Panji Tengkorak Darah 2

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Senin, 05 September 2011

Dalam keadaan di dirinya melayang di udar, betapapun lincahnya namun Sin-bu te-
kun tak berdaya menghindari timpukan jago thiat-hiat-bun. Juga ternyata cara Lu Liang-ong menimpukkan panahnya
itu luar biasa anehnya. Aum suaranya berada di sebelah barat, tetapi yang diserang di sebelah timur. Terpaksa Sin-bu
Te-kun hanya kerutkan gigi untuk menerimanya! Seketika ketua Sin-bu-kiong itu merasakan bahunya sakit sekali.
Dua batang Hong-thau-kiong tepat menyusup ke jalan darah bahu kanan kirinya!
Saat itu Sin-bu Te-kun hanya terpisah dua tombak dari puncak loteng tertinggi. Walaupun panah Hong-thau-kiong itu
tak sampai membuatnya tak dapat berkutik, namun karena jalan daranya terkena, maka mau tak mau sekujur
tubuhnya terasa kesemutan, tangannyapun tak leluasa digerakkan lagi. Tak ampun lagi ia meluncur turun bagaikan
seekor burung alap-alap yang terkena anak panah….
Jilid 10 .
Jenggot perak Lu Liang-ong mengantar kejatuhan lawan dengan gelak tertawa. Segera ia menarik Thian-leng untuk
diajak loncat lagi. Diam-diam Thian-leng putus asa.
Dua kali mengadakan gerak loncatan yang demikian tinggi, telah membuat tenaganya hampir habis. Kalau harus
loncat lagi sejauh lima pukuh tombak, rasanya ia tentu tak kuat.
Tetapi aneh bin ajaib. Ketika ditarik Lu Liang-ong ia rasakan tubuhnya sudah melambung sampai sepuluh tombak.
“Buyung, ayo gunakan tenagamu!” tiba-tiba Jenggot perak membentaknya.
Thian-leng gelagapan. Buru-buru ia kerahkan sisa tenaganya dan ah…… ternyata berhasillah ia mencapai jarak lima
puluh tombak itu. Saat itu ternyata ia sudah hinggap di atas tembok istana Sin-bu-kiong sebelah luar. Hampir Thian-
leng tak percaya apa yang telah dialami saat itu.
“Sejak berdiri, belum pernah ada orang yang mampu keluar dari istana Sin-bu-kiong. Tetapi hari ini, kita dapat
memecahkan hal itu!” Lu Liang-ong tertawa.
“Rasanya hanya locianpwe seorang yang mampu!” Thian-leng menyatakan kekagumannya.
“Tidak begitu,” sahut ketua Thiat-hiat-bun. “Di dunia terdapat banyak orang-orang sakti. Misalnya malam ini, yang
bebas keluar masuk ke istana Sin-bu-kiong bukan hanya aku seorang saja!”
“Siapa?” Thian-leng terkejut.
“Hun-tiong Sin-mo!”
“Ha?” Thian-leng tercengang, “Hun-tiong Sin-mo juga masuk ke istana Sin-bu-kiong?”
Sebagai jawaban Lu Liang-ong menarik tangan pemuda itu untuk diajak loncat keluar dari lingkungan Sin-bu-kiong.
Dalam laut dapat diukur
Hati dara sukar diduga
Kala itu sudah menjelang fajar. Di dalam istana Sin-bui-kiong masih terdengar suara hiruk pikuk, tetapi tak lama
kemudian sunyi kembali. Tiada seorang pun anak buah Sin-bu-kiong yang mengejar keluar. Rupanya Sin-bu Te-kunsudah menerima kekalahannya.
Setelah berjalan dua li, Lu Liang-ong berhenti di sebuah lereng gunung yang landai. Di bawah lereng tampak sebuah
biara yang masih memancarkan lampu. Agaknya para imam dalam biara itu sedang melakukan sembahyang subuh.
Teringat akan diri si dara Bu-song, serentak Thian-leng berseru terbata-bata, ‘’Lo-cianpwe….,” ia tak dapat
melanjutkan kata-katanya karena tak tahu bagaimana harus menyatakan. Kiranya ia hendak menyatakan isi hatinya
kepada jago Thiat-hiat-bun itu. Sedangkan ia yang baru dikenal saja toh ditolong, mengapa Lu Bu-song dibiarkan saja
menderita dalam penjara Sin-bu-kiong. Bukankah Bu-song itu cucu ketua Thiat-hiat-bun itu sendiri ?
‘’Buyung, apa katamu ?’’ Lu Liang-ong tertawa.
“Walaupun lo-cianpwe telah menolong diriku, tetapi Sin-bu Te-kun itu seorang momok yang ganas sekali. Kalau dia
menurunkan tangan jahat kepada nona Lu, bukankah …….”
“Eh, bukankah telah kukatakan tadi bahwa budak perempuan itu telah rusak karena kumanjakan? Biarlah dia
merasakan sedikit rasa pahit agar dapat menjinakkan keliarannya, besok mungkin….”
Tetapi kata-katanya itu terputus oleh sosok bayangan yang melesat datang. Thian-leng cepat-cepat berpaling, ah…..
si dara Bu-song.!
Wajah dara itu tampak merengut. Sejenak melirik pada Thian-leng, tangannya menyambar jenggot kakeknya,
lengkingnya, ”Kek, kau bilang apa?”
Lu Liang-ong membiarkan jenggotnya ditarik-tarik si dara, “Aku bilang apa?”
“Kali ini aku tak dapat memberi ampun. Kek, kau hendak menyuruh aku mati!” Bu-song merajuk.
Lu Liang-ong tertawa gelak-gelak, “Ho, ho, masakah kau masih mempunyai lain kakek yang lebih buruk dari
aku…..eh, kakek menyakiti kau apa?”
Bu song lepaskan cekalannya, tetapi tiba-tiba tangannya merogoh dan mencubit dada kakeknya. Thian-leng hanya
terlongong-longong saja mengawasi. Saat itu pikirannya tengah melayang-layang, Mengapa Lu Bu-song bisa keluar
dari penjara Sin-bu-kiong. Tetapi dari nada ucapan Lu Liang-ong jelas bahwa ketua Thiat-hiat-bun atau seorang tokoh
partai itu yang menolong si dara. Namun ketua Thiat-hiat-bun itu masih berlagak tidak tahu untuk menggoda
cucunya.
“Kek, apakah kau tak menghajar iblis tua itu?” seru si dara dengan aleman.
Wajah ketua Thia-hiat-bun berobah serius, “Lumayan saja, tetapi karena hal itu bakal menimbulkan kesukaran
besar…”
“Kesukaran besar apa?” Bu-song cibirkan bibirnya.
Lu Liang-ong merenung sejenak, katanya, “Eh, budak, coba katakan dulu apa rencanamu?”
“Rencanaku…….?” dara itu melongo. Sesaat kemudian ia berseru dengan nada sungguh-sungguh, “Bukankah kakek
meluluskan aku berkelana di dunia persilatan untuk mencari pengalaman?”
Lu Liang-ong tertegun. Buru-buru ia gelengkan kepalanya, “Bukan, bukan. Kakek maksudkan, kau suka menemani
aku atau.......” ketua Thiat-hiat-bun itu tiba-tiba melirik kepada Thian-leng, sambungnya , “ atau bersama dia!”
Merah padam seketika selebar wajah dara itu. Ia tundukkan kepala memandang ujung baju. Sepatahpun tak berkata.
Thian-leng terbeliak! Tak tahu ia mengapa ketua Thiat-hiat-bun itu mengajukan pertanyaan seaneh itu pada cucunya.
Bukankah tak layak kalau seorang gadis mengadakan perjalanan bersama seorang pemuda? Tetapi Thian-leng
menghibur hatinya sendiri. Ah,, Bu-song tentu menolak bersama dia. Dara itu tentu lebih suka bersama dengan
kakeknya.
Tetapi ternyata dugaannya meleset.
“Eh, budak, lekas katakan, turut kakek atau anak muda itu? Kakek tak punya tempo menunggu lama-lama lagi!” tiba-
tiba Lu Liang-ong mendesak pula.Setelah berdiam diri sejenak, dengan tersipu-sipu malu dara itu menyahut, “Kek, hendak kemana kau?”
“Tiam-jong-san!” sahut Lu Liang-ong.
“Uh, siap sudi ke gunung setan itu?” gumam Bu-song.
Lu Laing-ong tertawa gelak-gelak, “Kalau begitu, berarti kau ingin…..” ia menutup kata-katanya dengan tertawa
keras.
Wajah Bu-song semakin merah. Ia mencubit dada kakeknya pula, “Aku tak mau bersama siapa-siapa! Masakah aku
takut berjalan seorang diri?” Habis berkata dara itupun sudah melesat beberapa tombak jauhnya.
“Hai, budak…..!” bukannya mengejar cucunya, sebaliknya Lu Liang-ong berputar tubuh membentak Thian-leng.
“Lo-cianpwe…… “ tersipu-sipu Thian-leng menyahut terbata-bata, sesaat kemudian berganti nada bersungguh-
sungguh, “Jika lo-cianpwe hendak menyuruh, sekalipun masuk lautan api menerjang hutan golok, aku tentu akan
mengerjakan!”
Lu Liang-ong tertawa puas, “Sekarang aku hendak menyuruhmu melakukan sebuah hal!”
“Silakan lo-cianpwe mengatakan, tentu kulaksanakan!”
“Jagalah cucu perempuanku itu....!”
“Ini....ini.......”
“Bukan hanya untuk sekarang, tetapi selama-lamanya. Ya, ambillah dia sebagi isterimu!”
“Ini......”
“Ini , ini apa? Apakah kau menolak?”
“Aku....,” karena tak menyangka-nyangka orang akan mengatkan begitu, maka untuk sesaat tak dapatlah Thian-leng
berkata-kata.
“Eh, rupanya kau hendak berbalik haluan?” tiba-tiba Lu Liang-ong menegur dengan nada tajam.
“Bukan begitu!” buru-buru Thian-leng menerangkan.
dengan nada sungguh-sungguh, “Bukankah Habis mengapa kau tak lekas menyusul? Jagalah dia baik-baik, kelak
apabila urusanku sudah selesai segera akan kulangsungkan pernikahan kalian…..“
“Tetapi….. “
“Tetapi bagaimana ? “
“Nona Lu telah pergi dengan marah, aku kuatir tak dapat menyusulnya!”
Lu Liang-ong tertawa gelak-gelak, “Kau sungguh tolol! Dia kan tentu menunggumu, kalau tak percaya silakan
membuktikan sendiri….” ia berhenti sejenak, lalu katanya pula, “Aku masih mempunyai urusan penting, nah, aku
hendak pergi dulu!”
Berbareng dengan kata-kata terakhirnya, jago Thiat-hiat-bun itupun sudah melayang ke udara dan turun tujuh
delapan tombak jauhnya. Thian-leng tertawa meringis. Dia tak dapat melanggar sumpahnya. Tak mau ia memikirkan
bagaiman akibatnya di belakang hari. Pokoknya sekarang ia harus melakukan perintah ketua Thiat-hiat-bun. terpaksa
ia menyusul si dara.
Ditilik dari sikapnya tadi. Bu-song tentu pergi dengan marah-marah. Saat itu tentulah dara itu sudah jauh berpuluh-
puluh li. Tetapi di luar dgaan, ketika Thian-leng melintasi tikungan di lereng gunung, ia terkejut.
Tak jauh di sebelah muka tampak si dara berjalan dengan lenggangnya. Dengan berdebar-debar segera Thian-leng
menyusulnya. “Nona Lu...”Bu-song berpaling. Dengan nada acuh tak acuh ia menjawab, “Ada apa?”
Jawaban itu membuat Thian-leng tertegun. Sahutnya gugup, “Tidak a…..apa-apa…. hanya kakek nona menyuruh
aku…..” ia tak dapat melanjutkan kata-katanya lagi.
Bu-song kerutkan sepasang alis, “Kakekku menyuruhmu apa?”
Thian-leng paksakan tertawa meringis, “Beliau suruh aku menjaga nona!”
Tiba-tiba Bu-song mendengus, “Hm, masakan kau mampu?” ia memutar tubuh terus melesat pergi.
“Hai, nona Lu! Nona Lu….!” Thian-leng kaget dan buru-buru mengejar.
Kira-kira satu li jauhnya barulah Bu-song berhenti. Serunya dingin, “Eh, kau ini bagaimana? Mengapa mengikuti aku
saja?”
“Aku sungguh menerima perintah dari kakek nona suapaya menjaga nona.....”
“Uh, telah kukatakan tadi, kau tak mampu!” dengus si dara.
Betapapun juga Thian-leng itu seorang pemuda yang masih berdarah panas. Walaupun karena sumpah ia harus
mengikat diri tunduk pada perintah, tetapi sebagai seporang pemuda sudah tentu ia tak mandah dihina oleh seorang
anak perempuan.
“Kalau begitu baiklah. Akan kucari kakekmu dan minta beliau supaya menarik kembali perintahnya!” kali ini Thian-
leng benar-benar unjuk gigi. Pikirnya kalau mempunyai istri macam dara yang tinggi hati itu, kelak tentu ia menerima
cemoohan saja. Maka habis berkata segera ia memutar tubuh dan melesat pergi.
Dan sebaliknya sekarang Bu-songlah yang mendapat giliran terkejut. Ia tak menyangka bahwa Thian-leng akan
bersikap tegas juga.
“Berhenti!” Cepat ia berseru kepada si anak muda yang sudah enam tujuh tombak jauhnya.
Thian-leng terpaksa hentikan langkah. Tetapi tanpa berpaling ke belakang ia berseru, “Nona hendak memesan apa?”
Beberapa saat Bu-song tak berkata apa-apa. Tiba-tiba terdengar suara terisak-isak. Thian-leng tercengang. Bukankah
tadi dara itu bersikap sedemikian garang. Beberapa kali menghinanya tak akan mampu menjaga? Mengapa ketika
ditinggal pergi malah menangis?
Terpaksa Thian-leng berganti dengan nada sabar, “Bagaimana nona? Apakah aku....”
“Mengapa kau memperlakukan aku begitu?” Bu-song deliki mata.
Thian-leng tertawa masam, “Karena nona mengatakan aku tak mampu menjaga nona, maka akupun terpaksa pergi!”
“Kakekku telah memberi perintah padamu, masakah menerima sedikit cemoohan saja kau sudah marah?” Bu-song
mengomel.
“Bukankah nona muak kepadaku? Sekalipun aku sanggup menerima cemoohan, tetapi kalau nona memang tak suka,
bukankah sia-sia saja aku menemani nona?”
“Tolol, kau membuat aku mati penasaran!” Bu-song membanting-banting kaki.
Thian-leng kerutkan alis. Tak tahu ia bagaimana harus menghadapi dara semacam itu. Ah, hati wanita sungguh aneh!
gerutunya….
Meliaht si anak muda meringis, tertawalah Bu-song, “ Kau gagu?”
Thian-leng yang sedang merenung, gelagapan mendengar pertanyaan itu. Tanpa disadari ia segera menurutkan apa
yang ditanyakan, “Tidak, tidak gagu!”
Tetapi pada lain saat ia segera menyadari bahwa kata-katanya itu seperti anak kecil saja. Warna merah segeramenebar di seluruh mukanya.
Si dara tertawa mengikik sampai lama. Serunya kemudian, “Cobalah katakan apakah perintah kakek kepadamu itu?”
Merah padam wajah Thian-leng seketika. Namun terpaksa ia menjawab juga, “beliau mengatakan aku harus menjaga
nona…..”
“Hanya begitu saja..?” tegas si dara.
“Masih ada lagi...ada.....”
“Ada lagi apa!” bentak Bu-song.
“Beliau suruh aku menjaga nona selama-lamanya, mengambil nona sebagi isteri!”.. Thian-leng terpaksa mengulang
apa yang dikatakan Lu Liang-ong tadi. Tetapi karena likat, habis berkata ia lalu tundukkan kepala.
Wajah Bu-song pun kemerah-merahan seperti buah jambu. Ia tundukkan kepala memainkan ujung baju. Dengan
suara tak lampias ia berseru, “Lalu kau mau atau tidak?”
Thian-leng terhenyak, “Demi mentaati sumpah, aku tak dapat menolak lagi!”
“Artinya kau tak mau? Mau karena terpaksa? ”
”Kurasa diriku..... tak pantas menjadi pasangan nona.....”
“Memang sebenarnya kau tak pantas!” Bu-song menertawakan.
“Dan lagi asal-usul diriku masih belum terang. Aku masih mempunyai tugas berat. Sebagai seorang pemuda
persilatan, jiwaku setiap saat belum ketentuan nasibnya. Mungkin akan mengecewakan hati nona, maka.....”
Bu-song tertawa. Kali ini tertawanya merdu meresap, “Mungkin kata-katamu itu benar, tetapi aku ingin
tahu....bagaimana anggapanmu terhadap diriku? Apakah kau mempunyai sedikit .... rasa suka kepadaku?”
Thian-leng membatin, “Kau seorang dara manja. Jika mengambilmu sebagai isteri tentu runyam. Untung kakekmu
melepas budi besar kepadaku. Apalagi aku telah mengucapkan sumpah. Apa boleh buat, untung celaka terpaksa
kuterima!”
“Nona mempunyai ilmu sakti dan rupa yang cantik. Pula menjadi cucu kesayangan dari ketua partai Thiat-hiat-bun
yang termasyhur. Jika aku beruntung mendapat isteri sebagai nona, sungguh......”
“Kalau begitu kau suka kepadaku?” si dara tertawa riang.
“Su.....dah.....tentu.....tetapi.....”
“Tetapi apa?”
“Perangai nona itu .....agak kelewat manja, sehingga orang tak berani mendekati!”
“Baik, baik, kalau begitu aku akan berlaku ramah kepadamu ya!” si dara tetap tertawa.
Thian-leng mengeluh dalam hati. Ah, rupanya seumur hidup ia akan ditakdirkan untuk menerima kocokan dari si dara
manja itu. Ia kerutkan alis tak dapat berkata apa-apa lagi.
“Eh, sekarang kemana kita hendak pergi? “ tiba-tiba Bu-song menegur. Tetapi belum dijawab, ia sudah berkata lagi,
“Kukira begini saja. Lebih baik kita pesiar menikmati alam pemandangan indah dari gunung Thay-san!”
“Pesiar….?” Thian-leng melongo.
“Ya, apakah kau tak suka?”
Thian-leng gelengkan kepala tertawa rawan, “Tidak! Aku tak mempunyai selera dan tak punya waktu luang untuk
pesiar. Maaf, aku tak dapat menemani nona…..”“Kalau tak mau, tak apalah! Perlu apa harus minta maaf ? “ tukas Bu-song. Ia kerutkan kening, sesaat kemudian
berseru pula, “ Eh, kau tadi memanggil aku dengan sebutan apa ? “
“No…..na….. “
“Bagaimanakah ikatan hubungan kita sekarang ? “
Thian-leng terpaksa menyahut, namun tak dapat ia melanjutkan kata-kata kecuali dua patah kata, “Adik Song…. “
Namun jawaban itu telah membuat hati Bu-song bahagia.
“Kalau tak mau pesiar terserah. Kemanapun kau pergi, aku tentu ikut padamu! “ katanya dengan nada lemah lembut.
Thian-leng masih terpukau. Sesaat tak tahulah ia kemana tujuannya. Banyak nian hal yang hendak dilakukan, namun
tak tahu ia bagaimana harus memulai.
Thian-leng masih terpukau. Sesaat tak tahulah ia kemana tujuannya. Banyak nian hal yang hendak dilakukan, namun
tak tahu ia bagaimana harus memulai. Dan kekalahannya di istana Sin-bu-kiong telah memukul batinnya. Ia merasa
kepandaiannya masih jauh dari memadai.
Ia menghela napas, “ketika Oh-se Gong-mo lo cianpwe menutup mata, beliau telah meninggalkan pesan kepadaku
supaya melakukan pembalasan kepada Sonh-bun Kui-mo. Tetapi karena kepandaianku masih dangkal maka tak
dapatlah kulaksanakan pesannya itu. Kini antara partai Tiam-jong-pay dan Sin-bu-kiong telah timbul permusuhan.
Sin-bu Te-kun mengatakan, apabila dalam tiga hari Tiam-jong-pay tak menyerahkan anak buahnya yang membunuh
penjaga Sin-bu-kiong, maka dia hendak menyerang Tiam-jong-san. Lu Lo-cianpwe juga ke sana. Kurasa lebih baik
kita ke gunung itu. Sedikit banyak dapat menyumbangkan tenaganya untuk menghancurkan Sin-bu Te-kun. Dengan
begitu dapatlah sekurang-kurangnya kupenuhi pesan Oh-se Gong-mo lo-cianpwe.
“Baik,” acuh tak acuh Bu-song mengiyakan, “kita ke Tiam-jong-san. Tetapi jika dugaanku tak salah, untuk sementara
ini Sin-bu Te-kun tentu tak berani ke sana. Dia tak mau mengurus soal kecil yang dapat merugikan cita-citanya
menguasai dunia persilatan!”
“Maksud adik Song……”
“Sin-bu Te-kun tentu tak berani bermusuhan dengan partai Thiat-hiat-bun karena akibatnya keduanya tentu sama
remuk. Ia berani buka mulut besar di hadapan kakekku karena aku menjadi orang tawanannya. Tetapi siap tahu…..”
“Ya, ya , bagaimana adik bisa keluar dari penjara itu?” tanya Thian-leng.
Bu-song tertawa,”Ingatkah kau, aku pernah mengatakan tentang keempat Su-liat (orang gagah) dari Thiat-hiat-bun?”
“Ya, ya, aku ingat. Tetapi bukankah kemudian kau mengatakan bahwa hal itu hanya obrolan kosong dari Sin-bu Te-
kun saja?”
Bu-song tertawa riang, “Memang apa yang kukatakan kala itu sungguh-sungguh, karena kepergianku ke Sin-bu-kiong
itu di luar tahu kakekku. Saat itu kakek sedang sibuk mengobati budak perempuan dari Sin-bu-kiong….” sejenak Bu-
song melirik tajam kepada Thian-leng, ujarnya pula, “tetapi ilmu ‘Melihat-langit-mendengar-bumi’ dari kakek dapat
melingkupi seluas sepuluh li. Maka gerak-gerikku tak luput dari pengetahuannya. Selain mengirim keempat Su-kiat, ia
sendiripun segera menyusul ke istana Sin-bu-kiong…!”
“Bagaimana dengan luka nona itu?” tiba-tiba Thian-leng teringat akan kedua taci beradik Ki Seng-wan dan Ki Gwat-
wan.
“Mati!” sahut Bu-song dingin-dingin.
Thian-leng tersentak kaget. Ia tak yakin tetapi ketika hendak menanyakan lebih lanjut, Bu-song mendengus,
memutar tubuh terus pergi……
Thian-leng tercengang. Ia berseru seraya mengejar. Sepuluh tombak jauhnya, Bu-song berhenti. Sesosok tubuh tiba-
tiba melesat menghadangnya seraya menegur dengan tertawa dingin, “Adik Lu, perlu apa memaki-maki orang?”
Bu-song kerutkan alis:” Siapa yang suruh kau mengurus lain orang, siapa yang kau sebut adikmu itu…” Ia mendengus
lalu melesat pergi.Thiang leng terkejut girang. Orang yang mengenakan baju merah itu bukan lain Cu Siao-Bun. Buru-buru ia memberi
hormat, “Nona Cu, sungguh beruntung bisa berjumpa…”
Mendengar ini, bukan main marahnya Bu-song, lengkingnya, “Apa-apaan kau!? Jalan!”
Thian-leng serba salah. Kecongkakan Bu-song sungguh membuat orang muak. Cu Siao-bun pernah melepas budi
kepadanya, bagaimana ia dapat bersikap sedingin itu? Akhirnya tanpa memperdulikan kata-kata keras dari Bu-song,
Thian-leng tetap menyapa kepada Cu Siao-bun, “Bilakah nona terlepas dari bahaya? Sekarang hendak kemanakah?”
Melihat dirinya tak dipedulikan, amarah Bu-song meluap. Tiba-tiba ia ayunkan tangannya menampar muka Thian-
leng. Plak… karena tak menyangka-nyangka, pipi kiri Thian-leng kena. Pipi melepuh, darah mengucur dari ujung
mulut.
Cu Siao-bun mengawasi kedua muda-mudi itu dengan senyum ewa. Sedang Thian-leng sendiri masih terlongong-
longong karena kepalanya pusing, mata berkunang-kunang.
Tamparan itu tak menyebabkannya menderita luka , tidak pula membuatnya sakit. Tetapi yang terluka adalah
perasaan hatinya. Kepribadiannya sebagai seorang lelaki. Diam-diam ia menyesal dalam hati.
Tetapi si dara yang sudah biasa dimanja, malah membentak-bentak lagi, “Kau hendak kasak-kusuk apa dengannya?
Ayo, jalan tidak?”
Sekalipun tidak ada orang lain, kata-kata itu juga tak pantas diucapkan. Apalagi Cu Siao-bun ada di situ. Darah panas
Thian-leng menggelora dan lupalah ia seketika.
Plak….. ia balas menampar pipi Bu-song sekeras-kerasnya. Bu-song mengerang. Pipinya membenjul besar, darah dari
mulutnya mengucur membasahi dadanya. rupanya ia lebih menderita dari Thian-leng.
“Kau ….. kau berani memukul…..” Bu-song melengking, ia memutar tubuh terus lari terhuyung-huyung.
Thian-leng melongo. Sesaat kemudian ia hendak mengejar. Tetapi tiba-tiba Cu Siao-bun menertawainya.
“Mau minta ampun ya.....?”
Thian-leng tertegun. Ia berhenti, mukanya merah padam. Sahutnya, “Aku belum serendah itu, hanya…..” Ia tak dapat
melanjutkan kata-katanya karena merasa sukar untuk menjelaskan hubungannya dengan Bu-song. Dan ia anggap tak
perlu menerangkan hal itu kepada Cu Siao-bun.
“Tentunya kau masih ada lain urusan lagi?” tegur Cu Siao-bun dengan tetap tertawa.
Terpaksa Thian-leng menjelaskan, “Karena aku telah menyanggupi kakeknya untuk menjaga dara itu, maka hendak
kuserahkan kembali ia kepada kakeknya saja agar jangan menimbulkan perkara di perjalanan!”
Cu Siao-bun tertawa mengikik, “Jangankan sudah mendapat perintah dari kakeknya, sekalipun tidak, bukankah kau
juga senang untuk menjaganya? Eh, tetapi bagaimana caramu menjaganya?”
Thian-leng tak biasa berbohong. Maka merahlah mukanya. Kembali rasa gelisah mencengkam hatinya. Betapapun
kesalahan si dara Bu-song, tetapi karena kakeknya telah melepas budi besar, seharusnya ia tak boleh mengimbangi
sikap dara itu. Bukankah ia sudah mengangkat sumpah? Bagaimana nanti pertanggung jawabannya kepada Jenggot
perak Lu Liang-ong?
“Jika nona tiada pesan lain lagi, maaf, aku hendak berangkat dulu!” akhirnya ia paksakan berkata.
“Ah, mana berani aku memberi perintah? Tetapi aku hanya hendak menyerahkan sepucuk surat dari seorang
sahabat.....”
“Siapa?” Thian-leng terbeliak.
“Cu Siau-bun.....!”
(bersambung ke jilid 11)Jilid 11 .
Pengemis Bulu besi.
“Dia?” Thian-leng berseru kaget, “bukankah dia mendapat kecelakaan di gunung Thay-heng-san.....”
“Tidak, dia masih hidup....” sahut Cu Siao-bun dengan nada rawan.
( Catatan: Cu Siao-bun adalah gadis baju merah yang bercakap-cakap dengan Thian-leng saat itu. Sedang Cu Siau-
bun adalah pemuda berwajah pucat yang dijumpai Thian-leng ketika keluar dari gunung Hun-tiong-san. Agar tidak
membingungkan, maka digunakan ejaan Siao untuk si gadis dan Siau untuk si pemuda – Pen).
Tiba-tiba terlintaslah sesuatu dalam benak Thian-leng, Cu Siao-bun dan Cu Siau-bun. Namanya hampir sama dan
wajahnya serupa. Mengapa gadis Siao-bun membawakan surat pemuda Siau-bun? Aneh....
“Mungkin kau merasa heran, bukan ? “ tegur Cu Siao-bun.
“Ya,...... apakah nona.......”
Siao-bun tertawa, “Sebenarnya tiada hal yang perlu diherankan. Cu Siau-bun adalah engkoh. jadi wajar kalau sama
wajahnya…. “
“O, kiranya nona adik dari saudara Cu, maaf!” Thian-leng seperti tersadar.
Selanjutnya Thian-leng segera menanyakan berita pemuda Cu Siau-bun.
“Dia masih hidup di dunia, tetapi.....” Siao-bun tak melanjutkan kata-katanya. Dengan pandangan rawan ia menatap
Thian-leng.
“Dia... dia bagaimana?” Thian-leng gelisah.
“Segera akan mati!”
“Hai....!” thian-leng menjerit, “ Di mana sekarang ia?”
“Apakah kau ingin menemuinya?” tanya Siao-bun.
“Ya, engkoh nona itu telah banyak melepas budi padaku. Sudah tentu aku harus menjenguknya!”
“Rupanya engkohku juga selalu teringat padamu. Kini ia berada dalam rumah penginapan Ih-hian di kota Ceng-liong-
tin. Kira-kira dua ratus li dari sini....”
“Jangankan hanya dua ratus li, sekalipun ribuan li aku tetap akan menjumpainya,” sahut Thian-leng.
Tampak wajah Siao-bun tertawa girang, ujarnya dengan tertawa, “Jika kau memang bermaksud begitu, silakan lekas
ke sana. Kalau tidak dikuatirkan kau tak dapat bertemu dengan engkohku lagi selama-lamanya!”
“Maaf, aku segera hendak ke sana!” Thian-leng terus memutar tubuh melesat pergi.
Siao-bun memandang bayangan pemuda itu dengan terlongong-longong. Tiba-tiba wajahnya mengerut keras, ujarnya
seorang diri, “Lu Bu-song, sekalipun kau ini adik misanku, tetapi dalam hal ini aku tak dapat mengalah padamu!”
ooooo00000ooooo
Thian-leng menggunakan ilmu lari cepat. Ia ingin segera dapat menyusul si dara Bu-song, kemudian baru menuju ke
kota Ceng-liong-tin menjenguk Cu Siau-bun yang sakit keras. Kepada pemuda wajah pucat itu, Thian-leng juga
berhutang budi. Adalah pemuda itu yang membebaskan dirinya dari kepungan delapan anak buah Sin-bu-kiong ketika
Thian-leng baru keluar dari markas Hun-tiong Sin-mo. Adalah pemuda itu juga yang menunjukkan tentang tipu
muslihat Ma Hong-ing yang mengaku jadi ibunya itu…..Masih banyaklah kebaikan-kebaikan yang diunjukkan pemuda Cu Siau-bun itu kepadanya. Kini pemuda itu menderita
sakit berat, entah besok entah sore akan meninggal dunia. Ia ingin sekali menemui pemuda itu. Tetapi …ah, ia
mendongkol benar kepada Bu-song. Ia segera perkencang larinya seraya berteriak-teriak, “Adik Song….. Lu….
Bu…..song…..!”
Namun bayangan dara itu tak tampak sama sekali. Seluas puluhan li telah dijelajahi, tetapi ia tak berhasil mencari
dara itu.
“Celaka, dia tentu marah dan pulang melapor pada kakeknya!” diam-diam ia mengeluh.
Ketika ia sedang gelisah, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah suara helaan napas panjang. Dan matanya segera
melihat sesosok tubuh manusia tengah berlutut di bawah sebuah pohon besar. Ketika dihampiri, ternyata hanya
seorang pengemis tua yang sudah putih rambutnya. Wajahnya kumal penuh debu. Pengemis itu duduk bersandar
pada batang pohon, sebatang tongkat bambu terletak di sampingnya.
Sekalipun lelah, namun terpaksa ditegurnya juga pengemis itu. “Mengapa lo-cianpwe seorang diri berada di hutan
sunyi ini, apakah....”
Thian-leng bersedia memberi pertolongan apabila pengemis tua itu memerlukan bantuan. Tetapi kata-katanya itu
terputus oleh rasa kaget. Pengemis tua itu tiba-tiba membuka matanya. Dua larik sinar berkilat-kilat tajam
memancar. Itulah pancaran sinar mata dari seorang ahli tenaga dalam yang hebat.
“Maaf, kalau aku mengganggu lo-cianpwe!” buru-buru Thian-leng berseru seraya memberi hormat lalu pergi.
“Tunggu!” sekonyong-konyong pengemis itu berseru. Thian-leng terpaksa hentikan langkahnya.
“Berjam-jam kudengar kau menjerit-jerit seperti anak ayam mencari induknya. Sekarang baru kau minta maaf,
apakah tidak terlambat?” dengus pengemis tua itu.
Thian-leng mengerutkan kening. Pikirnya, pengemis ini benar-beanr liar sekali. Ia bermaksud baik, mengapa malah
disemprot?
“Aku tak tahu kalau lo-cianpwe sedang beristirahat di sini, maaf! “ terpaksa Thian-leng meminta maaf lagi, lalu
melangkah pergi.
Tetapi baru beberapa langkah, kembali pengemis tua itu membentaknya, “Kembali!”
Kali ini Thian-leng tak mau. Ia hanya menyahut tawar, “Aku toh sudah minta maaf padamu!”
Pengemis tua itu tertawa gelak-gelak, “Dalam satu perahu sama-sama mendayung, adalah sudah menjadi suatu
keharusan. Kita bertemu di sini, boleh dikata mempunyai jodoh. Paling tidak harus saling memberitahukan nama,
baru kau pergi……” pengemis tua itu berhenti sejenak dari ocehannya. Sebelum Thian-leng menyahut, ia sudah
lanjutkan kata-katanya lagi, “Aku si pengemis tua ini orang she Auyong, bernama tunggal Beng. Atas kecintaan dari
sahabat-sahabat persilatan, aku diberi gelar Thiat-ik Sin-kay ( Pengemis sakti berbulu besi ). Dan kau?”
Thian-leng tertegun, serunya, “Aku yang rendah sampai sekarang belum mempunyai nama. Untuk sementara aku
memakai nama Bu-beng-jin!”
Bu-beng-jin artinya ‘Orang yang tak punya nama’.
Auyong Beng tertawa gelak-gelak, “Bu-beng-jin, ah, bagus juga nama itu……”
Thian-leng hanya tertawa masam. Sambil berputar ia terus hendak berlalu lagi….
“Sebenarnya aku hendak tidur, tetapi terganggu dengan jerat-jeritmu tadi. Karena sudah terlanjur terjaga, mari kita
omong-omong!”
Thian-leng menolak, “Tidak-tidak! Karena masih mempunyai urusan penting, maaf, aku tak dapat menemanimu!”
Pengemis sakti tertawa meloroh, “Meskipun kau tetap hendak pergi, tetapi juga tak perlu terburu-buru begitu. Kalau
kita omong-omong barang dua tiga patah kata lagi, toh takkan membuatmu rugi bukan?”
Thian-leng kerutkan dahi, serunya, “Lo-cianpwe hendak memberi pesan apa, silakan lekas mengatakan saja!”“Tadi kau jerat-jerit tak keruan itu hendak mencari siapa saja?”
“Ini …. seorang adik perempuan …… adik angkatku!”
“Adik angkat...? Berpuluh-puluh tahun si pengemis tua ini berkelana di dunia persilatan, tak pernah aku bicara
bohong, tak pernah aku menyombongkan diri. Dengan begitu barulah aku dapat memenangkan ....”
Merah padam seketika wajah Thian-leng, “Itu urusanku pribadi, harap lo-canpwe jangan mendesak!”
Kembali pengemis tua itu tertawa keras, “Baik, aku takkan menanyakan urusan pribadi. Bu-beng-jin, rupanya jodoh
kita hanya sampai di sini saja. Karena kau mempunyai urusan lain, silakan pergi!”
Thian-leng tak mau banyak cakap. Setelah memberi hormat, segera ia memutar diri dan melangkah pergi. Tetapi
baru beberapa langkah, kembali ia harus berhenti lagi. Kiranya ia mendengar pengemis tua itu berkata seorang diri,
“Ah, Sip Uh-jong, Sip Uh-jong, kematianmu sungguh mengenaskan sekali.”
Buru-buru Thian-leng balik dan bertanya, “Apakah lo-cianpwe kenal pada Sip lo-cianpwe? Apakah dia....”
“Mengapa kau tanyakan dia?” wajah Pengemis sakti mengerut gelap.
“Terus terang beliau telah banyak melepas budi padaku!”
“O, kiranya kau masih ingat budi? Sayang sahabatku itu sudah mati!”
“Benarkah? ” Thian-leng menegas.
“Aku pengemis tua tak pernah bohong!” sahut si pengemis. Namun Thian-leng masih tetap meminta keterangan yang
jelas.
“Sahabatku itu dan Tui-hun Hui-mo telah ditutuk jalan darahnya oleh isteri Sin-bu Te-kun. Setelah mereka tak
berdaya lalu dibakar!”
Thian-leng pening kepalanya mendengar cerita itu. Samar-samar ia masih ingat akan peristiwa yang telah lalu. Ia
anggap keterangan si pengemis itu tentu benar.
“Agaknya lo-cianpwe tahu banyak perihal beliau, apakah lo-cianpwe…………”
“Aku tak punya keistimewaan apa-apa. Tetapi segala peristiwa di dunia persilatan, baik kecil maupun besar, tak nanti
luput dari pendengaranku. Maukah kau mendengar peristiwa-peritiwa itu semua?”
“Tak usah, aku percaya penuh pada lo-cianpwe. Aku hanya mengutuk diriku sendiri yang tak punya kepandaian tinggi
hingga tak mampu membalaskan sakit hati Sip lo-cianpwe....”
Pengemis sakti menghela napas, “Benar, meskipun kau sudah meyakinkan ilmu pukulan Lui-hwe-sin-ciang dengan
hebat, tetapi hawa dalammu masih kalah jauh dari Sin-bu Te-kun, si Jenggot perak Lu Liang-ong, Hun-tiong Sin-mo
dan lain-lain, kecuali.....”
“Kecuali bagaimana? Mengapa Lo-cianpwe tak melanjutkan kata-kata?”
Pengemis sakti perdengarkan tawa yang dalam, ujarnya, “Sip U-jong paham ilmu meramal. Tak nanti ia biarkan peta
telaga Zamrut itu terbakar bersamanya. Jika sudah memberimu pil Kong-yang-sin-tan, masakah tidak peta itu
sekalian?”
“Apa kata lo-cianpwe?” ulang Thian-leng.
“Aku tahu segala apa, tetapi soal peta itu benar-benar aku masih gelap. Sip U-jong memiliki selembar peta Telaga
Zamrut. Sebelum ia menutup mata apakah tak diserahkan padamu?”
Thian-leng pun kerutkan dahi. “Sesaat setelah meminum pil Kong-yang-sin-tan, karena tak kuat menahan rasa panas,
akupun pingsan sampai lama. Bagaimana dengan nasib Sip lo-cianpwe saat itu aku tak tahu. Begitu pula dengan peta
itu!”“Aneh, masakah peta itu turut terbakar……?” gumam pengemis sakti. Beberapa saat kemudian baru ia berkata pula,
“Beberapa tahun yang lalu di dunia persilatan telah muncul seorang tokoh baru yang mengejutkan. Kepandaiannya
luar biasa. Tokoh-tokoh kelas satu yang berhadapan dengan orang itu hanya seperti anai-anai yang menerjang api.
Belum pernah ada seorangpun jago persilatan yang mampu melayani lebih dari tiga jurus….”
“Siapakah tokoh itu?” seru Thian-leng serentak.
“It Bi siangjin!” sahut si pengemis.
“It Bi siangjin….. ?” Thian-leng mengulang heran. Ia tak tahu siapa tokoh itu.
“It Bi siangjin adalah seorang pertapa aneh. Tak suka bergaul dengan orang. Sudah berpuluh tahun ia berkelana
untuk mencari seorang yang dipandang dapat menjadi murid penggantinya. Tetapi tak ada yang dicocoki, sehingga
karena putus asa, ia menguburkan kitab dan pedang pusaka Liong-coan-po-kiam …….”
“O, jadi Telaga Zamrut itu tempat kuburan pusaka!” seru Thian-leng.
“Benar, asal mendapat petanya, tentu dapat mencari pusaka-pusaka terpendam itu.” Pengemis sakti mengatakan, “
kitab pusaka itu ditulis sendiri oleh It Bi siangjin, berisi seluruh ilmu kepandaiannya. Kalau berhasil meyakinkan , Sin-
bu te-kun, Hun-tiong Sin-mo, Lu Liang-ong, ya… pendek kata siapapun tentu tak menang……, sayang sekali kalau
sampai turut terbakar !”
“Bagaimana lo-cianpwe tahu peta itu berada pada Sip lo-cianpwe ? Dan mengapa Sip lo-cianpwe tak berusaha
mencari pusaka itu?”
“Berita itu sudah lama tersiar di dunia persilatan, jadi tak mungkin bohong. Sip U-jong sudah dipunahkan
kepandaiannya oleh musuh, maka percuma ia mendapat kitab itu, toh tak dapat meyakinkan lagi. Ia hendak
menyerahkan kitab itu kepada orang yang dianggapnya berbakat bagus, agar dapat membalaskan sakit hatinya. Sip
U-jong seorang yang pandai meramal, licin dan pandai tentang obat-obatan beracun. Sekalipun ilmu silatnya sudah
punah, tetapi bertahun-tahun ia dapat mempertahankan peta itu dari sergapan orang. Ditilik dari akal muslihatnya,
tak mungkin peta itu sampai jatuh di tangan Te-it Ong-hui. Maka kusangka kaulah yang diberi peta itu !”
“Tetapi aku tak tahu menahu tentang peta itu dan Sip lo-cianpwe pun tak pernah mengatakannya !” sahut Thian-leng.
Pengemis sakti tercengang. Menilik kesungguhan wajah si anak muda, ia percaya Thian-leng tentu tak bohong.
Sampai beberapa lama ia berdiam diri.
“Hai, apakah kau pernah memeriksa tubuhmu ?” tiba-tiba ia tersadar.
“Memeriksa tubuh ? Perlu apa ?” Thian-leng melongo.
“Setelah minum pil, bukankah kau lantas pingsan? Pun pada saat Te-it Ong-hui tiba, ia tak sempat menggeledah
badanmu. Siapa tahu Sip U-jong diam-diam menyelinapkan peta itu dalam tubuhmu!”
Walaupun kurang percaya, tetapi Thian-leng anggap tiada jeleknya ia memeriksa tubuhnya. Dan memang sejak
meninggalkan lembah Hong-lim-koh, tak pernah ia memeriksa pakaiannya. Pun ketika Ki Seng-wan melakukan
pengobatan Hiam-im-kiu-coan, meskipun pakaian Thian-leng itu dibuka tetapi nona itupun tak sempat memeriksa.
“Hai,………!” tiba-tiba Thian-leng berseru tertahan.
Ketika tangannya merogoh kantong, ia menyentuh sebuah bungkusan kertas. Buru-buru ditariknya keluar…….
“Oho, tepat sekali dugaanku!” Pengemis sakti berteriak kaget.
Thian-leng tegang sekali. Ia tak tahu bahwa kantongnya berisi sebuah bungkusan kain yang sudah kumal. Dengan
berdebar-debar ia membuka lipatan kain itu. Ah……. hampir ia menjerit kegirangan. Sebuah peta yang penuh dengan
jalur-jalur goresan. Di sebelahnya tertulis tiga buah huruf Giok-ti-tho ( peta telaga zamrut)!
Tetapi yang membuat Thian-leng terkejut ialah sebaris tulisan di balik peta itu. Tulisan itu ditulis dengan darah,
berbunyi :
“Hun-tiong dan Song-bun kedua durjana, adalah musuh bebuyutanku. Aku mati dibunuh Ma Hong-ing, supaya
membalaskan sakit hatiku. Jangan lupa……”Thian-leng menggigit gigi kencang-kencang.
“Bu-beng-jin, kuhaturkan selamat padamu!” tiba-tiba pengemis sakti berseru “……asal kau memperoleh pusaka itu,
kelak kau tentu menjadi tokoh utama di dunia persilatan. Untuk menuntut balas sakit hati Sip U-jong adalah semudah
orang membalikkan telapak tangan!”
Thian-leng tak berkata-kata. Hatinya penuh dengan rasa haru dan dendam. Sip U-jong bukan saja memberinya
minum pil Kong-yang-sin-tan, tetapi juga menyerahkan peta. Ia harus menunaikan pesan tokoh yang bernasib
malang itu, menuntut balas pada Hun-tiong Sin-mo, Song-bun Kui-mo dan Ma Hong-ing. Dan memang Song-bun Kui-
mo yang kini menjelma menjadi Sin-bu Te-kun itu adalah manusia yang harus dilenyapkan demi keselamatan dunia
persilatan! Tetapi yang dua orang itu….. ya, Hun-tiong Sin-mo telah menyembuhkan lukanya, Ma Hong-ing
kemungkinan adalah ibunya sendiri! Hendak dibunuhkah kedua orang itu?
Tidak…..! Ia tak dapat membunuh orang yang telah melepas budi padanya. Dan sebelum asal-usul dirinya diketahui,
ia tak dapat membunuh Ma Hong-ing dulu. Karena kalau-kalau wanita itu benar ibu kandungnya….
Benak Thian-leng penuh dengan berbagai persoalan yang rumit, sehingga untuk beberapa saat lamanya ia hanya
tegak terlongong-longong saja.
“Lekas simpan peta itu! Kalau aku seorang temaha, mungkin peta itu tentu sudah pindah ke tanganku!”tiba-tiba
Pengemis sakti memperingatkan.
Tetapi di luar dugaan Thian-leng malah mengangsurkan peta itu kepada si pengemis, “Aku tak tertarik dengan peta
ini. Kalau lo-cianpwe menghendaki, ambillah!”
Kalau tak mengambil peta itu berarti bebas dari kewajiban melaksanakan pesan Sip U-jong. Dmeikianlah jalan pikiran
Thian-leng.
“Kau gila…..?” teriak si pengemis.
“Jika memperoleh pusaka kau bakal menjadi tokoh silat nomor satu! Tak seorang persilatan pun yang tak mengiler
dengan peta itu, tetapi mengapa kau.....”
Thian-leng hanya menghela napas, “Aku masih muda dan kurang pengalaman, mungkin tak layak mendapat kitab
pusaka itu. Lo-cianpwe lebih ternama dan lebih berpengalaman, bukankah.....”
“Tidak! Tidak!” Pengemis sakti menolak tegas. “Aku si pengemis tua tak mau melanggar kemauan alam! Apalagi
pilihan Sip U-jong tentu tak salah. Dia tentu sudah memperhitungkan bahwa bukan saja kau dapat melaksanakan
pesannya, juga dapat pula memikul beban kewajiban menjaga keselamatan dunia persilatan. Aku si pengmis tua ini
tak punya rejeki sedemikian besar !”
Thian-leng terpaksa menyimpan lagi peta itu, kemudian ia minta diri.
“Apakah kau hendak mencari adik angkatmu itu lagi?” tanya si pengemis.
Thian-leng mengiyakan.
“Aku si pengemis tua bersedia mewakili pekerjaanmu itu tetapi .... kau .....harus segera menjenguk sahabatmu yang
sakit keras itu. Sudah, jangan membuang waktu lagi....”
Thian-leng tersirap kaget. Mengapa pengemis itu tahu urusan itu pula?
“Apakah lo-cianpwe yakin berhasil mencari nona Lu itu?”
“Jangankan dia, sekalipun kau suruh cari seekor semut di ujung langit, aku tentu sanggup mengerjakannya!”
“Aku seorang yang tahu membalas budi dan dendam. Atas budi lo-cianpwe kelak aku tentu membalasnya. Sekalipun
lo-cianpwe suruh aku menyebur ke dalam lautan api, tentu aku tak menolak !”
“Bagus, bagus. “ si pengemis tua tertawa, “aku memang tak mau bekerja percuma. Setiap bantuan yang kuberikan,
tentu kuminta balas. Sekarangpun aku hendak minta balas padamu!”
“Lo-cianpwe hendak suruh apa?” Thian-leng tercengang.“Tidak menyuruh melainkan hanya meminta kau meluluskan dua buah hal!”
“Silakan mengatakan.”
Seketika wajah Pengemis sakti berobah serius, ujarnya dengan nada sungguh-sungguh, “Pertama, mulai saat ini
jangan kau berbahasa ‘lo-cianpwe’ lagi kepadaku. Aku akan memanggilmu ‘laote’ (adik) dan kau panggil aku
‘laoko’(kakak)!”
“Aku terpaksa menurut, laoko, ”segera Thian-leng mengganti panggilannya, “dan apakah permintaan laoko yang
kedua itu ?”
Pengemis sakti tertawa aneh, “Yang kedua, kuminta kau menyimpan sebuah barangku. Harus kau pakai selama-
lamanya dan jangan sampai hilang !”
Diam-diam Thian-leng geli-geli heran. Mengapa memberi barang saja harus pakai perjanjian? Dan mengapa harus
suruh memakai seumur hidup?
“Baiklah , laoko!” sahut Thian-leng.
Pengemis sakti tersenyum. Segera ia mengeluarkan sebuah benda. Dengan hati-hati benda itu dikalungkan pada leher
Thian-leng.
“Lencana ini, meskipun tak berharga, tetapi merupakan barang pusakaku. Harap jangan dibuang!” pesannya.
Benda itu ternyata sebuah lencana berukirkan beberapa batang bambu yang malang-melintang. Lencana itu diikat
dengan sebuah kalung kecil.
Thian-leng tak tahu apa guna dan arti lencana bergambar bambu itu. Namun karena sudah berjanji ia biarkan saja
lencana itu dipasangkan si pengemis pada lehernya.
Sebelum pamit pergi, Thian-leng sekali lagi menyampaikan permintaan supaya si Pengemis Sakti bulu-besi suka
mengusahakan mencari Lu Bu-song.
Si Pengemis sakti menyanggupi.
ooo000ooo
Ah, kau.......!
Dengan menggunakan ilmu lari cepat, dalam setengah hari saja dapatlah Thian-leng mencapai seratus li. Pikirannya
masih penuh dengan bermacam perasaan.
Ia tak mengira Sip U-jong dan Tui-hun Hui-mo mati begitu mengenaskan. Lebih-lebih tak menyangka kalau Sip U-
jong diam-diam menyerahkan peta pusaka kepadanya. Jika berhasil mendapatkan kitab pusaka dan meyakinkannya,
kelak ia bakal menjadi tokoh nomor satu di dunia persilatan. Dengan begitu dapatlah ia melakukan segala
rencananya.
Hari kedua tibalah ia di kota Ceng-liong-tin, sebuah kota yang terletak di tepi sungai Hong-ho. Kota itu merupakan
lalu lintas perdagangan yang ramai. Pertama-tama Thian-leng mencari keterangan tentang rumah penginapan Ih-
hian. Ternyata rumah penginapan itu terletak di sebuah jalan kecil yang sepi. Rumah itu sepi tetamu. Diam-diam ia
heran mengapa Cu Siau-bun memilih rumah penginapan yang sedemikian jorok dan kecil Apakah sahabatnya itu
kehabisan uang?
Ketika ia masuk, ruangan suram penerangannya. Setelah bertanya pada pelayan, ia segera menghampiri sebuah
kamar. Di dalam kamar itu hanya terdapat meja dengan sebuah kursi dan sebuah ranjang bambu. Di antara lampu
yang redup tampak sesosok tubuh pemuda membujur di atas ranjang. Wajah pemuda itu pucat. Begitu melihat
kedatangan Thian-leng, pemuda itu berusaha menggeliat bangun. Tetapi ia mengerutkan dahi dan rebah lagi, rupanya
ia tak kuat bangun.
Melihat itu Thian-leng terharu sampai menitikkan dua tetes air mata, serunya teriba-iba, “ Cu-heng, Cu-heng ………kau
masih ingat padaku!”
Pemuda itu yang bukan lain memang Cu Siau-bun, memaksakan diri memandang Thian-leng, “Kau…. Kang-heng…..
aku menunggumu setengah mati!”Thian-leng menghela napas, “Aku bukan she Kang, Cu-heng tentunya tahu. Sampai saat inipun aku belum tahu asal-
usulku, …… tetapi bagaimana dengan penyakit Cu-heng?”
“Ah, mungkin tiada pengharapan lagi…..!” Cu Siau-bun tersenyum hambar, “dalam saat-saat terakhir dapat melihat
kau…. dapatlah aku mati dengan puas!”
“Tidak, akan kuusahakan sekuat tenaga untuk menyembuhkan Cu-heng…..” Thian mendekap kedua bahu sahabatnya.
Tiba-tiba ia teringat, “Apakah Cu-heng tahu tentang tabib Thay-gak Sian-ong di gunung Thay-san? Kabarnya ia
seorang tabib yang pandai. Mari kuantar Cu-heng ke sana!”
Tetapi Cu Siau-bun menolak, “Percuma, penyakitku ini sudah bertahun-tahun. Obat dari tabib itu takkan menolong
jiwaku!”
“Lu lo-hiapsu ketua Thiat-hiat-bun juga pandai ilmu pengobatan. Aku kenal baik padanya, kalau dia mau tentu dapat
menyembuhkan Cu-heng!”
Sekalipun mulut mengatakan begitu, tapi dalam hati Thian-leng gelisah. Ia belum yakin si Pengemis sakti dapat
mencari Lu Bu-song. Kalau dara itu belum diketemukan, ketua Thiat-hiat-bun tentu marah.
Selain itu iapun memikirkan tentang pernyataan Sin-bu Te-kun yang hendak menggempur Tiam-jong-san. Belum
tentu dugaan Lu Bu-song bahwa Sin-bu Te-kun tentu tak berani menyerang Tiam-jong-san itu yang benar. Kalau Sin-
bu Te-kun benar-benar membuktikan ancamannya, bukankah berabe membawa orang sakit kepada ketua Thiat-hiat-
bun yang sedang bertempur dengan Sin-bu-kiong itu ?
“Itupun sia-sia saja,” tiba-tiba kedengaran Cu Siau-bun menolak. “Telah kukatakan bahwa penyakit ini telah kuidap
lama sekali. Tiada seorangpun yang dapat mengobati, kecuali....”
“Kecuali bagaimana harap Cu-heng katakan. Asalkan dapat menyembuhkan penyakit Cuheng, apapun aku sanggup
melakukan!”
Wajah Cu Siau-bun menebar warna merah, serunya, “Apakah….. kau…. sungguh….”
“Seorang lelaki rela berkorban untuk sahabatnya!” seru Thian-leng dengan tegas. “Asal Cu-heng bisa sembuh aku rela
mengorbankan apa saja….!Eh, apakah Cu-heng masih ingat perjanjian kita di lembah Sing-sim-kiap dahulu?”
“Tiada sedetikpun aku melupakan perjanjian itu. Hanya … mungkin bisa terlaksana besok pada penitisan kita lagi!”
Kembali Thian-leng menghiburnya dan memberi pernyataan lagi. Kemudian dengan suara berbisik-bisik ia
menerangkan bahwa ia telah mendapat peta Telaga zamrut. Apabila ia berhasil menemukan kitab pusaka itu, tentulah
cita-cita mereka berdua bakal tercapai!
“Benarkah ucapanmu itu?” Cu Siau-bun menegaskan girang-girang kaget.
Segera Thian-leng mengeluarkan peta, serunya, “Lihatlah peta ini, Cu-heng…..!” serunya. Cu Siau-bun
memperingatkan supaya sahabatnya itu jangan bicara keras-keras, karena dinding itu bertelinga. Kemudian ia
menyuruh Thian-leng menyimpannya lagi.
“Tadi Cu-heng mengatakan ada cara yang dapat menyembuhkan penyakitmu, entah apakah…..”
Wajah Cu Siau-bun berobah merah, ujarnya tersipu-sipu, “Sekalipun ada, tetapi tentu membuat kau menderita…..”
Thian-leng menyatakan bahwa ia bersedia melakukan apa saja asal penyakit sahabatnya itu sembuh.
Akhirnya Cu Siau-bun terpaksa berkata dengan nada jengah, “Sejak kecil tubuhku telah terkena semacam racun.
Racun itu kecuali dengan cara pengobatan Goan-yang-sam-hwe ialah menggunakan sari perjakamu untukmu
mengenyahkan racun, tiada lain jalan lagi!”
Thian-leng pun merah mukanya. Ia tahu bahwa Goan-yang-sam-hwe itu memang suatu cara pengobatan yang
mujarab. Ibarat dapat merebut jiwa manusia dari cengkeraman iblis maut. Tetapi cara itu berarti suatu pengorbanan
kehilangan perjakanya. Namun dalam menghadapi saat-saat seperti itu, pikirannya hanya ditujukan untuk menolong
sang sahabat saja, maka iapun terpaksa meluluskan juga.
Demikian kedua pemuda itu hendak melakukan pengobatan istimewa. Pada detik-detikdi mana keduanya sudah siap melaksanakan, terdengar Cu Siau-bun menghela napas, “Apakah kau bersungguh hati
hendak menolong jiwaku?”
“Eh, mengapa Cu-heng masih berkata begitu?”
“Apakah kau takkan menyesal?”
“Menyesal? Mengapa harus menyesal?”
“Jika kau mengetahui bahwa aku….” Cu Siau-bun berhenti sejenak, “andaikata kau mendapatkan ada sesuatu yang
mengejutkan pada diriku, apakah kau tetap……”
“Ah, mengapa Cu-heng masih tak percaya!” Thian-leng heran.
“Bukan tak percaya, tetapi kuatir kau…..” tiba-tiba suara dan tubuh Cu Siau-bun gemetar, ujarnya,
“Aku…..aku….sebenarnya……”
“Kau seorang ….. gadis!” Thian-leng menjerit kaget, “kau ini Cu Siao-bun, kau ternyata tak sakit!”
“Ya, benar, aku……..,” Cu Siau-bun menangis sedih. Sementara Thian-leng tak tahu apa yang harus dilakukan. Ia
kehilangan kata-kata. Seharusnya ia pagi-pagi tahu bahwa Cu Siau-bun itu ialah Cu Siao-bun juga. Mengapa ia begitu
naif sampai kena dikelabui?
Tetapi haruskah ia mendamprat gadis itu?
Tidak! Walaupun bagaimana yang telah terjadi, ia tak dapat menyalahkan nona itu. Adalah karena dirundung oleh
badai asmara, maka nona itu sampai nekat melakukan hal-hal yang sebenarnya kurang senonoh. Ya, tak sangsi lagi.
Adalah karena pengaruh asmara terpendam yang meledak di sanubari nona itu. Jelas sudah bahwa nona itu memang
sangat mencintainya......
Baik rupa maupun kepandaian, memang Cu Siau-bun merupakan gadis idaman yang sukar dicari keduanya. Ia tentu
bahagia mempunyai seorang isteri yang begitu menyayang. tetapi dapatkah ia memperisterikannya? Tidak! Ia telah
meluluskan pada si Jenggot Perak Lu Liang-ong untuk mengambil Lu Bu-song sebagai isteri. Ia tak dapat melanggar
sumpahnya. Tetapi, tetapi.... ah, ia telah melanggar kesucian Cu Siau-bun.... dapatkah hal itu dipertanggung-
jawabkan???
“Kau ...... benci padaku?” karena melihat Thian-leng membisu, Cu Siau-bun memberanikan diri menegur.
Thian-leng gelagapan menyahut, “Tidak! Aku …merasa mengecewakan kau…. “ ia menghela napas panjang, “Karena
aku tak dapat memperisteri kau!”
Cu Siau-bun tertawa rawan, “Kutahu, tak dapat kusesalimu!”
Tetapi dalam hati nona itu telah memutuskan. Ia hendak berjuang mengalahkan Lu Bu-song untuk merebut Thian-
leng. Dan kini dalam babak pertama, ia sudah menang…..
Sekonyong-konyong sebuah benda berkelap-kelip macam seekor kunang-kunang menghampiri tempat lilin dan tiba-
tiba membentur sumbu lilin. Seketika lilinpun menyala dan serentak dengan itu terdengar suara berbisik,
“Menghadapi seorang nona cantik, mengapa kasak-kusuk dalam kegelapan!”
Thian-leng dan Siau-bun tersentak kaget!
(bersambung ke jilid 12)
Jilid 12 .
Utusan Neraka
Siau-bun menjulurkan sebuah jarinya dan lilin itupun padam. Keduanya segera mengemasi pakaiannya.
“Awas, jaga baik-baik petamu, mungkin orang ini hendak mengarah petamu itu!” bisiknya kepada Thian-leng.
Thian-leng mendorong jendela dan loncat keluar. Dengan sebuah loncatan yang indah ia hinggap di atas penglari
rumah. Rumah penginapan seolah-olah terbungkus oleh kegelapan, sunyi dan senyap.“Apakah kau melihat sesuatu?” tanya Siau-bun ketika menyusul loncat ke atas rumah. Thian-leng hanya menggeleng.
Mungkin waktu berpakaian tadi orang sudah menyingkir pergi. Apa tujuan orang itu? Mengapa ia terus melarikan diri?
Siau-bun pun heran. Ia masih mengenakan pakaian laki-laki, wajahnya yang pucat kini tampak kemerah-merahan.
Thian-leng melirik padanya dan tertawa.
“Kau menertawakan aku?” dengus Siau-bun.
“Jangan salah paham, engkoh Cu...eh.....nona Cu.....”
Siau-bun menggumam, “Bagaimanapun pandanganmu terhadap diriku, tetapi kita telah...... tidur bersama. Dengan
masih memanggil nona, apakah tidak terlalu.....,” ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena terisak-isak.
Terpaksa Thian-leng menghiburnya, “Adik Bun, ya..., akulah .... yang salah.....”
“Ah, sudahlah. Yang sudah biarlah lampau....” sahut Siau-bun rawan.
Sekonyong-konyong terdengar sebuah tertawa mengejek. Thian-leng segera mengenali suara itu seperti suara orang
yang mengganggu tadi. Berbareng dengan itu tampak sesosok tubuh melesat keluar dari sudut rumah penginapan
dan terus melarikan diri.
“Hai, siapa itu berani mengganggu tak berani berhadapan muka?” Thian-leng berseru seraya loncat mengejar.
“Biarkan saja, jangan kena tertipu….” Siau-bun mencegah. Tetapi Thian-leng yang sudah dirangsang kemarahan
sudah terlanjur melambung ke atas wuwungan. Terpaksa Siau-bun pun mengikuti.
Orang itu hebat sekali. Betapapaun Thian-leng lari sekencang-kencangnya, tetapi tetap ketinggalan berpuluh tombak
jauhnya. Bisa melihat orangnya tapi tak bisa mendekati.
Mereka sudah berada di luar kota. Orang itu berlari menyusur sepanjang pantai sungai Hongho. Air bengawan yang
mengkilap gelap di malam pekat, makin menambah keseraman suasana.
“Pernahkah kau melihat orang itu?” tanya Siau-bun. Thian-leng menggeleng.
Tiba-tiba Siau-bun loncat menghadang di muka, “Sudahlah , tak usah mengejar lagi.!”
“Mengapa?” Thian-leng terkejut.
“Kita masih mempunyai urusan. Kalau kau tak tahu siapa orang itu, perlu apa mati-matian mengejarnya?
Kemungkinan besar ia hendak gunakan tipu untuk memancing kita!”
Thian-leng menghentikan langkahnya. Ia pikir alasan Siau-bun itu benar. Ya, perlu apa ia harus mengejar orang yang
tak dikenal itu?
“Baiklah, mari kita balik ke pondok lagi.” katanya. Tetapi pada saat keduanya memutar tubuh, tiba-tiba terdengar
orang itu menggunakan ilmu menyusup suara berseru kepada Thian-leng.
“Bu-beng-jin, bukankah kau hendak mencari tahu asal-usulmu?”
Sudah tentu Thian-leng tersentak kaget dan cepat-cepat memutar tubuh lagi. Orang itu melanjutkan kata-katanya
dengan ilmu menyusup suara, “Ketahuilah bahwa aku bermaksud baik. Aku tak punya dendam apa-apa kepadamu,
jangan kau menguatirkan diriku. Jika ingin tahu asal-usul dirimu, bebaskanlah dirimu dari libatan kawanmu itu dan
ikutlah aku ke dalam sarangku. Jika tak mau, maaf aku tak dapat menunggumu lebih lama lagi....”
Hati Thian-leng berdebar keras. Hal yang paling menjadi pemikirannya ialah tentang asal-usul dirinya. Apalagi orang
itu memang tak bermusuhahn padanya. Ditilik dari caranya menyalakan lilin dari kejauhan dan ilmu lari cepatnya,
jelask kalau seorang sakti. Mungkin orang itu memang sungguh-sungguh bermaksud baik hendak memberi petunjuk
padanya!
Seketika tergeraklah hati Thian-leng. Ia hendak menurut seruan orang itu. tetapi pada lain saat, timbullah suatu
prasangka. Nada suara orang itu memang tak pernah didenagrnya, tetapi mengapa dia tahu tentang riwayat dirinya?
Mengapa orang itu begitu menaruh perhatian padanya? Kaki Thian-leng yang sedianya di ayun, kembali terhenti pula.“Lekas, mengapa kau ini?” melihat Thian-leng berhenti, Siau-bun menegur heran.
Thian-leng termangu-mangu tak dapat mengambil keputusan. Tiba-tiba orang tak dikenal itu kembali menggunakan
ilmu menyusup suara, “Kau mau ikut atau tidak terserah! Tetapi sekarang aku tak dapat menunggu lagi!”
Belum Thian-leng sempat menimbang, tiba-tiba Siau-bun sudah menepuk bahunya, “Hai, mengapa kau ini?”
Thian-leng gelagapan. Dalam gugupnya ia segera mengambil keputusan. Segera ia mengambil keluar peta Telaga
zamrud dan diberikan kepada si nona, “Harap adik Bun pulang dulu ke pondok, aku hendak menemui seorang sahabat
dulu!”
“Kau kenal dengan orang itu?” tanya Siau-bun.
“Tidak, aku tak kenal!”
“Mengapa kau hendak menemuinya? Apakah kau tak kuatir terjebak tipunya?”
Thian-leng menggeleng,”Tidak, aku harus pergi, harap adik Bun jangan kuatir!” tanpa menunggu sahutan si nona lagi,
Thian-leng pun segera loncat mengejar orang aneh tadi.
Siau-bun heran atas tindakan pemuda itu. Setelah menyimpan peta ke dalam baju, iapun segera menyusul.
Bayangan hitam itu tetap berada pada jarak dua puluhan tombak. Melihat Thian-leng menyusul, ia tertawa gelak-
gelak dan melanjutkan larinya lagi. Betapapun Thian-leng hendak menyusulnya tetap tak mampu.
Tiba di puncak bukit yang sunyi, tiba-tiba orang aneh itu berhenti. Sekeliling bukit itu penuh ditumbuhi huatan pohon
Yang dan Siong yang rindang.
Secepat Thian-leng dan Siau-bun tiba, kejut mereka bukan kepalang ketika melihat wajah orang itu. Seorang yang
bertubuh tinggi besar, mata sebesar kelereng, dahinya menonjol, wajahnya mengerikan.
Punggungnya menyelip sebatang kipas besi. Begitu melihat Thian-leng, berserulah orang itu dengan bengis, “Hai,
telah ukatkan supaya jangan membawa kawanmu, mengapa……..”
“Sebutkan namamu dulu! Asal kau menerangkan maksudmu mengi=undang dia kemari, tentu aku segera
mengundurkan diri sendiri, kalau tidak….” Siau-bun cepat-cepat menyambuti. Sejenak ia melirik ke arah Thian-leng,
ia berkata pula, “Kami berdua datang bersama pergi berdua! Betapapun hendak gunakan tipu muslihat memikatnya,
tak akan kubiarkan dia termakan tipumu….”
“Ya, aku belum meminta keterangan nama cianpwe?” sambung Thian-leng.
Orang aneh itu tertawa seram, “Aku mempunyai she ganda Tok-ko dan nama Sing. Atas perintah tuanku, aku disuruh
mengundang Be-beng tayhiap untuk diberitahukan sebuah rahasia penting!”
Thian-leng tertegun, “O, kiranya cianpwe mempunyai majikan?”
Ia anggap orang itu mempunyai kepandaian sakti dan umurnyapun sudah enam puluhan tahun, masakah masih
berhamba pada orang. Kalau orang itu saja sudah dapat digolongkan sebagai tokoh kelas satu, bagaimana dengan
majikannya!
“Boleh aku bertanya siapa tuanmu itu?” seru Siau-bun.
Tok-ko Sing tertawa gelak-gelak,” Tuanku juga mempunyai she ganda Kong-sun dan nama gnda Bu-wi.”
Siau-bun mendengus, “Ah, apakah kepala dari Hek-gak (Neraka hitam)?”
Tok-ko Sing tertawa gelak-gelak, “Hek-gak sudah melenyapkan diri dari dunia persilatan selama enam tujuh tahun.
Sungguh tak nyana nona bisa mengetahuinya dengan jelas!”
Siau-bun memandang Thian-leng, “Jangan kena jebakannya, ayo kita pergi saja!”
Kembali Thian-leng ragu. Ia tak tahu siapa yang disebut Hek-gak itu, tetapi dari ucapan Siau-bun yang begitu serius,
tentu Hek-gak itu sebuah tempat yang misterius. Tetapi ia tertarik dengan undangan Tok-ko Sing tadi…..“Eh, apakah kau masih berkeras tak mau mendengar kata-kataku?” Siau-bun banting-banting kaki.
Baru Thian-leng hendak menyahut, Tok-ko Sing sudah mendahului tertawa sinis, “Apakah nona marah karena aku
mengganggu kesenangan kalian tadi sehingga nona melarang dia memenuhi undanganku?”
“Ngaco!” bentak Siau-bun. Wajahnya tersipu-sipu merah. Tak mau ia menghalanagi Thian-leng lagi.
“Karena sudah datang, maka harap cianpwe suka membawa aku ke sana!” akhirnya Thian-leng pun mengambil
keputusan.
Tok-ko Sing tertawa gelak-gelak, “Aha, ternyata kau tak mengecewakan sebagai seorang pendekar muda. Pandangan
tuanku itu maha tajam dalam menilai pribadi seorang ksatria….”
Habis berkata orang aneh itupun segera ayun langkah menuju ke dalam hutan.
Thian-leng pun tak ragu-ragu lagi segera mengikutinya. Siau-bun mendengus, tetapi iapun terpaksa mengikuti
juga.......
ooooo000000000oooo
Neraka Hitam
Tak lama mereka sudah menyusup berpuluh-puluh tombak ke dalam hutan. Saat itu hari
makin malam. Hutan Siong dan jati makin pekat. Sedemikian gelap sehingga tak dapat melihat jari sendiri. Namun
karena lwekang Thian-leng dan Siau-bun cukup tinggi, maka dapatlah mereka menembus kegelapan itu. Sejauh
beberapa tombak mereka masih dapat melihat jelas. Sekalipun demikian tak urung kedua muda-mudi itu tercekat
juga hatinya.
Sambil menarik tangan Thian-leng, berkatalah Siau-bun dengan ilmu menyusup suara, ”Mungkin kita masuk dalam
jebakan. Masih keburu jika kita balik keluar!”
“Putusanku telah bulat. Biarpun masuk ke dalam sarang harimau telaga naga, aku tetap tak gentar,” sahut Thian-
leng, “sekiranya adik Bun kuatir, baiklah pulang lebih dahulu!”
“Apakah kau anggap aku tega membiarkan kau seorang diri menempuh bahaya?” gumam Siau-bun.
Sederhana kedengarannya ucapan itu, tetapi penuh dengan kasih sayang yang mesra. Mau tak mau tergeraklah
nurani Thian-leng.
“Apa katanya kepadamu sehingga kau begitu terpikat?” Siau-bun setengah menyesali.
“Aku tak dapat melepaskan kesempatan untuk mencari tahu asal-usul diriku…….!”
“O, jadi dia hendak memberitahukan tentang asal-usulmu?” tanya SIau-bun pula. Thian-leng mengiyakan.
Siau-bun geleng-geleng kepala, ”Kau termakan tipunya. Tahukah kau tempat apa Neraka Hitam ini?”
Thian-leng mengangkat bahu.
“Pemilik dari Neraka Hitam ini ialah Kongsun Bu-wi, seorang durjana besar pada enam tujuh puluh tahun yang lalu.
Dia membunuh jiwa manusia seperti membunuh lalat. Tak ada kejahatan yang tak dilakukan…..”
“Tetapi mengapa ia menyembuhkan diri?” tanya Thian-leng.
“Karena waktu itu ia dikalahkan Hun-tiong Sin-mo dan sejak itu kekuasaan dunia persilatan pindah ke tangan Hun-
tiong Sin-mo. Kongsun Bu-wi beruntung masih dapat melarikan diri!”
Thian-leng terkejut. Ia tak pernah mendengar tentang peristiwa itu. Sejenak kemudian ia bertanya mengapa Siau-bun
tahu tentang hal itu.
Pertanyaan itu membuat Siau-bun tertegun tetapi cepat-cepat ia menyahut, “ Sudah tentu aku hanya mendengar
cerita ibuku saja!”“Kalau begitu ibumu itu tentulah seorang pendekar wanita yang ternama?” tiba-tiba Thian-leng mengajukan
pertanyaan. Pertanyaan yang membuat Siau-bun tertegun.
“Apakah kau benar-benar tak mau merobah keputusan?” cepat-cepat nona itu mengalihkan pembicaraan.
Thian-leng menghela napas, “Hal yang paling menyiksa batin orang ialah kalau tak tahu asal-usul dirinya. Itulah
sebabnya maka aku menggunakan nama Bu-beng-jin. Setiap kesempatan mencari tahu hal itu sudah tentu takkan
kulepaskan!”
Siau-bun menghela napas, “Soalnya, bukan saja kau tak berhasil mencapai tujuanmu pun bahkan malah terjebak
dalam bahaya. Kau tak pernah mendengar betapa keganasan momok Kongsun Bu-wi! Dia lebih ganas daripada Sin-bu
Te-kun!”
Thian-leng batuk-batuk, “Selama Hun-tiong Sin-mo masih menguasai dunia persilatan, mengapa Kongsun Bu-wi
berani berkutik lagi?”
Siau-bun tertawa getir, “Ilmu kepandaian itu sukar diukur dalamnya. Tiada ujung tiada pangkal kecuali It Bi siangjin
seorang, mungkin tiada seorang tokoh lain yang berani membanggakan diri sebagai tokoh lain yang berani
membanggakan diri sebagai tokoh tanpa tandingan…….” Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan pula, “Rupanya dalam
persembunyiannya selama enam puluh tahun itu, Kongsun Bu-wi telah meyakinkan suatu ilmu kesaktian untuk
menebus kekalahannya yang dahulu. Dikuatirkan tak lama lagi dunia persialtan tentu akan timbul suatu huru-hara
hebat!”
Thian-leng anggap ulasan nona itu mendekati kebenaran. Ia tak memberi komentar suatu apa. Dalam pada itu,
mereka sudah melintasi berpuluh tombak lagi, namun hutan itu tampaknya tiada berujung.
“Apakah Bu-beng tayhiap tetap hendak bersama dengan sahabatmu itu?” tiba-tiba Tok-ko Sing berhenti dan memutar
tubuh.
Sebelum Thian-leng sempat menyahut, Siau-bun sudah mendahului lagi, “Apakah majikanmu tak mau menerima
kedatanganku?”
Tok-mo Sing batuk-batuk, “Ini…sekalipun aku tak berani memastikan, tetapi biasanya perintah beliau teramat keras.
Karena beliau hanya perintahkan aku mengundang Bu-beng tayhiap, maka tak beranilah aku membawa nona!”
Siau-bun tertawa datar, “Begini sajalah. Aku tak kan menyusahkan kau. Nanti apabila berhadapan dengan
majikanmu, akan kukatakan bahwa aku datang sendiri bukan karena ikut kau!”
Tok-ko Sing memandang Siau-bun dengan tajam. Tiba-tiba ia tertawa sinis, “Baiklah, harap nona jangan sesalkan
aku!”
“Terserah bagaimana kau hendak mengaturnya,” Siau-bun balas tertawa tak acuh. Kata-katanya juga mengandung
berbagai tafsiran.
Segera Tok-ko Sing ayunkan tangannya ke atas. Terdengarlah letupan keras disertai hamburan sinar berkilat di
udara. Rupanya utusan Neraka Hitam itu melepaskan api pertandaan.
Beberapa jenak kemudian, terdengarlah tiga kali genderang bertalu. Semula perlahan tetapi lama kelamaan gemanya
berkumandang keras.......
Tok-ko Sing tertawa, “Pintu gerbang tengah dalam Neraka Hitam sudah dibuka, menunggu kedatangan tetamu!”
Thian-leng dan Siau-bun segera mengikuti orang itu melintasi gerombol pohon yang lebar. Tiba-tiba mata kedua
muda-mudi itu tertumbuk pada selarik sinar penerangan yang melingkar-lingkar dalam warna hijau kebiru-biruan.
Ketika mengawasi dengan seksama, terkejutlah kedua anak muda itu. Kiranya lingkaran sinar hijau itu tergantung di
atas puncak sebuah gedung dan berbentuk dua buah huruf “ Hek Gak”.
Pada kedua samping tembok pintu, tergantung berpuluh mayat manusia yang perutnya pecah, usus berhamburan
keluar dan darah bercucuran!
Thian-leng memekik tertahan dan berhenti.
“Ha, ha, masakah Bu-beng tayhiap takut?” Tok-ko Sing tertawa gelak-gelak.Thian-leng mendengus geram, “Sejak lahir, aku tak kenal dengan kata-kata takut!”
“Tetapi mengapa Bu-beng tayhiap berhenti?” Tok-ko Sing tertawa mengejek.
“Kuanggap majikanmu kelewat ganas…..” sahut Thian-leng. Menunjuk pada deretan mayat pada tembok, ia berkata,”
Orang-orang itu sudah dibunuh begitu kejam, mengapa masih dipaku pada tembok! Kepada manusia yang sedemikian
kejamnya, aku akan pikir-pikir dulu untuk menjumpainya atau tidak!”
Kembali Tok-ko Sing tertawa keras. Sedemikian keras, hingga daun-daun di sekeliling bergoyang-goyang. Dan sampai
lama sekali baru ia berhenti tertawa.
“Bu-beng tayhiap, kau salah tafsir!” serunya.
“Salah tafsir?” Thian-leng terbeliak, “Apakah mereka bukan dibunuh oleh orang Neraka Hitam? Apakah pembunuhan
itu tiada sangkut pautnya dengan majikanmu?”
Tok-ko Sing tertawa,”Sayang indera penglihatanmu itu kurang tajam. Cobalah periksa yang jelas mayat-mayat itu
lagi!”
Selama Thian-leng mengadakan percakapan dengan Tok-ko Sing, Siau-bun hanya diam saja. Ia hanya
memperhatikan suasana sekeliling tempat itu.
Thian-leng segera menghampiri ke tembok. Ketika dekat, ia menjerit kaget! Ah… kiranya mayat-mayat itu bukan
manusia melainkan hanya orang-orangan yang terbuat dari lilin. Adalah karena pembuatannya sedemikian pandai
sehingga menyerupai benar dengan manusia.
Diam-diam Thian-leng malu sendiri. Namun masih ia tak mengerti mengapa Kongsun Bu-wi membuat orang-orangan
lilin seperti itu. Apakah untuk menambah keseraman nerakanya atau ada lain maksud lagi?
Rupanya Tok-ko Sing mengetahui isi hatinya, ia tertawa, “Bu-beng tayhiap tentu heran melihat orang-orangan itu
bukan?”
Thian-leng mengangguk, “Ya, memang aneh!”
Tok-ko Sing tertawa, “Orang-orangan lilin itu ialah sasaran yang hendak dituju majikanku pada saat ia keluar ke
dunia persilatan lagi……” Sambil menunjuk pada mayat lilin yang tergantung di tengah-tengah, ia berkata pula. “Itulah
lambang Hun-tiong Sin-mo dan itu Song-bun Kui-mo. Sebenarnya masih ada dua orang-orangan lilin lagi, tetapi
karena orangnya sudah mati, maka tak dipasang lagi….”
Memang Thian-leng melihat bahwa ada dua tempat yang kosong. Diam-diam ia menduga bahwa yang diambil itu
tentulah orang-orangan lilin lambang Oh-se Gong-mo dan Tui-hun Hui-mo. Karena kedua tokoh itu sudah meninggal.
Kembali Tok-ko Sing menunjuk ke arah kanan, “Tahukah Bu-beng tayhiap siapa orang-orangan itu?”
Thian-leng memperhatikan bahwa yang ditunjuk oleh Tok-ko Sing itu berjumlah sembilan buah orang-orangan lilin
terdiri dari lambang paderi, imam, rahib dan ada orang biasa.
“Apakah mereka bukan melambangkan tokoh sembilan partai?” Thian-leng balas menanya.
“Benar!” sahut Tok-ko Sing. Kemudian ia menunjuk ke arah kiri pada empat lima puluh mayat orang-orangan lilin.
“Dan yang sana itu lebih banyak lagi jumlahnya, tahukah Bu-beng tayhiap siapa mereka itu?”
“Aku masih hijau, tak mengerti banyak!” Thian-leng agak mengkal menyahut.
“Mereka itu juga tokoh-tokoh yang terkenal, antara lain ketua Thiat-hiat-bun Jenggot Perak Lu Liang-ong, ketua Bu-
siong-hwe yang bernama Hun-bin Bu-siong, ketua perkumpulan agama Pek-tok-kau yang bernama Ha-Lui, ketua
perkumpulan pengemis Kay-pang….”
Siau-bun hanya ganda tersenyum saja. Sepatahpun ia tak berkata. Tetapi lama-kelamaan
ia tak tahan lagi. Tukasnya dengan tawar, “Sudahlah, tak usah cerita terus. Memang cita-cita majikanmu besar sekali,
tetapi sayang ia melalaikan sebuah hal!”“Melalaikan hal apa?” tertariklah perhatian Tok-ko Sing.
“Dia tak kenal dirinya sendiri!” Siau-bun tertawa dingin.
Tok-ko Sing tertegun, ujarnya, “Hal ini tak dapat kukatakan. Coba saja buktikan nanti!”
Diam-diam Thian-leng merenung dalam-dalam. Dari pameran mayat-mayat lilin itu dapatlah diketahui sampai di
mana ambisi Kongsun Bu-wi. Jelas orang itu hendak menimbulkan pemberontakan dalam dunia persilatan.
“Sekarang terserah pada Bu-beng tayhiap apakah tetap hendak masuk ke dalam Neraka Hitam ataukah mundur…..”
kata Tok-ko Sing.
Sambil melirik kepada Siau-bun, berkatalah Thian-leng dengan gagahnya, “Dengan pameran serupa itu masakah
dapat menggertak aku. Silakan membawa kami terus!”
Tok-ko Sing tertawa sinis. Segera ia memberi isyarat tangan mempersilakan kedua muda-mudi itu.
Thian-leng dan Siau-bun terkejut. Serentak dengan gerakan Tok-ko Sing itu maka terdengarlah suara berdrak-derak
dari pintu gerbang besi yang terpentang. Thian-leng sejenak termangu tetapi pada lain saat ia segera melangkah
masuk diikuti oleh Siau-bun.
Dua deret rombongan penjaga yang mengenakan pakaian ringkas dan senjata lengkap tampak menjaga di sepanjang
jalan masuk. Deretan terakhir terdiri dari dua orang bujang perempuan dalam pakaian sederhana. Kedua bujang itu
menghadang di tengah dan menyambut kedatanagn sang tetamu, “Selamat datang Bu-beng tayhiap!”
Tetapi kedua bujang itu segera tersirap kaget demi melihat Siau-bun. Heran mereka mengapa Thian-leng membawa
kawan.
Tok-ko Sing segera memberi keterangan, “Walaupun berpakaian lelaki, tetapi tamu kita ini seorang nona. Sambutlah
mereka berdua ke dalam ruang tamu......!” Kemudian ia menyatakan hendak menemui Kongsun Bu-wi.
Ruangan dalam gedung itu tinggi-tinggi, tetapi semuanya dicat hitam sehingga seram tampaknya. Kedua bujang itu
membawa Thian-leng dan Siau-bun masuk.
Selama melalui jalan kecil dan tikungan-tikungan gang, diam-diam Thian-leng mencatat dalam hati. Kira-kira empat
puluh tombak jauhnya setelah melintasi dua buah halaman, tibalah mereka di ruang tamu. Sebuah ruangan yang
luas, penuh dengan kamar-kamar tetapi sepi-sepi semua. Juga kamar-kamar itu dicat warna hitam, tanpa lampu
sama sekali. Tetapi ketika Thian-leng dan Siau-bun dipersilakan masuk ke dalam kamar sebelah utara, kedua bujang
itupun menyulut juga sebuah pelita.
Setelah menghidangkan dua cawan the wangi, kedua bujang itupun meninggalkan ruangan. Begitu mereka pergi,
Thian-leng cepat-cepat mengunci pintu. Ia periksa seluruh ruangan itu dengan teliti. Di situ terdapat tiga buah kamar.
Ruangan dihias indah, tetapi serba sederhana. Sekilas pandang seperti tak ada sesuatu alat rahasia.
“Adik Bun, jangan minum teh itu!” habis memeriksa ruangan, Thian-leng terkejut melihat Siau-bun tengah
mengangkat cawan arak.
“Mengapa?” Siau-bun tertawa datar.
“Kita berada dalam tempat berbahaya. Segala tindak tanduk kita harus hati-hati. Kalau teh itu diberi obat,
bukankah....”
“Teh ini tiada racunnya dan ternyata teh dari Liong-keng yang termasyhur. Ayo, kita nikmati saja!” Siau-bun tertawa.
“Bagaimana kau memastikan mereka tak menyampuri obat?”
“Sebabnya sederhana saja. Pertama, gedung ini berdinding sangat tinggi, berpintu besi dan penuh alat rahasia. Sekali
kau sudah masuk tak nanti kau mampu keluar lagi. Kedua, pemilik Neraka Hitam ini sudah enam-tujuh puluh tahun
menyembunyikan diri. Begitu hendak muncul lagi sudah tentu harus menjaga gengsi. Tak nanti mau merendahkan diri
membunuh kita dengan racun. Masih banyak lagi alasan-alasannya, tetapi pada pokoknya untuk sementara ini tentu
takkan bertindak curang....”
Thian-leng anggap analisa nona itu tepat, namun ia tetap merasa cemas. Ia masih sangsi akan keterangan Tok-ko
Sing bahwa pemilik Neraka Hitam itu akan memberi keterangan tentang asal-usul dirinya. Mengapa Kongsun Bu-wi
begitu menaruh perhatian besar kepadanya? Apakah maksudnya.......“Tolol, apa yang kau pikirkan....?” tiba-tiba Siau-bun menegurnya, “ bagaimana hasil penyelidikanmu tadi?”
Thian-leng mengatakan bahwa tampaknya ruang itu tiada diberi barang suatu perkakas rahasia.
“Gila kau!” Siau-bun tertawa hambar, “ruangan ini justru penuh dengan perkakas rahasia.!”
“Kalau begitu kita ini berada dalam jebakan mereka?” Thian-leng terkejut.
“Boleh dikata begitulah.....” Siau-bun tersenyum, ujarnya pula, “Tetapi telah kukatakan tadi, dalam waktu singkat ini
mereka takkan mencelakai kita. Maka untuk sementara ini kita aman, tak usah kuatir apa-apa!”
“Bagaimana dengan kata-kata Tok-ko Sing tadi?” tanya Thian-leng.
“Bukankah aku pernah menganjurkan kau supaya jangan ikut padanya?” sahut Siau-bun hambar.
“Jadi kau sudah mengetahui kalau dia hendak mengelabui?” Thian-leng terbeliak kaget.
Si nona hanya mengangguk lesu.
Thian-leng tersipu-sipu menundukkan kepala dengan penuh sesal. Tiba-tiba Siau-bun tertawa hambar, ia menjentik
dengan sebuah jari memadamkan pelita. Seketika ruangan itupun gelap gulita.
“Ha, apakah adik Bun mendengar sesuatu?” Thian-leng bertanya kaget.
“Tidak!”
“Habis mengapa memadamkan pelita?”
Segera Siau-bun menggunakan ilmu mnyusup suara, “Kita toh dapat melihat dlam kegelapan, jadi tak perlu dengan
penerangan macam kunang-kunang begitu. Siapa tahu diam-diam ada orang tengah mengawasi gerak-gerik kita.
Dalam kegelapan tentu sukarlah dia melakukan pengintaiannya!”
Beberapa kali nona itu telah mengemukakan analisa yang dapat diterima akal. Diam-diam Thian-leng kagum. Mereka
segera duduk bersamadi.
Tak berapa lama tiba-tiba Siau-bun berseru dengan ilmu menyusup suara. “Ada orang datang, lekas...!” nona itu
menutup kata-katanya dengan sebuah gerakan loncat ke atas tiang penglari. Tanpa banyak bicara Thian-leng pun
segera mengikuti.
Benar juga, sesaat kemudian terdengar langkah kaki seorang berjalan dengan perlahan-lahan.
“Aneh, apakah di luar dugaanku?” Siau-bun menggumam heran.
“Apa yang kau duga?”
“Kuduga pemilik gedung ini tentu akan datang sendiri. Dengan menawarkan keterangan tentang asal-usulmu, dia
akan minta peta Telaga zamrud. Jika kau menolak, dia akan menggunakan keerasan. Peta direbut dan kau akan
dibunuh untuk menghilangkan jejak..”
“Apakah dia sudah tahu peta itu ada padaku?” Thian-leng tersirap kaget.
“Kalau tidak masakah dia begitu baik mengundangmu kemari?”
“Kalau begitu soal asal-usul diriku itu….?”
“Hal itu memang berliku-liku, sayang kau mudah tertipu!” tukas Siau-bun.
Thian-leng menghela napas penyesalan. Langkah kaki itu makin dekat tapi makin perlahan.
“Apa yang kau maksud dengan di luar dugaan tadi?” Thian-leng bertanya pula.
“Langkah kaki seperlahan itu menunjukkan bahwa orang berjalan dengan penuh hati-hati. Mungkin takut diketahui
orang. Apakah di dalam Neraka hitam ini telah kemasukan orang lagi?”Mendengar itu Thian-leng makin bingung. Saat itu langkah kaki sudah berada di luar pintu, menyusul terdengar suara
ketukan pintu perlahan-lahan dan orang berseru lirih, “Bu-beng tayhiap…..!”
Thian-leng memandang Siau-bun, bagaimana adik Bun, kita bukakan pintu tidak?”
Siau-bun merenung sejenak, lalu mengatakan, “Bukalah pintu.”
Dengan sebuah gerakan seperti kucing, Thian-leng loncat turun dan membukan palang pintu. Siau-bun menyiapkan
senjata rahasia tui-hong-kiong. Juga Thian-leng telah siap dengan pukulan Lui-hwe-ciang.
Tetapi apa yang muncul hampir membuat si anak muda menjerit kaget. ternyata hanya seoarang dara baju hijau.
Wajahnya memancarkan seri kecemasan.
“Nona ini…..?”
“Apakah kau Bu-beng tayhiap?” tukas dara itu dengan berbisik.
Baru Thian-leng mengiyakan. Siau-bun sudah berseru supaya menyuruh dara itu masuk dan segera menutup pintu
lagi. ternyata Siau-bun pun sudah loncat turun di belakang Thian-leng.
“Mungkin kau ini nona Cu yang bersama dengan Bu-beng tayhiap?” tanya si dara itu setelah masuk.
“Kau ini sebagai apa di dalam Neraka Hitam? Mengapa tengah malam datang kemari? Mengapa kau tahu kami berdua
berada di sini?”
“Di Neraka Hitam ini kedudukanku cukup tinggi. Namanya saja aku ini majikan dari Hong-kiong (istana burung Hong),
tetapi sebenarnya tak lebih dari seorang tawanan….kecuali pada saat berada di samping ayahku!”
Ucapan itu membuat Thian-leng dan Siau-bun bingung karena tak mengerti apa maksudnya.
“Katkan apa maksud kedatangnmu ini?” seru Siau-bun.
“Hendak mophon bantuan tuan berdua agar menolong kakekku!” sahut si dara.
“Asal kami dapat tentu dengan senang hati membantu nona, “ sahut Thian-leng serempak.
Dara baju hijau itu tertegun, “Kakekku itu tidak dipenjarakan karena dia….. dia bukan saja Cong-hou-hwat (kepala
penjaga) Neraka Hitam, juga merupakan guru dari Kongsun Bu-wi…..!”
“Astaga!” Thian-leng mengeluh kaget. Ia memperhatikan lagi wajah nona itu, tetapi nyata kalau nona itu bukan
seorang gila. tetapi mengapa ucapannya begitu aneh?
Kakek nona itu menjabat kedudukan yang sedemikian tinggi, perlu apa ia minta pertolongan pada orang asing? Juga
nona itu sendiri menjabat sebagai kepala Hong-kiong. Mengapa dia begitu ketakutan dan minta tolong pada lain
orang? Secerdas-cerdasnya otak Siau-bun, kali ini benar-beanr ia tak mengerti.
“Maukah nona menceritakan yang jelas? “ segera Siau-bun meminta.
Nona itu menyadari bahwa keterangannya tadi memang membingungkan, maka iapun segera memberi penjelasan.
“Ya, ya, memang harus kuceritakan dari awal. Lima tahun yang lalu kakekku itu datang kemari atas undangan kepala
Neraka Hitam. Sebelum itu kakek tinggal di gunung Kiu-kong….”
“Kakekmu itu bernama……?” tukas Siau-bun.
“Kami keluarga she Bok. Kakekku itu bernama Bok Sam-pi, bergelar Ang-tim Cong-khek….”
“Bok Sam-pi….!” Siau-bun berseru kaget sekali.
(bersambung jilid 13)
Jilid 13 .Bok Sam-pi walaupun tak begitu terkenal, tetapi juga seorang tokoh sakti. Ilmu kepandaiannya sukar diukur. Memang
jarang orang persilatan yang tahu dia, tetapi orang yang kenal padanya tentu mengindahkan. Malah ada yang
menganggap bahwa Bok Sam-pi itu tokoh kedua setelah It Bi siangjin!
Tetapi Bok Sam-pi itu juga lebih senang mengasingkan diri. Itulah sebabnya maka angkatan muda jarang yang tahu
namanya. Tetapi rupanya Siau-bun yang masih muda itu tahu banyak sekali tentang seluk-beluk dunia persilatan.
“Nama nona…….” tiba-tiba Thian-leng menyeletuk.
“Bok Ceng-ceng……” sahut si dara perlahan. Kemudian ia mengulangi lagi permintaannya tadi, “Apakah tuan berdua
suka menolong kakekku?”
Siau-bun tertawa getir, “Kepandaian kakek nona ini sukar dicari tandingannya. Bukankah dia menjadi guru dari
Kongsun Bu-wi? Bagaimana kami dapat menolongnya….?” ia berhenti sejenak, lalu berkata pula, “Apalagi kami
sendiripun terjebak kemari, bagaimana dapat memberi pertolongan pada kakek nona?”
“Jadi tuan berdua tak mau membantu kesusahanku?” kata nona itu dengan nada terisak.
“Harap nona bercerita yang jelas. Asal kami dapat melakukan, tentu akan berusaha sekuat tenaga! Apa yang telah
terjadi dengan kakek nona…”
Baru Thian-leng bertanya begitu, tiba-tiba Siau-bun menukasnya, “Celaka, kali ini kepala Neraka yang datang,
lekas……!” ia suruh Bok Ceng-ceng bersembunyi. Ceng-ceng gugup sekali. Cepat ia menyusup ke bawah kolong
ranjang.
Sesaat kemudian terdengar derap kaki riuh. Paling tidak tentu ada lima orang yang datang. Siau-bun menggunakan
ilmu menyusup suara supaya Thian-leng bertindak menurut isyarat matanya. Jangan bertindak sekehendak sendiri.
“Masih begini sore mengapa kalian sudah sama tidur?” segera terdengar suara orang berkata-kata bercampur tawa.
Nadanya berat, mengiang keras di telinga.
Thian-leng pun tertawa seraya membuka palang pintu. Serombongan lima orang melangkah masuk. Pelopornya
seorang lelaki bongkok, kaki pincang, tangan kutung sebelah. Jenggotnya putih mengkilap, wajahnya penuh keriput.
Umurnya ditaksir tentu sudah seratusan tahun.
Rombongan pengiringanya, kecuali Tok-ko Sing masih ada empat orang yang mengenakan pakaian seragam. Tok-ko
Sing segera melangkah maju, memperkenalkan orang cacat itu kepada Thian-leng, “Inilah pemimpin kami.......!”
Thian-leng tersipu-sipu memberi hormat, “Kongsun cianpwe……”
Ketua Hek-gak itu tertawa, “Bu-beng tayhiap benar-benar tak bernama kosong. Seorang berbakat yang hebat dan
berwibawa….”
Tetapi wajah ketua Hek-gak itu cepat berobah kurang senang ketika melihat Siau-bun. Sebaliknya Siau-bun acuh tak
acuh.
“Sekiranya penyambutan kami kurang memuaskan, jangan Bu beng tayhiap ambil di hati,” kata ketua Hek Gak pula.
Thian-leng menyatakan terima kasih atas kebaikan tuan rumah hendak memberitahukan asal-usul dirinya.
“Ah, adalah karena kebetulan bertemu dengan seorang kawan lama yang tahu jelas tentang riwayat tayhiap, maka….”
ketua Hek Gak tiba-tiba tak melanjutkan ucapannya.
“Mohon Gak-cu (kepala neraka) sudi memberitahukan. Untuk itu takkan kulupakan budi Gak-cu seumur hidup,”
Thian-leng mendesaknya.
Kongsun Bu-wi mengangguk, “Sudah tentu, hanya saja.....” ia berhenti sejenak lalu menyambung pula, “Sebelum
menceritakan riwayat tayhiap, bolehkah aku bertanya dulu tentang suatu hal?”
Thian-leng mempersilakan. Tiba-tiba Siau-bun membisikinya dengan ilmu menyusup suara. “Tuh, dia sudah
mulai....... ingat! Betapapun ia mendesakmu, janganlah sekali-kali kau mengaku!”
“Kudengar tayhiap memiliki sebuah peta Telaga zamrut, benarkah itu?” sesuai dengan dugaan Siau-bun, ketua Hekgak itu menyatakan maksudnya.
Hampir meledak dada Thian-leng. Namun ia tetap bersabar dan pura-pura tak mengerti. “Peta Telaga zamrut? Aku
tak pernah mendengarnya apalagi memiliki!”
Ketua Hek Gak tetap tertawa, “Peta itu merupakan benda pusaka yang tak ternilai harganya. Tetapi pun bisa
dianggap tak berharga sepeser juga!”
“Entah bagaimanakah wujud peta itu, harap cianpwe suka menjelaskan. Kelak apabila berkelana, aku tentu berusaha
untuk mencarikan !” Thian-leng tetap membodoh.
“Eh, kabarnya kau ini seorang kstria yang suka berterus terang, tak pernah bohong! Tetapi mengapa kau tak mau
berlaku jujur?”
Wajah Thian-leng tampak agak berubah, ujarnya, ”Taruh kata aku memiliki peta itu, tetapi cara cianpwe hendak
merebut dengan siasat serendah ini, tentu tak kuserahkan! Apalagi sesungguhnya peta itu tak berada padaku!”
Wajah Kongsun Bu-wi pun berobah juga, serunya, “Jadi kau tak mau mengaku?”
Tok-ko Sing tertawa sinis dan segera menyeletuk, “Walaupun tayhiap telah mendapatkan peta itu secara rahasia
sekali, tetapi beritanya sudah tersiar luas di dunia persilatan. Kalau kau tak mau menyerahkan peta itu kepada ketua
kami, dikuatirkan kau tak dapat mempertahankannya lebih lama dari tiga hari, apalagi...... tempat persembunyian
pusaka itu telah diketahui di gunung Thay-heng-san! Seluruh wilayah gunung itu kini berada dalam pengawasan kami.
Jangan harap kau bisa menggali tempat itu. Maka daripada melakukan pekerjaan yang sia-sia, lebih baik kau
tukarkan saja dengan keterangan tentang asal-usul dirimu!”
Saking marahnya, menggigillah tubuh Thian-leng.
“Kalian tuan dan budak adalah manusia hina semua, tak malu sama sekali…..”
Tetapi secepat itu Siau-bun segera berseru, “Jangan keburu nafsu dulu…… memang apa yang dikatakan mereka itu
benar. Jika kau memang memiliki peta, tak beda seperti secarik kertas tak berharga saja!”
Thian-leng melongo. Tak tahu ia mengapa mendadak Siau-bun mengatakan begitu.
Tok-ko Sing tertawa sinis. ”Ha, benar! Kiranya nona Cu lebih mengerti persoalan….!” tiba-tiba ia memutar tubuh dan
berbisik-bisik kepada Kongsun Bu-wi. Ketua Hek Gak itu mengangguk, “Baik, kita beri waktu dua jam lagi untuk
mereka pikir-pikir. Nanti tengah malam aku akan kembali kesini lagi minta jawaban.....”
Sebelum pergi ketua Hek Gak itu melontarkan pandangan tajam pada Thian-leng, serunya tandas, “Ingin mati atau
hidup, terserah padamu!”
Baru ketua itu memutar tubuh hendak berlalu, tiba-tiba ia memutar diri lagi. Thian-leng dan Siau-bun terkejut.
Merekapun bersiap-siap. Tetapi ternyata ketua Hek Gak itu tak mengacuhkan kedua anak muda itu. Dengan suatu
gerakan yang tak terduga, tiba-tiba ia mencengkeramkan tangannya ke arah kamar.
Cengkeraman itu dilakukan dari jauh dan tampaknya lemah-lemah saja, tetapi hasilnya sungguh tak terduga, Bok
Ceng-ceng yang bersembunyi di kolong ranjang telah tertarik keluar!
Kejut Thian-leng tak kepalang. Cepat ia meraih pedangnya, tetapi Siau-bun menepuk bahunya perlahan-lahan,
bisiknya dengan ilmu menyusup suara, “Sebelum terpaksa jangan bertindak gegabah!”
Thian-leng menurut. Ceng-ceng yang terseret keluar itu, bagaikan seekor ikan dalam jaring. Serta merta ia memberi
hormat kepada Kongsun Bu-wi.
Ketua Hek Gak tertawa meloroh, “O, kukira ada penjahat masuk ke sini, ternyata kepala dari Hong-kiong….” tiba-tiba
ia berganti nada bengis.” Mengapa kau tidur di kamar tamu? Bukankah kau tak mempunyai kebiasaan jalan-jalan di
waktu tidur?”
“Hamba…. hamba…..” tak dapat Ceng-ceng memberi jawaban yang tepat.
“Mana Si-hwat?” teriak Kongsun Bu-wi. Si-hwat adalah algojo.
Segera Tok-ko Sing tampil.“Kepala Hong-kiong telah melanggar peraturan, bagaiman hukumannya?” seru Kongsun Bu-wi.
“Mati!” sahut Tok-ko Sing.
Kongsun Bu-wi kerutkan dahi, ujarnya, “Tetapi dia adalah cucu tunggal dari guruku, boleh diperingan hukumannya….”
melirik pada Ceng-ceng ketua Hek Gak itu berseru pula. “Potong kedua paha saja, jiwanya tetap diampuni!”
Tok-ko Sing mengiyakan terus hendak turun tangan. Ceng-ceng gemetar tubuhnya, tetapi ia tak dapat berbuat apa-
apa, kecuali meramkan matanya yang basah dengan air mata.
Sambil mencabut sebatang badik, Tok-ko Sing membentak, “Kau diberi ampun tak dihukum mati, mengapa tak lekas
menghaturkan terima kasih kepada Gak-cu!”
Segera Ceng-ceng memberi hormat kepada Kongsun Bu-wi seraya menghaturkan terima kasih . Setelah itu ia rebah
di tanah. Tok-ko Sing menyeringai senyum iblis, terus mengayunkan badiknya. Petunjukan ngeri tak dapat dibiarkan
saja oleh Thian-leng. Ia tak tahan melihat kebuasan orang Neraka Hitam. Sekonyong-konyong ia menggembor keras
dan melepaskan pukulan Lui-hwe-sin-ciang ke arah Tokko Sing. Seketika terhambur angin keras yang panas sekali.
Tok-ko Sing tak menyangka sama sekali. Buru-buru ia mengerahkan tenaga dalam untuk menyambut. Das.. badik
mencelat lepas ke udara, tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah……. Namun Thian-leng sendiri juga tak
kurang terkejutnya. Ternyata tenaga dalam Tok-ko Sing hebat sekali, sehingga ia rasakan separoh tangannya yang
digunakan memukul tadi kesemutan. Darah bergolak-golak.
Setelah dapat berdiri tegak, wajah Tok-ko Sing merah padam. Ditatapnya anak muda itu, “Bu-beng tayhiap
mempunyai hubungan apa dengan kepala Hong-kiong itu?” serunya bengis.
“Tidak kenal mengenal, tidak ada sangkut pautnya!” Thian-leng menjawab lantang.
Tok-ko Sing tertawa sinis. ”Kalau tiada sangkut pautnya mengapa tayhiap hendak menolongnya? Mengapa tayhiap
menghalangi hukuman tadi?”
Sahut Thian-leng, “Aku tak tahan melihat cara-cara yang sekeji itu. Hanya karena sedikit kesalahan saja lantas mau
memotong kaki seorang gadis….”
“O, kiranya tayhiap jatuh cinta padanya…..”
“Ngaco!” bentak Thian-leng, “aku bukan pemuda beriman begitu rendah…”
“Apakah Gak-cu percaya omongannya itu?” tanpa mengacuhkan Thian-leng, Tok-ko Sing tiba-tiba menghadap ke arah
Kongsun Bu-wi.
Wajah Kongsun Bu-wi mengerut gelap, serunya, “Bok Ceng-ceng telah mengadakan hubungan rahasia dengan orang
luar, ini jelas. Bagaimana hukumannya?”
“Mati digigit lima binatang berbisa,” sahut Tok-ko Sing.
“Ini bukan urusan kecil, harus memberi tahu pada guru!” seru Kongsun Bu-wi. Lalu ia menyuruh keempat
pengawalnya pergi ke istana Yang-sim-kiong. “ Coba jenguklah apakah Cong-hou-hwat sudah tidur atau belum. Kasih
tahu aku hendak bertemu padanya!”
Salah seorang pengawal segera melakukan perintah itu. Setelah itu Kongsun Bu-wi berkata pula kepada Ceng-ceng,
“Aku tak berani gegabah menghukummu nanti. Hal itu akan kurundingkan dengan guru dulu, kau tentu tak
keberatan….”
Thian-leng mendengus lega, karena ia tahu guru Kongsun Bu-wi itu ialah kakek dari Ceng-ceng. Tidak demikian
dengan Ceng-ceng. Wajah dara itu pucat pasi. Tiba-tiba ia merangkak ke hadapan Kongsun Bu-wi dan meratap,
“Mohon Gak-cu memberi hukuman potong kaki saja….”
Thian-leng kaget sekali mendengar permintaan nona itu.
“Mengingat kau ini cucu tunggal dari guru, maka hendak kuserahkan hukumanmu itu kepadanya,” Kong sun Bu-wi
tetap menolak. Ceng-ceng pun tetap meminta dengan ratap tangis.“Neraka Hitam ternyata sesuai dengan kenyataannya....” Thian-leng tertawa dingin.
“Hek Gak mempunyai peraturan keras. Sekalipun aku sendiri yang bersalah juga harus dihukum. Adalah karena Ceng-
cengmu itu cucu guruku, maka kuadakan pengecualian. Apakah itu ganjil?”
“Mungkin persoalannya bukan begitu sederhana saja!” seru Thian-leng.
Ceng-ceng telah ditutuk kedua bahunya. tetapi ia masih dapat bicara. Segera ia berseru kepada Thian-leng dan Siau-
bun, “Mohon kalian berdua menyelamatkan jiwaku dan kakekku….”
Bukan main marahnya Kongsun Bu-wi. Cepat-cepat ia tutuk rubuh dara itu. Belum Thian-leng hilang herannya, tiba-
tiba pengawal yang disuruh tadi muncul lagi dan memberitahukan bahwa cong-hou-hwat menunggu di istana Yang-
sim-kiong.
“Bawa dia!” Kongsun Bu-wi memberi perintah, dan Ceng-ceng segera diseret oleh dua pengawal.
“Bu-beng tayhiap silakan menimbang lagi. Nanti lewat tengah malam aku akan datang minta jawaban, saat
itu..........” kepala Hek Gak menutup kata-katanya dengan tertawa dan melangkah keluar.
Thian-leng mencabut pedang dan hendak mengejarnya, tetapi dicegah Siau-bun, “Kita harus menahan diri. Paling
tidak sampai nanti lewat tengah malam kita aman. Baiklah kita gunakan tempo ini untuk beunding!”
“Selain menghadapi dengan kekerasan, rasanya tiada jalan lain lagi,” Thian-leng menggeram.
“Ah, barangkali akan terjadi perobahan, “Siau-bun mengerutkan kening, “tetapi gerak-gerik Bok Ceng-ceng itu
sungguh mencurigakan….”
“Ya, mungkin Kongsun Bu-wi tak membawa gadis itu ke tempat kakeknya melainkan ke lain tempat untuk dihukum
mati……”
“Bukan itu yang kucurigai, ” sahut Siu-bun, “ mungkin kau tak tahu riwayat kakek nona itu. Ang Tim Gong-khek selain
sakti pun cerdik sekali. Masakah tokoh seperti dia sudi berhamba pada Kongsun Bu-wi? Dan mengapa ia biarkan
cucunya disiksa orang? Kemudian yang lebih aneh lagi, mengapa Ceng-ceng begitu sungguh-sungguh minta kita
menolong kakeknya. Tokoh semacam Ang Tim masakah perlu ditolong orang lain….?”
Thian-leng hanya termenung tak dapat memberi pandangan.
“Hanya ada satu cara untuk menyelidiki kesemuanya itu,” Siau-bun tersenyum.
“Bagaimana?”
“Kita harus mengikuti mereka!”
Thian-leng tertegun, serunya, “Ah, mungkin tak mudah!”
“Mengapa tak mudah?”
“Di dalam Hek Gak ini tentu penuh dnegan perkakas rahasia. Setiap sudut, setiap lantai merupakan bahaya. Jika kita
sampai terperosok dalam jebakan, bukankah akan celaka?”
“Mungkin benar begitu, tetapi sekurang-kurangnya mereka tentu takkan bergerak mencelakai kita sampai nanti lewat
tengah malam!” bantah Siau-bun.
“Tetapi mereka sudah jauh. Jalanan di sini berkelok-kelok rumit sekali. Mungkin sukar untuk mengejar mereka....”
“Jangan kuatir,” Siau-bun menghibur, “aku pernah mempelajari ilmu ‘melihat langit mendengarkan bumi’. Meskipun
belum sempurna, tetapi dalam jarak seratus tombak aku masih dapat menangkap derap kaki orang. Dengan
menurutkan derap kaki itu, tentulah tak sukar mengikuti mereka!”
Thian-leng tersirap kaget. Ketika dalam penjara air di istana Sin-bu-kiong, Nyo Sam-koan pernah menceritakan
tentang ilmu itu. Dan kemudian ia pernah menyaksikan ketua Thia-hiat-bun menggunakan ilmu itu. Mengapa Siau-
bun mengerti juga ilmu sakti itu? Sejak kenal memang ia tak banyak mengetahui tentang diri nona itu. Dan memang
ia tak pernah menanyakan hal itu kepada Siau-bun. Kini tiba-tiba timbullah kecurigaannya. Apakah nona itumempunyai hubungan juga dengan partai Thia-hiat-bun?
“Eh, kau melamun apa?” Siau-bun tertawa melihat Thian-leng terlongong-longong.
Thian-leng gelagapan. ”Eh, dari manakah adik Bun mempelajari ilmu itu?”
Siau-bun tersentak kaget, tetapi cepat-cepat ia alihkan pembicaraan, “Panjang sekali untuk menceritakannya.
Sekarang baik kita putuskan dulu. Hendak mengejar jejak mereka atau tidak?”
Thian-leng tak mau mendesak. Ia menyatakan supaya mengejar saja. Demikianlah kedua anak muda itu segera
meninggalkan kamar. Di luar gelap sekali. Siau-bun sebentar-sebentar berhenti untuk pasang telinga. Setelah
melintasi beberapa tikungan, tak berapa lama mereka harus melalui beberapa halaman luas. Thian-leng siap sedia.
Tetapi selama itu mereka tidak menjumpai barang seorangpun. Gedung itu seolah-olah tanpa penghuni.
Tiba-tiba Siau-bun berhenti, serunya, “Setelah melintasi tembok tinggi ini kita akan tiba di istana Yan-sin-kiong!”
Kedua anak muda itu loncat ke atas tembok. Mereka agak terkesima. Di sebelah luar tembok itu terdapat sebuah
halaman luas penuh ditumbuhi pohon bunga. Tiga buah paseban besar terang-benderang dengan penerangan. Di
ruang paseban itu penuh sesak orang. Tampak Kongsun Bu-wi diiringai oleh para pengawalnya tengah menyeret Bok
Ceng-ceng. Rupanya mereka baru tiba.
“Kita sembunyi di luar jendela dalam kebun belakang agar dapat melihat dengan jelas,” Siau-bun mengajak. Anehnya
tempat yang dituju kedua anak muda itu tiada penjaganya sama sekali. Daun jendela besar sekali tertutup dengan
kertas lilin yang sudah penuh lubang. Untung karena di sebelah luar gelap, maka jejak kedua anak muda itu tak
sampai ketahuan oleh orang di dalam ruangan. Dari lubang kertas jendela, mereka mengintai apa yang sedang terjadi
di dalam.
Di tengah ruang terdapat sebuah ranjang kayu yang besar sekali dan dicat merah. Di situ rebah seorang tua yang
aneh. Kepalanya gundul kelimis. Wajahnya putih bersih, tetapi yang aneh ialah hidungnya. Hidungnya besar dan
merah, penuh dengan tonjolan bintil. Dia hanya mengenakan pakaian dalam yang tipis, shingga perutnya yang buncit
tampak menonjol jelas. Di belakang ranjang terdapat empat bujang perempuan yang masih muda.
“Dia tentu Ang Tim Gong-khek?” tanya Thian-leng dengan ilmu menyusup suara.
“Benar, apakah kau tak melihat hidungnya?” sahut Siau-bun.
Thian-leng hampir tertawa, Bok Sam-pi ( Bok si hidung tiga ) memang sesuai dengan namanya. Bukan saja besar
sekali, tetapi hidungnya itu seperti terbelah jadi tiga.
Begitu tiba di hadapan ranjang, Kongsun Bu-wi segera berlutut memberi hormat. Bok Sam-pi mempersilakan dia
bangun. Tetapi tiba-tiba Ang Tim Gong-khek itu loncat bangun dan berlutut di hadapan Kongsun Bu-wi juga, “Hamba
menghaturkan hormat kepada Gak-cu!”
Pertama, Kongsun Bu-wi memberi hormat kepada Ang Tim Gong-khek dalam kedudukan sebagai gurunya. Tetapi Ang
Tim Gong-khek pun balas memberi hormat kepada Kongsun Bu-wi dalam kedudukan sebagai kepala Hek Gak. Habis
memberi hormat Bok Sam-pi pun rebah lagi di atas ranjang.
Thian-leng heran mengapa Bok Sam-pi acuh tak acuh melihat cucunya dalam keadaan ditutuk jalan darahnya.
“Tengah malam menemui aku, ada urusan apa?” tegur Bok Sam-pi.
“Jika tidak penting, masakah murid berani mengganggu guru. Adalah karena…”
“Nanti dulu!” Bok Sam-pi cepat menukas, “aku tak mau menjalankan peradatan sebagai cong-hou-hwat lagi. Jangan
membicarakan urusan dalam Hek Gak…”
Kembali ketua Hek Gak menjura, “Murid tak berani kurang adat, silakan suhu rebahan saja.”
Bok Sam-pi tertawa dan suruh Kongsun Bu-wi mengutarakan keperluannya.
“Ada seorang murid yang mengadakan hubungan rahasia dengan orang luar,” kata ketua Hek Gak.
Bok Sam-pi terkejut marah, “Siapa?”“Kepala istana Hong-kiong, cucu suhu sendiri Bok Ceng-ceng!”
“Dia?” Bok Sam-pi menuding ke arah Ceng-ceng dan Kongsun Bu-wi mengiyakan.
“Kemari kau!” serunya. tetapi karena tertutuk jalan darahnya, sudah tentu Ceng-ceng tak dapat berjalan. Kongsun
Bu-wi memberi isyarat mata kepada kedua pengawal. Kedua pengawal itu segera membuka jalan darah si dara.
“Kek!” Ceng-ceng loncat menghampiri kakeknya seraya menangis.
“Saat ini kakek sebagai cong-hou-hwat, lekas haturkan hormat!” bentak Bok Sam-pi.
Ceng-ceng terpaksa berlutut. Ia tak menangis lagi. Mulutnya terkancing, sikapnya seperti sebuah patung.
“Benarkah kau mengadakan hubungan rahasia dengan orang luar?” seru Bok Sam-pi.
Ceng-ceng diam saja.
“Tahukah apa hukuman yang harus dijatuhkan?” dengus Bok Sam-pi pula.
Ketua Hek Gak segera melangkah maju. “Menurut undang-undang Hek Gak, harus menerima hukuman digigit lima
binatang beracun, tetapi….”
“Tetapi bagaimana?” Bok Sam-pi berseru gusar.
“Tetapi Ceng-ceng adalah …….”
“Tak peduli apaku, sebagai cong-hou-hwat, aku harus bertindak menurut hukum. Kalau hukum tak dipegang,
rusaklah peraturan!” teriak Bok Sam-pi, “Lekas jalankan hukuman!”
Kongsun Bu-wi mengiyakan dan segera memanggil Tok-ko Sing yang menjabat sebagai pelaksana hukum atau algojo.
Tok-ko Sing pun segera bertindak. Ia hendak mencengkeram bahu kanan dara itu dan Ceng-ceng tak mengadakan
perlawanan apa-apa.
“Tunggu!” tiba-tiba Bok Sam-pi mengebutkan tangannya. Tok-ko Sing menarik pulang cengkeramannya, tetapi
kebutan tangan Bok Sam-pi itu membuatnya terhuyung-huyung beberapa langkah.
“Mengapa suhu……..?” Kongsun Bu-wi berseru kaget.
“Apakah ada buktinya Bok Ceng-ceng melakukan hubungan itu?” tegur Bok Sam-pi.
“Orang itu masih berada di ruang tamu. Apakah suhu perlu suruh mereka menghadap?”
Tiba-tiba Bok Sam-pi tertawa keras-keras. “Tak usah, lebih baik kau lihat saja kutangkap mereka!”
Kongsun Bu-wi terkejut, “Maksud suhu….”
Tiba-tiba Bok Sam-pi menampar ke jendela belakang, bingkai jendela yang hampir satu tombak besarnya itu serentak
hancur berantakan. Thian-leng dan Siau-bun pun tak sempat lagi menjaga diri. Serentak mereka seperti digulung oleh
tenaga tarik yang tak dapat dilawan. Bersama dengan keping jendela, kedua anak muda itupun tersedot ke dalam
ruang dan jatuh tepat di muka ranjang Bok Sam-pi. Untung tak sampai terluka.
Thian-leng dan Siau-bun menginsyafi betapa hebat kesaktian orang she Bok itu. Maka merekapun tak mau bertindak
sembarangan.
“Apakah kedua orang ini?” tanya Bok Sam-pi.
“Benar ,” buru-buru ketua Hek Gak menjawab, “dengan baik-baik murid melayani mereka di ruang tamu, tetapi
ternyata mereka telah bersekongkol dengan Bok Ceng-ceng. Dan ternyata juga diam-diam mengikuti murid kemari
hendak mencelakai suhu.”
“Bagaimana hukumannya?” seru Bok Sam-pi.“Mereka bukan murid kita, sudah tentu boleh dihukum apa saja…..” mata ketua Hek Gak itu berkedip-kedip, “sudah
lama suhu kesepian. Baiklah kedua orang ini dijadikan hiburan saja, entah bagaimana kehendak suhu….”
Tiba-tiba Bok Sam-pi bangkit duduk serunya, “Ya, ya, aku ingin menyaksikan hukuman Toa-gi-pat-kui, lakukanlah
sekarang!”
Thian-leng mengeluh putus asa. Ia melirik kepada Siau-bun yang berada di sampingnya. “Adik Bun, akulah yang
bersalah mencelakaimu......aku tak menyesal mati, tapi kalau sampai membuatmu ikut menderita, aku tak dapat mati
dengan meram.”
Di luar dugaan Siau-bun tenang sekali. Bahkan bibirnya menyungging senyuman. Segera ia menjawab dengan ilmu
menyusup suara, “Takutkah kau?”
Thian-leng tertegun, “Tidak, aku tak takut mati. Hanya yang kusesalkan ialah tindakanku yang sembrono hingga
merembet dirimu…..”
“Mati atau hidup masih belum ketahuan. Perlu apa kau sudah putus asa?”
Sentilan si nona membuat Thian-leng malu hati. Segera ia menjamah pedangnya dan dengan ilmu menyusup suara ia
berkata tegas, “Akan kuserang tua bangka itu, adik Bun…..”
“Jangan gegabah. Melawan si tua itu berarti seperti ana-anai melanda api, telur membentur tanduk. Kalau kita
bertindak begitu, tentu mereka segera menjalankan hukuman Toa-gi-pat-kui itu!” cegah Siau-bun.
Pada saat kedua anak muda itu bercakap-cakap, Kongsun Bu-wi sudah perintahkan pengawalnya mengambil sebuah
tiang kayu yang besar, tali dan beberapa batang golok tajam. Alat-alat itu dibawa ke tengah, sedang Bok Sam-pi
tetap menunggu di ranjang kayu. Dengan tenang ia menunggu dilaksanakannya hukuman Toa-gi-pat-kui.
Sebenarnya Siau-bun pun berdebar-debar hatinya. Namun dara itu sudah biasa menghadapi ancaman bahaya. Maka
sikapnyapun tenang-tenang saja. Tidak demikian halnya dengan Thian-leng yang sudah gelisah tak keruan. Sedang
terhadap cucunya sendiri saja Bok Sam-pi begitu kejam, apalagi terhadap orang luar!
“Jalankan dulu hukuman Toa-gi-pat-kui pada kedua mata-mata itu, baru kemudian menghukum budak ini,” seru Bok
Sam-pi. Kongsun Bu-wi mengiyakan dan segera menyuruh orang mengikat Thian-leng dan Siau-bun pada tiang.
Empat pengawal maju menghampiri Thian-leng. Thian-leng menyiapkan pedangnya hendak menempur. Tiba-tiba
Siau-bun tertawa dingin, “Tunggu!”
“Eh, apakah kau hendak meninggalkan pesan?” tanya Kongsun Bu-wi.
“Tidak……. aku tak butuh memesan apa-apa,” nona itu tertawa.
“Aneh, mengapa kau masih berani tertawa?” tegur Bong Sam-pi.
Siau-bun makin perkeras tawanya, “Karena aku tak dapat mati. Tiada seorangpun di ruang ini yang mampu
membunuhku!”
Wajah Bok Sam-pi berobah seketika dan bangkitlah ia serentak.
“Di antara kalian siapakah yang paling sakti?” tegur Siau-bun dengan senyum tak acuh.
“Aku!” Bok Sam-pi menggerung.
Siau-bun mendengus hina, “Apakah kau berani bertanding melawan aku?”
Bok Sam-pi tertawa gusar. Tiba-tiba ia melesat maju ke arah si nona……
Bok Sam-pi tegak di hadapan Siau-bun. Perutnya yang gendut terkial-kial karena menahan kemarahan. Biji matanya
yang sebesar kelereng menyala tajam.
“Kau hendak menantang berkelahi denganku?” serunya.
“Benar,” Siau-bun tertawa, “aku ingin bermain-main beberapa jurus dengan kau.”Bok Sam-pi menggerung seperti harimau mencium mangsa. “Berpuluh-puluh tahun belum pernah ada manusia yang
berani berkata begitu di hadapanku. Toa-gi-pat-kui masih terlalu ringan. Akan kutambahi hukumanmu dengan Sam-
sing-ka-sim dan Ngo-tok-ya-thi!”
“Bagus, sayang kau tak mampu…..” Siau-bun mengedipkan mata sejenak, “eh, bagaimana? Apakah kau mau adu
kepandaian denganku?”
Bok Sam-pi memekik, “Budak perempuan, kalau mau adu kepandaian lekaslah! Kalau ayal-ayalan mungkin kau tak
sempat lagi!”
Menunjuk pada perutnya yang buncit, ia berseru pula, “Boleh kau gunakan senjata tajam atau senjata rahasia,
pukulan, kaki, jari ataupun apa saja. Kalau mampu merontokkan selembar buluku saja, aku menyerah kalah dan
terserah hendak kau apakan…..”
Siau-bun tertawa nyaring, “Cara itu tidak adil. Jika kau menghendaki cara berkelahi mati-matian macam benggolan
penjahat….., maaf, aku tak sudi melayani!”
“Bagaimana kalau adu lwekang?” seru Bok Sam-pi.
“Kasar!”
Biji mata Bok Sam-pi yang besar berkilat-kilat. “Katakanlah, teresrah kau hendak memakai cara apa, aku menurut
saja!”
Siau-bun mondar-mandir sejenak, tersenyum, “Begini saja ! Aku mempunyai sebutir mutiara Ban-lian-liong-cu (
mutiara naga ribuan tahun ). Jika kau mampu memijatnya hancur dengan dua buah jari tanganmu, aku mengaku
kalah....”
Bok Sam-pi hendak menyahut, tetapi Kongsun Bu-wi sudah mendahului, “Suhu, budak perempuan ini banyak akal,
jangan kena diakali!”
Bok Sam-pi merengut kurang senang, “Apakah aku anak kemarin sore? Kau pandang aku ini orang apa?”
“Harap suhu jangan marah. Murid hendak mengatakan tentang mustika Ban-lian-liong-cu……”
“Persetan dengan Ban-lian-liong-cu! Apakah kau kira aku tak dapat memijatnya hancur?”
Kongsun Bu-wi gelengkan kepala, “Bukan maksud murid mengatakan suhu tak dapat meremasnya. Melainkan hanya
mengatakan bahwa Ban-lian-liong-cu itu adalah mustika yang jarang terdapat di dunia. Kemungkina tentu dia tak
punya. Dan andaikan punya pun, bagaimana hendak suruh suhu menghancurkannya?”
“Ya, benar!” Bok Sam-pi gelagapan. “Ban-lian-liong-cu adalah sebuah pusaka ajaib, mengapa kau suruh aku
menghancurkan!”
“Benda yang paling keras di dunia, apakah dapat menandingi kekerasan Ban-lian-liong-cu?” Siau-bun tertawa dingin.
“Mungkin tidak ada!” Kongsun Bu-wi menanggapi.
“JIka gurumu dapat memijat hancur Ban-lian-liong-cu, kalau kuberikan yang palsu, bukankah akan lebih cepat lagi?
Dengan begitu bukankah aku kalah dan akan menerima hukuman Toa-gi-pat-kui atau apa itu Sam-sing-ka-sim atau
Ngo-tok-ya-thi? Apakah aku dapat mengingkari perjanjian lagi?”
Sahutan nona itu membuat ketua Hek Gak gelagapan dan hanya dapat menjawab sekenanya, “Siapa yang tahu
permainan setan itu?”
Siau-bun tertawa dingin, “Dalam hal main setan-setanan, mungkin kau lebih ahli. Dengan menipu orang untuk diberi
tahu tentang asal-usulnya, kau menjebaknya kemari. Perlunya tak lain hanya hendak merampas peta pusakanya….!”
Sambil menunjuk pada Bok Sam-pi, ia berseru pula, “dan dia seorang cianpwe persilatan yang sakti, telah kau cekoki
dengan obat yang membuatnya berobah linglung tak sehat pikirannya! Bukankah perbuatanmu itu sangat keji…..!”
“Keparat!” teriak ketua Hek Gak kalap, “kalau kau berani mengoceh tak keruan tentu akan kucincang tubuhmu!”Siau-bun acuh tak acuh menyahut, “Sayang saat ini kau tak dapat bertindak semaumu……” ia berhenti sejenak.
“Kepintaran yang digunakan untuk menipu orang, akhirnya keblinger sendiri. Mungkin kau akan menyesal atas
perbuatanmu itu!”
“Budak perempuan, dengan mengandal akal muslihatmu itu jangan harap kau mampu lolos dari sini kecuali kau dapat
membujuk Bubeng tayhiap supaya menyerahkan peta padaku!”
Siau-bun tetap tertawa dingin.
“Kalau benar punya Ban-lian-liong-cu, ayo, lekas keluarkan! Coba lihat saja aku dapat memijatnya hancur atau
tidak?” teriak Bok Sam-pi yang rupanya tidak sabar lagi.
Sahut Siau-bun tenang-tenang, “Jangan terburu nafsu dulu. Akan kujelaskan dulu palsu tidaknya mustika Ban-lian-
liong-cu itu. Toh akhirnya nanti kau tentu akan memijatnya!”
Ia berpaling ke arah ketua Hek Gak, “Apakah kau tahu khasiat Ban-lian-liong-cu dan dapat membedakan palsu
tidaknya ?”
Kongsun Bu-wi tertawa nyaring, “Ban-lian-liong-cu kira-kira sebesar biji lengkeng, warnanya merah tua. Begitu
dimasukkan dalam air dingin maka hilanglah dingin air. Dimasukkan dalam api, maka hilanglah panas api. Khasiatnya
untuk menolak air dan api, merupakan mustika yang tiada nilainya di dunia!”
Siau-bun tertawa tawar, “Kalau begitu harap sediakan air dan api, kita buktikan saja!”
Ia mengeluarkan sebuah kotak emas lalu mengambil sebuah bungkusan sutera merah. Dengan hati-hati Siau-bun
membuka bungkusan itu dan tampaklah sebutir mutiara sebesar lengkeng. Thian-leng dan orang-orang yang berada
dalam ruangan itu berteriak kaget.
Tepat seperti yang dikatakan ketua Hek Gak tadi, memang mustika itu berwarna merah tua berkilau-kilauan
memancarkan sinar terang-benderang yang menyilaukan mata. Seketika berhamburan semacam hawa dingin. Begitu
dingin sehingga membuat keempat pengawal Hek Gak yang berdiri pada jarak beberapa tombak sampai gemetar
badannya.
Juga Bok Sam-pi ternganga, serunya dengan terbata-bata, “Mustika yang hebat, mustika yang hebat, benar-benar
mustika yang tiada tandingannya….!”
Siau-bun hanya mengulum senyum. Dengan angkuh ia berkata kepada ketua Hek Gak, “Apakah seumur hidupmu kau
pernah melihat mustika semacam ini?”
Mulut ketua Hek Gak tersekat, “Kalau menilik ujudnya saja, memang belum dapat dibuktikan palsu tidaknya………” ia
berpaling kepada pengawalnya menyuruh siapkan air dan api. Empat pengawal Hek Gak segera mengiyakan.
Thian-leng segera menggunakan ilmu menyusup suara menegur Siau-bun, “Apakah itu Ban-lian-liong-cu yang tulen?”
“Sudah tentu!” sahut Siau-bun.
”Ha !? Kalau sampai dipijat hancur oleh setan tua itu, bukankah……”
“Kita ini perlu mempertahankan jiwa atau memberatkan mustika……. ”
Jawaban si nona itu membuat Thian-leng kemalu-maluan. Diam-diam ia menyesal karena menyebabkan Siau-bun
sampai mengorbankan mustikanya.
“Tetapi dengan mengorbankan mustika itu apakah kita pasti dapat lolos ?” ia masih penasaran.
“Ya, sekalipun Ban-lian-liong-cu itu mustika yang keras sekali, tetapi bukannya mustahil dihancurkan. Kepandaian
setan tua itu memang tinggi sekali. Aku tak tahu pasti apakah ia mampu memijatnya hancur atau tidak!”
(bersambung ke jilid 14)
Jilid 14 .Thian-leng cemas, “ Kalau begitu bukankah …. ?”
“Segala apa kita harus menyesuaikan dengan gelagat, tak usah kau cemas!” tukas Siau-bun.
Pada saat itu dua orang pengawal Hek Gak muncul dengan membawa baskom air dan tempat api. Siau-bun dengan
tertawa-tawa segera menyerahkan Ban-lian-liong-cu kepada Kongsun Bu-wi, ujarnya, “Silakan mencobanya di
hadapan hadirin!”
Kongsun Bu-wi menyambuti. Matanya tak berkedip memandang mustika itu. Wajahnya menampilkan nafsu memiliki.
“Rupanya ada rasa dalam hatimu untuk memiliki mustika itu, eh?” Siau-bun tertawa mengolok.
Kongsun BU-wi merah mukanya, “Jangan mengukur baju orang menurut ukuranmu sendiri!” serunya.
Siau-bun tertawa gelak-gelak, “Jika kau tak mendustai batinmu, saat ini kau merasa gelisah kalau mustika itu sampai
teremas hancur oleh gurumu. Karena dengan begitu kau tentu tak dapat memilikinya!”
Karena malu, marahlah Kongsun Bu-wi, “Ngaco! Orang macam apakah diriku? Masakah sebutir mustika macam begitu
saja dapat menggerakkan keinginanku!?”
Alis Siau-bun menjungkit, “Sudahlah , jangan coba sangkal isi hatimu, toh tiada yang tahu!”
Wajah ketua Hek Gak berobah makin gelap. Segera ia lemparkan Ban-lian-liong-cu ke dalam baskom air. Serentak
terdengarlah pekik kaget dari sekalian orang. Begitu tercebur air, mustika itu seperti membelah air. Di Sekeliling
mustika air sama menyiah beberapa dim jauhnya.
Wajah Kongsun Bu-wi makin gelap. Ia ambil mustika keluar. Jelas ketika memasukkan tangan ke dalam basko, ujung
bajunya itu terendam air. Tetapi anehnya setetes airpun ujung bajunya tak basah dan mustika Ban-lian-liong-cu
kering kerontang.
“Bagaimana……..” ujar Siau-bun seraya maju menghampiri.
Kongsun Bu-wi terpukau tak dapat menjawab. Serentak ia lemparkan mustika ke dalam anglo api. Kembali mata
ketua Hek Gak terbelalak. Anglo yang penuh dengan api membara, tersiak oleh Ban-lian-liong-cu. Ujung baju
Kongsun Bu-wi yang masuk ke dalam api tidak terbakar sama sekali. Bahkan tangannya yang memegang anglo itu
sedikitpun tak terasa panas.
Akhirnya ketua Hek Gak menarik pulang tangannya. Sejenak ia memuaskan pandangannya ke arah mustika itu, baru
diberikan lagi kepada Siau-bun, ujarnya,” Mustika ini memang benar Ban-lian-liong-cu yang asli, sekarang boleh kau
serahkan kepada suhu!”
Dengan tersenyum Siau-bun menyambutnya.
“Serahkan padaku, lekas. Aku tak sabar lagi menunggu!” tiba-tiba Bok Sam-pi berteriak.
Siau-bun memutar dirinya menghadapi, ujarnya, “Baik, kita bicarakan dahulu secara jelas. Barang siapa kalah tak
boleh ingkar janji!”
“Kurang ajar, kau anggap aku ini orang apa? Masakah aku sudi ingkar janji padamu ! » Bok Sam-pi marah-marah.
Namun si nonan masih tetap tersenyum simpul, ujarnya. “Pertanyaan lo-cianpwe itu sudah cukup menjadi jaminan!”
Ia segera angsurkan mustika Ban-lian-liong-cu kepada Bok Sam-pit.
Begitu menyambuti mustika, sejenak Bok Sam-pi memepermainkannya. kemudian tiba-tiba ia menjepit mustika itu
dengan jari tengah dan jari telunjuk, lalu tertawa gelak-gelak, “Sebenarnya aku tak sampai hati menghancurkan
mustika ini….!”
Thian-leng seperti disadarkan. Ia merasa dapat menduga rencana yang dijalankan Siau-bun. Jika Bok Sam-pi sampai
tak rela meremas hancur mustika itu, berarti ia kalah dan dapatlah Siau-bun lolos dari neraka Hek Gak. Demikianlah
dugaannya. Tetapi ternyata dugaan itu meleset………
“Tetapi jika tak kuremas hancur, berarti aku menyerah kalah padamu,budak perempuan! dengan begitu bukankah
aku…..bukankah ….” tiba-tiba Bok Sam-pi bersungut-sungut. Ia tak melanjutkan kata-katanya lebih jauh, tetapi mulaikencangkan kedua jari yang menjepit Ban-lian-liong-cu…….
Wajah thian-leng berobah seketika. Sejenak ia berpaling memandang Siau-bun tetapi nona itu tampak tenang-tenang
saja. Sedikitpun tak menunjukkan rasa cemas.
Saat itu tampak wajah Bok Sam-pi agak mengeras tegang. Sepasang matanya terpentang lebar. Kedua tulang
pelipisnya mulai menonjol, begitu pula dahinya. Jelas menunkukkan bahwa ia menghadapi kesukaran!
Melihat itu Kongsun Bu-wi dan sekalian anak buahnya tampak tegang. Mata mereka mengikuti lekat-lekat pada
mustika yang terjepit di tengah kedua jari tangan Bok Sam-pi.
Wajah Bok Sam-pi makin tegang. Warnanya berobah merah seperti darah, giginya mengerut kencang. Inilah yang
pertama kali ia menghadapi kesulitan besar dan kekalahan. Siau-bun tersenyum datar. Ia acuh tak acuh.
Dalam pada itu, sang waktupun merayap terus dengan cepat. Tak terasa sudah sejam lamanya Bok Sam-pi
melakukan taruhannya. Tangan kanannya tampak gemetar, dahinya mengucurkan butir-butir keringat sebesar biji
kedele. Warna wajahnya yang merah padam berobah biru gelap. Nyata dia sedang mengerahkan seluruh tenaga
dalam untuk meremas Ban-lian-liong-cu.
Akhirnya… ia menghela napas, “Aku tak dapat memijat hancur mustika ini. Ya, aku menyerah kalah!” ujarnya disertai
helaan napas rawan.
Kongsun Bu-wi seperti mendengar halilintar berbunyi di tengah hari. Buru-buru ia maju melangkah, “Tidak, suhu
belum kalah!”
Bok Sam-pi menghela napas, “Bagaimana tidak kalah?”
“Karena mustika itu memang luar biasa kerasnya....” ia lepaskan lirikan tajam kepada Siau-bun, katanya pula, “Jika
dia mampu meremasnya hancur, barulah benar-benar dia menang. Tetapi jika dia tak dapat, berarti seri.
Pertandingan ini tiada yang kalah atau menang dan boleh diganti dengan cara lain.”
“Benar, benar.” Bok Sam-pi seperti disadarkan. Segera ia berikan Ban-lian-liong-cu kepada Siau-bun. “Sekarang kau
yang meremasnya!”
Siau-bun tak ragu-ragu menyambuti mustika itu. Ia tertawa mengejek Kongsun Bu-wi. “Memang telah kuduga kau
akan mengajukan usul ini!”
Sejenak Siau-bun mengepal-ngepal mustika di dalam telapak tangan, setelah itu dijepit dengan jari telunjuk dan jari
tengah. Serunya kepada Bom Sam-pi, “Silakan Cianpwe melihat dengan betul!”
“Tentu, ayo pijitlah!” Bok Sam-pi mengangguk, mengira nona itu tentu tidak dapat. Kongsun Bu-wi tertawa yakin.
Tetapi pada lain kejap, suara tertawanya sirap ditelan kekagetan........ Ketua Hek Gak itu terlongong-longong
melongo... lutnya ternganga!
Jelas terngiang di telinganya suatu suara letupan kecil. Mustika Ban-lian-liong-cu yang terjepit di jari Siau-bun itu
pecah berhamburan......
Sekalian orang menjerit kaget! Benar-benar sukar dipercaya. Ketua Hek Gak berdenyut-denyut kepalanya, bumi yang
dipijaknya serasa berputar. Ceng-ceng yang tengah belutut di depan ranjang, bangkit serentak! Wajahnya penuh
diliputi seri kegirangan. Dipandangnya Siau-bun dengan lekat.
Tiba-tiba Bok Sam-pi menjerit, “Sudahlah, sudahlah, aku kalah…..”
“Tidak suhu, kau tetap belum kalah!” Kongsun Bu-wi berseru.
“Mengapa tidak?” sahut Bok Sam-pi.
Ketua Hek Gak tertaw sinis.” Dengan susah payah suhu memijat, tetapi gagal. Mengapa dia hanya sekali pijat saja
sudah dapat menghancurkan? Bukankah kau lebih sakti dari dia? Bukankah dia tentu menggunakan tipu muslihat!”
Perut Bok Sam-pi yang gendut tampak terkial-kial karena menahan gejolak perasaan. tetapi tak tahu bagaimana
hendak menumpahkan. Marahkah atau sedihkah?Siau-bun tertawa dingin, ujarnya kepada Bok Sam-pi, “Ketika kupijit Ban-lian-liong-cu bukankah cianpwe mengawasi
dengan jelas?”
“Benar…..” Bok Sam-pi menyahut terpaksa.
“Apakah aku menggunakan ilmu sihir?”
“Rasanya eh…. tidak…”
“Dengan begitu lo-cianpwe rela mengaku kalah?” kata Siau-bun dengan nada serius.
“Ya, aku menyrah kalah!”
“Tidak , suhu tak boleh menyerah kalah, jika.....” cepat-cepat ketua Hek Gak menukas. Tetapi secepat itu pula Siau-
bun segera berseru keras kepada Bok Sam-pi, “Jika lo-cianpwe tak suka mengaku kalah, sayapun tak dapat berbuat
apa-apa. Tetapi bagi martabat lo-cianpwe dalam dunia persilatan, tidaklah layak untuk menelan ludah lagi!”
“Siapa bilang aku menelan ludah?” Bok Sam-pi murka.
“O, kalau benar cianpwe tak ingkar janji, marilah sekarang kita laksanakan perjanjian kita!” desak Siau-bun.
“Perjanjian apa ?” Bok Sam-pi mengerutkan dahi,
“Ah, apakah lo-cianpwe benar-benar pelupa sekali?”
Bok Sam-pi mendengus, “Karena kau yang menang, maka segala macam hukuman
yang hendak kujatuhkan padamu itu batal semua. Kalian boleh keluar dari istana Hek Gak sini. Apakah ini tidak
cukup? Apakah masih hendak suruh aku menganar kalian?”
Cepat Siau-bun menanggapi, “Itulah! Memang ada dua buah urusan kecil yang memerlukan persetujuan lo-cianpwe!”
Bok Sam-pi mendengus lagi, “Tidak bisa, aku ini orang macam apa, masakah kau suruh mengantarkan!”
Siau-bun tertawa dingin, “Jika cianpwe menganggap dirimu sebagai ksatria sejati, haruslah berjiwa ksatria!”
Marah Bok Sam-pi tak tertahan lagi. Segera ia mengangkat tangannya hendak menghantam. Tetapi Siau-bun acuh
tak acuh. Melihat itu Bok Sam-pi menghentikan tinjunya dan perlahan-lahan menurunkan lagi. Keriput kemarahannya
perlahan-lahan kendor, berganti kerawanan. Akhirnya menghela napaslah ia, “Baik, akan kuantar kalian keluar dan
sebutkanlah kedua tuntutanmu itu.”
“Kesatu, serahkan cucumu Bok Ceng-ceng itu kubawa pergi. Kedua , minumlah sebutir pil dariku.”
“Kau hendak suruh aku minum pil? Perlu apa?” Bok Sam-pi melongo.
“Supaya jiwamu lekas melayang,” sahut Siau-bun tenang.
“Hm, apakah tiada jalan lain lagi?” dengus Bok Sam-pi.
“Perangaiku sama dengan perangaimu. Apa yang kukehendaki, tentu harus kulaksanakan. Atau lebih baik kau ingkar
janji dan bertempur dengan aku lagikah?” Siau-bun mengejek.
Bok Sam-pi menggelengkan, “Baik, kuterima kedua syaratmu itu. Akan kuantarkan kalian keluar dari sini dan
kuminum pil mautmu itu…….!”
“Tunggu !” sekonyong-konyong Kongsun Bu-wi menjerit.
Siau-bun melirik tajam kepada ketua Hek Gak itu serunya, “Telah kukatakan padamu tadi bahwa ada suatu saat kau
pasti menyesali perbuatanmu selama ini, nah, bagaimana sekarang?”
“Tak mudah kaulaksanakan kemauanmu itu!” ketua Hek Gak menggeram.
“Ah, belum tentu. Segala apa yang akan terjadi semua di luar dugaanmu......”Menjeritlah ketua Hek Gak itu dengan kalap, “Jika kau sampai mampu keluar dari istana ini akan kurayakan dengan
bunuh diri!”
Tiba-tiba ketua Hek Gak itu berpaling ke arah Bok Sam-pi dan membentak, “Bok conghouhwat!”
Mendengar itu kejut Bok Sam-pi bukan kepalang. Segera ia hendak berlutut memberi hormat. Tetapi secepat itu juga
Siau-bun sudah membentaknya, “Nanti dulu!”
“Jangan menjual muslihat!” bentak ketua Hek Gak murka.
Siau-bun menyambutnya dengan tertawa dingin, “Justru kebalikannya! Aku hanya hendak melucuti kedokmu selama
ini, hanya sayang….” ia tertawa mengikik, ujarnya pula, “Segala tipu muslihatmu itu gagal semua!”
“Apa maksudmu!” bentak ketua Hek Gak.
“Kau hendak menggunakan pengaruhmu sebagai ketua untuk memaksa Bok Lo-cianpwe tunduk kepadamu bukan?”
“Istana Hek Gak mempunyai tata tertib yang keras. Walaupun beliau menjadi guruku, tetapi karena beliau menjabat
sebagai Conghouhwat, maka wajib menurut perintahku!” sahut ketua Hek Gak dengan congkak.
“Tanpa kau sadari, dalam babak ini kau sudah mengaku kalah!” Siau-bun tertawa.
“Bagaiman kalahnya?”
“Tadi Bok-locianpwe sudah menyatakan bahwa malam ini tiada lagi garis pemisah antara ketua dan anak buah,
melainkan beliau berbicara dalam kedudukan sebagai guru dengan murid. Bukankah hal itu sudah merupakan
kekalahan bagimu?”
“Benar, benar! Malam ini kaulah yang seharusnya mendengar perintahku!” Bok Sam-pi seperti disadarkan.
Serentak berobahlah cahaya muka Kongsun Bu-wi. Giginya terdengar bercatrukan menahan kemarahan. Tetapi ia tak
dapat membantah sepatah pun juga.
Thian-leng kagum sekali atas kecerdikan si nona. Tiba-tiba Siau-bun gunakan ilmu menyusup suara berseru
kepadanya, “Siap-siaplah, kita segera akan angkat kaki dari sini!”
Thian-leng terkesiap. Cepat ia bersiap dengan pedang dan mengerahkan tenaga Lui-hwe-ciang. Apabila anak buah
Hek Gak berani merintangi, ia hendak adu jiwa dengan mereka.
Siau-bun perlahan-lahan menghampiri kehadapan Bok Sam-pi, ujarnya, “Lo cianpwe marilah kita pergi!”
“Baik, “ Bok Sam-pi tak dapat berbuat apa-apa kecuali mengiyakan.
Tiba-tiba Siau-bun gunakan ilmu menyusup suara kepada si jago tua itu,” Muridmu itu sukar diraba hatinya. Jika lo-
cianpwe tak siap sedia, dia tentu diam-diam akan memerintahkan supaya menutup jalan dan menggerakkan perkakas
rahasia. Mati bagi kami anak-anak yang tak bernama ini tak mengapa. Tetapi betapa besar akibatnya bagi kebesaran
nama lo-cianpwe!”
“Beralasan juga ,” dengus Bok Sam-pi.
“Apa kata mereka kepada suhu?” ketua Hek Gak berseru kaget.
Bok Sam-pi deliki mata, teriaknya, “Kemarilah!”
“Suhu hendak memberi pesan apa?” Kongsun Bu-wi makin kaget.
“Aku kuatir kau nanti diam-diam menyuruh orang menjalankan perkakas rahasia, hal itu pasti akan menjatuhkan
namaku!”
“Apakah suhu percaya?” ketua Hek Gak kaget bercampur marah.
Bok Sam-pi tertegun. Tetapi pada lain saat ia menjawab tanpa ragu-ragu. “Percaya saja. Kutahu apa yang dapat
kaulakukan….” ia berhenti sejenak lau melanjutkan pula. “Karena itu hendak kupelintir dulu urat pergelangantanganmu agar hatiku tenteram!”
Seketika berobahlah wajah ketua Hek Gak. Kakinya terhuyung mundur beberapa langkah. Maksudnya ia akan loncat
keluar ruangan. Tetapi Siau-bun cepat menyentaknya, “Eh, jangan coba kabur, ya! Bok lo-cianpwe sepuluh kali lipat
dari kepandaianmu. Dalam jarak seratus tombak, beliau masih dapat menangkapmu!”
Bok Sam-pi tokoh yang sudah limbung otaknya seperti disadarkan. Bentaknya murka, “Apa? Kau hendak lari?”
Berbareng itu ia ulurkan tangan mencengkeram.
Rencana Kongsun Bu-wi untuk melarikan diri dan mempersiapkan perkakas rahasia dalam istana itu menjadi
berantakan. Selagi ia termangu, Bok Sam-pi sudah menamparnya. Sebagai murid ia tahu sampai di mana kesaktian
gurunya itu. Tak berani ia menangkis melainkan mandah mengikuti gerak cengkeraman gurunya, mencelat ke
hadapan Bok Sam-pi.
Gemuk sekalipun potongan tubuhnya, tetapi tangan Bok Sam-pi tangkas bukan kepalang. Secepat kilat ia sudah
mendcengkeram pergelangan tangan Kongsun Bu-wi.
Ketua Hek Gak itu menumpahkan kemarahannya kepada Siau-bun, “Cu Siau-bun, ingatlah, lambat atau cepat ada
suatu hari tulang belulangmu tentu akan kuremukkan!”
Cu Siau-bun hanya ganda tertawa, “Nanti saja kita bicara lagi apabila hari itu sudah tiba...”
Setelah itu ia berpaling kepada Ceng-ceng yang masih tercengang-cengang, “Nona Bok, marilah kita pergi!”
Ceng-ceng seperti orang dibangunkan dari mimpi, serta merta ia mengikuti di belakang Cu Siau-bun yang berjalan
keluar. Sementara itu Bok Sam-pi tampak seperti orang yang limbung. Dengan masih mencekal lengan Kongsun Bu-
wi, ia tak berkata sepatahpun juga. Ia juga tak sejenakpun melihat pada cucunya. Ia berjalan seperti orang
kehilangan semangat.
Demikianlah kelima orang itu segera beriringan melintasi jalanan istana yang penuh liku-liku. Tok-ko Sing dan
berpuluh-puluh pengawal baju hitam hanya mengawasi saja. Mereka tak berani bertindak apa-apa, karena tahu
ketuanya sudah dalam penguasaan.
Tak lama kemudian tibalah mereka di luar pintu gerbang Hek Gak. Siau-bun berseru kepada Bok Sam-pi, “Bok Lo-
cianpwe, kini sudah berada di luar istana. Boleh suruh mereka pulang!”
“Hm, ya benar, kata-kata itu beralasan...” sahut Bok Sam-pi seperti membeo saja. Segera ia melepaskan cekalan dan
menyuruh Kongsun Bu-wi pergi.
Tanpa disadari, Bok Sam-pi sudah dikuasai oleh Siau-bum. Ia menurut saja apa yang dikatakan nona itu.
Kongsun Bu-wi menghamburkan napas untuk melonggarkan dadanya yang sesak dengan kemarahan. Setelah melirik
buas ke arah Thian-leng , Siaubun dan Ceng-ceng, tanpa berkata apa-apa ia segera ayunkan tubuhnya melesat pergi.
Setelah ketua Hek Gak itu lenyap, Siau-bun menghela napas lega. Ia segera keluarkan sebuah botol kecil. Ia
mengambil sebutir pil berwarna putih seperti salju.
“Lo-cianpwe, silakan minum!” serunya.
Bok Sam-pi tersentak kaget, “Pil beracun?”
Dengan wajah bersungguh-sungguh, berkatalah Siau-bun, “Karena lo-cianpwe tak beruntung kalah dengan aku,
janganlah menghiraukan lagi pil ini obat beracun atau bukan, tetapi makanlah saja!”
Bok Sam-pi mengangguk-angguk, “Benar, benar, kata-kata itu memang beralasan!” Menyambut pil, terus ditelannya.
Melihat itu Ceng-ceng mengucurkan air mata, ratapnya, “Apakah kau benar-benar hendak meracuni kakekku!
Sebenarnya kakek itu seorang baik. Adalah sejak menjadi Cong-houhwat dari Hek Gak, barulah ia berobah seperti
orang limbung begitu!”
Siau-bun menjawab dengan ilmu menyusup suara. “Kesemuanya itu telah kuketahui. Pil itu bukan pil beracun, tetapi
pil penenang urat syaraf. Mudah-mudahan ia akan mendapatkan kesadaran pikirannya lagi!”“Silakan lo-cianpwe pulang kalau mau pulang, ” kata Siau-bun sesaat kemudian.
“Pulang?” Bok Sam-pi gelagapan. Tiba-tiba ia duduk di tanah, ujarnya. “Aku hendak menunggu kematian di sini!”
Siau-bun tak dapat menahan gelinya, “Terserah kalau kau tahan menunggu di sini!”
Bok Sam-pi terbelalak, teriaknya, “Apakah bekerjanya racunmu itu perlahan-lahan?”
“Mungkin sekitar 10 hari baru terasa!”
“Sepuluh hari…… ?” Bok Sam-pi mengerutkan dahi.
“Jika kepandaianmu memang tinggi sekali, mungkin dua puluh sampai tiga puluh hari baru bisa bekerja. Atau
mungkin juga seumur hidup takkan bekerja!”
Bok Sam-pi menghela napas, “Budak perempuan, kau sangat menyiksa diriku….”
Siau-bun ganda tertawa, “Menurut pendapatku, lebih baik cianpwe pulang ke dalam istana lagi tentu lebih leluasa.”
Bok Sam-pi benar-benar seperti seekor ayam jago yang jinak! Dengan langkah berat dan menundukkan kepala ia
melangkah kembali ke istana Hek Gak.
“Eh, mengapa adik Bun melepaskannya?” Thian-leng terheran-heran.
“Penyakit apa yang sebenarnya diderita itu dalam waktu yang singkat tak mungkin kuketahui. Yang kuberikan
padanya tadi hanyalah pil biasa. Dapat tidaknya pil itu menyembuhkannya, aku atk berani memastikan. Sesudah
minum pil itu memang seharusnya ia beristirahat beberapa hari barulah terasa khasiatnya. Maka kurasa lebih baik
kulepaskan pulang saja!”
Selanjutnya Siau-bun menerangkan bahwa apabila pikiran jago tua itu sudah pulih kembali, tanpa harus diberi
petunjuk, tentu akan menyadari apa yang telah terjadi atas dirinya selama ini. “Dia tentu akan membuat perhitungan
dengan Kongsun Bu-wi!” kata Siau-bun.
Thian-leng kagum sekali atas kecerdikan nona itu. “Tetapi bagaimana dengan mutiara Ban-lian-liong-cu itu...?”
Siau-bun merogoh ke dalam baju mengeluarkan kotak berisi mutiara itu. “Apakah kau ingin melihat mutiara ini lagi!”
katanya.
“Memang aku tak percaya kalau adik rela menyerahkan mutiara itu kepadanya. Kupercaya mutiara itu tentu masih
berada dalam tempatnya, bukan?”
“Tentu, tetapi....” Siau-bun tertawa, “sungguh berbahaya sekali pertunjukan tadi. Sekali mereka mengetahui
permainanku itu, kita tentu akan menjalani hkuman ngeri!”
“Tetapi memang benar-benar aku tak tahu permainan apa yang adik pertunjukkan tadi?”
Siau-bun tertawa geli, “Sebenarnya jika kuterangkan tentu tak ada hal yang patut diherankan! Selain mustika Ban-
lian-liong-cu itu, aku masih mempunyai sebutir mutiara yang serupa besar dan warnanya dengan Ban-lian-liong-cu
itu. Pun kudapatnya juga berbarengan waktunya, hanya saja mutiara itu tak berharga sama sekali. Hanya bedanya
yang asli itu licin dan yang palsu suram. Mustika yang licin kuberi minyak dan kupasang pada rambutku. Sekalipun
Bok lo-cianpwe itu sakti tetapi dia sudah dibikin limbung pikirannya oleh ketua Hek Gak, sehingga tak dapat
memperhatikan palsu tidaknya mustika itu.
Pada saat kuterima Ban-lian-liong-cu dari tangan Bok lo-cianpwe, segera kutukar dengan mustika yang palsu. Maka
sekali pijat saja hancurlah mutiara itu.....!”
Kini mengertilah Thian-leng mengapa Siau-bun dapat memijat hancur mutiara yang dikira Ban-lian-liong-cu. Makin
dalam rasa kagum dan hormat Thian-leng terhadap si nona yang dalam saat-saat menghadapi bencana maut dapat
bersikap tenang sekali.
Siau-bun lalu berkata kepada Bok Ceng-ceng, “Adik Ceng, tahukah kau mengapa kubawa kau keluar dari istana Hek
Gak.?”Ceng-ceng mengangguk, “Kini aku tahu apa sebab kakek tak menghiraukan diriku bahkan ada kala begitu membenci
dan ingin membunuhku. Setelah terjadi peristiwa ini, ketua Hek Gak tentu akan benci padaku, kemungkinan besar
tentu akan membereskan diriku...” habis bekata dara itu segera berlutut di depan Siau-bun dan Thian-leng, ujarnya,
“Terimalah hormat dan terima kasihku atas pertolongan tuan berdua!”
Siau-bun buru-buru menilakan bangun, “Jangan terlalu banyak peradatan, aku tak berani menerima kehormatan yang
demikian besar.”
Sejenak dara itu melirik pada Thian-leng lalu menanyakan apakah hubungan antara Siau-bun dengan Thian-leng.
Tiba-tiba Siau-bun mencopot kain kepalanya dan tersenyum, “Adik Ceng, lihatlah, aku juga seorang anak perempuan
seperti engkau!”
Ceng-ceng memekik kaget dan terlongong-longong.
“Kita berjumpa dalam keadaan menderita kesusahan, berarti kita ini mempunyai jodoh, “ Siau-bun tertawa ramah,
”sekiranya adik tak menolak, aku ingin mengangkat saudara denganmu, entah…..”
“Kalau taci tak menolak diriku, sungguh besar sekali rejekiku!” Bok Ceng-ceng berteriak menukas.
Begitulah maka kedua nona itu segera melakukan upacara sederhana mengangkat saudara. Siau-bun lebih tua
setahun dari Ceng-ceng. Selanjutnya kedua nona itu berbahasa taci dan adik. Thian-leng memberi selamat kepada
mereka.
Perkenalan singkat yang berakhir dengan angkat saudara itu ternyata memuaskan kedua nona itu. Mereka merasa
cocok satu sama lainnya. Tak putus-putusnya mereka saling menuturkan tentang riwayat hidupnya selama ini. Begitu
uplek mereka bercakap-cakap sehingga Thian-leng seolah-olah tak diacuhkan…
“Adik Ceng, apakah kau suka melakukan sebuah hal untukku?” tanya Siau-bun.
Ceng-ceng terbeliak, “Mengapa taci begitu sungkan terhadapku? Silakan taci mengatakan, tentu akan kulakukan
sekalipun harus menerjang lautan api!”
Siau-bun tertawa, “Ah, urusan itu tak begitu menyeramkan! Aku hanya minta tolong supaya kau mengantarkan
suratku kepada seorang keluarga yang sudah berpisah selama dua tahun!”
“Di mana tempat tinggalnya?” tanya Ceng-ceng.
Siau-bun mendekat dan membisiki telinga adik angkatnya, Ceng-ceng mengangguk.
“Sampai berjumpa,” ia mengambil selamat berpisah dan tanpa mengacuhkan Thian-leng, terus saja ia melangkah
pergi.
Thian-leng tercengang, tetapi ia tak mau bertanya.
Siau-bun melirik tertawa, “Aku mempunyai rencana supaya ia pergi. Kau takkan menyalahkan aku bukan?”
“Ah, mengapa adik Bun mengatkan begitu. Aku selalu mengagumi apa yang kau lakukan, apalagi aku tak mempunyai
hubungan apa-apa dengan nona itu!”
“Fui, jangan berlagak. Masakah kau dapat melupakannya?” olok Siau-bun.
Diam-diam Thian-leng menghela napas. Ah, wanita, wanita. Masakah baru saja berkenalan sudah dicemburui. Kalau
seorang nona yang berpandangan luas seperti Siau-bun masih dihinggapi perasaan begitu, apalagi nona-nona lainnya.
“Ah, aku hanya berolok-olok saja, mengapa kau begitu sungguh-sungguh?” Siau-bun tertawa.
Nona itu segera mengangsurkan sebuah benda. Ketika Thian-leng menyambuti, ia mengerang tertahan.
Kiranya Giok-ti-tho atau peta Telaga Zamrud! Sebelum masuk ke dalam istana Hek Gak, peta itu diserahkan kepada
Siau-bun. Maksudnya agar si nona jangan turut masuk ke dlam istana. Apabila dirinya sampai tertimpa musibah. peta
itu tetap berada di tangan Siau-bun. Tetapi ternyata si nona nekat ikut.
Kini badai telah berlalu. Mereka selamat dan peta pun kembali......ooo0000oooo
Lenyap tanpa bekas
“Terserah kau, “ kata Siau-bun ketika menjawab pertanyaan Thian-leng tentang tempat tujuan yang hendak mereka
tempuh. Tetapi sekalipun mulut mengatakan begitu, nona itu sudah mendahului ayunkan langkah.
Agak bingung rupanya Siau-bun mengenai tempat yang hendak dituju. Ada tempat yang ia merasa tak leluasa kalau
mengajak pemuda itu. Ada pula tempat yang ia sendiri tak suka pergi. Dan yang paling menjadi pemikirannya ialah
tentang Lu Bu-song. Bagaimanakah ia nanti menghadapi dara itu apabila bersua kembali.....
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara orang merintih.
“Tidakkah adik Bun mendengar suara rintihan...?”
“Eh, kau ini bagaimana. Dengan ilmu Melihat langit-mendengar bumi, bukan saja mendengar jelas, akupun bahkan
dapat melihatnya. Itu kan hanya seorang yang kebetulan lewat di sini merasa tak enak badan maka beristirahat di
bawah pohon. Mengapa kita ribut-ribut?” sahut Siau-bun.
Thian-leng tersentak diam. Tetapi baru beberapa tombak jauhnya, ia melihat seorang tua bersandar pada sebatang
pohon. Orang itu mendekap perutnya sambil merintih-rintih. Tanpa menghiraukan bagaimana reaksi Siau-bun lagi,
terus saja Thian-leng menghampiri tempat orang itu.
“Apakah lo-cianpwe sakit? Perlukah kubantu?” tanyanya.
Orang tua itu terus merintih-rintih. Tubuhnya terhuyung-huyung seperti tak kuat lagi menyandar pada pohon. Buru-
buru Thian-leng memapahnya, “Lo-cianpwe, maukah kuajak ke kota terdekat mencari tabib?”
Tiba-tiba orang tua itu meronta dari pegangan si anak muda, “Tak usah., penyakitku ini memang sering kumat,
sebentar tentu sembuh!”
Thian-leng mengerutkan dahi. Ia merasa kasihan melihat seorang tua berpenyakitan berjalan seorang diri di malam
buta. Tetapi ia terpaksa tak dapat memikirkan diri orang tua itu lebih lanjut, karena Siau-bun tak mengacuhkan sama
sekali dan tetap berjalan terus. Sebentar saja nona itu sudah belasan tombak jauhnya.
“Terima kasih.... atas……perhatian ..tuan….. kepadaku… si orang tua ini!” kata si orang tua dengan suara lemah.
Thian-leng hanya dapat menghela napas dan segera meninggalkan orang tua itu. Ternyata Siau-bun lambat sekali
jalannya, seperti sengaja hendak menunggunya. Begitu si anak muda tiba, segera ia cebikan bibir dan
menertawakannya, “Uh, ternyata kau seorang manusia yang berhati mulia!”
Tak tahu Thian-leng bagaimana harus menanggapi ucapan si nona. Artinya seperti orang memuji tetapi nadanya sinis
sekali.
Saat itu hari sudah menjelang terang tanah. Angin terasa dingin. Sesaat kemudian Thian-leng menanyakan apakah si
nona tidak dingin.
“Badan memang dingin, tetapi hatiku terasa hangat,” Siau-bun memberi sebuah lirikan kepada pemuda itu. Gelora
darah muda telah mendorong si nona menghampiri Thian-leng dan terus menjatuhkan diri di dada. Thian-leng
terpaksa menyanggapi. Mereka berjalan sambil berpelukan.
Fajar hampir tiba. Tiba-tiba Thian-leng menjerit kaget, “Celaka!”
“Mengapa?” Siau-bun tersentak kaget.
Wajah Thian-leng tampak pucat, suaranya terbata-bata, “Pe….ta…… i….itu...” ia tak dapat melanjutkan kata-katanya,
karena sibuk menggerayangi seluruh pakaiannya.
“Tenang,” Siau-bun kerutkan dahi,” katakanlah perlahan-lahan.”
Masih Thian-leng banting-banting kaki, “Peta Telaga zamrut....”“Apa? bagaimana dengan peta itu? Bukankah telah kau simpan dalam bajumu?” Siau-bun gugup.
Thian-leng menghela napas, “Benar, tetapi sekarang tak ada lagi!”
“Apa? Peta itu hilang?” Siau-bun melonjak kaget.
“Tentu jatuh, mari kita balik mencarinya,” seru Thian-leng. Demikianlah keduanya segera balik menyusur sepanjang
jalan yang dilaluinya tadi. Kalau thian-leng mati-matian mengamat-amati setiap benda yang tampak menggeletak di
jalan, tidak demikian dengan Siau-bun. Nona itu diam-diam sudah membatin. Ia tahu bahwa pencariannya itu tentu
akan sia-sia. Tak mungkin sebuah peta pusaka yang sudah disimpan sedemikian hati-hati, dapat jatuh di jalan. Dan
andaikata benar-benar jatuh, tentulah juga sudah ditiup angin.
Kurang lebih dua jam lamanya mereka mencari, tetapi tetap tidak berhasil menemukan apa-apa. Saking jengkelnya
Thian-leng hendak nekad mati. Siau-bun juga tak kurang gelisahnya. Kalau peta pusaka itu sampai jatuh di tangan
orang Hek Gak atau Sin-bu Te-kun, hebatlah akibatnya.
Tiba-tiba Siau-bun mebanting-banting kaki, “Celaka, peta itu tidak jatuh tetapi terang dicuri orang!”
“HA? Dicuri orang?” Thian-leng tercengang. “Sejak keluar dari istana Hek Gak, kita toh belum berjumpa dengan siapa-
siapa. Apalagi peta itu kusimpan hati-hati di dalam bajuku, bagaimana bisa dicuri orang...” ia berhenti seketika,
seolah-olah seperti orang tersadar, “Adik Bun maksudkan si orang tua berpenyakitan itu tadi?”
“Siapa lagi kecuali dia!” kata Siau-bun dengan nada berat.
(bersambung ke jilid 15)
Jilid 15 .
Thian-leng pucat. Kalau benar dicuri orang tua itu tentulah sukar mencarinya. Ia tak ingat lagi bagaimana potongan
mukanya, kecuali hanya jenggot orang tua itu sudah putih, umurnya sekitar tujuh puluhan tahun, berpakaian seperti
orang pertapaan. Tetapi siapa nama dan tempat tinggalnya, sama sekali tak diketahuinya. Jaraknya sudah berselang
tiga jam, kemanakah harus mencarinya?
Makin terang pikiran Thian-leng menyoroti diri orang tua itu lebih jauh. Jelas orang itu seorang kaum persilatan yang
sengaja berpura-pura sakit. Ia kena dipancing mentah-mentah.
Celaka! Jika orang itu kaki tangan Sin-bu Te-kun atau golongan jahat, bukankah ia berdosa terhadap It-bi siang-jin
pencipta peta itu? Makin merenung makin kalaplah Thian-leng...
Siau-bun menghela napas, “Sekarang bukan saatnya mengeluh. Yang penting kita harus berdaya!”
“Bagaimana caranya?” Thian-leng menukas.
“Kalau begitu apakah kau hendak mati saja?” Siau-bun menyentil tajam, “putus asa berarti membunuh semua daya
upaya!”
Kata-kata itu membuat Thian-leng tergerak. Ia membenarkan si nona. Sekalipun bunuh diri, urusan itu tetap tak
tertolong. Akhirnya ia menanyakan pendapat si nona.
Kata Siau-bun, “Bahwa It-bi siangjin telah meninggal di gunung Thay-heng-san dengan menyembunyikan kitab
pusakanya, telah diketahui lama oleh orang persilatan!”
Thian-leng mengiyakan, “Benar, tetapi Thay-heng-san demikian luasnya, apakah kita harus menggali tiap jengkal
tanahnya! Kalau tidak sesukar itu, tentulah kitab itu tak berharga!”
“Apakah tujuan orang yang mencuri peta itu?” tiba-tiba Siau-bun menyeletuk.
“Sudah tentu hendak meyakinkan isinya!”
“Kalau begitu, dia tentu akan menuju ke gunung Thay-heng-san…..”
“Oh…. “ Thian-leng mengerang.“Masih ingatkah kau akan wajahnya?”
“Hanya samar-samar, tetapi kalau berjumpa muka tentu dapat mengenalnya!”
Siau-bun menghela napas, “Sekalipun tipis harapannya, tetapi tiada jalan lain!”
“Jadi adik Bun Juga.....”
“Sudah tentu aku pergi, ayo berangkat sekarang juga!”
oo000oo
Liu-ke-cip merupakan sebuah kota kecil di kaki gunung Thay-heng-san. Perdagangan kota itu cukup ramai karena
merupakan pusat lalu lintas keluar masuk gunung Thay-heng-san.
Sepasang muda-mudi tampak berjalan perlahan-lahan memasuki Liu-ke-cip. Kecakapan si pemuda dan kecantikan si
pemudi memikat orang-orang yang berada di jalan. Tetapi mereka tak menghiraukan perhatian orang-orang. Si
pemuda tampak murung wajahnya, si pemudi bersikap diam. Mata si pemuda tak henti-hentinya berkeliaran
memandang orang-orang yang ditemuinya. Tetapi selalu kecewa.
Tiba-tiba seorang pengemis tua lewat di samping pemuda itu dan berhenti. Ketika pengemis itu melihat thong-pay
(lencana tembaga) yang terpampang pada dada si pemuda, ia terbeliak kaget. Setelah memandang ke sekeliling,
barulah pengemis itu mendekati si pemuda, bisiknya, “Bolehkan aku bicara sebentar pada tuan?”
Gerak-gerik pengemis itu memang telah diperhatikan si pemuda. Si pemudipun serentak gunakan ilmu menyusup
sura bertanya kepada kawannya, “Apakah orang ini?”
“Bukan,” pemuda itu gelengkan kepala. Kemudian ia minta si pengemis menjelaskan semuanya.
Pengemis tua tampak gelisah, ujarnya, “Tetapi di sini kurang leluasa bicara, sebaiknya......”
Sejenak pemuda itu melirik ke arah si pemudi, lalu anggukkan kepala, “Baiklah silakan menunjukkan tempatnya.”
Pengemis itu bersikap menghormat sekali. Ia segera berjalan lebih dahulu. Tak berapa lama kemudian mereka tiba di
luar kota dan masuk ke dalam sebuah biara tua. Karena terlantar, biara itu menjadi pusat tempat tinggal kaum
pengemis.
Arca-arca dalam biara itu jungkir balik berserakan tak teratur. Sarang galagasi tampak di mana-mana, tetapi pada
meja sembahyang terdapat sebuah lampu yang masih memancarkan cahaya redup.
“Katakanlah apa maksud bapak ini,” kata si pemuda.
“Terlebih dahulu hamba mohon tanya nama tuan?” jawab si pengemis dengan nada menghormat.
“Aku Bu-beng-jin, “ sahut si pemuda yang bukan lain ialah Thian-leng.
Pengemis itu terbeliak, “Lencana Kiu-pang tong pay yang Bu-beng siauhiap bawa itu, entah berasal dari mana?”
“Jadi bapak membawa kami kemari ini, untuk urusan itu?” tegur Thian-leng.
Lencana yang tergantung pada lehernya itu adalah pemberian Thiat-ik-sin-kay ( pengemis sakti berbulu besi ) Auyang
Beng. dia tak menaruh perhatian kepada benda itu, maka tanpa disadari digantungnya lencana itu pada lehernya.
Sama sekali tak disangkanya bahwa benda itu telah menimbulkan perhatian pengemis tua itu.
Seketika wajah pengemis tua itu berobah gelap, serunya, “Ya, harap siauhiap....”
“Lencana ini pemberian seorang cianpwe. Jika bapak suka pada benda ini, ambillah...”
“Tidak.. .tidak!” pengemis tua itu tersipu-sipu menolak. “ Hamba tak berani mengambilnya….. tetapi sukalah siauhiap
memberitahukan nama cianpwe itu?”
“Orang she Auyang bernama Beng, Orang persilatan memberi gelar nama Thiat-ik-sin-kay. Kenalkah bapak padanya?”
Tiba-tiba pengemis itu bercucuran air mata dan serentak jatuhkan diri berlutut seraya berseru nyaring, “Murid Kay-bun yang menjabat ketua Letong, yakni Lau Gik-siu menghaturkan hormat kepada ketua!”
“Apa?.... jangan berolok-olok!” Thian-leng berseru kaget.
Pengemis tua itu tak menghiraukan jeritan si anak muda dan berseru dengan nada bengis, “Ketua telah datang,
mengapa kalian tak lekas-lekas memberi hormat!”
Terdengarlah suara pekik bergemuruh dan berpuluh-puluh pengmis tampak muncul dari balik ruang, mereka
serempak berlutut di hadapan Thian-leng dan berseru, “Kami sekalian menghaturkan hormat kepada ketua!”
Thian-leng bingung tak keruan. Tak tahu ia bagaimana harus menghadapi puluhan pengemis itu. Ia banting-banting
kaki.
“Ah, wajiblah kuberi selamat padamu, ih, ternyata kau juga seorang ketua!”Siau-bun tertawa ringan.
“Hai, mengapa kau juga memperolok diriku………….” Thian-leng makin kelabakan. Tiba-tiba ia ingat akan kecerdikan si
nona. Ditatapnya nona itu dengan pandangan minta bantuan, “Bagaimana nih, “ ia tertawa masam.
“Kan baik?” Siau-bun tertawa
Melihat si nona tetap berolok, segera Thian-leng menarik Lau Gik-siu bangun, bentaknya, ”Apa-apaan ini? Lekas
terangkan yang jelas, atau aku segera tinggalkan tempat ini!”
Lau Gik-siu kembali menjura dengan hormat sekali, ujarnya.”Apakah ketua tahu di mana berjumpa dengan Thiat-ik-
sin-kay?”
“Tolol, aku bukan ketua kalian. Aku tak peduli siapa itu Thiat-ik sin-kay!”
“Tetapi sekarang kau adalah ketua kami!” Lau Gik-siu berkata dengan yakin.
“Mengapa?”
“Karena kau sudah menerima lencana Kiu-pang thong-pay dari kakek guru kami!”
“Kiu-pang-thong-pay Thiat-ik Sin-kay, aku tak peduli! Jika karena gara-gara lencana ini, sekarang aku kembalikan
saja kepadamu!” Thian-leng terus menarik lencana dari lehernya, diberikan kepada Lau Gik-siu.
Tiba-tiba Siau-bun menepuk bahu Thian-leng,”Tak dapatkah kau menimbang lagi?”
Thian-leng menarik pulang tangannya. Dilihatnya nona itu memberinya sebuah lirikan yang memperbesar semangat.
Rupanya nona itu tak menentang atas dijadikannya Thian-leng sebagai ketua partai pengemis.
Akhirnya ia geleng-geleng kepala dan menghela napas. Gerutunya seorang diri, “Mengapa nasibku penuh dnegan
peristiwa-peristiwa aneh....”
“Eh, apa kau hendak membairkan mereka berlutut terus?” tegur Siau-bun.
Memang saat itu berpuluh-puluh pengemis masih berlutut di hadapannya. Terpaksa ia menyuruh mereka bangkit.
Merekapun menurut dan berdiri di samping.
“Murid telah menerima berita rahasia yang dibawa burung. Kakek guru Thiat-ik-sin-kay menyuruh kami beramai-
ramai menunggu di sini untuk menyambut kedatangan ketua baru. Ternyata hal itu benar.” kata Lau Gik-siu.
“Apakah kedudukan Thiat-ik-sin-kay dalam partai kay-pang?” buru-buru Thian-leng minta keterangan.
“Ahli waris dari angkatan yang dulu, tetapi kini menjadi kakek guru kaum kami!”
“Lalu kemana ketuamu itu?”
“Beberapa hari yang lalu telah menigngal dunia di bawah lambaian Panji Tengkorak Darah!”
“Panji Tengkorak Darah?”“Ya, atau berarti mati di tangan Hun-tiong Sin-mo!”
“Kaum jembel tersebar di seluruh negeri. Pengaruhnya tentu besar, masakah tak dapat memeriksa berita yang palsu
dan benar?”
Lau Gik-siu tertegun, ”Maksud nona...?”
“Panji Tengkorak darah itu palsu!” Siau-bun berseru pula dengan tegas.
“Palsu?”
“Ya. Hanya bikinan dari orang Sin-bu-kiong belaka. Untuk mengelabui mata dunia persilatan. Dia memfitnah Hun-
tiong Sin-mo agar dibenci oleh dunia. Kemudian dapatlah ia mengeduk keuntungan dari kekeruhan itu. Memang dia
telah mainkan sebuah tipu muslihat yang luar biasa pintarnya!”
Seluruh mata pengemis ditumpahkan ke arah Thian-leng. Seolah-olah mereka hendak meminta tanggapan Thian-
leng.
“Ya, memang benar!” tanpa ragu-ragu Thian-leng serentak memberi pernyataan.
Terdengar gemuruh sorak para pengemis, “Mohon ketua suka memberi keputusan untuk membalaskan sakit hati
mendiang pangcu!”
“Tentu…. “ tiba-tiba ia tertegun sejenak, “atas kepercayaan Thiat-ik-sin-kay dan dukungan saudara-saudara sekalian,
aku akan mencurahkan segenap tenaga untuk membalaskan sakit hati almarhum ketua kalian!”
Terdengar tempik sorak gegap gempita. Dari pernyataan itu jelaslah bahwa Thian-leng sudah menerima
pengangkatannya sebagai ketua Kaypang. Ternyata pengemis-pengemis
yang berkumpul di situ adalah ketua-ketua daerah dari berbagai tempat. Atas petunjuk Thiat-ik-sin-kay, mereka
berbondong-bondong menuju ke gunung Thay-heng-san menunggu kedatangan ketua baru.
Tetapi perhitungan Thiat-ik-sin-kay itu meleset sedikit. Dia memperhitungkan di kala
Thian-leng tiba di gunung Thay-heng-san itu tentu sudah memperoleh kitab pusaka dan harta karun. Siapa tahu
ternyata peta itu telah hilang dan kedatangan Thian-leng hanyalah hendak menyelidiki jejak si orang tua yang telah
mencuri peta.
Tiba-tiba Siau-bun gunakan ilmu menyusup suara membisiki Thian-leng, “Anggota Kay-pang tersebar luas di seluruh
negeri. Pengaruhnya tentu luas sekali. Oleh karena kini kau telah menjadi ketua mereka, mengapa tak
memberitahukan kehilangan peta itu kepada mereka dan memerintahkan mereka mencarinya?”
Thian-leng anggap pernyataan nona itu tepat. Segera ia menarik Lau Gik-siu ke samping dan membisikinya perlahan-
lahan. Wajah Lau Gik-siu berobah membesi. Pengemis tua itu mengangguk-angguk, “Murid segera akan menyebar
pengumuman ke seluruh daerah. Begitu ada berita tentu akan segera memberi laporan pada pangcu.... Tetapi saat ini
pangcu hendak pergi ke.....?”
“Aku hendak menjelajahi gunung ini. Urusan partai yang penting-penting untuk sementara ini kaulah yang
mengurusi.” sahut Thian-leng.
Serta-meta Lau Gik-siu mengiyakan. Ia berlutut di hadapan Thian-leng diikuti oleh berpuluh-puluh pimpinan cabang
kay-pang di daerah-daerah. “Memujikan pangcu selalu diberkahi keselamatan dalam perjalanan!”
Thian-leng tak tahu harus bertindak bagaimana menyambut penghormatan itu. Akhirnya ia mnyuruh mereka bangun,
kemudian mengajak Siau-bun meninggalkan biara itu. Mereka hendak buru-buru mencapai puncak gunung untuk
menikmati pemandangan matahari terbit.
Sekonyong-konyong sesosok bayangan hitam melesat ke dalam hutan. Gerakannya gesit sekali, pasti seorang tokoh
persilatan.
“Adik Bun, tolong gunakan ilmu Melihat-langit-mendengar-bumi.”
“ Hanya karena seorang ya-heng-jin ( orang persilatan yang berjalan tengah malam) lantas menggunakan ilmu
tersebut, sungguh keterlaluan.”
Tetapi kata-katanya itu terputus oleh terdengarnya jeritan ngeri menyayat hati yang berasal dari arah hutan. Itulahjerit pembunuhan!
Cepat sekali Thian-leng segera ajak Siau-bun. Bahkan ia sudah mendahului loncat menuju ke dalam hutan. Begitu
tiba, hidungnya mencium bau darah…..
“Jangan kesusu! Hati-hati terhadap perangkap orang!” Siau-bun memberi peringatan dengan ilmu menyusup suara.
Thian-leng mencabut pedang dan berjalan dengan hati-hati. Apa yang dilihatnya membuat bulu romanya berdiri….
Di tengah hutan situ tampak belasan mayat berserakan mengerikan. Hampir Thian-leng muntah karena tak tahan
baunya. Mayat-mayat itu tak utuh, tangan, kaki, lengan, paha, badan dan kepala mereka hancur lebur, ada yang
terpisah badan. Usus dan otak berhamburan keluar. Ya, pendeknya mayat-mayat itu seperti dicincang-cincang
sehingga tak dapat dikenali lagi.
Tiba-tiba Thian-leng melihat ada seorang yang sekalipun tubuhnya sudah tak keruan tapi dadanya masih berkembang
kempis tanda masih bernapas. Buru-buru dihampirinya orang itu. Seorang muda yang cakap. Keadaannya payah
sekali, tetapi ia masih dapat paksakan dirinya brseru, “Di muka puncak Co-gan-hong…..!” Habis mengucapkan, orang
itu pingsan tak ingat diri lagi.
Thian-leng menempelkan tangannya ke perut orang itu. Ia menyalurkan tenaga dalamnya untuk menolong. Tak
berapa lama orang itupun dapat menghela napas lagi.
“Apa maksudmu tadi?” tegur Thian-leng.
Dengan susah payah, orang itu berkata, “Pertempuran besar segera terjadi. Ketua kami di…… kurung oleh beberapa
orang tak dikenal………lekas….lekas bantu!”
Thian-leng tercengang. Ia berpaling kepada Siau-bun. Nona itupun tampak mengerutkan dahi. Thian-leng
menyalurkan tenaga dalamnya lagi kepada orang itu. Setelah orang itu sadar lagi, buru-buru ditanyanya, “Siapakah
mayat-mayat ini. Siapa yang membunuhnya?”
“Orang-orang partaiku....”
“Apa partai perguruanmu itu?” tanya Thian-leng.
Orang itu sudah tak kuat lagi, namun hatinya keras sekali. Dengan seluruh sisa tenaganya, ia membuka mata dan
memandang Thian-leng.
Thian-leng tak tahu apakah orang itu dapat melihatnya jelas, tetapi yang jelas ia mendengar mulut orang itu
mengucapkan beberapa patah kata lemah, “ Tiam...jong.....”
“Tiam-jong?” tiba-tiba Siau-bun melonjak kaget. Demikian pula Thian-lengpun tak kurang kagetnya. Teringat ia akan
si Jenggot Perak ketua Thiat-hiat-bun yang mengundang sekalian orang gagah datang ke gunung Tiam-jong-san.
Teringat juga betapa ketua Sin-bu-kiong telah menyatakan bahwa dalam tiga hari nanti ia akan ngeluruk ke Tiam-
jong-san.
Dan saat ini anak buah Tiam-jong-pay telah dibunuh musuh yang tak dikenal dan ketua merekapun telah dikurung
oleh orang! Thian-leng meminta penjelasan lagi, tapi ternyata orang itu sudah putus nyawanya......
Wajah Siau-bun berobah pucat sekali. Jelas bahwa ia sangat dipengaruhi oleh kejadian saat itu. Buru-buru ia
mengajak Thian-leng, “Ayo, cepat ke Co-gan-hong!”
“Di manakah letak puncak itu?” tanya Thian-leng.
“Masakah kau lupa akan ilmuku Melihat-langit-mendengar-bumi…..” dan tanpa menunggu jawaban si anak muda lagi,
Siau-bun terus lari mendahului.
Tampaknya Siau-bun paham sekali akan jalan di gunung itu. Kira-kira berlari satu li, tampak sebuah puncak gunung
yang menjulang tinggi ke langit.
“Tentu puncak Co-gan-hong, “ kata Siau-bun.Thian-leng melihat puncak itu penuh dengan lereng dan tebing yang curam, tetapi tak tampak barang seorangpun di
sana. Siau-bun membaringkan diri memasang telinga.
“Bagaimana?” tanya Thian-leng.
Siau-bun mengerutkan dahi, “Aneh, seluas limapuluhan tombak tak terdengar suara orang!”
Tetapi ucapannya itu terputus oleh suara tertawa nyaring bernada sinis. Siau-bun dan Thian-leng tersentak kaget.
Orang itu muncul tanpa suara sama sekali. Dan serentak dengan tertawa itu, orangnya pun terdengar berseru
mengejek, “Oho, jangan-jangan ilmumu Melihat langit mendengar bumi tak mempan lagi!”
Kedua muda mudi itu cepat memutar ke arah datangnya suara. Ah, seorang lelaki bertubuh kurus pendek dalam
pakaian merah yang berlapis mantel biru. Dia memelihara jenggot kambing.
Sin-bu Te-kun!
Thian-leng segera meraba pedangnya. Ia siap sedia menghadapi momok itu. Namun Sin-bu Te-kun hanya ganda
tertawa, “Buyung, apakah hal yang paling dihormati kaum persilatan?”
Thian-leng malu dan marah sekali. Tahulah ia di mana jatuhnya perkataan orang. Seketika merah padamlah air
mukanya.....
oooo00000oooo
Empat Serangkai
Siau-bun tertawa hina, “Baiklah aku mewakilinya berbicara. Yang paling dihormati kaum persilatan ialah kepercayaan
dan kebajikan. Benar tidak?”
Sin-bu Te-kun tertegun. Matanya berkilat-kilat menyapu si nona. Pada lain kilas ia tertawa membatu, “Nona seorang
yang tangkas bicara, tak kecewa menjadi ratu kembang, pendekar wanita.”
“Ah, jangan kelewat memuji… ”
Tiba-tiba Sin-bu Te-kun alihkan pandangan ke arah Thian-leng, “Buyung, eh, Bu-beng-tay-hiap, setujukah kau
dengan kata-kata nona tadi?”
Wajah Thian-leng membesi. Rasa malu bercampur marah membuatnya tak dapat bicara.
“Bu-beng-tay-hiap tak suka menerima budi orang, anggaplah aku yang mewakilinya bicara!” Siau-bun tertawa tawar.
“Akan kudengarkan dengan khidmat!” ejek Sin-bu Te-kun.
Sejenak Siau-bun melirik Thian-leng lalu berkata dengan tenang, “Bukan saja menjunjung kepercayaan dan
kebajikan, Bu-beng-tay-hiap pun paling konsekwen melaksanakan kedua hal itu!”
Sin-bu Te-kun mendelikkan mata kepada Thian-leng. Tiba-tiba ia tertawa nyaring. Seketika berhamburan dering
ringkik bagai petir menyambar anak telinga. Kumandangnya menggelegar ke seluruh lembah…..
“Setan tua, pertandingan seratus jurus itu hanya tipu muslihatmu belaka….!” tiba-tiba Thian-leng membentaknya.
“Taruh kata benar suatu tipu muslihat, mengapa kau sampai kena tertipu? Apakah kau seorang anak kecil atau kau
menyesal sekarang?” Sin-bu Te-kun tertawa hina.
“Apakah aku menyatakan menyesal? Seorang lelaki sekali berkata tentu tak mau menjilatnya lagi. Apalagi aku sudah
bersumpah kepada langit….”
“Kalau begitu, sepuluh jurus yang terakhir…….?”
“Kau sudah sedia melanjutkan ?” Thian-leng menjamah pedangnya.
Sin-bu Te-kun tertawa sinis. Ia lingkarkan jari telunjuknya ke arah tanah dan terbentuklah sebuah lingkaran di tanah.
Tubuhnya yang kecil kurus berada di tengah lingkaran.“Aku sudah siap!”
Diam-diam Thian-leng telah mengambil keputusan. Jika dalam sembilan jurus ia tak berhasil merebut kemenangan,
maka satu jurus terakhir akan digunakan untuk membunuh diri. Betapapun halnya, ia tak sudi jatuh ke tangan Sin-bu
Te-kun.
Tiba-tiba terdengar suara Sin-bu Te-kun dalam ilmu menyusup suara, melengking di telinga Thian-leng, “Buyung,
hendak kugunakan sepuluh jurus ilmu silat yang paling sakti untuk menghindari seranganmu. Harap kau perhatikan
dengan seksama. Mungkin di kemudian hari akan banyak berguna padamu!”
Thian-leng tergerak hatinya. Teringat ia ketika melakukan pertempuran sembilan puluh jurus dengan Sin-bu Te-kun
tempo hari. Banyak sekali ilmu pelajaran silat yang aneh dan sakti telah didapatnya dari raja Sin-bu-kiong itu. Dan
ketika berada dalam penjara Cui-lo, Nyo Sam-kui berpesan dengan wanti-wanti agar ia suka melatih ilmu pelajaran
dari Sin-bu Te-kun itu.
Dan kini kembali Sin-bu Te-kun menyuruh ia memperhatikan jurus-jurusnya. Jelas bahwa momok itu sengaja hendak
menurunkan pelajaran padanya. Ah, sungguh aneh!
Tiba-tiba ia teringat bagaimana Lu Bu-song memutuskan perundingannya dengan Sin-bu Te-kun untuk menetapkan
perjanjian seratus jurus pertempuran itu. Apakah Sin-bu Te-kun benar-benar bermaksud hendak mengambilnya
sebagai ahli waris?
Ah, tidak, tidak……
“Ayo, mulailah buyung!” tiba-tiba Sin-bu Te-kun membentaknya.
Thian-leng tersentak kaget dari lamunan. Ternyata walapun tangan sudah menjamah pedang, tetapi tak segera
dicabut. Cepat ia mencabut pedang dan segera hendak menyerang. Tetapi secepat itu juga Siau-bun membentaknya
perlahan.
“Hai, perlu apa kau turut campur?” bentak Sin-bu Te-kun dengan murka.
Siau-bun tersenyum, “ Memang tak ada hubungan apa-apa. Aku tak mau merintangi kalian melanjutkan
pertempuran, tetapi aku perlu memperingatkan dulu pada Bu-beng-tay-hiap!”
Thian-leng tertegun, serunya kemudian, “Seorang lelaki tak serakah hidup, tak gentar mati. Karena aku sudah
terlanjur berjanji, maka tak ada jalan lain kecuali harus menempurnya. Jika gagal kematianlah yang menjadi
bagianku. Tak nanti aku sudi jatuh ke tangan setan tua itu!”
Siau-bun gelengkan kepala, “Justru hal itu yang hendak kuingatkan kepadamu. Sekalipun kau sudah bertekad begitu,
tetap kau tak kenal siapa lawanmu itu. Sekali sudah menghendaki mengambil kau sebagai murid, maukah ia
membiarkan kau bunuh diri?”
Nona itu berpaling kepada Sin-bu Te-kun, “Maaf karena menelanjangi rencanamu. Kau tentu tahu ia tak sudi menjadi
muridmu dan akan bunuh diri. Tetapi dengan kepandaianmu kau pasti dapat mencegahnya. Dengan selesainya
pertandingan seratus jurus itu, tentu kau yakin dia akan menurut perintahmu.”
Thian-leng tersentuh hatinya. Diam-diam ia mengakui ucapan si nona itu memang benar. Memang mudah sekali bagi
Sin-bu te-kun hendak mencegah ia bunuh diri.
Dalam pada itu tampak Sin-bu Te-kun marah sekali, serunya mengekeh, “Anggaplah ucapanmu itu benar, lalu
bagaimana……” ia melirik tajam kepada Thian-leng, serunya, “Apakah kau hendak membatalkan pertandinagn ini?”
Thian-leng terpaku tak dapat bicara.
Siau-bun tertawa mengejek, “Kau mau menghabiskan urusan ini atau tidak, Bu-beng-tay-hiap kelak tetap akan
mencarimu untuk membikin perhitungan ….”
Tergerak sekali semangat Thian-leng mendengar ucapan itu. Dia telah menyanggupi Oh-se Gong-mo untuk menuntut
balas pada Song-bun-kui-mo atau Sin-bu Te-kun sekarang…. Tetapi ia kalah sakti dengan musuh itu dan kini masuk
ke dalam perangkapnya. Tidak hidup juga tidak mati….
“He, he…” Sin-bu te-kun mengekeh tertawa, “Ucapan nona memang tepat sekali, lalu….”“Sisa pertandingan ini diundur lagi sampai lain waktu!” Siau-bun cepat menanggapi.
Thian-leng terkesiap. Tempo hari Lu Bu-song pun mencegah diteruskannya sisa sepuluh jurus itu. Sekarang Siau-bun
pun demikian.
Sin-bu te-kun marah sekali, “Seharusnya pertandingan seratus jurus itu diselesaikan pada saat itu juga. Toh sudah
diundur sekali, rasanya sukar untuk menundanya lagi.....” cepat ia berpaling kepada Thian-leng dan berseru
menantang, “Hai, Bu-beng-tay-hiap, mengapa tak segera menyerang?”
Merah padam muka Thian-leng tetapi segera ia menyahut lantang, “Saat ini aku tak mempunyai selera bertempur,
maka harus....”
“Toh baru diundur satu kali masakah tak boleh sekali lagi....” Siau-bun tertawa.
“Salahmu mengapa kau lalai pada waktu permulaannnya!” kata Sin-bu Te-kun kepada
Siau-bun.
“Dalam sumpah, tak diterangkan bahwa pertandingan harus diselesaikan dalam satu saat. Tak disebutkan pula kalau
hanya boleh diundur satu kali!” sahut Siau-bun.
Marah Sin-bu Te-kun bukan kepalang. Ia tertawa meringkik, “Kalau begitu, jangan salahkan aku seorang yang
ganas…”
“Mau apa kau?” tegur Siau-bun.
Sin-bu Te-kun mendesah. “Akan kucincang tubuhmu lebih dahulu, baru nanti kulanjutkan pertempuran dengan budak
itu!”
Siau-bun tertawa nyaring. “Oh, jadi kau hendak bertempur melawan aku!”
“Terhadap seorang budak perempuan seperti kau, tak perlu menggunakan kata-kata bertempur. Jika mau
membunuhmu adalah semudah membalikkan telapak tanganku ini!” seru Sin-bu Te-kun dan tanpa tampak bergerak,
tiba-tiba ia sudah melesat ke hadapan Siau-bun. Kelima jari tangannya segera dicakarkan….
Bukan main terkejutnya Thian-leng. Sekalipun ia tahu kepandaiannya kalah jauh dengan Sin-bu Te-kun, namun untuk
menolong Siau-bun ia tak segan mengadu jiwa. Dengan sepenuh tenaga ia siapkan Lui-hwe-sin-ciang dengan tangan
kiri, sedang tangan kanan siap mencabut pedang.
Tetapi anehnya Siau-bun tampak tenang-tenang saja. Bahkan sama sekali tak mengacuhkan Sin-bu Te-kun.
Nona itu tertawa hambar, “Sayang saat ini aku tak gembira bertempur dengan engkau. Apalagi kuperhitungkan kau
tentu tak berani membunuhku!”
Kata-kata gagah itu membuat Sin-bu Te-kun tertegun, serunya geram,”Kau sudah yakin? Bagaimana kau tahu aku
akan memberi ampun kepadamu?”
“Siapa sudi menerima pengampunanmu?” Aku hanya mengatakan bahwa pada saat ini kau tentu tak berani
membunuhku!” kata Siau-bun.
Ucapan nona itu ditutup dengan menaburkan tangannya ke udara. Seutas sinar merah segera menghambur. Cepat
sekali Sin-bu Te-kun sudah menyambut benda yang dilontarkan si nona itu. Hanya yang jelas benda itu bukanlah
sejenis senjata rahasia. Tetapi untuk keheranannya begitu memeriksa benda itu terbeliak mata Sin-bu Te-kun..
“Kau ternyata......” mulutnya terbuka.
Thian-leng tak dapat mendengar apa yang dikatakan Sin-bu Te-kun lebih jauh, karena pada saat itu juga Siau-bun
segera mengajaknya pergi,” Jangan lupa tujuan kita, ayo kita berangkat!”
Sekalipun menurut ajakan si nona, namun Thian-leng tak mau tinggalkan kewaspadaan. Ia terus memandang lekat-
lekat kepada Sin-bu Te-kun sembari melangkah mundur. Aneh sekali Sin-bu Te-kun sama sekali tak merintanginya.
Tiba-tiba raja Sin-bu-kiong itu berseru sinis, “Kasih tahu pada ibumu, keputusanku untuk menguasai dunia persilatan
sudah lenyap! Jika dia mau bekerja sama, tentu kubagi rata kedudukan itu, tetapi kalau tidak.....”Thian-leng hanya samar-samar menangkap arti kata-kata itu, tapi ia tak sempat merenungkan lebih jauh karena ia
sudah diseret sampai tujuh delapan tombak jauhnya oleh Siau-bun.
“Apakah yang kau lemparkan tadi sehingga membuat ia......” ia hendak minta keterangan.
“Saat ini kita berada dalam kepungan orang Sin-bu-kiong,” Siau-bun memutus, “iblis tua itu setiap saat dapat
berobah haluan. Lebih baik kita lekas pergi dari sini!”
Thian-leng terpaksa menurut. Dalam beberapa kejap saja, mereka sudah tiba di dalam sebuah hutan di kaki gunung.
Suasana malam sunyi sekali.
Siau-bun menggunakan ilmu menyusup suara,”Tempat ini tampaknya sunyi senyap, tetapi sebenarnya penuh dengan
naga dan harimau!”
Diajaknya Thian-leng bersembunyi di sebuah gerumbulan pohon. Diam-diam Thian-leng heran mengapa ia tak melihat
barang seorangpun manusia. “Apakah tempat ini benar Co-gan-hong?” tanyanya.
Siau-bun mengiyakan.
“Katanya ketua Tiam-jong-pay dikepung di sini, tetapi mengapa sepi-sepi saja, apakah….”
“Memang seperti orang Sin-bu-kiong yang mengepung, tetapi kurasa pertempuran ini tidak terbatas hanya antara
Tiam-jong-pay dengan Sin-bu-kiong saja…..”
“Oo, masih ada lain partay…”
“Tunggu saja sebentar lagi…!”
Thian-leng tak habis herannya. Banyak nian keanehan yang dijumpainya. Tiba-tiba dari dalam hutan muncul lima
sosok bayangan hitam. Gerakan mereka gesit sekali, tentulah jago-jago silat yang sakti.
Karena mencurahkan pandangannya kepada Sin-bu Te-kun, maka Thian-leng tak dapat melihat jelas kelima bayangan
itu. Ia menanyakannya kepada Siau-bun.
“Akupun tak tahu golongan mana mereka itu,” jawab Siau-bun, “tetapi yang jelas di hutan ini penuh tokoh-tokoh
persilatan dari segala penjuru dunia....”
“Mengapa aku tak dengar apa-apa? Apakah karena kau menggunakan ilmu Melihat-langit-mendengar bumi….. ”
“Tetapi sampai saat inipun aku tak mendengar apa-apa,” sahut Siau-bun, “ini membuktikan mereka itu memiliki
kepandaian sakti. Dan lagi karena terhalang lamping gunung, sehingga tak mudah tertangkap suaranya…. ”
“Bagaimana, apa sudah kedengaran apa-apa?” tanya Thian-leng sesaat kemudian.
“Sekeliling penjuru ini penuh dengan orang. Entah apakah yang mereka tunggu,” kata Siau-bun, “Celaka, kedatangan
kita mungkin sudah diketahui, lebih baik…..”
(bersambung jilid 16 )
Jilid 16 .
Belum selesai ucapannya, tiba-tiba kelima sosok bayangan tadi melesat keluar dari hutan. rupanya mereka bertemu
rintangan.
“Sahabat manakah yang di depan itu?” salah seorang berseru dengan nada berat.
Terdengar suara sahutan disertai tawa dingin, “Mengapa bukan kau yang melapor dirimu terlebih dahulu?”
Kelima orang itu terbeliak. Orang yang berseru tadi kembali berseru pula, “Kami adalah orang Sin-bu-kiong, mohon
tanya siapa saudara?”
“Thiat-hiat-bun!” sahut suara itu.Kelima orang itu mengeluh kaget dan menyurut langkah, “Thiat-hiat-bun sudah datang?”
Sebagai jawaban, sebuah pukulan dilayangkan. Kelima orang itu sama sekali tak menyangka. Mereka menangkis
kalang kabut, namun tetap harus terhuyung-huyung beberapa langkah. Pukulan orang Thiat-hiat-bun itu keras sekali.
“Ha,ha, ha,, murid-murid Sin-bu-kiong hanya gentong kosong semua. Masakah dengan kepandaian begitu berani
unjuk muka di sini?” orang Thiat-hiat-bun itu tertawa mengejek.
Thian-leng dan Siau-bun terkejut girang. Buru-buru mereka mencuri lihat. Di sebelah sana tampak kelima orang Sin-
bu-kiong itu tengah berhadapan dengan seorang lawan yang menyebut dirinya Thiat-hiat-bun. Dia seorang tua dalam
jubah pertapaan. Sikapnya berwibawa.
Tiba-tiba dari dalam hutan melesat keluar lagi tiga orang yang menggabung di sebelah orang tua itu. Salah seorang
segera menegur rombongan orang Sin-bu-kiong.” Di mana Poh-ih-siu Li ciangbun sekarang?”
Setelah menenangkan diri, kelima orang Sin-bu-kiong itu segera menyahut. “Sayang kalian datang terlambat. Dia
sudah menyerah!”
Marah sekali keempat orang Thiat-hiat-bun itu. Serempak mereka membentak seraya menghantam, “Kalau begitu
kamu harus mengganti jiwa!”
Seorang Thiat-hiat-bun saja sudah cukup ngeri, apalagi empat orang. Kelima orang Sin-bu-kiong mundur seraya
memberi isyarat tangan, “Tahan dulu!”
Keempat orang Thiat-hiat-bun itu hentikan pukulannya, “Lekas bilang!”
“Mohon tanya nama saudara-saudara?”
Orang Thiat-hiat-bun tertawa, “Pernahkah kamu dengar tentang Thiat-hiat Su-kiat?”
“Thiat-hiat Su-kiat?” kelima orang Sin-bu-kiong menjerit kaget dan buru-buru hendak melarikan diri. Thiat-hiat Su-
kiat artinya Empat pahlawan partai Thiat-hiat-bun.
Tetapi Thiat-hiat Su-kiat bergerak secepat kilat. Terdengar deru angin bagai gunung roboh menyambar kelima orang
itu. Orang Sin-bu-kiong pun terpaksa mengadakan perlawan. Mereka sebenarnya juga jago kelas satu dalam istana
Sin-bu-kiong. Tetapi terhadap keempat Su-kiat, jauhlah kepandaiannya. Dalam waktu singkat, kelima orang Sin-bu-
kiong itupun tercancam maut.
Tiba-tiba sesosok bayangan merah melesat. Seorang tua bertubuh kecil kurus melayang dari udara dan menangkis
serangan keempat Su-kiat. Bum….terdengarlah letusan dahsyat dan debu berhamburan….
Keempat Su-kiat itu tersentak kaget. Mereka dapatkan selain luar biasa kuatnya, tenaga pukulan orang tua pendek
itupun mengandung tenaga Imhan ( dingin ), yang menusuk sampai ke tulang, sehingga menyurutkan tenaga
keempat Su-kiat sampai beberapa bagian. Penyurutan tenaga itu membuat kuda-kuda kaki mereka tergempur
mundur beberapa langkah.
Pendatang baru itu bukan lain Sin-bu Te-kun sendiri. Tetapi dia juga tak terlepas dari rasa kaget. Sejak mempelajari
ilmu kesaktian dari kitab Im-hu-po-tian, ia anggap dirinya tiada yang menandingi lagi. Tetapi diam-diam ia masih
kuatir terhadap partai Thiat-hiat-bun.
Peristiwa si jenggot Perak Lu Liang-ong mengacau istana Sin-bu-kiong belum cukup meyakinkan Sin-bu Te-kun
tentang kepandaian orang Thiat-hiat-bun. Dia belum bertempur resmi dengan ketua Thiat-hiat-bun. Bahwa ternyata
keempat Thiat-hiat Su-kiat yang tentunya lebih rendah kepandaiannya dari ketua Thiat-hiat-bun, mampu menahan
pukulannya dan bahkan adu pukulan itu membuat darahnya bergolak-golak, benar-benar membuat Sin-bu Te-kun
terkejut bukan kepalang.
Seketika berkobarlah nafsu membunuh dalam hatinya. Diam-diam ia mengerahkan tenaga dalam dan berdiri tegak.
Begitu keempat Su-kiat maju menyerang, hendak ia sambut dengan pukulan Hiam-im-ciang yang ganas sekali.
Thiat-hiat Su-kiat pun termangu heran. Mereka diperintahkan oleh ketua Thiat-hiat-bun untuk menolong Lu Bu-song
yang ditawan dalam penjara istana Sin-bu-kiong. Memang telah diketahui bahwa istana Sin-bu-kiong itu penuh
dengan naga dan harimau, juga ketua Sin-bu-kiong itu memiliki kepandaian yang tiada taranya. Tetapi mereka taksampai membayangkan kalau raja Sin-bu-kiong itu ternyata sedemikian saktinya. Tenaga pukulan mereka berempat
dapat ditolak mundur olehnya.
Namun keempat Su-kiat itu juga tokoh-tokoh kenamaan. Setelah saling memberi isyarat, mereka serempak maju
memukul.
“Tahan!” sekonyong-konyong terdengar suara bentakan dari udara.
oo000oo
Bahasa Singa dan Naga
Bentakan itu bagaikan petir menyambar pecah anak telinga. Sin-bu Te-kun terkejut juga. Sedang keempat Su-kiat
mundur beberapa langkah.
Seorang tua bertubuh kokoh kekar dengan jenggot berkelap-kelip seperti perak melayang turun dari udara. Dia tegak
di tengah-tengah kedua pihak yang hendak bertempur.
Girang Thian-leng bukan kepalang. Itulah si Jenggot Perak Lu Liang-ong , ketua Thiat-hiat-bun.
“Adu tenaga yang tadi sudah cukup!” jago Thiat-hiat-bun itu tertawa meloroh. Ia mengurut-urut jenggot dan menatap
Sin-bu Te-kun. “Cukuplah kiranya kau menikmati rasanya orang Thiat-hiat-bun!”
Wajah Sin-bu Te-kun berobah gelap, serunya dengan geram. “Lu tua, jangan terlalu menghina orang!”
Ia menengadah sambil bersuit panjang. Nadanya aneh dan seram. Begitu berhenti bersuit, tiba-tiba muncullah
serombongan orang Sin-bu-kiong, antara lain Co sucia dan Yu sucia. Kepala Cong houhwat yang baru dan berpuluh-
puluh pengawal baju ungu. Mereka berdiri di belakang Sin-bu Te-kun.
“Aha, apakah semua kochiu Sin-bu-kiong sudah lengkap?” Jenggot perak tertawa.
Sahut Sin-bu Te-kun sinis, “Lengkap atau tidak, tetapi rasanya cukup sudah untuk menghadapi Thiat-hiat-bun!”
Jenggot perak Lu Liang-ong tertawa meloroh, “Kukuatir kau salah hitung……” tiba-tiba ia bertepuk tangan.
Seketika dari dalam hutan samping berbondong-bondong muncul puluhan orang Thiat-hiat-bun. Di antaranya terdapat
juga ke tiga puluh enam Thian-kong dan ke tujuh puluh dua Te-sat dari Thiat-hiat-bun.
Thian-kong dan Te-sat merupakan kedudukan yang tinggi dalam partai Thiat-hiat-bun. Ke tiga puluh enam Thian-
kong itu mengenakan pakaian ringkas warna biru dan ke tujuh puluh dua tokoh Te-sat berpakaian kuning. Masing-
masing bersabuk kong-pian atau ruyung emas seperti cemeti.
Sin-bu Te-kun terbelalak, serunya, ”Lu tua, kiranya kau merencanakan hendak menancapkan kaki di Tiong-goan !”
Jenggot perak tertawa datar. “Daerah di Lam-hong sudah cukup luas, perlu apa aku menginginkan daerah Tiong-goan
lagi…”
“Kalau tidak bermaksud begitu, mengapa jauh-jauh datang kemari dengan membawa seluruh anak buahmu?
Bukankah hendak memusuhi pihak Sin-bu-kiong?” tukas Sin-bu Te-kun.
Jenggot perak tertawa nyaring, ”Telah kukatakan bahwa aku ingin pesiar menikmati pemandangan alam di sini. Kalau
kau katakan memusuhi pihak Sin-bu-kiong, mungkin itu hanya kebetulan saja….”
“Bagaimana kau katakan kebetulan saja?”
“Kebetulan karena mengetahui perbuatan-perbuatan Sin-bu-kiong yang melampaui batas hendak menguasai dunia
persilatan. Aku si orang tua merasa gatal. Inilah yang kumaksud dengan secara kebetulan itu!”
Rambut Sin-bu Te-kun menjinggrak. Mulutnya memekik makian, “Lu tua yang licik! Terang kau hendak menancapkan
kaki di Tiong-goan, sebaliknya malah menuduh pihakku yang salah!” Ia berhenti sejenak, serunya pula, “Bukankah
kau hendak ke Tiam-jong-san? Mengapa datang ke Thay-heng-san sini?”
Jenggot perak tertawa keras, “Pertanyaan itu seharusnya kuajukan kepadamu. Bukankah kau hendak membalas sakit
hati ke Tiam-jong-san? Mengapa kau datang kemari?”“Aku mengejar jejak ketua Tiam-jong-pay Li Cu-liong. Kini dia sudah kutawan dan hendak kutuntut dosanya mengapa
berani membunuh orang Sin-bu-kiong!”
Jenggot perak Lu Liang-ong tertawa tenang. “Akupun kemari karena hendak membebaskan ketua Tiam-jong-pay itu.
Jika tak kau bebaskan, jangan harap ada seorangpun Sin-bu-kiong yang dapat meninggalkan tempat ini!”
Tiba-tiba Sin-bu Te-kun tertawa sekeras-kerasnya. “Lu tua, terlebih dahulu aku hendak minta penjelasan padamu!”
“Silakan!”
“Ketua Tiam-jong-pay Li Cu-liong itu pernah apa dengan engkau? Mengapa kau begitu ngotot hendak
melindunginya?”
Jenggot perak tertegun. Sampai beberapa saat barulah ia menjawab. “Telah kukatakan tadi bahwa aku bertindak
semata-mata demi keadilan. Apalagi aku hendak meminjam markas Tiam-jong-san untuk menjamu sekalian orang
gagah di Tiong-goan. Sudah tentu tak dapat kubiarkan tuan rumah dicelakai orang lain!”
“Huh, belangmu telah kuketahui sejak semula. Perlukah kukatakan sejelas-jelasnya?” ejek Sin-bu Te-kun tajam.
Lu Liang-ong tertegun. Ditatapnya Sin-bu Te-kun tajam-tajam.
Sin-bu Te-kun melanjutkan ucapannya dengan riang, “Siapakah ketua Tiam-jong-pay itu? Oh, tak lain tak bukan anak
asuh Thiat-hiat-bun, putera angkat Lu Liang-ong ketua Thiat-hiat-bun! Tiga tahun yang lalu ia diselundupkan ke
Tiong-goan, masuk ke dalam partai Tiam-jong-pay. Setahun lalu berhasillah dia diangkat sebagai ketua Tiam-jong-
pay. Benar tidak?”
Jenggot perak mengangguk, “Apa yang benar takkan kusangkal. Kau memiliki sumber berita yang hebat!”
Sin-bu Te-kun tertawa gembira,”Pengakuanmu merupakan bukti yang tak dapat dibantah lagi. Lebih dahulu kau suruh
muridmu merebut kedudukan salah sebuah partai besar Tiong-goan, kemudian menjadikan Tiam-jong-san sebagai
markas untuk menguasai dunia persilatan Tiong-goan. Jelas bukan?”
Di luar dugaan Jenggot Perak tertawa dan menghela napas longgar. Diam-diam ia girang karena yang diketahui Sin-
bu Te-kun hanyalah sampai di situ saja.
“Apakah tuduhanmu itu benar atau tidak, aku takkan mewajibkan diriku untuk membantahnya….” ia berhenti sejenak
lalu berkata pula. “Sekarang kita selesaikan dulu persoalan ini. Jika kau mau percaya padaku, hapuslah permusuhan
dengan persahabatan. Kelak dalam perjamuan para orang gagah di Tiam-jong-pay, akan kubantu engkau untuk
mencapai kedudukan ketua dunia persilatan Tionggoan!”
“Ooo, Lu tua, betapapun lincah lidahmu, tak nanti aku jatuh ke dalam perrangkapmu lagi!” dengus Sin-bu Te-kun.
“Jadi kau menghendaki kekerasan?”
“Sebenarnya tidak!” sahut Sin-bu Te-kun, “asal kau segera ajak anak buahmu pulang ke Lam-hong, akupun takkan
memusuhi Thiat-hiat-bun lagi!”
“Jika aku keberatan?”
“Terpaksa kita selesaikan dengan pedang!”
Jenggot perak tertegun. Tiba-tiba ia tertawa, “Oho, makanya kau begitu bernyali besar. Kiranya sahabatmu datang
juga!”
Berbareng dengan ucapan itu muncullah serombongan orang. Pemimpinnya seorang bungkuk, kakinya pincang dan
lengan buntung, tetapi gerakannya lincah sekali. Ia tertawa mengekeh tak jauh dari tempat Sin-bu Te-kun.
Pemilik Hek Gak, Kongsun Bu-wi! Dia datang bersama puluhan su-cia Hek Gak. tetapi yang paling mengejutkan orang
ialah ikut sertanya Ang-tim-gong-khek Bok Sam-pi!
Di tempat persembunyiannya, Thian-leng tegang sekali. Ia tahu sampai di mana kesaktian Bok Sam-pi. Ngeri ia
membayangkan bagaimana akibatnya kalau Jenggot Perak Lu Liang-ong sampai kena diadu dengan Bok Sam-pi…Ketua Hek Gak tertawa tajam, “Maaf, maaf, aku datang terlambat!”
“Kalau mataku si orang tua ini tak salah lihat, kaulah yang datang paling pagi di sini. Hanya saja kau tak mau unjuk
diri, melainkan bersembunyi dulu.” Jenggot perak tertawa.
Merah padam wajah ketua Hek Gak, serunya, ”Jangan jual ketuaanmu di sini! Setiap berkata tentu tak lupa menyebut
‘aku si orang tua’! Kau hendak menakut-nakuti atau menjual lagak?”
Jenggot perak tetap tertawa, ”Dalam hal umur sebenarnya kau lebih tua dari aku. Tetapi dalam sejarah hidupku, aku
tak pernah jatuh di tangan orang. Tak seperti kau seorang tua yang sudah hidup tujuh puluhan tahun masih tak
berani unjuk muka!”
Marah ketua Hek Gak bukan kepalang. Sampai rambutnya jigrak, mata mendelik. “Seoarng lelaki tak mau bergerak
sembarangan. Akan menunggu sampai saatnya baru bertindak. Asal dapat mencuci bersih hinaan yang lampau, tetap
berharga sebagai insan persilatan sejati….!”
“Sayang dalam kehidupanmu sekarang kau tak sempat mencuci hinaan itu!” dengus jenggot Perak.
“Cong houhwat!” teriak ketua Hek Gak serentak.
“Ya, aku di sini!” Bok Sam-pi tampil menyahut.
Jenggot perak terkejut melihat perawakan orang yang gendut perutnya tapi tangkas sekali.
“Hajar orang tua yang tak tahu adat itu!” teriak ketua Hek Gak.
“Hamba menuruuut…….,” Bok Sam-pi mengucapkan kata’menurut’ itu dengan panjang karena matanya memandang
wajah Jenggot Perak tajam-tajam. Sebelum ia menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba sudah berganti nada.
“Murid!” serunya.
Ketua Hek Gak tercengang, tegurnya, “Hai, mengapa kau memanggilku begitu?”
Bok Sam-pi mendengus, “Mengapa tak boleh?”
“Panggilan murid dan guru hanya apabila kita berdua saja. Atau di kala sedang mengajar kepandaian. Saat ini aku
sebagai ketua hek Gak yang sedang ngeluruk keluar. Yang ada hanyalah antara pemimpin dan anak buah. Kaupun
harus berbahasa begitu!” sahut ketua Hek Gak.
Bok Sam-pi kurang senang, “Persetan, di dalam dan di luar Hek Gak apa bedanya?”
Ketua Hek Gak Kongsun Bu-wi menghela napas. “Kejayaan Hek Gak memang tergantung tenaga suhu, tetapi…..”
“Murid!” Bok Sam-pi berteriak menukas.
“Eh, suhu hendak memberi pesan apa?” terpaksa ketua Hek Gak mengalah.
Bok Sam-pi menuding pada Jenggot Perak, serunya, “Orang tua itu berwajah terang. Kita harus bersahabat
dengannya, mengapa kau hendak memusuhi?”
Kongsun Bu-wi mengerutkan dahi, “Tetapi hati orang siapa tahu, suhu....”
“Masakah suhu bisa salah lihat? Kau berani membantah perintahku?” Bok Sam-pi memekik.
“Ya, ya, murid menurut.” ketua Hek gak tak berdaya lagi. Ia memberi isyarat kepada Tokko Sing yang berdiri di
belakang, serunya, ”Sudah saatnya suhu minum arak. Apakah minumannya dibawa?”
Tokko Sing segera mengatakan bahwa hidangan untuk guru besar Bok Sam-pi sudah disiapkan.
“Bagus, aku hendak minum tiga cawan dulu, baru istirahat sebentar. Urusan di sini kuserahkan padamu!” mendengar
arak, selera Bok Sam-pi pun berontak.Dengan khidmat ketua Hek Gak mengiyakan. Tokko Sing pun segera mengiring Bok Sam-pi untuk minum arak. Begitu
jago tua itu angkat kaki, ketua Hek Gak segera mengambil sebutir pil hitam dan menyerahkan pada salah seorang
pengawal. Ia membisiki beberapa patah kata. Pengawal itu mengangguk dan segera pergi.
Selama itu Jenggot perak hanya diam saja mengawasi gerak-gerik kedua suhu dan murid itu.
Setelah Bok Sam-pi pergi, barulah ia tertawa gelak-gelak, “Apakah artinya pertunjukan ini?”
Wajah ketua Hek Gak memerah, “Jangan banyak bicara, sebentar kau tentu merasakan sendiri!”
“Bagaimana andaikata pil hitammu itu tak manjur?” Jenggot perak tertawa mengolok.
Berobahlah seketika wajah ketua Hek Gak , “Pil itu adalah penguat tubuh. Setiap minum arak tentu dicampurkan.
Jangan mengoceh tak keruan!” bentaknya murka.
“Aneh, aneh,” Jenggot perak tertawa sinis, “aku toh tidak mengatakan pil itu obat bius atau obat kuat. Mengapa kau
kalang kabut memberikan penjelasan…. “ ia tertawa meloroh, “siapa berbuat tentu merasa. Kira-kira tentu begitulah
keadaanmu!”
Menyala mata ketua Hek Gak. rupanya ia hendak menyerang. Namun si Jenggot Perak tetap acuh tak acuh.
Sebaliknya para anggota rombongannya, keempat Thiat-hiat Su-kiat dan ke tiga puluh enam Thian-kong serta ke
tujuh puluh dua Te-sat sudah mengepal-ngepal tinju siap hendak menyerang.
Suasana menjadi tegang!
Tiba-tiba ketua Hek Gak mendapat pikiran. Ia berpaling ke arah Sin-bu Te-kun dan memberi anggukan kepala. “Ah,
sahabatku, sudah lama kita tak berjumpa!”
Sin-bu Te-kun yang sejak tadi hanya mengawasi ramai-rami itu balas tertawa, “Berpuluh tahun tak bertemu, tentulah
kepandaian saudara makin sakti.”
“Ah, mana dapat menyamai Te-kun….” ketua Hek Gak merendah.
“Aha, tak usah main sandiwara, ”Jenggot perak menyeletuk tertawa, “rasanya memang sudah ada sekongkolan di
antara kalian berdua.”
“Lu tua, jangan memfitnah orang!” bentak Sin-bu Te-kun.
Lu Liang-ong mengurut-urut jenggotnya yang putih mengkilap. Ia tertawa riang, “Sin-bu-kiong dan Hek Gak masing-
masing mempunyai cita-cita hendak mencaplok dunia persilatan. Kalau dua ekor srigala saling berebut tulang,
akhirnya tentu cakar-cakaran sendiri!”
“Tua bangka Lu, jangan mengadu domba!” bentak ketua Hek Gak, “Jangan bermimpi kau dapat menipu kami…. ” ia
berpaling ke arah Sin-bu Te-kun. “Thiat-hiat-bun berani masuk ke wilayah Tiong-goan, ini suatu penghinaan bagi kita.
Tidakkah kita bersatu mengusirnya?”
Sin-bu Te-kun mengangguk, “Baik, silakan Kongsun-heng menghajarnya, aku bersumpah membantu sepenuh tenaga.
Malam ini jangan sampai ada seorang Thiat-hiat-bun yang lolos… !”
“Bagus, bagus!” Jenggot perak tertawa gelak-gelak, “ maju keroyokan atau satu lawan satu, Thiat-hiat-bun siap
melayani. Tetapi sayang tidak semudah itu kawan….. !”
ooo000ooo
Barisan darah besi.
Sin-bu Te-kun mengekeh tertawa, “Apa ? Pihakku tak mampu melawan?”
Jenggot perak tertawa, “Mampu atau tidak soal kedua. Hanya dikuatirkan tak ada orang yang berani bertempur!”
Kembali kepala Hek Gak memperdengarkan tertawa sinis, “Aku tak percaya Thiat-hiat-bun sedemikian menyeramkan.
Toh kau juga tak memiliki tiga buah kepala dan enam lengan ! Percaya bahwa orang-orangku tentu dapat
melenyapkan partai Thiat-hiat-bun! ”
Jenggot perak maju selangkah, tertawa mengejek, “Mengapa kau tak turun tangan?” iapun bersiap menungguserangan.
Dengan sebelah tangan yang tinggal satu, ketua Hek Gak segera hendak menyerang. tetapi secepat itu pula segera
menurunkan tangannya lagi. Tertawa sinis dan mundur selangkah!
Jenggot perak menyambutnya dengan tertawa panjang.
“Telah kuperhitungkan dengan masak. Kalau Hek Gak berani bertempur dengan Thiat-hiat-bun, keduanya pasti
hancur. Dengan begitu cita-citamu hendak merajai dunia persilatan tentu berantakan….”
Jenggot perak menatap wajah kepala Hek Gak dengan tajam, serunya pula, “Tetapi aku si orang tua mengerti tentang
ilmu melihat tampang orang. Telah kuketahui isi hatimu. Tak nanti kau mau menguntungkan orang lain dan
merugikan diri sendiri. Tak nanti kau sudi menyerahkan kekuasaan dunia persilatan kepada Sin-bu-kiong. Itulah
sebabnya maka kutahu kau pasti tak berani menempur aku!”
“Ngaco!” serentak ketua Hek Gak membentak dengan wajah pucat.
Tetapi Jenggot perak tak menghiraukan. Kembali ia beralih memandang Sin-bu Te-kun, serunya, “Sekalipun siasatmu
mengadu domba berhasil dijalankan. Thiat-hiat-bun dan Hek Gak hancur kedua-duanya, tetapi Sin-bu-kiong pun
masih tak dapat menguasai dunia persilatan, karena kau masih mempunyai seorang musuh besar!”
Sekarang giliran Sin-bu Te-kun yang mendelik. Memekiklah ia, “Sin-bu-kiong bersumpah tak mau hidup sekolong
langit dengan Thiat-hiat-bun! Andaikata saudara Kongsun ketua Hek Gak mau melepaskan engkau, tetapi aku Sin-bu
Te-kun tetap akan menghancurkanmu!”
Jenggot perak tertawa, “Inginkah kau mendengar siapakah musuhmu itu?”
“Sebutkan!” teriak Sin-bu Te-kun gusar.
“Hun-tiong Sin-mo!”
“Huh, Hun-tiong Sin-mo sudah ibarat ikan dalam jaring. Pasti segera mampus!” Sin-bu Te-kun menggeram.
Jenggot Perak tertawa nyaring, “Ah, kata-katamu ini agak sombong….” ia berhenti sejenak, serunya pula, “Kau telah
membuat Panji Tengkorak Darah palsu untuk melakukan pembunuhan besar-besaran. Fitnah itu telah menimbulkan
kemarahan besar pada sembilan partai, sehingga mereka menantang Hun-tiong Sin-mo untuk bertempur di puncak
Sin-li-hong. Hal ini membuktikan bahwa kau jeri terhadap Hun-tiong Sin-mo!”
“Ngaco! Seumur hidup aku tak pernah takut kepada siapapun juga!” teriak Sin-bu Te-kun.
Jenggot Perak geleng-geleng kepala, “Jika kau tak takut, sejak dulu-dulu kau tentu sudah ke Hun-tiong-san
menantangnya! Perlu apa kau gunakan siasat memfitnah sehingga menimbulkan kemarahan sembilan partai.?”
Tiba-tiba Sin-bu Te-kun tertawa seram, serunya sengit, “Apakah hubunganmu dengan Hun-tiong Sin-mo…?”
Sekonyong-konyong Sin-bu Te-kun tak mau melanjutkan kata-katanya, tetapi diam-diam ia gunakan ilmu menyusup
suara kepada Jenggot Perak, “Ho, tua bangka, jangan kira aku tak tahu bahwa Hun-tiong Sin-mo sudah mati karena
diracun anak perempuanmu. Mungkin aku tahu lebih banyak dari kau…..”
Jenggot perak berobah wajahnya. Tetapi pada lain saat ia sudah tertawa lagi. “Kau tahu atau tidak, itu tak ada
kepentingannya. Sekarang aku hendak minta kepadamu menyerahkan dua orang budak Thiat-hiat-bun yang
melarikan diri, yaitu Nyo Sam-koan dan Ma Hong-ing. Jika bukan karena mereka berdua, tak nanti kau tahu tentang
urusan ini!”
Kata-kata Jenggot Perak itu tidak diucapkan dengan ilmu menyusup suara, melainkan dengan suara biasa. Sudah
tentu hal itu terdengar jelas oleh Kongsun Bu-wi ketua Hek Gak. Tetapi ketua Hek Gak ini tak mengerti apa yang
terjadi sebenarnya. Maka iapun hanya terlongong-longong saja!
Wajah Sin-bu Te-kun membesi, segera ia berseru kepada ketua Hek Gak, “Selama Thiat-hiat-bun masih ada, kita tak
dapat hidup tenang. Marilah kita bersatu padu untuk membasminya!”
Diam-diam ketua Hek gak sudah mempunyai rencana sendiri. Segera ia menyahuti, “Memang akupun sudah
mempunyai pikiran begitu, maka silakan Te-kun segera memberi perintah!”Tetapi Sin-bu Te-kun tak segera bertindak, ia hanya memandang ke sekeliling penjuru dengan sikap meragu.
Sebaliknya ketua Hek Gak juga hanya mulutnya saja yang setuju akan ajakan Sin-bu Te-kun, tetapi iapun tak mau
memerintahkan kepada anak buahnya menyerang. Dengan begitu kedua-duanya saling tunggu menunggu.....
Setelah menunggu sekian lama tiada yang menyerang, Jenggot Perak tertawa nyaring, “Aha, ramalanku selalu
manjur! Sudah kuketahui bahwa baik Sin-bu-kiong maupun Hek Gak tentu tak ada yang berani membentur
perutku.......” sejenak ia kedipkan mata, katanya pula, “Aku masih memepunyai sebuah pertanyaan lagi pada kalian.”
Karena kelemahannya diketahui, Sin-bu Te-kun dan Hek Gak hanya meringis saja. Maju gentar, mundurpun sukar.
“Katakanlah!” seru mereka serempak.
“Tanpa bersepakat, kalian datang ke gunung Thay-heng-san sini,” Jenggot perak tertawa, “Apakah maksudnya?”
Pertanyaan ini membuat Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak melongo.
“Tak lain tak bukan adalah karena peta Telaga Zamrut dan kitab pusaka It Bi Siangjin!” seru Jenggot Perak dengan
suara datar.
Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak seperti disengat kalajengking kagetnya. Baru mereka hendak membuka mulut,
tiba-tiba dari kejauhan terdengar berisik suara orang.
Jenggot perak masih tetap tertawa, “Dewasa ini di dunia persilatan timbul beberapa panji kekuatan yang hebat.
Masing-masing belum diketahui siapakah yang paling unggul ! Hun-tiong- san, Sin-bu-kiong, Hek Gak dan pihakku
Thiat-hiat-bun serta partai-partai besar di dunia Tiong-goan. Masing-masing mempunyai sumber kepandaian sakti
yang berlain-lainan. Boleh dikata mutu kepandaian mereka hampir berimbang, maka tak ada pihak manapun yang
dapat merajai dunia persilatan. Hanya ada satu jalan yang dapat mengatasi. Barang siapa yang berhasil mendapatkan
kitab pelajaran dari It Bi siangjin barulah dia akan menjadi jago yang tiada tandingannya di dunia persilatan…”
Jenggot Perak tertawa mengekeh, serunya pula, “Kita saling bertempur, sebenarnya termasuk urusan kecil. Yang
penting ialah mencari kitab pusaka itu. Peta Telaga zamrud telah muncul kembali di dunia dan tempat persembunyian
kitab pusaka itu ialah di gunung ini. Kalian tentu mendengar suara orang berisik tadi bukan ? Nah, itulah rombongan
orang yang mencari kitab pusaka. Apabila kitab sampai jatuh di tangan mereka, dikuatirkan Sin-bu-kiong maupun
Hek Gak akan lenyap dari dunia persilatan selama-lamanya!”
Mendengar uraian itu, pucatlah seketika wajah Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak.
Sin-bu Te-kun berusaha untuk menenangkan kegelisahannya.
“Lu loji, ” ia tertawa sinis, “Apakah kedatanganmu juga bukan karena hendak mencari kitab pusaka itu?”
“Aku?” sahut Jenggot Perak dengan dingin, “jika aku memang bermaksud hendak mengambil kitab itu, mungkin
kalian tak mempunyai kesempatan untuk mendapatkannya lagi!”
“Heh, heh,” ketua Hek Gak tertawa mengekeh, “Lu tua, kau terlalu memandang tinggi dirimu!”
Sambil berkata itu diam-diam lengan tunggal ketua Hek Gak itu dilambaikan ke belakang. Empat orang sucia (jago)
Hek gak yang berada di belakang ketuanya mengerti isyarat itu. Segera mereka menyelinap pergi.
Tetapi perbuatan itu tak lepas dari mata Sin-bu Te-kun. “Eh, apa maksud saudara Kongsun menyuruh anak buahmu
pergi?” tegurnya.
Wajah Kongsun Bu-wi ketua Hek Gak memerah, serunya, “Suruh mereka lihat apakah suhuku sudah minum arak atau
belum?”
Namun jawaban itu disambut dengan tertawa sinis oleh Sin-bu Te-kun. Kepala istana Sin-bu-kiong itupun segera
lambaikan tangannya. Dua orang sucia yang berada di kanan kirinya segera mengundurkan diri. Mereka mengajak
belasan anak buah baju ungu pergi menyusul keempat sucia Hek Gak.
Jenggot Perak tertawa berderai-derai sampai lama, serunya, “Hanya mengirim sekian orang untuk menjaga pihak
yang mencari kitab, mungkin takkan berhasil. Kecuali kalian mengerahkan anak buah secara besar-besaran, mungkin
ada harapan. Hanya saja.....”
Tiba-tiba jago Thiat-hiat-bun itu melambaikan tangannya dan berseru, “Hanya saja, ah, kalian saat ini sukar untukmeloloskan diri….”
ooo00000ooo
Barisan Thiat-hiat-tin
Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak tercengang!
Tiba-tiba Jenggot perak lambaikan tangan. Dari empat penjuru segera muncul Empat Su-kiat, tiga puluh enam Thian-
kong dan tujuh puluh dua Te-sat. Mereka memecah diri membentuk sebuah lingkaran seluas berpuluh tombak.
Rombongan Sin-bu-kiong dan Hek Gak terkepung di tengah-tengah.
Sin-bu Te-kun tertawa nyaring, “Aha, Lu tua, kau hendak main apa ini ?”
Jenggot perak balas tertawa, “Cuma akan meminta kalian merasakan kenikmatan barisan Thiat-hiat-tin!”
“Oh, hanya sebuah barisan sekecil ini mana dapat mengepung rombongan Hek Gak dan Sin-bu-kiong!” ketua Hek Gak
berseru mengejek.
Jenggot perak ganda tertawa, “Sekurang-kurangnya dalam waktu dua puluh empat jam, kalian tak dapat lolos dari
tempat ini!”
Semula Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak tak mengacuhkan. Pikir mereka tentu dapat menerobos dari barisan Thiat-
hiat-tin. Tetapi apa yang tampak di hadapannya, membuat mereka terkejut….
Memang tampaknya barisan itu tiada yang aneh. Tetapi setelah persiapan selesai, semua orang Thiat-hiat-bun itu
sama mengeluarkan asap kuning. Asap itu keluar dari lengan baju, celana dan leher baju mereka. Rupanya obat telah
disimpan dalam dadanya lebih dahulu, kemudian ditekan keluar dengan tenaga dalam.
Asap kuning makin lama makin tebal. Di bawah teriakan-teriakan Jenggot perak, anggota-anggota Thiat-hiat-bun itu
segera berputar-putar membuat lingkaran. Asap bergulung-gulung menghambur ke tengah.
Sin-bu Te-kun gugup dan segera memerintahkan anak buahnya, “Terobos keluar!” dan ia sendiri mendahului
menerobos keluar barisan.
Tetapi serempak dengan gerakan Sin-bu Te-kun, terdengarlah lengking tertawa panjang. Serangkum tenaga kuat
segera menghambur. Kiranya tenaga kuat itu berasal dari Jenggot Perak yang segera mendorong dengan kedua
tangannya.
Marahlah Sin-bu Te-kun. Sewaktu masih melayang di udara, ia geliatkan kedua tangannya memukul dengan pukulan
Hiam-im-ciang. Hiam-im-ciang yang telah diyakinkannya dengan sempurna. Jauh sekali bedanya dengan Hiam-im-
ciang yang digunakan oleh Ni Jin-hiong dan Ma Hong-ing.
Tetapi sebelum kedua tenaga pukulan itu beradu, sekonyong-konyong Jenggot Perak melambung ke udara sampai
beberapa tombak. Dengan tertawa meloroh, ia membentak, “Awas, kedua matamu!” Dengan kecepatan seperti kilat
menyambar, ia timpukkan dua buah benda mengkilap ke arah Sin-bu Te-kun.
Sin-bu Te-kun hendak menjajalkan tenaga Hiam-im-ciangnya dengan tenaga lawan. Tetapi di luar dugaan, lawan
telah menarik balik pukulannya. Ia terkejut dan buru-buru menukik ke bawah, tetapi teriakan Jenggot Perak itu, telah
membuatnya kaget sekali.
Ia tahu bahwa ilmu kepandaian orang Thiat-hiat-bun menimpuk senjata rahasia, hebat sekali. Seratus kali menimpuk,
seratus kali tentu kena. Apalagi saat itu ia tengah menukik di udara. Sukar sekali untuk menghindari ancaman musuh.
Serentak teringat ia akan peristiwa di istana Sin-bu-kiong yang lalu. Jenggot perak pernah melepaskan dua buah
panah yang menembus kedua bahunya!
Dalam keadaan yang tak berdaya itu Sin-bu Te-kun hanya dapat menutupkan kedua tangannya untuk melindungi
mukanya. Untung Jenggot Perak tak menggunakan ilmu Penyesat suara, yakni suaranya terdengar di sebelah timur,
tetapi orangnya berada di barat. Dan timpukannya itu memang hanya ditujukan ke arah muka orang. Maka
terhindarlah muka Sin-bu Te-kun dari dua buah panah Hong-thau-kiong.
Sin-bu Te-kun rasakan tangannya seperti digigit ular. Begitu menginjak tanah segera ia kibaskan panah itu.
“Lu tua, aku bersumpah tak mau hidup bersama engkau! Hari ini kau atau aku yang mati!” teriaknya dengan marah.Seluruh tenaga dalamnya segera dikerahkan, ia bertekad hendak adu jiwa dengan ketua Thiat-hiat-bun. Tetapi apa
yang dilihatnya saat itu benar-benar membuatnya kaget seperti patung!
Bukan saja Jenggot Perak lenyap dari pandangan, juga seluruh anggota Sin-bu kiong dan ketua Hek Gak serta
rombongannya pun tak kelihatan lagi bayangannya!
Sin-bu Te-kun dapatkan dirinya seolah-olah hanya seorang diri dalam lautan asap warna kuning. Sedemikian tebal
asap itu mengembang sehingga tak dapat lagi ia melihat jari-jari tangannya. Dan yang lebih mengerikan lagi ialah
saat itu hidungnya mencium bau wangi. Karena curiga kalau-kalau bau itu mengandung racun, buru-buru ia menutup
jalan darah penting pada tubuhnya. Kemudian ia menyalurkan tenaga dalamnya untuk mengetahui apakah tubuhnya
sudah kemasukan racun atau belum.
Tengah ia meramkan mata menyalurkan tenaga dalam, tiba-tiba terdengar suara tertawa memanjang. Digoda begitu,
meluaplah amarah Sin-bu Te-kun. Ia meloncat ke udara sampai tiga tombak tingginya dan menggerung seperti
harimau kelaparan, “Lu tua, keluarlah, mari kita bertanding selaksa jurus!”
Jenggot perak tertawa nyaring, “Aku sudah tua tak punya selera lagi untuk berkelahi. Yang kusuka ialah melihat
orang kelabakan seperti ikan dalam jaring...” ia berhenti sejenak lalu berseru pula, “Ki Pek-lam, bukankah kau sudah
mempelajari kitab Im-hu-po-kip sampai paham? Dalam dunia persilatan jarang terdapat orang yang dapat
menandingimu! Barisan sekecil ini masakah mampu mengepungmu? Ayo, mengapa kau tak gunakan kesaktianmu
membobolkan barisan ini?”
Sin-bu Te-kun berkeliaran memandang empat penjuru. Tetapi asap yang demikian tebal tak dapat ditembus dengan
matanya. Ia tak tahu di mana Jenggot Perak berada! Dan yang menjengkelkan, suara Jenggot Perak itu sebentar
terdengar dekat sebentar jauh. Sukar diduga tempatnya yang pasti.
Tetapi Sin-bu Te-kun sudah terlanjur mengumbar kemarahan. Dengan meraung keras ia berseru, “ Lu tua, kau kira
aku benar-benar tak dapat lolos dari barisanmu ini?” Sin-bu Te-kun menumpahkan kemarahannya dengan sepuluh
kali pukulan yang dilontarkan berturut-turut! Pukulan itu ditujukan ke empat penjuru. Cepat dan dahsyatnya bukan
kepalang!
(bersambung jilid 17 )
Jilid 17 .
Angin menderu-deru laksana badai meniup, tetapi yang mengejutkan, ke sepuluh pukulan dahsyat itu malah
membuat asap bergulung-gulung deras. Kecuali itu tak ada lain-lain hasil lagi.
“Hi, hi, hi.” Terdengar Jenggot Perak tertawa mengikik.
Semenjak mengangkat panji di dunia persilatan jauh sebelum ia mendapatkan kitab pusaka Im-hu-po-kip, belum
pernah ia menelan hinaan sedemikian rupa. Dadanya serasa hangus dibakar api kemarahan. Ia bersiap-siap hendak
menerjang ke muka.
Sin-bu Te-kun memiliki apa yang disebut Liok-ji-thong-leng ( enam telinga ajaib), yakni ilmu pendengaran yang sakti.
Tetapi pada saat itu ilmu tersebut tak dapat digunakan lagi. Asap yang makin tebal itu seakan mempunyai kekuatan
untuk menyumbat telinga, Bukan saja yang terjadi di luar barisan tak dapat didengarnya, bahkan orang-orang yang
terkepung dalam barisan itu sedikitpun tak kedengaran suaranya.
Ilmunya melihat di tempat gelappun mengalami nasib serupa. Asap kuning telah menyerang mata sedemikian pedas,
sehingga tak dapat dibuka. Dan yang mengejutkan lagi bahwa ilmu menyusup suara yang dicobanya untuk
menghubungi ketua Hek Gak dan anak buahnya sendiri, pun tak ada hasilnya alias melempem.
Ia benar-benar merasa sebatang kara dalam barisan asap.
Selain ilmu silat sakti, iapun mengerti segala macam ilmu barisan. Tetapi terhadap barisan asap ini, benar-benar ia
asing sama sekali.
“Asal arahkan langkah ke muka, tentu akan dapat menerobos keluar,” katanya dalam hati. Ia percaya dengan ilmunya
Hian-im-ciang-ci yang sakti, segala rintangan tentu dapat dihancurkan.
Diam-diam ia menghitung. Sudah tiga puluh tombak jauhnya ia melangkah ke muka. tetapi ah....... terpaksa ia
hentikan langkah. Ia merasa bahwa ia sedang berjalan berkeliling sebuah lingkaran. Apabila diteruskan, sehari
semalam kakinya pasti letih tanpa hasil apa-apa.
Gigi Sin-bu Te-kun bercatrukan keras. Ingin ia memakan daging Jenggot perak dan minum darahnya, tetapi aah, apa
daya.....
Setelah ia dalam keadaan seperti semut dipanggang di atas kuali panas, tiba-tiba terdengar si Jenggot Perak berserupula , “Ki Pek-lam, mengapa kau sibuk. Aku toh hendak memberimu istirahat! Setelah duapuluhempat jam, barisan
ini akan buyar sendiri. Sekarang menyerah sajalah!”
“Lu tua, aku tak peduli dengan segala macam peta Telaga zamrud atau nafsu menguasai dunia persilatan lagi. Asal
barisan ini buyar, segera kau akan mengetahui apa yang hendak kulakukan!”
“Heh, heh, tentu akan mengadu jiwa denganku ?” Jenggot perak tertawa mengejek.
“Asal kau tahu saja, cukuplah!” Sin-bu Te-kun meraung.
“Ki Pek-lam, jagalah kedua biji matamu, aku hendak membidiknya!” seru Jenggot perak.
Kejut dan marah Sin-bu Te-kun bukan kepalang. Tetapi ia tak berani berayal. Segera ia menutupi matanya dengan
tangan. Begitu pula ia menyalurkan tenaga dalamnya untuk melindungi kelima indranya.....
Bagaimana dengan ketua Hek Gak? Diapun serupa nasibnya dengan Sin-bu Te-kun. Hanya bedanya yang menjaga
ialah keempat Su-kiat. Ketika ketua Hek Gak hendak berusaha menerobos keluar barisan, keempat Su-kiat dari partai
Thiat-hiat-bun serempak menghantamnya. Berbareng itu timpukan empat batang panah Hong-thau-kiong ke dada
dan punggung ketua Hek gak. Panah-panah itu dak dapat membinasakan, tetapi cukup untuk menggagalkan rencana
Kongsun Bu-wi. Keadaannya senasib dengan Sin-bu te-kun. Bagaikan harimau yang terkurung dalam perangkap
meraung-raung di tengah lautan asap kuning.
Sekalipun belum larut, tetapi malam terasa sepi sekali. Tabir asap seluas berpuluh-puluh tombak itu tampak seperti
gulungan awan yang menyelubungi puncak gunung....
oo000ooo
Kini kita jenguk keadaan Siau-bun dan Thian-leng yang bersembunyi di dalam hutan. Mereka tak berani bergerak.
Apa yang terjadi di luar hutan diikuti dengan seksama. Adalah ketika barisan Thiat-hiat-tin menghamburkan asap
tebal, begitulah mereka kehilangan pandangan. Untunglah kedua anak muda itu berada di luar lingkungan asap.
“Hai, kemanakah gerangan Lu Bu-song? Meangapa ia belum menggabungkan diri dengan kakeknya? Celaka, kalau
dara yang suka ngambek itu sampai mengalami apa-apa, bagaimana ia nanti hendak memberi jawaban kepada
Jenggot Perak?” demikian pertanyaan dalam hati Thian-leng yang menimbulkan kegelisahan.
Dan apa yang paling menggelisahkan hatinya ialah tentang peta Telaga zamrud. Bukankah tokoh-tokoh yang
berkumpul di gunung situ datang untuk mencari kitab pusaka itu ? Jelas didengarnya dari percakapan mereka, bahwa
siapa yang dapat memiliki kitab itu akan menjadi jago nomor satu di dunia persilatan. Dan bukankah peta yang sudah
di tangannya itu hilang ?
Thian-leng melanjutkan lamunannya. “Mengapa Jenggot perak mengepung Sin-bu Te-kun dan Hek Gak ? Apakah
bukan karena jago Thiat-hiat-bun itu mengetahui bahwa malam itu ia tentu datang ke gunung Thay-heng untuk
mencari pusaka, maka sengaja jago Thiat-hiat-bun itu merintangi orang Sin-bu-kiong dan Hek Gak, agar ia aman
mencari pusaka ? Ah, betapalah kecewanya Jenggot Perak nanti apabila mengetahui bahwa peta pusaka itu ia
hilangkan ?
Lu Bu-song tak bersamanya, sudah cukup membuat Jenggot perak marah, apalagi ditambah pula dengan
menghilangkan peta Telaga zamrud….. Seketika berhamburan airmata Thian-leng karena dilanda gelombang
kemengkalan!
Sementara Siau-bun yang sejak tadi menumpahkan perhatiannya pada ketegangan ketiga gembong, ketika barisan
Thiat-hiat-bun menghamburkan asap, ia menghela napas, “Hebat barisan Thiat-hiat-tin ! Sin-bu Te-kun dan ketua
Hek Gak sukar meloloskan diri, kita tak perlu kuatir!”
Thian-leng gelagapan dari lamunannya, “Adik Bun, kita...” belum sampai ia melanjutkan kata-katanya, sekonyong-
konyong sesosok bayangan hitam melesat dan tahu-tahu di sebelah mereka muncul seorang wanita berambut putih!
“Mah! ” serentak Siau-bun brseru girang seraya menubruknya.
Thian-lengpun terkejut girang. Wanita tua itu bukan lain ialah Toan-jong-jin, wanita sakti yang pernah memberinya
pedang pusaka. Tetapi yang membuatnya heran, mengapa Siau-bun memanggil ‘mamah’. Thian-leng terlongong-
longong heran.
Tiba-tiba terlintaslah sesuatu pada pikirannya dan cepat ia membuat kesimpulan. Nada suara wanita itu bening dan
terang, tak menyerupai nada perempuan tua. Dan kerut wajahnya pun tidak wajar. Jelas dia menggunakan topeng
kuit. Dan dari panggilan Siau-bun tadi makin menguatkan dugaannya bahwa wanita itu bukan seorang wanita tua!
Usia Siau-bun baru tujuh-delapan belas tahun, tak nanti ia mempunyai seorang ibu yang sudah tua sekali.
Pun ketika wanita itu menolongnya di tepi sungai Huang-ho, sehabis menurunkan ilmu pedang, dia memesan padanya
untuk mencari seorang yang bernama Pok Thiat-beng yang bergelar Si Pedang bebas.
Toan-jong-jin atau Si Patah hati, nama samaran yang dipakai wanita itu serta nada ucapannya yang penuh
kepedihan, membuktikan adanya suatu rngkaian hubungan antara wanita itu dengan pendekar Pok Thiat-beng.Sekurang-kurangnya mereka itu tentulah sejoli kekasih.
Dan teringatlah juga Thian-beng akan keterangan Nyo Sam-koan di dalam penjara Cui-lo tempo hari. Ya, jelas…,
jelas.!
Toan-jong-jin tentulah isteri tercinta dari Pok Thiat-beng. Dan toan-jong-jin bukan lain ialah puteri kesayangan
Jenggot Perak Lu Liang-ong ketua Thiat-hiat-bun. toan-jong-jin sebenarnya ialah Cu Giok-bun ibu dari si dara Cu
Siau-bun!
Otak Thian-leng bernanaran diamuk badai lamunan.....
Toan-jong-jin pernah dengan tandas mengatakan bahwa Thian-leng benar putera dari Ma Hong-ing dan Nyo Sam-
koan. Tetapi anehnya, Nyo Sam-koan menyangkal keras. Thian-lengpun bukan putera Nyo Sam-koan dan bukan anak
Ma Hong-ing!
Teringat akan semuanya ini, Thian-leng benar-benar seperti terkungkup dalam awan gelap. Siapakah ayah bundanya?
Apakah memang ia manusia tanpa ayah ibu? Mengapa orang-orang yang diduganya menjadi orang tuanya, sama
menyangkal dan saling melontarkan tanggung jawab. Apakah ia anak haram? Sekalipun anak haram, juga sang orang
tua tentu mau mengakuinya.
Tiba-tiba pikiran Thian-leng tertuju pada Pok Thiat-beng dan Cu Giok-bun. Benarkah kedua orang itu mempunyai
hubungan suami ister? Dan apakah hubungannya dengan mereka berdua?
Jenggot Perak telah menyerahkan Lu Bu-song menjadi isterinya. Sedangkan Cu Siau-bun an pun tampaknya menaruh
hati padanya. Tempo di hotel Hian-gek-can di kota Ceng-liong tempo hari, ia dengan dara itu telah melakukan
hubungan....... Ah, otak Thian-leng benar-benar nanar mengingat peristiwa yang dihadapinya saat itu, begitu berbelit-
belit sampai-sampai ia lupa apa yang dihadapinya saat ini.
“Bu-beng-jin, apa kabar?” tiba-tiba Toan-jong-jin menegur.
Thian-leng gelagapan. Tersipu-sipu ia memberi hormat, “Ah, locianpwe, tak kira berjumpa di sini! Lebih tak kusangka
lagi bahwa lo-cianpwe ternyata…… nona Cu.. punya.....”
“O, tak menduga kalau ibu dan anak?” Toan-jong-jin tersenyum.
“Be.…… nar, sungguh tak kuduga sama sekali,” Thian-leng terbata-bata. Ia memandang Siau-bun lalu menunduk
dengan muka merah.
“Tahukah kau sekarang siapa aku?” beberapa jenak kemudian toan-jong-jin bertanya. Dipandangnya anak muda itu
dengan seksama.
“Jika cianpwe tak menyalahkan, kini aku sudah dapat menduga,” sahut Thian-leng.
“Coba katakanlah!”
Sejenak Thian-leng merenung, katanya, “Tempo itu dalam penjara Cui-lo di Sin-bu-kiong, aku telah bertemu dengan
seseorang.”
“Siapa?”
“Nyo Sam-koan!”
Toan-jong-jin menghela napas, serunya, “Itulah ayahmu!”
“Bukan!” jawab Thian-leng tegas. Jawaban itu membuat Toan-jong-jin terbeliak.
“Bagaimana kau begitu yakin?” Toan-jong-jin memandangnya heran.
“Karena Nyo Sam-koan menyangkal keras. Dia bilang…..” sampai di sini Thian-leng berhenti dalam kesangsian. Baik ia
lanjutkan keterangannya atau tidak.
Toan-jong-jin mengerutkan kening, ujarnya,”Apapun alasannya, silakan kau bilang saja!”
Dengan nada berat berkatalah Thian-leng, “Nyo Sam-koan menerangkan bahwa selama mengawini Ma Hong-ing itu,
ia belum pernah tidur bersamanya!”
“Ih!” tiba-tiba Toan-jong-jin mendesis ngeri. Tubuhnya terhuyung-huyung hampir pingsan.
“Mah!” teriak Siau-bun, “Telah kukatakan bahwa dia bukan anak Ma Hong-ing!”
Toan-jong-jin tenangkan kegoncangan hatinya.
Beberapa saat kemudian baru ia membuka mulut, “Habis, anak siapakah dia itu?”Tiba-tiba mata Toan-jong-jin memandang lekat-lekat ke tengkuk Thian-leng. Ia terbeliak. Jelas tampak pada tengkuk
anak muda itu terdapat sebuah tahi lalat merah.
Amboi, mengapa begitu? Toan-jong-jin benar-benar kehilangan akal….
Siau-bun pun berdiam diri tenggelam dalam renungan. Jelas masih segar dalam ingatannya. Ketika berada dalam
istana Sin-bu-kiong tempo hari, Ma Hong-ing memanggilnya dengan kata-kata ‘nak’. Mengapa? Mengapa.....?
Thian-leng juga lelap dalam lautan kegelisahan. Siapakah ayah bundanya? Mengapa tiada orang yang sudi
mengakuinya sebagai anak....? Apakah ia lahir tanpa ibu bapak..?
Sam-chiu Sin-kun
“Bu-beng-jin, kau belum mengatakan siapa diriku!” sesaat kemudian Toan-jong-jin berseru.
Thian-leng tersipu-sipu dan segera menghaturkan hormat, “Kalau tak salah, cianpwe mungkin….memakai kedok
kulit!”
Toan-jong-jin tersenyum. Tiba-tiba ia merenggut kulit mukanya sendiri. Ah..... sebuah kedok kulit tersingkap dan
sebagai ganti dari rambut putih dan kulit muka keriput dari seorang wanita tua, kini muncullah sebuah wajah cantik
berseri dari seorang wanita yang baru berumur 35 an tahun.
“Ijinkanlah wanpwe berkata sepatah lagi,” kata Thian-leng pula, “Cianpwe tentulah wanita yang dikatakan Nyo Sam-
koan, ialah Pedang bebas Pok.... cianpwe...” sampai di sini Thian-leng tergagap tak dapat melanjutkan kata-katanya.
Toan-jong-jin memakai kedok lagi, sahutnya tertawa, “Benar, memang aku adalah isteri dari Pok Thiat-beng. Hanya
sayang kami suami isteri......” Toan-jong-jin tak melanjutkan keterangannya lebih jauh.
Thian-leng buru-buru memberi hormat lagi, ujarnya “Atas pemberian cianpwe sebatang pedang pusaka itu, sampai
matipun aku takkan melupakan. Tetapi.....” ia berhenti meragu sejenak, lalu menyambung lagi dengan nada
menyesal, “Tetapi sampai saat ini wanpwe belum dapat menemukan setitikpun jejak Pok lo-cianpwe!”
Toan-jong-jin tertawa rawan, ujarnya, “Hal itu tak dapat menyalahkanmu. Memang dia sukar dicari jejaknya. Mungkin
sudah melenyapkan diri jauh ke luar perbatasan. Mungkin dalam kehidupan sekarang takkan dapat berjumpa lagi....”
Tiba-tiba Toan-jong-jin alihkan ucapannya pada sebuah pertanyaan, “Apakah yang kau ketahui lagi tentang diriku?”
Thian-leng tertegun, sahutnya tergagap, “Hanya itulah yang kuketahui….”
Kembali Toan-jong-jin tersenyum. Dengan penuh misterius ia memandang Siau-bun. Si darapun balas
memandangnya dengan tersenyum.
Thian-leng seperti terbungkus dalam kabut rahasia.Tak tahu ia apa yang telah terjadi sebenarnya. Namun ia tak mau
banyak tanya. Memang yang diketahui hanya hal-hal yang telah dikatakan tadi. Tak tahu ia apa lagi yang tersembunyi
di balik diri wanita Toan-jong-jin yang serba misterius itu.
Sebenarnya Thian-leng telah lengah. Lengah tentang diri Toan-jong-jin. Karena sampai saat itu, ia belum menyadari
bahwa wanita Toan-jong-jin yang dihadapinya itu bukan lain ialah momok ganas yang merajai dunia persilatan yakni
Hun-tiong Sin-mo!
Tiba-tiba Toan-jong-jin bangkit, “Karena terlibat percakapan , hampir membikin terlantar urusan kalian yang
penting!” Memandang ke langit, ia berkata pula, “Sudah saatnya orang itu harus datang!”
“Mah, siapa yang kaumaksudkan?” tukas Siau-bun.
Pun karena ingin mengetahui, Thian-leng diam untuk mendengarkan. Tetapi Toan-jong-jin hanya tersenyum
misterius. “Nanti kalian tentu tahu sendiri, tunggu saja sebentar!”
Habis bicara, tiba-tiba ia melesat lima - enam tombak jauhnya. Saat itu asap kuning dari barisan Thiat-hiat-tin masih
menghambur tebal. Rombongan Sin-bu-kiong dan Hek Gak tetapa tenggelam di dalamnya.
Siau-bun menarik lengan Thian-leng diajak memburu Toan-jong-jin. Tegurnya, “Eh, mah, mengapa kau menyimpan
rahasia terhadap aku?”
Tetapi Toan-jong-jin hanya mengerut sebuah senyum kecil, lalu melesat sepuluh tombak lagi. Siau-bun dan Thian-
leng tetap mengejar. Dalam beberapa kejap saja mereka sudah mencapai satu li jauhnya.
Sekonyong-konyong terdengar jeritan ngeri. Jeritan orang yang bunuh membunuh!
Thian-leng terkejut sekali. Sebaliknya Toan-jong-jin masih tetap berjalan tenang. Tampaknya perlahan, tetapi
cepatnya bukan main. Malah pada lain saat, ia percepat jalannya sampai seperti angin meniup.
Ilmu ginkang dari Siau-bun dan Thian-leng sebenarnya sudah tergolong tingkat kelas satu. Tetapi ketika mengejarToan-jong-jin tampak jelas sekali bedanya. Hanya dalam beberapa saat saja mereka sudah tertinggal setengah li di
belakang. Dan ketika kedua anak muda itu tiba di tempat yang dituju, di situ sudah terjadi peristiwa yang
mengerikan!
Belasan jago-jago baju ungu tampak bergelimpangan tersebar di tanah. Tubuh mereka hancur dan gosong seperti
terbakar. Jelas mereka telah dibunuh orang dengan ilmu Ciong-chin-hoat atau tenaga dalam keras. Di samping
mereka terdepat tiga sosok mayat pengemis. Belasan pengmis tengah tegak terlongong-longong seperti patung....
Thian-leng cepat mengerti apa yang telah terjadi. Belasan pengemis itu telah dianiaya oleh orang Sin-bu-kiong dan
ketika Toan-jong-jin tiba ia hanya berhasil membunuh tiga orang Sin-bu-kiong. Yang lain-lain tentu sudah melarikan
diri.
Beberapa saat kemudian rombongan pengemis itu gelagapan seperti orang tersadar dari mimpi. Tersipu-sipu mereka
memberi hormat kepada Toan-jong-jin serta menghaturkan terima kasih. Setelah itu mereka juga memberi hormat
kepada Thian-leng, seru mereka, “Murid menghaturkan hormat kepada pangcu!”
Thian-leng tersipu-sipu dan buru-buru menyuruh mereka bangun.
“Eh, aku sampai lupa menghaturkan selamat padamu yang dalam usia begitu muda sudah menjadi ketua Kay-pang..”
tiba-tiba Toan-jong-jin berseru tertawa, “ hanya.....ah, pengemis-pengemis itu baunya sungguh tak tahan......” ia
berpaling kepada Siau-bun, “Nak, apakah kau juga bersedia menemaninya seumur hidup makan nasi sisa dan sayur
sisa?”
Siau-bun bersungut, “Mah, mengapa kau menggoda aku?”
Tetapi Toan-jong-jin tak menghiraukan urusan itu lagi dan berkata cepat, “Ah, aku masih mempunyai urusan lain. Aku
hendak pergi dulu, kalian boleh bersama melanjutkan perjalanan.”
Siau-bun terkejut dan menyambar ujung baju ibunya, “Mah, kami ikut bersamamu!”
Toan-jong-jin mengerutkan kening, “Tetapi aku masih mempunyai urusan penting. Kalian tak perlu ikut!”
“Coba katakan dulu urusan apa?” bantah Siau-bun.
Toan-jong-jin mendengus perlahan, “Li Cu-liong ketua Tiam-jong-pay, sudah jatuh di tangan orang Sin-bu-kiong,
mamah harus menolongnya!”
“Lalu kemana kita mencarimu?”
“Tak usah kalian cari. Begitu urusan selesai aku tentu dapat mencarimu!” sahut Toan-jong-jin.
Akhirnya terpaksa Siau-bun melepaskan mamahnya. Bagaikan burung garuda melayang, dalam beberapa kejap saja
bayangan Toan-jong-jin pun lenyap dalam kegelapan malam.
Sebenarnya Thian-leng masih ingin menanyakan beberapa hal kepada Toan-jong-jin. Tetapi karena cepat sekali
wanita itu bergerak, pada saat Thian-leng hendak mengajukan pertanyaannya, Toan-jong-jin pun sudah lenyap.
Siau-bun menghela napas, ujarnya, “Bu-beng pangcu, mamahku sudah pergi. Marilah kita selesaikan urusan di depan
mata ini.”
Thian-leng seperti disadarkan. Di hadapannya tampak belasan pengemis masih tetap dalam sikap menghormat
kepadanya. Mereka dipimpin oleh Lau Gik-siu, ketua cabang partai Kay-pang.
“Mengapa saudara-saudara datang kemari? Apakah ada urusan penting?”
Lau Gik-siu segera menyahut dengan hormat, “Sejak pangcu pergi, muridpun mengirim berita dengan burung. Ada
sebuah berita yang kami terima, bahwa ada seorang misterius yang masuk secara mencurigakan di wilayah gunung
Thay-heng-san....”
Diam-diam Thian-leng membatin,”Sin-bu-kiong, Hek Gak, Tiam-jong-pay dan orang Thiat-hiat-bun semuanya telah
masuk ke daerah Thay-heng-san. Jumlah mereka sedemikian besarnya, mengapa hanya seorang saja yang dicurigai?”
“Dewasa ini di gunung Thay-heng-san penuh dengan jago-jago persilatan, baik dari golongan hitam maupun golongan
putih. Mengapa kalian hanya mementingkan seorang pendatang saja?”
“Tetapi orang itu adalah seorang tokoh golongan hitam yang termashyur, “ buru-buru Lau Gik-siu menjelaskan, “dan
jejaknya memang sangat mencurigakan. Karena itu kami segera mengikutinya!”
“Mengapa mencurigakan?” tanya Thian-leng.
“Kemungkinan dialah yang mencui peta Telaga zamrut milik pangcu,” sahut Lau Gik-siu dengan perlahan.
Seketika teganglah Thian-leng, serunya, “Siapakah orang itu?”“Cia Bu-sin bergelar Sam-chiu sin-kun ( Malaikat bertangan tiga)!”
“Di mana ia sekarang?”
“Menuju ke arah selat Pak-bong-kiap. Tetapi ketika kami sampai di tempat ini, telah bertemu dengan anak buah Sin-
bu-kiong. Dalam pertempuran , kami kehilangan tiga orang anggota!”
“Tinggalkan dua orang anggota untuk mengurus mayat-mayat itu. Dan harap Lau-tongcu memimpin rombongan
untuk mengejar Sam-chiu sin-kun!” Thian-leng memberi perintah.
Lau Gik-siu segera melakukan perintah ketuanya. Setelah menyuruh dua orang pengmis tinggal di situ untuk
mengubur mayat, ia segera ajak rombongannya meneruskan pengejaran.
Thian-leng ajak Siau-bun mengikuti rombongan Kay-pang. Setelah meintasi dua buah jalanan, tibalah mereka di
sebuah lembah.
Lembah itu aneh dan seram. Kedua belah dindingnya menjulang ke langit, penuh hutan cemara yang lebat dan batu-
batu besar yang berserakan. Sepintas pandang mirip dengan kuburan.
Lau Gik-siu dan rombongannya berhenti, katanya, “Inilah Pak-bong-kiap, tetpai mengapa Sam-chiu Sin-kun tak
berada di dalam lembah?”
Thian-lengpun tak melihat barang seorangpun juga. Sesaat kemudian tiba-tiba Siau-bun menggapai anak muda itu,
bisiknya, “Lekas kejar, dia memang memasuki lembah ini!”
Girang Thian-leng tak pelang, katanya, “Apakah ilmumu Melihat-langit-mendengar –bumi …. “
Siau-bun menjawab dengan menarik lengan baju anak muda itu terus diajak loncat ke atas batu karang yang tinggi.
Karang itu tepat di samping lembah, sehingga dari situ dapat melihat jelas ke dalam lembah. Tetapi hutan cemara
yang lebat tetap menutupi pandangan mata.
“Apakah adik Bun tak salah dengar?” tanya Thian-leng dengan menggunakan ilmu menyusup suara
“Meskipun ilmu mendengar bumi ada kalanya menerima rintangan dari hutan, hujan dan angin, tetapi tetap takkan
salah dengar!” sahut Siau-bun.
“Kalau begitu tentulah Sam-chiu Sin-kun berada di sini!”
Siau-bun tak menghiraukan anak muda itu. Dia menumpahkan seluruh perhatiannya untuk mendengar dan
memandang ke seluruh lembah.
Rombongan pengemis tua yang mengikuti di belakang mereka, tak dapat mendengar apa yang dipercakapkan kedua
anak muda itu. Lau Gik-siu yang melihat ketuanya tegak beradu bahu dengan seorang gadis tanpa bicara apa-apa ,
segera memberanikan diri untuk berseru perlahan,”Pangcu….”
“Apa?” sahut Thian-leng.
“Kami telah menemukan jejak Sam-chiu Sin-kun. Dia memang benar telah memasuki lembah. Harap pangcu lekas
mengejar…..” Lau Gik-siu berhenti sejenak, lalu berkata pula, “Sam-chiu Sin-kun memang mempunyai kepandaian
istimewa dalam mencuri dan banyak tipu muslihatnya pula!”
Thian-leng sejenak melirik Siau-bun. Nona itu tampak mengerutkan kening seperti tengah memikirkan persoalan yang
rumit, sepertinya tak mengacuhkan anak muda itu.
“Ya, aku tahu…..” terpaksa Thian-leng menjawab Lau Gik-siu. Tetapi walaupun begitu, ia tetap tak bergerak
melainkan hanya memandang Siau-bun saja.
Beberapa saat kemudian baru kelihatan Siau-bun mengangguk dan loncat turun.
“Apakah adik sudah mengetahui tempat orang itu?” tanya Thian-leng.
“Tanyakan Lau tongcu, apakah di belakang lembah ini terdapat jalan tembus?” kata Siau-bun.
Mendengar itu Lau Gik-siu segera memberi keterangan, “ Lembah Pak-bong-kiap ini terkenal berbahaya sekali. Belum
pernah aku menyuruh orang menjelajahinya. Maka apakah di belakang lembah ada jalan tembus atau tidak…
aku..kurang tahu…” kemudian ia menanyakan Siau-bun perlukah menyuruh orang menyelidiki.
“Terlambat, kita terjang saja!” Siau-bun terus hendak menyerbu ke dalam lembah. tetapi dicegah Thian-leng, “Nanti
dulu, apa sajakah yang kau dengar ?”
“Aku sendiri belum dapat memastikannya, ”kata Siau-bun, “di dalam lembah memang ada seorang yang tengahberjalan dengan langkah aneh. Dia seorang sakti, umurnya di antara tujuhpuluhan tahun, jenggot melambai sampai
dada. Dia berjalan perlahan sekali seakan mencari jalan. Dan saat ini sudah memasuki lembah sejauh seratus
tombak, menuju ke belakang lembah…. ”
“Itulah Sam-chiu Sin-kun!” Lau Gik-siu menyeletuk. Kemudian ia mendesak Thian-leng supaya lekas mengejar. Tetapi
segera ia menutup mulut demi melihat wajah kedua anak muda itu tampak serius sekali. Tentulah sedang
menghadapi persoalan yang genting.
“Kalau pendengaranku tak salah, Sam-chiu Sin-kun diam-diam sedang diikuti oleh lima orang!”
“Tetapi bukankah kau tadi mengatakan belum dapat memastikan?” tanya Thian-leng.
“Itulah yang membingungkan aku,” kata Siau-bun, “kelima pengejarnya itu tidak mengambil jalan dari tengah
lembah, tetapi muncul dari empat penjuru lembah. Padahal jalan di situ sukarnya bukan main. Dan yang lebih hebat,
langkah mereka hampir tak tertangkap ilmu Melihat-langit-mendengar-bumi…”
“Oh, mereka tentu orang-orang yang berilmu sakti,” Thian-leng berseru kaget, “Kecuali Sin-bu Te-kun dan ketua Hek
Gak, tentu tak ada lainnya lagi. Kita beresi dulu kedua durjana itu baru kemudian membekuk Sam-chiu Sin-kun….”
“Tidak,” tukas Siau-bun, “Menurut dugaanku, kalau orang itu memang bangsa manusia, tentu bukanlah Sin-bu Te-kun
ataupun ketua Hek Gak!”
“Bagaimana kau dapat memastikan?”
“Sin-bu Te-kun dan rombongan Hek Gak masih dikepung oleh Thiat-hiat-tin. Lain orang tentu tak ada yang memiliki
ilmu sehebat itu!”
Thian-leng terbeliak. Habis siapakah kelima orang pengejar yang sakti itu? Jelas tujuan mereka ialah hendak merebut
peta Telaga zamrud.
“Dengan munculnya secara terpencar itu, jelaslah bahwa mereka bukan segolongan. Jika kita dapat mencegat di
belakang lembah, kita dapat merebut dulu peta itu dari tangan Sam-chiu Sin-kun. Tetapi apa boleh buat, sekarang
kita terpaksa aharus menerjang dari sini!”
“Baik, aku yang menjadi pembuka jalan!” kata Thian-leng seraya terus melangkah ke dalam lembah.
“Hai, tahukan kau di mana beradanya Sam-chiu Sin-kun?” Siau-bun berseru seraya mengejar.
Thian-leng tertegun, Serunya. “Dia toh berada dlam lembah, masakah kita tak dapat menemukannya?”
“Uh, lebih baik kau ikut aku saja!” Siau-bun tertawa hambar.
Thian-leng menurut. Dengan pedang terhunus ia mengikuti di belakang si nona. Begitu pula Lau Gik-siu beserta anak
buahnya. Mereka siap dengan senjata masing-masing.
Lembah itu tiada jalannya. Hanya sebuah lembah mati yang penuh batu-batu besar dan hutan lebat. Baru berjalan
sepuluhan tombak, Thian-leng merasa kehilangan arah. Coba tak ada Siau-bun yang menjadi penunjuk jalan, tentu ia
sedah tersesat.
Siau-bun berjalan dengan hati-hati sekali. Setiap kali ia berhenti untuk memasang telinga. Belum tujuh puluh tombak
jauhnya, tiba-tiba nona itu berhenti. Ia gunakan ilmu menyusup suara membisiki Thian-leng, “Sam-chiu Sin-kun
berada pada jarak tiga puluh tombak. Para pengejarnyapun sudah muncul mengepungnya. Mereka berilmu tinggi
semua. Kita harus menjaga jangan sampai ketahuan mereka.!”
Thian-leng mengiyakan dan segera menyuruh rombongan Lau Gik-siu menunggu di situ.
“Tidak, bagaimana kami disuruh tinggal diam saja melhat pangcu terancam bahaya....” bantah Lau Gik-siu.
“Tetapi ini harus dilakukan secara bersembunyi. Kalau kalian ikut, lebih besar bahayanya!”
Lau Gik-siu tetap menolak, ”Pesan mendiang cikal bakal kaum Kay-pang, murid-murid Kay-pang harus perintah
ketuanya dan melindumginya….”
Thian-leng gugup. Tiba-tiba ia mendapat akal. Diambilnya lencana Kiu-pang-tong-pay dari lehernya, “Lau tongcu,
dengarlah perintahku!”
“Hamba siap!” tergesa-gesa Lau Gik-siu menyahut dengan hermat.
“Untuk sementara ini kuserahkan kekuasaan partai kepadamu. Kau jaga di sini. Jika terjadi sesuatu, bertindaklah
menurut gelagat!”
Walaupun ragu, tapi Lau Gik-siu terpaksa menerima perintah itu. Thian-leng segera gunakan ilmu menyusup suara
untuk mengajak Siau-bun melanjutkan perjalanan lagi.Jalan semakin sukar. Hampir sejam mereka baru mencapai lima puluh tombak. Tiba-tiba Siau-bun berkata, “Kalau
pendengaranku tak salah, sudah sepenanakan nasi lamanya Sam-chiu Sin-kun berhenti di sebelah muka.....”
“Di mana?”
“Apakah kau melihat tiga batang pohon jati di sebelah muka itu?” tanya Siau-bun.
Memang benar. Thian-leng melihat tiga batang pohon jati tumbuh menggerumbul. Setiap batang besarnya sepelukan
tangan orang. Karena berjajar rapat pohon itu seperti tembok tinggi.
“Ya, memang kelihatan.” sahutnya.
“Nah, di situlah ia bersembunyi!”
“Lalu pengejar-pengejarnya itu?” tanya Thian-leng.
“Berada di sekeliling tempat ini sekitar sepuluhan tombak jauhnya. Sebenarnya kita sudah masuk dalam kepungan
mereka!”
Thian-leng terkejut, “Apakah mereka sudah mengetahui jejak mereka?”
“Entahlah, “ Siau-bun mengerutkan dahi, “aku tak tahu apakah mereka juga mempunyai ilmu gaib seperti Melihat
langit mendengar bumi. Tetapi yang jelas mereka tak dapat bertahan menyembunyikan diri lagi!”
“Apakah Sam-chiu Sin-kun benar-benar bersembunyi di belakang ketiga pohon itu?” Thian-leng menegas, rupanya ia
mempunyai rencana.
“Masakah aku hendak membohongimu?”
“Bagus, kalau begitu kita harus membekuknya lebih dahulu!”
“Tetapi tahukah kau bahwa di belakang pohon itu penuh dengan batu-batu besar?”
“Tahu!” sahut Thian-leng, “mengapa kau tanyakan hal itu?”
Sahut Siau-bun dengan nada bersungguh-sungguh, “Berapa jumlahnya dan dari golongan mana kawanan pengejar
itu, kita belum tahu. Tetapi yang jelas mereka itu bukanlah tokoh-tokoh sembarangan dan tujuannya sudah jelas
hendak merebut peta pusaka. Maka barang siapa berani turun tangan lebih dahulu, dia bakal menjadi korban bulan-
bulan orang yang lain!”
“Tetapi bagaimana dapat menghindari pertempuran?” bantah Thian-leng, “kalah memang toh kita belum tahu! Tanpa
berani mengambil resiko mana mungkin kita dapat merebut peta itu kembali? Apakah kau mempunyai cara lain
kecuali gunakan kekerasan?”
Siau-bun mengerutkan dahi, ujarnya “Segala apa dapat dipecahkan. Soalnya bukan masalahnya yang tak dapat
dipecahkan, tapi kita yang tak mampu memecahkan!”
Jilid 18 .
Thian-leng meringis. Ia tahu sampai di mana kelihayan otak si nona itu. Cara-cara meloloskan diri dan mengocok
Kongsun Bu-wi ketua Hek Gak dengan gurunya si Ang-tim-gong-khek Bok Sam-pi, cukup membuktikan betapa cerdas
nona itu.
Setelah kedua anak muda itu merenung lama, barulah tiba-tiba Siau-bun berkata pula, “Sam-chiu-Sin-kun pasti
bersembunyi di balik pohon, kuyakin pendengaranku tak salah. Menurut pendapatku, kepandaiannya tak ungkul dari
kau. Dapatkah kau dalam tiga jurus serangan mendadak, membuatnya tak berdaya?”
Dian-diam Thian-leng memperhitungkan. Jaraknya dengan pohon itu hanya sepuluhan tombak. Dua kali lompatan ia
dapat mencapai. Dengan ilmu pukulan Lui-hwe-ciang dan ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam, rasanya ia tentu mampu
mengatasi Sam-chiu Sin-kun.
Kalau perlu bunuh saja orang itu, karena ia benci dengan perbuatannya!
“Baik, aku sanggup! Tetapi …..” ia meragu, “tetapi bagaimana kalau orang-orang itu menyerang aku…”
“Sudah tentu mereka akan menyerangmu. Tetapi janganlah kau hiraukan mereka.” jawab Siau-bun, “yang penting
kau harus segera melukai Sam-chiu Sin-kun dan menyeretnya ke tengah tumpukan batu dan mengambil peta lalu
memasukkan ke dalam sepatu…”
“Ya, ya, hal itu mudah. tetapi…..”
“Ilmuku menimpuk panah Tui-hong-kiong dan ilmu pedang, mungkin masih dapat menghalangi mereka. Begitu kau
berhasil mendapat peta itu, berhasillah kita!”Masih Thian-leng bersangsi, ujarnya, “Pengejar-pengejar itu tentu bertekat mati-matian merebut peta. Apabila kita
berdua tak sanggup melawan mereka, apakah akhirnya……”
“Kekuatiranmu memang beralasan. Menurut peneropongan yang kulakukan dengan ilmu Melihat langit mendengar
bumi, mereka masing-masing memiliki ilmu yang tinggi dan mungkin kita tak mampu menandingi…..”
“Kalau begitu apa gunanya!?”
Siau-bun tertawa, “Tetap ada gunanya. Segala sesuatu bukanlah tergantung kenyataan semata-mata, tetapi pada
kecerdikan!” Ia berhenti sejenak, melepaskan pandangan mata, kemudian berkata pula, “Kita akan membentuk
barisan, menjebak mereka agar saling bunuh sendiri!”
“Oh,” Thian-leng melongo, “tetapi bagaimana caranya?”
Siau-bun tersenyum simpul, “Biarkan mereka saling merebut peta itu sendiri seperti anjing merebut tulang.....” ia
segera mengeluarkan sehelai kain. Setelah dilipat lalu diberikan kepada Thian-leng.
“Begitu kau berhasil mengambil peta dan menyusupkan ke dalam sepatu, segera kau lemparkan kain itu kepadaku…”
“Bagus!” Teriak Thian-leng girang, “bukankah maksudmu supaya mereka mengira buntalan kain itu berisi peta,
sehingga mereka lalu rebutan sendiri?”
Siau-bun mengangguk, “Begitulah! Setelah mereka saling merebut, kita angkat kaki dengan lenggang kangkung, tapi
kau….” dipandangnya anak muda itu dengan cemas.
“Jangan kuatir,” kata Thian-leng dengan tenang, “asal Sam-chiu Sin-kun benar-benar berada di balik pohon, tentu
aku akan dapat melakukan rencana kita itu dengan berhasil!”
Siau-bun menyuruh anak muda itu segera bersiap-siap. Thian-leng menyisipkan kain ke lengan baju, menyiapkan
pedang dan mengerahkan seluruh semangatnya. Begitu Siau-bun memberi perintah, segera anak muda itu mengenjot
kakinya, bagaikan seekor burung alap-alap, ia melayang ke arah pohon!
Berebut peta!
Memang tepat sekali dugaan Siau-bun. Di belakang ketiga pohon besar tampak sesosok bayangan putih. Punggung
orang itu menempel pada batang pohon.
Walaupun belum jelas apakah orang itu benar Sam-chiu Sin-kun yang mencuri petanya, Thian-leng segera
melancarkan pukulan dahsyat dan serangan pedang secepat-cepatnya dan sedahsyat-dahsyatnya.
Sungguh aneh sekali. Orang itu tak menghindar maupun menangkis. Sebuah pukulan dan tiga tebasan pedang Thian-
leng tepat jatuh di tubuhnya. Dan tanpa mengerang serta menggeliat, rubuhlah orang itu.
Walaupun heran, tetapi Thian-leng tiada tempo untuk memeriksa, Cepat-cepat ia mengangkat tubuh orang itu terus
dibawa loncat ke tengah gundukan batu. Thian-leng telah menunaikan tugas sesuai rencana!
Tetapi pada saat Thian-leng menginjak batu dan hendak menggeledah, kejutnya bukan kepalang. Tiga sosok tubuh
serempak bersuit dan mencelat keluar dari tiga penjuru. Siau-bun sudah memperhitungkan hal itu. Maka berbareng
dengan tibanya orang-orang itu, iapun sudah menyerang dengan pukulan dan timpukan panah Tui-hong-kiong.
Ketiga orang itu rupanya tahu jelas dengan kelihayan Tui-hong-kiong. Mereka menyurut mundur dan mengebut
dengan lengan bajunya. Adalah karena sedetik rintangan itu, cukuplah sudah bagi Thian-leng untuk menyelinap ke
tengah gundukan karang.
Dalam pada itu Siau-bun sudah melolos pedang dan menyerang dua orang musuh. Pedang nona itu merupakan
pasangan dari pedang Thian-leng. Walaupun pendek, tetapi sinarnya dapat memancar sampai beberapa meter. Juga
ilmu pedang yang dimainkan adalah Toh-beng-sam-kiam. Hanya bedanya Siau-bun lebih unggul setingkat dalam
peryakinan.
Dua orang yang menyerang dari samping kiri terdiri dari seorang lelaki dan seorang wanita. Umurnya di antara empat
puluh tahun. Wajahnya buruk. Yang lelaki beralis tebal, mata besar mulut lebar. Yang perempuan daging mukanya
menonjol macam setan malam.
Kedua orang itu mengebutkan lengan bajunya menampar pedang Siau-bun. Seketika Siau-bun merasa seperti ditiup
angin dingin. Terpaksa ia menarik pulang pedangnya dan berputar menyerang lawan yang dari samping kanan. Orang
itu seorang tua berjenggot kuning.
Orang tua itu sebenarnya hendak memburu Thian-leng , tetapi karena dihalangi Siau-bun terpaksa berhenti. Marahlah
orang tua itu.
“Budak perempuan, apa kau bosan hidup?” serunya seraya menusukkan sebuah jari ke pedang si nona.Siau-bun terkejut. Tusukan jari itu hebatnya bukan kepalang, sampai mengeluarkan suara mendesing yang tajam
sekali. Siau-bun hendak menarik pulang pedangnya, tetapi
tusukan jari orang tua berjenggot cepatnya bukan main. Tring….. ujung pedang mendering keras dan seketika itu
Siau-bun rasakan lengan kanannya kesemutan. Pedangnya hampir mencelat ke udara. Kuda-kuda kakinya tergempur
dan terhuyunglah ia sampai 3-4 langkah ke belakang.
Di sebelah belakang ia disambut oleh seorang paderi dan seorang imam. Si paderi membawa pedang dan si imam
mencekal senjata sekop.
Siau-bun tak berdaya merintangi lagi. Lelaki dan wanita jelek tadipun sudah memburu Thian-leng. Thian-leng
terancam bahaya!
Adegan itu berlangsung hanya dalam sekejap saja. Pada saat Thian-leng melemparkan tubuh tawanannya ke tengah
gundukan batu, penyerang-penyerangnyapun sudah tiba. Thian-leng tercengang.
“Tolol, mana peta itu!” serentak Siau-bun meneriaki si anak muda.
Thianleng gelagapan. Tanpa berpikir panjang lagi, segera ia melemparkan bungkusan kain, “Adik Bun, lekas
sambutlah!”
Si paderi dan si imam yang sudah tiba di muka Siau-bun tertegun. Adalah si imam yang lebih dulu tertawa gelak-
gelak, terus mengenjot tubuhnya melayang di udara dan segera menyambar bungkusan kain. Begitu menyambuti
bungkusan, ia melambung terus sampai setinggi-tingginya, bergeliatan dan meluncur sampai beberapa tombak
jauhnya. Dia yakin peta Telaga zamrud sudah dikuasainya!
“Hai, to-heng, tunggulah!” si paderipun mengenjot tubuhnya ke udara mengejar si imam.
Si orang tua berjenggot kuning dan sepasang lelaki perempuan berwajah buruk tadi, sebenarnya sudah tiba di muka
Thian-leng dan hendak menyambarnya. tetapi timbulnya perobahan yang mendadak itu membuat mereka kaget
bukan kepalang.
Si orang tua jenggot kuning secepat kilat menarik pulang tangannya terus mencelat ke udara, “Coba saja kalau kau
mampu lepas dari tangan Thian-san Siu-sin ( Dewa hewan dari gunung Thian-san)!”
Juga sepasang lelaki perempuan berwajah buruk yang agaknya seperti sepasang suami istri itu bergerak aneh sekali.
Mereka tak menghiraukan Thian-leng lagi. Tiba-tiba si lelaki menyambar paha kiri si perempuan, terus dilemparkan ke
udara seraya berseru, “Di hadapan Im-yang Song-sat, kalian berani main gila!”
Tubuh wanita itu meluncur laksana anak panah. Dalam sekejap saja sudah melampaui si orang tua berjenggot kuning,
terus mengejar si paderi dan si imam.
Setelah melemparkan tubuh si perempuan, lelaki itupun melambung ke udara. Demikian timbullah kejar mengejar di
antara lima orang. Dalam sekejap saja mereka sudah meluncur enam puluhan tombak jauhnya.
Sesaat kemudian terdengarlah suara letupan dari pukulan beradu, disusul dengan gemuruh pohon tumbang dan batu
meledak pecah. Jelas bahwa mereka telah saling memukul.
Siau-bun cepat meloncat ke hadapan Thian-leng, “Lekas lari, mereka…..”
Tetapi Thian-leng tetap tegak seperti patung.
“Hai bagaimana? Apakah peta itu........ belum kau dapatkan?”
Thian-leng menghela napas panjang, “Silakan lihat sendiri!” Ia menunjuk pada tubuh tawanannya yang sudah
terkapar tak bernyawa di antara gundukan batu.
Cepat Siau-bun memeriksa dan secepat itu pula ia termangu terkesima. Ternyata yang dibunuh Thian-leng itu bukan
Sam-chiu Sin-kun, bukan pula manusia, melainkan orang-orangan dari batu dan dahan pohon, tetapi dibuat
sedemikian rupa sehingga menyerupai seorang manusia, lengkap dengan panca indra dan jenggot panjang. Di tempat
segelap itu, apalagi pada malam hari, orang tentu keliru menyangkanya sebagai manusia!
Dan yang istimewa lagi, orang-orangan itu dibalut dengan tali sutera yang ulet sekali. Maka tiga buah tusukan pedang
Thian-leng dan sebuah pukulannya tadi tak berhasil menghancurkan orang-orangan itu!
“Rase tua yang licin sekali. Dia-benar-benar lihay mengatur siasat!” Siau-bun membanting-banting kaki.
“Tetapi dari mana ia membuat orang-orangan ini? Apakah sebelumnya kau tak mengetahui?”
Siau-bun hanya menghela napas, “Setan tua itu memang licin sekali. Bodoh sekali kalau ia membuat orang-orangan
itu dari lain tempat...... eh, apakah kau tak memperhatikan kaki pohon itu? Di situlah ia mempersiapkan orang-
orangannya!”Memang di bawah ketiga pohon tua tadi tampak ranting dan dahan pohon berhamburan.
“Dia sudah tahu kalau dikejar orang, maka sengaja ia berhenti di sini. Diapun sudah memperhitungkan bahwa
pengejar-pengejarnya itu tentu saling menunggu siapa yang berani bergerak dulu. Hal itu tentu memakan waktu
cukup lama. Maka enak saja ia membuat orang-orangan itu. Karena kesemuanya itu sudah diperhitungkan lebih
dahulu, maka sebelumnya iapun sudah membawa pakaian, rambut dan jenggot palsu!”
“Pengejar-pengejarnya itu hanya terpisah sepuluhan tombak jauhnya. Apakah ia tak takut dipergoki?”
“Sudah tentu ia menyembunyikan diri sedemikian rupa agar jangan sampai ketahuan kalau sedang membuat orang-
orangan. Ilmu sakti apapun juga hanya terbatas mengetahui bahwa ia bersembunyi di balik pohon. Tetapi apa yang
tengah dikerjakan tentu tak dapat diketahui. Setelah selesai, orang-orangan itu disandarkan ke batang pohon dan ia
sendiri diam-diam sudah menyelinap pergi. Benar-benar hebat rase tua itu!”
Thian-leng heran dan menanyakan apakah ilmu Melihat-langit mendengar-bumi si nona tak dapat mengetahui kalau
pencuri itu lolos.
“Ah, akupun kena dikelabui. Kukira orang-orangan itu adalah dia, maka yang kuperhatikan hanya itu saja,” Siau-bun
menghela napas lagi.
Thian-leng meringis. Sekarang soal yang harus dipecahkan ialah ke manakah gerangan larinya penjahat itu? Menilik
kelihayan Sam-chiu Sin-kun mencopet peta dan meloloskan diri dari kepungan , jelas bahwa orang itu memiliki otak
luar biasa. Kalau ia berhasil mendapatkan kitab pusaka, tentulah dalam waktu singkat ia sudah berhasil mempelajari
isinya. Apabila hal itu sampai terjadi, betapa besar bencana yang bakal menimpa dunia persilatan!
Pikiran Thian-leng melayang-layang dilanda badai kegelisahan. Sementara itu Siau-bun mondar-mandir memeriksa
bekas-bekas di bawah pohon. Yang dapat diketemukan hanyalah hamburan ranting-ranting dan daun pohon, tetapi
bekas telapak kaki orang sama sekali tak tampak.
Beberapa saat kemudian Thian-leng bertanya apakah Siau-bun mendengar sesuatu. Nona itu termenung sebentar lalu
menggelengkan kepala, “Ah, mungkin bangsat tua itu sukar diketemukan lagi!”
“Ah, kitab pusaka It Bi siangjain tentu akan dimilikinya!” Thian-leng berteriak kaget.
“Habis?” Siau-bun mengangkat bahu, “dengan kecerdikannya bangsat tua itu tentu berhasil menemukan tempat kitab
itu!”
Thian-leng membanting-banting kaki, “Celaka, kalau kitab pusaka itu didapat manusia semacam itu, berarti
malapetaka bagi dunia persilatan!”
“Apa mau dikata, mungkin sudah suratan takdir,” sahut Siau-bun lesu, “mungkin dunia persilatan memang harus
mengalami banjir darah!”
Thian-leng merasakan bumi yang dipijaknya seperti bergoyang. Ingin ia mati saja saat itu. Bayang-bayang Oh-se
Gong-mo, Tui-hun Hui-mo dan tabib Sip U-jong bermunculan di kalbunya. Mereka menuding-nuding kepada Thian-
leng, seolah hendak menuntut janji pemuda itu.
Pada lain saat terbayang pula budi kebaikan Hun-tiong Sin-mo memberinya obat dahulu, Toan-jong-jin memberi
pedang dan ilmu pedang, pengangkatannya sebagai ketua partai Pengemis, serta budi kebaikan yang dilimpahkan si
Jenggot perak dan cucu perempuannya Lu Bu-song….
Untuk membalas budi dan melaksanakan harapan mereka yang telah memberi kepercayaan kepadanya hanyalah
disandarkan pada kitab pusaka. Tetapi.. ah
peta itu telah hilang. Dia adalah manusia yang berdosa. Berdosa karena menghancurkan harapan mereka. Ia harus
mati untuk menebus dosa itu…..
“Ayo, kita pergi!” tiba-tiba Siau-bun menarik lengannya.
“Apakah kau sudah mendapatkan ssesuatu jejak?”
“Tidak…….. tetapi kalau tidak pergi kita tentu terancam bahaya!”
“Kenapa?” Thian-leng masih bertanya.
“Suara pertempuran sudah berhenti, jelas bahwa mereka tentu sudah mengetahui bahwa buntalan kain itu bukan
peta. Sebentar lagi mereka tentu kembali mencari kita……”
“Tetapi kita sendiri juga tertipu. Asal kita terus terang menceritakan..........”
“Mereka jago-jago sakti dan belum ketahuan dari golongan mana. Paling tidak mereka tetap akan menuntut karena
kau telah menipunya. Jika bertempur, kita tentu menderita. Lebih baik kita lari dulu baru nanti kita mengatur rencana
lagi!”“Baik, marilah......,” baru Thian-leng mengucapkan itu, tiba-tiba terdengar suara bentakan bengis, “Huh, kalian mau
lari?”
Kejut Thian-leng dan Siau-bun bukan kepalang. Di empat penjuru telah mengepung kelima orang yang merebut kain
tadi.
“Budak bernyali besar!” bentak si imam sembari menimpukkan kain kepada Thian-leng, “Kau berani menipu aku
berarti bosan hidup! Kau belum mendengar siapa Tiang Pek cinjin?”
Thian-leng menyahut dengan angkuh, “Sekali-kali aku tak bermaksud menipumu. Apalagi aku sendiri juga kena ditipu
orang!”
Ia menunjuk pada orang-orangan yang terkapar di tanah, serunya, “Silakan lihat!”
Tiang Pek cinjin melemparkan pandangan ke benda itu. Di luar dugaan ia berpaling kepada si paderi, “Bagaimana ini?”
Paderi Ko Bok juga seorang paderi ganas yang berpuluh tahun memendam diri. Ia menggaruk-garuk telinga, “Aneh,
memang aneh. Kemana si tua Sam chiu Sin kun itu?”
Rupanya ia mempunyai hubungan baik dengan Tiang Pek cinjin.
Siau-bun tertawa getir, “Cuwi tentulah para cianpwe dari dunia persilatan. Sebaiknya segera melakukan pengejaran
pada Sam chiu Sin-kun, jangan buang waktu!”
Thian-san Siu sin si tua jenggot kuning mendengus, “Hm, jangan kira kau dapat mengelabui kami lagi! Dengan tipu
muslihatmu yang licik, kau telah menipu kita, kemudian di sini kau lakukan sulapan. Aku sudah tua, masakah kena
diingusi seperti anak kecil!”
Sepasang suami isteri berwajah buruk segera ikut membentak, “Memang benar! Lekas serahkan peta itu, nanti kalian
boleh bebas pergi!”
Turut campurnya kedua suami isteri yang bergelar Im Yang song-sat itu membuat si paderi dan si imam gusar sekali.
“Jika peta telaga zamrut sampai jatuh ke tangan kalian, aku paderi Ko Bok dan imam Tiang Pek segera akan bunuh
diri saja!” bentak paderi Ko Bok.
“Mau bunuh diri atau tidak, itu urusanmu sendiri. Tetapi peta itu harus menjadi milik kami suami isteri!” sahut Im
Yang song-sat.
“Mungkin keinginanmu itu sukar terlaksana!”
“Silakan saja kalau mau mencoba!” sahut Im Yang song-sat.
Ketegangan merebak. Kedua pihak saling bersiap.
“Nanti dulu!” tiba-tiba si jenggot kuning Thian-san Siu-sin mencegah.
“Jenggot kuning, tak usah kau campur mulut, kau tak berhak ikut menginginkan peta!” bentak Im Yang song-sat.
Juga paderi Ko Bok mengenyahkan jenggot kuning, “Menyingkir sajalah kau ini. Atau akan kuremukkan dulu tulang-
belulangmu yang bangkotan itu!”
Didamprat kedua belah pihak, Thian-san Siu-sin tertawa sinis, “Kalian begitu congkak terlalu tak memandang mata
padaku Thian-san Siu-sin. Aku bukan seorang pengecut, tetapi……” sejenak ia memandang Thian-leng, lalu berseru
pula, “Coba jawab, di mana peta itu sekarang?”
“Tentu pada budak itu!” sahut Im Yang song-sat.
Thian-san Siu-sin tertawa, “Kalau begitu mengapa tak tunggu setelah peta ketemu baru kalian bertempur lagi?”
Paderi Ko Bok dan imam Tiang Pek saling tukar isyarat mata. Ko Bok berseru, “Baik, kami setuju dengan usulmu itu!”
“Begitu peta diketemukan, segera kita rundingkan cara pertempuran. Siapa yang menang paling akhir, dialah yang
berhak memiliki peta itu!” imam Tiang Pek menambah.
“Baik, kami suami isteri yang menggeledah budak itu!” tiba-tiba Im Yang song-sat mencelat ke arah Thian-leng.
Siau-bun yang tengah memutar otak mencari akal terkejut sekali. Cepat ia menimpukkan dua buah tui-hong-kiong.
Tetapi Im Yang song-sat sudah melindungi tubuhnya dengan tenaga dalam. Mereka tak mengacuhkan tui-hong-kiong
si nona dan tetap hendak mencengkeram Thian-leng.Tring.... tring.... tui-hong-kiong berdenting mencelat ke udara. Kejut Thian-leng bukan kepalang. Segera ia memukul
dengan tangan kiri dan menyabet dengan pedang di tangan kanan. Seluruh tenaga ditumpahkan pada serangan itu.
Terdengar letupan dahsyat dan tiba-tiba terjadilah peristiwa yang mengejutkan….
Pemilik Peta
Thian-leng sudah nekad. Bahwa timpukan panah Siau-bun dapat dipentalkan begitu mudah, sadarlah ia bahwa kedua
suami isteri itu jago-jago sakti yang luar biasa. Iapun menyadari bahwa serangannya itu mungkin akan mengalami
nasib serupa. Tetapi biarlah… Daripada mati konyol, lebih baik ia hancur lebur melawan….
Tetapi di luar dugaan, timbul suatu hal yang menggemparkan. Terdengar letupan keras, disusul dengan mencelatnya
kedua suami isteri jahat itu sampai beberapa meter jauhnya.
Thian-leng terkejut. Jelas ia merasa bahwa ujung pedangnya belum menyentuh tubuh lawan. Dan jelas bahwa tadi
ada serangkum tenaga dahsyat meniup sepasang suami isteri itu. Tetapi ia tak tahu siapa dan tenaga apa yang
sedemikian luar biasa itu.
Bahkan karena terjadi begitu mendadak serta secepat kilat, Thian-san Siu sin, Ko Bok dan Tiang Pek pun tak tahu apa
yang telah terjadi. Momok-momok itu terlongong-longong terkesima.
Dan kejut mereka makin menjadi, ketika tahu-tahu di belakang Thian-leng muncul seorang tua dengan dandanan
seperti pertapa.
Rambut dan jenggotnya yang menjulai panjang berwarna putih seperti salju. Jubahnya berwarna kuning menyentuh
sampai ke tanah. Kemunculan pertapa itu benar-benar seperti dewa turun ke bumi.
Terjungkalnya kedua suami isteri Im Yang song-sat tadi hanyalah karena dikebut dengan lengan jubahnya. Dan
kedatangannya yang sama sekali tak diketahui oleh jago-jago yang berada di situ benar-benar menggemparkan
sekali.
Im Yang song-sat babak belur. Untung mereka tinggi kepandaiannya. Secepat itupun sudah loncat berdiri lagi. Tetapi
mereka masih terlongong-longong terkesima. Mereka tak mengerti mengapa tahu-tahu bisa mencelat jatuh bangun….
Pertapa jubah kuning itu tertawa meloroh, “Siapa lagi yang tidak terima?”
Sekalian orang terbeliak. Sesaat kemudian paderi Ko Bok mengucapkan salam keagamaan, “Omitohud! Siapakah kau?
Apakah hendak ikut campur dalam urusan ini?”
“Aku hanya perlu meminta keterangan, kalian terima atau tidak?” pertapa jubah kuning itu menyahut lain.
Merahlah mata paderi Ko Bok mendapat hinaan semacam itu, bentaknya, ”Selama keluar dari pertapaan, belum
pernah aku menyerah pada orang lain.”
Kata-kata itu ditutup dengan tusukan ujung tongkatnya kepada si pertapa jubah kuning. Ia insyaf bahwa pertapa itu
bukan tokoh sembarangan, maka serangannyapun harus yang istimewa. Tusukan ujung tongkat disaluri dengan
tenaga dalam penuh!
Tetapi ia hanya memperhitungkan kekuatan sendiri. Tadi kekalahan Im Yang song-sat adalah karena mereka belum
bersiap dan tak menduga atas serangan gelap tersebut. Tetapi serangannya dengan jurus Ting-hong-koan-jit (
bianglala menutup mentari) ini, telah dilampiri dengan tenaga dalam dahsyat dan dilancarkan dengan keras. Sekali ia
dapat menjatuhkan pertapa itu, dapatlah ia menguasai semua tokoh-tokoh di situ dan peta itupun tentu menjadi
miliknya!
Ujung tongkat sudah meluncur ke arah dada si pertapa. tetapi anehnya pertapa itu tetap diam saja, seolah-olah
membiarkan ujung tongkat menusuk dadanya. Melihat itu diam-diam paderi Ko Bok girang sekali. Ia melipat
gandakan saluran tenaga dalamnya.
“Hidung kerbau, serahkanlah jiwamu!” serunya dengan garang. Tetapi belum habis kata-katanya ia sudah mendelik
kaget.
Ujung tongkat yang tepat mengenai dada si pertapa, tiba-tiba menemui tempat kosong. Padahal jelas dilihatnya
pertapa itu tadi tetap tegak berdiri di hadapannya. Dan karena menusuk angin, paderi Ko Bok terdorong ke muka.
Buru-buru ia hendak membalik tubuh. Tetapi bukan main kagetnya ketika dilihatnya pertapa itu tegak lagi di
hadapannya dan mendorongkan tangannya.
“Ilmu siluman….!” Ko Bok memekik kaget. Tetapi ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tubuhnya mencelat
ke udara. Dan serupa dengan Im Yang song-sat, iapun terbanting sampai dua tombak jauhnya!
Bantingan itu jauh lebih hebat dari Im Yang song-sat. Kalau suami isteri Im Yang song-sat hanya babak belur, paderi
Ko Bok harus meringis seperti monyet makan terasi. Mata berkunang-kunang, kepala pusing tujuh keliling dan tulang-
tulang seperti remuk-redam.
Masih untung pertapa jubah kuning itu tak mau menggunakan tenaga besar, sehingga Ko Bok terhindar dari lukadalam. Ia terpaksa bangun perlahan-lahan.
Pertapa tua itu tertawa tergelak-gelak. Tiba-tiba ia melesat ke tempat Thian-san Siu-sin, tegurnya, “Mungkin kau
agak penasara?”
Thian-san Siu-sin melongo dan menyahut tergagap, “Aku...” belum sempat ia melanjutkan jawaban, tiba-tiba pertapa
itu mengebutkan lengan jubahnya, bret….. Thian-san Siu-sin terkejut, cepat-cepat ia menangkis dengan tangan
kanan. Uh…..kebutan lengan jubah pertapa itu menerbitkan tenaga luar biasa. Bukan saja tangkisan Thian-san Siu-sin
lenyap tenaganya, pun tubuh jago Thian-san itu mencelat terbanting ke tanah!
Thian-leng dan Siau-bun tercengang terkesima. hampir mereka tak percaya apa yang disaksikannya.
Im Yang song-sat, paderi Ko Bok dan Thian-san Siu-sin adalah tokoh-tokoh persilatan yang sakti. Kesaktian mereka
hampir menyamai Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak. Tetapi berhadapan dengan pertapa jubah kuning, mereka
diperlakukan seperti anak-anak kecil saja. Sungguh ajaib sekali!
Setelah memberi hajaran kepada ke empat orang itu, pertapa baju kuning itu segera menghampiri Tiang-Pek cinjin.
Paderi itu tegak berdiri seperti patung. Nyalinya sudah hancur berantakan ketika pertapa itu mendatanginya.
Pertapa itu tertawa tergelak-gelak, “ Kau dan aku sama-sama murid Sam Ceng. Perlukah kita mengukur kepandaian?”
Tiang Pek cinjin gelagapan. Serunya tergugu, “ Tidak…… tidak usahlah. Pe…..ta
Telaga zamrud silakan kau ambil…….”
“Kau pandai melihat gelagat!” pertapa itu tertawa. Tiba-tiba ia ajukan langkah seraya berseru kepada Thian-leng,
“Ikut aku!”
Thian-leng tak kenal siapa pertapa ajaib itu dan apakah maksud kedatangannya. Jika pertapa itu juga bertujuan
merebut peta telaga zamrud, habislah segala harapannya. Ia tegak termangu-mangu.
“Mari kita pergi!” tiba-tiba Siau-bun menggunakan ilmu menyusup suara. Dan sekali melesat nona itu sudah
mendahului.
Thian-leng tertegun. Buru-buru ia menyahut dengan ilmu menyusup suara, “Jika pertapa itu bermaksud buruk,
jangan harap kita dapat lolos!”
“Tetapi bagaimanapun tetap lebih baik daripada kita menunggu kematian di sini!”
Thian-leng anggap kata-kata si nona itu tepat, peristiwa saat itu tentu akan menambah kebencian Im Yang song-sat
dan lain-lain kepadanya. Begitu pertapa itu pergi, mereka tentu akan menumpahkan kemarahan kepadanya. Apalagi
tadi jelas didengarnya pertapa itu mengajaknya pergi. Tanpa bersangsi lagi, iapun segera mengikuti Siau-bun.
Im Yang song-sat, Thian-san Siu-sin, Ko Bok dan Tiang Pek cinjin tak berani berkutik merintangi Thian-leng. Begitu
pertapa itu sudah lenyap dari pandangan mata, barulah kelima tokoh itu saling berpandangan. Kemudian merekapun
melangkah ke dalam lembah.
Lembah itu penuh dengan jalan berliku-liku yang panjang. Diselimuti dengan kabut malam yang tebal, sukar
mengetahui arah yang harus dituju. Kelima tokoh itu tak mengerti di mana mereka berada.
Pertapa jubah kuning itu berjalan dengan melenggang, tetapi cepatnya bukan main. Thian-leng dan Siau-bun
mengerahkan seluruh kepandaiannya berjalan cepat barulah mereka dapat mengejar pertapa itu. Kejut kedua anak
muda itu tak terperikan.
Kira-kira dua li jauhnya, tiba-tiba dari kejauhan tampak selarik sinar lampu dan pertapa itupun berseru, “Sudah
sampai!”
Sekonyong-konyong ia enjot tubuhnya melambung dan melayang seperti seekor burung garuda. Hanya dalam dua
tiga lompatan, pertapa itu sudah berada pada jarak tiga empat tombak jauhnya.
“Apakah kita berjumpa dengan dewa?” tanya Thian-leng dengan heran.
“Jangan melantur,” sahut Siau-bun, “cepatkan langkah mengejarnya, tentu tahu jelas tentang dirinya!”
Thian-leng dan Siau-bun segera percepat larinya.
Dalam sekejap saja mereka sudah mencapai tempat yang berlampu itu. Semula Thian-leng kira tempat itu tentu
sebuah biara. Kemungkinan tentulah tempat tinggal pertapa jubah kuning. Tetapi ternyata tempat itu merupakan
sebuah gubuk kecil. Pintunya terbuka lebar. Di tengah ruangan terdapat sebuah lampu, selembar permadani dan
pertapa itu sudah tampak duduk bersila di atasnya.
Begitu masuk, Thian-leng dan Siau-bun segera menghaturkan terima kasih kepadanya. “Terima kasih atas budi
pertolongan to-tiang. Aku…..”
Pertapa itu tertawa tergelak-gelak. Sepasang matanya dipentang lebar-lebar. Dua larik sinar tajam segera tertuju
pada kedua anak muda itu. Akhirnya pertapa itu melekatkan pandangannya pada Thian-leng, “Apakah peta itu kauterima dari Sip U jong?” tegurnya.
Thian-leng tertegun, ujarnya, “Benar, tetapi peta itu dicopet orang, tak berada padaku lagi!”
Pertapa itu memandang tajam. Sekujur tubuh Thian-leng dijelajahinya. Beberapa saat kemudian terdengar ia
berbicara seorang diri, “Ah, Sip tua itu benar-benar jeli matanya!”
Thian-leng tidak mengerti apa yang dikatakan si pertapa. Saking tak tahan ia memberanikan diri bertanya, “Mohon
to-tiang suka memberitahukan nama gelaran to-tiang. Terhadap peta itu…….” Ia tak melanjutkan kata-katanya.
Kedatangan pertapa itu terang dapat menyelamatkan jiwanya dari ancaman kelima pengejarnya. Mengapa ia harus
menanyakan lagi?
Perta itu hanya ganda tertawa dan menyahut seenaknya, “Aku It Bi…..”
Thian-leng dan Siau-bun seperti mendengar petir menyambar di tengah hari, serunya, “Jadi to-tiang ini It Bi
siangjin…..!”
(bersambung ke jilid 19 )
Jilid 19 .
Tetapi ah, tak mungkin. It Bi siangjin tentu sudah tidak ada di dunia lagi. Kedua anak muda itu tak melanjutkan lagi
kata-katanya. Mereka malu sendiri.
Pertapa itu tetap ganda tertawa, “It Bi siangjin sudah beratus tahun wafat. Mana orang mati bisa hidup kembali?
Aku........”
Siau-bun pun tertawa, serunya, “Kiranya karena mengagumi kepribadian It Bi siangjin maka to-tiang pun memakai
nama itu.....”
Pertapa itu melirik sejenak kepada Siau-bun, ujarnya, “Benar, kau pandai sekali. Memang karena aku adalah pemuja
yang mengagumi sekali riwayat It Bi siangjin. Untuk mengabadikan, kupakai nama It Bi.....”
“Tetapi kepandaian dan perbawa to-tiang rasanya tak kalah dengan It Bi siangjin.....”
Pertapa itu menghela napas, “Ah, tetapi ada beberapa hal yang kalian tak tahu....”
Cepat Siau-bun pun menukas, “Kalau tak salah, di sekitar tempat ini tentulah merupakan telaga zamrud seperti yang
dimaksud dalam peta. Usaha Sam-chiu Sin-kun Ki Bu-sin mencuri peta dan menyelundup kemari, juga telah kau
ringkus!”
Thian-leng terbeliak kaget. Juga It Bi berobah wajahnya, “Kau mengetahui banyak hal, darimana kau tahu?”
Siau-bun tersenyum, “Terus terang saja , aku hanya menebak.”
“Menebak?”
“Ya,” sahut Siau-bun, “toh soal itu sudah jelas. Menilik keadaan lembah Pak-bong-kiap yang begini seram, tak
mungkin dijadikan tempat tinggal. To-tiang menyebut diri sebagai It Bi, tetapi di sini tak ada pusaranya. To-tiang
membuat rumah di sini tentulah ada maksudnya. Sesudah mencuri peta, Samchiu Sin-kun terus menuju kemari.
Kesemuanya itu cukup membuktikan bahwa tempat ini merupakan tempat penyimpanan kitab pusaka It Bi siangjin.
Totiang tepat pada waktunya datang menolong kami berdua, tentulah telah dapat meringkus Sam chiu Sin-kun.....”
Thian-leng terkesiap dan berpaling. Tampak di balik tirai penutup pintu kamar, dua buah paha orang menjulur di
tanah. Tentu orangnya sudah ditutuk jalan darahnya, dan jelas orang itu tentu Sam-chiu Sin-kun.
Siau-bun tertawa tawar, “Benar, karena Sam-chiu Sin-kun kena kau tutuk, barulah aku dapat menduga tempat ini.
Tetapi ada beberapa hal yang tak kumengerti.”
“Dalam hal apa, silakan bertanya!”
“Yang kuherankan, mengapa kau sebarkan peta itu ke dunia sehingga menimbulkan perebutan....... Kitab itu mungkin
sejak dulu sudah berada di tanganmu....eh, ilmu sakti yang kau pertunjukkan tadi, mungkin termasuk salah satu ilmu
dalam kitab itu?”
It Bi kerutkan kening menghela napas, “Hm, sekalipun otakmu cerdas, tetapi kau tetap tak dapat menerka hal itu!”“Apakah kau belum mendapatkan kitab It Bi siangjin itu?”
“Sudah!” sahut It Bi.
Mendengar itu hampir saja Thian-leng pingsan. Harapan untuk mendapatkan kitab”itu hilanglah sudah. Dia tak
mempunyai harapan lagi untuk mengalahkan Sin-bu te-kun dan ketua Hek Gak.
“Setelah mendapat kitab itu, mengapa totiang perlu mengadakan lelucon lagi? Perlu apakah totiang memikat orang
datang kemari..... ”
Dengan wajah membesi It Bi menyahut, “Telah kukatakan bahwa ada beberapa hal yang kalian tak mengerti………..” ia
berhenti sebentar, ujarnya pula, “Berpuluh tahun yang lalu, aku bersama Sip U jong telah mendapatkan peta itu.
Kami kemari dan berhasil mendapatkan tempat penyimpanan kitab.”
“Tetapi kabarnya Sip U-jong telah dianiaya Sin-bu Te-kun sehingga kepandaiannya hilang. Kalau benar sudah
mendapatkan kitab itu, masakah Sin-bu Te-kun dapat melukainya?”
It Bi mengerutkan alis, “Itu terjadi sebelumnya. Memang Sip U-jong menaruh harapan dapat menuntut balas. Ia
meyakinkan isi kitab dengan sungguh-sungguh, tetapi pada akhirnya ia menyadari bahwa peryakinannya itu keliru
semua....”
“Keliru bagaimana?” Thian-leng terkejut.
It Bi tertawa masam, “Ilmu ajaran It Bi siangjin itu dalam sekali, tak mudah dipelajari sembarang orang. Baru tiga
hari berlatih Sip U-jong telah mengalami co-hwe-jip-mo ( salah latihan dan merusak diri), sehingga menyebabkan ia
kehilangan semua kepandaiannya. Tetapi ia akhirnya dapat mempelajari sedikit ilmu meramal……”
Kini tergeraklah hati Thian-leng, “Ilmu apakah yang tertulis dalam kitab pusaka itu?”
It Bi melanjutkan penuturannya, “Aku lebih beruntung sedikit dari Sip U-jong. Sedikit banyak aku berhasil
mempelajari kepandaian istimewa. Karena merawat Sip U-jong, kuhentikan latihanku. Dan secara kebetulan hal itu
……”
“Berapa lamakah totiang mempelajari?” tukas Thian-leng.
“Satu hari!”
“Satu hari?” Thian-leng berteriak kaget, “berapakah hasil dari pelajaran sehari saja? Tetapi ilmu kepandaian yang
totiang miliki………”
It Bi tertawa, “Jika aku temaha dan belajar ngotot seperti Sip U-jong, tentu akupun akan mengalami nasib seperti dia,
menjadi orang yang cacat!”
Heran Thian-leng tak terkira. Masakah belajar sehari saja sudah dapat memiliki kepandaian sesakti itu.
“Berapa bagiankah yang totiang dapat pelajari?” tanyanya.
“Hanya sepersepuluh bagian saja!”
Thian-leng dan Siau-bun hampir tak dapat mengendalikan kekagetannya. Benar-benar sukar dapat dipercaya. Hanya
mempelajari sepersepuluh bagian saja sudah sedemikian hebatnya. Bagaimanakah kalau sudah mempelajari
seluruhnya.
“Sudahlah, jangan mengganggu , biarkan totiang melanjutkan ceritanya,” kata Siau-bun.
It Bi tertawa, tuturnya, “Ilmu pelajaran dalam kitab It Bi bu-cui itu sekalipun tak sukar dipelajari, tetapi setiap bagian
mempunyai keistimewaan sendiri. Jika tidak mempunyai tulang yang bagus, tak mungkin dapat mempelajari. Setelah
Sip U-jong menyadari hal itu, dia menjadi putus asa. Tetapi dia tak dapat berdaya apa-apa lagi…”
It Bi berhenti sejenak menghela napas, lalu meneruskan lagi, “Akhirnya kita mencapai persetujuan. Peta dia yang
membawa untuk mencari orang yang dapat menerima warisan It Bi siangjin. Agar jerih payah pertapa itu jangan
terbuang sia-sia, tetapi terus menerus dapat berkembang di dunia! Sementara aku yang telah beruntungmendapatkan sebuah ilmu dari kitab itu, menjaga tempat penyimpanan kitab di sini. Pertama , menjaga jangan
sampai tempat ini diketahui orang. Kedua, andaikata peta yang dibawa Sip U-jong itu dirampas orang, aku dapat
mengejar penjahat itu lagi! Ah, tak kira belasan tahun kita berpisah, sampai sekarang……….” It Bi berhenti sejenak
untuk mengambil napas, katanya pula, “Beruntunglah akhirnya Sip U-jong telah berhasil menyelesaikan harapan kita
berdua. Dia dapat memilih orang yang tepat. Ketahuilah, bagiku mengalahkan tiga barisan tentara adalah mudah.
tetapi untuk mencari tunas yang sungguh-sungguh berbakat, sukarnya seperti mencari jarum di lautan. Tulang
rangka seperti yang kau miliki itu, barulah benar-benar dapat menerima pelajaran sakti dari kitab It Bi bu-cui!”
It Bi menutup penuturannya dengan melepaskan pandangan mata menatap wajah Thian-leng. Kemudian ia tertawa
gelak-gelak.
Tersipu-sipu Thian-leng menyahut dengan rendah hati, “Wan-pwe hanya seorang pemuda biasa, mungkin tak dapat
memenuhi harapan totiang dan Sip lo-cianpwe. Dan lagi wanpwe……….” ia berpaling memandang Siau-bun, “Jika
bukan….. nona Cu yang menolong, mungkin saat ini wanpwe sudah mati. Maka paling tidak wanpwe minta supaya
nona Cu juga diperbolehkan mempelajari kitab itu bersama-sama…..”
Siau-bun tertawa mengikik, “Sudahlah, jangan ngelantur. Bukankah tadi totiang sudah mengatakan, Ilmu itu tak
boleh dipelajari sembarang orang. Apalagi mendiang It Bi siangjin tentu menghendaki bahwa setiap jaman hanya
seorang ahli waris saja…..”
“Benarlah,” It Bi tertawa, “tetapi kaupun termasuk tunas yang berbakat hebat. Hanya sayang……..”
“Sayang bagaimana?” buru-buru Thian-leng merebut pertanyaan.
Adalah karena ia merasa berhutang budi kepada Siau-bun, maka sedapat mungkin ia hendak membagi rejeki besar
itu kepada si nonan. Ia gembira kalau Siau-bun juga mendapat ilmu kesaktian yang hebat.
It Bi menghela napas, “Ah, ilmu pelajaran dalam kitab itu tidak sesuai diyakinkan oleh kaum wanita!”
Thian-leng melongo.
Siau-bun tertawa acuh tak acuh, “Huh, andaikata sesuai untuk kaum wanita, akupun tak ngiler. Karena aku sudah
mengangkat sumpah di hadapan suhu bahwa aku akan bersetia kepada sumber ajarannya. Tak boleh berguru pada
lain orang,” Siau-bun melanjutkan pula.
Kamar Rahasia.
It Bi tertawa gelak-gelak, “Bagus,….. kalau begitu. Tetapi kau belum memberitahukan namamu lho!” serunya kepada
Thian-leng.
Thian-leng tertegun, jawabnya, “ Maaf, aku masih bernama Bu-beng-jin....... ”
“Hai, aneh,” It Bi terbelalak, “Apakah kau seorang anak yatim piatu?”
Thian-leng menghela napas. Iapun lalu menuturkan rahasia yang menyangkut dirinya. It Bi mengerutkan dahi. Ia
hanya geleng-geleng kepala saja. Kemudian menghela napas. “Kelak apabiila kau sudah berhasil meyakinkan ilmu
kesaktian itu, tentu kau dapat mengusut riwayat dirimu!”
Ia bangkit dan mengajak mereka mengikutinya. Pertapa aneh itu menuju ke ruang sebelah kiri. Thian-leng dan Siau-
bun pun segera ikut.
Kamar itu gelap gulita, tetapi berkat lwekangnya yang tinggi, dapatlah kedua anak muda itu melihat jelas. Di tengah
ruangan seperti terdapat sebuah lubang terowongan selebar dua meter.
“ Itulah pintu masuk dari apa yang dihebohkan orang dalam peta Telaga zamrud. Dulu setelah kubuka, aku terus
tinggal di sini , tak pernah pergi kemanapun juga,“ kata It Bi seraya masuk ke dalam terowongan itu.
Thian-leng dan Siau-bun tetap mengikuti. Terowongan itu dalamnya seperti sumur, mempunyai titian batu yang
menurun. Diam-diam Thian-leng menghitung titian itu. Jumlahnya tak kurang dari 200 buah undakan. Dasar
terowongan itu merupakan sebuah dataran yang terang. Luasnya puluhan tombak. Baik atap maupun lantainya
terbuat dari batu seluruhnya. Benar-benar merupakan sebuah bangunan yang besar dan megah.
Diam-diam Thian-leng mengagumi kehebatan mendiang yang telah menciptakan bangunan sedemikian hebatnya.“Menurut catatan dalam kitabnya. Ruangan ini dibuat sendiri oleh mendiang It Bi siangjin dalam waktu tiga hari!”
tiba-tiba It Bi berkata.
“Hai.... tak mungkin!” Thian-leng berseru kaget.
“Seorang yang berilmu sakti, apapun dapat dilakukan. Mungkin batu-batu raksasa ini hanya sebagai benda tak berarti
bagi almarhum, ” tukans Siau-bun.
“Benar,” It Bi tertawa, “baginya ruang ini masih belum menyulitkan…… eh, tahukah kalian apa guna ruangan ini?”
Thian-leng menggelengkan kepala. Tetapi Siau-bun segera menanggapi, “Ruang rahasia ini tentu mempunyai alat dan
pintu rahasia. Tanpa melihat pada peta, tak mungkin orang bisa keluar. Rupanya It Bi siangjin seorang ahli bangunan
yang cerdik!”
“Benarlah,” seru It Bi, “ruang ini mempunyai delapan buah pintu rahasia. Hanya ada sebuah pintu hidup yang boleh
dimasuki….” ia menutukkan jari pada ujung dinding batu yang sebelah kanan. Terdengarlah bunyi berdrak-derak dan
terbukalah sebuah lubang pintu, It Bi melangkah masuk, Thian-leng dan Siau-bun mengikuti terus.
Melintasi pintu itu, mereka berada di sebuah ruang batu yang terang benderang. Sekeliling dindingnya penuh
brtaburan mutiara. Mutiara-mutiara itulah yang memancarkan cahaya cemerlang.
Thian-leng dan Siau-bun terkejut ketika matanya tertumbuk pada sebuah peti mati yang terletak di tengah ruangan.
Peti mati itu terbuat dari batu mustika. Di depannya tercantum sebuah tong-pay ( nisan dari logam). Tong-pay itu
bertuliskan beberapa huruf yang ditulis dengan guratan jari.’Tempat arwah It Bi siangjin’.
It Bi segera berlutut dan menyuruh kedua anak muda itu berlutut juga. Mereka bersujud dengan khidmat. It Bi
bangkit, tetapi ketika Thian-leng hendak bangkit, It Bi melarangnya.
“Mendiang It Bi siangjin telah meninggalkan pesan, bahwa barang siapa mendapat harta peninggalannya, harus
menjaga seumur hidup dan melaksanakan cita-citanya.” kata It Bi dengan nada bersungguh-sungguh. “Surat pesanan
itu ditanam di bawah. Karena kurang hati-hati ketika menggalinya, surat itu hancur. Tetapi yang penting, ada dua hal
dalam surat itu.....”
It Bi berhenti sejenak, katanya pula, “Lebih dulu kau harus mengangkat sumpah untuk menjaga dan melaksanakan
pesan almarhum, barulah kau dapat menjadi pewaris It Bi siangjin yang nomor dua dan menjadi muridnya…..”
“Tetapi totianglah yang menemukan suratnya. Seharusnya totianglah yang menjadi pewarisnya yang kedua. Aku rela
menjadi pewaris nomor tiga….”
“Tidak!” tukas it Bi. “Sekalipun aku beruntung menemukan peninggalannya, tetapi aku bukanlah pewaris seperti yang
dikehendakinya. Apalagi yang kupelajari hanya sepersepuluh kepandaiannya, mana berani mengaku sebagai
pewarisnya. Memang akupun sudah mengangkat sumpah di hadapan jenasahnya. Tetapi bersumpah untuk menjaga
tempat ini sampai nanti mendapatkan orang yang tepat. Setelah kuserahkan semua peninggalannya, barulah aku
pergi. Aku beruntung Sip U-jong akhirnya menemukan kau…..”
Thian-leng mendengarkan dengan tegang.
“Dua buah pesan penting itu, pertama harus orang yang jujur, berjiwa ksatria dan mempunyai cita-cita untuk
menegakkan keadilan dan kebenaran. Kedua, dia harus memilih pewaris dengan hati-hati, agar ilmu pelajaran It Bi
siangjin akan terus berkembang selama-lamanya!”
Serta merta Thian-leng mengucapkan sumpah, “ Tecu (murid) bersumpah di hadapan arwah siangjin, akan taat
melaksanakan pesan sampai mati. Kalau sampai berkhianat dan ingkar, biarlah mendapat kutukan yang berat dari
Tuhan!”
“Cukup! Bebanku kini sudah impas separoh.... mari ikut!” kata It Bi terus menuju ke belakang peti mati. Di situ
terdapat sebuah meja dan ranjang, serta beberapa kursi. Tempatnya bersih. Pada dinding tengah terdapat dua buah
gelang batu mustika. It Bi menarik gelang sebelah kanan dan terbukalah sebuah pintu rahasia. Ternyata di situ
terdapat pula sebuah kamar rahasia.
“Kamar ini adalah tempat penyimpanan pusaka It Bi siangjin, masuklah!,”seru It Bi yang tegak berdiri di ambang
pintu rahasia.Tanpa bersanggsi lagi Thian-leng segera melangkah masuk. Tetapi baru kakinya melalui pintu, sekonyong-konyong
pintu itu menutup. It Bi telah menggerakkkan alat penutup pintu.
Kejut Thian-leng bukan buatan, “Totiang! Totiang……!” ia berteriak sekuat-kuatnya, tetapi tiada sahutan sama sekali.
Dicobanya untuk mendorong pintu itu, tetapi..ah… pintu itu tak bergeming sama sekali. Walaupun mendorong sekuat
tenagapun tetap tak berhasil.
Pada lain saat ia sadar. Mungkin It Bi memang sengaja menutup pintu agar Siau-bun tak ikut masuk. Karena yang
diperbolehkan mempelajari ilmu kitab pusaka itu hanya dia seorang. Tetapi ia memikirkan nona itu. Siau-bun telah
menemaninya menempuh bahaya, sekarang setelah mendapat rejeki, ditinggal begitu saja di luar. Ah…. namun ia tak
berdaya.!
Ruang itu tak seberapa luasnya, kira-kira hanya seluas dua tombak. Empat dinding ruang dilekati belasan mutiara
yang cukup memancarkan terang.
Tetapi yang membuat Thian-leng heran ialah, ruang itu tak terdapat apa-apa. Sebuah ruang yang kosong melompong
tanpa isi.
Setelah merenung beberapa saat, barulah Thian-leng tersadar. Kiranya pada empat dinding ruang itu terdapat
guratan lukisan dan huruf. Ah, kini barulah ia menyadari. Kitab pusaka It bi-bu-cui itu bukanlah semacam kitab yang
dapat dibawa kemana-mana, melainkan tulisan-tulisan yang diguratkan pada tembok!
Thian-leng segera memulai meneliti tulisan di tembok itu. Makin lama ia makin seperti tenggelam dalam lautan yang
tiada dasarnya. Dipelajarinya gerak kaki dan tangan sesuai dengan petunjuk-petunjuk tulisan di tembok. Entah
berapa lama ia terbenam dalam keasyikan belajar itu, ketika tiba-tiba terdengar bunyi berderak-derak dan pintu batu
terbuka.......
“Sudah dua hari, berapa bagiankah yang sudah kau pelajari?” It Bi tegak di ambang pintu dengan tersenyum.
“Ah, mungkin baru seperempat bagian!”
Memang Thian-leng baru dapat mempelajari sebuah dinding saja. Masih ada tiga buah dinding yang belum dipelajari.
“Cukup dengan sebuah dinding saja, mungkin kau sudah tak ada tandingannya!” seru Siau-bun yang berdiri di
belakang It Bi.
“Memang, kepandaianmu sekarang sudah lebih unggul setingkat daripadaku.” kata It Bi.
“Ah, mana mungkin. Aku hanya mempelajari dua hari, masakah sudah sedemikian rupa hebatnya,” Thian-leng tak
percaya.
“Sebentar kau tentu mengetahui sendiri. Sekarang aku hendak bicara padamu, mari kita keluar!”
Thian-leng keluar dan It Bi pun menutup pintu rahasia itu lagi. Kemudian Thian-leng menanyakan apa yang hendak
ditanyakan It Bi.
It Bi berkata, “Sejak kau mengangkat sumpah di hadapan arwah It Bi siangjin, kau sudah menjadi murid pewaris
kedua. Saat ini aku kalah tingkatan dan tunduk pada perintahmu. Maka tak usah kau berlaku menghormat lagi
padaku....... ”
“Ah, tanpa bantuan totiang mana aku dapat menemui rejeki yang sedemikian besarnya ini,” buru-buru Thian-leng
merendahkan diri.
Siau-bun juga turut memperkuat pernyataan Thian-leng dan menganggap pertapa itu adalah penolong yang berbudi.
“Aku bukan menolong, tetapi melaksanakan tugas dalam pesan It Bi siangjin,” kata It Bi kemudian dengan nada
bersungguh-sungguh. “Jadi sesungguhnya akulah yang harus berterima kasih padamu.”
“Tetapi bagaimanapun aku tetap menghormat totiang sebagai guru,” Thian-leng membantah.
Keduanya sama tak mau mengalah. Siau-bun tertawa geli, “Ah, kalau terus menerus berdebat tentu takkan putus-
putusnya. Aku mempunyai usul.”“Ya, ya silakan nona bilang.”
“Kusulkan baiklah kalian berbahasa sebagai kakak dan adik saja,” kata Siau-bun.
Masih It Bi kurang puas dan mengatakan hal itu masih melanggar tata tertib. Tetapi Thian-leng segera menjura
memberi hormat dan menyebutnya ‘totiang toako’ atau engkoh imam. Akhirnya It Bi terpaksa menerima. Sejak saat
itu keduanya sling memanggil kakak adik.
“Tadi aku sedang mempelajari ilmu pelajaran It Bi siangjin, mengapa toako memanggilku keluar?” tanya Thian-leng.
“Sudah dua hari kau berada di situ, apakah kau tak lapar?” It Bi tersenyum. Peringatan itu serentak membuat perut
Thian-leng berkeruyuk.
“Sudahlah, makan dulu baru nanti sambung bicara lagi!” seru Siau-bun.
“Nanti dulu, ijinkanlah aku merenungkan sekali lagi pelajaran dalam ruang itu agar tak lupa….”
“Tunggu,” buru-buru It Bi mencegah, “walaupun hanya seperempat bagian, tetapi isinya sudah mencakup ilmu yang
sakti. Yang tiga bagian itu kebanyakan hanya ilmu meramal dan ilmu perbintangan saja. Baiklah kau berhenti dulu.
Setelah meyakinkan sempurna, barulah kau mulai mempelajari lanjutannya.!”
Setelah berunding banyak tentang rencana yang akan datang, akhirnya diputuskan, Thian-leng boleh pergi. Setahun
kemudian harus kembali lagi ke goa itu. Mereka segera keluar ke dalam pondok lagi. Sam-chiu Sin-kun masih
menggeletak di lantai tak berkutik.
Ketika keluar dari Telaga zamrud, haripun sudah tengah malam. Kiranya sudah dua hari dua malam Thian-leng masuk
ke dalam goa Telaga zamrud. Ia masih belum yakin bahwa kepandaian yang dipelajarinya selama dua hari itu akan
dapat mengalahkan Sin-bu Te-kun dan kepala Hek Gak….
“Menurut ukuran kepandaianmu sekarang, kau lebih sakti beberapa kali dari dua hari yang lalu. Apakah saat ini kau
tak mendengar atau melihat sesuatu?” tiba-tiba Siau-bun menegur.
Thian-leng seperti disadarkan. Ia kaget-kaget girang ketika merasakan lembah yang diselimuti kepekatan kabut
malam itu, tidaklah segelap dalam pandangannya. Seluas satu li, ia dapat melihat dan mendengarkan suara yang
betapa kecilpun.
Tiba-tiba ia mengerutkan alisnya dan berkata dengan ilmu menyusup suara. “Apakah kau dapat mendengar pada
jarak duapuluhan tombak….”
“Lupakah kau akan ilmuku Melihat langit mendengarkan bumi?” Siau-bun tersenyum.
“Orang yang diam-diam menguntit kita ini tentulah...”
“Sudah tentu Im Yang songsat dan lainnya. Mungkin selama dua hari ini mereka tetap berkeliaran di sekeliling
lembah, tetapi mereka takut kepada It Bi..... ” kata Siau-bun.
Thian-leng berkobar nyalinya. Inilah saatnya ia hendak menguji ilmunya. Segera mereka meneruskan perjalanan. Tak
berapa lama tibalah mereka di mulut lembah Pak-bong-kiap. Thian-leng segera mempercepat langkahnya. Ia ingin
segera bertemu dengan rombongan Kay-pang.
Baru melintasi mulut lembah, tiba-tiba muncullah lima orang yang mengepung mereka dari lima jurusan.
Mereka ialah Im Yang song-sat suami isteri, Thian-san Siu-sin, paderi Ko Bok dan imam Tiang Pek cinjin. Thian-leng
pun lantas bersiap diri.
“Eh, apakah kalian belum pergi?” acuh tak cuh Siau-bun menegur mereka.
“Berikan!” bentak paderi Ko Bok.
“Berikan apa?” sahut Siau-bun.
“Kitab pusaka It Bi siangjin!”
“Si pertapa busuk itu telah membawa kalian ke dalam sarangnya sampai dua hari. Tentulah memberikan kitab itukepadamu!” teriak Thian-san Siu-sin.
“Dia hanya menjamu kita dengan hidangan yang lezat. Maksudnya begitu kalian sudah pergi, barulah melepaskan kita
lagi.” jawab Siau-bun.
“Ngaco!” bentak Tiang Pek cinjin, “Sam-chiu Sin-kun ditutuk jalan darahnya. Terowongan goa dalam sekali, tentulah
Telaga zamrud berada di situ! Kau masih menyangkal!”
“Oh, kiranya kalian telah menjenguk pondok itu?” Siau-bun tertawa.
“Benar di situ tentulah tempat penyimpanan pusaka It Bi siangjin!” seru Tiang Pek cinjin.
“Kalau sudah menduga begitu, mengapa kalian tak mengambilnya? Mengapa menunggu di situ saja?”
Merahlah wajah pertapa Tiang Pek, ia berpaling kepada paderi Ko Bok , “Budak perempuan ini bermulut tajam, tak
perlu berdebat dengannya. Kita mulai menggeledahnya saja!”
“Benar, mari mulai sekarang juga!” paderi Ko Bok menggerung.
“Jangan terburu-buru....” teriak Siau-bun sehingga kelima jari Ko Bok yang sudah direntang hendak mencengkeram si
nona itu terpaksa dihentikan.
“Asal kalian mau menyerahkan dengan baik, tentu kami lepaskan kalian pergi....”
“Apakah kalian tentu harus mendapatkan benda itu?” Siau-bun tertawa terpaksa.
“Sudah tentu!”
Tiba-tiba Siau-bun menuding ke arah Thian-leng, serunya. “Kitab pusaka berada padanya. Minta saja!”
Thian-leng terkesiap, serunya.”Mengapa adik Bun……”
Siau-bun tertawa mengikik, “Kau mengaku atau tidak, mereka tetap menghendaki….”
“Benar, kita harus mendapatkan sekarang juga!” bentak paderi Ko Bok seraya berputar merangsek Thian-leng.
Melihat itu kedua suami isteri Im Yang song-sat, Tiang Pek cinjin dan Thian-san Siu-sin pun menyerbu Thian-leng.
“Adik Bun, kau tahu jelas aku tak membawa apa-apa, mengapa kau katakan kitab itu berada padaku?” Thian-leng
menyesali Siau-bun.
Namun nona itu hanya tertawa, “Kita berada selama dua hari dalam goa telaga zamrud, apakah mereka mau percaya
kita tak membawa apa-apa?”
“Sudah tentu tidak percaya!” teriak paderi Ko Bok.
Pun Thian-san Siu-sin mengancam, “Budak, rupanya kau memang ingin menjadi penghuni peti mati. Kalau tak diberi
sedikit rasa tentu belum kapok…..” kemudian ia berseru kepada lainnya. “Harap saudara-saudara menyingkir dulu,
biar aku yang membekuk budak ini!”
Tiang Pek cinjin tertawa sinis dan loncat merintangi, “Tak usah saudara mencapekan diri, aku sendiri cukup
membereskannya!”
Ternyata tokoh-tokoh itu sama mengerti. Mereka tahu jelas sampai di mana kepandaian Thian-leng dan Siau-bun ini.
Salah seorang dari mereka itu sudah cukup untuk meringkus anak muda itu. Hal itu menimbulkan perebutan. Mereka
saling berebut hendak menangkap Thian-leng yang dikira tentu menyimpan kitab pusaka.
Thian-leng masih meragu. Ia hendak segera meloloskan diri dan yang kedua ia masih belum yakin akan kepandaian
yang dipelajarinya selama dua hari itu.
“Eh, mengapa kau masih ragu-ragu? Inilah saat yang tepat untuk menguji kepandaianmu!” teriak Siau-bun.
Thian-leng tertawa meringis. Kalau kepandaiannya ternyata gagal menghadapi kelima durjana itu, paling banyak itu
hanya mati. Baginya kematian tak terlalu dipersoalkan. Tetapi bagaimana dengan tugas yang diletakkan di bahunyaoleh para cianpwe yang melepas budi kepadanya itu? Bagaimana dengan warisan dari It Bi saingjin dan sebagainya!
Tetapi ia tak diberi kesempatan untuk bersangsi lagi. Sekonyong-konyong paderi Ko Bok menyelonong maju
mencengkeram dadanya. Seketika marahlah Thian-leng. Pedang dilintangkan ke dada untuk menjaga diri, dengan
tangan kiri ia balas menghantam Ko Bok.
Mempelajari ilmu silat It Bi siangjin yang luar biasa dalamnya itu, tak mungkin selesai dalam waktu dua hari saja.
Untunglah berkat otaknya yang terang, Thian-leng dapat mengingat semua pelajaran itu. Kini dicobanya
menggunakan salah satu jurus dari It bi bu-cui.
Paderi Ko Bok termasuk tokoh yang jarang tandingannya. Dia yakin cengkeramannya itu tentu berhasil meremukkan
dada si anak muda. Tetapi apa yang diperolehnya benar-benar di luar dugaannya!
Memang diketahuinya juga Thian-leng balas memukul. Tetapi gerakannya itu adalah sebuah gerakan ilmu silat yang
sederhana saja. Diam-diam ia geli dan melipatgandakan tenaga cengkeramannya.
Tamparan Thian-leng tepat sekali mengenai siku lengan lawan. Cepat dan aneh sekali gerak tamparan itu sehingga
musuh tak sempat menghindar lagi. Menjeritlah paderi Ko Bok seperti babi yang disembelih. Lengannya serasa putus
dan tubuhnyapun terlempar…
Sekalian orang terbeliak kaget. Bahkan Thian-leng sendiripun terkesima. Sebenarnya ia hendak menggunakan ilmu
pukulan Lui hwe ciang. Adalah karena paderi Ko Bok menyerang secara cepat, ia tak sempat mengembangkan Lui
hwe caing dan terpaksa mainkan gerakan menampar itu. Sedikitpun ia tak menyangka bahwa ia dapat menggulingkan
lawannya secara begitu gemilang.
“Ayo, siapa lagi yang berani maju?” Siau-bun melengking.
Sepasang suami isteri Im Yang songsat menyambut dengan gemboran keras dan bergerak menerjang. Keduanya tahu
apa yang diderita paderi Ko Bok, tetapi mereka masih tetap yakin, apabila menyerang secara cepat tentu dapat
membuat si anak muda tak berkutik. Dan telah menjadi tekad mereka, lebih baik mati daripada tak mendapatkan
kitab pusaka.
Thian-leng menyapu dengan pedangnya. Ia menggunakan jurus Hong-ki-hun-yong atau Angin meniup awan
berkembang. Sebuah jurus dari ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam ajaran wanita sakti Toan-jong-jin. Tetapi di luar
kemauannya, ia telah mainkan salah sebuah jurus dari ilmu ajaran It Bi siangjin.
Tampak segumpal sinar pedang berhamburan memenuhi udara. Sesaat kemudian terdengar jeritan dan Im Yang
songsat pun tehuyung-huyung mandi darah. Si lelaki yang bernama Go Goan-pa, lengan kirinya tergores ujung
pedang dan si perempuan yang bernama Po Giok-kang pun menderita luka di perutnya.
(bersambung ke jilid 20)
Jilid 20 .
Dalam beberapa detik saja Thian-leng telah berhasil mengalahkan tiga orang tokoh persilatan yang ternama. Thian-
leng makin heran. Ia mengkombinasikan jurus ilmu pedang Toh beng-sam-kiam dengan sedikit jurus It bi-bu-cui. Ia
merasa selama dua hari ini tak ada perobahan yang menyolok. Tetapi apa yang dihasilkan, benar-benar membuatnya
seperti bermimpi.
Thian-san Siu-sin diam-diam menyadari apa yang terjadi pada anak muda itu. Ia mencuri lirik pada Tiang Pek cinjin.
Pertapa itupun mengetahui apa yang dipikirkan Thian-san Siu-sin. Jelas si anak muda telah mendapat ilmu pelajaran
dari It Bi. Mundur malu, maju gentar. Tetapi, ah… anak muda itu baru mempelajari dua hari saja. Bagaimanapun
tentu belum sempurna latihannya. Kalau tak segera ditumpas, kelak tentu semakin sukar. Tiang Pek cinjin membalas
isyarat Thian-san Siu-sin dengan tatapan mata.
Segera Thian-san Siu-sin tertawa sinis dan melangkah maju ke hadapan Thian-leng.
“Sebenarnya aku tak mau bermusuhan dengan orang. Baiklah saudara jangan mendesak, benar-benar aku tak
membawa kitab pusaka itu!” Thian-leng memberi peringatan.
“Ah, Bu Beng tayhiap salah paham….” Thian-san Siu-sin kedipkan mata, “setiap pusaka tentu mencari pemilik yang
tepat. Aku tahu diriku tak berjodoh, takkan melanggar garis alam.”Mulutnya berbicara begitu, tetapi dia tetap melangkah maju. Siau-bun yang berdiri di samping, tahu maksud orang,
namun ia hanya ganda tertawa saja.
“Kalau cunkia tak bermaksud begitu, baiklah segera tinggalkan tempat ini….”
Thian-san Siu-sin cepat-cepat menukas, “Aku hanya akan bertanya padamu……” ia sudah berada dua meter di
hadapan Thian-leng. Juga Tiang Pek cinjin yang berada di belakang Thian-leng, berkisar merapat di belakang Thian-
leng.
“Aku tak bermusuhan kepada kalian berdua. Sedapat mungkin jangan kita bertempur lagi. Silakan bertanya, akupun
segera angkat kaki dari sini!” sahut Thian-leng.
Tiba-tiba Tiang Pek cinjin memberi isyarat mata kepada Thian-san Siu-sin.
“Aku ingin bertanya apakah Bu Beng tayhiap sudah mendapatkan kitab pusaka itu atau belum?” tanya Thian-san Siu-
sin pula.
“Walaupun aku sudah mendapat ilmu ajaran It Bi siansu, tetapi..... ” Thian-leng mengerutkan alis.
Suami isteri Im Yang songsat dan paderi Ko Bok yang masih duduk di tanah, mengerang
kaget mendengar kata-kata si anak muda. Serentak Thian-san Siu-sin menyeletuk, “Siansu , apakah....?”
“Aku sudah bersumpah di hadapan layon It Bi siangjin untuk menjadi murid pewaris angkatan kedua,
maka................. ”
“Oh, jadi tadi Bu Beng tayhiap telah menggunakan ajaran It bi-bu-cui?” Thian-san Siu-sin berseru kaget.
Thian-leng seorang pemuda yang jujur. Karena melihat keramahan Thian-san Siu-sin, iapun menjawab dengan terus
terang. Tetapi di luar dugaan, sekonyong-konyong Thian-san Siu-sin memukulkan kedua tangannya. Seluruh
tenaganya ditumpahkan dalam pukulan dahsyat yang di arahkan ke dada si anak muda!
Berbareng dengan itu Tiang Pek cinjin segera bergerak secepat kilat menyerang punggung Thian-leng. Dua tokoh
kenamaan, pada jarak yang dekat dan waktu yang bersamaan telah menyerang dengan seluruh tenaganya.
Bagaimana akibatnya benar-benar tak dapat dibayangkan!
Thian-leng kaget sekali. Di luar kesadarannya, rasa kaget itu telah membangkitkan tenaga dalam. Dua hari belajar
dalam goa rahasia telaga zamrud benar-benar membuat Thian-leng seorang manusia baru. Kini ia telah memiliki
semacam tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat tinggi, sehingga setiap saat daapt dikembangkan. Serangkum
hawa hangat serentak menghambur dari tubuhnya.
“Uh….” terdengar jeritan tertahan dari kedua orang itu ketika pukulan mereka terpental oleh tenaga dorongan yang
tak tampak. Dan serentak dengan itu, Thian-leng pun membalas. Ia memukul Thian-san Siu-sin dengan pukulan Lui-
hwe-ciang dan menebas Tiang Pek cinjin dengan ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam. Terdengar jeritan ngeri dari tiga
sosok tubuh yang terlempar sampai setombak jauhnya. Tiang Pek cinjin pecah perutnya, ususnya berhamburan
keluar. Thian-san Siu-sin terkapar di tanah tanpa berkutik lagi. Dan yang ketiga ialah paderi Ko Bok yang remuk
lengannya.
Waktu melihat Thian-san Siu-sin dan Tiang Pek cinjin menyerang Thian-leng, ia yakin anak muda itu tentu akan
terbekuk dan kitab pusaka pasti jatuh ke tangan kedua tokoh itu. Dalam keadaan lengannya masih kesemutan, ia
tetap bernafsu untuk ikut merebut kitab.
Segera ia menghantam Thian-leng dengan tinju kirinya. Tetapi akibatnya mengerikan sekali. Thian-leng berputar dan
menyongsong dengan pukulan. Tubuh paderi Ko Bok laksana layang-layang putus talinya, ia terlempar sampai
setombak lebih. Separoh badan gosong, tulang remuk dan jiwanyapun melayang….
Sepasang suami isteri Im Yang songsat menjerit ngeri dan mundur beberapa langkah. Thian-leng memandang
terlongong-longong ke arah ketiga mayat yang menjadi korbannya itu. Ia benar-benar seperti bermimpi………….
“Adik Bun, apakah ….. ini benar-benar terjadi?” beberapa saat kemudian ia bertanya.
Siau-bun tertawa sedap.”Dengan kepandaian yang kau miliki sekarang, kau sudah tergolong jago nomor satu atau
dua dalam dunia persilatan! Kau tentu sudah mengetahui apa manfaat pelajaran yang kau yakinkan dalam dua hari
itu!”
Di luar dugaan Thian-leng malah menghela napas dan segera mengajak Siau-bun berjalan. Ia tak tahu apakah iaharus bergembira atau bersedih. Apa yang dicita-citakan selama ini telah tercapai. Seharusnya ia bergembira, tetapi
entah bagaimana terharu sekali. Hampir tak dapat ia menahan air matanya.
“Ah, masih ada dua orang pengganggu lagi!” tiba-tiba Siau-bun berseru seraya melirik kepada sepasang suami isteri
Im Yang songsat yang berlumuran darah.
Thian-leng tak setuju atas tindakan Siau-bun yang sering main bunuh orang. Ia tak mau mengganggu jiwa suami
isteri itu. Tiga jiwa tadi sudah cukup mengerikan.
“Eh, apa mereka mau melepaskan engkau?” Siau-bun tertawa ketika Thian-leng hendak melanjutkan langkah.
“Sudah tiga jiwa melayang, apakah……” belum lagi ia menyelesaikan kata-katanya, kedua suami isteri Im Yang
menghampirinya. Bluk…, serta merta kedua suami isteri ganas itu berlutut di hadapan Thian-leng.
“Silakan pergi, aku bukan orang yang suka mengganas!” Thian-leng berseru heran.
Kedua suami isteri itu saling berpandangan. Si wanita berseru, “Kami berdua sekali-kali bukan takut mati. Tetapi kami
mohon Bu Beng tayhiap suka menerima kami.”
“Menerima apa? Sebagai murid?” Thian-leng heran. Ia duga kedua suami isteri itu masih tak mau mundur untuk
mencari kitab pusaka.
Yang-sat Go Goan-pa cepat berseru, “Seumur hidup kami suami isteri belum pernah tunduk pada orang lain, tetapi
terhadap Bu Beng tayhiap kami benar-benar kagum sekali. Mohon Bu Beng tayhiap suka menerima kami sebagai
budak. Kami rela melayani tayhiap
seumur hidup!”
“Ah jangan!” buru-buru Thian-leng berseru, “aku masih muda dan masih mempunyai tugas berat. Aku tiada tempat
tinggal menentu dan tak mau kuseret kalian turut menderita. Dan yang ketiga......”
“Jika tayhiap menolak, lebih baik kami bunuh diri saja...” tiba-tiba kedua suami isteri itu menukas dan berbareng
bersikap hendak menghantam ubun-ubun kepala mereka.
“Tunggu!” Thian-leng cepat mencegah, “kita bicara dulu!” Ia berpaling kepada Siau-bun dan menegur, “Adik Bun,
mengapa tak mau mencegah mereka?”
Nona itu tertawa menyengir,”Segala urusan aku bersedia memberi pendapat, kecuali dalam hal ini,” ia deliki mata
kepada anak muda itu, serunya lebih lanjut,”Mereka menyatakan bersungguh hati hendak menghamba, menerima
atau tidak terserah padamu. Jika kukatakan supaya ditolak saja, mereka tentu akan mendendam padaku, hal ini.....”
“Nona mengerti jelas, “buru-buru suami isteri itu menghadap ke arah Siau-bun, “bahwa kami bersungguh hati hendak
menjadi hamba tayhiap. Kami harap bantuan nona untuk menganjurkan tayhiap supaya sudi menerima permintaan
kami. Dahulu kami telah bersumpah, kalau tak dapat menjadi jago nomor satu di dunia, kami rela menjadi budaknya
saja atau lebih baik mati!”
“Telah kukatakan,” Siau-bun tertawa sinis, “aku tak mau campur urusan ini. Lebih baik kalian langsung menanyakan
padanya, mungkin....... Bu Beng tayhiap bukan orang yang suka mengecewakan harapan orang, mungkin saja......” ia
tertawa.
Dengan girang kedua suami isteri itu segera mendesak Thian-leng pula.
“Aku mempunyai kesulitan yang sukar kukatakan,” akhirnya Thian-leng menyahut.
Yang-sat Go Goan-po menghela napas panjang. “Ah, kalau begitu, hambapun tak berani memaksa. Ah,…” ia berpaling
kepada isterinya, “kita terpaksa harus melaksanakan sumpah kita dahulu!”
Sahut si isteri Im-sat dengan menghela napas, “Apa boleh buat, kita tak dapat berbuat apa-apa!”
“Yang jelek adalah nasib kita,” kata Yang-sat Go Goan-po dengan nada rawan, ia mengangkat tinjunya lagi ke atas.
“Selamat tinggal isteriku, kutunggu kau di pintu akhirat!” Ia segera ayunkan tinjunya.
Benar-benar Thianleng kaget tak terkira. Ia tak mau melihat korban yang keempat. Tanpa disadari, ia ulurkan
tangannya menyambar lengan Yang-sat Go Goan-po.Go Goan-po meronta-ronta, “Lepaskan tayhiap, karena tayhiap tak mau menerima permintaan kami lebih baik kami
mati saja. Apa artinya kami hidup di dunia lagi, lebih baik…..” ia meronta-ronta seperti orang kalap hendak bunuh diri.
“Mengapa kau begitu keras kepala. Ketahuilah kalau kalian ikut padaku, lebih banyak menderita daripada bahagia.... ”
“Tetapi itu sudah menjadi sumpah kami. Untung celaka kami sudah bersedia!” si wanita Im-sat menyeletuk.
Kembali Thian-leng memandang ke arah Siau-bun, tapi nona itu hanya tertawa mengikik tak mengacuhkan. Akhirnya
Thian-leng mengalah, “Baiklah, kuterima permintaan kalian, tetapi.......... ” tiba-tiba ia berobah nada bengis, “Lebih
dahulu kalian harus berjanji tak boleh melakukan kejahatan lagi. Segala hal harus berunding padaku......... ”
“Sudah tentu hamba tak berani bertindak sendiri. Dalam segala hal, biar kecil maupun besar tentu akan menjalankan
perintah tuan!” buru-buru kedua suami isteri itu menyatakan.
Thian-leng menghela napas. Terpaksa ia menerima kedua suami isteri itu menjadi budaknya, walaupun sebenarnya ia
tak suka.
“Aku harus memberi selamat padamu......” Siau-bun tertawa, “pertama atas pengangkatanmu sebagai ketua partai
pengemis dan kini mendapat pengabdian dari dua orang tokoh berilmu……..”
“ Kau harus memaklumi keadaanku………..” Thian-leng tertawa meringis dan terus melanjutkan langkah. Siau-bun dan
kedua suami isteri Im Yang song-sat mengikuti.
Di luar lembah rombongan pengemis yang dipimpin Lau Gik-siu tentu akan menyambut kedatangannya dengan
gembira. Demikian pikir Thian-leng. Tetapi ternyata ia tak melihat barang seorangpun pengemis.
“Lau tongcu....Lau ......tong....cu,” demikian Thian-leng meneriaki Lau Gik-siu. Tetapi suaranya tak menyahut,
orangpun tak tampak.
Thian-leng gelisah.
“Eh, mengapa kau ini?” tegur Siau-bun.
“Sebagai ketua kaypang, aku belum pernah mendirikan jasa apa-apa terhadap partai. Kini kelihatannya malah
membuat mereka tertimpa bahaya. Bukankah perbuatanku ini merugikan Kay-pang?” Thian-leng membanting-banting
kaki.
“Bagaimana kau tahu mereka terancam bahaya?” Siau-bun balas bertanya.
“Kalau tidak terserang bahaya, mengapa mereka tak berada di sini?”
Siau-bun tertawa, “Sudah dua hari kita meninggalkan tempat ini. Apakah kau kira mereka mau menunggu di sini?
Siapa tahu mereka sudah pulang ke sarangnya!”
“Ah, kau tak mengetahui tata tertib Kay-pang!” Thian-leng penasaran, “ketua memerintahkan mereka menunggu di
sini, biarpun menghadapi bahaya apa saja, mereka tentu tetap menunggu di sini. Itulah sebabnya....”
“Sekalipun benar mereka tertimpa bahaya, apakah penyesalanmu ini dapat menolong ? Apalagi di sekitar sini tiada
terdapat sesosok mayatpun. Juga tidak ada tanda-tanda bekas pertempuran.” sejenak Siau-bun memandang Thian-
leng dengan tajam, serunya pula, “Mungkin mereka ditipu anak buah Sin-bu-kiong supaya pergi ke lain tempat atau
mungkin anak buah Kay-pang itu memang sudah tertangkap musuh. Tak perlu bingung-bingung, yang penting kita
harus mencari jejak mereka!”
Thian-leng tergerak hatinya. Tiba-tiba ia menarik tangan si nona terus diajak berlari menuju ke tempat barisan partai
Thiat-hiat-bun.........
Penyesalan.
Kini Thian-leng bukanlahThian-leng pada dua hari yang lalu. Betapapun Siau-bun dan kedua suami isteri Im Yang
song-sat hendak menyusul, tetapi tetap ketinggalan beberapa tombak di belakang anak muda itu.
Pada saat itu barisan partai Thiat-hiat-bun terlihat. Teganglah hati Thian-leng. Sekalipun masih terpisah pada jarakpuluhan tombak, tetapi Thian-leng dapat melihat jelas. Sesaat kemudian Siau-bun dan Im Yang song-satpun tiba.
Merekapun mengetahui apa yang telah terjadi di dalam barisan Thiat-hiat-bun saat itu.
Tokoh-tokoh sakti dari partai Thiat-hiat-bun, Sin-bu-kiong dan Hek Gak, semua lengkap berkumpul di tengah
lapangan.
Dari wajah mereka terlihat rupanya mereka sedang menghadapi suatu masalah berat. Tiba-tiba Thian-leng dikejutkan
oleh sebuah pemandangan yang mengherankan. Si gendut Ang-tim-gong-khek Bok Sam-pi berada di samping Tokko
Sing ( algojo Hek Gak).
“Adik Bun, bukankah Bok cianpwe telah kau beri minum pil? Mengapa dia.......” baru Thian-leng bertanya dengan ilmu
menyusup suara, Siau-bun sudah menukas. “Mestinya pil itu dapat menyembuhkan ingatannya yang linglung. Hanya
ada dua kemungkinan. Dia telah diberi racun ganas, atau entah diapakan oleh ketua Hek Gak!”
Thian-leng menghela napas. Kalau ketua Hek Gak benar-benar telah merusak urat syaraf jago tua itu, sukarlah untuk
menyembuhkannya lagi.
Ketiga partai yang hadir di lapangan itu tak kurang dari dua tiga ratus orang banyaknya. Sekalipun belum ada tanda-
tanda petempuran tetapi suasananya tegang sekali.
“Telah membuat saudara menunggu sampai dua hari dua malam. Sekarang ...... apakah hendak bubaran?” tiba-tiba
Jenggot perak Lu Liang-ong berseru.
Sin-bu Te-kun segera menggembor, “Lu loji, tak kuhiraukan segala apa lagi kecuali hendak bertempur denganmu. Di
dunia persilatan hanya terdapat satu, ada Thiat-hiat-bun tak ada Sin-bu-kiong, ada Sin-bu-kiong tak ada Thiat-hiat-
bun!”
Lu Liang-ong tertawa acuh tak acuh, “Oh, jadi kedatanganmu ke gunung Thay-heng-san sini untuk hal itu?”
Sin-bu Te-kun terbeliak diam. Matanya berkeliaran menyapu ke sekeliling. Dilihatnya rombongan Hek Gak hadir
lengkap. Agak legalah hati Sin-bu Te-kun.
“Apakah maksud kedatanganku kemari, tak perlu kauresahkan. Yang jelas, sekarang kita selesaikan dulu persoalan
kita!” serunya dengan dingin.
“Bagaimana dengan kitab pusaka It Bi siangjin? Tidak kuatir didahului orang lain?” Jenggot perak tertawa mengejek.
“Dengarlah!” seru Sin-bu Te-kun dengan suara mantap, “sekalipun orang yang mempunyai peta telaga zamrud itu
sudah berhasil mendapatkan kitab pusaka, tetapi jangan harap dia bisa lolos dari gunung ini!”
Ucapan itu mengandung maksud bahwa Sin-bu Te-kun telah memerintahkan anak buahnya untuk menghadang
semua jalan di Thay-heng-san. Karena ketua Hek Gak juga mempunyai kepentingan dalam memburu kitab itu, ia
hanya mendengus saja. Rupanya ia mempunyai rencana juga.
Jenggot perak Lu Liang-ong tetap ganda ketawa, “Berulang kali kukatakan, aku tak bermaksud bermusuhan padamu.
Juga telah kujanjikan akan membantumu dalam rapat tokoh persilatan nanti supaya kau berhasil melaksanakan cita-
citamu. Tetapi eh, mengapa kau selalu bersikap memusuhi aku saja?”
“Hm, aku sudah kenyang makan tipu muslihatmu! Jangan harap kau dapat meninabobokan aku lagi!” Sin-bu Te-kun
menggerung.
“Jadi kau tetap hendak bermusuhan dengan Thiat-hiat-bun?”
“Sedikitpun tak salah!”
“Jika tak dapat menahan diri dalam urusan kecil, tentu akan menderita kerugian dalam urusan besar. Apakah kau tak
akan menyesal?”
Sin-bu Te-kun benci setengah mati kepada ketua Thiat-hiat-bun itu. Seolah-olah kalap hendak menempur Thiat-hiat-
bun. Tetapi di kala mendengar penegasan Lu Liang-ong itu hatinya berdebar keras.
Di sampingnya ialah Kongsun Bu-wi, ketua Hek Gak yang berambisi besar. Bukan saja dia hendak memburu kitab
pusaka, tetapi juga hendak merebut kedudukan kepala dunia persilatan. Jika ia bertempur dengan ketua Thiat-hiat-
bun, tentulah keduanya menderita kehancuran. Dan...ah..... siapa lagi yang akan memperoleh keuntungan kalautidak ketua Hek Gak yang licin dan ganas itu....
“Aku bertekad hendak menempur Thiat-hiat-bun, bagaimana dengan saudara Kongsun......”, baru ia hendak mencari
penegasan pada Kongsun Bu-wi, ketua Hek Gak itu sudah menegas,”Aku bersedia berdiri di belakangmu saudara Ki!”
Diam-diam ketua Hek Gak itu girang dan mengharapkan agar Sin-bu-kiong lekas bertempur dengan Thiat-hiat-bun.
Kebalikannya hati Sin-bu Te-kun seperti disiram air. Kemarahannya pun mereda. Kalau toh hendak bertempur, paling
tidak ia harus menarik supaya pihak Hek Gak ikut serta dengan serempak.
Rupanya jenggot perak dapat membaca isi hati kedua tokoh itu. Tiba-tiba ia berseru dengan nada bengis, “Aku si
orang tua tak suka ribut-ribut, kalau kalian memang belum mengambil keputusan, silakan merundingkan kembali!”
Habis berkata ia memberi isyarat dengan kebutan lengan baju. Jago-jago Thiat-hiat-bun yang terdiri dari empat su-
kiat, tigapuluh enam Thian-kong dan tujuhpuluhdua Te-sat segera pecahkan diri dalam dua formasi deretan. Mereka
berjajar mengawal ketuanya.
Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak terkejut. Merekapun segera memberi isyarat kepada anak buahnya supaya bersiap.
Rombongan jago Sin-bu-kiong dan Hek Gak segera berbondong-bondong merintangi rombongan Thiat-hiat-bun.
Jenggot perak tertawa meloroh. Ia mengebutkan lengan bajunya lagi dan rombongan anakbuahnya segera berhenti.
Gerakan mereka rapih sekali. Jelas mereka telah terlatih baik. Seratus orang lebih dapat bergerak dengan serempak.
“Lu loji, aku tak sudi menelan tipumu lagi. Barisanmu itu mungkin tak sempat main-main lagi di hadapanku!” seru
Sin-bu Te-kun.
“Andaikan barisan itu hancur, tetap kau ini kuanggap sepi....” seru Lu Liang-ong sambil menatap tajam kepada Sin-bu
Te-kun dan ketua Hek Gak. “Kita akan bertempur satu lawan satu atau secara keroyokan? Silakan kau memilih, kalau
tidak.......ah, aku tak punya waktu lagi menemani kalian! ”
“Kau mau pergi?” seru Sin-bu Te-kun.
“Tidak semudah itu kawan!” ketua Hek Gak pun menambahi.
Namun Jenggot perak tetap sabar, serunya,“Kalau begitu harap kalian segera mengatakan caranya bertempur. Aku si
orang tua tentu takkan mengecewakan harapan kalian!”
“Aku mempunyai rencana, entah saudara Kongsun.... ” kata Sin-bu Te-kun kepada ketua Hek Gak.
“Thiat-hiat-bun berani masuk ke wilayah Tionggoan, tentu tak bermaksud baik..... ”
“Salah!” Jenggot perak menukas. “Penyelenggaraan rapat orang gagah itu adalah sebagai suatu penghormatan
kepada ksatria-ksatria Tionggoan...... ” ia tertawa. “Tetapi sayang, di antaranya masih terdapat tokoh yang tak
kupandang sebelah mata. Yang satu dari Sin-bu-kiong dan yang satu dari Hek Gak!”
Bukan kepalang marahnya Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak. Seru Sin-bu Te-kun kepada ketua Hek Gak, “Kita
berdua masing-masing menempur si Lo tua itu satu jurus, kemudian .... silakan cong-houhwat Ang-tim gong-khek (
Bok Sam pi) menempurnya sejurus. Jadi tua bangka itu harus bertempur tiga jurus. Kalau dia kalah dua jurus...... ”
Sengaja kata-kata itu diucapkan dengan keras agar Jenggot perak mendengar. Sebelum selesai, Jenggot perak sudah
menukas, “Jika aku si tua ini sampai kalah dua kali, aku segera meninggalkan Tionggoan dan Thiat-hiat-bun takkan
muncul lagi di masyarakat.....
Sudahlah, jangan diperpanjang lagi. Aku setuju dengan cara itu, tetapi….bagaimana kalau aku yang menang?”
Sin-bu Te-kun gelagapan. Buru-buru ia berpaling kepada ketua Hek Gak, “Bagaimana pendapat saudara Kongsun?”
Sebenarnya ketua Hek Gak tak menyetujui usul Sin-bu Te-kun. Tetapi ia tiba-tiba mendapat pikiran. Ia merasa
kepandaiannya masih kalah dengan Sin-bu Te-kun. Ia harus mengadu Sin-bu Te-kun dengan Jenggot perak.
Andaikata Sin-bu Te-kun yang menang, ia akan mengajukan gurunya. Tetapi kalau Jenggot perak yang menang, ia
nanti akan mencari alasan untuk membatalkan perjanjian.
Tertawalah ia dengan sinis, “Lo tua berjanji akan pergi dari Tionggoan kalau sampai kalah. Kitapun juga demikian.
Kalau sampai kalah, kita harus mengasingkan diri takkan muncul lagi di dunia persilatan. Adil bukan?”
Jenggot perak mengangguk-angguk tertawa puas, “Aku tak berani meminta lebih dari itu. Perjanjian itu kitaresmikan……..” ia mengisar maju selangkah, serunya, “Aku si orang tua harus menghadapi tiga lawan. Siapakah yang
lebih dulu hendak menjadi lawanku?”
Cepat ketua Hek Gak menyahut, “Nama Sin-bu-kiong sudah termasyhur di dunia persilatan, sudah tentu aku tak
berani melancangi!”
Diam-diam Sin-bu Te-kun mendamprat kelicikan ketua Hek Gak. Namun iapun sgera melangkah ke hadapan jago
Thiat-hiat-bun, serunya, “Baiklah, aku akan mohon sejurus pelajaran darimu!”
Dalam kitab pusaka Im-hu-po-kip, ilmu jari Hiat-im-ci termasuk yang paling hebat sendiri. Dan ilmu itu telah
dilatihnya dengan sempurna. Apabila kelima jarinya digerakkan, hebatnya bukan kepalang. Betapapun lihaynya
Jenggot perak, pun tentu akan kalah.
Sin-bu Te-kun menutup kata-katanya dengan sebuah jurus jurus Ngo-hian-ki-hwat atau lima jari serentak
menyambar. Jenggot perak tertawa. Ia menamparkan tangannya ke kanan. Tar..........
Keduanya adalah tokoh kelas satu. Gerakan mereka cepat dan dahsyat. Dalam lingkungan satu tombak, bumi terasa
bergetar! Tetapi ketika kedua jago itu belum beradu pukulan, sekonyong-konyong terdengar lengking bentakan
orang, “Tahan!”
Sesosok tubuh menyela di tengah kedua tokoh itu. Jenggot perak dan Sin-bu Te-kun serentak menyurut mundur
beberapa langkah. Seorang pemuda berbaju biru tegak berdiri dengan gagahnya. Jenggot perak girang, Sin-bu Te-
kun terkejut dan sekalian orang berteriak kaget. Itulah Thian-leng!
Mereka melihat gerakan pemuda itu jauh bedanya dengan dua hari yang lalu.
“Hai budak, apakah kau hendak melanjutkan pertempuran kita lagi?” teriak Sin-bu Te-kun.
“Benar, memang aku hendak melanjutkan pertempuran kita yang belum selesai itu,” seru Thian-leng.
Sin-bu Te-kun membelalakkan matanya, “Eh”, rupanya dalam dua hari ini kegagahanmu bertambah……”
“Tahu sendiri sajalah, ” Thian-leng tertawa dingin, lalu memberi hormat kepada Jenggot perak, “Wanpwe telah
berjumpa .....”
Maksudnya hendak menjelaskan tentang si dara Lu Bu-song, tetapi Jenggot perak segera menukas dengan ilmu
menyusup suara, “Mengapa kau mengganggu pertempuranku dengan iblis tua ini?”
Thian-leng menyahut juga dengan ilmu menyusup suara, “Wanpwe hendak mewakili....”
“Mana kau sanggup menandinginya?”
“Terus terang, wanpwe telah mendapatkan ilmu ajaran It Bi siangjin!”
Jenggot perak tersentak kaget, “Apakah kitab itu ada padamu?”
“Tidak, pelajaran itu dilukis di tembok!”
“Tetapi kau hanya belajar dua hari, mana dapat mempelajari dengan mahir?” Jenggot perak menegas, walaupun tadi
telah diketahui jelas betapa jauh bedanya gerakan pemuda itu sekarang.
“Harap locianpwe jangan kuatir, wanpwe sanggup menandinginya,” sahut Thian-leng dengan yakin.
“Baik, cobalah,” Jenggot perak tertawa riang.
Di antara sekalian orang yang berada di situ, adalah Ang-tim gong-khek Bok Sam-pi yang paling tegang. Ia masih
ingat ketika di dalam Hek Gak dijatuhkan oleh anak perempuan kawan pemuda itu.
Segera ia hendak melangkah maju, tetapi ketua Hek Gak cepat-cepat membisikinya. Bok Sam-pi terpaksa menahan
kemarahannya.
Di manakah Siau-bu dan kedua suami isteri Im Yang song-sat? Ternyata mereka bersembunyi untuk menunggu
perkembangan.
Sebagai seorang tokoh yang berpengalaman. Sin-bu Te-kun sudah menaruh kecurigaan atas sikap Thian-leng yangbegitu garang. tentu pemuda itu telah mendapat apa-apa yang luar biasa. Namun ia tak percaya bahwa hanya dalam
dua hari saja, pemuda itu dapat berganti tulang. Bagaimanapun ia tentu dapat menguasainya.
“Lu tua, hendak menerencanakan apa kau dengan budak hina itu? Bagaimana dengan acara kita?” tegurnya ketika
melihat Jenggot perak bertukar cakap dengan Thian-leng.
Jenggot perak tertawa, “Aku hendak menarik diri!”
“Menarik diri?” Sin-bu Te-kun terkejut, “hai, apakah kau menyesal karena takut mati di tangan orang Sin-bu-kiong?”
“Kuwakilkan pada anak muda ini, aku cukup menonton di samping saja.” sahut Jenggot perak.
“Budak itu?” Sin-bu Te-kun tertawa mengejek.
“Iblis tua, jangan temberang!” bentak Thian-leng seraya melangkah maju.
“Baiklah, takkan kutolak maksudmu, tetapi....” Sin-bu Te-kun tertawa. Ia berkata kepada ketua Hek Gak, “dengan
anak itu aku mempunyai taruhan seratus jurus. Masih sepuluh jurus belum selesai. Maksudku hendak menyelesaikan
perjanjian itu, baru kemudian memberesi Lu tua.......”
“Terserah saja pada saudara Ki, aku menurut,” tukas ketua Hek Gak. Justru itulah yang dikehendakinya. Serentak ia
mundur ke samping.
Sin-bu Te-kun membuat garis lingkaran lagi di tanah, kemudian ia berdiri di tengah-tengahnya. “Budak, ayo
seranglah!”
“Aku tak sudi bertanding dengan cara begitu lagi!” Thian-leng tertawa hina.
“Apa ? Kau hendak menunda lagi?” teriak Sin-bu Te-kun gusar.
“Sama sekali tidak! Aku menghendaki pertempuran secara adil!”
“Adil?”
“Benar, kita adu pukulan atau senjata secara berimbang!”
“Kau gila!” teriak Sin-bu Te-kun.
Thian-leng berseru nyaring, “Di hadapan sekalian orang gagah pada malam ini, jika dalam sepuluh jurus aku kalah,
aku akan tetap melaksanakan perjanjian tempo hari. Tetapi jika kau yang kalah, janganlah menyesal!“
Sin-bu Te-kun mengerutkan alis. Tak habis herannya melihat sikap pemuda itu, tetapi cepat ia merobah dugaan.
Kemunculan Thian-leng dalam gerakan yang sebat sekali tadi dan kasak-kusuknya dengan Jenggot perak, tentu
mengandung sesuatu yang luar biasa.
Tetapi betapapun juga, hanya dalam dua hari saja masakah pemuda itu dapat berobah menjadi sakti sekali.
Andaikata Thian-leng benar-benar telah mendapatkan warisan kitab pusaka It Bi siangjin, pun dalam waktu dua hari
saja apa yang dapat dicapainya.
“Baik, baik, aku menurut saja kehendakmu budak!” ia segera tertawa mengejek.
Segera ia melangkah keluar dari garis lingkaran , serunya, “Seranglah!”
Thian-leng mendengus hina, “Hm, iblis tua, jangan sombong kau, hati-hatilah!”
Peringatan itu ditutup dengan sebuah gerakan menampar. Tamparan itu menggunakan jurus Lui-hwe-ciang. Jurus
yang sudah diketahui jelas oleh Sin-bu Te-kun. Karena waktu pertandingan sembilan pulu jurus yang lalu, tanpa balas
menyerang, Sin-bu Te-kun dapat menghindari seluruh serangan Lui-hwe-ciang dari Thian-leng.
“Oho, permainan lama kau keluarkan lagi. Apakah kau sudah bosan hidup.... ”ejeknya. Ia yakin sekali gerak tentu
dapat memunahkan serangan anak muda itu.
Ia hendak membunuh pemuda itu. Maka sekali gerak ia menggunakan ilmu Kin-na-chiu.Pil Pahit!
Kin-na-chiu adalah ilmu tangan kosong untuk merampas senjata atau meringkus lawan. Sin-bu Te-kun sekali gerak
hendak mencengkeram lengan kanan Thian-leng. Tetapi baru tangannya bergerak setengah jalan, ia terkejut. Ia
merasakan jarinya seperti tercengkam api dan lengannya seperti dirayapi aliran tenaga panas yang menyerang
dadanya…
Sebagai seorang tokoh sakti, ia cukup paham apa artinya itu. Nyata kepandaian anak muda itu sepuluh kali lipat dari
yang dulu! Ya, memang demikianlah. Ilmu Lui-hwe-ciang memang dapat membakar hangus organ dalam tubuh orang
dan dapat memusnahkan tenaga lawan.
Gerakan Kin-na-chiu Sin-bu Te-kun tadi telah menimbulkan reaksi hebat. Dia seperti membentur tenaga membalik
yang hebat, sehingga di luar kehendaknya, tubuhnya terhuyung. Untunglah ia cepat-cepat loncat ke samping. Karena
gerakannya itu secepat angin, maka pukulan Thian-leng menghantam tempat kosong dan……… Bum. Sebuah batu
besar yang berada beberapa langkah di sebelah depan berguguran hancur. Dan serentak dengan itu berhembuslah
angin panas keseluruh penjuru. Sekalian orang sama terkejut!
Pukulan Thian-leng itu memancarkan hawa panas. Sedemikian panasnya hingga batupun berguguran lumer.
“Budak, dalam dua hari ini apa yang kau ketemukan?” teriak Sin-bu Te-kun dengan wajah pucat.
Thian-leng sendiri juga terkejut atas hasil pukulannya itu. Hampir ia sendiri tak percaya. Memang yang dilancarkan itu
ialah pukulan Lui-hwe-ciang ( api geledek). Tetapi perbawanya jauh sekali bedanya dengan yang dulu.
“Tak perlu kau tanyakan..........”
“Jurus kesatu....................!” Jenggot perak tertawa menghitung.
“Ya, masih ada sembilan jurus lagi. Dan kali ini silakan kau yang menyerang dulu!” seru Thian-leng.
Sin-bu Te-kun masih tercekam dalam keheranannya. Ia sudah terlanjur mengumbar kata-kata besar. Terpaksa ia
harus bertindak. Setelah menenangkan semangat, ia mengembor dan mendorongkan kedua tangannya.
Itulah baru pertama kali ia menggunakan pukulan dalam kitab pusaka Im-hu-po-kip dengan sepasang tangan.
Biasanya dengan satu tangan saja, cukuplah ia mengalahkan lawan. Kali ini ia gemas sekali.
Tetapi Thian-leng sudah mendapat kepercayaan atas kemampuannya. Iapun juga segera menyongsong dengan kedua
tangannya. Dess…….. ketika dua pasang tinju saling beradu, bukan ledakan keras yang terdengar, melainkan suara
mendesis macam api tersiram air. Tinju mereka saling melekat. Sampai lama barulah mereka sama menarik diri,
menyurut tiga langkah ke belakang.
“Dua!” kembali jenggot perak menghitung.
Wajah Sin-bu Te-kun pucat seperti kertas. Darahnya serasa bergolak. Matanya berkunang-kunang gelap. Bumi yang
dipijaknya serasa berputar, bluk, akhirnya ia jatuh ke tanah.
Juga Thian-leng tak kurang penderitaannya. Wajahnya menguning pucat, darahnya bergolak dan hampir saja ia
rubuh. Untunglah ia dapat mempertahankan diri. Setelah menyalurkan napas beberapa saat, ia sudah pulih kembali.
Maju lagi ke muka Sin-bu Te-kun, ia menantang , “Ayo, serang lagi!”
Adu tenaga tadi menghasilkan keduanya sama-sama menderita luka dalam. Seharusnya mereka perlu beristirahat
beberapa saat untuk memulihkan diri. Bahwa Thian-leng dalam beberapa kejap saja sudah berani menantang lagi,
benar-benar mengejutkan orang.
Bahkan Sin-bu Te-kun sendiri juga seperti melihat hantu di siang hari. Ia mundur beberapa langkah.....
“Iblis tua, masih delapan jurus lagi, ayo silakan menyerang lagi!” seru Thian-leng.
Sin-bu Te-kun paksakan tertawa, “Aku hendak mengajukan sebuah usul...”
“Katakan!” Thian-leng heran.
“Sisa delapan jurus supaya ditangguhkan dulu, karena........ kaupun pernah meminta begitu!” kata Sin-bu Te-kun
dengan kemalu-maluan.Thian-leng kaget. Jelas bahwa sekarang Sin-bu Te-kun jeri padanya. Sebenarnya ia ingin
menghancurkan si iblis saat itu juga. Tetapi dulu ia pernah mengajukan usul begitu. Di hadapan sekalian orang
gagah, terpaksa ia meluluskan usul Sin-bu Te-kun.
“Baiklah, aku setuju. Pergilah........!” akhirnya ia memberi jawaban.
(bersambung ke jilid 21)
Jilid 21 .
Sin-bu Te-kun seperti jago yang keok. Tetapi dari kerut di wajahnya, ia tetap menyungging senyum misterius. Ia tak
mau segera angkat kaki, tetapi masih bertanya pula, “ Aku masih hendak bertanya lagi!”
“Silakan!”
“Dalam dua hari ini, kau memperoleh apa saja?”
“Ini......”
“Suatu rahasia yang tak dapat kau katakan?” Sin-bu Te-kun menegas.
Thian-leng tertawa menghamburkan kemarahannya. “Aku tak takut mengatakan padamu. Dengarlah! Aku sudah
memperoleh ajaran It Bi siansu!”
Kejut Sin-bu Te-kun seperti disambar petir sehingga ia terhuyung-huyung dua langkah ke belakang. Juga sekalian
orang yang hadir di situ, kecuali Jenggot perak Lu Liang-ong, memekik kaget.
“Kau sudah menyebut dirimu sebagai muridnya?” seru Sin-bu Te-kun.
Tiba-tiba Sin-bu Te-kun tertawa gelak-gelak, “Baiklah, hari ini aku mengaku kalah. Sisa yang delapan jurus lagi,
kutunggu kedatanganmu di istana Sin-bu-kiong. Tetapi apabila kau tak datang, tetap akan kucari engkau
kemanapun.!”
“Hm, sekalipun tanpa pertadingan seratus jurus itu, akupun akan tetap hendak menuntut balas untuk Oh se-Gong-mo
cianpwe. Sin-bu-kiong akan kuratakan dengan tanah!”
Sin-bu Te-kun tak mau banyak bicara lagi. Ia memutar tubuh lalu melesat pergi tanpa mengucapkan apa-apa kepada
ketua Hek Gak. Rombongan orang Sin-bu-kiongpun segera mengikuti.
Kepergian mereka diantar oleh gelak tertawa Jenggot perak yang dalam keheningan malam seperti menyambar-
nyambar di angkasa. Puas tertawa, ia menegur ketua Hek Gak, “Eh, Kongsun loji, kaupun seharusnya angkat kaki
juga!”
“Tidak!” di luar dugaan, ketua Hek Gak tertawa sinis.
Jawaban itu membuat Jenggot perak terbeliak, “Jadi kau tetap hendak bertanding?”
Ketua Hek Gak menyahut dengan congkak, “Kiranya belum perlu kuturn tangan sendiri!”
Kini sadarlah Jenggot perak, “Hm, kau pintar sekali memainkan swipoamu, tetapi…..”
“Cong-hou-hwat!” ketua Hek Gak serentak berteriak memanggil Ang-tim-gong-khek Bok Sam-pi.
“Ya!” Bok Sam-pi cepat tampil ke muka. Saat itu ia sedang dirangsang oleh pembius ingatan. Matanya berapi-api,
tetapi terhadap ketua Hek Gak ia bersikap patuh.
Thian-lengpun sadar. Ketua Hek Gak tak berani menghadapinya, tetapi hendak menyuruh Bok Sam-pi yang maju.
“Hajar budak kurang ajar itu!” tiba-tiba ketua Hek Gak memberi perintah, “tetapi ingat, hanya boleh bertempur satu
jurus. Tanpa perintah, jangan lanjutkan jurus kedua!”
“Hamba mengerti!” sahut Bok Sam-pi.
Dengan perutnya yang buncit, jago tua itu loncat ke depan Thian-leng, bentaknya, “Mana budak perempuan itu?”
Thian-leng tertegun, serunya, “Perlu apa kau tanyakan dia?”
“Aku hendak menuntut balas padanya. Ia berani menghina aku!”
Thian-leng tertawa dingin, “Kalahkan dulu aku baru kau dapat menemuinya. Jika tidak, selakan kau tunggu di pintuakhirat saja!”
Marah Bok Sam-pi bukan kepalang, sehingga gelap seperti besi. Ia mengulurkan tangan kanannya. Telapak
tangannya yang bundar seperti kipas mulai diangkat ke atas.
Seketika daun-daun pada gerombol pohon yang terpisah dua tombak jauhnya sama berderak-derak bergoncangan
keras.
Diam-diam Thian-leng terkejut. Pikirnya, “Ah, kepandaian orang tua ini lebih hebat dari pada Sin-bu Te-kun!”
Segera ia memasang kuda-kuda. Tangannyapun mempersiapkan pedang. Ia tak berani memandang ringan lawan.
Melihat sikap dan perawakannya, Bok Sam-pi seperti seorang gendut yang tak mengerti ilmu silat. Tiba-tiba ia
hentikan tinjunya di atas.
“Jika kau menyerahkan budak perempuan itu, kau akan kubebaskan dari pertempuran ini!” serunya.
“Kalah menang belum ketentuan, bagaimana kau mengira aku akan kalah?” seru Thian-leng dengan garang.
“Di kolong langit, siapakah yang dapat menandingi aku? Apakah kau berani dengan aku?” teriak Bok Sam-pi.
Thian-leng tertawa getir. Memang kata-kata Bok Sam-pi itu benar. Dalam jaman itu, jangankan dapat mengalahkan,
sedangkan orang yang dapat melayani Bok Sam-pi sampai belasan jurus saja , sudah jarang didapat. Sayang jago
yang sedemikian saktinya itu kini hilang ingatannya, sehingga kepandaiannya digunakan orang untuk melakukan
kejahatan.
Diam-diam Thian-leng telah membulatkan tekad. Pertempuran saat itu merupakan mati hidup baginya. Dari pada
mati konyol, lebih baik menyerang dulu. Siapa tahu ia akan dapat mengeusai keadaan.
“Karena lo-cianpwe tetap hendak menempurku, maaf, aku hendak menyerang dulu!” teriak Thian-leng seraya
menutup dengan serangan. Memukul dengan tangan kiri dan menebas dengan pedang di tangan kanan. Pukulan kiri
untuk menahan gerakan Bok Sam-pi dan pedang untuk menusuknya.
Tetapi hasil serangannya itu, tak seperti yang diharapkan. Begitu pukulan saling beradu, tangan Thian-leng lekat
dengan tinju Bok Sam-pi. Berhamburan gelombang tenaga dalam yang hebat. Masing-masing berusaha untuk
menindas lawannya. Dan ini menggagalkan rencana Thian-leng untuk menggunakan pedang, karena ia harus
mencurahkan seluruh tenaganya untuk menghadapi tekanan Bok Sam-pi. Walaupun mencekal pedang, tetapi tak
berguna. Dan karena ia menggunakan tangan kiri menghadapi tangan kana Bok Sam-pi, ia menderita.
Melihat itu Jenggot perak mengerutkan dahi. Ia merasa gelisah sekali. Adu tenaga dlam merupakan pertandingan
yang mengerikan. Lebih hebat daripada pertempuran biasa. Sekali tenaga dalam beradu, sukar dhentikan sebelum
ada salah satu yang remuk. Dari posisinya, jelas bahwa Thian-leng di bawah angin. Tetapi apa daya, ia tak dapat
berbuat apa-apa untuk menolong........
Ketua Hek Gak juga tak kurang terkejutnya. Adanya tadi ia membatasi Bok Sam-pi supaya bertempur sejurus saja,
adalah karena takut terjadi pertandingan adu tenaga dalam. Dan ternyata kekutiarannya itu terjadi. Kalau Bok Sam-pi
menang, bukan saja dapat menindas partai Thiat-hiat-bun, tetapi juga sekaligus dapat merebut kitab pusaka It Bi
siangjin. Hek Gak akan menguasai dunia persilatan!
Tetapi apabila kalah, akibatnya tak dapat dibayangkan. Hek Gak pasti akan dilenyapkan dan Thiat-hiat-bun akan
menguasai dunia persilatan Tiong-goan. Sakit hati Hek Gak kepada Hun-tiong Sin-mo, takkan terbalas selama-
lamanya.
Anda sedang membaca artikel tentang Panji Tengkorak Darah 2 dan anda bisa menemukan artikel Panji Tengkorak Darah 2 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/panji-tengkorak-darah-2.html?m=0,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Panji Tengkorak Darah 2 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Panji Tengkorak Darah 2 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Panji Tengkorak Darah 2 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/panji-tengkorak-darah-2.html?m=0. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar