HAN BU KONG

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Senin, 05 September 2011

Han Bu Kong
Jilid 1
Angin menderu, awan berarak mengelilingi lereng bukit Jong-liong-nia yang
merupakan lereng pegunungan Hoa. Bukit yang memanjang terjal dengan
jurang yang dalam, puncaknya yang menegak dipandang dari jauh serupa
sebilah pisau mengkilat yang menebus awan di tengah langit.
Cahaya fajar menyimak awan, kabut pun mulai menipis. Di puncak Jong-liongnia
itu, dibawah tugu peringatan pujangga Han-bun-kong berdiri seorang gadis
rupawan dengan gayanya yang indah sedang memandang jauh ke arah jalan
yang menuju ke atas bukit dengan kening bekerenyit.
Tidak lama kemudian, benarlah di jalan pegunungan itu muncul beberapa
sosok bayangan orang. Wajah si nona cantik berubah berseri, lalau mendengus
perlahan penuh rasa benci dan dendam.
Sekejap kemudian beberapa sosok bayangan itu sudah melayang tiba dan
berhenti di depan si nona cantik.
Nona itu mengerling sekejap, lalu berucap dengan dingin, “ikut padaku!”
Dengan suatu gerakan indah ia melompat mundur beberapa tombak jauhnya,
tanpa memandang lagi ia terus melayang ke atas menuju ke puncak selatan
sana.
Pendatang itu seluruhnya terdiri dari lima orang, seorang diantaranya lelaki
kekar berbaju hitam, bermuka brewok, berbaju ringkas dan membawa pedang,
alis tebal dan mata besar, ia berkata kepada seorang nyonya muda berbaju
merah disampingnya dengan tertawa, “Hah, latah benar nona cilik tadi,
tampaknya lebih angkuh daripada waktu engkau masih muda.”

“Masa?” si nyonya muda berpaling dengan tersenyum.
“Sudah tentu benar,” seru lelaki baju hitam dengan tertawa. “Bilamana orang
memperistrikan dia tanggung akan lebih runyam dari pada aku Liong Hui.
Hahaha!”
Suara tertawanya menggema angkasa, mengandung rasa kasihan atas diri
sendiri dan juga penuh rasa puas.
Si nyonya muda bersuara aleman dan mendekap ke dada si brewok,
rambutnya bertebaran tertiup angin dan bertaut dengan jenggot pendek si
lelaki kekar.
Di tengah gelak tertawa, seorang pemuda berbaju merah dan berbadan kurus
yang menyusul tiba, mendadak berdehem dan berucap, “ Suhu datang!”.
Seketika si brewok berhenti tertawa dan si nyonya baju merah juga berdiri
tegak kembali.
Tertampaklah muncul seorang kakek berjubah satin, muka memakai kerudung
kain sutera tipis warna hitam. Di belakangnya mengikut dua lelaki kekar lain
dan juga berbaju hitam mulus, berdandan ringkas dan membawa golok.
Kedua orang ini menggotong sepotong barang sepanjang satu tombak dan
lebarnya antara tiga kaki, berbentuk lonjong, tapi tertutup oleh sehelai kain
panca warna sehingga tidak jelas kelihatan sesungguhnya barang apa yang
mereka usung ini.
Melihat si kakek, si brewok, nyonya muda, baju merah, dan pemuda kurus tadi
sama berdiri dengan sikap hormat dan tidak berani bersuara lagi..
Sudah berhenti, si kakek menyapu pandang sekejap dengan sinar matanya
yang tajam, lalu bertanya dengan suara tertahan, “dimana dia?”

“Sudah naik ke atas,” jawab si berwok dengan hormat
Si kakek mendengus, “Ayo berangkat!”. Segera ia mendahului menuju ke atas
puncak gunung, ujung jubahnya tersingkap oleh tiupan angin sehingga
kelihatan sarung pedangnya yang berwarna hijau terbuat dari kulit ikan hiu.
Si nyonya muda yang tertinggal di belakang berucap pelahan, “Ai, hari ini
ayah....” dia tidak meneruskan ucapannya.
Si pemuda kurus tadi berpaling memandang dua orang muda-mudi sekejap ia
terkesima sejenak, lalu berkata, “Simoay (adik perempuan keempat) dan Gote
(adik kelima), boleh kalian menunggu dibawah gunung saja.”
Habis berkata ia lantas menyusul si brewok dan si nyonya muda. Kedua mudamudi
saling pandang sekian lama dan tiada yang bicara yang apapun.
Puncak selatan merupakan puncak tertinggi di Jong-liong-nia, hampir
seluruhnya tertutup oleh gumpalan awan, angin meniup kencang, sejak
dahulukala jarang ada manusia berkunjung ke sini. Namun sekarang sang
surya baru terbit, puncak utama pegunungan Hoa yang terkenal ini telah
banyak di datangi orang. Tertampak empat orang perempuan setengah umur
dengan rambut sudah mulai beruban dan berbaju hijau singsat berdiri berjajar
di bawah pohon cemara tua, wajah setiap orang tampak prihatin.
Ketika si nona cantik tadi melayang tiba segera ia mendesis,”Itu dia datang!”
Baru lenyap suara, dari bawah puncak lantas berkumandang seruan orang,
“Janji sepuluh tahun yang lalu tidak pernah dilupakan Liong Po-si, mengapa
Sip-tiok-li tidak menyambut kedatangan kenalan lama?”
Suaranya tidak keras, namun setiap katanya berkumandang dengan jelas.
Keempat perempuan berbaju hijau itu saling pandang sekejap, tapi tidak ada

yang bergerak. Seadngkan si nona cantik hanya mendengus saja, lalu
berduduk santai di atas batu hijau di samping pohon cemara.
Baru saja suara orang tadi lenyap, di atas puncak sudah muncul bayangan si
kakek yang tinggi besar dan berwibawa itu, dengan sorot mata tajam ia
menyapu pandang kelima orang perempuan di bawah pohon, lalu bertanya “
Apakah tempai ini puncak Hoa-san yang tertinggi? Apakah kalian anak murid
Tan-hong?”
Dengan tak acuh si nona cantik menjawab, “Betul!”
“Dan dimanakah Tan-hong Yap jiu-pek?” tanya pula si kakek sambil
melangkah maju.
Perlahan si nona cantik berbangkit, ia mengawasi si kakek beberapa kejap dari
atas ke bawah dan dari bawah kembali ke atas, lalu menjengek, “Apakah
engkau ini Put-si-sin-liong, Liong Po-si?”
Put-si-sin-liong atau si naga sakti tak termatikan, Liong Po-si yaitu si kakek
berjubah satin itu tampak melenggong, mendadak ia menengadah dan tertawa
terbahak-bahak, “Hahaha bagus,bagus! Tak tersangka hari ini di dunia
kangouw masih ada orang berani menyebut namaku langsung di depanku!”
Si nona cantik tertawa dingin, ucapnya dengan sikap pongah, ”Bagus, bagus!
Tak terduga hari ini di dunia kangouw ada orang berani menyebut nama
guruku di hadapanku.”
Melenggak juga si kakek, mendadak ia mendekati keempat orang perempuan
berbaju hijau, ia tuding si nona cantik dan bertanya, “Apakah dia murid Yap
jiu-pek?”
Keempat orang perempuan berbaju hijau memandangnya tanpa berkedip dan
menjawab berbareng “Betul!”

Serentak Liong Po-si berpaling dan menegur dengan gusar, “Sepuluh tahun
yang lalu gurumu berjanji akan bertemu denganku disini, mengapa sekarang
dia tidak muncul, sebaliknya menyuruhmu bersikap kurang sopan kepada
kaum cianpwee?
“Hm, betapa pentingnya janji pertemuan juga takkan dipenuhi lagi oleh
guruku,” Kata si nona dengan dingin.
“Memangnya kenapa?” bentak Liong po-si dengan gusar
“Guruku telah wafat tiga bulan yang lalu”, jawab si nona dengan perlahan.
“Sebelum meninggal beliau memberi pesan agar kuwakili pertemuan ini, tapi
beliau tidak pernah memberitahukan padaku bahwa engkau ini kaum cianpwee
segala.”
Dia bicara dengan tenang, nadanya dingin tanpa emosi, sama sekali tidak ada
tanda duka seorang murid lagi menyampaikan berita tentang meninggalnya
sang guru.
Kembali Liong po-si melenggak, kain sutera yang mengerudungi mukanya
tampak bergetar, jenggot perak di bawah dagunya juga rada gemetar.
Keempat perempuan berbaju hijau juga saling pandang lagi sekejap, tapi tetap
tidak bersuara.
Dalam pada itu si brewok, si nyonmya muda dan pemuda kurus berlima juga
sudah menyusul tiba. Kedua lelaki berbaju hitam menaruh pelahan barang
yang mereka usung itu, lalu menyurut mundur dengan sikap hormat.
Si brewok alias Liong-hui mendekati Liong po-si, dengan suara pelahan ia
tanya, “Bagaimana, ayah?”
Mendadak Liong po-si menghela nafas dan berkata, “Yap jiu-pek sudah mati!”

Dengan menyesal ia lantas membalik tubuh dan melangkah pergi.
Sorot mata si nona cantik yang dingin itu memancarakan cahaya yang aneh,
mendadak ia menengadah dan tertawa dingin, “Hah sayang, sungguh sayang!”
Tak tersangka tokoh paling gagah yang termashur di dunia kangouw Put-sisin-
liong ternyata cuma begini saja setelah kulihat.”
Serentak Liong po-si berhenti di tempat. Alis liong-hui juga menegak,
dampratnya gusar, “Apa katamu?”
“Apa kataku tiada sangkut pautnya denganmu,” jawab si nona ketus, “Disini
tidak ada hak bicara bagimu.”
Tentu saja liong-hui tambah gusar, tapi Liong po-si telah memutar balik dan
menegur si nona, “Kaubilang apa tadi?”
Dengan tenang si nona menjawab, “Apa yang ditetapkan dalam perjanjian
guruku denganmu sepuluh tahun yang lalu mengenai pertemuan ini?”.
Liong po-si tampak kecewa, jawabnya, “Yang menang akan ditetapkan
menjadi pemimpin dunia kangouw selamanya dan yang kalah....Ai, kalau Yap
jiu-pek sudah mati, biarpun orang she Liong dapat merajai dunia kangouw.....”
“Meski guruku sudah wafat, apakah engkau pasti dapat merajai dunia
kangouw?” mendadak si nona memotong dengan ketus.
“Memangnya hendak kau tantang diriku untuk bertanding?” Tanya si kakek.
“Hm, biarpun ada maksudku demikian, mungkin engkau juga tidak sudi
bergebrak denganku,” sahut si nona.
“Memang betul,” ujar Liong po-si.

“Selama berpuluh tahun kira-kira ada berapa kali engkau bertanding dengan
guruku?” tanya si nona mendadak.
“Berapa kali, sukar dihitung lagi.”
“Dan pernahkah engkau menangkan beliau setengah atau satu jurus?”
“Tapi juga tidak pernah kalah.”
“Nah, kalau kalah dan menang tidak pernah terjadi dan engkau lantas ingin
merajai dunia kangouw, apakah di dunia ini ada urusan segampang ini”.
Liong po-si melenggong, “Yap jiu-pek sudah mati, masakah harus kutantang
orang mati untuk bertanding?”
“Hm, meski guruku sudah meninggal, tapi beliau meninggalkan satu seri ilmu
pedang, bila engkau tidak mamapu mengalahkan ilmu pedang ini, hendaknya
segera engkau membunuh diri di puncak Hoa san ini dan setiap anak murid Jihau-
san-ceng selanjutnya dilarang berkecimpung di dunia kangouw.”
Belum lagi Liong po-si menjawab, mendadak si brewok Liong hui bergelak
tertawa dan berteriak, “Dan bagaimana kalau ayahku menang?”
Sama sekali si nona tidak menghiraukannya, melirik pun tidak, ucapannya
seolah-olah tidak terdengar olehnya.
Liong hui tertawa keras dan berseru pula, “Jika ayahku kalah diharuskan
segera membunuh diri, bila ayah menang, memangnya Yap jiu-pek itu dapat
mati sekali lagi? Apalagi jelas-jelas kau tahu ayahku tidak sudi bergebrak
dengan kaum muda, apa gunanya biarpun Yap jiu-pek meninggalkan ilmu
pedang segala?”

“Diam?” mendadak Liong po-si membentak. Lalu ia mendekati si nona cantik
dan berucap dengan suara tertahan,” selama sepuluh tahun ini, apakah dia
telah menciptakan pula seri ilmu pedang baru?”
“Betul,” Jawab si nona.
Meneorong sinar mata Liong po-si, tapi lantas menghela nafas lagi dan
berkata, “Biarpun ada ilmu pedang maha sakti, kalau tidak dimainkan oleh
orang yang menguasai kculetan yang cukup, memangnya dapat
mengalahkanku begitu saja?”
Pelahan ia menunduk, tampaknya sangat kecewa.
Dengan ketus si nona berkata pula, “Jika ada orang yang kculetannya
sebanding denganmu, lalu dengan ilmu pedang tinggalan guruku untuk
bergebrak denganmu, bukankah hal itu serupa halnya guruku bertempur
sendiri denganmu?”
Sorot mata Liong po-si tambah buram, ucapnya dengan hampa, “Sejak 17
tahun yang lalu segenap jago dunia persilatan kelas top berkumpul di Wi-san,
kecuali gurumu dan aku, semuanya gugur dalam pertarungan di Wi-san sana.
Sekarang bila ingin mencari seseorang yang mempunyai kekuatan sebanding
denganku, untuk itu mungkin perlu menunggu tiga atau lima puluh tahun lagi.”
“Untuk menguasai ilmu pedang dengan baik memang diperlukan kekuatan
latihan yang cukup, kurang salah satu diantaranya takkan mampu menjadi
jago kelas tinggi, dalil ini cukup jelas, sebab itulah setelah pertemuan di Wisan,
tiada lagi jago lain yang mampu mengungguli Tan-hong dan Sin-liong.
Biarpun di antara angkatan muda ada juga yang mendapatkan penemuan yang
mukjizat dan memperoleh ilmu gaib, tapi tetap juga tiada seorang pun yang
berkekuatan melebihi Tan-hong dan Sin-liong, betul tidak?”
“Ya memang.” Sahut si kakek.

Sepuluh tahun yang lalu, apakah kekuatan guruku sebanding denganmu?”
“Umpama ada selisih juga tidak ada artinya.”
“Tapi selama sepuluh tahun ini guruku tidak pernah melupakan janji
pertarungan denganmu disini, beliau giat berlatih siang dan malam.”
“Memangnya aku tidak begitu?” ujar si kakek.
“Jika begitu keadaannya, bila sekarang kalian berhadapan, bukankah kekuatan
kalian juga tidak berbeda banyak?”
“Ya kecuali di dalam sepuluh tahun ini gurumu (perempuan) bisa mendapatkan
obat mujizat yang dapat menambah kekcuatannya dengan cepat, kalau tidak
pasti tidak dapat melebihiku.”
Setelah menghela nafas, mendadak ia berpaling dan berkata kepada si
brewok, “Nah anak Hui, ketahuilah bahwa bertambahnya kekuatan latihan
seorang serupa halnya kawanan burung membuat sarang dan manusia
membangun gedung, harus setingkat demi setingkat maju secara teratur,
sedikitpun tidak dapat dipaksakan, pantang tinggi hati dan ingin maju dengan
cepat, fondasi harus terpupuk dengan kuat, kalau tidak biarpun bengunan
gedung sudah berdiri, jelas tidak tahan lama. Memang ada juga obat-obat
mujizat yang dapat menambah kekcuatan, tapi obat ajaib demikian sangat
sukar dicari. Banyak juga orang kangouw yang ingin menemukan obat
mukjizat demikian sehingga menimbulkan macam-macam peristiwa
menyedihkan.”
Liong hui menunduk dan mengiakan.
“Apalagi pertarungan di antara jago kelas tinggi, waktu, tempat dan si pelaku
sendiri adalah faktor yang menentukan,” kata Liong po-si pula.

“Tapi kalau guruku berhasil menciptakan satu seri ilmu pedang tanpa ciri,
bukankah dengan mudah dapat mengalahkanku?” kata si nona cantik.
“Didunia ini mutlak tidak ada kungfu yang tanpa ciri kelemahan,” ujar Liong
po-si,. “Namun bila ciri diantara ilmu pedang gurumu itu tidak dapat
kutemukan, atau satu jurus serangannya membuatku tidak berdaya untuk
mematahkannya, maka jelas aku akan kalah.”
“Janji pertemuanmu dengan guruku belum terlaksana dan guruku lantas wafat,
sungguh di alam baka pun beliau tidak bisa tenang,” ucap si nona cantik.
“Hm, memangnya tidak kurasakan sebagai penyesalan selama hidupku ini?”
jengek Liong po-si.
Nona itu menengadah, katanya pula, “Sebelum wafat guruku pernah berkata
kepadaku bahwa di dalam sepuluh tahun ini engkau pasti juga akan
menciptakan ilmu kungfu baru untuk menghadapi beliau.”
“Haha, memang Cuma Yap ji-pek saja benar-benar sahabat yang tahu
perasaanku,” Seru Liong po-si, dengan tertawa, namun tertawa yang pedih
dan mengharukan.
Tiba-tiba si nona berkata pula, “Tapi kau pun tidak perlu risau karena kungfu
yang kau latih selama ini tidak berguna lagi. Sebelum wafat guruku sudah
memikirkan satu cara bagimu bilamana engkau ingin menentukan kalah
menang dengan beliau.’
Suara tertawa Liong po-si seketika berhenti ia pandang si nona dengan tajam.
Nona cantik itu tidak menghiraukannya, katanya lagi, “Begini caranya, jika
boleh kututuk tiga hiat-to tubuhmu, yaitu Koat-bun-hiat di bagian bahu, Sincong-
hiat di punggung dan Yang-koan-hiat di dekat pinggul, dengan begitu

tertutuplah urat nadi Tok-im yang dapat mengekang sebagian tenagamu,
dengan kelihaianmu tentu tertutuknya ketiga hiat-to itu takkan
membahayakan jiwamu, tapi tenagamu dapatlah susut menjadi Cuma tujuh
bagian saja dan berarti sama kuatnya denganku, lalu akan kugunakan ilmu
pedang guruku untuk bergebrak sendiri denganmu?”
Dia bicara kian kemari akhirnya yang dituju ternyata begini. Liong po-si jadi
melenggak lagi.
Didengarnya si nona berkata pula, “Cara ini adalah pesan guruku sebelum
wafat, bilamana tidak kauterima, tentu juga aku tak dapat memaksa.”
Mendadak pemuda brewok Liong hui berseru, “Huh, kau bicara seperti
permainan anak kecil saja, mana boleh pertandingan dilakukan secara begitu.”
Si nyonya muda berbaju merah yang berdiri agak jauh disana mendadak
melompat maju dan menjengek,”Hm, jika begitu, bila kuganakan ilmu silat
ayahku untuk bergebrak denganmu kan juga sama saja.”
Nona cantik itu mendengus dan melengos, mendadak ia menengadah dan
menghela nafas, katanya, “Wahai suhu, kan sudah kukatakan dia pasti takkan
terima caramu ini, tapi engkau tidak percaya, sekarang terbukti dugaan suhu
memang salah.”
Lalu ia mendekati keempat perempuan berbaju hijau di bawah pohon sana dan
berucap, “ Ayolah kita pergi, apa alangannya membiarkan Ji-hau-san-ceng
merajai dunia persilatan.”
“Nanti dulu!” bentak Liong po-si mendadak.
Si nona menoleh dan mengejek,”Jika engkau tidak mau menepati janji
terhadap orang mati tentu aku tidak menyalahkan dirimu. Anggap saja
memang tidak pernah ada janjian sepuluh tahun yang lalu tiu.”

Liong po-si menengadah dan bergelak tertawa lantang, serunya “Selama
berpuluh tahun entah sudah berapa kali menyerempet bahaya dan belum
pernah kupikirkan soal mati dan hidup, lebih lebih tidak pernah ingkar janji
terhadap siapapun. Meskipun Yap jiu-pek sudah mati, namun janji tetap janji,
jika dia telah meninggalkan pesan cara bertanding denganku, mana boleh
kuingkar janji padanya.”
Keruan Liong hui dan si nyonya muda terkejut, cepat mereka berseru,
“Ayah!....”
Tapi Liong po-si terus menarik kain kerudungnya.
Sekilas pandang terkesiap juga hati si nona cantik. Dilihatnya wajah orang
penuh bekas luka silang menyilang, biarpun dipandang di siang hari tetap juga
menimbulkan rasa seram.
Dengan suara berat Liong po-si berkata kepada Liong hui, “Selama hidup
ayahmu sudah mengalami berautus kali pertempuran besar atau kecil dan
belum pernah kalah, batapapun tangguhnya lawan tetap dapat kutundukkan
dia dengan pedangku, semua itu adalah karena dadaku yang lapang, tekadku
yang bulat, tidak ada sesuatu yang kutakuti, tapi bila satu kali akau ingkar
janji, tentu dadaku tidak lagi selapang itu, dan bisa jadi sudah lama aku mati.”
Sinar matanya menjadi buram, dia seperti tenggelam dalam lamunan masa
lampau. Cahaya yang surya yang baru terbit menembus kabut tipis dan
menyinari wajahnya yang penuh bekas luka sehingga garis-garis bekas luka itu
bersemu merah.
Pelahan ia meraba dahi sebelah kanan, disitu ada sejalur luka pedang
memanjang dari dahi kanan hingga ujung mata, bila miring lagi sedikit ke kiri
tentu mata kanan itu sudah lama cacat.

“Empat puluh tahun yang lalu, di benteng Giok-lui-koan.....” dia bergumam
pelahan dan seakan-akan terbayang kembali adegan dahulu ketika di
berhadapan dengan Ko siau-thian, itu tokoh utama Go bi pay yang berjuluk
Coat-ceng-kiam atau si pedang tanpa kenal ampun, dengan sejurus Thian-cekeng-
hong” Atau pelangi menghias ujung langit, pedang Ko siau-thian telah
meninggalkan bekas luka pada dahinya itu, sekarang dirabanya dengan
pelahan, rasanya masih dapat merasakan penderitaan waktu kulit dagingnya
tersayat pedang dahulu.
Mendadak ia menengadah dan bersuit, lalu bergelak tertawa dan berteriak,
“Wahai Ko siau-thian, meski aku tidak mampu menangkis jurus seranganmu
Thian-ce-keng-hong itu, tapi engkau sendiri masakah mampu lolos dari
pedangku?....”
Suara tertawanya berubah lemah, tapi waktu tangan menyentuh tiga garis
bekas luka di dahi kanan, kembali terkenang olehnya kejadian lain, waktu dia
berkelana menjelajah dunia, dia berhadapan dengan Pah-san-kiam-kek,
melawan jago keluarga pang dan juga mengunjungi siau-lim-si, dimana-mana
dia menantang bertanding, setiap kali menyerempet bahaya, tapi selalu lolos
dari maut dan akhirnya menang, semua itu mendatangkan julukan baginya
sebagai put-si-sin-liong atau si naga sakti tak termatikan. Teringat olehnya 30
tahun yang lalu orang Bulim mengadakan pesta di Sian-he-nia untuk
mengukuhkan julukannya, dimana berkumpul ksatria dari segenap penjuru,
pesta yang meriah dan juga membanggakan, terkenang pada kejadina dulu
itu, tanpa terasa tersembul senyuman pada ujung mulutnya.
Pelahan ia mengelus jenggotnya sehingga menyentuh setitik bekas luka
tusukan pedang, inilah akibat serangan Sam-hoa-sin-kiam atau si pedang sakti
tiga bunga, luka ini paling ringan, tapi juga paling berbahaya pada waktu itu.
“Kiu-ih-hui-eng (si elang sembilan sayap) Tik Bong-peng sungguh tokoh paling
sulit dihadapi selama hidupku....” demikian Liong po-si bergumam pula
perlahan, “Tapi betapa lihai ilmu pedangnya tetap tidak dapat lolos di bawah
pedangku”.

Lalu dia meraba lagi bekas luka di tepi mata kanan, itulah tusukan pedang
jago kunlun pai. Malahan bagian iganya juga terdapat bekas luka pedang Butong-
pai, diam-diam ia mengakui kebaikan hati orang Bu tong, hanya
menyerang tubuhnya tanpa merusak wajahnya, sebab itulah Liong po-si
sendiri juga tidak membunuh lawannya, tapi siapa yang menyangka dalam
pertarungan di Wi-san itu, ketiga sesepuh Butongpai yang berhati welas asih
itu juga tewas.
Terkenang kepada semua kejadian masa lampau itu tanpa terasa Liong po-si
menghela nafas panjang lagi. Bahwa dalam pertarungan di Wi-san itu hampir
segenap jago inti dunia persilatan telah tewas seluruhnya, sebaliknya Liong
po-si sendiri tidak mengalami cidera apapun, memangnya apa sebabnya?
“Hal ini lantaran segala ilmu silat di dunia ini telah kuuji dan kupelajari, maka
tidak ada lagi sesuatu kungfu yang mampu melukaiku!”
Ia memandang jauh puncak di gunung seberang sana, mendadak timbul
semacam perasaan kosong yang sukar dijelaskan. Ingin menang tida bisa
adalah hal yang menyedihkan, minta kalah tidak dapat juga mengharukan.
Segala kejadian masa lampau solah-olah awan yang mengambang di udara itu
melayang lewat dalam benaknya....
Mendadak suara elang berkumandang dari bawah gunung menyadarkan
lamunan put-si-sin-liong Liong po-si. Suasana di atas puncak terasa sunyi
senyap, sorot mata tajam si nona cantik lagi menatapnya, seperti sedang
menunggu, seperti juga hormat dan kagum, tapi juga seperti meremehkan.
Sekonyong-konyong Liong po-si tertawa lantang sambil membentangkan
kedua tangannya, terdengar suara “trang-tring” nyaring, belasan kancing
emas jubahnya sama rontok jatuh ke tanah.
Terkesiap si brewok liong-hui, serunya “Ayah, buat apa?.....”

“Jika tidak kulayani ilmu pedang tinggalan Yap jiu-pek, selain dia mati tidak
tentram di alam baka, akupun menyesal selama hidup,” Kata Liong po-si
dengan tertawa.
Si nona cantik mendengus, pelahan ia mengeratkan tali pinggang dan siap
tempur
“Tapi... tapi hal ini kurang adil, ayah...” seru liong-hui pula.
“Kautahu apa?” bentak Liong po-si. Mendadak ia tertawa lagi. “Hahaha, selama
hidupku dijuluki put-si (tak termatikan), bilamana sudah tua harus mati di
bawah pedang orang lain, rasanya juga menggembirakan bagiku.”
Cepat Liong-hui menyurut mundur ketika melihat tangan sang ayah bergerak,
jubah satin berwarna ungu mendadak terlempar ke atas serupa segumpal
awan terbang ke angkasa, lalu mampir di pucuk cemara.
“Koat-bun, Sin-cong, Yang-koan....” dengan ketus si nona cantik menyebut
nama ketiga hiat-to.
Liong po-si mendengus, ia lantas memutar punggungnya ke arah liong-hui,
katanya dengan tenang, “Anak hui, apakah masih ingat gerakan Ho-cui-keng
(tenaga cocokan bangau)?”
“Masih,” jawab liong-hui dengan ragu.
“Nah gunakan gaya Ho-cui-keng untuk menutuk ketiga hiat-to yang
disebutnya itu,” ucap Liong po-si
“Tapi...Ayah...”
“Cepat!” bentak si kakek

Liong-hui ragu sejenak pula, akhirnya ia menggertak gigi dan memburu maju
ke belakang sang ayah, tangan kanan terangkat, jari telunjuk dan jempol
terangkap serupa paruh burung bangau dan pelahan menutuk koat-bun-hiat di
bagian pundak.
Si nyonya muda berbaju merah menghela nafas, ia berpaling ke arah lain,
sekilas terlihat barang yang tertutup oleh kain satin yang diusung oleh kedua
orang berbaju hitam tadi, serentak ia berpaling kembali dan dilihatnya si
brewok Liong-hui belum lagi melancarkan tutukannya, rupanya baru terjulur
sampai setengah jalan tangan Liong-hui lantas bergemetar dan tidak sanggup
turun tangan lebih lanjut.
Liong po-si melirik ke belakang dan mendamprat, “ Manusia tak......becus!”
Cukup bengis ia memaki, tapi ketika mengucapkan “becus”, suranya berubah
menjadi lunak.
Liong hui meluruskan kembali kedua tangannya dan menghela nafas, ucapnya
“Ayah, kupikir urusan ini agak ganjil...”
Belum lanjut ucapannya, sekonyong-konyong sesosok bayangan orang
melayang tiba, kiranya si pemuda belia dan tampak lemah lembut dan selalu
mengikut di belakang pemuda kurus berbaju hitam itu bersama seorang anak
dara tadi.
“Untuk apa kaudatang kemari Gote?!” Seru Liong-hui dengan kening
berkernyit.
Pemuda lemah itu menjawab dengan lugas, “Jika toako tidak sanggup turun
tangan biarlah siaute saja menggantikan engkau.”
“Apa kaugila?” Bentak liong-hui dengan mendelik

Pemuda lemah itu memandang lurus ke depan dengan air muka kaku.
put-si-sin-liong membalik tubuh dan mengawasi anak muda itu beberapa
kejap, lalu berkata dengan gegetun, “Ai selama ini kuanggap kau terlalu lemah
lembut serupa anak perempuan, tak tersangka diluar kau halus tapi keras
didalam, serupa diriku pada waktu muda, jika sekali ini aku dapat....”
mendadak ia terbatuk, lalu menyambung, “Baiklah jika kaupun paham gerakan
Ho-cui-keng, boleh lekas kau turun tangan.”
Liong-hui lantas melangkah mundur dengan menunduk seperti tidak ingin
melihat apa yang bakal terjadi.
Maka terdengarlah suara “tek-tek-tek” pelahan tiga kali, Liong po-si lantas
menghela nafas lega, lalu menarik nafas lagi dalam-dalam disusul dengan
suara mendering dan cahaya pedang yang menyilaukan mata.
Dalam pada itu si nyonya muda lantas mendekati liong-hui, dibisikinya, “Untuk
apa kausedih, toh ayah tidak pasti kalah.”
Mendadak Liong-hui mengangkat kepalanya seperti mau bicara, tapi urung.
Terlihat si nona cantik tadi telah menerima sebatang pedang dari salah
seorang perempuan berbaju hijau tadi, disentilnya batang pedang dengan dua
jarinya,”tring”, terdengar suara nyaring bergema.
Liong po-si juga sedang memandang pedang sendiri yang bercahaya hijau,
samapi sekian lama ia tidak bergerak, hanya jarinya saja yang meraba-raba
batang pedang serupa seorang ibu membelai anak kesayangannya.
Kemudian dia menanggalkan sarung pedangnya yang masih tergantung di
pinggangnya, ia membalik dan menyerahkan sarung pedang itu kepada si
pemuda lemah tadi.

Pemuda yang berwajah putih cakap itu mendadak terkilas rasa kejut dan
heran, cepat ia sambut pemberian pemberian sarung pedang itu.
“Mulai hari ini, pedang Yap-siang-jiu-loh (embun musim rontok di atas daun)
ini adalah milikmu,” demikian kata Liong po-si.
Dengan sinar mata meneorong pemuda itu memegang sarung pedang dan
melangkah mundur, lalu dia berlutut dan menyembah tiga kali kepada Liong
po-si.
Air muka si brewok Liong-hui berubah hebat, alisnya yang tebal berkerut, dia
seperti mau bicara, tapi si nyonya muda berbaju merah telah menarik ujung
bajunya, keduanya saling pandang sekejap, lalu menunduk diam.
“Jangan sia-siakan pedang ini!” demikian pesan Liong po-si.
Pemuda lembut itu lantas berbangkit, mendadak ia mendekati benda panjang
yang tertutup oleh kain satin itu, pelahan ia menjulurkan sarung pedang untuk
menyingkap kain penutup panca warna itu. Maka tertampaklah benda itu
ternyata sebuah peti mati terbuat dari kayu cendana.
Liong po-si menatap anak muda itu tanpa berkedip, tanyanya dengan suara
berat “Adakah yang ingin kaukatakan?”
Pemuda itu kembali berlutut lagi pelahan dan menyembah tiga kali terhadap
peti mati itu, mendadak ia melolos sebilah belati ia menusuk ujung jari sendiri,
darah lantas mengucur keluar, ia kebaskan tangannya sehingga beberpa titik
darah menetes di atas peti mati.
Air muka Liong po-si yang kereng mendadak tersembul senyuman puas,
ucapnya “Bagus-bagus!”
Habis itu barulah ia mendekati si nona cantik tadi.

“Anda menyiapkan peti mati dengan harapan akan kalah, put-si-sin-liong
memang tidak malu disebut sebagai jago perkasa nomor satu di dunia
persilatan,” kata si nona dengan tersenyum.
Sampai sini barulah nona ini memperlihatkan senyuman yang manis bagaikan
bunga yang mekar semarak, senyum yang memikat dan sukar dilukiskan.
Pemuda lemah tadi telah menggantungkan sarung pedang kulit ikan hiu pada
pinggangnya, mendadak sorot matanya memancarkan cahaya aneh menatap
wajah si nona cantik, lalu selangkah demi selangkah didekatinya dengan
pelahan.
Nona itu mengerling, sinar mata kedua orang kebentrok, tanpa terasa si nona
terkesima. Sesudah pemuda itu berada di depannnya barulah ia menegur,
“Kaumau apa?”
Liong po-si juga lantas berkata, “Disini sudah tidak ada lagi urusanmu, kenapa
tidak mengundurkan diri saja!”
Namun anak muda itu tidak menjawab, mendadak kedua tangannya
terpentang, telapak tangan kiri menghantam iga si nona, sebaliknya telapak
tangan kanan memukul iga kiri put-si-sin-liong, Liong po-si.
Sungguh luar biasa kecepatan dan ketepatan kedua serangan pemuda ini, si
nona cantik dan liong po-si sama terkesiap, mereka tidak menyangka
mendadak bisa diserang.
Pada saat mereka melenggong itulah tangan si pemuda lemah sudah
menyambar tiba, cepat si nona cantik menangkis dengan sebelah tangan,
“plok”, kedua tangan beradu.

Liong-po-si terpaksa juga menangkis, ia menggeser dan angkat sebelah
tangannya, ia pun beradu tangan dengan muridnya itu.
Di tengah suara adu pukulan itu si brewok Liong-hui memburu maju sambil
membentak, “Apa kau gila, Gote?”
Tapi segera terlihat pemuda lembut itu menarik kembali tangannya dan
menggeser mundur, lalu berkata dengan hormat, “Suhu, nona ini tidak
berdusta!”
“Maksudmu, kekuatanku sekarang telah seimbang dengan dia?” tanya Liong
po-si, mendadak ia bergelak tertawa dan berkata pula, “Haha, bagus, bagus,
baru sekarang kutemukan lawan yang sama kuat!”
Liong-hui tampak tercengang sejenak, katanya kemudian kepada pemuda
lembut, “Kiranya tujuanmu cuma untuk menguji kekuatan perempuan itu
apakah sebanding dengan suhu apa tidak?”
“Ya begitulah”, sahut anak muda itu dengan menunduk.
“Jika maksudnya bukan untuk meneoba, mana dia bisa menyerang guru
sendiri, kan mubazir pertanyaanmu itu” ujar Liong po-si dengan tertawa cerah.
Kakek yang gagah dan kereng ini, meski sekarang menghadapi pertempurna
yang pasti sangat berbahaya, namun hatinya justru terasa sangat gembira,
entah lantaran menemukan lawan yang “sama kuat” atau karena merasa
tindakan muridnya itu sangat cocok dengan seleranya?
Liong-hui tampak kikuk dan mundur teratur sambil melirik sekejap kepada
pemuda lembut itu.
Si nyonya muda berbaju merah tertawa dan berkata, “usia gote masih muda
belia, tak tersangka sudah mempunyai kecerdasan dan kekuatan sehebat ini.”

Liong po-si berucap dengan gegetun, “Sesudah lama baru ketahuan hati
manusia, setelah perjalanan jauh baru tahu tenaga kuda. Untuk mengetahui
watak dan kecerdasan seseorang juga baru kelihatan bilama menghadapi
keadaan genting.”
Pemuda lembut tadi menunduk. Sedangkan liong hui saling pandang sekejap
dengan si nyonya muda.
Anak dara yang berdiri berdampingan dengan si pemuda lembut tadi tampak
tersenyum senang dan bangga.
Baru sekarang pandangan si nona cantik berpindah dari wajah si pemuda
lembut, lalu menjengek, “Nah sesudah dicoba, bolehkah dimulai sekarang?”
“Tentu saja,” Kata Liong po-si sambil mengayunkan pedangnya sehingga
menerbitkan suara dering nyaring dan mengakibatkan rontoknya lidi cemara
yang menjatuhi tubuh keempat perempuan berbaju hijau ringkas itu.
Meski tenaga dalam Liong po-si sudah surut banyak, tapi tetap selihai ini,
tanpa terasa keempat perempuan itu saling pandang dengan terkesiap.
Tapi si nona cantik anggap seperti tidak tahu, ucapnya ketus, “Jika boleh
mulai, silakan anda ikut padaku!”
Liong po-si jadi melenggong lagi, “Masakah bukan disini?”
“Ya, disini bukan tempat yang baik untuk bertanding,” Segera si nona cantik
sepeti hendak membalik ke sana.
“Sebab apa?” tanya Liong po-si.
“Jika kubunuh dirimu, tentu anak muridmu akan menuntut balas padaku,
padahal pengaruh Ji-hau-san-ceng di dunia persilatan sangat besar, sebaliknya

guruku cuma menerima seorang murid seperti diriku saja, bila mereka
menuntut balas kepadakau, tentu aku tidak mampu melawannya, betul tidak?”
“Dengan sendirinya engkau tidak mampu melawan!” bentak liong-hui
“Hm, hanya mengandalakan sedikit kepandaianmu ini kaukira dapat
mengalahkan guru kami?” jengek si nyonya muda mendadak.
Liong po-si melirik kedua anak muridnya itu sekejap, diam-diam seperti
merasa menyesal, segera ia berkata, “Tentu maksudmu ingin merahasiakan
ilmu pedangmu untuk berjaga bilamana anak muridku menuntut balas padamu
setelah berhasil kaubunuh diriku, begitu?”
“Betul,” jawab si nona cantik. “Pada waktu suhu mengajarkan ilmu pedang ini
padakau, kecuali menugasku membunuhmu, ada juga orang lain yang harus
kubunuh, mana boleh kuperlihatkan ilmu pedang ini di depan umum sehingga
orang sempat mempelajari ciri kelemahan ilmu pedangku ini?
“Ya betul juga, bilamana aku menciptakan sesuatu kungfu baru, tentu kau pun
akan merahasiaknnya,” ujar Liong po-si dengan mengangguk.
Mendadak ia menghela nafas panjang dan menatap tajam si nona cantik, lalu
bertanya sekata demi sekata, “Menjelang wafatnya gurumu, apakah dia masih
begitu benci padaku?”
“Bila benci dan dendam sudah mendalam apa bedanya waktu hidup atau sudah
mati?” jengek si nona.
“Haha, apa bedanya...apa bedanya....” mendadak Liong po-si menegadah dan
bersuit, lalu membentak, “Baik, dimana tempatnya? Ayo, akan kuikuti!”
Tanpa bicara lagi si nona cantik lantas memabalik tubuh dan melangkah pergi.

Mendadak si brewok liong-hui membentak “Nanti dulu!”
Tapi si nona tetap melangkah ke depan seperti tidak mendengar.
Tiba-tiba terdengar kesiur angin lewat, tahu-tahu si pemuda lembut sudah
menghadang di depannya.
Bekerenyit juga kening si nona cantik, ia menoleh memandang Liong po-si
sekejap.
Segera Put-si-sin-liong, Liong po-si membentak, “Kalian mau apa lagi?”
Si nyonya muda melompat maju dan berkata, “Betapapun kita harus berjaga
segala kemungkinan, apabila mereka telah mengatur perangkap disana,
bukankah suhu akan terjebak?”
Liong po-si menjadi sangsi, ia memandanga sekejap si nona cantik.
Si nona cantik balas menatapnya dengan dingin seakan akan sedang berkata,
“Pergi atau tidak terserah padamu.......”
Sebelum Liong po-si berkata pula, cepat si nyonya muda mendahului bicara,
“Sampai saat ini belum juga kami minta petunjuk akan nama nona yang
terhormat, sungguh kurang sopan.”
Dia bicara dengan lemah lembut dan tersenyum pula sehingga mau tak mau
orang harus menjawab pertanyaannya.
Meski air muka si nona tetap dingin, tidak urung ia menjawab singkat,
“Namaku Yap man-jing.”
“Sungguh nama yang bagus, “ujar si nyonya muda dengan tersenyum. “Dan
namaku Kwe giok-he, nama kampungan, tapi.....ai, apa boleh buat.”

Dalam keadaan demikian dan di tempat sperti ini dia justru bicara tetek
bengek, tampaknya Liong po-si merasa tidak sabar, tapi agaknya dia sangat
sayang kepada si nyonya muda itu maka dia tidak mencegahnya.
Si brewok liong-hui tampaknya juga sangat hormat dan juga jeri terhadap
nyonya muda itu. Hanya si pemuda lembut saja tetap kelihatan kaku tanpa
emosi. Tidak bicara juga tidak tertawa.
Terdengar nyonya muda itu menyambung lagi, “Nona Yap, meski kita tidak
pernah bertemu sebelum ini, namun gurumu sudah lama kami dengar,
ditambah lagi nona Yap sendiri begini cantik dan menyengkan, sebab itulah
segala apa yang diucapkan nona Yap telah kami turuti semua.”
Si nona cantik alias Yap man-jing hanya mendengus saja tanpa menanggapi.
Maka Kwe giok-he meneruskan lagi, “Cuma syarat yang dikemukakan nona
Yap tadi, betapapun kami rasakan agak kurang baik...”
“Kurang baik apa? Urusan ini tidak ada sangkutpautnya denganmu, mengapa
engkau ikut campur?” jengek Yap man-jing dengan ketus.
Namun Kwe giok-he tetap tersenyum cerah dan berkata, “Jika benar nona Yap
tidak menghendaki kami melihat rahasia ilmu pedang gurumu, seharusnya hal
ini kaubicarakan jauh sebelumnya, mengapa mesti menunggu sampai
sekarang baru dikemukakan olehmu. Sungguh aku tidak habis mengerti akan
dalil ini.”
Yap man-jing memandangnya beberapa kejap, lalu menjengek, “Hm, apa
benar kau minta kukatakan terus terang?”

“Sebabnya kutanya kepada nona memang berharap engkau suka
memberitahukan apa alasannya, kalau tidak untuk apa kuikut bicara?” Ujar
kwe giok-he dengan tersenyum.
Pelahan yap man-jing mengerling sekejap setiap orang yang hadir disini
seolah-olah sudah dipandangnya semua, lalu mengejek, “Sebabnya hal ini
tidak kukemukakan tadi adalah lantaran kulihat diantara kalian yang berada
disini tidak ada seorang pun yang dapat melihat ciri kelemahan ilmu
pedangku.’
“Dan mengapa sekarang harus kaukemukakan?” tanya kwe giok-he.
Seperti tidak sengaja yap man-jing melirik sekejap si pemuda lembut, lalu
berkata, “Sebabnya kukemukakan syaratku ini adalah lantaran tiba-tiba kulihat
di antara anak murid Put-si-sin-liong ternyata bukan orang goblok semua,
sedikitnya ada satu diantaranya yang terhitung pintar.”
Air muka Kwe giok-he rada berubah, tapi segera ia tersenyum lagi dan
berkata, “Terimakasih atas pujian nona Yap. Pantas Sip-tiok-li mati begitu dini
dengan hati lega, sebab dia mempunya seorang murid baik sebagai nona.”
Kata berjawab, gayung bersambut, kontan Kwe giok-he membalas ucapan
orang dengan sama tajamnya, namun tetap ramah tamah dan tersenyum
manis.
Air muka yap man-jing tampak berubah juga, ia mendengus terus hendak
melangkah pergi.
Dengan tersenyum Kwe giok-he memandang bayangan punggung orang,
agaknya dia merasa senang karena dapat mengalahkan orang dengan perang
lidah.

Siapa tahu mendadak Liong po-si menghela nafas dan memandangnya dengan
sorot mata buram, ucapnya, “Alangkah baiknya bilamana anak hui memiliki
setengah kecerdasanmu.”
Giok he mcununduk dengan tersenyum, tapi Liong po-si lantas menambahkan,
“Cuma sayang engkau terlampau pintar.”
Habis ini segera ia berteriak, “Tunggu dulu, nona Yap!”
Sekali lagu Yap man-jing berhenti, katanya tanpa menoleh, “Ikut pergi atau
tidak terserah kepada keputusanmu, buat apa banyak bicara lagi.”
Liong po-si berdehem, lalu berkata pula, “Selama hidup Yap jiu-pek terkenal
jujur, kuyakin anak muridnya pasti juga bukan manusia pengecut. Selama
hidupku tidak pernah gentar terhadap apapun, andaikan di sana terdapat
sesuatu perangkap juga bukan soal bagiku.”
Mendadak Yap man-jing berpaling, meski tetap dingin air mukanya, tapi
tampak menampilkan rasa kagum dan hormat.
“Hanya saja pedangku ini sudah mendampingiku selama beberapa puluh
tahun, meski bukan senjata wasiat segala, namun juga pernah banyak
mengalahkan berbagai tokoh ternama dunia persilatan,” demikian Liong po-si
bicara lebih lanjut dengan bangga dan juga setengah terharu.
“Maka bilamana hari ini aku tidak dapat pulang dengan hidup, kuharap nona
dapat menyerahkan kembali pedangku ini kepada muridku Lamkiong peng.”
Suaranya yang kereng kini telah berubah menjadi rasa duka dan sedih, suara
duka demikian belum pernah di dengar oleh anak muridnya, sampai si pemuda
lembut Lamkiong peng juga tercengang.
“Dan bila aku yang tidak kembali dengan hidup, kuharap juga kauserahkan
pedangku Liong-gin-sin-im (ringkik naga suara malaikat) ini kepada mereka,”

tiba-tiba si nona cantik Yap man-jing juga meninggalkan pesan sambil
menunjuk keempat perempuan berbaju hijau tadi.
“Baik” sahut Liong po-si.
Serentak Yap man-jing melangkah ke sana sambil berkata, “Ayo berangkat!”
Sekilas ia lirik lagi Lamkiong peng sekejap.
Tanpa ragu lagi Liong po-si lantas ikut berangkat. Tapi baru saja lewat di
samping Lamkiong peng, mendadak ia menyurut mundur lagi selangkah dan
menepuk pundak anak muda itu, seperti mau bicara tapi urung. Ia cuma
tersenyum saja, lalu menghela nafas pelahan, ketika dia melangkah ke depan
lagi, dalam sekejap lantas menghilang di balik gumpalan awan.
Meski bayangan sang guru sudah menghilang, Lamkiong peng masih berdiri
mematung sambil memandangi awan yang mengambang di udara itu, meski
wajahnya kaku dingin, namu sorot matanya memancarkan perasaan hangat.
Terdengar Kwe giok-he yang berdiri di belakangnya lagi bergumam, “ Yapsiang-
jiu-loh....Liong-gim-sin-im....Tak tersangka antara suhu dan Tan
hong,Yap jiu-pek memang terjalin...”
Tiba-tiba liong hui berdehem, katanya “Urusan pribadi suhu sebaiknya jangan
dibicarakan.”
Dia mendekati Lamkiong peng dan berdiri diam sejenak sambil mengelus
janggut, lalu memutar balik dan berduduk di atas batu sana serta mengelamun
memandangi awan yang mengapung di udara.
Kwe giok he juga memandang Lamkiong peng sejenak, mendadak ia
menggapai dan memanggil, “Kemari Simoay!”

Anak dara yang berdiri agak jauh itu mendekat dengan menunduk, langkahnya
kelihatan enteng dan gesit, jelas tidak lemah kungfunya, tapi gerak geriknya
kelihatan malu-malu serupa gadis pingitan, sama sekali tidak ada ciri khas
sebagai anak murid Ji-hau-san-ceng atau perkampungan Ji-hau yang disegani.
Dengan tangan memainkan ujung baju seperti anak gadis yang takut-takut ia
menyapa “Ada apa, Toaso (kakak ipar)?”
Giok-he tersenyum dan berkata, “Gote datang belakangan tapi menonjol
paling atas sehingga mewarisi pusaka Yap-siang-jiu-loh dari suhu, kau gembira
atau tidak?”
Anak dara yang memang malu-malu itu tambah likat, mukanya putih lantas
bersemu merah, kepala menunduk terlebih rendah.
Pemuda kurus yang sejak tadi diam saja mendadak menimbrung, “Bukan saja
Simoay metrasa gembira, aku juga sangat senang!”
Dengan wajah berseri Kwe giok-he memandang mereka kian kemari, lalu
berkata, “Kalian sungguh dua sejoli yang setimpal, sampai kata hati keduanya
juga sama. Pantas orang Kangouw suka merangkai Ciok Tim dan So-so
menjadi satu dan menyebut mereka sebagai Liong-bun-siang-kiam (sepasang
pedang keluarga liong), cuma sayang....”
Sampai disini ia lantas berhenti dan cuma berdehem pelahan saja sambil
melirik Lamkiong peng.
Ciok Tim, pemuda kurus itu juga memandang ke arah Lamkiong peng, di
antara mata alisnya samar-samar kelihatan menampilkan rasa iri, tapi dengan
lantang ia lantas berseru, “Tapi selanjutnya bila ditambah Gote, mungkin
orang kangouw akan menyebut kami sebagai Liong-bun-sam-kiam (tiga
pedang keluarga liong)!”

“Rupanya engkau belum tahu,” Kata Giok-he dengan tertawa, “meski belum
lama Gote masuk perguruan kita, tapi keluarga Lamkiong dari daerah kanglam
terkenal sebagai keluarga hartawan, maka sudah lama juga orang Bulim sama
memberi suatu julukan kepada Gote sebagai Hu-kui-sin-liong (Si naga sakti
kaya dan jaya)!”
“Toaso memang berpengetahuan banyak dan berpengalaman luas,” Kata Ciok
Tim dengan tertawa, “Siaute sendiri jarang berkelana di dunia kangouw,
pengetahuanku kalau dibandingkan Toaso sungguh selisih terlalu jauh.”
Tiba-tiba si brewok Liong-hui menimbrung, “Memang pernah kudengar
disebutnya nama Hu-kui-sin-liong, tapi itu cuma sanjung puji dari kalangan
piaukok (perusahaan pengawalan) yang ada hubungan erat dengan grup
keluarga Lamkiong, masa kau anggap sungguh-sungguh?”
“Baik, baik kau lebih tahu dan aku tidak tahu,” gerutu Giok-he sambil melotot.
Mestinya Liong-hui hendak omong lagi, tapi demi melihat air muka sang istri
yang kurang senang itu, seketika ia urung bicara.
Semua orang menjadi bungkam. Hanya angin mendesir dan dedaunan
gemersik, awan yang mengambang di udara melayang kian kemari serupa
urusan dunia persilatan yang selalu berubah suka dukanya.
Sampai sekian lamanya keempat perempuan berbaju hijau ringkas itu juga
tetap berdiri di bawah pohon cemara, hanya terkadang mereka melirik ke arah
anak murid Ji-hau-san-ceng ini, agaknya dapat mereka rasakan juga diantara
anak murid keluarga liong ini terdapat pertentangan dan saling curiga, sebab
itulah di antara kerlingan mereka terkadang juga menampilkan rasa menghina
dan mencemoohkan.

Sudah cukup lama juga, mendadak Liong-hui berbangkit dan memandang
cuaca, ucapnya dengan suara tertahan, “Rasanya kepergian Suhu
sudah.....sudah lebih setengah jam!”
Kwe Giok-he menjawab, “Engkau selalu tidak sabaran, pantas suhu tidak mau
mewariskan Yap-siang-jiu-loh kepadamu. Coba kaulihat, sedikitpun Gote tidak
kelihatan gelisah.”
Mau tak mau berubah juga muka Liong Hui, ucapnya dengan tergagap,
“Toh sesama saudara sendiri, diwariskan kepada.......kepada siapa kan sama
saja.”
“Hm, tentu saja sama,” jengek Giok-he.
Lamkiong Peng tampak adem ayem saja, ia tersenyum dan mendekati Kwe
Giok-he, katanya dengan tersenyum, “Toaso, apakah kau tahu sebab apa aku
tidak gelisah?”
Meski dia bicara dengan tersenyum, namun ucapannya tegas dan mantap.
Giok-he tersenyum dan menjawab, “O, dari.....dari mana kutahu?
Mendadak liong-hui menyela, “Masa kau tahu hati Gote tidak gelisah? Sebelum
jelas kalah menang suhu, setiap orang pasti gelisah.”
“Setiap orang memang gelisah, cuma aku saja tidak,” ujar Lamkiong Peng.
Seketika air muka Ciok Tim dan Liong-hui berubah, Kwe Giok-he lantas
mendengus, sedangkan Ong so-so, si anak dara, juga mengernyitkan dahi,
memandang anak muda itu dengan heran.
Pelahan Lamkiong Peng menutur, “Sebabnya aku tidak gelisah adalah karena
aku lebih daripada yakin bahwa suhu pasti takkan kalah”!

Mendadak keempat perempuan berbaju hijau di bawah pohon sama
mendengus dan melengos ke sana.”
Giok-he juga mendengus, Liong-hui lantas bertanya “Berdasarkan apa
kauberani memastikannya? Setelah tenaga dalam suhu susut sebanyak itu,
sungguh hampir tidak ada kesempatan menang bagi beliau, apalagi genduk
she Yap itu kelihatan sangat licin dan licik.”
“Sebenarnya dalam hal menganalisa sesuatu urusan biasanya Gote sangat
meyakinkan, tapi apa yang kau katakan tadi rasanya sukar dipercaya orang!”
tukas Ciok Tim tiba-tiba, dia selalu bicara dengan pelahan, setiap kalimat
diucapkan secara teratur sekan-akan kuatir salah omong.
Dengan tersenyum Lamkiong peng menjawab, “Pukulanku tadi selain berhasil
menguji kebenaran keterengan nona she Yap itu dan memang tidak berdusta
kepada suhu, juga dapat kuketahui gerak tubuh suhu jauh lebih cepat
daripada nona itu.”
Dia berhenti sejenak, lalu menyambung dengan pelahan, “Waktu itu
kulancarkan serangan sekaligus kepada mereka berdua, nona she Yap itu
berdiri di sebelah kananku, meski tangan kanannya memegang pedang, tapi
tanpa bergeser dia dapat menangkis pukulanku dengan tangan kiri.....”
Dengan telapak tangan kiri ia memberi contoh, lalu menyambung, “Tapi waktu
itu suhu berdiri di sebelah kiriku, tangan kanan beliau juga memegang pedang,
waktu kupukul dengan sendirinya beliau tidak dapat menangkis dengan
pedang yang dipegangnya pada tangan kanan, sebab itulah beliau harus
berputar untuk menangkis seranganku dengan tangan kiri.”
Dia bicara dengan teratur dan jelas sehingga tanpa terasa keempat perempuan
berbaju hijau itu pun berpaling dan ikut mendengarkan dengan cermat.

“Dalam keadaan begitu,” demikian Lamkiong peng menyambung, “gerak
tangan suhu jelas lebih banyak satu kali dan pada waktu menangkis pukulanku
seharusnya juga lebih lambat sejenak daripada nona she Yap itu, namun pada
waktu empat tangan beradu, suara yang timbul terjadi berbareng tanpa ada
perbedaan mana lebih dulu, dari kejadian ini bukankah terbukti gerak tangan
suhu memang lebih cepat daripada nona Yap itu, walaupun selisihnya tidak
banyak, tapi pertarungan di antara jago kelas tinggi, selisih sedetik saja dapat
menentukan kalah dan menang, apalagi suhu sudah berpengalaman beratus
kali tempur, maka kubilang beliau tidak mungkin kalah.”
Uraian Lamkiong peng ini membuat si anak dara alias Ong so-so tersenyum
cerah, Ciok Tim mengangguk-ngangguk, Kwe Giok-he bertopang dagu dan
termenung. Malahan Liong-hui lantas berkeplok tertawa, “Haha, betul,
memang ditimbang dari sudut manapun, tidak nanti suhu bisa kalah.”
Dengan telapak tangannya yang lebar ia tepuk pundak Lamkiong peng dengan
keras sambil berseru, “Gote, engkau memang hebat, sekarang Toako juga
tidak perlu cemas lagi.”
Mendadak keempat perempuan berbaju hijau ringkas itu sama mendengus,
yang berdiri di ujung kiri lantas bertanya kepada teman disebelahnya, “Lengcu,
apakah kaucemas?”
Leng cu menggeleng kepala dan ganti bertanya kepada kawan disebelahnya
lagi, “Apakah kau cemas, Watcu?”
“Aku juga tidak cemas!” jawab Wat cu
“Jika begitu Ho cu tentu juga tidak perlu cemas” ujar leng cu
“Aku memang tidak cemas sedikit pun kata Hocu dengan tertawa.
“Barangkali Ancu yang lagi cemas.”

“Aku pun tisdak cemas.” Kata ancu yang berdiri di ujung kanan “Tapi apa
sebabnya aku tidak cemas tidak dapat kuberitahukan kepada kalian.”
Keempat orang lantas saling pandang, lalu sama mendekap mulut dan tertawa
cekikak dan cekikik.
Dengan mendongkol mendadak Liong hui menjengek, “Hm kalau tidak
mengingat kalian ini orang perempuan, tentu akan kuberi hajar adat!”
Serentak keempat perempuan itu berhenti tertawa, kontan Ancu balas
menjengek, “Hm, kalau tidak mengingat kau ini orang lelaki, pasti kuberi
hajaran setimpal!”
Tidak kepalang gusar Liong hui, sambil membentak, mendadak ia membalik
dan menghantam sepotong batu hijau di sebelahnya, “blang’, batu hancur dan
kerikil munerat. Batu karang yang keras itu ternyata terpukul remuk.
“Hm, tenaga pukulan yang hebat!” jengek An cu, mendadak tangannya
berputar, “creng” pedang dilolosnya.
Di tengah berkelebatnya sinar pedang dia terus melompat ke depan sepotong
batu yang lain, sekali menusuk, “bles”, tahu-tahu ujung pedangnya telah
ambles lebih satu kaki ke dalam batu serupa bambu menancap di atas lumpur
saja.
Selagi liong hui terkesiap, terdengar ancu telah berkata dengan tertawa, “Hah,
rupanya batu disini sangat lunak!”
“Ilmu pedang hebat!” seru Kwe Giok-he tiba-tiba, dengan tersenyum ia
mendekati ancu dan berucap, “Taci, bolehkah aku pun meneobanya?”

Ancu tampak melenggak, sebelum dia menjawab, mendadak Kwe Giok-he
turun tangan secepat kilat, jari tangannya yang putih halus itu mengebas ke
iga lawan.
Karena terkejut Ancu menggeser ke samping, meski dapat menghindarkan
serangan lawan, tapi pedang tidak sempat ditariknya kembali dan masih
tertancap di dalam batu.
Dengan suara halus Giok he lantas berkata, “Terima kasih atas kemurahan
hatimu, setelah kucoba segera kukembalikan!”
Pelahan ia lantas menarik pedang itu dari jepitan batu, dipandangnya pedang
itu dengan cermat, tampaknya dia lagi mengamat-amati pedang yang
dipegangnya, tapi sebenarnya sedang menyelami batu gunung itu.
Sejenak kemudian dia tersenyum manis lagi pelahan ia mengangkat pedang ke
atas, sekali berputar pedang lantas disurung ke depan, kembali terdengar
suara “bles” pelahan, batang pedang amblas lagi ke dalam batu hampir
separoh.
Selagi keempat perempuan berbaju hijau itu terkesiap, dengan suara lembut
Giok-he berkata pula, “Benar juga batu disini sangat lunak seperti tahu!”
Lalu pedang ditariknya kembali, pelahan ia mendekati Ancu dan
mengembalikan pedang itu.
Air muka Ancu sebentar merah sebentar pucat, jantung pun berdetak, tanpa
bicara ia terima kembali pedang itu dan melangkah ke tempat semula.
Dengan suara lembut Giok-he berkata pula “Kuharap engkau jangan kesal,
meski tusukan pedangku kelihatan jauh lebih dalam, padahal ilmu pedang dan
tenagaku selisih tidak terlalu banyak daripadamu.”
Diam-diam ia bersyukur telah dapat mengelabui lawan dengan cara yang licik.

Kiranya pedang yang ditusukkannya itu tadi mengulangi lagi tempat yang
ditusuk ancu semula, jadi sesungguhnya dia cuma menambah dalam sebagian
tusukannya itu, namun kelihatannya menjadi amblas jauh lebih banyak
daripada tusukan ancu.
Dengan sendirinya ancu tidak memperhatikan hal ini, dengan gemas ia
kembali ke tempatnya tadi, mendadak ia berpaling dan mendengus, “Hm,
mungkin betul kungfumu lebih tinggi daripadaku, tapi gurumu......Hm, kukira
kalian tidak perlu lagi menunggunya.’
Serentak air muka Lamkiong peng, Liong-hui, Kwe Giok-he dan Ong so-so
sama berubah.
“Apa katamu?” bentak Liong-hui sambil melompat maju.
Ancu seperti mau bicara lagi, tapi dia keburu ditarik mundur oleh ketiga orang
kawannya.
Tiba-tiba Kwe Giok-he mendekati Ancu, ucapnya dengan tersenyum,
“Orang suka sembarangan mengoceh kan pantas diberi hukuman, betul tidak?”
Tanpa menghiraukan lagi apa rcaksi lawan, secepat kilat jarinya menotok Kohcing-
hiat di bahu Ancu.
Seketika Ancu melenggong, seperti menyesal akan ucpannya tadi, maka
tutukan Giok-he seperti tidak dirasakannya. Untungnya Watcu yang berada di
sebelahnya, lantas menangkis tutukan giok-he, berbareng ia balas
mencengkram pergelangan tangan lawan.
“Hm, berani kalian melawan diriku?” ucap Giok-he dengan tersenyum, ia tarik
kembali tangannya, menyusul ia menutuk lagi iga kanan Watcu.

Sembari mendorong ke samping Ancu yang masih berdiri melenggong, Watcu
juga menggeser, menyusul terdengarlah suara “crang-creng” dua kali,
sekaligus ia lolos dua pedang terus balas menusuk pinggang giok-he.
Karena didorong, Ancu tersadar, mendadak ia pun melolos pedang dan
melancarkan serangan gabungan.
“Berhenti!............Berhenti!...............”Liong hui berteriak-teriak.
Siapa tahu, bukannya berhenti, sebaliknya Lengcu dan Hocu juga lantas ikut
menerjang maju.
Liong hui menjadi kuatir, serunya, “Selama hidupku tidak pernah bergebrak
dengan orang perempuan, mengapa kalian tidak lekas membantu Toaso?!”
Terpaksa Ong so-so melompat maju, kontan ia hantam Watcu sehingga
pertarungan bertambah seru.
Pelahan Ciok Tim melangkah maju, ucapnya dengan kening berkernyit, “Suhu
melarang kita membawa pedang ke atas gunung, agaknya beliau tidak
menghendaki kita main kekerasan, bilamana nanti kita disalahkan beliau lantas
bagaimana?”
Liong hui menjadi ragu, waktu ia pandang ke sana, terlihat sinar pedang
bertaburan, giok-he dan so-so berdua telah terkurung oleh barisan pedang
keempat perempuan berbaju hijau, meski seketika tidak sampai kalah, tapi
jelas sukar memperoleh kemenangan.
“Bagaimana pendapatmu, Gote?” tanya liong hui kepada Lamkiong peng.
Anak muda itu memandang sarung pedang hijau yang tergantung di
pinggangnya dan menjawab, “Terserah kepada keputusan toako.”

Alis Liong hui bekerenyit rapat dan sukar mengambil keputusan.
Lamkiong peng lantas berkata pula, “Jika kuduk kita terancam pedang orang,
apakah kitapun tidak boleh turun tangan?”
Mendadak Liong-hui berteriak, “Betul, ayo maju, Samte dan Gote!”
Tapi belum lagi mereka bertindak, mendadak terdengar seorang menjengek di
belakang mereka, “Empat lawan dua memang tidak pantas, jika lima lawan
empat, rasanya juga kurang adil! Tampaknya anak murid Tan-hong (burung
hong cantik) dan Sin-liong sama suka main kerubut?”
Cepat Lamkiong peng berpaling, dilihatnya di samping peti mati sana entah
sejak kapan telah berdiri seorang tojin (pendeta agama To atau Tao) dengan
rambut di sanggul tinggi di kepala, dahi lebar dan pipi kempot dengan sinar
mata setajam mata elang, tubuhnya yang tinggi dan sangat kurus
mengenakan jubah pertapaan berwarna hijau tua.
Meski jengekkannya terdengar tidak keras, tapi seketika membuat Kwe giokhe
di satu pihak dan para perempuan berbaju hijau di lain pihak sama berhenti
bertempur.
“Siapa kau?” segera Liong hui membentak.
“Siapa aku? Em, sampai aku saja tidak kau kenal?” jengek Tojin sanggul tinggi
itu sembari mendekati peti mati dengan pelahan.
Kedua lelaki penggotong peti sejak tadi berdiri diam saja, mendadak mereka
membentak dan mengadang di depan si Tojin. Dalam pada itu terdengar kesiur
angin lewat, Lamkiong peng memburu maju untuk menjaga peti.
Tojin itu mendengus dan berhenti melangkah, ia mengamat-amati Lamkiong
peng beberapa kejap, lalu menegur, “Kau mau apa?”

“Dan kau mau apa?” jengek Lamkiong peng dengan sama ketusnya.
“Haha, bagus, bagus!” mendadak Tojin itu terkekeh dan berputar ke depan
Liong hui, lalu bertanya, “Janji pertemuan gurumu dan Yap jiu-pek sepuluh
tahun yang lalu apakah sudah diselesaikannya?”
Liong hui jadi melenggak, jawabnya, “Dari.....dari mana kau tahu?”
“Hahaha, masakah urusan gurumu aku tidak tahu?” seru si tojin dengan gelak
tertawa, lalu ia menyapu padang sekeliling situ dan bertanya pula, “Kemana
perginya mereka berdua?”
“Peduli apa denganmu?” jawab Liong-hui dengan kurang senang.
“Hehe, bagus, bagus!” tojin itu terkekeh pula, lalu berputar ke depan Ciok Tim
dan bertanya, “Siapa yang kalah dan siapa yang menang?”
“Tidak tahu!” jawab Ciok Tim pelahan.
Kembali si tojin itu terkekeh dan menggeser ke depan keempat perempuan
berbaju hijau, lalu bertanya, “Apakah akhirnya Yap jiu-pek dapat mengalahkan
Put-si-sin-liong?
Keempat perempuan itu saling pandang sekejap, tapi kwe giok-he lantas
mengikik tawa.
Serentak si tojin membalik tubuh dan menegur, “Apa yang kau tertawakan?”
“Kutertawa geli karena akhirnya Yap jiu-pek telah mendahului guruku lebih
cepat satu langkah!” sahut Giok he dengan tersenyum.
“Mendahului apa?” tanya si Tojin.

“Akhirnya dia mati lebih dahulu daripada guruku!” jawab giok he.
Tergetar hati si tojin, seketika ia melenggong, sejenak kemudian barulah ia
berucap dengan lemas, “Jadi......jadi Yap jiu-pek sudah.....sudah mati?”
“Ya” jawab Giok he.
Mendadak si tojin menghela nafas panjang, katanya kemudian, “Tak tersangka
ucapan Thian-ah Tojin sebelum ajalnya pada 20 tahun yang lalu ternyata
sangat tepat.”
“Ucapan apa?” tanya Liong hui.
“Sin-liong pasti menangkan Tan hong......” kata si tojin dengan menunduk.
Mendadak Ancu, salah seorang perempuan berbaju hijau itu mendengus, “Hm,
meski nona Yap sudah meninggal, tapi Put-si-sin-liong juga tidak pernah
menang.”
Si tojin menengadah, semangatnya tampak terbangkit, serunya, “Put-si-sinliong
tidak pernah menang?”...........Memangnya mereka telah gugur
bersama?!”
“Ken...........Omong kosong!” damprat Liong hui.
Dengan tajam si tojin menatap Liong hui dan bertanya sekata demi sekata,
“Kau mau bilang ken....apa?”
“Kentut!” teriak Liong hui.

Mendadak si tojin melolos pedang yang tergantung di pinggangnya, tapi baru
tercabut setengah lantas dilepaskan kembali, ucapnya, “Meski engkau kurang
sopan, tidak boleh aku meniru perbuatanmu.”
Lalu ia bergelak tertawa.
“Hm, memang ada sementara orang tidak sudi bergebrak dengan kaum muda,
akan tetapi.....saat ini Put-si-sin-liong justru sedang bertanding dengan murid
nona Yap, “ demikian jengek Ancu.
“Kau bilang Put-si-sin-liong bertanding dengan kaum muda?” si tojin menegas
dengan heran.
“Betul” jawab ancu tegas.
Segera liong hui berteriak, “Biarpun guruku bergebrak dengan murid Yap-jiupek,
namun lebih dulu beliau telah menutuk beberapa hiat-to tertentu,
sehingga tenaganya telah susut tujuh bagian, tindakan beliau yang luhur dan
jujur ini mungkin jarang ada di dunia ini”
Gemerdep sinar mata si tojin, sambil mengelus jenggotnya yang sudah kelabu
ia tersenyum, gumamnya, “Dia ternyata menyusutkan tenaga sendiri untuk
bergebrak dengan orang..........”
“Ya walaupun begitu beliau tetap akan menang!”seru liong hui.
“Apa betul?” ucap si tojin pelahan.
“Tentu saja......” teriak liong hui pula dan mendadak suaranya berubah
lemah,”... betul.”
Padahal dia tidak yakin akan ucapannya itu dan sesungguhnya lagi berkuatir.

Tojin memandangnya dua tiga kejap, lalu melirik Lamkiong peng yang berdiri
di samping peti mati, katanya kemudian, “Sesungguhnya siapa di antara kalian
yang menjadi murid utama Put-si-sin-liong?”
“Peduli apa denganmu?!” jawab Liong hui dengan kurang senang.
“Ah agaknya dirimu inilah!” kata si tojin dengan tersenyum.
“Memangnya mau apa jika betul!?” jengek Liong hui.
Mendadak tojin itu menuding sarung pedang hijau di pinggang Lamkiong peng
dan bertanya, “Jika benar engkau Ciangbun-teecu (murid pewaris ketua) Jihau-
san-ceng, mengapa pedang Yap-siang-jiu-loh itu berada padanya?”
Han Bu Kong 02
Pertanyaan si tojin membuat Liong hui melenggong, ia pandang Lamkiong
Peng sekejap lalu berpaling kembali dan menjawab, “Tidak perlu kau ikut
campur!”
Tojin itu mendengus, “Hm, jika hari ini gurumu kalah dan tidak kembali lagi,
apakah kau tahu siapa yang akan menjadi kepala Ji-hau-san-ceng yang
disegani di dunia persilatan itu?”
Liong hui berdiri tegak tanpa menjawab, sampai sekian lama mendadak ia
membentak, “Siapa bilang suhuku takkan kembali lagi? Siapa yang mampu
mengalahkan beliau? Put-si-sin-liong selamnya tak termatikan!”
Suaranya yang kereng berkumandang jauh dan menimbulkan gema sahut
menyahut dari empat penjuru lembah gunung.

Mendadak terdengar seseorang menjengek dengan suara tajam, “Siapa bilang
didunia ini tidak ada yang mampu mengalahkan Put-si-sin-liong? Siapa yang
bilang put-si-sin-liong tak termatikan!”
Hati Lamkiong-peng, Liong hui dan lain-lain sama tergetar, cepat mereka
berpaling kesana, tertampak dari balik kabut sana muncul sesosok bayangan
dan akhirnya terlihat dengan jelas ialah Yap man-jing dengan bajunya yang
berkibar tertiup angin laksana dewi kahyangan yang turun dari langit. Pada
kedua tangannya jelas memegang dua batang pedang bersinar gilap, sebatang
diantaranya bercahaya hijau kemilau, segera dikenali mereka pedang hijau
inilah Yap-siang-jiu-loh yang selama berpuluh tahun tak pernah berpisah
dengan Put-si-sin-liong, Liong Po-si itu.
Seketika Liong hui melotot, rambut jenggotnya seakan-akan menegak, dengan
beringas ia memburu ke depan Yap-man-jing dan membentak, “Suhuku
bagaimana? Dimana suhuku?”
“Dimana gurumu saat ini tentu kautahu sendiri, masakah perlu Tanya?” jawab
Yap-man-jingketus.
Tubuh Liong hui terasa lemas dan hampir saja tidak sanggup berdiri tegak.
Air muka Lamkiong peng mendadak juga berubah pucat lesi seperti mayat.
Ciok Tim juga merasa seperti dada mendadak di godam orang, sekujur badann
serasa kaku, sampai Ong so-so yang berdiri di dampingnya menjerit pelahan
terus jatuh kelenger juga tidak diketahuinya.
Kwe giok he juga terperanjat dan gemetar. Sedangkan keempat perempuan
berbaju hijau tadi terus berlari menyongsong kedatangan Yap-man-jing.
Sambil meraba pedangnya si tojin tadi pun bergumam, “Akhirnya Put-si-sinliong
mati juga!”…….Ai, akhirnya dia mati juga!”

Suaranya makin lama makin lemah, entah menyesal atau bersyukur? Entah
gembira atau berduka?
Dengan sorot matanya yang tajam Yap-man-jing mengawasi mereka dengan
tenang.
Mendadak Liong hui berteriak, “Engkau yang membunuh guruku, bayar jiwa
guruku!”
Seperti kerbau gila ia terus menerjang ke depan.
Serentak Ciok Tim dan Kwe giok-he juga memburu maju. Sedangkan
Lamkiong peng baru maju selangkah lantas menyurut mundur, kembali ke
samping peti mati sambil memandang sekejap si tojin tanpa terasa air
matanya menitik.
Dalam pada itu Liong hui sudah menerjang ke depan Yap-man-jing, sebelah
tangannya mencengkram muka si nona, tangan yang lain terus meraih pedang
hijau yang dipegangnya.
Terdengar Yap-man-jing tertawa dingin, segera Liong hui pun merasakan
pandangannya menjadi silau oleh sinar pedang, tahu-tahu keempat
perempuan berbaju hijau telah memutar pedang masing-masing dan
mengadang di depannya dengan membentuk selapis diding sinar pedang.
Yap man-jing sendiri lantas menyurut mundur, ia pindahkan pedang hijau pada
tangan kanan, mendadak ia membentak, “Kim-liong-cai-thian (naga emas di
atas langit)!”
Berbareng ia mengeluarkan sesuatu benda emas dan diacungkan ke atas,
kiranya sebelah belati bertangkai ukiran naga terbuat dari emas.

Pelahan ia menurunkan belati naga emas itu sebatas hedung, lalu membentak
lagi,”Kawanan naga hendaknya menerima perintah!”
Melihat belati emas itu air muka Liong hui berubah pucat lagi, ia berdiri
terkesima, pikiran menjadi kacau seperti meras bingung oleh apa yang terjadi
ini.
Sinar mata si tojin tadi tampak gemerdep, kembali ia bergumam, “Kim-liongbit-
leng (perintah rahasia naga emas) kembali muncul lagi di dunia
kangouw…..Hehe!”
Mendadak terlihat Liong hui melangkah mundur dua-tiga tindak, lalu bertekuk
lutut dan menyembah, meski wajahnya menampilkan rasa gusar dan gemas,
suatu tanda menyembahnya itu tidak sukarela melainkan terpaksa.
Yap-man-jing tertawa dingin pula, keempat perempuan berbaju hijau lantas
menarik kembali pedangnya.
Lalu Yap-man-jing menggeser maju melewati keempat perempuan berbaju
hijau, setiap langkah selalu disertai ketukan pedang yang dipegangnya
sehingga menerbitkan suara “tring” yang nyaring memecah suasana yang
mencekam ini.
Kwe giok-he lantas mendekati Liong hui, katanya dengan suara tertahan,
“Meski Kim-liong-bit-leng berada padanya, tapi….”
Pandangan Yap-man-jing beralih kepada Kwe giok-he, mendadak ia membalik
belati emas itu ke bawah dan mendengus, “Hm, apakah kau tidak mau
tunduk?”
Giok-he memandang belati yang dipegangnya, jawabnya tenang, “Kalau
tunduk bagaimana, bila tidak tunduk bagaimana pula?”

Berubah lagi air muka liong hyui yang masih berlutut, ia menoleh memandang
istrinya sekejap, lalu berucap dengan rada gemetar, “Moaycu (adikku),
mana….mana boleh…”
Mendadak alis Kwe giok-he menegak teriaknya, “Dia telah membunuh guru
kita dan mencuri benda pusaka beliau, apakah kita masih harus tunduk kepada
perintahnya?”
Saat itu ciok tim beru saja mengangkat bangun Ong so-so yang jatuh pingsan
tadi mendadak terlihat bayangan orang berkelebat, tahu-tahu giok he sudah
berada di depannya dan bertanya, “Samte dan simoay, bagaimana dengan
kalian, apakah kita harus tunduk kepada perintahnya?”
Ciok tim melirik sekejap kearah belati emas yang dipegang Yap-man-jing, lalu
menunduk diam tanpa menjawab.
Giok-he lantas mendekati Lamkiong peng, tanyanya dengan suara gemetar,
“Gote, biasanya engkau paling bisa berpikir, meski Kim-liong-bit-leng
merupakan pusaka tanda kebesaran Ji-hau-san-ceng kita, tapi dalam keadaan
demikian apakah kita masih harus tunduk kepada perintahnya?”
Dengan wajah dingin Lamkiong peng memandang sekejap Yap-man-jing.
Sejak tadi Yap-man-jing mengawasi kwe giok-he, tiba-tiba ia mendengus,
“Hm, Kim-liong-bit-leng sudah muncul dan kalian berani membangkang atas
perintahnya, masakah Put-si-sin-liong baru saja mati lantas kalian melupakan
sumpah yang pernah kalian ucapkan waktu mengangkat guru padanya?”
Rambut Giok-he agak kusut, butiran keringat juga menghiasi dahinya,
biasanya dia banyak akalnya dan seorang periang, menghadapi urusan genting
apapun dapat diselesaiaknnya dalam suasana apapun dapat diselesaikannya
dalam suasana senda gurau, tapi sekarang dia kelihatan gugup dan bingung,

agaknya dia telah menduga perintah yang akan diucapkan Yap-man-jing pasti
sangat tidak menguntungkan dia,”
Liong hui memandang sekejap lagi kepada istrinya, lalu mengehela nafas
panjang dan berkata, “Jika Kim-liong-bit-leng sudah berada di tanganmu, apa
pula yang dapat kukatakan”.
“Hm, mendingan engkau belum lupa kepada ajaran gurumu!” jengek Man-jing.
“Hanya kenal pada Leng (tanda perintah) dan tidak kenal orang (yang
memegang tanda perintah)……..”ucap Liong hui dengan lesu, mendadak ia
menengadah dan membentak, “tapi telah kau bunuh guruku, aku…..”
Sampai di sini suaranya menjadi tersendat dan penuh emosi, sukar lagi
meneruskan ucapannya.
Lamkiong peng tetap tenang saja, katanya kemudian, “Kutahu, biarpun Kimliong-
bit-leng berada padamu, tapi di balik urusan ini pasti ada persoalan yang
belum diketahui. Kalau tidak, tanda perintah ini pasti akan dimusnahkan oleh
suhu dan tidak nanti dibiarkan jatuh ke tanganmu. Apa pun juga, boleh coba
uraikan dulu apa pesan beliau yang akan kau sampaikan kepada kami?”
Yap-man-jing menghela nafas panjang, katanya, “Nyata, hanya engkau saja
yang dapat menyelami jalan pikiran Put-si-sin-liong.”
Mendadak kwe giok-he membentak, “Tapi pesan lisan tidak ada bukti, cara
bagaimana kami dapat membedakan benar dan tidaknya pesan yang akan
kausebutkan? Samte,simoay, perempuan ini telah membunuh Suhu, jika kita
tidak menuntus balas apa terhitung manusia?”
Seketika Ciok tim mengangkat kepala dengan mata melotot sambil mengepal
erat kedua tinjunya.
Tiba-tiba Yap man-jing mengejek, “Hm, kau bilang pesan lisan tanpa bukti….”

Ia terus mengigit belati emas dengan mulut, lalu mengeluarkan lagi sehelai
kertas yang terlipat rajin, sekali jari menyelentik, kertas itu disambitkan ke
depan Liong hui.
Segera Giok-he memburu maju sambil membentak, “Coba kulihat!”
Selagi dia hendak menjemput kertas surat itu, sekonyong-konyong bagian iga
terasa kesemutan.
Rupanya Yap man-jing juga telah bertindak, dengan ujung belati emas ia
ancam iga giok-he dan membentak,”Kau mau apa?”
“Sebagai muridnya, masakah aku tidak dapat membaca surat wasiat guru
sendiri?” teriak Giok-he, meski di mulut ia membantah, namun tubuh tidak
berani bergerak sama sekali.
“Mundur dulu ke sana!” bentak Man-jing.
“Kau ini apa, berani memerintah diriku?!” jawab Giok-he dengan gusar.
Tapi segera dirasakan setengah badan kaku kesemutan, tanpa terasa ia
menyurut mundur ke belakang Liong-hui.
Karena perhatiannya terpusat kepada surat wasiat gurunya sehingga agak
lengah dan dapat diatasi oleh Yap manjing, sungguh tidak kepalang rasa gusar
dan dongkol Giok-he, bibir sampai gemetar dan sukar bicara lagi.
Liong hui sangat sayang kepada sang istri, cepat ia berbangkit dan memegang
tangannya yang terasa sangat dingin itu, tanyanya dengan kuatir,
“Ba…Bagaimana, Moaycu, engkau tidak apa-apa bukan?”
Tersembul senyuman terhibur di ujung mulut Kwe giok-he,sahutnya, Aku…aku
tidak apa-apa!”

Mendadak ia mengisiki Liong hui dengan suara tertahan, “Lekas kaubaca surat
wasiat itu, bila isinya tidak menguntungkan kita, sebaiknya jangan kaubaca
dengan suara keras!”
Liong hui melenggak, dipandangnya sang istri dengan bingung, agaknya baru
sekarang ia dapat memahami jalan pikiran istrinya itu.
Didengarnya Yap man-jing lagi mengejek, “Hm, pesan tinggalan guru tidak
lekas dibaca, tapi buru-buru menghibur istri yang sok aksi, huh…”
Muka liong hui menjadi merah, pelahan ia membalik tubuh, segera ia hendak
menjemput surat wasiat itu.
Siapa tahu pedang Yap manjing lantas menyambar dari samping, dengan
ujung pedang hijau Yap-siang-jiu-loh ia cungkit surat itu.
“Apa maksudmu ini” damprat Liong-hui dengan kurang senang.
“Kau kelihatan ogah membaca surat ini, biarkan orang lain saja yang
membacanya.” Jengek Man-jing.
Sorot matanya lantas berputar, setiap orang dipandangnya sekejap secara
bergiliran, tampaknya sedang mencari calon untuk disuruh membaca surat
wasiat itu. Tiba-tiba ia mendekati Ong so-so dan berkata, “Ambil surat ini dan
bacalah dengan suara keras supaya didengar semua orang!”
So-so baru saja siuman dari pingsannya, mukanya masih pucat, ia coba melirik
Giok-he sekejap, lalu bertanya, Kenapa kau suruh kubaca pesan tinggalan
suhu?”
Sembari bicara, tidak urung ia ambil surat yang tersunduk di ujung pedang
orang itu, setelah ragu sejenak lagi, dipandangnya Ciok Tim, lalu memandang
pula Lamkiong Peng, akhirnya dia membentang kertas surat itu.

“Baca dengan suara keras, satu kata pun tidak boleh ketinggalan, baca
selengkapnya!” seru Yap manjing.
Giok-he saling pandang sekejap dengan Liong Hui, dirasakan tangan sang istri
sedingin es, ia menghela napas dan menghiburnya, “Segala apa terserah
kepada takdir, buat apa engkau cemas.”
Giok he memenjamkan mata, dua titik air mata lantas menetes. Liong Hui
menggenggam tangan istrinya dengan erat. Didengarnya So-so telah mulai
membaca.
“Janji pertarunganku dengan Yap Jiu-pek sudah dilakukan sejak sepuluh tahun
yang lalu, yang menang tetap hidup, yang kalah harus mati, apa pun yang
terjadi takkan disesalkan pihak mana pun, juga takkan benci dan dendam, jika
aku kalah dan mati, ini pun kulakukan dengan sukarela, setiap anak muridku
dilarang menuntut balas terhadap anak murid Tan-hong, yang melanggar
pesan ini bukanlah muridku, pemegang Kim-liong-bit-leng berhak memecatnya
dari perguruan.”
Mungkin karena tegang dan juga emosional, meski sedapatnya ia
menenangkan diri, tidak urung suara So-so tetap agak bergemetar. Sampai di
sini ia berganti napas, setelah agak tenang barulah ia membaca lebih lanjut.
“Di antara anak muridku, anak Hui yang pertama masuk perguruan, ia juga
terhitung keponakanku sendiri, jujur dan lugas, sangat kusayang, hanya
pribadinya teramat lugu dan kaku, mudah menerima kisikan, inilah cacatnya
sehingga sukar memegang pekerjaan besar dan tidak dapat menghasilkan
sesuatu.”
Sampai di sini So-so berhenti sejenak sambil melirik Liong hui sekejap.
Liong hui tampak menunduk kikuk.

Segera So-so menyambung lagi, "Adapun pribadi anak Tim cukup kuat, tegas
dan bijaksana, So-so halus budi dan lemah lembut…”
Karena menyangkut diri sendiri, muka So-so menjadi merah, ia membetulkan
rambutnya yang kusut, lalu menyambung, “Hanya anak Peng saja berasal dari
keluarga ternama, sejak kecil mendapat didikan ketat, tidak ada sifat dugal
atau nakal. Terlebih pembawaannya pendiam dan tidak suka menonjol,
malahan bakatnya sangat tinggi, maka kuputuskan…….”
Sampai di sini mendadak terdengar Kwe giok-he menangis sedih.
Liong hui menghela nafas dan merangkulnya perlahan
Terdengar Giok-he berkeluh, “Oo ... sudah banyak yang kukerjakan bagi Cihau-
san-ceng, tapi ... tapi beliau sama sekali tidak menyinggung diriku di
dalam pesannya ini.”
“Sabarlah, Moaycu, mengapa hari ini engkau berubah menjadi begini?!” ucap
Liong Hui dengan kening bekerenyit.
Giok-he mengangkat kepala, mukanya penuh air mata, katanya. “Sungguh
hatiku sangat sedih, sudah ... sudah sekian tahun kukerja keras bagi Suhu,
tapi ….tapi apa yang kita peroleh?”
Mendadak Yap Man-jing mendengus dan melengos, seperti tidak sudi
melihatnya. Namun dia tetap berjaga di samping So-so.
Sesudah termangu sejenak, lalu So-so membaca lagi, “Maka sudah
kuputuskan menyerahkan Yap-siang-jiu-loh yang sudah berpuluh tahun tidak
pernah berpisah denganku ini serta tugas menjaga peti wasiat kepada anak
Peng, tugas ini harus dilaksanakan hingga tuntas, peti rusak orang pun
binasa.”

Bekerenyit juga kening So-so, agaknya dia tidak paham arti kalimat terakhir
itu, ia termenung sejenak dan mengulang lagi kalimat itu, “Peti rusak orang
pun binasa!”.
Kemudian ia melanjutkan, “Selama hidupku ada tiga cita-citaku yang belum
terlaksana, semua ini juga harus dilaksanakan oleh anak Peng. Ketiga urusan
ini sudah kuberitahukan kepada nona Yap Man-jing….”
Kembali So-so berhenti, sinar mata Ciok Tim tampak gemerdep.
So-so lantas melanjutkan.”Selama beberapa puluh tahun aku berkecimpung di
dunia kangouw So-so lantas melanjutkan, "Selama beberapa puluh tahun aku
berkecimpung di dunia Kangouw, tidak bisa terhindar dari lumuran darah
kedua tanganku, tapi bila kuraba hati dan bertanya pada diri sendiri, rasanya
aku tidak pernah berbuat sesuatu yang melanggar keadilan dan kemanusiaan.
Selanjutnya aku tidak mampu mengikuti kejadian duniawi lagi, Ji-hau-sanceng
yang kudirikan ini seterusnya kuserahkan kepada ….”
Mendadak So-so berhenti pula sambil menarik napas dalam-dalam, air
mukanya kelihatan kelihatan terheran-heran.
“Serahkan kepada siapa, lanjutkan!”seru Yap Man-jing dengan tidak sabar.
Berputar bola mata Ong So-so, tanyanya lirih, “Memangnya surat ini belum
kau baca?”
Alis Yap Man-jing menegak, katanya lantang, “Memangnya kau kira anak
murid Tan-hong adalah manusia rendah begitu?”
So-so menghela napas hampa, katanya, “Oo, tadinya kukira surat ini sudah
kau baca, karena menguntungkanmu tentu saja kau serahkan kepada kami,
jika isinya tidak menguntungkanmu tentu takkan kau serahkan kepada kami.”

Nadanya jelas penuh rasa kagum dan hormat kepada orang, juga penuh rasa
kasih sayang dan lemah lembut. Setiap gerak-gerik So-so memang timbul
sewajarnya dan setulusnya sehingga siapa pun tidak tega membikin susah dia.
Tangis Giok-he mulai reda, tiba-tiba ia menengadah dan bertanya, “Apakah
betul surat itu tulisan tangan Suhu?”
So-so mengangguk perlahan.
Giok-he mengusap air matanya dan berkata pula, “Kau kenal tulisan pribadi
Suhu?”
“Akhir-akhir ini Suhu sering berlatih menulis,” tutur So-so dengan perlahan,
“Dan akulah yang selalu meladeni beliau dengan mengasahkan tinta bak
baginya.”
Sampai di sini dua titik air mata lantas menetes, rupanya dia terkenang
kepada sang guru yang berbudi itu. Ketika dia hendak menyeka air matanya,
tiba-tiba dirasakan pundak ditepuk orang perlahan, ternyata Yap Man-jing
telah menyodorkan saputangan kepadanya.
Giok-he terdiam sejenak, kemudian ia tanya, “Lantas bagaimana, Suhu
menyerahkan pengurusan Ci-hau-san-ceng kepada siapa!”
So-so mengusap air matanya, lalu mengembalikan saputangan kepada Yap
Man-jing dengan tersenyum terima kasih, dibetulkannya kertas surat yang
dipegangnya, lalu membaca lagi, “Ci-hau-san-ceng seterusnya kuserahkan
kepada anak Hui dan Giok-he suami-istri!”
Serentak Giok-he berdiri tegak dan memandang langit yang biru kelam itu, ia
termangu-mangu sekian lama, air mukanya tampak malu dan menyesal.

Liong Hui berdehem perlahan, ucapnya lirih, “Moaycu, betapa pun Suhu
ternyata tidak melupakan dirimu!”
“O, Suhu.....” mendadak Giok-he berseru dan menjatuhkan diri ke dalam
pelukan sang suami dan menangis pula.
Kembali Yap Man-jing mengejek hina lagi padanya, “Hm, baru sekarang kau
ingat kepada Suhu dan baru berduka baginya?!”
Tangis Giok-he tambah keras, sedangkan Liong Hui menunduk diam.
Terdengar So-so membaca lagi, “Ci-hau-san-ceng adalah hasil usaha selama
hidupku, tanpa orang jujur dan lugas sebagai anak Hui tentu takkan mampu
mengerahkan para pahlawan sedunia, tanpa kecerdasan dan kepintaran Giokhe
untuk membantu kekurangan anak Hui, tentu juga Ci-hau-san-ceng sukar
berdiri tegak abadi.”
Lamkiong peng menghela napas, agaknya dia sangat kagum dan bersyukur
terhadap pembagian tugas dan kewajiban dalam pesan sang guru itu.
Waktu ia memandang ke sana, dilihatnya Ong So-so lagi memandang surat
yang terpegang dengan terkesima dan tidak membaca lebih lanjut.
Ciok Tim juga memandang ke sana, mendadak tertampil rasa girangnya,
serunya, “Simoay, kenapa tidak kau lanjutkan membaca?!”
“Aku ... aku ....” mendadak So-so menunduk dengan muka merah, tapi air
mata lantas berlinang.
“Pesan Suhu masakah tidak kau baca lebih lanjut?” ujar Ciok Tim, dia cuma
memerhatikan surat wasiat itu, sikap So-so yang malu dan juga kecewa itu
tidak dilihatnya.

Perlahan So-so mengusap air mata, lalu membaca lagi, “Kim-liong-bit-leng
adalah pusaka tertinggi perguruan kita, selanjutnya kuserahkan kepada anak
Tim dan ... dan So-so untuk dipegang bersama. Dengan ketulusan anak Tim
dan kepolosan So-so, kuyakin mereka takkan sembarangan menyalahgunakan
benda pusaka ini. Dengan Liong-bun-siang-kiam, gabungan kedua pedang ini
pasti takkan membikin nama perguruan kehilangan wibawa. Segala urusan
penting perkampungan sudah teratur dengan baik, untuk ini anak Peng tidak
perlu resah, sesudah pulang dan berbenah seperlunya, tiga bulan kemudian
boleh menemui nona Yap Man-jing di puncak Hoa-san untuk bersama-sama
menyelesaikan tiga cita-citaku yang belum terlaksana itu, tapi juga jangan
jauh meninggalkan peti sakti tinggalanku. Ingat dengan baik.”
So-so membaca semakin cepat, rasa kecewa pada wajahnya juga tambah
meneolok.
Sementara itu tangis Giok-he sudah reda, ia menghela napas perlahan dan
membisiki Liong Hui, “Segala apa cukup diketahui oleh Suhu, hanya perasaan
Simoay saja tidak diketahuinya.”
“Perasaan apa?” tanya Liong Hui dengan melenggong.
“Simoay lebih suka berkelana di dunia Kangouw bersama Gote daripada
bersama Samte memegang Bit-leng tanda kekuasaan perguruan kita,” tutur
Giok-he.
“Oo, tampaknya engkau serba tahu,” ujar Liong Hui.
Dalam pada itu So-so telah membaca lagi, “Selama hidupku ke atas tidak
bersalah kepada Thian, ke bawah tidak malu terhadap sesamanya, biarpun
mati, di alam baka pun dapatlah kututup mata dengan tertawa.”

Ketika mengakhiri isi surat wasiat ini, suara So-so menjadi tersendat, perlahan
ia melipat surat itu, dilihatnya Yap Man-jing telah menyodorkan belati naga
emas kepadanya sambil berpesan, “Jagalah dengan baik!”
“Terima kasih,” jawab So-so lirih.
Man-jing tersenyum.
Tiba-tiba So-so menambahkan dengan perlahan, “Hendaknya selanjutnya kau
pun dapat menjaga dia dengan baik.”
Dengan mata merah basah So-so lantas menyingkir.
Keruan Yap Man-jing melengak, sejenak ia berdiri termenung, lalu ia
mendekati Lamkiong Peng, tanpa bicara ia tancapkan pedang Yap-siang-jiu-loh
di depan anak muda itu dan berucap dengan dingin, “Pada tangkai pedang
terdapat lagi sepucuk surat rahasia, boleh kau ambil dan dibaca sendiri!”
Lalu dia membalik tubuh dan tinggal pergi.
Pada sebelum So-so selesai membaca surat wasiat Put-si-sin-liong tadi,
Lamkiong Peng memang sudah tenggelam dalam lamunannya. Setelah
mendengar ucapan Yap Man-jing, segera ia cabut pedang dengan kening
bekerenyit dan tetap merasa bimbang.
Ketika bayangan Yap Man-jing sudah hampir menghilang baru mendadak ia
berteriak, “Nanti dulu, nona Yap!”
Segera pula ia melayang ke sana.
Man-jing berpaling dan berkata dengan ketus, “Ada apa? Memangnya hendak
kau bunuh diriku untuk membalas dendam bagi gurumu?”

Wajah Lamkiong Peng yang selalu tenang itu menjadi agak emosi, ucapnya
dengan suara berat, “Betulkah guruku belum lagi meninggal? Di mana
sekarang beliau berada?”;
Tubuh Yap Man-jing seperti rada tergetar, tapi cepat ia bisa menenangkan diri
dan menjawab, “Jika Put-si-sin-liong belum mati mengapa dia tidak pulang ke
sini?”
“Untuk ini perlu ditanyakan padamu,” jengek Lamkiong peng.
“Kenapa tidak kau tanya dulu kepada dirimu sendiri?” sahut Man-jing dengan
lebih ketus. Tanpa menoleh lagi ia memberi tanda kepada keempat perempuan
pengiringnya dan berkata, “Berangkat!”
Hanya sekejap saja lima sosok bayangan sudah menghilang di bawah sana.
Liong Hui, Giok-he, Ciok Tim dan So-so lantas mendekati Lamkiong Peng,
berbareng mereka bertanya, “Mengapa engkau bilang Suhu mungkin belum
meninggal?”
Dengan kening bekereyit Lamkiong Peng berkata, “Jika Suhu sudah meninggal,
kenapa beliau meninggalkan kata-kata seperti “bila kalah dan mati” dan
“bilamana aku mati” dan sebagainya. Apalagi kalau Suhu benar gugur dalam
pertandingan tadi, dengan watak beliau yang keras, mana mungkin
ditinggalkannya pesan yang ditulisnya sejelas dan selengkap ini?”
So-so segera menambahi, “Ya, tulisan beliau juga sangat rajin dan teratur,
serupa waktu beliau berlatih menulis indah biasanya.”
“Nah, kan tambah jelas lagi,” ujar Lamkiong peng dengan mata meneorong,
“Dalam keadaan begitu, umpama suhu tidak langsung dicederai lawan, pasti
juga tidak mungkin meninggalkan surat wasiat serapi ini, kuyakin di balik
urusan ini pasti ada sesuatu yang tidak beres ....”

Ia berhenti sejenak, sorot matanya mendadak berubah guram, katanya pula
dengan menyesal, “Akan tetapi, jika beliau belum meninggal, mengapa beliau
tidak kembali ke sini?”
Semua orang saling pandang dan tak bisa memberi komentar. Kedua lelaki
penggotong peti tadi juga ikut mendengarkan dengan cermat.
Si Tojin yang sejak tadi cuma menonton saja di samping rupanya tidak
mendapat perhatian mereka oleh karena suasana yang tegang tadi.
Kini Lamkiong Peng agak jauh meninggalkan peti mati yang dijaganya dan
asyik bicara dengan saudara seperguruannya, mendadak Tojin itu menggeser
ke peti mati, secepat kilat ia menyergap selagi kedua penggotong peti ikut
mendengarkan pembicaraan Lamkiong Peng, tahu-tahu bagian belakang
kepala mereka terpukul.
Tanpa sempat bersuara, “bluk-bluk”, kedua orang lantas roboh kelengar.
Sama sekali si Tojin tidak menghiraukan korbannya lagi, secepatnya ia angkat
peti mati itu terus dibawa lari ke bawah gunung.
Lamkiong peng sendiri lagi memikirkan isi surat wasiat yang mencurigakan itu,
ketika itulah terdengar suara “bluk” dua kali disusul dengan jeritan kaget Ong
so-so, “Hei, apa yang kau lakukan?!”
Pembawaan So-so memang polos dan pemalu, mimpi pun tak terduga olehnya
ada orang akan merampas peti mati kayu cendana itu, karena kagetnya ia
hanya berdiri kesima saja.
Tapi karena jeritannya, buyarlah lamunan Lamkiong Peng, cepat ia membalik
tubuh dan sekilas pandang sempat melihat bayangan si Tojin yang kabur ke
bawah gunung dengan mengangkat peti mati itu.

Sungguh tidak kepalang kejutnya, tanpa pikir ia lantas mengejar, hanya
beberapa kali loncatan saja sudah jauh di bawah sana.
“Toako, Samko ....” seru So-so khawatir.
Liong Hui juga berteriak, “Lekas kejar!”
“Kejar apa?” kata Giok-he.
“Kejar perampok peti mati itu,” seru Liong Hui dengan gusar.
“Hanya sebuah peti mati saja, biarpun terbuat dari kayu cendana, memangnya
berapa harganya?” ujar Giok-he.
“Tapi apakah boleh kita membiarkan Gote sendiri menyerempet bahaya?”
“Dan bagaimana dengan Suhu, apakah beliau tidak kita urus lagi?” jengek
Giok-he.
Serentak Liong Hui memutar balik dan menegas, “Apa katamu?”
Giok-he menghela napas, ucapnya, “Kukira apa yang dikatakan Gote tadi
memang beralasan. Pokoknya kita tidak peduli apakah Suhu benar sudah
meninggal atau belum, yang penting kita harus memeriksa ke tempat yang
didatangi beliau tadi, apabila Suhu memang benar belum meninggal, kan
beruntung sekali kita!”
“Akan ...... akan tetapi bagaimana dengan Gote?” ucap Liong Hui ragu.
“Tadi telah kau lihat gerakan Kim-liong-coan-hun (naga emas menembus
awan) Gote itu, bagaimana kalau dibandingkan kepandaianmu?” tanya Giokhe.
Liong Hui jadi melenggong, “Ini…....”

“Ini menandakan kepandaian Gote sesungguhnya di luar ukuran kita,” tukas
Giok-he, “Dengan kungfu yang dikuasainya sekarang, bukan soal lagi baginya
untuk menghadapi jago mana pun, untuk menjaga diri tentu saja terlebih
mudah.”
Liong Hui termenung, katanya kemudian, “Ya, ini……ini juga betul.”
So-so tampak gelisah, selanya, “Akan tetapi kalau Tojin itu berani main
rampas peti mati, hal ini menandakan di dalam peti itu pasti ada sesuatu
rahasia yang tidak kita ketahui ....”
Perlahan Giok-he menepuk pundak So-so dan berkata dengan lembut,
“Simoay, apa pun usiamu masih terlalu muda, ada sementara urusan yang
sukar kau pahami. Sebabnya Tojin itu menyerempet bahaya merampas peti
mati itu, tujuannya tidak lebih hanya menggunakan kejadian ini untuk
membuat namanya terkenal saja.”
“Namun.......namun bila tiada sesuatu rahasia dalam peti, untuk apa Suhu
menyuruh….menyuruh dia menjaga peti itu dengan baik?” kata So-so.
Giok-he menjadi kurang senang, katanya pula, “Sekalipun di dalam peti mati
ada rahasia, memangnya rahasia itu bisa lebih penting daripada urusan mati
hidup Suhu?”
So-so meremas-remas kedua tangan sendiri dengan bimbang, meski ia merasa
ucapan sang suci kurang benar, tapi rasanya sukar membantahnya.
Segera Liong Hui menyela dengan mengangguk, “Simoay, ucapan Toasomu
memang cukup beralasan. Kulihat kepandaian Tojin itu toh tidak terlalu tinggi,
Gote pasti tidak akan mengalami kesukaran, lebih penting kita menyelidiki
urusan Suhu saja.”

Sejak tadi Ciok Tim hanya termenung saja, dia seperti mau ikut bicara, tapi
setelah memandang So-so sekejap, lalu urung buka mulut.
Giok-he tertawa cerah, perlahan ia tepuk pundak So-so lagi sekali, katanya,
“Turutlah pada perkataan toaso, pasti tidak salah lagi. Bila terjadi apa-apa atas
diri Gote, boleh kau minta pertanggungan jawab toasomu ini, tidak perlu
khawatir.”
Ciok Tim tampak berpaling ke arah lain.
Giok-he lantas berkata pula, “Samte dan Simoay, mari kita pergi mencari
Suhu!”
So-so mengangguk dan ikut melangkah ke sana bersama Giok-he, namun
melirik sekejap juga ke arah menghilangnya bayangan Lamkiong Peng dengan
perasaan berat.
“Jika Simoay tidak mau ikut mencari Suhu, dengan tenaga kita bertiga rasanya
juga cukup,” kata Ciok Tim tiba-tiba.
“Ah, kenapa Samte bicara demikian.” ujar Giok-he dengan tertawa.
“Biasanya Simoay paling berbakti kepada Suhu, selama ini Suhu juga paling
sayang pada Simoay, mana bisa dia tidak mau mencari Suhu?”
“Ya, betul,” tukas Liong Hui.
Pada saat itulah terlihat seekor burung terbang tinggi menembus awan,
mendadak berbunyi panjang, suaranya bergema seakan-akan lagi mengejek
kebodohan Liong Hui, kecerdikan Kwe Giok-he, kecemburuan Ciok Tim dan
kelemahan So-so, cuma sehabis berbunyi, mendadak burung itu pun
menumbuk dinding tebing di tengah kabut tebal.

Liong Hui berjalan di depan dengan cepat, memandangi bangkai burung yang
terjerumus ke bawah itu, katanya sambil menoleh, “Burung ini sungguh amat
bodoh!”
‘Burung yang kehilangan pasangan tidak mau hidup sendirian, maka sengaja
membunuh diri dengan menumbuk dinding tebing,” tutur Ciok Tim.
“Jika aku menjadi burung itu, aku lebih suka mati merana!” ucap So-so dengan
hampa.
“Kalian keliru semua,” kata Giok-he dengan tersenyum. “Burung itu tidaklah
bodoh, juga tidak kesepian, dia tertumbuk mati hanya lantaran terbangnya
terlalu tinggi dan karena lengahnya sendiri.”
“Terbang terlalu tinggi bisa mati tabrakan, terbang terlalu rendah bisa terbidik
oleh pemburu,” ujar Liong Hui dengan menyesal. “Ai, tak tersangka menjadi
manusia sulit, menjadi burung juga tidak sederhana,”
Tengah bicara mereka berempat sudah bergerak cukup jauh, tanah
pegunungan yang kacau tadi kini tertinggal pohon cemara tua yang tetap
berdiri tegak dengan desir angin kencang dan awan tebal.
Burung yang terjerumus ke jurang itu tertiup angin melayang jatuh ke bawah
sana
Saat itu Lamkiong Peng sedang mengejar si Tojin secepat terbang, dia sudah
melampaui tugu Han-bun-kong, dengan gelisah ia mengejar sepenuh tenaga.
Meski Tojin itu mengangkat sebuah peti mati, tapi gerak tubuhnya tetap
sangat gesit dan cepat, Lamkiong Peng merasa bayangan di depan makin jelas
kelihatan, tapi seketika tetap tak tersusulkan.

Sungguh ia tidak tahu mengapa Tojin ini sengaja menyerempet bahaya hanya
untuk merampas sebuah peti mati, juga tidak dimengertinya mengapa
gurunya menyuruhnya menjaga peti mati dengan baik.
Tiba-tiba teringat olehnya macam-macam dongeng kuno. Apakah mungkin di
dalam peti mati ini tersimpan sesuatu rahasia dan rahasia ini menyangkut
seperti harta karun yang sudah lama diincar orang atau tersimpan semacam
senjata wasiat atau sejilid kitab pusaka ilmu silat maha tinggi?
Pikiran demikian terkilas dalam benaknya dengan cepat, dan pada detik itulah
bayangan Tojin di depan mendadak bergerak lamban. Ketika ia menoleh, tiada
tertampak seorang saudara seperguruan yang menyusul kemari, ia menjadi
ragu apakah telah terjadi sesuatu di sana.
Pada saat itu tidak sempat baginya untuk memikirkan hal-hal yang demikian,
mendadak ia melompat terlebih cepat ke depan hanya beberapa kali naik
turun, jaraknya dengan si Tojin semakin dekat.
Mendadak terasa setitik bayangan hitam menyambar tiba, menghantam
lengan kanannya, terkesiap juga Lamkiong Peng oleh sambaran angin keras
ini, cepat ia membaliki tangan kanan dan meraihnya, dengan tepat setitik
bayangan ini kena dipegangnya, tapi lantaran itu sarung pedang hijau yang
dipegangnya judi terlepas dan jatuh ke dalam jurang.
Waktu bayangan hitam itu terpegang, segera dirasakan dingin dan basah,
sekilas lirik ternyata yang terpegang itu adalah bangkai burung.
Ia tersenyum mengejek pada diri sendiri, sungguh terlalu, dunia selebar ini,
masakah seekor burung mati bisa begitu kebetulan menimpanya. Betapa pun
hal ini dirasakan sebagai “ada jodoh”, bangkai burung dimasukkan ke dalam
bajunya.

Waktu ia memandang ke depan, sudah dekat dengan ujung puncak gunung,
jaraknya dengan si Tojin juga tinggal beberapa meter saja
Biarpun Tojin itu sangat kuat, tapi dengan mengangkat sebuah peti mati dan
berlari di tanah pegunungan yang curam demikian, akhirnya ia mulai lelah
juga. Ketika larinya mulai kendur, mendadak terdengar bentakan dari
belakang, “Berhenti!”.
Ia sedikit melirik ke samping, tertampaklah sebatang pedang hijau kemilau
menyambar dari belakang, jaraknya sudah cukup dekat, angin tajamnya sudah
dapat dirasakan.
Si Tojin masih terus berlari, cuma diam-diam ia telah siap berputar. Ketika
menurut perhitungannya saatnya sudah tepat, mendadak ia membentak
sambil membalik, peti mati diangkatnya terus dikeprukkan ke atas kepala
Lamkiong peng.
Peti mati buatan kayu cendana itu sangat berat, ditambah lagi si tojin
menghantam dengan sekuat tenaga, bobot peti itu menjadi beribu kati
beratnya.
Cepat Lamkiong peng bermaksud menahan langkahnya, akan tetapi sudah
terlambat, tertampak segumpal bayangan hitam dengan angin dahsyat
menindih dari atas. Berada di lereng gunting yang terjal begini jelas sukar
baginya untuk menghindar.
Karena kepepet, Lamkiong peng juga membentak sambil putar pedangnya,
dengan cepat ujung pedang memapak peti mati yang menindih dari atas itu.
Dalam sekejap saja ujung pedangnya menutul beberapa kali, terdengar suara
“tok-tek” berulang-ulang, setiap tutulan pedangnya serentak mengurangi daya
tindih peti, inilah gerakan ringan melawan berat kaum ahli, gerak tangkis
demikian memerlukan perhitungan yang jitu dan berani.

Dengan wajah kelam si Tojin berusaha menekan peti mati itu sekuatnya,
Lamkiong peng juga pasang kuda-kuda dengan kuat dan menegakkan pedang
untuk menyanggah daya tekan peti.
Dalam keadaan demikian, kedua orang sama tidak berani ayal, sebab mereka
tahu sedikit meleng saja tentu akan terjerumus ke jurang yang tak
terbayangkan dalamnya.
Panjang peti itu lebih dua meter, sedang ujung pedang cuma setitik saja. Peti
menindih dari atas, pedang harus menegak untuk menahan daya tekan yang
kuat itu, betapa berbahayanya tentu dapat dibayangkan.
Lamkiong peng merasakan daya tekan peti semakin berat, batang pedang
buatan baja itu mulai melengkung.
Kain baju Lamkiong peng mulai mengembung, rambut dan jenggot si Tojin
seakan-akan menegak, kedua orang sama mengerahkan segenap tenaga dan
berdiri sekukuh tonggak, namun sedikit demi sedikit kaki Lamkiong Peng mulai
bergeser dengan perlahan.
Jika dia tidak geser kaki akhirnya kaki akan amblas, tapi geseran yang
perlahan ini baginya sekarang boleh dikatakan mahasulit. Yang lebih sulit lagi
adalah dia harus berjaga jangan sampai ujung pedangnya menusuk masuk ke
dalam peti. Sebab kalau ujung pedang masuk peti, segera peti akan menindih
ke bawah dan ini berarti maut baginya.
Angin gunung mendesir lewat di sisi telinganya, Lamkiong peng merasakan
pedang yang dipegangnya dari dingin mulai berubah menjadi panas.
Pandangannya mulai kabur, maklumlah segenap tenaganya hampir terkuras
habis.

Wajah si Tojin kelihatan tambah guram, sinar matanya tambah beringas,
dengan menyeringai mendadak ia membentak, “Tidak turun ke bawah!?”
”Belum tentu bisa!” jawab Lamkiong peng sambil membusungkan dada.
”Hm, usiamu masih muda belia, jika mati begini saja tanpa ada yang
mengurus mayatmu, sungguh aku merasa kasihan bagimu,” jengek si Tojin.
”Huh, entah siapa yang akan mati!” kata Lamkiong peng, diam-diam ia merasa
menyesal kenapa tiada seorang pun saudara seperguruannya menyusul
kemari, apakah betul akan terjadi mayatnya tak terurus?
”Mengapa mereka tidak menyusul kemari, apakah........” selagi dia membatin
demikian, sekonyong-konyong dirasakan daya tekan peti mati tambah kuat, ia
terkejut dan cepat menenangkan diri dan bertahan lebih kuat. Ia sadar
agaknya si Tojin sengaja membuyarkan konsentrasinya dengan ucapannya.
Tiba-tiba dilihatnya di bawah bayangan peti mati dahi si Tojin berhias butiran
keringat, tergerak pikirannya, agaknya lawan sendiri juga sudah payah,
asalkan aku bertahan sebentar lagi tentu akan dapat mengatasi lawan.
Segera ia balas mengejek, “Hm, memangnya kau kira aku tidak tahu
keadaanmu. Biarpun lwekangmu lebih tinggi daripadaku, tapi engkau telah
berlari sejauh ini dengan mengangkat benda seberat ini, tenaga yang telah
kau kuras jelas jauh lebih banyak daripadaku, biarpun keadaanku cukup
payah, akan tetapi engkau justru serupa pelita yang kehabisan minyak.”
Air muka si tojin yang kelam itu kembali berubah terlebih gelap, peti mati yang
dipegangnya terasa bergetar, kesempatan itu digunakan Lamkiong peng untuk
menolak dengan pedangnya sehingga terangkat lebih tinggi sedikit. Lengan si
tojin yang putih itu mulai berubah merah dan akhirnya menjadi kebiru-biruan.

Lamkiong peng merasa lega, perlahan ia berkata pula, “Jika kita terus
bertahan seperti ini, meski aku bisa celaka, tapi engkau pasti mampus.”
Dia sengaja mempertegas kata “mampus” dengan suara keras, lalu
menyambung pula, “Hm, hanya karena sebuah peti mati kayu cendana saja
kenapa kau bela mati-matian, jika kau mau lepas tangan sekarang juga,
mengingat sesama kaum persilatan, takkan kuusut lebih lanjut perbuatanmu
ini dan akan kulepaskan kau pergi.”
Uraiannya meski bermaksud mengacaukan semangat tempur lawan, tapi ada
sebagian kata katanya juga timbul dari lubuk hatinya yang murni.
Tak terduga si tojin lantas tertawa dingin dan membentak, “Hm, masakah
gampang kumati begitu saja? Jika mati tentu juga bersamamu!”
Mendadak ia mengerahkan sisa tenaganya dan menekan peti mati terlebih
kuat. Selagi Lamkiong peng terkesiap, dilihatnya si tojin mendak ke bawah
sedikit dan sebelah kakinya bahkan terus menendang.
Tenaga si tojin dikerahkan seluruhnya pada kedua tangannya, maka
tendangannya sebenarnya tidak keras, tapi tempat yang di arah justru sangat
berbahaya, yaitu bagian selangkangan, bagian lemah ini cukup fatal bila
terdepak dengan tepat, tidak perlu terlalu keras.
Dalam keadaan begini, jika Lamkiong peng menghindari tendangan ini, berarti
kuda-kudanya akan goyah dan peti mati akan jatuh dari atas, sebaliknya kalau
tidak mengelak, pasti juga akan celaka.
Dalam gusarnya tanpa pikir ia mengayun telapak tangan kiri ke bawah,
ditabasnya pergelangan kaki lawan. Baik waktu maupun tempat yang di arah
sungguh sangat tepat.

Tapi tojin itu segera juga berganti gerakan, kedua tangan tetap memegang
peti mati, tubuh terapung, kaki kanan ditarik kembali, kaki kiri terus
menendang pula secepat kilat.
Lamkiong peng juga tidak kalah cepatnya, tangan kiri berputar, kembali ia
cengkeram kaki lawan. Diam-diam ia pun terkesiap, cara si tojin ini jelas sudah
kalap, kalau perlu ingin gugur bersama dengan dia. Sebab dengan tubuh
bergantungan dan kedua kaki menendang secara bergantian, bilamana
Lamkiong peng tertendang dan jatuh ke dalam jurang, si tojin sendiri juga
pasti akan ikut terjeblos ke jurang.
Dalam sekejap itu meski Lamkiong peng dapat menahan beberapa kali
tendangan berantai si tojin, tapi tangan kanan yang memegang pedang terasa
linu pegal, peti mati terasa semakin menekan ke bawah, tangan kiri juga mulai
sukar menahan tendangan kilat musuh.
Dalam keadaan kepepet kalau dia mau melepaskan pedang dan melompat
mundur, jelas dia dapat menyelamatkan jiwa sendiri. Tapi dia lantas teringat
kepada pesan sang guru yang telah menyerahkan pedang pusaka Yap-siangjiu-
loh kepadanya dengan tugas membela peti sakti itu, “peti rusak orang
binasa”, demikian kata terakhir amanat sang guru itu.
Diam-diam ia menghela napas, sukar diselaminya sesungguhnya ada
keistimewaan apa pada peti mati ini sehingga perlu dibela mati-matian, tapi
apa pun juga dia harus patuh kepada amanat sang guru.
”Peti rusak orang binasa”, itulah amanat yang tidak boleh dilupakan,
mendadak ia berteriak, “Baiklah, biar kita gugur bersama!”
Mendadak ujung pedang menolak sekuatnya ke atas, tangan kiri terus
mencengkeram ke depan, dia tidak lagi menangkis tendangan si tojin
melainkan mencengkeram dada orang. Ia menjadi nekat dan tidak memikirkan
akibatnya lagi, yang penting amanat sang guru telah dilaksanakannya.

Berubah juga air muka si tojin melihat kekalapan anak muda itu, mendadak ia
tertawa keras, “Hahaha! Bagus, bagus, biarlah kita bertiga gugur bersama!”
Tergetar hati Lamkiong peng, “Bertiga?!” ucapnya tanpa terasa. Mendadak ia
tahan serangannya dan kembali menegas dengan membentak, “Dari mana
datangnya orang ketiga?”
Meski timbul rasa curiganya dan ingin tahu sesungguhnya apa yang
dimaksudkan si tojin, tapi dalam keadaan begini, ibarat orang sudah berada di
punggung harimau, ingin turun pun tidak bisa lagi.
Didengarnya si tojin lantas membentak, “Di sini juga ada tiga orang!”
Berbareng kedua kakinya menendang pula secara berantai. Diam-diam
Lamkiong peng juga sudah siap untuk gugur bernama orang gila ini untuk
menunaikan kewajibannya membela peti mati itu sesuai amanat sang guru.
Siapa duga, pada detik terakhir yang menentukan itu, tiba-tiba terjadi sesuatu
yang mendekati keajaiban. Dirasakan oleh Lamkiong peng pedang yang
menolak peti mati itu mendadak terasa ringan, peti mati yang semula
menindih ke bawah dengan sangat kuat itu telah berubah seperti benda tak
berbobot.
Begitu bobot peti mati berubah ringan, keadaan segera berubah. Si Tojin
mendadak merasakan timbul semacam tenaga gaib dari dalam peti yang
menghilangkan tenaga murni pada kedua tangannya yang berpegangan pada
peti itu sehingga tubuh bagian bawah kehilangan daya gerak. Baru saja kedua
kakinya menendang, seluruh tubuhnya lantas anjlok ke bawah.
Perubahan yang terjadi secara mendadak ini sama sekali tidak memberi
peluang baginya untuk berpikir, dalam kagetnya cepat ia melejit di udara

sehingga hinggap ke permukaan tanah dengan setengah berjongkok, lalu
cepat melompat mundur.
Lamkiong peng juga terkejut dan menarik pedang dari peti terus melompat
mundur.
Kedua orang sama melompat mundur dan tetap berdiri berhadapan, si Tojin
mengepal tinju dengan muka kelam dan mata melotot memandangi peti mati
itu.
Lamkiong peng juga memandang peti mati itu dengan penuh rasa heran dan
bingung.
Tertampak peti mati itu bisa berhenti sejenak di atas udara meski sudah
terlepas dari dukungan kedua orang itu, habis itu baru menurun ke bawah
dengan perlahan seakan-akan di bagian bawah ditopang oleh seorang yang
tidak kelihatan, malahan jatuhnya ke tanah begitu enteng tanpa menimbulkan
suara sama sekali.
Mau tidak mau ngeri juga Lamkiong peng menyaksikan kejadian luar biasa ini.
Meski sudah banyak dongeng seram yang pernah didengarnya, tapi apa yang
dilihatnya ini sungguh sukar untuk dipercaya.
Si Tojin juga lagi menatap peti mati itu dengan sorot mata yang kejut dan
sangsi, malahan bibirnya kelihatan rada gemetar, katanya mendadak,
“Ba.......bagus sekali, ternyata benar engkau tidak....... tidak mati!”
Habis itu, serentak ia menubruk maju lagi ke arah peti mati.
Kembali Lamkiong peng terkejut, tanpa pikir ia membentak, “Kau mau apa?”
Segera ia putar pedangnya dan menyongsong si Tojin. Betapa pun dia lebih
muda dan kuat, tenaganya dapat pulih lebih cepat.

Saat itu si Tojin sudah menerjang sampai di depan peti mati, tahu-tahu sinar
hijau menyambar tiba, kalau dia tidak segera menarik diri berarti maut
baginya.
”Mundur!” terdengar Lamkiong peng membentak.
Benar juga, terpaksa Tojin melompat mundur kembali ke tempat semula.
Dengan pedang melintang di depan dada, Lamkiong peng lantas mengadang di
depan peti mati.
Mendadak si Tojin menghela napas, ucapnya, “Ai, ada permusuhan apa antara
dirimu denganku, mengapa engkau berbuat begini padaku?!”
Ucapan orang ini membingungkan Lamkiong peng, sukar dirasakan ucapan
menyesal mengomel atau memohon?
Sesudah melenggong sejenak barulah ia menjawab, “Selamanya kita tidak
kenal, mana ada permusuhan?”
Si Tojin seperti orang linglung dan masih memandang peti mati dengan
termenung, sejenak kemudian, tiba-tiba ia berkata pula, “Asalkan kau
serahkan peti ini kepadaku, seterusnya engkau adalah penolongku yang
terbesar, selama hidupku takkan melupakan budi kebaikanmu ini dan pasti
akan kuberi balas jasa sebesar-besarnya.”
Lamkiong peng menatapnya dengan tajam, lalu mendengus, “Hm, setelah
tidak mampu merampas dengan kekerasan, lalu hendak kau gunakan cara
memohon dengan halus?”
Mendadak si Tojin membusungkan dada dan menjawab dengan angkuh,
“Selama hidupku tidak pernah memohon kepada orang.”

”Hm, apa pun juga selangkah saja tidak boleh lagi kau dekati peti ini,” jengek
Lamkiong Peng.
Sungguh si Tojin kecewa dan tak berdaya, sudah digunakannya macammacam
jalan, main rampas, main labrak dan memohon secara halus, semua
itu tetap tidak dapat melunakkan tekad anak muda itu yang membela peti mati
dengan teguh.
Karena kehabisan akal, akhirnya Tojin itu berkata dengan sungguh-sungguh,
“Apakah kau tahu sebabnya gurumu menyuruhmu membela peti mati ini!”
”Tidak tahu!” jawab Lamkiong peng.
Sorot mata si Tojin menampilkan setitik sinar harapan pula, ucapnya, “Jika
tidak tahu sebabnya, apakah berharga kau bela dengan jiwa ragamu?”
”Pokoknya itulah amanat perguruan, tiada gunanya kau putar lidah dan
berusaha menghasut,” jengek Lamkiong peng,
”Hehe, apakah kau kira aku benar-benar tak dapat menundukkan dirimu? Bila
sebentar tenagaku pulih seluruhnya, memangnya kau mampu melawan lebih
lama?”
”Belum lagi dicoba, tidak perlu membual dulu. Pokoknya mati-hidupku sudah
kupertaruhkan atas peti pusaka ini.”
Si Tojin memejamkan mata sejenak dan termenung, waktu ia membuka mata
lagi, ia menghela napas panjang dan berucap perlahan, “Ai, sungguh aku tidak
habis mengerti mengapa kau bela peti ini mati-matian tanpa sayang akan
jiwamu sendiri.”
”Hm, aku pun tidak habis mengerti untuk apa peti ini hendak kau rampas
dengan mati-matian,” jawab Lamkiong peng dengan ketus.

Si Tojin mengepal tinjunya erat-erat sambil menggereget, mendadak ia
mendesak maju selangkah dan menatap Lamkiong peng dengan tajam, sampai
sekian lamanya barulah ia berkata, “Memangnya kau ingin kukatakan terus
terang seluk-beluk urusan ini baru akan kau serahkan peti ini?”
”Biarpun kau beberkan seluk-beluk urusannya juga takkan kulepaskan,” jawab
anak muda itu.
Tojin itu menengadah memandang jauh ke langit seperti tidak mendengar
ucapan Lamkiong peng itu, perlahan ia berkata pula, “Ada sementara orang
selama hidupnya giat bekerja dan keras berusaha, selalu berbuat baik, tidak
berani bertindak salah selangkah pun, tapi sekali dia salah langkah, dalam
pandangan umum lantas berubah menjadi orang berdosa yang tak
terampunkan. Sebaliknya ada sementara orang lagi yang selama hidupnya
berbuat jahat melulu, tapi pada suatu kesempatan secara kebetulan ia telah
berbuat sesuatu kebaikan sehingga orang pun sama memaafkan segala
dosanya yang telah diperbuatnya......”
Dia bicara dengan perlahan dan lirih, seperti bergumam, seperti juga lagi
berkeluh kesah terhadap yang Mahakuasa.
Sampai di sini mendadak ia tertawa latah dan berseru, “Coba katakan, apakah
adil Thian memperlakukan manusia sesamanya?”
Lamkiong peng melongo bingung, ia heran Tojin bersanggul tinggi yang
misterius ini mengapa dalam keadaan begini bisa bicara hal-hal yang tidak ada
sangkut pautnya dengan kejadian tadi.
Waktu ia memandang ke sana, dilihatnya air muka si Tojin yang menampilkan
rasa sedih dan kecewa tadi mendadak berubah menjadi gusar, dengan
tangannya yang kurus dan rada gemetar ia tuding Lamkiong Peng dan

membentak, “Kau bela peti mati ini senekat ini, memangnya kau tahu siapa
orang yang membujur di dalam peti ini?”
Keajaiban yang timbul dari peti mati ini tadi sebenarnya sudah dirasakan
Lamkiong Peng, pasti ada sesuatu misteri yang belum terungkap, lamat-lamat
memang juga dirasakannya peti ini sangat mungkin adalah satu orang.
Yang membuatnya tidak percaya adalah tindak-tanduk gurunya selama hidup
terkenal gilang-gemilang, tidak ada sesuatu perbuatan sang guru yang perlu
dirahasiakan, tidak ada sesuatu tindakannya yang merugikan orang.
Sebab itulah ia tetap tidak percaya kepada ucapan si Tojin, jawabnya,
“Memangnya peti ini terisi seorang?”
Tojin itu tertawa dingin, katanya, “Di dunia persilatan terkenal “pemberani
nomor satu, Put-si-sin-liong, membawa peti mati untuk mencari kalah” hal ini
selama beberapa puluh tahun telah menjadi buah bibir orang Kangouw,
sekarang Put-si-sin-liong telah mati, apakah cerita ini akan dapat turuntemurun
di tengah khalayak ramai belum lagi diketahui, namun .......”
Sampai di sini mendadak ia menengadah dan tertawa keras, lalu melanjutkan,
“Padahal duduk perkara yang benar siapa yang tahu?”
Suara tertawanya itu penuh rasa ejek dan menghina, hal ini membuat
Lamkiong Peng kurang senang, dengan lantang ia tanya, “Duduk perkara
apa?”
”Hm, memangnya kau kira Put-si-sin-liong selalu membawa peti dalam
perjalanan benar-benar cuma bertujuan mencari lawan untuk bertanding,
supaya dia sekali tempo mengalami kekalahan dan ingin mati? Huh, peti mati
ini dibawanya kian kemari tidak lain adalah karena di dalam peti mati ini
tersembunyi satu orang!”
”Orang apa?” tanya Lamkiong Peng dengan air muka berubah.

”Orang apa?...... Hahahaha!" kembali si Tojin bergelak tertawa keras.
“Seorang perempuan! Ya, seorang perempuan! Seorang perempuan
mahajahat, perempuan jalang, tapi juga secantik bidadari!”
Seketika hati Lamkiong Peng tergetar, dadanya serasa digodam orang dengan
keras, dengan mendelik ia membentak, “Apa katamu?”
”Apa kataku?” si Tojin menegas dengan tertawa latah. “Kubilang gurumu Putsi-
sin-liong Liong Po-si meski mendapat nama kehormatan sebagai jago nomor
satu yang membawa peti mati untuk mencari kalah, yang benar perbuatannya
itu hanya karena membela seorang perempuan jalang!”
Suara tertawanya tambah keras, ucapannya juga tambah lantang, seketika
kumandang suara bergema dari berbagai penjuru lembah gunung dan
bergemuruh kata “perempuan jalang..... perempuan jalang.”
Gema suara yang menusuk telinga itu serupa sebilah belati tajam menikam
hati Lamkiong Peng. Maklum, hal ini menyangkut orang yang paling
dihormatinya.
Meski sedapatnya ia menahan perasaannya, namun darah panas yang
bergejolak sukar ditahan, mukanya yang putih berubah menjadi merah padam,
mendadak ia berteriak, “Diam! Berani kau singgung lagi kehormatan guruku
segera ku ....”
”Hahaha, kehormatan gurumu?” potong si Tojin dengan menjengek. “Hm, apa
yang kukatakan tadi justru berdasarkan fakta, semuanya kejadian nyata. Jika
engkau tidak percaya, boleh coba kau buka dan periksa peti itu, segera akan
kau ketahui sesungguhnya siapa yang tersembunyi di situ.”
”Memangnya siapa?” tanya Lamkiong Peng.

”Meski usiamu masih muda, tapi sebagai orang persilatan tentu pernah kau
dengar nama ....” si Tojin merandek, lalu sekata demi sekata menyebut,
“Kong-jiok Huicu Bwe Kim-soat!”
Seketika Lamkiong Peng merinding dan tidak bersuara.
Didengarnya si Tojin berucap pula seperti orang berpantun, “Segala makhluk
di dunia ini mana yang paling berbisa, ialah Kong-jiok Huicu- empedu si merak
....”
Suaranya menjadi lemah dan terputus, air mukanya juga pucat dan tampak
berkerut-kerut penuh derita.
Dengan suara berat Lamkiong Peng bertanya. “Kong-jiok Huicu apakah sama
orangnya dengan Leng-hiat Huicu?”
Si Tojin mendengus, tanpa memandangnya ia menyambung lagi ucapannya
tadi, “Seratus burung sama menyembah Tan-hong, cuma sang merak sendiri
tetap jaya ....”
Dengan mendongkol Lamkiong Peng memotong, “Apakah tidak kau dengar
pertanyaanku?”
Namun si Tojin tetap menengadah dan berdendang pula, “Kong-jiok Huicu
darahnya sudah dingin (Leng-hiat), si cantik berdarah dingin tidak diketahui
orang, saking marah naga sakti turun ke bumi, terjadilah pertempuran sengit
di Hoa-san, naga sakti terkenal tak termatikan, seratus kali tempur seratus
kali menang, betapa pun sayap sang ratu merak tak terbentang lagi, sejak itu
hilanglah bisul dunia persilatan, naga sakti semakin tangkas tak termatikan!”
Selesai mendengarkan dendang si Tojin, Lamkiong Peng menegas, “Jika
begitu, jadi Kong-jiok Huicu memang sama dengan Leng-hiat Huicu?”

Dengan sorot mata tajam si Tojin menjawab “Betul, Bwe Kim-soat memang
sama dengan Bwe Leng-hiat.”
Mendadak ia menengadah dan tertawa dingin pula, katanya, “Hm, Kim-soat,
Leng-hiat! Hehe, indah benar namamu! Aku Kong ... aku sungguh penasaran.”
”Kong apa katamu?” tanya Lamkiong Peng.
”Untuk apa kau tanya, peduli apa denganmu?” jawab si Tojin ketus.
”Hm, jika engkau sengaja main sembunyi kepala unjuk ekor dan tidak mau
memberitahukan namamu yang sebenarnya, huh, aku pun tidak sudi
bertanya,” jengek Lamkiong Peng.
Kembali si Tojin cuma mendengus dan memandang ke langit.
Dengan suara bengis Lamkiong Peng berteriak, “Tadi kau bilang seorang
disembunyikan di dalam peti dan orang ini ialah Kong-jiok Huicu Bwe Kimsoat,
begitu bukan?”
”Ya, ada apa?” jengek si Tojin.
”Lalu kau dendangkan pantun yang dahulu tersiar di dunia Kangouw, masakah
engkau tidak tahu kisah yang terkandung di dalam pantun itu?”
”Masa aku tidak tahu?”
”Jika tahu, kenapa kau hina guruku dengan macam-macam perkataanmu tadi?
Padahal dahulu Kong-jiok Huicu Bwe Kim-soat malang-melintang di dunia
Kangouw, dengan kungfunya yang tinggi dan kecerdasan dan kecantikannya,
entah betapa banyak orang persilatan yang telah menjadi korbannya sehingga
orangnya mati dan keluarga berantakan, akan tetapi toh tetap tidak sedikit
orang yang terpikat oleh kecantikannya dan berlutut di bawah kakinya.”

”Hm, ternyata kau pun tahu kisahnya!” jengek si Tojin.
Lamkiong Peng melototinya sekejap, lalu menyambung, “Meski orang
persilatan sama benci padanya, tapi juga terpikat oleh kecantikannya dan jeri
terhadap Kungfunya sehingga tidak ada yang berani bertindak padanya.
Guruku menjadi gusar dan tampil ke muka untuk menyelesaikan urusan ini, di
puncak Hoa-san terjadi pertempuran selama tiga hari, akhirnya dengan ilmu
pedang yang tidak ada taranya guruku berhasil menumpasnya. Tatkala mana
tidak sedikit jago persilatan sama menanti kabar di kaki gunung, ketika
melihat guruku turun sendirian tanpa cedera, semua orang bersorak gembira,
betapa senang mereka waktu itu sampai belasan li jauhnya dapat mendengar
suara sorak-sorai mereka.”
Ia berhenti sejenak, wajahnya menampilkan rasa kagum dan juga bangga, lalu
menghela napas dan berkata, “Cuma sayang waktu itu aku belum masuk ke
perguruan Suhu sehingga tidak dapat ikut menyaksikan adegan berjaya itu.
Namun kejadian ini cukup diketahui setiap orang persilatan, meski guruku
tidak pernah bercerita, dapat juga kudengar kisah ini dari orang lain. Tapi
sekarang engkau justru bilang Kong-jiok Huicu Bwe Kim-soat belum mati,
malahan mengatakan dia bersembunyi di dalam peti mati ini, sesungguhnya
apa maksud tujuanmu? Hm, kalau tidak kau jelaskan sekarang juga, jangan
menyesal bila terpaksa aku harus bertindak.”
Si Tojin mendengarkan dengan diam, wajahnya menampilkan sikap menghina.
Setelah Lamkiong Peng selesai bicara barulah ia menanggapi dengan gelak
tertawa, “Hah, murid membual bagi sang guru, wahai Liong Po-si, jika kau
tahu di alam baka tentu kau pun akan merasa malu.”
Alis Lamkiong Peng menegak, bentuknya, “Kau bilang apa?”
Segera ia putar pedangnya dan siap menusuk.

Namun si Tojin tetap tenang saja tanpa gentar, ucapnya, “Tampaknya engkau
sedemikian kagum dan hormat kepada gurumu, biarpun kuceritakan lagi
seratus kali juga tidak ada gunanya.”
”Ya, engkau memang tidak perlu lagi putar lidah ....”
”Tapi meski tidak kau percayai keteranganku, mengapa tidak coba kau buka
peti mati itu, lihatlah apakah yang tersembunyi di situ bukan Bwe Kim-soat,
perempuan jalang yang diludahi setiap orang persilatan itu,” teriak pula si
Tojin dengan gemas.
Mau tak mau hati Lamkiong Peng menjadi goyah, ia pikir orang bicara secara
begini, apakah mungkin dia berdusta? Tapi lantas terpikir bila orang tidak
berdusta, kan hal itu berarti gurunya memang benar telah menyembunyikan
Kong-jiok Huicu yang terkutuk itu di dalam peti mati untuk mengelabui mata
telinga orang persilatan. Padahal tindak tanduk sang guru selama hidup selalu
gilang-gemilang, mana mungkin melakukan hal tercela begini?
Begitulah mulai timbul pertentangan batin anak muda itu. Didengarnya si Tojin
berkata pula, “Asalkan kau mau membuka tutup peti itu, bilamana isinya
bukan Leng-hiat Huicu, segera aku akan membunuh diri, mati pun aku
sukarela dan takkan menyesali dirimu.”
Kening Lamkiong Peng bekerenyit, ia menunduk dan berpikir menahan
pertentangan batin. Jika dia membuka tutup peti berarti dia tidak lagi
mempercayai sang guru yang biasanya sangat dihormatinya itu. Tapi kalau
peti tidak dibuka, rasanya sukar menghilangkan rasa curiga sendiri.
Melihat air muka Lamkiong Peng yang tampak serbasusah itu, si Tojin
mendengus pula, “Jika engkau tidak berani membuka peti itu, hal ini pun
menandakan engkau tidak percaya sepenuhnya terhadap pribadi gurumu.”
”Tutup mulut!” bentak Lamkiong Peng dengan gusar.

Si Tojin anggap tidak mendengar dan tetap bicara, “Kalau peti itu kosong
umpamanya, gurumu kan juga tidak pernah melarang engkau membuka peti
ini. Lantas apa sebabnya engkau tidak berani membukanya?”
Diam-diam Lamkiong Peng merasa ragu, dengan kereng ia berteriak pula,
“Kalau di dalam peti tidak tersembunyi orang, apakah betul engkau akan ....”
”Ya, seketika juga aku akan membunuh diri di depanmu, pasti takkan kujilat
ludahku sendiri,” seru si Tojin tegas.
”Baik,”! bentak Lamkiong Peng mendadak sambil membalik ke sana
menghadapi peti mati yang tergeletak di tanah itu.
Tojin itu lantas melompat maju ke samping peti, ucapnya, “Engkau yang
membukanya atau aku?”
Lamkiong Peng ragu dan berpikir, “Jika benar peti ini terisi orang, tentu dia
telah mendengar percakapan kami, mana mungkin sejauh ini tidak
memperlihatkan sesuatu gerak-gerik.”
Karena pikiran ini, dia tambah yakin pada pendirian sendiri, dengan lantang ia
menjawab, “Barang tinggalan guruku mana boleh dikotori oleh tanganmu,
dengan sendirinya harus aku yang membukanya.”
”Jika begitu, tidak perlu banyak omong lagi, lekas buka!” seru si Tojin sambil
memandangi peti itu tanpa berkedip, nadanya juga penuh yakin pada apa
yang dikatakannya, seakan-akan begitu peti terbuka segera akan terlihat
Leng-hiat Huicu membujur di dalam peti dalam keadaan hidup, padahal di
dunia Kangouw perempuan jalang itu disiarkan sudah lama mati.
Perlahan Lamkiong Peng mengangkat pedang hijau untuk dimasukkan ke
sarungnya, gemerdep sinar pedang mengingatkan dia sarung pedang itu telah
dihilangkan olehnya, segera pula terlihat olehnya pada pangkal pedang terikat

sepotong kain sutera kuning muda, maka teringat lagi olehnya ucapan Yap
Man-jing tentu inilah pesan tinggalan sang guru yang khusus ditujukan
kepadanya.
Maklumlah, bukan dia pelupa, soalnya kejadian seharian ini benar-benar
membuat pikirannya kusut sehingga hal ini terlupakan seketika. Maka buruburu
ia melepaskan kain kuning itu dan disimpan di dalam baju
Selesai pedang dimasukkan ke dalam sarung, perlahan Lamkiong Peng
memegang ujung peti mati dan diam-diam mengerahkan tenaga.
Dengan mata melotot si Tojin bergumam, “Wahai Bwe Kim-soat, betapa pun
kini dapat kulihat dirimu pula ....”
Dilihatnya Lamkiong Peng telah mengangkat tutup peti, ujung peti terangkat
dua-tiga kaki ke atas, tapi tutup tidak terbuka melainkan tetap lengket dengan
bagian bawah peti.
Lamkiong Peng melengak dan menaruh kembali peti itu, ucapnya perlahan,
“Peti ini sudah dipantek, sukar terbuka!”
”Hm, ini suatu bukti lagi, jika peti kosong, kenapa mesti dipantek” jengek si
Tojin, lalu dia mengitari peti itu dengan perlahan sambil mengawasi dengan
teliti.
Tiba-tiba ia mengangkat telapak tangan kanan terus menabok pangkal peti
mati.
”Tahan!” bentak Lamkiong Peng cepat, pedang dilolos terus menebas ke kuduk
si Tojin, jika orang tidak menarik tangan dan menghindar, kepalanya pasti
akan terpenggal.

Terpaksa si Tojin mendak ke bawah sambil menggeser ke samping, pedang
menyambar lewat hampir menebas sanggulnya. Dengan gusar ia mendamprat,
“Huh, menyerang dari belakang, terhitung kesatria macam apa?”
”Peti pusaka guruku mana boleh sembarangan dikotori oleh tanganmu!”
jengek Lamkiong Peng.
Muka si Tojin sebentar merah sebentar pucat, ia melototi Lamkiong Peng
sekejap, mendadak ia melengos dan mendengus, “Hm, kau tahu apa? Kedua
biji mata naga yang terukir di pangkal peti itulah merupakan kunci untuk
membuka peti!”
Walaupun tidak percaya, tidak urung Lamkiong Peng mengamat-amati juga
bagian peti yang disebut itu, dilihatnya memang benar kedua biji mata naga
yang terukir di atas peti itu tampak sangat meneolok, meski peti ini terbuat
dari kaya cendana yang sangat mahal tapi karena kehujanan dan kepanasan
sekian lama, peliturnya sudah luntur sehingga peti kelihatan tua, hanya biji
mata naga ini masih mengilat, hal ini menandakan bagian ini sering dipegang
dan diraba.
Diam-diam Lamkiong merasa gegetun, pengamatan sendiri memang kalah
teliti dibandingkan orang lain. Perlahan ia lantas menjulurkan tangan untuk
memegang biji mata naga dan diputar.
Terdengarlah suara krcekk, nyata bagian putaran sudah bekerja.
”Coba angkat lagi!” kata si Tojin.
Kedua orang saling pandang dengan tegang, jantung mereka sama berdebar.
Tangan Lamkiong Peng agak gemetar, mendadak ia membentak, “Naik! ....”
Dan.........

Han Bu Kong 03
Begitu tutup peti mati terbuka, seketika kedua orang berdiri melongo seperti
patung.
Butiran keringat tampak berketes dari dahi si Tojin, dengan muka pucat ia
bergumam, "Ini ... ini ... dia ... dia ...."
Kiranya peti mati itu kosong melompong tiada terisi sesuatu.
Muka Lamkiong Peng berubah pucat, mendadak ia membentak, "Kau berani
main gila ...."
Ia putar pedangnya terus menusuk si Tojin.
Saat itu si Tojin lagi memandangi peti kosong dengan linglung, tusukan
Lamkiong Peng seolah-olah tidak dilihatnya, tertampak bibirnya bergerak
seperti mau bicara, tapi hanya sempat terucapkan, "Peti ini tentu ...." tahutahu
dada kiri sudah tertusuk oleh pedang Lamkiong Peng.
Dada kiri tepat di atas jantung, bagian yang mematikan, keruan darah lantas
munerat membasahi jubah pertapaannya. Tojin itu tampak melongo kaget, ia
mengerang dan meraih batang pedang, tubuh bergoyang, dengan sinar mata
buram ia pandang Lamkiong Peng, dengan suara terputus-putus ia berucap,
"Suatu ... suatu hari kelak kau pasti akan ... akan menyesal ...."
Suaranya serak, pedih dan penuh rasa penasaran, tapi lemah dan akhirnya
roboh terkulai.
"Bluk", tutup peti juga menutup kembali terlepas dari pegangan Lamkiong
Peng, ia pandang jenazah yang menggeletak tak bergerak itu, lalu
memandang pedang yang dipegangnya dengan terkesima, tetes darah terakhir
pada ujung pedang baru saja menitik.

Karena guncangan emosinya, hampir saja ia lemparkan pedang itu ke jurang,
ia berdiri termenung dan bergumam, "Akhirnya aku ... aku membunuh orang
...."
Untuk pertama kalinya ia membunuh orang, sungguh tidak enak perasaannya.
Padahal Tojin ini baru saja bertemu dengan dia, bahkan nama masing-masing
saja tidak tahu, namun jiwa orang yang tak dikenalnya ini sekarang telah
melayang di bawah pedangnya.
Dengan bimbang ia angkat peti mati itu dan melangkah ke arah datangnya
tadi, kembali ke puncak Jong-liong-nia, tiba-tiba teringat olehnya, "Seyogianya
kukubur mayat Tojin itu ...."
Cepat ia berlari lagi ke sana. Tapi aneh, darah masih kelihatan berceceran di
tanah, namun jenazah si Tojin yang malang itu sudah menghilang entah ke
mana.
Suasana sunyi senyap, angin meniup kencang, gumpalan awan mengambang
di udara, Lamkiong Peng berdiri bingung di situ, ia memandang ke jurang yang
tak terkirakan dalamnya itu, ia mengira mayat si Tojin mungkin tertiup angin
ke dalam jurang, diam-diam ia berdoa semoga roh si Tojin mendapatkan
tempat yang lapang di alam baka.
Entah berapa lama lagi, akhirnya ia merasakan hawa tambah dingin, ia angkat
peti mati dan menuruni puncak gunung itu, setiba di pinggang gunung, angin
dingin rada mereda, suasana lereng pegunungan semakin sunyi.
Pikiran Lamkiong Peng juga tambah kusut, selain rasa penyesalannya terhadap
si Tojin yang terbunuh olehnya itu, dalam hati juga penuh tanda tanya yang
belum terpecahkan.
Yang aneh dan membingungkannya adalah peti mati kayu cendana yang
dibawanya ini sesungguhnya mengandung rahasia apa sehingga mendiang

sang guru perlu memberi tugas khusus kepadanya untuk menjaga peti mati
ini.
Ia mencari tempat sepi di bawah pohon yang rindang, perlahan ia menaruh
peti mati itu di atas tanah rumput yang mulai layu. Ia coba menyingkap lagi
tutup peti, jelas kosong tanpa sesuatu isi apa pun. Ia coba meneliti lagi, ia
merasakan dipandang dari luar peti ini cukup besar, namun bagian dalam peti
ternyata sangat dangkal dan sempit. Pada papan peti yang berwarna gelap itu
seperti ada beberapa titik noda minyak, kalau tidak diperiksa dengan cermat
sukar mengetahuinya. Namun tetap tidak ditemukannya sesuatu tanda
mencurigakan pada peti mati itu.
Ia duduk di bawah pohon dan mengelamun dengan bertopang dagu, sukar
baginya memecahkan tanda-tanda tanya ini, ia sampai lupa mencari tahu
sebab apa para saudara seperguruannya sampai saat ini belum kelihatan
menyusulnya.
Ia coba mengeluarkan kain kuning tinggalan sang guru, ikut terogoh keluar
bangkai burung yang mati menumbuk dinding tebing dan hampir menimpanya
itu.
Kain sutera kuning itu dibentangnya, tertampaklah tulisan tangan yang sudah
dikenalnya dengan baik, yaitu tulisan sang guru, ia coba membacanya.
"Selama hidupku memang tidak sedikit kubunuh orang, namun orang yang
kubunuh itu adalah orang yang pantas dibunuh, sebab itulah hidupku boleh
dikatakan tidak ada yang perlu disesalkan ...."
Tulisan sang guru ini mengingatkan Lamkiong Peng kepada si Tojin yang
dibunuhnya itu, pikirnya, "Apakah aku pun tidak perlu menyesal setelah
membunuh Tojin itu?"

Lalu teringat juga oleh uraian si Tojin tentang pribadi gurunya, jika hidup sang
guru tidak ada sesuatu yang perlu disesalkan, apa yang dikatakan si Tojin
pasti tidak betul.
Maka dengan penuh keyakinan ia membaca lagi, "Namun selama hidupku toh
ada juga sesuatu yang membuatku menyesal ...."
Terkesiap Lamkiong Peng, segera ia membaca lebih lanjut, "Belasan tahun
yang lalu, di dunia persilatan tersiar berita tentang kelakuan buruk seorang,
sudah cukup lama kubenci kepadanya, kebetulan seorang kawanku dicederai
olehnya aku lantas mencarinya dan kubinasakan dia di bawah pedangku.
Namun setelah kejadian ini barulah kutahu kesalahan sebenarnya terletak
pada diri sahabatku, sebaliknya orang yang biasanya banyak melakukan
kejahatan itu justru tidak bersalah, sebab itulah aku ...."
Tulisan selanjutnya mendadak sukar terbaca karena tertutup oleh darah
bangkai burung.
Dengan sendirinya Lamkiong Peng mendongkol karena bagian yang penting itu
tak terbaca, namun darah burung sudah kering, umpama dicuci juga tulisan itu
tetap sukar dibacanya, ia coba membaca bagian bawah yang tertulis, "Maka
kuserahkan orang ini kepadamu, hendaknya kau jaga dia dengan baik ...."
Bekerenyit kening Lamkiong Peng gumamnya heran, "Dia? .... Dia siapa?"
Setelah termenung sejenak, ia membaca pula, "Karena terburu-buru harus
berangkat sehingga tidak sempat kuberi tahukan urusan ini kepadamu, namun
pada suatu hari kelak pasti dapat kau ketahui duduk perkara yang sebenarnya.
Selama ini tidak ada sesuatu kebaikanku terhadapmu, hal ini pun membuatku
menyesal. Semoga selanjutnya engkau berusaha maju dan menjadi manusia
berguna sehingga tidak mengecewakan harapanku atas dirimu."
Lamkiong Peng membaca ulang beberapa baris terakhir ini dengan terharu, air
mata pun berlinang-linang.

"Apakah ... apakah benar Suhu sudah meninggal? .... Pada suatu hari kelak
pasti akan tahu duduk perkara yang sebenarnya ...." selain duka Lamkiong
Peng jadi tambah curiga.
Dengan bimbang ia menggali sebuah lubang kecil, lalu bangkai burung
ditanamnya, gumamnya pula, "Betapa pun antara kita ada jodoh juga. Dunia
seluas ini, mengapa engkau justru jatuh menimpa diriku? Hendaknya kau pun
dapat istirahat dengan tenang di liang yang kecil ini ...."
Ia menghela napas menyesal ketika teringat pula Tojin yang terbunuh olehnya
mungkin mayatnya takkan terkubur selamanya di dasar jurang sana.
Ia memejamkan mata, ia inginkan ketenangan, kelelahan pun terasa menjalari
sekujur badannya. Karena harus menghadapi pertarungan pagi tadi, setiap
anak murid Ci-hau-san-ceng hampir semalam suntuk tidak tidur, apalagi
Lamkiong Peng harus menempur lagi si Tojin sehingga hampir seluruh
tenaganya terkuras.
Kelelahan fisik membuat ketegangan batinnya agak mengendur, lamat-lamat
ia tenggelam dalam kantuknya ....
Sisa cahaya senja menyinari pucuk pepohonan, hari sudah hampir gelap.
Mendadak di tengah pepohonan rindang terdengar suara "krekk", terjadi
sesuatu pada peti mati kayu cendana yang misterius itu, tutup peti mati
perlahan terbuka ke atas.
Meski suara ini sangat lirih, namun di tengah pegunungan yang sunyi cukup
membuat jantung Lamkiong Peng berdetak, mendadak ia membuka matanya
dan kebetulan dapat melihat adegan yang mengejutkan itu. Tutup peti mati
kosong itu diangkat oleh sebuah tangan yang putih halus.

Lenyap seketika rasa kantuk Lamkiong Peng, dilihatnya makin tinggi tutup peti
mati itu terangkat. Menyusul lantas tertampak sebuah wajah yang putih pucat
dengan rambut hitam panjang terurai.
Betapa tabahnya Lamkiong Peng, mengirik juga melihat kejadian luar biasa ini,
dengan suara gemetar ia menegur, "Sia ... siapa kau?"
Saat itu si cantik telah mulai menegakkan tubuhnya dari dalam peti mati,
perawakan yang menggiurkan itu terbungkus oleh jubah putih bersih serupa
wajahnya itu.
Perlahan si cantik melangkah keluar dari peti mati dan mendekati Lamkiong
Peng, air mukanya tidak ada senyuman sedikit pun, juga tidak ada warna
darah, sampai bibirnya yang mungil juga putih pucat. Melihat dia di
pegunungan sunyi ini secara mendadak, siapa pun akan menyangka dia
datang dari alam halus.
Lamkiong Peng mengepal tinjunya erat-erat, tangan sendiri terasa dingin, ia
coba membentak lagi, "Siapa kau?"
Selagi Lamkiong Peng hendak melompat bangun, sekonyong-konyong si cantik
dari peti mati itu tertawa dan berkata dengan lembut, "Kau takut apa?
Memangnya kau sangka aku ini ...." mendadak ia tidak meneruskan kecuali
cuma tersenyum saja.
Suaranya begitu lembut serupa sepoi angin musim semi, senyumnya begitu
menggiurkan dan dapat merontokkan perasaan seorang yang berhati baja.
Rasa seram yang dibawanya ketika keluar dari peti mati itu seketika lenyap
oleh suara tertawa dan kelembutan ucapnya itu.
Lamkiong Peng melenggong, ia merasa senyum si cantik dari peti mati ini
terlebih menggiurkan daripada Yap Man-jing, senyum yang lebih mendebarkan
bagi siapa pun yang melihatnya.

Segera Lamkiong Peng berbangkit dan berdiri berhadapan dengan si cantik,
dapat dilihatnya dengan jelas wajah orang, pulih kembali rasa percaya atas diri
sendiri, kembali ia menegur, "Siapa kau?"
Si cantik memandangnya dua kejap, mendadak tertawa geli dan berucap,
"Meski usiamu masih muda belia, tapi ada bagian tertentu memang lain
daripada yang lain, pantas Liong-loyacu menyerahkan diriku di bawah
perlindunganmu tanpa merasa khawatir."
Lamkiong Peng lantas teringat kepada tulisan pada kain sutera kuning yang
antara berbunyi, "Maka kuserahkan orang ini kepadamu, hendaknya kau jaga
dengan baik ...."
Sekarang dapat diketahuinya bahwa "si dia" yang dimaksudkan itu tidak lain
ialah si mahacantik berwajah pucat dan berbaju putih mulus yang berdiri di
hadapannya ini.
Namun tanda tanya yang lain tetap belum terjawab, diam-diam ia merasa
menyesal mengapa setiap urusan terkadang bisa begini kebetulan, mengapa
bagian yang penting dari tulisan gurunya itu bisa kebetulan dikotori oleh darah
burung sehingga tidak terbaca.
Dilihatnya si cantik dari peti mati ini mengulet kemalasan, lalu berduduk di
sebelah Lamkiong Peng dengan gaya yang mempesona, lalu menengadah
memandang langit dan bergumam, "Sang waktu sudah berlalu dengan cepat,
malam sudah hampir tiba pula, padahal hidup manusia bukankah berlalu
dengan cepat, sejak dahulu kala hingga kini siapa yang dapat mencegah makin
meningkatnya usia."
Nada ucapannya seperti menyesali kehidupan sendiri, mestinya tidak pantas
seorang perempuan muda secantik bidadari bicara demikian melainkan lebih

mirip suara seorang janda atau perawan tua yang menyesali nasibnya yang
terlampaui secara sia-sia.
Memandangi profil si cantik yang memesona itu, tanpa terasa Lamkiong Peng
bertanya, "Apakah nona .... O, nyonya ...."
Tiba-tiba si cantik tertawa dan menukas, "Masakah tak dapat kau bedakan
diriku ini nona atau nyonya? Sungguh aneh juga."
Lamkiong Peng tergagap, "Tapi aku ... aku tidak kenal ...."
"Jika Liong-loyacu telah menyerahkan diriku di bawah perlindunganmu, masa
beliau tidak pernah berbicara denganmu mengenai diriku?"
Kening Lamkiong Peng bekerenyit pula, benaknya terbayang kembali apa yang
telah dibacanya, diam-diam ia membatin, "Mungkinkah dia ini Leng-hiat Huicu
yang disebut-sebut si Tojin itu? Tapi Leng-hiat Huicu alias Kong-jiok Huicu itu
konon sudah terkenal pada belasan tahun yang lalu, jika begitu usianya
sekarang sedikitnya kan di atas 30, mengapa dia ...."
Waktu ia berpaling, dilihatnya si cantik dari peti mati ini lagi menatapnya
dengan kerlingan mata yang memikat, wajahnya putih halus, kalau ditaksir
usianya paling-paling juga baru 20-an saja.
"Bagaimana, kenapa tidak kau jawab pertanyaanku?" kata si cantik dengan
tertawa sambil membelai rambutnya yang hitam panjang terurai sebatas
pinggang itu. Lalu menambahkan. "Ah, tentu ada yang sedang kau pikirkan
mengenai diriku, apalagi kau sangsi mengenai umurku?"
Muka Lamkiong Peng menjadi merah, ia menunduk dan menjawab, "Ya,
memang sedang kupikirkan usiamu."
"Tentang usiaku, lebih baik jangan kau terka saja," ujar si cantik dari peti mati
sambil menghela napas hampa.

Selagi Lamkiong Peng tercengang, terdengar si cantik telah menyambung lagi,
"Orang seusia diriku sesungguhnya tidak ingin orang berbicara lagi mengenai
umurku."
Lamkiong Peng tidak berani menatapnya lagi, dalam hati ia heran mengapa
nada ucapan si cantik serupa seorang nenek saja. Tanpa terasa ia berkata
pula, "Tapi engkau kan masih muda belia, mengapa ...."
Belum lanjut ucapannya, mendadak si cantik berbangkit sambil meraba wajah
sendiri dan berucap dengan heran, "Kau bilang aku masih muda belia?"
"Masa muda adalah masa bahagia orang hidup, mengapa engkau tampak kesal
dan tidak bergairah hidup, jangan-jangan dalam hatimu menanggung
kesedihan sesuatu urusan yang sukar diatasi ...." Lamkiong Peng berhenti
sejenak, lalu berucap pula dengan serius, "Jika guruku telah menugaskanku
untuk menjaga nona, maka sudilah nona memberitahukan kesedihan hatimu
kepadaku, mungkin akan dapat kubekerja sesuatu bagimu."
Hati Lamkiong Peng suci murni, walaupun dia tidak mengerti sebab apa
gurunya menyerahkan seorang nona muda jelita di bawah perlindungannya,
tapi sekali menerima amanat sang guru yang demikian itu, biarpun dia disuruh
terjun ke lautan api juga takkan ditolaknya.
Tak tersangka, mendadak si cantik berucap pula perlahan, "Apa betul begitu?
...." dan segera ia membalik tubuh dan berlari pergi dengan cepat.
Keruan Lamkiong Peng terkesiap, teriaknya, "Hei, mau ke mana kau?"
Tapi si cantik seperti tidak mendengar seruannya, tanpa berpaling ia terus
berlari ke depan secepat terbang, dalam sekejap orangnya sudah melayang
jauh, sungguh luar biasa Ginkangnya.

Meski heran dan sangsi, terpaksa Lamkiong Peng tidak sempat memikirkannya
lagi, sampai peti mati itu pun tidak dihiraukan, segera ia ikut berdiri ke sana
sambil berseru, "Suhu sudah menyerahkan dirimu kepadaku, kalau ada urusan
...."
Namun cuma sekejap saja bayangan si cantik sudah menghilang, ia coba
mencari lagi lebih jauh ke depan dan tetap tidak terlihat bayangan orang.
"Wah, kalau dia pergi begitu saja, lalu bagaimana aku harus bertanggung
jawab terhadap pesan Suhu?" demikian ia membatin dengan gegetun.
Pegunungan sunyi, malam sudah hampir tiba, ke mana lagi akan dapat
menemukan s nona misterius tadi?
Terpaksa Lamkiong Peng cuma berlari melintasi lereng gunung itu, nama
orang saja tak diketahuinya, tentu saja ia tidak dapat bersuara memanggilnya.
Di tengah desir angin tiba-tiba didengarnya gemereik air, dia memang merasa
haus, segera ia mencari dan menuju ke arah suara air,
Dilihatnya sebuah sungai kecil mengalir dari sana, di bawah remang cahaya
bulan yang baru menongol sungai itu serupa tali perak. Setelah menyusuri
hutan, sungai itu sudah kelihatan membentang di depan. Cepat ia memburu ke
sana, begitu tiba di tepi sungai, segera ia meraup air untuk diminum.
Tapi baru saja ia minum dua teguk, tiba-tiba didengarnya dari hulu sana
berkumandang suara ngikik tawa orang perempuan.
Terbangkit semangat Lamkiong Peng, cepat ia menyusul ke hulu sana
mengikuti tepi sungai, tidak jauh terlihatlah sesosok bayangan putih sedang
berjongkok di tepi sungai, seperti lagi memandangi air sungai, seperti juga
sedang bercermin pada air sungai.

Tanpa ragu Lamkiong Peng mendekatinya dilihatnya si cantik tadi masih
berjongkok tanpa bergerak dengan tertawa, lalu bergumam, "Hah, ternyata
memang benar, ternyata memang betul! ...."
Meski Lamkiong Peng sudah berada di sampingnya si cantik masih juga belum
tahu, masih tetap memandangi air sungai dengan terkesima.
Sungguh tak terpikir oleh Lamkiong Peng bahwa nona misterius ini berlari ke
sini hanya untuk mengelamun memandangi air sungai, ia jadi melenggong
juga, ia berdiri di samping si nona, ketika ia pun melongok permukaan air
sungai, tertampaklah bayangan wajah seorang bidadari yang mahacantik
serupa lukisan saja.
Bayangan dalam air sungai dari seorang berubah menjadi dua, hal ini tidak
dirasakan oleh si cantik dari peti mati itu, dalam pandangannya saat ini kecuali
bayangannya sendiri agaknya tidak ada barang lain yang diperhatikan olehnya.
Berulang-ulang ia meraba raut wajah sendiri dengan tangannya yang putih
halus sambil bergumam, "Ternyata sungguh, ternyata benar aku masih
semuda ini ...." lalu dia tertawa keras, tertawa senang, serunya. "Hah, untung
memang sukar diraih dan malang sukar ditolak, siapa tahu tanpa sengaja aku
telah mendapatkan ilmu awet muda yang sukar dicari dan diimpi-impikan
setiap orang perempuan di dunia ini."
Mendadak ia berbangkit dan berputar-putar sambil mengebaskan lengan
bajunya sehingga rambutnya yang panjang ikut bertebaran di udara, rupanya
saking gembiranya ia sampai menari-nari.
"Haha, sejak kini siapa lagi yang dapat mengenali aku, siapa pula yang dapat
menerka aku inilah Kong-jiok Huicu ...."
Terkesiap Lamkiong Peng, tegurnya, "Hei, jadi engkau benar Bwe Kim-soat?"

Si cantik yang sedang menari itu mendadak menggeser dan berhenti di depan
anak muda itu dan menjawab, "Betul!"
Lamkiong Peng melenggong sejenak, katanya kemudian dengan menyesal, "Ai,
tak tersangka keterangan Tojin itu ternyata benar, aku ... sungguh aku pantas
mampus!"
Melihat anak muda itu merasa menyesal dan sedih, Kong-jiok Huicu Bwe Kimsoat
tersenyum, perlahan ia pegang pundak Lamkiong Peng dan bertanya
dengan suara halus, "Jadi kau kenal namaku?"
"Ya, kukenal namamu," sahut Lamkiong Peng dengan pikiran kusut.
"Jika begitu, apakah kau tahu orang macam apakah aku ini?"
"Ya, kutahu," Lamkiong Peng mengangguk. "Suhu telah memberi pesan agar
kujaga dirimu baik-baik, dengan sendirinya akan kulaksanakan perintah beliau.
Siapa yang hendak mengganggumu harus berhadapan dulu denganku.
Kupercaya penuh terhadap Suhu, apa yang dikatakan dan diperbuat beliau
pasti tidak salah."
Bwe Kim-soat termenung sejenak, katanya kemudian dengan menghela napas,
"Ai, Liong-loyacu sungguh teramat baik kepadaku."
Tangannya yang memegangi pundak Lamkiong Peng itu dari putih tadi telah
berubah agak kehijauan dan kini kembali berubah putih lagi dan ditarik
kembali. Anak muda itu tidak menyadari bahwa dalam waktu singkat itu
sesungguhnya dia telah lolos dari bahaya maut.
Ia pandang orang dengan bimbang dan tidak tahu apa yang harus dibicarakan
pula.

"Tampaknya engkau masih sangsi terhadap diriku," kata Bwe Kim-soat dengan
tersenyum. "Apakah gurumu hanya menyerahkan peti cendana kepadamu
tanpa menceritakan hubungannya denganku?"
"Tidak, hanya ini saja ...." Lamkiong Peng mengeluarkan kain sutera kuning
itu, "Boleh kau baca sendiri."
Dengan kuning bekerenyit Bwe Kim-soat menerima kain kuning itu dan
dipandangnya sekejap, tiba-tiba ia tanya, "Bekas darah siapakah ini?"
"Darah burung mati!" tutur Lamkiong Peng.
"Burung mati apa?" melengak juga Bwe Kim-soat.
Lamkiong Peng menceritakan apa yang dialaminya secara ringkas.
"O, kiranya begitu, semula kusangka darah gurumu," ujar si cantik dengan
tertawa.
Dengan agak emosi Lamkiong Peng merampas kembali kain sutera itu dan
berucap dengan mendongkol, "Aku pun ingin tanya padamu, sampai ajalnya
guruku tetap memikirkan kepentingan dirimu, maka dia memberi pesan
padaku agar menjaga dirimu dengan baik. Sebaliknya kau, setelah mengetahui
nasib malang guruku engkau sama sekali tidak berdukacita bagi beliau,
sungguh terlalu ...."
Bwe Kim-soat memandangnya beberapa kejap seperti melihat sesuatu yang
lucu, mendadak ia bergelak tertawa pula dan berkata, "Duka? Apa artinya
duka! Selama hidupku belum pernah berduka bagi apa dan siapa pun,
memangnya kau minta aku berduka untuk menipu dirimu dan diriku sendiri?"
Lalu dia tertawa terkial-kial lagi.

Mata Lamkiong Peng menjadi merah, tidak kepalang rasa gemasnya, tapi
segera teringat olehnya akan julukan orang.
Leng-hiat Huicu, si putri berdarah dingin!
Akhirnya Lamkiong Peng menghela napas, pikirnya, "Ya, pantas orang
Kangouw menyebutnya si putri darah dingin, kiranya dia tidak kenal apa
artinya berduka segala ...."
Teringat untuk selanjutnya entah berapa lama dirinya masih harus
mendampingi perempuan cantik berdarah dingin ini, ia jadi sedih.
Tiba-tiba Bwe Kim-soat berkata pula, "Jangan kau kira aku sengaja tidak
menghiraukan kematian gurumu, malahan seharusnya aku gembira bagi
kematiannya itu."
Gusar sekali Lamkiong Peng oleh ucapan orang yang keji itu, dampratnya,
"Kalau saja guruku tidak menyuruhku menjaga dirimu, bisa jadi akan ku ...."
"Hm, apakah kau tahu sebab apa gurumu menyuruhmu menjaga diriku?"
jengek Bwe Kim-soat.
"Apa pun juga, yang jelas Suhu telah salah menilai orang," jawab Lamkiong
Peng dengan mendongkol, "jika beliau memiara seekor kucing atau seekor
anjing akan lebih baik ...."
"Hm, kau tahu apa?" jengek Bwe Kim-soat pula. "Sebabnya gurumu berbuat
demikian padaku adalah karena dia ingin menebus dosa, ingin membalas budi.
Tapi biarpun begitu dia tetap bersalah padaku, maka dia mengharuskan
muridnya ikut menebus dosanya yang belum lunas itu, untuk membalas budi
yang belum sempat dilakukannya."

Lamkiong Peng jadi tercengang, mendadak ia balas mendengus, "Hm,
menebus dosa dan membalas budi apa segala? Memangnya guruku bisa ...."
Tapi lantas teringat olehnya tulisan pada kain kuning itu antara berbunyi
"urusan ini memang salahku ....", seketika ia urung bicara lebih lanjut,
pikirnya, "Jangan-jangan Suhu memang berbuat sesuatu kesalahan terhadap
dia."
"Hm, kenapa engkau tidak bicara lagi?" jengek Bwe Kim-soat. "Agaknya kau
pun dapat merasakan dosa yang diperbuat gurumu, bukan?"
Lamkiong Peng menunduk, mendadak ia mengangkat kepala pula dan berseru,
"Barang siapa bicara kasar terhadap guruku, tentu takkan kuampuni ...."
"Huh, jangankan di depanmu, sekalipun di depan Put-si-sin-liong juga aku
berani bicara demikian, sebab aku berhak!"
"Hak apa?" teriak Lamkiong Peng saking tak tahan. "Meski guruku
menyuruhku menjaga dirimu, tapi engkau tidak berhak bicara sesukamu di
depanku."
"Aku berhak bicara, sebab tanpa berdosa nama baikku telah dicemarkan
olehnya dan tubuhku dilukainya. Aku berhak bicara, sebab Kungfu yang kulatih
dengan susah payah telah dipunahkan olehnya dengan sekali pukul. Aku
berhak bicara karena kebodohan dan kebandelannya telah mengorbankan
masa remajaku, telah menyia-nyiakan sepuluh tahun masa hidupku yang
paling indah, akibatnya setiap hari, siang dan malam, senantiasa berbaring di
dalam peti mati yang terisolir dari dunia luar, hidup tersiksa melebihi orang
hukuman ...."
Makin bicara makin emosi, nadanya yang semula dingin kini berubah menjadi
teriakan serak.

Tanpa terasa Lamkiong Peng jadi ngeri, tubuh yang semula tegak menjadi
agak lemas dan tidak berani bersikap keras lagi.
Mendadak Bwe Kim-soat menarik tangan Lamkiong Peng terus dibawa lari
secepat terbang ke sana.
Ilmu silat Lamkiong Peng mestinya tidak lemah, Ginkangnya juga sangat
tinggi, tapi sekarang tanpa berdaya tangannya seperti terisaps oleh semacam
tenaga mahakuat dan ikut lari terlebih cepat daripada Ginkang sendiri.
Selagi ia bermaksud meronta untuk melepaskan diri, dilihatnya lari orang
sudah mulai mengendur, tempat yang dituju ternyata hutan tadi, di situ peti
mati masih tertinggal.
Begitu tiba di depan peti mati, segera Bwe Kim-soat membuka tutup peti dan
berteriak, "Nah, di dalam peti inilah kuhidup selama sepuluh tahun. Kecuali
pada malam hari gurumu mengangkatku keluar untuk memenuhi kebutuhan
hidup manusia yang perlu, boleh dikatakan tidak pernah kukeluar dari sini."
Dia berhenti sejenak, lalu menyambung, "Nah, boleh coba kau bayangkan,
kehidupan macam apakah selama sepuluh tahun ini, bagimu mungkin sepuluh
hari saja tidak tahan, apa lagi sepuluh tahun ...."
Lamkiong Peng memandang ruang peti yang sempit dan gelap itu, lalu
bergumam seperti mengigau, "Sepuluh ... sepuluh tahun ...."
Tanpa terasa ia bergidik.
Cahaya bintang yang redup menyinari wajah Bwe Kim-soat yang pucat, ia
menarik napas panjang, lalu berucap pula dengan hampa, "Yang kuharap
selama mengeram di dalam peti adalah datangnya malam, saat kebebasanku
yang tidak panjang itu, walaupun cuma sebentar saja gurumu membawaku ke
ruang yang tidak berlampu, namun bagiku saat itu serupa hidup di surga."

Tergerak pikiran Lamkiong Peng, "Pantas kamar tidur Suhu terletak pada pojok
perkampungan yang paling terpencil. Pantas juga pada malam hari beliau tidak
suka memasang lampu, kamarnya juga tanpa jendela. Pantaslah setiap malam
Suhu membawa peti mati ini masuk kamarnya dan ditaruh di samping tempat
tidurnya ...."
Ia menghela napas panjang dan tidak berani memikirnya lebih lanjut.
Sorot mata Bwe Kim-soat bergeser di antara remang cahaya bintang dan
kegelapan hutan itu seperti lagi membayangkan penderitaannya dahulu, lalu
bertutur pula, "Untunglah setiap hari datang harapanku serupa itu, kalau tidak,
lebih baik kumati daripada hidup tersiksa cara begini. Dan harapan dan
menanti itu sendiri pun menimbulkan derita yang tak terhingga. Pernah satu
hari tanpa sengaja gurumu membuka pintu kamar sehingga ada cahaya bulan
menembus masuk ke kamar, sungguh girangku tak terkatakan. Tapi di bawah
sinar bulan kulihat keadaan gurumu yang semakin tua, aku menjadi sedih,
sang waktu terus berlalu, kupikir aku sendiri tentu juga tambah tua ...."
Suaranya berubah menjadi lembut dan rawan, tanpa terasa Lamkiong Peng
juga ikut terharu kepada sifatnya yang berdarah dingin dan mulai menaruh
simpati terhadap nasibnya yang malang, ia menghela napas dan berkata,
"Yang sudah lalu biarlah lalu, jangan kau ...."
"Sudah lalu? .... mendadak Bwe Kim-soat bergelak tertawa pula. "Put-si-sinliong
sudah mati, secara ajaib aku tetap awet muda, aku tidak perlu terkurung
lagi di dalam peti mati. Malahan orang di dunia tidak ada yang tahu asalusulku
yang sebenarnya ... kecuali kau!"
"Secara ajaib engkau telah bertahan awet muda, secara ajaib pula telah pulih
kehidupanmu yang bebas, untuk itu seharusnya engkau bersyukur dan
berterima kasih dan bukan merasa dendam, meski aku ...."
"Aku berterima kasih apa?" jengek Bwe Kim-soat.

"Berterima kasih kepada Thian yang maha pengasih," jawab Lamkiong Peng.
"Hmk!" dengus Bwe Kim-soat sambil mengebaskan lengan baju dan
melangkah ke sana.
Seperti orang linglung Lamkiong Peng memandangi bayangan punggung orang
yang ramping dengan gayanya yang memesona itu, ketika bayangan orang
hampir menghilang di kegelapan sana, cepat ia memburu maju dan menegur,
"Nona Bwe, engkau hendak ke mana?"
Mendadak Bwe Kim-soat berpaling dan berkata kepadanya dengan dingin,
"Kau tahu, orang bodoh di dunia ini sangat banyak, tapi tidak ada yang lebih
bodoh daripadamu."
Dengan bingung Lamkiong Peng menjawab dengan gelagapan, "Iy ... iya ...."
Sorot mata Bwe Kim-soat yang dingin itu tiba-tiba timbul secercah cahaya
kelembutan, namun di mulut dia tetap bicara dengan ketus, "Jika engkau
bukan orang bodoh, tadi waktu kubilang 'kecuali kau', seharusnya kau lari
segera!"
"Tapi mana boleh kutinggalkan dirimu?" jawab Lamkiong Peng tegas. "Suhu
telah menyerahkan dirimu di bawah penjagaanku, jika kutinggal pergi, lalu
cara bagaimana aku harus bertanggung jawab terhadap beliau?"
"Tanggung jawab apa? Put-si-sin-liong kan sudah mati?!" jengek Kim soat.
Lamkiong Peng menarik muka, jawabnya tegas, "Tidak peduli beliau sudah
meninggal atau tidak tetap tidak dapat kulanggar amanat tinggalan beliau."
"Lantas cara bagaimana akan kau jaga diriku?" tanya Bwe Kim-soat.

Bibir Lamkiong Peng bergerak, namun sukar untuk menjawab.
Bwe Kim-soat membetulkan rambutnya yang terurai di depan dadanya ke
belakang punggung, lalu mendengus, "Hm, jika engkau tidak mau pergi dan
tetap ingin 'menjaga' diriku, apakah selanjutnya engkau akan selalu mengikuti
aku?"
"Ya, memang begitulah perintah guruku," jawab Lamkiong Peng.
"Sungguh begitu?" Bwe Kim-soat menegas dengan tertawa.
Lamkiong Peng tidak berani memandang tertawa orang yang menggiurkan itu,
dengan prihatin ia menjawab, "Menurut pesan Suhu, aku diharuskan menjaga
peti mati dan tidak boleh meninggalkannya, maksud beliau dengan sendirinya
aku diharuskan menjaga dirimu setiap saat."
Setelah bicara demikian, diam-diam timbul juga rasa sangsinya, "Ilmu silatnya
kan jauh lebih tinggi daripadaku, mengapa Suhu menugaskanku menjaga dia?
Jika Kungfunya begitu tinggi, setiap saat mestinya dia dapat membobol peti
mati dan pergi sesukanya, mengapa hal ini tidak dilakukannya?"
Selagi dia merasa heran, terdengar Bwe Kim-soat berkata pula dengan
tertawa, "Jika demikian, bolehlah kau ikut diriku, ke mana pun kupergi boleh
kau ikut."
Habis berkata ia lantas melangkah ke depan.
Jantung Lamkiong Peng berdetak dan entah bagaimana rasanya, pikirnya,
"Apa benar harus kuikut dia ke mana pun juga?"
Tapi tidak urung kakinya ikut melangkah ke sana, katanya, "Demi
melaksanakan amanat guru, biarpun kau pergi ke ujung langit juga akan
kuikuti."

"Ujung langit ...." perlahan Bwe Kim-soat mengulang kata itu dengan
tersenyum.
Tanpa terasa muka Lamkiong Peng menjadi merah.
Perasaan kedua orang itu sungguh sukar diraba oleh siapa pun juga, hubungan
mereka yang aneh juga sukar dilukiskan. Bwe Kim-soat berjalan di depan dan
Lamkiong Peng ikut di belakang, berulang Bwe Kim-soat membelai rambutnya
yang panjang, agaknya dia juga banyak menanggung pikiran.
Malam tambah larut, di suatu sudut yang paling gelap di tengah hutan sana
mendadak melayang keluar sesosok bayangan orang berbaju hitam tanpa
suara, dia memondong seorang pula yang agaknya terluka parah.
Dalam kegelapan wajah orang itu tidak terlihat jelas, juga tidak jelas siapa
orang terluka yang dibawanya itu, hanya terdengar dia membisiki telinga yang
terluka, "Apakah engkau merasa agak baikan?"
Yang luka itu menjawab lemah, "Ya, sudah baikan, kalau bukan Anda ...."
"Sungguh aku tidak mampu membawamu turun dari Hoa-san sini," potong
orang berbaju hitam itu, "dalam keadaan terluka parah engkau juga tidak
dapat ditinggalkan di tengah pegunungan sunyi ini. Terpaksa engkau harus
menahan sakit dan jangan bersuara, minumlah obat yang kutaruh di dalam
bajumu itu menurut waktunya, dalam beberapa hari saja kesehatan tentu akan
pulih, tatkala mana engkau tentu sudah berada di bawah gunung dan dapat
mencari kesempatan untuk melarikan diri."
Dengan mengertak gigi orang yang luka itu merintih kesakitan, lalu berkata
dengan lemah, "Budi pertolonganmu pasti akan ...."

"Sudahlah, jangan banyak bicara lagi," potong si baju hitam. "Saat ini mereka
pasti takkan membuka lagi peti mati ini, Bwe Kim-soat juga pasti tak mau
masuk lagi ke dalam peti. Asalkan dapat kau tahan rasa sakit pada saat tubuh
berguncang, tentu engkau dapat mencapai kaki gunung dengan aman."
Sembari bicara ia lantas membuka tutup peti cendana itu, orang luka itu
dimasukkannya dengan perlahan, lalu berkata pula, "Obatku ini selain dapat
menyembuhkan luka, juga dapat membuatmu tahan lapar, maka jangan
khawatir!"
Si luka yang sudah berbaring di dalam peti bertanya, "Bila tidak keberatan,
sudilah memberitahukan nama Anda ...."
"Namaku tentu akan kau ketahui kelak," si baju hitam memberi tanda supaya
jangan bicara lagi, perlahan tutup peti lantas dirapatkannya kembali. Setelah
menyapu pandang sekejap sekeliling situ lalu membalik tubuh dan berlari
cepat ke arah Jong-liong-nia.
Saat itu Bwe Kim-soat dan Lamkiong Peng sedang melangkah tanpa tujuan
serupa orang mimpi menjalan.
Setelah berjalan sekian lama, mendadak Bwe Kim-soat berkata, "Engkau
berasal dari keluarga terhormat dan perguruan ternama, jika engkau berjalan
bersamaku seperti ini, apakah tidak takut menimbulkan desas-desus umum
yang mencemarkan namamu?"
Dia bicara tanpa berpaling sehingga tidak diketahui bagaimana air mukanya.
Langkah Lamkiong Peng agak merandek, jawabnya dengan tegas, "Asalkan
hati kita tidak merasa berdosa, pula semua ini atas amanat guruku, hanya
desas-desus orang iseng saja takkan menjadi soal bagiku, apalagi ...."
Ia berdehem dan tidak melanjutkan.

"Apalagi usiaku sedikitnya belasan tahun lebih tua daripadamu sehingga pada
hakikatnya tidak perlu khawatir dicurigai orang, begitu bukan maksudmu?"
tanya Bwe Kim-soat mendadak sambil berpaling.
Lamkiong Peng melenggong sejenak, jawabnya kemudian dengan menunduk,
"Ya, begitulah."
"Jika demikian, harus kau terima suatu syaratku," kata Kim-soat pula.
"Syarat? ...."
"Ya, yaitu tidak boleh kau katakan nama asliku terhadap siapa pun."
"Sebab apa?"
"Jika namaku diketahui orang bahwa aku masih hidup segar bugar di dunia
persilatan, sekalipun gurumu sendiri tidak mampu melindungi diriku apalagi
engkau?"
"Oo," melengak Lamkiong Peng. Pikirnya, "Dia pasti banyak musuh di dunia
persilatan, bilamana musuhnya mengetahui dia belum mati pasti akan mencari
dia dan menuntut balas padanya."
Seketika seperti terngiang pula di tepi telinganya kata-kata si Tojin, "...
Perempuan jalang, perempuan jahat ...."
Mendadak timbul pertentangan batinnya, masakah dirinya harus membela
seorang perempuan semacam ini? Tapi lantas teringat lagi, "Jika Suhu sendiri
membelanya, tugas ini lalu diserahkan lagi kepadaku, kuyakin tindakan beliau
pasti benar, mana boleh kulanggar amanat guru?"

Selagi terjadi pergolakan pikirannya, didengarnya Bwe Kim-soat bertanya pula,
"Kau terima syaratku?"
"Ya," jawab Lamkiong Peng segera.
Bwe Kim-soat memandangnya sekejap sambil tertawa lembut, katanya, "Meski
di mulut kau terima dengan baik, tapi di dalam hati enggan, betul tidak?"
Waktu Lamkiong Peng mengangkat kepalanya, di bawah malam tertampak
wajah Bwe Kim-soat yang cantik laksana bidadari itu, seketika hatinya
bergetar, pikirnya, "Perempuan secantik ini mengapa bisa berbuat jahat dan
jalang?"
"Betul tidak?" kembali Bwe Kim-soat menegas sambil mendekati anak muda
itu.
"Apa yang kuucapkan sama dengan apa yang kupikirkan," jawab Lamkiong
Peng sambil menunduk, terendus bau harum semerbak, tahulah dia orang
telah berada di sampingnya.
Didengarnya Bwe Kim-soat bicara pula dengan lembut, "Kutahu sekali kau
terima syaratku, selamanya tentu akan kau pegang teguh. Akan tetapi perlu
kuberi tahukan pula bahwa perangaiku sangat aneh, terkadang bisa
membikinmu tidak tahan, dalam keadaan begitu lantas bagaimana
tindakanmu?"
Kening Lamkiong Peng bekerenyit, "Asalkan engkau tidak berbuat sesuatu
yang membikin susah orang, urusan lain aku pasti tahan."
Tiba-tiba dirasakannya bila dirinya terus mendampinginya cara begini, kecuali
melaksanakan amanat sang guru dapat juga setiap saat mencegahnya berbuat
sesuatu yang tidak baik. Jangan-jangan maksud tujuan amanat sang guru
yang menugaskan dia menjaganya justru demikianlah adanya?

Berpikir sampai di sini, mendadak dadanya terasa lapang, apa alangannya
mengalami sedikit hinaan asalkan dapat memperbaiki watak seorang jahat
menuju ke jalan yang benar?
Segera ia angkat kepala dan memandang orang dengan ikhlas.
"Sudah malam, tentu kita tidak dapat tinggal di sini," kata Bwe Kim-soat
dengan tersenyum lembut.
"Ya, kita turun saja ke bawah," kata Lamkiong Peng.
Tapi belum jauh mereka berjalan, tiba-tiba Lamkiong Peng berseru, "Nanti
dulu, nona Bwe!"
"Ada apa?" tanya Bwe Kim-soat sambil berpaling.
"Harap nona menunggu sebentar, ada urusan yang perlu ku ...."
"Ah, tentu mengenai peti mati itu, bukan?" tukas Bwe Kim-soat.
"Ya, kecuali itu, beberapa saudara seperguruanku juga masih ketinggalan di
atas gunung dan entah sudah pergi atau belum, betapa pun harus kutunggu
mereka."
"Jika saudara seperguruanmu melihat dirimu selalu mendampingiku, lantas
apa yang akan mereka katakan? Apalagi sudah sekian lamanya, kukira mereka
sudah lama meninggalkan gunung ini," ujar Kim-soat. "Mengenai peti mati itu,
kukira sekarang tidak ada gunanya lagi, buat apa mesti kau bawa kian kemari
pula. Lebih baik kita mencari suatu tempat istirahat yang tenang, nanti akan
kuceritakan berbagai hal yang belum kau ketahui."

"Tapi ... tapi peti itu adalah barang tinggalan guruku, betapa pun harus
kubawa pergi," setelah berhenti sejenak, dengan tegas ia menyambung pula,
"Dan mengenai saudara seperguruanku, apa pun juga perlu kutunggu mereka
dulu sekadar memenuhi kewajibanku sebagai sesama saudara seperguruan."
"Ah, apa yang kukatakan tampaknya tidak kau turut sama sekali," omel Bwe
Kim-soat sambil memandangi anak muda itu dengan lembut seolah-olah
dengan sorot matanya yang hangat itu ingin mencairkan hati Lamkiong Peng
yang keras.
Kedua orang kembali beradu pandang, sampai lama sekali keduanya tidak
berkedip dan tetap bertahan, entah di antara mereka siapa yang lebih kuat.
Kerlip bintang di langit bertambah terang, sebaliknya malam bertambah larut.
Di bawah cahaya bintang dan suasana malam yang sama, apa yang dihadapi
Liong Hui saat itu juga pandangan yang sama lembut dan sama hangatnya.
Saat itu dia sedang berjalan di balik lereng Hoa-san sana, di antara batu padas
yang terjal dan pepohonan yang rimbun serta malam yang tambah kelam.
Tangan Kwe Giok-he yang halus memegangi lengan sang suami yang kekar,
tubuh Giok-he yang kecil mungil juga setengah menggelendot di bahu sang
suami, meski Ginkangnya terlebih tinggi daripada suaminya, Kungfunya juga
tidak lebih lemah, tapi sikapnya yang manja itu seakan-akan kalau tidak ada
perlindungan sang suami akan sukar bergerak di lereng gunung ini.
Yang ikut di belakang mereka adalah Ong So-so yang cantik itu, dia malah
tidak menghendaki bantuan Ciok Tim meski wajahnya sudah dihiasi butiran
keringat.
Terpaksa Ciok Tim ikut berjalan di belakangnya dengan hati-hati.

Mereka berempat sudah hampir menjelajahi seluruh pegunungan ini, namun
tidak menemukan sesuatu bekas tinggalan sang guru.
Di tengah kesunyian perjalanan, akhirnya Kwe Giok-he berucap, "Rupanya
tiada sesuatu yang dapat kita temukan."
"Ya," sahut Liong Hui sambil berpaling.
Ong So-so mengangguk perlahan, Ciok Tim juga menghela napas dan berkata,
"Ya, tidak menemukan apa pun."
"Ayolah kita pulang saja," kata Giok-he pula dengan menyesal.
"Ya, pulang saja," kata Ciok Tim.
"Tapi ... tapi mungkin dia sedang mencari atau menunggu kita," kata So-so
tiba-tiba.
Air muka Ciok Tim agak berubah, sebab ia tahu "si dia" yang dimaksudkan Soso,
yaitu Lamkiong Peng, Sute mereka yang termuda.
"Tanjakan di depan sana tampak lebih curam, kita sudah mencari sampai di
sini, marilah kita coba periksa sana sekalian," ajak Giok-he.
Tidak ada yang membantah, dengan menunduk So-so ikut berjalan ke depan.
Liong Hui agak bingung melihat kelakuan anak dara itu.
Makin ke depan langkah mereka bertambah lambat karena terjalnya tempat.
Maklumlah, puncak selatan Hoa-san ini juga disebut Lok-gan-hong atau
puncak menjatuhkan burung belibis, puncak tertinggi pegunungan Hoa,
biasanya sangat jarang didatangi manusia, burung saja sering menubruk
tebing yang tinggi ini, keadaan di sini sangat sepi, apalagi di malam yang sunyi
ini.

Kwe Giok-he menggelendot terlebih erat di bahu Liong Hui, sebaliknya So-so
semakin jauh jaraknya dengan Ciok Tim.
Pembawaan seorang gadis yang lemah tentu saja berharap akan dibantu dan
dibela oleh seorang yang gagah dan kuat, tapi hasrat ini hanya disembunyikan
di dalam batin saja oleh So-so. Kecuali "dia", rasanya tidak mau menerima
cinta orang lain lagi. Tapi di manakah si dia sekarang?
Makin dipikir makin sedih, tanpa terasa air mata pun berlinang-linang. Tapi ia
tidak berani mengusapnya, sebab ia tidak mau Ciok Tim melihat kesedihannya.
Sekonyong-konyong So-so berhenti melangkah sambil menjerit.
Cepat Liong Hui dan Giok-he berpaling, Ciok Tim juga lantas memburu maju
sambil berseru, "Ada apa?"
Di tengah remang malam terlihat wajah Ong So-so yang terkejut dan air mata
berlinang lagi memandang permukaan tanah dengan tercengang.
Permukaan tanah yang kelam, tampaknya tiada sesuatu yang mengherankan.
Ketika Giok-he dan lain-lain ikut memandang ke tempat yang membuat So-so
tercengang itu, ternyata di atas batu di situ ada bekas kaki yang mendekuk
cukup dalam. Serentak mereka pun berseru kaget.
Tanah berbatu di sini sangat keras, orang biasa biarpun menggunakan senjata
tajam juga sukar membuat bekas kaki sedalam ini, akan tetapi orang ini cuma
menginjak begitu saja lantas meninggalkan tapak kaki sedalam ini.
Bekas kaki itu tidak lurus, tapi miring ke kiri, ujung kaki tepat mengarah
sebuah jalan simpang yang membelok ke kiri.

So-so memandangnya dengan tercengang, sekian lama baru dia berkata
dengan tergegap, "Bekas ... bekas kaki ini apakah mirip dengan kaki ... kaki
Suhu? ...."
Kemudian Giok-he menjawab, "Bekas kaki ini bukan kaki Suhu! Hanya
tampaknya memang mirip ...."
"Ya, bukan saja besar-kecilnya sama, sampai bentuk sepatunya juga sama,"
tukas So-so.
"Saat ini orang persilatan sudah jarang yang memakai sepatu bersol tebal
semacam sepatu Suhu ini," kata Ciok Tim.
Supaya diketahui, orang Kangouw umumnya suka memakai sepatu tipis ringan
untuk memudahkan gerak-gerik mereka, jarang yang mau menggunakan
sepatu bersol tebal seperti yang biasa dipakai kaum pembesar negeri. Apalagi
kalau digunakan menempuh perjalanan di tanah pegunungan, jelas sepatu
tebal ini tidak cocok.
Perlahan Giok-he mengangguk, katanya, "Memang benar jarang ada orang
Kangouw yang mau memakai sepatu tebal begini. Tapi di dunia Kangouw
sekarang siapa pula yang memiliki tenaga dalam sehebat ini ...."
"Betul juga, bekas kaki yang ditinggalkan beliau pasti untuk menunjukkan ke
arah mana beliau pergi," tukas Liong Hui.
"Ya, kukira begitu," kata So-so berbareng dengan Ciok Tim.
"Tapi kalian sama melupakan sesuatu," jengek Giok-he mendadak.
"Sesuatu apa?" tanya Ciok Tim heran.

"Meski bekas kaki ini mirip kaki Suhu, dipandang dari dekukan sedalam ini
juga cuma Suhu saja yang mampu, akan tetapi bekas kaki ini pasti bukan
ditinggalkan oleh Suhu, sebab ...." Giok-he sengaja merandek, lalu
menyambung sekata demi sekata, "Sebab saat ini Suhu tidak lagi mempunyai
tenaga dalam sekuat ini."
Liong Hui, Ciok Tim dan So-so sama melengak, tapi segera mereka pun sadar
persoalannya dan berseru serentak, "Ya, betul!"
Liong Hui lantas menambahkan, "Suhu sudah melemahkan tenaga sendiri
tujuh bagian untuk memenuhi tuntutan gadis she Yap itu, kekuatannya
sekarang tidak lebih hanya sebanding dengan kita, mana beliau sanggup
meninggalkan bekas kaki sedalam ini di atas batu."
Ia pandang Giok-he dengan penuh rasa kagum, lalu bergumam pula, "Hal ini
sama diketahui kita, tapi mengapa cuma engkau saja yang mengingatnya."
"Soalnya kalian sudah lelah, lapar dan juga tegang, dalam keadaan demikian
orang memang sering melupakan sesuatu," ujar Giok-he dengan tersenyum.
Mendadak So-so mengangkat kepala dan berkata pula, "Tapi kalau bekas kaki
ini bukan bekas kaki Suhu, lantas bekas kaki siapa? Di dunia Kangouw zaman
ini, kecuali Suhu siapa pula yang memakai sepatu model begini dan berjalan di
lereng pegunungan yang curam dan sepi ini? Siapa pula yang memiliki
Lwekang setinggi ini?"
Seperti telah diceritakan, sejak pertemuan Hoa-san dahulu, hampir segenap
inti kekuatan dunia persilatan telah gugur bersama, selama ini belum
terdengar di dunia persilatan ada tokoh yang berkuatan sebanding dengan
Tan-hong dan Sin-liong, sebab itulah pertanyaan So-so ini benar-benar sangat
tepat.

Mereka saling pandang dengan bingung sampai sekian lamanya, akhirnya
Liong Hui bergumam, "Jangan-jangan di dunia persilatan sekarang telah
muncul tokoh kelas tinggi baru."
"Jangan-jangan Suhu ...." mendadak Ciok Tim urung meneruskan ucapannya.
"Suhu kenapa?" tanya Liong Hui dengan gelisah.
Ciok Tim memandang kiri-kanan, dilihatnya Giok-he dan So-so juga sedang
memandangnya seperti ingin tahu lanjutan ucapannya itu.
Akhirnya ia berdehem dan berkata pula, "Kukira bisa jadi ... bisa jadi bekas
kaki itu di ... ditinggalkan Suhu waktu ... waktu ...."
"Maksudmu mengkhawatirkan Suhu mengalami luka parah setelah bertanding
dengan orang dan bekas kaki ini ditinggalkan beliau waktu buyarnya Lwekang
sebelum ajal?" tukas Giok-he tak sabar.
"Ya ... ya, kukhawatir begitulah adanya," sahut Ciok Tim dengan menunduk.
"Hah, apakah benar Suhu ... Suhu telah meninggal?" teriak Liong Hui dengan
cemas.
Hendaknya maklum, orang yang menguasai Lwekang tinggi, pada sebelum
ajalnya setiap jurus yang dikeluarkannya dengan sepenuh tenaga pasti lihai
luar biasa. Begitu pula bila tenaga dalam itu dibuyarkan pada waktu
menghadapi ajal, setiap gerakan kaki atau tangan tentu luar biasa kuatnya.
Sejak kecil Liong Hui telah belajar silat dengan guru ternama, dengan
sendirinya ia cukup paham dalil ini, maka dia pula yang paling berduka, tanpa
terasa air mata lantas berlinang.

"Mungkin itu cuma dugaanku saja, hendaknya Toako jangan ...." ucap Ciok
Tim dengan gelagapan.
"Betul, ucapanmu memang ngawur," kata Giok-he tiba-tiba.
"Masa ucapannya tidak berdasar?" tanya Liong Hui sambil mengusap air mata.
"Kusangsikan bila betul ini bekas kaki Suhu, mengapa di sekitar sini tidak ada
sesuatu tanda waktu dia bertempur dengan lawan?" ujar Giok-he. "Selain itu
pesan yang ditinggalkan Suhu apakah mungkin ditulis di sini?"
"Betul, bila betul Suhu membuyarkan Lwekangnya menghadapi ajalnya, mana
beliau dapat meninggalkan pesan sejelas itu?" seru Liong Hui.
"Habis bekas kaki siapakah ini?" kata So-so dengan gegetun.
Giok-he memandang anak dara itu dengan tersenyum, mendadak ia berkata
dengan suara lantang, "Siapa yang meninggalkan bekas kaki ini sekarang
belum dapat diketahui, yang jelas orang yang meninggalkan bekas kaki ini
pasti ada hubungannya dengan Suhu ...."
"Apa dasarnya?" tanya Liong Hui.
Giok-he memandang sang suami sekejap, lalu menyambung malah, "Dan pasti
juga mengisyaratkan sesuatu rahasia."
Liong Hui tambah bingung, "Kenapa kau bilang bekas kaki ini ada sangkut
pautnya dengan Suhu?"
"Sebab kalau bukan urusan yang menyangkut Tan-hong dan Sin-liong, mana
bisa ada tokoh Bu-lim kelas tinggi berkeliaran di pegunungan Hoa yang sunyi
ini," tutur Giok-he.

"Kau bilang bekas kaki ini mengisyaratkan sesuatu rahasia, kalau begitu
bolehlah kita tunggu saja di sini, coba lihat sesungguhnya apa persoalannya?"
ujar Liong Hui.
Tiba-tiba Ciok Tim menanggapi, "Kukira Toaso tidak bermaksud menghendaki
kita tinggal di sini, cuma aku pun tidak tahu apa yang harus kita lakukan."
"Jika begitu, lebih baik kita ... kita pulang saja," tukas So-so.
"Tampaknya Simoay telah merindukan rumah," Giok-he berseloroh. "padahal
kita tentu juga ingin cepat pulang. Cuma kebetulan dapat kita temukan
petunjuk yang menyangkut diri Suhu, mana boleh kita tinggalkan begini saja.
Saat ini memang belum diketahui sesungguhnya apa arti bekas kaki ini serta
rahasia apa yang terkandung di dalamnya, tapi dapat kupastikan satu hal,
yakni arah yang ditunjuk ujung kakinya ini pasti arah kepergian Suhu."
"Jika begitu, marilah kita mengikuti arah yang ditunjuk," kata Ciok Tim.
"Setuju!" seru Liong Hui.
Giok-he tersenyum, segera Liong Hui mendahului membelok ke arah kiri.
Pegunungan Hoa memang sunyi dan kelam, jalan setapak ini terlebih curam
dan sukar dilalui, jika mereka tidak menguasai Ginkang yang tinggi tentu satu
langkah saja sulit meneruskan perjalanan.
"Alangkah baiknya jika membawa obor," gumam Ciok Tim.
Kening Ong So-so tetap bekerenyit, ia berjalan dengan lesu. Mendadak ia
mengertak gigi terus melompat maju dan malah mendahului di depan Liong
Hui.
"Simoay memang tidak mau kalah, coba lihat dia ...."

Belum lanjut ucapan Giok-he, tiba-tiba So-so berseru terkejut lagi. Menyusul
Giok-he bertiga juga bersuara kaget.
Kiranya tidak jauh di depan So-so sana mendadak ada cahaya api, di tengah
pegunungan sepi ini, nyala api ini jelas buatan manusia.
Dengan terkejut mereka coba mengawasi depan sana, tertampak di depan
sebuah tebing menegak mengadang jalan mereka. Karena nyala api itu
dirasakan seperti timbul mendadak, maka dinding tebing itu seakan-akan juga
muncul secara ajaib.
Dinding tebing itu ternyata halus licin, sama sekali tidak ada tumbuhan apa
pun. Waktu mereka melongok ke atas, karena tidak tercapai oleh cahaya api,
bagian atas tebing kelihatan gelap gulita sehingga sukar diraba betapa
tingginya.
Angin mendesir, sinar api bergoyang menambah seramnya keadaan.
Setelah tertegun dan ragu sejenak akhirnya So-so mendekati tempat obor itu
diikuti oleh Liong Hui bertiga.
Jarak obor yang tidak jauh ini dirasakan oleh mereka makan waktu sekian
lamanya baru dapat dicapai. Sesudah dekat baru terlihat jelas obor itu terbuat
dari empat tangkai kayu cemara yang terikat menjadi satu.
Terkesiap Ciok Tim, "Hah, obor, ternyata ada obor!"
Tadi dia menggerundel alangkah baiknya jika ada obor, sekarang obor yang
disebutnya benar-benar muncul.
Liong Hui saling pandang sekejap dengan Giok-he dengan melenggong.

"Jangan-jangan gerak-gerik kita telah ... telah diawasi orang?!" kata Liong Hui.
Giok-he berpikir sejenak, katanya kemudian, "Urusan ini memang aneh,
memangnya siapakah yang mampu mengikuti kita secara diam-diam tanpa
ketahuan. Sesungguhnya apa maksud tujuannya, kawan atau lawan? ...."
Ucapannya terhenti ketika ia memandang ke arah dinding tebing yang licin itu,
sebab mendadak ditemukan sebaris tulisan yang sangat mengejutkan di
dinding tebing itu.
Semua orang ikut memandang ke sana dan sama terkejut. Ternyata tulisan itu
berbunyi: "Liong Po-si, bagus sekali kedatanganmu! Di ketinggian tebing sana
ada tulisan yang ingin kau baca, apakah kau berani naik ke sana?"
Tulisan yang bernada menantang, gaya tulisan yang kuat!
Memangnya siapa yang berani menantang terhadap Put-si-sin-liong yang
namanya menggetarkan dunia persilatan itu? Siapa yang memiliki Lwekang
selihai ini sehingga sanggup meninggalkan ukiran tulisan di dinding batu yang
keras ini?
Liong Hui menarik napas dingin, ia coba melompat maju untuk mengamati
ukiran tulisan yang luar biasa itu.
Sedangkan pandangan Kwe Giok-he lagi tertarik oleh bagian lain daripada
dinding tebing, yaitu suatu tempat bersih agak jauh di sebelah sana, ia
termangu-mangu sejenak, tiba-tiba bergumam perlahan, "Ucapanmu memang
betul, Gote, Suhu ... Suhu memang benar tidak meninggal!"
Nadanya ternyata lebih banyak mengandung rasa kecewa daripada rasa
gembira, memangnya dia kecewa akan urusan apa? Karena iri terhadap
kecerdikan Lamkiong Peng atau urusan lain? Tapi apa pun juga dalam keadaan

dan di tempat begini tentu saja tidak ada orang yang memerhatikan maksud
yang terkandung dalam ucapannya itu.
Serentak Liong Hui bertanya dengan gembira dan bersemangat, "Hah, kau
bilang ucapan Gote benar dan Suhu tidak meninggal dunia?"
Giok-he mengangguk sambil menuding bagian batu gunung yang agak bersih
sana, katanya, "Ya, Suhu tidak meninggal, setiba di sini beliau melihat tulisan
ini, segera beliau menggunakan Ginkang dan naik ke atas."
Dia bicara dengan mantap seakan-akan melihat sendiri apa yang terjadi,
katanya pula, "Jika tulisan yang terukir ini ditujukan kepada Suhu, dengan
sendirinya orang yang meninggalkan tulisan ini sudah memperhitungkan Suhu
pasti akan datang kemari, dan kalau dipandang pada bagian tebing ini, orang
yang naik ke atas pasti tidak menggunakan Kungfu sebangsa 'cecak merayap
dinding' segala, sebab Kungfu ini harus dilakukan dengan merayap ke atas
dengan punggung menempel dinding. Tapi dari bekas telapak tangan yang
terlihat di sini jelas orang naik ke atas dengan muka menghadap dinding.
Kalian sama tahu, di kolong langit ini hanya Kungfu 'Sui-hun-hu' (mengapung
mengikuti awan) dari Sin-liong-bun kita yang merupakan Ginkang mahahebat
untuk merayap ke atas dengan muka menghadap dinding. Berdasarkan semua
ini, orang yang mendaki ke atas siapa lagi kalau bukan Suhu?!"
Serentak Liong Hui bersorak gembira, "Ya, Suhu tidak meninggal ...."
Ciok Tim juga bergirang.
"O, Suhu tidak ..." saking girangnya So-so lantas menangis malah.
Sebaliknya Giok-he lantas menghela napas menyesal.
"Jika Suhu jelas tidak meninggal, apa yang kau sesalkan?" tanya Liong Hui.

"Kau tahu apa?" sahut Giok-he sambil memandang lagi tulisan tadi, "Setiba di
sini Suhu memang tidak mengalami sesuatu, tapi setelah beliau naik ke atas
berarti akan menghadapi bahaya, masakah tidak kau lihat bahwa semua mi
pada hakikatnya cuma sebuah perangkap."
"Perangkap?" Liong Hui menegas.
"Ya, perangkap," kata Giok-he. "Lebih dulu orang menjangkitkan emosi
dengan kata-katanya yang menantang, lalu menyusutkan Lwekang Suhu,
kemudian memancingnya ke sini. Ketiga hal ini satu per satu telah diatur
dengan sangat rapi ...." ia menghela napas pula dan menyambung, "Pantaslah
Suhu lantas terjebak."
Seketika rasa girang Liong Hui bertiga berubah menjadi khawatir lagi.
Dengan prihatin Ciok Tim berkata, "Jika demikian, jadi keterangan nona she
Yap yang mengatakan Tan-hong sudah mati mungkin juga dusta belaka."
"Ya, sangat mungkin," ujar Giok-he sambil mengangguk. "Dengan alasan ini
dia minta Suhu menyusutkan Lwekangnya, juga berdasarkan ini melemahkan
pengaruh Suhu sehingga beliau terpencil sendirian lalu dipancing lagi ke sini.
Ai, setiba di sini, menuruti watak beliau yang keras, biarpun di depan sana
sudah menanti gunung golok dan lautan minyak mendidih juga akan
diterjangnya. Maka ... maka beliau pun terjebak!"
Belum habis ucapannya, mendadak So-so melompat ke kaki dinding tebing
terus merayap ke atas dengan cepat. Dipandang dari bawah, bajunya
mengembung perlahan ke atas sehingga mirip gumpalan awan yang
mengapung.
"Simoay, biarkan aku saja yang naik ke sana!" seru Ciok Tim sambil menyusul
ke sana.

Namun So-so sudah cukup tinggi merayap ke atas.
Giok-he lantas mencegah Ciok Tim, katanya, "Tempat belasan tombak
tingginya mungkin tidak menjadi soal bagi Simoay, jangan khawatir. Biarkan
Simoay melihat apa yang tertulis di atas!"
Ciok Tim tidak membantah lagi, ia mendongak ke atas dengan rasa khawatir.
Semakin tinggi semakin gelap, gerak tubuh So-so juga mulai lamban.
"Sudah kau lihat sesuatu, Simoay?" seru Giok-he sambil menengadah.
"Ya, dapat kulihat dengan jelas," jawab So-so.
"Hati-hati, Simoay!" seru Ciok Tim.
So-so tidak menjawab.
"Setelah membaca lekas turun kemari," seru Giok-he pula.
Belum lenyap suaranya, dilihatnya So-so malah merayap perlahan ke atas lagi.
"Ha, Simoay, untuk apa naik ke atas lagi" teriak Liong Hui. Sampai di sini
mendadak ia menjerit khawatir, "Wah, celaka!"
Tertampaklah tubuh So-so baru merayap sedikit ke atas lantas tidak tahan lagi
dan segera merosot ke bawah.
Dengan khawatir Ciok Tim berlari maju dan siap di bawah.
Liong Hui dan Giok-he juga berteriak, "Awas, Simoay!"

Sementara itu tubuh So-so sudah jatuh ke bawah, meski dia berusaha
mengimbangi dengan Ginkangnya, tapi terperosot dari tempat setinggi itu
tetap sangat berbahaya.
Dengan memasang kuda-kuda yang kuat, sepenuh tenaga Ciok Tim menahan
tubuh So-so yang anjlok ke bawah itu, ia tergetar mundur sempoyongan,
akhirnya dapat berdiri tegak lagi.
Siapa tahu begitu kaki menyentuh tanah, So-so lantas mendorongnya
sehingga Ciok Tim tertolak dua-tiga tindak lagi, keruan ia melenggong, di
bawah cahaya obor kelihatan mukanya sebentar merah sebentar pucat, jelas
sangat tidak enak perasaannya.
So-so memandangnya sekejap, mendadak menghela napas dan menunduk,
ucapnya perlahan, "Maaf, terima kasih atas pertolonganmu!"
Hatinya bajik dan tidak suka melukai perasaan orang lain, apalagi tindakan
Ciok Tim itu adalah karena ingin menolongnya, dengan sendirinya ia merasa
tidak enak juga.
Giok-he memandang kedua muda-mudi itu, sedangkan Liong Hui sama sekali
tidak memerhatikan persoalan pelik antara anak muda itu, ia lantas bertanya,
"Simoay, apa yang tertulis di atas, kan sudah kau lihat dengan jelas?"
"Ya, sudah kulihat dengan jelas," jawab So-so lirih sambil mengangkat kepala,
tampaknya sangat kesal.
"Apa yang tertulis di sana?" tanya Liong Hui tak sabar.
Perlahan So-so lantas menguraikan apa yang dibacanya tadi, "Liong Po-si,
engkau jadi naik ke sini? Jika demikian jelaslah Kungfumu tidak telantar.
Turunlah kembali lurus ke bawah, lalu melangkah tujuh belas tindak ke kiri, di
kaki tebing ada tetumbuhan akar-akaran, singkap tetumbuhan itu akan terlihat

celah-celah yang cukup diterobos tubuh seorang, langsung masuk ke sana,
setiba di ujung dapatlah kau lihat diriku! ...."
So-so berhenti sejenak, tapi Liong Hui lantas melangkah ke sebelah kiri sana
sambil berhitung, "Satu, dua, tiga ...."
Cepat So-so memanggilnya, "Nanti dulu, Toako, masih ada ...."
"Ada apa? Maksudmu belum-habis tulisan yang kau baca itu?" tanya Liong Hui
sambil menoleh.
So-so mengangguk, "Ya, masih ada satu baris yang berbunyi: Dan bila engkau
masih ada sisa tenaga, naik lima tombak lagi ke atas, di situ juga ada tulisan,
apakah kau ingin tahu?"
"Menuruti watak Suhu, biarpun mengadu jiwa juga pasti akan naik ke atas,"
ujar Giok-he dengan gegetun.
"Tapi ... tapi aku tidak sanggup lagi naik ke atas!" ucap So-so dengan
menunduk, tampaknya sangat kecewa.
Liong Hui tertegun, katanya kemudian, "Ginkang Simoay jauh lebih hebat
daripadaku, jika dia tidak mampu naik ke atas apalagi aku."
"Biar kucoba," seru Ciok Tim.
"Ginkang Toaso lebih bagus daripadamu, biarkan dia saja yang naik ke atas,"
ujar Liong Hui.
Han Bu Kong 04

"Tidak perlu dicoba lagi," sela So-so, "Toaso juga takkan mampu naik ke atas.
Setelah mencapai ketinggian sana, untuk merayap sejengkal lagi rasanya
terlebih sulit daripada merayap setombak dari bawah sini, kalau ingin mendaki
lima tombak yang disebutkan itu, biarpun kulatih sepuluh tahun lagi juga tidak
sanggup."
"Ya, dapat kupahami keteranganmu ini," kata Giok-he sambil mengangguk.
Hendaknya diketahui, Ginkang sebagai "cecak merayap" dan "awan
mengapung" segala itu pada dasarnya cuma dorongan tenaga yang dikerahkan
seketika. Bilamana sudah mencapai ketinggian dari tenaga yang dikerahkan,
untuk naik lebih tinggi lagi jelas sangat sulit.
Dengan sendirinya Liong Hui dan Ciok Tim juga dapat memahami dalil ini.
"Lantas bagaimana?" tanya Liong Hui kemudian.
"Jika tidak ada jalan lain, betapa pun harus kucoba!" ujar Ciok Tim.
"Bila tidak ada jalan lain, biarpun kau coba juga percuma," kata Giok-he.
"Lebih baik kita periksa celah-celah di sebelah kiri yang disebutnya itu."
"Betul, harus kita periksa sesungguhnya siapakah yang meninggalkan tulisan
itu," seru Liong Hui.
Giok-he tersenyum, "Tanpa melihatnya juga kutahu siapa dia."
"Oo, memangnya siapa?" tanya Liong Hui.
"Kecuali Tan-hong Yap Jiu-pek masakah ada orang lain? Selain Yap Jiu-pek
masakah ada orang berani bicara seketus itu terhadap Suhu?"
"Tapi ... bukankah Yap Jiu-pek sudah mati?" Liong Hui merasa sangsi.

"Kan sudah kukatakan sejak tadi bahwa semua ini cuma perangkap saja," kata
Giok-he. "Cuma di mana letak ujung tali jeratan ini sejauh ini belum kita
ketahui, kecuali ... kecuali dapat kulihat sebenarnya apa yang tertulis di
tempat paling atas sana."
Belum lenyap suaranya sekonyong-konyong dari ketinggian tebing yang tak
terlihat jelas itu terjulur seutas tali panjang.
Keruan So-so berempat berteriak kaget mereka memandangi tali yang terjulur
di depan mereka ini dengan melongo dan tak dapat bersuara sampai sekian
lamanya.
Keempat orang itu saling pandang dengan sangsi dan ngeri. Ternyata di atas
tebing yang tak terlihat jelas itu terdapat jejak manusia.
Dengan suara tertahan akhirnya Ciok Tim berkata, "Yang melemparkan tali ke
bawah ini entah apakah juga orang yang menyalakan obor ini?"
Giok-he mengangguk, "Ya, kukira orang yang sama."
Kening Ciok Tim bekerenyit rapat, katanya pula, "Tapi orang ini sebenarnya
kawan atau lawan, sungguh sukar untuk diraba. Jika maksud orang ini tidak
jahat, dengan sendirinya boleh kita naik ke atas dengan memanjat tali, kalau
sebaliknya ... wah, keadaan kita saat ini sungguh sangat berbahaya."
Giok-he tersenyum dan menggeleng, "Jika dipandang dari kelihaian orang ini,
jika dia bermaksud membikin susah kita, untuk apa membuang tenaga
percuma cara begini?"
"Jika begitu biarlah kucoba naik dulu ke atas," sela So-so.

"Biar kutemanimu naik ke atas, jika terjadi apa-apa jadi dapat saling
membantu," tukas Ciok Tim, agaknya dia telah melupakan kemungkinan
bahaya.
"Bukankah kau bilang berbahaya?" kata So-so, tiba-tiba ia menyesal karena
ucapannya terlalu menyinggung perasaan, maka cepat ia menyambung, "Jika
ada bahaya kan lebih baik dihadapi seorang saja."
Ciok Tim menunduk kikuk.
Giok-he lantas menyambung, "Simoay sudah naik satu kali, sekali ini biar aku
saja yang naik ke atas."
"Betul, sekali ini giliran kita," tukas Liong Hui.
Mendadak Ciok Tim membusungkan dada dan berseru, "Biar kutemani Toaso
ke atas!"
Agar kelihatan gagah berani di depan orang yang dirindukannya, biarpun
sekarang di atas sana terpasang perangkap maut juga tak terpikir lagi
olehnya.
"Boleh juga Site ikut bersamaku," ucap Giok-he.
Segera ia melompat ke atas setinggi dua tiga tombak, diraihnya tali itu dengan
kuat lalu ia berpaling ke bawah dan berseru, "Toako, bila aku jatuh harus kau
tangkap diriku dengan baik!"
"Jangan khawatir," segera Liong Hui siap memasang kuda-kuda di bawah.
Waktu Ciok Tim ikut melompat ke atas, akhirnya So-so berucap juga, "Hatihati!"

Mesti lirih suaranya, namun cukup jelas didengar Ciok Tim, seketika ia
berbesar hati dan semangat terbangkit, serunya, "Jangan khawatir!"
Di tengah remang malam kelihatan bayangannya semakin cepat naik ke atas,
hanya sebentar saja lantas menghilang dalam kegelapan.
Liong Hui mendongak sampai sekian lama, mendadak ia berkata, "Apakah
tidak ada sesuatu bahaya di atas?"
"Bukankah Toaso sudah bilang, kepandaian orang itu jauh di atas kita, jika dia
mau membikin susah kita buat apa dia bersusah payah menjebak kita," ujar
So-so.
"Tapi sudah sekian lama mereka tidak kelihatan," kata Liong Hui, segera ia
berteriak, "Hei, adakah kalian menemukan sesuatu."
Namun suasana sunyi senyap tiada sesuatu suara jawaban.
Bekerenyit kening Liong Hui, gumamnya, "Wah, masakah mereka tidak
mendengar suaraku?"
Sekali ini dia berteriak terlebih keras sehingga anak telinga So-so yang berdiri
di sampingnya ikut mendengung. Namun puncak karang di atas tetap sunyi
tanpa sesuatu jawaban, hanya desir angin yang mengumandangkan suara
Liong Hui itu ke empat penjuru.
So-so juga mulai gelisah, ia sangsi, biarpun puncak tebing ini sangat tinggi dan
menjulang ke tengah awan, namun sekeliling tiada barang pengalang lain,
masakah suara teriakan mereka tidak terdengar.
Diam-diam ia berkhawatir bagi mereka, tapi tidak berani diutarakannya. Ia
coba melirik Liong Hui, di bawah cahaya obor yang redup air muka Liong Hui
kelihatan juga berubah.

"Coba, kau bilang Toaso berdua takkan menemukan bahaya, tapi ... tapi
mengapa mereka tidak menjawab suaraku?" kata Liong Hui kemudian.
So-so tidak tahu cara bagaimana harus menjawab, sampai sekian lama baru ia
menghela napas perlahan dan berucap, "Jika ada bahaya seharusnya mereka
juga bersuara memberitahukan kepada kita, tapi sampai sekarang tetap tiada
sesuatu gerak-gerik apa pun di atas, sungguh sangat aneh ...."
"Ya, sungguh aneh," tukas Liong Hui sambil memegang tali panjang yang
terjulur itu, mendadak ia melenggong, tangan pun agak gemetar.
So-so menjadi heran, "He, Toako, ada apa?"
Liong Hui berpaling dengan wajah penuh rasa kejut dan khawatir, "Coba kau
lihat!"
Berbareng tangannya bergerak, tali yang terjulur itu dapat diayunnya hingga
jauh seperti tidak dibebani sesuatu.
Cepat So-so ikut memegang tali itu dan digoyangkan dua-tiga kali, betul juga,
di atas tidak terasa diganduli sesuatu, dengan gugup ia menyurut mundur dan
mendongak ke atas, ucapnya dengan suara gemetar, "Ya, mengapa tali ini
bebas lepas, ke ... ke manakah mereka?"
"Bukankah kau bilang tidak ada bahaya?!" seru Liong Hui dengan air muka
kelam.
So-so tertegun, mendadak ia mengertak gigi dan meloncat ke atas, dengan
cepat ia pun merambat ke atas ....

Kiranya tadi Ciok Tim terus ikut Giok-he merambat ke atas dengan cepat dan
gesit, hatinya terasa hangat ketika mendengar pesan So-so kepadanya agar
hati-hati, ia pikir, "Betapa pun dia tetap memerhatikan diriku."
Karena itulah caranya merambat pun bertambah semangat dan juga tambah
cepat, ketika mencapai belasan tombak tingginya, tiba-tiba terdengar Kwe
Giok-he berkata di atas, "Tulisan inilah yang dilihat Simoay tadi. Ai, daya
ingatnya sungguh sangat kuat, dia dapat menghafalkan tanpa kurang satu
huruf pun."
"Ya, daya ingatnya memang hebat," sahut Ciok Tim,
Sekilas ia baca tulisan yang dimaksud di dinding tebing, lalu merambat lagi ke
atas dan diam-diam membatin pula, "Betapa pun Simoay tetap memerhatikan
diriku. Mesti terkadang dia suka bersikap kasar padaku, hal itu hanya karena
keangkuhan seorang gadis saja. Apa pun juga sudah lima tahunan kami
tinggal bersama, mustahil dia tidak menaruh sesuatu perasaan padaku?"
Berpikir demikian, tersembul juga senyuman pada ujung mulutnya.
Selagi dia tenggelam dalam perasaan bahagia, mendadak dahinya menyentuh
sesuatu, ia terkejut dan mendongak, kiranya kaki Kwe Giok-he.
Kaki yang bersepatu kain sutera hijau bersulam bunga ungu kecil, indah dan
serasi membungkus kakinya yang putih, ujung sepatu yang agak mencuat ke
atas itu dihiasi sebiji mutiara mengilat.
Sekarang kedua biji mutiara itu tepat berada di depan mata Ciok Tim,
semacam bau harum yang sukar dilukiskan sayup-sayup terbawa angin
tereium oleh hidung Ciok Tim.
Lebih ke atas lagi adalah ujung kaki celana yang juga bersulam bunga kecil
menutupi permukaan kaki.

Seketika sorot mata Ciok Tim terhenti di situ. Baru sekarang ia tahu sebab apa
sang Toaso yang kecantikannya termasyhur di dunia Kangouw ini tidak suka
memakai sepatu bersol tipis yang biasanya digunakan orang perempuan
kalangan Kangouw atau sejenis sepatu yang bagian bawahnya tersembunyi
senjata tajam. Hal ini serupa kebiasaan guru mereka yang tetap suka memaki
sepatu sol tebal yang biasa dipakai kaum pembesar negeri itu. Hal ini
disebabkan sepatu sol tinggi dapat melambangkan kebesaran dan
kewibawaannya dan jelas-jelas menggariskan perbedaannya dengan orang
persilatan umumnya.
Hanya sepatu bersol tipis yang ringan inilah dapat menonjolkan keindahan kaki
seorang perempuan.
Melihat sepatu bagus dengan kaki yang indah ini, seketika Ciok Tim jadi
terkesima.
Tiba-tiba terdengar Giok-he menegur dengan tertawa, "Apa yang kau lihat?"
Muka Ciok Tim menjadi merah.
"Lekas naik kemari dan bacalah tulisan di sini," terdengar Giok-he berseru lagi
sambil merambat ke atas.
Waktu Ciok Tim menengadah, dilihatnya di tengah keremangan wajah yang
cantik itu sedang tersenyum kepadanya, dengan kikuk ia berdehem dan
menjawab, "Apa ... apa yang tertulis di situ?"
"Naiklah dan baca sendiri," kata Giok-he sambil merapatkan tubuhnya ke
dinding tebing,
Dengan begitu ada tempat luang untuk Ciok Tim naik ke situ.

Segera Ciok Tim ikut merambat ke atas, ia tidak berani memandang langsung
kepada Giok-he, tapi lantas membaca tulisan yang terukir di dinding, di situ
tertulis: "Liong Po-si, akhirnya kau datang juga ke sini. Bagus sekali.
Kungfumu memang tidak telantar, kini jika kau naik lagi sedikit dan berjalan
lima belas langkah ke kanan juga terdapat sebuah celah-celah, jalan tembus
ini terlebih dekat, cuma lebih sulit dilalui, namun bila engkau mendaki tujuh
tombak lagi ke atas akan kau temukan sebuah jalan yang terlebih dekat, cuma
engkau jangan memaksakan kemauanmu untuk menempuh jalan yang sukar
ditempuh, ambil saja jalan yang mudah dilalui, akhirnya kan tetap dapat
berjumpa denganku."
Meski keadaan cukup kelam namun dapatlah Ciok Tim membaca jelas dan
cepat tulisan di dinding itu. Malahan berbareng dengan itu dirasakan bau
harum pun semakin menusuk hidung.
Tanpa terasa terkenang olehnya kejadian masa lampau. Waktu itu dia baru
masuk perguruan Sin-liong, baru berumur sepuluh, usia Kwe Giok-he lebih tua
dua-tiga tahun. Pada masa emas anak-anak mereka itu, meski berada di
bawah asuhan guru yang keras, mereka pun pernah bermain-main
sebagaimana layaknya anak-anak umumnya.
Karena pergaulan dekat dan teman bermain setiap hari itu, diam-diam ia
mencintai kakak seperguruan yang lebih pintar dan juga lebih tua dua tahun
daripadanya itu. Cuma cinta itu boleh dikatakan cinta suci murni anak-anak,
cinta antara kakak dan adik, suci bersih tanpa noda, sampai dia sudah agak
lebih besar rasa cinta itu tetap disimpannya di dalam hati.
Pada waktu dia berumur 15 barulah Ong So-so juga masuk perguruan. Itulah
suatu hari yang cerah, biarpun kejadian itu sudah lima tahun berselang,
namun Ciok Tim masih ingat betapa cemerlang cahaya bintang pada malam
itu.

Malam itu Put-si-sin-liong Liong Po-si mengadakan beberapa meja pesta dan
mengumumkan dua peristiwa menggembirakan, pertama ialah diterimanya
seorang murid perempuan baru, kedua sekaligus diumumkan perjodohan
murid utamanya, yaitu Liong Hui dengan murid kedua, Kwe Giok-he.
Pada malam itu juga diam-diam Ciok Tim mengucurkan air mata di kamarnya
sendiri. Sejak itu sedapatnya dia ingin melupakan cintanya yang suci murni
itu, sebab si dia sudah dipersunting oleh Toasuheng yang dihormat dan
diseganinya itu, selanjutnya si dia telah menjadi Toaso (kakak ipar) dan bukan
lagi Suci (kakak guru) kecilnya, dia terpaksa harus melupakan perasaannya
itu.
Maka sedapatnya ia berusaha menjauhi si dia serta menghindari bicara dengan
mereka, karena itulah lambat-laun Ciok Tim berubah menjadi pendiam dan
suka menyendiri.
Pada suatu pagi hari ketika mereka bertemu di lapangan latihan, kebetulan
Ciok Tim bertemu sendirian dengan Giok-he, ia ingin menghindarinya, tapi
Giok-he sempat memanggilnya dan menegur, "Mengapa akhir-akhir ini engkau
selalu menghindari diriku, memangnya aku bukan lagi Suci cilikmu?"
Ciok Tim hanya menggeleng saja tanpa bicara dan orang lain pun keburu
datang. Untuk seterusnya mereka pun tidak pernah bertemu berduaan lagi,
sampai kini ....
Kini peristiwa lampau seakan-akan terbayang kembali dalam benak Ciok Tim,
rasanya Kwe Giok-he seperti menggelendot di sampingnya dengan baunya
yang harum itu dan membuatnya lupa si dia adalah "Toaso"-nya.
Ketika ia berpaling, kedua orang beradu pandang, tanpa terasa ia menghela
napas dan memanggil perlahan, "Siausuci ...."

Panggilan ini sangat perlahan, namun serupa sepotong batu raksasa dilempar
ke tengah laut dan menimbulkan gelombang dalam hati Kwe Giok-he yang
tenang itu.
Giok-he mengerling sayu wajah Ciok Tim dan entah apa yang terpikir olehnya,
ia cuma perlahan meraba sekali muka Ciok Tim dan berkata, "Engkau agak
kurus!"
Bergolak juga hati Ciok Tim, namun di luarnya sedapatnya ia berlagak tenang,
katanya, "Suhu ... Suhu tentu naik ke atas!"
Ia tidak berani memandangnya lagi, tapi lantas mendahului merambat tali ke
atas.
Jarak yang tidak sampai sepuluh tombak itu dengan cepat dapat dicapainya. Di
atas memang sudah sampai ujungnya, tanpa pikir ia melompat ke atas,
puncak tebing ini sungguh sangat aneh, lapang, datar, serupa ditabas oleh
senjata tajam.
Selagi Ciok Tim merasa heran, tiba-tiba dari belakang sudah berjangkit bisikan
Giok-he yang perlahan, mana Ciok Tim berani menoleh, meski timbul juga
hasratnya, namun dia tetap memandang lurus ke depan.
Angin meniup menerbangkan rambut di pelipis Giok-he ke tepi telinga dan
bawah dagu Ciok Tim, terdengar keluhan Giok-he perlahan, "Kutahu sejak
kuikut Toakomu, senantiasa engkau lantas menghindari diriku. Hari itu waktu
kita bertemu di tempat latihan, bahkan engkau tidak berani bicara padaku,
mengapa engkau tidak berani bicara padaku, mengapa engkau tidak serupa
dulu ...."
Pada saat itulah terdengar gema suara Liong Hui dari bawah, "Adakah melihat
sesuatu di atas?!"

Ciok Tim terkesiap dan berpaling, seketika bibirnya menyentuh ujung mulut
Giok-he yang manis dan hangat.
Keduanya tidak bersuara, juga tidak bergerak lagi, keduanya tidak ada yang
menjawab suara Liong Hui itu.
Giok-he mengembus napas panjang dan berbisik pula, "Apakah masih ingat
waktu di bawah pohon mangga di belakang perkampungan dahulu ...."
Ciok Tim mengangguk, "Ya, waktu itu ku ... kupeluk dirimu dan minta engkau
bermain pengantin baru denganku ...."
"Kau minta aku menjadi mempelai perempuan dan masuk kamar pengantin
bersamamu, tapi aku tidak mau ...."
"Ya kau bilang usiamu lebih tua daripadaku, hanya dapat menjadi Ciciku dan
tidak dapat menjadi pengantinku ...."
"Dan lantas kau peluk diriku, kau paksa dan .... dan aku ...."
Sekonyong-konyong terdengar lagi bentakan dari bawah, "Hei, kalian
mendengar suaraku tidak?"
Hati Ciok Tim terkesiap pula, mendadak dirasakan bibir yang hangat
menyentuh bibirnya .... Lalu terdengar Giok-he berkata pula perlahan, "Waktu
itu serupa sekarang ini, engkau telah mencium aku ...."
"Namun kemudian engkau menikah dengan Toako dan menjadi Toaso ...." ia
tidak bergerak, sebab pergolakan darah panas anak muda membuatnya
hampir tidak tahan.
"Meski kunikah dengan Toakomu, tapi .... masakah engkau tidak tahu hatiku?"

"Hati ... hatimu ...."
"Dalam hal apa aku tidak membelamu? Terkadang aku pun ikut bicara bagimu
bila ucapan Simoay terlalu keras padamu, masakah engkau tidak tahu sebab
apa aku berbuat demikian?"
"Jika ... jika begitu, mengapa engkau mau menikah dengan Toako?" tanya
Ciok Tim.
Giok-he mengerling sendu, ucapnya lirih, "Usiaku lebih tua, juga Sucimu,
sekalipun aku mau menikah denganmu juga takkan diluluskan oleh Suhu."
"Semula kukira engkau ingin menjadi istri murid pewaris Sin-liong-bun, karena
ingin berkuasa mewarisi Ci-hau-san-ceng kelak, maka engkau menikah dengan
Toako, sebab ... sebab kutahu benar watakmu sama sekali berbeda daripada
pribadi Toako yang keras itu."
Air muka Giok-he tampak berubah, seperti isi hatinya tepat kena diungkap
orang, serupa juga orang yang merasa penasaran, ia menghela napas panjang
dan bertanya, "Apa benar semula engkau berpikir demikian."
"Ya, tapi sekarang kutahu pikiranku itu keliru," jawab Ciok Tim sambil
mengangguk.
Giok-he tersenyum, mendadak ia berbisik lagi, "Meski kita tidak dapat menjadi
suami-istri, tapi ... tapi selanjutnya kalau setiap saat kita masih dapat ber ...
bertemu, kan sama saja."
Terguncang juga perasaan Ciok Tim, ia pandang orang dengan termangu,
sampai sekian lama napas pun seakan-akan terhenti.
Mendadak terdengar lagi kumandang suara di bawah, "Simoay, mungkin ada
bahaya di atas, biarlah aku naik dulu!"

Ciok Tim terkejut, cepat ia melompat mundur dan berdiri di samping sepotong
batu karang di tepi puncak tebing itu.
Hampir pada saat yang sama bayangan Ong So-so yang ramping pun
melayang ke atas, menyusul tubuh Liong Hui yang kekar juga melompat tiba.
Di bawah cahaya bintang sorot mata keempat orang saling pandang sekejap,
masing-masing sama mengunjuk rasa tercengang. Dengan sendirinya pada
sorot mata Ciok Tim juga tertampil rasa kikuk dan takut.
Liong Hui dan So-so sama bersuara heran, "Kiranya kalian baik-baik saja di
atas?!" ucap Liong Hui.
Ketika dilihatnya Ciok Tim berdiri di sana dengan sikap kikuk, betapa pun
lugasnya Liong Hui timbul juga rasa curiganya, "Ada apa kalian?"
Giok-he lantas menarik muka, "Aneh pertanyaaanmu ini, memangnya kau kira
ada apa?"
"Seruanku dari ... dari bawah tadi masa tidak kalian dengar?" tanya Liong Hui
dengan agak tergegap.
"Tentu saja dengar," jawab Giok-he.
"Jika dengar mengapa tidak menjawab, bikin cemas orang saja," keluh Liong
Hui dengan menyesal.
"Huh, kau linglung, masakah orang lain harus ikut linglung?" jengek Giok-he.
"Aku linglung apa?" tanya Liong Hui dengan melongo.

"Masa kau lupa betapa bahaya keadaan kita, musuh di tempat gelap dan kita
di tempat yang terang, tapi engkau sengaja gembar-gembor, memangnya kau
khawatir musuh tidak tahu tempat kita berada dan sengaja memberitahukan
padanya? Huh masih berani kau tegur, kami segala?"
Liong Hui tercengang, akhirnya menunduk.
"Ai, memang pikiran Toaso jauh lebih cermat daripada kita," ucap So-so
dengan gegetun.
Rasa gugup Ciok Tim tadi sudah mulai tenang kembali, namun air mukanya
lantas bertambah kecut. Terhadap Giok-he selain kagum juga timbul rasa
takutnya. Sungguh tak terpikir olehnya seorang sudah berbuat dosa malah
berani mengomeli orang lain.
Terhadap Liong Hui timbul juga rasa kasihan dan juga malunya, dilihatnya
Liong Hui menunduk sejenak, mendadak mendekatinya dan tepuk-tepuk
bahunya sambil berucap, "Maafkan kesalahanku."
Berdetak hati Ciok Tim, sahutnya dengan gelagapan, "Meng ... mengapa Toako
minta maaf padaku? ...."
"Tadi aku salah mengomelimu," ujar Liong Hui dengan menyesal. "Meski tidak
kukatakan terus terang, sebenarnya dalam hatiku agak curiga. Ai, aku pantas
mampus, masakah mencurigaimu."
Ciok Tim terkesima, darah panas bergolak hebat dalam rongga dadanya,
menghadapi lelaki yang tulus, jujur dan berjiwa terbuka ini, sungguh ia
merayakan dirinya sendiri sedemikian kecilnya, sedemikian kotor, dengan
gelagapan ia menjawab, "O, Toako ... aku ... aku yang ...."
Belum lanjut ucapannya, mendadak Giok-he melompat maju dan berseru, "Di
antara saudara sendiri, jika terjadi salah paham, asal sudah jelas
persoalannya, apa pula yang perlu dikatakan lagi."

"Betul aku takkan banyak omong lagi," kata Liong Hui sambil memegang
pundak Ciok Tim, tapi mendadak ia berteriak pula sambil memandang ke
belakang Ciok Tim dengan tercengang, "Hei, apa ini?"
Dengan kaget Ciok Tim berpaling, maka terlihatlah pada batu karang di
belakangnya itu terukir gambar seorang perempuan berdandan sebagai
pendeta To, rambutnya disanggul tinggi di atas kepala dan pakai tusuk kundai
hitam, berdiri tegak dengan tangan kiri lurus ke bawah dan jari tengah dan
telunjuk agak menjengkat ke atas. Sedangkan tangan kanan memegang
pedang dengan ujung pedang agak serong ke bawah, mukanya jelas serupa
hidup, pakaiannya dilukiskan berkibar serupa sedang menari. Dipandang di
tengah remang malam seperti perempuan hidup berdiri di depanmu.
Di samping gambar terdapat pula beberapa baris tulisan, waktu diamati,
tulisan itu berbunyi: "Liong Po-si, Kungfumu bertambah maju lagi. Akan tetapi
dapatkah kau patahkan juru seranganku ini? Kalau dapat, maju lebih lanjut,
jika tidak mampu, segera kembali?"
Liong Hui mengawasi gambar itu sekian lama, mendadak ia mendengus, "Huh,
aku saja mampu mematahkan jurus serangan ini, apalagi Suhu?"
"Nada tulisan ini sedemikian angkuh, tapi jurus yang diperlihatkan ini
tampaknya tiada sesuatu yang luar biasa, jangan-jangan ada keajaiban di balik
tulisan ini," ujar Ciok Tim.
Tiba-tiba So-so menukas, "Jurus serangan yang kelihatan biasa ini pasti
mengandung keajaiban yang tidak dipahami kita."
"Ya, setiap jurus serangan yang kelihatan biasa saja sesungguhnya semakin
lihai dan sukar diduga," kata Giok-he, ia merandek sejenak lalu menyambung
dengan tersenyum, "Sudah sekian lama kalian memandangnya, adakah kalian
melihat sesuatu keistimewaan pada gambar ini?"

Liong Hui memandang lagi beberapa kejap, katanya, "Pedang terhunus dan
siap menyerang, seharusnya kaki pasang kuda-kuda yang tepat, tapi kedua
kaki Tokoh (pendeta perempuan agama To) ini berdiri dengan ujung kaki
menatap di depan, sungguh janggal kuda-kudanya ini."
"Betul, inilah salah satu keistimewaannya," kata Giok-he.
Dada Liong Hui membusung terlebih tinggi, wajah pun berseri-seri,
sambungnya lagi, "Dia berdandan sebagai Tokoh, tapi sepatu yang dipakainya
serupa sepatu orang lelaki, ini pun sangat janggal."
"Dandanan tidak ada sangkut pautnya dengan ilmu pedang, ini tidak masuk
hitungan," ujar Giok-he dengan tertawa.
"Mengapa tidak masuk hitungan, dandanan yang tidak benar menandakan
jiwanya tidak baik, ilmu pedangnya juga pasti tidak murni, ilmu pedang yang
tidak bersih mana dapat memperlihatkan keampuhan dan mengalahkan
musuh," kata Liong Hui dengan serius.
"Baik, baik, boleh juga dihitung ...."
"Dengan sendirinya harus dihitung," kata Liong Hui dengan mantap. So-so
juga mengangguk, "Ya, ilmu pedang yang tidak bersih, biarpun dapat
menjagoi dunia seketika juga tidak tercatat dalam sejarah. Ucapan Toako
memang beralasan."
"Memang betul," sambung Ciok Tim. "sejak dulu hingga kini sudah banyak
juga contohnya. Lihat saja ilmu pedang perguruan Siau-lim dan Bu-tong yang
turun-temurun entah sudah berapa angkatan dan sampai sekarang masih
tetap dipuji. Sebaliknya berbagai macam ilmu pedang yang pernah menjagoi
dunia persilatan karena kekejian dan keganasannya, sampai sekarang hanya

namanya saja masih dikenal, namun bekasnya sudah menghilang, ucapan
Simoay sungguh ...."
"Sudah cukup bicaramu?" mendadak Giok-he memotong dengan kurang
senang. Ciok Tim melengak.
Maka Giok-he menyambung lagi, "Sungguh aku tidak mengerti dalam keadaan
demikian dan di tempat begini kalian bisa mengobrol iseng, kalau mau
mengobrol selanjutnya kan masih banyak waktu, kenapa kalian mesti terburuburu."
Muka So-so menjadi merah juga dan tanpa terasa menunduk.
Dengan tersenyum lalu Giok-he berkata lagi, "Kecuali kedua segi yang
disebutkan Toako tadi ...."
"Tiga segi," sela Liong Hui.
"Baik, kecuali ketiga segi ini, apa lagi yang kalian lihat?" tukas Giok-he dengan
tertawa.
Ciok Tim mengangkat kepala, meski memandang ke arah gambar, padahal
pandangannya kabur tidak melihat sesuatu.
Perlahan So-so bicara, "Kulihat titik yang paling aneh terletak pada matanya,
mata perempuan ini terukir terpejam, padahal mana bisa jadi memejamkan
mata pada waktu bertempur dengan orang?"
Dia bicara tanpa mengangkat kepala, mungkin karena hal ini sudah dilihatinya
sejak tadi, hanya sejauh ini belum dikemukakannya.
"Betapa pun memang Simoay lebih cermat," ujar Liong Hui dengan gegetun.

"Betul juga." kata Giok-he. "Semula aku pun menganggap hal ini sangat aneh,
tapi setelah kupikirkan lagi, kurasa sebabnya dia memejamkan mata sangat
beralasan, bahkan merupakan titik paling lihai daripada jurus serangannya
ini."
"Mengapa begitu?" tanya Liong Hui dan Ciok Tim berbareng.
"Jurus serangannya ini mengutamakan ketenangan, sebaliknya setiap orang
persilatan tahu Thian-liong-cap-jit-sik (tujuh belas gerakan naga langit)
perguruan kita mengutamakan kedahsyatan serangan, terutama empat jurus
terakhir, banyak gerak perubahannya sehingga lawan sukar menahannya. Tapi
gambar orang perempuan ini hanya meluruskan pedangnya ...."
"Karena pedangnya cuma bergerak lurus sehingga lawan pun sukar
mengetahui bagaimana gerak lanjutannya," tukas So-so. "Sama halnya orang
menulis, jika pensilnya cuma menggores satu garis, siapa pun tidak tahu apa
yang akan ditulisnya, tapi bila dia menggores melingkar atau sesuatu awalan
huruf, orang lantas tahu huruf apa yang akan ditulisnya."
"Haha, meski sejak mula kutahu dalil ini, tapi sukar untuk kujelaskan, setelah
diuraikan Simoay, semuanya menjadi jelas, perumpamaan Simoay dengan
menulis memang sangat tepat," kata Liong Hui dengan tertawa.
"Ya, Simoay memang lebih pintar daripada kalian," ujar Giok-he.
"Ah, Toaso ...." So-so menunduk malu.
"Tapi ingin kutanya padamu, adakah kau lihat bagaimana gerak lanjutan dari
pada pedangnya ini?" tanya Giok-he.
So-so berpikir sejenak, jawabnya kemudian, "Meski tidak banyak
pengetahuanku, tapi menurut hematku, gerak pedangnya ini dapat
menimbulkan tujuh gerak perubahan."

"Ketujuh gerak perubahan apa?" tanya Giok-he. Ciok Tim dari Liong Hui juga
sama pasang telinga.
"Jurus serangannya ini tak jelas berasal dari ilmu pedang aliran mana," kata
So-so, "Tapi jelas dapat berubah menjadi jurus Gan-loh-peng-sah (burung
belibis hinggap di rawa) dari ilmu pedang Bu-tong-pay."
"Betul, asal ujung pedangnya berputar ke kiri akan jadilah jurus Gan-loh-pangsah,"
tukas Giok-he.
Kening Liong Hui bekerenyit rapat, dan mengangguk.
Lalu So-so menyambung lagi, "Dan bila ujung pedangnya menyontek ke atas,
akan jadi jurus Liu-ji-ging-hong (ranting pohon menyongsong angin) dari
Tiam-jong-pay. Kalau pergelangan tangannya berputar ke bawah, jadilah jurus
Kong-jiok-kay-peng (burung merak membentang sayap) dari Go-bi-pay."
Bertutur sampai di sini, nadanya mulai emosional.
Giok-he tersenyum dan berkata, "Bicaralah perlahan, tidak perlu tergesa."
So-so menarik napas, lalu menyambung, "Kecuali itu, dapat juga berubah
menjadi ... menjadi jurus ...."
Di bawah cahaya bintang yang suram kelihatan wajah Ong So-so berkerutkerut,
meringis kesakitan.
"He, Simoay, ken ... kenapa?" tanya Ciok Tim kaget.
Dada So-so tampak berjumbul naik-turun, setelah menarik napas, air mukanya
mulai tenang kembali, katanya, "O, tidak ... tidak apa-apa, cuma ... cuma
dada agak sakit, sekarang sudah baik."

"Dan apa keempat gerak perubahan yang lain?" tanya Giok-he dengan
tersenyum.
"Jurus perubahan lain adalah Koay-hun-loan-moa (memotong tali kusut
dengan cepat) dari Thian-san-pay, Giok-tiang-hun-po (pentung kemala
menembus ombak) dari Kun-lun-pay, Lip-coan-im-yang (memutar balik gelap
menjadi terang) dari Siau-lim-pay dan jurus Tho-li-ceng-jun (dua saudara
berebut rezeki) dari Sam-hoa-kiam-hoat tinggalan pendekar pedang Sam-hoakiam-
khek dahulu."
Air mukanya sudah tenang kembali, namun sorot matanya masih menampilkan
rasa sakit, seperti enggan bertutur pula, tapi terpaksa melanjutkan.
Liong Hui menghela napas, katanya, "Simoay, sungguh tidak nyana
pengetahuan ilmu silatmu seluas ini, mungkin sebelum masuk perguruan kita
engkau sudah banyak belajar Kungfu perguruan lain?"
"Ah, mana ... tidak ...." sahut So-so dengan gelagapan.
"Mara tidak, aku tidak percaya," ujar Liong Hui. Ia memandang sang istri dan
berkata pula, "Aku justru tidak melihat ada gerak perubahan-begitu, apakah
kau lihat?"
"Aku juga tidak," sahut Giok-he sambil menggeleng, "aku cuma tahu
kemungkinan akan berubah menjadi jurus Gan-loh-peng-sah dari Bu-tong-pay
dan Lip-coan-im-yang dari Siau-lim-pay, selebihnya aku tidak dapat
melihatnya. Maklumlah, aku sendiri tidak pernah lihat Sam-hoa-kiam-hoat dan
juga ilmu pedang dari Thian-san-pay dan Tiam-jong-pay, dengan sendirinya
tidak tahu kemungkinan akan berubah pada jurus serangan ilmu pedang
tersebut."

Liong Hui menarik muka, dengan sorot mata tajam ia tanya So-so, "Dari mana
kau belajar ilmu pedang sebanyak itu?"
"Ya, aku pun rada heran," sambung Giok-he.
Ciok Tim juga memandang So-so dengan penuh tanda tanya. Wajah So-so
kelihatan rada pucat dengan sinar mata gemerdep seperti menyembunyikan
sesuatu rahasia.
Maka Giok-he berkata pula, "Pada waktu Simoay mengangkat guru aku sudah
merasa heran. Coba Toako, apakah ingat siapa yang memasukkan Simoay ke
perguruan kita?"
"Ya, kutahu, yang memasukkan dia ialah Suma Tiong-thian, pemimpin umum
Ang-ki-piaukiok (perusahaan mengawal panji merah) yang terkenal dengan
tombak besi dan panji merah menggetar Tiongeiu (negeri tengah) itu," jawab
Liong Hui.
"Betul," kata Giok-he. "Namun Suma-congpiauthau juga tidak menjelaskan
asal-usulnya, Suhu hanya diberi tahu bahwa Simoay adalah putri seorang
sahabatnya. Suhu adalah orang jujur dan percaya penuh kepada sahabat
sendiri, maka tidak pernah bertanya tentang asal-usul Simoay"
Meski senyuman tetap menghias wajahnya, namun senyuman yang tidak
bermaksud baik, sorot matanya juga terkadang melirik Ciok Tim dan lain saat
melirik So-so.
Air muka So-so kelihatan pucat, jari tangan pun rada gemetar.
Dengan tersenyum Giok-he bicara pula, "Sekian tahun kita berkumpul,
hubungan kita laksana saudara sekandung, akan tetapi terhadap keadaan
Simoay sekarang mau tak mau aku ...."

"Meski aku tidak dapat menikah denganmu, asalkan selanjutnya kita dapat
bertemu setiap saat kan sama saja," mendadak So-so menukasnya seperti
bergumam.
Serentak berubah air muka Giok-he dan Ciok Tim, tanpa terasa Ciok Tim
menyurut mundur selangkah.
"Apa katamu, Simoay?" tanya Liong Hui dengan bingung,
"Oo, tidak ... aku omong tanpa sengaja ...." jawab So-so dengan tergegap.
"Dia tidak omong apa-apa," sambung Giok-he dengan tertawa sambil
melangkah maju. Segera So-so menyurut mundur.
Tentu saja Liong Hui sangat heran, "Sebenarnya ada apa?"
Mendadak Giok-he berkata dengan tertawa, "Ai, kita memang terlalu,
pekerjaan penting tidak kita urus, sebaliknya mengobrol iseng di sini. Tentang
asal-usul Simoay, kalau Suhu tidak tanya dan tidak khawatir, kenapa kita
mesti merisaukannya. Kan banyak murid Sin-liong-bun yang belajar dengan
membekal kepandaian, Kungfu apa yang pernah dilatih Simoay sebelum
masuk perguruan kan tidak menjadi soal?"
"Aku kan tidak bilang ada soal, cuma ...." Liong Hui tambah bingung.
"Ai, untuk apa kau bicara lagi," omel Giok-he. "Jika asal-usul Simoay kurang
beres, berdasarkan kehormatan pribadi Suma-congpiauthau pun jauh lebih
dari cukup untuk dipercayai."
"Namun ...."
"Namun apalagi? Ayolah kita mencari Suhu!" seru Giok-he sambil menarik
tangan So-so dan diajak menuju ke balik batu karang sana.

Diam-diam Ciok Tim kebat-kebit, tidak kepalang kusut pikirannya. Sekarang
diketahuinya bahwa apa yang dibicarakannya dengan Kwe Giok-he tadi telah
didengar oleh So-so. Keruan pikirannya tertekan dan memandangi bayangan
punggung si nona yang baru menghilang di balik batu karang sana.
Hanya Liong Hui saja yang berwatak jujur dan serbaterbuka, sama sekali ia
tidak melihat perbuatan jahat di dalam urusan ini. Ia cuma melenggong saja
dan coba bertanya, "Samte, sesungguhnya ada apa?"
"Aku pun tidak tahu," Ciok Tim menunduk, sungguh ia merasa malu bertatap
muka dengan sang Suheng yang jujur dan suka terus terang ini.
Setelah tercengang sejenak, mendadak Liong Hui bergelak tertawa, "Haha,
urusan anak perempuan sungguh sangat membingungkan. Sudahlah, aku pun
tidak mau pusing mengurusnya."
Lalu berpaling kepada Ciok Tim dan berkata pula, "Samte, ingin kukatakan
padamu, betapa pun memang lebih tenteram dan bebas hidup bujangan.
Sekali engkau tersangkut urusan orang perempuan, bisa pusing kepalamu."
Kagum, hormat dan juga malu Ciok Tim terhadap Suheng yang polos ini, ia
tahu biarpun ada rasa curiga dalam benak lelaki yang lugu ini sekarang pun
sudah lenyap terbawa oleh gelak tertawanya itu.
Meski hati merasa lega, namun diam-diam Ciok Tim tampak malu diri.
Saat itu Giok-he dan So-so telah membelok ke balik batu besar sana,
mendadak Giok-he berhenti.
"Ai, ada apa, Toaso?" tanya So-so.
"Hm, memangnya kau kira aku tidak tahu permainanmu," jengek Giok-he.

"Apa yang Toaso maksudkan, sungguh aku tidak tahu?" jawab So-so dengan
agak keder juga terhadap sang Toaso yang berwibawa ini.
Bola mata Giok-he berputar, ucapnya, "Sesudah turun nanti, bila mereka
sudah tidur aku akan bicara denganmu."
"Boleh," sahut So-so.
Tiba-tiba terlihat Liong Hui dan Ciok Tim menyusul tiba.
Sesudah dekat, Liong Hui bersuara heran, "He, apa yang kalian lakukan di
sini?"
"Memangnya kau kira kami datang ke sini untuk mencari angin?" ujar Giok-he
dengan tersenyum.
Belum habis ucapannya tiba-tiba Liong Hui berseru pula, "Hah, kiranya di sini
juga ada tulisan."
Kiranya di situ tertulis: "Liong Po-si, jika cuma tujuh gerak perubahan ini yang
dapat kau lihat, lebih baik lekas kau pulang saja."
Setelah membaca tulisan itu, Liong Hui jadi melenggong. Kiranya perubahan
jurus ini tidak cuma tujuh macam saja.
Dalam pada itu Ciok Tim juga sudah mendekat, katanya sambil menatap
tulisan di dinding itu, "Gan-loh-peng-sah, Lip-coan-im-yang .... Hah, ketujuh
serak perubahan yang disebut Simoay tadi ternyata cocok dengan tulisan di
sini."
"Sungguh sukar dipercaya hanya sejurus yang sederhana ini bisa membawa
gerak perubahan lebih dari tujuh macam," gerutu Liong Hui.

Tiba-tiba terlihat di samping tulisan ini masih ada beberapa huruf lagi, cuma
ukiran ini lebih cetek, juga kurang teratur, bila tidak diperhatikan sukar
menemukannya.
"He, bukankah ini tulisan tangan Suhu?" seru Giok-he.
"Betul," tukas So-so.
Serentak keempat orang berkerumun lebih dekat, tertampak di situ tertulis,
"Dengan pedang sebagai senjata utama, dibantu dengan kaki, ilmu pedang
sakti, tendangan negeri asing, untuk mematahkan jurus serangan ini, cara
yang tepat adalah lain daripada cara biasa."
Kecuali tulisan tersebut, ada lagi tulisan lain yang lebih kasar lagi dan
berbunyi, "Kebagusan jurus seranganmu ini terletak pada lengan kirimu yang
merapat pada tubuhmu serta sepatu aneh yang kau pakai ini, memangnya kau
kira aku tidak tahu. Hahaha ...."
"Haha, coba lihat, kehebatan jurus serangan ini justru terletak pada sepatunya
yang aneh, tadi kau bilang dandanannya tidak ada sangkut pautnya dengan
ilmu pedang," Liong Hui juga tertawa senang.
Kening Ciok Tim bekerenyit, gumamnya, "Untuk mematahkan jurus ini harus
memakai cara lain daripada cara biasa .... Apa artinya kata-kata ini?"
Giok-he melirik Liong Hui sekejap, lalu memandang Ciok Tim pula, katanya,
"Letak kehebatan ilmu padang ini rasanya sukar dipecahkan biarpun kita peras
otak tiga hari tiga malam lagi."
"Tapi aku ...." kata Liong Hui.

"Biarpun secara kebetulan dapat kau terka sebagian, tapi dapatkah kau
ketahui di mana letak keajaiban sepatunya ini?" potong Giok-he.
Liong Hui jadi melenggong.
"Masih ada sesuatu yang mencurigakan, tapi tidak kalian lihat," kata Giok-he.
"Hal apa?" tanya Liong Hui.
"Dapatkah kalian menerka cara bagaimana huruf ini ditulis di sini?"
"Seperti dengan tenaga jari," ujar Ciok Tim setelah mengamati lagi.
"Ini kan tidak perlu diherankan, tenaga jari Suhu memang mahakuat," kata
Liong Hui.
"Hm, bagaimana dengan kau?" jengek Giok-he.
"Aku mana sanggup," sahut Liong Hui.
"Setelah Suhu menyusutkan tenaganya tujuan bagian, kekuatannya bukankah
sebanding denganmu?"
"Ah, betul," seru Liong Hui sambil menepuk dahi sendiri. "Jika begitu, pada
waktu menulis ini kekuatan Suhu tentu sudah pulih. Sungguh aneh dan sukar
dimengerti? Dalam keadaan begini dan di tempat seperti ini siapakah yang
membuka Hiat-to Suhu yang tertutuk itu?"
Giok-he menghela napas, lalu bertutur, "Urusan bertanding Kungfu sebenarnya
adalah kejadian biasa, sebelum mendaki Hoa-san kukira urusan ini pasti tidak
ada sesuatu keajaiban meski ada bahayanya juga. Tapi setelah naik ke atas
gunung, setiap kejadian yang kita lihat ternyata melampaui kewajaran umum,

dari zaman dulu hingga sekarang rasanya tidak ada urusan pertandingan yang
lebih aneh daripada apa yang kita alami ini."
Ia berhenti sejenak dan memandang sekelilingnya, lalu menyambung,
"Perempuan she Yap itu menggunakan berbagai jalan agar Suhu mau
menyusutkan tenaga dalam sendiri dan Suhu ternyata menyanggupi, begitu
saja, inilah kejadian aneh yang belum pernah terdengar di dunia persilatan.
Lalu si Tojin berjubah hijau yang berusaha rebut sebuah peti mati kosong juga
tidak kurang anehnya. Semua ini sudah membuat hatiku tidak enak, siapa
tahu kemudian timbul lagi hal-hal aneh yang lebih banyak lagi. Jika kupikirkan
sekarang, di balik pertandingan di Hoa-san ini pasti terkandung macammacam
lika-liku dan rahasia, bisa jadi ada sementara orang telah mengatur
rencana sekian lama dan memasang sesuatu perangkap untuk menjebak
Suhu, tapi Tan-hong Yap Jiu-pek yang ditonjolkan sebagai pelakunya. Coba
kalian pikirkan ...."
Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong Liong Hui berlari ke depan sana.
"He, ada apa?" seru Giok-he.
Liong Hui menjawab sambil menoleh, "Kita sudah berada di sini, biarpun bicara
tiga hari lagi juga tidak ada gunanya, yang penting lekas kita mencari dan
membantu Suhu. Pantaslah Suhu suka bilang engkau memang pintar, cuma
terlalu banyak bicara dan sedikit berbuat."
Air muka Giok-he berubah kecut.
"Tunggu, Toako?" seru So-so dan segera ikut berlari ke sana.
Ciok Tim ragu sejenak dan memandang Giok-he sekejap, lalu menyusul juga
ke sana.

Giok-he mencibir memandangi bayangan punggung mereka, cepat ia pun
menyusulnya,
Siapa tahu, mendadak Liong Hui berhenti lagi.
Kiranya beberapa tombak jauhnya di depan situ terdapat lagi sepotong batu
karang dan juga terukir gambar seorang Tokoh, hanya gayanya agak berbeda.
Jika gambar yang pertama tadi bergaya bertahan, gambar yang ini bergaya
menyerang. Juga gambar yang pertama berdiri kukuh, gambar yang ini
mengapung di udara dengan pedang menebas, lalu di samping gambar ada
tulisan: "Liong Po-si, jika jurus bertahan tadi dapat kau patahkan, dapatkah
kau hindarkan jurus serangan ini?"
Liong Hui hanya membaca sekadarnya dan segera memutar lagi ke sana,
benar juga, di belakang batu ada tulisan lagi.
"Huh, lagu lama!" jengek Ciok Tim yang menyusul tiba.
"Untuk apa membacanya?" Liong Hui pun mengejek dan segera mendahului
melangkah lagi ke depan.
Sementara itu Giok-he telah menyusul sampai di sebelah sang suami. Liong
Hui memandangnya sekejap sambil menghela napas, katanya, "Tadi aku
telanjur omong, jangan kau marah padaku."
Giok-he seperti mau bicara, tapi segera terlihat ada gambar lagi di batu karang
di depan sana, cuma gambarnya sudah dirusak orang, batu kerikil bertebaran
di sekitar situ.
Liong Hui saling pandang sekejap dengan Giok-he, waktu ia memutar lagi ke
balik batu, tulisan di belakang juga telah dirusak dan tak terbaca lagi.
Kening Liong Hui bekerenyit, "Suhu ...."

"Ya, selain Suhu siapa pun tidak memiliki Lwekang sehebat ini," kata Giok-he.
"Mengapa beliau berbuat demikian, mungkinkah beliau tidak ... tidak mampu
mematahkan jurus serangan ini?" ucap Liong Hui setengah bergumam.
Giok-he hanya menggeleng tanpa bicara, mereka coba menuju ke depan lagi,
tanah batu mulai curam, beberapa tombak lagi jauhnya kembali sepotong batu
karang mengadang di depan, di atas batu ada tulisan besar: "Kakek usia 61
Liong Po-si berdendang sampai di sini!"
Tulisan ini jelas terukir dengan tenaga jari, di bawahnya terdapat lagi empat
huruf yang mengejutkan, bunyinya: "Tidak pulang untuk selamanya!"
Goresan keempat huruf ini tidak sama dengan tulisan di atas, goresannya lebih
halus, tenaganya lebih tajam, jelas diukir dengan senjata sebangsa pedang
atau golok.
Dengan beringas mendadak Liong Hui menghantam, "blang", batu kerikil
munerat, Liong Hui juga tergetar mundur dan jatuh terduduk. Meski dia
terkenal Sebagai "Si kepalan besi", apa pun juga tubuhnya terdiri dari darah
dan daging.
"Ai, kenapa kau marah terhadap sepotong batu, simpan tenaga saja untuk
menghadapi musuh nanti," kata Giok-he sambil menarik bangun sang suami.
"Hm, kau ...." karena mendongkol Liong Hui jadi tidak sanggup bicara.
Segera Giok-he mendahului menuju ke depan sana.
"Toako sangat baik terhadap siapa pun, terutama terhadap Toaso," kata So-so
sambil melirik Ciok Tim sekejap.

Muka Ciok Tim menjadi merah dan menunduk.
Pada saat itulah mendadak terdengar suara seruan Giok-he di balik batu sana,
cepat mereka memburu maju.
Di balik batu karang ini adalah tepi jurang, justru di tepi tebing yang curam ini
dibangun sebuah gubuk bambu secara gaib. Warna bambu sudah berubah
kuning kering, waktu angin meniup bambu lantas menerbitkan suara keriatkeriut
dan bergoyang seperti mau runtuh.
Di depan pintu gubuk tidak ada sesuatu tanda apa pun, di kanan kiri juga tidak
ada sesuatu hiasan, gubuk ini berdiri menyendiri di puncak tebing yang terjal.
Liong Hui berhenti di samping Giok-he dengan melenggong, mendadak ia
berteriak, "Suhu!"
Secepat kilat ia menerjang maju dan mendorong pintu gubuk.
"Toako! ...." seru Ciok Tim khawatir dan segera bermaksud menyusulnya.
Tapi Giok-he lantas menarik baju Ciok Tim dan berkata, "Tunggu dulu!"
"Tunggu apa?" jengek So-so. "Jika Toako menghadapi bahaya apakah kita juga
mesti menunggu?"
Dia bicara dengan tajam, nona yang lembut ini mendadak bisa bicara ketus
begini, hal ini membikin Giok-he jadi terkesiap. Tanpa menghiraukan orang
lagi segera So-so memburu maju.
Dilihatnya Liong Hui berdiri di ambang pintu dengan termangu, di dalam
rumah gubuk tiada terlihat seorang pun, yang aneh adalah di tengah rumah
gubuk yang luang ini terlihat ada lima biji mutiara, gubuk ini ada empat pintu,

tiga comot noda darah, dua bekas kaki dan sebuah kasur bundar yang biasa
digunakan orang berduduk semadi.
Kelima biji mutiara terbingkai di atap rumah yang dianyam dengan bambu
hijau, keempat buah pintu tidak sama besarnya, pintu tempat Liong Hui masuk
itu paling kecil dan sukar dimasuki dua orang berjajar.
Di kanan kiri gubuk juga ada pintu yang lebih besar, sedangkan pintu yang
terbesar berada di seberang Liong Hui berdiri, dan kasur bundar yang sudah
butut itu terletak di depan pintu.
Yang paling tidak sepadan dengan kelima butir mutiara mestika itu adalah
kasur butut ini, kasur bundar ini sudah pipih saking lamanya dipakai, di
samping kasur tua inilah terdapat tiga comot darah segar, secomot darah
segar itu terletak di samping bekas telapak kaki sana.
Bekas darah lain terletak di sebelah kiri bekas kaki dan ada lagi bekas darah di
belakang kasur butut, dari situ ada lagi tetesan darah yang menuju ke pintu
paling besar itu. Sedangkan daun pintu semuanya tertutup rapat sehingga
orang yang semula berada di dalam gubuk ini seolah-olah menerobos keluar
begitu saja melalui celah bambu.
Ketika angin meniup masuk melalui celah bambu, tanpa terasa Liong Hui
menggigil, di bawah cahaya mutiara yang kontras suasana demikian terasa
cukup seram, semuanya serbamisterius, terutama tiga comot darah itu
semakin menambah seramnya keadaan rumah gubuk ini.
Setelah melenggong sejenak, mendadak Liong Hui melompat ke pintu sebelah
kiri, pintu ditariknya terbuka, tertampaklah sebuah jalan berliku menuju ke
bawah tebing.

So-so juga coba membuka pintu sebelah kanan, di luar juga terdapat sebuah
jalan berliku menuju ke bawah. Lebar jalan berliku ini sama sempitnya, hanya
berbeda derajat kelandaiannya.
Tiba-tiba terpikir oleh Liong Hui, "Kedua jalan ini mungkin adalah jalan yang
dimaksudkan pada tulisan di dinding tebing tadi. Tempat tujuan cuma satu,
tapi jalan untuk mencapainya ada tiga, tentulah penghuni rumah gubuk ini
sengaja menggunakan cara ini untuk menjajaki Kungfu Suhu, begitu beliau
masuk rumah gubuk ini, tanpa bergebrak pun penghuni di sini sudah dapat
mengukur sampai di mana kelihaian Kungfu Suhu."
Hendaklah maklum, watak Liong Hui cuma jujur dan lugu, tapi bukan bodoh,
meski ceroboh, tapi tidak kasar. Dalam hal-hal tertentu bukannya dia tidak
mengerti melainkan cuma tidak mau menggunakan pikiran saja.
Kini setelah dipikirnya berulang, mau tak mau ia menjadi prihatin, pikirnya
pula, "Jika penghuni gubuk ini ialah Yap Jiu-pek, mengingat hubungannya
dengan Suhu serta kedudukannya di dunia persilatan, tentu dia takkan
menjebak Suhu dengan cara licik dan keji. Lantas apa maksud tujuannya
berbuat demikian? Bila penghuni gubuk ini bukan Yap Jiu-pek, lalu siapa lagi?
Melihat kasur butut ini, dia pasti sudah lama tinggal di sini, bangunan gubuk
bambu ini juga sangat kasar, bahkan hujan angin pun tidak tahan ...."
Begitulah dia terus berpikir kian kemari dan tetap tidak menemukan
kesimpulan. Dilihatnya So-so telah mendekati pintu yang paling besar itu,
segera ia hendak membuka pintu.
Sambil memandang bayangan punggung So-so, Giok-he menjengek dengan
suara tertahan, "Hm, apa yang diketahui genduk ini sudah terlalu banyak ...."
"Jika Toaso tahu ...." suara Ciok Tim menjadi gemetar dan tidak sanggup
meneruskan.

"Orang yang tahu terlalu banyak terkadang suka mengalami bencana tibatiba,"
gumam Giok-he.
Sekilas lirik Ciok Tim melihat sorot mata Giok-he penuh nafsu membunuh,
tanpa terasa ia berseru, "Toaso ...."
Giok-he menoleh, ucapnya, "Aku masih tetap Toasomu?"
"Aku ... aku takut ...." Ciok Tim menunduk dan bergemetar.
Mendadak Giok-he tertawa cerah, ucapnya dengan lembut, "Takut apa? Tidak
perlu takut, biarpun banyak yang diketahuinya pasti tak berani disiarkannya
sepatah kata pun."
"Tapi ...." Ciok Tim tampak ragu.
"Jangan khawatir, ia sendiri pun ada rahasia yang tidak ingin diketahui orang
lain, asalkan kugunakan sedikit akal lagi .... Hmk!" jengek Giok-he dengan
menyeringai.
Ciok Tim termangu memandangi wajahnya yang cantik itu, entah bingung dan
entah takut.
Sekonyong-konyong terdengar jeritan So-so di dalam rumah gubuk itu.
"Lekas!" seru Giok-he sambil mendahului menerobos ke dalam gubuk.
Dilihatnya So-so berdiri di samping Liong Hui menghadapi sebuah pintu yang
besar dan sama menunduk ke bawah. Di ambang pintu situ ada sebuah
telapak tangan kurus kering berwarna hitam.
Dari celah kaki Liong Hui dan So-so dapatlah Giok-he dan Ciok Tim melihat
tangan yang kurus kering itu mencengkeram erat ambang pintu terbuat dari

bambu, kuku jari sama amblas ke dalam bambu, kuku yang putih kelabu
terembes darah.
Cepat Giok-he memburu maju dan menyelinap ke tengah Liong Hui dan So-so,
serunya, "He, sia ... siapakah dia?"
Di luar sana adalah tebing yang terjal dengan gumpalan awan membelit di
pinggang tebing, sesosok tubuh yang kurus kering tampak bergelantungan di
luar pintu, bilamana tangannya tidak meraih ambang pintu, mungkin sudah
terjerumus ke jurang yang tak terkirakan dalamnya.
Orang ini mendongak ke atas, matanya melotot, kulit daging pada wajahnya
berkerut dan beringas, penuh rasa dendam dan juga memohon, rasa dendam
dan memohon sebelum ajalnya ini lantas terukir pada wajahnya lantaran
membekunya darah dan otot daging, serupa juga telapak tangannya yang
masih tetap mencengkeram ambang pintu sebelum dia mati.
Liong Hui berempat memandangi wajah yang beringas ini dengan tercengang,
sampai sekian lama barulah Liong Hui bersuara, "Dia sudah mati!"
Lalu ia berjongkok untuk menarik mayat ini ke atas setelah lebih dulu jari
orang yang mencengkeram ambang pintu itu dilepaskan, mayat itu lantas
diletakkan di lantai.
Tertampaklah tubuhnya yang kurus kering itu memakai baju hitam ringkas,
meski wajah beringas, namun jelas usianya belum lanjut, paling-paling baru
30-an tahun saja.
Perlahan Liong Hui meraba kelopak mata orang yang tak terpejam sampai
mati itu, ucapnya dengan menyesal, "Entah siapa orang ini, mestinya dari dia
dapat diketahui ...."
"Coba geledah bajunya, mungkin ada barang tinggalannya," tukas, Giok-he.

"Jangan," seru Liong Hui sambil berdiri, "kita tidak kenal dia, juga tidak ada
permusuhan apa pun, sekalipun dia musuh kita juga tidak boleh mengganggu
jenazahnya setelah, dia mati. Selama hidup Suhu bertindak luhur dan tetap
mempertahankan kehormatannya, mana boleh kita mengingkari beliau dan
bertindak kurang bijaksana begini?"
Sekali ini dia bicara dengan tegas dan mantap tak terbantahkan.
Terpaksa Giok-he mengalah, "Baiklah menurut padamu!"
Ciok Tim berdehem, lalu berkata, "Menurut tanda-tanda yang terlihat
sepanjang jalan, jelas Suhu sudah datang ke sini. Cukup dilihat dari tapak kaki
ini saja kan jelas bekas kaki beliau .... Jika tenaga Suhu sudah pulih, maka
bekas kaki yang kita lihat di bawah sana pasti juga tinggalan beliau. Namun,
lantas ke mana perginya Suhu sekarang?"
Dia seperti bergumam dan juga lagi bertanya akan pendapat orang. Tapi tidak
seorang pun yang menjawabnya. Seketika ia jadi termangu sendiri.
Di tengah kesunyian kemudian Ciok Tim bergumam pula, "Di sini ada tiga
comot genangan darah, dapat dibayangkan yang terluka di sini tidak cuma
satu orang saja, sebaliknya pada mayat ini tidak terlihat luka, lantas siapakah
yang terluka dan siapa pula yang melukainya? ...."
"Toako," So-so ikut bicara. "Untuk mencari jejak Suhu, kalau kita tidak
memeriksa orang ini ...."
"Tidak, justru demi kebesaran Suhu, kita tidak boleh berbuat sesuatu yang
memalukan beliau." ucap Liong Hui dengan tegas. "Simoay, kutahu, biarpun
banyak urusan yang dapat diperbuat seorang tanpa diketahui orang lain, tapi
hati nurani sendiri tetap tercela, bahkan menanggung sesal selama hidup.
Misalnya menemukan harta karun atas kehilangan orang lain, menemui

perempuan cantik di ruang tersendiri, melihat musuh terancam bahaya, semua
ini adalah batu ujian bagi hati nurani setiap orang. Sebabnya orang jahat
zaman ini sedemikian banyak adalah karena pada waktu orang melakukan
kejahatan selalu berusaha di luar tahu orang lain dan tidak mau tahu apakah
tidak malu terhadap hati nurani sendiri. Simoay, kita adalah anak murid
pendekar luhur budi, mana boleh berbuat sesuatu yang melanggar hati
nurani?!"
Dia bicara dengan perlahan, mantap dan tegas, meski bicara terhadap So-so,
tapi juga seperti lagi memperingatkan yang lain.
Tangan Ciok Tim terasa gemetar, darah bergolak dalam rongga dadanya,
mendadak ia berseru, "Toako, aku ... aku ingin bicara padamu .... Sungguh
aku ...."
Ia tidak sanggup bicara lebih lanjut, air mata berlinang dan menyurut mundur
dengan menunduk. Sesal dan malu hatinya membuatnya tidak berani
mengangkat kepala sehingga tidak diketahuinya wajah Ong So-so yang jauh
lebih menderita daripadanya itu.
Hati So-so seperti terlebih menanggung malu daripada Ciok Tim, bahkan air
matanya lantas menitik.
Keruan Liong Hui tercengang, "Hei, kenapa menangis, Simoay?"
So-so mendekap mukanya dan meratap, "Toako, aku ... aku bersalah padamu,
berdosa terhadap Suhu ...." mendadak ia menuding mayat yang kurus kering
itu dan berkata, "Sebenarnya kukenal orang ini, aku pun kenal banyak orang
lain lagi, juga banyak urusan kuketahui ...."
Karena rangsangan emosi sehingga ucapannya menjadi agak kacau.

"Bicaralah perlahan, Simoay, ada urusan apa boleh kau katakan saja kepada
Toako," ucap Liong Hui.
Ciok Tim terbelalak melihat perubahan sikap So-so itu, sinar mata Giok-he
juga gemerdep, tampak agak gugup.
Perlahan So-so lantas menyambung, "Toako, kau tahu sesungguhnya segenap
anggota keluargaku adalah musuh bebuyutan Suhu, semuanya dendam dan
ingin membunuh Suhu. Sebabnya kumasuk ke perguruan Sin-liong juga
karena bermaksud menuntut balas terhadap Put-si-sin-liong atas kematian
anggota keluargaku."
Ia berganti napas, lalu melanjutkan, "Aku tidak she Ong, juga tidak bernama
So-so, yang benar aku bernama Koh Ih-hong, keturunan Coat-ceng-kiam Koh
Siau-thian yang tewas di bawah pedang Put-si-sin-liong."
Belum habis ucapannya tubuhnya lantas terhuyung-huyung dan begitu
berhenti bicara segera ia jatuh terduduk di atas kasur buntut dan dekil itu.
Dalam sekejap itu dia telah kehilangan beribu kati tekanan batin yang
ditahannya selama ini, perubahan besar ini sukar ditahan oleh lahir-batinnya
sehingga ia jatuh terkulai di tanah, sampai sekian lama .... lalu ia menangis
lagi.
Namun tekanan batin itu dengan keras kini telah memukul hati Ciok Tim dan
Kwe Giok-he.
Sungguh tak terpikir oleh Ciok Tim bahwa Sisumoay yang biasanya lemah
lembut itu sesungguhnya adalah agen rahasia musuh yang mengemban tugas
sedemikian besar, lebih-lebih tak terpikir olehnya bahwa Sisumoaynya yang
paling disayang dan berhubungan paling rapat dengan sang guru sebenarnya
adalah putri musuh yang menanggung dendam kesumat terhadap gurunya itu.

Seketika ia terbelalak dan menyurut mundur ke sudut sana sambil
memandang So-so dengan melongo.
Meski sebelumnya Giok-he juga sudah dapat menduga asal-usul So-so pasti
ada sesuatu rahasia yang belum terungkap, tapi tak terduga olehnya gadis
yang kelihatan lemah ini mempunyai keberanian untuk membeberkan rahasia
pribadinya.
Mestinya Giok-he bermaksud menggunakan rahasia orang untuk memerasnya,
tapi sekarang terasa timbul rasa ngeri dalam hatinya, sebab modal yang
diandalkannya sekarang telah berubah tidak berguna sama sekali. Jika So-so
berani membeberkan rahasia pribadi sendiri, mustahil dia tidak berani
membongkar rahasia hubunganku dengan Ciok Tim?
Rasa ngeri yang timbul dari lubuk hatinya ini membuat Kwe Giok-he yang
biasanya cerdas dan cekatan itu menjadi bingung dan berubah menjadi lemah,
mukanya menjadi pusat dan sampai sekian lama tidak sanggup bicara.
Hanya Liong Hui saja, sekarang ia berbalik jauh lebih tenang daripada
biasanya, perlahan ia mendekati Ong So-so alias Koh Ih-hong, ia menghela
napas dan membelai rambutnya perlahan, tidak sedih juga tidak marah, ia
memanggil lirih, "Simoay ...."
Namun panggilan yang lirih ini membuat hati Koh Ih-hong bertambah pedih
dan haru. Dengan menangis ia bertutur pula, "Empat puluh tahun yang lalu,
kakek pulang dengan terluka parah dan akhirnya meninggal dunia. Kasihan
ayahku yang tidak tahan oleh pukulan berat ini, beliau sangat berduka dan
akhirnya kurang waras pikirannya, sepanjang hari dia cuma berduduk
mengelamun di bawah pohon di depan rumah, apa pun tidak dikerjakan dan
juga tidak bicara, berulang-ulang ayah cuma bergumam apa yang diucapkan
kakek sebelum mengembuskan napas penghabisan, yaitu kata, 'Apabila jurus
seranganku Thian-ce-keng-hun (mengejutkan arwah di ujung langit) lebih
keras sedikit ....' Kata-kata inilah berulang-ulang disebutnya. Sejak aku mulai

tahu urusan aku selalu mendengar gumaman ayah itu sampai meninggalnya
ayah. Hatiku sangat sedih setiap kali mendengar ayah mengulangi kata-kata
itu."
Suaranya semakin lemah dan agak gemetar, Liong Hui mengikuti ceritanya itu
dengan cermat. Mendadak Giok-he seperti mau bicara, tapi segera dicegah
oleh Liong Hui.
Terdengar Koh Ih-hong menyambung lagi, "Dendam kesumat selama 40 tahun
ini, membuat hati setiap anggota keluarga kami tak pernah lupa untuk
menuntut balas, setiap saat mereka berusaha memperdalam kepandaian,
sebab mereka pun tahu Kungfu Put-si-sin-liong kini sudah tidak ada
tandingannya di dunia ini."
Ia memandang kegelapan malam di luar dan berucap pula, "Sang waktu terus
berlalu dengan cepat dan kami tetap tidak tahu cara bagaimana harus
menuntut balas. Sebab itulah dendam kesumat ini pun kian hari kian tambah
mendalam. Ayah-bundaku loksun (sakit tebece) karena menanggung dendam
tak terbalas ini dan tersia-sia hidupnya, selama hidup mereka merana dan
tidak pernah gembira."
Air matanya bercucuran dan tak diusapnya.
Darah Liong Hui bergolak, sungguh sukar dibayangkan seorang yang hidup
tanpa senyum gembira, tanpa kebahagiaan keluarga, yang ada cuma dendam
dan menuntut balas, betapa pedih dan menakutkan kehidupan demikian?
Dengan tersendat Koh Ih-hong menyambung lagi ceritanya, "Waktu ayahbundaku
meninggal usiaku masih kecil, famili yang dapat kuandalkan cuma
kakak saja, tapi setengah tahun kemudian kakak juga pergi secara mendadak,
maka setiap hari aku pun duduk melamun di bawah pohon yang biasa diduduki
ayah itu untuk menunggu pulangnya kakak dan merenung sakit hati ayah,

hidupnya tidak pernah mendapatkan cinta kasih, tapi telah belajar cara
bagaimana mendendam dan menuntut balas ...."
Hati Liong Hui tergetar, dapat dibayangkan betapa merana anak yang
dibesarkan di tengah keluarga yang penuh dendam itu. Kehidupan anak itu
sendiri sudah cukup dibuat berduka.
Namun So-so alias Ih-hong menyambung lagi, "Setahun kemudian kakak pun
pulang, dia membawa pulang sekian banyak sahabatnya, meski rata-rata usia
mereka masih muda, tapi bentuk rupa dan dandanan mereka sangat berbeda
satu sama lain, logat bicara mereka juga jelas bukan datang dari suatu tempat
yang sama. Namun mereka sama mahir ilmu silat, meski tinggi rendah Kungfu
mereka juga tidak sama, namun selisihnya tidak jauh. Kakak pun tidak
memperkenalkan mereka kepadaku dan langsung membawa mereka ke
sebuah ruangan rahasia, selama tiga hari mereka tidak keluar, selama tiga
hari itu entah apa yang mereka bicarakan dan entah berapa banyak arak yang
telah mereka minum ...."
Tangisnya mulai reda, suaranya juga mulai jelas, cuma sorot matanya tetap
buram serupa orang yang tenggelam dalam lamunan masa lalu, masa lalu
yang memilukan.
"Tiga hari kemudian," sambungnya, "aku menjadi tidak tahan. Kucoba mencuri
dengar di luar pintu ruang rahasia itu, siapa tahu kelakuanku telah diketahui
orang di dalam dan pintu mendadak terbuka. Aku terkejut, kulihat seorang
tinggi kurus berdiri di depan pintu, begitu tinggi perawakannya sehingga
kepalanya hampir menyundul kosen pintu, mukanya juga pucat pasi. Aku
ketakutan dan ingin lari, siapa tahu baru saja aku bergerak segera terpegang
olehnya, gerak tangannya sungguh secepat kilat."
Liong Hui berkerut kening, pikirnya, "Jangan-jangan kakaknya mencari bala
bantuan untuk menuntut balas?"

Terdengar Koh Ih-hong menyambung lagi, "Waktu itu kurasakan tangannya
sekuat tanggam menjepit tanganku, untung kakak lantas keluar dan
memberitahukan dia siapa diriku. Kemudian baru kutahu dia adalah Boh-hunjiu
(si tangan pembelah langit) yang disegani di dunia persilatan. Ayahnya juga
dikalahkan Put-si-sin-liong dan hidup merana. Kecuali dia, semua orang yang
berkumpul di ruang rahasia situ juga keturunan musuh Put-si-sin-liong, semula
mereka tersebar di berbagai tempat dari tidak saling kenal, tapi kakak telah
menghubungi mereka satu per satu dan dikumpulkan."
Kening Liong Hui bekerenyit lagi, pikirnya, "Jika demikian, tentu kakaknya juga
tokoh yang lihai, mengapa tidak terkenal di dunia persilatan?"
"Begitulah mereka telah berunding secara rahasia selama tiga hari dan
memutuskan beberapa hal penting, pertama, akan berusaha mengirim diriku
ke dalam perguruan Sin-liong-bun untuk mengawasi gerak-gerik Put-si-sinliong
serta belajar Kungfunya, jika ada kesempatan juga ...."
"Jika ada kesempatan Suhu akan kau bunuh, begitu bukan?" tanya Giok-he.
Dengan perasaan tertekan Ciok Tim menatap Koh Ih-hong dan dilihatnya nona
itu mengangguk dan berkata, "Ya, memang betul."
Alis Giok-he menegak, bentaknya. "Dosa berkhianat terhadap perguruan tidak
terampunkan, untuk apa orang semacam ini dibiarkan hidup?!"
Segera ia menubruk maju dan bermaksud menghantam batok kepala Koh Ihhong,
dia sudah bertekad akan membunuhnya untuk menjaga segala
kemungkinan, maka pukulannya ini tidak kenal ampun sedikit pun.
Siapa tahu mendadak Liong Hui lantas menangkisnya sambil membentak,
"Nanti dulu!"

Giok-he tercengang dan tergetar mundur, dengan gusar ia menegur, "Toako,
kenapa kau ...."
"Toaso," kata Koh Ih-hong dengan tenang, "jika hari ini kubeberkan selukbeluk
urusan ini, sebelumnya aku memang sudah siap untuk mati bila perlu,
maka hendaknya Toaso jangan tergesa-gesa bertindak."
Han Bu Kong 05
Tangisnya sudah berhenti malah dan berkata dengan sangat tenang,
sambungnya, "Jika aku tidak dapat berbakti kepada ayah-bunda, juga tidak
setia terhadap perguruan, bagiku memang tiada pilihan lain lagi kecuali mati.
Selama beberapa tahun ini boleh dikatakan Suhu sangat baik padaku, tapi
semakin beliau baik padaku, semakin sedih hatiku. Tidak cuma satu kali saja
ingin kubeberkan persoalan ini kepada beliau secara terus terang, namun ...."
Ia menghela napas panjang, lalu menyambung, "Namun aku juga tidak dapat
melupakan wajah ayah sebelum mengembuskan napasnya yang terakhir."
"Selama ini apakah engkau tidak pernah berbuat sesuatu yang mengkhianati
perguruan?" tanya Giok-he dengan tajam.
Koh Ih-hong menjawab dengan menunduk, "Selama beberapa tahun ini aku
memang sering berbuat hal-hal yang berkhianat, tidak cuma satu kali saja
kuberi tahukan kepada kakak atau orang suruhannya rahasia ilmu silat yang
kubelajar dari Suhu."
"Hm, masa cuma itu saja?" jengek Giok-he.
"Juga pada pertandingan di Hoa-san ini aku pun tahu komplotan kakak telah
merancang perangkap di sini."
"Tapi hal ini sama sekali tidak kau katakan kepada Suhu!" jengek Giok-he.

"Tidak kukatakan sebab antara budi dan dendam mempunyai bobot yang sama
di dalam hatiku," kata Koh Ih-hong. Mendadak ia mendongak dan bertanya
kepada Liong Hui, "Toako, jika engkau menjadi diriku, apa yang akan kau
lakukan?"
Kening Liong Hui berkerut, air mula kelam dan tidak menjawab.
Koh Ih-hong menuding mayat yang menggeletak di lantai itu dan berkata pula,
"Orang ini adalah keturunan keluarga Peng yang juga menjadi korban pedang
Suhu. Dia, kakak, ada lagi Boh-hun-jiu dari Kun-lun-pay dan murid Tiam-jongpay
serta keturunan keluarga Liu, merekalah yang merencanakan perangkap
di Hoa-san ini, untuk itu entah berapa banyak tenaga dan pikiran yang telah
mereka peras."
"Dan sekarang terkabul juga cita-cita kalian, Suhu ... Suhu benar telah ...."
sampai di sini Giok-he tidak sanggup meneruskan lagi, ia mendekap muka
sendiri dan menangis.
Kembali Ih-hong menunduk, air mata pun bercucuran pula, ratapnya, "O,
Tuhan, mengapa aku dilahirkan menjadi keturunan Coat-ceng-kiam, lalu
membuatku utang budi terhadap Put-si-sin-liong .... O, Thian, betapa pedih
rasa hatiku setiap kali setelah aku berbuat khianat terhadap Suhu, tapi ... tapi
jika hal itu tidak kulakukan, bagaimana pula aku harus berbakti terhadap
kakek, terhadap ayah ...."
Karena terharu, Ciok Tim juga menitikkan air mata.
Mendadak Giok-he mengusap air mata dan membentak, "Jika kau tahu sukar
lagi berbakti terhadap orang tua dan tidak setia terhadap perguruan, untuk
apa lagi hidup di dunia ini?"

"Untuk apa lagi hidup di dunia ini," Ih-hong mengulang kata-kata itu dengan
pedih, kembali ia menengadah, memandang kegelapan malam di luar dengan
nanar, serupa lagi memandang kejap terakhir atas kehidupan yang terasa
berat ditinggalkan ini.
Habis itu mendadak ia meraba bajunya, belati naga emas dilolosnya dan
secepat kilat menikam ke ulu hati sendiri sembari meratap pula, "Suhu, Toako,
maafkan dosaku ...."
Syukurlah pada detik terakhir itu mendadak Liong Hui membentak dan tangan
keburu mengetuk pergelangan tangan Koh Ih-hong yang memegang belati itu,
"trang" belati tergetar jatuh.
"Apa maksudmu ini?" bentak Giok-he dengan beringas. "Apakah sengaja
hendak kau bela murid durhaka ini?"
Hendaknya maklum, menurut hukum persilatan, dosa yang paling besar
adalah berdurhaka terhadap perguruan. Murid yang khianat dianggap tak
terampunkan dan setiap orang Kangouw boleh membunuhnya, sekalipun
sanak famili juga tidak berani membelanya.
Dengan sendirinya sekarang Kwe Giok-he beralasan untuk menyalahkan sikap
Liong Hui yang lunak terhadap Koh Ih-hong.
Liong Hui kelihatan prihatin, dipegangnya tangan Koh Ih-hong, tanpa
memandang Giok-he lagi ia berkata, "Simoay, janganlah terburu nafsu,
dengarkan dulu ...."
"Apa yang ingin kau omong lagi? ...." potong Giok-he, karena merasa
bersalah, ia berharap orang yang mengetahui rahasia perbuatannya ini lekas
mati saja.
Tak terduga mendadak Liong Hui berpaling dan membentaknya, "Diam!"

Bentakan keras ini membuat Giok-he melenggong, mukanya berubah pucat.
Sejak menikah hingga sekarang belum pernah Liong Hui bersikap keras
padanya, selalu menurut dan memanjakan dia. Tapi sekarang sang suami
membentaknya sebengis ini, tentu saja hatinya kebat-kebit, disangkanya
mungkin Liong Hui telah mengetahui perbuatannya yang tercela itu.
Koh Ih-hong tampak menggigit bibir, air mata bercucuran, ratapnya sedih,
"Toako, aku memang pantas mampus, perkataan Toaso memang benar,
selama ini aku telah menipu Suhu meski beliau sangat baik padaku ...."
Liong Hui menarik napas panjang, katanya kemudian, "Tidak, engkau tidak
menipu beliau."
Giok-he, Ciok Tim dan Koh Ih-hong sama melengak dan bingung.
Dengan menyesal Liong Hui berkata pula, "Tiga hari setelah kau masuk
perguruan Suhu lantas mengetahui asal-usulmu."
"Hahh?" Koh Ih-hong menjerit kaget.
Giok-he dan Ciok Tim juga melenggong.
Dengan tenang Liong Hui menengadah, air mukanya menampilkan rasa
hormat dan kagum, seperti lagi mengenangkan kebesaran pribadi sang guru,
katanya kemudian dengan perlahan, "Kau tahu biasanya Suhu sangat ketat
dalam hal memilih murid. Aku dan Toasomu adalah anak yatim piatu, bahkan
sejak kecil aku sudah diangkat anak oleh Suhu. Samsute adalah cucu seorang
sahabat karib Suhu, hubungan keluarga Gote dan Suhu juga sangat erat ...."
Ia berhenti sejenak, lalu menyambung, "Maka bilamana Suhu mau, menerima
dirimu tanpa mengusut asal-usulmu adalah karena beliau sebelumnya sudah

mengetahui seluk-beluk dirimu. Waktu Suma-lopiauthau membawamu kepada
Suhu ...."
"Suma-lopiauthau sendiri tidak tahu kepalsuan diriku," sela Koh Ih-hong, "tapi
kakak dan sahabatnya yang merencanakan tipu muslihat ini agar Sumalopiauthau
mengira diriku adalah putri yatim piatu yang telantar dan rebah
kelaparan di depan rumah Suma-lopiauthau. Karena kasihan padaku, Sumalopiauthau
lantas membawaku ke Ci-hau-san-ceng."
Air muka Liong Hui yang kereng tiba-tiba menampilkan secercah senyuman,
katanya, "Di dunia ini tidak ada sesuatu urusan yang dapat dirahasiakan
selamanya, juga tidak ada seorang pun yang dapat mendustai orang lain
sekalipun orang lain itu agak lebih bodoh daripadanya."
Tergetar hati Giok-he, diam-diam sebenarnya ia merogoh saku dan tiga batang
jarum siap dihamburkan ke punggung Koh Ih-hong, demi mendengar ucapan
Liong Hui ini, tangannya rada gemetar dan jarum jatuh kembali ke dalam
saku.
Perlahan Liong Hui berkata pula, "Jangan kau kira Suma-lopiauthau telah
kalian tipu, yang benar, sebabnya beliau mau membawamu ke Ci-hau-sanceng
adalah karena dia melihat ada sesuatu yang janggal pada keteranganmu.
Coba kau pikir, seorang anak yatim piatu mengaku ingin belajar ilmu silat,
mengapa yang dituju adalah Ci-hau-san-ceng? Padahal Suma-lopiauthau
sendiri juga termasyhur kelihaiannya, bila ingin belajar kenapa tidak kau
angkat guru saja padanya, tapi engkau minta beliau membawamu ke Ci-hausan-
ceng?"
Koh Ih-hong jadi melenggong.
Maka Liong Hui menyambung lagi, "Dari dahulu hingga sekarang memang
sering ada orang pintar berbuat keblinger. Kakakmu mengira dirinya teramat
pintar, tapi tak terpikir olehnya akan kejanggalan ini."

Kepala Koh Ih-hong tertunduk terlebih rendah.
Hati Giok-he juga tergetar pula, pikirnya. "Dia sengaja bicara demikian,
apakah ada maksud lain dan sengaja diperdengarkan padaku?"
Didengarnya Liong Hui menghela napas dan bertutur pula, "Setelah engkau
dibawa datang oleh Suma-lopiauthau, beliau lantas mengadakan pembicaraan
rahasia dengan Suhu, akhirnya Suhu menarik kesimpulan engkau pasti putri
musuh. Sebagai orang yang ikut bertanggung jawab, apalagi Suma-piauthau
memang seorang yang berwatak keras dan tegas, saat itu juga beliau
menyatakan, 'Bila sudah jelas asal-usulnya, bila perlu babat rumput sampai
akar-akarnya'."
Tergetar tubuh Koh Ih-hong.
Liong Hui menggeleng dan menyambung lagi, "Tapi waktu itu Suhu hanya
tersenyum saja dan menyatakan penyesalannya karena selama hidup beliau
telah banyak mengikat permusuhan dan dengan sendirinya akan banyak
menimbulkan sakit hati orang lain, maka beliau menegaskan takkan menyesal
andaikan pada suatu hari ada keturunan musuhnya akan mencari balas
padanya dan bahkan membunuhnya. Ia anggap balas membalas, utang harus
bayar, hal ini sangat lumrah dan adil."
Setelah berhenti sejenak mengenang kebesaran jiwa sang guru, kemudian
Liong Hui menyambung lagi, "Walaupun kuharap janganlah kumati secara
tidak wajar di kemudian hari, tapi aku pun tidak mau bertindak membabat
rumput sampai akar-akarnya, membunuh keturunan musuh habis-habisan.
Kuharap permusuhan dapat diakhiri, maka tidak peduli anak perempuan ini
putri musuhku yang mana, betapa pun dia adalah anak yang punya cita-cita
tinggi, bakatnya juga tidak jelek, dengan susah payah ia berusaha masuk ke
perguruanku, mana boleh kubikin dia kecewa. Umpama kelak setelah dia
berhasil menguasai ilmu silat ajaranku dan berbalik aku dibunuhnya, tetap aku

takkan menyesal, bahkan kalau dengan demikian akan dapat mengakhiri
dendamnya padaku sehingga permusuhan ini dapat dihapus, kan semuanya
jadi baik?"
Mendengar sampai di sini, tangis Koh Ih-hong yang tak bersuara mendadak
pecah lagi menjadi tangis keras.
Liong Hui berkata pula dengan menyesal, "Waktu itu kuladeni Suhu di
samping, maka semua percakapan mereka dapat kudengar dan kuingat benar.
Malam itu juga Suhu menerimamu sebagai murid dan pada malam itu juga
beliau ...."
Tanpa terasa ia memandang Giok-he sekejap, lalu menyambung, "Malam itu
juga beliau mengumumkan pernikahanku dengan Toasomu."
Ia termenung pula sejenak seperti lagi mengenangkan kebahagiaan pada
malam itu, kemudian lanjutnya, "Apakah engkau masih ingat pada esok pagi
berikutnya Suhu lantas berangkat pergi, pada malam ketiga Suhu baru pulang
dan mengatakan padaku bahwa dirimu adalah keturunan Koh Siau-thian Kohlocianpwe,
aku disuruh menjaga rahasia ini dan menyuruhku harus
memperlakukan dirimu dengan baik."
Tambah sedih tangis Koh Ih-hong, banyak isi hatinya yang ingin
diungkapkannya, tapi sepatah kata saja tidak sanggup berucap.
Dalam pada itu pikiran Kwe Giok-he tambah kusut dan gelisah, maklum, ia
merasa bersalah, perempuan yang tidak setia terhadap sang suami betapa pun
tetap menanggung tekanan batin.
Demikian pula dengan Ciok Tim, ia pun menyadari betapa kotor dan rendah
perilakunya itu, terutama hal ini menyangkut istri Suheng yang dihormatinya.
Cuma hati nuraninya sering terpengaruh oleh bujuk rayu yang memabukkan
dan membuatnya lupa daratan.

Liang Hui tidak menghiraukan mereka, perlahan ia bertutur lagi, "Pada suatu
hari, malam sudah larut kulihat engkau menyelinap keluar taman belakang
perkampungan, kutahu Ginkangku tidak mampu mengimbangi dirimu, maka
aku cuma mengintai dari kejauhan, kulihat engkau mengadakan pembicaraan
rahasia di dalam hutan dengan seorang lelaki jangkung. Sekarang dapat
kuterka orang itu tentulah kakakmu."
Koh Ih-hong mengangguk perlahan.
"Semua itu sudah kuketahui sejak dulu, cuma ada sesuatu yang sukar
kupahami, entah .... Ai, sudahlah, kutahu keadaanmu yang serbasusah, sesuai
pesan Suhu, tidak perlu kudesak ...."
Mendadak Ih-hong mengusap air mata dan berucap tegas, "Urusan apa pun
pasti akan kukatakan dan akan kuanggap Toako yang memaksaku bicara."
"Kukira tidak perlu, engkau ...."
"Aku memang tidak pernah melupakan sakit hati orang tua," tukas Ih-hong.
"Tapi ... tapi Suhu ... kini Suhu sudah ...."
"Suhu pasti takkan mati," tukas Liong Hui dengan penuh keyakinan.
"Apa pun juga kini sudah tiba saatnya harus kubalas budi kebaikan Suhu,"
kata Ih-hong.
"Tapi bila akibat tindakanmu ini akan membikin susah kakakniu sendiri? ...."
"Sedapatnya akan kuusahakan menghapuskan permusuhan ini, bukankah
Suhu sudah menyatakan permusuhan lebih baik dihapus dan jangan
diperdalam."
"Dan kalau tidak dapat dihapus, lantas bagaimana?"

"Jika tidak kuselesaikan, biarlah kumati di depan kakak, biarlah kugunakan
darahku untuk mencuci permusuhan kedua pihak," kata Ih-hong dengan
tegas.
Mendadak Liong Hui menengadah dan terbahak, "Haha, bagus, bagus! Tidak
percuma Suhu menerimamu sebagai murid. Bakti dan setia memang sukar
terlaksana sekaligus, budi dan benci juga sulit terselesaikan bersama.
Menghadapi perkara serbasulit begini, bagi seorang lelaki sejati hanya mati
saja yang dapat menyelesaikan tugas ini."
Mendadak ia berhenti tertawa dan menyambung sambil menatap Koh Ih-hong,
"Jika aku menjadi dirimu, tentu demikian pula tindakanku."
Kedua orang lantas saling pandang dengan penuh saling pengertian.
Melihat itu, hati Giok-he tambah tidak enak, bilamana di antara mereka
tambah akrab, bukan mustahil pada suatu hari rahasianya pasti akan
dibeberkan oleh Koh Ih-hong. Ia menjadi serba susah. Ia coba memandang
Ciok Tim, anak muda itu kelihatan menunduk, tampaknya juga tertekan
batinnya.
Pada saat itulah sekonyong-konyong di atas rumah ada suara orang bergelak
tertawa nyaring, "Hahaha! Sungguh lelaki yang gagah dan perempuan yang
bijaksana!"
Semua orang sama kaget.
"Siapa?" bentak Liong Hui.
Waktu ia berpaling, tahu-tahu sesosok bayangan kelabu melayang tiba.

Agaknya orang ini sudah sekian lama berada di atas rumah bambu ini, namun
tiada seorang pun yang mengetahuinya, gerak tubuhnya yang ringan waktu
melayang turun juga sedemikian gesitnya, tentu saja semua orang tambah
terkejut.
Waktu Liong Hui berempat mengamatinya, terlihat orang yang melayang tiba
ini masih muda, berdahi lebar bersinar mata tajam, meski wajahnya tidak
terlalu cakap, tapi cukup cerah dan menarik. Perawakannya juga tidak terlalu
tinggi, kelihatan agak gemuk, namun gerak-geriknya tangkas dan cekatan.
Wajahnya yang agak kehitaman selalu mengulum senyum dan membuat setiap
orang yang baru bertemu tidak merasa jemu padanya.
Sekali pandang saja Liong Hui lantas berkesan baik juga terhadap orang ini.
Pemuda cerah ini pun langsung mendekati Liong Hui dan memberi hormat,
katanya, "Selamat, Toako!"
Nada dan sikapnya seakan-akan sudah kenal baik kepada Liong Hui.
Tentu saja Giok-he dan Ciok Tim merasa heran, mereka sama memandang
Liong Hui.
Waktu Koh Ih-hong mengenali pendatang ini, air mukanya juga berubah.
Meski sangsi, Liong Hui adalah seorang yang simpatik, cepat ia balas hormat
orang dan menjawab, "Selamat, sama-sama selamat!"
Dengan tertawa cerah pemuda itu berucap pula, "Kutahu Toako tidak kenal
diriku, tapi aku justru kenal Toako, dan ...." mendadak ia berpaling dan
menatap Koh Ih-hong dengan tajam, lalu menyambung, ".... juga adik cilik
ini."
"Kau ... kau ...." Ih-hong tampak gugup, tanpa terasa menyurut mundur.

"Siapa kau sebenarnya?!" bentak Ciok Tim.
"Siapa aku, rasanya sulit untuk kujawab," kata pemuda cerah itu. "Tadi adik
Koh ini mengatakan kakaknya telah menghimpun serombongan keturunan
musuh Liong-loyacu, aku termasuk satu di antaranya, aku pun ikut bersama
mereka merencanakan cara bagaimana menuntut balas."
"Jika sahabat ini ternyata lawan dan bukan kawan, harap bicara terus terang
apa maksud kedatanganmu ini," kata Liong Hui segera sambil membusungkan
dada. "Anak murid Ci-hau-san-ceng sudah siap menghadapi segala sesuatu."
"Haha, lawan dan bukan kawan," pemuda cerah itu mengulangi ucapan Liong
Hui. "Bilamana aku lawan, mana mungkin kupanggil Toako padamu. Jika
lawan, mana kusediakan obor dan memasang tali panjang bagimu."
Mendadak sikapnya berubah kereng dan menyambung pula, "Meski aku ikut
serta dalam muslihat mereka, tapi aku tidak pernah ikut bicara, tidak
mengajukan sesuatu usul .... Haha, makanya mereka menganggap diriku ini
sebagai orang tolol, orang linglung yang tidak berguna lagi."
"Obor, tali, semua itu ...." Liong Hui berkerut kening, ia coba berpaling ke arah
Koh Ih-hong, kelihatan nona itu mengangguk perlahan.
Pemuda cerah tadi bergelak tertawa dan berkata pula, "Namun bagiku justru
mereka itulah kawanan orang tolol, mereka tidak mau berpikir bahwa tokoh
yang pernah menggetarkan dunia Kangouw Kiu-ih-hui-eng (elang terbang
bersayap sembilan) Tik Bong-peng masakah bisa mempunyai seorang anak
yang goblok."
"O, kiranya Tik-kongcu," cepat Liong Hui memberi hormat. "Sering kudengar
cerita guruku bahwa di antara lawannya dahulu, tokoh yang paling dihormati
dan disegani beliau adalah Tik-locianpwe?"

Wajah pemuda cerah itu tampak prihatin ia membalas hormat dan berucap,
"Mendiang ayahku ...."
"O, apakah Tik-locianpwe sudah wafat? Mengapa tidak terdengar berita ini di
dunia Kangouw?" kata Liong Hui.
Pemuda itu tersenyum murung, jawabnya, "Belasan tahun ayah mengasingkan
diri di Thian-san yang jauh sana, dengan sendirinya tidak ada kabar berita
mengenai beliau di dunia Kangouw."
Liong Hui tahu sejak Kiu-ih-sin-eng Tik Bong-peng dikalahkan oleh gurunya,
nama kebesarannya lantas runtuh dan sejak itu menghilang dari dunia
Kangouw.
Dilihatnya pemuda cerah itu bicara pula dengan bersemangat, "Sebelum
meninggal, ayah juga sering bicara tentang kegagahan Put-si-sin-liong, beliau
tidak pernah menyesal karena kalah di bawah pedang si naga tak termatikan."
"Tapi guruku juga sering mengatakan seharusnya Tik-locianpwe menang
dalam pertarungan itu, sebab lebih dulu guruku telah tertusuk oleh pedang
Tik-locianpwe," kata Liong Hui.
"Salah, bukan begitu halnya," ujar si pemuda cerah. "Ayah telah menceritakan
semua kejadian pada waktu itu. Waktu itu Liong-loyacu berkunjung ke Thiansan
di bawah hujan salju dan angin badai, beliau menunggu lagi sehari
semalam di puncak Thian-san. Padahal Liong-loyacu datang dari daerah
Kanglam yang beriklim hangat, mana tahan akan dingin salju dan angin di
puncak Thian-san, karena itulah kaki dan tangan beliau tentu saja kaku
kedinginan, dengan begitu barulah ayahku bisa menarik keuntungan. Tapi
ketika ujung pedang ayah menyentuh badan Liong-loyacu, pedang Liongloyacu
juga sudah mengancam di dada ayah. Apabila Liong-loyacu tidak
bermurah hati, tentu .... Ai!"

Diam-diam Koh Ih-hong menghela napas, terpikir olehnya betapa sempit jalan
pikiran kakek sendiri dibandingkan kebesaran jiwa Kiau-ih-sin-eng Tik Bongpeng.
Didengarnya pemuda she Tik itu bertutur pula, "Sebelum ayah meninggal,
berulang beliau memberi pesan padaku bahwa Liong-loyacu sesungguhnya
berbudi kepada beliau, maka kelak aku harus membalas budi dan bukannya
membalas dendam. Pesan ini setiap saat selalu kuingat dengan baik. Setelah
ayah wafat, aku lantas meninggalkan Thian-san dan datang ke Tionggoan sini,
waktu itu aku gemar minum ...." ia tersenyum, lalu menyambung, "Sampai
saat ini aku tetap suka minum arak hingga lupa daratan."
Liong Hui tersenyum, ia tertarik kepada pemuda yang suka terus terang ini.
Terdengar pemuda she Tik menyambung lagi, "Suatu hari aku mampir minum
arak di sebuah rumah minum kecil di luar kota Tai-beng-hu, sekaligus
kuhabiskan dua guci Tik-yap-jing simpanan pemilik rumah minum itu. Tik-yapjing
memang arak yang sedap, waktu diminum tidak terasa keras, sesudah
masak perut, bekerjanya justru sangat lama. Aku sudah terbiasa minum arak
keras daerah Kwan-gwa, maka sekali ini aku terperangkap, tidak jauh
meninggalkan rumah minum itu aku lantas mabuk dan mengaco-belo tak
keruan ...."
Sampai di sini, ia tertawa kikuk, lalu melanjutkan, "Kemudian baru kuketahui,
dalam keadaan mabuk aku telah membual tentang ilmu pedangku yang tidak
ada tandingan, kubilang Put-si-sin-liong juga bukan tandinganku, kukatakan
pula Thian-san-kim-hoat tidak ada tandingannya di dunia, ilmu pedang daerah
Tionggoan sama sekali tidak ada artinya bagiku."
Liong Hui tersenyum, ia tambah senang terhadap anak muda yang suka bicara
blak-blakan ini.

"Esok harinya ketika aku sadar, kulihat di sampingku seorang pemuda ganteng
sibuk melayani diriku," tutur lagi pemuda she Tik. "Dia itulah kakak adik Koh
ini, Koh Kang. Selama tiga hari kami pesiar bersama dan menghabiskan lagi
beberapa guci Tik-yap-jing. Akhirrya Koh Kang membeberkan rencananya
kepadaku, katanya dia telah mengumpulkan, segenap keturunan musuh Putsi-
sin-liong dan bermaksud menagih utang berdarah kepada jago nomor satu
itu."
Malam tambah larut, cahaya mutiara semakin terang, semua orang seakanakan
lupa lapar dan lelah dan asyik mendengarkan ceritanya.
"Waktu itu aku terkejut, sebab dari keterangannya kutahu orang-orang yang
telah dikumpulkannya adalah keturunan jago-jago terkemuka belasan tahun
yang lalu, betapa tinggi kepandaian Put-si-sin-liong pasti juga akan repot
menghadapi jago muda yang dihimpunnya ini."
Ia terdiam sejenak, lalu menyambung, "Mau tak mau mengiang lagi pesan
ayahku bahwa aku harus membalas budi kepada Liong-loyacu, maka ajakan
Koh Kang kuterima. Adapun apa yang terjadi selanjutnya tentu sudah
dituturkan oleh adik Koh tadi yang tidak diketahui oleh Toako mungkin adalah
mengapa orang-orang ini bisa berkaitan dengan pertandingan antara Tan-hong
dan Sin-liong di Hoa-san ini dan cara bagaimana disiapkan perangkap ini?"
"Ya, memang urusan ini membuatku bingung ...." kata Liong Hui. "Tapi
sebelum kau bicara lagi, maukah kau beri tahukan lebih dulu namamu?"
"Tik Yang!" kata si pemuda cerah sambil memberi gerakan melayang-layang di
udara. "Namaku Yang, yang melayang. Nama ini tidak menonjol di dunia
Kangouw sebab beberapa tahun ini aku selalu berlagak bodoh dan pura-pura
dungu."
Liong Hui tersenyum, juga Koh Ih-hong merasa geli. Hanya Ciok Tim saja yang
bungkam dengan muka cemberut.

Giok-he memandangnya beberapa kejap, katanya kemudian, "Tik Yang,
sungguh nama bagus!"
"Terima kasih, Toaso," Tik Yang memberi hormat.
Pemuda ini ternyata pandai bergaul dengan siapa pun, dalam suasana
bagaimana pun dia dapat menempatkan dirinya secara riang dan penuh
humor.
Diam-diam Ciok Tim mendongkol, ia melengos ke sana dan tidak mau
memandangnya lagi.
Sebenarnya watak Ciok Tim tidaklah jelek, hanya dalam hal urusan perempuan
telah membuatnya kehilangan pribadinya. Sikap Tik Yang terhadap Koh Ihhong
tadi telah membuatnya mendongkol, sekarang Giok-he bersikap manis
lagi kepada Tik Yang, tentu saja dia tambah cemburu, tapi tidak dapat berbuat
sesuatu.
Terdengar Tik Yang bicara lagi, "Meski ada maksudku hendak bekerja bagi
Liong-loyacu, tapi mengingat ada persekutuanku dengan Koh Kang dan lainlain,
terpaksa aku tidak dapat tampil melainkan cuma berusaha secara diamdiam
saja."
"Sudah banyak bantuanmu dengan obor, tali dan sebagainya," kata Liong Hui.
"Semula kami tidak tahu orang kosen dari mana yang diam-diam memberi
bantuan, tak tersangka adalah jasa baik Tik-hiante. Sungguh kami sangat
gembira dapat bertemu denganmu."
Tik Yang menghela napas, "Sejak berkelana di daerah Tionggoan lantas
kudengar cerita di dunia Kangouw bahwa murid utama Sin-liong-bun, si lelaki
baja Liong Hui adalah kesatria yang jujur dan berbudi luhur, hari ini dapat
bertemu sendiri dengan Toako, ternyata memang tidak bernama kosong."

"Ah, Tik-hiante terlalu memuji," kata Liong Hui.
Dengan serius Tik Yang berucap pula, "Bilamana tadi aku tidak menyaksikan
sendiri tindak tanduk Toako, tentu aku takkan menemui Toako di sini."
Ia berpaling dan memandang sekejap mayat menggeletak di lantai itu, lalu
berkata pula dengan menyesal, "Meski orang ini tidak ada hubungan erat
denganku, tapi jelek-jelek kami sudah berkawan. Walau dia sudah mati Toako
tetap menghormatinya tanpa memperlakukan kasar padanya. Kupikir bilamana
terhadap orang mati saja Toako bersikap demikian, apalagi terhadap yang
hidup. Kalau dapat bersahabat dengan kesatria semacam ini sungguh tidak
sia-sia kunjunganku ke Tionggoan ini. Sebab itulah aku lantas melompat turun
kemari ...."
"Kiranya sejak mula Tik-hiante sudah bersembunyi di atas rumah, sungguh
tidak becus kami ini, ternyata tidak ada seorang pun yang mengetahui
jejakmu," kata Liong Hui dengan tersenyum.
"Memangnya siapa yang tidak pernah mendengar Sam-hun-sin-kiam dan Jitkim-
sin-hoat dari Thian-san-pay, setelah melihat Ginkang Tik-hiante tadi nyata
Kungfu Thian-san yang termasyhur itu memang tidak omong kosong," kata
Giok-he dengan tersenyum, agaknya ganjalan hati tadi sudah terlupakan.
"Ah, Sam-hun-kiam-hoat dan Jit-kim-sin-hoat hanya kupelajari serba sedikit
saja, kalau ada sedikit kemajuanku, paling-paling lantaran setiap hari berlarian
di tanah pegunungan bersalju sehingga tubuhku lebih ringan dan kakiku lebih
kuat, mana pantas dipuji oleh Toaso. Apalagi kalau dibandingkan Sin-liongkiam-
hoat, sungguh aku merasa malu sendiri."
"Sin-liong-kiam-hoat memang cukup membanggakan, namun sayang di antara
anak muridnya seperti kami ini tidak ada seorang pun mampu mewarisi
kepandaian Suhu," kata Liong Hui dengan gegetun. "Hanya Gote saja yang

berbakat dan punya dasar yang kuat, cuma sayang dia belum lama belajar
dengan Suhu dan belum kelihatan sesuatu yang menonjol. Sebaliknya diriku
yang paling lama ikut Suhu justru teramat bodoh."
"Gote yang disebut Toako itu apakah keturunan keluarga Lamkiong yang kaya
raya dan belum lama masuk perguruan Sin-liong itu" tanya Tik Yang.
Liong Hui membenarkan.
"Pernah juga kudengar pemimpin grup hartawan Lamkiong cuma mempunyai
seorang putra tunggal yang sejak kecil gemar belajar silat dan entah berapa
banyak mengangkat guru serta membuang biaya, cuma sayang yang
didapatkan semuanya bukan tokoh yang tepat. Baru akhir-akhir ini ia diterima
ke dalam perguruan Sin-liong. Heran juga putra keluarga hartawan yang
biasanya cuma suka foya-foya ternyata mau tekun belajar silat segala."
"Hubungan keluarga Lamkiong dengan perguruan kami memang sangat erat
dan cukup panjang untuk diceritakan," tutur Liong Hui. Lalu ia mengacungkan
ibu jari dan berkata pula, "Meski Gote kami ini putra keluarga hartawan
ternama, tapi dia bukan pemuda keluarga kaya umumnya. Selain bakatnya
tinggi dan otaknya cerdas, dia juga berbakti kepada orang tua, setia terhadap
guru dan berbudi terhadap kawan. Tidak bingung menghadapi perempuan
cantik, tidak gugup menghadapi bahaya. Ia pun serba pandai dan giat belajar.
Kuyakin hanya dia saja yang dapat mengembangkan nama baik Sin-liong-bun
kelak."
Biasanya Liong Hui tidak pandai bicara, tapi apa yang diuraikan ini adalah
sesuatu yang menjadi kebanggaannya, maka nadanya lantang dan wajah
berseri.
Ciok Tim tetap berdiri menghadap ke sana. Sedangkan Giok-he ikut
mendengarkan dengan tersenyum simpul.

Koh Ih-hong lagi memandang langit-langit rumah, entah asyik mendengarkan
atau sedang melamun.
"Dan berada di manakah Lamkiong-toako itu sekarang?" demikian Tik Yang
bertanya.
"Gote saat ini seharusnya juga berada di sini, tapi ...." segera Liong Hui
menceritakan apa yang terjadi dan yang telah dilakukan Lamkiong Peng.
Tik Yang tampak tertarik, katanya, "Wah, bila mendengar cerita Toako ini,
sungguh rasanya aku ingin segera menyusul ke bawah gunung untuk menemui
Lamkiong-heng yang hebat itu ...."
"Bukan cuma engkau saja, kami juga ingin segera bertemu lagi dengan Gote,"
kata Liong Hui. "Tapi urusan di sini tentu saja lebih penting, apalagi kalau Tikhiante
tidak menjelaskan lebih lanjut persoalan ini, ke mana lagi akan kami
cari jejak guru kami?"
"Ya, betul juga." ucap Tik Yang dengan tertawa. "Kita asyik bicara urusan lain
sehingga melupakan urusan penting."
Ia menengadah dan memandang kelima biji mutiara yang terbingkai di
belandar rumah bambu itu, lalu berkata pula, "Toako, engkau sudah lama
berkelana di dunia Kangouw, apakah kau tahu asal-usul kelima biji mutiara ini?
Liong Hui tertegun, jawabnya, "Tidak."
"Dahulu, setelah pertemuan Wi-san, nama Tan-hong Yap Jiu-pek sangat
termasyhur, tatkala mana beliau belum pindah ke Hoa san sini melainkan
tinggal di kaki gunung Wi itu dengan perkampungan yang bernama Sip-tioksan-
ceng ...."
"Ya, ini kutahu," kata Liong Hui.

"Dan Toako pasti juga tahu peristiwa besar yang terjadi di Sip-tiok-san-ceng
pada sepuluh tahun yang lalu?"
"Apakah yang kau maksudkan itu adalah pertemuan besar orang persilatan
yang disebut 'Pek-niau-tiau-hong' (beratus burung menghadap Hong) itu?"
"Betul," kembali Tik Yang tertawa cerah. "Waktu itu aku masih kecil, meski
jauh tinggal di daerah perbatasan sana, tapi kudengar juga keramaian pada
pertemuan besar itu. Konon senjata setiap tamu harus ditanggalkan, arak
yang disuguhkan kalau dituang ke Thay-oh akan menambah air danau itu naik
pasang tiga senti ...."
"Aku sendiri hadir dalam pertemuan itu, meski sangat ramai, tapi juga tidak
terlalu luar biasa," ujar Liong Hui dengan tersenyum.
"Betul juga ucapan Liong-toako mengingat jauh 30 tahun sebelumnya
pertemuan besar yang diadakan Liong-loyacu di Sian-he-nia ketika
meresmikan nama gelar beliau."
Tersembul senyuman bangga pada ujung mulut Liong Hui, katanya "Dalam
pertemuan itu, Suhu tidak menyediakan pondokan, juga tidak ada perjamuan,
setiap tamu yang hadir sama membawa arak dan makanan sendiri dan
diperbolehkan membawa senjata ...."
"Haha, hadir dengan membawa arak dan santapan sendiri, juga tidak dilarang
membawa senjata, pertemuan bebas begini sungguh tidak pernah terjadi
dalam sejarah dunia persilatan. Orang yang mengusulkan pertemuan cara ini
pasti seorang kesatria perkasa, sayang usiaku terlalu muda dan tidak
dilahirkan pada zaman itu," seru Tik Yang dengan tertawa.

"Peristiwa itu disponsori oleh 13 jago tua dari ke-13 propinsi, tapi yang
memimpin pertemuan itu adalah Thian-ah Tojin yang paling disegani waktu
itu."
"Thian-ah Tojin?" Tik Yang menegas. "Hah, sungguh luar biasa."
"Pertemuan yang disebut Ho-ho-tai-tian (pesta pengukuhan) itu berlangsung
sehari semalam, sampai fajar keesokannya, beribu hadirin sama
mengacungkan pedang sambil bersorak Put-si-sin-liong, naga sakti tak
termatikan. Betapa semarak pertemuan itu jelas tidak dapat disamakan
dengan Pek-niau-tiau-hong, apalagi sifat dan nilainya juga tidak sama."
"Oo?!" Tik Yang jadi ingin tahu.
"Ho-ho-tai-tian ini diadakan oleh orang persilatan demi menghormati jasa
guruku, jadi guruku termasuk orang undangan, sebelumnya tidak mengetahui
akan urusan ini. Sedangkan Pek-niau-tiau-hong diselenggarakan sendiri oleh
Yap Jiu-pek, setiap tokoh dunia persilatan yang terkenal, baik lelaki maupun
perempuan, semua diundang hadir ke Sip-tiok-san-ceng. Di antara hadirin ini
tentu juga ada yang enggan datang, tapi karena jeri terhadap Yap Jiu-pek
sehingga terpaksa hadir. Pertemuan demikian mana dapat dipersamakan
dengan Ho-ho-tai-tian bagi guruku itu?"
Tik Yang tersenyum, ia tahu antara Tan-hong dan Sin-liong sudah retak,
makanya Liong Hui dapat bicara seperti ini.
Tiba-tiba Kwe Giok-he menyela dengan tertawa, "Eh, sesungguhnya apa yang
kalian perbincangkan tadi, kenapa melantur hingga urusan Ho-ho tai-tian
segala?"
"Haha, betul juga, maaf Toaso," seru Tik Yang dengan tertawa. "Tentang asalusul
kelima biji mutiara ini, yaitu merupakan kado yang dibawa lima saudara
perempuan Hing-san-pay ketika ikut hadir di Sip-tiok-san-ceng."

"Hah, kiranya begitu, jadi rumah bambu ini memang tempat kediaman Yap
Jiu-pek?" seru Liong Hui.
"Betul," kata Tik Yang.
"Aneh juga," ujar Giok-he dengan kening bekerenyit. "Asalnya Yap Jiu-pek
juga putri keluarga kaya, mengapa dia sudi tinggal di tempat seburuk ini?"
"Memang sangat sedikit orang Bu-lim yang mengetahui urusan ini," tutur Tik
Yang dengan gegetun. "Bahwa Yap Jiu-pek dan Liong-loyacu dahulu
sebenarnya, adalah pasangan pendekar yang dikagumi di dunia Kangouw
zaman itu ...."
"Antara guru kami dan Yap Jiu-pek memang sudah kenal sejak kecil, cuma
keduanya tidak pernah terikat menjadi suami-istri, malahan karena sesuatu
urusan sepuluh tahun yang lalu kedua orang lantas bersengketa dan tidak
pernah bertemu lagi," tukas Giok-he. "Karena sengketa itu, terjadilah janji
bertanding pedang sepuluh tahun kemudian, hal ini cukup diketahui oleh
setiap orang persilatan."
"Betul, karena janji pertandingan itu, Yap Jiu-pek berkeras ingin mengalahkan
Liong-loyacu, maka dia giat berlatih, untuk itu dia sedang meyakinkan
semacam Lwekang dari negeri Thian-tiok (Hindu), konon tanpa sengaja ia
menemukan sejilid kitab pelajaran Lwekang, karena hasratnya ingin menang,
tanpa bimbingan ia berlatih sendiri secara cepat, siapa tahu akibatnya setelah
berlatih dua tahun dia mengalami kelumpuhan ...."
"Hah, rupanya setelah Yap Jiu-pek menghabiskan harta bendanya di Sip-tioksan-
ceng dan menyerahkan tempat kediamannya itu kepada sahabatnya si
Nikoh sakti Ji-bong Taysu, lalu dia mengasingkan diri di sini, tak tersangka
lantaran dia mengalami kesesatan dalam latihan ilmunya."

"Ya, dengan wataknya yang angkuh, terutama bila teringat kepada janji
pertandingan dengan Liong-loyacu, dengan sendirinya sukar dilukiskan betapa
penderitaan batinnya setelah mengalami kelumpuhan itu," tutur Tik Yang.
"Kebetulan waktu itu Ji-bong Taysu berkunjung padanya, melihat sahabat
tersiksa, anak murid yang meladeni juga selalu mendapat omelan,
perangainya menjadi pemarah, maka Ji-bong lantas membujuknya berpindah
ke suatu tempat tirakat yang terpencil untuk istirahat, bukan mustahil sebelum
sepuluh tahun kesehatannya akan pulih dan mungkin juga sekaligus akan
berhasil meyakinkan semacam Lwekang yang mahasakti."
"Ternyata selama sepuluh tahun dia tinggal di gubuk buruk ini di bawah tiupan
angin dingin dan hujan salju, tujuannya tidak lebih hanya ingin mengungguli
guruku saja," kata Liong Hui dengan gegetun.
Malam hampir berakhir, hawa tambah dingin, semua orang sama
membayangkan betapa siksa derita yang dialami Yap Jiu-pek selama hampir
sepuluh tahun tinggal di gubuk reyot.
Terdengar Tik Yang menyambung ceritanya lagi, "Yap Jiu-pek menerima
nasihat Ji-bong Taysu, dibawanya murid kecil yang baru diterimanya serta
empat pelayan pribadi ke Hoa-san sini dan hidup terpencil di rumah gubuk ini,
kasur inilah tempat ia duduk bersemadi, setiap hari cuma muridnya itu datang
mengawani dia selama beberapa jam, mengantarkan makanan dan juga
belajar ilmu silat."
"O, jadi perangkap ini memang dipasang oleh Yap Jiu-pek sendiri." kata Liong
Hui.
Tik Yang menggeleng dan bertutur pula, "Dengan susah payah Koh Kang
berusaha menuntut balas, setelah dia menyelundupkan adik perempuannya ke
Ci-hau-san-ceng, lalu bersama kami mendatangi Sip-tiok-san-ceng yang kini
telah menjadi tempat kediaman Ji-bong Taysu itu untuk minta bantuan ...."

Kening Liong Hui bekerenyit terlebih erat, dengan heran ia menyela pula,
"Masakah Ji-bong Taysu juga ada permusuhan dengan guruku?"
Kembali Tik Yang menggeleng, katanya, "Meski Ji-bong Taysu tidak ada
permusuhan dengan Liong-loyacu, tapi dia ada hubungan erat dengan murid
Kun-lun-pay, Boh-hun-jiu Tok Put-hoan. Mungkin Liong-toako juga tidak tahu
seluk-beluk hubungan mereka?"
"Ya, tidak tahu," kata Liong Hui.
"Pernahkah Toako mendengar seorang murid Kun-lun-pay pada beberapa
puluh tahun yang lalu, seorang pendekar pedang perempuan bernama Li Ping."
Dengan tersenyum Giok-he menimbrung, "Memang pernah kami dengar nama
ini, menurut cerita Suhu, tingkah-laku Li Ping ini terlebih kejam daripada Lenghiat
Huicu yang terkenal pada 30 tahun yang lalu itu, cuma setelah membikin
geger dunia Kangouw, kemudian orang ini lantas lenyap secara mendadak."
"Ya, orang Kangouw tak ada yang menyangka Li Ping yang cantik dan berhati
kejam itu dapat mencukur rambut dan menjadi Nikoh, bahkan terkenal
sebagai Ji-bong Taysu yang saleh. Rupanya Li-locianpwe itu sengaja
menghindari pencarian musuh dan mengasingkan diri. Ia merasa segala
perbuatan masa lampau serupa orang mimpi, maka setelah menjadi Nikoh ia
memakai gelar Ji-bong, artinya serupa mimpi."
"O, jadi Ji-bong Taysu dan Boh-hun-jiu Tok Put-hoan berasal dari perguruan
Kun-lun," kata Giok-he.
"Ya, makanya Ji-bong Taysu telah menyarankan kepada Tok Put-hoan agar
bersama kami datang saja ke Hoa-san sini untuk mencari Yap Jiu-pek," tutur
Tik Yang. "Waktu itu Yap Jiu-pek sedang tersiksa dan penuh rasa benci tak
terlampiaskan, setelah mendengar maksud kedatangan kami, tanpa bicara ia
terus melancarkan pukulan terhadap Koh Kang dan Tok Put-hoan. Meski tokoh

kosen ini dalam keadaan lumpuh tapi tenaga pukulannya tetap sangat
dahsyat, meski aku berdiri jauh di belakang juga merasakan angin pukulannya
yang keras."
Ia menghela napas, lalu menyambung, "Ketika angin pukulan dahsyat itu
menyambar tiba, segera Koh Kang menghindar, sebaliknya Tok Put-hoan tetap
berdiri di tempatnya dan menerima pukulan itu. Kulihat Tok Put-hoan tetap
berdiri tegak, kusangka iwekangnya mampu melawan pukulan Yap Jiu-pek
yang lihai itu, tak terduga dia lantas jatuh terduduk di lantai."
"Rupanya meski Tok Put-hoan sanggup menahan pukulan Yap Jiu-pek itu, tapi
juga telah menguras seluruh tenaganya sehingga tidak sanggup berdiri lagi. Ia
lantas mencaci maki Yap Jiu-pek yang kejam itu, bilamana tidak mau
membantu juga tidak layak menyerang kaum muda yang jelas bukan
tandingannya."
"Diam-diam kami siap siaga kalau-kalau Yap Jiu-pek menyerang lagi oleh
karena caci maki Tok Put-hoan itu. Tak terduga Yap Jiu-pek tidak meladeni
makian orang, ia cuma menghela napas dan berucap, 'Hanya mengandalkan
kepandaian kalian ini mana mungkin dapat menuntut batas kepada Liong Posi.'"
"Lalu ia memberi tanda agar kami pergi saja sambil memejamkan mata dan
tidak menggubris kami lagi. Tapi Koh Kang lantas menjelaskan tujuan kami
yang cuma ingin menuntut batas kepada Put-si-sin-liong dan bukan untuk
bertanding dengan dia, maka kami akan menggunakan segala macam cara
asalkan tujuan tercapai. Ia beberkan pula rencana yang telah kami atur,
terutama agen yang sudah diatur di Ci-hau-san-ceng, jadi setiap gerak-gerik
Liong Po-si dapat diketahui dengan jelas, terutama bila ada Kungfu baru yang
berhasil diciptakannya."
"Bagaimana ilmu silat Koh-toako kita ini tidak kuketahui, yang jelas dalam hal
putar lidah memang dia nomor satu. Rupanya Yap Jiu-pek jadi tertarik,

perlahan ia membuka mata dan memancarkan sinar mata yang aneh. Semua
itu dapat kulihat dari samping, tahulah aku urusan pasti beres."
Liong Hui menghela napas, katanya, "Watak Yap Jiu-pek angkuh dan suka
menang, tak tersangka dia juga mau menggunakan cara yang tak jujur untuk
mencapai maksud tujuannya."
"Maklumlah, sudah sekian tahun Yap Jiu-pek duduk bersemadi dan setiap hari
tersiksa oleh hawa dingin yang merasuk tulang, sedangkan jangka waktu
bertanding dengan Liong Po-si sepuluh tahun kemudian sesuai perjanjian
sudah semakin dekat, sebaliknya kesehatannya tidak tampak ada harapan
akan pulih, dengan sendirinya pikirannya waktu itu menjadi agak kurang
normal, maka dia telah terima gagasan yang diajukan Koh Kang."
"Apa gagasannya?" tanya Liong Hui.
"Selama lima tahun kami berdiam di Hoa-san, selama itu kami bergiliran turun
gunung untuk mencari berita keadaan dan kemajuan Kungfu Liong-loyacu, di
samping itu kami juga giat berlatih di atas gunung. Ai, tak kusangka dendam
kesumat Koh Kang terhadap Liong-loyacu ternyata sedemikian mendalam,
hidupnya seolah-olah hanya untuk menuntut balas saja. Padahal dia masih
muda, tapi dia rela hidup terasing di pegunungan sunyi. Nama, kedudukan,
kekayaan, segala kenikmatan hidup seakan-akan telah dilupakan olehnya. Dan
begitulah kehidupan selama lima tahun yang kesepian itu telah kami lalui
dengan susah payah. Akhirnya mereka mengatur suatu rencana yang rapi,
rencana yang mutlak harus berhasil dan tidak boleh gagal."
Akhirnya dia bercerita mengenai titik pokoknya, semua orang sama
mendengarkan dengan cermat.
"Rencana ini secara terperinci berdasarkan enam titik," tutur Tik Yang
perlahan. "Pertama, menggunakan berita kematian Yap Jiu-pek untuk
membikin kacau pikiran Liong-loyacu, untuk melemahkan kewaspadaannya.

Semua orang tahu kisah masa lalu antara Liong-loyacu dengan Yap Jiu-pek,
bila mendadak Liong-loyacu menerima berita duka itu, dengan sendirinya
hatinya akan sedih dan menyesal sehingga melengahkan segala kemungkinan
lain."
"Kedua, murid Yap Jiu-pek diminta menggunakan kata-kata tajam dan sikap
angkuh untuk memancing kemarahan Liong-loyacu, dengan watak Liongloyacu
yang tidak sudi dipandang rendah, dengan sendirinya akan terpancing
oleh usul Yap Man-jing yang minta Liong-loyacu menyusutkan tenaga sendiri.
Dan bila usul ini diterima Liong-loyacu berarti rencana kami sudah tercapai
separuh."
Giok-he menunduk dan menghela napas, "Waktu itu memang sudah kurasakan
keadaan tidak menguntungkan, maka kubujuk Suhu agar jangan mau
terjebak, siapa tahu Gote ...."
"Bilamana Gote tidak melakukannya waktu itu, tentu akulah yang akan
melakukannya," teriak Liong Hui tegas. "Seorang lelaki sejati mana boleh takut
ini dan khawatir itu serupa orang perempuan. Terkadang sekalipun tahu akan
ditipu orang juga tetap akan kuterjang daripada terhina. Apalagi biarpun
dibodohi orang satu kali apakah mungkin akan tertipu lagi untuk kedua
kalinya."
Tik Yang mengangguk tanda memuji akan kegagahan orang, Giok-he
menunduk pula dan berucap, "Dan yang ketiga?"
"Ketiga, bila Lwekang Liong-loyacu sudah susut, selanjutnya harus
melemahkan kekuatannya, dalam hal ini diusahakan agar beliau terpencar
dengan kalian ...."
Liong Hui memandang sekejap kepada sang istri, ia pikir dugaannya ternyata
juga tidak salah.

Maka terdengar Tik Yang menyambung lagi, "Apabila ketiga titik pokok ini
sudah berhasil, tiga titik rencana selanjutnya jelas akan berjalan dengan baik,
keadaan Liong-loyacu berarti lebih banyak celaka daripada selamatnya.
Semula aku berjaga di tengah jalan, ku lihat Yap Man-jing itu benar telah
berhasil membawa Liong-loyacu sendirian ke atas gunung. Diam-diam aku
merasa ngeri, kupikir sekarang inilah saatnya kubalas budi kebaikan Liongloyacu.
Segera kusiap membereskan Yap Man-jing dan menuturkan duduk
perkara yang sebenarnya kepada Liong-loyacu."
"Atas maksud baik Tik-hiante ini kami harus berterima kasih padamu," kata
Liong Hui.
"Ah, Liong-toako jangan tergesa mengucapkan terima kasih padaku, yang
harus menerima penghormatanmu ini justru ialah nona Yap Man-jing itu," kata
Tik Yang.
"O, mengapa begitu?" Liong Hui merasa bingung.
"Sebab pada waktu timbul maksudku akan menyerang nona Yap itu, siapa
tahu begitu berhadapan denganku tanpa bicara nona Yap itu lantas
mendahului menusukku dengan cara tanpa kenal ampun, tentu saja aku kaget,
untung sempat kuhindari serangannya. Aku menjadi sangsi jangan-jangan
nona Yap itu dapat mengetahui maksudku dan mendahului hendak
membinasakanku?"
"Nona Yap melancarkan serangan lagi terus-menerus, setiap tusukan selalu
mengincar tempat mematikan, kukhawatir kawan yang lain keburu datang,
maka sembari mengelak kubeberkan tipu muslihat mereka kepada Liongloyacu
dan minta beliau lekas bertindak. Siapa tahu, setelah kubongkar
rahasia ini, nona Yap berbalik berhenti menyerang."
Liong Hui menghela napas, "Jangan-jangan nona Yap itu juga bermaksud
membantu guruku?"

"Memang betul," tutur Tik Yang. "Kiranya orang tua nona Yap ini dahulu juga
pernah mendapat pertolongan Liong-loyacu, dia juga tidak menyetujui tipu
muslihat keji mereka, mestinya dia belum mengambil sesuatu keputusan, tapi
setelah berhadapan dengan kalian dan mengetahui pribadi Liong-loyacu, ia
bertekad akan membantu Liong-loyacu melepaskan diri dari perangkap ini
sekalipun dia akan dituduh berkhianat kepada gurunya."
"Ai, sungguh tidak kuduga nona Yap itu adalah gadis berbudi luhur," ucap
Liong Hui.
Tik Yang tersenyum, "Ya, dan yang paling terkejut ialah Liong-loyacu sendiri.
Beliau seorang jujur dan berhati lapang, mana diketahuinya orang akan
bertindak keji dan curang padanya. Begitulah kami lantas mengajak beliau ke
tempat kediaman kami sehari-hari di pinggang gunung, di situ kami ceritakan
seluk-beluk urusan ini."
"Siapa tahu, setelah mendengarkan keterangan kami, segera Liong-loyacu
minta alat tulis kepada kami, beliau menulis sepucuk surat wasiat dan
diserahkan kepada Yap Man-jing dengan pesan agar diserahkan kepada kalian,
kemudian Liong-loyacu minta kubawa beliau ke atas gunung lagi."
"Tentu saja aku dan nona Yap melenggong, melihat keraguan kami, Liongloyacu
bergelak tertawa dan berkata, 'Biarpun di atas sana ada sarang
harimau atau kubangan naga tetap juga akan kuterjang. Hidup setua ini, mati
bagiku sudah bukan soal lagi. Justru persoalan budi dan benci yang belum
terselesaikan ini harus kubereskan dengan tuntas, aku tidak ingin membawa
urusan yang belum selesai ini ke akhirat.'"
"Berbareng dengan ucapan beliau itu, mendadak kudengar ruas tulang Liongloyacu
sama berkeriat-keriut, perawakan beliau yang memang kekar itu
mendadak seakan-akan bertambah lebih tinggi besar. Aku tidak berani
menatap wajahnya, aku tertunduk, tapi sudah kulihat di tengah gelak

tertawanya dia telah membuka Hiat-to sendiri yang tertutuk sehingga pulih
seluruh Lwekangnya. Sungguh tidak kepalang rasa kagumku terhadap
kegagahan dan kehebatan Kungfu beliau."
Setiap anak murid Liong Po-si yang mendengar ucapan Tik Yang ini sama ikut
merasa bangga, rumah gubuk yang sunyi dan dingin ini seketika seperti
berubah menjadi hangat.
Sambil membusungkan dada Tik Yang menyambung lagi, "Melihat kegagahan
Liong-loyacu itu, aku dan nona Yap tidak berani mencegahnya lagi. Ketika
nona Yap mau pergi, Liong-loyacu menyerahkan pula pedangnya agar
diserahkan kepada kalian. Nona Yap tampak tertegun, aku sendiri juga tidak
sanggup bicara apa pun."
"Nona Yap itu ternyata seorang yang simpati, semula kusangka dia berhati
dingin," ucap Liong Hui.
"Kami terharu menyaksikan keperkasaan Liong-loyacu, sungguh kami tidak
ingin Liong-loyacu menghadapi bahaya, meski Kungfu beliau tidak ada
tandingan, tapi di atas gunung sedang menanti berbagai jeratan yang licik
yang khusus dirancang sesuai dengan watak Liong-loyacu yang luhur itu,
sampai lama akhirnya nona Yap membalik tubuh dan melangkah pergi,
memandangi bayangan punggung nona Yap, tertampil juga perasaan haru dan
duka Liong-loyacu yang sukar ditutupi ...."
"Termangu kupandang orang tua itu, kulihat Liong-loyacu juga sedang
menatap tajam padaku, sampai sekian lama mendadak beliau berkata dengan
tegas, 'Seorang lelaki sejati, hidup dan bekerja bagi sesamanya, asalkan
meraba perasaan sendiri tidak bersalah, andaikan mati juga tidak perlu
disesalkan. Ayahmu juga seorang tokoh besar, engkau dilahirkan di keluarga
kaum kesatria, seharusnya kau pun tahu apa artinya menepati janji bagi
seorang kesatria.'"

"Habis berucap, beliau mengentak kaki perlahan, lalu perawakannya yang
tinggi besar itu melayang ke atas gunung dan akhirnya lenyap dalam
kegelapan. Ketika aku menunduk, kulihat sebuah bekas kaki tercetak dengan
jelas di atas batu, kupandang bekas kaki ini dan mengingat lagi ucapan Liongloyacu
sebelum pergi, sampai lama kurasakan suara beliau masih mengiang di
tepi telingaku ...."
"Ya, bekas kaki itu pun sudah kami lihat," ucap Liong Hui dengan nada berat.
"Tapi sejauh ini kami tidak tahu mengapa Suhu meninggalkan bekas kaki
seperti itu," tukas Giok-he.
"Banyak urusan di dunia ini sukar dimengerti sekalipun oleh orang yang
pandai," ujar Tik Yang dengan pandangan hampa. "Misalnya saja, sekarang
juga aku tidak tahu apa yang terjadi setelah Liong-loyacu naik ke atas gunung
dan di mana beliau berada saat ini."
"Hah, engkau pun tidak tahu?" seru Liong Hui terkesiap.
"Ya, aku pun tidak tahu," Tik Yang menggeleng. "Setelah beliau pergi, sampai
lama aku menimbang, akhirnya kuputuskan turun ke bawah untuk mencari
kalian. Tapi waktu itu kalian sudah mendaki ke atas malah, maka diam-diam
kukuntit perjalanan kalian dan banyak mendengar macam-macam percakapan
kalian. Ketika kudengar kalian bicara tentang obor, segera kukembali ke
tempat tinggal kami untuk mengambil obor dan tali, kuputar ke depan dan
menyalakan obor, kunaik lagi ke atas tebing dari jalan lingkar yang lain dan
menjulurkan tali ke bawah. Adapun mengenai apa yang terjadi di rumah gubuk
ini, seperti juga kalian, aku pun tidak tahu sama sekali."
Suasana menjadi sunyi, semua orang saling pandang dengan termenung.
Namun apa yang dipikirkan mereka tidak sama.

Liong Hui dan Koh Ih-hong berpikir sesungguhnya apa yang terjadi di sini? Ke
mana perginya Suhu? Selamat atau celaka?
Sedangkan yang dipikirkan Ciok Tim dan Giok-he justru mengenai urusan
pribadi mereka, timbul keraguan mereka jangan-jangan apa yang dilakukan
mereka tadi telah dilihat juga oleh Tik Yang.
Malahan Ciok Tim berpendapat sebabnya Tik Yang bersikap ketus padanya
jelas lantaran orang telah melihat perbuatannya tadi.
Tiba-tiba Giok-he bertanya, "Tik-siauhiap, apa yang terjadi di rumah gubuk ini
tentu kau lihat juga, mengapa engkau bilang tidak tahu?"
Mendadak Tik Yang menengadah dan tertawa, "Haha, bagus, bagus, maksud
baikku agaknya telah menimbulkan salah sangka kalian."
"Tik-siauhiap, jangan engkau menyesal bila kusalah omong," kata Giok-he pula
dengan tersenyum. "Cuma engkau jelas sudah datang ke sini lebih dulu, kami
ketinggalan lantaran cukup lama menyelidiki ukiran pada ketiga potong batu
karang itu. Apalagi waktu engkau masuk kemari tiada kelihatan rasa kaget
atau heran sedikit pun, memangnya apa sebabnya?"
Ciok Tim berdehem dan juga menatap Tik Yang dengan tajam. Agaknya Liong
Hui juga mempunyai pikiran yang sama.
Namun Tik Yang cuma tersenyum saja.
Perlahan Giok-he menyambung, "Ketiga langkah yang kalian rancang sudah
kau jelaskan tadi. Lalu ketiga perangkap selanjutnya belum kau katakan,
namun tanpa kau jelaskan juga kutahu. Pertama kalian sengaja mengukir
tulisan di dinding tebing untuk memancing guruku naik kemari, supaya tenaga
guru kami terkuras habis sebelum bertanding. Malahan bukan mustahil ada

pikiran kalian semoga beliau tidak sanggup mendaki ke atas dan jatuh
tergelincir, dengan begitu kalian menjadi tidak perlu turun tangan lagi."
Tik Yang tetap diam saja, bahkan lantas memejamkan mata.
Maka Giok-he bicara lagi, "Kedua, selama beberapa tahun ini kalian sudah
menerima info dari Simoay kami ini dan cukup mengetahui kehebatan Kungfu
guru kami, sebab itulah kalian sengaja menciptakan tiga jurus istimewa dan
diukir pada batu karang. Agaknya cuma teori saja ketiga jurus ciptaan kalian
ini dapat diterima, tapi bila digunakan dalam praktik belum tentu dapat
dimainkan dengan baik. Dengan demikian tujuan kalian hanya untuk menguji
Suhu, supaya sebelum berhadapan dengan Yap Jiu-pek beliau sudah patah
semangat lebih dulu."
la berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Kukatakan ketiga jurus ciptaan kalian
itu pada hakikatnya cuma teori belaka dan sukar dipraktikkan, sebagai seorang
tokoh kelas top tentu saja Suhu dapat menyelaminya, sebab itulah dengan
gusar beliau telah menghantam remuk batu karang itu."
"Dan ketiga" sambung Giok-he, "tiga jalan tembus dan empat daun pintu,
inilah cara kalian menjajaki betapa tinggi Kungfu guru kami. Ada lagi satu hal
yang jelas sangat aneh bahwa Yap Jiu-pek diketahui sudah lumpuh, lantas ke
mana perginya dia sekarang?"
Liong Hui juga menatap Tik Yang dengan sangsi.
Dilihatnya Tik Yang membuka mata perlahan lalu berkata, "Liong-toaso,
engkau memang sangat pintar, ketiga hal ini ternyata dapat kau terka dengan
tepat."
Dia bicara dengan dingin, sikapnya juga kaku, sambungnya, "Memang, ketiga
jurus yang terukir di batu karang itu memang cuma bicara secara teori saja,
praktiknya memang sukar dimainkan."

Tiba-tiba tersembul senyumannya yang mengejek, "Apa yang kalian bicarakan
di depan ketiga potong batu karang itu dapat kudengar dengan jelas. Cuma
sayang waktu itu terlalu banyak urusan yang dipikirkan Toaso sehingga tidak
tahu di atas batu ada orang bersembunyi."
Hati Giok-he terkesiap.
Liong Hui lantas berkata dengan menyesal, "Karena berbagai kejadian yang
membikin bingung kami ini, bilamana Toaso salah omong mengenai dirimu
hendaknya engkau jangan marah."
"Aku mengerti, jika aku jadi Toaso tentu juga akan merasa sangsi," ujar Tik
Yang dengan tertawa. "Kedatanganku ke rumah gubuk ini memang lebih dini
daripada kalian, tapi apa yang terjadi di sini sudah lalu, apa yang disangsikan
Toaso serupa juga apa yang sangsikan. Jejak Liong-loyacu dan juga Yap Jiupek,
Koh Kang, Tok Put-hoan dan lain-lain saat ini telah menjadi teka-teki ...."
Pandangannya perlahan beralih ke lantai, katanya sambil membalik mayat
yang menggeletak itu, "Di sini ada bekas darah, tapi pada satu-satunya mayat
ini tidak ada sesuatu tanda luka cara bagaimana kematiannya ...."
Waktu semua orang mengawasi lagi mayat itu, tertampak kulit daging pada
wajah mayat itu berkerut serupa mati ngeri dan kaget, juga serupa mati oleh
karena semacam Lwekang yang lihai yang menggetar putus urat nadinya.
"Ya, semua ini memang teka-teki, kuharap Tik-laute sudi bekerja sama dengan
kami untuk menyingkap tabir teka-teki ini," kata Liong Hui.
Tik Yang tersenyum, ia angkat mayat itu dan berkata, "Teka-teki ini pada
suatu hari pasti akan terjawab, tatkala mana tentu semua orang baru akan
percaya bahwa apa yang kuceritakan memang betul."

Ia pandang Liong Hui sekejap, tiba-tiba ia berseru, "Toako, sampai berjumpa
pula."
Habis berkata ia terus melayang keluar.
"Nanti dulu, Tik-laute ...." teriak Liong Hui sambil memburu keluar, namun
bayangan jago muda ahli waris Thian-san-pay ini sudah menghilang dalam
sekejap, meski mengangkat sesosok mayat, namun Ginkangnya sungguh luar
biasa cepatnya.
Liong Hui berdiri termangu sambil memandang jauh ke sana, gumamnya,
"Sungguh pemuda yang suka terus terang ...."
"Tapi menurut pandanganku, tampaknya ada sesuatu yang tidak beres ...."
Belum lanjut ucapan Giok-he, mendadak Liong Hui berpaling dan membentak,
"Tutup mulut!"
Selagi Giok-he melenggong, didengarnya Liong Hui berucap pula dengan
bengis, "Semuanya gara-garamu, jika bukan karena cara bicaramu yang
menyinggung perasaannya, mana bisa dia pergi begitu saja. Tampaknya
kehormatan Ci-hau-san-ceng selanjutnya bisa tamat di tanganmu."
Biasanya Liong Hui jarang sekali marah, kini dia kelihatan marah benar, Ciok
Tim dan Koh Ih-hong sama sekali tidak berani ikut bicara.
Giok-he tercengang sejenak, mendadak ia menjerit sambil mendekap mukanya
terus berlari keluar.
"Toaso!" seru Ciok Tim dan Ih-hong bersama.
Melongo juga Liong Hui melihat istri tereinta lari pergi dengan marah, betapa
pun timbul juga rasa menyesalnya.

"Lekas kau susul Toaso dan membujuknya, Toako," kata Ih-hong.
Liong Hui menunduk, "Memang perkataanku tadi agak keras!" ia berpaling dan
berkata kepada Ciok Tim, "Kukira Samte saja yang menyusul dan
membujuknya."
Tanpa disuruh lagi segera Ciok Tim melompat keluar.
Sampai lama Liong Hui termenung, lalu menghela napas dan berkata pula,
"Ya, perkataanku memang terlalu keras. Padahal maksudnya juga demi
kebaikan orang banyak ...."
Dia tidak menyalahkan orang lain, tapi mencela diri sendiri lebih dulu.
Memandangi wajah Liong Hui yang lesu, tiba-tiba timbul rasa kasihan Koh Ihhong
padanya. Lantaran inilah, mestinya dia merasa malu lagi tinggal dalam
perguruan Sin-liong, tapi entah mengapa sekarang sukar untuk menyatakan
niatnya untuk pergi.
Akhirnya ia bersuara perlahan, "Toako, apakah kita akan tetap tinggal di sini
atau turun gunung saja?"
"Ya, pergi saja," jawab Liong Hui sesudah berpikir sejenak, "Kukira Toaso toh
pasti akan pulang ke Ci-hau-san-ceng, pula ... saat ini Gote mungkin sedang
menunggu kita di kaki gunung. Ai, kejadian hari ini memang serba aneh, untuk
apakah Tojin itu membawa lari peti mati itu? Sungguh hal ini pun sukar untuk
dimengerti atau ... atau akulah yang terlalu bodoh ...."
Koh Ih-hong diam saja tanpa menanggapi.
"Tapi semua teka-teki ini akhirnya pasti akan tersingkap ...." demikian Liong
Hui teringat kepada ucapan Tik Yang tadi.

Ufuk timur sudah remang-remang, fajar hampir tiba, kabut tipis mengelilingi
lereng gunung, perlahan mereka meninggalkan puncak Hoa-san yang sunyi ini
....
*****
Di kaki gunung sana Lamkiong Peng dan Bwe Kim-soat lagi saling tatap, sudah
sekian lamanya kedua sama-sama tidak bergerak.
Akhirnya Bwe Kim-soat menjulurkan tangan untuk membetulkan rambut yang
kusut pada pelipisnya, katanya, "Apakah engkau harus menunggu mereka?"
Lamkiong Peng mengiakan tanpa sangsi.
Ia tidak tahu bilamana orang perempuan meraba rambut sendiri, biasanya
pikiran tentu lagi resah.
"Baik, kuturut padamu," kata Bwe Kim-soat kemudian, segera ia melayang ke
peti mati sana, lalu berpaling pula dan menambahkan, "Cuma sekali ini saja!"
Di bawah kerlip bintang peti mati tidak terlihat sesuatu perubahan, Bwe Kimsoat
duduk bersandar pohon. Sedangkan Lamkiong Peng berdiri tegak di sana,
lalu berjalan mondar-mandir, jelas pikirannya juga kusut.
Mendadak ia berhenti di depan Bwe Kim-soat dan berkata, "Ingin kutanya
padamu ...."
"Urusan apa?" berputar bola mata Bwe Kim-soat.
"Tadi ... waktu kubuka peti mati itu, mengapa kulihat kosong?"

Bwe Kim-soat tertawa, "Di dasar peti ada satu lapisan rahasia, masa tidak
dapat kau lihat?"
"Oo!?" Lamkiong Peng melenggong.
"Kukira yang hendak kau tanya bukanlah urusan ini," kata Kim-soat pula.
Kembali Lamkiong Peng melenggong, katanya kemudian, "Betul, tapi ... tapi
sekarang kutidak ingin tanya lagi."
Ia lantas menyingkir lagi ke sana.
Tampak Bwe Kim-soot juga termenung, lalu berucap dengan sayu. "Tadi kalau
aku tidak bercermin di air sungai, pasti kukira diriku sudah tua."
Dilihatnya Lamkiong Peng berpaling, tapi tidak memandang ke arahnya, maka
ia bergumam pula, "Pada usia 14 aku sudah berkelana di dunia Kangouw,
setiap orang yang bertemu denganku tidak pernah ada seorang yang tak acuh
padaku seperti dirirnu sekarang ...."
Lamkiong Peng mendengus sambil meraba tutup peti mati kayu cendana yang
berukir indah itu, bilamana saat ini tutup peti itu dibukanya, maka dunia
persilatan pasti takkan terjadi macam-macam persoalan lagi. Tapi ia cuma
meraba tutup peti dengan perlahan, sama sekali tiada maksud hendak
membukanya.
"Sudah banyak kulihat anak muda yang sok anggap dirinya lain daripada yang
lain," kata Kim-soat pula sambil membelai rambut sendiri. "Aku pun banyak
melihat jago, dan tokoh ternama yang anggap dirinya luar biasa. Sampai
sekarang aku masih ingat dengan jelas sorot mata mereka yang memandang
padaku, sungguh aku merasa geli dan juga kasihan kepada mereka ...."

"Blang", mendadak Lamkiong Peng menghantam tutup peti dengan keras,
jengeknya, "Kisah masa lampau yang membuatmu bangga ini kenapa tidak
kau simpan saja dalam hatimu?"
Karena hantamannya itu, peti mati itu berguncang cukup keras, di dalam peti
ada suara keluhan yang sangat lirih, karena anak muda itu lagi kesal dan
gelisah sehingga suara keluhan itu tak didengarnya.
"Jika engkau tidak suka mendengarkan, boleh menyingkir agak jauh ke sana,"
ujar Bwe Kim-soat dengan tersenyum dan tetap menyambung ucapannya. "Di
mana-mana orang selalu menyanjung puji diriku, di mana-mana selalu kulihat
wajah dari sorot mata yang menggelikan dan pantas dikasihani. Hampir
sepuluh tahun aku berkelana, banyak juga lelaki iseng yang tergila-gila
padaku, banyak pula yang mengalirkan darah dan duel lantaran diriku hanya
disebabkan karena kupernah melirik dan tersenyum kepadanya. Akibatnya
mulailah orang persilatan sama mencaci maki diriku, katanya aku ini gadis
berdarah dingin dan pembuat onar. Padahal bukan salahku, kawanan lelaki itu
yang mau berbuat begitu, kenapa aku yang disalahkan? Coba, betul tidak?"
Lamkiong Peng hanya mendengus saja tanpa menjawab.
Bwe Kim-soat tertawa, semakin mendongkol Lamkiong Peng, semakin senang
dia.
"Sepuluh tahun yang lalu, akhirnya dapat kutemukan seorang yang sangat
istimewa," tutur pula Kim-soat. "Jika lelaki lain, suka memandangku seperti
orang linglung, dia tidak. Bila orang lain suka mengintil di belakangku, dia
tidak. Kebanyakan orang kalau bukan menyanjung puji padaku tentu mencaci
maki padaku, namun dia hanya bicara denganku sewajarnya, bahkan cukup
memahami pribadiku. Ia sendiri gagah dan ganteng, ilmu silatnya tinggi,
perguruannya terhormat, ditambah lagi serba pintar dalam berbagai bidang,
baik kesusastraan, seni lukis, seni catur, seni musik dari lain-lain juga dia
seorang penyair. Namanya di dunia Kangouw juga cukup gemilang, suka

melarai perselisihan orang lain dan berbuat sesuatu yang luhur dan menolong
sesamanya. Maka, lambat-laun aku mengikat persahabatan dengan dia."
Dia bercerita dan penuh pujian terhadap orang itu sehingga mau tak mau
Lamkiong Peng juga tertarik, pikirnya. "Tokoh hebat seperti itu, bila bertemu
denganku pasti juga aku akan bersahabat dengan dia."
Karena pikiran itu, tanpa terasa ia bertanya. "Siapa dia? Apakah sekarang dia
masih berkelana di dunia Kangouw?"
"Kau kenal orang ini," jawab Bwe Kim-soat dengan tersenyum manis. "Cuma
sayang, untuk selamanya dia takkan muncul lagi di dunia ini ...."
Lamkiong Peng ikut menghela napas menyesal.
Dilihatnya senyum Bwe Kim-soat hilang mendadak, sebaliknya menyambung
ucapannya dengan dingin, "Sebab orang ini telah mati di bawah pedangmu!"
Lamkiong Peng terkesiap, dadanya serupa dihantam orang satu kali. "Ap ...
apa katamu?" ia menegas dengan tergegap.
Bwe Kim-soat seperti tidak mendengar pertanyaannya dan menyambung
ucapan sendiri, "Meski lahiriah orang ini kelihatan orang baik, padahal, hmk!
Pada satu hari ketika hujan salju lebat, aku bersama dia dan seorang
sahabatnya yang juga cukup terkenal di dunia persilatan asyik minum arak di
rumah orang, setelah dua-tiga cawan arak kuminum bara kurasakan ada yang
tidak beres di dalam arak, kulihat gerak-gerak mereka juga tidak baik, Maka
aku lantas berlagak mabuk, kudengar sahabatnya berkeplok tertawa, 'Aha,
roboh, robohlah dia! Sebentar bila berhasil kau tunggangi kuda binal ini,
jangan kau lupakan jasaku.' Kudengar dengan jelas ucapannya, maka aku
sengaja berlagak tidak sadar, ingin kulihat apa yang akan dilakukan mereka
atas diriku."

Jelas kisah ini cukup menarik perhatian Lamkiong Peng, ia tidak menyela lagi
melainkan cuma mendengarkan.
Terdengar Bwe Kim-soat bercerita lagi, "Keparat berwajah manusia dan
berhati binatang ini tertawa senang, aku diangkatnya ke tempat tidur, baru
saja dia mau membuka pakaianku, aku tidak tahan lagi, begitu melompat
bangun segera kuhantam mukanya. Namun orang yang berjiwa kotor ini
memiliki ilmu silat yang tinggi, pukulanku tidak mampu mengenai sasaran, dia
sempat membuka jendela dan kabur.
"Waktu itu sebenarnya aku sudah minum arak bius dua-tiga cawan, sekujur
badan kehilangan tenaga, maka pukulanku tidak mampu melukai dia dan
dengan sendirinya juga tidak dapat mengejarnya," ia pandang tangan sendiri
lalu menyambung dengan penuh rasa benci, "Dengan Lwekangku dapatlah
kudesak keluar racun dalam arak yang kuminum itu, sungguh tidak kepalang
gemas hatiku, kulari keluar, kubinasakan kawannya yang kotor itu, kutikam
tujuh-delapan kali tubuhnya dengan pedangku pada bagian-bagian yang
mematikan!"
"Keji amat!" ucap Lamkiong Peng.
"Keji?" jengek Bwe Kim-soat. "Hm, bilamana aku kurang berpengalaman dan
tubuhku jadi dinodai oleh mereka, lalu orang Kangouw siapa yang akan
percaya kepada keteranganku? Semua orang tentu akan menganggap aku
yang memikat mereka. Lalu siapa yang akan dikatakan keji?"
Lamkiong Peng tercengang, tanpa bersuara ia menunduk dan merasa
menyesal.
Maka Bwe Kim-soat bicara lagi, "Esoknya aku lantas menyiarkan berita bahwa
bila orang itu kulihat lagi, lebih dulu akan kucungkil matanya dan memotong
daun telinganya, lalu mencencang tubuhnya. Dan karena orang Kangouw tidak

tahu sebab musababnya, seketika timbul macam-macam desas-desus, dengan
sendirinya desas-desus itu sama merugikan nama baikku."
Mendengar sampai di sini, kembali Lamkiong Peng merasa penasaran,
serunya, "Sebenarnya siapakah orang ini?"
"Dengan sendirinya orang ini cukup ternama di dunia Kangouw," jengek Kimsoat.
"Dia terkenal sebagai 'Kongcu-kiam-khek' atau 'Kiam-khek-kongcu'
(pemuda jago pedang atau jago pedang muda) ...."
Lamkiong Peng terkesiap, "Hah, bukankah dia ...."
"Ya, dia saudara sepupu Tan-hong Yap Jiu-pek yang terkenal itu," jengek Kimsoat
pula. "Aku tidak menghadiri pertemuan yang diprakarsai Yap Jiu-pek
sendiri secara tidak tahu malu itu sudah dipandang sebagai kesalahan yang
tak terampunkan, apalagi sekarang aku hendak membunuh saudara sepupu
Yap Jiu-pek, orang lain masih mendingan, orang pertama yang tidak dapat
menerima ialah Put-si-sin-liong Liong Po-si."
"Di dunia Kangouw kebanyakan adalah manusia yang lebih suka menjilat yang
tinggi dan memuja yang besar, siapa yang mau tahu pihak mana yang benar,
dengan sendirinya mereka lebih percaya kepada Kongcu-kiam-khek yang jujur
dan berbudi itu, siapa yang mau percaya kepada 'iblis perempuan' macam
diriku ini? Apalagi satu-satunya saksi hidup juga telah kubunuh, tentu lebih
sulit lagi bagiku untuk membuktikan kebersihanku. Maka Put-si-sin-liong
lantas mengeluarkan Sin-liong-tiap (kartu naga sakti) dan mengundang
kedatanganku ke Kiu-hoa-san untuk menyerahkan nyawa kepadanya."
Makin emosional suaranya, sedangkan kepala Lamkiong Peng tertunduk lebih
rendah.
Terdengar Bwe Kim-soat menyambung lagi, "Tentu saja kupenuhi
undangannya. Waktu itu usiaku baru 20-an, tinggi hati dan bersikap angkuh,

kuyakin Kungfuku tidak ada tandingannya, biarpun jago nomor satu Put-si-sinliong
juga tidak terpandang olehku. Maka setiba di Kiu-hoa-san serentak
kuajukan empat macam cara bertanding. Tanpa pikir dia lantas terima
tantanganku. Kau tahu, waktu itu ilmu silatku belum pernah menemukan
tandingan, bahkan jago pedang ternama seperti Kongcu-kiam-khek itu juga
kabur menghadapiku, tentu saja aku sangat senang tantanganku itu diterima
begitu saja oleh Put-si-sin-liong."
Ia menghela napas, lalu menyambung, "Siapa tahu, pertandingan pada babak
pertama aku lantas kalah, bahkan kalah secara mengenaskan. Dalam babak
kedua, kuminta bertanding kekuatan lunak, kupikir dia tinggi besar, tentu tak
bisa bergerak lunak, siapa tahu kembali aku kalah lagi."
"Babak ketiga kutantang, bertanding Am-gi (senjata rahasia), karena gelisah
lantaran sudah kalah dua babak, pada babak ketiga ini aku berbuat curang,
selagi dia tidak berjaga, kuhamburkan Am-gi dulu. Siapa tahu sekujur badan
Put-si-sin-liong seolah-olah penuh tumbuh mata, meski kusergap tetap tiada
gunanya."
Pujian yang datang dari mulut lawan dengan sendirinya adalah pujian yang
paling berharga. Diam-diam Lamkiong Peng merasa bangga, pikirnya, "Nyata
gelaran Suhu sebagai jago nomor satu yang tak termatikan memang tidak
bernama kosong."
Didengarnya Bwe Kim-soat bertutur lebih lanjut, "Ketika babak keempat
dimulai lagi, jelas Put-si-sin-liong menjadi gusar dam menyatakan tidak
memberi ampun lagi padaku, sebab aku telah main sergap, hal ini lebih
membuktikan desas-desus yang tersiar tentang tindakanku terhadap Kongcukiam-
khek itu pasti tidak salah lagi dan aku dipandangnya sebagai perempuan
kotor, rendah, hina dina dan jahat."
Mendadak Lamkiong Peng tergerak, teringat olehnya makian si Tojin berjubah
hijau kepada Bwe Kim-soat, juga teringat akan ...."

Han Bu Kong
Jilid 6
Terdengar Bwe Kim-soat menyambung lagi, "Walaupun begitu dia tetap
mengalah lagi tiga jurus padaku, aku tetap diberinya kesempatan untuk
menyerang lebih dulu, habis itu barulah dia balas menyerang, melulu tujuh
jurus, ya, cuma tujuh jurus saja pedangku lantas tergetar lepas, aku terdesak
di batang pohon, pedangnya lantas menusuk ke mukaku, kulihat sinar pedang
menyambar tiba, karena tidak berdaya, kupejamkan mata ...."
Perlahan ia benar-benar memejamkan mata seperti terbayang pada kejadian
dahulu, bulu matanya yang panjang menghiasi kelopak matanya, ia menghela
napas perlahan dan berucap lagi, "Siapa tahu, sampai sekian lama kutunggu,
hanya kurasakan angin tajam menyambar lewat di sisi telingaku, lalu tidak
terjadi apa-apa lagi. Waktu kupentang mataku, kulihat pedang Put-si-sin-liong
menancap pada batang pohon di belakangku. Pedang itu hampir amblas
seluruhnya serupa menusuk pada benda yang lunak sehingga tidak
menerbitkan sesuatu suara."
Ia membuka mata, bola matanya berputar, lalu menyambung, "Waktu itu aku
tercengang, kudengar Put-si-sin-liong berkata padaku, 'Kukalahkan dirimu
dengan pedangku tentu orang Kangouw akan bilang lumrah, rasanya kau pun
takkan rela mengalami kekalahan ini,', mendadak ia menyimpan pedangnya
dan melompat mundur, ia tepuk tangan dan berkata pula, 'Nah, jika dengan
pedangmu dapat kau kalahkan kedua tanganku ini akan kubiarkan kau pergi
dari sini.'."
"Karena sudah terdesak, tanpa pikir lagi aku menerjang maju, kulancarkan
serangan maut, kutahu akan kelihaiannya, yang kuharapkan adalah luka
bersama dan tidak menaruh ilusi akan mengalahkan dia."

"Siapa tahu, belum ada 20 jurus, tenagaku sudah lemah. Pada saat itulah
tangannya sedang meraih ke mukaku dengan jurus 'In-liong-tam-jiau' (naga
menjulurkan cakar dari balik awan), kulihat iga kirinya tak terjaga, dengan
girang segera kugeser langkah dan melancarkan tusukan ke iganya."
"Padahal tusukanku ini adalah salah satu jurus serangan Kong-jiok-kiam (ilmu
pedang merak) yang disebut Kong-jiok-tian-ih (merak pentang sayap),
serangan keji tanpa kenal ampun. Serangan tanpa menghiraukan keselamatan
sendiri asalkan dapat melukai musuh, masih ada lagi jurus ikutan lain bila
perlu akan gugur bersama musuh."
"Siapa duga, baru saja pedangku menutuk, mendadak kedua telapak
tangannya digunakan menjepit batang pedangku, berbareng itu ia terus
menggeser maju dan menyodok pinggangku dengan sikunya. Kurasakan
semacam hawa hangat timbul dari bagian pinggang, dalam sekejap lantas
tersalur ke seluruh badan, menyusul lantas terasa enak sekali, badan enteng
seakan-akan terbang, dan akhirnya aku lantas roboh terkulai dengan lemas."
Terkesiap juga Lamkiong Peng, pikirnya, "Waktu itu Suhu sangat membenci
padanya, maka menggunakan Sin-liong-kang (tenaga naga sakti) untuk
membuyarkan seluruh kekuatannya."
Terdengar Bwe Kim-soat menghela napas, lalu bertutur pula, "Betapa hebat
dan di mana letak keistimewaan gerak serangannya itu, meski sudah
kurenungkan selama sepuluh tahun di dalam peti mati tetap tidak dapat
kupahami. Sejak kecil aku giat berlatih, dengan susah payah akhirnya berhasil
kukuasai Kungfu setaraf itu, tapi dalam sekejap saja telah dihancurkan
olehnya, tatkala mana hatiku tidak kepalang sedihnya di samping kejut, gusar,
takut dan berduka."
"Sungguh kekalahanku itu jauh lebih menyakitkan hati daripada aku
dibunuhnya saja, aku lantas mencaci maki, dengan sedih kubeberkan pula apa
yang terjadi sebenarnya dan perbuatan kotor Kongcu-kiam-khek itu, kutanya

apakah itu salahku? Dengan hak apa dia bertindak padaku? Berdasarkan apa
dia membela bajingan yang rendah dan kotor itu untuk menganiaya seorang
perempuan macam diriku?"
Sikapnya memperlihatkan rasa dendam dan benci yang tak terhingga, kejadian
yang membuatnya berduka dan murka itu seakan-akan terbayang lagi di
depan matanya.
Semakin banyak yang didengar Lamkiong Peng, semakin besar rasa
simpatiknya terhadap orang.
Bwe Kim-soat menyambung lagi, "Setelah mendengar ucapanku, muka Put-sisin-
liong menjadi pucat, sampai sekian lama baru dia berucap dengan agak
gemetar, 'Mengapa tidak kau katakan sejak tadi?' Kulihat dia sangat menyesal,
ia mengeluarkan obat luka dan suruh kuminum, tapi kutolak. Apa gunanya
kuminum obat lukanya, andaikan sementara takkan mati, tapi selama ini
musuhku sudah sekian banyak, bilamana mereka tahu tenagaku sudah buyar,
ilmu silatku sudah punah, mustahil mereka takkan mencari balas kepadaku?"
"Tapi Put-si-sin-liong memang seorang pendekar yang berhati mulia, ia lantas
memohon dengan sangat kepadaku agar mau minum obatnya, ia bilang bila
aku mati, tentu dia akan menyesal selama hidup, ia ingin menebus dosa, ingin
memperbaiki kesalahannya, akan melindungi diriku selama hidup, juga akan
mencari Kongcu-kiam-khek yang rendah itu untuk membalaskan dendam
bagiku."
"Aku masih juga menolak, maka dia mencekoki aku dengan obatnya, lalu
dengan Lwekangnya berusaha menyembuhkan lukaku. Sebab itulah meski
cuma sehari saja dia bertanding denganku, tapi tiga hari kemudian baru turun
gunung. Orang Bu-lim yang menunggu di bawah gunung melihat
kemunculannya dalam keadaan lelah dan lesu sehingga mengira dia bertempur
denganku selama tiga hari tiga malam, semua orang bersorak bagi

kemenangannya .... Ai, padahal siapa yang tahu akan kejadian yang
sebenarnya?"
Diam-diam Lamkiong Peng berpikir, "Wah ketika mendengar sorakan orang
banyak waktu itu, entah betapa pedih perasaan Suhu."
Didengarnya Bwe Kim-soat menyambung lagi, "Sebelum turun gunung dia
telah menutuk Hiat-toku dan disembunyikan di dalam sebuah gua rahasia.
Malam kedua, dia datang lagi dengan dua lelaki kekar yang membawa sebuah
peti mati, aku dimasukkan ke dalam peti mati, maksudnya jelas untuk
menghindari mata-telinga orang, terutama mata telinga Yap Jiu-pek tentunya."
"Sebab apa?" tanya Lamkiong Peng.
"Masa engkau tidak tahu," Bwe Kim-soat tertawa. "Yap Jiu-pek cantik dan
tinggi ilmu silatnya, dia memang awet muda, maski waktu itu usianya sudah
50-an, tapi tampaknya serupa berumur 30-an, sebab itulah orang Kangouw
menyebutnya sebagai Put-lo-tan-hong (si burung hong yang tidak pernah tua),
dengan tepat merupakan satu pasangan dengan Put-si-sin-liong. Sebenarnya
dia serbabaik, hanya satu hal, yaitu dia terlalu cemburu."
"Berada di suatu ruang yang sempit dan gelap, dari tuturan Put-si-sin-liong
dapat kuketahui banyak urusan yang menyangkut diri Yap Jiu-pek," Kim-soat
meneruskan ceritanya. "Coba kau pikir, apabila bukan lantaran perangai Yap
Jiu-pek kelewat aneh, kan seharusnya dia menikah dengan Put-si-sin-liong.
Yang seorang adalah 'jago nomor satu', yang lain adalah 'perempuan paling
cantik', betapa mengagumkan pasangan ini. Akan tetapi mereka tidak berbuat
demikian, hidup mereka justru berlalu dalam kesepian ...."
Mendadak ia menunduk terharu sehingga wajahnya tertutup oleh rambutnya
yang ikut terurai.

Lamkiong Peng termangu-mangu sejenak, timbul juga perasaan bimbang yang
sukar diuraikan.
"Kesepian", sekejap ini mendadak ia mengerti kesepian yang dialami orang
banyak. Perempuan yang terkenal sebagai "Leng-hiat Huicu" atau si putri
berdarah dingin ini mengalami kesepian. Yap Jiu-pek yang mahacantik itu juga
mengalami kesepian, pendekar nomor satu yang dipujanya selama hidup,
gurunya yang berbudi, Put-si-sin-liong juga menderita kesepian.
Perjalanan orang hidup memang berliku-liku dan panjang, semakin tinggi
menanjak ke atas, semakin besar pula rasa kesepiannya. Bilamana dia sudah
menanjak sampai puncaknya, mungkin baru akan diketahuinya apa yang
terdapat di puncak selain keemasan nama dan kejayaan atas kesuksesannya,
hanya kesepian yang serbakelabu belaka.
Hati Lamkiong Peng terkesiap, mendadak dapat dipahaminya mengapa wajah
sang guru yang berbudi luhur itu selalu membawa semacam sikap yang kereng
dan jarang memperlihatkan senyum gembira.
"Sejak hari itu," demikian Bwe Kim-soat menyambung lagi, "aku tidak
mendarat kesempatan untuk melihat cahaya matahari lagi. Sepuluh tahun ....
selama sepuluh tahun Put-si-sin-liong ternyata tidak melaksanakan janjinya,
dia tidak membersihkan tuduhan orang padaku, tidak menuntut belas bagiku,
dengan sendirinya kutahu apa sebabnya ...."
Mendadak ia berhenti bertutur dan menengadah memandang langit. Kesunyian
yang mendadak ini serupa sebuah godam menghantam hati Lamkiong Peng,
sebab ia tahu di balik kesunyian ini betapa mengandung rasa dendam dan
kecewa orang.
Demi Yap Jiu-pek, lantaran Kongcu-kiam-khek itu adalah saudara Yap Jiu-pek,
gurunya, tidak dapat membekuknya dan tidak sanggup mencuci bersih
fitnahan orang terhadap Bwe Kim-soat. Sebaliknya si putri berdarah dingin ini

juga tidak memaksa gurunya melaksanakan janjinya, dengan sendirinya hal ini
disebabkan antara mereka juga telah timbul jalinan perasaan yang mendalam.
Bwe Kim-soat memandangi cahaya bintang di langit, termenung sampai sekian
lamanya, mendadak ia menatap Lamkiong Peng dengan tersenyum, semacam
senyuman yang sukar dimengerti maknanya.
"Tapi apakah ... apakah kau tahu ... apakah kau tahu? ...." dengan tersenyum
berapa kali ia mengulangi perkataannya.
Dengan bingung Lamkiong Peng menegas, "Tahu apa?"
Bwe Kim-soat menatapnya lekat-lekat, katanya perlahan, "Apa yang tidak
dilaksanakan gurumu bagiku itu kini telah kau lakukan, dengan telingaku
sendiri kudengar percakapanmu dengan dia, juga kudengar sendiri jeritannya
ketika dia terluka oleh pedangmu."
"Hah, jadi ... jadi Tojin itulah Kongcu-kiam-khek?" seketika Lamkiong Peng
menjadi gelagapan.
"Tojin? ...." jengek Bwe Kim-soat dengan penuh benci. "Dia sudah menjadi
Tojin? Huh, meski aku tidak tahu saat ini dia telah berubah bagaimana
bentuknya, tapi suaranya, sampai mati pun aku tidak lupa pada suaranya."
Meski biasanya Lamkiong Peng dapat bersikap tenang, tidak urung sekarang ia
pun kelihatan terkejut, sungguh tak tersangka bahwa pendekar pedang yang
termasyhur pada angkatan yang lalu bisa mati di bawah pedangnya. Namun
apa pun juga rasa malu dan menyesal atas kematian Tojin itu kini menjadi
tersapu bersih.
Didengarnya Bwe Kim-soat berkata pula, "Inilah suka-duka antara gurumu dan
diriku, juga apa yang ingin kau ketahui tapi tidak berani kau tanyakan tadi.
Engkau telah membalaskan sakit hatiku, maka perlu kuberi tahukan padamu

bahwa kematian orang itu adalah setimpal. Selama sekian tahun aku tersekap
di dalam peti mati, tidak ada harapanku yang lain kecuali selekasnya pulih
sedikit tenagaku dan dapat menuntut balas padanya. Sebab itulah ketika
kudengar suara jeritannya, meski merasa senang, tapi juga rada kecewa dan
benci juga, malahan terpikir olehku bila dapat kulompat keluar, lebih dulu akan
kubinasakan orang yang membunuh dia itu."
Terkesiap hati Lamkiong Peng, dilihatnya pada ujung mulut Bwe Kim-soat
tersembul secercah senyuman.
"Tapi, entah mengapa ...." dengan tersenyum Kim-soat meneruskan, "bisa jadi
keadaan sekian tahun telah membuat hatiku banyak berubah, aku tidak ingin
lagi membunuhmu, malah berterima kasih padamu, sebab engkau telah
mengurangi kesempatan bagiku untuk berlepotan darah lagi. Bilamana tangan
seorang tidak banyak berlepotan darah kan jadi lebih baik."
Lamkiong Peng tercengang, tak terduga olehnya perempuan yang disebut
orang sebagai "berdarah dingin" ini sekarang dapat bicara demikian.
Ia terdiam sejenak, kemudian berkata di bawah sadar, "Setelah tenagamu
buyar, kenapa sekarang mendadak bisa pulih kembali, sungguh kejadian
aneh."
Bwe Kim-soat tersenyum misterius, ucapnya, "Engkau merasa heran? ...."
Ia tidak meneruskan, Lamkiong Peng juga tidak dapat menerka makna
ucapannya itu. Tiba-tiba teringat olehnya ucapan Bwe Kim-soat tadi, "Tanpa
menghiraukan apa pun berusaha memulihkan tenaga ...."
Jangan-jangan caranya memulihkan tenaga ini telah menggunakan sesuatu
jalan yang tidak wajar.

Selagi dia hendak bertanya, tiba-tiba terdengar Bwe Kim-soat menghela napas
dan berucap pula, "Sungguh aneh juga, meski saat ini Kungfuku sudah pulih
kembali, tapi kurasakan tidak ada gunanya sama sekali. Sekarang aku tidak
mempunyai sesuatu hubungan budi dan benci lagi. Ai, sungguh hal ini jauh
lebih baik daripada hati penuh diliputi dendam dan benci."
Dia sebentar gemas, sebentar sedih, lain saat bersemangat, lalu murung lagi,
sekarang dia lantas bersandar di pohon dengan tenang, sembari membelai
rambutnya yang panjang bahkan ia lantas bernyanyi kecil dengan senyum
yang lembut.
Melihat keadaannya yang adem ayem itu, agaknya dia sedang mengenang
masa lampau, masa remaja yang bahagia.
Karena kelelahan terpengaruh pula oleh suara nyanyi orang yang merdu,
Lamkiong Peng merasa mengantuk ....
Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar orang mendengus, Lamkiong
Peng tersentak sadar, waktu ia memandang ke sana, dari luar hutan
mendadak muncul sesosok bayangan orang.
Serentak Bwe Kim-soat juga berhenti bernyanyi.
"Siapa?" bentak Lamkiong Peng.
Sekali berkelebat, dalam sekejap saja seorang pemuda berbaju kelabu sudah
berada di depan mereka.
Pemuda yang gagah tapi tampak bersikap angkuh dan lagi tertawa dingin dan
memandang hina terhadap Lamkiong Peng.
Tentu saja Lamkiong Peng mendongkol, tegurnya pula, "Siapa kau? Mau apa
datang kemari?"

Dengan sorot mata tajam kembali pemuda baju kelabu mengamat-amati
Lamkiong Peng, lalu menjengek, "Hm, bagus sekali! Murid kesayangan sang
Suhu, Sute yang selalu menjadi pujian Suhengnya ternyata orang begini,
selagi nasib mati-hidup sang guru belum diketahui, bisa juga iseng
mendengarkan perempuan bernyanyi di sini, sungguh hebat!"
"Memangnya ada sangkut paut apa denganmu?" jawab Lamkiong Peng ketus.
Pemuda berbaju kelabu itu terbahak-bahak, "Haha, engkau masih berani
bersikap keras, masa engkau tidak mengaku salah?"
"Hm, memangnya siapa kau dan apa maksud kedatanganmu?" jengek
Lamkiong Peng.
Pemuda baju kelabu melirik sekejap Bwe Kim-soat yang masih bersandar
pohon itu, mendadak ia tertawa pula daun berkata, "Kau ingin tahu siapa aku
dan apa maksud kedatanganku? .... Hahaha, untuk itu harus kutahu dulu
apakah kau mau mengaku salah atau tidak?!"
"Hm," jengek Lamkiong Peng. "Jika kedatanganmu ini ingin mencari perkara,
ayolah lolos senjatamu dan tidak perlu banyak omong lagi."
Bwe Kim-soat tampak tersenyum, agaknya dia dapat membenarkan sikap
tegas Lamkiong Peng ini.
Suara tertawa pemuda baju kelabu serentak berhenti, dengusnya, "Hm,
memang kedatanganku adalah untuk mencari perkara!"
Sekali ia berputar, waktu berhadapan lagi tangannya sudah memegang
sebatang tombak bertangkai lemas.

Pedang Lamkiong Peng terselip pada tali pinggangnya, sarung pedang sudah
hilang jatuh ke jurang, maka pedang pemberian gurunya ini selalu dijaganya
dengan baik.
Ia tersenyum dan menjawab, "Jika engkau memang sengaja mau mencari
perkara, terpaksa kulayani beberapa gebrakan."
Perlahan ia lantas melolos pedangnya, dia tetap bersikap tenang, tapi mantap,
emosinya tidak mudah terpancing, ia angkat pedang sebatas dada dan siap
tempur.
"Silakan!" katanya. Agaknya sekarang dapat dilihatnya pemuda baju kelabu itu
sebenarnya tidak bermaksud jahat melainkan cuma terdorong oleh rasa
dongkol dan sengaja merecokinya, maka dalam tutur kata dan tindakan
dilayaninya dengan agak sungkan.
Segera pemuda baju kelabu memutar tombaknya sehingga menimbulkan
sejalur cahaya perak. Diam-diam Lamkiong Peng memuji kecepatan tombak
lawan. Segera pedangnya juga berputar.
Sekonyong-konyong pemuda baju kelabu bersuit terus mengapung ke udara.
Cahaya perak ikut mengambang ke atas.
Cepat Lamkiong Peng menyurut mundur setindak, ujung pedang menyungkit
ke atas.
Tubuh si pemuda baju kelabu menikung di udara, tombak perak menusuk ke
bawah secepat kilat serupa bangau kelabu menerkam mangsa di daratan.
Hati Lamkiong Peng tergerak, "Thian-san-jit-kim-sin-hoat!"
Cepat ia menggeser ke samping, berbareng pedang lantas menebas ke atas.
Sinar hijau menahan cahaya perak tombak lawan, tapi ujung tombak pemuda

baju kelabu lantas menutul perlahan pada ujung pedang, "tring", dengan daya
pental itu ia melayang lagi ke udara.
Lamkiong Peng menatap tajam lawannya dan tidak memburunya melainkan
menunggu orang melayang turun ke bawah.
Padahal kalau dia mau melancarkan serangan susulan tentu lebih untung
daripada lawan yang terapung di udara. Namun dia tidak berbuat demikian
melainkan berdiri tegak saja.
Ketika pemuda baju kelabu melayang turun, perawakannya yang kekar berdiri
tegak tanpa bergerak, hanya tombak perak yang dipegangnya tampak
bergetar.
Pemuda baju kelabu ini tak lain tak bukan ialah Tik Yang, sesudah mengubur
mayat di rumah gubuk itu, ia lantas memburu ke bawah gunung, ia ingin tahu
tokoh macam apakah "Gote" yang menjadi sanjungan Liong Hui itu.
Dia berwatak lugu dan terbuka, tidak menaruh perhatian atas curiga orang lain
kepadanya. Tapi setiap pemuda umumnya tentu mempunyai sifat keangkuhan
sendiri, maka begitu berhadapan dengan Lamkiong Peng lantas timbul
hasratnya untuk menguji kepandaiannya. Selain itu ia pun rada heran
mengapa orang bisa iseng mendengarkan nyanyian seorang perempuan cantik
di sini.
Setelah berhadapan dengan Lamkiong Peng sekarang, timbul juga rasa
sukanya, keduanya berdiri berhadapan dan saling pandang.
Mendadak terdengar Bwe Kim-soat bersuara, "Eh, kenapa kalian berhenti?!"
Tanpa terasa pandangan kedua pemuda itu beralih ke arahnya.

Perlahan Bwe Kim-soat lagi berbangkit dengan gaya yang memikat. Dengan
langkah gemulai ia mendekati Tik Yang, lalu menegur, "Apakah engkau ini
keturunan mendiang Kiu-ih-sin-eng Tik-locianpwe dari Thian-san?"
Baru sekarang Tik Yang memerhatikan kecantikan orang yang luar biasa itu, ia
merasa silau sehingga seketika tidak mampu bersuara melainkan cuma
mengangguk perlahan saja.
Bee Kim-soat tertawa, katanya pula, "Tadi tentu engkau telah bertemu dengan
Suhengnya?"
Kembali Tik Yang melengak dan mengangguk lagi.
Tentu saja Lamkiong Peng sangat heran dari mana orang mengetahui hal ini.
Siapa tahu Bwe Kim-soat lantas berkata pula dengan tersenyum, "Tentu
disebabkan Suhengnya memuji dia di hadapanmu, karena penasaran, maka
kau susul kemari untuk mengujinya, betul tidak?"
Terbelalak mata Tik Yang, dengan heran ia mengangguk lagi.
Berturut ia tanya tiga kali dan setiap kali selalu tepat, hal ini membuat Tik
Yang selain terkesima atas kecantikannya, juga tercengang oleh
kecerdasannya.
"Betul," akhirnya ia menjawab juga, "Memang betul tadi aku bertemu dengan
Suhengnya. Saat ini dia masih di atas sana."
"Anda ini ...."
Belum lanjut ucapan Lamkiong Peng, dengan tertawa Tik Yang berseru pula,
"Cayhe Tik Yang, sungguh sangat menyenangkan dapat bertemu denganmu.

Maaf atas tindakanku yang kasar tadi, kumohon diri sekarang, sampai
berjumpa lagi kelak."
Begitu kata terakhir itu terucapkan, serentak ia pun sudah melayang pergi.
"Cepat amat!" gumam Lamkiong Peng memandangi bayangan orang yang
cuma sekejap saja lantas menghilang di luar hutan sana.
Tiba-tiba Bwe Kim-soat tertawa dan berkata, "Apakah kau tahu sebab apa dia
pergi dengan tergesa-gesa?"
Belum lagi Lamkiong Peng menjawab segera ia menyambung lagi, "Sebab dia
tidak berani memandang lagi padaku."
Mendadak Lamkiong Peng membantah, "Engkau selalu memandang buruk sifat
orang lain. Sebaiknya kau ikut bersamaku untuk menemui Suhengku, nanti
baru engkau tahu di dunia ini masih ada lelaki sejati yang tidak mudah
terpengaruh oleh kecantikanmu."
Habis berkata Lamkiong Peng lantas mengangkat peti mati dan mendahului
melangkah ke sana.
Sejenak Bwe Kim-soat tertegun, tanpa terasa ia ikut melangkah ke sana dan
berseru, "Hei ...."
"Ada apa?" tanya Lamkiong Peng tanpa menoleh, juga tanpa berhenti.
"Kan gurumu menyuruhmu mengikut dan membela diriku, kenapa sekarang
kau tinggalkan aku dan pergi sendiri?"
Terpaksa Lamkiong Peng berhenti dan menoleh, "Bukankah kau pun ikut
kemari, kenapa bilang kupergi sendiri?"

"Aku ... aku ...." mendadak Bwe Kim-soat mengentak kaki dan berteriak,
"Tidak, aku tidak mau ikut ke atas lagi."
"Jika engkau tidak mau ikut, harap tunggu sementara di sini, peti ini juga
kutaruh dulu di sini," kata Lamkiong Peng dengan tersenyum.
"Siapa bilang akan kutunggumu di sini?" jengek Kim-soat.
"Wah, jika begitu, lantas ... lantas bagaimana baiknya?"
"Kau yang ikut aku turun ke bawah gunung ...."
"Tentu saja aku akan ikut turun, cuma hendaknya engkau ikut ke atas dulu."
Bwe Kim-soat tampak mendongkol, katanya dengan gusar, "Kau ...."
Tapi Lamkiong Peng lantas memotong, "Sudah sekian ribu hari engkau
tersekap di dalam peti mati ini, sekarang engkau harus menghirup udara
segar. Lihatlah, cuaca cerah, pemandangan indah, betapa menyenangkan bila
dapat pesiar ke puncak Hoa-san yang termasyhur ini?"
Bwe Kim-soat termenung sejenak, mendadak ia melayang lewat ke sana dan
hinggap di depan Lamkiong Peng, serunya, "Baik, ikut padaku!"
Akhirnya ia naik juga ke atas gunung.
Memandangi rambut orang yang panjang terurai dan kelakuannya yang
kekanak-kanakan itu, hampir saja Lamkiong Peng tertawa geli.
Siapa tahu lantas terdengar Bwe Kim-soat mengikik tawa di depan, katanya,
"Sekali tempo menurut perkataan orang terasa menarik juga, cuma ...."
mendadak ia menoleh dan menegaskan, "Cuma satu kali saja."

"Baik cuma satu kali saja," kata Lamkiong Peng sambil menahan rasa gelinya.
Sang surya baru saja terbit, puncak Hoa-san gilang-gemilang oleh sinar
matahari pagi itu, sampai rumah gubuk itu pun kelihatan kemilauan tersorot
oleh sinar sang surya.
Karena ingin lekas mengetahui keadaan di atas, langsung Lamkiong Peng
menuju ke rumah gubuk ini, namun di sini tiada terdapat seorang pun.
"Mereka sudah pergi semua ...." ucapnya dengan kecewa.
"Nah, kan sia-sia kedatanganmu ini," ujar Bwe Kim-soat.
"Juga belum tentu," seru Lamkiong Peng, mendadak ia menyodorkan peti mati
kepada Bwe Kim-soat, tanpa sempat berpikir Kim-soat menerima peti itu,
segera pula Lamkiong Peng melompat ke sana, disingkapnya kasuran tua itu.
Bwe Kim-soat tidak melihat sehelai kertas kuning yang terselip di bawah
kasuran, sambil mengangkat peti ia menjengek, "Hm, memangnya di bawah
kasur itu ada pusakanya?"
"Memang betul," kata Lamkiong Peng sambil membalik tubuh perlahan, di
tangannya tampak memegang sehelai kertas kuning, dengan cermat ia
membacanya, perlahan air mukanya menampilkan rasa lega, tapi juga
mengandung rasa heran. Lalu kertas surat itu disimpan dalam baju.
Dengan sendirinya Bwe Kim-soat tidak dapat melihatnya, ia berseru, "Hai!"
"Ada apa?" Lamkiong Peng berlagak bingung.
Kim-soat mendengus, peti mati disodorkan kembali kepada Lamkiong Peng,
setelah diterima anak muda itu, serentak ia melompat keluar rumah gubuk.

Karena mendongkol, ia tidak menggubris Lamkiong Peng, tapi belum seberapa
jauh tanpa terasa ia menoleh.
Dilihatnya anak muda itu mengikut kemari setelah memandang lukisan yang
terukir di batu karang sana.
Sesudah agak dekat, dengan gemas Bwe Kim-soat berkata, "Kau mau bicara
atau tidak?"
"Bicara apa?" tanya Lamkiong Peng.
"Apa yang tertulis pada kertas kuning itu?" teriak Kim-soat.
"O, kiranya kau pun ingin membaca surat ini, kenapa tidak kau katakan sejak
tadi, tanpa bicara mana kutahu?" ujar Lamkiong Peng dengan tersenyum.
Dengan tangan kanan mengangkat peti, tangan kiri mengeluarkan surat tadi
dan disodorkan padanya.
Segera Bwe Kim-soat mengambil surat itu dan dibaca, ternyata isi surat hanya
terdiri dari delapan huruf yang berbunyi: "Pesan dari Thian-te, Sin-liong sehat
walafiat!"
"Sin-liong sehat walafiat?!" Kim-soat berseru heran, "Masa Put-si-sin-liong
belum mati?"
"Tak mungkin mati," ujar Lamkiong Peng dengan tersenyum.
Bwe Kim-soat memandang anak muda itu sekejap, katanya kemudian setelah
berpikir, "Lantas apa artinya istilah Thian-te ini?"
"Tentu nama seorang Bu-lim-cianpwe (tokoh angkatan tua dunia persilatan),
kecuali ini tidak mungkin ...."

"Memangnya siapa?" Pernah kau dengar ada tokoh Bu-lim yang disebut Thiante?
Bisa jadi ...." mestinya Kim-soat hendak bilang Thian-te (Tuhan Allah)
tentu sinonim dengan "Surgaloka", jadi cuma istilah olok-olok pihak musuh,
atau mungkin juga untuk menipu mereka.
Ia urung meneruskan ketika melihat Lamkiong Peng agak cemas, akhirnya ia
menambahkan, "Thian-te ... kenapa sebelum ini tidak pernah kudengar nama
ini?"
Lamkiong Peng diam saja tanpa bicara.
Setelah berjalan lagi sebentar, tiba-tiba Kim-soat berkata, "Marilah kita
menyusuri jalan kecil saja."
"Kenapa?" tanya Lamkiong Peng.
"Begini dandananku kan malu dilihat orang," ujar Kim-soat sambil
membetulkan rambutnya.
Lamkiong Peng meliriknya dua kejap, kelihaian rambutnya yang panjang
indah, mukanya putih bersih dengan baju yang putih mulus, sungguh luar
biasa cantiknya, masa malu dilihat orang, sungguh aneh.
Tapi ia pun tidak membantah dan mengikuti kemauannya, menjelang senja,
sampailah mereka di Limeong, sebuah kota besar ternama di daerah barat
laut.
Limeong memang kota yang ramai, dekat magrib, cahaya lampu sudah
menyala di seluruh pelosok kota.
Seorang pemuda gagah cakap membawa sebuah peti mati diiringi seorang
perempuan mahacantik dengan dandanan yang khas berjalan berendeng di

tengah kota yang ramai ini, kecuali orang yang berlalu-lalang ini orang buta
semua, kalau tidak mustahil mereka tidak menarik perhatian khalayak ramai.
Dengan sendirinya Lamkiong Peng serbakikuk, ia menunduk dan
menggerundel, "Coba kalau kita melalui jalan besar, mungkin di tengah jalan
sudah dapat menyewa kereta."
Namun Bwe Kim-soat tetap tenang saja, katanya, "Jika kau takut dipandang
orang, bolehlah kita mencari tempat berhenti ...."
"Betul juga," kata Lamkiong Peng sambil memandang ke kanan dan ke kiri,
dilihatnya di samping sana ada sebuah restoran paling besar, papan mereknya
tertulis lima huruf besar dan berbunyi "Peng-ki-koai-cip-lau", artinya restoran
makan gembira.
Restoran ini memang mentereng dan berbeda daripada restoran ini, tapi
langsung ia menuju ke situ.
Namun sebelum tiba di depan pintu, seorang pelayan tinggi kurus keburu
memapak kedatangan mereka, bukan menyatakan selamat datang melainkan
merintangi jalan mereka.
"Ada apa?" tanya Lamkiong Peng dengan melenggong.
"Kau mau apa?" pelayan itu balas bertanya dengan sikap sombong.
"Sudah barang tentu ingin makan minum," jawab Lamkiong Peng.
"Memangnya restoran kalian ini tidak terbuka untuk umum?"
Pelayan jangkung itu mendengus, "Dengan sendirinya terbuka untuk umum,
cuma tamu yang berkunjung kemari dengan membawa peti mati, jelas tidak
kami terima."

Baru sekarang Lamkiong Peng tahu duduknya perkara, ia tertawa dan berkata,
"Tapi, peti ini kosong, kalau tidak percaya biar kubuka ...."
Selagi ia hendak menaruh petinya, siapa tahu pelayan itu lantas
mendorongnya sambil membentak, "Kosong juga tidak kami terima."
Meski kurus badannya, ternyata cukup bertenaga juga, jelas pelayan ini bukan
sembarangan pelayan.
Karena ramai-ramai itu banyak orang lantas berkerumun.
Sedapatnya Lamkiong Peng menahan rasa dongkolnya, ia coba menjelaskan,
"Kukenal kuasa kalian, bolehkah memberi bantuan, biarlah kutaruh peti ini di
luar ...."
"Kenal kuasa kami juga tidak boleh, lekas pergi, lekas ...." seru si pelayan
dengan gusar. Agaknya Bwe Kim soat juga dapat melihat Lamkiong Peng tidak
mau menimbulkan perkara, maka ia menarik lengan bajunya dan berkata, "Di
sini tidak terima, biarlah kita cari yang lain saja."
Tanpa rewel Lamkiong Peng meninggalkan pelayan jangkung itu, didengarnya
pelayan itu masih mengomel, "Huh, tidak tanya-tanya dulu tempat apa ini dan
siapa yang membuka restoran ini? Memangnya kau tahu siapa Kongcuya
kami? Kalau berani bikin onar, mustahil tidak patahkan kakimu ...."
Kim-soat melirik sekejap, dilihatnya Lamkiong Peng tetap tenang saja tanpa
keki sedikit pun, diam-diam ia merasa heran.
Siapa tahu, restoran berikutnya juga menolak tamu yang tidak diterima oleh
Koai-cip-lau, berturut-turut tiga restoran lain bersikap sama.
Tentu saja Lamkiong Peng rada mendongkol, terutama suara ejekan orang
yang membuntutinya untuk melihat keramaian.

Namun dia tetap tenang saja. Sesudah sampai di suatu gang dan
mendapatkan sebuah rumah makan kecil yang mau menerima mereka, pemilik
rumah makan itu sudah tua, tanpa tenaga pembantu, ia menyiapkan mangkuk
piring sendiri bagi tamunya sambil berkata, "Mestinya kami juga tidak berani
menerima tamu yang ditolak Koai-cip-lau, tapi, mengingat tuan tamu masih
muda dan membawa keluarga .... Ai, konon pemilik Koai-cip-lau mempunyai
seorang Kongcuya yang berbudi luhur dan suka menolong sesamanya, di
segala pelosok terdapat sahabatnya. Bisa jadi yang tuan temui tadi ialah Yujiya
yang kabarnya memang lebih galak daripada kuasanya."
Begitulah sembari bicara, sebentar saja ia telah menyiapkan santapan
sekadarnya, tanpa banyak omong Lamkiong Peng dan Bwe Kim-soat makan
minum secukupnya.
Kemudian Lamkiong Peng minta pinjam alat tulis, ia tulis sepucuk surat
ringkas dan dilipat dengan baik, lalu menyuruh seorang anak penjual kacang di
tepi jalan, setelah diberi persen dan pesan seperlunya, anak penjual kacang itu
lantas berlalu.
Bwe Kim-soat hanya tersenyum saja dan memandangnya, ia tidak tanya apa
yang dilakukannya itu, seperti sudah menduga apa yang bakal terjadi.
Mereka melanjutkan bersantap dengan tenang. Tidak lama kemudian,
mendadak dari luar berlari masuk seorang berbaju perlente, seorang lelaki
setengah umur dengan muka putih, begitu masuk segera menjura kepada
Lamkiong Peng.
Belum lagi orang ini sempat bicara, kembali dari luar berlari masuk seorang
lagi dan langsung berlutut di depan Lamkiong Peng dan menyembahnya tanpa
berhenti. Nyata orang ini "Yu-jiya", si pelayan jangkung Koai-cip-lau.
"Eh, ada apakah kalian ini?" ucap Lamkiong Peng dengan tersenyum.

Keadaan "Yu-jiya" itu sekarang sungguh harus dikasihani, berulang
menyembah dan minta ampun.
Lelaki perlente setengah umur itu pun tampak gugup, katanya, "Ampun, tak
tersangka Kongcuya bisa ... bisa berkunjung ke daerah barat laut sini."
Si kakek pemilik warung makan jadi melongo juga, ia hampir tidak percaya
kepada apa yang terjadi.
Maklumlah, keluarga hartawan Lamkiong turun-temurun terkenal kaya raya, di
mana-mana hampir terdapat perusahaan mereka, pegawainya tidak kurang
dari puluhan ribu orang. Tapi tidak banyak yang kenal majikan muda mereka,
Lamkiong Peng.
Sekarang Lamkiong Peng hanya menulis secarik kertas dan dibubuhi tanda
tangan, lalu kuasa Koai-cip-lau dan Yu-jiya tadi telah dibikin kelabakan
setengah mati dan tidak tahu apa yang harus dikemukakan terhadap majikan
muda dan tidak tahu pula cara bagaimana harus minta ampun.
"Wah, tampaknya kita harus ganti tempat untuk makan lebih enak," kata Bwe
Kim-soat dengan tersenyum
Lamkiong Peng juga tersenyum, ucapnya, "Bagaimana Yu-jiya, bolehkah kami
membawa peti ini ke sana."
Dengan sendirinya anak buahnya takkan membiarkan sang majikan muda
mengangkat peti mati sendiri, segera kuasa Koai-cip-lau menyela, "Silakan
Kongcu pindah dulu ke tempat sendiri, sebentar hamba akan menyuruh orang
mengangkat peti ke sana."
Diam-diam ia pun heran untuk apakah majikan muda membawa sebuah peti
mati kian kemari. Dengan sendirinya ia tidak berani bertanya.

Lamkiong Peng tersenyum, ia mengeluarkan sebuah kantung sutera kecil dan
dilemparkan ke atas meja, katanya kepada orang tua pemilik warung, "Inilah
uang makan kami .... Satu-dua hari lagi tentu akan kuatur pekerjaan baik
bagimu, di bawah pimpinanmu, kuyakin Koai-cip-lau akan melayani setiap
pengunjungnya dengan lebih ramah tamah."
Tanpa menunggu terima kasih si orang tua, segera ia melangkah pergi
bersama Bwe Kim-soat. Dengan sendirinya orang yang berkerumun juga
lantas bubar.
Orang tua ini berdiri melenggong di dekat pintu, rasanya seperti habis mimpi
saja.
Ia duduk di tepi meja dan membuka kantung kecil itu, seketika cahaya
gemerdep serupa sinar matahari menyilaukan matanya. Isi kantung adalah
empat biji mutiara hampir sebesar jari. Rezeki nomplok ini sungguh datangnya
terlalu mendadak, seketika ia terkesima.
Sekonyong-konyong terdengar suara keriat-keriut yang perlahan, waktu ia
menoleh, seketika ia melongo, darah serasa membeku. Tanpa terasa kantung
sutera kecil itu tersampar jatuh ke lantai, keempat biji mutiara pun
menggelinding keluar dan berhenti di samping peti mati yang tertaruh di pojok
sana.
Suara keriat-keriut itu rupanya suara terbukanya tutup peti mati, dilihatnya
seorang Tojin berjubah hijau dan berlumuran darah merangkak keluar dari
dalam peti.
Di bawah cahaya lampu yang guram muka si Tojin kelihatan beringas
menakutkan. Saking ngerinya si kakek berdiri seperti patung dengan kaki
gemetar.

Belum lagi dia sempat menjerit, tahu-tahu Tojin berdarah itu menubruk tiba,
jarinya yang kuat serupa kaitan mencekik leher si kakek.
Hanya sempat terjadi rontakan sedikit, lalu semuanya kembali sunyi lagi. Si
kakek roboh terkulai.
Tojin itu celingukan kian kemari, untung di situ tiada orang lain lagi, semuanya
sudah ikut pergi menyaksikan kegantengan Lamkiong-kongcu yang
termasyhur itu.
Ia menghela napas lega dan buru-buru naik ke atas loteng, ia tukar pakaian
milik si kakek, lalu dengan langkah agak sempoyongan ia menyelinap keluar
warung makan itu meninggalkan si kakek yang rebah di samping peti mati
bersama empat biji mutiara ....
*****
"Putra pewaris keluarga Lamkiong datang ke Limeong," berita ini telah
menggemparkan segenap lapisan masyarakat kota ini.
Di Koai-cip-lau diadakan pesta penyambutan yang meriah, banyak tokoh dari
berbagai golongan sama mohon bertemu.
Tapi di tengah keramaian itu, diam-diam pemuda itu mengeluyur keluar dari
Koai-cip-lau dan mendatangi lagi warung makan di gang kecil itu.
Ia menjadi heran juga setiba di gang itu, di situ juga penuh berkerumun orang
banyak. Cepat ia memburu ke situ dan menyelinap di tengah berjubel orang
banyak untuk melongok apa yang terjadi, dengan sendirinya terlihat olehnya
adegan yang mengenaskan itu.

Jika seekor burung mati saja dipendam dengan baik oleh Lamkiong Peng,
apalagi jenazah seorang tua yang kematiannya dapat diduga karena
perbuatannya.
Maka esoknya berlangsunglah upacara penguburan yang ramai, iringan pelayat
panjang serupa barisan. Sudah barang tentu semua itu berkat kehormatan
Lamkiong-kongcu belaka, kereta jenazah menuju ke tempat pemakaman di
Se-an, sebuah kota kuno di sebelah barat Limeong.
Tidak jauh iringan kereta jenazah keluar Limeong, tiba-tiba dari depan berlari
datang seorang lelaki kekar dengan pakaian berkabung, sesudah dekat dan
melihat Lamkiong Peng berada di samping kereta jenazah, langsung ia berlutut
dan menyembah.
Selagi Lamkiong Peng merasa bingung, lelaki berbaju putih itu sudah bertutur,
"Hamba Gui Sing-in, berkat bimbingan Kongcu, saat ini memimpin perusahaan
di Se-an ...."
"Baiklah, bicara saja nanti, saat ini bukan waktunya untuk bicara urusan
perusahaan," kata Lamkiong Peng.
Dengan gugup Gui Sing-in menyambung lagi, "Tapi ... tapi hamba ingin
melaporkan tentang sesuatu peristiwa yang bersangkutan dengan pemakaman
ini ...."
Baru sekarang Lamkiong Peng tertarik, cepat ia tanya, "Memangnya terjadi
peristiwa apa?"
Maka Gui Sing-in melapor lagi, "Ketika hamba kemarin mendapat kabar
maksud Kongcu akan mengadakan pemakaman ini, serentak hamba
menyiapkan sesajian yang diperlukan untuk mengadakan sembahyangan di
tengah jalan. Siapa tahu secara kebetulan di Se-an juga ada peristiwa
pemakaman secara besar-besaran sehingga hampir seluruh barang

sembahyang sebangsa hiosoa, lilin, kertas bakar dan sebagainya terborong
habis, untung dengan harga lipat barulah hamba mendapatkan sedikit untuk
keperluan sekadarnya."
"Sekadarnya pun sudah cukup, bikin susah saja kepada kalian," ujar Lamkiong
Peng.
"Terima kasih atas kebijaksanaan Kongcu," kata Gui Sing-in. "Karena khawatir
kereta jenazah akan lewat lebih dulu, maka semalam juga hamba sudah siap
di sini dengan meja sembahyang, menjelang subuh tadi, mendadak debu
mengepul di kejauhan, hamba mengira kereta jenazah telah tiba, siapa tahu
yang muncul adalah beberapa penunggang kuda yang semuanya memakai
seragam hitam, ikat kepala hitam, bahkan segala sesuatu yang mereka bawa
juga serbahitam. Kulihat pada pelana kuda mereka membawa sebuah panji
merah kecil, semuanya kelihatan habis menempuh perjalanan jauh, sikap
mereka tampak gelisah dan tidak sabar lagi."
Lamkiong Peng terkesiap, pikirnya, "Mungkinkah para penunggang kuda itu
adalah anak buah Suma Tiong-thian dari Ang-ki-piaukiok (perusahaan
pengawalan panji merah)?"
Didengarnya Gui Sing-in menyambung lagi penuturannya, "Begitu hamba
melihat dandanan kawanan penunggang kuda itu, segera hamba tahu mereka
bukan orang baik-baik, maka sedapatnya kami menghindarinya."
Diam-diam Lamkiong Peng merasa kurang senang oleh komentar Gui Sing-in
itu, jika benar mereka orang dari Ang-ki-piaukiok, kenapa disangka bukan
orang baik-baik?
"Tak terduga," demikian Gui Sing-in menyambung lagi, "begitu melihat
rombongan hamba, kawanan penunggang kuda itu lantas melompat turun dan
sama berlutut sambil berseru, 'Maaf, Loyacu, kami datang terlambat,' Malahan
ada di antaranya lantas menangis sedih."

Lamkiong Peng melenggong, ia heran apakah dugaannya juga keliru?
Terdengar Gui Sing-in menutur pula, "Selagi hamba terheran-heran dan ingin
tanya mereka datang melayat bagi siapa, tak tahunya kawanan penunggang
kuda itu pun sudah sempat melihat tulisan pada meja sembahyang, mereka
menjadi gusar dan berbangkit, kontan mereka mencaci maki."
"Dengan sendirinya hamba tidak rela, kukatakan kalian yang salah lihat,
kenapa menyalahkan orang lain. Rupanya mereka menjadi kalap, tanpa bicara
lantas menyerang, hamba sekalian tidak mampu melawan mereka, sebagian
saudara terhajar hingga babak belur dan sudah dibawa pulang untuk dirawat.
Kawanan penunggang itu lantas pergi dan beginilah, mohon Kongcu
memaafkan."
Lamkiong Peng memandang sekejap ke meja sembahyang yang berada di tepi
jalan, beberapa lelaki yang berlutut itu tampak benjut dan mata biru, meski
tidak parah, tapi cukup mengenaskan.
Lamkiong Peng tetap tenang saja, ia suruh Gui Sing-in dan kawannya
berbangkit dan sembahyang penyambutan dilakukan dengan sederhana, lalu
iringan kereta jenazah meneruskan perjalanan.
Mendadak timbul pikiran Lamkiong Peng, "Ang-ki-piaukiok itu adalah
perusahaan tua dan cukup terkenal di dunia persilatan, Thi-cian-ang-ki
(tombak baja panji merah) Suma Tiong-thian juga terkenal luhur budi, setiap
anak buahnya tidak mungkin berbuat kasar begitu, mungkin telah terjadi salah
paham. Bukan mustahil pula beberapa pegawaiku ini yang kurang sopan
sehingga membikin marah orang lain."
Dia memang pemuda bijaksana, segala sesuatu selalu ditinjau secara adil,
sebelum mencela orang lain, periksa dulu kesalahan pihak sendiri.

Kota kuno Se-an semakin dekat, tiba-tiba timbul lagi pikirannya, "Kawanan
penunggang kuda berpanji merah itu datang melayat secara terburu-buru,
entah kaum Cianpwe siapa di daerah ini yang wafat. Ai, akhir-akhir ini
berturut-turut beberapa jago tua telah meninggal dunia, dunia persilatan
semakin sedikit tokoh yang bijaksana, bulan mustahil akan timbul lagi
kekacauan di dunia Kangouw."
Perasaannya menjadi tertekan dan masygul.
Selagi melamun, tiba-tiba terdengar suara bentakan orang di depan sana,
hanya sekejap saja beberapa orang muncul dan berdiri sejajar merintangi
jalan kereta.
Seorang yang menjadi pemimpinnya berbaju merah, tapi bermuka pucat, mata
bersinar, ia tatap Lamkiong Peng dan menegur, "Hendaknya saudara berhenti
dulu!"
Terpaksa iring-iringan kereta berhenti, hanya suara musik yang sendu
memilukan tetap bergema.
Lamkiong Peng memandang orang-orang itu sekejap dan menjawab, "Ada
petunjuk apa?"
Orang berbaju merah itu memandang sekejap iringan kereta jenazah di
belakang Lamkiong Peng, lalu berkata pula, "Agaknya Anda inilah penanggung
jawab pada iringan ini?"
Lamkiong Peng mengiakan.
"Jika begitu, ingin kumohon sesuatu ...."
"Silakan bicara!"

"Yakni mengenai iringan kereta jenazah kalian ini dapatlah memutar ke pintu
gerbang barat saja?"
Lamkiong Peg terdiam sejenak, lalu berkata, "Bukankah gerbang timur sudah
dekat di depan?"
"Betul di depan adalah gerbang timur," jawab orang itu, ujung mulutnya
menampilkan senyuman yang angkuh. "Tapi di gerbang timur sana saat ini
banyak kawan Kangouw sedang mengadakan sembahyangan untuk
menghormati seorang Bu-lim-cianpwe, apabila saudara tidak berputar ke
gerbang barat, tentu tidak leluasa."
Kening Lamkiong Peng bekerenyit, "Jika kuganti arah jalan tentu juga akan
kurang leluasa. Jalan raya cukup lebar dan dapat dilalui siapa pun, hendaknya
maafkan tak dapat kuturut permintaanmu."
Orang berbaju merah itu tampak kurang senang, ia pandang Lamkiong Peng
sekejap, lalu berucap pula, "Aku sih tidak menjadi soal bila saudara tidak mau
berganti arah, tapi para sahabat yang di sana itu rasanya sukar untuk diajak
bicara ...."
Ia merandek sambil menengadah, tanpa menunggu tanggapan Lamkiong
Peng, ia menyambung lagi, "Hendaknya kau pikir sendiri, apabila yang
meninggal itu bukan tokoh Kangouw terkemuka, mustahil sahabat Kangouw
mau mengadakan upacara penghormatan terakhir baginya di sini. Dan upacara
besar-besar ini masa boleh diganggu oleh iringan kereta jenazah lain. Maka,
kuharap sebaiknya saudara mengambil jalan putar saja."
Diam-diam Lamkiong Peng kurang senang, katanya, "Dunia persilatan
mengutamakan keluhuran budi dan setia kawan, apalagi membela yang besar
dan menindas yang kecil, tentu takkan dibenarkan oleh mendiang tokoh besar
yang kalian puja itu. Apalagi, kalau bicara tentang nama dan kedudukan,

melulu peti mati di atas kereta kami ini pun tidak perlu harus mengalah dan
mengambil jalan lain."
Orang berbaju merah itu menatap Lamkiong Peng sejenak, mendadak ia
tersenyum, katanya, "Baiklah, jika Anda tidak mau terima nasihatku, terpaksa
aku tidak ikut campur lagi."
Segera ia membalik tubuh dan melangkah pergi.
Tak terduga seorang lelaki kekar di sampingnya mendadak berteriak, "Yimtoako
tidak mau ikut campur, biarlah aku Sih Po-gi yang ikut campur.
Kubilang, wahai sahabat, putarlah ke arah lain!"
Berbareng itu sebelah tangannya terus mendorong pundak Lamkiong Peng.
Air muka Lamkiong Peng berubah, dengan gesit ia hindarkan tolakan orang,
bentaknya, "Selamanya kita tidak ada permusuhan, mengapa kau main
kekerasan?"
"Hahaha," lelaki itu terbahak. "Kubilang sebaiknya kau putar ke jalan lain,
sahabat cilik, tentu paman Sih takkan membikin susah padamu."
Sembari bicara kembali dia mendesak maju, tangannya meraih pula hendak
memegang bahu Lamkiong Peng.
Namun anak muda itu mendadak mengegos, secepat kilat sebelah tangannya
balas meraih pergelangan tangan lawan, sekali sengkelit kontan Sih Po-gi
terbanting roboh.
Tentu saja beberapa kawannya terkejut, beramai-ramai mereka lantas
menerjang maju.

Syukurlah pada saat itu juga si baju merah yang disebut "Yim-toako" tadi
muncul kembali bersama dua orang tua berbaju hitam dan menyerukan agar
pertarungan dihentikan.
"Hm, main kerubut, apakah tidak kenal peraturan Bu-lim lagi?" jengek
Lamkiong Peng terhadap si baju merah.
"Hebat juga kepandaian saudara cilik ini, rupanya juga orang golongan kita."
kata si baju merah. "Jika begitu urusan menjadi mudah dibicarakan.
Kuperkenalkan lebih dulu kedua tokoh kita ini ...."
Lalu ia tuding kakek baju hitam sebelah kiri yang bertubuh lebih tinggi dan
berkata pula, "Inilah salah seorang dari Bin-san-ji-yu (dua sahabat dari
gunung Bin) yang dulu terkenal sebagai Thi-ciang-kim-kiam (telapak besi
pedang emas sakti) Tiangsun Tan, Tiangsun-toasiansing."
Kakek baju hitam yang disebut itu berdiri diam saja.
Maka si baju merah menunjuk lagi kakek yang lain, katanya, "Dan ini dengan
sendirinya ialah Keng-hun-siang-kiam (si pedang penggetar sukma) Tiangsun
Kong, Tiangsun-jisiansing."
Lamkiong Peng memberi hormat dan merasa heran mengapa kedua pendekar
pedang yang terkenal berwatak nyentrik ini juga bisa muncul di sini, untuk apa
pula si baju merah menonjolkan mereka kepadanya?
Didengarnya si baju merah berucap pula dengan tersenyum, "Diriku memang
kaum keroco yang tidak bernama, tapi bila kedua Tiangsun-locianpwe ini pun
jauh-jauh datang melayat ke sini, memangnya berapa orang Kangouw yang
mempunyai kehormatan sebesar ini, masakah saudara cilik ini tidak dapat
menerkanya?"

Pada saat itu juga sebuah kereta kuda putih dengan tabir terurai telah
melampaui iringan pelayat dan berada tidak jauh di belakang Lamkiong Peng,
tapi anak muda itu belum lagi mengetahui, ia sedang berpikir, "Ya, siapakah
tokoh besar yang mati ini, sampai Bin-san-ji-yu juga datang melawat?"
Tanpa terasa ia tersenyum getir, lalu menjawab, "Agaknya pengalamanku
terlalu cetek sehingga tidak dapat menerkanya, mohon Anda sudi memberi
penjelasan."
Mendadak air muka si baju merah berubah serius dan khidmat, ucapnya
dengan menyesal, "Kematian tokoh ini bagi orang Kangouw serupa
meninggalnya orang tua mereka, setiap orang merasa kehilangan sandaran.
Beliau tak lain tak bukan adalah jago yang terkenal dengan pedang Yap-siangjiu-
loh, Put-si-sin-liong Liong-loyacu .... Nah, sebagai sesama orang dunia
persilatan, sekarang tentu saudara takkan keberatan untuk memutar ke jalan
lain, bukan?"
Seketika Lamkiong Peng berdiri mematung dan tidak sanggup bersuara.
Si baju merah merasa heran juga melihat sikap Lamkiong Peng yang serupa
orang linglung itu, tegurnya, "Eh, apakah saudara juga kenal Liong-loyacu ini
...."
Mendadak Lamkiong Peng menjura padanya, habis ini mendadak ia berlari ke
arah Se-an secepat terbang.
Tentu saja Bin-san-ji-yu melengak, serentak mereka pun hendak bergerak.
Tapi si baju merah lantas mencegahnya, "Tidak perlu mengejarnya.
Tampaknya perguruan anak muda ini pasti ada sangkut pautnya dengan Putsi-
sin-Liong, kepergiannya tentu tidak bermaksud jahat, bisa jadi akan ikut
bersembahyang."

Dalam pada itu Lamkiong Peng sedang berlari ke depan, hanya sekejap saja
bayangan benteng kuno sudah tertampak di sana, di kaki tembok benteng
tampak penuh berdiri orang berseragam hitam, semuanya memegang dupa
dan antre memberi penghormatan terakhir pada meja sembahyang.
Seorang kakek tinggi besar tampak berdiri di tengah orang banyak dengan
sikap khidmat, mendadak ia berteriak, "Selama hidup Put-si-sin-liong terkenal
gagah perkasa, untuk keperwiraannya, marilah kita bersorak lagi baginya!"
Dan serentak terdengar orang bersorak gemuruh seperti suara yang didengar
Lamkiong Peng dalam perjalanan tadi.
Dada Lamkiong Peng terasa bergejolak, entah duka atau gembira, tapi ia
masih terus berlari menuju ke depan.
Belasan orang merasa kaget ketika mendadak seorang pemuda menyelinap
lewat di antara mereka, serentak mereka membentak dan ada yang berusaha
merintangi.
Namun segesit belut Lamkiong Peng terus menyelinap maju.
"Kurang ajar!" gerutu si kakek tinggi besar tadi demi melihat anak muda ini
berani main terobos begitu saja di tengah suasana khidmat ini.
Selagi dia hendak memerintahkan orang membekuk Lamkiong Peng, tiba-tiba
dua orang di sampingnya memberi kisikan, seketika lenyaplah rasa gusarnya.
Dalam pada itu Lamkiong Peng sudah menerjang sampai di depannya dan
memberi hormat kepada si kakek.
Gemerdep sinar mata si kakek, tanyanya, "Apakah kau ini murid kelima Put-sisin-
liong, Lamkiong Peng?"

Suaranya lantang berkumandang sehingga dapat didengar orang banyak.
Tentu saja semua orang melengak heran.
Maklumlah, selama Lamkiong Peng masuk ke perguruan Put-si-sin-liong
memang belum pernah berkecimpung di dunia Kangouw, dengan sendirinya
para kesatria tidak mengenalnya. Meski ada di antaranya yang mengetahui dia
adalah murid ahli waris Put-si-sin-liong.
Lamkiong Peng sendiri juga terheran-heran, dari manakah kakek ini dapat
mengenalnya, namun lantas dijawabnya dengan hormat, "Wanpwe memang
Lamkiong Peng adanya!"
Alis si kakek menegak, katanya dengan bengis, "Jika benar kau anak murid
Sin-liong, masakah tidak tahu kami sedang mengadakan upacara sembahyang
bagi arwah gurumu? Mengapa sembarangan bertingkah di sini dan
mengganggu kekhidmatan suasana."
Dengan prihatin Lamkiong Peng memberi hormat lagi, lalu berseru lantang,
"Atas penghormatan para Cianpwe terhadap guruku, sungguh Wanpwe sangat
berterima kasih dan takkan melupakan budi kebaikan ini. Namun ...."
Mendadak ia menyapu pandang para hadirin, lalu berteriak terlebih lantang,
"Ketahuilah bahwa sesungguhnya guruku belum meninggal ...."
Belum habis ucapannya terdengarlah pekik orang banyak.
Dengan melotot si kakek tinggi besar juga melengak, katanya, "Put-si-sin-liong
belum mati katamu?" mendadak ia membalik tubuh dan berteriak, "Li Sing,
Ong Pun, kemari sini!"
Waktu Lamkiong Peng memandang ke sana, tertampaklah dari belakang si
kakek muncul dua orang berbaju hitam dengan perawakan kekar, ternyata
kedua orang ini adalah penggotong peti mati dari Ci-hau-san-ceng itu.

Rupanya sejak Lamkiong Peng meninggalkan mereka untuk mengikuti jejak si
Tojin, Liong Hui, Ciok Tim, Kwe Giok-he dan Koh Ih-hong juga naik lagi ke
puncak Hoa-san untuk mencari sang guru, karena menunggu sekian lama
tidak ada sesuatu kabar berita, kedua orang ini lantas turun sendiri ke bawah
gunung.
Karena mengambil jalan besar, ketika sampai di kaki gunung, tertampaklah
berbagai jago silat sama menunggu di situ. Rupanya berita tentang
pertandingan antara Put-si-sin-liong dan Put-lo-tan-hong di puncak Hoa-san
telah tersiar sehingga menarik perhatian kawanan jago silat itu untuk
menyusul kemari dan ingin mengetahui hasil pertandingan itu. Cuma mereka
pun kenal watak Put-si-sin-liong maka tidak ada seorang pun berani
sembarangan naik ke atas.
Karena itulah berita yang dibawa kedua orang penggotong peti mati itu sangat
menggemparkan kawanan jago Bu-lim itu,
Berita itu adalah Tan-hong sudah mati, Put-si-sin-liong juga terjebak oleh tipu
muslihat murid Tan-hong dan meninggalkan surat wasiat. Kini anak murid Sinliong
juga sudah tercerai-berai.
Meski berita tidak benar dan juga agak dilebih-lebihkan, namun dengan cepat
lantas tersiar dan menggemparkan dunia persilatan, terutama beberapa
propinsi di sekitar tempat kejadian.
Di daerah barat laut ini ada seorang gembong persilatan dan juga kaya raya,
namanya Wi Ki berjuluk Hui-goan atau si gelang terbang, karena pengaruhnya
yang besar di wilayah ini, dia juga terkenal sebagai Sai-pak-sin-liong atau si
naga sakti daerah barat laut. Orang Kangouw yang jail ada juga yang
menyindirnya sebagai "naga gadungan", tapi Wi Ki tidak ambil pusing, ia
sendiri sangat kagum dan hormat terhadap Put-si-sin-liong. Maka berita
kemalangan Liong Po-si itu juga sangat mengejutkan dia. Segera ia

mengumpulkan para ago silat untuk mengadakan sembahyang bagi arwah Putsi-
sin-liong di kota kuno Se-an ini.
Setiap jago silat yang mendengar berita itu serentak juga ikut menyusul ke
sini. Yang menambah semarak upacara ini adalah hadirnya tokoh-tokoh yang
biasanya cuma terdengar tapi jarang kelihatan, yaitu Ban-li-liu-hiang Yim
Hong-peng bersama Bin-san-ji-yu, ketiganya juga ikut hadir.
Begitulah demi melihat kedua penggotong peti mati dari Ci-hau-san-ceng
barulah Lamkiong Peng tahu duduk perkara, rupanya memang telah terjadi
salah paham, pikirnya, "Pantas berita kematian Suhu diketahuinya, pantas
juga dia tahu namaku, kiranya atas keterangan kedua orang ini."
Dalam pada itu dengan gusar Wi Ki lagi membentak terhadap Li Sing dan Ong
Pun, "Berita tentang meninggalnya Put-si-sin-liong berasal dari kalian, bukan?
Li Sing dan Ong Pun mengiakan sambil menunduk.
"Tapi mengapa Go-kongcu kalian menyatakan Sin-liong belum lagi
meninggal?" teriak Wi Ki.
Li Sing saling pandang sekejap dengan Ong Pun dan tidak dapat menjawab.
"Apakah kalian menyaksikan sendiri Sin-liong sudah mati?" desak Wi Ki.
Kepala kedua orang itu tertunduk lebih rendah, dengan takut dan gelagapan Li
Sing menjawab, "Hamba ... hamba ... tidak ...."
"Budak kurang ajar!" bentak Wi Ki dengan gusar. "Kalau tidak melihat sendiri,
kenapa berani sembarangan omong sehingga membikin malu padaku seperti
sekarang ini?"

Saking gusarnya, sebelah tangannya menyapu sehingga macam-macam
barang sembahyang tersampar jatuh.
Li Sing dan Ong Pun tetap menunduk dengan muka pucat.
"Locianpwe jangan marah dulu," seru Lamkiong Peng, "hal ini juga tidak dapat
menyalahkan mereka ...."
"Bukan mereka yang disalahkan, memangnya salahku?" kata Wi Ki dengan
gusar. "Bila Put-si-sin-liong datang nanti, bukankah aku yang akan dituduh
sengaja mengutuki dia supaya lekas mati?!"
Meski kakek ini sudah lanjut usia, tapi wataknya masih keras dan pemberang,
baru sekarang Lamkiong Peng tahu kiranya orang tua inilah si gelang terbang
Wi Ki, tampaknya memang rada mirip gurunya, pantas orang Kangouw
memberi julukan sebagai si naga sakti dari barat laut, hanya saja perangainya
tidak sehalus sang guru.
Maka ia berkata pula, "Peristiwa ini agak panjang untuk diceritakan, sama
sekali tidak ada maksud Wanpwe akan menyesali tindakan Locianpwe ini,
sebaliknya Wanpwe merasa berterima kasih atas maksud baik Locianpwe."
Wi Ki mengelus jenggotnya, dipandangnya Lamkiong Peng sejenak, lalu ia
berpaling kepada Ong Pun berdua, serunya sambil memberi tanda, "Baiklah,
boleh kalian pergi!"
Cepat kedua orang itu memberi hormat, lalu mengundurkan diri.
Selagi Lamkiong Peng hendak bicara pula, sekonyong-konyong dari belakang
sana bergema suara orang tertawa, "Haha, kiranya saudara ini adalah murid
kesayangan Sin-liong, sungguh beruntung sekali begitu menginjak daerah
Tionggoan segera dapat bertemu dengan kesatria muda perkasa seperti ini
...."

Lamkion Peng terkejut dan berpaling, terlihatlah si baju merah tadi telah
muncul pula dengan memegang sebuah kipas lempit, yang datang bersamanya
bukan lagi Bin-san-ji-yu melainkan dua orang muda-mudi, ternyata Toaso dan
Samsuheng sendiri, yaitu Kwe Giok-he dan Ciok Tim.
Sambil menggoyangkan kipasnya si baju merah berkata pula dengan tertawa,
"Yang lebih menggembirakan orang she Yim ternyata secara tidak sengaja
dapat kutemui pula kedua murid kesayangan Sin-liong yang lain. Nah, inilah,
siapa mereka berdua, ini tentu kalian sudah tahu!"
Munculnya Kwe Giok-he dan Ciok Tim dengan sendirinya menimbulkan
kegemparan pula.
Wi Ki lantas menyapa juga, "Aha, tak tersangka Yim-tayhiap membawa datang
lagi dua orang murid kesayangan Sin-liong .... Ah, kalian tentulah Ci-hausiang-
kiam yang akhir-akhir ini sangat terkenal di dunia persilatan."
Ciok Tim tampak kikuk, sedangkan Giok-he lantas memberi hormat dan
menjawab, "Terima kasih atas pujian Locianpwe ...."
Dalam pada itu Lamkiong Peng lantas ikut bicara, "Inilah Toaso kami dan yang
itu Samsuheng, Ciok-suheng."
"O, rupanya inilah nyonya si lelaki baja yang termasyhur itu," seru Wi Ki
dengan tertawa. "Nyata setiap anak murid Sin-liong memang lain daripada
yang lain."
"Ah, betapa pun kami tidak dapat membandingi Lamkiong-sute," ujar Giok-he
dengan tersenyum..
Lamkiong Peng lagi heran mengapa hanya Giok-he dan Ciok Tim saja yang
muncul di sini, lalu ke mana perginya Liong Hui dan So-so?

Belum sempat dia mengajukan pertanyaan Wi Ki berkata pula dengan
terbahak, "Baiklah sekarang ingin kutanya kepada kalian, jika Sin-liong belum
meninggal, ke mana perginya beliau sekarang?"
Lamkiong Peng termenung dan berusaha mencari alasan untuk menjawab,
tiba-tiba Kwe Giok-he mendahului bicara, "Suhu memang sangat mungkin
masih hidup dengan baik, cuma di mana jejak beliau sekarang kami pun tidak
tahu."
Wi Ki terbelalak heran.
Didengarnya Giok-he berkata pula, "Semalam kami sibuk mencari jejak Suhu
di atas gunung, kami juga mengkhawatirkan keselamatan Gosute ...."
"O, jadi dia tidak berada bersama kalian?" tanya Wi Ki dengan kening
bekerenyit.
Giok-he mengiakan dengan menghela napas perlahan.
Wi Ki tampak kurang senang, tegurnya kepada Lamkiong Peng, "Jika jejak
gurumu belum lagi diketahui, bukannya kau cari tahu keselamatannya,
sebaliknya kau sibuk mengurusi orang mati di sini, hm, murid macam apakah
kau ini?"
Lamkiong Peng melenggong, seketika memang sukar baginya untuk memberi
penjelasan, terutama hal-hal yang menyangkut nama baik sang guru, mana
dapat diuraikan begitu saja.
Tapi Giok-he lantas berkata, "Usia Gosute masih muda, pula ...." ia menghela
napas seperti merasa dapat memaklumi apa yang dilakukan sang Sute.

Wi Ki mendengus dan tidak memandang Lamkiong Peng lagi, katanya pula, "Si
lelaki baja Liong Hui pun sudah lama kudengar namanya, mengapa tidak
kelihatan juga?"
Han Bu Kong
Jilid 7
Karena merasa tidak bersalah, maka dada Lamkiong peng cukup lapang, ia
tidak menghiraukan sikap Wi Ki dan ucapan Kwe Giok-he yang bersifat negatif
itu, ia pikir, “Memang ingin kutanya keadaan Liong-toako. Kebetulan sekarang
orang tua ini telah mendahului bertanya bagiku.”
Melihat kecanggungan di antara anak murid Put-si-sin-liong itu, diam-diam
tokoh kosen dari luar perbatasan, Ban-li-liu-hiang (meninggalkan nama harum
beribu li) Yim Hong-peng, menaruh perhatian, ia pikir apakah di antara anak
murid sin-liong ini terjadi pertentangan atau persaingan, mengapa ketiganya
tidak ada kesatuan ucapan dan perbuatan?
Dalam pada itu Giok-he telah menjawab dengan mengehela nafas. “Toako
bersama simoay berjalan di belakang, kukira sebentar dapat menyusul kemari.
Sudah tentu apa yang dikatakan Giok-he hampir tidak pernah terjadi sebelum
ini, dengan sendirinya Lamking-peng merasa heran dan sangsi.
Dengan kening berkernyit Wiki hendak bertanya lagi, pada saat itulah sebuah
kereta kuda kecil bertabir kain putih tampak muncul di tengah kerumunan
orang banyak.
Penumpang kereta tidak kelihatan, hanya sebuah tangan putih halus terjulur
keluar dari balik tabir memegangi tali kendali.
Air muka Lamkiong peng agak berubah.

Giok-he memandangnya sekejap, lalu berucap dengan tersenyum, “Eh adik
keluarga manakah penumpang kereta ini, apakah Gote kenal dia?”
Belum habis ucapannya, tabir kereta mendadak tersingkap, tertampaklah
seorang perempuan maha cantik berduduk di dalam kereta, ia menyapu
pandang sekejap semua orang, lalu menatap Lamkiong Peng dan bertanya,
“Hei, sudah selesai belum percakapan kalian?”
Tentu saja semua silau oleh kecantikan perempuan penumpang kereta ini,
seketika beratus pasang mata sama terpusat ke arahnya.
“Ah, tadi kukira Gote pergi kemana, kiranya . . .” Giok-he tersenyum, lalu
menyambung lagi, “Wah, alangkah cantiknya adik ini. Sungguh engkau sangat
hebat, Gote, baru satu hari saja sudah berkenalan dengan seorang nona
secantik bidadari, tampaknya kalian sudah sedemikian mesranya.”
Tiba-tiba Wi Ki mendengus,”Yim-taihiap, Giok-siauhiap, hendaknya nanti kalian
sudi mampir ke kediamanku untuk sekedar berbincang-bincang lagi,
sementara itu kumohon diri terlebih dahulu.”
Lalu ia pun memberi hormat kepada para hadirin dan berseru lantang, “Atas
kesudian para hadirin berkunjung kemari dari jauh, marilah suka mampir juga
ke dalam kota untuk minum beberapa cawan sekadar pelepas lelah.”
Habis bicara ia lantas melangkah pergi di tengah berjubalnya orang banyak.
Para hadirin juga lantas ikut bubardan beramai-ramai masuk ke kota Se-an.
Menghadapi sikap dingin orang, hati Lamkiong Peng rada penasaran, Cuma
sukar untuk memberi penjelasan.

Giok-he tersenyum senang, setelah Wi Ki pergi jauh, pelahan ia mendekati
kereta, sapanya, “Siapakah nama adik yang terhormat ini? Ada keperluan apa
kiranya engkau mencari Gote kami?”
Bwe kiam soat duduk diam saja ditempatnya dan memandanganya dengan tak
acuh sama sekali tidak menghiraukan pertanyaannya.
Cepat Lamkiong Peng mendekati dan memperkenalkan mereka, “Inilah toaso
kami dan nona Bwe ini.....” dengan sendirinya ia tidak dapat menjelaskan asal
usul Bwe kiam soat.
“O kiranya nona Bwe, sungguh kami ikut bergembira Gote dapat berkenalan
dengan nona Bwe,” Kata Giok-he dengan tersenyum.
Tiba-tiba Kiam-soat mendengus, “Hm, si kakek pergi begitu saja, tentu kau
sangat senang?”
Giok he jadi melenggak.
Betapapun Lamkiong Peng tetap menghormati sang toaso, ia pun tahu watak
Bwe kiam-soat, maka ia menjadi serba salah melihat di antara keduanya tidak
ada kecocokkan, cepat ia menyela dengan urusan lain, tanyanya, “Toaso,
dimana toako?”
Mendadak Giok-he melengos dan menjawab ketus, “Tanyakan saja kepada
simoay.”
Lamkiong Peng jadi melenggong, ia heran mengapa orang menjawab dengan
cara begitu.
Pada saat itu juga mendadak dua sosok bayangan orang melayang tiba dan
berhenti di depan kereta, kiranya kedua jago pedang Kong-tong-pai, Bin-sanji-
yu.

Dengan sorot mata tajam mereka mengawasi Bwe kiam-soat, sampai sekian
lama barulah Tiangsun kang berucap, “Sudah belasan tahun, tak tersangka
sekarang dapat melihat lagi seraut wajah ini.”
Tiangsun tan lantas bertanya, “Apakah nona she Bwe?”
Terkesiap Lamkiong Peng, ia heran mengapa orang dapat mengenal Bwe kaim
soat. Dan ternyata kiam soat lantas mengangguk.
Airmuka kedua saudara Tiangsun berubah masam, dengan jari agak gemetar
Toinagsun Kang menuding dan membentak, “Bwe....Bwe kiam soat....turun
sini!”
Giok he terkejut, ia berpaling memandang Lamkiong Peng adn bertanya,” Masa
dia Leng-hiat Huicu Bwe kiam soat?”
Dengan sendirinya Lamkiong Peng menjadi gugup, belum lagi dia bersuara,
dilihatnya Bwe kiam soat telah menjawab dengan santai, Siapa Bwe kiam soat
dan Bwe kiam soat itu siapa?”
Kedua Tiangsun bersaudara saling pandang sekejap, timbul rasa ragu mereka.
Belasan tahun yang lalau mereka berdua pernah di hina dan dipermainkan
Leng-hiat Huicu Bwe kiam soat, dendam itu sampai kini belum lagi lenyap.
Tapi setelah belasan tahun, mustahil wajah Bwe kiam soat sama sekali
berubah?”
Tiba-tiba Yim Hongpeng meneyela dengan tersenyum, “Kong-jiok huicu sudah
termashur sejak belasan tahun yang lalu, sedangkan nona ini paling banyak
baru berusia 20-an, apakah kedua Tingsun-heng tidak salah mengenalnya?”
Bekerenyit juga kening kedua tiangsun bersaudara, kata Tiangsun Kang
dengan tergegap, “Ya, kami pun mendengar Bwe kiam soat sudah mati

dibawah pedang Put-si-sin-liong, soalnya orang ini...... orang ini mengaku she
Bwe, wajahnya juga mirip......”
Tiangsun Tang lantas menegas lagi,”Kau pun she Bwe, apakah tidak ada
hubungan dengan Bwe kiam soat?”
“Di dunia ini ada berjuta orang she Bwe, apakah semua orang she Bwe pasti
ada sangkut-pautnya dengan dia?” jawab Kim-soat dengan tak acuh.
Melihat kedua Tiangsun bersaudara dalam keadaan salah, cepat Yim Hongpeng
menimbrung lagi, “Di dunia ini memang banyak orang yang she sama
dan juga bermuka mirip, pantas juga bila kedua Tiangsun-heng salah
mengenal nona, harap nona jangan marah.”
“Ah, mana kuberani marah kepada kaum ksatria besar, pendekar pedang
ternama seperti kalian ini?” jawab Kim-soat ketus.
Yim Hong-peng jadi melongo kikuk. Dalam pada itu Bwe Kim-soat telah
menurunkan tabir kereta.
Diam-diam Giok-he merasa sirik melihat kecantikan Bwe Kim-soat dan
ketajaman mulutnya, mendadak ia tanya Lamkiong Peng, “Gote, apakah
sekarang engkau akan pulang ke Ci-hau-san-ceng?”
“Tentu saja bila urusan di sini sudah beres....” tiba-tiba Lamkiong-Peng
teringat pada janji tiga bulan lagi masih harus bertemu dengan Yap Man-jing di
Hoa-san untuk menunaikan tugas yang belum selesai bagi Suhu, juga segera
teringat kepada Bwe Kim-soat yang perlu “perlindungan”, seketika ia menjadi
ragu.
“Toako belum kelihatan menyusul tiba, akan lebih baik bila kau ikut dalam
perjalanan kita,” ujar Giok-he.

“Tapi....tapi tiga bulan lagi....”
Belum lanjut ucapan Lamkiong Peng, tiba-tiba suara Bwe Kim-soat yang ketus
menegurnya, “He, lekas kau selesaikan urusan pemakaman orang tua itu, aku
masih harus pesiar ke Kanglam....”
Giok-he mendengus, “Kau mau pergi ke Kanglam boleh silahkan....”
“Tapi mungkin aku pun perlu pergi ke sana,” tukas Lamkiong Peng.
“Apa katamu? Masa tidak kau turut kataku, Toako tidak di sini, akulah
Toasomu,” omel Giok-he dengan kurang senang.
Dia sirik terhadap kecantikan dan kecerdasan Bwe Kim-soat, sungguh ia kuatir
Lamkiong Peng didampingi oleh seorang perempuan begini, sebab hal ini tentu
akan mempengaruhi rencananya, bahkan akan ketahuan rahasia pribadinya,
maka secepatnya ia hendak menahan anak muda itu supaya berada
bersamanya.
Lamkiong Peng menjadi serba susah, “Kehendak Toaso seharusnya kuturut,
cuma....”
Pada saat itulah seorang lelaki berbaju hitam berlari tiba dan minta petunjuk,
“Kongcu, apakah kereta jenazah langsung menuju ke makam?”
Lamkiong Peng mangiakan, kesempatan ini lantas digunakannya sebagai
alasan, katanya kepada Giok-he, “Siaute perlu mengurus pelayatan lebih dulu,
biarlah nanti kita berunding lagi.”
Lalu ia memberi hormat dan mohon diri kepada Yim Hong-peng dan segera
berlari pergi bersama si baju hitam.
Yim Hong-peng dan Bin-san-ji-yu juga lantas manuju ke Se-an.

Sedangkan kereta kecil yang ditumpangi Bwe Kim-soat lantas mengikut ke
arah Lamkiong Peng.
“Toaso, marilah kita mencari...mencari Toako dulu,” kata Ciok Tim mendadak.
“Hah, barangkali kau rindu kepada Simoay?” jengek Giok-he. “Anak baik,
turutlah padaku, sekarang kita mampir dulu ke tempat Wi-jitya tadi, kaukira
Gote nanti juga akan pergi ke sana.”
“Tapi.....” Ciok Tim tergegap, tapi akhirnya mereka pun menuju ke Se-an.
Dalam pada itu cuaca telah mendung, hujan gerimis mulai turun.
Sayup-sayup terdengar suara musik yang sendu di kejauhan.......
-****-
Se-an, kota kuno yang sekelilingnya Cuma gurun tandus belaka memang
jarang kejatuhan hujan. Tapi di bawah hujan jota kuno ini pun tidak tampak
kesuraman, sebaliknya menimbulkan gairah hidup.
Bekas kota raja memang sudah tinggal bekas-bekasnya saja, terutama
bangunan megahnya sudah banyak yang berubah menjadi tumpukan puing,
hanya kedua menara yang disebut Tai-gan dan Siau-gan ( menara belibis
besar dan kecil) masih berdiri tegak di bagian Barat kota seolah-olah tetap
memamerkan kejayaan masa lampaunya.
Tidak jauh dari menara Tai-gan terdapat perkampungan yang menghijau
permai, itulah tempat kediaman Sai-pak-sin-ltong Wi-jitya Wi Ki. Selewatnya
perkampungan ini, tidak sampai satu li akan sampailah di jalan raya berbatu
yang menembus ke gerbang timur kota.

Di bawah hujan rintik-rintik, tiba-tiba dari luar kota berlari datang sebuah
kereta dan lima penunggang kuda. Tabir kereta tertutup. Penunggang kudanya
adalah kawanan tojin (imam agama To) yang rambut disanggul di atas kepala
dan diberi tusuk kundai hitam, berjubah kelabu dengan lengan jubah yang
longgar. Keempat penunggang kuda yang mengawal di samping kereta adalah
tojin yang setengah umur bermuka pucat meski mata bersinar tajam, pedang
tergandung di pinggang, kawanan tojin ini mungkin jarang bertemu dengan
sinar matahari, di antara mata alisnya menampilkan rasa keprihatinan.
Seorang lagi yang di depan kereta berwajah kurus kering, rambut ubanan,
tidak membawa senjata, baju longgar, tangan yang memegang tali kendali
justru putih bersih serupa tangan seorang perempuan.
Begitu masuk kota, kelima penunggang kuda dan kereta langsung lantas
menuju ke Bo-liong-ceng, perkampungan naga sakti tempat kediaman Wi Ki.
Melihat gelagatnya rombongan orang ini seperti ada keperluan mendesak.
Sementara itu suasana Bo-liong-ceng yang dikelilingi pepohonan itu tampak
sangat ramai. Di halaman depan yang biasanya digunakan sebagai lapangan
latihan penuh berderet ratusan meja, hampir setiap meja sudah siap beberapa
macam santapan lezat sebangsa babi panggang, kambing guling, angsa bakar,
itik dan ayam panggang, sudah barang tentu tidak ketinggalan berpuluh guci
arak tersedia.
Di atas meja berserakan ratusan pisau belati yang gemilapan disamping
mangkuk piring. Sedangkan tetamu sama bergerombol di sana sini asyik
mengobol.
Sai-pak-sin-liong Wi-jitya muncul dari ruangan tengan, ia berdiri di atas
undak-undakan dan berseru lantang, “Banyak terima kasih atas kesudian para
hadirin mengunjungi tempatku yang bobrok ini, orang she Wi tidak dapat
melayani satu persatu, terpaksa sekedar menghidangkan apa yang terdapat di

sini, hendaknya hadirin makan minum dengan bebas dan santai, tidak perlu
sungkan, anggap saja seperti di rumah saudara sendiri. Ayolah silahkan!”
Di tengan sorak gemuruh orang banyak, Wi Ki mendahului menghampiri meja,
disambarnya sebilah belati mengkilat, segera ia merobek paha kambing guling
dan diiris sepotong dan ditadah dengan sebuah piring.
Serentak tamu yang lain antri menirukan cara bersantap secara bebas dan
santai ini.
Di antara tetamu tampak Ban-li-liu-hiang Tim Hong-peng tetap dengan kipas
limpitnya di depannya berdiri Kwe Giok-he dan Giok Tim.
Dengan membawa guci arak Wi Ki mendekati Yim Hong-peng, sapanya dengan
tertawa, “Yim-taihiap, agaknya tamu dari jauh yang langka sebagai dirimu ini
harus minum sampai mabuk denganku.”
Yim Hong-peng mengucapakan terima kasih, jawabnya sambil mengernyitkan
dahi, “Nanti dulu! Tamu dari jauh yang langka kukira bukan cuma diriku saja,
agaknya kita harus menunggu sebentar lagi.”
“Memangnya.....” selagi Wi Ki menyatakan keheranannya, mendadak Yim
Hong-peng menyurut beberapa tindak.
Pada saat itulah dari luar pagar halaman tiba-tiba melayang turun sosok
bayangan kelabu, mucul seorang tojin berambut putih dan berwajah kurus,
berjubah kelabu longgar.
Serentak Wi Ki berseru kaget, “He, Sisuheng (kakak seperguruan keempat),
mengapa engkau datang juga?!”
Dengan sorot matanya yang tajam tojin ubanan itu menatap Yim Hong-peng,
ucapnya, “Lihai benar mata-telinga sahabat ini!”

“Haha, bagus sekali atas kedatangan Sisuheng ini, suasana pasti akan tambah
meriah,” kata Wi Ki dengan tertawa. “Agaknya Sisuheng belum kenal pendekar
dari luar perbatasan kita Ban-li-liu-hiang Yim Hong-peng.”
“O, kiranya Yim-taihiap,” ucap si tojin dengan dingin.
Hati Giok-he tergetar juga, ia tahu tojin ini adalah pejabat ketua Cong-la-pai.
Dengan tertawa Yim Hong-peng lantas menjura, sapanya, “Ah sungguh
beruntung sekali hari ini dapat bertemu dengan Cong-lamkiam-khek Lulocianpwe.”
Tojin ini memang betul ketua Cong-lam pai namanya Lu thian-an.
Sejak Cong-lam-sam-gan (ketiga belibis dari cong lam san) gugur dalam
pertandingan di Wi san, murid keempat angkatan ketujuh Cong-lam pai ini
lantas diangkat sebagai pejabat ketua. Wiki ssnediri adalah murid ketujuh,
sebab itulah orang kangouw suka mneyebutnya sebagai Wi-jitya atau tuan
ketujuh.
Sudah sekian tahun Thian-an totiang tidak meninggalkan Cong-lam san,
sekarang dapat berjumpa, tentu saja wiki sangat senang, serunya, “Sisuheng,
sungguh sangat kebetulan kedatanganmu ini, disini saat ini hadir sekian
banyak ksatria, inilah dua pendekar muda, nona kwee dan ciok-siauhiap,
keduanya adalah murid kesayangan Put-si-sin-liong.”
Giok he dan Ciok Tim memberi hormat, sebaliknya Giok-jiu-sun yang thian an
totiang hanya memberi salam dengan mengangkat sebelah tangannya.
Melihat tangan orang yang putih seperti pualam itu, dia-diam giok membatin,
“Pantas di berjuluk Giok-jiu-sun-yang (si imam sakti bertangagn kemala).”

Sedangkan Ciok Tim juga berpikir tojin ini terlalu angkuh.
Selagi Giok he hendak menyapa pula mendadak Thian-an tojin membalik ke
sana dan menarik tangan Wiki yang hendak melangkah keluar,”He, kau mau
kemana?”
“Hendak kupermaklumkan kepada hadirin yang lain bahwa Ciangbun suheng
hadir juga disini.”
“Nanti dulu.” Ujar thian-an.
“Memangnya ada apa?” tanya wiki heran.
“Apakah kau tahu sebab apa mendadak kutinggalkan Cong-lam san dan buruburu
menuju kesini, tanpa memberitahu pula lantas masuk ke sini dengan
melintas tembok belakang?”
Tergerak hati Wiki oleh ucapan Thian-an ini, “Ya karena bergembira atas
kedatangan suheng sehingga tidak kupkirkan hal-hal ini.”
“Ai usiamu makin tambah tua, tapi sifatmu yang ceroboh tampaknya belum
lagi berubah,” ujar Thian-san dengan menghela nafas.
Mendadak nada bicaranya berubah prihatin, “Apakah kau tahu bahwa saat ini
diketahui Leng-hiat Huicu masih hidup di dunia ini dan kini mungkin sudah
berada di kota Se-san.”
Terkesiap hati Wiki, air mukanya berubah, guci arak yang dipegangnya
terlepas dan pecah berantakan dengan arak munerat mengotori jubahnya.
Hati Ciok Tim dan Giok-he juga terperanjat. Meski Yim hong-peng kelihatan
tenang saja, tidak urung sorot matanya menampilkan rasa kejut juga.

“Dari mana suheng memperoleh berita ini? Apakah kabar ini dapat dipercaya?”
tanya Wiki.
Thian-an tojin berpaling dan tanpa bicara ia menuding kesana.
Waktu semua orang ikut memandang ke arah sana, tertampaklah empat tojin
berjubah kelabu memapah seorang lelaki yang berwajah pucat serupa orang
yang habis sakit parah, dibantu oleh dua centeng sedang masuk dengan
pelahan.
“Siapa orang ini?” tanya Wiki dengan kening bekerenyit.
Giok-he dan Ciok Tim sama terkejut melihat orang ini, diam-diam keduanya
saling lirik sekejap.
Kiranya orang yang kelihatan sakit parah ini adalah si tojin misterius yang
merampas peti mati kayu cendana di puncak Hoa san itu.
“Siapa orang ini, masa tidak kau kenal lagi?” kata Thian-an yang aslinya she
Lu.
Wiki coba mengamati lebih jelas, sesudah dekat, mendadak ia menjerit, “Hei,
Yap...Yap Liu ko!........”
Memang benar tojin berjubah hijau alias kiam-khek kongcu ini asalnya
bernama Yap Liu ko, saudara sepupu Yap man jing. Dengan langkah
terhuyung, ia berlari dan menubruk ke dalam rangkulan Wiki sambil berseru,
“O, jitko, sungguh seperti.......seperti dalam mimpi saja siaute dapat bertemu
pula denganmu.”
Baru berucap samapai di sini, langsung ia jatuh pingsan.
Seketika para hadirin sama melenggong.

Dengan mata melotot Wiki berseru, “Se...sesungguhnya apa yang terjadi? Liuko,
kenapa kau berubah begini, hampir tidak kukenal lagi.”
Lu thian-an menghela nafas, “Memang sudah ada sepuluh tahun kita tidak
bertemu dengan dia. Samapi lohor kemarin, mendadak ia lari ke atas ginung
dengan berlumuran darah, dari ceritanya baru kutahu Leng-hiat Huicu belum
mati, bahkan dia....”
Ia melirik Ciok Tim dan Giok he sekejap, lalu menyambung, ”Dia tertususuk
oleh pedang murid Put-si-sin-liong, untung diberi pertolongan oleh orang
kosen, kalau tidak saat ini mungkin mayatnya sudah membusuk di puncak
Hoasan dan rahasia dunia persilatan ini pun tak diketahui lagi oleh orang.”
Wiki tampak bingung, tanyanya sambil memandang tajam ke arah Giokhe,”
Mengapa dia dilukai murid Put-si-sin-liong?”
Giok-he berlagak berpikir dengan heran, sejenak kemudian baru ia bergumam,
“Apakah mungkin perbuatan Gote? Sungguh tak tersangka dia dapat berbuat
seceroboh ini.”
“Gote siapa, sekarang dia berada dimana?” tanya Lu thian-an.
“Ya pasti dia, Lamkiong peng,”Ucap Wiki dengan gemas, “Ai, tak tersangka
murid kesayangan Put-si-sin-liong bisa bertindak demikian.”
“Kami pun tidak tahu seluk beluknya, cuma kami tahu Gote berada bersama
seorang perempuan she Bwee, juga Bi-san-siang-hiap telah.........”
Belum juga lanjut ucapan Giok-he, segera Wiki memotong, “Jadi perempuan di
dalam kereta itulah maksudmu? Ah kenapa tidak sempat kulihat jelas dia....”

Menurut pendapatku, mungkin dia memang menguasai ilmu awet muda.” Ujar
Giok he.
“Wah tentu juga kunfunya telah maju lebih pesat,” tergetar juga hati Wiki.
Mendadak ia berseru, “Eh dimana kedua tiangsun bersaudara?” Yim taihiap,
kemana Tiangsun siang hiap?”
Yim hong-peng sedang termenung, ia angkat kepala dan menjawab dengan
bimbang, “Tadi masih di sini, entah ke mana sekarang?”
Tampaknya dia juga menyembunyikan sesuatu perasaan, dengan sendirinya
orang lain sukar mengetahuinya.
Wiki menghela nafas menyesal, ucapnya “Sungguh sayang, baru saja Sinliong
menghilang, dunia kangouw lantas kacau lagi.”
“Semoga sin-liong belum mati.....” seru Lu thian-an mendadak dengan sinis.
Wiki tidak merasakan nada sinis ucapan sang suheng, ia membangunakan Yap
liu ko dan diajak berdiri di depan hadirin yang sudah berkerumun itu,
diumumkannya tentang muncul kembalinya iblis perempuan Leng-hiat Huicu
serta murid murtad Put-si-sin-liong yang membantu kejahatan iblis perempuan
berdarah dingin itu.
Serentak orang banyak bersorak mendukung usaha penumpasan yang
diprakarsai Wiki itu. Kening Yim hong-peng bekerenyit melihat gerakan yang
dikobarkan Wiki itu.
Diam-diam ia pun merancang tindakan apa yang harus dilakukannya, ia pikir
kesempatan baik ini akan dipergunakannya untuk mencari pengaruh.
*******

Saat itu Bin-san-ji-yu diam-diam sedang menguntit jejak Lamkiong peng,
dilihatnya sesudah anak muda itu menyelesaikan pemakaman, lalu bersama
kereta kuda kecil itu masuk ke kota se-an dan langsung masuk ke sebuah toko
hasil bumi yang besar.
Tiangsun Kong berdua berdiri jauh di bawah emper rumah sebrang, dia-diam
mereka saling bertanya, “Jika perempuan ini bukan Bwe kiam soat, untuk apa
dia menyuruh kita berdua menguntitnya?”
Begitulah dengan bimbang mereka menunggu sekian lama dis itu, tiba-tiba
dari seberang datang seorang membawakan secarik surat dan diangsurkan
kepada Tiangsun Tan dengan hormat, lalu tinggal pergi lagi.
Bin-san-ji-yu sama melenggak, mereka membuka surat itu dan dibaca,
ternyata surat dari Lamkiong peng yang minta Bin-san-ji-yu suka mampir
untuk mengobrol.
Rupanya penguntitan mereka telah diketahui dengan baik oleh lamkiong peng.
Mereka saling pandang sekejap, waktu memendang lagi ke seberang,
Lamkiong peng terlihat berdiri ke depan pintu sana dan sedang memberi salam
dari kejauhan.
Meski kedua orang ini sudah cukup berpengalaman, bingung juga menghadapi
adegan demikian, dengan kikuk mereka berseru dari jauh, “Terimakasih atas
maksud baikmu, sampai berjumpa lain kali saja!”
“Habis itu cepat mereka melangkah pergi dan tidak berani menoleh lagi.
Lamkiong peng menyaksikan kepergian mereka, senyum yang menghiasi
wajahnya mendadak lenyap, ia menghela nafas dan masuk ke dalam.

Nyata anak muda ini sedang dirundung kemunduran, meski kungfunya tinggi
dan keluarganya kaya raya, tapi ada juga urusan yang menekan perasaaannya
tanpa bisa diselesaikannya.
Saat itu Bwe kiam soat lagi duduk memandangi lampu, di atas meja tersedia
macam-macam buah segar sebangsa anggur, apel, jeruk dan lain-lain, tapi
tiada satu pun yang menarik perhatiannya, dia tetap teremnung memandang
lampu, entah apa yang sedang dipikirnya.
Langkah kaki Lamkiong peng yang berat ternyata tidak menganggu
lamunannya, bahkan dia tidak memandang sekejap pun, wajahnya yang agak
putih mulus kelihatan serupa batu kemala.
Sampai lama sekali, akhirnya Bwe kiam soat menghela nafas pelahan dan
bertanya, “Mereka sudah pergi?”
“Sudah,” jawab Lamkiong peng, “Entah untuk apa mereka menguntit kemari?
Memangnya mereka benar telah mengenali dirimu?
“Apakah kaukuatir?” tanya kiam soat.
“Kuatir apa?”
“Mungkin kaupikir bila diriku dikenal orang, tentu akan tidak
menguntungkanmu dan bisa jadi engkau takkan....takkan mengurus diriku
lagi, sebab aku kan seorang iblis yang dikutuk orang persilatan, jika kaubantu
diriku tentu engkau juga akan dituduh sebagai sampah masyarakat persilatan.
Apalagi engkau adalah anak murid guru ternama, murid Put-si-sin-liong mana
boleh membantu iblis perempuan yang jahat ini.”
Lamkiong peng diam saja tanpa memberi komentar.

“Padahal moral dunia persilatan hanya hak khusus bagi beberapa orang
tertentu saja, bilamana ada sepuluh orang tokoh Bulim menganggap engkau
orang jahat, maka engkau sudah dipastikan akan menjadi orang maha jahat,
sebab setiap perbuatanmu tetap akan dianggap salah, bahkan anak murid sinliong
yang terhormat pun tidak berani bicara keadailan, sebab orang lain pun
belu tentu mau percaya biarpun kaukatakan apa yang kau ketahui
sebenarnya.”
Gemerdep sinar mata Lamkiong Peng, tapi tetap diam saja.
Mendadak Bwe kiam soat tertawa, katanya pula, “Tapi engkau jangan kuatir,
di dunia persilatan sekarang, kecuali kita berdua tiada orang ketiga yang
berani memastikan aku......”
Sampai disini, mendadak ucapannya terputus, sebab di luar telah bergema
gelak tertawa sorang dan berkata, “Sekali ini engkau keliru, Kong-jiok Huicu!”.
Air muka Lamkiong Peng berubah, bentaknya, “Siapa?”
Segera ia memburu daun jendela terbuka, dengan enteng melayang masuk
seorang, lebih dulu ia menjura, lalu berkata dengan tersenyum, “Karena
keadaan yang luar biasa, demi menghindarkan mata telinga orang,
terpaksamasuk dengan menoerobos jendela, mohon maaf.”
Suaranya lantang, sikapnya gagah, orang ini ternyata pendekar di luar
perbatasan Ban-li-liu-hian, Yim Hong-peng.
Tercengang Lamkiong Peng, muka Bwe kiam soat yang putih pucat
menampilkan semacam perasaan aneh. Dengan gemulai ia berbangkit,
katanya, “Kaubilang apa?”
Tapi Yim Hong-peng lantas mengalihkan pembicaraan terhadap Lamkiong
Peng, “Keluarganya Lamkiong memang kaya raya merajai kolong langit ini, tak

disangka jauh di kota Se-an ini Lamkiong-heng juga mempunyai tempat
tinggal semewah ini.”
Lamkiong Peng Cuma tersenyum dan balas menhormat.
“Kau dengar tidak ucapanku?” kembali Bwe kiam soat menegur.
Yim hong-peng tertawa, katanya, “Nama Kong-jiok Huicu mengguncangkan
dunia kangouw, mana berani kulewatkan setiap kata nona....”
“Hm, mungkin agak terlalu banyak apa yang kaudengar......” mendadak Bwe
kiam soat menarik muka sambil meluncur maju, sebelah tangannya segera
terjulur ke depan.
Namun Yim hong-peng tetap diam saja, dengan tersenyum ditatapnya telapak
tangan Bwe kiam soat, padahal sekali tersentuh oleh tangan putih mulus itu
seketika jiwa bisa melayang.
Selagi Lamkiong peng memburu maju dilihatnya tangan Bwe kiam soat sudah
diturunkan.
Mendadak Yim hong-peng bergelak tertawa, katanya, “Haha, sungguh hebat,
sungguh kagum, Kong-jiok Huicu memang benar burung Hong di tengah
manusia.....Tapi bilaman pukulan nona Bwe tadi dilanjutkan, predikat ini pun
tidak tepat kauterima lagi.”
“Sebelum kaubicara lebih jelas, dengan sendirinya tak dapat kubinasakan
kau.....”
“O, jadi kalau selesai ku bicara, segera nona akan membunuhku?”
“Orang yang tahu terlalu banyak, setiap saat pasti akan ada kemungkinan
tertimpa maut.”

“Ah jadi aku mengetahui terlalu banyak?! Yim hong-peng menegas.
“Betul!” kata Bwe kiam soat, pandangannya tidak pernah meninggalkan wajah
Yim hong-peng. Ia tidak berani lagi meremehkan orang. Bilamana seorang
tidak menghiraukan sebuah tangan yang setiap saat mungkin dapat
merenggut nyawanya, maka orang ini jelas lain daripada yang lain.
Tiba-tiba Yim hong-peng berhenti tertawa dengan serius, “Apabila yang
kuketahui terlalu sedikit, maka orang yang tahu terlalu banyak dikota Se-an
saat ini sedikitnya ada seribu orang.”
Kimsoat melenggak, “Apa artinya ucapanmu ini?”
Pelahan Yim hong-peng menggeser ke depan jendela, lalu berkata, “Nona Bwe
memang awet muda dan pandai merawat diri, di dunia ini mestinya tiada lagi
yang tahu nona Bwe yang kelihatan berusia 20-an ini adalah mnediang Kongjiok
Huicu dahulu. Namun...... siapa duga ada arwah gentayangan yang lolos
dari bawah pedang Lamkiong-heng justru muncul di tempat Wiki.....”
“Arwah gentayangan lolos dari pedangku?......”gumam lamkiong Peng dengan
bingung.
Setelah berpikir sejenak, tiba-tiba Bwe kiam soat berkata, Jangan-jangan si
Yap....Yap liu ko itu belum mati?”
Yim hong-peng mengangguk, “Ya dia terluka parah, tapi belum mati.”
“Ah kiranya dia tidak mati.” Tukas Lamkiong peng dengan melenggong, meski
nadanya terekjut, tapi juga membawa rasa bersyukur.
Dengan keheranan Yim hong-peng memandangnya sekejap dan merasa tidak
mengerti akan jalan pkiran anak muda itu.

“Meski Yap liu ko Cuma terluka parah dan belum mati, sekarang Lu thian an
telah meninggalkan Ciong-lam san dan berkumpul di tempat Jitsutenya, yaitu
Wiki. Segenap kekuatan yang berada di Se-an sekarang sedang dikerahkam
untuk mencari kalian berdua.” Demikian tutur Yim hong-peng. “Aku merasa
tidak mampu memberi bantuan apa-apa, tapi juga tidak tega duduk berpeluk
tangan tanpa ikut campur, maka sengaja kususul kemari......Lamkiongkongcu,
apapun kalian cuma berdua, dua tangan sukar melawan empat
kepalan. Apalagi suheng dan susomu juga berada disana, tampaknya mereka
pun tidak membenarkan tindakanmu, maka menurut pendapatku.....”
Ia merandek, dilihatnya Bwe kiam soat sedang menatapnya dengan tajam.
“Maksudmu agar sementara ini kami menyingkir dulu? Tanya Lamkiong peng.
Belum lagi Yim hong-peng menjawab, mandadak Bwe kiam soat menyela,
“Tidak, salah!”.
“Sebenarnya memang begitulah maksudku, kenapa nona salah?” Tanya Yim
hong-peng.
“Jika aku menjadi dirimu, tentu akan kubujuk dia agar tidak mencari garagara,
“ kata kiam soat. “Sebab mestinya di tahu, barangsiapa memusuhi Bwe
kiam soat, akibatnya dapat dibayangkan sendiri.”
Mendadak ia berpaling ke arah Lamkiong peng dan berkata pula, “Dan bila
kujadi dirimu, segera aku akan pergi jauh atau segera kudatangi Wiki dan
memberitahukan padanya bahwa antara dirirmu dan Bwe kiam soat sama
sekali tidak ada sangkut paut apapun....”
Sampai disini, mendadak ia tertawa latah sambil berteriak, “Wahai Bwe kiam
soat.....engkau sungguh orang yang malang dan juga bodoh. Sudah jelas
kautahu orang persilatan takkan melepaskan dirimu, sebab engkau ini bukan

golongan pendekar, bukan orang berbudi luhur, sebab kau jahat.......Tapi,
semua itu pun cukup dibuat bangga olehmu, hanya untuk menghadapi seorang
perempuan seperti dirimu, kawanan manusia yang menamakan dirinya kaum
pendekar itu telah mengerahkan segenap tenaga sekota.”
Lamkiong diam saja tanapa memberi komentar.
Yim hong-peng menjadi heran, pikirnya, “kedua muda-mudi ini tidak serupa
kekasih juga tidak mirip sahabat, entah ada hubungan antara mereka berdua?”
Ia memandang Lamkiong-peng sekejap, lalu bertanya, “Urusan cukup gawat,
hendaknya Lamkiong-heng menentukan langkah.”
“Terimakasih atas maksud baik Yim tai-hiap, cuma....”
“Jumlah lawan terlalu banyak, menghindar untuk sementara adalah cara yang
paling baik.” Kata Yim hong-peng pula.
“Jumlah lawan terlalu banyak.....tapi Ciong-lam-pai terkenal sebagai suatu
aliran terpuji, tentunya takkan menuduh orang secara tidak semena dan tidak
memberi kesempatan bagi orang lain untuk memberi penjelasan.”
Diam-diam Yim hong-peng merasa gegetun, ia pikir nama busuk Leng-hiat
huicu diketahui siapapun masa perlu penjelasan apa segala.
Belum lagi dia bicara, tiba-tiba Bwe kiam soat mengejak, “Hm tampaknya kau
ini pemuda pintar, kenyataannya engkau sedemikian bodoh. Bagi orang-orang
yang menamakan dirinya pendekar budiman dan penegak keadilan itu, sudah
lama aku dibenci hingga merasuk tulang, masa aku akan diberi kesempatan
untuk memberi penjelasan segala?”
Yim hong peng pikir perempuan berdarah dingin ini ternyata cukup tahu diri
juga, dilihatnya Lamkiong peng tetap tenang saja, meski diolok-olok, diamKoleksi
Kang Zusi
diam ia pun heran mengapa pemuda yang kelihatan halus di luar tapi keras di
dalam ini bisa bersabar terhadapnya.
Pada saat itulah tiba-tiba ada orang berdehem di luar, Gui seng-in tampak
muncul. Agaknya ia merasa heran ketika diketahui di dalam rumah mendadak
bertambah satu orang. Tapi sebagai orang yang sudah cukup makan asam
garam, rasa heran itu sekilas saja lantas lenyap dari wajahnya.
Dengan tersenyum hormat ia berkata, “Mestinya hamba tidak berani
mengganggu kongcu, soalnya......para saudagar di Se-an mendengar
kedatangan kongcu ini, mereka sama ingin bercengkrama dengan kongcu
serta akan mengadakan perjamuan sekadarnya di Thian-tiang-lau untuk
menyambut kedatangan kongcu dan nona ini, entah bagaimana pendapat
kongcu, apakah sudi hadir tidak?”
Lamkiong peng berpikir sejenak, dipandangnya Bwe kiam soat sekejap.
Alis kiam soat tampak bergerak, tapi tidak bicara. Agaknya tanpa bicara pun
sudah jelas maksudnya.
Tak terduga Lamkiong peng lantas berkata, “Apakah sekarang?”
“Jika kongcu ada waktu.........”
“Baik berangkat!” kata Lamkiong peng.
Tentu saja Gui seng-in kegirangan, cepat ia mengucapkan terimakasih dan
mendahului melangkah keluar sebagai penunjuk jalan.
Yim hong peng melenggong atas tindakan anak muda itu, saat ini seluruh kota
sedang gempar, para ksatria yang berkumpul di Se-an sibuk mencari mereka
berdua, sungguh sukar dimengerti Lamkiong peng malah menerima undangan
perjamuan itu dan sengaja memperlihatkan diri di depan umum.

Agaknya Lamkiong peng dapat meraba jalan pikiran orang, dengan tersenyum
ia berkata,” Apakah Yim taihiap juga akan ikut hadir untuk minum secawan?”
“Terima kasih,” Jawab Yim hong peng samabil memberi hormat, “Sungguh aku
tidak mengerti.....”
“Soalnya cukup sederhana, “Potong Lamkiong peng, “Urusan sudah terlanjur
begini daripada menghindar akan lebih baik di songsong sekalian. Anak murid
Sin-liong selamanya tidak kenal istilah lari.”
Yim hong peng mengangguk, katanya “Murid Sin-liong memang gagah perkasa
dan pantas dipuji.”
‘Sekali lagi terima kasih atas maksud baik Yim taihiap, bila berjumpa pula
kelak kita harus bicara lagi lebih asyik,” ujar Lamkiong peng.
“Sejak kumasuk daerah Tionggoan, hanya Lamkiong-heng saja yang
kupandang sebagai pendekar muda yang akan mengembangkan kejayaan
dunia persilatan umumnya, sayang kita belum sempat berkumpul lebih lama,
sampai berjumpa lagi.”
Habis berkata Yim hong peng melayang pergi melalui jendela.
“Lugas juga tampaknya orang ini!” gumam Lamkiong peng memandangi
bayangan orang yang menghilang di luar.
“Hm apa betul!?” jengek Bwe kiam soat. Lalu ia tanya pula, “Eh, apakah benar
kau terima undangan perjamuannya.....”
“Bila engkau tidak ingin ikut.......”
“Jika kau mau pergi, masa aku takut?” sela Bwe kiam soat, segera ia
berbangkit dan ikut melangkah keluar.

Hujan gerimis baru berhenti.
Pasar malam kota Se-an cukup ramai. Akan tetapi malam ini lebih banyak
orang berkelompok-kelompok, kebanyakan orang itu pun bersenjata,
semuanya orang persilatan dengan wajah prihatin dan sikap tegang.
Ketika mendadak tampak muncul dua muda-mudi yang pemuda gagah dan
cakap, yang perempuan cantik luar biasa, seketika berjangkit suara desasdesis
di sana-sini.
“Ssst, itu dia Lamkong peng!”
“Ssst, itu dia Leng hiat Huicu!”
Seketika terjadi kegemparan, tapi segera pula suasana berubah menjadi sunyi.
Semuanya tidak bersuara, sama terpukau oleh kegagahan dan kecantikan
kedua muda-mudi ini.
Sejenak kemudian, ada yang meraba senjata dan bermaksud turun tangan,
tapi ketika terlihat senyuman Bwe kiam soat yang manis dan lirikan
menggiurkan, tanpa terasa tangan yang meraba senjata menjadi lemas.
Dan begitulah berpuluh pasang mata menyaksikan kedua muda-mudi itu
berlalu di depan mereka, sesudah lewat agak jauh baru gerombolan orang itu
mengikuti mereka dari jauh.
Thian-tiang-lau tergolong restoran terbesar di kota ini, dengan sendirinya
segala sesuatunya sudah disiapkan secara semarak, terutama wajah pemilik
restoran ini juga bercahaya semarak, sebab hari ini dia mendapat kehormatan
dapat menerima kunjungan “tuan muda” keluarga Lamkiong yang maha kaya
raya itu.

Lamkiong peng dan Bwe kiam soat masuk ke restoran Thian-tiang-lau!
Dengan sendirinya berita ini dengan cepat tersiar dan dalam sekejap saja
laporan sudah diterima Thian-an tojin dan Wiki.
“Kabarnya Lamkiong Peng ini ahli waris keluarga Lamkiong yang kaya raya
dari daerah Kanglam itu?” di tengah jalan Thian-an mencari keterangan
kepada Wiki.
“Ya dia masih muda, selain ahli waris keluaraga maha kaya itu, dia juga
terkenal sebagai murid kesayangan Put-si-sin-liong, tak tersangka dia terbujuk
oleh Leng hiat Huicu sehingga tersesat, “ ujar Wiki.
“Hm anak muda yang tidak menuju ke jalan yang benar, biarpun saudara
seperguruan sendiri juga malu untuk membelanya,” jengek Lu thian-an.
“Tapi apa pun juga tindakan kita ini menjadikan Leng hiat Huicu sebagai
sasaran, mengenai Lamkiong peng, sedikit banyak harus kita ingat akan
kehormatan Put-si-sin-liong”.
“Itu bergantung bagaimana hubungannya dengan Bwe kiam-soat,” kata Thianan
Hanya sebentar saja rombongan raksasa itu sudah berada di luar Thian-tianglau,
restoran itu segera terkepung dengan rapat. Dengan sendirinya kejadian
ini mengguncangkan segenap penduduk kota, disangkanya terjadi kerusuhan
apa. Tapi setelah mengetahui persoalan bunuh membunuh orang kangouw,
kebanyakan penduduk cepat menutup pintu dan tidak berani keluar.
Menghadapi persoalan orang kangouw seperti ini, biasanya petugas keamanan
pemerintah setempat juga tidak dapat berbuat banyak, yang mereka jaga
hanya urusan tidak sampai menjalar menjadi gangguan umum.

Sungguh tidak ada yang menyangka bahwa keonaran yang timbul ini tak lain
tak bukan hanya gara-gara munculnya seorang perempuan cantik, yaitu Leng
hiat Huicu.
Akan tetapi di dalam restoran, di bawah cahaya lampu yang terang benderang,
Bwe kiam-soat tampak duduk tenang dan anggun.
Sudah barang tentu geger di luar restoran juga membikin panik para saudagar
besar yang berkumpul di atas restoran itu. Mereka sama bertanya-tanya ada
kejadian apa dan apa yang akan terjadi? Namun di hadapan Lamkiong-kongcu
yang terhormat, betapapun mereka tidak berani sembarangan bergerak,
sampai sekarang tiada seorang pun berani melongok ke luar jendela.
Sekonyong-konyong di bawah terdengar suar bentakan, suara menyuruh
memberi jalan.
Lamkiong peng tahu apa artinya itu, pelahan ia berbangkit, ia menuju ke ujung
tangga, serupa seorang tuan rumah yang siap menyambut kedatangn
tetamunya.
Akhirnya berdetaklah suara tangga, terlihat Lu thian-an dan Wiki berturutturut
naik ke atas loteng dengan wajah kelam.
Dengan tersenyum Lamkiong peng menghormat, sapanya, “Terimakasih atas
kunjungan kedua Cianpwee, maaf jika tidak kusambut jauh di bawah.”
Lu thian-an hanya mengangguk pelahan saja, langsung ia mendekati Bwe
kiam-soat, ia duduk di depannya, tanpa bicara ia angkat secawan arak dan
dikecupnya seceguk.
Sejak awal ia tetap tidak memandang Bwe kiam-soat, hanya menatap tangan
sendiri yang putih mulus, lalu berucap, “Malam sudah larut, bilamana hadirin

merasa sudah cukup makan minum, sudah saatnya untuk pulang saja
sekarang.”
Segera terjadi kesibukan, para saudagar itu dapat melihat gelagat tidak enak,
beramai-ramai mereka berebut meninggalkan restoran ini mereka tidak ingat
lagi akan sopan santun terhadap Lamkiong-kongcu segala.
Ruang restoran yang semula ramai dan agak berjubel sekarang berubah
menjadi lenggang.
Mendadak Wiki melangkah ke samping Lu thian-an, ia pun berduduk di situ,
diraihnya poci arak terbuat dari timbel, langsung ia menuangkan arak dari
corong poci ke mulut dan minum beberapa teguk.
“Sepuluh tahun tidak bertemu, tampaknya kekuatan minum arak telah tambah
maju,” ucap Bwe kiam-soat dengan tersenyum.
Mendadak Wiki membanting poci itu ke atas meja.
Dengan muka kelam Lu thian-an berkata, “Nona, sudah hampir 30 tahun
engkau malang melintang di dunia kangouw dan entah berapa banyak orang
telah menjadi korbanmu, kukira saat ini pun sudah lebih dari cukup hidupmu.”
“Totiang sendiri sudah ubanan, tentu lebih-lebih cukup hidup, bila hidup lebih
lama lagi, bisa jadi orang akan menyebutmu tua bangka,” jawab Kiam-soat
dengan tajam. “Hm tampaknya kedatangn kalian sengaja hendak mencari
perkara padaku.”
“Ah masa perlu dijelaskan lagi, kami hanya berharap nona mau membereskan
diri sendiri saja, jengek Thian-an.
“Membereskan diri sendiri? Kausuruh aku membunuh diri? Haha, memangnya
kenapa?”

“Kukira tidak perlu banyak omong, supaya aku tidak perlu melanggar
pantangan membunuh.”
“Wah, jika begitu, lekas kau turun tangan saja sebelum kubicara lebih banyak
dan mungkin akan membongkar rahasiamu!” kata Kiam-soat dengan
tersenyum.
Air muka Thian-an tojin yang kelam itu seketika berubah.
“Kan sudah kukatakan tidak perlu banyak bicara dengan dia, “ujar Wiki,
“creng” segera ia mengeluarkan senjata andalannya, Liong-hong-siang-goan,
sepasang gelang baja.
“Nanti dulu!” mendadak Lamkiong peng melompat maju.
“Apakah kaupun ingin mengiringi kematiannya?” jengek Wiki sambil
mendomplangkan meja. Keruan mangkuk piring berhamburan.
Lamkiong peng mengebaskan lengan bajunya sehingga meja itu tertahan dan
meluncur kesebelahnya dan menumbuk dinding.
“Tanpa alasan kalian datang kemari dan hendak membunuh orang,
berdasarkan apa kalian bertindak demikian?” tanya Lamkiong peng dengan
tidak senang. “Segala urusan harus diselesaikan menurut keadilan, sekarang
kalian menhendaki nyawa kami berdua, sedikitnya kalian harus memberi
keterangan kepada setiap orang persilatan yang hadir di sini, apa dasarnya?”
Kawanan orang persilatan sebagian sudah ikut menerjang ke atas restoran dan
siap bertindak, demi mendengar uraian Lamkiong peng yang tegas dan jujur
ini, diam-diam banyak diantaranya mengangguk dan bersimpati kepadanya.

Lu thian-an memandang sekejap kepada orang banyak, air mukanya tampak
rada berubah.
“Hah tentunya sekarang engkau merasa menyesal telah banyak bicara
denganku, mestinya begitu datang segera kalian membunuhku, begitu bukan?”
kata Bwe Kiam-soat dengan tertawa merdu.
Suaranya lantang berkumandang sehingga dapat didengar oleh orang yang
berkerumun di luar.
“Apakah ucapanmu sengaja diperdengarkan kepada kawan Bulim di sekeliling
sini? Jengek Thian-an tojin.
“betul, kecuali dunia persilatan sudah tidak ada keadilan lagi, kalau tidak,
biarpun engkau adalah Bu-li-bengcu “(ketua persekutuan orang persilatan)
juga tidak boleh meremehkan nyawa orang lain.”
Gemerdep sinar mata Wiki, mendadak ia tergelak, serunya, “Jika orang lain,
ucapanmu ini tentu akan manimbulkan rasa curiga orang banyak terhadap
tindakan kami ini. Tapi kau perempuan yang berdarah dingin, biarpun kau
omong seribu kali lagi, meski engkau mengoceh panjang lebar, aku Wiki tetap
akan menumpaskan bencana bagi dunia persilatan.”
Lalu ia memandang Lamkiong peng dan bertanya, “Jika kau tahu dia ini
Lenghiat Huicu, mengapa kaubela dia? Melulu kesalahanmu ini saja pantas di
hukum mati. Tapi mengingat gurumu, lekas kau pergi saja, lekas!”
“Sedemikian keras kau bela dia, memangnya di antara kalian ada hubungan
sesuatu yang tidak boleh diketahui orang?” ejek Lu thian-an.
Mau tak mau Lamkiong peng menjadi gusar, semula ia percaya ketua Conglam
pai dan Wiki ini adalah kaum pendekar yang berbudi luhur, siapa tahu

tindak dan kata mereka sedemikian kasar, tiba-tiba terpikir olehnya di balik
urusan ini pasti ada sesuatu yang janggal.
Kawanan jago persilatan dapat menerima pendirian Wiki itu, nama Lenghiat
Huicu sudah terkenal busuk sejak belasan tahun yang lalu, sekarang pemuda
ini membelanya mati-matian, tentu anak muda ini juga bukan orang baik-baik.
Padahal tiada seorangpun antara jago persilatan ini yang pernah melihat Bwe
kiam-soat sebelum ini, mereka kebanyakan cuma membeo belaka. Tadi
mereka menaruh simpati kepada Lamkiong peng, sekarang berubah pikiran
lagi. Memang demikianlah sifat manusia pada umumnya.
Diam-diam Lamkiong peng menghela nafas, ia tahu urusan hari ini tidak
mungkin diselesaikan begitu saja, ia coba melirik Bwe kiam-soat, dilihatnya
orang tetap tersenyum dengan tenang.
Dalam pada itu orang banyak lantas berteriak-teriak, “Buat apa banyak bicara,
bekuk dulu keduanya.”
“Nah, kau minta keadilan dunia persilatan, sekarang bolehlah kita selesaikan
mendasarkan pendapat umum,” jengek Lu thian-an.
Wiki juga tidak sabar lagi, segera ia putar kedua gelang baja sambil
membentak, ‘Minggir!”
Bwe Kiam-soat tetap tenang saja, ucapnya, “Kau maju sendirian?”
Terkesiap juga Wiki, tiba-tiba teringat olehnya kungfu Lenghiat Huicu yang
menakutkan itu. Seketika ia tertegun dan tidak berani bergerak lagi.
“Haha, kiranya orang kangouw kebanyakan manusia yang suka mengekor
belaka.......” belum lanjut ucapan Lamkiong peng serentak terdengar suara
caci maki di sana sini.

Nyata ucapannya telah menimbulkan kegusaran orang banyak.
“Ikut terjang keluar bersamaku!” bisik Bwe kim soat kepada Lamkiong Peng.
Diam-diam ia siap bertindak. Meski pihak lawan berjumlah banyak, tapi ia
yakin pasti mampu menerjang keluar.
Siapa tahu Lamkiong peng tetap diam saja di tempatnya dengan pongahnya,
mendadak ia membentak, “Diam!”
Bentakan yang menggelegar ini memekakkan anak telinga, seketika semua
orang tergetar diam.
Dengan tajam Lamkiong Peng menatap Lu thian-an, teriaknya, “segala urusan
tentu tidak terlepas dari keadilan dan kebenaran, justru kepada seorang
Cianpwee serupa dirimu ingin kuminta keadilan. Sesunguhnya apa dosa Bwe
kiam-soat, apa kesalahannya, bilakah dia berbuat kejahatan sehingga
memerlukan tindakanmu ini.”
Lu thian-an jadi melenggak, tak tersangka olehnya anak muda ini dapat
bertanya demikian.
Dengan kereng Lamkiong Peng berteriak pula, “Jika engkau tidak dapat
menjawab, berdasarkan apa pula engkau bertindak atas nama dunia
persilatan? Berdasarkan apa pula bicara tentang keadilan dunia persilatan? Bila
soalnya Cuma mengenai permusuhan pribadimu dengan dia, mengingat
kedudukanmu sebagai seorang pemimpin suatu perguruan terkemuka, tentu
juga harus kaubereskan urusan ini langsung dengan dia sendiri, andaikan
dapat kaucencang dia juga aku takkan ikut campur. Tapi bila engkau
mengatasnamakan umum bagi kepentingan pribadi dan membual tentang
keadilan, betapun aku Lamkiong Peng tidak dapat menerima dan akulah yang
pertama-tama ingin minta pengajaran dulu padamu.”

Dia bicara tegas dan berani, mau tak mau semua orang sama melenggong.
Air muka Wiki berubah, Lu thian-an juga tidak tahan, jengeknya, “Rupanya
kau menantang anak muda!”
“Apa boleh buat,” ujar Lamkiong Peng lantang.
Seorang pemuda hijau peloneo berani menantang seorang guru besar dari
suatu aliran pedang terkemuka, sungguh hal ini cukup menggemparkan,
keruan semua orang sama heran dan juga terkejut.
“Hm, tampaknya sombong benar kau anak muda, terpaksa aku mesti memberi
hajaran padamu,” jengek Lu thian-an.
Lamkiong Peng hanya mendengus dan tetap berdiri tegak.
Pelahan Lu thian-an berbangkit, sedangkan Wiki menyurut mundur ke
samping.
“Aha, menarik, rasanya tempat ini kurang luas. Biarlah kusingkirkan lagi meja
kursi yang memenuhi tempat ini,” ucap Bwe kiam-soat seperti apa yang akan
terjadi ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dia.
Lamkiong Peng tahu wataknya memang begitu, maka tidak heran. Sebaliknya
orang lain sama terkesiap, diam-diam ada yang menggerutu, “Perempuan ini
memang benar berdarah dingin.”
Setelah ruangan dikosongkan, kini Lu thian-an berdiri berhadapan dengan
Lamkiong Peng, katanya, “Silakan mulai!”
Nyata ia menjaga gengsi sebagai orang lebih tua dan memberi kesempatan
menyerang lebih dulu.

Namun Lamkiong Peng justru tetap diam saja, “Silahkan Locianpwee dulu!”
Wiki menjadi gusar, “Siko, untuk apa bicara tentang peraturan dengan sampah
masyarakat persilatan seperti ini!”
“Benar!” kata Thian-an berbareng ia melompat maju dan menghantam batok
kepala lawan tanap kenal ampun.
Melihat serangan Lu thian-an itu, ada juga diantara penonton yang merasa
penasaran, sebagai seorang tokoh terkemuka, menyerang lebih dulu, tapi
sekeji ini serangannya.
Namun Lamkiong Peng bukan lawan empuk baginya, sedikit ia menggeser ke
samping, berbareng itu sebelah tangannya balas menyodok ke perut Thian-an.
Terkejut juga Lu thian-an oelh kecepatan lawan, sembari mengelak, tangan
lantas memotong ke bawah, tangannya tamapak putih mulus seperti tangan
orang perempuan, tapi membawa tenaga dalam yang dasyat...
Begitulah serang menyerang terus berlangsung, diam-diam para penonton
sama memuji anak Put-si-sin-liong memang tidak boleh dipandang enteng.
Namun apa pun juga Lu thian-an memang lebih ulet, setelah belasan jurus,
lambat laun ia berada lagi diatas angin. Padahal kelihatannya Lamkiong Peng
agak terdesak, sebenarnya dia belum mengeluarkan segenap tenaganya.
Saat itu kedua tangan Lu thian-an berkerja sekaligus dan menghantam,
mendadak Lamkiong Peng bersuit panjang sambil melompat keatas. Terkejut
Lu thian-an, dirasakan angin keras membura dari atas, kemanapun dia
mengelak rasanya tetap akan terserang. Bila dia tetap diam di tempat,
sedangkan lawan telah menubruk dari atas, ini berarti dia akan tetap berada di
pihak terserang belaka.

Semua orang sama kaget, Wiki juga berseru, “Thian-liong-cap-jit-sik!”
Rupanya inilah Thian-liong-cap-jit-sik atau 17 jurus serangan naga terbang,
kungfu andalan Put-si-sin-liong. Serangan ini dilancarkan pada waktu tubuh
terapung, setiap jurus serangan pasti memaksa lawan harus menyelamatkan
diri lebih dulu, atau membuntu jalan mundur musuh, serangan barantai susul
menyusul, sebab itulah Thian-liong-cap-jit-sik tak dapat dibandingi oleh ilmu
pukulan dari aliran lain.
Sekarang yang dilancarkan Lamkiong Peng adalah jurus pertama yang disebut
“Tit-siang-kiu-siau” atau langsung menjulang ke langit, selagi tubuh
mengapung, tangan dan kaki terus menyerang untuk mengurung segenap
jalan mundur Lu thian-an.
Habis itu sambil meluncur turun, kesepuluh jari berubah menjadi cakar untuk
mencengkram muka lawan.
Dia sudah siap serang sejak tadi, sekali turun tangan harus berhasil. Tentu
saja semua orang menjerit kaget melihat Lu thian-an terancam bahaya.
Siapa tahu sebagai seoarang ketua suatu aliran terkemuka, dengan sendirinya
Giok-jiu-sun-yang juga bukan lawan empuk, dia kelihatan diam saja, tapi
ketika serangan Lamkiong Peng sudah dekat, mendadak kedua tangannya
membalik dan menangkis ke atas.
Terdengar suara “plak” yang keras serupa menghantam kulit kering keempat
tangan beradu, kedua puluh jari saling meremas dengan erat.
Adu pukulan ini membikin para penonton sama melongo. Tertampak Lamkiong
Peng menjungkir di udara dengan tangan berpegangan tangan lawan,
tubuhnya menurun pelahan, namun empat tangan tetap melengket menjadi
satu.

Dan begitu kaki Lamkiong Peng menyentuh tanah, segera pula Lu thian-an
menyurut mundur dua langkah, lalu keduanya sama berdiri seperti terpantek
di tanah dan saling melotot.
Nyata telah terjadi adu tenaga dalam antara keduanya, ini berarti pertaruhan
dengan nyawa masing-masing.
Seketika suasana sunyi senyap, semua orang sama ikut tegang, sama menhan
nafas. Bukan Cuma yang berkerumun di atas loteng sama tegang, yang berada
di bawah loteng juga sama tegangnya dan bertanya-tanya apa yang terjadi
karena tidak terdengar sesuatu suara.
Di tengah kesunyian tiba-tiba terdengar suara keriat-keriut papan loteng, dahi
kedua orang tampak berhias butiran keringat. Betapa hebat jurus serangan
Lamkiong Peng tetap tidak dapat membandingi kculetan latihan Lu thian-an
selama berpuluh tahun. Lambat laun anak muda itu kelihatan tidak tahan lagi.
Diam-diam Wiki bergirang, sebaliknya air muka Bwe kiam-soat tampak
prihatin.
Selagi suasana semakin mencekam, sekonyong-konyong di bawah loteng
berjangkit jeritan kaget, di tengah malam kelam tiba-tiba timbul gelombang
hawa panas yang menyengat, bukan saja yang bertempur itu berkeringat,
para penonton juga berkeringat kegerahan.
Sejenak kemudian lantas terdengar bunyi benda bertalu-talu, menyusul suara
melengking orang menjerit,
“Api......api.......kebakaran.........kebakaran!”
Keruan suasana menjadi kacau, oarang-orang yang berkerumun di jalan raya
punpanik, lidah api tampak menjilat-jilat dan mendadak menyambar ke atas
loteng restoran.

Para jago silat itu tidak sempat lagi memikirkan pertrungan maut itu, beramairamai
sama mencari selamat sendiri, ada yang melompat turun melalui tangga
dengan desak mendesak, ada yang terjun begitu saja.
Meski ada juga orang berusaha memadamkan api, tapi kobaran api ini
tampaknya sangat aneh, lidah api yang ganas itui dalam sekejap saja sudah
menelan seluruh ciu lan atau restoran itu.
Para penonton sudah kabur mencari selamat, di atas loteng tertinggal
Lamkiong Peng yang tetap beradu tenaga dengan Lu thian-an dan ditunggui
oleh Wiki dan Bwe kiam-soat.
Api berkobar terlebih hebat, tampaknya sebentar lagi mereka pasti akan
terkubur di tengah api.
Nafas mereka sudah sesak oleh asap, keringat memenuhi kepala Wiki,
matanya membara. Mendadak ia angkat gelang bajanya dan segera
bermaksud melompat keluar. Tak terduga mendadak bayangan orang
berkelebat, tahu-tahu Bwe kiam-soat sudah mengadang di depannya.
Saking cemas dan gugupnya, tanpa pikir ia membentak, gelang naga sebelah
kanan segera menghantam Bwe kiam-soat, sedangkan gelang hong sbelah kiri
terus dilemparkan dengan membewa angin tajam mengancam iga Lamkiong
Peng.
Saat itu Lamkiong Peng pun dalam keadaan payah, jangankan diserang oleh
gelang baja yang dasyat ini, sekalipun pukulan orang biasa cukup
membuatnya roboh binasa.
Terdengar Bwe kiam-soat mendengus, mendadak ia mendoyongkan kepala ke
belakang, berbareng itu sebelah tangan meraih kedepan, dengan tepat gelang
baja lawan terpegang olehnya, sekali betot terus dilemparkan ke arah Lu
thian-an.

Selagi Lamkiong Peng terkejut karena sambaran gelang baja musuh yang
sukar dielakkan itu, mendadak dilihatnya Lu-thian-an juga terkesiap oleh
ancaman yang sama, Lamkiong Peng bergirang, sepenuh sisa tenaga ia
mendesak lebih kuat.
Kiam-soat tersenyum dan berolok, “Hah, ini namanya senjata makan.........”
Belum lanjut ucapannya, sekonyong-konyong gelang yang menyambar
Lamkiong Peng itu memutar balik dan membentur gelang yang mengancam Lu
thian-an, menyusul bahkan terus menghantam belakang punggung Bwee
Kiam-soat.
“Bagus, kiranya gelangmu berantai,” seru Kiam-sot sambil memutar sebelah
tangannya, kontan gelang berantai itu dipegangnya.
Maklumlah, selama sepuluh tahun dia berbaring di dalm peti mati, kesempatan
itu digunakannya untuk merenungkan intisari ilmu silat yang paling tinggi,
maka ketajaman mata telinganya sekarang hampir tidak ada bandingannya,
sekalipun sebiji pasir menyambar dari belakang pun dapat dirasakannya dan
ditangkapnya.
Tentu saja Wiki terkejut, cepat ia mendoyong kebelakang untuk membetot
gelangnya agar tidak sampai dirampas musuh.
Rupanya pada gelang bajanya terikat sutas rantai emas hitam yang Lembut ,
namun cukup ulet dan kuat, golok atau pedang biasa pun sukar
memotongnya.
Tak tersangka Bwe kiam-soat menebas dengan telapak tangannya, kontan
rantai emas terpotong putus. Karena kehilangan imbangan badan, kontan Wiki
terhuyung-huyung dan hampir saja jatuh terjengkang.

Sementara itu api sudah membakar kusen jendela sekeliling loteng dan
menimbulkan suara gemertak yang riuh, hawa panas membuat Lamkiong
Peng, Lu thian-an dan Wiki merasa seperti terpanggang, baju basah kuyup
oleh air keringat, tidak terkecuali pula Bwe kiam-soat.
Mendadak daun jendela sebelah selatan terlepas dan jatuh ke atas meja di
dekatnya, segera meja kursi di situ ikut terjilat api.
Lambat laun atap rumah juga mulai terbakar, tiba-tiba sepotong kayu hangus
jatuh di samping Bwe kiam-soat, saat itu di sedang menggeser menghindari
tendangan Wiki, segera sebelah kakinya mencungkit kayu hangus itu dan
meluncur ke arah Wiki.
Sambil meraung tangan kiri Wiki menyampuk sehingga kayu hangus itu
terpental keluar jendela, tapi ia lupa tangannya masih memegangi rantai
gelang yang putus tadi, karena sampukan itu, rantai membalik menghantam
kuduk sendiri.
Biarpun kecil, rantai emas hitam sangat keras, tambah lagi tenaga sampukan
sendiri, keruan ia meringis kesakitan dan kuduknya berdarah.
Dengan meraung murka Wiki membuang sisa rantai itu.
“Haha serangan bagus, itu namanya jurus “Kau-bwe-cu-pian” (ekor anjing
menyabat tubuh sendiri)!” ejek Bwe Kiam-soat dengan tertawa.
Sembari berolok-olok, segera pula ia menggeser kesampaing Lu Thian-an.
Saat itu Lamkiong Peng masih saling tolak bersama Lu thian-an, hatinya
terhibur ketika dilihatnya Bwe kiam-soat masih berada di situ. Tapi ketika
dilihatnya sebelah tangan Kiam-soat menghantam punggung Lu thian-an cepat
ia bersuara mencegah sambil menarik ke samping. Karena tarikan ini, ia dan
Lu thian-an sama jatuh terguling.

Kiam-soat berteriak kuatir dan melompat ke samping Lamkiong Peng, cepat
Wiki juga memburu tiba untuk menjaga Lu thian-an. Waktu diperhatikan,
ternyata nafas kedua orang itu sama terengah, agaknya sama-sama kehabisan
tenaga, namun jelas tidak terluka dalam, keduanya sedang saling pandang
dengan tercengang.
Rupanya setelah saling mengadu tenaga dalam, keadaan mereka sudah payah,
walaupun keempat tangan masih saling genggam, tapi sebenarnya sudah
kehabisan tenaga. Dasar Lamkiong Peng memang berjiwa luhur, ia tidak ingin
lawan disergap Bwe Kiam-soat selagi orang mengadu tenaga dengannya, lekas
ia menarik orang ke samping. Tak diduganya keduanya sebenarnya sama
payahnya, maka begitu terseret segera keduanya jatuh terguling bersama.
Lantaran itulah mereka saling pandang melenggong.
Pada saat itulah tiba-tiba di bawah loteng ada orang berteriak, “Wi-jitya, Lutotiang.....”
Ada semprotan air dari sebelah selatan, menyusul sinar pedang berkelebat,
empat sosok bayangan kelabu menerjang masuk. Kiranya keempat tojin anak
buah Lu thian-an.
Bwe Kiam-soat terkesiap melihat pihak lawan kedatangan bala bantuan,
serunya dengan suara tertahan kepada Lamkiong Peng, “Ayo, pergi!”
Semangat Lu thian-an berbangkit karena kedatangan anak buahnya, melihat
Bwe kiam-soat mengajak lari Lamkiong Peng cepat ia membentak, “Lamkiong
Peng, kalah menang belum jelas, bukan lelaki sejati bila lari!”
Tentu saja Lamkiong Peng sangat gusar, ia melompat banguan.
Sementara itu Lu thian-an sudah menubruk tiba, tanpa bicara lagi ia hantam
dada anak muda itu. Cepat Lamkiong Peng mengegos, berbareng telapak
tangan menebas iga lawan.

Tiba-tiba beberpa potong kayu hangus jatuh lagi dari atas.
Terpaksa mereka harus melompat kian kemari untuk menghindari api.
Dalam pada itu keempat tojin berjubah kelabu lantas menerjang maju, mereka
adalah murid utama ketua Cong-lam-pai, dengan sendirinya ilmu pedangnya
tidak lemah, serentak mereka melancarakan serangan kilat.
“Tinggalkan yang lelaki, tangkap dulu yang perempuan,” seu Wiki.
Segera sinar pedang berputar dan memburu ke arah Bwe kiam soat.
Bwe kiam soat tetap tenang saja, ia hanya melirik sekejap keempat tojin itu
Keempat tojin ini sejak kecil sudah bertirakat di pegunungan sunyi, mana
mereka pernah melihat perempuan secantik ini, mana pernah melihat
senyuman semanis ini, keruan gerakan mereka menjadi agak lambat.
Namun dengan gemulai Bwe kiam soat juga telah mengangkat tangannya,
terdengar suara gemerantang yang nyaring, dalam sekejap tiga pedang tojin
itu telah dipatahkan oleh gelang baja rampasannya dari Wiki tadi.
Selagi keempat tojin melongo kaget, tahu-tahu pandangannya menjadi silau,
pergelangan tangan pun kesemutan, pedang telah dirampas oleh Bwe kiam
soat.
Menyusul Kiam-soat menyambitkan gelang baja ke arah Wiki, yang sedang
menubruk Lamkiong Peng itu, lalu pedang rampasan menabas ke depan, tojin
pertama belum lagi sempat melompat mundur dan tahu-tahu dahi tergores
luka dan mencucurkan darah.
Tojin kedua sempat menyurut mundur, tapi rambut yang tersanggul di atas
kepala juga tertabas oleh pedang.

Tentu saja tojin ketiga ketakutan, selagi melenggong, pedang Bwe kiam-soat
yang menyambar tiba mendadak berhenti dan mengetuk pedang patah yang
masih di pegangnya. “trang”, pedang patah jatuh ke lantai, cepat ia melompat
mundur sambil memegangi pergelangan tangan yang kesakitan.
Hanya dalam sekejap saja ketiga suhengnya sudah dibikin keok, tojin keempat
tidak berani lagi bertempur, segera ia hendak lari.
“Eh, jangan terburur-buru!” jengek Bwe kiam-soat, baru saja tojin itu
melangkah dua tindak, iga kanan-kiri sudah terkena pedang.
Saat itu Wiki telah menubruk ke dapan Lamkiong peng, tapi dari belakang
gelang yang dilemparkan Bwe kiam-soat juga menyambar tiba. Dari deru
anginnya nyata terlebih kuat daripada lemparannya tadi.
Ia tidak berani gegabah, cepat ia menggeser ke samping sambil membalik
tubuh, gelang baja yang masih dipegangnya menangkis ke depan dengan daya
melengket, pikirnya bila gelang itu tertahan, segera akan ditangkapnya
kembali.
Siapa tahu ketika kedua gelang kebentur, gelang yang dilemparkan Bwe kiamsoat
mendadak dapat berputar, serupa bersayap saja, tahu-tahu terbang lagi
ke belakang Wiki.
Han Bu Kong
Jilid 8
Pada saat yang sama sepotong kayu terbakar mendadak jatuh dari atas.
Dalam keadaan tergencet, sebisanya Wiki meloncat ke samping.

“Trang” gelang baja menghantam lantai, kayu hangus tadi juga jatuh
menerbitkan lelatu.
Ketika Wiki dapat menenangkan diri, dilihatnya Bwe kiam-soat telah berdiri
diidepannya dengan tersenyum.
Sementara itu kobaran api tambah besar, bangunan restoran Thian-tiang-lau
yang kukuh itu sampai berguncang dan hampir runtuh.
Lamkiong Peng dan Lu thian-an masih berhadapan dan bertempur dengan
sengit.
Padahal keduanya sebenarnya dalam keadaan sama-sama payah, sampai
akhirnya setiap pukulan dan setiap tendangan hampir serupa permainan anak
kecil saja. Namun air muka mereka justru jauh lebih prihatin.
Mendadak Lamkiong peng melancarkan pukulan dengan jurus Thian-liong-iedian
atau naga meluku di sawah, dengan langkah lamban Lu thian-an mundur
mengelak.
Pada saat itulah terdengar suara gemuruh, papan loteng telah runtuh
sebagian, lidah api pun menyambar dari bawah ke atas, kebetulan langkah
mundur Lu thian-an itu tepat menginjak papan loteng yang runtuh.
Ia menjerit kaget, syukur jarinya masih sempat meraih tepian papan loteng,
tapi papan loteng itu lambat laun juga ambrol ke bawah. Tampaknya dia akan
ditelan oleh lautan api. Dengan tenaganya sekarang mana dia mampu
melompat lagi ke atas.
Tanpa pikir Lamkiong peng memburu maju dan menarik tangan Lu thian-an.
Padahal ia sendiri pun kehabisan tenaga, dengan sendirinya tidak mampu
menarik naik Lu thian-an.

Kembali terdengar suara “krek” tempat berpijak Lamkiong peng juga akan
ambrol, bilamana dia mau melompat mundur, terpaksa Lu thian-an harus
dilepaskan dan akan terjeblos ke dalam lautan api, tapi kalau dia tidak
melompat mundur, ia sendiri pun akan ikut terkubur di tengah amukan api.
Sekujur badan Lu thian-an tampak gemetar, rambut jenggotnya sudah penuh
lelatu api, tampaknya mulai terbakar.
Memandangi lawan yang telah bergebrak mati-matian dengan dirinya ini,
mendadak timbul rasa kasihannya, pegangannya dipererat dan tak
terlepaskan.
Mendadak sepotong kayu hangus jatuh dari atas, untuk menghindar jelas tidak
mungkin, terpaksa Lamkiong peng hanya miringkan kepalanya saja sehingga
kayu hangus menyerempet jidat dan mengenai pundaknya. Hanya selisih
beberapa senti saja mungkin jiwa Lamkiong peng bisa melayang bilamana
tepat mengenai kepalanya.
Sungguh tak terkatakan terharu hati Lu thian-an oleh keluhuran budi anak
muda ini, dengan suara gemetar ia berteriak, “Lari.... lekas lari.....jangan urus
diriku!”.......”
Namun Lamkiong peng tetap memegangi sekuatnya, darah dari kening
bercampur dengan air keringat bercucuran menetesi tubuh Lu thian-an.
Di sebelah sana Wiki sedang menubruk ke arah Bwe kiam soat dengan murka,
“Hari ini biarlah kuadu jiwa dengan mu”
Gelang di tangan kanan segera mengepruk kepalan kiri juga menghantam.
“Hm memangnya kejadian sepuluh tahun yang lalu itu salahku?” jengek Bwe
kiam-soat, dengan lincah ia hindarkan serangan Wiki itu, menyusul ia balas
menabas pinggang lawan dengan pedangnya.

Dengan beringas Wiki berteriak, “tidak peduli siapa yang salah, yang jelas
engkau lah pangkal bencananya, tanpa dirimu tentu takkan terjadi hal-hal
begitu.”
Rada merandek juga daya serangan Bwe kiam-soat, gumamnya, “Tanpa aku
takkan terjadi hal begitu.....Memangnya salahku? Tapi apa kesalahanku?”
Wiki menerjang pula deangan kalap. Teriaknya, “Pokoknya perempuan adalah
air bencana, biarlah hari ini kau mampus di tanganku”
Dalam pada itu keempat tojin berjubah kelabu menubruk maju. Namun sekali
pedang Kiam-soat berputar kontan mereka didesak mundur lagi. Tiba-tiba
Kiam-soat berteriak kuatir dan melompat ke sebelah sana.
Tercengang juga Wiki ketika berpaling dan melihat keadaan bahaya Lamkiong
peng dan Lu thian-an itu. Tiada jalan lain, cepat gelang baja tangan kanan
disambitkan ke sana, gelang baja meluncur dengan cepat, tapi setiba di depan
Lamkiong peng segera berhenti.
Latihan Wiki selama berpuluh tahun memang tidak percuma, gelang baja
berantai itu dapat dilempar dan ditarik sekehendak hatinya.
Ketika mendadak Lamkiong peng melihat gelang baja itu meluncur tiba segera
dipegangnya dengan tangan kiri.
Serentak Wiki membentak dan menarik sekuatnya, segera tubuh Lamkiong
peng terseret mundur, dan dengan sendirinya Lu thian-an ikut tertarik keatas.
Cepat Bwe kiam soat menambahi tenaga tolakan dengan kebasan lengan
bajunya sehingga mereka terlempar ke tempat yang aman.

Segera keempat tojin berjubah kelabu akan menerjang maju lagi, tapi Lu
thian-an lantas berteriak menghentikan mereka. Ia memandang Lamkiong
peng dengan termangu, akhirnya ia menghela nafas dan menunduk.
“Apakah perlu melanjutkan pertarungan kita?!” kata Lamkiong peng dengan
nafas masih terengah.
“Ti......tidak, aku......aku sudah kalah!” jawab Lu thian-an.
Beberapa kata ini seolah-olah diucapkan dengan sepenuhnya tenaganya. Tentu
saja Lamkiong peng melenggak, tak tersangka olehnya tojin ini bisa mengaku
kalah begitu saja. Dilihatnya wajah orang pucat pasi dan berdiri dengan lesu,
dalam sekejap itu seorang guru besar suatu aliran terkemuka mendadak telah
berubah menjadi seorang kakek yang patah semangat.
Memandangi bayangan belakang sang suheng, Wiki juga menggeleng kepala ,
ucapnya pelahan, “Sisuheng.......”
Tanpa berpaling Lu thian-an menjawab dengan lesu,” Marilah kita pergi!”
Baru habis berkata, mendadak ia roboh terkulai, nyata luka pada badannya
tidak lebih parah daripada luka hatinya
Wiki berteriak kuatir, cepat ia mengangkat sang suheng dan dibawa lari
menerobos lidah api dan melompat ke bawah loteng. Segera keempat tojin
berjubah kelabu juga ikut melompat turun.
Terdengarlah suara gemuruh, loteng restoran itu kembali runtuh sebagian.
Lamkiong peng terkesima, medadak ia menghela nafas dan bergumam, “Giokjiu-
sun-yang betapapun tetap seorang ksatria!”
“Dan kau?” tanya Bwe kiam-soat dengan tertawa.

Kedua orang saling pandang tanpa bicara dan lupa lidah api hampir menjilat
baju mereka.
**************
Akhirnya terdengar juga suara ramai pasukan pemerintah. Suara derap kaki
kuda bercampur dengan suara teriakan orang banyak, suara orang berusaha
memadamkan api, suara gemuruh rubuhnya bangunan dan jerit tangis
orang........
Di tengah kepanikan dua sosok bayangan diam-diam meninggalkan kota kuno
itu.
***********
Di suatu tanah berumput Lamkiong peng lagi berbaring dengan santai, bintang
bertaburan di langit yang biru kelam, angin meniup dengan sejuk.
Bwe kiam-soat memandangi wajah anak muda yang cakap, terutama bulu
matanya yang panjang menaungi kedua matanya yang besar terpejam itu.
“Tentunya tak kaupikir tugas yang diberikan oleh gurumu untuk membela
diriku akan sedemikian beratnya bukan?” Katanya tiba-tiba.
Lamkiong peng melenggak dan memandang orang dengan termenung.
Dengan dingin Bwe kiam-soat berkata pula, “Apakah saat ini engkau menyesal
karena membela diriku sehingga hampir saja kau sendiri menjadi korban
kerubutan orang banyak tadi?”
Akhirnya Lamkiong Peng menjawab, “Sudahlah, jangan kau bicara seperti ini
lagi. Bagiku, asalkan hatiku merasa tidak berdosa, tidak berbuat sesuatu yang

memalukan, kenapa aku mesti menghiraukan tuduhan orang. Demi kebenaran
dan keadilan dunia kangouw, apa artinya pengorbananku ini?”
Bwe Kiam soat memandangnya dengan sorot mata lembut dan aneh,
perempuan yang berjuluk “berdarah dingin” ini ternyata tiada ubahnya seperti
gadis biasa yang juga berprasaan.
Seketika mereka saling pandang dengan terkesima melupakan keadaan
sekelilingnya.
Pada saat itu juga tidak jauh disebelah sana sesosok bayangan sedang
memperhatikan kedua muda-mudi yang tenggelam dalam lamunan ini. Sorot
matanya menampilkan rasa kagum dan juga rada cemburu. Tanpa terasa ia
menghela nafas pelahan.
Tergetar hati Lamkiong peng dan Bwe kiam-soat, serentak mereka melompat
bangun dan membentak, “Siapa?”
Bayangan tadi tertawa panjang sambil melompat maju, hanya dua-tiga kali
naik turun ia sudah bediri di depan mereka.
“Eh kiranya kau”, kata Lamkiong peng dengan heran.
“Hm anak murid Thian-san mengapa main-main sembunyi-sembunyi seperti ini
jengek Kiam-soat.
Pendatang ini Tik Yang adanya, ia tertawa keras dan menjawab, “Haha,
apakah kedatanganku ini kauanggap main sembunyi-sembunyi? Bwe Kim-soat,
kaukira untuk apa kudatang kemari?”
“Mungkin kedatanganmu....” Lamkiong Peng merasa ragu.

Dengan serius Tik Yang memotong, “Walaupun kita baru saja kenal, tapi
kupercaya penuh atas tindak-tandukmu pasti tidak merugikan kebenaran
dunia persilatan, maka kedatanganku ini justru hendak memberi jasa baikku.”
Lamkiong Peng melenggong dan kurang mengerti akan maksud orang.
Dengan tertawa Tik Yang berkata pula, “Apakah saudara tahu bagaimana
terjadinya kebakaran tadi?”
Baru sekarang Lamkiong Peng menyadari duduk perkarara, rupanya kebakaran
tadi tidak terjadi secara kebetulan, dengan sendirinya ia tidak tahu siapa yang
melakukannya, maka ia menggeleng kepala.
“Setelah meninggalkan Hoa-san,” sambung Tik Yang dengan tertawa,
“selanjutnya aku pun datang ke Se-an hanya kedatanganku agak terlambat,
waktu itu keributan sudah etrjadi.
Dari tempat ktinggian kulihat engkau sedang melabrak ketua Cong-lam-pai itu.
Melihat keadaan tempatnya, kutahu sukar untuk melarai, juga sukar
membantu. Terpaksa.........haha, terpaksa kugunakan bantuan api.”
Lamkiong peng melirik Bwe Kiam soat sekejap.
“Rupanya kita salah menyesali dia tadi,” ucap Kiam soat.
“Ah, sedikit salah mengerti apalah artinya.” Ujar Tik Yang dengan tertawa.
“Bangunan Thian-tiang-lau itu sungguh sangat megah, tapi ternyata tidak
tahan dibakar. Kusaksikan kalian meninggalkan kota dengan selamat, diamdiam
aku pun menyusul kemari.”
“Tampaknya Tik-siauhiap seorang sahabat yang simpatik, agaknya aku salah
sangka.......”

Belum lanjut ucapan Bwe kiam-soat, mendadak seorang mendengus dari
kejauhan, “Hm, simpatik apa, main bakar secara diam-diam masakah
perbuatan simpatik segala?”
Lamkiong peng bertiga terkejut, serentak mereka berpaling.
Tertampaknya dalam kegelapan sana muncul sesosok bayangan orang
berkipas putih. Tanpa bicara Tik Yang mendahului menubruk kesana.
“Cepat amat!” ucap bayangan orang itu sambil mengebaskan lengan bajunya
dan bergeser ke samping, habis itu segera melompat ke depan Lamkiong
peng.
Sambil membentak Tik Yang lantas menubruk ke sini lagi, tapi segera
terdengar Lamkiong peng berseru, “O, kiranya Yim tai-hiap!”
Tergerak hati Tik Yang, ia tahu orang adalah kawan bukan lawan, seketika ia
urungkan serangannya.
Pendatang ini memang Ban-li-liu-hiang Yim Hong peng adanya, serunya
dengan tertawa, “Haha, tak tersangka yang main bakar itu adalah anak murid
Thian san!”
Lamkiong peng juga tidak menyangka orang ini dapat menyusul ke sini, segera
ia memperkenalkannya kepada Tik Yang.
Yim hong-peng tertawa dan berkata, “Tik siau-hiap, sesungguhnya Thiantiang-
lau dibangun dengan sangat kukuh, cuma telah kutambahi juga sedikit
bahan bakar sehingga dapat terjilat api dengan lebih cepat.”
Baru sekarang Tik Yang tahu, Yim hong-peng juga mengambil bagian dalam
pembakaran restoran megah itu. Ia tertawa dan berseru, “Orang bilang Ban-liKoleksi
Kang Zusi
liu-hiang adalah pendekar kosen dari perbatasan, setelah bertemu hari ini baru
kupercaya Yim tai-hiap memang seorang ksatria yang suka blak-blakan.”
Yim hong-peng memandang Lamkiong peng dan Bwe kiam soat sekejap, lalu
berkata, “Setelah peristiwa ini nona Bwe dan Lamkiong-heng tentu tidak
leluasa bergerak lagi di dunia kang-ouw, entah bagaimana rencana perjalanan
kalian selanjutnya?”
Dia bicara dengan serius, tapi sorot matanya tampak gemerdep menampilkan
cahaya yang sukar diraba apa maksudnya.
Lamkiong peng menghela nafas panjang, katanya, “Siaute juga tahu unttuk
selanjutnya akan banyak mengalami kesukaran di dunia kangouw, tapi yang
penting asalkan kuraba hati sendiri merasa tidak bersalah, tindakanku
selanjutnya juga tidak akan berubah, mungkin aku akan pulang dulu ke Ji-hausan-
ceng, lalu pulang ke rumah menjenguk orang tua.....”
“Tempat lain masih mendingan, kedua tempat itu justru tidak boleh kau pergi
ke sana,” potong Yim Hong-peng.
Air muka Lamkiong peng berubah.
Tapi Yim hong peng lantas menyambung, “Maaf jika kubicara terus terang,
bahwasanya nona Bwe pernah malang melintang di dunia kangouw dahulu,
tentu tidak sedikit telah mengikat permusuhan. Apa yang terjadi di Se-an ini,
tidak lama tentu juga akan tersiar, tatkala mana bila musuh nona Bwe ingin
mencari kalian, tentu mereka akan menunggu dulu di kedua tempat itu. Dalam
keadaan demikian, tentu kalian akan serba repot, terutama anggota keluarga
Lamkiong-heng.........”
Sampai di sini ia mengehela nafas ketika dilihatnya Lamkiong peng menunduk
termenung.

Tapi Bwe kiam-soat lantas menjengek, “Habis lantas bagaimana kalau menurut
pendapat Yim tai-hiap?”
Yim hong-peng tampak berpikir, ia tahu di depan perempuan cerdik ini tidak
boleh salah omong sedikitpun.
Dengan tersenyum kemudian ia berkata, “Pendapatku mungkin terlalu
dangkal, tapi mungkin berguna untuk dipertimbangkan kalian. Pada waktu
nona Bwe malang melintang dahulu, meski sampai sekarang musuhmu itu
tetap sama orangnya, tapi keadaan sudah berubah, oarang-orang itu tersebar
dimana-mana dan satu sama lain tahu mempunyai musuh bersama, yaitu
nona Bwe. Pula menurut keadaaan masa itu, tentu tidak ada yang mau
mengaku sebagai musuh nona Bwe. Tapi keadaan sekarang sudah berubah,
bilamana orang-orang itu tahu nona Bwe masih hidup, tentu mereka akan
bangkit dan bersatu untuk menuntut balas padamu.”
Tiba-tiba tersembul senyuman aneh pada wajah Bwe kiam-soat, katanya
pelahan,”Apakah benar mereka hanya ingin menuntut balas padaku?
Mungkin.....” ia pandang Lamkiong peng sekejap, lalu tidak melanjutkan.
“Apapun juga, menurut pendapatku, hanya dengan kekuatan kalian berdua
tentu akan banyak menghadapi kesulitan..........”
“Lantas kalau menurut pendapat Yim tai-hiap, apakah kami.....kami harus
minta perlindungan orang?” seru Lamkiong peng, nadanya kurang senang.
Yim hong peng tersenyum, “Ah dengan kedudukan kalian yang terhormat,
mana berani kubilang soal minta perlindungan orang segala.”
Mendadak Bwe kiam-soat menjengek, “Yim tai-hiap, ada urusan apa kukira
lebih baik kaukatakan terus terang saja daripada berliku-liku.”

Di depan orang pintar, kukira memang tidak perlu banyak omong,” ujar Yim
hong-peng, “Yang jelas persoalan kalian ini memang perlu sahabat, kalau
tidak, sungguh sukar lagi untuk berkecimpung di dunia kang-ouw, padahal hari
depan kalian masih cerah, bila mesti putus harapan begini saja, kan sayang.”
“Apa pun juga, mempunyai dua orang sahabat seperti kalian ini sedikitnya
hatiku sudah terhibur.” Ujar Lamkiong peng.
“Ah diriku ini terhitung apa, kata Tik Yang dengan tertawa, “Tapi Yim-heng
tentu saja lain, beliau kan pendekar kosen dari perbatasan utara sana.”
“Terima kasih atas pujianmu, “kata Yim hong peng. “Betapa tinggi
kepandaianku mana dapat dibandingkan kalian berdua yang masih muda
perkasa.”
Ia merandek sambil menyapu pandang ketiga orang itu, lalu menyambung,
“Namun ada juga seorang kenalanku, orang ini sungguh berbakat besar,
berbudiluhur, serba pintar baik ilmu falak maupun ilmu bumi, baik seni budaya
maupun seni bela diri, lwekangnya bahkan sudah mencapai puncaknya, sehelai
daun saja dapat digunakannya untuk melukai orang. Yang paling hebat,
kecuali mempunyai kepandaian yang mengejutkan, orang ini juga mempunya
cita-cita setinggi langit, bahkan pergaulannya sangat luas, orangnya simpatik.”
Diam-diam Bwe Kiam-soat menjengek, sedangkan Lamkiong peng dan Tik
Yang meras tertarik.
Bila orang lain yang bicara demikian mungkin akan diremehkan mereka, tapi
semua ini keluar dari mulut Ban-li-liu-hiang Yim hong peng, bobotnya tentu
saja lain. Tanpa terasa mereka tanya berbareng, “Siapakah gerangan tokoh
yang kau maksudkan itu?”
Yim hong peng tersenyum, tuturnya,”Orang ini sudah lama mengasingkan diri
di luar perbatasan utaran sana, namanya sangat sedikit diketahui orang. Tapi

kuyakin nama Swe thian Bang dalam waktu singkat pasti akan tersiar ke
segenap pelosok dunia.”
“Swe thian Bang? Sungguh nama yang indah!” kata Tik Yang.
“Jika benar ada seorang tokoh semacam itu, setiba di tionggoan tentu kami
ingin berkenalan, Cuma sayang saat ini sukar untuk menemuinya, “ ujar
Lamkiong peng.
Tiba-tiba Bwe kiam soat menyela “ APakah maksud Yim tai-hiap , apabila kami
dapat mengikat sahabat dengan tokoh kosen semacam ini, lalu segala urusan
akan beres?”
Dia tetap bicara dengan nada dingin dan ketus.
Yim hong peng, seperti tidak menghiraukannnya, katanya, “Lamkiong-heng,
suasana dunia persilatan skerang boleh dikatakan tercerai berai dan kacau
balau. Kun lun pai sudah lama merajai wilayah barat, Siau lim-pai menjagoi
daerah tionggoan, Butong pai menguasai daerah Kanglam, selain itu di selatan
masih ada Tiam-jong-pai, di timur ada Wi-san-pai, di barat ada Cong-lam-pai.
Masing-masing aliran menguasai kungfu andalan sendiri dan menguasai satu
wilayah tertentu, meski semuanya juga berhasrat memimpin dunia persilatan
dan setiap saat dapat menimbulkan kekacauan dunia persilatan, tapi lantaran
pertarungan di Wi-san dahulu kebanyakan aliaran itu sudah mengalami
kelumpuhan, ditambah lagi dunia kangouw sudah dipimpin oleh Sin-liong dan
Tanhong, maka suasana sepuluh tahun terakhir ini masih dapat dikendalikan.”
Dia berbicara panjang lebar, meski agak bertele-tele, namun tidak dirasakan
jemu oleh Tik Yang dan Lamkiong peng.
Maka ia menyambung pula, “Tapi sekarang jago muda dari berbagai perguruan
itu sama bermunculan, kekuatan sudah pulih, saking kesepian jadi ingin
bergerak lagi. Ditambah lagi Sin-liong telah menghilang, perimbangan

kekuatan jadi buyar juga. Kini tiada seorang di dunia persilatan yang mampu
mengatasi semua orang, tidak terlalu lama di dunia kangouw pasti akan
berbangkit huru-hara, kekuatan muda tersebut tentu juga akan membanjir
timbul untuk berebut pengaruh, lantas bagaimana akibatnya tentu dapat
dibayangkan.
Nadanya mulai meninggi, ceritanya mulai tenang. Lamkiong peng dan Tik Yang
juga terbangkit semangatnya. Tapi demi teringat kepada keadaan sendiri
sekarang, tanpa terasa Lamkiong peng merasa gegetun dan dingin lagi hatinya
serupa diguyur air.
Sekilas Yim hong-peng dapat melihat perubahan air muka Lamkiong peng,
diam-diam ia merasa senga, sambungnya pula, “Sesudah lama tercerai
akhirnya tentu akan bergabung lagi, bila terlampau sepi akhirnya pasti ribut
lagi. Ini adalah kejadian logis. Tapi dalam keributan ini bila tidak diimbangi
oleh suatu kekuatan besar untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, maka
pastilah akan terjadi kesewenang-wenangan, yang kuat makan yang lemah,
salah benar sukar dibedakan, tentu akan banyak terjadi kerusuhan pula. Dan
bilamana susana kacau tak terkendalikan, akibatnya tentu tambah runyam.”
“Ya memang pandangan Yim tai-hiap sungguh sangat tepat,” puji Lamkiong
peng.
“Ah, apalah artinya diriku ini, justru Swe thian-bang itulah jeniusnya manusia
manusia jaman kini,” ujar Yim hong-peng dengan tersenyum. “Meski kakinya
belum pernah melangkah masuk Giok-bun-koan, tapi caranya menganalisa
keadaan dunia persilatan dan apa yang akan terjadi sungguh seperti telah
terjadi sungguhan. Terus terang kukatakan kedatanganku kepedalaman sini
justru mengemban tugasnya, aku diminta mencari beberapa tokoh muda
berbakat untuk bersama-sama melaksanakan tugas suci menegakkan keadilan
dunia persilatan.”

Alis Tik Yang menegak, tukasnya,”Menegakkan keadilan, sungguh semboyan
menarik. Sayang disini tidak arak, kalau tidak sungguh aku ingin menyuguhmu
tiga cawan.”
Lamkiong peng tambah resah bila teringat kepada urusan sendiri.
Sedangkan Bwe Kiam-soat lantas mendengus, pikirnya, “Kiranya Yim hongpeng
ini tidak lebih cuma seorang pembujuk saja. Dia datang lebih dulu untuk
mencari pendukung bagi Swe thian bang. Hm, besar amat ambisi orang She
Swe ini, rupanya dia berniat merajai dunia kangouw.”
Setelah berpikir lagi diam-diam ia terkesiap juga, “Lahiriah orang she Yim ini
menarik, ilmu silatnya juga tinggi, tutur katanya juga memikat hati orang,
jelas orang ini pun seorang tokoh luar biasa. Sampai tokoh seperti Bin-san-jiyu
pun dapat diperalat olehnya, tapi dia toh cuma menjadi seorang pembujuk
bagi Swe thian bang, tampaknya kepandaian orang she Swe ini terlebih sukar
dijajaki.”
Agaknya Yim hong peng juga sedang mengamati rcaksi orang, maka kemudain
ia menyambung lagi, “Lamkiong-heng dengan kepandaianmu ditambah lagi
kekayaan keluargamu, selanjutnya dunia persilatan mestinya berada dalam
genggamanmu. Tapi engkau justru lagi menghadapai persoalan yang tak dapat
dimaafkan oleh sesama ornag kangouw bahkan saudara seperguruan sendiri
pun tidak dapat memaklumi maksud baikmu, dalam keadaan tejepit, sungguh
Lamkiong-heng serba susah. Tapi bila engkau mau bekerja sama dengan Swe
thian bang, ditambah lagi tokoh muda serupa Tik-siauhiap ini, urusan apa pula
yang tidak dapat diselesaikan”
“Kupikir, bila bekerjasama ini terlaksana, selain dunia persilatan dapat
diamankan, juga Lamkiong-heng dapat menggunakan kekuatan ini umtuk
mengindang sesama orang Bulim untuk menjelas duduk perkara. Tatkala mana
kekuatanmu sudah lain, ucapanmu berbobot, siapa lagi yang tidak percaya
kepadamu. Jadinya bahaya yang mengancam Lamkiong-heng akan lenyap,

namamu bahkan akan termashur, Ji-hau-san-ceng selanjutnya akan semakin
disegani.”
Dengan tersenyum tiba-tiba Bwe Kiam-soat berkata, “Wah, menurut cerita
Yim-tai-hiap ini, bukanlah dalam waktu singkat tokoh Swe thian bang yang
luar biasa akan dapat merajai dunia persilatan dan menjadi Bulim-bengcu?
“Ya bilamana dibantu oleh tokoh muda seperti kalian ini, tidak sampai
beberapa tahun dunia persilatan pasti dapat dikuasai oleh kita,” ujar Yim hongpeng
dengan tertawa.
Dia sangat senang disangkanya kedua anak muda ini sudah terpikat oleh
ocehannya.
Bola mata Bwe kiam-soat berputar, katanya pula dengan tertawa, “Maksud
baik Yim tai-hiap ini sungguh sangat membesarkan hati kami, cuma.......saat
ini kami sedang terdesak bahaya mengancam di depan mata, sebaliknya
rencana Yim tai-hiap masih jauh daripada tercapai, bahkan jejak Swe thianbang
itu belum lagi menginjak daerah Tionggoan.......”
Mendadak Ban-li-liu-hiang Yim hong peng tertawa dan memotong, “Jika kalian
sudah mau menerima ajakanku, dengan sendirinya aku pun tidak perlu
merahasiakan urusan ini. Terus terang, meski jejakku baru mulai muncul
sebulan terakhir, padahal sudah hampir lima tahun kujelajahi Tionggoan.
Selama lima tahun ini sedikit banyak sudah kupupuk juga kekuatan tertentu,
hanya karena waktunya belum tiba, maka sejauh ini belum diketahui kawanan
Bulim.”
“Wah melulu cara Yim tai-hiap menyembunyikan pekerjaan ini saja sudah lain
daripada orang lain, sungguh hebat,” kata Kiam soat.
Yim hong peng tertawa bangga, “Namun caraku memilih orang sangat cermat,
tidak sedikit kawan kalangan bawah dan menengah yang telah

menggabungkan diri, tapi saudara dari lapisan atas justru masih sangat
sedikit, sebab itulah kuminta bantuan kalian bertiga, sebab Swe siansing itu
dalam jangka waktu singkat mungkin juga akan masuk ke daerah Tionggoan.”
Meski dia sok pintar, tanpa terasa ia pun lupa daratan oleh senyum manis dan
lirikan Bwee kiam-soat yang memabukkan itu dan pelahan tersingkap juga
rahasia maksudnya.
Air muka Lamkiong peng dan Tik Yang rada berubah, sebaliknya dengan
berseri-seri Yim hong-peng berkata pula, “tidak jauh dari sini terdapat tempat
persinggahanku, meski sangat sederhana, tapi jauh lebih tenang daripada
disini, cuma sayang masih ada sedikit urusanku di Se-an yang harus
kuselesaikan, saat ini tidak dapat kuantar sendiri ke sana.”
Bwe Kiam soat sengaja menghela nafas menyesal, “Wah lantas bagaimana?”
“Tidak menjadi soal,” kata Yim hong-peng, meski tidak dapat kuantar sendiri,
sepanjang jalan sudah ada orang siap menyambut kedatangan kalian.......”
“Selain itu, “ sambungnya asmbil merogoh saku, “Supaya kalian percaya
kepada keteranganku, boleh lihat.........”
Ketika tangan terangkat, terlihatlah oleh Kiam saot bertiga tiga kantung sutera
berwarna warni terpegang pada tangan Yim hong-peng.
“Bagus sekali, barang apakah ini?” tanya Kiam-soat.
“Sampai saat ini, boleh dikatakan sangat langka orang dunia persilatan yang
pernah melihat benda ini,” tutur Yim hong-peng dengan prihatin sambil
membuka salah sebuah kantung sutera itu.
Seketika semua orang mencium bau harum ane menusuk hidung.

Yim hong-peng lantas mengeluarkan sepotong kayu kecil persegi berwarna
lembayung dari dalam kantung dan diserahkan kepada Bwe kiam-soat.
Waktu Kiam-soat mengamati, potongan kayu kecil yang tidak menarik ini
terbuat secara indah, bagian atas ada ukiran pemandangan alam yang permai,
terlukis seorang berdiri di bawah cahaya senja sedang memandang puncak
gunung di kejauhan, orang ini terlukis samar-samar, tapi bila diteliti kelihatan
gagah dengan sikap yang hidup, Cuma sayang garis mukanya hanya terukir
dari sisi belakang.
Di balik kepingan kayu ini terukir dua bait syair, sangat kecil hurufnya namun
gaya tulisnnya indah kuat, jelas tulisan seniman ternama.
Kepingan kayu ini keras dan berat serta berbau harum.
Setelah mengamati sejenak, kemudian Bwe kiam-soat bertanya, “Apakah
orang yang terukir di sini adalah orang yang disebut Swe thian-bang itu?”
Yim hong-peng mengangguk, “Ya, benda ini tanda pengenal Swe thian-bang
itu.”
Lalu ia memberikan pula kedua kantung sutera kepada Lamkiong Peng dan Tik
Yang, katanya pula dengan tertawa, “Untuk mendapat kepercayaan kalian
bertiga, sengaja kulanggar prosedur biasa dan kuberikan benda ini.......”
“Prosedur biasa apa?” ujar Bwe kiam-soat sambil memainkan keping kayu dan
kantung sutera yang dipegangnya.
“Setiba kalian di tempatku dengan sendirinya akan tahu,” kata Yim hong-peng.
Mendadak ia bertepuk tangan, baru berjangkit suara keplokannya, dari
kejauhan lantas muncul sesosok bayangan secepat terbang.

Hanya sekejap saja orang ini sudah mendekat, ternyata dia adalah Tiangsun
Tang, salah seorang jago dari Bin-san-ji-yu.
Ia berdiri dengan sikap hormat di depan Yim hong-peng sambil melirik sekejap
ke arah Bwe Kiam soat, ketika diketahui benda yang berada di tangan orang,
seketika wajahnya menampilkan rasa heran dan kejut.
“Agaknya antara Tiangsun-heng dan nona Bwe terdapat suatu perselisihan,
tapi selanjtnya kita adalah orang sendiri, rasanya Tiangsun-heng perlu
melupakan uusan masa lampau,” kata Yim hong-peng dengan tersenyum.
Sejenak Tiangsun Tang melenggong, lalu berkata dingin, “Saat ini juga sudah
kulupakan.”
“Cepat benar lupanya,” ujar Bwe kiam-soat dengan tertawa genit.
“Haha, memang harus begitu,” ujar Yim hong-peng. Sekarang harap Tiangsunheng
membawa mereka bertiga ke Liu-hiang-ceng kita, setelah kuselesaikan
sedikit urusan di Se-an segera kupulang untuk menemui kalian disana.”
“Dan.......pedang.......”tergegap Tiangsun Tang. “Oya, pedang Lamkiong-heng
yang tertinggal di Se-an itu sudah kusuruh bawa kemari,” Yim hong-peng
Selagi Lamkiong Peng melenggong, Tiangsun Tan telah menyodorkan pedang
yang dibawanya sambil berkata, “Sarungnya baru saja dibuat, mungkin tidak
begitu cocok.”
Yim hong-peng mengambil pedang itu dan dikembalikan kepada Lamkiong
Peng, katanya, “Tadi tanpa permisi kumasuk ke kamar Lamkiong-heng, kulihat
pedang pusaka ini tertinggal disana, maka secara sembrono kubawakan untuk
Lamkiong-heng.”

Sebelum Lamkiong Peng bersuara, pandangannya beralih kepada Tik Yang,
katanya pula, “Tik-heng, apakah kautahau dimana letak keanehan keping kayu
ini?”
Alis Tik Yang menegak, jengeknya, “Betapa anehnya barang ini, jika orang she
Tik disuruh menjadi antek seorang yang bernafsu besar ingin menguasai dunia
persilatan, hmk......”
Mendadak ia mendongak memandang langit sambil melemparkan kantung
sutera yang dipegangnya ke tanah.
Kerua Yim hong-peng terkesiap, air mukanya berubah seketika, katanya, “Tikheng
aku.....”
Tiba-tiba Lamkiong Peng juga berkata, ”Terimakasih atas maksud baik Yim taihiap,
sesungguhnya kamu pun sangat ingin dapat bekerja sama dengan tokoh
besar semacam Swe tai-hiap itu, cuma........” ia menghela nafas, lalu
mengembalikan kantung sutera kepada Yim hong-peng dan berkata pula,
“Siaute orang bodoh, juga sudah terbiasa hidup tidak beraturan, mungkin
sukar ikut serta dalam pekerjaan besar yang dirancang Yim tai-hiap. Namun
.........apa pun juga budi pertolongan Yim tai-hiap takkan kulupakan.”
Pada dasarnya Lamkiong Peng berwatak jujur, ia dapat meraba maksud tujuan
Yim hong-peng, maka tidak sudi di diperalat orang. Tapi ia pun merasa utang
budi, maka ia menolak ajakan orang dengan menyesal.
Air muka Yim hong-peng berubah kelam, kantung sutera itu diremasnya
dengan mendongkol, pandangannya pelahan beralih kepada Bwe kiam-soat.
“Aku sih tidak menjadi soal,” kata Kiam-soat dengan tertawa, kepingan kayu
dimasukkan lagi kedalam kantung.

Lamkiong Peng tercengang, sebaliknya sinar mata Yim hong-peng meneorong
terang.
Dengan tertawa Kiam-soat menyambung lagi, “Tapi aku pun tidak mempunyai
ambisi sebesar itu, sebab itulah terpaksa aku pun menerima ajakan Yim taihiap
dengan ucapan terima kasih, hanya.....” pelahan ia masukkan kantung
sutera itu ke dalam bajunya, lalu melanjutkan, kantung sutera dan kepingan
kayu ini tampaknya sangat menyenangkan, maka berat untuk kukembalikan
kepadamu, jika secara sukarela Yim tai-hiap sudah memberikannya kepadaku,
kukira engkau pasti takkan memintanya kembali dariku, bukan?”
Seketika air muka Yim hong-peng berubah pucat dan melenggong dengan
bingung, pelahan ia lantas menjemput kantung sutera yang dilemparkan Tik
Yang tadi.
Lamkiong Peng merasa tidak enak hati, ucapnya, “Maafkan, selanjutnya
asalkan Yim tai-hiap ada.....”
Mendadak Yim hong-peng bergelak tertawa pula, “Haha, agaknya orang she
Yim bermata lamur, kiranya kalian sengaja hendak mempermainkan
diriku........”
Sampai di sini tiba-tiba sorot matanya berubah meneorong, sambungnya
sekata demi sekata, “Hm, setelah kalian mengetahui rahasiaku, memangnya
kalian ingin pergi dengan hidup. Hah, apakah kalian sangka orang she Yim
seorang tolol?”
Serentak ia melompat mundur sambil berkeplok, segera dari tempat gelap di
sekitarnya muncul berpuluh sosok bayangan orang.
Lamkiong Peng bertiga terkesiap.
Pelahan Tiangsun Tang melolos pedang dan siap tempur.

“Hm, bila orang she Yim tidak yakin dapat membuat kalian tutup mulut
selamanya mana kumau memberitahukan rahasiaku sendiri kepada kalian?”
jengek Yim hong-peng pula, waktu ia angkat tangannya, serentak bayangan
orang itu mendesak maju dari sekelilingnya.
Lamkiong Peng menyapu pandang sekejap, jengeknya, “Mesti ada rasa
terimakasihku kepada Yim-heng, tapi dengan tindakanmu ini rasa terimakasih
jadi hanyut seluruhnya. Jika beratus orang di Se-an saja tidak mampu
mengusik seujung rambutku, sekarang cuma berpuluh orang ini dapatkah
mengatasi kami bertiga”
Segera Tik Yang juga berteriak, “Siapa yang berani, boleh silakan dia rasakan
dulu Thian-san-sin-kiam.”
“Boleh kaubelajar kenal dulu dengan usaha orang she Yim, jawab Yim hongpeng
sembari menggeser mundur.
Serentak Tiangsun Tan juga melompat kesana dan berdiri berjajar bersama
Yim hong-peng di antara lingkaran orang-orang berbaju hitam.
Dengan sendirinya Lamkiong peng dan Tik Yang juga berdiri berjajar dengan
Bwe kiam-soat, barisan musuh kelihatan mendesak maju dengan pelahan.
“Tenang, kata Bwe Kaim soat, “Jangan sembarangan bergerak. Bila keadaan
tidak menguntungkan, segera kita terjang keluar saja.”
Tiba-tiba terdengar suara gemerantang nyaring, suara rantai besi, menyusul
Yim hong-peng lantas membentak, “Thian (langit)!”
Serentak berpuluh bayangan orang itu mengangkat tangan ke atas, berpuluh
jalur cahaya dingin segera terbang tinggi ke langit dari tangan orang-orang
berbaju hitam itu.

Terdengar Yim hong-peng membentak pula, “Te(bumi)!”
Sekaligus berpuluh cahaya dingin melayang pula dari gerombolan orang
banyak itu dan menyambar ke arah Lamkiong Peng bertiga.
Keruan mereka terkejut, Lamkiong peng membentak sambil melolos pedang,
dengan cepat ia memutar pedangnya. Bwe kiam-soat juga lantas
mengebaskan lengan bajunya, Tik Yang pun menghantamkan kedua
tangannya ke depan sehingga cahaya dingin itu sama rontok sebelum tiba di
tempat tujuan.
Tak terduga kembali terdengar suara bentakan, “Hong (angin)!”
Terdengar suara menderu, segulung cahaya perak melesat tinggi ke udara,
habis itu secepat kilat gulungan cahaya menyilaukan mata dengan suara
menderu keras, ditambah lagi suara nyaring rantai ketika bergerak,
tampaknya tidak kepalang lihainya.
Tik Yang bersuit panjang dan melompat ke atas, Bwe kiam soat juga berteriak
kaget, “Celaka!”
Belum lenyap suaranya, cahaya perak yang berhamburan itu dalam sekejap
saja telah membenam seluruh tubuh Tik Yang.
Lamkong Peng terkesiap, cepat ia putar pedangnya melindungi sekujur badan,
ia pun melompat ke atas.
Pada waktu tubuh Tik Yang baru bergerak ke atas, mendadak dirasakan
berpuluh buah Liu-sing-tui (bola berantai) menyambar kepalanya. Cepat ia
menggeliat sehingga tubuhnya membelok ke samping, siapa tahu cahaya
perak kembali menyambar tiba dan membungkus tubuhnya.

Dalam keadaan demikian ia tidak dapat berpikir panjang lagi, sekali meraih,
sebuah bola perak ditangkapnya, lalu mengikuti daya tarikan, langsung ia
menubruk ke bawah.
Tapi segera dirasakan tangan kesakitan tertusuk, pinggang kiri dan paha
kanan juga kesakitan, terdengar suara gedebuk, tahu-tahu ia menumbuk
tubuh seorang berbaju hitam, keduanya sama menjerit kaget dan jatuh
terguling.
Dalam pada Itu Lamkong Peng sedang melayang ke atas dengan berputar
untuk melindungi tubuh sendiri, di tengah gelombang cahaya tampak sedikit
kacau, kesempatan itu segera digunakannya untuk menerjang, pedang pusaka
Yap-siang-kiu-loh memperlihatkan kesaktiannya, terdengar suara gemerincing
nyaring, bola berantai yang merupakan senjata khas kawanan lelaki berbaju
hitam itu sama tertabas putus oleh pedangnya. Kemudian terlihat olehnya Tik
Yang lagi menjerit kaget dan jatuh terguling.
Terkesiap juga Bwe kiam soat melihat senjata andalan musuh yang khas itu, ia
pikir pantas Yim hong peng begitu garang, mentang-mentang mempunyai
barisan tempur yang lihai.
Hendaknya diketahui, senjata sebangsa Lui-sing-tui (bola berantai), Lian-cujiang
(tombak berantai) dan senjata lemas lainnya bukanlah senjata yang
langka, namun sangat sukar melatihnya dengan baik. Terlebih di tengah orang
banyak, bila latihannya tidak sempurna, bisa jadi akan melukai lawan atau diri
sendiri malah. Tapi bila senjata yang lemas itu dapat dikuasai dengan baik,
maka daya tempurnya akan berlipat ganda.
Bahwa berpuluh lelaki berseragam hitam ini dapat serentak menggunakan
senjata lemas begini, jelas mereka sudah terlatih dengan baik dan dapat
bekerja sama dengan rapih sehingga tidak sampai melukai sendiri dan
mencederai lawan.

Pengalaman tempur Bwe kiam soat sudah banyak, ia tahu barisan tempur ini
sangat lihai dan sulit dihadapi. Tapi saat itu Lamkiong Peng sudah menerjang
ke tengah musuh, cepat ia pun ikut melayang maju, sekali lengan bajunya
mengebas dengan kuat, kontan ia bikin rontok tujuh-delapan Lui-sing-tui yang
lagi menghantam Lamkiong Peng.
Dalam pada itu Lamkiong Peng lantas memburu ke tempat roboh Tik Yang.
Tentu saja Bwe kiam soat berkerut kening melihat kelakuan anak muda itu, ia
tahu bila lu-sing-tui musuh menyerang lagi pasti sukar menghindar bagi
Lamkiong Peng.
Namun pada saat itu cahaya perak juga sudah kacau, terdengar Yim-hong –
peng membentak pula, “Siang (es)”
Segera Bwe kiam soat berputar ke sana dan ikut menubruk maju bersama
Lamkiong Peng.
Sekonyong-konyong terdengar angin menderu lagi, berpuluh Lu-sing-tui
serentak telah ditarik kembali, berpuluh lelaki berseragam hitam juga
melompat mundur.
Rupanya Yim-hong-peng juga terperanjat ketika melihat barisan bola berantai
anak buahnya terjadi kekacauan karena diterjang oleh Tik Yang dan Lamkiong
Peng. Padahal barisan bola berantai khusus dilatihnya dengan mengumpulkan
berbagai jago silat pilihan, barisan ini memakai perhitungan Pat-kua dan
berdasarkan perubahan thian (langit), te (bumi), hong (angin), uh (hujan), jit
(matahari), goat (bulan), in(mega), soat (salju), dan siang(es).
Dengan sendirinya sangat ruwet perubahan sembilan macam unsur itu, namun
bantu membantu satu sama lain, apalagi setiap bola berantai itu berduri pula,
dengan sendirinya daya tempurnya luar biasa hebatnya.

Kini dilihatnya Tik yang hanya terluka ringan saja, Yim hong-peng kuatir
barisan ciptaannya akan dibobol musuh, maka cepat ia undurkan diri dulu
barisannya untuk merapikannya lebih dulu.
Waktu itu Lamkiong Peng sedang memeriksa keadaan Tik Yang, dilihatnya
darah mengucur dari pinggang kiri dan paha kanan, namun tangan Tik Yang
sekuatnya lagi mencekik leher seorang lelaki berbaju hitam dan ditindihnya
dari bawah, dari celah jari juga merembes darah segar.
Pada telapak tangan kiri lelaki berbaju hitam itu memakai sarung tangan kulit
dan terikat seutas rantai perak mengkilat, bola perak pada ujung rantai
terpegang oleh Tik Yang, mendadak Tik Yang menggeram dan cahaya perak
berkelebat, darah pun berhamburan, kiranya sekali hantam dengan bola yang
dipegangnya Tik Yang telah menghantam remuk kepala lawan.
Cepat Lamkiong Peng membengunkan Tik Yang, dilihatnya kedua mata orang
merah membara, dada penuh berlepotan darah, untuk pertama kalinya anak
muda ini terluka, juga untuk pertama kalinya selama hidup anak muda ini
membunuh orang. Melihat darah yang berceceran, ia menjadi terkesima
memandangi bola perak yang masih terpegang olehnya.
“Hm, ternyata Thian-san-sin-kiam juga Cuma begini saja,” tiba-tiba terdengar
Yim hong-peng mengejek dari samping.
“Hanya begini apa? Sedikitnya juga telah mengacaukan barisanmu, untung
kauhentikan gerakan barisanmu, kalau tidak, hmk!.......ejek Bwe kiam-soat.
“Huh jangan temberang dulu, “jawab Yim hong-peng. “kedatanganku ke
daerah Tionggoan sekali ini sebenarnya juga tidak bermaksud mengikat
permusuhan, sebab itulah barisan bola perak ini belum kugunakan secara
tuntas. Apabila kalian bisa melihat gelagat, hendaknya turut nasihatku, kalau
tidak, terpaksa kalian harus menyaksikan kesaktian barisan bola perak yang
sesungguhnya.”

Habis berkata, segera Yim-hong-peng bermaksud melompat mundur ke tengah
barisannya.
“Nanti dulu!” bentak Kiam soat mendadak, sekali bergerak, tahu-tahu ia sudah
hinggap di depan Yim-hong-peng.
“Hah, memangnya dapat kautahan diriku,” jengek Yim-hong-peng, mendadak
ia meloncat lagi.
“Boleh kau coba!” jengek Bwe kiam soat dengan tertawa, tangan kiri terangkat
dan lengan baju berkibar, serupa ular saja tahu-tahu hendak membelit betis
Yim-hong-peng.
Tergetar juga hati Yim-hong-peng, cepat kedua tangannya menebas ke bawah,
kaki kanan pun mendepak.
Namun sedikit Bwe kiam soat menarik lengan bajunya, katanya dengan
tertawa, “Lebih baik kauturun saja!”
Belum lenyap suaranya, benar juga Yim-hong-peng sudah jatuh kembali ke
tempat semula dan menatap Bwe kiam soat dengan tercengang.
Baru saja Bwe kiam soat telah mengeluarkan gerakan “Liu-in-hui-siu” atau
awan mengambang dan lengan baju menyambar, tampaknya tidak ada suatu
yang istimewa, tapi ternyata membawa tenaga betotan yang maha kuat, juga
ketepatan waktu dan bagian yang di arah terjadi secara tepat dan jitu.
Diam-diam Lamkiong Peng juga terkejut, baru sekarang ia menyaksikan
kepandaian asli Bwe Kiam-soat. Di samping terkejut ia pun kagum. Padahal
selama sepuluh tahun ini perempuan ini selalu berbaring di dalam sebuah peti
mati yang sempit, tersiksa dan bisa membuat gila.

Namun perempuan ini tidak saja tetap tawakal, bahwa lwekangnya yang sudah
punah dapat pulih kembali, sungguh suatu pekerjaan yang tidak mudah.
Terutama ilmu awet muda yang berhasil juga dikuasainya bahkan kungfunya
seperti lebih maju daripada dulu. Sungguh sukar dimengerti resep apa yang
membuatnya mencapai mukjizat seperti ini.
Dalam pada itu pelahan Tik Yang telah duduk tegak.
“Hm, sudah saatnya kalian memilih apakah ingin menyerah atau tetap
bertempur, apalagi kalian perlu juga bersiap membereskan urusan orang she
Tik ini setelah dia mampus,” jengek Yim Hong-peng.
“Apa katamu?” bentak Lamkiong Peng terkesiap.
“Hehe,” Yim Hong-peng tertawa ejek, “pada bola perak berduri itu dilumuri
racun, bila masuk darah, sukar lagi tertolong. Maka bila kau ingin menolong
jiwa kawanmu, hendaknya kau lekas ambil keputusan.”
Rupanya dia rada keder akan kesaktian Bwe Kim-soat, maka sengaja
menggertak dengan racun yang mengenai Tik Yang itu.
Air muka Lamkiong Peng berubah hebat, waktu ia berpaling ke sana, dilihatnya
wajah Tik Yang berubah kaku dan mata buram.
“Hm, biarpun kaubicara menakutkan juga takkan mampu menggertak diriku,”
jengek Kim-soat.
“Tapi kuyakin dalam hatimu harus mengakui aku tidak main gertak belaka,”
ejek Yim Hong Peng. “Kau sendiri sudah terkenal sebagai perempuan berdarah
dingin, dengan sendirinya mati hidup kawan tidak perlu kau pikirkan. Tapi kau
Lamkiong Peng, apakah kaupun manusia yang berbudi rendah begitu?”

Tegetar juga hati Lamkiong peng, dirasakan tangan Tik Yang dipegangnya
panas membara, sinar matanya juga berubah buram.
“Bila kebekuk dirimu, masakah takkan kau serahkan obat penawarnya? Jengek
Bwe kiam soat pula.
“Obat penawarnya memang ada, tapi tidak ku bawa, apalagi.....hehe, apakah
kau yakin mampu membekuk diriku?”
Alis kiam-soat menegak, medadak ia terbahak-bahak, “Hahaha, sungguh
mengegelikan kusangka Ban-li-liu-hiang Yim Hong Peng itu tokoh lihai macam
apa, tak tahunya Cuma begini saja.”
Yim Hong Peng meraba janggutnya berlagak tidak mendengar.
Kiamsoat mendengus lagi, “Huh, dengan cara licik ini untuk menjirat orang
masuk ke dalam komplotanmu, apakah tindakan ini tidak teramat bodoh?
Umpama berhasil kaubujuk orang dalam komplotanmu, apakah kemudian
dapat kaujamin kesetiannya, apakah dia takkan menjual rahasiamu dan
berkhianat? Hah, bisa jadi engkau akan menyesal dikemudian hari.”
“Hahahahaha! “Yim Hong Peng terbahak, “Untuk ini nona tidak perlu kuatir
bagiku, jika orang she Yim tidak yakin mampu menaklukan harimau, tidak
nanti ku berani naik ke gunung.”
Diam-diam Bwe kiam-soat merancang tindakan apa yang akan diambilnya,
lahirnya ia berlagak tertawa, ia pikir harus sekali serang merobohkan Yim
Hong Peng, bila gagal serentak mereka bertiga lantas menerjang keluar
kepungan musuh sebelum barisan bola maut itu bergerak.
Selagi ia termenung, di tengah malam sunyi mendaak ia mendengar suara
burung gagak berkaok satu kali, segulung bayangan hitam terbang tiba

dengan cepat sekali, dari kecepatan terbangnya lebih menyerupai seekor elang
daripada dikatakan seekor gagak.
Selagi Kiam soat terkesiap dilihatnya burung gagak yang aneh ini mendadak
menubruk ke muka Yim Hong Peng , tampaknya hendak mematuk biji
matanya.
Tentu Yim Hong Peng terkejut, cepat ia menggeser mundur, berbareng sebelah
tangannya lantas menghantam.
Pukulan ini sangat kuat, gagak itu juga sedang menyambar ke depan,
sepantasnya sukar menghindarkan pukulan dasyat ini.
Siapa duga, kembali terdengar suara gaok yang panjang, secepat kilat gagak
itu terbang membalik, kecepatannya terlebih mengejutkan daripada
menyambar tiba tadi, hanya sekejap saja lantas menghilang dalam kegelapan.
Yim Hong Peng sendiri jadi melongo, tangan yang hampir menghantam tadi
hampir tak dapat diturunkan lagi. Di dunia ini memang banyak hewan yang
cerdik, tapi seekor burung gagak dapat terbang mundur, sungguh hal ini tidak
pernah terdengar, benar-benar peristiwa yang ajaib.
Selagi merasa bingung, tiba-tiba terdengar suara bentakan aneh dari jauh
mendekat, “Minggir!”.........minggir!”
Menyusul terjadi kegaduhan diantara kawanan lelaki berseragam hitam dan
bersenjata bola berantai, barisan mereka pun menjadi kacau dan sama
menyingkir untuk memberi jalan lalu.
Kening Yim Hong Peng berkerut, bentaknya,” Tenang, tetap ditempat, apakah
kalian sudah lupa pada disiplin yang diajarkan, sebelum bertempur barisan
kacau dulu, dosa ini tak terampunkan!”

Belum habis ucapannya, mendadak seorang tojin kurus kering berjubah biru
dan berambut putih melangkah tiba dari balik barisan sana sembari
membentak, “Minggir! Minggir !”
Rambut dan jenggot tojin ini sudah putih seluruhnya, panjang jubah birunya
Cuma sebatas dengkul, mukanya kurus, tapi sikapnya gagah berwibawa,
telapak tangan kiri terangkat di depan dada dan diatas telapak tangan hinggap
seekor burung gagak.
Waktu Yim Hong Peng mengamati lebih teliti, kiranya suara teriakan serak
aneh tadi justru keluar dari mulut burung gagak itu.
Tentu saja ia melenggong. Bahwa burung gagak dapat terbang mundur sudah
merupakan kejadian ajaib. Gagak ini ternyata dapat bicara pula, dengan
sendirinya hal ini terlebih mengejutkan, bairpun Yim Hong Peng sudah
kenyang makan asam garam dunia kangouw dan luas pengetahuannya juga
terheran-heran.
Bwe kiam-soat juga tercengang, dilihatnya si tojin kurus tersenyum simpul,
mendadak burung gagak itu berteriak lagi, “Bulan tidak gelap, angin tidak
kencang, mengapa kota Se-an yang aman tentram ini tejadi kekabaran dan
pembunuhan, apakah kalian sengaja bikin rusuh!”
Meski serak suaranya, tapi lafalnya cukup jelas, hal ini membuat Bwe kiam
soat tambah melongo.
Hanya sinar mata Lamkiong Peng tetap gemerdep dan tidak mengunjuk rasa
terkejut, tapi setelah melihat si tojin berambut putih itu, tiba-tiba teringat
seorang olehnya, baru saja dia berseru, “Kau........”
Mendadak sorot mata si tojin menyapu pandang ke arahnya dan
mengedipinya. Seketika Lamkiong-peng urung bicara dan memandang orang
dengan bingung.

Ban-li-liu-hiang berusaha mengatasi rasa bimbangnya, ia memberi hormat dan
menyapa, “Totiang tentu orang kosen dari dunia luar, entah ada keperluan dan
petunjuk apa datang ke sini?”
Tojin berambut putih itu terbahak, si gagak berteriak lagi, “Mengapa engkau
Cuma menghormat padanya, masa tidak melihat kehadiranku disini?”
Yim Hong Peng melenggak dan serba susah, masakah dirinya juga harus
memberi hormat kepada seekor burung gagak, sungguh mustahil.
Si tojin tertawa katanya, “Kawanku meski seekor burung namun wataknya
angkuh, tingkatannya memang juga sangat tinggi, bila kauberi hormat
padanya kan tidak menjadi soal?”
Yim Hong Peng melenggong sejenak, dengan hati tidak rela ia merangkap
kepalan di depan dada sebagi tanda hormat. Betapapun dia telah terpengaruh
oleh sikap tojin yang berwibawa dan juga keajaiban burung gagak itu sehingga
menurut saja apa yang dikatakan si tojin.
Sorot mata Lamkiong Peng menampilkan senyuman geli terhadap apa yang
dilihatnya ini. Diam-diam Bwe kiam-soat juga merasa heran, ia tahu pribadi
Lamkiong peng yang lugas, tidak nanti ia tinggal diam menghadapi suatu
urusan yang ganjil. Maka ia menjadi curiga, namun kecerdasan burung gagak
itu memang terbukti nyata, betapapun pintarnya juga tidak paham mengapa
bisa begini.
Dilihatnya si tojin sedang mengangguk dan berkata, “Baik anak muda yang
sopan, tidak percuma kedatanganku ini.”
Setelah merandek sejenak, lalu ia berkata lagi dengan kereng terhadap Yim
Hong Peng, “Tanpa sengaja aku berlalu di sini, kulihat disini hawa pembunuh

berkobar, aku tidak sampai hati menyaksikan kawanan ksatria sama tertimpa
malapetaka, maka sengaja mengitar ke sini.”
Dengan bingung Yim Hong Peng menjawab “Ucapan Cianpwe sungguh sukar di
mengerti...........”
“Jelas dirundung kemalangan, apabila kau berani main senjata, pasti celakalah
kau, maka kuanjurkan lebih baik kau loloskan diri sebelum terlambat,“ Kata si
tojin pula dengan gegetun.
Sama sekali ia tidak memandang Lamkiong peng dan Bwe kiam soat, seperti
kedua orang itu membuatnya jemu, lalu dengan nada kereng ia menyambung,
“Jika ada orang merintangimu, mengingat sopan santunmu ini, biarlah nanti
kutahan mereka.”
“Tapi.....” Yim Hong Peng tambah bingung.
“Tapi apa? Masa kau tidak percaya kepadaku?” bentak si tojin dengan bengis.
Serentak burung gagak itu menyambung, “Kemalangan akan menimpa dan
belum lagi kausadari, kasihan!”
Yim Hong Peng berdiri termangu dengan air muka pucat, ia pandang Lamkiong
peng bertiga dan memandang pula si tojin dan burung gagaknya, katanya
kemudian dengan tergegap, “Bukan Wanpwe tidak percaya kepada ucapan
Cianpwe, soalnya urusanku ini tidak dapat diselesaikan dengan sekata dua
patah saja, pula........”
“Pula apa yang kukatakan sukar untuk dipercaya, begitu bukan maksudmu?”
potong si tojin.
Yim hong-peng diam saja, biasanya diam berarti membenarkan.

Mendadak si tojin bergelak tertawa, “Haha apa yang kukatakan selama ini
hampir tidak pernah disangsikan orang, juga tidak pernah salah menafsirkan
suatu peristiwa, ternyata sekarang keteranganku tidak kaupercayai, agaknya
kau ini memang ingin mampus.”
Burung gagak itu juga tertawa terkekeh aneh dan berkata, “Hehe, jika benar
kauingin mati, itu kan gampang...........”
Bola mata Yim Hong Peng berputar, tiba-tiba teringat seseorang olehnya,
serunya, “Hei jangan-jangan Ciapwe ini adalah tokoh serba tahu yang
termashur pada beberapa puluh tahun yang lalu, Thian-ah Totiang adanya?”
SI tojin berambut putih tergelak, “Haha, bagus! Ternyata namaku juga
kaukenal. Ya, memang betul, aku inilah Thian-ah tojin Cuma memberitahukan
kemalangan dan tidak melaporkan kemujuran itu.”
“Tapi.....tapi menurut berita yang tersiar di dunia kangouw, konon....konon
sudah lama cianpwe wafat........”
“Wafat apa? Potong si tojin alias Thian-ah totiang dengan tertawa, “Soalnya
beberapa puluh tahun yang lalu aku merasa bosan berkelana lagi di dunia
ramai ini, maka sengaja pura-pura mati dan mengasingkan diri. Tak tersangka
berita ini dianggap benar oleh orang persilatan.”
Mau tak mau Bwe kiam soat juga terperanjat. Namun tokoh aneh dunia
persilatan masa lampau ini sudah lama telah didengarnya, diketahuinya orang
ini terkenal sebagi peramal ulung, hampir tidak pernah meleset bilamana dia
meramalkan malapetaka seseorang. Asalkan dia memberi peringatan kepada
seorang, orang tersebut tentu tertimpa bahaya.
Sebab itulah orang dunia persilatan menyebutnya sebagi Thian-ah tojin, kata
“ah” atau gagak biasanya tidak mengenakan pendengaran, namun setiap
orang persilatan tidak ada yang berani bersikap kurang hormat kepadanya.

Lalu dengan serius Thian-ah tojin berkata kepada Bwe kiam soat, “nah apa
yang telah kukatakan tentu sudah kalian dengar dengan jelas.”
Tergerak hati Bwe kiam soat, dipandangnya Lamkiong peng sekejap, lalu
mengangguk pelahan.
“Dan tentunya kalian tidak berlain pendapat bila hendak kulepaskan dia dari
malapetaka yang akan menimpanya, bukan?” kata Thian-ah tojin pula.
Bwe kiam soat cukup cerdik, ia tahu meski resminya si tojin menyatakan
menolong Yim Hong Peng terlepas dari malapetaka, tapi sebenarnya pihak
sendirilah yang dibantunya.
Maka cepat ia menjawab, “Jika Cianpwe berpendapat demikian, tentu tidak ada
persoalan bagi kami.”
“Jika begitu boleh lekas kau pergi saja, kata Thian-ah tojin sambil memberi
tanda kepada Yim Hong Peng .
Agaknya Yim Hong Peng masih sangsi juga, segera si tojin menambahkan,
“Lekas pergi, jika terlambat mungkin akan terjadi perubahan.”
Walaupun dalam hati masih penasaran terpaksa Yim Hong Peng menjawab
dengan hormat, “Atas budi kebaikan Cianpwe kelak pasti akan kubalas dengan
setimpal.”
Habis itu ia memberi tanda dan membentak, “Pergi!”
Begitulah pihaknya sebenarnya berada dalam posisi yang menguntungkan tapi
sekarang dia berbalik seperti dilepaskan pergi atas kemurahan hati orang,
malahan seperti utang budi terhadap si tojin.

Melihat sikap si tojin ynag berwibawa dengan burung gagaknya yang ajaib,
kawanan lelaki berbaju hitam tadi sudah sama kebat-kebit, sekarang mereka
diperintahkan pergi, tentu saja serupa mendapat pengampunan besar,
berbondong-bondong mereka lantas melangkah pergi dengan cepat.
Yim Hong Peng melototi Bwe kiam-soat sekejap, seperti mau bicara, akhirnya
mengentak kaki dan membalik tubuh, hanya dengan beberapa kali lompatan
saja sudah menghilang dalam kegelapan.
Sejak tadi Lamkiong peng tidak memberi komentar, sesudah Yim Hong Peng
pergi jauh, mendadak ia menghela nafas dan menggerundel, “Ai, kembali kau
tipu orang lagi, kalau tidak ada Tik-heng, aku........” dia seperti sangat
menyesalkan diri sendiri.
Tentu saja Bwe kiam-soat merasa heran.
Sedangkan si tojin berambut putih mendadak tertawa dengan keras, katanya,
“Ini namanya dengan gigi membayar gigi, terhadap kawanan licik dan jahat
itu, apa salahnya menipu beberapa kali.”
“Ai tipu menipu betapapun bukan perbuatan yang baik.........”Lamkiong peng
menghela nafas menyesal .
Bwe kiam-soat merasa bingung, ia coba bertanya, “Tipu menipu apa?”
Meski dia sangat cerdas, tetap tidak tahu ada tipu menipu apa dalam hal ini.
Si tojin seperti sudah kenal watak Lamkiong peng, ia tidak menghiraukan
omelan anak muda itu, pelahan ia mengelus bulu burung gagak, katanya
dengan tertawa, “Sahabat burung, hari ini besar bantuanmu padaku.”
Dengan tangan kanan ia seperti memutuskan sesuatu pada kaki gagak, habis
itu ia angkat tangan kiri dan berkata,”Nah pergilah!”

Mendadak burung gagak itu berbunyi satu kali terus terbang dan menghilang
dalam kegelapan malam.
Bwe kiam soat tercengang dan juga merasa sayang melihat si tojin
melepaskan begitu saja burung gagak ajaib itu serunya, “Ai........apakah dia
akan terbang kembali kepadamu?”
Tojin itu bergelak tertawa, ”Haha nona tidak perlu merasa sayang, gagak
semacam ini, bila mau dapat kutangkap sepuluh ekor sekaligus setiap saat.”
Dengan bingung Bwe kiam soat memandang Lamkiong peng sekejap, lalu
berkata dengan gegetun,”Ai, sesungguhnya bagaimna urusannya, sungguh
aku tidak mengerti.”
“Hahahaha!” Kembali si tojin terbahak.
“Bila bertemu musuh tangguh, yang utama serang batinnya. Tak tersangka
jurus seranganku ini bukan saja dapat mengelabui Ban-li-liu-hian Yim hong
peng itu, bahkan Kong-jiok- Huicu yang termashur juga dapat kukelabui.”
Dengan gegetun Lamkiong peng berucap, “Tujuh tahun yang lalu berpisah, tak
tersangka sekarang dapat bertemu pula denganmu di sini, juga tak terduga,
engkau akan membebaskan kesukaranku, terlebih tidak nyana watakmu
ternyata tidak berubah sedikitpun..........”
Tojin itu berhenti tertawa, katanya dengan tergegap, “Terus terang
permainanku yang unik ini sudah sekian tahun tidak pernah kugunakan baru
sekarang lantaran melihat kongcu terancam bahaya maka sekadar
kukeluarkan........”
“Tentu saja kuterimakasih atas pertolonganmu, cuma permainan semacam ini
tetap bukan tindakan lelaki sejati, selama hidupmu bekecimpung di dunia

kangouw, masakah engkau tidak ingin berbuat secara gilang gemilang agar
namamu selalu diingat.”
Dia bicara dengan suara halus, tapi mengandung semacam wibawa yang tidak
dapat dibantah.
Air muka si tojin rada berubah, akhirnya menunduk dan tidak bersuara lagi.
Pelahan Lamkiong peng mendekatinya, katanya sambil menepuk pelahan
pundaknya, “Jika kata-kataku terlalu kasar, hendaknya engkau jangan marah.
Maklumlah, bila aku tidak merasa bangga karena mempunyai sahabat serupa
dirimu, tentu aku takkan bicara terus terang padamu. Apalagi engkau telah
membantuku, sungguh aku sangat berterimakasih kepadamu.”
SI tojin mengangkat kepalanya dan tersenyum, sorot matanya penuh rasa
persahabatan, kedua orang saling pandang sekejap, mendadak ia genggam
tangan Lamkiong peng dengan erat, katanya, “Selama ini apakah........apakah
engkau baik-baik saja?”
“Aku sangat baik, hendaknya engkau demikian pula,” jawab Lamkiong peng.
Bwe kiam soat ternyata sedang termenung, mendadak ia berkeplok dan
berseru, “Aha, tahulah aku!”
Habis itu tahu-tahu ia melompat ke samping si tojin berambut putih dan
memegang tangannya.
Tentu saja Lamkiong peng kaget, “Hei ada apa?”
Dengan tertawa Kiam soat berkata, “Coba lihat, pada tangannya ternyata
benar tersembunyi segulung benang hitam. Haha, burung gagak terbang
mundur, hal ini ternyata permainan sulap belaka. Rupanya pada kaki gagak
terikat benang, lalu ditarik mundur olehnya.”

“Nona ternyata sangat pintar, segala apa sukar mengelabui mata telingamu,”
ucap si tojin dengan tertawa.
Lamkiong peng memandang Bwe kiam soat dengan tertawa senang, pikirnya,
“lahiriah dia kelihatan dingin dan sukar didekati, yang benar dia juga punya
hati yang hangat.
Cuma sayang, orang persilatan hanya kenal sikapnya yang dingin dan tidak
ada yang tahu hatinya yang baik.”
Tiba-tiba didengarnya Bwe kiam-soat bergumam dengan alis berkerut, “Hanya
mengenai.....mengapa burung gagak itu dapat bicara seperti manusia, hal
inilah yang masih membuatku bingung,”
Tojin itu bergelak, mendadak ia berseru dengan suara yang serak aneh tadi,
“Nona sudah lama berkecimpung di dunia kangouw, masakah engkau tidak
pernah dengar bahwa diantara kaum pengelana itu ada semacam permainan
sulap yang ajaib.......”
Suaranya bukan saja aneh, waktu Kiam-soat mengamati, ia tambah
tercengang, sebab bibir si tojin tidak bergerak, tapi jelas suara tersiar dari
mulutnya.
Kiam soat coba mengamati lebih teliti lagi, suara yang memang timbul dari
perut si tojin itu kedengaran mirip bunyi perut yang keruyukan pada waktu
perut lapar.
“Sulap apa?” tanyanya kemudian dengan tercengang. Meski sudah lama ia
berkecimpung di dunia kangouw, tapi pergaulannya hanya dengan tokoh
kalangan atas, dengan sendirinya ia tidak tahu permainan kaum orang kecil
ini.

“Kungfu ini disebut “bicara dengan perut” tukas Lamkiong peng, “yaitu
menggunakan tenaga otot dalam perut untuk menimbulkan suara, bagi tukang
ngamen dunia kangouw, permainan ini tergolong kungfu khas dan sangat
sukar dilatih......”
Sampai disini mendadak si tojin memegang perutnya dan berseru dengan
tertawa, “Haha hanya permainan rendahan saja, buat apa dibanggabanggakan.”
Dengan serius Lamkiong peng berucap “Setiap ilmu kepandaian pasti tidak
mudah dilatih, setiap kepandaian mana boleh diremehkan. Yang penting hanya
menggunakan ilmunya itu tepat atau tidak.”
“Tak tersangka di kalangan kangouw terdapat aneka ragam ilmu mujuzat
begini, kau bilang ilmu golongan rendah, bagiku justru sangat ajaib, malah
sebelum ini belum pernah kudengar, apalagi melihatnya,” ujar Bwe kiam soat.
“Ya dunia seluas ini masih banyak keanehan alam yang belum diketahui,
betapa cerdik pandai seorang terkadang juga tercengang menyaksikan hal-hal
yang sukar dipecahkan dengan akal sehat,” kata Lamkiong peng.
“Jika demikian jadi totiang ini bukanlah Thian-ah tojin, lantas siapakah engkau
sebenarnya?” tanay kiam soat dengan heran.
Wajah Lamkiong peng yang serius tadi mendadak timbul secercah senyuman,
agaknya bila teringat kepada nama tojin berambut putih ini, dia lantas merasa
geli.
Si tojin berdehem, lalu berucap, “Namaku yang asli ialah Ban Tat, dahulu aku
sering ngendon di rumah Lamkiong-kongcu numpang makan dan nunut tidur
disana.”

Mendadak ia bergelak tertawa, lalu menyambung, “tapi kawan dunia persilatan
justru menganggap aku bu-kong-put-jip (setiap lubang dimasuki) dan Ban-sutong
(segala urusan apa pun tahu), karena itulah lama-lama nama asliku
lantas dilupakan orang, dan terpaksa aku hanya dikenal dengan nama Ban-sutong,
begitulah adanya.”
Ia bergelak tertawa, waktu memandang ke arah Bwe kiam soat, dilihatnya
orang bersikap prihatin tanpa senyum sedikitpun. Dengan heran ia coba tanya,
“Apakah nona merasa namaku ini tidak cocok bagiku?”
Han Bu Kong
Jilid 9
Kiam soat menghela nafas, ucapnya dengan sungguh-sungguh, “Jika bukan
seorang maha besar, kalau tidak ada hasrat besar untuk mencari
pengetahuan, bila tidak berpengalaman luas, mana mungkin seorang disebut
serba tahu? Sebab itulah nama ini bagiku hanya menimbulkan rasa kagumku
dan tidak ada sedikitpun yang menggelikan.”
Si tojin alias Ban Tat atau Ban-su tong jadi tercengang malah, sungguh ia
tidak menyangka orang justru menaruh hormat kepada kepandaiannya itu.
“Ya, kalau bukan seorang yang maha cerdik, mana mungkin berbicara lain
daripada orang lain semacam ini,” tukas Lamkiong peng dengan gegetun.
Ban-su-tong lantas berkata, “Sejak kongcu masuk perguruan Sin-liong,
kebanyakan orang yang dulu ngendon di temapat kongcu itu lantas bubar
juga, aku sendiri terluntang lantung di dunia kangouw tanpa menghasilkan
sesuatu. Kedatanganku ke daerah barat laut sini sebenarnya juga lantaran
mendengar berita pertandingan antara Sin-liong dan Tan hong, ingin
kusaksikan pertarungan yang jarang terjadi ini, sekaligus juga ingin tahu
keadaan kongcu akhir-akhir ini, ternyata kedatanganku sudah terlambat,
setiba di Se-an lantas kudengar berita muncul kembalinya Kong-jiok Huicu,

juga mendengar kabar pertempuran Kongcu dengan pejabat ketua Cong-lam
pai di restoran Thian-tiang-lau. Sungguh sangat senang hatiku mengetahui
kemajuan pesat kungfu Kongcu, tapi juga kuatir atas keselamatanmu, maka
cepat kususul keluar kota, dan.........”
“Dan kebetulan telah kaugertak lari Yim hong-peng, kalau tidak mungkin sukar
bagi kami untuk lolos dari kepungan musuh, mengingat di antara kami sudah
ada yang terluka......”
“Celaka!” seru Lamkiong peng sebelum ucapan Bwe Kiam soat selesai, cepat ia
memburu ke samping Tik Yang dan memeriksa keadaannya.
Di bawah cahaya bintang yang remang terlihat Tik Yang tak sadarkan diri,
mukanya kelihatan bersemu hitam.
Nyata ucapan Yim hong-peng bahwa di atas bola berantai beracun bukanlah
gertakan belaka.
Tentu saja Lamkiong peng merasa ngeri melihat keadaan Tik Yang itu, cepat ia
tanya dengan kuatir, “bagaimana perasaanmu, Tik-heng?”
Namun kedua mata Tik Yang terpejam rapat seperti tidak mendengarnya.
Ban Tat ikut memeriksa keadaan Tik Yang, tampak ia pun mengerutkan
kening.
“Bagaimana, dapatkah tertolong?” tanya Lamkiong Peng.
Sejenak Ban Tat termenung, katanya kemudian, “Racun yang mengenainya
jelas bukan racun yang kita kenal di daerah Tionggoan, bahakan sekarang
racun sudah menjalar, mungkin........mungkin.........”
“Masa tak tertolong lagi?” tukas Lamkiong Peng.

“Kecuali obat penawar buatan Yim hong-peng sendiri dan obat racikan
mendiang “Seng ih” (tabib sakti) yang mustajab, rasanya tidak ada keajaiban
lain yang mampu menawarkan racun ini, sekalipun Kiu-beng-long-tiong (si
tabib penyelamat jiwa) Poh-leng-sian datanh sendiri juga tidak berdaya
mencegah racun yang segera akan menyerang jantung ini. Cuma......”
Belum habis ucapan Ban Tat, mendadak Lamkiong Peng melompat bangun.
Tapi Bwe kiam soat keburu mengadang di depannya dan menegur, “Kau mau
apa?”
“Tik-heng terluka lantaran membela diriku, mana boleh kutinggal diam tanpa
menolong menyaksikan ajalnya?” jawab Lamkiong peng.
“Jika maksudmu hendak mencari Yim hong-peng untuk minta obat penawar
padanya, tindakan mu ini tiada ubahnya serupa minta kulit kepada sang
harimau, “ujar Bwe Kiam soat.
“Biarpun minta kulit pada sang harimau juga harus kuusahakn,” kata
Lamkiong Peng.
Kiam soat menghela nafas, katany kemudian, “Baiklah, biar kuikut pergi
bersamamu.”
“Saat ini engkau lagi diincar oleh setiap orang persilatan, mana boleh engkau
ikut menyerempet bahaya?” ujar Lamkiong Peng.
“Segala hal selalu kau pikirkan orang lain, mengapa tidak kau pikirkan dirimu
sendiri juga?”
“ Bila setiap urusan selalu berpikir bagi diri sendiri, hidup ini akan berubah
menjadi hina tanpa berharga, “kata Lamkiong Peng dengan gegetun melihat
“putri berdarah dingin” ini tertnyata penuh menaruh perhatian kepdanya.

Segera ia menambahkan lagi, “Hendaknya kautunggu sebentar di sini bersama
Ban-heng, apakah urusan akan berhasil atau tidak, tentu selekasnya
kukembali ke sini.”
Kiamsoat tersenyum pedih, katanya, “Jika urusan gagal, apakah engkau dapat
kembali lagi?”
“Pasti kembali!” jawab Lamkiong Peng tegas.
“Jika engkau berjanji sekali pukul gagal segera akan mundur kembali ke sini,
bolehlah aku tidak ikut serta,” ujar Kiamsoat dengan rawan.
Sangat terharu hati Lamkiong Peng, tanpa tetahan ia pun membuka isi
hatinya,” Biarpun merangkak pun aku akan merangkak kembali ke sini. Cuma
kalian juga harus hati-hati.”
“Jangan kuatir, engakau sendiri yang perlu hati-hati, akan ku tunggu disini
sampai kapanpun.” Ucap Kiam soat tegas.
Ban Tat memandangi kedua orang itu mendadak ia menghela nafas,
katanya”Apakah nona ini benar Kong-jiok Huicu?”
“Masakah perlu disangsikan?” ujar Lamkiong Peng.
“Sungguh sukar dipercaya Kong-jiok Huicu bisa........” mendadak Ban Tat tidak
melanjutkan ucapannya. Tak diduganya bahwa Kong-jiok-Huicu yang terkenal
berdarah dingin itu bisa menaruh perhatian terhadap orang lain.
Lamkiong Peng berdiri termenung sejenak, ia pandang Kimsoat sekejap, lalu
berucap dengan rasa berat, “Kupergi saja!”
Segera ia berlari pergi dengan cepat.

DI tengah malam remang hanya sekejap saja bayangnnnya lantas menghilang.
Kiam soat menghela nafas, gumamnya, “Ai bilamana engkau benar Thian-ah
tojin tentu dapat kaukatakan padaku baik-buruk akibat kepergiannya ini.”
Seorang maha pintar dan maha cerdik, bilamana menghadapi sesuatu yang
merisaukan, biasanya tanpa terasa juga akan mengharapkan bantuan kepada
nasib.
Selama hidup Kong-jiok Huicu yang berdarah dingin ini suka meremehkan
orang hidup, mentertawakan orang lain, segala apa yang dipercaya orang
tidak ada yang dipercayanya, sebeb dia tidak memeprhatikan urusan apa pun,
di tidak berperasaan, karena tidak berperasaan menjadi tidak punya rasa
takut, karena tidak takut menjadi tidak percaya kepada nasib dan tidak peduli
kehidupan ini.
Tapi sekarang justru timbul rasa perhatiannya yang mendalam dan rasa takut,
jiwa si dia (Lamkiong Peng) seolah-olah jauh lebih penting daripada kehidupan
sendiri. Perasan ini datangnya teramat mendaadak, serupa sekaleng pewarna
yang tumpah dan mendadak membikin merah kehidupannya yang putih pucat.
Ban Tat menghela nafas, katanya, “Kesujudan pasti mendatangkan
keselamatan, kejahatan tak nanti dapat melawan kebaikan, dalam hal ini
kukira nona dapat berbesar hati.”
Dlihatnya Bwe kiam soat sedang menengadah dan seprti tidak mendengar
ucapannya, agaknya saat itu orang sedang beranya bagaimana nasib si dia
kepada Thian yang maha kuasa.....
***************
Malam berlalu, fajar mulai menyingsing.

Lamkiong Peng, menarik nafas dalam-dalam, menghirup hawa pagi yang
sejuk, dengan gagah ia masuk ke kota Se-an.
Meski disadarinya maha sulit usahanya akan mendapat obat penawar dari
tangan Yim hong-peng, tapi tekadanya sudah bulat, betapapun pendiriannya
takkan berubah.
Keberaniannya yang pantang mundur ini membuatnya sama sekali tidak
menghiraukan mati hidup.
Pasar pagi baru mulai, orang berlalu lalang berjubel memenuhi jalan. Melihat
Kegagahan Lamkiong Peng, orang lain sama menyingkir memberi jalan
padanya, sebab sikap pemuda ini dirasakan membawa semacam keangkeran
yang membuat orang tunduk padanya.
Boh-liong-san-ceng, perkampungan tempat bersemayam Wiki masih sepi, tapi
di tangah kesunyian itu membawa kesiap siagaan yang luar biasa. Delapan
lelaki tegap berbaju ringkas dan bergolok tampak mondar mandir meronda di
depan perkampungan. Sorot mata mereka serupa anjing pemburu yang
mencari mangsanya, selalu mengintai ke balik kabutt pagi seakan-akan ingin
menemukan Leng hiat Huicu yanng telah membikin panik kota tua Se-an itu.
DI tengah kesunyian itu mendadak terdengar suara detak langkah orang,
serentak kedelapan penjaga itu berhenti bergerak dan serentak berpaling ke
arah datangnya suara.
Tertampaklah seorang pemuda berbaju hijau dengan wajah putih kepucatan
dan mata besar bagai bintang kejora muncul dari balik kabut dengan langkah
lebar, sorot matanya yang meneorong tajam memandang sekejap
sekelilingnya, lalu menegur dengan suara berat, “Adakah Wi-cengcu di
rumah?”

Kawanan penjaga berseragam hitam itu saling pandang dengan sangsi,
mereka seperti juga terpengaruh oleh sikap pemuda yang berwibawa ini,
meski enggan menjawab, tidak urung seorang diantaranya bersuara juga,
“Hari masih pagi, dengan sendirinya beliau berada di rumah.”
Hendaknya lekas dipanggil keluar, ada urusan penting yang ingin kutanyai
dia,” kata si pemuda dengan suara agak parau.
Kawanan lelaki berseragam hitam itu semua melenggak, seorang diantaranya
yang bermuka burik mendadak vbergelak tertawa dan berseru, “Haha, kau
ingin kami panggil cencu untuk menemuimu? Hehe, fajar baru menyingsing,
cengcu belum tentu bangun, tapi kauminta beliau keluar untuk menemuimu,
hahaha, sungguh lucu.......”
Seorang lagi yang behidung besar menjengek, “Memangnya kau ini siapa?
Berani minta bertemu dengan cengcu segala? Mendingan jika kau Liong thihan
yang sudah lama termashur itu atau Lamkiong Peng yang
menggemparkan baru-baru ini..........”
Mendadak pemuda yang bersikap kereng ini menjawab,” Aku sendirilah
Lamkiong Peng adanya!”
Nama Lamkiong Peng sungguh lebih mengguncang daripada bunyi guntur,
Kawanan lelaki berseragam hitam itu sama melenggong memandangi
Lamkiong Peng. Habis itu segera mereka berlari ke dalam kampung sambil
berteriak, “Lamkiong Peng......... Lamkiong Peng datang..........”
Mimpi pun meeka tidak menyangka Lamkiong Peng yang kemarin menempur
Giok-jiu-sun-yang dengan gagah berani itu pagi ini datang sendirian ke Bohliong-
san-ceng sini.
Dalam sekejap perkampungan yang semula sunyi sneyap itu menjadi gempar,
berita datangnya Lamkiong Peng tersiar dengan cepat, banyak orang datang

ingin melihat bagaimana bentuk pemuda yang perkasa ini, ada juga yang
mengintip dari balik pintu dan celah jendela.
Lamkiong Peng sendiri tetap berdiri menanti di situ dengan tenang.
Sejenak kemudian, tiba-tiba terdengar gema suara orang membentak dari
dalam perkampungan, “DI mana Lamkiong Peng?”
Suaranya berat dan pelahan, tapi menggema hingga jauh, tergetar juga hati
Lamkiong Peng, pikirnya, “Siapakah yang memiliki lwekang sehebat ini?”
Hendaklah maklum bahwa baik Wiki maupun suhengnya, Giok-jiu-sun-yang,
keduanya mesi sama tokoh kelas satu, tapi tenaga dalam orang yang bersuara
ini ternyata sangat mengejutkan dan jelas bukan suara Wiki berdua.
Namun Lamkiong Peng tetap tenang saja waktu ia memandang kedepan,
tertampak sesosok bayangann muncul dari balik kabut pagi setelah berdehem,
lalu berkata lantang, “Dimana Lamkiong Peng?”
Lamkiong Peng tambah sangsi, bayangan orang ini tinggi besar dan berambut
putih, dia inilah Wiki, kepala Boh-liong-san-ceng, tapi suara ini jelas tidak
sama dengan suara pertama tadi, ia menjadi heran apakah mungkin di dalam
sana ada tokoh Bulim kelas tinggi yang lain?
Sembari mengelus jenggotnya, Wiki menatap Lamkiong Peng dengan tajam,
jengeknya, “Untuk apa kau datanh kemari, Lamkiong Peng? Memangnya benar
engkau tidak takut mati?”
Mendadak dengan suara bengis ia membentak,”Bwe leng-hiat! Dimana Bwe
leng-hiat? Apakah kaupun ikut datang?”
Suaranya lantang juga, tapi kalau dibandingkan suara pertama tadi, jelas
bedanya seperti bunyi keleningan dengan suara genta.

Lamkiong Peng menatap sekilas ke belakang Wiki, tertampak di belakangnya
penuh bayangan orang, suara tadi entah diucapkan oleh siapa.
Dengan kaku kemudian Lamkiong Peng balas bertanya,”Dimana Yim hong
peng?”
Wiki melengak, tapi segera ia berteriak pula,” Mau apa kaucari Yim hongpeng?”
Belum lagi Lamkiong Peng bersuara pula mendadak bayangan orang
berkelebat, tahu-tahu Yim hong-peng sudah berada di depannya, serunya
dengan tertawa, “Haha, kau datang kemari, Lamkiong Peng, bagus, bagus
sekali.............”
Segera Wiki sebagai tuan rumah buka suara pula, “Baiklah, jika kalian sudah
berhadapan, marilah silakan bicara di dalam sana.”
Di dalam perkampungan kabut tampak lebih tebal disertai bau harum yang
aneh, entah siapa gerangan tokoh kosen macam apa yang tak kelihatan itu
bersembunyi di balik kabut dan bau harum ini.
Namun dengan gagah Lamkiong Peng melangkah masuk di tengan bayangn
orang banyak. Orang-orang yang berkerumun itu sama menyingkir memberi
jalan.
Kening Wiki bekerenyit, seperti mau bicara lagi tapi setelah memandang
sekejap ke balik kabut sorot matanya menampilkan rasa jeri sehingga orang
urung buka mulut, dengan menunduk ia lantas mengikut di belakang Yim
hong-peng dan Lamkiong Peng.

Boh-liong-san-ceng yang megah ini mendadak berubah sunyi senyap pula,
yang terdengar hanya suara langkah orang banyak melintasi halaman dan
menuju ke ruangan pendopo.
DI ruangan pendopo terpasang beberapa lentera tembaga, tapi di tengah
kabut tebal yang tampak aneh ini, tampak serupa api setan (api pospor) yang
berkelip di tanah perkuburan sunyi.
Lamkiong Peng menaiki undak-undakan dan menuju ke pintu pendopo,
sekonyong-konyong ia membalik tubuh dan memandang sekeliling,
perkampungan yang megah ini seperti terbenam di dalam kabut melulu hingga
terasa lebih seram dan misterius.
Seketika hati Lamkiong Peng juga timbul semacam perasaan aneh, pada saat
itulah tiba-tiba dekat belandar pendopo bergema pula suara aneh tadi,
“Lamkiong Peng, apakah kedatanganmu ini hendak mencari Yim hong-peng
untuk meminta obat penawar racun?”
Hati Lamkiong Peng tergetar pula, ia berpaling ke atas, di tengah pendopo
yang remang itu suara orang tadi masih mendengung. Karena rasa ingin
tahunya mendorongnya tanpa pikir terus langsung melompat ke atas belandar
sana.
Belandar tengah pendopo sangat tinggi, tapi jarak tiga tombak ini tidak
menjadi soal bagi Lamkiong Peng.
Siapa tahu, baru saja tubuhnya meninggalkan permukaan tanah, mendadak
terasa tenaga tidak cukup, ia terkejut, sebisanya tangannya meraih keatas dan
keburu memegang belandar.
Waktu ia pandang keadaan setempat, debu memenuhi belandar itu, mana ada
bayangan orang segala.

Tentu saja ia terkesiap, segera ia melayang turun lagi ke bawah. Dilihatnya
Yim hong-peng sedang memandangnya dengan tersenyum, Cuma senyuman
yang mengandung rasa misterius.
Air muka Wiki tampak guram, pelahan ia mendekati meja dan mengambil
sebatang jarum baja panjang utnuk mengungkit sumbu lampu sehingga
cahaya lampu tambah terang namun tetap sukar menembus kabut yang tebal
dan mengurangi keseraman suasana.
Lamkiong Peng sendiri lagi menyesali diri sendiri mengapa tenaganya bisa
terasa habis setelah lelah semalaman, namu ia tetap tidak gentar, mendadak
ia mendongak dan berseru dengan lantang, “Sahabat ini siapa? Kenapa mesti
main sembunyi dalam kegelapan? Apakah tidak punya keberanian untuk
menemuiku?
“Haha” terdengar Yimhong peng tergelak, “Jika engkau sudah datang kemari,
tujuanmu tentulah ingin minta obat penawar padaku. Akan tetapi saat ini
tenaga murnimu sudah lemah, biarpun kaumain kekerasan juga takkan
terkabul maksud tujuanmu.”
Tiba-tiba Lamkiong Peng merasakan telapak tangan sendiri yang berlepotan
debu kotoran belandar itu terasa kaku kejang, seperti dikuasai oleh semacam
tenaga yang menggerakkan otot dagingnya.
Pelahan ia menjawab, “Jika kutukar dengan sesuatu, apakah kau dapat
berikan obat penawarnya?”
“Itu harus diketahui dahulu barang apa yang hendak kautukarkan?” jengek
Yim Hong-peng, “Supaya kautahu biarpun diriku seorang kasar, tapi kalo
Cuma benda mestika biasa atau batu permata bisa saja tidak kupandang
sebelah mata.”

Dengan tenang Lamkiong Peng menjawab, “barang yang hendak kugunakan
untuk menukarkan obat penawarmu adalh jiwa orang she Lamkiong ini”
Tergetar hati Wiki.
Yim hong-peng juga melenggak, “Apa katamu? Coba jelaskan lagi?”
Dengan lantang Lamkiong Peng berkata, “Asalkan kauberikan obat
penawarmu, besok kupasti kembali lagi kesini.......”
“Meski ingin kupercaya kepada janjimu, tapi........”
“Kutahu janjiku tentu takkan dipercaya olehmu,“ potong Lamkiong Peng
,“Supaya kalian tidak sangsi, boleh kauberi minum padaku racun yang bekerja
sehari kemudian, lalu serahkan obat penawarmu.”
Yim Hong-peng terbahak-bahak, “Haha, bagus, bagus! Tapi ingin kutanya dulu
padamu, sesungguhnya apa alasanmu sehingga kau pandang jiwa orang lain
terlebih penting daripada nyawa sendiri?”
Tanpa pikir Lamkiong Peng menjawab, “Bila orang lain berbudi luhur bersedia
mati bagiku, kenapa aku tidak boleh mati bagi orang lain, kan lebih baik
kumati bagi orang, mati cara demikian pun akan mendatangkan ketentraman
hati.”
“Haha, betul juga, orang hidup akhirnya pasti mati,” seru Yim Hong-peng
dengan tergelak. “Tapi usiamu masih muda belia, di rumah ada ayah-bunda,
ada pula sahabat dan kekasih, jika sekarang harus mati begitu saja, apakah
engkau tidak merasa menyesal?”
Terkesiap juga Lamkiong Peng, mendadak teringat akan pesan tinggalan sang
guru dan rindu ayah-bundanya, hubungan baik sahabat dan cinta kekasih, tapi

ia pun tidak dapat melupakan budi kebaikan Tik Yang yang sekarang sedang
sekarat itu.
Dengan senyum mengejek Yim Hong-peng memandang anak muda itu,
disangkanya perkataannya telah menggoyahkan tekad gugur demi
persahabatan anak muda itu.
Tak teduga mendadak Lamkiong Peng menegadah dan berucap tegas, “Mana
obat racunnya?”
Air muka Yim hong peng berubah, juga Wiki dan lain-lain sama terkesiap.
Tiba-tiba dari pojok ruang pendopo yang kelam sana bergema pula suara aneh
itu, “Racun berada di sini!”
Serentak Lamkiong Peng berpaling ke sana, dari tempat yang kelam sana
mendadak melayang tiba sebuah talam. Cara bergerak talam ini sanat aneh,
serupa dipegang oleh sebuah tangan yang tidak kelihatan dan disodorkan
pelahan ke depan Lamkiong Peng.
Sekali meraih Lamkiong Peng pegang talam itu, diatas talam ada sebuah kotak
kemala kecil, tanpa curiga Lamkiong Peng ambil kotak kecil itu, sekali tolak ia
dorong talam kembali ke sana. “Barak”, talam kayu membentur dinding dan
ternyata tidak di sambut orang.
Sang surya sudah mulai terbit di ufuk timur, namun cahaya matahari pagi
tetap tidak dapat membelah kabut tebal yang aneh ini, kembali tereium bau
harum sayup-sayup terbawa angin.
Dengan sorot mata acuh tak acuh Yim hong-peng memandang Lamkiong Peng,
terlihat anak muda itu sedang mendongak dan menuangkan isi kotak kemala
yang berupa bubuk putih kedalam mulutnya.

Begitu kukuh dan tegas sikap Lamkiong Peng seolah-olah yang diminum itu
bukan racun segala. Ia angkat secangkir teh yang tersedia di atas meja dan
dibuat kumur. Dirasakan telapak tangan berkejang pula, memegang cangkir
teh saja rasanya tidak kuat lagi. Ia menjadi sangsi masakah racun dapat
bekerja secepat ini?
Setelah menaruh kotak kemala dan cangkir teh di atas meja, dengan suara
berat ia berkata, “Sekarang serahkan obat penawarnya.”
“Obat penawar apa?” tanya Yim hong peng.
Seketika Lamkiong Peng menarik muka, bentaknya, “kau.....jadi kau.......”
“Racun yang kauminum kan bukan pemberianku,” jengek Yim hong-peng,
habis berkata, lengan bajunya mengebas dan segera ditinggal pergi.
Seketika hati Lamkiong Peng panas seperti dibakar. Ia tidak tahan lagi, segera
ia menubruk ke arah Yim hong-peng.
Namun Yim hong peng tetap melangkah ke depan dengan tenang, tampaknya
Lamkiong Peng segera akan menerrjang tuubuhnya, siapa tahu mendadak
serangkum angin keras meyambar tiba dari balik kabut tebal sana, meski tidak
bersuara, tapi kekuatannya sukar untuk ditahan.
Seketika Lamkiong Peng merasa seperti didiorong oleh kekuatan dasyat, tanpa
kuasa ia terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh terduduk di atas kursi.
Menyaksikan itu, Wiki menghela nafas panjang, mendadak ia bertindak keluar
dengan langkah lebar. Sedangkan Yim hong peng lantas membalik tubuh
dengan pelahan.
Setelah menenangkan diri, dengan gusar Lamkiong Peng membentak,”Bangsat
yang tidak pegang janji, kau.........”

Dari balik kabut ada orang yang menjengek, “Hm, memangnya siapa yang
pernah berjanji akan memberi obat penawarnya kepadamu?”
Saking gemasnya hingga Lamkiong Peng tidak sanggup bicara lagi.
Terdengar suara aneh di balik kabut berkata pula, “Sekali kau masuk
perkampungan ini berarti jiwamu sudah tergenggam di dalam tanganku,
masakah ada hak bagimu untuk bicara tentang tukar menukar obat penawar
segala?”
Ucapan ini sangat menyakitkan hati Lamkiong Peng, hatinya serasa terkoyakkoyak,
rasa murka dan sedih setelah tertipu, rasa cemas dan putus asa
membangkitkan sisa tenaganya yang terakhir, mendadak ia menubruk kesana,
diterjangnya bayangan di balik kabut yang tebal itu.
Akan tetapi baru saja tubuhnya melompat ke atas, kontan ia tidak tahan dan
jatuh menggeletak lagi ke tanah, sayup-sayup didengarnya suara jengekan
orang, remang-remang sesosok bayangan orang seperti mendekatinya dari
balik kegelapan sana.
Akan tetapi kelopak matanya terasa sedemikian berat sehingga sukar terbuka
lagi, samar-samar hanya terlihat sepasang sepatu yang mengkilat pelahan
bergeser mendekat...........
**********************
Suara langkah kaki yang berat dari jauh mendekat dari pelahan bertambah
keras........
Sinar sang surya yang baru terbit menembus celah-celah tirai dan menyinari
kelambu barsulam bunga, tempat tidur yang menyiarkan bau harum
semerbak.

Bersama dengan mendekatnya suara langkah orang, mendadak kelambu
tersingka, seorang pemuda cakap segera berbangkit dan duduk ke tepi
ranjang, mukanya kelihatan pucat, sinar matanya gemerdep takut seperti
orang yang merasa berbuat dosa.
Cahaya sang surya yang menyilaukan itu membuatnya mengalingi mukanya
dengan sebelah tangan, ia tidak berani menatap sinar marahari, sebab ia
kuatir sinar sang surya akan menerangi kejahatan yang tersembunyi dalam
lubuk hatinya.
Suara langkah kaki tadi mendadak berhenti di depan pintu. Muka pemuda itu
bertambah pucat, segera ia hendak berdiri, tak terduga dari balik kelambu di
belakangnya lantas berjangkit suara tertawa genit, sebuah tangan putih mulus
telah memegang pergelangan tangannya sambil menegur, ‘He kaumau apa?”
Dengan rasa gugup pemuda itu memandang ke arah pintu.
Kembali suara tertawa di belakang kelambu bertanya lagi, “boleh kau tanya
siapa yang diluar?.........Tanyalah, kanapa takut?”
Pemuda itu berdehem terlebih dahulu, lalu bertanya dengna suara berat,
“Siapa itu?!”
Meski Cuma satu kata yang sedehana, tyapi baginya serasa telah banyak
memakan tenaga.
Di luar lantas bergema juga orang berdehem. Dengan gugup pemuda pucat itu
duduk kembali ke tempat tidur. Terdengar suara seorang menjawab dengan
rasa takut-takut, “Apakah Tuan tamu ingin meminta sesuatu?”
Pemuda pucat ini mengusap keringat dingin yang membasahi dahinya, sambil
menghela nagas lega, lalu berteriak, “Tidak!”

Segera bergema pula suara tertawa nyaring di balik kelambu.
Pemuda pucat itu menghela nafas, katanya, “Ai kukira.........kukira Toako yang
berada diluar. Semalam aku..........bermimpi buruk sebentar mimpi suhu
merangket diriku, lain saat mimpi toako lagi mendamprat diriku dan..............”
Pemuda pucat itu menunduk, mandadak tangan putih mulus itu menariknya
sehingga pemuda itu jatuh kedalam rangkulan yang hangat dan harun
sehingga tidak sanggup lagi melepaskan diri lagi serupa seekor kelinci jatuh ke
dalam perangkap si pemburu.
Pelahan kelambu tertutup lagi, sejenak kemudian sebelah kaki yang putih
bersih pun terjulur ke tepi ranjang yang berguncang pelahan.......
“Adik Tim,” terdengar suara lembut bergema pula di balik kelambu, “andaikan
benar Toako datang, lantas bagaimana?”
“Aku....aku........” Agaknya pemuda itu tidak sanggup menjawab.
Kaki putih tadi tampak terjulur lemas, lalu sampai lama tiada suara lagi di balik
kelambu. Kemudian sbeleh kaki yang lain juga menjulur kebawah, lalu seorang
perempuan cantik dengan rambut kusut pelahan berdiri, bajunya yang tipis
melambai ke bawah sehingga menutupi kakinya yang indah.
IA membetulkan rambutnya sambil mengehela nafas gegetun, katanya, “Adik
Tim, kutahu engkau benar masih suka padaku.”
Pemuda pucat itu pun muncul dari balik kelambu dan memandang perempuan
menggiurkan itu dengan melenggong, katanya kemudian, “Aku.....aku
memang suka padamu, namun toako setiap saat dapat.........dapat datang,
sungguh aku sangat.........sangat takut.”

Perempuan cantik menggiurkan yang habis main pat gulipat dengan pemuda
pucat ini ialah Kwe giok-he, mandadak ia berpaling ke sana dan menatap
pemuda itu dengan tajam, katanya, “Jika selamanya toako takkan kembali
lagi, lantas bagaimana?”
Pemuda bermuka pucat itu bukan lain ialah Ciok Tim, ia melenggak sejenak
lalu berucap dengan heran. “Toako takkan kembali lagi?”
Giok he mendengus pelahan ia melangkah ke sana dan duduk di kursi,
katanya, ‘Jika dia tidak mati kan seharusnya sudah lama di datang ke Se-an?”
Air muka Ciok Tim tambah pucat, katanya dengan tergagap,
“Mak.....maksudmu.......”
Mendadak Giok he memotong, ‘Tempo hari ketika di puncak Hoa san sudah
kulihat jurang diluar rumah gubuk itu, setiap saat dapat terjadi malapetaka,
bisa jadi di sana tersembunyi sesutau kejahatan yang belum terbongkar. Tentu
kaulihat juga wajah mayat itu penuh rasa kejut dan takut, padahal tubuh
mayat itu tidak terdapat tanda luka senjata atau pukulan jelas dia mati karena
ketakutan.’
‘Mati ketakutan?’ Ciok Tim menegas dengan melongo.
Giok he mengangguk, katanya pula, ‘kemudian ketika kau susul tiba,
bukankah kaulihat tiba-tiba aku bersenyum?’
‘Kukira engkau tersenyum kepada.......kepadaku,’ kata Ciok Tim.
‘Biarpun kusenang karena melihatmu, namun senyumanku itu adalah karena
kudengar, suara jeritan ngeri di bawah jurang itu.’
‘Jeritan ngeri? Kenapa aku tidak mendengar?”

‘Waktu itu engkau lagi asyik memperhatikan diriku, dengan sendirinya tidak
mendengar, namun dapat kudengar dengan jelas jeritan yang keras dan
cemas itulah suara Toakomu. Coba kaupikir, menuruti watak Toakomu yang
keras, bilamana dia tidak mengalami sesuatu musibah, mana bisa dia
mengeluarkan jeritan ngeri tiu.”
Ciok tim terkesima bingung, entah merasa senang, bersyukur, gelisah atau
sedih.
Sembari menggulung rambutnya, Giok he berkata pula dengan pelahan,
“Semula aku belum berani memastikannya, tapi setelah sekian hari tiada
kelihatan bayangan Toakomu, bila dia tidak mati, mustahil sampai sekarang
tidak muncul lagi di sini. Dengan nama dan bentuknya, begitu masuk kota Sean
pasti akan dikenal orang dan segera tersiar.”
Bola mata Giok he mengerling dan tersembul senyuman puas yang sukar
diraba, lalu berkata pula, “Setelah bertemu dengan perempuan iblis itu,
sekalipun semalam Lo-ngo (kelima, maksudnya Lamkiong Peng) dapat
menyelamatkan diri, tentu selanjutnya juga tidak berani lagi emnongol di
dunia kangouw, bahkan pulang ke rumah saja mungkin juga tidak berani.......”
Ia sengaja menghela nafas, namun senyumnya bertambah cerah, sambungnya
lagi, “Tak tersangka Anak murid Ji-hau-san-ceng akhirnya tersisa kita berdua
saja, betapa besar perusahaan yang ditinggalkan suhu itu terpaksa harus
kuurus sendiri. Ai, selanjutnya engaku harus membentuku adik Tim.”
Ciok Tim tidak menoleh, bahkan melengos ke arah lain, sebab saat itu air
matanya berlinang memenuhi kelopak matanya, entah air mata terharu,
meyesal atau sedih.
***********************

Menjelang lohor, Giok he dan Ciok Tim tamapak keluar dari hotel. Langkah
Ciok Tim diperlamabat sehingga bertahan suatu jarak tertentu di belakang Kwe
giok-he. Jarak yang layak seorang sute mengiringi sang suci. Namun sinar
matanya tanpa terasa selalu jatuh ke arah pinggang Giok he yang ramping.
Jalan raya di tengah kota Se-an jelas berbeda daripada biasanya, hal ini
disebabkan kegemparan yang terjadi semalam, sampai saat ini perasaan
penduduk masih belum tentram kembali. Juga lantaran toko-toko yang
memasang panji “grup Lamkiong” hari ini sama tutup, jelas disebabkan
mengalami suatu kejadian yang luar biasa.
Dengan tenang Giok he melangkah ke arah Boh-liong-ceng, namun segala
sesuatu di sekelilingnya tidak terlepas dari pengematannya.
Sebab itulah dia tidak menumpang melainkan lebih suka berjalan.
Jalan raya yang kelihatannya tentram tapi jelas ada kelainan itu akhirnya
bergema suara derap kaki kuda dari kejauhan sana. Waktu Giok-he menoleh,
dilihatnya tiga ekor kuda tinggi besar dengan pelana yang mengkilat muncul
dari belakang.
Kuda belang yang di depan ditunggangi seorang pemuda gagah berbaju satin
dan muka cakap, pedang bergantung di pinggangnya, tubuhnya yang
jangkung duduk tegak di atas pelana, sorot matanya yang menampilkan sinar
kepongahan mengerling kian kemari seperti tiada seorang pun di dunia ini
terpandang olehnya.
Tapi ketika melihat lirikan mata Kwe giok-he, mendadak pemuda itu menahan
kudanya, “tring”, sarung pedang bersepuh emas menyentuh pelana kuda dan
menimbulkan suara nyaring, tanpa menghiraukan sopan santun ia memandang
Giok-he dari atas ke bawah dan sebaliknya dengan cengar-cengir.

Air muka Ciok Tim berubah masam, sedapatnya ia manahan rasa gusarnya
dan tidak menghiraukan sikap orang yang kurang ajar itu.
Sebaliknya sikap Giok-he meski kelihatan prihatin, tapi lirikannya serupa
sengaja dan tak sengaja justru mengerling lagi dua kejap ke arah orang, lalu
menunduk.
Karena itu pemuda penunggang kuda itu tambah berani, pelahan ia terus
mengintai di belakang Giok-he, sorot matanya tidak pernah meninggalkan
pinggang Giok he yang ramping menggiurkan itu.
Kedua penunggang kuda lain yang mengikut dibelakangnya adalah dua kacung
yang juga berdandan perlente, keempat mata mereka yang besar juga sedang
memandang Giok he dengan penuh minat.
Dandanan kedua anak ini serupa, bahkan wajah dan perawakan juga sama,
namun sikap dan gerak-geriknya agak berbeda, kalau yang satu tampak pintar
dan lincah, yang lain kalihatan pendiam dan prihatin serupa orang dewasa.
Ciok Tim tidak tahan lagi akan rasa gusarnya, ia menyusul ke dekat Kwe giokhe.
Si pemuda berbaju perlente memandang sekejap, mendadak ia tertawa, lalu ia
melrikan kudanya cepat ke depan.
“Hm kurang ajar benar orang ini! jengek Ciok Tim
Kacung sebelah kanan mendadak menahan kudanya dan menegur dengan
mata melotot, “Apa katamu?”
Sedangkan kacung yang lain lantas mencambuk pantat kuda kawannya dan
mengomel,”sudahlah, lekas berangkat, cari gara-gara apa lagi?”

Setelah kedua kacung itu pun melarikan kudanya ke depan, dengan tersenyum
Kwe giok-he tanya Ciok Tim, “Kau kira orang macam apakah pemuda tadi?”
“Hm, besar kemungkinan anak kemarin sore yang baru tamat belajar,
mungkin anak keluarga hartawan yang biasa berbuat tidak semena-mena,
“jengek Ciok Tim.
Giok-he memandangi bayangan punggung ketiga orang di depan sana,
katanya, ”Tampaknya tidak rendah ilmu silat mereka, tentu dari perguruan
ternama.”
Diantara kerlingan dan kerut keningnya agaknya timbul lagi sesuatu
pikirannya, hanya hal ini tidak dilihat oleh Ciok Tim.
Setelah melintasi lagi dua simpang jalan tertampaklah gedung megah dengan
halaman luas, itulah Boh-liong-ceng, tempat kediaman Wiki.
Baru saja mereka sampai di depan gerbang perkampungan itu, terdengarlah
derap kaki kuda yang ramai, ketiga pemuda penunggang kuda tadi telah
menyusul tiba. Seketika air muka Ciok Tim berubah, gumamnya, “Hm,
tampaknya mereka sengaja menguntit kita.”
“Jangan cari perkara,” ujar Giok he dengan tersenyum.
Tiba-tiba si pemuda perlente penunggang kuda tadi melompat turun dari
kudanya dan tepat berdiri di samping Giok-he.
Dengan mendongkol Ciok Tim lantas memburu maju dan melototi orang
dengan sikap bermusuhan.
Selagi pemuda perlente itu hendak menyapa, sekonyong-konyong pintu
gerbang perkampungan megah itu terkuak, menyusul terdengarlah gelak
tertawa lantang, tertampak Wiki dan Yim-hong peng muncul dari dalam,

sembari berseru, “Aha, rupanya ada tamu dari jauh, maaf jika tidak kusambut
selayaknya!”
Dengan wajah berseri si pemuda perlente lantas berpaling ke sana dan
memberi salam hormat.
Diam-diam Ciok Tim berkerut kening, ia heran orang macam apakah pemuda
ini sehingga Wiki merasa perlu menyambut keluar.
Di luar dugaan, Wiki hanya menyapa, sekedarnya saja kepada pemuda
perlente itu, lalu langsung menghampiri Kwe giok-he dan berucap, “Liong hujin
sungkan bermalam di tempatku ini, tentu semalam telah beristirahat dengan
tenang.”
“Terimakasih atas perhatian Wi-locianpwe,” kata giok he, sambil memberi
hormat.
Baru sekarang Ciok Tim tahu bahwa yang hendak di sambut oleh Wiki ternyata
mereka berdua bukan pemuda perlente tadi.
Sebaliknya pemuda perlente tadi merasa kikuk karena yang disambut tuan
rumah ternyata bukan dirinya, dengan tercengang ia pandang Wiki dan Giok
he.
Ketika dilihatnya Ciok Tim sedang meliriknya dengan sikap mengejek, seketika
dia mendelik, dengan suara dongkol, ia menjengek, “Apakah tempat ini
memeng betul Boh-liong-ceng?”
Dengan sinar mata gemerdep Yim hong-peng menanggapi, “Betul, apakah
saudara ini bukan serombongan dengan Liong-hujin?”
Pemuda itu menjengek, “Kudatang dari Tong-thian-kiong di puncak Kun-lunsan,
siapa Liong-hujin belum pernah kukenal.”

Seketika hati Giok he, ciok Tim, Wiki dan Yim hong-peng sama tergetar.
“Aha, kiranya anda ini murid Kun-lun pai, silakan masuk, kebetulan meja
perjamuan sudah siap, marilah kita minum bersama barang satu-dua cawan,
seru Wiki.
Hendaknya dimaklumi anak murid Kun-lun pai sangat jarang muncul di dunia
kangouw. Biasanya orang kangouw juga sedikit sekali yang berkunjung ke
Kun-lun-san, sejak dahulu Put-si-sin-liong mengalahkan Ji-yan Tojin, ketua
Kun-lun-pai dipuncak pegunungan itu, berita mengenai murid utama Ji-yan
Tojin yaitu Boh-in-jiu Tok put-hoan, sangat menonjol di dunia kengouw dan
merupakan salah seorang jago pedang yang disegani.
Bahwa pemuda perlente ini adalah murid Kun-lun-pai, mau tak mau Wiki harus
melayaninya dengan cara lain. Ban-li-liu-hiang Yim hong-peng lantas ikut
menyambut juga dengan hormat seakan-akan dia adalah tuan rumahnya.
Sikap pemuda perlente itu tampak tambah congkak, tanpa sungkan ia lantas
mendahului masuk ke dalam Boh-liong-ceng.
Diam-diam Ciok Tim mendongkol, dengan suara tertahan ia membisiki Kwe
giok-he, “Jika orang ini saudara seperguruan Boh-in-jiu itu, artinya dia juga
musuh Ji-hau-san-ceng kita, rasanya aku ingin menjajalnya, ingin kutahu
betapa lihainya anak murid Kun-lun-pai.”
“Berbuatlah menurut gelagat, jangan sembarangan bertindak,” desis Giok-he
sambil menarik ujung bajunya.
Sementara itu sang surya sudah memancarkan cahayanya yang gilang
gemilang, kabut tebal tadi sudah tersapu lenyap, suasana misterius yang
meliputi ruang pendopo tadi pun lenyap.

Di tengah ruangan memang benar sudah siap meja perjamuan, dengan
tertawa Wiki lantas berseru, “Liong-hujin...........”
Belum sempat ia menyilakan duduk orang, sekonyong-konyong si pemuda
perlente tanpa sungkan lantas menduduki tempat utama seakan-akan tempat
itu memang disediakan untuk dia.
Selaku tuan rumah, tentu saja Wiki berkerut kening dan kurang senang, ia
pikir biarpun anak murid Kun-lun-pai seyogyanya juga tidak boleh sesombong
ini.
Ciok Tim juga lantas mendengus menyatakan rasa tidak senangnya. Namun
pemuda perlente itu sengaja menengadah dan tidak menghiraukan cemooh
orang lain.
Giok-he hanya tersenyum saja dan duduk di tempat seadanya, Ciok Tim juga
tidak enak untuk bicara, terpaksa ia menahan perasaannya dan duduk di
samping Giok-he.
Dengan sendirinya Wiki tidak dapat memperlihatkan rasa marahnya, ia hanya
berdehem dan coba menyebutkan nama Kwe giok-he, Ciok-Tim dan Yim hongpeng,
maksudnya agar pemuda perlente itu terkejut dan dapat lebih tahu diri.
Siapa tahu nama ketiga orang ternyata tidak membuatnya gentar, ia hanya
menyapa pandang mereka sekejap, lalu ia menyebut nama sendiri dengan
nama dingin, “Dan namaku Cian Tong-lai.”
Lalu tidak bicara lebih banyak lagi, juga tidak bergerak dari tempat dudukhya,
hanya dipandangnya wajah Giok he yang cantik itu dua tiga kejap, entah dia
sengaja berlagak angkuh atau memang masih hijau sehingga tidak kenal nama
tokoh dunia persilatan yang menonjol ini.

Wiki juga mendongkol melihat sikap orang yang sombong itu, ia pikir biarpun
Tok put-hoan juga tidak berani bersikap seangkuh ini.
Setelah menyilakan tetamunya minum, dengan tertawa Wiki berkata,
“Agaknya Cian-heng belum lama terjun ke dunia kangouw, tapi kalau
dibicarakan sesungguhnya kita pun bukan orang luar. Beberapa tahun yang
lalu ketika suhengmu Toh-siauhiap baru turun dari Kun-lun-san, dia juga
mampir ke tempatku sini dan saling sebut sebagai saudara denganku haha.....”
Mendadak si pemuda perlente yang mengaku bernama Cian Tong-lai itu
memotong, “Toh put-hoan adalah sutitku.”
Tentu saja semua orang melenggak, sungguh sukar dipercaya Toh put-hoan
yang lebih tua itu ternyata murid keponakan pemuda she Cian ini.
Sambil tertawa Cian Tong-lai menenggak secawan arak lagi, lalu menuding
kedua kacung yang berdiri di pojok ruangan itu dan berkata, “Kedua bocah
itulah baru terhitung satu angkatan dengan Toh put-hoan.”
Baru sekarang Yim hong-peng dan Wiki terkejut. Cepat Wiki berkata dengan
menyengir, “O, maaf, jika begitu lekas kedua saudara cilik silakan duduk juga
untuk minum bersama.”
Anak yang bersikap prihatin itu berucap, “Susiok hadir disini, kami tidak berani
ikut duduk.”
Kacung yang lain menambahkan dengan tertawa, “Asalkan lain kali bila kami
berkunjung lagi ke sini jangan Wi-cengcu menyuruh kami berdiri di sini.”
Muka Wiki berubah merah, didengarnya kacung tadi berseru pula dengan
tertawa, “Wah, tak tersangka nama Toh-suheng sedemikian tersohor di dunia
kangouw, bila tahu tentu Toasupek akan sangat senang.”

Cian Tong-lai menyapu pandang sekejap lalu menyambung dengan ketus,
“Kedatanganku ini adalah karena nama WI ceng-cu yang termashur bermurah
hati dan gemar mengumpulkan orang pandai dan bijaksana........”
Dengan sorot mata tajam ia memandang Wiki sekejap, seketika air muka Wiki
bertambah merah. Maka Cian Tong-lai menyambung lagi. “Selain itu, ingin
juga kucari kabar tentang Toa sutitku itu.”
Berubah juga air muka Ciok Tim sambil memandang Giok he sekejap.
Pelahan Cian Tong-lai berkata lagi, “ Sejak meninggalkan Kun-lun-san, hanya
beberapa tahun pertama saja masih ada kabar beritanya, tapi akhir-akhir ini
tidak terdengar lagi sesuatu beritanya........”
Sampai di sini sinar matanya berkelebat ke arah Ciok Tim, lalu menyambung
dengan nada bertanya, “Jangan-jangan sahabat she Ciok ini mengetahui akan
jejak Toasutitku itu?”
Tergetar hati Ciok Tim sehingga arak tercecer dari cawan yang dipegangnya.
Lekas Giok he menyela, “Nama Boh-in-jiu memang sudah lama kami dengar,
Cuma sayang tidak pernah bertemu, cara bagaimana kami tahu jejaknya?”
Apa betul begitu?” jengek Cian Tong-lai.
Senyum Giok he tambah menggiurkan, katanya, “Ucapan murid Sin-liong-bun
kukira tidak perlu disangsikan.”
Mendadak sebelah tangannya menekan, cawan arak mendadak amblas ke
dalam meja, ketika tangannya terangkat, cawan arak ikut mumbul juga,
gerakannya cepat dan gesit, apa yang terjadi itu cuma sekejap saja.

Air muka Cian Tong-lai sedikit berubah, ia pandang wajah Giok he yang cantik
itu, mendadak ia bergelak tertawa, katanya, “Seumpama Hujin bukan anak
murid Sin-liong-bun juga kupercaya penuh kepada keteranganmu.”
Mendadak Ciok Tim mendengus.
Yim hong-peng tertawa, katanya, “Arak dan hidangan sudah dingin, ayolah
jangan mengecewakan maksud baik tuan rumah...........”
Belum lenyap suaranya, mendadak terdengar deru angin keras dari udara,
suasana menjadi gelap, berbareng itu terdengar pula suara burung, beberapa
ekor elang terbang lewat di depan pendopo, habis itu lantas terbang mengitar
di halaman, seluruhnya ada tujuh ekor burung elang.
Berubah air muka Wiki, serentak ia bangkit berdiri.
Si kacung yang lincah lantas berseru dengan tertawa, “Hihi, tak terduga di sini
juga ada elang sebesar ini, sungguh menarik.”
Baru habis ucapannya, sekonyong-konyong ia melompat miring ke atas, kedua
tangannya terpentang terus menubruk ke tengah kawanan elang yang terbang
mengitar itu.
Kacung itu bergerak dengan santai, tapi meluncur secepat kilat, bajunya yang
perlente itu berkelebat, tahu-tahu sebelah tangannya sudah berhasil
menangkap sayap salah seekor elang itu.
“Bagus!” seru Giok he sambil berkeplok tertawa.
Elang itu bersuara kaget, keenam ekor elang yang lain serentak terbang balik,
sekaligus mereka hendak mematuk si kacung.
Tiba-tiba dari kejauhan ada suara jepretan busur dan bentakan orang, “Pukul!”

Berbareng itu selarik sinar hitam menyambar tiba.
Semua itu hanya terjadi dalam sekejap, belum lagi tubuh si kacung turun ke
bawah, tahu-tahu cahaya hitam itu sudah menyambar, paruh keenam ekor
elang yang tajam itu pun akan mengenai tubuhnya.
Baru saja Giok-he berseru “bagus”, seketika ia menjerit pula, “Celaka!”
Yim hong-peng, Wiki, Cian Tong-lai juga berseru kuatir, si kacung
mengendurkan cengkramannya, kedua kaki di tekuk, ia berjumpalitan sekali di
udara, lalu turun ke bawah dengan enteng, walaupun begitu ujung bajunya
juga telah tertembus oleh cahaya hitam tadi.
Kacung yang lain tidak tinggal diam, ia pun membentak, “Lihat serangan!”
Sekaligus tujuh titik perak terpancar ke depan menyerang ketujuh ekor elang.
Keenam ekor elang berbunyi kaget dan terbang ke udara, seekor sempat
tersambit oleh senjata rahasia si kacung dan jatuh ke tanah bersama si kacung
pertama tadi.
Cahaya hitam tadi masih menyambar ke depan dengan kencang dan “crat”,
menancap di dinding, nyata tenaga pemanah itu sangat kuat.
Dengan muka kelam Cian Tong-lai berbangkit dan berkata, “Wi cengcu, apa
cara demikian Boh-liong-ceng meladeni tamunya?”
Belum lenyap suaranya segera terdengar pula orang berteriak lantang di luar,
“Tujuh elang menjulang ke udara, gemilang usaha kami malang melintang.
Air muka Wiki berubah seketika, gumamnya, “Jit-eng-tong (Klik tujuh elang)!”

Pada saat itulah seorang lelaki berbaju hitam muncul dengan membawa
sehelai kartu merah besar dan dihaturkan kepada Wiki. Waktu Wiki membuka
dan membacanya, ternyata kartu merah itu tidak terdapat tulisan apa pun
melainkan Cuma terlukis tujuh ekor burung elang yang berwarna berbeda
dengan gaya yang berlainan dan kelihatan seperti elang hidup.
“Tamu agung silahkan masuk!” segera Wiki berseru sambil memburu keluar.
Kening Yim hong-peng bekerenyit sambil bergumam, “Jit-eng-tong...........Jiteng-
tong!”
Lalu ia pun melangkah keluar.
Cian Tong-lai memandang bayangan punggung kedua orang itu, sinar matanya
menampilkan nafsu membunuh, ia coba tanya si kacung yang jatuh tadi, Giokji,
apakah kau terluka?”
Giok-ji menggeleng pelahan, namun mukanya kelihatan pucat, sikapnya yang
lincah dan periang tadi kini tak tertampak lagi.
“Boleh juga anak ini, tampaknya dia Cuma terkejut oleh sambaran anak panah
dan tidak menjadi alangan,” ujar Giok-he.
“Hm, anak murid Kun-lun mana boleh.........”
Belum lanjut jengekan Cian Tong-lai, sekonyong-konyong berkumandang
suara orang ramai dari halaman sana. Tiba-tiba elang yang terluka tadi
pentang sayap hendak terbang ke udara, tapi sekali tangan Cian Tong-lai
menuding ”crit”, kontang elang yang baru melayang setinggi manusia itu jatuh
lagi ke lantai.
“Khikang yang hebat!” seru Giok-he memuji sambil melirik Ciok Tim,
tertampak air mukanya berubah. Sungguh tak tersangka anak muda yang

congkak itu memiliki kungfu selihai ini, agaknya lebih hebat dari pada ketua
Kun-lun-pai sendiri.
Pada saat itulah dari balik gunung-gunungan halaman sana bergema bentakan
seorang, menyusul sesosok bayangan tinggi besar melayang tiba, ia
berjongkok dan menjemput bangkai elang tadi, di bawah sinar sang surya
kelihatan rambutnya yang putih dan sorot matanya yang guram, orang tua
yang tinggi besar dengan baju perlente ini kelihatan sedih sehingga tangan
yang memegang bangkai elang rada gemetar.
Ia berdiri termangu sejenak, lalu bergumam seperti mau menangis, “O, siauang........
kau.......kau mati!......”
Dari balik gunung-gunungan sana lantas muncul pula enam kakek berjenggot
dan rambut ubanan, semua dengan baju perlente, namun dari gerak geriknya
tidak terlihat ketuaan mereka.
Muka keenam kakek ini tidak sama, dandanan mereka serupa, hanya pinggang
masing-masing terikat tali sutera berlainan warna.
Seorang diantaranya berwajah putih bermata tajam dan selalu tersenyum, tali
pinggangnyya berwarna putih, muncul diapit oleh Wiki dan Yim hong-peng.
Ketika melihat si kakek bertali pinggang merah lagi berduka memegangi
bangakai elang, segera kakek muka putih bertanya, “Ada pada, Jit-te? Apakah
siau-ang terluka?”
“Mati.......bahkan sudah mati......”gumam si kakek tali merah, mendaak ia
berteriak murka, “Siapa yang membunuhnya.....siapa.........”
Suaranya keras mendengung memekak telinga. Tanpa terasa si kacung yang
bernama Giok-ji tergetar mundur setindak.

Mendadak si kakek bertali merah berpaling, sorot matanya terpancar tajam,
sambil memegang bangkai elang ia terus menubruk maju, sebelah tangannya
segera meraih pundak si kacung.
Giok-ji seperti tertegun oleh keberingasan orang, ingin mengelak, tapi tidak
keburu lagi, pundak terasa kencang dicengkram tangan si kakek.
“Siau-ang terbunuh olehmu bukan?” bentak si kakek.
Kacung itu terkesiap, tapi tangan kanan mendadak bekerja, hiat-to bagian iga
si kakek hendak ditutuknya.
Terkejut juga si kakek oleh serangan ini, sedikit menggeliat dapatlah ia
menghindar, tak tersangka kaki kiri si kacung juga lantas melayang ke depan,
mengarah selakangan si kakek.
Dalam keadaan demikian bila si kakek tidak lepas tangan, seketika dia bisa
menggeletak binasa.
Terpaksa si kakek menyelamatkan diri lebih dulu, ia melompat mundur.
Tak terduga pundak segera terasa kesemutan, tahu-tahu dicengkram orang,
suara orang yang ketus bergema di samping telinganya, “Akulah yang
membunuh binatang piaraanmu itu.”
Kejadian ini berlangsung dengan cepat dan membuat semua orang
melenggong. Dengan kuatir cepat Wiki berseru, “He, Cian siau-hiap........Ang
jitya, ada urusan apa marilah bicara secara baik-baik!”
Serentak keenam kakek berbaju perlente juga memencarkan diri dan
mengepung Cian Tong-lai dan kedua kacungnya di tengah.

Namun Cian Tong-lai menghadapi mereka dengan santai saja, ia tetap
mencengkram pundak si kakek bertali merah, dengan tak acuh ia pandang
keenam kakek itu satu persatu, sama sekali tidak gentar terhadap ketujuh
kakek yang terkenal sebagai Thian-hong-jit-eng (tuju elang menembus langit)
Ketujuh piaokiok (perusahaan pengawalan) yang termashur sejak 30 tahun
yang lampau.
Si kakek bertali merah tidak dapat berkutik, hanya mata mendelik dan jenggot
seakan-akan menegak, bahkan juga tidak berani bersuara. Sebab dirasakan
ada arus tenaga kuat tersalur dari Koh-cing-hiat di bagian pundak menembus
ke dalam tubuh, bilamana tubuh sendiri sedikit meronta, bukan mustahil
tenaga tidak kelihatan itu akan bekerja keras dan menggetar putus urat nadi
jantungnya.
Keenam kakek berbaju perlente dari Thian-hong-jit-eng itu sangat gusar, tapi
tidak berani sembarang bertindak mengingat kawan sendiri berada dalam
cengkraman musuh.
Giok-he mengerling sekejap, dilihatnya wajah Wiki menampilkan rasa cemas
dan kuatir, sedangkan Yim hong peng tetap tenang saja. Kedua kacung tadi
sedang mengawasi keenam kakek dengan was-was, keenam ekor elang tadi
kembali terbang mengitar di udara tepat di atas kepala Cian Tong-lai seakanakan
mengetahui bahaya yang sedang mengancam si kakek bertali merah.
Sekonyong-konyong keenam ekor elang sama berbunyi dan menubruk ke
bawah, sekaligus mematuk kepala Cian Tong-lai. Berbareng itu keenam kakek
juga membentak dan serentak menerjang maju.
Alis Cian Tong-lai menegak mendadak, sebelah tangannya menampar ke atas,
kontan keenam ekor elang terdampar oleh angin pukulan dasyat sehingga
tertahan dan tidak mampu menembus angin pukulan.

Kesempatan itu segera digunakan si kakek bertali merah untuk mendak ke
bawah terus hendak memberosot ke samping.
“Hm, ingin lari!” jengek Cian Tong-lai.
Saat itu juga seorang kakek bertali pinggang warna putih sempat melompat
tiba lebih dulu, segera ia menarik kakek bertali pingggang merah dan tak
sempat menyerang Cian Tong-lai.
Kedua kacung tadi tidak tinggal diam, mereka songsong si kakek bertali ungu
dan kuning, walaupun usai kedua kacung ini masih muda belia, tapi mereka
tidak gentar menghadapi lawan tangguh.
Si kakek bertali ungu dan kuning saling pandang sekejap, lengan baju mereka
mengebas dan keduanya sama menyurut mundur, betapapun tokoh Jit-engtong
yang termashur tidak sudi bergebrak dengan dua anak ingusan.
Dan karena daya tubrukan kawanan elang tadi tertahan oleh angin pukulan
Cian Tong-lai, setelah merandek, segera menubruk lagi ke bawah, Saat itu
juga Cian Tong-lai sudah terkepung oleh ketiga kakek yang bertali pinggang
berwarna hijau, hitam, biru, sekali bergerak, kembali ia desak mundur ketiga
kakek itu, lalu mnejengek, “huh, main kerubut, dibantu pula kawanan hewan,
kiranya beginilah jago silat daerah Tionggoan.”
Muka si kakek bertali hitam tampak dingin. Mendadak si kakek bertali biru
bersuit pelahan sambil menggeser ke samping kawannya, kawanan elang yang
sedang menubruk ke bawah mendadak terbang lagi ke atas.
Si kakek bertali hijau berseru, “Lakte, mundur dulu, biar kubelajar kenal
dengan orang angkuh ini!”
Segera ia melancarkan beberapa pukulan dasyat, meski perawakannya paling
kecil, tapi kekuatannya sangat mengejutkan.

Si kakek bertali putih sempat menarik kakek bertali merah ke pinggir kalangan
dan kebetulan di samping Giok-he berdiri. Dengan simpatik Giok he bertanya,
“Tampaknya tidak ringan luka Locianpwe ini, kubawa obat luka dalam jika
sekiranya perlu pakai.
Si kakek bertali putih tersenyum, katanya, “Terima kasih, cuma saudaraku ini
hanya tertutuk Hiat-to kelumpuhannya saja, sebentar lagi dapat bergerak lagi
dengan bebas.”
Dalam pada itu si kakek bertali hijau sudah bergebrak beberapa jurus dengan
Cian Tong-lai, keduanya sama bergerak dengan cepat, namun tenaga pukulan
si kakek bertali hijau ternyata tidak tahan lama, sudah mulai lelah.
Si kakek bertali kuning bergeser ke sisi Giok-he dan bertanya dengan suara
tertahan, “Apakah anak muda ini sekomplotan denganmu?”
“Jika kami sekomplotan, tentu dia takkan berbuat sekasar itu kepada para
Locianpwe” jawab Giok he dengan menyesal.
Sementara itu si kakek bertali putih sedang menguruti tubuh si kakek bertali
merah, tanpa menoleh ia menukas, “Pemuda itu adalah anak murid Kun-lunsan,
ilmu silatnya tidak rendah, hendaknya Lak-te disuruh jangan gegabah.”
Si kakek bertali kuning termenung sejenak lalu ia mendekati Wiki.
Saai itu Wiki juga merasa serba susah dan tidak tahu cara bagaimana harus
melarai.
Tiba-tiba si kake bertali kuning menghampiri Wiki dan mendengus,”Hm, tak
terduga orang Cong-lam-pai bisa ada hubungan dengan murid Kun-lun-pai.”

Selagi Wiki melenggak dan belum sempat menjawab, si kakek bertali kuning
berkata pula, “Sebenarnya kedatangan kami tidak berniat jahat melainkan
ingin mencari murid seorang sahabat lama dan minta WI cengcu suka
membnatu, siapa tahu cara demikianlah sambutan disini.........”
Si kakek bertali kuning ini sudah tua, tapi wataknya tetap sangat keras, habis
bicara segera melancarkan pukulan.
Di sebelah sana si kakek bertali ungu bernama Tong-jit-thian dan si biru
bernama Na Lok-thian sekaligus lantas menerjang juga ke arah Cian Tong-lai.
Kakek bertali hijau yang sedang menempur Cian Tong-lai itu bernama Leng
Cin-thian, dahulu di terkenal dengan Tai-li-kim-kong-jiu, pukulan bertenaga
raksasa, tapi sekarang dia ternyata bukan tandingan pemuda she Cian yang
sombong ini.
Diam-diam Giok he dan Ciok Tim terkesiap menyaksikan ketangkasan Cian
Tong-lai.
Begitu pula Yim hong-peng juga menampilkan rasa kagum serupa pertama
kalinya melihat Lamkiong Peng dahulu.
Kedua kacung segera bergerak juga hendak mengadang Tong-jit-thian dan Na
Lok-thian, tapi mendadak bayangan hitam berkelebat, seorang kakek kurus
tinggi dengan muka kaku dingin berdiri di depan mereka, sorot matanya tajam
menimbulkan rasa ngeri orang.
Pelahan si kakek bertali hitam mengangkat tangannya, kedua kacung itu
terkesiap dan tanpa terasa menyurut mundur setindak, sorot mata mereka
sama menatap tangan si kakek kurus kering dan hitam ini.
Tak terduga tangan si kakek hanya terangkat saja dan tidak bergerak lagi.
Wajahnya juga tetap kaku tanpa memperlihatkan sesuatu perasaan, hanya

sorot matanya yang meneorong tajam tetap menatap kedua kacung itu. Sorot
matanya seperti membawa semacam daya gaib yang sukar dilukiskan
sekalipun Yim hong-peng juga terkesiap demi beradu pandang dengan sorot
mata aneh itu, diam-diam ia heran, “Aneh apakah sorot matanya itu pun
mengandung semacam kungfu mujizat?”
Tiba-tiba teringat olehnya ada semacam kungfu istimewa sudah lama menjadi
dongeng di dunia kangouw, tanpa terasa ia memendang ke sana, dilihatnya
muka kedua kacung itu pucat pasi, keempat biji matanya yang besar
terbelalak lebar, tapi kaku tak bergerak melainkan Cuma menatap telapak
tangan si kakek yang hitam itu. Setiap kali si kakek melangkah maju setindak,
seperti kena sihir, setiap kali pula kedua kacung itu pun menyurut mundur
setindak.
Berulang si kakek mendesak maju tiga tindak dan kacung itu pun mundur tiga
tindak, dengan suara aneh si kakek berkata pelahan, “Berdiri saja di sini dan
jangan bergerak.”
Benar juga, kedua kacung itu lantas berdiri termenung tanpa bergerak, hanya
mata melotot dan muka bertambah pucat.
“Hari sudah hampir gelap, tidurlah!” ucap pula si kakek.
Serentak kedua kacung itu berbaring di tanah dan memejamkan mata, seperti
tidur benar-benar.
Lalu si kakek bertali hitam membalik tubuh, sorot matanya mendadak tertuju
ke muka Yim hong-peng.
Yim hong-peng cukup cerdik, cepat ia menunduk dan berucap, “Lihai benar
kungfu Locianpwe.”

“Ah, kan kedua anak kecil ini memang penurut, terhitung kungfu apa?” ujar si
kakek ketus. Kedua matanya meram melek dan tidak kelihatan hendak
bertindak sesuatu.
Diam-diam Yim hong-peng membatin, “Sudah lama tersiar di dunia kangouw
tentang kawanan elang ini, katanya elang hitam dingin, elang hijau sombong,
elang biru bicara lembut, elang merah pemarah, elang kuning dan ungu latah
dan nyentrik, bila melihat elang putih kawanan elang sama tertawa.
Tampaknya elang hitam ini memang betul dingin luar biasa sesuai namanya
Leng Ya-thian (malam sedingin)
Dalam pada itu tiba-tiba terlihat asap putih tipis merembes keluar dari
permukaan bumi dan melingkar di sekitar kaki semua orang, lambat laun asap
putih ini buyar ke berbagai penjuru. Seketika terbeliak matanya, tersembul
semacam senyuman aneh pada ujung mulutnya. Waktu ia memandang ke
sana, pertarungan di halaman sana telah bertambah sengit.
Kelihatan elang kuning Wi leng-thian bergerak kian kemari dnegan ilmu
pukulan yang kuat sehingga si gelang terbang Wiki tampak kewalahan..
Meski ilmu silat Wiki tergolong jago kelas satu dunia kangouw, tapi sekarang
dia harus memikirkan akibat lebih lanjut dari pertarungan ini, sebab itulah dia
tidak berani menyerang sepenuh tenaga sehingga dia lebih banyak bertahan
daripada menyerang.
Dalam sekejap saja belasan jurus sudah berlangsung pula, dia mulai
kepayahan, ia membentak, “Sesungguhnya ada urusan apa Boh-liong-ceng
dan Jit-eng-tong kalian, kenapa kalian mendesak orang secara keterlaluan?”
Elang kuning mendengus, “Hm, Jit-te kami terluka di tempatmu, Lamkiong
Peng diuber-uber kalian, apakah semua ini bukan permusuhan?”

Air muka Wiki berubah, cepat ia berputar menghindarkan sekali pukulan, lalu
ia balas menghantam untuk mendesak mundur lawan sambil membentak,
“Kau bilang Lamkiong peng?........Jadi kedatangan kawanan elang ke wilayah
berat sekali ini adalah karena Lamkiong Peng?”
“Betul,” jengek elang kuning sambil mengelak, mendadak sebelah kakinya
menendang ke perut lawan.
Namun telapak tangan Wiki lantas memotong ke bawah untuk menabas
pergelangan kaki musuh, meski dia enggan bermusuhan dengan kawanan
elang dari Jit-eng-tong, tapi timbullnya juga rasa gemasnya setelah berulang
di desak, gerak serangannya sekarang pun tidak kenal ampun lagi.
Namun elang kuning segera berputar lagi ke samping, telapak tangan lantas
menabas iganya. Serangan ini sangat cepat dan tampaknya sukar dihindari,
Wiki menjadi nekat, berbareng ia pun menghantam perut elang kuning,
pukulan dasyat dan sama cepatnya, tampaknya kedua orang akan sama-sama
roboh.
Melihat itu elang hitam Leng Ya-thian terkesiap, cepat ia memburu maju, tapi
Yim hong-peng sudah mendahuluinya melompat maju, kedua tangannya
bekerja sekaligus sehingga kedua orang tertolak mundur.
Berbareng elang kuning Wi leng-thian dan si gelang terbang Wiki tergetar
mundur beberapa langkah. Cara melerai Yim hong-peng ternyata tidak pilih
kasih.
Elang hitam Leng Ya-thian melenggong dan tidak jadi turun tangan. Mestinya
ia siap menghantam punggung Yim hong-peng, sebab disangkanya cara orang
memisah pasti tidak adil. Tapi dia ternyata salah duga, untung di sempat
mengurungkan serangannya.

Dilihatnya Yim hong-peng lagi melirik padanya dan berkata, “Cayhe juga Cuma
menjadi tamu Boh-liong-ceng saja.”
“Oo!?.........Leng ya-thian melenggak, meski air mukanya tetap kaku dingin,
namun sikapnya sudah lain.
Sementara itu pertarungan elang kuning dan Wiki tetap berlangsung dengan
sengitnya. Keenam ekor elang yang mengitar di udara tadi kini sudah hinggap
di pendopo dengan sayap terpentang dan kelihatan gagah sekali.
Giok he berdiri dekat serambi, ia coba melirik elang putih Pek Kui-thian yang
asyik mengurut si elang merah, katanya dengan gegetun, “Ai, Ban-li-liu-hiang
Yim tai-hiap ini memang seorang tokoh cerdik, dia selalu nongkrong di atas
pagar dan mengikuti arah angin, selamanya tidak mau rugi.”
Maski tidak keras suaranya, tapi cukup jelas didengar Pek Kui-thian.
Tiba-tiba Ciok Tim ikut bicara, “Tak tersangka orang she Cian ini memiliki ilmu
silat setinggi ini, padahal usianya juga baru 20-an........Ai, tak terduga di dunia
persilatan memang ada jalan cepat untuk mencapai tingkatan yang
sempurna.”
Giok he tersenyum, ia melirik lagi ke arah Cian Tong-lai, dilihatnya pemuda
yang datang dari puncak tertinggi Kun-lun-san itu sedang berputar di sekitar
elang biru Na Lok-thian dan elang ungu Tong jit-thian serta elang hitam Leng
Cin-thian, sampai sekarang belum nampak dia akan kalah meski satu melawan
tiga.”
Padahal nama Jit-eng-tong menggetarkan dunia kangouw dan disegani baik
kalangan pek-to maupun golongan hek-to, kawanan elang sudah tentu
mempunyai kungfu andalan yang lain daripada yang lain.

Meski sejak tujuh tahun yang lalu kawanan elang itu sudah cuci tangan dan
mengasingkan diri, segenap cabang perusahaan pengawalan yang tersebar di
berbagai propinsi itu serentak dikukut kembali ke kantor pusat Jit-eng-tong di
Kanglenghu, sejak itu tidak pernah lagi kelihatan kawanan elang itu
berkecimpung di dunia kangouw.
Tapi sekarang ketujuh bersaudara elang ini mendadak muncul di sini,
kepandaian mereka ternyata belum lapuh mengikuti usia mereka yang tambah
lanjut. Bahkan watak berangasan sebagian elang itu pun tidak berubah.
Begitulah Cian Tong-lai sendirian melawan ketiga ekor elang dan tetap tidak
kelihatan bakal kecundang, bayang pukulannya menyambar kian kemari,
sekilas pandang seolah-olah mempunyai berpuluh tangan. Tampaknya dia
menghantam elang biru,tahu-tahu pukulannya berbalik menuju si elang hijau.
Dan selagi elang biru merasa longgar, tahu-tahu angin pukulan yang dasyat
menyambar ke arahnya lgi.
Meski ilmu pukulan sakti Kun-lun-pai sudah lama termashur di dunia
persilatan, tapi jurus pukulan yang digunakan Cian Tong-lai sekarang jelas
bukan ilmu pukulan Kun-lun-pai biarpun yang hadir sekarang rata-rata adalah
tokoh Bulim terkemuka, namun tiada seorang pun kenal asal usul ilmu
pukulannya.
Tiba-tiba Giok he bersuara terkejut pelahan dengan alis bekerenyit. Waktu
elang putih Pek Kui-thian meliriknya dan melihat air muka orang yang terkejut
itu, seketika timbul rasa curiganya.
Sementara itu diantara pepohonan di dalam halaman entah mulai kapan telah
timbul lagi kabut remang putih sehingga cahaya matahari seakan-akan
menjadi guram.
Han Bu Kong
Jilid 10

Si elang kuning Wi Leng thian dan Wiki entah mulai kapan sudah mengendur
gerakannya, agaknya terasa tenaga dalam sendiri sudah kewalahan.
Di tengah kabut tebal wajah Leng Ya-thian tampak kelam dan dingin, kedua
kacung masih menggeletak diam di tanah, hanya Yim hong-peng saja yang
kelihatan tenang, seperti sudah mempunyai pendirian terhadap segala
kejadian ini.
Sebagai kepala Thian-hong-jit-eng, Pek-kui-thian membawa elang merah Anghau-
thian ke dekat Kwe giok-he dan minta dijaga untuk sementara, lalu ia
menuju ke tengah kalangan untuk mengemati-amati gerak langkah Cian Tonglai
yang aneh itu.
Dilihatnya elang biru, elang ungu dan elang hijau bertiga terdesak kacau
hingga tidak sanggup balas menyerang lagi. Hanya karena pengalaman
mereka dan tenaga dalam yang kuat sehingga masih bertahan sebisanya.
Dengan kening bekerenyit elang putih Pek-kui-thian berkata kepada elang
hitam, “Lakte, apakah dapat kaulihat ciri gerak langkah pemuda ini?”
“Langkah anak muda ini memang sangat ajaib, tapi sukar kupecahkan di mana
letak ciri langkahnya yang hebat ini,” jawab elang hitam Leng Ya-thian.
Mendadak Pek kui-thian berseru, “Berhenti, Lo-ngo!”
Elang kuning terkejut, ia menghantam sekali terus melompat mundur ke
samping Pek-kui-thian dengan nafas terengah.
Wiki juga kelihatan tersengal-sengal.
“Wi-heng,” kata Yim hong-peng,”tampaknya tidak sedikit kerepotan yang akan
kauhadapi nanti.”

“Ai, ada apa semua ini, sungguh aku tidak mengerti........” Wiki menghela
nafas.
Yim hong-peng mendengus, “Kawanan elang ini datang ke daerah barat sini,
tujuan mereka ialah Lamkiong Peng, apabila Lamkiong Peng menghilang,
betapapun Wi-heng sukar memberi penjelasan dan mungkin Boh-liong-ceng
yang harus menanggung akibatnya.”
Air muka Wiki agak berubah, ia termenung memandang kabut yang
mengambang di udara.
Dalam pada itu terdengar si elang putih Pek-kui-thian lagi berkata,
“Tampaknya Lo-ji berdua tidak sanggup bertahan lagi, agaknya aku perlu
turun tangan sendiri.”
Segera ia melangkah maju, kedua tangan bergerak, serentak ia menghantam
dengan dasyat.
Elang putih kelihatan lemah lembut, tapi sekali bergebrak ternyata sangat
tangkas.
Dengan sendirinya elang kuning dan elang hitam tidak tinggal diam, segera
mereka pun ikut menerjang musuh.
Tapi mendadak Pek-kui-thian memberi tanda sambil membentak, “Pencarkan
diri!”
Segera kelima elang lain sama menyingkir, tapi cepat menubruk meju ke arah
Cian Tong-lai secara serentak. Dengan kerubutan lima orang, hanya beberapa
jurus saja kelihatan mulai kewalahan.

Dengan sinis Yim hong-peng berolok-olok pula, “Thian-hong-jit-eng memang
hebat, tampaknya beberapa gebrakan lagi murid Kun-lun-pai ini akan........”
Mendadak Wiki menghela nafas, ucapnya dengan menunduk, “Sekalipun
kumasuk keanggotaan Pang kalian juga tiada gunanya, kenapa kau mendesak
orang sedemikan rupa?”
“Siapa yang mendesakmu?” ucap Yim hong-peng dengan menarik muka.
“Apa pun yang akan terjadi, jiwa dan harta bendaku jelas sukar diselamatkan
lagi, ai aku.......”
Selagi Wiki berkeluh kesah di sebelah sana Giok he juga sedang bicara dengan
Ciok Tim, katanya, “Adik Tim, coba lihat wajah Wiki yang muram durja itu dan
sikap Yim hong-peng yang senang itu, dapatkah kau terka apa yang terjadi di
antara mereka?”
“Apa yang terjadi di Boh-liong-ceng ini, siapa pun yang akan menang, bagi
Wiki tetap sukar terlepas dari tanggung jawab,” ujar Ciok Tim.
“Lantas apa lagi?”
“Ada apa lagi?” Sahut Ciok Tim bingung.
“Keruwetan hari ini ternyata tidak dapat kaulihat,” kata Giok he. “Tadi waktu
ita masuk Boh-liong-ceng, sikap Wiki terhadap Yim Hong-peng kelihatan kikuk,
tingkah laku Yim hong-peng juga tidak mirip seorang tamu. Kedatangan orang
ini ke daerah pedalaman sekali ini pasti membawa intrik yang tersembunyi, dia
bahkan memaksa Wiki masuk kedalam kompoltan mereka, padahal usia Wiki
sudah lanjut, berkeluarga pula, semangatnya sudah luntur, jelas ia tidak suka
kepada kehendak Yim hong-peng itu. Tapi dia juga jeri untuk menolaknya,
hanya seluk beluk urusan ini pun tidak jelas kuketahui.”

Ia tersenyum, lalu menyambung, “Cian-Tong-lai ini menguasai kepandaian
tinggi, dia baru berkecimpung di dunia kangouw, kecuali ingin mencari Boh-injiu,
dengan sendirinya juga ingin menggunakan kesempatan ini untuk mencari
nama, sebab itulah dia sengaja berlagak congkak dan mencari perkara kepada
Thian-hong-jit-eng. Dia memang memandang rendah kaum piasu, apalagi
kawanan elang itu pun sudah tua. Siapa tahu apa yang terjadi justru jauh di
luar dugaannya, bukan saja ia gagal menonjolkan diri, bahkan bikin serba
susah kepada Wiki sebagai tuan rumah, sebaliknya Yim hong-peng yang
menarik keuntungan dari kanan-kiri, tentu saja dia sangat senang.”
Baru selesai ucapannya, sekonyong-konyong terdengar di belakang ada orang
tertawa pelahan dan berkata, “Cara nyonya memandang orang dan menilai
persoalan ternyata sangat jitu, sungguh sangat mengagumkan .”
Suaranya jelas, serupa timbul di tepi telinganya.
Keruan Giokhe terkejut, cepat ia menoleh, dilihatnya asap masih mengembang
memenuhi ruangan, si elang merah Ang-hau-thian masih duduk di tempatnya,
selain dia tiasda bayangan orang lain lagi.
Tentu saja Giok-he terkesiap, tanpa terasa ia bertanya, “Siapa?”
Dengan bingung Ciok Tim berpaling, “Ada apa?”
“Suara tadi, masa tidak kau dengar?” ujar Giok-he.
“Suara apa?” Ciok Tim tambah bingung.
Berdebar hati Giok he, ia menggeleng dan berpaliang, “jangan-jangan ilmu
Toan-im-jip-bit (ilmu mengirimkan gelombang suara) yang digunakan orang
tidak kelihatan itu?”

Ia coba melirik sekeliling orang yang hadir, ia heran siapakah diantaranya
yang menguasai ilmu gaib itu.
Tiba-tiba suara tadi mendengung pula di telinganya, “Sejak kumasuk ke
pedalaman, apa yang kudengar dan kulihat, ternyata Cuma nyonya saja yang
terhitung ksatria sejati, bilamana nyonya mau bekerjasama denganku, tentu
segala urusan besar dapat disukseskan. Jika nyonya setuju bekerja sama
denganku, harap nyonya mengangguk pelahan tiga kali.”
Saat itu Ciok Tim legi memandang Giok-he menunnduk dengan mata
terpejam, seperti lagi mendengarkan sesuatu, lalu manggut-manggut dan
tersenyum, kemudian membuka mata dan memancarkan cahaya cemerlang.
Saking herannya Ciok Tim coba bertanya, “Ada........ada apa, Toaso?”
“Oo, tidak ada apa-apa,” sahut Giok-he dengan tersenyum sambil menuding
ke dapan.
Waktu Ciok Tim memandang ke sana , dilihatnya gerak langkah Cian-tong-lai
semakin kuat, bahkan kelihatan semakin lesu dan loyo, serupa orang kurang
tidur atau terlalu letih.
Kabut semakin tebal, tiba-tiba Ciok Tim merasakan kabut putih itu sangat
aneh datangnya, lambat laun sukar membedakan lagi keadaan ruangan, wajah
orang yang hadir disitu pun mulai sukar dibedakan.
Segera timbul rasa letih dan mengantuk, Ciok Tim merasa nafasnya juga
tambah sesak, kelopak mata melambai, bayangan orang mulai kabur dan
akhirnya.........
Begitu cepat datangnya rasa letih dan kantuk, sekuatnya ia coba memandang
Giok-he yang berdiri di sampingnya dirasakan sperti mendadak berjarak
sangat jauh, ia berteriak, “Toaso........toaso..........”

Sekonyong-konyong dirasakan nafas sendiri juga sedemikian jauh, ia
membusungkan dada dan bermaksud lari keluar tapi kabut putih itu serasa
menindihnya dengan berat sehingga sukar melangkah, baru saja satu-dua
tindak segera ia jatuh tertunduk.
Samar-samar dirasakan bayangan orang dan pepohonan di taman di telan
seluruhnya oleh kabut tebal, semua orang tidak terlihat lagi.
Tiba-tiba di dengarnya suara orang melangkah keluar ruang pendopo itu, ia
coba menoleh, tahu-tahu suara langkah itu sudah sampai disampingnya,
hanya dapat dilihatnya sepasang sepatu yang mengkilat bergeser pelahan di
tengah kabut.
Lalu terdengar suara tertawa mengejek bergema di tepi telinganya, “Huh,
thian-hong-jit-eng apa segala, setiba disini juga patah sayapnya. Hm anak
murid Kun-lun apa, kedatangannya juga rontok sama sekali........”
Habis itu lantas bergema suara tertawa senang, rasanya seperti suara Yim
hong-peng.
Lalu segalanya kembli menjadi sunyi.
Di tengah kesunyian itulah Ciok Tim terpulas dan ditelan kegelapan.
*********
Kegelapan yang tak berujung, kesunyian yang tak berpangkal.
Pelahan Lamkiong Peng siuman kembali, waktu ia membuka mata, tidak
terdengar sesuatu suara, juga tidak terlihat apa-apa, ia menghela nafas dan
membatin, “Apakah aku sudah mati?”

Mati ternyata tidak menakutkan sebagai mana dibayangkan, namun jauh lebih
kesepian daripada perkiraannya. Ia coba mengucek mata, tapi tidak terlihat
telapak tangan sendiri, apa pun tidak terlihat.
Dalam sekejap itu segala kejadian selama hidupnya seolah-olah terbayang
kembali, setelah dipikirnya dan ditimbang, ia merasa selama hidupnya begitubegitu
saja, tidak penah timbul pikiran membikin susah orang lain, baik
terhadap ayah bunda, guru maupun sahabat, selalu dihadapinya secara jujur
tulus, tidak pernah terpikir olehnya perbuatan yang licik dan munafik.
Ia tersenyum sendiri, ia pikir bilamana cerita tentang surga dan neraka benar
ada, sesudah mati mungkin dirinya tidak perlu diputus masuk neraka.
Dalam kesepian, sekonyong-konyong di dengarnya sayup-sayup, suara musik
berkumandang dari kegelapan sana, lagunya begitu sedih mengharukan,
serupa tangisan kawanan setan.
Di tengah suara musik yang sayup-sayup itu mendadak bergema teriakan,
“Lam........kiong........peng......Hahaha, kau sudah datang?”
Lalu terdengar serentetan suara tertawa tajam mengerikan.
Lamkiong Peng mengusap dahinya yang berkeringat dan membentak, “Siapa
kau? Manusia atau setan? Hm, biarpun setan juga aku tidak takut! Tidak perlu
kaumain sembunyi!”
“Hahaha,” suara tertawa yang seram itu berubah menjadi tertawa latah yang
lantang, “Aku Cuma menghendaki kaurasakan bagaimana orang mati, agar
kautahu mati bukan tindakan yang enak, supaya kaukenal berharganya
kehidupan.”

Dengan geram Lamkiong Peng menghantam ke arah suara itu, diam-diam ia
bersyukur tenaga sendiri belum lenyap. Siapa tahu pukulannya yang keras itu
seperti batu tenggelam dalam lautan, menghilang dalam kegelapan.
Suara tertawa latah itu bergema pula, “Haha, meski tempat ini bukan neraka,
tapi jaraknya tidak jauh lagi, meski kau tidak jadi mati, bila mau sudah
belasan kali dapat kumampuskan kau..........”
“Kenapa tidak kau bunuh diriku? Apakah kau ingin memeras diriku, supaya
kutunduk padamu?” Sela Lamkiong Peng sambil tertawa.
“Ya, memang begitulah maksudku,” kata suara itu dalam kegelapan.
“Haha, jika aku sudah pernah mati sekali, apa alangannya mati sekali lagi,”
seru Lamkiong Peng dengan terbahak, “Bila kau ingin kutunduk kepadamu,
huh, jangan mimpi!”
Lalu ia duduk bersila dan mengheningkan cipta, tiba-tiba pikiran terang dan
lapang dada.
Dalam kegelapan, sang waktu dirasakan lalu dengan sanagt lambat, tapi rasa
lapar justru datang dengan sangat cepat.
Lamkiong Peng duduk bersila, perut mulai lapar sekali dan sukar ditahan.
Segera timbul pula macam-macam pikiran. Ia berdiri dan coba meraba
sekitarnya, baru sekarang diketahuinya dirinya berada di dalm sebuah gua
yang seram serupa neraka dan tiada terdapat sesuatu benda apa pun.
Walaupun kelaparan, kesepian dan kegelapan yang mencekam, namun semua
itu tak dapat menggoyahkan pendiriannya.

Entah berselang berapa lama lagi, tiba-tiba Lamkiong Peng mencium bau
sedap daging dan arak, ia menelan air liur, biji lehernya naik turun, rasa
laparnya tambah sukar ditahan.
Sejak kecil baru sekarang untuk pertama kalinya ia rasakan betapa susahnya
orang kelaparan.
Ia memejamkan mata dan menggerutu, “Sialan, aku hendak dipancingnya
dengan makanan!”
Bau sedap semakin keras, mau tak mau ia harus mengakui pancingan ini
mempunyai daya tarik yang amat kuat.
Selagi ia berusaha memancarkan perhatiannya atas bau sedap makanan itu,
tiba-tiba terdengar suara orang mendengus di atas, “Hm, lamkiong-kongcu
tentu tidak enak bukan kelaparan?”
Dengan gusar Lamkiong Peng menjawab, “Tekadku sudah bulat, betapapun
kau imingi diriku juga tiada gunanya, tidak perlu banyak omong.”
“Sekarang juga sudah kukerek dua ekor ayam panggang lezat tepat di
depnmu, boleh coba kau cicipi.” Kata suara itu.
Meski teguh pendirian Lamkiong Peng, tapi kebutuhan biologis membuatnya
tidak tahan, waktu ia mengendusnya, abu sedap itu tambah merangsang.
Dalam kegelapan suara itu bergema pula, “Di antara kedua ekor ayam
panggang ini, seekor di antaranya dilumuri dengan obat bius, bilaman kau
makan, akan hilang kesadaranmu yang asli dan seluruhnya engkau akan
tunduk kepada perintahku. Sebaliknya seekor ayam panggang yang lain tidak
diberi racun apapun, bila kauberani, boleh silakan bertaruh dengan nasibmu!”

Tanpa terasa Lamkiong Peng menjulurkan tangan, betul juga, ujung jarinya
lantas menyentuh sesuatu yang kenyal. Sungguh hatinya tergelitik. Akan
tetapi segera ia memejamkan mata dan menarik kembali tangannya sambil
membentak, “Tidak, mana boleh untuk sekadar makan ini aku harus bertaruh
dengan nasibku sendiri.”
Terdengar suara terloroh dalam kegelapan sejenak kemudian mendadak ia
menghela nafas dan berucap, “Ai, tokoh semacam anda sungguh sayang tidak
suka bekerja sama denganku. Betapapun kuhormati engkau sebagi seorang
jantan sejati, aku tidak tega membunuhmu, juga tidak tega membiusmu dan
menganiayamu, makanya kuberi hidup sampai sekarang. Tapi bila kubebaskan
dirimu, jadinya tiada ubahnya seperti melepaskan harimau kembali ke gunung,
pada suatu hari kelak biasa jadi usaha yang telah kupupuk selama bertahuntahun
akan hancur di tanganmu.”
Ia menghela nafas, lalu menyambung, “Kutahan dirimu di sini sesungguhnya
karena terpaksa, hendaknya jangan kau sesalkan diriku bila kau mati, aku
berjanji akan menguburmu dengan baik-baik.”
Dalam kegelapan ada cahaya mengkilat berkelbat, terdengar suara ‘trang’
jatuh di samping Lamkiong Peng, lalu suara itu berucap lagi, “Sekaranag
kulemparkan sebilah belati itu untuk membunuh diri. Apabila pikiranmu
berubah cukup kau berteriak dan segera ku datang membebaskanmu.
“Supaya kautahu, tinggi gua ini lebih dari enam tombak, dinding sekeliingnya
terbuat dari baja, hanya bagian atas saja dapat keluar masuk, boleh juga
kaucoba, jika kurang tenaga, silahkan makan kedua ekor ayam panggang itu,
tidak ada yang diberi racun, jangan kuatir mungkin akan menambah
tenagamu.”
Dia bicara dengan tulus, serupa sahabatb yang memberi nasehat.

Pada saat itulah sayup-sayup terdengar suara ornag yang ebrucap dengan
lirih, suara halus merdu, “Eh cara bicara serupa dua sahabat yang akan
berpisah, kau tahu.......” sampai disini tidak terdengar lagi apa yang
diucapkannya.
Suara itu bagi Lamkiong Peng sudah sangat dikenal, hatinya tergetar, ia heran
siapakah itu?
Didengarnya suara tadi berkata pula,”Bila kita bertemu sepuluh tahun yang
lalu, kuyakin kita pasti dapat terikat menjadi sahabat karib, sayang sekarang
aajalmu sudah dekat...... sebelum kau mati, jika ada sesuatu permintaanmu,
tentu akan kulakukan bagimu.”
Lamkiong Pengsedang memikirkan suara merdu tadi, tanpa pikir ia menjawab,
“Siapakah suara orang perempuan tadi? Boleh kau perlihatkan dia kepadaku
sekejap saja.”
Suara itu terdiam, sejenak kemudian baru berkata pula, “Hanya ini
permintaanmu?”
Lamkiong Peng mengiakan.
“Masa tidak ada pesan akan kau tinggalkan bagi orangtua atau sahabatmu?”
tanya suara itu. “Masa sama sekali tidak ada urusanmu yang perlu
kuselesaikan bagimu? Tidakkah perlu kaulihat sesungguhnya siapa yang
mengakibatkan kematianmu ini?”
Lamkiong Peng melenggong, tiba-tiba timbul rasa duka yang tak terkatakan,
kalau dipikir, sesungguhnya teramat banyak urusannya yang belum lagi
selesai.
Seketika ia merasa putus asa, ia menunduk dan tidak bicara lagi.

“Bagaimana dengan orang yang ingin kaulihat.........”
“Tidak perlu kulihat lagi.” Kata Lamkiong Peng.
“Tapi sudah kusanggupi padamu, maka boleh coba kaupandang ke atas,” kata
suara itu.
Mata Lamkiong Peng lantas terbeliak, ia tahu tutup lubang gua itu telah
dibuka. Namun di tetap duduk termenung, meski diragukannya perempuan itu
pasti seoarang yang ada hubungan erat dengan dirinya, namun dia tidak ingin
memandangnya lagi, ia tidak mau meninggalkan rasa penyesalan sesudah
mati.
Keadan sunyi sejenak, ‘brak’, tutup lubang dirapatkan lagi. Dalam kegelapan
lantas bergema suara musik yang memilukan, suara yang misterius tadi lagi
berdendang dan mengucapkan selamat tinggal.
Suara musik itu memepengaruhi juga rasa duka Lamkiong Peng, tanpa terasa
air matanya meleleh. Dalam dukanya tiba-tiba timbul semacam keberanian
untuk mencari hidup, ia coba meraba belati yang dimaksudkan orang tadi,
pelahan ia mendekati dinding, sekuatnya ia tusuk dengan belati itu.
Seketika tangan tergetar kesakitan, dinding sekeliling memang benar terbuat
dari baja, ia menghela nafas duka dan bersandar di ujung dinding, ia merasa
segalanya sudah tamat, sama seklai tidak ada harapan lagi.
Namun titik akhir kehidupan tetap sangat panjang, ia tidak ingin merusak
tubuh pemberian orang tuaaa, tapi juga tidak tahan oleh derita batin selama
menunggu ajal ini.
Entah berselang lama lagi, mendadak dirasakan dinding tempatnya bersandar
bisa bergerak, ketika cahaya membuat matanya terasa silau, berbareng
tubuhnya lantas roboh terjengkang.

Ia terkejut dan cepat melompat bangun.
Waktu ia memandang ke depan, dilihatnya seorang tua telah berdiri di situ
dengna wajah prihatin, tangan memegang obor. Ketika si kakek mendorong
lagi dengan sebelah tangan, pintu rahasia gua itu lantas menutup kembali.
Lamkiong Peng tercengang, baru sekarang dirasakan dirinya telah terbebas
dari bayangan maut. Sungguh tidak kepalang rasa girangnya, seketika ia
berdiri melongo dan tidak tahu apa yang mesti diperbuatnya.
Orang tua yang membawa obor ini ternyata bukan lain daripada si gelang
terbang Wiki , pemilik Boh-liong-ceng.
Kening si kakek tampak terkerut rapat, jelas menanggung tekanan batin. Ia
memberi tanda kepada Lamkiong Peng , lalu mendahului melangkah keluar ke
sana.
DI bawah cahaya obor kelihatan lorong di bawah tanah ini penuh sarang labalaba
atau galgasi, setiap langkah selalu menimbulkan debu, jelas jalan ini
sangat jarang dilalui orang. Namun lorong itu berliku-liku, bangunannya juga
ajaib dan mengagumkan.
Memandangi bayangan orang yang tinggi besar, hatinya penuh rasa
terimakasih. Selama hidupnya belum pernah dirangsang perasaan semacam
ini,maklumlah, soalnya dia baru saja menghadapi ‘kematian’ yang
membuatnya derita batin dan putus asa.
Ia berdehem, tenggorokan serasa tersumbat, ia coba bertanya,
“Locianpwe.......”
“Ssst, diam!” desis Wiki tanpa menoleh.

Setelah membelok satu tikungan, mendadak Wiki menekan pada ujung
dindidng, terdengar suara ‘kriaat’, dinding di situ lantas menyurut mundur
dua-tiga kaki lebarnya.
Cepat Wiki menyelinap masuk ke situ sambil bergumam, “O, jit-eng , jangan
menyesal jika tidak dapat kuselamatkan kalian, aku telah berusaha sepenuh
tenaga.............”
Selagi Lamkiong Peng merasa bingung, terlihat Wiki sudah melompat keluar
lagi dengan mengempit seorang pemuda berbaju perlente dalam keadaan
pengsan.
“Gendong dia!” kata Wiki dengan suara tertahan.
Lamkiong Peng menurut, diangkatnya pemuda itu dengan tidak mengerti apa
maksud Wiki.
Setelah merepatkan pintu dinding. Wiki mendahului berjalan lagi ke depan
dengan langkah berat dan kening bekerenyit.
“Loc........” Lamkiong Peng ingin tanya pula.
Tapi Wiki lantas memotong, “Tidak perlu kauterimakasih padaku.”
“Tapi.......... sebenarnya.........”
“Dunia persilatan segera akan timbul peristiwa besar, kawanan perusuh dari
Kwan gwa sudah masuk ke daerah Tionggoan, aku berada di bawah ancaman
mereka, harta bendaku yang kudapatkan dari jerih payahku selama berpuluh
tahun tampaknya akan hanyut ludes.”
Tentu saja Lamkiong Peng tidak paham.

Selagi ia hendak tanya, Wiki telah menyambung pula, “Pemuda yang kau
gendong ini memiliki kepandaian mengejutkan, dia adalh murid Kun-lun-pai,
namanya Cian-tong-lai. Dia terkena semacam kabut bius yang istimewa dan
tidak dapat kutolong, harus selang sekian lama baru dia akan siuman dengan
sendirinya. Kalian berdua sama pemuda gagah, hari depan kalian tak terbatas,
semoga kalian dapat lari meninggalkan temapat ini dan mencari kesempatan
untuk bertindak di kemudian hari, janganlah gembong iblis itu berhasil merajai
dunia.”
Dia bicara dengan sedih dan penasaran.
Dengan alis menegak Lamkiong Peng bertanya, “Siapa yang kaumaksudkan?
Masa dia.........”
“Kepandaian orang ini sukar dijajaki, potong Wiki pula. “Dia mahir
menggunakan berbagai senjata rahasia yang aneh dan dupa bius yang
mujizat, bahkan banyak anak buahnya yang serba pandai sehingga makin
menambah kejahatan yang diperbuatnya. Ada anak buahnya yang berjuluk
Toat-beng-jiang (tombak pencabut nyawa) dan Tui-hun-kiam (pedang sambar
nyawa), kungfu kedua orang ini sungguh sangat mengejutkan, kita sama
sekali bukan tandingannya.”
Tergerak pikiran Lamkiong Peng, katanya, “Apakah gembong iblis yang
kaumaksudkan itu ialah Swe thiam-beng?”
Melenggak juga Wiki, seperti heran mengapa Lamkiong Peng juga kenal nama
itu, sambil menekan lagi pojok dinding ia menjawab, “Ya, Swe thian-beng.”
Baru lenyap ucapannya, tertampaklah cahaya udara. Ternyata mereka sudah
berada di pintu keluar lorong.
Terdengar Wiki lagi bergumam dengan pedih, “Di Boh liong-ceng kami
sekarang entah terkurung berapa orang, dengan kekuatanku hanya dapat

kuselamatkan kalian berdua, hendaklah lekas kalian pergi slekasnya, ingatlah
selalu pesanku, ilmu silat orang ini sukar dijajaki, janganlah kalian
sembarangan bertindak.
“Locianpwe.......”
Belum lanjut ucapan Lamkiong Peng, tahu-tahu Wiki mendorongnya keluar
sambil bergumam, “Naga melahirkan sembilan anak, setiap anak berbedabeda,
biarpun sesama saudara seperguruan, terdapat juga serigala dan
harimau diantaranya.........”
Terdengar suara keriat-keriut, pintu lorong rahasia itu telah rapat kembali.
Lamkiong Peng berdiri termenung dengan terharu.
Waktu ia menengadah, cuaca remang-remang, malam sudah larut, ketika ia
periksa keadaan Cian Tong-lai, muka anak muda itu pucat pasi, namun tidak
mengurangi wajahnya yang cakap.
Ia coba membedakan arah, lalu membawa Cian Tong-lai berlari ke arah barat
daya, teringatnya Bwe kiamsoat yang berjanji menunggu kembalinya itu,
seketika bergejolak perasaannya yang tertekan itu. Tapi bila teringat Tik Yang
yang sekarat, seketika ia menghentikan langkahnya.
Terjadi lagi pertentangan batin. Jika dia kembali dengan tangan hampa, maka
segala langkah usahanya akan berubah juga tdiak ada artinya sama sekali,
mana boleh ia menyaksikan Tik Yang yang telah membantunya itu mati
keracunan begitu saja?
Selagi bingung dan serba salah, menddak dirasakannya sebuah tangan
pelahan menekan Leng-thai-hiat pada punggungnya, Ling-thai-hiat adalah
salah satu hiat-to penting yang berhubungan erat dengan jantung, bilamana
tergetar dengan keras, seketika binasa.

Akan tetapi Lamkiong Peng hanya terkejut sekejap saja, habis itu lantas
tenang malah, ia pikir dalam keadaan serba susah, bila mati akan merupakan
pelepasan malah baginya, lepas dari segala siksa derita.
Karena itulah ia tetap berdiri diam saja dan tidak memberi rcaksi apa pun,
dengan tenang ia menantikan ajal.
Siapa tahu, sampai sekian lamanya tangan itu tetap tidak bergerak lagi.
Bekerenyit kening Lamkiong Peng dengusnya, “Kenapa sahabat tidak lekas
turun tangan?”
Di bawah kerlip bintang bayangan orang dibelakangnya tampak bergerak
mendoyong ke depan, agaknya orang merasa heran terhadap sikap Lamkiong
Peng yang tak gentar itu.
Segera terdengarlah suara tertawa ngikik nyaring di belakang, katanya, “Longo,
apakah engkau benar-benar tidak takut mati?”
Suara ini hampir serupa dengan suara yang didengarnya di tempat tahanan
yang gelap itu, suara yang sudah dikenalnya.
Tergetar hati Lamkiong Peng, serentak ia membalik tubuh dan berseru, “He,
toaso!”
Di tengah remang malam Giok-he kelihatan lagi tersenyum riang.
“Kenapa Toaso juga datang ke sini?” tanya Lamkiong Peng
Giok he tidak menjawab, sebaliknya ia membuka sebelah tangannya dan
berseru, “Coba lihat, apa yang kupegang ini?”

Tergerak hati Lamkiong Peng, tanpa terasa ia berseru, “He, obat penawar?
Apakah obat penawar?”
“Kau memang cerdik, yang kupegang itu memang obat penawar,” ujar Giok he
sambil membuka lebar telapak tangannya sehingga kelihatan sebiji pil merah.
“Ku tahu demi untuk mendapatkan obat penawar ini, kau tidak sayang
menyerempet bahaya dengan taruhan nyawa sendiri. Tapi obat ini tetap tidak
kauperoleh, begitu bukan?”
Lamkiong Peng menghela nafas menyesal sambil menunduk, seperti mau
bicara, tapi urung.
“Setiba di Boh-liong-ceng,” demikian Giok he bicara pula, “Hatiku ikut sedih
demi mendengar urusanmu. Betapapun kau adalah suteku dan harus kubela.”
Dia bicara dengan tulus penuh perhatian, tapi sinar matanya gemerdep dengan
maksud yang sukar diraba, dengan semdirinya hal ini tidak dilihat oleh
Lamkiong Peng.
“Sebab itulah aku berusaha memperdayai Yim hongpeng yang munafik itu,
akhirnya dapat kutipu obat penawar ini dari dia, “ demikian Giok he bertutur
pula.”Tapi ketika kupancing dia membawaku ke tempat tahananmu dan ingin
menolongmu keluar, siapa tahu engkau sudah berhasil kabur lebih dulu.
Sungguh aku bergirang bagimu dan juga sedih. Tanpa obat penawar, menuruti
watakmu yang keras, tidak nanti kau mau pulang ke sana, sebab itulah tanpa
menghiraukan bahaya segera kususulmu ke sini.”
Terharu Lamkiong Peng dan juga merasa malu diri, ia pikir betapapun Toaso
tetap baik padaku, hampir saja aku salah menilainya.
Ia mengadah, dilihatnya Giok-he sedang memandangnya, tiba-tiba Lamkiong
Peng merasa Liong-hui sesungguhnya adalah lelaki yang beruntung.

Dengan tersenyum Giok-he berkata pula, “toako dan Simoay mendampingiku,
tapi dia seorang yang kaku dan pendiam, seharian paling bicara dua tiga kata
denganku. Entah bagaimana dengan toakomu, ai, sungguh kukuatir.........”
“Toaso, kukira Toako sudah pulang ke Ji-hau-san-ceng, bila........bila urusan
disini selesai segera kita pun dapat pulang, “ kata Lamkiong Peng.
Kata Giokhe dengan hampa, “Betapapun aku hanya seorang perempuan.
Losam selalu acuh tak acuh, alangkah baiknya jika dapat berada bersamamu,
tentu aku tidak perlu repot.....”
“Meski siaute tidak dapat menjaga Toaso sepanjang jalan, tapi.........” tiba-tiba
ia mengeluarkan sepotong kemala putih dan diberikan kepada Giok he,
sambungnya, “dengan, membawa kemala ini, kemana pun dapat Toaso
memperoleh bantuan pada setiap cabang perusahaan setempat usaha
keluarga kami.”
Ia tidak memandang langsung kepada Giok he sehingga tidak diketahui betapa
senang hati nyonya muda itu, hanya dirasakan sebuah tangan halus
memegang tangannya, hatinya tergetar dan menyurut mundur setindak, pil
merah oleh Giok-he telah ditaruh pada tangannya sambil berkata, “Gote,
selesai urusanmu di sini hendaknya segera kaupulang, bila bertemu dengan
toako juga membujuknya supaya lekas pulang.”
Dia bicara agak tersendat sehingga Lamkiong Peng tambah rikuh untuk
memandangnya, ia cuma mengangguk saja sambil menunduk.
“Toaso telah banyak membelamu, entah kaupun sudi bekerja sesuatu bagiku
atau tidak?” kata giok-he pula.
“Orang yang dalam gendonganmu ini adalah murid Kun-lun dan merupakan
musuh kita, kungfunya sangat tinggi, mungkin kita bukan tandingannya, demi

menghilangkan bahaya di kemudian hari, hendaknya kau tutuk Hiat-to cacat
bagian punggungnya.”
Lamkiong Peng mendongak dengan tercengang, jawabnya kemudian, “Apabila
orang ini berbuat sesuatu kesalahan kepada Toaso, setelah dia siuman nanti
pasti akan kulabrak dia mati-matian. Tapi sekarang di dalam keadaan pingsan,
orang menyerahkan dia dalam tanggung jawabku pula, apaun juga tidak dapat
kuganggu dia dalam keadaan demikian.”
Giok he tampak kurang senang, jengeknya, “Baru saja kauterima obat
penawar dariku dan segera kaubangkang kehendakku, apapula yang dapat
kuharapkan darimu kelak?”
“Tapi aku.......aku..........”mendadak Lamkiong Peng mengembalikan pil merah
itu kepada Giok he dan menambahkan, “Lebih baik kukembalikan obat ini
daripada berbuat pengecut yang melanggar hati nuraniku.”
Selagi ia hendak berpaling dan tiingal pergi, sekonyong-konyong Giok-he
mengikik tawa, katanya, “Ah, aku Cuma menguji kejujuranmu saja apakah
engkau masih ingat kepada ajaran suhu atau tidak, mengapa kau jadi serius
terhadap Toaso?”
Sembari berkata ia serahkan pula pil merah itu kepada Lamkiong Peng .
Hati Lamkiong Peng menjadi lunak lagi, ucapnya, “Asalkan bukan tindakan
seperti ini, terjun ke lautan api sekalipun akan kulakukan bagi toaso dan
toako.”
“Apa tidak ada perbedaan antara toako dan toaso dalam pandanganmu?”
tanya Giok-he.
Kembali Lamkiong Peng melenggong bingung.

Didengarnya Giok he berucap pula, “Asalkan pandanganmu terhadap toako
dan toaso tidak ada perbedaan, maka senanglah hatiku.”
Tiba-tiba ia menjulurkan sebelah tangannya dan berkata pula, “Untuk
memastikan apa yang kaukatakan barusan ini, sudilah kaujabat tangan toaso.”
Sekilas pandang Lamkiong Peng merasa tangan orang yang putih bersh itu
emnimbulkan rasa was-was yang sukar diceritakan.
“Kenapa, apakah tangan Toaso kotor?” kata Giok he melihat anak muda itu
ragu-ragu.
Pelahan Lamkiong Peng mengangsurkan tangannya untuk menjabat tangan
Giokhe, baru saja ia hendak menarik kembali tangannya, mendadak
genggaman Giok-he mengerat, hawa hangat harum tersalur dari telapak
tangan ke lubuk hatinya.
“Gote,” terdengar Giok-he berucap dengan lembut, “hendaknya jangan
melupakan malam ini.............”
Tergetar hati Lamkiong Peng, sebelum selesai ucapan orang segera ia menarik
tangan dan berlari pergi.
Gemerdep sinar mata Giokhe memandang bayangan anak muda yang
menghilang dalam kegelapan itu, tersembul senyuman aneh pada ujung
bibirnya.
Tiba-tiba dari kegelapan muncul lagi sesosok bayangan dan melayang capat ke
arah Giokhe serta memegang tangannya, “Jangan melupakan malam ini apa?”
Setelah merandek, segera ia membentak pula, “Barang apa yang kaupegang
ini?”

Suaranya mengandung rasa gusar dan cemburu, tidak perlu ditanya lagi jelas
orang ini ialah Ciok Tim.
Dengan ketus Giokhe mengipatkan tangannya dan mendengus, “Hm, kau ini
apaku? Kau ingin memerintahku?”
Berubah juga air muka Ciok Tim, Kau.....kau..........Ai, terhadap
Toako..........aku..........”
Sambil mendengus Giok membuka telapak tangannya dan berkata, “Kemala ini
pemberian Gote padaku, dengan kepingan kemala ini, dalam sehari saja bila
perlu dapat kutarik berpuluh laksa tahil perak, apakah kaupun dapat
menyediakan?”
Ciok Tim tercenagang, rasa gusar membuat air mukanya berubah menjadi
malu, ia meremas tangan sendiri dengan pedih, mendadak ia membentak dan
mencengkram pundak Giok-he dengan keras seakan-akan ingin merobek
tubuhnya yang bernas itu, seolah-olah ingin mengorek hatinya yang dingin itu.
Berubah juga air muka Giok-he, jari tangan kanan terjulur dan bermaksud
menutuk iga anak muda itu, tapi baru menyentuh bajunya, nafsu
membunuhnya mendadak berubah lunak, tiba-tiba ia tertawa menggiurkan,
“Eh, ada apa kau? Lepaskan, aku kesakitan!”
Suaranya menggetarkan kalbu membuat tangan Ciok Tim agak gemetar,
akhirnya ia menghela nafas panjang, melepaskan tangan dan menunduk.
Pelahan Giok he memijat pundak sendiri dan berkata, “Oo, sakit sekali
cengkraman mu, lekas urut bagiku.”
Tanpa terasa Ciok Tim menjulurkan tangannya dan meraba bagian yang
dimaksud. Giok he memejamkan mata seperti menikmati, rabaan anak muda
itu.

Jari Ciok Tim tambah beraksi dengan cepat dan mulai menurun ke
bawah.......sorot matanya memancarkan cahaya kerakusan seperti binatang
liar yang kelaparan.........
Pelahan tubuh Giok he menggeliat, ia berucap seperti orang mengigau,
“Sungguh bodoh kau, memang kaukira aku ada berbuat apa terhadap Lo-ngo?
Hm, aku kan Cuma........Cuma ingin memperalat dia saja.......Oo, kau mau
apa?”
Mendadak ia berteriak sambil memberosot lepas dari pegangan Ciok Tim.
Keruan anak muda itu melenggong, serupa kucing liar yang sedang berahi
mendadak disiram air dingin.
Giok he memandangnya dengan senang, ia tahu anak muda ini seluruhnya
telah jatuh dalam cengkramannya, sudah masuk dalam perangkap yang
diaturnya, telah menjadi budaknya.
Dengan lembut ia lantas berkata, “Adik Tim, etntunya kau tahu betapa hatiku
terhadapmu asalkan kauturut apa yang telah kuatur, segala hasil usahaku
kelak adalah milikmu. Cuma kaupun perlu tahu, meski kusuka padamu, namun
banyak urusan yang tdiak adapat kutinggalkan hanya lantaran dirimu. Banyak
persoalan dunia persilatan yang tidak kaupahami, demi hari depan kita, mau
tidak mau harus kukerjakan hal-hal yang sukar kaubayangkan, untuk ini
hendaknya kaumaklum.”
Dengan bimbang Ciok Tim mengangguk.
Maka Giok he menyambung lagi, “Maka apapun tindakanku selanjutnya jangan
kau ganggu. Jika kau terima permintaanku ini selamanya tentu kaudapat
berada bersamaku, kalau tidak.......” sampai disini ia tidak meneruskan lagi
melainkan terus membalik tubuh dan melangkah ke sana.

Ciok Tim berdiri melongo di tempatnya,, ia merasa pedih dan juga
mendongkol, sungguh ia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.
Pada saat itulah Giok-he berpaling dan berseru, “He, untuk apa berdiri di situ?
Ayolah kemari........”
Tanpa terasa Ciok Tim ikut melangkah ke sana, dalam kegelapan terdengar
pula suara tertawa yang menggiurkan........
Kegelapan memang telah banyak menyembunyikan berbagai rahasia dan dosa
manusia sehingga dunia ini kelihatan terlebih indah.
Dalam pandangan Lamkiong Peng saat itu, dunia ini menag kelihatan indah
dan penuh harapan.
Ia merasa dunia ini ada orang jahat, tapi orang baik terlebih banyak lagi.
Hasratnya ingin lekas menolong sahabatnya memebutanya lupa letih dan
lapar. Dengan penuh semangat ia berlari dalam kegelapan malam.
Dengan hati-hati ia telah menyimpan pil merah itu dalam sebuah kantung
sutera kecil, kantung yang serupa dompet itu adalah pintalan sang ibu
sebelum dia meninggalkan rumah. Pada waktu kesepian ia suka meraba
kantung sutera itu. Dia seorang kastria muda, dia tidak pernah melupakan
kasih ibunda.
Ia berlari dengan cepat, tidak lama ia sudah berada di luar kota Se-an,
suasana sunyi senyap, ia coba memeriksa keadaan sekeliling, akan tetapi tidak
terlihat bayangan Bwe kiam soat.
IA menjadi kuatir, “Apakah dia sudah pergi?”
Ia coba memanggil, “Nona Bwe......nona Bwe ...”

Namun suasana tetap sunyi senyap, dimanapun Bwe kiam soat berbunyi
seharusnya mendengar suaranya.
Nafas Lamkiong Peng terasa sesak, pikirnya, “Kenapa tidak menunggu disini?
Kenapa dia ingkar janji? Tik Yang keracunan, apakah juga dibawanya pergi,
kan obat penawar yang kubawa ini menjadi sia-sia.........”
Ia menghela nafas dan tidak ingin berpikir lagi, ia melangkah ke sana dengan
limbung. Awan tersimak, cahaya bulan menembus langsung menyinari sesosok
bayangan manusia di balik semak sana, terlihat mukanya, siapa lagi dia kalau
bukan Bwe kiam soat.
Dengan girang Lamkiong Peng berseru, “Hei nona Bwe, kiranya engkau berada
disini!”
Selagi dia hendak memburu kesana, dilihatnya muka Bwe kiam soat yang
pucat itu kaku dingin, melenggong seperti orang linglung, sorot matanya
buram, air mukanya kaku tanpa memperlihatkan sesuatu perasaan, serupa
orang yang hiat-tonya tertutuk, seperti juga orang yang tersihir.
Tergetar hati Lamkiong Peng , ia tahu pasti terjadi sesuatu. Cepat ia memburu
maju sambil menegur dengan suara gemetar, “Kenapa.......”
Belum lanjut ucapannya, dilihatnya mata Bwe kiam soat melirik ke samping
depan sana tanpa bersuara.
Tanpa terasa Lamkiong Peng ikut memandang ke sana, di bawah pohon duduk
sesosok bayangan orang lagi, duduk kaku tanpa bergerak seperti patung,
hanya sinar matanya kelihatan gemerdep dalam kegelapan.
Waktu diperhatikan, kembali hati Lamkiong Peng berdebar, tanpa terasa ia
berseru, “Hei, nona Yap, kenapa engkau pun berada disini?!”

Sungguh tak terpikir olehnya bahwa bayangan yang duduk di bawah pohon itu
adalah murid Tan-hong Yap jiu-pek, Yap man-jing yang cantik dan juga
pongah itu.
Siapa tahu, meski mendengar seruannya, namun Yap manjing tetap diam saja,
seperti tidak mendengar dan juga tidak melihat, ia msih duduk di tempatnya.
Tentu saja Lamkiong Peng terheran-heran, ia menaruh Cin tong-lai di tanah,
lalu dihampirinya nona yang jelita dan seperti linglung itu.
“Nona Yap,” tegurnya sesudah dekat, “Apakah terjadi sesuatu disini?”
Terlihat senyuman Yap manjing yang hambar, namun tetap duduk saja tanpa
menjawab.
Mengamat-amati lebih teliti, dilihatnya si nona tetap memakai baju hijau, mata
alisnya tetap menampilkan sikap angkuh, sama sekali tidak ada tanda hit-to
tertutuk dan sebagainya.
Lamkiong Peng tambah heran, ia coba mendekati Bwe kiam soat, dilihatnya
Kiam soat melototinya sekejap, seperti tidak senang dia memperhatikan orang
lain
“Sesungguhnya apa yang terjadi?” tanya Lamkiong Peng dengan gelisah.
Namun Bwe kiam soat juga tidak bergerak dan juga tidak menjawab, seperti
orang bisu dan tuli.
“Bagaimana dengan Tik Yang ? Dimana dia!” serunya pula kuatir sambil
memandang kian kemari.

Bwe kiam soat Cuma memandang Yap man-jing tanpa berkedip, sebaliknya
Yap manjing juga menatap Bwe kiam soat, kedua nona itu sama sekali tidak
memandang lagi kepada Lamkiong Peng, seperti dia tidak hadir di situ.
Seketika Lamkiong Peng celingukan kian kemari dengan bingung.
Sekilas pandang mendadak dilihatnya di semak rumput sana merayap keluar
seekor ular hijau sepanjang satu kaki, dengan cepat ular itu merayap ke
samping dengkul Yap manjing.
Meski sorot mata Yap manjing menampilkan rasa ngeri, namun tubuhnya tetap
tidak bergerak sama sekali.
Biasanya di tengah semak rumput memang banyak ular berbisa.
Tentu saja Lamkiong Peng kuatir, cepat ia melompat maju, sekali raih ekor
ular itu segera dipegangnya.
Ular itu lantas melingkar ke atas, lidah ular yang merah terjulur, secepat kilat
hendak memagut urat nadi Lamkiong Peng.
Meski mahir ilmu silat, namun Lamkiong Peng sama sekali asing terhadap ular.
Ia terkejut dan membuang ulat itu kebelakang, tapi ketika ia berpaling
mengikuti temapt jatuhnya ular, kembali ia terkejut, sebab ular itu dengan
tepat terlempar ke atas tubuh Bwe kiam soat.
Lekas Lamkiong Peng memburu lagi ke sana. Ular itu pun seperti terkejut,
hanya sejenak berhenti di atas tubuh Bwe kiam soat, lalu merayap ke bagian
lehernya.
Air muka Bwe kiam soat tampak pucat ketakutan, kulit dagingnya merinding
dan berkerut-kerut, dengan cemas ia memandang lidah ular yang sebentarKoleksi
Kang Zusi
bentar terjulur itu, butiran keringat dingin merembes keluar di dahinya, namun
tubuhnya tetap tidak bergeming.
Orang perempuan pada umumnya takut kepada tikus dan ular, betapa tabah
hati seorang perempuan juga akan menjerit kelabakan bila melihat mahluk
melata tersebut, apalgi sekarang tubuh Bwe kiam soat dirayapi ular, betapa
cemasnya sukar dilukiskan.
Ketika Lamkiong Peng memburu tiba, segera ia hendak mencengkram kepala
ular. Karena pengalaman tadi, ia pikir sekali pencet akan membinasakan
binatang melatah ini.
Tak terduga belum lagi tangannya bergerak, tiba-tiba seorang membentak di
belakangnya, “Jangan!”
Dengan terkejut Lamkiong Peng menoleh, dilihatnya Ban tat berlari datang dari
kejauhan sana, dengan nafas tersengal ia menatap ular hijau itu dengan waswas,
berbareng ia menarik Lamkiong Peng mundur ke belakangnya.
Dengan heran Lamkiong Peng bertanya, “Apa...........”
Pelahan Ban tat memberi tanda supaya jangan bicara, lalu ia melangkah maju
dengan prihatin serupa seorang jago dunia persilatan menghadapi lawan yang
paling tangguh.
Melihat ketegangan orang tua ini, Lamkiong Peng tahu ular hiaju ini pasti
bukan sembarangan ular berbisa bilamana cengkramannya tadi tidak berhasil
sekali pegang, buka mustahil jiwa Bwe kiam soat melayang.
Suasana berubah sunyi mencekam, jantung sama berdebar.
Tubuh ular hijau yang jelek dan bersisik itu sudah mulai merayapi pundak Bwe
kiam soat dengan lidahnya yang mersah menjulur dan hampir menjilat wajah

Bwe kiam soat yang pucat. Sampai Yap manjing yang duduk di seberangnya
juga menampilkan rasa kuatir dan ngeri.
Langkah Bantat sangat pelahan dan sangat hati-hati. Lamkiong Peng mengepal
tinju dengan menahan nafas, butiran keringat mengucur dari dahinya.
Mendadak terlihat lidah ular berkelebat lagi. Secepat kilat Ban Tat turun
tangan dengan tiga jari ia cengkeram leher ular, beberapa senti dibawah
kepala, menyusul dibantingnya dengan keras ke tanah, kontan ular itu mati
kaku dan tidak berkutik lagi.
Gerak tangannya cepat lagi jitu, baru sekarang Lamkiong menghela napas
lega. Selagi dia hendak mengucapkan terima kasih, dilihatnya Ban Tat masih
prihatin, mendadak ia melolos sebilah belati tajam, sekali injak dengan kaki
kiri, kontan tubuh ular itu dipotongnya.
“Gret” menyusul belati itu lantas ditancapnya diatas kepala ular, darah segar
pun munerat menyebabkan menyebarkan bau anyir busuk. Sampai disini baru
Ban Tat menarik napas lega, tampa terasa juga Lamikiong Peng mengusap
keringatnya. Namun Bwe Kim Soat dan Yap Man-jing masih tetap duduk kaku
di tempatnya. Kejadian yang mendebarkan tadi seakan – akan terjadi atas diri
mereka.
“Sungguh berbahaya....” guman Ban Tat. Sebenarnya apa yang terjadi ini?
tanya Lamkiong Peng. “Ular ini tidak terdapat di daerah Tionggoan, tapi jenis
ular paling berbisa yang cuma terdapat di daerah gurun. Bisa ular ini sangat
jahat, sekali tergigit dalam sekejap korbannya akan mati sesak napas.
Sungguh tak terduga ular semacam ini bisa muncul disini.”
Diam – diam Lamkiong Peng bersyukur terhindar dari maut, untung
kedatangan penolong yang ahli, kalau tidak urusan ini bisa runyam. “Yang
kutanyakan bukan Cuma sola ular, tapi mereka.... sesungguhnya apa yang

terjadi?” Katanya pula menunding Bwe dan Yap berdua. “Kenapa mereka
begitu? Dan kemana perginya Tik-heng?”
Ban Tat mengeluarkan sepotong kain putih, dengan hati – hati ia membungkus
tangkai belati lalu menggali sebuah liang disamping bangkai ular, katanya
dengan gegetun. “Aku dan nona Bwe menunggumu disini, lambat laun
fajarpun menyingsing, sedangkan kedaan sahabat She Tik itu semakin parah
dan menguatirkan, berulang dia mengigau, tubuh pun mengejang. Mestinya
nona Bwe hendak menutuk hiat – to untuk mengurangi penderitaannya, tapi
kuatir racun sudah masuk darahnya, bila hiat-to ditutuk bisa jadi racun akan
mengumpul dan tidak dapat mengalir, hal ini tentu akan tambah bahaya.”
Ia berhenti sejenak sambil melirik Bwe Kim-soat sekejap, lalu bertutur pula,
“Waktu itu mestinya ingin kucari suatu tempat yang sejuk untuk bersembunyi
dan menunggu kepulanganmu, tapi nona Bwe menolak, ia bilang sudah
berjanji menunggumu disini, biarpun langit ambruk dan bumi ambles juga
tetap akan menunggumu disini.”
Terharu sekali hati Lamkiong Peng, tampa terasa ia memandang Bwe Kim-soat
sekejap, kebetulan Kim-soat juga lagi melirik ke arahnya. Bentrokan
pandangan ini membuat jantung anak muda itu berdebur.
“Kemudian lantas bagaimana? “ tanyanya kepada Ban-tat.
Menjelang magrib, kupergi mencari makanan dan air minum, siapa tahu
sedikitpun nona Bwe tidak mau makan, dia Cuma minum dua ceguk air dingin
sambil memandang ke arah kepergianmu dengan cemas. Meski dia tidak
omong juga dapat kuselami betapa rasa kuatirnya bagimu. Setelah hari gelap
ingin kucari lagi kayu bakar untuk membuat api unggun.....”
Kembali ia merandek sambil memandang Ke arah Yap manjing, sambungnya,
“pada saat itulah nona Yap ini mendengar suara igauan Tik yang dan mencari
ke arah suara sini...” mendadak ia memandang kian kemari sambil menahan

suaranya, “kedatangan nona Yap ini seprti juga lantaran dirimu, sekali dia
melihat nona Bwe, seketika air mukanya berubah dan bertanya, “Apakah
Lamkiong Peng juga terluka?.........Agaknya dia dapat menerka siapa nona
Bwe, juga orang yang berada bersama nona Bwe pasti dirimu.”
Diam-diam Lamkiong Peng menghela nafas, entah merasa hangat atau
bingung, sedapatnya ia menahan keinginannya memandang Yap manjing,
akan tetapi toh tidak tahan dan akhirnya melirik juga sekejap, kembali
keduanya beradu pandang.
Jantung Lamkiong Peng berdebur lagi, cepat ia tanya Ban Tat, “Dan kemudian
bagaimana?”
“Kemudian.......” Bantat berdehem dulu, lalu menyambung, “Kemudian nona
Bwe menjengek dan menegur siapakah nona Yap? Dan...dan keduanya lantas
terlibat dalam pertengkaran........”
Agaknya ia sungkan menceritakan pertengkaran kedua nona yang berpangkal
atas diri Lamkiong Peng itu, ia cuma berkata, “pembicaraan kedua nona itu
tentu saja tidak dapat ku ikut campur, namun akhirnya kudengar.....kudengar
nona Bwe berkata, “Ya usiaku sudah 40-an, dengna sendirinya memenuhi
syarat untuk menjadi angkatan yang lebih tua, maka sekarang hendak kuberi
hajaran kepada kaum muda yang tidak sopan seperti kau ini.”
Kening Lamkiong Peng bekerenyit, pikirnya,” Jika demikian, jelas Yap Manjing
telah menyebut nona Bwe sebagai Locianpwe, mengapa dia menganggap nona
Yap tidak sopan?”
Betapa pintarnya Lamkiong Peng tetap tidak dapt memahami perasaaan anak
perempuan. Ia tidak tahu bahwa Yap manjing sengaja menyebut usia Bwe
kiam soat untuk mengingatkan dia hanya sesuai menjadi ‘Locianpwe’, atau
kaum tua Lamkiong Peng, artinya tidak cocok untuk menjadi pacarnya.
Dengan sendirinya hal ini membuat Bwe kiam soat menjadi marah.

Didengarnya Ban tat berkata pula, “maka nona Yap lantas marah jugga, pada
waktu itu Tik Yang lagi meronta-ronta, kudekati dia untuk merawatnya. Ketika
keadaannya agak baikan, kudengar kedua nona ribut mulut lagi, akhirnya nona
Yap menjengek, “Hm, orang kangouw sama menyebut dirimu sebagi Leng
hiat-huicu, tentu karena tabiatmu yang dingin dan tenang. Maka sekarang juga
boleh kita beradu kesabaran berduduk semedi, tidak peduli menghadapi
kejadian apapun dilarang bergerak, barangsiapa bergerak lebih dulu dianggap
kalah.”
Tergerak hati Lamkiong Peng , pikirnya nona Yap ini sungguh pintar, dia hidup
bersama Yap jiu-pek di puncak Hoa-san yang dingin dan sepi itu selama
berpuluh tahun, dalam hal duduk menyepi dengan sabar, tentu jauh lebih
tahan daripada orang lain.”
Berpikir demikan, tanpa terasa ia memandang Bwe kiam soat sekejap, lalu
bertanya pelahan, “Dan dia menerima tantangan itu?”
“Masa dia menolak?” ujar Ban tat.
Tapi segera teringat oleh Lamkiong Peng , Bwe kiam soat pernah tersekap
belasan tahuan di dalam peti mati yang sempit dan gelap itu, penderitaaan
selama itu memerlukan kesabaran yang tak terhingga untuk mengatasinya,
jika urusan duduk diam saja pasti tidak menajdi soal baginya.
Berpikir demikian, tanpa terasa ia menyapu pandang sekejap kepada Bwe
kiam saot dan Yap manjing berdua, ia pikir, pengalaman dan watak kedua
orang perempuan ini memang lain daripada yang lain, tampaknya dalam waktu
singkat mereka pasti sanggup bertahan untuk tidak bergerak sama sekali.
Melihat perubahan air muka Lamkiong Peng yangs sebentar kuatir dan
sebentar girang, lain saat kagum, segera merasa sedih lagi, tentu saja Ban tat
juga terheran-heran.

“Pertandingan mereka ini entah akan berakhir kapan,” gumam Lamkiong Peng
dengan gegetun. Mendadak ia bertanya, “Dan kemana perginya Tik-heng?”
“Racun yang digunakan Yim hong-peng memang sangat lihai, selain bisa
membunuh, juga dapat membuat pikiran sehat orang terbius. Sahabat she Tik
itu selama seharian tampak seperti orang sinting, pada waktu malam bahkan
kumat gilanya, aku harus mengawasi keadaan nona Bwe, juga perlu menjaga
dia, memangnya kau susah kerepotan, kedatangn nona Yap segera pula
menantang bertanding lagi kepada nona Bwe, selagi aku agak meleng, sahabat
she Tik itu terus melepaskan peganganku dan berlari secepat terbang ke
tempat gelap.
“Dan tidak kalian susul?” tanya Lamkiong Peng kuatir.
“Nona Bwe dan nona Yap waktu sudah mulai bertanding berduduk dan tidak
dapat bergerak lagi, dengan sendirinya tak dapat menyusulnya, “ tutur Ban
tat.
“Dan kau sendiri?” tanya Lamkiong Peng .
“Aku sendiri segera mengejarnya, ujar Ban Tat dengan gegetun, “Siapa tahu,
meski sahabat Tik itu keracunan, tapi ginkangnya tetap sangat mengejutkan,
meski sudah kusul dengan sekuat tenaga, namu tidak seberapa lama aku
kehilangan jejaknya dalam kegelapan.”
“Dan karena tidak dapat kau susul dia, lantas kembali lagi kesini?” tanay
Lamkiong Peng dengan mendongkol.
“Ya, aku memang tidak berdaya, setiba kembaliku kesini, kebetulan kulihat
ular hijau tadi,” tutur Ban Tat dengan menyesal.
“Dia lari ke arah mana?”

Ban Tat menuding ke arah barat.
“Coba bawaku kesana,” seru Lamkiong Peng sambil menarik tangan Ban Tat
dan diajak berlari pergi.
Tanpa kuasa Ban Tat terseret lari secepat terbang, diam-diam ia mebtin,
“Berpisah belum ada setahun, tak tersangka kungfunya sudah maju secepat
ini..........”
**********
Malam semakin sunyi, Bwe kiam soat dan Yapmanjing hanya sempat melirik
ke arah menghilangnya bayangan Lamkiong Peng di kegelapan sana, segera
mereka memusatkan perhatian dan saling tatap pula.
Meski diluar kedua orang kelihatan tenang, tapi dalam hati sama bergejolak.
Angin meniup dingin, tanah kosong di tengah kedua orang yang duduk saling
pandang itu menggeletak Cian Tong-lai yang sejak tadi tak sadarkan diri.
Mendadak anak muda ini mulai bergeliat dan membalik tubuh miring ke
samping.
Bwe kiam soat dan Yap manjing sama tidak tahu siapakah pemuda berbaju
perlente ini. Apakah orang ini sakit atau terluka. Apakah musuh Lamkiong
Peng atau sahabatnya.
Tertampak anak muda itu membalik dua tiga kali, mendadak melompat
bangun serupa seekor kelinci yang terkejut terkena panah, dengan tercengang
ia kucek-kucek matanya, lalu memandang Bwe kiam soat dan Yap Manjing
dengan terbelalak.
“He, tempat apakah ini? Kenapa aku berada di sini?” tanyanya bingung.

Bahwa setelah siuman, mendadak diketahui dirinya berada di tempat sepi dan
disampingnya berduduk dua peermpuan maha cantik tanpa bergerak, betapa
tabahnya tidak urung juga rada sangsi dan ngeri.
Setelah tercengang sejenak, mendadak ia berpaling, “Giok-ji.....Tanji........”
Lalu ia menghadapi lagi ke arah Bwe dan Yap berdua, bentaknya,
“Sesungguhnya tempat apakah ini? Mengapa aku sampai di sini?”
Namun kedua perempuan maha cantik ini tetap tidak bergerak sedikitpun,
bahkan meliriknya pun tidak.
Timbul juga rasa ngeri Cian tong-lai, pikirnya, “Jangan-jangan aku ketemukan
setan? Kalau tidak, mengapa tanpa sebab dari Boh-liong-ceng aku bisa berada
di sini?”
Mendadak ia melayang pergi seepat terbang.
Hati Bwe kiam soat dan Yap berdua sama tergetar, diam-diam mereka memuji
kehebatan ginkang anak muda itu. Mereka pun geli teringat kepada kelakuan
Cian Tong-lai yang bingung tadi.
Siapa tahu, sejenak kemudian, mendadak terdengar suara orang berdehem,
pemuda berbaju perlente muncul kembali, dengan langkah santai ia mendekati
kedua peermpuan cantik itu, lebih dulu ia mengamat-amati Bwe kiam soat
beberapa kejap, lalu mengawasi Yap Manjing dengan cermat, kemudian
menuju ke samping Kim soat serta mendekatkan kepalanya ke muka orang
dan menegur, “He, he, kau dengar ucapanku tidak?”
Tapi Bwe kiam soat tetap diam saja, tidak bergerak, juga tidak berkedip.

Cian Tong-lai menggeleng kepala, ia coba mendekati Yap manjing dan
berjongkok di sampingnya serta menegur, “He.....he.....”
Namun Yap manjing juga diam saja tanpa bergeming, malahan sorot mata
mereka tampak menampilkan rasa gusar atas tingkah lakunya yang kasar itu.
Mendadak Cian tong-lai membentak, “Hai...”
Bentakan ini keras luar biasa seakan-akan genta yang dibunyikan di tepi
telinga, hati Bwe dan Yap tergetar, betapapun tenangnya mereka tidak urung
berkedip juga.
“Haha, kiranya kalian bukan orang tuli,” seru Cian tong-lai dengan tertawa.
“Semula kusangka kalian orang bisu tuli, eh kiranya kalian juga dengar
suaraku. Padahal kalian masih muda jelita, jika benar bisu-tuli kan sayang!”
Mendadak ia berhenti tertawa dan menarik muka, jengeknya, “Hm, jika kalian
buka orang bisu-tuli, kenapa kalian tidak menggubris pertanyaanku tadi?
Apakah kalian menghina diriku?
Bwe dan Yap merasa selain kungfu anak muda ini sangat tinggi, orangnya juga
cakap, Cuma tutur katannya yang kelewat congkak dan menjemukan, namun
meski hati mendongkol mereka tetap tidak bergerak.
Cian tong-lai bersimpuh tangan dan berjalan mondar-mandir, dipandangnya
Bwe kiam soat, lalu memandang Yap manjing lagi, sejenak kemudian kembali
ia menengadah dan bergelak tertawa, “Hahaha, bagus, tahulah aku! Mungkin
thian kasihan padaku karan kesepian, maka sengaja memberikan dua teman
jelita kepadaku.”
“Betul tidak?” demikian ia pandang Kiam soat dan bertanya, lalu berpaling dan
tanya Yap manjing pula, “Betul tidak?”

Lalu ia terbahak-bahak dan menambahkan pula, “Aha, rasanya memang betul
begitu, bukankah kalian telah mengaku secara diam-diam?!”
Sedapatnya Bwe kiam soat emnahan rasa gusar, dia berharap Yap manjing
tidak tahan oelh godaan anak muda itu dan mendahului bergerak, dengan
begitu di akan segera melompat bangun untuk memberi hajaran setimpal
kepada pemuda sombong dan bangor ini.
Sebaliknya Yap manjing juga tetap diam saja, ia pun berharap Bwe kiam soat
bergeral lebih dahulu.
Jadinya kedua orang tetap saling pandang, dada serasa mau meledak saking
gemasnya, namun tetap tidak ada yang bergerak lebih dulu.
Mendadak Cian tong-lai menepuk dahi sendiri dan berhenti tertawa,a lisnya
bekerenyit, ucapnya dengan masgul, “O, thian, meski engkau
memperlakukanku dengan amat baik, tapi rasanya juga keterlaluan. Kedua
anak perempuan ini sama cantiknya, lantas cara bagaimana harus kuambil
keputusan? Padahal aku cuma ada satu tubuh, terpaksa mereka harus
kujadikan istri tua dan istri muda. Lantas siapakah di anatar mereka yang
berhak menjadi istri tua dan yang mana istri muda?”
Dia sengaja berlagak seperti seorang yang kebingungan, ia mendekati Yap
manjing dan meraba pipinya yang halus itu, katanya dengan menyesal, “Ai,
muda jelita seperti ini mana sampai hati kujadikan dirimu sebagai istri muda?”
Lalu dengan lagak kasihan ia pun mendekati Bwe kiam soat dan meneolek
dagunya serta berkata, “Dan ini kan juga tidak kalah cantiknya, sungguh
sayang bila disuruh antri dari belakang.”
Mata Bwe dan Yap serasa mau menyemburkan api saking gusarnya. Tapi tiada
seorang pun memandang Cian tong-lai, keduanya tetap saling pandang
dengan melotot dengan harapan semoga pihak lawan mau bergerak lebih dulu.

*************
Kembali tadi, Lamkiong peng yang cemas dan gemas serta kuatir itu sedang
berlari menyeret Ban Tat, gerundelnya, “Kenapa dia begitu ceroboh dan
membiarkan Tik-heng pergi begitu saja. Padahal dia tahu jelas Tik-heng
keracunan parah dan kupergi mencari obat penawar dengan menyerempet
bahaya. Ai jika.........jika Tik heng tidak dapat kutemukan,
bukankah........bukankah berarti jiwanya melayang akibat perbuatan mereka?”
Dia berlari semakin cepat dan gelisah.
“Lamkiong-kongcu,” kata Ban Tat. “Kedua nona itu berduduk diam di sana,
bukan.........bukan mustahil akan timbul bahaya.”
Lari Lamkiong-peng agak diperlambat ucapnya dengan mendongkol, “Lantas
bagaimana dengan jiwa Tik-heng?”
“Ai, alangkah bahagianya setiap orang yang dapat bersahabat denganmu,”
ucap Ban Tat dengan gegetun.
“Tik-heng keracunan lantaran membela diriku, tapi sekarang.......ai, sungguh
aku........”
Lamkiong Peng tidak sanggup melanjutkan karena sejauh itu bayangan Tik
Yang tetap tidak kelihatan.
Segera ia berteriak, “Tik-heng, Tik yang.......dapatlah kaudengar suaraku?”
“Dia dalam keadaan tidak sadar, biarpun kau panggil di telinganya juga tidak
dipahaminya,” ujar Ban Tat. “Apalagi dalam keadaan gelap begitu, kemana
akan kaucari dia? Meski dia keracunan parah, tapi sudah kusalurkan tenaga
murniku untuk memperkuat jantungnya, kukira dalam sehari atau setengah

hari saja takkan beralangan bagi jiwanya. Akan lebih baik sekarang kita
kembali ke sana untuk membujuk kedua nonna itu agar berhenti bertanding.
Mereka Sebenarnya tidak bermusuhan, bujukanmu mungkin akan diturut
mereka. Besok pagi setelah terang tanah barulah kita berempat mencari
sahabat she Tik itu.
Lamkiong Peng menjadi ragu dan mengendurkan langkahnya,
“Tapi.........tapi........”
Belum lanjut ucapannya, sekonyong-konyong jauh dari belakang sana
berkumandang suara bentakan orang yang tersiar terbawa angin. Jelas orang
yang membentak itu memiliki tenaga dalam yang kuat.
“Siapa itu?” Lamkiong Peng melengak dan saling pandang dengan Ban tat.
Tanpa pikir lagi segera kedua orang berlari kembali ke arah datangnya tadi.
Tidak jauh mereka berlari, kembali terdengar suara gelak tertawa orang
terbawa angin.
“Ternyata tidak salah dugaanmu, mereka mengalami sesuatu,” kata Lamkiong
Peng.
“Kedua nona itu sama menguasai kepandaian tinggi, bila menghadapi kejadian
di luar dugaan, mustahil mereka tetap duduk diam saja hanya untuk berebut
kemanangan yang tidak ada artinya itu?” ujar Ban Tat.
“Tapi watak kedua orang itu terkadang memang sukar dimengerti...........”
Belum habis ucapan Lamkiong Peng,sekonyong-konyong berkumandang lagi
suara tertawa keras orang.
“Biar kupergi dulu!” seru Lamkiong Peng sambilmendahului berlari secepat
terbang.

Hanya sekejap saja ia sudah lari sampai di tempat duduk Bwe dan Yap berdua,
dilihatnya pemuda perlente Cian Tong-lai yang dibawanya dari Boh-liong-ceng
itu sekarang sudah berdiri di depan Bwe kiam soat dan sedang membelai
rambutnya dengan tertawa dan berkata, “Ehm, halus dan lemas benar
rambutmu, selicin sutera rasanya, sungguh beruntung aku.........”
“Dari jauh segera Lamkiong Peng membentak,”Berhenti, cian tong lai!”
Saat itu Cian tong-lai lagi tergiur, dirasakan sorot mata kedua nona yang gusar
itu semakin menambah daya pikat mereka. Ia pikir bilamana mereka benar
benci kepadanya, mengapa mereka tidak segera melabraknya, tapi tetap
duduk diam saja tanpa peduli mereka dicolek dan diraba.
Bentakan Lamkiong Peng membuatnya terkejut, cepat ia berpaling, dilihatnya
seorang pemuda tak dikenal sedang memburu tiba dengan cepat. Ia heran dan
juga mendongkol, segera ia balas membentak, “Siapa kau?” Dari mana kau
kenal namaku?”
Lamkiong Peng berhenti di depannya, dengan sorot mata tajam ia menjawab,
“Aku yang membawamu ke sini dari Boh-liong-ceng, dengan sendirinya kutahu
namamu.”
Tentu saja Cian Tong-lai melenggak, “Engkau yang memebawaku ke
sini?.........
“Ya, kau tidak sadar karena terbius, jika tidak ditolong oleh Wiki, saat ini
nasibmu pun sukar diramalkan,” tutur Lamkiong Peng.
“Aku tak sadar........terbius?...........Wiki yang menolongku?.......” demikian
Cian tong-lai bergumam dengan terheran-heran.

“Ya, baru saja kau bebas dari bahaya, kenapa lantas berlaku tidak senonoh
terhadap kaum wanita?” damprat Lamkiong Peng.
“E-eh, nanti dulu!” ujar Cian tong-lai sambil menggoyangkan tangannya.
“Urusan ini rada membingungkan. Tampaknya kedua nona itu seperti
kenalanmu?”
“Memang betul,” jawab Lamkiong Peng.
“Haha, pantas kau kelihatan cemas begini,” ujar Cian tong-lai dengan tertawa.
“Cuma, jangan kau kuatir. Biasanya aku pun tahu baik dan jelek. Kau bilang
telah membantuku, kau pun mengatakan mereka adalah sahabatmu, maka
bolehlah kita bagi rata saja seorang dapat satu, urusan lain boleh kita
bicarakan nanti.”
Mendongkol hati Lamkiong Peng oleh ucapan orang yang tidak pantas itu,
dengan menggereget ia mendamprat, “Kurang ajar! Sungguh tak tersangka
kau dapat bicara seperti ini. Tampaknya perlu kuberi hajar adat padamu.”
Cian tong-lai mendelik, jengeknya,”Hajar adat padaku? Haha, bagus.......”
“Bagus apa?” bentak Lamkiong Peng sambil menampar muka orang.
Tamparannya ini tidak pakai jurus serangan melainkan serupa orang tua
menghajar anak nakal saja.
Han Bu Kong
Jilid 11
Namun Cian Tong-lai menghadapinya dengan tertawa, sikapnya pongah,
tamparan orang dianggapnya sepele, sekenanya ia hendak mengkis sambil
mengejek, “Hm, hanya begini saja.......”

Belum lanjut ucapannya, sekonyong-konyong dirasakan tenaga tamparan
orang sangat kuat, tangan sendiri yang menagkis terasa kaku kesemutan,
tanpa kuasa ia tergetar mundur beberapa tindak.
Sesuai dengan pesan si gelang terbang Wiki, mestinya Lamkiong Peng tidak
bermaksud melukai Cian tong-lai, tapi sikap orang yang congkak dan
ucapannya yang menghina memnuatnya tidak tahan. Sambil membentak
segera ia menubruk maju, sekaligus ia menghantam dua-tiga kali, selalu
mengincar beberapa hiat-to penting di bagian iga lawan.
Meski lengan Cian tong-lai masih terasa kemeng, namun gerakannya tidak
kurang gesitnya, dengan cepat ia mengindar dan balas menyerang beberapa
kali.
Keduannya sama terkesiap oleh ketangkasan lawan dan tidak berani lagi saling
meremehkan.
Dalam pada itu Ban Tat telahmemburu tiba, ia pun terkejut melihat
pertarunagn sengit kedua orang itu. Apalagi dilihatnya air muka Bwe kiam soat
dan Yap manjing juga menunjuk rasa cemas, mau-tak mau ia ikut prihatin.
Mendadak terdengar suitan Lamkiong Peng, kedua tangan menghantam susul
menyusul dengan jurus ‘Ciam-liong-sing-thian’ atau naga sembunyi
melambung ke langit.
Diam-diam Ban Tat bergirang, ia pikir sekali anak muda itu mengeluarkan
jurus serangan andalan perguruannya, kemenangan tentu tidak perlu
diragukan lagi.
Tak tersangka Bwe kiam soat dan Yap manjing justru sama menjerit kuatir,
berbareng mereka pun menubruk maju.

Kiranya selama beberapa hari ini Lamkiong Peng sudah terlampau letih, ia
sudah kehabisan tenaga sehingga gerak-geriknya mulai lamban, jurus Ciamliong-
sing-thian itu dilancarkannya dengan terpaksa, tujuannya hanya untuk
gugur bersama musuh.
Namun Bwe kiam soat dan Yap manjing yang menyaksikan di samping jauh
lebih jelas, mereka tahu tenaga murni Lamkiong Peng sudah habis, dengan
melancarkan serangan maut itu keadaan anak muda itu justru lebih celaka
daripada selamatnya. Maka mereka terus menubruk maju untuk membantu.
Cian tonng-lai mendengus sembari menggeser ke samping, ketika Lamkiong
Peng yang melambung keatas itu mulai turun, segera ia pun bersuit dan
bermaksud melompat untuk menyongsong lawan.
Pada saat itulah tiba-tiba dari kanan-kiri menubruk tiba dua sosok bayangn
orang dengan angin pukulan dasyat. Ia terkejut, cepat ia berputar melepaskan
diri dari gencetan itu.
Sementara Lamkiong Peng sudah melayang turun, karen sasarannya keburu
menggeser, cepat gunakan gerakan ‘Sin-liong-hi-in’ atau naga sakti
memainkan awan, dengan berjumpalitan ia tancapkan kakinya di tanah
dengan enteng.
Sempat dilihatnya Bwe kiam soat dan yap manjing sama meliriknya sekejap,
habis itu mereka terus menerjang lagi ke arah Cian tong-lai, dari lirikan
mereka itu jelas kelihatan perhatian mereka terhadap keselamatan Lamkiong
Peng.
Tergetar hati Lamkiong Peng. Ban Tat juga gegetun dan diam-diam ikut
merasa bahagia bagi anak muda itu. Akan tetapi sebagai orang tua yang sudah
kenyang asam garam kehidupan, rasanya di balik kebahagiaan itu seperti ada
sesuatu yang mengkuatirkan.

“Haha, tampaknya kedua nona benar-benar ingin belajar kenal dengan
kepandaianku, baiklah kuperlihatkan sejurus dua jurus istimewa, supaya kalian
tahu siapa tahu diriku,” seru Cian tong-lai dengan tertawa, akan tetapi ketika
selesai ucapannya, dia tidak sanggup tertawa lagi.
Mendadak Bwe kiam soat menutuk empat kali ke beberapa hiat-to mematikan
di tubuh Cian Tong-lai, meski keempat hiat-to itu tersebar di bagian yang
berbeda, namun gerak serangan Bwe kiam soat itu seakan-akan dilancarkan
secara serentak.
Terpaksa Cian tong-lai melompat mundur dan tergencang oleh serangan maut
lawan itu.
Tiba – tiba Bwe kim–soat tersenyum kepadaYap man–jing dan berkata, “yap
moaymoay, boleh kau mundur saja, biar kulayani dia sendiri”
Akan tetapi alis Yap Man-jing seolah-olah menegak tanpa bersuara ia pun
menubruk maju dan melancarkan beberapa kali serangan kilat sehingga
terpaksa Cian tong-lai melayani dengan sama cepatnya.
“Haha, serngan bagus, kungfu lihai!” seru Bwe kiam soat dengan tertawa,
“Adik yang baik, bukan maksudku bilang kepandaian mu renadah, Cuma,
untuk mengalahkan kungfu Tiau-thian-kiong dari Kun-lun-san ini bagimu
masih belum ukurannya, maka lebih baik kauturut kepada ucapanku dan
mundur saja.”
Akan tetapi Yap manjing tetap tidak menjawab melainkan melancarkan
serangan terlebih cepat.
Diam-diam Cian tong-lai juga terkesiap oleh serangan si nona di samping
heran asal usulnya dapat dikenali Bwe kiam soat.

“Adik yang baik, jika tidak mau kauturt perkataanku, biarlah cici saja yang
menyingkir?” kata Kiam soat pula sembari menyurut mundur.
“He, apa maksudmu ini?” tanya Lamkiong Peng dengan bingung.
“Dua mengeroyok satu kan tidak pantas, biarlah dia meneoba sendiri, masa
kau kuatir?” sahut Kiam soat.
Air muka Lamkiong Peng tampak masam dan tidak menghirukannya lagi, ia
coba mengikuti gerakan Cian Tong-lai yang aneh itu. Dilihatnya Yap manjing
sekarang berbalik telah terkurung di bawah pukulannya yang lihai.
Namun Yap manjing masih dapat balas menyerang dengan sama gesitnya,
meski agak terdesak dibawah angin, tapi belum ada tanda akan kalah.
Dengan tertawa Bwe Kiam soat berolok pula, “Wah rupanya Yap jiu pek
memang mengajarkan sejurus kungfu sakti kepada murid kesayanagnnya,
Cuma tak diduganya kungfu ini tidak digunakannya untuk menghadapi murid
Sin-liong, tapi murid Kun-lun-pai yang justru dilabraknya.”
Lamkiong Peng mendengus saja. Sedang Ban Tat lantas mendekatinya dan
berkata, “Tampaknya nona Yap tidak.........”
“Meski dua mengerubut satu, terpaksa harus kubantu dia,” kata Lamkiong
Peng.
Tiba-tiba terdengar Bwe kiam soat berucap dengan hampa, “Jangan kau
kuatir, biar ku.........”
Serentak ia melompat maju dan melancarkan pukulan dasyat.

Terpaksa Cian tong-lai menarik serangannya terhadap Yap manjing untuk
melayani Bwe kiam soat, dengan demikian Yap manjing jadi bebas tekanan. IA
menghela nafas dan menyingkir ke pinggir kalangan.
Ban Tat merasa lega, ucapnya, “Pantas nama Kongjiok Huicu termashur,
ternyata benar.....”
Jelas dia sangat kagum terhadap kelihaian kungfu Bwe kiam soat.
Setelah termenung sejenak memandang bayangan Cian Tong-lai, Yap manjing
menghela nafas, lalu menunduk dan pelahan membalik tubuh dan melangkah
pergi.
“He nona Yap...........” seru Lamkiong Peng sambil melompat ke samping gadis
itu, “Masa engkau hendak pergi?”
Manjing tetap menunduk, jawabnya pelahan, “Ya, kupergi.........”
“Tapi guruku..........”
Belum lanjut ucapan Lamkiong Peng, mendadak terdengar bentakan Bwe kiam
soat, “Berhenti dulu!”
Lamkiong Peng dan Yap manjing sama berpaling, dilihatnya Cian tong-lai
sedang menyerang, karena bentakan Bwe kiam soat itu ia lantas menahan
serangan dan menegur, “Ada apa?”
Dengan lagak menggiurkan Bwe kiam soat berucap dengan
tersenyum,”Selamanya kita tidak ada permusuhan apapun, untuk apa kita
saling labrak mati-matian?”

Cian tong-lai memandangnya dengan tercengang, sahutnya kemudian dengan
ragu, “Ya, memangnya tiada permusuhan apa pun antara kita, buat apa kita
mengadu jiwa?”
“Malahan sebenarnya kita dapat saling tukar kepandaian sejurus dua, dengan
begitu siapa pula tokoh kangouw jaman ini yang mampu menandingi kita?”
kata Kiam soat pula.
Cian tong-lai tertawa senang, “Benar, bilamana kita saling mengajar sejurus
dua, haha bagus sekali........”
“Tutup mulut!” bentak Lamkiong Peng mendadak.
“Kau mau apa?” jengek Kiam soat dengan muka dingin.
“Aku.............” Lamkiong Peng gelagapan.
“Jangan urus dia,” ucap Kiam soat kepada Cian Tong-lai. Lalu ia pandang
Lamkiong Peng dengan tajam dan berkata pula, “Aku bukan sanak
kandungmu, urusanku tidak perlu kau turut campur. Soal pesan tinggalan
Liong po si juga tidak ada sangkut pautnya denganku, boleh silahkan kau bawa
nona Yap itu untuk melaksanakan pesan tinggalan gurumu.”
Seketika Lamkiong Peng berdiri terkesima.
Bwe kiam soat tersenyum kepada Cian tong-lai, katanya, “mArilah kita pergi
dan mencari tempat bersantap, perutku lapar.”
Dengan tersenyum Cian tong-lai mengangguk, serentak keduanya melayang
kesana.

Cian tong lai sempatmenoleh dan berteriak kepada Lamkiong Peng,”jika kau
ingin bertanding denganku, silahkan pulang berlatih lagi tiga tahun dan boleh
coba mencariku lagi.”
Habis berucap bayangannyya pun sudahh jauh, hanya suara tertawa
pongahnya berkumandang dalam kegelapan.
Lamkiong Peng berdiri terpaku, suara tertawa orang terasa menusuk perasaan,
sambil mengepal erat tinjunya, ia membatin, “Bwe Kiam soat, Bwe leng hiat,
sungguh memnag berdarah dingin....”
Menyaksikan kepregian Bwe kiam soatmendaak Yap manjing mendengus,
“Kenapa tidak kau susul dia?”
Lamkiong Peng menghela nafas, jawabnya, “Kenapa harus kususul dia?”
“Hm, dasar tidak punya perasaan,” jengek manjing sambil melengos.
Tentu saja Lamkiong Peng melenggong pikirnya, “Masa aku tidak berperasaan,
dia bersikap begitu padaku, masa aku yang tidak berperasaan?.......”
Tiba-tiba Manjing berpaling dan berkata padanya, “Dia sangat baik padamu,
masa engkau tidak tahu dan tidak menghiraukannya?”
Lamkiong Peng tambah melenggak, “Masa..........masa dia bermaksud baik
padaku?”
“Jika dia tidak baik padamu, mana bisa dia menaruh perhatian terhadap
keselamatanmu.”
“Tapi....tapi dia.........telah pergi bersama..........”

“Dia berbuat begitu justru lantaran cemburunya ketika ada anak perempuan
lain mencarimu, maka dia..........” tiba-tiba Manjing menambahkan dengan
serius, “Ia tidak tahu maksudku mencarimu adalah untuk memenuhi janjiku
terhadap gurumu.”
Bingung juga Lamkiong Peng memikirkan perasaan anak perempuan yang
sukar dimengerti itu. Katanya kemudian, “Meski nnona Bwe telah pergi, hal itu
disebabkan rasa gusar yang timbul seketika, nantii dia pasti akan....” sampai
disini, mendadak dia teringat sesuatu, teriaknya,” Hei, dimana Yap-siang-jiuloh?”
“Yap-siang-jiu-loh apa?” tanya Ban Tat dengan bingung.
“Yaitu pedang pusaka tinggalan guruku, senjata itu tadi kutaruh di samping Tik
Yang,” seru Lamkiong Peng.
Ban Tat melenggong, “Tapi pada waktu Tik Yang berlari pergi, tampaknya dia
tidak membawa sesuatu.”
“Ayo aku harus........”
“Kau mau kemana?” tanya Manjing, “Apakah engaku tidakingin membaca dulu
surat wasiat tinggalan gurumu?”
“O. Apakah surat wasiat guruku berada pada nona? Tanya Lamkiong Peng.
Pelahan Manjing mengeluarkana sepucuk surat sambil melirik sekejap, lalu
surat disodorkannya.
Lamkiong Peng menerima surat itu dan berkayta, “Tapi menurut perintah
suhu, tiga hari kemudian..........”

“Jika engkau tidak pulang ke ji-hau-san-ceng, apa alangannya bila kau baca
saja surat ini. Kalau tiga urusan yang ditentukan oleh gurumu memerlukan
bantuanku, maka birlah kita lekas menyelesaikannya, dengan begitu
selekasnya aku pun cepat melepaskan dari persoalanmu.”
Pelahan Lamkiong Peng membuka sampul surat, tulisan tangan yang cukup
dikenalnya segra terpajang di depan mata.
Isi surat itu berbunyi :
Anak Peng,
Aku sudah tua dan mendahului pergi, Ji-hau-san-ceng buknlah tempat
kediamanmu yang abadi, perusahaan orang tuamu juga perlu pimpinan mu.
Kau lahir dari keluarga ternama, bakatmu pun tidak terbatas, hari depanmu
sungguh gilang gemilang dan tak terbatas.
Seorang lelaki sejati memerlukan pembantu rumah tangga yang bijaksana,
untuk ini perlu kau dapatkan istri yang baik.
Nona Yap Manjing pintar lagi cerdas, dia gadis pilihan yang cocok untuk
mendampingi hidupmu, inilah pesanku yang pertama.
Sayang sekali Liong-hui tidak punya keturunan, karena itulah kuharap bila
anakmu lebih dari satu, hendaknya seorang kauberikan she Liong untuk
menyambung keturunan keluarga Liong.
Inilah pesanku yang kedua........”
Membaca sampai disini, muka Lamkiong Peng menjadi merah. Sungguh tak
terduga olehnya pesan tinggalan sang guru justru menyangkut perjodohan
dengan Yap manjing.

Ia membaca lagi”
Selain itu selama ini di dunia persilatan tersiar berita misterius bahwa tempat
suci dunia persilatan bukanlah Siong-san Siau-lim-si juga bukan Kun-lun atau
Bu-tong-san melainkan terletak di suatu istana dan suatu pulau. Pulau itu
bernama ‘Cu-sin’ (para dewa). Diaman letak tempatnya sukar ditemukan.
Konon Kun-Mo-To adalah pulau kediaman manusia jahat dan keji di dunia ini,
sedangkan istana para dewata dihuni oleh manusia bajik dan bijak. Akan tetapi
jika tidak menguasai ilmu silat maha tinggi, siapa pun sukar memasuki istana
dan pulau itu selangkah pun.
Tergetar juga hati Lamkiong Peng membaca samapi disini, ia merasa urusan
ini benar-benar misterius dan penuh teka-teki.
Ia coba membaca lagi :
Pada waktu masih muda sudah kudengar ceruta tentang istana dan pulau
misterius ini. Akan tetapi orang yang bercerita selalu memperingatkan padaku
agar selama hidup hanya boleh meneruskan kisah ini satu kali dan kepada
seorang saja.
Selama hidupku telah berkelana menjelajahui dunia, namun kedua tempat itu
tetap tidak dapat kutemukan. Sekarang ku pergi dan cerita ini kusampaikan
kepadamu dan Manjing, tentu saja kalian tidak boleh sembarangan diceritakan
lagi kepada orang lain, hal ini perlu diperhatikan. Jika kalian ada jodoh,
mungkin sekali kalian akan mampu menemukan kedua tempat misterius itu
untuk menyelesaikan cita-citaku yang belum terlakasana.”
Sekaligus Lamkiong Peng membaca habis surat ini, lalu ia memejamkan mata
dalam benaknya terbayang dua lukisan, yang satu istana megah serupa
kediaman malaikat dewata.

Tempat yang lain adalah sebuah pulau dengan gunung di kejauhan diliputi
kabut tebal, suasana seram dan mengerikan dengan binatang buas dan
mahluk berbisa.
Melihat anak muda itu termangu-mangu dengan air muka berubah tidak
menetu, Yap Manjing pun merasa heran, tegurnya, “Sudah selesai kau baca?”
Terkejut Lamkiong Peng dan tersadar dari lamunannya, jawabnya sambil
menyembunyikan surat itu di punggung, “O, sudah habis kubaca.”
“Hm, memangnya kaukira aku ingin tahu isi surat gurumu?” jengek Manjing.
“Aku Cuma ingin tanya, apakah ketiga pesan gurumu itu ada sangkut pautnya
dengan diriku?”
Lamkiong Peng berdehem pelahan, jawabnya dengan tergegap, “O, Tentang
ini.......ini.........”
Dengan sendirinyua ia rikuh untuk menjelaskan bahwa buka Cuma ada
sangkut pautnya tapi justru sangat berkepentingan.
Alis Manjing menegak, katanya pula, “Baiklah, jika tidak ada sangkut pautnya
dengan ku, biarlah ku pergi saja.”
“Nona Yap.......”
“Ada apa lagi?”
“Ini....ini..........” Lamkiong Peng menjadi bingung, meski sang guru memberi
pesan, tapi urusan ini mana bisa dilakukannya.
Dalam pada itu Yap manjiing telah melangkah lewat disampingnya dan
mendadak merampas surat itu sambil mengomel, “Gurumu menyuruh kau

baca surat ini bersamaku, kenapa engkau Cuma membaca sendiri, sebaiknya
kulaksanakan pesan beliau.........”
Sembari bicara ia terus membaca isi surat itu, seketika mukanya yang dingin
itu berubah merah sambil mendekap mulut dengan suara agak gemetar, O,
kau.......”
Lamkiong Peng juga serba salah dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Tiba-tiba Manjing menjerit terus berlari ke depan.
Tapi baru beberapa langkah, sekonyong-konyong di tengah malam yang sunyi
timbul suara yang aneh, suara gemeresak serupa hutan bambu tertiup angin,
dari jauh mendekat.
Baik Lamkiong Peng maupun Yap manjing sama terkejut, serentak si nona
melompat kembali ke samping Lamkiong Peng sambil bertanya,
“Ap........apakah ini?”
Suara gemeresak itu sungguh sangat mengerikan, Lamkiong Peng juga
bingung dan coba memandang ke arah Ban Tat. Orang tua itu kelihatan pucat
juga dan sedang menatap ke depan dengan kedua tangan merogoh saku
seperti hendak mengambil sesuatu, jarang jago tua ini memperlihatkan rasa
prihatin seperti ini.
Lamkiong Peng sendiri juga terkesiap, namun ia coba menghibur Manjing, “Tak
apa-apa, jangan kuatir.....”
Belum habis ucapannya, dai depan sudah muncul sesosok bayangan orang
yang berjalan mundur ke belakang, agaknya didepannya terjadi sesuatu yang
mengerikan sehingga membuatnya tidak berani membalik tubuh dan lari.

Suara gemersak itu semakin keras, sebaliknya langkah mundur orang ini
tambah lambat agaknya kaki menjadi lemas saking ketakutan.
“Sahabat.........” baru saja Lamkiong Peng hendak menegur, sekonyongkonyong
orang ini menjerit kaget sambil membalik tubuh.
Maka tertampaklah wajahnya yang kurus dengan sinar mata buram, kepala
botak, pakaiannya juga sangat aneh, serupa sebuah karung dimasukkan pada
tubuhnya begitu saja.
Lamkiong Peng melenggong, ia coba menegur lagi, “Sahabat ini..........”
Mendadak orang berteriak pula terus bersembuyi di belakangnya, mungkin
saking ngerinya sehingga tidak sanggup bersuara.
Waktu manjing memandang ke sana, tertampaklah dari kegelapan membanjir
keluar berpuluh ular hijau berbisa. Kiranya suara gemersak tadi berasal dari
kawanan ular ini.
Tanpa terasa ia menjerit kaget dan menubruk ke dalam rangkulan Lamkiong
Peng.
Mendadak Ban Tat membentak, kedua tangan bergerak, segera selapis kabut
kuning bertebaran dan jatuh lima enam kaki di depan mereka.
Suara gemersik tadi mulai mereda, tertampak di belakang kawanan ular itu
mengikut pula serombongan pengemis dengan baju compang camping dan
rambut semrawut. Perawakan kawanan pengemis ini juga tidak sama dengan
bentuk yang aneh, namun wajah mereka sama kelihatan kelam seram dan
tahu-tahu muncul dari kegelapan sana seperti sekawanan setan yang
membanjir keluar dari neraka.

Yap manjing merangkul Lamkiong Peng dengan erat. Mendadak dirasakan
tubuh anak muda itu bergemetar. Tentu saja ia heran, sekilas lirik baru
diketahuinya orang botak aneh itu juga telah merangkul pinggang Lamkiong
Peng dari belakang, karena dia gemetar ketakutan sehingga tubuh Lamkiong
Peng ketularan dan ikut berguncang.
Ular hijau yang berbentuk jelek dengan sinar mata gemerdep itu sedang
merayap di tanah becek sana, tampaknya lambat, sebenarnya sangat cepat,
hanya seekejap saja kawanan ular sudah merayap sampai di depan garis
kuning yang ditebarkan oleh Ban tat tadi.
Dengan was-was Ban Tat memandangi kawanana ular yang merayap-rayap
itu, ada yang melingkar dan ada yang mendesis dengan menjulurkan lidahnya
yang merah, namun tiada seekor pun yang berani mendekati garis kuning.
Sekilas pandang saja Lamkiong Peng dapat menghitung kawanan pengemis ini
terdiri dari tujuh belas orang, semuanya berwajah bengis,namun di mulut
mereka justru sedang memohon, “Kasihan Tuan, sudilah memberi sedikit
sedekah dari isi saku tuan.”
Suara minta-minta itu terus diulang, seorang disusul yang lain dan terus
menerus oleh ketujuh belas mulut.
Tentu saja Lamkiong Peng heran dan bingung, ia coba memandang si orang
aneh botak tadi, dilihatnya pakaiannya juga compang-camping, jelas tidak
membawa sesuatu benda berharga, namun sebuah karung goni justru
dirangkulnya dengan erat, tampaknya karung itu pun kosong tanpa sesuatu isi
yang berharga untuk di minta.
Lamkiong Peng tidak mengerti apa yang terjadi ini, tapi jiwa ksatria yang
mengharuskan dia membela keadilan dan membantu kaum lemah
membuatnya menaruh simapatik terhadap orang tua yang rudin di
belakangnya ini.

Sekonyong-konyong dilihatnya Ban Tat menggeser kesana, agaknya hendak
menyembunyikan ekor ular yang dibunuhnya tadi supaya tidak dilihat oleh
kawanan pengemis aneh itu.
Suara mendengus tadi sudah berhenti, sebaliknya suara mohon kasihan
bertambah ramai. Jika tidak melihat wajah kawanan pengemis itu, suara
minta-minta mereka sungguh menimbulkan rasa iba orang. Tapi wajah mereka
yang seram penuh nafsu membunuh itu membuat suara minta-minta mereka
terasa seram.
Mendadak Ban Tat membentak, “Apakah kawan-kawan ini datang dari
‘nerakanya neraka’ di kwan gwa?”
Suara minta-minta tadi serentak berhenti, ketujuh belas pasang mata sama
menatap Ban Tat.
Seorang pemgemis bertubuh jangkung dan kurus kering, tapi mata bersinar
tajam dengan wajah pucat pasi pelahan melangkah maju, langkahnya enteng
mengambang, seperti setiap saat bisa kabur tertiup angin. Baju compangcamping
yang dipakainya sangat longgar sehingga menggembung tertiup
angin.
Serupa badan halus saja ia melayang lewat garis kuning itu, ia tersenyum
seram terhadap Ban Tat, lalu berucap, “Kau kenal padaku?”
Biarpun Ban tat sudah berpengalam luas, menghadapi pengemis aneh ini
timbul juga rasa seramnya, jawabnya dengan suara agak gemetar, “Apakah
sahabat ini adalah Yu-leng-kun-kai (kawanan pengemis badan halus) yang
tersiar di dunia kangouw itu?”
Pengemis aneh yang serupa badan halus ini mendengus, “Betul, nerakanya
neraka, pengemis badan halus, setan jahat, arwah miskin, minta sedekah

dengan paksa.....Hehe, tampaknya belum pernah kau masuk neraka, dari
mana kau kenal kawanan setan jahat seperti kami ini?”
Dia bicara seperti bertembang, lalu disusul suara kawanan pengemis aneh
yang menirukkan tembangnya sehingga di dengar di tengah malam gelap
seakan- akan jeritan setan.
Tanpa terasa Ban Tat mnyurut mundur, katanya pula, “Yu-leng-kun-kai,
biasanya tidak mau minta emas di bawah seribu tail atau perak kurang dari
selaksa tail, padahal kami tidak membawa sesuatu benda berharga, janganjangan
sahabat salah alamat minta sedekah pada kami?”
Tergerak juga hati Lamkiong Peng, segera ia teringat kepada asal usul
kawanan pengemis aneh ini, pikirnya, “Biasanya kawanan pengemis setan
kelaparan ini tidak pernah masuk ke pedalaman sini, apakah mungkin
kedatangan mereka ini hanya karena menyusul seorang tua aneh yang serupa
pengemis ini?”
Terdengar pengemis jangkung tadi mendengus, “Yang hendak kami cari tentu
saja bukan dirimu, memangnya sengaja kau cari gara-gara kepada kawanan
setan?”
Mendadak ia melompat ke depan Lamkiong Peng dan menjengek pula,”Anak
muda terlebih jangan cari perkara kepada setan, juga jangan merintangi jalan
lalu setan, tentu kau tahu.”
“Anda ini Ih pangcu atau Song pangcu Song cing?” jawab Lamkiong Peng
dengan lantang dan tenang, tidak kejut juga tidak jeri.
Gemerdep sinar mata pengemis jangkung ini, ia tertawa ngekek, katanya,
“Meski setan ganas Song cing tidak hadir, kedatanganku Ih Hong si arwah
rudin tetap sanggup mengakhiri riwayat sesorang. Jika kau tahu asal usul
kawanan setan di sini, apakah minta dilalap oleh kawanan setan?”

Serentak kawanan pengemis bersorak, “Lalap saja, lalap saja!”
Sementara itu Yap manjing sudah menenangkan diri, jengeknya, “Huh,main
setan-setanan untuk menakuti orang, sungguh konyol!”
Ih Hong menyeringai, “Hehe, nona manis 18-19 tahun berangkulan dengan
pemuda di depan umum dan berani pula usil mulut di neraka sana juga tidak
mau menerima setan perempuan yang tidak tahu malu serupa dirimu.”
Muka Manjing menjadi merah, segera ia membentak, “Keparat!”
Selagi ia hendak melancarkan pukulan, mendadak Lamkiong Peng menarik
lengan bajunya dan mendesis, “SSt, tahan dulu!”
“Kawanan jembel ini berlagak setan segala dan minta secara paksa, untuk apa
banyak bicara dengan mereka?” ujar Manjing dengan mendongkol.
Tapi Lamkiong Peng bicara dengan serius, “Sebagai pengemis, adalah jamak
mereka minta-minta. Orang kangouw umumnya suka pakai nama atau julukan
yang aneh, bahwa mereka menamai diri sendiri sebagai setan juga bukan
sesuatu kejahatan. Orang tidak bermaksud jahat kepada kita melainkan Cuma
minta kita memberi jalan padanya, mana boleh kita sembarangan
menyerangnya?”
Si arwah rudin Ih Hong mestinya akan mendamprat demi mendengar
komentar Lamkiong Peng itu, ia tercengang. Baru sekarang sejak tampil di
dunia kangouw ada orang memberi penilaian demikian padanya?”
Yap manjing juga tercengang dan tidak jadi bertindak. Entah mengapa, anak
perempuan yang dingin dan angkuh ini sekarang berubah lembut.

Sedangkan si kakek botak aneh tadi lantas berseru kuatir,”He, masa.....masa
akan kaubiarkan kawanan setan kelaparan ini merampas barang seorang
kakek rudin seperti diriku ini?”
Lamkiong Peng tersenyum, serunya, “Sudah lama kudengar kawanan
pengemis badan halus suka berkeliaran di dunia ramai, bilamana minta-minta
juga tidak melampaui separoh milik orang. Malahan juga sering merampas
yang kaya untuk menolong yang miskin, hal ini sudah lama kukagumi. Tapi
sekarang rombongan kalian justru mengejar dan mendesak terhadap seorang
tua lemah begini, sungguh membuatku sangat heran.”
Dia bicara dengan lugas dan terus terang, sedikitpun tidak berlagak.
Ih Hong tertawa, “Haha, tak tersangka anak muda belia seperti kau ini juga
tahu sejelas ini mengenai kawanan setan lapar kami.”
Tertawanya sekarang seperti timbul dari lubuk hati yang bersih sehingga sama
sekali tidak berbau setan lagi.
Diam-diam Ban Tat membatin ”Sudah lama kuberitahukan kepadanya tentang
kawawan setan lapar ini, tak terduga dia masih ingat sejelas ini.”
Terdengar Ih Hong berhenti tertawa dan berkata,”Dan bila kau tahu sejelas ini
mengenai kami, tentu kaupun tahu kawanan setan sekali sudah keluar tentu
takkan pulang dengan tangan hampa. Maka sebaiknya engkau jangan ikut
campur urusan ini.”
Sekali berkelebat mendadak ia melompat ke belakang Lamkiong Peng.
“tolooong!” cepat si kakek botak berteriak.

Tapi Lamkiong Peng lantas mengadang di depan Ih Hong, ucapnya, “Apabila
anda bertindak terhadap seorang kakek rudin seperti ini dan mendesaknya,
sungguh aku harus menyatakan rasa kecewa kepada nama baik kalian.”
Ih Hong berhenti di tempatnya, jengeknya mendadak, “Kakek rudin? Hm,
kaubilang dia kakek rudin? Jika di tidak kaya raya melebihimu dan tidak
berbudi, masa kawanan setan samapai turun tangan padanya?”
Lamkiong Peng melenggong bingung.
Si kakek botak lantas berteriak, “Jangan kau percaya kepada ocehannya,
mana bisa aku kaya........”
“orang she Ih,” sela Manjing mendadak, “Kau bilang dia kaya raya?”
“Ya,”jawab Ih Hong ketus.
“Apa buktinya? Jika salah, lantas bagaimana? Tanya Manjing.
“Kawanan pengemis setan bermata setajam sinar kilat dan tidak pernah salah
lihat, apabila salah lihat, kami rela kelaparan sepuluh tahun dan segera pulang
kandang..........”
“Betul?” Manjing menegas.
“Anak perempuan ingusan kau tahu apa?” jengek Ih Hong. “Meski Lo-lo-si itu
tampaknya rudin, padahal dia kaya raya, yang kami minta sekarang tidak lebih
hanya separoh barang yang berada dalam karungnya itu, yang kami minta kan
cukup pantas. Kawanan pengemis setan biasanya tidak suka mengganggu
orang miskin, kalau tidak, mana bisa budak ingusan seperti dirimu dibiarkan
ikut bicara.”
“Hm, kau tahu siapa dia?” jengek Manjing sambil memandang Lamkiong Peng.

Ih Hong juga memandang anak muda itu dari kaki ke kepala, lalu ia putar ke
kanan dan balik lagi ke kiri.
Dengan kening bekerenyit Lamkiong Peng ikut berputar ke sana-sini dan tetap
mengadang di depannya.
“hm, tampaknya serupa putra keluarga hartawan,” jengek Ih hOng kemudian.
Cuma sayang, dalam sakumu juga tidak banyak isinya.”
“Memangnya pada baju orang tua ini banyak isinya?” tanya Manjing.
“Yang kontan memang tidak ada, tapi Gin bio (sejenis cek) tidak sedikit yang
dibawanya, namun yang kuminta juga bukan ginbio melainkan........”
Belum habis ucapan Ih Hong, mendadak si kakek botak membalik tubuh terus
berlari.
“Memangnya dapat kau lari?!” jengek Ih Hong.
Ucapannya sangat manjur, mendadak si kakek botak alias Lo-Lo-si berhenti
berlari dan menyurut mundur dengan takut. Kiranya di depannya kembali
mengadang beberapa ekor ular hijau.
“Nah, nona cilik, tidak perlu banyak omong lagi, kecuali putra keluarga
hartawan Lamkiong di daerah Kanglam, di dunia kangouw tidak ada orang lain
yang lebih kaya daripada Lo-lo-si ini, kenapa kalian berdua suka ikut campur
urusan? Untung aku yang kalian hadapi, jika ketemu setan ganas Song Cing,
bisa celaka kalian.”
“Cayhe sendiri ialah Lamkiong Peng,” tiba-tiba Lamkiong Peng
memperkenalkan diri.

Keruan Ih Hong melengak, mendadak ia melangkah maju, sebelah tangannya
terus menghantam dada Lamkiong Peng.
Serangan ini di luar dugaaan siapa pun, juga dilakukan secepat kilat, terlihat
lengan bajuanya yang longgar itu berkibar, tahu-tahu telapak tangannya
sudah dekat dada sasarannya.
Lamkiong Peng membentak pelahan, telapak tangan berjaga di depan dada,
jari tangan kanan balas menutuk Kik-ti-hiat bagian iga lawan.
Serangan ini sekaligus juga berjaga diri, inilah salah satu jurus andalan
perguruannya yang disebut Ciam-liong-su-ciau (empat jurus naga
bersembunyi) yang biasanya jarang diperlihatkan jika tidak kepepet.
Tak tersangka belum lagi saling beradu tangan, serentak I hong melompat
mundur, katanya dengan gegetun, ternyata benar murid Sin-liong dan putra
Lamkiong. Bagus Lo-lo-si, keenakan bagimu hari ini.”
Sekali ia memberi tanda, segera bergema pula suara sempritan, lalu ramailah
suara mendesis, kawan ular hijau yang berputar-putar di depan garis kuning
itu serentak melejit ke dalam lengan baju kawanan pengemis
“Nanti dulu, Ih Pangcu,” seru Lamkiong Peng.
“Setelah kalah bertarung dengan sendirinya harus angkat kaki,” kata Ih Hong,
“meski kawanan setan kelaparan biasanya suka minta-minta secara paksa,
tapi selamanya juga pegang janji. Bahkan ular hijau yang dibunuh tua bangka
itu juga tidak perlu kutuntut ganti rugi lagi.”
Gerak-gerik Kawanan pengemis badan halus ini benar-benar serupa setan,
hanya sekejap saja mereka sudah menghilang.

bersambung
Anda sedang membaca artikel tentang HAN BU KONG dan anda bisa menemukan artikel HAN BU KONG ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/han-bu-kong.html?m=0,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel HAN BU KONG ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link HAN BU KONG sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post HAN BU KONG with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/han-bu-kong.html?m=0. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...