Bentrok Para Pendekar 2 [Lanjutan Anak Berandalan]

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Selasa, 13 September 2011

Ternyata Nyo Khay-thay tidak jatuh. Kekuatan pukulan tangannya ternyata beralih kaki, hingga kakinya
menekan turun amblas ke dalam tanah, papan batu yang keras seperti menjadi seempuk tahu saja, kedua
kakinya amblas melesak ke dalam bumi.
Otot hijau di jidat Jin-siang jin menonjol keluar, lengan tunggalnya mengencang, cambuk panjangnya juga
ditarik kencang.
Tapi Nyo Khay-thay tidak bergeming, badannya berdiri kokoh seperti tiang batu yang ditanam dalam tanah.
Jin-siang-jin kembali menyendal serta menarik balik cambuknya. Siapa tahu mendadak Nyo Khay-thay
menggerakkan tangan, ujung pecut berhasil ditangkap, mendadak ia membentak sambil menarik dengan
kekuatan penuh.
Badan Jin-siang-jin mencelat mumbul, melayang turun hampir menyentuh tanah, mendadak ia membentak
pula, beruntun badannya jungkir balik tiga kali, secara enteng badannya mumbul kembali dan tepat duduk di
kepala orang gede itu. Tapi cambuk panjangnya terlepas dari tangannya.
Dengan gemas Nyo Khay-thay memutus cambuk itu menjadi lima bagian terus dibanting ke tanah, mukanya
kaku dingin, "Seharusnya kubunuh kau."
"Silakan turun tangan," tantang Jin-siang-jin.
Nyo Khay-thay menyeringai sombong, "Selama hidup aku tidak pernah melawan orang cacad."
Dari wuwungan rumah sebelah samping, seorang menghela napas, katanya, "Tidak malu orang ini diagulkan
sebagai Kuncu. Sayang mukanya tebal sedikit."
"Siapa yang bicara?" bentak Nyo Khay-thay.
Seorang kakek mata tunggal berkaki pincang berdiri sambil menggendong tangan di wuwungan rumah,
ujarnya, "Yang pasti aku bukan Kuncu, cacad lagi. Tapi kalau ada seorang mengalah dan tidak sudi melukai
diriku, mukaku cukup tebal untuk terus ngotot hendak membunuhnya."
"Siapa yang kau maksud?" damprat Nyo Khay-thay.
"Yang kumaksud adalah engkau." kakek tua ini jelas adalah Hamwan Sam-coat, "waktu kau menyerang
sampai jurus ketujuh, mestinya Siau Cap-it Long mampu merobohkan kau tiga kali, memangnya kau sendiri
tidak tahu?"
Merah padam muka Nyo Khay-thay. Sejak turun tangan jurus pertama tadi, gerak-geriknya yang kaku dan
bergerak menurut alur aturan, memang tiga kali ia menunjukkan lubang kelemahan. Bukannya dia tidak tahu,
meski tahu, ia pun tidak menyangkal. Peduli Nyo Khay-thay seorang pikun atau benar-benar seorang Kuncu,
yang pasti dia bukan Siau-jin, manusia rendah.

Di antara kerumunan orang di emper toko sana, seorang berbaju hijau tampil ke depan seraya berkata,
"Dalam hal ini kau tidak boleh menyalahkan Nyo-lote. Apa yang dia lakukan kan lumrah dan apa adanya."
Lalu dengan tersenyum lebar ia menambahkan, "Nyo-lote ini juga seorang pedagang, seorang pedagang
umumnya mengutamakan hati hitam kulit tebal. Kalau tanpa pedoman dagang begitu, keluarga Nyo mana
mampu merebut prestasi sebagai keluarga kaya raya di kolong langit? Darimana ia bisa punya duit sebanyak
itu?"
Nyo Khay-thay menatapnya beringas, mukanya merah padam, bibir bergerak ingin bicara tapi sepatah kata
pun sukar keluar dari mulutnya.
Hamwan Sam-seng bergelak tertawa, "Aku pasti takkan menyalahkan engkau, aku juga berdagang, jangan
kata dia memberi potongan tiga kali, umpama sepuluh kali juga tidak akan menjatuhkan dirimu, kau tetap
boleh memukulnya mampus."
Mendadak Nyo Khay-thay melompat ke atas, setelah membanting kaki, segera putar badan terus tinggal
pergi. Karena tidak bisa bicara, tiada yang bisa dibicarakan. Seorang Kuncu bertemu dengan Siau-jin, lebih
baik menyingkir daripada banyak bacot mengotori mulut sendiri malah.
Hamwan Sam-seng membalik badan menghadapi Siau Cap-it Long, katanya dengan tersenyum lebar, "Kau
tak perlu berterima kasih kepada kami, umpama kami tidak datang menolongmu, belum tentu dia berniat
membunuhmu."
Siau Cap-it Long bukan terhitung Kuncu, tapi juga tidak sudi menjadi Siau-jin.
Ia maklum apa maksud Hamwan Sam-seng, tapi malas mengajaknya bicara.
Kini ia sadar dan ingat apa yang pernah dikatakan Hoa Ji-giok memang tidak bohong, "Hari ini kau bebaskan
Hamwan Sam-seng, akan datang suatu hari kau akan menyesal".
Mendadak Hamwan Sam-seng berseru, "Para saudara yang hadir di sini, kalian sudah melihat jelas bukan?
Tuan inilah pendekar gagah yang tiada taranya, pendekar besar Siau Cap-it Long."
Tidak ada orang berani bersuara. Orang yang betul-betul pikun di dunia ini tidak banyak jumlahnya, orang
sering bilang, elmaut datang dari mulut, kenyataan memang demikian.
Lebih jauh Hamwan Sam-seng berpidato, "Mengingat dia seorang gagah, pendatang adalah tamu, maka
kuberi kelonggaran tiga kali padanya, tapi hari ini, di hadapan kalian yang hadir di sini, aku akan
membunuhnya."
Mendadak Siau Cap it Long tertawa. Ia insaf bahwa dirinya tidak bodoh, mengenal betul siapa sebetulnya
Hamwan Sam-seng.
Dia sudah menduga Hamwan Sam-seng menolong dirinya, tak lain karena ingin turun tangan sendiri. Kalau
dengan tangan sendiri memegang kepala Siau Cap-it Long, insan persilatan mana yang tidak
menginginkannya. Batok kepala Siau Cap-it Long, nilainya jelas teramat tinggi untuk diperebutkan.
Hamwan Sam-seng belum selesai bicara, katanya lebih jauh, "Karena orang gagah kita ini meski kulitnya
teramat tebal, hatinya hitam, seorang bergajul yang kemaruk paras ayu, ternyata suka membunuh orang,
orang yang mati di tangannya tak terhitung banyaknya."
Hamwan Sam-coat ikut menimbrung, "Bergajul suka paras elok, membunuh orang sebagai kegemaran,
bukanlah perilaku seorang gagah?"
"Kalau dunia ada manusia sekotor ini, apakah insan persilatan bisa hidup tenteram?"
"Satu jurus membikin mata Ciangbunjin Tiam-jong buta, tiga jurus mengalahkan Tiong-pek-siang-hiap,
konon diagulkan sebagai jago terkosen di dunia, kau mampu membunuh dia?"
Hamwan Sam-seng menghela napas gegetun, "Seorang lelaki harus berani bertindak kalau dirasa
tindakannya itu benar. Demi membela kebenaran, meski aku bukan tandingannya, meski harus berkorban
jiwa, aku tetap akan mencobanya."
Hamwan Sam-coat juga menghela napas, "Baik, bila kau mati, akan kukubur jenazahmu."

"Memangnya kau tidak ingin mencoba?"
"Aku ini sudah cacat, demi 'kebenaran dan keadilan', aku siap berkorban."
Hamwan Samseng bergelak tertawa, ”seorang lelaki hidup tidak perlu senang, mati tidak usah takut? Duelku
hari ini, mati atau hidup, mendengar janjimu legalah hatiku, mati pun tidak menyesal."
Dua saudara berdialog seperti latihan main sandiwara, siapa yang mendengar, yang tidak tahu persoalan,
yakin mereka memang sedang memerankan lakon yang patut dipuji.
Siau Cap-it Long tertawa lebar, katanya, "Bagus, laki-laki sejati."
"Ditantang laki-laki sejati, kau mampu melawan."
"Betul, aku akan melawan."
"Cabut golokmu," tantang Hamwan Sam-seng.
"Baik." Kejap lain goloknya telah keluar dari sarungnya.
"Itukah golok jagal rusamu?" tanya Hamwan Sam-seng.
"Betul."
"Konon golokmu itu pusaka tiada tandingan di dunia?"
Siau Cap-it Long menggerakkan golok di tangan, katanya tersenyum, "Memang golok sakti, untuk menabas
leher orang tidak perlu dua kali."
"Dengan golokmu itu kau kalahkan Tiong-pek-siang-hiong?"
"Bila perlu satu jurus aku kalahkan musuh."
Sikap Hamwan Sam-seng tidak berubah, nadanya dingin, "Baik, hari ini dengan sepasang tanganku ini,
kulawan golok jagal rusamu. Aku akan mengalah tiga jurus."
"Kau mengalah tiga jurus?" Siau Cap-it Long menegas.
"Tiga kali aku memberi kesempatan kepadamu, kenapa sekarang tidak memberi kelonggaran tiga jurus
kepadamu?" Kelihatannya ia amat yakin. Dia lihat Siau Cap-it Long sudah kehabisan tenaga, seperti dian
yang hampir kehabisan minyak.
Mengelus tajam goloknya, Siau Cap-it Long menghela napas, "Sayang, sayang."
"Sayang apa?" tanya Hamwan Sam-seng.
"Sayang, golok saktiku ini terpaksa harus memenggal kepala orang macam dirimu."
"Untuk menabas kepalaku rasanya juga tidak mudah."
”Tadi tenagaku sudah habis, niatku padam, apalagi racun bekerja pada saatnya, jelas aku takkan mampu
melawan."
"Memangya kenapa sekarang?"
"Sekarang jelas sudah berbeda."
"Berbeda bagaimana?"
"Tadi yang harus kuhadapi seorang Kuncu, sekarang aku menghadapi Siau-jin."
Hamwan Sam-seng menyeringai sambil mendengus hidung.
"Golokku ini tidak membunuh Kuncu, tapi senang membunuh Siau-jin." Begitu ia memutar tajam goloknya,

cahaya seketika berkembang menyala seperti mengobarkan hawa membunuh.
Begitu keras tekanan hawa membunuh dengan cahaya golok yang menyilaukan, jantung Hamwan Samseng
seperti menjadi dingin, raut mukanya juga berubah kelam.
Mengawasi Siau Cap-it Long, mendadak ia sadar orang seperti berubah menjadi orang lain hanya dalam
waktu sekejap.
Dimana golok Siau Cap-it Long bekerja, kulit daging di tubuhnya ia iris secomot, darah segar mengalir deras,
mengerut alis pun tidak, seperti tidak merasakan sakit sama sekali, suaranya malah garang, "Kakiku ini
setengah lumpuh, tapi membunuh orang bukan menggunakan kaki."
Kalau jidatnya basah keringat, sorot matanya malah mencorong terang, semangatnya bangkit malah. Jidat
Hamwan Sam-seng juga berkeringat.
Siau Cap-it Long menatapnya tajam, "Tadi kau bilang akan memberi kelonggaran tiga jurus."
"Aku ... ya, aku pernah bilang," tergagap jawaban Hamwan Sam-seng.
"Tapi kalau satu jurus aku tidak memaksamu turun tangan, anggaplah aku yang kalah, kalau tiga jurus aku
tidak mampu memenggal kepalamu, anggap pula aku yang kalah, akan kupenggal kepalaku dan kuserahkan
kepadamu."
Membesi hijau muka Hamwan Sam-seng.
"Nah, terima dulu sejurus golokku," bentak Siau Cap-it Long.
Malam makin larut, cahaya lampu masih menyala terang benderang.
Waktu golok berkelebat cahayanya seperti menyala lebih benderang dari cahaya lampu di pinggir jalan, sinar
golok bagai sabuk jagat meluncur ke sana, bayangan Hamwan Samseng ternyata sudah lenyap entah
kemana.
Jago gagah yang pentang bacot mengagulkan diri tadi, begitu sinar golok Siau Cap-it Long berkelebat, tibatiba
berubah selicin rase yang ketakutan, lari lintang pukang mencawat ekor.
Kerumunan orang banyak di sebelah sana tampak menjadi ribut, hanya sekejap bayangan sudah lenyap
ditelan kegelapan.
Hamwan Sam-coat yang sejak tadi berdiri di wuwungan rumah sana juga tiba-tiba menghilang. Cahaya
golok seterang kilat menyinari muka Jin-siang-jin, air mukanya tampak pias seperti orang yang kehabisan
darah.
Siau Cap-it Long mengangkat goloknya tinggi di atas kepala, dengan tajam ia mengawasi orang.
Jin-siang-jin tidak bergerak, tidak berani bergeming, kepala botak di bawahnya menyurut mundur dan
mundur makin cepat, sekejap mata mereka sudah berada di ujung jalan serta lenyap dari pandangan mata.
Siau Cap-it Long mengangkat kepalanya tertawa sekeras-kerasnya, serunya, "Seorang laki-laki bisa melihat
gelagat. Orang-orang itu memang betul adalah pendekar yang patut diagulkan."
Dari tengah kerumunan orang banyak, seorang menghela napas, "Seorang gagah yang tidak tahu malu,
Siau Cap-it Long yang gagah perwira."
* * * * *
Cahaya lampu tetap benderang di loteng Tay-heng-lau, tapi waktu orang banyak melihat kehadiran Siau
Cap-it Long, semua berubah air mukanya.
Hong Si-nio berdiri di pinggir pagar bambu, air mata di wajahnya sudah kering, namun sikapnya sukar
ditebak, apakah sedih, malu atau merasa bangga berhadapan dengan lelaki yang perwira, atau sedih
mengingat nasibnya yang jelek.
Perlahan Siau Cap-it Long melangkah ke sana, lalu duduk, Tidak melirik atau melihatnya, ia paham dan
mengerti betapa perasaan orang saat itu, dalam hati ia merasa banyak berhutang. Selama hidup hutang ini

takkan mungkin bisa ia lunasi.
Hong Si-nio duduk di depannya, tanpa suara mengisi cawan arak di depannya. Tanpa suara ia tenggak
habis arak itu.
Sesaat kemudian Hong Si-nio tiba-tiba tertawa, katanya, "Tanpa menyerang satu jurus pun duel ini berhasil
kau menangkan. Sejak dahulu kala, tiada orang yang menang lebih cemerlang dibanding kau, paling sedikit
aku harus menyiapkan tiga puluh cawan arak untukmu."
Siau Cap-it Long tertawa, tawa yang dipaksakan, "Yang benar kau tidak perlu menghormat kepadaku."
"Kenapa?"
"Karena mestinya aku tidak menang, kenyataan aku menang."
"Karena kau mestinya kalah tapi tidak kalah?"
"Kejadian tadi kau saksikan dengan mata kepalamu sendiri."
”Tapi aku tidak mengerti."
"Tapi aku...."
"Bukankah kau mengharap dikalahkan oleh Nyo Khay-thay? Mengharap dia membunuhmu?" Matanya
menatap mukanya dengan tajam, "Kau beranggapan setelah Nyo Khay-thay mengalahkan engkau, maka
hatiku akan merasa lega, begitu?"
Siau Cap-it Long tidak menjawab, tidak bisa menjawab.
Yang pasti aku akan berhutang padamu, maka dengan cara ini aku membayar hutang padamu. Cara ini
tidak sempurna, tapi bisa mengurangi perasaan sedihku.
Perkataan ini tidak diucapkan, tak berani ia ucapkan, tapi ia yakin Hong Si-nio mengerti.
Dengan nanar ia mengawasinya, katanya dingin, "Kalau kau tidak bisa menjawab, biar kuberitahu
kepadamu. Kalau kau benar-benar kalah, kita tidak akan bisa merasa lega, Nyo Khay-thay sendiri juga tidak
merasa senang."
Waktu menyebut nama Nyo Khay-thay, perasaannya tidak bergolak seperti sebelum ini, nama itu terlontar
dari mulutnya seperti ia menyebut nama orang yang tidak dikenalnya.
Hati Siau Cap-it Long sebaliknya merasa mendelu, sebab ia mengerti perasaan Nyo Khay-thay, selama
hidup jelas takkan bisa dilupakan, tapi perasaan ini akan selalu mengganjal dalam sanubari.
Tiada orang yang lebih meresapi pahit getir dan derita hati seorang seperti perasaan Siau Cap-it Long
sekarang.
"Aku tahu kau berusaha membayar hutang," ucap Hong Si-nio. "Tapi cara yang kau gunakan salah,
tujuannya juga keliru."
Jari-jari Siau Cap-it Long saling genggam.
"Aku pernah berjanji kepadamu, maka aku akan menemanimu mencari dia."
"Tapi sekarang...."
"Sekarang aku tetap akan mengajakmu pergi mencarinya."
Siau Cap-it Long mengangkat kepala, dengan tajam ia mengawasi. Hong Si-nio malah melengos
menghindari tatapan matanya.
Lama kemudian Siau Cap-it Long baru berkata, "Kau ... sepertinya kau tak pernah berubah?"
"Selamanya takkan berubah," sahut Hong Si-nio tegas.

Ia berpaling ke sana, memandang tabir malam di luar jendela, ia tidak ingin air mata yang meleleh dilihat
olehnya.
Setumpuk cek kontan yang masih baru tergeletak di atas meja, tiada orang menyentuhnya, tiada orang
berani memegang.
Bukan setumpuk kertas tak berguna, tapi setumpuk kekayaan yang nilai nominalnya luar biasa besarnya,
kekayaan yang hanya diharapkan orang dalam mimpi. Kekayaan yang dapat membuat orang tidak segan
menjual diri, menjual keluarga sampai kakek moyang sekalipun.
Waktu mengawasi tumpukan cek kontan itu, rona mata Siau Cap-it Long seperti merasa jijik, hina dan
rendah, tiba-tiba ia berkata, "Kenapa tidak kau tanyakan padaku, darimana kuperoleh uang sebanyak ini?"
"Kalau kutanya, kau mau menjelaskan?" tanya Hong Si-nio.
"Kalau kujelaskan, kau percaya?"
"Kenapa aku tidak percaya?"
"Sebab aku sendiri tak tahu darimana datangnya uang ini."
Dengan kaget Hong Si-nio mengawasinya, air matanya sudah kering, selama ini ia mahir mengendalikan air
mata, namun selama ini tak kuasa mengendalikan ocehannya, dengan keras ia berseru, "Kau sendiri tidak
tahu?"
Siau Cap-it Long manggut-manggut, katanya tertawa getir, "Aku mengerti, persoalan ini juga akan
membuatmu bingung."
"Memangnya apa yang telah terjadi?"
Ini kejadian brutal, kejadian tidak masuk akal, persoalan yang mestinya sederhana, bisa dijelaskan dengan
sepatah dua patah kata, "Uang itu pemberian orang kepadaku."
"Siapa yang memberimu?"
"Tidak tahu."
"Sebanyak itu orang memberimu uang, tapi siapa dia, kau tidak tahu?"
"Uang yang diberikan padaku, bukan hanya sebanyak itu."
"Berapa banyak dia berikan kepadamu?"
"Jumlah yang pasti aku juga tidak tahu."
"Memangnya amat banyak sampai tak bisa dihitung, begitu?"
"Bukan saja saking banyaknya hingga tak tahu jumlahnya, dihitung juga tidak sempat lagi."
"Maksudmu waktu dia memberi jumlahnya banyak dan berlangsung cepat?"
Siuw Cap-it Long memanggut, "Dimana pun aku berada, tahu-tahu di bank setempat dia sudah menyiapkan
uang untukku, jumlah yang tidak sedikit. Setiap kali aku berada di hotel, petugas bank lantas datang melapor
kepadaku."
Hong Si-nio diam sejenak, lalu berkata, "Tidak kau tanyakan pada petugas bank, siapa yang mengantar
uang itu?" Sudah tentu pernah Siau Cap-it Long tanyakan. "Orang yang punya saldo di bank terdiri berbagai
macam orang, jika ada pedagang yang menyimpan uangnya di bank, petugas bank jelas tak akan bertanya
mereka siapa dan darimana."
"Ya, tapi mereka setor uang ke bank atas namamu, lalu menyuruh petugas bank menyerahkan uang itu
kepadamu." Siau Cap-it Long manggut-manggut.

"Petugas bank itu, cara bagaimana mereka tahu kalau kau adalah Siau Cap it Long?"
"Mereka tidak tahu, tapi setiap aku datang ke suatu tempat, mereka akan menerima sepucuk surat, sural
yang ditulis atas namaku, menyuruh mereka mengantar uang kepadaku."
"Apa kau harus menerima?"
"Kenapa aku tidak mau terima?"
"Karena tanpa sebab musabab tak mungkin dia memberi uang sebanyak itu kepadamu."
"Aku maklum, jelas dalam hal ini ada maksud tertentu."
"Pernah terpikir olehmu, apa maksud tujuanya?"
"Sebab dia mengerti, orang lain pasti takkan percaya ada kejadian seaneh ini di dunia ini. Jadi dia ingin
orang banyak beranggapan aku menemukan harta terpendam." Dengan tertawa kecut lalu ia menyambung,
"Seorang yang menemukan harta terpendam, mirip tulang yang menusuk daging tubuhnya, semua anjing
kecil besar, kenyang atau lapar, apapun macamnya, begitu mendengar berita, pasti akan meluruk datang
untuk berebut makanan."
"Jadi maksudnya memusatkan perhatian seluruh orang Kang-ouw kepada dirimu?"
"Di kala orang banyak memusatkan perhatiannya meluruk diriku, setahap demi setahap dia mulai
melaksanakan rencananya, menghamburkan sedikit uang baginya tidak masalah."
"Tapi yang dia berikan kepadamu bukan sekedar uang."
"Ya, memang bukan sekedarnya."
"Orang Bulim yang memiliki uang sebanyak itu tidak banyak jumlahnya, orang yang bisa memberi uang
sebanyak itu kepada orang lain, sukar kutemukan orangnya."
"Aku hanya menduga satu orang."
"Siapa?"
"Siau-yau-hou sudah mati, tapi kumpulan rahasia itu tidak bubar, karena ada seorang menggantikan
kedudukan ...."
"Kau kira orang itu yang memberi uang kepadamu?"
"Kukira hanya dia seorang yang mampu mengeluarkan uang sebanyak itu."
Siau-yau-hou sendiri kekayaannya sebanding kekayaan negara, orang-orang yang menjadi anggota
perkumpulannya juga pantas berkuasa di daerahnya masing-masing. Kalau harta kekayaan orang-orang itu
dikumpulkan, jelas takkan kalah dibanding kekayaaan negara. Umpama betul ada berita tentang tiga tempat
harta terpendam ditemukan, jumlahnya belum tentu lebih banyak.
"Bukan saja orang itu telah menggantikan kedudukan Siau-yau-hou, seluruh harta bendanya juga telah
diwariskan kepadanya."
"Tapi kau tidak tahu siapa dia, bagaimana asal-usulnya." Sudah tentu Siau Cap-it Long tidak tahu,
hakikatnya tiada orang tahu rahasianya.
"Yang pasti dia seorang yang amat menakutkan, mungkin lebih menakutkan dibanding Siau-yau-hou,"
demikian komentar Siau Cap-it Long, "yang pasti dia lebih tenang dan mantap dalam melaksanakan
rencana, otaknya lebih cerdik dan akalnya lebih licik, aku digunakan untuk mengalihkan sasaran orang
banyak. Pemberian uang itu bermaksud membuatku gemuk, santai dan hidup berkecukupan. Setelah
rencananya diatur matang, mungkin orang pertama yang akan disembelih adalah aku."
"Makanya kau harus cepat mencari tahu siapa dirinya."
"Sayangnya darimana aku harus mencari tahu, aku sendiri tidak tahu."

"Kurasa hanya dengan membawa Pin-pin, baru bisa kau menelusuri jejak orang-orang itu."
"Sayangnya pula, sekarang jejak Pin-pin juga tak kuketahui."
"Hanya Pin-pin yang kenal orang-orang itu."
"Ya, hanya dia yang kenal."
"Jadi hanya dia yang tahu akan rahasia ini?"
"Kecuali dia, tiada orang kedua yang percaya omonganku."
"Aku juga percaya," kata Hong Si-nio," suaranya lembut tapi teguh, "tiap patah katamu aku percaya, sebab
aku tahu kau orang macam apa, aku tahu jelas."
Darah seperti bergolak dalam rongga dada Siau Cap-it Long, haru dan lega menghayati sanubarinya, tanpa
kuasa ia genggam kencang tangannya. Rasa terima kasih tak kuasa diutarakan dengan kata-kata.
Perlahan Hong Si-nio menarik tangannya, disembunyikan di bawah meja, katanya dengan nada dingin,
"Sayang sekali orang yang memahami dirimu tidak banyak, bahwasanya kau sendiri tidak memerlukan
kepercayaan orang."
Siau Cap-it Long mengawasi kedua tangannya, lama sekali ia tak kuasa bicara, entah apa yang berkecamuk
dalam sanubarinya.
"Maka sekarang kita harus mencari Sim Bik-kun, juga harus mencari Pin-pin."
”Tapi kemana kita harus mencari mereka."
"Di kota ini bukankah kau memiliki sebuah rumah?"
"Itu bukan rumah, hanya sepetak bangunan," sorot matanya menampilkan kesepian, "Selama ini darimana
kumiliki rumah?"
"Tapi sekarang kau punya banyak rumah."
"Di setiap kota hampir selalu ada."
"Kau sendiri yang beli rumah itu?"
"Kapan aku pernah punya uang untuk membeli rumah?" getir suara Siau Cap-it Long, "hari ini ada yang
memberi uang, hari ini pula aku hamburkan sampai habis."
"Ya, kabarnya untuk menebus seorang pelacur, tak segan kau menebusnya satu laksa tahil."
"Karena dia mau memberi, maka aku suka membeli, makin banyak aku pakai uang, makin besar jumlah
yang dia berikan, makin banyak aku hamburkan uangnya, berarti menggerogoti kekuatannya." Lalu dengan
menyengir ia menambahkan, "dalam hal menghamburkan uang aku kan ahlinya."
“Tapi kau tak pernah membeli rumah?"
"Buat apa aku beli rumah."
"Lalu darimana pula rumah-rumah milikmu itu?"
"Dia pula yang memberi, pernah aku menerima sekaligus 10 lembar sertifikat rumah dan seluruh isinya."
"Pin-pin pernah mampir ke rumah-rumah itu?"
"Banyak diantaranya pernah ke sana."
"Mungkin tidak timbul minatnya untuk bersembunyi di antara rumah-rumah itu."

"Kenapa harus bersembunyi?"
"Karena ingin mengasah otak, memikirkan nasib selanjutnya, mungkin dia ingin tahu apakah kau
menguatirkan dia kalau tidak kelihatan beberapa hari."
"Kurasa tiada alasan dia berbuat demikian."
"Kau jelas takkan merasakan, kerena kau bukan perempuan." Sorot mata Hong Si-nio kembali menampilkan
rasa kangen, rindu dan gundah, suaranya lebih lirih, "Aku juga perempuan, hanya perempuan yang dapat
menyelami jalan pikiran perempuan ...."
"Jadi kau pikir juga akan bersembunyi beberapa hari begitu?"
"Akan kulakukan."
"Kenapa?"
"Karena aku tidak senang melihat engkau berpesta arak dengan teman lamamu, membicarakan soal yang
aku tidak tahu, aku disisihkan di pinggir tak dihiraukan. Karena aku tidak senang melihat kau sedih karena
perempuan lain, karena aku ingin tahu apakah betul kau memperhatikan diriku, karena isi hatiku sedikit pun
engkau tidak tahu."
"Tapi dia ... berbeda dengan kau, dia hanya kuanggap sebagai adik."
Hong Si-nio berpaling muka, mengawasi tabir malam di luar jendela, suaranya berubah tawar, "Aku hanyalah
kakakmu saja."
Siau Cap-it Long tak bicara lagi, kembali ia sadar, dirinya masih berhutang pada seseorang. Hutang yang
tidak tahu kapan dapat ia lunasi. Terbayang olehnya waktu Pin-pin memandang dirinya, sikapnya yang
aleman, bibirnya yang bergerak-gerak seperti ingin bicara tapi tidak terlontar kata-kata dari mulutnya,
pandangan nan manis mesra begitu ... tak tahan ia menarik napas panjang, tanyanya, "Kalau kau adalah dia,
kemana kau akan bersembunyi?"
“Tentunya ke rumah yang dia pernah pergi, kau pun pernah ke sana."
"Rumah-rumah itu dia pernah pergi, aku juga pernah ke sana."
"Makanya kita harus mencarinya ke sana," ujar Hong Si-nio, ia tetap menghadap keluar, lalu menambahkan
dengan suara enteng, "Satu harapanku, setelah menemukannya, jangan kau anggap dia sebagai adikmu
lagi."
XIV. PERUBAHAN BU-KAU-SAN-CENG
Sudah dua tahun, mungkin belum genap dua tahun, belum pernah Sim Bik-kun bisa tidur senyenyak ini.
Kereta itu bergoncang di jalan raya yang tidak rata. Dia tidur meringkuk mirip orok, orok yang lelap dalam
ayunan.
Maka waktu ia siuman, hampir melupakan semua duka dan lara, derita sengsara yang dialaminya selama ini.
Tidur lelap yang menenteramkan adalah obat mujarab bagi seorang yang sedang diliputi kesedihan yang
berkepanjangan. Waktu ia membuka mata, cahaya mentari di musim rontok terasa hangat, bayang-bayang
pohon berkelebat di jendela.
Sang kusir sedang mengayun cemeti sambil berdendang lagu gembala yang amat disukainya sejak kecil,
dimana waktu kecil ia menjadi penggembala sapi di kampung halaman, suara cemeti yang memecah
kesunyian pagi, seolah menjadi irama yang mengasyikkan, membakar semangat hidup seorang kusir yang
lagi menempuh perjalanan jauh.
Sepanjang hidup ini, Sim Bik-kun tidak pernah membayangkan, seorang yang dipandang rendah dan hina,
wajah yang tidak simpatik, ternyata sudi melakukan perbuatan yang berbahaya, hanya seorang yang punya
jiwa agung saja orang yang mau menolong jiwanya dari dera bahaya tanpa memikirkan imbalan dan tanpa
tujuan yang munafik.
"Aku ini orang tidak berguna, tapi aku punya tiga anak, aku menolongmu demi anak-anakku itu, sepanjang

hidupku ini, apa salahnya aku melakukan kerja bakti yang patut membanggakan harkat dan harga diriku."
Sim Bik-kun mengerti perasaannya, menyelami cita-citanya. Walau dirinya tidak punya anak, tapi dia
menyelami seorang yang jadi ayah bunda, yang penuh kasih sayang terhadap putra putrinya.
Peduli dia orang biasa, dari kalangan papa sekalipun, yang dipandang rendah dan hina, namun apa yang dia
lakukan sungguh agung, sungguh terpuji. Sebaliknya orang-orang yang suka mengagulkan diri sebagai
pendekar, sering kali melupakan nilai-nilai luhur perasaan nan suci ini.
Maka bayangan Siau Cap-it Long merasuk dalam sanubarinya. Siau Cap-it Long juga pernah menolong
dirinya, tanpa imbalan, tanpa tujuan, tanpa pamrih. Waktu itu Siau Cap-it Long masih jejaka polos, bersih
dan jenaka. Entah sekarang, remuk redam hati ini merindukannya.
Seorang kenapa mendadak bisa berubah menjadi menakutkan? Apa benar kekuatan uang dapat mengatasi
semua pengaruh ibiis?
Kereta mendadak berhenti, baru saja Sim Bik-kun berduduk, dari luar berkumandang ketukan pintu. Peklosam
membuka pintu seraya berkata, "Kurasa kau sudah bangun, satu hari satu malam kita menempuh
perjalanan."
Sang kusir memang kelihatan mengantuk dan letih, perjalanan panjang memang melelahkan. Pelarian
memang selalu membuat orang sengsara dan terasa panjang.
”Terima kasih," ucap Sim Bik-kun dengan haru, kecuali ucapan terima kasih, hakikatnya tak mampu ia
mengucapkan kata-kata lain untuk menghibur diri.
Pek-losam meliriknya dua kali lalu menunduk pula, sikapnya seperti ragu-ragu dan curiga.
Akhirnya ia mengangkat kepala dan berkata, "Aku harus segera pulang merawat anak-anak. Aku hanya bisa
mengantar kau sampai di sini."
"Di sini tempat apa?" tanya Sim Bik-kun bingung.
Wajah Pek-losam yang berkeriput jelek itu mengunjuk mimik aneh, sorot mata nan dingin, "Aku tahu kau
pernah datang ke tempat ini, kenapa tidak kau turun dan melihat sendiri?"
Sim Bik-kun membetulkan letak sanggulnya, perlahan beranjak turun, berdiri di bawah sinar matahari.
Cahaya mentari terasa hangat, tapi sekujur badannya mendadak menjadi kaku dingin.
Di antara popohonan nan rindang berjajar dan berbaris di sana, di bawah terik matahari, di sana berdiri
sebuah perkampungan, dari kejauhan mirip sebuah bangunan istana dalam dongeng.
Sudah tentu ia pernah datang ke tempat ini. Karena tempat ini sebetulnya adalah rumahnya.
Rumah yang pasti membikin siapa saja yang melihat ingin tinggal dan memilikinya.
Bu-kau-san-ceng.
Di Bu-kau-san-ceng ada sepasang pendekar muda, pendekar muda lagi ganteng yang dihormati dan
diagulkan insan persilatan, dan seorang perempuan yang cantik, ayu rupawan, mereka adalah sepasang
suami isteri yang menjadi panutan dan dambaan banyak orang.
Tapi sekarang?
Terbayang olehnya hari-hari bahagia yang dahulu dirasakan di perkampungan ini. Sepanjang hidupnya dulu,
walau kadang terasa kesepian, namun bebas, agung dan dihormati orang.
Lian Shia-pik bukan suami yang diangan-angkankan, tapi sepak terjangnya, perhatiannya, rasa hormatnya,
sepanjang hidupnya ini tak pernah menjadi perbincangan orang lain. Dirinya mungkin menjadi yang
terpenting dalam hidupnya, tapi dia tidak pernah melupakan dirinya, dan tak mungkin mengabaikan apalagi
meninggalkan dirinya.
Kenyataan justru dirinya yang meninggalkan dia, membuang segala miliknya, hanya karena seorang ... Siau
Cap-it Long.

Perasaan hatinya terhadap si dia, mirip lembaran sejarah yang ditulis dengan tinta merah.
Keangkeran wibawa dan rasa egoisnya seluruhnya dihanguskan menjadi abu. Apalagi perasaan nan indah
dan menggejolak itu, apakah benar cukup berharga untuk dikorbankan? Apa benar selama ini tak mampu
dikendalikan dan bertahan lama?
Air mata Sim Bik-kun berderai tak terbendung lagi. Tangannya terangkat membetulkan sanggul kepala yang
ditiup angin, perlahan ia menyeka air mata dengan lengan baju, "Angin hari ini besar sekali."
Angin tidak kencang, tapi di relung hatinya timbul hembusan angin yang menggejolak, membuat
perasaannya tidak tenang, seperti ombak lautan yang berdebur menghantam karang.
Bagaimanapun masa lalu sudah lewat, peduli apa yang pernah ia lakukan benar atau salah, ia lakukan
sendiri dengan suka rela. Maka ia tidak menyesal, juga tidak pernah menggerundel.
Hidup senang atau sengsara pernah dirasakan, semua itu tanpa penyesalan.
Pek-losam berdiri di belakangnya, tidak melihat rona wajahnya, terdengar orang sedang menarik napas
panjang, berkata penuh nada gegetun, "Bu-kau-san-ceng memang sesuai dengan nama besarnya. Sudah
puluhan tahun aku menjadi kusir kereta, laksaan li perjalanan pernah kutempuh, belum pernah aku datang
ke tempat seindah ini."
"Perkampungan ini memang indah permai," kata Sim Bik-kun menahan air mata.
Sayang perkampungan ini kini sudah bukan milikku, aku sudah tiada hubungan apa-apa dengan tempat ini.
Aku sudah bukan majikan perempuan tempat ini, tiada muka aku kembali lagi ke sini.
Isi hatinya jelas takkan diucapkan kepada Pek-losam.
Sekarang dia tidak ingin membuat orang repot, tidak ingin menjadi beban orang lain. Ia insaf mulai hari ini
harus berusaha hidup sendiri, sekali-kali tak boleh menjadi benalu hidup orang lain. Diam-diam ia
berkeputusan, tekadnya sudah bulat. Air mata juga sudah kering.
Ketika Sim Bik-kun berpaling lagi, wajahnya sudah dihiasi senyum nan menawan, "Terima kasih, kau telah
mengantarku sampai di sini, terima kasih, kau telah menolongku ...."
Kembali Pek-losam menampilkan mimik aneh, "Aku sudah bilang, tak perlu berterima kasih."
"Budi kebaikanmu terhadapku suatu hari pasti akan kubalas."
"Tidak perlu, aku menolongmu bukan ingin minta imbalan."
Mengawasi wajah orang yang buruk, timbul pula gejolak perasaan hati Sim Bik-kun, tak tahan hampir ia
berlutut dan memeluknya, biar orang tahu betapa besar rasa terima kasih dirinya.
Tapi hal itu pantang ia lakukan, dia seorang rupawan, dahulu demikian, selanjutnya harus tetap rupawan.
Kecuali kepada Siau Cap-it Long, selama ini belum pernah ia melakukan perbuatan yang melanggar tata
susila. Maka ia hanya tertawa-tawa, katanya lembut, "Titip salamku kepada bini dan anak-anakmu, aku yakin
mereka kelak akan menjadi manusia yang luar biasa, karena mereka panutan seperti dirimu."
Sesaat Pek-losam masih mengawasi wajahnya, tiba-tiba ia membalik badan dan berlari ke kereta, terus
pecutnya menggelegar, keretanya dilarikan kencang tak menoleh lagi. Betapapun Pek-losam adalah laki-laki
yang punya perasaan, tak berani tadi ia beradu pandang, hatinya terharu dan menyesal tak mampu berbuat
lebih banyak lagi. Dari kejauhan ia berteriak, "Jagalah dirimu sendiri, hati-hati, zaman ini banyak orang
jahat...."
Kereta itu sudah pergi jauh. Roda dan tapak kuda yang berlari kencang meninggalkan kepulan debu yang
memanjang di belakang.
Dengan nanar Sim Bik-kun mengawasi bayangan yang makin menjauh, entah kenapa mendadak hatinya
dirasuki perasaan takut yang aneh, takut yang ia sendiri tidak tahu dan tidak bisa menjelaskan sebab
musababnya. Bukan seluruhnya karena kesepian, tapi rasa sabatangkara yang menggejolak dalam relung
yang paling dalam, tanpa bantuan dan keputusasaan. Tiba-tiba ia menyadari sepanjang hidupnya ini

ternyata dirinya tak pernah mandiri.
Sejak kecil ia hidup dalam dibimbing ayah bunda, setelah menikah ikut suami, lalu bertemu dan mengikuti
Siau Cap-it Long.
Sudah dua tahun ia tidak berjumpa dengan Siau Cap-it Long, tapi relung hatinya masih terus memikirkan dia,
ia hidup demi dia, hidup dengan penuh harapan.
Apalagi sudah dua tahun ini tiada orang merawat hidupnya, seorang perempuan rupawan memangnya tiada
yang teguh, menyendiri, memangnya pantas ia hidup memperoleh perawatan dan bimbingan orang lain.
Sekarang mendadak ia merasa dirinya terpencil. Siau Cap-it Long sudah mati, Lian Shia-pik juga sudah
meninggal, kedua orang yang menjadi dambaan hatinya sudah tiada, kini hatinya sudah beku.
Cahaya matahari benderang, perasaan hatinya malah dingin, dia merasa dirinya ingin mati saja.
Tapi biarpun mati, jangan mati di tempat ini. Jangan jenazahnya dikebumikan oleh Lian Shia-pik.
Padahal dua tahun ini ia tidak pernah mendengar beritanya. Memangnya dia sudah tenggelam dalam
keputusasaan. Sim Bik-kun tak mau memikirkannya lagi, tapi tidak mungkin tidak memikirkannya.
Akhirnya ia berkeputusan untuk meninggalkan tempat ini, tempat yang banyak meninggalkan kenangan
indah masa lalu. Tapi waktu kakinya bergerak, ia melihat dua orang berpakaian hijau keluar dari pintu besar
berukir kuno. Bergegas ia menyingkir dan bersembunyi di belakang pohon, ia tidak ingin ada orang di sini
tahu bahwa dirinya telah pulang. Banyak orang di sini mengenal dirinya, mungkin mereka terheran-heran,
kenapa majikan perempuan rumah ini telah lama pergi dan tak pernah kembali lagi.
Langkah kedua orang itu makin dekat, mereka bercakap dengan riang, tertawa senang dan saling goda,
dengan langkah cepat mereka memasuki bidang rimbun di tengah pepohonan yang lebat.
Dari dandanannya, jelas mereka adalah kacung atau pelayan dari Bu-kau-san-seng, dahulu para pelayan di
perkampungan ini tiada yang berani sebebas itu bicara dan mondar-mandir, keluar masuk seenaknya.
Apalagi raut muka mereka terasa asing bagi Sim Bik-kun. Perubahan yang terjadi selama dua tahun
sungguh luar biasa, tiap orang berubah, apa yang terjadi di sini semua sudah berubah.
Bagaimana dengan Lian Shia-pik?
Awalnya Sim Bik-kun berpendapat suaminya itu mirip batu cadas di belakang perkampungan yang
menjulang tinggi ke angkasa, keras, tua dan bangkotan, selamanya tidak akan berubah.
Suara tawa mereka makin dekat, dua orang ini saling rangkul pundak mendatangi, yang di sebelah kanan
bermuka hitam, usianya lebih tua, temannya lebih putih, usia lebih muda, mukanya malah mirip nona yang
mulai menanjak dewasa.
Mereka juga melihat Sim Bik-kun yang berada di belakang pohon. Sebab ia merasa tak perlu bersembunyi
atau menyingkir.
Dengan bengong mereka mengawasi, biji matanya seperti hampir melotot keluar, siapa pun kalau mendadak
berhadapan dengan perempuan cantik seperti Sim Bik-kun, pasti akan menampilkan mimik seaneh itu. Tapi
para pelayan Bu-kau-san-ceng mestinya dikecualikan.
Yang berusia lebih tua bermuka hitam mendadak menyengir tawa lebar, bertanya dengan nada menggoda,
"Kau datang ke sini mau apa, mencari orang? Atau mencari kami?"
Sim Bik-kun berusaha mengendalikan amarahnya, dahulu ia tidak akan mengizinkan orang-orang bangor
seperti ini tinggal di Bu-kau-san-ceng, tapi sekarang ia sudah tiada hak dan kuasa untuk mencampuri urusan
di sini.
Dengan menundukkan kepala ia berpikir untuk menyingkir saja.
Ternyata pemuda itu makin berani, katanya, "He, aku bernama si hitam, dia bernama si putih, kami sedang
ingin membeli arak, mumpung kau datang, kenapa tidak menemani kami berdua minum dua cawan?"
Sim Bik-kun menarik muka, katanya dingin, "Apakah Lian-cengcu kalian tidak pernah memberitahu peraturan

di perkampungan ini?"
"Apa Lian-cengcu? Peraturan apa?" seru si hitam melotot.
"O, aku tahu," seru si putih, "yang dia maksud tentu Lian-cengcu pemilik perkampungan ini yang dulu, dia
bernama Lian Shia-pik."
"Cengcu yang dulu", seperti tenggelam perasaan Sim Bik-kun. "Apakah dia sekarang bukan Cengcu
perkampungan ini?" tanyanya.
"Sudah lama bukan," sahut si hitam.
"Sudah satu tahun lalu tempat ini dijual kepada orang lain," si putih menjelaskan.
Rasa dingin di tubuh Sim Bik-kun mengendap sampai di ujung kaki.
Bu-kau-san-ceng adalah warisan leluhur keluarga Lian, seperti juga keluarga she Lian, perkampungan ini
adalah milik Lian Shia-pik yang paling dibanggakan, paling disayang. Untuk mempertahankan keberadaan
perkampungan ini, dia sudah berusaha berjuang keras supaya sejarah keberadaannya tidak punah.
Bagaimana mungkin warisan leluhurnya sekarang, dijual kepada orang.
"Kurasa tidak mungkin," desis Sim Bik-kun sambil menggenggam tangan, "dia takkan berbuat demikian
bodoh."
Si hitam tertawa, "Konon karena bangkrut, Lian-kongcu itu terpaksa menjual harta miliknya ini, jangan heran,
manusia kan bisa berubah."
"Ya, kabarnya berubah karena seorang perempuan," timbrung si putih, "maka dia menjadi setan arak dan
raja judi. Akhirnya celana pun digadaikan, malah punya hutang segudang banyaknya, terpaksa apa boleh
buat, perkampungan inipun dijualnya."
Hancur hati Sim Bik-kun, luluh lantak kondisinya sekarang, hampir ia tak kuasa bertahan lebih lama lagi. Tak
pernah terbayang dalam benaknya, karena dirinyalah Lian Shia-pik hancur, karena dirinyalah Lian Shia-pik
bangkrut.
Si hitam masih terus tertawa, "Pemilik perkampungan kita yang sekarang she Siau. Siau-cengcu kita yang
satu ini, wah betul-betul luar biasa, selaksa perempuan pun jangan harap bisa membuatnya runtuh."
"Marga Siau? Cengcu kalian yang sekarang bermarga Siau?" mendadak Sim Bik-kun berteriak, "siapa
namanya?"
Si hitam membusungkan dada, katanya pongah, "Siau Cap-it Long, yaitu orang yang paling kaya, paling ...."
Sim Bik-kun tidak mendengar apa yang diucapkan si hitam selanjutnya, mendadak matanya gelap, orangnya
pun jatuh semaput.
* * * * *
Perkampungan ini amat besar, luas dan marak.
Mengawasi wuwungan nan lancip tinggi, Hong Si-nio menghela napas, "Rumah seperti ini, kau punya
berapa?"
"Tidak banyak," sahut Siau Cap-it Long, "tapi yang lebih besar dari perkampungan ini ada beberapa."
Hong Si-nio menggigit bibir, "Kalau aku jadi Pin-pin, akan kucari rumah yang paling besar untuk bersembunyi
di sana."
"Ya, mungkin sekali."
"Rumahmu yang paling gede berada dimana?"
"Tak jauh dari sini."

"Kalau tidak salah Bu-kau-san-ceng tak jauh dari sini?"
Sorot mata Siau Cap-it Long menampilkan rasa sedih, "Bu-kau-san-ceng sekarang sudah menjadi milikku."
* * * * *
Ruang kembang, ruang utama tetap dan persis keadaan semula, tidak berubah karena memang tidak
dirubah. Beberapa pot bunga di atas meja bertambah banyak, terutama pot kembang seruni berwarna biru
itu, jenis yang paling langka, adalah pemberian Thio-jiya dari Kay-hong.
Segala sesuatunya, entah bangunan, pohon, kembang atau bebatuan, semuanya dirawat dan dijaga
keasliannya, semua tetap dalam keadaan utuh seperti semula. Entah orangnya?
Air mata Sim Bik-kun membasahi selebar mukanya. Sesungguhnya ia tidak ingin pulang, kembali ke tempat
ini, sayang waktu ia siuman dari pingsan, ia dapati dirinya berada di tempat lama, tempat dahulu ia tinggal.
Cahaya matahari menjelang senja menyorot masuk menyinari kursi merah itu. Itulah kursi dimana Lian Shiapik
suka duduk kalau ia melayani para tamunya, kelihatan kursi itu masih baru. Kursi takkan pernah menjadi
tua karena kursi benda mati, tak punya pikiran tak punya perasaan, Tapi bagaimana dengan orang yang
sering duduk di kursi itu?
Orangnya sudah gugur, dialah yang membuatnya gugur. Rumah atau keluarga ini juga gugur di tangannya.
Karena Siau Cap-it Long, hampir seluruhnya hancur karenanya.
Tapi Siau Cap-it Long tidak hancur. "Siau-cengcu adalah laki-laki jempol", mestinya rumah ini milik Lian
Shia-pik dan dirinya, sekarang berubah menjadi milik Siau Cap-it Long.
Betapa kejam, betapa besar deritanya, itulah sindiran yang tajam.
Sim Buk-kun berharap semua kejadian ini bukan jadi kenyataan, tapi sekarang ia benar-benar membuktikan
bahwa apa yang dilihat, didengar adalah betul dan kenyataan. Belum senja, masih menjelang senja.
Angin lalu berhembus, daun-daun pohon melambai-lambai, sepertinya pohon itu juga sedang gegetun.
Kenapa Siau Cap-it Long membeli perkampungan ini? Untuk menunjukkan wibawa atau mau pamer?
Hatinya berkeputusan untuk tidak memikirkan atau membayangkan orang macam Siau Cap-it Long. Ingin
rasanya ia menerjang keluar meninggaikan tempat ini, sekejap saja rasanya sudah tidak betah.
Pada saat itulah di pekarangan belakang mendadak terjadi ribut-ribut, orang berteriak, "Ada maling!"
Siau Cap-it Long adalah maling tulen, bukan saja telah mencuri semua milik mereka, juga mencuri hatinya.
Kalau sekarang ada maling mencuri barangnya, itu namanya pantas dan lumrah.
Perlahan Sim Bik-kun berusaha berdiri lalu beringsut keluar, lewat pintu kecil di samping ia menerobos ke
belakang, keadaan di tempat ini jelas ia amat hapal.
Belasan lelaki berpakaian serba hijau berada di pekarangan belakang, ada yang membawa pisau dapur, ada
yang membawa pentung, seseorang dikepung dan dipukuli. Yang dipukuli adalah lelaki bercambang lebat,
rambut kepalanya awut-awutan, pakaiannya lusuh, usianya sekitar tiga puluhan tahun.
Si hitam mengacungkan parang di tangannya sambil menggertak, "Letakkan benda yang kau curi atau
kupatahkan sepasang kakimu."
Dengan kedua tangannya orang itu memeluk benda yang dianggap curian itu, mati pun tak mau
dikembalikan, mulutnya menggumam ketakutan, "Aku bukan maling ... barang yang kuambil ini semula
memang milikku." Suaranya serak, meski gemetar nadanya seperti amat ia kenal.
Sekujur badan Sim Bik-kun mendadak menjadi gemetar dingin, hampir beku, karena mendadak ia sadar,
lelaki berpakaian compang-camping yang dituduh mencuri barang itu bukan lain adalah Lian Shia-pik
adanya.
Betulkah dia Lian Shia-pik?

Dua tahun yang lalu, dia adalah pemuda gagah yang diakui kaum Bulim sebagai tokoh punya harapan, jago
yang paling dihormati. Dua tahun yang lalu, pemuda yang satu ini paling mengutamakan penampilan,
berpakaian perlente, rajin dan cakap ganteng.
Pakaiannya terbuat dari kain yang paling berkualitas, makan sehat tidur nyenyak, kesehatannya terjaga
dengan baik, tiada noktah tak ada noda di badannya, air mukanya selalu memancarkan sinar cemerlang,
senyumnya lebar, langkahnya gagah, bicaranya santun, serba lengkap. Mengapa hari ini berubah menjadi
orang seperti ini? Dua tahun yang lalu, dia adalah pemuda ganteng kaya yang disegani kalangan atas,
pemilik perkampungan nan megah ini. Sekarang berubah menjadi maling.
Bisakah terjadi perubahan begitu besar pada seseorang? Begitu menakutkan? Mati pun Sim Bik-kun tak
mau percaya, tidak rela dan tidak mau percaya, tapi kenyataan membuatnya harus percaya. Orang itu betul
adalah Lian Shia-pik.
Dia masih mengenal suaranya, mengenal tatapan sorot matanya. Kini sorot matanya sudah berubah seperti
binatang yang terluka, diliputi rasa sedih, derita dan putus asa. Padahal bentuk dan tatapan mata seseorang
selamanya tidak akan berubah. Mestinya Sim Bik-kun pernah bersumpah, selama hidup takkan membiarkan
Lian Shia-pik melihat dirinya lagi, karena ia tidak sudi dan tidak ingin bertemu dengannya, tak tega bertemu
dengannya. Dalam sekilas ini, dia sudah melupakan semuanya. Dengan mengerahkan seluruh tenaganya,
mendadak ia memburu ke sana, menerobos kerumunan orang banyak, memburu ke depan Lian Shia-pik.
Waktu Lian Shia-pik mengangkat kepala lantas melihatnya. Sekujur badannya seperti mendadak kena
sengat listrik menjadi kaku beku, suaranya bergetar, "Kau ... betulkah engkau ...."
Mengawasi orang, air mata Sim Bik-kun tak kuat ditahan.
Mendadak Lian Shia-pik membalik badan ingin melarikan diri, ternyata gerak-geriknya sudah tak setangkas
dahulu, ia tak mampu membobol kerumunan orang banyak. Apalagi Sim Bik-kun telah menarik tangannya,
menahan dengan setaker kekuatannya.
Sekujur badan Lian Shia-pik menjadi lemas, perasaannya luluh. Selama menjadi suami isteri, Sim Bik-kun
tidak pernah menariknya sekuat itu, tak pernah terbayangkan bahwa orang akan menarik dirinya. Mengawasi
muka orang, air mata sendiri tak kuasa ditahannya lagi. Mereka saling pandang, saling bertangisan.
Adegan yang tak pernah terduga ini jelas membuat si hitam kaget, tak mengerti dan tak pernah bisa
mengerti. Mendadak ia mengacungkan parang di tangan seraya berteriak, "Mampuskan dulu bocah keparat
ini, berani dia mencuri di tempat kita." Parang diayun turun, dia betul-betul membacok kepala Lian Shia-pik.
Lian Shia-pik tidak mampu melawan dan tidak mau melawan, seperti binatang terluka yang jatuh dalam
perangkap, terima nasib saja. Tapi pegangan Sim Bik-kun entah kenapa seperti memberi semangat dan
kekuatan, seketika ia kipatkan lengannya, parang di tangan si hitam disampuknya jatuh, sekali jotos si hitam
dipukulnya roboh telentang.
Orang banyak menyurut mundur, semua kaget dan heran, entah darimana datangnya tenaga orang hingga
masih kuat melawan. Lian Shia-pik tidak menghiraukan keberadaan orang banyak, dengan nanar ia
mengawasi Sim Bik-kun, "Aku ... selama hidup mestinya aku tidak ingin kembali."
"Aku tahu," sahut Sim Bik-kun sambil mengangguk.
”Tapi ... tapi ada sebuah benda, amat sayang kalau terbuang." Benda yang dipeluk kencang di dadanya itu
adalah segulung gambar lukisan. Gambar lukisan biasa, betulkah sedemikian penting bagi dirinya?
BENTROK PARA PENDEKAR
Karya Gu Long - Gan K.H.
Bagian 10
Sim Bik-kun tahu, hanya dia saja yang tahu. Sebab gambar lukisan itu adalah gambar lukisan hasil
karyanya. Gambar lukisan pribadinya waktu berpose di depan kaca.

Lian Shia-pik rela membuang semua harta miliknya, perkampungan warisan leluhurnya pun dijual. Tapi tidak
tega meninggalkan gulungan gambar lukisan itu, kenapa?
Kepala Sim Bik-kun menunduk, air mata membasahi baju dan lengannya.
Orang-orang berseragam hijau mengawasi mereka dengan kaget dan heran, entah siapa yang mendahului
berteriak, "Aku tahu siapa maling ini. Dia pemilik perkampungan ini yang dahulu, yaitu Lian Shia-pik."
Seorang lalu menanggapi dengan nada mengejek, "Konon Lian Shia-pik adalah laki-laki gagah yang jantan,
mana mungkin menjadi maling."
"Karena dia sudah berubah, sekarang menjadi rudin karena seorang perempuan."
"Apakah perempuan ini yang kau maksud?"
"Jadi perempuan ini adalah Sim Bik-kun?"
Tanya jawab orang-orang itu bagai godam mengetuk sanubari Lian Shia-pik dan Sim Bik-kun. Sekuatnya ia
menggereget tak urung sekujur badan bergetar saking sedih dan malu.
Lian Shia-pik tak berani memandangnya, dengan menunduk ia berkata, "Aku harus pergi."
Sim Bik-kun manggut-manggut.
"Aku ... tak pernah terpikir olehku di sini bisa bertemu lagi dengan kau."
"Kau tak sudi bertemu denganku?"
Lian Shia-pik tidak tahu bagaimana ia harus menjawab. "Sekarang aku harus pergi."
Sim Bik-kun menariknya lagi, katanya dengan tatapan tajam, "Aku juga harus pergi, kau mau membawaku
pergi?"
Terangkat kepala Lian Shia-pik, balas menatapnya, sorot matanya menampilkan tanda tanya, dengan penuh
emosi ia berkata, "Aku berubah begini rupa, kau masih ingin ikut aku?"
Sim Bik-kun memanggut lagi.
Sim Bik-kun maklum, Lian Shia-pik takkan mau mengerti, lantaran keadaannya sekarang begini, mana dia
rela aku mengikuti dia pergi. Kalau dia masih Lian Shia-pik yang dahulu, jangan kata ikut dia, melihatnya
saja tidak sudi. Sekarang betapapun ia tidak tega meninggalkannya, tidak tega melihat kondisinya yang
serba konyol.
Sambil menarik lengan orang ia berkata, "Kalau mau pergi, marilah kita pergi bersama."
Pada saat itulah seorang mendadak menimbrung bicara, "Tempat ini adalah milik kalian, tak usah kalian
pergi."
Itulah suara Siau Cap-it Long. Suaranya masih lantang, dingin dan tenang.
Siapa pun pasti tak menduga, dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengendalikan gejolak hatinya,
rasa derita dan haru.
Maka bubarlah orang-orang yang berkerumun.
Sim Bik-kun melihatnya, Lian Shia-pik juga melihatnya. Melihat seorang yang mematung berdiri di bawah
pohon sana.
Wajahnya pucat, sorot matanya juga seperti memutih. Ia berdiri mematung, badannya sudah beku.
Hanya sekilas Sim Bik-kun memandangnya lalu melengos, seperti tidak mengenalnya sama sekali.
Lian Shia-pik justru seperti malu berhadapan dengan orang ini. Kalau orang kelihatan kuat dan tegar, dirinya
sebaliknya loyo, rudin dan mengenaskan. Dia berusaha melepas pegangan tangan Sim Bik-kun, "Biarlah aku

pergi."
Sim Bik-kun menggigit bibir, lalu katanya dengan tandas, "Sudah kubilang, kalau mau pergi, kita pergi
bersama."
"Aku juga sudah berkata," demikian desis Siau Cap-it Long, "kalian tidak usah pergi. Tempat ini masih tetap
milik kalian."
Dingin suara Sim Bik-kun, "Awalnya tempat ini memang milik kami tapi sekarang sudah bukan." Dia tetap
tidak berpaling ke arah Siau Cap-it Long, seperti berusaha mengendalikan perasaan hati, lalu lanjutnya,
"Kami bukan tokoh juga bukan orang gagah, kami tidak sudi menerima kebaikan dari orang seperti kalian,
umpama kami harus mampus di tengah jalan, kami takkan tinggal di sini lagi."
Ya, hanya kami... kami ... kami....
Hanya kami berdua takkan berpisah lagi. Kau ini siapa, kau hanyalah orang luar yang tiada sangkut paut
dengan kami.
'Kami' satu patah kata setajam ujung pisau menghunjam ke hulu hati Siau Cap-it Long, dari kata-kata orang
ia merasakan firasat putusnya harapan yang ia dambakan.
Tiba-tiba ia menyadari banyak persoalan, paling tidak menurut pandangan pribadinya.
Bibirnya gemetar, mulut terkancing, ia tidak bicara lagi, tak bisa bicara.
Tapi Hong Si-nio yang berdiri di samping mendadak memburu ke sana, suaranya keras, "Kalau benar kau
ingin pergi bersamanya, aku tidak mengganggumu. Tapi satu hal kau harus mengerti." Sim Bik-kun diam, ia
mendengarkan.
"Dia bukan macam orang yang kau bayangkan selama ini," teriak Hong Si-nio. ”Terhadapmu dia tetap ...."
Sim Bik-kun menjengek dingin, "Aku sudah sangat mengerti orang macam apa dia, tak perlu kau jelaskan
kepadaku."
“Tapi kau salah paham terhadapnya, semua persoalan kau salah menilainya."
"Peduli apakah aku salah pengertian terhadapnya. Sekarang sudah tiada urusan denganku."
"Kenapa?" pekik Hong Si-nio.
"Karena hakikatnya tiada hubungan apa-apa antara aku dengan dia." Begitu menarik tangan Lian Shia-pik,
mereka terus melangkah pergi dengan langkah lebar, tidak berpaling tapi suaranya masih berkumandang,
"Cepat atau lambat, kapan saja kita akan kembali ke sini, dengan daya upaya dan kemampuan kami, tidak
perlu menerima sedekahmu."
Lian Shia-pik mandah dituntun keluar, tapi langkahnya sudah tegap, dadanya terangkat. Dia tahu kapan dia
akan pulang ke tempat ini. Apa yang pernah diinginkan dan akan dikerjakan, selama ini belum pernah gagal.
Sekarang Sim Bik-kun sudah kembali ke haribaannya, entah kapan yang pasti bukan hari ini, dia akan
menyaksikan Siau Cap-it Long roboh di hadapannya.
Cuaca sudah mulai gelap. Angin bertiup kencang, hawa terasa makin dingin, dingin menusuk tulang
sumsum.
Orang sudah bubar semua.
Siau Cap-it Long masih berdiri mematung di bawah pohon.
Hong Si-nio sengaja tidak menghampiri, dari kejauhan mengawasinya, pandangannya makin buram. Dia
tidak menghampiri karena dalam hati ia maklum, sejak hari ini, sukar bagi dia bisa menghiburnya lagi.
Hembusan angin menghamburkan daun-daun kering, berjatuhan dari atas pohon, berserakan di sekitar kaki
mereka.
Dia membungkuk badan hendak meraih selembar daun, tapi daun kabur ditiup angin. Banyak persoalan di

dunia ini, seperti daun kering yang ditiup angin tadi.
Mendadak Siau Cap-it Long bergelak tertawa, tawa lebar.
Hong Si-nio kaget, dengan melongo ia mengawasi. Karena sedih dia menangis atau meraung-raung,
keadaan ini masih bisa diterima olehnya. Tapi tawa yang menggila seperti ini, membuat hatinya hancur luluh,
seperti daun-daun pohon yang berhamburan tak terhitung banyaknya.
Kini di dunia hanya dia seorang yang benar-benar bisa menyelami jiwa Siau Cap-it Long, merasakan derita
dan luka hatinya, tapi dia juga tahu, siapa pun takkan bisa membantu untuk menahan Sim Bik-kun, meski
dipaksa sekalipun, karena Lian Sian-pik sudah berubah sedemikian rupa, siapa pun dia bila manusia normal
pasti akan terharu dan kasihan.
Saat itu si putih beranjak masuk dengan langkah takut-takut, dengan mata terbelalak kaget mengawasi Siau
Cap-it Long. Belum pernah dia mendengar dan melihat orang tertawa seperti itu, mukanya yang putih makin
putih saking takut dan ngerinya.
Diam-diam Hong Si-nio menyeka air mata, ingin rasanya maju mendekat, berusaha menghentikan loroh
tawa Siau Cap-it Long. Tiap manusia entah senang atau sedih, tertawa atau menangis ada cara
pelampiasannya, melampiaskan rasa senang atau sedih, tidak jarang mendatangkan kehancuran bagi diri
sendiri juga bagi orang lain. Siapa tahu loroh tawa Siau Cap-it Long mendadak berhenti, begitu mendadak
berhenti seperti mendadaknya ia bergelak tertawa.
Si putih menarik napas lega, sambil membungkuk hormat ia berkata, "Tuan, di luar ada orang mohon
bertemu."
Memangnya siapa orangnya yang tahu kalau Siau Cap-it Long saat ini berada di sini? Bagaimana bisa tahu
kalau dia sudah kemari? Untuk keperluan apa mencarinya? Semua ini merupakan persoalan yang bisa
mengundang rasa curiga, tapi tanpa pikir Siau Cap-it Long berkata sambil mengulap tangan, "Suruh dia
masuk."
Seorang di kala berduka, penampilan yang tidak perlu diragukan lagi adalah menangis atau tertawa,
bukanlah emosi, tapi hati yang beku.
Demikian kondisi Siau Cap-it Long sekarang, berdiri di bawah pohon, layaknya patung batu yang tak bisa
bergerak.
Dari tempatnya berdiri yang berjarak belasan langkah. Hong Si-nio mengawasinya, sorot matanya
memantulkan perasaan yang penuh perhatian dan kuatir, ia tahu harus berusaha membangkitkan kembali
semangat dan gairah hidup Siau Cap-it Long, tapi tak terpikir olehnya dengan cara apa dan bagaimana ia
harus mulai bekerja, pukulan lahir batin seberat ini memang tak mudah diterima dan dirasakan oleh siapa
pun.
Kalau Siau Cap-it Long tak mampu mengatasi, mengendalikan diri, ibaratnya dia akan terjeblos ke jurang
nista, ke lumpur yang dalam.
Hong Si-nio tak berani membayangkan apa yang bakal terjadi padanya.
Dia melihat keadaan Lian Shia-pik yang begitu mengenaskan. Dia juga tahu keadaan Siau Cap-it Long bisa
menjadi lebih mengenaskan, lebih menakutkan.
Dari pekarangan luas seorang sedang barjalan masuk, seorang pemuda yang kelihatan tahu sopan santun,
tata-krama dan jujur, dilihat dari wajah dan penampilannya, boleh dibilang masih anak-anak. Perawakannya
tidak tinggi, kaki tangannya tumbuh normal, hanya mungkin belum akil baliq, mimiknya masih kelihatan
seperti anak kecil. Tapi sepasang matanya menampilkan sorot tajam, membayangkan jiwanya yang
telengas.
Setelah dekat, melihat keadaan Siau Cap-it Long, sedikitpun ia tidak terpengaruh oleh suasana yang bagi
orang lain tidak menyenangkan, tiada heran, kaget atau bingung di perasaannya, namun dengan sopan ia
memberi hormat, katanya, "Cayhe mendapat perintah datang kemari menghadap Siau-cengcu ...."
Wajah Siau Cap-it Long mendadak berkerut-merut, bentaknya beringas, "Aku bukan pemilik tempat ini,
bukan Siau-cengcu. Aku adalah Siau Cap-it Long, perampok besar yang suka membunuh orang."

Ternyata pemuda itu tetap berdiri tenang, tidak berubah sikap, mimiknya juga tetap tenang.
Setelah Siau Cap-it Long habis bicara, baru dia membungkuk melanjutkan kata-katanya, "Cayhe membawa
sepucuk surat, diperintah untuk menyerahkan langsung kepada Siau-tayhiap. Silakan terima, setelah dibaca
aku menunggu jawabannya."
Undangannya ternyata berwarna putih mirip pemberitahuan berkabung dari keluarga yang lagi berduka cita.
Syukur kondisi Siau Cap-it Long makin membaik, akhirnya tenang dan tenteram, tapi kondisi sebenarnya
belum membaik seperti sedia kala. Perlahan ia mengulur tangan menerima undangan, membuka lalu
membaca dengan pandangan kosong.
Mendadak wajah yang mendekati beku itu menampilkan perubahan luar biasa, demikian pula sorot matanya
yang semula kosong, kini memancarkan cahaya.
Undangan itu ibarat sebatang jarum, orang yang sudah mendekati beku perasaannya, memang perlu
dihujam dengan tusukan jarum yang keras dan kuat, supaya orangnya lekas sadar.
Bola mata Hong Si-nio ikut bersinar, tak tahan ia bertanya, "Atas nama siapa undangan itu."
"Ada tujuh orang," sahut Siau Cap-it Long.
"Tujuh orang?" Hong Si-nio mengerut alis.
Siau Cap-it Long manggut-manggut, "Orang pertama adalah Hi-cia-lang."
Hi-cia-lang, ikan gegares manusia. Ada saja manusia memakai nama yang menakutkan itu.
Ternyata Hong Si-nio pernah mendengar nama ini, dengan berjingkat ia bertanya, "Hay-siang-soa-ong
maksudmu?"
Siau Cap-it Long manggut-manggut, "Kecuali Hay-siang-soa-ong, siapa yang bisa menggunakan nama Hicia-
lang."
"Huh," Hong Si-nio menghembuskan napas dari mulut, "lalu enam orang lainnya siapa?"
"Kim-po-sat, Hoa Ji-giok, Kim-kiong-gin-hoan-jan-hou-to, Tui-hun-coh-gwat-cui-siang-biau Le Ceng-hong,
Hamwan Sam-coat, Hamwan Sam-seng dan Jin-siang-jin."
Kembali Hong Si-nio menghembuskan angin dari mulutnya. Ternyata semua musuh-musuh bebuyutan Siau
Cap-it Long bergabung menjadi satu. "Mereka bersatu, untuk apa mengundangmu?"
“Sengaja menyediakan arak paling baik 180 guci, mengharap tuan datang ikut menikmati," demikian seru
Siau Cap-it Long seperti membacakan undangannya, lebih jauh suaranya berkumandang pula, "Arak bagus
memabukkan orang, kalau tuan datang pasti mabuk, kalau tuan takut mabuk, tidak datang juga tak apalah."
"Jelas kau tidak takut mabuk."
"Aku juga tidak takut mati," Siau Cap-it Long menyeringai tawar.
Hong Si-nio mengerti apa yang dimaksud, mungkin undangan itu awalnya mau ditulis begini, "Tuan datang
pasti mampus, kalau takut mampus, tak usah datang." Lalu dengan menghela napas ia melanjutkan,
"Makanya kau harus memenuhi undangan itu."
"Ya, harus datang."
“180 guci arak itu mungkin adalah 180 jebakan yang menunggumu”.
"Aku tahu."
"Kau tetap akan pergi?."
”Tetap harus pergi," tegas dan lugas jawabannya.
"Kapan undangan itu."

"Besok malam."
"Dimana?”
"Kalau Soa-ong mengundang tamu, tentu di atas kapalnya."
"Dimana letak kapalnya?"
Siau Cap-it Long tidak langsung menjawab, tapi berputar ke arah pemuda itu, tanyanya, "Kapalnya ada
dimana?"
Pemuda itu membungkuk hormat, katanya, "Kalau Siau-tayhiap memenuhi undangan, besok pagi Gayhe
akan datang menjemput dengan kereta."
"Baiklah, siapkan keretanya."
Pemuda itu membungkuk lagi seperti siap akan pergi, mendadak berkata pula, "Cayhe datang bukan datang
seorang diri."
"O, bersama siapa?"
"Masih ada dua orang, sepanjang jalan ini dia berada di belakangku, tapi mereka tidak seiring denganku."
"Siapa kedua orang itu?"
”Tidak tahu, aku juga tidak melihat mereka."
"Kalau kau tidak melihat mereka, darimana kau tahu di belakangmu ada orang?"
"Cayhe merasakan mereka menguntit di belakangku."
"Apa yang kau rasakan?"
"Hawa membunuh," kata pemuda itu kalem, "sepanjang jalan kedua Cianpwe itu menguntit di belakang,
ibarat dua ujung pedang tajam mengincar Pwe-ki-hiap di punggungku."
Bila senjata tajam terlolos dari sarungnya, sering kali mengeluarkan hawa membunuh, tidak banyak orang
yang bisa merasakan adanya hawa membunuh itu. Padahal pemuda ini kelihatannya masih bocah, masih
anak-anak.
Siau Cap-it Long menatapnya lekat-lekat, mendadak ia bertanya, "Kau murid siapa?"
"Guruku she Hi."
"Hi-cia-lang?"
Pemuda itu mengangguk, wajahnya tetap tenang,, tidak kuatir atau takut karena ia menyebut nama gurunya
yang aneh dan menakutkan.
"Kau sendiri siapa namamu?" tanya Siau Cap-it Long.
Ragu-ragu sejenak, akhirnya pemuda itu menjawab dengan suara lirih, "Cayhe juga she Siau."
"Siau apa?"
Baru sekarang wajahnya menampilkan perasaan tidak tenang, apakah namanya lebih aneh dibanding Hicia-
lang? Atau lebih menakutkan?
"Siau apa?" Siau Cap-it Long menegas. Kelihatannya ia mulai tertarik karena melihat mimik mukanya yang
tidak tenang, hatinya tertarik.
Bimbang sesaat, pemuda itu menundukkan kepala baru bersuara lirih, "Siau Cap-ji Long."

Siau Cap-ji Long. Pemuda itu bernama Siau Cap-ji Long.
Siau Cap-it Long tertawa, tertawa lebar.
"Namaku tidak menggelikan bukan?" tanya pemuda itu.
"O, ya?" Siau Cap-it Long bersuara dalam mulut.
"Menurut apa yang Cayhe tahu, di kalangan Kangouw, yang bernama Cap-ji Long sedikitnya ada empat
orang."
Siau Cap-it Long menahan geli, tanyanya, "Adakah yang bernama Cap-sha Long?"
"Ada," sahut pemuda itu, "Cap-sha Long ada dua orang. Yang pertama bernama Bu-ceng Cap-sha Long,
yang kedua bernama To-jing Cap-sha Long," pemuda itu menjelaskan dengan tersenyum lebar, karena hal
ini jelas menarik perhatian banyak orang, kecuali Cap-sha Long, di Kangouw masih ada Siau Su-long, Siau
Jit-long, Siau Kiu-long dan Siau Cap-long."
XV. ANG-ING-LOK-LIU
Siau Cap-it Long tertawa, "Aku ini anak sebatangkara, sekarang tiba-tiba punya banyak saudara, rasanya
patut dibuat senang."
Pemuda itu berkata, "Seorang setelah terkenal, tak heran kalau dibuat risau oleh urusan tetek-bengek."
"Jadi kau tidak ingin ternama?"
Pemuda itu tertawa, "Ternama memang merisaukan, kurasa daripada tak punya apa-apa ya mending punya
nama." Dengan tersenyum lebar ia memberi hormat, lalu putar badan melangkah pergi dengan riang
gembira.
Mengawasi bayangan orang, Hong Si-nio menghela napas perlahan, "Kulihat bocah ini kelak bisa jadi orang
terkenal."
Sorot mata Siau Cap-it Long masih membayangkan perasaan sepi dan kosong, suaranya tawar saja,
"Kurasa demikian, yang penting dia bisa berumur panjang."
"Aku justru ingin tahu," demikian ujar Hong Si-nio, "apakah di Kangouw ada Hong Go-nio, Hong Toa-nio,
Hong Sam-nio, Hong Lak-nio atau Hong Jit-nio?"
"Kurasa tidak lama lagi."
Hong Si-nio cekikikan geli, "Aku hanya mengharap mereka tidak menjadi gila karena 'hong' (angin)."
Kali ini ia tertawa benar-benar, tertawa tulus karena kondisi enak, perasaan pun terhibur.
Karena ia melihat keadaan Siau Cap-it Long sudah membaik.
Ada sementara orang dalam keadaan yang paling bahaya, malah bisa mengendalikan diri sehingga hati
tenang pikiran mantap. Siau Cap-it Long adalah orang demikian. Tapi mengingat bahaya pertemuan besok
malam, diam-diam jantung Hong Si-nio berdetak sekeras tambur ditalu.
Pada saat itulah si putih masuk sambil membungkuk hormat, "Tuan, di luar ada lagi orang ingin bertemu."
"Suruh mereka masuk," sahut Siau Cap-it Long, Si putih ragu-ragu, "Mereka tidak mau masuk."
"Kenapa?"
"Mereka minta Cengcu keluar sendiri menyambut."
Angkuh benar tamu yang satu ini. Siau Cap-it Long berpaling mengawasi Hong Si-nio.
Hong Si-nio berkata, "Kurasa dua ujung pedang yang mengancam punggung Cap-ji Long itu sudah datang."

"Aku justru ingin tahu macam apa pedang mereka."
Sebetulnya tak perlu ia mengajukan pertanyaan, karena segera ia akan memperoleh jawabannya.
Jelas gaman itu adalah pedang runcing lagi tajam yang dapat digunakan membunuh orang, kalau bukan, tak
mungkin mengeluarkan hawa membunuh.
Ternyata tiada pedang tapi ada orang.
Hawa membunuh yang dimaksud ternyata keluar dari badan dua orang, dua orang yang mirip dua batang
pedang runcing.
Tokoh Bulim yang kosen memandang jiwa manusia sebagai rumput alang-alang. Mereka memang bisa
mengeluarkan hawa membunuh.
Mereka berperawakan tinggi kurus, jubah yang membungkus tubuh mereka amat perlente dengan warna
yang menyolok. Warna jubah mereka hijau dan merah. Yang merah mirip warna bunga sakura, yang hijau
mirip daun pisang.
Sikap mereka kelihatan amat kelelahan, rambut beruban menandakan bahwa usia tidak muda lagi, tapi
pinggangnya masih tegak, sorot mata mereka memancarkan cahaya garang, seperti mata serigala yang
kelaparan.
Melihat kedua orang ini, diam-diam Hong Si-nio menyurut mundur hendak minggat. Tapi sudah tidak keburu
lagi. Dia kenal siapa kedua orang ini, ia pernah membawa Sim Bik-kun yang ditawan kedua orang ini dan
menipunya masuk ke sebuah rumah yang bisa berjalan.
Kedua orang itu jelas takkan mungkin melupakan dirinya, sekilas pandang, sorot mata mereka beralih ke
arah Siau Cap-it Long.
Siau Cap-it Long tersenyum ewa, "Dua tahun berpisah, tak nyana penampilan kalian masih tampak gagah
dan bersemangat."
"Hm," kakek jubah merah berdehem dalam mulut.
"Huh," kakek jubah hijau mendengus dari hidung.
Wajah mereka kaku, suaranya juga dingin. Melihat kedua kakek ini, bayangan Siau Cap-it Long lantas
terbang ke Hoan-ou-san-ceng yang misterius dan menakutkan itu. Karena segala sesuatu yang terjadi di
perkampungan itu bukan saja misterius, juga amat menakutkan. Selama hidup pasti takkan pernah
dilupakannya.
Terutama pertandingan adu catur melawan kakek jubah hijau itu, ia sudah mengerahkan segala
kemampuan, bakatnya, pertarungan itu tidak memakai senjata, tapi justru amat melelahkan.
Sampai sekarang Siau Cap-it Long tidak pernah melupakan betapa tegang pertarungan waktu itu. Tak tahan
ia bertanya, "Apakah kalian masih bermain catur?"
"Tidak," sahut kakek jubah merah.
Kakek jubah hijau berkata dingin, "Karena dua tahun ini, kami sibuk mencari jejakmu."
Siau Cap-it Long tertawa getir, "Aku tahu."
Ia tahu selama dua tahun ini Sim Bik-kun berada bersama mereka.
"Kau tahu tapi tidak mau keluar menemui kami?" tanya kakek jubah merah.
Kakek jubah hijau menjengek, "Mungkin karena kau mengira dirimu jempolan, tokoh besar mana sudi
bertemu dengan kami."
"Aku yakin, kalian pasti tahu bahwa aku tidak punya maksud demikian."

"Yang pasti kami dengar belakangan ini kau adalah tokoh luar biasa yang selalu dipergunjingkan orang
banyak."
"Konon kau sudah diagulkan sebagai jago nomor satu di jagat, kekayaanmu katanya juga menjagoi kolong
langit."
”Tapi kami masih tak mengira, Bu-kau-san-ceng inipun sudah kau beli."
"Keluarga ini bubar lantaran dirimu, kau malah membeli perkampungannya."
"Demi dirimu Sim Bik-kun meninggalkan keluarga, berpisah dengan suami, jadi gelandangan di luar,
sekarang kau justru punya gendak baru."
"Tentu kau sudah tahu, barusan kami bertemu dengannya."
"Dia begitu kagum dan memujamu, sampai ia tak mau bertemu lagi dengan kau."
"Tokoh besar segagah ini, kami dua orang tua rudin, sungguh tak berani berjajar denganmu."
"Kedatangan kami berdua hari ini, adalah ingin memberitahu kepadamu, bahwa hubungan kita mulai saat ini
putus."
"Mulai hari ini kami tidak akan mengenalmu lagi."
Dua kakek ini mengoceh sendiri, makin bicara makin cepat, makin emosi, orang lain tidak diberi kesempatan
menimbrung bicara. Terpaksa Siau Cap-it Long hanya diam mendengarkan, karena dia tidak sempat
menimbrung bicara.
Kakek jubah merah berkata lagi, "Kecuali itu, kedatangan kami kali ini ada persoalan yang ingin kami
bicarakan denganmu."
Kakek jubah hijau berkata, "Kami akan membawa seseorang pergi."
Sorot mata kedua kakek serempak beralih ke arah Hong Si-nio.
Tak tahan Hong Si-nio bergidik mundur, tersenyum dipaksakan, "Kalian hendak membawa aku?"
"Ya."
"Hm."
Tak tahan Siau Cap-it Long bertanya, "Untuk apa kalian membawanya pergi."
"Selama hidup kami berdua belum pernah ditipu orang."
"Cewek ini justru membohongi kami berdua."
"Tentu kau pernah mendengar tentang hal itu."
"Tapi perkara lain mungkin belum pernah kau dengar,"
"Perkara apa?" tanya Siau Cap-it Long.
"Kalian tahu siapa kami berdua?" tanya kakek jubah merah.
"Kau tentu sudah tahu, tapi kami ingin kau sebutkan nama kami."
Siau Cap-it Long menghela napas, "Ang-ing-lok-liu, Thian-gwa-sat-jiu, Siang-kiam-hap-pit, Thian-he-bu-te."
Maksudnya, Sakura merah dan Liu hijau, pembunuh lihai dari luar dunia, sepasang pedang bersatu padu,
tiada tandingan di kolong langit.
"Betul, akulah Li Ang-ing."
"Aku adalah Nyo Lok-liu."

"Peduli siapa dia, berani membohongi Ang-ing Lok-liu dia harus mampus."
"Tentang pantangan ini, yakin kau juga pernah mendengar."
"Aku tidak pernah mendengar," sahut Siau Cap-it Long.
"Sekarang kau sudah mendengar."
"Maka kau tentu tahu, cewek ini harus mampus hari ini."
"Aku tetap tidak tahu."
"Kau tidak tahu?"
"Dilihat keadaannya sekarang, yakin dia tidak akan mati dalam waktu singkat ini."
"Kau tidak percaya dia bakal mati?"
"Aku tidak percaya."
"Cara bagaimana baru kau mau percaya?"
"Terserah bagaimana, yang pasti aku tidak percaya, selama aku masih hidup, aku tidak percaya."
"Kalau kau mampus?"
"Kalau aku mampus, segala persoalan tentu percaya. Tapi dalam waktu singkat ini, yakin aku juga belum
mati."
"Bagus," seru kakek jubah merah, "bagus sekali."
"Memang sudah beberapa tahun kita tidak pernah bertarung, tapi cara membunuh orang kami belum lupa."
"Betul. umpama ingin dilupakan juga tak mungkin bisa lupa," dengus Siau Cap-it Long.
"Tadi sudah kujelaskan, hubungan kita dengan kau sudah putus."
"Selama hidup entah berapa jiwa yang terbunuh di tangan kami, hari ini membunuh lagi satu tidak terhitung
banyak."
"Ya, aku maklum," sahut Siau Cap-it Long.
"Apalagi yang kau tahu?" tanya kakek jubah merah.
"Pembunuh luar dunia, membunuh orang seperti anjing, sepasang pedang bersatu padu, tiada yang
ketinggalan hidup."
"Setelah tahu belum juga kau segera minggat?"
Siau Cap-it Long tertawa getir, "Selama hidupku, berapa banyak orang yang kubunuh, hari ini bertambah
dua, tidak terhitung lebih banyak."
"Bagus sekali."
Dimana angin menghembus, hawa membunuh makin tebal. Sejak tadi Hong Si-nio menatap Siau Cap-it
Long dengan pandangan terharu, diliputi rasa terima kasih. Belum pernah terpikir dalam benaknya, Siau
Cap-it Long mau mengadu jiwa demi membela dirinya, rela mati demi keselamatan dirinya.
"Mana pedang kalian?" tanya Siau Cap-it Long.
”Ang-ing Lok-liu, pedang di antara intinya."
"Pedang di antara intinya, tajamnya menusuk jantung."

Mendadak dua kakek ini membalik badan, entah darimana, tangan mereka tahu-tahu sudah memegang
sebilah pedang yang memancarkan cahaya gemerdep. Pedang panjang tujuh dim,, begitu pedang berada di
tangan, hawa pedang memancar berkembang melebar. Kedua pedang itu memang pedang intinya pedang,
tajam nan kemilau menggiriskan lawan. Dua pedang ini menakutkan bukan lantaran ketajamannya, walau
batang pedang pendek, namun hawa pedang menggiriskan, 10 tombak di sekitar gelanggang diliputi hawa
pedang.
Siau Cap-it Long merasakan adanya arus dingin yang mendesak dirinya, hawa pedang nan tajam seperti
hendak mengiris daging dada, menusuk ke hulu hati.
Dengan kedua jari tangan Li Ang-in memegang gagang pedang yang panjangnya dua dim, katanya dingin,.
"Keluarkan golokmu."
"Aku tidak pakai golok," sahut Siau Cap-it Long.
"Kenapa?" bentak Li Ang-ing beringas.
"Aku tidak ingin membunuh orang," sahut Siau Cap-it Long.
Dia tidak ingin membunuh, ia bukan orang bodoh.
Satu dim lebih pendek, satu dim lebih bahaya, kedua pedang mereka panjangnya hanya tujuh dim, terhitung
pedang paling pendek di dunia. Pedang yang paling pendek pasti adalah gaman yang paling berbahaya.
Siau Cap-it Long tahu betul akan hal ini, maka ia tidak akan menghadapi pendek dengan pendek, bahaya di
atasi dengan bahaya, sebab ia tidak yakin golok jagalnya dapat menghadapi gabungan kedua pedang
pendek lawan.
Maklum kedua pedang pendek itu sudah membunuh orang tak terhitung banyaknya, hawa membunuh yang
bisa disalurkan sungguh dahsyat luar biasa, apalagi kedua pedang hebat itu berada di tangan kedua tokoh
silat yang luar biasa.
Li Ang-ing menatap tajam, suaranya dingin, ”Tak pakai golok, lalu kau menggunakan apa?"
Siau Cap-it Long tertawa, "Pakai apa saja boleh, kalian tidak menentukan aku harus melawan pakai golok
bukan?"
Mendadak tubuh Siau Cap-it Long mencelat mumbul, berjumpalitan di udara, dengan enteng ia mencabut
sebatang belandar yang melintang di atas pintu. Kayu palang sepanjang setombak dua kaki. Sejak tadi ia
sudah mengincar palang kayu ini. Dengan panjang menghadapi pendek, dengan kekuatan mengatasi
bahaya.
Bercahaya bola mata Li Ang-ing, "Sekarang aku tahu, kenapa sampai sekarang kau masih tetap hidup."
"Orang ini memang tidak bodoh," jengek si jubah hijau.
"Orang pintar juga banyak yang telah kita bunuh."
Sebelum si jubah hijau menjawab, Siau Cap-it Long menyeletuk lebih dulu, "Makanya, membunuh satu lagi
juga tidak jadi soal bukan?"
"Aku protes!" teriak Hong Si-nio mendadak. Langsung ia memburu ke depan Siau Cap-it Long, "Aku tahu kau
punya maksud baik terhadapku, itu sudah cukup, biar aku ikut mereka."
“Tapi sayang aku tidak rela," seru Siau Cap-it Long. Pentung di tangannya mendadak menjungkit, badan
Hong Si-nio mendadak terbang mumbul ke udara.
Tahu-tahu Hong Si-nio merasa dirinya terlempar tinggi di udara, sekujur badan menjadi kaku, dengan enteng
badannya jatuh di payon rumah sebelah sana, rebah diam tak bergerak.
"Di atas pasti semilir, kau boleh istirahat di atas sejenak, bila aku mati, tolong rawatlah jenazahku."
Saking gemasnya, gigi Hong Si-nio menggereget namun tak mampu bicara.

Tanpa menghiraukan keadaannya di atas, Siau Cap-it Long berputar menghadapi Ang-ing-lok-liu, katanya,
"Pek-tiong-siang-hiap Auyang-hengte, namanya tidak setenar kalian, namun kebesaran nama keluarganya
amat berbobot. Tentu kalian pernah mendengar nama mereka."
"Maksudmu anak murid keluarga Auyang?" Li Ang-ing menjengek.
Siau Cap-it Long memanggut, "Seperti juga kalian, setiap bertarung dengan orang, berapa pun jumlah
musuh, mereka selalu maju bersama."
"Bedebah," damprat Nyo Lok-liu, "memangnya kami berdua kau samakan dengan anak-anak tidak diuntung
itu."
"Waktu aku bergebrak melawan mereka, hanya tiga jurus. Sebelum bertanding sudah kutandaskan, tiga
jurus aku tidak menang, anggaplah aku yang kalah."
"Lalu berapa jurus kau akan melawan kami berdua?" jengek Li Ang-ing.
"Sama, tiga jurus saja."
Semasa Ang-ing-lok-liu malang melintang di Kangouw dulu, mungkin Siau Cap-it Long belum lagi lahir.
Sekarang dia berani melawan mereka bertarung hanya dalam tiga jurus.
Jika Hong Si-nio bisa bergerak, pasti sudah berjingkrak.
Umpama Siau-yau-hou hidup kembali, yakin takkan berani temberang akan melawan kedua musuh
bangkotan ini hanya dalam tiga jurus.
Padahal bertahan tiga jurus saja sukar sekali, umpama tidak terkalahkan sudah mending.
Dari tempatnya berbaring, Hong Si-nio mengawasi Siau Cap-it Long, ia mengira pemuda ini sudah menjadi
gila.
Nyo Lok-liu juga mengawasi Siau Cap-it Long, ternyata bukan saja tidak menjadi marah, sikap mereka malah
menjadi tenang.
Li Ang-ing berkata dingin. "Pedang kami panjangnya tujuh dim, pentungmu panjang satu tombak setengah."
Nyo Lok-liu berkata, "Dengan panjang kau menggempur pendek, dengan kekuatan mengatasi bahaya, kau
kira kami berdua tak mampu mendekati tubuhmu?"
"Kau kira umpama diri sendiri tidak mampu menang, juga bisa bertahan tidak terkalahkan."
"Maka dengan pancinganmu ini kau hendak mengobarkan amarah kami."
"Kau berani melawan dalam tiga jurus. Padahal dengan kedudukan dan tingkatan kami berdua, takkan
mungkin kau melawan lebih satu jurus lagi."
"Kau kira dalam tiga jurus kami berdua pasti tak mampu mengalahkan engkau."
"Tapi kau jelas salah."
Siau Cap-it Long menunggu dengan sabar, menunggu mereka mengoceh.
Nyo Lok-liu bertanya, "Apa kau tidak tahu bila seorang melatih ilmu pedang dan sudah mencapai puncak
kedigdayaannya, dengan hawa pedang mengendalikan pedang, dapat membunuh musuh dalam jarak
seratus langkah."
Mengendalikan pedang dengan tenaga hawa.
Bukan saja berubah air muka Siau Cap-it Long, kuduknya juga mengkirik.
Ilmu pedang setingkat itu sudah lama lenyap dari Kangouw, namun tokoh silat manapun berkesimpulan,
cerita itu hanya dongeng belaka, hakikatnya belum pernah ada jago silat berhasil mempelajarinya sampai

tingkat itu.
Apakah gabungan permainan ilmu pedang Ang-ing dan Lok-liu sudah mencapai taraf setinggi itu?
Li Ang-ing berkata, "Banyak orang Kangouw berpendapat bahwa dengan tenaga hawa murni mengendalikan
pedang hanya dongeng belaka. Padahal ilmu pedang semacam itu bukan tidak bisa diyakinkan."
"Hanya saja untuk meyakinkan ilmu pedang setaraf itu, seseorang harus bekerja keras berlatih selama
seratus lima puluh tahun."
"Lalu manusia mana yang mampu hidup selama itu." "Ya, maka kami berdua juga tidak mungkin bisa."
"Katakanlah ada orang bisa hidup mencapai usia seratus lima puluh tahun, sepanjang hidupnya tidak
mungkin hanya untuk latihan pedang bukan."
"Makanya kami berdua juga tak berhasil meyakinkan ilmu pedang setaraf itu."
Lega hati Siau Cap-it Long.
"Sejak umur tujuh tahun kami mulai latihan, sampai sekarang sudah tujuh puluh empat tahun lamanya."
"Maka sampai sekarang kami baru berhasil meyakinkan dengan hawa murni mengendalikan arus, arus yang
terkendali menggerakkan pedang saja."
Bergetar pula hati Siau Cap-it Long, "Dengan hawa murni mengendalikan arus, dengan arus mengendalikan
pedang?"
"Kau tidak mengerti?" Memang Siau Cap-it Long tidak mengerti. "Baiklah, boleh kupertontonkan dulu
kepadamu," seru Li Ang-ing.
Pedang pendek di tangannya mendadak meluncur terbang bagai kilat menyambar, tapi lebih lincah, lebih
tangkas dibanding kilat.
Cahaya pedang berputar menari di tengah keremangan malam mirip seekor naga dalam cerita dongeng.
Dengan cermat Siau Cap-it Long memperhatikan secercah sinar kemilau keluar dari tangan orang, arus
kemilau itulah yang menggerakkan dan mengendalikan pedang pendek dengan enteng leluasa dan lincah
sekali. Dimana sinar pedang menukik balik, kejap lain pedang pendek sudah kembali ke tangan.
"Beginilah yang dinamakan hawa murni mengendalikan arus, arus mengendalikan pedang, kau sudah
paham?"
Siau Cap-it Long menarik napas dingin, ilmu pedang sehebat itu sungguh belum pernah ia saksikan.
"Taraf kami hanya dapat mengendalikan arus pedang sejauh tujuh tombak, pedangnya juga pendek sebobot
yang kami miliki."
"Kalau tarafnya setingkat lebih tinggi, kami bisa mengendalikan sejauh belasan tombak dengan pedang
panjang tiga kaki. Itu baru berhasil pada kelas pertama. Kelas pertama itupun sudah mampu hawa murni
mengendalikan pedang."
Li Ang-ing menghela napas gegetun, "Untuk mencapai kelas pertama itu, kami masih butuh waktu sepuluh
tahun lagi."
"Karena kelas pertama dengan pedang terbang itu kami belum berhasil, hal ini jelas sangat menguntungkan
dirimu."
"Kalau nanti kau pikir dapat mengalahkan dengan keuntungan senjatamu yang lebih panjang, aku yakin kau
pasti kalah."
"Kenyataan pedang kami bisa mulur lebih panjang dari pentungmu, gabungan kekuatan kami jelas lebih
kuat, hal ini kukira kau juga maklum."
Sudah tentu Siau Cap-it Long juga tahu, maka ia tidak menyangkal bahwa taraf ilmu pedang kedua orang ini
sungguh jauh di luar perkiraannya.

Hong Si-nio juga menyaksikan permainan sinar pedang yang dikendalikan hawa murni tadi. Tanpa sadar
sekujur badannya basah kuyup oleh keringat dingin. Betapapun ia tidak bisa tinggal diam, mengawasi Siau
Cap-it Long mampus di tangan kedua kakek itu demi dirinya. Tapi kondisi sendiri tak mampu bergerak,
hanya mendelong jadi penonton, betapa hatinya tak sedih, pilu dan menangis.
Siau Cap-it Long akhirnya menarik napas dalam, katanya tenang, "Sekarang kalian siap berapa jurus
mengalahkan aku?"
"Tiga jurus."
Tentu tiga jurus.
Sebagai tokoh besar, jelas tidak akan mereka menawarkan satu jurus lebih banyak dari tigajurus yang
ditawarkan Siau Cap-it Long.
XVI. SUNGAI BESAR MENGALIR KE TIMUR
Hanya dalam sekejap, mentari sudah menghilang di ufuk barat, kegelapan menyelimuti seluruh jagat raya,
sinar bintang tiada, rembulan belum menongol dari peraduannya. Dalam kegelapan, bayangan Ang-ing dan
Lok-liu mirip sukma gentayangan yang muncul dari neraka.
Wajah nan pucat dingin, demikian pula sorot mata yang berkilau di kegelapan kelihatan seperti lentera setan
yang menggiriskan. Padahal pedang pendek di tangan mereka memancarkan cahaya yang kemilau
gemilang seperti dialiri listrik tegangan tinggi.
Pentung kayu sepanjang satu tombak dua kaki di tangan Siau Cap-it Long melintang datang, tangan kanan
dan kiri berjarak enam kaki. Demikian pula jarak antara Ang-ing Lok-liu kira-kira lima enam kaki.
Serempak suara pedang pendek di tangan mereka melesat bersama, ibarat dua naga yang saling membelit,
seperti dua jalur kilat menyambar, begitu berkelebat yang diserang adalah bagian mematikan, di bawah
tepatnya di belakang sepasang telinga Siau Cap-it Long. Kecepatan serangan pedang ini susah diukur
hanya dengan perkiraan belaka.
Siau Cap-it Long tidak berkelit, tidak mundur, badannya malah menubruk maju ke depan, pentung panjang di
tangannya menyapu miring mengincar tulang rusuk kedua lawannya.
Jurus pertama, kedua pihak sama-sama melancarkan jurus pertama.
Jurus pertama Siau Cap-it Long menyerang sebagai pertahanan, jurus mematikan dalam merebut
kesempatan untuk bertahan hidup.
"Tring", dua pedang pendek saling bentur, karena serangan dilancarkan di udara, benturan itupun
menimbulkan gema nyaring, sementara dua pedang berputar arah, mirip bayangan bergerak mengikuti
bentuknya. Dimana Siau Cap-it Long maju mundur, pedang yang dua itu tetap berada di belakangnya,
sementara musuh berada di depan, berarti dirinya disergap dari dua sisi yang berlawanan.
Betapa sengit dan begitu berbahaya babak yang menentukan kali ini, sungguh merupakan pengalaman
hidup yang belum pernah terjadi bagi Siau Cap-it Long. Posisinya jelas menghadapi dua serangan
mematikan dari dua arah berlawanan, sementara serangan balasannya sendiri belum mencapai sasaran,
hanya sekejap bukan mustahil dirinya mampus dengan badan ditembus dua batang pedang yang tajam luar
biasa.
Pada detik-detik yang menentukan itulah, entah daya apa yang memancar dari gerakan Siau Cap-it Long,
mendadak tubuhnya melejit mumbul ke atas terus berjumpalitan mundur sejauh empat tombak, waktu
badannya melorot turun, dirinya sudah berada dekat kaki tembok, untuk mundur lagi jelas tidak mungkin.
Waktu kedua kakinya berpijak di tanah, kedua pedang pendek lawan sudah mengejar tiba pula. Pentung di
tangan Siau Cap-it Long diangkat lurus ke atas menyongsong datangnya sinar pedang, ia sudah mengincar
dan memperhitungkan dengan amat tepat dan persis.
"Trap", tahu-tahu kedua batang pedang menancap di pentung persis di pinggir tangannya. Inilah jurus ketiga
dari Ang-ing dan Lok-liu. Pedang menancap di pentung orang, sementara Siau Cap-it Long masih hidup
segar bugar, berarti belum terkalahkan.

Hong Si-nio menjadi lega, menarik napas panjang dengan perasaan haru.
Siapa tahu kedua pedang yang menancap di pentung ternyata mempunyai daya kekuatan yang luar biasa,
pedang tembus dan menerobos lubang, tetap menusuk ke jalan darah penting di belakang mata Siau Cap-it
Long. Berarti jurus ketiga masih tetap berlaku. Siapa pun pasti tak pernah menduga kekuatan sisa tusukan
pedang masih sedemikian kuat setelah menancap di atas pentung, dan tidak tertahankan oleh kekuatan
gerak pentung di tangan Siau Cap-it Long.
Dalam kondisi seperti itu, Siau Cap-it Long jelas tak mampu mundur atau berkelit, pentung di tangan juga tak
mungkin ditarik mundur, ia tak bisa balas menyerang pula, apalagi pentung terpegang di depan dada,
tembok berada di belakang punggung, depan belakang tiada jalan mundur, berarti buntu, jelas kematian
sudah berada di ambang mata.
Hong Si-nio sudah hampir memejamkan mata, tak tega melihat nasib rekan yang amat dipujanya ini. Siapa
tahu pada detik-detik yang menentukan, terjadilah perubahan yang amat mengejutkan, perubahan yang tak
pernah terduga sebelumnya.
Pada detik yang teramat genting itu, mendadak Siau Cap-it Long menundukkan kepala, kepalanya
menumbuk pentung yang dipegang di depan dada. "Ser", kedua pedang tertahan kembali menyerempet di
atas batok kepalanya, lalu beradu dan mengeluarkan suara "Tring" yang nyaring. Sementara pentung di
tangannya patah karena ditumbuk batok kepalanya, dua patahan pentung karena tumbukan kepala yang
begitu keras, mencelat terbang meluncur ke arah Ang-in dan Lok-liu.
Betapa kuat tumbukan kepala Siau Cap-it Long, bagai anak panah yang dibidikkan saja, dua patahan
pentung itu meluncur ke arah Ang-ing dan Lok-liu.
Mimpi pun Ang-ing dan Lok-liu tidak menduga bahwa serangan sepasang pedang mereka gagal melukai
musuh, patahan pentung lawan justru meluncur menyerang mereka. Tak sempat berpikir, tanpa berjanji
mereka cepat membalik tubuh, meski berhasil meluputkan diri, namun benang ronce yang menghias gagang
pedang mereka putus.
Di tengah keremangan cuaca malam nan gelap, tampak dua bayangan orang bagai dua gumpal mega
melayang terbang, melampaui tembok meluncur jauh keluar sana. Suara Ang-ing yang rendah dingin
berkumandang dari kejauhan, "Bagus, Siau Cap-it Long, bagus." Ketika suaranya sirna, bayangan mereka
pun lenyap ditelan kegelapan.
* * * * *
Malam makin larut....
Kedua batang pedang pendek yang memancarkan cahaya kemilau ditaruh melintang di atas meja. Di bawah
cahaya lampu, cahaya sinar pedang lebih cemerlang dari sinar lampu yang redup.
Paduan sinar lampu dan cahaya kemilau pedang menyinari lembaran undangan di pinggir meja.
".... Khusus dipersiapkan 180 guci arak, mohon tuan hadir menikmati bersama...."
".... Arak bagus memabukkan orang, kalau tuan hadir pasti mabuk, kalau anda takut mabuk, lebih baik tak
usah datang ...."
Secawan arak berada di tangan, Siau Cap-it Long mengawasi arak di tangannya, mulutnya menggumam,
"Yakin mereka tahu kalau aku tidak takut mabuk, siapa pun di antara mereka tahu ...."
Hong Si-nio tengah menatapnya lekat, "Maka sekarang engkau sudah mulai sinting."
Begitu mengangkat cawannya, arak langsung ditenggak habis, Siau Cap-it Long berkata, "Aku tidak mungkin
mabuk, aku tahu kondisiku sendiri, berapa banyak arak mampu aku minum." Setelah mengisi secawan lagi,
ujarnya, "Setiap orang tentu tahu ukuran pribadinya jadi jangan suka main untung-untungan."
Mendadak Hong Si-nio tertawa, "Kurasa Ang-ing dan Lok-liu justru tahu mengukur diri sendiri, setelah tahu
pihaknya kalah, segera mereka menyingkir." Jelas ia ingin bicara ke persoalan lain, persoalan yang bisa
memancing rasa gembira Siau Cap-it Long. "Mereka sudah melancarkan tiga jurus, padahal engkau baru
menyerang dua jurus. Kenyataan pedang mereka sekarang berada di tanganmu."

"Memang," ujar Siau Cap-it Long tertawa, "tapi kepalaku benjut, sementara mereka tidak kurang sesuatu
apapun."
"Apapun yang terjadi, mereka sudah terkalahkan."
"Mestinya aku tahu diri, aku bukan tandingan mereka, seperti pertarungan tempo hari, aku bukan tandingan
Siau-yau-hou."
"Tapi kenyataan kau telah mengalahkan mereka."
"Ya, mungkin karena nasibku lebih baik," kembali ia menghabiskan secawan arak, lalu mengawasi
undangan di atas meja, "Sayangnya nasib baik seseorang tidak selamanya abadi."
Di bawah pancaran cahaya pedang, surat undangan itu mirip undangan kematian bagi dirinya.
Ada sementara orang jelas tahu dirinya bakal mati, maka dia akan mempersiapkan segala keperluan dirinya
bila jiwanya melayang nanti, menyebar pemberitahuan duka-cita umpamanya.
"Kau gundah karena undangan besok itu?" tanya Hong Si-nio.
Tawar suara Siau Cap-it Long, "Selamanya tak pernah aku gundah karena urusan yang bakal terjadi besok
pagi." Mendadak ia bergelak tertawa, kembali menghabiskan dua cawan arak, "Hari ini ada arak hari ini
mabuk, kenapa peduli urusan besok pagi."
"Betul, hakikatnya tidak perlu kuatir, apa arti ketujuh orang itu?"
Mengawasi nama-nama yang tercantum di atas undangan itu, Siau Cap-it Long bertanya, "Kau kenal
mereka?"
Hong Si-nio manggut-manggut, "Le Jing-hong sudah mati, meski kelihatannya amat berwibawa, padahal
hatinya sudah mampus."
Maklum siapa pun dia, kalau selama dua tiga puluh tahun hidup enak, hidup mewah, tanpa kerja tiada
usaha, betapapun gagah dan kuat jaya masa lalunya, wibawanya tentu akan kuncup dan ludes dikubur
masa.
"Orang cacad macam Jin-siang-jin saja dia tidak mampu melawan, meski goloknya belum karatan, tapi hati
dan daya pikirnya sudah berjamur, lebih parah dibanding karatan."
"Kau pernah melihat dia bertarung?" tanya Siau Cap-it Long.
"Pernah, aku juga bisa menilai, gerak dan kecepatannya sudah merosot jauh di bawah seorang ahli silat
umumnya," demikian komentar Hong Si-nio.
"Kau bisa menilainya? Kau tahu betapa cepat gerak serangannya?"
"Tidak tahu," sahut Hong Si-nio, "aku hanya tahu kecepatan gerakannya dahulu tidak berbeda dengan
kondisinya sekarang, memangnya dia bisa hidup sampai sekarang?" Lalu ia menambahkan, "Bahwa Jinsiang
jin bisa bertahan hidup sampai sekarang, anggaplah suatu mujizat."
"Ya, dia memang orang kuat," puji Siau Cap-it Long.
Manusia kalau kaki tangan dibuntung tiga di antara keempat kaki tangannya, masih berani bertahan hidup
dan kenyataan masih malang melintang, maka dia pasti orang kuat, orang luar biasa.
"Sayangnya sanubarinya selalu dibayangi rasa ketakutan, maka boleh dipastikan pribadinya hakikatnya tidak
sekuat penampilannya, aku yakin dia pasti amat takut mati."
"Kau bisa melihat jalan pikirannya?" tanya Siau Cap-it Long.
"Aku hanya tahu kalau seorang menganggap dirinya sebagai Jin-siang-jin (manusia di atas manusia), yakin
pasti bukan manusia normal."

Siau Cap-it Long menghela napas panjang, "Ya, aku justru kasihan pada lelaki gede yang selalu dicambuk
mirip kuda itu, betapa menderita hidupnya, patut dikasihani."
Hong Si-nio juga menghela napas, "Aku malah tidak pernah memikirkan nasibnya, tapi aku justru berkuatir
atas dirimu, karena kau lebih banyak memikirkan kepentingan orang lain daripada memikirkan kepentingan
diri sendiri."
"Begitulah jalan hidupku, hakikatnya tiada sesuatu kepentingan pribadiku yang perlu kupikir."
"Ya, karena kau hanya seorang serigala," ujar Hong Si-nio tertawa, "sedang Hoa Ji-giok tidak lebih hanya
seekor rase, rase ketemu serigala, bukankah mirip tikus berhadapan dengan kucing?"
"Apakah Hamwan bersaudara bukan rase?” tanya Siau Cap-it Long.
"Ya, rase yang licik, licin dan jahat," demikian komentar Hong Si-nio, "begitu mencium bau bahaya, mereka
akan mencawat ekor lari lebih cepat dibanding orang lain."
"Bagaimana dengan Kim-pou-sat?"
"Yang satu ini bukan rase, dia babi, babi yang malas, suka gegares dan rakus harta."
Siau Cap-it Long bergelak tertawa.
"Menurut pendapatku, orang ini tidak perlu kau layani, ketiga rase itu justru akan mencaploknya malah."
"Maka yang paling berbahaya jelas adalah Soa-ong?"
Hong Si-nio tak menyangkal, "Konon dia adalah macan yang suka gegares daging manusia, tulang
belulangnya juga ditelannya."
"Tapi aku tidak menguatirkan dia," kata Siau Cap-it Long.
"Kenapa ?" tanya Hong Si-nio.
Tawar suara Siau Cap-it Long, "Karena aku sendiri juga bukan manusia. Boleh kau tanya kepada siapa saja,
mereka pasti bilang Siau Cap-it Long bukan manusia."
Mengawasi rona muka orang, perasaan Hong Si-nio mendelu, hatinya seperti ditusuk sembilu.
Seorang kalau sepanjang hidupnya selalu difitnah orang, maka hidupnya pasti sengsara.
BENTROK PARA PENDEKAR
Karya Gu Long - Gan K.H.
Bagian 11
"Dan yang paling kukuatirkan justru bukan ketujuh orang ini."
"Soal apa yang kau kuatirkan."
Siau Cap-it Long mengawasi kartu undangan, suaranya perlahan, "Yang kukuatirkan adalah orang yang
tidak mencantumkan namanya di undangan ini."
"Maksudmu bukan hanya ketujuh orang itu saja yang akan berhadapan denganmu? Masih ada seorang yang
bergerak di belakang layar akan menyergapmu."
Siau Cap-it Long tertawa lebar, "Aku seekor serigala, maka selalu aku bisa mencium bahaya yang tidak
mungkin bisa dicium orang lain."

Mimik tawanya amat aneh, selama berkenalan beberapa tahun ini, belum pernah Hong Si-nio melihat mimik
tawa seaneh itu.
Siau Cap-it Long masih tertawa, "Seekor serigala sebelum terperangkap, selalu akan mendapat firasat jelek,
tapi dia tetap maju ke depan, umpama tahu begitu masuk perangkap jiwanya bisa melayang, dia tetap akan
menerjang ke depan, karena dia sadar, dalam posisi seperti itu dirinya tidak mungkin putar balik, sebab di
belakang sudah tiada jalan untuk meloloskan diri. Seorang kalau sudah kehilangan gairah hidup, kehilangan
semangat juang, kalau usaha bertahan hidup juga sudah tidak dipikirnya lagi, maka siapa pun akan mudah
membunuhnya."
Demikianlah gambaran kondisi Siau Cap-it Long sekarang ini, dia sendiri merasa dirinya sudah tiada alasan
untuk mempertahankan hidupnya, hakikatnya pukulan lahir batin yang menimpa dirinya memang teramat
berat dan tragis.
Bahwa dalam duel tadi dia mampu mengalahkan Ang-ing dan Lok-liu, karena pertarungan tadi bukan untuk
mempertahankan jiwa raga sendiri, tapi usaha untuk menyelamatkan Hong Si-nio. Karena dia merasa dirinya
banyak berhutang terhadap Hong Si-nio, umpama dirinya harus mampus seketika, hutang ini harus
berusaha dibayar lunas. Sekarang setelah dia merasa hutangnya telah dibayar lunas, berarti dirinya sudah
mampus sekali demi Hong Si-nio.
Berbeda dengan hutangnya kepada Sim Bik-kun, sejak dia menyaksikan Sim Bik-kun pergi mengikut Lian
Shia-pik, maka dia merasa hutangnya sudah lunas. Sekarang dia beranggapan, Sim Bik-kun yang berhutang
terhadap dirinya, bukan dia berhutang kepada Sim Bik-kun.
Bahwa sekarang dia masih hidup, tapi hatinya, pikirannya sudah mati. Mati di saat ia mengawasi Sim Bikkun
pergi meninggalkan dirinya, ikut Lian Shia-pik.
Mendadak Hong Si-nio seperti berfirasat, setelah dia pergi besok, dirinya takkan bisa bertemu lagi
dengannya. Karena dia sekarang sudah bertekad untuk mati, pergi menyongsong bahaya, bahwasanya dia
tidak berpikir untuk pulang kembali.
Mendadak Siau Cap-it Long menggenggam tangannya, katanya dengan menatap tajam, "Kau tahu, soal apa
yang terpikir dalam benakku?"
Tanpa bersuara Hong Si-nio mengangguk.
Tangan Siau Cap-it Long menggenggam makin kencang, bola matanya dihiasi rona merah seperti ingin
menangis, "Mestinya aku tidak berpikir demikian, aku sendiri tahu, dia adalah bini orang lain, hakikatnya
tidak pantas aku ...."
"Mati untuknya", dua patah kata ini tidak lepas dari mulutnya, tapi Hong Si-nio tahu apa yang ingin dia
katakan.
Gemetar tangan Siau Cap-it Long yang menggenggam tangannya, "Aku tahu, aku harus melupakan dia,
supaya bisa hidup dengan wajar, aku belum tua, masih punya masa dapan, paling tidak ada kau yang
mendampingiku."
Hong Si-nio menggigit bibir, sekuatnya ia mengendalikan perasaan, dia tahu Siau Cap-it Long sudah mabuk,
matanya mendelong lurus, kalau tidak mabuk, tak mungkin di hadapannya dia melontarkan isi hatinya.
Lebih jauh Siau Cap-it Long berkata, "Persoalan apapun aku tahu, duduk perkara apapun aku mengerti, tapi
aku justru tak mampu ... tak mampu melakukan tugas yang harus kulakukan."
"Maka tak usah kau menyalahkan diri sendiri, jangan memaksakan dirimu," bujuk Hong Si-nio.
"Tapi aku ...."
"Kalau segala persoalan kau tahu, tentu kau maklum, tiada persoalan di dunia ini yang boleh dipaksakan,
hanya perasaan saja yang tidak dipaksakan oleh siapa pun."
Siau Cap-it Long menundukkan kepala, "Aku ... aku mengharap ... kau memaafkan aku."
"Tentu aku memaafkanmu," seru Hong Si-nio, "kapan aku pernah menyalahkan engkau."

Siau Cap-it Long tidak bicara lagi, kepalanya tetap menunduk dalam.
Tiba-tiba Hong Si-nio merasa punggung tangannya dihiasi sebutir air kemilau nan dingin.
Itulah air mata Siau Cap-it Long, ada kalanya Siau Cap-it Long juga mengucurkan air mata.
Sebutir air mata, bagi Hong Si-nio laksana sebatang jarum yang menusuk hulu hatinya, tapi juga ibarat
sebutir mutiara yang paling bernilai di dunia ini. Ingin rasanya Hong Si-nio menyimpan titik air mata yang
dinilainya tak terbandingkan oleh benda paling mahal sekalipun, sayang air mata itu akhirnya menetes dan
lenyap meresap di kulit daging Hong Si-nio.
Entah berapa lama kemudian, Siau Cap-it Long menggumam, "Kau sendiri sering bilang, bahwa kau bukan
perempuan sembarang perempuan ...."
Hong Si-nio mengangguk sambil menggigit bibir.
"Tapi kau salah," desis Siau Cap-it Long.
"Aku salah?" tanya Hong Si-nio.
"Kau memang perempuan tulen, malah perempuan agung, perempuan yang punya pambek, perempuan
yang punya pribadi maha suci, aku berani tanggung, tiada perempuan di dunia ini yang lebih agung
dibanding dirimu ...." Suaranya makin lirih, kepalanya juga menunduk makin turun, akhinya jatuh di
punggung tangan Hong Si-nio. Punggung tangan Hong Si-nio sebagai bantal, dia tidur pulas sekali.
Hong Si-nio tidak bergerak, tidak berani bergerak. Meski kepala Siau Cap-it Long makin terasa berat, lengan
tangannya tertindih makin kejang, tapi ia tidak berani bergeming.
Secara terbuka, umum tahu Hong Si-nio adalah perempuan yang punya watak seperti angin, perempuan
yang berwatak membara. Tapi tiada orang tahu, perempuan mana pun di dunia ini, derita apapun yang tidak
bisa dihadapi perempuan, Hong Si-nio telah meresapinya dengan tabah. Dia tahu dan mengakui apa yang
diucapkan Siau Cap-it Long memang benar, mulut bicara dengar di hati, entah bagaimana perasaan hatinya.
Entah manis? Kecut? Atau pahit getir?
Dia tahu Siau Cap-it Long mengenal dirinya, seperti dirinya mengenal Siau Cap-it Long. Tapi perasaannya
terhadap dirinya, jelas berbeda dengan perasaan hatinya terhadap pujaannya ini.
Di sinilah letak derita paling besar bagi kehidupan manusia, derita apa boleh buat. Tapi ia terima dan
mempertahankan hampir sepuluh tahun lamanya, sepanjang dirinya bertahan hidup, derita itu akan terus
diresapinya. Satu hari ia hidup, satu hari ia sengsara, setahun ia hidup, ia harus bertahan setahun lamanya,
ya, terus bertahan hingga ajal. Hong Si-nio tidak tahu berapa lama ia harus bertahan, tak tahu sampai kapan
ia bisa bertahan hidup. Ia hanya tahu sekarang ia pantang mati, malah harus terus hidup, sebab ia harus
berusaha mencari akal supaya Siau Cap-it Long tetap hidup. Hidupnya adalah demi Siau Cap-it Long, dia
rela mati, rela berkorban demi Siau Cap-it Long.
Lilin nyala hingga pangkalnya, air mata juga belum kering, lengan Hong Si-nio sudah terasa kaku
kesemutan, namun ia tidak bergerak. Hatinya kecut, tubuhnya pun kaku, sedih lagi lelah. Dalam kondisi
seperti ini, ia ingin sampai mabuk, ingin tidur barang sejenak, tapi ia tahu dirinya tidak boleh mabuk, tidak
boleh tidur. Dia harus berjaga melindungi Siau Cap-it Long hingga fajar menyingsing, menjaganya sampai
dia pergi.
Tiba-tiba lilin padam, cahaya lilin makin redup, lalu menjadi gelap gulita. Kini ia tidak bisa melihat keadaan
Siau Cap-it Long. Di tengah gelap nan sunyi sepi, meski dirinya penat dan sedih, kondisinya justru
bertambah segar bugar. Mendadak banyak persoalan berkecamuk dalam hatinya. Satu per satu persoalan
terlintas di benaknya, lalu satu per satu ia beri jawab pula.
Pertama ia bertanya pada diri sendiri, "Orang macam apakah Hoa Ji-giok?"
Jelas Hoa Ji-giok adalah seorang yang berpenampilan tenang, namun licik dan licin, orang lihai yang cukup
menakutkan.
"Orang selihai dia, dengan jerih payah akhirnya berhasil menggondol pergi Sim Bik-kun, bagaimana mungkin
bisa membiarkan kusir kereta menolongnya pergi?"

Hal ini jelas tak mungkin terjadi.
"Mungkinkah Hoa Ji-giok mengaturnya demikian? Sengaja memberi peluang kepada kusir kereta untuk
menolong Sim Bik-kun?"
Penjelasan ini rada masuk akal, dalam kondisi seperti sekarang, penjelasan ini paling masuk akal.
"Kenapa Hoa Ji-giok berbuat demikian? Dengan akal muslihat, jerih payah berhasil mendapatkan Sim Bikkun,
kenapa sengaja membiarkan orang menolongnya?"
"Sebab apa dia menyuruh kusir kereta itu membawa Sim Bik-kun pergi ke Bu-kau-san-ceng."
"Lalu apa maksud tujuannya?"
"Sebab ia tahu Lian Shia-pik bakal pulang ke tempat itu, sengaja ia mengatur pertemuan Sim Bik-kun
dengan Lian Shia-pik, supaya Sim Bik-kun tahu dan melihat, kini suaminya telah berubah rudin dan
nestapa."
"Kenapa?" Hong Si-nio bertanya pula kepada dirinya sendiri.
"Sebab dia tahu Sim Bik-kun adalah perempuan bijak yang lemah, bila melihat kondisi Lian Shia-pik begitu
mengenaskan lantaran dirinya, hatinya pasti luluh lantak. Untuk membangkitkan semangat hidup suaminya,
ia pasti akan berusaha dan rela berkorban segalanya."
"Apalagi kesannya terhadap Siau Cap-it Long sekarang teramat jelek."
"Tapi manusia sepintar Hoa Ji-giok, pasti takkan melakukan sesuatu yang tidak menguntungkan diri pribadi.
Lalu keuntungan apa yang akan dia peroleh?" "Tiada keuntungan."
Penjelasannya ialah seluruh rencana kejadian ini pasti bukan Hoa Ji-giok yang mengaturnya, di belakang
layar pasti ada seorang pengendali yang menjadi dalang semua peristiwa ini.
"Manusia macam apa di dunia ini yang mampu mengendalikan Hoa Ji-giok? Orang yang membuat Hoa Jigiok
tunduk dan menerima perintahnya?"
"Tokoh yang satu ini jelas lebih tabah, lebih lihai dan lebih menakutkan."
"Mungkinkah tokoh yang menggantikan posisi Siau-yau-hou yang sudah mati itu? Atau mungkin orang yang
selalu mengirim uang sebanyak itu di bank untuk Siau Cap-it Long?"
"Ya, pasti dia."
"Hoa Ji-giok pasti salah satu anak buahnya, maka Hoa Ji-giok tidak pernah memperhatikan 'harta karun'
yang katanya sudah berada di tangan Siau Cap-it Long. Karena hanya dia yang tahu bahwasanya harta
karun itu tidak pernah ada."
"Kenapa orang ini berbuat demikian?"
"Karena ia ingin menjebak dan mencelakai Siau Cap-it Long, supaya orang banyak memusuhinya, demikian
pula supaya Sim Bik-kun membencinya."
"Jelas Hoa Ji-giok sudah tahu kalau Bu-kau-san-ceng belakangan ini sudah menjadi milik Siau Cap-it Long."
"Juga sudah dalam perhitungannya, bila Sim Bik-kun tahu akan hal ini, betapa hatinya takkan sedih, takkan
marah."
"Tapi kalau dia sudah tahu Lian Shia-pik menjual Bu-kau-san-ceng, darimana ia bisa memastikan Lian Shiapik
bakal dan pasti bertemu dengan Sim Bik-kun?"
"Apa tidak mungkin Lian Shia-pik sendiri yang telah mengaturnya?"
"Setelah persoalan ini berkembang sampai kondisi ini, satu-satunya orang yang akan memungut
keuntungan, siapa lagi kalau bukan Lian Shia-pik."

"Kecuali Lian Shia-pik, tiada orang tahu keberadaan Siau Cap-it Long di tempat ini. Lalu bagaimana mungkin
kartu undangan itu dikirim ke sini?"
"Mungkinkah seluruh rencana kerja ini diatur dan direncanakan oleh Lian Shia-pik? Berarti dialah tokoh di
belakang layar yang menggantikan posisi Siau-yau-hou."
Beruntun Hong Si-nio mengajukan lima pertanyaan kepada dirinya sendiri.
Lima pertanyaan yang tidak terjawab. Bukan karena tidak mampu menjawab, tapi karena ia sendiri tidak
percaya akan jawabannya sendiri. Bahwa Lian Shia-pik benar adalah tokoh itu.
Begitu membayangkan kemungkinannya, sekujur badan Hong Si-nio menjadi basah oleh keringat dingin.
Kalau duduk persoalan betul sesuai kenyataan, betul-betul amat menakutkan.
Hong Si-nio menghelas napas dari mulut, ia sadar sekarang perlu minum arak, dalam kondisinya sekarang,
jelas ia takkan kuat bertahan lama kalau tidak ditunjang kekuatan arak yang pasti merangsang syarafnya.
Supaya tidak membuat berisik, ia tidak berani menuang arak ke cawan, tapi poci langsung ia angkat terus
diangsurkan ke mulut serta ditenggaknya sisa arak seluruhnya. Setelah poci arak ditaruh lagi di meja,
perlahan ia mengendurkan badan, pelan-pelan menyenderkan kepala di sandaran kursi.
Keadaan gelap pekat di luar jendela, angin menghembus kencang, daun pohon bergoyang gontai seperti
menari. Dalam suasana yang hening, dengan penuh perhatian ia perhatikan deru napas Siau Cap-it Long
yang perlahan, panjang dan tenang. Perasaan hatinya menjadi ikut tenang dan tenteram, setenang tabir
malam yang menyelimuti jagat raya.
Akhirnya ia pun tertidur pulas.
Senyenyak apapun manusia tidur, akan datang saatnya siuman. Hong Si-nio terjaga kaget dari pulasnya,
cahaya mentari yang menguning menyorot di jendela. Perlahan ia menarik napas panjang, pelan-pelan
mengangkat tangan untuk mengucek mata. Mendadak perasaannya seperti tenggelam, mengendap turun ke
bawah menyentuh kaki, perasaannya seperti terjeblos ke dalam jurang yang dalam.
Siau Cap-it Long yang selama tidur dengan punggung tangannya sebagai bantal kini sudah tiada.
"Apakah dia pergi begitu saja?"
Hong Si-nio berjingkrak berdiri, ingin berteriak, ingin mengudak dan mencarinya. Untung ia sempat melirik ke
balik halaman belakang undangan yang tergeletak di meja, tergores beberapa huruf yang belum kering
seluruhnya, huruf-huruf yang ditulis dengan sumpit dan kuah bakmi sebagai tinta, tulisannya samar dan
gayanya kacau, namun jelas bisa dibaca, "Aku pergi. Aku yakin tanganmu tentu kesemutan, tapi begitu kau
terjaga bangun, yakin tanganmu sudah tidak kesemutan lagi. Orang yang mereka kehendaki hanya aku
seorang, kau tak usah ikut dan tak perlu pergi. Umpama selanjutnya kau takkan bertemu lagi dengan aku,
berita tentang diriku yakin akan segera kau dengar dari berita yang tersiar luas". Tulisan yang samar makin
buram karena dibasahi butiran air mata.
Hong Si-nio gegetun, gemas lagi penasaran. Kenapa dalam detik-detik yang genting tadi dirinya bisa jatuh
pulas. Dengan sengit ia raih poci arak, lalu dibantingnya dengan keras. Rasanya ia pun hancur berkeping
seperti pecahan poci arak.
Karena sedikit keributan ini, seorang beranjak masuk dengan langkah pelan dan lirih, dengan kaget dan
mendelong mengawasi Hong Si-nio.
Mendadak Hong Si-nio memburu ke sana serta merenggut bajunya, suaranya meraung keras, "Mana Siaucengcu
kalian?"
"Sudah ... sudah pergi," sahutnya gemetar. Dia adalah kacung tua perkampungan yang bernama Lo-hek, si
hitam, kini selebar mukanya yang hitam pucat pias.
"Kapan dia pergi," tanya Hong Si-nio.
"Begitu terang tanah dia berangkat, di luar datang sebuah kereta menjemputnya."
"Kereta macam apa?"

"Aku ... aku tidak melihat jelas."
"Plak", belum habis orang bicara, Hong Si-nio menggampar mukanya dengan keras, "kenapa tidak kau
periksa ... kenapa tidak kau lihat jelas...."
Tamparannya amat keras, tapi Lo-hek seperti tidak merasa sakit. Saking takut dan kagetnya, ia berdiri
menjublek di tempat.
Untung Hong Si-nio segera mendorongnya mundur terus berlari keluar. Muka Lo-hek seketika menyeringai
sinis lagi sadis. Ia tahu Hong Si-nio pasti takkan bisa menemukan Siau Cap-it Long.
Kereta kuda yang menjemputnya dicongklang ke arah timur terus menuju ke dermaga, Siau Cap-it Long
turun dari kereta lalu naik kapal. Hanya begitu keterangan yang diperoleh Hong Si-nio.
Kereta kuda macam apa? Kapal jenis apa dan berapa besarnya? Dermaga mana yang dimaksud?
Bahwasanya ia tidak tahu, ia hanya tahu bagaimanapun dengan cara apapun, harus mencari dan
menemukan Siau Cap-it Long.
Sekarang kalau ia bisa memberitahu tentang persoalan dan jawaban yang semalam ia analisa kepada Siau
Cap-it Long, pasti dan yakin dapat menumbuhkan semangat hidup dan membakar watak juangnya. Tak
peduli apakah Lian Shia-pik yang menjadi biang semua intrik dan muslihat ini, dia pasti dapat berusaha
memperoleh jawabannya, ya, harus dapat menemukan jawabannya.
Untuk bisa mencari jawabannya, dia harus bertahan hidup.
Mungkin cara itulah satu-satunya kekuatan yang dapat mendukung dirinya untuk terus hidup, atau
sebaliknya dia akan mampus, sebab hakikatnya dia sudah tidak memikirkan hidup lagi, tiada harapan dan
keberanian untuk bertahan hidup.
Kalau Siau Cap-it Long mati, apakah Pin-pin masih bisa juga bertahan hidup? Apakah Sim Bik-kun juga
masih bisa tetap hidup? Demikian pula dirinya, apakah pantas mempertahankan hidup? Jawabannya hampir
mutlak, tidak bisa. Mati! Kalau Siau Cap-it Long mati, dapat dipastikan kawan-kawannya juga akan mati.
Hong Si-nio tidak takut mati, tapi kalau semua orang mati begitu saja, dirinya akan mati penasaran. Mati
bukan merupakan beban bagi dirinya, tapi kalau mati secara konyol, mati ini sungguh penasaran. Begitulah
wataknya, demi memperjuangan hak dan kewajiban hidup, umpama harus mati seribu, selaksa kali tidak
akan pernah membuatnya jera.
* * * * *
Hari masih pagi, musim rontok sudah menjelang lama. Daun kuning berhamburan dihembus angin
berserakan, terasakan oleh Hong Si-nio seperti banyak orang menghela napas, simpati atas nasibnya ini.
Di tempatnya berdiri ia tidak melihat bayangan kereta, bekas roda di jalan raya. Tanah di jalan raya kering
kerontang, umpama kereta kuda baru saja lewat di sini, bekasnya sudah hilang terhembus angin kencang.
Angin musim rontok mulai terasa dingin, pepohonan di hutan bergontai dengan alunan lembut dihembus
angin, rasa dingin timbul dari alas kakinya. Seorang diri, sebatangkara ia diterpa angin kencang dengan
daun-daun kering yang berjatuhan di bawah, hati membeku, rasanya ingin bersedu sedan. Tapi ia masih
sadar, apa gunanya menangis? Kenapa harus sedih? Umpama menangis sesambatan, siapa yang akan
mendengar?
Siau Cap-it Long.
Kenapa kau minggat secara diam-diam? Kenapa pergi naik kereta?
Kalau dia naik kuda atau jalan kaki, lebih mudah ia mencari jejaknya dari orang-orang di jalan raya. Sebab
Siau Cap-it Long orang yang selalu menjadi perhatian orang banyak.
Kalau duduk dalam kereta, orang tidak melihatnya, jelas takkan ada yang memperhatikan dirinya,
memangnya siapa mau memperhatikan sebuah kereta yang lewat di jalan raya? Apalagi bagaimana bentuk,
besar kecil, warna apa, ditarik berapa kuda, dirinya tidak tahu. Yang ia tahu sekarang hanya sebuah kapal,

kapal selalu berlabuh di pinggir sungai. Pelabuhan di sini berada di tenggara kota.
Dengan mengertak gigi, menghapus rasa sedih, memompa semangat, segera ia berlari kencang ke
tenggara, satu-satunya harapan yang bisa ditempuhnya sekarang, kalau tidak bisa menemukan Siau Cap-it
Long, maka jalan yang ditempuhnya ini adalah jalan kematian baginya.
Air sungai besar itu mengalir ke arah timur. Betapa banyak kapal besar kecil hilir mudik di sungai besar itu,
siapa tahu Siau Cap-it Long naik perahu yang mana? Umpama sudah sampai di tempat tujuan sana,
memangnya apa yang bisa ia lakukan?
Yang pasti Hong Si-nio berjalan cepat seperti diburu setan, ingin rasanya tumbuh sayap dapat terbang ke
tempat tujuan, tapi makin jauh ia berjalan, makin lama ia menempuh perjalanan, perasaannya makin resah,
hatinya seperti tenggelam ke dasar air.
Mentari sudah terbit di ufuk timur, cahayanya nan gemilang menerangi jagat raya. Ditimpa cahaya matahari,
wajah Hong Si-nio seperti menyala, padahal hatinya mendelu seperti diselimuti mega mendung, betapapun
benderang sinar mentari, hatinya tetap resah, perasaannya terus mendelu. Makin jauh langkahnya makin
lambat, hampir tak berani meneruskan langkahnya, bahwasanya ia tidak yakin berhasil.
Saat itu ia beranjak di jalan raya yang mulai ramai, warung makan dan kedai minum sudah mulai menggelar
dagangannya menyambut tamu-tamu yang siap berangkat kerja, entah warung nasi, warung bakso, kedai
tahu atau kios arak. Ya, minum tiga cawan arak tentu dapat membangkitkan semangat di pagi yang cerah
ini.
Masih puluhan langkah lagi Hong Si-nio baru akan tiba di warung atau kedai itu, puluhan pasang mata
semuanya melotot mengawasi kedatangannya. Hong Si-nio memang perempuan yang paling sering
diperhatikan orang, kalau ada orang mau mencari jejaknya, siapa saja pasti akan mudah menemukan
dirinya.
Orang yang biasa menarik perhatian khalayak di dunia ini tidak banyak, bukan hanya Siau Cap-it Long dan
Hong Si-nio saja, tapi kedua orang ini memang paling sering diperhatikan orang.
Paling tidak masih ada dua orang, apalagi kalau kedua orang ini berjalan bersama, mereka adalah Lian
Shia-pik dan Sim Bik-kun. Seorang nyonya cantik yang mampu menggetarkan hati lelaki, berjalan bersama
laki-laki dekil, pemabukan lagi. Siapa pun dia pasti akan menoleh mengawasi mereka. Kalau Lian Shia-pik
betul adalah si dia seperti yang diduganya, bukankah pagi hari ini juga pasti ke pelabuhan naik kapal itu?
Kalau dapat menemukan Lian Shia-pik dan Sim Bik-kun, bukankah sekaligus bisa menemukan jejak Siau
Cap-it Long?
Bercahaya bola mata Hong Si-nio. Sepasang mata Hong Si-nio secara umum sering menarik perhatian
banyak lelaki, apalagi saat itu sedang menyala, siapa pun yang melihatnya pasti tertarik dan terpesona.
Di ujung gang sana ada sebuah pohon besar, dua pemuda menyoreng pedang berdiri santai di bawah
pohon, bola mata mereka melotot bundar mengawasi kedatangan Hong Si-nio, arak di cawan yang mereka
pegang sampai tumpah tanpa mereka sadari.
Pemuda yang berdiri di kiri sepertinya lebih tabah, lebih pengalaman, waktu Hong Si-nio datang
menghampiri, ia berdiri menyambut.
"Hai," Hong Si-nio menyapa lebih dulu.
Kedua pemuda itu kaget dan gelagapan, yang berdiri segera melangkah maju, katanya sambil tersenyum
lebar, "Aku bernama Hou Ing, dia bernama Toh Lin. Nona siapa namamu?"
Dengan tersenyum mekar Hong Si-nio mendekat, tidak menjawab pertanyaan malah balas bertanya,
"Kelihatannya kalian adalah pegawai Piaukiok?"
"Ya, aku pegawai Piaukiok," sahut Hou Ing, "dia bukan."
"Sudah berapa lama kalian berkelana di Kangouw?" tanya Hong Si-nio.
"Sudah lama," sahut Hou Ing, "dia belum pernah."
"Kalian pernah mendengar seorang yang bernama Hong Si-nio?"

"Tentu pernah mendengar, dia ...."
"Aku juga pernah mendengar," Toh Lin segera menimbrung, "konon dia adalah ... adalah ...."
"Adalah apa?" tanya Hong Si-nio.
Merah jengah muka Toh Lin, katanya gapap, "Adalah seorang perempuan, perempuan elok, malah ...."
"Kabarnya amat galak," sela Hou Ing, "kabarnya para pendekar gagah di Kangouw bila bertemu dia pasti
sakit kepala."
Hong Si-nio tertawa, "Sekarang kepala kalian sakit tidak?"
Kedua pemuda ini tampak kaget, dengan terbeliak mengawasinya.
Ternyata nyali Hou Ing lebih besar, katanya dengan suara gemetar, "Jadi kau adalah Hong Si-nio?"
"Seratus persen betul," ujar Hong Si-nio. "Aku adalah siluman perempuan yang garang dan tidak kenal
aturan itu."
Hou Ing melenggong mematung, akhirnya menarik napas panjang, "Tapi, kurasa kau tidak mirip."
“Tidak mirip Hong Si-nio-nio?"
"Tidak mirip siluman perempuan," seru Hou Ing.
"Ya, sedikitpun tidak sama," timbrung Toh Lin.
Hong Si-nio tertawa lebar, memang dia perempuan cantik tinggi semampai, bila sedang tertawa gaya dan
mimiknya jelas tidak garang.
Timbul rasa berani Hou Ing, katanya memancing, "Konon kau suka minum arak, arak di sini lumayan, kau
...."
Hong Si-nio tersenyum manis, "Memang aku ingin kalian mentraktirku minum tiga cawan."
Yang pasti arak yang dijual di kedai ini bukan kwalitas yang patut diminum Hong Si-nio, tapi arak tetap arak.
Sekaligus Hong Si-nio menghabiskan tiga cawan, bola matanya langsung bersinar.
Di pinggir sana terikat dua ekor kuda, Hong Si-nio bertanya, "Kalian menunggang kuda itu?"
"Betul," ucap Hou Ing, "bila ingin ikut, kau boleh sekuda denganku."
"Kau tahu aku hendak kemana?"
"Terserah kau, kemana pun tak jadi soal," sahut Hou Ing.
"Kalian tidak punya tugas lain?" tanya Hong Si-nio.
"Tidak ada," sahut Hou Ing.
"Kalau dia ...."
"Aku bebas," seru Toh Lin, "kemana pun jadi."
Hong Si-nio berjingkrak berdiri, serunya, "Baiklah, segera berangkat."
Hou Ing melenggong, tanyanya, "Berangkat? Kemana?"
"Mencari dua orang," sahut Hong Si-nio.
"Lho," seru Hou Ing, "minum belum mabuk, kenapa pergi?"

"Yang penting mencari orang, di jalan kita minum lagi," seru Hong Si-nio. "Setelah kutemukan kedua orang
itu, terserah kau kuat minum berapa banyak akan kuiringi sampai mabuk."
"Baiklah," teriak Hou Ing sambil berdiri, "bicara soal mencari orang akulah pakarnya. Orang macam apa yang
kau cari, jelaskan bentuk dan umurnya, dengan mudah aku bisa temukan dia."
"Ah, yang benar," seru Hong Si-nio, "benar kau pandai mencari orang?"
"Kalau tidak percaya, tanya kepada Siau Toh?"
Toh Lin memanggut, katanya menjelaskan, "Matanya tajam, ingatannya juga baik, siapa pun yang pernah
dilihatnya sekali takkan dilupakan."
Hong Si-nio tertawa lebar, "Dua orang yang kucari, siapa pun sekali pernah melihatnya, pasti takkan
melupakannya."
"Maksudmu kedua orang itu istimewa?"
"Ya, amat istimewa."
"Laki-laki atau perempuan?"
"Laki-laki dan perempuan. Yang perempuan amat elok ...."
"Lebih cantik dibanding kau?"
"Seratus persen lebih cantik."
"Yang laki-laki bagaimana?" tanya Hou Ing.
"Mestinya yang laki-laki cakap, tapi saat ini hidupnya rudin dan dekil, cambang lebat tumbuh di selebar
mukanya."
Hou Ing menggeleng kepala, "Belum pernah aku melihat kedua orang itu, sukar mencarinya."
Rona wajahnya sedikit berubah, pada hakikatnya ia sudah tak mampu lagi untuk tertawa.
Berputar biji mata Hong Si-nio, "Kau belum pernah melihatnya, tapi aku tahu ada seorang pasti pernah
melihat mereka."
"Siapa?" tanya Hou Ing gugup.
"Siau Toh."
Hou Ing menjadi legang, katanya dengan menyengir, "Selama ini aku seperjalanan dengan dia, kalau aku
tidak pernah melihat, mana mungkin dia melihatnya."
"Tapi dia orang jujur dan tak mungkin berbohong," ujar Hong Si-nio, lalu berpaling ke arah Toh Lin dan
menatap wajahnya lekat-lekat, "Siau Toh, benar begitu?"
Merah jengah wajah Toh Lin, dia memang tidak biasa berbohong, namun dia juga tidak berani bicara jujur,
agaknya takut terhadap Hou Ing. Dari perubahan wajahnya dapat diketahui memang begitulah kejadiannya.
Hou Ing tidak mau kalah angin, "Pagi tadi, waktu kami sedang sarapan, sepertinya pernah melihat kedua
orang itu."
"Bukankah yang perempuan amat cantik?" tanya Hong Si-nio. Hou Ing hanya memanggut.
"Bukankah kau ingin mengajaknya minum arak," desak Hong Si-nio.
Merah muka Hou Ing, untuk menjawab pun terasa malu. "Sebetulnya dia tidak bermaksud jahat," tutur Toh
Lin dengan kepala menunduk, "memang begitulah sifatnya, bila melihat cewek sikapnya agak...."
"Agak romantis begitu," desak Hong Si-nio pula. Muka Hou Ing makin jengah, ingin rasanya meninggalkan
tempat itu.

Hong Si-nio menepuk bahunya, ujarnya sambil tertawa, "namanya juga pemuda romantis, melihat cewek
rupawan tentu timbul keinginan....."
Hou Ing memandangnya sekejap, dalam hati ia merasa perempuan ini bukan saja tidak menakutkan, bahkan
sangat menarik.
Siapa pun juga bila bertemu dengan Hong Si-nio, pasti akan mempunyai pikiran seperti itu. Bukan saja dia
pandai memahami perasaan orang, juga mudah memaafkan kesalahan orang lain.
"Tiada keinginan apa-apa, cuma memandangnya agak lama, sabab Lian-hujin itu ...." Toh Lin sungkan
melanjutkan.
"Jadi kalian tahu kalau dia Lian-hujin adanya?" tanya Hong Si-nio.
Toh Lin manggut-manggut.
"Darimana kalian tahu kalau dia Lian-hujin?" tanya Hong Si-nio pula.
Hou Ing menghela napas, "Melihat cewek cantik itu berjalan bersama laki-laki rudin, dekil dan bau itu,
tatapannya dirundung kesedihan ...."
"Kau kira Lian-hujin digelandang oleh lelaki bau itu, lalu ingin membantunya. Begitu?"
Dengan menyengir Hou Ing mengangguk.
"Tentu kau tidak mengira, lelaki dekil kotor dan bau itu adalah Lian Shia-pik yang dikenal gagah ganteng,
perlente dan nomor satu."
"Ya, sedikitpun aku tidak pernah menduganya."
"Maka kau berpendapat rugi besar, sekarang kalau bertemu dengan mereka lagi?"
"Yang membuatku malu sebetulnya bukan Lian-kongcu."
"Bukan dia?" seru Hong Si-nio. "Memangnya siapa?"
"Seorang yang juga suka ikut campur tangan urusan orang lain, dia she Ciu bernama Ci-kong."
"O, jadi Pek-ma Kongcu?" tanya Hong Si-nio.
"Kelihatannya dia teman baik Lian-kongcu, agaknya suami-istri itu diajak pulang olehnya."
"Kau dipermalukan olehnya?" tanya Hong Si-nio.
Merah muka Hou Ing, kepalanya tertunduk.
Berputar bola mata Hong Si-nio, mendadak berjingkrak maju, "Hayolah kau ikut aku, aku akan membelamu."
"Ah, yang benar," seru Hou Ing.
"Jangan lupa, aku ini siluman perempuan yang selalu membawa sial dan penyebab sakit kepala. Kau
bertemu denganku terhitung bernasib baik, bertemu aku bagi dia akan sial tujuh turunan."
Bangkit semangat Hou Ing, katanya dengan tertawa lebar, "Kan tadi aku bilang, kemana kau pergi, aku
selalu ikut."
"Baiklah, sebentar kau menjadi pengiringku, tanggung tiada orang berani mengusikmu."
"Tapi kami hanya punya dua ekor kuda." kata Toh Lin.
"Tidak soal," ujar Hou Ing, "dua pengiring menunggang seekor kuda."
"Betul, dua pengiring naik satu ekor kuda sudah jamak, terhitung nasib kita mujur."

Berderai tawa Hong Si-nio, "Bisa menjadi pengiringku, sungguh besar rezeki kalian."
Maka mereka pun meneruskan perjalanan dengan bercanda dan berkelakar. Hong Si-nio sedang rudin, uang
sepeser pun tak punya, kini bisa menunggang kuda yang gagah besar, diikuti dua pengiring yang masih
muda dan gagah.
Itulah Hong Si-nio.
Selama hidup dia selalu banyak tingkah, namun semuanya dilewatinya dengan penuh kegembiraan.
Betapapun rumitnya persoalan, selalu mampu dihadapinya, bahkan kadang beres dalam waktu sekejap.
Menghadapi kaum lelaki pun dia mempunyai satu cara khas, kecuali....
Siau Cap-it Long!
Menghadapi pemuda yang satu ini, ia selalu mati kutu.
XVII. BURUNG HONG EMAS
"Sekarang kita mau kemana?"
"Jelas ke Pek-ma-can-ceng milik Ciu Ci-kong itu."
Namanya saja Pek-ma-san-ceng, di sana memang ada seekor kuda putih. Putih sekujur badan, dari kepala
sampai ujung kaki tiada warna bulu lainnya, bentuknya mirip sekali dengan kuda buatan dari batu jade. Kuda
putih umumnya dipakai sebagai lambang keagungan, kuda putih yang satu ini bukan saja indah dan gagah,
dia memang kuda jempolan jenis unggul dari Persia.
Pek-ma-san-ceng juga dihuni seorang pemuda ganteng yang disebut Pek-ma Kongcu, ilmu silat yang
dipelajari dari turunan keluarga murni, ilmu sastra juga dikuasai dengan baik. Maka tiap orang yang
membicarakan kuda putih dari keluarga Ciu, insan persilatan di daerah Kanglam tidak ada yang tidak
mengenalnya.
Bahwa Pek-ma-san-ceng terkenal, Pek-ma Kongcu ternama, kuda putih juga termasyur. Khalayak ramai jadi
susah menentukan mana yang lebih terkenal dari ketiga nama itu. Mungkin Ciu Ci-kong sendiri juga susah
membedakan. Pendek kata, kuda memang jempol, orangnya memang terkenal, hal ini tidak bisa disangkal
oleh siapa pun.
Maka siapa saja yang ingin pergi ke Pek-ma-san-ceng, tidak ada alasan bilang tidak bisa ketemu.
* * * * *
Tengah hari.
Hutan di pergunungan itu tampak menguning karena daun-daun di musim rontok mulai layu.
Hong Si-nio sedang gegetun, hatinya resah. Wajahnya tampak berkeringat ditimpa sinar matahari, kelihatan
cemerlang lagi sehat. Tapi ia sendiri maklum, masa remaja sudah berlalu, tak mungkin ditarik kembali.
Bukan dia gegetun karena ingin mempertahankan masa remaja, yang diinginkannya hanya sedikit kenangan
masa lalu. Bukan kenangan masa remaja, tapi rasa rindu terhadap seseorang, biarlah rasa rindu itu juga
diresapi oleh si dia. Memangnya kalau daun mulai layu dan berguguran, lalu siapa lagi yang akan tetap
merindukan dirinya?
Hong Si-nio menggentak kaki menghilangkan rasa rindu, waktu ia berpaling, dilihatnya Hou Ing dan Toh Lin
tengah mengawasinya dengan pandangan terpesona.
Paling tidak kedua pemuda ini selama hidup akan selalu merindukan dirinya.
Hong Si-nio tertawa, "Kamu berdua anak-anak baik, kalau usiaku lebih muda lagi, mungkin satu di antara
kalian kupilih jadi lakiku, sekarang...."

"Sekarang kami hanya sebagai pengiringmu," kata Toh Lin. Hou Ing tampak menyengir kecut. "Sebagai
pengiring juga termasuk saudaraku." "Syukur kau tidak ingin menikah dengan kami," ujar Toh Lin.
"Kenapa?" tanya Hong Si-nio.
Toh Lin berkata jujur, "Sekarang kita adalah teman, kalau betul kau harus memilih satu di antara kami
berdua, bukan mustahil aku bisa bertarung dengan dia memperebutkan engkau."
Bingar tawa Hong Si-nio, "Kalau aku harus memilih, pasti tidak memilihmu, karena kau terlalu jujur."
Hou Ing tertawa senang, "Sejak awal sudah kuberitahu padanya, lelaki yang terlalu jujur, perempuan malah
tidak suka."
Toh Lin jengah, katanya malu-malu, "Sebetulnya, dalam hal tertentu aku juga tidak jujur."
Hong Si-nio tertawa besar, "Kau pikir apa yang harus kulakukan untuk melampiaskan hatimu?"
"Tereserah kepadamu," sahut Hou Ing.
"Kita terjang saja ke dalam, lalu ringkus dia keluar, bagaimana?"
"Bagus!" seru Hou Ing, "hayo lakukan."
Bukit itu tidak terlalu terjal. Hong Si-nio mengeprak kudanya, dibedal lari menerjang ke dalam hutan.
Pintu gerbang Pek-ma-san-ceng terbuka lebar, tanpa rintangan mereka mencongklang kudanya masuk ke
perkampungan. Penghuni rumah jelas kaget, terutama yang bertugas jaga, semuanya memburu keluar
sambil membentak, "He, siapa kalian? Untuk apa kemari?"
"Kami datang untuk mencari Ciu Ci-kong, aku adalah bibinya."
Kudanya terus dikeprak masuk rumah menerjang ke ruang besar. Bukan hanya semua orang kaget, kuda
tunggangannya juga kaget sambil berjingkrak menumbuk meja kursi. Belasan orang memburu maju
menghadang, ada yang menarik tali kendali, ada juga yang hendak menghajar orang, tapi belum mendekat
mereka sudah dihajar cambuk di tangan Hong Si-nio.
"Lekas panggil Ciu Ci-kong keluar," seru Hong Si-nio, "memangnya aku harus menerjang masuk ke dalam?"
Hou Ing tampak bergairah, mukanya merah gembira, "Betul, terjang ke dalam saja."
Seorang tua berpakaian pelayan melompat naik ke atas meja, teriaknya keras, "Kalian mau apa? Kawanan
perampok ya?"
Tahu-tahu Hong Si-nio juga melompat ke atas meja, sekali raih ia renggut baju di depan dada si orang tua,
"Kan sudah kubilang aku ini bibi Ciu Ci-kong, mana dia?"
"Dia ... dia tidak ada."
"Kenapa tidak ada?" teriak Hong Si-nio.
"Jelas karena pergi maka orangnya tidak di rumah."
Hong Si-nio bertanya lagi, "Kapan dia pergi?"
"Baru saja."
"Pergi seorang diri?”
"Bukan, dia pergi bersama Lian-kongcu."
"Lian-kongcu? Lian Shia-pik maksudmu?"
“Sepertinya dia."

"Mereka pergi kemana?"
”Tidak tahu, mereka tidak memberitahu."
"Apakah Lian-kongcu datang bersama isterinya?"
"Ya, ya, bersama isterinya."
"Dimana Lian-hujin?"
"Di pekarangan belakang, sedang makan dengan majikan perempuan."
Hong Si-nio menjengek, "Sengaja dia melibatkan Ciu Ci-kong hanya untuk menitipkan isterinya di sini,
supaya dia leluasa pergi membunuh orang."
Pelayan tua itu tidak mengerti apa maksud perkataannya, Hou Ing sendiri juga menjadi bingung, "Siapa akan
membunuh orang? Membunuh siapa?"
Hong Si-nio mengertak gigi, tanyanya mendadak, "Ilmu silat kalian berdua bagaimana?"
"Belum termasuk kelas tinggi, tapi untuk menghajar para gentong nasi ini kurasa cukup berlebihan."
"Bagus, kalian tunggu saja di sini, sekarang suruh mereka menyediakan arak, hidangan yang paling lezat,
siapa membangkang, hajar saja habis perkara, bila perlu bongkar saja rumah ini."
"Untuk kerja lain aku tidak pandai," ujar Hou Ing tertawa lebar, "untuk membongkar rumah, aku inilah
ahlinya."
"Jika arak dan hidangan tidak sesuai keinginan, hajar mereka."
"Apa kami harus menunggumu pulang makan?"
"Tidak perlu, aku ke belakang mencari orang."
"Mencari siapa?"
"Mencari setan yang tidak tahu diri."
Pekarangan di bagian belakang juga amat luas, suasana di sini amat sejuk, harum lagi. Berbagai macam
bunga yang ditanam dalam pot sedang berbunga, sepucuk pohon cemara besar tumbuh di tengah sana.
Seorang ibu rumah tangga berpakaian panjang tengah beranjak keluar dari perkarangan dalam, kebetulan
bersua Hong Si-nio.
Walau sudah berusia setengah abad, nampaknya masih muda, sorot matanya berwibawa, siapa pun bila
berhadapan dengan perempuan ini, akan tahu kalau perempuan ini tidak boleh sembarang diganggu. Hong
Si-nio justru adalah perempuan yang suka mengganggu, dia memburu maju dua langkah, segera ia berkata,
"Kabarnya nyonya rumah di sini she Kim, apa benar?"
"Tidak salah."
"Konon dia adalah perempuan galak di Kangouw yang bernama Kim-hong-hong?"
"Betul sekali."
"Suruh dia keluar, aku ingin mencarinya."
"Dia sudah keluar."
Hong Si-nio sengaja membelalakkan mata mengawasinya, "Jadi kau inilah Kim-hong-hong?"
Wajah Kim-hong-hong merenggut dingin, "Aku inilah."

Hong Si-nio tertawa lebar, dengan mengedip mata ia berkata, "Maaf, maaf, kurang hormat, kurang hormat,
kukira kau ini adalah bunda Ciu Ci-kong."
Wajah Kim-hong-hong berubah merah membesi, mendadak ia tertawa dingin, jengeknya, "Konon di
Kangouw dahulu pernah muncul seekor macan betina bernama Hong Si-nio, senang menggoda lakiku,
sayang begitu melihat dia, lakiku sering tumpah-tumpah."
"Lakimu bernama Ciu Ci-kong?"
"Memangnya perlu kujelaskan lagi?" jengek Kim-hong-hong sambil bertolak pinggang.
"Ah tidak benar. Justru dia kepincut padaku, saking senangnya hanya kucium tangannya, dia berjingkrak
terus bergulingan di tanah, belum pernah kulihat dia tumpah-tumpah."
"O, jadi kaukah Hong Si-nio?"
"Tidak keliru."
"Maaf, maaf, kurang sopan, kurang sopan, sejak tadi aku kira kau ini anjing gila yang suka menggigit orang."
Hong Si-nio justru tertawa lebar, "Memang ingin aku menggigit pipimu sekali. Sayangnya aku pantang
menggigit nenek tua."
Wajah Kim-hong-hong seketika berubah menghijau. Sesungguhnya usianya memang dua tahun lebih tua
dari Ciu Ci-kong.
Perempuan yang usianya lebih tua, paling pantang dikata-katai "nenek".
Dia lebih rela dimaki anjing gila daripada disebut nenek tua. Hong Si-nio seperti mengerti boroknya, maka
sengaja mengolok-olok.
Sejak tahu Lian Shia-pik sebagai pewaris Siau-yau-hou, saat itu juga dia siap mencari gara-gara dan
berusaha mempersulit Lian Shia-pik. Kalau Lian Shia-pik bergaul rapat dengan Ciu Ciu-kong, dapat
disimpulkan bahwa Ciu Ci-kong pasti bukan manusia baik.
Karena tidak menemukan mereka, terpaksa ia berhadapan dengan burung Hong betina emas ini.
Kemampuan Hong Si-nio mencari gara-gara, yakin jarang ada perempuan lihai manapun yang mampu
menandinginya.
Bahwa Kim-hong-hong atau burung phoenix (Hong) emas ini belum ia bikin jengkel sampai mampus, Hong
Si-nio sendiri merasa belum puas, dengan senyum menggiurkan ia menambahkan, "Yang pasti aku mengerti
kau belum terlalu tua, usiamu sekarang paling dua tiga puluh tahun lebih tua dibanding Ciu Ci-kong, pupur di
wajahmu itu kalau dipertebal, usiamu paling baru lima puluhan."
Mendadak Kim-hong-hong memekik murka, dengan sengit menubruk maju.
Umumnya wanita suka berteriak, memekik atau mengeluh panjang. Bila hati kegirangan sering memekik, jika
marah besar membentak-bentak, jika sedang bermesraan juga mengeluh aleman, apalagi waktu berkelahi,
jeritan dan pekik suaranya sungguh bisa membuat orang yang mendengarnya merinding.
Kim-hong-hong adalah jenis wanita seperti itu. Jerit pekiknya amat aneh, melengking tajam, mirip pisau
tajam menggorok leher ayam, mirip kucing yang ekornya terinjak. Yang pasti serangan dua tangannya tidak
mirip cakar kucing atau cakar ayam. sergapannya bukan saja cepat, cekatan dan amat ganas mirip patukan
ular berbisa.
Waktu Hong Si-nio belum berkecimpung di dunia persilatan, Kim-hong-hong sudah terkenal sebagai
perempuan yang tidak boleh dilayani sembarangan. Ilmu silatnya jauh lebih tinggi dari yang diperkirakan
Hong Si-nio, hal ini disadari Hong Si-nio setelah ia dicecar lima enam jurus serangan yang mematikan. Akan
tetapi ilmu silat Hong Si-nio ternyata jauh lebih tinggi dari perkiraan burung phoenix sendiri, tujuh delapan
belas jurus kemudian, secepat kilat mendadak ia berhasil mencengkeram pergelangan tangan Kim-honghong.
Bukan hanya tangan saja, sekujur badan Kim-hong-hong seketika lemas lunglai, bersuara pun tidak mampu.

Sekali gerak, Hong Si-nio tidak kepalang tanggung, sekali pelintir ia telikung lengan orang ke belakang
punggung, sekarang baru ia merasa lega, katanya dengan nada ramah, "Ingin aku tanya beberapa hal
padamu, kuharap kau mau bekerja sama dan menjelaskan kepadaku."
Kim-hong-hong meringis kesakitan, desisnya dengan merigertak gigi, "Kau bunuh aku saja."
"Kalau tahu aku takkan membunuhmu, bila jengkel paling kupapas hidungmu," lalu dengan tawa lebar Hong
Si-nio menambahkan, "perempuan yang lebih menakutkan dibanding seorang nenek adalah perempuan
yang tidak punya hidung."
Kim-hong-hong mengertak gigi, air mata sudah berlinang di pelupuk matanya. Ia tahu perempuan seperti
Hong Si-nio tega melakukan ancamannya, ia tahu siapa Hong Si-nio tak ubah mengerti siapa dirinya.
"Mau tidak kau jawab pertanyaanku?" desak Hong Si-nio.
"Kau ... soal apa yang ingin kau tanyakan?"
"Kemana lakimu pergi bersama Lian Shia-pik?"
"Tidak tahu."
"Kalau aku potong hidungmu apa kau lantas tahu?"
"Aku bilang tidak tahu, ya tidak tahu!" pekik Kim-hong-hong, "kau bunuh aku pun tidak tahu."
Hong Si-nio menghela napas tanyanya, "Lalu Sim Bik-kun? Dimana kau sembunyikan dia?"
"Kenapa aku menyembunyikan dia, dia sendiri bilang tidak ingin bertemu denganmu."
Sebelum Hong Si-nio meluruk ke dalam tadi, mereka berdua sudah tahu yang datang adalah Hong Si-nio.
Ada berapa banyak perempuan yang berani menunggang kuda menerjang ke dalam rumah orang.
"Dia tidak mau bertemu denganku, tapi aku harus menemuinya," seru Hong Si-nio, "maka ...." Kata-katanya
terputus karena ia sudah melihat Sim Bik-kun.
Sim Bik-kun muncul dari balik pintu lalu berdiri di emperan rumah, wajahnya kelihatan pucat, sorot mata dan
mimiknya kelihatan marah, bola matanya tampak merah. Merah karena menangis? Kenapa harus
menangis?
"Dengan susah payah aku ke sini mencarimu, kenapa kau tidak mau bertemu denganku?"
Dingin suara Sim Bik-kun, "Siapa suruh kau kemari? Tidak pantas kau datang kemari."
Hong Si-nio menyeringai dingin, "Kalau kau anggap dia yang menyuruh aku kemari mencarimu. Kau salah
besar."
Dia? Siapa dia? Yakin Sim Bik-kun tahu, mengingat orang ini, perasaannya seperti ditusuk jarum, diiris
dengan pisau tajam, diremas hancur oleh sepasang tangan yang tidak kelihatan.
Kakinya terasa lemas, badannya bertopang di pagar bambu di depannya, dengan muka masam ia berkata,
"Peduli untuk apa dan suruhan siapa kau kemari, lebih baik kau pergi saja."
"Kenapa?" seru Hong Si-nio.
"Sebab aku sudah tiada hubungan apapun dengan kalian, aku ... aku bukan Sim Bik-kun yang kalian kenal
itu ...." nada bicaranya terdengar garang, padahal air matanya bercucuran membasahi pipi, wajah nan sayu,
pucat mirip kembang yang sudah hampir layu.
Melihat betapa orang begitu sedih, pilu dan sesenggukan, betapapun besar amarah Hong Si-nio, tak kuasa
ia mengumbar nafsu lagi. Betapa hatinya tidak sakit? Sesakit ditusuk sembilu? Jelas ia tahu dan mengerti
perasaan Sim Bik-kun sekarang.
Sim Bik-kun yang sejak awal ia kenal, adalah perempuan yang rela mengorbankan segalanya demi
mengejar cinta. Sim Bik-kun yang sekarang, jelas dan gamblang sudah kembali menjadi bini Lian Shia-pik.

"Apapun yang telah terjadi, ada beberapa patah kata yang perlu kusampaikan kepadamu," mendadak ia
memburu maju beberapa langkah menggenggam lengan Sim Bik-kun, "Kau harus mendengar dulu
ucapanku, setelah omong aku akan segera pergi."
Dengan menggigit bibir, Sim Bik-kun mengangguk, "Baik, kudengar, tapi setelah bicara kau harus lekas
pergi."
"Kalau kau mau mendengar omonganku sampai habis, umpama kau menahanku juga aku akan segera
pergi."
Air mata Sim Bik-kun membasahi lengan bajunya. Siau Cap-it Long, dimanakah kau sekarang?
Kenapa tidak kau dengar apa yang akan dibicarakan kedua cewek yang telah menderita, susah dan
sengsara karena dirimu? Tahukah kau betapa mereka bersedih, pilu dan tersiksa?
Sambil menutupi mukanya, Kim-hong-hong berlari keluar pekarangan, pergi tanpa berpaling lagi.
Hong Si-nio tak kuasa membuka suara. Persoalan memang amat ruwet, terlalu aneh dan misteri, sungguh ia
tidak tahu darimana harus mulai bicara. Sim Bik-kun malah mendesak, "Kenapa kau belum lagi bicara?"
Akhirnya Hong Si-nio mengangkat kepala, katanya, "Aku tahu kau membencinya karena kau anggap dia
sudah berubah, berubah menjadi raja iblis, iblis laknat yang banyak membunuh manusia."
Sim Bik-kun menunduk, jari-jari tangannya saling genggam, kuku jarinya menembus telapak tangannya, bibir
juga tergigit pecah, ia sedang menyiksa diri.
Dia berharap dengan derita kesakitan badannya untuk melampiaskan, melupakan siksa derita batinnya.
"Kalau begitu jalan pikiranmu, maka kau keliru menyalahkan dia. Kalau kau tahu duduk persoalan
sebenarnya, umpama dipecut cemeti dan mengusirmu pergi, kau takkan rela meninggalkannya."
Sim Bik-kun mendesis dengan nada tegas, "Umpama ada orang mengancam jiwaku dengan pisau
melarangku pergi, biar mati aku tetap akan pergi. Sebab apa yang terjadi kulihat dengan mata kepalaku
sendiri, melihat secara gamblang dan sejelas-jelasnya."
BENTROK PARA PENDEKAR
Karya Gu Long - Gan K.H.
Bagian 12
"Apa yang kau lihat?" tanya Hong Si-nio, tangannya juga saling genggam, "Kau melihat, demi Pin-pin dia
melukai orang, kau lihat dia berubah menjadi pembunuh yang sombong dan angkuh, kau lihat dia menjadi
pemilik Bu-kau-san-ceng?"
"Betul, semua itu kulihat sendiri dan tak sudi untuk melihatnya lagi."
"Sayang apa yang kau lihat hanya merupakan permukaan dari awal kejadian yang tidak kau mengerti,
jangan kau melihat persoalan dari sisi yang bisa kau lihat, dari sana lantas mengambil kesimpulan, seperti
kau melihat sebuah jeruk yang kau anggap masih segar, padahal isinya sudah busuk, kau ...."
Sim Bik-kun memutus omongannya, "Tapi banyak kenyataan demikian, kulit jeruk masih segar, isinya
memang sudah busuk."
"Tapi ada kulit jeruk kelihatan sudah kering, tapi bagian dalamnya masih segar."
"Sebetulnya apa sih yang ingin kau bicarakan?"
"Ingin kutanya kepadamu. Tahukah kau kenapa dia melukai orang demi membela Pin-pin? Tahukah kau
kenapa Bu-kau-san-ceng bisa menjadi miliknya? Tahukah kau kenapa dia membunuh orang-orang itu?"

"Aku tidak tahu dan tidak perlu tahu."
"Aku justru tahu jelas."
"O?"
"Dia membela dan melindungi Pin-pin karena dia adalah penolong jiwanya, kasihan melihat gadis belia itu
terserang penyakit yang tidak bisa disembuhkan, kapan saja dan dimana saja jiwanya bisa melayang
mendadak."
Berubah air muka Sim Bik-kun, sepertinya hal itu tak pernah ia duga selama ini.
"Dia membunuh orang-orang itu karena mereka adalah anak buah komplotan Siau-yau-hou. lahirnya loyal,
padahal batin mereka bejat, laki-laki palsu yang punya hasrat dan tujuan jahat." Sampai di sini Hong Si-nio
menghela napas, "Apalagi dia tidak pernah menemukan harta terpendam seperti yang tersiar di Kangouw,
seluruh kekayaan dan uang yang ia punya tidak lebih hanya muslihat orang yang ingin menjerumuskan
dirinya, jadi uang dan perkampungan itu pemberian seseorang kepadanya."
Sim Bik-kun menarik muka, suaranya lebih dingin, "Tak pernah terbayang dalam benakku, ada orang di
dunia ini yang punya cara sejahat itu untuk mencelakai orang lain."
"Jelas kau takkan pernah mengerti akan hal itu, karena persoalan yang tidak kau mengerti."
"Persoalan apa maksudmu?"
"Siau-yau-hou punya organisasi rahasia, ia menampung banyak orang, tengah merencanakan sebuah
muslihat jahat, setelah ia meninggal, organisasi ini dipegang dan dikendalikan seorang lain."
Sim Bik-kun mendengarkan.
"Hanya Pin-pin yang tahu adanya organisasi rahasia itu, dan hanya dia yang kenal berbagai orang yang
bermacam corak dan gaya serta riwayatnya itu. Sebab mereka adalah manusia-manusia palsu, di luar
terkenal gagah berani, diagulkan sebagai ksatria, padahal hatinya busuk, sepak terjangnya jahat."
"Orang-orang seperti itukah yang dibunuh Siau Cap-it Long?" tanya Sim Bik-kun.
Hong Si-nio memanggut, "Tapi ia tidak akan menyingkap rumput mengejutkan ular, pada saat turun tangan
alasannya membela Pin-pin. Padahal Pin-pin adalah gadis berhati bajik, hubungan mereka suci bersih, tidak
seperti yang kau bayangkan, punya rasa cinta asmara di antara mereka."
Dengan kencang Sim Bik-kun menggigit bibir.
"Untuk menjadikan Siau Cap-it Long sebagai sasaran bidikan orang banyak, orang yang mewarisi
kedudukan Siau-yau-hou sengaja menyebar berita bahwa dia telah menemukan harta terpendam. Padahal
Siau Cap-it Long menjadi orang kaya raya mendadak, semua itu adalah jebakan yang diatur orang itu."
Tak tahan Sim Bik-kun bertanya, "Kau tahu siapa orang itu?"
"Walau belum bisa memastikan, tapi tujuh puluh persen sudah kuduga seseorang."
"Siapa dia?"
Sepatah demi sepatah Hong Si-nio menyebut nama orang itu, "Lian Shia-pik."
"Tiada orang lain di dunia ini yang membenci Siau Cap-it Long seperti dirinya. Apa yang ia lakukan bukan
saja untuk mencelakai Siau Cap-it Long, maksud utamanya jelas supaya kau kembali ke dalam pelukannya."
Mendadak Sim Bik-kun berkata lantang, "Yang ingin kau bicarakan dengan aku, hanya itu-itu saja?"
Hong Si-nio manggut-manggut.
"Sekarang kau sudah selesai bicara, kenapa tidak lekas pergi?"
"Jadi apa yang kuceritakan tadi, kau tidak percaya?"

Sim Bik-kun menyeringai dingin, lalu balik bertanya, "Darimana kau bisa tahu semua rahasia itu? Apakah
Siau Cap-it Long sendiri yang memberitahu kepadamu?"
"Jelas dan pasti."
"Setiap omongannya, apa kau pasti percaya?"
"Setiap patah katanya kupercaya. Sebab selama aku berkenalan dengan dia, tidak pernah dia membohongi
aku."
"Tapi sepatah kata pun aku tidak percaya."
"Kenapa?" teriak Hong Si-nio sengit, "apa karena dia pernah menipumu?" Dengan tajam ia menatap Sim
Bik-kun, lalu dengan tertawa dingin ia menambahkan, "Dalam persoalan apa dia pernah menipumu? Satu
saja kau jelaskan padaku, segera aku hengkang dari tempat ini."
"Dia ...." hanya sepatah kata keluar dari mulut Sim Bik-kun, mendadak ia menyadari meski dirinya selalu
merasa Siau Cap-it Long telah menipunya, dalam persoalan apa dia pernah menipunya, hal ini tak bisa ia
jelaskan.
Sejak hari pertama ia bertemu dengan Siau Cap-it Long, tiap detik tiap jam ia selalu berusaha membela,
melindungi dan memenuhi segala keperluannya.
Setiap patah kata yang pernah dilontarkan padanya, setiap huruf, semua mutlak benar dan kenyataan.
Tapi sampai detik ini ia masih mencurigainya, sebab dia adalah perampok besar Siau Cap-it Long yang
paling kejam, paling ditakuti di kalangan Kangouw.
Karena rasa curiganya itulah selama ini ia banyak menderita, malah hampir tewas di tangan Siau-kongcu.
Hampir saja dia mati oleh tusukan senjata orang.
Tapi selama ini tak pernah ia dengar orang mengomel, mengeluh dan menggerutu, malah sepenuh hati
membela dan baik terhadap dirinya, malah tak jarang ia rela berkorban demi dirinya. Tak urung Sim Bik-kun
merasa menyesal bukan kepalang, diam-diam ia menundukkan kepala, air mata meleleh di pipi.
Dengan menatapnya, Hong Si-nio berkata lebih jauh, "Kau tidak percaya kepadanya, mungkin karena kau
tidak percaya pada diri sendiri, sebab hakikatnya kau tidak pernah berkeputusan, tidak bertindak tegas.
Karena kelemahanmu ini, ketidak mampuanmu, mirip burung kenari dalam kurungan, tak pernah bangkit
keberanianmu menjebol kurungan itu, terbang bebas kemana pun kau ingin pergi." Sampai di sini ia
mengubah sikap, senyum mulai menghias wajahnya, "Umpama ada orang membuka kurungan itu, kau jelas
takkan berani keluar, karena kau kuatir hujan angin di luar akan merusak, membasahi bulu nan indah yang
tumbuh di badanmu."
Hong Si-nio sadar omongannya terlalu berat, terlalu menusuk perasaannya, tapi keadaan justru memaksa ia
bicara.
"Kau beranggapan selama ini kau banyak berkorban demi dia, meninggalkan segala milikmu, tapi pernahkah
kau memikirkan kepentingannya, pernahkah kau berpikir betapa banyak dan besar pengorbanannya untuk
dirimu?"
Sim Bik-kun sesenggukan di pagar, menangis tergerung-gerung. Ia hanya mendengar apa yang diuraikan
Hong Si-nio memang benar, tak kuasa ia membantah. Karena uraian itu semua adalah benar, setiap patah
kata ibarat ujung pisau tajam yang mengiris relung hatinya.
Melihat betapa pilu hati orang, hati Hong Si-nio menjadi lemah, katanya setelah menghela napas, "Apalagi
umpama dia bisa menipumu, memangnya aku bisa menipumu? Tentu kau jelas dan tahu betapa perasaanku
terhadapmu?" Air matanya juga bercucuran, perlahan suaranya makin sendu, "Kalau aku seorang egois, aku
akan berusaha memecah belah kalian, supaya kalian lekas berpisah, kuadu domba supaya kalian saling
benci, tapi sekarang ...."
Dengan berlinang air mata, mendadak Sim Bik-kun mengangkat kepala, "Kenapa kau berbuat demikian?"
Hong Si-nio tertawa, tertawa pilu, "Sebab aku tahu yang betul-betul dicintainya adalah engkau. Hanya

engkau, tiada orang lain."
Hancur hati Sim Bik-kun, hancur berkeping-keping. Melihat cucuran air mata di pipi Hong Si-nio, melihat
betapa pilu senyum kepedihan hatinya, mendadak ia menyadari kekerdilan dirinya. Mendadak ia sadar,
Hong Si-nio adalah perempuan tulen nan agung dan suci.
"Bukankah pengorbanannya demi Siau Cap-it Long jauh lebih besar dibanding diriku?"
Dalam hati Sim Bik-kun bertanya kepada diri sendiri, "Kenapa ia rela menahan deritanya sendiri, berusaha
merangkap perjodohan kami malah?"
"Lalu untuk apa dia harus membual kepadaku?" Akhirnya Sim Bik-kun mengakui, "Aku maklum apa yang kau
ceritakan semua benar, tapi aku ...."
"Tapi kau tidak berani mengakui, karena kau takut, kau tidak berani menjebol kurungan yang
membelenggumu, sebab sejak kecil kau sudah dikurung dalam kurungan itu, kurungan yang orang lain tak
bisa melihat, namun kau sendiri bisa merasakan dirimu terbelenggu oleh kurungan itu."
Sim Bik-kun memang merasakan adanya belenggu itu. "Coba kau pikir, kenapa Ciu Ci-kong mendadak
muncul?"
"Kenapa?"
"Karena Lian Shia-pik hendak menitipkan kau di sini, meninggalkanmu di sini, maka dia bisa lebih leluasa
pergi membunuh orang."
"Membunuh siapa?"
"Siau Cap-it Long."
XVIII. CARI MENCARI
"Sekarang kau kembali menjadi Lian-hujin," demikian kata Hong Si-nio dingin, "maka Siau Cap-it Long boleh
mati, setelah dia mampus, kalian bisa pulang ke Bu-kau-san-ceng, menjadi dan hidup sebagai suami istri
yang dipuja dan dipuji banyak orang. Umpama jenazah Siau Cap-it Long dilempar ke tempat sampah
menjadi makanan anjing, bahwasanya tiada sangkut-paut apa lagi dengan kalian." Sampai di sini tubuhnya
berputar, "Tapi aku harus pergi menolongnya, maka setelah aku selesai bicara, segera aku harus
berangkat." Ia betul-betul beranjak keluar.
Mendadak Sim Bik-kun memburu maju menarik lengannya, "Aku ikut bersamamu."
Berbinar bola mata Hong Si-nio, "Betul?"
"Betul."
"Kini kau sudah mengambil keputusan?"
Dengan menggigit bibir Sim Bik-kun mengangguk, "Apapun yang terjadi, aku ingin bertemu sekali lagi
dengannya."
"Tahukah kau kemana Lian Shia-pik beramai pergi?"
Sim Bik-kun menengadah memandang cuaca.
Tanya Hong Si-nio terbelalak, "Apa betul kau tidak tahu?"
Tenggelam perasaan Hong Si-nio.
* * * * *
Sementara itu mentari sudah mulai menggantung ke barat.
Biasanya siang hari di musim rontok lebih pendek, jelas tidak lama lagi bakal datang senja.

Hong Si-nio tidak tahu kemana ia harus pergi mencari Siau Cap-it Long.
Ruang tamu ternyata masih ramai.
Di meja masih penuh hidangan dan arak, Hou Ing dan Toh Lin sedang makan minum, riang gembira. Yang
menjadi pendamping mereka ternyata adalah Kim-hong-hong.
Mukanya sudah merah, sorot matanya juga kelihatan buram, dengan cekikikan tertawa ia sedang berkata,
"Mari, tambah dua puluh cawan, kita masing-masing minum sepuluh cawan."
Hou Ing sedang mengisi cawan araknya, melihat Hong Si-nio keluar, dengan menyengir tawa ia berdiri,
mukanya juga merah, "Dia mengajakku minum, terpaksa kuiringi kemauannya."
Hong Si-nio menghampiri sambil tertawa geli, bocah ini memang pandai membujuk orang untuk diajak
minum. Dia juga maklum kenapa Kim-hong-hong memaksa dia untuk adu minum. Seorang kalau hatinya
sedang gundah, pikiran sedang kacau, tentu ingin mencari pelarian, arak adalah cara yang paling manjur.
Kim-hong-hong memang sedang gundah-gulana. Perempuan mana saja kalau dikatai sebagai seorang
nenek, kalah adu mulut, kalah wibawa pula, tentu hatinya lara, apalagi selama ini ia selalu membanggakan
diri sebagai wanita temberang yang dihormati dan diindahkan tutur kata dan tindak-tanduknya.
Hong Si-nio ingin tertawa, namun malah menghela napas panjang. Wanita yang sudah kelewat umur, betapa
suka dukanya dapat ia resapi lahir batin, detik-detik terakhir ini mendadak kesadarannya timbul, sikap dan
tutur katanya tadi, memang agak terlalu, terlalu kejam bagi seorang Kim-hong-hong.
Kim-hong-hong sedang mendelik kepadanya, "Bisik-bisik kalian sudah selesai belum?"
Hong Si-nio mengangguk kepala.
Kim-hong-hong berkata lagi, "Berani kau kemari adu minum arak denganku?"
Hong Si-nio menggeleng kepala.
Kim-hong-hong tertawa cerah, "Aku tahu kau takkan berani, ilmu silatmu boleh lebih tinggi dibanding diriku,
tapi kalau kau berani adu minum denganku, pasti kubuat kau menggelepar di lantai."
"Sekarang kau sudah hampir rebah malah, sudahlah kurangi dua cawan saja."
Kim-hong-hong melotot, "Apa? Kau bilang aku mabuk? Ayo, masing-masing habiskan sepuluh cawan,
buktikan siapa akan menggeletak lebih dulu?"
Hong Si-nio sudah berkeputusan untuk tidak menghiraukan ocehan orang yang sudah mabuk.
Kim-hong-hong masih terus mendesaknya, "Baiklah, kau tidak menghiraukan aku tidak jadi soal, yang pasti
untuk selanjutnya kau tidak akan bisa menemukan mereka."
Omongannya seperti mengandung arti tersembunyi.
Maka Hong Si-nio segera bertanya, "Memangnya kau sendiri bisa menemukan mereka?"
"Ciu Ci-kong adalah lakiku, kalau aku tidak bisa menemukan dia, siapa lagi yang bisa menemukan dia?"
"Kau tahu mereka ada dimana?"
"Tentu tahu, tapi tidak akan kujelaskan," demikian ejek Kim-hong-hong, lalu dengan mengejek tawa
menghina dan mata melotot ia melanjutkan, "Kecuali kau kemari memohon maaf kepadaku, lalu
mengiringiku minum sepuluh cawan lagi."
Berputar bola mata Hong Si-nio, mendadak tertawa geli, "Kurasa kau lagi mengibul."
Kim-hong-hong mendelik, "Aku mengibul soal apa?"
"Lakimu mau pergi kemana, kapan dia pernah memberitahu kepadamu, hal ini aku tahu jelas."

"Kau tahu kentut busuk," damprat Kim-hong-hong.
"Kalau laki-laki muda punya bini setua nenek-nenek sepertimu, tiap kali keluar rumah mana mau
memberitahu kemana dia pergi, sebab di luar dia bisa mencari kembang goyang yang cantik rupawan."
Kim-hong-hong berjingkrak gusar, teriaknya keras, "Siapa bilang dia pergi mencari cewek. Jelas dia pergi ke
Hong-lin-toh, dia ...." Apa yang dikatakan Kim-hong-hong selanjutnya sudah tidak terdengar oleh Hong Sinio.
Begitu mendengar Hong-lin-toh, Hong Si-nio langsung menarik lengan Sim Bik-kun terus diajak keluar.
Hou Ing dan Toh Lin ikut memburu keluar pintu gerbang, "Kemana kita akan pergi?"
"Ke Hong-lin-toh."
Ruang besar itu menjadi sepi, tinggal Kim-hong-hong seorang diri masih duduk terlongong di sana.
Kuda meringkik, derap kakinya membedal keluar perkampungan, suaranya makin menjauh. Sorot matanya
yang tadi seperti linglung karena mabuk mendadak berubah terang lagi segar bugar, ujung mulut Kim-honghong
menyungging senyum sadis. Ia tahu umpama mereka mengaduk dan menggeledah seluruh Hong-lintoh
selama sepuluh tahun pasti takkan bisa menemukan Siau Cap-it Long dan Lian Shia-pik.
"Hong Si-nio, Hong Si-nio, akhirnya kau tertipu juga olehku." Mendadak Kim-hong-hong tertawa terkial-kial,
di tengah tawanya, seluruh benda di permukaan meja ia sapu jatuh seluruhnya ke lantai.
Tangannya masih memegang sisa cawan yang berisi arak, sekali tenggak ia habiskan isi cawan. Arak yang
getir, air matanya kembali menetes ke dalam cawan. Sebab dia memang tidak tahu di mana suaminya
berada, Dulu waktu masih pengantin baru, kemana pun ia mau pergi selalu memberitahu dirinya, tapi
sekarang ....
Seorang perempuan di kala usianya sudah mencapai senja, bukan saja tak mungkin meraih kembali masa
remaja, dia juga takkan bisa meraih kembali cinta kasih sang suami.
"Aku bukan nenek-nenek ... bukan ...." pekiknya, lalu ia mendekam di meja, menangis tergerung-gerung.
Sayang Hong Si-nio sudah tidak mendengar jerit tangisnya.
* * * * *
Jalan raya yang lurus lempang itu sesampainya di sini bercabang dua.
"Dermaga Hong-lin harus lewal jalan yang mana?"
"Entah aku tidak tahu."
"Aku hanya tahu di sungai kuning ada sebuah dermaga bernama Hong-lin."
"Di wilayah Kanglam mana ada Huang-ho, di sini hanya ada Tiangkang."
"Belum pernah aku mendengar di Tiangkang ada dermaga yang dinamakan Hong-lin."
"Kau tak pernah mendengar, orang lain tentu ada yang tahu."
Cahaya senja menyinari jagat raya, kini mereka tiba di jalan simpang tiga, di pinggir jalan sana terdapat
sebuah kedai teh.
Kedai teh biasanya juga menjual arak, ada hidangan sederhana sebagai teman minum arak, mungkin di sini
para tamu masih bisa menikmati nasi goreng, entah nasi goreng, atau bakmi rebus.
"Kita bisa mengaso di kedai teh itu sambil mencari tahu arah jalan, sekalian menangsal perut dan minum
sepuasnya."
"Betul, kalau perut kenyang, kerja tentu lebih bersemangat."

Orang muda kalau bekerja tentu tak lupa mengisi perut, sebab perut kenyang, semangal kerja timbul, gairah
kerja akan berkobar.
Hari sudah sore, sebentar lagi bakal gelap.
Hong Si-nio tidak ingin berhenti, sebelum rembulan muncul, ia harus berhasil menemukan Siau Cap-it Long,
kalau kali ini gagal, boleh dipastikan dirinya akan gagal menemukan Siau Cap-it Long selamanya.
Tapi ia tidak kenal jalan, ia juga perlu istirahat, yang pasti ia sendiri merasa dahaga.
Bau arak terbawa angin lalu, masih tercium bau panggang daging, ikan goreng dan yucakwe yang harum.
Hou Ing tertawa riang, "Baunya saja begini sedap, kalau dirasakan tentu nikmat sekali."
Hong Si-nio melotot kepadanya, katanya merengut, "Mestinya tidak kuajak kau, kau terlalu suka makan."
Lain di mulut lain di hati, bahwasanya dia memang perlu pembantu. Ilmu silat Hou Ing mau pun Toh Lin
cukup tinggi, dari kalangan kaum muda di Kangouw, kemampuan mereka termasuk kelas tinggi. Anehnya
mereka justru senang menjadi pembantu Hong Si-nio.
Sim Bik-kun tidak mengerti. Selamanya dia takkan bisa memahami orang macam apa sebenarnya Hong Sinio,
apalagi sepak terjang dan tingkah polahnya.
Dan cewek ini memang dari jenis yang berbeda, maka nasib mereka jelas jauh berbeda.
Dengan menundukkan kepala Sim Bik-kun beranjak masuk ke dalam kedai.
Selama ini belum pernah ia berjalan segagah, sewajar dan apa adanya dengan langkah lebar, sambil
mengangkat dada berjalan di depan umum, belum pernah ia mengunjuk tawa lebar seperti Hong Si-nio.
Bahwasanya Sim Bik-kun memang sudah lama tidak pernah tertawa, tertawa seaslinya, ia sendiri tidak tahu
sejak kapan dan sudah berapa lama ia tidak tertawa.
Selama ini hatinya kalut, pikiran gundah, apalagi sekarang lebih ruwet lagi.
Sekarang umpama berhasil menemukan jejak Siau Cap-it Long, memangnya mau apa? Apa ia harus
meninggalkan Lian Shia-pik, tanpa menghiraukan segalanya ikut Siau Cap-it Long?
Umpama dugaan Hong Si-nio tidak keliru, seluruh muslihat dan tipu daya ini diciptakan Lian Shia-pik, ia
makin tak mengerti apa yang harus dilakukan?
Hidupnya ini kenapa selalu dirundung berbagai persoalan yang tidak mampu dipecahkannya, persoalan
yang membuatnya resah dan menderita?
Hong Si-nio sedang memesan hidangan, "Hidangkan lima kati daging sapi, nasi dengan mangkuk besar.
Jangan lupa beri makan juga empat ekor kuda di luar itu."
Sekarang mereka satu orang satu tunggangan. Di kandang kuda Pek-ma-san-ceng, ia memilih empat ekor
kuda gagah, tinggi besar, didatangkan dari Mongol, tak lupa dari kasir ia sabet satu kantong uang perak
besar dan satu kantong uang emas. Bagi anggapannya, sambar menyambar uang di kasir adalah urusan
jamak dan persoalan sepele, tidak pernah terpikir olehnya bahwa perbuatannya itu melanggar tata krama,
berdosa melawan hukum.
Tapi Sim Bik-kun tidak mengerti.
Ia tidak pernah paham, seorang seperti Hong Si-nio di kala berlawanan dengan seseorang, kenapa masih
mau menunggang kudanya, mau memakai uang orang.
Sebaliknya dirinya berbeda, bila ia membenci orang, biarpun harus mati karena kelaparan, ia pantang
minum setetes pun air orang.
Sepertinya Hong Si-nio paham dan pandai menyelesaikan persoalan yang paling rumit, paling ruwet, dengan
cara yang paling gampang. Dirinya justru terbalik, urusan yang paling gampang malah berubah makin ruwet.
Sebab begitulah wataknya, pembawaannya, maka terbentuklah watak, terbentuklah nasib seperti yang

dialaminya selama ini.
Betulkah nasib itu adalah hasil perbuatannya sendiri?
Panggang daging sapi sudah disajikan, rasanya sungguh sedap. Tanpa sungkan sekaligus Hong Si-nio
gegares empat potong daging sapi, masih menenggak dua cawan arak, baru sekarang ia sempat bertanya
kepada pemilik kedai, "Di daerah sekitar sini adakah tempat yang dinamakan Hong-lin-toh?"
"O, ada letaknya ya di luar Hong-lin-tin," sahut pemilik kedai.
Hong Si-nio merasa lega, seleranya timbul, kembali ia potong sekerat daging besar, "Pergi ke Hong-lin-toh
harus lewat mana?"
"Lewat jalan sebelah kanan."
"Jauh tidak?"
"Tidak begitu jauh."
Kembali Hong Si-nio menenggak tiga cawan, katanya tertawa, "Kalau jarak tidak begitu jauh, boleh kita
makan kenyang dulu baru melanjutkan perjalanan, yang pasti waktu malam tiba, kita sudah berada di tempat
itu."
Pemilik kedai manggut-manggut dengan tertawa, katanya, "Kalau naik kuda, besok menjelang senja kalian
sudah bisa sampai di sana."
Saking kaget, daging yang lagi dikunyah dalam mulut Hong Si-nio menyembur keluar, sekali raih ia jambret
baju di depan dada kakek pemilik kedai. "Apa katamu?" serunya.
Orang tua itu amal kaget, suaranya gagap, "Aku ... aku tidak bilang apa-apa."
”Tadi kau bilang baru besok malam kita akan sampai di Hong-lin-toh?"
"Ya, paling cepat besok malam, untuk perjalanan jauh ini, naik kuda harus ditempuh satu hari satu malam."
"Perjalanan satu hari satu malam kau bilang tidak jauh?"
Si kakek menyengir tawa, "Seorang paling tidak bisa hidup puluhan tahun, kalau hanya menempuh
perjalanan sehari, kenapa dibilang jauh?"
Hong Si-nio melenggong.
Berhadapan dengan kakek yang sudah beruban ini, kerut mukanya yang dimakan usia, satu dua hari
lamanya bukan merupakan hari panjang, tidak terhitung lama. Beda bagi Hong Si-nio sekarang, hanya
terlambat setengah jam, mungkin dirinya harus menyesal seumur hidup.
Sama-sama menghadapi persoalan, tidak jarang pandangan dan pendapat tiap orang berbeda. Sebab tiap
orang punya kesan, pengertian dan pandangan yang berbeda, tergantung dari sudut mana melihat dan
menilai persoalan itu. Itulah yang dinamakan sifat manusia.
Mengenai hidup, pengertian Hong Si-nio jelas tidak lebih banyak dari apa yang pernah ia bayangkan.
Dengan harap-harap cemas ia masih bertanya, "Dari sini ada tidak jalan pintas?"
"Tidak ada." sahut orang tua itu, "umpama ada, aku tidak tahu. Sepanjang hidupku tidak pernah lewat jalan
pintas, maka aku bisa bertahan hidup lebih lama dibanding orang lain." Dengan senyum bangga dan senang
ia menambahkan, "Tahun ini aku sudah tujuh puluh sembilan tahun."
Hong Si-nio kembali melenggong.
Hong Si-nio benar-benar kehabisan akal, tak tahu apa lagi yang harus dilakukan, di dunia ini ternyata banyak
persoalan sulit yang ia sendiri tak mampu membereskannya.
Dari pinggir Hou Ing malah berkelakar, "Kulihat kakek ini pantas dijodohkan Thio-ko-lo yang berada di PatKANGZUSI
WEBSITE http://kangzusi.com/
sian-cun itu."
Hong Si-nio berjingkrak meraih bajunya, "Apa katamu?"
Hou Ing terkejut. "Aku ... aku tidak bilang apa-apa."
"Bukankah barusan kau bilang Pat-sian-cun."
"Sepertinya pernah kubilang."
"Dimana kapal itu?"
Hou Ing menyengir aneh, "Itu bukan kapal, tapi adalah ... sarang pelacur."
Hong Si-nio melepas tangan, lalu duduk di kursi, hatinya seperti tenggelam.
Hou Ing masih memberi penjelasan, "Dalam sarang pelacur itu mengkoleksi delapan pelacur yang dinamai
Pat-sian, yang paling jenaka dinamakan Thio-ko-lo, jelas gamblang dia itu seorang nenek-nenek, namun
dandanannya yang norak dan berlebihan, masih juga menjual diri mencari kesenangan, begitu minum
sampai mabuk, tingkah lakunya mirip orang gila, orang tiada yang tahu maksud ocehannya."
Dengan tertawa Toh Lin menambahkan, "Anehnya, orang yang datang ke sarang pelacuran itu justru antri
ingin melihat dia, jadi dia termasuk yang paling laris di antara pelacur lain."
Hong Si-nio menarik muka, "Kalian juga pernah melihat dia? Kalian juga jadi tamunya?"
Merah muka Toh Lin, "Siau-houlah yang menarik aku ke sana."
"Ya, hanya karena tertarik ingin tahu saja, macam apakah sebenarnya siluman tua itu, sayang kedatangan
kami ke sana sia-sia, meski sempat melihat wajahnya, tapi tak sempat mendengar ocehannya yang banyak
diagulkan orang."
"Kenapa?"
"Karena tamu yang antri terlalu banyak." kata Hou Ing menunduk, "mestinya kami siap menunggu semalam.
celakanya, seluruh sarang pelacuran itu sudah dipesan orang."
Hong Si-nio tertarik, "Siapa yang memesan tempat itu?"
"Disewa seorang she Hu, kabarnya seorang yang suka royal menggunakan uangnya."
Hong Si-nio berjingkrak berdiri, matanya benderang, "Dimana tempat itu?"
"Di kota Jun-kang," sahut Hou Ing.
"Di kota dimana kita bertemu dengan Ciu Ci-kong," Toh Lin menjelaskan.
Sambil menarik Sim Bik-kun, Hong Si-nio berseru, "Ayo berangkat."
Hou Ing dan Toh Lin ikut memburu keluar, "Kemana?"
”Tentu ke Pat-sian-cun di kota Jun-kang itu."
* * * * *
Malam.
Lampu sudah guram, banyak pula yang sudah dipadamkan, jelas malam telah larut.
"Pat-sian-cun ada di jalan apa?"
"Di Tho-hoa-kang."
Gang persik ini tidak sempit, hanya temboknya amat tinggi, dari balik tembok itu sayup-sayup berkumandang

suara nyanyian diringi bunyi alat-alat musik.
Sambil mengeprak kudanya, Hong Si-nio menerjang masuk lebih dulu, cepat dan mudah menemukan Patsian-
cun.
Lampion besar digantung di depan rumah masih menyala, enam huruf warna kuning yang mengkilap tampak
jelas dari kejauhan "Pat-sian-cun, Yan-cu-hai".
Dua daun pintu yang berwarna hitam legam tertutup rapat, kalau Soa-ong sedang ingin makan orang, mana
boleh diganggu orang lain.
Apakah dia sudah menelan Siau Cap-it Long? Hong Si-nio melompat turun dari punggung kuda, serunya,
"Ayo terjang ke dalam."
Sim Bik-kun ragu-ragu, "Terjang masuk begini saja? Kalau salah tempat bagaimana?"
"Kalau salah tempat anggap saja mereka yang sial."
"Anggap mereka sial?" Sim Bik-kun tidak mengerti.
"Kalau orangnya tak kutemukan, biar rumahnya aku bongkar."
”He, mereka tidak salah, bukan mereka yang mengundangmu ke sini."
Hong Si-nio tidak menghiraukan ocehannya, segera ia beraksi.
Daun pintunya besar, kokoh kuat, tendangan Hong Si-nio tidak menjadikan pintu jebol atau ambruk, maka
Hou Ing dan Toh Lin membantu, ternyata tendangan mereka tidak menggoyahkan daun pintu.
Sim Bik-kun menonton dari pinggir sambil tertawa getir. umpama diancam akan dibunuh pun ia tidak sudi
melakukan perbuatan sekasar itu. Tapi bila Hong Si-nio berhasil menjebol daun pintu, ia pun akan beranjak
ke dalam. Maklum ia punya prinsip kerja yang berbeda, tak peduli prinsip itu benar atau salah, ia sendiri tidak
bisa membedakan.
Akhirnya daun pintu jebol sebelah.
Dengan menarik Sim Bik-kun, Hong Si-nio mendahului berlari ke dalam, sepanjang perjalanan ke dalam,
tiada orang keluar untuk bertanya, merintangi atau menegur mereka, keadaan di sini ternyata sunyi sepi.
Dari ruang besar yang tampak benderang, mendadak berkumandang suara nyanyian romantis.
Seorang perempuan yang berpakaian norak, dengan bermacam jenis perhiasan memenuhi rambut
kepalanya, di tangan memegang cawan arak, sementara mulut mendendangkan lagu romantis dengan
langkah gontai berjalan keluar. Gaun panjang yang melekat di badannya berderai menyentuh lantai, meski
tampak mabuk, namun gaya dan gerak-geriknya memang indah dan gemulai di bawah penerangan lampu,
dari kejauhan kelihatan cantik.
Tapi setelah makin dekat, Hong Si-nio seketika mendekati perempuan ini dan ternyata adalah seorang
nenek-nenek, meski bedak di kulit mukanya setebal satu senti, belum mampu menutupi karut-merut ketuaan
di wajahnya.
"Thio-ko-lo," seru Hou Ing memburu maju, "mana tamu-tamumu?"
Thio-ko-lo mengangkat kepala, dengan mala sipit mengantuk menatapnya beberapa kali, lalu tertawa
cekikikan geli, "Aku kenal kau, kemarin kau pernah datang." Lalu dengan menghela napas menambahkan,
"Sayang kedatanganmu hari ini sudah terlambat."
"Apakah orang lain sudah pergi semuanya?"
"Belum, belum pergi," ujar Thio-ko-lo menggeleng kepala sambil tertawa renyah, "mana mungkin mereka
pergi, umpama diusir dengan pentung juga mereka takkan mau pergi."
"Kenapa?"

"Kenapa kau tidak masuk melihatnya sendiri?"
Hong Si-nio mendahului berlari masuk, segera ia paham apa yang dimaksud orang.
Orang-orang sebanyak itu memang belum pergi, malah selamanya takkan bisa pergi.
Ruang besar itu terang benderang, Di atas setiap meja yang ada tertata banyak hidangan serba mewah,
arak juga dari kwalitas terbaik. Setiap tamu yang hadir semua berpakaian perlente, serba baru berwarnawarni
dan model mutahir, jelas mereka dari orang-orang terpandang. Sayang mereka sudah menjadi mayat.
Soa-ong Hi-cia-lang, Kim-pou-sat, Kim-kiong-gin-hoan-jan-hou-to, Tui-hun-coh-gwat-cui-siang-biau Le Cenghong,
Jin-siang-jin, Hamwan Sam-seng, Hamwan Sam-coat. Waktu hidup, mereka adalah tokoh kosen,
orang-orang gagah yang punya kekayaan dan kekuasaan di masing-masing tempat tinggalnya, sayang
sekali sekarang mereka sudah mampus seluruhnya, kepala mereka tertabas golok, sekali tabas jiwa
melayang.
Siapa memiliki golok seganas dan setajam itu? Siapa mampu turun tangan secepat itu? Siau Cap-it Long.
Kecuali Siau Cap-it Long, rasanya tiada orang kedua Iagi. Hong Si-nio berdiri menjublek, sekujur badan
terasa dingin. Hati Sim Bik-kun lebih dingin lagi.
Yang mampus bukan hanya enam orang yang itu, kecuali Thio-ko-lo di luar yang masih hidup, seluruh yang
hadir di ruang besar ini, termasuk perempuan juga tiada yang ketinggalan hidup, mampus di bawah
goloknya.
Siau Cap-it Long, Siau Cap-it Long, betapa kejam hatimu? Sepertinya orang-orang itu sudah cukup lama
mati, mayat-mayat itu tiada yang mengalirkan darah lagi. Sim Bik-kun tak kuasa menahan air mata, bukan
merasa sedih karena kematian orang-orang itu, dia pun sedih untuk dirinya sendiri. Orang yang ia cintai
sepenuh jiwa raganya ternyata seorang pembunuh berdarah dingin.
Perlahan Hong Si-nio menghela napas. Pemandangan di depan mata ini memang teramat kejam dan
menakutkan, syukur Siau Cap-it Long sendiri belum menemui ajalnya. Sehari ia belum mati, segala urusan
masih bisa diselesaikan dan dibikin terang.
Mendadak Sim Bik-kun berpaling, dengan tatapan tajam ia mengawasi Hong Si-nio, "Masih kau bilang aku
salah membencinya?"
"Apapun yang telah terjadi, aku yakin dia bukan manusia kejam seperti yang kau bayangkan."
"Memangnya dia bukan, hakikatnya dia terhitung bukan manusia."
"Kau berani pastikan kalau orang-orang ini semua mati di tangannya?"
"Memangnya bukan?"
"Pasti bukan. Selama hidup dia tidak pernah membunuh orang yang tidak pantas mati."
"Lalu siapa pembunuh orang-orang ini?"
"Kalau bisa kutanya, pasti akan kuselidiki, untung di sini masih ada orang yang bisa dimintai keterangan."
Thio-ko-lo memang masih hidup, di bawah penerangan lilin yang benderang, roman mukanya tidak banyak
beda dengan mayat-mayat yang bergelimpangan itu.
Perempuan ini duduk di undakan batu di depan ruang besar, tertawa cengar-cengir dengan mulut berceloieh
mendendangkan lagu. Lagu romantis yang menggambar seorang yang lagi kasmaran, dalam keadaan dan
kondisi sekarang, dendang lagunya itu terdengar begitu memelas, memilukan sekali.
Hong Si-nio datang menghampiri, duduk di sebelahnya, tanya-nya dengan suara halus, "Sejak tadi kau
berada di sini?"
Thio-ko-lo manggut-manggut.

"Peristiwa yang terjadi di sini kau saksikan juga?"
"Walau aku sudah tua, tapi mataku masih bisa melihat, kupingku masih bisa mendengar, aku kan belum
mati," demikian kata Thio-ko-lo, mendadak ia tertawa, "Bocah itu justru menyangka aku sudah mati, purapuraku
mati pasti mirip sekali."
'Bocah itu' yang dimaksud tentu pembunuh itu. Dengan pura-pura mati ia berhasil mengelabui orang, maka
sampai sekarang ia masih hidup.
Seorang perempuan yang sudah bergelut hidup dalam sarang pelacur puluhan tahun, umpama bukan
siluman tua, tentu dia termasuk serigala tua.
Seekor serigala tulen, di dalam keadaan apapun, dia punya cara mempertahankan hidup.
Hong Si-nio menghela napas lega, tanyanya pula, "Waktu bocah itu membunuh orang, kau juga
menyaksikan?"
Thio-ko-lo manggut-manggut sambil mengiakan.
"Semua orang ini dia yang membunuh?"
Thio-ko-lo memanggut sekali lagi, mendadak roman mukanya menampilkan rasa takut, mulutnya
menggumam, "Begitu cepat dia membunuh ... dia memiliki golok yang teramat cepat dan tajam."
"Kau tahu siapa dia?"
"Sudah tentu aku tahu. Dia seorang mati."
Hong Si-nio melenggong, "Orang mati mana mampu membunuh?"
"Sekarang dia memang belum mati, tapi dia adalah orang mati."
Apa yang diceritakan Hou Ing memang tidak salah, bicara orang ini sering ngelantur, tidak jarang orang
dibuat pusing olehnya.
Hong Si-nio harus menahan sabar, tanyanya pula, "Jelas dia masih hidup, kenapa kau bilang dia orang
mati...."
"Karena dia membunuh orang, orang juga ingin membunuhnya, maka usianya jelas tidak akan panjang,
maka dalam pandanganku, hakikatnya dia terhitung orang mati."
Cara bicaranya memang putar balik tak keruan, tapi bukan tidak masuk akal.
Dengan tawa dipaksakan Hong Si-nio bertanya lagi, "Dia mati atau hidup tak usah diurus, coba kau jelaskan
padaku, dia she apa, bagaimana tampang dan perawakannya?"
"Tampangnya bagus, seorang lelaki ...." sampai di sini ia cekikikan geli, "aku senang cowok, terutama cowok
ganteng dan cakap, tapi ... kenapa lelaki yang ganteng cakap hatinya makin telengas ... kenapa lelaki yang
makin bagus justru makin tak kenal kasihan ...." Meski dihiasi senyuman, tapi air mata bercucuran di pipinya.
Mendadak ia memeluk lutut terus menangis tergerung-gerung, mirip anak kecil yang tidak diberi permen oleh
ibunya.
Tentunya dia pribadi menyimpan banyak persoalan yang menyedihkan.
Siapa pun dia bila sekian belas tahun berkecimpung di sarang pelacur, pasti akan mengenyam banyak pahit
getirnya kehidupan, diterpa banyak persoalan yang menyedihkan. Hong Si-nio sendiri juga ikut merasakan
kegetirannya.
Tentu ia sendiri maklum, walau Siau Cap-it Long bukan orang yang berhati kejam, tapi bukan seratus persen
laki-laki yang tidak kenal kasihan.
Tapi dia memang lelaki yang ganteng dan cakap, kenyataan memang memiliki golok tajam dengan gerak
secepat kilat.

Apa betul orang-orang itu mati di bawah goloknya?
Kenapa ia tega turun tangan sekejam ini?
Sekarang dia berada dimana?
Sim Bik-kun masih terus menatapnya, mendadak bertanya, "Jin-siang-jin dan kawan-kawan betul
mengundang dia di sini?"
Hong Si-nio mengangguk.
"Kau berpisah dengan dia, maksudnya hendak ke tempat ini?"
Kembali Hong Si-nio mengiakan.
"Sekarang dia justru minggat."
Tak urung Hong Si-nio menghela napas rawan. Di kala harus tinggal, kau malah pergi. Di kala harus tinggal,
justru ditinggal pergi. Kenapa kau suka menganiaya orang?
"Jika mereka masih hidup, pasti tak memberi ampun padanya, sebab mereka mengundang kemari memang
ingin membunuhnya."
Hong Si-nio membenarkan kesimpulannya.
"Maka waktu dia pergi, orang-orang ini tentu sudah mati, kalau bukan dia yang membunuh mereka,
memangnya siapa pembunuhnya?"
Roman mukanya membayangkan duka dan lara, air mata bercucuran, "Mestinya aku tidak perlu datang, dan
kau juga tak usah kemari. Bahwa dia tidak ingin membawamu ke sini, karena dia tidak ingin kau
menyaksikan dia membunuh ... Kenapa kau datang? Kenapa pula aku ikut ke sini?"
Sembari bicara, air matanya mengucur makin deras, makin deras air matanya, langkahnya makin lambat,
meski lambat ia tidak berpaling lagi.
Hong Si-nio tidak menahannya. Seorang kalau sudah kepalang sedih, siapa bisa merubah pikirannya?
Entah berapa lama kemudian, baru Hong Si-nio sadar Thio-ko-lo sudah menghentikan tangisnya, tubuhnya
tampak lemas seperti hampir roboh ditiup angin. Tak tahan ia mengulur tangan menariknya. Tangan orang
teramat dingin, lebih dingin dari hembusan angin, dingin lagi kering, mirip daun layu yang terhembus angin.
Demikianlah tubuh Thio-ko-lo roboh dalam keadaan loyo.
Perempuan macam dirinya, bertahan hidup dalam kondisi seperti itu, sekarang bisa meninggal dengan
tenang, apakah boleh dianggap bernasib baik?
Tapi kematiannya sungguh memelas, mati dalam kesepian, kalau bisa mati lebih dini, waktu usia masih
muda, waktu wajahnya masih cantik, mungkin ada orang merasa sedih akan kematiannya. Sayang
kematiannya sekarang badannya bukan saja loyo, tubuhnya sudah kering-kerontang.
Bukankah ini nasib jeleknya?
XIX. THIAN CONG YANG SERBA MISTERIUS
Air mata sudah kering.
Mendadak Hong Si-nio melompat bangun terus berlari keluar, "Ayo berangkat."
"Kemana?"
"Cari Kim-hong-hong, buat perhitungan dengannya."
Mereka tidak menemukan Kim-hong-hong, tidak menemukan Sim Bik-kun. Malah bertemu dengan Ciu Cikong
dan Lian Shia-pik.

"Isteriku sakit, sakitnya cukup parah, dalam waktu dua bulan, mungkin belum boleh menerima tamu."
Sementara sikap Ciu Ci-kong tampak temberang.
Beberapa tahun lalu dia pernah menjadi salah satu laki-laki yang tergila-gila terhadap Hong Si-nio, tapi
sekarang seperti sudah melupakan dia.
Demikian pula sikapnya terhadap Hou Ing dan Toh Lin, seperti muak lagi dingin.
Berbeda dengan Lian Shia-pik yang jauh lebih sopan, lelaki ini memang dikenal sebagai suami yang lembut,
suami bijaksana.
Belakangan ini ia seperti mulai berdandan dan merawat diri sendiri.
Begitu Sim Bik-kun berada di sampingnya, kini kondisinya pulih kembali menjadi tampan, ramah dan sopan
santun.
Walau tampangnya masih kelihatan rada pucat, tapi sorot matanya sudah tampak bersinar, sikap dan tindaktanduknya
penuh keyakinan. Kumisnya yang dicukur rapi menambah kerapian dirinya, lebih kelihatan
matang.
Benarkah pengaruh seorang perempuan terhadap laki-laki sedemikian besar? Tapi Hong Si-nio tahu dia
bukan lelaki yang gampang dirubah oleh seorang perempuan.
"Mana Sim Bik-kun?" tanya Hong Si-nio, "bukankah dia sudah pulang?"
"Ya, benar."
"Apakah dia sakit? Tidak bisa keluar menyambut teman?"
"Dia tidak sakit, tapi kelelahan."
Sikap Lian Shia-pik sedemikian lembut lagi sopan, disertai senyum ramah pula.
"Boleh aku sekarang menemuinya?"
"Tidak boleh."
"Harus tunggu sampai kapan untuk bisa bertemu dengan dia?"
"Lebih baik jangan kau tunggu."
"Kenapa?"
Senyum ramahnya mengandung permohonan maaf, "Karena dia bilang tidak ingin bertemu lagi dengan kau."
Hong Si-nio tidak putus asa, juga tidak marah, jawaban ini memang sudah dalam rekaannya.
Setelah bola matanya berputar, mendadak ia bertanya lagi, "Sejak kapan kalian pulang?"
"Cukup pagi kami pulang."
"Cukup pagi? Kira-kira kapan?"
"Sebelum petang kami sudah pulang."
"Setelah pulang kalian terus menunggunya di sini?"
Lian Shia-pik manggut-manggut.
"Setelah tahu dia pergi lagi, apa kau tidak gelisah?"
Lian Shia-pik tertawa, "Aku tahu, meski pergi dia akan segera kembali lagi."

"Darimana kau tahu?" jengek Hong Si-nio, "apa sudah kau perhitungkan, kami akan menemukan mayatmayat
bergelimpangan dalam rumah?"
"Mayat-mayat bergelimpangan dalam rumah?" sepertinya Lian Shia-pik melengak kaget, "dimana?"
"Apa betul kau tidak tahu?"
Lian Shia-pik menggeleng kepala.
"Apakah mereka bukan mati di tanganmu?"
Mutlak ia tidak mau menjawab, sebab pertanyaan ini hakikatnya tidak perlu dijawab.
Hong Si-nio belum patah arang, tanyanya pula, “Tadi siang kalian kemana?"
Ciu Ci-kong mendadak menjengek dingin, "Sejak kapan kau menjadi opas yang mengompas keterangan
orang?"
"Bukan opas juga boleh mencari tahu duduk persoalannya."
"Persoalan apa maksudmu?"
"Soal pembunuhan."
"Siapa pembunuhnya? Siapa korbannya?"
"Korbannya adalah Hi-cia-lang, Jin-siang-jin dan Hamwan bersaudara."
Ciu Ci-kong tampak kaget, "Tidak mudah untuk membunuh tokoh-tokoh kosen itu."
"Sangat tidak mudah."
"Kau kira kami pembunuhnya?"
"Memangnya bukan?"
"Kalau benar kami pembunuhnya, sekarang kau sudah mampus di sini."
Mulut Hong Si-nio seperti dibungkam.
Kalau benar mereka pembunuhnya, kenapa tidak membungkam mulutnya pula?
Kalau sudah telanjur membunuh sekian banyak orang yang tiada sangkut-pautnya dengan urusan ini, apa
halangannya membunuh lagi satu orang?
Mendadak Lian Shia-pik tertawa, "Kurasa kalau kau mau menggunakan daya akalmu, tentu kau mengerti
bahwa kami tak mungkin jadi pembunuh mereka."
"Kenapa?"
"Karena kami tidak punya alasan membunuh mereka."
"Siapa pun takkan membunuh orang tanpa sebab, membunuh orang tentu ada sebab dan tujuannya."
"Aku tahu, selama ini kau berprasangka aku punya ganjalan hati terhadap Siau Cap-it Long, selalu
beranggapan aku menaruh dendam terhadapnya."
Hong Si-nio diam.
"Kabarnya mereka juga adalah lawan-lawan tangguh Siau Cap-it Long, pantasnya aku menggandeng
mereka bergabung menghadapi lawan yang sama, kenapa aku justru membunuh mereka?"
Hong Si-nio makin tak bisa bicara.

Kalau mereka bergabung, yang mati di Pat-sian-cun jelas adalah Siau Cap-it Long.
Mendadak ia sadar dan mengerti, persoalan ini jauh lebih rumit, ruwet dan aneh.
Dengan tersenyum Lian Shia-pik berkata pula, "Kulihat kau amat lelah, perlu istirahat atau tidur. Besok
setelah badan segar pikiran sehat, mungkin bisa kau tebak siapa pembunuh sebenarnya."
Hi-cia-lang dan kawan-kawan jelas adalah musuh atau lawan Siau Cap-it Long, selama mereka hidup,
merupakan tekanan yang tidak menguntungkan bagi Siau Cap-it Long.
Maka pihak yang punya alasan membunuh mereka adalah Siau Cap-it Long. Siapa pun akan maklum, dan
tidak perlu dipikirkan secara rumit, siapa pun akan tahu dan maklum.
Namun Hong Si-nio tetap tidak mengerti, tidak paham, maka dia harus berpikir. Makin dipikir makin tidak
mudah memecahkan persoalan, kalau hati sedang gundah, pikiran sedang buntu, mana dia bisa tidur?
* * * * *
Hari sudah terang tanah. Di meja berserakan banyak bumbung dari timah wadah arak, semua sudah
kosong.
Sekarang bukan waktu yang tepat minum arak, bukan saatnya berjualan arak. Kedai arak ini mau buka pintu
membiarkan mereka masuk minta arak, karena Hong Si-nio ingin minum.
"Kalau kau tidak buka pintu menyediakan arak bagi kami, akan kubakar kedai minummu ini," demikian
ancam Hong Si-nio.
Pemilik kedai tidak punya pilihan. Hong Si-nio memang senang menyudutkan orang, apalagi di kala hatinya
gundah, perasaan kacau, bukan saja sedang rawan, badannya juga teramat penat.
Karena tidak bisa tidur, maka Hou Ing dan Toh Lin terpaksa menemaninya duduk minum arak. Minum arak
memang hal yang menggembirakan bagi mereka, sayang sekali kondisi mereka sekarang justru terbalik,
tidak kelihatan rasa senang atau gembira.
Hou Ing menguap mengantuk, berbangkis beberapa kali.
Hong Si-nio menarik muka, katanya, "Jangan kau bertingkah di hadapanku, kapan saja kau boleh pergi, aku
tidak memaksamu menemani aku."
Hou Ing tertawa malah, "Kapan aku bilang mau pergi? Bicara saja tidak."
"Kenapa tidak mau bicara?"
"Apa yang kau ingin aku bicarakan?"
"Kau tidak bisa mengajak aku minum, begitu?"
"O, ya, mari kita minum, mari bersulang," langsung ia tenggak habis secawan arak.
Akhirnya Hong Si-nio tertawa geli, tertawa rikuh, selama ini kedua pemuda ini bersikap baik, sopan dan
hormat terhadap dirinya.
"Siau Toh," ujar Hou Ing, "kenapa kau tidak bicara?"
Toh Lin tampak bimbang, akhirnya ia mengangkat cawan, "Baiklah, bersulang ya bersulang."
Hong Si-nio tertawa riang, tawanya berderai seperti kelintingan, "Untung bertemu kalian, kalau tanpa
bantuan kalian selama ini, mungkin aku sudah menumbukkan kepala biar mampus saja."
"Eh, kau sedang marah kepada siapa?"
"Banyak orang," seru Hong Si-nio, "kecuali kalian, boleh dikata di seluruh kolong langit tidak ada manusia
baik lagi."

Biarpun mimiknya tertawa riang, padahal hatinya menjerit, pikiran ruwet, maka ia nekad minum arak
sebanyak mungkin, kalau sudah mabuk, segala gundah, semua kekesalan hati akan tersapu bersih. Sorot
matanya masih tampak terang, padahal ia sudah mulai mabuk.
Hou Ing juga sudah mabuk, ia terus minum sambil tertawa-tawa, "Kau sendiri tidak mabuk? Mari bersulang.”
Hong Si-nio tertawa, "Isilah cawanku, mari bersulang."
"Baik," seru Hou Ing.
Tangannya diulur mengambil poci arak, ternyata dia tidak bisa memegangnya kencang, arak dalam poci
tertuang ke badan Hong Si-nio.
"Bajuku mana bisa minum, kau juga ingin melolohnya?"
Dengan tawa renyah ia berdiri sambil membersihkan arak di bajunya. Hou Ing menghampiri membantu
mengelap bajunya yang basah, mulutnya menggumam mohon maaf, sepasang tangannya secepat kilat
menutuk tiga Hiat-to di tubuhnya. Caranya singkat, gerakannya cekatan.
Hong Si-nio ingin menjerit, tapi suara sudah tidak keluar dari mulutnya, seketika ia merasakan sekujur badan
kaku, ia berdiri mematung di tempatnya.
Hou Ing mengangkat kepala, sorot matanya seperti terpengaruh air kata-kata, setajam pisau melotot pada
pemilik kedai yang kaget ketakutan, "Bahwasanya kami tidak pernah ke sini, kau paham tidak?"
Pemilik kedai manggut-manggut, mukanya pucat ketakutan, suaranya gemetar, "Sejak pagi hari, kedai
minumku belum pernah dikunjungi tamu, aku tidak melihat apa-apa."
"Makanya kuanjurkan kau sekarang pergi tidur saja." Tanpa bicara pemilik kedai segera hengkang, masuk
ke kamar merebahkan diri di ranjang, malah menutup sekujur badan dengan selimut tebal.
Sekarang Hou Ing mengerling ke arah Hong Si-nio, dengan enteng menghela napas, "Kau ini perempuan
yang enak dipandang. Sayang sekali kau suka mencampuri urusan orang lain." Hong Si-nio tidak mampu
bicara.
Hou Ing memang tidak ingin mendengar ia bicara, Hiat-to yang mengendalikan suaranya juga ditutuknya.
Agaknya dia takut pendiriannya berubah setelah mendengar bujuk rayunya nanti.
Kedai minum ini masih tertutup rapat, memang tadi keinginan Hong Si-nio, waktu sedang minum ia paling
pantang diganggu. Demikian pula bila Hou Ing ingin membunuh orang, ia pun tak mau diganggu. Dari balik
sepatunya yang berlaras tinggi ia mencabut sebilah belati, belati tipis sempit lagi tajam. Itulah jenis senjata
yang biasa digunakan para pembunuh.
Bentrok Para Pendekar
Karya Gu Long - Gan K.H.
Bagian 13
Toh Lin tetap di samping mengawasi dengan mendelong, katanya tiba-tiba, "Sekarang kita turun tangan?"
"Kalau tidak sekarang turun tangan, lain kali tiada kesempatan lagi."
Toh Lin tampak ragu, akhirnya mengambil sikap, "Aku belum pernah membunuh orang, kali ini biar aku yang
turun tangan."
Hou Ing mengawasinya, "Kau tega turun tangan?"
Toh Lin menggigit bibir sambil memanggut, dari pinggir laras sepatunya ia juga mengeluarkan sebilah belati,
bentuk dan panjangnya sama dengan milik Hou Ing.

Sorot mata Hong Si-nio menampilkan rasa kecewa dan sedih. Selama ini ia berpendapat Toh Lin adalah
pemuda jujur polos, baru sekarang ia tahu pandangannya ternyata keliru.
Toh Lin menghindar beradu pandang dengan Hong Si-nio, melirik pun tidak berani.
Hou Ing berkomentar, "Waktu membunuh orang, kau harus memperhatikan korbanmu, supaya sasaran
tepat, adakalanya sang korban harus sekali tusuk tamat riwayatnya. Atau akibatnya kau sendiri bisa mampus
di tangannya."
"Lain kali akan selalu kuingat," sahut Toh Lin.
"Membunuh orang juga memerlukan ketrampilan, asal kau selalu ingat omonganku, mungkin kelak bisa
menjadi pembunuh kelas wahid."
Siapa pun takkan pernah menduga, pemuda yang satu ini ternyata adalah pembunuh yang lihai di
bidangnya.
Dengan tertawa ia menyambung, "Anggaplah cewek ini bersikap baik terhadap kita selama ini, maka jangan
kau menyiksanya, incarlah sasaran tulang kelima di antara celah sebelah kiri rusuknya, tempat itu cukup
sekali tusuk, jiwa pun melayang."
"Baiklah, aku tahu," sahut Toh Lin. Perlahan ia maju mendekat, jari-jari yang memegang gagang belati
tampak memucat, otot hijau menonjol keluar, bola matanya memerah seperti berdarah.
Hou Ing tersenyum sambil menggendong tangan, bagi anggapannya, membunuh orang memang adegan
yang enak dipandang.
Toh Lin mengertak gigi, mendadak belati di tangannya bergerak.
Gerakannya cepat dan tepat, sekali serang belatinya tepat menusuk di celah tulang rusuk keempat dan
kelima di dada Hou Ing. Yang dia bunuh bukan Hong Si-nio, tapi Hou Ing! Senyum tawa di muka Hou Ing
seketika membeku, bola matanya melotot seperti hendak mencelat keluar, dengan kaget menatapnya tajam,
sorot matanya penuh rasa kaget, heran, ngeri dan benci.
Tak urung Toh Lin merinding oleh tatapan mata orang, tangan menjadi lemas, gagang belatinya pun ia
lepas.
Pada detik itulah, sinar kilat berkelebat, belati di tangan Hou Ing secepat kilat juga menusuk di tengah tulang
rusuknya.
Hou Ing menyeringai sadis, "Yang kuajarkan kepadamu adalah tusukan yang mematikan, sayang kau lupa
mencabut belatimu, kepandaianmu membunuh orang memang harus belajar lagi."
Toh Lin mengertak gigi, secepat kilat mendadak ia turun tangan lagi, kali ini ia cabut belati di rusuk orang,
"Sekarang aku sudah belajar lengkap."
Begitu darah menyembur keluar, muka Hou Ing tampak mengkerut menahan sakit, mulutnya megap-megap
seperti ingin bicara. Tapi sepatah kata pun tidak kuasa bicara, perlahan badannya roboh terkapar di lantai,
kali ini memang sekali tusuk jiwa melayang.
Mengawasi badan rekannya roboh binasa, mendadak Toh Lin membungkuk badan terbatuk-batuk. Ujung
belati yang tajam, dingin dan keras tetap menancap di celah tulang rusuknya, badannya terasa menggigil.
Toh Lin belum roboh, karena belati masih menancap di dadanya. Meski berhasil membalas menusuk dada
orang, Hou Ing sendiri kehabisan tenaga, tak mampu mencabut belati di dada Toh Lin.
Ada kalanya hal itu bisa terjadi, kalau sekali tusuk kau tak mampu membunuhnya mati, kemungkinan jiwamu
sendiri mampus di tangannya malah.
Sejauh belati masih melekat di badanmu, jiwamu takkan segera melayang. Membunuh orang memang
diperlukan ilmu yang tinggi.
Toh Lin masih terus terbatuk, makin lama batuknya makin keras. Tusukan Hou Ing memang kurang tenaga,

walau tidak tepat mengenai jantung, tapi melukai paru-parunya..
Hong Si-nio hanya bisa mengawasinya. Pemuda ini memang berhati jujur dan polos. Penilaiannya tidak
keliru.
Hong Si-nio tidak mengucurkan darah, tapi mengucurkan air mata.
Sekuatnya Toh Lin berusaha mengendalikan batuknya, lalu dengan napas tersengal-sengal beringsut
menghampirinya, berusaha membuka tutukan Hiat-tonya. Kejap lain ia tak kuat berdiri, lalu jatuh di kursi,
tenaga terakhir untuk bertahan pun sudah tak mampu dikerahkan lagi. Keringat sebesar kacang menetes
membasahi selebar mukanya.
Hong Si-nio merobek bagian bawah gaunnya, dengan air dingin di baskom pojokan sana ia basahi kain itu
untuk mengompres jidatnya.
Bujuknya lembut, "Untung tusukannya ini tidak tepat dan kurang dalam, bertahanlah untuk beberapa kejap,
setelah napasmu normal dan rasa sakit jauh berkurang, nanti kubawa kau pergi berobat." Lalu dengan tawa
yang dipaksakan menyambung, "Aku kenal seorang tabib pandai, dia pasti mampu menyembuhkan lukalukamu."
Toh Lin juga mengunjuk senyum dipaksakan. Ia sendiri maklum dirinya takkan kuat bertahan lama, tapi
banyak omongan yang ingin ia bicarakan.
Hanya arak yang bisa mendukung tekadnya, asal dapat bertahan sampai isi hatinya ditumpahkan, cukup
puaslah hatinya.
"Beri aku arak, di tubuhku ada botol obat...."
Puyer itu berada dalam botol kecil yang terbuat dari kayu, bukan saja mahal dan antik, di tengah botol
ditempeli kertas yang berlulis "Hun-lam Tiam-jong". Hun-lam-pek-yo adalah obat luka buatan Tiam-jong-bun,
terkenal di kolong langit, obat mujarab yang mendapat penghargaan kaum Bulim.
Sayangnya betapapun mahal, hebat mujarab obat luka itu, takkan mampu menyembuhkan luka yang tepat
mengenai sasaran, luka yang mematikan.
Waktu melancarkan serangan, tenaga Hou Ing memang sudah terkuras hampir habis, betapapun dia adalah
ahli di bidangnya.
Hong Si-nio membanting kaki, serunya gelisah, "Kenapa semua ini dia lakukan? Kenapa dia ingin
membunuhku?"
Toh Lin tertawa getir, "Kami ke Bu-kau-san-ceng dengan tujuan membunuhmu."
Hong Si-nio tertegun. Baru sekarang ia sadar, kenapa mereka rela menjadi pengiringnya.
"Sungguh aku tidak mengerti kenapa kau justru mencari kami. Waktu itu aku hampir tidak percaya kalau kau
benar-benar adalah Hong Si-nio."
"Kenapa waktu itu kalian tidak turun tangan?"
"Hou Ing tidak pernah bertindak kalau tidak yakin pasti berhasil."
Kata Toh Lin lebih jauh, "Maka dia tidak pernah gagal membunuh orang." Sekaligus ia menghabiskan tiga
cawan arak, sebotol obat ia tenggak seluruhnya didorong arak secawan, roman mukanya yang pucat mulai
kelihatan bersemu merah, "Dalam usia sembilan belas, dia sudah terjebak sebagai pembunuh bayaran. Di
antara sekian banyak anggota Thian Cong, sulit dicari yang mampu mengungguli dia."
Toh Lin tertawa getir, lalu menyambung pula, "Kali ini aku diperintah ikut dia, maksudnya supaya aku belajar
kepadanya."
"Thian Cong?" belum pernah Hong Si-nio mendengar nama ini. "Yang memerintah kalian membunuhku
adalah Thian Cong?"
"Betul."

"Dua huruf itu kedengarannya bukan nama seseorang."
"Thian Cong memang bukan nama orang, tapi milik orang banyak, nama sebuah organisasi gelap, kumpulan
rahasia yang menakutkan." Sorot mata Toh Lin menampilkana rasa ngeri, "Aku sendiri tidak tahu berapa
jumlah anggota mereka."
"Apakah Thian Cong didirikan oleh Siau-yau-hou?"
"Cosu atau cikal bakal Thian Cong she Thian."
Bukankah Siau-yau-hou selalu senang menyebut dirinya Thian-kongcu?
Benderang mata Hong Si-nio, paling tidak sekarang ia bisa membuktikan bahwa Siau Cap-it Long tidak
bohong, Siau-yau-hou memang mengendalikan sebuah organisasi rahasia yang menakutkan. Hoa Ji-giok,
Auyang-hengte adalah anggota organisasi itu.
Setelah Siau-yau-hou mati, siapa pewaris tahta pimpinan organisasi rahasia itu?
Apakah Lian Shia-pik? Soal ini adalah titik terpenting. Hong Si-nio berkeputusan untuk mencari tahu sampai
jelas, namun ia insaf keadaan sekarang tidak bisa memberi tekanan lebih berat kepada Toh Lin, mengingat
kondisinya yang sudah kempas-kempis. Setelah merenung sesaat ia bertanya dengan cara lembut, "Kau
juga anggota Thian Cong?"
"Aku juga anggota."
"Sudah berapa lama kau menjadi anggota?"
"Belum lama, belum genap sepuluh bulan."
"Apakah tiap orang boleh menjadi anggota?"
"Tidak boleh," ucap Toh Lin, "untuk menjadi anggota Thian,. harus di bawah perantara seorang Hiang-cu,
itupun harus diuji dan diluluskan oleh Thian Cong sendiri."
"Siapa Hiang-cu yang menjadi perantaramu?"
"Pamanku. Mantan Ciangbunjin Tiam-jong-pay yang bernama Cia Thian-ciok."
Hal ini kembali membuktikan bahwa omongan Siau Cap-it Long benar, Cia Thian-ciok adalah anggota
organisasi rahasia itu, maka Siau Cap-it Long membikin buta matanya. Dari sini dapat disimpulkan pula
bahwa apa yang dikatakan Pin-pin juga tidak salah. Betapapun sedikit terhibur hati Hong Si-nio, sedikit lega.
Setelah mendengar uraian Lian Shia-pik, tak urung hatinya ikut mencurigai Siau Cap-it Long, maka seorang
kalau dipaksa harus mencurigai pujaan hatinya, sungguh merupakan hal yang membuatnya sengsara.
"Kecuali Cia Thian-ciok, masih berapa banyak Hiang-cu dalam Thian Cong?"
"Konon ada tiga puluh lima orang, tiga puluh enam orang Thian-lo."
"Congcu hanya seorang?"
"Ya, hanya seorang."
Hong Si-nio berusaha mengendalikan gejolak perasaannya, “Kau pernah bertemu dia?”
"Pernah dua kali."
Jantung Hong Si-nio berdegup lebih kencang, rahasia ini sudah hamnpir bisa diungkap, tanpa sebab roman
mukanya memerah.
"Pertama, waktu aku masuk dan diangkat menjadi anggota. Cia-susioklah yang membawaku bertemu
beliau."
"Yang kedua?"

"Setelah mata Cia-susiok buta, kedudukan atau jabatannya digantikan oleh Hoa-hiangcu."
"Hoa Ji-giok maksudmu?"
Toh Lin mengangguk.
"Huh," Hong Si-nio menghembuskan napas dari mulut. Hoa Ji-giok ternyata juga orang Thian Cong. Tapi di
antara mayat-mayat di Pat-sian-cun tidak tampak adanya Hoa Ji-giok.
"Untuk yang kedua kali, Hoa-hiangculah yang mengajakku menemui beliau."
"Dimana tempatnya?"
"Pat-sian-cun."
Kembali Hong Si-nio menghembuskan napas dari mulut. Peritiwa ini mirip sebuah gambar lukisan yang telah
dirobek-robek, sekarang satu per satu mulai dibeberkan dan disatukan kembali.
"Hou Ing sengaja mengajakmu ke Pat-sian-cun, awalnya mungkin akan turun tangan di sana."
"Kalian juga tidak tahu penstiwa yang terjadi di sana?"
Toh Lin tertawa getir, "Tidak banyak yang kuketahui, di dalam Thian Cong, aku hanya anggota biasa,
anggota yang tidak terpandang sama sekali, mungkin dibanding anjing yang dipelihara Congcu masih lebih
rendah," tutur Toh Lin amat menyentuh, tawanya begitu pilu dan getir.
Usianya masih muda. Seorang pemuda paling tidak suka diremehkan, dihina apalagi direndahkan, hal itu
bisa dirasakan, lebih baik mati daripada hidup tidak terpandang.
Hong Si-nio bertanya lagi, "Apakah Congcu memelihara anjing?"
"Dua kali aku bertemu dia, dua kali aku melihat dia membawa anjing."
“Anjingnya jenis apa?"
"Anjing itu kecil saja, tampangnya tidak galak, kelihatan Congcu amat menyayangi, beberapa kali bicara
selalu menunduk mengelus kepala anjingnya."
Seorang yang menjadi pemimpin besar organisasi yang punya anggota banyak dan tersebar luas di seluruh
pelosok negeri, jago silat lihai yang banyak membunuh dan berbuat kejahatan di Kang-ouw, ternyata
seorang yang gemar memelihara anjing.
Hong Si-nio menghela napas. Mungkin hati manusia paling susah dipahami dibanding segala urusan tetekbengek
yang pernah terjadi di dunia.
Kini ia bertanya pada titik persoalan yang paling penting, "Siapakah dia sebenarnya?"
Setelah melontarkan pertanyaan, jantungnya mendadak berdetak keras.
"Tidak tahu."
Jawaban Toh Lin ini sungguh membuatnya amat kecewa. Meski rasa hatinya amat penasaran, namun ia
belum putus asa, "Tadi kau bilang pernah melihatnya, memangnya bagaimana bentuk wajah dan
perawakannya kau tidak melihatnya?"
"Aku tidak bisa melihatnya."
Hong Si-nio menghela napas, katanya dengan tertawa getir, "Kau sudah menjadi anggota Thian Cong,
apakah waktu dia menerima dirimu mengenakan kedok?"
"Bukan hanya mengenakan kedok, jari-jari tangannya memakai sarung tangan yang terbuat dari kulit ikan
hiu."

”Kenapa tangannya pun tak boleh dilihat orang? Apakah karena dia orang luar biasa?"
"Dia memang orang luar biasa dan aneh, gayanya waktu berjalan, sikapnya waktu bicara kelihatan berbeda
dengan manusia umumnya."
"Dalam hal apa tidak sama?"
”Tidak bisa kujelaskan, tapi dimana dan kapan pun aku melihatnya, aku pasti dapat mengenalinya."
Menyala bola mata Hong Si-nio, tanyanya segera, "Kau pernah melihat atau bertemu dengan Lian Shia-pik?"
"Aku pernah melihatnya."
"Apakah dia Lian Shia-pik?"
"Pasti bukan."
"Muka atau perawakannya saja kau tidak pernah melihatnya, cara bagaimana kau berani memastikan kalau
dia bukan Lian Shia-pik?"
"Dia seorang yang kurus kecil, Lian Shia-pik bukan laki-laki gede, dibanding dia perawakannya jauh lebih
tinggi, dalam hal ini dia tidak mungkin berpura-pura."
Mulut Hong Si-nio serasa dibungkam, namun hatinya penasaran, teori yang dianggapnya pas, tak mungkin
dipecahkan, mendadak seluruhnya batal, betpapun hatinya amat jengkel, namun ia harus menelan
penasaran.
Wajah Toh Lin kini sudah memerah lebih segar, napasnya sudah biasa, kadang terbatuk beberapa kali,
kalau belati tidak menancap di dadanya, orang takkan tahu kalau dia seorang yang luka parah, terutama
sorot matanya, tidak mirip orang sakit.
Karena bola matanya sekarang juga menyala, rasanya lebih terang dibanding keadaan biasa, karena dia
sedang mengawasi Hong Si-nio.
Hong Si-nio mengunjuk tawa, meski dipaksakan, katanya lembut, "Apapun yang terjadi, lukamu tidak terlalu
parah, setelah makan obat, lekas sekali pasti sembuh."
Toh Lin memanggut, wajahnya mengulum senyum senang, "Kuharap demikian."
Usianya masih muda, tidak irigin mati selekas ini, sekarang terasa kematian makin menjauh, timbul sinar
harapan untuk mempertahankan hidup. Dengan nanar ia mengawasi Hong Si-nio, mukanya makin merah,
mendadak ia berkata, "Kalau setelah ini aku masih bisa bertahan hidup, setelah lukaku sembuh, kau masih
memerlukan tenagaku sebagai pendampingmu tidak?"
"Tentu aku butuh bantuanmu."
Beberapa kali bibirnya bergerak, akhirnya ia memberanikan diri berkata, "Mau tidak aku menjadi
pendampingmu untuk selamanya?"
Hong Si-nio manggut-manggut, hatinya pilu seperti ditusuk sembilu, jelas ia maklum isi hati pemuda ini
terhadap dirinya. Dengan mempertaruhkan jiwa, orang berusaha menolong dirinya, kecuali tidak ingin
diremehkan dan direndahkan oleh pihak Thian Cong, yang terpenting mungkin karena ia jatuh hati terhadap
dirinya.
Kenapa bisa timbul rasa cinta terhadapnya? Siapa pun tak bisa menjelaskan. Perasaan manusia,
memangnya siapa bisa menyelaminya?
Air mata Hong Si-nio belum meleleh karena ia terus berusaha mempertahankannya, bukan lantaran nasib
pemuda ini ia merasa sedih dan pilu, dia sedih karena dirinya sendiri, sadar bahwa selama ini ia bersikap
kurang kompromi terhadap pemuda ini, bahwasanya boleh dikata tidak ambil di hati, tidak ada perhatian
sama sekali, tapi pemuda ini rela berkorban demi membela dirinya.
Bagaimana dengan Siau Cap-it Long.

Demi Siau Cap-it Long pengorbanan apa yang tidak pernah ia lakukan, sekarang apa pula yang dia peroleh.
Cinta memang tidak bisa dipaksakan, juga tidak bisa ditukar, cinta memangnya pengorbanan tanpa syarat.
Hong Si-nio paham akan pengertian ini, melihat bagaimana perasaan Toh Lin terhadap dirinya, kini ia paham
lebih banyak, punya pengertian lebih mendalam.
Satu hal yang ia tidak mengerti, kenapa nasib selalu mempermainkan orang? Ada kalanya memaksa
seorang untuk mencintai seorang yang tidak patut ia cintai?
Toh Lin termasuk seorang yang dipermainkan oleh nasib, patut dikasihani. Memangnya dirinya tidak
merasakan punya nasib yang sama?
Untung Toh Lin tidak bisa melihat jalan pikirannya, dengan tersenyum tenteram memejam, kelihatan amat
puas dan tenteram, "Kita bertemu belum lama, aku tahu kau takkan menaruh diriku dalam hati, tapi kelak ...."
Senyumannya makin mekar, "Kelak hari masih panjang, masih panjang ...." Suaranya makin lirih, makin lemas
akhirnya ia sendiri tidak bisa mendengarnya.
Kini roman mukanya berubah amat cepat, dari merah berubah pucat pias, namun senyum masih menghias
wajahnya.
Bagaimanapun akhirnya dia meninggal sambil tersenyum.
Berapa banyak orang bisa tersenyum setenteram dia waktu meninggal dunia?
XX. MIMPI HILANG CINTA PUN LENYAP
Matahari memancarkan cahayanya yang cemerlang.
Hong Si-nio berjalan di bawah terik matahari, air matanya Sudan kering. Dia bersumpah sejak kini takkan
mengucurkan air mata.
Sekarang seluruh analisa dan teorinya sudah tumbang, tapi ia bersumpah akan menggusur 'orang itu',
membongkar muslihatnya.
Kini ia sudah tahu, 'orang itu' adalah seorang yang suka memelihara anjing.
Seekor anjing berlari-lari kecil menyusuri jalan raya di bawah bayang-bayang payon rumah, langkahnya
gontai seperti kehausan. Entah kenapa Hong Si-nio membuntuti anjing itu. Jelas ia mengerti, anjing ini pasti
bukan anjing yang dipelihara 'orang itu', tapi ia kehabisan akal, tak tahu kemana harus berjalan, kemana
pergi mencari berita supaya bisa menemukan 'orang itu', apalagi bisa menemukan Siau Cap-it Long.
Anehnya, makin terik sinar marahari, orang yang berjalan di bawah cahaya matahari akan lebih cepat
merasa lelah.
Kini Hong Si-nio tidak mabuk lagi, setelah pengalaman sehari semalam itu, sekarang justru saat ia merasa
paling penat. Ingin tidur tak bisa tidur, dengan mata terbelalak ia rebah di ranjang, ingin tidur tidak bisa tidur,
rasanya sudah sering ia alami.
Sebatangkara, kesepian, tidak bisa tidur, resah dan sebal ... semua itu adalah perasaan orang yang susah
ditahan, tapi seorang gelandangan, orang yang biasa keluyuran di luar, derita seperti itu sudah layak
dirasakan.
Memangnya sampai kapan mempertahankannya?
Sampai kapan baru bisa tenteram?
Hong Si-nio tidak berani memikirkan.
Suami yang pengertian, anak yang patuh, keluarga bahagia, kehidupan nan tentram....
Semua itu adalah dambaan setiap perempuan, dahulu ia pernah membayangkannya, tapi sekarang sudah
lama ia tidak pernah mengharapkannya lagi, sebab ia merasakan semua dambaan itu seiring bertambahnya

usia, jarak itu makin jauh dan jauh ....
Jalan panjang ini makin lebar, tapi orang yang berlalu lalang makin jarang, tanpa terasa langkah Hong Si-nio
menjurus keluar dari keramaian, terus menuju keluar kota, di jalanan yang sepi di depan sana terdapat
sebuah hotel kecil, pintunya kecil, temboknya rendah, di pekarangan dalam ditaruh beberapa pot bunga
seruni yang lagi mekar, penataannya mirip keluarga kecil dari kalangan kelas rendah.
Kalau di depan pintu tidak ditempel papan yang dicat beberapa huruf merah, hakikatnya tempat ini tidak
mirip sebuah hotel.
Hotel yang tidak mirip hotel, betapapun tetap hotel, apalagi bagi seorang petualang yang tidak punya rumah,
bolehlah dianggap sebagai penenteram hati yang lagi merana. Maka Hong Si-nio beranjak masuk, ia minta
sebuah bilik yang dirasa nyaman dan tenteram. Sungguh ia perlu tidur barang sejenak.
Kebetulan di luar jendela tumbuh sepucuk pohon cukup besar yang mengalingi sorot matahari. Rebah di
ranjang, mengawasi bayang-bayang daun pepohonan yang bergontai, hatinya terasa kosong dan hampa,
sepertinya banyak persoalan harus dipikir, namun tiada satu pun yang bisa ia ingat.
Angin berhembus ringan, rasa sejuk berhembus masuk lewat jendela yang terbuka.
Tempat ini sungguh tenang, kelopak matanya terasa makin berat, akhirnya layap-layap ia mulai terbuai dan
hampir tidur.
Apa boleh buat, di kala rasa kantuk sudah membuai pikirannya, mendadak dari kamar sebelah ia mendengar
seorang sedang menangis. Tangisnya begitu sedih, suaranya rendah lagi lirih, namun Hong Si-nio dapat
mendengarnya dengan jelas.
Tembok di sini kurang tebal, keadaan di sini memang teramat sunyi. Hong Si-nio membalik badan, pikirnya
ingin tidur saja, namun isak tangis itu didengarnya makin jelas. Itulah isak tangis seorang perempuan.
Memangnya hati sedang dirundung persoalan apa? Seorang diri kenapa bersembunyi di sini untuk
melampiaskan duka lara?
Mestinya Hong Si-nio tidak ingin mencampuri urusan orang lain, urusan sendiri cukup membuatnya resah.
Mungkin karena terlalu banyak urusan, hati resah pikiran buntu, maka begitu tahu orang lain juga sedih dan
lara, rasa simpati timbul dalam sanubarinya. Tak tahan akhirnya ia melompat bangun, setelah mengenakan
sepatu ia membuka pintu beranjak ke kamar sebelah.
Pohon di pekarangan memang cukup rindang, suasana di sini nyaman, daun pintu kamar sebelah tertutup
rapat. Sesaat ia ragu, isak tangis belum berhenti, akhirnya ia beranjak maju lalu mengetuk pintu perlahan.
Cukup lama, dari dalam ada suara orang menegur, "Siapa di luar?"
Suara orang seperti amat dikenalnya. Jantung Hong Si-nio bertambah cepat, dengan keras ia mendorong
daun pintu, segera ia berteriak kaget, "Kau?"
Perempuan yang diam-diam bersembunyi di kamar dan berisak tangis itu ternyata bukan lain adalah Sim
Bik-kun.
* * * * *
Di meja ada arak.
Sepertinya Sim Bik-kun sempat mabuk. Ada orang setelah mabuk suka tertawa, tertawa dan tertawa, ada
juga setelah mabuk suka menangis, menangis dan menangis terus.
Melihat Hong Si-nio, bukan saja tidak menghentikan tangisnya, tangis Sim Bik-kun malah lebih keras, lebih
sedih.
Hong Si-nio berdiri diam, mengawasi orang menangis.
Dia juga seorang perempuan, ia tahu bila seorang sedang menangis, siapa pun takkan bisa membujuknya,
makin dibujuk tangisnya makin sedih, tangisnya bisa menjadi-jadi.

Kadang 'menangis' mirip orang minum arak.
Seorang boleh menangis, seorang juga boleh minum arak.
Tapi di kala minum arak, kalau ada seorang lain berdiri di samping mengawasi kau minum, selera minummu
pasti hilang, arak takkan bisa masuk perut lagi.
Demikian halnya dengan menangis.
Karena diawasi Hong Si-nio, mendadak Sim Bik-kun berjingkrak, dengan bola matanya yang merah karena
lama menangis menatap Hong Si-nio, serunya, "Untuk apa kau kemari?"
"Aku juga ingin tanya, untuk apa kau ke tempat ini?" tanya Hong Si-nio, lalu menarik kursi dan duduk,
"Bagaimana kau bisa berada di tempat ini?"
"Kenapa aku tidak boleh ke tempat ini?"
Bukan saja lagi sedih, ternyata emosinya juga terbakar. Biasanya ia tidak pernah bersikap sekasar ini.
Hong Si-nio malah tertawa, "Tentu kau boleh ke tempat ini. Tapi bukankah kau sudah pulang?"
"Pulang kemana?"
"Pek-ma-san-ceng."
"Pek-ma-san-ceng bukan rumahku," air mata Sim Bik-kun hampir menetes lagi.
"Kemarin malam aku ke Pek-ma-san-ceng, kau ada di sana?"
"Ada."
"Lha, kenapa seorang diri kau keluyuran di sini?"
"Aku senang," bantah Sim Bik-kun sambil menggigit bibir, "aku senang keluar, kenapa tidak boleh keluar?"
"Dari tampangmu, kelihatan kau tidak senang," Hong Si-nio tidak memberi kelonggaran. "Sebetulnya
lantaran apa kau lari dari rumah?"
Sim Bik-kun tak bisa menjawab. Arak masih ada di meja, mendadak ia meraih poci arak lalu dituang ke
dalam mulut. Dia ingin mabuk, setelah mabuk baru bisa melupakan segala persoalan, bisa menolak
pertanyaan yang tidak ingin dijawab. Sayang poci itu sudah kosong, sisanya masih beberapa tetes, mirip
derai air matanya. Arak yang getir, segetir hatinya, sisa arak itu akhirnya bakal kering. Bagaimana dengan air
mata?
"Pyaarrr", poci itu jatuh di lantai dan pecah berantakan. Hati Sim Bik-kun rasanya lebih hancur dibanding
poci arak, sebab bukan hanya hatinya yang hancur, mimpinya juga telah lebur.
Hong Si-nio diam mengawasinya.
Nasib kenapa menyiksanya sedemikian rupa?
Sekarang dia sudah berubah total, kenapa nasib masih juga menyiksanya?
Akhirnya Hong Si-nio menghela napas ringan, "Tak peduli karena apa, rasanya tak perlu kau lari dari
rumah."
Mengawasi pecahan poci di lantai, bola matanya yang semula indah berubah kosong, "Tidak pantas?"
Hong Si-nio bersuara dalam mulut.
Sim Bik-kun tertawa dingin, "Kemarin kau masih memaksaku, menyuruh aku pergi."
"Kemarin malam? Mungkin aku yang salah."

"Sejak kapan kau pernah merasa bersalah?"
Hong Si-nio menunduk, "Aku yang salah, karena aku tidak pernah memikirkan dirimu."
Yang dia pikir hanya seorang. Semua yang ia lakukan hanya untuk menyenangkan dia, supaya dia bahagia.
Demi dia, ia rela mengorbankan segalanya.
Tapi bagaimana dengan orang lain? Kenapa orang lain rela berkorban demi dirinya? Bukankah orang itu
punya hak untuk mempertahankan hidup?
Dengan lirih Hong Si-nio berkata, "Deritamu sudah cukup berat, pengorbananmu jauh lebih banyak."
Baru sekarang ia sadar, dia tidak punya hak memaksa orang lain menerima derita, kebahagiaan orang ia
bangun di atas penderitaan orang lain.
”Sekarang kau harus memikirkan dirimu sendiri untuk bertahan hidup beberapa hari lagi, rasakan kehidupan
yang bahagia. Kau berbeda dengan aku, kalau keluyuran terus di luar, hidupmu jelas akan runtuh." Inilah
curahan tulus dari hati yang paling dalam.
Terhadap perempuan yang cantik bagai kembang, bernasib setipis kertas, ia benar-benar merasa simpati
dan kasihan.
Tapi satu hal ia lupa, kasihan itu kadang dipandang sebagai hinaan, seperti sindiran yang tajam, lebih
gampang melukai perasaan orang.
Mestinya Sim Bik-kun sudah mempertahankan air matanya, mendadak bercucuran lagi, dengan kencang ia
genggam kedua tangan, lama kemudian baru bertanya perlahan, "Menurutmu aku harus bagaimana?"
"Kurasa kau harus pulang."
"Pulang? Pulang kemana? Jelas kau tahu aku sudah tidak punya rumah."
"Rumah dibangun orang, sejauh kau masih punya orang, kau masih bisa membangun kembali rumahmu."
"Orang? ... Aku masih punya orang?"
"Selama ini kau masih punya."
"Lian Shia-pik maksudmu."
Hong Si-nio memanggut, katanya dengan tertawa getir, "Selama ini aku salah menilainya, dia bukan orang
yang kuduga semula, bila kau mau kembali ke sampingnya, dia pasti akan menerima dan bersikap baik
kepadamu, kalian masih bisa membangun mahligai keluarga."
Sim Bik-kun mendengarkan, mendengar sampai terpesona. Di dunia ini mana ada perempuan yang mau
sepanjang hidup keluyuran di luar. Apakah dia sudah terbujuk?
"Bila kau rela," kata Hong Si-nio lebih jauh, "kapan saja boleh kuantar kau pulang, aku malah rela memohon
maaf kepadanya." Kali ini ia bicara jujur, bicara dari hati yang paling dalam.
Sejauh Sim Bik-kun dapat meraih kebahagiaan, apapun yang harus ia lakukan, ia rela dan senang hati
melakukan.
Mendadak Sim Bik-kun malah tertawa berderai. Tawanya makin keras terkial-kial.
Hong Si-nio melenggong. Tak pernah terbayang reaksi Sim Bik-kun bisa segila ini. Sungguh ia tidak tahu
apa yang harus ia lakukan.
Mendadak derai tawa Sim Bik-kun berubah menjadi jerit tangis, bukan tangis terisak seperti biasanya, tapi
tangis tergerung-gerung yang menyayat hati. Mirip anak kecil yang kaget dan menangis ketakutan.
Tangisnya itu jelas tidak normal, tangis seperti ini lebih mendekati histeris, kalau didiamkan bisa menjadi
gila.

Hong Si-nio mengertak gigi, mendadak ia melayangkan tangan dan "Plak", dengan keras ia gampar muka
Sim Bik-kun.
Mendadak Sim Bik-kun menghentikan tangisnya. Tidak hanya tangisnya berhenti, napas, aliran darah dan
pikirannya seperti berhenti. Sekujur badannya mengejang kaku, berdiri mematung seperti boneka.
Hong Si-nio justru mengucurkan air mata, "Kenapa kau begini? Apa aku salah omong?"
Sim Bik-kun tetap tidak bergeming, sorot matanya kosong hampa, seperti menatapnya, seperti memandang
jauh ke depan.
"Mungkin aku salah omong, aku ...."
"Kau tidak salah," teriak Sim Bik-kun, "dia memang bukan Congcu dari Thian Cong, tapi aku lebih rela dia
betul adalah Thian Cong."
"Kenapa?" seru Hong Si-nio tertegun.
“Sebab seorang Thian Cong, paling tidak adalah manusia."
"Memangnya dia bukan manusia?"
Karena menahan rasa sedih, muka Sim Bik-kun tampak mengkeret, "Selama ini aku anggap dia manusia,
peduli dia baik atau buruk, tetap orang yang dihormati, siapa tahu ternyata dia tidak lebih hanya seorang
budak."
"Budak? Budak siapa?"
"Budak Thian Sun."
"Thian Sun?"
"Siau-yau-hou adalah Thian-ci-cu, ahli warisnya tentu adalah Thian Sun."
"Walau Lian Shia-pik bukan Thian Sun, tapi budak Thian Sun?" Hong Si-nio lebih kaget, di luar dugaan,
maka ia bertanya lagi, "Darimana kau tahu semua ini?"
"Sebab ... sebab sebagai isterinya, semalam aku tidur di kamarnya," cerita ini mirip cemeti, begitu ia
bercerita berarti cemeti itu menghajar sekujur badannya. Perasaan ini bukan hanya penderitaan, tapi juga
kepedihan, kekecewaan ....
Hong Si-nio maklum akan pergulatan perasaan ini. Dia tidak bertanya lebih lanjut, ia yakin Sim Bik-kun akan
membeberkan cerita panjang yang mengejutkan.
"Dia menyangka aku sudah tidur, dia kira aku menghabiskan secawan obat yang dia berikan kepadaku."
"Kau tahu kalau itu obat bius?"
"Aku tidak tahu, tapi seteguk pun aku tidak meminumnya."
"Kenapa?"
"Aku tidak tahu kenapa, yang pasti aku tidak suka minum obat, obat apapun aku tidak mau minum."
Hong Si-nio mengangguk. Karena dia mengerti, seorang kalau sudah putus asa, maka ia akan berusaha
menyiksa diri sendiri, mana mungkin dia mau minum obat.
Banyak persoalan di dunia ini, kadang kelihatan kebetulan, padahal kalau diperiksa dengan seksama, akan
ditemukan semua itu karena 'karma'. Entah 'sebab' apa yang ditanam, akan menerima 'akibat' yang nyata.
Kalau paham akan pengertian ini, kelak bila ingin menanam tentu akan memilih 'bibit' yang baik.
Sim Bik-kun berkata, "Dia tentu tak tahu kalau diam-diam aku membuang obatnya itu."

"Ya, pasti tidak menduga, karena selama menjadi suami isteri kau tidak pernah berbohong padanya." Itulah
salah satu sebab.
"Waktu dia masuk kamar, sebenarnya aku belum tidur."
"Tapi kau pura-pura sudah lelap"
"Karena aku tidak ingin bicara dengan dia." Inipun salah satu sebab.
"Dia tidak mengganggumu?"
Sim Bik-kun menggeleng kepala, "Dia hanya berdiri di pinggir ranjang mengawasiku, lama dia menjublek di
tempatnya, walau aku tidak berani membuka mata, namun aku rasakan keadaannya amat aneh."
"Aneh?"
"Waktu dia mengawasiku, aku merasa sekujur badanku makin dingin."
"Selanjutnya?"
”Kelihatannya aku memang sudah tidur, padahal hatiku memikirkan banyak persoalan ...."
Yang dia pikir waktu itu bukan Siau Cap-it Long.
Selama dua tahun belakangan ini, bayangan Siau Cap-it Long hampir mempengaruhi seluruh jiwa raga,
seluruh jalan pikirannya.
Tapi kala itu yang dia pikir justru adalah Lian Shia-pik. Sebab Lian Shia-pik kini berada di depan ranjangnya,
sebab antara dirinya dengan Lian Shia-pik masih meninggalkan kenangan manis madu, kenangan asyikmasyuk.
Betapapun Lian Shia-pik adalah pria pertamanya.
Terbayang akan malam pertama dahulu, malam itu ia pun pura-pura tidur di ranjang, dia juga berdiri di
ranjang seperti malam ini, mengawasinya, selama itu tak pernah menyentuh, meraba atau memanggilnya,
secara diam-diam menutup selimut di badannya.
Betapa tegang dan rasa malu dirinya kala itu, sampai sekarang, kalau dibayangkan, akan mengundang rasa
tegang, jantung berdetak lebih kencang.
Sepanjang mereka hidup bersama, belum pernah dia berbuat kasar, bicara keras, apalagi membentaknya.
Sejak awal sampai terakhir mereka berpisah, dia tetap adalah suami teladan, suami pengertian yang lemah
lembut.
Membayangkan sampai di sini, hampir tak tahan dia akan membuka mata, lalu menikmati malam pertama
yang ....
Pada saat itulah, mendadak ia mendengar suara seorang bertepuk sekali di luar jendela. Lian Shia-pik
segera beranjak ke sana, membuka daun jendela, dengan menekan suara berkata, "Kau terlambat, lekas
masuk."
Orang di luar jendela tertawa ringan, katanya menggoda, "Malam pertama pengantin baru, kau tidak kuatir
aku mengganggu kalian?"
Mendengar suara orang ini, sekujur badan Sim Bik-kun mendadak mengejang dingin.
Itulah suara Hoa Ji-giok. Ia kenal betul suara itu. Mimpi pun tak pernah terbayang dalam benaknya, Hoa Jigiok
datang menemui Lian Shia-pik.
Bagaimana mungkin mereka punya hubungan?
Sim Bik-kun berusaha mengendalikan diri, memusatkan perhatian mendengar percakapan mereka.
Lian Shia-pik berkata, "Aku tahu kau akan datang. Maka kucari akal membuatnya tidur."
"Dia tidak akan terjaga?"

"Tidak mungkin, obat yang kuberikan cukup membuatnya pulas sampai pagi."
Hoa Ji-giok sudah melompat masuk lewat jendela, katanya dengan cekikikan geli, "Jerih payahmu tidak
ringan untuk mengajaknya balik, sekarang malah membuatnya tidur, apa tidak menyia-nyiakan malam yang
indah ini?"
"Aku tidak pergi mencarinya, dia sendiri yang pulang."
"Tak heran orang bilang kau ini punya peran yang lihai, bukan hanya orangnya pulang, hatinya pun kembali
kau genggam."
"Kalau aku hanya menginginkan orangnya pulang, buat apa aku berjerih-payah."
Mendengar percakapan mereka, sekujur badan Sim Bik-kun terasa dingin kaku, hati pun seperti tenggelam
ke dasar jurang.
"Dalam hal ini kau telah melakukan perbuatan terbaik, maka Thian Sun ingin bicara langsung dengan
engkau."
"Kapan?"
"Waktu padang rembulan."
"Dimana?"
"Cui-gwat-lo di Se-ouw."
"Aku pasti datang tepat waktu."
"Besok pagi kau harus sudah berangkat, pergi bersamaku, kita pergi dulu ke Jiu-hoa-tong menunggunya."
"Boleh."
"Kau tega meninggalkan dia seorang di sini?"
"Dia sudah mau pulang sendiri, yakin tidak akan pergi lagi."
"Kau yakin?"
"Sebab aku tahu, tiada tempat lain dimana dia bisa pergi."
Hoa Ji-giok cekikikan geli, "Kau memang serba pintar ...."
Itulah percakapan dua orang yang didengar Sim Bik-kun semalam. Sampai sekarang, sorot matanya masih
diliputi rasa sedih dan derita.
Hong Si-nio maklum akan kepedihannya.
Siapa pun orangnya, setelah sadar dirinya dibohongi, dirinya dijual oleh suami sendiri, hatinya jelas takkan
merasa senang. Dengan berlinang air mata, Sim Bik-kun melanjutkan, "Kali ini sebetulnya aku bertekad tidak
akan meninggalkan dia lagi, aku ... sesungguhnya tiada tempat kemana aku bisa pergi. Tapi setelah
mendengar percakapan mereka, sehari tinggal lebih lama di sana sudah tidak betah lagi, kalau bertahan di
sana, mungkin aku bisa gila dibuatnya."
"Maka begitu dia pergi, kau pun minggat dari sana."
Sim Bik-kun manggut-manggut.
Bukan hanya tiada tempat kemana dia bisa pergi, malah seorang famili, seorang teman pun ia tidak punya.
Maka secara diam-diam ia berlari dan bersembunyi di hotel kecil ini, diam-diam menghabiskan air matanya.
Arak getir masuk perut berubah menjadi air mata.

Mengawasi orang, tiba-tiba Hong Si-nio tertawa, katanya lembut, "Sekarang aku ingat satu hal."
"Hal apa?" tak tahan Sim Bik-kun bertanya.
”Sepertinya kau dan aku belum pernah minum arak bersama."
"Ya, belum pernah."
"Apa salahnya hari ini kita minum bersama sampai mabuk?"
Tak menunggu reaksi Sim Bik-kun, mendadak ia berlari keluar seraya berteriak, "Ambilkan arak, botol besar
ukuran 20 kati."
Betapapun baik kwalitas arak, dalam kondisi mereka sekarang, tetap menjadi arak getir. Demikian dalam
angan-angan Sim Bik-kun, kehidupan ini memangnya mirip secawan arak getir. Hong Si-nio sudah
menghabiskan dua cawan arak, cawan besar. Tapi cawan Sim Bik-kun masih penuh, setetes pun belum
dimium.
"Kau tidak minum?"
"Aku tidak ingin mabuk."
Hong Si-nio mengkerut alis, "Kapan hidup ini pernah mabuk, kenapa kau tidak ingin mabuk?"
"Sebab aku sudah mengerti maksudmu."
"Aku punya maksud apa?"
"Kau ingin melolohku minum sampai mabuk, lalu meninggalkan aku di sini, kau sendiri akan pergi ke Seouw."
Hong Si-nio menyengir lebar, tawanya kecut.
"Aku tahu kau pasti akan menyusul Lian Shia-pik, pergi mencari Thian Sun, kesempatan baik kali ini takkan
kau sia-siakan,"
Hong Si-nio tertawa getir, "Awalnya kau bukan orang yang suka curiga, kenapa sekarang berubah?"
"Karena aku dipaksa harus berubah."
"Memangnya kau juga ingin mencari mereka?"
"Memangnya aku tidak boleh pergi?"
"Kau tidak boleh."
"Kenapa?"
"Karena bila kedatangan kita diketahui mereka, jangan harap kau bisa hidup lagi."
"Maka kau melarang aku pergi?"
"Sebab kau tidak perlu berkorban lagi."
"Tapi kau boleh pergi, kau siap mati."
Sejenak Hong Si-nio diam, lalu bertanya, "Tahukah kau, aku ini orang macam apa?"
"Bukan saja cantik rupawan, cerdik pandai, jiwamu lapang dada, terbuka, setua ini usiamu, hidupmu lebih
senang, lebih gembira dibanding orang lain, jauh lebih bahagia dibanding aku."
Hong Si-nio tertawa lagi, tawanya membayangkan betapa kosong hatinya, betapa sedih dan merana.

Cukup lama baru membuka suara, "Aku ini anak sebatang-kara, sejak kecil tidak punya rumah tiada
keluarga tanpa famili, anak lain masih mengompol di pelukan ibunya, aku sudah terlunta-lunta di jalanan,
kehangatan keluarga hakikatnya tidak pernah aku rasakan barang sehari saja.
"Waktu usiaku belasan tahun, aku sudah pandai naik kuda yang berlari paling kencang, minum arak paling
keras, meski dari kwalitas paling rendah, bermain golok yang paling cepat, berpakaian baju paling baru dan
bagus, berkenalan dengan teman yang punya kuasa.
"Sebab aku mengerti, perempuan macamku ini, kalau mau berkecimpung di Kangouw, maka harus banyak
belajar cara bagaimana melindungi diri sendiri, sedikit meleng atau kendor kewaspadaan, mungkin sudah
lama aku 'dimakan' oleh orang, sisa tulang pun susah dicari lagi.”
"Banyak orang menganggap aku hidup senang, karena aku sudah belajar menelan air mata ke dalam perut.
"Tahun ini usiaku sudah tiga puluh lima, masih seperti dua puluh tahun lalu, tiada rumah, tanpa famili, tiap
datang tahun baru, seorang diri diam-diam aku menyembunyikan diri.
"Sebab tidak kubiarkan orang lain tahu, melihat aku mengucurkan air mata." Sampai di sini ia mengangkat
kepala, menatap Sim Bik-kun, "Kau juga perempuan, kau tahu apa yang diharapkan, didambakan seorang
wanita."
Sim Bik-kun menundukkan kepala.
"Keluarga bahagia, anak yang patuh, suami yang pengertian, kehidupan nan tentram ... semua itu adalah
harapan dan dambaan setiap perempuan, sebab yang mereka inginkan bukan impian muluk, bukan barang
mewah, tapi kebutuhan tiap keluarga."
"Satu pun aku tidak punya apa-apa."
Hong Si-nio menggengam tangan Sim Bik-kun, "Coba kau pikir, perempuan seperti aku ini, apa alasanku
untuk mempertahankan hidup?"
Sim Bik-kun tertawa, sama-sama terawa getir, "Dan aku? Apa alasanku mempertahankan hidup?"
"Paling tidak ada satu alasan."
"Siau Cap-it Long?"
Hong Si-nio manggut, "Paling tidak, ada orang yang mencintaimu dan kau juga mencintainya."
Berdasar alasan ini, cukup bagi seorang perempuan untuk mempertahankan hidup.
"Maka kau tidak boleh mati, kau tidak boleh pergi." Hong Si-nio berdiri, "Bila bertemu dia, pasti kusuruh dia
ke tempat ini mencarimu."
"Kau kira aku akan menunggunya di sini?"
"Kau harus menunggunya di sini."
"Kalau kau menjadi aku, kau mau menunggu?"
"Kalau ada seorang yang kucintai dan mencintaiku, berapa lama aku harus menunggu, aku akan selalu
menunggunya."
Mengawasi mata orang yang berlinang air mata, Sim Bik-kun mendelu dibuatnya, "Kalau begitu, yang harus
menunggu dia di sini adalah kau, bukan aku."
Kata-katanya sungguh mirip sebatang cemeti. Hong Si-nio merasakan sekujur badannya mengejang, cemeti
ini tepat menghujam ke hulu hatinya, tempat yang paling lemah di tubuhnya.
Sim Bik-kun berkata kalem, "Sekarang aku bukan lagi perempuan yang lemah, perempuan yang tidak tahu
apa-apa, maka banyak persoalan yang kau anggap aku tidak bisa mengerti, semua sudah kupahami."
"Kau ...." teriak Hong Si-nio.

Sim Bik-kun menukas ucapannya, "Maka kalau aku punya alasan untuk hidup, demikian pula engkau, kau
boleh pergi menyerempet bahaya, kenapa aku tidak?" ucapannya bernada tegas penuh tekad, meski
bernada sedih, "Kelahiranmu berbeda dengan kelahiranku, tapi sekarang, nasibmu sama dengan nasibku,
kenapa kau menyangkal akan hal ini?"
Dengan tajam ia mengawasi Hong Si-nio, sorot matanya penuh pengertian dan simpati. Hong Si-nio juga
tengah mengawasinya. Mereka berdua saling tatap, saling pandang ... dua cewek yang pasti berbeda,
seperti dibelenggu oleh tambang yang sama ....
Apakah nasib itu? Bukankah nasib merupakan sebuah rantai gembok yang tidak kelihatan.
Apakah kasih? Apakah simpati? Ya, mirip sebuah rantai gembok yang tidak kelihatan.
XXI. PERAN SI TUKANG PERAHU
Kota Hang-ciu
Setelah keluar dari kota Yong-kim-bun, melewati Lam-ping-am-ciong, perahu terus didayung menuju ke
Sam-tham-ing-gwat, waktu mereka tiba di Se-ling-kio, hari sudah mendekati senja.
Riak lembut di permukaan danau membayangi kemilau cahaya senja, dipandang dari kejauhan bagai
kemilau permata bertaburan.
Seorang nelayan dengan topi hitam menutupi separoh wajah, tengah berjongkok di ujung jembatan
menjulurkan joran memancing ikan.
Dari perahu pesiar di kejauhan sana, berkumandang alunan nyanyian merdu yang mengasyikan.
"Kau pernah ke sini?" tanya Hong Si-nio.
Sim Bik-kun mengangguk, bola matanya indah, membayangkan selintas kenangan nan sendu.
Dulu bukankah dia pesiar di danau ini bersama Lian Shia-pik.
"Kau tahu dimana letak Cui-gwat-lo?"
Sim Bik-kun menggeleng kepala.
Pemilik perahu yang mereka tumpangi adalah ibu beranak yang juga menjadi tukang perahu, sang putri
tampak serba kasar dan kuat, rambut tak tersisir, pakaian pun carut-marut, namun masih nampak gerakgeriknya
yang gemulai.
Mendadak ia mengulur tangan menunjuk ke depan, "Bukankah Cui-gwat-lo ada di sana?"
Yang ditunjuk adalah sebuah perahu pesiar yang berada jauh di tengah danau.
"Apakah Cui-gwat-lo adalah perahu pesiar itu?" tanya Hong Si-nio.
Giliran tukang perahu menjawab, "Di danau ini ada tiga buah perahu pesiar paling besar, yang pertama
bernama Put-kik-wan, yang kedua bernama Su-hoat-hong dan yang ketiga adalah Cui-gwat-lo."
"Berapa besar perahu pesiar itu," tanya Hong Si-nio.
"Wah, besar sekali," sahut tukang perahu atau sang ibu, "di atas perahu sekaligus bisa disiapkan belasan
meja perjamuan." Setelah menarik napas dengan nada kepincut ia meneruskan menutur, "Entah kapan aku
bisa memiliki perahu pesiar seperti itu, tidak sia-sia seumur hidup aku bekerja sebagai tukang perahu."
Ia mengawasi sepasang jari tangannya, tangan perempuan umumnya halus runcing, tangannya justru kasar
berkulit tebal. Maklum perempuan yang mencari nafkah di atas air, mereka bekerja tak kenal lelah, tidak
ringan tak kenal berat, sepanjang hari bekerja, namun hasilnya tidak cukup untuk hidup satu hari, betapa lara
dan rudin hidup mereka dapatlah dibayangkan.

Mengawasi tangan orang, mendadak Sim Bik-kun bertanya, "Biasanya sehari kalian bisa dapat berapa duit?"
Tukang perahu menyengir getir, "Mana bisa tiap hari dapat duit, umpama ada penumpang yang naik perahu,
paling dapat upah belasan keping uang tembaga, memang di musim semi lebih mending ...."
Bicara tentang musim semi, matanya tampak bersinar. Musim semi adalah hari-hari panjang yang
diharapkan tiap nelayan di danau ini. Padahal saat itu pertengahan musim rontok.
Mendadak Sim Bik-kun tertawa lebar, "Apa kalian tidak ingin pesiar ke kota barang beberapa hari? Kecuali
ongkos perahu ini, nanti kutambah lima tahil perak?"
* * * * *
Setelah magrib.
Di perahu itu tinggal dua orang tukang perahu, yaitu seorang ibu dan seorang putrinya.
Lalu Hong Si-nio dan Sim Bik-kun kemana?
Bukankah mereka tadi menumpang perahu ini?
Sim Bik-kun sekarang adalah seorang ibu.
Seorang ibu biasanya jarang menarik perhatian orang, ia tidak suka ada orang mengenali dirinya.
Maka Hong Si-nio pun menjadi putri tukang perahu.
Entah bagaimana mereka mempersiapkan diri, yang pasti wajah mereka sudah berubah.
"Kau masih mengenalku?" tanya Sim Bik-kun.
Hong Si-nio tertawa, "Sungguh tak nyana, ternyata kau pandai tata rias."
"Tata riasku paling hanya bisa mengelabui mata orang di malam hari, sementara masih boleh diandalkan."
"Waktu bulan purnama, bukankah hari sudah malam?"
"Makanya kalau siang jangan kita muncul di depan umum."
"Apa kau tidak mendengar orang bilang Hong Si-nio adalah kucing malam?"
Malam ini tanggal tiga belas, masih dua hari baru terang bulan.
Rembulan malam ini belum bundar, belum bulat, namun cahayanya yang kemilau di permukaan air
menambah indahnya pemandangan malam di danau.
"Menurut pendapatmu, orang yang bernama Thian Sun, esok lusa mungkin tidak datang?"
"Pasti datang, aku malah kuatir kalau dia datang, kita tidak bisa mengenalinya."
"Bila dia datang, kita pasti dapat mengenalinya."
"Kau yakin?"
"Paling sedikit kita punya tiga sumber."
"Coba jelaskan."
"Yang pertama, kita tahu orang itu berperawakan kecil kurus, selalu membawa anjing."
"Kedua, kita tahu dia akan datang ke Cui-gwat-lo."
"Ketiga, kita tahu kalau Lian Shia-pik akan bertemu dia."

"Walau kita tidak mengenalinya, tapi kita bisa melihat anjing, mengenal Cui-gwat-lo, juga mengenal Lian
Shia-pik."
Hong Si-nio benar-benar penuh keyakinan, sayang ia melupakan satu hal.
Umpama kau betemu Thian Sun, memangnya apa yang bisa kau lakukan?
Bulan merambat kian tinggi, meski musim rontok telah pertengahan, air danau terasa dingin.
Duduk di haluan perahu, Hong Si-nio melepas sepatu kain hijaunya, dengan sepasang kakinya yang
telanjang bermain air.
Sim Bik-kun tengah mengawasinya, menatap sepasang kakinya, mendadak ia berkata, "Kabarnya sekali
tendang kau pernah merobohkan Poan Thian-hun dari Ki-lian-san."
BENTROK PARA PENDEKAR
Karya Gu Long - Gan K.H.
Bagian 14
Hong Si-nio manggut-manggut saja.
"Kau menendang dengan sepasang kakimu itu?"
"Hanya dengan satu kaki."
Sim Bik-kun tertawa geli. Sudah lama ia tidak pernah tertawa, di hadapannya terbentang pemandangan
danau nan permai, hawa nan sejuk, hatinya terbuka, pikiran jernih, tawa nan sejuk.
Dengan tersenyum lebar ia berkata, "Sepasang kakimu itu rasanya tidak mirip kaki yang dapat menendang
mati orang."
"Aku paling senang bila orang mengatakan kakiku bagus, kalau kau pria, akan kusuruh kau mengelus
kakiku."
"Sayang aku bukan ...." kata Sim Bik-kun, suaranya amat lirih.
Apakah karena ia merindukan Siau Cap-it Long?
Sayang kau bukan Siau Cap-it Long.
Sayang sekali anda juga bukan Siau Cap-it Long.
Siau Cap-it Long dimanakah kau berada?
Kenapa sampai sekarang belum ada beritamu?
Cahaya rembulan lebih terang. Namun air muka mereka lebih guram.
Dari tengah danau kembali berkumandang nyanyian merdu, suaranya nyaring bening, diselingi cekikikan geli
nan mengasyikan, sang penyanyi yakin adalah soprano yang cantik lagi rupawan.
Ternyata nyanyian dan gelak tawa berkumandang dari arah Cui-gwat-lo di kejauhan sana. Bayangan orang
banyak tengah berpesta kelihatan samar dari kejauhan.
Hong Si-nio mendadak tertawa riang, katanya, "Sayang dalam dua hari ini kita sibuk, kalau tidak, kita terjang
ke atas ikut minum beberapa cawan."
Sim Bik-kun berkata, "Kau tahu siapa yang mengadakan perjamuan di atas kapal?"
"Aku tidak tahu."

"Siapa pengundangnya kau tak tahu, berani kau naik ke sana?"
"Peduli siapa dia, dia pasti mau menyambut kehadiranku."
"Kenapa?"
"Sebab kita ini perempuan, kalau lelaki sedang minum arak, melihat perempuan yang enak dipandang
datang, dia pasti senang menyambut kedatangannya."
"Sepertinya kau amat berpengalaman?"
"Terus terang saja, kejadian seperti itu, entah berapa puluh kali pernah kulakukan."
Sim Bik-kun mengawasinya, mengawasi bola matanya yang bersinar, mengawasi lesung pipitnya yang
menggiurkan, akhirnya ia menghela napas, "Sayang aku bukan lelaki, kalau tidak, aku rela menjadi binimu."
Hong Si-nio, tertawa, "Kalau engkau lelaki, aku juga senang menjadi istrimu."
Walau sedang tertawa, tapi tawanya tampak sendu.
Mereka merindukan Siau Cap-it Long. Siau Cap-it Long, Siau Cap-it Long kenapa kau selalu membikin orang
kasmaran, ingin melupakanmu, hati malah risau, membuang pikiran melupakanmu juga tak mungkin.
Sekonyong-konyong dari arah tanggul seseorang memanggil, "Tukang perahu, bawa perahumu kemari."
Hong Si-nio menghela napas, "Nah, kita dapat obyekan, nasib kita agak mujur hari ini."
Sim Bik-kun berkata, "Sebagai tukang perahu, dia membutuhkan tenaga kita, jangan rezeki ini ditolak."
"Betul, masuk akal," seru Hong Si-nio seraya melompat ke depan meraih galah, sekali mengerahkan tenaga,
perahu meluncur kencang ke arah tepian.
"Kau bisa mengendalikan perahu ini?" tanya Sim Bik-kun.
"Delapan belas macam senjata semua dapat kumainkan dengan mahir, memangnya hanya mengayuh aku
tidak mampu?"
Sim Bik-kun tertawa geli, tanyanya, "Adakah sesuatu yang tidak mampu kau lakukan?"
"Ada satu."
"Apa itu?"
”Selamanya aku tidak suka berpura-pura, aku tidak perlu merasa malu."
Yang mau naik perahu ada tiga orang.
Dengan rasa riang Hong Si-nio berkata, "Kalau orang-orang Kangouw dikumpulkan di sini, lalu berbaris
lewat di mukaku, tiap tiga orang, paling sedikit ada satu orang yang kukenal."
Dalam hal ini Hong Si-nio memang tidak membual. Ia kenal satu di antara ketiga orang itu.
Seorang lelaki bermata sipit, berpenampilan keren, mengenakan jubah panjang, memegang kipas yang
digoyang-goyang, penampilannya mirip pelajar.
Gelarnya memang Pwe-bing Suseng, pelajar pencabut nyawa. Kipas lipat di tangannya itu adalah gaman
yang diandalkan.
Dalam kalangan Bulim, tokoh silat yang memakai kipas lempit sebagai senjata memang jarang. Pwe-bing
Suseng Su Jiu-san adalah salah satu di antara tokoh yang disegani itu.
Orang yang berkawan atau bergaul dengannya tentu bukan sembarang tokoh.

Siau Cap-it Long sering bicara, "Dari sekian banyak insan persilatan, paling sedikit setengah di antaranya
dikenal Hong Si-nio, setengah di antara mereka juga mengenal Hong Si-nio."
Tapi ketiga orang ini semua tidak mengenalnya, Su Jiu-san pun tidak mengenalnya, maklum cuaca remangremang,
bentuk rupanya kini juga sudah berubah, sebab siapa mengira Hong Si-nio bisa jadi tukang perahu
di Se-ouw.
"Tuan-tuan mau kemana?" tanya Hong Si-nio.
"Cui-gwat-lo," katanya Su Jiu-san, "kau tahu dimana Cui-gwat-lo?"
Hong Si-nio lega, tempat lain di sekitar Se-ouw jelas ia tidak tahu, Cui-gwat-lo jelas ia sudah tahu.
Su Jiu-san sudah mencari tempat duduk di haluan, diam-diam ia memperhatikan tukang perahu yang cewek
ini, terakhir ia mengawasi kaki orang, tiga laki-laki itu semua mengawasi kakinya.
Hong Si-nio tidak bisa melarang orang mengawasi kakinya, namun hatinya amat gemas dan keki melihat
cara mereka memandang, rasanya seperti ingin menjahit mata mereka saja. Sebab ia sendiri maklum,
tukang perahu perempuan yang sepanjang tahun bekerja keras di atas air, tak mungkin memiliki sepasang
kaki semulus, putih dan menggiurkan seperti kakinya, maka ia harus berusaha mengalihkan perhatian
mereka, celakanya otaknya seperti bebal, tiada akal terpikir olehnya. Sementara sorot mata ketiga orang ini
seperti tajamnya paku memantek sepasang kakinya.
Untunglah dari Cui-gwat-lo yang besar dan benderang itu berkumandang gelak tawa ramai disertai tepuk
tangan yang gegap gempita, disusul suara nyanyian berkumandang lagi, suaranya keras berisi, bukan
penyanyi perempuan, tapi seorang lelaki dengan nada tinggi membawakan lagu romantis nan mengasyikan.
Mendadak Su Jiu-san tertawa dingin, "Eh, tampaknya dia amat gembira."
Laki-laki setengah umur bermuka kuning temannya itu menanggapi, "Sepertinya sejak tanggal lima, dia
mulai mengadakan pesta, hari ini sudah tujuh hari, pesta-pora belum juga usai."
Seorang lelaki yang lain menimbrung, "Maka aku mengaguminya." Lelaki ini bertubuh kekar, brewok lagi.
"Kau mengaguminya?"
"Siapa pun dia, setelah tujuh hari pesta mabuk-mabukan, masih punya semangat membawakan lagu seriang
itu, aku akan mengaguminya."
Lelaki muka kuning mengejek dingin, "Darimana kau tahu dia sudah berpesta-pora selama tujuh hari?"
"Sebab aku tahu dia seorang yang pasti mabuk tiap kali menyentuh arak," kata si brewok.
Mengawasi kemilau cahaya di permukaan air danau, sorot mata Su Jiu-san seperti berusaha menyelami
persoalan, katanya dengan perlahan, "Entah berapa cewek yang dia panggil untuk teman minumnya?"
"Tergantung berapa banyak tamu yang dia undang," ujar lelaki setengah umur bermuka kuning.
"Orang-orang gagah di wilayah Kanglam, sepertinya dia undang seluruhnya."
"Apa tujuannya?"
"Siapa tahu."
Seorang mengundang tamu makan minum, sang tamu tidak tahu untuk apa pengundang mengadakan
pesta, ini kejadian aneh, pengundangnya lebih aneh.
Walau kepala menunduk, tapi sorot mata Hong Si-nio benderang.
Siapakah tuan rumah yang mengadakan pesta?
Apakah Thian Sun?
Mengapa mengundang semua insan persilatan di daerah Kanglam? Memangnya punya maksud tertentu

atau hanya jebakan belaka?
Jebakan untuk membunuh mangsa?
Terbayang dalam ingatan Hong Si-nio akan pembunuhan di Pat-sian-cun beberapa waktu lalu, ingin rasanya
dia melarang Su Jiu-san dan kawan-kawan naik ke kapal pesiar itu.
Namun ia sendiri ingin melihat keadaan di sana, dia pun ingin tahu siapa tuan rumah penyelenggara pesta.
Hong Si-nio menghela napas panjang.
Di atas kapal mendadak tak terdengar lagi suara orang berpesta-pora, rupanya sedang mengawasinya
dengan mata melotot, bukan sedang mengawasi kakinya yang mulus, tetapi sedang mengawasi wajahnya.
Untung dia mengenakan topi lebar, hingga sebagian wajahnya tertutup. Ia pun menundukkan kepala.
Walaupun mata Su Jiu-san sipit, ternyata mulutnya sangat lebar. Mendadak ia tertawa tergelak, serunya,
"Aku Su Jiu-san."
Dengan kepala masih tertunduk, Hong Si-nio memanggilnya, "Su-toaya!"
"Jangan kau panggil aku Su-toaya, panggil saja aku Su-jiya," kata Su Jiu-san, lalu lanjutnya, "Dia inilah Hotoaya,
Hou Bu-pe."
Lelaki setengah umur berwajah kuning manggut-manggut. Terpaksa Hong Si-nio memanggilnya, "Ho-toaya!"
Sudah jelas tampangnya seperti orang berpenyakitan, tetapi namanya justru Bu-pe, tak berpenyakit,
sungguh menggelikan, demikian batin Hong Si-nio.
"Akulah Ong-losam, Ong Bing," timbrung lelaki brewok itu.
Hong Si-nio menahan geli, agaknya Ong-losam ini lebih sopan dibanding kedua rekannya.
"Nona, siapa namamu?" tanya Su Jiu-san.
"Ah, aku yang rendah hanyalah seorang tukang perahu," sahut Hong Si-nio.
"Sekalipun kau seorang tukang perahu kan juga punya nama."
"Rasanya tak perlu aku mengatakannya."
"Bukankah kita sudah naik di atas perahu yang sama, ini namanya kita berjodoh, untuk apa kau
sembunyikan namamu?"
Sungguh orang ini sangat memuakkan, menyebalkan, pantas saja dijuluki Pwe-bing Suseng, pelajar
pencabut nyawa.
Hou Bu-pe menukas, "Biasanya perempuan suka malu menyebut namanya di hadapan laki-laki."
"Kelihatannya dia bukanlah seorang perempuan pemalu."
"Buat apa kau memaksanya memberitahu namanya, kalau dia tidak mau menyebut nama sendiri, ya
sudahlah," sela Ong Bing.
Su Jiu-san menatap Hong Si-nio lekat-lekat, katanya pula, "Mengapa kau enggan menyebut namamu?"
"Aku tidak berani," teriak Hong Si-nio.
"Kau takut asal-usulmu ketahuan?"
Hong Si-nio tertawa dingin, "Memangnya seorang tukang perahu punya asal-usul apa yang memalukan."
"Memangnya kau tukang perahu tulen?"

"Tentu."
"Tampaknya tidak mirip."
"Apanya yang tidak mirip?"
"Semuanya tidak mirip."
"Lalu aku mirip apa?" dengan mengertak gigi Hong Si-nio tertawa dingin.
Mendadak Su Jiu-san melompat bangun sambil mementang kipas lipatnya.
Jari-jari tangan Hong Si-nio terkepal kencang. Ia merasakan niat jahat lelaki di hadapannya ini.
Sinar mata Su Jiu-san memancarkan sinar buas.
Apapun yang akan dilakukan lelaki itu, Hong Si-nio sudah bersiap untuk melancarkan serangan, berniat
melancarkan tendangan terlebih dulu, kalau bisa sekali tendang membuat musuh langsung roboh terkapar.
"Kita sudah tiba di Cui-gwat-lo!" teriak Sim Bik-kun tiba-tiba.
Ketika Hong Si-nio berpaling, benar saja, perahu mereka telah berada di dekat kapal pesiar besar itu. Kapal
pesiar yang terang benderang disinari cahaya lentera, suara musik pun berkumandang dari atas loteng,
sedangkan di bagian bawah tampak sunyi sepi, rupanya seluruh penumpang sedang berkumpul di ujung
geladak.
Ada sekitar 30-an orang yang berkumpul di situ, tampaknya mereka sedang berbisik-bisik, entah apa yang
dibisikkan.
"Mengapa mereka tidak berkumpul di ruang dalam?" demikian pikir Hong Si-nio penuh keheranan.
Siapa penyelenggara pesta?
Mengapa tidak berkumpul di dalam?
Su Jiu-san mengawasinya, tiba-tiba tanyanya, "Kau sanggup melompat ke atas kapal?"
Hong Si-nio menggeleng.
"Kau tak ingin melihat keramaian di sana?"
Kembali Hong Si-nio menggeleng.
"Kau tidak menyesal?"
"Kenapa mesti menyesal?"
Su Jiu-san tertawa, katanya, "Karena penyelenggara pesta adalah orang yang ingin dilihat siapa pun."
"Siapa?"
"Siau Cap-it Long!"
XXII. PESTA DI CUI-GWAT-LO
Siau Cap-it Long!
Ternyata tuan rumah penyelenggara pesta adalah Siau Cap-it Long.
Pemilik kapal mengundang Lian Shia-pik bersua di sini, ternyata dia pun sedang menyeienggarakan pesta.
Apakah semuanya ini hanya kebetulan? Atau dia memang sengaja mengatur hal ini?

Dia tahu di antara sepuluh jago di dunia persilatan, sembilan orang adalah musuh bebuyutannya, mengapa
dia tetap menyelenggarakan pesta di situ, bahkan mengundang seluruh musuh bebuyutannya?
Hong Si-nio tertegun.
Su Jiu-san tidak menggubrisnya, sembari menggoyang kipas ia melompat naik ke atas kapal. Hou Bu-pe
serta Ong Bing mengikut di belakangnya.
Sebagian besar kawanan jago di atas geladak segera maju menyambut kedatangannya, pergaulan Su Jiusan
memang sangat luas.
Tapi dimana Siau Cap-it Long? Mengapa dia tidak menyambut kedatangan tamunya?
Hong Si-nio mulai menyesal, mengapa tidak ikut naik ke sana.
Sim Bik-kun menghampirinya, tanyanya lirih, "Kau kenal orang she Su itu?"
"Hm!"
"Apakah mengenalimu?"
"Rasanya begitu."
Setelah sangsi sejenak, kembali Sim Bik-kun bertanya, "Menurut kau, apakah dia sengaja bergurau
denganmu?"
"Aku rasa dia tidak berani," sahut Hong Si-nio.
"Lalu ... apakah benar penyelenggara pesta itu Siau...." Berputar biji mata Hong Si-nio, tukasnya, "Kau
berjaga di sini, sementara aku akan menyusup masuk lewat buritan perahu."
Cui-gwat-lo ternyata lebih besar dan lebih tinggi dari kapal yang ditumpanginya.
Hong Si-nio mendekam di atas wuwungan kapal sambil mengawasi ke bawah, namun tidak nampak sesuatu
gerakan apapun di atas loteng kapal pesiar itu, dia dapat melihat jelas semua orang yang sedang berkumpul
di geladak.
Dari tiga puluhan orang yang hadir, paling tidak dia kenal empat-lima belas orang di antaranya.
Seorang kakek berambut putih kurus, kecil dan pendek sedang berbincang dengan Hou Bu-pe.
Hong Si-nio segera mengenali orang itu, Ciangbunjin Sing-gi-bun aliran selatan, si monyet sakti Hu It-gwan.
Biarpun orang ini belum terhitung jagoan yang berilmu tinggi, namun posisi dan kedudukannya dalam dunia
persilatan sangat tinggi. Namun terlihat dia sangat menghormat pada Hou Bu-pe.
Hong Si-nio tidak tahu orang macam apa Hou Bu-pe, darimana pula asal-usulnya?
"Sudah lama aku mendengar dan mengagumi nama besar Hou-sianseng, sayang baru bertemu denganmu
sekarang," terdengar Hu It-gwan berkata sambil tertawa.
"Selama ini memang tidak banyak orang yang bisa bertemu denganku," sahut Hou Bu-pe dingin.
"Jadi Hou-sianseng memang sudah lama tak pernah terjun lagi dalam dunia persilatan?"
Hou Bu-pe manggut-manggut, lalu katanya, "Karena aku terluka oleh pukulan To-pik-eng-ong (Raja elang
berlengan tunggal) hingga aku harus merawat luka selama lebih 15 tahun."
Mendengar ucapannya ini hampir Hong Si-nio melompat bangun saking kagetnya, teringat olehnya asal-usul
seorang kosen yang telah lama menghilang.
Dulu, Ciangbunjin partai Sian-thian Bu-khek-pay, Tiongciu-tayhiap Tio Bu-khek, mempunyai Sute bernama
Ho Bu-kong, ilmu silatnya sangat tinggi, belum lama ia terjun dalam dunia persilatan, tahu-tahu jejaknya
hilang tak berbekas. Kemungkinan Hou Bu-pe ini adalah Ho Bu-kong.

Tio Bu-khek yang berjuluk pendekar besar itu sesungguhnya adalah seorang Kuncu gadungan dan berjiwa
munafik, dia sendiri pada akhirnya tewas di tangan Siau Cap-it Long dalam pertarungan memperebutkan
golok jagal rusa.
Kini secara tiba-tiba Hou Bu-pe muncul di sini, apakah kemunculannya ini bermaksud untuk membalas
dendam?
To-pik-eng-ong adalah salah seorang jago tangguh yang ditugaskan oleh Tio Bu-khek untuk melindungi
golok jagal rusa, namun dia sendiri juga tewas secara mengenaskan.
Apakah Hou Bu-pe tahu akan rahasia dibalik peristiwa itu?
Hong Si-nio tak melihat perubahan mimik wajahnya, tapi ia yakin parasnya pasti merah padam. Dalam
keadaan seperti ini tak mungkin ia terus membual di depan Hou Bu-pe, ia mulai mencari akal untuk ngacir
dari tempat ini.
Belum sempat ia angkat kaki, Ong Bing sudah menarik tangannya sambil berkata, "Di kapal ini tersedia arak
dan daging, mengapa kalian tidak menikmatinya?"
Hong Si-nio sudah menduga akan pertanyaan ini.
Hu It-gwan hanya diam saja, terhadap Ong Bing ia tidak akan sungkan seperti terhadap Hou Bu-pe.
Walau Ong Bing berangasan dan kasar, namun ia bukanlah orang bodoh, mengetahui sikap orang yang
dingin, ia menegur sambil melotot, "Kau hanya kenal pada Hou-toako, memangnya kau tidak mengenali
aku?"
"Memangnya kau ini siapa?" sahut Hu It-gwan.
"Aku bernama Ong Bing, seorang Hwesio yang tak terkenal."
"O!"
"Aku hanyalah seorang Hwesio yang diusir dari Siau-lim-si."
Hu It-gwan tidak menanggapi, hanya tertawa dingin.
Tiba-tiba Ong Bing menunjuk hidung sendiri, katanya, "Akulah si Hwesio liar yang nyaris menghancurkan
ruang Lo-han-tong kuil Siau-lim-si, akulah si Hwesio baja yang tidak mampus walau sudah digebuk seratus
delapan puluh kali pukulan toya."
Berubah hebat paras muka Hu It-gwan. Rupanya ia telah salah menduga orang.
Hong Si-nio pun tidak kalah terperanjatnya.
Mengapa Hwesio liar ini bisa muncul di sini? Apakah dia datang untuk menghadapi Siau Cap-it Long.
Tanpa mempedulikan Ong Bing yang masih tercengang, Hu It-gwan berkata sambil menghela napas, "Tidak
sembarang orang boleh naik ke kapal itu."
"Memangnya kalian bukan tamu yang diundang Siau Cap-it Long?"
"Justru kami adalah tamu undangannya."
"Kalau kalian adalah tamunya, kenapa tak boleh masuk ke dalam?"
Hu It-gwan ragu-ragu sejenak, kemudian sahutnya sambil tertawa, "Tamu undangan banyak macamnya,
sebab tujuan kedatangan setiap orang berbeda."
"Lalu apa tujuan kedatanganmu?"
"Aku datang untuk bertamu."

"Kalau bertamu tak boleh masuk, lantas manusia macam apa yang boleh masuk?"
"Orang yang datang untuk membunuhnya!"
"Hanya orang yang ingin membunuhnya baru boleh masuk untuk minum arak?" tanya Ong Bing melengak.
"Betul."
"Siapa yang omong begitu?"
"Dia sendiri."
Tiba-tiba Ong Bing mendongakkan kepala dan tertawa, serunya, "Bagus! Siau Cap-it Long si bocah keparat,
kau memang hebat.”
Di tengah kumandang gelak tawanya yang nyaring, dia beranjak dari situ dan menerjang ke ruang perahu
dengan langkah lebar.
Lekas Su Jiu-san menarik tangannya.
"He, mengapa kau menarik tanganku, bukankah kita datang untuk membunuhnya?" tegur Ong Bing dengan
kening berkerut.
"Sekarang belum tiba saatnya."
"O, karena itu kita tidak boleh masuk untuk minum arak?"
"Di luar geladak begitu banyak sahabat, apa artinya bila kau masuk seorang diri?"
Ong Bing merasa tak puas mendengar perkataan itu, namun dia tidak membantah dan tidak berusaha lagi
menyerbu ke dalam. Meskipun begitu ia masih mengomel, "Hanya orang yang ingin membunuhnya yang
boleh masuk untuk minum arak, keparat... bila kau bukan telur busuk tentu kau memang punya
kemampuan."
Sebenarnya Siau Cap-it Long seorang keparat atau telur busuk? Hong Si-nio pun sering bertanya kepada
diri sendiri, entah sudah berapa puluh kali.
Sekonyong-konyong dari ruang bawah loteng terdengar suara orang terbatuk-batuk, rupanya ada seorang
yang sedang duduk di ruangan situ sambil menenggak arak, mungkin karena kurang hati-hati hingga
tersedak.
Hanya orang yang ingin membunuhnya yang boleh masuk untuk minum arak. Jadi orang ini datang untuk
membunuhnya.
Nyali siapa yang begitu besar hingga berani datang secara terang-terangan untuk membunuh Siau Cap-it
Long?
Hong Si-nio jadi ingin tahu orang macam apa dia.
Sayang dia tak dapat melihatnya. Orang itu berdiri membelakangi jendela hingga wajahnya tak terlihat.
Hong Si-nio hanya bisa melihat orang itu memakai baju biru yang sudah luntur dan ada beberapa tambalan.
Dengan santainya orang itu masih makan dan minum.
Siapakah dia?
Siapa pun orangnya, dengan penampilannya yang santai dan keberaniannya untuk datang secara terangterangan,
jelas dia bukan sembarang tokoh.
Di dalam maupun di luar geladak tak nampak bayangan Siau Cap-it Long, kemana perginya dia?
Perlahan-lahan Hong Si-nio merambat turun kembali ke perahunya sendiri, tampak Sim Bik-kun menunggu
dengan cemas dan gelisah.

"Kau telah berjumpa dengannya?"
Hong Si-nio menggeleng.
"Tapi aku yakin dia pasti berada di kapal itu."
"Kenapa?"
"Sebab hanya dia yang bisa melakukan perbuatan semacam ini," sahut Hong Si-nio sambil menghela napas.
"Perbuatan apa?"
Hong Si-nio tertawa getir:
"Dia telah mengundang tiga-empat puluh orang untuk berpesta, namun khusus untuk orang yang bermaksud
membunuhnya."
"Mengapa dia berbuat begitu?"
"Siapa yang tahu, perbuatannya memang selalu membingungkan orang, biar berpikir sampai kepala pecah
juga belum tentu orang lain bisa menebaknya."
Padahal dia bukannya tidak tahu sama sekali.
Siau Cap-it Long sengaja berbuat begitu karena dia pun tahu tak seorang pun di antara para tamunya itu
yang bermaksud membunuhnya.
Dia hanya ingin tahu, ingin membuktikan, berapa banyak orang yang ingin membunuhnya.
Semua perbuatan Siau Cap-it Long hanya Hong Si-nio seorang yang paham, di kolong langit ini tiada orang
kedua yang jauh lebih memahami Siau Cap-it Long ketimbang dirinya.
Hanya saja dia enggan mengutarakan keluar. Apalagi di hadapan Sim Bik-kun.
Dia berharap Sim Bik-kun jauh lebih memahami Siau Cap-it Long ketimbang dirinya.
Dari ruang kapal pesiar kembali berkumandang suara seruling dan irama lagu, perlahan Sim Bik-kun
mendongakkan kepala, mengawasi jendela yang terang benderang dengan termangu, sorot matanya
berubah sendu.
Hong Si-nio tahu apa yang sedang dia pikirkan.
Benarkah dia berada di atas loteng?
Berapa banyak orang yang menemaninya?
Siapa saja yang sedang menemaninya?
Gara-gara cinta, orang mudah berubah jadi pencemburu dan banyak curiga?
Diam-diam Hong Si-nio menghela napas panjang, tiba-tiba katanya, "Aku ingin naik lagi ke atas kapal untuk
melihat keadaan."
"Tapi ... tapi bukankah Su Jiu-san telah mengenalimu?" kata Sim Bik-kun ragu.
"Kalau dia sudah mengenaliku, kenapa pula aku harus menghindarinya?"
Sim Bik-kun tidak bicara lagi.
Sebenarnya ia tidak setuju dengan perbuatan Hong Si-nio, namun apa daya, ia tak mampu mencegahnya.
Bagaimanapun juga mereka adalah dua orang perempuan yang berbeda watak, pandangan mereka
terhadap suatu persoalan juga selalu berbeda.

Hong Si-nio tak pernah menghindari suatu persoalan ataupun kehendaknya, apapun resikonya.
Mendadak Sim Bik-kun berbisik, "Aku ikut!"
"Kau?"
"Kalau kau boleh ke sana, mengapa aku tak boleh?"
Dengan perasaan terkejut Hong Si-nio mengawasi wajahnya, sorot matanya memancarkan senyum
kegembiraan.
Ternyata Sim Bik-kun telah berubah.
Dia seakan sudah mendapatkan sesuatu benda yang sebelumnya mustahil dimilikinya, yaitu keberanian!
"Mari kita pergi bersama," ajak Hong Si-nio sambil menarik tangannya, "tempat yang bisa kudatangi, tentu
saja kau pun boleh ke sana."
Hong Si-nio segera melompat naik ke geladak kapal pesiar.
Sim Bik-kun segera menyusul di belakangnya.
Ternyata ilmu meringankan tubuhnya cukup tinggi, ilmu senjata rahasia warisan keluarganya terlebih sangat
hebat, namun setiap kali bertarung, dia sering mengalami kekalahan.
Mungkin hal ini disebabkan dia tidak memiliki keberanian. Tanpa keberanian, setinggi apapun ilmu silatnya
menjadi tak berguna.
Ketika melihat ada dua orang wanita yang berdandan sebagai tukang perahu tiba-tiba melompat naik ke atas
kepal dengan Gin-kang yang hebat, tentu saja menimbulkan perasaan terkejut bagi semua orang.
Tapi Hong Si-nio sama sekali tak ambil peduli. Ia hanya menyapa Su Jiu-san, yang lain tak digubrisnya.
Su Jiu-san mendekatinya sambil menggoyang kipas lipatnya, sorot mata semua orang tertuju pada dirinya.
Semua kenalan Su Jiu-san memang lebih baik dihindari, karena orang ini tersohor gemar membunuh orang,
apalagi di sampingnya ada Hwesio baja yang kebal terhadap senjata.
"Akhirnya kau datang juga," sapa Su Jiu-san.
"Hm!"
"Sudah kuduga, kau pasti akan datang," kembali kata Su Jiu-san sambil tertawa.
"Oya?"
"Bukan suatu pekerjaan yang gampang bagi seseorang untuk menipu sahabat lama dengan menyaru muka."
"Apalagi terhadap seorang sahabat lama macam kau," sambung Hong Si-nio.
Gelak tawa Su Jiu-san semakin riang.
"Oleh sebab itu sedari tadi kau sudah mengenaliku?" kata Hong Si-nio lagi.
Su Jiu-san manggut-manggut, katanya lagi, "Tapi aku pun merasa tak paham akan suatu hal."
"Hal yang mana?"
"Darimana kau tahu kalau Siau Cap-it Long ada di sini?" bisik Su Jiu-san dengan suara lirih.
Hong Si-nio segera menarik muka, sahutnya ketus, "Kenapa aku harus tahu kemana Siau Cap-it Long pergi,
memangnya aku ini ibunya?"
Sekali lagi Su Jiu-san tertawa tergelak.

"Aku pun tak sudi mengurus tujuanmu datang kemari."
"Tentu saja," sahut Su Jiu-san tergelak, "memangnya kau emakku?"
"Aku hanya ingin kau melakukan satu hal untukku."
"Katakan saja."
"Aku hanya ingin kau menemani aku, kemana pun aku pergi."
Su Jiu-san mengawasinya dengan terperangah, di luar dugaan, tapi dia pun merasa gembira.
Kembali Hong Si-nio melotot sekejap, bisiknya, "Aku hanya ingin kau merahasiakan asal-usulku."
Setelah memandang perempuan itu sekejap, akhirnya Su Jiu-san menghela napas panjang, katanya,
"Sudah kuduga, kedatanganmu ini takkan menguntungkan bagiku." Lalu dengan memicingkan mata dia
melirik sekejap ke arah Sim Bik-kun yang berada di belakang perempuan itu, tanyanya lagi, "Siapa dia?"
"Kau tak perlu tahu, aku ingin bertanya, kau mau membantu atau tidak?"
"Boleh tidak kalau aku menolak?"
"Tidak bisa."
"Kalau tak bisa, buat apa kau bertanya lagi padaku?" sahut Su Jiu-san sambil tertawa getir.
Hong Si-nio tertawa, ujarnya dengan wajah berseri, "Kalau begitu temani aku ke sana, aku ingin ke sana."
"Mau apa kau ke sana?"
"Aku hanya ingin tahu siapa yang sedang duduk di situ sambil minum arak?"
"Kau tak bakal tahu."
"Kenapa?"
"Sebab dia memakai penutup wajah."
Orang itu ternyata memakai topeng kulit manusia yang lebih mirip sebuah penutup muka.
Karena topeng ini rata sama sekali permukaannya, tak ada kerutan wajah, juga tak nampak hidung, mata
maupun mulut, yang terlihat hanya dua buah lubang.
Dari balik lubang itu memancar sinar mata yang tajam.
Orang itu nampak santai, tapi karena dia mengenakan topeng hingga tampak misterius.
"Jadi kau pun tak tahu siapa orang itu?" tanya Hong Si-nio.
Su Jiu-san menggeleng, sahutnya tertawa getir, "Cara yang dipergunakan orang ini jauh lebih mujarab
ketimbang menyamar, biar bininya datang juga belum tentu bisa mengenalinya."
"Kalau kau sudah berani datang, kenapa tak berani menjumpai orang itu?" tanya Hong Si-nio dengan kening
berkerut.
"Pertanyaan ini seharusnya kau ajukan kepadanya, setelah memperoleh jawabannya baru memberitahukan
kepadaku."
"Siau Cap-it Long maksudmu?"
"Betul, seharusnya kau tanyakan persoalan ini kepada Siau Cap-it Long, aku sendiri pun ...."
Mendadak ucapannya berhenti di tengah jalan, sorot matanya segera beralih ke arah tangga loteng kapal itu.

Seseorang dengan langkah mantap sedang menuruni tangga.
Orang itu memiliki perawakan tubuh kekar, gagah dan lincah.
Dia mengenakan jubah hitam dari sutera yang halus, sebilah golok tersoreng di pinggangnya.
Golok jagal rusa!
Akhirnya Siau Cap-it Long muncul!
Meskipun berdiri di antara orang banyak, dia masih tampak kesepian dan lelah. Namun sepasang matanya
mencorong terang dan dingin.
Setiap kali melihat sorot matanya, timbul perasaan aneh dalam hati Hong Si-nio.
Manis, kecut atau bahkan getir.
Orang lain tentu tak paham, bahkan dia sendiri juga susah membedakan.
Lalu bagaimana dengan Sim Bik-kun?
Setelah melihat Siau Cap-it Long muncul, bagaimana pula perasaan Sim Bik-kun?
Mereka hanya berdiri termangu, tidak memanggil, juga tidak masuk ke dalam.
Sebab keduanya tak ingin memanggil duluan, siapa pun tak ingin memperlihatkan perubahan perasaannya.
Bagaimanapun juga mereka adalah wanita, wanita yang sudah terpeleset dan jatuh ke dalam lembah
percintaan.
Apalagi selain mereka, di sekeliling tempat itu masih terdapat banyak orang yang sedang memandangnya.
Siau Cap-it Long sama sekali tidak berpaling ke arah mereka, dia bahkan tidak menaruh perhatian.
Sorot matanya mengawasi manusia berbaju hijau yang mengenakan penutup wajah, tegurnya, "Kau datang
untuk membunuhku?"
Orang berbaju hijau itu mengangguk.
"Dan kau tahu kalau aku berada di atas loteng?"
"Hm!"
"Kenapa tidak langsung naik ke atas dan turun tangan?"
"Aku tidak ingin terburu-buru."
"Benar, membunuh orang memang tak bisa dilakukan dengan terburu-buru," Siau Cap-it Long mengangguk.
"Itulah sebabnya aku tak pernah terburu-buru bila ingin membunuh seseorang."
"Tampaknya kau mengerti cara membunuh orang."
"Kalau aku tidak mengerti, mana mungkin datang kemari untuk membunuhmu?" sela orang berbaju hijau itu
dingin.
Siau Cap-it Long tertawa.
Biarpun sedang tertawa namun sorot matanya justru tampak dingin dan berkilat, ditatapnya orang berbaju
hijau itu dan katanya, "Topengmu itu jelek sekali."
"Sekalipun jelek, namun besar manfaatnya."

"Kalau kau memang punya nyali untuk membunuhku, kenapa tak berani memperlihatkan wajah aslimu?"
"Sebab aku datang untuk membunuh, bukan untuk bertemu denganmu."
"Bagus, bagus sekali," Siau Cap-it Long tertawa.
"Apanya yang bagus?"
"Kau memang seorang yang menarik, sungguh jarang ada orang datang untuk membunuhku," setelah
menghela napas, lanjutnya, "sayang terlalu banyak orang yang tak tahu diri di dunia ini, terlebih orang yang
tak punya nyali."
"Orang yang tak punya nyali?"
"Aku sudah menyiapkan hidangan dan arak cukup banyak, tak disangka hanya kau seorang yang berani
datang."
"Mungkin orang lain tak ingin membunuhmu."
Siau Cap-it Long tertawa dingin.
"Mungkin orang lain ingin membunuhku, tetapi tidak berani secara terang-terangan, hanya berani
membokong orang dengan cara licik."
Baru selesai ia berkata, dari luar ruangan telah menerjang masuk seseorang, dia adalah seorang lelaki
berkumis paku dan berwajah hitam.
"Aku bernama Ong Bing," teriaknya keras.
"Kau pun datang untuk membunuhku?" tanya Siau Cap-it Long sambil menatap wajahnya, senyuman
kembali terlintas di balik sorot matanya.
"Sekalipun aku tidak berniat membunuhmu, tapi sekarang aku harus membunuhmu."
"Kenapa?"
"Karena aku tak tahan melihat lagakmu yang memuakkan."
"Bagus, tak disangka kembali muncul seorang yang menyenangkan."
"Hm, walaupun orang yang menyenangkan sangat banyak, orang yang memuakkan justru hanya aku
seorang," terdengar seseorang tertawa dingin.
"Siapa?"
"Aku!"
Seseorang perlahan-lahan berjalan masuk, wajahnya kaku kuning kepucat-pucatan, orang ini adalah Hou
Bu-pe.
"Kau adalah orang yang tak menyenangkan?" tanya Siau Cap-it Long.
Paras muka Hou Bu-pe tetap kaku tanpa perubahan.
Kembali Siau Cap-it Long menghela napas panjang, "Tampaknya kau memang orang yang tidak
menyenangkan."
"Orang yang datang untuk membunuhmu mungkin banyak jumlahnya, namun yang mampu membunuhmu
rasanya hanya satu orang," tiba tiba Hou Bu-pe berkata.
"O ya?"
"Kalau kau sudah tahu cepat atau lambat akhirnya kau bakal mati, kenapa kau malah menganggap dia
menyenangkan?"

"Apakah orang itu adalah kau?"
"Hm!"
Lagi-lagi Siau Cap-it Long tertawa.
"Tapi sebelum aku turun tangan, terlebih dulu aku akan mewakilimu membunuh seseorang," kembali Hou
Bu-pe berkata.
"Kenapa?"
"Sebab kau telah mewakiliku membunuh seseorang."
"Siapa?"
"To-pik-eng-ong!"
"Dia bukan tewas di tanganku?"
"Peduli apapun yang telah terjadi, yang pasti dia tewas gara-gara kau"
"Oleh karena itu kau hendak mewakiliku membunuh orang?"
"Benar."
"Siapa yang akan kau bunuh?"
”Terserah siapa pun yang ingin kau bunuh."
Siau Cap-it Long menghela napas panjang, katanya perlahan, "Tampaknya kau adalah orang yang bisa
membeda budi dan dendam secara jelas."
Hou Bu-pe tidak menjawab, dia hanya tertawa dingin.
"Kapan kau akan membunuhku?" tanya Siau Cap-it Long lagi.
"Terserah kau."
"Jadi kau tidak terburu-buru?"
"Cukup lama aku menunggu, apa salahnya kalau menunggu beberapa hari lagi."
"Apa kau bersedia menunggu hingga bulan purnama lewat?"
"Kenapa harus menunggu setelah bulan purnama lewat?"
Siau Cap-it Long tersenyum.
"Bulan purnama di danau Se-ouw sangat indah, kalau sudah mampus, bukankah kejadian ini sangat tidak
menarik?"
"Malam ini bulan purnama."
"Itulah sebabnya kau tak perlu menunggu terlalu lama."
"Baik, akan kutunggu!"
"Asal di sini tersedia arak, biarpun harus menunggu beberapa hari lagi juga tidak soal" Ong Bing
menambahkan.
"Bagus, hidangkan arak!" seru Siau Cap-it Long sambil tertawa tergelak.
Arak pun segera disuguhkan.

Dengan cepat Ong Bing menenggak tiga cawan arak, mendadak teriaknya sambil menggebrak meja, "Kalau
arak sudah dihidangkan, mana dagingnya?"
Maka daging pun dihidangkan.
Tiba-tiba orang berbaju hijau menggebrak meja sambil berseru pula, "Setelah arak dan daging dihidangkan,
mana nyanyiannya?"
Suara irama musik pun berdendang membelah keheningan di kapal itu, menyusul kemudian terdengar
seseorang bersenandung.
Siau Cap-it Long mendongakkan kepala sambil tertawa tergelak, "Seorang lelaki sejati dapat menikmati
kehidupan dengan gembira begini, mati pun tak perlu menyesal, apalagi dapat menikmati lagu sambil
menenggak arak."
Suara kecapi dari atas loteng berdentang makin cepat.
Siau Cap-it Long mencabut golok, kemudian mulai menari mengikuti irama lagu.
Cahaya golok memancar memenuhi angkasa bagaikan naga sakti sedang bermain, sama sekali tak nampak
bayangan tubuhnya.
Semua orang yang hadir di atas geladak kapal terpana, tapi ada seorang yang paling terpana?
Sim Bik-kun? Atau Hong Si-nio?
Dia terpana sampai air mata mengucur deras.
Mengapa dia tidak melihat kehadiranku? Su Jiu-san dapat mengenaliku, mengapa dia tidak?
Apakah dia telah melupakan kami berdua? Atau memang selamanya dia tak pernah menaruh perhatian
terhadap wanita?
Ia gembira, juga kecewa, campur aduk perasaannya. Mengapa tidak dirinya saja yang menegurnya terlebih
dulu?
Hong Si-nio sudah bukan perempuan macam itu, ia telah berubah.
Mungkinkah mulai berubah sejak pertemuan malam itu?
Mungkinkah dirinya telah berubah menjadi seorang perempuan sejati sejak malam yang tak terlupakan itu?
Cahaya golok yang berkilauan menyinari wajahnya, namun justru sinar matanya berubah menjadi redup.
Dia tidak merasakan pada saat itu Sim Bik-kun sedang mengawasinya.
Dia sedang mengenang kehangatan, kemesraan, kepedihan dan kegembiraan ketika masih bersamanya.
Lalu apa yang sedang dipikirkan Sim Bik-kun?
Tiba-tiba berkumandang suara pekikan naga, suara pekikan yang memekakkan telinga.
Cahaya rembulan kembali bersinar terang.
Sementara golok itu sudah disarungkan kembali.
Siau Cap-it Long duduk sambil mengangkat cawan, parasnya berubah jadi tenang, seakan tak pernah terjadi
sesuatu apapun.
Menyaksikan permainan golok yang begitu hebat, seketika peluh Ong Bing bercucuran di jidat sebesar
kedelai.
Apakah benar yang dimainkan itu adalah ilmu golok?

Apakah benar ilmu golok itu dimainkan seorang diri?
Saking gugupnya Ong Bing menyambar poci arak di meja, langsung ditenggaknya habis, setelah itu barulah
ia menghela napas panjang, saat itulah baru ia sadar bahwa di hadapannya telah berkurang seorang.
Meskipun paras Hou Bu-pe yang berwarna kuning pucat masih tanpa perubahan, namun diam-diam ia pun
membesut keringat yang menetes dijidatnya.
Ong Bing berpaling ke arahnya, menuding tempat duduk di hadapannya yang telah kosong.
Hou Bu-pe hanya menggeleng.
Tak seorang pun yang melihat sejak kapan orang berbaju hijau itu pergi dari situ, tak ada yang tahu dia pergi
lewat mana.
Kapal itu berlabuh di tengah danau, kemana dia bisa pergi?
Mendadak terdengar orang berteriak, "Coba lihat perahu itu!"
Perahu itu sebenarnya adalah perahu Hong Si-nio, sebelumnya perahu itu sudah diikat pada kapal dengan
seutas tali.
Hong Si-nio terhitung wanita yang gegabah, namun Sim Bik-kun termasuk yang amat teliti, sebelum
meninggalkan perahu tadi, dia telah mengikatkan tali di ujung perahunya dengan tiang di atas Cui-gwat-lo.
Kini tali pengikat itu sudah diputus orang, sementara perahu itu sedang bergerak perlahan menuju ke tepi
danau.
"Bocah itu pasti berada di atas perahu."
"Biar aku pergi mencarinya."
"Buat apa dicari?"
"Aku hanya ingin tahu orang macam apakah dia? Mengapa dia pergi begitu saja dari sini?"
Ternyata yang bicara adalah seorang lelaki kekar berwajah keren, seorang Hohan dari Tay-ouw, si macan
kumbang air Ciang Hing.
Baru saja dia ingin melompat ke depan, mendadak seorang berjalan keluar dari sisi ruang perahu sambil
menggendong tangan, orang itu adalah orang berbaju hijau yang misterius itu.
Ternyata dia tidak melarikan diri.
Ciang Hing tertegun.
Hampir semua yang hadir ikut tertegun.
Orang berbaju hijau itu sudah siap masuk kembali ke dalam ruang perahu, dia melirik perahu itu sekejap,
tiba-tiba sambil membalik badan dia membuat gerakan menarik, sepasang tangannya dicakarkan berulang
kali di tengah udara ke arah perahu yang sedang bergerak pelan itu.
Perahu yang sudah mulai menjauhi kapal secara tiba-tiba kembali mendekati kapal pesiar itu.
Seketika paras muka Ciang Hing berubah hebat, demikian pula paras semua orang yang hadir di situ.
Ciangbunjin Sing-gi-bun Hu It-gwan yang lama tak bersuara tiba tiba menarik napas panjang, kemudian
serunya, "Bukankah ilmu ini adalah Tiong-lo-hui-hiat Kun-goan-it-khi-sin-kang yang sangat hebat itu?"
Begitu mendengar ucapan itu, seketika semua orang terperanjat.
Orang berbaju hijau itu sama sekali tidak memandang ke arah mereka, melirik pun tidak, sembari
menggendong tangan dia masuk kembali ke ruang perahu dan duduk seperti tadi.

"Ilmu golok yang hebat!" katanya pada Siau Cap-it Long sambil mengangkat cawan.
"Ilmu khikang yang hebat!" balas Siau Cap-it Long sambil mengangkat pula cawannya.
Sekali teguk orang berbaju hijau menghabiskan isi cawannya, kemudian pujinya, "Arak bagus!"
"Ilmu golok bagus, ilmu khikang bagus, arak pun bagus, ada tidak yang tak bagus?"
"Ada!"
"Apa yang tak bagus?"
"Golok sudah keluar dari sarung, namun tak menjumpai darah, itulah tidak bagus."
"Ada yang lain?" tanya Siau Cap-it Long tenang.
"Mengendalikan perahu dengan khikang hanya akan membuang tenaga saja, suatu perbuatan yang tidak
cerdas."
"Ada lagi?"
"Dalam cawan ada arak tapi telinga tak mendengar suara nyanyian, inilah tidak menggembirakan."
"Bagus, bagus, sungguh menggembirakan, kalau tidak minum sampai mabuk, percuma disuguh arak wangi,"
katanya sambil tertawa, lalu ia pun bertepuk tangan, maka lagu pun kembali didendangkan memecah
keheningan malam.
Untuk ketiga kalinya Hong Si-nio mendengar suara nyanyian yang merdu ini, akhirnya dapatlah ia mengenali
suara gadis yang mendendangkan lagu itu.
Pin-pin!
Ya, pasti Pin-pin.
Ternyata Siau Cap-it Long berhasil juga menemukan gadis itu.
Mendadak muncul suatu perasaan aneh dalam hati Hong Si-nio, dia tak tahu perasaan itu pertanda gembira
atau sedih?
Saat itulah Sim Bik-kun menarik ujung bajunya.
Ia pun menempelkan mulutnya di sisi telinga perempuan ini sambil bertanya, "Ada apa?"
"Orang ini bukan yang tadi," bisik Sim Bik-kun lirih.
"Orang yang mana?"
"Orang berbaju hijau itu."
Berubah paras muka Hong Si-nio.
Kembali Sim Bik-kun berkata, "Biarpun pakaian dan penutup muka yang dikenakan sama, namun orangnya
telah berubah."
"Kau dapat melihatnya?"
"Hm."
"Dimana letak perbedaannya?"
"Tangan orang ini jauh lebih kecil dan kukunya sedikit lebih panjang daripada orang tadi."
"Kau yakin tidak salah?"

Ia baru sadar, mestinya pertanyaan ini tidak perlu diajukan, karena ia tahu watak Sim Bik-kun. Hal yang tak
diyakini takkan diutarakannya.
Mengapa orang berbaju hijau itu harus bertukar diri? Rencana busuk apalagi yang akan dilakukannya selain
ingin membunuh Siau Cap-it Long?
Tak tahan Hong Si-nio bertanya, "Kau tahu siapa orang itu?"
"Tidak."
"Aku pun tidak tahu siapa dia, tapi semestinya bisa kutebak siapakah orang ini."
"Kenapa?"
"Tidak banyak tokoh dunia persilatan yang berhasil menguasai ilmu khikang sehebat itu."
"Mungkin saja tenaga khikangnya juga palsu," kata Sim Bik-kun setelah termenung sejenak.
"Palsu?"
"Bukankah mereka datang berdua? Bisa saja salah satu di antara mereka mendorong perahu itu dari dalam
air."
"Jadi mereka sengaja main sandiwara untuk menakut-nakuti orang?"
"Hm."
"Tapi Hu It-gwan terhitung jago kawakan, masakah dia tak curiga terhadap orang ini?"
"Mungkin saja dia bersekongkol dengan mereka."
Hong Si-nio tertegun. Tiba-tiba saja dia sadar bukan saja Sim Bik-kun berubah jadi pemberani, dia pun
berubah jadi semakin pintar.
Seringkali kepintaran ibarat sebilah golok tajam, makin sering diasah akan makin tajam dan berbahaya.
"Cring", tiba-tiba suara kecapi berhenti, suara nyanyian pun ikut berhenti.
Ketika senar kecapi terputus, suasana keliling tempat itupun berubah jadi hening, sepi.
Entah sudah lewat lama kemudian, perlahan orang berbaju hijau itu berkata, "Senar kecapi putus nyanyian
pun terhenti, tidak bagus."
Mendadak Siau Cap-it Long melompat bangun. Kembali orang berbaju hijau itu berkata, "Senar kecapi
sudah putus, tapi tetap ngotot untuk dimainkan, tidak cerdik." Siau Cap-it Long duduk kembali di tempat
semula. "Tamu sudah kehilangan gairah, perjamuan sudah waktunya buyar, tidak menggembirakan."
Siau Cap-it Long menatap tajam orang itu, ujarnya dingin, "Banyak mulut banyak bencana, banyak mulut
pasti celaka, tidak bagus dan tidak cerdas."
"Benar."
Kemudian orang berbaju hijau itu bungkam, bahkan mata pun dipejamkan.
Siau Cap-it Long mengangkat cawannya, tapi segera diletakkan kembali, wajahnya yang semula berseri kini
berubah serius, mendadak sambil bangkit berdiri katanya, "Siapa yang ingin pergi silakan pergi, yang ingin
tetap tinggal silakan tetap tinggal, aku sudah mabuk, ingin tidur, aku benar-benar mabuk."
"Hm, aku sudah datang, kau tak boleh mabuk," mendadak seseorang menimpali dengan suara dingin.
XXIII. TAMU BERBAJU PUTIH DAN NYANYIAN DUKA

Di geladak kapal, tak seorang pun bicara.
Di ujung geladak pun lengang.
Hening!
Lalu darimanakah suara itu?
Suara itu datang dari tengah danau.
Di antara riak air di permukaan danau, di bawah cahaya rembulan yang terang benderang, di mana orang
itu?
Di kejauhan sana, nun jauh di sana tcrlihat sebuah lentera, perahu dan sesosok bayangan manusia. Biarpun
orang itu masih jauh di sana, namun suaranya terdengar jelas seperti di kepala ini.
Memang orang kalau sudah sempurna tenaga dalamnya, tidak akan sulit melakukan hal itu. Yang
mengherankan justru ia dapat mendengarkan percakapan di kapal itu.
Siapakah dia?
Tak seorang pun tahu.
Perahu kecil itu ibarat selembar daun teratai yang terapung di permukaan air, bergerak lambat sekali.
Siau Cap-it Long pun sudah melihat perahu kecil di tengah danau, dia pun sudah melihat bayangan manusia
yang berada di atas perahu. Tiba-tiba serunya sambil tertawa, "Kalau sampai kau pun ikut datang, mana
mungkin aku tidak mabuk?"
Ucapan itu tidak terlalu keras tapi bergema sampai jauh.
"Tidak boleh!"
"Kenapa?"
"Ada tamu datang dari jauh, masakah tuan rumahnya mabuk?"
"Tamu dari jauh? Darimana?"
"Di antara ombak yang menggulung, di balik awan tebal."
Siau Cap-it Long tidak bertanya lagi, sebab perahu itu sudah semakin dekat. Terlihat seorang berdiri di
bawah cahaya lentera.
Seorang berbaju putih, berdiri bagaikan sukma gentayangan, tangannya memegang sebuah panji berwarna
putih pula. Apakah panji putih pengundang sukma? Sukma gentayangan siapa yang akan diundangnya?
Ternyata perahu kecil itupun berwarna putih, seakan sedang tenggelam secara perlahan.
Ciang Hing yang berdiri paling depan tiba-tiba menjerit, raut mukanya mengejang keras, teriaknya, "Setan ...
yang datang bukan manusia tapi setan!"
Selangkah demi selangkah dia mundur ke belakang dan mendadak tubuhnya roboh terkapar.
Jago tangguh yang sudah lama malang melintang di danau Tay-ouw ini ternyata jatuh semaput lantaran
kaget.
Tak seorang pun yang menghampirinya ataupun berusaha memayang tubuhnya.
Semua berdiri kaku, jari tangan basah oleh keringat dingin, bahkan ujung jari pun jadi dingin.
Sekarang semua dapat melihat dengan jelas, ternyata perahu yang digunakan orang berbaju putih itu adalah
perahu yang terbuat dari kertas.
Perahu kertas yang biasanya dibakar dan dilarung ketika memperingati kematian hari ketujuh seseorang.

Paras muka Hong Si-nio turut berubah. "Yang datang bukan manusia, tapi setan!" Kalau dia manusia hidup
yang terdiri dari darah dan daging, mana mungkin bisa menyeberangi danau dengan menumpang perahu
kertas?
"Di antara ombak yang menggulung, di balik awan tebal." Jangan-jangan dia memang datang dari neraka?
Apa benar di dunia ini ada setan? Hong Si-nio tidak percaya.
Selama hidup ia tak percaya dengan segala macam dongeng atau omong kosong, dia selalu melihat
kenyataan. Dia hanya percaya satu hal.
Terlepas orang itu sctan atau manusia, yang pasti dia sangat menakutkan.
Peduli darimana dia, kehadirannya adalah untuk membunuh Siau Cap-it Long.
Angin malam di musim gugur berhembus lembut.
Ketika angin lembut berhembus lewat, menggoyang perahu kertas itu hingga tenggelam ke dasar danau.
Tapi anehnya, orang di atas perahu itu tidak ikut karam.
Kini dia sudah tiba di atas Cui-gwat-lo.
Ruang kapal pesiar itu masih terang benderang, di bawah sorot lentera, semua dapat melihat tampang orang
itu dengan jelas.
BENTROK PARA PENDEKAR
Karya Gu Long - Gan K.H.
Bagian 15
Perawakan tubuh tidak tinggi, juga tidak pendek, rambutnya beruban, tidak mempunyai kumis atau jenggot.
Mukanya pucat pasi dan berbentuk aneh, seperti habis dihajar orang. Sehingga tampak lucu.
Tapi semua orang tidak berani tertawa melihat muka yang lucu ini, yang mereka lihat adalah sepasang mata
yang dingin mengerikan.
Matanya tak berbiji dan berwarna kuning, seluruhnya bola matanya berwarna putih.
Orang yang pernah melihat mata seperti ini, pasti seumur hidup takkan melupakannya.
Sedangkan panji yang digenggamnya bukanlah panji pengundang sukma, tapi panji tukang ramal yang
bertuliskan, 'Ke atas menembus nirwana, ke bawah menyambangi neraka'.
Ternyata orang itu adalah seorang peramal buta.
Setelah melihat dari dekat, barulah semua orang merasa lega. Namun semuanya melupakan satu hal,
manusia kadang lebih menakutkan daripada setan.
Siau Cap-it Long duduk kembali di bangkunya.
Terlepas si buta ini benar-benar buta atau tidak, paling tidak dia adalah seorang yang luar biasa.
Bila ada orang buta datang mencarimu dengan menumpang perahu kertas, perahu untuk sembahyang orang
mati, tentu saja dia datang dengan maksud jahat.
Tentu saja kau pun tak perlu berdiri di luar pintu menyambut kedatangannya.
Apalagi Siau Cap-it Long jarang berdiri.
Perlahan-lahan si buta berjalan mendekat, ternyata dia tidak menggunakan tongkat bambunya untuk
menuntun jalan.

Orang buta memiliki tanda khusus, Siau Cap-it Long dapat mengenalinya sekali pandang saja.
Kalau dia memang seorang buta, kenapa bisa datang sendiri ke tempat itu?
Apakah disebabkan cahaya lentera yang memancar dari kapal pesiarnya yang kelewat terang hingga dapat
dirasakannya?
Bukankah perasaan orang buta selalu lebih tajam ketimbang orang biasa?
Orang buta itu berjalan dengan lambat, tapi langkahnya mantap. Semua orang yang berkumpul di geladak
menyingkir ke samping memberi jalan.
Waktu lewat di antara orang banyak, lagaknya acuh seakan seorang raja yang lewat di antara para
hambanya.
Belum pernah Siau Cap-it Long berjumpa dengan orang buta sesombong dan sejumawa ini, seandainya dia
tidak buta pun belum tentu akan memandang sebelah mata terhadap semua yang hadir.
Seandainya dia benar-benar bisa melihat, mungkin tak seorang manusia pun di dunia ini yang dipandang
sebelah mata olehnya. Tentu selama ini dia telah banyak melakukan perbuatan yang membuatnya merasa
bangga, lalu apa yang pernah diperbuatnya?
Bila benar ia telah melakukan suatu perbuatan yang membuatnya bangga, tentu adalah suatu perbuatan
besar, bila perbuatan yang menggemparkan pastilah banyak orang yang tahu.
Namun sekarang tak seorang pun yang tahu asal-usulnya, bahkan Hong Si-nio pun tak mengenalnya.
Hong Si-nio mempunyai firasat buruk mengenai kedatangan orang buta itu, dia pasti akan mendatangkan
bencana atau kematian.
Di luar pintu ruang kapal, tergantung empat buah lentera.
Waktu itu si buta sudah berjalan hingga di bawah lentera.
"Berhenti!" seru Siau Cap-it Long tiba-tiba.
Si orang buta itu langsung berhenti, berdiri tegak lurus.
Sekalipun berdiri di bawah cahaya lentera yang terang benderang, namun sama sekali tak terlihat adanya
debu atau kotoran yang menodai sekujur badannya.
Selama hidup belum pernah Siau Cap-it Long berjumpa dengan orang buta sebersih ini.
Saat itu si buta sedang menunggu dia bicara.
"Tahukah kau tempat apakah ini?" tanya Siau Cap-it Long.
Si orang buta menggeleng.
"Kau tahu siapakah aku?"
Kembali orang buta itu menggeleng.
"Kalau begitu, tidak seharusnya kau datang kemari."
"Tapi sekarang aku telah datang."
"Mau apa kau datang kemari?"
"Aku adalah seorang buta."
"Sudah kulihat, kau memang buta."

"Orang buta selalu banyak mendengar persoalan yang tak pernah didengar orang lain."
"Apa yang telah kau dengar?"
"Irama musik dan nyanyian."
"Berarti kau tahu tempat ini adalah Se-ouw?"
Si buta mengangguk.
"Suara musik dan nyanyian ada dimana-mana," ujar Siau Cap-it Long.
"Tapi irama musik dan nyanyian yang kudengar tadi sama sekali berbeda."
"Berbeda?"
"Beda sekali bila dibandingkan suara nyanyian lain."
"Dimana letak perbedaannya?"
"Ada irama lagu yang sedih, yang gembira, ada pula yang tenang penuh kebahagiaan, ada yang penuh
dengan luapan emosi dan amarah," katanya perlahan, "seandainya kau pun buta seperti aku, dapat
dipastikan kau akan mengerti banyak kejadian aneh dan menarik hati di balik irama lagu itu."
"Lantas apa yang kau tahu?"
"Bencana dan tragedi!"
Siau Cap-it Long mengepal kencang.
"Suara angin menjelang badai pasti berbeda dengan suara angin kala tenang, jeritan binatang buas di kala
ajal juga berbeda di kala damai," ujar si buta dengan memiringkan kepala, "seorang kalau hendak kena
bencana, bisa dirasakan dari irama nyanyian yang didendangkan, aku dapat merasakan hal itu."
Berubah paras Siau Cap-it Long.
Si buta melanjutkan omongannya, "Bencana ada kecil ada besar, bencana kecil paling mendatang kematian
bagi diri sendiri, bencana besar bisa menyangkut jiwa orang lain yang tak berdosa."
"Kau tidak kuatir akan ikut terseret dalam bencana ini?" jengek Siau Cap-it Long.
"Kedatanganku ini justru hendak melihat keramaian."
"Keramaian apa?"
"Nona yang membawakan nyanyian itu."
Sungguh aneh, seorang buta dengan menumpang sebuah perahu kertas, khusus datang hanya untuk
melihat orang menyanyi.
Siau Cap-it Long hanya diam saja.
Si buta juga diam.
Semua hadirin juga diam, mereka tahu apa yang dikatakannya memang tidak untuk bergurau.
"Kau benar-benar buta?" tanya Siau Cap-it Long sambil menatapnya tajam.
Si buta mengangguk.
"Masakah seorang buta bisa melihat?" tanya Siau Cap-it Long.
"Orang buta memang tak bisa melihat," katanya dengan tertawa penuh kepedihan, mukanya berkerut-kerut.

Saat itulah Siau Cap-it Long merasa seperti pernah bertemu dengan orang ini, tapi justru saat ini tidak
teringat siapa gerangan dia.
"Tetapi orang buta justru dapat melihat apa yang tak bisa dilihat orang biasa," kata si buta.
"Bencana maksudmu?" sela Siau Cap-it Long.
Si buta manggut-manggut, lalu berkata, "Karena itulah aku kemari, ingin kutahu bencana macam apa yang
bakal terjadi."
Siau Cap-it Long tertawa.
"Kenapa kau tertawa?" tegur si buta.
Tawa Siau Cap-it Long makin keras.
"Bencana itu bukan sesuatu yang menggelikan," seru si buta.
"Aku justru sedang menertawakan diriku sendiri."
"Kenapa?"
"Sebab selama ini belum pernah kudengar hal yang tak masuk akal ini."
Ternyata ada orang yang bisa menggerakkan hati Siau Cap-it Long. Biasanya Hong Si-nio pun tak sanggup
menahan rasa gelinya dan akan tertawa terbahak-bahak.
Sekarang ia tak berani tertawa, tak mampu tertawa. Sebab dia tahu kejadian ini memang bukan suatu hal
yang menggelikan.
"Apakah yang sedang menyanyi itu Pin-pin?" bisik Sim Bik-kun.
"Hm."
"Kau bilang Pin-pin sakit parah, bahkan mengidap penyakit yang tak bisa diobati."
"Hm."
Setelah menghela napas panjang, Sim Bik-kun berkata pula, "Apakah benar si buta ini bisa melihat suatu
kejadian hanya dari mendengar suara nyanyiannya?"
Hong Si-nio diam, tak menjawab. Bukannya dia tak mau menjawab, tapi memang dia tak bisa menjawab.
Kejadian ini memang tak masuk akal, namun justru benar-benar terjadi.
Setelah lewat beberapa lama, ia pun menghembuskan napas panjang, katanya, "Aku hanya berharap dia
tidak melihat kejadian yang lain."
Bencana yang mereka hadapi memang sudah kelewat banyak. Lalu apalagi selain bencana yang bisa dilihat
si buta ini?
Orang mengatakan Hong Si-nio itu liar dan galak, lebih mirip seorang lelaki, bahkan caranya minum lebih
hebat dari lelaki.
Namun tiada yang mengatakan dia tidak cantik, dan sesungguhnya memang dia seorang yang cantik.
Perempuan, biasanya selalu beranggapan bahwa dirinya terlebih cantik dari orang lain. Namun berbeda
dengan Hng Si-nio, dia beranggapan Sim Bik-kun terlebih cantik daripada dirinya, bahkan tiada yang lebih
cantik darinya.
Namun sekarang anggapannya itu tidak benar, sebab sekarang dia menyaksikan ada seorang perempuan
lain yang lebih cantik ....
Pin-pin!

Kecantikannya seakan mampu menyedot sukma setiap orang yang menyaksikannya.
Saat itu Pin-pin sedang menuruni tangga, mukanya pucat dan sayu.
Si buta berdiri di hadapannya, seakan sedang mengawasinya.
"Apa yang kau lihat?" tanya Siau Cap-it Long.
Si buta masih diam, lama kemudian baru menjawab, "Aku melihat sebuah rawa, rawa di lembah curam, tak
ada kehidupan di sana...."
Tiba-tiba mukanya bercahaya, kemudian lanjutnya, "Tapi di tengah rawa itu ada seorang wanita."
Apakah yang ia maksudkan dengan rawa di lembah curam itu adalah lembah penyiksaan itu?
Apakah yang ia maksudkan dengan seorang wanita itu adalah Pin-pin yang didorong oleh Thian-kongcu?
Darimana ia bisa tahu semua ini?
Siau Cap-it Long menarik napas panjang, tanyanya, "Apalagi yang bisa kau lihat?"
Si buta bergumam lagi, "Aku lihat wanita itu merambat naik, tampaknya ia sedang sakit, sakit parah ..."
Setelah menghembuskan napas, lanjutnya, "Tampaknya dia akan segera jetuh ke bawah, tapi mendadak
ada sebuah tangan, tangan yang menariknya ke atas."
"Tentunya tangan seorang lelaki."
"Kini tangan itu sedang menggenggam sebilah golok yang aneh, sedang si wanita sedang menyanyi di
sisinya, tapi mendadak senar kecapi putus dan dia tersungkur ke tanah."
"Apakah wanita yang sedang menyanyi itu adalah wanita di rawa itu?" tukas Siau Cap-it Long.
"Benar."
"Kau yakin? Dan kau dapat melihat wajahnya?"
"Aku tak bisa melihat wajahnya," sahut si buta ragu sejenak, "tapi dapat kulihat ada toh (noda sejak lahir)
hijau setelapak tangan di pantat kirinya."
Belum habis ucapannya, paras muka Pin-pin seketika berubah hebat, kagetnya bukan main seakan dia
didorong ke dasar jurang yang dalam.
Sebetulnya dia bukanlah seorang wanita yang mudah kaget ataupun takut, bahkan keteguhan hatinya
melebihi baja, itulah sebabnya dia masih hidup sampai sekarang.
Tapi sekarang mengapa ia nampak begitu takut?
Apakah memang di pantat kirinya ada toh hijau itu?
Tersungging senyuman aneh di bibir si buta, katanya pula, "Ternyata aku tak salah lihat, aku tahu, aku tak
bakal salah lihat...."
Perlahan si buta membalikkan tubuh hendak beranjak pergi, tapi mendadak tongkatnya ditusukkan ke
tenggorokan Pin-pin.
Pin-pin tak bergerak, juga tak berusaha menghindar.
Sekujur tubuhnya seakan kaku, jangankan menghindar, bergerak pun tak mampu.
Semua orang menyaksikan tongkat si buta menusuk ke arah tenggorokan Pin-pin secepat kilat, namun
tenggorokan Pin-pin masih seperti keadaan semula, tanpa terluka sedikit pun.
Untung di sampingnya ada Siau Cap-it Long, kecuali dia, siapa yang mampu menyelamatkan jiwanya?

Tak ada yang melihat bagaimana ia turun tangan, namun si buta dapat merasakannya.
Ia rasakan ada segulung tenaga menyerang bawah ketiaknya, dalam keadaan seperti itu, apabila ia tidak
menarik tusukan tongkatnya, tentu dadanya akan remuk terhajar.
Si buta melompat mundur sejauh tujuh-delapan kaki, namun Siau Cap-it Long telah berdiri di depan pintu,
menghadang jalan perginya.
Golok jagal rusa masih tetap berada di sarungnya. Tapi semua orang bisa merasakan hawa membunuh
yang terpancar.
Si buta membalik tubuh dan berdiri berhadapan dengan Siau Cap-it Long, mukanya yang perot kaku
membesi.
Dia tahu, orang yang berada di hadapannya ini takkan membiarkan dirinya berlalu dari situ dalam keadaan
hidup.
"Kau telah salah sasaran," kata Siau Cap-it Long.
"Oya?"
"Yang ingin kau bunuh kan aku."
"Kau suruh aku membunuhmu?"
"Ya."
"Kenapa?"
"Karena kau sudah datang ke sini."
"Dan kau pun ingin membunuhku?"
Siau Cap-it Long tidak menyangkal.
Si buta tertawa, ujarnya hambar, "Padahal walau aku tak ingin membunuhmu, kau pun bisa membunuhku."
Sambil menatap wajah si buta, muncul perasaan aneh dalam hati Siau Cap-it Long, rasanya dia pernah
bertemu dengan orang ini, tapi seketika tidak teringat siapakah dia?
Tangannya mulai meraba golok di pinggangnya.
"Sudah kukatakan, mesti aku buta, tapi bisa melihat apa yang orang lain tak bisa melihat," kata si buta.
"Sekarang apa yang kau lihat."
"Kusaksikan ada tangan menggenggam golok."
Siau Cap-it Long tidak kaget, kenyataan memang begitu.
"Aku pun melihat kau bertekad membunuhku," lanjutnya.
Siau Cap-it Long tertawa dingin.
"Seandainya peristiwa ini terjadi dua tahun yang lalu, kau pasti akan membiarkan aku berlalu, tapi sekarang
kau telah berubah."
"Jadi dua tahun lalu kita pernah bertemu?" tanya Siau Cap-it Long.
"Umpama kita pernah bertemu, kuyakin dua tahun yang lalu kau bukan manusia semacam ini."
"Apa lagi yang kau lihat?"
"Aku lihat segumpal darah, di tengah genangan darah terdapat kutungan tangan, dalam genggaman

kutungan tangan itu terdapat sebilah golok."
"Dapat kau lihat darah siapakah itu?"
"Darah siapa?" si buta tertawa, lanjutnya, "tentu saja darahmu, tangan dan golokmu."
Siau Cap-it Long mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak.
"Kematian bukan sesuatu yang menggelikan," tegur si buta.
"Yang kutertawakan kali ini adalah kau"
"Kenapa?"
"Sebab kali ini kau telah salah melihat." Golok jagal rusa masih berada dalam sarungnya. Golok belum
dilolos, namun hawa membunuh makin tebal. Perlahan-lahan orang buta itu meletakkan kain putih di tangan
kanannya, tiba-tiba ia melejit ke udara dan berjumpalitan beberapa kali, tongkat bambu ditusukkan ke depan.
Ketika melancarkan serangan, tongkat bambu yang lurus kaku itu bergetar dan meliuk-liuk, seakan berubah
seperti ular. Seekor ular berbisa! Seekor ular berbisa yang hidup!
Ketika pertama kali melihat ular berbisa, waktu itu Siau Cap-it Long baru enam tahun. Yang dia jumpai
adalah seekor ular derik yang ekornya bisa berbunyi keras.
Itulah untuk pertama kalinya dia digigit ular, juga merupakan terakhir kalinya.
Setelah itu, asal dia melihat sekilas, dengan cepat ia dapat membedakan jenis ular berbisa.
Untuk menghadapi kawanan binatang melata ini hanya ada satu cara, yaitu menghantam bagian tujuh inci di
belakang kepala yang paling mematikan.
Selama ini dia tak pernah meleset, tak pernah gagal. Tapi kini dia gagal menemukan bagian itu, dia tak tahu
dimana letaknya.
Ular berbisa di tangan si buta ini jauh lebih berbahaya dari ular berbisa yang pernah dijumpainya.
Kecuali si bangsawan Siau-yau-hou Thian-kongcu, ternyata orang buta ini merupakan lawan yang paling
menakutkan, lawan tangguh yang selama hidup belum pernah dijumpainya.
Dia tahu, dalam keadaan seperti ini dia harus tenang.
Ketika tongkat bambu yang menyerupai ular berbisa itu menusuk tiba, dia sama sekali tidak bergerak.
Mengapa dia tidak bergerak?
Tidak bergerak itu berarti apa?
Tidak bergerak berarti bergerak!
Bukankah teori itu adalah rahasia paling tinggi dari ilmu silat?
Serangan tongkat si buta dari sungguhan berubah menjadi serangan tipuan, tongkatnya berubah seakan
menjadi belasan tongkat yang mengancam bersama. sehingga sulit membedakan mana yang serangan
sungguhan dan mana yang tipuan.
Bergerak berarti tidak bergerak.
Bayangan tongkat bambu seolah membeku menjadi selapis bayangan semu yang membingungkan, selapis
kabut cahaya yang mengambang.
Kini Siau Cap-it Long mulai bergerak.
Tiba-tiba tubuhnya melompat sejauh delapan kaki.

"Tok, tok, tok", tongkat si buta menutul di lantai ruang kapal, tahu-tahu lantai kapal telah bertambah belasan
lubang.
Siau Cap-it Long menghembuskan napas panjang.
Sekonyong-konyong tongkat bambu berbalik menyerang ke atas, lalu menyapu secepat kilat.
Sebenarnya tempat dimana Siau Cap-it Long berdiri lebih menguntungkan ketimbang si buta, namun siapa
tahu lengan si buta pun seakan ikut berubah menjadi seekor ular berbisa, meliuk-liuk sesuka hatinya.
Lekas Siau Cap-it Long mundur ke belakang sambil melancarkan tendangan.
Sekilas gerakan ini sangat sederhana, namun justru tongkat si buta kena tertendangan dengan telak hingga
mencelat.
Agaknya si buta tak menyangka akan gerakan ini. Cepat ia berputar untuk melindungi bagian tubuhnya yang
lemah, lalu telapak tangan kiri membacok kaki Siau Cap-it Long.
Siau Cap-it Long menarik kakinya dan berdiri tegak di ruang geladak, kemudian ia sodokkan kepalannya ke
hidung lawan.
Gerakannya masih biasa saja dan sederhana.
Siapa pun pasti menduga si buta akan dengan mudah menghindarinya, namun siapa sangka tiba-tiba pipi
kirinya terasa sakit.
Ternyata pukulan Siau Cap-it Long yang sederhana itu telah bersarang di wajahnya yang jelek itu.
Si buta berjumpalitan di udara dan kembali berputar. Jarang ada orang yang bisa melakukan gerakan
semacam itu.
Sekarang tahulah Siau Cap-it Long siapakah si buta ini.
Pin-pin pun tahu.
Seketika berubah hebat wajah kedua orang ini seakan melihat sukma gentayangan.
Dalam waktu singkat tubuh si buta yang masih berputar itu menerobos jendela dan melayang keluar.
Terdengar kumandang suaranya di kejauhan, "Ilmu silatmu sudah bertambah maju dibanding dua tahun
silam, hanya sayang ...." Belum habis ucapannya, mendadak terdengar suara "Byuur."
Cahaya rembulan masih bersinar terang, gelombang air segera menghiasi permukaan danau, namun
bayangannya sudah lenyap.
Paras Pin-pin seketika pucat, segera Siau Cap-it Long menggenggam tangannya yang dingin membeku.
Seketika suasana menjadi hening, bahkan suara napas pun tak terdengar.
Setelah lewat beberapa lama, dengan menghela napas Ong Bing berkata, "Sungguh lihai ilmunya."
Semua tahu jurus serangan yang dilancarkan si buta sungguh lihai dan mematikan dengan perubahan yang
luar biasa.
Jarang ada orang yang bisa menghindari serangan itu, namun Siau Cap-it Long berhasil mengalahkannya,
walaupun dengan jurus yang sangat umum dan sederhana.
XXIV. MABUK CINTA
Telaga Se-ouw ditimpa cahaya rembulan, indah mempesona.
Siapa orang yang mampu mengubah watak Hong Si-nio?

Jantung Hong Si-nio masih berdebar dengan kencang.
Debar jantungnya bukan dikarenakan pertarungan itu, namun sekarang dilihatnya Siau Cap-it Long sedang
merangkul Pin-pin naik ke loteng.
Bagaimana pun ia seorang perempuan.
Dia sanggup mengorbankan diri demi orang, namun tak sanggup mengendalikan perasaan hatinya.
Bagaimana pula perasaan Sim Bik-kun?
Dengan tertawa paksa ujar Hong Su-nio perlahan, Dia memang gadis yang mearik dan patut dikasihani."
Sim Bik-kun memandang ke tempat jauh, seakan hatinya juga berada di sana, lama kemudian baru dia
menjawab sambil menunduk, "Ya, aku tahu."
"Apakah sekarang kita akan naik dan mencarinya."
Sim Bik-kun tampak sangsi dan tidak menjawab.
Hong Si-nio tidak bertanya lagi karena dilihatnya Ong Bing sedang beranjak menghampiri mereka.
Dilihatnya Ong Bing celingukan seakan ada yang dicarinya.
"Siapa yang kau cari?" tegur Hong Si-nio.
"Loji."
Kini Hong Si-nio baru sadar kalau Su Jiu-san sudah tidak ada di sana.
Perahunya yang tadi ditarik balik terlihat sedang berlayar menjauh, sebagian besar para jago pun sudah
pergi. Sisanya ada yang sedang tiduran atau sedang menikmati arak.
"Mana Su-loji?" kembali Ong Bing bertanya.
"Mana aku tahu, dia toh bukan anak kecil yang harus diawasi terus, kalian pun tak pernah menyerahkan dia
padaku," jawab Hong Si-nio sambil menarik muka.
Ong Bing melengak, katanya, "Masakah dia pergi bersama orang lain?"
"Kenapa tidak kau periksa ke dalam?"
"Bagaimana denganmu?"
"Aku punya urusan sendiri, kau tak perlu ikut campur."
Ia pun menarik tangan Sim Bik-kun dan diajak masuk ke dalam ruang kapal.
Sekarang ia tahu, ternyata Sim Bik-kun bukan jenis perempuan yang dapat mengambil keputusan.
Sebenarnya ia masih mempunyai banyak persoalan yang perlu ditanyakan kepadanya.
Dengan terkejut Ong Bing mengawasi mereka yang sedang berjalan masuk ke ruang kapal, tak tahan
teriaknya, "He, mau apa kalian? Kalian pun datang untuk membunuh Siau Cap-it Long?"
Hong Si-nio tidak menanggapi. Tiba-tiba terdengar ada seseorang menjawab, "Sekalipun semua orang ingin
membunuh Siau Cap-it Long, namun kedua perempuan ini adalah kekecualian."
Cepat Ong Bing berpaling, segera ia tahu yang bicara adalah Hu It-gwan.
"Mengapa mereka terkecuali?" tanya Ong Bing penasaran, "memangnya kau tahu mereka itu siapa?"
Sahut Hu It-gwan dengan tersenyum licik, "Kalau mataku belum lamur, perempuan yang bicara tadi adalah
Hong Si-nio."

Bukan main kaget Ong Bing.
Nama Hong Si-nio memang selalu mengagetkan orang yang mendengar.
"Kau pernah mendengar nama perempuan ini bukan?" kembali Hu It-gwan bertanya.
"Darimana kau mengenalinya?"
Kembali Hu It-gwan tertawa, "Sekalipun perempuan ini susah dihadapi, namun ilmu silatnya tidak terlalu
tinggi, ilmu menyarunya pun jelek sekali."
"Lalu siapa perempuan yang satunya?"
"Aku tidak tahu, siapa yang sudi berjalan berendeng dengan perempuan siluman itu?"
"Apakah kau melihat Su-loji?"
"Ya, memang tadi aku melihat dia."
"Sekarang dimanakah dia?"
"Kalau Hong Si-nio saja tidak tahu kemana dia pergi, darimana aku tahu," kembali Hu It-gwan tertawa.
Tawanya sunggu mirip rase, licik.
"Apakah dia ikut pergi bersama perahu itu?"
Hu It-gwan menggeleng.
"Aneh, masakah orang segede itu bisa lenyap secara mendadak," kata Ong Bing dengan kening bekernyit.
"Menurut apa yang aku tahu, orang yang sering berhubungan dengan Hong Si-nio, seringkali lenyap tak
keruan parannya."
"Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?" bentak Ong Bing sambil melotot.
Hu It-gwan tersenyum.
"Kapal di atas air, orang di atas kapal, kalau orangnya tidak berada di kapal, lantas dia dimana?"
Tiba-tiba Ong Bing menerjang ke depan dan langsung menceburkan diri ke danau.
Melihat hal ini Hu It-gwan menghela napas panjang, gumamnya, "Agaknya orang ini tidak bodoh, kali ini dia
menemukan tempat yang tepat."
Ruang di atas loteng perahu tidak terlalu besar, biarpun begitu pajangannya cukup menawan.
Tempat lilin terbuat dari perak, cahaya lentera masih menyinari seluruh ruangan kapal.
Siau Cap-it Long berdiri terpekur di depan jendela, memandang kegelapan malam, entah apa yang sedang
dipikirkan.
Mungkin dia terbayang kembali lembah yang mengerikan itu.
Tak ada perubahan pada wajahnya, namun Pin-pin dapat menebak apa yang sedang dipikirkan lelaki ini.
Selama ini ia tidak mengganggunya. Setiap kali ia termenung, dia memang tidak pernah mengganggu
ketenangannya.
Sebetulnya dalam hatinya penuh dengan persoalan yang ingin ditanyakannya, bahkan persoalan yang tak
terlupakan dan sangat menakutkan.
Cahaya ketakutan masih terbayang di wajahnya, setiap kali ia pejamkan mata, selalu terbayang mimik aneh

si buta itu.
Keheningan menyelimuti suasana di kapal itu. tiba-tiba terdengar ada orang berbicara. Tak jelas apa yang
dibicarakan, tapi dilihatnya ada dua orang sedang berjalan ke atas loteng.
Dua orang yang berdandan sebagai tukang perahu.
Sekilas dikenalinya salah seorang adalah Hong Si-nio.
Kebetulan Hong Si-nio pun sedang menatap ke arahnya, tanyanya, "Apakah benar di pantatmu ada toh
hijau?"
Itulah pertanyaan pertama yang dilontarkan Hong Su-nio.
Setiap orang dapat mendengar pertanyaan itu dengan jelas, namun tak ada yang menduga pertanyaan apa
yang pertama kali akan diajukan Sim Bik-kun.
Padahal banyak yang ingin diucapkan Sim Bik-kun, namun dia tetap saja diam.
Sebetulnya ingin dia menerjang maju dan menjatuhkan dirinya dalam pelukan Siau Cap-it Long. Namun
tidak ia lakukan, ia hanya diam dan berdiri menjublek di belakang Hong Si-nio.
Pin-pin pun tak menjawab pertanyaan Hong Si-nio.
Hong Si-nio pun tak bertanya lebih lanjut.
Akhirnya Siau Cap-it Long memutar tubuh berhadapan dengan mereka. Ia tahu sedang berhadapan dengan
siapa, namun sekarang ia hanya memandangi kaki sendiri.
Tak tahu apa yang harus diucapkannya, ketiga perempuan ini penting dalam kehidupannya.
Salah satunya adalah kekasih hatinya, demi perempuan ini ia telah merasakan berbagai penderitaan dan
siksaan, bahkan siap berkorban demi dirinya.
Seorang lainnya adalah penolong dirinya, yang seorang lagi telah menyerahkan segalanya bagi dirinya.
Mereka bertiga telah mengorbankan segalanya bagi dirinya, kini secara tiba-tiba berkumpul bersama di sini,
sekarang apa yang bias ia perbuat.
Ombak di luar tenang, perasaan orang dalam ruang kapal justru bergelora.
Tiba-tiba Hong Si-nio tersenyum dan berkata, "Tampaknya penyamaran kami sangat bagus, sampai Siau
Cap-it Long sendiri tidak mengenali kami."
Siau Cap-it Long tertawa, "Untung aku masih mengenali suaramu."
"Kalau kau sudah mengenali kami, kenapa tidak menyuguh arak?" tegur Hong Si-nio sambil bertolak
pinggang.
Siau Cap-it Long segera menuang arak, sewaktu menuang ia melirik ke arah Hong Si-nio.
Dia tahu Hong Si-nio takkan membiarkan dirinya sengsara, ia lebih suka diri sendiri tersiksa dan menderita.
Hong Si-nio mendekatinya, mengangkat cawan arak itu dan ditenggaknya habis, setelah itu katanya, "Arak
bagus!"
Tentu saja arak bagus.
"Arak ini adalah Li-ji-ang berusia 30 tahun," katanya tertawa, "kalau ingin menikmati arak jenis ini paling enak
kalau ditemani masakan kepiting dari Yang-ting-ouw."
"Akan kumasakkan kepiting untuk teman arak," kata Pin-pin tiba-tiba sambil bangkit berdiri.
"Aku ikut," seru Hong Si-nio, "masalah kepiting rasanya aku lebih pintar dari kau."

Bila mereka berempat berkumpul, tentunya tempat itu akan terasa sempit. Kesempatan ini digunakan
mereka berdua untuk mengundurkan diri dari situ.
Mereka sengaja memberi kesempatan kepada Siau Cap-it Long dan Sim Bik-kun untuk saling bicara. Namun
Sim Bik-kun hanya berdiri mematung, memandang ke tempat jauh dengan pandangan kosong.
Akhirnya Sim Bik-kun berkata dengan suara perlahan, "Di meja sudah ada kepiting."
Di atas meja memang sudah tersedia kepiting. Pin-pin dan Hong Si-nio tahu hal ini.
Mereka tak habis mengerti mengapa Sim Bik-kun justru tak membiarkan mereka pergi agar dirinya bisa
bicara berdua dengan Siau Cap-it Long. Apakah ia tak ingin bicara dengan Siau Cap-it Long? Atau dia tak
berani?
Pada wajah Siau Cap-it Long tampak sedih, namun ia tetap tersenyum, "Kepiting itu masih hangat, memang
cocok untuk teman minum arak."
Arak sudah mengalir ke dalam perut, namun kemurungan tetap saja menyelimuti hati masing-masing.
Hong Si-nio tetap tertawa, bicara juga paling banyak, apalagi setelah meneguk beberapa cawan arak.
Katanya, "Apakah benar di tubuhmu ada toh hijau?"
Harusnya dia tak perlu bertanya, semua orang tahu apa yang dikatakan si buta itu adalah benar.
Dengan tertunduk, terpaksa Pin-pin menjawab lirih, "Benar!"
"Apakah benar berada di pantat?"
Muka Pin-pin merah jengah, dengan tersipu dia menunduk makin dalam.
Sebenarnya hal ini merupakan rahasia pribadinya. Lalu dari-mana si buta tahu?
Hong Si-nio berpaling mengawasi muka Siau Cap-it Long, seakan bertanya apakah dia tahu juga akan hal
ini?
Wajah Pin-pin semakin jengah, ujarnya, "Kecuali ibuku, hanya ada satu orang lain yang tahu."
"Siapa?" tanya Hong Si-nio segera.
"Kakakku."
"Siau-yau-hou?"
"Ya."
Hong Si-nio melengak.
"Setelah ibu meninggal, hanya tinggal dia seorang yang tahu akan rahasia ini," ujar Pin-pin.
Dia bicara dengan tegas, dia memang bukan jenis perempuan yang sembrono.
"Bukankah kakakmu sudah mati?"
Wajah Pin-pin semakin memucat, terbias rasa takut dan ngeri, ia hanya diam saja.
Hong Si-nio kembali bertanya, "Setelah kakakmu mati, apakah rahasia ini tidak diketahui orang lain lagi?"
Pin-pin tetap bungkam, ia hanya melirik ke arah Siau Cap-it Long sekejap.
Muka Siau Cap-it Long ikut memucat, terpancar rasa ngeri di balik matanya.
Peristiwa apa yang membuatnya ngeri?

Apakah peristiwa yang sama seperti yang dialami Pin-pin?
Hong Si-nio sebentar melihat ke arahnya, lalu memandang Pin-pin, tanyanya, "Sebetulnya apa yang kalian
pikirkan?"
"Tidak ada yang kami pikirkan," jawab Pin-pin dengan tersenyum paksa.
"Jadi kalian menduga Siau-yau-hou belum mati?" desak Hong Si-nio.
Pin-pin bungkam.
Siau Cap-it Long juga diam.
Keduanya seakan mengakui dugaan itu.
Melihat perubahan mimik kedua orang ini, Hong Si-nio ikut bergidik.
Dia kenal siapakah Siau-yau-hou.
Orang ini memang lihai, tak ada persoalan yang tak sanggup dia lakukan. Tidak heran, seandainya ada
orang yang bisa bangkit dari kematian, maka orang itu adalah dirinya.
Siau Cap-it Long hanya menyaksikan tubuhnya tercebur ke dalam jurang, tapi dia tidak melihat jasadnya.
Kembali Hong Si-nio meneguk secawan arak, lalu berkata dengan tersenyum, "Rasanya tak mungkin si buta
itu adalah dia."
"Kenapa?" tanya Siau Cap-it Long.
"Sebab Siau-yau-hou orang cebol, sedang si buta tidak."
"Mungkin saja dia bukan orang cebol sejak lahir."
"Bagaimana bisa begitu?"
"Sekarang baru aku tahu, mustahil seorang cebol bisa meyakinkan ilmu silat sedemikian lihai."
"Yang jelas dia seorang cebol."
Siau Cap-it Long menepekur sejenak, kemudian tanyanya, "Apakah kau pernah mendengar bayi khikang
dari agama To?"
Tentu saja Hong Si-nio pernah mendengar. Setiap orang yang berlatih ilmu kebatinan, pasti memiliki tenaga
murni, bila tenaga murni sudah terbentuk, maka wujudnya seperti bayi, bayi inilah yang seringkali keluar dari
badan kasarnya untuk berkeliaran.
Orang berwujud bayi inilah yang disebut bayi khikang.
"Tapi itu hanya ada dalam dongeng."
"Benar, tapi dongeng bukannya tanpa dasar dan fakta."
"Fakta bagaimana?"
"Konon ada semacam kepandaian, bila dilatih sempurna, maka tubuhnya bisa menyusut bagai seorang
bocah," Siau Cap-it Long menjelaskan, "kepandaian itu disebut Kiu-coan-huan-tong."
"Pernah kau saksikan kepandaian ini?"
"Belum."
"Jadi kepandaian inipun cuma dongeng belaka?"
"Mungkin saja."

"Kau pun menduga Siau-yau-hou menguasai kepandaian ini?"
"Jika ada orang yang berhasil melatih kepandaian ini, orang itu pastilah dia."
Hong Si-nio tak sanggup tertawa lagi.
"Bila ada orang menguasai kepandaian itu hingga puncak kesempurnaan, ketika terluka, tenaga murninya
pasti akan buyar."
Hong Si-nio tetap diam, hanya mendengarkan.
Siau Cap-it Long melanjutkan, "Kalau orang yang menguasai kepandaian itu terluka parah, maka wujudnya
akan kembali pada bentuk sebenarnya." Setelah menghela napas, katanya pula, "Pin-pin bukan orang cebol,
ketika dia mulai tahu urusan, Siau-yau-hou sudah menjadi jagoan."
"Karena itu kau beranggapan Siau-yau-hou bukan orang cebol, tapi karena menguasai kepandaian
semacam itu?" kata Hong Si-nio.
"Hm."
"Karena dia jatuh ke jurang dan terluka parah, maka wujudnya kembali seperti semula?"
Siau Cap-it Long diam tanpa menjawab, hakikatnya dia sudah beberapa kali menghadapi peristiwa yang
tidak masuk akal.
Sebenarnya Hong Si-nio ingin tertawa, namun melihat perubahan wajah orang, dia pun urung tertawa.
"Jadi kau tetap menduga si buta itu adalah Siau-yau-hou?"
"Mungkin saja."
"Apa dasarnya?"
"Kecuali Siau-yau-hou, si buta ini terhitung jagoan tangguh yang pernah kuhadapi, bukan saja serangannya
aneh dan lihai, lengannya bisa meliuk-liuk seperti ular."
Hong Si-nio percaya, ia sendiri ikut menyaksikan.
"Ilmu itu disebut Yoga," Siau Cap-it Long menjelaskan.
"Yoga!?"
"Ya, berasal dari Thian-tok (India)."
"Jadi kepandaian si buta dari Thian-tok?"
"Paling tidak ia pernah belajar Yoga, konon ilmu Kiu-coan-huan-tong juga berasal dari Thian-tok."
"Lalu apalagi?"
"Wajah si buta tidak keruan, biji matanya sudah berubah menjadi kuning, mungkin ia telah minum racun Kimkwa-
lo, rumput beracun yang hanya tumbuh di lembah pembunuh."
Rumput beracun Kim-kwa-lo tumbuh di sepanjang tebing lembah, bila layu bisa dipakai sebagai bahan
pewarna, biasanya dipergunakan orang Tibet.
Jubah kaum Lhama berwarna kuning memakai bahan ini.
Kim-kwa-lo termasuk jenis rumput langka dan beracun jahat.
"Jadi orang yang telah minum racun Kim-kwa-lo mukanya jadi begitu?"
"Kalau tidak mampus, biasanya akan berubah seperti itu."

Hong Si-nio menghela napas panjang, katanya, "Tampaknya apa yang kau ketahui lebih banyak ketimbang
diriku."
Siau Cap-it Long kembali tertawa paksa, sahutnya, "Belakangan ini aku banyak membaca buku."
"Tak kusangka kau ada waktu untuk membaca."
"Ilmu silatku pun banyak bertambah maju."
"Pernah kudengar dari si buta."
"Jika ia tak pernah menempurku, darimana dia tahu?" setelah menghela napas ia menambahkan, "Yang
jelas tiada seorang pun yang bisa melihat hal yang tak bisa dilihat orang lain."
"Kecuali Siau-yau-hou, tak ada orang kedua yang tahu rahasia Pin-pin."
Siau Cap-it Long terdiam.
Tangan Hong Si-nio berkeringat dingin.
"Jangan-jangan orang yang dipelihara anjing adalah dia?"
"Orang yang dipelihara anjing?"
"Tiong-cu dari Thian-tiong itu."
"Kau pun tahu soal Thian-tiong?"
"Biarpun buku yang kubaca tidak banyak, tapi persoalan yang kuketahui justru tidak sedikit," kata Hong Sinio
sambil tertawa.
Setelah menenggak beberapa cawan arak kembali ia melanjutkan, "Bukan hanya soal Thian-tiong, ketuanya
si anjing kecil juga sudah kuketahui."
"Darimana kau tahu?"
"Tentunya ada yang memberitahu padaku."
"Siapa?"
"Toh Lin."
"Siapa Toh Lin itu?"
"Orang yang mengajakku naik perahu delapan dewa."
"Perahu delapan dewa?"
"Masakah kau tak tahu perahu delapan dewa?"
"Tidak tahu."
"Belum pernah kau naik perahu itu?"
"Belum."
Hong Si-nio tertegun dibuatnya, apa yang diucapkan Siau Cap-it Long selamanya adalah benar. Ia heran
bagaimana Siau Cap-it Long bisa tidak tahu.
"Ingatkah kau ketika mereka mengundangmu minum arak di atas perahu?"
"Ya."

"Nah, perahu itu adalah perahu delapan dewa."
"O, begitu, tapi aku tidak mengunjungi perahu mereka."
"Kenapa?”
"Karena penunjuk jalan yang membawaku ke sana tiba-tiba berubah pikiran."
"Kenapa?”
"Karena dia takut aku mampus dibokong orang."
"Siapa orang itu?"
"Seorang pemuda pengantar surat."
"Maksudmu Siau Cap-ji Long?"
Siau Cap-it Long manggut-manggut.
"Padahal sudah kuduga pastilah dia, Siau Cap-ji Long mana tega menyaksikan Siau Cap-it Long mampus,"
setelah tersenyum sejenak lanjutnya, "dan kalau bukan dia, siapa yang sudi membantu Siau Cap-it Long."
Dengan tertawa getir Siau Cap-it Long menyela, “Tapi tak kusangka bisa bersahabat dengan dia."
"Dia tidak jadi membawamu ke sana, lantas diajak kemana?"
"Mencari seseorang."
"Pin-pin?"
Tentu saja Pin-pin.
Demi Pin-pin siksaan apapun akan dihadapinya.
XXV. PERMAINAN KEMATIAN
Siau Cap-it Long bukanlah orang yang mandah dituntun, tapi demi Pin-pin apapun akan dilakukannya.
Pin-pin menundukkan kepala.
Sim Bik-kun juga menundukkan kepala.
Hong Si-nio mengangkat cawan arak.
Siau Cap-it Long pun mengangkat cawan.
Namun cawan-cawan itu sudah kosong.
Akhirnya Hong Si-nio pula yang mulai buka suara, katanya pada Pin-pin, "Hari itu, mengapa kau menghilang
secara tiba-tiba?"
"Aku tak biasa minum arak, maka sedikit mabuk, lalu aku minum teh untuk mengurangi pengaruh arak ...."
Siapa tahu setelah minum teh justru dia tak sadarkan diri.
Yang mencampuri teh dengan obat bius adalah Hamwan Sam-seng, namun yang membawa pergi adalah
Hamwan Sam-coat.
Mereka persembahkan Pin-pin kehadapan si Raja hiu. Raja hiu ini justru tidak makan manusia, terhadap
Pin-pin pun sikapnya sangat sungkan.
"Tampaknya dia ingin memanfaatkan diriku untuk memeras Siau-toako melakukan sesuatu tugas, makanya

dia menahan aku," kata Pin-pin dengan menunduk, waktu menyebut "Siau-toako" nadanya sungguh mesra.
"Siau Cap-ji Long tak tahu tempat dimana aku dikurung," lanjut Pin-pin dengan lirih, "tapi tak kusangka justru
dialah yang mengajak Siau-toako mencariku."
Sim Bik-kun tetap diam seakan tidak mendengar. Hong Si-nio menghela napas, katanya, "Tak kusangka si
Raja hiu punya murid seperti itu." Setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Muridnya itu tidak termasuk orang
baik, tapi apakah juga termasuk sahabat yang baik?"
Siau Cap-it Long tak menjawab, hanya tersenyum getir. Kembali Siau Cap-it Long mengangkat cawannya,
cawan yang sudah diisi arak.
Mata Hong Si-nio semakin terang, katanya pula, "Kau tak pernah ke perahu delapan dewa, namun aku
pernah ke sana."
"Jadi kau bertemu si Raja hiu?"
"Ya, tapi dia tiak melihat aku."
"Kok bisa begitu?"
"Sebab orang mati tak bisa melihat."
"Jadi si Raja hiu sudah mati?" berubah paras Siau Cap-it Long.
“Bukan hanya dia yang mati, semua orang yang tercantum dalam undangan semuanya sudah mati, kecuali
Hoa Ji-giok."
"Siapa yang membunuh mereka?"
"Seharusnya adalah kau."
"Aku?"
"Orang lain beranggapan begitu."
Siau Cap-it Long tertawa getir.
Hong Si-nio melanjutkan, "Senjata yang dipakai membunuh adalah sebilah golok, bahkan hanya dengan
sekali bacokan."
"Memang kecuali aku, siapa yang bisa membunuh si Raja hiu hanya dengan sekali bacokan?"
"Ya begitulah, siapa pula yang bisa membunuh Hamwan Sam-seng dengan sekali tebasan?"
"Kau tak bisa menebaknya?"
Hong Si-nio menggeleng, katanya pula, "Memangnya kau bias menebak?"
"Buat apa aku pikirkan, kejadian semacam ini bukan yang pertama kali bagiku."
Hong Si-nio mengawasinya. Kemudian mengangkat cawan untuk menutupi wajahnya, dia sama sekali tak
berpaling ke arah Sim Bik-kun.
Apakah Sim Bik-kun sedang mengawasinya?
Bagaimana perasaannya jika orang yang dicintainya difitnah orang?
Tiba-tiba Siau Cap-it Long bertanya, "Bagaimana kalian bisa sampai ke sini?"
"Untuk memenuhi sebuah undangan."
"Undangan siapa?"

"Undangan seseorang."
"Siapa?"
"Manusia yang dipelihara anjing."
"Si pengundang tentunya dua orang bukan?"
"Hm."
"Lalu siapa yang satunya?"
Hong Si-nio meneguk araknya, kemudian baru menjawab, "Lian Shia-pik."
Siau Cap-it Long terdiam.
Siau Cap-it Long memang merasa malu dan menyesal bila bertemu dengan orang ini.
Hong Si-nio pun melanjutkan ucapannya, "Dimanakan mereka berjanji untuk bertemu? Bisakah kau duga?"
Siau Cap-it Long menggeleng.
"Di sini."
"Di kapal Cui-gwat-lo?"
"Saat bulan purnama di kapal Cui-gwat-lo."
Bulan masih bulat.
Siau Cap-it Long memandang rembulan, kemudian menunduk. Ia tidak bertanya darimana Hong Si-nio tahu
akan hal itu, juga tidak bertanya kepada Sim Bik-kun kenapa ia meninggalkan Lian Shia-pik.
Ia hanya menduga Lian Shia-pik pasti mempunyai hubungan dengan semua peristiwa keji itu.
Sekarang Lian Shia-pik akan datang ke sini, sedangkan Sim Bik-kun berada pula di sini, ia tak berani
membayangkan apa yang bakal terjadi.
Tiba-tiba Sinm Bik-kun berdiri, sambil memandang rembulan katanya, "Waktu sudah hampir pagi,
seharusnya aku pergi dari sini." Seketika perasaan Siau Cap-it Long menjadi dingin. Seharusnya memang ia
tidak berada di sini.
Tapi kemana ia bisa pergi?
Siau Cap-it Long mengawasi cawannya yang sudah kering. Sim Bik-kun tidak memandangnya, sekejap pun
tidak. Siapa bilang ia tidak sedih? Siapa bilang ia tidak menderita? Namun tidak mungkin baginya untuk
tetap tinggal.
Tiba-tiba Hong Si-nio melotot ke arahnya, "Kau benar-benar akan pergi?"
"Walau kita datang berdua, tapi aku bisa pergi sendiri."
"Kau akan pergi seorang diri?"
"Ya."
Hong Si-nio menggebrak meja. "Tidak boleh jadi!"
"Kenapa tidak boleh?"
"Kau belum menemani aku minum arak, masakah mau pergi begitu saja? Tak nanti kubiarkan kau pergi."
Sim Bik-kun terperanjat, lalu tertawa paksa, "Jangan-jangan kau sudah mabuk."

"Peduli aku mabuk atau tidak, kau tak boleh pergi dari sini," seru Hong Si-nio melotot.
Sim Bik-kun menggenggam tangannya, "Kalau kau memaksaku minum, aku akan minum, kemudian aku
tetap akan pergi."
"Kita datang berdua, seharusnya juga pergi bersama."
"Kalian berdua tidak boleh pergi," mendadak terdengar seorang membentak nyaring.
Semua orang tahu watak Hong Si-nio, dia bilang mau datang pasti datang, bilang pergi pasti pergi, siapa
sanggup menghalanginya, walau diancam dengan golok ia takkan peduli.
Siau-yau-hou pun tak sanggup menghalanginya, namun kini ada orang melarangnya pergi. Dengan
tersenyum Hong Si-nio mengawasi orang itu, ternyata adalah Ong Bing yang sedang berjalan menaiki
tangga.
Seluruh tubuh Ong Bing basah kuyup, wajahnya masih tetap dingin kaku.
"Barusan kau yang berteriak?" tegur Hong Si-nio.
"Hm."
"Kau melarang aku pergi?"
"Hm."
”Tahukah kau mengapa aku masih duduk di sini?"
Ong Bing melotot padanya.
"Hong Si-nio melanjutkan, "Karena aku memang tidak ingin pergi."
"Sekarang ingin pergi pun tak mungkin bisa pergi."
"Kenapa? Memangnya kau ingin menahan aku?” Jengek Hong Si-nio sambil memicingkan mata.
"Hm."
"Sayang, kaki ini tumbuh di badanku, ketika aku ingin pergi, siapa pun takkan mampu menahannya."
"Biarpun kaki itu tumbuh di badanmu, bila kakimu itu yang ingin pergi, aku akan memotongnya," kata Ong
Bing dingin.
"Jadi kalau aku ingin pergi, kau akan memotong kedua kakiku?"
"Hm."
Setelah menghela napas Hong Si-nio berujar pula, "Bila perempuan kehilangan kaki, betapa jeleknya dia."
Ong Bing tertawa dingin, katanya, "Paling tidak lebih bagus daripada seorang lelaki yang wajahnya dipenuhi
lubang."
"Tak kulihat ada lubang di wajahmu."
"Itu disebabkan aku tak pernah berhubungan dengan dirimu"
"Lantas siapa yang pernah berhubungan dengan aku?"
"Su-loji."
"Su Jiu-san?"
"Masakah sudah kau lupakan dia?"

"Apakah di wajahnya ada lubang?"
"Mengapa tidak kau lihat sendiri," kata Ong Bing tertawa dingin.
* * * * *
Di wajah Su Jiu-san memang telah bertambah dengan beberapa lubang, lubang bekas luka yang
mematikan.
Perasaan Hong Si-nio ikut sedih, bagaimanapun Su Jiu-san cukup dikenal olehnya, kesannya termasuk baik.
Tak tahan lagi Hong Si-nio bertanya setelah menghela napas panjang, "Dimana kau temukan dia?"
"Dalam air."
"Kukira tadi dia sudah pergi dari sini," kata Hong Si-nio lirih, "tak kusangka...."
Ong Bing mengepal tinjunya, serunya, "Kau pasti tak akan mengira ada orang melempar dia ke dalam air
bukan?"
"Benar, sama sekali tak kuduga."
"Kau tak tahu siapa yang telah membunuhnya?"
Hong Si-nio hanya menggeleng.
Ong Bing bertambah gusar, "Kalau kau tidak tahu, memangnya siapa yang tahu?"
Dengan kaget Hong Si-nio mengawasinya, "Kenapa harus aku yang tahu?"
"Karena kaulah pembunuhnya," damprat Ong Bing beringas. Hong Si-nio tertawa lagi, namun mimik tawanya
tidak wajar. Siapa pun dia kalau dituduh sebagai pembunuh, pasti takkan bisa tertawa secara wajar.
Dari samping Hou Bu-pe sejak tadi mengawasinya, mendadak ia bertanya, "Bukankah kau sudah lama kenal
Su Jiu-san?"
"Orang yang kukenal memang banyak."
"Bukankah dia juga sudah mengenalmu sejak kau datang?"
Hong Si-nio mengangguk.
"Bukankah sejak tadi ia selalu membuntutimu?"
Hong Si-nio mengiakan.
"Kalau dia selalu di sampingmu, kalau ada orang membunuhnya, mungkinkah engkau tidak tahu?"
Mendadak Hong Si-nio berjingkrak gusar, semprotnya, "Sudah kubilang tidak tahu, ya tidak tahu."
Ia berjingkrak gusar, lebih garang dibanding Ong Bing, suaranya juga lebih keras dibanding teriakan Ong
Bing. Jelas kelihatan ia sedang gugup.
Maklum Hong Si-nio tidak tahu dan susah menduga kecuali dirinya siapa yang mampu membunuh Su Jiusan
di atas kapal ini, lalu membuangnya ke dalam air.
Yang pasti Su Jiu-san bukan jago yang gampang dihadapi.
"Aku tahu," mendadak Siau Cap-it Long bicara.
Hou Bu-pe mengerut kening, "Kau tahu apa?"
"Paling tidak aku tahu satu hal," ujar Siau Cap-it Long.

"Coba jelaskan," kata Hou Bu-pe.
"Yang pasti tiada seorang pun di dunia ini yang berdiri diam mematung di tempatnya terus, apalagi
membiarkan orang lain membuat lubang di mukanya, kecuali dia itu patung kayu," sampai di sini Siau Cap-it
Long tertawa, lalu melanjutkan, "Su Jiu-san jelas bukan patung kayu, satu-satunya tokoh kosen di Kangouw
yang mewarisi ilmu murni dari Thi-san-bun. Kalau sekarang ada orang menciptakan buku daftar senjata,
kipas besinya itu mungkin masuk tiga puluh besar di antaranya."
"Sepertinya tidak sedikit yang engkau ketahui," jengek Hou Bu-pe.
"Aku juga tahu, umpama benar dia sebuah patung kayu, bila dilempar orang ke dalam air, tentu
menimbulkan suara yang cukup keras. Aku yakin yang hadir di sini tiada yang tuli, kenapa kalian tidak
mendengar orang tercebur ke dalam air?"
"Coba kau jelaskan," jengek Hou Bu-pe.
"Sebab dia tidak mati di atas kapal ini."
"Kalau tidak mati di atas kapal, memangnya mati dimana?" teriak Ong Bing penasaran.
"Di dalam air," ujar Siau Cap-it Long.
"Dalam air?" seru Ong Bing pula.
"Membunuh orang dalam air pasti tidak menimbulkan suara, maka orang yang berada di atas kapal tidak ada
yang mendengar apa-apa."
"Tadi jelas dia masih berada di atas kapal, kenapa mendadak bisa berada dalam air?" semprot Ong Bing.
"Tadi jelas aku berada di loteng, kenapa mendadak berada di lantai bawah?"
"Kau sendiri yang turun bukan?"
"Kalau aku sendiri bisa turun dari loteng, kenapa dia sendiri tidak bisa turun ke air?"
Ong Bing melenggong, "Baik-baik ada di kapal untuk apa dia turun ke air?"
"Hal ini aku tidak tahu, kalau bisa, ingin aku tanya padanya."
Ong Bing tertawa dingin, "Sayang dia tidak bisa menjelaskan kepadamu."
"Orang ini jelas tidak mungkin menjelaskan kepadaku, tapi Su Jiu-san...."
"Kau tidak yakin kalau orang ini adalah Su Jiu-san?" Tanya Ong Bing.
"Kau yakin dia adalah Su Jiu-san?"
"Jelas yakin."
"Apa dasarmu kau yakin kalau ini mayat Su Jiu-san?"
BENTROK PARA PENDEKAR
Karya Gu Long - Gan K.H.
Bagian 16
Ong Bing melenggong.
Pakaian orang ini memang mirip Su Jiu-san, tapi raut wajahnya jelas tidak bisa dikenali lagi. Maklum siapa
pun dia kalau mukanya berlubang besar, tampangnya tentu berubah mengerikan dan susah dikenali wajah
aslinya.

Kata Siau Cap-it Long lebih jauh, "Tiba-tiba Su Jiu-san menghilang, tahu-tahu engkau mengangkat mayat ini
dari dalam air, maka engkau beranggapan orang ini adalah Su Jiu-san, padahal...."
"Padahal kenapa?" tanya Ong Bing.
Tawar suara Siau Cap-it Long, "Padahal kau sendiri sekarang tidak yakin kalau mayat ini adalah Su Jiu-san."
Ong Bing tidak bisa menyangkal. Mendadak ia sadar bahwasanya dirinya tidak yakin, tidak punya bukti, tiada
pegangan berani memastikan kalau mayat ini adalah Su Jiu-san.
Hou Bu-pe berkata dingin, "Sepertinya kau beranggapan Su-loji sendiri yang turun ke air untuk membunuh
orang ini, lalu didandani mirip dirinya, supaya orang beranggapan dirinya sudah mampus."
"Apa hal itu tidak mungkin?"
"Kenapa dia berbuat demikian? Kenapa mengelabui kami?"
"Silakan kau bertanya sendiri kepadanya," ujar Siau Cap-it Long kalem, "kecuali dirinya, kurasa tiada orang
bisa memberi penjelasan kepadamu."
"Ada sebuah perkataan ingin aku tanyakan kepadamu," desis Hou Bu-pe.
Siau Cap-it Long sedang mendengarkan.
Beringas sikap Hou Bu-pe, suaranya meninggi, "Kalau mayat ini bukan Su Jiu-san, lalu dimana Su Jiu-san
sekarang?"
Siau Cap-it Long belum menjawab, seorang telah menjawab pertanyaan itu.
"Orangnya ada di sini."
Seorang perempuan yang berpendidikan, perempuan bangsawan, kalau orang sedang bicara, biasanya
tidak berani menyeletuk bicara, tak berani campur bicara. Selama ini Sim Bik-kun dikenal sebagai
perempuan dari keluarga bangsawan, tapi kali ini ia berani melanggar kebiasaan.
"Dia ada di sini," wajahnya pucat, tapi sorot matanya memancar terang, menatap seorang dengan tajam,
"Orang inilah Su Jiu-san.
XXVI. TERBONGKAR KEDOKNYA
Kalau insan persilatan di Kangouw bilang banyak kaum Bulim mengenal Sim Bik-kun, komentar ini rasanya
berlebihan, terlalu dibesar-besarkan. Insan persilatan yang mengenal dirinya, yakin tidak kalah banyak
dibanding mereka yang mengenal Hong Si-nio. Bukan saja tahu bahwa Sim Bik-kun adalah wanita tercantik
di Bulim, siapa pun tahu dia adalah perempuan suci anak bangsawan yang patuh aturan keluarga.
Orang tahu dan yakin perempuan yang punya watak sesuci dia pasti tidak akan sembarang bicara, dan
takkan berbohong. Kalau tidak yakin, jelas ia tidak akan sembarang bicara.
Apa benar orang ini adalah Su Jiu-san?
Pandangan seluruh hadirin beralih ke arah yang dituding Sim Bik-kun, mereka melihat seraut wajah yang
aneh. Seraut wajah tanpa alis, tanpa hidung dan tanpa mulut. Seraut wajah kaku mirip topeng kayu. Yang
dituding Sim Bik-kun ternyata bukan lain adalah si baju hijau yang bertutup muka.
Yang hadir hanya sekilas memandangnya terus berpaling, siapa pun tak sudi lama-lama memandangnya.
Wajah itu tanpa mimik, hanya ada dua lubang, dua lubang hitam dan dalam. Sepasang bola mata dalam
lubang kelihatan bercahaya, tajam bagai ujung senjata yang siap membuat lubang di tubuh orang.
Hou Bu-pe tidak memandangnya lebih lama, ia berpaling mengawasi Sim Bik-kun, lalu bertanya, "Kau bilang
dia adalah Su Jiu-san?"

Dengan kencang Sim Bik-kun menggenggam jari-jari tangannya, kepalanya mengangguk.
Hou Bu-pe tertawa dingin, "Tapi waktu kami naik ke atas kapal, dia sudah berada di atas kapal."
"Orang yang tadi itu bukan dia."
"Bukan dia?" seru Hou Bu-pe.
Hong Si-nio menimbrung, "Waktu Siau Cap-it Long menari dengan goloknya tadi, orang ini sudah berganti
yang lain."
Hou Bu-pe mengerut kening, tidak percaya. "Bukankah orang ini tadi pernah mcnghilang sejenak?"
"Ya."
"Waktu dia kembali, orangnya sudah berganti orang lain."
"Berganti Su Jiu-san maksudmu?"
"Aku tidak bisa membedakan," sahut Hong Si-nio, "tapi Sim ... kalau temanku ini bilang orang ini adalah Su
Jiu-san, maka dia pasti benar."
"Dia ...." Hou Bu-pe sangsi.
Segera Hong Si-nio menambahkan, "Kalau tidak percaya, kenapa tidak kau buka tutup mukanya."
Tak urung Hou Bu-pe berpaling mengawasinya dua kali. Muka yang ditutup itu jelas tidak kelihatan
mimiknya, tapi dua bola mata yang setajam gurdi dalam lubang itu berubah menjadi lebih gelap, lebih dalam
dan menakutkan.
"Kalau benar kau bukan Su Jiu-san, kenapa tidak kau perlihatkan wajah aslimu supaya dilihat orang
banyak," demikian kata Hong Si-nio.
Tak kuat menahan emosi, mendadak Ong Bing berkata, "Kalau betul kau adalah Su-loji, cobalah kau bicara,
jelek-jelek kita adalah saudara senasib sepenanggungan, memangnya aku membantu orang luar untuk
memojokkanmu malah?"
Mendadak si baju hijau menghardik keras, "Babi."
Ong Bing melenggong, "Apa kau bilang?"
Dingin suara si baju hijau. "Aku bilang kalian adalah babi."
Mata Ong Bing membelalak lebar, berdiri terkesima seperti tidak mendengar atau mengerti perkataannya.
Maklum reaksi lelaki ini memang tidak secepat orang lain. Si baju hijau berkata, "Sebaliknya kalian tahu
siapa perempuan ini?"
Yang dituding adalah Sim Bik-kun.
Tadi Hong Si-nio sempat mengucap satu huruf "Sim", tapi semua yang hadir tiada yang memperhatikan.
Si baju hijau berkata, "Dia inilah Sim Bik-kun. Perempuan yang meninggalkan keluarga lantaran kepincut
Siau Cap-it Long, demi Siau Cap-it Long, suami sendiri boleh dijual, lalu apa yang dia ucapkan kalian mau
mempercayainya?"
Rona muka Sim Bik-kun kelihatan pucat pias, namun sikapnya tampak tenang dan tegar. Beberapa kali
Hong Si-nio bermaksud menukas perkataan si baju hijau, tapi ditarik olehnya.
Cahaya lampu menyinari wajahnya, kali ini ia tidak menundukkan kepala lagi, malah mengangkat kepala
membusung dada. Sepertinya ia merasakan persoalan ini sudah bukan hal yang memalukan bagi dirinya.
"Berdasar apa kau bilang aku adalah Su Jiu-san, kau punya bukti apa?"

"Mukamu itu buktinya."
"Kau pernah melihat mukaku?"
"Berani kau membuka kedokmu supaya hadirin bisa melihat wajahmu?"
"Aku sudah bilang, kedatanganku kemari bukan untuk ditonton orang."
"Kau datang untuk membunuh orang?"
"Betul."
"Sekarang saatnya kau membunuh orang?"
"0? Ya."
"Begitu tutup mukamu dibuka, paling sedikit ada seorang akan roboh terkapar."
"Siapa?"
"Kalau bukan aku, pasti engkau."
"Kalau aku bukan Su Jiu-san, kau rela mati?"
"Akur."
Si baju hijau tertawa dingin, jengeknya, "Putusan ngawur kurang bijaksana, kau pasti mampus."
"Memangnya sedang kutunggu."
"Kenapa tidak kau kemari membuka sendiri kedokku? Tidak berani bukan?"
Sim Bik-kun tidak bicara lagi, tapi kakinya melangkah menghampiri.
Siau Cap-it Long menarik napas pendek, sampai sekarang baru ia menyadari Sim Bik-kun ternyata sudah
berubah.
Awalnya ia pantang bicara menyinggung perasaan orang, tapi apa yang tadi diucapkan sungguh amat tajam,
setajam ujung golok.
Bahwasanya Sim Bik-kun adalah perempuan yang lemah lembut, tapi sekarang berubah menjadi wanita
yang penuh tekad dan pemberani.
Siau Cap-it Long mengawasinya melangkah ke sana, tidak mencegah atau merintanginya, sebab hatinya
teramat bangga.
Bangga akan keberaniannya, bangga oleh tekadnya yang teguh.
Betapapun sekarang dia sudah berdiri, bukan orang yang berdiri dipapah orang lain, tapi beidiri dengan
tenaga dan kekuatan sendiri, berdiri dengan dua kaki sendiri.
Tak tahan Hong Si-nio berteriak memperingati, "Awas, hati-hati dia membokongmu."
Tanpa berpaling Sim Bik-kun menjawab, "Dia tidak berani."
"Kenapa?" tanya Hong Si-nio.
"Sebab aku sudah melihat jelas wajah aslinya, juga tahu siapa majikannya."
"Siapa?" tanya Hong Si-nio.
"Yaitu...."
Baru sepatah kata, dari luar kabin mendadak seorang menerjang masuk seraya berteriak, "Nona Sim, buat

apa kau tempuh bahaya. Biar aku saja yang menyingkap kedoknya." Habis perkataannya, orang itu sudah
berada di depan si baju hijau, tubuhnya kurus pendek, gerak-geriknya selincah kera, siapa lagi kalau bukan
Ciangbunjin Sing-gi-bun aliran selatan, Jong-wan Hu It-gwan.
Melihat Hu It-gwan menerjang ke depannya, sepasang bola mata si baju hijau yang tersembunyi tampak
mengkeret ngeri, kelihatan lebih kaget dibanding orang lain.
"Kau ...." sepertinya dia ingin bicara. Tapi Hu It-gwan bergerak lebih cepat, secepat kilat meraih tutup
mukanya. Maka terdengar suara "Plok" yang keras, lelatu api berpijar, tutup muka yang terbuat dari kayu
tebal itu mendadak pecah berantakan.
Jerit kesakitan berkumandang dalam kabin, cepat sekali Hu It-gwan berjumpalitan mundur di tengah udara,
dimana tangannya membalik, ia taburkan segenggam Siang-bun-ting, lalu dengan gerakan Hwi-niao-to-lin
(burung terbang pulang ke hutan), tubuhnya siap menerobos jendela.
Betapa telengas scrangannya, sungguh tepat dan cepat, semua yang hadir tak menduga sebelumnya.
Terutama Siang-bun-ting atau paku pelenyap sukma yang ditaburkan itu teramat ganas dan jahat, tiga belas
bintik sinar seluruhnya diarahkan ke tubuh Sim Bik-kun.
Sudah dalam perhitungannya, Siau Cap-it Long dan lain-lain pasti berusah menyelamatkan jiwa Sim Bik-kun
lebih dulu, dan tidak sempat memperhatikan dirinya lagi. Tapi ia melupakan si baju hijau yang sudah ia
robohkan, ia menilai rendah seorang yang kecundang oleh perbuatan kejinya.
Muka si baju hijau babak-belur tak keruan, berlepotan darah, karena menahan kesakitan, tubuhnya bergetar
dan menggigil, dua tulang pundaknya hancur. Tapi biar mampus ia tidak membiarkan Hu It-gwan melarikan
diri.
Karena tulang pundak hancur, dua tangannya lumpuh, tapi ia masih punya mulut, giginya masih mampu
bekerja.
Baru saja Hu It-gwan menerobos lewat jendela, mendadak ia rasakan tungkai kakinya kesakitan.
Ternyata si baju hijau menggigit kakinya, mirip hewan kelaparan yang menggigit mangsanya, begitu tergigit,
mati pun takkan dilepaskan. Kembali berkumandang lolong kesakitan yang keras, yang menjerit kesakitan
kali ini adalah Hu It-gwan. Tubuhnya terbanting ke dalam jendela, dengan gerakan Le-hi-ta-ting (ikan lele
meletik), ia masih berusaha melompat keluar melarikan diri.
Tapi kepala si baju hijau mendadak menyeruduk bagian tengah antara dua pahanya. Hu It-gwan
menjengking sambil memeluk perut, tubuhnya jungkir balik di lantai, air mata, liur dan hidungnya meleleh,
wajahnya berkerut menahan sakit yang luar biasa. Kejap lain, yang hadir di kabin mencium bau tidak sedap,
ternyata celananya basah.
Tiap manusia pernah hidup. Tiap manusia akhirnya pasti mati. Tapi ada sementara orang hidup miskin
merana, waktu mati tetap miskin merana, kalau benar demikian. itulah yang dinamakan derita yang patut
dibuat sedih.
Si baju hijau rebah telentang di lantai, napasnya memburu, selebar mukanya berlepotan darah, mulut pun
menghamburkan darah, darah di tubuhnya bercampur darah musuhnya.
Mendadak si baju hijau mcngeluarkan suara lirih lemah. "Losam ... Losam ...." dia mcmanggil saudaranya.
Mungkin masih ada orang yang sangsi, siapa dia sebenarnya, setelah mendengar panggilannya. orang
sudah maklum adanya. Ternyata pandangan dan tudingan Sim Bik-kun tidak salah.
Muka Hou Bu-pe tampak kuyu, katanya setelah menghela napas panjang, "Apakah yang telah terjadi?"
Suara Su Jiu-san amat lirih seperti orang mengigau, terpaksa mereka berjongkok mendekatkan telinga.
"Lotoa, aku salah," desahnya, "jangan kalian berbuat salah lagi, musuh besarmu bukan Siau Cap-it Long,
bukan dia yang harus dibunuh, yang patut mampus adalah .... "
Dengan kencang Hou Bu-pe menggenggam tangannya, Su Jiu-san menggeliat kesakitan, dari mulutnya
keluar tiga huruf kata, sayang suaranya teramat lemah, tiada orang bisa mendengar. Siapakah orang yang
pantas mampus? Siapakah orang pertama si baju hijau?

"Dalam peristiwa ini ternyata mereka sudah bersekongkol."
"Betul."
"Hu It-gwan sudah tahu bahwa si baju hijau yang pertama sudah menyingkir dan diganti oleh Su Jiu-san,
maka dia menghentak dengan Gun-gwan-it-khi-kang untuk melindunginya."
"Benar."
"Tapi tanpa sebab tak mungkin mendadak Su Jiu-san lenyap bukan?"
"Maka mereka sudah mempersiapkan jenazah orang lain, supaya orang berpendapat Su Jiu-san betul sudah
mati, mampus di tangan Hong Si-nio."
Ong Bing mengepal sepasang tinjunya, geram sekali hatinya, "Si tua kera itu malah menyuruhku pergi
mencari jenazah orang itu."
"Karena dia menghendaki kau melabrak dan mengadu jiwa dengan aku."
Wajah geram Ong Bing tampak merah jengah.
Hong Si-nio tidak mencari perkara padanya, dengan suara lembut ia berkata, "Kalau aku jadi engkau, aku
pun akan berpikir demikian. Rencana ini sungguh rumit dan jahat. Kurasa mimpi pun mereka tidak
menyangka ada orang dapat memecahkan rahasia mereka."
Siapakah si baju hijau yang pertama?
Kenapa dia menyingkir?
Setelah menyingkir kenapa diganti orang lain?
Kenapa Su Jiu-san mau menggantikan dia?
Sebetulnya apa maksud mereka? Bagaimana asal-usulnya?
"Sekarang aku hanya ingin tahu satu hal," kata Hong Si-nio.
"Satu hal apa?"
"Aku hanya tahu mereka pasti orang-orang Thian Cong."
"Thian Cong itu apa?"
Ong Bing masih ingin bertanya, Hou Bu-pe mendadak berdiri, katanya perlahan, "Urusan itu kalian tidak
perlu tahu."
"Kenapa?"
"Karena kami harus segera pergi." Sorot matanya memandang ke tempat jauh, bukan mcngawasi Siau Capit
Long, namun ucapannya ditujukan kepada Siau Cap-it Long, "Mungkin kami tidak pantas datang kemari."
Lalu tangan Ong Bing ditariknya, tanpa menoleh mereka beranjak pergi.
Tak lama kemudian terdengar "Byuur, byuur" dua kali, ternyata mereka tidak menunggu kapal datang
menyemput mereka.
"Sebetulnya mereka tidak perlu buru-buru pergi," kata Siau Cap-it Long.
"Kenapa?" tanya Hong Si-nio.
"Yang harus pergi kan hanya mereka berdua, kapal penyeberangan tidak lama lagi pasti datang."
Sorot matanya memandang ke arah nan jauh, selama ini tidak pernah ia mengawasi Sim Bik-kun.
Lalu perkataannya ditujukan pada siapa? Mendelu hati Hong Si-nio, entah demi dia? Atau demi Sim BikKANGZUSI
WEBSITE http://kangzusi.com/
kun? Atau untuk diri sendiri? Sebelum ia membuka suara, Sim Bik-kun sudah berkata, "Malam ini, mungkin
tiada perahu penyeberangan lagi."
Bola mata Hong Si-nio seketika cemerlang, tanyanya, "Kenapa?"
"Karena yang harus pergi sudah pergi, buat apa perahu penyeberangan datang lagi?"
"Tapi engkau ...."
Mendadak Sim Bik-kun tertawa lebar, katanya, "Biar kulihat apakah arak di lantai atas sudah habis, kalau
kau tidak berani minum, mumpung ada kesempatan lekaslah kau minggat saja."
Mengawasi orang naik ke loteng, Hong Si-nio tertawa riang, katanya menggeleng kepala, "Aku ini juga
perempuan tapi isi hati perempuan, sungguh aku tidak paham."
Siau Cap-it Long juga tertawa, tertawa getir.
Hong Si-nio juga memandang jauh ke depan, tidak melirik padanya, "Tapi, syukurlah, aku mulai paham satu
hal."
Siau Cap-it Long diam, sedang mendengarkan.
Hong Si-nio mengerling sekilas padanya, suaranya sendu, "Sekarang aku sadar, aku mengerti, bagaimana
perasaan seorang yang difitnah orang lain."
Siau Cap-it Long berdiam diri, akhirnya manggut-manggut, "Ya, memang tidak enak rasanya ...."
Jarang orang membiarkan sisa arak dalam cawan, orang juga jarang membiarkan air mata membasahi pipi,
begitulah manusia macam mereka. Begitu terisi penuh, cawan itu segera akan kosong.
Bukan mereka benar-benar ingin menikmati minum arak, bagi mereka arak tak lebih hanya sebuah alat, alat
yang dapat membuat manusia lupa diri.
Padahal mereka juga sadar, maklum dalam hati ada sementara persoalan yang tidak mungkin bisa
dilupakan selamanya ....
Kalau sorot mata Hong Si-nio tampak bercahaya, pandangan Sim Bik-kun sebaliknya seperti diliputi kabut
tebal. Secangkir demi secangkir mereka minum dan minum, mereka tidak mengajak orang lain minum juga
tidak banyak bicara.
Sepanjang pergaulan mereka belakangan ini, tidak pernah terbayang oleh Hong Si-nio bahwa Sim Bik-kun
juga bisa dan mampu minum arak sebanyak itu, tidak habis mengerti kenapa dia mau minum arak secara
demikian. Hong Si-nio maklum, pasti bukan untuk melupakan sesuatu, karena semua peristiwa itu sepanjang
hidup takkan bisa dilupakan. Lalu untuk apa ia berbuat demikian? Apakah dari relung hati yang paling dalam
ingin melimpahkan perasaannya, tapi tak berani melimpahkan di hadapan orang? Bukankah arak dapat
menambah keberanian orang.
Mendadak Hong Si-nio menurunkan cawan araknya, "Aku tak mau minum lagi."
"Kenapa?" tanya Sim Bik-kun mengerut alis.
"Karena bila aku mabuk, aku tidak bisa mendengar."
"Tidak mendengar apa?"
"Tidak mendengar apa yang kau ucapkan."
"Aku tidak bilang apa-apa, tidak omong apa-apa."
"Tapi aku tahu banyak omongan yang ingin kau bicarakan, yang pasti cepat atau lambat, sekarang atau
besok kau pasti bicara."
Pantasnya ia tidak omong begitu, tapi air kata-kata banyak masuk perut, tak kuasa ia menahan diri, mulut
pun mudah mengoceh sembarangan.

Sim Bik-kun jelas masih bisa mendengar omongannya, perlahan ia turunkan cawan di meja, wajahnya
seperti dilapisi halimun tipis, mendadak ia berkata, "Kalian tahu tidak, siapa si baju hijau yang pergi itu?"
Kabut tebal menyelimuti permukaan danau, waktu segulung angin berhembus, segulung kabut menerobos
jendela masuk ke kabin, bila menengadah melihat luar jendela, rembulan sudah tergantung jauh di ufuk
langit.
Kabut seperti membungkus sekujur tubuh mereka, perlahan Sim Bik-kun beranjak keluar, berdiri bersandar
di pagar kayu, memandang jauh ke kabut di tengah danau, seolah ia lupa menjawab pertanyaan yang
diajukan tadi.
Hong Si-nio justru mengulang pertanyaan tadi, "Kau sudah tahu siapa si baju hijau itu?"
Suara Sim Bik-kun perlahan, "Kalau kau mau sering memperhatikan gerak-geriknya, akan kau temukan
beberapa segi perbedaannya dengan orang lain." Ucapan ini jelas bukan jawaban, tapi dengan sabar Hong
Si-nio pasang kuping mendengarkan dengan seksama.
"Tiap orang pasti punya ciri khas yang berbeda dengan orang lain, kadang hanya gerakan kecil yang tidak
diperhatikan orang lain, tapi bila engkau lama bergaul dengan dia, hidup cukup lama bersama dia, sekecil
apapun perbedaan itu, kau pasti akan dapat melihat cirinya itu," sampai di sini ia berhenti.
Hong Si-nio tetap diam. mendengar dengan sabar.
"Maka, umpama ia mengenakan kedok muka, kau akan tetap dapat mengenalinya," dengan suara perlahan,
lebih tegas Sim Bik-kun meneruskan, "Begitu berada di sini, perasaanku lantas berkata bahwa aku kenal
orang ini, kenal siapa si baju hijau itu. Maka aku mulai memperhatikan dirinya."
Akhirnya tak tahan Hong Si-nio bertanya, "Maka begitu mereka berganti orang, kau lantas dapat
membedakan?"
Sim Bik-kun manggut-manggut, tapi kepalanya tidak berpaling.
"Darimana kau dapat membedakan kalau orang kedua adalah Su Jiu-san adanya"
"Sebab dalam kebiasaan hidupnya ia selalu memegang kipas, tangannya tak pernah berhenti menggerakkan
kipas lipatnya itu, maka biar tangan tidak memegang kipas, tangannya tetap bergerak seperti kalau ia
memegang kipas."
Lama Hong Si-nio terbenam dalam renungannya, akhirnya bertanya, "Bagaimana dengan Lian Shia-pik?
Ada perbedaan apa dia dengan orang lain?"
Sekarang ia maklum bahwa si baju hijau yang pertama itu adalah Lian Shia-pik, kecuali Lian Shia-pik,
perempuan mana yang pernah hidup bersama Sim Bik-kun selama itu?
"Aku yakin kau tahu kalau dia akan datang memenuhi janji itu."
"Tapi tidak pernah terpikir olehnya bahwa Siau Cap-it Long juga berada di Cui-gwat-lo, maka dia merasa
perlu datang dahulu ke sini melihat keadaan."
"Mungkin mereka sudah tahu kalau Siau Cap-it Long sudah berada di Cui-gwat-lo, maka tempat perjanjian
pertemuan itu mereka tentukan di sini."
Untuk kali ini di hadapan orang lain ia menyebut nama Siau Cap-it Long tanpa ragu atau canggung, kini
sikapnya betul-betul tenang, tapi waktu menyebut nama orang, suaranya terdengar agak aneh. Hong Si-nio
menghela napas, "Apapun persoalannya, yang pasti dia sudah datang."
"Ya, dia sudah datang," ujar Sim Bik-kun.
"Kalau dia sudah datang, kenapa harus pergi?"
"Mungkin mumpung ada kesempatan, ia harus mengatur rencana lain."
"Kalau ia harus pergi, kenapa Su Jiu-san harus menggantikan kedudukannya?"

"Karena dia perlu seorang tetap hadir di sini untuk melihat perkembangan situasi dan kondisi di sini."
"Bila dia datang kembali, dia bisa mengelabui mata kuping orang lain, begitu?"
"Sembarang waktu mereka bisa ganti berganti orang."
"Menurut pendapatmu, mungkin tidak dia kembali?"
"Pasti datang." sahut Sim Bik-kun, suaranya terdengar berubah aneh, "Dia pasti akan datang, maka aku
harus segera pergi."
Saat Lian Shia-pik datang, adalah waktu penentuan kalah menang, atau mati hidup antara Lian Shia-pik
dengan Siau Cap-it Long. Dua orang itu, yang satu adalah suaminya, seorang lagi adalah orang penting
dalam kehiduapannya; peduli siapa menang atau kalah di antara kedua orang ini, ia pantang hadir dan
menyaksikan dari pinggir. Maka ia harus menyingkir.
"Tapi kau tidak menyingkir."
"Ya, aku tidak menyingkir."
"Kau masih berada di sini supaya ada kesempatan melimpahkan perasaanmu ini?"
"Masih ada omongan yang ingin kuucapkan."
"Coba jelaskan."
"Beberapa hari belakangan ini, tentu kau merasakan aku banyak perubahan?"
Hong Si-nio memanggut.
"Dapat kau menerka kenapa aku berubah?"
"Aku tidak bisa menerka."
"Seorang kalau sudah bertekad, sudah mengambil keputusan, dia pasti berubah."
"Kau sudah mengambil keputusan?"
Sim Bik-kun mengangguk.
"Keputusan apa?"
"Aku bertekad akan memberitahu kepadamu satu hal," kata Sim Bik-kun.
Hong Si-nio mendengarkan, tiba-tiba relung hatinya diliputi perasaan takut dan ngeri yang tak berani ia
bayangkan.
Mendadak ia rasakan persoalan yang akan disampaikan Sim Bik-kun adalah kejadian yang amat
menakutkan.
"Kuberitahu padamu. Hanya engkaulah teman hidup Siau Cap-it Long yang paling baik, paling cocok, dan
hanya kau seorang yang betul-betul memahami dirinya, mempercayainya, kalau dia membiarkanmu pergi,
maka dia orang dogol, dia sudah pikun," selesai bicara mendadak tubuhnya melompat terbang dan "byuurrr"
terjun ke dalam danau. Hong Si-nio melompat menerkam, namun sudah terlambat.
Hong Si-nio membanting kaki. serunya sambil berpaling, "Lekas ambil lentera, lekas bawa lentera kemari."
Ucapannya ia tujukan kepada Pin-pin. Pin-pin duduk melamun di buritan, tanpa bergeming seperti tak
mendengar teriakannya. Wajahnya yang pucat menampilkan mimik yang sukar ditebak. Sejak tadi ia sudah
duduk mematung di tempat itu, namun tiada orang memperhatikan dirinya. Hong Si-nio kembali membanting
kaki, tahu-tahu ia pun terjun ke dalam air.
Air danau dingin, perasaan Hong Si-nio lebih dingin, ia tidak melihat Siau Cap-it Long, juga tidak

menemukan Sim Bik-kun.
Ia ingin berteriak minta tolong, tapi begitu mulut terbuka, air danau yang dingin seperti ujung pedang tertelan
dalam tenggorokan. Baru sekarang ia sadar dirinya tidak pandai berenang, dalam air dirinya pasti takkan
bisa menolong orang, justru orang lain yang akan menolong dirinya, waktu ia sadar akan kesalahan ini,
badannya terus melorot turun tenggelam ke dasar danau.
Sepertinya kematian sudah dekat, amat dekat, anehnya dalam sekejap ini ia tidak merasa ngeri, tidak
merasa takut menghadapi kematian. Sering kali orang bilang, pada detik-detik menjelang ajal, seorang
kadang memikirkan banyak kejadian yang aneh-aneh.
XXVII. SEMI BERAKHIR MIMPI PUN BUYAR
Tapi hanya satu hal terpikir dalam benaknya, apakah Siau Cap-it Long dapat menolong Sim Bik-kun?
Sekuatnya ia meronta ingin melompat keluar mencari mereka.
Ia tak mampu melompat, sekujur badannya seperti dibetot oleh jari-jari tangan yang tidak kelihatan, di saat ia
pasrah, di saat ia rasakan badannya makin dingin dan terjerumus ke tempat yang makin gelap. Mendadak
dari tengah kegelapan itu ia lihat sepasang bola mata yang memancarkan cahaya, sepasang mata itu seperti
berkembang menjadi puluhan pasang, puluhan pasang mata Siau Cap-it Long.
Sudah pasti Hong Si-nio tidak ingin mati.
Pada detik-detik yang menentukan mati hidupnya itu, ia tidak pernah berdoa untuk diri sendiri. Dia hanya
berdoa semoga sang maha pencipta melindungi Siau Cap-it Long, menemukan dan melindungi Sim Bik-kun.
Sebab ia tahu, bila Sim Bik-kun mati, betapa duka lara Siau Cap-it Long akan makin keras, makin merasa
dan jauh. Biar diri sendiri harus mati, berkorban demi Siau Cap-it Long, ia tidak rela sang pujaan dibebani
derita yang berkepanjangan.
Siau Cap-it Long oh Siau Cap-it Long, sampai kapan baru kau akan menyelami, mengerti betapa perasaan
Hong Si-nio padamu?
Apa kau akan menunggu hingga akhir hayatnya?
* * * * *
Hari sudah terang tanah.
Betapapun panjang sang malam, akhirnya cuaca akan kembali terang.
Mentari muncul dari peraduannya, cahayanya yang gemerlapan membayang di permukaan danau. Kini sorot
mata Siau Cap-it Long sudah tidak memancarkan cahaya, kalau sekarang kau melihat matanya, pasti tidak
percaya bahwa lelaki ini adalah Siau Cap-it Long.
Hanya seorang yang hatinya sudah beku, sudah hampa tanpa perasaan, sudah mati, maka ia akan berubah
seperti itu.
Bola matanya seperti mata ikan yang sudah kaku, bola mata ikan yang sudah beku, rona matanya jauh lebih
menakutkan dibanding air mukanya. Pertama yang Hong Si-nio lihat adalah sepasang mata itu.
Ternyata Hong Si-nio tidak mati, waktu siuman badannya terasa hangat dan kering, tapi perasaannya,
hatinya lebih dingin dibanding air danau yang paling dingin.
Sebab ia sudah melihat sepasang mata Siau Cap-it Long, ia tidak melihat Sim Bik-kun.
Sisa arak semalam masih berada di meja, di loteng kapal itu tiada orang ketiga, mungkinkah Pin-pin juga
minggat diam-diam? Kursi berserakan, kabin kereta yang mewah dengan perabot serba mahal kini kacau
balau, cahaya matahari yang menyorot masuk terasa guram, suasana terasa kosong dan hampa.
Bagaimana dengan Sim Bik-kun?
Apakah ia tidak menemukan dia?

Apakah dia hilang ditelan air danau yang dingin itu?
Hong Si-nio tidak berani bertanya.
Melihat sorot mata yang dirundung putus asa, ia tidak berani bertanya, tak perlu bertanya.
Aku masih hidup, Sim Bik-kun justru sudah mati.
Dia berhasil menolongku, Sim Bik-kun justru hilang untuk selamanya.
Hong Si-nio tidak bergerak, tidak bersuara, hatinya hancur, hancur lebur.
Ia menderita bukan lantaran kematian Sim Bik-kun, tapi demi Siau Cap-it Long. Sebab secara mendalam ia
ikut merasakan betapa derita batinnya, betapa pilu hatinya, kecuali dirinya, yakin tiada orang kedua yang
dapat meresapi derita itu, tiada orang dapat membayangkan betapa mengenaskan penderitaannya.
Siau Cap-it Long duduk dekat pintu luar ruang kabin, pandangannya mendelong mengawasi permukaan
danau. Alunan lembut air danau masih kelihatan begitu lembut, elok dan mempesona.
Bagaimana dengan Sim Bik-kun? Danau seindah dan sejernih itu, kenapa melakukan perbuatan yang begitu
kejam, tega dan tidak kenal kasihan?
Siau Cap-it Long tidak bergerak, tidak buka suara. Pakaiannya yang tadi basah kuyup mulai kering ditiup
angin musim rontok yang menghembus, air matanya pun sudah kering.
Perlahan Hong Si-nio berdiri, perlahan maju mendekati lalu duduk di sampingnya. Siau Cap-it Long tidak
berpaling, tidak memandangnya. Hong Si-nio mengisi secawan arak lalu diangsurkan kepadanya. Siau Capit
Long tidak menolak, tapi tidak mengulur tangan menerima cawan arak itu. Melihat pandangan matanya
yang kosong, melihat rona mukanya yang membeku dingin, hampir Hong Si-nio tidak tahan ingin
memeluknya kencang, menghiburnya dengan cara apa saja yang bisa ia lakukan.
Ia tidak melakukan apa-apa.
Sebab ia tahu, dalam kondisi sekarang, bujukan dan rayuan macam apapun, bagi Siau Cap-it Long tidak
lebih mirip ujung jarum yang menusuk hulu hatinya, semacam sindiran yang akan lebih membuatnya sedih
dan lara.
Tiada persoalan macam apapun di dunia ini yang bisa menghiburnya, peduli persoalan apapun
kemungkinan besar justru bisa menusuk perasaan dan melukai hatinya.
Entah berapa lama mereka saling bungkam. Jidat Siau Cap-it Long sudah basah oleh keringat. Hong Si-nio
menggigit bibir, sekuatnya ia menahan air mata, waktu ia mengangkat kepala, baru ia sadari mentari sudah
doyong ke arah barat.
Waktu yang paling berharga dalam sehari telah berlalu tanpa terasa. Sekarang hembusan angin mulai
terasa dingin, cahaya senja juga mulai guram. Mereka terus duduk begitu, diam tanpa suara, tanpa terasa
sudah duduk berjam-jam lamanya.
Hong Si-nio sudah merasakan badannya mulai penat, pantatnya mulai kesemutan, namun ia tidak berani
bergerak. Bibirnya terasa kering, padahal cawan arak berada di tangannya, tapi tiada niat untuk
meminumnya.
Hembusan angin musim rontok mulai terasa dingin.
Mendadak Siau Cap-it Long berkata, "Bisa tidak kau berbicara?"
Suaranya rendah lirih, tapi Hong Si-nio berjingkat kaget. Tak menyangka orang mau bicara, ia juga tidak
mengerti harus bicara apa. Dalam keadaan dan kondisi sekarang, apa yang bisa ia bicarakan?
Pandangan kosong Siau Cap-it Long tetap terarah ke tempat nan jauh, "Terserah mau bilang apa, yang
penting kau bicara .... bicara dan bicara terus tanpa henti."
Cukup lama mereka berdiam diri, kesunyian ini sungguh bisa membuat orang gila.

Bagaimana dengan Sim Bik-kun?
Mestinya Hong Si-nio ingin mengajukan pertanyaan ini, tapi ia tidak berani mengemukakan.
Cawan diangkat ke mulut, secawan arak ia tenggak habis, lalu pelan-pelan ia turunkan cawan arak itu.
Siau Cap-it Long berkata, "Mestinya banyak persoalan ingin kau bicarakan, kenapa kau tidak bicara?"
"Aku ...." Hong Si-nio ragu-ragu, suaranya perlahan, "aku pikir...."
"Pikir apa?" tanya Siau Cap-it Long.
"Aku ingin mencari Pin-pin."
"Tidak perlu kau mencarinya."
"Tidak perlu?" seru Hong Si-nio.
"Karena dia juga sudah pergi. Waktu aku kembali, dia sudah pergi."
Wajahnya tidak menujukkan perubahan, tapi bola matanya tampak berkedip-kedip. Walau sudah
mengerahkan setaker tenaga untuk mengendalikan diri, tapi ia sendiri tak mampu mengendalikan banyak
perubahan yang terjadi di tubuhnya.
Ternyata Pin-pin juga sudah pergi.
Betapapun Siau-yau-hou adakah saudara kandungnya.
Bahwa kenyataan membuktikan dia belum mati, entah kapan dia pasti akan kembali.
Kalau dia pasti akan datang, maka dia pasti harus pergi?
Kalau Sim Bik-kun sudah pergi, kenapa dia tidak boleh pergi?
Hong Si-nio menggenggam kencang tangannya, kuku jarinya tembus melukai kulit daging sendiri. Mendadak
ia amat membenci Sim Bik-kun.
Kini sudah akan tiba detik-detik menentukan mati hidup Siau Cap-it Long, dalam waktu sekejap itu, jiwa dan
kebesaran nama baiknya, akan mengalami ujian berat yang menakutkan, kalau tidak hidup pasti mati.
Kini saatnya dia perlu dihibur dan diberi semangat, dia malah tinggal pergi.
"Kau tak mengira Pin-pin bisa pergi?" tanya Siau Cap-it Long.
"Aku ...."
"Apapun yang kau pikir," tukas Siau Cap-it Long, "kau salah menduga."
"Tapi...."
"Karena kau tidak memahaminya," kata Siau Cap-it Long, "maka kau takkan mengira kenapa dia pergi."
Tadi ia menganjurkan Hong Si-nio bicara, tapi berulang kali ia memutus omongan Hong Si-nio.
Bahwa dia ingin Hong Si-nio terus bicara, mungkin karena ia sendiri juga ingin bicara.
Maka Hong Si-nio bungkam, mendengar orang bicara.
Siau Cap-it Long memang meneruskan bicara, "Lama dan lama sekali, ia pernah memberitahu padaku,
suatu hari bila dia ingin mati, ia akan pergi secara diam-diam, kemana pergi tidak memberitahu kepadaku,
aku juga tidak boleh tahu." Kelopak matanya tampak kedutan, "Sebab dia tidak ingin aku melihatnya mati,
dia rela mati secara diam-diam, mati sendiri tiada orang di sampingnya, dia tidak ingin aku bersedih karena
kematiannya."

"Mestinya bisa kupikir akan hal itu. Aku tahu dia wanita berwatak keras yang ingin menang sendiri, aku juga
tahu cirinya itu."
"Tapi kau tadi pasti salah duga, untuk betul-betul memahami seorang memang tidak mudah."
Hong Si-nio segera bertanya, "Apakah penyakitnya kambuh kembali?"
"Justru karena penyakitnya makin memburuk, jelas tak mungkin ikut aku gelandangan, maka kami kembali
dan menetap di sini."
"Maka kau sengaja mengundang orang-orang gagah di daerah ini berkumpul di sini, maksudmu supaya ia
melihat apakah di antara mereka ada anak buah Thian Cong?"
Perlahan Siau Cap-it Long mengangguk, cukup lama baru berkata pula, "Aku berharap begitu mendengar
beritaku di sini, segera kalian memburu ke sini, tapi tak nyana ...."
Tak nyana kedatangannya justru merupakan kesalahan besar yang tak mungkin dihapus untuk selamanya.
Hong Si-nio mengalihkan perhatian, "Apa benar kau beranggapan si buta itu adalah Siau-yau-hou?"
"Mungkin sekali adalah dia."
"Apakah dia pula orang yang memelihara anjing? Apakah orang yang berjanji pertemuan dengan Lian Shiapik
betul adalah dia?"
"Kuharap betul dia."
"Kenapa?"
"Sebab urusan yang harus dibuat perhitungan, cepat atau lambat kan harus diselesaikan, kalau bisa
dibereskan sekaligus kan lebih baik, bukan?"
Apa benar perhitungan ini bisa sekali beres? Antara budi dan dendam yang ruwet, mungkinkah bisa
diselesaikan dalam sekali perhitungan?
Mungkin hanya bisa dibereskan dengan satu cara. Kalau seorang sudah mati, maka dia sudah tidak
berhutang apapun terhadap orang, orang lain juga takkan bisa menagih hutang padanya.
Hong Si-nio mengawasinya, mendadak ia sadar tubuhnya sudah basah oleh keringat, karena mendadak
hatinya diresapi rasa takut seperti yang dirasakan Siau Cap-it Long.
Mendadak Siau Cap-it Long berkata, "Malam ini belum tanggal lima belas, kita masih bisa mabuk-mabukan
lagi."
"Kau ingin mabuk?"
"Kau mau menemaniku bukan."
Hong Si-nio berdiri, "Biar kucari arak."
Di bawah loteng masih ada arak, tapi sudah tiada manusia. Semua yang hadir tadi kini sudah pergi semua.
bukan hanya tamu-tamu undangan yang pergi, semua kelasi, tukang masak, pokoknya semua petugas di
kapal ini sudah pergi.
Kapal itu masih berada di tengah danau. Hanya mereka berdua yang masih tinggal di kapal itu, tempat ini
kini menjadi dunia milik mereka berdua.
Dapat bersanding dua-duaan dengan Siau Cap-it Long adalah cita-cita Hong Si-nio selama hidup, kejadian
yang amat menggembirakan hatinya. Tapi saat itu ia merasakan dalam relung hatinya dirambati rasa
ketakutan yang timbul dari ujung kakinya.
Hong Si-nio menghembuskan napas dari mulut, dengan memompa semangat ia menjinjing sebuah guci
arak.

Peduli apapun yang akan terjadi, sekarang mereka kumpul bersama. Umpama harus mati, baik atau buruk
mereka akan mati bersama.
Maka dengan langkah lebar ia jinjing guci arak dan melangkah naik ke loteng.
Sehari lagi telah berlalu, kini sudah tiba tengah malam.
Guci arak berada di meja, Siau Cap-it Long dan Hong Si-nio duduk berhadapan, mereka tidak menyinggung
Sim Bik-kun, namun dalam sanubari mereka tetap mcngenangnya, bayangannya tetap terekam dalam relung
hatinya.
Tiba-tiba Siau Cap-it Long berkata, "Aku kenal kau mungkin sudah belasan tahun."
"Tepatnya enam belas tahun."
Mulutnya terasa kering, relung hatinya amat getir, enam belas tahun, berapa kali enam belas tahun umur
manusia?
"Sepanjang tahun ini, walau jarang kita bertemu, tapi aku tahu kau lebih memahamiku dibanding orang lain."
Tanpa bersuara Hong Si-nio manggut-manggut. "Maka aku mohon kau memaafkan aku."
"Memaafkanmu?"
"Sepanjang hidupku kesalahan yang pernah kulakukan sungguh teramat banyak, pantasnya tidak patut aku
minta maaf kepada orang."
"Orang hidup, sebagai manusia biasa, siapa tidak pernah melakukan kesalahan?"
"Siapa pun yang pernah melakukan kesalahan, dia harus menebus dengan imbalan."
Hong Si-nio menggenggam jari-jari tangan sendiri, "Imbalan apa yang ingin kau berikan? Mati?"
Siau Cap-it Long menunduk diam, lama kemudian baru bersuara, "Hidup ini apa nikmatnya? Kenapa
kematian dibuat takut."
Hong Si-nio menyela, "Maka kau ingin mati, maka kau ingin aku memaafkan engkau. Sebab kau sendiri
tahu, kalau engkau mati, berarti berhutang budi kcpadaku."
Siau Cap-it Long juga menggenggam jari-jarinya dengan kencang, suaranya datar, "Kalau aku tidak mati,
apakah aku tidak menyia-nyiakan dia?" Sebelum Hong Si-nio berkomentar ia menyambung, "Kalau di dunia
ini tiada manusia macam diriku, mungkin dia bisa hidup senang, hidup tenteram dengan keluarganya, tapi
sekarang...."
Mendadak Hong Si-nio berdiri, katanya, "Di bawah masih ada arak, akan kuambil satu guci lagi, aku masih
ingin minum."
Bukan dia ingin mabuk, tapi tidak senang mendengar ucapannya, betapapun ia seorang perempuan.
Lampu-lampu di bawah loteng sudah padam seluruhnya, tangga loteng itu sempit dan gelap, dengan
langkah gontai ia turuni anak tangga, terasa perasaannya seperti mengambang, sekujur badannya seperti
kosong.
Cahaya rembulan menyorot masuk lewat jendela, cahaya nan lembut temaram, waktu kakinya menginjak
lantai dasar ia mengangkat kepala, mendadak ia rasakan ada seorang duduk mematung di kegelapan.
"Siapa di situ?"
Orang di kegelapan itu tidak bersuara, tidak bergerak. Hong Si-nio tidak bertanya lagi karena kini ia sudah
melihat jelas seorang yang mengenakan baju hijau dengan warna dan kain yang kumal, sebuah tutup muka
yang lurus persegi menutup mukanya.
Si baju hijau yang misterius itu datang lagi, yang datang kali ini jelas bukan Su Jiu-san.

"Siapa kau sebenarnya?" tanya Hong Si-nio.
Si baju hijau tetap tidak bergerak, tidak bersuara, di tengah kegelapan, keberadaannya mirip setan dedemit
yang datang hendak menagih nyawa orang.
Hong Si-nio menarik napas panjang, katanya dingin, "Peduli kau orang atau setan, berani datang kemari,
apa salahnya aku melihat wajahmu, kalau tidak, umpama benar kau ini setan, jangan harap bisa lari dari
sini."
Sorot matanya tampak memancarkan sinar, keadaannya sudah mulai sinting. Kalau Hong Si-nio sudah
mabuk, apa yang ingin dia lakukan, semua orang di dunia ini jangan harap ada orang yang bisa
merintanginya.
Mendadak ia menerjang masuk sambil meraih tutup di muka orang.
Orang itu tetap tidak bergerak, cahaya rembulan kebetulan menyorot ke mukanya.
Hong Si-nio tertegun menjublek sesaat lamanya, akhirnya berseru, "Lian Shia-pik, ternyata benar engkau."
Wajah Lian Shia-pik memutih, bola matanya merah diwarnai darah, sepertinya dia juga pernah mengucurkan
air mata.
Dingin suara Hong Si-nio, "Bu-kau Kongcu yang biasa mengagulkan diri, sejak kapan kau malu bertemu
dengan orang?"
Sorot mata Lian Shia-pik dingin menatapnya tajam, wajahnya membeku seperti mengenakan kedok muka
saja.
Tampang yang tidak memperlihatkan perubahan, ada kalanya paling memilukan.
Bukankah Lian Shia-pik dengan Sim Bik-kun adalah pasangan yang menjadi pujaan orang banyak?
Kalau Siau Cap-it Long tidak hidup di dunia ini, bukankah pasangan muda ini bisa hidup rukun dan bahagia?
Membayangkan pengalaman hidup sepasang muda-mudi ini, Hong Si-nio menjadi tidak tega, akhirnya ia
menghela napas, "Kalau ingin minum arak, boleh kau ikut aku naik ke loteng, masih teringat tidak, dahulu
kita pernah minum bersama bukan? Kita bertiga."
Sudah tentu Lian Shia-pik masih ingat, kejadian waktu itu jelas takkan mudah dilupakan begitu saja.
Mengawasi Hong Si-nio, tak tertahan ia juga menghela napas, di saat ia menghela napas itulah, mendadak
Hong Si-nio melihat sebuah tangan terulur keluar. Sebuah tangan yang putih, tangan yang halus mulus
dengan jari-jari lentik lagi runcing.
Begitu melihat tangan ini, perasaan Hong Si-nio seperti tenggelam ke dasar danau. Ia kenal tangan ini. Di
saat ia terkesima itulah tangan mulus itu mendadak bergerak secepat kilat memegang lengannya.
Didengarnya seorang berkata di belakangnya, "Masihkah kau ingat dahulu kita juga pernah minum bersama,
hanya kita berdua saja." Senyum tawanya terdengar lembut dan halus, tapi Hong Si-nio tidak bersuara, jarijari
tangannya menggenggam kencang.
Hoa Ji-giok!
Tak usah berpaling Hong Si-nio mengenali suara orang itu, ia tahu bahwa yang memegang lengannya
adalah Hoa Ji-giok. Hong Si-nio menjadi ngeri dan merinding bulu kuduknya, ia rela dibelit ular atau digigit
hewan beracun, tapi tidak rela dan merasa jijik disentuh orang ini.
Jari jemari tangan Hoa Ji-giok yang lain justru memeluk pinggangnya, katanya tetap tersenyum, "Masih ingat
tidak, arak yang kita minum di ruang pengantin malam pertama itu."
Hong Si-nio membungkam, ia ingin berteriak, ingin tumpah, sekali tendang ia ingin membunuh orang ini,
sayang dia hanya bisa berdiri mematung, diam tanpa kuasa. Meski badan dingin menggigil, beruntung ia
melihat Siau Cap-it Long.

Siau Cap-it Long berdiri di anak tangga, air mukanya lebih putih dibanding wajah Lian Shia-pik, suaranya
dingin mengancam, "Lepaskan dia!"
Hoa Ji-giok mengedipkan mata, sengaja bertanya, "Dia ini apamu, berdasar apa kau minta aku
melepasnya?"
"Lepaskan dia," kembali Siau Cap-it Long mengancam.
"Kau tahu aku ini apanya? Tahukah kau, dia dan aku pernah sembahyang kepada langit dan bumi, masuk
pelaminan?"
Jari Siau Cap-it Long menggenggam kencang gagang golok.
Golok jagal rusa, tangan Siau Cap-it Long siapa tidak mengenalnya, siapa pun tokoh silat kosen bila melihat
tangan itu menggenggam golok, siapa pun takkan mampu tertawa.
Hoa Ji-giok justru tertawa riang, "Aku kenal golokmu itu, golok peranti membunuh orang."
Siau Cap-it Long tidak menyangkal.
Kata Hoa Ji-giok dengan tertawa, "Sayangnya, bila golokmu terlolos keluar, yang terbunuh mampus pertama
bukan aku, tapi malah dia."
Jari-jari Siau Cap-it Long yang menggenggam gagang golok memutih, namun sulit ia mencabut goloknya. Ia
tahu apa yang diucapkan Hoa Ji-giok bukan main-main.
"Malah berani kujamin," ujar Hoa Ji-giok lebih jauh, "orang kedua yang bakal mampus juga bukan aku, tapi
engkau."
"O?" Siau Cap-it Long bersuara dalam mulut.
"Oleh karena itu, umpama dengan jiwamu ditukar dengan jiwanya, aku tetap tidak setuju, sebab ajalmu
sudah pasti tak mungkin dihindarkan lagi."
Memicing bola mata Siau Cap-it Long, ia rasakan dari kegelapan sebelah sana muncul lagi dua orang,
tangan mereka membekal tiga batang senjata yang mengeluarkan sinar kemilau. Sebatang golok ganco
yang diikat rantai dan sepasang Long-ge-pang yang terbuat dari perak murni. Dua jenis senjata yang
berbeda, yang satu jenis lembut yang lain keras, jarang ada tokoh Bulim zaman ini yang menggunakan
senjata jenis ini. Kalau ada orang mampu memakai jenis senjata ini, tak perlu diragukan, mereka pasti jago
kosen.
Diam-diam perasaan Siau Cap-it Long mulai tegang. Ia insaf dalam kondisi seperti ini memang sukar dan tak
berdaya menolong Hong Si-nio.
Mendadak Hong Si-nio berteriak, "Tidak perlu kau berkorban bersamaku, kalau aku harus mati hari ini,
kenapa tidak lekas kau pergi saja?"
Siau Cap-it Long mengawasinya, sorot matanya menampilkan mimik aneh, entah marah? Rindu? Atau
sedih?
Hoa Ji-giok tertawa riang, "Kenapa kau menyuruhnya pergi?"
"Kenapa?"
Hoa Ji-giok berkata, "Sebab kau sendiri tahu, di dunia ini hanya ada Siau Cap-it Long yang mati terpenggal
kepalanya, tidak pernah terjadi Siau Cap-it Long yang melarikan diri."
Gemeratak gigi Hong Si-nio, "Kalau begitu lekas kau bunuh aku saja."
"Kau tidak ingin melihat dia mampus?"
"Aku tidak ingin melihat dia mampus di tangan manusia rendah dan picik macam tampangmu ini."

"Kalau aku atur supaya kau menyaksikan kematiannya, bagaimana?" ucap Hoa Ji-giok sambil mengulap
tangan.
Maka sinar gemerdep golok ganco dan Long-ge-pang mulai bergerak.
Golok Siau Cap-it Long masih berada di rangkanya.
"Kau belum boleh mati," ujar Hoa Ji-giok, "sebab selama kau masih hidup, dia takkan berani mencabut
goloknya." Lalu dengan tersenyum lebar ia berpaling ke arah Siau Cap-it Long, "Sebab bila golokmu terlolos,
maka kau akan menyaksikan kematiannya, kutanggung dia akan mampus lebih mengenaskan."
Betapa cepat Siau Cap-it Long melolos golok, rasanya belum ada orang kedua yang mampu menandinginya,
tapi dalam kondisi sekarang, ia rasakan goloknya itu seperti beban berat yang tak mampu digerakkan lagi.
Sejak tadi Lian Shia-pik mengawasinya dingin, sekarang tiba-tiba berkata, "Tanggalkan golokmu, akan
kusuruh dia melepasnya."
Tanpa tanya tanpa ragu, perlahan tapi pasti Siau Cap-it Long menanggalkan goloknya.
Golok jagal rusa, golok yang diperolehnya dengan mempertaruhkan jiwa raga, sekarang seenaknya saja ia
buang golok itu ke lantai.
Bila dapat menolong jiwa Hong Si-nio, kepala sendiri boleh terpenggal, apa arti sebatang golok?
Mendadak Hoa Ji-giok bergelak tawa, serunya "Sekarang sudah pasti dia mampus, kau juga pasti mampus."
Golok jagal rusa adalah golok peranti membunuh orang, kecepatannya ibarat golok itu membabat rumput
layaknya.
Tangan Siau Cap-it Long adalah tangan kilat yang menggerakkan golok secepat halilintar.
Yakin tiada ketajaman golok macam apapun di dunia ini yang dapat menandingi ketajaman golok jagal rusa.
Yakin tiada tangan siapa pun di dunia ini yang dapat memainkan ilmu golok menakutkan seperti yang
dimainkan Siau Cap-it Long.
Kini ia tidak mungkin mencabut golok, tidak berani melolos senjata, tapi sejauh golok masih berada di
tangannya, tiada orang berani bertingkah di hadapannya.
Sekarang ia buang begitu saja golok yang mujizat itu. Mengawasi golok yang tergeletak di lantai, air mata
Hong Si-nio bercucuran.
Sampai sekarang baru ia paham benar, demi dirinya, ternyata Siau Cap-it Long rela mengorbankan segalagalanya.
BENTROK PARA PENDEKAR
Karya Gu Long - Gan K.H.
Bagian 17
Dengan berlinang air mata ia mengawasi Siau Cap-it Long, hatinya manis dan kecut, senang juga berduka,
akhirnya tak tahan menangis tergerung-gerung, serunya di tengah sedu sedannya, "Kau ini pikun, goblok.
Kenapa selalu demi kepentingan orang lain, kau melakukan perbuatan sebodoh ini?"
Tawar namun tegas suara Siau Cap-it Long, "Aku tidak pikun, tapi kau adalah Hong Si-nio."
Hanya sembilan patah kata, diucapkan secara enteng dan jelas, tapi siapa tahu, betapa hangat perasaan
yang terkandung dalam sembilan patah kata itu. Hancur luluh perasaan Hong Si-nio.
Perlahan Lian Shia-pik berdiri, lalu maju beberapa langkah
mengambil golok itu, secepat kilat mendadak mencabut golok. Gaya dan gerakannya mencabut golok

ternyata juga cepat luar biasa. Sinar golok berkelebat, tahu-tahu sudah kembali ke sarungnya, tapi poci arak
yang terbuat dari tembaga tahu-tahu sudah terbelah menjadi dua. Arak dalam poci meleleh keluar mirip
darah.
Lian Shia-pik mengelus rangka golok, sorot matanya memancar terang, gumamnya, "Golok bagus, sungguh
golok kilat."
Bola mata Hoa Ji-giok juga memancar terang, katanya "Kalau bukan golok kilat, mana mampu memenggal
leher Siau Cap-it Long."
Lian Shia-pik menghela napas panjang, "Siapa duga, golok ini akhirnya jatuh di tanganku."
"Sejak awal sudah kuperhitungkan," ujar Hoa Ji-giok tertawa, "cepat atau lambat golok itu akhirnya menjadi
milikmu."
Mendadak Lian Shia-pik berkata dengan tatapan tajam, "Lepaskan dia."
Mimik tawa Hoa Ji-giok seketika berubah beku, serunya, "Kau ... betul kau minta aku melepasnya?"
Dingin suara Lian Shia-pik, "Memangnya kau anggap aku ini orang yang tidak dapat dipercaya?"
"Tapi kau...."
"Apa yang pernah kukatakan tak pernah kujilat lagi," kata Lian Shia-pik tegas, "tadi aku bilang, bila dia
menanggalkan golok, akan kubebaskan Hong Si-nio."
Benderang lagi bola mata Hoa Ji-giok, tanyanya, "Tapi kau tidak bilang, setelah membebaskan dia, lalu
membiarkan dia pergi."
"Ya, memang tidak."
"Kau juga tidak bilang akan membunuhnya dengan golok itu."
"Juga tidak."
Hoa Ji-giok tertawa lagi, tawa lebar sambil melepas tangan, "Biar kulepas dulu baru kau membunuhnya, baik
...."
Gelak tawanya mendadak putus. Karena pada saat itulah sinar golok kembali berkelebat, sebuah lengan
orang mendadak tertabas putus, lengan yang berlepotan darah. Gelak tawa itu berubah menjadi lolong
kesakitan.
Bukan lengan Hong Si-nio yang tertabas buntung, tapi lengan Hoa Ji-giok.
Dingin suara Lian Shia-pik, "Tidak kubilang tidak akan membunuhmu bukan?"
Hoa Ji-giok beringas, pekiknya, "Bila membunuhku, kau akan menye ...." Belum habis ia bicara, sinar golok
kembali berkelebat, tubuh Hoa Ji-giok langsung roboh terkapar.
Sampai mati ia tidak pernah menyangka Lian Shia-pik bakal membunuhnya, siapa pun yang menyaksikan
peristiwa ini juga pasti tidak akan menyangka.
Cahaya rembulan tidak berubah, suasana malam tetap lengang. Angin yang berhembus mengandung bau
amis.
Perut Hong Si-nio seperti dikocok-kocok, rasa mual hampir membuatnya tumpah.
Manusia macam apapun, peduli dia cantik, agung atau berkedudukan tinggi, kalau mampus dipenggal golok,
keadaannya tentu amat mengerikan.
Selama ini Hong Si-nio tidak pernah melihat orang mati, tapi sekarang tak tahan untuk tidak melihatnya.
Sebab sampai detik ini, ia masih belum percaya, bahwa Hoa Ji-giok benar sudah mampus.
Mengawasi mayat yang meringkuk di tengah genangan darah, hampir ia tidak percaya bahwa Hoa Ji-giok

yang licik, licin mirip ular sanca beracun itu benar-benar sudah menjadi mayat.
Ternyata darahnya juga merah.
Waktu golok menyambar lehernya, kepalanya terpenggal, jiwanya pun melayang, matinya sungguh teramat
cepat.
Hong Si-nio menarik napas panjang, mendadak ia sadar sekujur badannya basah kuyup oleh keringat
dingin.
XXVIII. BERTINDAK JANGAN KEPALANG TANGGUNG
Cahaya rembulan menyinari golok di tangan Lian Shia-pik, sinarnya yang kemilau mirip bayangan cahaya
rembulan di permukaan air danau, golok itu putih bersih, tiada noda darah. Wajah Lian Shia-pik pucat,
perlahan ia mengelus mata golok, akhirnya menarik napas panjang, katanya, "Senjata tajam yang tiada
bandingan di dunia, nama besar golok ini tidak perlu diragukan."
Siau Cap-it Long menatapnya tajam, sorot matanya menampilkan perasaan aneh, namun mulutnya tetap
bungkam, orang lain jelas takkan ada yang mau bersuara, dalam keheningan, dalam kabin hanya terdengar
deru napas orang yang berat. Long-ge-pang diturunkan, golok sabit itupun seperti menjadi guram. Dua orang
ini diam-diam sudah siap minggat. Mendadak Lian Shia-pik melambaikan tangan, "Saudara Ho Ping, coba
kemari, aku ingin bicara."
Golok sabit bimbang sejenak, akhirnya maju mendekat, dengan tawa dipaksakan bertanya, "Kongcu ada
pesan apa?"
"Aku hanya ingin tanya satu hal."
"Tanya soal apa?" tanya Ho Ping.
"Tahukah kau kenapa aku membunuh Hoa Ji-giok?"
Ho Ping menggeleng kepala, ia tidak bodoh ‘orang yang tahu terlalu banyak, hidupnya selalu takkan
panjang', tentu dia paham akan pengertian ini.
"Betul kau tidak tahu?" Lian Shia-pik menegas.
"Betul tidak tahu," sahut Ho Ping.
Lian Shia-pik menghela napas, "Urusan sepele tidak tahu, apa arti hidupmu ini?"
Berubah air muka Ho Ping, badannya langsung berjumpalitan ke belakang, di tengah udara, golok sabitnya
mengiris turun ke bawah, ilmu golok sabitnya ini sebetulnya ajaran murni dari laut timur, jurusnya aneh, licik
dan cepat sekali, termasuk ilmu golok kelas satu di kalangan Kangouw, gerak goloknya yang kemilau itu
jelas memebendung serangan yang bakal datang menyergap dirinya.
Sayang aksinya tak mampu membendung serangan golok jagal rusa. "Ting", hanya sekali berdenting. golok
sabit jatuh ke lantai, bila sinar golok berkelebat lagi, darah pun berhamburan di angkasa.
Badan Ho Ping yang tinggi besar itu mendadak terbanting jatuh tepat di antara genangan darahnya sendiri.
Sekali menggerakkan golok, Lian Shia-pik tidak memperhatikan korbannya, berpaling ke sana ia berkata,
"Saudara The Kong, ada persoalan yang juga ingin minta penjelasanmu."
Jelas The Kong tidak berani mendekat, Lian Shia-pik malah yang maju beberapa langkah, The Kong
menyurut mundur dua langkah, namun punggungnya sudah mepet dinding, tiada jalan mundur, mendadak ia
berkata lantang, "Selama ini aku tidak pernah ada hubungan dengan orang she Hoa, umpama kau
membacoknya sepuluh kali, aku tidak akan memberi komentar."
"Aku hanya ingin tanya," ujar Lian Shia-pik, "tahukah kau kenapa aku membunuhnya?"
The Kong mengangguk, ia bukan orang bodoh, jelas takkan mau mengatakan 'tidak tahu'.

"Tahukah kau apa alasanku?"
"Maksud awal kedatangan kita ke sini adalah untuk membunuh Siau Cap-it Long, tapi mendadak kau
merubah tujuan semula."
"Jelaskan lebih lanjut."
Merah berganti hijau muka The Kong, akhirnya memberanikan diri melanjutkan, "Merubah haluan di medan
perang, merupakan larangan besar bagi Thian Cong. Kau takut dia membocorkan rahasia, apa boleh buat,
maka kau membungkam mulutnya."
Lian Shia-pik menghela napas, "Tahukah kau berapa kecepatan kilat menyambar."
Lian Shia-pik menghela napas lalu melanjutkan, "Urusan rumit ini juga kau ketahui, bagaimana mungkin aku
membiarkan kau hidup?"
Berubah air muka The Kong, sambil menggerung keras Long-ge-pang di tangan kiri menyapu dengan jurus
Hing-sau-jian-kun (menyapu bersih ribuan tentara), sementara Long-ge-pang atau pentung gigi serigala di
tangan kanan mengepruk dengan tipu Thay-san-ap-ting (gunung Thay menindih kepala). Diselingi deru
angin kencang keduanya menyerang, sepasang pentung besinya ini beratnya ada tiga puluh tujuh kati,
jurusnya kencang tenaganya besar perbawanya keras sekali, sayang gerakannya masih terlambat, jelasnya
kalah cepat, sinar golok yang tajam luar biasa mendahului membacok badannya secepat kilat.
Tahukah kau berapa kecepatan kilat menyambar, betapa besar kekuatannya?
Golok itu tetap bersih, tiada noktah darah. Lian Shia-pik mengelus mata golok, sorot matanya menampilkan
pujian dan sayang, mulutnya menggumam, "Belul-betul golok tiada bandingan di dunia, senjata ampuh yang
tidak bernama kosong."
Mendadak Hong Si-nio berkata, "Berpisah sekian tahun, permainanmu ternyata tidak pernah lambat."
"Golok inipun tidak pernah tumpul," ujar Lian Shia-pik.
"Aku hanya tahu ilmu pedangmu cukup tinggi, tak kunyana kau pun pandai main golok."
"Golok atau pedang, sama-sama senjata untuk membunuh orang, aku mahir membunuh orang."
"Orang yang pandai menggunakan pedang, bila mendapatkan golok sebagus itu, mungkin tidak
mengembalikan kepada pemiliknya?"
"Jelas tidak," ujar Lian Shia-pik tetap mengelus mata golok, mendadak tangannya mengayun, golok di
tangannya meluncur terbang, bagai bianglala golok itu meluncur terbang ke arah Siau Cap-it Long, tapi yang
meluncur di bagian depan justru gagang golok bukan mata golok.
"Aku jelas takkan menyerahkan golok ini kepada orang lain, aku hanya mau menyerahkan kepadanya."
Bersinar mata Hong Si-nio, "Kenapa?"
"Karena dia adalah Siau Cap-it Long."
"Ya, hanya Siau Cap-it Long pantas menggunakan golok itu."
Ujung mulut Lian Shia-pik mengkeret sekilas, "Peduli dia ini orang baik atau orang jahat, di kolong langit,
memangnya hanya dia seorang yang setimpal menggunakan golok ini."
"Kalau senjatanya bukan golok, tapi pedang?" tanya Hong Si-nio.
Ujung mulut Lian Shia-pik kembali mengunjuk senyum misterius, suaranya lebih kalem, "Kalau golok ini
berubah pedang, maka pedang itu pasti adalah pedangku."
Meski dingin dan perlahan perkataannya, namun bernada bangga, penuh keyakinan.
Sejak beberapa tahun lalu ia sudah punya keyakinan itu, ia tahu dirinya bakal menjadi ahli pedang, jago
pedang yang tiada bandingan di kolong langit.

Mengawasi orang, Hong Si-nio menghela napas, "Ternyata pribadimu tidak berubah."
Dengan ringan Siau Cap-it Long menyambut goloknya, lalu mengelus mata goloknya, katanya, "Ada
sementara orang mirip golok ini, golok ini selamanya takkan jadi tumpul, orang seperti itu mana bisa
berubah." Lalu ia berpaling mengawasi Lian Shia-pik, "Kuingat kau dahulu juga sering minum arak."
"Kau tidak salah ingat."
"Sekarang?"
Lian Shia-pik juga mengangkat kepala mengawasinya, mereka saling tatap, lama sekali, akhirnya berkata
perlahan, "Kau pernah bilang, ada sementara orang selamanya takkan pernah berubah, orang yang sering
minum arak, kebanyakan manusia jenis itu."
"Bukankah kau manusia jenis itu?" tanya Siau Cap-it Long.
Lian Shia-pik memanggut.
Seguci arak berada di atas meja, mereka bertiga duduk berhadapan mengitari meja.
Sekarang bertambah satu orang di antara mereka, bagi perasaan Hong Si-nio, hubungan dirinya dengan
Siau Cap-it Long justru bertambah akrab, jaraknya makin dekat.
Kini mereka sama merasakan, dari badan orang ini seperti tumbuh tekanan aneh yang tak bisa dijelaskan
dan tidak terlihat, tekanan berat mirip tajam pedang. Waktu menghadapi Ang Ing dan Lok Liu dahulu, mereka
juga merasakan adanya tekanan dari badan mereka. Demikian pula dari badan Lian Shia-pik yang
mengeluarkan tekanan, yakin lebih besar, lebih berat dibanding waktu itu.
Tanpa sadar tapi pasti Hong Si-nio mendekat di samping Siau Cap-it Long, sampai sekarang baru ia
merasakan pribadi Lian Shia-pik ternyata jauh lebih aneh, khas dan susah diterka tindak-tanduknya. Tak
tahan akhirnya ia bertanya, "Apa benar tujuanmu hendak membunuh kami?"
"Rencana ini sebetulnya cukup rapi, sudah lama kuatur rencana ini."
"Tapi mendadak kau berubah haluan?"
"Pribadiku takkan pernah berubah, tapi rencana bisa saja sewaktu-waktu berubah."
"Karena persoalan apa rencanamu kali ini berubah."
"Sebab aku mendengar percakapan kalian tadi di sini."
"Kau dengar seluruh percakapan kami?"
"Aku mendengar jelas sekali, maka aku mengerti orang macam apa dia sebenarnya."
"Benar kau memahaminya?"
"Paling tidak aku sudah mengerti, dia bukan orang yang dingin tak kenal budi seperti yang dikatakan orang,
walau dia menghancurkan keluarga kami, tapi dalam sanubarinya yang paling dalam, mungkin jauh lebih
sengsara dari kami."
"Sayangnya derita dan sengsara hatinya takkan pernah dipahami orang lain, tiada orang bersimpati
kepadanya." Lama Lian Shia-pik menepekur, akhirnya berkata perlahan, "Riang atau gembira banyak
macamnya, derita yang benar-benar derita semua sama, kalau orang pernah meresapi derita yang benarbenar
derita, maka ia akan mengenal penderitaan orang lain."
"Hanya orang yang benar-benar merasakan siksa derita, baru akan memahami derita orang lain."
"Aku mengerti, sudah lama aku mengerti ...." Sorot matanya memandang jauh ke depan, tabir malam tampak
remang, bola matanya seperti dilapisi halimun. Apakah cahaya rembulan mengaburkan pandangannya?
Atau karena air mata yang berlinang?

Mengawasi sepasang bola mata orang, mendadak Hong Si-nio merasakan derita yang mengendap dalam
sanubarinya mirip derita yang dirasakan Siau Cap-it Long, sama dalam sama keras.
Lian Shia-pik berkata lagi, "Karena aku mengerti betapa menakutkan rasa derita itu, maka aku tidak ingin
melihat orang lain ikut menderita karena persoalan yang sama."
"Benarkah?" tanya Hong Si-nio.
Lian Shia-pik tertawa, mimik tawanya kelihatan betapa sedih dan pilu hatinya. Dengan suara lirih akhirnya ia
berkata pula, "Yang harus pergi, cepat atau lambat memang harus pergi. Sekarang dia sudah pergi, pergi ke
lempat dimana ia ingin pergi, membawa seluruh budi dan dendam. Kalau demikian maksudnya, kenapa kita
tidak melupakan dendam yang bersemayam dalam sanubari kita?"
Hong Si-nio menghela napas, katanya sendu, "Betul, dia pergi membawa seluruh dendamnya, baru
sekarang aku mengerti maksudnya, selama ini aku salah paham kepadanya."
Kepalanya menunduk, ia tidak berani memandang kepada Siau Cap-it Long, tidak tega memandangnya,
karena air mata sudah bercucuran membasahi pipi.
"Yang harus pergi sudah pergi, urusan ini juga tiba saatnya berakhir, kenapa aku harus menciptakan
kesalahan yang baru?"
"Maka, kau bisa merubah haluan?"
Lian Shia-pik tertawa-tawa, "Apalagi akhirnya aku sadar, tiap orang kapan saja bisa melakukan kesalahan,
seorang kalau menderita karena sadar akan perbuatannya yang salah, bukankah dia harus mengeluarkan
imbalan?"
Hong Si-nio mengawasinya, seperti belum pernah selama hidupnya bertemu dengan orang di hadapannya
ini. Mungkin baru sekarang ia betul-betul melihat jelas orang di depannya ini. Mendadak ia bertanya,
"Pernahkah kau berbuat salah?"
"Aku adalah orang biasa," sahut Lian Shia-pik.
"Kau sadar mestinya kau tidak menjadi anggota Thian Cong?"
"Dalam hal ini aku tidak salah."
"Tidak salah?"
"Aku masuk Thian Cong hanya dengan satu tujuan."
"Tujuan apa?"
“Membongkar rencana jahat mereka, menghancur-leburkan organisasi mereka," kata Lian Shia-pik dengan
tangan tergenggam kencang, "sengaja aku berpura-pura patah semangat, luluh-lantak, bukan untuk menipu
kalian, sekarang kuyakin kau sudah mengerti apa tujuanku?"
"Sedikitpun aku tidak mengerti," sahut Hong Si-nio geleng kepala.
Lian Shia-pik menenggak secawan arak, mendadak bertanya, "Kau mengerti orang macam apa sebenarnya
Lian Shia-pik?"
Hong Si-nio juga mengangkat cawannya, setelah minum secawan baru menjawab, "Seorang yang tabah,
cerdik, tapi juga terlalu membanggakan diri sendiri."
"Orang semacam itu mendadak masuk jadi anggota Thian Cong, lalu apa yang kau pikir?"
"Aku akan berpikir, dia pasti punya maksud tertentu."
"Maka kalau engkau sebagai Congcu dari Thian Cong, umpama membiarkan dia masuk ke Thian Cong,
segala kegiatannya pasti selalu diperhatikan, tindak-tandukmu pasti diawasi."
"Ya, benar."

"Tapi bila seorang yang sudah luluh, patah arang, apalagi setan arak, jelas berbeda bobotnya."
"Tapi masih ada yang belum aku mengerti, kenapa kau cari permusuhan dengan Thian Cong? Kenapa harus
merendahkan derajat dan susah payah lagi?"
Sorot mata Lian Shia-pik memandang lurus jauh ke depan, lama menepekur, akhirnya berkata lirih, "Sejak
kakek moyangku Hun Jun-kong dengan sepasang tangannya membangun Bu-kau-san-ceng sampai
sekarang sudah tiga ratusan tahun lamanya, selama tiga ratusan tahun, anak cucu Bu-kau-san-ceng, kapan
dan dimana pun dia selalu disanjung, dihormati orang."
Diam-diam Hong Si-nio mengisi cawannya yang sudah kosong, lalu menunggu orang bercerita lebih lanjut.
"Kakek dari kakek moyangku Thian-hong-kong demi membela keadilan bagi kaum Bulim di Kanglam,
seorang diri ia meluruk ke Thian-san, menantang Thian-san-jit-kiam yang pada waktu itu disegani dan
ditakuti orang, mereka bertarung tiga hari tiga malam, dua puluh sembilan luka di tubuhnya tidak
membuatnya binasa, akhirnya ia paksa Thian-san-jit-kiam ikut dia turun gunung ke Kanglam, mohon maaf
dan mengaku dosa."
Sampai di sini ia angkat cawan araknya, mukanya yang pucat mulai bersemu merah, lalu melanjutkan, "Lima
puluh tahun yang lalu, kawanan Mo-kau membuat onar di Kanglam, bersekongkol dengan tujuh puluh dua
aliran hitam perairan, mendirikan serikat, mengagulkan diri sebagai organisasi yang paling kuasa di
Kanglam. Kakek moyangku seorang diri meluruk ke markas besar mereka, delapan puluh kali pertempuran
besar kecil dialaminya, tak pernah sebabak pun dikalahkan, syukur kaum persilatan di Kanglam akhirnya
tidak tertindas atau diperas mereka. Masih banyak anggota keluarga mereka yang membuat kongpo,
menghormati dan mengagungkan kebesarannya."
Hong Si-nio segera menghabiskan satu cawan arak sebagai rasa hormatnya. Mendengar kisah
kepahlawanan para Cianpwe persilatan masa lalu, sikapnya berubah mirip anak-anak yang tekun dan gairah
mendengar cerita lama.
Lian Shia-pik sendiri kelihatan amat terharu tapi berkobar semangatnya, suaranya lebih keras, "Aku adalah
anak cucu marga Lian, aku pantang nama baik, kebesaran dan wibawa Bu-kau-san-ceng runtuh dan hancur
di tanganku, tidak akan kubiarkan intrik dan rencana busuk Thian Cong terlaksana."
Hong Si-nio mengangkat cawannya lagi, menenggak habis. "Berdasar omonganmu ini, aku pantas
menghormatimu tiga cawan."
Lian Shia-pik benar-benar menghabiskan tiga cawan, mendadak menarik napas panjang, "Sayangnya
sampai sekarang aku belum tahu siapa sebenarnya ketua Thian Cong?"
Hong Si-nio melenggong, "Kau belum tahu?"
Lian Shia-pik geleng kepala.
"Jadi di hadapanmu dia belum pernah memperlihatkan wajah aslinya?"
"Tidak pernah."
"Jadi dia belum mempercayaimu?"
"Dia belum pernah mempercayai siapa pun. Kalau ada yang pernah melihat muka aslinya, mungkin anjing
yang dia pelihara itu."
Hong Si-nio tertawa, tertawa getir, pada saat itulah mendadak dari kejauhan ia dengar tiga kali lolong anjing.
Berubah air muka Lian Shia-pik, tawanya dingin, "Sudah kuduga dia pasti datang."
"Dia memang memelihara anjing, tapi yang memelihara anjing belum tentu dia."
"Yang ini pasti dia."
"Bukankah kalian janji bertemu di malam bulan purnama?"

"Malam ini sudah bulan purnama."
Hong Si-nio menengadah, rembulan bundar tepat bercokol di cakrawala. Di tengah hambusan angin,
berkumandang lagi dua kali lolong anjing, suaranya lebih keras, jelas jaraknya makin dekat, seperti sudah
berada di luar jendela.
Hong Si-nio ikut tegang, dengan suara lirih ia bertanya, "Dia tahu kau berada di sini?"
"Tapi dia tidak tahu kalau aku sudah berubah pendirian."
"Sekarang dia tentu mengira Siau Cap-it Long sudah mampus di tanganmu."
"Maka dia pasti datang untuk menyaksikan."
"Menyaksikan apa?"
"Menyaksikan batok kepala Siau Cap-it Long."
"Maksudmu dia getol melihat kepala Siau Cap-it Long terpenggal dari badannya?"
"Dia sendiri pernah bilang, sepanjang Siau Cap-it Long masih hidup, hidupnya akan selalu dirundung
ketakutan, susah makan tak bisa tidur."
Berputar bola mata Hong Si-nio, tanyanya pula, "Berapa lama kalian merencanakan muslihat ini?"
"Kira-kira setengah bulan,"
"Setengah bulan yang lalu, bagaimana kalian tahu Siau Cap-it Long bakal berada di Cui-gwat-lo?"
"Di samping siapa saja, pasti ada yang sudi membocorkan rahasia, tak perlu heran kalau jejaknya mudah
diketahui orang."
"Menurut pendapatmu, siapa pembocor rahasia itu?"
"Tidak tahu."
"Setengah bulan yang lalu," Hong Si-nio coba menganalisa, "Siau Cap-it Long sendiri mungkin tidak tahu
kalau hari ini ia bakal berada di Cui-gwat-lo."
"Pasti ada seorang tahu, kalau tidak, mana mungkin kita tentukan tempat pertemuan di sini?"
Hong Si-nio tidak bicara lagi, mendadak ia teringat sesuatu yang amat menakutkan.
Perjalanan Siau Cap-it Long ke Se-ouw bukankah diatur oleh Pin-pin?
Mungkinkah Pin-pin yang membocorkan perjalanan mereka kali ini?
Sebelum dia berencana datang ke Se-ouw, bukankah hanya Pin-pin saja yang tahu akan kedatangannya?
Sebab ia maklum kalau dirinya mau pergi kemana saja, Siau Cap-it Long pasti takkan pernah
menentangnya.
Hong Si-nio merasakan kaki tangannya menjadi dingin, tak tahan diam-diam ia mencuri pandang ke arah
Siau Cap-it Long.
Siau Cap-it Long duduk mematung, wajahnya kaku, seakan-akan tidak mendengar percakapan mereka.
Mendadak Lian Shia-pik berkata pula, "Betapa ketat, keras dan tinggi disiplin organisasi Thian Cong, tiada
bandingannya di kolong langit. Akan tetapi tak mungkin dicegah di antara anggota Thian Cong pasti ada
yang berkhianat."
Segera Hong Si-nio bertanya, "Kau tahu siapa saja para pengkhianat itu?"
"Semuanya sudah menjadi mayat."

"Sudah menjadi mayat?" tanya Hong Si-nio melenggong.
"Menurut apa yang kutahu, para pengkhianat itu sekarang sudah mampus semua."
"Siapa yang membunuh mereka?"
"Siau Cap-it Long."
Bahwa Siau Cap-it Long memberantas para pengkhianat Thian Cong, bukankah merupakan peristiwa yang
menggelikan?
Hong Si-nio justru merasa ngeri, makin dipikir makin menakutkan, untung keadaan tidak memberi
kesempatan untuknya berpikir lebih jauh.
Dari arah danau berkumandang salak anjing dua kali, sebuah perahu tampak meluncur datang di bawah
pancaran cahaya rembulan.
Di perahu itu ada seekor anjing tiga sosok manusia, seorang nelayan tua mengenakan caping
menggerakkan kayuh di tangannya, seorang anak kecil bcrpakaian hijau berdiri di haluan, tangannya
menjinjing sebuah lampion kertas putih, di bawah lampion itu tampak duduk seorang berpakaian hitam, raut
wajahnya tampak mengkilap ditimpa cahaya lampion, demikian pula sepasang tangannya juga
memancarkan sinar gemerdep, tangannya memeluk seekor anjing kecil.
Congcu atau ketua Thian Cong akhirnya muncul. Kenapa mukanya kelihatan mengkilap?
Muka mengenakan kedok, tangan dibungkus sarung tangan, entah terbuat dari apa, begitu ditimpa cahaya
kelihatan gemerdep.
"Apakah dia senang duduk di bawah cahaya lampu?"
"Benar."
Lian Shia-pik merendahkan suara, "Makanya cukup dua kali kau awasi mukanya, pandanganmu bisa kabur."
Hong Si-nio tidak berani bertanya lagi, jantungnya berdegup dua kali lebih kcncang.
Hatinya harap-harap cemas supaya orang ini lekas naik ke atas kapal, ia bersumpah akan menyingkap
kedok orang dan membuktikan siapa dia sebenarnya?
Siapa nyana dalam jarak tcrtentu, perahu itu mendadak berhenti, anjing kecil dalam pelukan orang baju
hitam mendadak melompat dan lari ke haluan lalu menyalak ke arah rembulan. Maka datang sambutan
suara lolong anjing yang ramai dari tengah danau, lalu muncul lagi tiga perahu yang meluncur datang dari
kejauhan.
Tiap perahu ada satu anjing tiga sosok manusia.
XXIX. PERJANJIAN SAAT TERANG BULAN
Perahu-perahu itu berayun mengikuti gelombang lembut di tengah danau, semua berhenti di kejauhan,
bentuk dan warna bulu keempat anjing itu sama, demikian pula pakaian keempat orang itu mirip satu dengan
yang lain.
Di bawah cahaya lampion kertas putih, muka keempat orang itu sama-sama gemerdep, kelihatannya betapa
seram dan mengerikan.
Hong Si-nio tertegun di tempatnya.
Waktu berpaling ke arah Lian Shia-pik, mimik orang mirip dirinya, kelihatan heran, takjub dan kaget.
Anjing kecil yang berlari ke haluan itu sudah melompat kembali ke dalam pelukan orang baju hitam. Anak
kecil baju hijau yang menenteng lampion mendadak tarik suara dengan nada tinggi, "Lian-kongcu ada
dimana, silakan keluar untuk bicara."

Empat bocah buka mulut dan berteriak bersama, tutup mulut berbareng, nadanya sama iramanya juga mirip,
sepatah kata pun tidak meleset.
Suara Hong Si-nio teramat lirih, "Kau mau keluar tidak?"
Lian Shia-pik geleng kepala.
"Kenapa?" tanya Hong Si-nio.
"Begitu keluar jiwaku pasti melayang," sahut Lian Shia-pik.
Hong Si-nio tidak mengerti.
"Satu dari keempat orang baju hitam itu adalah Congcu asli."
"Kau sendiri tidak mampu membedakan mana tulen siapa palsu?"
Lian Shia-pik menggeleng kepala, "Maka aku tidak boleh ke sana, bahwasanya aku tidak tahu harus naik ke
perahu yang mana."
"Maksudmu jika naik ke perahu yang salah, kau bakal mati?"
"Janji pertemuan ini Hoa Ji-giok yang mengatur, dia yang menentukan, di antara mereka pasti sepakat
menggunakan kode pertemuan yang sebelumnya sudah saling disetujui."
"Hoa Ji-giok tidak menjelaskan kepadamu?"
"Tidak."
Hong Si-nio menghela napas, katanya, "Makanya sebelum ajal dia bilang, kalau kau membunuhnya, kau
pasti menyesal."
Tiba-tiba satu di antara empat perahu itu bergerak meluncur ke arah Cui-gwat-lo.
Bangkit semangat Hong Si-nio, katanya, "Begitu banyak urusan di dunia, kalau berkukuh tak mau ke sana,
terpaksa dia yang datang kemari."
Lian Shia-pik bertanya, "Kau tahu yang datang palsu atau tulen?"
"Persetan dia palsu atau tulen, apa salahnya kita tunggu dia di bawah lampu."
Sampan itu meluncur perlahan, akhirnya berhenti di bawah pagar Cui-gwat-lo.
Baru saja si baju hitam berdiri, anjing cilik dalam pelukannya kembali menyalak tiga kali lalu berlari masuk
kabin.
Suasana dalam kabin sunyi gelap, begitu menerobos masuk, anjing cilik itu langsung mendekati mayat Hoa
Ji-giok. Suara salaknya mendadak berubah mirip ringkik sedih yang memelas hati.
Waktu masih hidup Hoa Ji-giok tidak pernah memberi rasa senang kepada sesamanya, maka setelah mati,
hanya seekor anjing yang merasa sedih baginya.
Mendadak Hong Si-nio merasa ingin tumpah. Sekuatnya ia tahan, sementara langkah di luar kabin makin
dekat, derap langkahnya mirip daun musim semi yang berguguran di tanah.
Mendadak dari luar pintu muncul seraut wajah yang mengeluarkan cahaya. Baru saja Hong Si-nio hendak
maju ke sana, dua bayangan orang tahu-tahu sudah menerobos lewat di sampingnya. Selama ini belum
pernah ia saksikan gerak orang yang begitu cepat, baru sekarang ia sadar, ternyata gerak-gerik Lian Shiapik
tidak kalah cepat dibanding Siau Cap-it Long.
Orang baju hitam yang baru saja melangkah masuk kabin kelihatan amat kaget, baru ada berniat mundur,
tulang iganya mendadak kesakitan kena jotosan tinju orang, begitu keras dan menimbulkan rasa sakit yang
luar biasa hingga air kecut tumpah dari perutnya. Mulutnya yang terpentang baru saja ingin berteriak, sebuah

jotosan tinju yang lain sudah menghajar mukanya lagi.
Kontan kunang-kunang bertaburan di depan matanya, badannya terjengkang miring ke belakang, akhirnya
roboh di lantai, roboh di depan kaki Hong Si-nio.
Baru saja Hong Si-nio menghembuskan napas yang sejak tadi ditahannya, orang ini tahu-tahu roboh di
depannya.
Langkah orang ini ringan, jelas Ginkangnya tidak lemah, gerak-gerik dan reaksinya cepat serta cekatan,
terhitung tokoh kosen kelas satu di Bulim. Apalagi dalam melaksanakan aksinya kali ini, mereka yakin pasti
berhasil, boleh dikata kedua orang ini sudah mengerahkan seluruh kekuatan dan kemampuannya.
Dalam kegelapan, sekilas kedua orang ini saling pandang, sorot matanya menampilkan reaksi yang aneh,
entah saling memberi peringatan atau sayang menyayangi. Lian Shia-pik menghela napas, katanya, "Orang
ini jelas bukan Thian Sun."
"Dia bukan?" Siau Cap-it Long balas bertanya.
"Aku pernah melihat dia turun tangan menghukum orang, menilai kemampuan ilmu silatnya, umpama kau
dan aku bergabung menyerang dia, dalam tiga puluh jurus yakin takkan bisa mengalahkan dia."
Siau Cap-it Long bungkam.
Tak terpikir olehnya tokoh mana di dunia ini yang mampu mengalahkan mereka berdua dalam tiga puluh
jurus.
Hong Si-nio berjongkok lalu meraba-raba badan orang yang menggeletak di lantai, mendadak ia berteriak
kaget, "Orang ini sudah mati."
"Mana mungkin mati?" kata Lian Shia-pik. "Tenaga seranganku tidak berat."
"Aku juga ingin mengompes keterangan dari mulutnya," ujar Siau Cap-it Long.
"Kelihatannya, dia ... dia mati ketakutan," belum habis Hong Si-nio bicara, mulutnya menguak hampir
tumpah.
Entah sejak kapan dalam kabin besar itu tercium bau busuk yang tak mungkin dijelaskan dengan kata-kata,
bau busuk justru teruar dari badan orang yang sudah jadi mayat ini.
Anjing kecil itu melompat ke atas mayat sambil menyalak berulang-ulang. Dari luar kabin mendadak
berkumandang dua jeritan yang menyayat hati, menyusul "byuurrr, byuurr" dua kali.
Waktu Hong Si-nio memburu ke depan sana, tukang perahu dan anak kecil di haluan itu sudah tidak
kelihatan, riak air di pinggir sampan kelihatan masih bergelombang, lampion kertas putih tampak
mengambang di permukaan air.
Di antara riak gelombang mendadak timbul riak air warna merah darah. Sementara tiga perahu yang lain di
kejauhan sudah memutar haluan tengah meluncur ke tengah danau.
Hong Sinio membanting kaki, katanya, "Tentu mereka melihat gelagat yang tidak menguntungkan, bocah
tidak berdosa itupun mereka bunuh."
Siau Cap-it Long menghela napas, "Bila mereka lolos kali ini, untuk mencari jejak mereka selanjutnya tentu
tidak gampang."
"Maka kita harus mengejar," ujar Lian Shia-pik.
"Mengejar bagaimana?" tanya Hong Si-nio.
"Perahu yang berada di tengah itu lajunya agak lambat, duduklah di perahu di bawah ini serta
membuntutinya."
"Betul, biar aku mengejar perahu di sebelah kiri," ujar Lian Shia-pik.

"Bila dapat mencari tahu jejak mereka, kita harus segera pulang, jangan sembarang bergerak, apalagi
beraksi secara sembrono," kata Siau Cap-it Long kepada Hong Si-nio.
"Kau ... kau akan menungguku di sini?" tanya Hong Si-nio.
"Bagaimanapun hasilnya," kata Siau Cap-it Long lebih jauh, "besok menjelang tengah hari, aku pasti kembali
ke tempat ini."
Hong Si-nio mengangkat kepala mengawasinya, seperti ingin bicara apa, mendadak ia membalik badan lalu
melompat turun ke perahu yang terikat di bawah pagar, diraihnya galah bambu panjang lalu menutul pinggir
kapal besar, setetres air mata mendadak jatuh di tangannya.
Dilihat dari kejauhan, tiga sampan di depan itu seperti hampir lenyap di telan tabir malam yang berkabut.
* * * * *
Permukaan air remang-remang.
Malam sudah larut, entah masih berapa lama datangnya fajar.
Gelombang air danau mengalun lembut, tabir malam juga terasa halus dan tenang, kecuali suara pengayuh
menyentuh air di kejauhan, jagat raya seperti sunyi senyap tak ada suara apapun.
Perahu di depan sudah tidak kelihatan, perahu di kiri kanan itupun sudah meluncur jauh, perahu yang di
tengah tinggal titik bayangan yang mulai samar.
Sekuat tenaga Hong Si-nio mengayuh, perahunya melaju dengan kecepatan tinggi, air mata terus
bercucuran di pipinya.
Selama ini belum pernah ia mengucurkan air mata sebanyak ini, hati sendiri merasa heran dan tak mengerti,
kenapa hari ini ia mengucurkan air mata. Ia merasa dirinya seperti amat terpencil, sebatangkara, tak
terkatakan betapa rasa takut dalam sanubarinya.
Dunia ini seolah-olah menjadi kosong. Seakan tinggal dirinya seorang yang masih berada di mayapada.
Walau ia paham Siau Cap-it Long pasti akan menunggu dirinya di Cui-gwat-lo. Janji yang pernah diucapkan
Siau Cap-it Long tidak pernah membuat orang kecewa.
Entah kenapa hatinya masih dirundung rasa takut, seolah-olah perpisahan ini akan berlangsung lama,
takkan bisa berjumpa lagi selamanya.
Kenapa hatinya dirasuk pikiran semacam itu? Hong Si-nio tidak tahu dan tak mampu menjelaskan.
Kembali ia teringat kepada Sim Bik-kun, teringat omongan Sim Bik-kun yang diucapkan sebelum berpisah,
".... hanya engkau yang setimpal menjadi pendamping Siau Cap-it Long, dan hanya engkau yang benarbenar
dapat memahaminya ...."
Setaker tenaga Hong Si-nio meluncurkan perahunya, dengan menghabiskan tenaga ia berusaha tidak
menggunakan otak memikirkan urusan tetek-bengek, namun bayangan itu terus merasuk hatinya.
Dalam kondisi seperti ini, dia mengharap sukma Sim Bi-kun muncul di hadapannya, membantu dia
menentukan arah.
Hembusan angin kencang membuatnya sadar, waktu ia mengangkat kepala, baru ia sadar perahu di depan
yang ia kejar sudah tidak kelihatan lagi bayangannya.
Di tengah kegelapan, hembusan angin membawa suara galah menyentuh air, ada niat mengejar ke sana,
mendadak ia rasakan air di bawah perahunya berpusar, pusaran air makin kencang seperti mengandung
kekuatan yang menyedot perahunya meluncur yang diarahkan ke tujuan lain.
Perahu yang ia tumpangi ternyata meluncur tanpa mampu ia kendalikan lagi.
Hong Si-nio bukan jenis perempuan yang mudah ketakutan dan menjerit-jerit melihat tikus. Kini hampir saja
ia menjerit keras, sayangnya umpama dia berteriak pun tidak akan ada orang mendengar.

Pusaran air terasa makin keras, makin kencang, sepertinya ada sebuah tangan tidak kelihatan yang menarik
perahunya. Terpaksa ia berdiri mendelong mengawasi ke depan, membiarkan perahunya ditarik orang entah
kemana.
Malam makin kelam, hitam pekat.
Entah kenapa tangannya mendadak menjadi lemas.
Sekonyong-konyong perahunya menabrak sebuah tonggak yang muncul di permukaan air.
Di depan tampak sebuah bangunan kecil berloteng, loteng itu muncul di permukaan air pinggir danau
disanggah beberapa tonggak besar.
Di atas loteng terdapat tiga jendela yang mengarah ke tiga arah mata angin, di dalam jendela tampak cahaya
lampu yang guram.
Ada lampu tentu ada orang. Siapa yang berada di loteng itu? Kekuatan misterius yang luar biasa itu, kenapa
membawa perahu Hong Si-nio ke tempat ini?
Tanpa pikir galah panjang di tangan Hong Si-nio menutul di haluan perahunya, meminjam pantulan air,
akhirnya perahunya merapat di tepian.
Besar hasrat Hong Si-nio meninggalkan perahu itu, maka tanpa pikir akibat dan apapun yang bakal terjadi,
umpama di loteng kecil itu menunggu setan iblis, sudah tidak peduli lagi. Yang penting, kalau kedua kakinya
bisa berpijak di tanah, hatinya baru akan merasa lega dan aman.
Rasa air dingin dituang ke dalam hidung sudah pernah dirasakan, mendadak ia sadari mati dengan cara
apapun, lebih mending daripada mampus tenggelam di air.
Di belakang loteng kecil itu terdapat sebuah balkon sempit, pagar bambu di pinggir balkon ada beberapa pot
bunga seruni yang lagi mekar.
Cahaya lampu menyorot lewat jendela, padahal ketiga jendela itu semuanya tertutup rapat.
Hong Si-nio melompati pagar bambu itu dan turun di balkon, setelah berdiri baru ia menarik napas lega.
Perahunya masih berputar di permukaan air, mendadak suara air beriak keras, kepala seorang muncul di
permukaan, siapa lagi kalau bukan orang tergagah di Thay-ouw, yaitu Cui-pau Ciang Hing.
Ternyata bocah ini sehaluan dengan mereka. Setelah menggigit bibir, Hong Si-nio tertawa, katanya, "Ku kira
setan air sedang cari mangsa, tak nyana engkau adanya."
Ciang Hing tertawa lebar, dua tangannya menahan pinggir perahu, badannya langsung melompat ke atas
lalu berdiri di buritan, ia mendongak sambil tertawa, katanya, "Wah, tak kuduga, Hong Si-nio yang punya
nama besar ternyata masih ingat dan kenal orang sepertiku."
"Kau tahu kalau aku ini Hong Si-nio yang terkenal itu?"
"Sudah tentu aku tahu."
Berputar bola mata Hong Si-nio, tanyanya, "Tempat inikah rumahmu?"
"Di sini Se-ouw, bukan Thay-ouw, hanya sementara kucari tempat ini untuk berteduh," sahut Ciang Hing.
"O, jadi tempat ini tempat tinggalmu sementara."
"Boleh, anggap saja demikian."
"Kau membawaku ke tempat tinggal sementaramu ini, apa ada minat menjadikan aku bini sementara?"
Ciang Hing tampak melenggong, mulutnya megap-megap tak mampu mengeluarkan suara. Sungguh tidak
nyana, Hong Si-nio bisa mengajukan pertanyaan itu.

Dengan mengerling tajam Hong Si-nio bertanya, "Coba jelaskan, benar tidak?"
Ciang Hing membersihkan air di mukanya, akhirnya menjawab. "Bukan begitu maksudku."
Hong Si-nio tertawa lagi, tawa manis yang menggiurkan, "Peduli apa maksudmu, yang pasti tempat ini
rumah tinggalmu, sebagai tuan rumah kenapa tidak kau sambut tamumu masuk ke rumah?"
"Baik, segera aku naik ke atas," ujar Ciang Hing.
Ia tarik ujung tali lalu diikat di tonggak sebelahnya, mirip cecak saja ia merambat naik ke atas. Hong Si-nio
berdiri di belakang pagar menunggunya, wajahnya yang jelita dihiasi senyum lebar yang tak kalah mekar
dibanding bunga seruni di pinggirnya.
Berhadapan dengan wanita jelita secantik ini, senyum nan menawan hati, kalau hatinya tidak terpincut atau
terangsang, jelas dia bukan lelaki tulen, laki-laki jantan.
Ciang Hing jelas adalah lelaki tulen. Kalau tidak memandang ke atas, tak tahan untuk tidak melihat ke atas.
Hong Si-nio tertawa renyah, "Tak kuduga, bukan saja kau pandai berenang, Pia-hou-kangmu juga amat
tinggi."
Ciang Hing seperti dibikin pusing, dengan mendongak ia tertawa, katanya, "Aku hanya ...." Belum habis ia
bicara, mendadak sebuah benda hitam menghantam dari atas, tepat di wajahnya.
Kali ini Ciang Hing benar-benar semaput.
Batok kepala siapa pun, pasti tak lebih keras dibanding pot bunga, apalagi Hong Si-nio mengantam dengan
seluruh tenaganya.
"Prak", benturan cukup keras, badan Ciang Hing tampak terjengkang, lalu "Byuurrr", pot bunga itu ikut
tercebur di air.
Hong Si-nio menepuk-nepuk tangan, suaranya dingin, "Di air aku terhitung bebek yang tak pandai berenang,
tapi di atas tanah, kapan saja aku mampu membuatmu menjadi itik yang mampus di air."
Lampu masih menyala di atas loteng, namun tiada suara.
Kalau tempat ini sudah disewa Ciang Hing, kini Ciang Hing sudah tenggelam dalam air, loteng ini jelas tidak
berpenghuni. Kalau tiada orang lain dalam rumah ini, mungkin sekali di loteng ia dapat menemukan rahasia
yang menyangkut rahasia Thian Cong.
Kalau Ciang Hing bukan anggota Thian Cong, buat apa ia menuntun perahu Hong Si-nio ke tempat ini,
pengejaran Hong Si-nio atas ketiga perahu itu jadi batal.
Itulah keputusan Hong Si-nio dalam waktu sekilas dengan tebakannya yang jitu, Hong Si-nio amat puas akan
keputusannya.
Pintu loteng ternyata sempit, dari luar pintu tidak terkunci. Baru saja Hong Si-nio hendak mendorong pintu,
daun pintu tiba-tiba terbuka, seorang berdiri di ambang pintu, mengawasinya, bola matanya yang indah
kelihatan sedih, capai, rambutnya yang mayang hitam semampai di pundak, sikapnya nan anggun mirip
sekali dewi air yang tampak semampai di keremangan malam.
"Sim Bik-kun!" pekik Hong Si-nio. Mimpi pun tak pernah menyangka, di tempat ini ia bertemu dengan Sim
Bik-kun.
Sim Bik-kun adalah manusia biasa, bukan dewi dari kahyangan, bukan roh gentayangan. Dia belum mati,
sebagai manusia berdarah daging yang masih hidup dan punya perasaan.
"Kau ...!" pekik Hong Si-nio kaget, "bagaimana kau bisa berada di sini?"
Sim Bik-kun tidak menjawab pertanyaannya, ia membalik badan melangkah ke dalam. Di ruang itu ada
ranjang, ada meja ada kursi, di atas meja ada lampu.
Dia memilih pojok dimana cahaya lampu paling guram, lalu menarik kursi duduk di sana, sepertinya ia tidak

ingin Hong Si-nio melihat matanya yang benjol merah karena menangis.
Hong Si-nio juga melangkah masuk, dengan tajam mengawasinya, seperti ingin melihat jelas dan tegas
apakah benar dia adanya? Atau roh gentayangan yang masih penasaran.
Dengan tawa dipaksakan, akhirnya Sim Bik-kun berkata, "Aku belum mati."
Hong Si-nio juga tertawa nyengir, "Sudah kulihat jelas."
"Bukankah kau merasa heran?"
"Aku ... aku teramat senang."
Hatinya memang amat senang, sesuai harapan dan doanya selama ini semoga muncul keajaiban
menyelamatkan jiwa Sim Bik-kun. Semoga Siau Cap-it Long dan Sim bik-kun diberi kesempatan sekali lagi
untuk bertemu.
Keajaiban itu sekarang benar-benar muncul.
Bagaimana bisa muncul? Sim Bik-kun berkata perlahan, "Sebetulnya aku sendiri tidak menduga, masih ada
orang yang menolongku."
"Siapa menolongmu?"
"Ciang Hing."
Tentu Ciang Hing adanya, kemampuannya dalam air, seperti kemampuan Siau Cap-it Long di daratan,
malah ada orang pernah bilang, kapan saja ia mampu mencari sebatang jarum di dasar laut.
Mencari orang jelas lebih mudah dibanding mencari jarum.
Tak heran kemana-mana kami tak berhasil menemukan dirimu, ternyata diseret pergi oleh setan air itu.
Itulah isi hati Hong Si-nio yang tidak sempat ia utarakan. Sebab Sim Bik-kun berkata lebih jauh, "Aku tahu
kau pasti pernah melihatnya, kemarin malam dia juga berada di Cui-gwat-lo."
Hong Si-nio menyeringai getir, "Aku pernah melihatnya. Waktu si baju hijau pertama itu hilang, dia berteriak
paling keras."
Sim Bik-kun berkata, "Dia memang orang yang simpatik, waktu masih hidup ayahku almarhum
mengenalnya, malah pernah sekali menolong jiwanya, maka sepanjang hidupnya sekarang ia selalu mencari
kesempatan untuk membalas budi."
"Apa betul dia menolongmu untuk balas budi?" tanya Hong Si-nio.
Sim Bik-kun memanggut, "dia merasa curiga akan peristiwa yang terjadi di Cui-gwat-lo hari itu, maka setelah
orang banyak berlalu, dia masih ingin menyelidiki permasalahannya secara diam-diam."
"Dia kembali tepat pada saat kau menceburkan diri ke air?"
"Tidak, dia sudah agak lama bersembunyi di air, belakangan baru aku tahu, dalam sehari, ia sering
berendam di air untuk beberapa jam lamanya, menurutnya dia merasa dalam air jauh lebih segar daripada
berada di daratan."
Jelas dia lebih senang berendam dalam air, sebab sekali ia berada di daratan, kapan saja kemungkinan
jiwanya melayang seperti bebek mampus.
Jelas Hong Si-nio tidak mengutarakan jalan pikirannya ini, sebab ia merasakan kesan Sim Bik-kun terhadap
lelaki ini tidak jelek. Namun demikian ia toh bertanya, "Setelah dia menolong dirimu, kenapa tidak
mengantarmu pulang?"
Sim Bik-kun tertawa, tawa getir lagi kecut, "Pulang? Pulang kemana? Cui-gwat-lo kan bukan rumahku."
"Tapi kau ... maksudmu kau tidak ingin bertemu dengan kami lagi?"

Tertunduk kepala Sim Bik-kun, agak lama baru bersuara, "Aku tahu kalian pasti menguatirkan diriku, sebab
...." Diam-diam ia mengusap air mata, "Sebab kalau di dunia ini kurang satu orang sepertiku ini, hidup kalian
mungkin jauh lebih senang."
Hong Si-nio juga menundukkan kepala, tak tahu bagaimana perasaan hatinya.
Ia tidak ingin berdebat dengan Sim Bik-kkun, yang pasti saat ini bukan saatnya untuk beradu mulut
dengannya. Kata Sim Bik-kun lebih jauh, "Tapi Ciang Hing kuatir kalian merasa sedih, maka diam-diam ia
pergi mengawasi kalian, cukup lama dia pergi." Sampai di sini ia menghela napas panjang, lalu mengulang
perkataannya tadi, "Ia memang seorang yang amat simpatik."
Mulut Hong Si-nio seperti dibungkam malah. Baru sekarang ia sadar dalam hal ini ia keliru menyalahkan
Ciang Hing.
"Secara layap-layap tadi aku seperti tertidur sejenak, seperti kudengar sesuatu suara di luar."
"O, ya?" Hong Si-nio bersuara dalam mulut.
"Suara apakah itu?" tanya Sim Bik-kun.
Ternyata wajah Hong Si-nio menjadi merah, saat ia kesulitan omong, seorang dari luar berkata dengan
tertawa, "Itu suara seekor bebek yang ditembak jatuh ke dalam air."
Biasanya muka Hong Si-nio jarang merah, tapi kali ini merah mukanya tidak kalah dibanding warna kepiting
yang sudah direbus.
Sebab dengan badan basah kuyup dilihatnya Ciang Hing melangkah masuk, badannya tidak kurang suatu
apa, malah bertambah satu. Satu benjolan besar yang merah di kepalanya.
Sim Bik-kun mengerut kening, tanyanya, "Kenapa jidatmu benjol sebesar itu?"
Ciang Hing tertawa getir, "Tidak apa-apa, hanya karena ingin dibuat perbandingan."
"Perbandingan apa?" tanya Sim Bik-kun.
"Perbandingan antara batok kepalaku dengan pot bunga di luar itu, entah mana lebih keras."
Mengawasi benjolan besar di kepala orang, lalu menoleh ke arah Hong Si-nio dan melihat mimik mukanya
yang lucu, sorot matanya seketika menampilkan rasa geli. Memang sudah cukup lama ia tidak pernah
tersenyum lagi.
Mendadak Hong Si-nio berkata, "Coba kau terka, yang keras pot bunga atau kepalanya lebih keras?"
"Jelas pot bunga lebih keras," sahut Sim Bik-kun.
"Kalau pot bunga lebih keras, kenapa pot bunganya kurang satu sudut sebaliknya kepalanya bertambah satu
sudut?
Akhirnya Sim Bik-kun tersenyum lebar.
Hong Si-nio memang ingin memancingnya tertawa, melihat orang tertawa lebar, hati Hong Si-nio merasa
senang lagi lega.
Ciang Hing menghela napas, katanya, "Sekarang baru aku sadar akan satu hal."
"Hal apa?" tanya Hong Si-nio.
"Baru sekarang aku mengerti, kenapa banyak orang di Kang-ouw menganggap kau ini siluman perempuan."
"Aku sebaliknya merasa ada satu hal yang tidak kumengerti."
"Satu hal apa?"

Hong Si-nio menarik muka, "Kenapa kau merintangi aku mengejar perahu itu?"
"Karena aku tidak ingin kau mampus di air."
"Maksudmu aku harus berterima kasih kepadamu malah?"
"Kau tahu cara kematian tukang perahu dan anak kecil itu?"
"Kau tahu?"
"Senjata rahasia ini kuperoleh dari badan mereka," kata Ciang HIng. Senjata rahasia yang ia maksud adalah
paku segitiga, sedikit lebih panjang dari paku umumnya, lebih lencir, warnanya juga lebih legam, sepintas
pandang memang tidak menarik perhatian.
Begitu melihat orang mengeluarkan paku itu dari saku bajunya, Hong Si-nio lantas berteriak kaget, "Samling-
toh-kut-ting?"
"Aku yakin kau kenal paku ini," ujar Ciang Hing.
"Umpama aku belum pernah makan daging babi, sedikitnya pernah melihat babi berjalan," jengek Hong Sinio
keki.
BENTROK PARA PENDEKAR
Karya Gu Long - Gan K.H.
Bagian 18
Insan persilatan jarang yang tidak mengenal paku luar biasa ini.
Konon senjata rahasia di seluruh kolong langit ada seratus tujuh puluhan jenis, yang paling menakutkan
hanya tujuh macam. Sam-Iing-toh-kut-ting atau paku segitiga penembus tulang adalah salah satu dari tujuh
senjata rahasia yang paling ditakuti itu.
Senjata rahasia jenis ini umumnya digerakkan oleh pegas dengan daya sambit teramat keras, umpama
berada di bawah air juga dapat mencapai jarak tiga sampai lima tombak, di dalam air yang paling ditakuti
adalah senjata rahasia jenis ini.
"Kapan aku pernah berada di bawah air, aku bukan setan air, juga bukan ikan yang hidup dalam air," omel
Hong Si-nio.
"Di permukaan air, senjata ini bisa mencapai jarak delapan tombak, jarak sejauh ini sasaran masih bisa
ditembak mampus."
"Maksudmu orang yang membawa senjata rahasia ini berada di perahu yang kukejar itu?" tanya Hong Si-nio.
Ciang Hing menganggukkan kepala.
Hong Si-nio tertawa dingin, "Jadi kau sangka aku gentar menghadapi senjatanya itu? Kalau sambitan paku
ini tak mampu aku hindari, memangnya aku masih terhitung siluman perempuan?"
Lahirnya ia bersikap keras kepala, padahal batinnya diam-diam berterima kasih.
Yang pasti Hong Si-nio tidak yakin dapat meluputkan diri dari sambaran senjata rahasia ganas itu.
Sementara itu, Sim Bik-kun berdiri di sana sambil menundukkan kepala mengawasi jari-jari kaki sendiri,
entah persoalan apa yang masih mengganjal dalam hatinya. Senyum tawanya tadi tersapu oleh datangnya
kabut tebal.
Hong Si-nio mendekatinya, menepuk pundaknya, "Kenapa tidak kau tanya kepadaku, dia ada dimana?"
Kepala Sim Bik-kun menunduk lebih rendah.

"Tempat ini tidak jelek, tapi tak mungkin kau diam di sini sepanjang hidupmu, kapan saja kau boleh pergi,
apa kau lupa siapa yang pernah bilang demikian?"
Terangkat kepala Sim Bik-kun, memandang Ciang Hing sekilas lalu menunduk lagi, perasaan hati
perempuan tak enak diucapkan di hadapan lelaki. Syukur Ciang Hing bukan lelaki dogol yang tidak kenal
perasaan orang, dengan tertawa ia bertanya, "Kalian merasa lapar belum?"
"Lapar sekali," sahut Hong Si-nio segera.
"Biar kucari makanan untuk kalian sambil ganti pakaian, pulang pergi kira-kira setengah jam cukuplah."
"Kau boleh pergi mencari makanan, pergi ganti pakian tidak perlu buru-buru."
Ciang Hing tertawa lebar, pergi sambil mengelus kepalanya, tak lupa ia menutup daun pintu.
Baru sekarang Sim Bik-kun mengangkat kepalanya, suaranya lirih, "Dia ... dia dimana? Kenapa tidak
bersamamu?"
Hong Si-nio menarik napas panjang, baru saja hendak buka mulut, "Blang", daun pintu yang baru saja
dirapatkan mendadak diterjang terbuka, seorang terbang masuk, "Brak", jatuh di atas meja, meja itu hancur
berkeping, badan orang itu menggelinding jatuh di lantai, bola matanya melotot lurus, siapa lagi kalau bukan
Ciang Hing yang baru saja beranjak keluar.
Belum ada setengah jam, malah baru beberapa menit, tapi dia sudah kembali secepat itu. Waktu keluar
gerak-geriknya segar bugar, kenapa mendadak kembali dengan jungkir balik menumbuk meja malah?
Memangnya badannya terbang dilempar orang?
Cui-pau (macan air) Ciang Hing bukan seonggok karung, bukan barang yang mudah diangkat, dijinjing lalu
dilempar sesuka hati orang. Sigap sekali Hong Si-nio maju dua langkah menghadang di depan Sim Bik-kun,
padahal kalau diukur betulan kepandaian silatnya tidak unggul banyak dibanding kemampuan Sim Bik-kun,
tapi setiap kali berada bersama Sim bik-kun, ia selalu menganggap dirinya lebih kuat, lebih perkasa, ada
kewajiban dirinya melindungi orang.
Mata Ciang Hing melotot lurut mengawasinya, rona mukanya menambilkan mimik yang susah dilukiskan,
dari ujung mulutnya tiba-tiba merembes keluar dua jalur darah segar.
Darah segar tapi bukan warna merah, warna hitam, warna hitam juga bermacam-macam, ada hitam yang
kelihatan cantik, tapi ada hitam yang menakutkan. Darah yang meleleh dari ujung mulut Ciang Hing adalah
darah hitam yang menakutkan.
Tak urung Hong Si-nio berjingkat ngeri, ”Kenapa engkau?"
Mulut Ciang Hing terkancing, giginya gemerutuk, darah terus membanjir makin deras dari mulutnya.
Belum pernah Hong Si-nio saksikan darah segar hitam yang keluar dari mulut orang segelap itu warnanya.
Mendadak Sim Bik-kun berkata pula, "Dapat kau membuka mulut?"
Ciang Hing meronta, sekuatnya dia menggeleng kepala.
"Kenapa mulutnya saja tidak bisa dibuka?" teriak Hong Si-nio gugup.
Ciang Hing seperti ingin bicara tapi tak bisa bicara, mendadak ia menggerung keras, sebuah benda
menyembur keluar dari mulutnya, "Ting", jatuh di lantai, jelas adalah sebatang paku segitiga penembus
tulang.
Tenggelam perasaan Hong Si-nio, perlahan ia mengangkat kepala, di keremangan malam di luar sana ia
lihat bayangan seorang di tengah tabir gelap dengan mukanya yang mengkilap ditimpa cahaya rembulan.
Begitu keluar pintu Ciang Hing lantas kepergok orang ini, baru saja mulut terpentang hendak bersuara, paku
segitiga itu sudah menyambar masuk ke mulutnya dan tepat mengenai lidahnya.
Hong Si-nio mengepal tinju, terasa mulutnya kering lagi getir, derita yang dirasakan Ciang Hing seperti
dirasakan pula olehnya.

Orang baju hitam di luar itu mendadak bersuara, "Kau ingin menolong jiwanya tidak?"
Hong Si-nio manggut-manggut.
"Baik, potong dulu lidahnya, kalau terlambat tak tertolong lagi."
Tak urung Hong Si-nio bergidik dibuatnya, ia tahu untuk menolong jiwa Ciang Hing memang harus
memotong dulu lidahnya supaya racun tidak merembes ke jantung.
Mendadak Sim Bik-kun mengertak gigi, dari pinggir sepatu Ciang Hing ia mencabut sebilah belati, dimana
tangannya bergerak ia cekik leher di bawah dagunya, sehingga Ciang Hing membuka mulut lebar. Dimana
sinar belati berkelebat, lidahnya yang sudah membengkak hitam besar terpotong jatuh ke lantai. "Klotak",
ujung lidah itu sudah mengeras kaku, Ciang Hing mengerang sekali lalu semaput.
Hong Si-nio mengawasinya dengan terbelalak, serunya, "Kau... kau tega turun tangan?"
"Terpaksa harus turun tangan, aku tak bisa melihat dia mati."
Hong Si-nio termenung, mendadak ia sadar membandingkan antara mereka berdua, siapa lemah di antara
mereka berdua, kini ia mulai sadar, ternyata Sim Bik-kun bukan wanita lemah. Ada sementara orang, secara
lahir kelihatan lemah lembut, tapi pada detik-detik genting, kadang bisa melakukan perbuatan yang tak
pernah terduga oleh siapa pun.
Berada di luar, orang baju hitam mengawasi mereka, dengan dingin berkata, "Sekarang kalian boleh ikut aku
pergi."
"Ikut engkau? Siapa sih engkau?" tanya Hong Si-nio.
"Aku yakin engkau tahu siapa diriku."
"Memangnya kau ini Thian Sun? Benar-benar Thian Sun?"
"Bu-siang-thian-sun, sin-gwa-hoa-sin, cin-ce-si-ke, ke-ce-si-cin," si baju hitam berdendang. Yang artinya
Thian Sun tak berwujud, badan di luar bentuk badan, yang tulen itulah palsu, yang palsu juga adalah tulen.
Berputar bola mata Hong Si-nio, katanya, "Tahukah engkau siapa diriku?"
"Hong Si-nio bukan?" ujar si baju hitam.
"Jadi kau tahu siapa diriku, pernah melihat roman mukaku, apa salahnya kau beri kesempatan aku melihat
wajahmu?"
"Cepat atau lambat, entah kapan kau akan bisa melihat mukaku."
"Sekarang biar kulihat dulu mukamu, nanti kuikut kau pergi."
"Kalau tidak?"
"Permintaanku tidak terkabul, kenapa aku harus mengabulkan permintaanmu?"
"Jadi kau tidak mau ikut aku?"
"Kau ingin aku ikut, aku justru ingin duduk santai di sini, memangnya apa yang bisa kau lakukan?"
Sembari bicara ia tarik sebuah kursi lalu duduk dengan santai, seperti anak kecil yang aleman terhadap
orang tuanya.
Dengan caranya ini banyak ia menghadapi lelaki, tiap kali praktek tak pernah gagal sekalipun. Jarang lelaki
yang cemberut muka menghadapi cewek ayu yang aleman di hadapannya.
Si baju hitam justru terkecuali, dengan dingin ia menyeringai, "Kau ingin tahu aku bisa berbuat apa
terhadapmu, begitu?"

Hong Si-nio mengeluarkan suara di tenggorokan.
"Baik, coba lihat," jengek si baju hitam, sambil menyeringai ia melangkah masuk, mukanya yang mengkilap
kelihatan menakutkan, ternyata sepasang tangannya juga amat menakutkan.
Siapa pun yang mengawasi mukanya pasti bergidik seram, sorot matamu menjadi guram, kalau
mengawasinya saja tidak begitu jelas, bagaimana mungkin kau bisa bergebrak dengannya?
Tak tahan Hong Si-nio berjingkrak murka, teriaknya. "Berani kau kurang ajar terhadapku?"
"Bukan hanya kurang ajar, malah sangat kurang ajar," jengek si baju hitam dingin.
"Di antara empat Thian Sun yang tulen atau palsu tadi, bukankah satu di antaranya pernah naik ke Cui-gwatlo?"
"Hm," si baju hitam mendengus hidung.
"Kau tahu bagaimana nasibnya sekarang?"
"Mampus maksudmu?"
"Kau tahu bagaimana dia mampus?"
Si baju hitam menggeleng kepala. "Karena mimpi pun ia tidak menduga, sejurus saja tak mampu melawan,
begitu kami bergerak, jiwanya lantas melayang," tutur katanya lincah, membuat orang yang mendengar
percaya. Hong Si-nio memang ahli main sandiwara, apalagi aleman di hadapan lelaki.
Sayang ia belum melihat apakah si baju hitam sudah terbujuk oleh rayuannya, maka ia bertanya lagi,
"Bagaimana kepandaianmu dibanding dia?"
"Ya, setanding," sahut si baju hitam.
"Tempat ini bukan Cui-gwat-lo, tapi kalau berani maju setindak lagi, biar kulumat jiwamu di tanganku."
"Apa benar?" jengek si baju hitam.
"Jelas benar," seru Hong Si-nio.
"Satu langkah aku maju ke depan, jiwaku pasti melayang?"
"Tidak akan salah."
Si baju hitam segera melangkah maju satu tindak.
Perut Hong Si-nio seperti mengkeret, ia insaf dalam kondisi seperti ini dirinya terpaksa harus turun tangan,
sekilas ia berpaling ke arah Sim Bik-kun, Sim Bik-kun juga tengah mengawasinya, mereka berdua serempak
turun tangan bersama, mereka menubruk ke arah si baju hitam, maklum dua cewek ini bukan perempuan
lemah yang gentar diterpa angin.
Secara nyata ilmu silat mereka mestinya terhitung kelas satu di kalangan Kangouw, kalau si baju hitam yang
satu ini setingkat dengan si baju hitam yang mampus di Cui-gwat-lo itu, padahal secara nyata si baju hitam
itu tak mampu menghadapi rangsekan bersama serangan Siau Cap-it Long dengan Lian Shia-pik, berarti
kesempatan menang dua cewek ini jelas boleh diperhitungkan.
Hong Si-nio berharap hanya dalam setengah jurus saja dirinya dapat merebut kesempatan, sepuluh jurus
kemudian berhasil merobohkan lawan yang satu ini.
Begitu menerkam ke depan, sepasang telapak tangannya merangsek dengan serangan gencar, telapak
tangannya menari bagai kupu-kupu mengitari bunga, jurus awal menggunakan serangan pancingan
menunggu reaksi lawan menemukan lubang kelemahannya lalu menyergap. Jurus permainan kungfu Hong
Si-nio memang ajaran murni dari aliran Koan-im cabang Lam-hay, jurusnya beraneka perubahannya ruwet,
gayanya indah mempesona.
Jurus Hoa-hu-ping-hun, Ou-tiap-siang-hwi atau hujan bunga dan air berhamburan, kupu-kupu terbang

berpasangan, merupakan ilmu pukulan murni dari kepandaiannya yang tulen, kelihatannya kosong padahal
berisi, serangannya berisi tapi kadang hanya gertakan belaka, isi kosong, kosong isi tidak menentu dan
susah diraba juntrungannya. Siapa tahu, baru saja jurus permainan dilancarkan, mendadak ia rasakan di
depan matanya seperti terjadi hujan air dan bunga berhamburan, pergelangan tangannya tahu-tahu
tercengkeram oleh jari-jari yang dingin, keras bagai besi, jari yang lain dengan tepat menutuk Giok-sim-hoat
di belakang lehernya.
Hong Si-nio tidak langsung roboh semaput, sekilas itu otaknya terbayang akan Siau Cap-it Long. Sekarang
baru ia insaf betapa jauh jarak kepandaian silatnya dibanding Siau Cap-it Long.
"Siau Cap-it Long, dimana engkau," demikian pekik Hong Si-nio sekuatnya, sayang suaranya tidak keluar
dari tenggorokan.
Lekas sekali hujan air dan bunga di depan matanya lenyap tak berbekas, pandangannya kini terasa gelap,
gelap yang tak berujung pangkal.
* * * * *
Di pantai utara Se-ouw terdapat sebuah Po-ciok-san, di antara lamping gunung Po-ciok-san dibangun
sebuah pagoda yang dinamakan Po-siok-tha, di bawah Po-siok-tha, di pinggir kanan terdapat sebuah Layhong-
thing.
Saat itu Siau Cap-it Long berada di sana.
XXX. SARANG NAGA GUA HARIMAU
Sebuah perahu panjang meluncur di permukaan air, ditelan tabir malam, meluncur menyusuri tepian bagian
utara. melewati Se-ling-kio terus meluncur ke kiri berlabuh di bawah Po-ciok-san.
Perjalanan ini tidak dekat, perahu itu dikayuh dengan kecepatan cukup tinggi, tapi sepanjang jalan Siau Capit
Long masih dapat mengejarnya dengan ketat hingga tiba di tempat ini.
Sebuah tandu kecil yang dipikul dua orang sejak tadi sudah menunggu kedatangannya.
Begitu meninggalkan perahu, melompat ke daratan, si baju hitam naik ke tandu, bocah pembawa lampion
terus membuntutinya di belakang tandu, sementara itu tukang perahu menggerakkan galah panjangnya di
air, perahu itu segera meluncur jauh ke tengah danau.
Pemikul tandu adalah lelaki berperawakan tegar berpakaian hitam ketat dengan tali pinggang merah,
mengenakan sepatu laras tinggi warna hitam pula, kepalanya mengenakan caping rumput lebar, baju di
depan dadanya dibiarkan terbuka, menunjukkan kulit dadanya yang keras mengkilap karena keringat. Jalan
pegunungan jelas sukar ditapak, tapi langkah mereka begitu enteng, cekatan seperti beranjak di tanah datar
layaknya.
Tandu itu pasti tidak ringan, tapi di pundak kedua orang ini seperti memikul keranjang kosong.
Mengamati gerak-gerik kedua orang ini, Siau Cap-it Long menyadari kekuatan kaki kedua orang ini pasti
tidak asor dibanding kepandaian jago Kangouw kelas satu zaman itu.
Thian Cong merupakan sarang naga gua harimau, tidak sedikit jago-jago kelas wahid yang berkumpul di
sini.
Menyusuri jalanan kecil yang berlika-liku terus naik ke atas, kedua pemikul tandu terus beranjak ke atas
menuju ke Po-siok-tha yang ditimpa penerangan cahaya rembulan.
Siau Cap-it Long belum tidur, belum makan, hampir satu setengah jam ia mengayuh perahunya membuntuti
musuh sampai di sini, semestinya juga merasa lelah. Umpama badannya dibangun dari besi juga akan
merasa penat, perlu istirahat.
Siau Cap-it Long tidak.
Dalam darahnya seperti mengalir kekuatan yang mendukung segala aktivitasnya tanpa batas, kalau ia tidak
rela roboh, tiada seorang pun dapat merobohkan dirinya.

Di bawah penerangan cahaya rembulan, Po-siok-tha kelihatan begitu indah mempesona, di depan pagoda
berdiri satu paseban, dalam paseban seperti ada bayangan orang, siapa dia tidak terlihat jelas, karena
cahaya rembulan teraling oleh bayangan pagoda, dilihat dari kejauhan, bayangan orang dalam paseban jadi
lamat-lamat, seperti ada juga seperti tiada.
Sepanjang jalan kedua pemikul tandu berlenggang tak kenal lelah, menyusuri jalan berbatu yang ditimpa
sinar bulan tanpa mengeluarkan suara.
Malam semakin larut.
Siau Cap-it Long terus mengikuti ke depan, bocah yang menenteng lampion, meski cahayanya redup, tapi
cukup menuntunnya untuk menentukan arah.
Apakah di puncak Po-ciok-san ini Thian Cong juga mendirikan cabang rahasianya?
Kalau kedua pemikul tandu melangkah enteng bagai terbang, sementara bocah penenteng lampion terus
membuntuti tanpa ketinggalan.
Alam sekelilingnya sunyi senyap, pada saat itulah, sinar api dalam lampion putih yang dibawa si bocah tibatiba
padam.
Pemikul tandu akhirnya menghentikan langkah, dilihatnya si bocah tetap mengangkat tinggi lampion putih
yang apinya sudah padam, berdiri diam tak bergerak. Si baju hitam berkata, "Coba periksa, apakah lilinnya
habis?"
Suaranya runcing mirip suara perempuan. Terdengar si baju hitam berkata pula, "Lekas ambilkan lilin dan
sulut lagi."
Dua kali si baju hitam berbicara, tapi bocah penenteng lampion diam saja tanpa memberi reaksi, tetap berdiri
di tempatnya.
Pemikul di belakang tiba-tiba menimbrung, "Memangnya bocah ini bisa tidur sambil berdiri? Biar kuperiksa."
Serempak kedua orang menurunkan tandu, pemikul di belakang lebih dekat, maka ia maju ke depan si
bocah penenteng lampion, tangannya diulur menepuk pundak orang sembari berkata, "Kau...."
Baru sepatah kata, suaranya mendadak putus, seperti mulutnya mendadak disumbat suatu benda.
Penenteng lampion mematung di sana, pemikul tandu juga mematung di sana
Pemikul di depan geleng-geleng, segera ia datang menghampiri, begitu berada di depan mereka berdua,
mendadak badannya menjadi kaku dengan mata terbeliak dan badan kaku mirip orang yang mendadak kena
sihir.
Tiga orang itu seperti terpengaruh sihir yang aneh luar biasa berubah menjadi manusia kayu, tingkah dan
gaya mereka sungguh membuat orang yang melihatnya ngeri dan seram.
Siau Cap-it Long menyaksikan dari kejauhan, tak urung ikut merasa takjub, kaget lagi heran, tokoh selihai
dia pun tak tahu apa sebenarnya yang terjadi.
Memangnya badan Siau Cap-it Long basah kuyup, menghadapi misteri yang menegangkan ini, tanpa sadar
badannya menggigil kedinginan.
Sementara itu si baju hitam tetap duduk di tandu tanpa gerak.
Apakah dia juga kena sihir?
Hampir tak tahan, Siau Cap-it Long ingin melompat maju memeriksa, si baju hitam mendadak menjengek
dingin, "Bagus, serangan bagus. Kik-khong-tiam-hiat (menutuk jalan darah dari jarak jauh), Bi-liap-siang-jin
(butir beras melukai orang), tokoh kosen seperti ini, kenapa main sembunyi mirip panca-longok?"
Kali ini ia bicara cukup panjang, terdengar jelas memang suara perempuan, hanya waktu bicara sengaja
suaranya diibikin serak saja. Apakah Cong-cu (ketua) Thian Cong seorang perempuan?

Dia bicara dengan siapa?
Dari dalam Lay-hong-thing seorang mendadak berkata, "Sejak tadi aku berada di sini, kau tidak melihat?"
Seorang melangkah keluar dari kegelapan, baju blaco celana putih, tangannya menenteng lembaran kain
putih, panji-panji yang menari ditiup angin, meski cahaya rembulan guram, delapan huruf merah di kain putih
panji itu masih terbaca jelas, "Siang-tong-jong-im, He-sit-kiu-yu".
Orang ini ternyata bukan lain adalah si buta peramal, ilmu silatnya tinggi, sepak terjangnya misterius.
Bagaimana mungkin si buta ini mendadak muncul di tempat ini?
Apa betul dia adalah Siau-yau-hou Thian-ci-cu yang mahir dan menguasai Kiu-coan-hoan-thong, Bu-siangsin-
kang itu?
Kenapa dia berada di sini, seperti sengaja menunggu kedatangan si baju hitam.
Melihat orang mendadak muncul, si baju hitam kelihatan mengejang sekejap, agak lama kemudian baru
menarik napas dan berkata, "Kaukah?"
Dingin suara si buta, "Kau masih mengenalku?"
Akhirnya si baju hitam turun dari tandu, kedua tangan digendong di belakang punggung, beranjak masuk ke
dalam paseban, suaranya terdengar sember, "Kau juga mengenaliku?"
Si buta menyeringai, "Kalau aku tidak mengenalimu, siapa sanggup mengenalimu?"
Si baju hitam menghela napas, katanya, "Betul, kalau kau tidak mengenaliku, siapa bisa mengenaliku."
"Sekarang aku sudah datang, coba jelaskan, bagaimana membereskannya?"
"Kan milikmu, pantasnya aku mengembalikan kepadamu."
"Jangan lupa. jiwa ragamu pun menjadi milikku."
"Aku tidak lupa," ujar si baju hitam, "aku tidak mungkin lupa."
"Dengan sepasang tangan ini aku membangun Thian Cong, kau...."
Mendadak si baju hitam memotong perkataannya, "Darimana kau tahu aku berada di Thian Cong?"
"Kecuali dirimu, siapa lagi orang di dunia ini yang tahu rahasia Thian Cong?"
Si baju hitam menundukkan kepala, mulutnya bungkam.
Di tengah malam nan sunyi, cukup panjang percakapan mereka, angin gunung menghembus kencang, hawa
dingin menembus tulang, Siau Cap-it Long mengikuti percakapan mereka dengan jelas.
Tiap patah kata yang terucapkan mereka, jelas mengandung banyak rahasia yang susah dicerna orang lain,
rahasia yang menakutkan, rahasia yang mengerikan.
Makin mendengar bulu kuduk Siau Cap-it Long mengkirik seram, bukan hanya kaki tangan dingin, hati
dingin, otaknya juga seperti menjadi beku.
Mendadak si baju hitam berkata, "Kau ... betul kau ingin aku mati?"
Si buta menjawab, "Aku sudah mati sekali, tentunya sekarang giliranmu."
"Memangnya aku belum pernah mati sekali? Kenapa kau memaksaku ...." Sampai di sini mendadak ia turun
tangan, menebarkan cahaya kemilau dingin, sementara badannya secepat kilat berputar mengitari paseban
dua lingkaran, mendadak bayangannya menghilang entah kemana.
Si buta menjejak bumi, badannya melambung berjumpalitan di angkasa, menghindari sergapan senjata
rahasia orang, di tengah udara ia membentak, "Berani kau membokongku? Kau ...."

Dalam paseban tinggal satu orang, tapi mulutnya masih mencaci maki, jelas tiada sambutan atau reaksi
orang lain. Begitu angin gunung berhembus, si buta mendadak berhenti sambil tutup mulut, akhirnya ia sadar
si baju hitam telah minggat.
Seorang diri ia berdiri di tengah kegelapan, kelihatan betapa menyedihkan, sungguh kasihan, sungguh
kenakutkan, mendadak ia menengadah bergelak tawa, serunya, "Jangan lupa, tiga ratus enam puluh cabang
Thian Cong semua aku yang mendirikan, memangnya kau bisa lari kemana?"
Loroh tawanya terdengar pilu, dengan cepat ia bergerak mengitari paseban dua kali, mendadak
bayangannya pun menghilang entah kemana.
Angin berhembus kencang, bintang-bintang sudah menghilang di angkasa.
Pemikul tandu dan bocah penenteng lampion masih tetap berdiri mematung di tempatnya, di bawah cahaya
rembulan, tampak betapa mengerikan roman muka mereka, mata melotot, mulut terbuka lebar, seperti
sedang melolong kesakitan, seperti juga sedang minta tolong.
Siau Cap-it Long mendekat, tangan diulur, dengan enteng ia tepuk puncak si bocah, badan si bocah roboh
menyentuh pemikul pertama, pemikul pertama menyentuh pemikul kedua, tiga orang sama-sama roboh
kaku, sekujur badan sudah kaku dingin, sepertinya tertutuk jalan darahnya dengan jarum berbisa, begitu
racun bekerja jiwa pun melayang.
Betapa mengerikan senjata rahasia itu, sungguh tak terbayangkan kehebatannya.
Bahwa si baju hitam dan si buta dua-duanya bisa menghilang tanpa bekas, kejadian ini sungguh sukar
diterima dengan akal sehat.
Dengan langkah mantap Siau Cap-it Long mendekati paseban, berdiri di tempat tadi si baju hitam berdiri,
mendadak mulut menghardik, tangan membalik mencabut golok.
Sinar golok meluncur seperti lembayung, di tengah deru anginnya yang kencang, beruntun terdengar suara
"cras, cras, cras" enam kali, enam tiang paseban segi enam itu tertabas putus seluruhnya. Di tengah suara
gemuruh runtuhnya atap paseban, satu di antara enam tiang itu ternyata berlubang bagian tengahnya, di
bawah lubang itu ditemukan sebuah lorong bawah tanah.
Lorong rahasia yang dibangun di bawah tiang memang dibuat sedemikian rupa bagusnya, kalau bukan
seorang ahli teknik jelas takkan bisa menemukan letak rahasia kuncinya, tiga hari tiga malam jangan harap
bisa menemukan lorong bawah tanah itu. Bahwasanya Siau Cap-it Long tidak perlu mencari, dengan cara
yang gampang dan langsung ia bongkar semua rahasia itu.
Siau Cap-it Long hanya menggunakan golok, di dunia ini, kekuatan mana yang mampu menandingi
ketajaman, kehebatan tabasan golok Siau Cap-it Long.
Lorong bawah tanah itu lembab dingin, cahaya sinar matahari takkan pernah bisa masuk ke tempat ini, angin
pun takan berhembus sampai di sini.
Dari puncak gunung yang diterangi cahaya rembulan, turun sampai di sini, layaknya masuk ke sebuah
kuburan, lebih layak kalau diartikan masuk ke neraka.
Siau Cap-it Long tidak peduli, dengan langkah lebar ia masuk ke dalam lorong.
Asal dapat membongkar rahasia ini, dia rela terjeblos ke dalam neraka.
Menyusuri undakan yang menjulur panjang ke bawah, makin rendah makin gelap, di sini tiada setitik sinar,
tak terlihat ada bayangan orang, di ujung undakan teraling dinding, waktu ia meraba dengan jari tangan,
terasa itulah sebuah patung Buddha dari batu.
Dimana orangnya?
Si baju hitam dan si buta apakah ditelan oleh setan iblis yang bersembunyi dalam kegelapan?
Siau Cap-it Long memejamkan mata, perlahan ia menarik napas panjang, waktu membuka mata pula, lapatlapat
ia dapat membedakan bentuk patung Buddha itu.

Sejak lahir Cap-it Long memiliki sepasang mata tajam, apalagi sekarang Lwekangnya teramat tinggi, di
tengah gelap yang paling pekat sekalipun ia dapat melihat bayangan yang tidak mungkin terlihat orang lain.
Patung Buddha yang teramat besar seperti sedang mengawasi dirinya dari atas, kepala tertunduk, sikapnya
seperti dirundung masalah serius, entah sedang gusar karena terasing di tempat nan dingin ini atau
penasaran karena di tempat yang tidak terawat ini dirinya terasing dari dunia ramai.
Kalau kehadiranmu di sini benar-benar sakral, kenapa tidak memberi petunjuk menolong kesulitan orang?
Buat apa duduk menyepi tanpa peduli manusia umumnya berbuat jahat di depan matamu?
Bukankah banyak orang di dunia ini mirip dengan patung batu ini, selalu cuci tangan menonton saja,
membisu tuli tanpa mau mencampuri urusan manusia.
Menghadapi patung besar di hadapannya, Siau Cap-it Long tertawa dingin, "Kulihat kau ini hanya seonggok
batu yang bodoh, berdasar apa aku harus menghormat kepadamu."
Patung batu tetap duduk diam, anteng dan tenang. Entah sudah berapa lama duduk di sini, selama ini belum
pernah ada orang, untuk persoalan apapun tidak pernah mengganggu ketenanganmu.
Siau Cap-it Long menggenggam gagang goloknya, "Selama hidup manusia di dunia ini selalu diliputi
bencana dan sengsara, tiap orang akan selalu merasakan siksa derita, kenapa hanya kau terkecuali?"
Entah kenapa timbul angkara murka dalam sanubarinya, amarah yang membakar relung sanubarinya, tanpa
sadar ia mencabut pula goloknya, dengan goloknya ia ingin membabat hancur seluruh angkara di dunia fana
ini.
Sinar golok berkelebat, bunga api berpijar, bacokan goloknya tepat mengenai dada patung batu yang bidang
itu.
Di tengah kegelapan, mendadak berkumandang suara rintih yang lirih. Lorong panjang ini jelas tiada orang
lain, apakah suara rintihan itu datang dari patung batu ini?
Apakah patung batu yang bisu tuli ini, akhirnya bisa merasakan sengsara orang lain?
Waktu Siau Cap-it Long mencabut goloknya, jari-jemarinya terasa basah oleh keringat.
Begitu goloknya menusuk tembus ke dalam batu, setelah dicabut tentu meninggalkan celah lubang.
Demikian pula dengan golok Siau Cap-it Long, di tempat mana pun golok itu membacok atau menusuk, pasti
akan meninggalkan lubang yang mematikan. Dari lubang luka bekas tusukan goloknya, bukan darah yang
mengalir keluar, tapi selarik sinar kemilau yang guram.
Terdengar pula suara rintih.
Suara rintih keluar dari celah lubang golok tusukan Siau Cap-it Long.
Mata Siau Cap-it Long menjadi benderang, kembali ia mengayun golok berulang, pecahan batu
berhamburan, cahaya makin benderang, wajah patung batu itu makin kelihatan jelas, muka patung kini mulai
tampak tersenyum. Walau dadanya terbelah, justru memberi petunjuk berharga bagi Siau Cap-it Long.
Dia berkorban diri menerangi orang lain, umpama dia bukan seonggok batu keras, sekarang yakin sudah
menjadi patung dewa.
Sinar lampu yang gemerdep di tengah kegelapan, kelihatan mirip cahaya emas yang kemilau di istana nan
megah cemerlang.
Cahaya cemerlang keemasan itu menyorot keluar dari lubang yang dibuat Siau Cap-it Long di dada bidang
patung batu besar itu.
Dimana ada pelita, di situ pasti ada orang.
Siau Cap-it Long menerobos masuk lewat lubang yang dibuatnya, masuk ke lubang kubur dalam kuburan,
masuk neraka dalam neraka.

Pelita berada di dinding, orang berada di bawah pelita emas itu.
Cahaya lampu lembut biarpun redup, orangnya justru sudah kaku dingin. Mayat si buta tampak meringkuk,
sepertinya mengkeret jadi kecil, sebilan pisau perak menancap di hulu hatinya, pisau itu sudah ia cabut
keluar sendiri, darah masih menetes di ujung pisau.
Ternyata darahnya juga berwarna merah.
Waktu jari-jari tangannya dibuka, pisau perak itu diambilnya, darah segar berlepotan di telapak tangannya,
mengalir di antara jari-jari tangannya, membentuk sebuah huruf Thian.
Si buta ternyata bukan lain, betul adalah Siau-yau-hou Kosu Thian adanya.
Ternyata dia tidak mampus di dasar Sat-jin-gay, jurang yang ribuan meter dalamnya itu, kini mampus di
bawah lorong gelap nan dingin.
Tangannya yang satu masih menggenggam kencang sebelah tangan si baju hitam.
Tangan si baju hitam juga sudah kaku dingin, tutup mukanya masih memancarkan cahaya kemilau.
Waktu topeng penutup mukanya disingkap, yang tersembunyi di baliknya adalah seraut wajah memucat
putih nan cantik jelita, sepasang bola matanya yang melotot seperti mengawasi Siau Cap-it Long, rona
matanya seperti mengandung perasaan yang sukar diterima oleh akal sehat, entah murka? Ketakutan? Atau
sedih?
Ketua generasi kedua Thian Cong, ternyata memang benar adalah Pin-pin.
Kedok yang mengkilap itu jatuh di tanah, telapak tangan Siau Cap-it Long basah oleh keringat dingin.
Keringat dingin yang lebih dingin dibanding darah.
Setengah bulan yang lalu, Siau Cap-it Long sendiri mungkin tidak tahu kalau dirinya bakal berada di Cuigwat-
lo, bagaimana mungkin ada orang membocorkan jejaknya?
Sebab aktivitasnya selama ini, seluruhnya diatur oleh Pin-pin.
Para pengkhianat Thian Cong, bagaimana mungkin terbunuh seluruhnya di tangan Siau Cap-it Long?
Sebab Pin-pin menghendaki Siau Cap-it Long membunuh mereka semua.
Kecuali Thian-ci-eu, memang hanya Pin-pin seorang yang tahu rahasia Thian Cong.
Dengan memperalat Siau Cap-it Long, ia membunuh mereka yang tidak tunduk dan patuh pada dirinya,
dengan Siau Cap-it Long sebagai umpan, ia menuntun perhatian orang lain, secara diam-diam ia mengatur
tipu daya.
Bila akhirnya ia merasa Siau Cap-it Long sudah tidak bermanfaat lagi bagi dirinya, diam-diam ia menyingkir,
lalu mengatur tipu daya memperalat Lian Shia-pik untuk membunuhnya, membabat rumput sampai ke akarakarnya.
Rencananya memang rumit, rapi dan ces-pleng. Betapapun rapi rencananya, tak pernah terpikir olehnya,
bahwa Siau-yau-hou ternyata masih hidup, mencari dan membuat perhitungan terhadapnya.
Kini kakak beradik sama-sama mampus di tangan masing-masing, budi dendam di antara mereka sudah
berakhir, tamat mengikuti jiwa yang melayang, semua rahasia kini telah terbongkar dan memperoleh
jawabannya.
Kalau dicerna dan dirasakan dengan cermat, hanya itulah jawaban yang patut dan pantas diterima.
Akhir kisah ini adalah akhir satu-satunya yang bisa diterima secara umum, memangnya belum puas
menerima akhir kisah ini?
Mungkin hanya Siau Cap-it Long seorang.
Dengan mendelong ia berdiri menghadapi dua mayat orang, rona mukanya mengunjuk perasaan yang tidak

bisa dijelaskan dengan rangkaian kata nan panjang.
Apa yang sedang ia pikirkan dalam hati?
Tangan orang mati, masih saling genggam.
Apakah menjelang ajal kakak beradik ini sadar dan saling mengerti, hakikatnya mereka adalah saudara
sedarah sedaging. Waktu tangan mereka dibuka, baru terlihat ternyata jari-jari mereka sama menggenggam
tongkat besi yang menjulur keluar dari celah-celah dinding batu.
Begitu Siau Cap-it Long melepas pegangan tangan mereka, tongkat besi itu mendadak menyendal naik,
tanpa mengeluarkan suara selembar besi baja besar melorot turun, "Blang", berdentam keras menyentuh
bumi, menutup jalan keluar, jalan satu-satunya untuk keluar dari lorong bawah tanah ini.
Setelah mati, dua saudara kakak beradik ini ternyata menginginkan pengiring seorang Siau Cap-it Long
dalam kuburnya.
Sesal, dendam permusuhan telah berakhir, semua tipu muslihat telah terbongkar, cinta kasih dan
persahabatan sudah berubah kosong, masihkah ada yang berharga dalam kehidupan ini?
Siau Cap-it Long duduk menggelendot di dinding batu, dinding batu nan dingin, cahaya api semakin guram.
Pikiran Siau Cap-it Long kosong, tiada rasa sedih, pilu atau amarah, tiada rasa takut.
Sekarang satu-satunya yang ia tunggu hanya kematian. Bagi dirinya mati bukan hal yang menakutkan, tak
perlu dibuat sedih atau marah.
Entah berapa lama kemudian, api akhirnya padam, alam semesta kembali menjadi gelap gulita.
Memangnya kenapa kalau gelap? Kalau mati sudah bukan menjadi ganjalan, apa artinya kegelapan?
Siau Cap-it Long merasa ingin tertawa, tertawa lebar, habis tertawa lalu menangis, habis menangis
berteriak, berteriak keras, melolong panjang, kenyataan ia tetap duduk mematung tanpa bergerak.
Rasa penat merasuk sekujur badan, lelah yang amat sangat.
Dia pernah mencintai orang, juga dicintai orang.
Peduli mencintai atau dicintai, cinta adalah perasaan nan agung dari lembar kehidupan manusia yang paling
suci dan bersih.
Dia pernah merasa terhina, pernah merasa bangga, siapa pun dia kalau bisa hidup sepanjang hayat di
kandung badan seperti dirinya, patut merasa puas dan bangga.
Sayang sekali, sekarang belum tiba saatnya ia harus ajal dengan percuma.
Sekonyong-konyong dari atas berkumandang teriakan kaget seorang, menyusul selarik cahaya menyorot
masuk menyinari badannya.
Dia dapat merasakan hangatnya cahaya mentari, juga jelas mendengar teriakan kaget dan senang seorang
di atas, "Siau Cap-it Long, Siau Cap-it Long masih hidup." Menyusul seorang melompat turun, membimbing
badannya berduduk, dia bukan lain adalah Lian Shia-pik. dari gerak dan suaranya ia mengenal siapa dia.
Tapi kelopak matanya seperti diganduli benda berat ribuan kati, tak kuasa ia membuka mata, tekanan yang
berat luar biasa melebihi tabir kegelapan seperti menindih sanubarinya, menindih tepat di atas dadanya.
Ia merasa badannya amat penat, amat lelah, lelah sekali....
Sayang kegelapan seperti mendadak meninggalkan dirinya, tiba-tiba ia merasakan napasnya dapat
menghirup hawa segar yang berbau harum, mirip saat dirinya berada di hutan waktu muda dulu, hawa segar
di ladang liar yang belum pernah dijamah manusia.
Sekarang ia bukan lagi anak muda seperti pengalamannya dahulu. Tempat ini bukan ladang atau hutan liar
yang luas.

Di sekitar dirinya ia merasa banyak orang sedang berkerumun saling celoteh entah persoalan apa yang
diperbincangkan, ia tidak jelas mendengar percakapan mereka, namun yang jelas ia mendengar setiap
orang yang bicara tentu tak lepas menyebut nama Siau Cap-it Long.
Sekonyong-konyong suara seorang menekan pembicaraan banyak orang, ia tidak melihat siapa dia tapi ia
mengenal suara orang ini. Siapa lagi kalau bukan Lian Shia-pik.
Suaranya kalem jelas tapi bertenaga, "Sekarang tentu kalian sudah tahu, Siau Cap-it Long juga dijebak dan
dicelakai orang, yang membuatnya celaka bukan lain adalah adik sepupu Siau-yau-hou yang bernama Kosu
Pin, yaitu ketua generasi, kedua dari Thian Cong. Jadi persoalan Cayhe dengan Siau Cap-it Long, meski
cukup lama tak terselesaikan, tapi sekarang semua peristiwa itu telah berlalu, masa lalu biarlah menjadi
kenangan. Menaruh golok bersumpah menjadi umat Buddha yang soleh, aku hanya mengharap...”
Siau Cap-it Long tidak mendengar jelas perkataan selanjutnya, ia hanya berharap selekasnya meninggalkan
tempat ini, meninggalkan kehidupan, meninggalkan mereka, ia tidak ingin berhadapan lagi dengan tokohtokoh
kosen, orang-orang gagah ....
Mendadak ia melompat berdiri menghampiri Lian Shia-pik, katanya, "Kau menolongku, aku berhutang nyawa
kepadamu." Habis bicara tanpa menoleh lagi ia beranjak pergi dengan langkah cepat.
Untuk bertahan hidup memang bukan hal yang mudah, tapi ia bersumpah akan terus mempertahankan jiwa
raga.
Sebab ia berhutang nyawa kepada orang.
Sepanjang jalan hidupnya, Siau Cap-it Long belum pernah berhutang kepada orang lain, hutang macam
apapun, ia akan selalu berusaha untuk melunasinya.
Mentari sudah doyong ke barat, senja telah menjelang.
Air yang mengalir di bawah jembatan Se-ling-kio terasa makin dingin, rumput yang bertebaran di ladang
ilalang di musim rontok mulai menguning.
Rembulan sudah menongol dari peraduannya..
Kapal besar Cui-gwat-lo entah masih berlabuh di dermaga semula tidak?
Apakah Hong Si-nio masih menunggu dirinya di sana?
Perahu kecil panjang itu meluncur di permukaan air, cuaca di danau Se-ouw terasa sejuk, Siau Cap-it Long
berada di perahu kecil itu.
Peduli mati atau hidup, tetap tinggal di sini atau mau pergi entah kemana, sekali-kali ia pantang
meninggalkan Hong Si-nio begitu saja.
Cuaca belum seluruhnya gelap, cahaya lampu sudah menyala di Cui-gwat-lo, sayup-sayup seperti
berkumandang seorang bersenandung.
Perahu kecil itu terus meluncur makin dekat, di buritan kapal besar seorang menghaidik dengan lantang,
"Siau-kongcu sedang menjamu para tamu di sini, orang-orang yang tidak berkepentingan diharap
menyingkir."
Siau Cap-it Long berkata, "Muncul lagi Siau-kongcu yang menjamu para tamu di sini? Siau-kongcu yang
mana?"
Dengan pongah lelaki di buritan itu berkata, "Siapa lagi, sudah tentu Siau Cap-ji Long yang terkenal sebagai
pendekar angkatan muda itu."
Siau Cap-it Long tertawa lebar.
Ia sendiri heran kenapa dirinya bisa tertawa geli, tapi kenyataan ia memang sedang tertawa, tertawa lebar.
Gelak tawanya mengejutkan orang-orang dalam kabin, seorang dengan menggendong tangan melangkah

keluar, sikapnya angkuh, pakaiannya perlente, masih muda, membusung dada, siapa lagi kalau bukan Siau
Cap-ji Long.
Begitu melihat Siau Cap-it Long, senyum lebar seketika menghias wajahnya yang cakap, sikapnya berubah
hormat dan sungkan, serunya, "Kau telah datang."
"Kau tahu aku akan datang?" tanya Siau Cap-it Long.
"Seorang meninggalkan sepucuk surat untukmu, minta aku menyerahkan kepadamu," demikian kata Siau
Cap-ji Long.
"Surat dari siapa?" tanya Siau Cap-it Long.
"Orang yang mengantar surat ini." sahut Siau Cap-it Long. Jawabannya sungguh jenaka, namun sikapnya
serius, dengan laku hormat dengan kedua tangannya ia mengangsurkan surat itu kepada Siau Cap-it Long.
Sampul suratnya masih baru, namun kertas suratnya sudah lusuh, sepertinya pernah diremas, lalu digelar
lagi lalu ditekan merata.
"Aku sudah pergi. Lenganmu tentu kesemutan tertindih kepalaku, tapi bila kau siuman, lenganmu pasti
takkan kesemutan lagi. Yang mereka cari hanya aku seorang, kau tidak perlu ikut dan tak usah ikut. Kelak
umpama takkan bisa bertemu lagi denganku, yakin kau akan cepat memperoleh berita tentang diriku. "
Perasaan Siau Cap-it Long mengendap makin rendah. Ia kenal surat itu, sebab surat itulah yang ia
tinggalkan untuk Hong Si-nio. tak pernah terbayang dalam benaknya, Hong Si-nio menyimpan surat itu, lebih
tak disangka sekarang ia kembalikan surat itu kepada dirinya.
Tapi ia paham, mengerti apa maksudnya, waktu meninggalkan surat ini, bukankah ia sudah siap untuk
menghadapi kematian. Mati.
Itulah berita satu-satunya yang ia tinggalkan untuk dirinya "Aku tidak boleh mati. Aku masih hutang jiwa
kepada orang lain.”
Angin kencang berhembus, sampul surat di tangan Siau Cap-it Long tertiup lepas melayang-layang, lalu
jatuh ke danau, sampul surat itu hanyut mengikuti alunan gelombang halus di permukaan danau, mirip sekali
sekuntum bunga yang rontok.
Bunga telah berguguran, musim semi dalam kehidupan ini juga telah menjelang, masih adakah yang
tersisa?
Mengawasinya Siau Cap-ji Long berkata, "Mestinya Wanpwe ingin mengajak Siau-tayhiap minum bersama."
"Kenapa tidak kau siapkan saja," ujar Siau Cap-it Long tertawa.
Siau Cap-ji Long tertawa, katanya, "Wanpwe tidak berani, rasanya kurang setimpal." Tawanya begitu
simpatik, begitu sopan sambil meitibungkuk, "Siau-tayhiap, kalau tiada pesan lain, maaf Wanpwe mohon
diri."
Mengawasi orang membalik badan beranjak masuk ke kabin, Siau Cap-it Long ingin tertawa, namun tak bisa
tertawa.
Tukang perahu yang mengendalikan perahu kecilnya mendadak menepuk bahunya, : "Orang tidak ingin kau
minum araknya, berdiri di sini apa gunanya, hayolah pergi saja.”
Siau Cap-it Long memanggut perlahan, katanya menyengir, "Kalau harus pergi, ya harus pergi."
Tukang perahu mengawasinya, tanyanya, "Apa kau ingin minum arak?"
Siau Cap-it Long mengiakan sambil memanggut.
"Berapa banyak duit yang kau bawa?" tanya tukang perahu.
Tangan Siau Cap-it Long merogoh kantong, lalu ditarik keluar pula, tangannya kosong alias tongpes. Siau
Cap-it Long baru sadar kini dirinya tidak punya uang sepeser pun.

Tukang perahu malah tertawa lebar, "Ternyata kau ini juga setan arak, mana ada setan arak yang punya
banyak duit, rasanya ongkos perahu kali ini juga harus kurelakan gratis." Sembari bicara galah di tangannya
menutul ke air, perahu itu meluncur ke tengah danau, "Kalau kau mau menungguku setengah jam lagi, akan
kuadakan jual beli sebentar, nanti aku traktir kau minum sepuasnya."
"Baik, aku tunggu," ujar Siau Cap-it Long.
Lalu ia duduk di pinggir perahu, matanya mendelong menatap ke temnat jauh, kabut tebal mendatangi
membuat pemandangan permukaan danau makin kabur, tabir malam pun makin gelap.
Pemandangan malam di Se-ouw sebetulnya tak banyak berubah indahnya, sayang sekali malam ini bukan
lagi malam kemarin.
* * * * *
Pasar malam baru saja buka, saat paling ramai di sepanjang jalan raya ini, toko-toko sepanjang jalan mulai
menyulut lampu, tampak betapa indah mempesona kain sutra, keramik, berbagai makanan yang dijajakan di
beberapa toko itu, para pembeli juga menghias wajah dengan senyum lebar dan tawa senang.
Tukang perahu sudah berganti pakaian bersih, dengan langkah lebar ia berjalan di depan, sikapnya
kelihatan bersemangat, senang dan bingar.
Duit di kantongnya mungkin tidak cukup untuk membayar seguci arak, namun sikap dan polanya mirip orang
pongah, seolah-oleh dunia ini milik kita.
Sebab kemarin ia sudah melampaui kehidupan sehari yang melelahkan, kini tiba saatnya ia menampakkan
diri sebagai lelaki sejati.
Dengan menepuk pundak Siau Cap-it Long ia berkata, "Arak yang dijual di jalan ini paling mahal, jangan kita
minum di sini. Tapi tiap hari aku pasti melancong ke sini, berapa lama pun tak jadi soal, kan tidak perlu
bayar."
Tawanya memang riang gembira, sebab di sini ia bebas mau melihat apa saja sesuka seleranya.
Cukup hanya melihat dan melihat, hatinya amat puas.
Kalau seorang punya pandangan hidup seperti tukang perahu ini, maka segala persoalan di dunia ini tak
perlu dibuat kapiran, tak usah sedih, tak perlu keluh gerutu.
Mendadak Siau Cap-it Long merasa hidupnya ternyata tidak sebanding dengan tukang perahu ini.
Bahwasanya ia tidak punya jiwa terbuka, hati yang lulus dan pikiran bajik.
Kebetulan terlihat oleh Siau Cap-it Long di depan sana ada sebuah bank.
Setelah dekat, mendadak Siau Cap-it Long berhenti dan berkata, "Kau tunggu aku sebentar."
"Kau mau apa?" tanya tukang perahu.
"Aku ... aku akan masuk sebentar."
Tukang perahu tertawa, "Dalam bank ini tiada sesuatu yang pantas jadi tontonan, daging bakpao bukan
dibungkus kertas, uang yang ada dalam almari besi juga takkan bisa kelihatan." Namun ia mengikuti langkah
Siau Cap-it Long masuk ke dalam bank, "Ikut masuk sambil melihat-lihat juga tak mengapa."
Kasir bank kira-kira berusia pertengahan, namun rambut kepalanya sudah ubanan, melihat dua lelaki
beranjak masuk, sorot pandangnya menampilkan mimik kaget dan heran, namun sikapnya tetap hormat,
sapanya, "Tuan-tuan ada keperluan apa?"
"Sepertinya aku masih punya rekening di bank ini," ucap Siau Cap-it Long. Dari atas lihat ke bawah, lalu dari
bawah pandang ke atas, beruntun dua kali kasir bank memperhatikan Siau Cap-il Long, lalu katanya dengan
tawa dipaksakan, "Apa tuan tidak salah ingat?"
"Jelas tidak," sahut Siau Cap-it Long.

"Tuan she apa?" tanya kasir bank.
"She Siau, Siau Cap-it Long."
Kasir bank langsung tertawa lebar, "O, kiranya Siau-toaya, betul, Siau-toaya memang punya rekening di
bank kami."
"Bisa anda tolong periksa masih berapa banyak tabungan uang dalam rekeningku, aku ingin mengambilnya."
”Umumnya bank kami berdasar cek atau buku rekening bank untuk mengambil uang, tapi untuk Siau-toaya
kami boleh memberi kemudahan," sampai di sini senyum tawanya berubah aneh, suaranya menjadi
perlahan, "sebab rekening Siau-toaya baru saja kami tutup."
"Maksudku apakah ada uang dalam rekeningku?"
"Ada, tentu ada," sahut kasir bank, dengan laku hati-hati ia menarik sebuah laci di balik punggungnya,
mengeluarkan sekeping uang tembaga, perlahan ia taruh di meja, dengan senyum getir berkata, "Sisa
rekening Siau-toaya. hanya sebanyak ini."
Siau Cap-it Long tidak bergerak, tidak bersuara, bagaimana pun uang tembaga ini kelihatan masih baru,
disorot sinar lampu kelihatan masih kemilau mirip emas.
"Apa Siau-toaya ingin memeriksa pembukuan kami?" tanya kasir bank.
Siau Cap-it Long menggeleng kepala.
Kasir bank berkata lebih jauh, "Kalau Siau-toaya ingin menyimpan sisa uang ini dalam rekeing bank, dengan
senang hati akan kucatat dalam buku."
Mendadak Siau Cap-il Long berpaling, "Satu sen duit dapat beli apa?"
Tukang perahu garuk-garuk kepala, lalu berkedip mala, sahutnya, "Dapat membeli sebungkus besar kacang
goreng."
Dengan kedua jarinya, Siau Cap-it Long jepit keping uang tembaga itu, dengan senyum lebar ia berkata,
"Kacang cocok untuk teman minum arak, satu sen duit ini jelas akan kumanfaatkan."
"Betul sekali, satu sen tidak banyak, mending daripada tidak ada."
Sambil bergelak tawa riang mereka melangkah keluar dari bank, kasir bank mengawasi mereka sambil
menggeleng kepala.
Kasir bank jelas takkan mengerti, kenapa satu sen duit dapat membuat mereka segembira itu, sebab ia jelas
mengetahui hanya dalam semalam lelaki yang semula memiliki harta berlimpah ini, telah jatuh bangkrut
habis-habisan, duitnya tinggal sisa satu sen.
Si kasir tahu karena tadi ia sempat memeriksa buku rekening bank atas nama Siau Cap-it Long.
Sepanjang usianya melebihi setengah abad, dan tiga puluh tahun menjadi kasir bank, belum pernah ia
saksikan orang yang mendadak kaya secepat itu, tapi belum pernah melihat orang yang jatuh bangkrut
secepat itu pula.
BENTROK PARA PENDEKAR
Karya Gu Long - Gan K.H.
Bagian 19 - TAMAT
XXXI. JIWA SATRIA TIADA DUANYA
Bentuk pedang itu kuno antik.

Di mata pedang yang kelihatan antik itu terukir empat huruf 'Hiap Gi Bu Siang' yang berarti jiwa satria tiada
duanya.
Pedang itu terbual dari emas murni, jelas bukan senjata untuk membunuh orang.
Hanya sebagai lambang hormat mereka terhadap Lian Shia-pik, maka nilai sesungguhnya dari pedang itu
tidak terletak dari bobot emasnya, tapi empat huruf yang terukir di batang pedang itu.
'Hiap Gi' atau pendekar pembela kebenaran, jelas makin surut saja nilai luhur kedua huruf itu, apalagi
ditambah 'Bu Siang' yang berarti tiada duanya.
Dalam kesan sanubari manusia umumnya, empat huruf itu hanya setimpal dianugrahkan kepada Liancengcu
yang menjadi pemilik Bu-kau-san-ceng.
Malam telah larut.
Dentam tambur dan hingar-bingar gembreng makin jauh, lalu tak terdengar lagi.
Orang banyak yang tadi hadir dalam ruang besar ini sudah bubar. Dalam ruang besar itu kini tinggal Lian
Shia-pik seorang dan sebuah lampu.
Dia kelihatan lelah, seperti merasa sebal dan resah oleh keramaian tadi.
Perlahan ia menyipitkan mata, tangannya mengelus perlahan keempat huruf yang terukir di batang pedang,
tangannya enteng elusannya lembut, seperti mengelus di dada sang kekasih yang mempesona.
‘HIAP GIBU SIANG'.
Ia tertawa.
Bukan tawa riang, gembira, bukan tawa yang membangkitkan semangatnya, tapi seringai tawa yang
mengandung cemooh dan hina.
Angin malam berhembus masuk lewat jendela, hawa dingin mulai merangsang badan.
Jari-jari Lian Shia-pik yang mengelus pedang mendadak berhenti, seringai tawa yang menghias mukanya
juga seketika lenyap. Tapi nada suaranya tetap tenang dan mantap, "Siapa yang berdiri di kebun?"
"Tio Pek-ki." seorang menjawab di luar.
Lian Shia-pik memanggut, "Masuklah."
Dari gerombolan rumpun kembang, Tio Pek-ki beranjak keluar, dengan langkah enteng perlahan
menghampiri dengan sikap hormat dan prihatin.
Dia. Siapa lagi kalau bukan Tio Toa, si tukang perahu yang meninggalkan Siau Cap-it Long di kedai arak.
Cahaya lampu menyinari pedang emas, cahaya yang memancar menerangi seluruh lingkup ruang besar itu.
Tio Pek-ki jelas sudah melihat pedang emas itu, tapi dia menunduk pura-pura tidak melihat.
Lian Shia-pik seperti sedang menggumam, "Inilah tanda bukti betapa besar belas kasih para tetua kampung,
mestinya aku tidak berani menerima, namun kecintaan itu sungguh sukar untuk aku tolak."
"Bagi seluruh warga perkampungan kita, penghargaan ini rasanya pantas sekali. Tanpa kebesaran dan
wibawa Cengcu yang disegani seluruh insan persilatan, mana mungkin penduduk perkampungan ini dapat
hidup aman tenteram dan sentosa, penghargaan sekecil ini rasanya cukup setimpal."
Tio Pek-ki mengobral omongan, seolah-olah mewakili para sesepuh kampung, dan pedang emas itu adalah
anugrah untuk Bu-kau-san-ceng layaknya.
Lian Shia-pik tertawa-tawa, "Yang benar, aku ini juga orang biasa, mana berani mendapat anugrah Hiap Gi
Bu Siang."

Tio Pek-ki masih ingin mengucap rangkaian kata pujian yang lebih muluk, entah kenapa mendadak
tenggorokan seperti tersumbat hingga tak mampu bicara lagi. Sebab ia sadar, sorot mata Lian Shia-pik yang
tajam dan dingin sedang menatapnya lekat.
Diam-diam Tio Pek-ki bergidik tanpa kedinginan, dengan tersipu dari balik badannya ia keluarkan sebuah
buntalan kain panjang, dengan kedua tangan ia angsurkan kepada Lian Shia-pik.
Bungkusan panjang itu berisi sebatang golok, golok yang menggetar dunia persilatan dan ditakuti gembong
penjahat yang memusuhi pemilik golok ini.
Kek-lok-to, golok jagal rusa.
Perlahan golok itu keluar dari rangkanya. Mata golok yang dingin kemilau, menyinari wajah Lian Shia-pik nan
dingin.
Sinar golok tajam benderang, sorot matanya juga mencorong. Sorot mata yang mencorong bergerak dari
ujung kanan ke ujung kiri. Lambat laun rona muka yang semula dingin mulai bersemu merah lalu mengulum
senyum. Lian Shia-pik boleh tertawa senang.
Kali ini tawanya tidak mengandung mimik hina atau cemoohan, tapi merasa senang, menang dan puas.
Tapi tawa itu hanya sekilas menghias ujung mulutnya, mendadak sirna tak berbekas lagi.
Sorot matanya setajam pisau menatap muka Tio Pek-ki, "Cara bagaimana golok ini berada di tanganmu?"
"Kuganti dengan beberapa poci arak dan sebungkus kacang goreng," sahut Tio Pek-ki.
"O? Begitu?" seru Lian Shia-pik tak acuh.
"Araknya malah yang paling murah dan sebungkus kacang yang hanya dijual di pasar. Cengcu pasti tidak
menduga, golok pusaka yang menggetar dunia, bisa kuperoleh hanya dengan pengorbanan yang tidak
berarti."
Sikap Lian Shia-pik memang seperti melenggong.
Dengan bangga Tio Pek-ki berkata lebih lanjut, "Cengcu pasti tidak menduga, Siau Cap-it Long menyuruh
aku menggadaikan goloknya ini, maksudnya hanya untuk ditukar beberapa poci arak dan bungkusan
kacang. Siau Cap-it Long yang menggetar Kangouw itu kini sudah menjadi setan arak tulen, nama besar
Siau Cap-it Long selanjutnya bakal dihapus dari lembar kehidupan insan persilatan."
"Hal ini memang membuat orang tidak menduga."
Tio Pek-ki tertawa, "Kalau seorang hanya ingin minum dan minum tiap hari, betapapun besar dan nyaring
nama besarnya, akhirnya pasti luntur dan luluh oleh arak."
Lian Shia-pik manggut-manggut. "Betul, tidak salah."
"Maka dia sudah tidak setimpal menggunakan golok ini," kata Tio Pek-ki lebih jauh, "orang gagah yang
setimpal menggunakan golok ini sekarang siapa lagi kalau bukan Cengcu?"
“O? Masa aku?" seru Lian Shia-pik.
"Sekarang umpama menyuruh Siau Cap-it Long membabat rumput dengan golok ini, yakin rumput pun
takkan terbabat olehnya."
"Golok jagal rusa ini memang bukan untuk membabat rumput, manfaat utama golok ini tetap satu, hanya
membunuh orang."
Tio Pek-ki tertegun, "Membunuh orang?"
"Betul, membunuh orang. Terutama orang yang menganggap dirinya paling pintar."
Sembari bicara golok di tangannya mendadak berkelebat menabas leher Tio Pek-ki.

Waktu batok kepala itu jatuh menggelinding di lantai, sikap dan mimik muka Tio Pek-ki belum berubah. Itulah
rasa kaget dan heran, mati pun ia tidak mengerti kenapa Lian Shia-pik justru membunuhnya.
Mata golok yang cemerlang dengan cahayanya tampak bersih tiada noktah darah sedikitpun.
"Golok bagus," dengan jari-jemarinya Lian Shia-pik mengelus golok itu dengan sikap sayang, sorot mata nan
memuji, "Betul-betul golok bagus." Mendadak ia mengangkat kepala serta meninggikan suara, "Mana
petugas!"
Dua lelaki berseragam hijau sambil mengiakan melangkah masuk.
Lian Shia-pik membungkus kembali golok jagal rusa, katanya, "Cepat kejar Siau Cap-it Long, langsung
kembalikan golok ini kepadanya. Katakan kepadanya, hanya orang macam Siau Cap-it Long di dunia ini
yang pantas menggunakan Kek-lok-to ini."
Sekilas kedua lelaki itu saling pandang, mimiknya seperti heran dan kaget, tapi tak berani banyak bertanya,
begitu menerima buntalan langsung mengundurkan diri.
Setelah keluar dari ruang besar satu di antaranya tak tahan menghela napas, katanya, "Dapat berkenalan
dengan sahabat seperti Cengcu kita, hidup Siau Cap-it Long terhitung tidak sia-sia."
Temannya menimbrung, "Sikap Cengcu terhadap Siau Cap-it Long rasanya cukup adil, benar lagi penuh
rasa cinta kasih ...."
Tiap manusia yang hidup di dunia, ada kalanya senang, semua serba terpenuhi, semua keinginan terkabul,
sudah tentu ada kalanya semuanya tidak menyenangkan, tidak cocok selera tidak memenuhi syarat.
Sebagai makhluk yang punya akal budi tinggi, maka manusia menciptakan arak. Arak adalah sahabat
manusia, terutama orang yang lagi kehilangan akal budi, orang yang gagal dalam menggapai cita-cita, tidak
jarang arak digunakan untuk menghilangkan rasa resah, rasa sedih dan putus asa.
Orang yang tercapai keinginannya, hidup senang hidup mewah juga tidak jarang menggunakan arak sebagai
pelampias rasa bangga, percaya diri dan arogan.
Maka dimana pun ada orang menjual arak, penjual arak tidak kuatir tidak dikunjungi setan arak.
Siau Cap-it Long memang peminum berat, tapi dia bukan pelanggan arak, sebab pelanggan harus punya
duit untuk beli arak, Siau Cap-it Long justru bokek, tidak pernah punya duit. Tidak punya duit, syukur ada
teman atau siapa saja yang mau mentraktir dirinya minum. Padahal Siau Cap-it Long tidak punya teman
yang selalu mau mentraktir dirinya minum arak.
Jangan kata teman yang mentraktir minum tidak punya, teman yang tidak mentraktir apa-apa juga tiada.
Tanpa duit tak punya teman, namun arak masih tetap bisa diminumnya dengan puas, tidak jarang ia minum
sampai mabuk. Kondisinya sekarang bukan lagi sebagai penggemar arak, ibaratnya ia bermusuhan dengan
arak, tak peduli kapan saja, dimana saja, ada arak harus diminum habis, pengaruh air kata-kata sudah tidak
ia pedulikan lagi, pokoknya minum.
Di seluruh pelosok dunia, dimana saja pasti ada arak, arak tak pernah habis diminum, mungkinkah seorang
bisa minum habis seluruh arak yang ada di dunia ini? Maklum kalau Siau Cap-it Long minum dan minum,
tiap hari minum, tiap hari mabuk.
Belasan li di wilayah ini, dimana ada orang jual arak, Siau Cap-it Long pasti pernah ke sana. Tiap tempat ia
hanya bisa minum sekali, akibatnya, kalau bukan hidung dihajar bocor, mata sembab, bibir pecah, badan
babak belur, tentu diseret dan dibuang orang ke selokan seperti orang mengusir anjing buduk layaknya.
Bukan saja bokek, Siau Cap-it Long sudah tidak punya apa-apa yang berharga, pakaian yang melekat di
badan sudah compang-camping, kotor dan jorok.
Siau Cap-it Long yang sudah bangkrut, bahkan pakaian bobrok yang melekat di badan itu mendadak lenyap,
hilang tak keruan parannya.
Tiada orang pernah melihat ia muncul di tempat dimana orang menjual arak. Dalam pikiran masyarakat luas

terkesan hilangnya Siau Cap-it Long ibarat riak kecil yang bergeming di permukaan air, tiada orang
memperhatikan mati hidupnya.
Hanya satu orang memperhatikan nasibnya.
Siau Cap-ji Long.
Dulu dimana ada orang jual arak, di sana dengan mudah orang akan menemukan Siau Cap-it Long,
sekarang di pelosok manapun dimana ada orang jual arak, bayangan Siau Cap-it Long tidak pernah muncul
lagi.
Siau Cap-ji Long tidak percaya, orang yang sudah kecanduan minum ini bisa meninggalkan kebiasaannya
itu. Semua kedai arak besar kecil, restoran ternama sampai hotel termewah pun sudah dilacaknya, namun
bayangan Siau Cap-it Long tak pernah ditemukan lagi.
Kalau setan arak meninggalkan arak, sama dengan ikan meninggalkan air, mana mungkin bisa hidup?
Siau Cap-ji Long hampir tidak percaya kalau kejadian ini kenyataan.
Di saat hampir putus asa, saat kehabisan akal, suara caci maki dan kegaduhan mendadak berkumandang
dari Hong-ping-ciu-lo.
Hong-ping-ciu-lou adalah restoran termegah, termewah di kota ini, para tamu yang mampir di restoran ini
semua berkantong tebal, dari kalangan atas, entah para pejabat, pedagang besar atau orang-orang gagah,
dalam keadaan biasa tak mungkin terjadi kegaduhan yang mengundang perhatian orang banyak.
Di halaman depan restoran berkerumun banyak orang melihat keramaian, satu dengan yang lain berceloteh
entah membicarakan kejadian apa.
Dua pelayan restoran yang mengenakan seragam bersih menyeret keluar seorang lelaki yang mabuk,
dilempar ke jalanan, menyusul kaki tangan bekerja, menendang menggenjot serabutan silih berganti tanpa
kenal kasihan, pemabuk itu dihajarnya hingga babak belur.
Saking bernafsu sambil menghajar memaki kalang kabut, "Kurang ajar, hari ini kau tertangkap bapakmu,
bersembunyi di gudang arak menghabiskan beberapa guci, kami yang celaka menerima ganjaran majikan,
hayo hajar saja sampai mampus."
Di antara penonton ada yang berhati bajik, segera membujuk, "Sudahlah, jangan dipukul lagi coba lihat dia
sudah semaput, kasihan kan."
"Kasihan apa?" damprat pelayan itu, "memangnya siapa kasihan kepada kami? Dua hari keparat ini
bersembunyi di gudang arak, menghabiskan empat guci arak kelas satu, majikan menuduh kami yang
mencuri, malah memotong gaji segala. Lebih celaka lagi guci yang kosong dia isi air, para tamu yang kami
suguh arak mendamprat kami menyuguhkan arak palsu, hampir saja majikan memecat dan memutus
hubungan kerja. Semua gara-gara keparat ini, kalau belum menghajarnya tidak terlampias rasa dongkol
kami."
Pemabuk itu meringkuk di tanah dengan tangan memeluk kepala, biar ditendang, dipukul dan diapakan pun
diam saja, mulut pun bungkam.
Di antara orang yang berkerumun mendadak seorang berseru keras, "Nah coba lihat, Siau-tayhiap telah
datang, biar Siau-tayhiap bantu memberi keadilan, apakah dia masih pantas dihajar."
Pelayan Hong-ping-lou mana ada yang tidak kenal Siau Cap-ji Long, dengan tertawa lebar segera maju
menyambut, "Siau-tayhiap, syukur kau datang, mohon pertimbangkan dan memberi keadilan”.
Siau Cap-ji Long mengulap tangan, pelayan itu menghentikan perkataannya.
Siau Cap-ji Long berjongkok dengan kedua jarinya ia angkat dagu orang. Seketika bercahaya bola matanya,
sekilas ia tertegun di tempatnya.
Siau Cap-it Long!
Siau Cap-it Long mengangkat kepalanya, dengan tertawa ia berkata, "Halo saudaraku, syukur kau datang,

sungguh aku senang, lekas traktir aku minum."
Siau Cap-ji Long menyeringai dingin, "Siapa itu saudaramu?"
"Margaku Siau, margamu juga Siau, aku bernama Cap-it Long, kau bernama Cap-ji Long, kalau bukan
saudaraku, memangnya kau ini siapa?"
Tetap dingin sikap Siau Cap-ji Long, "Kau adalah kau, dan aku tetap aku, tak perlu menarik persaudaraan
segala."
Siau Cap-it Long menegakkan muka, katanya dengan seri tawa lucu, "Baiklah anggap bukan saudara, jelekjelek
masih terhitung sahabat bukan?"
"Siapa bilang aku ini sahabatmu?"
"Ya, ya, ya, bukan sahabat juga bukan soal. Mentraktirku minum dua cawan boleh kan?"
Siau Cap-ji Long menggeleng kepala, "Aku tidak biasa mentraktir teman minum arak."
"Kalau begitu tolong pinjam dua keping duit, biar aku minum sendiri, boleh tidak?"
Kembali Siau Cap-ji Long menggeleng kepala, "Aku tidak pernah meminjamkan duit untuk setan arak."
"Pinjam 10 ketip saja, tolonglah, besok kukembalikan ...."
"Satu peser pun takkan kupinjamkan," kata Siau Cap-ji Long, "kedatanganku hanya ingin memberi sebuah
benda lain."
"O? Ya?" menyala bola mata Siau Cap-it Long, "benda apakah itu?"
"Coba lihat sendiri."
Waktu buntalan kain itu dibuka, golok jagal rusa yang menggetar dunia persilalan itu kembali berada di
tangan Siau Cap-it Long.
Golok pusaka tidak berubah, gemerdep cahayanya tak berkurang, halus bagai permukaan air yang disorot
sinar rembulan.
Mengangkat tinggi golok pusakanya di atas kepala, Siau Cap-it Long bergelak tawa, bola matanya yang
mabuk berputar memandang sekelilingnya, "Nah, kalian lihat bukan? Inilah Kek-lok-to yang paling berharga
di dunia, golok pusaka yang nilainya sebanding sebuah kota, kalian pernah mendengar bukan?"
Siapa tidak pernah mendengar kebesaran nama Kek-lok-to, dengan sorot kaget dan heran mereka
mengawasi Siau Cap-ji Long, kenapa golok pusaka semahal itu diserahkan kepada seorang pemabukan.
Siau Cap-it Long mengangsurkan golok di tangannya kepada kedua pelayan itu, "Coba kalian periksa,
berapa harga golokku ini?"
Dengan gelisah kedua pelayan itu mengawasi Siau Cap-it Long, dengan memanggut mereka berkata, "Ya,
ya, golok pusaka ini berharga."
Dengan terbahak-bahak Siau Cap-it Long lemparkan golok itu ke tanah. Serunya, "Kalau begitu, tolong
bantu aku menyerahkan kepada kasir, akan kujual untuk minum arak."
Kedua pelayan itu ragu-ragu tak berani mengulur tangan menerima.
Siau Cap-it Long tertawa lebar, "Nah ambillah, tahukah kau ular arak di perut Siau-tayhiap sudah merambat
ke ujung mulut, tunggu apa lagi?"
Sampai di sini Siau Cap-ji Long harus bersikap, diam-diam ia memberi tanda kepada kedua pelayan itu, lalu
beranjak pergi keluar dari kerumunan orang banyak.
Siapa akan percaya seorang pendekar besar seperti Siau Cap-it Long bisa berubah menjadi seperti itu?
Dahulu Siau Cap-it Long juga pernah melempar goloknya itu tanpa ragu, waktu itu karena ia ingin menolong

jiwa Hong Si-nio.
Sekarang tanpa ragu ia pun melempar goloknya ke tanah, siap diganti beberapa keping uang hanya untuk
minum arak.
Siau Cap-it Long yang nama besarnya menggetar kolong langit, kali ini betul-betul runtuh total.
* * * * *
Hujan lebat.
Habis hujan terbitlah terang.
Siau Cap-it Long berusaha merangkak bangun di tengah pecomberan, sepertinya dia sudah kehabisan
tenaga, kehabisan keberanian untuk berdiri tegak.
Ia sudah berdiri lalu terperosok jatuh lagi, jatuh di bawah kaki seorang muda.
Seorang muda yang seusia Siau Cap-ji Long, bersikap gagah, bangga dan angkuh.
Seorang pemuda yang dahulu sama dirinya waktu ia berusia semuda ini, berhadapan dengan pemuda ini, ia
seperti melihat potret dirinya di waktu muda, sayang bayangan itu lambat laun sirna tak berbekas lagi.
Pemuda itu tengah menatapnya, rona mukanya membayangkan mimik yang aneh, tangan kanan menjinjing
seguci arak, tangan kiri menggenggam golok.
Kek-lok-to.
Siau Cap-it Long menundukkan kepala, ia tidak berani berhadapan dengan pemuda ini, tidak berani
berhadapan dengan golok pusakanya sendiri. Sepertinya ia kehilangan keberanian untuk menghadapi
kenyataan, malah tidak berani berhadapan dengan masa yang telah lalu.
Maka ia berusaha meloloskan diri sendiri supaya mabuk. Sekarang dalam kondisinya, arak di tangan
pemuda ini, nilainya jauh lebih tinggi dibanding golok pusakanya itu.
Mendadak pemuda itu berkata, "Kau ingin minum?"
Lekas sekali Siau Cap-it Long mengangguk.
"Sayang ini bukan arakmu."
Tangan Siau Cap-it Long saling genggam, dengan punggung tangannya ia menggosok bibir mulutnya yang
mengering, berusaha berdiri tapi selalu gagal.
Pemuda itu menatapnya dingin, mendadak mengangkat golok di tangannya, "Kau ingin golokmu ini?"
Siau Cap-it Long melengos.
"Sayang golok ini sudah bukan milikmu lagi."
Tak tahan Siau Cap-it Long bertanya, "Sekarang golok ini milikmu?"
Pemuda itu menyeringai, "Dengan golok ini kemarin kau memperoleh arak, dengan senyum manisku hari ini
aku memperoleh golokmu ini."
"Senyum manis?" tanya Siau Cap-it Long tidak mengerti. Lebar senyum pemuda itu, senyum yang penuh
ejek, senyum yang susah dilukis artinya.
"Tahukah kau, ada orang tertawa, kadang lebih menakutkan dibanding saat tidak tertawa." Siau Cap-it Long
jelas tahu.
"Nah, ketahuilah, aku ini adalah Siau-bin Cap-jit Long."
"Cap-jit Long?" Siau Cap-it Long mengulang nama orang dengan tertawa.

Cap-jit Long manggut-manggut.
"Margamu bukan Siau?" tanya Siau Cap-it Long.
Cap-jit Long tidak menjawab, matanya menatap mata Siau Cap-it Long. Cukup lama baru berkata, "Apa betul
kau ini Siau Cap-it Long?"
Siau Cap-it Long tidak mampu menyangkal. Cap-jit Long berkata pula. "Benarkah kau ini Siau Cap-it Long
yang malang melintang di bumi? Memberantas komplotan Siau-yau-hou, bentrok dengan Thian-kongcu itu?"
Kembali Siau Cap-it Long tak mampu membantah. Dengan tertawa Cap-jit Long berkata, "Kabarnya ilmu
golokmu tiada tandingan di kolong langit, sudikah memberi kesempatan kepadaku?"
"Kesempataan? Kesempatan bagaimana?" tanya Siau Cap-it Long.
"Kau punya tangan, golok ada di sini, cukup memberi kesempatan padaku untuk menjajal ilmu golokmu,
bukan hanya arak seguci ini menjadi milikmu, seluruh persediaan arak di Hong-ping-lou berapa banyak kau
mampu minum, silakan habiskan seluruhnya."
Jari-jari Siau Cap-it Long kembali saling genggam.
Cap-jit Long tertawa lebar, "Pertaruhan ini cukup adil, aku yakin kau tidak akan menolaknya."
Mendadak Siau Cap-it Long berkata lantang, "Tidak."
"Tidak? Kenapa tidak?" tanya Cap-jit Long.
"Aku tidak mau main golok," tegas jawaban Siau Cap-it Long.
"Kenapa tidak? Tanganmu tetap tanganmu, golok ini juga tetap adalah golokmu."
Siau Cap-it Long meronta menegakkan dada, serunya, "Golokku tidak untuk tontonan."
"Ya, golokmu untuk membunuh orang."
“Betul."
Cap-jit Long terloroh-loroh, sepanjang hidupnya seperti belum pernah terloroh sekeras hari ini.
"Membunuh orang bukan hal yang menggelikan," kata Siau Cap-it Long.
"Kau bisa membunuh orang?"
Siau Cap-it Long menggeram rendah.
"Kau masih mampu membunuh orang?"
Siau Cap-it Long menunduk mengawasi tangannya. Tiada darah di tangan, hanya kotor oleh lumpur.
"Kau punya tangan, di sini masih ada golok, bila kau mampu menggunakan tangan mencabut golok ini untuk
membunuhku, seguci arak ini bakal jadi milikmu."
"Aku takkan membunuh orang hanya karena seguci arak," teriak Siau Cap-it Long.
"Lalu demi apa kau berani membunuh orang?"
"Aku...."
Kaki Cap-jit Long mendadak melayang menendang pencomberan di depannya, menendang muka Siau Capit
Long, lalu ia bersihkan alas sepatunya dengan muka Siau Cap-it Long.
Sekujur badan Siau Cap-it Long mengejang.

Cap-jit Long berkata, "Mungkin tidak karena perbuatanku tadi kau membunuh orang?"
Mendadak Siau Gap-it Long mengangkat kepalanya, dengan bola matanya yang merah darah menatapnya
lekat-lekat.
"Kau tidak berani bukan?" jengek Cap-jit Long.
Perlahan Siau Cap-it Long mengulur tangan hendak mencabut golok, golok berada di depan mata, tapi jari
tangannya seperti takkan bisa menyentuh golok itu selamanya.
Jari-jari tangannya gemetar. Makin lama makin keras seperti ada gempa hingga daun-daun pohon
berguguran.
Cap-jit Long tertawa, tertawa lebar, "Aku tahu bukan kau tidak berani membunuh orang, tapi sekarang kau
sudah tidak mampu membunuh orang." Di tengah gelak tawanya ia menyambung, "Golok ini tetap adalah
golok pusaka, tapi Siau Cap-it Long sudah bukan Siau Cap-it Long yang dahulu."
Dari loteng restoran mendadak berkumandang pertanyaan seorang, "Memangnya kenapa Siau Cap-it Long
yang sekarang?"
Dengan gagang golok Cap-jit Long memecah segel di mulut guci, arak dalam guci seluruhnya ia siram ke
muka, kepala dan badan Siau Cap-it Long.
Siapa pun takkan kuat menahan penghinaan macam ini, biar jiwa melayang juga takkan terima dihina seperti
ini. Siapa pun dia menghadapi peristiwa seperti ini, dengan nekad akan membusung dada, mengayun
tangan mencabut golok mengadu jiwa.
Siau Cap-it Long justru melakukan perbuatan yang tidak pernah disangka oleh siapa pun.
Tiba-tiba ia membuka mulut. Mulutnya terbuka bukan hendak berteriak, bukan ingin melampiaskan angkara
dalam hati. Tapi ia membuka mulut untuk menyambut arak yang meleleh di pipi, di mukanya.
Orang-orang yang menonton sudah tak tahan, mulai bersorak sorai, ada yang bertepuk tangan malah.
Cap-jit Long tertawa riang, "Hai, coba kalian lihat, macam apa sekarang dirinya?"
Belum hilang suaranya, mendadak sebuah tangan terulur tiba menyanggah dagunya.
Maka tubuh Cap-jit Long seperti orang kecil naik awan terbang melayang jauh ke sana. Sementara golok di
tangannya berpindah di tangan orang ini.
Tangan siapakah itu?
Sehebat setangkas itukah tangan itu?
Lian Shia-pik.
Siapa lagi kalau bukan Lian Shia-pik yang Hiap-gi-bu-siang itu.
XXXII. JELAS DUDUK PERSOALANNYA
Waktu Siau Cap-it Long mengangkat kepala, ia melihat Lian Shia-pik.
Wajahnya tidak dihiasi cemooh, tiada belas kasihan, namun terbayang rasa lembut, pengertian yang luhur
dan simpatik.
Dengan sebelah tangan ia memapah Siau Cap-it Long, katanya lantang, "Hayo, kita pergi minum."
Bagaimana rasanya arak?
Sekarang mungkin Siau Cap-it Long sudah tidak bisa membedakan bagaimana rasa arak, karena minum
teramat cepat, minum terlalu banyak.

Lian Shia-pik membiarkan orang minum, ia hanya mengawasi saja, akhirnya ia pun berkata, "Kekuatanmu
minum kelihatannya bertambah."
Siau Cap-it Long mengangkat cawan besar, satu tenggak ditelan habis.
"Berapa banyak kau bisa minum arak sehari?" tanya Lian Shia-pik.
"Makin banyak makin baik."
"Tiga guci besar?"
"Kurang lebih bolehlah."
"Sebelum ini kita bukan tcrhitung teman, tapi persoalan yang sudah lampau tak perlu dibicarakan lagi,
sekarang ...." ia menarik napas panjang, "sekarang pantasnya aku menemanimu barang dua tiga hari saja,
ada urusan yang harus segera kuselesaikan, hari ini aku hanya bisa meninggalkan 100 guci arak untukmu,
cukup untuk satu bulan, satu bulan lagi, aku akan datang kembali."
Siau Cap-it Long mengangkat pula cawannya, lalu arak ditenggaknya habis, mendadak air mata meleleh di
pipi jatuh di cawannya yang kosong.
Siapa pernah melihat Siau Cap-it Long menangis? Tidak pernah ada.
Siapa mau percaya Siau Cap-it Long rela mengucurkan air mata hanya karena diloloh seratus guci arak?
Yakin tak pernah ada.
Sepanjang sejarah hidup Siau Cap-it Long hanya mengucurkan darah, kapan pernah mengucurkan air
mata? Tapi sekarang, air matanya benar-benar bercucuran.
Mengawasi air mata meleleh di muka orang yang kotor, Lian Shia-pik menghela napas panjang, "Kau ...."
Mendadak Siau Cap-it Long menyeletuk, "Dahulu mungkin kita bukan sahabat, tapi sekarang kita sudah
menjadi teman."
Lian Shia-pik mengawasinya cukup lama kemudian baru bertanya, "Apa betul sekarang kita sudah menjadi
teman?"
Siau Cap-it Long memanggut. "Kau menangis, apakah merasa haru terhadapku?"
Siau Cap-it Long diam tidak memberi jawaban, juga tidak menyangkal.
Mendadak Lian Shia-pik tertawa, mimik tawanya tampak aneh. Sambil tertawa ia mengangsurkan golok
pusaka di tangannya ke hadapan Siau Cap-it Long, "Inilah golokmu, sekarang tetap milikmu."
Siau Cap-it Long menunduk, mengawasi sarung goloknya yang kuno lagi kusam, lama kemudian baru
menggumam, "Golok ini tetap golok yang dahulu, tapi diriku? Aku berubah menjadi apa?"
Lian Shia-pik menatapnya lekat, lama juga berdiam baru bertanya, "Tahukah kau kenapa berubah menjadi
begini?"
Siau Cap-it Long manggut-manggut, lalu geleng-geleng kepala.
"Kau tidak tahu, pasti tidak tahu. Sebab ...." desis suara Lian Shia-pik terputus.
"Sebab apa?" tanya Siau Cap-it Long
"Sebab yang betul-betul tahu rahasia ini, di kolong langit ini hanya satu orang."
"Siapa?"
"Siapa dia kau selamanya takkan pernah menduganya."
"Siapa dia?" Siau Cap-it Long mengulang pertanyaannya.

"Aku," sahut Lian Shia-pik, sampai di sini mendadak sikapnya berubah, sorot matanya setajam pisau,
sementara jari jemarinya hanya lima senti dari tubuh Siau Cap-it Long. Dia siap menunggu segala reaksi.
Siapa tahu sama sekali Siau Cap-it Long tidak menunjukkan perubahan apa-apa. Tiada reaksi.
Lian Shia-pik berkata lebih jauh, "Keadaanmu berubah jadi begini, semua gara-gara perbuatanku."
Mengawasi orang, sorot mata tajam Lian shi-pik makin memicing, suaranya lebih pelan, "Tahukah kau siapa
sebenarnya ketua Thian Cong?"
Sorot mata Siau Cap-it Long kosong, gerak-geriknya mirip orang pikun, "Kau ...."
"Betul, inilah aku," kata Lian Shia-pik, "seluruh rencana ini adalah buah karyaku."
Bahwasanya pengakuan ini ibarat sebatang jarum runcing yang dapat menghunjam hulu hati orang, namun
betapapun besar batang jarum yang menusuk perasaan Siau Cap-it Long, orangnya tetap mematung
linglung, tanpa memberi reaksi sedikitpun.
Di dunia ini hakikatnya sudah tiada persoalan apapun yang dapat membuatnya sedih, entah karena dia
sudah kehilangan perasaan, tidak punya perasaan seperti manusia umumnya.
Lian Shia-pik bertutur, "Waktu kalian berduel hari itu, aku juga berada di Sat-jin-gay. Waktu Siau-yau-hou
terjungkal ke dalam jurang, aku melihatnya sendiri. Setelah kau pergi membawa Pin-pin, aku berusaha turun
ke jurang menilik keadaannya."
"Melihatnya?" desis Siau Cap-it Long, "untuk apa?"
"Sebab aku tahu orang seperti dia takkan semudah itu mampus hanya karena jatuh ke dalam jurang. Kalau
di dunia ini betul ada manusia yang punya jiwa rangkap, orang itu adalah dia."
"Waktu kau turun ke bawah, apa betul dia belum mati?"
"Belum."
"Kau ingin menolongnya?"
Lian Shia-pik tertawa, "Yang ingin kutolong bukan orang macam dia, tapi aku butuh rahasianya."
"Rahasia?"
"Tiap orang punya rahasia, rahasia orang macam dia, bagi orang lain, bukan lagi dianggap harta
terpendam."
"Rahasianya, berarti adalah rahasia Thian Cong?"
"Betul."
"Dia memberitahu rahasianya kepadamu."
"Betul."
"Kenyataan dia belum mati, mana mungkin memberitahu rahasianya kepadamu?"
"Karena tidak bisa tidak dia harus memberitahu kepadaku."
"Kenapa?"
Lian Shia-pik menghela napas, "Karena dia sudah berubah, berubah lamban lagi tak perasa. Tapi kau tidak
pantas bertanya soal ini."
Siau Cap-it Long masih belum paham.
"Sebab kau bisa memperkirakan sendiri, kalau tidak dia bocorkan rahasia itu, kematian adalah bagiannya."
"Setelah dia membocorkan rahasianya?"

Kembali Lian shia-pik menghela napas, "Hal ini juga tidak pantas kau tanyakan, setelah mengajukan
pertanyanmu ini, kematianmu akan lebih cepat."
Siau Cap-it Long tertawa, menyengir tawanya persis seperti orang linglung, orang pikun.
"Setelah aku menguasai rahasia Thian Cong, segera aku adakan pembenahan organisasi Thian Cong,
sayang banyak orang-orang Thian Cong yang tidak mau menerima perintahku, maka dengan mengatur tipu
daya, supaya mereka bermunculan di antara engkau dan Pin-pin, aku tahu Pin-pin pasti mengatur muslihat
supaya engkau membunuh mereka semua." Dengan tertawa cerah ia menyambung, "Itulah yang dinamakan
pinjam golok membunuh orang, sekali panah dua burung terbunuh."
Siau Cap-it Long tetap diam mendengarkan.
"Sebetulnya banyak kesempatan aku bisa membunuhmu, hal ini tentu kau sendiri juga tahu."
Siau Cap-it Long mengakui.
"Tahukah kau kenapa selama ini aku belum juga turun tangan?"
Siau Cap-it Long menggeleng kepala.
"Sebab," Lian Shia-pik menekan suaranya lebih tajam, "akan kubuat kau mati lebih menderita, aku akan
membereskanmu secara tuntas. Akan kubuat orang banyak putus asa dan kecewa terhadapmu, akan kubuat
orang banyak berpendapat kau ini tidak lebih hanyalah binatang yang tidak bisa ditolong, tak bisa dinasehati
lagi."
Sampai di sini ia bicara, roman mukanya yang pucat-pias itu terlihat berkerut-merut saking dibakar emosi,
sorot matanya pun menampilkan bayangan marah, penasaran dan tersiksa.
Sebab ia merindukan Sim Bik-kun. Ia akan berusaha merebutnya kembali, bukankah hanya jiwa dan raga
Sim bik-kun, tapi juga akan merebut simpati dan cintanya kembali.
Maka ia harus berusaha supaya Sim bik-kun kecewa dan putus asa melihat penampilan Siau Cap-it Long.
Demi mencapai semua maksud dan tujuannya itu, ia rela mengorbankan apa saja, dengan imbalan apa saja.
Ia mencintai Sim Bik-kun, cinta yang amat dalam, maka bencinya terhadap Siau Cap-it Long juga benci amat
dalam.
Hanya benci karena cinta yang tidak terbalas, terhitung dendam yang paling mengerikan, paling
menakutkan. Siau Cap-it Long mulai menenggak arak lagi. Arak sebanyak itu adalah jamak kalau
membuatnya beku, beku perasaan, beku pikiran, pokoknya lahir batinnya beku. Menilai kondisinya sekarang,
terutama sorot matanya masih membayangkan rasa derita yang luar biasa. Di balik rasa takutnya itu
terbayang juga akan rasa ketakutan. Bukan takut terhadap Lian Shia-pik, ngeri menghadapi tipu daya Lian
Shia-pik, tapi ngeri karena dendam kesumatnya itu.
Lian Shia-pik berkata lebih jauh, "Dengan segala upaya, aku buat kau terkenal. tersohor, kaya raya, punya
kedudukan, pamormu tinggi, semua mencapai puncaknya, lalu kubiarkan kau jatuh, dengan memperalat
kehebatanmu, aku berantas para pengkhianat itu. Dua hal karya baikmu itu, tentu baru sekarang kau sadari."
"Aku ...." Siau Cap-it Long menggumam dalam mulut.
"Sebenarnya aku masih mengatur kau pergi ke Pat-sian-cun untuk membunuh para pengkhianat itu, hanya
rencana ini tidak tercapai dengan tuntas," sampai di sini ia tertawa sejenak baru melanjutkan, "tapi pada
waktu itu, tiada seorang pun di dunia ini yang bisa merintangi, membatalkan rencanaku, umpama kau sendiri
tidak ke sana, aku sendiri bisa turun tangan membunuh mereka."
"Maka sengaja kau membuatku salah terka, sebab kau merasa turun tangan sendiri lebih gampang."
"Sebetulnya aku memang lebih senang turun tangan sendiri, segala urusan apapun aku senang
mengerjakan sendiri."
"Lalu kau sendiri menyamar jadi si buta itu?"

"Akan kubuat kau salah terka, menyangka si buta itu sebetulnya adalah Siau-yau-hou, menganggap dia
belum mampus."
"Kenapa?"
"Sebab segala tanggung jawab peristiwa ini aku bebankan kepada Pin-pin."
Siau Cap-it Long menundukkan kepala, mulutnya menggumam, "Pin-pin ... Pin-pin ... oh, gadis yang harus
dikasihani”.
"Setelah segala rencana besar itu sukses, Pin-pin dan Siau-you-hau akan betul-betul mati, maka di dunia ini
takkan ada orang lain tahu rahasiaku, jelas takkan ada curiga bahwa akulah ketua Thian Cong. Maka seperti
dahulu aku ini ibarat batu jade yang utuh, akulah Lian Shia-pik adalah ksatria yang tiada bandingannya."
Siau Cap-it Long sudah mabuk, kondisinya yang lemah sudah pantas roboh, tapi masih ada satu
pertanyaan, hal ini harus ia tanyakan. Dengan mengerahkan setaker sisa tenaganya, ia berusaha bertahan,
suaranya lantang, "Kenapa kau beberkan semua rahasia itu kepadaku?"
"Sebab akan kubuat kau menderita, akan kubuat kau sendiri merasa dirimu adalah bocah linglung yang tak
bisa diobati lagi."
Kembali wajahnya menampilkan rasa bangga, lembut dan senyum lebar. Waktu berdiri ia pegang pundak
Siau Cap-it Long, "Sekarang saatnya aku pergi. Seratus guci arak itu tetap kutinggalkan untukmu. Tapi satu
hal kau harus ingat, mungkin setelah kau habiskan seratus guci arak itu, apakah kau masih bisa bertahan
hidup?"
Tanpa menunggu jawaban Siau Cap-it Long, ia melangkah keluar pintu.
Waktu ia tiba di ambang pintu, Siau Cap-it Long roboh terlentang di lantai.
Dengan langkah ringan Lian Shia-pik menyusuri taman kembang, perasaannya riang seperti mau terbang
saja. Selama hidup rasanya belum pernah punya perasaan segembira kali ini, bukan hanya lantaran jerih
payahnya selama ini terkabul, lebih penting adalah tanpa mengeluarkan tenaga, tak usah menggunakan
kekerasan, entah main pedang atau ayun golok, tapi dengan nyata ia berhasil merobohkan Siau Cap-it Long
yang terkenal di jagat raya ini. Roboh mengenaskan, kalah total.
Paling tidak ia sudah membuktikan satu hal, memiliki ilmu silat yang digdaya bukan berarti jago kosen, orang
kuat. Tapi pengetahuan luas, rencana yang cermat dan muslihat yang lihai baru terhitung modal utama
setiap insan persilatan yang punya ambisi menguasai dunia.
Tidak salah bukan?
Betapa gagah perkasanya Siau Cap-it Long, kenyataan sekarang menjadi si lemah yang nasibnya lebih
mengenaskan dibanding seekor anjing. Anjing liar, anjing buduk.
Lian Shia-pik ingin tertawa, tawa lebar, buah kemenangannya memang tidak mudah diperolehnya,
betapapun sulit dan rumit persoalannya, yang penting sekarang ia sukses.
Dari awal diam-diam ia membuat rencana ini, diam-diam merasakan siksa derita yang susah dicerna secara
lahiriah, termasuk hilang bini, harta benda ludes. Kini semua itu tak lama lagi akan kembali ke tangannya.
Sudah tentu kecuali Sim Bik-kun.
Ia percaya Sim Bik-kun sudah mati waktu terjun ke danau, kalau tidak ia yakin sang bini yang cantik itu akan
kembali lagi dalam pelukannya.
Kematian Sim Bik-kun sebagai tumbal, tapi ia berhasil meruntuhkan Siau Cap-it Long, kalau diperhitungkan
antara 'beroleh' dan 'hilang', rasanya masih setimpal.
Sampai di ujung langit sekalipun rumput akan tetap tumbuh subur.
Masih banyak wanita secantik Sim Bik-kun di dunia ini, tapi tiada orang kedua seperti Siau Cap-it Long.

* * * * *
Ruang besar itu terang benderang, namun suasana telah sunyi senyap.
Pedang yang terbuat dari emas itu masih berada di meja, memancarkan cahaya kemilau. Bola mata Lian
Shia-pik saat itu juga sedang memancarkan cahaya terang yang aneh.
Sejak kini, Bu-kau-san-ceng bakal menjadi lambang “Jin Gi" dalam sanubari khalayak ramai. Lian Shia-pik,
tiga nama besar itu akan menjadi harum dan terkenal sepanjang abad, dipuja sebagai pendekar di antara
pendekar, orang gagah di antara orang gagah.
Tiada orang tahu bahwa Lian Shia-pik adalah generasi kedua ketua Thian Cong, rahasia ini akan tetap
menjadi rahasia seiring dengan tamatnya riwayat Siau Cap-it Long, ia mampu membongkar rahasia ini, Bukau-
san-ceng akan tetap disanjung, dipuja sebagai perkampungan suci bersih umpama batu jade yang
disakralkan sebagai batu mulia tanpa cacad, berabad-abad, beribu-ribu tahun tetap menjadi lambang
kebesaran yang tak pernah pudar.
Lian Shia-pik tertawa senang, tertawa puas.
Dalam sekejap ini, ia betul-betul merasakan sebagai pemenang, jerih payah selama beberapa tahun,
bersabar dan tekuk lutut menahan hina, hari ini akhirnya memperoleh tebusan yang amat tak bernilai.
Mendadak ia punya perasaan senang dan lega karena beban selama ini menindihnya terlalu berat. Secara
reflek ia mengulur tangannya mengelus pedang emas itu. Batang pedang dingin, hatinya justru panas
membara, jari-jemarinya yang hangat mengelus batang pedang nan dingin, terasa nyaman dan segar.
Saat ini ia betul-betul bergairah, dia memang memerlukan hawa segar, hati yang nyaman untuk meredam
gejolak perasaannya, hati yang tenang dan tenteram.
Mendadak ia tertegun.
Di atas pedang emas itu semula diukir empat huruf "Hiap Gi Bu Siang"
Empat huruf itu tidak berubah, tetap keempat huruf itu, cuma urutan keempat huruf itu yang berubah terbalik,
menjadi "Hiap Gi Siang Bu'.
Di bawah keempat huruf itu semula diukir juga beberapa nama sponsor pembuat pedang emas itu. Kini
nama mereka sudah berubah menjadi "PERSEMBAHAN RAMPOK BESAR SIAU CAP-IT LONG".
Pedang tetap pedang emas semula, kecuali perubahan huruf-huruf yang diukir di batang pedang, tiada
keanehan yang lain. Itu menandakan bahwa huruf-huruf semula yang terukir di batang pedang dihapus
orang dengan kekuatan 'Tay-lik-kim-kong-jiu' atau ilmu sejenisnya, lalu diukir kembali dengan huruf-huruf
baru yang terbaca sekarang.
Kecuali Siau Cap-it Long, siapa mampu melakukannya?
Kecuali Siau Cap-it Long, siapa memiliki Lwekang setinggi ini?
Tapi bukankah Siau Cap-it Long sudah ambruk, sudah runtuh total? Apakah semua itu hanya merupakan
perangkap?
Mendadak Lian Shia-pik merasa hatinya mencelos, perasaannya mengendap turun mirip tenggelam ke
dasar jurang, orangnya seperti batu yang dijemur di terik matahari, mendadak jatuh ke dasar jurang yang
bersalju.
Perasaan dingin yang entah datang darimana, sekonyong-konyong seperti mengurung dirinya.
Bukan hanya hatinya dingin, badannya juga mulai menggigil. Pedang lepas dari tangannya jatuh di lantai
dengan suaranya yang memekak telinga.
Lian Shia-pik menegakkan badan sambil menarik napas panjang, lalu dihamburkan dari mulut perlahanlahan,
mendadak berteriak, "Mana orangnya."
Yang dipanggil segera muncul.

Rona muka Lian Shia-pik sudah wajar kembali, sepatah demi sepatah berkata, "Sulut dupa, siapkan kuah
teratai, siapkan perjamuan besar, hiburan tambur dan musik."
Lalu Lian Shia-pik berendam dalam air bak yang mengepul hangat, namun ia masih merasakan sekujur
badannya kedinginan.
Selama ini dia belum pernah dijatuhkan orang, memangnya dia lelaki kuat yang tidak mudah dijatuhkan.
Tapi sekarang dalam sanubarinya ia merasakan kejatuhan itu.
Cita-cita hidupnya selama ini adalah menjatuhkan Siau Cap-it Long secara tuntas, remuk redam di
tangannya.
Sekarang mendadak ia menyadari, yang berhasil ia hancurkan tidak bukan tidak lain adalah keinginannya
sendiri.
Mendadak ia menyadari dirinya sungguh menggelikan. Ia ingin tertawa, tertawa bebas, tertawa lepas.
Dia benar-benar tertawa, sambil bergelak tawa ia berdiri, terus keluar dari ruang besar.
Ruang sebelah juga terang benderang, alunan musik berkumandang merdu, belasan cewek yang semampai
sedang menari gemulai, dengan langkah lebar ia beranjak ke tengah cewek-cewek yang sedang menari itu.
Dia berusaha mengendorkan segalanya, entah hati, pikiran atau lahir batinnya. Sebab ia tahu detik-detik
yang memutuskan kalah menang sudah di ambang mata.
Kalau Siau Cap-it Long tidak roboh, berarti dirinya yang akan tumbang, hal ini jelas dan tak perlu diragukan
lagi.
Gong Ping Ciu Lou.
Di restoran ini juga terang benderang, musik mengalun merdu, para penari membawakan tari gembira.
Sepertinya Siau Cap-it Long juga berusaha mengendorkan segala pikiran, lahir batin. Arak masih berada di
atas meja. Dalam hati Siau Cap-it Long sudah merasakan keberadaan arak itu.
Dengan nanar ia mengawasi Lian Shia-pik beranjak masuk, Lian Shia-pik juga sedang mengawasi dirinya,
sorot mata mereka berdua tampak terang, bening namun dingin.
Pada detik-detik singkat ini, hati mereka sama-sama dirasuk perasaan aneh, seperti sedang mengawasi
duplikat diri sendiri.
Dalam mata mereka, dalam sanubari yang paling dalam, di suatu tempat rahasia yang paling tersembunyi di
relung hati mereka, bukankah antara mereka punya persamaan yang selama ini tak pernah diungkap?
Kenapa mereka sama-sama mencintai satu wanita? Kenapa begitu mendalam cinta mereka?
Tanpa bicara, tanpa bersuara. Begitulah mereka saling pandang, saling tatap.
Mungkin hingga sekarang Lian Shia-pik baru melihat jelas siapa sebenarnya Siau Cap-it Long.
Siau Cap-it Long pasti dan bukan manusia yang bisa dihancurkan hanya dengan arak.
Arak hanya sebuah alat. Tiba-tiba Lian Shia-pik mengangkat cawan, terus ditenggak habis, "Arak bagus."
"Ya, arak bagus."
"Arak, arak banyak menyelesaikan urusanmu."
Siau Cap-it Long manggut-manggut.
"Maka kau tahu aku pasti datang ke sini."
Siau Cap-it Long hanya mengiakan saja.
"Kau dan aku sama-sama tahu, hari ini akan tiba juga."

Siau Cap-it Long memanggut.
Lian Shia-pik tertawa.
Siau Cap-it Long juga tertawa.
"Silakan," seru Lian Shia-pik.
"Silakan," seru Siau Cap-it Long dengan senyum lebar, mereka sama-sama beranjak keluar.
Cahaya senja tampak begitu indah mempesona, hembusan angin sudah terasa dingin. Sedingin senyum
mereka.
Daun rontok berhamburan. Daun yang berhamburan itu beterbangan di jalan raya panjang itu.
Jalan raya sunyi sepi.
Sinar senja menerangi lembah, daun-daun pohon mulai menguning di musim rontok, disorot cahaya mentari
tampak membentang merah bagai tabir api.
Sorot mata Lian Shia-pik seperti api membara mengawasi Siau Cap-it Long. Mengawasi golok pusaka yang
terkenal di dunia itu.
Pada zaman ini, di kolong langit, yakin tiada golok lain yang lebih tajam dibanding golok jagal rusa. Di dunia
ini, pasti tiada tangan yang dapat memainkan ilmu golok seperti yang dimainkan Siau Cap-it Long, begitu
menakutkan, begitu mengerikan.
Setiap insan persilatan pasti tahu akan hal ini.
Lian Shia-pik jelas juga tahu akan hal ini.
Dan sekarang, golok yang tajam luar biasa itu tengah tergenggam di tangan Siau Cap-it Long.
Siapa pun dia, berhadapan dengan lawan seperti ini, tak ingkar lagi pasti timbul rasa lakut, rasa ngeri dalam
hatinya, tapi tidak dengan Lian Shia-pik. Sebab sanubarinya dilembari keyakinan.
Sejak beberapa tahun lalu ia sudah punya keyakinan itu, ia percaya tiada tokoh mana pun di dunia ini yang
mampu mengalahkan dirinya.
Siau Cap-it Long adalah manusia biasa, dia pun tidak terkecuali. Maka ia amat tenang, hatinya mantap.
Dengan menatap tajam Siau Cap-it Long, maksudnya hanya ingin menambah tekanan bagi hati Siau Cap-it
Long.
Dia menatap Siau Cap-it Long hanya ingin menikmati mimik Siau Cap-it Long menjelang ajal.
Serpihan cahaya akhir dari mentari senja tepat menyinari batang golok jagal rusa, sinarnya membias di
wajah dan mata Siau Cap-it Long.
Terasa oleh Lian Shia-pik dari sorot mata Siau Cap-it Long muncul cahaya yang aneh, cahaya cemerlang
yang tak mampu dilukiskan dengan kata-kata, cemerlang yang tiada duanya di dunia.
Pada detik sekilas itulah, keyakinan Lian Shia-pik mendadak meleleh, mendadak sirna seperti sisa salju di
musimn semi yang ditimpa terik mentari. Mendadak hatinya dirasuk rasa takut yang tak mampu dilukiskan
dengan kata-kata, rasa takut yang belum pernah ada sepanjang hidupnya.
Betapa hebat, betapa kuat rasa ketakutan, seberat sambaran sinar golok tajam itu. Dan pada detik-detik
yang menentukan itulah, Siau Cap-it Long melakukan perbuatan yang tidak pernah disangka oleh siapa pun,
mimpi pun tak pernah terbayangkan oleh siapa pun.
Siau Cap-it Long menurunkan goloknya. Meletakkan Kek-lok-to. Meletakkan Kek-lok-to yang luar biasa,
golok pusaka yang digdaya, golok sakti yang tiada duanya di dunia. Meletakkan di depan kaki Lian Shia-pik.
Di tempat dengan mudah sekali raih Lian shia-pik bisa menjamahnya.

Kejap lain, cahaya senja telah lenyap, kemilau golok itupun telah sirna, mendadak Siau Cap-it Long juga
menghilang.
Sebab dalam pandangan Lian Shia-pik sudah tiada Siau Cap-it Long, sudah tiada rasa takut. Tapi juga jelas
sudah tiada keyakinan.
Keyakinan jelas merupakan unsur terpenting untuk menundukkan lawan meraih kemenangan, tapi bagi
seorang pemenang, keyakinan itu sudah tidak bermanfaat lagi, sudah tidak penting lagi.
Sebab ia sudah memperoleh kemenangan. Apakah rasa kemenangan itu? Nikmat, puas, terangsang, riang
gembira atau mungkin kosong.
Sejenis rasa kosong yang hanya diresapi oleh seorang yang pernah meraih kemenangan.
Rasa kosong yang dirasakan Lian Shia-pik datang sekilas saja, sekejap goloknya memapas, sekilas sinar
menyambar. Rasa kosong yang jauh lebih mengerikan dibanding rasa takut itu sendiri.
Dia melihat Kek-lok-to.
Hanya melihat Kek-lok-to yang ditaruh di tanah depan kakinya, Kek-lok-to yang dapat ia ambil hanya dengan
sedikit membungkuk badan.
Dia tidak melihat Siau Cap-it Long.
Tak pernah terpikir dalam benaknya, yang benar-benar menakutkan, mengerikan bukanlah golok ini. Yang
benar menakutkan adalah Siau Cap-it Long.
Siau Cap-it Long yang aneh, yang tak bisa dilukiskan, Siau Cap-it Long yang tiada duanya di langit, bumi
atau dimana saja.
Malam gelap pekat.
Lian Shia-pik hanya melihat kegelapan. Sepanjang hidupnya, hanya saat itulah yang ia rasakan paling gelap.
Lalu ia mendengar suatu suara yang aneh. Suara yang aneh, suara yang tak bisa dilukiskan dengan katakata,
suara yang hanya bisa ia rasakan dan ingin tumpahkan setelah mendengarnya.
Dia mendengar tulang kepala sendiri yang terpukul remuk.
* * * * *
Rembulan.
Bintang bertaburan.
Cahaya rembulan dan sinar bintang membias di muka Lian Shia-pik nan pucat pias, roman mukanya lebih
pucat dibanding putih mata Siau Cap-it Long.
Tiada orang bisa melukiskan mata Siau Cap-it Long, jelas takkan ada orang bisa menggambarkan
bagaimana bola mata Siau Cap-it Long saat itu.
Cahaya rembulan berkerlap-kerlip, bintang masih menyinari golok pusaka yang menggeletak di tanah.
Kek-lok-to masih berada di sana, Siau Cap-it Long sudah pergi.
Waktu Siau Cap-it Long pergi, tidak membawa nyawa Lian Shia-pik, hanya membawa harapan, bangga dan
kemenangan, harapan yang menjadi cita-citanya selama hidup.
Waktu berlalu ia hanya berkata, "Kau tidak boleh mati, karena aku masih berhutang kepadamu."
Kau tidak boleh mati. Aku pun pantang mati.
Hong Si-nio tak boleh ajal. Sim Bik-kun juga tak boleh gugur.

Tapi sejak zaman dahulu, sejak ribuan, laksaan tahun lalu, di dunia ini ribuan dan laksaan manusia,
memangnya siapa yang tidak bisa mati?
T A M A T
Anda sedang membaca artikel tentang Bentrok Para Pendekar 2 [Lanjutan Anak Berandalan] dan anda bisa menemukan artikel Bentrok Para Pendekar 2 [Lanjutan Anak Berandalan] ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/bentrok-para-pendekar-2-lanjutan-anak.html?m=0,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Bentrok Para Pendekar 2 [Lanjutan Anak Berandalan] ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Bentrok Para Pendekar 2 [Lanjutan Anak Berandalan] sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Bentrok Para Pendekar 2 [Lanjutan Anak Berandalan] with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/bentrok-para-pendekar-2-lanjutan-anak.html?m=0. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar