Panji Wulung 3

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Senin, 05 September 2011

It-tim sambil tertawa menyeringai dan menggoyanggoyangkan
kepalanya berkata,
”Sabar dulu! Sabar dulu! Pinto sekarang sudah menjadi
ketua dari salah satu partai besar, bagaimana boleh turun
tangan sembarangan? Kau lawan dulu dengan delapan
muridku ini, jika kau sudah mengalahkan mereka, pinto
sudah tentu akan mengiringi kehendakmu ....”
Mengingat perbuatan keji terhadap ayah bundanya,
meskipun Touw Liong waktu itu sudah hampir tak dapat
mengendalikan hawa amarahnya, namun ia masih tetap
menghargai dirinya sebagai seorang ksatria, maka ia
terpaksa mengendalikan perasaannya, katanya,
”Hutang gurunya, muridnya harus membayar, ini adalah
suatu hal yang wajar, hari ini kalau kau mati, hutang darah
ini sudah tentu akan memperhitungkan kepada anak
muridmu. Kalau kau belum mati, aku mencari mereka
untuk menagih hutang, ini rasanya kurang tepat. Kita
jangan banyak bicara, ayolah mulai!”
It-tim terpaksa bungkam.
Touw Liong menggerakkan pedangnya, pedang itu
memancarkan sinarnya berkilauan serta menghembuskan
angin hebat, dengan suatu bentakan keras secepat kilat
pedang itu sudah menyerang kepada It-tim.
Selagi It-tim masih berada dalam jarak tiga tombak,
begitu melihat Touw Liong bertindak dengan geram, dalam
hati merasa terkejut, cepat-cepat ia menggeser kakinya,
menyingkir jarak tiga tombak, sedangkan pedang di
tangannya diacungkan untuk memberi tanda, delapan
muridnya lalu maju berbareng, dengan pedang terhunus
murid It-tim itu telah merintangi Touw Liong.
Touw Liong yang sudah benar-benar marah, gerakan
pedangnya dirubah, empat jurus dari gerak tipu Kim-kongkiam
dilancarkan dengan beruntun, dalam waktu sekejap
mata terdengar suara bentrokan senjata tajam, delapan
pedang dari delapan imam itu telah terbabat kutung
sehingga menjadi berkeping-keping semuanya!
Ini masih untung ia masih tidak bertindak keterlaluan,
dan tidak kandung maksud untuk melukai orangnya. Maka
gerak tipunya itu dikerahkan seluruhnya.
Delapan imam itu semua terpaksa lompat mundur,
sedangkan Touw Liong waktu itu dengan gagahnya
melompat maju menghadapi It-tim, katanya,
”Mari! Mari! Di tempat ini meskipun hanya satu
tombak luasnya, tetapi sudah cukup bagi kita untuk
bertempur!”
It-tim menganggukkan kepala dan berkata:
”Kalau dalam hal ilmu pedang, kita berdua barangkali
siapapun tak dapat mengalahkan. Tetapi dalam soal
kekuatan tenaga dalam, rasanya juga berimbang, tentang
pedangnya, pedang di tanganku ini adalah pedang kuno,
dan sebagai pusaka partai Bu-tong. Dengan pedangmu juga
tidak berbeda jauh. Di atas batu penanggal pedang ini, kita
tak bisa bergerak leluasa, jangan kau anggap bahwa aku
takut padamu. Kalau kau berani, marilah kita turun dan
bertanding di bawah saja!”
Touw Liong tidak berkata apa-apa, kakinya bergerak dan
melayang turun lebih dahulu.
Dua orang itu merupakan musuh besar. Sudah tentu
Touw Liong tidak berlaku sungkan lagi. Dengan
kepandaiannya yang ada, menggerakkan pedangnya dalam
waktu sebentar saja It-tim sudah terkurung di bawah sinar
pedang Touw Liong.
It-tim juga tidak tinggal diam, ia mengeluarkan ilmu
pedangnya Thay-it-ceng-kiam, setiap serangan Touw Liong
sedapat mungkin dielakkan sebaik-baiknya. Pertempuran
itu berlangsung dengan hebatnya, orang hanya mendengar
mengaungnya suara pedang, namun tidak kelihatan
bayangan orangnya sehingga dua puluh satu imam yang
menyaksikan pertempuran itu, semua pada berdiri kesima.
Dua macam ilmu pedang yang digunakan mereka itu,
benar-benar merupakan ilmu pedang yang jarang ada di
dalam dunia, apalagi digunakan oleh dua ahli pedang
kenamaan seperti mereka, sudah tentu jauh lebih hebat.
Kim Yan sendiri yang menyaksikan dari samping, diamdiam
juga menghela nafas dan berkata kepada diri sendiri,
”Beberapa bulan tidak melihat, kepandaian It-tim ternyata
sudah mendapat banyak kemajuan. Apakah Panji Wulung
Wanita yang mempelajari ilmu silat di gunungTiam-congsan
itu sudah memberikan padanya ilmu apa-apa?”
Begitu teringat kepada Panji Wulung wanita, wajah Kim
Yan lantas menunjukkan perubahan sikap aneh, diam-diam
berkata kepada diri sendiri, ”Ah .... celaka!”
Dengan tiba-tiba ia ingat sesuatu. Panji Wulung wanita
itu telah tersesat jalan dalam mempelajari ilmunya, dalam
dunia ini hanya pil Kiu-hwan-tan dari partai Bu-tong yang
dapat menyembuhkan lukanya, It-tim yang terpukul jatuh
dan kecebur dalam sungai oleh Kim Yan, tetapi ia berhasil
menolong dirinya dengan kayu yang mengambang, setelah
melarikan diri, ada kemungkinan besar ia pergi ke gunung
Tiam-cong-san, dan di situ juga ia telah bertemu dengan
Panji Wulung. It-tim sebagai ketua partai Bu-tong,
badannya pasti membawa pil pusaka itu. Dan mungkin
juga It-tim memberikan kepada Panji Wulung. Kekuatan
tenaga dalam It-tim bertambah dan juga mendapat
kemajuan pesat, sudah tentu sebagai hadiah dari Panji
Wulung yang sudah diberi obat pil Kiu-hwan-tan. Jika
mengingat apabila ilmu Hek-hong Im-kang yang dipelajari
oleh Panji Wulung itu berhasil, di kemudian hari, bagi Kim
Yan merupakan suatu ancaman besar, sudah tentu ketika ia
ingat akan itu, jadi ketakutan sendiri.
Kim Yan kini alihkan perhatiannya ke medan
pertempuran, di wajahnya segera menunjukkan perasaan
gembira karena saat itu Touw Liong dengan pedang Khunngo-
kiamnya di tangan menunjuk It-tim yang berdiri sejarak
tiga tombak dengannya, dengan keadaan marah, waktu itu
Touw Liong sedang membentak It-tim dengan katakatanya:
”Hari ini kau sudah terluka, ini masih belum berarti apaapa.
Menurut kebiasaanku, selamanya tidak akan turun
tangan terhadap orang yang sudah terluka. Bagaimanapun
juga hari ini kau tak akan terlepas dari tanganku, lebih baik
kau mengambil keputusan sendiri!”
Maksudnya ialah mengawasi It-tim, tergeraklah hatinya
karena lengan baju It-tim telah berlubang sepanjang
setengah kaki, dari situ tampak darah merah mengalir
keluar membasahi tanah.
Dengan tiba-tiba ia ingat bahwa It-tim adalah seorang
licik dan banyak akalnya, dengan cara bagaimana ia mau
turun tangan sendiri melawan Touw Liong, apakah benarbenar
bersedia memberikan kepalanya kepada Touw Liong?
Karena menampak It-tim matanya berputaran tak hentihentinya,
maka ia buru-buru menghampiri Suhengnya, dan
memberi isyarat mata kepadanya.
Touw Liong tahu bahwa perbuatan itu pasti
mengandung maksud apa-apa, tetapi ia masih
menggelengkan kepala sambil tersenyum getir, sebagai
tanda ia meskipun menghadapi musuh besarnya juga harus
berlaku ksatria, tidak boleh bertindak terhadap musuh yang
sudah terluka.
Sementara dalam hati Touw Liong masih menantikan
reaksi It-tim selanjutnya, dengan tiba-tiba It-tim
menggerakkan pedangnya, dan tiga belas imam yang tadi
berdiri sebagai penonton, secepat kilat sudah mengurung
Touw Liong dan Kim Yan.
Di samping itu, delapan imam yang kutung kaki dan
tangannya, dengan cepat sudah bergerak menuju ke kuil.
Sedang It-tim sendiri juga lantas lompat mundur dari
kalangan, dan berkata kepada Touw Liong sambil
mengacungkan pedangnya:
”Toyamu meskipun sudah mendapat luka di tanganmu,
aku tidak bisa berkata apa-apa, hanya menyesalkan
kepandaianku sendiri yang masih kurang sempurna. Tetapi
setengah tahun kemudian, jikalau kau bisa menjatuhkan
aku, aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Aku akan
menyerahkan batok kepalaku, tak usah kau turun tangan
lagi.”
Touw Liong memandang Kim Yan, tapi Kim Yan
menggeleng-gelengkan kepala. Pada saat itu, dari kuil
tampak berkelebatan beberapa bilah sinar pedang delapan
murid masing-masing membawa pedang baru lari ke arah
mereka. Setelah itu Touw Liong berada dalam kesulitan.
Karena dia sebagai seorang jago dan ketua dari salah satu
partai besar, walaupun menghadapi musuh terbesarnya,
tetapi menurut peraturan dunia Kang-ouw, apabila
lawannya sudah minta perjanjian waktu lagi, dia juga tidak
boleh menolak tanpa sebab.
Dalam hati merasa sulit, alisnya dikerutkan, akhirnya ia
menjawab juga:
”permusuhan antara kau dan aku, merupakan suatu
permusuhan yang terbesar, dan menurut aturan, aku boleh
tak perlu mentaati tata tertib dunia Kang-ouw, apalagi kau
merupakan seorang yang berkhianat kepada partaimu Butong
sendiri, perbuatanmu itu sudah menodai nama baik
partai Bu-tong-pay, sedangkan partaiku dengan Bu-tong
mempunyai hubungan sangat baik, sekarang ini Bu-tongpay
sudah tak ada seorang sesepuh yang bisa membereskan
urusan dalam partai, maka tugas itu wajib aku pikul. Aku
sebetulnya boleh berbuat sesukaku, mengingat kau hanya
minta kelonggaran setengah tahun, maka aku juga tak akan
berbuat keterlaluan, asalkan menerima baik permintaanku
satu hal saja, aku bersedia memberi kelonggaran padamu.”
It-tim tertawa terbahak-bahak, di samping itu ia memberi
isyarat kepada delapan anak muridnya. Anak muridnya itu
segera maju sambil menghunus pedangnya untuk turut
mengepung Touw Liong. Hingga keadaan pada saat itu,
dua puluh satu imam yang turut mengambil bagian
mengepung Touw Liong dan Kim Yan.
Touw Liong masih tetap berdiri tegak, matanya
menyapu para imam yang mengurung dirinya, katanya
dengan nada suara dingin:
”Apa kau kira dengan kepandaian yang tidak berarti ini,
juga mampun mengurung diriku?”
Sebaliknya dengan Kim Yan, di mukanya menunjukkan
rasa agak kesal.
It-tim bertanya dengan nada suara dingin:
”Kau masih ada persoalan apa?”
”Kau sebutkan nama-nama sembilan bawahan bangsat
yang dahulu turut ambil bagian dalam peristiwa di kota
Gak-yang, maka aku akan menerima baik permintaanmu,”
berkata Touw Liong.
”Dendam permusuhan ayah-bundamu sudah lama
dibereskan, antara kita sudah tidak ada permusuhan yang
dapat kukatakan,” menjawab It-tim yang maksudnya ialah
sepuluh kepala manusia yang diletakkan di permukaan
danau Thian-tie.
”Selama biang keladinya belum disingkirkan,
permusuhan itu masih tetap ada.”
”Anak muridku yang sekarang ada disini apakah belum
cukup untuk membayar hutang itu?”
Touw Liong menggelengkan kepala.
”Baiklah! Toyamu hari ini akan mengiringi kehendakmu
yang hendak melaksanakan tugas sebagai anak, gunung Butong-
san ini adalah tempat untuk mengubur dirimu,”
berkata It-tim, lalu mengacungkan pedang di tangannya.
Kim Yan melirik kepada Suhengnya, sambil menghela
nafas.
”It-tim, apa kau kira dengan mengandalkan anak
buahmu yang tidak berguna ini kau dapat mengurung
diriku?” berkata Touw Liong sambil menggertek gigi.
Dengan penuh keyakinan It-tim menjawab sambil
tertawa:
”Bukan hanya mengepung saja, mereka bahkan akan
mengubur bangkaimu.”
”Kau tahu bahwa ilmu pedangku Tay-lo-sin-kiam luar
biasa hebatnya, jikalau kukeluarkan darah dan daging akan
berterbangan di udara. Ini berarti akan mengantarkan
nyawa secara cuma-cuma.”
It-tim tertawa dingin, sambil menunjuk kawanan imam
yang mengurung Touw Liong ia berkata:
”Dua puluh satu bilah pedang ini, setiap bilah
menggunakan gerakan dari gerak ilmu pedang Thay-it-sinkiam,
bahkan setiap jurus yang digunakan menggunakan
jurus-jurus yang terampuh, ditambah dengan aku sendiri,
he, he, .... Kalian dua orang hari ini pasti akan binasa di
tempat ini!”
Ia berhenti sejenak, kemudian memberi tambahan
keterangan:
”Apalagi, mereka sudah lama kulatih dengan tekun,
dengan adanya aku sendiri yang memimpin serangan ini,
kulihat sekalipun kau mempunyai sayap, juga tidak bisa
terbang turun dari gunung Bu-tong!”
Wajah Touw Liong nampak merah padam dan Kim Yan
kembali memperdengarkan suara helaan nafas. Pedangnya
bergerak, menyerang para imam yang mengurung dirinya.
Bab 37
Dua puluh satu imam itu mungkin karena It-tim sendiri
yang memimpin, semangatnya dengan sendirinya berkobarkobar.
Maka begitu Kim Yan bergerak, dua puluh satu
pedang juga lantas bergerak, menjadi tiga lapis gelombang
sinar pedang, dan mengeluarkan serangan bertubi-tubi
kepada Touw Liong dan Kim Yan.
Touw Liong tahu bahwa serangan mereka itu bukanlah
serangan biasa. Ia juga tahu bahwa duapuluh satu imam itu
semuanya adalah orang-orang yang sangat jahat dan ganas.
Jika tidak mengeluarkan serangan pembalasan yang
terampuh nampaknya benar-benar ia tak akan bisa keluar
dari kepungan mereka.
Tanpa banyak pikir lagi, pedang Khun-ngo-kiamnya
digerakkan, ilmunya dikerahkan ke ujung pedang, hingga
kalau pedang itu bergerak, mengeluarkan suara mengaung
yang sangat hebat. Tujuh bilah pedang yang berada di
bagian dalam sebentar sudah pada terkurung.
Pedang di tangan Kim Yan adalah pedang biasa tetapi
karena ia turun tangan dalam keadaan marah, dan para
imam itu menyerang secara hebat, maka untuk sesaat ia
agak repot, dan benar saja tidak bisa menahan serangan
musuh-musuhnya.
Ia menyaksikan kejadian itu sangat marah, pedang di
tangannya bergerak dengan beruntung, sedang tangan
kanan menggunakan ilmunya Thay-it sin-jiauw, sesaat
kemudian suara jeritan terdengar mengerikan, duapuluh
satu imam yang mengurung dirinya sudah ada tiga orang
yang jatuh binasa.
Kim Yan juga tidak mau berayal lagi, dengan pedang di
tangan kanan dan tangan kiri menggunakan ilmunya Thayit
sin-jiauw menyerang dengan hebat, maka kembali dua
orang telah menjadi korban.
It-tim seketika tampak kejadian itu, pucat wajahnya,
terpaksa ia turun tangan sendiri, di samping menyerang
Touw Liong dengan pedangnya, ia juga memerintahkan
mundur kawanan imam yang terkutung kakinya.
Dengan demikian imam-imam yang mengurung Touw
Liong dan Kim Yan kini tinggal enam belas orang saja,
yang kutung pedangnya diganti dengan pedang baru dan
mulai bertempur lagi, dan setelah It-tim turut ambil bagian,
keadaan lantas berubah, tak ada orang lagi yang binasa.
Sebaliknya, Kim Yan tampak semakin repot, beberapa kali
berada dalam keadaan bahaya.
Touw Liong sangat khawatir, sambil menyerang musuhmusuhnya
dengan sekuat tenaga, ia memikirkan caranya
untuk meloloskan diri dari kepungan. Ia mengerti, jika
bertahan lebih lama, apabila Kim Yan terluka di tangan
musuh, urusan akan menjadi runyam.
Usaha paling penting saat itu ialah menangkap diri It-tim
yang sebagai kepala rombongan. It-tim sudah terluka,
keadaan pasti akan berubah. It-tim bukanlah orang
sembarangan.
Kalau keadaan berlangsung seperti itu terus, keadaan
Kim Yan semakin berbahaya, terutama pada saat itu sudah
tiba di puncak yang tak dapat diperpanjang lagi, sebab
bagian yang paling luar, delapan anak buah It-tim saat itu
agaknya sedang akan berusaha menggantikan lapisan
bagian dalam. Delapan pedang di tangan mereka hampir
tidak terlepas dari tujuannya, ialah diri Kim Yan!
Jelas sekali bahwa delapan imam itu bertempur matimatian
tanpa menghiraukan dirinya sendiri. Mereka
agaknya sudah bertekad bahwa hari itu hendak
membinasakan Kim Yan di bawah pedang mereka, untuk
membalas sakit hati pada beberapa bulan berselang, yang
mereka pernah dilumpuhkan oleh Kim Yan.
Kim Yan sudah mandi keringat, maka It-tim lalu tertawa
dengan ejekannya:
”Kalian jangan harap bisa keluar dari gunung Bu-tong
dalam keadaan hidup. Sekarang kalian hendak keluar dari
sini sudah terlambat! Jikalau kalian bisa keluar dari barisan
pedang ini. Silahkan, kalian boleh melarikan diri. Tetapi
jikalau tidak sanggup! Hm, hm ....! Kalian pasti akan
terbinasa di bawah pedang mereka, dengan demikian
keadaan kalian semakin menggenaskan!”
Touw Liong yang mendengarkan itu juga terkejut,
karena ia mengerti bahwa apa yang diucapkan oleh It-tim
itu memang keadaan yang sebenarnya, maka sesaat itu
hatinya tergoncang juga. Ia terpaksa melawan mati-matian
sambil menggertek gigi, gerak tipunya dirubah. Ilmu Thayit-
sin-kangnya dikerahkan sampai sepuluh bagian, setiap
serangan dari musuhnya dapat dielakkan atau dipukul
mundur, pedang Khun-ngo-kiamnya menggunakan
kesempatan itu menghajar lawan-lawannya, ketika
mendapat satu kesempatan baik, selagi It-tim agak lengah,
pedangnya ditujukan ke ulu hati It-tim.
Serangan itu disusul oleh serangan tangan kanan, dan
serangan itu ia menggunakan ilmunya Thay-it sin-jiauw.
It-tim mengeluarkan suara bentakan keras:
”Heh! Bagus sekali perbuatanmu!” Setelah itu kedua
kakinya bergerak, dan buru-buru lompat keluar dari barisan
pedang. Kini Touw Liong telah dapat menyaksikan bahwa
lengan kanan It-tim yang memegang pedang sudah penuh
darah, maka ia sambil mengeluarkan siulan panjang lantas
pergi mengejar It-tim setelah mengeluarkan jeritan tertahan,
lantas kabur sambil menenteng pedangnya, ia lari menuju
ke kuil.
Touw Liong yang mengejar sampai tiga tombak jauhnya
tiba-tiba berhenti. Ia berpaling, saat itu enam belas pedang
yang sudah terpencar telah kumpul lagi mengurung Kim
Yan. Touw Liong diam-diam mengeluh, dan lantas putar
balik menyerang lagi barisan pedang. Tidak ampun lagi,
pedangnya yang luar biasa tajamnya telah membabat enam
belas pedang yang mengurung Kim Yan.
Serangan Touw Liong yang dilakukan secara kalap tanpa
mengenal belas kasihan telah menimbulkan kacau barisan
pedang itu. Suara jeritan terdengar berulang-ulang,
keadaan barisan pedang itu telah mengalami perubahan
besar. Diantara enam belas imam itu sebagian besar
pedangnya terpapas kutung, sedang sebagian kecil terpapas
kutung berikut tangannya. Hingga enam belas imam itu
keadaannya menjadi kalut dan pada lari serabutan untuk
menyelamatkan dirinya masing-masing.
Setelah enam belas imam yang mengurung Kim Yan itu
sudah lari semua, ia buru-buru menghampiri sumoynya.
Saat itu ia baru mengetahui bahwa tangan kiri Kim Yan
juga sedikit luka.
Ia hanya belum tahu luka sumoynya itu parah atau tidak,
tetapi dari keadaannya, barangkali lukanya itu juga tidak
ringan.
Touw Liong menghampiri Sumoynya, bertanya dengan
lemah lembut:
”Sumoy, bagaimana dengan lukamu?”
Sumoynya tidak menjawab, hanya mengerutkan alisnya.
Touw Liong buru-buru mengobati lukanya dan
membungkus tangannya yang terluka.
Touw Liong mengerutkan alisnya, dengan sinar mata
beringas ia mengawasi keadaan di sekitarnya, namun tak
seorangpun yang tampak lagi. Maka ia berkata dengan
suara gusar:
”Satu hari kelak, aku nanti akan bakar ludes kali ini.”
Setelah itu ia menotok bagian jalan darah di pundak Kim
Yan, hingga mengalirnya darah mulai berhenti.
”Lekas! Kau masih mempunyai sebutir pil Kiu-hwan-tan
yang diberikan oleh Hian-hian totiang, maka lekas kau telan
saja!”
Kim Yan menurut, pil itu ditelannya. Touw Liong
mengawasi keadaan di tengah gunung. It-im saat itu sudah
tidak tampak bayangannya.
Ia menarik nafas dan berkata:
”Dosa kawanan imam jahat itu barangkali masih belum
sampai waktunya, biarlah kita berikan kepadanya waktu
hidup beberapa hari lagi.”
Sambil membimbing Sumoynya, Touw Liong berkata
dengan suara perlahan:
”Mari kita pergi! Sumoy, kita mencari suatu tempat
untuk beristirahat dulu, kau pikir bagaimana?”
Ketika menjelang senja, mereka tiba di suatu tempat di
bawah bukit yang terdapat air sungai. Di tepi sungai itu ada
sebuah pohon Yang-liu dan di situ terdapat sebuah batu
besar. Touw Liong dan Kim Yan menggunakan tempat itu
untuk beristirahat. Mereka berdua duduk berdampingan di
atas batu. Kim Yan yang sudah makan pil kiu-hwan-tan
tampaknya sudah segar lagi, barangkali luka di tangannya
juga sudah sembuh, dua orang itu bercakap-cakap dengan
mesra agaknya sudah melupakan keadaan sakitnya.
Kim Yan tiba-tiba angkat muka dan berkata dengan
suara perlahan:
“Siaomoy sedang pikir, suhu pernah berkata dalam
waktu tiga puluh tahun berselang mengapa suhu bisa berada
di kota Gak-yang menolong kau dibawa ke gunung Kiuhwa.
Ini rasanya suatu hal yang tidak mungkin.”
Touw Liong menganggukkan kepala dan berkata:
”Maka aku sendiri masih merasa sangsi, siapakah
sebetulnya yang menolong aku dari kota Gak-yang dan
dibawa ke gunung Kiu-hwa?”
Kim Yan berpikir lama, setelah itu baru berkata:
”Soalnya bukannya hanya satu saja, masih ada lagi.
Musuh yang membinasakan ayah-bundamu itu adalah
musuh yang terbesar. It-tim itu juga bukanlah seorang baik,
sungguh sayang suhu sedikitpun tidak mau menyebutkan
atau meninggalkan kata-kata bagi kita, agaknya tidak ingin
Suheng menuntut balas dendam.”
”Eh!” berseru Touw Liong sambil menganggukkan
kepala dan berkata keras. Lama sekali, dengan tiba-tiba ia
angkat muka dan berkata:
”Sumoy, kupikir malam ini akan naik ke gunung Butong.
Bagaimanapun juga aku akan membuat terang sebabmusabab
peristiwa itu.”
Kim Yan juga angkat muka dan berkata:
”Boleh juga! Aku sejak makan pil Kiu-hwan-tan,
lukanya sudah sembuh dan sekarang sudah tak menjadi
halangan lagi. Malam ini mari kita pergi ke gunung Butong
untuk menyerbu mereka!”
Touw Liong bangkit dari tempat duduknya, pandangan
matanya ditujukan ke barat, katanya dengan suara murung:
”Jikalau ingin mendapat keterangan dua urusan itu, pada
dewasa ini barangkali hanya perlu minta keterangan satu
orang saja yang mungkin mengerti keadaan yang
sebenarnya.”
”Siapa?” bertanya Kim Yan.
”Hian-hian Totiang locianpwee.”
Kim Yan menarik nafas dan berkata:
”Sayang, imam tua itu sudah meninggal dunia!”
Touw Liong tidak berkata apa-apa, agaknya sedang
berpikir keras. Tak lama kemudian ia berdiri di atas batu,
sambil menghadap ke barat, ia berkata dan menggelengkan
kepala:
”Hian-hiang Totiang locianpwee barangkali belum
binasa. Mungkin masih di dalam dunia.”
”Bagaimana suheng bisa menduga demikian?” bertanya
Kim Yan.
”Betapapun kejam dan jahatnya It-tim, juga tidak mau
melanggar pantangan untuk membunuh sesepuh
golongannya sendiri, karena ia takut menghadapi amarah
umum dari rimba persilatan sehingga berakibat semua
orang rimba persilatan akan turut campur tangan urusan
Bu-tong.”
”Jadi maksudmu kau sudah menduga pasti bahwa Hianhiang
locianpwee masih ada di dalam dunia?” bertanya
Kim Yan sambil mengawasi suhengnya.
Touw Liong menganggukkan kepala.
”Tetapi imam tua itu barangkali sedang menderita
siksaan oleh perbuatan It-tim!”
”Sekarang ini kemungkinan ia sudah dimusnahkan
kepandaian ilmu silatnya oleh it-tim, dan sedang disiksa
hebat, kemudian hari .... ada kemungkinan akan diminta
oleh It-tim supaya membantu membereskan keadaan dalam
partai.”
Kim Yan tidak mengerti maksud ucapan Touw Liong,
maka menggeleng-gelengkan kepala.
Touw Liong lalu memberi penjelasan:
”Kau lupa bahwa Panji Wulung wanita itu, apabila
benar sudah berhasil ilmunya Hek-hong Im-kang, dan ilmu
itu kalau diarahkan kepada badan orang lain, orang itu
sifatnya akan berubah, dan melupakan asal-usul dirinya
sendiri. It-tim asal meminta bantuan Panji Wulung, dan
minta supaya ilmunya itu dimasukkan ke dalam tubuh
Hian-hian Totiang, maka Hian-hian Totiang akan
melupakan dirinya dengan segera. Waktu It-tim minta ia
keluar lagi untuk membereskan keadaan dalam partai,
dengan demikian ia bisa diperalat olehnya, bukankah ia bisa
duduk enak di atas kursi ketua dan berbuat sesukasukanya?”
Kim Yan baru sadar, tapi katanya dengan perasaan
cemas:
”Kalau begitu kita harus lekas berangkat, sebab kalau
terlambat mungkin akan menjadikan penyesalan besar bagi
kita.”
Malam harinya, ketika kentongan berbunyi tiga kali, di
bagian belakang gunung Bu-tong tampak berkelebat dua
bayangan orang. Mereka itu adalah Touw Liong dan Kim
Yan. Mereka tidak langsung menuju ke kuil Sam-cing-tian,
melainkan lari menuju ke kuil kuno yang letaknya di
belakang gunung.
Menurut kebiasaan partai Bu-tong, kuil tua di belakang
gunung itu semua murid, baik dari tingkatan atas maupun
dari tingkatan bawah, jika tidak mendapat perintah, tidak
boleh mendekati kuil tua itu, sebab daerah sekitar kuil tua
itu dijadikan daerah terlarang. Jadi merupakan satu tempat
yang digunakan bagi para sesepuh untuk bertapa atau
beristirahat. Jadi kecuali ketua partai sendiri yang setiap
pagi atau malam harus menengok para sesepuh, murid
lainnya tiada seorang yang berani mendekati tempat itu.
Malam itu, rembulan terang, udara cerah, keadaan di
sekitar tempat kuil tua itu tampak sunyi, tiada terdapat sinar
lampu. Touw Liong dan Kim Yan yang berjalan mendekati
kuil tua itu lantas berhenti, mereka saling berpandangan
sejenak. Kim Yan menggunakan ilmunya menyampaikan
suara ke dalam telinga, berkata kepada suhengnya:
”Suheng, mengapa tempat ini satu bayangan orang pun
tidak tampak?”
Touw Liong juga menjawab juga menggunakan ilmunya
menyampaikan suara ke dalam telinga:
”Jangan pandang remeh kuil tua yang tampaknya sunyi
sepi ini, di tempat yang gelap itu, entah ada berapa banyak
orang kuat yang sedang mengawasi gerak-gerik kita,
sebaiknya kita berlaku hati-hati, jangan bertindak gegabah.”
Kim Yan menganggukkan kepala, dan Touw Liong
berkata pula:
”Kau diam di sini untuk berjaga-jaga, biarlah aku masuk
ke dalam untuk melihat keadaannya.”
Kim Yan menganggukkan kepala, dan Touw Liong
lantas melesat ke atas pohon untuk sembunyikan diri,
dengan perlindungan daun pohon yang rindang perlahanlahan
meluncur ke dalam kuil.
Gerak badan Touw Liong sangat ringan sekali, maka
ketika melayang masuk ke dalam kuil, sedikitpun tak
menimbulkan suara, tetapi ia sendiri juga tak menemukan
bayangan seorangpun juga, hingga dalam hatinya merasa
curiga. Kembali ia gerakkan kakinya dan mengitari kuil tua
itu. Benar saja, kuil tua itu tak terdapat bayangan
seorangpun juga. Touw Liong buru-buru menarik dirinya
dan kembali ke tempat Kim Yan sembunyikan diri, dan
memberikan isyarat dengan mata kepada sumoynya itu.
Kim Yan lalu bertanya kepadanya dengan perasaan
heran:
”Kau menemukan apa?”
”Hanya batu kuil mati,” menjawab Touw Liong sambil
menggelengkan kepala.
”Hiam-hian Locianpwee mungkin disekap dimana lagi?”
bertanya Kim Yan sambil mengerutkan alisnya.
Touw Liong berpikir keras tidak menjawab, tak lama
kemudian, ia baru berkata seorang diri.
”Tempat keramat di gunung Bu-tong-san ini dimanamana
terdapat gua-gua kuno dan aneh-aneh, jika It-tim
menyembunyikan Hian-hian Totiang di salah satu gua di
mana saja yang ia suka, sekalipun kita mencari tiga hari tiga
malam, barangkali juga belum bisa menemukan.”
”Kalau begitu, mari kita pergi ke kuil Sam-ceng-tian
menangkap satu orang saja untuk diminta keterangannya.”
”Tindakan demikina itu kurang tepat, sebab itu berarti
kita mengeprak rumput mengejutkan ular, kejadian mudah
berubah menjadi runyam, urusan ini kita harus lakukan
secara rahasia, tidak boleh bertindak terang-terangan.”
Kim Yan diam, dan Touw Liong berkata lagi,
”Ah, kini aku teringat pada salah satu tempat.”
”Tempat apa?”
Touw Liong berbisik-bisik di telinganya:
”Dahulu aku sering dengar suhu kata, bahwa gua Congcin-
tong partai Bu-tong dengan rangon penyimpan kitab
partai Siao lim-pay, sama-sama terkenalnya di kalangan
rimba persilatan, gua Cong-cin-tong itu merupakan tempat
sangat penting bagi partai Bu-tong, penjagaannya pasti
sangat kuat sekali; dengan lain perkataan Hian-hinan
Totiang locianpwee apabila disekap di dalam gua itu, It-tim
pasti menganggap aman, kemungkinan disimpan di situ
besar sekali.”
”Alasanmu itu cukup kuat, kalau begitu mari kita pergi
mengadakan penyelidikan di gua itu.”
Kim Yan dapat menyetujui pikiran Touw Liong. Letak
gua itu dalam waktu pertama kali Touw Liong mendaki
gunung Bu-tong, dari pembicaraan dengan Hian-hian
Totiang ia sudah mengetahui sedikit. Letaknya kira-kira di
belakang kuil Sam-ceng-tian.
Suheng dan sumoy itu bergerak menuju ke belakang kuil
Sam-ceng-tian yang dinamakan Kim-peng-yam, dari jauh,
benar saja tampak gerakan beberapa bayangan orang,
penjagaan sangat kuat. Touw Liong memberi isyarat
dengan tangannya kepada Kim Yan, dua orang itu masingmasing
mengambil ranting pohon cemara, kemudian
berjalan dengan sangat hati-hati ke gua Tong-cin-tong.
Touw Liong tujukan matanya kepada imam-imam yang
melakukan penjagaan, dengan ilmunya ”Menebar bintang
dari langit”, dari tangannya mengeluarkan beberapa puluh
biji buah, semuanya ditujukan kepada enam imam yang
menjaga di situ.
Serangan itu mengena dengan tepat. Enam imam
berpakaian hitam satu persatu rubuh di tanah tanpa
mengeluarkan suara. Kim Yan yang menjaga di luar gua,
sedangkan Touw Liong diam-diam menyusup ke dalam.
Ketika Touw Liong masuk ke mulut gua tampak obor
api, jalanan yang panjang rupanya terus menembus ke
dalam perut gunung.
Touw Liong dengan mengikuti jalanan di dalam gua
terus maju kira-kira setengah pal, kembali telah terhalang
oleh pintu batu. Di luar pintu, ada dua imam yang menjaga
dengan pedang terhunus, dengan sikapnya yang garang dan
sinar matanya yang tajam ditujukan keluar gua.
Tangan Touw Liong kembali menggenggam buah-buah
yang didapat di luar gua, tangan itu digerak-gerakkan
kepada dua imam yang maju menghampiri dirinya.
Imam itu membentak dengan suaranya yang bengis:
”Perlu apa? Berhenti!”
Wajah dua imam itu masih asing bagi Touw Liong,
satupun tidak dikenalnya.
Touw Liong tidak menghiraukan dua imam yang
menghampiri dirinya, ia menunggu sampai mereka berada
di dekatnya, barulah secepat kilat menyerang dengan buahbuah
di tangannya.
Dua imam itu mundur terhuyung-huyung, mulutnya
mengeluarkan suara kaget, dan lalu jatuh rubuh ke tanah.
Touw liong dengan sangat hati-hati maju ke depan pntu,
ia memeriksa dengan seksama, setelah tidak tampak bahwa
di dalam pintu itu ada bersembunyi orang yang menjaga,
sebaliknya di depan pintu batu itu ditempel dua lembar
kertas merah, Touw Liong lalu membukanya, dengan
kekuatan tenaga dalamnya yang disalurkan ke dua
tangannya ia mendorong sekuat tenaga, namun keadaan
dalam itu tampak samar-samar saja. Di atas gua dalam
kamar itu terpancang sebutir mutiara yang bersinar terang.
Di lain bagian dalam gua itu terdapat banyak barangbarang
pusaka yang sudah lama disimpan dan kitab-kitab
yang tak terhitung jumlahnya.
Di tengah-tengah gua, di atas sebuah kursi panjang,
tampak berbaring tapi dalam keadaan setengah duduk,
seorang imam yang rambut dan jenggotnya sudah putih
seluruhnya, imam itu tangannya menggenggam sejilid kitab
kuno yang tipis, diletakkan di lututnya, namun orangnya
sedang tidur nyenyak.
Ia perhatikan sikap dan keadaan imam itu, tampaknya
sangat buruk keadaannya, Touw Liong menjerit kaget,
katanya, ”Bukankah Hian-hian locianpwee?”
Tubuh imam tua itu kurus kering, sekalipun suara Touw
Liong itu sudah cukup keras, tetapi imam itu agaknya tidak
dengar sama sekali. Touw Liong lalu maju menghampiri ke
depan imam itu, dengan mata memandang kepada imam
yang sedang tidur nyenyak, ia berkata sambil menghela
nafas:
”Siapa bisa mengenali imam tua yang keadaannya
demikian mengenaskan ini adalah salah seorang dari tujuh
pahlawan Bu-tong yang dahulu namanya pernah
menggetarkan rimba persilatan?”
Touw Liong sekali lagi memeriksa keadaan sekitarnya, di
samping Hian-hiang Totiang tampak sebuah keranjang,
dalam keranjang itu terdapat makanan kering, di samping
keranjang ada sebuah poci air teh, di dalam poci itu masih
tinggal setengah poci air putih.
Touw Liong ingin membangunkan padanya, tetapi ia
masih merasa tidak tega, ia hanya menarik kitab yang
berada di tangan imam tua itu. Ia ingin melihat, buku apa
yang sedang dibaca oleh Hian-hian Totiang. Tak disangkasangkanya,
ketika tangannya baru menyentuh kitab tua itu,
tangan Hian-hian Totiang bergerak, dan tangannya yang
menggenggam kitab itu ditariknya kembali, orangnya juga
lantas mendusin, ia membuka sepasang matanya yang
sudah lamur, memandang Touw Liong sekian lama. Touw
Liong berlutut di tanah dan memberi hormat kepadanya.
Bibir Hian-hian Totiang tampak bergerak-gerak dengan
matanya yang lamur memandang Touw Liong seraya
bertanya:
”Kau .... Kau ... Kau siapa?”
”Boanpwee Touw Liong,” demikian Touw Liong
menjawab sambil menghormat.
”Touw Liong?” berkata Hian-hian Totiang lantas duduk.
Ia mengulurkan tangannya yang kurus dan gemetaran,
mengusap-usap kepala Touw Liong yang masih berlutut di
bawahnya, katanya dengan suara pilu:
”anak, akhirnya aku dapat melihat kau lagi.”
Touw Liong lalu bangkit dan menjawab dengan sangat
hormat.
”Mari, boanpwee bimbing Totiang keluar dari tempat
ini.”
Hian-hian Totiang menggeleng-gelengkan kepala dan
berkata,
”Kepandaian ilmu silatku sudah dimusnahkan,
keadaanku sudah seperti orang biasa, aku sudah merupakan
seorang yang sudah mendekati liang kubur, kemana harus
pergi lagi? Sungguh tidak beruntung perguruan kami telah
mengeluarkan murid pengkhianat dan pemberontak,
seorang yang menjadi murid golongan Bu-tong, seharusnya
mengorbankan diri untuk partainya, kalau pinto bisa
mengubur diri di tempa suci ini juga terhitung suatu
kehormatan bagi pinto. Anak, kau jangan capaikan hati
lagi, sebaliknya aku ingin minta kau melakukan sesuatu
hal.”
Touw Liong kembali menjura dan berkata:
”Asal locianpwee memberi perintah, sekalipun terjun ke
jurang, boanpwee juga tidak akan menolak.”
”Kalau kau berkata demikian, ini tidak mengecewakan
pengharapanku,” berkata Hian-hiang Totiang. Ia berhenti
sejenak kemudian berkata lagi:
”anak murid Bu-tong-pay sekarang ini, sebagian adalah
It-tim yang kali ini membawa dari luar, anak murid Bu-tong
yang semula sebagian besar sudah disekap di dalam gua lain
oleh It-tim.”
“Apkah Ceng Ti Totiang masih hidup?” bertanya Touw
Liong.
“Dia juga ada di dalam,” berkata Hian-hian Totiang
sambil menganggukkan kepala.
”Maksud locianpwee apakah suruh aku menolong Cengtin
Totiang?”
“Dengan meminjam tenagamu, bantulah ia supaya
menduduki kedudukan ketua lagi,” berkata Hian-hian
Totiang sambil menganggukkan kepala.
Touw Liong menerima baik permintaan itu. Hian-hian
Totiang lalu memberikan kitab kuno itu kepada Touw
Liong, katanya:
“Kitab ini juga salah satu dari kitab kuno dan merupakan
salah satu kitab rahasia golongan kami, Touw tayhiap boleh
bawa, di kemudian hari mungkin ada gunanya.”
Touw Liong bukanlah seorang tamak, karena ia tak
mempunyai rencana lain, maka tidak sungkan lagi untuk
menyambuti kitab kuno itu, dimasukkan ke dalam sakunya,
setelah itu ia mengeluarkan sebutir pil Kiu-hwan-tay yang
didapat dari Kim Yan. Dengan sepasang tangan ia berikan
kepada Hian-hian Totiang, katanya:
”Locianpwee, makanlah ini. Ini adalah pil Kiu-hwantan
yang locianpwee berikan dulu.”
”Aaa!” Hian-hian Totiang terkejut dan menghela nafas,
lalu berkata: ”Tak kuduga pikiranku waktu itu yang ingin
berbuat baik, sekarang malah untuk menolong diriku
sendiri.”
Hian-hiang Totiang menelan pil Kiu-hwan-tan, ia
bertanya kepada Touw Liong,
”Anak, kau masih ada keperluan apa? Jikalau tidak ada
sebaiknya lekas berlalu dari sini.”
Bab 38
Hian-hian Totiang menarik nafas panjang, saat itu
cahaya matanya sudah terang kembali. Ia memandang
Touw Liong sejenak, lalu mendongakkan kepala
mengawasi sinar mutiara, berkata lapat-lapat:
”Sudah dua puluh tahun! Dua puluh tahun berselang
....” kembali ia memandang Touw Liong.
Imam tua itu sejak menelan pil Kiu-hwan-tan,
semangatnya terbangun, lalu melanjutkan ucapannya:
“Dua puluh tahun berselang kau masih mulai belajar
mengomong. Usiamu kira-kira baru setahun, aku secara
kebetulan dalam perjalanan ke kota Gak-yang yang ingin
mencegah terjadinya peristiwa yang sangat tragis itu, apa
mau kedatanganku itu sudah agak terlambat. Kebetulan
selagi aku berada di bawah loteng, nampak dari atas loteng
dilemparkan dua anak kecil. Dengan kedua tanganku aku
menyambuti satu tangan satu.”
Baru berkata sampai di situ, Touw Liong sudah tidak
sanggup kendalikan rasa sedihnya, dengan air mata
bercucuran, ia berlutut di hadapan Hian-hian Totiang
sambil berseru: ”Locianpwee!”
Hian-hian Totiang mengelus-elus kepalanya, berkata
pula sambil menghela nafas:
”Aku sudah menolong dirimu dan diri Kang Kie, dengan
terbirit-birit aku meninggalkan kota Gak-yang. Waktu itu
aku tahu bahwa keadaan di atas loteng tidak mungkin
dibereskan secara baik. Maka aku pikir hendak
meninggalkan keturunan bagi tiga jago itu, aku bawa kalian
berdua meninggalkan kota Gak-yang. Dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuh, aku pergi ke kota
Bu-ciang. Di situ aku telah berjumpa dengan musuh
bebuyutanku, ia adalah salah seorang dari Tiga Garuda.
Kita kemudian bertempur sengit di gunung Coa-san, dalam
seratus jurus masih berimbang.”
Touw Liong yang mendengarkan penuturan itu nampak
tercengang, air matanya bercucuran memandang Hianhiang
Totiang. Imam tua itu menghela nafas panjang,
melanjutkan penuturannya.
Dalam pertempuran itu, kita tetap tak ada yang menang
atau kalah. Ketika Hui Eng melihatmu dengan tiba-tiba
mendapat pikiran jahat. Ia mengusulkan kepadaku supaya
satu orang membawa satu anak, masing-masing
membesarkan dan mendidik. Dan dua puluh tahun
kemudian, pertandingan ini biar diputuskan oleh kamu
berdua setelah menjadi dewasa. Aku sendiri merasa berat
apabila It-tim melihat kamu berdua kubawa pulang ke
gunung Bu-tong untuk dibesarkan, pasti akan dibinasakan
olehnya. Maka aku menerima baik usulnya, dan dengan
demikian Hui Eng lantas membawa pergi Kang KIe.
Waktu itu aku pikir, karena Kang In Hui tidak mempunyai
keturunan maka aku lantas memberitahukan kepada Hui
Eng, bahwa anak yang di tangannya itu adalah keturunan
Kang In Hui. Dengan sebetulnya, anak yang dibawa pergi
oleh Hui Eng itu adalah saudara tuamu sendiri ....”
Touw Liong yang mendengarkan penuturan itu sikapnya
sangat sedih. Sambil mengucurkan air mata, berkata
dengan suara pelahan:
”Aku sudah lama memang mempunyai perasaan
demikian, bahwa Kang Kie adalah saudara tuaku.”
Imam tua itu menghela nafas panjang. Katanya pula:
”Sejak Hui Eng berlalu, aku memondong kau sekian
lama dalam keadaan sangat bingung, aku tak dapat
memikirkan dengan cara bagaimana harus merawat dirimu?
Jikalau kau kubawa pulang ke gunung Bu-tong, It-tim pasti
tak bisa tinggal diam terhadap dirimu. Tetapi kalau tak
kubawa pulang ke Bu-tong, kemana aku harus bawa kau?
Apakah harus membiarkan kau dewasa sendiri, dan
membiarkan Kang Kie pergi ke Bu-tong mencarimu?”
Dengan wajah murung Touw Liong memandang kepada
Hian-hian Totiang, sementara itu imam tua itu tampak
tersenyum getir, katanya pula:
”Kasihan orang-orang yang menjadi ibu bapamu.
Karena kesalahan berpikir pinto pada waktu itu yang
membela It-tim si murid durhaka itu, sehingga terjadi
peristiwa yang menyedihkan itu. Selama aku berpikir,
akhirnya aku telah mengambil keputusan untuk
mengantarkan kau ke gunung Kiu-hwa, aku serahkan
dirimu kepada Kiu-hwa Lojin, ialah yang akhirnya menjadi
suhumu. Aku minta dia jangan menceritakan asal-usul
dirimu, supaya di kemudian hari kalau kau dewasa, kau
tidak akan memusuhi sepuluh partai besar. Bagimu, itu
merupakan suatu bahaya yang sangat besar. Bagi Bu-tong,
aku telah menanam bibit permusuhan untuk partaiku
sendiri. Hal ini agaknya kurang tepat. Apalagi waktu itu
kalau ditinjau persoalannya, It-tim bertindak demikian
karena atas perintah partainya. Maka perbuatannya itu
sesungguhnya masih boleh dimaafkan. Apalagi Kang In
Hui waktu itu adatnya agak berangasan dan agak sombong
sedikit, sehingga mendapatkan malapetaka bagi dirinya
sendiri. Hai! Kesalahan pinto waktu itu ialah setelah It-tim
pulang ke Bu-tong, aku tidak memberitahukan sepak terjang
It-tim di kota Gak-yang kepada Ciangbun suhengku, aku
hanya diam-diam menasehati murid durhaka itu, tak
kusangka-sangka perbuatanku itu telah membawa akibat
demikian fatal, sehingga partai Bu-tong kini terjerumus di
tangannya, ini juga merupakan kesalahan pinto sendiri.”
Hian-hian Totiang sehabis berkata demikian, menghela
nafas berulang-ulang, air mata mengucur deras, seolah-olah
merasa menyesal atas perbuatannya di masa lampau.
Touw Liong mengertak gigi dan bersikap marah, katanya
dengan suara gemas:
”Sepuluh tokoh kuat dari sepuluh partai yang waktu itu
turut mengepung ayah ibuku di loteng Gak-yang-lauw,
bagaimanapun juga aku akan berusaha untuk mencari satu
persatu, aku nanti akan bunuh satu persatu pula untuk
membalas dendam sakit hati ayah-ibuku.”
Hian-hian Totiang yang mendengar ucapan Touw Liong
itu matanya bergerak-gerak dan menghela nafas panjang
kemudian berkata:
”Tuhan selalu welas asih kepada umatnya, jika kau
masih bisa mengampuni, ampunilah. Orang-orang jahat
dan sudah berdosa memang seharusnya dihukum berat,
tetapi orang-orang yang tidak mengerti duduk perkara yang
sebenarnya, hanya mengikut-ikut saja karena terdesak atau
oleh karena keadaan yang memaksa, menurut pikiran pinto,
sebaiknya diberi peringatan saja sudah cukup.”
Touw Liong agaknya mau mengerti nasihat imam tua
itu, ia menganggukkan kepala dan berkata dengan suara
pelahan:
”Boanpwee akan menuruti maksud locianpwee.”
Hian-hiang Totiang menunjukkan senyum puas, katanya
sambil mengulapkan tangannya:
”Anak, kau pergilah! Jangan lupa, beberapa urusan yang
kupesan padamu.”
Touw Liong menerima baik dan minta diri. Ketika
keluar dari jalanan terowongan itu, bukan kepalang
terkejutnya. Di luar gua, It-tim dan delapan imam yang
sudah bercacad, satu persatu mengawasi dirinya dengan
mata yang merah membara, dengan pedang terhunus
mereka mengurung mulut gua, sedangkan Kim Yan waktu
itu sudah tak tampak lagi bayangannya. Terkejutnya Touw
Liong waktu itu benar-benar susah digambarkan. Ia berkata
sambil menunjuk It-tim dengan suara marah:
”Di mana sumoyku?”
”Sudah pergi ke gunung Tiam-cong!”
”Ke Tiam-cong-san?” balas tanya Touw Liong yang
agaknya tidak percaya.
It-tim menganggukkan kepala, jawabnya dengan nada
suara dingin:
”Panji Wulung locianpwee yang mengajaknya pergi.”
”Apakah ucapanmu ini benar semua?” bertanya Touw
Liong marah.
”Siapa perlu menipu kau?”
Dengan langkah lebar Touw Liong berjalan keluar,
terhadap It-tim dan delapan anak buahnya yang mengurung
di luar gua, sedikitpun tidak pandang mata, dalam hatinya
waktu itu sedang berpikir, Kim Yan yang belum lama
dibawa pergi oleh Panji Wulung, kalau sekarang dikejar
rasanya masih keburu.
It-tim menggerakkan pedang ditangannya merintangi
perjalanan Touw Liong, katanya:
”Bocah she Touw, kau sesungguhnya terlalu menghina
kepada kami partai Bu-tong-pay! Kau tidak pikir, gua ini
tempat apa? Apa kau boleh pergi dan datang seenak
perutmu sendiri?”
Touw Liong terperanjat, lantas menghunus pedangnya
dan berkata:
”Kau mau apa?”
”Tidak apa-apa, sederhana sekali. Aku tahu kau ada
urusan penting, perlu menolong Kim Yan, kau terlambat
selangkah, maka Panji Wulung locianpwee jikalau
menggunakan ilmunya Hek-hong-in-kang, hanya tiga atau
lima jam saja Kim Yan sudah berubah menjadi anak murid
yang akan mewarisi kepandaian Panji Wulung locianpwee.
Haa! Aku seharusnya mengucapkan selamat kepadanya.”
Touw Liong yang mendengarkan ucapan itu dadanya
hampir meledak, katanya dengan nada marah:
”It-tim, inilah yang dinamakan kau sengaja mencari
kematianmu sendiri. Hari ini tak perlu kau banyak bicara,
barang siapa yang berani merintangi maksudku akan
kubunuh mati, dan barang siapa yang melepaskan diriku,
aku akan membiarkan dia hidup.” Berkata sampai di situ,
pedang Khun-ngo-kiam di tangannya sudah bergerak
hendak menyerang.
Namun It-tim tiba-tiba menggoyang-goyangkan
tangannya dan berkata:
”Sabar dulu! Kita tidak akan menghalangi kau, asal kau
berdiri di situ tidak bergerak, dan membiarkan kita
menggeledah dirimu, kau dari dalam gua sebetulnya ada
mencuri kitab penting kita atau tidak?”
”Menggeledah”, ucapan itu merupakan suatu hinaan
bagi Touw Liong. Jangankan Touw Liong yang benarbenar
ada sejilid kitab pemberian Hian-hian Totiang,
sekalipun tidak ada kitab kuno itu, di dalam sakunya itu
masih menyimpan empat jilid kitab wasiat pemberian dari
Hui Eng. Bagaimanapun juga tak akan membiarkan
dirinya digeledah oleh It-tim.
”Tutup mulut! Kau rupanya memang sengaja mencari
onar dengan aku, kalau kau memang mau menggeledah, itu
tidak susah, asal saja dia ini tidak keberatan,” berkata Touw
Liong sambil menunjuk pedangnya.
It-tim mengacungkan pedangnya, delapan muridnya lalu
mulai mengepung. Ketika kedua kalinya ia menggerakkan
pedangnya, sembilan bilah pedang dengan serentak
bergerak hendak menyerang Touw Liong.
Touw Liong melihat gelagat tidak baik, tidak menunggu
musuh bergerak lebih dahulu, pedang di tangannya sudah
digerakkan, sedang tangan yang lain dengan menggunakan
ilmu Thay-it-sin-jiauw bergerak secepat kilat, dalam waktu
sekejap mata sudah mengambil tiga korban, hingga tiga di
antara delapan anak murid It-tim sudah terbinasa di
tangannya.
It-tim maju menyerang dengan pedangnya, meskipun ia
berhasil menyambut serangan Touw Liong yang sangat
hebat, tetapi juga tak berhasil menolong tiga anak buahnya
yang sudah menjadi korban serangan tangan Touw Liong.
Pertempuran hebat tidak dapat dielakkan lagi, di bawah
sinar rembulan hanya tampak berkelebatnya sinar pedang
yang berkilauan, selagi It-tim bertempur dengan Touw
Liong, lima anak buah It-tim berdiri jauh-jauh, sedikitpun
tidak mampu mendekati mereka.
Setengah jam telah berlalu.
Dengan tiba-tiba, di medan pertempuran itu terdengar
suara beradunya pedang yang amat nyaring, setelah itu,
tampak berkelebatnya sinar pedang melesat tinggi, langsung
menuju ke atas tebing yang setinggi lima tombak.
Pedang yang lain tampak tidak bergerak, dan berdiri di
tempatnya.
Lima imam yang menyaksikan pertempuran tadi, kini
pada pasang mata untuk mengawasi apa yang terjadi,
ternyata orang yang berdiri tidak bergerak itu adalah Touw
Liong, sedangkan sinar pedang yang melesat tinggi tadi kini
sudah menghilang tak tampak lagi bayangannya.
Touw Liong berkata kepada lima imam baju hijau sambil
menunjuk ke tanah:
”It-tiem telah terpapas tiga jari tangannya oleh
pedangku. Sekarang karena aku masih ada urusan lain
yang lebih penting, biarlah ia hidup lagi beberapa hari.
Tuan mudamu yang masih mengingat dirinya dengan susah
payah mendapatkan kepandaiannya, maka tidak suka
bertindak keterlaluan. Sekarang kuberikan kalian satu jalan
hidup, asal kalian mau dengar dan bertindak menurut
ucapanku, setelah urusan ini selesai, kuakan melepaskan
kalian turun gunung.”
Lima imam itu mengawasi tempat yang ditunjuk oleh
Touw Liong, benar saja di tempat itu terdapat banyak tanda
darah dan tiga kutungan jari tangan.
Touw Liong dengan gerakannya yang luar biasa, waktu
sekejap kalau ia mau, dengan mudah membinasakan lima
imam yang menjadi anak murid It-tiem itu. Hal ini juga
diketahui oleh lima imam berbaju hijau itu, maka mereka
benar-benar sudah merasa gentar, dan ketika mendengar
Touw Liong berkata demikian, satu persatu lantas pada
menundukkan kepala tak berani mengeluarkan suara.
Touw Liong yang melihat lima imam itu sudah
ditundukkan olehnya, Lalu mengibaskan pedangnya, dan
mengeluarkan perintah, ia menunjuk kepada dua imam
yang berada di kiri yang sudah terkutung masing-masing
sebelah lengan tangannya, dan berkata:
”Kalian lekas masuk ke dalam goa Cong-cin-tong, minta
kepada Hian-hian Locianpwee supaya keluar, dan bantu ia
ke kuil Sam-ceng-tian.”
Kemudian ia berkata pula sambil menunjuk seorang
imam sebelah kanan yang kehilangan sepotong kakinya:
”Kuperintahkan kau seperti melepaskan Cang-tien
Ciangbunjin yang ditawan bersama-sama dengan kawankawannya,
juga bawa mereka ke kuil Sam-ceng-tian.”
Lima orang itu saling berpandangan sejenak, lantas
mengundurkan diri dan berlutut di depan Touw Liong.
Katanya sambil mengangguk-anggukkan kepalanya:
”Harap Touw tayhiap suka berlaku murah hati, supaya
mintakan ampun dosa kita di depan Ceng-tiem Susiok.”
”Menurut aturan, kalian semua sudah dihitung orangorang
yang berkhianat kepada partaynya sendiri. Dosa itu
sebetulnya terlalu besar. Tetapi aku tadi mengeluarkan
kata-kata, asal kalian berbuat menurut apa yang kuperintah,
aku akan jamin kalian keluar dari sini dalam keadaan
hidup.”
Lima imam itu mengucapkan terima kasih, tiga
diantaranya lantas bangkit dan pergi untuk melaksanakan
tugas yang diberikan oleh Touw Liong.
Sementara itu Touw Liong dengan membawa dua imam
yang lain, pergi membersihkan dan menangkap kawankawan
It-tim yang dibawa ke gunung Bu-tong. Semua itu
dibawa ke kuil Sam-ceng-tian dan dihadapkan sebagai
pesakitan.
Di dalam kuil, sinar lilin yang terang-benderang bagaikan
tengah hari, di bagian atas duduk Hian-hian Totiang, di
bagian bawah duduk Ceng-tin Totiang, di bagian lain
berdiri beberapa imam yang tubuhnya kurus kering,
sedangkan Touw Liong membawa dua puluh empat orang
komplotan It-tim berjalan masuk ke dalam kuil.
Ceng-tim Totiang buru-buru bangkit dari tempat
duduknya dan menyongsong kedatangannya. Dua orang
itu saling memberi hormat sebentar, Touw Liong lalu
menghampiri Hian-hian Totiang untuk mengucapkan
selamat, Hian-hian Totiang menyambutnya sambil tertawa.
Dua puluh empat imam komplotan It-tim, semua berlutut
di depan pendopo, dua imam yang kakinya cacad yang ikut
kepapa Touw Liong menatap kawanan It-tim, berdiri di lain
sudut, begitu Touw Liong tiba, lalu bersama-sama tiga
imam yang ditugaskan semua berlutut di tanah.
Touw Liong menyapu lima orang itu sejenak lalu berkata
di telinga Ceng-tim Totiang. Ceng-tim menganggukanggukkan
kepalanya, dan berkata kepada Hian-hian
Totiang beberapa patah kata, Hian-hian Totiang dengan
sinar mata gemas menyapu lima orang yang berlutut di
tanah, kemudian matanya ditujukan kepada Touw Liong,
katanya sambil memaksa tertawa:
”Dengan memandang muka Touw tayhiap, begitu saja
kita bertindak.”
Di bawah pendopo waktu itu suasana sunyi senyap,
Touw Liong duduk di sisi Hian-hian Totiang, saat itu Cengtim
Totiang perlahan-lahan bangkit dari tempat duduknya
dan berkata:
”Hian-thian, Hian-tee, Hian-hay, Hian-hong dan Hianseng,
kamu berlima telah mengikuti suhumu mengkhianati
perguruanmu sendiri, dosa-dosamu seharusnya dihukum
mati, karena mengingat kamu semua masih bisa menyesal
dan berjasa untuk menindas kerusuhan, maka jasamu itu
boleh kalian gunakan untuk menebus dosa, sekarang kalian
akan dihukum dikeluarkan dari perguruan, selama-lamanya
tidak boleh mendaki gunung Bu-tong lagi.”
Lima imam itu mengucapkan terima kasih atas
keputusan Ceng-tim, setelah itu mereka berlima turun
gunung.
Ceng-tim lantas mengeluarkan perintahnya yang kedua:
”Semua orang komplotan It-tim yang turut memberontak
terhadap Bu-tong, harus dimusnahkan kepandaian ilmu
silatnya, setelah itu harus diusir keluar dari partay Bu-tong.”
Saat itu lalu maju keluar delapan imam berjubah hijau,
untuk membawa pergi dua puluh empat orang yang
menjadi komplotan It-tim. Selanjutnya Ceng-tim
mengeluarkan perintahnya yang ketiga dan keempat ....
Dengan demikian, maka tata tertib di Bu-tong-san pulih
kembali.
Pada saat itu, di pertengahan pendopo Sam-ceng-tian
diadakan perjamuan bagi kaum imam. Hian-hian Totiang,
Touw Liong dan Ceng-tim bertiga duduk di satu meja, di
tengah-tengah perjamuan Touw Liong mengeluarkan
sebuah kitab kuno, dengan kedua tangannya ia
menyerahkan kepada Hian-hian Totiang seraya berkata:
”Barang pusaka sangat berharga seperti ini, boanpwee
tak berani menerimanya, kini totiang sudah bebas kembali,
tak disangka-sangka keadaan telah berubah demikian cepat,
maka boanpwee yang menyimpan kitab ini juga merasa
tidak enak. Oleh karenanya, boanpwee akan serahkan
kepada locianpwee.”
Hian-hian Totiang menjawab sambil menggoyanggoyangkan
tangannya:
”Kitab ini adalah kitab rahasia dan simpanan golongan
kami, disimpan di dalam goa tiada orang yang mengerti
atau memahami. Setelah pinto ketemukan, meskipun kitab
ini merupakan kitab ajaib, sayang, orang-orang golongan
kami tiada orang yang dapat mempelajarinya, hanya
seorang yang memiliki bakat baik dan mempunyai kekuatan
tenaga dalam yang sudah sempurna seperti tayhiap ini,
barulah bisa mempelajari. Lagipula, buku ini yang sudah
keluar dari tempat simpanannya, boleh dikata sudah
menemukan orangnya yang tepat. Apabila kita letakkan
dan disimpan saja di dalam almari, mudah dibuat rebutan
oleh orang lain. Sekarang begini saja, untuk sementara
pinto pinjamkan kepada taihiap, jika ada waktu boleh baca
dan pelajari pelahan-lahan. Satu tahun kemudian, barulah
taihiap kembalikan kepada kami.”
Touw Liong tak dapat menolak lagi, maka terpaksa
menerimanya.
Selanjutnya ia minta diri kepada Hiang-hiang Totiang
dan Ceng-tiem meninggalkan Bu-tong-san. Ia
mengkhawatirkan keselamatan sumoynya Kim Yan, maka
setelah meninggalkan Bu-tong, pada malam itu juga ia pergi
melakukan perjalanannya ke gunung Tiam-cong-san.
Namun ia tak tahu persis, apakah sumoynya itu benar pergi
ke gunung Tiam-cong-san? Sebab, Panji Wulung Wanita
itu yang sudah sembuh kembali luka-lukanya, kalau benar
ia yang membawa pergi Kim Yan, maka ia tak perlu untuk
kembali lagi ke gunung Tiam-cong. Hanya sedikit
kemungkinan ia balik ke Tiam-cong dulu baru melanjutkan
perjalanannya lebih jauh.
Kemanakah sebetulnya ia pergi?
Dalam hal ini It-tim pasti tahu dimana ia berada, asal
bisa menemukan It-tiem, tentu bisa mencari keterangan di
mana tempat Panji Wulung. Akan tetapi kemana pula Ittim
pergi? Apakah ia juga pergi ke gunung Tiam-cong?
Touw Liong hanya dapat menduga-duga saja, ia mau
menduga It-tim menuju ke Tiam-cong, maka dengan
mengikuti arah lari It-tim ia pergi mengejar.
Hari kedua waktu tengah hari, ia sudah tiba di sungai
Pek-hong.
Sungai Pek-hong itu membentang di sebuah desa kecil,
waktu Touw Liong singgah di desa itu, ia mampir dulu ke
sebuah rumah makan, lalu minta keterangan kepada kasir
rumah makan itu, ia menggambarkan bagaimana bentuk
dan dandanan It-tim. Tanya,
”Apakah hari ini kau pernah melihat ada seorang imam
yang dandanannya demikian rupa?”
Kasir rumah makan berpikir dulu sejenak, baru
menjawab sambil menggelengkan kepala,
”Tidak ada imam yang mengenakan dandanan
demikian.”
Touw Liong masih belum putus asa, otaknya bekerja
lagi, dan bertanya pula,
”Tidak peduli ia imam atau padri, orang itu usianya kirakira
enam puluh tahun, jari tangan kirinya putus tiga buah!”
”Kurang tiga buah jari tangannya?!” tanya kasir rumah
makan kaget. Lalu terbenam dalam pikirannya sendiri.
Lama sekali, kembali ia menggelengkan kepalanya, dan
berkata,
”Orang itu usianya cocok, wajahnya juga cocok, hanya
tangan kirinya dibungkus dengan kain hijau .... ah tidak!
Orang itu adalah seorang guru sekolahan, tak mungkin
seorang imam!”
Touw Liong mendengar itu, rupanya ngelantur terlalu
jauh, maka buru-buru berkata,
”Benar! Orang yang kucari justru dia! Kapan ia berjalan
di sini? Dan kemudian menuju ke mana?”
Kasir rumah makan itu menunjuk jalan timur, katanya,
”Satu jam berselang, sama dengan kau, ia datang dari
pintu kota timur, di rumah makan kita ini mengaso dan
makan sebentar, kemudian berjalan lagi menuju ke barat!”
”Kalau ke pintu barat itu menuju kemana?”
”Bisa menuju ke Bukit She-hong-san lalu masuk ke
Kiam-kok, atau ke gunung Ceng-shia.”
”Kalau ke pintu selatan?”
”Ke gunung Bu-san, kemudian dengan menyusuri
sungai, ke barat masuk ke Pa-ciu, dan terus menuju ke
gunung Ngo-bi.”
Touw Liong lalu membayar uang makannya, setelah
memberi hormat lantas keluar dari rumah makan, ia
berjalan sambil berpikir,
”Jikalau It-tiem keluar dari pintu barat, mungkin ia akan
menuju ke Ceng-shia. Apabila ia ke pintu selatan,
kemungkinan besar ia ke gunung Ngo-bi, atau ke barat pergi
ke gunung Tiam-cong!”
Touw Liong berpikir sejenak, ia anggap kemungkinan
besar It-tiem melakukan perjalanan ke selatan, maka ia juga
mengambil jalan yang menuju ke selatan.
Dengan beruntun beberapa hari, ia tidak menemukan
jejak It-tiem, sampai di situ ia baru merasa menyesal, tidak
seharusnya ia berlagak pintar, hingga meninggalkan
tujuannya ke barat mengambil jalan ke selatan.
Apabila pada saat itu ia harus berjalan kembali, ini
berarti terlalu membuang banyak waktu.
Hari itu ia tiba di daerah Gunung Bu-san. Di tempat itu
ia teringat kepada Anak Sakti dari Gunung Bu-san, dan
Sepasang Burung Hong yang pernah bertempur dengan
Kakek Seribu Muka di Gunung Pak-bong. Sejak
pertemuannya terakhir di Gunung Pak-bong itu, selama
setengah tahun lebih tak pernah mendengar kabar berita
mereka.
Akhirnya ia telah mengambil keputusan hendak
berkunjung ke Gunung Bu-san.
Touw Liong yang ingin cepat sampai, hari ini juga senja
hari, ia tiba di puncak Cut-in. Dari situ memandang jauh
ke puncak Sin-li-hong tempat kediaman Anak Sakti
Gunung Bu-san, karena masih sejauh kira-kira dua tiga
ratus pal, tidak ingin malam-malam berkunjung ke puncak
gunung Sin-li-hong, ia mencari ke sebuah kuil, minta
menginap satu malam. Malam itu ia berdiamlah di kuil
tersebut.
Malam itu malam terang bulan, Touw Liong sehabis
makan, ia berjalan keluar untuk menikmati pemandangan
di waktu malam.
Dengan memandang awan-awan putih yang mengitari
puncak gunung, dan mendengar angin yang meniup pohon
cemara masih ada lagi pemandangan gunung di tempat jauh
dan pohon-pohon di sekitarnya, perasaannya merasa tenang
dan tenteram. Ia memikirkan dirinya sendiri yang waktu
itu sudah termasuk salah seorang terkuat dalam rimba
persilatan, namun kalau dipikir kepandaiannya sendiri
masih selisih jauh sekali kalau dibanding dengan
kepandaian Panji Wulung, ia diam-diam sedang berpikir,
sampai dimana hebatnya ilmu Hek-kong-im-kang yang
dipelajari oleh Panji Wulung itu?
Dengan tiba-tiba ia teringat bahwa dalam sakunya masih
membekal beberapa jilid kepandaian ilmu yang jarang
terdapat di dalam dunia persilatan, salah satu di antaranya
ialah Thay-it Sin-kang yang ia sendiri sudah berhasil
mempelajarinya, Tay-lo-kim-kong dan Tay-lo Kim-kongciang
yang sudah berhasil dipelajarinya, hanya Tay-lo Kimkong-
sinkang yang masih belum sempurna betul-betul.
Kalau menghendaki berhasil seluruhnya bukanlah dalam
waktu singkat dapat menyelesaikannya. Touw Liong
menarik nafas panjang, dengan langkah lambat-lambat
menuju pulang ke kuil. Sambil berjalan, pikirannya terus
bekerja: Apabila aku bisa mempelajari Tay-lo Kim-kong
Sin-kang sehingga betul-betul sempurna lalu mempelajari
pula ilmu meringankan tubuh Hui-eng Pat-sek, dan setelah
itu dengan tangan kiri gunakan Thay-it Sin-kang dan tangan
kanan ilmu Tay-lo Kim-kong Sin-kang. Dan kaki ia
menggunakan ilmu Hui-eng Pat-sek, dengan demikian aku
merupakan salah seorang yang mungkin tidak ada yang
menandingi dalam dunia ini.
Ia menggeleng-gelengkan kepala dan berkata kepada
dirinya sendiri:
”Sayang, ilmu meringankan tubuh Hui-eng Pat-sek itu
adalah ilmu yang dimiliki oleh saudaraku Kang Kie,
sedangkan ilmu Tay-lo Kim-kong Sin-kang, juga bukan
suatu ilmu yang dapat dipelajari dalam waktu satu hari satu
malam bisa berhasil. Apalagi di dalam waktu yang
bersamaan kalau ingin mempelajari dua macam kepandaian
ilmu, itu adalah suatu hal yang tidak mungkin!”
Dari dalam sakunya ia mengeluarkan kitab Tay-lo.
Ketika ia membuka lembaran bagian ilmu Sin-kang,
kemudian dibacanya dengan sangat teliti sekali.
Semakin membaca, semakin bernafsu, setelah membaca
beberapa lembar, ia sesalkan kepada dirinya sendiri.
Mengapa aku begini tak berguna, aku sudah mempunyai
dasar dari ilmu sin-kang ”membuka langit”, juga sudah
mempelajari ilmu Thay-it Sin-kang hanya selisih sedikit
saja, bagaimana aku tak dapat mempelajari seluruhnya?
Memang benar, ilmu Tay-lo Kim-kong sin-kang itu
bukanlah ilmu biasa, apabila sudah berhasil mempelajari
sepenuhnya, orang bisa mencapai ke taraf menggunakan
hawa pernafasan dan jari tangan untuk menghadapi
lawannya.
Karena masih belum menemukan kunci pelajaran itu,
Touw Liong merasa agak kecewa, ia menghela nafas.
Selagi masih menggeleng-gelengkan kepalanya, dengan
tiba-tiba ia teringat kepada kitab yang diberikan oleh Hianhian
Totiang dalam goa Cong-cing-tong.
Ucapan imam tua itu kini menggerakkan pikirannya,
kitab yang tipis itu mulai dikeluarkan dari sakunya, dan
dibacanya dari awal sampai akhir. Sambil membaca,
wajahnya menunjukkan rasa kegirangan, seolah-olah
menemukan harta karun.
Bab 39
Kitab itu hanya merupakan kitab yang terdiri beberapa
lembar saja, tidak ada namanya, juga tak ada
penjelasannya, seolah-olah merupakan sobekan dari
lembaran-lembaran kitab yang lain, boleh dikata tidak
merupakan sejilid kitab yang utuh.
Ketika Touw Liong membuka lembaran pertama, dalam
lembaran itu sudah terdapat tulisan yang berbunyi
demikian: ”Hawa dalam manusia hidup, hawa yang disebut
Yang timbul di waktu pagi hari; dan yang disebut Im timbul
di waktu tengah hari ....”
JILID 15
Dengan tiba-tiba dalam otaknya timbul suatu pikiran,
dalam hatinya menduga bahwa pelajaran pertama itu
adalah pelajaran penting bagi golongan imam yang hendak
mempelajari hawa tenaga dalam manusia. Ia membaca
kelanjutannya, di situ tertulis kata-kata,
Di waktu siang hari ada di kiri, di waktu malam ada di
kanan, pada jam-jam perlintasan, dua lubang terbuka
semua, apabila dalam waktu bersamaan berlatih dua jenis
ilmu tertinggi, bisa mendapat hasil berlipat ganda ....”
Membaca sampai di situ, Touw Liong menutup
kitabnya, menundukkan kepala sambil menggumam
sendiri, ”Dua lubang terbuka semua .... berlatih dua jenis
ilmu tertinggi ...”
Ilmu yang oleh golongan imam disebut ilmu tertinggi
yang dimaksudkan ialah ilmu batin yang sudah ada sedikit
dasar dan dilatih lagi menjadi ilmu tertinggi. Touw Liong
seorang yang memiliki otak cerdas, beberapa kali ia
mencobanya, lantas sadar, ia lompat bangun dan berkata
sendiri,
”Liang-gie Sim-hwat!”
Ia membuka lagi kitab tipis itu dan dibacanya seterusnya,
apa yang tertulis dalam kitab itu semua merupakan
petunjuk-petunjuk bagaimana untuk melatih ilmu
pernafasan yang tertinggi. Sekaligus ia membaca habis
kitab tipis itu, kemudian dari awal hingga akhir, diingatingatnya
dan dipelajarinya satu persatu.
Pada akhirnya ia telah dapat memahami isi kitab itu, di
situ ia menarik suatu kesimpulan. Hawa dalam manusia
terbagi menjadi hawa Im dan Yang. Dengan menurut
perhitungan dua belas jam dalam waktu sehari, dalam
tubuh manusia mengeluarkan hawa im dan yang, yang
dimaksudkan dua lubang itu adalah dua lubang hidung
yang mengatur jalannya pernafasan hingga menuju ke paruparu,
hawa manusia di waktu tengah hari terkumpul di
bagian paru-paru kiri, hawa pernafasan itu mengalir melalui
lubang hidung, dan waktu malam berada di sebelah kanan,
hanya pada waktu tengah malam sehingga pagi hari hawa
itu melalui paru-paru dan menghembus keluar dari lubang
hidung, itulah yang dinamakan lubang terbuka semua.
Dalam pelajaran itu di sin terdapat suatu keistimewaan,
apabila orang yang melatih ilmu tertinggi itu, setiap hari
memilih waktu yang tertentu untuk memulai latihannya,
dengan menuruti petunjuk-petunjuk dari dalam kitab itu,
maka hawa yang mengalir dari Im danYang bisa mengalir
terus tak henti-hentinya. Kemudian bisa mencapai ke taraf
dua lubang terbuka semua, sehingga ia menghentikan
latihannya, barulah pulih asalnya hawa Yang yang berada
di kiri dan Im berada di kanan.
Touw Liong setelah memahami aturan itu, lalu
memejamkan matanya, menghapalkan kembali pelajaranpelajarannya
Tay-lo Kim-kang Sim-kang dan Thay-it Sinkang.
Setelah itu ia mempelajari pula pelajaran-pelajaran
yang ada di kitab tipis itu, tiga macam pelajaran itu
dihapalkannya dengan matang, waktu itu sudah hampir
tengah malam, ia lalu memadamkan pelitanya, duduk di
atas pembaringan dan memulai pelajarannya yang lama dan
yang baru.
Menurut petunjuk dalam kitab tipis itu ia mengerahkan
dahulu ilmu Thay-it Sin-kang, kemudian melanjutkan
pelajarannya Tay-lo Sin-kang. Dengan meminjam
kekuatan dari dua macam ilmu itu mengadakan perubahan,
dalam waktu sekejap mata, dua lubang hidung Touw Liong
samar-samar mengepul kabut putih. Sebentar disedot,
sebentar keluar, seolah-olah menurut peraturan yang
tertentu. Ini merupakan suatu tanda bahwa apa yang ditulis
oleh kitab tadi yang dinamakan dua lubang terbuka semua
sudah merupakan suatu kenyataan dalam diri Touw Liong!
Pemandangan ajaib seperti itu, sayang Touw Liong yang
waktu itu dalam keadaan seperti melupakan diri sendiri,
sudah tidak bisa menyadari. Jikalau tidak, entah betapa
girangnya waktu itu.
Tanpa dirasa sudah menjelang pagi hari ketika Touw
Liong membuka matanya, buru-buru membuka pintu
kamar dan keluar dari kuil untuk menyongsong datangnya
pagi sambil melakukan pernafasannya. Matahari sudah
naik tinggi, Touw Liong baru menghentikan latihannya dan
kembali ke dalam kuil.
Sejak memulai latihannya dengan cara yang baru itu,
Touw Liong mendapat perasaan bahwa dirinya pada waktu
itu seolah-olah menjadi ringan dan gesit sekali, segala
tindakannya sangat lincah. Setelah dahar santapan pagi,
Touw Liong minta diri untuk meneruskan perjalanannya ke
puncak gunung Sin-lie-hong. Di waktu senja baru tiba di
bawah kaki puncak gunung Sin-lie-hong, ia beristirahat
sebentar untuk makan makanan kering, malam itu juga
melanjutkan perjalanannya ke Sin-lie-hong.
Satu jam kemudian, kediaman Anak Sakti dari gunung
Bu-san dahulu sudah tampak tidak jauh di depan matanya.
Hati Touw Liong tergoncang, sebab di rumah itu tidak
tampak sinar lampu juga tak terdengar suara orang.
Tiba di depan rumah, sikap Touw Liong berubah, karena
pintu rumah itu tertutup rapat, di atas pintu terdapat tulisan
yang menandakan bahwa rumah itu sudah tidak ada
penghuninya. Tulisan-tulisan itu tampak sangat kuat, tetapi
tulisan itu ditulis sendiri oleh Anak Sakti dari gunung Busan
atau bukan, ia masih belum berani memastikan. Tetapi
tanda waktu di atas tulisan itu menunjukkan waktu pada
setengah tahun berselang.
Touw Liong lalu menarik kesimpulan bahwa orang tua
itu sudah tidak ada di dalam rumah. Ia merasa agak
kecewa karena orang tua itu ternyata sudah tidak terdapat
di situ. Dengan tindakan lesu ia memutari puncak gunung
Sin-lie-hong, ia ingin turun dari bagian belakang, sebab di
bagian belakang itulah tempat yang dinamakan Hong-ciat,
dan kota Hong-ciat itu merupakan suatu pelabuhan darat
dan air. Mungkin dari situ ia dapat mencari sedikit
keterangan, lagipula kalau hendak ke barat menuju ke
gunung Ngo-bie, dari pelabuhan Hong-biat bisa
menumpang perahu, waktunya bisa dipersingkat.
Belakang puncak gunung Sin-lie-hong, Touw Liong
berdiri di suatu tebing, dengan termenung-menung
memandang ke sebuah tebing di bagian seberang lalu
berkata kepada diri sendiri, ”Setengah tahun aku .... Ah!
Sudahlah, jangan dipikirkan lagi. Sebagai manusia yang
belajar ilmu silat, paling menggenaskan jikalau kepandaian
ilmu silatnya dimusnahkan.”
Kiranya di tempat itulah dahulu ia bertemu dengan Panji
Wulung Wanita, yang dengan tongkatnya telah
memunahkan kepandaian ilmu silatnya. Tidak heran ketika
Touw Liong berada di tempat itu lagi, mengenangkan
semua kejadiannya yang lampau dan dianggapnya sebagai
kejadian yang patut disesalkan.
Kemudian ia berkata sendiri dengan suara gemas,
”Apabila Panji Wulung Wanita itu sekarang masih ada!
Kalau aku tidak menuntut balas dendam sakit hatiku ini,
bukanlah keturunan pendekar tangan besi menggetarkan
Sam-kang Touw-giok Khun.”
Baru saja ia diam, dari atas tebing lain tiba-tiba terdengar
suara seruan kaget, disusul oleh munculnya bayangan
orang, kemudian di hadapannya tampak berdiri dua orang.
Touw Liong semula agak terkejut, tetapi setelah
mengetahui siapa orangnya, bukan kepalang girangnya,
sehingga mengeluarkan air mata kegirangan. Cepat-cepat ia
menubruk kepada dua orang yang berada di depannya itu.
Dua orang itu juga mementang kedua tangannya
menyambuti kedatangannya.
Tiga orang itu saling berpelukan, tiada seorangpun yang
mengeluarkan suara. Lama sekali barulah terdengar suara
seorang wanita yang berkata dengan suara terharu,
”Adik Liong, kalian dua saudara saling mengenal
seharusnya merupakan suatu hal yang sangat
menggirangkan, jangan berlaku seperti anak-anak lagi, aku
merasa turut gembira bagi kalian!”
Orang yang bicara itu adalah seorang perempuan cantik
berpakaian putih, dan seorang lagi yang berdiri berhadapan
dengan Touw Liong, ternyata adalah orang yang setiap hari
siang malam dipikirkan olehnya. Dia bukan lain adalah
Kang Kie. Kang Kie yang mendengar ucapan itu
menghentikan tangisnya, dengan kedua tangan ia
merangkulkan tangannya, diamat-amatinya sekian lama,
Touw Liong juga lama memandang kepada Kang Kie. Dua
orang itu saling berpandangan sekian lama.
Dengan suara sangat halus Touw Liong memanggil
Kang Kie, ”Engko.” Kang Kie hanya mengeluarkan air
mata tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya, hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Touw Liong
kembali berpaling dan berkata kepada perempuan muda
tadi,
”Enci Lo?”
Sudah tentu perempuan muda itu bukan lain daripada
Lo Yu Im dari Kun-lun-pay.
“Bagaimana kau bisa berada di atas gunung Bu-san ini?”
bertanya Kang Kie.
”Aku justru sedang mencari kalian berdua. Banyak soal
yang akan kutanyakan kepada kalian,” menjawab Touw
Liong.
”Kita jangan berdiri di tempat ini saja, marilah kita
jalan!” berkata Lo Yu Im.
Lo Yu Im berjalan lebih dahulu dengan diikuti oleh
Touw Liong dan Kang Kie, ketika orang itu melompat ke
sebuah puncak tinggi lalu berjalan masuk ke kelenteng Sinlin-
bio. Kelenteng Sin-lin-bio itu tidak besar, tetapi oleh
karena usianya yang terlalu tua dan jarang diperbaiki, maka
dinding-dinding temboknya banyak yang sudah pecah dan
keadaannya sudah hampir rusak. Meskipun sudah rusak,
dirawat oleh Lo Yu Im dengan baik. Touw Liong yang
menyaksikan keadaan kelenteng itu mengerti bahwa Kang
Kie dan Lo Yu Im telah berdiam lama dalam kelenteng ini
dalam waktu yang cukup lama. Jika tidak, tak mungkin
bisa dirawat demikian bersih.
Patung yang dipuja dalam meja sembahyang sudah lama
tidak ada. Kisah-kisah mengenai diri putri gunung Bu-san
itu sedikitpun tidak ada tandanya bagi orang-orang
sekarang, tetapi meja bundar dan kursi-kursi batu yang
terdapat di hadapan meja sembahyang, utuh dan teramat
bersih.
Tiga orang itu duduk di atas kursi batu. Touw Liong lalu
mengeluarkan kitabnya Hui-eng-pat-sek, diberikan kepada
Kang Kie, katanya,
”Hui Eng locianpwee juga sudah menutup mata, barang
peninggalan locianpwee hanya sejilid kitab ini, selain
daripada itu ialah pedang di atas punggungku ini.” Setelah
berkata demikian, ia menurunkan pedang Khun-ngokiamnya,
diberikan kepada Kang Kie.
Kang Kie sangat sedih sekali berlutut menghadap ke
utara sambil menangis dengan suara pilu ia berkata,
”Suhu, tecu seorang murid yang tidak berbakti, hingga
tak bisa mengantarkan arwah suhu.”
Lo Yu Im menghiburi dengan suara lemah lembut.
“Kesehatanmu baru pulih belum lama, kalau terlalu
berduka bisa mengganggu kesehatanmu lagi. Kau harus
sayang kepada dirimu sendiri!”
Touw Liong mengerti bahwa saudara sekandungnya itu
barangkali setelah terluka dalam pertempuran di Pak-bong,
hingga saat ini baru sembuh. Ia merasa menyesal yang ia
sudah mengabarkan berita tentang kematian suhunya.
Sementara itu Kang Kie bertanya sambil menggertek gigi,
”Dengan cara bagaimana kematian suhu?”
Touw Liong menghela nafas, ia memandang kepada Lo
Yu Im sambil mengangguk-anggukkan kepala, kemudian
berkata lambat-lambat,
”Hui Eng locianpwee sewaktu mengadu kekuatan tenaga
dalam dengan Ngo-gak Sin-kun, terluka bagian dalamnya
....”
Tidak menunggu Touw Liong menjelaskan
persoalannya, Kang Kie sudah lompat dan berkata dengan
suara gusar.
”Bagus sekali si makhluk aneh Ngo-gak itu. Jikalau aku
tidak bisa mencincang tubuhnya, aku masih belum merasa
puas!”
Touw Liong dari dalam sakunya mengeluarkan lagi kitab
Tay-lo Sin-kang dan dua jilid Thay-it Cin-keng, diberikan
kepada Kang Kie seraya berkata,
”Ini juga merupakan barang peninggalan Hui Eng
locianpwee, harap engko terima dengan baik.”
Kang Kie menyambuti kitab yang diberikan kepadanya,
setelah dibacanya satu per satu, ia menyimpan kitab Huieng
Pat-sek, berkata sambil menunjuk kitab Tay-lo,
”Kitab ini seharusnya menjadi milikmu.”
Ia menyesapkan kitab itu ke tangan Touw Liong seraya
berkata,
”Di atas puncak Thian-tu-hong, Dewa Arak locianpwee
telah memancing aku mengambil kitab wasiat ini. Beliau
sebenarnya telah salah anggap aku sebagai dirimu.”
Ia berdiam sejenak, kemudian berkata pula sambil
menunjuk dua jilid kitab Thay-it Cin-keng,
”Dua jilid kitab ini sebetulnya berasal dari partai Butong,
yang kemudian terjatuh ke dalam tangan Siao-limpay.
Seratus tahun berselang, kitab ini dicuri oleh Un Khun
dari gereja Siao-lim-sie, di tengah jalan telah dirampas oleh
murid golongan Thian-san, kalau diusut asal-usulnya kitab
ini seharusnya milik Bu-tong dan Siao-lim, sedangkan Kiuhwa
yang justru menjadi cabang golongan Thian-san, oleh
karenanya maka dua jilid kitab ini seharusnya kaulah yang
menyimpan!”
Touw Liong tidak menolak, dua jilid kitab itu
diterimanya dengan baik, dan kemudian disimpannya baikbaik.
”Aku sudah terlalu banyak berhutang budi kepada Enci
Lo, maka sebilah pedang ini seharusnya kembali kepada
pemilik yang aslinya. Terimalah pedang ini dengan baik.”
Dengan kedua tangannya ia menyerahkan pedang itu
kepada Lo Yu Im.
Lo Yu Im menerimanya, pedang itu dipeluknya, ia
mengusap-usap dengan tangannya sambil mengeluarkan air
mata. Dengan hati pilu ia memandang Kang Kie,
kemudian berpaling dan berkata kepada Touw Liong,
”Perkataan encimu yang dahulu kuucapkan kepadamu,
ada sedikit tidak benar terhadap engkomu.”
Sampai di situ wajahnya menjadi merah, dengan penuh
cinta kasih ia memandang Kang Kie sejenak, katanya
dengan suara parau,
”Batu Khun-ngo-giok sebetulnya adalah aku yang diamdiam
mencurinya dan memberikan kepada engkomu ini.
Tetapi ia juga tidak seharusnya mendapatkan batu giok itu
lantas pergi tanpa pamit, sementara mengenai diri ayah, ai!
Karena barang yang menjadi kesayangannya itu telah
kucuri dan kuberikan kepada kekasihku, dengan cara
bagaimana kalau ayah tidak menjadi marah dan akhirnya
membawa kematiannya?”
Berkata sampai di situ, ia memandang lagi kepada Kang
Kie.
Kang Kie menghela nafas dan berkata,
”Musuh yang paling besar dalam dunia ini tak ada yang
lebih besar daripada musuh orang tuanya, setelah aku
mendapatkan batu Khun-ngo-giok, saat itu dalam hatiku
hanya memikirkan dengan cara bagaimana harus
dibuatnya pedang untuk menuntut balas. Maka waktu itu
aku terpaksa mengendalikan perasaan hatiku sendiri untuk
sementara aku meninggalkan enci, pulang ke gunung Pakbong
untuk membuat pedang. Masih untung Tuhan telah
mengabulkan permintaanku, sebelum pedang ini berhasil
dijadikan pedang, musuh-musuhku sudah dapat kubunuh
semuanya.”
Berbicara tentang musuh ayahnya, Touw Liong juga
mengucurkan air mata. Kang Kie juga merasa terharu,
maka ia bertanya kepada Touw Liong,
”Adik, tahukah kau siapa musuh kita yang
membinasakan ayah dan ibu?”
Touw Liong menganggukkan kepala dan berkata,
”Murid pengkhianat dari Bu-tong-pay!”
”It-tiem??” demikian Kang Kie balas menanya dengan
perasaan terkejut.
”Jadi orang-orang yang kubunuh itu bukanlah
pembunuh aslinya?”
Touw Liong kembali menganggukkan kepala dan
berkata,
”Sepuluh batok kepala di atas danau Thian-tie itu tiada
satu dari mereka yang dahulu terlibat dalam pembunuhan
ayah dan ibu.”
Kang Kie tercengang. Touw Liong lalu menceritakan
apa yang dijelaskan oleh Hian-hian Totiang. Kang Kie
yang mendengar itu dadanya seperti mau meledak.
Lo Yu Im sementara itu lantas menghibur padanya,
”Pedang pusaka seharusnya dihadiahkan kepada ksatria.
Adik Kie, kau sebetulnya mempunyai banyak musuh yang
tak terhitung jumlahnya, pedang ini biarlah kau yang
membawanya!”
Kang Kie bersangsi sejenak, pedang itu diterimanya,
kemudian diberikan kepada Touw Liong katanya,
”Pedang ini untuk sementara kau saja yang bawa.”
Touw Liong menolak, katanya,
”Pedang ini Engko yang membawa juga sama saja, aku
sudah mencapai ke taraf yang tidak akan perlu lagi
menggunakan pedang. Pedang ini meskipun merupakan
pedang sangat tajam, bagiku juga tidak berarti banyak.”
Kang Kie tercengang, Touw Liong memberikan
penjelasannya!
”Sekarang aku sedang melatih ilmu yang tertinggi, ialah
Tay-lo Kim-kong Sin-kang, mungkin tidak lama lagi sudah
kupelajari dengan sempurna. Setelah berhasil, dalam waktu
yang bersamaan aku bisa mengeluarkan serangan dua jenis
ilmu Sin-kang. Tangan kiri ilmu Thay-it Sin-kang, tangan
kanan ilmu Tay-lo Sin-kang.”
Memang sebenarnya, apabila seorang sudah berhasil
mempelajari ilmu Tay-lo Kim-kong Sin-kang, dalam rimba
persilatan sudah susah mendapatkan tandingan, tentang ini
Kang Kie juga mengerti.
Orang anggap ia sudah mencapai ke taraf demikian,
memang benar bahwa senjata tajam tidak berarti banyak.
Khang Kie merasa girang mendapat dengar hasil yang
dicapai oleh adiknya, begitupun dengan Lo Yu Im, ia juga
merasa sangat gembira. Ia sebetulnya tidak berdaya maka
pedang itu terpaksa diterimanya. Setelah itu Touw Liong
berkata pula,
”It-tiem ada mempunyai sebilah pedang kuno juga sudah
belajar ilmu pedang Thay-it Sin-kiam. Sekarang juga sudah
tergolong salah seorang terkuat dalam rimba persilatan.
Karena ia merupakan musuh besar kita maka kemudian
hari bila kita ketemu dengannya, harus hati-hati
menghadapinya.”
”Aku sudah mempelajari ilmu Kim-kong-sin-sek .... takut
apa?”
Touw Liong menggelengkan kepala dan berkata,
”Masih belum cukup. Sebaiknya kau pelajari semuanya,
ilmu pedang Tay-lo Kim-kong-kiam yang terdiri dari seratus
delapan gerakan, juga perlu dipelajari seluruhnya, barulah
kita bertanding dengannya.”
Kang Kie tak berkata apa-apa, ia hanya berpikir sambil
mengerutkan alisnya. Touw Liong tidak berani
mengganggu lagi, ia berpaling dan berkata kepada Lo Yu
Im,
Enci, siaote numpang tanya, dengan cara bagaimana
suhu menemui kematiannya?”
Lo Yu Im menghela nafas panjang, lalu menggelenggelengkan
kepalanya dan baru berkata,
”Hari itu aku mengejar engkomu keluar dari gunung
Pak-bong-san, setelah meninggalkan tanah kuburan Siangong,
engkomu karena terluka parah, waktu itu sudah tidak
ingat orang, aku lalu memberikan makanan sebutir pil
padanya dan menggendong ia menuju ke gunung Kiu-hwa,
untuk minta pertolongan suhumu. Di luar dugaanku
suhumu ternyata sudah menutup mata ....”
”Apa terdapat tanda luka?” bertanya Touw Liong
dengan nada cemas.
”Tidak ada,” menjawab Kang Kie.
Touw Liong bertanya pula sambil mengerutkan alisnya.
”Seorang beribadat seperti suhu, kalau memang sudah
waktunya harus pulang ke alam baka, seharusnya sudah
mendapa firasat lebih dahulu, pasti berusaha sedapat
mungkin untuk memanggil pulang siaote dan sumoy, tetapi
sekarang suhu telah mangkat tanpa meninggalkan sepatah
pesan, sesungguhnya sangat aneh. Jikalau mau dikata
bahwa kematiannya itu disebabkan penyakit yang tidak
terduga-duga, rasanya tidak mungkin.”
”Apakah kau curiga atas kematian suhumu?” berkata
Kang Kie.
Touw Liong menganggukkan kepala sebagai jawaban.
Kang Kie tampak berpikir lama kemudian baru berkata,
”Apabila suhumu itu terbokong oleh orang jahat, tetapi
orang kuat dalam rimba persilatan dewasa ini yang mampu
melakukan kejahatan terhadap suhumu jumlahnya tidak
banyak. Apalagi orang tua itu bisa bertindak tanpa
meninggalkan sedikit bekas, dapat diduga bahwa ia pasti
menggunakan sejenis ilmu yang tertinggi.”
”Pek Thian Hiong sudah terluka bagian dalam, tidak
mungkin dapat melakukan perbuatan itu. Apalagi ia
dengan suhumu juga tidak mempunyai permusuhan,”
berkata Lo Yu Im.
”Ngo-gak Lo-koay sewaktu di gunung Bu-tong telah
terkena pukulan tangan suhu, lukanya sudah tentu tidak
ringan, dia lebih tidak mungkin dapat melakukan tindakan
keji itu,” berkata Kang Kie.
”Apakah tidak mungkin Panji Wulung wanita?” berkata
Lo Yu Im.
Touw Liong menggelengkan kepala dan berkata,
”Menurut keterangan sumoyku, waktu itu Panji Wulung
wanita karena melatih ilmu Hek-hong Im-kang kurang hatihati,
hingga mendapat kecelakaan, ia berada di dalam
gunung Tiam-cong-san dalam keadaan menderita, juga tak
mungkin bisa melakukan perbuatan itu.”
Kang Kie berpikir lagi sejenak, kemudian berkata,
”Kalau begitu, hanya It-tiem seorang yang merupakan
persoalan!”
Touw Liong menggeleng-gelengkan kepala dan berkata,
”Waktu ia menghadapi aku saja masih belum sanggup,
apalagi terhadap suhu, maka juga tidak mungkin dia!”
”Kalau begitu siapa yang melakukan perbuatan itu?”
berkata Kang Kie.
Touw Liong berpikir dulu, baru berkata,
”Salah seorang dari sembilan partai ....”
”Mungkin orang-orang dari sembilan partai besar,”
berkata Kang Kie sambil mengerutkan alisnya.
”Aku akan berangkat dengan segera untuk mengadakan
penyelidikan terhadap sembilan partai besar,” berkata
Touw Liong.
”Musuh terhadap ayah bunda! Musuh terhadap suhu!
Ditambah dengan soal sumoymu, tiga perkara besar telah
terkumpul menjadi satu pada dirimu, aku pikir jikalau kita
berjalan bertiga bersama-sama, urusannya mungkin agak
mudah dihadapi,” berkata Lo Yu Im dengan penuh
perhatian.
”Sudah tentu, baiknya kita bertiga berjalan bersamasama,
supaya satu sama lain dapat saling membantu.
Tetapi urusan di dalam dunia ini tidak demikian lancar
seperti apa yang kita pikirkan, barangkali sedikit waktunya
bagi kita berkumpul seperti sekarang ini.”
”Lukaku sejak tadi sudah sembuh, besok bagi aku sudah
bisa mulai bergerak untuk keluar,” berkata Kang Kie sambil
mengangguk-anggukkan kepala.
Malam itu tiada ada kejadian yang mengganggu mereka,
maka mereka masing-masing bisa melewatkan dengan
tenang. Sebelum terang tanah, Touw Liong sudah
mendusin, selagi Lo Yu Im masih tidur nyenyak, ia diamdiam
membangunkan Kang Kie. Ia ditarik ke samping, dan
memberitahukan padanya cara-cara melatih ilmu yang
ditulis di dalam kitab kecil itu. Kang Kie ingat-ingat dengan
baik, hingga di kemudian hari ia mendapatkan banyak
faedah dalam pelajaran itu.
Hari itu setelah santapan pagi, Touw Liong memberikan
pelajaran ilmu Thay-it Sin-kiam yang terdiri dari delapan
jurus pukulan kepada engkonya dan Lo Yu Im berdua.
Kang Kie dan Lo Yu Im sedapat mungkin hendak
menggunakan waktunya yang singkat itu untuk
mempelajari sampai habis pelajaran ilmu pedang itu. Di
waktu makan tengah hari, Lo Yu Im mengajukan usul,
”Sin-lie-kong sunyi dan tenteram, .... merupakan tempat
ideal untuk melatih ilmu silat, kita lebh cepat satu hari atau
lambat satu hari turun gunung, tidak menjadi soal. Aku
pikir, adik Kie yang sudah mempelajari ilmu Hui-eng-patsek,
jikalau mau mempelajari lebih dalam, bukankah itu ada
lebih baik?”
Siapapun tahu, kali ini mereka turun dari puncak gunung
Sian-lie-hong jikalau hendak mencari tempat yang lebih
baik untuk melatih ilmu silat, barangkali tidak mudah lagi.
Oleh karenanya maka Touw Liong lalu menganggukkan
kepala menyetujui usul tersebut.
Kembali lima hari telah berlalu, Kang Kie dan Lo Yu Im
yang mempelajari ilmu Hui-eng-pat-sek sudah mendapat
kemajuan pesat demikian pula dengan Touw Liong yang
memperdalam ilmu sian-hongnya.
Esok harinya pagi-pagi sekali, tiga orang itu
meninggalkan Sin-lie-hong. Ketika tiba di kota pelabuhan
Hong-ciat, menurut keterangan penduduk kota itu, pada
tiga hari berselang memang ada orang seperti It-tim pernah
singgah di kota itu, tetapi kini sudah berlalu lagi.
Bab 40
Touw Liong yang mendapat keterangan itu menghela
nafas dan dalam hatinya berpikir : ”Sayang, kesempatan
baik itu telah dilewatkan, alangkah baiknya apabila tiga hari
berselang kita turun gunung! Kehilangan kesempatan ini,
entah di mana kita baru bisa menemukan anjing itu lagi.”
Sementara itu Kang Kie lantas mengusulkan, ”Kita
jangan ayal lagi, mari kita menyusul segera.”
Tiga orang itu buru-buru meninggalkan kota Hong-ciat
dan menuju ke barat dengan melalui jalan air. Tiba di kota
Pa-ciu lantas mencari keterangan, akan tetapi It-tiem sudah
kehilangan jejaknya lagi.
Touw Liong lalu bertanya kepada Kang Kie sambil
menunjuk sungai Kha-leng,
”Kita menuju ke utara lewat kota Sheng-to, terus ke kota
Ceng-shia. Dari sana melanjutkan perjalanan ke barat
gunung Ngo-bi, apabila kita menuju turun ke barat lagi,
justru tiba di daerah Tiam-cong, sekarang kita harus menuju
ke mana baiknya?”
Kang Kie berpikir dulu, kemudian berkata,
”Bangsat itu bayangannya saja demikian
membingungkan, sebentar berada di depanmu, sebentar lagi
tiba-tiba berada di belakang, jikalau kita usut sebab
musababnya, bukan lain daripada hendak menyingkiri kau.
Menurut pikiranku, tempat tujuannya mungkin hendak
menggabungkan diri dengan Panji Wulung wanita, atau
pergi ke gunung Ngo-bi dan Ceng-shia untuk
menggabungkan diri dengan komplotannya dahulu!”
”Sekarang adalah dia yang menghindarkan kita, kita
seharusnya mencari daya upaya supaya dia yang berbalik
mencari pihak kita,” berkata Touw Liong.
”Ah, aku pikir, sebaiknya kita menyamar saja,” berkata
Kang Kie sambil menepuk tangannya.
Menyamar adalah keahlian Kang Kie. Ia bersama Lo
Yu Im menyamar menjadi guru sekolah dan kacungnya,
sedangkan Touw Liong di bawah bantuan Kang Kie,
menyamar menjadi seorang pelajar yang sudah agak lanjut
usianya.
”Kota Pa-ciu ini merupakan pusat dari perjalanan darat
dan air, dari sini bisa menuju ke berbagai jurusan, kita harus
mengejar kemana?” bertanya Kang Kie kepada Touw
Liong.
”Dari jalan darat ada tiga, dan kita di sini orangnya
hanya ada dua rombongan. Tampaknya kita barangkali
harus berpencaran,” menjawab Touw Liong.
Touw Liong yang belum lama bertemu dengan Kang
Kie, bagaimana ia merasa tega hati harus berpisah lagi?
Akan tetapi karena keadaan memaksa, terpaksa ia harus
mengucapkan perkataan demikian.
Kang Kie adalah seorang lelaki jantan, walaupun
demikian ia juga menhela nafas, lama baru menganggukkan
kepala dan berkata,
”Tampaknya terpaksa hanya demikian saja yang kita
bisa tempuh!”
Tiga orang itu setelah berunding masak-masak, Touw
Liong menuju ke Ceng-to terus ke kota Ceng-sia. Dari situ
balik ke Ciong-lay. Sedang Kang Kie bersama Lo Yu Im
menuju ke barat pergi ke gunung Ngo-bi terus ke gunung
Tiam-cong.
Alasan Touw Liong memilih kota Ceng-sia ialah karena
selama lima tahun ini, dalam gua Thian-su-tong di daerah
Ceng-sia muncul seorang tokoh kuat, kabarnya tokoh kuat
itu juga sudah memimpin partai Ceng-sia, bahkan bersama
It-tiem ada hubungan pribadi yang sangat erat. It-tiem ada
kemungkinan pergi ke Ceng-sia, karena ia merupakan
penjahat yang utama atau biang keladinya peristiwa
berdarah itu, sudah seharusnya kalau Touw Liong memilih
kota Ceng-sia.
Jika ia bisa menemukan It-tiem, tidak sulit baginya untuk
mencari keterangan di mana jejak Panji Wulung wanita.
Tiga orang itu setelah mengambil keputusan, Touw
Liong dengan perasaan masih berat harus melanjutkan
perjalanannya untuk menuju ke kota Ceng-to. Kang Kie
dengan dikawani oleh Lo Yu Im menuju ke gunung Ngo-bi.
Ketika Touw Liong tiba di pos Liong-cwan-tek di luar
pintu kota timur Ceng-to, telah mencari tandu, dengan
menaiki tandu, ia masuk ke kota Ceng-to.
Dalam perjalanannya dari kota Paciu hingga kota Cengto,
belum pernah menemukan apa-apa, bayangan It-tiem
tetap tidak tampak.
Dengan naik tandu Touw Liong masuk dari pintu timur,
di dalam kota itu mencari salah satu rumah penginapan
besar, sebagai tempat untuk bermalam, di waktu siang hari
ia berputaran ke tempat-tempat rekreasi di daerah Ceng-to
untuk menyerepi jejak It-tiem, di waktu malam ia tidak lupa
mempelajari ilmunya Tay-lo Kim-kong Sian-kang dan
Liang-gie Sin-hwat.
Tiga hari telah berlalu. Touw Liong menjelajahi semua
tempat rekreasi di daerah Ceng-to namun tidak berhasil
menemukan orang yang dicari.
Beberapa kali ia ingin membuka surat rahasia dalam
sakunya untuk melihat apa isinya sebenarnya, tetapi ia
takut perbuatan itu nanti akan mengganggu pikirannya,
sehingga mengganggu pula usahanya untuk mempelajari
ilmu Sin-kang. Maka akhirnya ia membatalkan maksudnya
itu. Tanpa dirasa, sepuluh hari lagi kembali telah berlalu.
Sebabnya ia tidak mau tergesa-gesa pergi ke kota Ceng-sia
karena sebelum menuju ke kota Ceng-sia, sekaligus ia
hendak menyelesaikan pelajarannya ilmu sin-kang dan ilmu
sim-hwat, karena dalam perjalanan ke kota Ceng-sia itu
apabila berjumpa dengan musuh tangguh, bukankah akan
menjadi halangan dalam usahanya? Oleh karena itu ia
terpaksa harus tinggal dulu di Ceng-to untuk mempelajari
dua macam ilmunya itu.
Ia sudah mengambil keputusan, dua hari lagi akan
berangkat menuju ke Ceng-sia, di waktu masih pagi sekali,
ia pergi keluar dulu ke bagian barat kota menuju ke Cengyang-
kiong, lalu memutar ke kelenteng Bu-kao-sie, sebelum
orangnya sampai di kuil itu, baru saja menginjak jembatan
Wan-lie-kio, dari depan terdengar suara derap kaki kuda,
seekor kuda juga sedang berjalan menuju ke jembatan
tersebut.
Penunggang kuda itu ternyata merupakan seorang nona
muda yang memakai ikat kain sutera di kepalanya dan di
punggungnya menyoren sebilah pedang panjang. Sikap
gagah dari nona muda itu menarik setiap orang yang
dilalui, hanya di antara sikap yang gagah dan
kecantikannya itu tampak sedikit murung.
Touw Liong terkejut ketika melihat nona itu. Dalam
hatinya ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri, ”O, dia!”
Gadis penunggang kuda itu adalah sancu muda Citphoa-
san Pek Giok Hwa. Setengah tahun Touw Liong
tidak melihat, Pek Giok Hwa tampak lebih kurus, kalau
diingat bagaimana dahulu gadis itu banyak memberikan
bantuan padanya, maka kini dalam pertemuannya yang tak
terduga-duga itu ia memandangnya agak lama.
Pek Giok Hwa waktu itu agaknya ada urusan penting, ia
tidak memperhatikan adanya seorang pelajar yang sedang
mengawasi dirinya dengan penuh perhatian, dan pelajar itu
justru adalah Touw Liong sendiri yang menyamar. Begitu
kudanya melalui jembatan, lantas dipacu melanjutkan
perjalanannya. Touw Liong agak berpikir sejenak, dalam
hatinya mendapat suatu akal, maka ia lantas memutar balik
dan pergi mengejar.
Pek Giok Hwa larikan kudanya ke Ceng-yang-kiong,
lantas dilarikan ke barat, tujuannya ialah gunung Ceng-siasan.
Touw Liong terus mengejarnya, sementara dalam
hatinya bertanya-tanya kepada diri sendiri, ada perlu apa
dia pergi ke gunung Ceng-sia-san?
Ia tidak berhasil menyandak, terpaksa balik kembali ke
penginapannya. Ia lalu membereskan bawaannya, menukar
dengan dandanan semula. Ia membeli seekor kuda, dari
kota Ceng-to terus ditujukan ke gunung Ceng-sia-san.
Waktu senja, Touw Liong sudah melarikan kudanya
seratus pal lebih, malam itu tiba di kota Kwan Sien, ia
mencari keterangan kepada penduduk, ada orang yang
menunjuk ke bukit Pek-in-nia di sebelah barat kota.
Katanya,
”Tidak salah lagi, setengah jam berselang ada seorang
nona yang seperti tuan gambarkan dengan menunggang
seekor kuda menuju ke gunung Ceng-sia.”
Touw Liong memandang ke arah gunung hijau yang
diliputi oleh sinar matahari sore. Kuda tunggangannya
dikirim ke rumah penginapan, dengan menyusuri jalan
pengunungan ia melanjutkan perjalanannya dengan jalan
kaki. Sebagai orang yang ilmunya meringankan tubuh
sudah mencapai taraf yang tinggi, ia jalan laksana terbang.
Dalam waktu setengah jam ia sudah berhasil mengejar kuda
tunggangan Pek Giok Hwa. Ia mengikuti dari jarak agak
jauh, namun matanya terus ditujukan kepada gadis itu,
gadis di atas kuda itu memang benar Pek Giok Hwa
adanya.
Pek Giok Hwa menghentikan kudanya di kuil Tiangseng-
tian di bawah kaki gunung Ceng-sia. Pada waktu itu,
hari sudah mulai gelap, bulan sabit di tengah udara. Touw
Liong tampak ia mengawasi keadaan di bawah, kemudian
dengan gerakannya yang sangat lincah bagaikan burung
walet, terus mendaki ke atas gunung. Baru setengah tahun
Touw Liong tidak melihat, kini ternyata kepandaian ilmu
silatnya sudah mendapat kemajuan pesat sekali. Dari
gerakan kakinya kalau dibandingkan dengan keadaannya
sewaktu masih berada di danau Thian-tie di gunung Hu-san
entah berapa jauh sudah mendapat kemajuan?
Touw Liong terus mengikuti jejaknya, saat itu Pek Giok
Hwa masih belum mengetahui di belakang dirinya ada
orang yang mengintai.
Pek Giok Hwa terus melakukan perjalanannya, setelah
melalui beberapa lapis karangan gundul, ternyata tiada
orang yang melihat. Dengan diam-diam ia mendaki ke gua
Thian-su-tong yang berada di belakang gunung.
Thian-su-tong letaknya di tempat yang paling tinggi, di
depan gua itu ada dua buah bangunan kuil di depan samarsamar
tampak papan merknya yang ditulis dengan huruf
emas. Pek Giok Hwa agaknya kenal baik keadaan di
gunung Ceng-sia, tanpa ragu-ragu sedikitpun juga ia terus
masuk ke kuil, pada waktu itu, gerakan kakinya baru
tampak agak perlahan.
Touw Liong masih mengintai dari jarak agak jauh. Ia
sembunyi di belakang sebuah batu besar yang terdapat di
depan kuil. Ia hendak melihat apa yang dilakukan oleh
gadis itu.
Di dalam kuil lantas muncul dua imam yang berbaju
kuning. Orangnya sebelum muncul suaranya sudah
terdengar lebih dahulu. Tegur dari mulut si imam,
”Siapa yang begitu berani malam-malam berkunjung ke
Co-su-tian?”
Pek Giok Hwa menyongsong dua imam itu untuk
memberi hormat, kemudian menjawab,
”Pek Giok Hwa dari Cit-phoa-san, ingin berjumpa
dengan ciangbunjin kalian.”
Dua imam berjubah kuning itu sama-sama mengeluarkan
suara terkejut, kedua-duanya lantas memberi hormat dan
bertanya,
”Harap nona tunggu sebentar, biarlah pinto yang akan
melapor kepada Cosu lebih dahulu ....”
Seorang di antaranya masuk ke dalam, yang lain maju
dua langkah menghalangi perjalanan Pek Giok Hwa. Ia
mengajak bicara Pek Giok Hwa untuk menutupi
maksudnya yang merintangi nona itu masuk ke dalam.
Sementara itu Touw Liong lantas bergerak, dengan
sangat hati-hati ia menyusup ke bawah dinding kuil,
kemudian ia melesat ke atas genteng, dengan menggunakan
payon-payon rumah sebagai alingan, matanya ditujukan ke
kuil yang kedua. Di dalam pendopo kuil yang kedua itu,
ada sebuah tempat duduk piranti orang semadi, di atasnya
duduk bersila seorang imam setengah umur yang wajahnya
merah dan mengenakan jubah warna ungu. Imam itu
sepasang alisnya menunduk, sedikitpun tidak bergerak.
Di hadapan imam itu ada sebuah meja sembahyangan, di
atas meja itu ada tiga rupa barang. Yang di tengah adalah
sebuah tempat pendupaan yang masih mengepul asapnya,
sebelah kanan adalah sebilah pedang panjang, dan sebelah
kiri adalah sebuah kecapi kuno dengan tujuh senar.
Di depan meja sembahyangan, berlutut seorang imam
berjubah kuning yang baru lari masuk dari kuil pertama.
Keadaan dalam pendopo kedua itu luar biasa tenangnya,
hampir sebatang jarum jatuh di tanah juga bisa terdengar
suaranya. Touw Liong yang menyaksikan pemandangan
itu tercengang. Sementara itu imam berjubah ungu tadi
tiba-tiba membuka matanya, memandang kepada imam
berjubah kuning sejenak, lantas bertanya dengan suara
berat,
”Ada urusan apa?”
Imam berjubah kuning itu kembali menjura dan berlutut
di tanah sambil berkata,
”Nona Pek dari Cit-phoa-san datang minta ketemu
dengan cosu!”
Imam berjubah ungu itu mengerutkan alisnya kemudian
bertanya,
”Kau sudah tanya kepadanya, ada urusan apa hendak
menemui aku?”
Imam berjubah kuning itu menggeleng-gelengkan kepala
dan menjawab,
”Ia datang dengan tergesa-gesa, setelah tiba di pendopo
depan baru kita ketahui, hingga tak keburu menanyakan
kepadanya. Namun dari sikap dan wajahnya, agaknya ada
urusan penting!”
”Oo! Setengah tahun tidak melihat, tak disangka
kepandaian budak itu sudah maju demikian pesat, benarbenar
kaum muda harus ditakuti!” berkata imam berjubah
ungu, ”Beritahukan padanya, aku sedang bersemedi, tidak
sempat menerima tamu.”
Imam berjubah kuning itu menunjukkan sikap berat, ia
berlutut di tanah dan meminta-minta,
”Biar bagaimana harap cosu temui dia sebentar, barulah
dia pergi, tecu sekalian sesungguhnya tak sanggup
merintangi dia ...”
Imam berjubah ungu itu perlahan-lahan membuka
matanya, sinar matanya ditujukan kepada kecapi tujuh
senar di atas meja, setelah itu perlahan-lahan ia berpaling
dan bertanya kepada imam berjubah kuning,
”Kamu adalah anggota-anggota pelindung hukum di
bawah tanganku, dalam hal kepandaian atau derajat, kamu
semua masih bisa ditimbangkan dengan orang-orang
golongan kelas satu dalam rimba persilatan biasa saja,
seharusnya tahu asal-usul kecapi kuno ini!”
Imam berjubah kuning itu mengangkat muka dan
mengawasi kecapi kuno di atas meja, setelah itu ia
menggeleng-gelengkan kepala dan berkata,
”Tecu seorang bodoh, harap cosu supaya suka
menerangkan.”
”Ini adalah salah satu dari tiga barang pusaka simpanan
partai Bu-tong yang dinamakan Cit-sian-kow-khiem,”
berkata imam berjubah ungu.
”OO!” demikian imam berjubah kuning itu berseru
kaget, sehingga tidak bisa mengucapkan suara lagi.
Imam berjubah ungu balas bertanya kepadanya,
”Tahukah kau? Maka aku tak bisa menemui budak itu?”
Sehabis berkata demikian, ia menundukkan kepala dan
memejamkan matanya.
Sementara itu imam berjubah kuning lalu berkata dengan
sikap hormat,
”Tecu mengerti!”
Setelah itu ia berlalu meninggalkan imam berjubah ungu.
Kalau dua imam berjubah kuning itu diliputi oleh tekateki,
demikian juga dengan Touw Liong. Ia tidak mengerti
dalam hal ini ada permainan apa. Tetapi dalam hati ia
mengerti, kecapi kuno yang merupakan salah satu dari tiga
benda pusaka milik Bu-tong sudah berada di Ceng-sia,
bahkan dengan cara terang-terangan diletakkan di atas meja
sembahyang, dus, beradanya kecapi kuno di tempat ini jelas
adalah orang-orang Bu-tong sendiri yang mengantarkan
kemari.
Siapakah orangnya yang demikian royal sudah
memberikan barang pusakanya kepada orang lain?
Apakah Hian-hian Totiang? Ceng-tien? Ataukah Ittiem?
Touw Liong mengangguk-anggukkan kepala sementara
dalam hatinya berpikir, ”Benar! Pasti It-tiem, sewaktu
melarikan diri dari gunung Bu-tong, sudah membawa pergi
alat musik kuno ini, dan diberikan kepada imam berjubah
ungu itu.”
Baru saja berpikir demikian, lain pikiran terlintas dalam
otaknya, ”Kalau begitu pasti pernah datang kemari.”
Tubuh Touw Liong bergetar, dengan tiba-tiba di
belakang pendopo terdengar suara bentakan perlahan.
”Nona, silahkan kembali! Jangan bertindak
sembarangan di tempat ini!”
Suara itu, kemudian disusul oleh munculnya beberapa
sosok bayangan orang di atas atap pendopo belakang itu.
Bayangan orang itu ternyata terdiri dari enam orang imam
berjubah kuning, masing-masing membawa pedang panjang
dan mengurung Pek Giok Hwa di tengah-tengah mereka.
Touw Liong diam-diam merasa bersyukur karena di
dalam dan atas serta bawah pendopo kedua itu ada enam
imam berjubah kuning yang melindungi imam berjubah
ungu. Tadi, seandainya ia dengan gegabah memasuki
pendopo belakang, barangkali sudah lama diketahui oleh
enam imam itu. Ia juga mengerti apa sebabnya Pek Giok
Hwa bisa menyerbu ke bagian belakang itu. Dua imam
berjubah kuning yang di pendopo depan tadi suruh ia
pulang, karena ia merasa penasaran, barulah menyerbu ke
belakang.
Touw Liong masih berdiam di tempat sembunyinya,
tetapi diam-diam sudah mengambil keputusan.
Kesatu, ia hendak menyelidiki, apakah It-tiem pernah
datang ke Ceng-sia apakah tidak?
Kedua, kepandaian Pek Giok Hwa cukup tinggi, enam
imam berjubah kuning itu pasti tak bisa berbuat apa-apa
terhadapnya, nanti setelah ia berada di dalam pendopo dan
berhadapan langsung dengan imam berjubah ungu, jikalau
keadaan berbahaya, barulah turun tangan memberi
bantuan.
Dua imam berjubah kuning yang tadi menjaga di
pendopo depan, ketika mendengar suara ribut-ribut lantas
lari ke belakang, kedua-duanya berdiri di muka pintu untuk
berjaga-jaga, sedangkan imam berjubah ungu yang
bersemedi di atas tempat duduknya, masih tetap tidak
bergerak.
Dari atas genteng pendopo belakang terdengar suara
bentakan, kemudian terdengar suara Pek Giok Hwa yang
membentak dengan suara lantang,
”Ciangbunjin kalian tak mau menemui nonamu, suatu
tanda bahwa ia memang ada bersalah, kalau begitu apa
yang tersiar di luar itu semuanya benar! Tak kusangka dia
melupakan budi orang lain, ia juga tidak memikirkan
dirinya sendiri, kalau ia mendapat kedudukan seperti hari
ini semata-mata karena mendapat bantuan ayah, jika ayah
tidak memandang Ciangbunjin kalian yang terdahulu, apa
dia bisa mendapat kedudukan seperti hari ini?”
Imam berjubah ungu yang duduk di tempat semedinya
ketika mendengar ucapan Pek Giok Hwa, mendadak
membuka matanya. Matanya ditujukan kepada kecapi
kuno di atas meja sejenak, kemudian memberikan perintah
dengan ulapan tangan kepada seorang imam berjubah
kuning yang mendampingi dirinya. Imam itu mengerti, lalu
mengambil kecapi kuno dan dibawanya ke belakang.
Imam berjubah ungu itu lantas mengambil pedang
panjang di atas meja, diselipkan di atas punggungnya,
perlahan-lahan bangkit dari tempat duduknya.
Pada waktu itu, di atas atap pendopo itu terdengar suara
bentakan berulang-ulang, tujuh bilah pedang di tangan
tujuh imam sudah mulai melakukan serangan kepada Pek
Giok Hwa.
Dalam hati Touw Liong kembali timbul pertanyaan :
Siapakah imam berjubah ungu itu? Apakah ia Thian-siem
Tojin murid murtad golongan Ceng-sia yang pada dua
puluh tahun berselang diusir oleh perguruannya?
Bantuan apa yang diberikan oleh Pek Thian Hong
kepadanya?
Thian-siem sudah diusir oleh golongannya, bagaimana
secara diam-diam kembali ke partai Ceng-sia? Dengan cara
bagaimana pula ia bisa menjabat kedudukan ketua partai
itu? Dari sinar matanya yang bercahaya, Touw Liong mau
menduga bahwa kekuatan tenaga dalam Thian-siem Tojin
sudah mencapai ke taraf sempurna. Dari manakah
kepandaian dan kekuatan tenaganya itu? Apakah Pek
Thian Hiong membantu ia kembali ke perguruannya?
Ataukah membantu ia memulihkan kepandaian dan
kekuatan tenaganya?
Apabila imam berjubah ungu itu benar adalah Thiansiem,
yang pada dua puluh tahun berselang diusir oleh
perguruannya, apakah lantaran dia dahulu turut ambil
bagian mengepung dan membinasakan Hong-tim Sam Kiat,
hingga diketahui oleh ketuanya dan kemudian diusir oleh
perguruannya. Ketika Touw Liong berpikir sampai di situ,
darahnya terasa bergolak, katanya kepada diri sendiri
sambil menggertek gigi, ”Jika benar imam itu adalah
seorang yang dahulu pernah ikut membinasakan ayah
bundaku, hari ini aku akan bunuh padanya untuk kubuat
sembahyang kepada arwah ayah bundaku di Gak-yang.”
Sementara itu Pek Giok Hwa yang menghadapi kawanan
imam di atas genteng, mainkan pedangnya demikian rupam
semua gerakan ilmu pedang yang dahulu belum pernah
Touw Liong saksikan. Ilmu pedang yang hebat itu telah
berhasil mengelakkan setiap serangan rombongan imam
berjubah kuning, kemudian ia berhasil pula melepaskan diri
pula dari kepungan dan melayang turun ke bawah, berdiri
di tengah-tengah pelataran dalam.
Imam berjubah ungu waktu itu sudah keluar menyambut
kedatangan Pek Giok Hwa. Imam itu ternyata sangat licin,
begitu melihat Pek Giok Hwa, ia lantas unjukkan senyum
iblisnya, pura-pura tidak tahu ia bertanya kepada Pek Giok
Hwa.
”Pinto sedang bersemedi di belakang goa, hingga tak
tahu kedatangan nona, oleh karenanya tak bisa keluar
menyambut sendiri. Dalam hal ini harap nona suka
memaafkan, entah ada urusan apa nona telah bertengkar
dengan murid-murid pinto?”
Pek Giok Hwa meskipun saat itu sedang murka, tetapi ia
juga merasa tidak pantas jikalau marah-marah terhadap
orang yang berlaku demikian sopan. Maka saat itu ia
tercengang dan tak bisa menjawab apa-apa.
Touw Liong menghela nafas dan berkata kepada diri
sendiri, ”Celaka! Nona Pek telah tertipu oleh akal licik
imam itu.”
Diam-diam ia memungut sepotong genteng lalu
dihancurkan menjadi beberapa potong, genteng itu
diletakkan dalam telapak tangannya.
Pek Giok Hwa masih terhitung seorang cerdas, setelah
merasa tercengang sejenak lantas pula dengarkan suara
tertawa dingin, dan berkata sambil menunjuk imam
berjubah ungu itu,
”Totiang, aku ingin bertanya padamu, ayah mendengar
kabar bahwa kecapi kuno berada di gunung Ceng-sia.
Apakah itu benar?”
Imam itu tidak menduga bahwa Pek Giok Hwa begitu
bertemu muka, perkataan pertama-tama yang keluar dari
mulutnya ialah menanyakan soal kecapi kuno itu, hingga
sesaat itu ia tak tahu bagaimana harus menjawab? Ia
sesungguhnya tidak mengerti maksud kedatangan Pek Giok
Hwa, maka sesaat itu ia menjadi gelagapan tidak bisa
menjawab.
”Kalau begitu, apa yang tersiar di kalangan Kang-ouw
itu ternyata benar!” berkata pula Pek Giok Hwa sambil
tertawa dingin.
”Nona ingin bertemu dengan pinto, sebetulnya ada
keperluan apa?” bertanya imam itu yang masih pura-pura
berlagak pilon.
”Aku datang atas perintah ayah hendak minta pinjam
serupa barang kepada Totiang,” berkata Pek Giok Hwa
sambil tertawa dingin.
”Barang apa?” bertanya imam berjubah ungu pura-pura
terkejut.
Kemudian dengan nada suara berat ia berkata pula,
”Asal aku Thian-siem ada barang itu, nona katakan saja,
pinto pasti akan menyerahkan dengan kedua tangan!”
Dengan tegas Pek Giok Hwa berkata,
”Baik!” Setelah itu ia menjura memberi hormat seraya
berkata,
”Di sini kuucapkan terima kasih terlebih dahulu kepada
totiang!”
Mata Thian-siem Tojin berputaran mengawasi Pek Giok
Hwa, sedangkan Pek Giok Hwa waktu itu tampak
menghela nafas, wajahnya sangat murung. Dengan suara
sedih sekali ia berkata pula,
”Ayah sangat membutuhkan sekali kecapi kuno itu.”
”Kecapi kuno?” Mengulang Thian-siem Tojin terkejut,
hingga mundur tiga langkah.
Pek Giok Hwa yang menyaksikan sikap tidak beres dari
Thian-siem, ia maju selangkah dan bertanya pula,
”Apakah kau merasa keberatan untuk meminjamkan?”
Thian-siem Tojin menggeleng-gelengkan kepala, katanya
dengan suara gugup,
”Aku tidak ada kecapi kuno itu!”
”Aku sudah tahu, bahwa kau ini adalah seorang manusia
yang berhati binatang,” berkata Pek Giok Hwa yang sudah
marah.
Sementara itu Touw Liong diam-diam telah berkata
sendiri sambil menghela nafas, ”Kau salah. Bukanlah dia
yang berhati binatang, sesungguhnya karena kecapi kuno
itu terlalu berharga, siapapun yang mendapatkan barang
pusaka itu sudah tentu tidak mau meminjamkan kepada
orang lain.”
Thian-siem yang melihat Pek Giok Hwa marah, lalu
berkata,
”Nona sesungguhnya agak keterlaluan! Dengan
perbuatanmu yang tidak berbicara soal aturan ini benarbenar
sangat mengecewakan hatiku. Barang yang tidak
kupunyai, dengan cara bagaimana kau suruh aku
memberikan kepadamu?”
Pek Giok Hwa sudah marah benar-benar, dengan alis
berdiri pedangnya dihunus, kemudian berkata lagi,
”Hari ini bagaimanapun juga kau harus menyerahkan
barang itu, jikalau tidak ada, kau juga harus pergi
mencarinya!”
Thian-siem mendongakkan kepala dan tertawa terbahakbahak,
setelah itu ia bertanya,
”Mengapa? Dengan alasan apa kau paksa aku
melakukan suatu perbuatan yang tak mungkin
kulaksanakan?”
Thian-siem memang sudah menyembunyikan kecapi
kuno itu, ucapannya itu sesungguhnya melanggar hati
nuraninya sendiri. Sebagai manusia, sedikit banyak ia
masih dipengaruhi oleh ketamakan, maka ucapannya itu
dapat dimengerti. Tetapi Pek Giok Hwa yang merupakan
seorang dari golongan ternama, juga bisa berlaku demikian
kasar, sesungguhnya mengherankan Touw Liong.
Pada saat itu, delapan imam berjubah kuning yang
berdiri di belakang Thian-siem, melompat maju sambil
menghunus pedang masing-masing. Tetapi Thian-siem
Totiang segera melarangnya, hingga delapan imam itu
lantas balik kembali.
Pek Giok Hwa yang masih marah matanya menyapu
delapan imam itu sejenak, kemudian membentak sambil
menunjuk Thian-siem,
”Apakah kau sudah lupa, pada dua puluh tahun
berselang kau telah diusir keluar dari perguruanmu,
dimusnahkan seluruh kepandaianmu, kau datang ke Cithwa-
san, berlutut di bawah kaki ayah minta pertolongan,
karena ayah merasa kasihan, barulah dengan bertentangan
peraturan rimba persilatan, memulihkan kepandaianmu,
bahkan ia telah menerima kau berdiam di sana lima tahun
lamanya. Di sana kau mendapat pelajaran ilmu silat yang
tak sedikit, berdasarkan ini saja kau seharusnya mengerti
dan membalas budi kebaikan ayah itu.”
Mendengar ucapan Pek Giok Hwa, wajah Thian-siem
tampak merah padam, katanya sambil menggertek gigi,
”Masih baik kau jangan mengungkap-ungkap kejadian
yang sudah lalu. Jika kuingat kejadian masa lampau itu,
kegemasan dan kebencianku itu menjadi timbul lagi.”
Ia berdiam sejenak, kemudian berkata pula dengan suara
gemas,
”Aku masih ingat dan merasa gemas terhadap ayahmu,
aku minta ia memulihkan kepandaian ilmu silatku, tiga hari
tiga malam aku berlutut di hadapannya, mataku sampai
menjadi merah, tetapi ia sedikitpun tidak tergerak hatinya.”
Touw Liong ketika mendengar ucapan itu sadarlah ia,
hubungan Thian-siem Tojin dengan ketua Cit-phoa-san,
pantas Pek Giok Hwa bertindak demikian kasar
terhadapnya.
Lain pikiran terlintas dalam otaknya, ia lalu berkata
kepada diri sendiri, ”Untuk apa Pek Thian Hiong
membutuhkan kecapi kuno Cit-san-bo-kiem itu?”
Pertanyaan itu masih belum mendapat jawabannya,
sudah terdengar suara Thian-sim yang berkata sambil
tertawa dingin,
”Kemudian aku pura-pura bersumpah di hadapannya,
barulah ayahmu tergerak hatinya mau memulihkan
kepandaianku, juga memberi pelajaran beberapa macam
ilmu silat. Kalau aku bisa mendapat kedudukan seperti
sekarang ini, itu semata-mata karena aku menjumpai
kejadian gaib, itu atas usahaku sendiri.”
Pek Giok Hoa yang mendengar ucapan tidak karuan itu
wajahnya berubah pucat, katanya dengan suara marah,
”Ayahku masih pandang kau sebagai manusia, ternyata
kau hanya seorang manusia yang berhati binatang. Lima
belas tahun berselang ketika kau menghilang dari gunung
Cit-phoa-san, ayah masih memerlukan dan memerintahkan
semua anak muridnya untuk mencari selama tiga hari tiga
malam lamanya. Hari kau kembali ke gunung Ceng-sia,
kau lantas melupakan semua sumpahmu di hadapan ayah.”
”Kalau kau telah membicarakan urusanku pada lima
belas tahun berselang, aku masih tidak berapa marah, tetapi
kau ungkat lagi urusan itu, aaa ... sudah lima belas tahun
lamanya! Lima belas tahun berselang, ayahmu karena
hendak membuat semacam obat ajaib, hanya kurang
beberapa macam obat-obatan, sungguh menjemukan, waktu
itu siapapun ia tidak memerintahkan hanya suruh aku pergi
ke belakang gunung untuk mencari daun obat yang
diperlukan. Waktu itu, aku memasuki daerah pedalaman
gunung itu hingga beberapa ratus pal jauhnya, sampai
masuk ke daerah perbatasan Tibet, masih belum berhasil
menemukan daun obat yang diperlukan itu. Pada suatu
hari, selagi aku mendaki puncak bukit, dengan tiba-tiba
mendengar desiran angin, kemudian aku telah terpukul
jatuh oleh tangan orang sehingga pingsan.”
Berkata sampai di situ, ia menghela nafas, kemudian
melanjutkan kata-katanya,
”Waktu aku sadar kembali, hidungku telah mencium bau
amis yang memuakkan, aku merasakan aneh. Ketika aku
membuka mata, semangatku terbang seketika, karena aku
telah dipanggul oleh satu makhluk tinggi besar yang mirip
dengan manusia tetapi bukan manusia, sekujur badannya
tumbuh bulu panjang warna putih, makhluk aneh yang
tinggi besar itu telah membawaku masuk ke dalam sebuah
gua kuno ....”
Touw Liong yang mendengar ucapan itu ia lantas
menduga bahwa makhluk aneh yang diucapkan oleh Thiansim
tadi, tentunya manusia salju.
Bab 41
Seolah-olah masih merasa jeri, Thian-sim melanjutkan
ceritanya,
”Waktu itu aku sebetulnya ingin turun tangan menotok
jalan darah makhluk aneh itu, aku mencoba meraba-raba
kulit dan dagingnya, makhluk aneh itu ternyata memiliki
kulit tebal dan keras bagaikan baja, dan totokanku itu tidak
berhasil membinasakannya, maka kedua kakiku yang
dikempit olehnya, apabila ia marah, bukankah bisa
mengoyak badanku menjadi dua potong? Maka akhirnya
aku terpaksa bersabar, tak berani turun tangan secara
gegabah. Selagi memikirkan cara bagaimana untuk
melepaskan diri, makhluk aneh itu dengan tiba-tiba
menghentikan langkahnya setelah itu ia melemparkan
diriku ke tanah, maka selanjutnya aku kembali menjadi
pingsan. Ketika aku sadar lagi, aku merasa untuk kedua
kalinya aku hidup kembali! Ketika aku membuka mata,
aku ternyata berada di dalam sebuah gua yang
penerangannya hanya samar-samar, di dalam gua itu
terdapat banyak tulang-tulang dan tengkorak. Aku juga
tidak tahu, tulang-tulang dan tengkorak itu apakah tulangtulang
manusia ataukah tulang-tulang binatang? Pendek
kata, tulang-tulang itu sudah tak dapat dibedakan, tulangtulang
manusia ataukah tulang-tulang binatang. Tetapi aku
di dalam tumpukan tulang-tulang itu menemukan sesuatu,
di samping sebuah tulang, aku telah menemukan sebilah
pedang, di samping itu masih ada sejilid kitab. Pedang itu
adalah pedang yang sangat bagus. Dengan pedang di
tangan, aku mulai bersemangat lagi. Kitab itu kuambil dan
kusimpan dalam saku, dengan membawa pedang panjang
itu aku berjalan keluar dari dalam gua. Tak disangkat,
makhluk aneh itu ternyata sudah mendengar gerakan
kakiku. Ia berdiri di mulut gua untuk merintangi
perjalananku. Setelah itu ia membuka mulutnya yang lebar,
dari mulut itu mengeluarkan suara yang aneh. Sebentar
kemudian terdengar suara aneh tadi, di mulut gua itu
dengan tiba-tiba muncul enam makhluk aneh yang lain.”
Berkata sampai di situ, jidat Thian-sim sudah mulai
berkeringat, ia mengeringkan keringat di jidatnya, lalu
mulai ceritanya lagi,
”Dengan mengandalkan pedang itu, aku berjuang satu
hari satu malam lamanya melawan kawanan makhluk aneh
itu, barulah aku berhasil melarikan diri dari gua itu.”
Ini memang merupakan suatu kisah yang sangat
menarik, maka Pek Giok Hoa yang mendengarkannya lalu
berkata,
”Jadi kau sudah berhasil membunuh tujuh makhluk aneh
itu, dan menggunakan waktumu lima belas tahun untuk
mempelajari isi dalam kitab itu?”
Thian-sim mengangguk-anggukkan kepala.
”Apakah isi dalam kitab itu adalah pelajaran ilmu silat
tertinggi?” bertanya pula Pek Giok Hoa.
Kembali Thian-sim menganggukkan kepala.
”Setelah kau berhasil mempelajari ilmu tertinggi itu, apa
kau lantas balik ke Ceng-sia, karena waktu itu suhumu
sudah meninggal dunia, maka kau menggunakan pedang
kuno yang kau dapatkan dari dalam gua itu untuk
membunuh suheng dan sutemu, paksa murid-murid
golongan Ceng-sia supaya mengangkat kau menjadi ketua?”
Thian-sim menganggukkan kepala dengan sikap bangga,
katanya dengan tidak membantah pertanyaan Pek Giok
Hoa,
”Kedudukan ciangbunjin itu seharusnya memang
menjadi kepunyaanku! Aku sebetulnya memang murid dari
ketua golongan Ceng-sia, siapa yang suruh mereka tidak
tahu diri dan memaksa aku bertindak keras terhadap
mereka?”
Touw Liong yang mendengarkan dari tempat
persembunyiannya, darahnya merasa mendidih. Diamdiam
mengutuk imam itu yang berhati sangat kejam
terhadap saudara seperguruannya sendiri.
”Hatimu demikian kejam, tampaknya sumpahmu itu
akan manjur dan berbakti kepada dirimu sendiri,” berkata
Pek Giok Hoa sambil tertawa dingin.
”Kita jangan perbincangkan soal sumpahku itu manjur
atau tidak. Dahulu, ayahmu telah menyiksa aku demikian
rupa, sewaktu aku minta ia memulihkan kekuatan dan
kepandaianku, aku pernah bersumpah kepada diri sendiri :
SATU HARI KELAK APABILA AKU BISA
MENDAPATKAN KEPANDAIAN TINGGI DAN
KEDUDUKAN BAIK, HM! AKU HENDAK
MENUNTUT BALAS, DENGAN CARA BAGAIMANA
AYAHMU MENYIKSA AKU, AKU AKAN BALAS
SEPERTI APA YANG PERNAH IA LAKUKAN
TERHADAP DIRIKU.”
Pek Giok Hoa yang mendengar ucapan terus terang dari
Thian-siem, wajahnya berubah seketika dalam hati bergidik
sendiri. Sedangkan Touw Liong yang berada di atas
genteng menggertak giginya.
”Sekarang aku baru tahu bagaimana sifatmu. Kiranya
kau adalah seorang yang bukan saja tidak berbudi, bahkan
terlalu jahat sekali. Entah berapa banyak kejahatan yang
sudah kau lakukan? Sekarang coba kau ceritakan dalam
hidupmu ini kau pernah melakukan kejahatan apa saja?”
bertanya Pek Giok Hoa.
Thian-siem menggelengkan kepala dan berkata,
”Orang lain biasanya kalau bersumpah hendak
melakukan sepuluh perbuatan baik, tetapi aku sebaliknya,
aku telah bersumpah hendak melakukan sepuluh
kejahatan.”
”Kau sudah melakukan berapa banyak kejahatan?”
bertanya pula Pek Giok Hoa.
Thian-siem mendongakkan kepala mengawasi langit
yang gelap, seolah-olah mengenangkan kembali apa yang
sudah dilakukan pada masa yang lalu. Tampak ia berpikir
dulu sejenak, kemudian baru menjawab,
”Pertama, pada dua puluh tahun berselang, di atas loteng
Gak-ang, aku ikut mengepung Hong-tiem Sam Kiat ....”
Touw Liong yang mendengar keterangan itu, seperti
disambar geledek, dengan tiba-tiba ia mengdongakkan
kepala dan mengeluarkan siulan yang memilukan hati.
Setelah itu kakinya menjejak permukaan genteng, di tengah
udara berputaran sejenak, kemudian melayang turun ke
dalam pendopo.
Karena kejadian itu terjadinya dengan mendadak, maka
baik Thian-siem maupun Pek Giok Hoa semua dikejutkan
olehnya, masing-masing lompat mundur tiga tombak lebih.
Dengan sikap sangat gagah Touw Liong berdiri di
tengah-tengah pelataran dalam pendopo itu, memandang
Thian-siem dengan mata mendelik, kemudian barulah
menghampiri Pek Giok Hoa dengan langkah lebar. Setelah
Pek Giok Hoa melihat tegas diri Touw Liong, katanya
dengan suara girang,
”Touw tayhiap!”
”Nona Pek ....,” demikian Touw Liong menyahut.
Setelah itu ia mengulurkan tangannya kepada Pek Giok
Hoa, katanya dengan suara perlahan,
”Nona Pek, tolong pinjam pedangmu sebentar.”
Pek Giok Hoa tidak berkata apa-apa, pedangnya
diserahkan kepada Touw Liong.
Touw Liong menyambut pedang itu, Thian-siem lalu
menuding Touw Liong dengan pedangnya, tertawa
terbahak-bahak dan berkata,
”Bocah! Jadi kau ini adalah Touw Liong?”
”Benar! Tuan mudamu ini adalah keturunan dari Touw
Giok Kun, salah satu dari Hong-tiem Sam Kiat,” menjawab
Touw Liong dengan suara gusar.
”It-tiem pernah berkata padaku bahwa kau sekarang
sudah memiliki kepandaian yang cukup berarti, cepat atau
lambat akan datang ke Ceng-sia. Kalau begitu, bagus.
Sejak aku mempelajari ilmuku yang tiada taranya ini, belum
pernah melakukan pertandingan dengan orang. Hari ini
malaikat telah mengirim kau ke gunung Ceng-sia, ini
merupakan suatu bukti bahwa keinginanku hendak
mencoba kepandaianku itu telah tercapai. Mari! Kita
berdua boleh bertempur sepuas-puasnya, aku ingin lihat
apakah benar ucapan It-tiem itu?” berkata Thian-siem
sambil tertawa dingin.
”Kapan It-tiem datang kemari?” bertanya Touw Liong.
”Tujuh hari berselang.”
”Ada keperluan apa ia mencari kau?”
”Ada dua urusan. Pertama, ialah memperingatkan aku,
katanya kau bocah sedang mencari aku hendak menuntut
balas dendam orang tuamu. Kedua, ialah mengantarkan
padaku sebuah kecapi kuno.”
”Apa ia masih minta pertolongan kepadamu kembali ke
Bu-tong untuk merebut kembali kedudukan ketua.”
”Bocah, kau benar-benar sangat pintar. Dugaanmu ini
benar.”
”Di mana ia sekarang berada?”
”Ia sedang melakukan perjalanan untuk menghubungi
sepuluh partai besar, dengan terus terang, kau bocah boleh
merasa bangga, karena kau sudah berhasil menakut-nakuti
dia.”
”Sekarang kemana ia pergi?”
”Ke gunung Ngo-bi.”
”Dahulu sepuluh orang yang turut dalam peristiwa Gakyang-
laow siapa-siapa saja?”
Thian-siem menggeleng-gelengkan kepala, katanya
dengan suara gagah,
”Aku hanya dapat memberitahukan padamu dua patah
kata, yang lainnya aku tidak dapat menceritakan
kepadamu.”
”Katakanlah!”
”Orang yang membunuh Touw Giok Kun adalah Ittiem.
Dan yang membunuh Kang In Hui adalah aku
sendiri!”
”Jikalau kau tidak mau mengatakan seluruhnya, jangan
salahkan kalau aku si orang she Touw terlalu kejam!”
”Sudah lama aku menantikan kedatanganmu untuk
mencoba kepandaianmu,” berkata Thian-siem sambil
tertawa dingin.
”Benarkah Kang tayhiap kau yang membunuh?”
”Apakah aku perlu harus membohongi kau?”
”Biarlah kau hidup beberapa hari lagi, hari ini aku tidak
akan membunuh kau!”
Thian-siem merasa heran, ia bertanya,
”Bocah, mengapa kau tidak berani bertanding
denganku?”
Touw Liong mengeleng-gelengkan kepala dan berkata,
”Karena kau adalah orang yang membunuh empek
Kang, ada orang lain yang akan mencari kau untuk
membuat perhitungan sendiri.”
Thian-siem tercengang, tanyannya,
”Siapa?”
”Kalau sudah tiba waktunya kau nanti akan tahu
sendiri.”
”Tidak bisa, Ceng-sia bukanlah rumah penginapan yang
kau boleh datang dan pergi menurut seenak perutmu. Hari
ini kalau kau tak meninggalkan apa-apa, bolehkah kau pergi
begitu saja?”
”Habis, kau mau apa?”
”Mari kita bertempur sampai seribu jurus!”
Touw Liong menggelengkan kepala dan berkata,
”Aku tidak mempunyai waktu luang.”
Thian-siem melambaikan tangannya, delapan imam
berjubah kuning secepat kilat sudah mengurung Touw
Liong di dalam pelataran itu, Pek Giok Hoa perlahan-lahan
menggeser kakinya, merapat dengan Touw Liong, sedang
mulutnya bergerak-gerak beberapa kali.
Touw Liong juga menggerakkan mulutnya kepadanya.
Meskipun Thian-siem tidak dapat mendengar apa-apa
yang dibicarakan oleh mereka, tetapi ia tahu bahwa mereka
sedang merundingkan sesuatu. Sambil mengerutkan alisnya
ia memandang dua orang itu secara bergiliran, ia berkata
kepada diri sendiri, ”Dua orang ini memang tidak kenal,
mengapa begitu bertemu muka kelakuannya seperti kawan
lama? Kedatangan mereka rupa-rupanya memang
ditujukan kepada diriku.”
Dengan sebetulnya, Touw Liong dan Pek Giok Hoa saat
itu sedang bercakap-cakap dengan menggunakan ilmu
menyampaikan suara ke dalam telinga, Pek Giok Hoa
berkata kepada Touw Liong, ”Thian-siem ada mempunyai
sebuah kecapi kuno, ayah membutuhkan alat itu dan
hendak digunakan sebentar, apakah Touw tayhiap sudi
membantu?”
Sebagai jawaban Touw Liong berkata, ”Kira-kira
seperempat jam berselang aku masih melihat dengan mata
kepala sendiri kecapi kuno itu yang kemudian dibawa oleh
imam berjubah kuning ke pendopo belakang. Kecapi kuno
ini kalau kuambil dan kuberikan kepada nona, rasanya
kurang tepat. Sebab, kecapi ini adalah barang pusaka milik
partai Bu-tong, sedangkan aku dengan Hian-hian Totiang
dari Bu-tong ada mempunyai hubungan persahabatan yang
baik, jika kuberikan kecapi ini kepadamu, dikemudian hari
apabila bertemu muka lagi dengan Hian-hian Totiang,
rasanya tidak enak.”
Pek Giok Hoa mengerutkan alisnya, menghela nafas
perlahan.
Touw Liong berkata pula,
”Begini saja, sebentar kalau aku sudah bertempur dengan
Thian-siem, dan menjatuhkan beberapa anak buahnya,
nona boleh turun tangan menangkap seorang di antaranya,
paksa imam itu supaya mengantar nona ke belakang gua.
Dengan kecerdikan nona, tidak susah rasanya untuk dapat
menemukan kecapi kuno itu.”
Pek Giok Hoa menganggukkan kepala. Touw Liong
tiba-tiba mendapat pikiran lain, katanya sambil menggertak
gigi.
”Thian-siem bukanlah orang dari golongan baik. Imam
yang bisa bekerja sama dengannya, delapan imam berbaju
kuning itu juga belum tentu orang-orang dari golongan
baik! Mengapa kita tidak bertindak begini saja?”
Ia lalu mengembalikan pedangnya kepada Pek Giok
Hoa, memberi isyarat dengan mata kepadanya, dan Pek
Giok Hoa yang rupanya sudah mengerti, balas dengan
senyuman.
Dengan tiba-tiba Touw Liong mengeluarkan suara siulan
nyaring, setelah itu orangnya bergerak melesat, tangan kiri
mengerahkan ilmunya Thay-it Sin-kang, melancarkan
serangan dengan ilmunya Thay-it Sin-jiauw, sedang tangan
kanan mengerahkan ilmunya Tay-lo Kim-kong Sian-kang,
melancarkan serangan Kim-kong-ci. Dengan demikian jari
tangan dan tangan bergerak berbareng hingga menimbulkan
hembusan angin hebat.
Hembusan angin yang keluar dari lima jari tangan
kanan, telah berhasil menotok rubuh lima orang imam
berbaju kuning, sedangkan serangan tangan kiri digunakan
untuk menyerang Thian-siem. Bersamaan dengan
gerakannya itu, mulutnya baru mengeluarkan suara
bentakan, ”Awas!”
Dalam keadaan yang tidak berjaga-jaga, lima imam
berbaju kuning terkena serangan hebat oleh Touw Liong,
sedangkan Thian-siem Tojin sendiri juga menerima
gebukan.
Serangan yang menggunakan jari tangan itu tidak
tampak bayangannya juga tidak tampak wujudnya,
hembusan angin yang keluar dari jari tangannya bisa
mencapai sejarak 3 tombak hingga bagi orang yang diserang
sulit untuk mengelak atau menyingkir. Maka begitu Touw
Liong melancarkan serangannya, Thian-siem Tojin sudah
menjadi korban.
Tetapi Thian-siem bagaimanapun juga merupakan salah
seorang tokoh terkemuka, sudah tentu berbeda dengan
orang Kang-ouw biasa. Begitu hembusan angin yang keluar
dari jari Touw Liong baru saja menyentuh tubuhnya, ia
sudah menjatuhkan diri ke belakang dan lompat ke
belakang sejauh 3 tombak.
Thian-siem berdiri di undak-undakan pendopo,
wajahnya berubah seketika. Pada saat itu meskipun ia
terlepas dari serangan jari Touw Liong, tetapi lima jalan
darah depan dadanya merasa sedikit kesemutan.
Ia lalu mengurut-urut dadanya sendiri dan mencoba
mengatur pernafasannya. Ia baru tahu bahwa dirinya
belum terluka, barulah merasa lega. Sementara itu dalam
hatinya sudah merasa bergidik.
Serangan Touw Liong itu benar-benar sudah
meruntuhkan semangatnya. Dengan mata mendelik ia
mengawasi lima imam berbaju kuning yang rebah
terlentang di tanah, mereka satu persatu dalam keadaan tak
berdaya, mulut mereka mengeluarkan rintihan, meskipun
belum mati, tetapi sudah jelas tertotok hebat oleh Touw
Liong. Tampaknya luka dari serangan jari tangan itu
jikalau tidak beristirahat 3 atau 4 bulan lamanya, susah
pulih kembali tenaganya. Sedangkan 3 imam lain yang
belum terluka berdiri jauh-jauh bagaikan patung.
Sebagai ketua dari suatu golongan, Thian-siem itu
biasanya menganggap dirinya sendiri sebagai tokoh terkuat
nomor satu, siapa sangka sejurus saja belum habis, sudah
terpukul demikian mengenaskan, bagaimana ia dapat
menahan amarahnya? Apabila hal itu tersiar di kalangan
Kang-ouw, bagaimana Thian-siem masih bisa tempatkan
diri dalam rimba persilatan?
Oleh karena berpikir demikian, maka sesaat itu hawa
amarahnya lantas meluap, dengan menggerakkan pedang
panjangnya ia lompat masuk ke dalam pekarangan
pendopo, kembali memandang Touw Liong dari atas
sampai bawah, kemudian berkata,
”Kau hanya bisa melakukan serangan secara pengecut.
Ha ha! Apakah kau masih terhitung seorang gagah?”
Touw Liong tertawa dan balas bertanya,
“Menyerang secara pengecut? Apakah yang kau
namakan secara pengecut? Anak buahmu yang terdiri dari
delapan imam berbaju kuning itu, dengan mengandalkan
jumlah orang yang banyak telah mengurung diriku, oleh
karena untuk membela diri, terpaksa aku bertindak lebih
dahulu untuk memberi ajaran sedikit kepada mereka,
apakah ini juga terhitung sebagai perbuatan pengecut?”
Thian-siem bungkam, lama ia baru berkata sambi
menunjuk 5 imam berbaju kuning yang menggeletak di
tanah,
”Sekarang tak perlu banyak bicara lagi, hutang darah
mereka itu, pinto tidak terlepas kewajiban untuk menuntut
balas bagi mereka. Hutang darahmu terhadap mereka aku
hendak menagih kembali semua. Aku selamanya tidak
suka bertempur dengan lawan bertangan kosong, mereka
berlima ada memiliki 5 buah pedang, kau boleh memilih
salah satu di antaranya.”
JILID 16
Ini berarti bahwa ia mau bertempur dengan Touw Liong
dengan menggunakan pedang. Kata-katanya itu
kedengarannya memang seperti seorang ksatria, tetapi
sebenarnya dalam hatinya masih merasa takut untuk
menghadapi Touw Liong yang memiliki kepandaian yang
demikian hebat. Pikirnya : jikalau Touw Liong tak
menggunakan 2 macam ilmunya yang luar biasa tadi,
dengan pedang biasa saja untuk menghadapi pedang pusaka
di tanganku belum tentu ia bisa memenangkan diriku!
Lagipula tiap tokoh kuat rimba persilatan yang mahir
dengan ilmu tangan dan ilmu jari tangan, kebanyakan
kurang becus menggunakan pedang. Tidak mungkin ia
yang masih demikian muda memiliki berbagai macam ilmu
silat yang seluruhnya mahir!
Ia melihat Touw Liong sekarang bertangan kosong,
maka ia menduga pasti bahwa Touw Liong tidak mahir
dalam ilmu pedang.
Bagi dirinya sendiri, selama itu ia terus menganggap
bahwa ilmu pedang yang dipelajarinya itu adalah ilmu
pedang nomor satu yang tiada duanya dalam dunia, maka
di dalam keadaan sehabis ketakutan setengah mati, masih
menantang Touw Liong dengan pedang.
Touw Liong tidak berkata apa-apa, ia menganggukkan
kepala, dengan menuruti kehendaknya ia berjalan
menghampiri 5 imam yang menggeletak di tanah, dari
badan mereka mengambil sebilah pedang, begitu pedang di
tangan, lalu digerakkan, hingga menimbulkan suara
mengaung dan percikan api bagaikan bintang bertebaran.
Sebagai ahli pedang. Thian Siem sudah tentu lantas
mengetahui bahwa Touw Liong juga mahir dalam ilmu
pedang, oleh karenanya, kembali hatinya merasa jeri.
Tetapi karena sudah terlanjur menantang, terpaksa ia hanya
bisa menghela nafas panjang, tanpa mengucapkan sepatah
katapun juga, ia lantas menggerakkan pedangnya untuk
melakukan serangan.
Dalam hati Touw Liong terkejut. Pikirnya, imam ini
ternyata bukan orang sembarangan, kiranya ilmu pedang
Hok-mo Kiam-hwat yang dahulu pernah menggemparkan
dunia Kang-ouw dan sudah beberapa ratus tahun
menghilang di rimba persilatan. Kalau begitu, tengkorak
yang diketemukan oleh Thian Siem di dalam goa kuno itu
pasti adalah tengkoraknya Thian-lam tayhiap.
Kembali ia mengawasi pedang di tangan Thian Siem
yang memancarkan sinarnya yang berkilauan, sementara
dalam hatinya berpikir : Pedang ini tak usah dikata juga
pasti adalah pedang Hok-mo-kiam yang lama dikabarkan
telah menghilang dari rimba persilatan.
Thian-siem melihat Touw Liong mengawasi pedang di
tangannya, dengan sikap termangu-mangu, dianggapnya
merasa takut, maka ia lalu bertanya sambil tertawa dingin,
“Bocah! Apakah kau mengenali pedangku? Apakah kau
juga mengenali ilmu pedangku?” Touw Liong mengerutkan
alisnya, pura-pura menggelengkan kepala dan kemudian
berkata, ”Aku tidak tahu ilmu pedang itu apa namanya,
tetapi aku dapat mengenali, bahwa ilmu pedang itu mirip
dengan ilmu pedang Tay-lo Kim-kong-kiam yang dahulu
pernah dimainkan oleh Hui-thian Giok-tiang Liu taihiap,
sedang pedang ini juga sama hebatnya dengan pedang Ginkwat
Ceng-kiam milik Liu Taihiap!”
Thian-siem totiang menganggukkan kepala dengan sikap
dingin, ia memuji Touw Liong seraya berkata,
”Bocah, pengetahuanmu ternyata cukup luas!”
”Pedangnya meskipun bagus, tetapi pedang pusaka dan
pedang sakti sejak dahulu harus dimiliki oleh orang yang
bijaksana ....” berkata Touw Liong sambil tertawa dingin.
Bab 42
UCAPAN TOUW LIONG ITU yang dimaksudkan
ialah : Thian-siem sebenarnya tidak pantas untuk
menggunakan pedang pusaka seperti itu.
Thian-siem tahu bahwa Touw Liong mengejek dirinya,
tetapi ia tidak marah.
Mengenai ilmu pedangnya, ilmu pedang Hok-mo Kiamhwat,
selisih tak banyak dengan ilmu pedang Tay-lo Kimkong-
kiam. Tentang pedangnya sendiri, pedang Hok-mokiam
adalah sebilah pedang pusaka, kalau dibanding
dengan pedang panjang di tangan Touw Liong sudah tentu
jauh lebih berharga. Oleh karena Touw Liong mengetahui
perbedaan yang sangat jauh itu, maka ia harus berusaha
jangan sampai mengadu pedang di tangan kanannya,
tangan kiri digunakan ilmunya Liang-gie Sim-hwat, bahkan
diam-diam sudah mengerahkan pula ilmunya Thay-it Sinjiauw
di jari tangannya. Thian-siem yang sudah
mengetahui telah berhadapan dengan seorang lawan
tangguh, diam-diam menghela nafas. Katanya,
”Bocah, marilah kita mulai!”
Touw Liong menerima baik. Pedang di tangan
kanannya mulai menggunakan ilmunya Kim-kong-kiam,
sejurus demi sejurus dilancarkan untuk menyerang
lawannya. Thian-siem tidak berani berlaku gegabah, juga
menggunakan ilmu pedangnya Hok-mo-kiam untuk
menghadapi ilmu pedang Kim-kong-kiam. Dalam waktu
yang sangat singkat, pertempuran sengit terjadi di dalam
goa Thian-su-tong. Waktu itu sudah jam 3 malam, selagi
semua orang sedang tidur nyenyak, semua tentu tidak
menyangka bahwa di dalam goa di gunung Ceng-sia-san
telah terjadi pertempuran mati-matian.
Pek Giok Hwa yang menonton di samping tampak
berdiri tertegun. Ia telah lupa pesan Touw Liong tadi
karena dalam seumur hidupnya ia belum pernah
menyaksikan pertandingan pedang yang demikian hebat.
Selama itu, ilmu Thay-it Sin-jiauw di tangan kiri Touw
Liong masih belum digunakan maka selama itu, hanya
tampak berkelebatnya dua bilah pedang yang berputaran,
tidak tampak bayangan orangnya, sampaipun Pek Giok
Hwa, yang merupakan salah seorang jago golongan wanita,
juga menyingkir jauh-jauh karena hebatnya hembusan
angin yang keluar dari dua bilah pedang itu. Sementara itu,
lima imam yang berada dalam keadaan terluka parah sudah
disingkirkan keluar oleh tiga imam berbaju kuning. Pada
saat itu, di dalam ruangan itu hanya tinggal Pek Giok Hwa
seorang yang masih berdiri menyaksikan pertempuran itu.
Dengan tiba-tiba Touw Liong menggunakan ilmu
menyampaikan suara ke dalam telinga untuk
memperingatkan Pek Giok Hwa tentang pesannya tadi,
”Nona Pek, apakah hingga saat ini kau masih belum
bertindak mengambil kecapi kuno itu? Kau masih tunggu
kapan lagi?”
Pek Giok Hwa baru sadar. Ketika ia melihat keadaan di
sekitarnya, para imam berbaju kuning tadi ternyata sudah
tak ada semua. Ia diam-diam menyesali dirinya sendiri,
waktu itu ia tampak di bagian belakang goa Thian-su-tong
itu pintunya tengah terbuka, di dalamnya masih tampak
samar-samar sinar pelita.
Ia mengerutkan alisnya, dengan tiba-tiba mendapat suatu
akal, lalu berjalan masuk ke goa itu dengan pedang di
tangan.
Berjalan belum beberapa langkah, telinganya mendengar
suara Touw Liong, ”Nona Pek, hati-hati, goa Thian-su-tong
ini tak dapat dibedakan dengan goa biasa, awas dengan
pesawat rahasia!”
Pek Giok Hwa tertarik oleh peringatan itu, ia lantas
berhenti, dan berpaling ke arah Touw Liong yang sedang
bertempur sengit. Ia tersenyum kepadanya, kemudian
melanjutkan langkahnya menuju ke goa kuno itu.
Goa Thian-su-tong itu adalah tempat terpenting bagi
partai Ceng-sia-pay, sudah tentu tak dapat dimasuki secara
sembarangan. Pek Giok Hwa juga mengerti peraturan itu,
maka ketika ia tiba di mulut goa lantas berhenti, dengan
sikap sangat hati-hati, matanya memandang atas bawah kiri
kanan goa itu, tetapi tidak ada suatu tempat yang patut
dicurigai. Ia adalah gadis keluaran golongan Cit-phoa-san,
selamanya itu pandang dirinya sendiri terlalu tinggi,
sifatnya agak tinggi hati. Setelah melihatnya sejenak, ia
mengangguk-anggukkan kepala, tangannya menyambar
sebuah buntalan tempat duduk piranti bersemedi,
dilemparkan ke pintu goa, ternyata tidak terdapat reaksi
apa-apa, pintunya masih tetap setengah tertutup dipandang
dari luar, dalam goa itu ada sebuah meja sembahyangan, di
atasnya terdapat sebuah kecapi kuno yang sedang dicarinya.
Kecapi kuno itu mempunyai daya penarik terlalu besar
buat Pek Giok Hwa, karena maksud kedatangannya ke
tempat itu ialah untuk mendapatkan kecapi itu maka begitu
melihat barang pusaka itu terletak di hadapannya, tidak
cukup dari 5 tombak, sudah melupakan bahaya yang
berkali-kali diperingatkan oleh Touw Liong. Dengan
pedang terhunus, orangnya bergerak secepat kilat melesat
masuk ke dalam goa.
Baru saja ia menerobos masuk ke dalam goa, tiba-tiba
terdengar suara keresekan, pintu goa yang setengah tertutup
tadi dengan mendadak tertutup rapat, kemudian dari dalam
goa terdengar suara jeritan melengking.
Suara jeritan itu bagaikan pedang tajam menikam di ulu
hati Touw Liong, hingga sesaat itu sekujur badannya
menggetar, gerakan pedangnya juga terpengaruh. Thiansiem
sebaliknya merasa girang, ia memperdengarkan suara
tertawa dingin kemudian pedangnya bergerak, dan berhasil
menyontek pedang Touw Liong sehingga terlepas dari
tangannya.
Kembali ia perdengarkan suara tertawanya, setelah itu
ujung pedangnya digerakkan demikian cepat mencecar
dada Touw Liong.
Untuk Touw Liong yang menghadapi bahaya besar itu
masih bisa berlaku tenang, dicecar demikian, ia lompat
mundur 10 langkah, secepat kilat tangan kirinya bergerak
melakukan serangan pembalasan dengan ilmu Thay-it Sinjiauw,
untuk menyerang Thian-siem yang mengejar dirinya.
Sementara itu tangan kanannya juga melancarkan serangan
dengan ilmunya Kim-kong-jiauw, dengan lima jari tangan,
ia melakukan serangan. Hembusan angin yang meluncur
keluar menyerbu kepada diri Thian-siem. Thian-siem yang
tak keburu mengelakkan diri terkena serangan dengan tepat.
Serangan dan hembusan angin yang keluar dari jari tangan
Touw Liong sesungguhnya tidak ringan, hingga Thian-siem
jatuh terguling, sedang pedang pusaka di tangannya juga
terlepas dan menancap di sebuah tiang kayu. Sedangkan
Thian-siem sendiri lantas menyemburkan darah dari
mulutnya.
Thian-siem mengawasi Touw Liong dengan mata
melotot, ia memandang pedangnya yang menancap di atas
tiang, gagangnya masih bergoyang-goyang, ia lalu berkata
sambil mengertak gigi,
”Bocah she Touw! Permusuhan ini tak akan berakhir,
sampai ketemu di lain waktu!”
Ia masih berusaha hendak mencabut pedangnya, tetapi
baru melompat hanya 5 kali saja, kembali sudah
menyemburkan darah dari mulutnya, maka buru-buru
menekap dadanya dan dari sakunya mengeluarkan
beberapa pil, ditelan ke dalam mulut, setelah itu ia
memandangnya sekali lagi kepada Touw Liong, lantas
berjalan keluar.
Touw Liong mengawasi Thian-siem keluar dari
pendopo, ia masih tetap dengan sikapnya sebagai seorang
ksatria, tidak mau mengambil tindakan terhadap seorang
musuh yang sudah terluka parah.
Dengan termangu-mangu ia mengawasi berlalunya
Thian-siem, sesaat kemudian ia baru teringat bahwa di
dalam goa Thian-su-tong tadi terdengar suara jeritan dari
Pek Giok Hwa, ia dapat menduga bahwa Pek Giok Hwa
saat itu masih dalam keadaan bahaya maka buru-buru
lompat keluar untuk mengejar Thian-siem. Tetapi Thiansiem
dan seorang imam berbaju kuning sudah tidak tampak
lagi bayangannya, sedangkan lima imam lain yang rebah di
tanah tampaknya sudah tak bisa hidup lagi. Ketika ia
memandang keadaan sekitarnya lagi, di sana-sini tampak
gelap gulita, keadaan di situ sepi-sunyi, tak tampak
bayangan seorang pun juga.
Touw Liong merasa sangat menyesal, ia balik lagi ke goa
bagian belakang, ketika ia menengok ke atas, pedang Hokmo-
kiam yang tadi menancap di situ ternyata sudah tidak
ada.
Touw Liong diam-diam bergidik, ia lantas lompat
melesat ke atas genteng, di situ ia memandang keadaan
sekitarnya, di dalam suasana gelap, ditempat sejauh kirakira
30 tombak, tampak sesosok bayangan orang sedang
turun gunung dengan menggunakan ilmunya meringankan
tubuh yang luar biasa hebatnya.
”Siapa dia?” demikian Touw Liong bertanya-tanya
kepada diri sendiri.
Memang benar, kalau dilihat dari ilmunya meringankan
tubuh bayangan itu, sudah merupakan salah seorang tokoh
kuat dari rimba persilatan.
Siapakah orang itu?? Touw Liong tidak pergi mengejar,
karena ia mengerti, apabila ia mengejar, rasanya juga tidak
mudah mencandak orang itu, lagipula apabila ia berlalu
dari tempat itu, Pek Giok Hwa yang berada di dalam goa
tentu tidak ada orang yang mengawasi, apabila terjadi
kesalahan lagi atas dirinya, bukankah akan merupakan
penyesalan seumur hidup?
Dengan perasaan masgul Touw Liong lompat turun dari
atas genteng, matanya memandang pintu goa Thian-sutong
yang tertutup rapat sambil menghela napas, ia tidak
berdaya sama sekali, tak tahu bagaimana harus bertindak?
Ia kini pasang telinga, tetapi Pek Giok Hwa yang berada
di dalam goa tadi setealah perdengarkan suara jeritannya,
tidak terdengar suara apa-apa lagi, hingga Touw Liong
semakin cemas.
Ia ingat bahwa di sekitar daerah itu banyak sekali
jumlahnya bangunan kuil, kaum imam juga terdapat
ratusan jumlahnya, tentu ada yang tahu rahasianya
membuka pintu goa itu, tetapi letak goa itu di bagian
belakang gunung Ceng-sia, sedangkan kuil-kuil itu
dibangun di bagian depan, yang terdekat juga masih
terpisah kira-kira tiga sampai lima pal jauhnya, sudah tentu
ia tidak bisa mencari orang dari tempat yang demikian
jauhnya.
Sebagai seorang yang sangat cerdik, dalam keadaan
cemas, ia masih dapat memikirkan bagaimana harus
bertindak. Dengan tiba-tiba ia menemukan suatu akal.
Saat itu, tampak genta kuil yang tergantung di sudut kanan,
maka ia lalu membunyikan genta itu, hingga sesaat
kemudian suara genta itu berbunyi nyaring.
Begitu suara genta itu berhenti, pertama-tama muncul
seorang imam tua berbaju abu-abu yang sikapnya sangat
agung. Imam itu usianya sudah lanjut, dengan sikap
tergesa-gesa lari masuk ke bagian depan kuil, ketika
matanya menampak lima imam berbaju kuning yang rebah
menggeletak di tanah, wajahnya menunjukkan sikap
keheranan, buru lari masuk ke belakang.
Touw Liong melihat imam tua itu sikapnya agung dan
ramah, buru-buru maju menghampiri memberi hormat, ia
perkenalkan dirinya sendiri, dan menceritakan apa yang
telah terjadi di tempat itu.
Imam tua itu setelah mendengarkan cerita Touw Liong,
buru-buru memberi hormat seraya berkata,
”Sicu benar-benar sudah mengusir pergi murid durhaka
itu, kalau begitu Touw-sicu adalah tuan penolong golongan
Ceng-sia! Murid durhaka itu tidak pandang mata kepada
orang tingkatan tua, bukan saja sudah membunuh habis
semua suheng dan sutenya, tetapi juga sudah menghukum
pinto selama 3 tahun ....”
Touw Liong mengucapkan kata-kata merendahkan diri,
kemudian berkata pula sambil menunjuk ke pintu goa,
”Nona Pek terluka di dalam goa, tolong locianpwee
membuka pintunya ....”
Imam tua itu tertawa, kemudian badannya bergerak
menuju ke bagian kiri pendopo, di atas dinding tembok ada
terdapat sebuah lamput berbentuk segi delapan, lampu itu
digerakkan sebentar, lalu terdengar suara berbunyinya
pesawat dan pintu goa itu lantas terbuka. Touw Liong
segera tampak Pek Giok Hwa yang rebah di tanah tidak
diketahui sudah mati ataukah masih hidup. Touw Liong
semakin cemas, selagi hendak berjalan masuk telah dicegah
oleh imam tua itu seraya berkata,
”Harap Touw-tayhiap jangan terburu nafsu!”
Setelah itu ia menggerakkan pula bagian kanan lampu
segi delapan, kembali terdengar beberapa kali suara gerakan
pesawat, imam tua tadi lalu memberikan tanda dengan
tangan, barulah Touw Liong melompat masuk ke dalam
goa. Ia memeriksa Pek Giok Hwa, gadis itu wajahnya
tampak pucat, lengan kirinya tertancap tiga batang anak
panah pendek.
Imam tua yang berada di belakang Touw Liong lantas
berkata,
”Nona Pek sudah terkena panah Mo-i-ciam, anak panah
ini sudah diberi racun oleh Thian-siem.”
Touw Liong terkejut setelah mendengar bahwa anak
panah itu ada racunnya. Ia buru-buru memeriksa
pernafasan Pek Giok Hwa, gadis itu ternyata sangat lemah.
Maka buru-buru mengeluarkan pil Kiu-hwan-tan buatan
Bu-tong dari dalam sakunya, dan dimasukkan ke dalam
mulut Pek Giok Hwa, di dalam goa itu terdapat tempat
tidur dari batu, Touw Liong lalu pondong tubuh Pek Giok
Hwa dan diletakkan di atas tempat tidur.
Pil Kiu-hwan-tan yang memiliki khasiat sangat mukzizat,
dan imam tua itu sebagai seorang imam tua yang sudah
mengenali barang itu, maka lalu mengangguk-anggukkan
kepala dan berkata,
”Dengan adanya pil ini, luka nona Pek tidak menjadi
soal lagi.”
Imam tua itu lantas bertindak, ia mencabut anak panah
di lengan Pek Giok Hwa, sedang Touw Liong membantu
menyalurkan kekuatan tenaga dalamnya dengan ilmunya
Tay-lo Kim-kong Sian-kang. Ketika kekuatan tenaganya
disalurkan ke dalam tubuh gadis itu, luka-luka bekas anak
panah di lengannya tampak mengalir darah hitam.
Sementara itu muka Pek Giok Hwa perlahan-lahan juga
berubah menjadi merah.
Sisa racun dalam tubuhnya, begitu terkena pengaruh
obat, semua lantas tersapu bersih di mulut goa, di dalam
pendopo saat itu terkumpul banyak orang, mereka semua
adalah para imam di bagian depan yang datang karena
mendengar suara genta tadi.
Kira-kira seperempat jam kemudian, Pek Giok Hwa
perlahan-lahan sadarkan diri, ketika membuka mata, ia lihat
Touw Liong dan seorang imam tua berada di sampingnya,
mukanya lantas merah dan buru-buru bangun duduk.
Di dalam goa Thian-su-tong mereka berdiam lagi
setengah malaman, begitu terang tanah pertama Touw
Liong minta diri kepada imam tua, lalu turun gunung.
Para imam di gunung Ceng-sia-san semua mengucapkan
terima kasih kepada Touw Liong karena ia telah berhasil
mengusir seorang murid pengkhianat dari golongan Cengsia-
pay. Sementara itu imam tua tersebut telah memberikan
kecapi kuno itu kepada Pek Giok Hwa.
Turun dari gunung Ceng-sia, Pek Giok Hwa bertanya
kepada Touw Liong,
”Touw-taihiap sekarang hendak kemana?”
”Lantaran aku sedang melakukan perjalanan mengejar
jejak musuh-musuhku, supaya dapat menyelesaikan
penuntutan balasku terhadap kematian ayah bundaku, tak
perduli kemana saja asal menemukan jejak It-tiem aku akan
kejar,” menjawab Touw Liong sambil menghela nafas.
Pek Giok Hwa menghela nafas, dengan tiba-tiba Touw
Liong teringat kepada kecapi kuno yang dibawa oleh gadis
itu, ia lalu bertanya dengan perasaan heran,
”Ayahmu suruh kau meminjam kecapi kuno ini
sebetulnya untuk keperluan apa?”
”Sejak ayah pulang dari Pak-bong, setiap hari selalu
menarik nafas, akhirnya ayah sering-sering suka marah
sendiri, ia sudah mengeluarkan perkataan bahwa dalam sisa
hidupnya ini apabila tidak dapat memimpin rimba
persilatan, itu berarti hidupnya sebagai seorang bangkai
hidup, percuma saja ia hidup di dalam dunia. Coba kau
pikir, betapa penderitaan batin ayahku itu,” menjawab Pek
Giok Hwa sambil menghela nafas dan mengucurkan air
mata.
”Dengan sebetulnya ayahmu yang sudah lanjut usianya,
semestinya sudah dapat menyadari bahwa hidup manusia
dalam dunia itu toh tidak sampai ratusan tahun, perlu apa
ia menganggap urusan itu demikian serius?” berkata Touw
Liong.
”Bukan ayah tak bisa memikirkan soal penghidupan,
sebetulnya disebabkan oleh perbuatan tidak patut di atas
danau Thian-lie pada waktu itu, seolah-olah
mempermainkan dirinya, hingga membuat ayah sulit untuk
menyelesaikan soal tersebut. Dalam pertempuran di Pakbong,
juga pulang dengan membawa kekalahan, sekarang
meskipun lukanya sudah sembuh, tetapi perasaan
penasaran ayah itu sukar dipadamkan,” berkata Pek Giok
Hwa.
Touw Liong mengangguk-anggukkan kepala, ia
menunjukkan sikap merasa simpati terhadap nasib tidak
beruntung dari Pek Thian Hiong, katanya sambil menghela
nafas,
”Manusia memang tak terlepas dari segala godaan, halhal
yang tidak memuaskan jauh lebih banyak daripada yang
menyenangkan, lihatlah keadaan siaote ini sendiri, musuh
ayah-ibu baru saja kelihatan sedikit titik terang, sekarang
suhu telah mati secara penasaran. Entah terbinasa di
tangan siapa ....”
Pek Giok Hwa yang mendengar penuturan itu, diamdiam
juga turut merasa sedih.
Touw Liong angkat muka dan berkata pula,
”Kau masih belum memberitahukan padaku, untuk apa
sebetulnya ayahmu menghendaki kecapi kuno itu.”
Pek Giok Hwa kembali menarik nafas panjang,
kemudian berkata,
”Ibarat harimau yang terjebak dalam kurungan, galaknya
masih belum hilang, begitulah keadaan ayah, pengalaman
pahit yang membuatnya penasaran, kini ia telah berusaha
untuk melampiaskan perasaan itu,” menjawab Pek Giok
Hwa.
”Apakah masih hendak mempelajari ilmu silat lain
macam?”
Pek Giok Hwa mengangguk-anggukkan kepala, katanya,
”Masih ada semacam ilmu yang ayah belum selesai
mempelajarinya, menurut ayah kata, ilmu itu yang
terpenting ialah dengan bantuan sebuah irama, ilmu itu
adalah dahulu sewaktu ayah melakukan perjalanan ke
daerah Barat, oleh seorang gaib dari daerah situ yang
memberikan kepada ayah. Irama itu kedengarannya sangat
aneh dan tajam sekali bagi telinga, untuk alat-alat musik
yang bersenar lima tidak sesuai untuk irama itu, agaknya
masih mengandung rahasia di dalam irama itu, aku telah
menanya kepada ayah, dengan cara bagaimana untuk
menyesuaikan irama itu, menurut ayah, dalam dunia ini
alat musik yang dapat menyesuaikan dengan irama itu
hanya ada satu ....”
”Alat musik itu apakah kecapi kuno ini?”
Pek Giok Hwa menganggukkan kepalanya.
”Kalau begitu kuhaturkan selamat kepadamu, cita-cita
ayahmu rasanya tidak lama lagi akan tercapai.”
Pek Giok Hwa menggeleng-gelengkan kepala dan
berkata,
”Dalam perjalanan ke gunung Cit-phoa-san kali ini,
masih memerlukan perjalanan ribuan pal jauhnya, apakah
kau kira imam jahat Thian-siem itu mau merelakan begitu
saja? Ia pasti akan berusaha untuk menghalangi perjalanan
kita. Dengan cara bagaimana aku bisa pulang dengan
keadaan selamat?”
Kata-kata itu, jelas mengandung maksud supaya Touw
Liong suka mengulurkan tangan untuk membantu padanya
supaya bisa pulang ke Cit-phoa-san dengan selamat! Touw
Liong bukanlah seorang bodoh, bagaimana ia tidak
mengerti? Tetapi ia merasa serba salah, kesatu karena
musuh besarnya tak seharusnya dilepaskan begitu saja.
Kedua, barang pusaka yang dibawa oleh Pek Giok Hwa itu
justru milik partai Bu-tong. Di kemudian hari apabila Hianhian
Totiang salah paham terhadap dirinya, bukankah ia
akan mendapat nama jelek? Karena dianggapnya ia telah
membantu Cit-phoa-san merampas barang pusakanya.
Touw Liong berpikir keras, pikirannya ragu-ragu maka
tidak dapat menjawab segera pada Pek Giok Hwa.
Pek Giok Hwa melihat keadaan demikian kembali
menarik nafas dan berkata,
”Aku tahu, kalau aku meminta pertolonganmu ini
agaknya keterlaluan! Tetapi aku tidak rela melepaskan
harapan ayah satu-satunya, walaupun aku harus
mengorbankan diri, aku hendak mengantarkan kecapi kuno
ini ke gunung Cit-phoa-san.”
Touw Liong yang mendengar ucapan itu, hatinya merasa
pilu, ia angkat muka dan menatap wajah Pek Giok Hwa.
Pek Giok Hwa kembali berkata dengan suara sedih,
”Sampai berjumpa pula, Touw tayhiap!” sehabis berkata
demikian ia lompat ke atas kudanya, kemudian
melambaikan tangan kepada Touw Liong dan melarikan
kudanya dengan pesat.
Touw Liong mengawasi berlalunya Pek Giok Hwa,
pikirannya bimbang. Setelah kembali ke tempat
penginapannya, ia minta kembali kudanya, lantas
menyamar lagi dan diam-diam menyusul Pek Giok Hwa.
Pek Giok Hwa masih tetap melalui jalan yang telah
dilalui ketika datang kemari. Hari kedua sudah tiba di kota
Seng-tho, dari situ ia menuju ke selatan, dengan melewati
gunung Kiong-lay-san, sepanjang perjalanannya itu tidak
menemukan kejadian apa-apa.
Hari keempat, ketika tiba di daerah Kiong-lay, Touw
Liong dalam hati bertanya-tanya sendiri : Kiong-lay ini
adalah termasuk daerah pegunungan Cit-phoa-san, rasanya
tak akan terjadi bahaya lagi.
Selanjutnya, ia telah melihat ada muncul beberapa orang
dari golongan Cit-phoa-san. Orang pertama yang dilihat
oleh Touw Liong adalah, Siaow-thian Kok-cu, Soa Lip,
kedua ialah orang tua berkaki satu; orang ini di danau Siaothian-
tie dahulu pernah memimpin pertemuan yang
berakhir dengan tidak enak bagi golongan Cit-phoa-san.
Orang ketiga yang dilihat ternyata adalah Pek Thian
Hiong sendiri.
Oleh karena dalam perjalanan melindungi Pek Giok
Hwa itu Touw Liong mengenakan muka dan pakaian
menyamar, ditambah lagi ia mengikuti dari jarak jauh,
maka tidak diketahui oleh orang-orang yang pada
bermunculan itu.
Ia menghela nafas perlahan dan berkata kepada diri
sendiri, “Sudah cukup aku berusaha, dan tugasku untuk
mengantar ia sudah selesai. Nona Pek, bagaimanapun juga
aku sudah berbuat secukupnya untukmu!”
Dari jauh ia mengawasi berlalunya Pek Giok Hwa
bersama ayahnya, lalu menunjukkan senyum puas,
kemudian ia balik pulang.
Tujuan selanjutnya ialah ke selatan untuk mendaki
gunung Ngo-bie-san.
Kuda tunggangannya sudah dikembalikan lagi ketika
melintasi kota perbatasan, tetapi karena Touw Liong
memiliki kepandaian ilmu meringankan tubuh yang luar
biasa, maka jalan kaki sebetulnya lebih pesat daripada naik
kuda.
Pada saat itu, waktu tengah hari, teriknya matahari
seolah-olah membakar dirinya, di jalan raya sedikit sekali
orang-orang yang berjalan, tanah datar di kedua sisi
keadaannya sepi, tetapi Touw Liong coba menghitunghitung,
terpisah dengan Pek Giok Hwa barangkali sudah 20
pal, dalam hati diam-diam sedang berpikir : saat ini Pek
Giok Hwa seharusnya sudah tiba di daerah Kiong-lay!
Dengan tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda dari
jauh tampak semakin dekat, hingga membuyarkan lamunan
Touw Liong. Touw Liong terkejut, dalam hati berpikir,
“Siapakah orang itu? Di waktu siang hari yang matahari
bersinar terik demikian, mengapa melakukan perjalanan
tergesa-gesa demikian rupa?”
Belum lenyap pikirannya, dari jauh sudah tampak seekor
kuda yang dilarikan ke arahnya. Touw Liong buru-buru
menyingkir untuk memberi jalan, sedang matanya
ditujukan kepada penunggangnya.
Penunggangnya ternyata seorang paderi yang
mempunyai perawakan gemuk luar biasa. Paderi gemuk itu
usianya kira-kira sudah 50 tahun ke atas, senjatanya
digantung di pundaknya tampak sinarnya yang tertimpa
sinar matahari, hampir menyilaukan mata. Paderi itu
menunggang kuda tinggi besar berwarna merah, selain
tubuhnya yang gemuk luar biasa, sepasang matanyapun
luar biasa gedenya, ia larikan kudanya demikian cepat
hingga dalam sekejap matanya saja paderi itu sudah
melewati Touw Liong.
Paderi itu tampaknya mahir sekali menunggang
kudanya, jelas ia merupakan salah seorang kuat dalam
rimba persilatan.
Touw Liong mengawasi paderi yang melarikan kudanya
demikian cepat, sedang dalam hatinya bertanya-tanya
kepada diri sendiri : Siapakah paderi itu?
Sesuatu kejadian yang di luar dugaannya kembali telah
memutuskan pertanyaan di hatinya tadi. Paderi gemuk tadi
dengan tiba-tiba memutar kudanya dan dilarikan balik
kembali ke arahnya.
Dalam hati Touw Liong terkejut dan terheran-heran
tetapi ia masih berdiri tegak di tepi jalan dengan
memandang paderi yang melarikan kudanya ke arahnya.
Begitu tiba di hadapan Touw Liong, paderi itu
mendadak menghentikan kudanya, kuda itu yang
dihentikan secara mendadak, dua kaki di depan diangkat
tinggi hingga semacam orang yang berdiri tegak, tetapi
paderi gemuk itu masih tetap duduk di atasnya tanpa
bergerak sedikitpun.
Ketika kaki kuda itu menginjak tanah, terpisah hanya
kurang 5 kaki di hadapan Touw Liong. Paderi gemuk itu
lalu perdengarkan suara tertawanya yang nyaring, suaranya
menggema di tempat yang kosong itu. Touw Liong masih
tetap tak mengeluarkan suara apa-apa dan dengan tiba-tiba
paderi gemuk itu menghentikan tawanya, sedang mulutnya
mengeluarkan suara bentakan keras,
”Bocah, kau sungguh berani!”
”Taysu terlalu memuji!” menjawab Touw Liong sambil
mendongakkan kepala.
Paderi gemuk itu kembali tertawa terbahak-bahak,
kemudian berkata,
”Tadi jikalau aku tidak keburu menarik tali kuda, apakah
kau tidak akan terinjak-injak oleh kaki kuda sehingga
hancur lebur?”
”Itu anggap saja bahwa nasibku buruk, harus mati secara
demikian,” menjawab Touw Liong dengan masih tetap
angkat muka.
Paderi gemuk itu bungkam, kemudian ia
menganggukkan kepala dan berkata,
”Dengan sebetulnya aku hendak bertanya kepadamu,
hingga aku perlu menghentikan kudaku, jika tidak, kau
sekarang ini sudah menjadi bubur.”
Dalam hati Touw Liong merasa marah, namun di
wajahnya masih menunjukkan sikap seperti biasa,
kemudian dengan tenang berkata,
”Ada urusan apa Taisu hendak bertanya kepadaku?”
Paderi gemuk itu berpaling dan mengawasi jalan raya,
kemudian berkata,
”Kau tadi datang dari mana?”
”Kiong-lay,” jawabnya singkat.
”Di tengah perjalanan apakah kau tadi tidak bertemu
dengan seorang perempuan muda yang membawa
bungkusan bentuk panjang di atas punggungnya?”
Touw Liong angkat pundak, suatu tanda bahwa tidak
tahu.
Namun dalam hatinya berpikir : Kalau begitu orang
perempuan yang dimaksud oleh paderi gemuk ini tentunya
adalah Pek Giok Hwa sendiri.
Ia sengaja menggoda paderi gemuk itu, ia tidak
menjawab jelas kepadanya, sebaliknya malah bertanya,
”Apakah Taisu datang dari gunung Ngo-bi?”
Paderi gemuk itu menunjukkan sikap tidak sabar, ia
menggelengkan kepala dan menjawab singkat.
”Siaow-lim.”
Hati Touw Liong tergerak, ia mengajukan pertanyaan
pula.
“Apakah Taisu kenal dengan It-tiem Totiang dari Butong?”
Paderi gemuk itu dengan tiba-tiba pelototkan matanya
lebar-lebar, katanya dengan suara marah,
“Bocah, apakah kau orang dari golongan Cit-phoa-san?”
Touw Liong diam-diam berkata kepada diri sendiri :
mungkin itulah tujuannya.
Dengan tidak menjawab pertanyaan dari paderi itu, tibatiba
orangnya bergerak dan lari menuju ke arah Kiong-lay
dengan melalui samping diri paderi gemuk itu.
Sembari berjalan ia berkata sambil tertawa panjang,
”Kepala gundul, tuan mudamu akan menunggu kau di
depan sana.”
Bab 43
PADERI DARI GEREJA SIAUW-LIM ITU berteriakteriak,
kemudian memutar balik kudanya dan dilarikan
pesat untuk mengejar Touw Liong.
Tetapi waktu itu Touw Liong sudah berada sejauh 17-18
tombak.
Touw Liong membelok ke sebuah tikungan di jalan
pegunungan, dua sisi jalan itu semuanya merupakan pohonpohon
cemara, tergeraklah hatinya, ia mendapatkan suatu
akal, ia lompat ke samping dan melesat ke atas pohon
tinggi.
Tak lama kemudian, paderi gemuk itu sudah mengejar,
mulutnya berteriak-teriak tak henti-hentinya.
Dalam waktu sekejap mata ia sudah melalui 3 buah
bukit, daerah Kiong-lay sudah tampak di hadapan matanya,
tetapi paderi gemuk itu tidak berhasil mencandak Touw
Liong, ia mengawasi jalan raya yang lurus menuju ke
Kiong-lay, sementara dalam hatinya berkata pada diri
sendir, ”Bocah itu mendadak bisa berubah menjadi dewa,
dalam jarak lima pal toh tak ada orang lain yang menuju
kemari. Kemana ia telah menghilang?”
Paderi gemuk dari Siao-lim itu mengira ilmu lari cepat
Touw Liong luar biasa sekali, tetapi dia tidak tahu kalau
Touw Liong saat itu malah ketinggalan di belakangnya dan
duduk tenang-tenang di atas pohon.
Paderi gemuk itu terus larikan kudanya masuk ke
pedesaan Kiong-lay, sedangkan Touw Liong selangkah
demi selangkah mengikuti jejak di belakangnya.
Tak lama kemudian, paderi gemuk itu sudah tiba di
tembok kota, langsung masuk melalui pintu timur.
Kota Kiong-lay itu tidak besar, karena letaknya dekat
daerah Tibet maka keadaannya agak terpencil. Di dalam
kota juga hanya terdapat sebuah rumah penginapan yang
merangkap sebagai rumah makan dan rumah minum, pada
saat itu, sedang waktunya orang makan siang. Para tamu
yang datang menginap jumlahnya tidak banyak, di depan
pintu rumah penginapan terdapat beberapa ekor kuda.
Touw Liong yang mengikuti paderi itu masuk ke dalam
kota, coba memeriksa kuda-kuda yang berada di depan
rumah penginapan, tetapi di antara beberapa ekor kuda itu,
tidak terdapat kuda Pek Thian Hiong dan puterinya, maka
diam-diam merasa heran.
Paderi tua itu lompat turun dari kudanya, berjalan masuk
ke rumah penginapan, tetapi sebentar kemudian ia sudah
balik keluar dan naik ke atas kudanya lagi, kuda itu
dilarikan ke pintu sebelah barat.
Sementara itu Touw Liong terus membuntuti perjalanan
paderi itu, juga mengikuti jejaknya.
Paderi gemuk itu melarikan kudanya di atas jalan
pegunungan yang terjal, tak perlu dikata lagi, maksudnya
ialah hendak mengejar Pek Thian Hiong dan puterinya. Ia
larikan kudanya demikian pesat, tetapi matanya terus
memperhatikan keadaan di sekitarnya agaknya sedang
menantikan sesuatu. Kira-kira setengah jam kemudian ia
masih belum berhasil mencandak jejak Pek Thian Hiong
dan puterinya.
Paderi gemuk itu terus memacu kudanya demikian pesat,
hingga kuda itu lari bagaikan terbang, berjalan di daerah
pegunungan yang agak sulit itu.
Lari kira-kira dua-tiga puluh pal, dalam pegunungan itu
tiba-tiba terdengar dua kali suara aneh, mata paderi itu
terbuka lebar ketika mendengar suara itu kemudian tertawa
terbahak-bahak dan berkata,
”Benar! Tidak salah lagi! Sahabat lama tetap
merupakan sahabat lama, sedikitpun tidak mengingkari
janji.”
Dua kali suara siulan aneh tadi datangnya secara tibatiba,
karena suara itu mengandung kekuatan tenaga dalam
yang cukup sempurna, jikalau bukan seorang tokoh kuat
pada dewasa itu tak akan bisa mengeluarkan suara
demikian.
Touw Liong diam-diam merasa girang, ia coba
menduga-duga, ”Tidak salah lagi, itu pastilah dua kawanan
jahat tadi.” Dua orang yang dimaksudkan ialah It-tiem dan
Thian-siem dua imam jahat itu.
Paderi gemuk itu pacu kudanya, tampaknya sudah ingin
sekali bisa menggabungkan diri dengan orang yang
dinantikan itu.
Selagi Touw Liong mempercepat langkahnya untuk
mengejar, paderi gemuk itu dengan tiba-tiba mengeluarkan
siulan panjang, ditujukan ke bagian dalam daerah
pegunungan tersebut.
Begitu suara siulan itu melengking di udara, dari dalam
daerah pegunungan timbul suara yang menyahutinya.
Suara itu sangat aneh, tidak mirip dengan suara Pek Thian
Hiong atau Pek Giok Hwa. Touw Liong yang tertarik oleh
suara itu, ia mengenali baik-baik arah dari mana datangnya
suara tersebut, dengan tiba-tiba menggerakkan tangannya
dan kakinya lompat melesat ke sebuah puncak gunung,
kedua matanya ditujukan ke tempat suara tadi.
Di belakang puncak gunung itu tampak dua orang
menyongsong kedatangan paderi gemuk dari gereja Siaolim-
sie, dua orang itu satu lelaki dan satu perempuan, yang
laki alisnya putih tajam sedang yang perempuan
mengenakan kerudung kain hitam, rambutnya putih.
Perempuan itu bukan lain daripada perempuan yang
mengaku dirinya sebagai Panji Wulung, yang selama ini
dicari oleh Touw Liong, namun tidak tampak jejaknya.
Orang tua beralis putih itu juga merupakan seorang
paderi berkepala gundul, tangannya membawa sebatang
tongkat rotan, sedang Panji Wulung wanita masih tetap
dengan tongkatnya yang dahulu.
Touw Liong yang mengingat bahwa dengan munculnya
Panji Wulung Wanita itu sudah tentu juga akan diketahui
di mana jejak sumoynya, maka dalam hatinya diam-diam
merasa girang. Tanpa disadarinya ia sudah mendongakkan
kepala dan mengeluarkan siulan panjang. Suara itu
bagaikan menggeramnya seekor naga, suaranya menggema
di seluruh daerah pegunungan yang luas itu.
Panji Wulung wanita semula menyongsong kedatangan
paderi Siauw-lim-sie dengan langkahnya yang pesat, begitu
mendengar suara siulan Touw Liong, lantas berhenti,
kepalanya mendongak mengawasi ke atas puncak. Puncak
gunung itu meruncing tetapi tidak tinggi, waktu itu tempat
yang digunakan oleh Touw Liong untuk tancap kaki justru
di sebuah batu yang terdapat di puncak gunung itu. Oleh
karenanya maka tubuhnya tampak tegas. Panji Wulung
Wanita yang memiliki pandangan mata luar biasa, begitu
melihat sudah tahu kalau orang itu adalah Touw Liong.
Sesaat ia terkejut, tetapi kemudian ia tertawa terbahakbahak.
Ia terkejut oleh karena dari suara siulan Touw
Liong tadi telah membuktikan bahwa kekuatan tenaga
dalamnya pemuda itu sudah pulih kembali, bahkan lebih
hebat daripada sebelum dimusnahkan kepandaiannya. Ia
tertawa girang oleh karena menemukan kembali diri Touw
Liong.
Nyata, kalau begitu bahwa diri sendiri juga mencari
Touw Liong.
Touw Liong sendiri setelah mengeluarkan siulan itu
lantas melayang turun ke bawah dan berdiri di hadapan
Panji Wulung Wanita. Panji Wulung memperdengarkan
suaranya yang aneh, ia miringkan kepala dan berkata
kepada paderi beralis putih yang berada di belakangnya.
”Ini adalah si setan kecil itu yang pernah kukatakan
kepadamu.”
Paderi beralis putih itu merangkapkan tangannya
memberi hormat, sambil berkata,
”Tecu Keng Tie.”
Panji Wulung kembali berpaling dan berkata kepada
Touw Liong,
”Bocah! Manusia memang benar-benar di mana saja
bisa bertemu. Kita akhirnya toh berjumpa lagi!”
Touw Liong entah apa sebabnya terhadap Panji Wulung
Wanita itu bersikap sangat hormat. Ia masih tetap
menjawab dengan sikap yang ramah.
”Ya, kita berjumpa lagi!”
”Di atas gunung Bu-san aku menotok tidak sampai mati
kepadamu, tak kuduga setengah tahun kita tak bertemu,
kini ternyata kau telah mendapat kemajuan pesat sekali.”
”Hadiah locianpwee di atas puncak gunung Sin-li-hong,
hingga kepandaian ilmu silat boanpwee pada waktu itu
telah locianpwee musnahkan seluruhnya. Tetapi tidak
beberapa lamanya kemudian telah mendapat belas kasih
oleh seorang cianpwee lain sehingga ditolong dan
dipulihkan kembali,” menjawab Touw Liong yang
perasaannya agak marah.
Panji Wulung Wanita itu mengangguk-anggukkan kepala
dan berkata,
”Bagus ....” kemudian ia perdengarkan suara tertawanya,
dan setelah itu ia berkata pula,
”Antara kita sebetulnya merupakan orang-orang
serumpun, kepandaian silatmu sudah pulih kembali, aku
juga merasa girang!”
Ia berhenti sejenak, lalu mengulurkan tangannya kepada
Touw Liong seraya berkata, ”Bawa kemari!”
Touw Liong terkejut dan balas bertanya,
”Apa yang harus dibawa kemari?”
Panji Wulung menunjuk kantong rumput Touw Liong
seraya berkata,
”Bawa kemari apa? Perlukan aku harus menjelaskan
lagi?”
Touw Liong memberi hormat dan berkata,
”Boanpwee tidak mengerti apa yang dikehendaki oleh
cianpwee.”
”Apa yang kukehendaki? Hmmm! Kau berlagak pilon.
Kesatu, aku menghendaki dua belas buah Panji Wulung
yang ada lukisannya awan dan angin menderu, di tengah
awan itu terdapat matahari yang setengah tertutup oleh
gumpalan awan. Kedua, aku menghendaki kitab yang
ditulis oleh Liu tayhiap sendiri. Kitab itu adalah kitab Taylo
Kim-kong. Ketiga, aku menghendaki ilmu kekuatan
tenaga dalam Sim-khang dan ilmu menyamar yang tertulis
dalam kitab ilmu Thay-it Cin-keng. Keempat, aku
menghendaki pedang Khun-ngo-kiam. Kelima, aku
menghendaki tiga butir pil Kiu-wan-tan yang berada di
dalam dirimu.”
Touw Liong menggeleng-gelengkan kepala, tidak berkata
apa-apa.
Panji Wulung sangat marah, ia membentak dengan suara
keras.
”Kau tak mau memberikan?!”
Touw Liong menganggukkan kepala.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda, mata
Panji Wulung ditujukan ke arah belakang Touw Liong, ia
segera menampak seekor kuda berbulu merah yang di
atasnya duduk seorang paderi bertubuh gemuk, sedang lari
menuju ke arahnya.
Panji Wulung lalu bertanya kepada Touw Liong sambil
menunjuk padri gemuk,
”Anak busuk! Kau ternyata masih membawa
pembantu!”
Touw Liong menggelengkan kepala dan menjawab,
”Aku tidak kenal.”
Panji Wulung tampak sedikit terkejut, sedang paderi
beralis putih itu yang selama itu tidak mengeluarkan suara
ketika mendengar ucapan Panji Wulung segera maju
selangkah dan berkata kepadanya dengan sikap sangat
menghormat sekali.
”Kokcu, itu adalah Bu Siem Taisu dari Siauw-lim-pay.”
Panji Wulung lalu mengebutkan tangannya, dan
memanggil dengan suara perlahan,
”Bu Siem ....”
Paderi beralis putih menjawab dengan suara perlahan
pula.
”Dua belas pahlawan kauwcu, di dalamnya terdapat
nama Bu Siem Taysu.”
Panji Wulung menganggukkan kepala dan berkata,
”O, iya! Orang-orang di bawah perintah kita seharusnya
ada orang seperti dia itu.”
Touw Liong terkejut ketika mendengar sebutan ’kauwcu’
untuk Panji Wulung wanita itu, sementara itu Bu Siem
Taysu yang datang dengan menunggang kuda, ketika
berada di situ, lantas mendelikkan matanya dan
mengeluarkan seruan kaget, kemudian bertanya kepada
paderi beralis putih,
”Hei, kau?!”
Paderi beralis putih menyapa sambil merangkapkan
kedua tangannya kemudian berkata dengan sikap sungguhsungguh,
”Bu Siem suheng, jangan berlaku gegabah, kauwcu ada
di sini, harap lekas memberi hormat.”
”Kauwcu??” bertanya Bu Siem taysu sambil
mendelikkan matanya, ”Perkumpulan apa?”
”Hmmm!” demikian Panji Wulung Wanita
mengeluarkan suara dari hidung, kemudian dari dalam
sakunya perlahan-lahan mengeluarkan sepasang panji kecil
warna hitam dan dikebutkan di hadapan Bu Siem taisu.
Bu Siem taisu melihat panji kecil itu wajahnya berubah
pucat seketika, badannya gemetaran, buru-buru ia lompat
turun dari atas kudanya, dan maju menghampiri Panji
Wulung wanita untuk memberi hormat kepada kauwcu
yang ia sendiri belum tahu, dari perkumpulan mana.
Touw Liong juga memasukkan tangannya ke dalam
sakunya, mengeluarkan sebuah Panji Wulung kecil
bergagang batu giok, dikibarkan kepada Bu Siem taisu,
hembusan angin dingin menyambar, kali ini Bu Siem taisu
benar-benar telah menggigil, lututnya yang sudah ditekuk
telah tersapu oleh angin dingin tadi, sehingga ia buru-buru
melompat mundur sehingga tiga langkah baru berhasil
menahan dirinya.
”Sungguh hebat ilmumu Tay-lo Kim-kong Sian-khang!”
dengan suara pujian keluar dari mulut Panji Wulung.
Sepasang mata Bu Siem taisu terbuka lebar, mukanya
yang gemuk tampak berkerenyit dua kali, mata yang
terbuka lebar itu penuh hawa amarah, dengan memandang
kepada Touw Liong, ia bertanya dengan suara bengis,
”Bocah! Ilmumu Tay-lo Kim-kong Sian-Khang kau
dapat mencuri dari mana? Tahukah kau itu adalah ilmu
ampuh yang tidak diturunkan kepada siapapun juga dari
golongan Siauw-lim-pay jikalau tidak mendapat perkenan
dari ciangbunjin, siapapun tidak dapat mempelajari ilmu
yang sangat ampuh itu.”
Touw Liong sedikitpun tidak marah, ia hanya tertawa
kecil pura-pura bersikap acuh tak acuh, dan berkata,
”Sudah tentu aku belajar ilmu ini sudah tentu ada
sebabnya, jikalau tidak, bukankah aku akan dicemoohkan
oleh kawan-kawan rimba persilatan sebagai seorang yang
mencuri kepandaian ilmu partai lain?”
Sementara Panji Wulung wanita yang merasa kehilangan
muka lantas berkata dengan suara keras,
”Bu Siem, dengar, kami sudah mengangkat kau sebagai
salah satu dari 12 pahlawan yang ditugaskan untuk
memegang jabatan di barisan Thian-ceng, lekas kembali
kepada kami untuk mendengar perintah lebih jauh.”
Bu Siem taisu menyahut, selagi hendak maju
menghampiri Panji Wulung dengan melalui samping Touw
Liong, Touw Liong sudah berkata padanya,
”Kalau kau berani ke sana, aku nanti akan suruh kau
mati di bawah panji ini.”
Bu Siem taisu diam-diam merasa bingung, sebab dua
orang itu, dalam tangan sama-sama memegang Panji
Wulung, di dalam rimba persilatan telah tersiar suatu
peraturan yang entah dibuat oleh siapa, bagi siapa yang
melihat Panji Wulung, pasti mati, dan hari itu dua buah
Panji Wulung semua telah ditujukan kepadanya, maka ia
tidak tahu seharusnya mendengar perintah yang mana?
Panji Wulung tampak marah, bentaknya,
”Anak busuk, jikalau kau berani menghalangi dia, aku
nanti akan hajar mampus di bawah tongkatku!”
Touw Liong tertawa terbahak-bahak dan berkata,
”Ada aku di sini, dia tidak bisa ke sana, kecuali
locianpwee menerima baik satu permintaanku ....”
”Urusan apa?” bertanya Panji Wulung marah.
”Harap serahkan kembali adik seperguruanku,” berkata
Touw Liong.
”Ha ha ....” demikian Panji Wulung perdengarkan
tawanya yang nyaring dan menusuk telinga, kemudian
berbalik menanya kepada paderi beralis putih,
”Pek Bi, coba kau lihat, urusan ini lucu atau tidak, ia
masih mencari Kim Yan?”
Wajah Touw Liong berubah seketika, ia bertanya-tanya
kepada diri sendiri, ”Apakah Kim Yan ....”
Pek Bi, si paderi beralis putih berkata sambil
mengangguk-anggukkan kepala.
”Sudahlah, kau jangan pikirkan lagi tentang adik
seperguruanmu! Dia sekarang sudah merupakan seorang
terpenting dalam perkumpulan kami, kini sudah menduduki
tempat penting dengan gelarnya Puteri Naga dari Kao-cu,
hubungan dengan partai Kiu-hwa sudah lama putus. Kau
jangan harap dia masih menganggap kau sebagai suhengnya
lagi!”
Panji Wulung wanita memberi tambahan,
”Barang-barang pusaka yang ada padamu, sebagai tanda
bakti kepadaku, ia juga sudah beritahukan kepadaku
semuanya.”
Touw Liong sangat marah, sehingga rambutnya pada
berdiri, katanya dengan suara gemas,
”Kalau demikian halnya, adik seperguruanku juga sudah
terjatuh di tangan kejam Tiam-cong!”
”Aku memilih dia sebagai bawahanku, ini boleh dikata
ada rejekinya yang besar! Dengan menggunakan waktu 6
jam, aku telah menyalurkan ilmuku Hek-hong Im-hong
Sim-khang ke dalam tubuhnya. Kekuatan tenaga dalamnya
sekarang ini sudah jauh berbeda dengan keadaannya
dahulu. Juga sudah tidak seperti dia lagi selama masih
bersama-sama denganmu,” berkata Panji Wulung dengan
sangat bangganya.
Touw Liong kalau memikirkan keadaan golongan Kiuhwa,
hanya ia dan adik seperguruannya itu seorang saja,
kematian suhunya hingga saat itu masih menjadi teka-teki,
dan sekarang adik seperguruannya telah terjatuh di tangan
Panji Wulung wanita. Untuk selanjutnya apabila bertemu
muka dengannya, bahkan mungkin akan berbalik
dipandang musuh. Bagaimana kalau Touw Liong tidak
marah?
”Cianpwee sebetulnya bertindak keterlaluan! Kalau
begitu terpaksa aku hendak berlaku dosa terhadap
cianpwee. O, iya. Barang-barang yang cianpwee kehendaki
itu semuanya berada dalam badanku. Tetapi selama aku
Touw Liong masih bernafas, jangan harap locianpwee bisa
mendapatkannya,” berkata Touw Liong dengan suara
keras.
”Minggir! Kau lihat, aku bisa mendapatkan barang itu
dari tanganmu atau tidak?” berkata Panji Wulung dengan
sombongnya.
Touw Liong masih berdiri tegak.
Panji Wulung tak memperlihatkan tindakan apa-apa,
perlahan-lahan ia menyedot nafas. Pek Bie, si padri alis
putih yang menyaksikan keadaan demikian, buru-buru
lompat mundur sejauh tiga kaki.
Touw Liong juga bukan seorang bodoh, begitu melihat
Panji Wulung menyedot nafas sudah tentu ia tak berani
gegabah, buru-buru menggunakan ilmu Liang-gi Sim-hwat
dan mengerahkan ilmunya Thay-it Sim-khang serta Tay-lo
Siam-khang sepenuhnya, siap sedia hendak menyambut
serangan Hek-hong Im-khang dari Panji Wulung wanita itu.
Ia tahu Panji Wulung itu pasti akan menyerang dirinya
dengan ilmunya yang baru ialah ilmu Hek-hong Im-khang
yang mengandung sambaran angin sangat dingin sekali.
Tangan Panji Wulung wanita yang memegang panji kecil
warna hitam, perlahan-lahan diangkat tinggi di atas
kepalanya, ia membuat gerakan lingkaran, sesaat kemudian
sekitar tubuhnya mengeluarkan angin dingin, dan dengan
tiba-tiba seperti timbul angin puyuh, hingga batu-batu dan
tanah-tanah pada berterbangan, angin itu mengandung
kekuatan hebat, dayanya yang luar biasa menggulung tubuh
Touw Liong yang berdiri tegak.
Angin itu menghembus ke tubuh Touw Liong. Touw
Liong merasakan seperti direndam dalam air es, hingga
diam-diam juga merasa terkejut.
Untung, ia sudah menyiapkan dua macam ilmunya,
ilmunya Thay-it Sin-kang digunakan untuk menutup
sekujur jalan darah dalam tubuhnya, sedang ilmunya Taylo
Sim-kong Sian-khang menghembus keluar menyambut ilmu
Hek-hong Im-khang yang dilancarkan oleh Panji Wulung
wanita, ilmu Tay-lo siam-khang perlahan-lahan mendesak
mundur hawa angin dingin itu sehingga setombak jauhnya.
Panji Wulung wanita perdengarkan suara tertawa dingin
berulang kali, tongkat di tangan kanan diangkat tinggi,
ujung tongkat menyemburkan kekuatan yang meluncur ke
jalan darah di bahu Touw Liong.
Sikap Touw Liong waktu itu masih tetap seperti biasa,
sedikitpun tidak menunjukkan perubahan apa-apa.
Panji Wulung menarik kembali serangan tongkatnya,
kemudian berkata sambil tertawa,
”Bagus, bocah! Jalan darah Kiam-keng-hiap di lengan
kananmu sudah kutotok, di dalam dunia ini hanya aku
seorang yang bisa membuka totokan itu, dalam waktu tiga
hari kuperingatkan kau lekas datang di gunung Hek-hongsan
menjadi muridku, dan berikan beberapa barang pusaka
yang ada di badanmu. Aku nanti akan buka totokanmu,
tetapi apabila lewat batas waktu itu kau tak datang, berarti
kau tiada bermaksud dengan sejujurnya, maka lengan
kananmu nanti tidak bisa kau gunakan lagi, dan menjadi
cacad untuk seumur hidup!”
Touw Liong yang mendengar ucapan itu, wajahnya
berubah seketika. Ucapan Panji Wulung wanita itu
bukannya gertak sambal saja, ilmu Hek-hong Im-khang
memang benar lihay, hal itu diketahui olehnya, maka ketika
mendengar ucapan itu, ia lantas berdiri tertegun. Tetapi
ketika ia mengatur pernafasannya untuk mencoba
memeriksa keadaan dalam tubuhnya di lengan kanannya itu
ternyata tidak ada perasaan apa-apa.
Namun ia mengerti bahwa ilmu Hek-hong Im-khang itu
bekerjanya pasti sangat perlahan, orang yang terkena
serangannya pada waktu itu masih belum merasakan apaapa
maka tanpa disadari ia sudah menarik nafas, sedng
dalam hatinya diam-diam berkata sendiri,
”Sudahlah! Semua adalah nasib.”
Sementara itu Bu Siem taisu yang sejak tadi
memperhatikan keadaan Touw Liong telah
mempergunakan kesempatan itu buru-buru lari melalui
sampingnya. Touw Liong berdiri tertegun memikirkan
persoalannya sendiri, hal itu sedikitpun tak dihiraukan oleh
Panji Wulung wanita, dengan sangat bangga ia menerima
hormat kebesaran dari Bu Siem taisu.
Pek Bie si paderi beralis putih, bertanya kepada Bu Siem,
“Dengan cara bagaimana suheng bisa tiba ke Kiong-lay
ini?”
“It-tiem dan Thian Siem dua sahabatku itu telah
menjanjikan aku hendak mencegat Pek Thian Hiong di
jalan daerah Kiong-lay, untuk minta kembali kecapi
kunonya.”
Begitu mendengar disebutkan nama It-tiem, mata Touw
Liong menjadi merah, dalam hatinya berkata sendiri, “Jadi
It-tiem sudah berada di Kiong-lay?” Dengan tiba-tiba ia
ingat bahwa batas waktunya hanya 3 hari, maka ia lalu
menggeleng-gelengkan kepala dan bertanya kepada diri
sendiri, “Tiga hari kemudian apakah aku benar-benar naik
ke gunung Hek-hong-san untuk berlutut minta ampun
kepadanya?” Tetapi kemudian dijawabnya sendiri, “Kalau
begitu lebih baik aku mati juga tak mau berbuat demikian.
Tiga hari selama tangan kananku belum menjadi cacad, aku
harus berusaha untuk membunuh mati musuh yang
membinasakan ayahku. Aku akan bawa kepalanya untuk
dibuat sembahyang di hadapan makam ayah ibuku.”
Dengan mata merah menyala, ia mengawasi Panji
Wulung wanita, kemudian berkata dengan suara perlahan,
”Di lain waktu kita berjumpa lagi!”
Setelah itu ia memutar diri, dan berjalan menuju ke arah
semula. Di sepanjang jalan dalam hatinya berpikir, ”Bukan
saja kau harus membunuh It-tiem untuk menyelesaikan
permusuhan ini, akupun juga akan membunuh Thian Siem
untuk menuntut balas paman Khang. Di samping itu masih
... Haaa, waktu 3 hari terlalu singkat sekali. Bagaimana aku
harus melakukan pekerjaan begitu banyak? Dengan cara
bagaimana kematian suhu, setidak-tidaknya toh aku harus
mengadakan penyelidikan dahulu!”
Ia berjalan pesat sekali, tanpa dirasa sudah melalui dua
puncak gunung, terpisah dengan Panji Wulung wanita tadi
kira-kira sudah sejauh 10 pal lebih.
Dengan tiba-tiba dari arah depan terdengar suara derap
kaki kuda pula, ia lalu angkat muka menujukan pandangan
matanya ke depan. Dari depan, tampak kedatangan dua
penunggang kuda, mereka itu ternyata adalah Pek Thian
Yong dan putrinya.
Touw Liong lalu menyongsong Pek Thian Yong dan
puterinya, buru-buru menggoyang-goyangkan tangannya
untuk memberi isyarat kepada Pek Thian Yong. Pek Thian
Yong tahu, pasti ada urusan maka segera menghentikan
jalannya.
Bab 44
Pek Giok Hwa ketika bertemu muka dengan Touw
Liong semula ia terkejut, kemudian ia mengerahkan
tenaganya untuk lari menghampirinya dan bertanya dengan
perasaan girang,
”Touw tayhiap, bukankah kau pernah kata bahwa kau
ada urusan lain, bagaimana kau sudah berada di Kionglay?”
Touw Liong tak menghentikan langkahnya, memberi
isayat dengan tangannya kepada Pek Giok Hwa. Pek Giok
Hwa mengerti, maka lalu memutar tubuhnya dan lari
berendeng bersama-sama Touw Liong.
Dengan tergesa-gesa Touw Liong menjawab
pertanyaannya,
”Panji Wulung wanita yang mengenakan kerudung
muka itu berada di belakang kita .... di samping itu, aa ...!
Sejak dari gunung Ceng-sia-san setiap hari diam-diam aku
mengikuti jejakmu, sehingga .... dua jam berselang, di
daerah Kiong-lay aku melihat ayahmu sudah menyambut
kedatanganmu, barulah aku balik kembali.”
Wajah Pek Giok Hwa terlintas perasaan girangnya,
dengan tergesa-gesa ia bertanya,
”Kalau begitu dengan cara bagaimana kau kembali lagi
ke Kiong-lay-san?”
”Di tengah perjalanan aku berpapasan dengan Bu Siem
taisu dari Siauw-lim-sie, ia menanyakan padaku tentang
jejakmu, maka itu aku masuk ke daerah pegunungan Kionglay,
ia menanyakan lagi dan lantas mengejar ke gunung
Kiong-lay-san secara tergesa-gesa.”
Sementara itu Pek Thian Yong yang dengan paras
terkejut disongsong oleh Touw Liong, semua ucapan Touw
Liong kepada puterinya telah didengar tegas olehnya, maka
lalu memberi hormat kepadanya seraya berkata,
”Atas perhatian dan perlindungan Touw tayhiap, anakku
juga pernah menceritakan kepadaku, di sini kuucapkan
terima kasih kepadamu. Sebab jika tanpa bantuan Touw
tayhiap, maka kecapi kuno ini barangkali tak mudah
kudapatkan.”
Ia membalikkan tangannya dan menunjuk kecapi kuno
yang berada di atas punggungnya.
Jelas bahwa bungkusan di punggungnya itu adalah
kecapi kuno yang merupakan salah satu barang pusaka dari
partai Bu-tong. Touw Liong meskipun di wajahnya sudah
bersikap setenang mungkin, tetapi diam-diam
mengkhawatirkan Pek Thian Yong dan puterinya, ia
berkata pula dengan suara perlahan,
”Panji Wulung wanita berada di belakang wanpwee,
mungkin sebentar lagi ia akan menyusul kemari.”
Pek Thian Yong mendongakkan kepala dan menghela
nafas panjang, badannya berdiri tidak bergerak, lalu berkata
sambil menganggukkan kepala.
”Touw tayhiap, mungkin itu adalah takdir. Di depan
ada Panji Wulung wanita yang mencegat, di belakang ada
It-tiem dan Thian Siem, dua imam jahat yang mengejar,
kalau begitu, Tuhan telah memutuskan perjalananku si
orang she Pek ini.”
Mendengar ucapan bahwa Thian Siem dan It-tiem
mengejar di belakang Thian Yong, semula Touw Liong
terkejut, kemudian menjadi girang, katanya,
”Tuhan ternyata tidak mengecewakan harapan umat-
Nya. Pembalasan sakit hatiku mungkin akan terlaksana.”
Tiba-tiba ia angkat muka dan bertanya kepada Pek Thian
Yong,
”Pek cianpwee, di mana dua anjing itu?”
”Mereka telah dipancing oleh Shoa Lip dan dua saudara
angkatku ke lain jurusan! Hanya, dua orang itu sangat
licin, dalam pengejarannya kepada Shoa Lip, apabila tidak
melihat kita berdua, ada kemungkinan mereka kembali
mencari kita.”
”Aku justru menghendaki supaya mereka balik mengejar
lagi,” berkata Touw Liong sambil menggertak gigi.
Rasa khwatir Pek Thian Hiong semakin tebal, sedangkan
sepasang mata Touw Liong tampak merah membara, jelas
ia sudah marah sekali, maka itu ditujukan ke arah jauh di
depan.
Ia mengharap, bayangan It-tiem dan Thian-sim muncul
di depan matanya supaya sebelum dirinya menjadi bercacad
ia dapat menuntut sakit hati ayahnya.
Dalam hati sendiri ia mengerti, tidak mungkin baginya
pergi ke gunung Cek-hong-san minta pertolongan kepada
Panji Wulung wanita membuka totokannya. Perbuatan
seperti itu, lebih baik ia mati, juga tidak mau minta
pertolongan orang; oleh karenanya maka ia telah bertekad
dalam waktu tiga hari itu pasti sudah menyelesaikan
beberapa persoalan besar.
Pek Giok Hwa yang tidak mengerti keadaan Touw
Liong, ia berjalan seorang diri dan bertanya dengan suara
lemah lembut.
”Touw tayhiap, musuh besar ayahmu itu meskipun
merupakan suatu permusuhan yang besar sekali, tetapi hari
ini ..... Ai! Seorang laki-laki harus berani, akan tetapi
kadang-kadang juga harus bisa berlaku sabar. Kau toh tidak
musti hari ini harus melakukan pembalasan sakit hati
ayahmu?”
Maksud kata itu ialah dalam keadaan seperti itu di
belakang dan di depan semua terdapat musuh-musuhnya
sangat kuat sekali, maka Touw Liong seharusnya dapat
mempertimbangkan mana berat dan mana yang ringan, ia
seharusnya dapat memahami bahwa keadaan hari itu tidak
tepat waktunya untuk menuntut balas.
Sementara itu Pek Thian Hiong sudah maju menasihati,
katanya,
”Touw tayhiap, waktu masih banyak, asal mereka tidak
mati, apakah kau masih takut mereka akan terbang ke atas
langit? Di kemudian hari, asal aku si orang tua masih bisa
bernafas, di dalam air ataupun di dalam api, aku akan turut
serta denganmu.”
Sehabis mengucapkan perkataan itu ia menepuk-nepuk
dadanya sendiri.
Dengan sinar mata berterima kasih Touw Liong
mengawasi dia sejenak kemudian berkata,
”Kebaikan locianpwee, boanpwee mengucapkan banyakbanyak
terima kasih, sayang ....”
Ia telah menahan ucapan selanjutnya tidak diteruskan.
”Sayang ... sinar matahari sore sangat indahm hanya
sudah dekat petang.”
Demikian suara dengan nada yang sangat dingin telah
menyambung ucapan Touw Liong tadi.
Touw Liong terkejut, ia berpaling untuk mencari siapa
orang yang mengeluarkan ucapan tadi.
Pek Giok Hwa dengan suara perlahan bertnya:
”Siapa?”
”Bu Siem hweesio dari gereja Siauw-lim, yang datang
untuk mengejar kau,” jawabnya Touw Liong perlahan.
Sesaat kemudian, paderi Bu-siem juga sudah berada di
antara mereka, sambil tertawa dingin sambil menepuk
kepala sendiri yang gundul, setelah itu ia menunjuk Pek
Thian Hiong dan berkata,
“Selamat ketemu! Selamat ketemu! Dengan adanya kau
Pek-sancu ada di sini, keadaanya akan menjadi ramai.”
Pek Thian Hiong sangat marah sekali, sementara itu Pek
Giok Hwa sudah menghunus pedangnya dan menunjuk
kepada paderi Bu Siem.
Tetapi baru saja Pek Thian Hiong hendak bergerak,
dengan tiba-tiba tampak berkelebatan bayangan orang
kemudian disusul dengan suara bentakan,
”Rebah.”
Entah dengan cara bagaimana, tiba-tiba terdengar suara
gedebuk, dan Bu Siem benar-benar sudah rubuh di tanah.
Touw Liong yang memiliki kepandaian ilmu silat sangat
hebat, sudah mendahului gerakan Pek Giok bergerak lebih
dahulu dengan satu jari tangannya menotok rubuh Bu-sim,
ketika paderi itu rubuh senjatanya sekop terbuat dari mas
terpental sejauh tiga tombak.
”Aaa!” demikian Pek Thian Hiong berseru kaget, ia
hanya mengurut-urut jenggotnya yang panjang, sepatah
katapun tidak bisa keluar dari mulutnya.
Touw Liong memandang sinar matahari di sebelah barat,
lalu menghela nafas dan mengulangi kata-kata yang
diucapkan oleh Bu-sim tadi.
Pek Giok Hwa agaknya dapat memahami bahwa ucapan
Touw Liong itu ada sebabnya maka bertanya padanya
dengan suara perlahan.
”Kenapa sikapmu demikian murung?”
Touw Liong kembali menarik nafas panjang kemudian
matanya memandang ke barat dan katanya dengan suara
sedih dan gusar,
”Diriku ini seolah-olah diuruk oleh dendam sakit hati,
akan tetapi .... waktuku sudah tidak banyak lagi!”
Pek Giok Hwa terkejut dan terheran-heran, tanyanya
pula,
”Kenapa?”
”Belum lama berselang, Panji Wulung wanita telah
berlaku curang, selagi aku dalam keadaan tidak berjaga-jaga
telah menotok jalan darahku bagian pundak, sehingga aku
terkena totokannya ilmu hitam Hek-hong Im-kang, tiga hari
baru selesai! Hanya tinggal tiga hari ....”
Wajah Pek Giok Hwa berubah pucat, sekian lama
memandang Touw Liong, tidak sepatah kata keluar dari
mulutnya.
Pek Thian Hong juga tampak marah, ia bertanya sambil
menunjuk Touw Liong.
”Benarkah?”
Touw Liong menganggukkan kepala.
Pek Thian Hong juga menghela nafas dan berkata,
”Sayang.”
Touw Liong mengawasi padanya dengan perasaan
bengong, mulutnya tidak berkata apa-apa, hanya di dalam
hatinya bertanya kepada dirinya sendiri : ”Kau sayang
apa?”
Pek Thian Hiong juga tertawa memandang kepada
matahari yang sudah hampir terbenam ke barat, katanya,
”Sayang, matahari sore itu memang benar indah!
Apabila pada tiga bulan berselang aku mendapatkan kecapi
kuno ini, alangkah baiknya!”
Touw Liong membuka sepasang matanya dengan
perasaan terkejut dan terheran-heran, sementara dalam hati
bertanya-tanya kepada diri sendiri,
”Kenapa?”
”Ilmu gaib ini jikalau tidak mendapat bantuan dari
kecapi kuno tujuh sinar ini, tidak dapat dikembangkan;
dengan adanya bantuan kecapi kuno ini, asal dipelajari
dengan tekun selama tiga bulan, sudah akan berhasil....”
Touw Liong sementara itu masih tetap diliputi dengan
teka-teki, lalu bertanya,
”Apakah ilmu gaib Pek cianpwee ini justru merupakan
ilmu yang dapat digunakan untuk memunahkan ilmu Hekhong
Im-khang?”
”Kalau ya, apa gunanya, sayang sudah terlambat tiga
bulan,” berkata Pek Thian Hiong sambil menggelenggelengkan
kepalanya.
Di wajah Touw Liong terlintas perasaan sedikit girang,
katanya dengan nada menghibur,
”Tuhan ternyata masih adil. Pek cianpwee yang
memiliki ilmu gaib untuk memusnahkan ilmu Hek-hong
Im-khang, dalam rimba persilatan ini entah berapa banyak
jiwa nanti tertolong dari bencana.”
Pek Thian Hiong tersenyum getir, menggeleng-gelengkan
kepala.
Touw Liong mengawasi keadaan di sekitarnya dan
memandang puncak gunung di sebelah kirinya yang
terdapat banyak pohon buah, lalu berkata,
”Pek locianpwee harap menyingkir dulu sebentar ke
puncak gunung sana itu, musuh dari depan dan belakang
sudah akan datang!”
Pek Thian Hong tertawa terbahak-bahak, kemudian
berkata,
”Touw tayhiap, aku si orang tua ini meskipun tidak
berguna, tetapi dengan cara bagaimana bisa meninggalkan
kau seorang diri? Aku sudah merupakan seorang yang
sudah mendekati liang kubur, di masa mendekati ajalku aku
tidak boleh meninggalkan nama buruk. Kita harus
bertindak berdampingan, sama-sama hidup, sama-sama
mati. Jikalau perlu mundur, harus mundur bersama-sama.”
”Pek cianpwee tidak boleh karena urusan kecil akan
kehilangan besar, harap Pek cianpwee mengingat seluruh
sahabat rimba persilatan. Simpanlah baik-baik kecapi kuno
itu supaya cianpwee dapat mempelajari ilmu gaib yang
cianpwee butuhkan. Jangan dipikirkan mati hidup
boanpwee, memikirlah dahulu sebentar!” berkata Touw
Liong lagi.
Pek Thian Hiong tergerak hatinya, ia anggukkan kepala
dan memandang Touw Liong dengan sinar mata kagum,
katanya dengan suara perlahan sekali,
”Touw tayhiap, harap kau berlaku hati-hati sedikit!”
Setelah mana, ia berpaling dan berkata kepada anaknya,
”Anak, mari jalan!”
Pek Giok Hwa masih tak bergerak, matanya memandang
Touw Liong.
Pek Thian Hiong dapat mengerti perasaan puterinya
pada saat itu, ia tahu Pek Giok Hwa tidak tega
meninggalkan Touw Liong seorang diri menghadapi
banyak musuh kuat maka ia dalam hati juga merasa pilu,
katanya dengan suara perlahan sambil menghela nafas.
”Anak, kau tidak dapat membantu padanya, apabila kau
berada di sini, mungkin akan menghalangi tindakannya. Ia
selalu memikirkan dirimu, sehingga tidak bisa bertempur
dengan baik.”
It u memang sebenarnya, Pek Giok Hwa seorang pintar
dan cerdas, segera dapat mengerti perasaan ayahnya,
dengan air mata berlinang ia memandang sekali lagi kepada
Touw Liong, kemudian berkata padanya,
”Touw tayhiapm berhati-hatilah sedikit!”
Ucapan itu bagaikan ratapan suara hati Pek Giok Hwa,
ucapan yang sangat singkat itu mengandung banyak
perasaan hatinya.
Touw Liong sengaja tidak berani memandang padanya,
supaya jangan sampai terpengaruh pikirannya, kemudian ia
menjawab dengan suara tegas,
”Sebagai manusia, sejak dahulu kala siapakah yang tidak
akan mati? Hari ini, berkat doa restu nona dan Pek
cianpwee, apabila dapat membasmi beberapa kawanan
penjahat ini, aku si orang she Touw meskipun aku binasa
juga tidak akan menyesal.”
Pek Giok Hwa memandang lagi pada Touw Liong
dengan mata berkaca-kaca, hatinya merasa pilu, sambil
menundukkan kepala ia mengikuti Pek Thian Hiong
menuju ke suatu puncak gunung.
Dalam waktu yang amat singkat itu ia sendiri juga tidak
tahu apa sebabnya demikian besar perhatiannya atas nasib
Touw Liong.
Touw Liong tujukan pandangan matanya ke arah
tempat di mana Pek Thian Hiong dan puterinya
bersembunyi, kemudian ditujukan lagi ke depan dan
belakang. Sambil kertak gigi ia berkata pada dirinya
sendiri,
”Mereka sudah datang. Biarlah kusambut semuanya!”
JILID 17
Dari arah depan tiba-tiba terdengar suara derap kaki
kuda.
Selanjutnya, tampak dua ekor kuda hitam yang dilarikan
ke arahnya. Di atas kuda itu tampak dua orang imam yang
masing-masing menyoren sebilah pedang di atas
punggungnya.
Touw Liong yang melihat kedatangan kedua
penunggang kuda itu, dengan pandangan mata sangat
marah mengawasi kedatangan mereka, sepasang tinjunya
dikepal, kemudian diletakkan di pinggangnya dan berdiri
untuk menghadang perjalanan mereka.
Bersamaan dengan itu, di belakang diri Touw Liong tibatiba
melayang dua orang lagi, seorang berambut putih dan
mengenakan kerudung kain hitam seorang lagi bertubuh
tegap berkumis putih, di tangannya membawa senjata
tongkat rotan.
Dua orang dari depan dan dua orang dari belakang
hampir dalam waktu bersamaan telah berada di hadapan
dan belakang Touw Liong.
Sinar mata gusar Touw Liong menyapu empat orang
yang datang dari depan dan belakang. Kemudian
mengeluarkan siulan panjang sambil mendongakkan
kepala, dan setelah itu maka ia berkata:
“Apabila Tuhan berlaku adil, tolonglah lindungi aku,
Touw Liong supaya dapat menuntut balas dendam sakit
hati ayah. Apabila Tuhan tidak adil, biarlah aku mati di
sini, asal aku dapat menunaikan tugasku sebagai anak!”
Sehabis berkata demikian, Touw Liong membalikkan
badan dan memberi hormat kepada Panji Wulung wanita
yang mengenakan kerudung muka:
“Cianpwee ternyata tidak menepati janji sendiri! Kau
sudah turun tangan terlalu kejam. Di antara kita sudah ada
batas waktu tiga hari, mengapa sekarang masih terus
mengejar jejakku?”
Panji Wulung perdengarkan suara tertawa yang
menyeramkan, ia menunjuk dua imam yang baru lompat
turun dari atas kudanya seraya katanya:
“Aku sudah angkat mereka berdua sebagai anggota
dalam barisan Thian-ceng ko. Hari ini aku tidak
mengizinkan kau mengganggu seujung rambutnya saja!
Sedang kau sendiri juga begitu. Jabatan Hek-hong Kimliong
juga kusediakan, kecuali kau, tidak ada orang lain
yang tepat untuk mendudukinya. Oleh karena itu, mereka
berdua juga tidak akan mengganggu walau hanya seujung
rambutmu saja!”
Pek-bie Hweesio dengan sikap angkuh membentak
kepada dua imam yang baru turun dari atas kudanya:
“Jiwi toyu lekas menghadap kepada kauwcu!”
Dua orang itu menyahut ‘baik’, dengan serentak maju
menghampiri melalui kanan kiri Touw Liong, menghadap
Panji Wulung.
Touw Liong dengan tiba-tiba mengeluarkan suara
bentakan keras:
“Serahkan jiwamu!”
Suara bentakannya dibarengi dengan gerakan tangan
kanannya dengan ilmu Thay-it Sin-jiauw menyerang imam
muka merah berbaju ungu, sedang tangan kirinya dengan
ilmu Thay-lo-kim-kong Sian-kang mengibaskan kelima jari
tangannya dengan ilmu Tay-lo kim-kong-chie terus
menyapu kepada imam kiri berjubah merah.
Sementara itu dari mulutnya kembali tercetus ucapan
dengan nada sangat marah:
“It-tiem! Thian-sim! Kalian kedua anjing, lekas
serahkan jiwa kalian!”
Dua serangan yang amat dahsyat itu sudah meluncur
kepada dua imam tersebut.
Dalam waktu yang bersamaan, Pek-bie Hweesio telah
menggunakan kesempatan selagi Touw Liong menyerang
kedua musuhnya, mengulurkan tangannya menyambar ke
tanah untuk mengangkat Bu-sim Hwesio yang tadi rubuh di
tanah, setelah mana ia pun lantas membuka totokannya,
hingga Bu-sim sadar kembali. Begitu melihat It-tiem dan
Thian-sim diserang oleh Touw Liong sehingga terpental
jatuh, juga merasa terkejut.
Touw Liong yang sudah berhasil serangannya, badannya
bergerak untuk mengejar kedua imam tadi. Ilmu Kim-kong
Sian-chie yang segera keluar segera ditariknya kembali,
tangan kiri dua kali melakukan gerakan, dari jauh
melancarkan serangan Tay-it Sin-jiauw ke bagian belakang
ulu hati imam berbaju ungu.
Apabila sampai serangannya itu mengenakan dengan
tepat, kalau tidak mati setidak-tidaknya It-tiem akan terluka
parah. Maka semua orang yang menyaksikan di situ pada
berubah wajahnya.
Tidak kecewa It-tiem menjadi ketua dari satu partay
besar. Begitu melihat berkelebatan sinar hijau, pedang
panjang di atas punggungnya sudah terhunus keluar untuk
menyerang balik hingga Touw liong terpaksa harus menarik
kembali serangannya.
Panji Wulung mengetahui semua kejadian setelah
mengeluarkan suara seruan tertahan, suatu perasaan girang
yang belum pernah tertampak kini terlintas di wajahnya,
sementara dalam hatinya berpikir: “Tidak kecewa It-tiem
menjadi seorang tokoh kuat, sedangkan Touw Liong lebihlebih
merupakn jago muda yang banyak harapan. Dua
orang ini, apabila bisa kujadikan anggota dalam
golonganku, dalam rimba persilatan aku sudah bisa
menjagoi.
Sementara Touw Liong yang telah menarik kembali
serangannya, mengingat dendam sakit hati ayahnya,
kembali dengan tangan kanannya, dengan ilmu Kim-kong
Sian-kang menyapu kepada It-tiem.
Perubahan secara tiba-tiba itu juga mengejutkan Panji
Wulung. Tetapi ia tak mengadakan reaksi apa-apa, ia
hanya mengawasi It-tiem, agaknya ingin tahu bagaimana
sikap imam itu dalam menghadapi serangan Touw Liong.
Sementara itu, It-tiem sudah memutar tubuh dan
pedangnya, dengan menghadap Touw Liong ia
melancarkan serangan, sedang kakinya sudah menjejakkan
tanah, badannya lompat balik sejauh empat tombak lebih.
Dengan demikian, maka serangan Touw Liong kali
inipun mengenai tempat kosong pula.
Selagi Touw Liong hendak mengejar, tiba-tiba di
belakang dirinya terasa ada suatu sambaran angin, ia tahu
telah dibokong musuh, maka ia buru-buru membatalkan
maksudnya, tanpa banyak piker sudah membentak dengan
gusar:
“Setan berkeliaran di bawah pedang! Di gunung Cengshia-
san kau dapat melarikan diri, apa sekarang kau masih
berani berlaku ganas?”
Suara bentakan itu ditutup dengan serangan pembalasan,
kali ini menggunakan ilmu Thay-it Sin-jiauw.
Orang berjubah ungu itu bukan lain daripada murid
murtad dari golongan Ceng-shia-pay, Thian-sim Tojin.
Pedang yang digenggamnya dalam tangannya kala itu
adalah pedang kuno Hok-mo Sin-kiam yang hilang di atas
penglari di dalam pendopo goa Thian-su-tong.
Kiranya pedang itu sewaktu Touw Liong mengejar
Thian-sim, diam-diam telah dicuri oleh It-tiem yang saat itu
bersembunyi di tempat gelap.
Kemudian It-tim menyusul Thian-sim, dan kedua orang
itu pada malam itu juga melarikan diri dari gunung Cengshia-
san.
Serangan Touw Liong dengan ilmunya Thay-it Sin-jiauw
tadi meskipun merupakan serangan maut tetapi Thian Sim
juga bukan saja sudah berhasil melepaskan diri dari
serangan maut tadi, bahkan masih bisa balas menyerang
dengan ilmu pedangnya Hok-mo Kiam-hoat, hingga untuk
sementara berhasil mendesak mundur Touw Liong.
Apalagi tujuan Touw Liong adalah It-tim. Ia juga tidak ada
maksud mengadu kekuatan dengan Thian-sim. Ia
mengelakkan serangan ganas Thian-sim tojin yang
dilancarkan sampai tiga kali, dan melakukan serangan
pembalasan dengan jari tangan dan telapakan tangannya,
hingga mau tidak mau Thian-sim tidak berani melanjutkan
serangannya.
Pada saat itu It-tim sudah lompat berhadapan dengan
Panji Wulung. Buru-buru ia memberi hormat kepada
wanita itu, dengan nafas tersengal-sengal ia berpaling ke
medan pertempuran. Tampak Thian-sim berkali-kali
terancam bahaya sehingga It-tiem menunjukkan sikap
cemas, dan berkata kepada Panji Wulung sambil
membungkukkan badan:
“Hunjuk beritahu kepada kauwcu, keadaan Thian-sim
toyu sangat gawat. Apalagi bocah she Touw itu bilamana
hari ini tidak disingkirkan, di kemudian hari akan
merupakan suara bahaya bagi pihak kita.”
Panji Wulung menggoyang-goyangkan tangannya dan
berkata:
“Kau tidak usah kuatir, Thian-sim masih sanggup
bertahan sepuluh jurus lebih. Maksud dan tujuan Touw
Ling kali ini bukanlah Thian-sim. Dia tidak akan turun
tangan kejam terhadapnya.”
Mendengar ucapan itu, hampir saja It-tim bergidik.
Dalam hati diam-diam berpikir: Kalau begitu bocah itu
hendak membuat perhitungan denganku.
Karena perasaannya itu, wajah It-tiem nampak pucat,
semua itu telah diketahui oleh Panji Wulung, maka ia
segera menghiburnya seraya berkata:
“Kau juga tidak usah kuatir. Bocah itu sudah kutotok
jalan darahnya dengan ilmu Hek-hong Im-kang. Dalam
waktu tiga hari kalau dia tidak menyerah jadi anggotaku,
dalam tiga hari …”
Ia sedang memperhatikan jalannya pertempuran antara
Touw Liong dengan Thian-sim, maka bicara sampai di situ
ia lantas berhenti.
Di wajahnya terlintas perasaan bangga. Maka It-tim
yang menyaksikan itu hatinya tidak tenang, buru-buru
memberi isyarat dengan mata kepada Pek-bie Hwesio.
Pek-bie hwesio berkata padanya dengan suara perlahan:
“Dalam waktu tiga hari, apabila kauwcu tidak turun
tangan sendiri untuk memunahkan ilmu Im-kang yang
mengeram dalam tubuhnya, maka selewatnya hari itu
semangatnya akan menurun, seluruh kepandaian ilmu
silatnya juga akan musnah.”
It-tim menunjukkan senyum puas, ia menarik nafas lega.
Buru-buru alihkan pandangan matanya ke medan
pertempuran lagi, tetapi apa yang disaksikannya
membuatnya terkejut bukan main.
Dalam medan pertempuran saat itu Touw Liong berhasil
menahan serangan ganas Thian-sim dengan tangan kiri,
sedang lima jari tangan kanan melakukan gerakan mengipas
dan menggunting hingga saat itu Thian-sim tidak bisa
berdiri tegak dan mundur terhuyung-huyung hingga lima
langkah. Kemudian telah ditahan oleh kebutan lengan baju
Panji Wulung sehingga tidak sampai rubuh.
Meskipun ia berhasil mempertahankan kedudukannya,
tetapi pedang Hok-mo-kiam di tangannya sudah jatuh oleh
sentilan tangan Touw Liong.
Dengan gerakan secepat kilat, bagaikan anak panah lepas
dari busurnya Touw Liong hendak menyambar pedang
yang terlepas dari tangan Thian-sim tojin.
Tepat pada saat itu It-tim juga datang memburu hendak
merampas pedang, maka Touw Liong segera menggunakan
pedang yang baru dipungut dari tanah menyambut pedang
It-tim hingga dua pedang pusaka saling beradu dan
menimbulkan percikan api hebat.
Tindakan It-tim yang tergesa-gesa tadi sudah tentu
dilakukan dengan sangat cepat, sedangkan Touw Liong
yang hendak memungut pedang Thian-sim, masih belum
melihat tegas kalau It-tim yang menyerbu. Ia hanya
melihat sesosok bayangan orang maka ia menyambut
dengan pedangnya secara sembarangan.
Setelah ia dengan tegas melihat It-tim, maka hawa
amarahnya meluap dengan tiba-tiba. Sambil kertak gigi ia
menyerbu It-tim.
It-tim yang sudah merasa gentar apalagi ketika melihat
pedang Hok-mo-kiam sudah berada di tangan Touw Liong,
sudah tentu tidak berani melakukan perlawanan lagi, buruburu
mundur ke samping Panji Wulung.
Sudah barang tentu Touw Liong tidak mau
melepaskannya begitu saja. Apalagi It-tim adalah musuh
besar yang sedang dicari olehnya, maka ketika melihatnya
dia menyingkir, buru-buru mengejar sambil menenteng
pedangnya.
Tiba-tiba terdengar suara ‘trang!’, Panji Wulung sudah
bergerak, tongkat di tangannya terbang melesat, dengan
tepat mengenakan pedang di tangan Touw Liong, hingga
tangan Touw Liong merasa kesemutan, pedang itu terlepas
dan terbang ke tempat jauh.
Touw Liong terkejut dan terpental mundur setengah
langkah.
Pedang tadi secara kebetulan terbang ke arah puncak di
mana Pek Thian Hiong dan Pek Giok Hoa sembunyikan
diri.
Pek Giok Hoa tidak mau membuang kesempatan itu,
dengan segera mengulurkan tangannya menyambuti pedang
tadi. Dan Touw Liong setelah mundur setengah langkah
diam-diam mengeluh, setelah itu ia lantas bergerak melesat
ke tempat Pek Thian Hiong dan puterinya sembunyikan
diri.
Letak puncak gunung itu justru di belakang dirinya.
Maka ia bisa bergerak lebih dahulu.
Baru saja ia bergerak, tiba-tiba tampak berkelebat
beberapa bayangan orang yang turut mengejar ke puncak
gunung itu.
Touw Liong sambil lalu mengawasi orang-orang yang
mengejarnya, diantaranya tampak It-tim dan Thian-sim
berdua, sedang di sebelah kiri tampak paderi beralis putih.
Hati Touw Liong bercekat. Ia tidak pikirkan pedang
Hok-mo Kiam akan dirampas oleh mereka. Ia hanya
pikirkan keselamatan Pek Thian Hiong dan Pek Giok Hoa.
Apabila tempat persembunyian mereka sampai ketahuan
oleh mereka, entah apa yang akan terjadi nanti.
Berpikir sampai disitu, Touw Liong lantas pasang kudakuda,
kedua tangannya digerakkan, dengan menggunakan
ilmu Liang-gie Sim-hoat melancarkan serangan kepada dua
imam dan dua padri yang memburu ke arahnya.
Ilmu Thay-it Sin-kiam dan Thay-lo-kim-kong Sin-kang
memang merupakan ilmu yang bukan main hebatnya.
Apalagi Touw Liong menggunakan ilmu itu yang
digabungkan dengan ilmu Liang-gie Sim-hoat, maka sesaat
itu hembusan angin yang meluncur keluar lebih hebat
beberapa kali. Hembusan itu juga tercampur hawa dingin
menyusup tulang, hingga kawanan padri dan imam yang
pada bergerak meluncur tadi semua telah kena tersapu dan
jatuh bergelindingan di tanah.
Oleh karenanya, maka mereka terpaksa menghentikan
gerakannya dan tidak berani naik ke puncak gunung lagi.
Dengan demikian It-tim dan Thian-sim terpaksa hanya
dapat mengawasi Touw Liong yang melesat ke atas tebing.
Thian-sim yang terluka bagian dalam, meskipun ada
maksud ingin mengejar, tetapi tenaganya tidak
mengizinkan, sudah tentu tidak ada pikiran untuk
melanjutkan gerakannya. Sedangkan It-tiem dahulu ketika
di gunung Bu-tong san telah terpapas tiga jari tangannya, ia
juga tidak berani mengejar seorang diri. Dengan pura-pura
membimbing Pek-bie hwesio yang jatuh ke tanah,
melepaskan niatnya yang hendak merampas kembali
pedang Hok-mo-kiam.
Panji Wulung yang menyaksikan semua kejadian itu
menggeleng-gelengkan kepala dan berkata:
“Bocah ini dikemudian hari apabila mendapat turunan
ilmu Hek-hong Im-kang, bukan suatu hal yang sangat
mustahil akan menjadi seorang tokoh tanpa tandingan?”
Setelah itu ia mengebutkan lengan bajunya dan berkata
kepada empat orang tadi,
“Jalan!”
Bersamaan dengan itu ia mendongakkan kepala dan
berkata ke arah puncak gunung:
“Bocah! Jangan lupa harinya, tiga hari! Masih ada
waktu tiga hari! Apabila dalam waktu tiga hari ini kau
tidak datang ke gunung Hok-hong-san untuk mencari aku,
itu berarti kau akan habis semuanya yang kau miliki hari
ini.”
Sesaat kemudian, Panji Wulung bersama dua padri dan
dua imam tadi sudah menghilang, tidak ada bayangannya
lagi.
Jalanan daerah pegunungan itu kembali sunyi, di atas
tebing Touw Liong dengan nafas memburu, wajahnya
pucat pasi.
Pek Thian Hiong lalu membimbing Touw Liong duduk
di atas sebuah batu besar, membantu padanya untuk
memulihkan tenaganya.
Pek Giok Hwa yang tangannya menggenggam pedang
Hok-mo kiam, dengan sinar mata penuh arti mengawasi
Touw Liong sejenak, kemudian bertanya pada Pek Thian
Hiong,
“Ayah! Dia toh tidak ada halangan apa-apa?”
Pek Thian Hiong memandang putrinya, ayah dan anak
itu berjalan ke bawah pohon cemara, terpisah dengan Touw
Liong kira-kira lima tombak. Pek Thian Hiong menghibur
anaknya, katanya:
“Anak, kau jangan cemas! Dia cuma kehilangan sedikit
tenaga. Biarkan dia istirahat sebentar pasti akan pulih
sendiri.”
Dari nada suaranya itu jelas perhatiannya terhadap sang
puteri. Ia dapat memahami perasaan puterinya terhadap
Touw Liong. Jelaslah sudah, bahwa dalam hati Pek Giok
Hoa telah timbul benih-benih cinta.
Sementara itu Pek Giok Hoa masih tetap menunjukkan
sikap murung, bertanya lagi:
“Benarkah ia terkena ilmu Hek-hong Im-kang?”
“Masih susah dikata. Ganas dan kejamnya ilmu Hekhong
Im-kang, ayahmu hanya mendengar cerita di
kalangan kangouw, tetapi siapapun belum pernah
melihatnya, kita harus menunggu dan melihat perubahan
apa yang akan terjadi pada tiga hari kemudian, baru tahu
bagaimana adanya.”
Berkata sampai disitu, tanpa disadarinya ia menghela
nafas dan berkata:
“Touw tayhiap memiliki kekuatan tenaga dalam sangat
hebat, kalau kita tinjau keadaan rimba persilatan pada
dewasa ini, orang yang dapat menandingi dia barangkali
tidak lebih dari tiga empat orang saja.”
Bab 45
PEK GIOK HOA tidak paham, ia bertanya pula kepada
ayahnya:
“Tetapi mengapa ia bisa terpukul oleh tongkat Panji
Wulung sehingga pedang di tangannya terbang melayang?”
“Itu juga tidak bisa disalahkan bahwa kekuatan tenaga
dalamnya sudah setinggi Panji Wulung, hanya patut
disesalkan waktu itu hatinya terlalu gugup, dalam
pertempuran sengit menghadapi tokoh-tokoh kuat seperti Ittim
dan Thian-sim ia selalu mengobral dengan ilmunya
Thay-it Sin-jiauw dan Thay-lo-kim-kong-chie. Tahukah kau
bahwa dua jenis ilmu itu paling menghamburkan kekuatan
tenaga dalam? Sebab, barang siapa menggunakan ilmu itu,
berarti mengeluarkan kekuatan tenaga dalamnya untuk
menyerang lawannya yang berada sejauh tiga tombak
dengannya, bukankah itu suatu perbuatan yang terlalu
menghamburkan tenaganya? Sekali-sekali boleh saja
digunakan, tetapi apabila berulang-ulang menggunakan
ilmu itu, pasti ada waktunya dia kehabisan tenaga!”
Pek Giok hoa angguk-anggukkan kepala, ia baru
mengerti apa sebabnya Touw Liong tidak sanggup
menyambuti serangan Panji Wulung yang hanya
menggunakan tongkat saja.
Pek Thian Hiong mengulurkan tangannya untuk
mengambil pedang dari tangan puterinya. Diperiksanya
sejenak, alisnya dikerutkan, matanya memandang terus
seolah-olah terbenam dalam pikirannya sendiri.
Pek Giok Hoa ketika menyaksikan sikap aneh dari
ayahnya, ia merasa heran, maka lalu bertanya:
“Ayah, ayah sedang pikirkan apa?”
Pek Thian Hiong kedip-kedipkan matanya, tangannya
mengelus-ngelus pedang Hok-mo kiam, jawabnya:
“Pedang ini seperti sebilah pedang kuno yang pernah
dikabarkan oleh cerita orang di rimba persilatan, apabila
betul pedang kuno itu, di dalamnya ada mengandung suatu
rahasia besar. Kecuali aku, tidak ada orang lain lagi yang
tahu…”
“Rahasia apa?”
Pek Thian Hiong menggeleng-gelengkan kepala, dan
menjawab dengan suara hambar:
“Tapi rasanya tidak mungkin pedang itu … Sebab,
pedang kuno itu sudah menghilang sejak beberapa puluh
tahun berselang!”
“Apakah bukan pedang Hok-mo Hui-kiam?”
Pek Thian Hiong terperanjat, sambil menunjuk puterinya
ia bertanya:
“Apa katamu?”
Dengan sikap serius Pek Giok Hoa mengulangi katakatanya
tadi:
“Hok-mo Hui-kiam!”
Pek Thian Hiong mengangguk-anggukkan kepala dan
berkata:
“Pedang itu memang mirip pedang Hok-mo-kiam.
Sayang barangkali bukan pedang Hok-mo-kiam yang
sebenarnya!”
“Pedang ini benar adalah pedang pusaka Hok-mo-kiam!”
“Hok-mo-kiam?!” kata Pek Thian Hiong, tubuhnya
tergetar, agaknya masih tidak percaya.
“Betul, Hok-mo-kiam?” demikian kata Pek Giok Hoa
tandas.
Selanjutnya ia bertanya:
“Ayah! Coba lekas ayah terangkan, pedang ini
mengandung rahasia apa?”
Saat itu semangatnya Pek Thian Hiong seperti menyalanyala,
dengan sinar mata tajam memandang pedang di
tangannya, lama sekali baru menggeleng-gelengkan
kepalanya, dengan suara berat berkata kepada anaknya:
“Anak, di sini bukan tempatnya untuk bicara, di
kemudian hari akan kuberitahukan padamu!”
Dengan perasaan kecewa Pek Giok Hoa alihkan
pandangannya kepada Touw Liong, dengan mendadak
tampak olehnya seorang tua berambut panjang, mukanya
seperti burung betet, sepasang matanya sangat buas, saat itu
sedang mengangkat tangannya, ditujukan ke batok kepala
Touw Liong, hendak melakukan gerakan memukul, sedang
mulutnya menunjukkan senyumnya yang licik.
Pek Giok Hoa terkejut dan menjerit, buru-buru menutup
lagi mulutnya, tidak bisa mengatakan apa-apa.
Pek Thian Hiong juga segera sadar, matanya ditujukan
ke arah Touw Liong, dan sinar matanya segera beradu
dengan sepasang mata orang tua itu. Dari mulut Pek Thian
Hiong mengeluarkan kata-kata sepatah demi sepatah:
“Ngo-gak Lo-koay!”
Ngo-gak Lo-koay menganggukkan kepala, dan berkata:
“Benar! Manusia dimana saja bisa bertemu. Di gunung
Pak-bong-san kita mendapat kesempatan bertemu muka,
tetapi di gunung Kiong-lay ini, akhirnya ketemu juga!
Segala urusan sebenarnya tidak lepas dari soal jodoh!”
Pek Giok Hoa maju dua langkah, ia bertanya kepada
Ngo-gak Lo-koay sambil kertak gigi:
“Kau mau apa?”
Ngo-gak Lo-koay menjawab sambil menggelenggelengkan
kepala:
“Tidak apa-apa, urusan kecil saja. Asalkan ayahmu mau
menyerahkan pedang itu padaku, aku akan melepaskan
dia.”
Memang benar, apabila saat itu Ngo-gak Lo-koay turun
tangan, habislah riwayat Touw Liong! Pasti batok kepala
Touw Liong akan hancur berantakan. Sudah tentu hal itu
dapat dipahami oleh Pek Thian Hiong.
Pek Giok Hoa kertak gigi, berkata sambil menunjuk
Touw Liong:
“Dia akan pulih tenaganya! Nanti kalau ia sadar
kembali, sekalipun kau tumbuh sayap, juga tidak bisa kabur
lagi!”
“Kau tidak usah kuatir!” Setelah ia terkena serangan
Hek-hong Im-kang, kekuatan tenaga dalamnya sudah
banyak berkurang. Sekalipun ia sadar, toh masih berada
dalam cengkeraman tanganku. Hari ini, hmm! Hmm!
Asal aku turun tangan, Nona Pek, kau seorang yang
mengerti, dalam hati masing-masing tahu sendiri apa yang
akan terjadi dengan bocah ini!” kata Ngo-gal Lo-kay sambil
tertawa bangga.
Pada saat dan tempat seperti itu, jiwa Touw Liong sudah
menjadi jiwa Pek Giok Hoa juga. Sebagai ayah, Pek Thian
Hiong mengetahui benar perasaan puterinya. Dan oleh
karena cinta kasih ayah terhadap puterinya, maka ia tidak
suka melukai hati puterinya, maka ia tidak suka melukai
hati puterinya. Dalam keadaan seperti itu ia tidak bisa
berbuat lain kecuali menghela nafas, dengan tangan
mengelus-elus pedang pusaka itu, lalu berkata:
“Pedang ini aku sudah memberikan padamu, tapi aku
masih belum mau mempercayaimu. Setelah kau mendapat
pedang ini apakah kau berani jamin tidak akan turun tangan
kepadanya?”
Lo-gak Sin-kun tertawa menyeringai, kemudian berkata
sambil tertawa:
“Tua bangka she Pek! Kau terlalu memandang rendah
diriku! Aku Ngo-gak Lo-koay meskipun sepak terjangku
selama ini agak aneh, tetapi merekku cukup kuat.
Kepercayaanku boleh diandalkan. Apa yang telah
kukatakan selamanya belum pernah kuingkari!”
Ia berdiam sejenak, kemudian berkata pula:
“Lagi pula bocah ini sudah ditotok jalan darahnya oleh
nenek itu dengan tongkatnya, kematiannya sudah tidak
lama lagi, maka tidaklah perlu sampai aku turun tangan,
yang tentu akan membuat nama busuk untukku sendiri.
Asalkan kau mau memberikan pedang itu secara baik-baik,
maka jiwa boch ini pada waktu sekarang ini tidak akan
terancam lagi.”
Buat Pek Thian Hiong, disatu pihak ia merasa berat
menyerahkan pedang pusaka itu kepada Ngo-gak Sin-kun.
Di lain pihak ia juga tidak mau percaya sepenuhnya akan
kata-kata orang itu, maka saat itu ia masih merasa raguragu,
tidak bisa mengambil keputusan.
Sementara itu, Pek Giok Hoa yang kuatir ayahnya
merasa berat melepaskan pedangnya, di wajahnya
menunjukkan sikap cemas. Ia angkat muka memandang
ayahnya.
Ketika mukanya tertumbuk pada bungkusan panjang
yang ada di atas punggung Pek Thian Hiong, terbukalah
pikirannya, kemudian ia mendapat suatu pikiran, dan maju
menghampiri ayahnya. Tangannya diulurkan kepada Pek
Thian Hiong, dan mulutnya berkata dengan suara perlahan:
“Harap ayah berikan pedang itu padaku, supaya anak
yang menyerahkan kepadanya!”
Sementara mulutnya mengucap demikian, ia memberi
isyarat dengan matanya sambil memandang kepada
ayahnya.
Pek Thian Hiong segera mengerti pada maksud anaknya
dan apa yang dikuatirkan oleh anaknya itu. Saat itu Pek
Thian Hiong lantas sadar, maka tanpa berkata apa-apa ia
menyerahkan pedang Hok-mo-kiamnya kepada Pek Giok
Hoa.
Setelah menerima pedang pusaka segera Pek Giok Hoa
membalikkan badan, berjalan menghampiri Ngo-gak Sinkun.
Terpisah masih lima enam tombak di hadapan Ngogak
Sin-kun, mendadak ia berhenti, pedang di tangannya
diacung-acungkan seraya katanya:
“Locianpwee, pedang sudah di tanganku. Asal
locianpwee suka menggeser beberapa langkah.”
Ngo-gak Sin-kun mengangguk-anggukkan kepala, ia
mengulurkan tangannya mengambil sebuah batu dari tanah.
Setelah memperlihatkan kepada Pek Thian Hiong, lalu
berkata:
“Tua bangka she Pek! Aku peringatkan padamu, jangan
coba kau main gila! Apabila kau melakukan tindakan apaapa,
asal aku menyambitkan batu ini, bocah itu sekalipun
tidak mati, juga akan menjadi cacat seumur hidup!”
Pek Thian Hiong tertawa terbahak-bahak, kemudian
berkata:
“Sudah tentu! Aku si orang she pek setapakpun tak
akan menggeser kakiku! Kau jangan kuatir!”
Ngo-gak Sin-kun perdengarkan tertawa yang
menyeramkan, tangannya yang mencekal batu itu diacungacungkan
sebagai tanda bahwa setiap saat ia bisa
melakukan serangan. Setelah itu ia menggebrakkan
kakinya berjalan menghampiri Pek Giok Hoa.
Berjalan baru tiga langkah ia berpaling, ia mengawasi
Pek Thian Hiong sejenak, benar saja Pek Thian Hiong
masih berdiri di tempatnya tanpa bergerak.
Ia berpaling lagi kearah Pek Giok Hoa.
Saat itu Pek Giok Hoa sedang berdiri terkatung-katung,
tangannya diangkat tinggi dengan pedangnya, keadaannya
juga serupa dengan ayahnya.
Sampai disitu, wajah Ngo-gak Sin-kun yang keriputan
tanpak gembira, bibirnya tersungging suatu senyuman,
dengan langkah lebar melanjutkan langkahnya
menghampiri Pek Giok Hoa.
Belum tiba di hadapan Pek Giok Hoa, dengan tiba-tiba
telinganya digetarkan oleh suara senar kecapi yang amat
nyaring. Mendengar dua kali sentilan senar kecapi itu
wajah Ngo-gak Sin-kun mendadak berubah; ulu hatinya
merasa seperti diputar.
Dalam keadaan cemas ia berpaling ke arah Pek Thian
Hiong. Ketika melihat keadaan Pek Thian Hiong, bukan
kepalang terkejutnya. Entah sejak kapan Pek Thian Hiong
diam-diam sudah meletakkan kecapi kunonya di atas batu,
dan disentilnya dengan lima jarinya hingga mengeluarkan
suara berirama sangat tajam.
”Hian-im Ceng-hiap!” demikian Ngo-gak Sin-kun
berseru, karena sebagai seorang yang sudah tahu kecapi
kuno itu, itulah sebabnya sampai ia berseru kaget.
Sesaat itu ia segera mengerti bahwa dirinya telah tertipu
oleh Pek Thian Hiong dan puterinya.
Tetapi pada saat itu ulu hatinya terasa sakit sekali,
tangan yang menggenggam batu mendadak gemetaran,
hingga batunya terjatuh ke tanah.
Ketika bunyi kecapi yang ketiga kalinya itu cring lagi
lagi, Ngo-gak Sin-kun lantas angkat kaki lompat turun dari
atas gunung dan kabur terbirit-birit.
Di lain pihak, tiga kali suara kecapi tadi telah membuka
totokan jalan darah Touw Liong, hingga mempercepat
usahanya untuk memulihkan kekuatan tenaganya.
Ketika suara kecapi itu berhenti, Touw Liong sudah
sadar kembali, lompat bangun. Ketika ia membuka mata,
tampak berkelebat bayangan orang yang seperti pernah
dikenalnya, lompat turun ke bawah gunung. Dari belakang
punggung orang itu seperti tidak asing lagi, maka sesaat itu
ia terkejut dan berpaling serta bertanya kepada Pek Thian
Hiong.
”Pek cianpwe, siapakah orang itu?”
Pek Thian Hiong menarik nafas lega. Ia mnyeka air
keringat di atas jidatnya, dan berkata sambil gelenggelengkan
kepala dan tertawa getir:
”Touw tayhiap, kembali kau lolos dari lobang jarum ...”
Pek Giok Hoa berkata dengan suara pilu ...
”Itu adalah Ngo-gak Lo-koay ...”
“Ngo-gak Lo-koay …?” tanya Touw Liong dengan sikap
gusar, kemudian berkata pula,
“Aku justru sedang mencari dia untuk membuat
perhitungan hutang darah!”
Sehabis mengucap demikian ia lalu memberi hormat
kepada Pek Giok Hoa dan Pek Thian Hiong sambil
mengucapkan ’sampai ketemu lagi’, setelah itu badannya
bergerak, mengejar Ngo-gak Lo-koay, sementara di
belakangnya terdengar suara panggilan dari Pek Giok Hoa.
Ngo-gak Lo-koay yang mendengar suara seruan Pek
Giok Hoa, lantas berpaling. Ketika ia menampak Touw
Liong mengejar, wajahnya berubah pucat seketika, diamdiam
mengeluh ’celaka!’, dan lari semakin cepat.
Gerakan kaki Ngo-gak Lokoay ternyata pesat sekali.
Dalam waktu sekejab mata telah mencapai jarak tiga puluh
tombak lebih. Touw Liong yang memiliki kepandaian luar
biasa, dengan sendirinya ilmu meringankan tubuhnya juga
hebat. Maka ia masih membuntuti di belakangnya.
Sekaligus ia sudah mengejar tiga pal lebih. Saat itu Ngogak
Lokoay tujukan kakinya kearah di mana tadi Panji
Wulung dan rombongannya lari. Touw Liong semakin
mengejar semakin kuatir. Diam-diam hatinya berpikir:
Apakah Ngo-gak Lokoay sudah menggabungkan diri juga
dengan romobogan Panji Wulung?
Dia tahu kalau usahanya mengejar itu diteruskan, akan
banyak bahayanya, tetapi setelah berpikir, ia mempunyai
tujuan lain. Dalam hatinya mengatakan: Apabila dapat
menyandak It-tim, bukankah merupakan suatu tindakan
yang menguntungkan padaku?
Kejar-kejaran serupa itu terus berlangsung sekian lama,
dua orang itu masih terpisah dengan jarak tertentu, dalam
hati Touw Liong merasa heran, ketika dia pasang mata
memperhatikan gerak lari Ngo-gal Lokoay, timbullah
perasaan curiganya.
Apa sebabnya?
Kiranya, gerak kaki yang digunakan oleh Ngo-gak
Lokoay itu justru adalah merupakan sebagian dari ilmu
Hui-eng Pat-sek dari golongan Pak-bong. Dengan ilmu itu,
pantas saja ia bisa lari dengan pesat.
Touw Liong semakin memperhatikan gerakan Ngo-gak
Lokoay. Gerakan Hui-eng Pat-sek yang digunakan olehnya
ternyata demikian mahir dan lincah sekali, jikalau belum
mengadakan latihan beberapa puluh tahun lamanya, tidak
mungkin bisa mencapai hasil demikian. Maka dalam hati
anak muda itu lantas timbul suatu pikiran: Ngo-gak Lokoay
sudah mendapatkan ilmu Hui-eng Pat-sek dari Pak-bong.
Tetapi di masa itu, tiga garuda dari Pak-bong tidak
mungkin menurunkan ilmu simpanan itu kepada Ngo-gak
sin-kun. Kalau begitu ...? Siapakah orangnya yang dapat
menggunakan ilmu Hui-eng Pat-sek demikian mahir?
Kecuali Hui eng sendiri, dalam rimba persilatan dewasa
ini barangkali cuma ada seorang lagi, yaitu, Kakek Seribu
Muka!
Ketika Touw Liong memikir sampai di situ, ia mulai
perhatikan bentuk dan dedak perawakan Ngo-gak Lokoay.
Sesaat itu ia segera menarik suatu kesimpulan dan dapat
memastikan pula bahwa Ngo-gak Lokoay yang dikejarnya
itu adalah samaran dari Kakek Seribu Muka.
Setelah menarik kesimpulan demikian, dengan tiba-tiba
Touw Liong berseru dengan suara nyaring:
”Chungcu! Harap tunggu sebentar! Saudaraku Kang
Kie ada urusan yang minta aku sampaikan kepada
chungcu!”
Usahanya itu ternyata berhasil. Ngo-gak Lokoay yang
lari terbirit-birit tiba-tiba menghentikan gerakannya.
Ia berpaling dan pendelikkan matanya, dengan tak
berkata apapun mengawasi Touw Liong dari atas sampai ke
bawah.
Touw Liong pada saat itu sudah dapat memastikan
bahwa siapa adanya Ngo-gak Lokoay itu. Ia memberi
hormat kepadanya.
Ngo-gak Lokoay menganggukkan kepala, tetapi masih
tetap tidak berkata apa-apa.
Touw Liong lantas bertanya secara blak-blakan:
”Tahukan chungcu bahwa suhumu telah menutup
mata?”
Ngo-gak Sin-kun mengangguk-anggukkan kepala.
Touw Liong berkata pula:
”Saudaraku Kang Kie mengharapkan bisa bertemu muka
dengan toa-chungcu untuk merundingkan cara-cara dan
rencana guna menuntut balas sakit hati suhumu!”
Di luar dugaan Touw Liong, Ngo-gak Sin-kun
mengeleng-gelengkan kepala dan berkata:
”Aku bukan Toa-chungcu!”
Touw Liong merasa heran dan lalu bertanya,
”Kalau begitu tuan ini siapa?”
Ngo-gak Sin-kun mengulurkan dua jari tangannya.
Touw Liong lalu bertanya lagi,
”Apakah tuan Ji-chungcu?”
Ngo-gak Lokoay menganggukkan kepala.
Touw Liong kembali memberi hormat kepadanya dan
bertanya,
”Mengapa chungcu perlu menyamar sebagai Ngo-gak
Lokoay?”
Jie-chungcu menghela nafas dan berkata;
”Dalam hal ini, panjang sekali ceritanya, sejak Touw
tayhiap berlalu dari Pak-bong-san, kami berempat suheng
dan sumoay kembali ke tempat rahasia di gunung Pakbong.
Di situlah kami baru mengetahui bahwa suhu telah
menutup mata. Batu nisan yang Touw tayhiap dirikan,
juga telah kami lihat, di samping itu, kami juga melihat
tulisan darah yang ditulis suhu, maka kami tahu bahwa
suhu terbinasa di tangan Ngo-gak Lokoay. Oleh karena itu,
kami sudah bersumpah hendak menuntut balas sakit hati
guru.”
Touw Liong mengerutkan alisnya, agaknya setengah
menyadari. Sementara itu Jie-chungcu telah melanjutkan
ucapannya,
”Tetapi kepandaian dan kekuatan tenaga dalam Ngo-gak
Lokoay hebat sekali, kami beberapa saudara seperguruan
masih susah menghadapi, di samping itu, sejak Ngo-gak
Lokoay kabur dari gunung Pak-bong, lantas menghilang,
tidak tahu sembunyi di mana, maka suheng telah dapat
memikirkan suatu akal yang baik, begitulah kami suheng,
sute dan sumoay berempat dengan berpencaran telah
menyaru sebagai Ngo-gak Lokoay, sengaja menimbulkan
kekacauan dalam rimba persilatan. Kalau urusan telah
meluas menjadi hebat, kita tidak kuatir Ngo-gak Lokoay
tidak akan muncul.”
Touw Liong mendengarkan penuturan itu, lantas
berpikir dalam hatinya: Perbuatan murid-murid golongan
Pak-bong yang hendak mencelakakan diri orang lain ini
sudah tentu kurang baik, tetapi tujuan mereka ialah hendak
menuntut balas sakit hati suhu mereka, maka masih
bolehlah dimaafkan.
Berpikir sampai di situ, dengan nada menghibur dan
menasehati, berkatalah Touw Liong,
”Sakit hati suhumu, karena aku sudah pernah menerima
budinya demikian besar, dengan sendirinya juga akan bantu
mengeluarkan tenaga, ah! Sayang ...”
Jie-chungcu kedip-kedipkan matanya, dengan sikap
menanya mengawasi padanya, sementara itu Touw Liong
sudah berkata lagi,
”Sayang aku sudah terkena totokan Panji Wulung, tidak
beberapa lama ...”
Jie-chungcu mengetahui perasaan Touw Liong pada saat
itu, tetapi ia tidak tahu bagaimana harus memberi hiburan,
maka alisnya dikerutkan, dan otaknya bekerja. Sesaat ia
seperti ingat sesuatu, maka bertanya padanya:
”Touw tayhiap, kau adalah satu-satunya orang yang
mengetahui kematian suhuku, juga satu-satunya orang yang
sudah masuk ke tempat pertapaan suhu. Maka kitab
rahasia perguruan kami, yaitu kitab Hui-eng Pat-sek dan
pedang Khun-ngo-kiam, Touw-tayhiap seharusnya tahu
bagaimana suhu hendak menyelesaikan tentang dua benda
pusaka itu.”
Touw Liong mengangguk-anggukkan kepala, kemudian
berkata,
”Sekalipun Jie-chungcu tidak bertanya, aku juga
seharusnya memberitahukan padamu. Dua benda pusaka
itu sudah kuserahkan kepada saudaraku Kiang Kie. Nanti,
apabila chungcu bertemu dengan saudaraku itu, tentu akan
tahu semua.”
Jie-chungcu mengucapkan terima kasih, lantas memutar
tubuh hendak pergi. Touw Liong ingat masih ada urusan
yang belum sempat diutarakan, maka buru-buru
menahannya dan berkata:
”Harap chungcu jangan pergi dulu. Aku masih ada
sesuatu yang akan diberitahukan pada chungcu.”
Jie-chungcu batalkan maksudnya, ia berdiri menantikan
keterangan Touw Liong.
Touw Liong kembali memberi hormat, dan berkata pula,
”Rimba persilatan keadaannya kacau balau. Dalam
keadaan seperti ini sudah tentu banyak timbul hal-hal yang
tidak karuan macam. Mengenai cara Jie-chungcu bersama
suheng dan sute serta sumoay hendak mencari jejak Ngogak
Lokoay, agar supaya jangan sampai menimbulkan halhal
yang tak diingini, rasanya perlu ditinjau kembali.”
Maksud Touw Liong sebetulnya hendak minta mereka
jangan sampai menimbulkan urusan terlalu banyak, tetapi
Jie-chungcu tidak dapat memahami seluruh maksud Touw
Liong, maka timbul perasaan curiganya, dan lalu bertanya,
”Aku tidak mengerti maksud dari ucapan Touw tayhiap
tadi.”
”Maksudku, Ngo-gak Lokoay dahulu mempunyai
banyak musuh dengan berbagai partai. Kalau sekarang ini
chungcu dengan suheng, sute dan sumoay muncul dalam
dunia kang-ouw dengan Ngo-gak Lokoay, hal ini
mengandung bahaya terlalu besar. Dan, disamping itu,
apabila urusan telah berlarut-larut dan menjadi besar dan
Ngo-gak Lokoay yang asli muncul, maka sepuluh partai
besar pasti akan keluar semua untuk menghadapi Ngo-gak
Lokoay. Kalau sudah terjadi hal seperti itu, bukankah
tujuan dan maksud chungcu akan menjadi tersia-sia belaka?
Oleh karena tidak bisa turun tangan sendiri terhadapnya
guna menuntut balas sakit hati suhumu.”
Jie-chungcu dua kali menganggukkan kepala tanda
mengucapkan terima kasih, tetapi kemudian ketika dia
angkat muka, wajahnya berubah seketika, dan cepat-cepat
memutar tubuh untuk lari tanpa pamit lagi.
Touw Liong merasa heran terhadap Jie-chungcu itu,
tatkala ia berpaling, tampaklah di belakangnya dua orang.
Mereka itu adalah Pek Thian Hiong dan puterinya.
Touw Liong dalam hati mengerti, sebabnya ialah muridmurid
golongan Pak-bong ketika dalam pertemuan di danau
Thian-tie di gunung Lu-san, telah pernah mengacau, hingga
dalam hati sedikit banyak merasa tidak enak sudah tentu ia
harus pergi untuk menyingkir dari Pek Thian Hiong.
Sesaat kemudian Pek Thian Hiong dan puterinya sudah
berada di hadapan Touw Liong. Pek Thian Hiong segera
bertanya,
”Mengapa Touw tayhiap lepaskan lokoay itu?”
Touw Liong lalu menceritakan semua apa yang telah
terjadi. Pek Thian Hiong setelah mendengarkannya lalu
berkata sambil kertak gigi,
”Kalau kuingat murid-murid golongan Pak-bong, benarbenar
merasa gemas. Lain kali kalau sampai bertemu lagi,
aku pasti tidak dapat mengampuni mereka!”
Touw Liong pikir hendak meredakan permusuhan itu,
tetapi mengingat Pek Thian Hiong masih dalam keadaan
marah, ia tahu usahanya tentu takkan berguna, maka lantas
batalkan maksudnya.
Sementara itu, Pek Giok Hoa sambil membawa pedang
Hok-mo-kiam, berjalan menghampiri Touw Liong dan
bertanya kepadanya.
”Kata ayah, kalau pedang ini betul pedang Hok-mokiam,
di dalamnya ada mengandung suatu rahasia besar.
Samar-samar aku pernah dengar katamu, waktu kau
berbicara dengan Thian-sim di gunung Ceng-shia-san,
benarkah bahwa pedang ini pedang Hok-mo-kiam?”
”Memang benar pedang Hok-mo-kiam!” jawab Touw
Liong.
Namun dalam hatinya ia bertanya-tanya sendiri, rahasia
apa sebetulnya?
Touw Liong menyambuti pedang Hok-mo-kiam dari
tangan Pek Giok Hoa, diperiksanya dua kali, tetapi tidak
melihat tanda-tanda yang aneh. Kalau mau dikata
perbedaan pedang ini dengan pedang-pedang lain, satusatunya
yang agak menonjol ialah, bentuk dan rupa pedang
ini mirip dengan pedang Ang-hui-how-kiam milik golongan
Bu-tong. Selain itu, bentuknya yang memang berupa
pedang kuno, tentu agak indah dan tajam sekali.
Ia memegangi pedang itu dan menghampiri Pek Thian
Hiong seraya bertanya,
”Pek cianpwe, aku tidak dapat melihat di mana letak
rahasia yang ada pada pedang ini, maka kuminta sedikit
penjelasan dari cianpwe.”
Pek Thian Hiong geleng-gelengkan kepala dan
mengawasi keadaan sekitarnya, ketika menampak di sekitar
tempat itu sunyi-senyap, boleh dikata hanya mereka bertiga,
sudah tidak tampak bayangan orang lain lagi.
Touw Liong yang menyaksikan sikap hati-hati dari orang
tua itu, mengetahui bahwa rahasia yang terkandung dalam
pedang Hok-mo-kiam ini, pasti bukan rahasia biasa, maka
dengan sikap serius ia menyerahkan pedang itu pada Pek
Thian Hiong.
Pek Thian Hiong menyambutinya, lebih dahulu diusapusap
sekali lagi, barulah berkata,
”Pedang ini dibuatnya sangat bagus sekali, tetapi bukan
buatan Thian lam tayhiap Cu-kat Ciam yang dahulu
namanya mengetarkan rimba persilatan, pedang ini
seharusnya dibuat oleh sucouw-ku, seorang padri beribadat
tinggi. Untuk membuat pedang ini, sucouw menggunakan
waktu dan hampir semua usahanya dalam waktu 30 tahun
baru selesai. Apa yang patut disesalkan ialah, ketika
pembuatan pedang ini selesai, sucouw oleh karena terlalu
letih, pada saat itu juga telah menutup mata ...”
Ia berdiam sejenak dan menghela nafas panjang,
kemudian berkata lagi,
”Letak berharganya pedang ini bukan pada
ketajamannya yang dapat memapas batu bagaikan tahu,
melainkan terletak pada sebelumnya dibuat pedang ini,
sucouw telah menggunakan ilmu yang tertinggi. Ilmu
pedang yang dipelajarinya selama beberapa puluh tahun
telah disalurkan ke dalam awak pedang ini. Kemudian,
menggunakan pula ilmunya dari golongan Budha, bertapa
selama 49 hari, telah berhasil menyembunyikan ukiran
huruf yang diukir di atas pedang, sehingga tidak dapat
dilihat oleh pandangan mata biasa.”
Dengan perasaan terkejut dan terheran-heran Touw
Liong mengawasi pedang pusaka itu, memang benar ia
tidak berhasil menemukan ukiran-ukiran huruf di atasnya.
Jadi apa yang diucapkan oleh orang tua ini, barang kali
memang betul.
Sementara itu Pek Thian Hiong sudah berkata lagi,
”Pedang berhasil, tetapi orang yang membuat menutup
mata, ini adalah suatu tragedi yang sangat menggenaskan.
Lebih menggenaskan lagi, pada waktu sucouw menutup
mata, dan semua anak muridnya sedang repot mengurus
jenasahnya, pedang itu telah dicuri oleh seorang tokoh kuat
rimba persilatan yang sudah lama mengintai pedang pusaka
itu, hingga dibawa kabur olehnya.”
”Apakah orang itu adalah Cu-kat Ciam sendiri?” tanya
Touw Liong.
Pek Thian Hiong menganggukkan kepala.
Touw Liong bertanya pula,
”Mengapa murid-murid couwsu cianpwe dahulu tidak
berusaha mencari jejak pedang itu?”
Pek Thian Hiong menghela nafas panjang, lama baru
bisa menjawab,
”Mungkin itu sudah takdir Tuhan Yang Maha Esa,
ketika orang-orang yang mencari jejak Cu-kat Ciam sudah
tidak tampak lagi bayangannya, bahkan sejak saat itu
bayangannya sudah tidak muncul lagi di dunia kang-ouw.”
”Ayah telah beberapa puluh tahun lamanya
menyembunyikan nama, apakah juga lantaran mencari
jejak pedang ini?” tanya Pek Giok Hwa dengan nada sedih.
”Kali ini aku keluar muka lagi, mengundang semua
tokoh rimba persilatan, dengan alasan membasmi
keganasan Panji Wulung, tetapi maksud yang sebenarnya
ialah hendak menyerepi pedang pusaka ini,” berkata Pek
Thian Hiong.
”Kalau begitu aku ucapkan selamat kepada locianpwee,
karena locianpwee sudah mewarisi pedang pusaka milik
sucouw locianpwee, dengan reputasi locianpwee di
kalangan kang-ouw, rasanya tidak susah bagi locianpwee
untuk membersihkan rimba persilatan dari kawanan
penjahat,” berkata Touw Liong sambil memberi hormat.
Pek Thian Hiong menggoyang-goyangkan tangannya
dan berkata,
”Touw tayhiap, kau jangan terburu-buru memberi
selamat, meskipun aku sudah menemukan kembali pedang
pusaka milik perguruan kita. Sayang ukiran-ukiran huruf
kuno yang diukir di atas pedang itu aku masih belum
berhasil membuatnya tampak dengan mata.”
”Kapan kira-kira ukiran-ukiran huruf itu bisa tampak?”
tanya Touw Liong.
”Harus menunggu sampai aku berhasil memahami
irama-irama dari kecapi kuno itu, barangkali masih
memerlukan waktu tiga bulan untuk aku melatih ilmu gaib
dari daerah luar, yang harus digabungkan dengan irama
kecapi ini, barulah bisa menimbulkan huruf-huruf yang
tersembunyi dalam awak pedang ini,” menjawab Pek Thian
Hiong sambil menunjuk kecapi kunonya.
Bab 46
WAKTU TIGA BULAN terhitung pendek, tetapi siapa
tahu apa yang terjadi di dalam rimba persilatan di dalam
tiga bulan kemudian? Apakah Panji Wulung wanita
membiarkan ia mempelajari ilmunya itu dengan tenang
selama tiga bulan ini? Pek Thian Hiong mengerti
kedudukannya sendiri, demikianpun dengan Touw Liong.
Maka Pek Thian Hiong sehabis mengucapkan perkataannya
itu, di antara mereka berdua, segera terbenam dalam
lamunannya sendiri-sendiri.
Pek Giok Hoa yang menyaksikan itu, menghela nafas
perlahan, kemudian berkata,
”Ayah hendak mempelajari ilmu gaib jati kuno ini,
apabila mendapat bantuan dia menjaga keselamatannya,
hal itu alangkah baiknya!”
Meskipun mulutnya berkata demikian, tetapi ia tahu
benar bahwa Touw Liong sudah terkena serangan ganas
Panji Wulung wanita yang mempunyai waktu tiga hari saja.
Sepasang mata Touw Liong tiba-tiba terbuka lebar,
katanya,
”Ilmu gaib Thay-it Sin-kang boanpwe, juga sudah
boanpwe pelajari seluruhnya, sekarang ini apakah kiranya
boleh membantu cianpwe dalam melaksanakan maksud
cianpwe?”
Maksudnya ialah hendak menggunakan kekuatan tenaga
dalam yang ada pada dirinya, supaya dapat menimbulkan
ukiran bulat yang terdapat di awak pedang kuno itu.
Tetapi Pek Thian Hiong menggeleng-gelengkan kepala,
kemudian berkata,
”Tidak bisa! Kekuatan dari ilmu Thay-it Sin-kang masih
belum cukup.”
Tetapi kemudian ia berpikir lagi sambil mengerutkan
alis, kemudian mengangguk-anggukkan kepala dan berkata
pula,
”Meskipun ilmu Thay-it Sin-kang masih belum bisa
dipakai, tetapi apabila, ada cara lain, dan ditambah dengan
kekuatan tenaga dari lain ilmu rasanya bisa juga. Tetapi ini
adalah suatu hal yang tidak mungkin, dalam kalangan
tinggi, tidaklah mungkin ada orang yang dalam waktu
bersamaan bisa mengerahkan dua macam kekuatan dari
dua macam ilmu!”
Touw Liong yang mendengar ucapan itu merasa tertarik,
katanya sambil tertawa,
”Boanpwe bersedia menggunakan dua macam ilmu
dalam waktu yang bersamaan.”
Mata Pek Thian Hiong terbuka lebar, kemudian tertawa
terbahak-bahak dan berkata,
”Oh! Orang yang sudah tua, pikirannya juga linglung,
mengapa aku tidak ingat kau tadi sewaktu dalam
kekuatanmu melawan Thian-sin dan It-tim, dengan tangan
kirimu kau boleh menggunakan ilmu Thay-it Sim-liong, dan
dengan tangan kananmu, gunakanlah ilmu Tay-lo sian-ci.
Apabila dalam waktu bersamaan tidak bisa mengerahkan
dua macam ilmu itu, tidak mungkin dalam waktu yang
bersamaan kau dapat menggunakan dua macam ilmu yang
sangat ampuh itu!”
Sehabis berkata demikian, ia berkata pula sambil
mengulapkan tangannya,
”Jalan! Mari ikut aku pergi!”
Setelah itu lebih dahulu ia berjalan menuju ke belakang
gunung Kionglay.
.....................
Rembulan purnama memancarkan sinarnya yang terang
benderang, malam itu udara cerah.
Di daerah gunung Tiong lay-san, terdapat sebuah
bangunan gedung besar tetapi sederhana. Ruangan tengah
kamar itu masih tampak sinar pelita yang memancar keluar,
di dekat jendela ada duduk seorang tua dan dua orang
muda.
Tiga orang itu adalah Pek Thian Hiong dan anaknya
bersama Touw Liong.
Di luar pekarangan yang bertugas sebagai peronda
adalah Soa Lie, yang bertubuh tinggi besar, sedang yang
bertugas di bagian atas rumah adalah orang tua berkaki satu
yang mukanya hitam yang dahulu pernah unjuk diri di
danau Siao-thian-tie, sepasang sinar mata yang tajam orang
tua itu ditujukan ke arah jauh sekeliling gedung rumah itu.
Tiga orang yang duduk di dekat jendela itu, semua
mencurahkan perhatiannya kepada pedang Hok-mo-kiam
yang tergenggam dalam tangan Touw Liong.
Di atas awak pedang itu, dengan tegas dan nyata sekali
tertampak beberapa huruf yang kecil halus sekali, seolaholah
dibikin dengan jarum tajam, huruf-huruf itu berbunyi,
”Ilmu pedang disimpan di dalam gua Hok hong-tong.”
Pek Thian Hiong menghela nafas, agaknya merasa
kecewa, sedang Touw Liong menyeka keringat yang
mengalir di jidatnya. Jari tangannya mengusap untuk
menghilangkan jejak ukiran-ukiran huruf di awak pedang
tadi.
Sementara itu Pek Giok Hoa mula membuka mulut, ia
berkata dengan sikap kecewa,
”Mengapa harus disimpan di dalam gua Hok hongtong?”
”Aku juga tidak habis mengerti mengapa Couwsu-ku
bisa menyimpan kitab ilmu pedang dalam goa Hok hongtong
pada dua ratus tahun kemudian, apakah masih tetap
seperti dahulu? Apakah kitab ilmu pedang itu masih berada
di tempat asalnya?” berkata Pek Thian Hiong.
Touw Liong bangkit dari tempat duduknya, sambil
merapikan pakaiannya ia berkata,
”Boanpwe tidak bisa berdiam lama-lama, kini hendak
berangkat ke gunung Hok-bong-san!”
”Apakah Touw tayhiap hendak mencari kitab ilmu
pedang itu?” bertanya Pek Thian Hiong yang merasa
tertarik.
”Bukan! Boanpwe hendak mencari It-tim,” menjawab
Touw Liong sambil mengeleng-gelengkan kepala.
”Apakah It-tim juga berada di gunung Hok-hong-san?”
bertanya Pek Thian Hiong heran.
”Dia sudah diangkat menjadi salah satu anggota
pelindung hukum oleh Panji Wulung wanita, sudah tentu ia
berada di gunung Hok-hong-san untuk sementara ia
berlindung kepada pengaruhnya Panji Wulung Wanita,
sebagai tempat pelariannya,” menjawab Touw Liong sambil
menganggukkan kepala.
Pek Giok Hoa yang mendengar Touw Liong hendak
pergi, mengerutkan alisnya sambil memandang ayahnya,
sedang mulutnya tidak mengucapkan apa-apa, tetapi dari
sikapnya itu, telah menunjukkan suatu perasaan yang
mengandung permohonan.
Pek Thian Hiong menghela nafas, ia mencegah maksud
Touw Liong hendak pergi, katanya,
”Pergi dengan seorang diri, kurasa kurang baik, apabila
Touw tayhiap mau bersabar sedikit waktu, kita ayah dan
anak bisa mengawani kau pergi bersama-sama.”
”Budi baik locianpwe ini terpaksa kuterima dalam hati
saja, sayang waktu boanpwe sudah tidak banyak lagi,”
berkata Touw Liong sambil tertawa kecil.
Pek Giok Hoa merasa sangat berduka, hingga saat itu
hampir saja mengucurkan air mata, untuk kedua kalinya ia
mengawasi ayahnya dengan sinar mata penuh
pengharapan.
Pek Thian Hiong menundukkan kepala untuk berpikir,
kemudian ia menarik tangan Touw Liong seraya berkata,
”Touw tayhiap harap sabar dulu, aku masih ada sedikit
urusan, sebelum Touw tayhiap berlalu dari sini, hendak
minta pertolongan Touw tayhiap untuk melindungi aku
satu malam saja, besok pagi-pagi sekali, aku bisa mengikuti
Touw tayhiap bersama-sama pergi ke gunung Hok-hongsan,
sekalipun aku harus korbankan tulang-tulangku yang
sudah bangkotan ini di gunung Hok-hong-san, juga akan
membantu kau untuk menyelesaikan urusanmu, untuk
membunuh mati It-tim.”
”Apakah cianpwe ada memerlukan tenaga boanpwe?”
berkata Touw Liong.
”Aku hanya tinggal menunggu waktu setengah malam
saja, dalam usahaku mempelajari ilmu gaib dari jati kuno
ini, setelah aku dapat memahami, aku hendak menurunkan
ilmu itu kepada Hoa-ji, hitung-hitung sebagai warisan
baginya setelah aku nanti menutup mata,” berkata Pek
Thian Hiong.
Touw Liong merasa tertarik mendengar ucapan itu,
sedangkan Pek Giok Hoa saat itu sudah menutupi
wajahnya sendiri dengan kedua tangannya, perasaan sedih
timbul seketika, sehingga menangis terisak-isak.
Pek Thian Hiong merasa sangat berduka, dengan air
mata bercucuran berkata,
”Anak, jangan nangis! Kau adalah Sancu muda dari
golongan Cit-phoa-san, dalam hidup ayahmu, sepanjang
masa pernah melakukan pekerjaan besar; belum penah
merasa takut menghadapi segala perkara, sekarang setelah
aku mengetahui bahwa kitab ilmu pedang yang sangat
ampuh itu berada di gunung Hok-hong-san, bagaimana aku
bisa tinggal diam? Bagaimana seorang ksatria mati atau
hidup sudah pasrah kepada tuhan yang Maha Esa, benda
peninggalan perguruanmu sudah diketahui tempatnya,
bagaimanapun juga aku tidak dapat berpeluk tangan!”
Pek Giok Hoa berhenti menangis, Pek Thian Hiong
menghiburi lagi seraya berkata,
”Nanti kalau aku sudah berhasil menyelesaikan pelajaran
ilmu gaib dari kecapi kuno ini, kau pulang ke gunung Citphoa-
san, kau harus mempelajari ilmunya dengan tekun,
selama setahun atau dua tahun, di kemudian hari, kau akan
mencapai sukses yang gilang-gemilang.”
Pek Giok Hoa berulang-ulang menggeleng kepala, tidak
berkata apa-apa, Touw Liong yang berada di sampingnya
menyaksikan itu hatinya juga merasa pilu, sehingga
berpaling mengawasi ke lain jurusan, dengan suara serak ia
berkata sambil menggelengkan kepala,
”Dari sini pergi ke gunung Hok-hong-san hanya tiga atau
lima ratus pal perjalanannya saja, malam ini aku bersedia
membantu cianpwe untuk menjaga rumah ini, besok pagi,
biarlah boanpwe pergi seorang diri saja! Apabila nasib baik
masih bisa hidup tiga hari, mungkin boanpwe dapat
membawa kembali kitab ilmu pedang peninggalan Couwsu
cianpwe sekalian.”
Pek Thian Hiong tidak berkata apa-apa, ia ulurkan
tangannya mengambil kecapi kuno yang diletakkan di atas
meja, dan berkata sambil menunjuk ke puncak gunung yang
menjulang tinggi ke langit.
”Aku tahu puncak gunung itu keadaannya tenang dan
sunyi, di atas itu terdapat banyak pohon cemara tua, hanya
kita di sana mempelajari irama kecapi kuno ini, dan tentu
bisa menemukan irama-iramanya yang sejati.”
Tak lama kemudian, di atas sebuah batu persegi di
bawah tiga buah pohon cemara besar yang terletak di
puncak gunung tinggi itu, terdapat sebuah pendupaan yang
mengepulkan asap putih.
Di belakang pendupaan, terletak sebuah kecapi kuno
bersenar tujuh yang pernah menggetarkan rimba persilatan
itu.
Sinar rembulan yang melalui sela-sela daun pohon
cemara, menyinari wajah Pek Thian Hiong, memejamkan
sepasang matanya, sedang jari tangannya menari-nari di
atas senar kecapi kuno, hingga kecapi itu mengeluarkan
suara iramanya yang merdu sekali.
Di belakang Pek Thian Hiong, berdiri putrinya Pek Giok
Hoa yang sedang membawa pedang kuno, matanya
mengawasi kecapi dan bergeraknya kedua tangan ayahnya
tanpa berkedip.
Sedang ke jarak jauh ia celingukan mengawasi tempat
sekitarnya, sejauh sepuluh tombak, di sana, di tempat yang
terdapat banyak jalanan, ada berdiri Touw Liong yang
bertugas melindungi ayah dan anak itu.
Kiranya kecapi itu demikian merdunya, sehingga dapat
mengetuk setiap hati manusia, irama kecapi itu dari lembut,
halus perlahan-lahan memuncak cepat, seolah-olah sedang
mengikuti bergeraknya orang menari.
Tetapi kemudian, dengan tiba-tiba irama itu berubah
demikian hebatnya, seolah-olah suara gemuruh, juga seperti
mengandung suara di dalam medan perang.
Pendek kata, irama kecapi itu telah mencekat setiap hati
orang yang berada di situ, sehingga seorang seperti Touw
Liong yang memiliki ketenangan pikiran cukup kuat, juga
masih merasa tergoncang, hati dan pikirannya, seolah-olah
cukup diombang-ambingkan oleh irama kecapi itu.
Satu jam, dua jam, tiga jam telah berlalu.
Kira-kira empat jam hampir subuh, ketika irama kecapi
itu sedang menanjak tinggi dan hampir menembus ke awan,
dengan tiba-tiba terdengar suara siulan aneh yang
memecah.
Begitu suara siulan aneh itu timbul, Touw Liong
bagaikan burung terbang, melesat ke sebuah bukit, lalu
menuju ke puncak gunung yang lebih rendah.
Pek Giok Hoa juga bersiap dengan pedang Hok-mokiamnya,
ia cepat berdiri di belakang ayahnya untuk
menghadapi segala kemungkinan ...
Pek Thian Hiong sendiri, ketika mendengar suara siulan
itu juga kaget, dengan jari tangannya masih tetap menarinari
di atas senar kecapi tanpa berhenti, suara iramanya
yang tinggi tetap menggema di angkasa.
Suara siulan terus timbul lagi di puncak gunung agak
rendah dari seberang sana, suara siulan itu kedengarannya
masih demikian kuat tenaganya.
Pek Thian Hiong kembali dikejutkan oleh suara itu, akan
tetapi ia sedikitpun tidak berani berlaku gegabah, ia
menenangkan hati dan pikiran seluruh perhatiannya
ditumpahkan ke dalam kecapi kunonya. Sedang Pek Giok
Hoa yang berada di belakangnya, matanya mengawasi
keadaan di sekitarnya, ia baru tahu bahwa Touw Liong
sudah tidak tampak bayangannya, sehingga sekujur
badannya tergetar, alisnya berdiri, wajahnya menunjukkan
sikap cemas.
Touw Liong yang berada di puncak gunung seberang
sana, dengan menerobos awan-awan tipis di atas suatu batu
gunung, matanya kembali ditujukan ke puncak yang lebih
rendah, samar tampak dua bayangan orang yang
mengenakan dandanan imam, dua imam itu yang satu
sudah lanjut usianya, sedang yang lain masih agak muda,
yang tua rambutnya sudah putih seluruhnya dan yang
agakh muda tulang-tulangnya kelihatan menonjol.
Touw Liong yang memiliki pandangan mata luar biasa,
meskipun di waktu malam, dan terpisah agak jauh, tetapi
begitu melihat segera dapat mengenali bahwa imam yang
tubuhnya kurus itu adalah Ngo-yang Tojin, salah satu dari
tiga jago golongan Kiong-lay.
Dalam hati Touw Liong timbul pertanyaan, ”Ketua
partai Kiong-lay sudah binasa di tangan Panji Wulung
Wanita di kota Lam-yang, orang yang sudah mati tidak
mungkin hidup kembali, dengan lain perkataan, imam tua
berambut putih itu juga tidak mungkin ketua partai Kionglay.”
Akan tetapi siapakah dia?
Dengan tiba-tiba ia teringat kepada diri seseorang, orang
itu ... seharusnya sute atau saudara muda seperguruan ketua
partai Kiong-lay, yang bernama San Hong Tojin, salah
seorang kuat dari sepuluh partai besar.
Lain pikiran timbul dengan mendadak, orang ini pada
dua puluh tahun berselang pernah ikut mengepung tiga jago
rimba persilatan di kota Gak-yang, teringat akan itu, hawa
amarah Touw Liong lantas meluap, maka sesaat itu lantas
lompat melesat menuju ke puncak gunung di seberang sana.
Di atas puncak gunung itu hanya terdapat pohon cemara
yang daunnya rindang, ketika Touw Liong tiba di tempat
itu, imam tua berambut putih itu memperdengarkan suara
tertawa dinginnya, kemudian bertanya kepada Touw Liong,
”Kau bocah inikah yang main gila di atas sana?”
Ngo-yang Tojin di atas wajahnya yang kurus nampak
sangat dingin, dengan hati gemas memandang Touw Liong,
sikap itu jauh berbeda sewaktu berada di kota Gak-yang.
Dalam hati Touw Liong diam-diam merasa heran, tetapi
dia sebagai orang keluaran dari golongan ternama, biarpun
menghadapi musuh besar, juga tidak lupa tentang adat
istiadat, maka lalu memberi hormat kepada Ngo-yang Tojin
seraya berkata,
”Sudah lama tidak berjumpa, kiranya adalah Ngo-yang
Totiang.”
Wajah Ngo-yang yang kurus tampak berkerenyit, lalu
miringkan kepala, dan berkata dengan nada suara dingin,
”Susiokku sedang bertanya kepadamu!”
Dalam hati Touw Liong merasa mendelu, pikirnya imam
ini mengapa dengan mendadak berubah demikian congkak?
Touw Liong sebagai seorang tinggi hati, maka ketika
mendengar pertanyaan itu, lalu tertawa terbahak-bahak,
kemudian balas bertanya,
”Kalau begitu, susiokmu ini adalah San-hong Totiang
yang pada dua puluh tahun berselang namanya sangat
terkenal di tiga daerah.”
Imam berambut putih itu mengangguk-anggukkan
kepala, dan berkata dengan nada suara dingin.
”Ucapanmu ini sedikitpun tidak salah.”
Wajah Touw Liong berubah dengan segera ia bertanya
dengan bengis,
”San-hong Tojin, apakah dalam pertempuran yang
mengepung tiga jago rimba persilatan di kota Gak-yang
pada dua puluh tahun berselang, kau juga ambil bagian?”
”Sudah tentu, pinto yang waktu itu merupakan salah
seorang kuat dari sepuluh partai, dengan sendirinya
diharuskan turut ambil bagian dalam pengepungan tiga jago
itu,” menjawab San-hong Tojin sambil menganggukkan
kepala.
Touw Liong mendongakkan kepala dan tertawa,
kemudian berkata,
”Malam ini keinginanku telah tercapai, musuhku
kembali telah kutemukan lagi seorang!”
Setelah itu ia maju menghampiri beberapa langkah.
Pada waktu itu Touw Liong sudah tidak dapat
mengendalikan perasaan sedih, gemas dan marah dalam
hatinya, maka kedua tangannya lantas diangkat, sudah
akan turun tangan.
Dengan tiba-tiba Lo-yang Tojin sudah bergerak dan
berada di hadapan San-hong Tojin untuk menghalangi
Touw Liong, dengan nada sangat marah ia bertanya sambil
menuding Touw Liong,
”Apakah suhuku dan Kian-goan Tojin dari gereja Kiangoan-
koan, semua mati di bawah serangan ilmu Thian-sengjiauw.”
”Mereka binasa di bawah serangan ilmu Thay-it Sinjiauw
Panji Wulung wanita, dengan cara bagaimana kau
menuduh orang secara sembarangan?” berkata Touw Liong
marah.
Ilmu Thian-seng dan Thay-it, keduanya merupakan satu
aliran, kemarin Pek-bie Hwesio dari Ngo-bie ada kata,
kematian suhengku pernah disaksikan olehnya dengan mata
kepala sendiri memang benar mati di bawah serangan ilmu
Thian-seng-jiauw.”
Agak sulit bagi Touw Liong untuk memberi keterangan,
tetapi ia mengerti keadaan yang dihadapinya, maka lalu
berkata sambil tertawa terbahak-bahak.
”Barangkali kau dimasukkan dalam barisan dua belas
penasihat hukum dari perkumpulan Hok-hong. Pek-bie
Hwesio pasti sudah menerima perintah Kaucunya untuk
minta kau supaya menjadi anggota perkumpulan tersebut,
maka itu ia sampai perlu memutar balik perkara yang
sebenarnya, dengan sengaja hendak membakar hatimu, ha
ha ha, kematian suhengmu di bawah tangan Panji Wulung
Wanita adalah suatu kenyataan, maka itu Lo-yan totiang
jangan sampai salah alamat, dan tentang kau San-hong ....
hutang darah harus membayar dengan darah, permusuhan
yang timbul di Gak-yang-low pada 12 tahun berselang, aku
tidak perlu banyak bicara lagi, hari ini biar bagaimana harus
dibereskan.”
San-hong Tojin menghunus pedang panjangnya, sambil
tertawa dingin, ia melakukan serangan, untuk
mengelambaikan pedangnya, sesaat kemudian dari dalam
rimba yang lebat itu muncul ssebelas imam yang masingmasing
pada membawa pedang panjang.
Touw Liong menyapu kawanan imam itu sejenak,
ternyata adalah imam-imam yang dahulu pernah
mengurung dirinya dengan barisan 12 pedang di atas
jembatan kuno di kota Lam-yang.
San-hong tojin menggerakkan pedang di tangannya dan
sepuluh imam itu lantas mulai maju mengurung, begitupun
Ngo-yang tojin juga tidak mau ketinggalan, ia juga sudah
turut ambil bagian.
Touw Liong tidak berani berlaku gegabah, di atas
jembatan kuno di kota Lam-yang dahulu, ia pernah
merasakan sendiri hebatnya barisan pedang itu, maka ia
lalu memotes sebatang ranting pohon, dicobanya sebentar,
ternyata cukup baik untuk dijadikan senjata.
Ketika 12 pedang dalam barisan itu digerakkan, sudah
menimbulkan hembusan angin sangat hebat, Touw Liong
dapat merasakan bahwa barisan pedang ini jauh lebih hebat
daripada barisan pedang yang dahulu pernah dihadapinya,
dan ujung pedang Lo-yang tojin sendiri, juga bisa
menimbulkan hembusan angin hebat, yang dahulu belum
pernah bisa melakukan seperti itu.
San-hong tojin berdiri di samping sambil menggenggam
pedangnya, kemudian memberi perintah kepada Ngo-yang,
”Bocah ini adalah musuh besar yang membinasakan
suhumu, kau boleh hadapi dengan sepenuh tenaga, sekalikali
jangan sampai terlolos dari barisan pedang ini!”
Ngo-yang dengan sikapnya yang sangat hormat
menerima baik perintah susioknya, kemudian ia berkata
kepada Touw Liong,
”Serahkan jiwamu!”
Setelah itu ia mengeluarkan aba-aba, 12 batang pedang
bergerak dengan serentak, di bawah sinar rembulan
purnama, bergeraknya 12 pedang itu menimbulkan sinar
berkilauan yang mengurung diri Touw Liong.
Touw Liong mengeluarkan siulan panjang, ia
menggerakkan batang pohon di tangannya, sungguh aneh,
senjata yang terdiri dari batang kayu yang tidak berapa
besarnya itu dengan mudah dapat mendesak mundur 12
pedang.
Di dalam rimba persilatan, jarang ada orang yang berani
menggunakan batang pohon sebagai pedang, ketujuh orang
itu memiliki kekuatan tenaga dalam yang sudah tidak ada
taranya. Dan malam itu Touw Liong hanya dengan
sebatang kayu kecil, untuk menghadapi barisan pedang
yang sudah terkenal ampuhnya dalam rimba persilatan, hal
ini sudah tentu membuat San-hong tojin yang menyaksikan
pertempuran di samping, harus mempertimbangkan baikbaik
tentang diri anak muda itu.
San-hong tojin kembali menggerakkan pedangnya, dan
barisan pedang itu lantas berpencar, setelah itu, ia lompat
masuk ke dalam barisan pedang, selanjutnay, barisan
pedang itu kembali merapat dan mengurung Touw Liong
dan San-hong tojin dalam barisan pedang, dengan
menggerakkan pedang masing-masing.
Touw Liong berdiri dengan sikap gagah di dalam barisan
pedang, sedikitpun tidak bergerak.
San-hong tojin berkata dengan nada suara dingin sambil
menuding Touw Liong dengan pedangnya,
”Bocah, kau tampaknya memang benar memiliki
kepandaian yang cukup berarti, kemarin Pek-bie Hwesio
pernah berkata kepadaku, waktu itu aku masih belum mau
percaya, tapi aku lihat ketika kau membuka seranganmu,
aku segera mengetahui bahwa kau memang benar memiliki
kepandaian yang berarti, namamu ternyata bukan hanya
nama kosong belaka. Aku San-hong sejak berkelana, belum
pernah menemukan tandingan, juga jarang ada orang yang
berani mengucapkan perkataan besar di hadapannya, mari!
Mari! Aku San-hong malam ini dapat belajar kenal dengan
kepandaianmu yang hebat, sesungguhnya merasa puas.”
Touw Liong tertawa dingin, matanya melihat 12 pedang
panjang. Ia mengerti maksud San-hong tidak
mengundurkan barisan pedangnya, dengan lain perkataan,
malam itu ia sudah dimaui betul-betul oleh San-hong, maka
memerintahkan orang-orangnya tidak boleh melepaskan
dirinya, apabila nasib baik bisa memecahkan barisan itu,
San-hong masih dapat menggunakan barisan pedang itu
sebagai pelindung untuk melarikan diri, tetapi apabila ia
sendiri yang kalah, pasti akan dicincang oleh 12 pedang
tersebut.
Perasaan sakit hati, gemas, marah, malam itu sudah
terkumpul dalam hati Touw Liong, semua itu harus
dikeluarkan baru merasa puas, senjata kayunya itu diangkat
tinggi, kemudian digerakkan dan ujungnya mencecar Sanhong
lojin, sedang mulutnya sudh berseru,
“Sambut seranganku!”
San-hong tojin mengeluarkan suara terkejut, lalu mundur
dua langkah, pedangnya juga digerakkan untuk menyambut
serangan Touw Liong.
Dalam waktu sekejab mata, sinar pedang dari tangan
San-hong tojin bergerak-gerak demikian hebat, pertempuran
itu berlangsung dengan sengitnya.
Touw Liong yang sudah mendapat pengalaman dalam
pertempuran tadi malam, kini tidak berani lagi
menggunakan dua macam ilmunya dan ilmu jari tangannya
Kim-kong-sian-ci, sebab ia tahu benar bahwa tiga macam
ilmu itu paling menghamburkan kekuatan tenaga dalam,
kalau ia berbuat lagi seperti itu, inilah merupakan suatu
perbuatan yang sangat bodoh.
Gerakan Touw Liong luar biasa anehnya, pertempuran
baru berlangsung beberapa jurus, San-hong sudah mulai
keteter, tidak sanggup menahan, maka ia lalu bersiul
nyaring, sehingga sesaat kemudian, 12 imam yang
mengurung di bagian luar dengan cepat menggerakkan
pedangnya menyerang Touw Liong.
Touw Liong dapat merasakan serangan itu, ia seperti
terancam oleh 12 ujung pedang, maka ia harus
menggunakan senjata kayunya demikian rupa, ujung
kayunya digunakan untuk menikam San-hong tojin, dan
lima jari tangan kirinya bergerak dengan berbareng,
hembusan angin yang keluar dari lima jari itu dapat
menahan serangan 12 pedang tadi.
Begitu serangan pedang itu tertahan, tekanan dari
barisan pedang tadi mulai reda. Touw Liong menggunakan
kesempatan itu, ia menggunakan ilmunya Thian-seng-jiauw
untuk menghajar San-hong tojin.
Tidak ampun lagi, San-hong tojin mengeluarkan suara
jeritan tertahan, mulurnya menyemburkan darah segar,
dengan terhuyung-huyung lari keluar dari barisan pedang.
Dua belas barisan pedang itu memencarkan diri, tetapi
kemudian rapat lagi. Kini 12 barisan pedang itu telah
mengurung Touw Liong semakin ketat.
Touw Liong dengan jari tangan kiri dan pedang di
tangan kanan dengan secara nekad menghadapi 12 imam
yang masing-masing menggunakan senjata pedang, sedang
mulutnya berseru nyaring,
JILID 18
”Ngo-yang totiang, suhumu benar-benar mati di tangan
Panji Wulung Wanita! Jikalau kau tidak mau mengerti
lagi, jangan salahkan kalau nanti aku turun tangan kejam.”
Walaupun mulutnya mengatakan demikian, tetapi
sebagai seorang yang baik hati, ia tidak tega menurunkan
tangan jahat.
Ngo-yang totiang tidak menghiraukan seruan itu, masih
dengan caranya sendiri menggerakkan barisan pedangnya,
bahkan mengurung Touw Liong semakin ketat lagi.
Touw Liong perlahan-lahan merasakan tekanan semakin
hebat, sambil mengerutkan alisnya ia berkata dengan suara
marah,
”Totiang, kalau kau masih membandel seperti ini, jangan
sesalkan kalau aku nanti akan turun tangan jahat!”
Ucapan itu disusul dengan gerakan senjata kayunya.
Senjata itu diputar sedemikian rupa dibantu dengan
serangannya ilmu Thian-seng-jiauw dan ilmu jari tangan
Kim-kong-ci, sehingga tidak lama kemudian, lima imam
telah terpukul jatuh dan bergulingan di tanah.
Touw Liong mendongakkan kepalanya bersiul panjang,
kemudian sepasang kakinya menjejak tanah, secepat sudah
melesat empat tombak lebih. Senjata di tangan kanannya
dikibaskan untuk menggunakan kesempatan itu melesat lagi
sejauh sepuluh tombak dan jatuh di atas sebuah pohon
besar.
Touw Liong di atas tempat tinggi itu mulai pasang mata,
tetapi tempat di sekitarnya ternyata sepi sunyi, kecuali 12
barisan pedang, tidak tampak lagi bayangan seorangpun
juga.
Touw Liong terheran-heran, sebab San-hong tojin yang
terpukul setengah mati olehnya, ternyata dalam waktu
sekejab mata saja bisa kabur tanpa meninggalkan bekas,
bukankah suatu kejadian yang sangat gaib?
Tetapi kemudian ia sudah dapat mengambil keputusan
dengan segera. Musuh besarnya itu kemanapun juga
kaburnya, ia hendak mengejarnya sampai diketemukannya.
Ia sudah mengambil keputusan, hari itu bagaimanapun
juga ia harus bisa mencari sampai ketemu kepada San-hong
Tojin. Sebab imam itu merupakan salah seorang dari
musuh besarnya yang dahulu turut mengambil bagian
dalam pengeroyokan terhadap ayah-bundanya. Ia sudah
mengambil keputusan pula, dalam batas waktu tiga hari itu,
sedapat mungkin hendak membunuh satu persatu setiap
musuh besar yang diketemukannya.
Sebelumnya ia turun dari tempat sembunyinya di atas
pohon, tujuh pedang dari tangan imam yang mencari
padanya, sudah ditebarkan pada pohon tua di mana tadi ia
berdiri.
Pohon besar itu tanpa ampun lagi lantas rubuh. Tetapi
Touw Liong dengan kecepatan kilat sudah lompat melest ke
atas puncak gunung lagi.
Di atas puncak gunung yang tinggi itu ia menengok ke
bawah. Keadaan di bawah ternyata sepi sunyi, sudah tidak
dapat bayangan San-hong Tojin lagi.
Untuk kedua kalinya ia diherankan oleh kejadian yang
dihadapinya hari ini. Dalam hati bertanya pada diri sendiri,
”Apakah imam itu sudah bisa mengubah diri?”
Pada saat itu, dengan tiba-tiba terdengar suara
melengking tinggi yang keluar dari mulut Pek Giok Hoa.
Hati Touw Liong tergerak segera melepaskan maksudnya
hendak mencari San-hong Tojin, terus melesat ke tempat di
mana Pek Giok Hoa berada.
Tiba di tempat Pek Giok Hoa, matanya segera
menampak seorang tua berbadan bongkok, berwajah
kuning, namun sepasang matanya memancarkan sinar
sangat tajam. Orang tua itu rambutnya panjang menutupi
kedua bahunya, sedang di tangannya memegang sebatang
tongkat yang hitam jengat. Tongkat itu digunakan sebagai
senjata untuk bertempur dengan Pek Thian Hiong.
Pada waktu itu Pek Thian Hiong menggerakkan pedang
kuno Hok-mo-kiam. Ketika senjata pedang dan tongkat
saling beradu, menimbulkan suara nyaring juga
menimbulkan hembusan angin yang sangat hebat.
Bab 47
SEDANG PEK GIOK HOA sendiri dengan kecapi kuno
di atas punggungnya, berdiri dengan mata memandang
tanpa berkedip, keadaan medan petempuran sangat gawat,
perasaan cemas tampak nyata pada wajahnya.
Touw Liong dengan ilmunya meringankan tubuh yang
sudah mahir sekali, dalam waktu sekejab mata sudah
berada di dekat diri Pek Giok Hoa. Ketika Pek Giok Hoa
mengetahui disampingnya ada orang, Touw Liong sudah
berdiri berdampingan dengannya memperhatikan jalannya
pertempuran.
Pek Giok Hoa lalu menggeser kakinya mendekati Touw
Liong, bertanya kepadanya dengan sikap cemas,
”Kau lihat apakah ayah bisa kalah?”
”Mungkin tidak! Sebab ...,” menjawab Touw Liong
dengan ucapannya yang masih agak ragu-ragu.
”Kenapa?”
”Sebab ... orang ini bukanlah Ngo-gak Lokoay yang
sebenarnya.”
Pek Giok Hoa heran lalu bertanya,
”Apakah Ngo-gak Lokoay ada yang memalsukan?”
Touw Liong menganggukkan kepala dan menjawab,
”Orang tua yang tadi siang aku kejar itu adalah Ngo-gak
Lokoay yang palsu.”
”Siapakah orang yang memalsukan dia itu?”
Selagi Touw Liong hendak menjawab pertanyaanya
dengan tiba-tiba berseru kaget, kemudian berkata,
”Oh, aku keliru! Orang ini justru Ngo-gak Lokoay yang
tulen!”
Pek Giok Hoa kembali dikejutkan oleh ucapan itu, tetapi
dia adalah seorang yang sangat cerdik, begitu lihat ia sudah
dapat mengetahui bahwa setiap serangan yang dilontarkan
orang tua bongkok itu demikian hebat, gerakannya juga
mengandung gerak tipu sangat aneh. Kalau bukan Ngo-gak
Lokoay yang tulen, bagaimana memiliki kekuatan tenaga
dalam demikian hebat?
Dua lawan yang sedang bertempur itu, boleh dikata
lawan yang berimbang benar-benar. Kedua orang samasama
memiliki kekuatan tenaga dalam yang sangat hebat.
Tongkat Ngo-gak Lokoay memang berat, tetapi dengan
pedang di tangan, Pek Thian Hiong tampak sangat gagah.
Dua lawan itu apabila bertempur benar-benar, tiga hari
tiga malam barangkali juga belum selesai. Touw Liong
yang menyaksikan jalannya pertempuran, mengerutkan
alisnya, ttapi dalam hatinya lalu mendapat suatu akal.
Dengan langkah lebar ia berjalan mengahmpiri dua orang
yang sedang bertempur sengit, kemudian memusatkan
seluruh pikiran dan kekuatan tenaganya dari tangan
kanannya mengeluarkan tenaga lunak untuk menarik ke
samping pedang Pek Thian Hiong seiring mulutnya berkata,
”Pek cianpwe, harap cianpwe serahkan lokoay ini
kepadaku, karena boanpwe masih ada sedikit perselisihan
dengannya.”
Pek Thian Hiong menggunakan ilmunya Thay-it sinjiauw,
menyambut serangan tongkat Ngo-gak Lokoay yang
berat.
Ngo-gak Lokoay adalah seorang jago tua yang banyak
pengalamannya. Begitu Touw Liong dapat menyambut
serangannya, ia sudah merasakan gelagat kurang baik.
Tongkatnya lalu diputar kembali, sedang kakinya digeser
mundur. Dengan demikian, ia tidak sampai terpukul oleh
ilmu Thay-it sin-jiauw dari Touw Liong. Setelah berhasil
berdiri lagi ia bertanya kepada Touw Liong,
”Bocah, kau berani campur tangan?”
Touw Liong mengangguk dan berkata,
”Benar. Aku orang she Touw hari ini bukan saja hendak
campur tangan, bahkan ....”
Sejenak ia berdiam diri untuk mengendalikan emosinya,
kemudian baru berkata lagi,
”Akan mengambil batok kepalamu.”
Ngo-gak Lokoay tertawa terbahak-bahak, kemudian
berkata,
”Aku orang tua ini sejak terjun di dunia kangouw pada
50 tahun berselang belum pernah ada orang yang berani
mengucapkan omongan demikian besar terang-terangan di
hadapanku. Bocah! Kau sudah berani mengeluarkan
omong besar, kepandaian dan kekuatan tenagamu tentunya
sudah mendapat banyak kemajuan selama setengah tahun
ini. Mari! Mari! Kalau kau memang ingin aku bantu kau
lekas menghadap pada raja akhirat aku juga tidak
keberatan.”
”Hutang darah kepada Hui-eng locianpwe, hari ini juga
harus diperhitungkan sekalian,” demikian Touw Liong
menambah keterangannya.
Ngo-gak Lokoay yang sudah arah benar-beanr lalu
berkata dengan suara keras,
”Bocah! Mengapa tidak lekas mengeluarkan senjatamu?
Ketahuilah olehmu, senjata di tanganku ini selamanya tidak
mau menghadapi orang dengan tangan kosong.”
Touw Liong mengangkat kepala mengawasi ranting
pohon cemara yang menurunke bawah. Pek Thian Hiong
agaknya mengerti maksudnya, maka lalu memberikan
pedang panjangnya. Touw Liong segera menyambuti
pedang itu. Sambil tertawa nyaring ia berkata kepada Ngogak
Lokoay,
”Aku masih ada suatu urusan yang sangat penting sekali
hendak bertanya kepadamu.”
”Urusan apa?” demikian Ngo-gak Lokoay balas
bertanya.
”Setelah kau meninggalkan gunung Pak-bong hari itu,
apakah terus ke gunung Kiu-hoa?”
Ngo-gak Lokoay mengangguk-anggukkan kepala dan
berkata,
”Kudengar kabar bahwa gurumu memiliki pil Kiu Hoantan,
maka aku pergi mencarinya.”
Mendengar itu Touw Liong sangat marah. Pedangnya
segera diputar mengancam Ngo-gak Lokoay, sehingga Ngogak
Lokoay diam-diam bergidik.
”Hutang darahmu kepada suhu, sekarang hendak
kuperhitungkan sekalian!”
Ngo-gak Lokoay mendelikkan matanya, kemudian
berkata,
”Kau mengoceh! Gurumu bukan binasa di tanganku.
Orang yang turun tangan jahat kepadanya masih ada orang
lain lagi.”
”Siapakah orangnya?”
”Ketika aku tiba di gunung Kiu-hoa, gurumu sudah
menutup mata. Waktu itu aku menampak berkelebatnya
sesosok bayangan orang melarikan diri ke belakang
gunung...” berkata Ngo-gak Lokoay sambil menggelenggelengkan
kepala.
”Coba kau pikir baik-baik, orang itu dalam anggapanmu
siapa kira-kiranya?”
Ngo-gak Lokoay bersangsi sejenak, kemudian berkata,
”Kalau dilihat dari bagian belakang, orang itu ada mirip
dengan ...”
Touw Liong tak sabar segera membentak dengan suara
bengis,
”Mirip siapa?”
Ngo-gak Lokoay yang adatnya sangat sombong belum
pernah diperlakukan orang demikian rupa apalagi oleh
seseorang pemuda sebaya Touw Liong.
Oleh karenanya, maka sikap dan ucapan Touw Liong itu
sedikit banyak telah menyinggung juga perasaan. Kembali
ia pendelikkan matanya memandang kepada Touw Liong
sejenak, kemudian berkata dengan tegas,
”Aku justru tak mau menyebutkan namanya!”
Touw Liong tertawa terbahak-bahak, kemudian sikapnya
berubah, katanya dengan sikap marah-marah,
”Jikalau kau tidak mau bicara terus terang, hutang darah
ini terpaksa kuperhitungkan kepadamu sekalian.
Bagaimanapun juga aku sudah menerima baik permintaan
Hui-eng locianpwe untuk mencari kau guna menuntut balas
atas kematiannya.”
”Bocah, kalau demikian katamu, urusan mudah
dibereskan. Marilah! Semua tantanganmu kuterima baik!”
Touw Liong waktu itu sudah marah benar-benar,
sepasang matanya merah membara, sudah tentu tidak
menghiraukan ucapan Ngo-gak Lokoay.
Pedang di tangan kanannya segera bergerak, dengan
menggunakan ilmunya Tay-lo-kim-kong-sin-kiam, secepat
kilat sudah melancarkan tiga kali serangannya yang sangat
ampuh.
Ngo-gak Lokoay harus mengerahkan sekuat tenaganya
untuk menyambut serangan Touw Liong yang sangat hebat
itu, dalam waktu sekejab mata sekitar medan pertmpuran
sudah seolah-olah terkurung oleh hembusan angin yang
keluar dari dua jenis senjata itu, sehingga baju Pek Thian
Hiong dan Pek Giok Hoa juga tampak berkibar-kibar oleh
hembusan angin itu.
Pek Thian Hiong yang menyaksikan itu, lalu berkata
kepada anaknya sambil berkata,
”Jikalau ditilik dari jalannya pertempuran ini, ilmu
kepandaian Touw Liong sudah mencapai taraf yang sangat
tinggi sekali, betapapun kuatnya Lokoay barang kali juga
tidak sanggup bertahan sampai sepuluh jurus.”
Pek Giok Hoa yang menyaksikan jalannya pertempuran
yang demikian hebat, matanya menjadi kabur. Selama
hidupnya, benar-benar ia belum pernah menyaksikan
pertempuran yang demikian hebat, maka waktu itu diamdiam
sudah bersumpah kepada diri sendiri ia pasti akan
mempelajari ilmunya dengan tekun supaya dikemudian hari
juga mencapai kepandaian seperti Touw Liong yang dapat
menghadapi tokoh-tokoh kuat rimba persilatan.
Pertempuran itu berlangsung sangat cepat, dalam waktu
sekejab mata tujuh-delapan jurus sudah dilalui,
pertempuran semakin hebat, sehingga bayangan mereka tak
tampak lagi. Pek Thian Hiong dan Pek Giok Hoa
menonton di luar garis. Apa yang dilihat oleh mereka
hanya sinar pedang Touw Liong dan sinar tongkat Lokoay
yang hitam jengat, selain itu, hanya merasakan hembusan
angin yang menderu-deru yang berputaran dari dua senjata
itu.
Benar seperti apa yang diduga oleh Pek Thian Hiong,
sewaktu pertempuran itu menanjak kejurus kesepuluh, tibatiba
terdengar suara krak, tongkat Ngo-gak Lokoay terpapas
sepotong!
Touw Liong mengeluarkan siulan panjang, bentaknya
dengan suara nyaring,
”Apakah kau masih membandel, tidak mau menyebut
nama orang itu?”
Ngo-gak Lokoay tertawa keras, kemudian
menyambitkan tongkatnya yang tinggal sepotong ke arah
Touw Liong.
Sambitan itu hebat sekali. Sudah tentu Touw Liong
tidak berani menyambut, ia buru-buru mengelak ke samping
dan gerakan itulah justru yang dikehendaki oleh Ngo-gak
Lokoay, sebab ketika Touw Liong mengelak, ia sudah
mengibaskan kedua lengan bajunya, dan badannya bergerak
secepat kilat lari ke bawah gunung sambil mengeluarkan
suara tertawa terbahak-bahak, diantara kegelapan itu
terdengar suaranya,
”Bocah, kau kini telah tertipu olehku! Aku mana ada
begitu banyak waktu melayani kau? Jikalau kau ingin tahu
musuh yang membunuh mati gurumu, kau boleh pergi ke
gunung Hok-hong-san, dengan cara setiap berjalan tiga
langkah kau harus mengutuk satu kali, di sana kau nanti
akan dapat tahu siapa orangnya.”
Touw Liong tidak mau tinggal diam, ia mengembalikan
pedang Hok-mo-kiam kepada Pek Thian Hiong, setelah
mengucapkan selamat tinggal kepada jago tua itu dan Pek
Giok Hoa, dengan secepat kilat badannya bergerak
mengejar Ngo-gak Lokoay.
Dua orang itu sama-sama memiliki kepandaian yang
sangat tinggi. Lari mereka bagaikan bintang-bintang yang
meluncur dari langit. Mereka berkejar-kejaran demikian
pesat, dalam waktu sekejab mata, sudah menghilang di
bawah kaki gunung.
Ngo-gak Lokoay yang bergerak lebih dahulu, telah
berada di muka, terpisah sejarak beberapa puluh tombak
dengan Touw Liong, sedangkan Touw Liong masih terus
membuntutinya dengan sekuat tenaga.
Touw Liong di samping mengejar, dalam hatinya
berpikir, Lokoay itu kata, suruh aku pergi ke gunung Hek
Hong-san? Begitu bertanya akan segera mengetahui
sendiri? Apakah artinya ucapan itu? Apakah Panji Wulung
Wanita yang turun tangan jahat terhadap suhu? ....
Yang pernah berkata, waktu itu Panji Wulung wanita
sedang dihinggapi penyakit lumpuh oleh karena salah jalan
dalam mempelajari ilmunya Hek Hong im-kang, Kim yan
yang setiap hari tidak berpisah dengannya, sudah tentu
perempuan tua itu tidak bisa meninggalkan dan pergi ke
tempat yang letaknya sejauh ribuan paal itu untuk
membunuh suhu!
Akan tetapi siapakah orang itu? Apakah itu ada
hubungan erat dengan Panji Wulung Wanita, maka Lokoay
menyuruh aku bertanya ke gunung Hek hong-san....
Oh ya! Orang itu pasti salah satu dari 12 orang
pelindung hukumnya ...
Demikianlah dalam hati Touw Liong terus berputaran
dengan berbagai pertanyaan, namun gerakan kakinya,
sedikitpun tidak terlambat. Setelah melalui beberapa
puncak gunung, menyelusuri rimba-rimba dalam hutan
yang jarang dilalui oleh manusia, tetapi jarak antara dua
orang itu masih tetap begitu saja.
Perlahan-lahan cahaya malam telah berubah menjadi
terang, gunung di tempat jauh dan pohon-pohon di
sekitarnya kini tampak semakin nyata.
Keluar dari daerah gunung dan rimba, tibalah di atas
jalan raya.
Jalan raya itu lurus menuju ke sebuah benteng kota yang
hitam jengat, di pagi hari yang masih diliputi oleh halimun,
jalan raya itu masih sepi sunyi, tidak tampak orang yang
lalu-lalang.
Di atas jalan raya yang terbuka itu, sudah tentu tidak ada
tempat yang dapat digunakan oleh Lokoay itu untuk
menghilangkan dirinya dari incaran Touw Liong, hingga
dalam hati Ngo-gak Lokoay menjadi gelisah, ia takut
kecandak oleh Touw Liong, sehingga makin susah
meloloskan diri.
Touw Liong juga masih mulai cape, tetapi ia berusaha
mengejar terus.
Pintu benteng kini telah tampak nyata, dengan tiba-tiba
dari dalam benteng kota itu muncul sekelompok orang.
Orang-orang itu seperti juga dengan mereka berdua,
datangnya demikian pesat.
Karena dua pihak sama-sama pesatnya, sehingga dalam
waktu sekejab mata sudah hampir berbentrokan. Touw
Liong mengeluarkan suara seruan kaget, lalu berkata
kepada diri sendiri.
”Mengapa demikian kebetulan? Hari ini telah kujumpai
semua!”
Touw Liong mulai pasang mata. Kelompok orang yang
lari mendatangi ialah: pertama Panji Wulung Wanita.
Berturut-turut adalah: It-tim dari Butong, Thian-sim dari
Ceng-shia, Pek-bie hwesio dari Ngo-bie. Bu-sim hwesio
dari Siao-lim. Hanya, dalam rombongan itu tidak tampak
adik seperguruannya, Kim yan.
Pada saat dan tempat seperti ini, munculnya Panji
Wulung Wanita dengan beberapa padri dan imam jahat itu,
benar-benar mengherankan dan mengejutkan Touw Liong.
Perasaan heran dan terkejut tidak sampai di situ saja.
Ngo-gak Lokoay yang dikejar olehnya, ternyata sudah
menggabungkan diri ke dalam rombongan orang-orang itu,
dan berdiri di hadapan Panji Wulung Wanita dengan
berdiri tegak dan begitu hormat.
Serentetan kejadian itu, membuat Touw Liong yang
menyaksikan, benar-benar telah terheran-heran, sehingga
saat itu ia melengak dan menghentikan langkahnya.
Belum hilang semua rasa herannya, Pek-bie Hwesio yang
berkepala besar, sudah mengacungkan tongkat rotannya,
dan membentak dengan suara bengis,
”Hek Hong Kim-liong, kau sungguh berani sekali. Di
hadapan Kauwcu, kau masih belum mau berlutut?”
Touw Liong kembali terkejut, dalam hati bertanya-tanya
sendiri,
”Siapakah Hek Hong Kim Liong?”
Dalam hatinya bertanya demikian sementara mulutnya
bertanya,
”Siapakah Hek Hong Kim Liong yang kau maksudkan?”
Pek-bie Hwesio kembali mengeluarkan suaranya yang
bengis, berkata,
”Touw Liong, sungguh besar sekali nyalimu. Kauwcu
merasa sayang dan dapat menghargai kepandaianmu,
apakah kau benar-benar begitu bodoh tidak tahu maksud
baik orang?”
Touw Liong mendongakkan kepala dan tertawa
terbahak-bagahk, setelah puas tertawa ia berkata,
”Aku sesungguhnya merasa sangat malu tehadap kalian
kawanan manusia bejat rimba persilatan, mengenai
tindakanmu yang mengabdi kepada musuh tidak perlu
dibicarakan, yang sangat menggelikan dan memalukan
semua kaum laki-laki adalah perbuatanmu yang meminta
perlindungan terang-terangan kepada seorang wanita.”
Ucapan itu sangat pedas, sehingga kelima orang itu juga
merasa sangat terhinga, tak heran Pek-bie Hwesio yang
adatnya keras sampai berjingkrak-jingkrak dan berteriakteriak,
katanya,
”Bocah, kau jangan banyak mulut! Seorang laki-laki
yang hendak melakukan pekerjaan, masing-masing boleh
memilih jalannya sendiri-sendiri. Kami yang tidak diijinkan
berdiam dalam perguruannya sendiri sehingga harus
mengembara di luaran, tetapi sekarang atas budi kebaikan
kauwcu, telah menerima kami sebagai anggotanya, bukan
di kemudian hari hendak membantu kami untuk balik ke
dalam perguruan semula, hal ini merupakan suatu tindakan
bijaksana yang menguntungkan.
”Perlu apa kau harus campur mulut?”
Panji Wulung Wanita yang mendengarkan perdebatan
itu diam saja, bahkan merasa sangat girang dan bangga.
Matanya terus mengawasi Touw Liong seolah-olah hendak
menjajaki reaksi pemuda itu. Lama ia baru berkata,
”Anak, kau jangan tertawakan mereka. Masih ada dua
hari, itu terserah kepadamu sendiri. Dikemudian hari
bukankah juga akan mengandalkan belas kasihan dari
golonganku?”
Touw Liong tiba-tiba ingat dua urusan, ia bertanya
kepada Panji Wulung Wanita,
”Urusan di kemudian hari biar diurus lain hari, sekarang
ini aku masih perlu tanya ...”
Berbeda dengan sikap biasanya, Panji Wulung Wanita
hari itu tampaknya sabar sekali, katanya sambil tertawa
hambar,
”Anak, katakanlah!”
Dari nada suara dan sikap bicara Panji Wulung Wanita
pada waktu itu dapat kita menarik kesimpulan, bahwa Panji
Wulung Wanita ini benar-benar suka sekali terhadap Touw
Liong. Ia rupanya sudah pandang Touw Liong sebagai
keturunan ahli warisnya. Sikap itu jauh berbeda kalau
dipandang pada sikapnya pada setengah tahun berselang,
ketika pertama ketemu dengan Touw Liong di kota Lamyang
pun Tiao yang-lie.
Tetapi Touw Liong yang mendapat perlakuan mania itu
sebaliknya malah merasa sangat mendongkol, jawabnya,
”Kesatu adalah urusan yang mengenai diri adik
perguruanku Kim Yan. Di mana sekarang ia berada?
Kedua adalah urusan yang mengenai kematian suhuku.
Sebab kematian suhu sangat mencurigakan, dan menurut
keterangan Ngo-gak Lokoay, katanya asal aku datang ke
gunung Hek-hong-san mencari keterangan, segera
mengetahui siapa orangnya yang mencelakakan suhu itu.”
Setelah itu ia menunjuk kepada Ngo-gak Lokoay yang
berdiri di samping Panji Wulung Wanita sambil
meluruskan kedua tangannya.
Kain tutup muka Panji Wulung Wanita tampak
bergerak-gerak, dari mulutnya mengeluarkan seruan
terkejut, kemudian baru menjawab,
”Adik seperguruanmu sedang menjalankan perintahku,
menolong San-hong Tojin, yang mengantarkan padanya
pulang ke gunung Hek-hong-san lebih dahulu sementara
mengenai urusan kematian suhumu ...”
Perkataan terakhir itu diucapkan dengan nada suara
rendah dan dalam, seolah-olah mengeluh dan matanya
ditujukan kepada Ngo-gak Lokoay dengan memancarkan
sinarnya yang tajam bagaikan pisau belati.
Ketika pandangan mata Ngo-gak Lokoay beradu dengan
sinar mata Panji Wulung Wanita itu, dalam hatinya
bergidik. Ia berkata dengan suara agak ketakutan,
”Hamba memang tahu siapa orangnya yang membunuh
mati suhumu, karena hamba ada maksud hendak
mempersulit dirinya, maka suruh ia datang ke gunung Hekhong-
san dengan cara tiap berjalan tiga langkah harus
berlutut satu kali, kalau sudah tiba di gunung Hek-hong-san
barulah hamba beritahukan keadaan yang sebenarnya.”
Panji Wulung Wanita mengangguk-anggukkan
kepalanya.
Sementara itu Touw Liong sudah bertanya dengan suara
bagaikan geledek,
”Kau katakan! Siapa orangnya?”
Panji Wulung Wanita mengulurkan tangannya
mencegah Ngo-gak Lokoay bergerak, katanya,
”Tunggu dulu! Sekarang kau jangan sebutkan. Tunggu
lagi dua hari ... he he he! Kalau ia benar-benar ingin tahu
siapa pembunuh suhunya, pasti akan berkunjung ke gunung
Hek-hong-san. Apa bila waktu itu ia tidak minta ampun
padaku, bukan saja aku tidak mau memusnahkan bisa dari
ilmu Hek-hong-im-kang, juga tidak akan kuberitahukan
siapa yang membunuh gurunya!”
Touw Liong mendongakkan kepala dan tertawa
terbahak-bahak, kemudian berkata,
”Seorang lelaki tidak perlu takut mati. Meskipun aku
sudah terkena seranganmu berbisa Hek-hong-im-kang,
namun aku masih dapat memusnahkan sendiri, tidak perlu
kau capaikan hati. Mengenai musuh yang mencelakakan
diri suhu, suatu hari aku pasti dapat mengorek keterangan
dari mulutnya.”
”Baik, dua hari kemudian kita lihat saja siapa sebetulnya
yang lebih kuat.”
Setelah itu ia mengibaskan lengan bajunya dan
mengeluarkan perintah kepada rombongannya untuk
berjalan. Selagi hendak berlalu, tiba-tiba Touw Liong
membentak,
”Tunggu dulu!”
”Anak, kau masih ada keperluan apa?” bertanya Panji
Wulung Wanita sambil mengawasi Touw Liong.
”Siapa yang harus ditinggalkan?” bertanya Panji Wulung
Wanita terkejut.
”Tinggalkan mereka berdua!” berkata Touw Liong
sambil menunjuk It-tim dan Ngo-gak.
”Kau mau aku meninggalkan mereka?” bertanya Panji
Wulung Wanita sambil tertawa dingin.
Ia berdiam dan berpikir sejenak kemudian berkata,
”Kita enam orang semua akan tinggal di sini. Kulihat
kau bocah ini bisa berbuat apa?”
Dengan mendadak Touw Liong bergerak, dengan tangan
kiri menghantam It-tim, sedng lima jari dari tangan
kanannya menyerang Ngo-gak Lokoay, sementara
mulutnya berseru,
”Hutang darah harus membayar dengan darah. Aku
minta supaya mereka meninggalkan jiwanya!”
”Coba-coba ...” berkata Panji Wulung Wanita dengan
nada suara dingin. Belum lagi Panji Wulung itu menutup
mulutnya, It-tim yang dihantam secara mendadak oleh
Touw Liong, telah jatuh terguling dan membentur diri
Thian-sim. Mulutnya sudah menyemburkan banyak darah.
Ngo-gak Lokoay yang sudah melihat gelagat jelek, sudah
berhasil mengelakkan serangan jari tangan Touw Liong.
It-tim terkena serangan tidak ringan, hingga Panji
Wulung Wanita yang menyaksikan, kerudung kain
mukanya sampai tergoyang-goyang. Jelas bahwa Panji
Wulung itu merasa turut tercemar namanya.
Dengan cepat ia melintangkan tongkat dalam tangannya,
untuk mencegah Touw Liong yang hendak menyergap Ittim
dan Ngo-gak Lokoay, sementara mulutnya berkata,
”Bocah. Ada aku di sini, sudah tentu tidak mengijinkan
kau berbuat sesukamu hendak turun tangan kejam terhadap
anak buahku! Kalau kau ingin mati, masih ada waktu dua
hari kau boleh tunggu dengan tenang!”
Touw Liong diam-diam merasa sayang, katanya,
”Sayang hantamanku tadi tidak sampai menghancurkan
tulang-tulangnya.”
Ia memang tau bahwa It-tim memiliki kekuatan tenaga
dalam yang sangat tinggi. Serangannya yang hebat tadi,
paling-paling hanya dapat melukai It-tim. Bagaimanapun
parahnya, dalam waktu beberapa hari, It-tim pasti dapat
menyembuhkan sendiri dan sekarang, It-tim meskipun
sudah terluka parah, tetapi dengan adanya Panji Wulung
Wanita yang melindungi dirinya, sudah tentu sulit untuk
mengambil jiwanya lagi.
Tentang Ngo-gak, sedikitpun tidak terluka. Orang tua
bongkok itu kali ini masuk menjadi anggota golongan Panji
Wulung, kalau membinasakan dirinya, tampaknya lebih
sulit lagi.
Touw Liong mengerti bahwa keadaan di hadapan
matanya sangat tidak menguntungkan pada diri sendiri,
akan tetapi ia masih menyanggupi dan menerima baik
permintaan Panji Wulung Wanita. Katanya,
”Baiklah! Dua hari, dalam waktu dua hari aku pasti
akan pergi ke tempatmu di gunung Hek-hong-san untuk
belajar kenal dengan dua belas anak buahmu yang menjadi
anggota pelindung hukum, sekalian untuk belajar kenal
sekali lagi dengan ilmumu berbisa dengan Hek-hong-imkang.”
”Begitu saja! Aku masih ada lain keperluan, tidak ada
waktu untuk bicara banyak denganmu. Kita tetapkan
begitu saja, dua hari,’ berkata Panji Wulung Wanita dengan
nada suara dingin.
Setelah itu, ia berjalan lebih dahulu menuju kembali ke
kota kuno itu.
Lima orang yang lainnya, mengikuti di belakangnya.
Touw Liong dengan perasaan diliputi oleh kebencian
dan kemarahan, berdiri di tengah jalan sambil mengawasi
berlalunya rombongan orang-orang itu ke pintu kota.
Setelah rombongan orang-orang itu menghilang dari kota,
baru tampak banyak orang yang berjalan dengan keperluan
masing-masing.
Dengan pikiran lesu ia berjalan kembali. Ia tak tahu
harus pergi kemana. Dengan menyusuri jalan raya ia
berjalan sepagian, tanpa dirasa sudah tiba di bawah sebuah
bukit kecil. Di atas bukit tampak tiga buah pohon yang
sudah sangat tua usianya. Di bawah pohon yang rindang
itu ada sebuah kelenteng kecil. Touw Liong yang sudah
letih, lantas berjalan masuk ke kelenteng kecil itu untuk
beristirahat.
Tiba di tempat itu, ia lalu duduk di bawah pohon tu itu
sambil pejamkan mata untuk memulihkan tenaganya.
Seorang seperti dia, yang sudah memiliki kekuatan
tenaga dalam yang sangat sempurna, setelah pikirannya
tenang dan bisa mengumpulkan semua tenaganya, daya
pendengarannya pasti sangat tajam. Belum lama ia
memejamkan matanya, dri jauh tiba-tiba terdengar suara
seperti jeritan orang.
Bab 48
TOUW LIONG yang mendengar suara itu diam-diam
terkejut. Dengan cepat ia lompat bangun. Matanya
celingukan memandang jauh keadaan di sekitarnya.
Daerah itu ternyata diputari oleh puncak gunung yang
menjulang tinggi tetapi keadaan sunyi senyap, suara jeritan
orang tadi sudah tidak terdengar lagi.
Karenanya maka ia diam-diam merasa heran sendiri.
Ia berpikir lagi, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya
sendiri. Setelah itu ia tersenyum sendiri dan berkata kepada
diri sendiri,
”Ini barangkali karena pikiranku sendiri yang terganggu
...”
Sehabis berkata, kembali ia duduk bersila untuk
menenangkan pikirannya kembali.
Seperti juga tadi, baru saja ia memejamkan matanya,
kembali terdengar suara seruan perlahan, untuk kedua
kalinya Touw Liong lompat bangun, kini perasaannya
menjadi tegang, karena tadi ia sudah memperhatikan maka
kini ia lantas dapat mengenali dari mana asal suara tadi,
lalu lari menuju ke sebelah barat daya.
Kali ini, ia sudah dapat dengar dengan tegas, itu adalah
suara yang keluar dari mulut seorang wanita, ia coba
memperkirakan jaraknya, suara itu barang kali timbul dari
tempat sejarak sepuluh pal jauhnya.
Dalam hati Touw Liong timbul suatu pikiran aneh,
pikirnya: Orang kata, hati dan pikiran bisa bergabung,
apakah keadaanku benar-benar seperti kata orang itu?
Berpikir sampai di situ, hati Touw Liong berdebaran,
mukanya juga merasa panas. Namun ia juga tidak tahu apa
sebabnya dengan mendadak timbul perasaan penuh
perhatian terhadap Pek Giok Hoa? Apakah suara itu keluar
dari mulutnya?
Barang kali karena ia benar-benar terlalu perhatikan
keselamatan gadis itu, gerakan kakinya tampak luar biasa
pesatnya. Dalam waktu sekejab mata, ia sudah berlari
sejauh enam atau tujuh pal, kemudian lompat ke sebuah
puncak gunung tinggi. Dari atas puncak itu ia memandang
keadaan di bawah yang diliputi oleh awan tipis dan
halimun. Puncak gunung di seberang sana, ada tampak
sepuluh lebih kawanan imam sedang mengurung dan
bertempur dengan seorang wanita berbaju hijau.
Touw Liong yang menyaksikan keadaan demikian,
dadanya dirasakan mau meledak. Ia tahu apakah artinya
itu. Ia juga mengerti siapakah adanya kawanan penjahat
itu. Pada saat dan tempat seperti itu, ia benar-benar
menyesalkan dirinya sendiri yang tidak bersayap sehingga
tidak dapat segera terbang melayang ke udara.
Ia angkat kepala dan mengawasi rombongan imam itu,
lalu dari mulutnya mengeluarkan suara siulan nyaring, yang
menggema di udara yang sunyi itu.
Begitu mendengar suara siulan itu, semangat wanita
berbaju hijau itu lantas terbangun. Pedangnya bergerak
demikian rupa, dengan secara nekad menyerang dan
menikam kawanan imam yang mengerubut dirinya.
Touw Liong dengan mementang dua tangannya,
melayang melesat ke tempat itu untuk memberi bantuan
kepada wanita berbaju hijau itu.
Sebentar kemudian, ia sudah berada di bagian tengah
puncak gunung itu. Ia sudah dapat mendengar suara
beradunya senjata tajam dengan sangat nyata. Touw Liong
berusaha melesat ke atas lagi, ketika tiba di puncak gunung,
badannya sudah basah kuyup. Ia tidak bisa ambil perduli,
dengan satu gerakan ia sudah menyerbu ke gelanggang
pertempuran.
Sementara itu mulutnya sudah berseru,
”Adik Yan, jangan kaget, saudaramu datang
membantu.”
Kiranya wanita berbaju hijau itu adalah adik
seperguruannya sendiri Kim Yan.
Kim Yan pada saat itu nafasnya sudah tersengal-sengal.
Terhadap kedatangan dan panggilan Touw Liong yang
demikian mesra, tampaknya sangat terkejut. Pedang
panjang di tangannya diputar semakin kencang untuk
menangkis dua bilah pedang imam yang mengurung
dirinya. Matanya melirik kepada Touw Liong sejenak,
mulutnya hanya dapat mengeluarkan suara perlahan.
Touw Liong yang mendapat sambutan dingin dari Kim
Yan dalam hati merasa bergidik, tetapi ia tetap berusaha
untuk kendalikan perasaannya sendiri.
Sesaat kemudian, ia teringat kepada perkataan Panji
Wulung Wanita yang pernah diucapkan kepadanya: ”Nanti
kalau kalian berjumpa lagi, sumoaymu tidak akan anggap
kau sebagai lawan.”
Touw Liong mengawasi ke-12 pedang imam itu. Ia
segera dapat mengenali bahwa 12 imam itu ternyata 12
imam dari partai Kiong-lay dengan barisan pedangnya yang
sangat ampuh.
Kecuali 12 imam dengan 12 batang pedang panjangnya,
salah seorang dari 3 jago dari golongan Kiong-lay, ialah
Ngo-yang tojin yang kurus kering, juga berada di situ,
sedang membimbing susioknya ialah San-hong tojin, saat
itu berdiri menyender di bawah pohon besar.
Ngo-yang tojin dengan sinar mata marah memandang
Touw Liong, kemudian mengeluarkan suara dari hidung
dan berkata dengan nada suara dingin,
”Hari ini sudah merupakan bukti, bahwa suhu telah mati
di bawah tanganmu.”
”Dengan cara bagaimana totiang bisa mengatakan,
bahkan membuktikan bahwa suhumu mati di tanganku?”
tanya Touw Liong heran.
”Tanyakan sendiri kepada sumoaymu ini!” berkata Ngoyang
tojin sambil menunjuk Kim Yan.
Wajah Touw Liong berubah hebat, kepalanya digelenggelengkan.
Pada saat dan tempat seperti ini, dapatkan ia
bertanya kepadanya?
Sejak Kim Yan dihilangkan sifat baiknya oleh ilmu Hekhong-
im-kang Panji Wulung Wanita terhadap Touw Liong
banyak berubah. Ia bukan saja sudah tidak menganggap
Touw Liong sebagai suheng, bahkan pada waktu itu ia
tunduk dan menurut benar kepada Panji Wulung Wanita.
Panji Wulung kata bahwa Touw Liong adalah
musuhnya. Kim Yan bisa pandang Touw Liong sebagai
musuh. Apabila Panji Wulung menyatakan sebagai
saudaranya, ia juga menunjukkan sikapnya yang sangat
mesra.
Dan kini, Kim Yan tidak anggap Touw Liong sebagai
suheng, sebaliknya memperlakukannya demikian dingin.
Bagaimana kalau Touw Liong tidak merasa sedih?
Touw Liong menggeleng-gelengkan kepala dan menarik
nafas. Pada saat seperti itu, ia tak perlu berbantahan
dengan sumoaynya, sebab ia tahu banyak bicara juga tak
ada gunanya.
Ia memperhatikan keadaan Kim Yan, tampak sumoay
itu dapat melawan 12 imam dengan barisan pedang itu
masih tunjukkan permainannya yang lebih unggul, maka
untuk sementara ia tidak perlu membantu kepadanya, sebab
ia juga mengerti, membantu padanya toh tidak akan
membawa akibat lebih baik. Maka ia lalu berpaling dan
berkata kepada Ngo-yang tojin,
”Susiokmu dengan aku ada mempunyai permusuhan
besar karena ia pernah turut ambil bagian dalam
pertempuran melawan ayah bundaku. Maka aku terpaksa
bertindak terhadapnya, untuk itu, perlu aku minta maaf
kepada totiang.”
Ngo-yang tojin pendelikkan matanya, dengan sinar mata
menghina memandang kepada Touw Liong, kemudian
dengan nada suara dingin jawabnya,
”Kau, Touw tayhiap, denganku juga mempunyai hutang,
karena kau membunuh suhuku. Hari ini aku tahu bahwa
kekuatan dan kepandaianku tidak seberapa, tetapi aku lebih
suka kau bunuh bersama susiok, tidak bisa menyaksikan
susiok mati begitu saja ...”
Ia berdiam sejenak, kembali dengan sinar mata yang
tajam mengawasi Touw Liong, kemudian berkata dengan
nada suara mengejek,
”Susiok sudah kau serang dengan ilmu Thian-seng-jiauw,
mungkin sudah tidak ada harapan bisa hidup lagi. Apakah
kau masih hendak menurunkan tangan kejam? Hai! Kau
mengaku sebagai seorang pendekar, tetapi nyatanya masih
bisa sekali berbuat demikian rendah! Aku benar-benar
menyesal, nama pendekar yang kau dapatkan itu, entah
sesuai atau tidak dengan kenyataannya?”
Ucapan itu bagi Touw Liong sesungguhnya merupakan
sustu hinaan besar, maka Touw Liong yang mendengar itu
lalu mengeleng-gelengkan kepala dan menghela nafas,
akhirnya ia berkata dan mengulapkan tangannya kepada
imam kurus itu,
”Totiang, sekarang silahkan pergi bersama susiokmu!
Tetapi permusuhan antara susiokmu dengan aku masih ada,
di lain waktu apabila berjumpa kembali, aku pasti tidak
dapat mengampuni padanya.”
Dengan sikap sedih ia melirik kepada Kim Yan sejenak,
kemudian memutar tubuh hendak berlalu.
Selagi ia hendak turun gunung, Ngo-yang tojin tiba-tiba
berkata kepada Kim Yan yang sedang bertempur,
”Nona Kim, kita suka ikut kau pergi ke gunung Hekhong-
san, hanya ... asalkan kau berkata beberapa patah
kata di hadapan Touw tayhiap, kita akan ikut kau dengan
segera!”
Barisan pedang itu ketika mendengar ucapan Ngo-yang
tojin, dengan cepat berhenti bergerak. Touw Liong yang
mendengar ucapan Ngo-yang tojin, lalu bertanya-tanya
dengan nada suara marah,
”Kau suruh sumoayku berkata apa?”
”Aku minta ia memberitahukan kepadamu, siapa yang
membunuh mati suhuku!” menjawab Ngo-yang tojin
dengan suara sedih.
Kim Yan telah menunjuk Touw Liong dengan
pedangnya, kemudian berpaling dan berkata kepada Ngoyang
tojin,
”Suhumu adalah ...”
Dengan tiba-tiba ia batalkan maksudnya untuk
mengeluarkan perkataan yang hendak mengatakan Touw
Liong. Touw Liong waktu itu merasa sedih dan marah,
maka lalu membentaknya,
”Sumoy ...”
Ketika dibentak demikian, Kim yan lantas melanjutkan
ucapannya.
”Memang benar, suhumu adalah dia yang
membinasakannya!”
”Sumoy!”
Demikian Touw Liong berseru dengan hati pilu, dengan
mata berkaca-kaca memandang Kim Yan. Tidak sepatah
katapun keluar lagi dari mulutnya.
Perubahan sikap Kim Yan ini sungguh menyedihkan
bagi Touw Liong, selagi mengusut musuh-musuhnya yang
membinasakan ayah bundanya sendiri dan gurunya sendiri,
kini Kim Yan telah berbalik muka terhadapnya. Sejak
suhunya menutup mata, dalam dunia hanya ia bersama
sumoynya berdua yang harus berusaha untuk
mempertahankan kedudukan partai Kiu-hoa, tetapi
sekarang Kim Yan telah berubah pikiran, maka hal itu
sesungguhnya merupakan pukulan batin yang hebat bagi
Touw Liong.
Namun, sekarang apa daya? Maka ia hanya dapat
mendongakkan kepala dan dengan suara sedih sekali ia
meratap,
”Ya Tuhan!”
Kim Yan terkejut ketika mendengar suara seruan itu,
alisnya dikerutkan, dengan perasaan bingung memandang
Touw Liong sejenak, tetapi itu hanya sekilas lintas saja,
kemudian dengan wajah dan nada dingin ia berkata
kepadanya,
”Tinggal dua hari, jikalau kau benar-benar mau datang
ke gunung Hek-hong-san, maka aku akan tetap anggap kau
sebagai suhengku, tetapi selewatnya dua hari itu nanti
apabila bertemu lagi jangan sesalkan kalau aku bertindak
kejam!”
Kata-kata diucapkan dengan sungguh-sungguh dan tegas,
sedikitpun tidak memberi kesampatan bagi Touw Liong
untuk mempertimbangkannya.
Touw Liong terpaksa meninggalkan Kim Yan dengan
pikiran tidak karuan.
Waktu itu orang-orang yang berada di puncak gunung
sudah berlalu semua, keadaan sepi kembali. Tiga belas
orang dari golongan Kiong-lay, dengan mengikuti jejak Kim
Yan, pergi menuju ke gunung Hek-hong-san.
Di tempat itu, kini hanya tinggal Touw Liong seorang
diri.
Dengan suara serak dan sangat perlahan sekali ia
bertanya kepada dirinya sendiri,
”Sekarang apa yang harus aku perbuat?”
”Terutama aku harus berusaha untuk memunahkan
pengaruh racun Hek-hong-im-kang yang ada pada dirinya,
supaya pikiran dan sifatnya boleh kembali. Demikian
dalam otaknya terlintas satu pikiran.
Tetapi kemudian ia mengeleng-gelengkan kepala dan
berkata sendiri dengan suara sedih,
”Tetapi ini adalah suatu hal yang tidak mungkin.
Hidupku sendiri juga hanya tinggal dua hari saja, dua hari
kemudian masih belum tahu bagaimana nasibku sendiri?”
Kemudian dengan tiba-tiba ia mendapat suatu pikiran,
saat itu perasaannya mulai lega, matanya memandang ke
arah depan dimana tadi Kim Yan dan teman-temannya
telah menghilang kemudian berkata lagi seorang diri,
”Benar! Aku hanya bertindak demikian saja, dengan
demikian barulah dapat menolong kesulitanku. Tindakan
itu meskipun kurang jujur, tetapi bisa menolong Kim Yan
dan menolong diri sendiri, bisa menuntut balas sakit hati
suhu dan juga bisa menunntut balas kematian ayah
bundaku, juga bisa menolong sahabat-sahabat rimba
persilatan dari ancaman bencana.”
Setelah mengambil keputusan tetap, Touw Liong
mencoba mengendalikan perasaan sedihnya.
Ia makan rangsum kering yang dibawanya dan minum
air gunung, kemudain duduk di bawah pohon untuk
menenangkan pikirannya.
Selagi matahari sudah mulai mendoyong ke barat Touw
Liong mulai turun gunung dengan mengikuti jejak Kim
Yan.
Ia bisa lari sangat pesat, dalam waktu kira-kira dua jam,
telah berhasil melalui dua buah kota kuno, dan berjalan di
atas jalan raya yang menuju ke selatan. Di waktu petang, ia
sudah bisa melanjutkan perjalanannya menuju ke sebuah
gunung yang diliputi oleh kabut malam. Gunung itu
menjulang tinggi ke langit, yang paling tinggi samar-samar
tertutup oleh awan. Touw Liong yang memandang puncak
gunung tinggi itu, dengan perasaan terheran-heran bertanya
pada dirinya sendiri,
”Puncak gunung ini ada sedikit mirip dengan puncak
Siao-swat-hong di gunung Thay-swat-san. Aku harus
meneruskan perjalananku menuju ke selatan untuk pergi ke
gunung Hek-hong-san. Dengan cara bagaimana, bisa
datang ke puncak Siao-wat-hong ini?”
Touw Liong dengan cepat melanjutkan langkahnya,
matanya memandang puncak Siao-wat-hong. Selagi
hendak naik menuju ke selatan tiba-tiba hatinya tergerak.
”Apa salahnya kalau aku berkunjung ke gunung Tayswat-
san? Di dalam partai Swat-san juga terdpat tokoh
kuatnya yang dahulu turut campur tangan pengepungan
ayah bundaku,” demikian pikirnya.
Ia tidak mau memikir lebih jauh lagi, sebab kalau ia
teringat peristiwa berdarah yang membawa kematian ayah
bundanya itu, hanya menambah sedih pikirannya saja.
Di daerah gunung Tay-swat-san itu ia mengerahkan
ilmunya meringankan tubuh. Berjalan kira-kira dua jam,
sudah tiba di suatu lembah yang terkurung oleh salju yang
membeku. Dengan memperhatikan salju yang membeku
bagaikan dinding timah yang kekar kokoh itu, ia berusaha
masuk ke dalam lembah.
Sementara itu dalam hatinya berpikir: Inilah barangkali
tempat yang dinamakan Hui-in-hiat-ing yang menjadi pintu
gerbang partai Swat-san-pay.
Selagi masih berpikir-pikir, dari dalam lembah tiba-tiba
terdengar suara bentakan keras,
”Siapa yang bernyali demikian besar, berani menerjang
masuk pintu hiat?”
Dari jauh tampak dua titik bayangan hitam seolah-olah
nempel di atas salju yang putih sedang menuju ke arah
Touw Liong.
Touw Liong mengamat-amati terus dengan pandangan
matanya. Karena malam yang agak gelap, susah dikenali
dua titik bayangan hitam itu sebetulnya orang bagaimana.
Tetapi karena teguran tadi, maka ia lalu menjawab,
”Orang yang datang berkunjung! Ada urusan penting,
perlu menghadap ketua partai kalian!”
Atas jawaban Touw Liong tadi, dibalas dengan
pertanyaan yang kedua kalinya, masih tetap dengan
suaranya yang kaku,
”Di waktu malam tidak mengurus pekerjaan kalau ada
urusan penting mengapa tidak mau menunggu sampai
pagi?”
Sesaat kemudian, dua titik hitam tadi yang merupakan
dua orang berpakaian hitam sudah berada di depan Touw
Liong. Yang berjalan di muka adalah seorang laki-laki
setengah umur berpakaian ringkas warna hitam, di
punggungnya menyoren sebuah golok tanto. Yang berjalan
di belakang ternyata adalah seorang tua berbadan bongkok
yang rambutnya panjang sekali sehingga menutupi kedua
pundaknya.
Begitu melihat orang tua itu, sekujur tubuh Touw Liong
menggetar, dari hidungnya mengeluarkan suara dan dengan
cepat segera menghentikan kakinya.
Laki-laki berpakaian hitam itu ketika berhadapan dengan
Touw Liong, dengan sinar matanya yang tajam, menyapu
beberapa kali ke wajah Touw Liong, sikapnya sangat
jumawa.
Orang tua berambut panjang yang berada di
belakangnya, begitu melihat Touw Liong sekilas tampak
terkejut, kemudian tertawa dingin, wajahnya tampak
berkerenyit, dan berkata kepada laki-laki berpakaian hitam,
”Baru kita bicarakan, orangnya sudah tiba. Bocah ini
adalah ...”
”Ah ...” demikian laki-laki berpakaian hitam membuka
mulutnya yang lebar mengeluarkan suara tertawa terbahakbahak.
Mendengar suara tertawa orang itu, dalam hati Touw
Liong terkejut, sebab kekuatan tenaga dalam orang tersebut
tidak di bawah Pek Thian Hiong.
Orang tua berambut panjang itu bukan lain daripada
Ngo-gak Lokoay.
Pada saat itu Ngo-gak Lokoay memperdengarkan suara
tertawa dinginnya, mengawasi Touw Liong tanpa berkata
apa-apa.
Laki-laki berpakaian hitam itu seolah-olah hendak
memberi ancaman kepada Touw Liong. Begitu suara
tertawanya berhenti, lantas bertanya sambil mendelikkan
matanya,
”Ada urusan apa kau datang ke gunung Tay-swat-san
ini? Bicaralah terus terang!”
Touw Liong tidak menjawab pertanyaan itu. Lebih
dahulu matanya memandang Ngo-gak Lokoay, lalu
mengangguk-anggukkan kepala, baru kemudian berkata,
”Satu komplotan mana ada orang baik? Kau juga harus
bicara terus terang! Cukup dengan sepatah kata! Dalam
pengepungan terhadap jago rimba persilatan di loteng Gaklao
pada 20 tahun berselang, apa kau juga turut ambil
bagian?”
Laki-laki berpakaian hitam itu dengan tiba-tiba
mengangkat tangannya menepuk-nepuk kepalanya sendiri,
kemudian dengan tertawa bangga dia akhirnya baru
menjawab,
”Bocah, suatu pertanyaan yang tepat. Dua puluh tahun
berselang orang yang membunuh mati ibumu adalah aku
Kow Thaya sendiri.”
Touw Liong seperti disambar geledek, pikirannya untuk
sesaat dirasakan gelap, diam-diam ia menyebut ibunya,
kemudian kedua tangannya bergerak bagaikan kilat, sesaat
kemudian tampak darah muncrat, laki-laki berpakaian
hitam itu tanpa mengeluarkan suara dari mulutnya, sudah
dipukul hancur kepalanya oleh tangan Touw Liong
sehingga otaknya dan darahnya pada berantakan. Hal itu
bisa terjadi karena lelaki itu terlalu jumawa, kedua karena
Touw Liong sudah marah sekali, maka begitu turun ia
mengeluarkan serangannya yang mematikan. Laki-laki
berpakaian hitam itu tadi, dalam keadaan tidak berjagajaga,
maka menemui kematiannya demikian cepat di tangan
Touw Liong.
Serangan Touw Liong yang sekali pukul telah
membinasakan laki-laki berpakaian hitam itu telah
mengejutkan Ngo-gak Lokoay, dan siluman tua itu melihat
gelagat tidak beres, lantas angkat kaki.
Sayang ia tidak kabur keluar sebaliknya malah menuju
ke dalam lembah.
Touw Liong yang masih marah, dengan lima jari
tangannya menyerang Ngo-gak Lokoay, sedang mulutnya
membentak,
“Jangan lari!”
Serangan itu telak mengenai sasarannya.
Ngo-gak Lokoay rubuh tersungkur di tanah.
Touw Liong berjalan menghampiri, kembali dengan
menggunakan jari tangan menotok belakang punggung
Ngo-gak Lokoay, hingga siluman tua itu menjerit dan jatuh
pingsan seketika.
Hawa amarah Touw Liong masih belum reda, sambil
menggertak gigi, ia berkata,
”Sepantasnya kau harus kubunuh mati, untuk menuntut
balas sakit hati Hui-eng locianpwe, akan tetapi ...”
Ia tidak melanjutkan kata-katanya, hanya
mendongakkan kepala sambil berpikir,
”Kesatu, aku tidak boleh turun tangan berat terhadap
orang sudah terluka, sebab dengan demikian itu berarti
perbuatan seorang rendah. Kedua, sekalipun Ngo-gak
harus mati, tetapi seharusnya diserahkan kepada orang
golongan Pak-bong yang turun tangan sendiri. Aku sekalikali
tidak boleh membunuhnya.”
Totokannya tadi ternyata membawa akibat fatal bagi
Ngo-gak Lokoay, sebab seluruh kepandaian ilmu silatnya
sejak saat itu telah musnah sama sekali.
Touw Liong mengulurkan tangan dan menepuk kepala
Ngo-gak Lokoay, kemudian di depan dadanya menotok tiga
kali. Ngo-gak Lokoay perlahan-lahan menjadi sadar.
Touw Liong berkata pula sambil menunjuk bangkai lakilaki
berbaju hitam,
”Siapa orang ini?”
”Dia adalah sute dari ketua partai Swat-san yang
sekarang, namanya Kow Cin Seng.”
Touw Liong mengangguk-anggukkan kepalanya dan
berkata,
”Seorang yang membunuh harus balas dibunuh. Ia telah
mengaku sendiri dahulu pernah membunuh mati ibuku ...”
”Kau jangan bangga dahulu, hari ini kau berhasil
membinasakan Kow Cin Seng, tetapi kau sendiri juga
jangan pikir bisa berlalu dari gunung Swat-san dalam
keadaan hidup,” berkata Ngo-gak Lokoay sambil tertawa
dingin.
”Harapanku hanya satu, ialah supaya bisa membunuh
musuh-musuhku dengan tangan sendiri. Walaupun mati,
juga tidak menyesal,” berkata Touw Liong sambil tertawa
kecil, selanjutnya ia berdiam sebentar dan berkata pula,
”Kalau aku mati, kau juga tidak bisa hidup apalagi aku
sudah berjanji kepada Hui-eng locianpwe hendak menuntut
balas atas kematiannya.”
Ia benar-benar sudah mengangkat tangan kanannya
hendak menyerang Ngo-gak Lokoay.
Wajah Ngo-gak Lokoay pucat pasi, matanya yang sudah
tidak bersinar menunjukkan perasaan minta dikasihani,
bibirnya gemetaran, tidak sepatah katapun keluar dari
mulutnya.
Kekuatiran dan ketakutan dari seorang yang menghadapi
kematian, saat itu terlintas jelas pada diri Ngo-gak Lokoay.
Touw Liong perlahan-lahan meletakkan kembali
tangannya, dengan nada suara agak lunak akhirnya berkata,
”Aku boleh tidak membinasakan kau, tetapi apa
imbalanmu?”
Ngo-gak Lokoay buru-buru mengangguk-anggukkan
kepala dan berkata,
”Touw tayhiap katakan saja.”
Touw Liong menggeleng-gelengkan kepala dan berkata,
”Sudahlah, sebaiknya aku bunuh mati kau saja, supaya
habis segala-galanya.”
Ketika Touw Liong hendak mengangkat kembali
tangannya dengan gemetaran, sedang mulutnya berkata,
”Touw tayhiap, janganlah ...”
Touw Liong berpikir sejenak, kemudian berkata,
”Aku ingin tanya padamu sepatah kata saja, tapi aku
takut kau tidak mau bicara terus terang.”
Dengan sikap minta dikasihani Ngo-gak Lokoay
mengangguk-anggukkan kepala dan berkata,
”Aku akan bicara terus terang!”
Ia berhenti sejenak untuk mengatur pernafasannya,
kemudian balik bertanya kepada Touw Liong.
”Apakah Touw tayhiap ingin tahu orang yang
membinasakan suhumu?”
”Siapa yang membinasakan suhu?”
Ngo-gak Lokoay terbenam dalam pikirannya sendiri,
kemudian berkata dengan suara gelagapan,
”Ia ... ia ... pasti ia ...”
”Ia siapa?” tanya Touw Liong marah.
”Aku dalam sekelebatan dapat mengenali bahwa orang
itu adalah Hian Kie Cu, salah satu dari 7 jago golongan
Butong,” berkata Ngo-gak Lokoay tegas.
”Hian Kie Cu?” Touw Liong berseru kaget. Sepasang
matanya memancarkan sinar berkilauan mengawasi Ngogak
Lokoay yang berada di dalam keadaan ketakutan.
Katanya pula,
“Tidak mungkin! Tidak mungkin itu ada perbuatan
Hian Kie Cu cianpwe, sebab Hian Kie Cu cianpwe pada 50
tahun berselang, sudah binasa dalam pertempuran dengan
tiga garuda dari golongan Pak-bong. Orang yang sudah
mati, masa bisa hidup kembali?”
“Percaya atau tidaknya, itu terserah kepada Touw
tayhiap sendiri. Dalam dunia ini kadang-kadang ada
banyak kejadian aneh yang tidak dapat kita duga, ada
beberapa hal yang orang anggap tidak mungkin bisa
berubah menjadi mungkin,” berkata Ngo-gak Lokoay
dengan suara lemah.
Touw Liong yang menyaksikan sikap Ngo-gak Lokoay
seperti dengan sejujurnya, dalam keadaan demikian,
terpaksa ia setengah percaya setengah tidak. Apa ia bisa
kata lagi? Bagaimanapun juga, kematian suhunya sudah
mulai tampak sedikit titik terang.
Ia berkata dengan tandas,
”Baiklah, aku akan pergi mengadakan penyelidikan,
apabila kau membohongi aku, kita toh masih ada waktu
akan bertemu lagi.”
”Baiklah kau berdiam di sini, kalau mereka nanti datang
mencari bangkai, tentu bisa memberi pertolongan kepada
dirimu.”
Ngo-gak Lokoay mengangguk-anggukkan kepala.
Touw Liong mendongakkan kepala dan bersiul nyaring,
suara siulan itu menggema di gunung yang sunyi sepi itu,
setelah itu ia membalikkan diri dan keluar dari lembah
gunung Swat-san.
Bab 49
GUNUNG HEK HONG SAN, letaknya di kabupaten
Chek-sui, daerah perbatasan antara propinsi Su-cwan dan
In-lam. Letaknya sangat strategis dan berbahaya, ditambah
lagi puncak gunungnya yang menjulang tinggi dan hawanya
yang lembab, maka gunung itu sangat jarang didatangi
manusia.
Touw Liong yang melakukan perjalanan satu hari satu
malam, hari itu pada waktu petang sudah tiba di tepi sungai
Chek-sui.
Ia tanpa mengaso terus melanjutkan perjalanannya
menuju ke barat dengan mengikuti sungai Chek-sui. Di
daerah pegunungan yang sepi sunyi ini tidak tampak
bayangan orang. Ia mondar-mandir seorang diri,
maksudnya ialah hendak menyelidiki markasnya Panji
Wulung Wanita.
Daerah pegunungan yang sangat luas, setidak-tidaknya
juga ada beberapa ratus pal persegi. Dahulu Touw Liong
belum pernah datang ke tempat itu, sedang di gunung Hekhong-
san itu juga bukanlah suatu tempat terkenal yang ada
banyak peninggalan jaman kuno, maka untuk mencari
seseorang sesungguhnya tidaklah mudah.
Touw Liong berputar-putaran di daerah pegunungan itu
kalau benar digunakan untuk menyimpan kitab ilmu
pedang Hek-mo-kiam, juga digunakan oleh Panji Wulung
Wanita sebagai markasnya, sudah tentu merupakan tempat
yang paling berbahaya di daerah gunung Hek-hong-san itu.
Touw Liong diam-diam memperhatikan situasi daerah
pegunungan itu. Ia telah menganggap, suatu tempat yang
di sebelah kirinya terdapat sungai dan di sebelah kanan
terdapat deretan gunung tinggi, kemungkinan besar gua
Hek-hong-tong itu letaknya di daerah itu, maka ia lalu
menuju ke salah satu puncak tertinggi yang terdapat di
daerah itu.
Di puncak gunung tinggi itu terdapat banyak batu cadas
yang bentuknya aneh-aneh, pohon-pohon kuno menjulang
tinggi ke langit. Touw Liong memutari puncak itu hampir
satu jam lamanya telah mendapat lihat di belakang puncak
itu, di suatu tempat yang agak rindang dan penuh banyak
rumput tinggi, seperti terdapat bekas bangunan rumah.
Dengan adanya penemuan itu semangat Touw Liong mulai
bangun. Lagi, ia memutari batu bekas reruntuhan
bangunan rumah itu. Lalu ia menarik kesimpulan, bahwa
gua Hek-hong-tong barangkali tidak jauh dari tempat ini.
Soalnya hanya terletak pada suatu pertanyaan, ialah di
mana letak sebetulnya gua itu.
Touw Liong masih belum putus asa, terus dan terus
melakukan penyelidikannya. Tak lama kemudian, angin
malam yang meniup membawa suara gemuruh dari air
terjun.
Touw Liong nampak pasang telinga. Air itu tidak
menggemuruhkan, hanya gelombang sungai kecil. Sebab,
air yang mengalir dari suatu sungai kecil, tentu mengalirnya
cukup santer. Sedang suara air yang didengarnya itu,
tidaklah segemuruh daripada suara air yang mengalir di
sungai.
Oleh karenanya, maka ia menarik kesimpulan bahwa
suara itu adalah suara air terjun yang turun dari tempat
terlalu tinggi, atau keluar dari suatu mata air.
Dengan adanya penemuan itu, ia lalu mempercepat
langkah kakinya. Setelah melalui sebuah lembah dan
menikung ke sebelah puncak tinggi, di hadapan matanya
terbentang sebuah pemandangan yang menakjubkan! Air
yang terjun dari tempat setinggi sepuluh tombak, terus
meluncur ke bawah ditampung oleh sebuah danau.
Air danau itu jernih sekali!
Kalau diperhatikan secara cermat, danau itu tidak ada
jalan keluar. Air yang turun deras dari tempat setinggi itu,
kemana dibuangnya?
Apakah di dasar danau itu masih ada tempat yang dapat
menampung air terjun tersebut? Kalau tidak demikian
mengapa air itu tidak meluap keluar; membuat suatu
pembuangan?
Touw Liong tidak mau menduga-duga berapa dalamnya
danau itu, karena tujuannya ialah hendak mencari gua Hekhong-
tong, dan ia tidak perlu memikirkan soal itu. Ia
memutari danau yang lebarnya seratus tombak lebih itu.
Tetapi gua Hek-hong-tong masih belum juga dapat
diketemukan. Touw Liong membalikkan badan, ia lalu
lompat melesat ke atas setinggi sepuluh tombak untuk
mencari ke bagian atas dari air terjun itu.
Pada malam itu rembulan purnama sedang
memancarkan sinar matanya yang terang benderang. Tepat
jam 2 tengah malam, dari atas tebing tinggi itu tampak
sebuah sungai di suatu tempat sekitar situ bagaikan ular
panjang menyusuri jalan di atas gunung yang terdapat
banyak pohon tua.
Touw Liong dengan menyusuri tepi sungai itu terus pergi
mencari. Berjalan kira-kira 20 pal lebih, keadaannya
tampak semakin sunyi. Tempat itu penuh dengan semak
belukar, tetapi di sepanjang jalan ia tidak menemukan
tempat yang kira-kira sedang dicarinya.
Ia terus berjalan. Waktu itu sudah mulai subuh.
Sekarang berpikir hendak balik kembali, matanya telah
tertumbuk pada suatu pemandangan tidak jauh di depan
matanya, ada sebuah batu yang tinggi sekali bentuknya.
Sekitar batu itu tidak tampak ada tumbuh-tumbuhan.
Berdiri tegak di tepi sungai. Hal itu menarik perhatian
Touw Liong, maka ia berjalan menghampiri.
Memang sebenarnya, batu itu benar-benar menonjol di
tempat yang sepi seperti itu. Tidaklah mengherankan jika
menjadi perhatian Touw Liong.
Tetapi ketika ia tiba di batu itu, ia semakin merasa
kecewa. Sebab batu itu tidak ada hal yang luar biasa, hanya
seperti batu biasa yang dipindahkan oleh tenaga orang ke
tepi sungai itu.
Touw Liong tidak dapat mengerti, mengapa ada orang
yang memindahkan batu besar itu ke tempat ini? Ia
memperhatikan keadaan itu sekian lama dengan penuh
tanda tanya. Sesungguhnya tidak dapat menemukan apa
maksud batu itu diletakkan di tempat tersebut.
Ia berjalan memutari batu besar itu, lalu menarik nafas.
Dengan perasaan kecewa ia mendongak ke atas, maka ia
dapat menghalau sedikit perasaan itu, tangannya dengan
tak disengaja telah bergerak membentur batu besar itu.
Pukulan itu ternyata sedemikian hebatnya. Batu sebesar
itu telah jatuh roboh ke dalam sungai!
Sungguh aneh. Batu besar yang rubuh ke sungai itu
jatuh demikian hebat, dan terus membendung sungai kecil!
Air mengalir yang telah terbendung, dengan sendirinya
lantas mencari jalan lain. Dengan cepat air sungai itu
meluap mengalir ke kedua sisi batu itu, dan disitulah mulai
tampak dasarnya air terjun itu!
Bagian atas air terjun itu telah tertutup oleh pohonpohon
yang bergelantungan, apalagi tempatnya tinggi, tidak
dapat dilihat dengan mata dan airnya yang terbendung itu
kini telah mengalir ke bagian lainnya.
Atas perubahan yang terjadi secara tiba-tiba itu,
membuat Touw Liong terheran-heran.
Ia lompat ke atas sebuah batu besar, mengawasi air yang
mengalir turun dari atas itu, kemudian matanya menengok
ke air yang telah terbendung tadi di mana tampak nyata
dasarnya danau, sedang pikirannya terus bekerja keras.
Ia angkat kepala, di atasnya ternyata tingginya 10
tombak lebih, tetapi bagian bawah yang tadi tertutup oleh
air terjun, kini tampak nyata batu-batunya, airnya tinggal
sedikit.
Touw Liong semakin heran. Dengan tiba-tiba ia
menepuk kepalanya sendiri dengan perasaan kaget. Sesaat
kemudian ia melayang turun ke bawah.
Tiba di bawah di mana tempat air terjun itu, ternyata di
situ merupakan suatu tempat yang berpemandangan alam
sangat indah.
Tempat sekitar air terjun yang sangat dalam, kini sudah
tidak tampak airnya. Air yang keluar memenuhi bagian
kolam tadi entah mengalir kemana? Tempat itu kini telah
berubah sebagai sumur tua yang sangat dalam.
Sekitar tempat itu gelap gulita, sulit baginya untuk turun
ke bawah, hanya air yang mengalir dari tempat itu, karena
ditimpa oleh sinar rembulan itu, tampak bagaikan kaca.
Touw Liong yang memiliki pandangan mata sangat
tajam, memusatkan perhatiannya untuk mencari keadaan di
bawah.
Tiba-tiba, mata Touw Liong terbuka lebar, dan
mengawasi ke sebuah lubang yang letaknya di sebelah kiri
permukaan air.
Pada saat itu, mengalirnya air sudah terhenti dan tidak
turun lagi. Touw Liong segera mengerti, pintu gua yang
lebarnya kira-kira 5 kaki itu pasti merupakan tempat keluar
dari air yang berada di dalam danau itu.
Ia lalu lompat turun ke tebing sana. Perasaan herannya
semakin tebal. Ia coba mencari sebatang rotan, lalu diikat
kepada sebuah pohon yang terdapat di tepi danau itu.
Dengan alat itu ia mulai merambat turun.
Di sekitar tempat itu tampak licin. Sudah tentu tidak
mudah untuk menanjak lagi. Di dalam danau itu hawanya
juga sangat dingin, hingga diam-diam Touw Liong berpikir,
apabila aku turun ke bawah, lalu di bagian atas orang ada
memotong rotan ini, bukankah aku nanti jadi terkurung di
dalam danau dan tidak bisa pulang lagi.
Ia juga telah merasakan, semakin turun ke bawah,
terpisahnya jadi semakin jauh, dengan lain perkataan,
danau itu ternyata keadaannya di bagian atas sempit dan
bawah luas, maka sekalipun seorang yang memiliki
kepandaian ilmu meringankan tubuh, apabila tidak ada
tambang atau rotan yang dapat digunakan untuk pegangan,
orang itu setelah jatuh ke bawah, sudah tentu tidak bisa
lompat naik lagi.
Apa yang dikhawatirkan oleh Touw Liong ternyata
benar-benar telah menjadi kenyataan.
Ketika Touw Liong baru turun ke tengahnya danau tadi,
di atas benar-benar telah terjadi sesuatu yang
membahayakan dirinya.
Telinganya waktu mendengar suara perlahan, dan rotan
yang ia pegang itu sudah diputuskan oleh tangan jahat!
Dengan demikian, Touw Liong jadi terjun ke dalam sambil
memegang sisa rotannya.
Di bagian bawah danau itu ternyata airnya tidak dalam,
hanya sebatas lutut saja. Setelah berada di bawah, Touw
Liong melongok ke atas. Di dekat pohon tadi, tampak
melongok ke bawah dua kepala manusia. Dua orang tadi
mengeluarkan suara tertawa dingin. Satu di antaranya
berkata dengan nada suara dingin pula,
”Bocah, kau boleh berdiam di bawah danau ini saja.
Untuk selanjutnya, kau jangan pikirkan bisa naik ke atas
lagi!”
Bukan kepalang marahnya Touw Liong ketika
mendengar suara itu, ia berkata dengan nada suara gusar,
”Thian-sim imam biadab. Aku si orang she Touw
apabila berhasil naik ke atas lagi, terlebih dahulu aku
hendak mencari kau untuk membuat perhitungan!”
Dari atas terdengar pula suara tertawa, kemudian disusul
oleh kata-katanya,
”Jangan lupa masih ada Hud-ya!”
”Sudah tentu Pek-bie, kau si padri bangsat juga tidak
akan kulepaskan kau!”
”Kau boleh maki-maki sepuasmu. Bagaimanapun juga
kau toh tidak bisa keluar lagi dari sini,” berkata Thian-sim
tojin, kemudian melemparkan dua buah batu ke arah Touw
Liong yang berada di bagian bawah.
Touw Liong mengelak dan lompat dari mulut gua yang
lebarnya hanya 5 kaki saja itu.
Batu itu terjatuh ke dalam air, hingga menimbulkan
suara, kemudian disusul oleh suara tertawa bangga dari
atas, dan dua kepala orang tadi telah menghilang dari situ.
Segala-galanya, seolah-olah sudah ditakdirkan oleh
Tuhan. Touw Liong seolah-olah sudah ditakdirkan harus
mati di situ.
Ia waktu itu mulai bergidik, dalam hati berkata sendiri,
”Celaka. Apa bila dua manusia jahat itu tadi
mengalirkan air dari atas ke dalam danau, aku pasti akan
mati ...”
Karena memikir akan ancaman maut itu, maka Touw
Liong lalu mulai berusaha untuk mencari jalan keluar,
sementara di dalam hatinya ia sudah bertekad, bahwa biar
bagaimanapun juga ia tidak boleh mati dengan begitu saja.”
Ia mulai menenangkan pikirannya sendiri. Matanya
dicelingukkan ke daerah sekitarnya untuk mencari jalan
keluar.
Ketika matanya tertuju ke atas gua, ada suatu
pemandangan aneh yang dilihatnya. Kiranya di bagian atas
gua itu terdapat sederet tulisan di atas batu. Tulisan itu
terdiri dari empat huruf yang berbunyi:
”Leng-coan-bit-hu.”
Begitu empat huruf itu masuk ke mata Touw Liong,
jantungnya segera berdebaran keras. Sebab tempat itulah
justru merupakan tempat di mana menurut petunjuk empat
huruf ukiran di atas pedang, merupakan tempat yang
digunakan untuk menyimpan kitabnya ilmu pedang Hokmo-
kiam.
Dengan adanya penemuan sekali ini, sesaat Touw Liong
malah tercengang. Kemudian bertanya-tanya kepada
dirinya sendiri,
”Di mana letaknya gua Hek-hong-tong?”
Sebab asal ia dapat menemukan gua itu, tak sulit baginya
untuk menemukan kitab ilmu pedang Hok-mo-kiam.
Tetapi, di manakah letak gua itu sebetulnya?
Perjalanannya ke gunung Hek-hong-san sebenarnya
sudah terpikir sejak lama sekali selagi Panji Wulung Wanita
tidak ada, dengan diam-diam ia berkunjung ke gunung itu,
dengan pengharapan dapat menemukan cara-cara untuk
menolong orang yang terkena serangan ilmu Hek-hong-imkang,
tetapi tak berhasil. Siapa duga, kini dengan
tindakannya yang tidak karuan juntrungannya, ternyata
sudah menemukan tempat yang digunakan untuk
menyimpan kitab ilmu pedang Hok-mo-kiam-hoat.
Touw Liong memperhatikan sejenak keadaan dalam
mulut gua itu, lalu memusatkan kekuatan tenaganya ke
tangan kanan untuk menggempur bagian atas yang terdapat
tulisan tadi.
Gempuran itu berhasil. Empat huruf tadi ternyata tidak
meninggalkan bekas.
Di dalam gua keadaannya gelap gulita. Touw Liong
terpaksa harus meraba-raba untuk masuk ke dalam. Ia
buru-buru mengeluarkan korek api, dengan cepat
dinyalakan. Ia kini dapat melihat di dalamnya. Kira-kira
sejarak tiga tombak, tampak perubahan.
Kira-kira lima enam tombak di hadapannya, tampak ada
undak-undakan batu yang begitu banyak jumlahnya.
Undakan batu itu terus menurun ke dalam gua.
Kiranya gua yang lebar hanya kira-kira 5 tombak persegi,
di bagian dalamnya lebih sempit hanya seluas kira-kira 2
kaki saja. Tampaknya mulut gua yang sempit itu hanya
khusus untuk mengalirkan keluar air yang terjun dari atas.
Orang sudah tentu tidak mudah berjalan ke dalamnya.
Hanya tangga yang menurun ke bawah itu, tetap luasnya
lima kaki persegi.
Touw Liong berjalan ke tempat iut, dan mulai berjalan
mendaki tangga.
Ia juga tidak tahu berapa jauh sudah berjalan, hanya
dalam ingatannya saja kira-kira sudah menuruni dua ratus
undakan lebih. Di dinding gua sebelah depan ada terdapat
dua batang obor.
Touw Liong mengulur tangannya dan mengambil
sebatang, sedang sebatang yang lainnya tidak ditinggal,
melainkan ditenteng di tangan satunya. Ia melongok lebih
jauh ke depan. Tangga batu rupanya sudah habis sampai di
situ. Sebuah lorng buatan manusia setinggi tujuh kaki dan
selebar 3 kaki, tampak terbentang luas di depan matanya
menuju ke tempat jauh. Dari tempatnya ia tidak dapat
melihat ujung lorong itu di mana sebenarnya.
Hati Touw Liong yang sudah bertekad hendak
menyelidiki tempat tersebut, telah mengerti bahwa di
tempat terakhir lorong itu pasti terdapat benda apa-apa yang
aneh.
Dengan membawa obor di tangan, ia berjalan maju lagi
ke depan.
JILID 19
Baru ia berjalan kira-kira lima langkah, dan baru saja
kakinya menginjak jalanan baru itu, di belakang dirinya
tiba-tiba terdengar suatu suara yang bergemuruh. Touw
Liong terkejut. Waktu ia berpaling, tanpa terasa keringat
dinginnya telah mengucur deras. Sebab, jalan yang
dilaluinya tadi ternyata sudah tertutup!
Touw Liong mengulurkan tangannya meraba-raba
dinding batu yang menutup tangga tadi. Ia telah mencoba
mendorongnya dengan sekuat tenaga, tetapi dinding yang
menutup jalan tadi sedikitpun tidak bergeming.
Ia lalu menggunakan dua jari tangannya untuk
mengetuk-ngetuk. Dinding batu itu ternyata tebal sekali. Ia
nampak berpikir, lalu tertawa kecil dan berkata pada dirinya
sendiri.
“Dinding ini kira-kira ada lima kaki tebalnya. Rasanya,
aku hanya bisa maju ke depan, tidak boleh mundur lagi.
Untuk selanjutnya, sedikit harapan bisa keluar dari tempat
ini.”
Saat itu matanya mencari-cari ke sekitar gua batu itu,
tetapi tidak menemukan pintu atau lubang untuk keluar.
Yang dapat ia gunakan untuk mendongkel batu besar itu
juga tidak ada.
Dengan sangat hati-hati Touw Liong maju terus sambil
membawa obor. Ia sendiri juga tidak tahu sudah berapa
jauh berjalan. Sampai obor yang pertama itu padam
sendiri, ia masih belum mengakhiri perjalanan.
Jalanan batu itu ada kalanya lurus lempang beberapa pal
jauhnya, tetapi kadang-kadang juga membelok ke kiri atau
ke kanan; ada pula jalanan mendaki ke atas, atau menurun
ke bawah.
Pendek kata, di dalam jalanan bawah tanah itu ia sudah
berjalan kira-kira satu jam lamanya. Dua batang obor di
tangannya juga sudah padam, tapi untung dia sudah keluar
dari gua batu itu.
Di luar gua, kelihatan awan-awan di langit dengan
bintang-bintangnya yang bertaburan.
Ia coba-coba menghitung-hitung waktunya saat itu
barang kali sudah hampir jam tiga dekat pagi. Touw Liong
mendongakkan kepala dan menarik nafas, kemudian
menyedot hawa segar, barulah melepaskan pandangan
matanya ke keadaan di sekitarnya ....
Di sebelah kiri, tampak gumpalan awan. Suatu tempat
yang terbuka!
Sebelah kanan, puncak-puncak gunung berderetan.
Tetapi puncak-puncak gunung itu semuanya seolah-olah
berada di bawah kakinya. Jadi tempat di mana ia berdiri
kini, adalah suatu tempat yang tertinggi di gunung Hekhong-
san itu!
Tempat di mana Touw Liong berpijak, ternyata adalah
sebuah tempat yang penuh pohon cemara dan bunga-bunga
serta rumput halus, tempat itu cukup luas. Di samping
tanaman yang menghijau juga terdapat banyak batu yang
besar-besar dan aneh bentuknya.
Di belakang dirinya, air dari gunung mengalir turun ke
mulut gua, seolah-olah tirai sutera yang menutup pintu.
Tampaknya, tanah luas yang seperti kebun itu terletak di
atas puncak gunung yang tertinggi, dan puncak gunung itu
oleh karena begitu tingginya dengan jalan yang terjal dan
berbahaya sekali, sehingga tidak dapat didaki dengan
mudah. Kiranya satu-satunya jalan untuk dapat mencapai
tempat ini adalah cuma satu, yakni jalanan lorong batu
yang baru saja dilalui oleh Touw Liong.
Touw Liong coba menengok ke arah gua, tanpa dirasa
saat itu sekujur badannya gemetaran, sepasang matanya
terbuka lebar. Ia berdiri terpaku di tempat itu.
Apa yang dilihatnya?
Kiranya, di atas gua itu, ada terdapat tiga deretan hurufhuruf
besar yang rupanya karena sudah terlalu tua sehingga
nampak pudar, tetapi masih dapat terbaca,
”HEK HONG TONG” (tepat di tengah-tengah) !
Touw Liong kini menujukan pandangan matanya ke
dalam gua, kini telah menemukan pula suatu kejadian aneh.
Kiranya ketika ia tadi sedang mengagumi tempat yang
bagaikan kebun pohon cemara itu, di dalam gua sudah
terjadi suatu perubahan besar. Entah sejak kapan, sebuah
dinding telah menghalang di tengah-tengah gua itu. Gua
itu kini telah berubah menjadi sebuah gua buntuk yang
dalamnya lima tombak. Tetapi ada satu hal yang perlu
diceritakan, mulut gua itu sangat luas, barangkali ada dua
tombak persegi luasnya.
Keanehan bukan cuma pada itu saja. Touw Liong yang
kini sudah turun lagi ke dalam gua dengan obor di tangan,
di dalam gua itu, ternyata sudah ada meja kursi, komplet
dengan alat-alat rumah tangga lainnya, yang semuanya
terbuat daripada batu. Di samping itu, masih ada pula dua
buah lemari yang menempel di dinding.
Lemari di sebelah dinding kiri dalam keadaan sudah
terbuka, di dalamnya ada sinar perak berkilauan. Sebilah
pedang panjang yang sangat aneh bentuknya, terletak di
dalam lemari tersebut. Pedang itu seperti tidak asing lagi
bagi Touw Liong, sebab bentuk pedang itu justru sangat
mirip sekali dengan pedang Hok-mo-kiam milik Pek Thian
Hiong.
Mata Touw Liong terbuka lebar, dengan tindakan
perlahan-lahan ia menghampiri. Selagi hendak
mengulurkan tangannya mengambil pedang itu, tiba-tiba
tampak sepotong kertas di bawah pedang. Kertas itu lalu
diambilnya, dan dibacanya di bawah penerangan api
obornya. Tulisan di atas kertas itu tampaknya sudah lama
sekali ditulis, huruf-hurufnya kecil-kecil dan ditulis dengan
singkat.
Dalam baris pertama diterangkan bahwa pedang itu
pedang Hok-mo-kiam, pedang jenis jantan. Baris kedua
menerangkan riwayat dari pedang tersebut. Kiranya, orang
tua yang membuat sepasang pedang Hok-mo-kiam ini,
adalah kakek moyang Pek Thian Hiong, yang pernah
mendapat nama julukan Hok-mo Lojin, atau orang tua
penakluk iblis. Hok-mo Lojin dengan penghuni gua itu
adalah saudara seperguruan. Dua orang itu di dalam rimba
persilatan pada 200 tahun berselang, merupakan dua orang
kuat yang memiliki kepandaian sangat tinggi, yang
namanya pernah menggemparkan dunia persilatan.
Pada suatu hari, Hok-mo Lojin dengan sangat gembira
memberitahukan kepada suhengnya, ialah Hek-hong Lojin,
dikatakannya bahwa ia hendak membuat sepasang pedang
panjang yang sangat tajam.
Suhengnya di waktu itu sudah tentu menyetujui
kehendak sutenya, bahkan memberitahukan kepadanya,
apabila pedang itu sudah jagi dibuat, sang suheng akan
menciptakan suatu ilmu pedang yang akan diberi nama
Hok-mo-kiam-hoat.
Kedua suheng dan sute itu setelah berunding masakmasak,
lantas mulai dengan rencana mereka. Satu orang
membuat pedang dan yang lain mulai melatih ilmu pedang
yang baru itu.
Dalam waktu beberapa puluh tahun lamanya, mereka
hampir menggunakan waktu dan tenaganya, Hok-mo Lojin
berhasil membuat sepasang pedang pusaka. Ia berikan
sebilah pedang yang dinamakan Hok-mo kiam yang jantang
kepada Hek-hong Lojin, dan yang betina dipakainya
sendiri. Sementara itu ilmu pedang Hok-mo-kiam-hoat
yang diciptakan oleh Hek-hong Lojin juga sudah berhasil,
tetapi ia tidak membawa pergi hanya di atas pedang betina
itu dibuatnya suatu tanda sebagai peringatan.
Akan tetapi, setelah pedang itu jadi, ia merasa sangat
menyesal. Sebab di antara murid-murid mereka, tiada
seorangpun yang cocok untuk memakai pedang itu.
Sebab, pedang pusaka yang luar biasa itu apabila orang
yang membawanya tidak jujur atau berhati serong, atau
kepribadiannya tidak baik dan tidak memiliki kepandaian
ilmu sangat tinggi, tidak sesuai untuk membawa-bawa
pedang pusaka yang dianggap barang yang sangat sakti itu.
Bila terpaksa juga dibawanya, bisa membawa bencana
kematian bagi dirinya. Ia mengerti benar tentang ini,
kebetulan waktu itu dalam dunia kangouw muncul 8 iblis
yang sangat lihay, mereka telah mengacau rimba persilatan
demikian hebat, sehingga menimbulkan suasana tidak
aman. Waktu itu, oleh karena ia sendiri usianya sudah
lanjut bahkan karena dalam hidupnya telah memusatkan
semua pikiran tenaga dan waktu untuk membuat pedang
itu, maka meskipun ia ada pikiran hendak membasmi 8 iblis
itu, namun tidak mempunyai tenaga untuk melaksanakan
cita-citanya.
Oleh karena mengingat apabila pedang pusaka itu
terjatuh di tangan salah satu di antara delapan iblis itu bisa
membahayakan rimba persilatan, maka setelah dipikirnya
bolak-balik, jalan yang sebaik-baiknya ialah untuk mencari
tokoh kuat dari golongan kebenaran dan dapat dipercaya.
Pedang itu akan diserahkan kepadanya dan minta supaya
diselesaikan cita-citanya untuk membasmi 8 iblis itu.
Waktu itu, seorang pendekar yang mempunyai nama
julukan Thian-lam tayhiap bernama Cukat Ciam, namanya
sudah sangat kesohor di seluruh daerah selatan.
Kepandaian ilmu silatnya sangat tinggi. Justru yang dipuji
oleh Hok-mo Lojin.
Hok-mo Lojin memberitahukan kepada Cu-kat Ciam
kewajiban dan tugas apa yang harus dilakukan, tetapi belum
diberitahukan bahwa pedang itu masih ada rahasia lain,
dengan lain perkataan, untuk selamanya Cu-kat Ciam tidak
akan mendapatkan kitab ilmu pedang dari pedang pusaka
tersebut.
Hok-mo Lojin masih menaruh sedikit pengharapan
bahwa di antara anak muridnya sendiri, satu hari kelak bisa
mendapatkan kembali pedangnya yang diserahkan kepada
Cu-kat Ciam itu, lalu menurut petunjuk yang
disembunyikan di atas pedang tersebut, dapat pula dicari
dengan petunjuk rahasia, tempat itu adalah gua Hek-hongtong
di atas gunung Hek-hong-san itu. Maka sebelum ia
menutup mata, ia telah memberitahukan kepada muridmuridnya,
bahwa pedangnya telah tercuri di tengah jalan,
tetapi pedang itu supaya dicarinya kembali dan untuk
mengenalinya, supaya diperiksa rahasia di atas pedang
tersebut.
Ia berbuat demikian, sudah tentu ada alasannya. Ia tahu
murid-muridnya sendiri setelah ia sendiri menutup mata,
apabila pada suatu hari mereka dapat menemukan Thianlam
tayhiap Cu-kat Ciam, sudah tentu Cu-kat Ciam tidak
akan mengembalikan pedang kepada mereka, dan mungkin
bisa membantu mereka untuk mencari kitab ilmu
pedangnya.
Tidak demikian dengan Hek-hong Lojin. Jago tua ini
dengan susah payah membuat tempat persembunyiannya di
gua Hek-hong-tong yang letaknya di bawah air mancur.
Dan di situlah ia mengubur dirinya hingga menutup mata.
Dia juga ada memungut seorang murid, tetapi murid itu
tidak baik kelakuannya, sesudah berhasil mendapat warisan
gurunya ilmu Hek-hong-hian-kang telah berlalu dengan
diam-diam dan selanjutnya tidak pernah datang ke gunung
Hek-hong-san lagi.
Hek-hong Lojin mencari muridnya itu beberapa tahun
lamanya, tetapi tidak berhasil menemukannya. Karena rasa
kecewa, barulah membuat tempat kediaman yang
dirahasiakan itu.
Setelah ia menutup mata, pedang Hok-mo-kiam yang
jantan dan kitab ilmu pedangnya juga berada di dalam gua,
selama 200 tahun, belum pernah muncul di dunia.
Tak disangka-sangka Touw Liong pada hari itu dengan
secara tidak terduga-duga telah tiba dan masuk ke tempat
tersebut, hingga mendapatkan pedang Hok-mo-kiam yang
jantan.
Di baris ketiga ditulis beberapa peraturan seperti berikut:
Pertama ialah: Barang siapa yang mendapatkan pedang
pusaka itu, harus tanya kepada diri sendiri, apakah kiranya
sanggup dengan pedang pusaka itu untuk melakukan
perbuatan baik guna kepentingan rimba persilatan? Orang
yang mendapatkan pedang itu dipersilahkan duduk di atas
bangku batu selama satu jam, untuk memikirkan masakmasak,
setelah dipikirnya baik-baik, maka boleh mengambil
kitab ilmu pedangnya di dalam lemari lain.
Kedua ialah: Murid Hek-hong Lojin itu berkelakuan
tidak baik. Di kemudian hari, mungkin akan
membahayakan masyarakat, maka dari itu, barang siapa
yang mendapatkan pedang tersebut, harus berusaha untuk
mencegah agar murid itu tidak melakukan kejahatan yang
bisa membahayakan nasib orang banyak.
Ketiga, ilmu Hek-hong-hian-kang sudah merupakan ilmu
yang tidak ada tandingan dalam dunia, apabila tidak
beruntung kitab ilmu tersebut terjatuh di tangan seorang
wanita, maka wanita yang melatih ilmu itu, Hek-hong-hiankang
akan berubah menjadi ilmu Hek-hong-im-kang, yang
mengandung hawa sangat dingin. Barang siapa yang
terkena serangan ilmu Hek-hong-im-kang, sudah tidak ada
obatnya untuk memunahkan. Maka dari itu, harus berjagajaga
dan mencegah agar ilmu Hek-hong-hian-kang ini
jangan sampai diturunkan kepada seorang wanita.
Keempat, ialah: Barang siapa yang mendapatkan pedang
Hok-mo kiam jantan ini, tidak boleh melakukan tindakan
keras terhadap anak murid golongan Hek-hong.
Touw Liong setelah membaca habis tulisan-tulisan di
atas kertas itu, dengan langkah lesu berjalan ke bangku batu
untuk duduk. Dengan bertopang dagu ia duduk sambil
berpikir.
Ia pikir: mendapatkan kitab ilmu pedang dan pedang
Hok-mo-kiam ini apa faedahnya? Aku sudah terkena
serangan ilmu Hek-hong-im-kang. Menurut keterangan
dalam tulisan ini, di kolong langit ini, sudah tidak ada obat
lain yang dapat memunahkannya. Hari ini, yah hari ini asal
lewat tengah hari, begitu racun dingin itu bekerja,
kepandaian ilmu silatku perlahan-lahan akan lenyap,
beberapa jam kemudian seluruh ilmu kepandaianku akan
musnah....
Lemari yang lain sedikitpun tidak dihiraukan lagi. Ia
hanya duduk sambil berpikir. Suasana dalam gua itu sunyi
sekali.
Di luar gua, angin gunung meniup santer hingga daundaun
cemara pada jatuh beterbangan.
Dalam gua, terdengar menggericiknya air mancur. Air
yang menetes dari lubang gua, setetes demi setetes mengalir
turun. Tempat di mana air itu jatuh menjadi sebuah lubang
semacam mangkok, hingga menimbulkan suara bagaikan
irama musik.
Entah dari mana datangnya perasaan Touw Liong, tibatiba
ia mengangkat mangkok batu yang berisi tetesan air
dari lubang gua tadi, lalu diminumnya hingga kering. Aneh
bin ajaib! Setelah minum air dingin itu, semangatnya
dirasakan terbangun, pikirannya mendadak menjadi jernih,
dalam otaknya segera timbul suatu pikiran, tetapi kemudian
ia menggeleng-gelengkan kepala membantahnya sendiri:
Tidak benar, tidak benar! Jikalau orang yang terkena
serangan ilmu Hek-hong-im-kang itu bisa tertolong, apa
sebabnya Panji Wulung Wanita itu suruh aku hari ini
datang mencari dia? Jikalau aku mau menjadi muridnya, ia
baru bersedia menghilangkan racun dingin dalam tubuhku.
Touw Liong telah menarik kesimpulan. Panji Wulung
Wanita itu adalah salah seorang murid dari golongan Hekhong
bun, dan kalau begitu ilmu Hek-hong-im-kang juga
masih bisa tertolong.
Tetapi siapakah yang dapat menolong? Panji Wulung
Wanita sudah tentu bisa. Pek Thian Hiong yang
mempelajari ilmu gaib dari cerita adalah pendekar tersebut,
dengan demikian, pedang pusaka itu jadi diserahkan
kepadanya.
Tetapi sayang! Sungguhpun Pek Thian Hiong harus
menunggu hingga ia dapat memahami irama dalam kecapi
kuno itu baru dapat digunakan.
Sudah tentu selamanya tidak akan memberitahukan di
mana adanya pedang pusaka itu berada.
Ini benar-benar merupakan suatu yang tidak mudah
dijawab.
Lama Touw Liong berpikir, tiba-tiba ia angkat kepala
memandang gumpalan awan di luar gua, kemudian berkata
kepada dirinya sendiri,
”Tay-lo-kim-kong-sim-kang adalah ilmu tertinggi dari
golongan kaum Budha. ..... kang juga merupakan ilmu
terampuh dalam golongan Hian-bun, dua jenis ilmu itu
sekarang berada dalam tubuhku seorang, selain itu, aku
bahkan dapat menggunakan ilmu batin Liang-gi-sin-hoat,
kalau semua ilmu itu aku gunakan baik-baik, boleh dikata
di dalam kolong langit ini tiada seorang yang sanggup
menghadapi aku, tetapi mengapa, ya mengapa aku tidak
sanggup menghilangkan ilmu Hek-hong-im-kang di dalam
tubuhku?”
Kemudian ia berpikir lagi: Apabila racun dari Hek-hongim-
kang itu bisa menyusup ke dalam urat-urat tubuhku, aku
percaya dengan kedua jenis ilmuku itu, asal aku sekaligus
juga menggunakan ilmu batin Liang-gie-sin-hoat, betapa
pun berat racun yang ada di dalam tubuhku, juga dapat
dipunahkan.
Dengan timbulnya pikiran semacam itu, membuat Touw
Liong buru-buru bersemedi untuk memeriksa sendiri setiap
bagian jalan darahnya.
Begitu ia habis bersemedi, ternyata seluruh bagian
darahnya tidak terdapat gangguan apa-apa dan ia juga tidak
merasakan bahwa racun dalam tubuhnya masih belum
bekerja, hingga diam-diam ia merasa girang, karena
waktunya masih ada, maka ia pikir apabila ia sembuhkan
dengan caranya tadi, mungkin masih bisa tertolong.
Ia lalu duduk bersemedi menurut ajaran ilmu batin
Liang-gie-sin-hoat. Ia mulai memusatkan pikirannya untuk
mengusir segala godaaan.
Bab 50
ENTAH berapa lama Touw Liong duduk bersemedi,
berusaha mengusir racun Hek-hong-im-kang dari dalam
tubuhnya. Tatkala ia mendusin dan membuka mata, hari
sudah terang. Keadaan udara di luar gua sangat cerah,
deretan gunung di tempat jauh dan pohon-pohon di
sekitarnya tampak dengan nyata merupakan suatu
pemadangan alam yang begitu indah menawan hati.
Ia merasakan badannya sudah segar kembali. Ketika ia
mencoba menjalankan pernafasannya, ternyata sedikitpun
tidak mendapatkan gangguan apa-apa hingga ia tahu bahwa
usahanya telah berhasil!
Mengusir racun dalam tubuhnya dengan ilmu batin
Liang-gie-sin-hoat, telah berhasil dengan gilang-gemilang!
Racun Hek-hong-im-tok yang dikatakan oleh Panji Wulung
Wanita tiada orang yang dapat menyembuhkan, kini
ternyata sudah dibasmi olehnya. Saat itu ia benar-benar
sudah mendapat kesan demikian.
Walaupun racun itu masih belum bersih seluruhnya
tetapi setidak-tidaknya juga sudah hilang sebagian besar.
Ia merasa sangat gembira, lalu bangkit dan berpaling
mengawasi lemari dinding tembok. Sinar perak
berkilauanlah yang pertama-tama masuk ke dalam
matanya. Sementara pedang Hok-mo-kiam yang jantan,
masih terletak di tempatnya semula.
Touw Liong berjalan menghampiri, lalu mengulurkan
tangannya mengambil pedang tersebut. Lama ia
memandangnya dan menggosok-gosoknya lalu
menundukkan kepala mengawasi sepotong kertas yang ada
tulisannya: ”peninggalan Hek-hong Lojin”, kembali ia
membaca bagian yang ketiga, bagian itu ditulis : Barang
siapa yang mendapatkan pedang Hok-mo-kiam jantan,
harus berpikir dengan tenang selama satu jam, kemudian
pergi ke lemari dinding yang lain untuk mengambil kitab
pedangnya Hok-mo-kiam.
Kini hati Touw Liong telah bergerak. Pikirnya : Kitab
ilmu pedang ini seharusnya menjadi milik Pek Thian Hiong
dan puterinya, dan lagi, aku sudah berjanji dengan mereka
untuk membawanya untuk mengembalikan kepadanya...
Perlahan-lahan ia palingkan kepalanya, untuk
memandang kearah lemari yang lain.
Semul ia tidak mempunyai pikiran apa-apa, tetapi kali
ini, setelah pandangan matanya tertuju ke dalam lemari itu,
sekalipun ia seorang pemberani, saat itu juga dikejutkan
oleh pemandangan di hadapan matanya, hingga hampir
lompat menyingkir dan menarik nafas.
Kiranya lemari dinding yang berada di hadapannya itu
kini telah terbuka lebar-lebar, di dalam lemari batu yang
luasnya kira-kira hanya tiga kaki persegi itu tampak sinar
perak berkilauan. Di dalam lemari itu terdapat
perlengkapan 100 batang lebih anak panah pendek yang
memancarkan sinar berkilauan.
Setiap ujung anak panah itu tertuju kepada Touw Liong,
hingga untuk sesaat Touw Liong agak kelabakan tidak
berani menggeser kakinya. Ia berdiri terpaku, sedikitpun
tidak berani bergerak. Diam-diam ia telah mengerahkan
ilmunya Tay-lo-kim-kong-sian-kang ke sekujur tubuhnya
untuk melindungi jalan darahnya, menjaga-jaga apabila
anak panah itu tertuju kepada dirinya.
Sepasang matanya terus ditujukan kepada anak panah
itu, sementara dalam hatinya memikirkan dengan cara
bagaimana menyingkirkan ancaman itu?
Kapankah pintu lemari itu terbuka?
Apakah pintu lemari itu baru saja terbukanya?
Tetapi rasanya tidak benarlah demikian, sebab ia sendiri
yang memiliki daya pendengaran sangat tajam, dengan cara
bagaimana tidak mendengar suara pintu lemari itu terbuka?
Kalau begitu, pintu itu pasti terbuka tatkala ia sedang
duduk bersemedi untuk mengusir racun dari dalam
tubuhnya.
Kalau benar lemari dinding itu bisa terbuka sendiri, dan
ratusan batang anak panah itu juga ditujukan kepadanya,
mengapa anak panah itu tidak dilepaskan?
Apakah oleh karena terlalu lama di dalam situ hingga
pesawatnya sudah tidak bisa berjalan lancar lagi?
Ataukah ....?
Bagaimanapun juga Touw Liong tidak dapat menduga
sebab-sebabnya. Ia terus berdiri memandangnya tanpa
berani bergerak. Ia mengerti, pada saat dan tempat seperti
itu, tidak boleh berlaku gegabah. Ia tahu bahwa dalam gua
Hek-hong-tong itu mungkin terdapat banyak perlengkapan
pesawat rahasia, apabila kurang hati-hati atau agak
gegabah, mungkin bisa menjadi sasaran anak panah itu.
Kalau benar demikian halnya, ini bisa menimbulkan
suatu akibat yang akan membawa penyesalan seumur
hidup.
Ia sedikitpun tidak berani berlaku gegabah. Pandangan
matanya kembali ditujukan kepada tulisan di atas sepotong
kertas peninggalan Hek-hong Lojin untuk membaca barisan
yang lain yang berbunyi :
”Orang yang mendapatkan pedang, harus duduk tenang
selama satu jam, pikirkan dulu baik-baik dapatkah dengan
pedang itu di kemudian hari melakukan pebuatan baik bagi
kepentingan dunia kangouw? Apabila sudah dipikir masakmasak,
satu jam kemudian boleh datang ke lemari dinding
yang lain.
Touw Liong masih mengerutkan alisnya dan bertanyatanya
kepada dirinya sendiri : Mengapa harus tunggu satu
jam kemudian?
Apakah dengan waktu setengah jam tidak cukup juga ...?
Dipikirnya soal itu bolak-balik, perlahan-lahan mulai
sadar, ia telah membuat suatu analisa demikian :
Pedang dengan anak panah itu ada hubungannya satu
sama lain. Panah pendek itu sedikitpun belum kehilangan
khasiatnya. Sewaktu orang menggeser gagang pedang yang
di dalam lemari lain, satu jam kemudian, lemari yang
diperlengkapi dengan anak panah itu terbuka sendiri, dan
anak panah di dalamnya juga dengan sendirinya tidak
berguna lagi, karena tidak bisa bergerak untuk melukai
orang.
Apabila orang yang mendapatkan pedang itu tidak sabar
buat menunggu satu jam, lalu berjalan dan membuka pintu
lemaari, maka akibatnya pasti hebat. Sebab begitu pintu
lemari itu terbuka, anak panah yang berada di dalamnya
segera akan melesat keluar dan orang yang membuka
lemari itu sudah tentu akan menjadi sasaran anak-anak
panah.
Setelah mengadakan analisa demikian, pikiran Touw
Liong agak lega sedikit. Dengan sangat hati-hati ia
mencoba berjalan mendekati.
Setiap maju selangkah, hatinya bergoncang semakin
keras.
Dekat pintu lemari, keringat di jidatnya sudah mengetel
turun. Perasaannya semakin tegang, jantungnya berdebar
semakin keras.
Akhirnya ia sudah berjalan dekat sekali dengan lemari
batu itu. Masih tetap tidak kelihatan gerakan dari anak
panah itu. Pandangan mata Touw Liong tertuju kepada
sepotong kertas lain yang berada di situ. Ia lalu menyeka
keringatnya yang sudah hampir membasahi sekujur
badannya. Setelah menghela nafas panjang, lalu berkata
kepada diri sendiri,
”Demikian hati-hati Hek-hong Locianpwe melindungi
benda pusakanya!”
Di atas kertas itu terdapat dua baris tulisan yang
berbunyi :
”Barang siapa yang menurut kehendakku akan mendapat
bahagia, yang melawan aku akan mendapat celaka.”
”Berdirilah tenang-tenang, jangan bergerak selama 12
jam, nanti kuhadiahkan kepadamu sejilid kitab pedang.”
Touw Liong mengerutkan alisnya setelah membaca
tulisan tersebut.
Suruh seorang berdiri tegak selama 12 jam tanpa
bergerak? Benar-benar merupakan suatu hal yang sangat
mustahil. Sebab manusia yang terdiri dari darah dan
daging, urat-urat dan tulang-tulangnya memerlukan gerakan
tertentu, tidak mungkin disuruh berdiri tegak bagaikan
patung selama 12 jam. Lagi pula, seorang manusia juga
tidak mungkin berdiri terus satu hari satu malam lamanya
tanpa makan tanpa minum, tanpa buang air kecil dan
membuang air besar, tanpa tidur tanpa beristirahat. Kecuali
orang itu sudah setengah dewa, yang bisa bersemedi
berhari-hari tanpa tidur tanpa makan dan tanpa minum.
Benar-benar suatu persoalan yang sangat sulit. Lama
Touw Liong berdiri terpaku tanpa dapat bergerak.
Jikalau menilik kekuatan dan kepandaiannya pada waktu
itu, sudah tentu, bisa saja ia menggunakan ilmu batinnya
Liang-gie-sin-hoat untuk menjaga kondisi tubuhnya, juga
boleh menggunakan kekuatan tenaga dalamnya untuk
membantu gerakkan jalan darahnya, sementara mengenai
soal makan dan minum, itu hanya tergantung kepada
keuletannya sendiri.
Akhirnya Touw Liong telah mengambil keputusan
hendak berdiri tegak 12 jan seperti apa yang diinginkan oleh
Hek-hong Lojin dalam tulisannya.
Selagi ia hendak menggunakan ilmu batinnya Liang-giesin-
hoat untuk memperbaiki keadaan tubuhnya, anak-anak
panah dalam lemari tadi perlahan-lahan telah masuk lagi ke
dalam, akhirnya hanya tinggal lubang-lubang kecil bagaikan
sarang tawon di situ.
Touw Liong menggelengkan kepala, lalu memejamkan
matanya mulai melakukan usahanya untuk memenuhi
keinginan Hek-hong Lojin.
Satu jam telah berlalu ....
Dua jam lewat lagi tanpa dirasa ....
Matahari sudah mendoyong ke barat, ini berarti Touw
Liong berdiri tegak seperti itu sudah lima jam lamanya!
Perlahan-lahan ia membuka matanya, memandang keadaan
di sekitarnya. Di dalam gua itu tidak banyak terjadi
perubahan. Yang beda hanya letak pintu kedua lemari batu
tadi. Entah sejak kapan kedua pintu lemari tersebut
menutup kembali.
Touw Liong tidak berani menduga masih akan terjadi
perubahan apa lagi, setelah memperhatikan keadaan di
sekitarnya sejenak, lalu melanjutkan usahanya untuk
berdiri.
Sebelum ia melanjutkan usahanya itu, terjadi suatu
kejadian yang sangat aneh, hingga keringat dingin
mengucur membasahi sekujur tubuhnya.
Kiranya, di atas dinding tepat di atas kepala Touw Liong
berdiri, entah sejak kapan, tahu-tahu ada 12 batang ujung
anak panah emas, yang ditujukan ke kepalanya.
Bukan kepalang terkejutnya Touw Liong, hampir saja
tidak sanggup lagi ia meneruskan usahanya.
Perubahan yang terjadi secara tiba-tiba itu, semakin
membuat Touw Liong tidak berani menggeserkan kakinya
sedikitpun juga. Ia buru-buru menenangkan pikirannya,
seluruh perhatiannya lantas dipusatkan kepada ilmu
batinnya.
Masih untung kekuatan tenaga dalamnya sudah terlatih
benar, sehingga setelah melakukan pernafasan sejenak,
lantas dapat menenangkan pikirannya. Sebetulnya menurut
kebiasaan kalau ia sedang bersemedi, sebaiknya memang
duduk bersila tetapi karena Hek-hong Lojin mengharuskan
ia terus berdiri, maka terpaksa dilakukannya juga.
Ketika malam tiba, ia masih tetap berdiri dalam sikap
seperti semula dan setelah malam berganti dengan pagi hari,
kini sudah mulai hari kedua pagi-pagi, ketika pada
waktunya sudah penuh 12 jam Touw Liong benar-benar
sudah melakukan suatu perbuatan yang belum pernah
terjadi dalam sejarah persilatan.
Ketika ia membuka mata, pintu kedua lemari batu itu
sudah terbuka lagi, di lemari yang berada di hadapannya,
kini tampak sejilid kitab yang dibungkus dengan kulit
kambing yang sangat rapi, dalam lemari batu di belakang
dirinya tergeletak pedang Hok-mo-kiam.
Dalam lemari batu di hadapannya, di depan kitab kecil
itu, tampak sepotong kertas dengan tulisan yang berbunyi:
”Menjuralah di tempatmu 9 kali, akan kuhadiahkan
kepadamu sejilid kitab ilmu pedang Hok-mo-kiam.”
Ketika Touw Liong angkat kepala, 12 batang anak panah
emas yang ditujukan ke atas kepalanya tadi, entah sejak
kapan sudah lenyap.
Touw Liong menurut pesan dalam tulisan itu, ia berlutut
dan dengan laku yang sangat hormat sekali menjurah 9 kali.
Setelah menjura ia bangkit lagi, dan pintu lemari besi itu
kembali menutup.
Belum lenyap semua perasaan bingungnya, di belakang
dirinya tiba-tiba terdengar suara bergeraknya pesawat!
Mana kala Touw Liong berpaling, lemari batu di belakang
dirinya itu ternyata sedang bergerak sendiri, seolah-olah
didorong oleh kekuatan tenaga manusia, perlahan-lahan
menggeser ke samping, lalu tampak di dalamnya sebuah
kotak batu.
Setelah batu itu menggeser, di atas meja batu itu duduk
seorang tua berjubah sutera warna putih, orang tua itu
kumis dan alisnya semua sudah putih, jelas sudah mati,
namun wajahnya masih begitu segar, seolah-olah masih
hidup.
Sepasang mata orang tua itu dipejamkan, duduk dalam
keadaan bersila, di tangannya menggenggam sejilid kitab
kecil yang bentuknya serupa dengan kitab yang tadi berada
di dalam lemari batu di hadapannya.
Touw Liong terperanjat, diperiksanya dengan teliti,
orang tua itu ternyata tidak bergerak dan tidak bersuara,
kiranya adalah jenasah orang tua yang telah di balsem.
Tak usah dikata, orang tua itu pasti adalah Hek-hong
Lojin sendiri yang hidup pada 200 tahun berselang.
Touw Liong lalu membalikkan diri, dan berlutut serta
menjura 9 kali di hadapan orang tua itu.
Selesai menjalankan peradatan, baru diketahuinya, di
atas meja batu itu kiranya ada sepotong kertas yang ditulis
dengan kata-kata sebagai berikut:
”Kitab di dalam lemari itu adalah tiruan, yang berada di
tanganku ini adalah yang asli.”
Dengan sangat hati-hati dan sikap menghormat sekali ia
berjalan menghampiri dan mengambil kitab di tangannya,
lalu mundur beberapa langkah dan menjura 9 kali.
Selesai menjura, terdengar pula suara pesawat bergerak,
pintu batu itu menutup lagi, dan jenasah orang tua tadi juga
lantas hilang amblas ke dalamnya!
Touw Liong mengambil pedang Hok-mo-kiam ditaruh di
atas punggungnya, sedang kitab ilmu pedangnya
dimasukkan ke dalam sakunya.
Kalau ia mengingat pengalamannya yang gaib selama
satu hari satu malam yang sangat mendebarkan jantung itu,
ia masih berdebaran sendiri.
Oleh karena semua jalan sudah tertutup, Touw Liong
tidak bisa lagi keluar dari dalam gua melalui jalan semula ia
datang. Satu-satunya jalan keluar hanya mencari tanah
lapang yang terdapat banyak pohon cemara itu.
Touw Liong berjalan berputaran di tanah yang penuh
pohon cemara, akhirnya di suatu tempat ia menemukan
sebuah gua kecil. Gua itu lebarnay hanya cukup dimasuki
seorang saja.
Mengikuti jalan yang menurun ke bawah di lorong gua
kecil itu, tangannya masih membawa obor, ia berjalan turun
belum sampai 100 langkah, di belakang dirinya tiba-tiba
terdengar suara ledakan. Ketika Touw Liong berpaling,
mulut gua bekas tadi ia berjalan, tanpa sebab kini telah
runtuh, batu-batu kecil pada berserakan turun ke bawah.
Ia terpaksa berjalan turun terus sehingga kini 1000
tingkat undakan, tibalah di tempat yang akhir.
Di situ, ternyata terhalang oleh dinding batu, dia lantas
berseru:
”Habislah!”
Ia sedang berpikir kali ini mungkin benar-benar akan
tertimbun hidup-hidup di dalam gua.
Di belakang dirinya, tangga batu setinggi lima tombak itu
masih tetap utuh, tidak rubuh.
Dengan lain perkataannya ia telah terkurung hiduphidup
di dalam gua yang tidak lebih dari lima tombak
luasnya itu.
Kini api obor di tangannya sudah padam dan
menherankan ialah, di dalam gua itu sedikitpun tidak
engap, sebaliknya malah ia merasakan ada hawa dan aliran
angin masuk, yang seolah-olah mengipasi tubuhnya.
Hati Touw Liong tergerak, ia coba pasang telinga, di situ
ia mendengar suara menderunya angin gunung.
Setelah mendengar menderunya angin gunung harapan
hidup timbul lagi, ia mengerahkan kekuatan tenaganya di
kedua tangan, untuk mendorong dinding batu di
hadapannya.
Dinding batu yang tebal dan berat itu telah terdorong
terbang olehnya, sehingga dalam kegelapan itu jalan lorong
dalam gua itu dalam waktu sekejab mata menjadi terang
benderang, saat itu juga mulai tampak langit yang biru.
Touw Liong buru-buru berjalan maju, orangnya berada
di mulut gua, di bawahnya ternyata merupakan suatu
jurang yang dalamnya ratusan tombak, di bawah sekali
tampak sungai yang mengalirkan airnya dengan amat deras.
Dinding batu yang menghalangi perjalanannya tadi telah
melayang turun dan terjatuh ke dalam sungai, hingga
menimbulkan gumpalan air ombak tinggi sekali.
Kini Touw Liong arahkan matanya ke bagian atas
kepala. Di atasnya, tampak tebing-tebing yang tinggi
hampir menutupi langit, apapun tidak tertampak lagi
kecuali awan-awan di langit.
Di bawah kakinya adalah jurang yang dalam.
Keadaannya sangat terjal dan berbahaya. Touw Liong
yang menyaksikan itu agak bergidik, ia tidak tahu, apakah
ia memiliki kepandaian untuk turun dari tempat setinggi itu.
Touw Liong mencoba merambat turun dari dinding
dengan mengerahkan ilmunya meringankan tubuh, dengan
susah payah, akhirnya tibalah di tepi sungai.
Ia berdiri di tepi sungai sambil memandang air sungai
yang bergolak, lama ia dalam keadaan demikian sambil
menarik nafas. Ketika ia angkat kepala memandang
puncak gunung yang pernah diinjaknya, puncak itu kini
tampak diliputi oleh awan.
Touw Liong berjalan turun mengikuti aliran air berjalan
kira-kira 10 pal, telah melalui sebuah bukit kecil, dengan
mengikuti anak sungai berjalanlah ia ke utara. Selagi
berjalan enak-enak, tiba-tiba terdengar suara sambaran anak
panah, kemudian disusul oleh suara siulan tajam yang
menusuk telinga.
Touw Liong terkejut, ia lompat dan memotes sebatang
ranting pohon cemara, ia lompat dan berdiri di atas pohon,
matanya menuju ke arah jauh. Tampak olehnya di gunung
bagian dalam muncul serombongan orang.
Diantara orang yang berjalan itu, terdapat kaum wanita,
pria, tua dan muda komplit seluruhnya, jumlahnya kira-kira
tujuh-delapan orang, sebagian besar pernah dilihatnya oleh
Touw Liong sedang yang lainnya masih asing, rombongan
orang itu ternyata dikepalai oleh Kim Yan.
Kim Yan berjalan perlahan-lahan, 6 orang yang
mengikuti di belakangnya, ada orang yang dikenal oleh
Touw Liong, mereka adalah si imam kurus Ngo-yang, Busim
Hwesio dari gereja Siao-lim-sie, yang lain adalah Pekbie
Hwesio dari partai Ngo-bie. Tiga orang yang lainnya,
yang satu adalah seorang anak laki tanggung berusia kirakira
16 tahun, seorang lagi adalah orang tua berusia kirakira
70 tahun yang rambut dan kumisnya putih semua,
wajahnya seperti kuningan, tetapi penuh bekas tanda golok.
Orang yang paling belakang adalah seorang wanita
berwajah setengah umur.
Kim Yan menghentikan langkahnya, dengan
memandang Touw Liong, ia memberi hormat dengan
wajah berseri-seri, kemudian berkata,
”Suheng kemarin belum naik gunung, sehingga kami
harus menunggu satu malam lamanya.”
Hati Touw Liong merasa pedih, hingga hampir saja
mengucurkan air mata, dengan hati pilu ia memandang
Kim Yan, dari mulutnya mengeluarkan perkataan yang
sangat perlahan,
”Sumoy, suhengmu kini telah melihat kau lagi!”
Banyak kata-kata yang tersimpan dalam mulutnya tidak
dapat dikeluarkan seluruhnya, banyak perasaan yang
terkandung dalam hatinya selama itu, hanya dapat
dikeluarkan dalam ucapannya yang singkat tadi.
Sehabis mengucapkan demikian, dengan perasaan gemas
ia mengalihkan pandangan matanya kepada Pek-bie
Hwesio, ia msih ingat malam itu bersama Thian-sim tojin,
telah memotong rotan yang digunakan untuk mendaki
gunung hingga ia sendiri hampir terbinasa, oleh karena
mengingat itu, hawa amarahnya meluap, ia ingin
membinasakan padri itu dengan segera.
Selagi hendak bertindak, Kim Yan sudah berkata lagi
kepadanya sambil tertawa,
”Suheng, mari! Kuperkenalkan kau dengan beberapa
tokoh kuat!”
Ia mengawasi si imam kurus, Bu-sim dan Pek-bie bertiga,
kemudian berkata pula,
”Tiga orang ini semuanya pernah kau lihat, dan tiga itu
....”
Tangan Kim Yan menunjuk kepada orang tua yang
menunjukkan sikap marah seraya berkata,
”Tuan ini adalah ketua golongan Swat-san Hwan-hiouw
Cianpwe.”
Touw Liong begitu mendengar bahwa orang tua itu
adalah ketua golongan Swat-san-pay, segera teringat kepada
musuhnya yang telah membunuh ibunya, yang pernah
dibinasakan olehnya, maka ia mengerti,pantas saja Hwanhiouw
kini unjuk sikap marah.
Touw Liong adalah seorang pendekar kenamaan yang
berjiwa besar, kini orang yang menjadi musuh ibunya ilah
orang yang bernama Kow Cin Seng sudah mati, sakit
hatinya sudah terbalas, dan ia sendiri dengan Hwan-hiouw
tidak ada ganjalan sakit hati apa-apa, sebaliknya ia malah
merasa karena membunuh sute orang tua itu, dalam hati
merasa sedikit tidak enak, maka ia lalu menganggukkan
kepala seraya berkata,
“Locianpwe, sudah lama kukagumi namamu!”
Hwan-hiouw hanya mengeluarkan suara dari hidung,
sikapnya masih tetap dingin seperti semula.
Kim Yan berkata lagi sambil menunjuk wanita setengah
umur,
”Nyonya ini adalah Lie Sam-kow dari perkampungan
Hui-liong-chung ....”
Nyonya itu juga menyambut dingin atas perkenalan itu.
Touw Liong teringat kepada adik perempuan ketiga Lie
Hui Hong, Lie Cay Go yang diberi nama oleh orang-orang
rimba persilatan dengan julukan Hantu Terbang.
Touw Liong menganggukkan kepala kepada nyonya itu.
Kim Yan memperkenalkan lagi kepada Touw Liong
sambil menunjuk anak laki-laki tanggung seraya berkata,
”Saudara ini adalah .....”
Anak laki tanggung itu maju selangkah, menjura pada
Touw Liong, kemudian berkata dengan sikap yang sangat
hormat,
”Atas bimbingan Touw tayhiap, boanpwe, Ca Thian Lok
di sini mengucapkan banyak-banyak terima kasih.”
Dengan tiba-tiba Touw Liong teringat dari seseorang, ia
buru-buru bimbing anak laki-laki itu dan bertanya
kepadanya,
”Apakah Ca pocu ada baik?”
Kiranya anak laki-laki itu adalah anak laki-laki
kesayangan pocu dari Ca-kee-po di daerah perbatasan
antara propinsi Tu-coan dan See-khang.
Keluarga Ca di benteng Ca-kee-po hampir semuanya
memiliki kepandaian ilmu silat, mereka merupakan satu
kelompok tersendiri, tidak termasuk golongan manapun
dalam rimba persilatan, dan kini telah mengutus pocu muda
itu masuk menjadi anggota golongan Hek-hong, di sini
menrupakan suatu bukti, bahwa Panji Wulung Wanita itu
kini benar-benar namanya sudah menggemparkan rimba
persilatan.
Ca Thian Lok masih tetap dengan sikapnya yang sangat
hormat sekali menjawab pertanyaan Touw Liong,
“Terima kasih atas perhatian Touw tayhiap, dengan
lindungan Tuhan Yang Maha Esa, ayah kini masih dalam
keadaan sehat walafiat!”
Kim Yan kemudian membalikkan badan dan berkata
pula kepada Touw Liong,
“Suheng silahkan! Kauwcu sedang menantikan
kedatanganmu!”
”Suheng tidak ingin pergi ke sana menemui dia!”
menjawab Touw Liong sambil menggelengkan kepala.
Sikap Kim Yan mendadak berubah dingin kaku.
”Apakah kau tidak takut racun Hek-hong-im-kang yang
berada di dalam tubuhmu nanti akan bekerja?”
Touw Liong menggelengkan kepala dan berkata sambil
tertawa,
”Suhengmu sudah mengerti caranya mengusir racun itu
dari tubuh, sebaliknya, aku hendak bawa kau meninggalkan
gunung Hek-hong-san untuk membersihkan racun dalam
tubuhmu.”
Kim Yan mendongakkan kepala dan tertawa nyaring,
sikapnya itu jauh berbeda daripada yang sudah-sudah.
Touw Liong yang menyaksikan perubahan sikap Kim
Yan, mengerutkan alisnya, menggelengkan kepala dan
menghela nafas berulang-ulang.
Kim Yan telah puas tertawa, berkata pula,
“Kau rupanya masih rindu dengan kedudukan ketua
golongan Kiu-hwa, untuk apa aku ikut kau pulang?”
‘Kau tidak pulang, untuk apa pula berada di sini?” balas
Touw Liong bertanya.
”Untuk apa? Kedudukan Hek-hong Giok-li di hadapan
Kauwcu, merupakan satu-satunya pewaris yang akan
meneruskan kedudukan Kauwcu di kemudian hari,”
berkata Kim Yan sambil tertawa terkekeh-kekeh.
”Antara golongan baik dan golongan sesat ada
perbedaan jauh sekali, kupikir kau adalah seorang keluaran
dari golongan baik, bagaimana bisa menggabungkan diri
dengan mereka?” bertanya Touw Liong cemas.
Enam orang yang mengikuti Kim Yan ketika mendengar
ucapan Touw Liong itu, wajah mereka berubah semua,
ketua golongan Swat-san Hwan-hiouw maju selangkah dan
berkata kepada Kim Yan,
”Orang she Touw ini kalau memang masih tetap kukuh
dengan pendiriannya sendiri, tidak perlu nona berlaku
merendah terhadapnya. Aku si orang tua denan
memberanikan diri hendak minta ijin untuk menuntut balas
terhadap kematian suteku. Kuharap supaya nona suka
mengabulkan permintaanku ini.”
Selagi Kim Yan hendak menjawab, nyonya setengah
umur Lie Cay Go sudah maju selangkah ke depan dan
berkata,
”Tunggu dulu! Harap Hwan Ciangbunjin sabar dulu
sebentar! Urusan harus ada urutannya yang mana harus
lebih dahulu dan yang mana mesti belakangan.
Permusuhan pertama orang she Touw ini adalah terhadap
kami orang-orang dari perkampungan Hui-liong-chung.
Kepala saudaraku yang kedua Lie Hui Pek ....”
Karena tidak dapat mengendalikan hawa amarahnya,
nyonya itu tidak melanjutkan ucapannya, sebaliknya
tertawa dengan suaranya yang sangat aneh.
Kim Yan menganggukkan kepala ke arah Lie Sam-kow
dan berkata kepadanya,
”Baiklah! Harap Nyonya Lie yang maju lebih dahulu!”
Lie Sam-kow unjuk hormat kepada Kim Yan. Begitu
keluar dari rombongannya, ia telah menghunus pedang
panjangnya, lalu berkata sambil menunjukkan pedangnya
kepada Touw Liong.
”Orang she Touw, kau masih menunggu apa lagi? Lekas
keluarkan senjatamu, nyonyamu tidak akan membunuh
orang yang tak bersenjata.”
Hwan-hiouw dengan perasaan tidak senang undurkan
diri ke belakang Kim Yan. Touw Liong lalu maju
selangkah, memberi hormat kepada Lie Sam-kow seraya
berkata,
”Sam-kow sudah salah paham! Saudaramu bukan
binasa di tanganku.”
”Apa kau masih hendak menutupi perbuatanmu?
Seorang laki-laki seharusnya berani berbuat berani
bertanggung jawab. Batu giok Khun-ngo-giok yang
didapatkan oleh saudaraku itu sudah menjadi pedang
Khun-ngo-kiam, siapapun tahu bahwa kau orang she Touw
pernah menggunakan pedang itu ....”
Ia lalu melirik kepada pedang Hok-mo-kiam di atas
punggung Touw Liong.
Touw Liong memberitahukan kepadanya,
”Pedang ini bukanlah pedang Khun-ngo-kiam.
Saudaramu juga bukan aku yang membunuh!”
”Kalau begitu, siapa yang membunuh?” bertanya Lie
Sam-kow dengan suara bengis.
”Sekarang ini aku masih belum tahu, hanya .... aku
sudah berjanji kepada saudara Hui Hong, dalam waktu tiga
tahun, aku pasti akan membikin terang peristiwa ini,”
menjawab Touw Liong sambil menggelengkan kepala.
Bab 51
”Kau jangan mimpi! Apa kau yakin masih bisa hidup
tiga tahun lagi?” berkata Lie Sam-kow sambil tertawa
dingin.
”Manusia hidup atau mati sudah digariskan oleh Tuhan.
Selama aku masih hidup, sudah tentu aku akan
menyumbangkan tenagaku sedapat mungkin untuk
menyelidiki urusan ini.”
”Tampaknya kau terlalu serius. Kau sebetulnya mau
mengeluarkan senjatamu atau tidak?” bertanya Lie Samkow
dengan suara marah.
Oleh karena diperlakukan kasar berulang-ulang oleh
nyonya itu, bagaimanapun sabarnya Touw Liong juga tidak
bisa mengalah lagi. Lantas timbul perasaan marahnya.
Katanya sambil tertawa hambar,
”Untuk bertanding dengan Sam-kow, aku masih belum
pikir untuk menggunakan pedang yang sekarang ada di atas
punggungku ini!”
”Kau hendak bertanding dengan siapa baru mau
mengeluarkan senjatamu?” bertanya Lie Sam-kow marah.
Touw Liong diam, sejenak ia mengerutkan alisnya,
kemudian berkata sambil menggelengkan kepala,
”Jikalau aku merasa perlu untuk menggunakan, barulah
aku menghunus senjataku ini.”
Jawaban itu agak terpaksa, ia sendiri sebetulnya
bermaksud baik, tak disangka telah membangkitkan amarah
nyonya itu. Tetapi ucapan yang sudah dikeluarkan, mana
dapat ditarik kembali. Tampaknya ucapan Touw Liong
tadi tambah membangkitkan amarah Lie Sam-kow.
Lie Sam-kow semakin marah. Ia tertawa dingin
berulang-ulang, kemudian berkata,
”Kalau demikian katamu, kau sesungguhnya terlalu
tidak pandang mata kepadaku si orang she Lie! Baiklah!
Kita boleh mulai sekarang.”
Touw Liong telah terdesak sehingga tidak dapat mundur
lagi, terpaksa memberi hormat seraya berkata,
”Sam-kow, silahkan!”
Ia berdiri dengan sikap seenaknya, sedangkan Lie Samkow
lalu menggerakkan pedang di tangannya. Saat itu
pedang tersebut menghembuskan angin hebat, begitu
bergerak, nyonya itu sudah membuka dengan serangannya
yang sangat ganas ditujukan ke depan dada Touw Liong.
Baik gerak tipunya maupun kekuatan tenaganya
semuanya merupakan kepandaian dari golongan kelas
tinggi, tetapi perempuan itu kini bertemu lawan berat
seperti Touw Liong, sehingga dengan mudah serangan yang
sangat ganas itu dapat dielakkan oleh Touw Liong.
Dengan sangat marah sekali Lie Sam-kow membentak
secara kalap,
”Bocah, bagus sekali perbuatanmu! Kau sesungguhnya
juga terlalu menghina diriku. Coba sekarang sambut
seranganku lagi!”
Belum habis ucapannya, serangan pedangnya sudah
sampai. Serangannya itu kali ini demikian hebat, bahkan
menggunakan gerak tipunya yang luar biasa anehnya.
Ujung pedang tampak menggetar, hingga menjadi gerakan
beberapa puluh, setiap ujungnya mengancam tubuh Touw
Liong.
Touw Liong terpaksa lompat mundur sejauh 7 kaki
untuk membebaskan diri dari ancaman pedang, sementara
mulutnya berseru,
”Sudah dua jurus! Aku si orang she Touw seharusnya
memberikan kesempatan kepadamu tiga jurus ....”
Belum habis ucapannya, pedang panjang di tangan Lie
Sam-kow dengan tiba-tiba telah melesat lagi ke arahnya.
Touw Liong sungguh tidak nyana Lie Sam-kow bisa
menggunakan pedangnya untuk menyambit dirinya, hingga
untuk sesaat ia agak gugup. Tetapi sebagai seorang tokoh
kenamaan, secepat kilat sudah harus dapat menyelesaikan
dua soal:
Kesatu, untuk menjaga nama baiknya sendiri. Dalam
jurus ketiga ini seharusnya ia mengalah tetapi sambitan
nyonya itu demikian hebat dan ganas. Bila ia diam saja,
sudah tentu berbahaya bagi dirinya. Satu-satunya cara ialah
bertindak dengan menempuh bahaya besar, dengan
kepandaian ilmu silatnya yang tertinggi, hendak
menyambut pedang yang disambitkan ke arahnya.
Kedua, memukul jatuh pedang itu dengan menggunakan
ilmunya Thay-it Sin-jiauw, tetapi dengan demikian, nanti
akan menjadi buah tertawaan orang lain.
Dalam waktu yang sangat singkat, akhirnya Touw Liong
menetapkan suatu keputusan untuk mengambil tindakan
dengan menanggung resiko untuk mengalah dulu dalam
jurus ketiga ini.
Ia sengaja berlaku tenang, bahkan masih bisa tertawa
terbahak-bahak, tetapi diam-diam dia sudah mengerahkan
ilmu batinnya: Liang-gie-sin-hoat. Dalam waktu singkat,
kedua ilmunya dikerahkan di tangan kanan, lima jari
tangannya dipentang hendak menyambar pedang yang
disambitkan oleh Lie Sam-kow.
Tindakannya itu sangat berbahaya sekali, sebab saat itu
ujung pedang sudah tiba di depan dada Touw Liong
terpisah sekira tidak lebih dari lima dim saja.
Lie Sam-kow adalah seorang tokoh rimba persilatan
kenamaan. Ia tahu benar bahwa ilmu Thian-seng-jiauw
Touw Liong sudah terkenal di dalam rimba persilatan,
sudah tentu ia tidak mau membiarkan pedang panjangnya
tertangkap oleh anak muda itu, maka lalu menggerakkan
tangannya dan menarik kembali hingga pedang itu
bukannya maju sebaliknya malah mundur terbang kembali
ke dalam tangan pemiliknya.
Kiranya, gagang pedang Lie Sam-kow telah diikat
dengan sutas benang yang terbuat dari sutra alam. Ujung
yang lain berada di tangan Lie Sam-kow, maka ia dapat
menggunakan untuk menyambit atau ditarik kembali
dengan mudah.
Lie Sam-kow mempunyai julukan sebagai Iblis Malam,
sudah tentu merupakan orang yang sangat kejam dan
ganas. Di waktu ia menyambitkan pedangnya tadi,
orangnya juga lompat maju, hendak menyerbu Touw
Liong.
Sebelum orangnya sampai, kakinya sudah keluar lebih
dahulu. Tangannya menarik kembali pedang panjang,
sedang kakinya menyapu kepada Touw Liong.
Oleh karena kekuatan tenaga Touw Liong dipusatkan ke
atas jari tangannya, maka ia tidak menduga Lie Sam-kow
akan menyapu bagian bawahnya. Hampir saja ia terkena
tendangan. Ia terkejut bukan main hingga keringat dingin
mengucur keluar.
Masih untung kepandaian ilmu silatnya sudah mencapai
taraf yang tak ada taranya, terhadap gerakan dari golongan
sesat yang agak curang ini, ia tidak terlalu pandang mata,
maka secepat kilat kakinya menjejak, dan tubuhnya melesat
setinggi 4 kaki, dengan demikian ia telah berhasil
mengelakkan serangan Lie Sam-kow.
Lie Sam-kow berkaok nyaring. Pedang panjang di
tangannya dilontarkan ke atas dan berkata sambil tertawa
dingin.
”Kulihat apakah kau si bocah masih bisa loloskan diri
dari seranganku ini?”
Memang benar. Touw Liong yang badannya berada di
tengah udara, selagi badannya itu melesat ke atas, pedang
Lie Sam-kow sudah terlepas dari tangannya, dan ujung
pedang waktu itu sudah mengancam telapakan kaki Touw
Liong.
Untung serangan jurus ketiga itu sudah lalu, maka Touw
Liong kini dapat melakukan serangan pembalasan dengan
tangan kanannya dibalikkan, mengeluarkan serangan dari
jari tangan hingga tangan kanan Lie Sam-kow yang
menggenggam pedang, merasa kesemutan dan pedang yang
dilontarkan ke atas tadi terus meluncur ke pinggir.
Dengan gerakannya itu, Touw Liong telah berhasil
memukul Lie Sam-kow sehingga terpental mundur lima
langkah. Nyonya itu tampak sangat marah sekali.
Matanya terbuka lebar, nafasnya memburu.
Touw Liong dengan sikapnya yang sangat gagah berdiri
tegak di tanah. Kembali ia memberi hormat kepada Lie
Sam-kow seraya berkata,
”Aku sesungguhnya agak kurang sopan, oleh karena
kesalahan tangan, hingga membuat terbang pedangmu.
Harap Sam-kow tidak berkecil hati.”
Saat itu barulah Kim Yan menggapaikan tangannya. Lie
Sam-kow dengan sikap murung dan lesu, balik kembali ke
belakang Kim Yan tanpa berkata apa-apa.
Selagi Kim Yan hendak membuka suara, ketua golongan
Swat-san-pay Hwan-hiouw sudah lompat maju dan berkata
kepada Kim Yan,
”Aku si orang tua tidak mengukur kekuatan tenaga
sendiri, ingin menyambuti serangannya tiga jurus saja.”
Kim Yan menganggukkan kepala menerima baik
permintaannya.
Hwan-hiouw berdiri tegak sambil membusungkan dada.
Dua tangannya melakukan gerakan menyedot ke tengah
udara, sedang mulutnya berkata,
”Orang she Touw, sekarang tidak perlu banyak bicara,
sambutilah tiga kali seranganku.”
Touw Liong menerima baik tantangan itu, katanya,
”Hari ini aku bisa belajar kenal dengan kepandaian ilmu
serangan jari tanpa bayangan dari golongan Swat-san, juga
tidak percuma perjalananku ini.”
Hwan-hiouw tidak berkata apa-apa lagi. Kedua
tangannya melakukan suatu gerakan, membuat lingkaran di
tengah udara, kemudian dengan tiba-tiba sepuluh jari
tangannya melakukan gerakan menyentil, setelah itu
mulutnya memperingatkan kepada Touw Liong,
”Bocah, sambutlah seranganku yang pertama!”
Suara hembusan angin menderu-deru. Bayangan jari
tangan Touw Liong yang bergerak, mengeluarkan dua
macam ilmu yang sangat ampuh, melindungi sekujur
tubuhnya sehingga seperti terhalang oleh selapis dinding
yang tidak kelihatan. Dengan mengikuti arah sambaran
serangan tangan lawannya, ia menggerakkan badannya
untuk mundur lima langkah. Sambaran angin yang
meluncur keluar dari jari tangan Hwan Hiouw melalui
sampingnya, dan Touw Liong mengeluarkan nafsu
perlahan,
”Jurus pertama!”
Hwan Hiouw tampaknya sangat marah. Bekas luka-luka
golok di mukanya tampak merah. sepuluh jari tangan
tangannya dirangkapkan lagi. Orangnya lompat maju lima
langkah untuk menyerang depan dada Touw Liong.
Touw Liong buru-buru mengerahkan kekuatan ke bagian
depan dada untuk menyambut serangan lawannya.
Sesaat ia merasakan dadanya seperti digempur oleh
semacam kekuatan tenaga yang sangat hebat.
”Jurus kedua!” serunya sekali lagi.
Ia tahu bahwa serangan ketiga Hwan Hiouw pasti akan
dilontarkan dengan tenaga sepenuhnya. Serangan itu pasti
sangat hebat sekali.
Di luarnya Touw Liong tidak menunjukkan sikap takut.
Ia bersikap seperti sedang siap untuk menyambut serangan
Hwan Hiouw, tetapi diam-diam ia sudah mengambil
keputusan hendak memberi sedikit pelajaran kepada orang
she Hwan itu.
Benar saja. Hwan Hiouw yang sudah banyak
pengalaman, dalam jurus kesatu dan kedua tadi ia tidak
menggunakan tenaga sepenuhnya, sedangkan pada jurus
ketiga ini ia telah menggunakan tenaga sepenuhnya
melancarkan serangan dari jarak jauh.
Serangan yang keluar dari sepuluh jari tangan orang she
Hwan itu dilancarkan berbagai jurus tetapi tujuannya satu,
ialah depan dada Touw Liong. Dengan demikian kekuatan
jari tangan yang datang dari berbagai jurusan akhirnya
berkumpul menjadi satu untuk menuju ke sasarannya. Ini
merupakan suatu pukulan dari gabungan 10 jari. Apabila
serangan itu mengenai sasarannya, sekalipun batu juga akan
menjadi hancur lebur.
Touw Liong melihat lawannya telah turun tangan,
secepat kilat badannya memutar, dan melompat sejauh lima
kaki.
Diam-diam ia sudah melancarkan dua macam ilmunya
yang sangat ampuh. Disamping menyambut serangan jari
tangan Hwan Hiouw tadi. Ketika ia memutar tubuh, dia
telah menggunakan kesempatan mana untuk menyedot
tenaga Hwan Hiouw, hingga tubuh Hwan Hiouw bagaikan
layangan yang putus talinya, tertarik oleh kekuatan tenaga
dalam Touw Liong, dan Hwan Hiouw yang sedikitpung
tidak menduga akan mendapat perlakuan demikian, tidak
sanggup lagi mempertahankan kedudukannya, dengan
terhuyung-huyung terjatuh sejauh tujuh-delapan langkah.
Hal ini merupakan suatu perbuatan yang sangat
memalukan sekali.
Masih untung saat itu Kim Yan sudah keburu
mengangkat tangannya, mengeluarkan kekuatan tenaga
untuk menyanggah dirinya, barulah berhasil menahan jatuh
badannya lebih jauh. Jikalau tidak demikian, barangkali ia
akan bergulingan di tanah.
Hwan Hiouw yang mendapat malu besar telah berubah
marah, hingga wajahnya merah membara. Sambil
menuding Touw Liong, ia membentak dengan suara keras,
”Bocah! Keluarkan senjatamu. Aku si orang tua hendak
belajar kenal dengan kepandaian ilmu pedangmu!”
Belum lagi Touw Liong menjawab, Kim Yan sudah
menggerakkan tangannya, mencegah Hwan Hiouw.
Katanya,
”Hwan cianpwe, tunggu dulu! Baiklah aku yang
menghadapi sendiri!”
Pengalaman hebat Touw Liong dalam gua Hek-hongtong
baru saja berhasil dilalui. Tetapi belum lama ia keluar
dari gua Hek-hong-tong, sudah berjumpa dengan Hek-hong
Giok-lie Kim Yan, yang sedang memimpin 6 orang kuatnya
untuk menyambut kedatangannya.
Dalam pertempuran tadi, pihak golongan Hek-hong telah
terpukul mundur dua orang kuatnya. Lie Sam-kow dan
ketua Swat-san-pay dengan beruntun mendapat malu besar,
hingga terpaksa mundur ke rombongannya. Kini Kim Yan
sudah maju sendiri. Ia berdiri di hadapan Touw Liong
dengan tidak menunjukkan sikap seperti dahulu, ia berkata,
”Suheng, kau sungguh hebat!”
Ucapannya itu sangat singkat, tetapi mengandung
permusuhan, hingga bagi Touw Liong dirasakan tidak enak
sekali. Ia terpaksa menjawab sambil tertawa kecil,
”Sumoy, kau harus mengerti, bukanlah suhengmu yang
coba berlaku kurang ajar di sini. Sebetulnya adalah mereka
sendiri yang bertindak keterlaluan.”
”Tidak perlu banyak bicara. Sepatah kata saja sudah
cukup. Kauwcu sudah menjanjikan aku akan menurunkan
seluruh kepandaiannya dan kedudukannya, untuk
memimpin rimba persilatan. Suheng akan membantu
diriku, ataukah menentang? Seorang laki-laki kalau
bertindak harus tepat, jawablah sepatah kata saja!” berkata
Kim Yan yang tidak menghiraukan bujukan Touw Liong.
Touw Liong dan Kim Yan merupakan saudara
seperguruan yang sejak masih kanak-kanak hidup bersamasama
selama 10 tahun lebih. Hubungan mereka sudah
seperti saudara sendiri. Selama 10 tahun lebih itu, Touw
Liong belum pernah satu kali saja memperlakukan kasar
terhadap adik seperguruannya itu.
Tetapi keadaan sekarang sudah berlainan. Setelah Kim
Yan terkena serangan ilmu beracun Hek-hong-im-kang,
pikirannya menjadi berubah. Touw Liong bermaksud
hendak menolong Kim Yan, tetapi ia tahu apabila
diutarakan maksudnya itu, berarti cuma-cuma saja, bahkan
mungkin akan menyakiti hatinya. Tetapi ia juga tidak
boleh menolak kewajibannya, ia tidak menghiraukan itu
semua, terpaksa menggertak gigi, dan air mata yang
seharusnya mengalir keluar dari kelopak matanya, terpaksa
ditelan kembali. Sambil menahan mengucurnya air mata ia
berkata,
”Sumoy, seorang yang menyadari sendiri bahwa dirinya
sudah tersesat, saat ini kalau kau mau, waktunya masih
belum terlambat. Kau tahu bahwa antara golongan baik
dan golongan sesat itu merupakan dua golongan yang
bertentangan satu sama lain, oleh karenanya, maka
suhengmu agak berat untuk membantu kau.”
Touw Liong tidak tega memandang sumoynya. Ia tahu
bahwa sumoynya itu pasti akan marah sekali, dan
kemarahannya itu akan membawa akibat entah bagaimana
nanti.
Tetapi urusan di dalam dunia ini kadang-kadang ada
beberapa hal yang di luar dugaan manusia. Apa yang
diduga oleh Touw Liong tadi ternyata tidak terbukti.
Begitu Touw Liong habis bicara, Kim Yan malah
mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak.
Setelah tertawa puas, dengan tiba-tiba ia menghentikan
tertawanya, wajahnya tampak dingin, dan kata-kata
selanjutnya yang keluar dari mulutnya bagaikan anak panah
yang menancap di ulu hati Touw Liong. Katanya,
”Atas perintah Kauwcu, apabila Hek-hong Kim-liong
berani menentang kehendak Kauwcu, maka aku ada hak
untuk menangkap kau guna diserahkan kepada Kauwcu
....”
Ucapan yang terakhir itu sengaja diperpanjang.
Selanjutnya ia berkata lagi dengan alis berdiri,
”Seandainya aku tidak bisa membawa kau ke depam
Kauwcu dalam keadaan hidup, juga hendak menyerahkan
kepalamu untuk memenuhi tugasku.”
Begitu mendengar ucapan itu, 6 orang yang berada di
belakang Kim Yan segera bergerak semua. Dalam waktu
sekejab saja, 6 orang itu masing-masing sudah mengambil
tempat sendiri-sendiri untuk mengurung Touw Liong di
tengah-tengah.
Sedangkan anak laki tanggung Ca Thian Lok yang tadi
berlaku sangat hormat kepada Touw Liong, waktu itu juga
menunjukkan sikapnya yang masih kekanak-kanakan,
dengan pedangnya ia hendak menusuk ketiak kiri Touw
Liong.
Berbagai senjata, di antaranya ada golok, pedang, kaitan,
tongkat, dan lain-lainnya telah ditujukan kepada Touw
Liong dari pelbagai jurusan.
Siapa saja, di antara enam orang itu, sudah terhitung
tokoh kuat dalam rimba persilatan. Teristimewa Pek-bie
Hwesio atau padri alis putih. Senjata rotan kuno yang
sudah tua umurnya itu yang digenggam dalam tangannya,
yang mengandung maksud permusuhan paling dalam.
Kim Yan perlahan-lahan menarik dirinya, keluar dari
kalangan.
Ia sengaja membakar hati Lie Sam-kow dan ketua
golongan Swat-san-pay, tetapi sudah terkalahkan oleh
Touw Liong lebih dulu. Selanjutnya kalau masih ingin
tancap kaki di rimba persilatan, inilah merupakan suatu
kesempatan yang baik bagi diri mereka untuk menebus
kekalahan tadi.
Maka dua orang itu merasa seperti dibakar, masingmasing
menggigiti bibir.
Hwan Hiouw menggerakkan jari tangannya. Dari situ
keluat hembusan angin dingin.
Lie Sam-kow juga sudah mulai menghunus pedangnya.
Sambil menggertak gigi Hwan Hiouw berkata lebih
dahulu,
”Bocah she Touw, kami semua sudah mengeluarkan
senjata, mengapa kau masih bersikap sombong, tidak mau
mengeluarkan senjatamu?”
Mata Touw Liong menyapu ke wajah orang-orang di
sekitarnya, lalu tertuju kepada wajah Ca Thian Lok yang
masih kekanak-kanakan, kemudian menggeleng-gelengkan
kepala, dan berkata kepada diri sendiri, ”Apakah aku tega
menurunkan tangan kejam terhadap anak ini? Apalagi ....
antara kita tidak ada permusuhan apa-apa.”
Kembali ia mengeleng-gelengkan kepala dan berkata lagi
kepada diri sendiri sambil menghela nafas, ”Begitu pedang
Hok-mo-kiam ini kugunakan untuk menghadapi kawanan
iblis itu, mereka tidak mungkin lolos dari tanganku. Tetapi
bocah ini .... aku seharusnya tidak boleh bertindak sama
dengan yang lainnya. Biarlah aku melindunginya jangan
sampai ia terluka oleh pedangku.”
Touw Liong mengerti bahwa pada saat seperti itu ucapan
apa saja tidak ada artinya bagi mereka. Maka ia lalu
menghunus pedangnya yang berkilauan.
Si imam kurus ketika menampak pedang itu hatinya
tergerak. Saat itu laluberkata dengan sikap menghina,
”Dahulu di kalangan kang-ouw orang pada memuji kau
sebagai seorang laki-laki jantan, tetapi hari ini aku melihat
senjata di tanganmu kiranya adalah senjata milik Thian-sim
totiang dari partai Cheng-sia-pay. Kalau demikian, kau
ternyata bukan seorang jagoan yang tulen! Kiranya seorang
....”
Ngo-yang masih belum mau mengatakan ucapan yang
tidak sopan, maka lalu berhenti. Tetapi Hwan Hiouw telah
menyambungnya dengan suara dingin.
”Hanya seorang yang mendapat nama kosong belaka.”
Touw Liong tertawa terbahak-bahak, tidak menggubris
ucapan mereka. Dengan menggerakkna pedang Hok-mokiam
di tangannya, ia berkata,
”Aku orang she Touw berkat kasih sayang para
locianpwe rimba persilatan, di dunia kang-ouw mendapat
sedikit nama. Tentang namaku ini kosong atau berisi,
semuanya tergantung dari penilaian sahabat-sahabat rimba
persilatan. Jikalau kau kira pedang di tanganku ini adalah
pedang milik Thian-sim totiang, itulah sama sekali tidak
benar. Meskipun pedang ini bentuknya mirip dengan
pedang yang berada di tangan Thian-sim, tetapi pedang ini
adalah pedang Hok-mo-kiam yang jantan.”
”Dan pedang yang lain itu?” bertanya si imam kurus
Ngo-yang.
”Pedang itu juga pedang Hok-mo-kiam, tetapi adalah
pedang Hok-mo-kiam dari jenis betina.”
Ketika mendengar ucapan itu Kim Yan lalu berkata,
”Ya, benar! Kauwcu memang pernah kata bahwa di
dalam perguruannya ada sebilah pedang Hok-mo-kiam
yang jantan. Kabarnya ditanam di dalam gunung ini.
Kauwcu pernah mencarinya beberapa puluh tahun
lamanya, tetapi hingga saat ini belum pernah berhasil
menemukan.”
”Benar. Pedang ini kudapatkan dari sebuah gua rahasia
di dalam gunung ini,” berkata Touw Liong sambil
menganggukkan kepala.
”Di mana letak gua itu?” tanya Kim Yan.
”Gua itu letaknya di atas puncak gunung itu,” jawab
Touw Liong sambil menunjuk ke puncak gunung yang
diliputi oleh awan.
”Puncak gunung itu bentuknya sangat aneh, siapapun
tidak dapat naik ke atasnya,” berkata Kim Yan sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
”Meskipun tidak bisa naik, tetapi bisa dicapai melalui
sebuah jalan rahasia.”
”Jalan rahasia?” tanya Kim Yan heran.
“Di mana letaknya jalan rahasia itu?”
“Dia tahu,” jawab Touw Liong sambil menunjuk dengan
pedangnya kepada Pek-bie Hwesio yang saat itu wajahnya
sudah menjadi pucat.
“Kau tahu?” bertanya Kim Yan kepada Pek-bie dengan
sikap dingin.
Pek-bie cuma menjawab, ”Lolap ....” dengan muka pucat
dan suara gelagapan sambil mengeleng-gelengkan
kepalanya, tidak bisa meneruskan lagi.
Touw Liong mendongakkan kepala dan tertawa
terbahak-bahak, kemudian berkata,
”Bagaimana kau mengatakan tidak tahu? Kemarin
malam sebelum aku masuk ke jalan rahasia itu, bukankah
sudah kau hadiahkan dengan dua butir batu?”
Pek-bie segera sadar. Katanya sambil menganggukkan
kepala,
”Lolap tahu! Lolap mengerti! ....”
”Mari kau ajak aku melihat!” berkata Kim Yan dengan
suara bengis.
”Lolap menurut,” menjawab Pek-bie sambil memberi
hormat dengan merangkapkan kedua tangannya.
Kemudian ia menarik senjata rotan kunonya, setelah itu
ia berjalan lebih dahulu menuju ke tempat di mana terdapat
danau.
Kim Yan lalu memberi perintah kepada Hwan Hiouw,
”Siaolie akan pergi ke sana untuk mengurus sedikit
urusan. Urusan di sini semuanya kuserahkan kepada Hwan
Cianpwe yang menyelesaikan.”
Hwan Hiouw menerima baik. Sambil memberi hormat,
mengawasi Kim Yan hingga menghilang ke balik rimba
lebat.
Sewaktu Kim Yan berlalu, ia sedikitpun tidak
memperdulikan sikap Touw Liong. Sikapnya waktu itu
seolah-olah tidak pernah ada hubungan ikatan saudara
seperguruan dengan pemuda itu, hingga Touw Liong yang
menyaksikan perubahan sikap saudara seperguruannya ini,
diam-diam menghela nafas panjang dan berkata kepada diri
sendiri,
”Sumoyku kini rela bekerja untuk Hek-hong Kauwcu.
Semua itu disebabkan karena sifatnya yang semula sudah
dikaburkan oleh racun Hek-hong-im-kang Panji Wulung
Wanita. Baiklah kulihat saja bagaimana perkembangan
selanjutnya.”
Kemudian ia berkata kepada Hwan Hiouw dan lainlainnya,
”Tuan-tuan adalah tokoh-tokoh kenamaan di rimba
persilatan, di antaranya bahkan merupakan ketua dari
partai besar, tetapi dengan cara bagaimana tuan-tuan jadi
rela menyediakan tenaga bagi seorang iblis wanita yang
hendak menjagoi rimba persilatan? Apakah tuan-tuan tidak
takut akan menjadi buah tertawaan sahabat-sahabat rimba
persilatan?”
”Jangan banyak bicara. Siapakah yang membunuh
suteku?” balas bertanya Hwan Hiouw sambil tertawa
masam.
”Sutemu betul akulah yang membunuhnya. Tetapi kau
jangan lupa bahwa sutemu Kow Cin Seng denganku ada
permusuhan besar, karena ia dahulu telah membinasakan
ibuku,” menjawab Touw Liong dengan suara gusar.
Ngo-yang lalu bertanya,
”Kematian suhu, ialah mati di bawah serangan
tanganmu Thian-seng-jiauw, dan susiokku telah terluka
parah hingga sekarang masih belum sembuh. Apakah
semua itu juga bukan gara-gara perbuatanmu?”
Bab 52
TOUW LIONG lekas membantah tuduhan itu, katanya,
”Suhumu terluka di bawah serangan Thay-it Sin-jiauw
yang dilakukan oleh Panji Wulung Wanita, bukan mati.
Sementara tentang diri San-hong Tojin ... dia sama juga
dengan Kow Cin Seng, yang menjadi salah seorang musuh
besarku karena ia dahulu telah membunuh ayahku. Kalau
aku belum sampai binasakan kepadanya, itu masih
terhitung enak baginya.”
Sementara itu Lie Sam-kow juga membentak sambil
menuding dengan pedang,
”Orang she Touw, kau jangan coba putar lidah. Hari ini
meskipun kau mencoba memungkiri semua perbuatanmu,
tetapi siapa yang mau percaya? Sebaiknya lekas serahkan
nyawamu!”
Bu-sim Hwesio dari gereja Siao-lim yang sejak tadi terus
tidak bersuara, saat itu juga membuka mulut,
”Hwan-heng, kita mau tunggu apa lagi? Lima orang
bersatu hati, kita bisa bereskan bocah ini. Mari!”
JILID 20
Lie Sam-kow adalah orang yang pertama-tama sekali
menyatakan setuju atas usul itu. Sedangkan Ngo-yang tojin
hanya menganggukkan kepala. Begitulah lima orang telah
maju berbareng, mengurung Touw Liong di tengah-tengah.
Hwan Hiouw pentang sepuluh jari tangannya
membentuk satu lingkaran, dengan kesepuluh jari itu
menyerang jalan darah di depan dada Touw Liong.
Lie Sam-kow juga telah menggerakkan pedangnya, maju
menyerbu pemuda itu.
Imam kurus Ngo-yang tojin dengan ilmu pedang yang
mempunyai banyak perubahan gerak yang aneh juga sudah
bergerak menikam.
Pek-bie Hwesio dengan tongkat di tangan, sudah
menggempur batok kepala Touw Liong!
Hanya Ca Thian Lok seorang yang masih kekanakkanakan
yang paling bersimpatik kepada Touw Liong,
dalam hati sebetulnya tidak setuju dengan cara bertempur
main keroyok semacam itu, namun dengan apa boleh buat
juga telah mengikuti yang lain-lain, menyodokkan
pedangnya dengan gerakan pura-pura menyerang.
Touw Liong melihat lima orang itu. Empat di antaranya
telah menggunakan serangan ganas, maka buru-buru
menggunakan ilmunya Liang-gi-sin-kang yang sudah
disiapkan sejak tadi. Pedang panjangnya digerakkan. Pada
serangan itu ada terkandung ilmu pedang Tay-lo-kim-kongkiam-
hoat. Dua jenis ilmu dikerahkan kepada satu ujung
pedang, sudah barang tentu kekuatannya jadi berlipat
ganda.
Sesaat lalu terdengar suara beradunya senjata tajam.
Kecuali pedang yang masih dipegang oleh Ca Thian Lok,
senjata-senjata kawannya yang lain sudah terbang ke
angkasa!
Kalau cuma begitu saja masih belum berarti apa-apa.
Lima orang lawannya itu telah terpental oleh gempuran
ilmu Liang-gie-sin-kang. Masing-masing terpental mundur
tiga langkah, hanya Ca Thian Lok yang memang tiada
maksud sungguh-sungguh untuk menyerang Touw Liong,
sudah mundur lebih dahulu sejauh tujuh-delapan langkah.
Kecuali ia, tiga lawan yang lainnya, semuanya terpental
dalam keadaan terluka parah.
Keadaan Hwan Hiouw lebih-lebih menggenaskan.
Sebab oleh menggunakan serangan dengan jari tangan yang
dianggap sangat ampuh, serangan itu menggunakan
kekuatan tenaga dalam sangat banyak, maka akibat
gempuran Touw Liong tadi juga mendapat luka yang paling
parah, maka saat itu selain sudah mundur sejauh tiga
langkah, juga sudah mengeluarkan banyak darah dari
mulutnya.
Ca Thian Lok berdiri kesima mengawasi Touw Liong,
lama tidak bisa membuka suara.
Touw Liong mengawasi lima orang itu sejenak,
kemudian berkata,
”Aku orang she Touw tidak mau berbuat keterlaluan.
Siapa yang benar siapa yang salah, di kemudian hari pasti
diketahui orang. Sekarang terserah kepada tuan-tuan
sekalian! Permusuhanku dengan Bu-sim taysu selewatnya
hari ini, masih perlu akan kuperhitungkan lagi.”
Setelah mengucap demikian, dengan langkah lebar ia
berlalu meninggalkan lawan-lawannya.
Lima orang itu pada berdiri melongo dengan hati
kuncup. Siapapun tidak ada yang berani mengeluarkan
suara untuk menahan berlalunya Touw Liong. Siapapun
tidak ada yang berani mengambil tindakan.
Mereka benar-benar sudah tunduk kepada Touw Liong
maka membiarkan anak muda itu berlalu tanpa mendapat
rintangan.
Touw Liong yang berada dalam gua selama satu hari
satu malam dalam keadaan berdiri, ternyata tidak sia-sia,
sebab setelah keluar dari gua itu, kekuatan tenaga dalamnya
telah mendapat kemajuan sangat pesat, apalagi ia sudah
memusatkan dua jenis ilmunya yang sangat ampuh ke
ujung pedangnya. Tidaklah heran kalau kekuatan
tenaganya itu bertambah demikian hebat, seolah-olah
malaikat dari kahyangan, hingga semua lawannya sudah
ditundukkan tanpa bisa bergerak sedikitpun.
Setelah Touw Liong berlalu, keadaan di situ tampak
kacau balau. Lima orang tadi cuma bisa menggerutu
sambil mengeleng-gelengkan kepala. Lima pasang mata
cuma bisa mengawasi berlalunya Touw Liong tanpa
berdaya. Pemuda itu juga menghilang ke dalam rimba di
mana tadi Kim Yan telah menghilang.
Danau tempat di mana Touw Liong hampir menemukan
bencana, tapi kemudian ternyata merupakan jalan rahasia
untuk mencapai gua rahasia, kini keadaannya telah kering
sehingga tampak dasarnya. Air mancur yang mengalir
turun dari atas tebing tinggi tampak mengalirkan airnya
sangat lambat.
Di tepi danau, di atas pohon Yangliu, keadaannya masih
sama. Di situ terikat dengan seutas rotan kuno, di
bawahnya sepotong masih tergantung bergoyang-goyang.
Touw Liong tahu, pada waktu belum lama berselang, ada
orang yang turun ke dalam danau dengan menggunakan
oyot rotan itu.
Tak usah dikata lagi, bahwa orang yang turun ke dalam
danau itu, pasti Kim Yan. Mungkin juga bersama dengan
Pek-bie hwesio.
Ia juga mengerti bahwa terjunnya Kim Yan ke dalam
danau itu, maksud dan tujuannya ialah untuk mencari gua
Hek-hong-tong.
Kalau mengingat bahwa jalan menuju ke gua Hek-hongtong
itu sudah terhalang, Touw Liong merasa sangat
menyesal. Ia menyesal sudah menerangkan adanya gua itu,
sehingga menimbulkan keinginan Kim Yan dengan
menempuh bahaya besar.
Oleh karenanya, maka ia diam-diam khawatirkan
keselamatan adik seperguruannya itu, terutama kalau ia
ingat pesawat-pesawat rahasia dengan ancaman anak panah
yang berada di dalam gua.
Dengan tiba-tiba ia berteriak sendiri,
”Celaka! Aku harus menolong dia!”
Ketika ia mengambil keputusan itu, dan selagi hendak
turun melalu oyot rotan itu, di atas kepalanya tiba-tiba
terdengar suara nyaring. Gerujukan air dari tempat setinggi
sepuluh tombak lebih telah mengalir turun dengan
kerasnya.
Dalam waktu yang sangat singkat, air itu sudah
memenuhi setengah danau, hingga dinding-dinding danau
itu sudah terendam setinggi lima kaki lebih.
Menyaksikan terjadinya perubahan tiba-tiba itu, Touw
Liong pucat seketika. Ia yang masih mengingat tali
persaudaraannya dengan Kim Yan, tanpa disadari
mulutnya sudah berteriak-teriak memanggil nama
sumoynya itu.
Namun panggilannya itu hanya menimbulkan echo yang
menggema di tempat yang sunyi itu, sedangkan air terus
mengalir turun perlahan-lahan hendak memenuhi danau
itu.
Air mata membasahi matanya. Ia sedih memikirkan
sumoynya yang dianggapnya pasti mendapat kecelakaan di
dalam gua.
”Siapakah yang membuka pancuran air itu?”
demikianlah suatu pertanyaan yang terlintas di dalam
otaknya.
Dengan suatu gerakan, Touw Liong sudah melayang ke
atas tebing. Di atas tebing itu ia mulai pasang mata. Di
tempat yang jauh, di bagian mengalirnya air itu, tampak
sesosok bayangan orang yang lari bagaikan terbang.
Touw Liong segera mengeluarkan suara untuk
menegurnya,
”Bangsat, aku semula hendak membiarkan hidup
beberapa hari untuk menunggu engkoku yang akan
membunuh kau, dengan tangannya sendiri. Tak kusangka
kau .... Hem! Hemm! Hari ini barangkali sudah tiba
waktumu untuk mati!”
Orang yang lari bagaikan terbang itu adalah seorang
imam berwajah merah berkumis pendek. Ia mengenakan
jubah warna ungu.
Imam itu sekalipun dibakar menjadi abu, Touw Liong
juga masih dapat mengenali bahwa ia adalah Thian-sim
tojin, pengkhianat partai Cheng-sia-pay. Thian-sim dengan
perasaan girang lari sambil menundukkan kepala, tidak
memperhatikan keadaan di sekitarnya. Ketika ditegur,
segera mengangkat kepala. Begitu melihat bahwa orang
yang menegurnya itu adalah musuh bebuyutannya, bukan
kepalang terkejutnya, hingga saat itu semangatnya seperti
terbang. Ia lalu memperlambat langkahnya, hampir saja
tidak sanggup mengangkat kaki lagi.
Thian-sim dalam keadaan bengong, dengan wajah pucat
pasi mengawasi Touw Liong.
Touw Liong bertanya kepadanya dengan suara keras,
”Di mana sumoyku?”
”Di bawah. Ia sedang turun mencari barang pusaka,”
menjawab Thian-sim sambil menunjuk ke danau.
Touw Liong kembali menunjuk air yang mengalir dari
atas tebing, dan bertanya lagi kepadanya,
”Kaukah, yang membuka bendungan air itu?”
”Ya .... benar aku yang membuka ....” menjawab Thiansim
dengan suara gugup.
Tetapi kemudian ia menambahkan keterangannya,
”Tetapi itu bukanlah atas kemauanku sendiri, aku hanya
berbuat menurut perintah saja.”
”Siapa yang memerintahkanmu?”
Sebelum Thian-sim menjawab, suara yang
kedengarannya sangat dingin kembali terdengar dari atas
pohon cemara,
”Aku yang memerintahkannya!”
Suara itu sudah tidak asing lagi bagi telinga Touw Liong!
Ketika ia mendongak ke atas, di atas pohon setinggi kirakira
8 tombak itu, tampak berdiri seorang perempuan aneh
mengenakan kerudung muka. Ia berdiri dengan satu kaki di
atas pohon, tangannya memegang sebatang tongkat,
sepasang matanya ditunjukkan ke bawah mengawasi Touw
Liong dengan sikap marah.
Dalam hati Touw Liong agak terkejut. Sambil
mendongakkan kepala ia bertanya kepada perempuan itu
yang bukan lain daripada Panji Wulung Wanita adanya.
“Mengapa kau buka bendungan air itu dan merendam
sumoyku?”
Panji Wulung Wanita dengan suatu gerakan yang manis
melayang turun ke hadapan Touw Liong, kemudian berkata
kepadanya dengan nada suara dingin.
“Di atas dirinya aku telah menggunakan pikiran dan
tenaga yang tidak sedikit. Bagaimana aku harus
membinasakan kepadanya dengan merendamnya di dalam
danau? Aku hanya mengurung ia dalam gua untuk
sementara, supaya ia yang masuk ke dalam gua Hek-hongtong
nanti membocorkan rahasia, dan setelah aku
menyelesaikan semua urusan penting yang sedang
kuhadapi, barulah akan mengajak ia bersama-sama masuk
ke dalam gua untuk mencari barang pusaka.”
”Apakah kau tidak takut dengan membuka bendungan
air itu bisa merendam ia sehingga ia tidak bisa keluar dari
dalam danau?”
”Tentang ini kau jangan kuatir, dia tidak akan mati oleh
karena terendam air, sebab hari ini pagi-pagi sekali aku
sudah pernah turun ke bawah untuk melihat gua itu, di
atasnya masih ada sebuah tempat kosong. Asal aku
mengendalikan sedikit mengalirnya air dari atas, dengan
merendam sebagian kecil saja, ia tidak akan terendam oleh
air.
Touw Liong pikir bahwa keterangan itu memang ada
benarnya, maka perasaan khawatirnya hilang sebagian.
Sementara Panji Wulung Wanita sudah mengajukan
pertanyaan dengan sikap dingin,
”Sekarang aku hendak tanyakan kepadamu dalam dua
soal: Kesatu, kau sebetulnya mau mengikuti kehendakku
atau tidak? Kedua, kabarnya kau pernah masuk ke dalam
gua Hek-hong-tong. Berapa banyak benda pusaka di dalam
gua yang sudah kau ambil?”
Touw Liong tertawa terbahak-bahak, kemudian baru
menjawab,
”Aku si orang she Touw adalah seorang laki-laki sejati,
bagaimana aku harus minta perlindungan dari seorang
wanita? Apalagi dengan tujuan yang tidak suci. Orangorang
yang kau terima menjadi anak buahmu, jikalau bukan
kaum pengkhianat dari partai-partai besar, ialah orangorang
yang sudah mendapat nama tidak baik dalam rimba
persilatan. Apakah dengan perbuatanmu ini kau tidak takut
mengotori nama baik Cowsumu, Hek-hong Lojin?”
”Hek-hong Lojin?” demikian Panji Wulung Wanita
mengulangi ucapan itu yang kemudian terbenam dalam
pikirannya sendiri. Setelah itu ia bertanya pula,
”Apakah sucowku itu adalah Hek-hong Lojin?”
Touw Liong mengangguk.
Panji Wulung Wanita itu bertanya pula,
”Bagaimana kau tahu?”
”Di dalam gua Hek-hong-tong, aku telah membaca
tulisan surat yang ditinggalkan oleh Cowsumu.”
Panji Wulung Wanita agaknya terkejut mendengar
jawaban itu, katanya,
”Anak busuk, kau masih belum menjawab pertanyaanku
yang kedua tadi.”
Touw Liong yang tidak biasa membohong, mendengar
ucapan itu lalu menjawab dengan suara lantang,
”Sebilah pedang Hok-mo-kiam yang jantan.”
Panji Wulung Wanita lalu mengulurkan tangannya
seraya berkata,
”Perlihatkan kepadaku!”
Touw Liong menggeleng-gelengkan kepala dan berkata,
”Tidak bisa! Pedang ini adalah pemberian Hek-hong
Lojin Kie-liong si orang tua belum meninggalkan pesan
padaku supaya pedang ini diserahkan kepada murid
golongannya, bahkan sebaliknya, ia suruh aku dengan
pedang ini harus melakukan perbuatan baik, membasmi
kawanan penjahat di dalam rimba persilatan, mencegah
anak murid golongan Hek-hong melakukan kejahatan di
dunia Kang-ouw.”
Panji Wulung Wanita semakin marah mendengar
jawaban demikian. Dengan nada suara dingin ia
membentak,
”Bocah, kau jangan terlalu takabur! Ucapanmu ini
tampaknya hebat sekali, tetapi kau mengucapkan perkataan
itu apakah tidak merasa malu terhadap aku si orang tua?
Hari ini, apabila kau tidak menunjukkan surat peninggalan
Cowsu kepadaku, aku tidak akan membiarkan kau keluar
dari sini dalam keadaan hidup.”
Touw Liong juga lantas marah diperlakukan demikian.
Katanya dengan suara gusar,
”Mati! Mati! Entah sudah berapa kali kau kata aku
harus mati? Tetapi kau lihat, sampai hari ini apakah aku si
orang she Touw benar-benar seperti katamu tadi, sudah
mati?”
Panji Wulung Wanita memperdengarkan suara tertawa
dinginnya yang sangat tajam. Katanya dengan bangga,
”Di atas gunung Hek-hong-san ini hanya akulah yang
berkuasa. Barang siapa yang naik ke atas gunung Hekhong-
san, tidak peduli siapa orangnya kalau aku
menghendaki ia mati, maka ia harus mati. Kau terhitung
apa? Kau hanya salah seorang murid dalam golonganku.
Kalau aku menghendaki kematianmu, bukankah itu sangat
mudah sekali?”
Touw Liong yang mendengarkan ucapan itu alisnya
berdiri. Selagi hendak balas memaki, dari atas kepalanya
tiba-tiba terdengar suara orang tertawa, kemudian disusul
oleh kata-katanya,
”Ha ha! Nenek-nenek, sungguh sombong kau!”
Touw Liong mendongakkan kepala. Di ujung atas
sebuah pohon kuno yang lain, tampak berdiri seorang imam
tua yang usianya sudah lanjut, tetapi sikapnya agung,
sedang Panji Wulung Wanita yang mendengar ucapan itu
tampak sangat marah, hingga rambutnya yang putih pada
berdiri. Katanya sambil tertawa,
”Imam tua, hari itu masih kuampuni jiwamu tidak
kubunuh mati. Tetapi hari ini kau telah datang sendiri
untuk mengantarkan jiwa. Mau tak mau aku harus
mengiringi kehendakmu.”
Imam tua itu mengangguk-anggukkan kepala dan
berkata,
”Baik! Baik! Pikiran kita hari ini serupa. Aku juga
justru hendak mengiringi kehendakmu.”
Tanpa banyak bicara lagi Panji Wulung Wanita melesat
tinggi ke atas pohon. Orangnya belum sampai, tongkatnya
sudah bergerak lebih dahulu untuk menyerang pohon
dimana ada berdiri imam tua tadi.
Sungguh aneh. Begitu tongkat Panji Wulung Wanita
digerakkan, imam tua tadi lalu melakukan suatu gerakan
jumpalitan, dari atas pohon melayang turun ke bawah, terus
meluncur ke dalam danau!
Selama tubuhnya meluncur turun, imam tua itu
mulutnya terus berteriak-teriak,
”Celaka! Tolong! Hari ini benar-benar aku harus
mampus!”
Panji Wulung Wanita segera menjawab dengan suara
nyaring,
”Lebih cepat kau mati, lebih cepat menitis lagi itu ada
lebih baik. Seorang tua bangka seperti kau ini, tidak perlu
berdiam lama-lama di dalam dunia ini, yang berarti hanya
mencelakakan diri orang lain saja.”
Touw Liong yang menyaksikan caranya imam itu
meluncur turun seperti tidak dibuat-buat, seolah-olah benarbenar
telah terkena serangan Hek-hong-im-kang Panji
Wulung Wanita itu. Maka ia anggap bahwa kalau imam
tua itu terjatuh ke dalam danau pasti akan segera melayang
jiwanya.
Touw Liong yang berhati baik, sudah tentu tidak tega
menyaksikan kematian imam yang tidak berdosa itu,
apalagi imam tua itu tampaknya orang dari golongan baikbaik.
Tergerak hati Touw Liong. Badannya melakukan gerak
setengah memutar, lalu melayang ke tepi danau,
mengulurkan tangannya untuk menyambar imam yang
meluncur turun itu.
Jubah imam tua itu telah tersambar olehnya dan imam
itu berputaran di sekitar Touw Liong, kemudian karena
jubah bagian bawahnya yang kesambar oleh tangan Touw
Liong robek sepotong, hingga tubuh imam itu meluncur
terus bagaikan anak panah, seolah-olah terlempar dari
tangan Touw Liong sejauh tujuh-delapan tombak, dan
secara kebetulan sekali meluncur ke tengah-tengah danau.
Imam tua itu lalu berseru sambil mendelikkan matanya,
”Bocah she Touw, apakah kau sengaja berbuat begitu
supaya aku si imam tua ini lekas mati? Mengapa kau tidak
menyambitkan aku ke arah lain, sebaliknya malah kau
lemparkan aku ke tengah-tengah danau? Tidak tahukah
kau kalau aku si imam tua ini tidak bisa berenang? Biar aku
meminum sepuas-puasnya air danau?”
Touw Liong dalam hati merasa menyesal, tetapi imam
tua itu dengan tiba-tiba melayang ke pohon Yangliu.
Satu kaki menginjak potongan ranting pohon Yangliu di
tengah-tengah danau, dengan menggunakan kekuatan
tenaga di kakinya, badannya melesat sejauh 10 tombak
lebih.
Touw Liong yang menyaksikan perbuatan imam tua itu,
tanpa dirasa telah menarik nafas lega, dan menyeka
keringat dingin yang telah membasahi sekujur tubuhnya.
Saat itu, satu bayangan lain hampir menyerempet tubuh
Touw Liong, melesat untuk mengejar imam tua itu.
Bayangan itu adalah bayangan Panji Wulung Wanita
yang hendak mengejar imam tua tadi. Panji Wulung
Wanita dengan suaranya yang nyaring berkata,
”Imam tua, jikalau kau tidak meninggalkan barangmu,
lihat saja! Nanti, bila sudah kucandak kau, lihat saja aku
tembusi tidak ulu hatimu sehingga menjadi berlubang!”
Touw Liong merasa heran. Entah barang apa yang
dimaksudkan oleh Panji Wulung Wanita itu. Maka ia lalu
tujukan matanya kepada diri imam tua itu.
Begitu melihat, bukan kepalang terkejutnya Touw Liong,
sebab benda yang dimaksudkan oleh Panji Wulung Wanita
tadi, dan yang kini berada di tangan imam tua itu, ternyata
adalah sebilah pedang panjang yang berkilauan!
Ia buru-buru meraba pedang di atas punggungnya.
Ternyata pedang itu sudah tidak ada! Kiranya, selagi
mengitari tubuhnya imam tua tadi sudah menjambret dan
membawa kabur pedang pusakanya itu.
Sesaat ia menjadi cemas, maka setelah mengeluarkan
siulan nyaring, ia sudah bergerak hendak mengejar.
Tetapi ketika matanya tertuju ke tengah danau, diamdiam
ia mengeluh, sebab musuh besarnya Thian-sim tojin
tadi ternyata sudah kabur entah kemana.
Touw Liong lalu mengerahkan kekuatan tenaganya naik
ke atas tebing. Dengan sekali gerak ia sudah berada di
bagian atas di mana air tadi mengalir turun. Dengan kedua
tangannya ia lalu melintangkan lagi batu besar ke tengah
sungai. Oleh karena air yang di atas telah terbendung, air
yang mengalir turun juga jadi berhenti, dengan demikian
danau itu sudah tentu tidak akan meluap terus.
Setelah membendung air terjun itu, Touw Liong tidak
membuang waktu lagi terus lari mengejar si imam tua. Tapi
waktu itu Panji Wulung Wanita sudah lebih dulu mengejar
sampai sejauh dua puluh pal lebih. Touw Liong kini telah
kehilangan sebilah pedang, tetapi sebaliknya telah berhasil
menolong jiwa adik seperguruannya yang jadi tidak akan
terendam lagi oleh air terjun.
Pedang pusaka itu baginya boleh dikata tidak berarti
besar, tetapi ia masih kuatirkan juga barang penting itu
akan terjatuh di tangan Panji Wulung Wanita, sebab jikalau
telah terjadi hal demikian, itu berarti macan bertambah
sayap, entah berapa banyak ancaman lagi bagi rimba
persilatan di kemudian hari.
Tetapi pedang itu kini terjatuh ke tangan imam tua tadi.
Apakah tidak akan membahayakan rimba persilatan? Hal
ini juga masih belum diketahui.
Dari golongan mana imam tua itu? Mengapa belum
pernah terdengar ada orang menyebutkan bahwa dalam
rimba persilatan ada seorang imam yang berkepandaian
sedemikian tinggi?
Touw Liong sambil lari, otaknya terus dikerjakan
memikirkan diri imam tua itu. Ia coba mengingat-ingat
beberapa tokoh tingkatan tua yang berdandan demikian,
siapakah kiranya.
Semula ia coba mencari-cari dari tujuh pahlawan
Butong-pay, usahanya itu telah mengejutkan kepadanya,
sebab dalam ingatannya di antara tujuh pahlawan Butong
itu, Hian-kie-cu yang justru wajahnya dan dandanannya
mirip dengan imam itu. Yang lebih jelas memberi petunjuk
kepadanya ialah cara-caranya yang suka bersenda-gurau
dan mempermainkan orang. Dengan adanya pendapat itu,
Touw Liong lalu berteriak sendiri, dan mengejar lebih
cepat.
Dengan munculnya Hian-ki-cu, kini baginya bukan
hanya persoalan sebilah pedang Hok-mo-kiam itu saja,
sebab di samping pedang, masih ada persoalan kematian
suhunya sendiri, yang diduga binasa di tangan Hian-kie-cu.
Dengan susah payah Touw Liong mencoba memikirkan,
tetapi bagaimanapun juga ia tidak bisa menemukan
jawabannya, apa sebab Hian-kie-cu perlu turun tangan
membunuh suhunya Kiu-hoa Lojin?
Pikiran lain membuat pusing kepala Touw Liong, sebab
seorang yang sudah mati beberapa puluh tahun yang lalu,
mungkinkah bisa kembali hidup?
Benarkah Hian-kie-cu adalah seorang yang sangat
misterius itu?
Touw Liong hanya pusatkan perhatiannya dalam
usahanya mengejar imam tua itu. Ia sendiri juga tidak tahu
harus mengejar ke mana. Tetapi ia mempunyai suatu
tujuan, ialah Hian-kie-cu sesudah muncul untuk kedua
kalinya ini, pasti akan mendaki gunung Butong-san untuk
melihat-lihat anak muridnya. Dengan lain perkataan, asal
Touw Liong mengejar ke gunung Bu-tong, rasanya tidak
sulit baginya untuk mendapatkan keterangan.
Sepanjang jalan, Touw Liong teringat kepada soal lain.
Diam-diam ia bertanya kepada diri sendiri, ”Sejak pertama
kali aku melihat Panji Wulung Wanita, hingga hari ini, ia
selalu mengenakan kerudung di mukanya, belum pernah
unjukkan wajah aslinya. Apa sebabnya?
Touw Liong tidak dapat mengetahui sebab-sebabnya.
Seandai ada juga sebabnya, satu-satunya sebab hanya di
wajah Panji Wulung Wanita itu tentunya ada memiliki
cacad yang buruk, hingga tidak boleh diperlihatkan kepada
umum.
Sudah beberapa ratus pal Touw Liong lari. Hingga
matahari doyong ke barat, masih belum tampak bayangan
dua orang tadi.
Terpaksa ia mencari rumah makan untuk tangsal perut.
Setelah dahar kenyang, barulah melanjutkan usahanya
untuk mengejar.
Malam telah tiba.
Di sebelah timur tampak sinar rembulan. Touw Liong
dengan mengikuti sungai Lo-sui, tibalah di kota Soat-sankoan.
Selagi berdiri memandang keadaan di sekitarnya, dari
arah jauh tiba-tiba tampak dua penunggang kuda sedang
melarikan binatang tunggangannya kearahnya.
Dalam hati Touw Liong bertanya-tanya kepada diri
sendiri, ”Siapakah orang itu? Ada urusan penting apa
begini malam melakukan perjalanan tergesa-gesa?
Sepasang kuda yang dilarikan kencang itu, dalam waktu
sekejab mata telah tiba di dekatnya. Setelah berada agak
dekat, Touw Liong sangat girang sekali. Dengan segera ia
menyongsong sambil berseru girang,
”Engko!”
Orang yang naik kuda itu ternyata adalah Kang Kie.
Penunggang kuda yang lain sudah tentu adalah Lo Yu In.
Kang Kie segera menghentikan kudanya dan lompat
turun. Dua saudara itu saling berpelukan, air mata
mengalir turun, lama tidak bisa berkata apa-apa.
Tidak heran, sebab dua saudara sekandung itu, sejak
masih kanak-kanak sudah mengalami nasib buruk. Mereka
berpencar 10 tahun lebih lamanya. Meskipun pernah
berkumpul beberapa hari di atas gunung Bu-san, tetapi
akhirnya mereka terpaksa berpisah lagi, karena masingmasing
harus melakukan tugasnya sendiri-sendiri.
Kemudian, Touw Liong telah mengalami kejadian gaib dan
bahaya, kalau ingin menemukan kepada Kang Kie, ia
hampir selalu menangis.
Kang Kie juga mempunyai perasaan serupa, pun telah
mengalami banyak kejadian besar. Maka begitu melihat
Touw Liong, lantas mengalirkan air mata karena terlalu
girang.
Lo Yu In lalu menghampiri mereka dan dengan suara
perlahan memanggil Touw Liong,
”Adik Liong.”
Touw Liong seolah-olah sadar dari mimpinya. Ia buruburu
menyeka air matanya dan memberi hormat kepada Lo
Yu In.
Setelah itu, barulah masing-masing menceritakan
pengalamannya sendiri-sendiri.
Kiranya hari itu Kang Kie bersama Lo Yu In setelah
berpisah dengan Touw Liong, langsung menuju ke gunung
Ngo-bie, untuk menyelidiki siapa-siapa yang dahulu turut
campur tangan dalam peristiwa pengeroyokan ayah bunda
Kang Kie dan Touw Liong.
Sungguh kebetulan sekali orang yang menyambut
mereka berdua justru Pek-bie Hwesio, juga adalah orang
yang sedang mereka cari. Sayangnya, Kang Kie yang sudah
berhadapan dengan musuh besarnya, tapi ia sedikitpun
masih belum tahu.
Sebaliknya, Pek-bie Hwesio tiada satu menitpun pernah
melenyapkan pikirannya untuk tidak menyingkirkan jiwa
mereka.
Kang Kie diterima oleh Pek-bie Hwesio secara sopan, di
atas gunung Ngo-bie ia berdiam satu hari. Di hari kedua,
Pek-bie Hwesio mengajak mereka ke puncak gunung Ngobie,
katanya untuk menikmati pemandangan alam. Siapa
tahu selagi mereka menikmati keadaan di sekitarnya, dalam
waktu kesempatan dengan secara curang Pek-bie
mendorong Kang Kie dan Lo Yu In dari atas puncak
gunung yang sangat tinggi.
Kejadian itu, justru dilihat oleh suheng Pek-bie Hwesio,
dan Pek-bie Hwesio yang takut suhengnya nanti akan
melaporkan kepada ketuanya, maka ia juga ingin
membunuh mati sekalian suhengnya sendiri supaya dapat
menutupi rahasia kejahatannya.
Dua orang saudara seperguruan itu kemudian bertempur
sengit. Pek-bie Hwesio menyerang suhengnya dengan
senjata rotan kunonya. Selagi hendak menurunkan tangan
kejam, kebetulan seorang suheng yang lain, ialah Kim-tan
taysu keburu datang dan berhasil menolong suhengnya.
Begitulah Pek-bie lalu diusir dari atas gunung Ngo-bie.
Setelah Pek-bie Hweshio berlalu dari gunung Ngo-bie,
segera dia menggabungkan diri dengan Panji Wulung
Wanita.
Sementara Kang Kie dan Lo Yu Im berdua ketika
didorong oleh Pek-bie dari atas puncak gunung, telah
terjatuh ke dalam gua Kiu-lao-tong. Di situ mereka telah
menemukan kejadian gaib. Mereka telah ditolong oleh
seorang tingkatan tua golongan Ngo-bie yang
mengasingkan diri di tempat itu, bahkan menurunkan
kepada Kang Kie semacam ilmu Sian-kang. Kang Kie
setelah berhasil mempelajari ilmu Sian-kang itu, lalu
digunakan untuk mempelajari ilmu batin Liang-gie-sin-hoat
yang diberitahukan oleh Touw Liong. Begitulah sampai
berhasil mempelajari ilmu batin yang sangat tinggi itu.
Kang Kie telah menceritakan pengalamannya kepada
Touw Liong dengan singkat. Mengingat bagaimana
ganasnya Pek-bie Hweshio, diam-diam Touw Liong
bersyukur atas lolosnya Kang Kie dari tangan kejam padri
ganas itu.
Kang Kie memberitahukan kepada Touw Liong
kehendak hatinya yang ingin naik ke gunung Hek-hong-san
untuk mencari Pek-bie Hweshio.
Touw Liong menghela nafas, lalu menceritakan
pengalamannya sendiri dengan singkat. Kang Kie diamdiam
juga merasa bersyukur bahwa adiknya itu telah lolos
dari ancaman bahaya.
Bab 53
KANG KIE bertanya,
”Adik, sekarang kau hendak ke mana?”
”Hendak ke gunung Bu-tong, mencari Hian-kie-cu untuk
minta pedang dan menanyakan kepadanya apa sebabnya ia
membunuh suhu.”
”Sayang musuh besarku yang membunuh suhu, Ngo-gak
Lokoay masih tidak ada kabar beritanya sedikitpun juga!”
berkata Kang Kie sambil menghelas nafas.
”Ngo-gak Lokoay sudah kumusnahkan ilmu
kepandaiannya ketika kita mengadakan pertempuran di
gunung Tay-swat-san, sekarang berada di gunung Swat-san
sedang merawat luka-lukanya. Cepat atau lambat suheng
boleh pergi mencarinya untuk membuat perhitungan.”
”O, ya! Hampir saja aku menelantarkan urusan yang
besar!” kata Kang Kie seolah-olah baru ingat suatu hal.
Lalu dari dalam sakunya mengeluarkan sebuah sampul
surat, diberikan kepada Touw Liong seraya katanya pula,
”Sewaktu berada di gunung Bu-san aku sudah pikir hendak
memberikan surat ini padamu, tapi waktu itu aku pikir
nanti akan mengganggu usahamu yang sedang mengejar
jejak musuh, jadi tidak kuberikan. Akan tetapi pelajaran di
gunung Ngo-bie sesungguhnya terlalu berbahaya, sehingga
membuka pikiranku untuk harus memberikan surat ini
padamu. Sebab apabila aku menemukan nasib buruk, mati
bagiku merupakan urusan kecil, tapi bila surat ini tidak bisa
kusampaikan kepadamu, bukankah akan membuat
penyesalan seumur hidup?”
Touw Liong menerima surat yang diberikan kepadanya.
Di atas sampul itu terdapat tulisan yang berbunyi:
DITINGGALKAN UNTUK
MURID GENERASI KE-EMPAT
Touw Liong membuka sampulnya. Di dalamnya ada
berisi lima helai kertas. Dapatlah diduga, bahwa urusan
yang ditulis dalam surat itu sesungguhnya terlalu banyak,
sudah tentu tak dapat dibaca dengan teliti dalam waktu
singkat. Ia lalu membalik-balik selembar demi selembar,
pada akhirnya di bagian belakang terbaca tulisan sebagai
berikut :
dari
Hui-thian Giok-liong
Liu Kiam Hong
Adapun Hui-thian Giok-liong Liu Kiam Hong itu,
adalah salah seorang pendekar pedang kenamaan yang
pada seratus tahun berselang namanya pernah
menggemparkan dunia persilatan. Hati Touw Liong jadi
tergerak. Maka segera berkata kepada Kang Kie dengan
suara perlahan,
”Engko, aku pikir hendak mencari suatu tempat untuk
beristirahat dulu. Engko berdua sekarang ini juga tidak
perlu pergi ke gunung Ngo-bie lagi, aku juga tidak usah
tergesa-gesa pergi ke Bu-tong.”
Kang Kie tahu bahwa adiknya itu hendak membaca
dengan teliti surat yang diberikannya tadi, maka ia lalu
menunjuk kepada sebuah bukit seraya berkata,
”Bukit itu adalah bukit Heng-phoa-san. Di atas bukit
ada sebuah kelenteng. Pengurus kelenteng itu adalah
sahabat lama engkomu. Mari pergi ke sana saja untuk
beristirahat barang sebentar.”
Touw Liong menerima baik usul itu. Ketiganya lalu
memutar diri dan terus berjalan menuju ke bukit Hengphoa-
san.
Dalam waktu yang sangat singkat, mereka sudah tiba di
kelenteng yang dimaksud. Seorang imam yang jenggotnya
panjang, telah menyambut mereka masuk ke dalam
kelenteng dan mempersilahkan mereka minum serta
menyediakan kamar bagi mereka.
Kang Kie mengawani imam itu mengobrol di ruangan
tengah, sedang Touw Liong berada di dalam kamar seorang
diri untuk membaca surat yang ditinggalkan oleh jago
pedang kenamaan Liu tayhiap atau Liu Kiam Hiong.
Surat itu ditulis dalam lima lembar kertas, tetapi apa
yang ditulisnya, hampir seluruhnya merupakan riwayat
hidup Panji Wulung.
Kiranya, dahulu sewaktu Liu Kiam Hiong pulang ke
gunung Oey-san untuk mengasingkan diri, di gunung itu ia
mempelajari ilmu golongan Budha beberapa puluh tahun
lamanya, hingga menjadi seorang padri yang beribadat
tinggi.
Puncak Thian-tu-hong merupakan puncak tertinggi di
daerah gunung Oey-san. Tempat itu jarang didatangi oleh
manusia. Pada suatu waktu ketika Liu Kiam Hiong
malamnya bersembahyang, tiba-tiba terdengar suara
perempuan menangis yang datangnya dari arah puncak
gunung itu. Suara tangisan itu telah menarik perhatiannya.
Ia merasa sangat heran, sehingga lama hatinya tergoda, ia
lalu keluar gua. Ketika pandangan matanya ditujukan ke
bagian gunung itu, di tengah-tengah puncak gunung, di
bawah sinar rembulan purnama, tampak seorang wanita
setengah umur sedang menggendong seorang bayi yang
usianya kira-kira baru dua minggu, sedang menangis
dengan sangat sedihnya.
Liu Kiam Hiong waktu itu sudah menjadi seorang padri
beribadat tinggi yang sudah mengasingkan diri dari
duniawi, sudah tentu tidak ingin mencampuri urusan
keduniawian. Ketika menyaksikan pemandangan itu hanya
memuji nama Budha berulang-ulang, tidak turun pergi
memeriksa lebih jauh. Lambat-lambat ia memutar diri dan
berjalan masuk ke guanya sendiri.
Baru saja kakinya melangkah ke pintu gua, di tempat tadi
terdengar pula suara keluhan yang memilukan hati. Hati
Liu Kiam Hiong kini tergerak, ia membalikkan badan untuk
keluar lagi. Ketika ia melongok ke bawah, mulutnya
kembali menyebut kebesaran nama Budha.
Di tempat di mana wanita setengah umur tadi berada,
ternyata sudah kosong! Karena wanita itu sedang lompat
turun, terjunkan diri ke bawah jurang yang pada waktu itu
diliputi oleh awan. Lama sekali tidak terdengar suara apaapa
lagi, maka Liu Kiam Hiong menganggap pasti bahwa
wanita itu tentunya sudah terjun ke dalam jurang untuk
membunuh diri.
Memikirkan nasib orok dalam gendongannya, Liu Kiam
Hiong lalu turun ke bawah untuk mencari. Tak lama
kemudian ia dapat menemukan anak orok itu. Di tanah di
dekat tubuh orok itu, terdapat sepotong kertas yang ditulis
dengan darah.
Liu Kiam Hiong memondong anak orok itu dan
memungut surat yang ditulis dengan darah. Tulisan itu
dengan ringkas menyebutkan bahwa anak itu bernama Kee
Hong Kie. Ayahnya bernama Kee In Hok, adalah seorang
pendekar yang waktu itu namanya sangat kesohor di daerah
selatan.
Pada suatu waktu, Kee In Hok membawa istri dan
anaknya pergi pesiar ke tempat-tempat kenamaan di seluruh
negeri. Ketika ia tiba di puncak gunung Heng-san, telah
menemukan sebagian kitab Thay-it Cin-keng. Kitab itu
meskipun setengahnya saja, tetapi masih terdiri dari 6 jilid.
Ketika ia menemukan kitab pusaka itu, sangat girang sekali.
Tetapi tidak diduga-duga olehnya, lantaran penemuannya
itu, akhirnya telah disusul oleh bencana.
Waktu itu, enam jago pedang kenamaan sudah datang
bersama. Mereka meminta kepada Kee In Hok enam jilid
kitab Thay-it Cin-keng yang didapatkan olehnya tadi.
Sudah tentu permintaan enam jago pedang itu ditolak
olehnya. Dengan demikian, terjadilah suatu pertempuran
hebat dan Kee In Hok akhirnya mati dibawah tangan enam
jago pedang tersebut.
Istri Kee In Hok ialah wanita setengah umur itu.
Mendengar bahwa Liu Kiam Hiong mengasingkan diri di
puncak gunung Thian-tu-hong, maksudnya menggendong
anaknya yang masih orok itu mendekati gunung Oey-san
ialah untuk minta kepada Liu Kiam Hiong supaya suka
merawat orok. Tapi ketika tiba di tengah-tengah puncak
gunung Thian-tu-hong, karena menampak perjalanan ke
atas puncak gunung itu sangat sukar, ia sudah tidak dapat
naik lagi. Oleh karena itu maka ia menangis tersedu-sedan.
Pada akhirnya ia menulis surat dengan darahnya sendiri.
Di atas kertas bertulisan darah itu juga ditulisnya nama
enam orang yang menjadi musuh besar anak itu.
Kemudian terjunkan diri ke dalam jurang untuk membunuh
diri.
Kee Hong Kie selanjutnya dirawat oleh Liu Kiam Hiong
dan berdiam di puncak gunung Thian-hu-tong delapan belas
tahun lamanya. Setelah belajar kepandaian ilmu yang
jarang terdapat di dalam rimba persilatan, suatu waktu Liu
Kiam Hiong lalu memerintahkan Kee Hong Kie turun
gunung untuk membereskan permusuhan terhadap
ayahnya.
Hari ketiga ketika untuk pertama kali turun gunung, di
atas jalan In-hong, Kee Hong Kie telah berjumpa dengan
seorang gadis cantik bagaikan bidadari.
Entah apa sebabnya, tatkala melihat gadis itu ia begitu
tertarik dan tanpa disadari sudah mengikuti jejak gadis
cantik itu hingga sampai di gunung Bu-san.
Di sepanjang jalan, gadis itu sama sekali tidak
menghiraukan Kee Hong Kie, melihat saja pun tidak.
Begitu naik ke gunung Bu-san, gadis itu masuk ke sebuah
biara. Tetapi Kee Hong Kie masih penasaran dan terus
membuntuti, masuk juga ke biara tersebut.
Dengan alasan ingin mempelajari pelajaran agama
Budha, Kee Hong Kie lalu minta kepada pengurus biara itu
supaya ia diperbolehkan berdiam di situ.
Sudah tentu permintaannya itu ditolak oleh pengurus
biara. Kee Hong Kie tidak berdaya. Ia keluar dari biara
dan mendirikan sebuah gubuk yang terpisah kira-kira 3 pal
dari biara tersebut.
Di waktu siang hari ia membaca kitab dan melatih ilmu
silatnya, di malam hari ia berkeliaran di sekitar biara itu,
dengan pengharapan dapat melihat gadis yang
dirindukannya itu.
Satu hari.
Dua hari lewat.
Satu bulan.
Tiga bulan ....
Tanpa dirasa setengah tahun telah berlalu. Selama
waktu setengah tahun itu, Kee Hong Kie hanya melihat tiga
kali saja gadis yang dirindukannya itu. Bahkan dilihatnya
dari tempat yang jauh sekali! Ketika ia hendak pergi
menghampiri untuk melihat dari dekat, gadis itu terkejut
dan menghilang ke dalam biara.
Oleh karena Kee Hong Kie adalah seorang laki-laki yang
pernah ditolak oleh pengurus biara, akhirnya ia tidak berani
berlaku gegabah, hingga juga tidak berani menerjang masuk
dengan kekerasan ke dalam biara.
Pada satu malam, ketika kentongan baru berbunyi tiga
kali, Kee Hong Kie mondar-mandir di bawah sinar
rembulan purnama sambil menarik nafas panjang pendek.
Tiba-tiba tampak berkelebatnya bayangan orang yang
muncul dari dalam biara. Seorang gadis cantik bagaikan
bidadari keluar dari biara dan berjalan ke arahnya.
Kee Hong Kie terperanjat bukan main. Ia berdiri terpaku
di tempatnya. Sementara itu si gadis cantik sudah berjalan
ke hadapannya. Dengan sikapnya yang lemah lembut
menjura kepadanya. Pertanyaan pertama yang diajukan
oleh gadis itu ialah menanyakan tentang golongan atau
murid dari siapa.
Pertanyaan itu benar-benar menyulitkan Kee Hong Kie.
Sebab, Liu Kiam Hiong adalah seorang pendekar kenamaan
yang sudah mengasingkan diri tidak mau mencampuri
urusan dunia lagi, yang sama sekali tidak suka anak
muridnya menyebut namanya di kalangan Kangouw.
Maka pada wktu menyuruh Kee Hong Kie turun gunung
saja, guru itu malah pesan wanti-wanti melarang Kee Hong
Kie membawa-bawa nama gurunya. Oleh karenanya maka
ketika gadis cantik itu menanyakan Kee Hong Kie murid
dari golongan mana, untuk sesaat Kee Hong Kie tidak bisa
menjawab
Gadis cantik itu menghela nafas, lalu membalikkan
badan dan hendak pergi lagi, sementara mulutnya berkata.
”Aku kiranya sudah salah melihat orang. Kulihat kau
selama setengah tahun ini telah tergila-gila kepadaku, maka
aku merasa sangat kasihan. Oleh karenanya, aku perlukan
datang sendiri untuk menanyakan kepadamu. Tak
kusangka, pertanyaanku yang pertama ternyata sudah
menyulitkan dirimu. Sudahlah, kita barangkali memang
tidak berjodoh, terpaksa masing-masing harus berjalan di
atas jalannya sendiri-sendiri!”
Kee Hong Kie yang mendengar ucapan itu benar-benar
sangat cemas. Dari mulutnya baru saja mengeluarkan
perkataan ”nona”, badannya sudah bergerak ke hadapan
gadis itu untuk menghalangi, kemudian menjura dan
berkata kepadanya,
”Aku yang rendah bernama Kee Hong Kie, murid Huithian
Giok-liong Liu tayhiap ....”
Nama Hui-thian Giok-liong sudah hampir dikenal oleh
seluruh orang. Maka, ketika mendengar bahwa pemuda
Kee Hong Kie di hadapannya ini adalah muridnya jago
pedang kenamaan itu, gadis cantik itu bukan kepalang
terkejutnya, hampir saja ia menjerit.
Lama sekali ia mengawasi Kee Hong Kie dengan
sepasang matanya yang bening dan lembut.
Ia benar-benar terkejut, tetapi di dalam keterkejutannya
itu juga mengandung perasaan girang yang tidak sedikit.
Lama sekali, gadis itu membuka lagi mulutnya sambil
memberi hormat ia memperkenalkan namanya sendiri,
”Nio Giok Leng.”
Kee Hong Kie girang sekali. Ia buru-buru memanggil
nama gadis itu, sikapnya sangat mesra. Sebaliknya malah
Nio Giok Leng yang bersikap terbuka. Ia memberi isyarat
kepada Kee Hong Kie supaya lantas duduk di bawah
sebuah pohon cemara yang ditunjuknya.
Malam itu merupakan malam yang sangat bahagia bagi
kedua insan itu. Usaha Kee Hong Kie setengah tahun
lamanya untuk dapat berkenalan dengan gadis yang
dirindukan itu ternyata tidak selamanya tersia-sia, akhirnya
ia dapat berkenalan juga dengan gadis cantik bagaikan
bidadari yang bernama Nio Giok Leng itu.
Hari kedua ....
Hari ketiga ....
Hampir setiap malam mereka mengadakan pertemuan
dan duduk bersama-sama sambil mengobrol di bawah
pohon cemara.
Satu bulan telah berlalu, dan hubungan mereka semakin
erat. Pada suatu hari, Kee Hong Kie memberanikan diri
melamar Nio Giok Leng.
Nio Giok Leng yang dilamar secara resmi oleh Kee
Hong Kie, sepasang matanya segera mengalirkan air mata.
Katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala,
”Dalam hidupku ini tidak ingin kawin, juga tidak bisa
kawin.”
Kee Hong Kie heran mendengar jawaban itu. Tanyanya
dengan cemas,
”Kenapa?”
Nio Giok Leng tidak menjawab, hanya dengan kedua
tangannya menutup mukanya, menangis dengan amat
sedihnya.
Kee Hong Kie semakin cemas. Ia tidak mengerti sebab
musabab timbulnya kelakuan aneh dari kekasihnya itu.
Ditanya berulang-ulang Nio Giok Leng tetap membisu.
Akhirnya, dengan kedua tangan diletakkan di atas bahu Nio
Giok Leng, Kee Hong Kie bertanya dengan suara lemah
lembut,
”Adik Leng, katakanlah! Berapa besar kesulitan yang
menghalangi maksudmu itu? Katakanlah terus terang.
Urusanmu juga akan menjadi urusanku. Asal aku mampu
melakukan, sekalipun terjun kelautan api, aku juga
bersedia.”
Nio Giok Leng berhenti menangis. Tanyanya,
”Apakah itu benar?”
Kee Hong Kie dengan tangan menunjuk ke atas langit
mengatakan sumpahnya,
”Tuhan Yang Maha Esa! Asal hari ini aku Kee Hong
Kie mengatakan perkataan yang tidak sesuai dengan hatiku,
Tuhan tidak akan melindungi aku lagi.”
Nio Giok Leng buru-buru mengulurkan tangannya yang
halus menutup mulut kekasihnya, melarang kepadanya
meneruskan sumpahnya.
Bersamaan dengan itu, ia lantas menjatuhkan kepalanya
ke dalam pelukan si pemuda dan menangis lagi dengan
amat sedihnya.
Ia menangis demikian sedih. Kee Hong Kie
memeluknya, membiarkan dia menangis sepuas-puasnya.
Lama sekali, ia baru berhenti menangis dan
menceritakan riwayat hidupnya sebagai berikut :
Ayah Nio Giok Leng adalah seorang penjahat besar yang
berkepandaian sangat tinggi, yang biasa melakukan
kejahatan seorang diri.
Hingga pada suatu waktu, ketika ia melakukan kejahatan
di kota Lam Ciang, di samping mencuri harta benda
keluarga Ong Pek Boan, ia juga sudah menghabisi seluruh
keluarga Ong itu yang semuanya berjumlah 7 jiwa sehingga
merupakan peristiwa berdarah yang sangat mengejutkan
kota itu.
Peristiwa kejam itu telah membangkitkan amarah dan
menarik perhatian 6 tokoh rimba persilatan yang waktu itu
kebetulan lewat di kota Lam Ciang. Mereka lalu turun
tangan dan berhasil membinasakan Nio Giok Leng.
Kejadian itu merupakan suatu kejadian yang terjadi pada
5 tahun berselang. Waktu itu, Nio Giok Leng baru berusia
14 tahun. Ibunya telah membawanya ke daerah Cek-sui,
masuk menjadi anggota Hek-hong-kauw, mengharap
dengan pengaruh Kauwcu Hek-hong-kauw, di kemudian
hari dapat membalas dendam kematian suaminya.
Nio Giok Leng sendiri pernah bersumpah di hadapan
jenasah ayahnya, bahwa selama hidupnya itu apabila tidak
dapat membalas sakit hati ayahnya, ia tidak akan mau
menikah.
Kali ini Nio Giok Leng atas perintah Kauwcunya pergi
ke gunung Bu-san untuk mencari Ceng-gwat Suthay di biara
Cui-hong-am untuk menyulam 12 buah panji hitam yang
dinamakan Panji Wulung, untuk digunakan dalam
keperluan pembukaan partai Hek-hong-kaw.
Nio Giok Leng yang kini sudah jatuh cinta benar-benar
kepada Kee Hong Kie, lebih mengerti bahwa Kee Hong Kie
adalah berasal dari golongan baik-baik, sedang ia sendiri
adalah anak perempuan penjahat besar. Lagi pula kini
berlindung di bawah perkumpulan Hek-hong-kaw yang
namanya kurang baik, maka ia tahu benar bahwa
perkawinan mereka tidaklah mungkin dapat terjadi.
Lagi pula, sebelum usahanya menuntut balas dendam
sakit hati ayahnya itu berhasil, tidak mungkin ia dapat
menikah, sedangkan Kee Hong Kie sendiri rasanya juga
tidak mungkin mau turun tangan membantu dirinya
membunuh enam orang yang dikenal sebagai pendekar
kenamaan dalam rimba persilatan. Oleh karenanya, maka
ketika pertama dilamar oleh Kee Hong Kie, ia lalu
menangis dengan sedih sekali.
Akan tetapi, dalam dunia ini kadang-kadang hal-hal yang
sangat aneh, yang diduga tak mungkin akan terjadi, kadangkadang
bisa saja menjadi mungkin. Entah disebabkan
karena Kee Hong Kie terlalu mencintai Nio Giok Leng
ataukah ia sudah khilaf atau bagaimana saat itu ia lantas
menerima baik permintaan kekasihnya untuk melakukan
apa yang dikehendaki oleh sang kekasih!
Nio Giok Leng yang merasa berhutang budi, harus
dibalas dengan semestinya, maka ia juga menerima baik
lamaran pemuda itu.
Dalam pikiran Kee Hong Kie waktu itu, kali ini turun
gunung, maksudnya ialah hendak menuntut balas dendam
sakit hati kematian ayahnya, sedangkan enam orang musuh
besarnya itu, pada saat ini juga merupakan 6 orang dari
partai golongan baik-baik yang namanya terkenal. Oleh
karenanya, maka ia anggap membunuh 6 orang juga
merupakan suatu pembunuhan. Membunuh 12 jiwa juga
serupa saja, sama-sama membunuh!
Nio Giok Leng memberikan 12 buah panji hitam
kepadanya. Di samping itu juga memberikan kepadanya
sebilah pisau belati pusaka yang hanya 7 dim pendeknya,
juga diajari nyanyian Panji Wulung.
Bulan purnama Kee Hong Kie turun gunung. Ketika
kembali, ia membawa dua kepala manusia dalam keadaan
seperti masih hidup. Dua kepala manusia itu adalah kepala
dua orang yang menjadi musuh besarnya Nio Giok Leng.
Apa sebab kepala manusia itu masih dalam keadaan
seperti masih hidup? Bukan lain karena pisau pusaka yang
diberikan oleh Nio Giok Leng itu adalah sebilah pisau
pusak yang luar biasa. Siapa saja yang dipenggal kepalanya
dengan pisau itu, akan terlihat seperti masih hidup.
Ketika menerima dua kepala manusia itu, Nio Giok
Leng kelihatan sangat terharu. Hari itu juga ia lalu
mengadakan upacara sembahyangan pada arwah ayahnya,
setelah itu ia menyerahkan dirinya kepada Kee Hong Kie.
Satu tahun sudah berlalu, bukan saja semua musuhmusuh
Nio Giok Leng sudah dibinasakan oleh Kee Hong
Kie, tetapi musuh-musuh Kee Hong Kie sendiri juga
semuanya sudah terbunuh. Peristiwa itu, pada masa itu
merupakan suatu peristiwa besar yang belum pernah ada di
dalam sejarah rimba persilatan. Selama 100 tahun,
peristiwa itu masih merupakan suatu teka-teki besar yang
belum terpecahkan. Semua orang rimba persilatan juga
tidak tahu siapakah orangnya yang menamakan diri Panji
Wulung itu.
Setahun lagi telah berlalu. Nio Giok Leng juga sudah
menyelesaikan pekerjaan sulamannya 124 buah Panji kecil
berwarna hitam yang dinamakan Panji Wulung itu. Waktu
itu ia juga sudah mengandung.
Liu Kiam Hong sudah mendengar juga kabar bahwa
dalam rimba persilatan telah kehilangan 12 tokoh
kenamaan yang mati secara misterius. Ia sebetulnya tidak
mau lagi mencampuri urusan duniawi, tetapi terpaksa turun
gunung juga untuk mencari muridnya ialah Kee Hong Kie.
Setelah diketemukannya, segera dimusnahkan kepandaian
ilmu silat muridnya itu dan dibawa kembali ke gunung Oeysan.
Kemudian setelah itu menghukum sang murid untuk
duduk menghadap tembok seumur hidup.
Nio Giok Leng yang berada di atas gunung Bu-san,
ketika ditinggal pergi suaminya, telah melahirkan seorang
anak laki-laki yang diberi nama Kee Tin, tapi ia sedikitpun
tidak merasa sedih sebab ia mengerti keadaan sendiri. Ia
juga mengerti bahwa untuk selanjutnya, ia tidak akan dapat
bertemu lagi dengan suaminya.
Ada dua soal yang melegakan hatinya,
Pertama ialah dendam sakit hati ayahnya sudah terbalas!
Dan kedua, ia sendiri sudah mempunyai anak.
Ia sebetulnya sudah berpikir bahwa dalam hidupnya ini,
selamanya tidak akan meninggalkan gunung Bu-san dan
ingin hidup mengasingkan diri di tempat itu, membesarkan
anaknya, mengharap supaya sang anak menjadi orang baikbaik.
Akan tetapi, berputarnya roda penghidupan tiada
seorang pun yang dapat mengendalikan. Sewaktu anak
laki-laki itu sudah berusia 2 tahun, Kauwcu dari
perkumpulan Hek-hong-kaw telah mengutus orang untuk
minta Nio Giok Leng menyerahkan 124 buah panji yang
dibutuhkan. Oleh karena Nio Giok Leng sudah
memberikan 12 buah kepada Kee Hong Kie, maka tidak
sanggup memenuhi permintaan itu. Hal itu telah
menimbulkan kemarahan Kauw-cu Hek-hong-kaw, lantas
mengirim utusan lagi untuk menangkap Nio Giok Leng dan
dibawa kembali ke gunung Hek-hong-san. Begitulah Nio
Giok Leng kemudian dipenjarakan di sana.
Kejadian tersebut juga telah dapat didengar oleh Liu
Kiam Hiong. Jago pedang kenamaan itu lalu pergi ke
gunung Hek-hong-san untuk mencari Kauwcu Hek-hongkow
guna merundingkan soal itu. Waktu itu yang menjadi
Kauwcu Hek-hong-kow adalah cucu murid Hek-hong
Lojin. Kauwcu itu sikapnya terlalu sombong, sedikitpun
tidak pandang mata kepada Liu Kiam Hiong. Oleh
karenanya, hingga menimbulkan amarah Liu Kiam Hiong
dan terjadilah suatu pertempuran, yang berakhir dengan
menyerahnya Kauwcu Hek-hong-kow. Kemudian Liu
Kiam Hiong minta supaya ia segera membebaskan Nio
Giok Leng dan membubarkan perkumpulan Hek-hong-kow.
Perkumpulan Hek-hong-kow itu akhirnya bubar. Tapi
Nio Giok Leng yang tidak tega mengkhianati kauwcunya,
tetap berdiam di gunung Hek-hong-san untuk merawat Hekhong
Kauwcu yang pada waktu itu sudah berusia lanjut.
Beberapa tahun kemudian, Kauwcu Hek-hong-kow
menutup mata hingga Nio Giok Leng melanjutkan
kedudukan dan tugasnya.
Ketika anak Nio Giok Leng sudah berusia 4 tahun, Liu
Kiam Hiong datang lagi ke gunung Hek-hong-san untuk
membawa pergi anak itu.
Sejak perpisahan dengan anaknya, adat Nio Giok Leng
banyak berubah. Ia menutup kediamannya di gunung Hekhong-
san dan bersumpah selamanya tidak akan
meninggalkan tempat kediamannya itu.
Ketika ia sudah setengah umur, Liu Kiam Hiong pernah
datang sekali untuk menengok. Di situ telah mengetahui
bahwa adat wanita itu telah berubah menjadi sangat aneh.
Oleh karenanya, maka ia mencarikan seorang anak piatu
perempuan, kemudian diantarkan ke gunung Hek-hong-san
untuk mengawasi dan merawat wanita yang bernasib
malang itu.
Tak lama kemudian, Liu Kiam Hiong juga menutup
mata.
Kee Hong Kie waktu itu sudah mencukur rambutnya
dan menjadi padri beribadat tinggi. Ia telah melanjutkan
cita-cita Liu Kiam Hiong. Sedangkan Kee Tin, ialah
anaknya sendiri diam-diam juga sudah berhasil
mendapatkan warisan berupa seluruh kepandaian Liu Kiam
Hiong. Tetapi sampai sebegitu jauh, antara mereka ayah
dan anak ini, meskipun setiap hari berada di satu tempat
dan berhadap-hadapan, tetapi mereka belum tahu kalau ada
hubungan antara ayah dan anak.
Pada waktu itu, Kee Hong Kie telah menguasai
kelenteng Tay-seng-sie di gunung Oey-san. Kee Tin yang
berada di dalam kelenteng itu hampir tidak mempunyai
pekerjaan apa-apa. Karena ia tidak masuk golongan
Budha, maka di waktu pagi tidak melakukan kebiasaan
membaca kitab dan di waktu malam juga tidak bersujud
kehadapan Budha.
Sifat anak itu jauh berbeda dengan ayahnya. Hampir
setiap hari ia pergi keluyuran ke bawah gunung. Jikalau
tidak minum arak sampai mabuk, tentunya pergi mencari
setori dengan penduduk di bawah gunung Oey-san.
Hampir setiap hari tidak terlepas dari makanan daging, juga
tidak bisa membuang kebiasaan minum arak. Hampir
semua padri yang berada di kelenteng itu takut kepadanya.
Kee Hong Kie dalam keadaan marah, lantas mengusir
anaknya sendiri itu turun gunung.
Selanjutnya Kee Tin sudah tidak ada orang yang
mengendalikan lagi. Ia mulai berkelana ke dunia Kangouw.
Dalam perjalanan itulah ia berjumpa dengan Kim-tho
yang mempunyai julukan Pelajar Jari Sembilan, dan
bertemu lagi dengan seorang tokoh kuat yang mempunyai
julukan Sam-kang Sam-yang. Tiga orang inilah akhirnya
yang mendirikan golongan pengemis.
Kee Hong Kie di masa tuanya, meskipun sudah menjadi
seorang padri beribadat tinggi, tetapi toh masih belum dapat
melupakan bahwa ia dahulu pernah mempunyai seorang
anak. Maka ia lalu menyuruh orang untuk pergi mencari.
Akhirnya, dari surat-surat peninggalan suhunya, barulah ia
tahu bahwa padri seperti orang gila yang setiap hari tidak
terlepas dari daging dan arak – waktu itu Kee Tin juga
sudah menjadi padri – adalah anaknya sendiri, maka
akhirnya telah mencari padri gila itu dan disuruh kembali.
Ketika ia menutup mata, kedudukan dan kepandaiannya
juga telah diturunkan kepada anaknya itu.
Tetapi Kee Tin yang sudah biasa hidup menurut
kesukaan hatinya sendiri, tidak mau dikekang oleh
peraturan dalam kelenteng, yakni setiap pagi hari dan
malam harus membaca kitab dan bersembahyang. Ia telah
menyerahkan kedudukannya itu kepada sutenya. Diamdiam
ia berlalu meninggalkan kelenteng Tay-seng-sie,
kembali melakukan hidupnya yang seperti orang
gelandangan.
Sementara Nio Giok Leng yang berada di gunung Hekhong-
san, benar-benar mematuhi sumpahnya sendiri,
selama hidupnya belum pernah meninggalkan gunung itu.
Tetapi di masa tua, sifatnya semakin aneh, seolah-olah
sudah hilang sifat kemanusiaannya. Seluruh
kepandaiannya diturunkan kepada anak piatu perempuan
yang merawat dirinya. Juga diberitahukan kepadanya,
bahwa dialah yang pada beberapa puluh tahun berselang
pernah membunuh 12 pendekar kenamaan di rimba
persilatan, dan dia pulalah yang waktu itu menamakan diri
sebagai Panji Wulung.
Kemudian ia juga meninggalkan dua belas buah panji
kecil yang lain kepada anak perempuan itu.
Sepuluh tahun berlalu. Anak perempuan piatu tadi
perlahan-lahan juga telah mangkat dewasa, bahkan kini
tampak semakin cantik. Tetapi justru kecantikannya itulah
yang telah membawa sial dirinya. Sebab, Nio Giok Leng
yang sudah berubah adatnya, takut anak piatu itu akan
berubah cita-citanya dan diam-diam meninggalkannya,
pada suatu hari selagi anak piatu itu tidur pulas, telah
mengerahkan kekuatan tenaga dalam ke telapak tangannya
– hingga telapak tangan itu berubah bagaikan bara – lalu
ditekannkan ke kedua pipi anak piatu tadi. Sepasang pipi
yang tadinya halus putih kini telah menjadi hangus hingga
anak perempuan itu juga jadi buruk wajahnya. Anak
perempuan piatu inilah yang kemudian menjadi Panji
Wulung Wanita.
Selanjutnya, anak perempuan piatu itu yang kemudian
menamakan diri Panji Wulung Wanita – telah menjadi
sangat buruk sekali wajahnya. Oleh karenanya, sejak hari
ia meninggalkan gunung Hek-hong-san, setiap hari harus
mengenakan kerudung kain hitam di mukanya, orang lain
belum pernah melihat wajah aslinya. Tak lama kemudian,
suhunya, ialah Nio Giok Leng juga menutup mata.
Panji Wulung Wanita kini telah mewarisi seluruh
kepandaian Nio Giok Leng, bahkan dari sucouwnya, ialah
Kaucu perkumpulan Hek-hong-kow, juga mendapatkan tiga
jilid kitab Thay-it Cin-keng. Kitab itu dipelajarinya dengan
tekun selama beberapa puluh tahun, akhirnya menjadi
semacam ilmu Hek-hong-im-kang dari golongan Hek-hong.
Itulah yang kemudian menjadi ilmu terganas dalam rimba
persilatan.
Justru karena sudah berhasil mempelajari ilmu Hekhong-
im-kang itu, maka timbullah ambisinya untuk
membangun kembali perkumpulan Hek-hong-kow.
Sehabis membaca surat yang ditulis dalam lima lembar
kertas itu, waktunya sudah larut malam. Touw Liong
mengangkat kepala mengawasi rembulan di langit,
kemudian membuka pintu dan berjalan ke pekarangan. Di
situ ia menghela nafas panjang dan berkata kepada dirinya
sendiri, ”Kalau demikian halnya, Panji Wulung Wanita itu
masih menjadi susiokku. Menurut peraturan dan tata tertib,
aku tidak boleh duduk diam tidak memperdulikan sepak
terjangnya, hingga ia mengacau rimba persilatan.”
Teringat kepada diri Panji Wulung Wanita itu, tubuh
Touw Liong gemetaran. Pikirnya, ”Menurut tingkat, dia
adalah susiokku, seharusnya aku berlaku merendah dan
menghormat kepadanya tetapi menurut keadaan dan
kenyataan sekarang ini, dia adalah musuh besarku,
bagaimana aku harus berbuat?”
Pikiran Touw Liong kini teringat kembali kepada pedang
Hok-mo-kiam. Ia juga teringat bahwa pedang itu besar
hubungannya dengan nasib rimba persilatan di kemudian
hari. Pedang itu bagaimanapun juga tidak boleh terjatuh ke
tangan Panji Wulung Wanita. Oleh karena timbulnya
pikiran demikian, ia segera pergi mencari Kang Kie,
menceritakan maksud hatinya, yang mana ia sendiri hendak
mengambil tindakan tegas, untuk merintangi Panji Wulung
Wanita supaya jangan berhasil merebut pedang itu.
Kang Kie sangat setuju. Keduanya mereka berunding
sebentar. Kang Kie anggap bahwa melakukan perjalanan
ke gunung Bu-san tidak ada faedahnya, sebab Hian-kie-cu
setelah merampas pedang pusaka itu, belum tentu kembali
ke gunung Bu-tong.
Tetapi Touw Liong beranggapan sebaliknya. Katanya,
”Panji Wulung Wanita belum tentu dapat mengejar
Hian-kie-cu. Apabila ia tidak berhasil mengejarnya, ada
kemungkinan pergi ke gunung Bu-tong untuk minta orang.”
Kang Kie berpikir sejenak, akhirnya dapat menyetujui
pikiran Touw Liong, maka tiga orang tersebut pada malam
itu juga lantas berangkat ke gunung Bu-tong.
Di hari kedua, mereka tiba di sungai Lo-sui. Touw
Liong memandang ombak air sungai yang bergumpalan,
katanya,
”Kalau diingat pada permulaan berdirinya Sam Kok atau
tiga negara, Cukat Liang menuju ke barat untuk
menghancurkan musuh-musuhnya. Ketika melalui sungai
yang arusnya besar ini, pernah mengeluarkan kata-kata
yang kemudian menjadi termasyhur pada generasi-generasi
berikutnya. Dan sekarang, kita berdua saudara sejak masih
kanak-kanak sudah mengalami nasib buruk. Kini
berhadapan dengan sungai yang arusnya hebat ini, Siaote
mempunyai suatu hasrat. Entah ....”
Ia mengawasi Kang Kie.
Kang Kie lalu bertanya,
”Hiante ada mempunyai hasrat apa?”
Touw Liong menunjuk rumput-rumput yang banyak
terdapat di tepi sungai seraya berkata,
”Aku pikir setelah berhasil menuntut balas sakit hati
ayah bundaku, akan mendirikan sebuah rumah di atas
tanah rerumputan yang subur ini.”
Kang Kie mengangguk-anggukkan kepala dan berkata,
”Hiante ada mempunyai hasrat seperti itu, sudah tentu
engkomu sangat setuju. Baiklah! Kita tetapkan begitu
saja.”
Tiga orang itu lalu mencari perahu untuk menyeberangi
sungai Lo-sui. Di hari kedua, melanjutkan perjalanannya
menuju ke timur.
…………………
Beberapa hari kemudian, tibalah mereka di atas gunung
Bu-tong. Ketika tiba di tempat yang ada sebuah batu di
mana terdapat sebuah tulisan harus menanggalkan pedang,
Touw Liong sudah mendapatkan firasat jelek. Sebab di
tempat itu terdapat tanda sebagai orang sedang berkabung.
Gunung Bu-tong seolah-olah diliputi suasana berkabung,
agaknya sedang mengurus kematian.
Touw Liong terkejut, maka lalu bertanya-tanya kepada
dirinya sendiri, ”Mereka melakukan upacara penguburan
buat siapa?”
Sehabis berkata demikian, ia berjalan mendekati kuil. Di
bagian bawah kuil itu tampak berjalan beberapa imam, dari
jubah para imam itu sudah memanggil dan berkata dengan
suara girang,
”Bagus! Touw tayhiap sudah datang! Tampaknya
kelenteng kita yang selama beberapa ratus tahun hidup jaya
kini dapat dilanjutkan.”
Seorang imam setengah umur maju mendekati Touw
Liong, kemudian berlutut di hadapannya. Touw Liong
agak terperanjat mendapat perlakuan demikian, buru-buru
bertanya kepada imam itu,
“Di mana Cianbunjin partaimu Ceng-tim Totiang
berada?”
“Ciangbunjin kami sedang merundingkan sesuatu urusan
di kelenteng Sam-goan-koan,” jawab imam itu dengan sikap
sangat hormat.
“Oh, kalau begitu, Bu-tong pay sekarang ini barangkali
sedang berkabung untuk sucouwmu Giok-ceng-cu
Locianpwe?” bertanya Touw Liong dengan suara perlahan.
Imam itu mengucurkan air mata, dan berkata dengan
sedih,
”Couwsu pada kemarin malam ....”
Imam itu tidak dapat melanjutkan ucapannya. Tetapi
Touw Liong sudah mengerti. Ia tahu bahwa imam tua itu
kemungkinan besar mati ditangan Panji Wulung Wanita.
Ia tambah mengerti bahwa Panji Wulung Wanita pada tadi
malam pernah mendaki gunung Bu-tong.
”Aku ada urusan hendak menjumpai Ciangbunjinmu,”
berkata Touw Liong singkat.
Imam itu menerima baik dan memerintahkan imam yang
lain untuk memberi kabar, hingga saat itu terdengar suara
genta yang amat nyaring.
Touw Liong mengajak Kang Kie dan Lo Yu In bertiga
naik ke atas gunung.
Bab 54
SESAAT kemudian, Touw Liong bertiga sudah tiba di
pendopo Tin-bu-tian. Dari dalam nampak muncul
beberapa imam yang jumlahnya kira-kira ada 10 orang
lebih. Rombongan itu ternyata adalah Ciangbunjin atau
ketua Bu-tong-pay sendiri yang datang menyambut
kedatangan Touw Liong bersama murid-muridnya.
Touw Liong buru-buru maju menyongsong, saling
memberi hormat kepada ketua Bu-tong pay Ceng-tim
Totiang.
Touw Liong lalu berpaling dan memperkenalkan Kang
Kie serta Lo Yu In kepada Ceng-tim Totiang.
Ia sengaja memperkenalkan saudaranya dengan singkat,
sebab dahulu 7 pahlawan Bu-tong pay pernah bermusuhan
dengan tiga garuda dari golongan Pak-bong, hingga ia
khwatir akan menimbulkan perasaan tidak senang kepada
Ceng-tim Totiang, maka ia hanya memperkenalkan mereka
dengan singkat, tidak mengatakan asal-usul dan golongan
Kang-kie.
Di luar dugaannya, Ceng-tim Totiang begitu mendengar
disebutnya nama Kang Kie, sikapnya berubah dengan
segera. Ia memandang Kang Kie dengan sinar mata gemas,
kemudian bertanya dengan nada agak kurang senang,
”Apakah sicu anak murid golongan Pak-bong?”
Kang Kie juga tidak mau bersikap merendah, ia
menjawab,
”Betul, aku adalah anak murid dari golongan Pak-bong.”
Kawanan imam yang berada di belakang Ceng-tim
Totiang, semuanya menunjukkan sikap marah, agaknya
sudah siap hendak menghunus pedang masing-masing.
Touw Liong dengan sendirinya merasa cemas, lalu
mundur dua langkah, berdiri di samping Kang Kie, setelah
itu ia menjura kepada ketua Bu-tong pay seraya berkata,
”Permusuhan antara golongan tua, sebaiknya bereskan
juga oleh orang golongan tua sendiri. Totiang adalah orang
beribadat tinggi, seharusnya bisa berpikir panjang. Apalagi,
7 pahlawan dan 3 garuda semua sudah tiada.”
”Musuh suhu adalah musuh yang paling besar. Kau
Touw tayhiap bisa berpikir panjang, mengapa kau perlu
jauh-jauh mengejar musuh-musuhmu yang dahulu
melakukan pembunuhan terhadap ayahmu? Apalagi kami
orang-orang Bu-tong bukan hanya 7 pahlawan itu yang
binasa!” berkata Ceng-tim Totiang sambil tertawa kecil.
Touw Liong tidak mau membantah ucapan ketua partai
Bu-tong itu. Tiba-tiba ia ingat sesuatu, maka ia bertanya
kepada soal yang lain,
”Mohon tanya, Totiang. Sekarang partai Bu-tong pay
sedang berkabung atas kematian siapa?”
”Atas kematian suhu Giok-ceng Tianglo.”
”Susiok Totiang Hian-kie-cu kapan pulang ke gunung?”
Wajah Ceng-tim menunjukkan perubahan beberapa kali.
Akhirnya menganggukkan kepala dan berkata,
”Kemarin malam pulang ke gunung, tetapi tidak lama
kemudian sudah pergi lagi!”
”Kapan akan kembali lagi?”
”Malam itu jam 3, susiok bersama Panji Wulung sudah
mengadakan perjanjian hendak mengadakan pertemuan di
depan kuil Sam-goan-koan. Susiok tadi malam ada kata,
apabila tidak bisa mengusirnya turun gunung, maka Butong-
san akan musnah di tangannya.”
Berkata sampai di situ, Ceng-tim berdiam sejenak,
kemudian berkata pula,
”Pinto sebetulnya ingin ....”
Berkata sampai di situ, untuk kedua kalinya ia berdiam.
Maksudnya ialah mungkin ingin minta bantuan Touw
Liong, tetapi karena munculnya Kang Kie hingga ia merasa
agak sulit untuk menyatakan pikirannya itu.
Touw Liong cukup mengerti apa yang hendak diucapkan
oleh imam itu. Etapi kalau ingat kepada pedang
pusakanya, dan soal Kang Kie yang tidak disenangi oleh
orang-orang Butong, maka dalam hati juga merasa serba
salah.
Oleh karenanya, maka ia lantas memberi hormat kepada
Ciangbunjin Ceng-tim Totiang, kemudian memberi isyarat
kepada saudaranya seraya berkata,
”Engko, mari kita pergi!”
Ketika ketiga orang itu berlalu, Ceng-tim Totiang hanya
dapat mengawasi dengan perasaan mendelu.
Kunjungan Touw Liong ke gunung Bu-tong kali ini,
ternyata berkesudahan sangat tidak meyenangkan.
Turun dari gunung Bu-tong, Touw Liong tidak habis
memikirkan apa sebabnya Ceng-tim totiang bertindak
demikian tegas, tidak mengingat persahbatan lama antara
mereka, hingga membuat tidak enak baginya.
Kang Kie berkata dengan perasaan agak mendongkol,
”Imam itu sungguh menyebalkan! Kalau begitu,
memang benar bahwa imam-imam di gunung Bu-tong tidak
ada satu yang baik.”
Touw Liong menghiburnya, berkata sambil mengerutkan
alisnya,
”Aku merasa agak curiga. Hian-kie-cu sudah mati
beberapa puluh tahun yang lalu, dengan cara bagaimana
bisa hidup kembali? Malam ini aku mesti menyelidiki
sekitar peristiwa ini!”
”Aku juga akan ikut serta denganmu,” berkata Kang Kie.
-----------------------------------------------------
Mereka mencari tempat untuk bermalam di sebuah
kampung kecil di bawah kaki gunung. Ketika malam tiba,
tiga orang itu dengan berpakaian ringkas balik lagi ke atas
gunung Bu-tong.
Jam 3 malam belum tiba, tiga orang itu sudah berada di
dalam rimba dekat kuil Sam-goan-koan untuk melihat
gerakan apa yang akan terjadi malam itu.
Pada waktu di atas gunung Bu-tong, tampak penjagaan
sangat keras. Di mana-mana terdapat kawanan imam
dengan senjata terhunus meronda mondar-mandir kian
kemari.
Touw Liong dengan ilmunya menyampaikan suara ke
dalam telinga memberitahukan kepada Kang Kie, bahwa ia
akan pergi meyelidik ke dalam kuil Sam-goan-koan.
Begitulah, sesaat setelah itu ia lalu bergerak menuju ke kuil
Sam-goan-koan. Ia naik ke atas penglari untuk melihat ada
gerakan apa di dalam kuil itu, dengan pengharapan akan
mendengar suara Hian-kie-cu.
Semula ia merasa kecewa. Sebab, di dalam kuil Samgoan-
koan itu meskipun terdengar sedikit suara orang
bicara, tetapi tiada satu pun yang dikenalinya sebagai suara
Hian-kie-cu.
Tiba-tiba suara yang agak nyaring terdengar di dalam
pendopo itu, kemudian disusul oleh suara langkah kaki
orang. Ceng-tim Totiang di bawah iringan 8 anak
muridnya perlahan-lahan berjalan turun dari atas undakan
tangga batu, berdiri di tengah-tengah pekarangan,
mendongakkan kepala mengawasi bintang-bintang di langit,
kemudian menghela nafas perlahan dan berkata,
”Sudah hampir jam 3 ! Susiok yang sudah mengadakan
perjanjian dengan Panji Wulung Wanita waktunya sudah
akan tiba, mengapa masih belum balik ke gunung?”
Sikap Ceng-tim Totiang itu jelas telah diliputi perasaan
kuatir.
Touw Liong diam-diam menganggukkan kepala dan
dalam hati berkata sendiri,
”Kiranya Hian-kie-cu masih belum pulang.”
Selagi masih berpikir, di atas pohon tua seberang sana
tiba-tiba terdengar suara bentakan orang, yang kemudian
disusul oleh melesatnya sesosok bayangan orang yang
langsung menyerbu ke arah Ceng-tim Totiang!
Bayangan orang itu begitu berada di depan Ceng-tim
Totiang lantas membentak dengan suaranya yang keras,
”Imam dari gunung Bu-tong! Serahkanlah nyawamu!”
Suara itu jelas adalah suaranya seorang wanita. Touw
Liong lalu pasang mata, untuk mengawasi wanita itu.
Tampaklah olehnya, di tangan wanita itu ada tergenggam
sebilah pedang kuno yang bercahaya berkilauan, dengan
ilmu pedangnya yang luar biasa cepat gerakannya terus
mencecar Ceng-tim Totiang.
Serangan itu bukan saja luar biasa cepatnya, tetapi juga
sangat ganas.
Yang membuat heran kepada Touw Liong, ialah pedang
itu bukan lain daripada pedang Hok-mo-kiam!
Touw Liong tidak keburu lompat turun, sudah berseru
lebih dahulu,
“Tahan dulu!”
JILID 21
Ceng-tim Totiang sebetulnya sudah menghunus
pedangnya hendak menyambut serangan lawannya,
sedangkan 8 imam yang berada di belakang dirinya juga
sudah maju semua. Ketika mendengar suara Touw Liong,
mereka begitu terkejut, hingga mundur lagi lima langkah.
Wanita tadi lalu membalikkan badannya, dengan air
mata berlinang-linang dan suara sedih memanggil Touw
Liong,
”Engko Liong?”
Baru saja dia memanggil nama itu, orangnya sudah
melesat bagaikan terbang dan terus menubruk Touw Liong.
Touw Liong agak gugup. Ia masih tetap berdiri di atas
genteng dengan mata mengawasi wanita yang menubruk ke
arahnya. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan.
Wanita itu mengenakan pakaian warna hijau, di atas
dadanya tersulam setangkai bunga putih. Ketika menubruk
Touw Liong, lalu memeluk dan berkata sambil menangis,
”Engko Liong! Ayah! Ayah ....!”
Touw Liong menyaksikan perempuan itu seperti kalap,
tetapi juga seolah-olah sedang gelisah maka buru-buru
bertanya kepadanya,
”Ayahmu kenapa?”
Wanita itu bukan lain daripada Sancu muda dari gunung
Cit-poa-san Pek Giok Hoa!
Pek Giok Hoa yang dihinggapi hawa amarah, penasaran
dan cemas, lama tidak bisa menjawab. Ia hanya jatuhkan
kepalanya di atas dada Touw Liong sambil menangis sedih.
Sementara itu Ceng-tim yang berada di pekarangan
depan kelenteng, dengan tiba-tiba berkata dengan nada
suara dingin,
”Touw tayhiap, kiranya kau malam ini sudah mengajak
banyak kawan baik, dengan maksud tertentu hendak
mengganggu kelenteng kami?”
Dengan ucapan itu, nyatalah bahwa kesalahpahaman
telah semakin besar, hingga Touw Liong sampai tidak dapat
berbuat apa-apa. Ia juga tidak tahu bagaimana harus
menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya.
Ceng-tim Totiang berkata pula dengan nada suara yang
tetap dingin,
”Terutama Lie-sicu ini! Jelas pedang di tangannya itu
adalah pedang milik susiok, jelas bahwa pedang ini ia dapat
dengan merampas dari tangan susiok! Apabila ada terjadi
apa-apa atas diri susiok .... Hmm! Hmm! Touw tayhiap,
meskipun dahulu partai Bu-tong pernah menerima budi
besarmu, tetapi ingat bahwa susiok itu adalah seorang
sesepuh dari partai Bu-tong kami!”
Maksud dari ucapannya itu ialah : Apabila ada terjadi
apa-apa atas diri Hian-kie-cu, maka segala tanggung jawab
harus dipikul oleh Touw Liong seorang.
Touw Liong belum mengetahui apa-apa, Ceng-tim
Totiang sudah menyambung lagi,
“Pantas! Sudah hampir jam 3 susiok belum tampak
muncul ….”
Belum habis ucapan Ceng-tim, dari belakang gunung,
dari arah yang agak jauh terdengar suara siulan panjang
yang sangat tajam, hingga gunung Bu-tong itu seolah-olah
tergetar.
Wajah Ceng-tim berubah seketika, sedang Pek Giok Hoa
juga mendongakkan kepala menghentikan tangisnya. Ia
bertanya kepada Touw Liong dengan suara cemas,
”Engko Liong, itu siapa?”
”Panji Wulung Wanita,” jawab Touw Liong dengan
sikap serius.
Suara siulan tadi diulangi beruntun-runtun. Semakin
lama terdengar semakin tinggi, hingga Pek Giok Hoa terus
berada dalam pelukan Touw Liong, tidak berani bergerak
sama sekali.
Wajah Touw Liong menunjukkan sikap yang tidak
menentu. Ia sedang bergulat dengan pikirannya sendiri.
Menurut aturan, Panji Wulung Wanita itu masih terhitung
susiok. Sebentar bila berhadapan muka dengannya,
bagaimana supaya suasana tidak sampai meruncing? Dia
bagaimana supaya ia dapat mencegah jangan sampai Panji
Wulung Wanita bertindak terhadap orang-orang Bu-tongpay?
Agar partai itu biar terhindar dari bencana
kehancuran?
Menurut tata-tertib rimba persilatan, tiada seorang pun
tingkatan muda diperbolehkan melawan tingkatan tua.
Sebab itu adalah perbuatan yang melanggar hukum!
Touw Liong sesungguhnya merasa sulit sekali. Tetapi ia
pun cukup mengerti, orang-orang yang berada di situ,
kecuali ia sendiri, sekalipun engkonya sendiri Kang Kie,
barangkali tiada satu yang sanggup melawan Panji Wulung
Wanita.
Setelah berpikir lama, akhirnya ia mengambil keputusan
: Aku boleh menyambut serangannya, juga ada alasan
untuk bertempur dengannya bila keadaan memaksa, asal
tetap dipegang teguh peraturan terhadap tingkatan tua.
Touw Liong sudah menarik Pek Giok Hoa ke
belakangnya dan minta pedang Hok-mo-kiam darinya.
Katanya dengan suara lemah lembut,
”Urusan yang menyangkut diri Pek Cianpwe sebentar
kita bicarakan lagi! Nanti bila iblis wanita itu datang,
janganlah kau bersuara. Aku ada akal untuk
mengundurkan dia.”
Ia lalu memberi isyarat ke dalam rimba di seberang sana.
Kang Kie bersama Lo Yu In dengan beberapa lompatan
saja sudah melesat ke hadapannya.
Setelah memperkenalkan Kang Kie dan Lo Yu In pada
Pek Giok Hoa, Touw Liong lalu menitipkan Pek Giok Hoa
pada Kang Kie. Katanya,
”Nanti kalau Panji Wulung Wanita itu datang, biarlah
siaote yang hadapi dia. Tolonglah engko jaga baik-baik
kedua nona itu!”
”Kau tak usah khawatir!” berkata Kang Kie sambil
tertawa dan menganggukkan kepala kemudian dari tangan
Lo Yu In ia menyambuti pedang Khun-ngo-kiam.
Suara siulan tadi dari jauh terdengar semakin mendekat,
kemudian sesosok bayangan hitam sudah melayang turun
ke depan kuil.
Ternyata memang betul, dia adalah Panji Wulung
Wanita sendiri.
Panji Wulung Wanita berdiri di hadapan kuil Sam-goankoan.
Matanya ditujukan kepada Touw Liong yang berada
di atas genteng, kemudian beralih ke pedang Hok-mo-kiam
di tangan pemuda itu lalu ke pedang Khun-ngo-kiam di
tangan Kang Kie, barulah berjalan lambat-lambat
menghampiri Ceng-tim, lalu bertanya dengan suara keras
sambil mengacungkan tongkatnya,
”Imam tua, di mana susiokmu?”
Waktu itu wajah Ceng-tim sudah pucat pasi, menjawab
dengan suara gelagapan,
“Susiok …..”
“Mengapa?” bentak Panji Wulung Wanita.
“Susiok masih belum pulang,” jawab Ceng-tim dengan
suara gemetaran.
Sepasang mata Panji Wulung Wanita itu bagaikan pisau
tajam, menyapu kepada Ceng-tim sejenak, kemudian
berkata,
“Dia telah berjanji denganku bahwa malam ini hendak
naik ke gunung Bu-tong. Ia pernah kata begitu bertemu
muka pedang itu akan diberikan kepadaku ….”
Pandangan mata Panji Wulung Wanita itu kini untuk
kedua kalinya ditujukan kepada pedang Khun-ngo-kiam di
tangan Touw Liong.
Mata Touw Liong waktu itu juga ditujukan kepada
pedang itu.
Setelah berdiam sejenak, Panji Wulung Wanita
kemudian berkata dengan gemas,
”Aku mengerti. Imam bangkotan itu pasti sudah
memberikan pedangnya kepada setan kecil ini. Ia suruh
malam ini untuk menghadapi aku dan melindungi Bu-tong.
Hehem! Perhitunga kalian sesungguhnya keliru besar. Hari
ini jikalau aku tidak dapat mengobrak-abrik gunung Butong,
aku bukan Panji Wulung lagi!”
Ceng-tim sangat gelisah. Ia menggeleng-gelengkan
kepala dan berkata sambil menunjuk Touw Liong,
”Kami dengan dia tak ada sangkut paut apa-apa. Pinto
pikir ....”
”Apa yang kau pikir?” bertanya Panji Wulung Wanita
dengan sikap keren.
’”Pinto dengan Touw tayhiap barusan masih ada sedikit
perselisihan paham. Dalam pikiran pinto, pedang di tangan
susiok kemungkinan besar sudah dirampas oleh siaohiap
ini, bahkan ada kemungkinan besar susiok juga sudah
celaka di tangannya,” berkata Ceng-tim.
Kerudung muka kain hitam Panji Wulung Wanita
tampak bergerak-gerak, sekujur badannya juga sudah
tampak gemetaran, sikapnya waktu itu menunjukkan seperti
orang sedang berpikir keras.
Tak lama kemudian Panji Wulung mengangkat muka,
dan menggapai ke arah Touw Liong yang berada di atas
penglari. Katanya,
”Bocah she Touw, kau turun! Aku hendak bertanya
kepadamu.”
Touw Liong menurut. Ia melayang turun ke tengahtengah
rumah. Lebih dulu ia memberi hormat kepada Panji
Wulung Wanita dengan tangan memondong pedang,
kemudian bertanya dengan sikap sangat menghormat,
”Cianpwe memanggil boanpwe sebenarnya ada urusan
apa?”
Panji Wulung Wanita menunjukkan sikap heran,
katanya,
”Bocah, kenapa mendadak sontak kau berlaku begitu
hormat terhadapku?”
”Boanpwe selamanya menghargai dan menghormat
orang tingkatan tua.”
”Ng!” Panji Wulung Wanita mengeluarkan suara dari
hidung, kemudian berkata sambil menunjuk pedang Hokmo-
kiam yang berada di tangan Touw Liong.
”Pedangmu ini apakah ....?”
”Pedang ini adalah milik Pek siauw san-cu dari Cit-phoasan
....” menjawab Touw Liong.
”Apa bukan pedangmu yang kau dapatkan dahulu itu?”
”Pedang ini adalah pedang betina, sedangkan yang
dahulu itu adalah pedang jenis jantan.”
”Apakah kau tidak melihat si imam tua Hian-kie-cu?”
bertanya Panji Wulung Wanita dengan suara bengis.
”Hian-kie-cu adalah musuhku karena ia telah membunuh
suhu. Aku juga sedang mencari dia ....”
Ia menahan ucapan selanjutnya, tidak mau meneruskan.
Dengan hati mendongkol Panji Wulung Wanita itu
mengawasi pedang Hok-mo-kiam di tangannya, lalu
katanya,
”Aku tidak peduli pedang betina atau jantan.
Bagaimanapun juga itu adalah pedang pusaka. Lekas bawa
kemari pedang itu, berikan padaku!”
”Pedang ini bukan milik boanpwe. Boanpwe tidak
berani menghadiahkan barang orang lain kepada cianpwe,”
jawab Touw Liong sambil menggelengkan kepala.
”Berani atau tidak aku akan tetap mau mengambil dari
tanganmu.”
”Soal pedang yang merupakan urusan kecil, bisa-bisa
kehilangan yang besar ....”
”Apa maksud ucapanmu ini?”
”Hian-kie-cu memancing cianpwe ke tempat ini, sedang
ia sendiri tidak mau unjuk muka. Coba kau pikir dengan
tenang, adakah seseorang yang tidak sayang kepada anak
murid dan murid cucunya sendiri? Kenapa dia membiarkan
murid dan cucu muridnya dalam bahaya, jikalau dia tidak
mengandung maksud tertentu yang sangat menguntungkan
dirinya?”
Sejenak Panji Wulung Wanita itu tampak tercengang,
kemudian berkata,
”Ini apa salahnya? Asal kita sudah menarik keuntungan
besar, sedikit kerugian apa salahnya?”
”Justru disitulah soalnya. Dia sudah menarik
keuntungan besar yang lain, bahkan keuntungan yang
sangat besar sekali!”
”Bocah, kau jangan selalu main teka-teki saja di
depanku. Bicaralah terus terang!”
”Kau telah tertipu oleh akal muslihat Hian-kie-cu yang
hendak melepaskan diri dari kejaranmu! Dia sekarang ini
mungkin sudah dalam perjalanan yang menuju ke gunung
Hek-hong-san.”
”Untuk apa ia pergi ke gunung Hek-hong-san?”
”Bukankah di gua Hek-hong-tong masih ada simpanan
barang pusaka?”
Touw Liong dalam keadaan cemas dan gelisah ia
bermaksud membuat marah Panji Wulung Wanita itu.
Belum habis ucapan Touw Liong, Panji Wulung Wanita
itu sudah memperdengarkan siulan aneh, mulutnya
memaki-maki tidak berhentinya.
”Bagus benar perbuatan imam tua ....”
Setelah itu, badannya tiba-tiba melesat menghilang ke
dalam kabut gelap.
Sinar rembulan remang-remang. Malam itu suasana
kembali tenang tenteram. Kedatangan Panji Wulung
Wanita demikian cepat, tetapi berlalunya lebih cepat lagi.
Dalam waktu sekejab mata, sudah tidak tampak lagi
bayangannya.
Ceng-tim berdiri tegak, tidak tahu apa yang harus
dikatakan atau diperbuat pada saat-saat seperti itu.
Sementara itu, terhadap orang-orang dari gunung Butong,
hingga saat itu Touw Liong masih belum dapat
menentukan sikapnya. Entah kawan ataukah lawan
kedudukan mereka itu di matanya? Melihat sikap Ceng-tim
yang bengong, ia lalu berkata,
”Aku ingin berziarah ke makam susiokmu sebentar.
Apakah totiang tidak berkeberatan?”
Ceng-tim masih ragu-ragu, sementara itu Pek Giok Hoa
sudah berkata,
”Apa yang perlu diziarahi. Kau sudah mengeluarkan
tenaga merintangi kedatangan musuh, mereka
mengucapkan terima kasih pun tidak. Perlu apa berlaku
demikian baik hati terhadap kawanan imam demikian ini?”
Setelah itu, ia menarik Touw Liong dan berjalan keluar.
Kang Kie dan Lo Yu In yang berada di atas genteng,
juga sudah melayang turun ke bawah. Lo Yu In merasa
sebal atas sikap dan kelakuan imam tadi, juga berkata
dengan nada dongkol,
”Adik Liong, apakah kau masih tidak mau pergi?
Apakah masih menunggu orang lain yang akan
mengeluarkan perintah mengusir kau keluar dari sini?”
Dua wanita itu seolah-olah sudah sepakat satu sama lain,
hingga kata-kata mereka yang demikian tajam dan pedas itu
telah membuat selembar muka Ceng-tim sebentar merah
sebentar putih, sebentar hijau, hingga saat itu, ia benarbenar
merasa sulit sekali bagaimana sebetulnya
kedudukannya saat itu, tidak tahu bagaimana harus
berbuat.
Selagi Ceng-tim hendak membuka mulut, tak disangkasangka
Touw Liong benar-benar lantar belalu bersamasama
Pek Giok Hoa dan Lo Yu In tanpa mengucapkan
sepatah katapun juga kepadanya.
-------------------
Satu jam kemudian, di kuil Sam-goan-koan, telah
muncul sesosok bayangan yang lari bagaikan kilat cepatnya.
Bayangan orang itu dapat mengelabui mata imam yang jaga
malam, secepat kilat sudah berada di bawah wuwungan kuil
Sam-goan-koan dan menyelinap di tempat yang gelap,
sedang sinar matanya yang tajam menyapu keadaan di
sekitarnya, lalu terdengar suaranya yang seolah-olah
bertanya kepada dirinya, ”Entah di mana letaknya jenazah
Giok-ceng-cu locianpwe?”
Bab 55
IA angkat muka memandang keadaan di dalam pendopo
Giok ceng-thian, agaknya merasa heran apa sebab jenasah
itu diletakkan dipendopo Sam-ceng-tian.
Bayangan orang itu bukan lain daripada Touw Liong.
Sebabnya ia yang sudah pergi dan balik kembali, ialah
karena ia merasa bahwa kematian Giok ceng-cu sangat
mencurigakan, mengingat kebaikan imam itu yang pernah
menghadiahkan kepadanya sejilid kitab pelajaran ilmu batin
Liang-gie-sin-hoat, justru pada saat Panji Wulung Wanita
sedang muncul di gunung Bu-tong-san, dan orang yang
mencurigakan yang merupakan Hian-kie-cu yang sudah
mati tapi bisa hidup kembali, dapat diduga bahwa kematian
imam tua itu sesungguhnya sangat mencurigakan.
Kalau ia mengingat kebaikan imam tua itu terhadap
dirinya, telah mendorong padanya dengan diam-diam balik
kembali, untuk menyelidiki keadaan yang sebenarnya.
Dengan sangat hati-hati ia mendorong pintu pendopo
yang tidak ditutup rapat, yang terpentang di hadapan
matanya kecuali meja sembahyang sebagaimana yang
terdapat di dalam kuil, di belakang meja sembahyang itu,
terletak sebuah jenasah yang rebah dengan tenang.
Kini mengertilah sudah ia bahwa kematian imam tua itu
disebabkan karena serangan ilmu jari tangan Thay-it Sinjiauw,
dan tidak perlu diragukan lagi bahwa orang luar
yang tadi malam berkunjung ke gunung Bu-tong, hanya
Panji Wulung Wanita seorang, sedangkan orang yang
mencurigakan Hian-kie-cu itu, meskipun mencurigakan,
tetapi ia tidak mungkin memiliki kepandaian ilmu yang
sangat ampuh itu, dengan lain perkataan, dalam dunia pada
dewasa ini orang yang mengerti ilmu terampuh ini
jumlahnya tidak banyak sedangkan Panji Wulung Wanita
adalah satu-satunya orang yang mahir dalam ilmu ini.
Namun ia bisa berkata apa? Meskipun ia mengerti siapa
pembunuhnya, tetapi pembunuh itu justru merupakan
orang yang erat sekali hubungannya dengannya. Apakah ia
dapat mengeluarkan perkataan atau berjanji kepada imam
tua itu hendak menuntut balas?
Akan tetapi, dalam dunia ini ada beberapa hal kadangkadang
agak aneh. Touw Liong yang dihadapkan dengan
keadaan demikian, sudah mengeluarkan perkataan tanpa
dipikir, dengan air mata bercucuran berkata,
”Locianpwe, aku pasti hendak menuntut balas
untukmu!”
Kata-kata itu demikian tegas diucapkannya, sedikitpun
tidak seperti berlaku pura-pura.
Tepat pada saat itu, dari belakang dirinya tiba-tiba
merasakan berkesiur angin dingin dari hawa pedang.
Dalam terkejutnya, tanpa menoleh Touw Liong sudah
miringkan tubuhnya, setelah itu ia menggeser kakinya dan
sekujur tubuhnya sudah berada di bawah meja yang
digunakan untuk meletakkan jenasah imam tua tadi. Sesaat
kemudian terdengar suara ser-seran dari serangan pedang.
Ujung pedang melalui atas jenasah, hampir saja menancap
di meja sembahyang.
Touw Liong geser lagi kakinya ke bawah, setelah itu ia
bergulingan ke bawah meja, kemudian lompat bangun
dengan satu gerakan naga melesat dari balik meja ia
mengawasi orang yang menyerang dirinya secara
menggelap orang itu ternyata menggunakan pedang Hokmo-
kiam yang jantan, bukan lain daripada ketua Bu-tongpay
Ceng-tim Totiang.
”Dari mana kau dapatkan pedang yang sekarang berada
di tanganmu itu?” bertanya Touw Liong dingin dan marah.
”Pedang ini adalah hadiah susiok,” jawab imam tua itu
dingin.
”Mengapa kau menyerang aku secara menggelap?”
”Kau adalah pembunuh dari sesepuh partai kami,
bahkan di waktu malam buta kau berani memasuki tempat
terpenting di kuil kami, sudah tentu aku mempunyai hak
untuk membunuhmu.”
Alasan yang dipergunakan Ceng-tim itu agaknya terlalu
dipaksakan, ia menunjukkan bekas kuku tangan dan berkata
dengan suara dingin,
”Dalam dunia pada dewasa ini, bagi orang yang
mengerti sedikit ilmu silat saja, sudah tentu tahu bahwa
kematian dengan tanda ini berarti terkena serangan ilmu
Thian-seng-jiauw dari golonganmu Kiu-hoa-pay!”
”Tidak benar! Kecuali Thian-seng-jiauw dari
golonganku, masih ada ilmu Thay-it Sin-jiauw yang kalau
melukai orang juga meninggalkan tanda bekas yang serupa
ini.”
”Kenyataan yang tidak dapat disangkal, orang yang
kutangkap itu adalah orang yang menggunakan ilmu Thianseng-
jiauw, bukanlah orang yang menggunakan ilmu Thayit-
seng-jiauw.”
Touw Liong tidak menjawab, namun diam-diam berkata
kepada dirinya sendiri, ”Terhadap Bu-tong-pay, terhadap
Ceng-tim, boleh dikata aku pernah melepas budi sangat
besar. Tetapi dilihat dari sikap Ceng-tim hari ini mengapa
jauh berlainan? Mengapa terhadap diriku sedikitpun dia
seperti tidak pernah menerima budi? Inilah suatu kejadian
yang sangat aneh.
Hok-mo-kiam yang jantan adalah sebilah pedang pusaka.
Mengapa Hian-kie-cu menghadiahkan pedang pusaka itu
kepadanya? Inilah suatu pertanyaan yang kedua.
Ceng-tim dahulu memiliki kepandaian yang biasa saja,
mengapa hari ini menyerang diriku secara menggelap,
menunjukkan ketangkasannya yang jauh berbeda dari dulu?
Dan, setelah mengeluarkan serangannya, hembusan angin
itu mengandung kekuatan tenaga demikian hebat. Dari
manakah kekuatan tenaganya itu? Ini bukanlah orang yang
mempunyai kepandaian biasa seperti Ceng-tim yang dapat
melakukan, kecuali dia adalah seorang tokoh kenamaan....
Ceng-tim tidak memberikan kesempatan kepadanya
untuk berpikir, pedangnya digerakkan dan bentaknya,
”Kau yang serahkan batok kepalamu sendiri atau perlu
aku yang harus turun tangan?”
Touw Liong anggap bahwa dirinya Ceng-tim itu diliputi
oleh berbagai teka-teki, daripadanya barangkali dapat
mencari beberapa pertanyaa, oleh karenanya maka ia balas
bertanya,
”Di mana susiokmu Hian-kie-cu cianpwee sekarang?
Susiokmu mempunyai permusuhan besar denganku,
bahkan.... pada beberapa hari berselang, di atas gunung
Kiong-lay-san, ia telah membinasakan Pek Thian Hiong.
Hutang darah ini, ia harus bayar semuanya. Malam ini
nona Pek mencari padanya kemari, aku dengan Pek sancu
meskipun bukan sahabat akrab, tetapi masih mempunyai
hubungan, maka dari itu mau tak mau harus turut
menyelidiki juga urusan ini.”
”Kau bayar dulu hutang jiwa sesepuh kami, baru bicara
soal lainnya.”
Dalam hati Touw Liong sangat mendongkol karena
Ceng-tim Totiang selalu menuduh ia sebagai pembunuhnya
imam tingkatan tua golongan Bu-tong, karena menyaksikan
sikap garang dan galak imam itu, lagi pula dengan pedang
Hok-mo-kiam yang jantan di tangannya, seolah-olah dia
tidak mau memandang mata orang lain, sikapnya itu jauh
sekali berbeda dibandingkan dengan sikap yang dahulu
diperhatikannya sehabis menerima budi dari Touw Liong.
”Kau jangan menuduh orang secara serampangan,
jangan sesalkan aku seorang she Touw, kalau aku berlaku
keterlaluan terhadapmu!”
Ceng-tim tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan itu,
ia lompat ke atas meja sembahyang dan menggerakkan
pedangnya ke arah Touw Liong.
Kembali Touw Liong dikejutkan oleh gerakan Ceng-tim
Totiang, sebab kepandaian dan kekuatan tenaga imam ini,
sudah diketahui benar oleh Touw Liong, tetapi gerakan
pedangnya kali ini nampaknya meskipun biasa, tetapi
mengandung banyak sekali gerak tipu yang aneh-aneh,
hingga mengejutkan Touw Liong.
Diserang secara demikian, Touw Liong terpaksa harus
melompat tinggi untuk dapat mengelakkan serangan
tersebut, ia lompat keluar dari pendopo Sam-ceng-tian dan
turun di pekarangan.
Saat itu ia baru dapat melihat bahwa di sekitarnya
terdapat banyak bayangan orang, semua imam dari
golongan Bu-tong, telah berdiri mengurung padanya di
pekarangan dengan pedang terhunus.
Sementara itu Ceng-tim Totiang juga sudah mengejar
Touw Liong dengan langkah lebar.
Touw Liong segera menyambut kepadanya dan
membentak dengan suara keras.
”Jangan bergerak! Kau siapa?”
”Siapa aku? Haa, hai! Touw tayhiap kau benar-benar
suka membanyol. Siapa adanya aku, jikalau kau Touw
tayhiap benar-benar tidak mengerti, tanya saja kepada
mereka!” menjawab Ceng-tim dengan sikap tenang.
Meskipun Ceng-tim mengatakan demikian namun para
imam yang berada di situ semuanya menunjukkan sikap
bingung dan tidak mengerti.
”Sungguh tidak kusangka hanya dalam waktu yang tidak
lama kau sudah mendapat kemajuan demikian pesat, sudah
tentu, semua ini adalah berkat partai Bu-tong yang pernah
menjagoi beberapa ratus tahun di dalam rimba persilatan.
Kalau totiang bisa mengangkat diri ke tingkatan orang kelas
satu, mungkin rasanya juga tidak mengherankan, tetapi
Touw Liong masih merasa curiga, dalam waktu yang
sangat singkat, watak dan perangai totiang juga jadi turut
berubah, inilah yang mengejutkan dan mengherankanku!”
kata Touw Liong juga dengan sikap tenang.
”Mengenai pertanyaanmu ini, pinto tak perlu
membantah. Tentang kemajuan ilmu silat yang pinto
dapatkan, sesungguhnya tidak perlu dipikirkan. Partai
Butong merupakan salah satu partai besar dalam rimba
persilatan, dalam kuil kami ada tersimpan banyak kitab
ilmu silat, dan pinto sebagai ketuanya, apa tidak dapat
mempelajari ilmu silat simpanan itu?” berkata Ceng-tim
sambil tertawa terbahak-bahak kemudian berkata pula,
”Mengenai perubahan watak dengan tiba-tiba juga
mudah sekali dipecahkannya. Sesepuh kami telah mati di
bawah serangan ilmu Thian-seng-jiauw, kematiannya itu
tidak jelas, sedang kau Touw tayhiap telah muncul di
gunung ini dengan tiba-tiba. Bagaimana jikalau kami tidak
mencurigai kau sebagai pembunuhnya? Bagaimana pula
kalau tidak lantas berubah sikapku terhadapmu?”
Touw Liong sebetulnya masih ingin menanyakan lagi
asal-usul pedang Hok-mo-kiam di tangannya itu, tapi begitu
mendengar ucapannya yang seolah-olah tidak mengenal
aturan lagi itu, ia lantas batalkan maksudnya, hanya
menghela napas dan mengawasi para imam yang berdiri di
sekitarnya. Meskipun waktu itu cuaca gelap, jadi tidak
dapat terlihat sikap dan wajah masing-masing, tetapi dari
sinar mata mereka, ternyata ada mengandung maksud
permusuhan. Sementara itu ia telah mengambil keputusan
bahwa malam itu ia tidak akan menghadapi mereka dengan
kekerasan, sebab jikalau tidak, pasti akan menimbulkan
pertumpahan darah lebih hebat.
”Sebab-sebab kematian sesepuh Bu-tong-pay, aku sedang
mengadakan penyelidikan, barangkali dalam waktu singkat
akan diketahui siapa pembunuhnya hari ini....” demikian ia
berkata sambil menggertak gigi.
Tetapi Ceng-tim tidak mau mengerti, ia malah
menyerang Touw Liong dengan galaknya.
Sambil mengelakkan serangan Ceng-tim, Touw Liong
memperhatikan gerak tipu ilmu pedang yang digunakan
oleh imam itu. Touw Liong dapat mengenal baik berbagai
ilmu pedang, tetapi ia masih belum dapat memahami ilmu
pedang apa yang digunakan oleh Ceng-tim itu. Oleh karena
ia bertempur sambil memperhatikan gerak tipu ilmu pedang
imam itu, maka untuk sementara pertempuran itu berjalan
berimbang.
Dalam pertempuran sengit, Touw Liong telah
mengerahkan ilmunya Liang-gie sin-kag ke kedua jari
tangan kanannya, setelah itu ia melancarkan serangannya
dengan ilmu jari Tay-lo-kim-kong-cie, dan serangannya itu
ternyata berhasil baik, sebab pedang Hok-mo-kiam di
tangan Ceng-tim lantas jatuh di tanah.
Dalam keadaan terkejut, Ceng-tim masih keburu lompat
melesat ke atas, sambil mengait pedang tadi dengan ujung
kakinya, hingga pedang itu melesat ke tengah udara!
Touw Liong yang melihat pedang sudah melesat ke atas,
lantas mengejar.
Akan tetapi gerakannya ternyata masih agak terlambat,
sebab baru saja bergerak, dari atas ia merasakan seperti
tertindih oleh kekuatan tenaga hebat, ia terkejut, tapi cepat
mengerti apa yang telah terjadi. Buru-buru ia batalkan
maksudnya mengejar, dengan kedua tangannya ia
menangkis serangan yang dilancarkan dari atas.
Ketika ia lompat naik ke atas genteng, barulah ia
mengerti. Kiranya, serangan tadi dilancarkan oleh Cengtim
selagi ia melesat ke atas.
Bersamaan dengan itu ia juga mengerti bagaimana jahat
dan ganasnya imam itu. Memang benar, keganasan Cengtim
yang diperlihatkan malam itu, benar-benar bukan
seperti manusia Ceng-tim yang dahulu lagi.
Touw Liong tergerak hatinya, sambil berdiri di atas
genteng, kembali ia melancarkan serangan dengan jari
tangannya, untuk menyapu kepada pedang yang hendak
meluncur turun lagi.
Ceng-tim merasa girang juga karena Touw Liong sudah
berada di atas genteng. Selagi ia hendak menyambar
gagang pedang, pedang itu mendadak disapu oleh serangan
jari tangan Touw Liong dan lantas melayang lagi, hingga
usaha Ceng-tim tadi tidak berhasil.
Ia mengerti bahwa itu adalah perbuatan Touw Liong,
hingga dadanya dirasakan hampir mau meledak, sambil
menggeram hebat, kembali ia melancarkan serangan kepada
Touw Liong yang masih berdiri di atas genteng, dan setelah
itu ia melayang turun hendak menyambar pedangnya yang
juga meluncur ke bawah.
Touw Liong agaknya dapat menduga bahwa imam itu
akan bertindak demikian, maka begitu Ceng-tim lompat
turun, ia lantas membarengi lompat ke atas sebuah pohon
di tengah-tengah pekarangan.
Selagi melesat tadi, tangannya menyambar pedang yang
sedang meluncur turun, dengan demikian pedang itu telah
berhasil disambar olehnya yang terus melesat ke atas
pohon.
Ceng-tim yang melayang turun, ketika menampak
pedang itu sudah dirampas lebih dulu oleh Touw Liong
hawa amarahnya semakin memuncak. Maka ketika tiba di
tanah, dengan cepat segera melesat lagi untuk menyergap
Touw Liong yang berada di atas pohon.
Serbuan Ceng-tim dibarengi dengan serangan kedua
tangannya yang ditujukan kepada pohon besar itu, hingga
pohon itu lantas roboh dan daun-daunnya pada rontok di
tengah pekarangan.
Meskipun pohon besar itu sudah rubuh, tetapi Touw
Liong sudah tidak tampak lagi bayangnnya. Untuk kedua
kalinya Ceng-tim marah-marah sendiri, matanya ditujukan
ke arah jauh. Di sana, tampak olehnya sesosol bayangan
hitam yang sedang lari bagaikan kijang cepatnya, bayangan
itu bukan lain daripada Touw Liong.
Ia masih penasaran, saat itu lantas bergerak untuk
mengejarnya.
Dalam keadaan gelap gulita ia mengejar sekian lama,
ternyata sudah ketinggalan jauh.
Terpaksa ia memperlambat langkahnya, dengan napas
memburu ia berhenti, untuk mencari pikiran lain. Tiba-tiba
dari belakangnya terdengar desiran angin, cepat sekali ia
berpaling, tampak olehnya seorang wanita cantik berbaju
kuning berdiri di belakangnya.
”Kau siapa?” demikian ia menegur wanita itu.
”Kim Yan,” jawab wanita cantik itu singkat.
“Kau bukankah sumoy Touw Liong?” bertanya Cengtim
heran.
Kim Yan lebih dulu menganggukkan kepala kemudian
menggelengkan kepalanya dan berkata,
“Dahulu ya, tetapi sekarang bukan. Aku dengan Touw
Liong sudah putus perhubungan sekarang.... Aku juga....
atas kebaikan Hek-hong Kauwcu...”
”O, ya! Kuingat,” kata Ceng-tim sambil tertawa
terbahak-bahak, ”Kau adalah Hek-hong Liong-lie di bawah
perintah Hek-hong Kauwcu.”
”Dan kau?”
”Sekarang aku adalah ketua partai Bu-tong.”
”Dari suaramu kau tidak mirip dengan Ceng-tim.”
”Nona benar-benar sangat pintar. Sudah tentu aku tidak
dapat mengelabui dirimu, tetapi pada saat ini aku masih
tetap sebagai ketua dari partai Bu-tong.”
”Aku tidak mempunyai kesempatan untuk mencampuri
urusanmu, aku hanya ingin tanya padamu, imam tua Hiankie-
cu dari partai Bu-tong itu di mana sekarang?”
”Untuk apa kau cari kepadanya?”
”Kuminta ia kembalikan pedang Hok-mo-kiam yang
jantan milik Hek-hong-kauwcu.”
”Tetapi kedatangan nona ini agak terlambat!”
”Kenapa?”
”Hian-kie-cu sudah mati, pedang Hok-mo-kiam itu
sudah kembali pada pemiliknya yang lama. Kau benarbenar
sudah terlambat!”
”Kau ngoceh! Kauwcu kami kemarin masih
menyaksikan imam tua itu, mengapa kau katakan ia sudah
mati?”
”Nona ini seorang pintar, namun mengapa bisa
berpikiran demikian bodoh? Dalam dunia ini mana ada
seorang yang sudah mati beberapa puluh tahun lamanya
bisa hidup kembali?”
”Jadi kau maksudkan Hian-kie-cu yang sudah mati
beberapa puluh tahun tidak mungkin hidup kembali? Kalau
begitu siapakah Hian-kie-cu yang pada beberapa berselang
menampakkan dirinya itu?”
”Itu ..... adalah aku sendiri yang menyamar!”
”Jadi kau dapat menyamar demikian mirip?”
”Aku pernah belajar ilmu menyamar muka dan gerakgerik
orang,” menjawab Ceng-tim sambil menganggukkan
kepala.
”Kalau begitu, kau sendiri juga bukanlah Ceng-tim.”
Bab 56
KEMBALI Ceng-tim menganggukkan kepala dan
menjawab,
”Ceng-tim juga sudah mati, untuk selanjutnya, ia tidak
akan muncul lagi di dalam rimba persilatan.”
Sayang! Kim Yan tidak menanya lagi ia itu siapa
sebetulnya? Hanya berkata dengan nada suara hambar,
”Aku tidak peduli kau siapa, aku hanya ingin minta
keterangan tentang pedang Hok-mo-kiam itu. Lekas
beritahukan kepadaku, di mana pedang itu sekarang?”
”Pedang? Sebetulnya sudah berada di tanganku. Tetapi
kemudian, sudah dirampas oleh suhengmu!”
”Kemana dia pergi?”
”Ia sudah kabur, tadi aku mengejar tetapi tidak berhasil
menyusulnya.”
Tanpa dipikir panjang lebar, Kim Yan sudah mengajak
Ceng-tim pergi mengejar suhengnya.
-----00000-----
Di atas puncak gunung yang lain, Touw Liong bersama
Kang Kie, Pek Giok Hoa dan Lo Yu Im berempat sedang
duduk berunding.
Touw Liong sehabis menyeka keringatnya menarik
napas panjang, berkata sambil menunjuk pedang Hok-mokiam
di tangannya,
”Beberapa hari capai lelah kita adalah lantaran pedang
ini, dan sekarang, pedang ini sudah didapatkan, tetapi Hiankie-
cu, manusia misterius dari Bu-tong-pay, hingga kini
masih belum pernah unjuk muka, dan lagi pula ..... Cengtim
Totiang juga sudah menjadi manusia misterius nomor
dua.
Atas usul Kang Kie, empat orang sudah bersepakat besok
pagi hendak mengadakan penyelidikan lagi di gunung Butong.
Esok pagi, masih pagi-pagi sekali, Touw Liong berempat
sudah turun dari puncak gunung, melakukan perjalanan ke
gunung Bu-tong.
Ketika mereka tiba di depan sebuah batu besar yang
terdapat tanda tulisan tempat menanggalkan pedang, juga
merupakan pintu gerbang partai Bu-tong, mereka
dikejutkan oleh sebuah tulisan yang merupakan makam
Ceng-tim Totiang, ketua generasi ke tigabelas partai Butong.
”Apa?!”
Kang Kie yang pertama-tama berseru kaget dan
kemudian berkata kepada dirinya sendiri,
”Jadi Ceng-tim Totiang juga sudah mati?”
Touw Liong sementara itu terus diam saja mengawasi
tulisan itu, ia sedang tenggelam dalam alam pikirannya dan
mengenangkan kembali apa yang telah terjadi tadi
malam....
Pada saat itu, dari atas kuil keluar beberapa imam,
mereka itu adalah yang tadi malam menyambut kedatangan
Touw Liong berempat.
Imam yang berjalan lebih dahulu, dengan wajah sedih
bertanya pada Touw Liong,
”Touw tayhiap, tadi malam Ciangbun Couwsu kami
telah mengejar kau turun gunung, apa mau tadi pagi-pagi
jam lima, murid partai kami yang ditugaskan untuk
meronda telah mendapatkan diri Cawsu kami sudah binasa
di depan kuil Sam-goan-koan. Dalam urusan ini, kau Touw
tayhiap harus memberi keadilan kepada kami!”
Touw Liong terkejut mendengar pertanyaan itu.
”Dengan cara bagaimana kematian ketuamu itu?”
”Mati di bawah serangan ilmu Thian-seng-jiauw.”
Kembali Touw Liong terkejut, kemudian teringat Cengtim,
manusia misteri nomor dua itu, katanya,
”Apakah kalian sudah periksa, ketua kalian itu adalah
orang lain yang menyaru ataukah ketuamu sendiri?”
”Tentang diri Ciangbunjin kami bagaimana bisa salah?
Murid-murid yang ditugaskan untuk menguburnya
bagaimana tidak dapat mengenali?”
Touw Liong menganggukkan kepala dan menyoja,
kemudian berkata,
”Kedatanganku hari ini justru lantaran peristiwa yang
terjadi dalam kuil kalian ini, jadi tidak perduli bagaimana
dengan totiang sekalian bagaimanapun juga Ciangbunjin
kalian tidak mungkin mati di tanganku orang she Touw.”
Para imam itu tidak mengatakan apa-apa, hanya
mengeluarkan suara dari hidung.
Touw Liong berkata pula,
”Tolong totiang tunjukkan jalan, aku si orang she Touw
hendak memeriksa jenasah Ciangbunjin kalian.”
Touw Liong mengikuti imam tadi berjalan masuk ke
pendopo Sam-ceng-tian, di tengah-tengah pendopo rebah
membujur dua sosok jenasah, yang satu adalah jenasah
sesepuh Bu-tong-pay yang sudah mati pada dua hari
berselang, dan yang lain adalah Ciangbunjin atau ketua Butong
Ceng-tim Totiang yang tadi malam masih berlaku
gagah di hadapannya.
Di hadapan jenasah itu, ada berdiri enam imam yan
sudah berusia lanjut, begitu Touw Liong masuk ke
pendopo, enam pasang mata imam itu telah mengawasi
kepadanya dengan sikap dingin, kemudian pada
menundukkan kepala.
Touw Liong tahu bahwa mereka para sesepuh partai Butong
pada dewasa itu, kalau ditilik dari kedudukannya
mereka masih sederajat dengan It-tim.
Touw Liong perlahan-lahan menghampiri ke depan
jenasah, ia membuka tutupnya, memeriksa bagian dada
Ceng-tim, di situ kembali terdapat tanda jari tangan yang
sudah berwarna hitam.
Siapapun tahu, luka seperti itu adalah disebabkan karena
terkena serangan Thian-seng-jiauw atau Thay-it-sin-jiauw.
Touw Liong tidak bersuara, sepasang matanya ditujukan
kepada kedua jenasah itu, Kang Kie maju menghampiri,
mengawasinya sejenak, kemudian berbisik-bisik di telinga
Touw Liong.
Touw Liong mengangguk-anggukkan kepala kemudian
menarik napas panjang, setelah itu ia memberi hormat dan
menjura kepada enam sesepuh, dan berkata sambil
menunjuk jenasah Ceng-tim.
”Totiang sekalian adalah para sesepuh partai Bu-tong
yang sekarang, tentunya sudah mempunyai banyak
pengetahuan dan pengalaman. Coba Totiang sekalian
lihatlah dan periksalah baik-baik jenasah Ciangbunjin
totiang kalian ada perbedaan apa dengan kematian sesepuh
tianglo pada kemarin malam?”
Enam sesepuh itu mendengar ucapan tersebut pada
terkejut, mata mereka lalu dialihkan kepada kedua jenasah
itu.
Sementara itu Touw Liong telah mengeluarkan suara
perlahan,
”Sungguh berbahaya!”
Salah seorang sesepuh itu, agaknya tidak mengerti
maksud ucapan Touw Liong tadi, maka lalu bertanya,
”Berbahaya apa?”
”Aku si orang she Touw hampir saja menjadi sasaran
orang banyak, kiranya Totiang sekalian sudah menganggap
aku sebagai musuh.”
Imam tua tadi masih tidak mengerti maksud Touw
Liong, matanya menatap pemuda itu, sementara itu Touw
Liong sudah berkata lagi sambil menunjuk jenasah yang
membujur di atas meja,
”Totiang sekalian boleh periksa dengan teliti, kematian
dua orang ini sama keadaannya, bahkan .... dari warna kulit
mereka dapat diketahui waktu matinya juga bersamaan.”
”Aaa!” demikian sesepuh tadi berseru kaget dengan
serentak, sekarang semua mata dialihkan kepada Touw
Liong, untuk mendengarkan keterangannya lebih lanjut.
”Aku kini sudah ingat, Ciangbunjin kalian tadi malam
bertempur denganku itu justru pembunuhnya Ciangbunjin
kalian yang asli, kemarin malam ia telah membunuh mati
sesepuh kalian bersama Ceng-tim Totiang, Ciangbunjin
kalian ini, setelah itu ia lalu menyamar menjadi ciangbunjin
kalian, dan mengelabui kalian semua.....”
Para imam itu saling berpandangan satu sama lain.
Sementara itu Touw Liong sudah berkata pula dengan
tegas,
”Jelasnya, orang itu semula muncul di sini dengan
menyamar sebagai Hian-kie-cu locianpwee yang menutup
mata pada lima puluh tahun berselang. Lebih dahulu ia
naik ke gunung Cit-phoa-san merampas pedang Hok-mokiam,
kemudian balik ke gunung Bu-tong untuk mencari
tempat berlindung, tapi ia juga takut akan diketahui
rahasianya oleh sesepuh partai Bu-tong dan Ciangbunjin,
itulah yang membuat dia dengan diam-diam menurunkan
tangan kejam. Setelah ia berhasil membunuh Ceng-tim
Totiang, lalu menyamar lagi dan mengangkat diri jadi
Ciangbunjin. Hanya dengan cara bagaimana dan kenapa
maka tadi malam ia berlalu....”
Dugaannya itu sangat tepat, dan enam imam itu
semuanya adalah orang-orang kang-ouw kawakan. Setelah
memeriksa keadaan dua jenasah itu, tentu saja lantas tahu
memang benar matinya dua orang itu adalah dalam waktu
bersamaan.
Dengan demikian perasaan curiga terhadap Touw Liong
mulai berkurang, akan tetapi oleh karena dua jenasah itu
menunjukkan kematiannya dengan cara yang sama ialah
sama-sama mati di bawah serangan Thian-seng-jiauw, maka
hal ini belum menghilangkan rasa curiga semuanya
terhadap Touw Liong.
Oleh karenanya, maka mereka tiada satu yang membuka
mulut, dengan demikian, hingga suasana menjadi hening.
Kang Kie yang sudah tidak sabar lagi, lalu bertanya
kepada enam sesepuh sambil menjura,
”Sekarang Tianglo sekalian masih ada pertanyaan apa?
Rasanya keterangan saudaraku tadi sudah lebih dari
cukup.”
Pek Giok Hoa juga lantas mengajak mereka berlalu.
Touw Liong dalam keadaan terpaksa, lalu bersama-sama
Kang Kie bertiga keluar dari pendopo Sam-ceng-tian.
Dalam perjalanannya pulang, di waktu sore Kang Kie
yang menampak Touw Liong masih diam saja, agaknya
sedang diliputi oleh banyak pikiran, maka sesudah makan
malam, empat orang itu keluar kota, menyusuri jalan di tepi
sungai Han-kang, maksud Kang Kie ialah supaya Touw
Liong bisa terhibur, sebab sejak turun dari gunung Bu-tongsan,
Touw Liong selalu menunjukkan sikap sedih.
Tetapi Touw Liong bukannya menjadi gembira, malah
jadi lebih banyak melamun.
Kang Kie akhirnya tidak berani mengganggu lagi,
demikian pula Pek Giok Hoa juga mengawani dia dengan
mulut bungkam.
Cuaca sudah gelap, Touw Liong yang sejak tadi diam
saja, tiba-tiba angkat muka dan berkata kepada Kang Kie,
”Koko, siaote harus berangkat ke Hui-liong-chung
sekarang juga, hendak mengurus sesuatu urusan penting.”
”Kau hendak mengurus apa?” bertanya Kang Kie yang
tidak mengerti.
”Jikalau dugaanku tidak keliru, Hui-liong-chung
sekarang ini mungkin sedang mendapat ancaman besar!”
”Kalau begitu mari kita pergi bersama-sama.”
”Tidak! Kalian turut bersama juga tidak ada gunanya,
sebaiknya siaote pergi seorang diri saja,” berkata Touw
Liong sambil menggelengkan kepala.
”Aku ikut kau pergi!” berkata Pek Giok Hoa sambil
menyandarkan kepalanya di pundak anak muda itu.
Touw Liong menggandeng tangannya yang putih halus,
katanya dengan suara lemah lembut,
”Kau juga tidak boleh turut pergi ada satu perkara lain
yang lebih penting daripada pergi ke Hui-liong-chung yang
harus kau lakukan.”
”Ada urusan lebih penting apa yang harus kau lakukan?”
tanya Pek Giok Hoa.
”Ayahmu bukankah sudah berhasil mempelajari ilmu
gaib dari daerah luar? Jikalau kau hendak menuntut balas
dendam ayahmu, maka kau masih perlu untuk melatih
baik-baik ilmu peninggalan ayahmu itu, apalagi ..... dalam
tanganmu sudah ada pedang pusaka Hok-mo-kiam, jikalau
kau tidak berikuti dengan ilmu pedang tingkat tinggi,
pedang itu tidak akan ada gunanya, maka soal yang
terpenting pada saat ini, aku kira ialah melatih ilmu pedang
golongan kelas tinggi itu.”
Kang Kie dengan perasaan tidak mengerti mengawasi
adiknya itu, Touw Liong perlahan-lahan dari dalam
sakunya mengeluarkan kitab ilmu pedang Hok-mo-kiamhoat,
serta diberikannya kepada Pek Giok Hoa seraya
berkata,
”Kitab ilmu pedang ini adalah Hok-mo Lojin yang
meninggalkan untuk murid dari golongannya.”
Tiga orang itu agak terkejut, Touw Liong memberikan
kitab ilmu pedang itu kepada Pek Giok Hoa, dan
menceritakan bagaimana ia mendapatkan kitab ilmu
pedang itu di dalam gua Hek-hong-tong.
Pek Giok Hoa menyambuti kitab pemberian Touw
Liong, lalu berlutut menghadap ke barat dan menjuta
hingga empat kali, dengan sangat hati-hati sekalu kemudian
ia menyimpan kitab ilmu pedang itu ke dalam sakunya
sendiri.
Touw Liong segera minta diri kepada tiga orang itu,
dengan ringkas ia memberitahukan kepada Kang Kie,
”Harap koko melindungi ia, tempat yang paling baik
untuk melatih ilmu pedang ialah di puncak gunung Thiantu-
hong di gunung Oey-san, selambat-lambatnya dua bulan,
siaote pasti akan ke Thian-tu-hong untuk mencari kalian.”
Setelah meninggalkan pesan kepada saudaranya ia mulai
melakukan perjalanan.
Dengan melakukan perjalanan siang dan malam,
beberapa hari kemudian Touw Liong sudah tiba di Huilion-
chun, begitu menginjak jembatan yang menghubung
antara Hui-liong-chung dengan daerah luar, ia telah
mendapatkan suatu perubahan yang menyedihkan.
Tiba di tempat itu Hui-liong-chung sedang mengalami
kebakaran hebat.
Api itu timbulnya sangat aneh, mengapa justru pada saat
Touw Liong tiba di tempat itu di perkampungan itu lantas
mendadak terjadi kebakaran!
Touw Liong benar-benar sangat terkejut, secepat kilat ia
lari ke tempat kebakaran itu.
Oleh karena waktu itu angin meniup kencang maka
kebakaran itu semakin besar.
Di dalam perkampungan itu suara orang yang menolong
kebakaran sangat riuh.
Touw Liong begitu masuk ke dalam perkampungan
dengan menempuh bahaya api, sekaligus ia sudah berhasil
menolong jiwa empat anak dan dua kaum wanita, tetapi
selama itu masih belum dapat bertemu dengan Lie Hui
Hong.
Ketika ketiga kalinya ia masuk ke dalam, seorang padri
tua telah melintangkan tongkat bajanya di depan Touw
Liong.
Touw Liong yang tadi tidak memperhatikan begitu
melihat ada orang yang merintangi segera angkat muka,
saat itu ia terkejut, sebab padri itu adalah susioknya Lie Hui
Hong sendiri, padri tua yang pertama kali menemukan
batok kepala Lie Hui Tek.
”Bocah she Touw, kau penjahat ini sungguh kejam,
sudah membakar perkampungan Hek-liong-chung!”
demikian padri tua itu berkata dengan marahnya.
Touw Liong tercengang, tetapi ia segera menjadi sadar,
sudah pasti ada orang yang menimbulkan onar di
perkampungan itu, bahkan sudah menggunakan namanya,
atau menyamar menjadi dirinya, yang bermaksud hendak
memfitnah kepadanya.
Siapakah orang itu? Mungkin juga si penjahat yang
menyamar menjadi ketua Bu-tong pay, juga yang pernah
menyamar menjadi Hian-kie-cu, dan yang membunuh Pek
Thian Hiong.
Apabila benar perkampungan itu adalah dia yang
membakar, siapakah orang itu? Rasanya perlu mencari
tahu.
Oleh karena tindak-tanduknya selama itu, yang selalu
hendak memfitnah dirinya dan mencelakakan dirinya,
maka dalam dunia ini, orang yang mengandung maksud
jahat seperti itu, hanya seorang saja, dia itu adalah .... Koo
Hong!
Akan tetapi Koo Hong sudah mati, apakah benar-benar
seperti apa yang dikatakan Kakek Seribu Muka, bahwa
orang she Koo itu belum mati terbakar? Kali ini ia telah
muncul lagi, segala perbuatannya itu ditujukan untuk
mencelakakan dirinya supaya ia tidak dapat tancap kaki di
rimba persilatan.
Apabila benar itu perbuatan Koo Hong maka....
Selagi memikirkan soal itu, dengan tidak diduga-duganya
padri tua itu sudah menyerang dirinya dengan tongkat,
sehingga mau tak mau Touw Liong harus melesat tinggi
untuk membuyarkan serangan tadi.
Touw Liong setelah berhasil mengelakkan serangan
padri tua itu, ia meletakkan dua anak yang dibawanya di
tanah, setelah itu ia berpaling. Selagi hendak bertanya,
serangan kedua dari padri tua itu sudah mengancam dirinya
lagi, Touw Liong lalu berseru,
”Di mana saudara Hui Hong?”
”Dia pergi mengejar sumoymu Kim Yan! Kamu suheng
dan sumoy sungguh bagus perbuatanmu, telah membakar
perkampungan, lalu mencoba-coba hendak kabur, dan kau
sekarang pura-pura berlaku baik hati!”
“Kim Yan?” demikian Touw Liong mendumel sendiri, ia
menjadi bingung dan tidak habis mengerti apa sebabnya
Kim Yan juga datang ke perkampungan Hui-liong-chung.
Ia tahu bahwa dalam keadaan seperti itu, tidak dapat ia
memberi penjelasan apa-apa kepada padri tua itu, oleh
karena Koo Hong sudah muncuk di perkampungan Huiliong-
chung, maka ia telah mengambil keputusan hendak
mencari kepadanya.
Oleh karenanya, maka ia tidak menghiraukan padri tua
itu, bagaikan garuda terbang, ia melesat mengitari kampung
tersebut untuk mencari jejak Koo Hong.
Pada saat itu, di atas jembatan telah terjadi pertempuran
seru antara Lie Hui Hong dengan anak buahnya di satu
pihak, dan Kim Yan di lain pihak.
Tampaknya Lie Hui Hong hendak menerobos jembatan
sayang jembatan itu sudah dihalangi oleh Kim Yan,
sehingga ia tidak berhasil menerobos pula.
Sebelum Touw Liong tiba di tempat tersebut, sudah
terdengar suara Kim Yan yang berseru, “Orang yang kalian
cari itu sudah datang!”
Seruannya itu ternyata berhasil. Lie Hui Hong segera
berpaling dan lebih dulu menyambut kedatangan Touw
Liong.
Bab 57
ANAK Lie Hui Hong juga turut menyerbu dan
menyerang Touw Liong.
Dalam keadaan demikian, Touw Liong terpaksa
menggunakan ilmunya serangan jari tangan untuk
menghalaukan serbuan orang-orang itu, sementara
mulutnya berkaok-kaok memanggil Kim Yan,
”Sumoy, kapan kau datang kemari?”
”Bukankah aku sudah datang bersama-sama denganmu?
Bagaimana kau begitu lekas lupa? Bukankah kau sendiri
yang membakar perkampungan ini?” demikian Kim Yan
menjawab sambil tertawa terbahak-bahak.
Lie Hui Hong marah sekali, bentaknya,
”Bocah she Touw, bagus sekali perbuatanmu! Hari ini
aku akan adu jiwa denganmu!”
Touw Liong tidak tahu bagaimana harus membuka
mulut, karena sudah terancam oleh serangan Lie Hui Hong,
terpaksa ia menggunakan pula serangannya jari tangan,
untuk menyentil jatuh golok Lie Hui Hong, karena ia tahu
bahwa kekuatan tenaga dan kepandaian Lie Hui Hong
belum pulih, maka ia tidak mau turun tangan terlalu kejam.
Tak lama kemudian, padri tua susioknya Lie Hui Hong
juga sudah sampai di tempat itu, dan menyerang Touw
Liong dengan tongkatnya, Touw Liong mengelak sambil
berseru,
”Tahan!”
”Tahan boleh, tapi serahkan dulu nyawamu!” jawab
padri tua itu dalam keadaan marah.
Touw Liong yang diserang bertubi-tubi, terpaksa loncat
sana loncat sini untuk mengelakkan serangan mereka, ia
telah berhasil sampai ke jembatan, dan berkata dengan
cemas kepada sumoynya,
”Sumoy...”
Tetapi kedatangan Touw Liong disambut oleh Kim Yan
dengan satu serangan hebat.
Touw Liong merasa sedih mendapat perlakuan
demikian, tetapi ia masih bertanya juga kepadanya,
”Siapa yang telah melepas api?”
”Bukankah kau sendiri?!”
Touw Liong merasa sedih, ia terpaksa merubah
siasatnya, tanyanya pula dengan nada suara sedih,
”Kau datang bersama siapa?”
”Bersama-sama dia,” menjawab Kim Yan sambil
menunjuk ke ujung jembatan.
Di sana, tampak berdiri seorang tua berwajah putih
dengan sikap tenang. Touw Liong dalam hatinya terkejut,
karena orang itu bukan lain daripada Pek Thian Hiong.
Bukankah Pek Thian Hiong sudah binasa di gunung
Kiong-lay-san? Mengapa kini mendadak muncul lagi?
Apakah orang yang sudah mati bisa hidup kembali?
Pada saat itu, api berkobar semakin keras, padri tua
dengan sikapnya yang masih marah menghampiri Touw
Liong, dan ketika di situ bertambah satu orang, juga
terkejut, tanya dengan suara nyaring,
”Sicu siapa?”
”Aku si orang tua Pek Thian Hiong,” jawab orang yang
ditanya sambil tertawa terbahak-bahak.
Padri tua itu terkejut, buru-buru memberi hormat
kepadanya.
”Entah ada keperluan apa sicu berkunjung ke kediaman
kami?” bertanya padri tua itu.
”Kedatanganku kemari hanya membawa tugas dari Hekhong
Kauwcu, minta supaya taysu bersama kemenakanmu
pergi ke gunung Hek-hong-san untuk bekerja sama dengan
Kauwcu.”
Padri tua itu mengawasi Kim Yan dan Touw Liong
dengan sikap marah, Pek Thian Hiong segera mengerti
maksudnya, maka lalu berkata sambil menunjuk Touw
Liong.
”Bocah she Touw ini sudah membakar perkampungan
Hui-liong-chung, tentang ini, siansu harap jangan khwatir,
Kauwcu tidak akan tinggal diam pasti akan
mempertanggungjawabkan perbuatan bocah ini.”
”Bagaimana dengan sumoynya?” bertanya Lie Hui
Hong.
Pek Thian Hiong kembali menjawab,
”Tentang nona Kim, karena dilakukan dalam keadaan
terpaksa, nona Kim sekarang sudah bergabung dalam Hekhong-
kauw, kedatangannya kali ini semata-mata karena
dipaksa oleh bocah she Touw itu. Kalau Chungcu tidak
percaya, silahkan tanya kepada nona Kim sendiri!”
Oleh karena Pek Thian Hong dalam rimba persilatan
mempunyai kedudukan tinggi, dan kini sudah
menggabungkan diri dengan Hek-hpng-kauw hal ini saja
sudah cukup untuk menggerakkan hati Lie Hui Hong, ia
memandang kepada susioknya, tampak padri tua itu sedang
berpikir keras, agaknya juga sudah tergerak hatinya.
Lie Hui Hong maju dua langkah dan bertanya kepada
Kim Yan.
”Nona, betulkah ucapan Pek Sancu ini?”
Kim Yan mengangguk.
Padri tua itu lalu berkata,
”Apabila sancu menerima baik permintaan pinceng,
pinceng bersedia ikut samcu untuk menjumpai Kauwcu
dengan segera.”
”Silahkan!”
”Apabila sancu sekarang ini mau membela keadilan bagi
kami, pinceng dengan senang hati bersedia
menyumbangkan tenaga untuk Hek-hong-kauw.”
”Urusan ini sangat mudah, aku pikir, tidak perlu aku
harus turun tangan sendiri, aaai....”
Baru berkata sampai di situ ia terdiam, matanya
memandang Kim Yan.
Tanpa ragu-ragu Kim Yan menganggukkan kepala
kemudian mengulur pedang panjangnya dan berkata,
”Siaolie bersama suheng masing-masing ada
perjalanannya sendiri-sendiri, tentang perhubungan
persaudaraan dalam satu perguruan antara kami sudah
lama putus. Untuk menyumbangkan sedikit tenaga bagi
chungcu, sudah tentu tidak keberatan.”
Kata-katanya itu diucapkan dengan sikap tenang dan
wajar, hingga Touw Liong yang mendengarkan itu merasa
seolah-olah ditikam hatinya oleh ujung belati.
Tetapi ia mengerti keadaan sumoynya pada waktu itu,
tidak perlu banyak alasan, maka ia hanya dapat menarik
napas panjang saja, dan matanya mengerling kepada Pek
Thian Hiong, sementara dalam hatinya, ia sudah menduga
pasti, bahwa Pek Thian Hiong itu, mungkin adalah jelmaan
Koo Hong, atau Koo Hong yang menyamar sebagai Pek
Thian Hiong. Sebabnya mudah sekali, karena Pek Thian
Hiong yang sudah mati tidak mungkin bisa hidup kembali.
Touw Liong berpaling, dan memberi penjelasan kepada
padri tua itu,
”Losiansu tunggu dulu, aku si orang she Touw masih
ada sedikit perkataan yang rasanya tidak enak didengar.....”
Padri tua yang sudah marah sekali itu, agak tidak dapat
diberi mengerti begitu saja, katanya sambil menggertak gigi,
”Masih perlu bicara apa lagi? Karena Hui Pek,
membakar perkampungan Hui-liong-chung, merampas batu
Khun-ngo-giok, semua adalah perbuatanmu seorang.
Pinceng sebetulnya merasa sangat menyesal tidak dapat
bertindak sendiri terhadapmu, tapi biarlah. Sekalipun
meminjam tangan orang lain, asal aku dapat melihat kau
mati di jembatan ini, hari ini aku sudah merasa puas.”
”Losiansu keliru!” kata Touw Liong sambil menarik
napas panjang.
”Apa yang keliru? Apakah masih ada hal-hal yang
terjadi di luar persoalan?”
Touw Liong menganggukkan kepala, sambil menunjuk
Pek Thian Hiong, ia balas bertanya kepada Lie Hui Hong,
”Tahukah chungcu siapa dia ini?”
”Bocah, siapa yang tidak kenal Pek siancu? Apa kau
masih pikir hendak membantah?”
”Jikalau dugaanku tidak keliru, dia adalah Thian-bok Itsiouw
Koo Hong.”
’Koo Hong?”
Touw Liong mengangguk, lalu katanya dengan sikap
sungguh-sungguh,
”Apa yang disebutkan oleh pamanmu tadi, semua telah
dilakukan oleh dia seorang. Bahkan.... kematian Pek
Siancu di gunung Kiong-lay-san, kematian suhu di gunung
Kiu-hoa-san, juga dia yang membunuh secara menggelap.
Dua urusan ini, juga mungkin perbuatannya!”
Pek Thian Hiong tertawa besar, ia berkata sambil
membusungkan dada,
”Bocah, dugaanmu semua jitu, perbuatan itu semua
adalah aku yang melakukan....”
Belum lenyap suara tertawanya, wajah padri tua dan Lie
Hui Hong berubah seketika, mereka alihkan pandangan
matanya kepada Pek Thian Hiong.
”Bocah kau mengoceh seenaknya, apa kau kira mereka
mau percaya obrolanmu?”
Dengan penjelasan itu, perasaan tegang Lie Hui Hong
dan padri tua tadi sesaat menjadi kendor.
Pek Thian Hiong sementara itu lantas berkata kepada
Kim Yan sambil menjura,
”Jikalau nona tidak mau turun tangan, biarlah aku si
orang tua yang bertindak sendiri.”
Kim Yan menjawab, ia hanya menggerakkan pedangnya
dan mendesak Touw Liong,
”Apabila suheng tidak mau menghunus juga pedangmu,
jangan salahkan kalau sumoaymu yang bertindak dengan
tidak pakai aturan!”
Dalam keadaan sangat terpaksa Touw Liong menghunus
pedang Hok-mo-kiamnya, ia menganggukkan kepala seraya
berkata,
”Sungguh tak diduga bahwa kejadian hari ini benarbenar
seperti apa yang diucapkan oleh Panji Wulung
Wanita dahulu....”
Dalam amarahnya, Touw Liong lantas menantang
semuanya supaya maju berbareng.
Pek Thian Hiong diam saja, tetapi padri tua itu sudah
tidak dapat mengendalikan hawa amarahnya, setelah
menggeram, lalu maju sambil menenteng senjatanya.
Tetapi perbuatan itu segera dicegah oleh Pek Thian
Hiong, katanya,
”Losiansu jangan keburu nafsu, Kim lihiap seorang yang
turun tangan, kurasa sudah cukup untuk mengambil jiwa
bocah ini.”
Oleh karenanya padri tua itu lalu membatalkan
maksudnya, hanya memandang Touw Liong dengan sinar
mata berapi-api.
Demikianlah dua saudara seperguruan, yang dahulu
berhubungan demikian akrab, bahkan sudah saling
mencinta, kini harus berhadapan sebagai musuh, ini
sesungguhnya memang terlalu kejam, tetapi kenyataannya
telah terjadi begitu, maka Touw Liong mau tak mau harus
menghadapi kenyataan itu dengan hati patah.
Pertempuran berlangsung seru. Touw Liong terus saja
mengalah, ia tidak mau turun tangan kejam terhadap
saudara seperguruannya. Sebaliknya dengan Kim Yan,
nona ini agaknya tidak mau memberi hati kepada Touw
Liong, setiap serangannya dilakukan dengan sangat ganas.
Kira-kira setengah jam telah berlangsung, dalam
pertempuran seru dan sengit itu, dengan tiba-tiba Kim Yan
undurkan diri, pedang di tangan Kim Yan tertuju ke bawah,
wajahnya tampak marah, dengan sinar mata berapi-api
memandang Touw Liong. Demikian pula keadaan Touw
Liong. Pemuda ini juga menurunkan pedangnya ke tanah
dengan hati pilu mengawasi Kim Yan, kemudian berkata
dengan suara sedih,
”Sumoay, suhengmu terpaksa harus bertindak
demikian!”
Pek Thian Hiong sebetulnya diam-diam sudah
bersepakat dengan padri tua, tidak perduli siapa yang
menang dan kalah dalam pertmpuran ini, keduanya akan
menyergap Touw Liong.
Dalam perkiraan mereka, Kim Yan tidak mungkin kalah,
sebab mereka sudah lama dengar bahwa ilmu Hek-hong-imkang
dari Hek-hong Kauwcu, sudah diwariskan kepada
Kim Yan, maka kalau dibanding dengan Touw Liong, Kim
Yan tidak mungkin bisa kalah. Akan tetapi kenyataannya,
kini Kim Yan bukan saja sudah kalah, bahkan
kekalahannya itu sangat hebat.
Justru karena itu, maka dua orang tadi baru sadar dan
terkejut, mereka sudah melupakan persepakatan mereka
semula yang hendak menyergap Touw Liong, mereka
hanya repot untuk mencari sebab-sebabnya kekalahan dari
Kim Yan.
Akan tetapi dua orang itu melihat-lihat demikian lama,
meskipun mereka semuanya merupakan orang-orang Kangouw
kawakan, namun masih tidak dapat melihat Kim Yan
terluka di bagian mana.
Sementara itu Touw Liong sudah berkata sambil
menunjuk dengan pedangnya kepada Pek Thian Hiong,
”Orang she Koo, hari ini adalah hari kematianmu.
Sebelum aku turun tangan, kau bicaralah dengan terus
terang. Benarkah kematian suhu itu adalah
perbuatanmu...?”
Pek Thian Hong dalam keadaan marah, selagi hendak
melancarkan serangan, Kim Yan tiba-tiba membentak,
”Tunggu dulu!”
Pek Thian Hiong terpaksa membatalkan maksudnya, ia
berdiri tegak tanpa bersuara, Kim Yan maju selangkah
dengan sinar mata dingin ia menatap wajah Touw Liong
sejenak kemudian berkata kepadanya,
”Suheng, hari ini kau benar-benar gagah!”
Touw Liong hanya sambut ucapan itu dengan helaan
napas perlahan, dengan hati pilu mengawasi Kim Yan.
”Aku adalah wakil ketua Hek-hong-kauw,” demikian
Kim Yan berkata pula, ”Mereka berdua adalah anggota
terpenting bagian hukum di bawah perintah Hek-hong
Kauwcu. Suheng apabila kau masih ada apa-apa yang kau
pula belum diselesaikan dengan mereka, hari ini kau boleh
perhitungkan dengan aku. Selewatnya hari ini, kalau aku
tidak bersama mereka, segala permusuhan pribadi, boleh
bereskan sendiri langsung dengan mereka.”
”Sumoay, bagaimanapun gila pikiranmu, juga
seharusnya kau sadarilah bahwa musuh perguruan itu besar
sekali artinya!”
”Apakah kau sudah tahu pasti bahwa dia itu adalah Koo
Hong? Apakah kau sudah tahu pasti bahwa musuh yang
membunuh suhu itu adalah Koo Hong?”
Dua buah pertanyaan itu telah membuat Touw Liong
bungkam.
Kim Yan menunggu sebentar, lalu mengajak dua orang
itu berlalu.
Pek Thian Hiong dan padri tua itu hanya mengikuti saja
jejak Kim Yan meninggalkan Touw Liong di tempatnya.
Touw Liong mengawasi berlalunya Kim Yan, dalam
hatinya merasa sangat pilu, hingga air matanya sampai
mengalir keluar.
Ia telah menduga dengan pasti, bahwa orang yang
menyamar menjadi Pek Thian Hiong itu adalah Koo Hong,
juga mungkin dialah musuhnya yang membunuh mati
gurunya sendiri. Tetapi oleh karena dihalang-halangi oleh
Kim Yanm hingga ia tidak bisa turun tangan terhadapnya,
kalau ia memikirkan pertempuran yang terjadi antara ia
dengan sumoaynya tadi, Touw Liong merasa begitu
menyesal, tidak seharusnya ia turun tangan berat, dengan
menggunakan ilmunya Tay-lo-kim-kong-ci, telah membuat
cacad lengan kiri Kim Yan.
Ia merasa sedih memikirkan nasib sumoaynya. Luka di
lengan kiri Kim Yan, seumur hidupnya ini, tidak mungkin
dapat disembuhkan lagi.
Sebetulnya tiada maksud sedikitpun darinya untuk
membuat cacad sumoaynya, hal itu telah terjadi di luar
dugaannya sendiri, juga boleh dikata karena kesalahan
tangan.
Kiranya selagi pertempuran berlangsung, Touw Liong
telah menampak lengan kiri Kim Yan ada tanda-tanda
hendak mengerahkan serangannya Hek-hong-im-kang, ia
masih sangsi, apakah Kim Yan sudah dapat menggunakan
ilmu itu dengan baik atau tidak. Tetapi Touw Liong juga
tahu gelagat tidak beres. Ia tahu benar, bila serangan yang
sangat ganas itu apa tidak berjaga-jaga pasti akan membawa
akibat yang sangat menggiriskan! Oleh karenanya, maka ia
telah bertindak lebih dulu, menotok jalan darah di lengan
kiri Kim Yan dengan ilmunya Kim-kong-ci sebelum sang
sumoay bertindak.
Tak ia duga bahwa Kim Yan benar-benar hendak
mencoba ilmunya yang sangat ganas itu. Tetapi untunglah
kekuatan tenaga dalam gadis itu belum cukup, jadi belum
dapat menggunakannya dengan baik. Siapa tahu selisih
yang sangat sedikit saja itu telah membawa akibat fatal bagi
dirinya ketika jalan darahnya tertotok oleh ilmu Kim-kongci
Touw Liong, telah menimbulkan akibat cacadnya lengan
kiri itu, dengan demikian tangan kiri Kim Yan mau tak mau
telah menjadi cacad.
Satu-satunya jalan untuk menyembuhkan lengan itu,
ialah dalam waktu dua belas jam harus disembuhkan oleh
Panji Wulung Wanita sendiri. Tetapi biar bagaimanapun
harapan itu sangatlah tipis, sebab pada saat seperti itu entah
dimana adanya Panji Wulung? Dan dengan cara
bagaimana dalam waktu dua belas jam bisa berjumpa
dengan Kim Yan?
Kini Kim Yan sudah berlalu, perkampungan Hui-liongchung
juga tinggal reruntuhan, pemandangan itu semakin
memilukan hati Touw Liong saja.
Dengan hati ruwet dan pilu sekali, Touw Liong sambil
menghela napas melanjutkan perjalanannya menyusuri
sungai Jie-sui menuju ke timur.
Tiga hari kemudian, tibalah Touw Liong di kota Tongsian
di depan sebuah kelenteng Koan-tee-bio. Touw Liong
mencari seorang pengemis tua berusia lima puluh tahunan
ke atas, ia tidak perduli pengemis tua itu mau
menghiraukan kepadanya atau tidak, sudah mengajukan
pertanyaan padanya,
”Tolong kau sampaikan kepada Lie Pangcu, katakanlah
bahwa aku orang she Touw nanti jam tiga malam
menunggu dia di tempat ini, ada sesuatu urusan penting
hendak dibicarakan dengannya.”
Pengemis tua itu membalikkan matanya memandang
Touw Liong tanpa berkata, namun sikapnya menunjukkan
perasaan terkejutnya.
Pengemis tua itu hanya memandang sejenak orang yang
menegurnya, kemudian tidur lagi, sedang Touw Liong juga
lantas meninggalkan tempat itu dengan langkah lebar.
Tepat jam tiga malam, di depan kelenteng Koan-tee-bio
tampak bayangan beberapa puluh pengemis mengiringi Lie
Pancu, Lie Hu San, berjalan menuju ke depan kelenteng.
Touw Liong sudah lama menantikan kedatangan mereka
di tangga batu rumah suci itu.
Kedua musuh lama telah berdiri berhadap-hadapan,
kembali Lie Hu San dengan sikap garang bertanya kepada
Touw Liong,
”Bocah she Touw, untuk apa kau datang ke kota Tongsian
ini?”
JILID 22 (TAMAT)
Karena kota Tong-sian adalah markas besar kaum
perkumpulan pengemis, Touw Liong yang hendak mencari
Lie Hui San, maka ia pergi berkunjung ke kota tersebut.
”Cui-sian Locianpwe, salah satu dari tiga dewa
golonganmu, telah minta padaku untuk melakukan suatu
tugas, maka itu dengan perjalananku ke Ji-sui kali ini
sekalian aku datang mencari pangcu untuk beromongomong,”
menjawab Touw Liong dengan suara perlahan.
”Bocah she Touw, kau tampaknya bangga sekali! Kau
sudah membakar perkampungan Hui-liong-chung, apakah
kau sekarang juga sudah menaksir sarangku pengemis ini
untuk kau jadikan umpan api yang kedua?”
Dalam hati Touw Liong agak terkejut, diam-diam ia
merasa kagum atas info golongan pengemis yang demikian
hebat, kabar itu dengan cepat sudah sampai di telinga sang
pemimpin ini!
”Pangcu harap hargakan dirimu sendiri, janganlah kau
berkata asal sekeluar suara. Aku si orang she Touw seorang
laki-laki sejati, mana bisa melakukan perbuatan serendah
itu?”
Bab 58
LIE HUI SAN takut kalau-kalau Touw Liong jadi marah
betul-betul, maka lalu mengalihkan pembicaraan ke soal
lain,
”Touw Tayhiap dengan membawa perintah sesepuh
golongan kami datang kemari, entah hendak melakukan
tugas apa?”
”Tidak apa-apa, sesepuh golonganmu itu karena
memikirkan soal tanda kepercayaan golonganmu yang
berukiran Naga Emas, maka memerintahkan aku untuk
menanya kepada pangcu apakah selama tiga puluh tahun
ini pangcu sudah mendapatkan tanda kepercayaan Naga
Emas itu?”
Dengan kedudukan sebagai apa Touw tayhiap hendak
mencampuri urusan kami dalam golongan pengemis?”
”Aku hanya merupakan salah seorang murid yang
diterima oleh sesepuhmu itu dan diperintah datang ke kota
Tong-sian untuk membantu pangcu membereskan urusanurusan
dalam golongan pengemis.”
”Apa Touw tayhiap ada membawa bukti?”
“Tentang ini ….” Sejenak Touw Liong ragu-ragu.
Lie Hui San mengeluarkan sebuah tanda kepercayaan
dari batu giok, dengan sikap garang berkata,
”Touw tayhiap benar-benar pandai membanyol. Samtianglo
telah memberikan tanda kepercayaan yang berupa
binatang Kielin batu giok ini kepadaku si orang she Lie, dan
memerintahkan juga supaya aku yang membereskan segala
urusan dalam golongan pengemis daerah selatan dan utara.
Belakangan ini mendengar kabar, bahwa tanda kepercayaan
emas yang berukiran Naga itu yang dimiliki oleh suhu telah
terjatuh di tangan Sauw Su In, aku si orang she Lie sedang
bersiap-siap hendak mengajak delapan sesepuh dalam
golongan kmi untuk pergi ke gunung Tiam-jong, mencari
tanda kepercayaan itu.”
Touw Liong begitu melihat tanda kepercayaan batu giok
berukiran binatang Kie-lin dalam hatinya terkejut. Si taysu
pemabukan dalam suratnya yang diberikan kepadanya, jelas
pernah menyebut tanda kepercayaan batu giok itu, tapi
dengan cara bagaimana bisa terjatuh di tangan Lie Hui San?
Diberikan oleh paderi pemabukan itu ataukah
didapatkan dari mana? Sewaktu berada di kota Lam-yang
ia sendiri pernah melihat bahwa taysu pemabukan itu
pernah menunjukkan benda kepercayaan yang berupa batu
giok itu, bahkan paksakan diri hendak dihadiahkan
kepadanya, tetapi waktu itu ia menolak pemberian itu dan
kemudian entah kemana batu giok itu. Tetapi mengapa
sekarang bisa berada di tangan orang she Lie itu?
Sementara itu Lie Hui San berkata kepadanya,
”Mengenai urusan dalam golongan kami untuk
sementara tidak berani meminta bantuan Touw tayhiap.
Nanti bila kami sudah menemukan kembali tanda
kepercayaan ketua yang telah hilang, dan aku si orang she
Lie harus lagi membereskan dalam golongan kami, waktu
itulah mungkin diperlukan bantuan Touw tayhiap.”
Ucapan Lie Hui San itu ada mengandung pengusiran
halus terhadap Touw Liong.
Tetapi Touw Liong tidak menghiraukan semuanya, ia
memikirkan urusan yang sudah lalu.
Tiba-tiba Touw Liong berseru kaget, dengan sikap keren
berkata sambil menunjuk tanda kepercayaan batu giok di
tangan Lie Hui San:
”Tanda kepercayaan Batu Giok ini untuk sementara
biarlah Lie pangcu pegang, tunggu setelah aku
mendapatkan kembali tanda kepercayaan ketua, barulah
aku juga minta kembali kepada Pangcu!”
Setelah berkata demikian, ia berlalu dengan langkah
lebar.
Lie Hu San berdiri terpaku sambil mengawasi berlalunya
Touw Liong.
Kiranya Touw Liong telah teringat kejadian di kota
Lam-yang pada waktu dahulu....
Semula Taysu Gila itu dengan paksa memberikan tanda
kepercayaan itu kepada Touw Liong. Setelah ditolaknya,
telah menimbulkan amarah padri gila dan pemabokan itu.
Ia menggampar Touw Liong sehingga jatuh pingsan, jadi ia
tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya.
Tatkala ia siuman kembali, waktu membuka mata, di
sampingnya telah berdiri dua orang. Satu ialah Lie Hui San
dan yang lain ialah Lie Hui Hong.
Waktu itu dua orang tersebut bertengkar dengan cara
bagaimana hendak membereskan diri Touw Liong.
Tiga hari kemudian, tatkala Touw Liong membuka surat
yang ditinggalkan Taysu pemabukan, dalam surat itu jelas
ada menyebut tentang tanda kepercayaan batu giok yang
dihadiahkan kepadanya, tetapi barang itu ternyata tidak
terdapat dalam sakunya.
Kini setelah nampak benda itu berada di tangan Lie Hui
San, ia segera teringat kejadian hari itu. Sudah jelas bahwa
benda itu dengan beradanya di tangan Lie Hui San, tentu
waktu itu sudah dicuri olehnya.
Dugaan itu ternyata benar seluruhnya. Segalanya
memang sudah terjadi seperti apa yang diduga olehnya.
Setelah Touw Liong berlalu, Lie Hu San lalu
memerintahkan anak buahnya, dan segera berangkat ke
gunung Tiam-cong untuk lebih dulu mendapatkan tanda
kepercayaan ketua partai.
Malam itu juga, Lie Hu San bersama beberapa sesepuh
golongan pengemis meninggalkan kota Tong-sian.
Kita sekarang balik kepada Touw Liong yang berlalu
dengan perasaan masgul. Pada hari ke dua ia sudah tiba di
kota Pak-khia.
Meskipun Touw Liong namanya sudah sangat terkenal
dalam rimba persilatan, tetapi ia biasanya berkelana di
daerah selatan, jarang sekali melakukan perjalanan ke utara,
maka untuk pertama kali ia datang di kota Pak-khia. Orang
yang mengetahui dirinya jumlahnya tidaklah seberapa
banyak.
Maksud kedatangannya ke ibukota itu bukanlah hendak
pesiar, juga bukan buat menikmati pemandangan alam
indah kota itu, sebab ia sedikitpun tidak mempunyai waktu
untuk bersenang-senang seperti itu.
Kedatangannya semata-mata ialah ingin pergi
menyelidiki ke toko-toko barang kuno di kota Pak-khia.
Sebab tanda kepercayaan ketua golongan pengemis yang
berupa emas berukiran naga, karena barang itu merupakan
barang pusaka yang sudah berpuluh-puluh tahun
menghilang, mungkin sudah terjatuh di toko barang antik.
Oleh karenanya, maka ia telah mengambil keputusan
untuk mengadakan penyelidikan di toko-toko barang antik
di kota Pak-khia.
Meskipun ia belum pernah melihat bagaimana bentuk
dan rupa tanda kepercayaan itu tetapi karena ia sudah
melihat bentuknya dan rupa benda kepercayaan batu giok
yang berukiran binatang Kie-lin, tanda kepercayaan emas
itu mungkin bentuknya tidak berbeda jauh dengan tanda
kepercayaan batu giok atau berbentuk dua atau tiga ekor
naga emas.
Beberapa toko barang antik telah dikunjungi olehnya,
tetapi pemilik toko semuanya menggelengkan kepala,
mengatakan belum pernah melihat barang seperti apa yang
ditanyakan oleh Touw Liong.
Namun demikian Touw Liong belum berputus asa. Di
hari ketiga, ia mulai melakukan penyelidikannya lagi di lain
bagian.
Hari itu ia tetap tidak mendapatkan hasil apa-apa bahkan
karena tindakannya yang mencurigakan, telah
menimbulkan perhatian banyak orang, yang diam-diam
memperhatikan dirinya. Dalam hati Touw Liong mengerti,
orang-orang yang memperhatikan dirinya itu tentu adalah
mata-mata golongan pengemis, namun ia tidak peduli.
Pada hari keempat, pagi-pagi sekali Touw Liong sudah
mulai melakukan tugasnya lagi. Kali ini ia mendapat
sedikit petunjuk.
Dari seorang pemilik toko-toko barang antik, Touw
Liong telah mendapat keterangan, bahwa pada setengah
bulan berselang memang benar ada barang kuno yang dicari
oleh Touw Liong. Benda itu merupakan sebuah batu giok
merah yang diukir dengan dua ekor naga, oleh karena
warna naga itu merah, sehingga seperti emas.
Touw Liong buru-buru menanyakan di mana adanya
barang itu, tetapi pemilik toko itu lalu menyatakan bahwa
barang tersebut sudah dijual.
Touw Liong merasa kecewa mendengar jawaban itu,
namun ia masih coba minta keterangan siapa dan
bagaimana rupa orangnya yang membeli barang itu.
Menurut keterangan pemilik toko, pembeli itu
menggunakan bahasa daerah dekat Sam-see, kalau tidak
salah ia itu seorang pedagang kulit.
Touw Liong masih belum puas, ia menanyakan wajah
dan usia orang itu.
Lama juga pemilik toko itu berpikir, akhirnya ia masih
rada-rada ingat bahwa orang itu, kira-kira berusia di sekitar
empat puluh tahunan, di mukanya bagian kiri terdapat
tanda warna hijau.
Itu saja sudah cukup bagi Touw Liong untuk dipakai
sebagai bahan penyelidikan. Ia minta diri dan mulai
melakukan perjalanan untuk mencari jejak orang tersebut.
Menurut perhitungannya, pedagang kulit itu mungkin
sudah tiba di kota Peking, dan jikalau ia melakuka
perjalanan satu hari satu malam terus-menerus, pada waktu
tiba di kota Ceng-hong-tiam pasti dapat menyandak
pedagang kulit itu.
Setelah mengambil keputusan, Touw Liong hari itu juga
lantas berangkat melakukan perjalanan.
Benar saja, pada hari yang diperhitungkan sudah tiba di
kota Ceng-hoa-tiam. Kota itu merupakan sebuah kota
besar, di situ terdapat sepuluh lebih rumah penginapan.
Jumlah rumah penginapan di situ ada demikian banyak,
kemana ia harus mencari orang itu?
Inilah merupakan suatu kesulitan baginya. Terpaksa ia
mendatangi satu persatu rumah penginapan yang ada di
kota itu.
Akhirnya, dari salah satu rumah penginapan dia
mendapat keterangan bahwa betul pada kemarin malam,
dalam rumah penginapannya ada kedatangan tetamu
seperti apa yang dicari oleh Touw Liong, tapi tadi pagi-pagi
sudah diajak keluar minum arak oleh dua sahabatnya yang
menyusulnya dari kota Pak-khia, hingga sekarang masih
belum kembali.
Mendengar keterangan itu Touw Liong agak terkejut.
Ada dua orang yang menyusul dari Pak-khia? Siapa adanya
dua sahabat orang itu?
Satu pertanyaan timbul dalam otaknya, kemana
pedagang kulit itu pergi? Kembali ke kota Pak-khia ataukah
masih ada urusan lain?
Untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut Touw Liong
terpaksa mengambil salah satu kamar dalam rumah
penginapan yang ditinggali oleh pedagang kulit tadi purapura
menginap. Tetapi dari malam menantikan sehingga
subuh, masih belum tampak juga batang hidung pedagang
kulit itu pulang ke rumah penginapannya. Kemana dia?
Touw Liong diam-diam mengeluh, ia seperti mendapat
firasat tidak baik, segera keluar dari rumah penginapannya.
Di kota Ceng-hong-tiam itu ia berputaran beberapa kali,
namun tidak menemukan jejak orang yang dicari. Ia lalu
menduga bahwa orang yang menyusul pedagang kulit
tersebut mungkin orang dari golongan pengemis yang
dalam waktu bersamaan hendak mencari tanda
kepercayaan Naga Emas.
Ia menduga pasti bahwa pedagang kulit itu masih berada
di kota itu, hanya orang itu kini mungkin sudah dalam
cengkeraman orang-orang golongan pengemis. Apabila ia
tidak dapat mencari atau menemukan pedagang kulit itu
dengan segera, dan apabila tanda kepercayaan ketua
golongan pengemis itu terjatuh ke tangan Lie Hu San, maka
Lie Hu San segera dapat mempersatukan golongan
pengemis daerah utara dan selatan dengan menggunakan
tanda kepercayaan itu sebagai bukti.
Dengan demikian, golongan pengemis meskipun sudah
dapat dipersatukan, akan tetapi akan berubah menjadi
golongan yang dikuasai oleh orang-orang jahat dan sesat.
Kalau sudah terjadi hal itu, entah bagaimana nanti sepak
terjangnya dalam dunia Kang-ouw? Entah berapa banyak
orang-orang yang akan celaka di tangannya tak dapatlah
kita bayangkan dari sekarang.
Memikirkan hal itu, Touw Liong bergidik sendiri. Ia
lompat melesat ke suatu tempat di atas genteng yang lebih
tinggi. Matanya ditujukan ke sekitar kota Ceng-hong-tiam.
Malam itu, kota Ceng-hong-tiam seperti diliputi suasana
tidur nyenyak, keadaan gelap gulita, sinar lampu hanya
terlihat dari beberapa rumah saja, maka ia lalu menggelenggelengkan
kepala sendiri. Dalam keadaan putus asa ia
menghela napas. Selagi hendak pulang ke rumah
penginapan untuk beristirahat, tiba-tiba dari arah jauh
terdengar suara anjing menggonggong.
Karena malam itu sunyi, maka suara anjing itu
kedengaran sangat nyata. Touw Liong terkejut mendengar
suara gonggongan anjing itu, ia lalu pasang mata. Tampak
dari arah jauh di luar kota, terhadap sebuah rimba lebat,
samar-samar ada sinar lampu.
Tergerak hatinya, ia lalu melesat menuju ke rimba yang
ada sinar lampunya itu.
Tempat yang ada sinar lampunya tadi, ternyata adalah
sebuah kuil kuno. Di sekitar kuil tersebut terdapat banyak
pohon rindang. Perjalanan ke situ dengan kota Ceng-hongtiam
kira-kira hanya terpisah empat pal saja.
Touw Liong mengerti, jikalau di dalam rimba itu tidak
ada apa-apanya, tidak nanti ada penjagaan kuat. Tapi bila
di dalam kuil itu ada terjadi ssesuatu, dalam rimba itu pasti
ada jebakannya. Maka dengan kecepatan bagaikan kilat ia
menerobos masuk ke dalam rimba, langsung menuju ke kuil
dan bersembunyi di atas genteng bagian belakang.
Selagi hendak sembunyikan dirinya ke tempat yang lebih
gelap, dari kamar sebelah kiri terdengar suara jeritan yang
mengerikan. Suara itu seperti suara yang timbul dari orang
yang sedang disiksa hebat.
Touw Liong bergidik sendiri. Matanya kini ditujukan ke
arah tersebut, dan apa yang disaksikannya, benar-benar
membuat bulu kuduknya berdiri semua.
Di dalam ruangan kamar itu, sinar lampu terang
benderang. Di atas sebuah kursi tampak duduk seorang
pengemis setengah umur. Di kedua sisinya berdiri berbaris
empat orang pengemis yang masing-masing membawa
senjata pentungan. Di bawah di atas lantai, tampak rebah
menggeletak sesosok tubuh laki-laki setengah umur dalam
keadaan telanjang bulat. Di samping laki-laki tadi, terdapat
dua orang pengemis lagi.
Laki-laki dalam keadaan telanjang tadi ditelikung kedua
tangannya ke belakang, diikat keras bagaikan lepat,
sedangkan orangnya rebah terlentang. Terpisah setombak
lebih dengan laki-laki yang sedang rebah terlentang itu,
tampak sebuah penggorengan yang masih penuh dengan
minyak yang mendidih.
Seorang pengemis mengulurkan sebuah kakinya dan
menginjak ke atas dada laki-laki yang rebah terlentang
dalam keadaan terikat itu. Seorang pengemis yang lainnya
dengan tangan membawa secanting minyak panas,
diteteskan di atas perut laki-laki tadi. Tentu saja hal mana
lantas membuat rasa sakit pada laki-laki tadi, dan oleh
karenanya maka mengeluarkan suara jeritan yang
mengerikan, dan setelah itu orangnya juga bergulingan
berusaha untuk menahan sakitnya.
Terdengar suara pengemis yang duduk di atas kursi yang
membentak kepadanya:
”Anjing, kalau kau belum dihadapkan dengan peti mati,
barangkali kau belum merasa takut. Aku kira kau benarbenar
seorang laki-laki yang keras kepala, kiranya hanya
begitu saja, setetes minyak kau sudah tidak sanggup, perlu
apa masih pura-pura berlaku gagah?”
Kemudian ia meludahi laki-laki itu dan berkata pula
dengan nada suara dingin:
”Kau harus mengerti, apabila kau tidak mau
memberitahukan di mana adanya liongtin batu giok itu, kau
jangan sesalkan kalau aku berlaku kejam terhadapmu!
Hem! Kuali penggorengan itu mungkin nanti akan menjadi
tempat kau merasakan neraka dunia!”
Touw Liong yang mendengar ucapan pengemis tadi,
sudah tidak dapat mengendalikan hawa amarahnya lagi.
Dengan mengeluarkan suara bentakan nyaring, badannya
secepat kilat sudah melesat ke dalam kamar tadi.
Sebelum orangnya sampai, serangannya sudah tiba lebih
dahulu. Sepuluh jari tangannya bergerak dengan serentak,
tujuh orang golongan pengemis masih belum tahu benar
apa yang terjadi sudah tersapu jatuh oleh serangan jari
tangan Touw Liong.
Selanjutnya, disusul oleh beberapa kali suara jeritan
mengerikan, kiranya canting di tangan pengemis-pengemis
yang menuangkan minyak panas di atas perut lelaki tadi,
telah tersapu oleh serangan Touw Liong dan dengan secara
kebetulan telah menyiram pengemis yang duduk di atas
kursi tadi.
Siraman itu mengenai bagian mukanya dan empat
pengemis yang berdiri di kedua sisinya juga turut terkena,
masing-masing pada menjerit kesakitan.
Touw Liong tidak menghiraukan itu semua, ia
membiarkan mereka berteriak-teriak dan menjerit-jerit,
dengan cepat ia menghampiri laki-laki yang bernasib
malang tadi, membuka ikatannya dan membimbing bangun
padanya.
Laki-laki tadi dengan menahan rasa sakit memakai
kembali pakaiannya, setelah itu ia menjura dan
mengucapkan terima kasih kepada Touw Liong.
Touw Liong saat itu baru ada kesempatan untuk
memperhatikan wajah laki-laki tadi. Di bawah sinar lampu,
benar saja di bagian muka kiri laki-laki tadi terdapat sebuah
tanda biru.
Touw Liong membimbing bangun padanya, lalu
mengajak ia lari keluar dari kuil kuno itu. Keluar dari
dalam rimba, langsung ia menuju ke kota. Ia tidak sempat
bicara menanyakan kepadanya, maka buru-buru berkata:
”Sebaiknya saudara lekas berlalu dari kota ini. Aku
bersedia mengantar saudara. Jikalau sampai terlambat kau
nanti akan dikejar lagi oleh mereka, jiwamu dalam
bahaya.”
Ketika keduanya tiba di rumah penginapan, orang itu
segera mengambil barang-barangnya dan pada malam itu
juga meninggalkan kota Ceng-hong-tiam.
Mereka melakukan perjalanan dengan menggunakan
kereta. Di atas kereta, lelaki itu terheran-heran mendengar
ucapan Touw Liong tadi. Katanya sambil menghela napas:
”Aku benar-benar tidak mengerti, tanpa sebab telah
mengalami nasib seperti ini.”
”Mengapa saudara mengatakan tanpa sebab? Semua
bencana ini terjadi, karena saudara telah membeli sepotong
liongtin batu giok berukiran naga itu.”
”Penjahat itu sebetulnya keterlaluan sekali kejamnya.
Betul batu giok itu berharga limapuluh tail lebih, tapi toh
tidak perlu harus menggunakan siksaan begitu untuk minta
kembali dari tanganku!”
”Saudara mana tahu? Batu giok itu merupakan jiwa
kedua bagi mereka. Satu hari saja kau tidak mau
menyerahkan batu giok itu kepada mereka, mereka
selamanya tidak akan melepaskan kau. Baiklah sekarang
kuberitahukan padamu. Batu giok itu, bagi orang lain tidak
ada gunanya, tetapi bagi mereka tidaklah demikian. Selama
tidak ada batu giok itu, ketua mereka tidak akan dapat
mengeluarkan perintah kepada anak buahnya.” Demikian
Touw Liong memberikan keterangan selengkapnya.
Sampai di sini barulah lelaki itu mengerti. Sesaat
wajahnya berubah, lama berpikir, kemudian berkata sambil
menghela napas:
”Begitu. Kalau toh memang akan mendapatkan bencana
karena batu giok itu, masih tidak apalah. Namun, masih
akan membikin celaka orang lain, sungguh hanya membuat
aku tidak enak.”
Touw Liong tahu bahwa soal ini mulai menunjukkan
titik terang baginya, maka buru-buru bertanya:
”Apakah batu giok itu sudah saudara berikan kepada
orang lain?”
”Di dalam rumah pelesiran Mo-tan-ie, di dalam ruang
Pat-tay-oh-tong, ada seorang wanita manis cantik sekali dia.
Siaote kenal padanya baru setengah tahun lebih, tapi
sungguh aneh, perempuan itu apapun tidak suka, ia hanya
suka mengumpulkan barang-barang berupa batu giok, maka
setiap kali aku pergi menengoknya, selalu membawa batu
giok untuk kuhadiahkan kepadanya.”
Mengenai soal pelesiran di rumah pelesiran itu Touw
Liong masih asing sekali, tetapi ia cukup mengerti, bahwa
perempuan yang disebutkannya itu, pasti bukan perempuan
sembarangan, maka dalam hati lalu berkata sendiri:
”Orang ini suka pelesiran di rumah begituan, maka
bencana kali ini boleh dikata dicarinya sendiri.”
Touw Liong tidak begitu simpatik terhadap laki-laki itu.
Tetapi buat keselamatannya, ia merasa berkewajiban untuk
melindungi. Dari sebab itu ia terus mengantar orang itu
sampai ke perkampungan Ciok-kee-chung. Malam itu juga
ia seorang diri kembali ke kota Pak-khia.
Tiba di kota Pak-khia, ia beristirahat sebentar, lalu
langsung menuju ke rumah pelesiran, untuk mencari
perempuan yang ditunjuk oleh pedagang kulit itu.
Apa lacur, menurut keterangan germo rumah pelesiran
itu, perempuan yang dimaksud pada lima hari berselang
ternyata sudah pulang ke kampung halamannya, di kota
Yang-ciu.
Mendapat jawaban seperti itu sudah tentu lantas hilang
kegembiraan Touw Liong untuk berdiam terus di situ.
Dengan cepat ia meninggalkan rumah tersebut, dan saat itu
juga berangkatlah ia menuju ke arah selatan.
Namun ia lupa menanya di Yang-ciu bagian mana
perempuan itu tinggal. Kota Yang-ciu demikian besar,
kemana harus dicari perempuan itu?
Dengan pikiran risau, Touw Liong melakukan
perjalanan terus-menerus selama tiga hari. Hari itu ia sudah
berada di kota Cee-lam. Selagi hendak mengasoh untuk
dahar dahulu, tak diduga-duganya di rumah makan tersebut
telah terjadi sesuatu kejadian gaib.
Di sebuah meja di dekat jendela, tampak duduk seorang
tua dan seorang anak muda. Orang tua itu wajahnya aneh.
Ia adalah seorang imam berjubah kuning. Imam itu usinya
mungkin sudah tujuh puluh tahunan ke atas, sedangkan
yang muda adalah seorang wanita yang berparas cantik.
Perempuan cantik itu mengenakan pakaian berwarna ungu.
Sepasang mata yang besar bulat dan jeli dari perempuan
cantik itu, banyak sekali menarik perhatian orang.
Beberapa ratus mata tamu rumah makan tersebut, sebagian
besar tertuju kepada perempuan itu. Agaknya mereka
terpesona oleh kecantikannya.
Touw Liong yang juga tertarik oleh pandangan orang
banyak itu, memandang sekilas ke arah yang sama. Sekujur
badannya lantas dirasakan menggigil, sedangkan
perempuan cantik itu juga seperti sengaja tapi seperti juga
tidak melirik kepada Touw Liong sejenak.
Dari logat pembicaraannya jelas menunjukkan bahwa
perempuan cantik itu adalah orang asal kota Yang-ciu, hal
mana membuat hati Touw Liong sedikit tergerak. Buruburu
ia mencari tempat duduk yang dekat dengan
perempuan cantik dan imam tua itu.
Duduk sekian lama, ia lantas mendengar suara dari si
imam tua yang berkata kepada wanita cantik tadi.
”Sayang! Sutitku sudah mati. Jikalau tidak, tentu dia
dapat membantu kita.”
Wanita cantik itu memperdengarkan suara helaan
napasnya, kemudian berkata:
”Kian-goan mati dalam keadaan tidak jelas, apakah
susiok juga tidak mau melakukan penyelidikan?”
Imam tua itu menghela napas panjang, tanpa berkata
apa-apa matanya memandang jauh ke arah telaga, akhirnya
hanya menjawab dengan suara hambar:
”Kematian Kian-goan sesungguhnya perlu
disayangkan!”
Bab 59
KIAN GOAN? Siapa Kian Goan itu? Demikian Touw
Liong bertanya-tanya sendiri dalam hatinya setelah
mendengar pertanyaan mereka.
Sesaat kemudian ia segera teringat kepada diri Kian-goan
Totiang dari gereja Kian-goan-koan di gunung Tay-san.
Sementara itu perempuan muda tadi sudah berkata lagi
sambil menghela napas perlahan:
”Kabarnya suheng terbinasa di bawah serangan ilmu
Thian-seng-jiauw dari Touw Liong.”
Imam tua itu lalu tampak menggelengkan kepala dan
berkata:
”Bukan! Ia mati di bawah serangan ilmu Thay-it-sinjiauw
dari Panji Wulung.”
Touw Liong mengangguk-anggukkan kepala tanpa
disadari, seolah-olah ia ingin turut membenarkan ucapan
imam tersebut.
Imam tua itu berkata lagi dengan suara sangat perlahan
sekali:
”Apakah Kang susiokmu sudah datang?”
”Kang susiok belum datang, sebaliknya adalah si anjing
Lie Hui San itu yang telah mengintai terus jejakku, sampai
di kota Cee-lam ini!” menjawab wanita muda itu sambil
menggelengkan kepala.
”Sekarang?”
”Berdiam di kelenteng Kiu-ong-bio.”
”Berapa banyak orang mereka?”
”Termasuk Lie Hui San sendiri, semuanya berjumlah
sembilan orang. Tetapi hendaknya susiok jangan lupa,
bahwa kota Cee-lam ini adalah daerah mereka. Asal Lie
Hui San menjejakkan kakinya saja, seluruh kota Cee-lam
akan menjadi gempar.”
”Ng, pengaruh golongan pengemis di kota Cee-lam ini
memang besar sekali....”
Sehabis berkata demikian imam tua itu mengangkat
cawannya dan minum kering isinya, kemudian berkata lagi
dengan suara yang lebih perlahan:
”Anak, jasamu kali ini sungguh besar sekali! Di
kemudian hari, Kang susiokmu pasti akan memberi hadiah
banyak kepadamu!”
”Titlie sama sekali tidak mengharapkan pembalasan jasa
apa-apa. Titlie dengan pengorbanan diri sendiri seperti ini,
hanya mempunyai satu tujuan saja, supaya lekas dapat
membalas dendam sakit hati See-hiong.”
Waktu berkata demikian, sepasang mata wanita cantik
itu sudah basah dengan air mata.
Imam tua itu kembali menghela napas, dan berkata:
”See-hong patut dikasihani. Dalam usia yang demikian
muda, sudah meninggalkan kau sehingga kau harus
menjadi janda yang masih muda belia. Anjing Lie Hu San
ini sesungguhnya juga terlalu kejam.”
Kini mengertilah sudah Touw Liong bahwa suami yang
disebut oleh wanita muda itu adalah itu pemuda yang
disebut-sebut sebagai See-hiong tadi, sedangkan See-hiong
sudah binasa di tangan Lie Hu San.
Sampai di sini, dalam hati Touw Liong sudah
mempunyai satu gambaran. Perempuan cantik yang berada
dalam rumah pelesiran di Tay-oh-tong, di kota Pak-khia
adalah perempuan cantik yang sekarang berada di hadapan
matanya itu. Kalau demikian halnya, sepotong batu giok
tanda kepercayaan berukiran Naga Emas itu tentu sudah
berada di tangannya.
Touw Liong pun mengerti, bahwa Kang susiok yang
disebutkan oleh imam tua tadi, juga adalah pangcu
golongan pengemis daerah selatan yang bernama Kang
Hao.
Selagi Touw Liong berpikir dengan cara bagaimana
hendak mendapatkan tanda kepercayaan itu dari tangan
perempuan cantik ini, tiba-tiba terdengar suara imam tua
tadi yang bertanya kepada perempuan cantik tadi:
”Tie-jie! Di mana benda itu sekarang?”
Perempuan cantik dengan menggunakan nada suara
yang sangt perlahan sekali, berbisik-bisik di telinga imam
tua tadi.
”Sudah berada di Kang-lam!”
”Kang-lam?” sejenak imam tua itu tampak terkejut,
agaknya tidak percaya pada keterangan perempuan cantik
itu.
”Sumoy telah menggunakan kuda jempolan untuk
membawa tanda kepercayaan itu berjalan melalui jalan
darat, sedangkan Tie-jie sendiri dengan terang-terangan
berjalan melalui jalan timur dengan demikian sehingga
berhasil memancing perhatian Lie Hu San kemari.
Sekarang kalau dihitung, batu giok itu mungkin sudah
berada di tangan Kang susiok.”
Touw Liong benar-benar terkejut mendengar ucapan itu.
Tidak diduga-duga barang yang sudah terbayang di depan
mata sudah berada di tempat sejauh ribuan pal.
Imam tua tadi seolah-olah sengaja atau tidak, waktu ia
mengangkat kepala, tiba-tiba tampak diri Touw Liong,
sehingga saat itu wajahnya lantas berubah.
Wanita muda itu seolah-olah juga sudah menyadari
kehadiran Touw Liong di situ. Ia mengerling kepadanya,
ketika menatap wajah Touw Liong yang tampan itu,
kembali menunjukkan senyumannya yang manis.
Oleh karena senyumannya itu, sehingga Touw Liong
merasa tidak enak dan di saat itu lantas menundukkan
kepalanya.
Imam tua itu sejenak tampak ragu-ragu, akhirnya ia
bangkit dan memberi hormat seraya bertanya:
”Jikalau mata pinto belum lamur, siecu ini tentunya
seorang she Touw, bukan?”
Touw Liong menganggukkan kepala dan membalas
hormatnya seraya berkata:
”Benar! Aku yang rendah memang seorang she Touw,
bagaimana sebutan Totiang yang mulia?”
”Pinto Thian-ceng, ada sedikit pertanyaan yang mungkin
mengganggu Touw Tayhiap.”
Touw Liong menjawab dengan kata-kata yang
merendahkan diri, sedang Thian-ceng Totiang sudah
bertanya lagi:
”Touw tayhiap selamanya suka berkelana dan
melakukan perbuatan baik di daerah Kang-lam, entah angin
apa telah membawa Touw Tayhiap ke kota Cee-lam ini?”
”Lantaran ada sedikit urusan aku yang rendah terpaksa
harus pergi melakukan perjalanan ke kota Pak-khia.”
”Dan sekarang?”
”Hendak ke kota Hang-chiu untuk mencari seorang
sahabat.”
Thian-ceng tertawa terbahak-bahak, kemudian berkata:
”Sungguh kebetulan! Pinto juga mau mengantar sutit ini
ke kota Hang-chiu. Kita justru seperjalanan! Mari,
silahkan Tayhiap duduk bersama-sama dan minum dengan
kita.”
Setelah mengucap demikian, tanpa memperdulikan
Touw Liong mau atau tidak, ia sudah mengajak Touw
Liong duduk bersama-sama.
Setelah mana imam tua itu memperkenalkan Touw
Liong kepada wanita cantik itu.
Sementara itu Touw Liong dalam hati berpikir sendiri:
”Kau hendak menarik aku berjalan bersamamu sebagai
alat untuk menggertak Lie Hu San, aku juga justru ingin
meminjam kau sebagai jembatan untuk berkenalan dengan
orang-orang golongan pengemis daerah selatan.”
Oleh karena timbulnya pikiran demikian, maka Touw
Liong juga menerima baik ajakan imam tua tadi.
Kini tibalah gilirannya wanita muda cantik tadi. Dengan
wajah ramai dengan senyuman serta lirikan mata yang
tajam, ia dengan beruntun menyodorkan arak kepada Touw
Liong hingga tiga cawan besar.
Touw Liong juga tidak menolak pemberian orang, setiap
disodorkan, diminumnya sekaligus.
Thian-ceng Totiang agaknya juga seorang penggemar
arak, dengan Touw Liong minum sepuas-puasnya, sambil
mengobrol tentang keadaan rimba persilatan, imam itu juga
memuji-muji suhu Touw Liong, Kiu-hoa Lojin.
Ketika Thian-ceng Totiang menyebut-nyebut ayah bunda
Touw Liong, dalam hati Touw Liong merasa sedih.
Arak, merupakan satu-satunya barang untuk
menghilangkan rasa duka Touw Liong yang waktu itu
hatinya sedih. Mengingat musuh besar ayah bundanya
belum diketahui, maka ia telah melupakan keadaan diri
sendiri, ia minum sepuas-puasnya, seolah-olah penggemar
arak ulung.
Secawan demi secawan arak itu masuk ke dalam
tenggorokan Touw Liong, sedangkan perempuan cantik
tadi juga mengawasi dengan kelakuannya yang sangat
manis, tanpa disadari olehnya, 20 cawan lebih sudah
ditenggak kering.
Ia sebetulnya tidak biasa minum arak, begitu 20 cawan
arak masuk ke dalam perutnya, meskipun ia memiliki
kekuatan tenaga dalam yang sangat tinggi, juga tidak
berhasil untuk menguasai dirinya sendiri dari pengaruh air
kata-kata tadi. Apalagi ia minum arak karena hendak
melipur lara, anggapnya tidak ada perlunya untuk
dipunahkan. Apa lacur, perempuan cantik tadi sudah
memberikan obat bius di dalam arak Touw Liong.
Dalam keadaan demikian, ia sudah lupa bahwa dengan
imam tua itu baru pertama kali kenal, juga belum jelas
baginya apa yang terkandung dalam hati imam itu.
Merasa pilu, ia terkenang kembali kepada ayah
bundanya yang sudah menutup mata pada 20 tahun
berselang secara mengenaskan.
Pikirannya masih jernih, tetapi karena hati pedihnya
terus menggoda, akhirnya pikirannya mulai kabur, mabuk.
Imam itu menyaksikan itu semua, memberi isyarat
pandangan mata kepada permpuan cantik tadi, lantas
bangkit untuk membayar uang makan dan minumnya,
kemudian bertanya kepada Touw Liong:
”Touw Tayhiap, marilah kita berjalan!”
Touw Liong yang sudah mabuk, hanya menganggukanggukkan
kepala, dengan terhuyung-huyung ia bangkit
dan hendak berjalan.
Perempuan cantik itu mengawasi Touw Liong sejenak
dan tersenyum kepadanya, kemudian dengan suara lemah
lembut berkata:
”Touw Tayhiap, perlukah aku bantu membimbing kau?”
Dengan mata merah Touw Liong menggeleng-gelengkan
kepala, kemudian berjalan keluar dengan langkah lebar.
Si imam tua kembali memberi isyarat dengan pandangan
mata kepada si perempuan cantik, perempuan cantik
tersebut lantas memburu dan berjalan berdampingan
dengan Touw Liong.
Di hadapan pintu rumah makan, sudah menunggu
sebuah kereta.
Ketika kusir kereta membuka pintu kereta itu,
perempuan muda tadi mengeluarkan sapu tangannya yang
putih bersih, dikibaskan ke hadapan mata Touw Liong.
Bau harum keras sekali menusuk hidung Touw Liong, saat
itu Touw Liong mendapat firasat yang tidak baik,
kepalanya dirasakan pening, matanya seketika dirasakan
jadi begitu pedas, kantuknya datang secara tiba-tiba.
Dalam hati ia mengeluh, ia coba mengerahkan kekuatan
tenaga dalamnya, namun sekujur tubuhnya dirasakan
lemas.
Sekarang mengertilah ia apa yang telah terjadi, tetapi
sudah terlanjur, menyesal juga tidak ada gunanya.
Si perempuan cantik begitu melihat Touw Liong dalam
keadaan tercengang, wajahnya segera berubah. Ia lantas
mengulurkan tangannya menotok jalan darah di belakang
kepala Touw Liong, tangan yang lain dipakai untuk
menarik tangan Touw Liong, telah diajaknya masuk ke
dalam kereta.
Setelah semuanya selesai, perempuan cantik tadi
berpaling dan mengawasi imam tua yang masih berdiri di
dekat pintu sambil tersenyum.
Kereta itu dijalankan dan menuju ke telaga Tay-bengouw.
Di tepi telaga, kusir kereta lompat akan turun, ia
tidak membuka pintu kereta sebaliknya mengeluarkan
siulan nyaring dari mulutnya, dari bawah pohon rindang
lalu tampak meluncur sebuah perahu kecil.
Ketika perahu kecil itu menepi, kusir kereta baru
menghampiri keretanya dan membuka pintu kereta.
Perempuan muda tadi dengan cepat melompat turun, dan
memberikan isyarat dengan matanya kepada sang kusir.
Kusir tadi lalu menarik keluar Touw Liong yang sudah
tidur nyenyak tidak ingat diri, lalu dimasukkan ke dalam
perahu, secepat kilat perempuan cantik tadi meloncat ke
atas perahu dan memerintahkan tukang perahu untuk
meneruskan perjalanannya.
Ketika perahu itu didayung ke tengah-tengah telaga,
perempuan cantik tadi lalu menghunus pedang Hok-mokiam
yang berada di punggung Touw Liong, kemudian
melemparkan Touw Liong ke tengah telaga.
Tak lama kemudian, segala-galanya tenang kembali.
Perempuan cantik tadi memerintahkan tukang perahu
untuk mendayung kembali ke tepi telaga. Begitu tiba di
tepi, perempuan cantik tadi kembali naik ke atas keretanya
dan memerintahkan kusirnya balik ke dalam kota, hingga
sebentar kemudian sudah menghilang di tempat gelap.
Setelah si perempuan cantik berlalu, tukang perahu
masih berdiri di atas perahunya dengan hati termenung.
Tukang perahu itu lalu berkata sendiri sambil
menggeleng-gelengkan kepala: ”Bocah itu seharusnya sudah
mati!”
Tanpa disadari olehnya, pandangan matanya jadi tertuju
ke arah telaga.
Perahunya perlahan-lahan didayung kembali ke bawah
pohong Yang-liu, kemudian ia duduk sambil melonjorkan
kedua kakinya, dan tak lama kemudian tertidurlah ia.
Entah berapa lama waktu berlalu, samar-samar ia
dikejutkan oleh goncangan hebat dari perahunya. Dalam
terkejutnya, ia segera terjaga dari tidurnya dan lantas
mengawasi keadaan sekitarnya.
Belum lagi tahu apa sebabnya yang telah terjadi, di
pinggir perahunya tampak dua lengan orang, dan kemudian
disusul oleh munculnya sebuah kepala yang basah kuyup.
Begitu melihat kepala yang basah kuyup itu, tukang
perahu tadi hampir saja berteriak.
Kepala itu bukan lain daripada kepalanya pemuda yang
diceburkan ke dalam telaga oleh perempuan cantik tadi!
Dengan menggunakan kekuatan tenaganya, Touw Liong
sudah melompat naik ke dalam perahu.
Tukang perahu itu wajahnya pucat seketika. Sambil
menjerit: ya Allah, lantas lompat ke dalam air dan
menghilang menjauhkan diri dari Touw Liong.
Touw Liong mengibas-ngibaskan bajunya yang basah
kuyup, ia berdiri di atas perahu sambil mengawasi keadaan
di sekitarnya. Kecuali tukang perahu yang berenang untuk
melarikan diri, apa pun sudah tidak ada lagi.
Ia mengenangkan kembali apa yang telah terjadi di
dalam rumah makan. Untuk sesaat ia tidak mengerti apa
sebab perempuan cantik itu hendak mencelakakan dirinya.
Ada satu hal yang ia ingat-ingat betul, ialah ketika ia
keluar dari rumah makan, ia telah dilibas oleh sapu tangan
perempuan cantik tadi yang mengandung obat bius,
kemudian ditotok jalan darahnya setelah itu ia tidak raguragu
lagi apa yang telah terjadi atas dirinya.
Ia juga mengerti bahwa orang yang menceburkan dirinya
ke dalam telaga adalah perempuan cantik tadi.
Ia marah sekali, marah karena perempuan cantik itu
berbuat terlalu kejam terhadap dirinya. Ia juga benci
kepada imam tua itu yang tidak mempunyai
perikemanusiaan.
Lama ia memandang gelombang air telaga, pikirannya
terbenam dalam lamunannya sendiri, lama sekali, ia baru
menepuk kepalanya sendiri dan berkata seorang diri: ”Yah,
benar! Kalau begitu aku telah tertipu oleh mereka. Imam
tua tadi... hem! Gereja Kian-goan-koan di gunung Tay-san
tidak ada seorang imam yang bernama Thian-ceng Tojin.
Di dalam rimba persilatan juga belum ada orang yang
pernah menyebut nama imam semacam itu, juga belum
pernah dengar bahwa pangcu golongan pengemis di daerah
selatan ada berhubungan dengan gereja Kian-goan-koan.
Apalagi Ceng-lam adalah daerah kekuasaan golongan
pengemis bagian utara. Perempuan cantik itu merupakan
teka-teki, dia merupakan orang golongan pengemis bagian
utarakah? Ataukah dari golongan selatan?”
Sudah tentu, jawabannya sangat mudah, perempuan itu
seharusnya orang dari golongan pengemis daerah utara.
Dengan hati panas Touw Liong telah lompat dari atas
perahunya, dan lari menuju ke kota Cee-lam.
Tiba di kota Cee-lam, Touw Liong langsung menuju ke
kelenteng Khong-bio. Di hadapan kelenteng itu terdapat
banyak pengemis yang sedang rebah-rebahan.
Touw Liong tidak berkata apa-apa, ia hanya berjongkok.
Di atas lantai ia lalu menggurat-gurat membuat beberapa
lingkaran yang tidak keruan macamnya dengan sebuah
batu.
Di depan kelenteng itu kecuali orang-orang golongan
pengemis yang pada rebah-rebahan, juga terdapat banyak
tukang-tukang jualan. Di samping itu ada pula beberapa
orang wanita yang rupanya sedang berziarah atau
sembahyang, dan beberapa anak-anak kecil juga tampak lari
kian kemari bermain-main. Touw Liong yang berjongkok
sambil mencoret-coret di atas lantai, orang dengan
dandanannya juga kelihatan tidak sepadan, sehingga
dengan sendirinya lantas telah menarik perhatian banyak
orang.
Seorang pengemis yang usianya sudah lanjut adalah
yang pertama-tama sekali memperhatikan perbuatan Touw
Liong itu.
Pertama-tama, pengemis tua itu tidak menampak hal-hal
yang aneh, kemudian menampak bahwa gerakan Touw
Liong itu menunjukkan keganjilan, maka lalu bangkit dan
berjalan menghampiri padanya.
Ketika pengemis tua itu mengawasi apa yang sedang
dicoret-coret oleh Touw Liong, seketika itu semangatnya
tampak terbangun, sebab pemuda yang duduk berjongkok
itu sedang menggunakan jari tangannya, di atas lantai yang
keras itu menuliskan sebuah huruf Pak, kemudian melukis
sebuah lingkaran bundar, hingga huruf Pak jadi masuk di
tengah-tengah lingkaran.
Tanda atau kode semacam itu semacam itu, bagi orangorang
golongan pengemis daerah utara, tiada satu yang
tidak kenal, sebab huruf itu sebagai kode atau tanda diri
pangcu atau ketua mereka.
Untuk sesaat pengemis tua itu diliputi oleh berbagai
kecurigaan. Ia berdiri di samping Touw Liong, berjalan
salah tetap di situ juga salah, sehingga menjadi seorang
yang keadaannya serbasalah.
Touw Liong dengan acuh tak acuh bangkit berdiri,
kemudian mengangkat kepalanya dan mengawasi pengemis
tua itu, kemudian bertanya kepadanya:
”Tahukah kau siapa aku ini?”
”Pangcu,” jawab pengemis tua itu dengan sikap sangat
hormat.
”Kalau kau sudah tahu kedudukanku, mengapa tidak
memberi hormat kepadaku?”
”Tentang ini...” jawabnya gelagapan. Wajah pengemis
tua itu menunjukkan bagaimana kesulitan yang
dirasakannya saat itu.
”Aku tidak dapat menyalahkan kau, karena dalam
anggapanmu, pangcumu adalah Lie Hu San, bukan?
Mengapa mendadak diganti menjadi aku? Memang benar,
ketua yang sekarang masih tetap Lie Hu San, aku hanya
mendapat perintah dari Tiga Dewa golonganmu untuk
membersihkan dan membereskan golongan kaum pengemis
selatan dan utara. Aku akan menjadi pangcu kalian di
kemudian hari!”
Pengemis tua itu menarik napas lega, katanya:
”Kiranya kau bocah ini adalah seorang pembual.”
Touw Liong sedikitpun tidak marah dikatakan begitu,
sebaliknya malah tertawa terbahak-bahak.
Pengemis tua itu meskipun marah, tetapi ia tidak berani
bertindak apa-apa, sebab sudah dikejutkan oleh ilmu jari
tangan yang diunjukkan oleh Touw Liong.
Sambil mengerutkan alisnya, ia berkata lagi kepada
Touw Liong:
”Aku si pengemis tua ini adalah seorang anggota yang
khusus mengurus soal-soal pelanggaran hukum golongan
pengemis. Bocah, aku ada urusan apa, ceritakan saja
kepadaku!”
Touw Liong mengeluarkan suara dari hidung, dalam hati
agak marah. Ia marah karena ucapan yang kurang sopan
dari pengemis tua itu, tetapi ia masih coba mengendalikan
hawa amarahnya. Katanya dengan suara perlahan:
”Lie Hu San telah mengutus dua orang, yang satu adalah
seorang imam tua yang wajahnya agak aneh, bernama
Thian-ceng, yang lain adalah seorang wanita muda cantik
jelita. Mengenai gerak-gerik dua orang ini, aku minta
supaya saudara suka mengadakan penyelidikan sebentar, di
waktu lohor saudara harus beri kabar kepadaku!”
”Seandainya aku tidak mau, lalu bagaimana?” balas
bertanya pengemis tua itu sambil tertawa dingin.
Touw Liong mendongakkan kepala mengawasi awanawan
di langit, kemudian menghela napas. Ia tidak berkata
apa-apa, hanya dengan menggunakan kakinya, dengan enak
sekali sudah menghapus tulisan yang ia tinggalkan di atas
lantai tadi hingga huruf PAK yang berada di tengah
lingkaran tadi sudah terhapus oleh gosokan kakinya, setelah
itu ia baru berkata:
”Aku si orang she Touw selamanya tidak mau memaksa
orang lain. Tentang perintahku tadi, kau mau melakukan
atau tidak itu adalah urusanmu, hanya jikalau kau tidak
mau dengar perintahku, di kemudian hari aku tidak perlu
menghukum kau, sedangkan Lie Hu San juga tidak akan
melepaskan kau begitu saja!”
Digertak demikian, lagi pula menyaksikan kekuatan
tenaga dalam Touw Liong demikian hebat, pengemis tua itu
lalu bungkam tidak berani berkutik lagi.
”Menggunakan paksaan!” demikian pengemis tua itu
mengucapkan kata-kata yang ringkas sambil menghela
napas, setelah itu ia berkata pula sambil menunjuk puncak
gunung di daerah timur:
”Di tengah-tengah gunung itu, ada sebuah kelenteng
yang dinamakan kelenteng Tho-tee-bio. Nanti petang aku
di sana menantikan kedatanganmu.”
Setelah berkata demikian, pengemis tua itu lantas
berlalu.
Ketika ia berlalu, ia tidak mengajak kawan-kawannya,
juga tidak memberi isyarat apa-apa.
Setelah mendapat jawaban demikian, Touw Liong lalu
meninggalkan kelenteng Khong-bio.
Bab 60
GUNUNG itu tidak tinggi, di tengah-tengah gunung ada
sebuah kelenteng kuno yang sudah rusak keadaannya,
mungkin karena sudah lama tidak ada orang yang tinggal,
hingga debunya yang di lantai nampak demikian tebal.
Cuaca perlahan-lahan mulai gelap, Touw Liong berjalan
mondar-mandir di depan kelenteng, dia sudah mulai
kecewa, dianggapnya pengemis tua tadi tidak akan datang.
Tiba-tiba, dalam keadaan remang-remang, di atas jalan
raya yang menuju ke gunung itu, tampak beberapa
bayangan penunggang kuda.
Semakin lama nampak semakin nyata... penunggang
kuda itu semuanya berjumlah 3 orang yang terus mendaki
gunung.
Touw Liong yang memiliki pandangan mata tajam,
ketika penunggang kuda itu berada sejarak 20 tombak lebih,
sudah tampak olehnya bahwa penunggang kuda itu terdiri
dari 12 orang pengemis.
Sebagai kepala, seorang pengemis berusia tiga puluhan
tahun yang berperawakan kurus kering. Penunggang kedua
adalah seorang pengemis tua yang tadi siang dijumpainya di
depan kelenteng Khong-bio.
Dua belas penunggang kuda itu ketika tiba di depan
kelenteng, semuanya lompat turun dari kudanya. Pengemis
setengah umur yang menjadi kepala rombongan, lebih dulu
menatap Touw Liong yang berdiri di tangga depan
kelenteng, seraya bertanya:
”Adakah tuan orang she Touw?”
”Benar, aku adalah Touw Liong,” jawab Touw Liong
sambil menganggukkan kepala dan menjura kepada kepala
rombongan pengemis itu.
”Touw Tayhiap yang dahulu pernah tunjukkan
kepandaiannya di atas gunung Lu-san di danau Siao-thiantie?”
Touw Liong tidak menjawab, hanya menganggukkan
kepala.
”Aku si pengemis tua ini adalah Tong Kun Khay,
pangcu cabang golongan pengemis di kota Cee-lam.”
Touw Liong menunjukkan sikap terkejut, kemudian
memberi hormat kepadanya.
”Touw tayhiap kata, bahwa kau adalah pangcu golongan
kami untuk kemudian hari, ucapanmu ini aku kurang
paham. Kalau benar tiga sesepuh kami sudah menyerahkan
tugas ketua itu kepada tuan, setidak-tidaknya toh ada
memberikan barang kepercayaan. Cobalah tuan tunjukkan
barangnya.”
”Ada,” jawab Touw Liong tegas, ”Sebuah tanda
kepercayaan yang berupa batu giok berukiran harimau
putih yang diberikan oleh Ciu-sian Locianpwe, dan di
samping itu juga sehelai surat yang ditulis olehnya sendiri.”
Tong Kun Khay tertawa terbahak-bahak, kemudian
berkata:
”Keterangan Touw tayhiap ini agak aneh, karena tanda
kepercayaan batu giok berukiran harimau putih milik Ciusian
Tianglo sudah lama diberikan kepada Lie Pangcu.”
Wajah Touw Liong menjadi merah, tegas menunjukkan
perasaan terkejutnya, setelah berdiam sejenak, ia bertanya:
”Apakah Tong Pangcu pernah melihat dengan mata
kepala sendiri batu giok putih itu?”
”Tiga bukan berselang, Lie Pangcu telah mengundang
para ketua dari 72 cabang di daerah utara, di hadapan para
ketua itu Lie Pangcu memperlihatkan tanda kepercayaan
batu giok itu, juga di hadapan para ketua itu
mengumumkan perintah Ciu-sian Tianglo yang diberikan
kepadanya, yang minta supaya Lie Pangcu dengan tanda
kepercayaan itu mempersatukan golongan kami, 36 anak
cabang dari golongan selatan, harus digabungkan dengan
golongan utara,” jawab Tong Kun Khay sambil
menganggukkan kepala.
”Benarkah?” tanya Touw Liong dengan wajah marah.
”Apa Touw Tayhiap anggap aku si orang she Tong suka
bicara main-main?”
”Bukan itu maksudku, aku sedang berpikir....”
”Touw Tayhiap tentunya berpikir barang sudah di
tangan orang lain! Betul tidak...?”
Ucapan ini mengandung maksud mengejek. Di luar
dugaannya Touw Liong menganggukkan kepala, katanya:
”Sedikitpun tidak salah, Lie Hui San dengan
menggunakan caranya yang sangat rendah, telah mencuri
tanda kepercayaan itu dariku!”
”Heh, heh! Siapa mau percaya barang yang berada di
tangan Touw Tayhiap bisa diambil oleh orang lain?”
Touw Liong naik darah karena diejek terus menerus.
Dengan sikap keren ia membentak:
”Tutup mulut!”
Bentakan itu bagaikan halilintar, hingga 12 orang itu
semua berubah wajahnya.
Itu masih belum cukup, 12 ekor kuda semuanya pada
berlompat berjingkrakan sambil meringkik-ringkik, hampir
saja lari serabutan.
Dua belas pengemis itu satu sama lain saling
berpandangan, untuk sesaat mereka digentarkan oleh
bentakan Touw Liong tadi.
”Tong Pangcu, dalam cabangmu di sini ada dua orang
yang kusebutkan tadi atau tidak?”
”Ada... ada... ada....”
”Orang dari golongan apa?”
”Seperti...” menjawab Tong Kun Khay sambil
mendongakkan kepala, ”Seperti... orang dari golongan
kami daerah selatan.”
”Di mana sekarang orangnya?”
”Sudah lama pergi!”
Touw Liong lalu menjura dan mengucapkan sampai
bertemu kembali kepadanya, kemudian cepat bagaikan kilat
lari turun gunung, dalam waktu sekejap mata sudah
menghilang ditelan kabut gelap.
Touw Liong yang mendengar keterangan bahwa
perempuan muda cantik jelita itu adalah orang golongan
pengemis daerah selatan, bahkan orangnya sudah berlalu
dari kota Cee-lam, dalam cemasnya ia juga tidak
menanyakan lebih jauh perempuan itu dari golongan mana,
orang she apa, dan bernama apa, sedang Thian-ceng Tojin
betul seperti apa yang diucapkan dan ada hubungannya
dengan gereja Kian-goan-koan atau tidak, lantas berlalu
begitu saja.
Ia lari demikian pesat, sebentar saja sudah menghilang,
hinga 12 pengemis tua itu semua berdiri kesima di
tempatnya.
Touw Liong teringat kejahatan Thian-ceng Tojin dan
perempuan cantik itu, dalam hati merasa mendongkol,
maka ia lari siang malam terus menerus selama dua hari.
Ia sudah melalui sungai Hway-ho, tapi masih belum
berhasil juga menyandak perempuan cantik yang dikejarnya
itu.
Dari situ ke selatan adalah kota Yang-ciu, dan kota
Yang-ciu itu merupakan markas besarnya golongan
pengemis daerah selatan.
Di waktu petang, Touw Liong sudah tiba di kota Yangciu.
Begitu melalui jembatan, tiba-tiba teringat diri
seseorang. Orang itu di kota Yang-ciu mempunyai nama
baik, meskipun ia belum pernah mengadakan perhubungan
dengannya, tetapi orang itu kenal baik keadaan golongan
pengemis di daerah selatan. Karena kebetulan berada di
Yang-ciu, maka ia ingin berkunjung untuk menanyakan
keterangan sedikit darinya.
Tiba di mulut sebuah gang, tidak jauh di depan pintu
rumah no. 7 tampak terpancang dua buah lentera yang
bertulisan huruf-huruf yang besar-besar ”Cu”.
Ia langsung menuju ke rumah yang ada terpancang dua
lentera itu, lalu mengetok pintunya. Dari dalam keluar
seorang pelayan tua, setelah mengawasi Touw Liong dari
atas ke bawah sejenak, lalu bertanya:
”Tuan ada keperluan apa?”
”Aku datang dari kota Pak-khia, hendak menari Cu
Tayhiap Cu Keng Kian.”
Pelayan tua itu menggeleng-gelengkan kepala seraya
berkata:
”Kedatangan tuan sungguh tidak kebetulan, loya kami
baru saja keluar pintu.”
”Pergi kemana?” tanya Touw Liong cemas.
Pelayan tua itu kembali menggelengkan kepala, dan
berkata:
”Hal ini hamba sendiri juga kurang jelas, loya seperti
membawa bungkusan kecil, barangkali pergi ke tempat
jauh.”
”Seorang diri?”
”Tidak!” jawab orang tua itu tegas, ”Berdua.”
”Siapakah yang satu lagi?”
”Seorang imam.”
Dalam hati Touw Liong bercekat, ia segera teringat diri
Thian-ceng Totiang, setelah berpikir sejenak ia lalu
bertanya:
”Kemana mereka pergi? Apakah kongkong kiranya
dapat menduga-duga?”
Pelayan tua itu kembali mengamat-amati diri Touw
Liong, setelah itu ia berkata sambil menggelengkan kepala:
”Tentang ini, aku si orang tua tidak dapat
mengatakannya.”
Tiba-tiba dia menunjukkan tertawanya misterius. Selagi
hendak menutup pintu, Touw Liong yang merasa curiga,
buru-buru menahannya dan menggambarkan kepadanya
dedak dan pakaian Thian-ceng Totiang.
Namun pelayan tua itu tetap menggeleng-gelengkan
kepala dan berkata sambil tertawa:
”Hamba seorang tua yang sudah lamur. Hamba hanya
tahu imam itu ada membawa pedang pusaka, wajahnya
kurus, mengenakan jubah warna hijau.”
Jawaban itu kembali mengecewakan Touw Liong.
Oleh karenanya, maka ia meninggalkan gedung
Keluarga Cu dengan hati kesal.
Begitu Touw Liong berlalu, dari belakang pintu lompat
keluar tiga laki-laki berpakaian hijau, dari jauh menguntit
Touw Liong.
Sementara itu pelayan tua tadi tiba-tiba menyeka
mukanya sendiri, dan membuka rambut putihnya yang
ternyata palsu. Saat itu tampaklah wajahnya yang asli.
Orang itu ternyata berusia tiga puluh tahunan.
”Sungguh berbahaya!” demikian lelaki tadi berkata
sendiri sambil meleletkan lidahnya.
Pada saat itu seorang tua berjalan keluar dari dalam
rumah dan bertanya dengan suara perlahan kepada lelaki
tadi.
”Hong-kun, apakah bocah she Touw itu sudah pergi?”
”Sudah!” jawabnya singkat.
Dua orang itu berjalan masuk sambil mengobrol.
Di ruangan tamu terdapat tujuh buah kursi, dengan tujuh
orangnya. Di tengah-tengah duduk seorang tua berusia
lima puluh tahunan, di sebelah kiri duduk imam tua yang
mengaku Thian-ceng Tojin, sedang di sebelah kiri Thianceng
Tojin adalah perempuan muda yang cantik jelita itu.
Di barisan sebelah kanan duduk empat pengemis
pertengahan umur.
Pengemis tua bermuka merah dengan wajah cemas
mengawasi lelaki yang baru masuk. Dengan suara agak
gemetar bertanya:
”Hong-kun, apakah orang she Touw itu sudah pergi?”
”Pangcu, orang she Touw itu sudah berlalu. Hamba...”
menjawab Hong-kun sambil maju dua langkah dan
memberi hormat.
”Heng!” Pengemis tua bermuka merah itu mengulapkan
tangannya, dan memotong ucapan Hong-kun, ”Kau lekas
pergi lihat, anak murid yang mengikuti dia itu ada berita
apa?”
Hong-kun lantas undurkan diri.
Pengemis tua itu kembali berkata kepada orang tua yang
berjalan masuk bersama-sama Hong-kun:
”Lie hoat, kau lekas pergi mengundang Leng Congpiauw-
piauw-thao dari Su-hay-piauw-kiok,” orang tua tadi
juga lantas mengundurkan diri.
Setelah dua orang itu berlalu, orang tua bermuka merah
tadi berkata pula kepada Thian-ceng Tojin:
”Kow Hu Pangcu, tentang... batu giok itu, kamu masih
mempunyai usul apa?”
”Perhitungan Pangcu ternyata tepat, hamba merasa
sangat kagum,” menjawab Thian-ceng Tojin sambil
membongkokkan badan.
Pengemis tua bermuka merah itu kembali bertanya
kepada perempuan muda:
”Ang Hok Hoat ada mempunyai usul apa lagi?”
Wanita muda itu memberi hormat seraya berkata:
”Pangcu mempunyai pandangan sangat luas, siaolie
kecuali setuju, terhadap tugas kali ini, merasa sangat puas.”
”Perjalanan Ang Hok Hoat kali ini dengan Hu-pangcu ke
kota Pak-khia, telah berhasil membuat jasa besar, bukan
saja aku si orang she Kang merasa berterima kasih, tetapi
juga semua murid golongan pengemis, merasa berterima
kasih kepada kalian berdua. Kali ini apabila usaha kita
berhasil, Lie Hu San tidak perlu ditakuti lagi.”
Ia berhenti sejenak, kemudian berkata pula sambil
menghela napas:
”Semoga kali ini atas kurnia Couwsu kita bertiga, dapat
mempersatukan golongan pengemis. Aku si orang she
Kang juga tidak mengecewakan Couwsu kita, juga tidak
mengecewakan murid-murid golongan pengemis generasi
kemudian.”
Pengemis bermuka merah itu ternyata adalah pangcu
golongan pengemis daerah selatan, Kang Hao.
Kang Hao tampaknya sangat bangga. Di dalam otaknya
sudah terbayang kedudukannya sebagai ketua dan
pemimpin golongan pengemis, dan di hadapannya seolaholah
berlutut seratus delapan kepala cabang pengemis, yang
semuanya menundukkan kepala dan pandang ia sebagai
pemimpin yang mempersatukan golongan pengemis daerah
utara dan selatan.
Tanpa disadari olehnya, ia sudah tertawa dengan
bangganya.
Dalam keadaan seolah-olah sudah melupakan diri,
matanya melirik kepada wanita cantik tadi. Sinar matanya
menunjukkan sikap aneh, sedang dalam hatinya memanggil
nama perempuan tadi:
”Ang Hok Hoat.”
Panggilan dari dalam hatinya tadi mengandung maksud
lain.
”Pangcu!” demikian empat pengemis tiba-tiba bangkit
dan memberi hormat kepadanya.
Bayangan dalam otaknya Kang Hao telah buyar oleh
suara tadi. Di wajah Kang Hao terlintas perasaan tidak
senang, perlahan-lahan berpaling dan mengawasi wanita
cantik itu.
Hampir pada saat yang bersamaan, sepasang mata
perempuan cantik yang jeli dan bulat itu juga melirik
kepadanya, sehingga saling bertemu.
Hati Kang Hao tergoncang. Sungguh cantik dan
menarik paras perempuan itu. Perlahan-lahan ia berpaling
kembali dan memberi perintah kepada empat pengemis
tadi.
”Kalian berempat, dengar, aku hanya mempunyai waktu
setengah bulan saja, dalam waktu setengah bulan ini harus
berhasil mendahului Lie Hu San tiba di gunung Hek-hongsan,
dengan tanda kepercayaan Naga Emasku ini, kauwcu
pasti akan memberikan kitab ilmu Thian-ceng-siu-lo
kepadaku, dengan demikian, golongan kita daerah selatan
dan utara ada harapan untuk digabung menjadi satu.”
Setelah itu ia mengulapkan tangan kepada empat
pengemis tadi dan berkata pula:
”Besok pagi-pagi aku akan berangkat, segala sesuatu di
dalam perjalanan, terserah kepada kalian berempat yang
mengurus, silahkan kalian berangkat dahulu!”
Empat pengemis itu lantas undurkan diri.
Kang Hao kembali berkata kepada wakil ketua seorang
she Kow:
”Kalau Leng Cong-piauw-tiauw dari Su-hay-piauw-kiok
nanti datang, sediakan upah besar, minta ia pergi ke kota
Tong-sian, diberikan kepada Lie Hu San... ha ha... sebagai
tanda ucapan terima kasih yang ia sudah menyerahkan
tanda kepercayaan pangcu kepada kita.”
Ia tertawa demikian rupa, seolah-olah melupakan dirinya
sendiri, kemudian ia memberi isyarat dengan tangannya
kepada perempuan cantik tadi seraya berkata:
”Ang Hok Hoat, mari jalan kemari! Kita lekas naik
perahu. Malam ini bermalam di atas perahu supaya besok
pagi-pagi bisa melakukan perjalanan di darat.”
Wakil ketua tadi mengantarkan ketuanya sambil
membungkukkan badan, sedang matanya terus mengawasi
berlalunya Kang Hao dengan perempuan cantik she Ang
tadi hingga keluar dari ruangan. Orang tua itu kumisnya
nampak bergoyang-goyang, wajahnya menunjukkan sikap
dengki.
Di waktu malam, angin di atas sungai meniup kencang,
di atas langit hanya terdapat sinar bintang saja.
Di luar kota Yang-ciu, di tepi sungai Thiang-kang,
terpisah kira-kira 5 tombak dari tepi sungai, tampak
berlabuh dua buah perahu besar. Perahu itu di sebelah
kirinya ada lukisan burung garuda besar. Bagi orang-orang
yang sering melakukan perjalanan di sungai Thian-kang,
dapat segera mengenali milik siapa perahu besar itu.
Di atas perahu, tidak terdapat sinar pelita, juga tak
terdengar suara sedikitpun.
Dari jauh, sayup-sayup terdengar tiga kali bunyi
kentongan. Setelah mana, dari dalam perahu itu lalu
terdengar suara orang kemudian disusul dengan munculnya
seorang pengemis berambut pendek.
Pengemis itu mengeluarkan suara batuk-batuk sebentar,
lalu berjalan mengitari atas perahu besar. Ketika
menampak tidak ada tanda-tanda apa-apa yang aneh,
kembali menuju bawah dan tidur di ruangan bawah.
Tak lama kemudian, sebuah perahu kecil dengan diamdiam
dan perlahan-lahan didayung dan mendekati perahu
besar tadi. Dari dalam perahu kecil itu, tampak sesosok
bayangan orang. Dengan tidak mengeluarkan sedikit
suarapun juga bayangan orang itu sudah melayang turun ke
dalam perahu besar, dan berjalan menuju ke kamarnya
dengan indap-indap.
Di bawah sinar bintang, samar-samar tampak bayangan
orang yang melayang turun ke dalam perahu besar tadi
adalah seorang imam yang tangannya membawa sebilah
pedang yang berkilauan.
Pada saat itu, dari tempat setinggi 5 tombak di atas
perahu tiba-tiba terdengar suara seruan terkejut, seorang
berseru dengan suara serak:
”Thian-ceng Tojin...!”
Memang benar, imam itu adalah wakil ketua golongan
pengemis daerah selatan yang menyamar sebagai Thianceng
Tojin.
Bab 61
MESKIPUN di waktu malam, sepasang mata Thianceng
Tojin yang buas dan penuh nafsu membunuh tampak
dengan nyata. Ia berjalan berindap-indap menuju ke kamar
sambil menenteng pedang, di tangan yang lain, memegang
sebuah bumbung warna kuning. Bagi orang Kang-ouw,
segera dapat mengenali bahwa bumbung warna kuning itu
pasti adalah sebuah alat untuk melepaskan senjata rahasia
yang sangat berbisa.
Di depan pintu kamar, Thian-ceng Tojin merendek,
pikirannya ragu-ragu.
Pada saat itu, di bagian lain dalam perahu itu, dari daun
jendela tampak berkelebat bayangan orang, lalu muncul dua
orang dari dalam kamar.
Dua orang itu adalah seorang laki-laki dan seorang
wanita. Yang laki-laki berdandan seperti pengemis, sedang
yang perempuan masih muda dan cantik rupanya.
Dari atas perahu, terdengar suara orang dengan nada
sangat perlahan sekali:
”Itulah dia, perempuannya!”
Thian-ceng Tojin, setelah ragu-ragu sejenak, akhirnya ia
memberanikan diri, kakinya menendang untuk membuka
pintu kamar.
Begitu pintu kamar terbuka, Thian-ceng Tojin secepat
kilat melesat ke dalam, dengan pedang terhunus.
Di dalam kamar, kelambu diturunkan, sedang jendela
terbuka lebar, ketika angin sungai meniup, kelambu itu
tampak bergoyang-goyang, tempat tidur tampak awutawutan,
tetapi tidak terdapat bayangan seorangpun juga.
Thian-ceng Tojin sebagai seorang Kang-ouw kawakan,
begitu menyaksikan keadaan demikian segera mengetahui
gelagat tidak baik. Baru saja kakinya menginjak dalam
kamar, secepat kilat sudah membalikkan diri dan kaki
belakangnya juga memutar, begitupun pedangnya juga
bergerak.
Gerakan tadi cukup cepat dan tepat. Begitu bergerak,
segera terdengar suara beradunya senjata tajam. Thianceng
Tojin terhuyung-huyung mundur tiga langkah. Begitu
Thian-ceng Totiang pasang mata, yang berdiri di
hadapannya bukan lain daripada Kang Hao.
Kang Hao perdengarkan suara tertawanya yang
menyeramkan, tongkat batu giok di tangannya menunjuk
Thian-ceng seraya berkata:
”Orang she Kow, aku si orang she Kang apa salahnya
terhadapmu? Dengan perbuatanmu seperti ini, nama
baikmu selama ini pasti akan hancur, dan kematianmu
masih akan membawa nama buruk sebagai orang yang
berkhianat terhadap ketuanya sendiri.”
Orang she Kow itu hanya perdengarkan suara tertawa
dingin, bumbung di tangannya diacungkan, katanya:
”Mati? Bohong, hari ini kita lihat saja siapa yang akan
mati.”
Ucapannya itu seolah-olah sudah yakin benar asal
bumbung di tangannya itu bergerak, maka Kang Hao sudah
akan menggeletak di tanah.
Kang Hao masih tetap bersikap tenang, katanya dengan
sikap menghina:
”Orang lain takut senjata rahasiamu jarum berbisa, tetapi
aku si orang she Kang tidak, heh he! Dengan adanya
tongkat pusaka ini di tangan sudah cukup untuk
memunahkan senjata rahasiamu. Orang she Kow, kalau
kau tidak percaya boleh coba-coba saja!”
Orang she Kow itu tampaknya dikejutkan oleh ucapan
tadi, sesaat berada dalam keragu-raguan.
Ia agak gentar, dengan mengawasi tongkat batu giok
warna hijau di tangan Kang Hao, matanya terus berputaran
mencari daya upaya.
Keduanya saling berhadapan, perempuan cantik yang
berdiri di belakang Kang Hao, mulai melancarkan serangan
dengan lirikan matanya kepada Thian-ceng Tojin.
Jantung Thian-ceng Tojin berdebaran, tiba-tiba tertawa
terbahak-bahak dan berkata:
”Tongkat di tanganmu itu dapat menyedot jarum
berbisaku atau tidak, masih merupakan suatu teka-teki.
Mungkin kau sendiri yang terlalu banyak membual....”
”Membual atau tidak, kita boleh coba saja dahulu.”
Keduanya kambali saling berhadapan, tiada satu yang
bertindak lebih dahulu. Perempuan cantik itu berjalan di
tengah-tengah antara mereka berdua, lalu berkata sambil
tersenyum manis:
”Ya! Kalian dua orang, janganlah mengadu kekuatan
sendiri, sehingga membikin kacau barisan dalam sendiri!
Bagaimanapun juga kita adalah orang-orang dalam satu
golongan. Ada urusan apa, toh bisa dirundingkan secara
baik-baik!”
”Perempuan hina!”
Dengan marah Kang Hao berseru dan menarik tangan
perempuan cantik itu, hingga mundur terhuyung-huyung
tiga langkah. Kang Hao berkata lagi dengan suara bengis:
”Kau perempuan hina ini apa benar sudah mau mencari
mampus?”
Dengan wajah pucat pasi perempuan cantik itu undurkan
diri, kembali berdiri di belakang Kang Hao.
Ia dapat memahami maksud Kang Hao. Memang benar,
apabila tadi Thian-ceng Tojin turun tangan selagi
perempuan cantik itu sedang berdiri di tengah-tengah dua
orang, bukan saja perempuan cantik itu sendiri yang
pertama-tama menjadi sasaran senjata berbisanya,
sedangkan Kang Hao sendiri juga tidak dapat
mengeluarkan kepandaiannya, sudah tentu akan terkena
serangan juga.
Kang Hao yang masih marah, bertanya pula kepada
perempuan cantik itu:
”Perempuan hina! Katakanlah dengan sejujurnya, kau
sebetulnya hendak ikut siapa?”
”Ikut siapa?” demikianlah perempuan cantik itu balas
bertanya, sedang matanya kembali melirik kepada Thianceng
Tojin. Katanya pula dengan suara lantang:
”Apa masih perlu penjelasan? Siapa yang memiliki
tanda kepercayaan Naga Emas, kepada dialah aku akan
mengikut.”
Ucapan itu sudah jelas menyatakan isi hatinya. Ia sudah
bertekad hendak mengikut Kang Hao, akan tetapi Thianceng
Tojin yang menerima lirikan tajam darinya, tidak
berpikir demikian. Dalam alam pikiran wakil ketua
golongan pengemis itu, lirikan perempuan itu diartikan
sebagai isyarat yang suruh ia....
Memang benar, lirikan perempuan cantik itu
mengandung arti hendak mengadu domba.
Wakil ketua golongan pengemis itu menjadi nekad.
Pedang di tangan bergerak pura-pura menyerang ke dada
perempuan muda tadi, sedang mulutnya berteriak:
”Perempuan hina, kau cari mampus!”
Baru saja pedangnya bergerak, tampak berkelebat
bayangan hijau. Tongkat batu giok di tangan Kang Hao
sudah dilintangkan merintangi gerakan pedang Thian-ceng
Tojin.
Perempuan cantik tadi menggunakan kesempatan itu,
lantas lompat melesat keluar dari dalam kamar.
Selagi dua senjata saling beradu, terdengar pula suara
ledakan dan disusul oleh suara ser-seran. Dari dalam
bumbung itu melesat beberapa ratus jarum berkilauan.
Kang Hao perdengarkan suara bentakan marah-marah
diseling oleh suara tertawanya Thian-ceng Tojin, setelah itu
terdengar pula dua kali suara jeritan mengerikan.
Pedang Thian-ceng Tojin sudah ditarik kembali, dan
dalam kesempatan itu ujung pedangnya untuk kedua
kalinya digerakkan, untuk menyambut tongkat batu giok
Kang Hao yang disodorkan kepadanya, setelah itu ujung
pedang menikam ketiak kiri Kang Hao yang saat itu masih
mengubat-abitkan tongkat di tangannya.
Darah mengucur dari kedua mata Kang Hao, sepasang
matanya sudah tidak dapat melihat lagi.
Dengan demikian, maka ujung pedang Thian-ceng Tojin
dengan sangat mudah dapat menembusi ketiak kiri Kang
Hao.
Berbareng dengan keluarnya suara jeritan Kang Hao,
juga terdengar suara tertawanya Thian-ceng yang menusuk
telinga. Suara tertawa itu mungkin karena terlalu girang,
sehingga mirip dengan suara tertawanya orang kalap.
Belum hilang suara tertawanya, dengan tiba-tiba
terdengar suara jeritan mengertikan, menggantikan suara
tertawanya tadi.
Bersamaan dengan itu, di dalam ruangan kamar perahu
itu terdengar suara jatuhnya tubuh dua orang di atas lantai.
Malam itu, suasana balik sunyi kembali. Perempuan
muda tadi melongok ke dalam kamar. Di wajahnya
menunjukkan sikap girang, tetapi hanya sekilas lintas saja
perasaan terkejutnya lantas lenyap, agaknya apa yang
terjadi dalam kamar itu sudah ada dalam dugaannya.
Di atas lantai dalam kamar, rebah menggeletak dua
bangkai manusia.
Muka Kang Hao berlumuran darah. Kedua tangannya
masih menggenggam erat-erat tongkat batu giok hijaunya,
sedang ujung tongkat itu sudah menancap dalam dada
Thian-ceng Tojin. Dari luka itu darah menyembur
bagaikan air mancur. Meskipun orangnya sudah mati tetapi
darahnya masih mengalir terus.
Perempuan cantik itu benar-benar berhati kejam. Ia
mengawasi dua bangkai manusia itu tanpa menunjukkan
perubahan sikap apa-apa, bahkan masih mengulurkan
tangannya, meraba-raba dalam saku Kang Hao, dari situ ia
mengeluarkan sebuah batu giok berwarna kuning, yang
berukiran Naga Emas. Benda itu digenggam dalam
tangannya, lalu tertawa terbahak-bahak dan kemudian
berkata kepada diri sendiri: ”Takdir! Takdir! Sudah
ditakdirkan aku si orang she Bu....”
Mendadak ia bungkam, matanya terbuka lebar,
wajahnya berubah pucat pasi. Di depan pintu kamar dalam
perahu, entah sejak kapan tahu-tahu seseorang sedang
berdiri.
”Kau...?” demikian perempuan cantik itu berteriak kaget,
mungkin karena terlalu kagetnya, sehingga tidak dapat
mengeluarkan ucapan selanjutnya.
Sekujur badannya gemetaran, bagaikan orang sakit
demam.
”Kau... manusia... ataukah setan?”
Kata-kata itu akhirnya tercetus juga dari mulutnya,
namun semangatnya seolah-olah masih belum kembali,
matanya terus menatap kepada orang yang sedang berdiri di
hadapannya.
Orang yang berdiri di hadapannya itu adalah seorang
pemuda berbaju hijau, yang bukan lain daripada Touw
Liong adanya, yang pernah diceburkan olehnya ke tengahtengah
telaga.
Wanita cantik itu menganggap Touw Liong sudah binasa
di dalam dasar telaga. Mengapa ia mendadak bisa muncul
di kota Yang-ciu? Kecuali rohnya, tidak mungkin kalau itu
adalah orangnya yang benar. Begitu pikir wanita cantik itu.
”Perempuan hina!” demikian Touw Liong membentak
dengan suara keras, ”Tuan mudamu masih segar bugar,
kalau bukan manusia, apa kau anggap aku ini setan?”
Kini mengertilah sudah perempuan muda itu bahwa
Touw Liong benar-benar adalah manusia yang masih
hidup, bukanlah setan yang hendak mengejar dirinya. Oleh
karenanya, maka hatinya malah menjadi tenang, sesaat
kemudian kembali menunjukkan sikapnya yang genit,
pandangan matanya yang tajam bagaikan gunting, terus
menerus memain ke wajah Touw Liong, setelah itu, ia
unjukkan senyumnya yang menggiurkan, dan katanya
dengan suara lemah lembut yang penuh madu:
”Ayo! Touw tayhiap, kau benar-benar berumur panjang,
bisa lolos dari bahaya maut. Kau pasti akan mndapat rejeki
besar....”
”Tutup mulut!” bentak Touw Liong, ”Di mana pedang
Hok-mo-kiam-ku?”
”Pedang?” balas tanya perempuan itu sambil tersenyum,
”Di dalam, nanti kuambil dulu!”
”Tunggu dulu!” Touw Liong takut perempuan itu kabur,
maka tidak mau membiarkan ia berlalu, ”Tunggu sebentar,
aku bisa mencari sendiri.”
Saat itu wajahnya diliputi oleh nafsu membunuh. Ia
pikir perempuan cantik berhati berbisa itu tidak boleh
dibiarkan hidup. Apabila perempuan berbisa ini tidak
disingkirkan, di kemudian hari entah berapa banyak jiwa
yang akan binasa di tangannya?
Melihat perubahan sikap Touw Liong, dalam hati
perempuan cantik itu ketakutan, namun ia masih belum
kehabisan akal, ia masih mencoba hendak memikat Touw
Liong dengan kecantikannya. Sambil unjukkan senyumnya
yang manis, ia memperlihatkan batu giok di tangannya
kepada Touw Liong, lalu maju menghampiri dua langkah
dan diberikan kepada Touw Liong seraya berkata:
”Nah, Touw tayhiap, dengan adanya batu giok ini, untuk
selanjutnya golongan pengemis daerah selatan dan utara
akan berada di dalam kekuasaanmu!”
Touw Liong terkejut dan mundur selangkah, ia takut
perempuan itu menggunakan akal muslihat kepada dirinya
lagi, maka lalu membentak, membuat perempuan cantik itu
merandek.
”Lemparkan!” perintahnya Touw Liong dengan sikap
dingin.
”Lemparkan?” berkata perempuan cantik itu dengan
wajah berubah, ”Enak saja!”
Ia genggam erat-erat batu giok di tangannya, katanya
lambat-lambat:
”Batu giok ini kudapatkan dengan mengorbankan waktu,
tenaga dan tubuhku. Meskipun milik golongan pengemis,
akan tetapi aku sudah bisa mendapatkan, tentu bisa juga
menghancurkan benda ini. Aku tahu maksud
kedatanganmu kemari ialah lantaran batu giok ini. Hari ini,
jikalau kau tidak dengar perkataan nonamu, hem! Hem!”
Ia perdengarkan suara tertawa dinginnya berulang-ulang.
Batu giok diacung-acungkan di depan mata Touw Liong,
kemudian berkata pula dengan suara tajam:
”Asal aku mengacungkan tanganku, kau harus dengar
ucapanku!”
”Baiklah! Katakan saja! Kau ingin aku berbuat
bagaimana?”
”Kau jadi pangcunya, aku yang pelindung hukum. Batu
giok ini terhitung milikmu, tetapi orang yang benar-benar
menguasainya ia adalah pelindung hukum,” kata
perempuan cantik itu dengan sikap bangga.
Touw Liong tidak terlalu rakus dengan benda pusaka itu,
tetapi oleh karena nasib golongan pengemis tergantung
kepada benda itu, maka untuk sesaat ia juga merasa sulit.
Ia takut perempuan cantik itu nanti menggunakan batu giok
tersebut untuk memeras dirinya. Apalagi, perempuan
cantik itu berhati sangat berbisa, segala perbuatan jahat
pasti dapat dilakukan olehnya.
Ia berpikir bolak-balik, kecuali menurut, sesungguhnya
sudah tidak ada jalan lain lagi. Oleh karenanya, maka
terpaksa ia mengiringi kehendaknya.
”Baik, akan kuiringi segala kehendakmu, juga suka aku
ampuni jiwamu. Tapi ada satu hal kau harus ingat benarbenar,
bila ada satu hari kau mengandung maksud jahat,
dayung perahu ini adalah contohnya!”
Setelah berkata demikian, ia memutar tubuh, dari jauh
melakukan gerakan tangannya. Dayung perahu yang besar
dan kokoh itu mendadak patah menjadi dua potong.
”Baik! Begitu saja kita tetapkan,” perempuan cantik itu
tersenyum manis.
Tiga hari kemudian, di atas sungai Thian-tang-kang
tampak sebuah perahu besar. Di atas perahu itu dikibarkan
bendera merah yang bertulisan huruf besar ”TOUW” yang
tersulam dengan benang emas.
Munculnya perahu besar itu disambut oleh dua belas
perahu lain yang dihias dengan berbagai perhiasan, di
sepanjang sungai, arak-arakan perahu itu seperti mengarak
raja-raja, terus menuju ke kota Hang-ciu.
Di bawah sebuah bukit di sebelah barat kota Hang-ciu,
terdapat sebuah bangunan besar dengan pekarangannya
yang luas. Bangunan itu dihias dengan rupa-rupa dedaunan
dan bendera-bendera, tampaknya sangat ramai sekali.
Sesungguhnya bangunan itu luas dan cukup megah,
tetapi ada satu hal yang lain daripada yang lain, orangorang
yang keluar masuk di dalam bangunan yang
mempunyai pekarangan luas itu, semuanya adalah orangorang
dari golongan pengemis.
Bagi orang yang mengerti, sedikitpun tidak merasa
heran, sebab bangunan besar itu adalah markas besar
golongan pengemis daerah selatan.
Ketika iring-iringan perahu itu menepi semua, dari tepi
sungai sampai ke bangunan besar itu, sepanjang jalan
orang-orangnya diarak dengan tetabuhan dan bunyi-bunyi
petasan.
Tiba di muka pintu gerbang, kedatangan rombongan itu
disambut oleh 36 pengemis tua yang masing-masing
tangannya menggenggam sebuah tongkat kebesaran.
Kemudian, kepala rombongan yang merupakan seorang
pemuda tampan, diiring masuk oleh 36 pengemis tua, dan
duduk di atas kursi upacara kebesaran di tengah-tengah
ruangan yang luas.
Ketika pemuda itu sudah duduk di atas kursi
kebesarannya, 36 pengemis tua satu persatu maju memberi
hormat seraya memperkenalkan diri masing-masing.
Mereka itu ternyata para ketua atau pemimpin 36 cabang
golongan pengemis yang tersebar di berbagai kota.
Pemuda tampan yang menduduki kursi kebesaran itu,
bukan lain daripada Touw Liong sendiri.
Tiga puluh enam ketua cabang itu setelah selesai
memperkenalkan diri dan unjuk hormat, disusul oleh 6
anggota yang ditugaskan untuk menjabat sebagai kepala
bagian dalam markas, terakhir adalah perempuan muda
cantik jelita yang tangannya menggenggam tanda
kepercayaan batu giok berukiran Naga Emas.
Selesai upacara pertemuan, Touw Liong memimpin ke-
36 ketua cabang dan kepala-kepala bagian, bersembahyang
kepada tiga Cowsu pendiri golongan pengemis, dengan
sembahyang kepada bumi dan langit, kemudian
memerintahkan kepada anak buahnya untuk menyediakan
perjamuan.
Selesai perjamuan, Touw Liong mengajak enam kepala
bagian dan anggota pelindung hukum untuk mengadakan
perundingan.
Pertama-tama Touw Liong menanyakan dasar hukum
yang digunakan oleh golongan pengemis bagian selatan
kepada kepala anggota bagian hukum. Menurut kepala
anggota bagian hukum, dasar hukum yang digunakan ialah
yang sudah ditentukan oleh ketiga Cowsu dahulu.
Touw Liong menganggukkan kepala, karena golongan
pengemis bagian utara juga menggunakan dasar hukum
tersebut.
Dari kepala keanggotaan Touw Liong mendapat
keterangan bahwa golongan pengemis selatan dan utara
semuanya mempunyai 108 cabang.
Setelah itu Touw Liong memerintahkan kepada kepala
bagian itu mengeluarkan surat undangan kepada 108 kepala
cabang, supaya pada malaman Tiong-ciu pada tahun ini
juga, berkumpul di markas besar kota Tong-ciu.
Enam orang itu terkejut mendapat perintah demikian.
Kepala bagian keanggotaan itu lalu berkata:
”Urusan sebesar ini, mana dapat Pangcu memindahkan
markas besar ke kota Tong-ciu?”
”Kota Tong-ciu adalah tempat berdirinya golongan
pengemis dahulu yang dibentuk ketiga Cowsu kita, dan
waktu itu ketiga Cowsu kita juga sudah menetapkan kota
Tong-ciu sebagai markas besarnya.”
Enam orang itu lalu bungkam, pada saat itu, dari luar
terdengar suara orang yang memberi laporan bahwa kepala
cabang kota Lam-ciu telah mengirim surat!
Semua orang di situ menunjukkan sikap terkejut, sebab
cabang kota Lam-ciu termasuk anak cabang dari golongan
utara, mengapa bisa mendadak datang memberi laporan ke
daerah selatan?
Touw Liong segera membuka surat yang diterimanya,
sesaat itu ia melengak:
Kiranya batu giok berukiran binatang Kie-lin yang
merupakan tanda kepercayaan salah satu dari Tiga Dewa
golongan pengemis, yang waktu itu hilang di tangan Kang
Hao, entah bagaimana bisa terjatuh di tangan kepala cabang
kota Lam-ciu, dan kepala cabang kota Lam-ciu itu dengan
menggunakan tanda kepercayaan tersebut, telah
membentuk sendiri golongan pengemis yang dinamakan
golongan pengemis bagian barat-utara, serta menyatakan
maksudnya hendak melepaskan diri dari golongan utara.
Dalam upacara berdirinya partai baru itu, ia sengaja
mengundang pangcu golongan selatan untuk turut
menghadiri.
Dengan demikian, maka golongan pengemis kini telah
terpecah menjadi tiga.
Karena upacara berdirinya golongan pengemis bagian
barat-utara itu bertepatan harinya dengan hendak
diadakannya pertemuan besar oleh Touw Liong di kota
Tong-ciu, maka hal ini membuat Touw Liong serba salah,
hingga lama ia berdiam.
Tetapi kemudian ia mengambil keputusan, bahwa
pemindahan markas besar ke kota Tong-ciu itu akan
diundurkan sampai nanti tanggal sembilan bulan sembilan,
sedang pada malaman Tiong-ciu, ia akan ke kota Lam-ciu
seorang diri.
Enam kepala bagian itu terkejut mendengar keputusan
Touw Liong. Sebab, bila Touw Liong hadir dengan
kedudukan sebagai pangcu golongan selatan, ini berarti
sudah mengakui dengan resmi berdirinya golongan baratutara.
Padahal yang sepantasnya ialah, ia tak boleh
menghiraukan undangan itu.
Kepala bagian keanggotaan lalu bertanya kepadanya:
”Apakah Pangcu hendak hadir untuk memberi selamat?”
”Bukan!” jawab Touw Liong dengan tegas, ”Maksudku
ialah hendak mengambil kembali batu giok kepercayaan
itu.”
Semua orang dikejutkan oleh jawaban itu. Touw Liong
lalu berkata kepada kepala bagian urusan umum:
”Sekarang kau harus segera siapkan, besok pagi-pagi
sekali, aku akan berangkat ke sana.”
Setelah itu Touw Liong perintahkan kepada anggota
pelindung hukum perempuan cantik itu.
”Aku besok pagi-pagi hendak berangkat, perlu dengan
batu giok itu, tolong Ang Hok-hoat pinjamkan batu giok itu
kepadaku untuk sementara. Nanti setelah aku kembali dari
kota Lam-ciu, akan kukembalikan lagi kepadamu.”
Bab 62
”PANGCU, kau jangan lupa, di antara kita sudah ada
perjanjian lebih dahulu!” berkata perempuan cantik itu
sambil tertawa dingin.
”Habis bagaimana? Untuk menghadapi persoalan ini,
kalau aku tidak membawa batu giok tersebut, tidak
mungkin dapat menundukkan mereka.”
”Kalau begitu biarlah aku ikut kepadamu saja.”
”Kau....”
”Kenapa? Apa tidak baik? Apabila Pangcu takut akan
ditertawakan orang, silahkan pergi sendiri, sedang batu giok
itu toh berada di tanganku.”
Touw Liong menghela napas, ia tidak menduga akan
terjadi hal demikian.
”Baiklah! Kita berangkat besok pagi-pagi!” demikian
akhirnya Touw Liong mengalah dan perempuan cantik itu
segera minta diri.
Hari kedua pagi-pagi, perahu yang ditumpangi oleh
Touw Liong dan perempuan cantik itu dengan melalui
sungai Hu-chung-kang terus berlayar menuju ke telaga
Thay-ouw. Touw Liong lalu memerintahkan untuk
berlayar menuju ke kota So-ciu.
Tiba di kota So-ciu, Touw Liong disambut oleh pangcu
cabang daerah Go-sian. Touw Liong memerintahkan
orang-orangnya menyediakan barang sembahyang dan
kertas-kertas sembahyang, untuk pergi ke Kow-so-thay,
untuk bersembahyang ke kuburan ayah bundanya.
Di hadapan makam ayah bundanya, Touw Liong
berjanji, bahwa pada harian Tiong-ciu di lain tahun, ia akan
datang bersama saudaranya Kang Kie dengan membawa
kepala musuh besar ayahnya, untuk bersembahyang ke
hadapan makam orang tuanya.
Ketika hendak berlalu dari situ, lebih dulu ia memberi
uang kepada ketua cabang daerah Go-sian, untuk
perongkosan merawat makam ayah bundanya. Dari situ ia
lalu melanjutkan perjalanannya ke propinsi Han-kow. Dari
propinsi Han-kow, langsung ke Han-tiong.
Di sungai Han-tiong airnya deras, jadi perahu tidak bisa
berlayar dengan laju. Dalam hati Touw Liong merasa
cemas, sebab bila di jalan saja sudah demikian lambat,
entah kapan baru bisa sampai ke tempat tujuan.
Dari Han-tiong ke kota Lam-ciu masih memerlukan
perjalanan kira-kira sehari. Touw Liong menghitung-hitung
waktunya, harian Tiong-ciu sudah dekat sekali, bila tidak
bisa mencapai kota Lam-ciu pada waktu yang tepat,
bukankah berarti akan tersia-sia saja segala jerih payahnya!?
Beberapa kali ia mengusulkan suruh ambil jalan darat,
apa mau kepala pelindung hukum perempuan cantik she
Ang itu tidak menyetujui. Tapi manakala perahu sampai di
kota Shiang-yang, Touw Liong merasa tak tahan lagi, maka
berkata kepada perempuan cantik itu:
”Kalau kau tetap tak mau jalan di darat kembalilah kau
ke Hang-ciu, biarlah aku pergi ke Lam-ciu sendiri!”
Perempuan cantik itu tampak berdiam diri, namun
dalam otaknya telah berkelebatan entah berupa-rupa pikiran
untuk mencari akal, sebagai orang yang banyak akal, lekas
sekali ia mendapatkan tipu daya, katanya:
”Baiklah, terserah bagaimana maumu saja! Namun,
masih hendak kuusulkan, malam ini kita berlabuh dulu di
pelabuhan Hoan-shia untuk menginap satu malam di atas
perahu, besok pagi-pagi baru kita berangkat lagi melalui
daratan.”
Untuk menunda satu malam Touw Liong anggap tidak
keberatan, maka ia menerima baik permintaan itu. Seperti
biasa, malam itu Touw Liong dan perempuan cantik she
Ang itu masing-masing makan di dalam kamarnya sendiri.
Di waktu makan, Touw Liong yang masih takut oleh akal
muslihat perempuan cantik itu, selalu menggunakan sumpit
gadingnya untuk memeriksa dahulu di dalam sayursayurnya,
apakah ada terdapat racun atau tidak.
Malam itu sehabis makan ia makan beberapa biji buah
keluaran kota Hang-ciu yang terkenal enaknya. Mungkin
karena jarang sekali makan buah seperti itu, Touw Liong
merasa kuras puas. Sambil memandang piringnya yang
sudah kosong, ia tertawa kecut. Dalam keadaan demikian,
telinganya tiba-tiba mendengar suara orang yang berkata
kepadanya: ”Pangcu, apa masih mau makan buah itu?”
Touw Liong tertawa hambar dan menganggukkan
kepala.
Buah yang baru disediakan anak buahnya sekaligus
dimakan habis olehnya. Ia merasa segar dan sekujur
tubuhnya lalu dirasakan nyaman. Sambil memandang
matahari terbenam ia coba memperhitungkan berapa lama
perjalanan ke kota Lam-ciu dia tempuh, dan dengan cara
bagaimana dapat menundukkan ketua-ketua cabang dari 3
kota itu.
Tiba-tiba, suatu perasaan aneh yang belum pernah ia
alami telah timbul dalam dirinya pada saat itu timbul
semacam pikiran yang ia sendiri tidk mengerti perasaan apa
itu. Matanya terus ditujukan kepada sesosok tubuh yang
berdiri di atas perahu, sedang pikirannya melayang-layang
jauh sekali.
Tubuh indah yang berdiri di bawah sinar rembulan
purnama itu, bukan lain dari perempuan cantik she Ang
yang mengenakan pakaian malam.
”Ang Hok-hoat!” Ia sebetulnya tak pernah memberikan
hati kepada perempuan cantik yang sifatnya jahat dan cabul
itu. Tetapi malam ini, entah apa sebabnya ia telah
memanggil pelindung hukumnya dengan suara lemah
lembut. Waktu itu, dalam pikirannya, dalam
pandangannya, perempuan yang jahat itu adalah jelmaan
bidadari dari kahyangan. Perempuan cantik itu membalas
dengan panggilannya ”Pangcu...” lalu dengan langkah
lemah gemulai berjalan menghampiri Touw Liong.
Touw Liong mengawasi terus perempuan yang
tersenyum kepadanya, berkata sambil menunjuk rembulan
di atas langit: ”Ang Hok-hoat, kalau kau tertawa, mirip
sekali dengan....”
”Kalau aku tertawa, mirip sekali dengan rembulan di
atas langit yang bulat indah itu, betul tidak?”
”He eh...” Touw Liong tertawa, dan menarik tangan
perempuan cantik yang putih dan halus itu. Dengan sinar
mata berapi-api berkata dengan suara sangat perlahan:
”Kau benar-benar manis sekali malam ini!” Lalu dieluslah
pipi si cantik itu olehnya. Sikap Touw Liong malam itu
nampaknya seperti pemuda bangor, seolah-olah sudah
mahir benar dalam permainan dengan perempuan cantik.
Perempuan cantik itu mengerlingkan matanya, tertawa lagi,
dan katanya dengan suara perlahan: ”Pangcu!”
Tangan Touw Liong dari pipi turun ke dagu perempuan
itu, katanya perlahan: ”Angkatlah mukamu, Ang Hok-hoat!
Biar aku menikmati sampai puas!”
”Cis!”
Nafsu birahi Touw Liong mendadak berkobar hebat,
mendekati dan mencium pipi perempuan cantik itu, tetapi si
perempuan pura-pura melengos dan katanya: ”Pangcu,
jangan begitu ah!”
Waktu itu di atas sebuah pohon tampak seorang gadis
cantik berpakaian hijau, menyoren pedang di atas
punggungnya, gadis ini menunjukkan perasaan sedih, air
matanya turun membasahi pipinya sedang matanya
ditujukan ke dalam perahu, di mana Touw Liong sedang
tenggelam dalam air kata-kata dan paras cantik. ”Touw
Liong! Touw Liong! Aku kira kau adalah seorang ksatria,
tidak tahunya kau juga ternyata merupakan seorang
pemabukan dan penggemar paras cantik...!” suara gerutuan
ini tercetus dari mulut si gadis cantik berpakaian hijau itu,
lalu dengan satu gerakan yang sangat ringan, melayang
turun ke bawah pohon dan menghilang ke dalam
kegelapan.
Di dalam perahu, Touw Liong sudah berada dalam
keadaan mabuk, sinar matanya berapi-api memandang
gadis cantik di sampingnya.
”Pangcu!” perempuan cantik itu sikapnya makin
menggiurkan, ”Kau sudah mabok! Mari, kuantar kau
tidur.”
”Baik! Baik!” Touw Liong bangkit dengan langkah
sempoyongan, satu tangannya digandeng oleh perempuan
cantik tadi, dengan berdampingan berjalan masuk ke kamar
Touw Liong.
Selagi si perempuan cantik mendorong pintu kamar, tibatiba
terdengar suara serr, dan di daun pintu itu tertancap
sebilah belati tajam! Sepasang mata Touw Liong segera
terbelalak lebar mengawasi belati itu, pikirannya menjadi
jernih kembali.
Perempuan cantik itu secepat kilat berpaling. Di
belakang dirinya kira-kira sejarak tiga tombak, berdiri
seorang tua berpakaian warna perak, tangannya membawa
tongkat berkepala naga, sepasang matanya memancarkan
sinar tajam, dengan perasaan terheran-heran memandang
kepada Touw Liong. Di belakang orang itu, berdiri dua
orang wanita setengah umur yang masing-masing
mengenakan pakaian berwarna perak juga. ”Siu-lo!” Touw
Liong tiba-tiba berseru, mabuknya lenyap seketika, lalu ia
menyongsong orang tua itu.
Orang tua itu juga menghampiri ke arahnya dan berkata
dengan suara gemetaran:
”Touw tayhiap!”
Tiga orang yang datang secara mendadak itu adalah
Anak Sakti dari Gunung Bu-san, bersama dua muridnya
Sepasang Burung Hong. Sepasang Burung Hong itu dengan
wajah dan sikap dingin, memandang perempuan cantik she
Ang itu.
Merasa gagal dalam usahanya memikat Touw Liong,
dalam hati si perempuan cantik itu merasa sangat
mendongkol, memandang tiga orang yang baru datang itu
dengan sikap marah. Anak Sakti tidak menanyakan apaapa
kepada Touw Liong, sebaliknya bertanya sambil
menunjuk perempuan cantik itu, ”Nona ini.....”
Wajah Touw Liong jadi kemerah-merahan tidak tahu
apa yang harus diperbuatnya.
Na Lo, salah satu dari Sepasng Burung Hong berkata:
”Perempuan siluman ini sudah enam tujuh tahun tidak
terlihat, tidak kusangka kini muncul di daerah Tiong-goan!”
Touw Liong dan Anak Sakti dari gunung Bu-san dengan
sikap heran mengawasi Na Lo, smentara Ciauw Kun,
Burung Hong kedua sudah berkata:
”Dia adalah anak murid Bu-ci Sin-nie di kota Kui-yang
yang sudah diusir dari perguruannya.”
Touw Liong diam-diam merasa bersyukur. Mendadak ia
ingat, memang di daerah Leng-lam ada seorang perempuan
cantik yang bernama Bu-cui-lian, yang terkenal cabul, suka
memikat anak-anak muda dengan obat bius.
Secepat kilat ia membalikkan diri dan bertanya dengan
nada marah:
”Kau adalah Bu....”
”Ng!” sahut perempuan cantik itu sambil mengangguk,
”Kau baru tahu, tapi sayang sudah terlambat. Sepuluh hari
lebih kita hidup dengan penuh cinta kasih dalam satu
perahu!”
Anak Sakti dari gunung Bu-san lalu mengawasi Touw
Liong dengan perasaan kecewa.
Touw Liong tahu kata-kata Bu-cui-liong tadi ada
mengandung fitnahan, bila dibiarkan, Anak Sakti dari
Gunung Bu-san salah paham, besar ia akan tidak dapat
mencuci nama baiknya, lagi-lagi maka lantas membentak
dengan suara keras: ”Ang Hok-hoat, hati-hatilah sedikit
kalau bicara, jangan memfitnah orang!”
”A...ya Tuhan!” Bu cui lian berseru, ”Tak kusangka
demikian cepat sudah berubah hatimu! Betul kita baru
bertemu dan berkumpul secara mencuri tapi seperti orang
dahulu kata satu hari menjadi suami isteri, berarti
menanggung budi seratus hari. Kita sudah hidup bersamasama
lebih dari sepuluh hari, kau ini benar-benar seorang
yang tidak punya liangsim, demikian cepat kau sudah
berbalik tidak mau mengenal orang lagi.”
”Aih!” Anak Sakti dari Gunung Bu-san cuma bisa
menghela napas perlahan.
”Kau mengecewaka harapan Pek Susiok!” Na Lo juga
ikut menyesali perbuatan Touw Liong.
Touw Liong terkejut mendengar kata-kata Na Lo.
Ucapan Bu-cui-lian tajam bagaikan sembilu, tapi kata-kata
Na Lo lebih menyakitkan hatinya. ”Nona Pek kau kata....”
cepat tanyanya. ”Dimana adanya dia sekarang?”
”Orangnya?” kata Ciauw Kun sambil pelototkan
matanya. ”Ya, barusan juga ada di sini, tapi melihat
sandiwara barusan, Pek susiok yang tahu diri terpaksa
lantas mundur.”
”Pek Giok Hoa! Pek Giok Hoa!” dalam hati Touw
Liong berseru sendiri.
”Ayo pergi!” Anak Sakti dari Gunung Bu-san mengajak
dua muridnya berlalu, hingga sesaat kemudian
menghilanglah mereka di tempat gelap.
Touw Liong marah sekali. Dengan suara rendah
berkata:
”Golongan pengemis tidak bisa terima orang bermatabat
rendah semacam kau ini.”
”Tapi golongan pengemis juga tak bisa berdiri tanpa aku!
Tidak ada aku, orang golongan pengemis tidak bakalan bisa
menemukan batu giok tanda kepercayaan Pangcu. Tanpa
aku, kau juga tidak bisa menduduki kursi Pangcu.
Pokoknya asal aku menggerakkan jariku sedikit saja, hmm!
Golongan pengemis atau mungkin juga semua orang-orang
persilatan, untuk selamanya jangan harap bisa menemui
batu giok tanda kepercayaan golongan pengemis. Benda itu
akan segera hancur lebur di tanganku ini!” kata Bu-cui-lian
dengan sikap suara dingin.
Touw Liong jadi khawatir, tapi ia tak dapat berbuat apaapa
selain menahan marah.
”Sebetulnya sudah sejak dulu waktu kita berada di kota
Cee-lam aku sudah memperhatikan dirimu. Tapi si tua
bangka itu rupanya cemburu. Ia memaksa aku suruh bunuh
kau. Waktu itu ia menjanjikan, akan mengangkatku
sebagai wakil begitu lekas ia dapat merebut kedudukan
pangcu. Dan, tentang penghidupan pribadi, juga bebas.
Yang satu tidak boleh ganggu yang lain.” Berdiam antara
sejenak, Bu Cui Han melanjutkan lagi kata-katanya:
”Lantaran ingin sekali aku mendapatkan kedudukan wakil
ketua, maka dengan hati berat terpaksa aku bikin mabuk
kau waktu itu juga, dan lemparkan kau ke tengah telaga.
Tapi ternyata panjang umurmu.... Tapi, juga karena kau
tidak mati, dan kita bertemu lagi, aku jadi putar otak
sedapat mungkin untuk dapatkan dirimu. Selama dalam
perjalanan kita ini, aku berpikir keras, bagaimana hendak
mendapatkan dirimu. Dalam buah yang terakhir yang
kuberikan kepadamu tadi, ada obat biusnya. Sekarang,
segala-galanya kau sudah mengerti, bukan? Marilah kita
berbicara secara blak-blakan!”
”Lekas katakan, apa kehendakmu!”
”Mulai hari ini, aku menjabat kedudukan sebagai wakil
ketua, tapi masih tetap menguasai batu giok ini. Dalam
urusan pribadi kita sebagai suami isteri. Aku jamin,
selanjutnya dan untuk selama-lamanya, aku tidak akan
mencari laki-laki lain....”
”Phui! Siapa kesudian mempunyai isteri semacam kau!”
”Kau jangan berlaku gagah-gagahan! Kau kira cukup
begitu saja? Aku malah masih menghendaki kau
bersumpah di hadapanku!”
”Aku seorang laki-laki!” kata Touw Liong marah.
”Selama masih ada napasku, tidak mau aku diperas! Tanpa
batu giok akupun dapat menundukkan golongan
pengemis!”
Berbareng dengan kata-katanya yang terakhir ia
menyambar bungkusan dan pedang Hok-mo-kiamnya,
lompat melesat dan menghilang di kegelapan.
Di kota Lam-ciu adalah sebuah gunung tandus. Adapun
keistimewaan gunung itu adalah kecuali tandus, juga ada
banyak puncaknya yang menjulang tinggi. Di atas puncak
itu terdapat sebuah pagoda sembilan tingkat, dari jauh
tampak menyolok sekali.
Touw Liong yang sudah berada di kota Lam-ciu segera
menuju ke gunung itu.
Di belakang bangunan pagoda tinggi itu ada sebuah
kelenteng yang keadaannya sudah rusak sekali, di sekitar
kelenteng dikitari oleh beberapa anak bukit sehingga
keadaan keleneng tersebut jadi mirip sekali dengan sebuah
bangunan yang dikurung oleh tembok benteng, jadi disebut
pula bentengan kuno oleh orang-orang.
Orang yang hendak berkunjung ke kelenteng tua tadi,
harus memutari dulu pagoda tinggi itu, dan untuk bisa
sampai ke pagoda itu, masih harus melalui sebuah jembatan
panjang yang menghubungkan dunia luar dengan pagoda
dan kelenteng tua itu.
Di dalam bentengan kuno tersebut waktu itu ada
berkumpul banyak orang, di atas jembatan panjang, orang
berbondong-bondong menuju ke bentengan itu. Di muka
pintu gerbang benteng tampak empat orang golongan
pengemis yang memeriksa setiap tamu yang datang
berkunjung. Touw Liong disambut oleh salah seorang
pengemis penjaga tersebut.
”Tuan dari mana?” tanya pengemis tersebut.
”Hang-ciu.”
”Tuan....”
Tanpa menunggu habis perkataan orang itu, dari dalam
sakunya Touw Liong lantas mengeluarkan sebuah surat
undangan.
”Golongan pengemis daerah selatan....” dan pengemis
itu mundur selangkah. Touw Liong mengangguk,
pengemis itu lalu memberi hormat lagi dan bertanya dengan
sikap lebih menghormat:
”Bolehkah siaote mengetahui nama tuan?”
”Touw Liong!”
”Touw pangcu!” semua orang terkejut dengan berbareng
berseru kaget lalu maju selangkah dan berlutut di hadapan
Touw Liong.
Touw Liong buru-buru memerintahkan mereka bangun.
Empat pengemis tadi segera bangkit, satu di antaranya
berkata dengan sikap menghormat sekali:
”Pangcu, ikutlah pada teecu!”
Touw Liong mengikuti pengemis tadi berjalan masuk ke
pendopo.
Seorang lain lalu melapor dengan suara keras ke dalam
pendopo: ”Touw pangcu tiba....!”
Suasana dalam pendopo antara sesaat menjadi gempar,
lalu hening kembali. Beberapa ratus pasang mata masih
tertuju ke arah Touw Liong.
Dari dalam pendopo, seorang pengemis bermuka merah
datang menyongsong. Touw Liong lantas menduga kepada
ketua cabang dari kota Lam-ciu yang bernama Su Bun Cun.
Benar saja, sesaat kemudian lalu terdengar kata-kata
pengemis bermuka merah itu:
”Su Bun Cun tidak keburu menyambut kunjungan
Pangcu ini dari jauh-jauh, harap suka dimaafkan.”
Touw Liong menyambuti dengan kata-kata merendah,
lalu berjalan bersama-sama menuju ke tengah pendopo.
Begitu Touw Liong masuk, semua orang di dalam pendopo
lantas pada bangkit berdiri guna memberi hormat, dibalas
oleh Touw Liong, mengangguk-anggukkan kepala.
Duduk di kursi tamu agung, Touw Liong melihat bahwa
semua tokoh-tokoh golongan pengemis berbagai cabang
telah datang, hanya tidak tampak orang-orang dari daerah
utara. Namun ia tidak menunjukkan sikap apa-apa,
bersama-sama orang banyak turut dahar dan minum
sepuasnya.
Belum berapa lama perjamuan berlangsung, Su Bun Cun
tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya. Setelah memberi
hormat pada para hadirin, mulailah ia menyatakan
maksudnya mengundang dan mengadakan perjamuan ini,
ialah untuk memisahkan diri dari pusat perkumpulan
golongan pengemis di kota Tong-ciu. Pengumuman ini
disambut gemuruh oleh para hadirin, sebagian besar
menyatakan setuju.
Sun Bun Cun tampak gembira, mengawasi Touw Liong
dan bertanya perlahan:
”Bagaimana tanggapan Touw pangcu mengenai buah
pikiran siaote yang tak ada harganya ini?”
”Saudara Su hendak mendirikan golongan pengemis
buat daerah barat laut? Siapa yang akan menjadi
ketuanya?”
”Tentang ini,” sahut Su Bun Cun ragu, ”Siaote merasa
perlu lebih dulu diadakan pemilihan di antara 3 ketua
cabang.”
Touw Liong mengangguk-anggukkan kepala, setelah
berdiam sejenak, lalau berkata lagi:
”Cabang-cabang mempunyai tokoh cukup banyak,
mengapa saudara Su tidak memperluas pemilihan?
Misalnya juga buat anggota-anggota di luar ketua cabang,
agar mereka merasa pula diberikan hak yang sama untuk
turut ambil bagian dalam pemilihan ketua ini.”
”Mengenai usul pangcu ini,” buru-buru Su Bun Cun
memprotes, ”Maaf, siaote tidak bisa menyetujui!”
]Touw Liong mengerti, pasti Su Bun Cun mengira
dirinya akan turut dalam memperebutkan kedudukan ketua,
maka saat itu ia tertawa nyaring, dan berkata sambil
menggeleng-gelengkan kepala:
”Siaote tidak akan turut ambil bagian dalam pemilihan
itu.”
”Bukan begitu maksud siaote,” kata Su Bun Cun dengan
kemalu-maluan, ”siaote pikir, tiga puluh enam ketua
cabang itu selain sudah tinggi kedudukan mereka, juga
masih memiliki lain-lain faktor, misalnya kecerdasan,
pahala dan moral yang umumnya masih di atas anggota
pengemis biasa. Jikalau kita mengadakan pemilihan tanpa
dibatasi, barangkali akan cendrung kepada kekuatan tenaga
atau kepandaian, jadi agak mengabaikan faktor-faktor
moral dan kecerdasan serta pahala.”
Touw Liong mengangguk-angguk, ia anggap ada
benarnya juga kata-kata Su Bun Cun itu, namun dalam
hatinya sudah mengambil keputusan, bagaimanapun juga ia
hendak mencegah usaha mereka ini.
Tiba-tiba ia teringat kepada batu giok berukiran binatang
kie-lin yang oleh Ko Peng diberikan kepada Kang Hao,
maka bertanya kepada Su Bun Cun dengan nada suara
perlahan:
”Su pangcu, kabarnya batu gioknya Kang Hao yang
berukiran Kie-lin terjatuh di cabang daerah. Benarkah itu?”
Wajah Su Bun Cun menunjukkan perubahan tidak
berhentinya, lama ia berdiam tak mampu membuka mulut,
akhirnya berkata juga sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya:
”Memang benar, batu giok itu kini memang berada di
tangan siaopek.”
”Kalau begitu dengan sendirinya cuma saudara Su saja
yang bisa memegang kedudukan Pangcu itu, bukan?”
Su Bun Cu menyeka peluh dingin yang mengalir di
jidatnya: ”Kau datang kemari, rupanya juga lantaran batu
giok ini,” begitu pikirnya.
”Dalam hal ini siaote mohon bantuan dari saudara
Touw,” katanya.
”Sudah tentu! Sudah tentu!” kata Touw Liong lekas,
”tapi, golongan pengemis yang akan dipecah menjadi tiga
ini belum mendapat tunjangan atau persetujuan dari Lie Hu
San, rasanya tidak bisa bertahan lama. Apakah saudara Su
anggap, Lie Hu San akan mau tinggal diam begitu saja?”
Wajah Su Bun Cu mendadak berubah, katanya perlahan:
”Kalau begitu, kau Touw pangcu juga termasuk seorang
yang tidak setuju dengan berdirinya golongan barat laut
ini?”
”Cabang golongan barat laut, merupakan salah satu
bagian dari golongan utara. Ditilik dari keadaan ini,
dengan kami golongan selatan tidak ada sangkut pautnya.
Aku hanya sekedar memberi nasihat saja pada saudara.
Saudara Su adalah seorang yang mengerti, sekarang ini Lie
Hu San sudah menggabungkan diri dengan Kauwcu dari
perkumpulan Hek-hong-kauw, ia mendapat tunjangan
orang kuat, tentunya tidak takut bertindak, maka itu
mengapa saudara Su tidak pikirkan dulu masak-masak?”
”Jadi, kalau menurut pikiranmu Touw tayhiap,
bagaimana sebaiknya siaote harus bertindak supaya tidak
menimbulkan bencana di kemudian hari?”
”Sekarang ini siaote sedang pikir hendak mengeluarkan
surat undangan buat mengundang keluar berbagai partai
dan semua ketua anak cabang golongan pengemis. Nanti,
pada tanggal sembilan bulan sembilan tahun ini, akan
mengadakan rapat besar di pusat kita di kota Tong-ciu. Di
dalam rapat besar itu, barulah akan diputuskan nasib
cabang daerah barat laut yang akan saudara bentuk ini.
Wajah Su Bun Cu tampak ditekuk, perdengarkan suara
tertawa dingin dua kali, baru berkata:
”Kalau begitu, rupanya Touw Pangcu juga sudah
sependapat dengan Liu Hu San, hendak menggencet aku si
orang she Su!”
”Haaa ....” Touw Liong perlahan-lahan bangkit. ”Kota
Tong-ciu adalah pusat golongan pengemis yang sudah
ditetapkan oleh Cowsu kita, dengan sendirinya pertemuan
besar yang menyangkut nasib golongan pengemis, harus
diadakan di kota Tong-ciu. Mengenai nasibmu dan
nasibku, dalam pertemuan besar itu sudah tentu bisa
dibicarakan di antara orang banyak, lalu bisa diambil
keputusan sebagaimana baiknya.”
”Siapakah yang ada hak mengundang rapat besar itu?”
”Tentu saja yang memegang tanda kepercayaan Naga
Mas, tanda kepercayaan sebagai ketua umum.”
”Haaa....” Su Bun Cun tertawa dingin, ”Di kolong langit
ini, siapa yang mempunyai tanda kepercayaan yang kau
sebutkan tadi?”
”Aku punya!” suara nyaring keluar dari mulut seorang
pelajar muda yang muncul secara tiba-tiba dari pintu
gerbang.
Pemuda itu menyoren pedang panjang di punggungnya,
tangannya yang putih halus mengacungkan tinggi-tinggi
batu giok berukiran Naga Mas yang menjadi barang kejaran
semua orang rimba persilatan yang menggetarkan rimba
persilatan, dan yang bakal memutuskan nasib golongan
pengemis di kemudian hari!
Touw Liong terkejut mendengar suara itu, dengan penuh
perhatian mengawasi pemuda yang berjalan menghampiri,
ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri: ”Siapa orang ini?”
”Siapa orang itu?” tanya Su Bun Cun pada Touw Liong.
“Dia adalah …. “ Touw Liong berhenti bicara sampai di
situ. Tiba-tiba seperti baru ingat sesuatu, lantas bangkit
mengawasi pemuda itu sambil tersenyum.
Tanpa diduga-duga sama sekali, Su Bun Cun tiba-tiba
bergerak, secepat kilat lompat melesat dan menikam
pemuda yang baru datang itu dengan pedangnya, sedang
tangan yang lain meraih batu giok tanda kepercayaan Naga
Mas di tangan pemuda tersebut.
Tindakan Su Bun cun itu mengejutkan semua orang yang
hadir di situ, tetapi Touw Liong sebaliknya malah berlaku
tenang dan sambil tersenyum ia membatalkan maksudnya
untuk menolong pemuda tadi, sedang dalam hatinya
berkata sendirian: ”Su Bun Cun cari penyakit sendiri.”
Su Bun Cun ternyata cuma menyerbu tempat kosong,
lima jari tangannya patah semua tanpa diketahui siapa
penyerangnya. Lalu, dibarengi dengan terdengarnya satu
suara jeritan mengerikan, orang she Su itu lompat mundur
tiga tombak jauhnya.
Keadaan kalut, tiga puluh lima ketua cabang golongan
pengemis satu persatu bangkit berdiri, masing-masing
menghunus senjatanya dan hendak menyerbu pemuda itu.
Mengapa mereka hendak menyerang pemuda itu?
Sebab, sejak menyaksikan batu giok itu sudah lantas
timbul pikiran tamak di hati mereka, pikiran hendak
memiliki batu tanda kepercayaan, tanda kebesaran itu.
Di luar dugaan, entah bagaimana si pemuda bergerak,
para ketua cabang golong pengemis satu persatu sudah
terlempar mundur, beberapa di antaranya malah lantas
rubuh di tanah sambil merintih-rintih.
Touw Liong masih tidak menunjukkan reaksi apapun,
berdiri di tempatnya tanpa bergerak.
Akhirnya, para ketua cabang golongan pengemis
mengetahui gelagat tidak baik, mundur sendirinya; yang
luka terpaksa harus mengobati dulu luka-lukanya. Tanpa
berdaya semua mata cuma bisa mengawasi batu giok di
tangan pemuda.
Suasana cepat pulih seperti biasa. Pada saat itulah, si
pemuda sambil membusungkan dada berjalan menuju ke
pendopo. Ia terus berjalan, hingga terpisah tiga langkah di
depan Touw Liong baru berhenti, mengacungkan tinggitinggi
batu giok itu di atas kepalanya, sementara katanya:
“Hamba yang membawa dan melindungi pusaka datang
terlambat, harap Pangcu maafkan.”
Setelah mana si pemuda lantas berjalan menuju ke meja
sembahyang, dengan sikap hormat sekali meletakkan benda
kepercayaan itu di atas meja sembahyang, kemudian berdiri
di samping meja dengan pedang terhunus di tangan.
Touw Liong lebih dulu menghampiri si pemuda,
mengucapkan: ”Pek Hok-hoat, terima kasih,” lalu berlutut
di hadapan meja sembahyang guna melakukan upacara
kebesaran terhadap barang kepercayaan tertinggi golonga
pengemis itu.
Su Bun Cun melirik sebentar pemuda gagah itu, mau tak
mau berlutut juga untuk melakukan upacara penghormatan.
Tindakannya segera diikuti oleh semua anak murid
golongan pengemis yang ada di situ.
Setelah semua orang berlutut, terdengarlah suara Touw
Liong yang memimpin upacara besar itu, katanya:
”Mohon ..... (tulisannya dihapus, tak terbaca) yang
bersemayam di dalam ..., teecu Touw Liong, atas perintah
Dewa Pemabukan, hendak membangun dan
mempersatukan kembali golongan pengemis. Semoga
arwah Tiga Dewa di alam baka ...(tulisan dihapus) ....!”
Touw Liong menjura lagi empat kali, lalu mengambil
tanda kepercayaan batu giok, diacungkan tinggi melewati
kepalanya, dan memerintahkan semua orang bangkit.
Touw Liong menyerahkan batu Giok itu kepada si
pemuda gagah, lalu mengajak semua anak murid golongan
pengemis dan para tetamu kembali ke meja perjamuan,
untuk minum bersama.
Perjamuan lantas dinyatakan selesai.
Tiga puluh enam ketua cabang golongan pengemis
daerah barat laut, dengan laku yang sangat hormat sekali
lalu mengantar Touw Liong bersama Pek Hok-hoat sampai
ke tempat sejauh sepuluh pal di luar kota Lam-ciu. Touw
Liong di sepanjang jalan terus memberi nasihat pada
mereka dan minta pada tanggal sembilan bulan sembilan
nanti, biar bagaimana semua harus menghadiri pertemuan
besar di kota Tong-ciu.
Sampai di sini, para pembaca tentunya tahu siapa adanya
orang yang menyamar dan disebut sebagai Pek Hok-hoat
oleh Touw Liong. Memang, dia bukan lain daripada Pek
Giok Hoa adanya.
”Giok Hoa,” panggil Touw Liong, ”kali ini kau benarbenar
telah menolong aku dari kesulitan terbesar!”
”Kelakuan yang memalukan laki-laki itu yang kau
maksud kesulitanmu? Hmmm! Hmmm! Tak tahu malu!”
Disindir demikian jadi pucat wajah Touw Liong, dari
malu ia menjadi gusar, katanya:
”Jangan sebut urusan malam itu lagi! Kalau kau sebutsebut
lagi, aku malah akan menyesalkan dirimu!”
”Menyesalkan diriku?”
”Sudah tentu. Aku sesalkan kau karena sedikitpun kau
tak mengerti kedudukan dan keadaanku waktu itu. Kau
tahu aku sudah terpikat oleh akal muslihat Bu-cui-lian
karena pengaruh obat bius, bukan kau menolong, malah
kau tinggalkan aku begitu saja. Seandai waktu itu tidak
keburu muncul suhengmu, aih! Aku .... hampir saja masuk
ke pencomberan?”
”Itu bukankah lebih baik lagi?” Pek Giok Hoa
menjebikan bibir: ”Bukankah lebih senang berdua-duaan
berkumpul dan ber .....?”
”Giok Hoa!” cepat Touw Liong memotong kata-kata
Pek Giok Hoa, ”Aku sungguh malu kepadamu, tapi
kuminta janganlah kau ungkit-ungkit lagi urusan itu, kalau
tidak biarlah aku mati saja buat menebus dosaku!”
”Engko Liong!” Pek Giok Hoa merasa sedih, air
matanya mengalir bercucuran,”Jangan kau berpikiran
secupat itu!”
Touw Liong menatap penuh arti wajah kekasihnya,
dibalas oleh Pek Giok Hoa.
Touw Liong menatap penuh arti wajah Pek Giok Hoa,
memegang tangannya yang putih halus, dibalas pula
dengan tatapan berisi dan cekalan mesra oleh gadis itu.
Segalanya tak perlulah diucapkan dengan kata-kata, cukup
dengan saling pandang dan melumat bibir masing-masing.
Setelah berziarah ke makam ayah dan ibu Touw Liong di
Ko-so-tay di kota Hang-ciu mereka bertemu dengan Kang
Kie dan Lo Yu Im. Empat orang lantas melakukan
perjalanan bersama.
Sampai di kota Cee-lam, Touw Liong jadi teringat akan
kenangannya dua bulan berselang di mana dia pernah
diceburkan ke telaga Tay-beng-ouw oleh Bu-cui-lian, dalam
hati lalu merasa sedih. Menunggu sampai tiga kawannya
tidur nyenyak, diam-diam ia pergi ke telaga Tay-beng-ouw
guna merenungi kembali kejadian masa lampau.
Pemandangan di telaga itu ternyata biasa saja, ia
memandang ke tengah telaga di mana dahulu ia pernah
dilemparkan oleh perempuan jahat itu, diam-diam
menghela nafas panjang.
Mendadak, di tepi seberang sana tampak berkelebat
sesosok bayangan orang. Makin lama makin tegas tampak
bayangan itu, ternyata adalah adik seperguruan Touw
Liong, Kim Yan!
Di dalam otak Touw Liong saat itu tiba-tiba timbul
semacam pikiran, ia segera lari menyongsong dengan
menggunakan ilmu meringankan tubuh yang
didapatkannya dari Kang Kie.
Kedua pihak sama-sama lari dengan cepatnya, ketika
gadis itu mengenali bayangan orang yang menghampirinya,
ia sudah tidak keburu menyingkir lagi. Dua kali ia coba
buat mengelak dari tubrukan Touw Liong, tapi tidak
berhasil.
Dalam cemas dan marahnya, Kim Yan lalu
menggerakkan tangannya memukul Touw Liong. Namun
Touw Liong sama sekali tidak mengelak, setelah
memanggil ”Sumoy!” tangannya lalu menyambar tubuh
Kim Yan.
Kim Yan tidak mau disambar begitu saja, mengelak
sedapat mungkin. Tapi Touw Liong menggunakan
kesempatan itu, menotok jalan darah Khie-hay-hiat di
tubuh Kim Yan.
Kim Yan yang kehilangan keseimbangan tubuhnya,
terpaksa membiarkan dirinya dipeluk Touw Liong.
Touw Liong buru-buru memondongnya sampai ke
bawah sebuah pohon Yang-liu, meletakkan Kim Yan di
situ, disandarkan ke batang pohon, sedang ia sendiri juga
lantas duduk bersila, kemudian menggunakan ilmunya
Liang-gie-sim-hoat, menyalurkan tenaga baru ke tubuh Kim
Yan.
Adapun jalan darah yang perlu ditembus untuk
menyalurkan tenaga buat mengusir ilmu Hek-hong-im-tok
yang mengeram dalam tubuhnya, letaknya justru di bagian
bawah perut. Jadi, dengan sendirinya Touw Liong harus
melucuti dulu semua pakaian dalam bagian bawah gadis
itu. Karena kecuali berbuat begitu, sudah tak ada cara lain
lagi, terpaksa Touw Liong lekas bertindak menuruti
rencananya.
Selagi dalam keadaan sangat kritis begitu, di belakang
diri Touw Liong tiba-tiba berkelebat sesosok tubuh
manusia!
Mengawasi perbuatan Touw Liong sekian lama,
mendadak meleleh air mata orang itu. Setelah mengalihkan
pandangannya ke arah Kim Yan sejenak, baliklah orang itu
dari tempat asal mana ia datang sambil mendekap
mukanya.
Siapa dia?
Pek Giok Hoa tentunya!
Tapi sebegitu lekas Pek Giok Hoa berlalu, mendadak
muncul lagi seorang lain, seorang imam dengan sikap
menyeramkan berjalan lambat-lambat ke tempat di mana
Touw Liong sedang berusaha hendak memulihkan tenaga
asli Kim Yan.
Imam itu bukan lain daripada murid murtad golongan
Ceng-shia-pay, Thian-sim Tojin!
Dengan gerakannya yang sangat hati-hati, Thian-sim
Tojin terus mendekati Touw Liong, dan berhenti di tempat
sejarak satu tombak dari pemuda itu, sepasang biji matanya
berputaran mengawasi keadaan di sekitarnya, setelah itu
tampak sunyi, barulah berani menghampiri lebih dekat lagi.
Tetapi kelakuannya kiranya telah diincar juga oleh orang
lain. Sebelum ia sempat berbuat apa-apa, di belakang
dirinya tiba-tiba terdengar suara siulan nyaring.
Thian-sim sebagai seorang imam yang sangat licik,
mendengar siulan itu segera mengetahui adanya bahaya,
lebih dulu lompat melesat sejauh tiga tombak untuk
mengelakkan serangan dari belakang itu.
Ternyata orang yang menyerang Thian-sim itu adalah
seorang muda yang mirip Touw Liong!
Thian-sim melihat orang itu jadi tidak berani bertindak
lebih jauh, malah lantas lari terbirit-birit bagai orang diburu
setan!
Lari sejauh 20 tombak, imam itu rupanya baru teringat
sesuatu, buru-buru menghentikan gerakan kakinya, dan lari
balik!
Pemuda tersebut yang memang benar adalah Kang Kie,
tidak mengejar Thian-sim, sebaliknya berdiri tetap di situ
guna melindungi Touw Liong yang sedang berusaha
menolong Kim Yan.
”Kurang ajar si bocah Kang Kie itu, hampir aku jadi
gila!” terdengar kata-kata Thian-sim yang mendumel
sendiri.
Dalam marahnya seperti itu, ia segera menghampiri
Kang Kie dengan pedang terhunus.
Kang Kie juga sudah menghunus pedangnya, dan lompat
menyambut kedatangannya.
”Beritahukan namamu!” Kang Kie membentak sambil
menuding dengan pedangnya kearah Thian-sim Tojin.
”Thian-sim Tojin!”
”Serahkan nyawamu!” bentak Kang Kie pula, secepat
kilat lalu menikam dengan pedangnya.
Kang Kie sudah tahu dari Touw Liong bahwa Thian-sim
Tojin ini adalh pembunuh ayahnya Kang In Hui, kini
musuh besar sudah berada di depan mata, sudah tentu
Kang Kie tak mau memberi hati, lantas menyerang dengan
pedangnya Khun-ngo-kiam!
”Bangsat! Supaya kau bisa mati dengan mata meram,
ketahuilah olehmu bahwa tuan mudamu ini adalah anak
dari Kang In Hui tayhiap yang dulu kau bunuh!”
Muka Thian-sim Tojin nampak pucat, antara sesaat ia
tak dapat bergerak tapi selanjutnya lantas mengeluarkan
serangan-serangan yang mematikan buat melawan Kang
Kie.
Kang Kie menyambut setiap serangan Thian-sim dengan
keras pula, rupanya sudah bulat sekali tekadnya hendak
membereskan musuh besarnya ini dalam waktu singkat.
Selagi pertempuran berlangsung sengit-sengitnya, dari
jauh mendadak terdengar suara siulan nyaring lalu muncul
Ngo-gak Lokoay di situ dengan rambut awut-awutan!
Pada waktu yang bersamaan, di belakang Touw Liong
juga muncul dua orang yang bukan lain dari Pek Giok Hoa
yang tadi pergi dan balik lagi, dan Lo Yu Im.
”Enci Pek,” panggil Lo Yu Im, ”kau yang maju ataukah
aku? Itu Ngo-gak Lokoay sudah datang!”
”Biar aku saja!” jawab Pek Giok Hoa yang masih
mendongkol. Lalu dengan pedang Hok-mo-kiam di tangan
maju menyambut kedatangan Ngo-gak Lokoay.
Sebelum mereka bertempur, kembali terdengar siulan
aneh, lalu muncul lagi dua orang! Satu adalah San-hong
tojin, dan yang lain Pek-bie Hweeshio!
Pek Giok Hoa merasa cemas sekali, di depannya kini
sekaligus muncul tiga tokoh kuat dan kenamaan. Mana
dapat ia seorang diri menghadapi mereka sekaligus?
Untunglah waktu itu Thian-sim tojin sudah jatuh dalam
tangan Kang Kie, kepalanya tertebas kutung terpisah dari
badannya!
Pek Giok Hoa lalu menggapai dan berkata kepada Kang
Kie,
”Kang toako, Ngo-gak Lokoay ini adalah pembunuh
suhumu, biarlah kuserahkan dia untukmu!”
Tanpa menunggu persetujuan Kang Kie ia sudah lantas
meninggalkan Ngo-gak Lokoay dan menyambut
kedatangan San-hong tojin dan Pek-bie Hweesio.
Di saat itu, mendadak terdengar lagi suara dua orang
yang memuji nama Budha, lalu muncul dua padri tua!
Pek-bie yang melihat kedatangan dua orang padri tua itu,
segera balik badan dan menghampiri mereka. Dengan
begitu, kini Pek Giok Hoa hanya tinggal lagi menghadapi
San-hong tojin seorang.
Ilmu pedang Hok-mo-kiam-hoat sebenarnya belum
sempurna betul dipelajari oleh Pek Giok Hoa, namun tidak
sampai tiga jurus, San-hong tojin sudah dapat dibereskan
olehnya.
Dua padri tua itu ternyata adalah suhengnya Pek-bie
Hweeshio, Tam-sim dan Thina-koan totiang dari Ngo-bipay.
Rupanya mereka sedang membujuk supaya Pek-bie
Hweesio mau ikut mereka baling ke gunung.
Pek Giok Hoa tidak mau menghiraukan urusan Pek-bie,
buru-buru melihat ke arah Ngo-gak Lokoay yang sedang
berhadapan dengan Kang Kie. Tetapi Lokoay itu rupanya
bukanlah tandingan Kang Kie, sama sekali tidak ada
perlawanan yang berarti darinya.
Belum cukup sampai di situ, pada waktu itu mendadak
muncul seorang yang sangat menyeramkan wajahnya.
Tetapi kalau saja mau kita perhatikan dengan seksama
wajah orang itu, kita masih bisa melihat tanda bekas
terbakar, goresan-goresan itulah yang membuat wajahnya
tampak menakutkan. Orang ini menenteng pedang Cengkong-
kiam di tangannya, dari jauh sudah berteriak-teriak
memanggil nama Touw Liong tidak berhentinya.
Hati Pek Giok Hoa tergerak. Tak salah lagi, orang inilah
tentunya musuh besarnya..... Koo Hong yang pernah
menyamar sebagai Hian-kie-cu, pembunuh Pek Thian
Hiong.
Dugaan Pek Giok Hoa itu sedikitpun tidak salah, orang
aneh itu memang benar adalah Koo Hong adanya, yang
kini sudah menjadi tangan Panji wulung Wanita. Maka
lekas ia memapakinya sambil berserunya,
”Koo Hong! Serahkan jiwa anjingmu!”
Pek Giok Hoa yang sekarang sudah tentu bukanlah Pek
Giok Hoa yang kita kenal beberapa waktu yang lalu. Ia kini
sudah berhasil mempelajari ilmu gaib dari daerah luar,
apalagi pedang di tangannya adalah pedang pusaka Hokmo-
kiam, hingga menambah hebat kepandaiannya. Suara
bentakan tadi tiba bersamaan dengan orangnya, demikian
pun pedangnya, hingga Koo Hong yang mengetahui itu
diam-diam menjadi terkejut jugaa.
Namun, Koo Hong bukanlah seorang lemah, ia lantas
memapaki kedatangan Pek Giok Hoa dengan pedang Cengkong-
kiam dan ilmu Thay-it sin-jiauw dengan berbareng!
Koo Hong memang memiliki kepandaian sangat tinggi,
di antara anggota perkumpulan Hek-hong-kauw, dia cuma
di bawahan kauwcunya Panji Wulung Wanita. Pek Giok-
Hoa dengan kepandaian yang dimilikinya waktu itu
ternyata dapat mengimbangi permainan Koo Hong, hingga
pertempuran jadi berlangsung sengit dan hebat sekali.
Kedua pihak tentunya hendak mengakhiri pertempuran
dengan lekas, maka begitu bergerak masing-masing sudah
mengerahkan kepandaian tingkat tinggi, dalam waktu
sekejap sudah berlangsung sepuluh jurus lebih.
Di lain pihak, Kang Kie yang menghadapi musuh
besarnya, bertempur secara nekad, pedang Khun-ngo-kiam
yang merupakan pedang pusaka sangat ampuh digerakkan
sedemikian rupa, sehingga Ngo-gak Lokoay mati kutu
benar-benar.
”Serahkan nyawamu!” serangan Kang Kie dibarengi
dengan bergeraknya pedang pusaka di tangannya dengan
hebat, membuat Ngo-gak Lokoay terkurung dalam sinar
pedang. Makin lama makin ciut lingkaran pedang itu,
hingga akhirnya terdengar suara jeritan yang mengerikan!
Di antara berhamburannya darah segar, tampaklah
kemudian kepala Ngo-gak Lokoay bergelindingan sampai
hampir kecebur ke dalam telaga!
Baru saja Kang Kie dapat menyelesaikan pertandingan,
di ujung seberang sana tiba-tiba terdengar menggemuruh
suara orang. Lalu muncul tujuh delapan sosok bayangan
orang yang lari mendatangi dengan menyusuri tepian
telaga. Pada saat itulah Touw Liong perlahan-lahan
membuka matanya sambil menarik kembali tangannya
yang diletakkan di atas bibir kemaluan Kim Yan, sesaat ia
menyeka keringat yang mengucur deras di jidatnya sambil
menarik nafas panjang, lebih dulu melihat bangkai yang
berserakan di tanah, lalu Pek Giok Hoa yang sedang
bertempur sengit melawan Koo Hong. Ia segera teringat
kepada musuh besar yang membunuh suhunya, maka
secepat kilat ia menghunus pedang Hok-mo-kiam yang
jantan, terbang melesat ke arah Koo Hong. Sembari
kakinya bergerak, mulutnya tidak tinggal diam.
”Toako!” serunya, ”Bertahanlah seberapa bisa supaya
mereka jangan sampai ke dekat sini!”
Di dekat Koo Hong ia berseru, ”Giok Hoa, serahkan
bangsat ini padaku!” Namun terlambat, Pek Giok Hoa
sudah mengerahkan seluruh kepandaiannya, lebih dulu
sudah berhasil menikam tembus ketiak kiri Koo Hong
sampai ke belakang sehingga berakhirlah riwayat orang she
Koo itu sampai di situ.
Sunyi senyap keadaan di situ, Pek-bie Hweeshio sudah
dibawa menyingkir jauh oleh Thiat-koan totiang dan Tansim
totiang.
Kang Kie lantas menyambut kedatangan tujuh delapan
orang tadi, disusul oleh Lo Yu Im, Touw Liong dan Pek
Giok Hoa.
Pek Giok Hoa lebih dulu menoleh ke belakang ke tempat
di mana Kim Yan tadi direbahkan, tetapi gadis itu ternyata
sudah tidak tampak lagi bayang-bayangnya.
Touw Liong juga berpaling melihat ke tempat yang
sama, namun ia segera paham apa yang telah terjadi. Ia
mengerti perasaan hati adik seperguruannya, yang sudah
tentu tidak mau bertemu dengan Panji Wulung Wanita,
sedangkan kedudukan dan keadaannya di mata umum
sesungguhnya sangatlah menyulitkan dirinya, maka ia
mengambil keputusan untuk berlalu begitu saja.
Perginya Kim Yan kali ini, terus tak ada kabar beritanya.
Sampai sepuluh tahun lebih dicari oleh Touw Liong dan
Pek Giok Hoa, tetap tidak dapat diketemukan jejaknya.
Sebetulnya Kim Yan sudah tahu betapa besarnya cinta
kasih Pek Giok Hoa terhadap suhengnya, lalu setelah
dilenyapkan ilmu Hek-hong-im-tok di dalam tubuhnya oleh
Touw Liong, sudah tidak punya muka lagi buat bertemu
dengan orang maka pergilah ia jauh-jauh, sampai akhirnya
menetap di suatu rimba bambu di daerah lautan kidul, di
sana ia melewati sisa hidupnya sebagai orang suci.
Tentang Kim Yan, baik tidak kita bicarakan lagi. Orangorang
yang baru datang itu ternyata dipimpin oleh Panji
Wulung Wanita sendiri.
Terbinasanya empat pembantunya yang terkuat dan
lenyapnya Kim Yan sesungguhnya merupakan suatu
pukulan hebat baginya. Bagai orang yang linglung ia
mengawasi keadaan di sekitarnya. Di antara tujuh
pembantu terpentingnya sekarang, kecuali It-tiem totiang
dan ketua Swat-san-pay Hwan Kui berdua, sisanya ialah
Lie Hui San, chungcu dari perkampungan Hui-liong-chung
Lie Hui Hong, Lie Sam-kow, Sam-yang tojin dan anak lakilaki
yang belum cukup 1 tahun usianya Ca Thian Lok,
tiada seorangpun yang dapat diturunkan untuk menghadapi
musuh-musuh yang sedang dihadapinya sekarang ini. Ia
menghela nafas dalam berulang-ulang, sementara Touw
Liong sudah maju menghampiri dengan hormat katanya,
”Siaotit Touw Liong di sini menanyakan keselamatan
susiok.”
”Siapa susiokmu?!” Panji wulung Wanita mundur tiga
langkah, ”Bocah, kau jangan main gila!”
Tetap dengan sikap menghormat Touw Liong berkata,
”Siaotit adalah muridnya Dewa Arak, jadi menurut
peraturan, siaotit wajib mengangkat susiok sebagai orang
tingkatan tua.”
”Tidak bisa!” bentak Panji Wulung Wanita, tapi lalu
tanyanya, ”Si gila itu apa Panji Wulung juga? Kalau ya,
mana buktinya?”
Dari dalam sakunya Touw Liong mengeluarkan tiga
sampul surat yang langsung diberikan kepada Panji Wulung
Wanita, adapun surat-surat itu sebuah adalah dari Panji
Wulung si gila, lainnya dari Hong-hong Lojin dan Liu
Kiam Hiong.
Panji Wulung Wanita mulai membuka surat-surat itu
satu persatu, dibacanya di bawah sinar rembulan. Tampak
sebentar badannya gemetaran, pada akhirnya di sela-sela
matanya tampak menetes air bening, kepalanya
ditundukkan dalam-dalam.
Lama sekali tiba-tiba Panji Wulung Wanita itu
mengangkat kepalanya dan membentak bengis,
”Touw Liong! Beranikah kau bertanding denganku?
Kalau kau menang aku si orang tua akan mengasingkan diri
di gunung Hek-hong-san, tapi kalau aku bisa rebut
kemenangan tidak sudah, di bawah kekuasaanku sekarang
ini justeru kekurangan empat kepala bagian, dan kalian
berempat cocok sekali untuk mengisi lowongan yang masih
kosong itu.”
Touw Liong tetap bersikap hormat, mundur selangkah
dan katanya,
”Siaotit tak berani langgar aturan.”
”Hm!” Panji Wulung mengibaskan lengan bajunya,
”Kuberikan waktu semalam untuk kau berpikir, besok jam
tiga malam di gunung Liok-san kita bertanding untuk
menentukan nasib rimba persilatang di kemudian hari!”
Touw Liong belum membuka mulut, sudah ditalangi
oleh Kang Kie, ”Saudaraku pasti suka mengiringi kehendak
locianpwe, besok jam tiga malam akan memenuhi
perjanjian ini.”
Panji Wulung mengebaskan bajunya lagi, ”Baik,”
katanya dan lantas mengajak anak buahnya berlalu dari
situ. Touw Liong mengawasi berlalunya It-tim totiang
dengan penasaran, musuh besar sudah di depan mata, tapi
ia tidak bisa bertindak apa-apa. Sungguh sayang!
Besoknya jam tiga malam, Touw Liong berempat sudah
tiba di tempat yang dijanjikan. Lebih dulu Touw Liong
berlutut dan menjura empat kali menghadap ke langit,
setelah itu ia bangkit berdiri dan dengan meluruskan kedua
tangannya berdiri di hadapan Panji Wulung Wanita.
”Hunus pedangmu!”
Ucapan Panji Wulung wanita itu ditutup dengan
serangannya yang mengandung hawa Hek-hong-im-kang.
Touw Liong mundur satu tombak lebih.
Panji Wulung Wanita menyerang lagi dengan serangan
kedua, dan kali inipun dielakkan oleh Touw Liong dengan
baik sekali.
Ketika serangan ketiga dari Panji wulung meluncur
keluar, juga belum dibalas oleh pemuda she Touw itu.
Tetapi begitu jurus keempat dimulai, dua orang bergerak
bersama-sama, pedang dan tongkat bergerak-gerak dengan
amat cepatnya, sebentar sudah dilalui beberap puluh jurus.
Kang Kie yang gatal tangannya, lantas mengajak It-tim
totiang turun ke gelanggang, dan terbentuklah lagi satu
arena pertempuran baru dengan demikian empat orang itu
jadi mengadu kekuatan dalam dua rombongan.
Singkatnya ceritera, di jurus ke seratus lebih, It-tim
totiang tertembus dadanya oleh ujung pedang Kang Kie
hingga tamatlah riwayat imam tersebut saat itu juga.
Selanjutnya terdengarlah lagi satu seruan tertahan, dan
Touw Liong tampak buru-buru memisahkan diri dari Panji
Wulung Wanita.
Panji Wulung Wanita tampak menundukkan kepala
melihat ke arah tongkatnya, ujung tongkat tersebut ternyata
sudah papas sepotong!
Baju Touw Liong tampak masih berkibar-kibar, di satu
bagian tertampak ada sebuah lobang.
Jelas keduanya memiliki ilmu yang berimbang, jadi
siapapun tak ada yang kalah. Tapi jikalau diteliti benarbenar,
Panji Wulung Wanita sudah terpapas senjatanya,
sesungguhnya dapat dikatakan lebih besar kekalahannya
dibanding dengan Touw Liong yang cuma sobek sedikit
bajunya. Hal mana membuat Panji Wulung Wanita gusar
benar-benar, baru ia akan bergerak menyerang lagi, tiba-tiba
melihat Touw Liong berlutut sambil memanggil, ”Susiok,”
hatinya rupanya sudah tergerak juga, tongkat di tangan
yang sudah diangkat tinggi-tinggi diturunkan lagi lambatlambat
ke bawah. ”Sudahlah!” katanya, ”Dunia persilatan
untuk kemudian hari biarlah kalian dari angkatan muda
yang mengatur!”
Panji Wulung wanita lalu menuding ke arah Lie Hu San,
dan katanya, ”Bawa kemari!”
Lie Hu San tanpa berani berayal lantas menyerahkan
tanda kepercayaan batu giok berukiran harimau putih
kepada Panji Wulung.
Panji Wulung Wanita membimbing bangun Touw
Liong, menyerahkan tanda kepercayaan harimau putih dan
tiga jilid kitab Tay-it Cin-keng kepadanya. Dengan begitu,
lengkaplah sudah kedua belas kitab Tay-it Cin-keng berada
di tangan Touw Liong, karena tiga jilid memang sudah
lama berada padanya, enam yang lain baru semalam
ditemukan di badan Koo Hong, sedang tiga sisanya baru
saja diterimanya dari Panji Wulung Wanita.
Setelah segala sesuatunya berlalu, bagaikan asap
cepatnya lebih dulu Panji Wulung Wanita menghilang dari
situ, diikuti satu-satu oleh para pengikutnya.
Kini yang masih tinggal di situ cuma ketua pengemis
golongan utara Lie Hu San, yang masih berlutut di tanah
sambil mengangguk-angguk.
Touw Liong yang menyaksikan keadaan demikian,
merasa tidak sampai hati Lie Hu San terus-menerus harus
berbuat demikian, maka lalu memerintahkan ketua
pengemis golongan utara itu bangun, sambil katanya,
”Mulai hari ini buatlah jasa sebesar-besarnya untuk
menebus dosamu. Ingat, persiapkanlah orang-orangmu
sebanyak mungkin untuk menyambut pertemuan besar
tanggal sembilan bulan sembilan yang akan datang!”
Lie Hu San lebih dulu mengucapkan terima kasih
berulang-ulang, setelah itu baru minta diri dari Touw Liong
dan yang lain-lain.
Touw Liong tiba-tiba menarik nafas panjang dan berkata
sambil memandang Kang Kie, ”Kang toako, segala urusan
dalam dunia Kang-ouw ini sudah terlalu membosankan
buat siaote, kalau bisa untuk selanjutnya siaote tidak akan
pergi ke Tong-cui lagi.”
”Tapi bagaimana dengan urusanmu yang belum kau
selesaikan itu?”
”Untuk itu biarlah toako saja yang tolong wakili siaote
mengurusnya, mintalah suhengmu, Kakek Seribu Muka
membantu kau mengurus segala sesuatunya.”
”Lalu, kau sendiri?”
”Banyak hal yang masih perlu siaote urus, misalnya,
membawa kepala It-tim ke Ko So Tay untuk
bersembahyang di hadapan arwah ayah dan ibu, lalu aku
akan menjelajahi seluruh negeri untuk mencari jejak
sumoyku Kim Yan dan masih perlu siaote membangun
kembali partai Kiu-hoa untuk memperkembangkan ilmu
Tay-it sin-kang.”
”Baik! Engkomu bersedia pergi ke kota Tong-cui. Di
depan makam ayah dan ibu, kau boleh bakar kertas lebihan,
sebegitu lekas urusan golongan pengemis di kota Tong-ciu
beres, engkomu juga akan pergi ke sana.”
Touw Liong memberikan dua batu giok kepada Kang
Kie, dan berpencarlah mereka sepasang-sepasang.
T A M A T
Anda sedang membaca artikel tentang Panji Wulung 3 dan anda bisa menemukan artikel Panji Wulung 3 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/panji-wulung-3.html?m=0,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Panji Wulung 3 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Panji Wulung 3 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Panji Wulung 3 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/panji-wulung-3.html?m=0. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 2 komentar... read them below or add one }

Unknown mengatakan...

Bingung ngga Pendekar ini kan kerjanya cuma belajar ilmu silat. Trus kluntang-kluntung kian kemari. Tapi kok bisa tetap punya duit but bayar penginapan, makan Di restoran yang enak-enak, minum Arak yang harganya juga ngga murah, beli Baju ganti......terus punya rumah tangga dengan Banyak pelayan.... Dapet duit nya daripada yaaa....padahal bukan lulusan university yang terkenal....tapi kok bisa mencukupi kebutuhan hidupnya see hari-hari...

Unknown mengatakan...

Bingung ngga Pendekar ini kan kerjanya cuma belajar ilmu silat. Trus kluntang-kluntung kian kemari. Tapi kok bisa tetap punya duit but bayar penginapan, makan Di restoran yang enak-enak, minum Arak yang harganya juga ngga murah, beli Baju ganti......terus punya rumah tangga dengan Banyak pelayan.... Dapet duit nya daripada yaaa....padahal bukan lulusan university yang terkenal....tapi kok bisa mencukupi kebutuhan hidupnya see hari-hari...

Posting Komentar