepat dengan mendoyong ke
depan, tentu saat ini dia sudah mati di tengah berjubelnya manusia.
Lalu siapakah yang hendak membunuhnya? Sudah tentu sukar untuk diselidiki.
Teringat kejadian ini, belum lagi keringat hangatnya kering, kembali keringat dingin
merembes lagi.
Seketika tidak keruan rasa hati Ji Pwe-giok, ya pahit ya getir, ya benci ya terima kasih, ya
gemas ya sedih. Jelas tadi orang hendak membunuhnya, tapi ada seorang lain telah menjadi
korban karena dia sempat menyelamatkan diri. Hal inilah yang membuatnya sedih.
Ang-lian-hoa boleh dikatakan baru saja dikenalnya, tapi telah membantunya dengan sepenuh
hati tanpa pamrih, hal inilah yang membuatnya berterima kasih.
Ayahnya dibunuh orang secara keji, tapi keadaan memaksanya sedemikian rupa, bukan saja
dia tidak dapat menuntut balas, bahkan terpaksa harus mengakui musuh sebagai ayah. Untuk
ini masakan dia tidak pedih dan tidak benci ?
Sekarang keluarganya berantakan, dikhianati orangnya sendiri, hari depannya tak menentu
dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya, semua ini membuatnya sedih.
Teringat kepada kejadian tadi, ketika dia harus tertawa dan menyembah kepada musuh dan
mengaku ayah padanya, sungguh ia tidak tahu cara bagaimana dia dapat berlaku tertawa. Bisa
jadi lantaran bencinya sudah merasuk tulang, maka dia harus menuntut balas, dia harus hidup!
sekali kali tidak boleh mati.
Pada saat itulah mendadak di belakang terdengar suara orang berjalan dengan langkah
perlahan, cepat Pwe-giok berpaling, beberapa bayangan orang segara berkelebat dan
sembunyi dibalik pohon dab batu.
Pwe-giok pura-pura tidak tahu, ia tetap melangkah ke depan, tapi sengaja dilambatkan
jalannya. Baru belasan langkah, sekonyong-konyong datang serangan, tiga batang golok, dua
dari atas dan satu dari bawah, serentak membacok dan menebas dengan cepat dan kuat.
51
Secepat kilat Pwe-giok menjatuhkan diri ke depan, sambil setengah bertiarap, kaki kanan
terus mendepak ke belakang.
Kontan terdengar suara jeritan, seorang lelaki terdepak terpental. Dua lainnya karena serangan
tidak berhasil, segera bermaksud kabur.
Akan tetapi Pwe-giok bergerak terlebih cepat, mendadak ia melompat bangun terus
menghantam tepat mengenai punggung salah seorang itu. Lelaki itu sempat berlari beberapa
langkah, tapi tubuh bagian atas terus menekuk ke belakang mirip bambu patah, lalu roboh
terkulai.
Lelaki yang lain merasa tidak dapat kabur lagi, terpaksa ia mengadu jiwa, goloknya
membacok lagi. Tapi sekali pegang, pergelangan tangannya dapat ditangkap oleh Ji Pwe-giok,
segera orang itu menjotos dengan tangan lain, tapi kepalannya juga kena dihimpit di bawah
ketiak oleh Pwe-giok.
Pada waktu biasa lelaki inipun tergolong jagoan, tapi ilmu silat yang dimilikinya sekarang
bagi Ji Pwe-giok jadi seperti permainan anak kecil belaka. Tulang tangannya sama retak,
sakitnya membuatnya hampir kelenger.
Dengan suara bengis Pwe-giok lantas membentak: "Kau bekerja bagi siapa? Asalkan kau
mengaku terus terang segera kuampuni jiwamu!"
Lelaki itu tertawa pedih, katanya: "Apakah kau ingin tahu? tapi selamanya kau tak mungkin
tahu..." suaranya semakin lemah dan mendadak berhenti dengan muka pucat.
Waktu Pwe-giok memeriksa napasnya, hanya sekejap saja lelaki itu ternyata sudah mati. Air
mukanya dari pucat lantas berubah hitam, kulit daging mukanya juga lantas menyusut, sampai
biji mata juga lantas ambles ke dalam dan akhirnya lenyap semua. Hanya sejenak saja
berubah menjadi tengkorak.
Nyata didalam mulut lelaki itu sudah disiapkan racun. Racun ini serupa dengan racun yang
membinasakan Hek-Kap-cu tempo hari itu. Jelas ketiga lelaki inipun didalangi oleh iblis tak
kelihatan yang membinasakan Hong-ho Lojin itu.
Waktu Pwe-giok memeriksa lagi kedua orang lain, yang satu tulang dadanya remuk dan yang
satu lagi tulang punggung patah, semuanya sudah mati sejak tadi. Maklum, terlalu berat
tendangan dan hantaman Pwe-giok bagi mereka.
Pwe-giok menghela napas sedih, ia menunduk, dirasakan tangannya terasa rada gatal. Ia tidak
mengacuhkan dan menggaruk-garuknya. Tak terduga, makin digaruk makin gatal, bahkan
akhirnya rasa gatal itu seakan-akan menggelitik hati.
Tidak kepalang kagetnya, ia tahu gelagat tidak baik, tapi rasa gatal itu sungguh sukar ditahan
dan ingin menggaruknya lagi. Hanya sekejap saja jarinya sudah bengkak, telapak tangan juga
mulai bersemu hitam, rasa gatal itu dari telapak tangan mulai menjalar ke lengan.
Kejut dan takut pula Pwe-giok, ia berusaha menjemput golok orang yang terjatuh di tanah itu,
bilamana perlu ia bermaksud membuntungi tangan sendiri.
52
Akan tetapi jari tangan sudah tidak mau menurut perintah lagi, sudah kaku dan mati rasa,
golok terpegang dan terjatuh pula. Dengan menggertak gigi sekuatnya ia pegang pula golok
itu, akhirnya dapatlah golok itu diangkatnya terus hendak menebas lengan sendiri. Syukurlah
pada detik itu mendadak setitik sinar menyambar tiba, "trang", golok itu tergetar hingga
terlepas.
Pada saat yang hampir sama dua lelaki berjubah panjang dan memakai kedok hitam melayang
keluar dari tempat teduh, yang seorang tinggi kurus, yang lain pendek besar.
Yang jangkung lantas terkekeh kekeh terhadap Pwe-giok, ucapnya: "Gatal, aduh, gatalnya,
nikmat sekali kalau digaruk." Sambil bicara ia terus berlagak seperti orang yang menggaruk.
Tanpa terasa Pwe-giok juga hendak menggaruk pula, tapi mendadak ia tersentak kaget, tangan
kanan terus menghantam tangan kiri sendiri sambil berteriak: "Akhirnya aku terperangkap
juga oleh tipu keji kalian. Jika mau bunuh boleh kalian bunuh saja diriku."
Dengan terkekeh si jangkung berkata: "Baru sekarang kau tahu terperangkap? Padahal
alangkah tangkasnya tadi ketika kau main depak dan pukul membinasakan ketiga kawan kami
ini"
Si pendek juga mengejek: "tentunya kau tahu sekarang bahwa ketiga orang ini sengaja kami
kirim agar kau bunuh, kalau tidak, masa pihak kami mengirim orang tak becus seperti mereka
ini."
Si jangkung lantas menyambung: "Sudah kami perhitungkan, setelah kau bunuh mereka, tentu
akan kau periksa mayat mereka, sebab itulah di baju mereka sudah ditaburi racun, begitu
tanganmu menyentuh bubuk itu, sedikit terasa gatal, segera racun itu akan bekerja terlebih
cepat. Ha ha, bilamana rasa gatal sudah menggelitik, mustahil kau tidak menggaruknya ?"
"Dan sekarang kedua tanganmu sudah bengkak seperti kaki babi, jelas tanganmu tiada
gunanya lagi, coba, apakah kau masih bisa berlagak garang dan memukul orang ?"
Begitulah kedua orang, yang satu jangkung dan yang lain pendek, keduanya bercakap seperti
pelawak di atas panggung, meraka sengaja mengejek dan berolok-olok.
Dengan menggertak gigi Ji Pwe-giok berkata: "Cara kalian mencelakai orang ternyata tidak
sayang mengorbankan kawan sendiri, hm, apakah cara kalian ini terhitung perbuatan manusia,
hakekatnya melebihi binatang buas."
"Ketiga orang itu rela mati demi Cukong kami, kematian mereka harus dipuji, bukan saja
mereka merasa bangga, bahkan anggota keluarga yang ditinggalkan mereka juga akan merasa
beruntung." ujar si jangkung.
"Tapi sekarang kematianmu justeru mati tanpa suara dan tak berbau, bahkan orang lain tiada
yang tahu apakah kau sudah mati atau masih hidup, mungkin ada yang mengira kau telah
melarikan diri karena takut dosamu akan dituntut." sambung si pendek.
Tidak kepalang pedih hati Ji Pwe-giok, ia merasa kematian sudah menanti dan sukar
dihindari, ia tertawa sedih dan berkata: "Sungguh tak tersangka di dunia ini ada manusia
53
sekeji dan kejam seperti kalian ini ..." belum habis ucapannya pandangannya menjadi gelap
dan robohlah dia.
"He he he, bagaimana kalau kita berlomba, kubacok satu kali dan kaupun bacok satu kali,
coba siapa yang lebih dulu membinasakan dia," kata si jangkung dengan terkekeh kekeh.
Si pendek menjawab: "Aha bagus, usul yang menarik..."
Kedua orang lantas menjemput sebatang golok kawan mereka yang sudah binasa ini, lalu
mendekati Pwe-giok pula.
"Sebelum ajalku, apakah kalian tetap tidak mau memberitahukan padaku sesungguhnya
bagaimana bentuk intrik ini dan siapa yang berdiri di belakang semua ini ?" teriak Pwe-giok
dengan parau.
Jilid 3________
"Hehe, apakah kau ingin jadi setan yang tahu duduknya perkara?" tanya si jangkung. "Tidak,
tidak boleh, kau ditakdirkan harus menjadi setan penasaran."
"Bukan kami tidak mau memberitahukan padamu, sebab rahasia di balik urusan ini kami
sendiripun tidak tahu," ujar yang pendek.
Baru habis ucapannya, mendadak ia melonjak kaget seperti melihat setan, jeritnya dengan
ketakutan, "He, ular! ular!" benar juga, kaki kanannya telah dirambati oleh dua ekor ular kecil
berwarna hijau gelap.
Di atas tanah masih ada dua ekor ular lagi dan secepat kilat menyambar ke arah si jangkung.
Tapi gerak tubuh si jangkung juga selicin ular, sekali berkelebat dapatlah ia menghindarkan
pagutan ular, berbareng goloknya lantas menabas dan tepat mengenai muka si pendek,
bentaknya dengan bengis:
"Keluargamu pasti akan ku jaga dengan baik, kau tidak perlu kuatir."
Muka si pendek berlumuran darah, tapi masih sanggup tertawa pedih, katanya, "Te! terima
kasih! aku dapat mati bagi Cu-siang (majikan) sungguh aku sangat! sangat senang!" belum
habis ucapannya ia terus roboh dan binasa.
Dalam pada itu si jangkung sudah melayang pergi beberapa tombak jauhnya, sekali berkelebat
pula lantas menghilang.
Mandi keringat dingin Ji Pwe-giok menyaksikan kejadian itu, pandangannya mulai gelap,
tubuhnya terasa semakin berat dan seolah tenggelam ke lubang gua yang tak terkira dalamnya
dan akhirnya tidak melihat apa2 lagi.
*****
Sang surya sudah terbenam di sebelah barat, jagat raya ini diliputi kekelaman, meski di
musim panas, angin malam mengembus silir2 sejuk, suasana sunyi senyap dan terasa
mencekam.
54
Waktu Pwe-giok siuman, ia merasa tangannya seakan-akan dicocok oleh beribu-ribu jarum,
tangannya yang sudah kaku itu tiba-tiba dapat dirasakan lagi, tapi bukan rasa gatal lagi
melainkan rasa sakit.
Ia membuka mata, dalam keadaan remang-remang terlihat sesosok bayangan berdiri di
depannya tanpa bergerak, rambut orang sudah memutih perak dan bergoyang-goyang tertiup
angin.
Kejut dan girang Pwe-giok. "Bwe!" belum sempat dia berseru, tahu2 mulutnya sudah didekap
oleh Bwe Su-bong.
"Jangan bergerak," kata pengemis tua itu. "Saat ini sedang kusuruh Siau Jing (si hijau), Siau
Pek (si putih), Siau Pan (si loreng) dan Siau Hek (si hitam) menghisap racunmu, asalkan
racun sudah terhisap habis, tentu takkan berbahaya lagi."
Waktu Pwe-giok memandang ke bawah, dilihatnya empat ekor ular kecil menempel di
tangannya, yang seekor berwarna hijau, satu lagi warna putih, yang lain warna belang dan
yang ke empat berwarna hitam bertutul putih. Mungkin itulah ke empat ekor ular Siau Jing
dan lain2 yang disebut Bwe Su-bong tadi.
Memandangi ular2 itu, Bwe Su-bong tampak sangat kasih sayang seperti seorang ayah
terhadap anak-anaknya. Dengan tersenyum ia berkata, "Coba lihat, mereka sangat
menyenangkan bukan?"
Dengan setulus hati Pwe-giok mengangguk. Setelah melihat manusia kejam dan keji tadi kini
melihat pula ke empat ekor ular kecil ini, sungguh ia merasa ular terlebih menyenangkan
daripada manusia.
"Sudah lama, mereka bukan saja menjadi kawan karibku, menjadi anakku, bahkan juga
pembantuku yang setia," tutur Bwe Su-bong dengan tertawa. "Aku sendiri sudah tua, tangan
dan kakiku sudah kaku dan tidak gesit lagi, tapi mereka masih sangat muda." Bicara sampai di
sini, tertawalah dia dengan sangat gembira.
Teringat kepada tingkah laku orang yang digigit ular tadi, mau tak mau timbul juga rasa puas
Ji Pwe-giok. Sudah sekian lamanya, untuk pertama kali inilah hati anak muda ini merasa
senang.
"Tentunya kau tahu sekarang bahwa namaku juga timbul dari kawanan ular ini," tutur Bwe
Su-bong pula. "Orang Kangouw suka menyebut diriku "Bo-su-bang" (tidak ada urusan, sibuk
selalu)! Haha, padahal namaku Bwe Su-bong (Bwe si empat ular), Bo Su-bang dan Bwe Subong,
hehe.. entah keparat siapa yang mencetuskan olok2 ini padaku."
Tiba2 Pwe-giok teringat kepada gerak-gerik kedua orang tadi, yaitu si jangkung dan si
pendek, jelas kepandaian mereka tidak lemah dan pasti tokoh ternama dunia Kangouw. Bwe
Su-bong sudah lama berkelana di dunia persilatan, pengalamannya sangat luas, entah dia
kenal mereka tidak?
Agaknya Bwe Su-bong dapat meraba isi hati Pwe-giok, dengan menyesal dia berkata, "Siapa
orang ini mungkin aku dapat mengenali dia, cuma sayang mukanya telah dihancurkan oleh
55
bacokan golok temannya. Ai, orang itu bukan saja membunuh kawan untuk tutup mulut,
bahkan menghancurkan mukanya, tindakannya yang keji ini sungguh jarang ada
bandingannya."
Dengan sedih Pwe-giok memejamkan matanya, nyata garis petunjuk yang diharapkan ini
kembali lenyap.
"Orang2 ini tidak saja kejam dan keji dengan rencana yang rapi, bahkan cara kerja mereka
sangat cekatan dan bersih," tutur Bwe Su-bong pula. "Tadi sudah kugeledah tubuh mereka
dan tiada menemukan sesuatu benda tanda pengenal mereka."
Lalu pengemis tua ini berjongkok dan memeriksa tangan Pwe-giok, mendadak ia bersuit
perlahan, serentak empat ekor ular kecil itu melepaskan gigitannya dan merambat ke tubuh
Bwe Su-bong, dari kaki merambat ke perut, ke dada dan melintasi pundaknya.
"Anak sayang, tentu kalian sudah lelah. Pulanglah dan tidur!" kata Bwe Su-bong dengan riang
gembira.
Ke empat ular kecil itu juga sangat penurut, beramai-ramai mereka lantas menyusup ke dalam
karung goni di punggung Bwe Su-bong.
"Untung racun yang mengenai dirimu masuknya melalui kulit badan secara tidak langsung,
untung juga tanganmu tiada lubang luka, meski tubuhmu sekarang masih terasa lemah, tapi
pasti tidak beralangan lagi," ujar Bwe Su-bong dengan tertawa.
Pwe-giok tidak mengucapkan terima kasih, ia merasa budi pertolongan sebesar ini tidak dapat
dibalas hanya dengan ucapan terima kasih saja.
Tampaknya Bwe Su-bong sangat gembira, ia bangunkan Pwe-giok dan berkata pula,
"Pertemuan Hong-ti entah sudah berakhir belum, jika sudah ditutup, tentu Pangcu kami
sedang menantikan kedatanganmu. Marilah kita pulang untuk menemuinya."
"Aku! aku tidak ingin kesana," mendadak Pwe-giok berkata.
"Kau tidak! tidak mau menemui Pangcu?" Bwe Su-bong menegas dengan heran.
"Saat ini di sekitarku sedang mengintai berbagai setan iblis yang tak terhitung jumlahnya dan
setiap saat akan turun tangan keji kepadaku, jika ku pulang kesana, mungkin Pangcu akan ikut
terembet," kata Pwe-giok dengan tersenyum sedih.
"Aah, kau kira Ang lian-pangcu itu manusia yang takut urusan?" kata Bwe Su-bong dengan
tak acuh.
Pwe-giok tidak bicara lagi, ia menunduk dan menghela nafas, lalu ikut pengemis tua itu
kesana.
"Tadi waktu kubersihkan racunmu, kudengar sorak sorai gemuruh di tempat sidang sana,
mungkin upacara sumpah setia perserikatan telah berlangsung dengan memuaskan dan
selanjutnya para kawan Bu-lim boleh hidup dengan aman dan tenang lagi."
56
"Hah, apakah betul dapat hidup tenang dan aman?" ucap Pwe-giok dengan tersenyum pedih.
Bwe Su-bong memandangnya sekejap dan menghela nafas panjang. Katanya dengan
tersenyum getir, "Ya, semoga begitu hendaknya!"
Tidak lama mereka berjalan, terlihat di tempat sidang sana cahaya api gemerdep dan
terdengar suara sorak gembira yang sayup2 berkumandang terbawa angin. Cahaya api dan
suara sorakan itu tidak terlalu jauh, tapi bagi penglihatan dan pendengaran Ji Pwe-giok
rasanya seperti ter-aling2 oleh sebuah dunia lain, cahaya terang dan sorak gembira tidak
berani lagi diimpikannya.
"Pertemuan tahun ini tampaknya jauh lebih meriah daripada tahun2 sebelumnya," tutur Bwe
Su-bong dengan gegetun. "Sudah enam kali aku ikut serta pertemuan besar demikian, hanya
sekali ini saja tidak ikut pesta bergembira dengan para kawan peserta rapat! rasanya aku
seperti kurang bersemangat."
"Sehabis pertemuan besar ini apakah selalu diadakan pesta besar?" tanya Pwe-giok.
"Sudah tentu pesta demikian tidak boleh berkurang."
"Tapi hidangannya!"
"Setiap pertemuan Hong-ti, para hadirin selalu membawa hidangan dan arak sendiri," tutur
Bwe Su-bong dengan tertawa cerah. "Habis sidang, beramai-ramai lantas duduk di
perkemahan masing-masing atau mengajak beberapa kawan karib untuk makan minum
dengan gembira, biasanya pesta berlangsung semalam suntuk. Esoknya jarang ada yang dapat
berangkat pagi-pagi."
Wajahnya yang sudah tampak ketuaannya kelihatan bersemangat demi bercerita tentang
pengalamannya di masa lalu, dengan tertawa ia sambung pula, "Beberapa kali pertemuan
besar itu sungguh sukar dilupakan orang, dimana-mana cahaya terang, dimana-mana
berkumandang dendang gembira, di sana-sini mengundang minum, setelah menenggak
beberapa cawan, bisa jadi kau akan jatuh di pangkuan seorang kawan lama yang sudah
belasan tahun tak berjumpa, sekalipun kau tidak sanggup minum lagi dia masih akan
mencekoki kau dengan paksa! Ai, aku sudah tua, hari2 menyenangkan begitu mungkin takkan
kembali lagi."
"Apapun juga, kenangan demikian tetap sangat menyenangkan," kata Pwe-giok dengan
gegetun.
"Betul, manusia harus mempunyai sedikit kenangan yang manis, kalau tidak, cara bagaimana
akan melewatkan malam2 yang sunyi dan musim dingin yang menyiksa!"
Pwe-giok berusaha mengunyah betapa rasanya ucapan pengemis tua itu dan coba
meresapinya, tetapi sukar diketahui apakah pahit atau manis.
Tanpa terasa mereka sudah sampai di depan perkemahan Ang-lian pangcu. Orang2 yang
semula berkerumun di luar kemah sekarang sudah bubar, samar-samar ada cahaya lampu di
dalam kemah. Belum lagi mereka mendekati segera ada orang yang membentak di dalam
kemah, "Siapa itu?"
57
Suaranya kereng berwibawa, ternyata bukan suara Ang-lian hoa. Selagi Pwe-giok terkesiap,
suara Ang-lian hoa yang lantang sudah bergema, "Apakah Bwe Su-bong di luar? Sudahkah
kau bawa pulang domba kecil kita yang tersesat itu?"
*****
Di dalam kemah yang sangat besar itu hanya menyala sebatang lilin merah. Cahaya lilin
gemerdep, bayangan Ang-lian-hoa kelihatan terseret memanjang di tanah, seorang kakek
berjubah warna jingga dan bertopi besar, wajah kehitam-hitaman dan berjenggot panjang, alis
tebal lurus sehingga kelihatan angker, kakek ini berduduk di samping Ang-lian-hoa dengan
tegak, sorot matanya tajam menatap Ji Pwe-giok.
Tanpa terasa Pwe-giok menunduk oleh perbawa si kakek yang kereng ini.
"Akhirnya kau datang juga!." Kata Ang-lian hoa dengan tertawa. "Apakah kau kenal
Locianpwe ini?"
"Ketua Kun-lun pay," jawab Pwe-giok.
"Boleh juga penglihatanmu, sama sekali Thian-kang Totiang tidak bersuara, tapi dapat juga
kau kenali," puji Ang-lian hoa. Mendadak ia berpaling dan tanya Bwe Su-bong, "Dia terkena
racun apa? Siapa yang meracuni dia?"
"Orang yang meracuni dia belum jelas asal-usulnya, racun yang digunakan juga belum
diketahui jenisnya, untung hanya…!"
Belum habis cerita Bwe Su-bong, mendadak Thian-kang Totiang melompat ke samping Ji
Pwe-giok, secepat kilat ia tutuk beberapa hiat-to penting di kedua lengan anak muda itu,
menyusul ia jejalkan satu biji obat ke mulutnya dan berkata, "Jangan bergerak dalam waktu
setengah jam."
Sambil bicara ia telah menutuk 12 hiat-to penting di tubuh Pwe-giok, saat itu pula obat sudah
ditelan anak muda itu, lalu Thian-kang Totiang melayang kembali ke tempat duduknya.
Keruan Pwe-giok melenggong, begitu pula Bwe Su-bong merasa bingung, katanya, "Ini! ini!."
"Memangnya kau kira racunnya sudah habis kau punahkan?" kata Ang-lian hoa.
"Sudah! sudah kuperiksa tadi!"
"Jika Kim-kong-ci dan Hoa-kim-tan terlambat diberikan Thian-kang Totiang, tentu kedua
tangan Ji-kongcu akan cacad untuk selamanya," kata Ang-lian hoa pula.
Tentu saja Pwe-giok terkesiap dan Bwe Su-bong menunduk malu oleh karena tidak menduga
bahwa racun yang disangkanya sudah tuntas dihisap keluar oleh ularnya ternyata belum bersih
sama sekali.
"Lalu bagaimana dengan orang yang kusuruh kau selidiki itu?" tanya Ang-lian hoa.
58
"Hamba sudah menanyai belasan orang, tapi tiada seorangpun yang memperhatikan siapa
yang berteriak itu," tutur Bwe Su-bong. Hanya ada seorang mengatakan bahwa dia melihat
orang yang bersuara itu seperti berbaju hitam!"
"Berbaju hitam?..." gumam Ang-lian hoa dengan mengernyitkan kening.
"Setiap pertemuan besar di sini, orang yang berbaju hitam mulus rasanya tidak banyak," kata
Bwe Su-bong. "Tapi sekali ini menurut penyelidikan hamba, orang berbaju hitam yang ikut
hadir di pertemuan ini ternyata ada ratusan orang, malahan di tengah kerumunan pengunjung
di luar sidang ada pula ribuan orang berseragam hitam. Orang2 ini ternyata belum dikenal,
tampaknya juga tidak lemah ilmu silatnya."
"Orang berseragam hitam! ribuan orang!" gumam Ang-lian hoa. Perlahan-lahan sorot
matanya beralih kepada Thian-kang Totiang, tanyanya kemudian, "Bagaimana pendapat
Totiang terhadap kejadian ini?"
"Racun yang tidak dikenal dan orang yang tidak dikenal, rapi benar perencanaan ini dan sukar
dipecahkan," demikian ucap Thian-kang Totiang dengan suara berat.
"Apakah orang2 berseragam hitam inipun anak murid Bu-kek-pay?" kata Ang-lian hoa.
"Umpama bukan murid Bu kek pay, kukira pasti juga ada hubungannya," ujar Thian-kang
Totiang.
"Sungguh sukar untuk dipercaya bahwa tokoh2 angkatan tua yang terhormat dan disegani
seperti Ji Hong-ho, Lim Soh-koan, Ong Uh-lau, dan lain2 dapat bertindak sekeji ini," kata
Ang-lian hoa dengan gegetun. "Nama baik mereka selama berpuluh tahun tentu bukan palsu,
jika dikatakan mereka tiada niat jahat dan sesuatu intrik tertentu, jelas akupun tidak percaya."
"Nama mereka memang tidak palsu, orangnya yang palsu," seru Pwe-giok dengan parau.
Ang-lian hoa menggeleng, katanya, "Sudah kuamat-amati mereka dengan teliti, jelas tiada
seorangpun yang menyamar atau merias mukanya, apalagi sekalipun mereka berganti rupa
dan menyamar, tentu gerak-gerik dan senyum-tawa mereka tidak semirip ini. Selain itu,
Thian-in taysu, Jut-tun Totiang juga kenalan lama mereka, mustahil penyamaran mereka tak
ketahuan?"
Dengan sedih Pwe-giok menunduk. Apa yang diuraikan Ang-lian hoa itu memang betul.
Tidak perlu orang lain, melulu ayahnya saja, orang ini bukan saja wajahnya mirip benar
dengan ayahnya, bahkan setiap gerak-gerik, setiap tutur kata dan senyum tawanya boleh
dikatakan persis sama. Apabila sebelumnya dia tidak menyaksikan sang ayah meninggal di
depannya, mungkin ia sendiripun tidak percaya orang ini adalah ayahnya yang palsu.
Bwe Su-bong tidak tahan, iapun menimbrung, "Jangan2 mereka kehilangan kesadarannya dan
segala tindak tanduknya berada di bawah perintah orang. Hamba ingat, puluhan tahun yang
lalu di dunia Kangouw juga pernah terjadi peristiwa demikian."
"Orang yang kesadarannya terbius, gerak-gerik dan sinar matanya pasti kaku dan berbeda
dengan orang normal," kata Ang-lian hoa. "Sedangkan mereka jelas kelihatan sehat dan wajar,
sorot mata merekapun jernih dan tajam, tiada tanda2 dipaksa orang atau dibius orang."
59
Thian-kang Totiang menengadah dan menghela nafas panjang, katanya, "Sungguh
perencanaan yang rapi dan sukar dipecahkan."
"Hal ini memang serba aneh," kata Ang-lian hoa pula. "Jika orang2 ini dikatakan palsu, jelas2
mereka bukan palsu, bila dikatakan mereka ini tulen, justru terjadi banyak hal2 yang aneh.
Apakah mereka itu didalangi orang atau mereka sendiri mempunyai intrik tertentu, yang pasti
setelah mereka mengetuai dunia persilatan dengan kekuasaan besar, apa yang akan terjadi
selanjutnya sungguh sukar dibayangkan. Sedangkan di dunia sekarang selain kita berempat
tiada orang lain lagi yang menaruh curiga terhadap mereka."
Setelah tertawa getir, kemudian Ang-lian hoa menyambung pula, "Selama beribu tahun
sejarah dunia persilatan, kukira tiada intrik lain yang terlebih besar dan keji daripada yang kita
hadapi sekarang."
Air muka Thian-kang Totiang bertambah prihatin, katanya dengan perlahan, "Jika ingin
membongkar rahasia ini, kuncinya terletak pada diri Ji-kongcu ini."
"Ya, justru inilah, maka jiwanya setiap saat terancam bahaya," kata Ang-lian hoa. "Sebab
kalau dia mati, maka…!"
Tanpa terasa Bwe Su-bong menimbrung pula, "Bukankah Ji Hong-ho itu sudah mengetahui Ji
Kongcu sebagai putranya, mana dapat membunuhnya lagi?"
"Meski tak dapat membunuhnya secara terang-terangan, kan dapat turun tangan secara
gelap2an?" ujar Ang-lian hoa. "Lalu dibuat sedemikian rupa seolah-olah dia mati kecelakaan,
dengan demikian kan segala urusan menjadi beres?"
"Pantas, tadi ketika kuobati dia, tak kulihat seorangpun yang berani menyergapnya, agaknya
mereka tidak bebas turun tangan bila Ji-kongcu didampingi seseorang," kata Bwe Su-bong.
"Makanya kubilang kalau sendirian dia hendak pergi dari sini sungguh lebih sulit daripada
manjat ke langit, kecuali…!"
Mendadak Thian-kang Totiang memotong ucapan Ang-lian hoa, "Apakah kau tahu urusan apa
yang paling menakutkan sekarang?"
Ang-lian hoa berkerut kening, tanyanya, "Adakah Totiang teringat sesuatu?"
"Apabila hal ini terjadi, kukira Ji-kongcu pasti tak dapat hidup!"
Belum habis ucapan Thian-kang, mendadak di luar ada orang berseru, "Apakah Thian-kang
Totiang berada di sini, Bengcu mengundang untuk berunding sesuatu urusan."
Air muka Thian-kang Totiang rada berubah, ucapnya dengan suara tertahan, "Jangan pergi
dulu, tunggu sampai ku kembali." Segera ia berbangkit dan melangkah keluar.
Ang-lian hoa juga berkerut kening, katanya kemudian, "Biasanya Thian-kang Totiang tidak
suka sembarangan bicara, apa yang dikatakannya tadi pasti ada dasarnya! sesungguhnya apa
yang terpikir oleh dia? Urusan apa yang dimaksudkan nya?"
60
Bwe Su-bong garuk2 rambutnya yang kusut masai itu dan bergumam sendiri, "Menakutkan,
menakutkan, apa yang terjadi memang sudah cukup menakutkan, masa masih ada urusan lain
yang lebih menakutkan? Ai, Ji-kongcu memang…!" dia pandang Pwe-giok sekejap dan tidak
melanjutkan, ia menunduk dan menghela nafas.
Selama hidupnya sudah banyak menemui orang yang bernasib malang, tapi kalau orang2 itu
dibandingkan nasib Pwe-giok sekarang, mereka masih terhitung orang2 yang mujur.
Pwe-giok tersenyum pedih, katanya, "Ku tahu diriku sudah terdesak ke jalan buntu, untung
ada orang seperti Pangcu dan sudi pula membantu aku! aku biarpun mati juga takkan
melupakan budi kebaikan Pangcu ini."
Ang-lian hoa hanya menggeleng-geleng saja dan tidak tahu apa yang harus dikatakan pula.
Mendadak Pwe-giok berkata pula, "Padahal Pangcu tidak pernah kenal diriku, mengapa
engkau menolong diriku dengan sepenuh hati. Setiap orang menganggap aku sudah gila,
mengapa Pangcu percaya penuh padaku?"
"Dengan sendirinya ada alasannya!" perlahan Ang-lian hoa mengeluarkan sebuah kantongan
kain berwarna hijau, kantongan kain ini bersulam indah, seperti dompet kaum gadis
bangsawan, siapapun tidak menyangka Ang-lian pangcu, ketua kaum jembel, bisa menyimpan
barang begini.
Setelah membuka kantongan itu, Ang-lian hoa mengeluarkan secarik kertas dan disodorkan
kepada Pwe-giok dan berkata, "Coba kau lihat sendiri, apa ini?"
Jelas cuma secarik kertas yang kumal, tapi terlipat dengan rajin. Bahwa Ang-lian hoa
menyimpan sebuah kantongan bersulam begitu sudah cukup aneh, di dalam kantongan itu
hanya tersimpan secarik kertas kumal, hal ini lebih2 mengherankan lagi.
Tanpa terasa Bwe Su-bong ikut melongok ke depan dan ingin tahu apa yang terdapat pada
kertas kumal itu.
Pwe-giok lantas membuka lipatan kertas itu, ternyata di atasnya tertulis, "Ji Pwe-giok,
percayai dia, bantu dia."
Huruf itu tertulis dengan rada kabur, tampaknya ditulis dengan tergesa-gesa dengan goresan
benda tajam sebangsa jarum yang ditutulkan pada tanah liat.
Pwe-giok termenung memandangi tulisan itu, katanya kemudian, "Sia! siapa yang menulis
ini?"
"Calon isteri mu," jawab Ang-lian hoa.
Seketika air muka Pwe-giok berubah rada aneh, tapi Ang-lian hoa tidak memperhatikannya.
"Lim Tay-ih maksudmu? Kau kenal dia?" tanya Pwe-giok kemudian.
61
Ang-lian hoa mengangguk, jawabnya, "Tiga hari yang lalu pernah kulihat dia di sekitar
Siangciu. Dia berada bersama ayahnya dan Ong Ih-lau. Sudah lama kukenal dia, tapi waktu
itu dia hanya memandang sekejap padaku seakan-akan sama sekali tidak kenal lagi padaku."
"Memangnya kalian sudah… sudah lama kenal baik?" tanya Pwe-giok.
"Tampaknya kau memang sebangsa Kongcuya yang jarang keluar pintu, masa urusan
Kangouw sama sekali tidak tahu," ujar Ang-lian hoa dengan tertawa. "Pada usia 13 Lim Tayih
sudah berkelana di dunia Kangouw, seterusnya setiap tahun sekali dia pasti mengeluyur
keluar, bahkan telah melakukan beberapa pekerjaan yang mulia, namanya sudah cukup
terkenal di dunia persilatan."
Terbayang oleh Pwe-giok sorot mata Lim Tay-ih yang memperlihatkan sifatnya yang keras
dan berani serta ilmu pedangnya yang cepat dan ganas itu. Terbayang pula tubuh si nona yang
kelihatan lemah itu ternyata memiliki watak yang kuat, mau tak mau Pwe-giok menghela
nafas gegetun, katanya, "Ya, dia memang tidak sama seperti diriku, dia memang jauh lebih
kuat daripadaku."
"Sebenarnya Tay-ih adalah anak perempuan yang lugu dan suka terus terang, tapi hari itu dia
telah berubah sama sekali," ujar Ang-lian hoa. "Ku tahu dalam hal ini pasti ada sesuatu yang
tidak beres. Maka ketika mereka beristirahat, segera kusuruh anggota Kay-pang di Siangciu
untuk menghubungi kuasa hotel tempat mereka mondok, anggota itu kusuruh menyamar
sebagai pelayan hotel. Benar juga, sekali pandang Tay-ih lantas mengenalinya, dia lantas
mencari kesempatan dan diam2 menyerahkan kantongan kain ini kepadanya."
"Pantas kemarin dulu Song-losi dari Siangciu datang terburu-buru minta bertemu dengan
Pangcu, kiranya ingin menyerahkan kantong bersulam ini kepada Pangcu," sela Bwe Su-bong.
Pwe-giok jadi melenggong sambil bergumam, "Kiranya dia sering berkelana di dunia
Kangouw, pantaslah pada hari kejadian itu dia tidak berada di rumah."
Berubah juga air muka Ang-lian hoa, cepat ia menegas, "Di rumahnya terjadi apa? Jangan2
mengenai ayahnya?"
"Ya, dengan sendirinya Lim Soh-koan yang Pangcu lihat itu juga palsu, tapi hari itu…!"
dengan menyesal Pwe-giok lantas menceritakan perubahan sikap Lim Tay-ih yang mendadak
itu ketika berhadapan dengan ayahnya yang palsu, lalu ia melanjutkan ceritanya, "Waktu itu
kukira dia sengaja hendak memfitnah diriku, tak tahulah kalau waktu itu dia sudah memahami
betapa berbahayanya intrik musuh, ia tahu tiada pilihan lain terkecuali mengakui musuh
sebagai ayah. Sedangkan diriku! meski sudah kutunggu sampai sekarang, agaknya terpaksa
akupun harus menempuh jalan yang sama seperti dia! Ai, dia sesungguhnya anak perempuan
yang cerdik."
"Ya, diantara orang2 yang kukenal, baik lelaki maupun perempuan, bila bicara tentang
kecerdikan dan kegesitan bertindak menurut keadaan, mungkin tiada orang lain yang dapat
melebihi dia," kata Ang-lian hoa.
"Tapi! tapi Lim Soh koan itu jelas sudah tahu segalanya, mengapa dia tidak membunuh Tayih
sekaligus?" kata Pwe-giok. "Melihat gelagatnya sekarang, jelas Tay-ih telah berada di
tahanan mereka, mungkin… Mungkin…!"
62
Ang-lian hoa memandangi Pwe-giok dengan tertawa, katanya, "Anak perempuan secantik dan
sepintar dia, dengan sendirinya dia mempunyai akal untuk membikin orang lain tidak dapat
dan tidak tega mencelakai dia. Kukira kita tak perlu berkuatir baginya, sebab kalau ada urusan
yang tak dapat dibereskan oleh dia, maka tiada gunanya orang lain bergelisah baginya."
Habis berkata Ang-lian hoa lantas masukkan lagi kertas tadi ke dalam kantong.
Pwe-giok mengira Ang-lian hoa akan menyerahkan kantong bersulam itu kepadanya, tak
tersangka Ang-lian hoa terus menyimpan kembali kantong itu ke dalam kantong bajunya, lalu
berkata pula, "Apabila kita dapat mengadakan kontak dengan Tay-ih, ku yakin pasti dapat!"
mendadak ia berhenti ketika dilihatnya Thian-kang Totiang telah kembali dengan langkah
lebar.
"Ai, kembali ada persoalan yang memusingkan lagi," kata ketua Kun-lun-pay itu.
Bwe Su-bong terkejut dan bertanya, "Urusan memusingkan apalagi?"
"Ji… dia telah menunjuk diriku sebagai Hou-hoat (pelindung) perserikatan kita ini!" tutur
Thian-kang.
"Hou-hoat?" Pwe-giok menegas.
"Selain Bengcu, perserikatan Hong-ti inipun harus mengangkat salah seorang ketua suatu
perguruan ternama sebagai Houhoat," demikian Ang-lian hoa menjelaskan. "Selama ini, kalau
Siau lim-pay menjadi Bengcu, maka yang diangkat menjadi Hou-hoat adalah Bu-tong-pay."
"Tapi sekali ini kalau Jut-tun Toheng yang diangkat menjadi Houhoat, tentu tindak tanduk
mereka akan kurang leluasa," kata Thian-kang Totiang dengan tersenyum kecut. "Sedangkan
kediaman ku jauh di Kun-lun-san, selamanya jarang ikut campur urusan dunia ramai, jelas
orang she Ji itu mempunyai maksud tujuan tertentu dengan mengangkat diriku sebagai Houhoat."
"Tapi juga lantaran nama Totiang yang memang sesuai untuk menjadi Hou-hoat," ujar Anglian
hoa dengan tertawa. "Kalau tidak, kan lebih baik mereka mengangkat Thi-pah-ong saja
yang jauh tinggal di Kwan-gwa sana?"
Sampai disini mendadak senyuman yang menghias wajah Ang-lian hoa lenyap seketika,
dengan prihatin dia bertanya, "Tadi Totiang bicara tentang urusan…"
Dengan sungguh2 Thian-kang menukas, "Urusan yang kukuatirkan adalah kalau2 terjadi
orang she Ji itu menyuruh Ji-kongcu ikut dia pulang ke rumah, lalu apa yang harus kita
lakukan?"
"Ya, betul juga!." Ang-lian hoa juga terkesiap.
"Bila Ji-kongcu ikut pulang bersama dia akan berarti jatuh di dalam cengkeraman mereka dan
setiap saat ada kemungkinan dicelakai," kata Thian-kang. "Dan kalau sang ayah menyuruh
anaknya sendiri ikut pulang, mana bisa si anak membangkang?"
63
"Ya, bukan saja si anak tidak boleh membangkang, bahkan orang lainpun tiada hak buat
bicara, siapapun tak dapat merintanginya," ujar Ang-lian hoa. "Ai, urusan segawat ini
seharusnya sudah kupikirkan jauh2 sebelumnya."
Bwe Su-bong ikut gelisah, keluhnya, "Wah, lantas bagaimana! bagaimana baiknya?"
"Urusan ini hanya ada satu jalan baik untuk menolongnya," kata Thian-kang.
"Betul, hanya ada satu jalan untuk menolongnya," tukas Ang-lian hoa.
"Terpaksa Ji-kongcu harus melarikan diri selekasnya, begitu bukan?" tanya Bwe Su-bong.
Thian-kang Totiang menggeleng.
"Habis bagaimana kalau tidak lari?" tanya Bwe Su-bong pula dengan gelisah.
"Asalkan Ji-kongcu lekas2 mengangkat seseorang sebagai guru, lalu sang guru minta si murid
ikut pulang untuk belajar, dalam keadaan demikian biarpun ayahnya sendiri juga tak dapat
menolak lagi," tutur Thian-kang dengan perlahan.
"Bagus, bagus sekali, cara ini sungguh sangat bagus!" seru Bwe Su-bong.
Segera Ang-lian hoa berkata dengan tertawa, "Kionghi (selamat) Ji-kongcu mendapatkan guru
bijaksana dan Kionghi kepada Totiang yang mendapatkan murid berbakat."
Pwe-giok jadi melengak. Sedangkan Thian-kang Totiang berkata, "Ah, mana aku sesuai
menjadi guru Ji-kongcu!"
"Di dunia sekarang ini, kecuali Totiang siapa lagi yang sesuai menjadi guru Ji-kongcu?" ujar
Ang-lian hoa dengan tertawa. "Demi kesejahteraan dunia persilatan selanjutnya, kuharap
Totiang sudi menerimanya."
Akhirnya Pwe-giok berlutut dan menyembah. Pada saat itu juga di luar kemah ada orang
berseru memanggil, "Ji Pwe-giok, Ji-kongcu diharap keluar. Bengcu ingin bicara denganmu!"
Ang-lian hoa memandang Pwe-giok sekejap, ucapnya perlahan, "Nah, apa kataku? Setiap
gerak-gerikmu senantiasa diawasi orang, kemanapun kau pergi pasti sudah diketahui."
Bwe Su-bong melenggong juga, kaki dan tangan terasa dingin dan hampir saja tidak dapat
bergerak.
*****
Di luar kemah tampak api unggun menyala di mana2, suasana riang gembira, beribu orang
duduk mengelilingi api unggun di bawah bintang2 yang bertaburan memenuhi langit, silir
angin malam membawa bau harum arak. Kehidupan manusia seyogyanya penuh diliputi
gembira dan bahagia.
64
Akan tetapi Ji Pwe-giok berjalan dengan kepala tertunduk, hatipun pedih dan getir. Saat ini
dia seolah2 berubah menjadi sebuah boneka, segala urusan harus patuh kepada perintah dan
didalangi orang lain.
Terdengar di sana-sini orang sama menyapa, "Ang-lian-pangcu, silahkan mampir dan marilah
minum tiga cawan!"
Ada juga yang menegur Bwe Su-bong, "Hai Bo-su-bong, tampaknya kau masih sibuk selalu.
Apakah kau sudah pantang minum arak?"
Selain itu ada pula yang berseru heran, "He, bukankah itu Ji-kongcu?"
Di tengah sorak gembira itu, seorang pemuda baju hitam melangkah tiba dengan cepat dan
memberi hormat, katanya, "Saat ini Bengcu sedang menunggu di perkemahan Siau-lim-pay."
Ber-turut2 tujuh kali Siau-lim-pay menjabat Bengcu, tapi perkemahannya juga tiada bedanya
dengan pihak lain, hanya beberapa meter di sekeliling perkemahannya tiada orang berani
bergerombol. Hormat orang terhadap Thian-in juga tidak berkurang lantaran sekali ini dia
tidak terpilih lagi sebagai Bengcu.
Saat ini di depan perkemahan Siau-lim-pay tiada seorangpun, cuma dibalik kemah yang gelap
sana samar2 seperti ada bayangan orang berkelebat. Baru saja mereka sampai di depan
kemah, di dalam Thian-in Taysu sudah lantas menegur dengan tertawa, "Jangan2 Ang-lianpangcu
juga ikut datang?"
"Kesaktian Taysu sungguh luar biasa, se-akan2 dapat melihat dari tempat yang jauh," puji
Ang-lian hoa dengan tertawa.
Terlihatlah orang yang disebut Ji Hong ho itu duduk berhadapan dengan Thian-in Taysu dan
sedang minum, Lim Soh-koan, Ong Uh-lau dan lain2 ternyata tidak ikut serta di situ.
Di dalam kemah asap dupa wangi semerbak, masuk di sini rasanya seakan-akan masuk di
suatu dunia lain lagi.
Setelah beramah tamah dan berduduk, kemudian pandangan Ji Hong ho beralih ke arah Ji
Pwe-giok yang berdiri tertunduk di samping sana, dengan senyum kasih sayang seorang ayah
ia berkata, "Anak Giok, apakah badanmu terasa lebih enak?"
"Terima kasih atas perhatian ayah," jawab Pwe-giok dengan hormat.
"Biasanya kau jarang keluar rumah, tidak-tandukmu selanjutnya hendaklah hati2 dan prihatin
agar tidak menjadi buah tertawaan kaum Cianpwe dunia Kangouw," kata Ji Hong-ho pula.
Pwe-giok mengiakan dengan menunduk.
Yang satu memberi petuah dan yang lain mengiakan dengan hormat, tampaknya seperti
benar2 seorang ayah yang kereng dengan seorang anak yang berbakti. Siapa yang menduga
bahwa keduanya sesungguhnya sedang main sandiwara?
65
Sudah jelas Pwe-giok mengetahui orang di depan ini adalah musuhnya, hatinya sangat sakit,
tapi lahirnya dia justru harus berlagak hormat dan menganggap orang sebagai ayahnya.
Sebaliknya Ji Hong-ho juga tahu bahwa pemuda di depannya ini bukanlah anaknya, dalam
hati iapun ingin sekali hantam mampuskan Ji Pwe-giok. Tapi lahirnya dia harus berlagak
kasih sayang kepada seorang anak.
Ang-lian hoa dapat mengikuti semua ini dari samping, dalam hati tak keruan rasanya, entah
duka, entah marah atau merasa geli.
Sejak umur tujuh Ang-lian hoa sudah terjun di dunia Kangouw, adegan ramai apapun pernah
dilihatnya. Tapi permainan sandiwara yang serba konyol ini sungguh belum pernah
ditemuinya. Kalau orang di luar garis saja demikian perasaannya, apalagi orang yang
bersangkutan seperti Ji Pwe-giok, tentu saja sukar untuk diceritakan.
Begitulah Thian-in Taysu lantas berkata pula dengan tersenyum, "Ji-kongcu kelihatan halus di
luar, tapi keras di dalam, di tengah ketenangan jelas kelihatan kecerdasannya, sungguh bakat
yang sukar dicari. Bilamana tidak keliru pandanganku, hasil yang akan dicapai Ji-kongcu di
kemudian hari pasti akan di atas Bengcu sendiri."
Segera Ang-lian hoa berkeplok tertawa, serunya, "Hendaklah Taysu dan Bengcu maklum,
kecuali mempunyai seorang ayah termashur, kini Ji-kongcu sudah mempunyai pula seorang
guru ternama!"
"O, guru ternama?" Ji Hong-ho seperti melengak.
Thian-kang Totiang lantas menukas, "Berhubung melihat putera anda mempunyai bakat
tinggi dan sukar dicari, hatiku jadi tergerak dan secara sembrono telah menerima putera anda
sebagai murid. Untuk ini diharap Bengcu suka memberi maaf atas kelancanganku."
Ang-lian hoa tertawa dan menambahkan, "Ji-kongcu akan merangkap keunggulan kedua
keluarga Bu-kek dan Kun-lun, kelak pasti akan memancarkan cahaya gilang gemilang bagi
dunia persilatan umumnya. Ku yakin Bengcu pasti akan kegirangan, masa menyalahkan
Totiang malah?"
"Ini… ini memang harus berterima kasih kepada Totiang," jawab Ji Hong-ho.
Meski tampaknya tersenyum tapi senyuman kecut atau lebih tepat dikatakan menyengir.
"Besok juga kami akan berangkat pulang ke Kun-lun-san, putera anda…"
Belum lanjut ucapan Thian-kang Totiang, segera Ang-lian hoa menyambung dengan tertawa,
"Ji-kongcu dengan sendirinya harus ikut pergi bersama Totiang. Tentu saja Bengcu tidak
perlu kuatir, kungfu Kun-lun-pay sudah termasyhur, bisa selekasnya belajar kan lebih baik.
Apalagi Bengcu baru mulai menjabat tugas berat, tentu banyak pekerjaan dan tidak sempat
memikirkan pelajaran Ji-kongcu."
Lalu ia tarik tangan Ji Pwe-giok, katanya pula dengan tertawa, "Besok juga kau akan ikut
Totiang ke Kun-lun dan harus belajar dengan giat, jangan harap lagi ada tempo senggang dan
pesiar seperti sekarang ini, andaikan bertemu lagi kelak sedikitnya juga tiga atau lima tahun
66
pula. Mumpung masih berkumpul sekarang, marilah kita pergi minum sepuasnya sebelum
berpisah."
Habis berkata Ang-lian hoa lantas menarik Pwe-giok dan diajak pergi.
Ji Hong-ho jadi melenggong dan tak dapat bersuara.
Dengan tersenyum Thian-in Taysu lantas berkata, "Putera anda dapat berkawan dengan Anglian-
pangcu, rejekinya sungguh tidak kecil."
"Ya, sungguh beruntung!" ucap Ji Hong-ho sembari menenggak teh untuk menutupi rasa
canggungnya.
*****
Esok paginya, baru saja remang2 di ufuk timur, namun sebagian besar para ksatria masih
bergelak tertawa dengan muka merah karena terlalu banyak menenggak arak, ada sebagian
lagi yang tidak dapat tertawa dan sudah roboh tertidur lelap.
Hanya anak murid Kun-lun-pay saja, baik mabuk atau tidak, saat ini dengan khidmat sama
berdiri di depan perkemahan untuk mengantar keberangkatan sang ketua.
Di dalam kemah Ji Pwe-giok sedang menyembah kepada sang "ayah" sebagai tanda mohon
diri. Ber-ulang2 "Ji Hong-ho" memberi pesan, kembali keduanya lagi main sandiwara kasih
sayang antara ayah dan anak.
Habis itu delapan Tojin muda berbaju ungu mengiringi Thian-kang Totiang dan Ji Pwe-giok
melangkah keluar kemah. Di luar tiada kereta atau kuda. Dari Kun-lun-san ke Hongciu, jarak
ribuan li itu ternyata ditempuh kawanan Tojin Kun-lun-pay itu dengan berjalan kaki.
Ang-lian hoa memegangi tangan Ji Pwe-giok, ucapnya dengan tersenyum, "Selamat jalan,
jangan lupa kepada kakakmu yang rudin ini."
"Aku… Cayhe… Siaute…" saking terharunya Pwe-giok tidak tahu cara bagaimana harus
berucap, suaranya menjadi ter-sendat2 dan air mata ber-linang2, akhirnya ia cuma tertunduk
belaka.
Se-konyong2 seorang mendekatinya dan berkata dengan tertawa, "Anak Giok, perpisahan ini
kukira akan makan waktu cukup lama, apakah kau tidak ingin bertemu dulu dengan Tay ih?"
Cepat Pwe-giok menengadah, dilihatnya Lim Soh-koan yang berdiri di depannya.
Pagi2 masih diliputi kabut yang tipis, samar2 disana berdiri bayangan seorang dengan
kerlingan mata sayu, siapa lagi dia kalau bukan Lim Tay-ih?
Melihat bayangan si nona yang lembut, teringat perpisahan ini entah kapan baru dapat
bertemu kembali, seketika Pwe-giok jadi terkesima.
Memandangi mereka, Ang-lian hoa sendiri juga tertegun.
67
Mendadak terdengar Thian-kang Totiang membentak perlahan, "Kehidupan di pegunungan
selalu sunyi, perasaan laki perempuan janganlah ditumbuhkan! Hayolah!" Segera tangan Pwegiok
ditariknya terus melangkah pergi.
Lim Tay-ih masih berdiri di sana dan memandangnya dengan sayu, pada matanya yang jernih
itu entah sejak kapan sudah mengembeng air mata.
"Melihat kepergian kekasih dan tidak dapat berbicara sepatah dua, apakah hatimu tidak
merasa sedih?" demikian tiba2 suara seorang senyaring genta menegur dengan tertawa genit
disertai bau harum semerbak terbawa angin.
Tay-ih tidak berpaling, sebab Ong Ih-lau dan Sebun Bu-kut sudah sampai pula disampingnya,
dengan sorot mata tajam dan kereng kedua orang itu berkata, "Tay-ih, hayolah pergi."
Suara nyaring merdu tadi berkata pula dengan tertawa, "Perempuan bicara dengan perempuan
juga dilarang oleh kalian kaum lelaki?"
Dengan suara berat Ong Ih-lau menjawab, "Selama ini Bu-kek-pay tiada hubungan apapun
dengan murid Peh-hoa-pang."
"Dulu tidak ada, sekarang kan sudah ada," ujar suara genit itu.
Lim Tay-ih hanya berdiri diam saja, rambutnya ber-gerak2 tertiup angin. Sesosok bayangan
lemah gemulai tahu2 melayang tiba di depannya dengan baju tipis berkibar laksana dewi
kahyangan.
Meski sama2 perempuan, mabuk juga Tay-ih melihat sepasang mata orang yang baru muncul
ini, sungguh sama sekali tak tersangka olehnya bahwa ketua Pek-hoa-pang yang termasyhur
itu ternyata sedemikian cantiknya.
Berbareng Ong Uh-lau dan Sebun Bu-kut hendak menghadang di depan Lim Tay-ih, tapi
mendadak bau harum menusuk hidung, se-konyong2 kain tipis seperti kabut menyampuk tiba,
tanpa terasa Ong Uh-lau berdua melompat mundur lagi.
Waktu mereka memandang lebih jelas, terlihat Hay-hong Hujin telah menggandeng tangan
Tay-ih dan melangkah pergi, terdengar suaranya yang nyaring merdu lagi berkata, "Leng-hoakiam,
kan boleh kubawa pergi anak perempuanmu untuk mengobrol sejenak?... Akupun
seperti kaum lelaki, bila melihat anak perempuan cantik lantas terpikat dan ingin bicara
dengan dia."
Lim Soh-koan hanya melongo bingung di sana tanpa bersuara.
Dari jauh Ang-lian hoa dapat menyaksikan kejadian ini, tersembul senyumannya yang puas.
Di tengah kabut pagi yang belum buyar itu ke-14 panji besar masih berkibar di udara, tapi
pertemuan besar setiap tujuh tahun satu kali ini sudah berakhir, para ksatria secara berkelompok2
telah mulai berangkat pulang.
Memandangi panji Bu-kek-pay yang baru saja ikut dikerek, Ang-lian hoa jadi terharu, tanpa
terasa ia menghela nafas panjang.
68
"Apa yang Pangcu renungkan di sini?" tiba2 seorang menegurnya. "Apakah sahabat baru
Pangcu si Ji-kongcu sudah ikut berangkat bersama Thian-kang Totiang?"
Kiranya orang ini adalah Cia Thian-pi, ketua Tiam-jong-pay. Dengan terharu Ang-lian hoa
menjawab, "Ya, sudah berangkat!"
"Wah, mengapa… mengapa secepat ini berangkatnya?!" seru Cia Thian pi mendadak dengan
air muka berubah.
Melihat adanya kelainan air muka orang, Ang-lian hoa terkesiap, cepat ia bertanya, "Cepat?
Cepat bagaimana?"
"Maaf Pangcu, ternyata kedatanganku ini tetap terlambat sejenak," kata Cia Thian-pi dengan
muram dan menunduk.
"Sesungguhnya ada urusan apa?" tanya Ang-lian hoa sambil pegang pundak orang.
"Pernahkah Pangcu mendengar nama "Thian-kai-biau-peng-khek" (si kelana kian kemari)?"
"Sudah tentu pernah," jawab Ang-lian hoa. "Sesuai namanya, orang ini tidak tertentu tempat
tinggalnya, dimanapun dapat dijadikan rumah olehnya. Jut-tun Totiang dari Bu-tong
menganggap satu2nya tokoh Kangouw saat ini yang pantas disebut "Yu-hiap (pendekar
kelana) hanya dia saja seorang."
"Dan baru saja Siaute menerima surat merpati dari dia, katanya... Katanya..."
"Katanya apa?" Ang-lian hoa menegas, makin erat cengkeramannya pada pundak orang.
Cia Thian-pi menghela nafas panjang dan memejamkan mata, lalu menjawab dengan
perlahan, "Katanya Thian-kang Totiang dari Kun-lun-pay telah wafat pada setengah bulan
yang lalu."
"Apa betul beritanya ini?" seru Ang-lian hoa terperanjat.
"Demi membuktikan kebenaran berita ini, dia telah membuang waktu selama setengah bulan,
setelah menyaksikan sendiri jenazah Thian-kang Totiang barulah dia mengirim berita merpati
kepadaku. Yu hiap Ih Eng selamanya bertindak dengan cermat dan hati2, berita penting begini
mana berani dia siarkan secara ngawur jika tidak terbukti kebenarannya?"
Seketika kaki dan tangan Ang-lian hoa dingin semua, katanya, "Wah, jika demikian jadi
Thian-kang Totiang inipun palsu?!"
Cia Thian-pi berkata dengan menyesal, "Ketika dia hadir di atas panggung pertemuan, kulihat
dia selalu diam saja, sebenarnya sudah timbul rasa curigaku, kemudian dia diangkat menjadi
Houhoat pula, tentu saja!"
"Mengapa tidak… tidak kau katakan waktu itu?" tanya Ang-lian hoa.
"Mana berani Siaute memastikannya!" ujar Cia Thian-pi.
69
"Sekarang Ji Pwe-giok telah dibawa pergi, bukankah ini sama dengan mengantar domba ke
mulut harimau?" kata Ang-lian hoa dengan suara rada gemetar.
"Ya, sebab itulah aku merasa kuatir," kata Cia Thian-pi.
Butiran keringat memenuhi dahi Ang-lian hoa, katanya pula, "Dia berangkat hanya membawa
Pwe-giok seorang, anak muridnya masih tertinggal semua di sini, rupanya supaya dia leluasa
turun tangan! Ai, akulah yang membikin celaka dia! akulah yang bersalah!"
"Bisa jadi inilah langkah yang sudah lama diatur oleh komplotan jahat itu," ujar Cia Thian-pi,
"kalau tidak, biasanya Kun-lun-pay sangat keras dalam hal memilih murid, mengapa dia mau
terima murid secepat dan semudah itu?"
"Sungguh rapi dan cermat sekali rencana keji mereka dan sukar untuk dibendung," kata Anglian
hoa dengan tersenyum pedih. "Tapi!" mendadak ia tarik tangan Cia Thian-pi dan
mendesis, "Untung juga kedatangan Cia-heng ini belum terlalu terlambat."
"Apakah mereka belum pergi jauh?!" tanya Thian-pi.
"Dengan kecepatan berjalan kita, kuyakin dapat menyusulnya!" seru Ang-lian hoa.
Dengan gemas Cia Thian-pi berkata, "Jahanam yang licik dan keji, baginya tiada soal
peraturan Kangouw lagi, bila bertemu nanti, biarlah kita berlagak tidak tahu, coba kita lihat
bagaimana sikapnya nanti."
"Ya, marilah kita kejar!" seru Ang-lian hoa.
*****
Makin sepi tempat yang dilalui mereka, makin tebal pula kabut yang mengambang di udara.
Pwe-giok berjalan di belakang Thian-kang Totiang, memandangi jenggot Tojin yang
bertebaran tertiup angin dengan perawakannya yang tegap, teringat pula pertemuan dirinya
yang aneh dan kebetulan, sungguh Pwe-giok tidak tahu mesti bergirang atau bersedih.
Kun-lun-pay cukup termasyhur, betapa keras caranya menerima murid juga sukar ditandingi
perguruan lain, apabila murid juga sukar ditandingi perguruan lain, apabila dirinya tidak
tertimpa musibah sebanyak ini, mana bisa dalam semalam saja telah berubah menjadi murid
Kun-lun-pay.
Didengarnya Thian-kang Totiang berkata, "Perjalanan masih jauh, kita harus berjalan dengan
lebih cepat."
Dengan hormat Pwe-giok mengiakan, "Peraturan perguruan kita selamanya sangat keras, tata
tertib kehidupan se-hari2 sangat prihatin, hidup sederhana dan harus tahan uji, apakah kau
sanggup?"
"Tecu tidak takut menderita."
70
"Kau terakhir masuk perguruan, setiba di gunung, pekerjaan se-hari2 yang harus kau lakukan
dengan sendirinya akan lebih banyak daripada murid lain. Tampaknya badanmu lemah
lembut, entah kau sanggup tidak bekerja berat?"
"Di rumah Tecu juga biasa bekerja berat."
"Baiklah, di depan sana ada sumur, timbalah airnya sedikit."
Pwe-giok mengiakan.
Benar juga, tidak jauh di depan sana ada sebuah sumur yang sangat besar, baru saja Pwe-giok
menurunkan timba ke dalam sumur, mendadak terbayang waktu menimba air di rumah,
terkenang pada taman yang rimbun dan sejuk itu, terbayang wajah sang ayah yang welas asih!
seketika air matanya berderai, timba yang dipegangnya mendadak terlepas dan jatuh ke dalam
sumur.
Ia terkejut dan cepat hendak meraih tali timba, tapi entah mengapa, mendadak ia terpeleset,
tubuhnya ikut terjerumus ke dalam sumur.
Padahal sumur itu sangat dalam, biarpun dia memiliki ilmu silat maha tinggi, kalau jatuh ke
dalam sumur mungkin sukar juga manjat ke atas. Sudah banyak musibah yang menimpanya,
sudah sering dia menghadapi bahaya, kalau sekarang ia harus mati di dalam sumur, apakah
bukan permainan nasib?
Padahal sejak kecil ia belajar silat, kuda2nya terlatih sangat kuat, entah mengapa dia bisa
terpeleset.
Air sumur sedingin es, keruan Pwe-giok menggigil, ia me-ronta2 dan berusaha memanjat ke
atas, tapi dinding sumur penuh lumut tebal dan licin, hakekatnya tiada tempat yang dapat
dibuat pegangan.
Anehnya, mengapa Thian-kang Totiang tidak datang menolongnya?
Sekuatnya ia bertahan. Mendadak terdengar kumandang derap kuda lari yang langsung
menuju ke tepi sumur. Lalu suara seorang perempuan berseru, "Siapakah yang jatuh ke dalam
sumur?... Ai, jangan-jangan Ji…"
"Betul, memang dia!" terdengar suara Thian-kang Totiang.
"Totiang menyaksikan dia jatuh ke dalam sumur, mengapa engkau tidak menolongnya?
Apakah ingin dia mati di situ?" tanya perempuan itu.
"Dia mengira dirinya sanggup menderita dan tahan uji, tapi tidak tahu betapa sengsaranya
orang hidup di dunia ini. Demi hari depannya supaya dia dapat menjadi orang yang berguna,
maka sengaja ku gembleng dia mulai sekarang."
"O, jika begitu, maafkan bila barusan Tecu salah omong, tapi! tapi sekarang ujian baginya
apakah belum cukup?"
"Mengapa kau begitu memperhatikan dia?" tanya Thian-kang Totiang dengan tersenyum.
71
Perempuan itu tak dapat menjawab, seperti merasa kikuk, sejenak kemudian barulah dia
berseru, "Sebabnya Tecu menyusul kemari justeru ingin… ingin bicara beberapa patah kata
dengan dia."
"O, jika demikian, bolehlah ku naikkan dia!" lalu Thian-kang Totiang melemparkan seutas
tambang ke dalam sumur.
Waktu Pwe-giok naik ke atas, mukanya tampak merah padam, seluruh tubuhnya basah kuyup,
ia merasa malu juga serba runyam.
Dilihatnya sebuah tangan yang putih halus mengangsurkan sepotong sapu tangan, pada sapu
tangan warna keemasan itu tersulam pula seekor burung walet emas, terdengar suara merdu
itu berkata padanya, "Lekas mengusap air yang membasahi mukamu!"
Ucapan yang sederhana ini ternyata mengandung perhatian yang sangat mendalam, kepala
Pwe-giok tertunduk semakin rendah, ia menjadi bingung apakah harus menerima sapu tangan
itu atau tidak.
Didengarnya Thian-kang Totiang berkata dengan suara bengis, "Seorang lelaki sejati,
mengapa mengangkat kepala saja tidak berani?"
Sudah tentu bukannya Pwe-giok tidak berani mengangkat kepalanya. Begitu dia angkat
kepala, segera dilihatnya Kim-yan-cu, gadis yang lincah dan cerah ini sedang memandanginya
dengan penuh simpati.
"Ada urusan apa silahkan bicaralah, segera kami harus melanjutkan perjalanan jauh," kata
Thian-kang Totiang. Biarpun orang pertapaan tulen, agaknya iapun paham hubungan mesra
antara muda-mudi, sambil mengelus jenggotnya ia lantas menyingkir ke sana.
Kim-yan-cu tersenyum manis dan menyerahkan sapu tangannya kepada Pwe-giok, katanya,
"Ambil, takut apa kau?"
Air yang memenuhi muka Pwe-giok entah air atau keringat, dia berucap dengan gelagapan,
"Te! terima kasih nona."
"Tentunya kau heran, selamanya kita belum kenal, mengapa kususul kemari untuk bicara
dengan kau?" kata Kim-yan-cu.
Pwe-giok mengusap air di mukanya, lalu menjawab, "Entah! entah nona ada petunjuk apa
yang harus dibicarakan padaku?"
"Sebenarnya akupun heran," kata Kim-yan-cu dengan gegetun. "Entah mengapa, kurasakan
kita tak dapat berpisah dengan begini saja. Maka aku lantas menyusul kemari. Biasanya
memang begitu. Apa yang ingin kukerjakan seketika juga kulaksanakan."
"Tapi… tapi nona!" Pwe-giok tidak sanggup melanjutkan, ia tidak tahu apa yang harus
diucapkannya, sekilas dilihatnya dikejauhan sana ada sesosok bayangan orang berdiri di
tengah kabut bersandar di samping kuda, tampaknya sangat kesepian.
72
Pwe-giok berdehem, katanya, "Maksud baik nona cukup kupahami. Sin-to Kongcu sedang
menunggu di sana, le… lekaslah nona kesana, bisa jadi kelak…"
"Jangan pusingkan dia, berapa lama dia akan menunggu, buat apa kau gelisah baginya?" sela
Kim-yan-cu dengan kurang senang. Mendadak ucapannya berubah lembut, katanya dengan
perlahan dan tandas, "Aku cuma ingin tanya padamu, selanjutnya kau ingin bertemu lagi
denganku atau tidak?"
"Aku…" Pwe-giok menunduk dan ragu2.
Kim-yan-cu menggigit bibir, tanyanya pula, "Aku anak perempuan, kalau kuberani tanya
masa kau tak berani menjawab?"
Dengan menggreget Pwe-giok berkata, "Cayhe adalah orang yang bernasib malang,
selanjutnya… selanjutnya paling baik kita tidak bertemu lagi."
Tergetar tubuh Kim-yan-cu, ia melenggong sekian lamanya, akhirnya dia berkata dengan
suara gemetar, "Ba.. bagus kau!" mendadak ia mencemplak ke atas kudanya terus dibedal
pergi secepat terbang.
Tangan Pwe-giok masih memegangi sapu tangan kuning itu dan mengikuti bayangan si nona
yang lenyap di tengah kabut. Bau harum saputangan masih terendus, tanpa terasa Pwe-giok
rasa terkesima.
Pada saat itulah mendadak seekor kuda menerjang tiba, bayangan golok berkelebat terus
membacok!
Serangan ini datangnya teramat cepat dan keras. Keruan Pwe-giok terkejut, untuk menghindar
terasa tidak sempat lagi, terpaksa Pwe-giok menubruk ke depan malah, terasa punggungnya
terserempet angin tajam, dilihatnya Sin-to Kongcu telah melarikan kudanya ke sana, dengan
gelak tertawa dan mengangkat goloknya Kongcu golok sakti itu lantas berseru, "Bacokan ini
hanya sebagai peringatan saja, jika kau tetap tidak tahu diri, lain kali kepalamu pasti akan
kupenggal!"
Pwe-giok benar2 serba susah. Setelah berdiri tegak lagi barulah diketahui baju bagian
punggung telah robek tersayat golok lawan, hanya selisih sedikit saja jiwanya bisa melayang
di bawah golok kilat tadi.
Thian-kang Totiang juga sedang memandang padanya, ucapnya sambil menggeleng, "Jika
persoalan demikian selalu terjadi, cara bagaimana kau bisa hidup tenteram?"
"Tecu… tecu…" Pwe-giok tertunduk dan tidak sanggup melanjutkan.
"Sudahlah, hayo kita berangkat, ingin kulihat apakah kau sanggup berjalan sampai Kun-lunsan!"
kata Thian-kang Totiang.
Cara berjalan Thian-kang Totiang tidak cepat juga tidak lambat, tapi bagi Pwe-giok sudah
kepayahan untuk mengikuti langkahnya. Duka derita selama akhir2 ini benar2 telah menyiksa
jiwa raganya. Ia sudah basah kuyup oleh air keringat, rasanya akan menggigil, tapi di samping
guru yang kereng ini mana dia berani mengeluh.
73
Kabut sudah mulai buyar, tapi sinar sang surya belum lagi muncul. Cuaca mendung, lembab
dan kelam seperti air muka Thian-kang Totiang.
Mereka terus jalan dan entah sudah berapa jauhnya, baju Pwe-giok yang basah oleh air
keringat sudah kering, tapi segera basah lagi. Ia mulai ter-engah2, langkahnya tambah lambat,
kepalapun merasa berat!
Se-konyong2 Thian-kang Totiang berhenti di depan sebuah kelenteng bobrok, katanya sambil
menggeleng, "Nak, tampaknya kau tidak tahan menderita, marilah masuk dan mengaso
dahulu."
Kelenteng itu sunyi senyap dengan ruangan yang gelap, patungnya tinggi besar dan beringas
menakutkan se-akan2 sedang mengejek siksa derita yang dialami manusia.
Tanpa terasa Pwe-giok terus berbaring di depan patung, di luar angin meniup santer, agaknya
akan hujan. Biarkan hujan, air hujan mungkin dapat mencuci bersih segala kekotoran
kehidupan manusia.
Thian-kang Totiang berdiri di depan Pwe-giok, tampaknya iapun angker seperti patung
kelenteng itu, dengan bengis ia berkata, "Berdiri, di depan malaikat pujaan mana boleh
sembarangan berbaring!"
Pwe-giok mengiakan dan meronta bangun, ia berdiri dengan sikap hormat, dalam hati tiada
sedikitpun merasa menyesal. Tanpa guru yang kereng, mana dapat mengeluarkan anak didik
yang baik?
Air muka Thian-kang tampak ramah kembali, katanya, "Setiap anak murid Kun-lun harus
berani menderita, lebih2 kau, nasibmu berbeda dengan orang lain, kau harus berani menderita
berlipat ganda daripada orang lain."
"Tecu mengerti," jawab Pwe-giok dengan muram.
Perlahan Thian-kang berpaling ke sana, di luar daun rontok gemerisik oleh tiupan angin, ketua
Kun-lun-pay yang termasyhur ini se-akan2 merasakan akan datangnya musim rontok yang
senyap, ia bergumam, "Akan hujan lagi! langit selalu datang awan dan angin yang sukar
diramal, kehidupan manusia tidaklah juga demikian adanya? Nak, sampai matipun kau harus
tetap ingat, tiada seorangpun di dunia ini yang dapat dipercaya sepenuhnya, kecuali dirimu
sendiri."
Tiba2 angin meniup, entah mengapa Pwe-giok jadi merinding. Suasana sedemikian
senyapnya, jangan2 inilah firasat yang tidak baik.
"Nak, kemarilah kau," kata Thian-kang pula perlahan.
Dengan sikap hormat dan prihatin Pwe-giok mendekatinya.
Dari kantongan yang dibawanya Thian-kang mengeluarkan sepotong bola nasi yang dibuat
seperti onde2. Diberi nya onde2 nasi ini kepada Pwe-giok, air mukanya yang kereng itu
74
tersembul senyuman yang jarang terlihat, katanya, "Makanlah, pada usia semuda kau, gurumu
juga merasakan cepatnya lapar."
Orang tua yang kereng ini ternyata juga punya rasa kasih sayang. Memandang onde2 nasi di
tangannya, saking terharu hampir saja Pwe-giok mengucurkan air mata. "Dan suhu sendiri?"
ucapnya kemudian.
Thian kang tertawa, katanya, "Bola nasi ini tidak sembarangan orang dapat memakannya,
setelah kau makan tentu kau tahu apa sebabnya, gurumu!"
"Jika bola nasi itu sedemikian bernilai, entah boleh tidak Cayhe ikut minta sebagian?"
mendadak seorang menimbrung dengan tertawa.
Tahu2 seorang muncul di luar, dengan langkah lebar masuk ke dalam kelenteng, dadanya
tampak ter-engah2, senyuman yang menghiasi mukanya juga rada aneh. Cuma cuaca
mendung kelam sehingga tidak begitu jelas kelihatan.
"Mengapa Pangcu menyusul kemari?" seru Pwe-giok dengan girang setelah mengetahui siapa
pendatang ini.
Dengan mengelus jenggotnya, Thian-kang juga menyapa, "Pangcu menyusul kemari dengan
tergesa2 begini, kukira pasti bukan untuk minta bagian makanan ini."
"Totiang memang bijaksana dan tahu segalanya," ujar Ang-lian hoa dengan tertawa.
"Kedatanganku ini memang ini memperlihatkan sesuatu kepada Totiang."
Ia lantas mengeluarkan sesuatu barang dan disodorkan ke depan Thian-kang. Benda itu sangat
kecil, di ruangan kelenteng yang gelap ini tidak terlihat jelas.
Terpaksa Thian-kang Totiang menunduk untuk memeriksa barang itu sambil berkata, "Barang
yang diantar kemari oleh Ang-lian-pangcu secara tergesa-gesa ini pasti benda yang sangat
menarik!"
Belum habis ucapannya, se-konyong2 tangan Ang-lian hoa terangkat ke atas dan tepat
menghantam mata Thian-kang Totiang.
Pada saat itu juga mendadak terdengar guntur menggelegar, hujan turun bagai dituang. Pada
saat yang sama pula sinar pedang lantas berkelebat dan menancap di punggung Thian-kang
Totiang.
Thian-kang meraung sambil menghantam dengan sebelah tangannya. Tapi Ang-lian hoa
sempat melompat mundur, angin pukulan yang dahsyat menghantam altar patung hingga
berantakan, patung besarpun sama ambruk.
Muka Thian-kang berlumuran darah, rambut dan jenggotnya se-akan2 kaku berdiri, teriaknya
dengan parau, "Ken! kenapa kau!" belum habis ucapannya, robohlah dia terkapar.
Di luar hujan turun semakin deras, pedang yang menancap di punggung ketua Kun-lun-pay
itu tampak masih bergetar.
75
Terkesiap Pwe-giok oleh kejadian itu, bola nasi yang dipegangnya juga terjatuh. Ang-lian hoa
berdiri mepet dinding sana, dadanya naik-turun dengan napas ter-engah2, air mukanya juga
berubah pucat. Tapi Pwe-giok masih dapat diselamatkan, betapapun kedatangannya belum
terlambat.
Terlihat Cia Thian-pi lantas melayang masuk, serunya dengan tertawa, "Betapapun
kedatangan kita masih keburu dan sekali turun tangan lantas berhasil."
"Mestinya jangan kau binasakan dia, harus kita tanyai lebih dulu," ujar Ang-lian hoa dengan
menyesal.
"Tanya apalagi?" kata Cia Thian-pi. "Kalau ditanyai mungkin akan!"
Mendadak Pwe-giok meraung murka, teriaknya dengan parau, "Apa2an kalian ini? Mengapa
kalian membunuhnya?"
"Jika dia tidak dibunuh, dia yang akan membunuh kau!" kata Thian-pi.
Kejut dan kesima Pwe-giok, ucapnya, "Meng! mengapa?..."
"Kelak kau tentu akan tahu sendiri," ujar Cia Thian-pi, lalu ia tarik tangan Pwe-giok dan
berkata, "Komplotan jahat ini pasti ada begundalnya di sekitar sini, siaute akan berangkat
dulu bersama dia, harap Pangcu merintangi mereka, nanti Siaute akan balik lagi untuk
membantu."
Karena tangannya dipegang, tanpa kuasa Pwe-giok ikut terseret pergi.
Ang-lian hoa lantas berdiri di ambang pintu kelenteng dan bergumam, "Hayolah maju, akan
kutunggu kalian di sini!"
Hujan angin tambah keras, cuaca tambah kelam. Ang-lian hoa mencabut pedang yang
menancap di punggung Thian-kang Totiang itu.
Kembali guntur menggelegar pula. Darah menetes dari ujung pedang. Air muka Ang-lian hoa
mendadak berubah pucat, tubuhnya serasa lemas, ia terhuyung-huyung dan menumpahkan
darah.
*****
Dalam pada itu Pwe-giok telah diseret pergi oleh Cia Thian-pi, mereka berlari di bawah hujan
lebat, dengan langkah agak sempoyongan Pwe-giok bertanya, "Ken… kenapa?"
"Thian-kang Totiang itu adalah samaran komplotan jahat," kata Cia Thian-pi. "Apa yang
dilakukannya itu ialah ingin mencelakai kau. Bola nasi yang diberikan padamu itu adalah
racun yang tak dapat ditolong!"
"Apa betul?" teriak Pwe-giok terkejut.
"Sekalipun mungkin aku menipu kau, apakah Ang-lian pangcu juga akan menipu kau?" kata
Cia Thian-pi.
76
"Tapi dia… dia…" mendadak Pwe-giok ingat kejadian jatuh ke dalam sumur tadi, apa benar
Thian-kang Totiang bermaksud mencelakai dia? Tapi sikapnya yang kereng dan berwibawa
itu masa dapat dipalsukan?
Hati Pwe-giok terasa kusut, tanpa kuasa tubuhnya ikut terseret berlari ke depan. Se-konyong2
ia merasa tangan Cia Thian-pi yang menariknya itu sangat dingin, sungguh dingin luar biasa,
tanpa terasa ia menggigil dan berkata, "Mengapa tanganmu sedemikian aneh?"
"Kau bilang apa?" tanya Cia Thian-pi sambil menoleh.
Pwe-giok pandang wajah orang dan menjawabnya, "Kubilang! hei!" mendadak ia meraung.
"Kau! kau inilah palsu! kukenal matamu!"
Belum habis ucapannya, ia merasa beberapa hiat-to pada tangannya sudah tertutuk, tubuhnya
lantas dilemparkan oleh Cia Thian-pi.
"Hehe.. anggaplah kau memang pintar, tapi orang pintar justeru mati terlebih cepat!" kata Cia
Thian-pi sambil menyeringai, ia angkat kakinya terus menginjak ke dada Pwe-giok yang jatuh
tersungkur di tengah lumpur itu.
Lengan kanan Pwe-giok serasa kaku semua, ingin mengelak pun tidak sanggup lagi. Untung
tangan kirinya masih dapat bergerak, secepat kilat ia pegang ujung kaki Cia Thian-pi.
Walaupun pembawaan tenaga Ji Pwe-giok sangat kuat, apa daya, saat ini dia seperti anak
panah yang sudah jauh meluncur dan tinggal jatuh lemas ke tanah.
Cia Thian-pi masih menyeringai dan kakinya tetap ingin menginjak ke bawah, ucapnya,
"Hayolah tahan sekuatnya, ingin kulihat sampai berapa lama kau mampu bertahan!"
Ruas tulang Pwe-giok terasa gemertak, air hujan berhamburan di mukanya, hampir2 tidak
sanggup membentangkan matanya, sedangkan injakan Cia Thian-pi terasa semakin berat. Ia
menggertak gigi dan bertahan sekuatnya, teriaknya dengan parau, "Kiranya kau yang
membunuh ayahku! Susah payah kucari kau!"
"Hehehe… dan sekarang sudah kau temukan diriku, bukan?" jawab Cia Thian-pi dengan terkekeh2.
"Tapi apa yang dapat kau lakukan? Ayahmu mati di tanganku, sebaliknya kau akan
mati di bawah kakiku!"
Lengan Pwe-giok serasa hampir patah, sebaliknya kaki Cia Thian-pi semakin berat seperti
bukit menindih. Dia bertahan sekuatnya, tapi jelas tiada harapan lagi. Betapa dia tersiksa oleh
injakan kaki musuh, sungguh ia ingin lepas tangan dan pasrah nasib. Dengan demikian segala
duka nestapa, segala siksa derita, semuanya takkan menimpa dirinya lagi.
"Hayolah tahan yang kuat!" demikian Cia Thian-pi berteriak sambil tertawa latah. "Apakah
kau sudah kehabisan tenaga? Wahai Ji Pwe-giok, setelah mati janganlah kau menyesal
padaku. Meski kita tiada permusuhan apa2, tapi kematianmu akan membuat hidup orang lain
jauh lebih nikmat dan bahagia!"
Pwe-giok merasa pandangannya mulai kabur dan gelap, tenggorokan terasa anyir, akhirnya
tak tahan lagi, darah segar tersembur keluar dan mengotori baju Cia Thian-pi.
77
Sambil menyeringai kaki Cia Thian-pi terus menginjak sekerasnya, pada saat itulah mendadak
terdengar suara mendenging tajam menyambar dari belakang.
Dengan daya pantulan injakannya itu cepat Cia Thian-pi meloncat ke atas, ia berjumpalitan di
udara, lalu turun di kejauhan sana.
Terlihat di bawah hujan lebat sana melayang sesosok bayangan orang seperti badan halus,
mukanya kaku tanpa emosi, tapi sorot matanya merah membara. Siapa lagi dia kalau bukan
Ang-lian hoa.
Suara mendenging tajam tadi adalah sambaran pedang yang ditimpukkan, pedang itu akhirnya
menancap pada batang pohon dan ambles hampir setengah pedang, dari sini dapat diketahui
betapa pedih dan gemas hati Ang-lian hoa.
Air muka Cia Thian-pi tampak berubah pucat, tapi ia tetap bersikap tenang dan menyapa,
"Kenapa Pangcu sudah menyusul tiba, apakah kawanan penjahat sudah dihalau pergi?"
Seperti berapi sorot mata Ang-lian hoa, ia tatap orang dengan tajam, tanyanya sekata demi
sekata, "Siapa kau sebenarnya!?"
"Aku… Siaute…" Cia Thian-pi menjawab dengan gelagapan dan menyurut mundur setindak
demi setindak.
"Hm, mirip benar penyamaran mu, sungguh teramat mirip, sebentar harus ku sayat mukamu
secuil demi secuil, ingin ku tahu mengapa penyamaranmu bisa begini mirip!" kata Ang-lian
hoa. Suaranya dingin seram, jauh lebih menakutkan daripada suara raungan murka. Siapapun
percaya, apa yang dikatakan Pangcu kaum jembel ini pasti akan dilaksanakannya.
Keruan Cia Thian-pi merasa ngeri, tapi mendadak ia bergelak tertawa, serunya, "Hahaha,
bagus, Ang-lian hoa, tak tersangka akhirnya kau tahu juga. Dengan jerih payah tiga tahun
kubelajar merias, kuyakin sudah dapat berlagak serupa benar dengan Cia Thian-pi. Kukira
biarpun dia sendiri juga sukar membedakan mana yang asli dan mana yang palsu. Tapi kau,
cara bagaimana dapat kau pecahkan penyamaranku ini?"
"Pedangmu itu," kata Ang-lian hoa. "Setiap anak murid Tiam-jong-pay tidak mungkin
menggunakan pedang begitu, lebih2 tidak nanti membuang pedangnya begitu saja. Mungkin
kau lupa istilah yang dipatuhi setiap anak murid Tiam-jong, yaitu "Pedang ada orang ada,
pedang hilang orang gugur."
Cia Thian-pi melenggong, serunya kemudian, "Ah, kiranya langkah ini telah kulupakan.
Wahai Ang-lian hoa, engkau memang luar biasa, pantas Cusiang kami bilang engkau ada
tokoh nomor satu yang paling sulit direcoki."
"Si.. siapa Cusiang kalian?" tanya Ang-lian hoa dengan gregetan.
"Selamanya takkan diketahui olehmu," jawab Cia Thian-pi sambil tertawa latah. "Bilamana
nanti kau tahu, saat itu pula mungkin jiwamu akan melayang. Biarpun tokoh yang beribu kali
lebih kuat daripadamu juga sukar menandingi satu jari Cusiang kami."
78
"Hehe.. memang betul, selama beratus tahun ini di dunia Kangouw memang tiada seorangpun
yang terlebih licik, licin dan keji seperti dia," kata Ang-lian hoa dengan tersenyum pedih.
"Dunia Kangouw yang akan datang akan menjadi dunianya Cusiang kami," teriak Cia Thianpi
dengan bengis. "Ang-lian hoa, kau adalah orang pintar, coba pikirkan baik2, apa yang akan
kau lakukan?"
Ang Lian-hoa maju beberapa langkah ke arahnya dan berkata: "Aku ingin membunuhmu.
Saat ini, yang aku ingin lakukan hanyalah membunuhmu."
Cia Thian-pi berkata: "Tugasku adalah membunuh Ji Pwe-giok, oleh karena itu aku harus
membunuh Thian-kang totiang. Tetapi jangan lupa, engkau adalah komplotanku, kalau kau
ingin membunuhku engkau juga harus menghukum dirimu sendiri."
Ang Lian-hoa berkata dengan menyesal: "Itu adakah kesalahan terbesar selama hidupku.
Begitu bodohnya aku mempercayaimu. Aku akan menghukum diriku sendiri kelak di
kemudian hari. Tapi engkau...engkau..."
Secepat kilat Ang Lian-hoa menyerang dengan kepalan 3, 4 jurus. tidak banyak orang di
dunia persilatan yang pernah bertempur dengan Ang Lian-hoa. Sekarang Cia Thian-pi
menyadari bahwa ketua Kay-pang yang masih muda ini mempunyai jurus kepalan dan telapak
tangan yang hebat. Setiap jurusnya dilambari kekuatan tenaga dalam yang penuh.
Terlebih-lebih saat ini dia menyalurkan kemarahannya ke kepalan dan telapak tangannya.
Kekuatannya sangat menggiriskan hati orang-orang.
Ji Pwe-giok kini berteriak: "Engkau tidak boleh membunuhnya!"
Ang Lian-hoa dan Cia Thian-pi sama-sama dikejutkan dengan teriakannya itu. Ang Lian-hoa
bertanya dengan marah: "Mengapa aku tidak boleh membunuhnya?"
Ji Pwe-giok menggunakan tangan kirinya untuk membebaskan 3 titik jalan darahnya yang
tertotok dan berdiri. Dia nampak sangat pucat dan matanya memancarkan sinar kebencian.
Pemuda yang biasanya nampak rapuh dan lembut ini kini telah berubah menjadi seorang yang
beringas.
Ji Pwe-giok berkata dengan lantang: "Bangsat licik ini tidak hanya telah membunuh ayahku,
dia juga telah membunuh guruku. Hanya aku yang boleh membunuh bajingan ini!"
Ang Liang-hoa tersenyum nyengir: "Baiklah, dia milikmu sepenuhnya."
Ji Pwe-giok merangsek ke Cia Thian-pi. Ang Lian-hoa melihat langkah kakinya tidak stabil
dan gerakannya lambat, jelas pikiran dan tenaganya sangat terganggu.
"Kau masih mengawasi di samping, kenapa dia harus hati2 segala?!" jengek Cia Thian-pi
Dengan menggertak gigi Pwe-giok berteriak pula, "Hari ini harus kubunuh kau dengan
tanganku sendiri, siapapun tidak boleh membantuku!"
79
Semangat Cia Thian-pi terbangkit, ia tertawa latah dan berkata, "Bagus, jantan sejati! Ucapan
seorang lelaki harus dipegang teguh!"
Sembari bicara sembari bertempur, berbareng iapun menyurut mundur, pada suatu
kesempatan mendadak ia mencabut pedang yang menancap di batang pohon, "sret" kontan ia
menabas ke depan, ber-turut2 ia menusuk dan menabas tujuh kali.
Serangan mendadak dan secepat kilat ini jelas bukan ilmu pedang Tiam-jong-pay, tapi
keganasan dan kekejiannya bahkan di atas ilmu pedang Tiam-jong.
Jilid 4________
Pwe-giok tidak gentar, ia hadapi serangan musuh dengan serangan yang sama ganasnya, ia
bertempur dengan kalap, betapapun serangan kilat Cia Thian-pi menjadi terdesak oleh
terjangan Pwe-giok yang nekat itu.
"Sret-sret-sret", tahu-tahu baju Pwe-giok tergores robek tiga tempat, darahpun tampak
merembes keluar dari pundaknya, tapi hanya sekejap saja darah sudah lenyap diguyur air
hujan.
Ang Lian-hoa ikut berdebar-debar menyaksikan pertarungan sengit itu, butiran keringat
memenuhi dahinya. Sudah banyak pengalaman tempurnya, tapi belum pernah ada pertarungan
sengit seperti sekarang ini. Mendadak ia menemukan pemuda yang berwatak keras ini meski
setiap hari tutur-katanya lembah lembut tapi dikala bertempur ternyata gagah perkasa luar
biasa, sungguh pahlawan yang belum pernah dilihatnya.
Setiap orangpun dapat melihat bahwa meski semangat tempur Ji Pwe-giok belum runtuh,
namun apa daya, maksud ada, tenaga tak sampai.
Tapi dalam keadaan demikian bilamana ada orang hendak membantunya, pemuda yang
berwatak keras itu bisa jadi akan marah dan mungkin akan membunuh diri malah.
Terpaksa Ang Lian-hoa hanya menghela napas saja dan diam-diam menyesal. Dilihatnya Cia
Thian-pi dari menyerah sudah berubah menjadi bertahan, jelas dia sengaja hendak menguras
habis dulu tenaga Pwe-giok, habis itu baru melancarkan serangan mematikan.
Daya serangan Pwe-giok masih tetap dahsyat, namun belum dapat membobol pertahanan
lawan, sebaliknya tubuhnya entah sudah bertambah berapa luka pula.
Hujan semakin deras, angin bertambah kencang, jagat raya ini diliputi kegelapan melulu,
inilah cuaca yang menyeramkan dan menyedihkan, inipun pertarungan maut yang
mengerikan. Melihat Pwe-giok masih terus bertempur dengan mandi darah, sekalipun Ang
Liang-hoa berhati baja juga tidak tahan mengucurkan air mata.
Sekonyong-konyong langkah Pwe giok terhuyung, bagian dada jadi terbuka. Pucat wajah Ang
Lian-hoa, ia menjerit kuatir. Dalam keadaan demikian, sekalipun dia ingin menolong juga
tidak keburu lagi.
80
Terlihat pedang Cia Thian-pi telah menusuk ke depan, ke dada Pwe-giok yang tak terjaga itu.
Serangan cepat ganas. Remuk redam hati Ang Lian-hoa, seketika ia cuma memejamkan mata
saja, ia tidak sampai hati untuk menyaksikan apa yang bakal terjadi.
Sinar kilat berkelebat, tertampak wajah Cia Thian-pi yang pucat itu penuh diliputi napsu
membunuh, ia menyeringai seram, ia yakin tusukannya itu pasti tidak akan meleset. Tapi
cahaya kilat yang gemerdep itu telah membuat matanya ikut berkedip.
Pada saat itu juga lantas terdengar suara "bluk" satu kali, entah dengan cara bagaimana kedua
tangan Ji Pwe-giok telah dapat menjepit pedangnya.
Seketika Cia Thian-pi merasakan pedangnya terjepit oleh sesuatu, seperti terjepit oleh
tanggam yang kuat dan tak dapat bergerak lagi. Menyusul Pwe-giok lantas menggeser maju,
sekali menyikut, "brek", dengan tepat dada Cia Thian-pi kena disodok.
Kontan pandangan Cia Thian-pi menjadi kabur, sakitnya tidak kepalang, pada saat itulah
tangan Pwe-giok juga lantas melayang tiba, "plok", dengan tepat mukanya kena digampar
sehingga dia tergetar setengah lingkaran.
Menjepit menyikut dan menggampar, tiga gerakan itu se-akan2 dikerjakan sekaligus dalam
waktu sekejap. Begitu sinar kilat tadi habis berkelebat, lalu menggelegarlah bunyi guruh.
Pwe-giok terus menubruk maju lagi, ia rangkul tubuh Cia Thian-pi, kedua lengannya seperti
tanggam kuatnya, tulang dada Cia Thian-pi tergencet seakan-akan remuk seluruhnya, ingin
bersuara saja tidak mampu.
Air muka Cia Thian-pi dari pucat berubah menjadi kemerahan dan kembali pucat pula,
sedangkan muka Pwe-giok juga pucat seperti mayat, kedua tangannya mengunci tubuh musuh
dengan kuat, terdengar suara napas Cia Thian-pi mulai megap-megap, lalu menjadi lemah,
menyusul lantas terdengar suara "gemeretak", tulang dadanya sama patah.
Tidak kepalang kagum dan girang Ang-lian-hoa, baru sekarang ia sempat berseru: "Jangan
dibunuh dulu, harus kita tanyai sejelasnya."
Pelahan Pwe-giok melepaskan kedua tangannya, lalu menyurut mundur dengan sempoyongan
seakan-akan roboh, ia menengadah dan tertawa, serunya: "Akhirnya sudah kulaksanakan ....
sudah kulaksanakan..."
Tubuh Cia Thian pi lantas terkulai dengan lemas dan tak bergerak lagi.
Ang-lian-hoa menarik tangan Pwe giok, dengan berseri-seri ia berkata: "Apakah jurus ini
adalah kepandaian Ji-locianpwe yang pernah menggetarkan dunia Kangouw di masa lalu,
yaitu jurus Leng-yang-kua-kak (kambing benggala menggaet tanduk), jurus serangan maut
andalan Bu-kek-pay?"
Pwe-giok tersenyum pedih, jawabnya: "Tapi selama hidup ayah belum pernah mencelakai
orang dengan jurus serangan ini, sebaliknya sekarang Siaute ...." mendadak ia menunduk,
butiran air pun berderai, entah air hujan, entah air mata?
81
"Sungguh jurus serangan yang aneh dan lihay!" ujar Ang-lian-hoa dengan gegetun. "Jurus
serangan ini sungguh sukar dicari cirinya dan timbul dalam keadaan kepepet. Ilmu sakti kaum
Cianpwe sungguh luar biasa, sekarang barulah mataku benar-benar terbuka."
Dia menepuk pundak Pwe giok, lalu berseru pula dengan tertawa: "Kau sendiri memiliki ilmu
sakti ini, mengapa tidak sejak tadi kau keluarkan sehingga membikin aku kuatir bagimu?"
"Siaute . ... Siaute .... " Pwe-giok tidak sanggup melanjutkan, mendadak ia jatuh mendekap
Ang-lian-hoa, nyata ia telah kehabisan tenaga, sampai berdiri saja tidak kuat.
Cepat Ang-lian-hoa mengeluarkan sebiji obat dan dijejalkan ke mulut Pwe-giok, katanya:
"Inilah Siau-hoan-tan Kun-lun-pay yang terkenal, khasiatnya menambah tenaga dan
menimbulkan semangat, obat yang tiada bandingannya di dunia ini."
Mulut Pwe giok terasa sedap dan harum, serunya: "Siau-hoan-tan katamu? Obat yang sukar
dicari ini mengapa .... mengapa kau berikan padaku?"
Ang-lian-hoa terdiam sejenak, katanya kemudian dengan sedih: "Obat ini bukan aku yang
memberikan padamu, tapi Thian-kang Totiang . ..."
"Suhu?" Pwe giok melengak. "Dia..... beliau mengapa . . . . "
"Obat ini kukeluarkan dari bola nasi yang kau terima dari orang tua itu," tutur Ang-lian-hoa
dengan gegetun. "Semula kukira di dalam bola nasi itu ada racunnya, siapa tahu . . . siapa tahu
. . . ."
Pwe giok tertunduk muram dengan air mata bercucuran, katanya: "Pantas beliau bilang bola
nasi ini tidak dapat dimakan sembarang orang. Cia Thian-pi, kau jahanam, kau bangsat!. . .. "
Dengan gemas ia berpaling ke sana, tapi mendadak air mukanya berubah pucat pula.
Mayat Cia Thian-pi masih terkapar di pecomberan sana, tapi kepalanya sudah tidak kelihatan
lagi. Padahal sejak tadi hujan masih turun dengan lebatnya, di sekitar sini tiada terlihat
bayangan orang lain, lalu ke mana perginya kepala Cia Thian-pi?
Ang-lian-hoa dan Ji Pwe-giok saling pandang dengan bingung. Kalau kepala Cia Thian-pi
dipenggal orang, hal ini tidak mungkin terjadi. Bila dikatakan kepalanya tidak dipotong orang,
lalu apakah kepalanya dapat terbang sendiri?
Cerdik dan pandai Ang-lian-hoa, masih muda belia sudah mengetuai sebuah organisasi
terbesar di dunia ini, boleh dikatakan tokoh muda yang tiada taranya di jaman sekarang, Tapi
meski dia sudah peras otak, tetap sukar memecahkan teka-teki ini.
Setelah melenggong sejenak, ketika ia menunduk dan memandang lagi hanya sekejap itu
bagian pundak dan dada Cia Thian-pi ternyata sudah lenyap pula.
Mendadak Ang-lian-hoa menepuk pundak Pwe-giok dan berseru: "Aha, tahulah aku!"
"Kau tahu?" Pwe-giok menegas.
"Coba berjongkok dan periksalah yang teliti," kata Ang-lian-hoa.
82
Waktu Pwe-giok melongok pula ke bawah, dilihatnya mayat Cia Thian-pi itu sedikit demi
sedikit telah membusuk, darah daging yang merah segar itu secara aneh berubah menjadi
cairan kuning, lalu lenyap diguyur air hujan.
Pwe-giok merasa mual dan hampir saja tumpah-tumpah, cepat ia berpaling ke arah lain dan
menarik napas dalam-dalam, katanya kemudian: "Jangan-jangan inilah Hoa-kut-tan (obat
pemusnah tulang) yang tersiar di dunia Kangouw itu?"
"Ya, betul," jawab Ang-lian-hoa. "Rupanya dia tahu pasti akan mati, maka dia rela melebur
dirinya menjadi cairan."
"Tapi kedua tangannya sudah patah tergencet, cara bagaimana dia dapat mengambil obatnya?"
tanya Pwe-giok pula.
"Mungkin sebelumnya Hoa-kut-tan itu sudah dikulum di dalam mulutnya, setelah menyadari
akan kematiannya, kapsul obat lantas dikunyahnya. Kalau Hoa-kut-tan itu masuk darah,
segera terjadi pembusukan. Ai, dia lebih suka menerima nasib demikian daripada
membocorkan rahasia komplotannya, sebab dia tahu hanya orang mati saja yang benar-benar
tidak dapat membocorkan lagi sesuatu rahasia.
"Tak tersangka, orang ini pun jantan sejati," kata Pwe-giok.
"Salah besar jika demikian pendapatmu," ujar Ang-lian-hoa dengan tersenyum getir.
"Yang benar, dia tidak berani membocorkan rahasia komplotan jahat mereka, sebab kalau
sampai rahasianya diketahui orang luar, maka kematiannya akan jauh lebih mengerikan
daripada sekarang ini."
"Betul, tampaknya mereka semuanya begitu, lebih baik mati daripada membocorkan rahasia
mereka," ujar Pwe-giok.
"Tapi siapakah sebenarnya pimpinan mereka? Mengapa dapat membuat orang-orang ini
sedemikian takut padanya?.....Mati, hal ini sebenarnya cukup menakutkan setiap orang di
dunia ini. Masa pimpinan mereka ini jauh lebih menakutkan daripada soal "mati" ?"
"Dia memang benar lebih menakutkan daripada mati," gumam Ang-lian-hoa. "Saat ini aku
pun tak dapat membayangkan betapa menakutkannya dia itu..."
"Ah, betul," seru Pwe-giok mendadak seperti menemukan sesuatu, "sebabnya Cia Thian-pi ini
bertindak nekat, jelas karena dia tahu bila orang sudah mati, maka tidak mungkin lagi dapat
membocorkan sesuatu rahasia, tapi kalau dia sendiri mati toh tetap rahasianya bisa
terbongkar, kalau tidak, mengapa dia mesti melebur tubuhnya sendiri hingga menjadi cairan?"
"Orang mati juga dapat membocorkan rahasia, maksudmu?" gumam Ang-lian-hoa sambil
berkerut kening.
"Ya, orang mati terkadang juga dapat membocorkan rahasia!" ucap Pwe giok tegas, sekata
demi sekata.
83
"Rahasia apa?" tanya Ang-lian-hoa.
"Rahasia penyamarannya!" jawab Pwe-giok.
Ang-lian-hoa melenggong, sejenak kemudian ia menepuk jidat sendiri dan berseru: "Aha,
memang betul. Dia kuatir setelah mati mukanya dapat kita kenali, sebab inilah rahasia mereka
yang terbesar."
"Justeru lantaran kuatir rahasia mereka ini bocor, maka pimpinan komplotan jahat ini
menyiapkan Hoa-kut-tan bagi mereka, bila perlu, bukan jiwa mereka saja harus melayang,
mayat mereka pun harus dilenyapkan!" seru Pwe-giok dengan menggreget dan meremas
tangan Ang-lian-hoa, lalu sambungnya pula: "Sekarang ku tahu, sedikitnya ada enam orang
yang kuketahui adalah palsu di dunia ini, kecuali diriku sendiri ternyata tiada orang lain lagi
yang mau percaya dan dapat melihat kepalsuan mereka. Yang mengerikan adalah, kecuali ke
enam orang yang sudah kuketahui itu masih ada berapa orang pula yang dipalsukan? Inilah
yang sulit diketahui dan benar-benar mengerikan."
Air muka Ang-lian-hoa juga guram seperti cuaca yang mendung ini. Sebenarnya dia seorang
tokoh yang periang, jarang ada persoalan yang dapat membuatnya sedih dan bingung. Tapi
sekarang, hatinya benar-benar tertekan dan agak cemas.
Dengan suara gemetar Pwe-giok berucap pula: "Umpamanya kalau sanak-kadangmu, sampai
ayahmu sendiri pun bisa jadi anggota komplotan jahat itu, lalu di dunia ini siapa pula yang
dapat kau percayai? Dan kalau di dunia ini sudah tiada seorang pun yang dapat kau percayai,
apakah engkau masib sanggup hidup terus? Bukan .... bukankah peristiwa ini tidak dapat kau
bayangkan?!"
"Cia Thian-pi palsu sudah mati, sekarang tinggal siapa-siapa saja anak buah komplotan jahat
itu yang palsu?" tanya Ang-lian-hoa dengan tenang.
"Ong Uh-lau, Lim Soh-koan, Ong Liong-ong dari Thay-oh, Sim Cin-jiang, Sebun Bu-kut dan
dan orang yang mengaku she Ji itu, sebab ku tahu dengan pasti ke enam orang ini
sesungguhnya sudah meninggal semua.""
Ang lian-hoa menghela napas panjang, katanya: "Kecuali ke enam orang ini, mungkin tidak
banyak lagi yang dipalsukan."
"Cara bagaimana kau berani memastikannya?" "Sebab hal ini bukan tindakan yang mudah.
Untuk memalsukan pribadi seseorang dan harus dapat mengelabui mata-telinga orang banyak,
sedikitnya diperlukan waktu latihan bertahun-tahun lamanya, kalau tidak, biarpun mukanya
serupa, tapi suaranya, gerak geriknya, sikapnya, tetap akan diketahui orang. Apalagi ilmu
silatnya..."
"Aha, betul, ilmu silatnya!" seru Pwe-giok.
"Jika mereka hendak memalsukan pribadi seseorang, mereka juga harus mahir menirukan
ilmu silatnya."
Habis berkata mendadak ia putar tubuh dan berlari ke sana.
84
Namun Ang-lian-hoa keburu melompat dan menghadang di depannya, ucapnya dengan
tenang: "Leng yang-koa kak, betul tidak?"
"Betul, jurus serangan ini kecuali kami ayah dan anak, di dunia ini tiada orang lain lagi yang
mampu memainkannya," seru Pwe-giok.
"Jika orang yang mengaku she Ji itu tidak mampu memperlihatkan jurus serangan khas ini,
maka terbuktilah kepalsuannya."
"Gagasan ini memang suatu cara yang bagus," ujar Ang-lian-hoa dengan gegetun.
"Cuma sayang, perangai ayahmu membuat gagasanmu ini menjadi tiada gunanya."
"Sebab apa?" tanya Pwe giok.
"Kau tahu perangai yang ramah dan sabar, arif dan bijaksana, setiap orang Bu-lim tahu budi
ayahmu yang luhur. Sekarang coba jawab, andaikan beliau masih hidup, adakah orang yang
dapat memaksa beliau mengeluarkan ilmu simpanannya yang khas ini?"
Sampai lama Pwe-giok melenggong, akhirnya ia jatuh terduduk.
*****
Disiram oleh air hujan lebat, mayat "Cia Thian-pi" itu sudah hilang tak berbekas lagi. Dia
telah lenyap dari muka bumi ini, tapi sesungguhnya siapa dia?
Di dunia ini sebenarnya tiada Cia Thian pi kedua, jika demikian, yang baru saja lenyap ini kan
seharusnya memang tidak ada. Berpikir demikian, Ang-lian-hoa tidak tahu harus menangis
atau mesti tertawa. Sungguh ia tidak berani memikirkannya lagi, bilamana hal-hal demikian
banyak dipikir, sungguh bisa membikin gila.
Dipandangnya tempat mayat yang sudah bersih itu, gumamnya: "Pembunuh Thian kang
Totiang sudah mati, tapi kalau dibicarakan, siapakah gerangan pembunuhnya, siapa yang
dapat membuktikan beradanya si pembunuh ini?"
Melihat sikap Ang-lian hoa yang cemas itu, Pwe-giok jadi merinding, katanya kemudian:
"Engkau juga tidak perlu..."
"Jangan kuatir," seru Ang-lian-hoa dengan tertawa, "meski ada maksudku akan menebus dosa
tapi tidak nanti kutebus kesalahanku dengan kematian. Aku masih ingin hidup terus, tidak
nanti kupenuhi kehendak mereka."
Pwe-giok merasa lega, katanya: "Ya, kutahu engkau bukan manusia biasa, engkau memang
lain daripada yang lain."
Ang-lian-hoa menengadah, membiarkan air hujan menuang ke mukanya, katanya pula dengan
pelahan: "Sekarang, ada suatu urusan mau-tak mau harus kukerjakan."
"Engkau akan pergi ke Kun-lun-san?" tanya Pwe-giok dengan tatapan tajam.
85
"Anak murid Kun-lun berhak mengetahui berita duka Thian-kang Totiang dan aku
berkewajiban menyampaikan berita ini kepada mereka!"
"Tapi pekerjaan di sini juga tidak boleh di tinggal pergi olehmu," ujar Pwe-giok dengan suara
berat. "Perjalanan ke Kun-lun biarlah kuwakilkan kau ke sana."
Di antara mereka tiada lagi kesungkanan, tiada tolak menolak, tiada percakapan yang tidak
perlu, juga tidak ada duka-cita yang tidak perlu, lebih-lebih air mata yang tidak perlu. Sebab
keduanya sama-sama lelaki sejati, sama-sama jantan perkasa. Keduanya berdiri berhadapan di
bawah curahan hujan.
"Baiklah, pergilah kau," kata Ang lian-hoa kemudian. "Tapi kau harus hati-hati, urusan yang
tidak perlu ikut campur hendaklah jangan ikut campur. Jangan lupa, jiwamu sekarang jauh
lebih bernilai daripada jiwa orang lain."
"Kutahu," jawab Pwe-giok singkat. Dilihatnya pedang tadi, dijemputnya dan disisipkan pada
ikat pinggang, bisa jadi di tengah jalan pedang itu akan berguna.
Tiba-tiba Ang-lian-hoa tertawa dan berkata pula: "Ah, lupa kuberitahukan sesuatu padamu."
"Urusan apa?" tanya Pwe-giok dengan nada was-was.
"Urusan baik" kata Ang lian-hoa "Tentang bakal istrimu, Lim Tay-Ih, kau tidak perlu
berkuatir lagi baginya."
Entah mengapa, bila menyebut nama Lim Tay-ih, seketika sikap Ang Lian-hoa berubah
kikuk, biarpun tertawa juga tertawa setengah dipaksakan.
Dengan sendirinya Pwe-giok tidak memperhatikan sikap orang, ia bertanya: "Sebab apa?
Adakah dia...."
"Saat ini dia telah berada di bawah lindungan seorang tokoh yang paling sulit direcoki di
seluruh dunia ini."
"Ya, di bawah perlindungan Ang lian pangcu, memangnya apa yang perlu kukuatirkan lagi?"
Sikap Ang Lian-hoa berubah pula, tapi segera ia berkata dengan tertawa: "Kau jangan salah
tampa, bukan diriku."
"Orang yang paling sulit direcoki di dunia ini siapa lagi kalau bukan dirimu? Apa Jut-tun
Totiang?"
"Nama orang ini mungkin tidak lebih terkenal daripada Jut-tun Totiang, tapi orang lain
andaikan berani merecoki Jut-tun Totiang tentu juga tidak berani mengusik orang ini."
"Aha, bunga paling cantik ialah Hay-hong" seru Pwe-giok.
Ang lian-hoa berkeplok, katanya: "Betul, memang dia. Agaknya iapun melihat sesuatu yang
tidak beres, maka iapun ikut campur. Kalau dia sudah menangani sesuatu urusan, tidak nanti
ditinggalkannya setengah jalan."
86
"Wah, tampaknya persoalannya tidak sederhana sebagaimana kita sangka, masih banyak
orang lagi yang...."
"Wah, celaka! Aku melupakan sesuatu lagi!" teriak Ang Lian-hoa mendadak.
"He, urusan baik atau buruk?" tanya Pwe-giok.
"Cia Thian-pi palsu muncul di sini, jangan-jangan Cia Thian-pi yang tulen telah mengalami
nasib buruk, harus lekas ku pergi menjenguknya!" belum habis ucapannya tahu-tahu Ang
Lian-hoa sudah melayang pergi secepat terbang.
Memandangi kepergian ketua kaum jembel yang muda dan perkasa itu, Pwe-giok menghela
napas panjang, ya kagum, ya terharu, ya berduka.....
*****
Hujan sudah mereda, tapi belum berhenti, masih gerimis. Anginpun masih meniup, bahkan
tambah dingin.
Dengan langkah berat Pwe giok meneruskan perjalanan, hari depannya terasa guram, sama
seperti cuaca yang kelam sekarang ini, sekonyong-konyong terdengar derapan kuda lari yang
riuh. Tujuh atau delapan penunggang kuda membedal lewat, air jalanan yang kotor menciprati
tubuh Ji Pwe giok. Namun pemuda itu sama sekali tidak perduli, mengangkat kepala saja
tidak.
Tak terduga, baru saja barisan pemuda itu lewat seseorang mendadak melayang balik dari
kudanya dan menubruk ke arah Pwe-giok.
Dengan terkejut Pwe-giok menyurut mundur dan orang itupun turun di depannya. Dilihatnya
orang ini berpakaian hitam ketat dan basah kuyup oleh air hujan. Sorot matanya tajam, jelas
dikenalnya sebagai pemuda anggota Tiam-jong-pay itu.
Tergerak hati Pwe-giok teringat olehnya ucapan Ang-lian-hoa tadi, tanpa terasa ia berkata:
"Jangan-jangan... jangan-jangan terjadi sesuatu atas diri Cia-tayhiap"
Murid Tiam-jong-pay itu sebenarnya sedang memberi hormat, demi mendengar ucapan Pwegiok
itu, mendadak ia mengangkat kepalanya dan bertanya: "Darimana Ji-kongcu mendapat
tahu?"
"0, aku....aku...." Pwe giok menjadi gelagapan dan tak dapat menjawab.
Murid Tiam-jong-pay itu menarik muka, katanya dengan suara bengis: "Waktu melihat Jikongcu,
sebenarnya Tecu hendak menyampaikan berita duka, tak tersangka Ji-kongcu
ternyata sudah tahu lebih dulu, bukankah sangat aneh?"
"Ah, Cayhe cuma omong iseng saja," ujar Pwe-giok dengan tersenyum kecut.
Murid Tiam-jong-pay itu menjengek: "Semalam Ciangbunjin kami baru lenyap dan hingga
kini belum diketahui jejaknya, kejadian inipun baru dilaporkan kepada Jut-tun Totiang dan
87
Thian-in Taysu pada siang tadi, sedangkan Ji-kongcu sudah berangkat pagi-pagi, darimanakah
engkau mendapat tahu malah?"
Nadanya ternyata tajam dan mendesak, seakan-akan menganggap Ji Pwe-giok ada sangkutpautnya
dengan persoalan ini. Beberapa penunggang kuda tadi juga sudah putar balik, mereka
sama melototi Pwe-giok dengan pandangan sangsi dan benci.
Pwe-giok menghela napas, katanya kemudian: "Bisa jadi, Cia-taihiap hanya keluar untuk
berjalan-jalan saja. mungkin pula bertemu dengan sahabat dan diajak pergi. Dengan ilmu silat
Cia-tayhiap yang tinggi, kuyakin beliau sanggup menjaga dirinya sendiri."
Murid Tiam-jong-pay tadi berkata pula: "Setiap anak murid Tiam-jong, pedang ada orang ada,
pedang hilang orang gugur. Istilah ini tentu Ji-kongcu pernah mendengarnya. Tapi pagi tadi
kami justeru menemukan pedang Ciangbunjin terjatuh di semak-semak rumput di luar kemah,
apabila tiada kejadian yang luar biasa, rasanya tidak mungkin Ciangbunjin bertindak
seceroboh itu dengan meninggalkan pedangnya di sembarang tempat."
"Kupikir ini....... ini......" Pwe-giok jadi gelagapan, mendadak ia merasakan banyak rahasia
yang diketahuinya ternyata sukar diuraikan. Andaikan diceritakan juga orang lain takkan
percaya.
Mendadak salah seorang penunggang kuda itu menegur: "Saat ini mengapa Ji kongcu berada
sendirian? Ke mana perginya Thian-kang Totiang?"
Seorang lagi ikut berteriak bengis: "Mengapa keadaan Ji-kongcu juga serba kumal begini?
Jangan-jangan habis bergebrak dengan orang?"
"Di sekitar sini tiada nampak seorang lain, dengan siapakah Ji-kongcu bertempur?" tanya pula
seorang lain.
Pertanyaan anak murid Tiam jong-pay itu tiada satu pun dapat dijawab Pwe-giok, betapapun
dia tidak dapat menerangkan bahwa Thian-kang Totiang dibunuh oleh "Cia Thian-pi", ia pun
tak bisa mengatakan bahwa "Cia Thian-pi" itu palsu, sebab "Cia Thian-pi" itu itu sudah
musnah, dengan sendirinya tiada terdapat lagi seorang "Cia Thian-pi".
Dengan meraba pedangnya murid Tiam jong pay itu bertanya pula dengan gusar; "Mengapa
Ji-kongcu tidak bicara?"
"Bila kalian menyangsikan hilangnya Cia-tayhiap ada sangkut-pautnya dengan diriku, maka
hal ini sungguh lucu, apalagi yang dapat kukatakan?"
Air muka murid Tiam jong itu berubah lebih ramah, katanya: "Jika demikian, sebelum urusan
ini menjadi jelas, sebaiknya Ji-kongcu ikut kami pulang dulu, sebab mungkin ada urusan lain
yang tak dapat Ji-kongcu katakan kepada kami, tapi kepada Bengcu tentu dapat engkau
beberkan sejelas-jelasnya."
"Tidak, aku tidak boleh kembali ke sana," jawab Pwe giok tegas.
"Mengapa tidak boleh?" bentak para murid Tiam-jong-pay itu.
88
"Jika tidak berbuat sesuatu kesalahan, mengapa tidak berani kembali ke sana?" demikian
mereka berteriak-teriak sambil melompat turun dari kuda masing-masing, semuanya melolos
pedang dan siap tempur.
Murid Tiam-jong-pay yang menjadi kepala rombongan itu membentak; "Ji Pwe-giok, apa pun
juga alasanmu, kau harus ikut pulang ke sana bersama kami!"
Butiran keringat yang memenuhi dahi Pwe-giok itu berderai ke bawah diguyur oleh air hujan,
tangan dan kakinya terasa dingin. Belum lagi dia menjawab, mendadak dari kejauhan ada
seorang menjengek: "Ji Pwe giok, kau tidak perlu kembali ke sana!"
Tujuh atau delapan Tojin berbakiak dan membawa payung tampak berlari datang di bawah
hujan. Jelas mereka adalah murid Kun lun pay.
Murid Tiam-jong-pay tadi menanggapi dengan suara keren: "Meski orang ini terhitung murid
Kun-lun-pay, tapi dia tetap harus ikut kembali ke sana bersama kami. Selamanya Tiam jong
dan Kun-lun bersahabat, tapi persoalan ini menyangkut mati-hidup Ciangbunjin kami, maka
hendaklah para Toheng tidak marah kepada sikapku yang kurang sopan ini."
Air muka para Tojin Kun-lun-pay tampak jauh lebih kelam dan menakutkan daripada murid
Tiam-jong-pay, Tojin yang menjadi kepala rombongan berwajah putih dengan jenggot yang
jarang-jarang, dengan sorot mata yang tajam ia tatap Pwe giok, katanya: "Tidak perlu kau
kembali ke sana, bahkan tidak perlu lagi ke mana-mana."
Pwe-giok menyurut mundur, murid Tiam jong-pay tadipun heran, tanyanya: "Apa artinya
ucapanmu ini?"
Pek-bin Tojin atau si Tojin bermuka putih tersenyum pedih, katanya: "Meski jejak
Ciangbunjin kalian tidak diketahui ke mana perginya tapi Ciangbunjin kami justeru...
justeru...." mendadak "krek", payung jatuh ke tanah, batang payung telah diremasnya hingga
hancur.
Murid Tiam-jong-pay terkejut, serunya; "Apakah... apakah.... Thian-kang Totiang telah....
telah wafat..."
"Guru kami telah disergap orang, telah meninggal tertikam pedang dari belakang," seru Pekbin
Tojin dengan suara parau.
Terperanjat anak murid Tiam-jong-pay itu, katanya; "Kungfu Thian-kang Totiang luar-dalam
sudah terlatih sempurna, daun jatuh dalam jarak beberapa tombak saja tak dapat mengelabui
beliau, sungguh kami tak percaya bahwa beliau kena disergap orang."
Dengan menggereget Pek-bin Tojin menjawab: "Orang yang menyergapnya dengan
sendirinya adalah orang yang berhubungan sangat rapat dengan beliau, seorang yang tidak
pernah dicurigai beliau, sebab beliau tidak percaya bahwa orang ini ternyata manusia yang
berhati binatang."
Belum habis ucapannya, berpasang-pasang mata yang beringas sudah melototi Ji Pwe giok,
semuanya penuh rasa gemas dan dendam.
89
Dengan suara serak Pek Bin Tojin lantas membentak: "Nah, Ji Pwe Giok, cara bagaimana
meninggalnya Suhu, lekas katakan, lekas!"
"Suhu.... beliau...." seluruh tubuh Pwe Giok bergemetar sehingga tidak sanggup melanjutkan.
"Beliau mati di tanganmu bukan?" bentak Pek Bin Tojin pula dengan murka.
Mendadak Pwe Giok mendekap mukanya dan berteriak dengan parau: "Tidak, aku tidak...
matipun aku takkan menyentuh satu jari beliau ..."
"Creng", belum habis ucapannya, tahu-tahu pedang yang terselip di pinggangnya itu telah
dilolos orang.
Tangan Pek Bin Tojin memegang pedang rampasan itu, ujung pedang bergetar dan mengarah
ke dada Ji Pwe Giok. Sorot matanya yang merah membara itu menatap anak muda itu,
tanyanya pula dengan beringas: "Katakan, inikah senjata yang kau gunakan untuk membunuh
guru?"
Pedang ini memang betul adalah senjata yang digunakan membunuh Thian Kang Totiang itu,
cuma pemilik pedang ini sudah tiada terdapat lagi di dunia ini. Tapi pedang ini sekarang
berada pada Ji Pwe Giok. Lalu apa yang dapat dikatakannya. Hancur perasaan Pwe Giok,
setindak demi setindak ia menyurut mundur.
Ujung pedang juga mendesak maju setindak demi setindak, meski tajam ujung pedang itu,
tapi sorot mata orang-orang itu rasanya berlipat kali lebih tajam daripada tajam pedang
manapun.
Mendadak Pwe Giok menjatuhkan diri ke tanah, sambil berlutut ia menengadah, air mata
bercucuran, ia berteriak kalap: "O, Thian! Mengapa engkau memperlakukan diriku
sedemikian kejam? Apakah aku memang harus mati?"
"Trang", mendadak pedang itu dilemparkan Pek Bin Tojin ke depannya, lalu Tojin itu berkata
tegas: "Hanya ada satu jalan bagimu dan inipun jalan yang paling baik bagimu!"
Betul, memang cuma inilah jalan satu-satunya bagi Pwe Giok. Sebab segala persoalan tiada
mungkin dibeberkan dan dijelaskan olehnya. Fitnah yang ditanggungnya tiada satupun yang
betul, tapi semuanya itu seakan-akan lebih betul daripada yang "betul", sedangkan yang
"betul" justru tak dipercaya oleh siapapun.
Kini satu-satunya orang yang dapat menjadi saksi baginya hanya Ang-lian-hoa saja. Tapi
apakah Ang-lian-hoa dapat membuat semua orang mau percaya padanya? Dengan bukti apa
pula Ang-lian-hoa akan membelanya?
Dalam keadaan biasa sudah tentu setiap kata Ang lian-pangcu sangat berbobot, betapapun
anak murid Kun-lun dan Tiam-jong pasti percaya padanya. Tapi sekarang persoalannya
menyangkut mati-hidup ketua mereka, menyangkut pula segala kemungkinan yang terjadi
pada kedua perguruan itu, bahkan menyangkut nasib dunia persilatan umumnya. Cara
bagaimana mereka dapat mempercayai perkataan orang lain, sekalipun orang ini adalah Ang
lian-hoa yang disegani dan dihormati?
90
Setelah dipikir lagi, Pwe-giok jemput pedang itu, dia memang tiada pilihan lain, sekali pun ....
Mendadak ia meraung murka, pedang diputar kencang, dia terus menerjang ke depan.
Sudah tentu anak murid Kun-lun dan Tiam-jong sama berteriak kaget, keadaan menjadi
kacau. Tapi mereka tidak malu sebagai anak murid perguruan ternama, di tengah kekacauan
ada sebagian sempat melolos pedang dan menyerang.
Terdengar suara "trang tring" beberapa kali, beberapa pedang sama tergetar mencelat, Pwegiok
telah melampiaskan rasa gemas dan penasaran pada pedang itu, sekali pedangnya
berputar, sukarlah bagi lawan untuk menangkis.
Sungguh anak murid Tiam jong dan Kun-lun tidak menyangka anak muda ini memiliki tenaga
sakti sehebat ini. Di tengah kaget dan raung gusar orang banyak, seperti kucing gesitnya Pwegiok
berhasil menerobos keluar kepungan. Hanya beberapa kali lompatan saja, dengan
Ginkangnya yang tinggi, di bawah hujan serta berkelebatnya kilat, dalam sekejap saja ia
sudah melayang berpuluh tombak jauhnya.
Ia terus berlari seperti kesetanan, ia melupakan segalanya, yang dipikir hanya lari dan lari
terus.
Ia tidak takut mati, tapi ia tidak boleh mati dengan menanggung penasaran.
Suara bentakan orang banyak masih terdengar di belakang, suara pengejar itu seperti bunyi
cambuk yang memaksanya harus lari terlebih cepat. Ia pun mengerahkan segenap tenaganya
untuk lari di bawah hujan, air hujan berjatuhan di tubuh dan di mukanya seperti batu kerikil
yang menimbulkan sakit pedas, namun semua itu tak dihiraukan lagi.
Suara bentakan orang akhirnya tak terdengar lagi, tapi langkah Pwe-giok tidak pernah
berhenti, hanya sudah mulai kendur, makin lama makin lambat, ia masih terus lari dan lari
lagi, mendadak ia jatuh tersungkur.
Sekuatnya ia meronta bangun, ia terjatuh lagi, pandangannya mulai kabur, hujan lebat
berubah seperti kabut baginya, ia kucek-kucek matanya, tetap tidak jelas pandangannya.
Tiba-tiba ada suara roda kereta di kejauhan dan juga suara kaki kuda. Darimana datangnya
kereta kuda itu?"
Dalam keadaan samar-samar ia seperti melihat sebuah kereta sedang berlari kemari, ia
meronta dan berusaha menghindar, tapi ia jatuh lagi, sekali ini ia tidak sanggup bangun pula,
ia jatuh pingsan.
*****
Cuaca tambah kelam. Terdengar suara roda kereta yang gemeretak disertai suara kuda
meringkik pelahan Pwe-giok sudah siuman, ia mendapatkan dirinya sudah berada di dalam
kereta. Terdengar rintik hujan memukul kabin kereta laksana derap kuda berpacu di medan
tempur, seperti genderang bertalu-talu menggebu, suara yang mendebarkan jantung.
Ia menjadi ragu, jangan-jangan dirinya terjatuh dalam cengkeraman musuh?
91
Ia meronta bangun, cuaca sudah kelam, di dalam kereta menjadi tambah gelap. Ada sebuah
lentera bergantung di kabin dan bergoyang-goyang mengikuti guncangan kereta, tapi lentera
itu tidak dinyalakan.
Seputar kabin kereta penuh tertumpuk sapu, pengki, gentong, tampah dan sebangsanya.
Pwe-giok coba menyingkap terpal kereta dan mengintip ke depan, terlihat di bagian kusir
berduduk seorang tua bermantel ijuk dan bertopi caping, meski tidak jelas mukanya, tapi
kelihatan jenggotnya yang sudah ubanan bergerak-gerak di bawah hujan angin itu.
Jelas seorang tua yang miskin dan sederhana secara kebetulan menemukan seorang pemuda
yang jatuh pingsan di tengah jalan serta menolongnya. Tanpa terasa Pwe-giok menghela
napas panjang.
"Apakah kau sudah siuman, Ji Pwe-giok?" tiba-tiba terdengar orang tua di luar itu menegur
dengan tertawa.
Pwe-giok terkejut, cepat ia bertanya: "Dar ....darimana kau tahu namaku?"
Kakek itu menoleh, katanya dengan menyipitkan mata; "Tadi kudengar di sekitar sana ada
orang berteriak-teriak dan membentak-bentak," katanya: "Ji Pwe-giok, kau tak dapat lolos."
"Kukira Ji Pwe-giok yang dimaksudkan itu pasti kau, tapi akhirnya kau kan lolos juga!"
Wajah si kakek penuh keriput, suatu tanda sudah kenyang asam-garam kehidupan manusia,
setiap garis keriputnya itu, seakan-akan melambangkan suatu masa penderitaan di waktu yang
lalu. Sinar matanya yang penuh mengandung kecerdasan pengalaman hidup itu juga diliputi
perasaan welas asih dan suka ria.
Pwe-giok menunduk, ucapnya dengan tersendat: "Terima kasih atas pertolongan Lotiang
(bapak)."
"Jangan kau berterima kasih padaku," ujar kakek itu dengan tertawa.
"Ku tolong kau adalah karena kulihat kau tidak mirip orang jahat. Kalau tidak, mustahil tidak
kuserahkan dirimu kepada mereka."
Pwe-giok terdiam sejenak, katanya kemudian dengan tersenyum pedih: "Sudah sekian
lamanya, mungkin Lotiang inilah orang pertama yang bilang aku bukan orang jahat!"
"Hahaaha!" kakek itu tergelak. "Biasa, orang muda kalau mengalami sedikit kesusahan lantas
suka mengomel. Biarlah nanti kalau sudah sampai di gubuk kakek, setelah minum semangkuk
dua mangkuk, tanggung semua rasa penasaranmu akan lenyap."
"Tarrr", ia ayun cambuknya dan melarikan keretanya terlebih cepat.
Menjelang petang, hujan masih rintik-rintik. Kereta memasuki sebuah jalan kecil yang tiada
orang berlalu-lalang. Kakek yang miskin ini mungkin tinggal sendirian di rumah gubuknya.
Tapi bagi Pwe-giok hal ini sangat kebetulan malah. Ia lantas berbaring di dalam kereta dan
92
membayangkan dinding gubuk si kakek yang sudah berlubang-lubang dan pembaringannya
yang penuh daki serta tuak kampung yang menusuk tenggorokan itu. Ia merasa dirinya
sekarang bolehlah tidur dengan tenteram.
Tiba-tiba terdengar kakek itu bergumam: "Wahai kudaku sayang, larilah yang cepat, sudah
dekat rumah kita, kau kenal jalan tidak?"
Pwe-giok tidak tahan, ia merangkak bangun pula dan menyingkap terpal untuk mengintip
keluar. Dilihatnya di depan adalah jalan berbatu yang bersih terguyur air hujan. Di ujung jalan
sana adalah sebuah gedung yang mentereng dengan cahaya lampu yang gemilang. Dipandang
pada petang yang hujan ini tampaknya tiada ubahnya seperti sebuah istana kaum bangsawan.
Pwe-giok terkejut, tanyanya dengan ragu-ragu; "Apakah ini . . . ini rumah Lotiang?"
"Betul," jawab si kakek tanpa menoleh.
Pwe-giok membuka mulut, tapi segera ditelannya kembali kata-kata yang hendak
diucapkannya. Dalam hati sungguh penuh rasa heran dan sangsi. Jangan-jangan kakek miskin
ini adalah samaran seorang hartawan? Jangan-jangan dia seorang pembesar yang telah
pensiun? Atau mungkin juga seorang bandit yang sengaja menutupi gerak-geriknya dengan
menyamar sebagai kakek rudin? Apa maksud tujuannya membawa pulang Ji Pwe giok?
Terlihat di luar pintu gerbang yang besar berwarna ungu itu terdapat dua ekor singa batu, di
pinggir pagar bambu sana tertambat beberapa ekor kuda bagus, beberapa lelaki tegap dengan
bergolok dan pakaian ringkas sedang menurunkan pelana kuda.
Siapa yang datang menumpang kuda-kuda itu?
Meski pertanyaan ini belum dapat segera dijawab, tapi kakek ini adalah seorang tokoh Bulim,
hal ini jelas tidak perlu disangsikan lagi. Padahal setiap orang Bulim sekarang, siapakah yang
tidak memusuhi Ji Pwe-giok?!
Tangan dan kaki Pwe-giok terasa dingin, lebih celaka lagi sekujur badan terasa lemas lunglai,
ingin kabur pun tidak dapat. Apalagi, seumpama dia dapat lari kinipun sudah terlambat. Sebab
kereta itu telah masuk ke dalam perkampungan itu.
Pwe-giok menutup kembali terpal kereta, hanya tersisa sela-sela kecil untuk mengintip.
Mendadak terlihat dua sosok bayangan orang melayang kemari, orang di sebelah kiri
dikenalnya sebagai si Pek-bin Tojin dari Kun-lun-pay itu.
Tidak kepalang kejut Pwe-giok, tanganpun agak gemetar.
Pek-bin Tojin itu menghadang di depan kereta dan menegur; "Dalam perjalanan pulang ini,
apakah Lotiang melihat seorang pemuda?"
"Terlalu banyak pemuda yang kulihat, entah yang mana yang kau maksudkan?" jawab si
kakek dengan tertawa.
"Dia berbaju panjang warna hijau, cukup gagah dan ganteng, cuma keadaannya agak
runyam," tutur Pek-bin Tojin.
93
"Aha, kalau pemuda begini memang ada kulihat," seru si kakek.
"Di mana dia?" tanya Pek-bin Tojin cepat.
"Bukan saja kulihat, bahkan telah kutangkap dia ke sini," ujar si kakek sambil tertawa.
Tidak kepalang cemas Pwe-giok, hampir saja ia jatuh kelengar.
Dengan tajam Pek bin Tojin menatap si kakek, katanya dengan tegas; "Biarpun pemuda itu
dalam keadaan runyam, meski dia sudah payah untuk kabur, kalau dirimu saja jelas tidak
mampu menangkapnya pulang. Hendaklah Lotiang ingat selanjutnya, Pek-ho Tojin dari Kunlun
pay biasanya tidak suka berkelakar!"
Habis berkata mendadak ia membalik tubuh dan melangkah kembali ke sana.
Si kakek menghela napas, ucapnya: "Jika sudah jelas kau tahu aku tidak mampu
menangkapnya, untuk apa kau tanya pada diriku?"
Dia tarik lagi tali kendalinya dan menghalau keretanya ke suatu gang kecil, terdengar ia
bergumam sendirian: "Wahai anak muda, sekarang tentunya kau tahu, semakin cerdik
seseorang, semakin mudah pula ditipu. Soalnya hanya dengan cara apa akan kau tipu dia."
Dengan sendirinya ucapan ini sengaja diperdengarkan kepada Ji Pwe-giok, cuma sayang Pwegiok
tidak dapat mendengarnya. Waktu Pwe-giok sudah dapat mendengar, sementara itu tahutahu
ia sudah berada di dalam rumah si kakek.
Rumah ini memang betul sudah reyot, dinding sekelilingnya sudah banyak yang rontok dan
kotor di atas meja ada sebuah poci yang telah patah corongnya serta dua mangkuk butut,
selain itu ada pula sedikit sisa kacang goreng.
Sebuah lampu minyak dengan cahayanya yang guram tampak bergoyang- tertiup angin
seolah-olah melambangkan kehidupan si kakek.
Di belakang pintu menyantel sehelai selimut lusuh, dari sela-sela pintu air hujan tampak
merembes masuk dan mengalir ke kaki tempat tidur yang terbuat dari bambu. Di tempat tidur
inilah sekarang Pwe-giok berbaring. Bajunya yang basah sudah ditanggalkan, meski sekarang
badannya ditutup dengan sehelai selimut, tapi rasanya masih menggigil.
Si kakek tidak kelihatan berada di dalam rumah, sekuat tenaga Pwe giok meronta turun dari
tempat tidur, dengan selimut membungkus tubuh ia mendekati jendela, jendela terbuat dari
papan kayu, ia mengintip keluar melalui celah-celah papan. Di luar ternyata adalah sebuah
taman yang sangat luas.
Gelap gulita taman itu, meski di kejauhan ada berkerlipnya cahaya lampu, tapi sinarnya tidak
dapat mencapai ke sini, pepohonan yang gelap di bawah hujan tampaknya seperti bayangan
setan yang bergerak-gerak. Pwe-giok merinding, diam-diam ia bertanya kepada dirinya
sendiri: "Sesungguhnya tempat apakah ini? Apa yang telah terjadi dengan diriku?"
94
Tiba-tiba terlihat setitik sinar lampu melayang ke sana di tengah bayangan pohon, seperti api
setan. Kaki Pwe-giok menjadi lemas, ia berdiri bersandar pada ambang jendela. Di tengah
kegelapan sayup-sayup terdengar suara nyanyian yang lembut:
Mana ada malam purnama di tengah kehidupan ini, kecuali dicari di dalam mimpi. Katamu
kau pernah melihat senyuman dewi, adakah itu di dalam mimpi atau nyata?
Suara nyanyian itu hanya sayup-sayup hampir tak terdengar, membawa semacam perasaan
yang hampa, duka dan misterius yang sukar dilukiskan, adakah ini nyanyian orang, bukankah
lebih tepat dikatakan rintihan arwah halus?
Api setan dan suara nyanyian itu semakin dekat, sesosok bayangan putih remang-remang
muncul dengan tangan membawa sebuah lampu kristal yang kecil mungil, melayang tiba di
bawah hujan.
Bentuk bayangan ini sedemikian ramping, baju yang basah kuyup melekat pada tubuhnya,
rambut yang panjang terurai juga lengket di atas pundaknya, sinar lampu terpancar menyinari
mukanya. Wajahnya putih pucat pasi, cahaya lampu juga menyinari matanya, sorot mata yang
kelihatan hampa dan bingung, tapi juga sangat cantik. Kehampaan ditambah cantik
menimbulkan semacam perasaan yang sukar diucapkan.
Pwe-giok menjadi lemas dan tak dapat bergerak menghadapi taman yang luas dan seram itu
dengan bayangan yang menyerupai badan halus . . . .
Sekonyong-konyong pintu berkeriut dan terbuka, dengan kaget Pwe-giok berpaling,
dilihatnya si kakek dengan mantel ijuk dan bercaping entah sejak kapan sudah berada di situ.
Pwe-giok menubruk maju dan memegang bahunya sambil berseru: "Sia .... siapa itu di luar?"
Si kakek tersenyum jawabnya: "Mana ada orang di luar?"
Sudah tentu Pwe-giok tidak percaya, ia membuka pintu dan melongok keluar, di luar hanya
taman yang luas dan gelap, mana ada bayangan orang segala?
Si kakek kelihatan tersenyum-senyum, seperti mengejek dan juga merasa kasihan. Pwe-giok
mencengkeram leher bajunya dan berseru dengan suara gemetar: "Sesungguhnya tempat ....
tempat apakah ini? Siapa kau sesungguhnya?"
"Siapa? Kan cuma seorang kakek yang telah menyelamatkan kau," jawab si kakek dengan
tenang.
Pwe giok jadi melenggong dan melepaskan cengkeramannya, ia menyurut mundur dan jatuh
berduduk di atas kursi bambu, baru sekarang keringat dinginnya menetes.
"Kau lelah, kau terlalu lelah," kata si kakek, "Janganlah berpikir yang bukan-bukan,
istirahatlah."
Sambil memegangi sandaran kursi bambu Pwe-giok berseru pula: "Tapi. ... tapi jelas-jelas
kulihat........."
95
"Kau tidak melihat apa-apa, bukan? Ya, apapun tidak kau lihat...... "si kakek memandangnya
lekat-lekat.
Tiba-tiba Pwe-giok merasa sorot mata si kakek ada semacam kekuatan yang sukar dilawan,
tanpa terasa ia menunduk, ia tersenyum pedih, katanya: "Ya, aku memang tidak melihat
apapun."
"Memang begitulah," ujar si kakek dengan tertawa, "semakin sedikit yang kau lihat, semakin
sedikit pula rasa kesalmu."
Lalu dia menaruh sebuah kuali kecil di atas meja di depan Pwe giok, katanya; "Sekarang
boleh minumlah kuah pedas ini dan tidurlah baik-baik. Besok, tentulah hari yang tidak sama,
entah betapa bedanya besok dengan hari ini?"
"Ya, apapun juga, hari ini pun sudah lalu....." ucap Pwe-giok dengan tersenyum pedih.
*****
Dalam mimpinya, Pwe-giok merasa bumi ini makin lama makin gelap, tubuhnya seakan-akan
terhimpit oleh bumi raya yang gelap ini, ia berkeringat? ia meronta,
mengerang..............Selimut serasa sudah basah, tempat tidur bambu itu berbunyi keriatkeriut!
Sekonyong-konyong ia membuka mata di bawah cahaya pelita yang guram dilihatnya
sepasang tangan!
Sepasang tangan yang putih mulus!
Kedua tangan ini sedang menggeser ke lehernya, seakan-akan hendak mencekiknya,
"Sia.................siapa kau?" jerit Pwe-giok saking kaget dan takutnya.
Di bawah sinar lampu yang guram, dilihatnya seraut wajah yang pucat dengan rambut yang
panjang serta sepasang mata yang indah dengan pandangannya yang rawan. Ketika rambut
yang panjang itu tersebar, bayangan putih itupun melayang pergi seperti angin, tahu-tahu
lantas lenyap dalam kegelapan. Bukankah itu badan halus yang dilihatnya di bawah hujan itu?
Cepat Pwe-giok melompat bangun, ia meraba leher sendiri dengan napas terengah-engah.
Sesungguhnya bayangan tadi manusia atau setan? Apakah dirinya hendak dibunuhnya tadi?
Tapi sebab apa orang hendak membunuhnya?
Si kakek tidak diketahui ke mana perginya dan celah-celah papan jendela terlihat cuaca sudah
remang-remang, fajar sudah menyingsing. Daun pintu kelihatan masih bergoyang-goyang.
Sesungguhnya bayangan tadi manusia atau setan? Jika benar hendak membunuhnya tentu
sudah dilakukannya sejak tadi. Kalau tiada maksud jahat, mengapa dia menyusup datang
seperti badan halus dan melayang pergi pula seperti arwah gentayangan?
Jantung Pwe-giok berdebar keras, di tepi tempat tidurnya ada seperangkat baju bekas, tanpa
pikir dipakainya dengan tergesa-gesa, lalu ia berlari keluar.
96
Kabut pagi masih menyelimuti halaman taman yang sunyi senyap ini. Hujan sudah berhenti,
cuaca remang-remang, lembab, sejuk dan rada-rada menggigilkan. Remang-remang kabut
membuat taman yang sunyi ini menimbulkan semacam keindahan yang misterius.
Diam-diam Pwe-giok menyusuri jalan berbatu itu, langkahnya sangat perlahan, seakan-akan
kuatir memecahkan kesunyian bumi raya ini.
Tiba-tiba didengarnya suara kicau burung, semula suara seekor dengan bunyi yang merdu dari
pucuk pohon sini terus berpindah ke pucuk pohon sana.
Menyusul suara lain lantas berbangkit, lalu seluruh taman seolah-olah pecah suara burung
berkicau dengan nyaringnya.
Pada saat inilah kembali Pwe-giok melihat si "dia" lagi.
Dia masih mengenakan jubah panjang warna putih dan berdiri di bawah pohon yang sana. Dia
sedang menengadah dan memandangi pucuk pohon, rambutnya mengkilap, jubah putih dan
rambut panjangnya berkibaran tertiup angin, di tengah remang kabut pagi ini dia bukan lagi
badan halus, tapi serupa dewi kahyangan.
Dengan langkah lebar Pwe-giok mendekatinya, ia kuatir orang akan menghilang pula seperti
badan halus. Namun si dia masih menengadah tanpa bergerak sedikit pun.
Sesudah dekat, dengan suara keras Pwe-giok menegur; "He, kau......."
Baru sekarang si dia memandang Pwe giok sekejap sorot matanya yang indah itu penuh rasa
bingung seperti orang kehilangan ingatan. Sementara itu kabut sudah mulai hilang, sinar sang
surya sudah mulai mengintip di ufuk timur, butiran air hujan atau embun laksana mutiara
menghias dedaunan.
Mendadak Pwe-giok merasa si dia ini bukan si "dia".
Meski si dia ini juga berjubah putih dan berambut panjang, juga bermuka pucat, juga bermata
indah, tapi cantiknya terlalu bersahaja. Dari gemerdep matanya dapat terlihat betapa suci
murninya, betapa gemilang dan betapa tenangnya.
Sedangkan si "dia" yang dilihatnya semalam itu jelas sangat misterius dan juga sangat rumit,
bahkan mengandung semacam hawa yang aneh dan sukar untuk dipahami.
Cepat Pwe giok berkata pula dengan menyesal; "O, maaf aku salah lihat."
Ia pandang Pwe-giok dengan tenang, mendadak ia membalik tubuh dan kabur seringan
burung.
Tanpa terasa Pwe-giok berseru: "Nanti dulu, nona! Apakah engkau juga penghuni
perkampungan ini?"
Nona itu sempat menoleh dan tertawa kepada Pwe-giok, tertawa yang cantik, tapi juga
mengandung rasa hampa dan linglung yang sukar dilukiskan. Habis itu lenyaplah dia di
tengah kabut.
97
Sampai lama Pwe giok termenung, ia ingin membalik ke arah datangnya tadi, tapi langkah
kakinya justeru menggeser ke depan, jalan punya jalan, tiba-tiba ia merasa ada sepasang mata
sedang mengintainya di balik pohon sana. Mata yang begitu jernih, begitu bening. Pelahanlahan
Pwe-giok menghentikan langkahnya dan berdiri tenang di situ, sedapatnya ia tidak mau
mengejutkan orang.
Akhirnya si dia muncul sendiri dan memandang Pwe-giok dengan linglung.
Baru sekarang Pwe-giok berani tertawa padanya dan menyapa: "Nona, apakah boleh kutanya
beberapa kata padamu?"
Dengan tertawa linglung nona itu mengangguk.
"Tempat apakah ini?" tanya Pwe-giok.
Nona itu tetap tertawa sambil menggeleng.
Dengan kecewa Pwe giok menghela napas, ia tidak tahu mengapa tempat ini sedemikian
misterius, mengapa tidak seorang pun mau memberitahukan padanya?"
Tapi ia tidak putus asa, ia tanya pula: "Jika nona penghuni perkampungan ini, mengapa tidak
tahu tempat apakah ini?"
"Aku bukan manusia," tiba-tiba nona itu bersuara dengan tertawa. Suaranya nyaring merdu
seperti kicauan burung.
Jawaban itu membuat Pwe-giok terkejut. Jika kata itu diucapkan orang lain paling-paling
Pwe-giok cuma tertawa saja. Tapi nona yang berwajah bingung ini sesungguhnya mempunyai
kecerdasan yang melebihi orang lain.
Dengan tergagap kemudian Pwe-giok bertanya pula: "Masa kau bukan .. . . "
"Aku seekor burung," ucap si nona pula sambil menggigit bibir. Ia menengadah memandangi
pucuk pohon, di mana hinggap beberapa ekor burung kecil yang tak diketahui namanya
sedang berkicau. Dengan tertawa ringan nona itu berkata pula: "Akupun serupa burung di atas
pohon itu, aku adalah saudara mereka."
Pwe-giok terdiam sejenak, tanyanya kemudian: "Jadi nona sedang bicara dengan mereka?"
Nona baju putih itu berpaling dan tertawa. Mendadak matanya terbelalak dan bertanya: "Kau
percaya pada perkataanku?!"
"Sudah tentu kupercaya," jawab Pwe-giok dengan suara halus.
Sorot mata si nona menampilkan perasaan hampa, ucapnya dengan menyesal; "Tapi orang
lain tidak mau percaya."
"Bisa jadi mereka orang tolol semuanya," ujar Pwe giok.
98
Sampai lama si nona memandangi Pwe giok dengan tenang, tiba-tiba ia tertawa nyaring,
katanya: "Jika demikian, bolehkah kukatakan padamu bahwa aku ini seekor burung kenari."
Dia tertawa riang, lalu berlari pergi pula.
Pwe giok tidak merintanginya, ia termangu-mangu sejenak, timbul semacam perasaan yang
belum pernah dirasakannya selama ini. Perlahan-lahan ia melangkah balik ke rumah kecil
tadi.
Baru saja ia melangkah masuk rumah, sekonyong-konyong dari balik pintu sebatang pedang
mengancam punggungnya. Ujung pedang yang tajam dingin itu seakan-akan menusuk ke
dalam hati Pwe-giok.
Terdengar seorang bersuara sedingin es; "Jangan bergerak, sekali bergerak segera kutusuk
tembus punggungmu....." Jelas ini suara seorang perempuan, juga nyaring dan merdu.
Tanpa terasa Pwe giok menoleh, kembali ia melihat jubah putih dengan rambut panjang
terurai dan muka yang pucat serta mata yang indah. Ini bukanlah badan halus semalam, tapi
dewi kahyangan pagi ini.
Kejut dan heran Pwe-giok, dengan mendongkol ia berkata sambil menyengir: "Nona kenari,
masa kau tidak kenal lagi padaku?"
"Sudah tentu aku tidak kenal kau!" kata nona itu dengan suara bengis.
"Tapi .... tapi barusan kita baru .... baru saja bicara."
"Hm, mungkin kau melihat setan," jengek si nona.
Pwe giok jadi melenggong dan tak dapat bersuara. Sorot mata si nona sekarang telah berubah
menjadi tajam dan dingin, tapi alisnya, mulutnya dan hidungnya jelas-jelas si nona cantik tadi.
Mengapa mendadak dia berubah begini? Mengapa sikapnya berubah ketus begini? Kembali
Pwe giok kebingungan, ucapnya kemudian dengan tersenyum pedih: "Apakah benar kulihat
setan?"
"Siapa kau?" bentak nona itu dengan bengis.
"Mengapa kau berada di tempat Ko lothau (kakek Ko)? Ingin mencuri atau ada pekerjaan
lain? Lekas mengaku terus terang, lekas!"
"Begitu ujung pedangnya didorong sedikit, seketika darah mengucur dari punggung Pwegiok.
"Aku tidak tahu, apa pun aku tidak tahu," jawab Pwe-giok sambil menghela napas. Ia merasa
setiap penghuni perkampungan ini seakan-akan orang gila semua, terkadang sedemikian baik
padanya, tapi mendadak bisa berubah menjadi garang.
99
Sebentar bersikap ramah, lain saat berubah beringas seperti hendak membunuhnya, "Kau
tidak tahu?" jengek nona itu pula. "Baik, akan kuhitung sampai tiga, jika kau tetap bilang
tidak tahu, segera kutusukkan pedang ini hingga menembus dadamu."
Lalu ia berseru: "Satu." Pwe-giok hanya berdiri tegak tanpa bersuara. "Dua . . .. " teriak pula
si nona. Pwe-giok tetap berdiri saja tanpa bicara. Hakekatnya memang tiada apa-apa yang
dapat dikatakannya. Si nona seperti melengak juga, tapi akhirnya ia berseru pula: Tiga!
Pada saat yang sama, sekonyong-konyong Pwe giok menggeser ke samping selicin belut,
berbareng tangannya menyampuk balik, seketika tangan si nona kaku kesemutan, pedang
mencelat dan menancap di belandar.
Sampukan Pwe-giok ini sangat kuat. Si nona jadi melenggong. Pwe-giok memandangnya
dengan dingin, katanya: "Nona kenari, sekarang bolehlah kutanyai kau bukan? Tentunya
jangan pura-pura bodoh lagi, sebaiknya kau bicara dengan bahasa manusia, aku tidak paham
bahasa burung."
Nona itu mengerling sekejap, mendadak ia tertawa nyaring, katanya: "Hihi, aku cuma
berkelakar saja dengan kau. Jika kau ingin belajar bahasa burung biarlah kuajari kau besok."
Dengan enteng ia terus membalik tubuh dan berlari pergi. "Nanti dulu!" seru Pwe-giok sambil
mengejar.
Tapi mendadak dilihatnya si kakek menghadang di depannya sambil menegur: "Telah
kuselamatkan jiwamu, tapi bukan maksudku membawa kau ke sini untuk menakuti orang."
"Kedatangan Lotiang sangat kebetulan," jengek Pwe-giok.
"Waktu nona itu mengancam punggungku dengan pedang, mengapa Lotiang tidak lantas
muncul?"
Kakek itu tidak bersuara, ia masuk ke rumah dan berduduk, diambilnya cangklong
tembakaunya, disulutnya dengan api dan mulai merokok, setelah menghisap tembakaunya
satu-dua kali barulah ia berucap:
"Biarlah kukatakan terus terang padamu, di perkampungan ini memang banyak hal-hal yang
aneh, bila kau dapat anggap tidak dengar dan tidak lihat, tentu kau takkan dicelakai orang.
Jika sebaliknya, tentu akan mendatangkan musibah bagimu."
"Sekalipun aku berlagak tidak dengar dan tidak lihat, kan nona tadi juga hendak
membunuhku?!" seru Pwe giok dengan gusar.
Si kakek menghela napas, katanya: "Persoalan tadi hendaklah jangan kau pikirkan lagi,
mereka adalah anak perempuan yang harus dikasihani, nasib mereka sangat malang, kau harus
memaafkan mereka."
Dan kerut wajahnya dapat terlihat si kakek jelas sangat berduka ketika membicarakan nona
tadi, Pwe-giok termenung sejenak, tanyanya kemudian: Siapakah mereka?"
"Untuk apa kau ingin tahu siapa mereka?"
100
"Dan, mengapa kau tidak mau memberitahukan padaku?" seru Pwe-giok.
Si kakek menghela napas panjang, katanya: "Bukannya aku tidak mau memberitahukan
padamu, soalnya akan lebih baik jika kau tidak tahu."
Kembali Pwe-giok termenung sejenak, ia memberi hormat, lalu berkata pula dengan suara
berat: "Terima kasih banyak-banyak atas pertolongan jiwa Lotiang, kelak pasti akan kubalas
kebaikanmu ini."
"Kau mau pergi?" tanya si kakek sambil menoleh.
"Kupikir, lebih baik ku pergi saja," ujar Pwe-giok sambil menyengir.
"Tapi ratusan anak murid Kun-lun dan Tiam-jong saat ini masih berkeliaran di sekitar
perkampungan ini, jika kau pergi, dapatkah kau lolos dari pengawasan mereka?"
Pwe-giok jadi ragu-ragu, tanyanya pula: "Sesungguhnya ada hubungan apa antara
perkampungan ini dengan Kun-lun dan Tiam-jong-pay?"
Si kakek tersenyum hambar, katanya: "Jika tempat ini ada hubungannya dengan Kun-lun dan
Tiam-jong, mungkinkah kau diberi kesempatan tinggal di sini?"
Pwe-giok terkesiap dan menyurut mundur; "Apakah... apakah engkau sudah tahu..."
"Aku sudah tahu semuanya," ucap si kakek sambil menyipitkan matanya.
Pwe-giok menubruk maju dan memegang bahu si kakek, serunya dengan parau: "Aku tidak
membunuh Cia Thian-pi, lebih-lebih tidak pernah membunuh Thian-kang Totiang, kau harus
percaya padaku."
"Sekalipun aku percaya, tapi orang lain apakah juga percaya?" kata si kakek.
Pwe-giok melepaskan tangannya dan menyurut mundur selangkah demi selangkah hingga
bersandar pada dinding.
"Terpaksa kau harus berdiam di sini, nanti kalau keadaan sudah aman, baru kau kubawa
pergi," ujar si kakek dengan gegetun.
"Pada kesempatan ini pula dapat kau istirahat dan memulihkan tenagamu di sini."
Basah mata Pwe-giok, katanya: "Lotiang, semestinya engkau .... engkau tidak perlu sebaik ini
kepadaku."
Si kakek menghisap lagi tembakaunya, lalu berkata dengan ikhlas: "Sekali sudah
kuselamatkan kau, tidak nanti kusaksikan lagi kau mati di tangan orang lain."
Sekonyong-konyong seutas tali menyambar ke atas dan persis menjerat batang pedang yang
menancap di belandar, sedikit ditarik, pedang itu lantas jatuh ke bawah dan tepat diraih oleh
sebuah tangan yang putih halus.
101
Tahu-tahu si nona telah berdiri di ambang pintu dan berkata kepada si kakek dengan tertawa;
"Ko-lothau, ibu ingin melihat dia."
Si kakek memandang Pwe-giok sekejap. Segera Pwe-giok dapat melihat perubahan air muka
si kakek, matanya yang menyipit mendadak terbelalak, katanya dengan berkerut kening:
"Ibumu ingin melihat siapa?"
"Di rumah ini selain kau dan aku, ada siapa lagi?" ucap si nona baju putih dengan tertawa.
"Untuk...... untuk apa ibumu ingin melihat dia?" tanya si kakek Ko.
Nona itu melirik Pwe-giok sekejap, katanya; "Akupun tidak tahu, lekas kau bawa dia ke
sana."
Lalu ia memutar tubuh dan melangkah pergi pula.
Sampai lama si kakek berdiri termangu.
Pwe-giok tidak tahan, tanyanya. "Siapakah ibunya?"
"Cengcu-hujin (nyonya kepala perkampungan)," jawab Ko-lothau sambil mengetuk pipa
tembakaunya, lalu disisipkannya diikat di pinggang dan berkata pula: "Marilah berangkat,
ikut saja di belakangku. Hendaklah hati-hati, saat ini di perkampungan ini terdapat tidak
sedikit anak murid Tiam-jong dan Kun-lun pay.
"Sungguh aku tidak paham," kata Pwe-giok dengan gegetun, "kalau kalian sudah mau
menerima diriku, mengapa kalianpun menerima mereka di sini. Jika kalian telah menerima
mereka di sini, mengapa kalian kuatir pula diriku dilihat mereka?"
Si kakek tidak menghiraukan gerundelan Pwe-giok itu, ia membawa anak muda itu menyusur
kian kemari di antara pepohonan yang lebat, di jalan berbatu licin bersih, kabut di tengah
pepohonan itu sudah buyar.
"Kalau sekarang aku harus menemui Cengcu-hujin, sedikitnya engkau harus memberitahukan
padaku sesungguhnya di sini ini perkampungan apa?" kata Pwe-giok pula.
"Sat jin-ceng!" jawab Ko-lothau singkat.
"Sat-jin-ceng (perkampungan membunuh orang)?" seru Pwe giok terkejut dan berhenti
melangkah mendadak.
Sementara itu mereka sudah sampai di sebuah serambi yang melingkar, bangunan serambi ini
sangat indah dan mentereng, tapi langkan serambi kelihatan tak terawat, catnya yang
berwarna merah sudah banyak yang mengelupas, debu memenuhi lantai.
"Kau heran pada nama perkampungan ini?" "Ya, mengapa diberi nama seaneh ini?"
"Sebabnya setiap orang boleh membunuh orang di sini secara bebas, tiada seorangpun yang
akan melarangnya. Setiap orang juga dapat terbunuh di sini dan pasti tiada seorangpun yang
mau menolong dia!" tutur si kakek Ko.
102
Pwe-giok merasa merinding, ucapnya dengan ngeri: "Sebab apa, sebab apa begitu?"
"Apa sebabnya kukira lebih baik jangan kau tanya," jawab Ko lothau.
"Masa......masa selama ini tiada orang ikut campur?"
"Tidak ada, selamanya tidak ada yang berani."
"Masa Cengcu kalian juga tidak ikut campur urusan perkampungan?"
Mendadak Ko-lothau menoleh dengan senyuman yang misterius, ucapnya sekata demi sekata:
"Cengcu kami selamanya tidak ikut campur urusan, sebab dia..............."
Belum habis ucapannya, tiba-tiba terdengar suara langkah orang berkumandang dari ujung
serambi sana. cepat Ko lothau menarik Pwe-giok dan menyelinap ke balik pintu samping
yang berkerai.
Suara langkah orang itu semakin dekat, pelahan-lahan berlalu ke sana.
Pwe-giok mengintip ke luar, dilihatnya bayangan dua Tojin berjubah ungu dan menyandang
pedang, jelas mereka murid Kun-lun-pay.
Diam-diam Pwe-giok menghela napas lega, katanya; "Apakah setiap orang boleh bergerak
secara bebas di perkampungan kalian ini?"
"Siapa yang ingin membunuh orang dengan sendirinya boleh bebas bergerak, tapi orang yang
mungkin akan terbunuh cara berjalannya harus berhati-hati... berhati-hati sekali."
"Kalau orang di sini setiap saat mungkin terbunuh, mengapa mereka masih juga datang
kemari? Bukankah tempat lain jauh lebih aman bagi mereka?"
"Bisa jadi dia sudah kehabisan jalan, atau mungkin dia tidak tahu seluk-beluk tempat ini.
Mungkin pula ia tertipu ke sini, boleh jadi lagi iapun ingin membunuh orang."
Pwe-giok merinding pula, gumamnya; "Sungguh tepat sekali alasan ini, ke empat alasan ini
memang tepat......" segera ia menyusul ke depan dan bertanya: Tapi Cengcu kalian
mengapa.,.."
Belum habis ucapannya, tiba-tiba terdengar suara nyaring merdu berkata: "Dia sudah datang,
ibu......" Waktu Pwe-giok memandang ke sana, di ujung serambi ada sebuah pintu berukir
daun pintu kelihatan terbuka sedikit, suara merdu itu berkumandang dan balik pintu.
Sepasang mata jeli yang semula mengintip di balik pintu kini mendadak lenyap. Dengan
langkah berat Ko lothau mendekati pintu itu dan mengetuknya pelahan sambil berseru:
"Apakah Hujin ingin bertemu dengan bocah ini?"
"Ya, masuk!" ucap seorang perempuan dengan suara lirih. Hanya dua kata ini saja yang
terdengar, namun mengandung semacam daya tarik yang aneh luar biasa, rasanya suara ini
seperti tersiar dari suatu dunia yang lain.
103
Mendadak pintu terbuka, Di dalam sangat gelap, sinar sang surya pagi cukup benderang, tapi
tak dapat menyorot ke dalam rumah.
Entah mengapa, jantung Pwe giok berdebar keras, pelahan ia melangkah masuk. Dalam
kegelapan sepasang mata yang terang sedang menatapnya, mata yang indah dan juga hampa,
Nyonya rumah dari Sat-jin ceng ini ternyata tidak-lain-tidak-bukan adalah "badan halus" yang
dilihatnya di bawah hujan itu.
Pwe-giok terkesiap. Segera dilihatnya pula sepasang tangan yang putih dan halus, jelas itulah
tangan yang hendak mencekiknya waktu dia tidur itu. Butiran keringat terasa mengucur dari
dahinya ....
Sepasang mata yang jeli itu masih menatapnya lekat-lekat tanpa bergerak. Pwe-giok juga
tidak bergerak, lamat-lamat ia merasa di sampingnya juga ada satu orang. Waktu matanya
sudah terbiasa dalam kegelapan, tiba-tiba dilihatnya orang di samping ini tersenyum manis,
senyuman yang suci dan bersahaja.
Hai, bukankah ini si dewi yang dilihatnya di tengah pepohonan pagi tadi?
Sekonyong-konyong pintu tertutup pula, segera Pwe-giok berpaling. Di dekat pintu kembali
dilihatnya sepasang mata yang sudah dikenalnya, mata yang sama jelinya, alis yang sama
lentiknya dan mulut yang sama mungilnya.
Bedanya, sorot mata yang satu sedemikian halus dan bersahaja, yang satu lagi justeru begitu
tajam dan dalam. Kalau diperumpamakan seorang seperti burung Kenari yang lincah dan
riang, seakan-akan tidak kenal arti susah orang hidup. Yang seorang lagi dapat di ibaratkan
burung elang di padang pasir, garang dan selalu mengincar hati setiap mangsanya.
Baru sekarang Pwe-giok paham duduknya perkara. Rupanya si burung Kenari yang
ditemuinya di hutan pagi tadi serta si elang yang mendorongnya dengan pedang itu adalah
kakak beradik kembar.
Ia pandang ke depan dan melihat ke belakang, ia merasa kedua kakak beradik ini benar-benar
mirip seperti pinang yang dibelah dua, sampai-sampai ibu mereka, si badan halus di tengah
hujan itu, arwah dalam mimpi, si Cengcu-hujin yang misterius ini, juga serupa benar dengan
kedua puterinya. Hanya saja, watak di antara ibu dan kedua puterinya sama sekali berbeda
dan terdiri dan tiga jenis watak yang tak sama.
Seketika Pwe-giok tidak tahu apa yang harus dilakukannya, entah kejut, heran, bingung atau
merasa lucu. Segera terngiang pula ucapan si kakek Ko: "Mereka adalah perempuan yang
harus dikasihani."
Perempuan yang harus dikasihani? Mengapa....
Cengcu-hujin masih menatapnya lekat-lekat, mendadak ia tertawa dan berkata: "Di sini sangat
gelap, bukan?"
104
Pada wajah yang pucat dan penuh rasa hampa itu bisa menampilkan senyuman, sungguh
sesuatu yang hampir sukar dibayangkan. Pwe-giok merasa terpengaruh oleh semacam daya
tarik, yang aneh, dengan menunduk ia mengiakan.
Dengan rawan Cengcu-hujin berkata pula: "Aku suka kepada kegelapan dan benci pada sinar
matahari. Sinar matahari hanya mencorong bagi orang yang gembira ria, orang yang berduka
selalu hanya kebagian kegelapan."
Mestinya Pwe-giok ingin tanya sebab apa si nyonya berduka, mengapa tidak gembira saja?
Tapi pertanyaan ini tidak jadi dilontarkannya.
Sorot mata Cengcu-hujin tidak pernah bergeser dari muka Pwe-giok, tanyanya kemudian:
"Kau she apa dan siapa namamu?"
"Cayhe she....... " belum lanjut ucapan Pwe-giok, tiba-tiba Ko-lothau berdehem pelahan, maka
Pwe-giok lantas menyambung: "Yap, namaku Yap Giok-pwe."
"Kau tidak she Ji?" Cengcu-hujin menegas.
Kembali Pwe-giok terkesiap, ia tidak menjawab.
"Bagus, kau tidak she Ji," ucap pula si Cengcu-hujin. "Dahulu seorang she Ji pernah
membunuh seorang yang sangat rapat denganku, maka menurut perasaanku setiap orang she
Ji pasti bukanlah manusia baik-baik."
Pwe-giok tak dapat menjawab apa-apa, terpaksa ia hanya mengiakan saja, "Aku sangat senang
atas kedatanganmu ke perkampungan kami ini, kuharap kau dapat tinggal beberapa hari lebih
lama di sini, rasanya banyak yang ingin kubicarakan denganmu."
"Terima. . . . . terima kasih... ." ucap Pwe-giok.
Mendadak si nona elang melolos pedang dan mengetuk belakang dengkul anak muda itu,
keruan Pwe-giok kesakitan dan tanpa terasa ia berlutut.
Pada saat itu juga tahu-tahu seorang menerjang masuk, siapa lagi kalau bukan Pek-ho Tojin
dari Kun-lun-pay.
Sekilas melirik Pwe-giok melihat beberapa murid Tiam-jong pay juga ikut masuk bersama
Pek-ho Tojin. Begitu masuk mereka lantas memandang sekitar ruangan, tapi orang-orang
yang berada di situ seolah-olah tidak memperdulikan kedatangan mereka.
Dengan bertolak pinggang si nona elang lantas mendamprat: "Selanjutnya kalau kau berani
membangkang dan malas kerja.. pasti akan kupatahkan kaki-anjingmu."
Dengan kepala tertunduk Pwe-giok mengiakan dengan suara yang dibikin serak, Pek-ho Tojin
masih memandang kian kemari, tapi tidak memperhatikan "tukang kebun" yang berlutut di
sampingnya. Baru sekarang ia memberi hormat kepada Cengcu hujin dan bertanya: "Apakah
Hujin melihat seorang pemuda asing masuk kemari?"
105
"Satu-satunya orang asing yang menerobos masuk ke sini ialah anda," jengek Cengcu-hujin.
"Tapi barusan jelas-jelas ada...... . . " Belum lanjut ucapan Pek-ho Tojin, mendadak si nona
elang melompat ke depannya dan menghardik: "Jelas-jelas apa? Memangnya kau kira kami
ibu dan anak main pat-gulipat dengan lelaki di sini?!"
Pek-ho Tojin melengak, cepat ia menjawab dengan menyengir: "O, mana berani
kumaksudkan demikian."
"Hm, lalu, seorang pertapa seperti dirimu ini berani sembarangan menerobos ke kamar orang
perempuan, lantas apa maksud tujuanmu? Apakah kau ingin baca kitab di sini?" jengek si
nona elang.
Sama sekali Pek-ho To-jin tidak menyangka sedemikian lihaynya nona jelita ini, begini tajam
kata-katanya sehingga sukar baginya untuk menjawab. Terpaksa ia berkata: "Pernah kutanya
kepada Ceng-cu, katanya....."
"Betul, jika kalian ingin membunuh orang, setiap rumah boleh kalian masuki dengan bebas,"
potong si nona elang dengan suara bengis. "Tapi rumah ini dikecualikan, betapapun tempat ini
adalah kediaman Cengcu-hujin, kau tahu tidak?"
"Ya,ya...." terpaksa Pek-ho Tojin memberi hormat dengan munduk-munduk, lalu
mengundurkan diri bersama kawan-kawannya. Meski dia tergolong murid Kun-lun-pay yang
paling cekatan, menghadapi siocia galak begini iapun mati kutu.
Baju Pwe-giok sudah basah oleh keringat dingin, ia masih berlutut, waktu mengangkat kepala,
dilihatnya kedua tangan Cengcu-hujin yang putih mulus itu, tapi sekarang ia tahu kedua
tangan ini semalam sebenarnya tiada maksud hendak mencekiknya, kalau tidak, barusan
Cengcu hujin tentu akan menyerahkannya kepada Pek-ho Tojin dan tidak perlu turun tangan
membunuhnya.
Cengcu hujin memandangnya lekat-lekat, tanyanya kemudian: "Tampaknya kau takut. Sebab
apa kau takut?"
"Cayhe.... Cayhe...."
"Sudahlah, tidak perlu kau katakan padaku." ujar Cengcu hujin dengan tertawa. "Setiap orang
yang datang ke Sat-jin-ceng ini pasti merasa takut. Tapi siapapun tidak perlu menceritakan
alasan takutnya". Tiba-tiba pandangannya beralih kepada Ko-lothau dan berkata pula: "Kau
boleh pergi saja."
Ko-lothau ragu-ragu, katanya: "Dan dia......"
"Dia tinggal di sini, aku ingin bicara dengan dia," ujar Cengcu hujin.
Walaupun masih ragu, akhirnya Ko-lothau memberi hormat dan mengundurkan diri. Kedua
nona kembar tadi ternyata juga ikut keluar. Si nona Kenari seperti tertawa terkikik-kikik,
sedangkan si Nona Elang sama sekali tidak bersuara.
Daun pintu menutup dengan keras. Kesunyian di dalam rumah mendadak terasa menakutkan,
sampai detak jantung sendiri dapat didengar oleh Pwe-giok.
106
Cengcu hujin masih memandangnya lekat-lekat, hanya memandangnya saja. Pwe-giok ingin
bicara tapi sama sekali tidak sanggup buka mulut, terpengaruh oleh pandangan orang yang
berdaya misterius ini.
Jendelapun tertutup oleh tirai, di dalam rumah semakin gelap, semacam hawa seram dan tua
meliputi setiap sudut ruangan.
Cengcu-hujin tetap tidak bicara, bahkan bergerakpun tidak. Ia tetap menatap Pwe-giok tanpa
berkedip, seolah-olah juru tembak sedang mengincar sasarannya, seperti nelayan sedang
memandangi kailnya.
Jilid 5________
Lambat-laun Pwe-giok merasa tidak tenteram, pikirnya: "Mengapa dia pandang diriku cara
begini?, mengapa?...."
Pada saat itulah tiba-tiba di luar jendela sana berkumandang suara orang tertawa riuh.
Pwe giok mendekati jendela dan sedikit menyingkap ujung tirai serta mengintip keluar,
dilihatnya seekor kucing hitam sedang berlari-lari dikejar oleh seorang pendek kurus kecil
dengan jubah kembang. Wajahnya yang pucat itu kelihatan berjenggot, tapi perawakannya
serupa anak berumur dua belasan, gerak-geriknya juga kekanak-kanakan.
Muka orang kerdil ini penuh butiran keringat, rambutnya juga kusut, bahkan sebelah
sepatunya juga sudah copot, keadaannya kelihatan serba konyol, ya kasihan, ya lucu, ya
menggelikan.
Belasan lelaki kekar berpakaian mentereng tampak mengikuti di belakang orang kerdil ini
dengan gelak tertawa, seperti orang yang sedang melihat tontonan menarik, ada yang
berkeplok gembira, ada yang menimpuki kucing hitam tadi dengan batu.
Melihat itu, tanpa terasa Pwe-giok menghela napas panjang.
"Kenapa kau menghela napas panjang, apa yang kau sesalkan?" tiba-tiba seorang bertanya di
belakangnya.
Kiranya Cengcu-hujin itu entah sejak kapan sudah berdiri di belakangnya dan juga sedang
memandang keluar.
"Cayhe melihat orang ini dipermainkan orang banyak seperti badut, hati merasa tidak tega,"
kata Pwe-giok dengan menyesal.
Cengcu-hujin diam saja, wajahnya kaku tanpa memperlihatkan sesuatu perasaan, sejenak
kemudian barulah ia berkata dengan perlahan:" Orang ini adalah suamiku."
"Apa.....apa katamu? Dia.... dia suamimu? Dia inilah Cengcu?" tanya Pwe-giok dengan
terkesiap.
"Betul, dia inilah Cengcu dari Sat-jin-ceng ini," jawab Cengcu-hujin dengan dingin.
107
Pwe-giok melenggong hingga sekian lamanya ia tak dapat bersuara. Baru sekarang ia paham
apa sebabnya ketiga ibu beranak ini disebut sebagai "perempuan yang harus dikasihani".
Sekarang iapun tahu duduk perkara sebab apa di perkampungan ini orang boleh bebas bunuh
membunuh.
Rupanya Cengcu dari Sat-jin-ceng ini adalah seorang badut yang harus dikasihani, seorang
kerdil yang malang. Setiap orang boleh datang ke sini dan mempermainkan dia dengan sesuka
hati. Dalam pada itu Cengcu-hujin sudah kembali ke tempat duduknya dan memandangi Pwegiok
tanpa bicara.
Kini Pwe-giok dapat menahan perasaannya, sebab sekarang sudah timbul rasa simpatinya
terhadap perempuan di depannya ini, simpati yang tak terhingga terhadap segenap keluarga
yang malang ini, sekalipun banyak sekali tingkah-laku mereka yang aneh, tapi itupun dapat
dimaklumi.
Entah sejak kapan mereka sudah disediakan santapan, Cengcu hujin hampir tidak menyentuh
hidangan itu, tapi Pwe-giok telah makan dengan lahapnya.
Di dunia ini memang tiada sesuatu persoalan yang dapat mengganggu selera makan anak
muda. Dan begitulah waktu telah berlalu dengan begitu cepat.
Di dalam rumah semakin gelap, wajah Cengcu hujin mulai samar-samar, rumah ini mirip
sebuah kuburan yang akan mengubur masa mudanya yang bahagia.
"Mengapa dia memandang diriku cara begini?!" demikian Pwe-giok bertanya-tanya di dalam
hati, ia merasa kasihan dan juga merasa heran.
Mendadak Cengcu hujin berbangkit, katanya dengan hampa: "Hari sudah gelap, maukah kau
mengiringi aku keluar berjalan-jalan?"
*****
Inilah sebuah taman yang teramat luas dan juga sangat seram, di tengah-tengah semak-semak,
di balik bayangan pohon, di mana-mana seakan-akan ada hantu yang sedang mengintai. Jalan
berbatu yang mereka lalui berbunyi gemerisik.
Pwe-giok merasa sangat dingin. Sedangkan Cengcu-hujin sudah tertinggal di belakang.
Cahaya rembulan yang baru menyingsing melemparkan bayangan Cengcu hujin yang panjang
itu ke sebelah sini. entah darimana mendadak berkumandang bunyi burung hantu.
Tanpa terasa Pwe-giok merinding, ia memandang jauh ke sana, tiba-tiba di balik bayangan
pohon yang seram sana terdapat sebuah rumah ke kelabu-kelabuan dan berbentuk aneh.
Rumah itu tidak ada cahaya lampu, hakekatnya tiada jendela, runcing atapnya, pintu
gerbangnya dari besi warna hitam itu agaknya sudah karatan, rumah aneh yang berdiri
terpencil di tengah taman yang seram ini menimbulkan rasa ngeri dan penuh misteri yang
sukar dilukiskan.
108
Terasa takut dan juga heran Pwe-giok, tanpa terasa ia terus mendekat ke sana.
"Jangan ke sana" tiba2 didengarnya bentakan Cengcu hujin, suara yang terasa lembut itu
mengandung rasa cemas.
"Sebab apa?" Pwe-giok terkejut dan berhenti.
"Barang siapa mendekati rumah itu, dia pasti mati!" kata Cengcu-hujin.
Pwe-giok tambah terkejut, tanyanya pula: "Seb ..... Sebab apa?"
Ujung mulut Cengcu-hujin kembali menyembulkan senyuman misterius, ucapnya kemudian
dengan pelahan: "Sebab di dalam rumah itu adalah orang mati semua, mereka ingin menyeret
orang lain untuk menemani mereka."
"orang mati? Semua orang mati?" Pwe-giok menegas.
Dengan pandangan yang hampa Cengcu-hujin menatap jauh ke depan, katanya: "Rumah ini
adalah makam keluarga Ki kami. Yang terkubur di dalam rumah seluruhnya adalah leluhur
keluarga Ki. Sedangkan leluhur keluarga Ki seluruhnya adalah orang gila. Yang masih hidup
gila, yang sudah mati juga gila."
Pwe-giok mengkirik oleh cerita yang aneh dan seram itu, tangannya penuh keringat dingin.
Di depan ada sebuah gardu segi delapan, mereka mendaki undak-undakan dan naik ke tengah
gardu, sekeliling langkan di tengah-tengah gardu itu mengitari sebuah lubang gua yang gelap
dan dalam, setelah diperiksa lebih teliti, kiranya adalah sebuah sumur.
"Inilah sebuah sumur yang aneh," Cengcu Hujin (nyonya Ki) itu bergumam, seperti bicara
kepada dirinya sendiri dan tidak ditujukan kepada orang lain.
Tapi Pwe-giok tidak tahan, ia bertanya: "Mengapa sumur ini kau katakan aneh?"
"Sumur ini disebut Mo kia (cermin hantu)" jawab Ki-hujin.
Pwe-giok tambah heran, ia tanya pula: "Mengapa disebut Mo kia?"
"Konon sumur ini dapat meramal kejadian yang akan datang," tutur Ki hujin dengan pelahan.
Di malam bulan purnama, bila kau berdiri di tepi sumur ini dan bayangan mu tersorot ke
dalam sumur, maka bayangan di dalam sumur itulah menunjukkan nasibmu yang akan
datang"
"Aku ... aku rada bingung," kata Pwe-giok.
"Umpamanya, bila bayangan seorang tersorot ke dalam sumur dan bayangannya lagi tertawa,
padahal ia sendiri tidak tertawa, maka ini melambangkan hidupnya akan beruntung.
Sebaliknya jika bayangan di dalam sumur itu menangis, padahal ia tidak menangis, maka
kehidupannya pasti akan penuh kedukaan, penuh kemalangan."
"Hah, masa betul begitu?" seru Pwe-giok terkesiap.
109
Dengan pelahan Ki-hujin menutur pula: "Tapi ada juga cahaya bulan tak dapat menyorotkan
bayangan seseorang ke dalam sumur, di dalam sumur hanya terlihat cahaya darah belaka,
maka hal ini melambangkan orang itu akan segera tertimpa bencana, bahkan menuju
kematian."
"Aku... Aku tidak percaya," ucap Pwe-giok, tanpa terasa ia mengkirik pula.
"Kau tidak percaya? Kenapa tidak kau coba?" ujar Ki-hujin.
"Aku...aku tidak ingin...." meski di mulut dia bilang tidak, tapi sumur ini rupanya memang
sebuah sumur hantu yang punya daya tarik yang kuat, tanpa terasa ia mendekati tepi sumur
dan melongok ke bawah.
Sumur itu sangat dalam, gelap gulita dan tidak kelihatan dasarnya, hakekatnya Pwe-giok tidak
melihat sesuatu apapun, tapi tanpa terasa kepalanya semakin menunduk dan semakin ke
bawah.
Mendadak Ki-hujin menjerit: "Da... darah... darah... "
Kejut dan ngeri Pwe-giok luar biasa, ia melongok lebih ke bawah lagi, sekonyong-konyong
langkan sumur itu jebol, tubuhnya lantas terjerumus ke dalam sumur.
Terdengar Ki-hujin sedang menjerit jerit pula: "Darah... darah... Mo-kia... lalu berlari pergi
seperti kesetanan.
Pada saat itulah di dalam sumur baru terdengar suara "plung" ini jelas suara jatuhnya Pwegiok
didalam sumur. Sumur hantu ini dalamnya luar biasa untung ada airnya, airnya juga
sangat dalam. Tubuh Pwe-giok langsung terbanting di permukaan air sumur sehingga ruas
tulang sekujur badannya seakan akan terlepas. Ia terus tenggelam ke bawah, sampai lama
sekali belum lagi timbul.
Apabila tubuh Pwe-giok tidak gemblengan seolah-olah otot kawat tulang besi, waktu timbul
lagi ke permukaan air mungkin sudah berwujud sesosok mayat.
Suara jeritan ngeri Ki-hujin itu seakan-akan masih mengiang di telinganya, dalam keadaan
masih berdebar Pwe-giok berendam didalam air sumur yang dingin seperti es, ia menggigil
tiada hentinya.
"Mengapa dia mencelakai diriku?... " "Ah, aku sendiri yang kurang hati-hati dan terpeleset
hingga jatuh ke dalam sumur, mana boleh ku salahkan orang lain ?..." "Tapi mengapa dia
tidak menolong diriku?... " "Ah, jiwanya memang sangat lemah, saat ini dia sendiri sangat
ketakutan, mana dapat menolong diriku?... " "Apalagi, tentu dia mengira aku sudah mati, buat
apa bersusah payah menolong aku?... "
Begitulah macam-macam pikiran terlintas dalam benak Pwe-giok, akhirnya dia hanya dapat
menyesal dan menyalahkan dirinya sendiri: "Ai, aku memang seorang yang malang, selama
hidup ini penuh diliputi ketidak beruntungan."
110
Kemalangan yang tidak pernah dibayangkan orang lain, baginya boleh dikatakan sudah biasa
seperti makanan sehari hari.
Sumur itu sangat lebar, jika berdiri ditengah tengah dan merentangkan kedua tangan tetap tak
dapat mencapai dinding sumur. Apalagi dinding sumur penuh lumut hijau yang tebal dan
licin, siapapun jangan harap dapat memanjat ke atas.
Jika orang lain mungkin sudah berteriak teriak minta tolong. Tapi Pwe-giok sam sekali tidak
berani bersuara, apalagi berteriak minta tolong. Sebab kalau suara teriakannya didengar
musuh yang sedang mencarinya, bukankah dia akan mati konyol terlebih cepat?.
Untung Pwe-giok mahir berenang sehingga tidak sampai tenggelam, namun tubuh yang
terendam di air sumur yang dingin seperti es itu membuat badannya mulai kaku, lambat atau
cepat dia tetap akan tenggelam juga.
Semua ini seolah-olah impian buruk saja, sungguh ia tidak mau percaya, tapi tidak dapat tidak
percaya.
Sejak dia berlatih menulis di taman kediamannya sendiri dengan disaksikan ayahnya tempo
hari, dimulai dengan penyampaian surat oleh Hek-kap-cu, kehidupan Pwe-giok lantas seperti
berada didalam mimpi buruk, dan sekarang, apakah hidupnya akan tamat di sini ?!
Ia tidak suka membayangkannya, juga tidak berani memikirkannya, akan tetapi mau tak mau
ia justeru harus memikirkannya, teringat apa apa yang telah dialaminya itu, sungguh ia hampir
gila. Dan malam yang gelap gulita inipun berlalu ditengah penderitaan yang membuatnya gila
itu.
Samar-samar mulut sumur sudah kelihatan remang-remang, tapi cahaya itu terasa sedemikian
jauhnya dan sukar dijangkau.
Dari kejauhan yang sukar dijangkau itu tiba-tiba berkumandang suara kicau burung yang
merdu. Bagi pendengaran Pwe-giok, suara burung ini adalah satu langkah kejutan yang sama
sekali tak pernah terpikir oleh orang itu. Coba, siapa yang pernah berpikir suara burung
berkicau demikian dapat menyelamatkan orang ?
Maka mulailah Pwe-giok menirukan suara burung berkicau, Sejenak kemudian, dikejauhan
tiba-tiba berkumandang suara nyanyian yang terlebih merdu daripada kicau burung. Suara itu
makin dekat dan dekat, akhirnya dimulut sumur muncul sepasang mata yang jeli.
Baru sekarang Pwe-giok berani berseru perlahan: "Nona Kenari... "
Terbelalak mata yang indah itu, serunya: "He kiranya kau? Pantas tidak kupahami apa yang
kau katakan, rupanya kau bukan... bukan burung."
"Aku berharap dapat menjadi burung, nona Kenari," kata Pwe-giok dengan menyengir.
Nona Kenari itu berkedip-kedip, katanya kemudian: "Jelas kau bukan burung, sampai bertemu
pula!" ia angkat kepala terus hendak pergi.
111
Cepat Pwe-giok berseru: "Hei, nona, ada orang jatuh didalam sumur, masa kau tidak
mengereknya ke atas?"
Si nona kenari melongok pula ke dalam sumur, ucapnya dengan tertawa: "Mengapa harus ku
kerek kau ?"
"Sebab... sebab... " Sebenarnya jawaban ini sangat sederhana, tapi seketika Pwe-giok justeru
tidak dapat menjawabnya.
"Hi, hi, ku tahu kau tidak punya alasannya." seru si nona Kenari sambil berkeplok gembira."
Aku akan pergi!"
Sekali ini dia benar-benar pergi dan tidak kembali lagi.
Pwe-giok menjadi melenggong dan serba susah, ia jadi gemas terhadap dirinya sendiri dan
ingin menggampar mukanya sendiri, masa jawaban sederhana begitu saja tidak sanggup
bicara.
"Apakah segenap anggota keluarga Ki memang orang gila semua?" demikian Pwe-giok
bertanya tanya pula di dalam batin.
Pedih rasanya, kecuali hatinya yang masih ada perasaan, bagian tubuh lain hampir seluruhnya
sudah kaku, sekujur badannya mirip sepotong kayu yang terendam di dalam air. Ia meraup
secomot air untuk membasahi bibirnya yang kering.
Sekonyong-konyong seutas tali panjang terjulur dari atas.
Pwe-giok kegirangan, cepat ia pegang tali itu. Tapi segera teringat sesuatu, ia memandang ke
atas dengan kuatir. Ternyata di atas tiada orang. Dengan suara yang dibikin serak ia bertanya:
"Siapa di sana ? Siapa yang menolong diriku ?"
Namun tiada jawaban. Ia menjadi ragu-ragu, Jangan-jangan orang Kun-lun-pay atau anak
murid Tiam-jong-pay ?
Jangan-jangan komplotan jahat itu sengaja hendak mengereknya ke atas untuk kemudian
membunuhnya?
Pwe-giok menggreget, dipegangnya erat-erat tali itu, perlahan-lahan ia merambat ke atas,
Betapapun akan lebih baik daripada mati terendam hidup-hidup di sumur hantu ini.
Dalam keadaan demikian, selain menuruti perkembangan, memangnya apa yang dapat
diperbuatnya? Hakekatnya tiada pilihan lain baginya.
Dari bawah sampai di mulut sumur, jarak ini seolah-olah perjalanan yang paling panjang yang
pernah ditempuhnya selama hidup. Tapi akhirnya sampai juga di tempat tujuan.
Pagi ini tidak ada kabut, cahaya matahari yang keemas-emasan menyinari seluruh halaman
taman, sampai-sampai gardu yang tak terawat dengan cat pada pilar dan langkan yang sudah
banyak terkelupas inipun kelihatan sangat indah di bawah sinar matahari yang terang.
112
Dapat hidup terus, betapapun adalah kejadian yang baik.
Tapi di atas tetap tiada terlihat bayangan seorangpun. Tali panjang itu kiranya terikat pada
pilar gardu. Lalu sesungguhnya siapa yang menolongnya? Mengapa penolong itu tidak
memperlihatkan dirinya?
Dengan kuatir dan sangsi Pwe-giok selangkah semi selangkah menuruni undak-undakan.
Sekonyong-konyong di belakangnya ada burung bercuit, cepat ia menoleh, maka terlihatlah
pula si dia, si nona Kenari.
Dia duduk bersandar di luar lantakan gardu, rambutnya yang indah kemilau tertimpa sinar
matahari. Seekor burung hijau kecil hinggap di lengannya yang halus itu, tampaknya seperti
benar-benar lagi bicara dengan si nona.
"He, kau." seru Pwe-giok girang. "Meng... mengapa kau tolong juga diriku ke atas?"
Si nona Kenari tertawa manis, ucapnya: "Dia inilah yang minta kutarik kau ke atas."
"Dia?... dia siapa ?" tanya Pwe-giok.
Penjelasan si nona kenari membelai bulu hijau burung kecil itu, ucapnya dengan lembut:
"Adik kecil, katamu dia orang baik, kau bilang pula dia tidak punya sayap seperti kau, maka
perlu orang lain menariknya ke atas, begitu bukan? Akan tetapi dia tidak berterima kasih
padamu."
Burung hijau itu lantas bercuat-ciut, tampaknya sangat gembira.
Termangu-mangu Pwe-giok memandangi nona kenari itu, ia tidak tahu sesungguhnya gadis
ini teramat pintar atau seorang gila?
"Apakah kau benar-benar paham bahasa burung ?" tanyanya kemudian saking tak tahan.
Mendadak si nona Kenari berbangkit dan melangkah kesana, tampaknya sangat marah,
katanya: "jadi kaupun tidak percaya seperti orang-orang itu." "Aku... aku percaya." kata Pwegiok.
"Tapi cara bagaimana pula kau dapat belajar bahasa burung?"
"Aku tidak perlu belajar," ujar si nona Kenari dengan tertawa manis, "Begitu melihat mereka
aku lantas paham dengan sendirinya."
Dalam sekejap itu sorot matanya yang buram dan linglung itu mendadak penuh bercahaya
terang, entah sebab apa, Pwe-giok se-akan2 percaya saja kepada keterangannya, tiba2 ia
bertanya pula: "Dan gembirakah mereka?"
"Ada yang gembira, ada sebagian tidak, terkadang suka ria, terkadang…" mendadak si nona
tertawa dan menyambung pula: "Tapi setidak2nya mereka jauh lebih bergembira daripada
manusia yang tolol."
113
Pwe-giok termangu sejenak, katanya kemudian dengan menyesal: "Memang betul, manusia
memang teramat tolol, di dunia mungkin hanya manusia saja yang suka mencari susah
sendiri."
Si nona kenari tertawa, katanya: "Asalkan kau tahu saja, maka kau harus...." mendadak
burung kecil di tangannya itu bercuit nyaring terus terbang ke udara. Seketika air muka si
nona juga berubah.
Tentu saja Pwe-giok merasa heran, tanyanya: "Nona, kau...."
Tiba2 si nona Kenari menggoyangkan tangan memutuskan ucapan Pwe-giok, lalu ia
membalik tubuh dan berlari pergi secepat terbang, mirip seekor burung yang terbang terkejut.
Selagi Pwe-giok terbelalak bingung, tiba2 terdengar semacam suara aneh berkumandang dari
semak2 pohon sebelah kiri sana, suara orang menggali tanah.
Diam2 ia menunduk ke sana dan mengintipnya, benar juga, dilihatnya seorang pendek kecil
sedang berjongkok dan menggali tanah, dia memakai jubah kembang yang longgar, kedua
tangannya kecil seperti kanak2, siapa lagi dia kalau bukan si "badut" yang dilihatnya kemarin,
Cengcu atau kepala kampung Sat jin ceng ini.
Kucing hitam yang diuber2 kemarin itu kini sudah mati dalam keadaan luluh, sangat
mengerikan kematiannya.
Selesai menggali liang, Cengcu kerdil itu memasukkan bangkai kucing itu ke dalam liang,
lalu ditimbuni bunga, kemudian diuruk dengan tanah. Terdengar ia bergumam: "Orang bilang
kucing mempunyai sembilan nyawa, mengapa kau cuma punya satu nyawa? ....O, kasihan
anakku, kau menipu orang2 itu ataukah orang2 itu yang membodohi kau?"
Memandangi perawakan orang yang kerdil itu, memandangi gerak-gerik orang yang serupa
anak kecil yang masih polos itu, tanpa terasa Pwe-giok menghela napas,
Cengcu itu terkejut dan melonjak bangun sambil membentak: "Siapa?"
Cepat Pwe-giok melangkah keluar, ucapnya dengan suara halus: "Jangan kau takut, aku tidak
bermaksud jahat."
"Kau....kau siapa?" tanya sang Cengcu dengan melotot tegang.
Sedapatnya Pwe-giok bersikap ramah agar orang tidak ketakutan; jawabnya dengan
tersenyum "Akupun tamu di sini, namaku Ji Pwe-giok."
Ternyata Pwe-giok merasa urusan apapun tidak perlu mengelabui orang kerdil, sebab ia yakin
manusia yang mempunyai kelainan tubuh ini pasti mempunyai sebuah hati yang bajik dan
luhur. Contohnya, kalau terhadap seekor kucing saja dia begitu welas-asih, mana mungkin dia
mencelakai manusia?
Muka sang Cengcu kerdil yang putih pucat tapi cukup cakap dan seperti wajah anak kecil
yang belum akil balig itu akhirnya tampak tenang kembali, dia tertawa, lalu berkata: "Jika kau
tamu, aku inilah tuan rumahnya. Namaku Ki Song-hoa,"
114
"Kutahu," ujar Pwe-giok.
"Kau tahu?" si kerdil Ki Song-hoa menegas dengan mata terbelalak.
"Ya, aku sudah bertemu dengan isteri dan puterimu," tutur Pwe-giok dengan tertawa.
Perlahan2 Ki Song-hoa menunduk, ucapnya dengan tersenyum pedih: "Kebanyakan orang
seolah2 harus menemui mereka lebih dahulu baru kemudian bertemu dengan diriku."
Mendadak ia pegang tangan Ji Pwe-giok dan berseru: "Tapi jangan kau percaya kepada
ocehan mereka. Otak isteriku itu tidak waras, tidak normal, boleh dikatakan gila. Anak
perempuanku yang besar itu lebih2 judas, cerewet, tiada orang yang berani merecoki dia,
bahkan akupun tidak berani. Meski mereka sangat cantik, tapi hatinya berbisa, lain kali bila
kau bertemu lagi dengan mereka, hendaklah kau hindari mereka sejauh2nya."
Sungguh tak pernah terpikir oleh Pwe-giok bahwa si kerdil ini akan bicara demikian
mengenai anak dan istrinya, Apakah betul ucapannya? Atau cuma omong kosong belaka?
Tapi tampaknya tiada alasan baginya untuk berdusta? Seketika Pwe-giok jadi melenggong
dan tidak dapat bicara.
Dengan suara rada gemetar Ki Song-hoa lantas berkata pula: "Apa yang kukatakan ini demi
kebaikanmu, kalau tidak, untuk apa aku mesti mencaci-maki sanak keluargaku sendiri?"
Akhirnya Pwe-giok menghela napas panjang dan mengucapkan terima kasih. Sejenak
kemudian, karena ingin tahu, ia bertanya pula: "Dan masih ada pula seorang nona yang fasih
berbahasa burung ...."
Baru sekarang Ki Song-hoa tertawa, katanya: "Apakah kau maksudkan Leng-yan? Ya, hanya
dia saja yang tidak bakalan mencelakai orang, sebab ....sebab dia seorang idiot, miring...."
"Apa? Ia .... idiot?" seru Pwe-giok dengan tercengang.
Pada saat itulah di tengah pepohonan sana tiba2 terdengar gemerisik orang berjalan.
Cepat Ki Song-hoa menarik tangan Pwe-giok dan berkata: "Mungkin mereka yang datang,
jangan sampai kau dilihat mereka lagi, kalau tidak, jiwamu pasti sukar diselamatkan. Hayolah
lekas ikut pergi bersamaku!"
Segera terbayang oleh Pwe-giok sumur hantu yang seram itu, teringat tangan yang akan
mencekik lehernya itu, tiba2 ia merasa alasan pembelaannya bagi Ki hujin sebelum ini hanya
sia2 belaka dan tiada gunanya.
Dilihatnya Ki Song-hoa menariknya berputar kian kemari di antara pepohonan dan sampailah
di depan sebuah gunung2an, setelah menerobosi gunung2an itu, di situ ada sebuah kamar,
ruangan kamar itu penuh berdebu dan gelagasi, kertas bertulis yang menghiasi sekeliling
dinding ruangan itupun sama berwarna kuning.
Di tengah ruangan ada kasuran bundar dan sudah tua, ruangan ini sangat sempit, untuk berdiri
dua orang saja terasa sesak, namun Ki Song-hoa lantas menghela napas lega, katanya: "Di
sinilah tempat yang paling aman, tidak nanti ada orang datang kemari,"
115
Selama hidup Pwe-giok belum pernah melihat rumah sekecil ini, ia coba bertanya: "Tempat
apakah ini?"
"Di sinilah pada masa tua mendiang ayahku suka menyepi dan membaca kitab." tutur Ki
Song-hoa. "Sejak berumur 50 beliau lantas berdiam di sini, satu langkahpun tidak pernah
keluar hingga 20 tahun lamanya."
"Selama 20 tahun tidak pernah keluar dari tempat ini?....." tukas Pwe-giok dengan terkesima.
"Tapi ruangan ini sedemikian sempitnya, berdiri saja tidak dapat tegak, berbaringpun kurang
leluasa, mengapa ayahmu suka menyiksa diri cara begini?"
"Soalnya ayahku merasa di waktu mudanya terlalu banyak membunuh, sebab itulah pada
masa tuanya beliau berusaha merenungkan segala dosanya. Beliau merasa asalkan berhasil
mencapai ketenangan batin, hal penderitaan badan bukan apa2 baginya."
"Beliau, sungguh seorang yang luar biasa," ujar Pwe-giok dengan menghela napas panjang.
Teringat olehnya ucapan Ki hujin yang menyatakan segenap leluhur keluarga Ki adalah orang
gila semuanya, diam2 ia tersenyum kecut dan menggeleng.
Ki Song-hoa menepuk tangan Pwe-giok, katanya pula: "Hendaklah kau sembunyi di sini
dengan tenang, makan-minum akan ku antarkan ke sini, tapi jangan sekali2 kau lari keluar, di
perkampungan ini sudah terlalu banyak banjir darah, sungguh aku tidak ingin menyaksikan
darah mengalir lagi."
Memandangi kepergian orang kerdil itu, diam2 Pwe-giok terharu, pikirnya: "Istrinya gila,
anak perempuan berotak miring, ia sendiripun bertubuh tidak normal, selamanya menjadi
bulan2an orang, hidupnya ini bukankah jauh lebih malang daripada ku? Tapi terhadap orang
lain dia masih begitu baik hati, begitu welas asih, jika aku menjadi dia, apakah aku akan
berbuat sebaik dia?"
Di lantai penuh debu belaka, Pwe-giok berduduk di kasuran bundar itu. Kamar ini tiada
dinding tembok, sekelilingnya ditutup dengan kotakan pintu dan jendela yang terbuat dari
kertas. Tempat demikian tentu sangat menyusahkan di musim dingin atau di waktu hujan
angin.
Pwe-giok coba mengamat2i sekitar ruangan, ia merasa di lantai yang penuh debu itu ada
gambar loreng2, ia robek sepotong lengan bajunya untuk mengusap lantai, maka tertampaklah
sebuah gambar Pat-kwa.
Bagi anak murid "Bu-kek-pay", perhitungan Pat-kwa dan pelajaran ilmu alam yang aneh2
sudah tidak asing lagi. Pwe-giok adalah putera tokoh ternama dari Bu-kek-pay, terhadap ilmu
pengetahuan begituan boleh dikatakan sangat mahir.
Dengan tekun ia memandangi lukisan Pat-kwa itu, dengan jarinya ia coba menggoresi garis2
gambar itu menuruti lukisannya. Mendadak kasuran yang didudukinya bisa bergeser, lalu
tertampaklah sebuah lubang di bawah tanah yang gelap dan sangat dalam.
116
Pwe-giok jadi tertarik dan melangkah ke bawah. Pada saat itu juga, mendadak berpuluh
pedang mengkilap telah menusuk ke tempat duduknya secepat kilat dan tanpa suara.
Tidak kepalang kaget Pwe-giok. Coba kalau dia tidak menemukan lukisan Pat-kwa di lantai
dan kalau dia tidak mahir ilmu pengetahuan begitu, jika dia masih tetap berduduk di atas
kasur, saat ini tubuhnya tentu sudah berubah menjadi sarang tawon ditembus oleh berpuluh
senjata tajam itu.
Sungguh kejadian yang sangat kebetulan dan juga sangat berbahaya. Antara mati dan hidup
benar-benar bergantung pada sedetik dua detik saja. Jiwa Pwe-giok boleh dikatakan direnggut
kembali dari cengkeraman elmaut. Tapi dalam keadaan demikian sama sekali ia tidak berani
memikirkannya, lekas-lekas ia tutup lubang di atas lantai itu dengan kasur tadi.
Pada saat lain lantas terdengar suara orang berseru di luar ruangan sana: "He, mengapa
kosong, tidak ada seorangpun!"
Lalu "blang", dinding kertas ruangan itu telah dijebol orang, sekeliling ruangan penuh berdiri
anak murid Kun-lun-pay dan Tiam jong pay, semua berseru kaget: "He, mengapa sudah
kabur!?"
"Ya, dari mana dia mendapatkan berita akan digerebek?" terdengar Pek-ho Tojin berkata.
"Dia pasti takkan lari jauh, lekas kita kejar!" seru seorang pula.
Lalu terdengar suara kain baju berkibar, beberapa orang telah melayang pergi, hanya sekejap
saja keadaan sudah sunyi kembali.
Sampai lama Pwe giok menunggu di bawah baru berani menggeser lagi kasuran itu sedikit,
dilihatnya benar-benar tiada orang lagi barulah dia berani merayap naik ke atas.
Ada suara gemericiknya air di luar serta gemerisiknya daun kering tertiup angin, mungkin
suara berisik inilah yang menutupi suara kedatangan orang-orang tadi sehingga sebelumnya
Pwe-giok tidak tahu sama sekali.
Tapi mengapa mereka dapat mencari ke tempat ini? Darimana mereka mendapat tahu Pwegiok
berada di sini?
Betapapun hati Pwe-giok menjadi kebat-kebit, ia merasa di tengah "Sat jin-ceng" ini di manamana
penuh orang gila, hakekatnya tiada seorangpun yang dapat dipercaya.
Lalu, dalam keadaan demikian, ke mana pula dia harus pergi?
Kini rambutnya sudah kusut masai, matanya penuh garis-garis merah, pemuda yang tadinya
cakap dan lembut kini telah berubah seperti seekor binatang buas, seekor binatang yang
terluka. Ia tidak memiliki keyakinan akan sanggup bertempur dengan orang, hakekatnya ia
tidak punya tenaga untuk bertempur lagi.
Sekonyong-konyong terdengar seorang memanggil dengan suara tertahan: "Yap-kongcu ...
Yap Giok-pwe ... . "
117
Semula Pwe giok melengak, tapi segera ia menyadari yang dipanggil itu ialah dirinya. Meski
dia tidak kenal suara siapakah itu, tapi orang yang dapat memanggil nama samarannya ini
kecuali ibu dan anak itu jelas tiada orang lain lagi.
Tanpa pikir ia terus menerobos masuk pula ke dalam liang di bawah tanah serta menutup
lubang itu dengan kasuran tadi. Keadaan di dalam liang itu gelap gulita, jari sendiri saja tidak
kelihatan.
Ia merasa liang di bawah tanah ini sangat besar, tapi iapun tak berani sembarangan bergerak,
ia cuma berdiri bersandar saja di situ. Sampai lama sekali, lamat-lamat ia tertidur akhirnya.
Sekonyong-konyong cahaya terang menyorot ke bawah, kasuran itu telah digeser orang.
Dengan terkejut Pwe-giok menoleh, segera dilihatnya wajah yang pucat dan bajik itu, wajah
itu kelihatan terkejut dan juga bergirang, terdengar ia berseru lega: "O, syukur alhamdulillah
kau ternyata masih berada di sini."
Sebaliknya Pwe-giok tidak mengunjuk rasa girang sedikitpun, ia menjengek: "Hm, akan kau
bikin susah lagi padaku?"
Mendadak Ki Song-hoa memukul dadanya sendiri dan berkata: "Ai, semuanya gara-garaku.
Waktu itu kubawa kau ke sini telah dilihat oleh isteriku, mungkin dia yang memberi tahukan
kepada pengganas-pengganas Kun-lun-pay dan Tiam-jong-pay itu."
"Hm, masakah kau kira aku percaya lagi padamu?" jengek Pwe-giok.
"Jika kukhianati kau, saat ini mengapa tidak kubawa mereka ke sini?"
Baru sekarang Pwe-giok percaya penuh, ia melompat ke atas, katanya dengan menyesal: "Ai,
rupanya aku telah salah sangka padamu."
Ki Song-hoa mendepak kasuran itu ke tempat semula, ditariknya Pwe-giok dan berkata:
"Sekarang bukan waktunya minta maaf segala. Hayolah, lekas pergi!"
"Hah, mau ke mana?!" mendadak seorang mendengus sambil tertawa latah.
Sungguh tidak kepalang kaget Pwe-giok Belum lagi dia bertindak apa-apa, tahu-tahu sinar
pedang sudah menyambar tiba: "Sret-sret-sret", tiga pedang menusuk sekaligus.
"Hei, hei, berhenti" Ki Song hoa berteriak-teriak. "Kalian tidak boleh....."
Tapi pedang yang sambar menyambar itu tidak menghiraukan seruannya, tubuh Pwe giok
sudah tersayat dua baris luka, anak murid Kun- lun dan Tiam-Jong telah mengepungnya
dengan rapat. Dengan mati-matian Pwe-giok berusaha membobol kepungan tapi dalam
sekejap saja ia sudah mandi darah.
"Jangan dibunuh, akan kutanyai dia!" terdengar Pek-ho Tojin berseru dengan suara bengis.
Pwe-giok menghindarkan tabasan dua pedang, habis itu mendadak ia menghantam ke depan
ke arah Pek-ho Tojin. "Blang", Pek-ho Tojin sempat mengegos, sebaliknya tiang rumah kecil
118
itu telah tergetar patah oleh pukulan Pwe-giok yang dahsyat ini, rumah kecil itu runtuh dan
ambruk, tanpa pikir Pwe-giok mengangkat sepotong tiang kayu, tiang itu terus diputarnya
dengan kalap.
Di tengah jeritan kaget, seorang murid Tiam-jong pay tersabet tiang itu hingga tulang dada
remuk, pedang dua kawannya juga terlepas dari pegangan.
"Keparat ini sudah nekat, dibunuhpun tak menjadi soal lagi!" bentak Pek-ho Tojin.
Sekali berputar, Pwe giok mengayun tiang kayu yang bulatan tengahnya sebesar mangkuk itu
seperti kitiran, tubuh manusia yang terdiri dari darah-daging mana mampu menahan hantaman
yang begini dahsyat?
Ki Song hoa berdiri jauh di samping sana, tampaknya iapun terkesima dan bergumam sendiri:
"Besar amat tenaganya, sungguh hebat tenaganya. . . ."
Pwe-giok benar-benar sudah kalap, tiada sesuatu yang dilihat dan tiada sesuatu yang
didengarnya lagi, ia masih terus memutar tiangnya seperti orang gila. Mendadak putarannya
mengendor, tiang yang beratnya ratusan kati itu dengan tenaga maha dahsyat mendadak
dilepaskan sehingga meluncur ke depan, seorang Tojin Kun-lun pay tepat menjadi sasaran
utama, tiang itu menembus perutnya. Terdengarlah jeritan ngeri memanjang menggema
angkasa disertai muncratnya darah.
Tentu saja orang lain sama pecah nyalinya dan cepat menyingkir ke samping. Kesempatan itu
tidak disia-siakan Pwe-giok, ia terus menerjang keluar. Hakekatnya ia tidak membedakan arah
dan tidak melihat jalan lagi, ia hanya berlari dan berlari terus seperti orang kesetanan, ia
menerobos pepohonan dan menyusup ke semak-semak. Tubuhnya sudah penuh dicocok duri
tetumbuhan, tapi suara bentakan orang mengejar lambat laun juga menjauh, tiba-tiba di
depannya muncul pula rumah aneh warna kelabu itu.
Rumah setan itu atau makam, bukankah di situ tempat sembunyi yang paling bagus?
Tanpa pikir Pwe-giok terus menerjang ke sana. Tapi mendadak sinar pedang berkelebat,
seorang telah merintangi jalannya.
"Berani kau masuk ke rumah ini, segera kucabut nyawamu!" demikian suara seorang
perempuan membentak dengan bengis.
Jalan Pwe-giok sudah sempoyongan, yang dapat dilihatnya hanya bayangan seorang secara
samar-samar, seperti berambut panjang, berjubah putih, bermata jeli.
Akhirnya Pwe giok dapat mengenalinya, ialah anak perempuan sulung Ki Song hoa, si elang
padang pasir yang galak itu.
Dengan tersenyum pedih Pwe-giok berkata: "Bagus sekali jika dapat mati di tanganmu,
sedikitnya kau bukan orang gila . ..." dia sudah kehabisan tenaga, belum habis ucapannya
iapun jatuh pingsan.
*****
119
Waktu siuman kembali, Pwe-giok merasa berada di dalam sebuah kamar gelap, tapi segera ia
mengenali tempat ini adalah kamar tidur Ki-hujin.
Tapi segera iapun mengetahui dirinya tidak siuman sendiri, tapi ada orang yang membuatnya
siuman. Sekarang meski di dalam rumah tiada orang, tapi daun pintu yang berat itu berbunyi
berkeriut didorong orang hingga terbuka.
Lalu sesosok tubuh kerdil melongok ke dalam, siapa lagi kalau bukan Ki Song-hoa, si Cengcu
Sat-jin-ceng yang tidak diketahui bajik atau jahat itu.
Gemetar juga tubuh Pwe giok, katanya: "Selamanya kita tiada permusuhan, mengapa kau
berkeras akan mencelakai diriku?"
Ki Song-hoa mendekati pembaringan Pwe-Giok, ucapnya dengan menunduk dan menyesal;
"Maaf, mestinya ingin ku tolong kau, siapa tahu malah bikin susah padamu .... Sungguh aku
tidak tahu bahwa orang-orang itu selalu membuntuti diriku."
"Jika begitu, sekarang juga lekas kau keluar," kata Pwe-giok.
"Tidak, tidak boleh kutinggalkan kau kepada mereka," kata Ki Song-hoa.
"Tapi merekalah yang menyelamatkan diriku, aku takkan pergi," ucap Pwe-giok dengan
tersenyum pedih.
"Anak muda, kau tidak tahu," kata Ki Song-hoa dengan menghela napas panjang. "Mereka
menolong kau adalah karena ingin menyiksa kau secara perlahan-lahan agar kau mati di
tangan mereka."
Pwe-giok merinding, tanyanya: "Sebab.... sebab apa mereka berbuat demikian?"
"Kau benar-benar tidak tahu?"
"Sungguh aku tidak mengerti."
"Istriku itu paling benci kepada orang she Ji. Memangnya kau kira dia tidak tahu kau ini she
Ji?"
"O.... aku sampai lupa...." seru Pwe-giok. Sampai di sini, ia tidak sangsi lagi, segera ia
meronta turun.
Tapi mendadak seorang masuk lagi, orang ini berjubah putih dan berambut panjang, siapa lagi
kalau bukan si nona Elang. Dia menyelinap masuk tanpa suara dan melototi Ki Song-hoa
dengan dingin, sama sekali tiada perasaan kasih sayang antara ayah dan anak sebagaimana
umumnya, sebaliknya malahan kelihatan sikapnya yang benci dan kasar, bahkan lantas
membentak: "Keluar!"
Keruan Ki Song-hoa berjingkrak, teriaknya: "Ki Leng-hong, jangan lupa, aku ini bapakmu.
Terhadap ayahmu kaupun bicara sekasar ini?"
120
Dia berjingkrak dan marah-marah seolah-olah mendadak berubah menjadi gila, wajahnya
yang kekanak-kanakan itupun berubah menjadi beringas menakutkan.
Pwe-giok terkesima oleh perubahan luar biasa ini, tapi si nona Elang atau Ki Leng-hong itu
masih tetap berdiri tegak, sama sekali tidak takut, sebaliknya makin dingin sorot matanya,
katanya pula sekata demi sekata: "Kau keluar tidak?"
Ki Song-hoa mengepal tinjunya dan mendelik, saking gregetan seakan-akan ingin mencaplok
mentah-mentah si nona. Namun Ki Leng-hong itu masih tetap memelototinya dengan sikap
dingin.
Sungguh aneh, ayah dan anak ini seperti ada permusuhan yang mendalam, mereka saling
melotot dan entah sudah berapa lamanya, akhirnya Ki Song-hoa menghela napas panjang, ia
menjadi lemas, lalu berkata sambil terkekeh-kekeh: "Anakku sayang, jangan kau marah, jika
kesehatanmu terganggu, kan ayah juga yang susah. Kau suruh aku keluar, baiklah segera aku
akan keluar"
Dia berjalan keluar pintu sambil bergumam: "Bagaimana jadinya dunia ini. Ayah takut pada
anaknya"
Pwe-giok juga tidak menyangka sang Cengcu bisa diusir pergi oleh anak perempuannya
sendiri, ia terkejut dan heran, segera ia merangkak bangun.
"Untuk apa kau bangun? Rebah kembali di tempatmu!" jengek Ki Leng-hong.
"Cayhe merasa tidak.... tidak pantas mengganggu di sini dan ingin mohon diri saja," kata
Pwe-giok.
"Setelah kau dengar ocehan si kerdil itu dan kau percaya aku ingin mencelakai kau?" jengek
Ki Leng-hong.
"Betapapun dia.... dia kan ayahmu?" ujar Pwe-giok.
"Tidak, dia bukan ayahku, bukan, bukan!" teriak Ki Leng-hong dengan histeris sambil
meremas-remas baju sendiri, air mukanya berkerut-kerut dan beringas seperti Ki Song-hoa
tadi.
Pwe giok memandangnya dengan terkejut dan tidak tahu harus berkata apa. Selang beberapa
saat Ki Leng-hong menjadi tenang dan kembali ke pembawaannya semula yang dingin. Dia
lalu bertanya: "Apakah kau pikir dia benar-benar orang baik?"
Ji pwe-giok tidak menjawab karena dia memang tidak yakin apakah sesungguhnya Ki Songhoa
itu baik atau tidak.
Ki Leng-hong tertawa, katanya: "Sungguh aneh, banyak juga orang yang mau tertipu dan
dibohongi olehnya, sampai terbunuh juga masih belum tahu, bahkan tetap menyangka dia
adalah orang baik."
"Aku kan tiada permusuhan apapun dengan dia, untuk apa dia mencelakai diriku?" kata Pwegiok.
121
"Tiada permusuhan?" jengek Ki Leng-hong. "Apakah kau tahu mengapa tempat ini diliputi
suasana bunuh membunuh? Tahukah kau sebab apa nyawa hampir tiada harganya di sini?"
"Aku....aku tidak tahu," jawab Pwe-giok.
Jari tangan Ki Leng-hong yang putih lentik itu kembali berkejang, serunya dengan parau:
"Sebabnya karena dia suka membunuh orang, suka kepada kematian, dia suka menyaksikan
jiwa seseorang tamat di tangannya, semakin mengerikan kematian orang lain, semakin
gembira dia."
Pwe-giok melenggong dan tak dapat bicara, berdiri bulu romanya.
Sungguh luar biasa. Di antara keluarga ini, antara suami dan istri, antara ayah dan anak,
seakan-akan penuh dendam dan benci, masing-masing saling mencaci maki dan mengutuki.
Pwe giok jadi bingung harus percaya kepada keterangan siapa?
Dengan sendirinya Ki Leng-hong dapat melihat sikap Pwe-giok yang ragu itu, katanya pula
dengan dingin: "Terserah kepadamu mau percaya tidak kepada ucapanku, percaya dan tidak
juga tiada sangkut-pautnya denganku."
"Bu.....bukannya aku tidak percaya," kata Pwe-giok dengan tergagap. "Aku cuma merasa, jika
seorang terhadap seekor hewan saja begitu welas-asih, masakah mungkin terhadap manusia
malahan bertindak kejam?"
"Kau bilang dia welas-asih terhadap hewan?" tanya Ki Leng hong sambil berkerut kening.
"Kulihat sendiri dia mengubur bangkai kucing dengan baik-baik, tatkala mana dia tidak tahu
aku berada di dekatnya, jelas dia tidak sengaja berbuat begitu agar dilihat olehku," tutur Pwegiok.
"Hm," jengek Ki Leng-hong dengan tersenyum aneh. "Dan tahukah kau siapa yang
membunuh kucing itu?"
"Memangnya siapa?" tanya Pwe-giok.
"Dia sendiri," jawab Ki Leng-hong.
"Dia sendiri!?" tukas Pwe-giok, tanpa terasa ia merinding pula.
"Umpama bunga sedang mekar dengan semaraknya, iapun akan memetiknya untuk
dihancurkan lalu ditanamnya dengan baik-baik," jengek Ki Leng-hong pula: "Pendeknya baik
bunga maupun kucing atau manusia sekalipun, asalkan melihat kehidupan yang baik, maka
dia menjadi sirik dan tidak tahan, tapi kalau kehidupan itu sudah mati, dia lantas tidak dendam
lagi. Asalkan mati barulah dapat memperoleh welas-asihnya. Jika kau mati, ia pun akan
mengubur kau dengan sebaik-baiknya."
Tanpa terasa Pwe-giok merinding pula dan tidak sanggup bicara lagi.
122
"Di bawah tanah seluruh halaman perkampungan ini hampir penuh dengan mayat yang
dibunuh dan dikubur olehnya sendiri," tutur Ki Leng-hong pula. "Jika kau tidak percaya,
boleh coba kau menggalinya pada sembarang tempat dan kau akan melihat buktinya."
Pwe-giok jadi mual, dengan suara parau ia berkata: "Aku.....aku ingin pergi saja, makin jauh
makin baik."
"Tapi sayang, biarpun ingin pergi juga tidak dapat pergi lagi sekarang." jengek Ki Leng-hong.
Baru saja Pwe-giok berbangkit, demi mendengar ucapan itu, "bluk", ia duduk kembali di
tempat tidurnya.
"Jika kau ingin hidup lebih lama, kau harus turut kepada perkataanku, kalau tidak, boleh kau
pergi saja dan takkan kurintangi!" habis berkata Ki Leng-hong benar-benar menyingkir ke
samping dan daun pintu masih terpentang.
Tapi Pwe-giok menjadi bingung, ia pandang pintu yang terbuka itu, ia tidak tahu apakah harus
lekas pergi atau lebih baik tetap tinggal di sini saja.
Ki Leng-hong memandang dengan dingin, katanya kemudian: "Tidak perlu kau kuatir akan
kedatangan orang di sini. Betapapun besar nyali Ki Song hoa juga takkan berani membawa
orang ke sini. Aku mempunyai cara untuk mengatasi dia, aku pun mempunyai akal untuk
melindungi kau." Akhirnya Pwe giok berbangkit, tanyanya: "Kau akan melindungi diriku?"
"Ya, tidak perlu kau kuatir, selama aku berada di sini, tidak nanti kau mati!" ucap Ki Lenghong.
"Betul juga, dalam keadaan demikian, memang betul hanya di sinilah tempat yang paling
aman. Tapi ada sementara orang yang lebih suka menyerempet bahaya daripada minta
perlindungan orang. "Tapi kau jelas bukan orang macam begitu!" "Masa aku bukan?" ucap
Pwe giok dengan suara hambar, ia menarik napas panjang-panjang, lalu melangkah keluar.
Betapapun duka dan dongkol perasaannya, cara bicara Pwe-giok tetap halus dan sopan,
selamanya ia tidak suka bersikap kasar terhadap siapa pun. Tapi kalau orang lain menganggap
dia lemah dan penakut, maka salahlah dugaan demikian.
Agaknya Ki Leng-hong melengak juga melihat sikap tegas Pwe giok itu, serunya: "He, kau
benar-benar ingin mengantar nyawa?"
Tanpa menoleh dan tanpa menjawab Pwe-giok melangkah keluar.
"He, sudah buntu jalanmu, mengapa kau masih tetap keras kepala?!" seru Leng-hong pula.
Baru sekarang Pwe-giok berpaling, katanya dengan tenang: "Terima kasih atas perhatianmu,
aku mempunyai tempat tujuan sendiri."
"Baiklah, pergilah kau," dengus Ki Leng-hong.
"Kau akan mati atau tetap hidup kan tiada sangkut-pautnya denganku."
123
Walaupun begitu ucapannya, tapi sudah jauh Pwe-giok melangkah pergi dia toh masih tetap
memandangnya dengan termangu-mangu.
*****
Pingsan Ji Pwe giok tadi agaknya sampai setengah harian lamanya, sekarang sudah dekat
magrib lagi.
Setiap kali Pwe-giok kehabisan tenaga dan pingsan, ia selalu mengira pasti tak tahan hidup
lagi.
Tapi aneh, setelah siuman, tenaga baru lantas timbul pula. Hal ini bukanlah disebabkan karena
pembawaannya yang kuat, sudah tentu lantaran khasiat siau hoan-tan pemberian Thian-kang
Totiang tempo hari.
Sekarang dia berada di tengah taman yang luas itu, cuaca sudah mulai remang-remang lagi, ia
menyusuri pepohonan dengan setengah berjongkok, agaknya orang-orang yang mencarinya
juga tidak menyangka dia berani berkeliaran di situ, makanya tiada orang berjaga dan
mengawasi di taman itu. Apalagi di taman yang luas dengan pepohonan yang lebat ini pun
tidak sukar baginya untuk menghindarkan pengawasan orang.
Akan tetapi ia pun jangan harap akan dapat menerobos keluar. Di balik pepohonan sana, di
sekeliling taman itu jelas ada bayangan orang, tampaknya di bawah setiap pohon dan di setiap
sudut yang gelap selalu ada bahaya yang sedang mengintai.
Pwe-giok terus menyelinap kian kemari, tujuannya hendak menemukan kembali rumah kecil
yang bobrok itu, sebab pada saat demikian ia merasa perkampungan "Sat jin-ceng" ini hanya
kakek Ko saja satu-satunya orang yang dapat diandalkan.
Tapi di tengah taman yang rindang dan gelap ini sukar baginya untuk membedakan arah. Dia
telah berputar kian kemari, mendadak ia menemukan dirinya berada pula di depan rumah
kertas yang terletak di tengah gunung-gunungan palsu dengan suara gemericiknya air itu.
Meski mayat yang bergelimpangan di situ sudah diangkut pergi, tapi bekasnya masih
kelihatan, pertarungan sengit yang mendebarkan itu seolah-olah terbayang pula di depan
matanya.
Cepat Pwe-giok membalik tubuh dan melangkah pergi tapi baru dua-tiga tindak, mendadak ia
berhenti.
Jika Ki Song-hoa telah menemukan dia di dalam liang rahasia di bawah rumah kertas ini,
maka siapapun pasti tidak menyangka dia akan kembali lagi ke situ. Jika demikian, bukankah
di sinilah tempat sembunyi yang paling aman?
Sesungguhnya Pwe-giok memang tiada jalan keluar lain, teringat demikian, ia tidak ragu lagi,
segera ia putar balik dan melompat masuk ke rumah berdinding kertas itu, kasuran itu digeser,
ia terus melompat ke dalam lubang.
Liang di bawah tanah itu tetap gelap gulita, Pwe-giok bersandar pada dinding batu yang
dingin dengan napas terengah-engah. Mungkinkah tersembunyi apa-apa di liang bawah tanah
yang gelap gulita ini?
124
Setelah napasnya tenang kembali, tanda tanya tadi semakin membuatnya ngeri. Tanpa terasa
ia mulai merayap ke depan.
Sekonyong-konyong tangannya menyentuh sesuatu, jelas tubuh seseorang.
Sungguh kagetnya tidak kepalang, di liang bawah tanah yang gelap ini ternyata ada orang
sedang menantikan kedatangannya.
Dalam kegelapan, ia merasa orang ini berduduk di situ dan memakai baju kain belacu.
"Siapa.....siapa kau?" tanya Pwe-giok dengan suara gemetar, jantungnya serasa mau berhenti
berdenyut.
Tapi orang itu tidak bergerak sama sekali, juga tidak menjawab.
Keringat berketes-ketes di dahi Pwe-giok, dengan menempel dinding ia coba menggeser
pelahan ke samping, ucapnya pula dengan suara parau: "Sesungguhnya siapa kau? Apa
kehendakmu bersembunyi di sini?"
Dalam kegelapan tetap tiada sesuatu suara, keheningan yang mencekam dan menyeramkan.
Tangan Pwe-giok yang merabai dinding sudah penuh keringat dingin, kakinya bergeser
sedikit demi sedikit, kakinya terasa sangat berat, seperti diganduli benda beribu kati.
Mendadak jarinya menyentuh sesuatu benda dingin, ia coba merabanya, kiranya sebuah
lentera tembaga.
Dinding di situ mendekuk, maka lentera itu terselip di dekukan itu. Di samping lentera ada
dua potong batu api, cepat Pwe-giok meraup batu api itu. Diketahuinya minyak pada lentera
itu belum lagi kering, ia ingin mengetik api, tapi tangan terasa gemetar sehingga selalu gagal
membuat api. Pwe-giok menarik napas panjang, katanya kemudian: "Sekarang aku sudah
memegang batu api biarpun kau tidak bersuara, asalkan api sudah menyala, segera akan
diketahui siapa kau, mengapa sampai sekarang kau tidak bicara?"
Dengan sendirinya perkataan Pwe giok itu tiada gunanya, paling-paling anak muda itu hanya
menggunakan ucapannya itu untuk menambah keberaniannya. Dan setelah omong begitu, dia
benar-benar bisa lebih tenang. "Cret", akhirnya api dapat dinyalakan untuk menyulut sumbu
lentera.
Di bawah kerlipan cahaya api, dapatlah dilihatnya seorang kakek pendek kecil berduduk
bersimpuh di situ dengan mata terpejam, rambut dan jenggotnya sudah putih semua, bajunya
warna kuning muda dari kain belacu, air mukanya kurus kering dan pucat, tampangnya agak
mirip Ki Song-hoa, cuma terlebih seram.
Dingin tangan dan kaki Pwe-giok, tanyanya dengan suara terputus-putus: "Apakah.....
.....apakah kau ini ayah Ki Song-hoa? Masa........ masa kau belum mati?"
125
Dari ujung kaki hingga kepala orang tua itu sama sekali tidak bergerak, bahkan rambut dan
jenggotnya juga tidak bergoyang sedikitpun, di bawah kerlipan cahaya lampu tampaknya
menjadi sangat seram dan misterius.
Pwe-giok menggreget dengan nekat ia mendekatinya. Sesudah dekat baru dilihatnya jenggot
dan rambut orang tua itu ada sesuatu yang tidak betul. Ia coba merabanya, benar juga,
memang terbuat dari malam. Jadi kakek ini tidak lebih hanya sebuah patung malam atau lilin.
Pwe giok jadi menyengir sendiri, tapi setelah dipikir lagi, ia menjadi ragu-ragu pula. Ia pikir
patung ini pasti patung ayah Ki Song hoa, mengapa disembunyikan di liang rahasia ini?
Ia coba mencari lagi ke depan, kecuali patung lilin ini ditemukan lagi sebuah ranjang kecil, di
samping ranjang ada sebuah almari kecil, di atas almari berserakan teko, cangkir, buku
dengan debu tebal.
Meski benda-benda ini cuma alat-alat keperluan sehari-hari tapi ditemukan di liang rahasia
yang tak berpenghuni, betapapun menimbulkan rasa misterius yang sukar dijelaskan.
Dengan heran dan sangsi Pwe-giok coba merenungkan hal ini, akhirnya ia paham duduknya
perkara: "Bisa jadi ayah Ki Song-hoa itu dipaksa orang atau demi mempertahankan nama
baiknya maka dia sengaja pura-pura ingin merenungkan kesalahan yang pernah diperbuatnya,
katanya ingin membaca kitab untuk merenungkan dosa, yang benar dia tidur saja di bawah
sini. Tapi demi mengelabui mata telinga orang, dia sengaja membuat patung lilin ini. Di harihari
biasa dia menaruh patung lilin ini di kamar berdinding kertas itu, karena orang lain toh
tak berani mengganggu nya, kalau dipandang dari jauh dengan sendirinya menyangka ia yang
berduduk di kamar ini."
Analisa ini sangat masuk diakal, Pwe-giok sendiri merasa puas dengan hasil pemikirannya ini.
Tapi ia lantas menghela napas menyesal pula, sungguh tak terpikir olehnya bahwa ada
sementara orang yang tampaknya sangat suci, kenyataannya justeru kebalikannya, rendah dan
kotor perbuatannya.
Ia taruh lentera itu di atas almari, lalu coba membalik-balik kitab yang terletak di situ. Kitabkitab
itu ternyata buku bacaan umum dan bukan sebangsa kitab pusaka pelajaran ilmu silat
segala.
Pwe-giok rada kecewa.
Mendadak dilihatnya ada satu jilid buku, di dalamnya terselip beberapa carik kertas yang
bertuliskan kata-kata indah dan sajak asmara. Tampaknya tulisan perempuan.
Pwe-giok memang serba bisa, baik ilmu silat maupun sastra, sekali pandang saja ia lantas
paham arti yang terkandung dalam sajak itu, yaitu sajak rindu seorang perempuan terhadap
kekasihnya.
Padahal patung lilin itu berperawakan kerdil sama seperti Ki Song hoa, mukanya juga lucu,
masa orang macam begini juga bisa main roman, apakah mungkin ada perempuan yang jatuh
cinta terhadap lelaki demikian?
126
Pwe giok tersenyum sambil menggeleng, ditaruhnya buku itu. Mendadak dilihatnya pula di
bawah tempat tidur itu menongol ujung sebuah kantong kain bersulam, ia coba
mengambilnya. Dari dalam kantung sulaman itu mendadak jatuh sepotong batu Giok yang
berukir halus. Satu sisi batu kemala itu terukir gambar Bu-kek-to dan sisi lain cuma terukir
satu huruf, yaitu "Ji".
Batu kemala ini ternyata benda pusaka milik keluarga Ji Pwe-giok.
Sungguh luar biasa dan sukar dimengerti bahwa benda mestika keluarga Ji bisa ditemukan di
tempat ini, sungguh suatu hal yang sukar dibayangkan.
Sampai lama Pwe-giok termangu-mangu, dilihatnya pula kantung kain itu bersulamkan potret
seorang perempuan, matanya jeli, wajahnya sangat cantik, jelas potret Ki-hujin.
Di samping potret sulaman itu terdapat pula dua baris huruf yang berbunyi: "Semoga
senantiasa berdampingan dengan anda, mohon janganlah ditinggalkan."
Lalu di sisi bawah tersulam pula nama yang menyulam tulisan itu: "Bi-nio".
Dengan sendirinya Bi nio ini adalah nama Ki-hujin. Meski sulaman berbeda dengan tulisan
tangan, tapi gaya tulisannya jelas serupa dengan sajak tadi.
Pwe-giok dapat membayangkan betapa hampa perasaan Ki-hujin setelah bersuamikan lelaki
kerdil macam Ki Song hoa, sebab itulah ia jatuh cinta pula kepada orang lain. Dan kekasihnya
itu ternyata anggota keluarga Ji.
Selagi Pwe-giok termenung-menung suara Ki-hujin seolah-olah mengiang pula ditepi
telinganya: "Dahulu ada seorang she Ji telah membunuh seorang yang sangat dekat denganku,
karena itu dalam perasaanku setiap orang she Ji pasti bukan orang baik-baik."
Kalau dipikir sekarang, sebabnya Ki-hujin benci kepada orang she Ji tentunya bukan lantaran
orang she Ji itu membunuh orang yang paling rapat dengan Ki-hujin, tapi disebabkan orang
she Ji itu telah melukai hatinya.
Tentunya orang she Ji itupun terancam bahaya serupa Pwe-giok sekarang, lalu Ki-hujin
menyembunyikannya di gua rahasia ini. Tatkala mana ayah Ki song-hoa dengan sendirinya
sudah lama meninggal, tapi pada masa hidupnya mungkin tak terpikir olehnya bahwa gua
rahasianya yang digunakan menipu orang kemudian dapat digunakan anak menantunya untuk
menyembunyikan kekasih gelap.
Bisa jadi Ki-hujin sudah lama kenal orang she Ji itu, mungkin cintanya baru timbul ketika
melihat orang she Ji itu berada dalam bahaya. Pendek kata, orang she Ji itu jelas tidak setia
pada hubungan cinta mereka dan akhirnya telah meninggalkan Ki-hujin.
Setelah orang she Ji itu pergi, hidup Ki-hujin lantas merana dan kehilangan gairah, terpaksa ia
mencari hiburan di alam mimpi, makanya setiap hari Ki-hujin selalu berkeliaran kian kemari
seperti orang linglung, seperti arwah halus.
Memandangi Ki-hujin yang cantik pada gambar yang tersulam di kantung itu, kemudian ia
membayangkan pula Ki-hujin yang linglung itu, diam-diam Pwe-giok menghela napas
127
menyesal. Tapi iapun tidak dapat menerka sesungguhnya siapakah gerangan orang she Ji itu.
Kalau dihitung usianya orang itu tentunya kerabatnya dari angkatan yang lebih tua, tapi jelas
pasti bukan ayahnya.
Kisah cinta yang menyedihkan dan juga misterius ini, kecuali Ki-hujin dan si "dia" sendiri,
mungkin tiada orang lain lagi yang tahu seluk beluknya.
Pwe-giok menghela napas panjang dan bergumam: "Agaknya orang itu akhirnya ingkar janji
dan meninggalkan Ki-hujin, ia telah pergi dari sini... Tapi melalui mana dia pergi? Janganjangan
di lorong bawah tanah ini masih ada jalan tembus lain?"
Berpikir demikian, semangat Pwe-giok terbangkit lagi, segera ia kesampingkan urusan lain,
diangkatnya lentera tadi dan menyusuri lorong yang gelap itu.
Lorong di bawah tanah itu sempit lagi berliku-liku dan sangat panjang.
"Hampir di bawah setiap jengkal tanah pekarangan ini terdapat mayat korban yang dibunuh
dan dikuburnya sendiri... " teringat kepada keterangan Ki Leng-hong ini, tanpa merasa Pwegiok
berkeringat dingin pula.
Namun di lorong bawah tanah ini tiada terdapat sesuatu mayatpun, akhirnya Pwe-giok dapat
mencapai ujungnya, Setelah diraba dan dicari sekian lamanya, akhirnya ditemukan tempat
yang merupakan kunci pintu lorong itu. Sebuah papan batu pelahan lahan bergeser.
Dari luar segera menyorot masuk cahaya terang. Girang sekali Pwe-giok, lentera itu
ditinggalkan dan segera ia menerobos keluar... sekonyong-konyong sebuah tangan merangkul
lehernya dengan erat. Tangan itu sedingin es.
"Akhirnya kau kembali juga, memang ku tahu kau pasti akan kembali lagi!" demikian suara
seorang berkata sambil tertawa terkikik-kikik.
Tidak kepalang kaget Pwe-giok, cepat ia menengadah, dilihatnya orang yang merangkulnya
itu ialah Ki-hujin, jalan tembus ini ternyata berada didalam kamar tidur Ki-hujin.
Ki-hujin terus menubruk ke dalam pelukan Pwe-giok dengan air mata bercucuran katanya
dengan suara gemetar: "O. betapa kejam kau, kau pergi tanpa pamit, sudah sekian lama siang
dan malam kurindukan kau, saking gemas ingin kubunuh kau... Tapi sekarang kau sudah
kembali lagi, rasanya aku dapat juga memaafkan kau."
Ternyata secara kebetulan Pwe-giok telah memasuki lagi kamar tidur Ki-hujin, malahan
disangkanya sebagai kekasih sang nyonya rumah yang ingkar janji, keruan ia menjadi serba
susah. Katanya dengan menghela napas: "Ki-hujin, kau salah mengenali orang, aku bukan
orang yang kau rindukan itu, harap lepaskan diriku."
Tapi makin erat Ki-hujin merangkulnya, ya menangis ya tertawa, katanya: "Sungguh kejam
kau, sampai sekarang kau masih ingin menipu diriku. Tapi aku tak dapat kau tipu lagi, takkan
kulepaskan kau lagi, selamanya takkan kubebaskan kau."
Tentu saja Pwe-giok kelabakan, mendadak dilihatnya Ki Leng-hong juga berdiri disamping
sana dengan girang ia lantas berseru "He, nona Ki, tentunya kau tahu siapa diriku ini."
128
Ki Leng-hong memandangnya dengan dingin, mendadak ia berkata dengan tertawa: "Sudah
tentu ku tahu siapa kau, kau adalah orang yang senantiasa dirindukan ibuku."
"He, ken .... kenapa kaupun sengaja membikin susah padaku?" seru Pwe-giok.
"Kau telah membikin ibu menderita sekian tahun, sekarang sudah waktunya kau
menggirangkan hati ibu," ucap Ki Leng-hong dengan tersenyum hambar.
Tidak kepalang kejut dan kuatir Pwe-giok, keringat dingin membasahi bajunya, ia ingin
meronta namun rangkulan Ki-hujin teramat erat dan sukar melepaskan diri.
Dengan tertawa linglung Ki-hujin mendorong Pwe-giok berduduk di atas tempat tidur,
dipegangnya tangan anak muda itu, katanya dengan mesra: "O, tahukah kau betapa
kurindukan kau? Apakah kau baik-baik saja selama ini?"
"Aku .... aku tidak .... bukan .... " Pwe giok gelagapan.
Tapi sebelum lanjut ucapannya, Ki-hujin lantas berkata pula; "Ku tahu kau pasti sangat lelah
dan tidak ingin bicara. Tapi kita dapat bertemu pula setelah berpisah sekian lama, sungguh
hatiku girang tak terperikan .... He, Leng-hong, Kenapa tidak lekas kau ambilkan arak yang
telah kusiapkan baginya, rayakanlah pertemuan kembali kami ini."
Ki Leng-hong benar-benar melangkah keluar untuk kemudian datang lagi dengan membawa
sebuah poci arak yang berbentuk aneh dengan dua cawan batu kemala.
Setelah menuang secawan penuh dan disodorkan kepada Pwe-giok, dengan tertawa genit Kihujin
berkata: "Sudah lama sekali tidak pernah ku bergembira seperti ini, secawan arak ini
harus kau minum."
Pwe-giok tahu dalam keadaan demikian. biarpun dirinya putar lidah untuk menjelaskan juga
tiada gunanya, terpaksa ia mengikuti perkembangan selanjutnya, dengan menghela napas
iapun terima arak itu dan diminum habis.
"Nah, memang harus begitu," kata Ki-hujin pula dengan lembut. "Ingatkah kau, waktu minum
arak bersama dahulu pernah kau katakan padaku bahwa selamanya kau takkan meninggalkan
diriku, apakah masih ingat?"
Pwe-giok menjawab dengan menyengir: "Aku.. .. ..aku ....."
Dengan gaya menggiurkan Ki-hujin berbangkit katanya pula sambil menatap Pwe-giok:
"Meski dahulu kau telah berdusta padaku, tapi setelah kau minum arak ini, selanjutnya kau
takkan berdusta lagi."
Pwe-giok terkejut, segera ia merasakan hawa dingin menerjang ke atas melalui perut, seketika
kaki dan tangannya menggigil kedinginan, matapun berkunang-kunang. Tanyanya kaget: "He,
arak ini beracun?!"
"Ya, arak ini disebut Toan-jong-ciu (arak perantas usus)," tutur Ki-hujin dengan tertawa,
"Setelah kau minum arak ini, kau tak dapat lagi pergi secara diam-diam."
129
"Tapi .... tapi orang itu bukan diriku, bu . . . .kan diriku ...." Pwe-giok melonjak dan berteriak
takut. Belum habis seruannya, "bluk", ia jatuh terkapar dan tak tahu lagi apa yang terjadi.
Ki-hujin menyaksikan robohnya Pwe-giok, suara tertawanya perlahan-lahan berhenti, air mata
berbalik bercucuran, perlahan ia berjongkok dan membelai rambut anak muda itu, gumamnya:
"Aku masih ingat, waktu pertama kalinya dia menerobos keluar dari lorong bawah tanah ini,
tatkala mana aku sedang ganti pakaian. Aku terkejut dan gusar pula melihatnya munculnya
secara mendadak itu. Tapi dia sedemikian cakap, sedemikian ganteng, dia berdiri di situ dan
memandang diriku dengan tertawa, matanya . . . . ya matanya, pandangannya itu membuat
aku tak berdaya..."
Seperti orang mengigau di waktu mimpi Ki-hujin mengenangkan kejadian di masa yang
lampau, peristiwa yang menyenangkan dan menyusahkan itu seolah-olah berada pula di
dalam hatinya, akhirnya dia mulai mencari lagi malam bulan purnama dalam mimpinya.
Hambar Ki Leng-hong memandangi sang ibu, katanya kemudian dengan pelahan: "Tatkala
mana engkau tentunya sangat kesepian."
"Kawin dengan suami begitu, perempuan mana yang takkan kesepian?" ucap Ki-hujin dengan
hampa. "Kesepian, ya kesepian itulah mengakibatkan aku tertipu olehnya."
"Tapi apapun juga dia cukup baik padamu bukan?" kata Ki Leng hong.
Wajah Ki-hujin tambah cerah, katanya dengan tertawa: "Betul dia memang cukup baik
padaku, selama hidupku belum pernah merasakan kebahagiaan seperti pada waktu itu.
Seumpama aku tidak dapat melihat dia, asalkan terkenang padanya hatiku pun akan terasa
manis dan bahagia."
"Justeru lantaran kalian terlalu bahagia sewaktu berkumpul, maka setelah dia pergi kau lantas
menderita," ujar Leng hong.
Tangan Ki-hujin tampak mengejang lagi, serunya dengan parau: "Betul! Aku menderita, aku
tersiksa-siksa, aku benci..." jari tangannya mulai mengendor dan membelai rambut Pwe-giok
lagi, lalu katanya pula: "Tapi sekarang aku tidak lagi benci padanya. Sekarang, seluruhnya dia
sudah menjadi milikku, tiada seorangpun yang dapat merampas nya dari tanganku."
"Cuma sayang, orang yang kau bunuh ini bukanlah si "dia" yang dulu itu," jengek Leng-hong.
Ki-hujin terbahak-bahak seperti orang gila, teriaknya: "Hahahaha, bohong kau, kau pun ingin
menipu aku? Kecuali dia, siapa lagi yang dapat muncul dari lorong bawah tanah ini?"
"Meski lorong ini sangat dirahasiakan, tapi kalau si dia yang dahulu dapat menemukan lorong
rahasia ini, orang yang sekarang berbaring di sampingmu ini dengan sendirinya juga dapat
menemukannya," demikian tutur Leng-hong dengan perlahan. "Sebabnya, mereka sama-sama
orang keluarga Ji, mereka sama-sama paham rahasia perhitungan Thay kek-to (Pat-kwa)."
Seketika berhenti suara tertawa Ki-hujin, teriaknya: "Tutup mulut..."
130
Tapi Ki Leng-hong tidak menghiraukan dan menyambung pula: "Sebenarnya kau sendiri juga
tahu orang ini bukanlah si dia, tapi kau sengaja menganggap orang ini adalah dia. Kau menipu
diri sendiri, sebab hanya dengan cara begini kau dapat terlepas dari penderitaan."
Mendadak Ki-hujin menjatuhkan diri di lantai dan menangis seperti anak kecil, serunya
dengan suara parau: "O, mengapa kau sengaja membongkar isi hatiku? Mengapa kau bikin
aku menderita."
Kaku air muka Ki Leng-hong, ucapnya dingin: "Kau cuma tahu aku membikin kau menderita,
tapi kau tidak tahu bahwa sudah lama kau membikin kami menderita, kau membikin kami
menderita sejak dilahirkan. Leng-yan masih dapat menghindarkan penderitaan dengan dunia
khayalannya, tapi aku... aku benci padamu!"
Sorot matanya yang dingin itu akhirnya mengembeng juga butiran air mata.
Mendadak Ki-hujin berbangkit, seperti orang kalap ia angkat Ji Pwe-giok dan meraung: "Kau
bukan dia! Kau bukan dia! Jika kau bukan dia, untuk apa kau datang kemari..." sambil
meraung ia terus melemparkan Pwe giok keluar jendela.
Cepat Ki Leng hong menyelinap keluar pintu, ia berdiri di serambi sana dan berteriak: "Ini dia
Ji Pwe-giok sudah mati, lekas kalian kemari melihatnya!"
Suaranya juga sangat dingin, suara yang melengking dingin ini berkumandang jauh terbawa
angin malam. Hanya sekejap saja dalam kegelapan muncul berbagai bayangan orang.
Orang yang melayang tiba lebih dulu adalah Pek-ho Tojin, berkat cahaya lampu yang
menembus dari jendela dapatlah dilihatnya jenazah Ji Pwe-giok. Dirabanya tubuh yang tak
bergerak itu, lalu berbangkit dan berkata dengan suara berat: "Betul, Ji Pwe-giok sudah mati!"
Anak murid Tiam-jong-pay yang sudah tiba berkata dengan menyesal: "Sungguh sayang kita
tak dapat membunuh bangsat ini dengan tangan sendiri."
Dengan suara bengis Pek-ho Tojin berseru; "Meski tak dapat kita bunuh bangsat ini, setelah
mati mayatnya juga harus kita cincang..." di tengah bentakannya segera ia melolos pedang
terus menusuk jenazah Ji Pwe-giok.
Mendadak terdengar suara "trang" sekali, pedang Pek-ho Tojin tahu-tahu mencelat, Ki Songhoa
telah berdiri di samping jenazah Ji Pwe-giok dengan berlagak tertawa.
Ternyata pedang Pek-ho Tojin tergetar mencelat oleh tangkisan Ki Song-hoa, keruan Pek-ho
Tojin terkejut, serunya: "He.. Ki-cengcu, mengapa engkau bertindak demikian?"
"Cut-keh-lang (orang yang sudah meninggalkan rumah, artinya orang yang sudah menjadi
Tosu atau Hwesio) mana boleh bertindak sekejam ini, merusak mayat, hal ini sekali-kali tidak
boleh kau lakukan," kata Ki Song-hoa dengan perlahan.
Pek-hoa Tojin melengak, jengeknya kemudian: "Hm, mulai kapan Ki cengcu berubah menjadi
welas-asih?"
"Apa?" Ki Song-hoa mendelik gusar. "Bilakah aku tidak welas-asih?"
131
Bahwa Sat-jin-cengcu mengaku sebagai orang yang welas-asih, sungguh Pek-hoa Tojin
merasa geli dan juga mendongkol, tapi demi ingat betapa lihay caranya orang membikin
pedangnya mencelat tadi mau-tak-mau ia rada jeri, katanya sambil memberi hormat: "Ya,
maafkan ucapan Tecu yang tidak pantas. ... Bukan Tecu tidak tahu welas-asih, soalnya dosa Ji
Pwe-giok ini teramat besar dan tak terampunkan, jika dia mati begini saja, rasanya belum
cukup untuk menebus dosanya."
"Betapapun besar dosanya waktu hidup, kalau sudah mati, ya lunas seluruhnya," ujar Ki
Song-hoa. "Di dunia ini hanya orang matilah yang paling sempurna, orang hidup harus
menaruh segenap hormatnya kepada orang mati."
Pek-hoa tojin tidak dapat membantah perkataan ini dan berkata: "Toh dia sudah mati,
mengapa kau masih..."
Ki Song-hoa memotong dan berkata dengan sungguh-sungguh "Ini adalah perkampunganku,
orang-orang mati adalah tamu-tamu sejati perkampungan ini. Jika dia masih hidup, kau bebas
untuk melakukan apa saja padanya. Tapi sekarang dia menjadi tamuku dan menjadi tanggung
jawabku untuk mengurusnya."
Pek-hoa tojin berkata: "Baiklah jika demikian. Kami akan pergi sekarang. Kami akan
membawa mayatnya. Meskipun dia telah membunuh guru kami, dia tetap murid Kun-lun.
Terima kasih atas kesediaan anda menampung kami."
Ki Song-hoa berkata: "Aku tidak peduli apakah ketika dia masih hidup dia murid Kun-lun
atau Hoa-san. Setelah dia mati, tubuhnya menjadi milikku. Siapa yang ingin membawanya
harus mengalahkanku terlebih dahulu."
Ki Song-hoa berdiri siap menghadapi siapapun yang berani membawa tubuh Pwe-giok.
Murid-murid Kun-lun dan Tiam-jong saling memandang kehabisan akal mau berbuat apa.
Pek-hoa akhirnya berkata: "Betapapun juga, Ji Pwe-giok kini telah meninggal! Dendam
kematian guru kita telah terbalas, lebih baik kita mematuhi kehendak Ki cengcu"
Ki Song-hoa cepat-cepat lari sambil membawa tubuh Ji Pwe-giok.
Ki Leng-hong berdiri mengawasi apa yang terjadi dengan dingin. Kelihatannya, dia sudah
menduga akhirnya jadi begini.
Pek-hoa tojin ingin mengatakan sesuatu tapi Ki Song-hoa sudah pergi berlalu.
Pek-hoa menghentakkan kakinya dan berkata dengan marah: "Seluruh orang di
perkampungan ini idiot semua! Mari kita cepat-cepat pergi menjauh dari tempat terkutuk ini."
Ki Song-hoa mengganti pakaian Ji Pwe-giok dan membersihkan debu kotoran di wajahnya.
Mungkin di dunia ini tiada orang lain lagi yang begini lembut memperlakukan sesosok mayat.
Habis itu, Cengcu kerdil itu mendapatkan sebuah cangkul di balik semak-semak pohon sana
dan mulai menggali. Dari sorot matanya tampak rasa gembira yang kelewat batas, tapi di
mulut dia justeru bergumam dengan menyesal: "O, anak yang harus dikasihani, masih muda
132
belia begini kau sudah mati, sungguh sangat sayang. Salahmu sendiri, tidak mau turut pada
nasihatku, kalau tidak masakah kau sampai mati diracuni perempuan siluman itu."
"Jika dia turut kepada perkataanmu, mungkin dia akan mati terlebih mengerikan," demikian
mendadak suara seorang menanggapi. Di bawah cahaya bintang yang remang-remang
kelihatan sesosok bayangan berdiri di samping sana, siapa lagi kalau bukan Ki Leng-hong.
Jilid 6________
Seketika Ki Song-hoa melonjak murka, teriaknya sambil memukuli dada sendiri: "Kau, kau
datang lagi! Kenapa kau selalu mengganggu diriku, apakah tak dapat aku diberi sedikit
ketenangan?!"
"Dia sudah mati, mengapa tidak kau berikan ketenangan pula?" jawab Leng-hong dengan
hambar.
"Justru sekarang akan kuberi ketenangan abadi baginya dengan membaringkannya di bawah
tanah" kata Ki Song-hoa.
"Orang yang kau kubur mana bisa tenang? Bisa jadi setiap saat kau akan kembali lagi ke sini
dan menggalinya untuk diperiksa pula" jengek Ki Leng-hong.
Dengan gusar Ki Song-hoa berkata: "Mana boleh kau bicara demikian kepadaku?...
Seumpama aku bukan ayahmu, berdasarkan apa pula kau kira aku takut padamu? Enyah,
lekas enyah! Kalau tidak, bisa ku kubur kau hidup-hidup bersama dia."
Namun Ki Leng hong tanpa bergerak, ucapnya pelahan: "Tak nanti kau berani menyentuh
diriku, betul tidak?........ Kau tahu sebelum wafat kakek telah banyak menyerahkan rahasia
padaku, satu di antaranya adalah paling ditakuti mu."
Kata-kata Leng-hong ini ternyata sangat manjur, seketika Ki Song-hoa menjadi lesu, katanya:
"Sesungguhnya apa kehendakmu?"
"Mayat ini adalah kepunyaanku, tidak boleh kau sentuh dia!" ucap Leng-hong dengan tegas.
"Hahahahaha! Sungguh lucu, mengapa kau pun merasa tertarik pada orang mati? Apakah
kaupun serupa diriku... Aha, memang betul, betapapun kau juga she Ki, biarlah kuberikan
mayat ini padamu."
Sambil berjingkrak gembira dan tertawa latah, lalu Ki Song-hoa berlari pergi.
Ki Leng-hong mengangkat tubuh Ji Pwe-giok, gumamnya: "Orang lain sama menganggap kau
sudah mati, siapa pula yang tahu bahwa orang mati kadang-kadang juga dapat hidup
kembali."
Angin dingin menghembus, cahaya bintang berkerlip redup, alam ini memang penuh
kegaiban.
*****
133
Di atas batu-batu raksasa itu sudah banyak lumut hijau, di sudut-sudut yang gelap penuh
sawang, sampai-sampai debu kotoran juga berbau apek.
Di dalam rumah batu yang seram ini tiada terdapat jendela, tiada angin, tiada cahaya matahari,
apapun tidak-ada, yang ada cuma hawa kematian.
Di atap rumah yang tinggi dan lebar itu ada sebuah lubang bundar kecil, setitik sinar matahari
menembus masuk dari situ, langsung menyoroti tubuh Ji Pwe-giok.
Anak muda itu sedang gemetar, jangan-jangan Pwe giok benar-benar telah hidup kembali?
Pelahan ia membuka mata, hampir-hampir ia sendiripun terperanjat. Cepat ia melompat
bangun, maka terlihatlah pemandangan di dalam rumah batu ini.
Seketika dapat diterkanya tempat ini pasti rumah kuburan yang misterius itu. Kini ia ternyata
berada di dalam makam leluhur keluarga Ki.
Kaki dan tangan Pwe-giok terasa dingin, tanpa terasa ia menggigil, pikirnya: "Tentunya aku
sudah mati, maka dikubur di sini.... Tapi orang mati masa dapat bergerak?... Jangan-jangan
sekarang aku telah berubah menjadi setan, menjadi arwah halus?"
Ia kucek-kucek matanya, segera dilihatnya satu orang.
Orang ini berbaju kain belacu putih, duduk di suatu kursi yang longgar dan besar, mukanya
kuning, tanpa bergerak, tempatnya juga sangat seram dan penuh misterius.
Tapi Pwe-giok tidak merasakan apa-apa, ia pikir tentu sebuah patung lilin lagi.
Ia coba berjalan ke depan, ia merasa di ruangan ini ada silirnya angin, dengan sendirinya
angin masuk dari lubang kecil di atap rum ah itu sehingga rambut dan jenggot "patung lilin"
tertiup bergerak-gerak.
Jelas itu bukan patung lilin, tapi benar-benar seorang manusia.
"Siapa kau?!" bentak Pwe-giok terkejut.
Orang itu tetap diam saja tanpa bergerak seakan-akan tidak mendengar suaranya.
Pwe-giok pikir dirinya kan sudah mati, apa yang mesti ditakuti? Segera ia melangkah ke sana,
mendekati orang itu, ia coba memegangnya, memang betul seorang manusia, tapi manusia tak
bernyawa.
Terasa hawa dingin menyusup ke tubuhnya melalui jarinya, cepat Pwe-giok menarik kembali
tangannya. Waktu ia berpaling, ternyata di situ tidak cuma seorang ini saja, masih banyak
orang lagi, orang mati seluruhnya.
Kiranya jenazah leluhur keluarga Ki tidak ditanam, jenazah mereka telah dibalsam sehingga
semua jenazah masih utuh, tidak membusuk untuk selamanya.
134
Sejauh mata memandang terlihat setiap mayat itu berduduk di suatu kursi yang longgar dan
besar. Pwe-giok seolah-olah berada di tengah-tengah mayat itu. Meski diketahui "orangorang"
ini sudah tak dapat bergerak lagi dan tidak nanti membikin susah padanya, tapi
merembes juga keringat dingin Pwe-giok.
Cahaya yang remang-remang menyoroti wajah mayat-mayat itu, setiap wajah mayat itu sama
dingin dan kurus kering, namun air muka mereka tetap dalam keadaan yang wajar, tidak
mengunjuk keberingasan yang menakutkan, namun sikapnya yang dingin itu tampaknya
menjadi lebih menyeramkan. Berada di tengah-tengah mayat ini tiada ubahnya seperti berada
di neraka.
Pandang sini dan lihat sana, darah di tubuh Pwe-giok seakan-akan beku, ia tidak tahan,
akhirnya ia menjerit ngeri terus menerjang keluar.
Di dalam rumah batu itu masih ada sebuah kamar batu, sekeliling kamar batu ini juga
berduduk tujuh-atau delapan orang mati, semuanya juga duduk di atas kursi dengan sikap
kaku dan dingin.
Pandangan Pwe giok yang pertama lantas tertuju kepada sebuah wajah yang kurus kering dan
aneh, yaitu yang serupa dengan patung lilin yang dilihatnya di lorong bawah tanah sana.
Dengan sendirinya inilah mayat ayah Ki Song-hoa yang sesungguhnya.
Tampaknya orang ini mati belum terlalu lama, hal ini terbukti dari bajunya yang jauh lebih
baru daripada mayat-mayat lain.
Selagi Pwe-giok memandang sana dan memandang sini, sekonyong-konyong seorang mati di
sampingnya dapat berdiri dan menegurnya: "Kau... kau pun datang ke sini?!"
Sungguh kaget Pwe-giok sukar dilukiskan, hampir pecah nyalinya.
Dilihatnya orang inipun memakai belacu putih, malahan mukanya juga dibalut dengan kain
putih, bahkan orangnya lantas mendekati Pwe-giok dengan langkah berat.
Kaki dan tangan Pwe giok terasa lemas, setindak demi setindak ia menyurut mundur,
teriaknya dengan parau: "Kau... kau..." hanya kata ini saja yang dapat diucapkannya dan sukar
melanjutkan pula.
Orang itu lantas berhenti dan memandangi Pwe-giok, katanya pelahan: "Jangan takut, aku
bukan setan."
"Kau .... kau bukan setan? Lalu sia ....... siapa kau?" tanya Pwe-giok.
Cukup lama orang itu berpikir, mendadak ia bergelak tertawa dan berseru: "Aku Ji Pwegiok!"
"Hah, kau Ji Pwe-giok? Lantas siapa… siapa diriku?" teriak Pwe-giok dengan kaget luar
biasa.
Orang itu tidak bicara lagi, tapi mulai membuka kain pembalut mukanya selapis demi selapis
sehingga terlihat mukanya yang penuh bekas luka.
135
Sampai lama sekali Pwe giok memandang wajah yang rusak ini, akhirnya ia berseru: "He,
bukankah engkau ini Cia . . . Cia Thian pi, Cia cianpwe?"
Bahwa Cia Thian-pi bisa muncul di rumah hantu ini, hal ini benar-benar membuatnya terkejut
melebihi melihat setan.
Cia Thian-pi tersenyum pedih, ucapnya: "Betul, aku memang Cia Thian pi adanya, tak
tersangka kau masih dapat mengenali diriku."
"Wah, tadi Cia cianpwe benar-benar telah membikin kaget padaku," ujar Pwe-giok dengan
menyengir.
Dengan menyesal Cia Thian-pi berkata: "Sudah sekian lama berkumpul dengan orang mati di
dalam makam ini, ketika mendadak melihat kedatanganmu, saking kejut dan girangnya aku
lantas bergurau denganmu."
"Mungkin Cianpwe sengaja hendak melihat bagaimana sikapku setelah mendengar ucapanmu
tadi, untuk mengetahui apakah aku ini benar-benar Ji Pwe-giok atau bukan."
"Betul" kata Cia Thian-pi dengan menghela napas. "Di seluruh dunia sekarang, mungkin
hanya kau saja yang dapat memahami isi hatiku. Hanya aku pula yang memahami
perasaanmu. Betapa aneh pengalamanmu dan betapa malang nasibmu, baru sekarang aku
percaya penuh."
Pedih hati Pwe-giok, ucapnya dengan rada gemetar: "Dan Cianpwe sendiri... "
"Ya, meski sekarang aku sudah percaya, tapi sayang, tiada gunanya lagi." tukas Cia Thian-pi.
"Nasibku sekarang jelas serupa dengan kau, mungkin hidupku ini harus ku lalui di tempat
gelap begini untuk selamanya."
"Cara bagaimana Cianpwe berada di sini?"
"Malam itu di perkemahanku, cukup banyak juga ku tenggak arak sehingga terasa rada
mabuk, menjelang tengah malam aku tertidur dengan lelapnya. Tiba-tiba seorang
menggoyang tubuhku dan membangunkan aku serta bertanya siapa diriku?"
"Dia menerobos ke dalam kemah, belum lagi Cianpwe tanya siapa dia, sebaliknya dia malah
bertanya lebih dulu kepada Cianpwe, orang aneh dan kejadian aneh ini sungguh jarang
terjadi."
"Tatkala mana akupun sangat mendongkol," tutur Cia Thian-pi pula. "Tapi begitu aku
memandangnya, seketika aku tak dapat... tak dapat bersuara."
"Sebab apa?" tanya pwe-giok.
"Lampu dalam perkemahanku waktu itu masih menyala, di bawah cahaya lampu dapat kulihat
muka orang itu, mata alisnya, raut wajahnya, semuanya serupa benar dengan diriku, rasanya
seakan-akan aku sedang berkaca atas diriku sendiri."
136
"Hm, ternyata benar bangsat itu," desis Pwe-giok dengan geram.
"Aku terbelalak memandangi dia, dia juga terbelalak menatap diriku.
Dia malah berkata: "Akulah Cia Thian-pi dari Tiam-jong, mengapa kau tidur ditempatku?"
Waktu itu aku masih sangsi kalau mabuk ku belum lenyap, aku menjadi bingung oleh
ucapannya itu. Serupa kau tapi, akupun berteriak "Kau Cia Thian-pi?... lantas siapa diriku?"
"Rupanya karena pengalaman Cianpwe itu, maka setelah mendengar ucapanku tadi Cianpwe
lantas yakin diriku ini Ji Pwe-giok tulen," ucap Pwe-giok dengan menyesal. "tapi kemudian
apa pula yang diperbuat oleh bangsat itu."
"Setelah mendengar teriakanku, bangsat itu malah mendamperat diriku, ia menuduh aku
memalsukan wajahnya, bahkan menyatakan bahwa orangnya dapat dipalsu, tapi ilmu pedang
Tiam-jong-pay tidak dapat dipalsu. Dia justeru menantang aku agar menentukan siapa lebih
unggul, yang unggul ialah Cia Thian-pi tulen, yang asor adalah palsu dan harus enyah."
"Jika begitu, jelas ilmu pedang bangsat itu bukan tandingan Cianpwe," ujar Pwe-giok.
"Kau salah sangka." kata Cia Thian-pi dengan tersenyum pedih. "betapa keji dan perencanaan
orang-orang itu sungguh sukar dibayangkan. Ternyata dalam arak yang kuminum itu di luar
tahuku telah diberinya obat bius sehingga aku tidak mampu mengerahkan tenaga sama sekali,
tidak sampai tiga jurus pedangku sudah tersampuk jatuh oleh pedangnya dan ilmu pedang
yang digunakannya memang betul Tiam-jong-kiam-hoat tulen."
"Dan Cianpwe lantas didesak pergi secara begitu?" tanya Pwe-giok.
"Memangnya apa yang dapat kuperbuat lagi?" tutur Cia Thian-pi. "Tatkala mana Ji Hong-ho,
Ong Uh lau dan lain-lain serentak muncul juga, rupanya mereka sebelumnya sudah
bersembunyi di situ, dalam kedudukannya sebagai Bengcu, dia telah menyingkirkan anak
muridku ke tempat lain, lalu..."
"Mungkin waktu itu Cianpwe sendiri tidak tahu bahwa merekapun palsu seluruhnya." kata
Pwe-giok dengan gemas.
"Ya, tatkala itu aku memang tidak pernah membayangkan akan terjadi begitu, demi nampak
datangnya Bengcu, aku menjadi girang. Siapa tahu mereka lantas menuduh aku inilah yang
memalsukan Cia Thian-pi." dengan tangan gemetar ia pegang tangan Pwe-giok, tangannya
sudah penuh keringat, nadanya sangat sedih, sambungnya pula:
"Saat itulah baru kurasakan betapa susahnya orang yang terfitnah. Dadaku serasa mau
meledak, tapi apa dayaku, anggota badan terasa lemas, aku tidak sanggup melawan, akhirnya
aku dibekuk oleh mereka dan diangkut ke atas kereta serta dibawa pergi..."
"Orang... orang she Ji itupun berada di kereta itu?" tanya Pwe-giok.
"Meski dia tidak ikut di dalam kereta, tapi dia memerintahkan beberapa lelaki kekar
membawa pergi diriku, jelas aku hendak dibunuhnya ditempat jauh dan sepi. Waktu itu
137
keadaanku hampir tak bertenaga sama sekali, orang biasa saja tak dapat kulawan, apalagi anak
buah bangsat itu."
"Jika demikian, bahwa Cianpwe masih dapat menyelamatkan diri, boleh dikatakan lolos dari
lubang jarum."
"Ya, kalau tindakan mereka tidak terlalu rapi, bisa jadi aku takkan hidup sampai saat ini."
"Aneh, mengapa berbalik begitu?" tanya Pwe-giok heran.
"Coba kalau mereka membunuhku di sembarangan tempat, tentu jiwaku sudah melayang.
Tapi mereka justeru kuatir perbuatan jahat mereka diketahui orang, kuatir pula tindakan
mereka akan meninggalkan bukti..." ia tersenyum pedih dan menyambung pula: "Padahal
hendak membunuh orang semacam diriku rasanya juga tidak mudah, mereka harus mencari
suatu tempat yang baik. Sedangkan tempat pembunuhan yang paling baik di seluruh dunia ini
mungkin tiada yang lebih baik daripada Sat-jin-ceng."
"Betul di sat-jin-ceng ini, membunuh orang ibaratnya orang membabat rumput, siapapun tidak
perduli dan tanpa perkara." ujar Pwe-giok dengan menyesal.
Ia menunggu cerita Cia Thian-pi lebih lanjut, tapi sesampai di sini Cia Thian-pi lantas
berhenti dan tidak menyambung lagi.
Selang sejenak, Pwe-giok tidak tahan, ia bertanya: "Melihat luka Cianpwe yang parah ini,
mungkin kawanan bangsat itu sengaja membuat Cianpwe tersiksa untuk kemudian mati
dengan sendirinya."
"Ya, memang begitu kehendak mereka." kata Cia Thian-pi.
"Dan entah cara bagaimana Cianpwe mendapat pertolongan dan mengapa pula sampai di
sini?" Pwe-giok coba memancing.
Cia Thian-pi berpikir sejenak, tuturnya kemudian: "Sudah tentu inipun secara kebetulan saja,
cuma... cuma kejadian ini menyangkut rahasia orang ketiga, sebelum mendapat
persetujuannya, maafkan, tak dapat kuceritakan padamu."
Dan sebelum Pwe-giok bertanya pula, dengan tertawa ia bertanya: "Dan dengan cara
bagaimana kau pun datang ke sini?"
Pwe-giok menghela napas sedih, jawabnya: "Tecu... Tecu sudah dianggap orang mati dan
dikubur di sini."
"Orang mati?" Cia Thian-pi menegas dengan heran. "Jangan-jangan kau..."
Belum lanjut ucapannya, tiba-tiba seorang menyela dengan dingin: "Ucapannya memang
tidak salah, dia memang sudah mati satu kali, cuma saat ini dia sudah hidup kembali."
Di bawah cahaya yang remang-remang muncul sesosok bayangan putih dengan rambutnya
yang terurai, tertampak matanya yang indah mempesona dan wajahnya yang cantik laksana
138
dewi itu. Ditempat yang suram begini tampaknya lebih mirip badan halus dan membuat orang
yang melihatnya seakan-akan berhenti bernapas.
Perpaduan antara badan halus dan dewi itu bukan lain ialah Ki Leng-hong.
Cia Thian-pi seperti juga terkesima oleh kecantikan yang tiada taranya serta keangkeran yang
sukar dilukiskan itu. Ia termangu-mangu sejenak, kemudian berkata dengan tertawa: "Ah,
jangan nona berkelakar, orang mati mana bisa hidup kembali?"
"Akulah yang membuatnya hidup kembali." kata Leng-hong dengan pelahan. Suaranya
hambar, seolah-olah memang mengandung semacam kekuatan gaib yang dapat
mengendalikan mati atau hidup manusia. Sorot matanya yang dingin itu seakan-akan
menyembunyikan segala macam rahasia yang dapat menentukan mati atau hidup seseorang.
Cia Thain-pi dan Ji Pwe-giok saling pandang tak dapat bicara.
Dilihatnya Ki Leng-hong telah mendekati patung lilin yang serupa dengan patung di lorong
bawah tanah itu serta menyembahnya tiga kali dengan khidmat. Mendadak ia berkata: "Di
makam ini seluruhnya adalah leluhur keluarga Ki. Tentunya kalian heran mengapa aku cuma
menyembah dia saja? Biarlah kuberitahu, sebabnya dia pernah menyelamatkan diriku, seperti
halnya aku telah menyelamatkan kalian."
Pwe-giok dan Cia Thian-pi tambah bingung dan tidak tahu bagaimana harus menjawab.
Ki Leng-hong telah berbangkit dan membalik tubuh, ditatapnya Cia Thian-pi, katanya:
"Dalam keadaan kempas kempis dan tak berdaya, jelas kau pasti akan terbunuh, akulah yang
membuat mereka menyangka kau sudah mati, kemudian ku pancing pergi mereka dan
membawa kau ke sini, kau tahu tidak?"
"Ya, budi pertolongan nona takkan kulupakan selama hidup." kata Thian-pi.
"Sebagai seorang ketua suatu perguruan ternama, ternyata harus ditolong oleh seorang gadis
yang tak terkenal, tentu dalam hati kau merasa malu, makanya tadi ketika ditanya orang, kau
enggan menjelaskannya, begitu bukan?"
"Ah, nona telah salah paham." jawab Thian-pi dengan menyengir. "soalnya Cayhe ingin..."
"Aku memang berpikiran sempit." dengan ketus Ki Leng-hong memotong. "Barang siapa
sudah ku tolong, selama hidupnya harus selalu ingat kepada budi pertolonganku, kalau tidak,
akupun dapat membuatnya mati. Untuk itu hendaklah kau ingat dengan baik."
Cia Thian-pi melongo mendengarkan perkataan Ki Leng-hong itu.
Nona itu tidak menggubrisnya lagi, ia berpaling ke arah Pwe-giok dan berkata pula: "Dan kau,
hakekatnya kau sudah mati, setiap orang sudah merabai mayatmu dan menyatakan kau sudah
mati. Tapi aku telah membuat kau hidup kembali, Meski di mulut kau tidak bicara, di dalam
hati tentu kau tidak percaya. Orang mati masa bisa hidup kembali, begitu bukan?"
139
Pwe-giok terdiam sejenak, katanya kemudian: "Cayhe tidak pernah menaruh curiga, tapi
sekarang sudah kupikirkan, rahasia mati dapat hidup kembali pasti terletak pada arak yang
kuminum itu."
"Meski tampaknya kau dungu nyatanya tidaklah bodoh." Jengek Leng-hong. "Memang betul,
arak yang kuberikan itu bukanlah Toan-jiong ciu millik Hujin, tapi To-ceng ciu (arak
menghindari cinta)."
"Hah, arak bernama To-ceng, sungguh nama yang bagus." kata Pwe-giok dengan tertawa.
"Konon arak ini buatan seorang sastrawan termasyhur di jaman dahulu." tutur Ki Leng-hong.
"Dia terlibat di tengah tiga perempuan yang mencintai dia, selama puluhan tahun dia
terombang-ambing di tengah kerumunan wanita cantik itu, akhirnya ia merasa kewalahan dan
ingin membebaskan diri, sebab itulah dia berusaha menyuling arak khas ini. Setelah diminum,
seketika pernapasannya berhenti, kaki dan tangan dingin serupa dengan orang mati. Tapi
dalam waktu 24 jam dapat hidup kembali. Berkat arak itulah dia dapat melepaskan diri dari
godaan ketiga perempuan itu dan dapat bebas, sebab itulah dia menamai araknya sebagai Toceng-
ciu."
"Sungguh tak tersangka arak buatan orang yang romantis di jaman dahulu, sekarang telah
menyelamatkan jiwaku." ujar Pwe-giok dengan menghela napas.
"Tapi jangan kau lupakan, yang menyelamatkan kau bukan To-ceng-ciu itu melainkan aku."
jengek Leng-hong.
"Budi kebaikan nona sudah tentu takkan kulupakan selama hidup." kata Pwe-giok sambil
menyengir.
Dengan tatapan tajam Leng-hong bertanya pula padanya: "Tahukah kau, sebab apa ku tolong
kau?"
"Aku.... ini...." Pwe-giok menjadi gelagapan. Sudah tentu, siapapun tak dapat menjawab
pertanyaan ini.
"Jika kau sangka lantaran ku jatuh cinta padamu maka ku tolong kau, maka salahlah kau,"
kata Leng-hong pula. "Sama sekali aku bukan perempuan yang mudah jatuh cinta, kaupun
tidak perlu bangga bagi diri sendiri."
Sekenanya dia menerka jalan pikiran orang lain tanpa peduli betul atau salah, juga tidak
memberi kesempatan bagi orang lain untuk membantah, dengan muka merah baru saja Pwegiok
hendak bicara sudah didahului lagi olehnya: "Sebabnya ku tolong kau sama seperti
halnya ku tolong Cia Thian-pi, yakni supaya kau selalu ingat akan budi pertolonganku."
Seketika Pwe-giok melenggong juga.
Didengarnya Leng-hong berkata pula: "Tentunya dalam hati kalian sekarang sedang berpikir
bahwa aku ini bukan seorang Kuncu (ksatria sejati), memberi pertolongan dengan
mengharapkan balas jasa."
"Ah, mana Cayhe berani berpikir demikian." kata Cia Thian-pi.
140
"Kau tidak berpikir demikian, aku justeru berpikir begitu," jengek Leng-hong. "Aku memang
bukan seorang Kuncu, aku memang mengharapkan balas jasa. Nah, setelah kuselamatkan jiwa
kalian, coba, cara bagaimana kalian akan membalas budi padaku?"
Cia Thian-pi menjadi bingung, dipandangnya Ji Pwe-giok, ternyata anak muda itupun sedang
memandangnya. Keduanya jadi saling pandang dengan melongo dan tak dapat menjawab.
"Bagaimana, setelah menerima budi pertolonganku, apakah kalian tidak ingin membalas?"
tanya Leng-hong dengan gusar.
"Budi pertolongan nona sudah tentu ...." tergagap-gagap Pwe-giok.
"Huh, aku tidak suka kepada segala omong kosong tentang selama hidup takkan melupakan
budi pertolonganmu segala. Jika kalian ingin balas budi, kalian harus menyatakan dengan
tegas cara balas budi yang nyata."
Seperti orang menagih utang saja cara si nona mendesak orang membalas budi, sungguh
jarang ada orang macam begini di dunia ini.
Cia Thian-pi hanya menggeleng dengan menyengir saja, katanya kemudian: "Entah cara
bagaimana kami harus membalas budi menurut pendapat nona?"
Mendapat Ki Leng-hong berpaling menghadapi orang mati tadi dan berkata: "Tahukah kalian
siapa dia?"
"Bukankah dia...... ayah Ki Song-hoa?" kata Pwe-giok.
Dia tidak bilang "kakekmu", tapi bilang "ayah Ki Song-hoa", sebab dia sudah dapat meraba
riwayat hidup nona ini pasti ada sesuatu yang ganjil dan rahasia, hakekatnya tidak mengakui
dirinya adalah keturunan keluarga Ki.
Benar juga, Ki Leng-hong lantas berkata: "Betul dia inilah Ki Go-ceng, aku menghormat dan
menyembah padanya bukan lantaran dia ayah Ki Song-hoa, juga bukan disebabkan dia pernah
menyembuhkan penyakitku yang parah, tapi karena kepintarannya, dia pernah meramal
bahwa di dunia Kangouw pasti akan timbul kekacauan yang belum pernah terjadi selama ini,
dan diriku ini justeru dilahirkan karena jaman kacau ini...."
Mendadak ia membalik tubuh lagi ke sini, sorot matanya tampak merah membara, ia berteriak
pula: "Jika aku dilahirkan di jaman demikian, jaman ini harus pula menjadi milikku. Sebab
itulah kuminta kalian tunduk pada perintahku, bantulah pekerjaanku. Aku telah
menghidupkan kalian, akupun menghendaki kalian rela mati bagiku."
Sungguh Pwe-giok dan Cia Thian-pi tidak pernah menyangka nona yang masih muda belia ini
ternyata mempunyai ambisi sebesar ini, tanpa terasa mereka jadi melenggong.
Dari bajunya Ki Leng-hong lantas mengeluarkan sebuah botol kayu kecil, katanya: "Di dalam
botol ini ada dua biji obat, makanlah kalian, bila kalian siuman nanti, kalian akan berubah
menjadi manusia baru, sama sekali baru, orang lain takkan kenal kalian lagi, akupun
141
menghendaki kalian melupakan segala apa yang telah lalu dan cuma mengabdi bagiku, sebab
jiwa kalian adalah pemberianku."
"Dan kalau kami tidak mau terima?" kata Cia Thian-pi dengan air muka berubah.
"Hm," Leng-hong mendengus. "Jangan kau lupa, setiap saat dapat kucabut pula nyawamu."
Dia terus melangkah maju dua tindak, tanpa terasa Cia Thian-pi dan Pwe-giok lantas
menyurut mundur dua tindak.
Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar seorang tertawa latah di luar rumah hantu itu:
"Budak busuk, kau sendiri tak bisa hidup lebih lama lagi, masih coba ancam orang lain?"
Terdengar suara tertawanya yang seram itu membawa semacam kegilaan yang mengerikan..
"Ki Song-hoa!" teriak Pwe-giok tanpa terasa, entah terkejut entah girang.
Belum lenyap suara Pwe-giok, secepat angin Leng-hong melayang keluar kamar itu.
Cepat Pwe-giok ikut berlari keluar, tapi tertampak pintu batu yang berat itu sudah tertutup
rapat. Baru saja Leng-hong melayang sampai di depan pintu, "krek" terdengar bunyi gembok
di luar.
"Hahahaha! budak busuk!" demikian terdengar pula tertawa latah Ki Song-hoa di luar pintu.
"Kau kira tidak ada orang yang berani datang ke sini, bukan ? Kau kira tiada orang yang dapat
mengetahui rahasiamu, he? Tapi, hahahaha, sedikit kau lengah, akhirnya jiwamu harus amblas
di tanganku."
Pucat wajah Leng-hong yang kaku dan dingin itu, jelas dia tertegun dan ketakutan, sebab ia
tahu apabila pintu batu itu sudah digembok dari luar, maka siapapun jangan harap akan dapat
keluar lagi.
"Hahahaha!" terdengar Ki Song-hoa terbahak-bahak pula. "Seharusnya kau tahu bahwa
selamanya tiada seorangpun yang dapat keluar dengan hidup dari rumah setan ini. Dan
mengapa kau masuk juga ke situ? Sungguh teramat besar nyalimu.... Memang sengaja
kuberitahukan rahasia membuka gembok padamu, sudah kuperhitungkan pada suatu ketika
kau pasti tidak tahan dan ingin coba melihat ke dalam. Haha, budak busuk, kau kira dirimu
sangat pintar, akhirnya kau terjebak juga olehku."
Makin jauh suara tertawa latah itu, sehingga akhirnya tak terdengar lagi. Tapi Ki Leng-hong
masih berdiri mematung di tempatnya, mendadak air matanya bercucuran, yang menyedihkan
dia mungkin bukan jiwanya akan melayang, tapi cita-citanya, ambisinya yang belum
terlaksana dan kini harus hancur dalam sekejap.
Mau tak mau Pwe-giok dan Cia Thian-pi juga melenggong dan tidak tahu apa yang harus
mereka lakukan.
Sampai lama sekali Ki Leng-hong berdiri di tempatnya seperti orang linglung, kemudian ia
membalik tubuh perlahan dan mendekati sebuah kursi batu yang lowong serta duduk di situ.
142
Ia memandang sekelilingnya, mendadak ia tertawa seperti orang gila, teriaknya: "Hahaha!
Biar matipun tidak kesepian, masih ada sekian banyak orang yang mengiringi diriku."
Cia Thian-pi terperanjat, cepat ia tanya: "Apakah..... apakah nona juga akan menanti kematian
di sini?"
"Ya," jawab Leng-hong. "Menanti datangnya kematian secara perlahan-lahan, rasanya pasti
lain daripada yang lain dan sangat menarik."
"Meng.... mengapa nona tidak berdaya keluar dari sini?" tanya Thian-pi pula.
"Keluar? Hahahaha!" Leng-hong tertawa hingga suaranya serak. "Sekali sudah tergembok di
rumah setan ini, mana ada harapan buat keluar."
"Apakah betul rumah ini tidak pernah dimasuki orang hidup?" tanya Thian-pi
"Pernah, bahkan banyak," jawab Leng-hong "Cuma, hanya ada orang hidup yang masuk dan
tidak ada orang hidup yang keluar."
Mendadak Pwe-giok menimbrung: "Orang yang menggotong mayat ini ke sini apakah juga
tidak ada yang keluar dengan hidup?"
"Tidak ada orang menggotong mayat ke sini." jawab Leng-hong dengan tertawa seram.
"Tidak ada orang menggotong mayat ke sini, lalu apakah mayat-mayat ini masuk sendiri ke
sini?" tanya Thian-pi dengan terkesiap.
"Ya, memang benar, masuk sendiri ke sini!" ucap Leng-hong dengan sekata demi sekata.
Cia Thian-pi memandang mayat sekelilingnya, mayat-mayat itupun seakan-akan sedang
memandangnya dengan dingin, tanpa terasa ia merinding, katanya dengan rada gemetar: "Ah,
janganlah nona bergurau."
"Dalam keadaan demikian, siapa yang bergurau dengan kau?" jengek Leng-hong
"Tapi.... tapi mana ada... mana ada mayat yang dapat berjalan sendiri di dunia ini?" ujar
Thian-pi dengan mandi keringat dingin.
"Sebabnya mereka memang orang hidup sebelum mayat-mayat ini berduduk di kursi masingmasing,"
tutur Leng-hong. "Setelah berduduk di kursinya, mereka lantas berubah menjadi
mayat."
"Seb.... sebab apa?" tanya Thian-pi, bulu romanya sama berdiri.
"Inilah rahasia keluarga Ki!" ucap Ki Leng-hong dengan tersenyum misterius.
"Sudah begini, masa nona tidak mau menjelaskan?" kata Thian-pi.
Leng-hong menatap ke depan dengan sorot mata yang kabur, ucapnya perlahan: "Setiap
anggota keluarga Ki, di dalam darah mereka ada semacam sifat pembawaan yang gila, sifat
143
yang suka menghancurkan diri sendiri. Dalam keadaan tertentu, bisa jadi penyakitnya itu
mendadak kumat, tatkala mana bukan saja orang lain akan dihancurkannya, bahkan ia akan
menghancurkan dirinya sendiri."
Ia merandek sejenak, lalu menyambung pula dengan sekata demi sekata: "Di mulai sejak
leluhur keluarga Ki sampai pada Ki Go-ceng, tiada seorangpun yang tidak mati membunuh
diri!"
"Jika mereka masuk ke sini dengan hidup, lalu membunuh diri dengan berduduk di kursi ini,
mengapa jenazah mereka sampai sekarang belum lagi membusuk? Jelas jenazah ini telah
diberi sesuatu obat. Kalau orang sudah mati, masa dapat menggunakan obat untuk
mengawetkan jenazahnya sendiri?"
"Hal ini disebabkan ketika mereka bermaksud mati, sebelumnya mereka lantas minum
semacam obat campuran dari berbagai jenis racun, di antara belasan macam racun ini satu
sama lain bertentangan sehingga bekerjanya racun sangat lambat, akan tetapi dapat membuat
otot daging mereka menjadi kaku sedikit demi sedikit, ketika anggota badan mereka sudah
mati dan cuma tinggal kedua kaki saja yang dapat berjalan, lalu mereka masuk ke rumah ini
dan berduduk di kursi batu untuk menanti datangnya ajal."
Ki Leng-hong tersenyum tak acuh, katanya pula: "Begitulah mereka menganggap selama
menanti datangnya kematian itu adalah saat orang hidup yang paling aneh dan menarik,
mereka menyaksikan sendiri anggota badan sendiri sedikit demi sedikit mulai kaku dan
menjalar ke bagian lain, semua ini mereka anggap sebagai suatu kenikmatan yang sukar
dicari, bahkan jauh lebih menyenangkan daripada menyaksikan penderitaan orang lain.
Maklumlah, mereka sudah terlalu banyak menyaksikan kematian orang lain, hanya
menyaksikan kematiannya sendiri barulah dapat mendatangkan semacam rangsangan baru
bagi kepuasan mereka."
Siapapun mengkirik mendengarkan cerita yang aneh dan sukar dimengerti ini di rumah hantu
yang seram ini.
"Gila, benar-benar gila...." gumam Pwe-giok sambil memandangi mayat-mayat itu dengan
bingung. "Pantas Ki hujin bilang mereka semua orang gila, waktu hidup gila, sesudah mati
juga gila."
"Ya. sekujur badan mereka sudah dirembesi oleh racun yang aneh itu, maka jenazah
merekapun takkan busuk selamanya," kata Leng-hong pula.
Cia Thian-pi merinding pula, ucapnya dengan gemetar: "Pantas tidak pernah ada orang hidup
keluar dari rumah maut ini, kiranya mereka telah mengubur dirinya sendiri di sini."
"Dan keadaan kita sekarang juga serupa mereka," sambung Leng-hong dengan dingin,
"terpaksa kita harus berduduk di sini untuk menunggu datangnya elmaut. Keadaan kita
sekarang sama juga mengubur dirinya sendiri."
Dia pandang jenazah Ki Go-ceng di sebelahnya, lalu menyambung pula dengan tenang: "Aku
masih ingat pada hari dia mengubur dirinya sendiri, pagi-pagi kami semuanya hadir di depan
rumah ini untuk mengantar keberangkatannya, dengan langkah berat dia masuk ke sini.
Mendadak ia menoleh dan berkata kepada kami dengan tertawa: "Meski lahirnya kalian
144
kelihatan berduka, tapi di dalam hati kalian tentu menertawakan diriku sebagai orang bodoh.
Padahal kalian tidak perlu pura-pura berduka, sebab selama hidupku justeru tidak pernah
segembira seperti sekarang ini..."
Sungguh Cia Thian-pi tidak ingin mendengarkan lagi, tapi mau tak mau ia harus
mendengarkan.
Ki Leng-hong telah menyambung pula: "Kami tidak ada yang berani menjawab, maka dengan
tertawa dia berkata pula: "Kelak kalian akan tahu bahwa seorang kalau sudah mati akan jauh
lebih gembira daripada waktu hidup. - Waktu itu mukanya sudah mulai kaku, meski
kedengaran dia tertawa, namun air mukanya tiada sesuatu tanda tertawa, tampaknya menjadi
sangat menakutkan. Tatkala mana Leng-yan baru berumur sepuluhan tahun, ia menangis
ketakutan."
Nyata Ki Leng-hong ini suka mencari kepuasan dengan memperlakukan sadis kepada orang
lain, semakin sedih orang lain, semakin gembira dia, sudah jelas orang lain tidak suka
mendengar ceritanya, dia justeru bercerita terus, bahkan bercerita secara hidup dan nyata.
Membayangkan ceritanya dan memandang pula mayat di depannya sekarang, tambah ngeri
hati Cia Thian-pi, mendadak iapun tertawa seperti orang gila, makin keras suara tertawanya
dan tidak dapat berhenti.
"He, Cia-cianpwe, kenapa kau?" seru Pwe-giok kuatir.
Tapi Cia Thian-pi masih terus tertawa, seperti tidak pernah mendengar teguran Pwe-giok itu.
Cepat Pwe-giok mendekatinya dan menggoyangi tubuhnya, dilihatnya tertawanya yang
terkial-kial itu benar-benar seperti orang gila.
Mendadak Pwe-giok menampar pipinya, dengan begitu tertawa Cia Thian-pi baru berhenti, ia
tercengang sejenak, tapi mendadak ia menangis tergerung-gerung.
"Orang ini mungkin saking ketakutan dan menjadi gila," ujar Leng-hong dengan tenang. "Gila
juga baik, paling sedikit dia tidak perlu merasakan siksaan menanti ajal ini."
Tiba-tiba Pwe-giok membalik tubuh dan menghadapi Ki Leng-hong, katanya tegas: "Meski
pernah kau tolong aku satu kali, tapi sekarang akupun sedang menunggu kematian, hal ini
sama seperti jiwaku sudah kubayar kembali padamu. Selanjutnya kita sudah tiada utangpiutang
lagi, sudah lunas. Dan kalau kau masih bertindak sesuatu yang menusuk perasaan
orang, jangan kau salahkan diriku jika terpaksa ku bertindak kasar padamu."
Ki Leng-hong memandangi Pwe-giok sejenak, akhirnya ia berpaling kesana dan tidak bicara
lagi.
Tanpa terasa Pwe-giok mengusap keringat di dahinya. Aneh, ia heran mengapa ia merasa
kegerahan?
Rupanya di dalam rumah batu itu semakin panas rasanya, agaknya Ki Leng-hong juga
merasakan hal ini, dia berseru: "He.... api! Si gila itu hendak memanggang kita di sini."
Benar juga, lubang kecil di atap itu tampak mulai berasap tipis.
145
"Rupanya dia kuatir kematian kita kurang cepat, maka ingin memanggang mati kita," kata
Leng-hong pula. "Padahal kalau kita jelas harus mati, bisa mati lebih cepat memang lebih
baik."
"Mengapa dia tidak mencari jalan yang lebih cepat?" ujar Pwe-giok dengan menyesal.
"Hm, masa kau belum paham?" jengek Leng-hong. "Bila menggunakan cara lain, tentu
mayat-mayat ini akan ikut rusak, selamanya dia menghormati orang mati, sudah tentu dia
tidak mau membikin susah orang mati. Pula, orang mati kan juga tidak takut di panggang
dengan api, betul tidak?"
Sementara itu tangis Cia Thian-pi sudah berhenti, dengan termangu-mangu ia memandang ke
depan. Di depannya itu ialah mayat Ki Go-ceng, ia sedang bergumam sendiri: "Aneh....
sungguh aneh...."
Sampai belasan kali ia bilang "aneh", tapi tidak di gubris Pwe-giok maupun Ki Leng-hong.
Saat itu Leng-hong lagi duduk diam seperti orang linglung, betapapun dia juga orang she Ki,
ia benar-benar seperti sedang menanti ajal, seolah-olah sedang merasakan nikmatnya
menunggu kematian.
Sebaliknya Pwe-giok tak dapat diam, betapapun ia masih menaruh setitik harapan akan
meloloskan diri dari tempat ini. Namun "rumah maut" ini benar-benar sebuah kuburan, di
dunia ini mana ada orang yang dapat keluar dari kuburan?
Sekonyong-konyong Cia Thian-pi menuding mayat Ki Go-ceng sambil tertawa terkekeh
kekeh: "Ha, coba kalian lihat, sungguh aneh, orang mati dapat berkeringat... Orang mati juga
dapat berkeringat!"
Suara tertawanya yang keras itu menimbulkan gema suara yang nyaring di rumah batu itu.
Diam-diam Pwe-giok menghela napas, ia menyesal bahwa ketua suatu perguruan ternama di
daerah selatan ini kini benar-benar telah berubah menjadi orang gila. Mustahil, orang mati
mana bisa berkeringat!
Dengan tak acuh ia melangkah ke sana dan tanpa terasa iapun memandang sekejap pada
mayat Ki Go-ceng itu.
Dilihatnya muka orang mati yang kelihatan dingin dan seram itu benar-benar merembes
keluar butiran keringat sebesar kedelai.
Jadi orang mati ini benar-benar berkeringat!
Selama setengah bulan ini entah sudah betapa banyak kejadian aneh dan misterius yang
dialami Pwe-giok, tapi tiada sesuatu yang lebih aneh dan menakutkan daripada kejadian ini.
Orang mati bisa berkeringat!
146
Dengan mata terbelalak ia pandang butiran keringat yang menetes dari muka orang mati ini.
Ia menjadi ketakutan sehingga kaki dan tangan terasa lemas, sungguh iapun hampir gila
saking takutnya.
Mau tak mau Ki Leng-hong juga memandang ke sana, mendadak ia berteriak dengan gemetar:
"He, dia benar-benar ber... berkeringat!"
Tapi jelas tidak masuk akal, orang mati mana bisa ketakutan? Orang mati mana bisa
berkeringat?.
Sungguh kejadian yang sukar dibayangkan dan siapa yang dapat memberi penjelasan
mengenai rahasia ini?
Makin panas hawa di dalam rumah batu ini dan butiran keringat di muka orang mati inipun
semakin banyak.
Mendadak Pwe-giok berjingkrak sambil berteriak: "Ah, patung lilin, orang mati inipun sebuah
patung lilin!"
"Dengan mata kepalaku sendiri kusaksikan dia masuk ke sini, mana bisa berubah menjadi
patung lilin? " ujar Leng-hong.
Pwe-giok terus melompat kesana, dipuntirnya kepala "Orang mati" itu, seketika kepala orang
mati itu copot. Benar, "orang mati" ini memang betul cuma sebuah patung lilin.
Di tempat yang remang-remang dan seram, di tengah mayat tulen sebanyak ini, di dalam
"Rumah maut" yang penuh dengan kisah yang menakutkan ini, dengan sendirinya tiada
seorangpun yang tahu bahwa diantara mayat-mayat ini ada sesosok mayat palsu.
Pwe-giok mengusap keringat yang membasahi tubuhnya, ia merasa lemas seperti kehabisan
tenaga.
Ki Leng-hong juga sangat kaget, ia meraung: "Ini bukan patung lilin, pasti bukan patung lilin,
aku menyaksikan sendiri dia masuk ke sini!"
Memang, jika ini betul patung lilin, lalu kemana perginya Ki Go-ceng?
"Setelah masuk kemari, bisa jadi dia telah keluar lagi." ujar Pwe-giok dengan tersenyum getir.
"Mungkin dia tidak sungguh-sungguh minum racun itu, bisa jadi dia cuma pura-pura mati."
kata Leng-hong. "Tapi setelah dia masuk ke sini pintu lantas digembok dari luar, hakekatnya
dia tidak dapat keluar lagi... Dan kalau dia tidak dapat keluar, tentu dia akan mati di sini,
mengapa sekarang bisa berubah menjadi patung lilin?"
Mendadak mata Pwe-giok bersinar, serunya: "Di rumah maut ini pasti ada lagi jalan keluar
yang lain. Ki Go-ceng pasti keluar melalui jalan rahasia itu. Jika dia dapat keluar, tentu juga
kita dapat keluar!"
Berpikir demikian, seketika terbangkit semangatnya, ia tidak perduli dinding sekeliling sudah
terbakar panas, segera ia mulai menyelidiki.
147
Orang yang berasal dari perguruan "Bu-kek-bun", dalam hal ilmu alam serta ilmu pasti sudah
tidak asing lagi, terutama mengenai segala macam peralatan rahasia. Tapi Pwe-giok sudah
meneliti setiap pelosok rumah batu ini dan tetap tidak menemukan jalan keluarnya.
Baju Pwe-giok dari basah telah menjadi kering, kini matanya juga sudah merah dan bibirnya
pecah karena hawa yang panas. Dengan napas terengah-engah ia bergumam: "Di manakah
jalan keluarnya?... Demi menipu orang dengan berpura-pura mati, sudah tentu Ki Go-ceng
telah menyiapkan jalan keluarnya. Jika aku menjadi dia, dimana lubang keluar itu akan ku
buat?"
"Setahuku di rumah maut ini tidak ada jalan keluar lagi." kata Leng-hong.
"Ada, pasti ada." ujar Pwe-giok "Kalau tidak, cara bagaimana Ki Go-ceng bisa keluar?"
Leng-hong termangu-mangu sejenak, katanya kemudian: "Apakah tidak mungkin ada orang
membuka pintu dari luar dan melepaskan di dari sini ?"
Pwe-giok seperti kena dicambuk orang satu kali, seketika ia melenggong dan tidak sanggup
bersuara lagi.
Memang betul, dengan sendirinya ada kemungkinan begitu. Orang semacam Ki Go-ceng ini,
meski tidak nanti dia menghadapi kejadian yang sukar dipecahkan ini, Pwe-giok merasa apa
yang dikatakan Ki Leng-hong itu terhitung yang paling masuk akal.
Apalagi setelah orang itu membukakan pintu mungkin sekali Ki Go-ceng lantas
membinasakan orang itu. Dengan demikian rahasia pribadinya akan tetap tertutup.
Berpikir sampai di sini, Pwe-giok benar-benar menjadi putus harapan.
Tapi tiba-tiba terdengar Cia Thian-pi berteriak pula: "He, lihat aneh sekali, orang mati ini
tidak kelihatan lagi, hilang sama sekali!"
Pwe-giok memandang lagi ke tempat mayat tadi, benar, dilihatnya patung lilin tadi sudah cair
seluruhnya, tapi cairan lilinnya ternyata tidak banyak, kemana perginya cairan lilin itu?
Terkilas sesuatu dalam benak Pwe-giok, ia coba mendekati kursi batu itu dan diperiksanya
dengan teliti, mendadak ia berseru dengan girang: "Aha, dugaan ku ternyata tidak meleset, di
rumah maut ini memang betul ada jalan keluar lagi, jalan keluar itu terletak di bawah patung
lilin ini, di bawah kursi batu ini."
Kiranya di bawah kursi batu itu ada sebuah lubang kecil dan cairan lilin itu justeru mengalir
keluar melalui lubang kecil ini. Tapi lubang ini sangat kecil, hanya cukup dimasuki dua jari,
cara bagaimana manusia dapat menerobos keluar?
"Hm, kukira lebih baik kau tunggu kematian dengan tenang saja." jengek Ki Leng-hong. "Jika
dibawah kursi ini terdapat jalan keluar, sesudah Ki Go-ceng pergi, cara bagaimana patung
lilin dapat berduduk di atas kursi ini, memangnya patung dapat berduduk dengan sendirinya?"
148
Gemeredep sinar mata Pwe-giok, katanya kemudian: "justeru Ki Go-ceng telah memperalat
titik ini untuk mengelabui orang, biar orang menemukan rahasia patung lilin juga tidak
menyangka jalan keluar itu terletak di bawah patung."
"Apapun juga, kalau tidak dipindahkan orang, tidak mungkin patung ini dapat berduduk di di
atas kursi, untuk ini tidak nanti kau dapat memberi penjelasan" Kata Leng-hong.
"Tapi lubang kecil ini dapat memberi penjelasan." ujar Pwe-giok.
"Lubang kecil ini?" Leng-hong menegas. "Ya," jawab Pwe-giok. "Pada waktu Ki Go-ceng
membuat patung ini, dia benamkan seutas tali di bagian pantat patung ini, lalu tali itu
menyusup ke dalam lubang ini. Waktu dia masuk ke lorong di bawah dan tutup lubang
dirapatkan kembali, tali ini lantas ditariknya sehingga patung lilin ini diseretnya berduduk di
atas kursi."
"Ya, betul juga, cara ini memang sangat pintar dan bagus." seru Leng-hong
"Cara berpikir Ki Go-ceng yang rapi dan bagus sungguh sukar dibandingkan siapapun," ujar
Pwe-giok. "Cuma sayang, betapapun rapi perhitungannya tetap tak pernah terpikir olehnya
bahwa rumah ini bakal dipanggang dengan api dan patung lilin ini akhirnya akan cair, sudah
tentu mimpipun tak terpikirkan olehnya bahwa lubang kecil yang tidak ada artinya ini
akhirnya dapat membocorkan seluruh rahasianya."
Ki Lneg-hong berdiam sejenak, kemudian ia menghela napas panjang dan berkata: "Ai, kau
memang jauh lebih pintar daripada apa yang pernah kusangka, sungguh cerdik!"
*****
Papan batu di bawah patung lilin itu memang dapat digeser, di bawahnya memang betul ada
sebuah lorong yang gelap.
Pwe-giok menarik napas lega, katanya: "Akhirnya diketahui ada orang hidup yang keluar dari
rumah maut ini, bahkan tidak cuma satu orang saja?"
Kini Ki Leng-hong tidak dapat omong lagi, ia hanya ikut masuk ke lorong di bawah tanah itu.
Dengan memayang Cia Thian-pi, Pwe-giok terus merayap ke depan. Lorong ini panjang lagi
berkelok-kelok, dengan sendirinya gelap gulita pula, jari sendiri saja tidak kelihatan.
Akhirnya mereka dapat lolos keluar. Tapi siapa yang berani menjamin bahwa jalan tembus ini
adalah tempat yang aman?
Bisa jadi lorong ini menembus juga ke kamar tidur Ki-hujin sana.
Baru saja Pwe-giok berpikir demikian, tiba-tiba tampak cahaya lampu di depan sangat jelas di
tempat gelap begini.
Di tempat yang ada cahaya lampu pasti juga ada manusianya.
149
Pwe-giok melepaskan pegangannya pada Cia Thian-pi dan cepat melompat ke sana, Siapapun
yang dipergoki, setiap saat dia siap merobohkannya dengan sekali hantam.
Tapi mendadak Pwe-giok melihat lampu itu adalah lampu yang dibawanya masuk itu.
Waktu dia ditarik masuk ke kamar Ki-hujin lampu ini masih tertinggal di sini dan juga belum
dipadamkan, jadi lorong ini memang betul jalan yang menembus ke kamar tidur Ki-hujin.
Kiranya baik kamar tidur Ki-hujin maupun rumah berdinding kertas dengan kasuran bundar
serta rumah mati yang misterius itu satu dan lain ditembusi oleh jalan di bawah tanah ini.
Sudah banyak pengalaman pahit Pwe-giok dan hidup menuju kematian telah dijalaninya,
setelah berputar-putar akhirnya dia tiba kembali di tempat semula. Sungguh ia tidak tahu
mesti tertawa atau menangis?!
Ki Leng-hong telah datang pula, iapun melenggong.
Pwe-giok bergumam: "Menurut pikiranku, jalan di bawah tanah ini selain menembus ke
kamar Hujin serta rumah berdinding kertas itu, pasti ada pula jalan keluar ke empat."
"Berdasarkan apa kau bilang demikian?" tanya Leng-hong.
"Sebab Ki Go-ceng dan orang she Ji itu tidak nanti keluar melalui kamar tidur Ki-hujin," tutur
Pwe giok. "Mereka lebih-lebih tidak mungkin keluar melalui rumah berdinding kertas itu.
Makanya kuyakin di sini pasti ada jalan keluar ke empat."
"Ha, jika begitu, kau kira terletak di mana jalan keluar ke empat itu?" kata Leng-hong dengan
girang.
Pwe-giok mengangkat lampu minyak itu dan menyusur ke depan dengan pelahan. Jalan ini
kembali menuju ke bawah rumah berdinding kertas itu. Tidak jauh, tiba-tiba ia berpaling dan
bertanya kepada Ki Leng-hong: "Apakah kau tahu kapan orang she Ji itu datang ke Sat jinceng
sini?"
"Tentu saja kuingat dengan jelas," jawab Leng-hong. "Hari itu adalah hari ketiga setelah Ki
Go-ceng mulai minum racun, yaitu hari ketiga lewat tahun baru. Jadi tepat pada hari tahun
baru dia mulai minum racun, tujuannya membikin kegembiraan akan bertambah dengan
sedikit rasa duka."
"Jadi Ce-it (tanggal satu) dia mulai minum racun, lalu hari apa dia masuk ke rumah mati itu?"
tanya Pwe giok.
"Itulah hari Cap-go-meh," jawab Leng-hong. "Dimulai Ce-it hingga Cap-go-meh, segenap
penghuni Sat-jin ceng sama sibuk membereskan urusan kematiannya sehingga orangpun tidak
memperhatikan orang she Ji itu."
Sementara itu mereka sudah sampai di ruangan kecil di bawah rumah kertas itu, kantung
bersulam indah yang berisi sepotong kemala berukir itu masih terletak di tempat tidur, patung
lilin Ki Go-ceng juga masih di situ dan seakan-akan sedang memandang mereka.
150
Mendadak Cia Thian pi tertawa terkekeh-kekeh pula, serunya: "Pantas orang mati itu
menghilang, kiranya dia mengeluyur ke sini..."
Pwe-giok ambil batu Giok itu dan termangu-mangu, katanya kemudian: "Kukira orang she Ji
itu tidak mengeluyur pergi, Ki-hujin telah salah sangka padanya."
"Apa alasanmu kau bilang demikian?" tanya Leng hong heran.
"Waktu kulihat batu Giok ini, aku menjadi heran," tutur Pwe giok. "Seumpama orang she Ji
itu tidak sayang pada kantung bersulam ini, tidak seharusnya dia meninggalkan batu pualam
ini di sini."
"Ya, tampaknya benda ini adalah benda pusaka keluarganya, bisa jadi dia pergi dengan
tergesa-gesa, makanya tertinggal di sini," kata Leng-hong.
"Tidak, tatkala itu tiada orang tahu rahasia lorong di bawah tanah ini, jika dia menemukan
jalan tembus ke empat, tentu dia mengeluyur pergi dengan bebas, kenapa dia harus tergesagesa,
kecuali...."
"Kecuali apa?" tanya Leng-hong.
"Kecuali kepergiannya itu bukan kehendak sendiri melainkan dipaksa orang," jawab Pwegiok.
Ki Leng-hong melenggong, katanya kemudian; "Jadi maksud... maksudmu dia telah dipergoki
Ki Go-ceng?"
"Kupikir pasti begitu," kata Pwe-giok. "Waktu Ki Go-ceng menyusup masuk ke lorong ini
dan mengetahui di tempat yang dirahasiakan ini ternyata ada orang luar, tentu saja dia tidak
tinggal diam, mana dia dapat membiarkan ada orang kedua yang mengetahui rahasia
kematiannya yang pura-pura."
"Jika demikian, jadi orang the Ji itu bukan cuma dipaksa pergi olehnya, bahkan ada
kemungkinan telah dibunuhnya untuk menghilangkan saksi?!"
"Ya, kurasa Ki Go ceng pasti telah membunuhnya," ucap Pwe-giok.
Sampai lama Ki Leng hong terdiam, katanya kemudian: "Jika dia (maksudnya Ki-hujin)
mengetahui si dia sudah mati, bisa jadi dia takkan begitu berduka dan sedih...."
"Masa dia takkan bertambah sedih jika dia mengetahui kekasihnya sudah mati?" tanya Pwegiok
dengan heran.
Ki Leng-hong tersenyum pedih, jawabnya: "Tahukah kau apakah yang menjadi penderitaan
terbesar bagi seorang perempuan?"
Dia tidak menunggu jawaban Pwe-giok, tapi lantas dijawabnya sendiri: "Yaitu ditinggal oleh
orang yang dicintainya. Penderitaan ini bukan saja sangat hebat, bahkan tak terlupakan selama
hidup. Bahwa kekasihnya itu sudah-mati, walaupun dia akan sedih juga tapi hampir tiada
artinya jika dibandingkan penderitaan seperti kalau ditinggal pergi. Sebab itulah ada
151
sementara orang perempuan yang tidak sayang membunuh kekasih sendiri, yaitu karena kuatir
sang kekasih akan menyukai perempuan lain. Jadi dia lebih suka kekasihnya mati daripada
jatuh dalam pelukan wanita lain."
"Jika demikian, bila dia mengetahui kekasihnya sudah mati, ia berbalik akan rnerasa senang?"
"Ya, akan jauh lebih senang," kata Long-hong.
"Ai, jalan pikiran orang perempuan sungguh sukar untuk dipahami kaum lelaki," ujar Pwegiok
sambil menggeleng.
"Lelaki memang tidak seharusnya memahami jalan pikiran perempuan dan perempuan juga
bukan dilahirkan untuk dipahami orang, tapi supaya dihormati dan dicintai," jengek Lenghong.
Pwe-giok tidak menanggapi lagi, dengan memegang lampu minyak itu, dia mulai menyelidiki
sekitar tempat itu. Ia yakin jalan keluar ke empat pasti berada di dekat tempat tidur itu.
Namun dia tidak menemukannya, sementara itu minyak sudah habis, akhirnya lampu itu
padam.
Pwe-giok menghela napas, gumamnya: "Tampaknya sekalipun di lorong bawah tanah ini
memang ada jalan tembus ke empat, tapi dalam keadaan gelap gulita begini jangan harap akan
dapat menemukannya."
"Padahal, tidak perlu kau cari jalan tembus ke empat itupun kita tetap dapat keluar dari sini,"
kata Leng-hong tiba-tiba.
"He, kau punya akal?" tanya Pwe-giok cepat.
"Kukira asalkan kau sanggup membuktikan orang she Ji itu sudah mati, tentu Hujin takkan
benci lagi padamu, bisa jadi dia akan segera melepaskan kau," kata Leng-hong.
Belum lagi Pwe-giok menjawab, mendadak dalam kegelapan ada seorang menanggapi;
"Tidak, cara ini tidak tepat."
"Mengapa tidak tepat?" tanya Leng-hong.
"Jika Ji Pwe-giok sudah mati, cara bagaimana dapat keluar lagi dengan hidup?" ujar orang itu.
Baru sekarang Ki Leng-hong mengenali suara itu bukan suara Ji Pwe-giok juga bukan suara
Cia Thian-pi, seketika ia berkeringat dingin dan berteriak tertahan: "Sia... siapa kau?"
"Hehehhehe, masa suaraku saja tidak kau kenal lagi?" ucap orang itu dengan tertawa.
"Cras", dalam kegelapan lantas menyala sinar api, tertampaklah seraut wajah tua dan kurus
penuh bekas penderitaan hidup.
"Ko-lothau!" seru Pwe-giok dan Leng-hong berbareng. "Mengapa kau dapat masuk ke sini?!"
152
Wajah si Ko tua yang kurus pucat itu tampaknya juga misterius di bawah cahaya lampu yang
gemerdep di lorong bawah tanah ini. Dia pandang Ki Leng-hong dan tersenyum penuh
rahasia, katanya: "Ya, si Ko tua yang biasa bekerja sebagai tukang kayu mana bisa datang ke
sini? Tapi selain Ko tua yang kau ketahui, adalah hal lain yang kau ketahui mengenai diriku?"
Tiba-tiba Ki Leng-hong merasakan sorot mata si kakek memancarkan semacam sinar tajam
yang belum pernah dilihatnya, tanpa kuasa ia menyurut mundur dan berkata dengan suara
gemetar; "Sesungguhnya sia... siapa kau?"
Pelahan-lahan Ko-lothau melangkah lewat di depan Leng hong, ia taruh lampu yang
dipegangnya di atas almari kecil di ujung tempat tidur sana, habis itu mendadak ia membalik
tubuh dan memandang si nona dengan sorot mata gemerdep: "Aku inilah orang yang
membikin Ki Go-ceng tidak dapat tidur dengan lelap dan tidak dapat makan dengan enak, aku
inilah yang membuat Ki Go-ceng merasa tak dapat hidup lebih lama lagi..."
"Oh, sebabnya Ki Go-ceng terpaksa berlagak merenungkan dosanya di rumah kertas dan
terpaksa pura-pura mati, semua itu lantaran dia takut padamu?" seru Pwe giok.
"Hehehe, kau pun tidak menyangka bukan?" kata Ko-lothau dengan tertawa. "Ya, siapapun
pasti tidak menduga bahwa orang yang paling ditakuti Ki Go ceng selama ini ternyata adalah
seorang tua bangka macamku ini."
"Apakah. ..... apakah dia sudah tahu siapa dirimu?" tanya Leng-hong terkejut.
"Sudah tentu dia tahu siapa diriku?" jengek Ko-lothau, "tapi dia justeru tidak berani
membongkar hal ini, terpaksa dia berlagak bodoh dan pura-pura tidak tahu, sebab iapun tahu
sudah lama kuketahui rahasianya."
"Rahasia apa?" tanya Leng-hong.
"Lebih 20 tahun yang lalu di dunia Kangouw mendadak terjadi banyak peristiwa yang
menggoncangkan, ada pencurian benda pusaka secara besar-besaran, banyak tokoh ternama
terbunuh secara gaib, si pencuri dan pembunuh itu sangat tinggi Kungfunya, apa yang
diperbuatnya itu pun sangat bersih tanpa meninggalkan bekas sedikitpun. Meski dunia
persilatan waktu itu telah mengerahkan berpuluh tokoh pilihan untuk menyelidikinya, namun
tak dapat menemukan jejaknya. Maklum, siapapun tidak menyangka orang yang melakukan
hal-hal itu adalah Ki Go-ceng yang lagi merenungkan dosanya di rumah kertas dan diketahui
tidak pernah keluar rumah sepanjang tahun."
"Memangnya sudah kuduga apa yang dilakukannya itu pasti mempunyai intrik tertentu," kata
Pwe-giok, ia sangat tertarik oleh cerita si Ko tua.
"Tapi kalau kau bilang dia adalah pembunuh dan pencuri, jelas aku tak percaya," kata Lenghong.
"Ya, bukan saja kau tidak percaya, jika kuceritakan pada waktu itu, di seluruh dunia ini
mungkin juga tiada seberapa orang yang mau percaya," ujar Ko-lothau dengan gegetun. "Nah,
demi membongkar rahasia inilah terpaksa aku menyelundup ke Sat-jin-ceng sini."
153
"Kau bilang waktu itu dia sudah tahu siapa dirimu?" tukas Leng-hong. "Jika begitu mengapa
dia dapat membiarkan kau tinggal di Sat jin-ceng dan mengapa tidak dia bunuh dirimu."
"Jika dia tidak membiarkan ku tinggal di sini, bukankah makin menandakan dia bersalah
sehingga takut diketahui orang?" ujar Ko-lothau.
"Dan kalau dia bunuh diriku, bukankah akan lebih membuktikan dosanya? Segala sesuatu
selalu dipikirkannya dengan rapi, selamanya dia tidak suka menyerempet bahaya dan main
untung-untungan, dengan sendirinya iapun tidak mau mengambil resiko dalam persoalan
diriku ini. Makanya meski dia tahu kedatanganku ini sengaja hendak mengawasi gerakgeriknya,
terpaksa dia tetap pura-pura tidak tahu." Ia tertawa, lalu menyambung pula; "Jika
tidak demikian, mana bisa Sat jin ceng mau menerima seorang tua bangka yang tidak
diketahui asal-usulnya."
"Jadi menurut perhitunganmu, meski dia tahu kedatanganmu ini hendak mengawasi dia, tapi
dia berbalik terpaksa harus menerima kau di sini, walaupun langkah ini sangat bagus, tapi
setelah dia tahu siapa dirimu, bukankah setiap saat dia dapat berjaga-jaga segala
kemungkinan, mana bisa dia memperlihatkan rahasianya di depanmu?" tanya Pwe-giok.
"Sekali pandang saja dia dapat mengetahui asal usul orang lain, orang pintar seperti dia, masa
semudah itu orang hendak membongkar rahasianya? Maka setiba ku di sini, segera ku sadari
semua peristiwa yang tiada buktinya takkan terpecahkan untuk selamanya," jawab Ko-lothau
sambil menghela napas.
"Jika demikian, untuk apalagi kau tinggal di sini selama ini?" kata Leng-hong.
"Aku tinggal di sini, memang tak dapat ku bongkar rahasianya, tapi sedikitnya dapat ku awasi
gerik-geriknya agar dia tidak berani lagi keluar dan berbuat jahat…" tutur Ko lothau. "Dan
memang, sejak aku tinggal di sini, segala perbuatan yang menggemparkan dunia Kangouw itu
lantas lenyap dan tak pernah terjadi lagi."
"Demi untuk mencegah terjadinya kejahatan, Cianpwe telah mengorbankan nama dan
kedudukan sendiri, rela menjadi budak orang, sungguh keluhuran budi dan kebesaran jiwa
Cianpwe ini sukar dicari bandingannya," puji Pwe-giok dengan gegetun.
Tanpa terasa timbul rasa muram pada wajah Ko-lothau, selama hampir 20 tahun ini tentu
dilewatkannya dengan susah-payah. Akan tetapi rasa muram itu hanya sekilas saja menghiasi
wajahnya dan segera lenyap, ia lantas bergelak tertawa dan berkata; "Meski aku telah
mengorbankan kenikmatan hidupku sendiri dan melewatkan hari-hari sengsara selama ini,
tapi akupun berhasil memaksa Ki Go ceng dari pura-pura menjadi sungguhan, mau-tak-mau
dia menderita juga di rumah kertas itu. Jadi pengorbananku ini terasalah cukup berharga."
"O, lantaran dia tidak mampu membunuh dirimu dan juga tidak dapat kabur, akhirnya
terpaksa ia pura-pura mati!" kata Pwe-giok.
"Ya, ambisinya memang besar, dengan sendirinya ia tidak rela mengakhiri hidupnya secara
begitu," tutur Ko-lothau. "Mungkin setelah dipikirnya, akhirnya didapatkan akal pura-pura
mati itu. Meski ku tahu dia pasti tidak rela mengeram di rumah kertas itu, tapi tak terduga
olehku bahwa dia akan mengelabui diriku dengan akal bulusnya itu."
154
"Setelah kena diakali, mengapa kau tidak pergi?" tanya Leng hong.
"Meski waktu itu dia dapat mengelabui diriku, tapi kemudian kupikir dalam urusan ini pasti
ada sesuatu yang tidak beres, sebab ku tahu Ki Go-ceng bukanlah manusia yang mudah
menyerah dan rela mati begitu saja, apalagi . ..." tersembul senyuman pahit pada ujung mulut
si Ko tua, lalu sambungnya dengan pelahan: "Sejak kecil aku sudah terbiasa terluntanglantung
kian kemari, belum pernah aku berdiam di suatu tempat lebih dari setengah tahun.
Tapi di sini, tanpa terasa aku telah tinggal sekian tahun, kehidupan yang sederhana ini terasa
sudah biasa bagiku, bahkan rasanya sangat enak. Aku sendiri tidak berkeluarga, tidak punya
anak isteri, kusaksikan kalian meningkat dewasa, diam-diam akupun bergembira, makanya..."
"Hm, tidak perlu kau gembira bagi kami," jengek Ki Leng-hong. "Kau pergi atau tidak, sama
sekali tiada sangkut-pautnya dengan diriku, kau pun tidak perlu menggunakan diriku sebagai
alasan. Sekarang maksud tujuanmu tinggal di sini sudah tercapai, maka selanjutnya aku tidak
kenal lagi padamu."
Ko-lothau terdiam sejenak, ucapnya kemudian dengan menghela napas panjang: "Ya, betul,
setelah maksud tujuanku tinggal di sini sudah tercapai, akhirnya sudah kubuktikan Ki Goceng
belum lagi mati, selanjutnya aku perlu mengembara lagi ke mana-mana, akan kucari
pula jejaknya. Selama belum kutemukan dia, sebelum kusaksikan dia mati di depan mataku,
selama itu pula aku tidak rela."
"Hm, setelah dia pergi, mungkin selamanya jangan harap dapat kau temukan dia," jengek
Leng-hong pula.
"Betul juga, jika seterusnya dia mengasingkan diri dan hidup di tempat jauh, tentu tak dapat
kutemukan dia lagi. Tapi bila dia melakukan sesuatu kejahatan, segera pula aku dapat
menemukan jejaknya. Sedangkan orang macam dia itu jelas tidak rela hidup kesepian."
Kembali sorot matanya memancarkan sinar yang tajam, jago tua yang sudah lama
mengasingkan diri ini kini mendadak telah berubah menjadi kereng dan bersemangat lagi.
Akhirnya Ki Leng-hong tidak tahan, ia bertanya: "Sesungguhnya siapa kau?"
Ko-lothau tersenyum, jawabnya: "Jika selanjutnya kau tak mau kenal lagi padaku, untuk apa
pula kau tanya siapa diriku?"
Ki Leng hong melengos ke sana dan tidak memandangnya lagi.
Padahal tanpa bertanya ia pun tahu orang yang dapat membuat Ki Go-ceng takut mustahil
tiada mempunyai kisah hidup yang gemilang dan asal-usul yang luar biasa.
*****
Anda sedang membaca artikel tentang Renjana Pendekar 1 dan anda bisa menemukan artikel Renjana Pendekar 1 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/renjana-pendekar-1.html?m=0,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Renjana Pendekar 1 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Renjana Pendekar 1 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Renjana Pendekar 1 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/renjana-pendekar-1.html?m=0. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar